I :\;
~
PENGEMBANGAN VAKSIN BAKTERIAL MASTITIS UNTUK MENYONGSONG SWASEMBADA SUSU 2020 DI INDONESIA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Kedokteran Hewan Universitas GadjahMada
Oleh: Prof. Dr. drh. Agnesia Endang Tri Hastuti Wahyuni, M.Si.
PENGEMBANGAN VAKSIN BAKTERIAL MASTITIS UNTUK MENYONGSONG SWASEMBADA SUSU 2020 DI INDONESIA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada
Diucapkan
di depan Rapat Terbuka Dewan Guru Besar Universitas Gadjah Mada pada tanggal 04 Agustus 2015 di Yogyakarta
Oleh: Prof. Dr. drh. Agnesia Endang Tri Hastuti Wahyuni, M.Si.
Yang ferhormaf, Pimpinan dan anggofa Majelis Wali Amanaf Universitas Gadjah Mada Pimpinan dan anggofa Dewan Guru Besar Universitas Gadjah Mada Pimpinan dan anggofa Senaf Akademik Universitas Gadjah Mada Rekfor dan para Wakil Rektor, Dekan dan para Wakil Dekan, serta segenap pejabaf strukfural Universitas Gadjah Mada Para hadirin famu undangan, teman sejawat, dan sanak keluarga yang saya cintai Serfa para mahasiswa yang saya banggakan Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Salam sejahtera untuk kita semua. Om Swasfiasfu Rasa syukur yang mendalam saya panjatkan ke hadirat Tuhan, Sang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, yang telah melimpahkan berkat-Nya kepada kita semua sehingga pada pagi ini kita semua dapat berkumpul untuk menghadiri Rapat Terbuka Dewan Guru Besar di Balai Senat Universitas Gadjah Mada yang megah ini dalam keadaan sehat dan bahagia. Sebelum membacakan pidato saya, perkenankanlah saya menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dewan Guru Besar Universitas Gadjah Mada yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk menyampaikan pidato pengukuhan sebagai guru besar dalam bidang mikrobiologi pada Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada yang berjudul: PENGEMBANGAN VAKSIN BAKTERIAL MASTITIS UNTUK MENYONGSONG SW ASEMBADA SUSU 2020 DI INDONESIA
2 Hadirin yang saya hormati, Sehubungan dengan berlakunya kesepakatan dengan IMF sejak era Refonllasi maka peternakan sapi perah rakyat seakan dibiarkan bersaing dengan industri susu negara-negara maju. Saat ini produksi susu di Indonesia baru mencapai 775,7 ton (20%) sehingga untuk memenuhi kebutuhan susu dalam negeri pemerintah harus melakukan impor susu sebanyak 3.170,68 ton, yaitu sekitar 80% dari kebutuhan dalam negeri. Oitinjau dari aspek kedaulatan pangan dan juga aspek ekonomi maka tekad untuk swasembada susu sangat esensial dan harus menjadi keputusan politik untuk diwujudkan. Bennodalkan populasi susu sapi perah yang ada sekarang ini dan sumber daya terkait tennasuk peternak sapi, direncanakan dan dipertimbangkan untuk mewujudkan swasembada susu di tahun 2020. Angka tahun 2020 digunakan dengan beberapa pertimbangan, yaitu: pertama bahwa tahun 2020 adalah tahun diberlakukannya pasar bebas dunia. Kedua, tahun 2020 adalah waktu sewindu (delapan tahun) dari tahun 2012 apabila disepakati untuk mewujudkan swasembada susu dan waktu yang cukup ideal untuk melakukan langkah progresif. Ketiga, tahun 2020 (twenty twenty) sangat mudah untuk melakukan sosialisasi (Anonim, 2014a) . Swasembada susu tahun 2020 merupakan tantangan yang tidak ringan. Menurut proyeksi yang disusun oleh lndustri Pengolahan Susu (IPS), pada tahun 2020 konsumsi bangsa Indonesia sebesar 6 mi1iar liter, yaitu setara dengan 16,5 juta liter/hari. Oa1am hal ini, swasembada adalah pemenuhan sekitar 90 persen dari kebutuhan susu nasional; di tahun 2020 produksi susu segar da1am negeri diperkirakan sekitar 5,5 miliar liter. Selanjutnya, dengan menggunakan beberapa asumsi/parameter produktivitas sapi per ekor, yaitu 15 liter/hari maka pada tahun 2020 harus tersedia sekitar 1.180.000 ekor sapi laktasi. Hal ini berarti bahwa popu1asi total sapi perah sekurang-kurangnya 2,3 juta ekor. Sampai saat ini tingkat konsumsi susu di Indonesia baru mencapai 16,421 kg/kapita/tahun. Tingkat konsumsi ini masih rendah bila dibandingkan dengan negara Thailand, Malaysia, dan Singapura (Anonim,2014a).
3 Berdasarkan data statistik Oirektorat lenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan tahun 2010 dan hasil PSPK 2011, dapat diketahui bahwa populasi sapi perah di Indonesia adalah 597.213 ekor, dengan rata-rata produksi 11,51 liter/ckorlhari. lumlah rumah tangga pemelihara sapi perah sebanyak 192.142 dengan skala kepemilikan 3-4 ekor sapi per peternak. Kondisi produksi susu segar Indonesia saat ini sebagian besar (91 %) dihasilkan oleh usaha rakyat dengan skala usaha 1-3 ekor sapi perah per peternak (Anonim, 2014a). Sebagian bcsar kebutuhan susu negara kita masih bergantung pad a produk impor. Berbagai faktor yang berperan dalam produksi susu adalah faktor pcmilikan sapi masih sangat rendah, kemampuan teknis peternak, harga pakan, kualitas pakan, harga jual yang tidak seimbang, dan adanya penyakit pada sapi perah, khususnya mastitis (radang ambing). Kejadiannya yang sangat tinggi menyebabkan produksi susu segar relatif stagnan sehingga peternak tidak terpacu untuk mengembangkan usahanya. Oiperkirakan apabila tidak ada langkah progresif, persentase kontribusi produksi susu segar dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan susu nasional akan semakin menurun.
Hadirin yang saya muliakan,
Mastitis (Radang Ambing) Susu sapi merupakan salah satu bahan pangan yang sangat penting untuk mencukupi kebutuhan gizi masyarakat. Hal ini terjadi karena susu sapi mengandung zat-zat makanan yang lengkap dan seimbang yang sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia. Komponenkomponen penting dalam susu ialah protein, lemak, vitamin, mineral, laktosa, serta enzim-enzim dan beberapa mikroba. Nilai gizi yang tinggi ini membuat susu menjadi media yang sangat baik untuk pertumbuhan berbagai mikroorganisme patogen sehingga mudah rusak dalam waktu yang singkat dan menjadi tidak layak untuk dikonsumsi bila tidak ditangani secara benar (Mennane dkk., 2007). Mastitis merupakan peradangan jaringan internal kelenjar susu (mammae) yang dapat disebabkan oleh agen infeksius (bakteri, virus,
4 fungi), dan berbagai faktor traumatik serta toksin yang dihasilkannya. Mastitis umumnya berhubungan dengan rendahnya higienitas pemerahan dan lingkungan kandang, juga disebabkan oleh rusaknya jaringan ambing dan puting terkait trauma, pemerahan yang salah, maupun karena gigitan paras it. Berdasarkan gejalanya, mastitis dapat dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu mastitis klinis dan mastitis subklinis. Mastitis klinis biasanya disertai gejala klinis seperti kebengkakan ambing, panas sakit jika dipegang, merah, dan penurunan fungsi pada ambing yang dapat mengakibatkan produksi susu terhenti (ambing mati). Mastitis subklinis adalah mastitis yang tidak menampakkan perubahan yang nyata pada ambing, tetapi susu yang dihasilkan mengalami penurunan dalam kuantitas maupun kualitasnya. Mastitis subklinis merupakan bentuk manifestasi mastitis yang sering terjadi, di mana keradangan tidak dapat dideteksi secara klinis melalui inspeksi, palpasi, maupun pemeriksaan ambing. Akibatnya banyak petemak tidak mengetahui bahwa sapinya menderita mastitis subklinis. Hadirin yang saya hormati, Untuk mengetahui adanya mastitis subklinis, diperlukan suatu metode diagnosis yang tepat (Subronto, 2003). Sapi perah yang menderita mastitis subklinis akan menunjukkan penurunan produksi susu dari produksi normalnya dan jumlah tbtal plate count (TPC) akan meningkat melebihi 106 koloni/ml susu. Menurut Badan Standar Nasional (2009), apabila susu menunjukkan jumlah TPC melebihi 106 koloni/ml susu, pada keadaan demikian susu tersebut dinyatakan tidak layak untuk dikonsumsi. Pada uji laboratorium lain, yaitu menghitung jumlah sel somatik atau sel radang (somatic cell count : SCC); susu mastitis subklinis menunjukkan jumlah SCC yang melebihi 200.000 sel per ml susu (Ruegg, 2005). Uji mastitis subklinis juga dilakukan dengan White Side Test (WST) dan California Mastitis Test (CMT), IPB-l, Nagase Test, Winconsin Mastitis Test, maupun uji lain seperti Electronic Cell Count untuk mendeteksi keberadaan white blood cells (WBe) di dalam susu serta identifikasi bakteri susu secara laboratorik.
5 Susu akan mengandung sejumlah besar sel epitel dan sel darah putih ketika terjadi infeksi bakteri pada ambing (Shearer dan Harris, 2009). Jika sapi perah yang menderita mastitis subklinis tidak ditanggulangi secara tepat, dapat berlanjut pada kejadian mastitis klinis. Hadirin yang saya hormati, Tingkat Kejadian Mastitis Mastitis subklinis merupakan tipe mastitis yang paling sering terjadi, yaitu sekitar 15-40 kali lebih banyak daripada mastitis klinis. Data mengenai .kasus mastitis di Indonesia telah banyak dilaporkan. Tingkat kejadian mastitis subklinis pada masing-masing wilayah berbeda-beda, yaitu Bogor (76%), Boyolali (91 %), dan Malang (81 %) (Wahyuni dkk., 2006). Sudarwanto et al. (2006) juga melaporkan bahwa kejadian mastitis subklinis di Indonesia sampai akhir tahun 2006 sekitar 75-83%. Kejadian mastitis subklinis pada sapi perah di Y ogyakarta memiliki rata-rata tingkat kejadian 72%, Jawa Tengah 65% dan Jawa Timur 44,66% (Wahyuni, 2008). Supriyanto (2014) melaporkan bahwa prevalensi mastitis pada sapi perah di Eks Karesidenan Madiun sebesar 77,78% yang terdiri atas mastitis subklinis 72,57% dan mastitis klinis 5,31 %. Infeksi ambing pada umumnya terjadi pada saat kering kandang, terutama dua minggu setelah penghentian pemerahan dan dua minggu menjelang waktu beranak. Infeksi terjadi pada periode tersebut dan terus berlangsung selama masa laktasi. Mammae sangat peka terhadap kemungkinan infeksi menjelang waktu beranak dan awal masa laktasi (Hillerton dan Berry 2005). Hadirin yang kami hormati, Bakterial Mastitis Proses terjadinya mastitis merupakan interaksi antara sapi, agen penyebab, dan lingkungan. Agen penyebab yang berada dalam kuartir/ambing dapat ditularkan dari sapi satu ke sapi yang lain selama proses pemerahan. Mikroorganisme yang paling banyak menyebabkan
6 mastitis adalah bakteri (85%). Mastitis disebabkan oleh berbagai macam bakteri yang dapat dikelompokkan menjadi bakteri patogen menular (contagious pathogen) dan bakteri komensal (enviromental pathogen). Bakteri patogen yang berada di kulit ambing dan di dalam ambing dapat ditularkan dari sapi satu ke sapi yang lain dengan atau tanpa perantara seperti tangan pemerah maupun alat pemerah. Bakteri komensal merupakan bakteri yang secara alami berada di lingkungan petemakan; penularannya melalui kontak langsung antara puting dan area yang terkontaminasi. Tingkat kejadian penyakit yang disebabkan oleh agen yang berada dalam kuartir lebih tinggi jika dibandingkan dengan mastitis subklinis yang disebabkan oleh agen penyakit yang berasal dari lingkungan (Sori et at., 2005). Kelompok bakteri patogen penyebab mastitis ialah Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Streptococcus dysgalactiae, Streptococcus agalactiae, dan Streptococcus uberis serta bakteri Coliform, terutama Escherichia coli dan Klebsiella. Supar dan Ariyanti (2008) melaporkan bahwa Staphylococcus epidermidis mendominasi, yaitu sebesar 91,5%, sedangkan pada mastitis subklinis yang mendominasi Streptococcus dysgalactiae, Streptococcus uberis. Wahyuni dkk. (20 lOa) melaporkan bahwa berbagai jenis bakteri dapat ditemukan pada susu normal, mastitis subklinis, maupun mastitis klinis. Persentase pencemaran oleh Streptococcus sp. (41 %), Staphylococcus aureus koagulase negatif (28%), Bacillus Gram positif (20,3%), Escherichia coli (7,6%), Staphylococcus aureus koagulase positif (6%), Staphylococcus koagulase negatif (3,3%). Jika dilihat dari jumlah maupun jenis bakterinya, mastitis subklinis menempati urutan pertama, yaitu sebesar 66,1% yang terdiri atas 6 jenis bakteri; susu normal 20,35% yang terdiri atas 4 jenis bakteri; dan pada susu mastitis klinis 13,55% terdiri atas 3 jenis bakteri. Bakteri yang selalu ada di ketiga kelompok susu tersebut adalah Escherichia coli. Hasil penelitian Hidayatullah (2014) menunjukkan bahwa bakteri yang teridentifikasi dari susu sapi perah di KPSBU adalah Staphylococcus (41,7%) yang terdiri atas Staphylococcus hyicus (41 %), Staphylococcus epidermidis (20%), Staphylococcus chromogenus, Staphylococcus aureus koagulase positif, Staphylococcus aureus koagulase negatif, dan Staphylococcus
7 schleo.fer subs. coagulans, masing-masing 10%. Kelompok Streptococcus (33,3%) terdiri atas Streptococcus pneumoniae (33,2%), Streptococcus uberis (12,5%), dan Streptococcus dysgalactiae subs. dysgalactiae (12,5%). Kelompok Coliform (25%) terdiri atas Escherichia coli (33,2%), Proteus mirabilis, Enterobacter aerogenes, Klebsiella pneumonia, Yersinia enterocolica, masing-masing 16,7%. Hadirin yang saya muliakan, Pengendalian Mastitis Pengobatan Mastitis dengan Antibiotik Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa kejadian mastitis terutama mastitis subklinis sangat tinggi, dan lebih dari 85% kejadian mastitis tersebut disebabkan oleh bakteri dan terutama Staphylococcus, Streptococcus, dan kelompok Coliform. Oleh karena itu, tindakan pencegahan dan pengendalian mastitis sangat diperlukan sebagai salah satu upaya penanganan penyakit di lapangan. Ada beberapa strategi pencegahan dan pengendalian mastitis pada sapi perah, yaitu dengan perbaikan sistem manajemen pemeliharaan yang meliputi pemeriksaan kesehatan sapi perah secara teratur, tes mastitis secara teratur, pencelupan/dipping puting dengan antiseptik; menjaga kebersihan ambing, pemberian asupan pakan yang baik serta pengobatan dengan antibiotik yang sesuai pada masa kering kandang (Kivaria dan Noordhuizen, 2006). Sampai sekarang pengobatan mastitis di 1apangan dengan antibiotik. Antibiotik merupakan substansi hasil metabolisme alami beberapa mikroorganisme, terutama fungi yang dalam jumlah kecil dapat mencegah pertumbuhan atau membunuh mikroorganisme lainnya. Sedangkan antimikrobial memiliki definisi yang lebih luas dari antibiotik, meliputi substansi alami, semisintetik, atau bahan sintetik yang dapat membunuh atau mencegah pertumbuhan mikroorganisme tanpa menyebabkan atau hanya sedikit menyebabkan kerusakan pad a sel inangnya. Namun, dalam penggunaannya, istilah antibiotik biasanya disamakan dengan antimikrobial (Giguere dkk., 2006).
8 Beberapa antibiotik yang sering digunakan untuk pengobatan mastitis atau penyakit lain pada sapi perah ialah penisilin, streptomisin, ampisilin, eritromisin, gentamisin, siprofloksasin, tetrasiklin, metisilin, trimetropim, oksasislin, dan kloramfenikol. Staphylococci sensitif terhadap banyak antibiotik, tennasuk penisilin, streptomisin, klortetrasiklin, oksitetrasiklin, tetrasiklin, kloramfenikol, eritromisin, basitrasin, neomisin, katomisin, streptonivisin, spiramisin, dan vankomisin (Katzung, 2004). Pengobatan dengan antibiotik yang tepat pada semua kuartir pada saat kering kandang dapat membantu mengendalikan infeksi oleh Streptococcus spp. Intervensi pada saat kering kandang merupakan tindakan pengendalian yang sangat spesifik terhadap infeksi intra mammary untuk menghindari terjadinya kerugian ekonomi yang semakin besar (Halasa et al., 20 10). Pemberian antibiotik pada saat kering kandang memiliki tingkat keberhasilan yang lebih tinggi (80-90%) jika dibandingkan dengan pemberian pada saat laktasi (30--40%) (Waldner, 2014). Hasil penelitian yang serupa disampaikan pula oleh Supar dan Ariyanti (2008) bahwa pengendalian mastitis subklinis dengan pemberian antibiotik pada saat kering kandang dapat meningkatkan produksi susu. Hadirin yang kami muliakan, Dampak Ekonomis Mastitis Mastitis secara ekonomis merupakaB penyakit yang terpenting pada ternak sapi perah karena menurunkan produksi susu baik secara kualitas maupun kuantitas (Schroeder, 2010). Para peneliti menyimpulkan bahwa mastitis subklinis bertanggung jawab tcrhadap kerugian ekonomi paling tinggi pada produksi sapi perah karena efek infeksi yang ditimbulkan (Ruegg, 2005; Ahmed dkk., 2008). Mastitis dapat menurunkan kuantitas maupun kualitas produksi sapi perah. Susu dari sapi perah yang menderita mastitis tidak layak untuk dikonsumsi sehingga susu harus dibuang sia-sia. Perubahan fisik susu akibat mastitis meliputi warna, bau, rasa, dan konsistensi. Warna yang biasanya putih kekuningan akan berubah mcnjadi putih pucat atau agak kebiruan. Rasa yang agak manis berubah menjadi
9 getir atau agak asin. Bau yang harum berubah menjadi asam. Konsistensi yang biasanya cair dengan emulsi yang merata akan berubah menjadi pecah, lebih cair, dan kadang disertai jonjot atau endapan fibrin dan gumpalan protein yang lain. Perubahan secara kimiawi meliputi pcnurunan jumlah kasein sehingga apabila dibuat keju kualitasnya menurun. Protein total susu juga menurun dcngan meningkatnya jumlah albumin dan globulin dan terjadi penurunan gula susu dan laktosa sehingga nilai kalori yang dikandungnya mcnurun. Mastitis sccara tidak langsung juga bisa menyebabkan penurunan produksi susu sehingga sangat merugikan petemak sapi pcrah. Kejadian mastitis pad a negara-negara bcrkembang juga dapat mengakibatkan pcdet-pedet mati atau pertumbuhannya terhambat karena tidak mendapatkan kolustrum maupun susu yang cukup dari induknya (Oliver, 2000; Soebronto, 2003). Oliver dkk. (2000) menambahkan, secara ckonomis, mastitis banyak menimbulkan kerugian karena adanya penurunan produksi yang dapat mencapai 70% dari seluruh kerugian akibat mastitis. Kejadian mastitis subklinis dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang cukup besar, terutama karena turunnya produksi susu yang dapat mencapai 25% dari total produksi (Han dkk., 2000). Supriyanto (2014) menyampaikan bahwa penurunan produksi susu oleh mastitis subklinis sebesar 13,98% dan penurunan mastitis subklinis akibat Staphylococcus aureus sebesar 26,62%, tetapi penurunan mencapai 100% apabila disebabkan oleh mastitis klinis, baik oleh mastitis klinis dengan atau tanpa Staphylococcus aureus. Kerugian ekonomi akibat mastitis subklinis dilaporkan di Eks Karesidenan Madiun scbesar Rp2.025.752,00/ekor/tahun. Namun, apabila mastitis subklinis diakibatkan oleh Staphylococcus aureus kerugian dapat mencapai Rp3.887.252,00/ekor/tahun. Kerugian akibat mastitis klinis dapat mencapai Rp 14.618.252,00/ekor/tahun. Sebagai pembanding kerugian akibat mastitis subklinis dan mastitis klinis per ckor/tahun juga dilaporkan di negara-negara lain, seperti: Swedia Rp964.938,00 dan Rp4.422.632,00; Brazil Rp 1.111.200,00 sampai Rp1.655.063,00; Nebraska Rp2.324.200,00; Australia Rp2.324.200,00; dan Belanda Rp2.986.597,00 (Supriyanto, 2014).
10 Hadirin yang kami muliakan, Dampak Kesehatan Masyarakat Mastitis Resistensi Antibiotik Pengobatan mastitis menggunakan antibiotik terutama ditujukan untuk membunuh bakteri, tetapi banyaknya macam antibiotik yang dipergunakan dan cara pemberian dengan dosis yang tidak terkontrollirasional dapat menyebabkan masalah baru. Permasalahan baru tersebut meliputi timbulnya resistensi terhadap antibiotik, residu antibiotik dalam susu, reaksi alergi, serta memengaruhi proses pengolahan hasil susu. Resistensi bakteri merupakan salah satu proses alamiah yang dilakukan oleh organisme dan bersifat terus-menerus sebagai bentuk toleransi terhadap lingkungan yang baru. Hal ini disebabkan oleh suatu faktor yang memang telah ada pada mikroorganisme tersebut atau diperoleh dari hasil adaptasi. Beberapa hasil penelitian tentang resistensi bakteri pada susu terhadap beberapa jenis antibiotik, yaitu Staphylococcus sp. yang diisolasi dari susu sapi perah di Boyolali telah resisten terhadap eritromisin sebesar 13,3% dan gentamisin 20%. Dilaporkan juga bahwa Staphylococcus aureus pada susu sapi dari Malang sudah resisten terhadap eritomisin sebesar 35,71 % dan gentamisin 28,5%. Resistensi terhadap antibiotik tidak hanya oleh Staphylococcus sp., tetapi juga oleh Streptococcus sp. dan Escherichia coli; sebanyak 57,14% Escherichia coli sudah resisten te~hadap eritromisin. Seperti diketahui bahwa tetrasiklin, ampisilin, dan eritromisin adalah antibiotik pilihan atau yang paling sering digunakan di lapangan. Dilaporkan juga oleh Wahyuni et al. (2014) bahwa sebanyak 50% Staphylococcus aureus dari susu sapi perah yang berasal dari Jateng dan Jatim juga sudah resisten terhadap metisilin/ Methycilin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) selain resisten terhadap penisilin G (84,3%) dan ampisilin (93,75%). Persentase MRSA sebanyak 93,75% dapat ditemukan pada susu mastitis subklinis. Penggunaan antibiotik dengan dosis yang tidak terkontrolltidak rasional dan pengobatan yang tidak selesai dapat menjadi penyebab utama terjadinya resistensi tersebut. Oleh karena itu, perlu
11 pemahaman atau pcngertian tentang penyebab bakterial mastitis dan profil sensitivitas terhadap antibiotik sangat penting untuk dilakukan. Residu Antibiotik Residu antibiotika adalah scnyawa asal dan/atau metabolitnya yang terdapat dalam jaringan produk hewani dan tennasuk residu hasil uraian lainnya dari antibiotika tcrsebut. Jadi, residu dalam bahan pangan mcliputi scnyawa asal yang tidak berubah, metabolit dan/atau konjugat lain. Ancaman potensial residu antibiotika dalam makanan terhadap keschatan dapat'dibagi mcnjadi tiga kategori, yaitu (1) aspek toksikologis, (2) aspek mikrobiologis, dan (3) aspek imunopatologis. Menurut Haagsma (1988), residu antibiotika dalam makanan dan penggunaannya dalam bidang kcdoktcran hewan berkaitan dengan aspek kesehatan masyarakat vetcrincr, aspek teknologi, dan aspek lingkungan. Oitinjau dari aspck toksikologis, residu antibiotika bcrsifat racun terhadap hati, ginjal, dan pus at hemopoitika (pembcntukan darah). Oitinjau dari aspek mikrobiologis residu antibiotika dapat mengganggu mikrof1ora dalam saluran pencernaan dan menycbabkan tcrjadinya resistensi mikroorganisme yang dapat mcnimbulkan masalah besar dalam bidang kcsehatan manusia dan hewan. Oitinjau dari aspck imunopatologis, residu antibiotika dapat menimbulkan reaksi alergi yang ringan dan bersifat lokal, bahkan dapat menyebabkan shock yang berakibat fatal. Dipandang dari aspek teknologi, kcberadaan rcsidu antibiotika dalam bahan pangan dapat menghambat atau menggagalkan proses fenncntasi. Tindakan pcncegahan dan pengcndalian residu antibiotik antara lain dcngan mcncrapkan kebijakan penggunaan jenis antibiotik di bidang kedokteran hewan (tidak menggunakan jenis antibiotik yang digunakan manusia untuk hewan), pengawasan pemakaian antibiotik, penerapan good practices sepanjang rantai pangan (Fom farm to table), penerapan jaminan keamanan pangan di unit usaha pangan asal hcwan, serta pelaksanaan pemantauan dan surveilans residu antibiotik pada pangan asal hcwan. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan 32,52% susu pastcurisasi dan 31,10% susu segar di wilayah Jakarta, Bogor, dan Bandung mengandung residu antibiotika dalam jumlah
12 yang cukup tinggi. Seperti diketahui bahwa residu antibiotik pad a susu ini berpotensi membahayakan kesehatan manusia. Bakterial Mastitis yang Membahayakan Kesehatan Manusia Penyakit yang dapat ditularkan melalui susu dan produknya (milk borne disease) dapat disebabkan oleh Escherichia coli, Salmonella sp., Staphylococcus aureus, Listeria monocytogenes, dan Campylobacter jejuni (Jeffrey et al., 2009). Bakteri-bakteri tersebut dapat menimbulkan penyakit pada manusia melalui rantai makanan (susu) sehingga dapat digolongkan sebagai zoonoses. Pada bulan September 2004, telah terjadi keracunan pada 72 siswa sekolah dasar (SO) di Tulungagung Jawa Timur setelah minum susu, 300 siswa SO di Bandung dan 73 karyawan Carrefour di Surabaya. Kasus serupa juga terjadi pada tanggal 2 Juni 2009 pad a 10 siswa SO di Cipayung, Jakarta Timur dan 293 siswa SO di Kecamatan Sindangkarta, Kabupaten Bandung. Gejala keracunan yang timbul, ialah siswa mengalami mual-mual setelah mengonsumsi susu dalam kemasan. Menurut Badan Pemeriksaan Obat dan Makanan (BPOM), kasus tersebut disebabkan oleh Escherichia coli dan Staphylococcus aureus. Susu segar merupakan salah satu sumber utama munculnya Staphylococcus aureus pada produk susu. Staphylococcal enterotoxin (SE) merupakan penyebab utama kasus keracunan makanan yang berhubungan dengan kasus gastroenteritis dengan gejala klinis muntah, dengan atau tanpa disertai diare sebagai hasil infcksi dari satu atau beberapa jenis bakteri penghasil enterotoksin. Munculnya keracunan makanan pada manusia disebabkan kurangnya higienitas dan ketidaksempumaan saat pasteurisasi, juga adanya infeksi pada sapi perah. Oi beberapa negara di Eropa, seperti Norwegia, Staphylococcus aureus merupakan salah satu bakteri utama penyebab keracunan setelah minum susu. Oari hasil penelitian Prasidhanti (2014), dilaporkan bahwa SE pada susu nonnal dan susu mastitis klinis ditemukan sebesar 100%, sedangkan pada susu mastitis subklinis 5,2%. Berdasarkan hasil penelitian ini, peluang untuk terjadinya keracunan makanan sangat tinggi.
13 Listeria monocytogenes yang mencemari susu dapat menyebabkan penyakit listeriosis pada manusia. Laporan kasus listeriosis pada manusia di Indonesia yang ditularkan melalui makanan sampai saat ini belum ada. Meski sangat jarang, namun bakteri ini dapat ditularkan secara langsung dari hewan yang terinfeksi ke manusia. Gejala klinis pada manusia dapat dibagi dalam dua bentuk, yaitu non-invasif yang dikenal sebagai gastroenteritis listerial dan bentuk invasif parah yang disertai gejala klinis. Hasil penelitian Yuswandi (2015) menunjukkan bahwa susu segar dan susu pasteurisasi terce mar oleh Listeria monocytogenes masing-masing sebesar 0,55%.
Pengembangan Vaksin Bakterial Mastitis Hadirin yang saya muliakan, Hasil pengobatan mastitis yang disebabkan oleh bakteri dengan antibiotika semakin jauh dari memuaskan karena adanya risiko resistensi terhadap antibiotik dan residu antibiotik pada susu sehingga perlu dicari altematif lain yang lebih menjanjikan dan aman. Pengembangan vaksin bakterial mastitis menjadi salah satu harapan yang menjanjikan untuk pengendalian mastitis. Vaksin adalah mikroorganisme atau metabolitnya yang telah dilemahkan virulensinya (daya racun) atau diinaktifkan, tetapi tetap bersifat imunogenik. Imunogenik merupakan sifat antigen yang mampu menginduksi antibodi adaptif atau antibodi protektif. Vaksin dapat dibuat dari virus, bakteri, protozoa atau produk metabolitnya. Aplikasi vaksin dilakukan untuk melindungi individu atau populasi dari serangan penyakit tertentu. Vaksin ini memegang peran yang sangat penting dalam pencegahan infeksi agen penyakit dan mampu mencegah transmisi penyakit dari satu individu ke individu yang lainnya. Individu yang imun terhadap suatu penyakit mampu berfungsi sebagai penyaring agen penyakit tersebut dan memusnahkannya dengan sistem imun yang dimilikinya.
14 Hadirin yang kami muliakan, Untuk melakukan pencegahan pada suatu penyakit, harus dipahami proses atau mekanisme infeksi dari penyakitnya. Pada mastitis subklinis, kemampuan penempelan (adhesi) sangat penting sebagai langkah awal kolonisasi bakteri pada permukaan sel ambing daripada kemampuan perasukan (invasi). Seperti diketahui bahwa sistem imun lokal di dalam ambing sapi perah berbeda dengan sistem imun di organ lain pada umumnya. Aksi semburan susu berperan untuk mencegah invasi oleh bakteri patogen. Oleh karena itu, hanya bakteri-bakteri yang mempunyai kemampuan adesi kuat yang dapat bertahan supaya terbebas dari pengaruh semburan. Pada kasus mastitis subklinis ini tidak dijumpai perubahan yang berarti pada jaringan ambing maupun gejala klinis yang muncul. Menurut Wizeman et al. (2000), penghalangan/ blocking tahap awal dari suatu infeksi, yaitu adhesi merupakan strategi yang sangat efektif untuk mencegah terjadinya infeksi bakteri. Salah satu cara untuk menghalangi/menghambat adhesi adalah dengan antibodi dari bakteri penyebab adhesi tadi. Ofek et al. (1996) melakukan kajian in vitro yang menunjukkan bahwa perlekatan bakteri pada sel inang dapat dihambat oleh berbagai faktor, misalnya antiserum/antibodi spesifik, panas, dan pH. Hadirin yang saya muliakan, Berdasarkan hasil penclitian yang dilakukan Wahyuni (2004) tentang kemampuan adesi Streptococcus agalactiae dari susu sapi perah mastitis subklinis pada sel epitel ambing, diketahui bahwa bakteri yang memiliki hemaglutinin dan bersifat hidrofob akan mempunyai nilai adesi jauh lebih besar (20x) dibandingkan dengan bakteri yang tidak mempunyai hemaglutinin dan bersifat hidrofil. Oemikian juga Staphylococcus aureus penyebab mastitis pada sapi perah yang mempunyai hemaglutinin dan bersifat hidrofob mempunyai kemampuan adesi pada sel epitel ambing yang lebih besar jika dibandingkan dengan bakteri yang tidak memiliki hemaglutinin dan bersifat hidrofil (Wahyuni, 2005). Hasil penelitian lebih lanjut
15 menunjukkan kemampuan adesi pada sel epitel ambing oleh beberapa jenis bakteri dari urutan paling tinggi adalah kelompok Streptococcus sp., Staphylococcus sp., dan Escherichia coli (Wahyuni et al., 2010b). Proses adhesi dibedakan dalam dua bentuk, yaitu adhesi yang bersifat spesifik dan stabil (irreversible) dan adesi yang tidak spesifik dan labil (reversible). Issacson (1985) menyampaikan bahwa adesin merupakan struktur bakteri yang mendukung terjadinya adhesi, sedangkan hemaglutinin adalah adesin yang mengaglutinasi eritrosit. Diduga hemaglutinin berperan sebagai adesin irreversible, sedangkan permukaan yang bersifat hidrofob sebagai adesin reversible. Hal ini diperkuat oleh penelitian Wibawan et at. (2005) yang melaporkan bahwa proses adhesi oleh Staphylococcus aureus yang memiliki hemaglutinin pada sel epitel ambing berbentuk kelompok-kelompok kecil (cluster) dengan jumlah antara 2 sampai 5 per sel epitel ambing. Sebaliknya, pada bakteri yang tidak mempunyai hemaglutinin tidak dijumpai adanya adhesi bakteri pada sel epitel ambing (Wahyuni et al., 2005). Hasil uji hambat adhesi oleh antibodi spesifik terhadap hemaglutinin Streptococcus agalactiae mampu menghambat adhesi pada sel epitel ambing sampai dengan 91% (Wahyuni, 1998). Penelitian lain tentang kemampuan hambat adhesi oleh antibodi spesifik terhadap hemaglutinin Streptococcus agalactiae dan Staphylococcus aureus telah dilakukan oleh Wahyuni et at. (2005) dan Wibawan et al. (2005). Pada penelitian tersebut dibuktikan bahwa antibodi spesifik terhadap hemaglutinin Streptococcus agalactiae hanya akan bereaksi dengan antigen dari Streptococcus agalactiae dan tidak bereaksi dengan antigen Staphylococcus aureus, demikian juga sebaliknya. Di sini tampak bahwa antibodi terhadap hemaglutinin bersifat spesifik hanya dengan antigen pembentuknya. Oleh karena itu, meskipun kedua bakteri tersebut mempunyai hemaglutinin, tidak terjadi efek hambat silang. Lebih lanjut disampaikan bahwa hemaglutinin Streptococcus agalactiae merupakan protein dengan berat molekul 28 kDa, sedangkan hemaglutinin Staphylococcus aureus sebesar 27 kDa (Wahyuni et al., 2005). Antibodi terhadap Streptococcus agalactiae yang mempunyai antigen permukaan protein dan bersifat hidrofobik mampu menurunkan jumlah bakteria dalam
16 jumlah yang signifikan pada hewan percobaan yang diinokulasi Streptococcus agalactiae pada glandula mammae (Wahyuni dan Wibawan, 2009). Hadirin yang saya muliakan, Bagaimanakah perkembangan vaksin bakterial mastitis selama ini? Beberapa jenis vaksin mastitis sudah dikembangkan antara lain vaksin Coliform mastitis yang dibuat dari Escherichia coli dan Salmonella mutan (telah dihilangkan kemampuan menyintesis antigen polisakarida). Kelebihan vaksin ini adalah antibodi yang dihasilkan dapat mempunyai efek cross-reaction (bereaksi silang) dengan bakteri patogen Gram negatif lainnya sehingga bakteri Gram negatif lainnya akan tertangani oleh antibodi ini. Selain itu, vaksin ini mampu menurunkan gejala-gejala klinis Coliform mastitis sebesar 70%. Pengembangan vaksin mastitis juga telah dilakukan dengan Staphylococcus aureus. Protein A bakteri ini disuntikkan secara intramuskuler atau ke daerah kelenjar getah bening Supra mammary. Vaksin ini berhasil mengurangi jumlah kasus baru mastitis. Hasil observasi di lapangan oleh Bradley et al. (2015) menunjukkan bahwa penggunaan vaksin mastitis polyvalent (Startvac, Hipra UK Ltd., Nottingham, UK) tidak berkorelasi dengan penurunan kejadian mastitis klinis maupun mastitis subklinis pada awallaktasi (120 day in milk, DIM), tetapi menurunkan mastitis klinis. yang berat dan meningkatkan secara signifikan jumlah produksi susu dan bahan padat.
.
Vaksin inaktif polyvalent untuk mastitis juga sudah dikembangkan (Mastivac, Ovejero). Vaksin ini terdiri atas tujuh jenis bakteri, yaitu Streptococcus agalactiae, Streptococcus dysgalactiae, Streptococcus uberis, Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus, Escherichia coli, dan Arcanobacterium pyogenes. Hasil uji lapangan vaksin ini menunjukkan peningkatan kesembuhan secara spontan, meningkatkan penyembuhan pada masa kering, waktu henti obat/withdrawal time nol, menurunkan jumlah SCC, dan meningkatkan produksi susu (Anonim, 2014b).
17 Berdasarkan hasil pengembangan yang sudah dilakukan, vaksin Coliform, vaksin Staphylococcus aureus, maupun vaksin polyvalent belum didasarkan pada kemampuan adhesi dari bakteri penyebabnya. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengembangkan vaksin yang didasarkan pada bakteri penyebab utama mastitis, yaitu Staphylococcus aureus, Streptococcus agalactiae, dan Escherichia coli dan mempunyai kemampuan adhesi tinggi. Berdasarkan beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Wahyuni (1998, 2004, 2005, 2006, 2009, 2010), dapat diketahui adanya peluang yang besar untuk mengembangkan vaksin yang didasarkan pada kemampuan adhesi yang kuat terhadap epitel ambing. Diharapkan anti~odi spesifik yang terbentuk mampu untuk menghambat adhesi bakteri penyebab mastitis ke sel epitel ambing sehingga tidak ada/sangat sedikit bakteri yang hidup dalam ambing. Vaksin mastitis ini diharapkan akan mampu menjadi solusi pengendalian mastitis subklinis yang efektif dan aman selain cara pengendalian lainnya. Penutup Hadirin yang saya hormati, Sebagai penutup, saya ingin menyampaikan bahwa untuk mencapai swasembada susu tahun 2020, sangat penting untuk mengembangkan suatu strategi yang tepat untuk meningkatkan secara bertahap populasi sapi perah produktif dalam negeri dan meningkatkan produktivitas susu setiap sapi secara maksimal dalam kuantitas maupun kualitasnya. Salah satu syarat penting adalah memelihara sapi perah yang sehat, khususnya yang bebas dari mastitis. Berdasarkan fakta dari lapangan dan data hasil penelitian, dapat diambil beberapa kesimpulan penting, yaitu: I. Kejadian mastitis subklinis yang sangat tinggi dan menimbulkan kerngian sangat besar, serta pengobatan mastitis dengan antibiotika dapat menimbulkan masalah barn, yaitu berkembangnya bakteri yang resisten terhadap antibiotik dan timbulnya residu antibiotik di
18 dalam susu sehingga harus dicari pengendalian altematif yang lebih efektif dan aman. 2. Pengembangan vaksin bakterial mastitis yang didasarkan pada kemampuan adesi yang kuat sehingga antibodi spesifik yang terbentuk mampu menghambat adhesi bakteri ke sel epitel ambing merupakan terobosan baru yang sangat menjanjikan.
3. . Pengembanganvaksinmastitispolivalenyangterutamaterdiri atas Staphylococcus aureus, Streptococcus agalactiae maupun Escherichia coli perlu ditindaklanjuti sebagai salah satu solusi untuk pengendalian bakterial mastitis dalam rangka mendukung swasembada susu 2020. Hadirin yang saya muliakan,
Ucapan Terima Kasih Sebelum mengakhiri pidato pengukuhan ini, perkenankanlah saya mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak. Pertama-tama kepada Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia yang telah memberi kepercayaan kepada saya untuk mengemban jabatan guru besar. Rektor, para Wakil Rektor; Ketua, Sekretaris, dan anggota Senat Akademik; Ketua, Sekretaris, dan anggota Dewan Guru Besar Universitas Gadjah Mada; Senat dan Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada yang telah menyetujui pengusulan saya sebagai ,guru besar. Demikian pula terima kasih saya sampaikan kepada para staf Urusan Kepegawaian, baik tingkat fakultas maupun universitas yang telah dengan tulus membantu kelancaran proses pengusulan jabatan saya. Kepada semua guru SO Negeri Karanganyar Y, SMP Negeri I Karanganyar, dan SMA Negeri I Karanganyar yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu, saya mengucapkan terima kasih tak terhingga atas bimbingannya sehingga saya dapat berdiri mengucapkan pidato di tempat ini. Terima kasih yang sebesar-besamya juga kami sampaikan kepada dosen-dosen saya di Fakultas Kedokteran Hewan UGM. Kepada para dosen senior di Bagian Mikrobiologi yang sudah puma, drh. Sugiman, M.Sc.; drh. Suharso (aIm.); Drs. B. Sardjono, M.Sc.;
19 serta drh. Arab Bangun, M.Sc., Ph.D., terima kasih atas perhatian, bimbingan, dan arahan serta saran-sarannya. Teman sejawat di Bagian Mikrobilogi FKH: Prof. drh. Widya Asmara, S.U., M.Sc., Ph.D.; Dr. drh. Surya Amanu, S.U.; Dr. drh. Tri Untari, M.Si.; Dr. drh. Michael Haryadi Wibowo M.P., dan drh. Sidna Artanto, M.Biotech, terima kasih atas kebersamaannya selama ini. Terima kasih juga kepada pembimbing tesis dan disertasi saya di FKH Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. drh. Masduki Partadiredja, M.Sc., Ph.D. (aIm.); Prof. Dr. drh. I Wayan Teguh Wibawan, M.S.; Prof. Dr. drh. Fachriyan Hasmi Pasaribu; Prof. Dr. drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, M.S., Ph.D'.; serta Prof. drh. Widya Asmara, S.u., Ph.D. (UGM), t~rima kasih atas bimbingan, kepercayaan yang diberikan kepada saya dan mendorong saya menjadi seorang peneliti dan mencapai gelar tertinggi. Terima kasih pula saya haturkan kepada Prof. drh. Charles Rangga Tabbu, M.Sc., Ph.D. yang tidak bosanbosannya untuk mendorong dan memberi semangat sehingga memperoleh jabatan tertinggi di bidang pendidikan. Kepada para mahasiswa bimbingan saya di jenjang pendidikan S-l, S-2, maupun S-3, saya juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Tanpa kerja sama kalian semua, tidaklah mungkin jabatan tertinggi ini dapat saya raih. Terima kasih juga saya sampaikan kepada tenaga kependidikan di Bagian Mikrobiologi FKH UGM yang telah membantu kelancaran tugas saya sehari-hari selama ini. Jabatan akademik tertinggi ini juga saya persembahkan kepada almarhum dan almarhumah bapak-ibu saya (Bpk. Soekranto K. dan Ibu Sarni) yang dengan kesabaran dan kegigihannya selalu mendorong anak-anaknya sekolah, memberi semangat dan selalu memberi rasa optimis, selalu mendoakan kebaikan anak-anaknya. Masih ingat pennintaan Ibu agar saya menjadi seorang guru. Maafkan jika waktu itu saya tidak menjawab sesuai harapan Ibu. Namun ternyata doa Ibu itu luar biasa dan Tuhan telah mengabulkan doa Ibu, saya menjadi guru besar. Terima kasih yang tiada tara kepada kedua kakak saya: Drs. Joko Supriyanto, M.Sc. (aIm.) dan Ir. Edhy Sri Yannanto, M.Sc., karena kakak berdualah sebagai pengganti kedua orangtua, mengantarkan saya sampai di temp at ini. Kepada ketiga adik saya: Dra. Elizabet Titik Kuspangestiningrum, Dra.Yasinta Wardani Sutera
20 Dewi, dan Anastasia Soetjiati Soelistijaningsih, S.Sos., terima kasih untuk kebersamaan, rasa persaudaraan, dan kasih sayang serta pengertian dari dulu hingga sekarang. Kepada kedua kakak ipar: Dra. Susilo Hastuti; Cynthia Setyowati, Dipl. Eng., dan adik-adik ipar: Drs. Priyadi Soeprapto; Heri Indra Setiawan S.Sos.Mmtr; Yosef Anung Darmawan, S.E beserta seluruh keponakan, terima kasih atas kasih sayang dan pengertiannya selama ini. Tanpa doa dan dorongan dari kalian semua, belum tentu saya berada di tempat ini untuk menyampaikan pidato ini. Tidak lupa pula saya ucapkan terima kasih kepada keluarga besar bapak ibu mertua, Bpk. Drs. H. Soetjipta, M.Sc. (aIm.) dan Ibu Hj. Sri Rahayoeningsih (almh.) serta seluruh kakak dan adik ipar beserta keluarga masing-masing, terima kasih atas dukungannya selama ini. Terima kasih juga untuk keluarga besar Ibu Des Durias atas perhatian selama ini. Ucapan terima kasih yang sebesar-besamya saya sampaikan kepada suami, drh. Setio Seputro Widodo Triono serta dua buah hati saya yang menjadi pemacu semangat: Dimas Husada dan Setia Bhagawanta. Terima kasih atas pengertian, kesabaran, dan dukungan kalian selama ini. Dengan hati yang tulus, saya mohon maaf apabila banyak pihak yang terlewatkan dan tidak saya sebutkan. Andai tidak ada batasan waktu dan kesempatan, tak terungkapkan betapa ingin saya menyebutkan satu per satu rasa terima kasih atas semua bantuan dan dukungan bagi saya. Saya hanya bisa mendoak~n semoga semua menjadi amal ibadah yang pahalanya dilipatgandakan oleh Tuhan. Terima kasih yang sebesar-besamya kepada para hadirin atas perhatian dan kesabarannya dalam mengikuti upacara ini. Saya memohon maaf atas segala kekurangan dalam menyampaikan pidato ini dan mohon doa restu agar mampu mengemban amanah jabatan ini. Semoga Tuhan yang Mahapengasih dan Penyayang memberkati semua.
21 DAFTAR PUSTAKA Ahmed, W. M., Sherein, 1. Abd El-Moez., and Ghaba, M.N., 2008. "Observation on Subclinical Mastitis in Buffalo-Cows with Emphasis on Measuring of Milk Electrical Resistence for Its Early Detection". Global Veterinaria, 2(1): 41-45. Anonim, 2014a. "Ayo Sukseskan Swasembada Susu 2020". 26 Juli 2014. Anonim, 2014b. "Mastivac, Vaksin Mastitis untuk Sapi Perah". Bradley, A.J., J.E. Breen., B. Payne., V. White., and M.J. Green. 2015. "An Investigation of Efficacy of Polyvalent mastitis Vaccine Using Different Vaccination Regimens under Field Conditions in the United Kingdom". J Dairy Sci., 98: 1-15. Giguere, S., Prescott, IF., Baggot, J.D., Walker, R.D., Dowling, P.M., 2006. Antimicrobial Theraphy in Veterinary Medicine, fourth edition. Blackwell Publishing, Iowa. 121-124, 191-192, 231-232,241-244. Haagsma, N., 1988. "Control of Veterinary Drug Residues in Meat a Contribution to the Development of Analytical Procedures". Tesis. The University of Utrecht, the Netherlands. Halasa, T., Nie1en, M., Werven, T.V., Hogeveen., 2010. "A Simulation Model to Calculate Cost and Benefits of Dry Period Interventions in Dairy Cattle". J Liv. Sci., 129: 80-87. Hillerton, J.E. and Berry, E.A., 2005. "Treating Mastitis in the Cow is A Tradition or An Archaism". J Appl. Microbiol., 98: 1250-1255. Hidayatullah, H., 2015. "Identifikasi Staphylococcus sp., Streptococcus sp., dan Coliform dari Susu di Koperasi Petemak Sapi Bandung Utara (KPSBU) Lembang". Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Isaacon, R.E., Sevage, D.C and Fletcher, M., 1985. Pilus Adhesin: Bacterial Adhesin Mechanism and Physiological Significance. Plenum Publishing Corp, New York. 307-336. Jeffry, T., Lejeune, and P.J.R. Schltz. 2009. "Unpasteurized Milk: A Continnued Publich Health Threat. Food Safety". Clin. Infect. Dis.,48:93-100
22 Katzung, B.G., 2004. Farmakologi Dasar dan Klinik. Buku 3 Edisi 8. Salemba Medika, Jakarta. Pp: 3-7, 37-43, 47-48, 63-65. Kivaria, F.M. and Noordhuizen, J.P.T.M., 2006. "A Retrospective Study on the Aetiology and Temporal Distribution of Bovine Clinical Mastitis in Smallholder Dairy Herds in Dar es Salaam Region, Tanzania". The Veterinary Journal doi: 10.10 16/j.tvj1.2006.0 1.008. Mennane, Z., Ouhssine, M.K., and Elyachioui, M., 2007. "Hygiene Quality of Raw Cow's Milk Feeding from Domestic Waste in Two Regions in Morocco". Int. J Agric. Bioi., 9(1 ):46-47. Ofek, L, Kahane, L, and Sharon., 1996. "Toward Anti Adhesion Therapy for Microbial Disease". Trend. Microbiol., 4:297-299. Oliver, S.P.F.N., Schrick, M.E., Hockett., and Dowlen, H.H., 2000. "Clinical and Subclinical Mastitis during Early Lactation Impairs Reproductive Perfonnance of Dairy Cows". Proceedings of National Mastitis Council. Inc. Regional Meeting. 34-51. Prasiddhanti, L., 2014. "Deteksi Gen Enterotoksin G dan I Staphylococcus aureus dari Susu Nonnal, Mastitis Subklinis dan Mastitis Klinis dengan Teknik Multiplex Polymerase Chain Reaction". Tesis. Program Studi Sain Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan UGM. Ruegg, P.L., 2005. "California Mastitis Test (CMT)". Fact Sheet 1. Resources Milk Money. http://milkqmility.wisc.edu/wpcontent/uploads/20 11/09/california-mastitis. test- fact-sheet. pdf. Schroeder, J.W., 2010. "Mastitis Program Control: Bovine Mastitis and Milking Management". Extension Service. North Dakota State University (NDSU). AS-1129. Shearer, J.K. and Harris, B., 2009. "Mastitis in Dairy Goats". DS 85 Journal of IFAS, Florida: 1-4. Sori, H., Seihum, A., and Abdicho, S., 2005. "Dairy Cattle Mastitis in and Around Sebeta, Ehiopia". In!. J Appl. Res. Vet. Med., 3:332-338. Subronto, 2003. Ilmu Penyakit Ternak (Mamalia) L Ed ke-2. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
23 Sudarwanto, M., Latif, M., and Noordin, 2006. The Relationship of the Somatic Cell slCounting to Sub-clinical Mastitis to Improve Milk Quality". I International AA VS Scientific Conference, Jakarta, Indonesia. Supar dan Ariyanti, T., 2008. "Kajian Pengendalian Mastitis Subklinis Pada Sapi Perah". Dalam Kusuma, D., Elizabeth, W., Atien, P., Lily, N., Tati, H., Budi, P., Prospek /ndustri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas 2020. Pus at Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor, Indonesia. Pp: 360-366. Supriyanto, 2014. "Prevalensi, Faktor Risiko dan Analisis Kerugian Nilai Ekonomi Mastihs oleh Staphylococcus aureus pada Susu di Eks Ka:residenan Madiun". Tesis. Program Studi Sain Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, UGM, Yogyakarta. Waldner, D.N., 2014. "Dry Cow Therapy for Mastitis Control". Oklahoma State University. http://osufacts.okstate.edu /pdCfile/factsheets/DNWaldner, Pp: 1-4. Wahyuni, A.E.T.H., 1998. "Peran Hemaglutinin Streptococcus agalactiae dalam Proses Adesi pada Sel Epitel Ambing Sapi Perah". Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Pp: 23-31. 2004. 'The Role of Hemaglutinin of Streptococcus agalactie in Adhesion of Udder Ephitelial Cells in Dairy Cattle". Jurnal Galuryoku. Vol. X No.2. 2008. 'Tingkat Kejadian Mastitis Subklinis pada Sapi Perah di Beberapa Wilayah DIY, Jateng dan Jatim". Prosiding Seminar Nasional, Pengembangan Agroindustri Usah Persusuan Nasional Untuk Perbaikan Gizi Masyarakat dan Kesejahteraan Peternak. Pp: 246-251. Wahyuni, A.E.T.H, Wibawan, LW.T., dan Wibowo, M.H., 2005. Karakterisasi Hemaglutinin Streptococcus agalactiae dan Staphylococcus aureus Penyebab Mastitis Subklinis pada Sapi Perah. J Sain. Vet., 23: 79-86. Wahyuni, A.E.T.H. and Wibawan, LW.T., 2009. "Characteristic of Protein Antigen of Streptococcus aglactiae in Subclinical Mastitis of Dairy Cattle as a Vaccin Candidate". Proceeding
24 International Conference on Animal Health and Human Safety, Malaysia. Wahyuni, AE.T.H., Tjahajati, I., Wahyudim, F., Franky., Danna, R.S., Widyawati, L., dan Pratami. R., 20 lOa. "Gambaran Bakteri yang Diisolasi dari Susu Sapi Perah Nonnal, Mastitis Subklinis, dan Mastitis Klinis di Peternakan Sapi Perah di Magelang". The Proceeding of Indonesian Veterinary Medicine Association (IVMA CCE), 2010. Wahyuni, A.E.T.H., Sukarini, N.E., Aryani, D.R., 2010b. "The Adhesion Ability of Staphylococcus aureus, Streptococcus sp., and Eschericia coli as Mammary Ephitelial Cells that Isolated from Subclinical Mastitis of Dairy Milk". Proceeding 13th Association of Institution for Tropical Veterinary Medicine International Conference, Bangkok, Thailand Wahyuni, AE.T.H., Winarso, D., Valenty, V., and Franky., 20lOc. 'The Surface Character of Staphylococus aureus Isolated from Subclinical Mastitis of Dairy Cow Supporting Adherence to Udder Ephitelial Cell". Journal of the Indonesian Tropical Animal Agriculture, 35(3): 206-212. Wahyuni, AE.T.H., Agustina, D.W., F.X. Satria, P., Supriyanto, 2014. "Detection of Methicilin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) Isolated from Dairy Cattle Milk". Proceeding of the 3 Joint International Meetings 2014. Pp: 57-58. . Wibawan, I.W.T., Harlina, E., Damayant}, C.S., dan Zarkasie, K., 2005. "Preparasi Antiserum terhadap Hemag1utinin Streptococcus agalactiae dan Staphylococcus aureus serta Peranannya sebagai Anti Adhesin dan Opsoni". J Vet., 6(2): 52-58. Wizeman, T.M., Andamou, lE., and Langennann, S., 2000. "Adhesins as Targets for Vaccine development". http://www.cdc.gov/neiidodleidlvoI5no3/wizeman.htm. Yuswandi, 2015. "Identifikasi dan Karakterisasi Listeria monocytogenes dari Susu Segar dan Susu Olahan di Kabupaten Sleman". Tesis. Program Studi Sain Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, UGM.
25 BIODA T A ..
Nama Lengkap
: Prof. Dr. drh. Agnesia Endang Tri Hastuti Wahyuni, M.Si. Tempat, Tanggal Lahir: Karanganyar, 15 Agustus 1962 NIP : 196208151900032001 : pembina/IVa Pangkat/Golngan Jabatan. akademik : guru besar/profesor dalam bidang ilmu fungsional mikrobiologi FKH UGM
Alamat Kantor
Alamat Rumah
Bagian Mikrobiologi FKH UGM J1.Fauna No.2, Karangmalang, Yogyakarta 55281 Telp. 0274-560862, Fax: 0274-560861 Plosokuning IVGg. Rambutan 4, Minormartani, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta 55281
Keluarga: Suami : drh. Setio Seputro Wldodo Triono Anak : 1. Dimas Husada 2. Setia Bhagawanta Pendidikan S-I, drh.: Fakultas Kedokteran Hewan UGM S-2 : Program Studi Sain Veteriner, FKH IPB S-3 : Program Studi Sain Veteriner, FKH IPB
26 Riwayat Pekerjaan 1. 2. 3. 4. 5.
Dosen Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Hewan UGM: 1990-sekarang Sekretaris Bagian Mikrobiologi FKH UGM: 2003-2005 Sekretaris Pengelola Program Diploma III FKH UGM: 2004-2005 Wakil Ketua Pengelola Pendidikan Profesi Dokter Hewan FKH UGM: 2008 Ketua Pengelola Program Studi S-2 dan S-3 Sain Veteriner: 2008-2012
Jabatan 1. 2.
Profesi:
Anggota Komisi Obat Hewan, Direktorat Jenderal Petemakan, Departemen Pertanian: 2007-2012 Anggota Komisi Ahli Kesehatan Masyarakat Veteriner, Direktorat Jenderal Petemakan, Departemen Pertanian: 2012sekarang
Publikasi dalam Jurnal maupun Prosiding 2 Tahun Terakhir 1.
2.
3.
Wahyuni, A.E.T.H., Irene Linda M.S., Lalita Prasidhanti., Bagus Bramantyo A., F.X. Satria P., 2014. "Detection of Coagulase Positive and Coagulase Negative Staphylococcus aureus Isolated from Dairy Cattle Milk". Makalah untuk Proceeding International Seminar Indonesia Society of Microbiology (ISISM) 2014. Suwito, W., Nugroho, W.S., A.E.T.H, Wahyuni., dan Sumiarto, B., 2014. "Virulence Factor of Staphylococcus sp. Isolated from Subclinical Masttis in Ettawah Grade Goat's Milk in Sleman Regency Yogyakarta". J Indon. Trop. Anim. Agric., 39 (1): 52-57. Wijayanti A.D., Gagak Donny Satria., A.E.T.H. Wahyuni. 'The Routes of Administration of Amikacin as Consideration in Reptile Therapy". 2015. Procedia Chemistry, 14 (2015): 22-26
.