11. TINJAUAN PUSTAKA
A. KUALITAS SUSU DI INDONESIA
1. Persyaratan Susu
/
Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Peternakan (1983) tglah ditetapkan tentang syarat-syarat, tata cara pengawasan dan pemeriksaan kualitas susu produksi dalam negeri. Beberapa ketentuan yang penting antara lain mengenai peristilahan misalnya, yang dirnaksud dengan : a) susu adalah susu sapi meliputi susu segar, susu murni, susu pasteurisasi dan susu sterilisasi, b) susu murni adalah cairan yang berasal dari ambing sapi sehat, yang diperoleh dengan cara pemerahan yang benar tanpa mengurangi atau menambah sesuatu komponen, c) susu segar adalah susu murni yang tidak mengalami proses pemanasan, d) susu pasteurisasi adalah susu mumi yang telah mengalami proses pasteurisasi secara sempurna, e) susu sterilisasi adalah susu murni yang telah mengalami proses sterilisasi secara sempurna. Dalam ha1 ini telah ditetapkan pula persyaratan kualitas susu murni yang beredar, yaitu antara lain : a) tidak ada perubahan pada warna, bau, rasa dan kekentalan, b) berat jenis @ada suhu 27.5"C) sekurang-kurangnya 1.028, c) kadar lemak
sekurang-kurangnya 2.8 persen, d) kadar bahan kering tanpa lemak sekurangkurangnya 8 persen, e) kadar protein sekurang-kurangnya 2.7 persen, f) negatif pada uji &oh01 70 persen, g) jumlah kuman yang dapat d i b i i tiap ml setinggi-tingginya adalah 3 juta. Demikian pula persyaratan yang spesifk untuk susu pasteurisasi maupun susu sterilisasi telah ditetapkan. Mengenai pengawasan dan pengujian kualitas susu, maka ditetapkan tata caranya yaitu dilakukan terhadap susu pada peternakan sapi perah, penampung susu maupun pengumpul susu. Pengujian kualitas susu secara lengkap hanya dilakukan di
laboratorium saja, sedangkan pengujian di penampung susu (misalnya, KUD) atau pengumpul susu hanya dilakukan terhadap keadaan susu, yang meliputi antara lain: pemeriksaan organoleptik, uji kebersihan, uji keasaman dengan alkohol 70 persen (pada kenyataannya konsentrasi alkohol lebih tinggi, misatnya 75% di KPS, Bogor dan di IPS Indomilk, 1997). sedangkan pengujian terhadap susunan susu hanya dilakukan terhadap berat jenis saja.
>
2. Susu Substandar
Susu substandar didefinisikan sebagai susu murni yang tidak memenuhi persyaratan minimal yang ditetapkan oleh Pemerintah, dalam hal ini KUD atau Milk
Treatment. Pada kenyataannya sampai saat ini masih sulit bagi peternak untuk memenuhi semua persyaratan susu murni tersebut di atas, sehingga pemerintah mengambil kebijakan melalui KUDlKOP atau penampung susu dalam penyerapan susu dari peternak. Misalnya, di Milk Ttreatment di Ujung Berung, Bandung mash menerima susu segar dengan berat jenis 1.026 (GKSIWilayah Jawa Barat, 1997). ha1 yang sama juga diterapkan di KPBS Pangalengan (1993) akan tetapi bila ada petemak anggota koperasi menghasilkan susu segar dengan berat jenis lebii rendah dari standar KPBS tetapi mash B 1.024, maka susu tersebut masih diterima dengan persyaratan khusus. Di KPS, Bogor (1997) susu segar masih diterima bila memiliki berat jenis minimal 1.0250 (produksi pagi hari), dan 1.0240 pada produksi sore hari. Hal ini dilakukan dalam rangka terus mengupayakan para peternak memproduksi susu dengan kualitas yang sesuai dengan standar yang diwpkan. Perkembangan produksi susu di dalam negeri sejak beberapa tahun terakhir ini menunjukkan peningkatan yang menggembirakan, yaitu usaha produksi yang dikelola oleh para peternak sapi perah berskala keluarga yang dibina oleh Koperasi Unit desa (KUD)dan sebagian besar hasil produksinya dipasarkan ke Industri
Pengolahan Susu (IPS). Data dari Ti K o o r d i i i Persusuan (Dit. Jen. Perdagangan Dalam Negeri. 1993) menunjukkan bahwa penyerapan susu segar dalam negeri (SSDN) oleh IPS cenderung meningkat dari 652 ton per hari pada tahun 1991, menjadi 825 ton per hari pada tahun 1993.
1
Mengingat usaha peternakan rakyat masih dalam kondisi keterbatasan dalam banyak hal, misalnya permodalan, jumlah pemilikan sapi, luas lahan, pengetahdan maupun keterampilan, maka tingkat produktivitas maupun kualitas susu belum mencapai persyaratan yang ditetapkan pemerintah secara keseluruhan, sehingga masih ditemui susu segar yang tidak dapat dipasarkan karena kualitasnya masih di bawah standar. Sebagai contoh, dari data Gabungan Koperasi Susu Indonesia Pusat (1993). diketahui bahwa pada tahun 1991 sebanyak kira-kira 2600 ton susu segar tidak dapat dipasarkan ke IPS, sedangkan pada tahun 1992 terdapat sebanyak kirakira 1660 ton (yang meliputi 3 Milk Treatment di Jawa (Ujung Berung, Boyolali dan Pandaan).
Dengan semakin intensifnya peranan GKSI dalam membina peternak
tradisional(205 KUDIKOP se Indonesia, dan sejumlah 30 koperasi1KUD di wilayah Jawa Barat), maka sejak tahun 1995 Milk Treatment Ujung Berung, Bandung, hanya membeli susu segar untuk kebutuhan produksi susu pasteurisasi Alum Murni dan yogurt, sedangkan koperasilKUD di wilayah Jawa Barat lainnya mengirim susu
segar langsung ke IPS. Data dari Koperasi Peternak Bandung SelatanIKPBS (1996) di Pangalengan dengan produksi susu segar rata-rata 131.3 ton per hari tahun 1996 dan 142.9 tonthari tahun 1995 diietahui pula bahwa jumlah susu segar yang tidak dapat dipasarkan ke Industri Pengolahan SusuIIPS mencapai rata-rata satu persen dari total produksi per hari, sedangkan dari KPSBU. Lembang. Bandung (1996) diperoleh laporan bahwa jumlah susu segar yang ditolak IPS mencapai 1.2% dari rata-rata produksi per hari sebesar 66.9 ton. Dari KPS. Bogor (1997) diperoleh data bahwa
jumlah susu segar yang tidak dapat dipasarkan ke IPS rata-rata 13.460 ton pada tahun 1995, 12.271 ton pada tahun 1996, dan pada triwulan pertama tahun 1997 mencapai 3.6 ton, dan pada tahun 1995 susu segar yang ditolak pada tingkat peter-
nak sebesar rata-rata 2.4 ton/bulan (KPS Bogor melakukan penjemputan susu segar pada anggota-anggotanya). Pada tahun 19% produksi susu segar dari KUDIKOP di Jawa Barat (yang meliputi 11 kabupaten dengan 32 KUDIKOP) sebeiar 103,942,593.2 liter, yang memasok 47.7% produksi Nasional.
B. SIFAT FISIKO-KIMIA SUSU Susu sapi bukan saja merupakan suatu lamtan kimia yang komplek, tetapi juga sifat-sifat fisisnya secara alamiah sangat unik. Keadaan fisis yang memegang peranan penting antara lain warna, bau, rasa dan sifat penggumpalannya. Susu berwarna putih kebii-biruan sampai dengan kuning kekecoklat-coklaktan. Warna putih pada susu serta penampakannya disebabkan penyebaran dispersi koloid lemak, kalsium kaseinat dan kalsium fosfat, sedangkan warna kekuningkuningan ditentukan oleh kadar karoten dan riboflavin. Rasa asli susu agak manis dan menyenangkan @leasanr) Adanya rasa manis berasal dari laktosa dan rasa asin berasal dari khlorida, sitrat dan garam-garam mineral lainnya. Rasa susu ini mudah sekali menjadi abnormal karena beberapa penyebab antara lain : sari makanan ternak yang terbawa oleh susu, enzim susu. oksidasi lemak, aktivitas mikroba dan peralatan susu. Penggumpalan atau pengentalan merupakan salah satu sifat susu yang dapat disebabkan oleh kegiatan enzim atau penambahan asam (Fleet. 1978). Enzim renin yang diproduksi dari lambung anak sapi atau enzim proteolitik lainnya, termasuk yang diproduksi oleh bakteri dapat menyebabkan penggumpalan susu. Pada pH titik
isoelektrik kasein, yaitu sekitar 4.6, maka kasein akan menggumpal karena garamgaram kalsium dan fosfor yang semula berikatan dengan protein terlepas secara berangsur-angsur. Berat jenis susu segar bervariasi dari 1.0260 hiigga 1.0320 pada suhu 20%. yang dalam praktek sehari-hari dibaca 26 atau.32. Variasi tersebut sangat bergantung I
pada kadar lemak dan bahan kering tanpa lemak, bila kadar lemak tinggi maka berat jenis akan rendah, karena berat jenis lemak lebih rendah dibandingkan dengan komponen-komponen lainnya. Susu segar memilii pH dengan kisaran 6.6 - 6.7 atau sediit asam dan bila terbenhlk cukup banyak asam yang berasal aktivitas mikroba, maka pH menurun secara nyata. Susu yang baru perah bereaksi amfoter, karena terdapat senyawasenyawa bufer, yaitu fosfat, sitrat dan protein yang secara nonnal terdapat di dalarn susu. Bila susu menunjukkan pH di atas 6.6 - 6.8 maka ha1 ini mempakan indikasi sapi tersebut menderita penyakit mastitis (Fleet. 1978). 1. Komposisi Kimia
Lampert (1965) menerangkan bahwa susu memiliki komposisi gizi yang sangat komplek, beberapa komponen susu seperti laktosa, kasein dan lemak susu tidak dapat ditemukan pa& bahan makanan lain. Komposisi kimia susu berdasarkan beberapa peneliti disajikan pada 'lkbel 1.
Tahel 1. Komposisi Kimii Susu Sapi No.
Sumber
-
1. 2. 3. 4. 5.
Bahan Kering
Laktosa
protein* ~ e m a k *~ b u * -
-
................... %.............../... Ressang & Nasution (1962) Lampert (1965) Brunner (1977) Fleet, (1978) Belitz & Grosch (1987)
12.10 12.71 13.00' 12.90 13.00
4.60 4.92 4.80 4.80 3.70
3.20 3.42 3.50 3.40 3.60
3.45 3.66 4.00 3.90 5.00
0.85 0.71 0.30 0.72 0.70
Keterangan : *) = berdasarkan berat basah
Dari Tabel 1 dapat dijelaskan bahwa kandungan bahan kering susu pada setiap hasil penelitian berheda-beda, dan umumnya kandungan komponen lemak susu lebih tinggi dibandingkan dari komponen susu lainnya, rnisalnya protein atau abu. Protein
Kandungan protein susu umumnya dengan kisaran antara 3.20 hingga 3.60 persen (berat basah), yang terbagi atas dua bagian besar, yaitu 80 persen adalah kasein sedangkan 20 persen sisanya mempakan protein whey (whey protein). Kasein disebut juga kalsium fosfoprotein yaitu protein yang mengandung kalsium clan fosfor (Dalgleish, 1982). Kedua gmp protein susu tersebut berbeda baik secara kirnia maupun fisik, yang pada kenyataannya di dalam susu masing-masing terdapat dalam fase yang berbeda pula. Kasein merupakan agregat koloid, sedangkan protein whey terdapat dalam larutan bebas. Dalam ha1 ini kasein lebih komplek karena mampu mengikat ion logam yang pada gilirannya mudah mengalami presipitasi yang komplek. Dilain fiiak, protein whey yang merupakan protein globular yang spesifik maka sifatnya yang mudah terdenaturasi menjadi sangat penting.
.
Pengasaman susu oleh bakteri dapat mengendapkan kasein. Bila kadar asam cukup untuk menumnkan pH susu menjadi 5.2 - 5.3 maka kasein dapat mengendap disertai dengan melarutnyaa garam-garan kalsium dan fosfor yang semula terikat pada protein. Pada pH isoelektrik yaitu sekitar 4.6
- 4.7,
kasein diendapkan &an
terbebas dari semua garam-garam anorganik. >
Lemak Kandungan lemak bervariasi antara 3 - 6 persen (berat basah) yang dalam susu berbentuk globula lemak yang bergaris tengah antara I - 20 mikron, biasanya dalam setiap militer susu mengandung kira-kira 3 x lo9 butiran lemak. Sekitar 98
-
99 persen lemak susu berbentuk trigliserida, yaitu tiga rnolekul asam lemak yang
diesterifi-kasii terhadap gliserol, sedangkan lemak yang berbentuk digliserida dan monogliserida masing-masing terdapat sekitar 0.5 dan 0.04 persen (Fleet. 1978). Lebih lanjut dijelaskan bahwa lemak terdapat dalam tiga tempat, yaitu di dalam globula, pada membran material dan di dalam serum. Secara kuantitatif lemak tersusun oleh 98-99 persen trigliserida yang terdapat dalam globula lemak, 0.2-1.0 persen fosfolipida yang terdapat dalam membran material dan sebagian di dalam serum. Sisanya adalah sterol, yang kandungannya berkisar antara 0.25-0.40 persen. Butiran lemak cenderung memisah dan timbul pada permukaan yang merupakan suatu lapisan. Bagian lemak ini disebut krim dan cairan susu yang terdapat di bawahnya d i b u t skim. Bagian lemak tersebut dapat terpisah dengan mudah karena berat jenisnya kecil. Karena mempunyai luas permukaan yang sangat besat. maka reaksi-reaksi kirnia mudah sekali terjadi di permukaan perbatasan lemak dengan mediumnya (Adnan, 1976).
kmak merupakan komponen susu yang penting karena beberapa hal, antara lain: (1) mempunyai arti ekonomis yang penting, karena dapat digunakan sebagai
bahan baku dalam pembuatan mentega. Usaha-usaha seleksi sapi perah kadangkadang ditujukan untuk menghasilkan jenis sapi yang menghasilkan air susu dengan kadar lemak yang tinggi, (2) lemak bernilai gizi tinggi, atas dasar jumlah kalori yang diidungnya. Selain itu lemak juga mengandung nutrien lain, yaitu fosfolipid, sterol, tokopherol (vitamin E), karotenoid, vitamin A dan vitamin D. (3) lemak memegang peranan penting dalam menentukan rasa, bau dan tekstur. ~ e s k i p t n susu dipisahkan menjadi k r i i dan skim, maka sebanyak 70 persen fosfolipid terdapat di dalam krim, yang dengan cepat dapat teroksidasi dan menimbulkan cardboard off-.vor. Sterol yang terdapat dalam susu berupa kolesterol sebanyak 0.015 persen, (4) lemak merupakan konsituen yang dapat mempengaruhi kesehatan manusia.
Laktosa Laktosa merupakan karbohidrat utama dalam susu, dalam bentuk disakarida yang selama pencernaan mengalami perombakan oleh enzim laktase atau enzim O-Dgalaktosidase menjadi glukosa dan galaktosa (Fox dan Mulvihiil, 1982; Fleet, 1978; Lampert, 1965). Selain laktosa dengan kandungan antara 3.7 hingga 4.92 persen, juga ditemukan sejumlah kecil glukosa dan galaktosa dengan kadar masing-masing sebesar 0.007 dan 0.002 persen. Di dalam susu, laktosa terdapat dalam fase larutan yang sesungguhnya sehingga mudah dicerna pada proses hidrolisii oleh enzim usus. Setiap organisme yang dapat menghidrolisis laldosa, tentu mempunyai ernzim tersebut. misalnya Streptococcus laktis ,Escherichia coli dan ragi. Laktosa tidak dapat diidrolisis dengan asam yang terdapat dalam kelenjar pencernaan kita, baik di dalam perut maupun di kelenjar usus. Hidrolisis laktosa di dalam pencernaan kita dilaksanakan oleh mihoorganisme dan oleh enzim B-D-galaktosidase yang d i i i l -
kan oleh kelenjar usus. Hasil hidrolisis tersebut berupa asam-asam organik terutama asam laktat. Oleh karena itu proses hidrolisis tersebut dapat menaikkan keasaman.
Keasaman ini dapat mengganggu pertumbuhan bakteri yang tidak kita kehendaki terutama bakteri yang dapat menyebabkan diare @utrefacrive bacteria). Sebagian kecil laktosa mengalami hidrolisis di dalam sel-sel dinding usus karena sel-sel mukosa yang terdapat dalam dinding usus mempunyai enzim &Dgalaktosidase tersebut. Penyerapan laktosa dalam dinding usus ternyata menstimulir mineral seperti kalsium, fosfor yang disebabkan karena kenaikan permiabilitas dari dinding sel-sel tersebut. Apabila laktosa diinjeksikan langsung ke dalam aliran darah, maka zat tersebut tidak dapat diiidrolisis melainkan akan disekresikan melalui urin
(Adnan, 1966). Vitamin dan Mineral Susu merupakan sumber vitamin yang larut dalam air yaitu vitamin B dan C maupun vitamin yang larut dalam lemak yaitu vitamin A, D, E dan K. Sebagian besar vitamin C dan BIZternyata rusak selama proses pasteurisasi. Bila air pada susu dihilangkan dengan penguapan dan sisanya dibakar maka akan diperoleh sisa abu putih yang mengandung bahan-bahan mineral (Fox dan Mulvihill, 1982). Dalam hal ini dua macam mineral yang paling penting dalam susu yaitu kalsium dan fosfor. Hanya 25 persen kalsium. 20 persen magnesium dan 44 persen fosfor terdapat dalam bentuk tidak larut, sedangkan mineral-mineral lainnya semua dalam bentuk larut. Kalsium dan magnesium dalam bentuk yang tidak larut terdapat secara kiiiawi dan fisik bersenyawa dengan kaseinat, fosfat dan sitrat. Hal inilah yang memungkinkan susu dapat mengandung kalsium dalam konsentrasi yang besar serta pada saat yang sama dapat mempertahankan tekanan osmosa secara normal dalam darah. Komposisi mineral utama yang terdapat dalam susu sapi disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Kandungan Mineral dalam Susu Unsur
-
% Berat Basah
Kalium Kalsium Klorida Fosfor Natrium Ma nesium - Su fur
9
Sumber : Fleet (1982).
Di samping mineral-mineral utama terdapat pula mineral-mineral lainnya dalam jumlah yang sangat kecil antara lain, yaitu alumunium, barium, bromin, dan seng. Mineral-mineral tersebut sebagian berada &lam bentuk suspensi dan sebagian lagi berada dalam bentuk larutan. 2. Emulsi Susu
Winarno (1984) mengemukakan bahwa emulsi merupakan sum dispersi atau suspensi suatu cairan di dalam cairan yang lain, yang mana molekul-malekul kedua cairan tersebut tidak saling berbaur, tetapi saling antagonistik. Struktur Pada suatu emulsi biasanya terdapat tiga bagian yang terdispersi yang terdiri dari butir-butir yang biasanya merupakan lemak, bagian kedua disebut media pendispersi yang biasanya terdiri dari air, dan bagian ketiga adalah bahan penstabil (stabilizer atau emulsifier agent), yang berfungsi menjaga agar butir minyak atau lemak tadi tetap tersuspensi di dalam air. Pada emulsi susu maka s t r u b globula lemak di bagian dalamnya sebagian besar terdiri atas trigliserida, (Adnan. 1976). Permukaan dari bagian dalam tadi
dilapisi dengan suatu membran tipis yang dinarnakan membran material, yang berfungsi untuk menstabilkan struktur emulsi tersebut, disamping mencegah tergabungnya globula lemak satu dengan yang lainnya dan membentuk butiran yang lebih besar (Fox dan Mulvihill. 1982). Kasein mempakan protein dengan kadar 60 pdrsen dari membran material itu, sedangkan fosfo1,ipida kira-kina 35 persen. I
Karakterisasi Susu merupakan emulsi minyak dalam air karena dalam ha1 ini butiranbutiran lemak dan senyawa-senyawa yang ada hubungamya dengan lemak, misalnya gliserida-gliserida terdapat dalam bentuk globula-globula yang berupa dispersi kasar. Dengan perkataan lain bahwa bahan penstabilnya lebih terikat pada air atau lebih larut dalam air (polar), sehingga dapat lebih membantu terjadinya dispersi minyakf lemak susu dalam air (Winaro 1984). Butiran-butiran lemak ini dapat dilihat dengan mikroskop, yang mempunyai bentuk bulat. Di dalam satu ml susu, kiua-kira terdapat tiga bilyun (3 x 10') globula lemak. Diameter lemak bervariasi antara 0.1 mikron sampai lebih dari 15 mikron, dengan rata-rata berkisar antara 3 - 4 mikron dan hanya sedikit yang diameternya kurang dari dua mikron, kira-kira 90 persen globula memiliki diameter dengan kisaran 2 - 7 mikron. Lemak dalam susu terdapat pada tiga tempat yaitu di dalam globula, pada membran dan di dalam serum.
Kestabilan emulsi susu sangat ditentukan oleh selapisfilm (membran) protein yang mengelilingi setiap butiran lemak. Bila struktur membran protein ini ~ s a k akibat kadar asam dalam susu terlalu tinggi atau terjadi hidrolisis oleh enzim proteolitik maka kestabilan emulsi terganggu yang pada gilirannya protein mengalami
presipitasi atau menggumpal, yang keadaan ini disebut sebagai susu pecah (Eckles, el a[., 1951; Jennes dan Panon, 1969). Kestabilan emulsi dapat juga dirusak oleh akibat pertumbuhan dan aktivitas bakteria, misalnya Bacillus cereus yang menghasilkan enzim pencerna fosfolipid pada membran meterial yang menyebabkan terjadi sweet curdling, yaitu susu mengalami koagulasi tanpa penurunan pH (Fleet, 1978).
$
C PROTEIN SUSU
Susu sapi me~pakanbahan makanan bernilai gizi tinggi karena mengandung 30-35 g protein per liter susu. Pada prinsipnya protein susu terbagi atas dua bagian besar, yaitu 80 persen adalah kasein dengan empat macam komponen, yaitu ors,-kasein, a,-kasein, B-kasein, dan k-kasein, sedangkan sisanya mempakan protein whey yang terdiri dari dua komponen utama, yaitu 6-laktoglobulin (8-lg) dan or-laktalbumin (a-la). Namun demikian terdapat beberapa protein lainnya, yaitu albumin serum darah, imunoglobulin, laktoferin, proteosa-pepton, dan seruloplasmin dalam konsentrasi sangat rendah (trace). 1. Kasein
a. Komponen Kasein Modler (1985) mengemukakan bahwa empat macam komponen utama
a,-, 8- clan k-kasein berturut-turut terdapat kira-kira 45, 12, 34 kasein, yaitu as,-, dan 10 persen, tergantung dari genetik varian yang terlibat. Pada Tabel 3 disajikan sifat fisika-kimia komponen-komponen kasein.
Berdasarkan Tabel 3 dikemukakan bahwa terdapat perbedaan berat molekul antar komponen-komponen kasein, yaitu paling tinggi adalah komponen a,-kasein, lalu diikuti 0-kasein, a,,-kasein dan k-kasein. Masing-masing komponen kasein mengandung residu fosfat dan prolin, akan tetapi gugus sulfhidril (-SH) tidak'terdapat pada komponen a,,-kasein dan 8-kasein. 3
Pada as,-kasein, sebanyak tujuh grup fosfat dari delapan grup terletak diantara residu asam amino ke 42 dan 80 yang menghasilkan total muatan bersih yaitu -21 pada pH 6.6, sedangkan sisa molekul tidak bermuatan. Dalam ha1 ini terdapat tiga bagian hidrofobik utama pada % , - h e i n , yaitu pada antara residu asam amino ke 1-44, 90-113 dan 132-199. Komponen a,-kasein, yang memiliki residu fosforil pada asam amino 10-13 merupakan komponen kasein yang terhidrofilik. Segmen C terminal (160-207) merupakan hidrofobik terkuat, dan segmen antara residu 91 dan 120 merupakan hidrofobik lemah (Fox dan Mulvihill, 1982). Tabel 3. Sifat Fisiko-Kimia Komponen Kasein Protein E karein
(X)
Stmu Skim (g/L)
EM
Titik isoionik
Titik lsoListrik
NO Res P
R-pro per2 no1 )
Bag
SH-
hidro fobik2)
grup
Komponen 6-kasein bermuatan negatif kuat, dengan empat grup fosfat dari lima grup terletak pada terminal N antara residu asam amino ke 13 dan 21. Terminal C ujung pada E-kasein mempakan bagian hidrofobik . Komponen k-kasein hanya mempunyai satu residu fosfoseril, dengan demikian tidak mengikat kuat gugus kalsium, yang menyebabkan daya larut relatif tinggi dalam lamtan kalsium lemah, dibandingkan as-kasein dan 8-kasein. Disebabkan tidak terdistribusi meratanya asam amino yang bersifat asam, grup fosfat-serin, dan asam amino hidrofobik dalam rantai polipeptida, maka bagian hidrofilik yang bermuatan negatif tinggi akan mengalami interspresed dengan bagian hidrofobik kuat dalam rantai peptida yang sama. Dengan demikian kasein cendemng berasosiasi h a t , karena kombinasi ikatan hidrofobik, hidrogen, elektrostatik dan ikatan disulfida (k-kasein) .
Kasein mengandung residu fosfoseril yang tinggi yang menstabilkan micell. Disamping itu kandungan prolin pada kasein juga tinggi yang tersebb merata pada rantai polipeptida dengan struktur or-helix dan 8-sheet yang terbatas sehingga membentuk struktur kasein yang sangat terbuka dibandingkan dengan protein whey. Struktur terbuka berarti bahwa kasein lebih mudah diserang oleh enzim
clan juga dengan mudah berdifusi pada intelfaces. Keberadaan dan letak fosfat pada
,
'
berbagai fraksi kasein berimplikasi penting dalam sifat fungsionalnya. Fox dan Mulvihill (1982) mengemukakan bahwa kasein dapat mengalami destabilisasi selama prosessing produk-produk susu ataupun karena penyimpanan. Telah diketahui bahwa kasein tidak larut pada titik isoelektrisnya yaitu pH 4.6 (kisaran pH susu segar normal 6.6-6.7).maka ha1 ini d i i a a t k a n pada pembuatan
dengan cara fermentasi sedangkan kasein asam khlorida maupun kasein asam sulfat dengan cara asidifikasi langsung (Modler. 1985). Asidifikasi dan pencucian mempakan tahap yang terpenting mendapat perhatian pada proses isolasi kasein-asam. Bila proses asidifrkasi tidak efisien maka ion kalsium banyak tertinggal, sehingga produk yang d i i l k a n mempunyai viskositas - . .- . * .. . -2. - --- ---
kasein asam, fermentasi produk susu cair dan pada pembuatan beberapa varietas keju seperti keju Cottage dan keju Queso Blanco. Proses foriifikasi dengan penambahan kalsium,
misalnya 0
- 0.6 persen
kalsium khlorida, mengakibatkan presipitasi kasein pada suhu 90°C, yang ha1 ini dimanfaatkan pada produksi kasein protein whey kopresipitat. Kasein misel rnengalami koagulasi, bila mencampur susu segar dengan larutan etanol. Pada prinsipnya kasein misel tahan panas atau stabil hingga pemanasan pada suhu 140°C selama 10-20menit sebelum terjadi koagulasi. Daya tahan panas kasein sangat tergantung dari pH susu, akan tetapi susu segar tahan terhadap pemanasan diatas pH 6.4. Pelepasan kalsium dari susu secara keseluruhan menyebabkan 10 kali disagregasi lebih lanjut, dengan membentuk komplek submiselar kasein dengan berat molekul 2 million. Sedangkan penambahan agensia disosiasi yang kuat seperti urea, HC1 guanidin alkali atau natrium lauryl sulfat maka agregat kasein berdisosiasi membentuk unit-unit monomernya dengan kisaran berat molekuI dari 19 000 hingga
30 000. Pada k-kasein yang memiliki sedikit residu fosfoseril maka tidak mengikat kuat ion kaIsium dan larut dalam kalsium k-kasein dapat berasosiasi dengan komponen a-kasein maupun 0-kasein, yang dengan adanya ion kaIsium akan rnenstabilisasi ikatan tersebut sehingga mencegah timbulnya presipitasi, namun demikian k-kasein kurang stabil akibat modifikasi oleh enzim proteinase, misal renet, yang dengan adanya ion kalsium dapat terjadi koagulasi kasein rnisel. Hal ini sangat penting pada proses pembuatan bezmacam varietas keju dan M i renet. Kasein diisolasi dari susu skim melalui proses asidifikasi (presipitasi pada pH isoelektrii yaitu 4.6), dengan menggunakan asam lakcat, asam khiorida atau
asam sulfat, dan produknya disebut k i n asam. Kaseii iaktat umumnya diproduksi
dengan cara fermentasi sedangkan kasein asam khlorida maupun kasein asam sulfat dengan cara asidifikasi langsung (Modler, 1985). Asidifikasi dan pencucian merupakan tahap yang terpenting mendapat perhatian pada proses isolasi kasein-asam. Bila proses asidifikasi tidak efisien maka' ion kalsium banyak tertinggal, sehingga produk,yang dihasilkan mempunyai viskositas J
tinggi dan akan timbul kesulitan dalam produksi kaseinat berikutnya. Bila proses pencucian tidak baik maka banyak laktosa yang tertinggal, sehingga produk akan berubah warm selama penyimpanan. Kasein renet diperoleh dengan cara hidrolisis komponen k-kasein oleh enzim renin misalnya. Dalam ha1 ini Fox dan Mulvihill (1982) mengemukakan bahwa untuk menginduksi proses koagulasi protein pada proses produksi kasein renet maka 85 persen k-kasein harus terhidrolisis. Selanjutnya presipitat kasein yang diperoleh dipisahkan dari cairan wheynya,lalu dilakukan pencucian, penekanan, penggilingan, pengeringan, penggilingan, pengayakan dan pengepakan. Kasein renet tidak larut hingga dicapai pH 9 dengan adanya komplek ion kalsium, karena tidak mengandung k-kasein amphifilik, yang diakibatkan terlepasnya makropeptida terminal-C hidrofilik, sedangkan kasein asam sangat tidak larut pa& pH 4.6. Kadar abu kasein renet cukup tinggi (kalsium dan fosfat) karena dalam
clotted-micell mengandung koloid kalsium fosfat-sitrat, sedangkan kadar abu kasein asam rendah disebabkan kalsium fosfat terdapat di dalam cairan whey (Swaisgood, 1985). Kasein kopresipitat Iebih larut dari pada kasein asam maupun kasein renet, tetapi k e l a ~ t a nterbaik adalah kaseinat. Kaseinat diproduksi dari kasein asam yang masih belum dikeringkan atau dengan melakukan rekonstitusi q u n g kasein asam dengan natrium, kalium, amonia
(NH,) atau kalsium dengan proses netralisasi dari pH 6.8 hingga 7.5. Produksi kareinat yang dibuat langsung dari kasein asam yang belum dikeringkan, mempunyai
cita rasa yang lebih baik dibandingkan bila diproduksi dari rekonstitusi kasein asam. Suatu ha1 yang sangat penting diperhatikan yaitu tetap mempertahanlcan pH dari
6.8 hingga 7.5 untuk mencegah terjadi pengikatan fosfolipid pada bagian hidrofobik dalam molekul kasein. Produk kopresipitat dapat diperoleh dengan memanaskan susu s k i , sehingga protein whey mengalami denaturasi dan selanjutnya membentuk kompleks dengan kasein melalui ikatan disulfida. Proses asidifikasi pada pH 4.6 aiau dengan menambahkan kalsium khlorida akan menyebabkan
presipitasi kompleks tersebut. Dalarn
ha1 ini dapat digunakan penambahan 3 tingkat konsentrasi kalsium khlorida, yaitu kalsium tinggi (2.5 rendah (0.5
-
- 3.0 persen),
kalsium sedang (1.0
- 2.5 persen)
dan kalsium
0.8 persen). Jumlah penambahan kalsium dapat dikontrol, suhu
dipertahankan 900 C, sambil diiakukan penambahan asam. 2. Protein Whey
Protein whey merupakan protein globular, kompak dengan berat molekul antara 16 000-5 000 000 (nbel4). yang terdiri dari komponen utama yaitu B-laktoglobulin (B-lg) disarnping a-Iaktalbumin (a-la), serum albumin (SA), imunoglobuIin
(Ig) clan proteosa pepton (Modler. 1985). Protein whey larut pada semua tingkatan pH dan tidak nyata berasosiasi dengan k i n . Perubahan protein whey mempakan suatu indikasi terjadi denaturasi
akibat prosesing. Protein whey mudah berubah akibat perlakuan panas, alkohol dan pelarut organik polar.
Tab4 4. Sifat Fisiko-kihnia Komponen Protein Whey E lea-
Protein
seln
Sucu skim
Bll
Titik
isoionik
C%>
~ i t i k ISOIiatrik
Yo. Grup SH
Ig
10
0.6
23
1.4
Suhu
den€,turasi
("c>
Proteosa pepton
NoGrup di 5
153 0001 O W 000 4 100
.... .-..
5.50
bervariasi
....
79
....
---.
....
....
Sumber : Modler (1985).
a. Komponen Protein Whey
Dari 'Pabel 4 diterangkan bahwa protein whey terdiri atas lima komponen dengan berat molelcui masing-masing yang berbeda, yaihl komponen protein imunoglobulin mempunyai berat molekul paling tinggi. Keistimewaan setiap komponen adalah memiliki grup sulfhidril (-SH) dan grup disulfida (di-S), kecuali komponen imunoglobulin dan proteosa-pepton. Struktur molekuler protein whey sangat spesifik yaitu merupakan protein globular yang kompak, dengan urutan distribusi residu-residu non-polar, polar dan
muatan yang merata (Swaisgood, 1985). Struktur B-laktoglobulin sangat bergantung pada pH, yaitu pada pH susu normal (6.7) terbentuk suatu dirner yang stabil dan terdiri atas dua bola (sphere) (Brunner, 1877). Pada pH di bawah 3. maka d i e r berasosiasi membentuk monomer seperti pada pH 8. Pada pH kisaran 3.8
- 5.1 maka terbentuk
suatu oktamer pada
suhu rendah dan kandungan protein tinggi. Secara normal 8-lg merupakan suatu
dimer dengan dua buah sub-unit yang identik. Setiap monomer mengandung satu grup sulfiidril (SH) dan dua ikatan disulfida. Pada kondisi pH susu normal (sekitar 6.6) atau diatasnya, maka a-laktoglobulin merupakan suatu monomer. Suatu hat yang menarik adalah struktur tiga diiensi a-lg sangat mirip dengan lisozim salah satu komponen protein albumen telur (Brunner. 1977). Komponen or-laktalbumin berbeda dengan 8-lg, karena hanya merupakan suatu monomer, dengan empat ikatan &sulfida tanpa gugus SH-bebas. Dengan ada-
nya gugus SH dan ikatan disulfida menyebabkan timbulnya disulfida interchange dan terbentuknya formasi komplek protein whey akibat perlakuan pemanasan ataupun terjadi interaksi dengan k-kasein yang juga mengandung dua grup-SH. Komponen imunoglobulin di daIam air susu terdapat dalam bentuk monomer atau bentuk polimernya. Bentuk monomer imunoglobulm t e d i dari 4 rantai molekul yaitu 2 rantai pendek dengan berat molekul kira-kira 20 000 dan 2 rantai peptida yang panjang dengan berat molekul 50 000 - 70 000. Seperti diketahui imunoglobulm me~pztkanprotein yang mempunyai daya sebagai antigen atau immunitas (anti-
genic properties).
b. Sifat-sifat Protein Whey Protein whey berbeda dengan kasein dalam beberapa aspek, antara lain kelarutan pada titik isoelektrik, sifat amphifilik yang terbatas, globular dan peka ierhadap denaturasi akibat panas. Protein whey mengandung banyak asam amino yang mengandung sulfur yang berinteraksi dengan ikatan disulfida dan berinteraksi dengan kasein akibat pengaruh panas, disamping terdapat juga asam-asam amino bersifat asam yang terdiitribusi merata sepanjang rantai peptida. Disamping jumlah asam amino prolm
yang sedikit maka kedua ha1 tersebut rnenyebabkan terbentuknya konformasi globular dengan struktur helik yang nyata. Protein whey sangat sensitif terhadap pemanasan di atas suhu 60°C, yaitu
akan mengalami denaturasi yang bergantung dari membukanya konformasi globular yang kompak rnenjadi konformasi acak. Denaturasi protein whey ditandai dengan kehilangan daya Larut pada pH 4.6 hingga 5.4 (Morr. 1974). Akibat pemanasan larutan whey berturut-turut mengalami presipitasi yaitu imunoglobulin (Ig). B-laktoglobulii, serum albumin (SA) dan or-laktaibumin, dengan masing-masing suhu denaturasi pada 79,74,87 dan 63OC. Kornponen B-laktoglobulin (B-lg) merupakan 50 persen protein whey yang mengalami presipitasi akibat pemanasan, lalu cr-laktalbumin (a-la) sebesar 12 persen, berikutnya imunoglobulin (Ig) sebanyak 10 persen clan serum-albumin (SA) 5 persen. Penelitian menunjukkan bahwa presipitasi protein whey maksimum dicapai dengan memanaskan larutan whey pada pH 6 dengan suhu 120°C. Hal ini penting diperhatikan terutama pada proses deproteinize larutan whey. Penambahan kasein atau kasein-misel pada pemanasan whey akan rnencegah terbentuknya partikel presipitat. Daya stabilisasi oieh kasein tersebut tidak melibat-
kan mekanisme disuljide-interchange. melainkan oleh terbentuknya formasi komplek calrium-linkage antara kasein dengan agregasi protein whey.
D. -ST=
FUNGSIONAL PROTEIN SUSU Sifat fungsional protein merupahn sifat-sifat yang rnenyangkut faktor-faktor
yang berpengaruh pada protein sebelum dikonsumsi, termasuk faktor enzimatik, non-enzirnatik (organoleptik) dan industri, akan tetapi tidak termasuk faktor nilai
gizi (Pour-El. 1981). Dalam ha1 ini menyangkut sifat-sifat fisiko-kimia yang
mempengaruhi perilaku protein selama proses pengolahan, terutama dalarn suatu siatem pangan. Sebagai contoh. untuk pensubstitusi produk susu dibutuhkan sifat fungsiond pembentuk get, sifat koagulasi, pembuihan dan fat holding capasity. Modler (1985) mengemukakan bahwa terdapat 7 macam sifat fungsional
utama (lihat Tabel 5) yang hams dipenuhi suatu protein sebagai zat makanan (food protein ingredients). Protein ingredient dapat digunakan dalam suatu sistem pangan dengan memenuhi salah satu sifat atau beberapa sifat seperti yang tercantum dalam Tabel 5. Contoh, tepung susu skim (Skim Milk Powder-SMP) dapat ditambahkan dalarn yoghurt untuk mengurangi sineresis (akibat hidrasi) dan menghasilkan yohurt dengan tekstur yang dikehendaki f i r m body) juga penampakan yang lebii menarik. Tabel 5.
Sifat Fungsional Food Protein Ingredients.
Property
Fungsional attributes -
-
Organoleptik Penampakan Hidrasi
- Surfactant
-
Structural Textural Rheological
Flavor, odor, tekstur, w a m a Kekeruhan, warna Kelarutan, dispersi , swelling, viskositas, gel. whipping, Emulsif ikasi , foaming, -baking. E l a t i s i tas, cohesi, texturization, agregasi . Viskositas, adhesi, agregasi, texturiza tion, geld tion. Agre asi, gelation, viskositas, dougg-formation, extrudability.
Sumber : Mom (1981) daIam Modler (1985).
Sifat hidrasi yang dimiliki protein susu merupakan ha1 terpenting dalam sistem pangan, ternyata tidak hanya tergantung dari sifat-sifat f s i k o - k i m i i a , tetapi juga &pengaruhi oleh proses pengeringannya. Proses rehidrasi suatu protein sangat ditentukan oleh perubahan fisik yang terjadi selama proses dehidrasi. Selama
pengeringan semprot, pengeringan dram atau pengeringan vakum kemungkinan terjadi kerusakan struktur yang tidak dapat balik (irreversible), menyebabkan kemampuan rehidrasi sangat menurun. Pengeringan beku mempertahankan struktur makro protein curd sehingga dapat mengalami proses hidrasi yang lebih lengkap. Pada umumnya protein tidak mengalami hidrasi lengkap hingga mencapai aktivitas air (aw) 0.92. Berdasarkan penelitian Ling (1972) seperti yang diemukakan Modler (1985). dalarn ha1 ini terjadi pengikatan 6 molekul air pada setiap sisi aktifnya. Sifat aktif permukaan protein susu khususnya kasein penting diperhatikan pada aplikasi produk makanan. Protein merupakan emulsi yang stabil bila dapat mempertahankan keterpaduan fase kontinyus dengan fase dispersinya. Dalam ha1 ini protein pada permukaannya yang mengandung residu asam amino hidrofilik akan berorientasi dengan fase larut (aqueous), sedangkan segrnen hidrofobik protein akan
berikatan dengan gugus tidak polar atau fase lernak.
Sifat kelarutan sangat penting, khususnya berhubungan erat dengan fungsinya dalam daya buih dan pengemulsi. Perhatian perlu ditingkatkan pada saat proses pemanasan, agitasi dan penyesuaian pH untuk mencegah terjadi denaturasi, yang
akan mengurangi kelarutannya diatas kisaran pH 3 hingga 8, dan hal ini dapat dilihat pada pH 4.5-5.0 akan kehilangan sifat kelarutannya (Fox dan Mulvihill. 1982). Protein dapat mengikat banyak air dengan melibatkan ikatan hidrogen pada sisi polar dalam rantai asam amino yang mengandung gugus karboksil, amino, imidazol, karbonil, sulfhidril, hidroksi dan gugus guanido. Ikatan hidrogen pada air menghasilkan molekul yang fleksibel, tetapi sifat fleksibilitas tersebut hilang bila gugus polar diblok.
Kasein rennet dan kasein asam bersifat tidak larut dalam air, sehingga penggunaannya sebagai pengayaan nutrisi atau pengikat air dan lemak dalam makanan sangat terbatas. Namun demikian amonium (NIX,-), natrium (Na-) dan kalium kaseinat mempunyai daya larut terbaik (Morr. 1979), sedangkan Msiurn kaseinat membentuk
suspensi
&pat
koloid. Kaseinat tidak larut pada kisaran pH isoelektriknya
(3.5-5.0) sehingga penggunaannya terbatas pada produk pangan yang cair dan bersifat asam.
Protein merupakan emulsi yang stabil bila dapat mempertahankan keterpaduan fase kontinyus dengan fase dispersinya. Dalam ha1 ini protein pada permukaannya yang mengandung residu asam amino hidrofilik akan berorientasi dengan fase larut (aqueous), sedangkan segmen hidrofobik protein akaa berikatan dengan gugus tidak polar atau fase lemak (Fox dan Mulvihill. 1982). Faktor faktor yang mempengaruhi stabilitas emulsi meliputi : (a) faktor muatan dan ukuran fase diskontinyu fase dispersi. @) tegangan permukaan (interfa-
cial tensions). (c) lrarakteriitik absorbed-film, (d) rasio berat antara kedua fase. dan (e) viskositas. Difusi protein, adsorpsi dan spreadlbiliry atau fleksibilitas molekul protein juga penting diperhatilcan dalam hal stabiiitas emulsi ataufoMl stu6iliry. Kaseinat. yang mempakam bahan pengemulsi terbaik dibandmgkan dengan protein whey, akan membentuk emulsi yang stabil pada kisaran pH 5.4 hingga 10.5 dan kuat ion 0.05 hingga 0.3. akan tetapi akan lebih efektif pada pH 10.4 dan p =
0.05. Penggunaan natrium W i n a t sangat efektif pa&
konsentrasi 0.2 hingga
0.4 persen dan pada 0-0.5 persen bila penggunaannya dikombinasikan dengan mono dan digliserida dan polyoxyethylene glycerol monostearat, disamping itu stabilitas emulsi k k i n dipenganrhi oleh Icllsium, fosfat dan sitrat.
dan digliserida dan polyoxyethylene glycerol monostearat. disamping itu stabilitas emulsi kasein dipengaruhi oleh kalsium. fosfat dan sitrat.
3. Pembentukan Gel Pembentukan gel dapat didefinisikan sebagai fenomena agregasi protein sebagai interaksi polirner-polimer dan polimer-pelarut serta daya tarik menarik dan tolak menolak yang seimbang sehingga membentuk jaringan tersier atau matrik (Schmidt, 1981). Mekanisme pembentukan gel dapat terjadi melalui induksi panas, induksi kalsium clan ikatan silang dalam struktur gel. Pembentukan gel akan optimal pada protein yang belum terdenaturasi dan akan menurun selama penyimpanan. Beberapa ha1 yang mempengaruhi pernbentukan gel adalah konsentrasi protein, pH, adanya agensia pereduksi serta perlakuan pemanasan. Pada kondisi alamiah maka grup-SH akan aktif, sedangkan bila terjadi dena-
turasi maka rantai polipeptida membuka yang pada gilirannya grup-SH terekspos dan akan berpartisipasi dalam disulfide-exchange, yang pada kondisi tertentu akan membentuk gel protein. Formasi gel protein akan melibatkan ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik, ikatan kovalen dan jernbatan-kalsium atau calsium bridging.
Consentrated Calsium-caseinates ( > 15 persen bahan kering) terdispersi membentuk gel dengan pemanasan; suhu pembentukan gel meningkat pada kosentrasi 15-25 persen bahan kering dengan kisaran pH antara 5.9-7.6. Dengan pend i i i n a n terjadi pencairan gel secara perlahan, tetapi gel akan terbcntuk lagi dengan pemanasan. DaIam ha1 ini peranan komponen protein k-kasein pada pembentukan gel sangat penting. Natrium kaseinat (kandungan protein dengan kisaran 90-95 96) menunjukkan viskositas yang tinggi dan membentuk gel pada konsentrasi protein di atas 17%(Mom, 1979).
Cheftel et al.. (1985) rnengemukakan bahwa kekuatan buih meningkat dengan meningkatnya konsentrasi protein dalam larutan sampai dicapai nilai maksimum, sedangkan kemampuan beberapa protein dalam pembentukan buih dibandingkan dengan cara mengukur kekuatan buih dan konsentrasi protein. Daya kembang (over-ncn) natriurn kaseinat adalah 720 persen, sedangkan untuk Whey protein Consentrare atau W P C dengan metode yang berbeda adalah antara 0-760 persen dan untuk putih telur sebesar 900 persen (Morr, 1974); penggunaan kasein ternyata lebih baik dibandiigkan dengan protein whey untuk formulasi
suatu whipped topping mix.
Faktor yang berperan terhadap viskositas antara lain konfonnasi protein, sifat hidrasi, adanya gugus hidrofobik dan distribusi muatan. Kesemua sifat tersebut akan mempengaruhi interaksi intermolekuler yang akan mengakibatkan peningkatan viskositas. Dalam hal ini tejadi juga pengikatan air sehinga terjadi pengentalan clan sifat
ini bermanfaat dalam pembuatan sup dan sebagainya. Viskositas larutan natrium kaseinat adalah tinggi, dan mencapai maksimal pada pH 7 yang secara logaritmik berhubungan dengan konsentrasi vs suhu absolut (seperti yang dikutip Fox dan Mulvihill, 1982, dari Hayes, et al., 1968). Roller-
dried narriurn kaseinat dapat diperoleh dengan cara mencampur alkali dengan kasein tanpa pelarutan kembaIi yang ternyata efektif terbentuk pada konsentrasi
35 persen protein. Kalsium kaseinat ternyata menyerap kelembaban lebih rendah dari pada natrium kaseinat, yang mempunyai viskositas lebih rendah.
Selanjutnya diterangkan bahwa akan terjadi penurunan sangat cepat dengan meningkatnya suhu dan pH di atas 7.0; demikian pula amonium kaseinat mempunyai viskositas lebih rendah dibandingkan dengan natrium kaseinat.
E. MODIFTKASI PRODUK-PRODUK KASEINAT Modifikasi protein yaitu meliputi perlakuan-perlakuan fisik, kimia dan enzimatis yang mempengaruhi struktur dan konformasi baik primer maupun kuarterner sehubungan dengan sifat-sifat fisiko-kimia dan fungsional. Tujuan modifikasi protein yaitu meningkatkan sifat-sifat fisik, sensori maupun nilai gizinya di samping jurnlah penggunaannya dalam sistem pangan dapat dibatasi dengan cara memblok reaksi yang bersifat dezeriortltive (Modler. 1985). Pada umumnya m o d i f h i sifat-sifat fungsional kasein dapat diakukan dengan 3 metode
dasar yaitu proses enzimatis, kimia dan fraksiki komponen-komponen kasein. Kasein merupakan suatu sistem protein multikomponen yang &pat difraksinasi dengan menghasilkan crS-,J- dan k-kasein. Hasil penelitian Reimerdes dan Lorenzen (1983) seperti yang d i t i p oleh Molder (1985). menunjukkan bahwa stabilitas emulsi yang dibentuk olehJ-kasein adalah rendah dan bentuk k r i i a seperti gel, as-kasein lebih efektif sebagai stabilizer akan tetapi k-kasein adalah superior.
M o d i f h i kimia meliputi proses mbstitusi atau penambahan suatu grup atau komponen secara ikatan kovalen tetapi dapat juga menyanght grup hidrofobik atau muatan. Woo et al.. (1982) melaporkan bahwa fosforilasi merupakan suatu cara untuk pengikatan gugus fosfat pada gugus-gugus reaktif molekul protein, dan fosfoms
oksiiorida adalah bahan yang relatif murah dan aman dari aspek kesehatan. Namun demikian Matheis dan Whitaker (1984) mengemukakan bahwa sodium trimetafosfat juga dapat digunakan, terutarna untuk skala besar, selain asarn fosfat dan fosforus pentoksid. POCI, mempakan pereaksi yang sangat ref,
dan bereaksi sangat cepat
dengan H,O secara eksotermis membentuk asam fosfat dan asam Irhlorida. Penurunan pH terjadi sangat cepat yang diiringi pembentukan panas, dapat mengakibatkan protein terdenaturasi, sehimgga penambahan POCl, hams dilakukan bertahap, dalam suhu rendah (3-25OC) diikuti kontrol pH (6-8.5) dengan penambahan NaOH. Proses adisi grup fosfat dapat digunakan dalam modifikasi kasein, yaitu dengan cara mereaksikan kasein dengan fosfoms oksiklorida dan secara kovalen dilakukan penambahan 7.4 grup fosfat per rnolekul kasein. Kasein terfosforilasi menunjukkan viskositas yang nyata tinggi dibandingkan kasein kontrol, tetapi menunjukkan kapasitas emulsifikasi yang rendah (Matheis et al., 1983). Penelitian Matheis dan Whitaker (1984) mengungkapkan bahwa fosforilasi kasein oleh fosfoms oksiklorida ternyata meningkatkan sifat pembentukan gel, terutama dengan tersedianya ion kalsium. Peningkatan sifat kelarutan, viskositas atau kemarnpuan membentuk gel diduga akibat terbentuknya ikatan silang (cross linkage) antar molekul protein (Woo et al., 1982). Dalam ha1 ini terjadi pengikatan 10-20 molekul fosfat/rnolekul protein secara kovalen. Penelitian lain membuktikan bahwa pengikatan molekul fosfat dapat mencapai 50/rnolekul protein pa& albumin. Hasil penelitian Medina et al.. (1992) menunjukkan bahwa penggunaan fosforus oksiiorida (POCl3 ternyata bermanfaat untuk mengubah sifat-sifat fisikokimia kasein, yaitu meningkatkan kelmtan pada pH isoelektrik, viskositas dan sifat hidrasi kasein. Hal ini bergantung pada tiga faktor, yaitu jumlah pengikatan fosfat
gmp. tingkat fosforilasi dan pH pa& saat pengatnatan.
2. Secara Enzimatis
Secara enzimatis, kasein dapat dimodifikasi juga selain oleh renet, misalnya hidrolisis kasein dengan menggunakan enzim pankreatin ternyata dapat meningkat-
kan sifat daya buih kasein. Penggunaan enzim ini dapat membentuk a range tailorwtude hydrolyzates, yaitu pembentukan viskositas dan karakteristik daya buih (foam-
ing) (Modler. 1985). Lebih lanjut dikemukakan bahwa kasein dan protein whey dapat juga dihidrolisis dengan meng&unakan pankreatin yang ternyata dapat meningkatkan sifat emulsifikasi kasein. Pada umumnya hidrolisat kasein ini banyak d i n fatkan pada pembuatan candy. Modifikasi enzimatis merupakan suatu cara untuk meningkatkan sifat fungsional protein, misalnya sifat kelarutan, emulsifikasi, gelasi, daya serap air, kapasitas pengikatan lemak, viskositas, heat coagulability, dan kapasitas buih. Proteolisis yang terkontrol dengan baik alcan mempengaruhi konformasi protein, ukuran berat molekul, kelarutan, dan kekuatan ikatan inter/intra rnolekuler pada molekul protein (Ponnampalam et al., 1987). Sehubungan dengan pemilihan enzim yang digunakan untuk produksi protein hidrolisat, maka Lahl dan Braun (1994) mengemukakan bahwa penggunaan enzim dengan aktivitas yang luas adalah efektif dibamdingkan enzim yang hanya memiliki aktivitas spesifik; misaInya sekaligus memiliki aktivitas ekso daan endo-enzim sehingga d i a p k a n dapat diperoleh komposisi asam amino, peptida atau tripeptida yang dibutuhkan untuk suatu sifat fungsional tertenm. Salah satu enzim yang praktis dalam food protein hydrolysis dan banyak digunakan secara komersii adalah enzim pankreatin, yang mengandung campuran utama enzim tripsin dan khiiotripsin (Law dan Braun. 1994). Adler-Nien (1986) mengemukakan bahwa enzim panlaeatin merupakan salah satu protease asal hewan
(pig) yang menunjukkan spesifitas sangat luas (very broad specificity), karena terdiri
dari campuran enzim tripsin, khimotripsin. elastase, karboksipeptidase A atau B, dengan kisaran aktivitas pada pH 7-9. Protease asal tanaman yang juga sering digunakan pada produksi protein terhidrolisis adalah papain (crude papain) yang meru-
pakan campuran dari papain (BM 21 000). khimopapain (BM 36 000) dan lisozim
(BM 25 OOO), dengan spesifitas lebih rendah dibandingkan pankreatin; sedangkan pure papain merupakan tipe enzim cystine protease, dengan kisaran aktivitas masing-masing pada pH 5-9 dan pH 5-7. Di lain pihak proteolisis yang ekstensif dapat menimbulkan peptida yang rasanya pahit, misalnya penggunaan papain dan fisin pada hidrolisat kasein dan albumen telur menimbulkan flavor pahit (Mary-Clegg dan McMillan, 1974). Akan tetapi ha1 ini dapat dicegah dengan penggunaan enzim yang selektif, atau kombinasi dengan enzim lain atau mengontrol tingkat hidrolisis yang terjadi. Sebagai contoh. penggunaan gabungan enzim papain dengan aminopeptidase porcine kidney, dan beberapa enzim asal kapang dapat menghasiIkan kasein larut tanpa rasa pahit. Penghilangan peptida yang pahit dari hidrolisat kasein dapat dilakukan dengan proses pertukaran ion atau dengan teknik adsorpsi (seperti yang d i i t i p oleh Modler. 1985 dari Mom. 1982).
Modifikasi albumen telur dengan enzim protwlitik, misal-
nya bromelin, atau protease kapang ternyata meningkatkan sifat pembentukan buih
dan volume food angel cake akan -pi
menimbulkan flavor yang tidak diiehembki.
Hidrolisis terbatas terhadap protein whey oleh enzim pepsin ternyata meningkatkan sifat emulsifikasi dan kapasitas buih, akan tetapi bila menggunakan enzim Pronase (protease kapang Streptomyces grisu.9) maka tej a d i kern-
pada karak-
teristik fungsional tersebut (Kuehler dan Stine. 1974). Kontrol terhadap hidrolisis kasein oleh enzim sehingga menghasilkan 5-40 persen polipeptida ternyata dapat meningkatkan kelarutan kasein pada pH
isoelektrisnya yang pada gilirannya dapat mempengaruhi sifat emulsifikasi, pernbentukan buih maupun pembentukan gel (Chobert et al.. 1988). Selanjutnya dikemukakan bahwa penggunaan protease bakteri Staphylococcus aureus V8 pada kasein selama 48 jam hidrolisis ternyata meningkatkan kelarutannya hingga 50 persen pada sekitar pH 4.0-5.0, akan tetapi menurunkan aktivitas emulsifikasi. Frokjaer (1994) mengemukakan bahwa karakteristik terpenting protein terhidrolisis antara lain sifat kelarutan yang tinggi pada kondisi asam dan palatabilitas yang baik, sehiigga sangat bermanfaat sebagai sumber protein, baik untuk kebutuh-
an pengobatan (misal, pada penyakit cysticjibrosis dan pancreutitis), maupun untuk konsumsi secara umum ( diets for the elderly. sports nutrition, dan food allergies/in-
fan8 formula). Miprodan dan Viby adalah contoh protein hidrolisat atau protein termodifikasi enzim bentuk komersil yang berasal dari kasein. Lacprodan dari protein whey dan Pro upm berasal dari protein kedelai yang sudah banyak digunakan dalam pengkayaan gizi ddam soft drink dan juice-based beverages. Novo (1990) merekomendasikan bahwa komposisi kimia Pro up meliputi kandungan protein sebesar 84% (berdasarkan berat kering), abu 6 5%. karbohidratlse-
rat 9% dan air 6%. Persyaratan mikrobilogi antara lain, negatif terhadap colilgram dan Salmonella/lO gram. Indeks kelarutannya yang tinggi pa& pH 4.2 (larutan protein 5%) mencapai > 99.9%. Penggunaan Pro up yang berbentuk tepung disarankan sebesar 3.5 % (berat/berat lamtan) atau berdasarkan konsentrasi protein 2.9 5%. terutama gum meningkatkan nilai gizi minuman juice atau pada minuman dengan pH
rendah.
F. PRODUK PROTEIN SUSU DALAM FORMULAS1 PRODUK PANGAN Penggunaan isolat protein susu, khususnya kasein dan kaseinat meningkat dengan cepat sejak tahun 1960 (total produksi dunia rata-rata mencapai 150 000 ton) untuk kebutuhan industri pangan modern atau formulasi pangan. yang pada tahun 1991 mencapai rata-rata 250 000 ton, dengan negara pengguna terbesar yaitu Jepang, Amerika Serikat dan Inggris (Mulvihill, 1991). Saat ini sebesar 70-8096 produk-produk protein susu digunakan untuk kepentingan industri pangan, yang umumnya diproduksi d i Selandia Baru, Australia, USA, Belanda dan Kanada. dengan menggunakan susu sapi kualitas sekunder atau yang disebut sebagai poor
quality milk under poor hygienic conditions (20-3036 untuk kebutuhan industri lain, seperti perekat, plastik, serat kasein (casein fibers) dan @apercouting) (Morr, 1982; Muller. 1982).
Pada masa lalu sebagai sumber protein susu adalah susu s k i tanpa lemak
clan whey kering. Dengan berkembangnya tehnik isolasi protein susu yang semakin efsien maka produk-produk protein susu ditemukan dalam berbagai macam bcntuk, yaitu kasein asam (acid carein), kaseinat (dapat berbentuk natrium, kalium atau kalsium kaseinat), kopresipitat, dan protein whey (dapat berbentuk konsentrat protein wheylWhey Protein ConsentratedfWPI) atau isolat protein whey/ W h e y protein isoZateIWP1 (Morr, 1979). Pada 'Ifibel 6 disajikan berbagai produk-produk komersil protein sum berikut komposisi kimianya. Kasein telah diproduksi secara komersil sejak 7 0 tahun yang lalu. Pada mulanya kasein digunakan untuk kebutuhan industri, untuk perekat, paper gl&ng dan serat sintetik. Namun demikian sejak tahun 1960 penggunaan kasein sangat penting untuk produk pangan berprotein tinggi, terutama di Australia dan Selandia
Baru.
Kasein asam diproduksi dari susu skim pasteurisasi, yang telah mendapat salah satu perlakuan dengan p e m b a h a n rennet, asidifikasi langsung atau dengan penggunaan rnikroorgaisme pembentuk asam. Semua perlakuan tersebut mengakibatkan kasein menggumpal sehingga membentuk substansi yang tidak larut, akan tetapi mudah dipisahkan dari komponen-komponen protein whey, selanjutnya endapan yang diperoleh dicuci lalu dikeringkan (Morr, 1979). Kandungan abu kasein asam lebih rendah, yaitu dua persen sedangkan pada kasein renet lebih tinggi yaitu 7.5 persen. Tabel 6. Komposisi Kimia Produk Komersil Kasein dan Kaseinat Komponen
Natrium Kaseinat
Protein,
Kalsium
Kasein
kaseinat
Asam
Kasein rennet
Kopresipitat
94
N X 6.38 (min)
Natrium
1.3
Kalsium
0.1
Fosfat
0-8
Laktosa
(max)
0-2
Lemak (max)
1.5
Air (max)
4.0
Sumber : New Zealand Milk Products Inc. (Morr, 1982)
Kasem asam tidak larut dalarn air dengan kadar air < 12 persen dan bentuk partikelnya sangat halus, yang berulruran rata-rata < 100 urn.
Kasein renet tidak larut hingga dicapai pH 9 dengan adanya komplek ion kalsium, karena tidak mengandung k-kasein amfifilik, yang diakibatkan terlepasnya makropeptida terminat-<=hidrofilik, sedangkan kasein asam sangat tidak larut pada pH 4.6. Kadar abu kasein renet cukup tinggi (kalsium dan fosfat) karena dalam
clotted-micell mengandung koloid kalsium fosfat-sitrat, sedangkan kadar abu kasein asam rendah disebabkan kalsium fosfat terdapat di ddam &an
whey (Swaisgood,
1985). Kasein asam terutarna digunakan dalam formulasi b r e w a t cereals, produkproduk roti (baked goods) dan sebagai protein suplernen dalam sistem pangan yang lebih membutuhkan dispersibilitas dari pada kelarutan. Kasein juga &pat mengalami teksturisasi dan digunakan &lam analog-daging
(meat analogue). Teknik untuk produksi protein terteksturisasi (TMP = Texturized Milk Prorein) meliputi pintalan basah (wet spinning) dan microwave expansion.
Produk kasein tersebut berhasil sebagai pengganti sebanyak 20 persen penggunaan daging dalam formulasi sosis (seperti yang dikutip oleh Modter. 1985, dari Kelly, et
a l . , 1983 dan Poznanski, et d..1982).
Sifat-sifat kaseinat sangat dipengamhi oleh dua faktor utama, yaitu metode isolasi dan sifat-sifat sistem pangan yang akan melibatkan kaseinat. Natrium kaseinat, kalium k a s e i i dan amonium kaseinat akan larut sempurna pada pH di atas
5.5, sedangkan kalsium k a s e i i berbentuk dispersi koloid. Penyerapan air kalsium tasei-t
lebih rendah dari pa& natrium kaseinat dan
akan lebih baik dengan pH ditingkatkan. Dalam ha1 ini erat hubungannya dengan tipe kation yang berasosiasi dengan Lasein, yaitu pada kalsium terjadi penyerapan air
dari satu molelcul h i a tujuh molekul per molelrul kation sedangkan pada natrium
dapat terjadi penyerapan air dari tiga molekui hingga 18 molekul per molekul kation . Kaseinat umumnya digunakan dalam aplikasi produk pangan yang membutuhkan sifat-sifat kelarutan, stabilitas panas, emulsifikasi dan pembuihan (seperti yang dikutip oleh Modler. 1985 dari Morr, 1981). Adsorbsi kaseinat lebih cepat pada interfaces dibandingkan produk protein lainnya, akan tetapi tekanan permukaan menurun cepat. Natrium clan kalium kaseinat temyata efektif sebagai pengemulsi, pembuihan, dan bahan pengental, membentuk gel pada konsentrasi 17 persen protein, dan stabil panas pa& suhu 1400 C selarna 15 menit dengan pH 9. Viskositas produk ini ternyata minimum pada suhu 70° C,tetapi pada suhu tinggi viskositas meningkat. Viskositas kaseinat tinggi pada kisaran pH 2.5
- 3.5 dan akan terbentuk gel yang
jernih pada konsentrasi protein 10 persen. Dalam produk-produk roti ternyata kasein laktat lebih disukai, karena sedikit menyerap air dibandingkan dengan produk natriurn atau kaliurn k k i t sedangkan untuk stabilitas flavor maka kasein renet adalah
yang terbaik. Kaseinat dengan stabilitas asam dapat diproduksi dan temyata dapat digunakan dalam produk pangan yang mempunyai kisaran pH 0.5 hingga 5.5. Produk ini disebut sebagai interacted spray dried milk protein, yang efektif sebagai pemutih. emulsifikasi, pengikat air, stabilisasi dan aerasi. Berbagai produk yang dapat memanfaatkan kaseinat (natrium atau kalium) yaitu, misalnya dalam formulasi produk-produk daging, margarin, pensubstitusi krim, bahan pemutih kopi, foamed
and whipped foods, desserts, instant b r e w a t , puflsnacks, analog keju dan susu.
dan textuiized vegetable proteins.
3. Kopresipitat
Kopresipitat merupakan suatu produk total protein susu ( a total milk protein
product) yang mempunyai kelarutan yang lebih rendah dari kaseinat (Swaisgood, 1985). Kopresipitat rnengandung 10 - 20 persen protein whey, dengan kadar kalsium
yang bervariasi untuk memperoleh beragam sifat fisiko-kimia maupun fungsional. Kopresipitat hanya larut pada kondisi pH alkalis atau daIam larutan polifosfat. Produk kopresipitat dapat diperoleh dengan memanaskan susu s k i , misalnya pada suhu 95OC selama 15 menit sehingga protein whey mengalami denaturasi dan selanjutnya membentuk kompleks dengan kasein melalui ikatan disulfida. Proses asidifikasi pada pH 4.6 atau dengan menarnbahkan kalsium khlorida akan menyebabkan presipitasi kompleks tersebut. Dalam ha1 ini dapat digunakan penambahan 3 tingkat konsentrasi kalsium khlorida, yaitu kalsium tinggi (2.5 - 3.0 persen), kalsi-
um sedang (1.0
- 2.5 persen) dan kalsium rendah (0.5 - 0.8 persen).
Jumlah pe-
nambahan kalsiurn dapat dikontrol, suhu dipertahankan 90° C, sambil dilakukan penambahan asam. Kelarutan kopresipitat meningkat sejalan dengan meningkatnya pH. tetapi produk ini tidak larut sempurna bila terdapat denaturasi protein whey sebanyak 4 hingga
15 persen. Peningkatan kelarutan dapat dilakukan melalui penambahan
bahan pengikat logam kalsium (Ca-sequestering agents) seperti natrium-polifosfat atau penambahan bahan pengemulsi untuk meningkatkan dispersibilitas. Penambahan 0 . 5 persen natrium-heksametafosfat ternyata meningkatkan kelarutan dan juga
emulsifikasi. Kasein kopresipitat lebih larut dari pada kasein asam maupun kasein renet, akan tetapi kelarutan yang terbaik adatah kaseinat. Kelarutan kasein kopresipitat dapat ditingkatkan dengan penyesmian pada pH basa daa penambahan polifosfat.
Produk kopresipitat mempunyai sifat-sifat aktif-permukaan yang baik, sehingga dapat diaplikasikan sebagai pengemulsi, pembuihan dan whipping. Pada kenyataannya dimanfaatkan pada produk pangan, seperti comminuted meat, dessens, dan pangan bergula (confectioneries). Bila digunakan &lam pembuatan coklat. maka protein susu menghasilkan stabilitas flavor yang bersifat sebagai antioksidan. Kelarutan produk kopresipitat relatif baik dan dapat membentuk larutan viscous atau gel. Kopresipitat dapat membentuk sifat tekstur yang dikehendaki pada breakfast
cereal, snackfoods, dan produk pasta. Penggunaan lain dalam produk-produk susu, misalnya pada susu asarn Qoghurr), buttermilk, produk ultra high temperature,
whipping cream, dan low-fa spreads, karena sifatnya yang stabil panas. Produk kopresipitat bernilai gizi tinggi dibandingkan kasein saja, dan berperanan penting dalam formulasi makanan bayi, khususnya pada lactose intolerance. Sebagai contoh, di Australia telah berkembang pesat biskuit susu bebas laktosa, yang rnemanfaatkan kasein kopresipitat dengan kalsium tinggi atau kalsium-kaseinat yang sesuai dengan masalah lactose intolerance. Selain itu kopresipitat dapat dikombinasi-
kan dengan sumber protein lainnya, misalnya dari darah, kacang kedelai, clan telur untuk menghasilkan produk bahan pangan dengan flavor unik, aroma yang spesifik, dengan modified textural maupun karakteristik nutrisi.