Prosiding Seminar Nasional Swasembada Pangan Politeknik Negeri Lampung 29 April 2015 ISBN 978-602-70530-2-1 halaman 466-472
Kinerja Dan Prospek Swasembada Jagung Di Indonesia Performance And Prospects Swasembada Corn In Indonesia Tri Bastuti Purwantini Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Jl. Ahmad Yani 70 Bogor Email:
[email protected] ABSTRACT Corn is one of the food crop commodity that have an essential role as food, feed and raw materials. The need and demand for corn have increased along with the increase of population. Opportunities of corn development in Indonesia to support national food security and sovereignty are very prospective. This paper aims to evaluate the performance of corn production and self-sufficiency during the last ten years, identify obstacles and problems in the achievement of self-sufficiency as well as its anticipation, and indentify future prospects.The results showed that corn production during the last ten years has been fluctuated, although tends to decrease. Based on the balance of production and needs in 2011, corn self-sufficiency had achieved index self-sufficiency of 115.52. However, in terms of self-sufficiency is still below 100 percent, so corn production could potentially be improved. Over the past five years the productivity role against dynamics of corn production has reached, average, 224 percent, while the harvested area has decreased (-124%), so that the role of the production contribution is negative, therefore, the dynamics of production are more reliant on productivity growth. Some innovation of corn production improvements acceleration can be supported by: (1) the addition of planted acreage, including through an increase in paddy fields printing, land optimization, an increase in IP, and application of intercropping pattern, and (2) an increase in productivity (through GP-PTT, provision of improved seed and fertilizer). Application of SL-PTT can leverage the increase in corn production, in the era of the new government, Jokowi_JK, that program was continued by GP-PTT, that technology is expected to be able to support sustainable of corn selfsufficiency. Therefore, need some support for the success of that program. Keywords: corn, production ,producivity, self-sufficiency Diterima: 17 April 2015, disetujui 24 April 2015
PENDAHULUAN Jagung merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang memiliki peran pokok sebagai bahan pangan (sumber karbohidrat), pakan dan bahan baku industri. Dengan demikian jagung secara tidak langsung mempunyai peran penting dalam penyediaan protein hewani (Pusdatin, 2014). Dengan berkembangnya sektor peternakan yang didukung dengan berkembangnya industri pangan dan pakan yang berbahan baku jagung, maka permintaan jagung dalam negeri terus meningkat (Kariyasa dan Sinaga, 2004). Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT) menargetkan pertumbuhan produksi pakan ternak sebesar 14,7 juta ton pada 2014, atau meningkat 10%-12% dari tahun sebelumnya yaitu 13,4 juta ton. Di sisi lain pertumbuhan produksi agak lambat, akibat rendahnya produktivitas dan luas areal jagung. Untuk memenuhi permintaan dan kebutuhan jagung dalam negeri maka Indonesia melakukan impor
Tri Bastuti Purwantini. Kinerja Dan Prospek Swasembada Jagung Di Indonesia
jagung.Bila tidak dikendalikan maka diperkirakan impor jagung terus meningkat, sehingga harus diantisipasi dalam kebijakan yang mendukung pengaturan penawaran dan permintaan jagung domestik. Pertumbuhan produksi jagung lebih bertumpu pada peningkatan produktivitas dibanding dengan perluasan areal tanam/panen (Kariyasa dan Sinaga, 2005; Irawan, et. al., 2014) Mengingat peran yang strategis tersebut, maka berbagai program kegiatan untuk meningkatkan produksi jagung telah dicanangkan, diantaranya Sekolah Lapang Penerapan Teknologi Terpadu (SL-PTT) yang saat ini (era Pemerintahan Jokowi-JK) program tersebut ditransformasi menjadi Gerakan Penerapan Pengelolan Tanaman Terpadu (GP-PTT) Teknologi tersebut telah mengungkit percepatan produksi jagung di beberapa wilayah sentra di Indonesia. Oleh karena itu Pemerintah akan mempertahankan swasembada jagung yang berkelanjutan, pada tahun 2015 produksi jagung ditarget dapat mencapai 20,3 juta ton pipilan kering. Tulisan ini bertujuan untuk mengevaluasi kinerja produksi dan swasembada jagung selama sepuluh tahun terakhir, mengidentifikasi kendala dan masalah dalam capaian swasembada serta antisipasi dan prospek kedepan.
BAHAN DAN METODE Data dan Sumber Data Tulisan ini mengggunakan data sekunder yang bersumber dari Pusat Data Statistik (Pusdatin), Kementan, Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Ketahanan Pangan (BKP) dan berbagai sumber pustaka yang terkait. Data yang digunakan merupakan data deret waktu (time series) sepuluh tahun (tahun 2005-2014). Data tahun 2005-2013 menggunakan angka tetap, sedangkan data tahun 2014 merupakan data ARAM II. Analisis Data Data dianalisis deskripsi kualitatif dengan menggunakan analisis statistik sederhana (rata-rata dan laju pertumbuhan). Tingkat kemandirian pangan (jagung), dihitung berdasarkan imbangan kebutuhan dan produksi jagung dalam negeri. Perkembangan Produksi Dan Permintaan Jagung Jagung merupakan salah satu tanaman pangan dunia yang terpenting, selain gandum dan padi, di Indonesia Jagung merupakan komoditas tanaman pangan utama kedua setelah padi. Tabel 1. menunjukkan Perkembangam luas panen, produktivitas dan produksi serta dinamika konstribusi sumber produksi jagung di Indonesia (Tahun 2005-2014). Selama sepuluh tahun terakhir produksi jagung di Indonesia meningkat ratarata pertumbuhan selama 2005-2014 sebesar 5,21 persen per tahun. Pada kurun waktu yang lebih panjang menunjukkan bahwa laju pertumbuhan jagung rata-rata tertinggi dibanding dengan komoditas pangan lainnya (Irawan, et.al., 2014; Simatupang, 2003). Lebih lanjut dikatakan bahwa tingginya pertumbuhan produksi jagung tersebut merupakan hasil perpaduan antara tarikan permintaan (demand pull), yaitu pertumbuhan produksi ayam ras, pertambahan penduduk, dan peningkatan pendapatan, dengan dorongan teknologi (technology push), yaitu inovasi teknologi budidaya jagung, terutama jenis hibrida. Jagung hibrida merupakan bahan baku industri pakan, sehingga perubahan teknologi tersebut sejalan dengan perubahan struktur permintaan jagung. Usahatani jagung hibrida bersifat komersial, sangat intensif menggunakan masukan, dan memberikan keuntungan yang lebih besar, sehingga dapat menjadi sumber pendapatan yang nyata bagi petani (Simatupang, 2003).
467
Prosiding Seminar Nasional Swasembada Pangan Polinela 29 April 2015
Tri Bastuti Purwantini. Kinerja Dan Prospek Swasembada Jagung Di Indonesia
Tabel 1. Dinamika Produksi dan Sumber Produksi Jagung di Indonesia, Tahun 2005–2014 Tahun
Luas Panen (000 Ha)
Produktivitas (Ton/Ha)
Produksi (Ton)
2005
3.626
3,45
12.524
2006
3.346
3,47
11.609
2007
3.630
3,66
13.288
2008
4.002
4,08
16.317
2009
4.161
4,24
17.630
2010
4.132
4,44
18.328
2011
3.865
4,57
17.643
2012
3.958
4,90
19.387
2013
3.822
4,84
18.512
Kontribusi thd Dinamika Produksi (%) Produk Luas Produkti-vitas si Panen
Pertumbuhan (%/Tahun) Luas Panen
4,74
9,03
47,55
52,45
3.838 4,94 19.033 -1.49 2.7 2005-2014 0,85 4,39 Sumber: Pusdatin, Kementan, 2015 Keterangan : *)Data Aram II (Pusdatin, Kementan, 2015, BPS, 2015)
4,96 5,21
-124.21 16.22
224.21 83.78
2014
*)
4,29
Produk -tivitas
Bila ditelusuri, produktivitas rata-rata meningkat dengan laju pertumbuhan selama 2005-2014 sebesar 4,39 persen per tahun. Menurut Irawan, et al. (2014), tingginya pertumbuhan produktivitas jagung disebabkan oleh semakin meluasnya penanaman jagung hibrida yang mempunyai produktivitas jauh lebih tinggi daripada jagung lokal atau komposit, di samping peningkatan intensitas pertanaman dan penerapan pengelolaan tanaman terpadu (PTT). Sentra produksi jagung di Indonesia dominan di 17 Provinsi. Provinsi yang memberikan konstribusi produksi yang meningkat pada tahun 2014 antara lain adalah Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, Jawa Tengah, Gorontalo, dan Lampung. Sementara wilayah yang mengalami penurunan produksi jagung relatif besar terjadi di Jawa Barat, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur, Bengkulu, dan Bali. Percepatan Produksi Melalui Teknologi-PTT Sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan jagung yang terus meningkat Pemerintah era Jokowi-JK, tetap mengembangkan PTT dalam mendukung percepatan produksi jagung di Indonesia dengan mentransformasi dari kegiatan SL-PTT menjadi gerakan penerapan PTT (GP-PTT). GP-PTT merupakan penyempurnaan dari SL-PTT, yang merupakan kegiatan peningkatan produktivitas dan akan difokuskan melalui pola kawasan yang terintegrasi dari hulu hingga hilir, peningkatan jumlah paket bantuan sebagai instrumen stimulan, serta dukungan pendampingan dan pengawalan (Ditjen Tanaman Pangan, 2015). PTT jagung bertujuan untuk mempertahankan atau meningkatkan produktivitas jagung secara berkelanjutan, efisiensi produksi, dan pendapatan petani. Pengembangan PTT di suatu lokasi senantiasa memperhatikan kondisi sumber daya setempat, sehingga teknologi yang diterapkan di suatu lokasi dapat berbeda dengan lokasi yang lain. Dengan demikian teknologi yang diterapkan dengan pendekatan PTT bersifat sinergistik dan spesifik lokasi. Prinsip PTT mencakup empat unsur, yaitu terpadu, sinergis, spesifik lokasi, dan partisipatif. Berdasarkan hasil kajian Biro Perencanaan (2012) di 5 Kabupaten sentra produksi jagung menunjukkan bahwa kegiatan SL-PTT telah meningkatkan produktivitas usahatani Jagung per hektar pada tingkat yang beragam antar daerah dan antar musim, yaitu kisaran peningkatan produktivitas antara 1,05 Prosiding Seminar Nasional Swasembada Pangan Polinela 29 April 2015
468
Tri Bastuti Purwantini. Kinerja Dan Prospek Swasembada Jagung Di Indonesia
kuintal/ha sampai 8,56 kuintal/ha. Peningkatan produktivitas SL-PTT relatif tinggi terjadi di luar Jawa (Lombok Timur) dan di Jawa (Kediri). Peningkatan produktivitas kegiatan SL di luar Jawa berada pada kisaran antara 5,53 sampai 8, 56 ku/ha. Sementara tambahan produktivitas SL-PTT di Jawa berada pada kisaran antara 1,40-4,45 ku/ha. Dari kisaran produksi tertinggi dan terendah SL-PTT menunjukkan bahwa masih terdapat senjang yang cukup lebar antara produktivitas SL-PTT tertinggi dengan produktivitas terendah yang dicapai melalui program SL-PTT maupun laboratorium lapang (LL). Kesenjangan tersebut antara lain karena adanya keragaman : (a) kondisi sumberdaya (kesuburan lahan, air) antar wilayah, (b) paket teknologi yang sangat beragam sesuai dengan keinginan dan ketersediaan modal kelompok, (c) persepsi petani terhadap program SL-PTT. Lebih lanjut dikemukakan bahwa produktivitas LL cenderung lebih tinggi dari produktivitas SL, hal ini mengindikasikan adanya potensi peningkatan produktivitas Jagung melalui perbaikan penerapan teknologi terutama perbaikan pemupukan. Oleh karena itu SL-PTT merupakan wahana penyuluhan dapat berperan dalam perbaikan teknologi produksi dan peningkatan produktivitas usahatani Jagung. Dengan demikian SL-PTT merupakan teknologi yang relevan untuk dikembangkan, dalam hal ini diganti dengan GPPTT. Tujuan dari pelaksanaan GP-PTT tahun 2015 (Ditjen Tanaman Pangan, 2015) adalah: (1) mensinergikan semua instansi terkait mulai dari hulu sampai hilir (pusat, daerah, swasta) dalam peningkatan produksi, (2) meningkatkan produksi dan produktivitas jagung di daerah pelaksana GP-PTT menuju swasembada berkelanjutan. Dengan kegiatan GP-PTT ini, Kementerian Pertanian mentargetkan produksi jagung pada tahun 2015 sebesar 20,3 juta ton (Ditjen Tanaman Pangan, 2015). Untuk menyikapi peningkatan permintaan dan kebutuhan jagung selama 5 tahun ke depan, maka Pemerintah mentargetkan sasaran GP-PTT seperti pada Tabel 2. Tabel 2. Sasaran Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas Dan Produksi Jagung, selama 2015-2019 Tahun Luas Tanam (Ha) Luas Panen (Ha) 2015 4.243.514 4.031.338 2016 4.369.414 4.101.811 2017 4.369.414 4.150.943 2018 4.502.924 4.277.778 2019 4.650.718 4.418.182 Sumber: Direktorat Jendral Tanaman Pangan, 2015
Produktivitas(Ha) 50,39 52,00 53,00 54,00 55,00
Produksi (Ton) 20.313.731 21.329.418 22.000.000 23.100.000 24.300.000
Pertumbuhan (%) 5,00 3,14 5,00 5,19
Tabel 2 menyajikan sasaran luas tanam, luas panen, produktivitas dan Produksi serta pertumbuhan rata-rata per tahun, selama 2015-2019. Dengan mengacu Tabel 2 maka produksi jagung diproyeksikan pada tahun 2019 mencapai 24,3 juta ton, dengan jumlah produksi tersebut diharapkan dapat mengimbangi permintaan dalam negeri. Dengan demikian swasembada berkelanjutan akan diraih. Kemandirian Dan Swasembada Jagung Serta Prospek Ke Depan Kemandirian dan ketahanan pangan di Indonesia masih merupakan persoalan yang belum terpecahkan, begitu pula untuk komoditas jagung. Selama 10 tahun terakhir produksi jagung meningkat terus, namun belum dapat mengimbangi permintaan dan kebutuhan dalam negeri. Berdasarkan analisis Kementan (Biro Perencanaan, 2012), pada tahun 2011, indeks swasembada komoditas jagung sudah lebih dari 100, ini mengindikasikan bahwa jagung sudah mencapai swasembada. Namun demikian berdasarkan pehitungan kemandirian pangan, dengan memperhitungkan antara imbangan produksi domestik dengan ketersediaan komoditas tersebut yang dinyatakan dalam persen masih pada tingkat belum mandiri dengan nilai tingkat kemandirian <100%. Ketersediaan jagung merupakan penjumlahan dari volume produksi dalam negeri ditambah impor dan dikurangi ekspor, merupakan variabel penentu dalam capaian swaembada
469
Prosiding Seminar Nasional Swasembada Pangan Polinela 29 April 2015
Tri Bastuti Purwantini. Kinerja Dan Prospek Swasembada Jagung Di Indonesia
pangan. Tabel 3 kemandirian.
menyajikan tingkat kemandirian jagung dan variabel pembentuk besaran tingkat
Tabel 3. Tingkat Kemandirian Jagung di Indonesia, Tahun 2000-2011 Tahun
Produksi (ribu ton)
Impor (ribu ton)
Ekspor (ribu ton)
Ketersediaan (ribu ton)
2000 9.677 1.265 28 2001 9.347 1.036 90 2002 9.654 1.154 16 2003 11.089 670 35 2004 12.524 186 54 2005 11.225 1.089 34 2006 11.609 1.778 28 2007 13.287 771 102 2008 16.317 404 107 2009 17.630 419 63 2010 18.328 1.781 42 2011 17.643 3.311 33 Sumber: BKP (2012) Keterangan: Ketersediaan = Produksi + Impor-Ekspor Tingkat Kemandirian = Proporsi produksi terhadap Ketersediaan
10.914 10.293 10.792 11.724 12.656 12.280 13.360 13.956 16.614 17.986 20.067 20.921
Kemandirian (%) 88,7 90,8 89,5 94,6 99,0 91,4 86,9 95,2 98,2 98,0 91,3 84,3
Berdasarkan tabel tersebut maka Tingkat Kemandirian Jagung berfluktuasi, dalam kurun waktu 2000-2010 menunjukkan bahwa tingkat kemandirian jagung berkisar 84,3 % - 99,0%. Fluktuasi tersebut akibat dari jumlah impor yang berfluktuasi, hal ini terkait dengan dinamika permintaan dari Pabrik Pakan yang menggunakan jagung sebagai bahan baku utama. Sehingga dapat dikatakan bahwa perkembangan peternakan, khususnya perunggasan sangat berpengaruh terhadap kinerja ketersediaan jagung dalam negeri. Dalam upaya meningkatkan produksi jagung nasional untuk pencapaian swasembada jagung berkelanjutan, masih terdapat beberapa permasalahan sebagai berikut: (Biro Perencanaan, 2012) a. Usahatani jagung sebagian besar (sekitar 79%) ditanam di lahan kering dengan ketersediaan air terbatas. b. Penggunaan benih unggul hibrida masih terkendala oleh harga benih jagung hibrida yang relatif mahal. c. Puncak panen terjadi pada musim hujan, sementara proses pengeringan kurang memadai sehingga mempengaruhi mutu output. d. Penggunaan pupuk organik belum sepenuhnya membudaya di kalangan petani e. Keterlambatan penyediaan benih unggul sehingga waktu tanam mundur pada MK II yang rawan terhadap penyakit bule dan kekurangan air. f. Budidaya jagung belum menggunakan paket teknologi tepat spesifik lokasi g. Industri perbenihan nasional belum mampu memenuhi kebutuhan benih unggul. Penangkar benih kurang diberdayakan. h. Keterbatasan modal petani untuk mengadopsi paket teknologi anjuran i. Pusat produksi jagung tersebar di berbagai lokasi khususnya di Luar Jawa sementara permintaan jagung yang bersumber dari industri pakan ternak lebih terpusat di Jawa, sehingga mendorong industri melakukan impor guna mengejar ketepatan waktu penyediaan, kontinuitas dan keseragaman mutu bahan baku.
Prosiding Seminar Nasional Swasembada Pangan Polinela 29 April 2015
470
Tri Bastuti Purwantini. Kinerja Dan Prospek Swasembada Jagung Di Indonesia
Lebih lanjut dikemukakan bahwa permodalan merupakan kendala yang dihadapi petani dalam melakukan usahatani jagung hibrida. adalah lemahnya permodalan. Petani kekurangan modal untuk membeli benih unggul hibrida dan mengadopsi paket teknologi lainnya. Untuk mengatasi masalah keterbatasan modal petani, maka hendaknya pemerintah membantu fasilitasi untuk melakukan kemitraan dengan industri pakan atau pedaganag besar dalm hal penyediaan sarana produksi, pembiayaan usahatani dan jaminan pasar. Demikian pula program GP-PTT yang hendaknya disinergikan dengan program-program pembiayaan seperti program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP), Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE), Gerakan Peningkatan Produksi Pangan berbasis Korporasi (GP3K) dan sebagainya.
KESIMPULAN Dinamika Produksi jagung selama sepuluh tahun terakhir (2005-2014) menunjukkan peningkatan cukup besar, peningkatan produksi ini lebih bertumpu dari produktivitas, ini mengindikasikan bahwa teknologi yang diterapkan dapat mengungkit percepatan produksi pada kurun waktu tersebut. Sementara luas panen justru cenderung stagnan. Tingkat kemandirian jagung selama 2000-2011 masih dibawah 100 persen, walaupun sudah mencapai swasembada pada tahun 2011-2012, namun volume impor dipandang masih besar. Rendahnya kemandirian jagung karena masih rendahnya produksi, sehingga belum bisa mengimbangi laju permintaan yang pesat di dalam negeri
IMPLIKASI KEBIJAKAN Untuk keberlanjutan swasembada jagung harus terus dikembangkan teknologi GP-PTT, selain itu juga diperlukan perluasan lahan untuk mendukung pengembangan produksi jagung, terutama untuk diimplementasikan di luar Jawa, antara lain dengan program perluasan areal tanam (PAT), baik melalui pencetakan sawah maupun memanfaatkan existing lahan yang sesuai untuk usaha budidaya jagung. Selain itu perlu optimalisasi lahan dengan meningkatkan Indeks Pertanaman (IP) terutama dilahan sawah (Jawa dan luar Jawa). Dalam pelaksanaan GP-PTT seyogyanya dilakukan pembinaan, pengawalan dan pendampingan secara intensif. GP-PTT agar dapat dijadikan wahana penyuluhan dan dapat berperan dalam perbaikan teknologi produksi dan peningkatan produktivitas usahatani Jagung. Beberapa teknologi kunci dalam GP-PTT antara lain penggunaan varietas yang potensi tinggi dengan kualitas yang baik dan penggunaan pupuk berimbang. Untuk mengatasi keterbatasan modal petani, kegiatan GP-PTT hendaknya disinergikan dengan program-program pembiayaan seperti program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP), Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE) dan GP3K.
DAFTAR PUSTAKA Biro Perencanaan. 2012. LaporanEvaluasi Midterm Program dan Target Pembangunan Pertanian 2010- 2014. Biro Perencanaan, Setjen Pertanian, Kementan. Jakarta BPS. 2015. Berita Resmi Statistik No. 28/03/Th. XVIII, 2 Maret 2015. BPS. Jakarta.
471
Prosiding Seminar Nasional Swasembada Pangan Polinela 29 April 2015
Tri Bastuti Purwantini. Kinerja Dan Prospek Swasembada Jagung Di Indonesia
Ditjen Tanaman Pangan. 2015. Pedoman Pelaksanaan GP-PTT 2015. Direktorat Jendr=eral Tanaman Pangan, Kementan. Jakarta. Irawan, B.,I.W.Rusastra; Hermanto; T. Pranaji; G.T.S. Hardono; T.B. Purwantini dan E. Ariningsih. 2014. Dinamika Sosial Ekonomi Pertanian dan Perdesaan: Analisis Data PATANAS. Laporan Penelitian. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Kariyasa,K. dan B.M. Sinaga. 2004. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Pasar Jagung di Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi ,22(2):167-194. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Pudatin. 2014. Buku Analisis Hasil Survei Penggunaan Jagung Tahun 2014. Pusat Data dan Statistik, Kementan. Jakarta.
Prosiding Seminar Nasional Swasembada Pangan Polinela 29 April 2015
472