PENGEMBANGAN UKM SENTRA INDUSTRI PENGOLAHAN KERUPUK IKAN DAN UDANG DENGAN PENDEKATAN SOFT SYSTEM METHODOLOGY
TRISNA NINGSIH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Pengembangan UKM Sentra Industri Pengolahan Kerupuk Ikan dan Udang dengan Pendekatan Soft System Methodology adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Mei 2013 Trisna Ningsih NIM C462090021
ABSTRACT TRISNA NINGSIH. The Soft System Methodology Approach for SMEs Development in Center of Fish and Shrimp Crackers Processing Industry. Under direction of SUGENG HARI WISUDO, MARTANI HUSEINI, ACHMAD POERNOMO, and TRI WIJI NURANI. Industry competition currently require the small and medium enterprises (SMEs) have competitive advantage. The study aims to formulate a policy alternate for SMEs development of center of fish and shrimp crackers processing industry in Indramayu by soft systems methodology (SSM) approach and new institutionalism in economics and sociology (NIES) with the specific purpose are: to analyze the main problems that occur, to formulate institutional framework, and to develop strategy for SMEs. Considering any problematic situation that needs to be improved, then used three-level analysis of the level of institutional macro, meso, and micro which based on the NIES, and using the SSM-based action research as a methodology. Based on the analysis of the competitiveness of SMEs obtained that the center is low, due to some problems faced at the macro level, (1) organizing, and (2) programs, activities, and budget; the meso level: the role of cooperative institution and associations, and at the micro level, (1) the capacity of human resources, (2) capital compliance, and (3) adequacy of raw material. The NIES framework using for SMEs development in the three levels of overall institutional framework shows (1) regulation, (2) the role of cooperatives institution and associations, and (3) internal constraints/problems in supporting the achievement of competitiveness of the center. These interrelationships form a synergistic relationship in three levels based on the competitiveness of the institutional framework, as follow (1) relationship in a top-down (macro-to meso and micro); and (2) relationships in a bottom-up (micro-to meso to macro). Development strategy for SMEs are improving capacity of the center which competitive supported by appropriate policies from the central and local government, through the strategy as follow (1) the establishment of the secretariat/working group for SMEs development to manage duties and functions; (2) mechanism to accommodate by the aspirations of the community; (3) increasing role of cooperatives institution and associations as a facilitator for SMEs interest in micro level, (4) increasing the capacity of human resources; (5) fulfillment of capital, and (6) adequacy of raw materials. Keywords: center of processing industry, development strategy, fish and shrimp crackers, SMEs, soft systems methodology
RINGKASAN TRISNA NINGSIH. Pengembangan UKM Sentra Industri Pengolahan Kerupuk Ikan dan Udang dengan Pendekatan Soft System Methodology. Dibimbing oleh SUGENG HARI WISUDO, MARTANI HUSEINI, ACHMAD POERNOMO, dan TRI WIJI NURANI. Kerupuk ikan dan udang merupakan salah satu produk unggulan Kabupaten Indramayu, dan sampai saat ini masih terus berkembang sebagai salah satu penghasil kerupuk ikan dan udang terbesar di Indonesia. Usaha pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu, banyak tersebar di wilayah sentra industri pengolahan kerupuk di Desa Kenanga Blok Dukuh, Kecamatan Sindang, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Saat ini jumlah pengolah kerupuk ikan dan udang di Indramayu sebanyak 34 unit pengolahan ikan (UPI), yang terdiri dari 26 UPI skala usaha kecil dan 8 UPI skala usaha menengah dengan total produksi mencapai 1005-1240 ton per bulan (dengan nilai produksi Rp20 milyarRp25 milyar per bulan) atau 40-50 ton per hari (dengan nilai produksi Rp800 jutaRp1 milyar per hari) dengan didukung tenaga kerja sebanyak 1597 orang. Seiring dengan perkembangan usahanya, usaha kecil dan menengah (UKM) sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu banyak mengalami permasalahan sehingga mengakibatkan daya saingnya rendah. Permasalahan yang sering dijumpai adalah penurunan produksi pada saat musim hujan, ditambah dengan keterbatasan modal usaha, rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM), dan terbatasnya akses pasar merupakan kelemahan yang mendasar. Sehubungan daya saing UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu, penelitian ini akan mengembangkan UKM menggunakan tiga tingkat tataran kelembagaan makro, meso, dan mikro yang berpijak pada the new institutionalism in economics and sociology (NIES) sebagai basis analisis, dan menggunakan soft systems methodology (SSM) based action research sebagai metodologinya. Selanjutnya, penelitian ini bertujuan merumuskan alternatif kebijakan pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu dengan pendekatan SSM dan NIES melalui tujuan khusus yaitu 1) merumuskan permasalahan utama yang terjadi, 2) memformulasikan kerangka kelembagaan, dan 3) menyusun strategi pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu dalam tataran makro, meso, dan mikro, terlihat bahwa fakta lapangan (real world) pada UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu bersifat kompleks, problematis, selalu berubah, dan ditandai dengan beragam sudut pandang dari setiap orang yang terlibat di dalamnya, yang masing-masing memiliki kehendak untuk melakukan aktivitas yang punya maksud guna mewujudkan tujuannnya masingmasing. Hasil penelitian terhadap pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu, dapat disimpulkan: 1) Daya saing UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu rendah. Hal ini disebabkan beberapa permasalahan yang dihadapi
pada tataran makro yaitu (1) pengorganisasian, dan (2) program, kegiatan, dan anggaran; pada tataran meso yaitu peran koperasi dan asosiasi; dan pada tataran mikro yaitu (1) kualitas SDM; (2) permodalan; dan (3) bahan baku. 2) Pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu, menunjukkan adanya hubungan timbal balik di antara tiga tataran (makro, meso dan mikro). Penggunaan framework NIES pada pengembangan UKM untuk tiga tingkat kerangka kelembagaan secara keseluruhan menunjukkan adanya (1) regulasi, (2) peran koperasi dan asosiasi, dan (3) kendala/permasalahan internal dalam mendukung tercapainya daya saing UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu. Hubungan timbal balik ini berupa hubungan sinergis pada tiga tingkat kerangka kelembagaan berbasis daya saing, yaitu: Pertama, hubungan secara top-down (makro ke meso dan mikro) yang timbul dari kebutuhan terhadap aturan yang jelas, yang memberikan kesempatan dan kepastian usaha bagi UKM untuk dapat menjalankan usahanya, mengakses sumber daya produktif dan mendapatkan perlindungan usaha dari persaingan yang tidak sehat. Aturan yang jelas juga dapat mendorong terbentuknya usaha bersama/kolektif yang memungkinkan tercapainya skala usaha dan efisiensi usaha yang lebih tinggi di antara UKM, yang difasilitasi melalui koperasi atau asosiasi. Kedua, hubungan secara bottom up (dari mikro ke meso ke makro), dimana aspirasi UKM yang disalurkan melalui koperasi dan asosiasi menjadi masukan bagi kebijakan di tingkat makro yang dibutuhkan untuk penguatan kelembagaan (insitutional strengthening) dan kapasitas UKM. Berkembangnya UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu dengan ciri khas masing-masing produk kerupuk ikan dan udang, juga dapat mempengaruhi pengembangan struktur kebijakan dan pembinaan yang perlu disediakan untuk mendukung pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu. Hubungan timbal balik di antara tiga tataran (makro, meso, dan mikro) pada UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu sudah berjalan, meskipun masih perlu dioptimalkan. 3) Kebijakan pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu yaitu meningkatkan kapasitas UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu yang berdaya saing didukung oleh kebijakan yang tepat oleh pemerintah pusat dan daerah, melalui strategi sbb: (1) Pembentukan Sekretariat/Tim Pokja Pengembangan UKM yang juga mengatur tupoksi masing-masing bidang. (2) Penetapan mekanisme penyerapan aspirasi masyarakat. (3) Peningkatan peran koperasi dan asosiasi sebagai fasilitator bagi kepentingan UKM di tataran mikro. (4) Peningkatan kualitas SDM. (5) Pemenuhan modal usaha. (6) Pemenuhan bahan baku. Kata kunci: kerupuk ikan dan udang, sentra industri pengolahan, soft system methodology, strategi pengembangan, UKM
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENGEMBANGAN UKM SENTRA INDUSTRI PENGOLAHAN KERUPUK IKAN DAN UDANG DENGAN PENDEKATAN SOFT SYSTEM METHODOLOGY
TRISNA NINGSIH
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji pada Ujian Tertutup
:
Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc Dr. Mustaruddin, S.TP
Penguji pada Ujian Terbuka
:
Dr. Ir. Andin H. Taryoto, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
PRAKATA Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya, sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Saya ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada : 1. Ketua komisi pembimbing, Dr. Ir. Sugeng Hari Wisudo, M.Si, dan anggota komisi pembimbing, Prof. Dr. Martani Huseini, M.B.A, Dr. Ir. Achmad Poernomo, M.App.Sc, dan Dr. Ir. Tri Wiji Nurani, M.Si yang telah banyak memberi bimbingan ilmu pengetahuan, dan dukungan dalam penyelesaian penyusunan disertasi ini. 2. Penguji luar komisi ujian tertutup, Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc dan Dr. Ir. Mustaruddin, M.Si, dan penguji luar komisi ujian terbuka, Dr. Ir. Andin H. Taryoto, M.Sc dan Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr yang telah memberikan banyak saran dan perbaikan untuk kesempurnaan disertasi saya. 3. Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan-Kementerian Kelautan dan Perikanan, Ir. Saut P. Hutagalung, M.Sc; Sekretaris Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan-KKP, Dr. Ir. Syafril Fauzi, M.Sc; dan Direktur Pengolahan Hasil-Ditjen P2HP, Dr. Ir. Santoso, M.Phil yang telah memberikan izin dan kesempatan kepada saya untuk menempuh pendidikan Doktor di IPB dan selalu memberikan dorongan serta semangat. 4. Ketua Mayor Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc; dan Ketua Departemen PSP Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc beserta seluruh staf pengajar dan administrasi pada program studi SPT atas semua bantuan dan fasilitas yang disediakan sehingga saya dapat mengikuti pendidikan dengan baik dan lancar. 5. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat beserta staf, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Indramayu beserta staf, Ketua Koperasi Kerupuk Mitra Industri Indramayu beserta anggota, Ketua Asosiasi Pengusaha Kerupuk Indramayu beserta anggota, dan Ketua kelompok UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu beserta anggota, yang telah membantu selama pengumpulan data di lapangan. 6. Prof Dr. Daniel R. Monintja; Dr. Sunoto, MES; Dr. Ir. Widodo Farid Ma’ruf, M.Sc; dan Dr. Ir. Simson Masengi, M.Sc yang selalu memberikan dukungan dan semangat kepada penulis untuk segera menyelesaikan pendidikan. 7. Dr. Ir. Sudarsono Hardjosoekarto, M.A; Dr. Dra. Rachma Fitriati, M.Psi; Sylvia Ruhulessyn, M.Si, dan Tim di Padepokan SSM-FISIP Universitas Indonesia, terima kasih atas konsep dan paradigma SSM dalam ilmu pengetahuan. 8. Rekan-rekan seperjuangan angkatan 2009 Mayor SPT dan TPT Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, atas jalinan persahabatan dan persaudaraan selama menempuh pendidikan di Departemen PSP. 9. Terima kasih tak terhingga juga saya haturkan kepada pendorong utama saya dalam penyelesaian pendidikan ini, yaitu keluarga kecil saya: suami dan kedua putri tercinta serta seluruh keluarga besar atas segala doa, perhatian, dan kasih sayangnya. Bogor, Mei 2013 Trisna Ningsih
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tasikmalaya pada tanggal 18 Mei 1965 sebagai anak kedua dari tujuh bersaudara, dari pasangan Alm. H. Moh. Thohir dan Alm. Hj. E. Ruhaesih. Pendidikan pada Program Diploma IV Ahli Usaha Perikanan Jakarta, lulus pada tahun 1991. Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Perikanan Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Universitas Satya Negara Indonesia, lulus tahun 2003. Pada bulan Agustus 2003, penulis diterima di Program Studi Teknologi Kelautan pada Program Pascasarjana IPB dan lulus bulan Mei 2006. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap IPB diperoleh bulan Agustus 2009. Beasiswa pendidikan program doktor diperoleh dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. Penulis bekerja sebagai staf di Direktorat Bina Sumber Hayati, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Departemen Pertanian sejak tahun 1987 s.d 2000, mulai tahun 2000 s.d 2002 sebagai staf di Direktorat Hubungan Kelembagaan Pemerintah, Masyarakat dan Dunia Usaha, Direktorat Jenderal Peningkatan Kapasitas Kelembagaan, Departemen Kelautan dan Perikanan, mulai tahun 2002 s.d 2005 sebagai Kepala Subbagian Program di Sekretariat Direktorat Jenderal Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Pemasaran, DKP, mulai tahun 2005 s.d 2008 sebagai Kepala Seksi Prasarana Pengolahan di Direktorat Pengolahan Hasil, Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan mulai tahun 2008 s.d 2009 sebagai Kepala Seksi Kerjasama UKM di Direktorat Pengolahan Hasil, Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Selain itu, penulis juga aktif mengikuti kegiatan-kegiatan seminar, pelatihan, dan workshop baik di dalam negeri maupun luar negeri. Selama mengikuti program doktor, dua buah artikel telah diterbitkan dengan judul ”Keunggulan Kompetitif UKM Sentra Pengolahan Kerupuk Ikan dan Udang di Indramayu Berbasis Sumber Daya” pada Jurnal Manajemen Pengembangan Industri Kecil Menengah Vol. 7 No. 1, Edisi Februari 2012 dan artikel berjudul ”Kapabilitas Dinamik pada UKM Sentra Pengolahan Kerupuk Ikan dan Udang di Indramayu” telah diterbitkan pada Buletin PSP Vol. 20 No. 1, Edisi April 2012. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program doktor penulis.
DAFTAR ISTILAH
FGD (Focus Group Discusion) atau diskusi kelompok terarah adalah suatu proses pengumpulan informasi suatu masalah tertentu yang sangat spesifik melalui diskusi kelompok. HACCP (Hazard Analysis Critical Control Points) adalah piranti untuk menilai bahaya dan menetapkan sistem pengendalian yang memfokuskan pada pencegahan dari pada mengandalkan sebagian besar pengujian produk akhir (end product testing) atau suatu sistem pencegahan untuk keamanan pangan. GMP (Good Manufacturing Practices) adalah penjelasan tentang persyaratan minimum dan pengolahan umum yang harus dipenuhi dalam penanganan bahan pangan di seluruh mata rantai pengolahan dari mulai bahan baku sampai produk akhir. SSOP (Sanitation Standard Operational Procedure) atau standar operasional prosedur sanitasi adalah serangkaian proses yang dilakukan untuk menjaga kebersihan sejak penerimaan bahan baku, pengolahan, pengemasan dan penggudangan produk, sampai produk akhir didistribusikan. SOP (Standard Operational Procedure) atau standar operasional prosedur adalah pedoman atau acuan untuk melaksanakan tugas pekerjaan sesuai dengan fungsi dan alat penilaian kinerja berdasarkan indikator teknis, administrasif dan prosedural sesuai dengan tata kerja, prosedur kerja dan sistem kerja pada unit kerja yang bersangkutan. UKM (Usaha Kecil dan Menengah) adalah unit usaha sesuai UU RI No. 20 Tahun 2008 dan Permen KP No. 18 Tahun 2006. SSM (Soft System Methodology) merupakan kerangka kerja pemecahan masalah sesuai Checkland dan Poulter (2006) yaitu dengan tujuh prinsip proses dasar dalam penggunaan SSM. NIES (New Institutionalisms in Economics and Sociology) adalah pendekatan yang menjelaskan bagaimana institusi berinteraksi dengan jaringan sosial dan norma-norma sosial untuk mengarahkan tindakan-tindakan ekonomi secara langsung dalam tataran makro, meso, dan mikro..
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL …………………………………………………………...
iii
DAFTAR GAMBAR ………………………………...…………...........…....
v
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………......…
vii
1
PENDAHULUAN ………………………………………..............….…. 1.1 Latar Belakang ……………………......………………….…........... 1.2 Perumusan Masalah ……………………………………………….. 1.3 Tujuan Penelitian ……………………...……………………..……. 1.4 Manfaat Penelitian ……………………...…………………………. 1.5 Batasan Masalah ……………………………………………........... 1.6 Kerangka Pemikiran ………………………………..……………... 1.7 Kebaruan (Novelty) ………………………………………………...
1 1 13 16 17 17 20 27
2
TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………..………….. 2.1 Usaha Kecil dan Menengah (UKM) ..…………………................... 2.1.1 Definisi dan kriteria UKM …………………………..……… 2.1.2 Jenis dan karakteristik dasar UKM …………………….....… 2.2 Pengembangan UKM dengan Pendekatan Sentra (Clustering) …… 2.3 Pengolahan Kerupuk Ikan dan Udang …………..……………….... 2.4 Daya Saing atau Competi tive Advantage ………………..….……. 2.4.1 Daya saing pada tingkat makro ……………………..…..….. 2.4.2 Daya saing pada tingkat meso ……………….………….….. 2.4.3 Daya saing pada tingkat mikro ……………….…………..... 2.5 Soft System Methodology (SSM) .…….............................................. 2.6 Tiga Tingkat Kerangka Kelembagaan …………….………………. 2.6.1 Tataran Makro ……………….………………………...…... 2.6.2 Tataran Meso ………….………….…………………….….. 2.6.3 Tataran Mikro ……………..…………….…………..……... 2.7 Riset Tindakan …………………………….………….……………. 2.8 Tinjauan Studi Terdahulu yang Relevan …………….…………….
29 29 29 37 39 43 45 47 51 52 59 66 67 68 70 71 82
3
METODOLOGI …………..………………………..………..……….…. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ……………………………………… 3.2 Metode Penelitian …………………………………….………….... 3.3 Pengumpulan Data ……….…………………………………….….. 3.4 Narasumber Penelitian ...................................................................... 3.5 Tahapan Penelitian ………………………………………………… 3.6 Analisis Data ....................................................................................
89 89 89 92 94 94 96
4
GAMBARAN UKM SENTRA PENGOLAHAN KERUPUK IKAN DAN UDANG DI INDRAMAYU, JAWA BARAT ………………….… 4.1 Sejarah Singkat …………………….……………………………… 4.2 Visi dan Misi …….……………………………………..……….…. 4.3 Strategi yang Dijalankan ………………………………………..…. 4.4 Proses Produksi Pengolahan Kerupuk …….………….………….... 4.5 Produksi dan Harga …….………………………………………….. 4.6 Pemasaran ………………………………..………………………... 4.7 Kemitraan dan Jaringan Usaha ……………………………………. 4.8 Sumber Daya yang Dimiliki ………………………..……………... 4.9 Analisis Situasi UKM ……………..………………..……………...
103 103 104 104 105 113 114 116 116 123
5
PENGUNGKAPAN SITUASI MASALAH …………...……………….. 5.1 Analisis Intervensi ……………………………..………….……….. 5.2 Analisis Sosial ………………………………….………….……….. 5.3 Analisis Politik ………………….…..………….………….……….. 5.4 Rich Picture …………………………………..……………………..
125 125 126 128 133
6
ROOT DEFINITIONs DAN MODEL KONSEPTUAL …..…….....….. 161 6.1 Root Definition ………….……..…………..……………………….. 161 6.2 Model Konseptual ……………………………………….………..... 169
7
PERBANDINGAN DAN PERUBAHAN …………...………….......….. 7.1 Perbandingan Model Konseptual dan Dunia Nyata ........................ 7.2 Perubahan yang Diinginkan ………….……………………………
8
KESIMPULAN DAN SARAN ………………………..….……………. 207 8.1 Kesimpulan ……………………………………………………..…. 207 8.2 Saran ……………………………….…………..…………….….… 208
183 183 202
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………...………..
211
LAMPIRAN ………………………………………………………………....
223
ii
DAFTAR TABEL Halaman 1
Komposisi kerupuk ikan dan udang (per 100 gram) ................................
8
2
Perhitungan nilai kumulatif parameter skala usaha .................................
35
3
Perbandingan karakteristik dasar UKM antar negara …………………..
38
4
Pilihan peran pemerintah dalam pengembangan daya saing ……….…..
50
5
Analisis Root Definitions ……………………………………………….
63
6
Karakteristik utama pendekatan riset tindakan ........................................
72
7
Komparasi riset tindakan dengan positivist science .................................
73
8
Perbandingan antara paradigma positivism dengan riset aksi .................
74
9
Perbedaan umum dua kategori berpikir serba sistem ..............................
90
10 Framework penelitian ..............................................................................
91
11 Tahapan penelitian dengan pendekatan SSM ..........................................
95
12 CATWOE dan 3E ……………………………………………………….
100
13 Jenis aktivitas, alokasi tenaga kerja, dan waktu per UPI di Indramayu…
117
14 Sumber daya fisik per UPI pada UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu ……………………………….…
118
15 Sumber daya keuangan per UPI pada UKM sentra industri di Indramayu …………………………………………………………..…..
120
16 Pendapat aktor tentang permasalahan dalam tataran makro ....................
140
17 Pendapat aktor tentang permasalahan dalam tataran meso ......................
143
18 Pendapat aktor tentang permasalahan dalam tataran mikro .....................
153
19 CATWOE dan 3E dalam Root Definition 1 …………………………....
162
20 CATWOE dan 3E dalam Root Definition 2 ………………..…………..
163
21 CATWOE dan 3E dalam Root Definition 3 …………………..………..
163
22 CATWOE dan 3E dalam Root Definition 4 ………………..…………..
164
23 CATWOE dan 3E dalam Root Definition 5 ……………………..……..
165
24 CATWOE dan 3E dalam Root Definition 6 ………………………..…..
166
25 Root Definitions penelitian ………………………………..……..…..…
168
26 Pembentukan Sekretariat/Tim Pokja Pengembangan UKM …………..
184
27 Mekanisme penyerapan aspirasi masyarakat …………………..……….
188
iii
28 Peningkatan peran koperasi dan asosiasi ………………………….….…
191
29 Peningkatan keterampilan SDM ……………………………………..….
194
30 Pemenuhan modal usaha …………………………….………..….….….
197
31 Pemenuhan bahan baku …………………………………………………
200
iv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Kapabilitas atau kompetensi entrepreneurial ............................................
21
2
Persaingan industri dalam menciptakan sumber daya dan kapabilitas …..
22
3
Sumberdaya, kapabilitas dan daya saing ………………………………...
23
4
Framework antara firm dengan pesaing …………………………………
24
5
Kerangka berpikir penelitian dengan pendekatan SSM ………………....
27
6
Jaringan kelembagaan dalam klaster UKM di Indonesia …………….….
43
7
Alur proses pengolahan kerupuk …………………………………….…..
44
8
Simplifikasi pengertian daya saing ………………………………………
47
9
Proses dasar SSM ……………………………………………….……….
66
10 Model dari NIES .......................................................................................
67
11 Representasi dari siklus action research ...................................................
78
12 Proses penggunaan SSM ...........................................................................
79
13 Riset tindakan sebagai proses siklus ganda ...............................................
79
14 Problem solving interest ............................................................................
80
15 Research interest ........................................................................................
80
16 Kerangka kerja riset tindakan.....................................................................
81
17 Plang sentra industri pengolahan kerupuk di Indramayu ..........................
103
18 Alur proses pengolahan kerupuk ikan dan udang .....................................
105
19 Bahan baku utama dan penunjang dalam pembuatan kerupuk .................
106
20 Penyiangan ikan ........................................................................................
108
21 Penyimpanan fillet ikan ............................................................................
108
22 Proses pencucian fillet ikan .......................................................................
108
23 Proses penggilingan ikan ...........................................................................
109
24 Adonan kerupuk ........................................................................................
109
25 Pencetakan adonan kerupuk ......................................................................
110
26 Pengukusan adonan kerupuk .....................................................................
110
27 Pendinginan adonan kerupuk ....................................................................
111
28 Pengirisan adonan kerupuk .......................................................................
112
29 Proses pengeringan kerupuk .....................................................................
112
30 Sortir dan pengemasan ..............................................................................
113
v
31 Penyimpanan kerupuk ...............................................................................
113
32 Toko kecil penjualan produk di bagian depan bangunan UPI ...................
115
33 Diagram alir rantai pemasaran kerupuk ikan dan udang di Indramayu .....
115
34 Beberapa peralatan yang digunakan di Indramayu ………………….…..
119
35 Struktur organisasi pada skala usaha menengah …………………….…..
121
36 Struktur organisasi pada skala usaha kecil ………………………………
121
37 Proses creat dan recreates antara roles, norms, dan values …………..…
126
38 Organisasi pengembangan UKM saat ini ..................................................
135
39 Program dan kegiatan pengembangan UKM ……………………………
138
40 Kondisi pada UKM sentra di Indramayu yang belum sesuai standar …..
146
41 Air bekas pencucian ikan yang dibuang ke parit/got …………………….
146
42 Bahan baku ikan dan udang dalam pembuatan kerupuk di Indramayu ….
150
43 Toko kecil untuk menjual produk, terletak di depan bangunan UPI …….
152
44 Promosi dan iklan di media internet ………………………………….….
152
45 Gambaran situasi masalah UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu ……………………………………………
159
46 Model konseptual pembentukan Sekretariat/Tim Pokja ………………..
171
47 Model konseptual mekanisme penyerapan aspirasi masyarakat ………..
173
48 Model konseptual peningkatan peran koperasi dan asosiasi …………….
176
49 Model konseptual peningkatan kualitas SDM ………….…………….….
178
50 Model konseptual pemenuhan modal usaha …………………………….
180
51 Model konseptual pemenuhan bahan baku ………………………………
182
52 Perspektif tiga tingkat kerangka kelembagaan pada pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu.
203
vi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Peta lokasi Desa Kenanga, Kecamatan Sindang, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat ………………..................................
223
Keragaan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu ........................................................................................
225
Rekapan data UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu tahun 2007-2011 .................................................
227
4
Biaya investasi pengolahan kerupuk di Indramayu Tahun 2011 .........
237
5
Biaya operasional pengolahan kerupuk di Indramayu Tahun 2011 ….
237
6
Perkembangan omset PT. Kelapa Gading Tahun 2005 s.d 2011 .........
237
7
Beberapa merek produk UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu ..............................................................
239
Kegiatan diskusi, FGD, dan wawancara antara peneliti, pemerintah pusat, pemerintah daerah, koperasi, asosiasi, dan pelaku usaha/UKM.
241
2 3
8
vii
1 1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Usaha kecil dan menengah (UKM) memainkan peran yang sangat penting di
dalam pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, tidak hanya di negara-negara sedang berkembang tetapi juga di negara-negara maju. Kelompok usaha tersebut selain menyerap paling banyak tenaga kerja, juga paling besar kontribusinya terhadap pembentukan atau pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) dibandingkan kontribusi dari usaha besar. Kurun waktu tahun 2010-2011, jumlah usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) terdapat peningkatan sebesar 2.57 persen dari 53 823 732 unit pada tahun 2010 menjadi 55 206 444 unit pada tahun 2011. Seiring dengan peningkatan jumlah usaha UMKM, maka turut meningkatkan jumlah tenaga kerja yang diserap. Jumlah tenaga kerja yang diserap UMKM, terdapat peningkatan sebesar 2.33 persen dari 99 401 775 orang pada tahun 2010 menjadi 101 722 458 orang pada tahun 2011 (Kemenkop & UKM 2012). Kenyataanya, skala usaha besar pada tahun 2010 jumlahnya sekitar 4800 unit dengan sumbangan terhadap PDB sekitar 43.27 persen. Skala UMKM mencapai 53 juta unit dengan sumbangan terhadap PDB sebesar 56.73 persen serta tingkat penyerapan tenaga kerja di atas 97 persen menjadikan UMKM sebagai sektor yang sangat penting bagi perekonomian Indonesia pada umumnya (Kemenkeu 2012). Kurun waktu tahun 2010-2011 jumlah PDB UMKM terdapat peningkatan sebesar 24.15 persen dari Rp3 466.39 triliun pada tahun 2010 menjadi Rp4 303.57 triliun pada tahun 2011 (Kemenkop & UKM 2012). Tambunan (2007) menyatakan, bahwa UKM di negara-negara sedang berkembang seperti di Asia, Afrika, dan Amerika Latin juga berperan sangat penting. Khususnya dari perspektif kesempatan kerja dan sumber pendapatan bagi kelompok miskin, distribusi pendapatan dan pengurangan kemiskinan, dan pembangunan ekonomi pedesaan. Dilihat dari sumbangannya terhadap pembentukan PDB dan ekspor nonmigas khususnya produk-produk manufaktur, peran UKM di negara-negara sedang berkembang masih relatif rendah dan ini sebenarnya perbedaan yang
2
menyolok dengan UKM di negara-negara maju. Pertanyaannya, kenapa bisa demikian. Sumber terbesar dari sumbangan output UKM terhadap pembentukan PDB di negara-negara sedang berkembang, bukan produktivitas yang tinggi melainkan jumlah unit UKM jauh lebih banyak daripada usaha besar (Tambunan 2006). Selanjutnya, tingkat daya saing sangat dipengaruhi selain oleh banyak faktor lainnya juga oleh tingkat produktivitas (Tambunan 2008). Saat ini dalam menghadapi persaingan industri, suatu perusahaan dituntut untuk memiliki daya saing yang lebih baik dari perusahaan lainnya. Namun, tidak semua perusahaan memiliki daya saing tersebut. Daya saing merupakan suatu konsep yang dipercaya dapat membantu perusahaan untuk memenangkan persaingan tersebut. Kondisi dan alasan inilah, maka kebijakan promosi UKM di banyak negara baik kebijakan nasional maupun kebijakan dari lembaga-lembaga donor seperti Bank Dunia (atau Bank Pembangunan Asia untuk wilayah Asia) dan UNDP, dalam beberapa tahun belakangan ini semakin fokus pada pengembangan UKM dalam rangka peningkatan daya saing. Menurut Darwin (2003), berbagai model pengembangan UKM telah dikembangkan di negara-negara maju. Jepang misalnya mengembangkan UKM melalui model ”sub-contracting” artinya perusahaan-perusahaan skala besar memberikan order kepada perusahaan-perusahaan skala menengah dan kecil untuk jenis-jenis pekerjaan yang tidak ditanganinya sendiri. Sebagai contoh, perusahaan raksasa mobil Toyota atau Mitsubishi hanya merakit mesinnya saja. Pengerjaan body mobil diserahkan kepada perusahaan subkontraktor skala menengah, dan pembuatan suku cadang disub-kontrakkan kepada perusahaan skala kecil. Model kemitraan ”sub-contracting” demikian, memungkinkan perusahaan besar, menengah dan kecil maju secara bersamaan. Model pengembangan UKM lainnya adalah melalui modal ventura. Model ini dikembangkan untuk membantu UKM yang baru tumbuh dan mempunyai prospek cerah, tetapi tidak mempunyai modal sendiri maupun akses terhadap perbankan untuk mengembangkan usaha karena ketiadaan agunan atau persyaratan administratif lainnya. Perusahaan modal ventura, dapat memperkuat
3
permodalan UKM melalui penyertaan saham sementara. Setelah UKM berkembang dan mampu ”go public”, maka perusahaan modal ventura melakukan divestasi atau menarik kembali sahamnya. Pengembangan UKM juga dapat dilakukan melalui model inkubator. Model ini, UKM diberdayakan dari aspek teknologi atau kemampuan bisnisnya untuk jangka waktu tertentu sampai tiba saatnya dilepaskan untuk dapat bersaing secara bebas di pasar. Model yang diperkenalkan di Amerika Serikat ini telah diterapkan di China dan berhasil dengan baik. Sementara itu ”community based development” yakni pengembangan UKM berdasarkan daya dukung masyarakat, dikembangkan dengan sangat berhasil di Taiwan. Dalam hal ini masyarakat atas inisiatifnya sendiri atau inisiatif pihak pembina masyarakat di suatu lokasi atau daerah tertentu, kemudian pemerintah akan mendukung dengan berbagai fasilitas yang diperlukan baik infrastruktur maupun akses terhadap permodalan. Salah satu strategi pengembangan UKM yang sangat baik untuk diterapkan di negara-negara berkembang adalah pengelompokan (clustering). Tambunan (2002) menyatakan, kerja sama dan sekaligus persaingan antar sesama UKM di subsektor yang sama di dalam suatu kelompok (klaster/sentra) akan meningkatkan efisiensi bersama (collective efficiency) dalam proses produksi, spesialisasi yang fleksibel (flexible specialization), dan pertumbuhan yang tinggi. Pengembangan klaster (sentra) di beberapa negara, telah menjadi contoh terbaik atau best practices dalam meningkatkan daya saing UKM. Di Italia, khususnya di Italia bagian tengah-utara sebagai pusat pergerakan jejaring klaster UKM. Menurut Hatch (2000), bahwa pada awal tahun 1980-an pusat pertumbuhan yang pesat di daerah Emilia-Romagna dan sekitarnya menjadi perhatian para pakar di kawasan Eropa dan Amerika. Hasil studi menunjukkan pertumbuhan yang pesat di daerah ini terjadi karena kerja sama yang kuat antara asosiasi bisnis, dukungan teknologi, dan keinginan belajar dari pengalaman kerja sama dalam jejaring melalui klaster UKM yang telah mendukung keberhasilan tersebut. Keberhasilan di bagian tengah-utara Italia, telah mendorong para pakar untuk melakukan kajian dalam pengembangan jejaring UKM melalui klaster.
4
Denmark diantaranya telah mengambil konsep Italia, untuk diterapkan dalam proyek pengembangan UKM pada tahun 1989 melalui pendekatan klaster. Pendorong keberhasilan pengembangan jejaring bisnis melalui klaster UKM di Denmark adalah peran dari ”the Danish Technological Institute”. Secara prinsip, program pengembangan jejaring bisnis dilakukan secara transparan melalui media massa (cetak dan elektronik). Program pengembangan ini juga mengajak pelaku bisnis sukses dan tentunya dukungan pemerintah dalam bentuk hibah untuk pengembangan jejaring produk baru atau memasuki pasar baru, dan program pelatihan bagi pialang jejaring bisnis guna mendorong kerja sama diantara UKM. Salah satu proyek jejaring bisnis dengan pendekatan klaster yang juga sangat penting di Chile adalah proyek yang dikembangkan oleh ”the Chilean SME Assistance Agency, SERCOTEC” pada akhir tahun 1990. Proyek ini disebut ”Chile’s Proyectos de Fomento or PROFO program”, dan ditujukan untuk mengorganisasikan 10 sampai 30 UKM dalam kelompok untuk mendorong kerja sama dan menstimulus permintaan layanan SERCOTEC. Dalam rangka memfasilitasi UKM, SERCOTEC menunjuk dan membayar penuh manajer yang melayani setiap kelompok. Tugas manajer adalah mengkoordinasikan layanan dari business development service (BDS) providers, aktivitas kelompok seperti kunjungan ke salah satu pabrik dan transportasi ke pameran dagang, serta promosi aktivitas bisnis kelompok (klaster). Proyek ini sudah berkembang 16 sentra/klaster PROFO, sampai dengan tahun 2000. Pengembang sentra/klaster di India yaitu Development Alternatives Inc. (DAI), melalui bantuan USAID dengan proyek Microenterprise Best Practice telah mengembangkan program kaji tindak yang melibatkan klaster perusahaan kecil-kecil di bagian utara kota-kota dan desa-desa di India. Upaya ini, ditujukan untuk membangun jejaring yang efektif antara usaha mikro, kecil, dan menengah. Selanjutnya seperti di negara-negara lain, pendekatan pengembangan jejaring UKM dengan klaster juga melibatkan pialang bisnis, BDS Providers, dan dana padanan untuk memacu percobaan produk dan pasar baru. Kepercayaan antar pengusaha dan adanya kemauan yang keras untuk bekerja sama, menjadi kunci penting bagi suksesnya pengembangan klaster UKM untuk mendorong terjadinya jejaring bisnis.
5
Peranan BDS Providers disisi lain juga sangat penting, oleh karena itu setiap BDS Providers harus menguasai operasionalisasi bisnis secara rutin. Selanjutnya secara konsepsi disadari, bahwa pemanfaatan layanan BDS secara bersama dalam kelompok menjadi semakin ringan apabila jumlah UKM dalam sentra atau klaster semakin besar. Belajar dari pengalaman negara lain, tim studi JICA yang dipimpin oleh Hajime (2003) telah melakukan kajian selama dua tahun di Indonesia (2002-2003) tentang ”Strengthening Capacity of SME Cluster”. Tim studi JICA ini mengusulkan ”Master Concept and Strategy for SME Cluster Development from Lessons Learnt”. Tim ini telah mengkaji 10 sentra UKM di Jawa yaitu 1) sentra logam di Tegal, Sukabumi, dan Sidoarjo; 2) sentra furniture kayu di Klaten; 3) sentra gambir di Harau-50 Kota; 4) sentra minyak atsiri (vetiver) di Garut; 5) sentra pandai besi pembuatan alat-alat pertanian (blacksmith) di Tanjung Batu; 6) sentra tahu dan tempe di Mampang-Jakarta dan Bekasi; dan 7) sentra batu bata dan genteng di Kebumen. Berdasarkan sepuluh sentra di atas, selanjutnya tim studi JICA memilih tiga sentra yaitu sentra logam di Sidoarjo, sentra furniture kayu di Klaten, dan sentra batu bata dan genteng di Kebumen untuk dikaji dan diamati secara rutin dan seksama. Hasil kajian didapatkan bahwa dalam rangka memperkuat klaster UKM, maka perlu membangun kerja sama dengan prinsip 3 C (competition/persaingan, cooperation/kerja sama, dan concentration/pemusatan). Competition diharapkan untuk transparansi pemanfaatan informasi, masalah aspek legal, dan pengembangan model yang dinamis, dan penguatan kapasitas. Berdasarkan pendekatan ini, maka masa depan sentra/klaster akan menjadi acuan dalam membangun daya saing UKM. Cooperation ditujukan untuk meningkatkan kerja sama yang lebih selektif dan efektif, pendidikan dengan pendekatan model bisnis yang dinamis, dan kemitraan antara pemerintah, akademisi dan bisnis yang lebih erat. Concentration ditujukan agar pengembangan sentra/klaster dilakukan dengan kerja keras, dan pendekatan lebih fokus pada sektor yang memberikan pengaruh ganda (multiplier effect) yang lebih besar. Sentra UKM perikanan di Indonesia hampir semuanya merupakan sentra UKM tradisional, dimana sentra ini terdiri dari unit usaha inti yaitu produsen
6
produk utama sentra dan usaha penunjang seperti pemasok bahan baku, subkontraktor dan pedagang perantara. Pembentukan sentra UKM merupakan salah satu kebijakan yang diterapkan pemerintah untuk dapat memajukan UKM. DKP (2006) menyatakan, bahwa sentra industri pengolahan hasil perikanan merupakan kumpulan dari beberapa unit pengolahan ikan (UPI) yang berada pada posisi yang sama dalam mata rantai nilai. Pemerintah melalui Kementerian Koperasi dan UKM, telah menjadikan pengembangan
sentra
sebagai
kebijakan
dan
program
strategis
dalam
pemberdayaan UKM. Taufik (2004) menyatakan, bahwa sampai tahun 2004 melalui fasilitasi Kementerian Koperasi dan UKM telah dikembangkan sebanyak 1006 sentra UKM yang bergerak di berbagai sektor. Bertitik tolak dari karakteristik dan kelemahan dari usaha UKM, maka pemerintah dalam mengembangkan sentra juga mengembangkan business development services provider (BDSP) serta fasilitasi pembiayaan bagi UKM melalui pengembangan sistem pembiayaan dana bergulir yang disalurkan oleh lembaga koperasi simpan pinjam (KSP) atau unit simpan pinjam koperasi (USP). Ketiga komponen ini yaitu sentra, BDS, dan KSP/USP dikembangkan secara terintegrasi untuk memberdayakan UKM, dimana strategi ini dikenal dengan istilah pemberdayaan UKM berbasis sentra. Pengembangan sentra ini, tentu menjadi bagian penting dari upaya memberdayakan UKM lebih lanjut menuju bentuk klaster. Sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan aktivitas bisnis dalam sentra, usaha-usaha baru dengan berbagai cakupan bisnis yang menunjang aktivitas sentra akan berkembang. Selanjutnya, untuk sentra yang prospektif akan membutuhkan aktivitas usaha di sektor penyedia bahan baku, pemasaran, penelitian dan pengembangan, pengujian mutu, asuransi, dan lain sebagainya sebagai bentuk dari sebuah klaster. Sejauh ini keberadaan klaster yang ideal di tanah air, utamanya yang melibatkan UKM masih belum berkembang. Pendekatan pengembangan sentra secara terintegrasi dengan pelayanan keuangan melalui koperasi serta layanan konsultasi manajemen, diharapkan pola pemberdayaan UKM seperti ini dapat menjadi penggerak tumbuhnya berbagai kegiatan usaha dalam suatu kawasan
7
menuju tumbuhnya klaster. Model klaster yang ideal adalah sinergi beberapa aktivitas usaha UKM yang saling terkait, baik dari aspek proses produksi yang melibatkan UKM di sektor hulu sampai hilir, maupun usaha jasa yang dikembangkan oleh UKM sebagai penunjang aktivitas bisnis dalam klaster. Unit usaha sentra di Desa Kenanga Kabupaten Indramayu Provinsi Jawa Barat, merupakan wilayah sentra produksi pembuatan kerupuk ikan dan udang. Unit usaha sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang tersebut, merupakan unit usaha inti dalam sentra industri pengolahan kerupuk. Menurut DKP (2008) bahwa pengembangan unit usaha inti dalam sentra, diharapkan akan mampu meningkatkan kapasitas usaha berskala ekonomi dengan kelembagaan yang kuat serta dikelola secara profesional dengan akses dan penetrasi pasar yang kuat dan berdaya saing, serta mampu berproduksi lebih efisien dalam kawasan pengembangan. Kerupuk ikan dan udang merupakan makanan kering dengan bahan baku ikan dicampur dengan tepung tapioka dan bumbu yang sangat digemari masyarakat, karena mengandung nilai gizi yang tinggi. Makanan ini sering digunakan sebagai pelengkap ketika bersantap, ataupun sebagai makanan ringan/ camilan. Bahkan untuk jenis makanan khas tertentu selalu dilengkapi dengan kerupuk. Makanan ini menjadi kegemaran masyarakat dikarenakan rasanya yang enak, gurih, dan renyah. Selain rasa yang enak tersebut, menurut Saraswati (1986) kerupuk ikan dan udang juga memiliki kandungan zat-zat kimia yang diperlukan oleh tubuh manusia. Komposisi zat kimia dalam kerupuk ikan dan udang disajikan dalam Tabel 1. Menurut Saraswati (1986) kandungan protein kerupuk ikan dan udang tidak jauh berbeda, sedangkan kandungan vitamin pada kerupuk ikan lebih rendah dibanding kerupuk udang. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan protein pada ikan tidak banyak yang hilang setelah mengalami pengolahan, jika dibandingkan dengan kerupuk udang, dan kerupuk udang lebih kaya kandungan dalam semua unsur kimia yang diperlukan oleh tubuh manusia.
8
Tabel 1 Komposisi kerupuk ikan dan udang (per 100 gram) Komponen
Kerupuk Ikan Kerupuk Udang
Karbohidrat (%)
65.6
68.0
Air (%)
16.6
12
Protein (%)
16
17.2
Lemak (%)
0.4
0.6
Kalsium (mg/100 gram)
2
3.3
Fosfor (mg/100 gram)
20
33.7
Besi (mg/100 gram)
0.1
1.7
Vitamin A (mg)
-
50
Vitamin B (mg)
-
0.04
Sumber: Saraswati (1986)
Kerupuk ikan dan udang merupakan produk yang dijadikan sebagai salah satu produk unggulan Kabupaten Indramayu, dan sampai saat ini masih terus berkembang sebagai salah satu satu penghasil kerupuk ikan dan udang terbesar di Indonesia. Usaha pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu, banyak tersebar di wilayah sentra industri pengolahan kerupuk di Desa Kenanga Blok Dukuh, Kecamatan Sindang, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Saat ini jumlah pengolah kerupuk ikan dan udang di Indramayu sebanyak 34 unit pengolahan ikan (UPI), yang terdiri dari 26 UPI skala usaha kecil dan 8 UPI skala usaha menengah. Total produksi kerupuk mencapai 1005-1240 ton per bulan atau 40-50 ton per hari. Proses pembuatan kerupuk ikan dan udang, sangat sederhana dan mudah diusahakan. Pengolahan kerupuk ini, disamping dapat diusahakan dengan peralatan modern, juga dapat dijalankan dengan peralatan sederhana/tradisional. Berdasarkan skala usaha, industri pengolahan kerupuk ikan dan udang dapat dilakukan oleh skala usaha besar, menengah, kecil, maupun mikro. Perbedaan utama dari skala usaha tersebut adalah pada teknologi dan pangsa pasarnya. Perusahaan skala usaha besar dan menengah, dalam proses produksinya menggunakan peralatan dengan teknologi modern dan semi modern dengan pangsa pasar tersebar baik di daerah lokal maupun daerah lain bahkan ekspor.
9
Berbeda dengan perusahaan skala usaha kecil dan mikro, sebaian besar menggunakan peralatan dengan teknologi sederhana/tradisional dan pangsa pasar yang masih terbatas pada pasar lokal. Bank Indonesia (2007) menyatakan bahwa dilihat dari aspek ekonomi, usaha pengolahan kerupuk ikan dan udang merupakan bisnis yang menguntungkan. Peluang pasar dalam negeri, maupun ekspor untuk komoditi ini masih sangat terbuka. Hal ini dikarenakan kerupuk ikan dan udang merupakan konsumsi seharihari masyarakat, sehingga permintaan untuk kerupuk ikan dan udang relatif stabil bahkan cenderung mengalami peningkatan. Selain mampu meningkatkan pendapatan bagi pengusaha, usaha ini juga mampu membantu meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar yang akhirnya berpengaruh pada perekonomian daerah. Usaha pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu dilihat dari aspek sosial, mempunyai dampak sosial yang positif. UKM sentra industri ini mampu menyerap tenaga kerja dari lingkungan sekitar unit pengolahan. Secara tidak langsung, hal ini merupakan upaya penciptaan lapangan kerja yang mengurangi jumlah pengangguran di wilayah Indramayu. Seiring dengan perkembangan usahanya, UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu banyak mengalami permasalahan sehingga mengakibatkan daya saingnya rendah. Permasalahan yang sering dijumpai adalah penurunan produksi kerupuk pada saat musim hujan, ditambah dengan keterbatasan modal usaha, teknologi, dan akses pasar merupakan kelemahan yang mendasar. Kondisi tersebut, selaras dengan beberapa hasil kajian atau penelitian. Hasil kajian BPS (2008) mengemukakan, permasalahan UKM yaitu masih rendahnya produktivitas karena tingkat keterampilan dan teknologi yang digunakan pada keseluruhan proses usaha masih sederhana. Kemeneg Kop dan UKM (2004) menyatakan, hambatan yang selalu membelenggu kemajuan UKM adalah lemahnya kemampuan untuk mengelola dan mengakses ke berbagai sumber daya produktif (sumber informasi, pangsa pasar, penguasaan dan pemanfaatan teknologi, dan mengembangkan organisasi dan manajemen).
10
Persoalan yang dihadapi UKM menurut Riyadi (2001) antara lain 1) rendahnya produktivitas, sumber daya manusia dan manajemen yang belum profesional, kurang tanggap terhadap perubahan teknologi dan kurangnya permodalan; dan 2) akses pasar yang belum memadai, termasuk di dalamnya jaringan distribusi yang berfungsi sebagai jalur pemasaran belum berjalan efisien. Supraptini (2011) menyatakan, bahwa UKM menghadapi permasalahan dalam membangun kemampuan inovasi karena penguasaan keterampilan dan adopsi teknologi yang kurang memadai bagi efektivitas dan efisiensi proses bisnisnya. Kelemahan substansial yang dimiliki adalah proses pembelajaran dalam mengadopsi keterampilan dan teknologi baru. Sebagian persoalan tersebut, sebenarnya tidak terlepas dari kendala internal yang dihadapi. Terbatasnya kompetensi sumber daya manusia, akses permodalan, dan teknologi merupakan kelemahan utama. Berdasarkan hasil pengamatan Hoesada (2008), terdapat beberapa hal yang menghambat pembinaan UKM di Indonesia. Penghambat yang dialami UKM umumnya bersifat internal, yaitu kualitas sumber daya manusia yang masih rendah, kelemahan dalam struktur permodalan, dan kelemahan dalam mengakses permodalan, termasuk dalam manajemen modal kerja. Dalam rangka menghadapi permasalahan tersebut dan untuk meningkatkan daya saing melalui sumber daya yang dimilikinya, maka UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu perlu membuat strategi pengembangan yang komprehensif, integratif, dan fleksibel agar mampu bertahan dalam memenangkan persaingan usaha di masa yang akan datang. Dunia usaha saat ini, menghadapi lingkungan persaingan yang sangat kompleks dan sangat bergejolak yang digambarkan sebagai lingkungan di mana produk baru, teknologi baru, dan pesaing baru secara konstan mengancam stabilitas pasar (Hooley et al. 2000). Kondisi persaingan seperti ini, pelanggan sangat menuntut untuk memperoleh tingkat kualitas yang tinggi dengan harga murah. Selanjutnya, pengusaha dituntut untuk mengembangkan orientasi pasar agar dapat bertahan dalam lingkungan yang dinamis dan bergejolak tersebut. Perkembangan dunia usaha dalam bidang perusahaan industri yang berubah dengan cepat, memerlukan metode perencanaan strategis yang memberikan
11
perhatian besar dalam mengantisipasi berbagai perubahan yang terjadi di masa depan. Penerapan perencanaan strategis merupakan suatu kebutuhan yang mendesak dan harus dilaksanakan semaksimal mungkin, mengingat lingkungan juga selalu berubah dan masa depan kian sulit diprediksikan. Berdasarkan kondisi tersebut di atas, maka saat ini dan di masa depan pengembangan UKM dalam rangka mendukung daya saing menjadi sesuatu yang sangat penting bagi UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu. Daya saing sendiri adalah suatu konsep yang merujuk pada komitmen terhadap persaingan pasar dalam kasus perusahaan atau industri, dan keberhasilan dalam persaingan internasional dalam kasus negara atau daerah. Menurut Meso dan Smith (2000), diacu dalam Fitriati (2012) dalam kasus perusahaan, daya saing sering digunakan sebagai aset strategik yang menghalangi perusahaan lain untuk dapat memasuki pasar dengan produk atau keunggulan yang sama. Pada level perusahaan, daya saing dapat dilihat berdasarkan (1) pandangan berbasis pasar atau market based view (MBV); dan (2) pandangan berbasis sumber daya atau resource based view (RBV). Perspektif MBV dan RBV ini, merujuk pada keunggulan kompetitif berkelanjutan bagi perusahaan (Roquebert et al. 1996, Makhija 2003, diacu dalam Fitriati 2012). Pemaknaan daya saing pada tiap tingkatan, saling terkait secara erat. Selanjutnya, penelitian ini menggunakan pendekatan riset tindakan (action research) berbasis soft system methodology (SSM) yang melihat fakta lapangan (real world) sebagai sistem yang terdiri dari sub sistem yang saling berhubungan satu sama lain (interconnected dan interrelated). Checkland (1988) menyatakan, SSM merupakan alat untuk mengamati fakta lapangan yang tidak beraturan (messy), rumit (complex), misterius, dan holons, dan kemudian menganalisa, serta membuat kesimpulan terhadap apa yang diamati. Holon itu sendiri merupakan serba sistem aktivitas manusia (human activity systems), yang ditentukan sebagai cara yang membuat mereka menemukan karakteristik dari keseluruhan yang dikembangkan melalui berpikir serba sistem (system thinking). Pendekatan yang melihat fakta lapangan sebagai sistem, menjelaskan bahwa kehadiran berbagai sistem/subsistem dalam fakta lapangan, terbentuk karena aktor-aktor yang saling berinteraksi dalam fakta lapangan,
12
memiliki tentang berpikir serba sistem sendiri, yang selanjutnya pemikiran serba sistem aktor-aktor membuat fakta lapangan yang holon(s), rumit, dan misterius tersebut. Checkland (1981) menyatakan, bahwa dengan mencoba menjelaskan fakta lapangan melalui berpikir serba sistem aktor-aktor yang saling berinteraksi, pendekatan SSM mencoba menawarkan suatu pendekatan yang dapat menangkap hal-hal yang bersifat tidak terstruktur (soft ill structured). Selanjutnya, Checkland dan Poulter (2006) menyebutnya sebagai ‘pertarungan’ sudut pandang (clashes of world view). Sehubungan hal tersebut, maka fakta lapangan tidak dapat disederhanakan dalam variabel, dimensi, maupun indikator. Mengingat fakta lapangan yang tidak beraturan, rumit, holons, mengandung juga hal-hal yang bersifat tidak terstruktur (ill structured). Kebijakan pemerintah dalam pengembangan sektor UKM, bertujuan untuk meningkatkan potensi dan partisipasi aktif UKM di dalam proses pembangunan nasional khususnya dalam kegiatan ekonomi dalam rangka mewujudkan pemerataan pembangunan melalui perluasan kerja dan peningkatan pendapatan. Sehubungan hal tersebut, pengembangan UKM sering dianggap secara tidak langsung sebagai kebijakan penciptaan kesempatan kerja, atau kebijakan redistribusi pendapatan (Tambunan 2002, diacu dalam Djamhari 2004). Rahman (2006) menyatakan, bahwa kerangka utama dalam upaya menetapkan kebijakan pengembangan dan perkuatan UKM dapat dimulai dari upaya untuk mengidentifikasi pola dasar dalam pengembangan UKM. Bentuk tingkatan dalam kebijakan UKM yang akan berpengaruh terhadap proses operasinya sehari-hari, yaitu kebijakan pada tingkatan mikro (micro level policies), tingkatan makro (macro level policies) dan tingkatan meso (meso level policies). Identifikasi kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan ketiga pola dasar kebijakan pengembangan UKM tersebut, sangat diperlukan untuk mengetahui apa saja prioritas/fokus kebijakan pengembangan UKM yang dapat ditetapkan. Hal ini tentunya dilakukan berdasarkan kebutuhan dan fakta, serta kondisi riil yang terjadi pada UKM di Indonesia.
13
Nee (2003) mengemukakan konsep yang mengintegrasikan ketiga tataran (makro, meso, dan mikro) dalam model the new institutionalism in economics and sociology (NIES). Skema model kausal bertingkat (causal multilevel) dalam NIES, menjelaskan bahwa institusi/lembaga baru (new institutionalism) dalam sosiologi ekonomi saling berhubungan. Model NIES menunjukkan mekanisme kausal yang beroperasi di kedua arah, dari makro ke mikro dan mikro ke tingkat makro analisis. Mekanisme kausal penting dalam analisis ekonomi untuk menentukan struktur insentif organisasi dan perusahaan yang terintegrasi dengan aturan formal dan informal di level meso (organisasi) dan level mikro (kelompok sosial dan individu), sehingga setiap tataran memiliki analisis hubungan kausal yang berbeda dengan institusi yang terkait di dalamnya. Beberapa kota di Indonesia, dalam konteks daya saing pada tataran makro, meso, dan mikro ini telah menunjukkan keberhasilan karena memadukan tiga tataran tersebut. Kota Solo dan Yogyakarta yang terkenal dengan kota pariwisata dan budaya. Kota Jember terkenal dengan keberhasilan bidang fashion dan kota karnaval kelas dunia. Kota Surabaya terkenal dengan kota terbersih di Indonesia dan kota terbaik se-Asia Pasifik versi Citynet. Kota Cimahi telah menjadi contoh praktik terbaik kota kreatif dalam upaya meningkatkan daya saing kota dengan memadukan kerangka kelembagaan pada tiga tingkat tataran (Kompas 12/7/2012, diacu dalam Fitriati 2012). Selanjutnya praktik keberhasilan dalam memadukan tiga tataran tersebut, menginspirasi pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu, Jawa Barat.
1.2
Perumusan Masalah Provinsi Jawa Barat memiliki potensi sektor perikanan yang sangat besar,
baik perikanan darat maupun perikanan lepas pantai yang tidak hanya mencukupi untuk kebutuhan lokal, namun juga di ekspor ke luar negeri. Produksi perikanan Provinsi Jawa Barat dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, pada tahun 2010 produksi perikanan Provinsi Jawa Barat mencapai 570 000 ton, dan pada tahun 2011 meningkat hingga mencapai 700 000 ton atau mengalami peningkatan sebesar 22.8 persen (Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat 2012).
14
Peningkatan jumlah produksi perikanan Provinsi Jawa Barat yang terus meningkat ini, merupakan suatu keunggulan tersendiri bagi Provinsi Jawa Barat. Produksi perikanan Provinsi Jawa Barat berkontribusi untuk produksi nasional, sehingga sejalan dengan visi Kementrian Kelautan dan Perikanan yaitu “Indonesia Penghasil Produk Kelautan dan Perikanan Terbesar Tahun 2015”. Salah satu daerah potensial di Provinsi Jawa Barat adalah Kabupaten Indramayu. Menurut Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu (2012), Kabupaten Indramayu sebagai daerah pantai utara Jawa dengan panjang pantai 114 km2 memiliki potensi yang besar di bidang perikanan, baik itu perikanan budidaya ataupun perikanan tangkap yang didapatkan dari sumber daya lautnya. Produksi perikanan tangkap Kabupaten Indramayu tahun 2011 sebesar 107 000 ton per tahun atau senilai Rp329 504 279 200.00, sementara untuk total tambak memiliki luas 22 514.07 ha dengan komoditas unggulan meliputi udang, bandeng, dan rumput laut. Pada tahun 2011 jumlah produksi yang dihasilkan oleh tambak ini cukup besar, yaitu sebanyak 101 454 ton per tahun. Jumlah produksi ini sendiri meningkat cukup signifikan bila dibandingkan dengan tahun 2010 dan 2009 yang hanya berproduksi sebanyak 82 149 ton per tahun dan 42 658 ton per tahun. Selain perikanan tangkap dan tambak, Kabupaten Indramayu juga memiliki potensi kolam dengan komoditas unggulan berupa lele dan gurame dengan keseluruhan luas lahan sebesar 533.87 ha. Potensi kolam di Kabupaten Indramayu ini, dapat berproduksi sebanyak 51 214.92 ton pada tahun 2011. Kontribusi produksi perikanan Kabupaten Indramayu pada tahun 2011 sebesar 259 668.92 ton atau 37.1 persen dari total produksi perikanan Provinsi Jawa Barat (Badan Pusat Statistik Jawa Barat 2012), merupakan produksi tertinggi dari 25 kabupaten/kota lainnya di Provinsi Jawa Barat. Produksi perikanan laut Provinsi Jawa Barat, sepertiganya berasal dari Kabupaten Indramayu yaitu mencapai 37.2 persen (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Indramayu 2012). Pengembangan industri hasil perikanan, merupakan salah satu prioritas dalam pembangunan nasional di sektor perindustrian. Industri pengolahan hasil perikanan, merupakan salah satu bagian dari agroindustri yang sangat berpeluang
15
memilki daya saing kuat dan bertahan dalam jangka waktu yang lama. Agroindustri hasil perikanan yang sudah berkembang baik dalam skala usaha besar, menengah maupun skala kecil salah satunya adalah pengolahan kerupuk ikan dan udang. Ilyas
(1979)
mengemukakan
bahwa
pengolahan
pada
hakikatnya
mempunyai fungsi untuk memaksimumkan manfaat hasil tangkapan dan budidaya, meningkatkan nilai tambah ekonomi dan memperpanjang daya tahan simpanan, serta mendiversifikasikan kegiatan dan komoditas yang dihasilkan sehingga sangat berpengaruh terhadap keadaan sosial ekonomi nelayan, pembudidaya, maupun pedagang/pemasar. Posisi pada sembilan bahan pokok, olahan ikan juga berperan sangat besar dalam masalah gizi dan kesehatan masyarakat, disamping sumbangannya bagi pendapatan devisa negara. Kerupuk ikan dan udang merupakan produk agribisnis yang dijadikan sebagai salah satu produk unggulan Kabupaten Indramayu, dan sampai saat ini masih terus berkembang. Usaha pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu ini termasuk ke dalam skala UKM dan banyak tersebar di wilayah sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Desa Kenanga Blok Dukuh, Kecamatan Sindang, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Desa Kenanga, sebagai salah satu penghasil kerupuk ikan dan udang terbesar di Indramayu. Pada tahun 2011 menghasilkan total produksi kerupuk ikan dan udang sebesar 10051240 ton per bulan dengan nilai produksi Rp20 milyar-Rp25 milyar per bulan) atau 40-50 ton per hari (dengan nilai produksi Rp800 juta-Rp1 milyar per hari) yang dihasilkan dari 34 unit usaha pengolahan kerupuk dengan didukung tenaga kerja sebanyak 1597 orang. Hasil produk UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Desa Kenanga, selain dijual langsung kepada konsumen juga dipasarkan melalui agen dan pedagang di wilayah Indramayu, Cirebon, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Solo, Sidoarjo, Surabaya, DKI Jakarta, Medan, Banjarmasin, dan lainlain. Sayangnya meski menjadi sentra penghasil kerupuk ikan dan udang terbesar, ternyata belum mampu mendongkrak popularitas Indramayu layaknya kerupuk ikan dan udang Cirebon dan Sidoarjo. Hal tersebut dikarenakan sebagian dari
16
kerupuk ikan dan udang yang dihasilkan Kabupaten Indramayu, masih dijual tanpa merek dan kemasan. Kendala dan permasalahan lain yang sering terjadi pada UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu antara lain penurunan produksi kerupuk pada saat musim hujan, ditambah dengan keterbatasan modal usaha, teknologi, dan akses pasar merupakan kelemahan yang mendasar sehingga daya saingnya rendah. Dalam kaitannya dengan daya saing UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu, belum ditemukan penelitian yang mencoba mengembangkan UKM menggunakan tiga tingkat tataran kelembagaan makro, meso, dan mikro yang berpijak pada NIES sebagai basis analisis, dan menggunakan SSM berdasarkan riset tindakan (based action research) sebagai metodologinya. Berdasarkan kondisi tersebut, maka saat ini dan di masa depan pengembangan UKM menuju daya saing menjadi sangat penting bagi UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu dalam tataran makro, meso, dan mikro. Selanjutnya, permasalahan utama yang dapat diidentifikasi adalah: 1) Apa saja permasalahan utama yang terjadi pada UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu? 2) Bagaimanakah kerangka kelembagaan pada UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu dalam tataran makro, meso, dan mikro? 3) Strategi apakah yang dapat dilakukan untuk pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka secara
umum penelitian ini bertujuan untuk merumuskan alternatif kebijakan pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu dengan pendekatan SSM dan NIES. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Merumuskan permasalahan utama yang terjadi pada UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu.
17
2) Memformulasikan kerangka kelembagaan pada UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu. 3) Menyusun strategi pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu.
1.4
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi:
1) Masyarakat perikanan, mengenai gambaran UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu dan strategi pengembangannya. 2) Para pembuat kebijakan perikanan terutama pemerintah, dalam menentukan kebijakan pengelolaan sumber daya perikanan tangkap dan strategi pengembangan UKM industri pengolahan hasil perikanan. 3) Dunia usaha terutama UKM industri pengolahan hasil perikanan, dalam mengembangkan usaha agar memiliki daya saing. 4) Penelitian
selanjutnya,
sebagai
rujukan
dalam
penyusunan
strategi
pengembangan UKM sejenis.
1.5
Batasan Masalah Penelitian ini menggunakan beberapa batasan masalah untuk menghindari
adanya perbedaan penafsiran terhadap konsep-konsep yang terdapat dalam penelitian, yaitu: 1) Pengertian UKM yang digunakan UU RI No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) (1) Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/badan usaha perorangan. Kriteria usaha mikro sebagai berikut: -
Memiliki kekayaan bersih paling banyak 50 juta rupiah tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
-
Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak 300 juta rupiah.
(2) Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai,
18
atau menjadi bagian baik langsung maupun tak langsung dari usaha menengah atau usaha besar. Kriteria usaha kecil sebagai berikut: -
Memiliki kekayaan bersih lebih dari 50 juta rupiah sampai dengan paling banyak 500 juta rupiah tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
-
Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari 300 juta rupiah sampai dengan paling banyak 2.5 milyar rupiah.
(3) Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tak langsung dari usaha kecil atau usaha besar. Kriteria usaha menengah sebagai berikut: -
Memiliki kekayaan bersih lebih dari 500 juta rupiah sampai dengan paling banyak 10 milyar rupiah tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
-
Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari 2.5 milyar rupiah sampai dengan paling banyak 50 milyar rupiah.
2) Pengertian UKM yang digunakan (DKP 2006) yang telah ditetapkan melalui PERMEN KP No. 18/MEN/2006 sebagai berikut: Pembedaan skala usaha pengolahan hasil perikanan ditetapkan berdasarkan parameter yaitu (1) omset, (2) aset, (3) jumlah tenaga kerja, (4) status hukum dan perijinan, (5) penerapan teknologi, dan (6) teknis dan manajerial. Nilai kumulatif untuk masing-masing parameter skala usaha pengolahan hasil perikanan ditetapkan sebagai berikut: -
Usaha pengolahan hasil perikanan skala mikro memiliki nilai kumulatif parameter skala usaha antara 20-44
-
Usaha pengolahan hasil perikanan skala kecil memilki nilai kumulatif parameter skala usaha antara 45-69
-
Usaha pengolahan hasil perikanan skala menengah memiliki nilai kumulatif parameter skala usaha antara 70-89
19
3) UKM yang dipilih sebagai rujukan penelitian adalah UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Desa Kenanga Blok Dukuh, Kecamatan Sindang, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. 4) Pengertiaan pengolahan ikan/udang adalah kegiatan pengubahan bahan dasar/bahan baku (ikan/udang) menjadi suatu produk/barang jadi dengan maksud untuk dijual. 5) Pengertian kerupuk ikan/udang (Sukirno 2006) adalah kerupuk yang pembuatannya menggunakan bahan baku ikan/udang atau essence/ekstrak udang, ditambah dengan bahan tambahan lain yaitu tepung tapioka, terigu, telur, dan bumbu untuk menambah rasa lezat dan gurih serta digunakan zat pewarna/pemutih untuk memberikan warna agar lebih menarik serta ditambah bahan pengembang (baking powder). 6) Pendekatan yang digunakan SSM menurut Chekcland dan Poulter (2006), yaitu dengan tujuh prinsip proses dasar dalam pengunaan SSM. SSM dilakukan dengan pentahapan secara sistematik yang memenuhi syarat pemulihan (recoverability) dengan menjadikan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu sebagai rujukan penelitian. 7) Pilihan penelitian ini adalah SSM-based action research (Checkland 1981, Checkland dan Scholes 1990, Checkland dan Poulter 2006, Uchiyama 1999, Hardjosoekarto 2012) dengan kategori tindakan pemecahan masalah (problem solving interest) (McKay dan Marshall 2001). 8) Perubahan yang diinginkan dan mungkin dilakukan (feasible and desirable change)
dengan
mempertimbangkan
esensi
berpikir
serba
sistem
(systematically desirable), hambatan atau keterbatasan yang dapat ditemui (culturally feasible) (Flood and Jackson 1991) adalah pertimbangan di antara para peneliti, bukan pada pemilik masalah (problem owner). Peneliti terdiri dari praktisi (practioner) SSM sebagai orang pertama (first person), bersama pembimbing akademik (academic advisors) yang melakukan pemetaan masalah dan melakukan dialog untuk menghasilkan perbaikan melalui partisipasi pemangku kepentingan sebagai wujud serba sistem aktivitas manusia dengan pengalaman berbasis pengetahuan (experience based
20
knowledge) yang bergerak antara kenyataan (reality) dan sebenarnya (actuality) (Uchiyama 2009). 9) Pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu menggunakan analisa secara vertikal pada seluruh tataran dengan teori the new institutionalism in economics and sociology atau NIES (Nee 2003 dan 2005). Pada tataran mikro berfokus pada level aktor atau individual dan komunitas yaitu pelaku usaha/UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu, tataran meso berfokus pada kelembagaan dalam ruang kebijakan ekonomi yaitu Koperasi Kerupuk Mitra Industri (KKMI) Indramayu, dan Asosiasi Pengusaha Kerupuk Indramayu (APKI) dan tataran makro berfokus pada level aktor pemerintah yaitu pemerintah pusat dan pemerintah daerah Kabupaten Indramayu. Penelitian ini tidak melakukan kritisi terhadap teori NIES, dan juga tidak menganalisa secara horisontal pada tiap tataran.
1.6
Kerangka Pemikiran Tujuan dan strategi yang dijalankan UKM sentra industri pengolahan
kerupuk ikan dan udang di Indramayu menjadi awal dari kerangka pemikiran dalam disertasi ini. Tujuan menggambarkan kondisi di masa akan datang yang ingin dicapai UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu, berisi pemikiran tentang cara-cara yang diperlukan untuk mencapai keberhasilan tersebut. Tujuan dan strategi yang dijalankan sangat mempengaruhi pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu. Saat ini dalam menghadapi persaingan industri, suatu perusahaan dituntut untuk memiliki daya saing yang lebih baik dari perusahaan lainnya, namun tidak semua perusahaan memiliki daya saing tersebut. Miller (1983), diacu dalam Widjajani danYudoko (2008) menyatakan bahwa untuk dapat mengidentifikasi, mengembangkan
dan
mendayagunakan
sumber
daya
strategisnya
guna
memperoleh keunggulan kompetitif atau daya saing, suatu perusahaan harus memiliki sifat kewirausahaan (entrepreneurial), yaitu kecenderungan untuk menghadapi risiko, inovasi dan sikap proaktif (Gambar 1).
21
Pemasok bahan baku di dalam sentra
Pemasok bahan baku di luar sentra
Konsumen akhir
Lembaga/ Asosiasi/ Perusahaan
Pedagang perantara Pemilik Usaha Kompetensi entrepreneurial yang dimiliki
Pengolah
Usaha manufaktur produk inti pesaing
Sumber: Miller (1983), diacu dalam Widjajani dan Yudoko (2008)
Gambar 1 Kapabilitas atau kompetensi entrepreneurial.
Sehubungan UKM dikarekterisasi dengan manajemen satu orang yaitu pemiliknya, maka sumber daya atau kapabilitas yang dimiliki pemilik suatu UKM haruslah kapabilitas yang bersifat kewirausahaan yaitu yang disebut sebagai kapabilitas atau kompetensi kewirausahaan. Selanjutnya, melalui penggunaan konsep teori berbasis sumber daya (resource based view atau RBV), keunggulan kompetitif atau daya saing di UKM dapat diciptakan jika pemilik UKM dapat mendayagunakan kompetensi kewirausahaan (entrepreneurial) yang dimilikinya sebagai sumber daya strategis. Proses penciptaan produk merupakan hasil dari proses penyatuan berbagai sumber daya yang dimiliki oleh perusahaan, tetapi satu sumber daya bisa pula menghasilkan berbagai macam produk. Produk yang memiliki nilai tinggi akan seketika disaingi atau diduplikat oleh pesaing, dikarenakan produk salah satunya dihasilkan dari sumber daya perusahaan, maka perusahaan berkewajiban untuk menjaga dan mengembangkan seluruh sumber daya, mencegah pesaing memiliki sumber daya tersebut, serta mencegah pesaing memiliki sumber daya pengganti yang dapat menciptakan keunggulan kompetitif dari pesaing (competitive advantage of competitor). Produk yang ditawarkan kepada pasar merupakan kemampuan dari perusahaan dalam mengoperasionalkan segala sumber daya yang dimilikinya, dimana harga merupakan hasil perbandingan antara biaya produksi dengan nilai yang tertanam di dalamnya (Gambar 2).
22
Mengintegrasikan pengetahuan khusus
Nilai Kapabilitas penciptaan & evaluasi
Kapabilitas mengopera sionalkan
Harga
Kapabilitas dinamik
Biaya
Kapabilitas antar perusahaan, replikasi & imitasi
Sumber: David dan Tammy (2008)
Gambar 2 Persaingan industri dalam menciptakan sumber daya dan kapabilitas.
Pesaing akan selalu berusaha untuk menyaingi kapabilitas yang ada untuk mendapatkan keunggulan kompetitif yang berkelanjutan, maka perusahaan perlu menyadari bahwa Pertama, kapabilitas bersifat dinamik. Kedua, perusahaan harus mampu mengintegrasikan pengetahuan yang ada. Ketiga, sumber daya yang dimiliki akan ditiru oleh pesaing untuk mendapatkan keunggulan kompetitif yang perusahaan miliki. Adanya usaha meniru oleh pesaing maka perusahaan perlu untuk terus mengembangkan sumber daya dan kapabilitas yang ada agar keunggulan kompetitif hanya dapat dinikmati oleh perusahaan dan bukan dinikmati oleh pesaing (David & Tammy 2008). Keunggulan kompetitif dari sumber daya yang dimilikinya agar dapat dinikmati, maka perusahaan perlu untuk melakukan penelitian agar produk yang ada dapat dikembangkan menjadi suatu produk yang memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan pesaingnya dalam jangka waktu yang lama. Gambar 3 menunjukkan bahwa “zero order or operational capabilities” adalah kondisi dimana suatu perusahaan berada dalam kondisi telah menghasilkan dan menjual produk yang didasari sumber daya perusahaan (firm resources) baik sumber daya yang berwujud (tangible) maupun tidak berwujud (intangible) dalam skala dan pelanggan yang sama (Barney & Arikan 2001). Keunggulan kompetitif tidak dapat selamanya dinikmati jika perusahaan tidak terus mengembangkan sumber daya dan kapabilitasnya, hal ini disebabkan
23
bahwa pesaing akan mengambil, menduplikat, atau mendapatkan substitute resource yang perusahaan miliki dan atau melakukan duplikasi. Menurut Barney dan Arikan (2001), agar dapat menikmati keunggulan kompetitif dalam jangka waktu yang lama, maka pada tahap “1st order or change capabilities” perusahaan sangat perlu untuk terus melakukan pengembangan sumber daya agar pesaing tidak dapat menikmati sumber daya/mengantisipasi pesaing memiliki sumber daya pengganti.
1st order or change capabilities Zero order or Operational Capabilities
Knowledge
Skills
Routines
Experience
Firm Characteristics
Sumber: Barney & Arikan (2001)
Gambar 3 Sumber daya, kapabilitas, dan daya saing.
Situasi persaingan industri saat ini, pesaing akan selalu mencari tahu sumber daya apa saja yang dimiliki oleh perusahaan dan melakukan tindakan untuk menyaingi atau bahkan melebihi sumber daya yang ada untuk menciptakan keunggulan kompetitif yang lebih baik. Gambar 4 menunjukkan bahwa terdapat dua macam sumber daya, yaitu resource heterogeneous and immobility dan resource homogeneous and mobility dan tidak semuanya sumber daya berguna bagi perusahaan, agar perusahaan mencapai firm capability yang maksimal maka perusahaan perlu untuk lebih menfokuskan diri pada resource heterogeneous and immobility. Hal efektifitas
pada
ini
guna
memberikan
efisiensi dan
saat pengimplementasian strategi yang dikembangkan oleh
perusahaan. Keunggulan kompetitif agar tidak dapat dinikmati oleh pesaing, maka perusahaan perlu untuk melakukan tindakan yang dapat menghambat pesaing memanfaatkan sumber daya yang ada dan atau menghambat pesaing tidak
24
memiliki sumber daya pengganti. Lockett et al. (2009) menyatakan bahwa untuk menghambat pesaing, maka sumber daya yang dimiliki perusahaan harus terus menerus dikembangkan dan memiliki sifat VRIN (valuable, rare, immitability, not substitute) dalam usaha firm agar dapat menikmati keunggulan kompetitif dalam jangka waktu yang lama. Perusahaan tidak selamanya perlu untuk mengcreate
resource,
perusahaan
memiliki
opsi
untuk
melakukan
re-
combination resources. Resource Homogeneous and Mobility
Valuable Resource can not immitable if firm create barriers and Immobility
Rare
Resource Heterogeneous and Immobility
Immitability
VRIN Not Substitute
focus on it
Barriers from Competitors
Tangible & Intangible
Resource imitation or duplication
Creation & Decay
Create Resource Substitute
Firm Capability
Resource Competitor Competitive Advantage
Integrating specialized knowledge
Firm Performance
Dynamic Capabilities Capability Creation & Evaluation
Operational Capabilities (Value-Cost-Price)
Industry Competition
Intrafirm Capability Replication & Immititation
Competitive AdvantageCompetitors
Firm PerformanceCompetitors
Sumber: Lockett et al. (2009)
Gambar 4 Framework antara firm dengan pesaing.
Firm CapabilityCompetitors
25
Sumber daya yang valuable resource, berarti sumber daya yang dapat memberikan kontribusi pada perusahaan dalam rangka menciptakan firm capability yang baik. Rare resource adalah bagaimana sumber daya yang dimiliki tidak dengan mudah diperoleh oleh pesaing, sedangkan immitability resource adalah bagaimana caranya agar sumber daya yang dimiliki tidak mudah dan atau tidak dapat diduplikasi oleh pesaing. Terakhir adalah not substitutable resource yaitu bagaimana caranya agar pesaing tidak menemukan dan atau tidak dapat dengan mudah mendapatkan substitute resource, walaupun tentunya pada prakteknya akan sangat sulit mencegah pesaing mendapatkan substitute resource dan atau menduplikasi sumber daya yang dimiliki perusahaan (Lockett et al. 2009). Menurut Lockett et al. (2009), dikarenakan sifat sumber daya yang sangat beragam, maka perusahaan perlu untuk benar-benar memberikan tingkat focus yang lebih tinggi pada sumber daya yang benar-benar dapat memberikan keunggulan kompetitif bagi perusahaan pada saat sekarang dan pada masa yang akan datang. Perusahaan apabila berhasil menghambat pesaingnya untuk ikut menikmati dan atau menduplikasi sumber daya yang dimiliki ditunjang dengan perbandingan nilai (value), biaya (cost), harga (price) yang ditawarkan kepada pasar, maka perusahaan akan memiliki firm capability yang dapat menciptakan keunggulan kompetitif dibandingkan pesaing yang mana keunggulan kompetitif dapat memberikan firm superior performance. Lawrence dan Lorsch (1967), diacu dalam Muafi (2008) menyatakan bahwa perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkungan sangat dinamis. Pengaruh perubahan tersebut sangat besar terhadap aktivitas-aktivitas organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran organisasi yang telah ditetapkan (Scott 1995, diacu dalam Muafi 2008). Menurut Lee (2008), sehingga kemampuan organisasi yang tanggap terhadap peluang dan ancaman yang dihadapi organisasi sangat diperlukan untuk mempertahankan keberadaan dan mengembangkan organisasi. Kenyataan bahwa fakta lapangan (real world) UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu adalah serba sistem aktivitas manusia yang bersifat misterius, kompleks, rumit (messy), terus berubah, terus dikreasi dan dikreasikan kembali oleh pikiran, pembicaraan, dan tindakan orang-
26
orang yang memiliki aktivitas yang punya maksud dan memiliki sudut pandang (worldview) yang berbeda-beda (Checkland & Poulter 2006). Adanya situasi problematik
yang
perlu
ditingkatkan
atau
diperbaiki
tersebut,
maka
pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu pada tataran makro, meso, dan mikro akan dilakukan dengan menggunakan pendekatan soft system methodology (SSM) dengan tujuh prinsip proses dasar dalam pengunaan SSM (Checkland & Poulter 2006) dan konsep Nee (2003) yang mengintegrasikan ketiga tataran (makro, meso, dan mikro) dalam model the new institutionalisms in economics sociology (NIES) oleh Nee (2003). Langkah-langkah terstruktur dalam penelitian ini, dilakukan sebagai acuan sehingga penelitian dapat berjalan secara sistematis sesuai dengan tujuan penelitian. Berdasarkan pilihan theoretical research interest (McKay dan Marshall 2001) untuk pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu pada tataran makro, meso, dan mikro, maka akan dihubungkan secara bertingkat antara satu tataran dengan tataran lainnya. Penelitian dilakukan melalui beberapa tahapan analisis dan proses pemulihan (recoverability), bukan pengulangan (repeatability) seperti pada pendekatan kuantitatif (Checkland 2006). Pada tahap pertama yaitu melakukan identifikasi permasalahan yang tidak terstruktur, kemudian tahap kedua menyusun situasi permasalahan (rich picture) dan tahap ketiga menyusun definisi permasalahan (root definitions), dilanjutkan tahap keempat membuat model konseptual, tahap kelima membandingkan model konseptual dengan fakta lapangan (real word), tahap keenam menentukan perubahan yang diinginkan, dan tahap ketujuh melakukan langkah tindakan untuk perbaikan. Tahap satu, tahap dua, dan tahap lima termasuk dalam tahap pencarian (finding out), tahap tiga dan tahap empat termasuk dalam tahap berpikir sistem (system thinking), terakhir tahap enam dan tahap tujuh termasuk dalam tahap mengambil tindakan (taking action). Siklus ini akan berulang apabila ditemukan hal-hal yang dipandang perlu diperbaiki ataupun ditingkatkan kualitasnya. Berdasarkan hasil SSM didapatkan rekomendasi pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu dalam tataran makro, meso, dan mikro. Adapun kerangka pemikiran penelitian UKM sentra
27
industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu, dapat dilihat pada Gambar 5. Identifikasi Masalah
Analisis Soft System Methodology (SSM)
Tataran Makro: Pemerintah Pusat dan Daerah
Tataran Meso: Koperasi dan Asosiasi Tataran Mikro: Pelaku Usaha/UKM
Rekomendasi Strategi dalam Tataran Makro, Meso, dan Mikro
Pengembangan UKM Sentra Industri Pengolahan Kerupuk Ikan dan Udang di Indramayu
Gambar 5 Kerangka berpikir penelitian dengan pendekatan SSM.
1.7
Kebaruan (Novelty) Kebaruan dari penelitian ini adalah kerangka kelembagaan yang bersinergi
pada tataran makro, meso, dan mikro dalam rangka meningkatkan daya saing UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu, Jawa Barat.
2 2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Usaha Kecil dan Menengah (UKM)
2.1.1 Definisi dan kriteria UKM Definisi UKM memiliki berbagai batasan, yang didasarkan pada jumlah pekerja dan harta yang dimiliki. Menurut Kotelnikov (2007), bahwa “SME’s are usually that employ no more than 250 employees. The technical definition varies from country to country. But is usually based on employment, assets, or combinationof the two”. Keberadaan UKM merupakan unsur dominan dalam kegiatan ekonomi di berbagai negara, namun kontribusi dalam pendapatan nasional relatif kecil. Hal inilah yang menarik perhatian bagi keseluruhan pihak yang berkepentingan untuk mendorong peran UKM lebih maju. Pengertian UKM di Indonesia, sangat beragam sesuai dengan lembaga yang memberikan batasan. Pengertian UKM dapat dilihat dari definisi yang diberikan oleh lembaga-lembaga, antara lain: 1)
UU RI No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) (1) Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/badan usaha perorangan. Kriteria usaha mikro sebagai berikut: -
Memiliki kekayaan bersih paling banyak 50 juta rupiah tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
-
Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak 300 juta rupiah.
(2) Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tak langsung dari usaha menengah atau usaha besar. Kriteria usaha kecil sebagai berikut: -
Memiliki kekayaan bersih lebih dari 50 juta rupiah sampai dengan paling banyak 500 juta rupiah tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
30
-
Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari 300 juta rupiah sampai dengan paling banyak 2.5 milyar rupiah.
(3) Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tak langsung dari usaha kecil atau usaha besar. Kriteria usaha menengah sebagai berikut: -
Memiliki kekayaan bersih lebih dari 500 juta rupiah sampai dengan paling banyak 10 milyar rupiah tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
-
Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari 2.5 milyar rupiah sampai dengan paling banyak 50 milyar rupiah.
2)
Instruksi Presiden No. 10 Tahun 1999 tentang Pemberdayaan Usaha Menengah (1) Memiliki kekayaan bersih lebih besar dari 200 juta rupiah sampai dengan paling banyak 10 miliar rupiah, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; (2) Milik warga negara Indonesia; (3) Berdiri sendiri dan bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai dan berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha besar; (4) Berbentuk usaha orang perorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum dan atau badan usaha berbadan hukum.
3)
Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Menegkop dan UKM, SK Menegkop dan UKM No: 23/Per/M.KUKM/XI/2005 tentang Pedoman Penumbuhan dan Pengembangan Sentra Usaha Kecil dan Menengah) Usaha Kecil (UK) adalah kegiatan ekonomi rakyat berskala kecil dengan kekayaan bersih maksimal 200 juta rupiah tidak termasuk tanah dan bangunan, penjualan tahunan maksimal 1 milyar rupiah.
31
Usaha Menengah (UM) adalah kegiatan ekonomi rakyat berskala menengah dengan kekayaan bersih lebih besar dari 200 juta rupiah tidak termasuk tanah dan bangunan, penjualan tahunan maksimal 10 milyar rupiah dan milik warga negara Indonesia serta berdiri sendiri bukan merupakan anak perusahaan sesuai dengan UndangUndang Republik Indonesia No 20 Tahun 2008 tentang Usaha Kecil. 4)
Badan Pusat Statistik (BPS) Memberikan definisi UKM berdasarkan kuantitas tenaga kerja. Usaha kecil merupakan entitas usaha yang memiliki jumlah tenaga kerja 5 s.d 19 orang, sedangkan usaha menengah merupakan entitas usaha yang memiliki tenaga kerja 20 s.d 99 orang.
5)
Departemen Perindustrian (Peraturan Menteri Perindustrian No. 78/M-IND/ PER/9/2007 tentang Peningkatan Efektifitas Pengembangan Industri Kecil dan Menengah melalui Pendekatan Satu Desa Satu Produk (One Village One Product-OVOP) di Sentra. (1) Industri kecil adalah kegiatan industri dengan nilai investasi perusahaan seluruhnya sampai dengan 200 juta rupiah tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; (2) Industri menengah adalah kegiatan industri dengan nilai investasi perusahaan seluruhnya di atas 200 juta rupiah sampai dengan paling banyak 10 milyar rupiah tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
6)
Departemen Keuangan (Peraturan Menteri Keuangan No. 12/PMK.06/2005 tentang Pendanaan Kredit Usaha Mikro dan Kecil) (1) Usaha Mikro: -
Usaha produktif milik keluarga atau perorangan warga negara Indonesia;
-
Memiliki hasil penjualan paling banyak 100 juta rupiah per tahun.
(2) Usaha Kecil: -
Usaha produktif milik warga negara Indonesia yang berbentuk badan usaha orang perorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha berbadan hukum termasuk koperasi;
32
-
Bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha menengah atau usaha besar;
-
Memiliki kekayaan bersih paling banyak 200 juta rupiah tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan paling banyak 1 milyar rupiah per tahun.
7)
Bank Indonesia (Peraturan Bank Indonesia No. 7/39/PBI/2005 tentang Pemberian Bantuan Teknis dalam rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah) Usaha Mikro, Kecil dan Menengah yang selanjutnya disebut UMKM adalah usaha-usaha yang memenuhi kriteria sebagai berikut: (1) Usaha Mikro adalah usaha produktif milik keluarga atau perorangan Warga Negara Indonesia, secara individu atau tergabung dalam koperasi dan memiliki hasil penjualan secara individu paling banyak 100 juta rupiah per tahun. (2) Usaha Kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria sebagai berikut: -
memiliki kekayaan bersih paling banyak 200 juta rupiah, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
-
memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak 1 milyar rupiah;
-
milik warga negara Indonesia;
-
berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha menengah atau usaha besar;
-
berbentuk usaha perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi.
(3) Usaha Menengah adalah usaha dengan kriteria sebagai berikut : -
memiliki kekayaan bersih lebih besar dari 200 juta rupiah sampai dengan paling banyak 10 milyar rupiah, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha;
-
milik warga negara Indonesia;
33
-
berdiri sendiri dan bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha besar;
-
berbentuk usaha orang perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum atau badan usaha yang berbadan hukum.
8)
Departemen Kelautan dan Perikanan (Permen KP No.18/MEN/2006 tanggal 14 Agustus 2006 tentang Skala Usaha Pengolahan Hasil Perikanan) Perbedaan skala usaha pengolahan hasil perikanan ditetapkan berdasarkan parameter (Tabel 2). (1) Omset adalah total volume produksi hasil olahan dikali harga satuan dalam satu tahun (dalam rupiah); (2) Aset adalah kekayaan produktif di luar bangunan dan tanah yang dikonversi dalam rupiah; (3) Jumlah tenaga kerja adalah jumlah karyawan yang terlibat dalam satu unit usaha pengolahan ikan (UPI) selain pemilik, baik tenaga kerja tetap maupun harian/borongan; (4) Status hukum dan perijinan adalah legalitas yang diperoleh suatu unit usaha pengolahan ikan, baik badan hukum maupun perizinan usaha lain; (5) Penerapan teknologi adalah jenis dan tingkatan peralatan produksi yang digunakan oleh unit usaha pengolahan perikanan: -
manual yaitu penerapan teknologi proses produksi unit usaha pengolahan ikan yang sebagian besar menggunakan tenaga manusia;
-
semi mekanik yaitu penerapan teknologi proses produksi unit usaha pengolahan ikan yang sebagian menggunakan mesin;
-
mekanik yaitu penerapan teknologi proses produksi unit usaha pengolahan ikan yang sebagian besar menggunakan mesin.
(6) Teknis dan manajerial adalah kemampuan pengelolaan suatu unit usaha dari aspek produksi pengolahan hasil perikanan untuk memenuhi kriteria sertifikasi: -
UPI yang belum memiliki SKP adalah UPI yang dalam operasional usaha pengolahan ikan belum atau sudah menerapkan dan memenuhi
34
persyaratan kelayakan dasar, tetapi belum dilakukan penilikan oleh petugas pengawas mutu yang ditunjuk oleh competent authority; -
SKP adalah surat keterangan yang dikeluarkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan cq Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan yang menerangkan, bahwa UPI telah memenuhi persyaratan kelayakan dasar yang ditentukan;
-
Sertifikat Program Manajemen Mutu Terpadu (PMMT) adalah surat keterangan yang dikeluarkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan cq Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan selaku competent authority yang menerangkan, bahwa UPI telah memenuhi persyaratan dalam bentuk tanggung jawab, prosedur, proses, dan sumber daya organisasi untuk menerapkan PMMT.
-
Sertifikat Program Manajemen Mutu Terpadu (PMMT) adalah surat keterangan yang dikeluarkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan cq Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan selaku competent authority yang menerangkan, bahwa UPI telah memenuhi persyaratan dalam bentuk tanggung jawab, prosedur, proses, dan sumber daya organisasi untuk menerapkan PMMT.
Nilai kumulatif untuk masing-masing parameter skala usaha pengolahan hasil perikanan ditetapkan sebagai berikut: (1) Usaha pengolahan hasil perikanan skala mikro memiliki nilai kumulatif parameter skala usaha antara 20-44. (2) Usaha pengolahan hasil perikanan skala kecil memilki nilai kumulatif parameter skala usaha antara 45-69. (3) Usaha pengolahan hasil perikanan skala menengah memiliki nilai kumulatif parameter skala usaha antara 70-89. (4) Usaha pengolahan hasil perikanan skala besar memiliki nilai kumulatif parameter skala usaha antara 90-100.
35
Tabel 2 Perhitungan nilai kumulatif parameter skala usaha PARAMETER
BOBOT (B)
INDIKATOR PARAMETER < 100 juta/thn 100 juta - 1 M/thn > 1 M - 3 M/thn > 3 M - 5 M/thn > 5 M/thn
SKALA (S)
NILAI (BXS)/5
1 2 3 4 5
5 10 15 20 25
Omset
25
-
Aset
20
- tidak dipisahkan dengan kekayaan rumah tangga, < 100 juta - 100 juta - 1 M - >1M-5M - > 5 M - 10 M - > 10 M
1
4
2 3 4 5
8 12 16 20
1 2 3 4 5
4 8 12 16 20
Jumlah tenaga kerja
20
-
< 10 orang 11 - 19 orang 20 - 49 orang 50 - 100 orang > 100 orang
Status hukum dan perijinan
10
- tidak berbadan hukum - berbadan hukum - berbadan hukum dan mempunyai izin
1 3 5
2 6 10
Penerapan teknologi
10
- manual - semi mekanik - mekanik
1 3 5
2 6 10
Teknis dan manajerial
15
- belum memiliki SKP - memiliki SKP - memiliki SKP dan Sertifikat PMMT/HACCP
1 3 5
3 9 15
Sumber: DKP ( 2006)
9)
Komite Penanggulangan Kemiskinan Nasional Pengusaha mikro adalah pemilik atau pelaku kegiatan usaha skala mikro di semua sektor ekonomi dengan kekayaan di luar tanah dan bangunan maksimum 25 juta rupiah.
Pada prinsipnya definisi dan kriteria UKM di negara-negara asing, didasarkan pada aspek-aspek 1) jumlah tenaga kerja, 2) pendapatan, dan 3) jumlah aset. Definisi dan kriteria UKM di negara-negara atau lembaga asing, sebagai berikut:
36
1)
World Bank Usaha kecil dan menengah dibagi ke dalam 3 jenis, yaitu (1) medium enterprise dengan kriteria jumlah karyawan maksimal 300 orang, pendapatan setahun hingga sejumlah $ 15 juta, dan jumlah aset hingga sejumlah $ 15 juta, (2) small enterprise dengan kriteria jumlah karyawan kurang dari 30 orang, pendapatan setahun tidak melebihi $ 3 juta, dan jumlah aset tidak melebihi $ 3 juta, dan (3) micro enterprise dengan kriteria jumlah karyawan kurang dari 10 orang, pendapatan setahun tidak melebihi $ 100 ribu, dan jumlah aset tidak melebihi $ 100 ribu.
2)
ADB Usaha mikro adalah usaha-usaha non pertanian yang mempekerjakan kurang dari 10 orang termasuk pemilik usaha dan anggota keluarga.
3)
USAID Usaha mikro adalah kegiatan bisnis yang mempekerjakan maksimal 10 orang pegawai termasuk anggota keluarga yang tidak dibayar. Kadangkala hanya melibatkan 1 orang, yaitu pemilik yang sekaligus menjadi pekerja. Kepemilikan aset dan pendapatannya terbatas.
4)
European Commision Usaha kecil dan menengah dibagi ke dalam 3 jenis, yaitu (1) medium-sized enterprise dengan kriteria jumlah karyawan kurang dari 250 orang, pendapatan setahun tidak melebihi $ 50 juta, dan jumlah aset tidak melebihi $ 50 juta, (2) small-sized enterprise dengan kriteria jumlah karyawan kurang dari 50 orang, pendapatan setahun tidak melebihi $ 10 juta, dan jumlah aset tidak melebihi $ 13 juta, dan (3) micro-sized enterprise dengan kriteria jumlah karyawan kurang dari 10 orang, pendapatan setahun tidak melebihi $ 2 juta, dan jumlah aset tidak melebihi $ 2 juta.
5)
Intenational Labour Organization (ILO) Usaha mikro di negara berkembang mempunyai karakteristik, antara lain usaha dengan maksimal 10 orang pekerja, berskala kecil, menggunakan teknologi sederhana, aset minim, kemampuan manajerial rendah, dan tidak membayar pajak.
37
6)
Singapura Usaha kecil dan menengah didefinisikan sebagai usaha yang memiliki minimal 30% pemegang saham lokal serta aset produktif tetap (fixed productive asset) di bawah SG $ 15 juta.
7)
Malaysia Usaha kecil dan menengah didefinisikan sebagai usaha yang memiliki jumlah karyawan yang bekerja penuh (full time worker) kurang dari 75 orang atau yang modal pemegang sahamnya kurang dari M $ 2.5 juta. Definisi ini dibagi menjadi dua, yaitu (1) small industry (SI) dengan kriteria jumlah karyawan 5-50 orang atau jumlah modal saham sampai sejumlah M $ 500 ribu, dan (2) medium industry (MI) dengan kriteria jumlah karyawan 50-75 orang atau jumlah modal saham sampai sejumlah M $ 500 ribu sampai M $ 2.5 juta.
8)
Jepang Usaha kecil dan menengah dibagi ke dalam: (1) mining and manufacturing, dengan kriteria jumah karyawan maksimal 300 orang atau jumlah modal saham sampai sejumlah US$2,5 juta; (2) wholesale, dengan kriteria jumlah karyawan maksimal 100 orang atau jumlah modal saham sampai US$ 840 ribu; (3) retail, dengan kriteria jumlah karyawan maksimal 54 orang atau jumlah modal saham sampai US$ 820 ribu; dan (4) service, dengan kriteria jumlah karyawan maksimal 100 orang atau jumlah modal saham sampai US$ 420 ribu.
9)
Korea Selatan Usaha kecil dan menengah didefinisikan sebagai usaha yang jumlahnya di bawah 300 orang dan jumlah asetnya kurang dari US$ 60 juta.
2.1.2 Jenis dan karakteristik dasar UKM Menurut Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, jenis UKM di Indonesia secara garis besar dikelompokkan dalam 9 sektor yaitu: 1) Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan 2) Pertambangan dan Penggalian 3) Industri Pengolahan
38
4) Listrik, Gas, dan Air Bersih 5) Bangunan/Konstruksi 6) Perdagangan, Hotel, dan Restoran 7) Pengangkutan dan Komunikasi 8) Keuangan, Real Estate dan Jasa Perusahaan 9) Jasa-jasa Komparasi karakteristik dasar UKM antara negara Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Filipina, dan Indonesia (Tabel 3), hal inilah yang menyebabkan UKM di Indonesia masih kalah bersaing dengan UKM di negara-negara lain.
Tabel 3 Perbandingan karakteristik dasar UKM antar negara No 1
Negara Jepang
Karakteristik UKM -
2
Taiwan
-
3
Korea Selatan
-
4
Filipina
-
5
Indonesia
-
Sebagai subkontraktor yang efisien dan handal bagi perusahaan yang besar Hasil learning process sebagai subkontraktor diperoleh kemampuan teknis dalam proses produksi Mempunyai efisiensi dan daya saing ekspor Dikembangkan UKM yang sangat efisien dan berdaya saing tinggi Pertumbuhan UKM disebabkan oleh kebijakan finansial melalui kredit yang disalurkan Mempunyai orientasi ekspor UKM dijadikan sebagai sub-kontraktor chaebol (konglomerat raksasa) sebagai kebijakan pemerintah Mempunyai orientasi ekspor Adanya persaingan inter nal Mempunyai export zone Mempunyai orientasi ekspor Bahan baku lokal Perubahan pola subkontrak menjadi original equipment manufacturing (OEM) Menuju industri yang high technology Rendahnya kualitas sumber daya manusia Masih lemahnya struktur kemitraan dengan usaha besar Lemahnya quality control terhadap produk Belum ada kejelasan standardisasi produk yang sesuai dengan keinginan konsumen Kesulitan dalam akses permodalan terutama dari sumber-sumber keuangan yang formal Pengetahuan tentang ekspor masih lemah Lemahnya akses pemasaran Keterbatasan teknologi, akibatnya rendahnya produktivitas, dan kualitas produk Keterbatasan bahan baku
Sumber: diolah dari berbagai sumber
39
2.2
Pengembangan UKM dengan Pendekatan Sentra (Clustering) Definisi sentra berdasarkan Surat Keputusan Menteri Negara Koperasi dan
Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia No.23/Per/M.KUKM/XI/2005 tentang Pedoman Penumbuhan dan Pengembangan Sentra Usaha Kecil dan Menengah: 1) Sentra UKM adalah pusat kegiatan bisnis di kawasan/lokasi tertentu dimana terdapat
UKM
yang
menggunakan
bahan
baku/sarana
yang sama,
menghasilkan produk yang sama/sejenis serta memiliki prospek untuk dikembangkan menjadi bagian integral dari klaster dan sebagai titik masuk (entry point) dari upaya pengembangan klaster. 2) Klasifikasi sentra UKM adalah kegiatan menilai kinerja suatu sentra UKM dalam suatu periode tertentu dengan kriteria dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia No.33.1/Kep/M.KUKM/IV/2003. 3) Sentra UKM unggulan adalah sentra UKM yang kegiatan usahanya merupakan atau berkaitan dengan produk unggulan daerah, kapasitas dan produktivitas usahanya berkembang, berperan dalam penyerapan tenaga kerja dan merupakan prioritas untuk berkembang menjadi bagian integral dari klaster. 4) Klaster adalah jaringan industri (industri inti yang menjadi fokus perhatian, industri pemasok bahan baku, bahan pembantu dan asessori, dan industri terkait yang menggunakan sumber daya yang sama dengan industri inti), pihak atau lembaga yang menghasilkan teknologi, institusi yang berperan menjembatani (misalnya konsultan) serta pembeli, yang saling terhubung dalam rantai proses peningkatan nilai. 5) Klaster bisnis adalah klaster dimana bisnis sentra UKM unggulan telah menjadi bagian integral industri inti, industri pemasok, dan atau industri terkait. Menurut DKP (2006), pengertian sentra industri pengolahan hasil perikanan merupakan kumpulan dari beberapa unit pengolahan ikan (UPI) yang berada pada posisi yang sama dalam mata rantai nilai. Definisi sentra industri pengolahan hasil perikanan, merupakan pusat kegiatan UMKM pengolahan ikan di kawasan atau
40
lokasi tertentu dalam wadah kelembagaan usaha bersama yang dikelola secara profesional. Purwadarminta (2002) menyatakan bahwa sentra adalah tempat yang terletak di tengah-tengah (bandar, dsb); titik pusat; pusat (kota, industri, pertanian, dsb); sentral. UNIDO (2001) mendefinisikan klaster sebagai konsentrasi perusahaan secara sektoral dan secara geografis yang memproduksi dan menjual serangkaian produk-produk yang berhubungan, atau produk-produk yang saling melengkapi, dan mereka menghadapi tantangan dan peluang yang sama. Porter (2001) menggunakan istilah klaster untuk menunjukkan sekelompok perusahaan yang saling terhubung (berdekatan secara geografis) dengan institusiinstitusi yang terkait dalam suatu bidang khusus, terhubung dengan kebersamaan dan saling melengkapi. Porter percaya, bahwa hubungan di dalam klaster industri lebih menguntungkan karena berdekatan. Berdasarkan definisi di atas, suatu klaster industri dapat termasuk pemasok bahan baku dan input yang spesifik atau perluasan ke hilir, ke pasar atau ke para eksportir. Sebuah klaster menurut pengertian Porter (2002) juga termasuk lembaga pemerintah, asosiasi bisnis, penyediaan jasa, dan lembaga lain yang mendukung perusahaan-perusahaan klaster, di bidang-bidang seperti pelatihan atau penelitian kejuruan lingkup geografis klaster sangat bervariasi, terentang dari satu desa saja atau jalan di daerah kota, sampai mencakup sebuah kecamatan atau provinsi. Fujita dan Thiesse (2002) menyatakan bahwa fenomena sentra/kawasan (clustering) muncul dari kajian geographical economics, dimana pengertian cluster adalah lokasi yang memiliki nilai ekonomis, karena adanya aglomerasi berbagai keterampilan yang saling terkait sehingga membentuk pola kerja sama yang saling menguntungkan. Kaitan dengan perkembangan UKM, kecenderungan pertumbuhan kawasan UKM terjadi karena munculnya tesis flexible specialization yang ditulis dari berbagai pengalaman di sentra-sentra bisnis di Eropa khususnya Italia. Dikatakan bahwa pada saat industri besar di Eropa mengalami kelesuan, justru sentra UKM berbasis tradisional di Italia mampu menghasilkan produk yang inovatif dan mengembangkan jaringan pasar sampai antar negara.
41
Pengalaman ini menunjukkan UKM memiliki fleksibilitas bentuk produksi, skala produksi, dan orientasi pasar. Kerja sama antar unit usaha mampu memberikan kemampuan dan kecepatan mengisi pasar daripada usaha besar. Perkembangan kawasan UKM di Indonesia, banyak terjadi secara alami. Kebijakan kawasan UKM yang dirancang melalui pendekatan kemitraan, baru dilakukan secara sistematis pada tahun 1974 dengan usulan program Pembinaan dan Pengembangan Industri Kecil (BIPIK) berpola hubungan bapak-anak angkat (foster parent). Pola ini terjadi hubungan sub-ordinat antara pengusaha besar dan kecil, namun demikian pengalaman menunjukkan, bahwa pola interaksi bapakanak angkat memberikan keberhasilan bagi UKM khususnya dalam hal pemindahan pengetahuan. Setelah berjalan selama 20 tahun, baru pada era reformasi dirancang kebijakan kawasan UKM oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Sebuah “Strategi Industri Nasional” pada tahun 2001 yang menekankan skema pemberdayaan UKM melalui pola kawasan dengan kerja sama yang sejajar antara UKM dengan berbagai lembaga pemerintah, swasta, bisnis, dan perguruan tinggi. Menurut Tambunan (2005), sebagian besar UKM di Indonesia berada pada posisi sub-ordinat perusahaan besar yang menguasai bidang strategis industri tertentu. Hal ini menjadikan modal pengetahuan, khususnya modal eksternal menjadi semakin penting. Strategi pengembangan UKM dapat dilakukan dengan kolaborasi kekuatan elemen-elemen yang mempengaruhi perkembangan bisnisnya pada suatu tempat yang disebut dengan sistem kawasan (clustering). Kawasan UKM terpadu merupakan salah satu proses pengembangan ekonomi dengan metode mempersatukan berbagai kekuatan industri yang saling berkaitan dalam suatu wilayah demikian dikemukakan dalam acuan dari OECD. Porter (1998), diacu dalam Hofe dan Chen (2006) mendefinisikan clustering sebagai “...geographically proximate group of interconnected enterprise and associated insititution in particular field”. Tambunan (2005) memberikan acuan pendekatan
pengembangan
industri
berbasis
kawasan
terpadu,
yaitu
pengembangan sentra-sentra industri UKM dalam suatu lingkup wilayah yang berisi berbagai proses yang saling berkaitan seperti unit produksi, unit bahan baku, sumber tenaga kerja, sumber permodalan, dan unit pemasaran.
42
Model pemberdayaan UKM melalui sistem kawasan dapat dibedakan secara vertikal maupun horizontal. Pengertiannya adalah 1) Kawasan UKM dengan pola integrasi vertikal mengacu kepada upaya untuk mendekatkan hubungan prosesproses bisnisnya. Suatu kawasan UKM terdapat kekuatan pemasok bahan baku, pemasar, saluran distribusi, sumber tenaga kerja, dan sumber pembiayaan. Kerja sama horizontal memberikan keuntungan skala ekonomis serta memungkinkan efisiensi biaya produksi dan tenaga kerja (Tambunan 2005). Lingkup dalam pengembangan pengetahuan, diperoleh proses pembelajaran bersama (collective learning process) yang dapat menjadi tempat berlangsungnya transaksi ide yang disebut dengan collective exchange and developed ideas dan mengelola pengetahuan organisasi (ADB 2001), dan 2) Kawasan UKM dengan pola integrasi horizontal mengacu kepada upaya untuk mengumpulkan bisnis UKM sejenis dalam satu kawasan sehingga memudahkan pembinaan, pemberian bantuan teknis dan permodalan, serta jaminan kebersinambungan bisnisnya. Jenis pola usaha pada suatu kawasan UKM, terdapat berbagai jenis atau satu jenis pola usaha. Jejaring horizontal memungkinkan penguatan bidang permodalan dan penyerapan teknologi. Pembentukan sentra-sentra industri UKM memberikan keuntungan pembinaan dan pengembangan, baik secara kelembagaan UKM maupun personal pelaku bisnis. Verhess dan Meulenberg (2004) mengemukakan bahwa kawasan sentra UKM memungkinkan pengembangan jaringan kerja sama antar institusi bisnis, publik, perguruan tinggi, dan perbankan (Gambar 6). Akibatnya, pelaku bisnis di sentra UKM mendapatkan berbagai kemudahan yang berkaitan dengan pembiayaan dan permodalan, produksi dan pemasaran, serta penerapan teknologi (Chrisman & Mullan 2004). Berbagai hal yang digambarkan dalam konteks pengembangan di sentra UKM, memberikan acuan perlunya pengelolaan kolektivitas dan kolegalitas dalam kawasan UKM. Pengembangan kawasan UKM berbasis kawasan terpadu banyak dijumpai di Indonesia, hampir semua provinsi mengembangkan sentra UKM dalam upaya membangun sektor bisnis non formal tersebut agar kompetitif. Secara teoritis, sentra UKM memiliki kesempatan tumbuh lebih besar dibandingkan UKM yang tidak berada di kawasan terpadu. Anglomerasi keterampilan, pengembangan
43
manajemen, sistem kualitas, dan permodalan menjadi alasan yang memudahkan kawasan terpadu lebih mudah berkembang. Selain kolektivitas internal dan eksternal, kawasan memiliki posisi penting dalam pengembangan kekuatan nilainilai strategis. Lembaga Pendukung
Perusahaan Besar
Perbankan dan Keuangan
Pemerintah Pusat dan Daerah
Klaster UKM dan jaringan internal klaster UKM
Pemasok Klaster UKM
Lembaga Diklat Teknis
Universitas
Konsultan Jasa Bisnis
Sumber: Verhess dan Meulenberg (2004)
Gambar 6 Jaringan kelembagaan dalam klaster UKM di Indonesia.
2.3
Pengolahan Kerupuk Ikan dan Udang Kerupuk ikan menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 01-2713-2009
adalah suatu produk makanan kering, yang dibuat dari tepung pati, daging ikan dengan penambahan bahan-bahan lainnya dan bahan tambahan makanan yang diizinkan. Kerupuk udang menurut SNI No. 01-2714-2009 adalah hasil olahan dari campuran yang terdiri dari udang segar, tepung tapioka, dan bahan-bahan lain yang dicetak, dikukus, diiris, dan dikeringkan. Kerupuk merupakan salah satu makanan khas Indonesia. Kerupuk biasa dikonsumsi sebagai makanan kecil, makanan selingan ataupun lauk pauk walaupun dalam jumlah yang sedikit. Kerupuk dikenal oleh semua usia maupun tingkat sosial masyarakat. Kerupuk mudah diperoleh di berbagai tempat baik di warung, supermarket maupun restoran. Kerupuk dapat dibedakan berdasarkan bahan baku dan cara pengolahannya.
44
Menurut Afrianto dan Liviawaty (2005), alur proses pengolahan kerupuk (Gambar
7)
meliputi:
penyiapan
bahan
baku,
penyiangan,
pencucian,
penggilingan, pembuatan adonan, pencampuran adonan, pelembutan adonan, pencetakan,
pengukusan,
pendinginan,
pemotongan,
penjemuran,
sortir,
pengemasan, dan penyimpanan. Ikan/udang dibersihkan, dibuang tulang dan kulitnya, dicuci kemudian dihaluskan
Tepung tapioka, garam, gula, telur dicampur
Ikan dan bumbu dicampur hingga merata Pendinginan Adonan tepung tapioka (tepung tapioka yang diberi air dingin)
Pemotongan
Pencetakan
Penjemuran
Pengukusan
Pengepakan
Sumber: Afrianto dan Liviawaty (2005)
Gambar 7 Alur proses pengolahan kerupuk.
Berdasarkan bahan bakunya, kerupuk dapat dibagi menjadi kerupuk ikan, kerupuk udang, kerupuk bawang dan jenis kerupuk lainnya sesuai dengan bahan dasar pembuatannya. Menurut cara pengolahannya kerupuk dikelompokan atas kerupuk yang digoreng dan kerupuk yang dipanggang atau dibakar. Kerupuk dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu kerupuk yang bersumber protein baik protein nabati atau hewani dan kerupuk yang tidak bersumber dari protein. Menurut Sukirno (2006), terdapat bermacam-macam jenis kerupuk yang pembuatannya menggunakan bahan baku yang berbeda-beda. Jenis kerupuk seperti namanya: kerupuk ikan merupakan kerupuk yang berbahan baku ikan; dan kerupuk udang merupakan kerupuk yang berbahan baku udang atau kerupuk yang
45
berbahan baku ikan dengan esence udang, karena bila menggunakan bahan baku udang harganya mahal. Jenis ikan yang biasa digunakan dalam pembuatan kerupuk adalah ikan remang, tenggiri, pipih, dan ikan lainnya. Bahan baku pembuatan kerupuk, selain ikan atau udang juga menggunakan bahan baku tambahan yaitu tepung tapioka, terigu, telur, dan lain-lain. Bumbu juga digunakan dalam pembuatan kerupuk ikan dan udang untuk menambah rasa lezat dan gurih, adapun bumbu yang digunakan adalah garam, gula, bawang putih, dan MSG/vetsin. Bahan tambahan lain yang juga digunakan, zat pewarna/pemutih untuk memberikan warna agar lebih menarik serta ditambah bahan pengembang (baking powder).
2.4
Daya Saing atau Competitive Advantage Daya saing atau 'kemampuan untuk besaing' tidak tumbuh dengan
sendirinya, kalaupun ada yang berusaha menumbuhkan hal itu tidak bisa dilakukan secara perorangan. Menurut Imawan (2002), dalam menumbuhkan daya saing perlu penataan secara terpola dengan format yang jelas dan khas. Porter (1994), diacu dalam Sumiharjo (2008) menyebutkan bahwa istilah daya saing sama dengan competitiveness atau competitive, sedangkan istilah keunggulan bersaing sama dengan competitive advantage. Daya saing adalah suatu konsep yang umum digunakan di dalam ekonomi, yang biasanya merujuk kepada komitmen terhadap persaingan pasar dalam kasus perusahaan, dan keberhasilan dalam persaingan internasional dalam kasus negara. Dalam dua dekade terakhir, seiring dengan semakin mengglobalnya perekonomian dunia dan persaingan bebas, daya saing telah menjadi satu dari konsep kunci bagi perusahaan termasuk UKM, negara dan daerah untuk berhasil dalam partisipasinya di dalam globalisasi dan perdagangan bebas dunia (Lengyel 2005, Marcovics 2005). Selanjutnya dengan memakai konsep daya saing, Man et al. (2002) membuat suatu model konseptual untuk menghubungkan karakteristik pemilik UKM dan kinerja jangka panjang perusahaan/UKM. Model konseptual (Man et al. 2002) untuk daya saing UKM tersebut, terdiri dari empat unsur yaitu (1) ruang lingkup daya saing perusahaan; (2) kapabilitas organisasi dari perusahaan; (3) kompetensi pengusaha/pemilik usaha; dan (4)
46
kinerja. Hubungan antara kompetensi pengusaha/pemilik usaha dan tiga unsur lainnya merupakan inti dari model tersebut, dimana hubungan tersebut merupakan tiga tugas prinsip pengusaha yaitu (1) membentuk ruang lingkup daya saing; (2) menciptakan kapabilitas organisasi; dan (3) menetapkan tujuan-tujuan dan cara mencapainya. Menurut hasil studi Man et al. (2002), ada tiga aspek penting yang mempengaruhi daya saing UKM yaitu (1) faktor-faktor internal perusahaan; (2) lingkungan eksternal; dan (3) pengaruh dari pengusaha/pemilik usaha. Menurut Tambunan (2004), dalam aspek internal ada tiga hal yang paling penting yaitu (1) SDM (pekerja dan pengusaha/pemilik usaha), (2) ketersediaan atau penguasaan teknologi, dan (3) organisasi dan manajemen. Aspek eksternal yang menyangkut kinerja perusahaan adalah volume produksi, pangsa pasar, dan orientasi pasar (melayani hanya pasar domestik atau juga pasar luar negeri), atau diversifikasi pasar (terkonsentrasi pada pasar tertentu atau menyebar ke pasar di banyak wilayah). Menurut Roquebert et al. (1996) dan Makhija (2003), konsep daya saing dapat ditinjau pada tiga tingkatan. Pertama, negara atau daerah. Kedua, industri atau kelompok industri. Ketiga, perusahaan atau firm level yang terbagi dua, yaitu 1) pandangan berbasis pasar atau market based view (MBV); dan 2) pandangan berbasis sumber daya atau resource based view (RBV). Perspektif MBV dan RBV ini merujuk pada keunggulan kompetitif berkelanjutan bagi perusahaan. Simplifikasi dari pengertian daya saing (McFetridge 1995) adalah seperti ditunjukkan pada Gambar 8. Pemaknaan daya saing pada tiap tingkatan saling terkait secara erat. Daya saing perusahaan merupakan elemen pembentuk daya saing tingkat industri, daerah atau negara. Sementara di pihak lain, berbagai kondisi dan faktor yang ada pada suatu industri, daerah atau negara membentuk konteks bagi perkembangan daya saing perusahaan dalam industri dan di wilayah yang bersangkutan.
47
Negara/Daerah
Beragam definisi ~ perbedaan keberterimaan (acceptability) oleh berbagai kalangan (misalnya akademisi, praktisi, pe mbuat kebijakan) “Pembedaan” pada beragam tingkatan: - Perusahaan (mikro): definisi yang paling “jelas” - Industri (meso): walaupun beragam, umumnya dapat dipahami: pergeseran perspektif pendekatan “sektoral” pendekatan “klaster industri” - Ekonomi (makro): dipandang sangat penting, walaupun masih sarat perdebatan dan kritik (latar belakang teori)
Mikro~Perusahaan Memiliki pengertian yang berbeda, tetapi saling berkaitan
Meso~Industri
Makro~Ekonomi
“Konteks Telaahan” (Perbandingan)/ Dimensi Teritorial/ Spasial
Kemampuan suatu perusahaan mengatasi perubahan dan persaingan pasar dalam memperbesar dan mempertahankan keuntungannya (profitabilitas), pangsa pasar, dan atau ukuran bisnisnya (skala usahanya) Kemampuan suatu industri (agregasi perusahaan ~ “sektoral” ~ “klaster industri”) menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi dari industri pesaing asingnya Kemampuan/daya tarik (attractiveness); kemampuan membentuk/menawarkan lingkungan paling produktif bagi bisnis, menarik talented people, investasi, dan mobile factors lain, dan kinerja berkelanjutan
“Tingkatan Analisis”/ Dimensi “Sektoral”
Sumber: McFetridge (1995)
Gambar 8 Simplifikasi pengertian daya saing.
2.4.1 Daya saing pada tingkat makro (daerah) Daya saing (competitiveness) merupakan salah satu kata kunci yang lekat dengan pembangunan ekonomi lokal/daerah. Daya saing daerah menjadi salah satu isu utama dalam pembangunan daerah. Konsep daya saing umumnya dikaitkan dengan kemampuan suatu perusahaan, kota, daerah, wilayah atau Negara dalam mepertahankan atau meningkatkan keunggulan kompetitif secara berkelanjutan (Porter 2000). Camagni (2002) mengungkapkan, bahwa daya saing daerah kini merupakan salah satu isu sentral terutama dalam rangka mengamankan stabilitas ketenagakerjaan, dan memanfaatkan integrasi eksternal (kecenderungan global). Beberapa hal tentang daya saing daerah:
48
Daya saing tempat (lokalitas dan daerah) merupakan kemampuan ekonomi dan masyarakat lokal (setempat) untuk memberikan peningkatan standar hidup bagi warga/penduduknya (Malecki 1999).
Daya saing merupakan kemampuan menghasilkan produk barang dan jasa yang memenuhi pengujian internasional, dan dalam saat bersamaan juga dapat memelihara tingkat pendapatan yang tinggi dan berkelanjutan, atau kemampuan daerah menghasilkan tingkat pendapatan dan kesempatan kerja yang tinggi dengan tetap terbuka terhadap persaingan eksternal (European Commission 1999).
Daya saing daerah dapat didefinisikan sebagai kemampuan para anggota konstituen dari suatu daerah untuk melakukan tindakan dalam memastikan bahwa bisnis yang berbasis di daerah tersebut menjual tingkat nilai tambah yang lebih tinggi dalam persaingan internasional, dapat dipertahankan oleh aset dan institusi di daerah tersebut, dan karenanya menyumbang pada peningkatan PDB dan distribusi kesejahteraan lebih luas dalam masyarakat, menghasilkan standar hidup yang tinggi, serta virtuous cycle dampak pembelajaran (Charles dan Benneworth 2000).
Daya saing daerah berkaitan dengan kemampuan menarik investasi asing (eksternal) dan menentukan peran produktifnya . . . . (Camagni 2002).
Daya saing perkotaan (urban competitiveness) merupakan kemampuan suatu daerah perkotaan untuk memproduksi dan memasarkan produk-produknya yang serupa dengan produk dari daerah-daerah perkotaan lainnya (Webster dan Muller 2000).
Daya saing daerah adalah kemampuan perekonomian daerah dalam mencapai pertumbuhan tingkat kesejahteraan yang tinggi dan berkelanjutan dengan tetap terbuka pada persaingan domestik dan internasional (Abdullah et al. 2002).
Penentu daya saing daerah adalah ekonomi makro (kebijakan ekonomi pusat, kebijakan daerah), ekonomi meso (kondisi sumber daya alam, infrastruktur teknis, infrastruktur ekonomi, infrastruktur sosial, kebijakan pemerintah daerah), ekonomi mikro (terkait perusahaan: ukuran perusahaan, ruang lingkup aktivitas usaha, strategi yang diterapkan oleh perusahaan, situasi ekonomi perusahaan, implementasi inovasi; dan terkait masyarakat: mobilitas
49
pasar kerja, perpindahan penduduk, kualifikasi profesional dari masyarakat) (McFetridge 1995). Gardiner et al. (2004) membuat model piramida daya saing regional dengan mencari hubungan beberapa faktor utama yang dapat membangun daya saing regional, yaitu mencakup faktor-faktor input, output dan outcome. Konsep ini diaplikasikan PPSK Bank Indonesia-LP3E FE Unpad (2008) dalam pemetaan daya saing ekonomi daerah pada 434 kabupaten/kota. Kemampuan daya saing kota yang dibentuk oleh faktor-faktor utama (input) dan kinerja perekonomian (output). Faktor-faktor utama pembentuk daya saing terdiri dari lima indikator utama, yaitu (1) lingkungan usaha produktif, (2) perekonomian daerah, (3) ketenagakerjaan dan sumber daya manusia, (4) infrastruktur, sumber daya alam dan lingkungan, (5) perbankan dan lembaga keuangan. Kinerja perekonomian (output) mencakup produktivitas tenaga kerja, tingkat kesempatan kerja, dan PDRB per kapita. Target outcome dari daya saing daerah adalah pertumbuhan yang berkelanjutan. Selanjutnya, pengembangan semangat berkompetisi adalah hal yang tidak bisa dihindari dalam praktek pemerintahan modern. Prinsip-prinsip tentang pemerintahan (reinventing government) menurut Osborne dan Gaebler (1993) sarat dengan pesan agar pemerintah menciptakan suasana kompetitif, tidak saja di kalangan masyarakat, terlebih lagi harus diciptakan di kalangan para birokrat penyelenggara pemerintahan. Kompetisi, dengan demikian, tidak hanya terjadi antara pemerintah dengan organisasi non-pemerintah. Tak kalah pentingnya kompetisi juga harus diciptakan di antara aparat pemerintah sendiri untuk memaksimalkan tiga fungsi dasar pemerintahan, yakni: pelayanan, pengaturan, dan pemberdayaan secara cepat, tepat, dan dekat kepada masyarakat. Menurut Tjokrowinoto (1996) pelaksanaan program-program pembangunan sebagai salah satu aktivitas utama pemerintahan, bergeser dari menciptakan penguasaan (dependency creating) ke arah memberikan kuasa (empowering) (Tabel 4). Perubahan itu, membuat posisi masyarakat berubah dari penonton menjadi pelaku pembangunan.
50
Tabel 4 Pilihan peran pemerintah dalam pengembangan daya saing Karakter
Dependency Creating
Empowering
Prakarsa
Pusat (ibukota negara)
Lokal (Desa, Kabupaten)
Titik awal
Rencana formal
Pemecahan masalah
Desain program
Statis, didominasi pakar
Hasil diskusi kelompok masyarakat
Teknologi
Hasil pengenalan
Asli (setempat)
Sumber dana
Dana dan teknisi pemerintah pusat
Rakyat dan SDA lokal
Kesalahan
Diabaikan
Diterima (embraced)
Organisasi pendukung
Dibina dari atas
Dibina dari bawah
Pertumbuhan
Cepat, mekanistik
Tahap demi tahap (organik)
Pembinaan personil
Prajabatan, pendidikan formal, didaktik
Berkesinambungan, berdasarkan pengalaman lapangan, belajar dari kegiatan lapangan
Diorganisir oleh
Technical specialist
Tim interdisipliner
Kepemimpinan
Terbatas, berubah-ubah posisional
Individual, kuat, berkelanjutan
Analisis
Untuk membenarkan rencana dan memenuhi persyaratan evaluasi
Untuk definisi masalah dan perbaikan program
Fokus manajemen pemerintahan
Selesainya proyek pada waktu yang telah ditentukan
Kelangsungan berfungsinya sistem dan kelembagaan
Evaluasi
Eksternal, selang-seling, impact oriented
Diri sendiri, berkesinambungan, process oriented
Sumber: Tjokrowinoto (1996)
Masyarakat sebagai pelaku tidak sekedar diharapkan mampu menciptakan aktivitas dan peluang yang diciptakannya sendiri, tetapi diharapkan pula tumbuh kebiasaan berkompetisi. Anggota masyarakat terbiasa untuk bersaing, sehingga memudahkan daerah atau negara bersaing dengan daerah atau negara lain. Dampak
dari
perubahan
ini,
terhadap
demokratisasi
penyelenggaraan
pemerintahan. Secara empirik hampir mustahil menerapkan kompetisi bebas dalam masyarakat, apalagi dalam masyarakat yang sedang dalam masa transisi dari situasi otoritarian ke arah situasi demokratis. Elemen-elemen yang ada dalam masyarakat sesungguhnya tidak berada di titik yang sama, di garis start yang sama, saat transisi mulai bergulir. Perlindungan pemerintah pusat atau daerah dalam bentuk regulasi masih diperlukan dan dibenarkan, sejauh regulasi itu tidak mengurangi "ruang bebas" yang dibutuhkan masyarakat serta melindungi mereka dari praktek monopoli maupun oligopoli (Steiner & Steiner 1994). Berdasarkan paparan pendapat Osborne dan Gaebler, Moeljarto, Steiner dan Steiner dapat disimpulkan bahwa peningkatan daya saing satu daerah dimulai
51
dengan komitmen pemerintah pusat atau daerah untuk secara serius menciptakan iklim persaingan di antara warga negara maupun antar aparatur pemerintah. Pemerintah harus mengambil porsi sedikit mungkin dalam dinamika sosial, tetapi efektif melindungi kepentingan yang paling mendasar dari masyarakat luas (Imawan 2002).
2.4.2 Daya saing pada tataran meso (industri atau kelompok industri) Analisis daya saing pada tingkat industri bermula dari teori David Ricardo tentang keunggulan komparatif, Hecksher-Ohlin (HO) tentang teori perdagangan internasional (international trade) dan kajian sejumlah pakar maupun lembaga tentang daya saing industri (OECD 1996). Hadi (2004), menurut teori David Riracdo (cost comparative advantage atau labor efficiency) didasarkan pada nilai tenaga kerja atau theory of labor value yang menyatakan bahwa nilai atau harga suatu produk ditentukan oleh jumlah waktu atau jam yang diperlukan untuk memproduksinya. Menurut teori HO, suatu daerah atau negara akan melakukan perdagangan dengan daerah atau negara lain disebabkan daerah atau negara tersebut memiliki keunggulan komparatif yaitu keunggulan dalam teknologi dan keunggulan faktor produksi Halwani (2005). Basis dari keunggulan komparatif yaitu faktor endowment (kepemilikan faktor produksi di dalam suatu daerah atau negara), dan faktor intensity (teknologi yang digunakan di dalam proses produksi, labor intensity atau capital intensity). Kajian daya saing pada tingkat industri, berkembang dalam dua perspektif arus utama. Pertama, yang memandang agregasi perusahaan dalam suatu “sektor” industri atau aktivitas ekonomi tertentu. Pandangan kedua, meletakkan industri dengan tekanan sebagai sehimpunan perusahaan dan organisasi dalam konteks rangkaian mata rantai nilai tambah. Perspektif pertama, daya saing industri merupakan daya saing rata-rata dari agregasi perusahaan dalam sektor industri tertentu. Sebagian besar ukuran daya saing pada tingkat perusahaan (profitabilitas, biaya, produktivitas) dapat dianalisis pada tingkat industri. Pandangan “sektoral” demikian juga merupakan pendekatan “klasik” yang umumnya dipahami dalam menelaah sektor-sektor ekonomi. Kedua,
52
daya saing lebih dilihat dalam konteks rantai nilai tambah yang umumnya terjadi “lintas sektor.” Tambunan (2002) menyatakan, bahwa faktor-faktor keunggulan kompetitif yang harus dimiliki oleh setiap industri untuk dapat bersaing di pasar dunia antara lain penguasaan teknologi dan peningkatan inovasi, kualitas serta mutu yang baik dari barang yang dihasilkan, memiliki jaringan bisnis di dalam dan terutama di luar negeri yang baik, dan tingkat kewirausahaan (enterpreneurship) yang tinggi.
2.4.3 Daya saing pada tataran mikro (perusahaan-firm level) Daya saing pada tataran mikro yaitu dimana perusahaan akan membuat suatu dinding penghalang, agar pesaing tidak dapat meniru daya saing yang dimilikinya. Adanya daya saing tersebut, sehingga perusahaan mampu meraih keuntungan dan manfaat dari sumber daya yang dimiliki mereka (Barney 1991) serta nilai yang lebih tinggi (value) daripada pesaingnya (Makhija 2003). Perkembangan teori daya saing telah menyajikan dua mahzab besar yaitu market based view (MBV) dan resources based view (RBV). Baik MBV maupun RBV, keduanya mengarah pada penciptaan keunggulan bersaing agar organisasi sukses menjadi value creation yang superior. Perspektif MBV yang didukung oleh Porter, daya saing dibangun atas dasar market attractiveness. Cara pandang kemampuan perusahaan dalam mengantisipasi pasar, merupakan hal yang esensial. Porter telah mengembangkan model lima kekuatan (five forces model) yang dapat digunakan sebagai pijakan didalam mengevaluasi dan merancang strategi bersaing. Ungkapan “think like your competitor’s decision makers” seakan menjadi tugas intelijen organisasi agar tidak ketinggalan berita atas apa yang telah dilakukan pesaing dan apa yang dituntut konsumen. Kompetisi dalam teori Porter ini bisa dievaluasi melalui lima kekuatan persyaratan (bargaining) antara lain potensi pendatang baru dan barang substitusi, potensi pemasok dan pembeli serta kompetisi yang timbul dalam struktur industri. Kompetensi bersaing bisnis dalam MBV, dibangun melalui cara pandang outside-in perspective. Dinamika eksternal menjadi pijakan dalam merancang strategi keunggulan bersaing. Model Porter didasarkan pada wawasan, bahwa
53
strategi perusahaan harus memenuhi peluang dan ancaman konteks lingkungan eksternal organisasi. Strategi bersaing harus berdasar pada struktur industri dan cara mereka mengelola perubahan. Porter telah mengidentifikasi lima kekuatan kompetitif yang membentuk setiap industri dan setiap pasar. Kekuatan ini menentukan intensitas persaingan, profitabilitas dan daya tarik suatu industri. Tujuan strategi perusahaan diarahkan untuk memodifikasi kekuatankekuatan kompetitif dengan cara dan teknik tertentu yang bisa meningkatkan posisi organisasi. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari analisis atas lima kekuatan tersebut manajemen dapat memutuskan bagaimana mempengaruhi atau mengeksploitasi karakteristik tertentu dari industri mereka untuk dipertemukan dengan peluang dan tantangan potensial. Selajutnya, bargaining power yang bisa dilakukan perusahaan akan sangat menentukan posisi kompetitif perusahaan. Porter dalam perspektif ini, mengusulkan tiga pilihan strategi generik (low cost, differensiasi dan fokus) sebagai pijakan keunggulan bersaingnya. Alasan strategi low cost adalah adanya pemikiran bahwa konsumen selalu mengharapkan benefit yang lebih besar dibandingkan dengan pengorbanan atau biaya yang telah dikeluarkan. Alasan strategi diferensiasi adalah konsumen suka terhadap produk yang unik dengan feature yang mampu memenuhi kebutuhannya, sedangkan fokus ditujukan agar perusahaan mampu membangun core produk menyesuaikan dengan dua pilihan strategi sebelumnya (fokus pada low cost atau fokus pada diferensiasi). Penerapan kedua pilihan strategi utama (low cost dan diferensiasi) memang sangat sulit diterapkan secara bersamaan, umumnya kedua jenis strategi tersebut akan bersifat mutually exclusive. Pilihan untuk diferensiasi terkait dengan inovasi, sedangkan inovasi membutuhkan investasi baru yang berujung pengerahan modal yang lebih besar yang bisa bertentangan dengan tujuan low cost. Sebenarnya tidak akan masalah jika produk perusahaan adalah lebih mahal dibandingkan dengan apa yang pesaing tawarkan. Asalkan perusahaan sudah membangun loyalitas, kepercayaan dan persepsi kualitas dalam diri pelanggan. Implikasi dari model seperti yang digambarkan diatas, akan menjadi perubahan dalam kompetisi yang tidak didasarkan pada harga tetapi pada value creation kepada pelanggan. Munculnya interdependensi antar kelima faktor
54
kekuatan kompetisi tersebut, membantu perusahaan dalam memahami struktur industri dan sekaligus mengarahkan potensi persaingan menuju kompetisi secara sehat. Implikasi model terhadap masa depan kompetisi perusahaan seperti yang digambarkan di atas, juga akan mendorong perusahaan secara bertahap selalu mencari mitra yang lebih menguntungkan. Peluang outsourcing, merger, franchise dan bentuk kerja sama lain telah menjadi resources baru bagi perusahaan untuk memperkuat
market
positition
agar
perusahaan
tetap
going
concern.
Selanjutnya, dalam konteks inilah kemampuan perusahaan dalam menggunakan potensi bargaining akan memperkuat kemampuan bersaingnya. Pemikiran Porter ini memang sangat powerfull digunakan sebagai pijakan mendesain strategi kompetitif suatu perusahaan, meskipun dalam teori ini masih sangat minim disinggung tentang pentingnya kapabilitas organisasi. Karya Porter dalam buku Competitive Advantage tersebut, fokus bahasan hanya diarahkan pada analisa industri dan kompetitor beserta beragam teknik menyikapi tantangan yang ada pada masing masing kuadran life cycle perusahaan. Porter masih belum menyinggung kapabilitas resources yang saat ini dipikirkan banyak organisasi untuk dikembangkan secara berkelanjutan sebagai keunggulan bersaingnya. Sumber daya atau resources organisasi sebagai komponen daya saing yang tidak banyak disinggung dalam teori Porter ini, telah membuka peluang bagi pemerhati masalah strategi bisnis untuk mengembangkan cara pandang RBV dalam mendesain strategi bersaing. MBV yang didukung oleh Porter berpijak pada market attractiveness memang masih menyisakan kelemahan, ketika perusahaan hanya diorientasikan pada outside-in perspective. Artinya, kompetitor juga bisa melakukan hal yang sama karena obyeknya relatif sama. Beranjak dari celah tersebut, telah menggugah para pemikir strategi bisnis untuk melakukan penguatan melalui inside-out perspective. Kompetensi khusus seperti apa yang dimiliki organisasi menjadi dasar utama menciptakan keunggulan bersaing. Cara pandang RBV seakan melengkapi cara pandang MBV yang menekankan pentingnya kapabilitas internal dalam menciptakan distinctive competencies, sebagai amunisi utama melakukan kompetisi di arena persaingan pasar yang sangat attractive tersebut.
55
Perspektif RBV yang didukung oleh Barney dan Prahalad, keunggulan bersaing dibangun melalui kompetensi khusus (distinctive competencies) yang terbentuk melalui kapabilitas organisasi. Kapabilitas organisasi terbentuk dari sumber daya yang dimiliki oleh organisasi baik tangible maupun intangible dan juga sumber daya manusia. Perspektif RBV ini, strategi perusahaan adalah mencetak pasar sebagai pelopor produk. Keunggulan atau kekuatan perusahaan, sebagai penopong utama keunggulan bersaing melalui firm spesific factor yang tidak bisa dimiliki oleh kompetior kepada pengguna. Inilah bentuk value creation, yang pada akhirnya bisa menjadi andalan perusahaan memenangkan persaingan. 1)
Pandangan berbasis pasar (market based view) Teori Porter tentang daya saing nasional berangkat dari keyakinannya bahwa
teori ekonomi klasik yang menjelaskan tentang keunggulan komparatif tidak mencukupi, atau bahkan tidak tepat. Menurut Porter, suatu negara memperoleh keunggulan daya saing/competitive advantage (CA) jika perusahaan (yang ada di negara tersebut) kompetitif. Daya saing suatu negara ditentukan oleh kemampuan industri melakukan inovasi dan meningkatkan kemampuannya. Perusahaan memperoleh CA karena tekanan dan tantangan. Perusahaan menerima manfaat dari adanya persaingan di pasar domestik, supplier domestik yang agresif, serta pasar lokal yang memiliki permintaan tinggi. Perbedaaan dalam nilai-nilai nasional, budaya, struktur ekonomi, institusi, dan sejarah semuanya memberi kontribusi pada keberhasilan dalam persaingan. Perusahaan menjadi kompetitif melalui inovasi yang dapat meliputi peningkatan teknis proses produksi atau kualitas produk. Selanjutnya Porter mengajukan diamond model (DM) yang terdiri dari empat determinan (faktor-faktor yang menentukan) national competitive advantage (NCA). Empat atribut ini adalah factor conditions, demand conditions, related and supporting industries, dan firm strategy, structure, and rivalry. Factor conditions mengacu pada input yang digunakan sebagai faktor produksi, seperti tenaga kerja, sumber daya alam, modal dan infrastruktur. Argumen Poter, kunci utama faktor produksi adalah “diciptakan” bukan diperoleh dari warisan. Lebih jauh, kelangkaan sumber daya (factor disadvantage)
56
seringkali membantu negara menjadi kompetitif. Terlalu banyak (sumber daya) memiliki kemungkinan disia-siakan, ketika langka dapat mendorong inovasi. Demand conditions, mengacu pada tersedianya pasar domestik yang siap berperan menjadi elemen penting dalam menghasilkan daya saing. Pasar seperti ini ditandai dengan kemampuan untuk menjual produk-produk superior, hal ini didorong oeh adanya permintaan barang dan jasa berkualitas serta adanya kedekatana hubungan antara perusahan dan pelanggan. Related and supporting industries, mengacu pada tersedianya serangkaian dan adanya keterkaitan kuat antara industri pendukung dan perusahaan, hubungan dan dukungan ini bersifat positif yang berujung pada peningkatan daya saing perusahaan. Porter mengembangkan model dari faktor kondisi semacam ini dengan industrial clusters atau agglomeration, yang memberi manfaat adanya potential technology knowledge spillover, kedekatan dengan dengan konsumer sehingga semakin meningkatkan market power. Firm strategy, structure and rivalry, mengacu pada strategi dan struktur yang ada pada sebagian besar perusahaan dan intensitas persaingan pada industri tertentu. Faktor Strategi dapat terdiri dari setidaknya dua aspek: pasar modal dan pilihan karir individu. Pasar modal domestik mempengaruhi strategi perusahaan, sementara individu seringkali membuat keputusan karir berdasarkan peluang dan prestise. Suatu negara akan memiliki daya saing pada suatu industri di mana personel kuncinya dianggap prestisious. Struktur mengikuti strategi, struktur dibangun guna menjalankan strategi. Intensitas persaingan (rivalry) yang tinggi mendorong inovasi. Porter juga menambahkan faktor lain: peran pemerintah dan chance, yang dikatakan memiliki peran penting dalam menciptakan NCA. Peran dimaksud, bukan sebagai pemain di industri, namun melalui kewenangan yang dimiliki memberikan
fasilitasi,
katalis,
dan
tantanan
bagi
industri.
Pemerintah
menganjurkan dan mendorong industri agar mencapai level daya saing tertentu. Hal-hal tersebut dapat dilakukan pemerintah melalui kebijakan insentif berupa subsidi, perpajakan, pendidikan, fokus pada penciptaan dan penguatan factor conditions, serta menegakkan standar industri.
57
Poin utama dari DM, Porter mengemukakan model pencitaan daya saing yang self-reinforcing, di mana persaingan domestik menstimulasi tumbuhnya industri dan secara bersamaan membentuk konsumer yang maju (sophisticated) yang selalu menghendaki peningkatan dan inovasi. Lebih jauh DM juga mempromosikan industrial cluster. Kontribusi Porter menjelaskan hubungan antara firm-industry-country, serta bagaimana hubungan ini dapat mendukung negara dan sebaliknya. Menurut Porter jika perusahaan ingin meningkatkan usahanya dalam persaingan yang ketat perusahaan harus memiliki prinsip bisnis, harga yang tinggi, produk dengan biaya yang rendah, dan bukan kedua-duanya. Berdasarkan prinsip tersebut, maka Porter menyatakan ada tiga strategi generik yaitu differentiation, overall cost leadership dan focus. Menurut Porter strategi perusahaan untuk bersaing dalam suatu industri dapat berbeda-beda dan dalam berbagai dimensi, Porter mengemukakan tiga belas dimensi yang biasanya digunakan oleh perusahaan dalam bersaing, yaitu: spesialisasi, identifikasi merk, dorongan versus tarikan, seleksi saluran, mutu produk, kepeloporan teknologis, integrasi vertikal, posisi biaya, layanan, kebijakan harga, leverage, hubungan dengan perusahaan induk, dan hubungan dengan pemerintah. 2)
Pandangan berbasis sumber daya (resource based view) Dalam perspektif pandangan berbasis sumber daya (resource based view -
RBV), Wernerfelt (1984) mengembangkan teori keunggulan kompetitif (theory of competitive advantage) berdasarkan sumber daya yang diperluas atau diperoleh untuk mengimplementasikan strategi pemasaran produk. Teori dari Wernerfelt tersebut merupakan pelengkap atau pengganda (dual) dari teori Porter (1980) mengenai keunggulan bersaing berdasarkan posisi pemasaran produk perusahaan. Martyn dan Ken (1999) menjelaskan bahwa kemampuan perusahaan merupakan penggunaan sumber daya yang memiliki nilai nyata (tangible) dan tidak nyata (intangible). Intangible asset terdiri dari pengetahuan personal dari individu dan pengetahuan kolektif pada struktur perusahaan, baik secara internal maupun eksternal. Pengetahuan yang dimaksud secara nyata (tangible) berada pada dinamika perusahaan, seperti rutinitas inovatif dan hasil, termasuk reputasinya.
58
Setelah perusahaan memiliki distinctive capabilities, maka perusahaan akan mencapai kompetensi inti (core competence). Kompetensi inti adalah pengetahuan kolektif perusahaan tentang cara mengkoordinasikan beragam keterampilan dan teknologi produksi yang dimiliki perusahaan (Prahalad & Hamel 1990). Selanjutnya, menurut Barney dan Clark (2007), perusahaan yang memiliki pandangan berbasis RBV harus memiliki sumber keunggulan kompetitif untuk mencapai produk inti (core product). Sumber keunggulan kompetitif tersebut meliputi (1) budaya (culture), (2) kepercayaan (trust), (3) sumber daya manusia (human resources), dan (4) teknologi informasi (information technology). Berbeda dengan pendapat Barney, Martin et al. (1983), diacu dalam Fitriati 2012) berpendapat tidak semua organisasi yang telah memiliki budaya dengan ketiga atribut karakteristik di atas memiliki keunggulan bersaing yang berkelanjutan. Budaya organisasi dengan tiga karakteristik di atas mungkin dapat diterapkan secara efisien terhadap pegawai, pelanggan, dan pemasoknya dan mungkin juga dapat gagal diterapkan (Deal & Kennedy 1982, diacu dalam Fitriati 2012). Selanjutnya, Graig dan Grant (1993) mendefinisikan sebuah kemampuan daya saing atau kompetensi merupakan sumber daya yang berasal dari sumber daya nyata (tangible) dan tidak nyata (intangible), termasuk finansial, fisik, manusia, teknologi, reputasi, dan hubungan yang dimiliki oleh perusahaan. Melengkapi pernyataan Graig dan Grant, Aaker (1989) mengungkapkan bahwa adanya aset dan keterampilan dari sebuah perusahaan merupakan inti dari manajemen stratejik. Hal tersebut perlu dikelola dan dikembangkan, sehingga dapat menjadi keunggulan bersaing yang berkelanjutan. Martyn dan Ken (1999) menyatakan, bahwa daya saing dapat digambarkan dengan adanya sesuatu yang berbeda, spesifik, dan aset yang susah dicontoh dalam sebuah perusahaan, sehingga dapat menghasilkan keunggulan bersaing dalam sebuah perusahaan. Tambunan (2009) menyatakan daya saing sebuah perusahaan tercerminkan dari daya saing produk yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut. Faktor-faktor penentu daya saing perusahaan/UKM adalah keahlian atau tingkat pendidikan pekerja, keahlian pengusaha, ketersediaan modal, sistem organisasi dan manajemen yang baik (sesuai kebutuhan bisnis), ketersediaan teknologi,
59
ketersediaan informasi, dan ketersediaan input-input lainnya seperti energi, bahan baku, dan lain-lain. Menurut Tambunan (2008b), UMKM yang berdaya saing tinggi dicirikan oleh (1) kecenderungan yang meningkat dari laju pertumbuhan volume produksi,
(2)
pangsa
pasar domestik dan atau pasar ekspor yang selalu
meningkat, (3) untuk pasar domestik, tidak hanya melayani pasar lokal saja tetapi juga nasional, dan (4) untuk pasar ekspor, tidak hanya melayani di satu negara tetapi juga banyak negara. Dalam mengukur daya saing UMKM harus dibedakan antara daya saing dan daya saing perusahaan. Daya saing produk terkait erat dengan daya saing perusahaan yang menghasilkan produk tersebut. Beberapa indikator yang digunakan untuk mengukur daya saing sebuah produk diantaranya (1) pangsa ekspor per tahun (% dari jumlah ekspor), (2) pangsa pasar luar negeri per tahun (%), (3) laju pertumbuhan ekspor per tahun (%), (4) pangsa pasar dalam negeri per tahun (%), (5) laju pertumbuhan produksi per tahun (%), (6) nilai atau harga produk, (7) diversifikasi pasar domestik, (8) diversifikasi pasar ekspor, dan (9) kepuasan konsumen.
2.5
Soft System Methodology (SSM) Soft systems methodology (SSM) diperkenalkan oleh Peter Checkland di
Universitas Lancaster, Inggris pada tahun 1981. SSM dikembangkan untuk menangani masalah-masalah manajemen yang muncul dari sistem aktivitas manusia, misalnya konflik (Martin et al. 2008). SSM merupakan kerangka kerja (frame work) pemecahan masalah yang dirancang secara khusus untuk situasi dimana hakikat masalah sulit untuk didefinisikan (Martin et al. 2008). Esensinya adalah membangun model sistem melalui pemahaman dan pemaknaan secara mendalam situasi masalah sesuai fenomena yang dihadapi (Williams 2005). SSM merupakan sistem pembelajaran yang tidak pernah berhenti (siklik), yang menggunakan model sistem aktivitas manusia. Model ini, dengan melibatkan secara aktif aktor-aktor yang berkepentingan dalam situasi masalah melalui persepsi mereka dan kesiapan mereka dalam memutuskan tindakan yang terarah dengan mengakomodasi persepsi, penilaian, dan nilai-nilai aktor yang berbeda.
60
SSM menyediakan pendekatan yang koheren terhadap pemikiran kelompok dan individual mengenai konteks, kompleksitas dan ambiguitas kebijakan (Chapman 2004). SSM berparadigma interpretative (Mingers 2000; Jackson 2001; Luckett et al. 2001), sehingga teknik penerapannya di lapangan sangat tergantung dengan konteks penelitian, situasi permasalahan, perilaku aktor-aktor, dan kemampuan pengguna. SSM telah digunakan di banyak bidang dan konteks termasuk di dalamnya manajemen perubahan, perencanaan sistem kesehatan dan medis, perencanaan sistem informasi, manajemen sumber daya manusia, analisis sistem logistik, dan pengembangan sistem pakar (Maqsood et al. 2001). Beragamnya bidang pemanfaatan SSM menunjukkan handalnya pendekatan ini dalam membantu pemecahan masalah yang berkaitan dengan kompleksitas interaksi manusia. Holwell (2000) mencatat 250 referensi seperti makalah jurnal, makalah seminar, dan buku teks yang menggunakan pemikiran SSM dalam bidang manajemen. SSM juga telah diaplikasikan dalam bidang manajemen sumber daya alam dan lingkungan. Dalam bidang ini Nidumolu et al. (2006) berhasil memanfaatkan pendekatan SSM untuk menyusun program perencanaan tata guna lahan di India. Bunch
(2003)
menyatakan,
mampu
membuat
rekomendasi
pengelolaan
lingkungan bantaran sungai di India. Haklay (1999), menganalisis dampak lingkungan pembangunan perumahan di Israel. Meskipun demikian menurut Eriyatno (2003), Eriyatno dan Sofyar (2007), SSM masih jarang digunakan oleh peneliti dan praktisi di Indonesia. Pada awalnya pendekatan SSM ini terlihat sebagai alat pemodelan biasa, tetapi setelah adanya pengembangan, pendekatan itu telah meningkat sebagai alat pembelajaran dan alat pengembangan sebagai pembantu dalam mengartikan masalah. SSM adalah sebuah metodologi untuk menganalisis dan pemodelan sistem yang mengintegrasikan teknologi (hard sistem) dan human (soft sistem). SSM adalah pendekatan untuk pemodelan proses di dalam organisasi dan lingkungannya dan sering digunakan untuk pemodelan manajemen perubahan, dimana organisasi pembelajaran itu sendiri merupakan manajemen perubahan. SSM adalah proses penelitian sistemik yang menggunakan model-model sistem.
61
Pengembangan model sistem tersebut dilakukan dengan penggalian masalah yang tidak terstruktur, mendiskusikan secara intensif dengan pihak terkait dan melakukan penyelesaian masalah secara bersama. Model SSM telah mengalami sejumlah revisi dan modifikasi selama 1981 hingga 1990, namun model original tujuh tahap merupakan model yang umum digunakan dan akan digunakan dalam tulisan ini. Tujuh tahap tersebut merupakan sejumlah ilustrasi yang disuling dari suatu proses iteratif sehingga dalam prakteknya, proses dapat dimulai dari mana saja. Checkland dan Poulter (2006) menegaskan, bahwa SSM merupakan suatu proses yang berlanjut namun tahapan-tahapan dalam SSM tidak bersifat kaku sehingga dapat disesuaikan dengan situasi dalam pelaksanaannya. Biasanya dalam penggunaannya tidak terpaku, bahwa proses itu harus sekuensial maju, namun gerakan setiap tahapan dalam SSM bisa maju atau mundur ke setiap tahapan (Brocklesby 1995). Penelitian dapat dimulai pada setiap tahapan dengan interaksi dan penelusuran ulang sebagai komponen penting (Maqsood et al. 2001). Ketujuh tahapan tersebut menurut Checkland dan Poulter (2006) adalah: Tahap I: Memahami situasi permasalahan tidak terstruktur Tahap pertama problem situation considered problematic adalah tahap dimana masalah terlihat tidak berstruktur dengan jelas, masalah tersebut begitu kompleks ada begitu banyak messy didalamnya, masalah tersebut memiliki banyak perspektif atau view. Tahap II: Menyusun gambaran situasi permasalahan (rich picture) Tahap kedua problem situation expressed, dalam tahap ini masalah telah diungkapkan secara terstruktur melalui tiga analisis. Pertama adalah berupa intervention analysis yaitu menentukan client (orang atau sekelompok orang yang menyebabkan intervensi terjadi), problem solver atau partitioners (orang atau sekelompok orang yang akan melakukan transformasi), problem owner (orang atau sekelompok orang yang berkepentingan atau mendapat pengaruh dari masalah maupun mendapat pengaruh dari penyelesaian masalah atas transformasi yang nantinya dilakukan). Kedua adalah berupa social system analysis yaitu menginvestigasi tiga hal penting dalam diri problem owner yaitu roles, norms dan value.
Ketiga
adalah
berupa
political
systems
analysis
yaitu
untuk
62
menginvestigasi kuasa atau power yang ada dalam situasi tersebut, kekuasaan dari problem owner seperti apa harus diketahui dengan jelas. Tahap selanjutnya masih dalam tahap (2), akan menghasilkan rich picture yaitu sebuah tahap dimana peneliti dan pembimbing sebagai problem solver mendeskripsikan kompleksitas masalah yang ada (gambaran yang detail dan kaya). Rich picture tersebut juga akan menjadi jalan awal bagi peneliti untuk menentukan relevan system dalam persoalan tersebut. Checkland dan Poulter (2006) menyatakan, bahwa gambar pada rich picture menunjukkan hubungan dan penilaian, pencarian simbol untuk menyampaikan ‘perasaan’ mengenai situasi, dan mengindikasikan hubungan yang relevan dengan solusi dari situasi permasalahan. Gambaran yang detail dan kaya dibuat melalui diagram, gambar atau model yang mampu menjelaskan hubungan struktur dan proses organisasi dikaitkan kondisi lingkungan (environment) organisasi. Struktur mencakup denah fisik, hierarki, struktur pelaporan, dan pola komunikasi baik formal maupun informal. Proses mencakup aktivitas dasar organisasi, seperti alokasi sumber daya, pelaksanaan monitor dan kontrol. Hubungan antara struktur dan proses kemudian diwujudkan dalam bentuk masalah, tugas-tugas dan elemen-elemen lingkungan yang dapat dimengerti dengan mudah. Tahap III: Menyusun definisi permasalahan (root definitions) Tahap ketiga root definition of relevant purposeful activity systems, merupakan tahap dimana peneliti akan membangun definisi akar permasalahan yang mencakup pandangan tertentu terhadap situasi masalah sesuai dengan perspektif yang relevan. Root definitions (RDs) ditulis berdasarkan semua informasi tentang organisasi yang telah dikumpulkan, dieksplorasi, dan dibahas melalui tahapan proses SSM sebelumnya. Checkland dan Poulter (2006) menyarankan dalam menyusun RDs menggunakan rumus umum PQR, yaitu mengerjakan P dengan Q untuk mewujudkan R. Dimana PQR menjawab pertanyaan apa, bagaimana, dan mengapa. Selanjutnya, dalam tahap ini relevan sistem akan dikendalikan oleh CATWOE (Tabel 5). CATWOE adalah C atau customers yaitu penerima manfaat dari proses transformasi. A atau actors yaitu siapa yang melakukan transformasi. T atau
63
transformation process yaitu konversi dari input menjadi output. W atau welltanschauung yaitu worldview yang membuat transformasi berarti dalam konteks. O atau owners yaitu orang yang bisa menghentikan transformasi, dan E atau environment constrains yaitu elemen di luar sistem yang mempengaruhi proses transformasi. Tabel 5 Analisis root definitions C (Customer)
Who would be the victims/beneficiaries of the purposeful activity?
A (Actors)
Who would do the activities?
T (Transformation Process)
What is the purposeful activity expressed as Input ------------------------------Transformation----------------------Output?
W (Weltanschauung)
What view of the world makes this definition meaningful?
O (Owner)
Who could stop this activity?
E (Environmental Constraints)
What constraints in its environment does this system take as given?
Sumber: Checkland dan Poulter (2006)
Tiga kriteria bagaimana proses transformasi ini sebaiknya dilaksanakan sebagai berikut: -
efficacy (apakah langkah yang dilaksanakan (means) mendukung hasil akhir?)
-
efficiency (apakah sumber daya yang penting dan minimum diperhatikan?)
-
effectiveness (apakah proses transformasi dapat membantu mempertahankan tujuan untuk jangka panjang dan ada kaitannya dengan output?)
Tahap IV: Membuat model konseptual Tahap keempat conceptual models of the system (holons) named in the root definition adalah tahap dimana peneliti akan membuat model konseptual yang memaparkan bekerjanya sistem sesuai dengan permasalahan yang dikaji. Sistem dalam tahap ini, menggambarkan input dan output dalam transformasi yang menjadi tujuan. Model konseptual yang dibangun dalam tahapan ini tanpa merujuk pada fakta lapangan (real world), tetapi dibangun dari ide/gagasan peneliti berdasarkan teori yang digunakan (Nee 2003) dan aturan formal yang berlaku, sehingga gagasan systems thinking menjadi penting dalam tahapan ini. Menurut Checkland, berpikir serba sistem (systems thinking) didasari atas dua pasang gagasan, yaitu emergent
64
properties berpasangan dengan hierarchy (disebut juga layer structure dalam Checkland dan Poulter 2006), dan communication berpasangan dengan control (Checkland & Scholes 1990). Selanjutnya, dua pasang gagasan ini membutuhkan sistem untuk keberlangsungan hidup sistem tersebut. Checkland dan Poulter (2006) menyarankan, bahwa dalam pembuatan model konseptual menggambarkan kegiatan sistem dimana elemen-elemen adalah kata kerja aktif dan kata benda yang bisa diukur. Kegiatan tersebut dibuat berdasarkan root definition dan struktur kata kerja mengacu pada logic base (Checkland dan Scholes 1990). Tahap V: Membandingkan model konseptual dengan fakta lapangan Tahapan kelima comparison
of
models
and real
world
yaitu
tahap
membandingkan model konseptual yang dibuat dengan fakta lapangan. Selain membuat matriks yang berguna dalam membandingkan, peneliti juga akan melakukan diskusi dan debat ke berbagai pihak terkait, khususnya yang menangani persoalan atau yang berkaitan dengan model tersebut. Jackson (2003) menyatakan bahwa untuk menghasilkan perdebatan mengenai perubahan yang meningkatkan situasi problematik, maka perlu dilakukan komparasi antara model konseptual dan fakta lapangan Checkland dan Poulter (2006) mengingatkan, bahwa tahap ini bukanlah dimaksudkan untuk menilai kekurangan situasi problematik fakta lapangan dibandingkan dengan model konseptual yang “sempurna”. Jadi, model konseptual merupakan alat buatan yang didasarkan pada sebuah sudut pandang murni sementara fakta lapangan diwarnai oleh beraneka ragam sudut pandang bahkan di dalam diri satu orang yang terus mengalami perubahan, baik perubahan lambat maupun perubahan cepat. Checkland dan Scholes (1990) mengungkapkan, empat cara untuk melakukan perbandingan yaitu dengan diskusi formal, mempertanyakan secara formal, menulis skenario berdasarkan pengoperasian model, dan mencoba untuk membuat model fakta lapangan dalam struktur yang sama dengan model konseptual. Tahap VI: Menentukan perubahan yang diinginkan Tahap keenam changes, systematically desirable, culturally feasible yaitu tahap dimana peneliti akan melakukan diskusi dan debat terhadap perubahan yang
65
diinginkan dengan berbagai pihak terkait. Perubahan tersebut secara teknik merupakan sebuah kondisi yang semakin baik. Sedangkan perubahan yang feasible adalah apakah secara budaya perubahan tersebut cocok. Perubahan tersebut berupa 1) perubahan prosedur, 2) perubahan struktur, dan 3) perubahan sikap dan budaya. Checkland
dan
Poulter
(2006)
menyarankan,
tiga
aspek
yang
mesti
dipertimbangkan dalam melakukan perbaikan, penyempurnaan, atau perubahan yaitu 1) perubahan yang berkaitan dengan struktur, 2) perubahan yang berkaitan dengan proses atau prosedur, dan 3) perubahan yang berkaitan dengan sikap. Pada tahap enam ini, dilakukan melalui diskusi diantara para pihak yang berkepentingan
sehingga
dapat
diidentifikasi
kemungkinan-kemungkinan
perubahan yang memang diharapkan dan layak atau dapat diterima oleh semua pihak. Tahap VII: Melakukan langkah tindakan untuk perbaikan Tahap ketujuh action to improve the problem situation, yaitu melakukan aksi dalam perbaikan yang dilakukan terhadap situasi masalah. Proses implementasi ini mencakup sejumlah langkah 1) siapa yang akan bertanggungjawab dalam aksi, 2) dimana dan kapan aksi itu akan dilaksanakan, dan 3) bagaimana dengan time table. Perubahan sikap dan perilaku dibutuhkan untuk menghasilkan pengaruh terhadap sistem. Tahapan ini membutuhkan komitmen dan tanggungjawab untuk memformulasikan konsep menjadi aksi nyata. Tahap 1, tahap 2, dan tahap 5 termasuk dalam tahap pencarian (finding out), tahap 3 dan tahap 4 termasuk dalam tahap berpikir sistem (system thinking), dan terakhir tahap 6 dan tahap 7 termasuk dalam tahap mengambil tindakan (taking action). Siklus ini akan berulang apabila ditemukan hal-hal yang dipandang perlu diperbaiki ataupun ditingkatkan kualitasnya. Secara singkat proses metode SSM terlihat dalam Gambar 9.
66
1
7
Memahami situasi permasalahan yang tidak terstruktur
Melakukan langkah tindakan untuk perbaikan
2
6
5
Menyusun situasi permasalahan (rich picture)
Menentukan perubahan yang diinginkan
Membandingkan 4 & 2
Situasi fakta lapangan Berpikir sistem
3 Menyusun definisi permasalahan (root definitions)
4 Membuat model konseptual
Sumber: Chekland dan Poulter (2006)
Gambar 9 Proses dasar SSM.
2.6
Tiga Tingkat Kerangka Kelembagaan Menurut Barney (2007), keunggulan kompetitif yang berkelanjutan terjadi
pada level perusahaan atau tataran mikro. Pada konteks penelitian, fakta lapangan (real word) UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu bersifat kompleks, messy, dan menggambarkan sistem aktivitas manusia (human activity systems). Berdasarkan kondisi tersebut, maka daya saing UKM dalam penelitian ini menggunakan tiga tingkat yaitu tataran makro, meso, dan mikro. Nee (2005), mengganggap institusi makro melahirkan kepercayaan (trust) dalam kegiatan ekonomi. Selanjutnya, melalui new institutionalisms in economy and sociology (NIES) pada Gambar 10, Nee menjelaskan bagaimana institusi berinteraksi dengan jaringan sosial dan norma-norma sosial untuk mengarahkan tindakan-tindakan ekonomi secara langsung. NIES memiliki fokus untuk menjelaskan cara kerja keyakinan, norma, dan institusi dalam kehidupan ekonomi. NIES juga hadir untuk menentukan dan menjelaskan mekanisme sosial yang turut menentukan hubungan antara kelompok
67
sosial formal dan informal dalam struktur institusional yang dipantau dan ditegakkan oleh organisasi dan negara. NIES telah memberikan kontribusi untuk menjelaskan munculnya aturan resmi keinstitusian yang membentuk perilaku ekonomi (Nee 2005).
Sumber: Nee (2005)
Gambar 10 Model dari NIES.
Model NIES menunjukkan mekanisme kausal yang beroperasi di kedua arah, dari makro ke mikro dan mikro ke tingkat makro analisis (Nee 2005). Mekanisme kausal penting dalam analisis ekonomi untuk menentukan struktur insentif organisasi dan perusahaan, seperti halnya dalam peraturan yang mengatur hak milik, pasar, dan perusahaan yang terintegrasi dengan aturan formal dan informal di level meso (organisasi) dan level mikro (kelompok sosial dan individu). Setiap tataran, memiliki analisis hubungan kausal yang berbeda dengan institusi yang terkait di dalamnya.
2.6.1 Tataran Makro The new institutionalism in economics and sociology menganalisis cara hubungan interpersonal dalam perusahaan dan pasar berinteraksi dengan pengaturan kelembagaan formal. Institusi tidak hanya mencakup kendala formal
68
dan informal yang menentukan struktur insentif, seperti yang didefinisikan oleh North (1990). Pada dasarnya, institusi melibatkan aktor baik individu atau organisasi, yang mengejar kepentingan nyata dalam institusional. Menurut North (1990), sebuah institusi didefinisikan sebagai a system of interelated informal and formal elements custom, shared beliefs, conventions, norms, and rules governing social relationships within actors pursue and fix the limits of legitimate interests. Institusi dapat meliputi struktur sosial yang menyediakan saluran untuk tindakan kolektif dalam memfasilitasi dan mengatur kepentingan aktor, serta menegakkan hubungan agen utama. Nee (2005) menjelaskan bahwa perubahan institusional tidak hanya melibatkan pembaharuan aturan formal, tetapi memerlukan penataan kembali kepentingan, norma, dan kekuatan. Nee (2005) menjelaskan bahwa lingkungan institusional (seperti aturan regulasi formal yang dipantau dan ditegakkan oleh negara yang mengatur hak milik, pasar dan perusahaan) dapat menjadi kendala pada perusahaan dalam mekanisme pasar dan peraturan negara, sehingga hal tersebut akan membentuk struktur insentif. NIES menggabungkan dan mengintegrasikan mekanisme pengawasan dan penegakan hukum aturan formal dengan mekanisme pasar. Mekanisme pasar skematis yang direpresentasikan oleh gambar tanda panah ke bawah (lihat Gambar 10) dari lingkungan institusional meliputi pasar tenaga kerja, pasar modal, bahan baku pasar material, dan sebagainya. Kerangka institutional (institutional framework) meliputi aturan formal dari lingkungan institusional dan aturan informal yang tertanam dalam hubungan sosial yang sedang berlangsung, yang berinteraksi untuk membentuk perilaku ekonomi (Nee 2005).
2.6.2 Tataran Meso Aspek lain dari New Institutional Economics (NIE) berfokus pada perjanjian yang dibuat oleh individu-individu tertentu untuk mengatur hubungan mereka. Williamson (1996) menyebut pengaturan kelembagaan tersebut sebagai tata kelola lembaga (governance institution). Perusahaan, birokrasi, dan organisasi dianggap
69
sebagai sebuah tata kelola (governance), dimana dalam tata kelola terjadi transaksi atau interaksi antara individu. Transaksi dengan pihak luar dipengaruhi oleh lingkungan kelembagaan yang tingkatannya lebih tinggi. Perubahan pada lingkungan kelembagaan berpengaruh pada transaksi yang terjadi antara individu dalam tata kelola. Transaksi dalam suatu tata kelola juga dipengaruhi oleh sifat individu yang cenderung oportunis dan dibatasi rasionalitas yang ada. Williamson (1994) mengatakan, bahwa tata kelola perusahaan berkaitan dengan masalah oportunisme dan mengurangi risiko penyimpangan kinerja agen. Berkaitan dengan oportunisme dan penyimpangan kinerja agen dalam organisasi, konsep rent seeking dan opportunistic behavior dapat menjelaskan fenomena ini. Rent seeker merupakan individu yang menggunakan undang-undang dan peraturan pemerintah untuk mentransfer kekayaan (sewa) untuk diri mereka sendiri (Johnsen 1991). Sehubungan dengan teori kelembagaan, suatu kelembagaan dianggap dapat mempengaruhi keberhasilan rent seeking. Becker (1983) mengajukan gagasan mengenai teori kepentingan pribadi (private interest) berkaitan dengan konsep rent seeking. Konsep rent seeking memiliki analisis penekanan pada insentif bagi pihak swasta untuk berinvestasi dalam kegiatan mencari sewa. Terkait dengan perusahaan sebagai suatu organisasi non profit dalam level meso, organisasi melalui tindakan kolektif melobi perubahan aturan formal yang lebih sesuai dengan kepentingan organisasi (Nee 2005). Asosiasi dan pelobi profesional dapat bertindak sebagai agen mewakili kepentingan individu di level mikro. Selanjutnya dalam pasar kompetitif, tekanan pada perusahaan-perusahaan yang lolos dari proses seleksi memerlukan sebuah tindakan strategis, berbeda dengan tekanan legitimasi pada orientasi organisasi non profit yang tergantung pada pemerintah dalam hal sumber daya. Upaya organisasi mendapat legitimasi sebagai penggerak yang mendorong konformitas dengan aturan kelembagaan dan praktik melalui pemaksaan, normatif, dan mekanisme. Legitimasi penting untuk perusahaan sebagai wujud dalam investasi perusahaan dalam mempromosikan merek, nama pengakuan, reputasi untuk
70
keandalan dan kualitas layanan atau produk dan kebutuhan hukum pada negara yang didorong oleh kepentingan kelangsungan hidup perusahaan dan profitabilitas di pasar yang kompetitif. Bagi organisasi non profit, legitimasi merupakan modal sosial (social capital) penting yang meningkatkan peluang untuk mengoptimalkan akses ke sumber daya langka. Baik organisasi profit atau non profit, legitimasi dapat dilihat sebagai kondisi yang memungkinkan organisasi untuk meningkatkan peluang kelangsungan hidup mereka dan keuntungan yang terjamin di pasar ekonomi dan politik.
2.6.3 Tataran Mikro Granovetter (2005) dalam artikelnya “Economic Action Social Structure” menunjukkan, bahwa aktor tidak akan berperilaku atau memutuskan tindakan sebagai atom yang berada di luar konteks sosial. Tindakan aktor selalu bertujuan yang embedded dengan konkrit dalam sistem relasi sosial yang sedang berlangsung. Granovetter berpandangan bahwa hubungan sosial, daripada pengaturan institusional atau moralitas umum (misalnya keyakinan bersama dan norma), bertanggungjawab dalam produksi, kepercayaan dalam kehidupan ekonomi. Nee
(2005)
menjelaskan
model
kausal
dalam
NIES
dengan
mengintegrasikan temuan mikro berdasarkan rasionalitas sebagai konteks terikat, dipengaruhi oleh hubungan sosial dan norma, dengan kerangka ekonomi institusional. Berkaitan dengan spesifikasi mekanisme tingkat mikro, sosiologi organisasi
menekankan
tindakan
organisasi
berorientasi
untuk
meniru,
menyesuaikan, dan decaupling. Selanjutnya, peraturan-peraturan dipantau dan ditegakkan oleh negara, seperti halnya pada kerangka organisasi yang mendasari struktur sosial dari lingkungan kelembagaan. Nee (2005) mengemukakan adanya mekanisme integrasi hubungan formal dan informal pada setiap level kausal (mikro, meso, dan makro) berupa lingkungan kebijakan (policy environment). Pada akhirnya, pendekatan NIES telah membuka pengetahuan mengenai bagaimana lingkungan kelembagaan pada tiga tingkat (makro, meso, dan mikro) yang turut mempengaruhi perilaku ekonomi.
71
2.7
Riset Tindakan (Action Research) Menurut Creswell (2010) dalam kaitannya dengan strategi penelitian
kualitatif, mengkategorikan penelitian ini sebagai penelitian studi kasus riset tindakan. Denzin dan Lincoln (2000) memasukkannya, pada jenis penelitian riset tindakan. Riset tindakan, menawarkan berbagai fitur yang menyumbangkan alat yang sangat kuat (powerful tool) bagi para peneliti yang tertarik dalam penelitian mengenai kajian manusia, teknologi, informasi, dan sosial-budaya. Tidak seperti pendekatan penelitian lainnya, seperti percobaan laboratorium, yang berjuang untuk mempertahankan relevansinya terhadap fakta lapangan, “laboratorium” riset tindakan adalah fakta lapangan (real world) itu sendiri. Burns (2005) melakukan klasifikasi pada tiga jenis riset tindakan, yaitu 1) riset tindakan teknis atau technical AR, 2) riset tindakan praktis atau practical AR, dan 3) riset tindakan kritis atau critical AR (Tabel 6). Pelaksanaan dalam penelitian riset tindakan dimulai dengan perencanaan, eksekusi (intervensi), observasi, dan refleksi, sebelum akhirnya peneliti akan kembali membuat perencanaan dan terlibat dalam siklus baru (Checkland 1991; Zuber-Skerrit 1991; Dick 1993). Perencanaan yang dibuat peneliti, secara tipikal, harus berkaitan dengan masalah sosial atau praktis daripada berkaitan dengan pertanyaan teoretis (Kemmis 1988). Peters dan Robinson (1984) menegaskan bahwa peneliti perlu melampirkan pentingnya nilai, kepercayaan dan tujuan dari partisipan, karena peneliti berupaya untuk mengubah realitas sosial menjadi lebih baik dalam referensi kerangka yang bebas (emancipatory frame of reference). Barton et al. (2009) menyatakan bahwa penelitian ilmiah (scientific research) dan riset tindakan (action research) bukanlah pendekatan ilmu pengetahuan yang saling berkompetisi satu sama lain, melainkan saling melengkapi (complementary). Lebih lanjut lagi, Barton at al. (2009) menyatakan bahwa riset tindakan dan positivis memainkan peran komplementer dalam cakupan metode ilmiah dimana hipotesis diusulkan, diuji, dan ditindak sepanjang proses logis yang dapat dijelaskan oleh referensi dalam membingkai (framing) hipotesis pada konteks sistem terbuka dan tertutup. Namun Blum, diacu dalam
72
Barton et al. (2009) menyatakan bahwa desain dari metode ilmiah secara ideal perlu dipengaruhi oleh tujuan sosial penelitian.
Tabel 6 Karakteristik utama pendekatan riset tindakan Technical AR
Practical AR
Critical AR
Basis filosofi
Ilmu alamiah (natural sciences)
Hermeneutics
Teori kritis (critical theory)
Sifat realitas
Dapat diukur
Berganda (multiple), holistik, dibangun (constructed)
Interelasi dengan struktur kekuatan sosial dan politik
Sifat masalah
Sudah dikenal (problem-posing)
Ditentukan dalam konteks (problem solving)
Ditentukan dalam konteks hubungan untuk memunculkan nilai (problematising)
Status pengetahuan
Terpisah, deduktif
Induktif, produksi teori,
Induktid, produksi teori, emansipatori, dan parsipatori
Sifat pemahaman
Kejadian dijelaskan dalam bentuk sebab nyata dan efek bersama
Kejadian digambarkan dalam bentuk interaksi antara konteks eksternal dengan pemikiran individual
Kejadian dipahami dalam bentuk politik, sosial, dan hambatan ekonomi untuk meningkatkan kondisi
Tujuan penelitian
Menemukan “hukum” dari realitas
Menemukan arti dari orangorang yang membuat tindakan
Memahami apa yang menghalangi demokratik dan praktik yang sama
Hasil perubahan
Perubahan bersifat bebas nilai dan jangka pendek
Perubahan bersifat terikat nilai dan bergantung pada keterlibatan individu
Perubahan bersifat relati nilai dan mendorong mansipasi terus menerus
Sumber: Burns (2005)
Kebutuhan akan hasil praktis, menempatkan riset tindakan dalam konteks sosial dimana interaksi antara lingkungan “eksperimen” dan interaksi eksperimen itu sendiri menempati peran kritis dan bernilai. Hal ini menunjukkan bahwa ada interaksi antara peneliti, subjek, dan konteks. Barton et al. (2009) menyatakan bahwa sebuah usaha telah diciptakan untuk mengidentifikasikan seperangkat norma dan kriteria yang digunakan untuk mendesain dan menilai riset tindakan, serta merepresentasikan riset tindakan sebagai scientifically rigorous. Secara singkat, Barton et al. (2009) menyimpulkan bahwa positivis (berkaitan dengan closed systems thinking) dan riset tindakan (berkaitan dengan open systems thinking) bersifat esensial dan melengkapi pendekatan ilmiah. Barton et al. (2009) menyatakan bahwa riset tindakan berhubungan dengan fase evaluasi dan abductive. Pembentukan fase abductive melibatkan teknik
73
brainstorming, mind-maps, analisis naratif, dan analisis kasus sebagai pendekatan dalam mengekstratindakan persepsi stakeholder dalam situasi kompleks. Tolbert (1974), diacu dalam Barton et al. (2009) mengajukan tujuh kriteria riset tindakan. Pertama, pencarian nilai sosial yang dirangkai dalam sistem terbuka/sosio-ekologi/konteks worldview. Kedua, proses logis dapat diidentifikasi dengan mudah melalui mode kesimpulan (modes of inference) abductive, deduktif, dan induktif. Ketiga, proses kelompok yang mengadopsi perspektif ganda dan nilai pluralis baik sebagai pembatas yang bertentangan dengan perilaku keliru (hedge against fallible behaviour) dan sebagai platform praktik etis. Keempat, teknik evaluasi kritis yang melibatkan single, double, dan triple loop learning. Kelima, basis operasional dalam pembelajaran dialektis. Sebagai contoh, pembuatan perbandingan kritis antara bingkai sistem atau perspektif berbeda. Keenam, pengawasan proses dalam siklus riset tindakan yang menginformasikan
(secara
minor)
koreksi
yang
dapat
dibuat
dan
didokumentasikan. Ketujuh, kemungkinan bagi setiap tahap pertimbangan dalam bentuk riset tindakan berulang. Barton et al. (2009) memberikan komparasi antara riset tindakan dengan penelitian positivis (Tabel 7). Barton et al. menyatakan, positivis tidak mempunyai fase pengambilan tindakan (taking action) dalam dunia yang lebih luas dan melakukan upaya untuk mengeluarkan kepentingan nilai ilmiah dan kemungkinan dalam perubahan konteks.
Tabel 7 Komparasi riset tindakan dengan positivist science Property
Positivist Science
Action Research
Systems frame
Closed
Open
Repeatability
Experimental result
Process
Conditionals on hypotheses
Known and controllable
Unknown and not controllable
Objectivity
Apparent indpedence of Researcher but dependent on The norms of peers
Triple loop learning evaluation; dependent on values of the community of inquiry
Dominant mode on inference
Deduction
Abdusction
Action based
No
Yes
Sumber: Barton et al. (2009b)
74
Menurut Lipton (2004) dalam kasus-kasus tertentu, ketika observer menghadapi kepraktisan tindakan, positivis tidaklah cukup dan observer menemukan diri mereka untuk mengambil tindakan, atau paling tidak mengkontemplasikan hal tersebut pada basis “kesimpulan bagi penjelasan terbaik (inference to the best explanation)”. Hipotesis terbaik dibentuk dan disesuaikan dengan tindakan dalam konteks pengawasan, intervensi penyesuaian, dan evaluasi. Menurut Barton et al. (2009), bagaimanapun positivis bersifat kritis dalam menetapkan (establishing) hipotesis “terbaik”. Fakta penting, bahwa harus menerima positivis hanya mengkonfirmasi hipotesis dalam kondisi yang ketat (under strict conditions). Saat bertindak dalam hipotesis pada konteks open system, harus menggunakan basis hipotesis dengan penjelasan terbaik dan bertransisi dari area penelitian positivis ke area penelitian riset tindakan. Uchiyama (1999), mengkaji perbandingan antara positivist dan riset tindakan dengan menggunakan skema PDS (plan, do, see - rencanakan, lakukan, amati) (Tabel 8). Karakteristik utama dari positivism adalah verifikasi hipotesis (model “reality”) untuk memperoleh pengetahuan ilmiah, sedangkan karakteristik riset tindakan adalah refleksi tindakan dalam aspek “S” untuk memperoleh tacit atau pengetahuan berdasarkan pengalaman (tacit or experiencebased-knowledge). Tabel 8 Perbandingan antara paradigma positivism dengan riset tindakan Positivism
SSM-based AR
Plan
Hypothesis (The model of “reality”) Experimental Design
A Omoi Moddel A model relevant to “actuality” Action Plan
Do
Observation Collection Data
Carry out Action Plan Learning by doing
See
Verification
Reflection in action
Kind of Knowledge
Scientific or Explicit Knowledge
Tacit or Experience-based knowledge
Standard of Validity
Repeatability
Recoverability
Sumber: Uchiyama (1999)
75 Paradigma positivism mengembangkan model “reality” sebagai hipotesis, kemudian mendesain rencana eksperimental. Riset tindakan membentuk model relevan bagi “actuality”, melalui akomodasi dan desain rencana tindakan berdasarkan pembelajaran pertama yang diberikan dari perbedaan antara model dan “reality” pada aspek “P”. Selanjutnya, pada aspek “D” positivism membawa rencana eksperimental, mengobservasi hasilnya, dan mengumpulkan data, kemudian mencari apakah hipotesis benar (“ya”) atau tidak benar (“tidak”) pada aspek “S”. Apabila hasil hipotesis “tidak” harus kembali ke fase “P” atau menciptakan model baru “reality”, sedangkan hasil hipotesis “ya” maka dapat mengkontribusikan
hipotesis
sebagai
pengetahuan
ilmiah
bagi
koleksi
pengetahuan manusia. Riset tindakan membawa rencana tindakan dalam fakta lapangan oleh peneliti sebagai perencana pada aspek “D”, kemudian merefleksi tindakan pada aspek “S”. Baik hasil tindakan ini sukses atau tidak, peneliti tetap dapat memperoleh proses “belajar sambil melakukan learning by doing” sebagai pembelajaran kedua,
dan kemudian
peneliti
dapat
menginternalisasikan
pembelajaran ini sebagai pengetahuan berdasarkan pengalaman (experiencebased-knowledge). Lebih lanjut lagi, Uchiyama (1999) menyatakan bahwa riset tindakan berbeda dengan paradigma positivism. Riset tindakan dipandang sebagai upaya untuk memperoleh pengetahuan berdasarkan pengalaman (experience-based knowledge) yang dapat diaplikasikan pada fakta lapangan melalui praktik oleh peneliti itu sendiri. Berdasarkan hasil kajian ini, Uchiyama mengkategorikan SSM sebagai bagian dari riset tindakan. Menilik latar belakang SSM, Checkland dan Poulter (2006) memaparkan bahwa SSM dikembangkan menggunakan model penelitian alternatif model yang tepat untuk penelitian sosial pada level situasi kelompok atau organisasi yaitu riset tindakan (action research). Uchiyama (1999) menjelaskan bahwa riset tindakan memfasilitasi suatu siklus tak berakhir (endless cycle) bagi proses belajar sambil melakukan (learning by doing). Sebagai kajian riset tindakan, Checkland menitik beratkan SSM pada problem situation bukan dari teori. Sebagai alat pemecahan masalah, SSM muncul
76
bukan sebagai alat menghasilkan teori dan alat menguji teori (Rose 1982). Sudut filosofis dari metodologi (ontologi dan epistemologi) ditempatkan pada matriks kuadran ‘interpretatif’ (Burell dan Morgan 1979). Menurut Rose (1982), SSM berada pada penggunaan konsep sistem sebagai alat epistemologi mendapatkan pengetahuan dunia. Checkland (1981) mengatakan, “kita harus mengingatkan diri kita sendiri bahwa terdapat perbedaan antara realitas kompleks dengan catatan kita pribadi (sebagai peneliti) mengenai hal tersebut.” Checkland (1999) menjelaskan, bahwa “hard systems thinking” berasumsi bahwa dunia yang dirasakan (perceived world) terdiri dari holons, sedangkan “soft systems thinking” berasumsi bahwa metodologi adalah proses investigasi (process of enquiry) sehingga menjadi holons. Rose (1982) menyatakan, bahwa model SSM dibedakan dari model sistem konvensional lainnya (bentuk deskriptif dan normatif dari ‘sistem’). Investigasi metodologi tidak diperoleh dari perspektif ontologi pada dunia sistemik, tetapi dari konsep sistem epistemologi yang menstrukturkan pemikiran tentang dunia. Berdasarkan perspektif riset tindakan, teori Kurt Lewin diacu dalam Barton et al. (2009) telah mengalami berbagai inovasi dan perbaikan (refinements). Masalah objektivitas telah dijelaskan oleh Argyris dan Schon (1989), melalui konsep pembelajaran single dan double loop yang melibatkan refleksi terbuka. Proses ini masih diperluas dengan dua cara yaitu 1) Flood dan Romm melalui konsep pembelajaran triple loop, dan 2) Checkland dan Howell melalui konsep struktur FMA dan kegunaannya dalam fase pembelajaran double loop. Checkland dan Poulter (2006) memaparkan, bahwa SSM dikembangkan menggunakan model penelitian alternatif model yang tepat untuk penelitian sosial pada level situasi kelompok atau organisasi yaitu riset tindakan (action research). Uchiyama (1999) menjelaskan, bahwa riset tindakan memfasilitasi suatu siklus tak berakhir (endless cycle) bagi proses “belajar sambil melakukan (learning by doing)”. Jenis penelitian ini, peneliti akan menerima kesulitan berupa ‘scientific’ experimental work. Kesulitan tersebut muncul karena situasi manusia yang unik, selalu berubah setiap waktu, dan memunculkan berbagai paradigma yang
77
berlawanan. Checkland dan Poulter (2006) menegaskan, bahwa peneliti riset tindakan (action researcher) harus masuk ke dalam situasi manusia dan mengambil tindakan dalam kegiatan tertentu, serta menggunakan pengalaman tersebut sebagai objek penelitian. Peneliti harus menyatakan kerangka kerja intelektual terlebih dahulu untuk memperoleh pemahaman mengenai pengalaman yang diperolehnya. Kerangka kerja eksplisit akan membantu peneliti dalam menggambarkan pengalaman risetnya dalam kerangka kerja yang terdefinisikan dengan baik (well defined language of framework). Hal itu memungkinkan setiap orang di luar penelitian untuk ‘menemukan kembali (recover)’ kerangka kerja tersebut, untuk melihat apa yang telah dikerjakan dan bagaimana kesimpulan yang dicapai. Representasi proses riset tindakan yang sering digunakan, yaitu berupa siklus tunggal (dengan kemungkinan pemakaian berulang-ulang) tidak peduli apapun penggambaran riset tindakan yang digunakan (Baskerville & WoodHarper 1996; Susman & Evered 1978; Avison & Wood Harper 1991, diacu dalam McKay dan Marshall 2001). Siklus ini dapat dilakukan melalui satu kali siklus (mengacu pada Baskerville dan Harper 1998 sebagai riset tindakan linear dalam McKay dan Marshall 2001) atau siklus tersebut dapat diulang dalam konteks yang sama sehingga kepuasan hasil telah tercapai. Gambar 11 memperlihatkan terdapat sejumlah kajian yang merepresentasi berbagai jenis proses riset tindakan (Kuadran A: McKay 2000; Kuadran B: Susman dan Evered 1978; Kuadran C: Burns 1994; Kuadran D: Checkland 1991, McKay dan Marshall 2001). Berdasarkan penjelasan di atas, sebagain besar literatur tentang riset tindakan mengartikan riset tindakan dalam konteks proses pembelajaran sambil melaksanakan sesuatu (learning by doing) dan utamanya untuk keperluan pemecahan masalah atau problem solving (Hardjosoekarto 2012). Kendatipun demikian, menurut O’Brien (1998) proses pemecahan masalah dengan riset tindakan ini dapat dibedakan dari proses pemecahan masalah dalam pengertian sehari-hari, termasuk pemecahan masalah dalam konteks konsultansi dan praktik professional yaitu dalam hal penekanannya pada studi saintifik (scientific study).
78
Sumber: McKay dan Marshall (2001)
Gambar 11 Representasi dari siklus action research.
Menurut Hardjosoekarto (2012), peneliti dalam suatu riset tindakan melakukan kajian terhadap masalah yang akan dipecahkannya dengan cara yang sistematik dan menjamin bahwa intervensi yang dilakukan dilandasi oleh pertimbangan teoritis tertentu. Maknanya, proses pemecahan masalah di dalam suatu organisasi dapat dibedakan antara pemecahan masalah yang berbasis riset tindakan dengan pemecahan masalah yang tidak berbasis riset tindakan. Selain didasarkan pada penahapan proses tertentu, pemecahan masalah yang berbasis riset tindakan ini didasarkan juga pada pertimbangan teoritis tertentu. Selanjutnya, untuk memfasilitasi penggunaan metode SSM dan pencarian konten situasi, Checkland dan Poulter (2006) menawarkan aplikasi penggunaan SSM dalam dua model yaitu SSM (p) untuk proses penggunaan SSM untuk melakukan studi, dan SSM (c) untuk menangani penyelesaian isi situasi yang bermasalah (Gambar 12). Senada dengan Checkland dan Poulter (2006), McKay dan Marshall (2001) membagi SSM menjadi dua proses siklus ganda atau dual cycle process, yaitu problem solving interest dan research interest (Gambar 13).
79
Gambar 12 Proses penggunaan SSM
Gambar 13 Riset tindakan yang dipandang sebagai proses siklus ganda (dual cycle). Pada penelitian yang berbasis problem solving interest (Gambar 14) pada riset tindakan, McKay dan Marshall (2001) memaparkan bahwa peneliti riset tindakan (action researcher) harus menyadari permasalahan fakta lapangan (real world) yang salah satunya menyediakan cakupan untuk uraian tema atau ide penelitian. Setelah dilakukan identifikasi, peneliti harus melakukan penyelidikan dan pencarian fakta. Peneliti harus mencoba mencari lebih banyak sifat dasar dan konteks permasalahan, siapa pemilik masalah, peranan kunci pemangku kepentingan dalam proses pemecahan masalah, sejarah, budaya, dan komponen politik yang relevan. Kemudian, peneliti dan partisipan dapat berkolaborasi dalam merencanakan strategi pemecahan masalah.
80
Perencanaan tersebut, nantinya diimplementasikan ke dalam beberapa tahap
tindakan.
Selanjutnya,
implementasi
ini
harus
dimonitor
untuk
mengevaluasi dampaknya terhadap situasi permasalahan yang dirasakan. Pada waktu tertentu, ketika kepuasan hasil penelitian dianggap telah tercapai oleh pemangku kepentingan maka peneliti keluar dari situasi tersebut atau mengembangkan rencana tindakan dan membuat perubahan tambahan terhadap konteks permasalahan. Kajian riset tindakan yang berbasis research interest (Gambar 15), peneliti harus memiliki tema, ide, tujuan, dan pertanyaan penelitian terkait dengan apa yang ingin peneliti capai. Setelah mengidentifikasikan minat penelitiannya, peneliti akan menggunakan literatur yang relevan untuk mengklarifikasi dan mengidentifikasi kerangka teori yang ada dan relevan. Peneliti menggunakan kerangka kerja teori untuk mengidentifikasi minat penelitiannya, kemudian peneliti merencanakan dan mendesain proyek penelitian yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan penelitian, tema, dan tujuannya.
Sumber: McKay dan Marshall (2001)
Gambar 14 Problem solving interest.
Selanjutnya,
peneliti
akan
Gambar 15 Research interest.
mengambil
tindakan
terkait
dengan
penelitiannya. Tindakan ini dimonitor berdasarkan minat penelitian, dan dievaluasi untuk melihat efek intervensi penelitian terhadap pertanyaan penelitian. Ketika pertanyaan penelitian terjawab atau kepuasan tercapai (dengan mengacu pada teori yang digunakan), maka peneliti akan keluar dari setting penelitian.
81
Peneliti juga dapat mengembangkan rencana dan desain penelitian untuk mencari penjelasan lebih jauh mengenai teori dan hasil penelitian. Lebih lanjut lagi, McKay dan Marshall (2001) menyatakan bahwa refleksi pada F, MR, dan A dapat melahirkan pandangan baru yang tidak pernah diantisipasi dalam pertanyaan penelitian sebelumnya (Gambar 16). Pada siklus problem solving interest, McKay dan Marshall (2001) juga menyatakan bahwa refleksi terhadap P menggunakan MPS dapat melahirkan experiential learning mengenai P dan MPS. Hal ini merupakan suatu pembelajaran yang didapat dari pengalaman yang dilakukan, dimana terdapat aktivitas intervensi dan tindakan pada konteks fakta lapangan, akan mendorong peneliti dan partisipan dalam experiential learning. Pada siklus research interest, peneliti dapat merefleksikan F, A, dan MR, juga akan dapat menghasilkan pandangan baru, memodifikasi pertanyaan yang telah ada, atau mendapatkan pertanyaan baru. Lebih lanjut lagi, McKay dan Marshall (2001) memaparkan pula bahwa desain siklus research interest nantinya akan melahirkan pengetahuan baru untuk dihasilkan (generated) pada A dan atau F. Selanjutnya, dengan merefleksikannya kepada F, A, dan MR, siklus research interest juga akan dapat menghasilkan pandangan baru, memodifikasi pertanyaan yang telah ada, atau mendapatkan pertanyaan baru.
Sumber: McKay dan Marshall (2001)
Gambar 16 Kerangka kerja riset tindakan.
82
2.8
Tinjauan Studi Terdahulu yang Relevan Penelitian terhadap pengembangan UKM sentra industri pengolahan
kerupuk ikan dan udang di Indramayu, dilandasi oleh beberapa penelitian sebelumnya. Beberapa penelitian memberikan acuan tentang pengembangan UKM sentra, dan penelitian yang dilakukan dari perspektif daya saing, resourcesbased, soft system methodology, dan riset tindakan (action research). Widjajani dan Yudoko (2008) melakukan kajian tentang keunggulan kompetitif industri kecil dengan pendekatan berbasis sumber daya. Penelitian ini merupakan penelitian proses strategi (strategy process research), yang meneliti perilaku strategis manajer pemilik industri kecil dalam mengelola usahanya untuk membangun keunggulan kompetitif dengan pendekatan berbasis sumber daya (resource-based view atau RBV). Paradigma penelitian yang digunakan adalah interpretatif-induktif-kualitatif
dengan
penggabungan
antara
soft
systems
methodology (SSM) dan grounded theory. Hasil dari penelitian ini berupa model konseptual yang menggambarkan proses industri kecil logam di industri kecil tradisional logam Kiara Condong dalam membangun keunggulan kompetitifnya. Perilaku strategis yang ditemukan pada penelitian ini terdiri dari empat model, yaitu model perilaku penentuan strategi, model perilaku pelaksanaan produksi, model perilaku pelaksanaan litbang dan inovasi, serta model perilaku pelaksanaan pemasaran. Surminah et al. (2007) melakukan kajian tentang penggunaan soft systems methodology (SSM) dalam kemitraan antara lembaga litbang pemerintah dengan industri. Kajian ini fokus pada penggunaan metodologi SSM dan menyajikan ilustrasi proses dan luaran metodologi SSM dalam memahami kemitraan antara lembaga litbang pemerintah dengan industri. Kesimpulan yang didapatkan antara lain 1) SSM dapat dijadikan alternatif pendekatan untuk memahami dan menyelesaikan masalah yang terjadi pada litbang pemerintah seperti masalah kemitraan antara lembaga litbang pemerintah dengan industri; dan 2) Penggunaan SSM dalam konteks kemitraan litbang pemerintah dengan industri perlu memperhatikan masalah komunikasi, budaya organisasi, peraturan yang berlaku di antara pihak yang terlibat untuk mengurangi konflik dalam penggunaan metode ini.
83
Djamhari
(2006)
melakukan
kajian
tentang
faktor-faktor
yang
mempengaruhi perkembangan sentra UKM menjadi klaster dinamis. Faktor-faktor yang secara tunggal atau berkombinasi, mempengaruhi daya hidup (viability) klaster UKM adalah jejaring kemitraan, inovasi teknologi, modal SDM dan kewirausahaan, infrastruktur fisik, keberadaan perusahaan besar, akses ke pembiayaan usaha, layanan jasa spesialis, akses terhadap pasar dan informasi pasar, akses terhadap layanan pendukung bisnis, persaingan, komunikasi, dan kepemimpinan. Intensitas dan spektrum kekuatan variabel ini beragam, dan hal ini dipengaruhi oleh kondisi internal dan eksternal klaster itu sendiri. Pada kondisi internal, faktor yang berpengaruh antara lain usia kematangan klaster, keragaman usaha (homogeneity), tingkat resiko bisnis diantara UKM di dalamnya, dan probabilitas pelaku usaha dalam klaster akan tetap berafiliasi dengan klasternya. Faktor eksternal yang menonjol adalah faktor stabilitas ekonomi makro yang mempengaruhi iklim usaha, kelangsungan order, dan pelaku baru (business new entrants) yang memperburuk suasana persaingan pasar, dan last but not least, adalah regulasi pemerintah. Martin et al. (2008) melakukan kajian tentang penatakelolaan kawasan hutan rawan konflik melalui pendekatan metodologi sistem lunak. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan pemahaman opini stakeholder yang berbeda (terpencar) terhadap perubahan yang diinginkan dan memungkinkan, dengan menggunakan metodologi sistem lunak/SSM (Soft System Methodology). Kesimpulan yang didapatkan, bahwa 1) prinsip-prinsip SSM yang dijalankan melalui strategi fasilitasi reflektif mampu mengubah suasana konflik yang disebabkan oleh perbedaan perspektif dan kepentingan menjadi media pembelajaran
sosial
saling memahami,
sehingga
menghasilkan
langkah
penatakelolaan bagi blok agroforestri hutan penelitian benakat yang semula “tidak terkelola”, dan 2) fase intervensi dalam tahapan SSM ini belum secara signifikan mengubah sikap para pihak terhadap preferensi tata guna lahan. Ini berarti potensi konflik dalam masa depan tetap ada, namun berpeluang untuk dikelola setelah terbukanya jalur komunikasi antarpihak melalui beragam aktivitas pengelolaan bersama.
84
Absah
(2008)
melakukan
kajian
tentang
kompetensi
perusahaan.
Berdasarkan hasil kajian, bahwa perusahaan yang memiliki tim manajemen dengan keahlian optimal dan metode bersaing yang didasarkan pada kompetensi inti akan mampu mencapai kinerja yang lebih tinggi dibandingkan perusahaan lain yang tidak dapat melakukannya. Kompetensi
superior
akan
memungkinkan
perusahaan
memperoleh
informasi apa yang dibutuhkan dan diinginkan oleh pelanggannya, dengan demikian perusahaan yang memiliki karyawan dengan kompetensi yang tinggi, akan lebih mampu menyediakan produk dan layanan yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan pelanggan. Perusahaan dengan kompetensi superior, dapat memperoleh keunggulan bersaing yang berkesinambungan dan selanjutnya dapat meningkatkan kinerjanya. Selanjutnya
agar
dapat
mempertahankan
keunggulan
bersaing
tersebut,
kompetensi yang dimiliki perusahaan haruslah mampu menambah nilai, langka, sulit ditiru, dan sulit digantikan. Pengetahuan yang dimiliki karyawan perusahaan menjadi salah satu kompetensi yang sulit ditiru, karena membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang mahal untuk ditiru. Selain itu seseorang dengan keahlian khusus yang dimiliki perusahaan akan menjadi keunggulan strategis dan merupakan basis bagi kinerja superior. Perusahaan dengan kompetensi yang bernilai dan langka akan menghasilkan keunggulan bersaing yang lebih besar dibandingkan pesaingnya, yang selanjutnya menghasilkan kinerja keuangan superior. Keunggulan bersaing dan kinerja yang dihasilkan perusahaan merupakan konsekuensi dari sumber daya khusus dan kompetensi yang dimiliki. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa perusahaan harus memiliki kemampuan untuk mengkordinasikan sumber daya strategis dengan baik, karena merupakan kunci dalam membangun kompetensi dan pada akhirnya pencapaian kinerja yang tinggi. Rahman (2006) melakukan kajian tentang kerangka dasar pembentukan kebijakan UKM Indonesia. Kajian lebih diarahkan dan difokuskan pada upaya untuk mengidentifikasi dasar-dasar penetapan kebijakan UKM Indonesia serta kebijakan apa saja yang relevan, sesuai dengan hasil identifikasi tersebut.
85
Kerangka utama dalam upaya menetapkan kebijakan pengembangan dan perkuatan UKM dapat dimulai dari upaya untuk mengidentifikasi pola dasar dalam pengembangan UKM, dalam bentuk tingkatan dalam kebijakan UKM yang akan berpengaruh terhadap proses operasinya sehari hari, yaitu kebijakan pada tingkatan mikro (micro level policies), tingkatan makro (macro level policies) dan tingkatan meso (meso level policies). Identifikasi kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan ketiga pola dasar kebijakan pengembangan UKM tersebut amat diperlukan untuk mengetahui apa saja prioritas/fokus kebijakan pengembangan UKM yang dapat ditetapkan. Hal ini tentunya dilakukan berdasarkan kebutuhan dan fakta serta kondisi riil yang terjadi pada UKM Indonesia. Kesimpulan dan implikasi kebijakan yang didapatkan antara lain 1) diperlukan pengembangan kebijakan UKM yang sesuai sifatnya, harus berdasarkan pada fakta dan kondisi yang terjadi pada UKM; 2) memperhatikan fakta-fakta yang terjadi pada UKM Indonesia, maka akan lebih relevan dan efektif jika pada tahap awal prioritas/fokus kebijakan lebih diarahkan pada upaya perkuatan kapasitas internal UKM dan peningkatan firm level competitiveness UKM Indonesia atau dengan kata lain, penetapan kebijakan pada mikro level; 3) pengembangan kebijakan UKM perlu dilakukan secara integral, dinamis dan berkelanjutan dengan melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan terhadap eksistensi UKM dalam perekonomian Indonesia. Fitriati (2012) melakukan kajian tentang rekontruksi daya saing UMKM berbasis soft systems methodology. Berdasarkan hasil kajian, bahwa penggunaan framework NIES pada rekonstruksi daya saing UMKM dalam menjamin tercapainya daya saing UMKM industri kreatif pada 1) tataran makro menunjukkan besarnya peran state regulation dan market mechanism; 2) tataran meso menunjukkan besarnya peran collective action serta monitoring and enforcement; 3) tataran mikro menunjukkan adanya peran decoupling & compliance, serta embeddedness pada pelaku usaha yang merupakan basis daya saing di tataran mikro; dan 4) adanya hubungan timbal balik di antara tiga tataran berupa interkonektivitas (interconnectivity) dan penjajaran (alignment) pada tiga tingkat kerangka kelembagaan berbasis daya saing.
86
Dalam konteks UMKM industri kreatif Kota Depok sebagai rujukan penelitian, hubungan tersebut dapat diwakili, pertama, hubungan timbal balik secara top-down (makro ke meso dan mikro) yang timbul dari kebutuhan terhadap aturan yang jelas, yang memberikan kesempatan dan kepastian usaha bagi UMKM untuk dapat menjalankan usahanya, mengakses sumber daya produktif dan mendapatkan perlindungan usaha dari persaingan yang tidak sehat. Aturan yang jelas juga dapat mendorong terbentuknya usaha bersama/kolektif yang memungkinkan tercapainya skala usaha dan efisiensi usaha yang lebih tinggi di antara UMKM, yang difasilitasi melalui kelompok usaha atau asosiasi. Kedua, hubungan timbal balik yang timbul secara bottom up (dari mikro ke meso ke makro), dimana aspirasi UMKM yang disalurkan melalui asosiasi menjadi masukan bagi kebijakan di tingkat makro yang dibutuhkan untuk penguatan kelembagaan (insitutional strengthening) dan kapasitas UMKM. Berkembangnya sentra-sentra UMKM industri kreatif dengan komoditas unggulannya masingmasing juga dapat mempengaruhi pengembangan struktur kebijakan dan pembinaan yang perlu disediakan untuk mendukung peningkatan daya saing UMKM di sentra-sentra tersebut. Hubungan timbal balik ini menunjukkan bahwa mekanisme decoupling, compliance dan embeddedness dalam pengembangan daya saing UMKM. Untuk UMKM industri kreatif di Kota Depok, hubungan timbal balik di antara tiga tataran sebenarnya sudah berjalan, meskipun masih perlu dioptimalkan. Puradinata
(2012)
melakukan
kajian
tentang
pembelajaran
interorganisasional dan penciptaan pengetahuan dalam pengembangan bioethanol di Indonesia dengan pendekatan soft systems methodology. Penelitian ini merupakan implementasi dari penelitian dual imperatives (McKay dan Maeshall 2001), mencakup research interest dan problem solving interest, yaitu riset tindakan (action research) yang menggunakan soft system methodology (SSM). Penelitian ini termasuk katagori SSM based action research, yang sesuai dengan kategori theoritical research practice/business change practice dari Cronholm and Goldkuhl (2003). Dalam penelitian ini dikaji bagaimana suatu organisasi bisnis menyiapkan dirinya mengatasi berbagai masalah problematik yang dihadapinya.
87
Penelitian ini menyimpulkan bahwa efektivitas proses pembelajaran IGDI (identification, generation, diffusion, and integration) dipengaruhi oleh faktor keberhasilan yang terdiri dari motivasi, leadership, trust, kapasitas penyerapan, kemampuan mengkombinasikan berbagai kapabilitas, kedekatan, dan teknologi infromasi. Sedangkan untuk mengatasi masalah problematiknya PT. Medco Ethanol Lampung harus mengadakan integrasi vertical ke arah hulu, agar menjamin tersedianya bahan baku dalam waktu, harga, dan kualitas yang sesuai standar, melalui penguasaan perkebunan. Sedangkan ke arah hilir perlu memperluas konsumen melalui kerja sama erat dengan pemerintah, yang diharapkan bisa memfasilitasi upaya peningkatan jumlah konsumen.
Secara
keseluruhan harus ada sinergi antara makro dan mikro untuk mencapai keunggulan bersama.
3 3.1
METODOLOGI
Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan melalui tahapan persiapan, pengumpulan data,
pengolahan data, dan analisis data. Tahap persiapan dan pengumpulan data dilakukan selama empat bulan, mulai Juli 2011 sampai dengan Nopember 2011. Pengolahan dan analisis data dilakukan selama sepuluh bulan, mulai Nopember 2011 sampai dengan September 2012. Kegiatan persiapan, pengolahan, dan analisis data dilaksanakan di Jakarta, sedangkan pengumpulan data dilakukan di lokasi penelitian yaitu Desa Kenanga Blok Dukuh, Kecamatan Sindang, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Fokus penelitian yang ditinjau adalah 34 unit pengolahan ikan (UPI) UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Desa Kenanga, yang terdiri dari 26 UPI skala usaha kecil dan 8 UPI skala usaha menengah.
3.2
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan soft system methodology (SSM),
dimana inti proses pendekatan metode SSM adalah membandingkan antara kondisi nyata yang ada dengan kondisi model yang seharusnya terjadi, sehingga menghasilkan pemahaman lebih baik atas kondisi yang dijadikan objek penelitian. Implikasinya adalah dihasilkan beberapa ide untuk menghasilkan perbaikan melalui sejumlah aksi. Menurut Jeppensen (2009), SSM dapat dibedakan dengan beberapa metodologi yang berkembang dalam khazanah riset sosial, baik yang secara langsung berlabel metodologi serba sistem (system methodology) maupun yang tidak secara langsung berlabel metodologi serba sistem. Tiga ciri utama SSM adalah 1) pemahaman dan analisis situasi masalah; 2) analisis relasi dan peran para pihak terkait; dan 3) analisis relasi dan peran politik serta sosial para pihak terkait. Secara singkat, suatu metodologi penelitian dapat dibedakan menjadi metodologi berpikir serba sistem keras (hard system thinking) dan berpikir serba
90
sistem lunak (soft system thinking). Perbedaan umum dua kategori berpikir serba sistem menurut Maani dan Cavana (2004) dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9 Perbedaan umum dua kategori berpikir serba sistem Hard System Thinking
Soft System Thinking
Fakta lapangan
Well structured (strukturnya berbentuk)
Ill structured (strukturnya tidak berbentuk)
Fakta lapangan
Simply complexity (kompleksitas sederhana)
Complexity (kompleksitas)
Orientasi riset
Bersifat eksternal
Bersifat internal
Contoh metodologi
System dynamics
Soft system methodology
Sumber: Maani dan Cavana (2004)
Kerangka kerja teori atau theoretical framework (F) dan metode (M) yang digunakan untuk memformulasikan dan memandu intervensi penelitian, serta menciptakan perasaan akumulasi pengalaman dalam intervensi penelitian tersebut (Checkland 1991). Refleksi terhadap F, M, dan A atau tema penelitian dilakukan agar penemuan hasil penelitian tercapai. Dalam konteks penelitian ini, peneliti menggunakan SSM baik untuk keperluan riset (research interest) maupun keperluan pemecahan masalah (problem solving interest). Pada akhirnya, desain siklus riset tindakan, akan melahirkan pengetahuan baru, memodifikasi pertanyaan yang telah ada, atau mendapatkan pertanyaan baru untuk dihasilkan (generated) pada A dan atau F. Peneliti melakukan perbaikan atas situasi permasalahan (problematical situation) dalam pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu (Tabel 10). Menurut Checkland dan Poulter (2006), metode SSM dilaksanakan melalui tujuh tahapan yaitu 1) identifikasi permasalahan tidak terstruktur; 2) strukturisasi permasalahan; 3) perumusan root definitions; 4) perumusan model konseptual; 5) perbandingan model konseptual dengan fakta lapangan; 6) penentuan perubahan yang secara sistem diinginkan; dan 7) pelaksanaan langkah tindakan untuk perbaikan. Siklus ini akan berulang apabila ditemukan hal-hal yang dipandang perlu diperbaiki ataupun ditingkatkan kualitasnya.
91
Tabel 10 Framework penelitian pada UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu PENJELASAN Kerangka teoritis (F)
Kerangka kelembagaan (institutional framework) yang dibangun dari tiga tingkat kerangka kelembagaan: makro, meso dan mikro (the new institusionalisms in economics and sociology/NIES) digunakan dalam rangka pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu
Metodologi untuk keperluan riset (MR)
Metodologi action research - Soft systems methodology
Situasi problematis fakta lapangan (P)
Kerangka kelembagaan dalam bentuk aturan formal dan informal sebagai hasil dinamika di antara aktor pada tataran makro, meso dan mikro dalam rangka pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu
Metodologi untuk keperluan pemecahan masalah (MPS) Area spesifik yang akan diteliti (A)
Soft systems methodology
1) Merumuskan permasalahan utama yang terjadi pada UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu 2) Memformulasikan kerangka kelembagaan pada UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu 3) Menyusun strategi pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu
Sumber: diadaptasi dari McKay dan Marshall (2001)
Siklus pembelajaran ini bermula dari mencari tahu tentang situasi problematis dalam mendefinisikan/mengambil tindakan untuk memperbaikinya. Pembelajaran yang terjadi adalah pembelajaran sosial kelompok dalam melakukan penelitian. Meskipun pembelajaran setiap individu untuk sebagian besar atau lebih kecil karena batas personal, maka setiap orang memberikan pengalaman yang berbeda dan pandangan dunia yang berbeda (the different worldviews) yang membawa mereka pada penelitian. Checkland menggunakan konsep sistem, sebagai basis teoretis bagi pembuatan model. Ketika garis pemisah tujuh tahapan SSM dirasakan sebagai kesulitan ontologi yang perlu penjelasan lebih lanjut, fungsi epistemologi sangatlah penting dan jelas. Epistemologi memisahkan produk konseptual pada basis sistem teori yang eksplisit (systems thinking world) dari kesan dan
92 interpretasi yang mungkin sama dengan “konseptual”, namun tidak memiliki fondasi teoritis (real world). Mengambil tindakan sebagai hasil penelitian tentu saja akan mengubah situasi awal ke situasi baru, sehingga pada prinsipnya siklus bisa mulai lagi (sebuah sistem yang relevan kemudian menjadi sebuah sistem untuk membuat perubahan). SSM bukan hanya sebuah metodologi untuk studi set-up khusus atau proyek, melainkan lebih umum cara mengelola kegiatan fakta lapangan yang bertujuan (real-world purposeful activity) dalam arti yang sedang berlangsung.
3.3
Pengumpulan data Penelitian dilaksanakan sesuai dengan tahap-tahap yang telah ditentukan
dalam metode SSM di atas, sehingga metode pengumpulan data yang dilakukan di lapangan bersifat formal maupun informal yaitu melalui teknik pengumpulan data primer dan sekunder. Data primer adalah data yang dikumpulkan langsung oleh peneliti dari para responden, dan bukan berasal dari pengumpulan data yang pernah dilakukan sebelumnya. Data sekunder adalah data yang diperoleh peneliti dari sumber yang sudah ada. Teknik pengumpulan data primer dilakukan melalui observasi lapangan, wawancara, dan merancang kelompok diskusi atau focus group discussion (FGD), sedangkan data sekunder diperoleh melalui studi dokumentasi, buku-buku, surat kabar, makalah, arsip dan dokumen-dokumen lainnya yang berhubungan dengan pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu. Tahapan pengumpulan data diuraikan sebagai berikut: 1)
Studi pustaka Studi pustaka digunakan untuk menelusuri konteks penelitian, studi
terdahulu yang relevan dengan konteks penelitian, dan pengkajian hasil penelitian sebelumnya mengenai pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu, Jawa Barat. 2)
Observasi lapangan Fokus observasi dilaksanakan pada bagaimana karakteristik dynamic
capabilities anggota organisasi dalam proses perumusan suatu kebijakan. Data
93
penting penelitian dari pengamatan mencakup identifikasi tugas masing-masing aktor, identifikasi tools yang dilaksanakan dalam tugas tersebut, membangun interaksi antara aktor dan sistem, menggambarkan kehidupan sehari-hari di lapangan, membangun struktur permasalahan, mengumpulkan tools yang digunakan menghasilkan informasi, dan mengobservasi kinerja partisipan. Semasa observasi, sekaligus dikumpulkan data sekunder yang dibutuhkan. 3)
Wawancara mendalam Wawancara mendalam secara formal dan informal, dilakukan melalui tatap
muka dan tanya jawab langsung terhadap narasumber atau sumber data dan melalui telepon. Teknik wawancara yang diterapkan sebagai teknik pengumpulan data melalui wawancara tidak terstruktur atau wawancara bebas, yaitu peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang berisi pertanyaan yang akan diajukan secara spesifik, dan hanya memuat poin-poin penting masalah yang ingin digali dari responden. Wawancara mendalam dilakukan untuk menangkap abstraksi pemikiran, persepsi, dan refleksi stakeholder yang terkait dalam konteks pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu, Jawa Barat.
Wawancara
mendalam
melibatkan
berbagai
elemen
pemangku
kepentingan, mulai dari pelaku usaha/UKM, koperasi dan asosiasi, pemerintah pusat (Kementerian Kelautan dan Perikanan) dan pemerintah daerah (Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat; Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu). 4)
Kelompok diskusi Kelompok diskusi atau FGD (focus group discussion) bersama dengan
primary maupun secondary stakeholders (pelaku usaha/UKM, koperasi dan asosiasi, pemerintah pusat dan daerah) pada konteks UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu, Jawa Barat. Kelompok diskusi atau FGD ini bertujuan agar dapat menangkap interpretasi dan abstraksi pemikiran para stakeholders dengan lebih mendalam dan komprehensif.
94
3.4
Narasumber penelitian Pemilihan narasumber/responden dalam analisis ini, dilakukan secara
sengaja
(purposive
sampling)
artinya
bahwa
penentuan
sampel
mempertimbangkan kriteria-kriteria tertentu yang telah dibuat terhadap obyek yang sesuai dengan tujuan penelitian. Narasumber penelitian yang dipilih yaitu berdasarkan
tingkat
kepentingan
dalam
konteks
situasi
permasalahan,
pengalaman, dan pengetahuan narasumber. Narasumber diharapkan dapat membantu dalam menelusuri dan memahami situasi
permasalahan
yang
terjadi
dalam
mengembangkan
UKM
dan
meningkatkan daya saing UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu, Jawa Barat. Penelitian menggunakan kerangka Nee (2005) yaitu pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu pada tataran makro, meso, dan mikro.
Narasumber yang terlibat,
sebagai berikut: 1) Pada tataran makro, terdiri dari:
-
Pemerintah pusat: Kementerian Kelautan dan Perikanan
-
Pemerintah daerah: Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat, dan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu
2) Pada tataran meso, terdiri dari:
-
Koperasi Kerupuk Mitra Industri (KKMI) Indramayu
-
Asosiasi Pengusaha Kerupuk Indramayu (APKI)
3) Pada tataran mikro, terdiri dari:
-
Pelaku/pemilik usaha
-
Pekerja pada UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu
3.5
Tahapan Penelitian Mengacu pada research interest dan pemecahan masalah pada penelitian
(problem solving interest) dalam SSM, maka peneliti melakukan beberapa tahapan analisis data (Tabel 11) melalui proses pemulihan (recoverability), bukan pengulangan (repeatability) seperti pada pendekatan kuantitatif (Checkland dan Poulter 2006). Tahapan penelitian yang dilakukan terdiri dari enam tahapan.
95
Mulai dari identifikasi permasalahan tidak terstruktur (unstructured problems) sampai pada penentuan perubahan yang secara sistem diinginkan (systemically desirable) dan secara budaya dapat dikerjakan (culturally feasible).
Tabel 11 Tahapan penelitian dengan pendekatan SSM Tahap SSM
Deskripsi
Teknik Pengumpulan Data
Identifikasi permasalahan tidak terstruktur
Mengumpulkan data primer dan sekunder melalui berbagai macam informasi yang berkaitan dengan situasi permasalahan. Hasil pengumpulan data dan interpretasi informasi akan memberikan gambaran mengenai situasi permasalahan pada konteks penelitian
Studi pustaka, observasi lapangan, dan wawancara mendalam
Strukturisasi permasalahan
Menyusun gagasan-gagasan mengenai situasi permasalahan secara sistematis berdasarkan informasi yang diperoleh sehingga menjadi strukturisasi permasalahan
Studi pustaka, observasi lapangan, dan wawancara mendalam
Perumusan root definitions (RDs)
Menyusun metafora “akar” dari permasalahan yang dapat menyampaikan dan menggambarkan sistem dalam konteks penelitian. RDs menggambarkan apa, bagaimana, dan mengapa dalam sistem yang dilakukan, dan selanjutnya RDs digunakan untuk memperkaya pertanyaan mengenai situasi permasalahan
Studi pustaka dan wawancara mendalam
Perumusan model konseptual
Membuat model berdasarkan panduan RDs, analisis PQR, CATWOE, dan kriteria 3 E (efficacy, efficiency, dan effectiveness)
Studi pustaka, wawancara mendalam, dan kelompok diskusi
Perbandingan model konseptual dengan fakta lapangan
Membandingkan hasil penelitian dengan realita fakta lapangan, melalui tabel untuk memudahkan proses perbandingan. Hasil komparasi tersebut akan menjadi panduan dalam merancang perubahanperubahan yang akan meningkatkan situasi permasalahan
Kelompok diskusi
Penentuan perubahan yang secara sistem diinginkan
Menganalisa dan menginterpretasikan situasi permasalahan berdasarkan komparasi yang telah dilakukan sebelumnya. Hasil analisis tersebut dapat menjadi dasar dalam menentukan perubahanperubahan bagi situasi permasalahan
Kelompok diskusi
Selanjutnya untuk tahap ketujuh yaitu tindakan untuk memperbaiki, menyempurnakan, atau mengubah situasi permasalahan. Dasar dari langkah tindakan ini adalah rumusan saran langkah tindakan sebagaimana telah dibuat pada tahap keenam. Sesuai acuan aplikasi pada action research (McKay & Marshall 2001), peneliti menggunakan dua proses siklus ganda (dual cycle
96
process) yaitu minat pemecahan masalah (problem solving interest) dan minat penelitian (research interest) dapat dilihat pada Gambar 13. Peneliti tidak perlu melakukan tindakan secara nyata di lapangan untuk meningkatkan situasi problematik. Sesuai dengan problem solving interest dan research interest, tindakan hanya sampai pada tahap rekomendasi, sedangkan tahap pelaksanaan rekomendasi dilakukan oleh problem owner dalam masalah ini tataran makro (pemerintah pusat dan daerah), tataran meso (koperasi dan asosiasi), dan tataran mikro (pelaku usaha/UKM).
3.6
Analisis Data Analisis data adalah proses mencari dan mengatur wawancara dan catatan
yang diperoleh di lapangan serta bahan-bahan lain yang telah dihimpun sehingga dapat merumuskan hasil dari apa yang telah ditemukan. Teknik Analisis data dilakukan dengan menggunakan teknik analisis data kualitatif, dengan melakukan analisis secara intensif terhadap data yang telah diperoleh di lapangan berupa kata-kata yang selanjutnya dianalisis menggunakan soft system methodology (SSM). Langkah yang digunakan dalam menganalisis data, sesuai dengan pendapat yang dikembangkan oleh Sugiyono (2005). Analisis dilakukan melalui prosedur dan tahapan-tahapan sebagai berikut: 1)
Pengumpulan data Dalam penelitian kualitatif, proses pengumpulan data bergerak dari
lapangan/ ranah empiris dalam upaya membangun teori dari data. Proses pengumpulan data ini diawali dengan memasuki lokasi penelitian. Dalam hal ini peneliti mendatangi tempat penelitian, yaitu UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu, Jawa Barat. Kemudian dilanjutkan dengan menemui orang-orang yang ditarget sebagai informan penelitian. Pada proses selanjutnya, baru dilakukan pengumpulan data dengan teknik wawancara dan studi dokumentasi untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan dengan lengkap yang diperoleh di lapangan.
97
2)
Reduksi data Reduksi data merupakan pemilihan data dan pemusatan perhatian kepada
data yang betul-betul dibutuhkan sebagai data utama, dan juga data yang sifatnya hanya pelengkap saja. Data yang diperoleh dari lokasi penelitian atau data lapangan, dituangkan dalam uaraian atau laporan yang lengkap dan terinci. Laporan lapangan direduksi, dirangkum, dipilih hal-hal yang pokok, difokuskan pada hal-hal yang penting. 3)
Klasifikasi data Data yang telah terkumpul selama penelitian, kemudian dikelompokkan
sesuai dengan tujuan penelitian. Kelompok data mana yang masuk kepada bentukbentuk pembinaan, hambatan-hambatan, dan juga upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatasi hambatan dalam pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu, Jawa Barat. 4)
Penyajian data Penyajian data dimaksudkan agar memudahkan bagi peneliti untuk melihat
gambaran secara keseluruhan atau bagian-bagian tertentu dari penelitian. 5)
Penarikan kesimpulan Setelah melakukan penyajian data, maka kesimpulan awal dapat dilakukan.
Penarikan kesimpulan ini juga dilakukan selama penelitian berlangsung. Sejak awal ke lapangan serta dalam proses pengumpulan data, peneliti berusaha melakukan analisis dan mencari makna dari yang telah terkumpulkan. Menurut Checkland dan Poulter (2006), analisis data dalam SSM dapat dilakukan melalui beberapa tahapan hingga akhirnya tahapan tersebut dapat divalidasi keakuratan informasinya. Analisis data yang dilakukan pada penelitian ini yaitu: 1)
Analisis situasi permasalahan Checkland dan Poulter (2006) mendefinisikan kehidupan sehari-hari
(everyday life) sebagai relasi perubahan terus menerus yang kompleks sepanjang waktu. Berdasarkan kehidupan sehari-hari tersebut, Checkland dan Poulter memandang bahwa adanya suatu kebutuhan untuk meningkatkan atau menyelesaikan suatu situasi masalah dalam kehidupan sehari-hari.
98
SSM merupakan cara yang terorganisasi untuk menangkap (tackling) situasi problematik yang dirasakan. SSM sangat berorientasi tindakan, lebih lanjut lagi SSM mengorganisasikan pikiran mengenai situasi sehingga tindakan yang diselidiki atau dikaji dapat diambil dan membawa peningkatan pada situasi masalah tersebut. Selanjutnya Checkland dan Poulter (2006) memaparkan bahwa terdapat tiga analisis yang dilakukan dalam memandang situasi masalah, yaitu (1) analisis satu (intervensi); (2) analisis dua (sistem sosial); dan (3) analisis tiga (politik). (1)
Analisis intervensi Analisis intervensi adalah proses identifikasi aktor-aktor yang ada dalam fakta lapangan (real world) yang akan menjadi rujukan, serta peran mereka dalam fakta lapangan. Dalam analisis intervensi sudah harus ditentukan siapa yang akan menjadi client (C), problem solver (PS), dan problem owner (PO). -
Client (C) adalah aktor yang menyebabkan terjadinya intervensi
-
Problem solver (PS) adalah orang/peneliti yang melakukan investigasi terkait dengan research interest.
-
Problem owners (PO) aktor yang concerned dan merasakan situasi yang ada dan perubahan yang akan dirasakan nantinya terkait dengan isu yang menjadi research interest peneliti.
(2)
Analisis sistem sosial Analisis sistem sosial mencakup peran, norma, dan nilai. Secara bersamaan, ketiga elemen tersebut membantu penciptaan pola sosial dari situasi manusia (Checkland & Poulter 2006). -
Peran merupakan posisi sosial dimana menandai perbedaan antara anggota kelompok atau organisasi. Peran dapat disadari secara formal, namun dalam budaya lokal peran dapat disadari secara informal.
-
Norma merupakan perilaku yang diharapkan dimana norma berasosiasi dengan peran dan membantu pendefinisian peran.
-
Nilai merupakan standar atau kriteria dimana perilaku suatu peran dinilai dan “dihakimi”.
99
Ketiga hal tersebut (peran, norma, dan nilai), merupakan sesuatu hal yang akan sekaligus berubah dan bertahan sepanjang waktu (Checkland dan Poulter 2006). (3)
Analisis politik Analisis politik memberikan gambaran mengenai kekuatan yang powerful dalam memutuskan terjadi atau tidaknya sesuatu hal. Analisis politik berfokus pada dua hal yaitu untuk menemukan pengaturan atau penyusunan kekuasaan, dan proses untuk mengisi kekuasaan tersebut.
2)
Analisis gambaran situasi permasalahan (rich picture) Gambaran yang detail dan kaya (rich picture) dibuat melalui diagram,
gambar atau model yang mampu menjelaskan hubungan struktur dan proses organisasi dikaitkan kondisi lingkungan (environment) organisasi. Struktur mencakup denah fisik, hierarki, struktur pelaporan, dan pola komunikasi baik formal maupun informal. Proses mencakup aktivitas dasar organisasi, seperti alokasi sumberdaya, pelaksanaan monitor dan kontrol. Hubungan antara struktur dan proses kemudian diwujudkan dalam bentuk masalah, tugas-tugas dan elemen-elemen lingkungan yang dapat dimengerti dengan mudah. Penyusunan rich picture memerlukan tiga peran yang menjadi rujukan saat menyusun gambar (Checkland & Poulter 2006). Pertama, seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan terjadinya investigasi dan dilaksanakannya intervensi (client). Kedua, seseorang atau sekelompok orang yang melakukan investigasi. Ketiga, pemilik isu. Pemilik isu memegang peran penting karena merepresentasikan investigasi penelitian dan paling bekepentingan terhadap hasil investigasi penelitian. 3)
Analisis root definitions (RDs) dengan PQR, CATWOE dan kriteria 3E (efficacy, effectiveness, dan efficiency) Analisis PQR, dengan formula yaitu 1) mengerjakan P dengan Q untuk
mewujudkan R; dan 2) dimana PQR menjawab pertanyaan apa, bagaimana, dan mengapa. Selanjutnya, supaya RDs yang disusun benar-benar dapat digunakan sebagai dasar pembuatan model konseptual, maka RDs tersebut pelu diuji dan
100
disempurnakan dengan alat bantu analisis CATWOE (customers, actors, transformation, weltanschauung atau worldview, owners, dan environmental constraints). Alat bantu CATWOE ini merupakan alat bantu pengingat (mnemotic) supaya RDs yang dibuat benar-benar menggambarkan sebuah sistem aktivitas manusia yang relevan yang kita pilih. Kemudian perlu dilanjutkan dengan pertanyaan kriteria pengukuran kinerja bekerjanya sistem aktivitas yang punya maksud tersebut, umumnya digunakan tiga criteria E (Efficacy, Effectiveness, dan Efficiency). Berdasarkan analisis CATWOE dan kriteria 3E (efficacy, effectiveness, dan efficiency), didapatkan RDs dalam menggambarkan sistem. Daftar atau checklist CATWOE dan tiga kriteria (Tabel 12) adalah bagaimana proses transformasi ini sebaiknya dilaksanakan.
Tabel 12 CATWOE dan 3E C (customer)
Orang atau sekelompok orang yang langsung atau hampir langsung menjadi korban atau yang akan diuntungkan oleh proses transformasi di dalam sebuah organisasi
A (actors)
Orang atau sekelompok orang yang melakukan kegiatan dalam rangka pelaksanaan proses transformasi
T (transformation process)
Proses pengubahan input menjadi output, baik yang bersifat konkret maupun abstrak
W (weltanschauung/
Sudut pandang, kerangka pikir, atau citra yang menjadikan root definitions atau transformasi memiliki makna yang berarti di dalam konteks
worldview) O (owner)
Orang atau sekelompok orang yang berkuasa atas sistem dan mempunyai kewenangan untuk menghentikan atau mengubah proses transformasi
E (environmental constraints)
Lingkungan atau hambatan yang berlangsungnya proses transformasi
Efikasi
Kriteria apakah proses transformasi dari sistem aktivitas yang punya maksud tersebut benar-benar dapat berlangsung atau mewujudkan hasil yang diinginkan
Efisiensi
Kriteria apakah transformasi yang berlangsung dilaksanakan dengan penggunaan sumber daya yang minimal
Efektif
Kriteria apakah transformasi dari sistem aktivitas yang punya maksud tersebut membantu pencapaian tujuan yang lebih tinggi tingkatnya atau yang lebih panjang jangkanya
menjadi
kendala
101
4)
Penyusunan model konseptual Model konseptual dibangun dari gagasan peneliti sendiri dan disesuaikan
dengan aturan formal yang berlaku, sehingga gagasan system thinking menjadi penting. Bagi Checkland dan Poulter (2006), system thinking didasari atas dua pasang gagasan yaitu emergency properties berpasangan dengan hierarchy (disebut juga layer structure dalam Checkland dan Poulter 2006), dan communication berpasangan dengan control (Checkland & Scholes 1990). Dua pasang gagasan ini membutuhkan sistem untuk keberlangsungan hidup sistem tersebut. Menurut Checkland dan Scholes (1990), model konseptual adalah model yang menggambarkan kegiatan sistem dimana elemen-elemen adalah kata kerja. Kegiatan tersebut dibuat berdasarkan root definition dan struktur kata kerja mengacu pada logic base. 5)
Perbandingan model konseptual dengan fakta lapangan Model konseptual yang sudah ditentukan, dibandingkan dengan fakta
lapangan guna menghasilkan perdebatan tentang persepsi dan perubahan yang dianggap akan menguntungkan. Checkland dan Poulter (2006) menggambarkan empat cara untuk membandingkan model dengan fakta lapangan yaitu diskusi informal,
dengan
pertanyaan
formal,
membuat
skenario
berdasarkan
pengoperasian model, mencoba model pada fakta lapangan yang sama strukturnya dengan model konseptual. Apabila model konseptual tidak menggambarkan fakta lapangan, maka bisa dilakukan dua hal yaitu (1) Apa yang tidak ditemukan pada realitas bisa menjadi rekomendasi bagi perubahan; dan (2) Apa yang tidak ditemukan pada realitas, dan peneliti merasa kurang puas karena tidak menjawab pertanyaan penelitian, maka peneliti bisa kembali ke tahap dua untuk kembali proses pengumpulan data, serta melakukan tahapan berikutnya, rich picture, root definition, membuat daftar kegiatan, serta membuat model konseptual. 6)
Perubahan yang diinginkan Perumusan saran tindak/perubahan yang diinginkan pada dasarnya diperoleh
dari diskusi yang terkelola dan akomodasi atas pandangan orang-orang dengan beragam sudut pandang dan pendapat, yang diharapkan akan muncul saran tindak.
102
Melalui analisis ini yaitu tahap perumusan saran tindak untuk perbaikan, penyempurnaan, dan perubahan situasi fakta lapangan. Perubahan yang dilakukan dapat berupa rekomendasi sehingga (1) argumennya dapat diterima, dan (2) secara budaya dapat dimungkinkan. Checkland
dan
Poulter
(2006)
menyarankan
tiga
aspek
yang
mesti
dipertimbangkan dalam melakukan perbaikan, penyempurnaan, atau perubahan yaitu (1) perubahan yang berkaitan dengan struktur, (2) perubahan yang berkaitan dengan proses atau prosedur, dan (3) perubahan yang berkaitan dengan sikap. 7)
Langkah tindakan untuk perubahan Analisis terakhir dari penelitian SSM ini adalah langkah tindakan untuk
memperbaiki, menyempurnakan, atau mengubah situasi problematik. SSM merupakan proses mencari tahu sosial yang sifatnya pembelajaran berkelanjutan, maka tidak berarti bahwa tidak ada tahap lagi setelah ini. SSM yang baru dapat dimulai lagi, baik untuk mengatasi situasi problematik yang baru atau untuk memperdalam dan melanjutkan proses SSM sebelumnya. Dasar dari analisis langkah tindakan untuk perubahan ini adalah rumusan saran langkah tindakan sebagaimana telah dihasilkan/dibuat pada analisis perubahan yang diinginkan. Pengambilan langkah tindakan berikutnya terpulang pada organisasi/perusahaan dimana situasi fakta lapangan menjadi perhatian dari SSM.
4
GAMBARAN UKM SENTRA INDUSTRI PENGOLAHAN KERUPUK IKAN DAN UDANG DI INDRAMAYU, JAWA BARAT
4.1
Sejarah Singkat Sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu, Jawa
Barat sudah berlangsung sejak tahun 1970 yang terletak pada satu kawasan di Desa Kenanga Blok Dukuh Kecamatan Sindang, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat (Lampiran 1). Lokasi sentra industri pengolahan kerupuk sekitar 2 km dari pusat kota Indramayu, dimana luas kawasan sentra mencapai ± 50 ha. Plang sentra industri kerupuk di Indramayu, sebagai penunjuk ke lokasi sentra dapat dilihat pada Gambar 17. Pengusaha kerupuk ikan dan udang di Desa Kenanga, awalnya hanya sebagai buruh pabrik kerupuk di Kota Indramayu yang dimiliki kaum China. Akhirnya keterampilan membuat kerupuk itu dicoba sendiri di desanya dan berkembang hingga kini. Berdasarkan pengalaman yang cukup berhasil itu, para buruh tersebut berfikir untuk tidak lagi menjadi buruh pabrik. Sejalan dengan waktu, ternyata banyak pabrik di Kota Indramayu tidak berkembang karena mahalnya biaya untuk tenaga kerja pabrik sehingga di Kota Indramayu sekarang hanya mengambil produk kerupuk jadi dari Desa Kenanga, Kecamatan Sindang.
Gambar 17 Plang sentra industri pengolahan kerupuk di Indramayu.
Berdasarkan UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah; dan Permen KP No.18/MEN/2006 tentang Kriteria Penentuan Skala
104
Usaha Pengolahan Hasil Perikanan, maka skala usaha sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu dikategorikan ke dalam usaha kecil dan usaha menengah. Secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 2. Jumlah pengolah kerupuk ikan dan udang di Indramayu terdapat 34 UPI (26 UPI usaha kecil dan 8 UPI usaha menengah) dengan didukung tenaga kerja sebanyak 1597 orang. Jumlah itu sudah jauh berkurang jika dibandingkan dengan masa sebelum krisis moneter tahun 1997, dimana perkembangan jumlah pengolah kerupuk ikan dan udang di Indramayu pada tahun 2007 s.d 2011 dapat dilihat pada Lampiran 3.
4.2
Visi dan Misi Visi yang dimiliki UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang
di Indramayu saat ini adalah teratas karena kualitas, yaitu ingin menciptakan sentra industri pengolahan kerupuk yang kompetitif dalam dunia usaha dengan mengedepankan kualitas produk yang dihasilkan. Misi yang diemban UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu adalah (1) menjadikan produk kerupuk yang higienis dalam kualitas, melalui proses dan sumber bahan baku yang mengutamakan higienis dan aman bagi kesehatan manusia, merupakan tuntutan dari konsumen saat ini; (2) menjadikan produk kerupuk terdepan dalam inovasi, baik inovasi bentuk, warna maupun komposisi yang berbeda sehingga pilihan bagi masyarakat untuk dapat menikmati kerupuk sangat beragam dalam rangka memenuhi keinginan dan kepuasan konsumen; dan (3) berorientasi pada nilai produk yang aman dan ramah lingkungan, dengan meminimalisir dampak yang ditimbulkan bagi lingkungan khususnya pencemaran dan rekruitmen SDM yang terampil.
4.3
Strategi yang Dijalankan Model yang digunakan dalam pengembangan strategi yang dilakukan UKM
sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu, diketahui bahwa masih merupakan campuran antara pendekatan sumber daya dan pendekatan pasar. Saat awal pendirian usaha pengolahan kerupuk, sangat jelas dilakukan pendiri perusahaan menggunakan pendekatan sumber daya karena
105
tanpa melihat kompetensi yang dimiliki oleh pendiri maka akan sulit memulai suatu usaha atau bisnis. Seiring dalam perjalanan waktu, perusahaan lebih banyak menggunakan pendekatan pasar untuk selalu jeli memanfaatkan peluang yang ada. Produk kerupuk yang ada sekarang di pasaran dapat memberikan inspirasi bagi UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu, selain mempertahankan cita rasa dan kualitas rasa ikan atau udang aslinya juga untuk melakukan pengembangan produk inovasi baru dengan warna, model ataupun bentuk yang lebih menarik. Selain produk inovasi baru, UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu juga akan meningkatkan peluang pasar ke segmen pasar yang lebih luas sampai ekspor langsung.
4.4
Proses Produksi Pengolahan Kerupuk Tahapan proses produksi pembuatan kerupuk pada UKM sentra industri
pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu (Gambar 18) meliputi penyiapan bahan baku, penyiangan, pencucian, penggilingan, pembuatan adonan, pencampuran adonan, pelembutan adonan, pencetakan, pengukusan, pendinginan, pemotongan, penjemuran, sortir, pengemasan dan penyimpanan. Ikan dan udang disiangi
Filet ikan dihaluskan
Pencampuran
Pencetakan
Tepung terigu, garam, gula, telur
Semua bahan dicampur & dibuat adonan
Pengukusan
Sortasi
Pendinginan
Pengemasan
Pemotongan
Kerupuk ikan dan udang
Penjemuran
Penyimpanan
Gambar 18 Alur proses pengolahan kerupuk ikan dan udang.
106
1)
Penyiapan bahan baku Bahan baku utama dalam pembuatan kerupuk ikan dan udang yang
digunakan adalah ikan, udang, dan tepung tapioka. Bahan baku penunjang yang digunakan yaitu gula, garam, telur, penyedap atau Mono Sodium Glutamat (MSG), air, dan bumbu-bumbu (Gambar 19).
Ikan remang
Udang api-api
Telur
Minyak
Penyedap/MSG
Gula
Tepung tapioka
Garam
Bumbu
Gambar 19 Bahan baku utama dan penunjang dalam pembuatan kerupuk.
Proses penyiapan bahan baku adalah persiapan daging ikan dan udang yang akan digunakan, tepung tapioka, gula, telur, garam, serta bumbu-bumbu yang digunakan beserta perhitungan komposisi masing-masing bahan untuk setiap adonan. Perhatian utama dalam mempersiapkan bahan baku pembuatan kerupuk ikan dan udang adalah penyiapan ikan, udang, dan tepung tapioka yang akan dijadikan bahan utama.
107
Prosedur penanganan bahan baku ikan/udang, tepung tapioka dan bahan baku lainnya di UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu yang tidak langsung hari itu diproses, maka akan disimpan di freezer atau box fiber yang sudah diisi dengan es balok menuju gudang penyimpanan. Begitu juga dengan bahan baku tepung tapioka atau bahan baku lainnya, akan disimpan di gudang penyimpanan. Bagian bawah tumpukan tepung tapioka, dilapisi koran atau kardus untuk menjaga kelembaban dan mempertahankan kualitas bahan baku. Penggunaan bahan baku menggunakan sistem FIFO (first in first out), yaitu bahan baku yang datang lebih dulu akan diproses pertama kali. Bahan baku yang digunakan pada UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu berupa udang segar/ikan segar utuh. Pemenuhan bahan baku tersebut, melalui cara bekerja sama dengan pemasok bahan baku (supplier). Sistem pengadaan bahan baku yang dilakukan adalah pihak bagian pembeli bahan baku mengkonfirmasi terlebih dahulu pada pihak pemasok untuk mengirim sejumlah bahan baku sesuai dengan jenis dan volume yang diinginkan, kemudian pemasok mengantar/mengirim ke unit usaha. 2)
Penyiangan ikan Proses penyiangan ikan pada UKM sentra industri pengolahan kerupuk di
Indramayu, sebelum ikan dihaluskan terlebih dahulu ikan difilet dengan cara membuang/menghilangkan kepala, sisik, insang, isi perut, dan tulang kemudian dicuci sampai bersih sehingga tinggal daging ikan (Gambar 20). Begitu juga untuk udang, sebelum udang diproses/dihaluskan terlebih dahulu dibersihkan dari kotoran yang umumnya melekat pada udang yaitu sungut, kepala, kulit, batu, dan lain-lain. Selanjutnya apabila ikan dan udang yang sudah dikupas dan dicuci bersih tidak langsung hari itu diproses, maka akan disimpan di freezer atau box fiber yang sudah diisi dengan es balok (Gambar 21) menuju gudang penyimpanan.
108
Gambar 20 Penyiangan ikan.
3)
Gambar 21 Penyimpanan filet ikan.
Pencucian ikan Bahan baku ikan/udang setelah disiangi dan sebelum digiling, terlebih
dahulu dicuci (Gambar 22). Proses pencucian ikan dan udang dilakukan dua kali dengan menggunakan air sumur melalui kran dengan mengalirkan air pada ikan dan udang sebelum ikan dan udang digiling atau pencucian menggunakan tong air. Tujuan pencucian ini adalah untuk membersihkan ikan dan udang dari kotoran-kotoran yang masih menempel pada ikan. Ikan dan udang yang telah dicuci kemudian ditiriskan untuk menghilangkan air yang tersisa.
Gambar 22 Proses pencucian filet ikan.
4)
Penggilingan/penghancuran ikan Proses penggilingan ikan di UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan
dan udang di Indramayu dilakukan dengan menggunakan mixer atau mesin penggiling daging (Gambar 23). Penggilingan dilakukan dua kali hingga daging ikan dan tulangnya menjadi halus. Proses penggilingan ikan pada mesin penggiling dilakukan dengan memasukkan ikan sedikit demi sedikit sesuai dengan ukuran alat penggiling ikan. Daging yang sudah halus ditaruh dalam wadah dan siap dicampur dengan bahan
109
lainnya. Sedangkan proses penghancuran ikan menggunakan mixer, umumnya bahan baku yang sudah berupa daging ikan/filet.
Gambar 23 Proses penggilingan ikan.
5)
Pembuatan dan pencampuran/pelembutan adonan Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan kerupuk ikan dan udang
yaitu ikan/udang, tepung tapioka, gula, garam, telur, tepung terigu, penyedap, pewarna, dan air. Adonan dibuat dari tepung tapioka yang dicampur dengan bumbu-bumbu yang digunakan. Tepung diberi air dingin hingga menjadi adonan yang kental (Gambar 24). Bumbu dan ikan yang telah digiling halus dimasukkan ke dalam adonan dan diaduk/diremas hingga lumat dan rata. Adonan ini kemudian dimasukkan ke dalam mulen untuk pelembutan, dan akan diperoleh adonan yang kenyal dengan campuran bahan merata. Apabila proses pembuatan kerupuk ikan berjalan optimal, maka dari 1 kali proses produksi pada satu unit pengolahan di Indramayu dapat menghasilkan kerupuk sebanyak ± 3350 kg/UPI.
Gambar 24 Adonan kerupuk.
110
6)
Pencetakan Pencetakan adonan dapat dilakukan dengan tangan ataupun mesin (Gambar
25). UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu, umumnya menggunakan tangan untuk pencetakan adonan tetapi ada beberapa UKM Indramayu yang menggunakan mesin. Pencetakan adonan dengan menggunakan tangan, adonan dibentuk silinder dengan panjang ± 30 cm dan diameter 5 cm. Pencetakan adonan dengan bantuan alat cetak (ukuran 2.5 kg dan 3 kg), dapat dibuat dalam bentuk adonan serupa. Adonan berbentuk silinder ini kemudian dipres untuk mendapatkan adonan yang lebih padat, selanjutnya adonan ini dimasukkan ke dalam cetakan berbentuk silinder yang terbuat dari aluminium.
Pencetakan dengan tangan
Pencetakan dengan alat/mesin
Gambar 25 Pencetakan adonan kerupuk.
7)
Pengukusan Adonan yang sudah dicetak berbentuk silinder tersebut, kemudian dikukus
dalam rak/dandang selama ± 1-2 jam sampai masak (Gambar 26). Proses pengukusan adonan kerupuk di UKM Indramayu umumnya selama ± 1 jam.
Gambar 26 Pengukusan adonan kerupuk.
111
Adonan kerupuk yang telah masak atau belum, dapat diketahui dengan cara menusukkan lidi ke dalamnya dan bila adonan tidak melekat pada lidi berarti adonan telah masak. Cara lain untuk menentukan masak atau tidaknya adonan kerupuk, dapat dilakukan dengan menekan adonan tersebut dan adonan kerupuk telah masak, bila permukaan silinder kembali seperti semula. Adonan kerupuk setelah 1-2 jam dikukus, pawonan dibuka dan adonan yang sudah matang diangkat kemudian disiram dengan air bersih dan disusun lagi pada ancak. Tujuan penyiram air dan penataan pada ancak yaitu untuk meratakan bentuk adonan agar seragam, serta untuk menghilangkan kotoran yag ada pada adonan. 8)
Pendinginan Adonan kerupuk yang telah diangkat dan disiram air dingin, selanjutnya
didinginkan di udara terbuka ± 12 jam sampai dengan 24 jam hingga adonan menjadi keras dan mudah diiris (Gambar 27).
Gambar 27 Pendinginan adonan kerupuk.
9)
Pemotongan/pengirisan Tahap selanjutnya adalah pemotongan/pengirisan adonan kerupuk yang
telah dingin dengan menggunakan sebuah mesin pemotong yang dijalankan oleh 2 orang, atau proses ini juga dapat dilakukan secara sederhana yaitu mengiris adonan dengan pisau yang tajam (Gambar 28).
112
Gambar 28 Pengirisan adonan kerupuk.
Pengirisan dilakukan setipis mungkin dengan tebal ± 1-2 mm, agar hasilnya baik ketika kerupuk digoreng. Sebelum pisau digunakan, terlebih dahulu dilumuri dengan minyak goreng untuk memudahkan pengirisan. Adonan yang telah diiris, kemudian ditata rapi pada ancak/para-para/tampah. 10) Penjemuran/pengeringan Adonan yang telah diiris-iris dan ditata, kemudian dijemur sampai kering. Proses penjemuran dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu penjemuran dengan sinar matahari dan atau mesin pengering/oven (Gambar 29).
Pengeringan dengan sinar matahari
Pengeringan dengan mesin oven
Gambar 29 Proses pengeringan kerupuk.
Penjemuran biasanya dilakukan di bawah sinar matahari langsung ± 4 jam, jika terjadi hujan atau panas matahari kurang terik maka penjemuran dilakukan dengan menggunakan mesin pengering (oven) selama ± 2 jam. Penjemuran dengan oven, juga dilakukan jika terjadi pesanan yang melebihi kapasitas produksi. Ciri-ciri kerupuk yang sudah kering yaitu, warna kerupuk berubah menjadi bening, keras dan baunya spesifik bau kerupuk ikan.
113
11) Sortir dan pengemasan Setelah proses penjemuran atau pengeringan selesai, kerupuk kemudian diangkat dari tempat penjemuran dan dilakukan proses sortir dan pengemasan (Gambar 30). Kerupuk dengan kualitas baik, tidak terdapat banyak lubang, tidak pecah, dan remuk. Selanjutnya kerupuk dikemas dalam kantong plastik yang berlabel, setiap satu kemasan berisi 5 kg atau 10 kg kerupuk.
Gambar 30 Sortir dan pengemasan.
12) Penyimpanan Setelah kerupuk dikemas, kerupuk yang tidak langsung dijual atau dipasarkan dapat disimpan dahulu di gudang penyimpanan (Gambar 31). Kerupuk yang sudah dikemas ditata pada lantai yang diberi alas palet untuk menjaga produk dari kerusakan selama penyimpanan.
Gambar 31 Penyimpanan kerupuk.
4.5
Produksi dan harga Sejak tahun 1990 UKM sentra industri pengolahan kerupuk di Indramayu
tidak hanya memproduksi kerupuk ikan saja, tetapi juga memproduksi kerupuk udang bahkan saat ini sudah mampu menghasilkan produk dengan varian lebih
114
banyak yakni kerupuk kulit ikan, kerupuk dengan bahan baku lain yaitu kerupuk cumi, kerupuk bawang, kerupuk jengkol, dan lain-lain. Beberapa pemilik usaha ada yang hanya membuat satu atau dua jenis kerupuk, namun ada pula yang membikin empat jenis kerupuk sekaligus. Bahan baku utama dalam pembuatan kerupuk ikan dan udang adalah ikan tenggiri, remang, manyung, dan udang api-api. Bahan baku tersebut, didapatkan selain dari Indramayu juga didatangkan dari Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Kalimantan, dan lain-lain. Sudah lama produsen kerupuk udang di Indramayu tidak membuat kerupuk berbahan baku utama udang api-api melainkan penyedap rasa udang, karena bahan baku utama udang api-api selain mahal juga sudah tidak mudah lagi ditemukan di perairan Indramayu. Produsen akan membuat kerupuk udang dengan bahan baku udang, apabila ada pesanan khusus dari konsumen. Total produksi UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu mencapai 1005-1240 ton dengan nilai produksi Rp20 milyar-Rp25 milyar per bulan atau 40-50 ton dengan nilai produksi Rp800 juta-Rp1 milyar per hari kerupuk ikan dan udang (Lampiran 1). Harga jual kerupuk udang di produsen Indramayu sebesar Rp35 000.00 sampai dengan Rp60 000.00 per kg, sedangkan harga kerupuk ikan yang ditawarkan perusahaan sangat bervariasi mulai dari Rp9 000.00 sampai dengan Rp25 000.00 per kg sehingga konsumen dapat memilih produk sesuai kebutuhan dan harga yang ditetapkan cukup bersaing dan terjangkau oleh konsumen.
4.6
Pemasaran Pemasaran UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di
Indramayu selain menggunakan pasar tradisional dalam memasarkan produkproduk kerupuk, beberapa unit usaha menggunakan strategi menjual produk secara langsung kepada konsumen. Penjualan produk secara langsung, dengan menyediakan ruang kecil/sejenis toko oleh-oleh di bagian depan bangunan unit usahanya (Gambar 32) atau memanfaatkan perayaan tahunan di wilayah Indramayu seperti pasar malam, pameran produk, dan lain-lain.
115
Gambar 32 Toko kecil penjualan produk di bagian depan bangunan UPI.
Pemasaran produk selain dijual langsung kepada konsumen, ada juga unit usaha lain memasarkan produk melalui agen dan pedagang di wilayah Indramayu. Selain itu, juga dipasarkan ke wilayah Cirebon, Bandung, Yogyakarta, Solo, Sidoarjo, Surabaya, DKI Jakarta, Medan, dan kota-kota di Sulawesi, serta ekspor (melalui Jawa Timur). Rantai pemasaran menggambarkan bagaimana kerupuk ikan dan udang sampai kepada konsumen (Gambar 33). Hasil produksi berupa kerupuk siap goreng dipasarkan ke konsumen akhir melalui dua cara, yaitu: 1) Agen yang berfungsi sebagai pengepul yang akan menjual produk kerupuk pada penjual yang akan menjual produk kerupuk pada penjual eceran atau langsung kepada konsumen akhir. 2) Pedagang merupakan penjual eceran. Produsen kerupuk ikan dan udang
Agen
Pedagang
Konsumen akhir
Gambar 33 Diagram alir rantai pemasaran kerupuk ikan dan udang di Indramayu.
116
4.7
Kemitraan dan Jaringan Usaha Khusus dukungan penguatan usaha, pengembangan teknis operasi, dan
pendukung jaringan bisnis, UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu, Jawa Barat membentuk Koperasi Kerupuk Mitra Industri (KKMI) dan Asosiasi Pengusaha Kerupuk Indramayu (APKI). Koperasi dan asosiasi ini berfungsi sebagai wadah yang dapat memfasilitasi anggotanya untuk pembinaan tekhnologi produksi, kebutuhan bahan baku kerupuk, keperluan rumah tangga, dan lain-lain. Pembentukan koperasi dan asosiasi tersebut, bertujuan juga agar terjalin kerja sama yang baik antar sesama UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu. Setiap pertemuan anggota akan membahas permasalahan-permasalahan yang muncul, sehingga antar anggota mempunyai pendapat dalam penyelesaian masalah. Selain itu, diharapkan dengan adanya koperasi/asosiasi
ini
akan
memperluas
daerah
pemasaran,
kemudahan
mendapatkan bahan baku, dan memudahkan pembinaan dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu. Koperasi dan asosiasi, sebagai tempat berkumpulnya para pelaku usaha/UKM yang mengolah hasil laut termasuk ikan dan udang. Secara internal, hampir semua UKM Indramayu memiliki ikatan antar unit usaha disebabkan oleh hubungan kekerabatan/keluarga maupun sub kontrak. Bentuk kerja sama ini, merupakan jejaring bisnis yang memiliki ikatan sosial yang kuat karena persamaan model produk yaitu kerupuk ikan dan udang. Bentuk kerja sama eksternal menonjolkan aspek dukungan permodalan, pelatihan pekerja, dan pemasaran produk. Pola kemitraan secara eksternal umumnya menyokong proses manajerial usaha mulai dari pengadaan bahan baku, pendukung proses produksi, jenis dan model produk, dan penguasaan saluran penjualan.
4.8
Sumber Daya yang Dimiliki Usaha kecil dan menengah sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan
udang di Indramayu, memiliki banyak ragam sumber daya yang merupakan modal bagi UKM dalam menjalankan usahanya. Sumber daya yang dimiliki berupa
117
sumber daya berwujud (tangible resources), dan sumber daya tidak berwujud (intangible resources). Beberapa sumber daya yang dimiliki UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu antara lain: 1)
Sumber daya manusia (SDM) Jumlah tenaga kerja yang terlibat di UKM sentra industri pengolahan
kerupuk ikan dan udang di Indramayu sebanyak ± 25-125 orang per UPI dapat menghasilkan kerupuk sebanyak ± 3 ton per hari per UPI. Tenaga kerja yang umumnya terlibat dalam UPI kerupuk ikan dan udang tersebut, berasal dari daerah sekitar lokasi UPI (ada ikatan keluarga atau tetangga). Hal ini menjadikan pengangguran di daerah sekitar industri berkurang. Tenaga kerja yang digunakan di UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu, umumnya tidak mempunyai keahlian khusus. Tenaga kerja pria dan wanita dapat dipekerjakan pada semua tahap pembuatan, kecuali di bagian produksi khusus tenaga kerja yang mempunyai keahlian di bidang pemiletan, pembuatan adonan, pencampuran, dan penghalusan adonan kerupuk. Aktivitas proses produksi UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan di Indramayu (Tabel 13) meliputi penyiangan ikan, pencucian ikan, penghancuran ikan,
pembuatan
adonan,
pencampuran/pelembutan
adonan,
pencetakan,
pengukusan, pendinginan, pemotongan, penjemuran, sortasi dan pengemasan. Aktivitas satu kali adonan proses produksi pengolahan kerupuk ikan di Indramayu, membutuhkan waktu 2080 menit dengan ditunjang tenaga kerja sebanyak 100 orang dapat menghasilkan kerupuk 3350 kg per hari per UPI. Tabel 13 Jenis aktivitas, alokasi tenaga kerja, dan waktu per UPI di Indramayu Aktivitas
Aktivitas Tenaga Kerja Waktu Sebelumnya (Orang) (Menit)
Keterangan
1
2
3
4
5
A
-
25
120
Penyiangan ikan (A) = 1000 kg (1 kg selama 3 menit)
B
A
5
10
Pencucian ikan (B) = 750 kg (150 kg selama 10 menit)
C
B
4
100
Penghancuran ikan (C) = 750 kg dengan 2 unit mesin penggiling (1 unit kapasitas 40 kg selama ± 10 menit)
118
1
2
3
4
D
-
4
10
Pembuatan adonan (D) = 3300 kg
E
C, D
4
280
Pencampuran dan pelembutan adonan (E) = 56 adonan dengan 2 unit mesin (1 unit mesin kapasitas 1 adonan/60 kg selama ± 10 menit)
F
E
6
60
Pencetakan adonan (F) = 3350 kg dengan ukuran cetakan 2.5 kg dan 3 kg ( 5 kg adonan selama ± 30 detik)
G
F
6
60
Pengukusan (G) = 1 jam
H
G
6
720
Pendinginan (H) = 12 jam
I
H
60
360
Pemotongan dan penataan kerupuk di tampah (I) = 6 jam
J
I
25
240
Penjemuran dengan sinar matahari (J) = 4 jam
K
J
40
120
Sortasi dan pengemasan (K) = 2 jam
100
2080
Jumlah
2)
5
Sumber daya fisik Sumber daya fisik yang dimiliki UKM sentra industri pengolahan kerupuk
ikan dan udang di Indramayu, seperti ditunjukkan pada Tabel 14. Lokasi usaha pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu, berada di wilayah dekat pantai. Tabel 14 Sumber daya fisik per UPI pada UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu SUMBER DAYA FISIK 1. Lokasi usaha
KETERANGAN Dekat pantai/TPI
2. Fasilitas produksi a) Bangunan produksi
- Memiliki ukuran 1000 m2 - Terpisah dengan rumah pemilik usaha
b) Lahan penjemuran
Memiliki ukuran 3000 m2
3. Peralatan
- Teknologi tradisional dan semi mekanik - Peralatan yang digunakan memiliki kapasitas besar
4. Moda pemasaran
Sepeda motor, mobil pick up, dan mobil truk
Sumber: Data primer (2011)
Rata-rata luas bangunan pabrik untuk proses produksi, yang dimiliki UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu mencapai 5001000 m2 per UPI. Luas lahan penjemuran yang dimiliki mencapai 1000-3000 m2
119
per UPI, dimana lahan ini dapat menampung produksi kerupuk ikan dan udang sebanyak ± 1-3 ton per hari per UPI. Penggunaan peralatan pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu, umumnya menggunakan tekhnologi tradisional dan semi mekanik dengan kapasitas yang besar. Peralatan yang digunakan dalam pengolahan kerupuk antara lain alat penghancur ikan (mixer), alat pelembut adonan (mulen), mesin pencetak adonan (mal), alat perebusan/pengukusan, rak pengukus, mesin pemotong (ham slicer), alat pengering/oven, steam boiler, para-para/ancak/tampah, loyang, sealer, pisau, kompor, dan lain-lain (Gambar 34).
Mesin penghancur ikan
Steam boiler
Mesin pemotong kerupuk
Alat pengukus
Mesin penghalus adonan
Alat pengering/oven
Gambar 34 Beberapa peralatan yang digunakan di Indramayu.
Pengangkutan barang untuk pemasaran produk, umumnya menggunakan moda pemasaran milik sendiri berupa sepeda motor, mobil pick up, dan mobil truk. Beberapa UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu ada juga yang menyewa mobil truk untuk membawa kerupuk ikan dan udang yang dipasarkan ke wilayah Jawa Timur, dimana mobil truk tersebut berasal dari Surabaya yang mengantar barang/buah ke Indramayu, dan kembali ke Surabaya disewa untuk membawa kerupuk ikan dan udang milik UKM sentra industri pengolahan Indramayu.
120
3)
Sumber daya keuangan Sumber daya keuangan per UPI (Tabel 15) khususnya rata-rata aset yang
dimiliki UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu sebesar Rp 3 Milyar (dengan rincian aset bangunan sebesar Rp 1 Milyar dan aset lahan sebesar Rp 2 Milyar), sedangkan modal usaha yang dibutuhkan sebesar Rp 30-60 juta per hari dengan keuntungan sebesar Rp 3-6 juta per hari. Kebutuhan modal kerja di Indramayu dapat dicukupi dengan modal sendiri maupun sebagian dapat dipenuhi dengan pinjaman bank.
Tabel 15 Sumber daya keuangan per UPI pada UKM sentra industri di Indramayu SUMBER DAYA KEUANGAN 1. Aset a) Aset bangunan b) Aset lahan
JUMLAH (Rp) 3 milyar 1 milyar 2 milyar
2. Modal usaha per hari
30-60 juta
3. Keuntungan per hari
3-6 juta
Sumber: Data primer (2011)
Biaya investasi rata-rata pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu pada tahun 2011, biaya operasional per UPI per tahun, analisis keuangan dan perkembangan omset salah satu UPI skala menengah (PT. Kelapa Gading) tahun 2005 s.d 2011, dapat dilihat pada Lampiran 4, 5, dan 6. 4)
Sumber daya organisasi Manajemen produksi pada UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan
dan udang di Indramayu, umumnya dipimpin oleh pemilik usaha langsung sebagai manajer umum dan pengawas mutu. Pada skala usaha menengah, sistem manajemen pengelolaan kebanyakan mengandalkan pengalaman dengan dibantu sekretaris dan bendahara yang umumnya dijabat oleh anggota keluarganya. Pembagian tugas karyawan dalam usaha pembuatan kerupuk, dikelompokkan ke dalam bidang yaitu pembuatan filet, pembuatan adonan (pencampuran bahan dan pencetakan), pengukusan, pemotongan, penjemuran, pengemasan, dan pemasaran (Gambar 35).
121
Pemilik (Manajer Umum dan Pengawas Mutu)
Sekretaris
Bendahara
Bidang Sortasi/ Sanitasi (Pemiletan)
Bidang Mixing (Pembuatan adonan)
Bidang Pengukusan
Bidang Pemotongan
Bidang Penjemuran
Bidang Pengemasan
Bidang Pemasaran
Gambar 35 Struktur organisasi pada skala usaha menengah. Pada skala usaha kecil, usaha pengolahan kerupuk dalam manajemen produksi dipimpin oleh pemilik langsung sebagai manajer umum dengan dibantu bagian produksi (bidang persiapan bahan baku, pembuatan adonan, pencampuran bahan, pencetakan, pengukusan) dan dibantu pekerja yang khusus menangani penjemuran, dan pengemasan (Gambar 36). Pemilik (Manajer Umum)
Bagian Produksi
Pekerja
Gambar 36 Struktur organisasi pada skala usaha kecil.
UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu umumnya belum memiliki struktur organisasi yang tertulis dan formal, namun secara umum di dalam manajemen telah memiliki pembagian tugas yang jelas antara pemimpin usaha dan karyawan/pekerja dan juga sudah terdapat pembagian tugas di masing-masing bidang. 5)
Sumber daya teknologi Sejumlah merek kerupuk yang sudah dikenal berasal dari UKM sentra
industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Desa Kenanga-Kabupaten
122
Indramayu, diantaranya: Dua Gajah, Indrasari, Padi Kapas, Kelapa Gading, dan lain-lain (Lampiran 7). Merek dagang yang sudah dimiliki masing-masing UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu, diharapkan dapat dikenal konsumen (Lampiran 8). Kondisi saat ini di Indramayu, masih terdapat produk kerupuk ikan dan udang yang dijual tanpa merek untuk selanjutnya dikemas dan diberi merek oleh para pembeli/pedagang tersebut. Alasan beberapa UKM menjual kerupuk ikan dan udang tanpa merek produksinya, karena permintaan konsumen/pembeli. 6)
Sumber daya untuk inovasi Sumber daya untuk inovasi yang terdapat di UKM sentra industri
pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu, secara khusus tidak dimiliki. Selama ini bidang inovasi masih ditangani oleh pemilik usaha, belum dilakukan secara serius dan terus menerus berinovasi. 7)
Reputasi Saat ini perkembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan
udang di Indramayu tidak lepas dari pembinaan, bimbingan dan dukungan dari berbagai instansi terkait, baik dalam sektor teknis maupun dalam permodalan. Beberapa instansi yang berperan penting, antara lain (1) Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat, (2) Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu, (3) Dinas Koperasi, UKM, Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Indramayu, (4) Perbankan, dan lain-lain. Hubungan baik pemilik sentra dengan instansi terkait ini sangat penting, karena
secara tidak
langsung dapat
membantu
pemilik sentra
dalam
mengembangkan usahanya. Selanjutnya, melalui pengembangan usaha maka pemilik sentra dapat meningkatkan jumlah penjualan dan pendapatan. Hubungan baik pemilik sentra dengan instansi terkait, antara lain melalui bantuan permodalan dari perbankan, pembinaan dan pelatihan aspek teknis dari Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi dan Kabupaten setempat, keikutsertaan pameran UKM, dan lain-lain. Hubungan baik ini juga diharapkan, akan dapat meningkatkan kualitas dan mutu produk, pengembangan usaha yang lebih luas, dan lain-lain.
123
Selanjutnya, hubungan baik pemilik sentra juga terjalin dengan para pelanggan tetap. Hubungan baik ini, membuat produk kerupuk ikan dan udang yang dihasilkan oleh UKM sentra industri pengolahan di Indramayu mulai dikenal luas sehingga para pembeli/konsumen langsung menjadi berdatangan ke UPI.
4.9
Analisis Situasi UKM Menurut Tambunan (2009), suatu perusahaan/UKM yang memiliki daya
saing yang tinggi dicirikan oleh sejumlah aspek internal perusahaan/UKM yang terkait dengan beberapa faktor utama penentu daya saing dan aspek-aspek eksternal yang terkait dengan kinerja perusahaan/UKM. Dalam aspek internal ada tiga yang paling penting yaitu SDM, ketersediaan atau penguasaan teknologi, dan organisasi dan manajemen, sedangkan dari aspek eksternal adalah volume produksi, pangsa pasar, dan orientasi pasar atau diversifikasi pasar. Selanjutnya, dengan menggunakan kerangka pemikiran kajian Tambunan (2009), maka situasi UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu dapat digambarkan sebagai berikut: 1. Keahlian dan pendidikan pekerja dan pengusaha Tenaga kerja yang digunakan di UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu, umumnya tidak mempunyai keahlian khusus dan tingkat pendidikan pemilik usaha hanya sekolah dasar atau sekolah menengah pertama. 2. Produktivitas pekerja Sehubungan rendahnya tingkat pendidikan dan keahlian pekerja dan pemilik usaha pada UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu, maka produktivitas yang dihasilkan kurang optimal. 3. Kemampuan inovasi UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu belum bisa melakukan inovasi, sehubungan terbatasnya tenaga kerja terdidik, modal usaha, teknologi, dan jaringan kerja dengan pihak lain. 4. Pertumbuhan volume produksi dan jangkauan pasar Laju pertumbuhan volume produksi UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu dari tahun ke tahun mengalami peningkatan,
124
tetapi sampai saat ini pangsa pasar produk baru melayani pasar lokal atau domestik belum dapat meningkatkan ke pangsa pasar ekpor. Berdasarkan indikator tersebut, dapat dikatakan bahwa daya saing UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu belum memenuhi kriteria sebagai UKM berdaya saing tinggi sebagaimana diuraikan oleh Tambunan (2009). Untuk itu diperlukan berbagai upaya dalam rangka meningkatkan daya saing UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu.
5
PENGUNGKAPAN SITUASI MASALAH
Pengungkapan situasi masalah (problem situation expressed), merupakan tahapan yang berada dalam siklus pertama dari keseluruhan rangkaian recoverability dalam proses SSM. Dalam bab ini disajikan dua tahap SSM yaitu hasil tahap satu: pengungkapan situasi masalah, dan hasil tahap dua: gambaran situasi masalah (rich picture). Tiga tahap analisis yang dilakukan dalam rangka pengungkapan situasi masalah pada UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu, Jawa Barat yaitu analisis intervensi, analisis sosial, dan analisis politik (Checkland dan Poulter 2006).
5.1
Analisis Intervensi Fokus analisis intervensi dilakukan penetapan tiga pihak yang berperan
sangat penting dalam kaitannya dengan situasi permasalahan pada UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu pada tataran makro, meso, dan mikro. Klien (Client) – C
: Peneliti (Trisna Ningsih), Ketua Pembimbing (Dr. Ir. Sugeng Hari Wisudo, M.Si) dan Anggota Pembimbing (Prof. Dr. Martani Huseini, M.B.A; Dr. Ir. Achmad Poernomo, M.App.Sc; Dr. Ir. Tri Wiji Nurani, M.Si) IPB
Praktisi (Practitioner) - P
: Peneliti
Pemilik isu (Problem Owner) - O
:
(1)
Tataran Makro Melibatkan berbagai macam pemangku kepentingan yang meliputi (1) pemerintah pusat (Kementerian Kelautan dan Perikanan), dan (2) pemerintah daerah (Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat dan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu).
126
(2)
Tataran Meso Melibatkan berbagai macam pemangku kepentingan yang meliputi a) Koperasi Kerupuk Mitra Industri (KKMI) Indramayu, dan b) Asosiasi Pengusaha Kerupuk Indramayu (APKI).
(3)
Tataran Mikro Melibatkan berbagai macam pemangku kepentingan yang terdiri dari aktor pelaku usaha (termasuk yang tergabung dalam tataran meso), yang meliputi aktor, pelaku usaha, pekerja pada UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu.
Hasil analisis intervensi ini, berupa identifikasi situasi permasalahan yang terdapat pada UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu dalam tataran makro, meso, dan mikro dalam mengembangkan UKM dan meningkatkan daya saing UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu.
5.2
Analisis Sosial Fokus analisis sosial pada UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan
dan udang di Indramayu pada tataran makro, meso, dan mikro yaitu elemen peran (roles), norma (norms), dan nilai-nilai (values). Ketiga elemen sosial tersebut saling berkaitan erat, tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain karena peran, norma, dan nilai-nilai saling membentuk dan dibentuk (create dan recreates) seperti pada Gambar 37. Norms
Formal Roles Informal Values Sumber: Checkland dan Poulter (2006)
Gambar 37 Proses create dan recreates antara roles, norms, dan values.
127
Peran Peran merupakan posisi sosial, dimana menandai perbedaan antara anggota kelompok atau organisasi. Peran dapat disadari secara formal, namun dalam budaya lokal peran dapat disadari secara informal. Peran dasar dari masing-masing anggota kelompok atau organisasi dalam tataran makro, meso, dan mikro yang terkait dengan situasi permasalahan pada UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu, adalah sebagai berikut: (1) Tataran makro memiliki peran antara lain:
Memberikan pelayanan sosial yang meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial, sehingga diharapkan dapat mempercepat terciptanya kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat khususnya pada tataran meso dan mikro
Menyelesaikan masalah, berdasarkan prinsip kebersamaaan stakeholders; pemerintah daerah, organisasi-organisasi (koperasi dan asosiasi), dengan masyarakat lokal/UKM
Memberikan perlindungan dan dukungan terhadap pengembangan usahausaha swadaya kaum kecil dan menengah guna menangani kebutuhankebutuhan mereka sendiri
Meningkatkan kemampuan kelembagaan dalam membangun swadaya berdasarkan sumber daya lokal
(2) Tataran meso memiliki peran, antara lain: mengembangkan potensi dan kemampuan ekonomi anggota dan masyarakat, berupaya mempertinggi kualitas
kehidupan
manusia,
memperkokoh
perekonomian
rakyat,
mengembangkan perekonomian nasional, serta mengembangkan kreativitas dan jiwa berorganisasi bagi anggota dan masyarakat. (3) Tataran mikro memiliki peran, antara lain: mengusahakan penciptaan lapangan pekerjaan melalui pemberdayaan masyarakat, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyrakat. Norma Norma merupakan perilaku yang diharapkan, dimana norma berasosiasi dengan peran dan membantu pendefinisian peran. Norma yang ada ini terkait dengan
128
peran-peran yang dilakukan oleh anggota kelompok atau organisasi dalam tataran makro, meso, dan mikro. (1) Tataran makro (pemerintah pusat dan daerah), tunduk pada kode etik dalam menjalankan kegiatannya. Kode etik ini diformalisasikan dalam bentuk Undang-Undang dan peraturan daerah yang mengatur mekanisme kerja pada seluruh tataran makro. (2) Tataran meso (koperasi dan asosiasi), berpegang pada AD/RT dan kode etik organisasi yang dikodefikasikan dan telah disepakati bersama oleh seluruh anggota organisasi terkait. (3) Tataran mikro (pelaku usaha/UKM), berpegang pada kesepakatan informal yang telah disepakati bersama. Kesepakatan ini untuk saling mendukung serta memfasilitasi pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu. Nilai Nilai merupakan standar atau kriteria ke dalam mana perilaku yang sesuai dengan peran dinilai. Nilai yang dimiliki oleh anggota kelompok atau organisasi dalam tataran makro, meso, dan mikro sebagai berikut: (1) Tataran makro, menyusun kebijakan yang mendorong pelaku usaha/UKM agar dapat mandiri dan berdaya saing. (2) Tataran meso, memegang nilai-nilai keadilan, persamaan, kebersamaan (solidaritas), kemandirian, dan transparansi. (3) Tataran mikro, menganut nilai-nilai kemandirian, optimis, dan kebersamaan.
5.3
Analisis Politik Analisis politik dilakukan untuk mengetahui situasi permasalahan yang
sudah dibuat dengan memasukkan situasi politik, dimana hal ini selalu kuat dalam menentukan keberhasilan anggota kelompok atau organisasi dalam tataran makro, meso, dan mikro. Fokus dalam analisis ini pada dua hal yaitu (1) menemukan pengaturan atau penyusunan kekuasaan (disposition of power), dan (2) proses untuk mengisi kekuasaan tersebut (nature of power).
129
Disposition of Power (1) Tataran makro Menteri Kelautan dan Perikanan memegang kekuasaan tertinggi dari seluruh kebijakan dan pemangku jabatan tertinggi pada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Direktur Jenderal memegang kekuasaan tertinggi dari seluruh kebijakan dan pemangku jabatan tertinggi pada Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (Ditjen P2HP). Peran KKP terdapat pada: Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara yang telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2011; dan (2) Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara yang telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2010. Dalam melaksanakan tugasnya, KKP menyelenggarakan fungsi: a. Perumusan kebijakan nasional, kebijakan pelaksanaan, dan kebijakan teknis di bidang kelautan dan perikanan; b. Pelaksanaan urusan pemerintahan sesuai dengan bidang tugasnya; c. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya; d. Pengawasan atas pelaksanaan tugasnya; e. Penyampaian laporan hasil evaluasi, saran, dan pertimbangan di bidang tugas dan fungsinya kepada Presiden. Ditjen P2HP memiliki fungsi sebagai berikut: a. Fasilitasi pengembangan usaha industri pengolahan hasil perikanan; b. Fasilitasi pengembangan produk hasil perikanan nonkonsumsi; c. Fasilitasi penguatan dan pengembangan pemasaran dalam negeri hasil perikanan; d. Fasilitasi penguatan dan pengembangan pemasaran luar negeri hasil perikanan; e. Fasilitasi pembinaan dan pengembangan sistem usaha dan investasi perikanan;
130
f. Pengembangan dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis bidang pengolahan dan pemasaran hasil
perikanan (kegiatan
penunjang). Gubernur Jawa Barat memegang kekuasaan tertinggi dari seluruh kebijakan dan pemangku jabatan tertinggi pada Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat, dan lain-lain). Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 15 Tahun 2001, maka Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat mempunyai tugas pokok dan fungsi antara lain: a. Perumusan kebijakan teknis operasional di bidang perikanan dan ekplorasi kelautan; b. Pelaksanaan pelayanan umum pengelolaan perikanan dan eksplorasi kelautan; c. Fasilitasi pelaksanaan pengelolaan perikanan dan explorasi kelautan meliputi program kelautan serta UPTD. Sub Dinas Pengembangan Usaha, Seksi Pengolahan memiliki fungsi sebagai berikut: a. Melaksanakan penyusunan bahan kebijakan pengolahan meliputi inventarisasi, identifikasi dan analisis data serta penyusunan sistem informasi unit usaha pengolahan perikanan skala kecil, menengah, eksportir dan industri perikanan, dan fasilitas penunjang pasca panen; b. Melaksanakan penyusunan bahan kebijakan pengembangan teknologi pengolahan hasil perikanan; c. Melaksanakan penyusunan bahan kebijakan teknis kendali mutu di unit pengolahan, pengawasan mutu ekspor hasil perikanan, pengawasan residu antibiotik, cemaran mikroba dan bahan berbahaya lainnya sesuai dengan prinsip PMMP dan HACCP; d. Melaksanakan penyusunan bahan kebijakan diversifikasi pengolahan hasil perikanan; e. Melaksanakan penyusunan bahan kebijakan teknis, fasilitasi, kriteria dan prosedur pengolahan berdasarkan skala usaha pengolahan tradisional, skala usaha menengah dan skala usaha modern;
131
f. Melaksanakan penyusunan bahan kebijakan teknis peningkatan pengetahuan dan keterampilan sumber daya manusia pengolah hasil perikanan; g. Melaksanakan penyusunan bahan kebijakan teknis uji coba teknologi baru tentang pengolahan hasil perikanan dalam rangka diversifikasi hasil olahan; h. Melaksanakan penyusunan bahan kebijakan teknis pengembangan sarana dan prasarana pengolahan hasil perikanan. Bupati Indramayu memegang kekuasaan tertinggi dari seluruh kebijakan dan pemangku jabatan tertinggi pada Pemerintah Kabupaten Indramayu (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu, dst). Berdasarkan dalam Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan Kabupaten Indaramayu, dan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Dinas Daerah Kabupaten Indaramayu; maka Dinas Perikanan dan Kelautan mempunyai tugas pokok dan fungsi: a. Perumusan kebijakan teknis di bidang perikanan dan kelautan; b. Penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum di bidang perikanan dan kelautan; c. Pembinaan dan pelaksanaan tugas di bidang perikanan dan kelautan; d. Pelaksanaan pelayanan teknis administratif ketatausahaan; e. Pelaksanaan pengelolaan UPTD; f. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Bupati sesuai dengan tugas dan fungsinya. Sub Dinas Kelautan, Seksi Bina Mutu dan Pengolahan Hasil Perikanan memiliki fungsi sebagai berikut: a. Pelaksanaan kebijakan pengolahan hasil perikanan dan pemasarannya; b. Pembangunan, perawatan dan pengelolaan pasar ikan; c. Pelaksanaan pengendalian mutu di unit pengolahan, alat transportasi dan unit penyimpanan hasil perikanan sesuai prinsip PMMT atau HACCP;
132
d. Pelaksanaan kebijakan pengawasan monitoring residu antibiotik dan cemaran mikroba dan bahan berbahaya lainnya serta perairan/ lingkungan tempat ikan hidup; e. Pelaksanaan kebijakan investasi dan pengembangan usaha hasil perikanan; f. Pelakasanaan kebijakan perizinan usaha pengolahan dan pemasaran hasil perikanan di kabupaten. (2) Tataran meso Ketua dan unsur pimpinan organisasi memegang kekuasaan tertinggi dari seluruh kebijakan dan pemangku jabatan tertinggi pada Koperasi Kerupuk Mitra Industri (KKMI) Indramayu, dan Asosiasi Pengusaha Kerupuk Indramayu (APKI). KKMI berperan dalam memfasilitasi anggotanya untuk pembinaan teknologi produksi, kebutuhan bahan baku kerupuk, keperluan rumah tangga, dan lainlain. APKI berperan sebagai berikut: a. Menjalin kerja sama yang baik antar sesama UKM; b. Menyelesaikan permasalahan yang terjadi; c. Dukungan penguatan usaha; d. Pengembangan teknis operasi; e. Dukungan jaringan bisnis/pemasaran; f. Kemudahan mendapatkan bahan baku. (3) Tataran mikro Aktor dan pelaku usaha/UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu, memiliki kekuasaan secara keseluruhan mengenai aktivitas usaha UKM itu sendiri. Pelaku usaha/UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu yang berperan dalam mengembangkan kemandirian usaha dan menciptakan daya saing.
133
Nature of Power (1) Tataran makro Kementerian Kelautan dan Perikanan (Ditjen P2HP), Gubernur Jawa Barat (Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat), dan Bupati Indramayu (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu), memiliki kemampuan untuk menetapkan kebijakan (aturan formal) dan pengalokasian anggaran dalam segala aktivitas UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu. (2) Tataran meso Koperasi Kerupuk Mitra Industri (KKMI) Indramayu, dan Asosiasi Pengusaha Kerupuk Indramayu (APKI) memiliki kemampuan dan perannya untuk mewadahi dan memfasilitasi aspirasi dan kegiatan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu, memberikan advokasi bagi UKM,
sehingga
terbangun
kerangka
kelembagaan
dalam
mencapai
kesepakatan dan kesepahaman melalui pemanfaatan jaringan sebagai tata kelola untuk mengembangkan UKM dan meningkatkan daya saing UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu. (3) Tataran mikro Aktor dan pelaku usaha/UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu, memiliki kemampuan untuk menentukan arah dan perkembangan usaha dan juga menumbuhkan aspek kemandirian pada UKM. Selain itu, memiliki kemampuan untuk membangun kerangka kelembagaan pada tataran mikro dalam mengatasi ketidakserasian dan mencapai konsensus melalui relasi dan transaksi berbasiskan keterlekatan untuk mengembangkan UKM dan meningkatkan daya saing UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu.
5.4
Rich Picture Cara pengungkapan (expressed) atau gambaran situasi dunia nyata yang
dianggap problematik yang lazim digunakan di dalam SSM adalah dengan menggunakan rich picture. Hasil kajian di lapangan didapatkan adanya situasi
134
problematik yaitu rendahnya daya saing UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu. Sehubungan
dengan
situasi
problematik
tersebut,
beberapa
narasumber/aktor menyampaikan pandangan dan harapan, pernyataan dukungan, menemukan keberatan dan kekecewaannya, dan lain-lain (Lampiran 3). Secara rinci situasi masalah mengenai pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu pada tataran makro, meso, dan mikro sebagai berikut: Tataran Makro Pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang pada tataran makro, melibatkan berbagai pemangku kepentingan antara lain pemerintah pusat (Kementerian Kelautan dan Perikanan) dan pemerintah daerah (Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat dan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu). Pada saat ini terdapat 26 (dua puluh enam) kementerian dan lembaga pemerintah yang memiliki program pengembangan UMKM, namun sebagian besar program masih terpaku pada insentif dan bantuan yang dinilai tidak efektif mendorong pelaku UMKM naik kelas ke strata berikutnya (Kemeneg Kop & UKM 2012). Organisasi pemberdayaan dan pengembangan UKM saat ini dapat dilihat pada Gambar 38. Pada masa kabinet orde baru ada Departemen Koperasi dan Pembinaan Usaha KeciI, dimana departemen inilah yang secara khusus diberi tugas dan wewenang untuk memberdayakan UKM. Tetapi secara de facto bukan hanya departemen tersebut yang melaksanakan pembinaan, banyak departemen lain yang memiliki kewenangan teknis operasional seperti Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Departemen Pertanian, Departemen Pariwisata, Departemen Perhubungan, Bank Indonesia, dan lain-lain. Organisasi yang ada saat ini, masih belum efektif memberdayakan dan mengembangkan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu disebabkan karena: -
Belum ada organisasi yang secara jelas memayungi atau bertanggung jawab penuh terhadap UKM
135
-
Sulitnya koordinasi diantara organisasi yang ada saat ini
Pemerintah Pusat/KKP dan instansi terkait
Pemda Provinsi/ instansi terkait
BBRPPBKP/BBRSEKP/ BBP2HP/STP,dll
Perguruan Tinggi/ LSM/BUMN/Swasta
Pemda Kabupaten/Kota dan instansi terkait
Penyuluh/Pembina Teknis
Koperasi/Asosiasi
UKM Sentra Industri Pengolah Kerupuk Ikan dan Udang di Indramayu Keterangan: Koordinasi dan pembinaan kepada Pemda/Instansi/Lembaga Terkait Kerja sama/kemitraan Pembinaan kepada UKM/pelaku usaha
Gambar 38 Organisasi pengembangan UKM saat ini.
Saat
ini
paling
tidak
organisasi/instansi
yang
memiliki
program
pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu yaitu pemerintah pusat (Kementerian Kelautan dan Perikanan; Kementerian Perdagangan; Kementerian Industri; Kementerian Koperasi dan UKM; Kementerian Pekerjaan Umum), pemerintah daerah (Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat; Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu; Dinas Koperasi, UKM, Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Indramayu; Dinas Bina Marga Kabupaten Indramayu; Bank Indonesia Cabang Indramayu, dan lain-lain), lembaga swasta (PT. Pertamina Balongan Kabupaten Indramayu, Bank Perkreditan Rakyat, dan lain-lain).
136
Keterlibatan banyak organisasi/instansi ini, di satu sisi dapat dipandang sebagai manifestasi kepedulian banyak pihak untuk memberdayakan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu, tetapi di lain pihak seringkali pada saat di lapangan menimbulkan tumpang tindih pembinaan yang boleh jadi malah menambah beban bagi UKM. Saat ini, tercatat banyak sekali perijinan harus diperoleh bagi UKM yang akan melakukan kegiatan usaha ekspor. Panjangnya rantai perijinan dan kompleksitasnya struktur birokrasi pada akhirnya menciptakan ekonomi biaya tinggi bagi UKM. Perbedaan persepsi dan kepentingan antar instansi, pada akhirnya banyak menimbulkan kesulitan di lapangan. Misalnya, kriteria atau batasan tentang usaha kecil saja terjadi perbedaan antar instansi. Bank Indonesia mempunyai batasan sendiri (Peraturan Bank Indonesia No. 7/39/PBI/2005 tentang Pemberian Bantuan Teknis dalam rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah), Kementerian Perindustrian (Peraturan Menteri Perindustrian No. 78/M-IND/PER/ 9/2007 tentang Peningkatan Efektifitas Pengembangan Industri Kecil dan Menengah melalui Pendekatan Satu Desa Satu Produk (One Village One ProductOVOP) di Sentra, Kementerian Kelautan dan Perikanan (Permen KP No.18/MEN/ 2006 tanggal 14 Agustus 2006 tentang Skala Usaha Pengolahan Hasil Perikanan), Kantor Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (SK Menegkop
dan
UKM
No:
23/Per/M.KUKM/XI/2005
tentang
Pedoman
Penumbuhan dan Pengembangan Sentra Usaha Kecil dan Menengah). Padahal kriteria atau batasan tersebut telah tertuang secara jelas dalam UU Nomor 20 Tahun 2008. Lebih sulit lagi adalah koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sejak dikeluarkan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah hubungan institusional antara kementerian teknis baik yang punya portofolio maupun yang tidak punya portofolio menjadi sangat lamban. Instansi-instansi di pusat bertugas merumuskan kebijakan dasar pemberdayaan UKM, dan pemerintah daerah melalui dinas-dinas teknis melakukan pembinaan operasional. Pada kenyataannya tidak ada jaminan bahwa kebijakan dasar yang telah dirumuskan oleh pemerintah pusat dioperasionalisasikan di lapangan.
137
Bahkan untuk sekedar mengumpulkan data saja koordinasi antara instansi di pusat dan dinas-dinas di daerah sulit dilakukan. Isu-isu mengenai koordinasi pemberdayaan pembagian tugas dan tata kerja serta kesamaan visi dan misi diantara mereka sangat diperlukan untuk merumuskan kebijaksanaan dan strategi operasional pemberdayaan UKM yang menjadi pedoman semua pihak. Selanjutnya, fasilitasi yang sangat dibutuhkan oleh pelaku usaha/UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu pada saat ini terutama yang menyangkut dengan pengadaan/ penyempurnaan infrastruktur, kemudahan pemasaran hasil, kemudahan baik dalam mendapatkan permodalan, sarana produksi/pengolahan, teknologi baru, informasi pasar, serta peningkatan manajemen kewirausahaan. Dalam rangka pengembangan UKM, diperlukan peranan pada tataran makro yaitu pemerintah baik di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten serta peranan pada tataran meso (koperasi, asosiasi, dll) dan organisasi yang ada saat ini belum berperan sesuai tugas pokok dan fungsinya. Selanjutnya proses perencanaan program, kegiatan, dan anggaran sangatlah penting. Perencanaan tersebut, diperlukan untuk mengatur strategi dalam menghadapi perubahan lingkungan yang dinamis. Sistem perencanaan yang baik sangat diperlukan sebagai dasar pembangunan, sehingga tujuan pembangunan yang akan dicapai akan terarah dan lebih efisien dalam pencapaiannya. Program dan kegiatan pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu (Gambar 39), penganggaran keuangannya bersumber dari (1) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yaitu melalui anggaran dekonsentrasi, tugas pembantuan (TP), dana alokasi khusus (DAK) dan (2) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Proses perencanaan dan penyusunan APBN mengacu pada UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dan proses perencanaan dan penyusunan APBD, mengacu pada PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Dalam rangka meningkatkan daya saing UKM telah dialokasikan pemerintah pusat dan daerah melalui program, kegiatan, dan anggaran pemberdayaan UKM di setiap daerah yang memiliki UKM.
138
Pemerintah Pusat & Daerah
Program dan Kegiatan
Asosiasi & Koperasi
UKM Realisasi Program dan Kegiatan
Gambar 39 Program dan kegiatan pengembangan UKM.
Program, kegiatan, dan anggaran pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu yang ada saat ini, masih banyak yang belum efektif dan efisien yang disebabkan karena: -
Pemerintah pusat dan daerah belum memiliki visi bersama secara jangka panjang
-
Setiap individu dalam organisasi pemerintah pusat dan daerah belum mempunyai rasa saling memiliki dan bekerja sama dengan baik
-
Usulan program, kegiatan dan anggaran masih banyak yang berasal dari atas (top down) bukan berasal dari bawah (bottom up)
-
Alokasi dana dari APBN untuk UKM terpecah-pecah dengan jumlah yang terbatas sehingga penyaluran bantuan untuk UKM pun tidak terfokus Sejak tahun 2007 sampai dengan sekarang, Kementerian Kelautan dan
Perikanan telah mengalokasian program dan kegiatan bagi UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu yang berasal dari APBN melalui anggaran dekonsentrasi pada Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat, dan anggaran tugas pembantuan (TP) pada Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu. Selain itu program dan kegiatan bagi UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu, juga didukung oleh APBD
139
Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat dan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu. Kementerian Kelautan dan Perikanan, Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat, dan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu belum serius dalam mendukung pengembangan UKM, pasalnya program, kegiatan, dan anggaran dalam APBN dan APBD untuk pembinaan UKM masih bersifat hit and run bahkan cenderung hanya membuang anggaran saja. Selain itu program dan kegiatan dari APBN dan APBD masih terpecah-pecah, akibat banyaknya kementerian/lembaga yang mempunyai program untuk UKM. Dampaknya, terjadi tumpang tindih pengelolaan dan penyaluran program UKM dan penyaluran bantuan untuk UKM pun tidak terfokus dan efektif. Selanjutnya, setiap individu baik pada Kementerian Kelautan dan Perikanan, Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat, dan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu belum mempunyai rasa saling memiliki dan bekerja sama dengan baik sehingga dalam penyusunan program, kegiatan, dan anggaran masih dijumpai output dan outcome yang tidak jelas dan tidak bisa diukur. Hal ini disebabkan karena Kementerian Kelautan dan Perikanan, Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat, dan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu belum memiliki visi bersama secara jangka panjang, dan usulan program, kegiatan dan anggaran masih banyak yang berasal dari atas (top down) bukan berasal dari bawah (bottom up) sehingga program dan kegiatan banyak yang tidak efektif dan efisien serta tidak tepat sasaran dan fungsinya. Berdasarkan situasi problematik di atas, di bawah ini diuraikan mengenai pendapat aktor tentang permasalahan tataran makro dalam pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu (Tabel 16).
140
Tabel 16 Pendapat aktor tentang permasalahan dalam tataran makro TATARAN MAKRO
TATARAN MESO
TATARAN MIKRO
(Pemerintah Pusat & Daerah)
(Koperasi & Asosiasi)
(Pelaku Usaha/UKM)
Salah satu tujuan (grand strategy/the blue revolution policies) pada KKP yaitu memperkuat kelembagaan dan SDM secara terintegrasi
Banyak organisasi/institusi yang diberi tugas membina UKM, sehingga di lapangan seringkali menimbulkan tumpang tindih pembinaan yang boleh jadi malah menambah beban bagi UKM
Setiap instansi/organisasi yang terlibat dalam rangka mendukung pengembangan UKM belum mempunyai rasa saling memiliki dan bekerja sama dengan baik, sehingga tidak memiliki visi dan tujuan bersama Dalam penyusunan program, kegiatan, dan anggaran masih dijumpai output dan outcome yang tidak jelas dan tidak bisa diukur. Hal ini disebabkan karena, pemerintah pusat dan daerah belum memiliki visi bersama secara jangka panjang
Koperasi Kerupuk Mitra Industri (KKMI) dan Asosiasi Pengusaha Kerupuk Indramayu (APKI) mengharap agar pemerintah pusat dan daerah mendukung penuh program, kegiatan, dan anggaran yang diusulkan dalam rangka pengembangan UKM Banyak program dan kegiatan yang kita usulkan, tidak pernah direalisasikan. Kok ya, kita dapat program dan kegiatan yang tidak jelas untuk apa manfaatnya? Pemerintah pusat dan daerah, harusnya memprioritaskan usulan program, kegiatan dan anggaran yang kami usulkan, jangan usulan untuk kepentingan organisasinya saja
Pemerintah harusnya bisa bantu kami, uji coba/penelitian membuat kerupuk dengan bahan baku ikan lainnya (selain ikan remang). Kalau hasilnya bagus dan biayanya lebih murah, kami semua pasti mau juga mencoba hasil penelitian tersebut
Kami suka saja dibina oleh siapapun, asalkan diberikan juga bantuan modal dan peralatan
Banyak program dan kegiatan dalam rangka mendukung pengembangan UKM dari pemerintah yang tidak sesuai dan tidak tepat guna dengan yang kami usulkan, terutama dalam hal bantuan permodalan, sarana dan prasarana, dll
Terkait program pemberdayaan UKM, dulu yang lebih banyak membantu dana, memberikan keterampilan dalam pelatihanpelatihan, dan juga memasarkan produk adalah pihak PT Pertamina. PT Pertamina benar-benar membantu pengusaha yang masih kecil dan belum berkembang. Berbeda dengan pemerintah, hanya mau membantu para pengusaha yang sudah sukses dan berkembang. “Mungkin agar pemerintah ikut-ikutan disebut sukses dengan programnya, kasarnya kecipratan suksesnya
Tataran Meso Pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu pada tataran meso, meliputi 1) Koperasi Kerupuk Mitra Industri (KKMI) Indramayu, dan 2) Asosiasi Pengusaha Kerupuk Indramayu (APKI). Koperasi Kerupuk Mitra Industri (KKMI) Indramayu dibentuk pada tahun 2006 dan Asosiasi Pengusaha Kerupuk Indramayu (APKI) dibentuk pada tahun 2011, dengan dukungan pemerintah daerah. KKMI dan APKI berfungsi sebagai wadah yang dapat memfasilitasi anggotanya untuk pembinaan teknologi produksi, kebutuhan bahan baku kerupuk, keperluan rumah tangga, dan lain-lain. Pembentukan koperasi dan asosiasi tersebut, bertujuan juga agar terjalin kerja sama yang baik antar sesama UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu. Koperasi dan asosiasi yang ada saat ini, belum bekerja secara optimal sebagaimana yang diharapkan dan belum memiliki peran yang sungguh-sungguh terhadap pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang
141
di Indramayu. Selain itu, koperasi dan asosiasi sejauh ini juga belum mampu memberikan manfaat ekonomi atau kesejahteraan bagi para anggotanya. Adapun kendala dan permasalahan yang menyebabkan rendahnya kinerja dan belum berperannya koperasi dan asosiasi adalah: -
Kualitas SDM pengurus dan pengelola koperasi dan asosiasi sebagian besar masih rendah
-
Lemahnya manajemen
-
Kurangnya permodalan
-
Kurangnya kesadaran masyarakat akan arti penting koperasi dan asosiasi
-
Adanya kegiatan koperasi dan asosiasi yang memanfaatkan program bantuan atau dukungan pemerintah terhadap keberadaan koperasi dan asosiasi bagi kepentingan pribadi (pemburu rente) Pada umumnya kualitas SDM pengurus dan pengelola Koperasi Kerupuk
Mitra Industri (KKMI) Indramayu dan Asosiasi Pengusaha Kerupuk Indramayu (APKI) tidak memiliki kemampuan (pengetahuan dan keterampilan) yang memadai, baik dalam hal manajemen dan organisasi maupun dalam hal teknis dan bisnis pengolahan kerupuk ikan dan udang, serta perdagangan/pemasaran produk. Selain kelemahan teknis manajemen sering kali para pengurus dan pengelola koperasi dan asosiasi juga dilanda penyakit moral, kerja malas, tidak kreatif dan produktif, tetapi korupsi (rent seeking). Dengan kondisi kualitas SDM pengurus dan pengelola koperasi dan asosiasi semacam ini, sangat dikhawatirkan koperasi dan asosiasi akan mengalami rugi melulu (cost center) atau kalaupun survive, jalannya terengah-engah. Kenyataan yang terjadi, bagaimana koperasi dan asoisasi dapat mensejahterakan para anggotanya kalau dirinya sendiri 'harus dirawat jalan'. Kendala berikutnya yang sangat menghambat kinerja dan peran koperasi dan asosiasi, meskipun seolah-olah klise, adalah minimnya permodalan. Sebuah koperasi dan asosiasi yang berhasil, adalah koperasi dan asosiasi yang dapat memasok segenap faktor produksi (production inputs) untuk keperluan pengolahan kerupuk ikan dan udang secara kontinu dan harga relatif lebih murah atau paling tidak sama dengan harga pasar. Selain itu, koperasi dan asosiasi yang berhasil juga dapat membeli hasil produksi kerupuk ikan dan udang UKM dengan
142
harga bersaing setiap saat. Hal ini memerlukan kemampuan untuk menangani (handling), mengolah (processing), dan memasarkan (marketing) produk kerupuk ikan dan udang. Koperasi dan asosiasi yang berhasil juga mampu melaksanakan fungsi simpan-pinjam bagi para anggotanya yang saling menguntungkan, sehingga UKM terbebas dari jeratan para pengijon dan tengkulak. Koperasi dan asosiasi yang ada saat ini belum mampu membayar tunai hasil produksi yang dijual melalui koperasi dan asosiasi, sehingga UKM akhirnya lebih senang menjual hasil produksinya sendiri kepada para agen, pedagang atau konsumen akhir. Alasannya sederhana, karena koperasi dan asosiasi tidak memiliki modal yang mencukupi untuk membayar tunai hasil produksi UKM. Perilaku ingin meraup untung sebesar-besarnya tanpa mengindahkan nasib UKM (rent seeking behavior), para pengusaha skala usaha menengah atau skala usaha besar di wilayah dimana koperasi dan asosiasi berada juga seringkali mematikan kinerja koperasi dan asosiasi. Prakteknya, para 'pengusaha nakal' menjual seluruh kebutuhan pengolahan kerupuk (ikan, tepung tapioka, gula, minyak, dan lain-lain) lebih murah dari pada yang selama ini disediakan oleh koperasi dan asosiasi. Praktek semacam ini dilakukan oleh para pengusaha nakal sampai koperasi dan asosiasi tidak mampu bersaing lagi. Masyarakat dan UKM sampai saat ini kebanyakan belum sadar atau tidak memahami, bahwa jika koperasi dan asosiasi dijalankan dengan benar, sesungguhnya mampu meningkatkan posisi tawar mereka dan meningkatkan kesejahteraannya. Kurangnya pemahaman dan kesadaran sebagian besar masyarakat dan UKM tentang arti penting dan peran strategis koperasi dan asosiasi bagi kesejahteraan hidup mereka kemungkinan besar disebabkan oleh kurangnya sosialisasi dan citra buruk koperasi dan asosiasi itu sendiri. Koperasi dan asosiasi dalam pengembangannya belum merefleksikan tujuan bersama anggota, hal inilah yang kurang diperhatikan. Koperasi dan asosiasi yang seharusnya berdiri karena kepentingan bersama anggotanya akhirnya berdiri karena
program
pemerintah,
sehingga
keberlangsungannya
tidak
lama.
Selanjutnya dengan paradigma pengembangan koperasi dan asosiasi tersebut, akan mati suri dan baru muncul lagi jika ada program bantuan atau dukungan pemerintah. Ironisnya yang terjadi, koperasi dan asosiasi memanfaatkan program
143
bantuan atau dukungan pemerintah terhadap keberadaan koperasi dan asosiasi bagi kepentingan pribadi (pemburu rente). Berdasarkan situasi problematik di atas, di bawah ini diuraikan mengenai pendapat aktor tentang permasalahan tataran meso dalam pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu (Tabel 17).
Tabel 17 Pendapat aktor tentang permasalahan dalam tataran meso TATARAN MAKRO
TATARAN MESO
TATARAN MIKRO
(Pemerintah Pusat & Daerah)
(Koperasi & Asosiasi)
(Pelaku Usaha/UKM)
Koperasi dan asosiasi yang telah ada perlu meningkatkan kinerja dan perannya bagi UKM antara lain dalam pengembangan jaringan informasi usaha yang sangat dibutuhkan untuk pengembangan usaha bagi kami/anggotanya Seharusnya koperasi dan asosiasi bersama-sama mendukung pengembangan UKM, jangan hanya mengusulkan proposal untuk mendapatkan anggaran dan atau mencari keuntungan pribadi Koperasi dan asosiasi yang terbentuk agar benar-benar serius bertanggung jawab terhadap kegiatan/dana yang diberikan pemerintah, sehingga didapat output dan outcome yang jelas dapat meningkatkan pengembangan UKM
Koperasi Kerupuk Mitra Industri (KKMI) dan Asosiasi Pengusaha Kerupuk Indramayu (APKI) berfungsi sebagai wadah yang dapat memfasilitasi anggotanya untuk pembinaan teknologi produksi, kebutuhan bahan baku, keperluan rumah tangga, dll
KKMI dibentuk pada tahun 2006 dan APKI dibentuk pada tahun 2011 dengan dukungan pemerintah daerah. Saat ini keanggotaan APKI wajib bagi seluruh pemilik usaha kerupuk, sedangkan kenggotaan KKMI tidak diwajibkan
Kurangnya pemahaman tentang koperasi sebagai badan usaha yang memiliki struktur kelembagaan dan insentif yang unik/khas dibandingkan badan usaha lainnya
Kurang memasyarakatnya informasi tentang praktek-praktek berkoperasi yang benar telah menyebabkan rendahnya kualitas kelembagaan dan organisasi koperasi
KKMI dan APKI mengharap agar pemerintah pusat dan daerah mendukung penuh program, kegiatan, dan anggaran yang diusulkan dalam rangka pengembangan UKM
Secara internal, hampir semua UKM memiliki ikatan antar unit usaha disebabkan oleh hubungan kekerabatan/keluarga maupun sub kontrak. Bentuk kerja sama ini merupakan jejaring bisnis yang memiliki ikatan sosial yang kuat karena persamaan model produk
Koperasi dan asosiasi yang ada saat ini, harusnya lebih meningkatkan kinerja dan perannya secara sungguh-sungguh untuk anggota Koperasi yang ada sekarang harusnya milik bersama, bukannya milik/modal seseorang.. kok seperti perusahaan sendiri Harusnya koperasi dan asosiasi yang bantu memasarkan produik kerupuk kami.
Tataran Mikro Pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu pada tataran mikro, meliputi pelaku usaha/UKM. UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Desa Kenanga Blok Dukuh, Kecamatan Sindang, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat sebanyak 34 unit pengolahan ikan (UPI) yang terdiri dari 26 UPI skala usaha kecil dan 8 UPI skala usaha menengah.
144
Jumlah tenaga kerja yang terlibat di UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu, pada setiap UPI bervariasi tergantung besar atau kecil usahanya. UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu rata-rata mempekerjakan sekitar 25-125 orang tenaga kerja per UPI yang dapat menghasilkan kerupuk ikan dan udang sebanyak ± 15-75 ton/bulan/ UPI. Secara umum ada dua kelompok pekerja, pertama pekerja tetap yang digaji berdasarkan keterampilan dan kecakapan yang dimiliki dengan upah kerja Rp100 000 sampai dengan Rp200 000 per hari. Kedua, pekerja borongan yang dikontrak meskipun secara informal, berdasarkan jenis pekerjaan dan jumlah pekerjaan yang harus diselesaikan terkadang diperlukan jika sewaktu-waktu terjadi lonjakan pesanan atau pada musim kemarau dimana proses produksi meningkat dengan upah kerja Rp25 000 sampai dengan Rp30 000 per hari atau dibayarkan menurut jumlah barang yang dihasilkan oleh masing-masing pekerja. Adapun kendala dan permasalahan yang menyebabkan rendahnya kualitas SDM pada UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu adalah: -
Tingkat pendidikan tenaga kerja/SDM rendah
-
Tidak memiliki keahlian/keterampilan khusus di bidangnya
-
Tidak tersedianya dana khusus untuk kegiatan pelatihan, mengikuti seminar, studi banding, dan lain-lain
-
Fasilitasi program bantuan atau dukungan pemerintah untuk peningkatan keterampilan SDM tidak tepat sasaran Tenaga kerja yang umumnya terlibat dalam UPI kerupuk ikan dan udang di
Indramayu, berasal dari daerah sekitar lokasi UPI (ada ikatan keluarga atau tetangga). Dimana tenaga kerja yang digunakan di UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu umumnya tidak mempunyai keahlian khusus, dimana pemilik usaha menempatkan tenaga kerja pria dan wanita pada semua tahap pembuatan kecuali di bagian produksi khusus tenaga pria. Tingkat pendidikan tenaga kerja pada UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu umumnya sekolah dasar (SD) sampai sekolah menengah pertama (SMP). Pemilik usaha tidak menentukan adanya
145
spesifikasi pekerjaan tertentu yang harus sesuai dengan tingkat pendidikan, tetapi kebanyakan tenaga kerja bagian non produksi berpendidikan SMP dan tenaga kerja bagian produksi berpendidikan SD. Pelaksanaan kegiatan fasilitasi program bantuan/dukungan pemerintah pusat dan daerah kepada UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu untuk peningkatan keterampilan UKM kurang tepat sasaran, dimana perserta yang mengikuti kegiatan umumnya dihadiri oleh pemilik usaha. Dampaknya, dengan keterbatasan waktu seringkali pemilik usaha yang mengikuti program pemerintah tersebut tidak meneruskan materi/pengetahuan yang didapatkan kepada tenaga kerja/SDM nya. Ditambah lagi, pemilik usaha tidak pernah memiliki dana khusus untuk kegiatan pelatihan, seminar, studi banding, dan lain-lain. Penerapan tata cara proses produksi makanan yang baik yaitu GMP (good manufacturing practices), SSOP (sanitation standard operational procedure), sop (standard operational procedure), dan sistem pendukung lainnya pada UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu belum dilakukan secara utuh. Umumnya masih banyak dijumpai pada sentra pengolahan kerupuk (Gambar 40), antara lain 1) penyiangan ikan di lantai yang bercampur dengan sisa buangan berupa isi perut, darah, kepala, dan lain-lain, 2) penjemuran kerupuk yang diletakkan di atas tampah pada lahan terbuka/tanah lapang atau sekitar bahu jalan/ pinggir jalan raya, 3) banyaknya tumpahan terigu/adonan di tempat pencetakan adonan. Kondisi tersebut adalah akibat tidak adanya prosedur standar yang diberlakukan pada UKM sentra pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu.
Penyiangan ikan di lantai
Tempat proses produksi yang tidak hygienis
146
Penjemuran kerupuk di lantai
Peralatan yang digunakan kurang hygienis
Gambar 40 Kondisi pada UKM sentra di Indramayu yang belum sesuai standar.
UKM sentra industri kerupuk ikan dan udang di Indramayu kebanyakan merupakan skala usaha kecil dan menengah. Industri kerupuk jika tidak ditangani dengan baik juga mempunyai potensi untuk merusak lingkungan. Penggunaan air pada saat pencucian bahan baku ikan biasanya langsung di buang ke saluran air (Gambar 41). Air ini mengandung darah ikan dan sisa-sisa pemotongan ikan. Lama kelamaan, air pencucian ini mengakibatkan bau tidak sedap keluar dari parit di sekitar lingkungan UPI. Lingkungan UPI berdekatan dengan rumah penduduk, sehingga jika tidak ditangani dengan baik akan berakibat tidak baik pada kualitas kesehatan karyawan/pekerja pada khususnya dan kualitas kesehatan penduduk di sekitar UPI pada umumnya.
Gambar 41 Air bekas pencucian ikan yang di buang ke parit/got.
Sebagian besar warga masyarakat yang berdomisili di sekitar sentra industri pengolahan kerupuk selama ini merasa terganggu oleh tajamnya bau limbah, dan
147
sangat menyesakkan pernafasan serta mengakibatkan sebagian kulit warga mengalami gatal-gatal akibat rembesannya ke sumur warga. Permasalahan ini sudah berlangsung cukup lama, dan pemerintah sudah pernah melakukan upaya penanganan limbah dengan memasang saluran pipa untuk menyaring limbah. Sayangnya, pipa
yang sudah terpasang bertahun-tahun tersebut belum
terselesaikan. Sampai saat ini, dari pemerintah belum ada tindakan dan upaya lain lagi untuk menangani limbah tersebut. Akibat permasalahan limbah tersebut, mengakibatkan kekhawatiran akan bepengaruh pada perusahaan kerupuk. Bisa jadi lama kelamaan, akhirnya perusahaan ditutup dan tidak berkembang. Selain itu citra perusahaan akan buruk, jika ada tamu luar yang datang berkunjung ke sentra industri pengolahan kerupuk akibat bau yang tidak sedap dan sangat mengganggu tersebut. Sumber daya keuangan per unit pengolahan pada UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu rata-rata memiliki yaitu: -
Pada unit skala usaha kecil rata-rata memiliki aset sebesar 500 juta rupiah sampai dengan 1 milyar rupiah, terdiri dari aset bangunan sebesar 200 juta rupiah sampai dengan 500 juta rupiah dan aset lahan sebesar 300 juta rupiah sampai dengan 500 juta rupiah. Dengan modal usaha 5 juta rupiah sampai dengan 30 juta rupiah, mendapatkan keuntungan rata-rata 500 ribu rupiah sampai dengan 3 juta rupiah per hari.
-
Pada unit skala usaha menengah rata-rata memiliki aset sebesar 3 milyar rupiah, terdiri dari aset bangunan sebesar 1 milyar rupiah dan aset lahan sebesar 2 milyar rupiah. Dengan modal usaha sebesar 30 juta rupiah sampai dengan 50 juta rupiah, mendapatkan keuntungan rata-rata 3 juta rupiah sampai dengan 5 juta rupiah per hari. Kebutuhan modal usaha pembuatan kerupuk ikan dan udang di Indramayu
dapat dicukupi dengan modal sendiri ataupun sebagian dapat dipenuhi dengan pinjaman dari sumber-sumber formal atau informal. Semakin meningkatnya harga bahan baku ikan dan permintaan kerupuk ikan dan udang saat ini, menjadi kendala bagi pengusaha kerupuk di Indramayu terkait dengan keterbatasan modal usaha.
148
Adapun kendala dan permasalahan yang menyebabkan keterbatasan modal usaha pada UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu adalah: -
Sulit mendapatkan alokasi dana pinjaman/kredit yang lebih besar dari lembaga perbankan dengan persyaratan kredit yang mudah serta suku bunga yang rendah
-
Belum berperannya secara optimal tenaga pendampingan atau konsultan keuangan mitra bank (KKMB) bagi UKM Permasalahan modal masih menjadi masalah pokok bagi UKM sentra
industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu, dimana banyak pelaku usaha/UKM di Indramayu yang masih sulit mendapatkan alokasi dana kredit yang lebih besar dari lembaga perbankan, dengan persyaratan kredit yang mudah serta suku bunga yang rendah. Hal ini mengakibatkan, UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu hanya berproduksi kerupuk ikan dan udang dalam jumlah pesanan yang terbatas. Pemerintah telah menyediakan dana kredit untuk modal usaha bagi UKM, salah satunya adalah kredit usaha rakyat (KUR). KUR merupakan kredit untuk UKM yang feasible namun belum bankable. Kredit ini jumlahnya hingga Rp 500 juta yang diberikan oleh bank BUMN dan Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang didukung dengan penjaminan kredit dari PT. Asuransi Kedit Indonesia (Askrindo) dan PT. Sarana Pengembangan Usaha (SPU). KUR mensyaratkan bahwa agunan pokok kredit adalah proyek yang dibiayai. Namun, karena agunan tambahan yang dimiliki oleh UKM pada umumnya kurang, maka sebagian dicover dengan program penjaminan. Besarnya coverage penjaminan maksimal 70 % dari plafond kredit. Sumber dana KUR sepenuhnya berasal dari dana komersial bank. Masalahnya, tidak semua dana yang disalurkan kepada UKM itu dikembalikan lagi kepada BUMN pembina untuk dijadikan dana bergulir. Banyak UKM yang tidak lancar mengembalikan dana bergulir alias berkategori kredit macet. Kredit macet ini membuat BUMN membuat pagar dengan menerapkan agunan kepada UKM yang akan diberi kredit. Padahal dalam Peraturan Menteri Negara BUMN No. Per-05/MBU/2007 tentang PKBL, tidak ada satupun kata atau
149
kalimat tentang agunan. Tidak adanya aturan tersebut membuat persyaratan agunan tiap BUMN berbeda-beda. Salah satu bentuk kepedulian pemerintah adalah membentuk kelembagaan konsultan keuangan mitra bank (KKMB) sektor kelautan dan perikanan. Sejak tahun 2003 Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah mengembangkan program pemberdayaan KKMB untuk sektor kelautan dan perikanan yaitu dengan melatih orang per orang yang selama ini memiliki kepedulian dan bersinggungan langsung dengan usaha sektor kelautan dan perikanan. Selanjutnya tahun 2009 Bank Indonesia (BI) dan KKP membuat perjanjian kerja sama tentang pengembangan KKMB dan penyusunan buku pola pembiayaan produk/jasa bidang kelautan dan perikanan. Kelembagaan ini diharapkan menjembatani kesenjangan antar UMKM kelautan dan perikanan dengan pihak perbankan. Selain itu, diharapkan menjadi sumber informasi bagi UMKM tentang produkproduk skim-skim kredit yang lebih mudah dan luwes. Pangsa pembiayaan perbankan kepada UMKM sektor pertanian (termasuk sub-sektor perikanan) sampai tahun 2009 baru mencapai 3.3 persen dari total pembiayaan perbankan kepada UMKM yang mencapai Rp 700.8 triliun (Juni 2009). Pemberdayaan KKMB bidang kelautan dan perikanan yang dilakukan dalam kerjasama ini akan menjembatani hubungan yang saling menguntungkan antara UMKM dan bank (BI 2009). Dalam perkembangannya, meskipun keberadaan KKMB sudah ada beberapa tahun yang lalu namun perannya dapat dikatakan belum cukup menggembirakan. Salah satu penyebabnya adalah kegiatan pendampingan terhadap UMKM sering kali masih dilihat sebagai bisnis sosial. Keberadaan tenaga pendamping yang bersifat sosial ini menghadapi masalah dalam hal keberlanjutannya. Hal tersebut disebabkan keberadaan mereka lebih dikarenakan adanya proyek yang sedang dijalankan oleh pemerintah sehingga bila proyek tersebut berakhir maka berakhir pula kegiatan pendampingannya. Padahal di sisi lain potensi UMKM yang belum digarap oleh perbankan masih tinggi. Tidak hanya itu, UMKM tersebut juga masih membutuhkan tenaga pendamping sebagai jembatan mereka untuk bisa akses kepada perbankan.
150
Adanya kebutuhan akan KKMB dan kendala pembiayaan kepada mereka mendorong pemikiran agar kegiatan pendampingan tersebut dikelola secara profesional. Setiap kegiatan pendampingan yang diterima oleh UMKM, maka tenaga pendamping akan memperoleh sejumlah fee dari UMKM atau perbankan yang menggunakan jasa mereka. Fee inilah yang digunakan untuk membiayai kegiatan operasional pendampingan. Dalam rangka meningkatkan profesionalitas tenaga pendamping agar mampu berhubungan dengan perbankan maka diperlukan penambahan kompetensi terutama di aspek keuangan. Bahan baku utama dalam pembuatan kerupuk ikan dan udang di Indramayu, yang digunakan umumnya adalah ikan remang dan udang api-api (Gambar 42). Selanjutnya dalam pembuatan kerupuk ikan dan udang, penyediaan bahan baku merupakan hal yang sangat penting dalam menjaga keberlangsungan kegiatan usaha produksinya. Pengendalian persediaan bahan baku, akan menentukan apakah perusahaan tersebut mampu terus beroperasi atau tidak. Keberlangsungan persediaan juga akan menentukan tingkat keuntungan perusahaan.
Ikan remang
Udang api-api
Gambar 42 Bahan baku ikan dan udang dalam pembuatan kerupuk di Indramayu.
Manajemen
pengendalian
bertujuan
untuk
memenuhi
permintaan.
Manajemen persediaan bahan baku akan efektif apabila persediaan bahan baku terlaksana dengan optimal, dengan biaya minimal tanpa mengganggu jalannya usaha produksi, sehingga terjadi penghematan biaya produksi, peningkatan keuntungan dan kinerja perusahaan.
151
Adapun kendala dan permasalahan yang menyebabkan keterbatasan bahan baku pada UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu adalah: -
Sulit mendapatkan ikan dalam jumlah yang banyak karena tergantung dari hasil melaut nelayan, sehingga harga ikan sulit terkontol
-
Bahan baku ikan tidak tahan lama disimpan dalam cool box/wadah penyimpanan, sehingga harus segera diproses
-
Tidak tersedianya modal pada saat harga ikan naik atau saat pesanan bahan baku ikan datang
-
Tidak ada kerja sama/MOU yang jelas dan tertulis antara pemasok bahan baku dengan pelaku usaha/UKM, sehingga posisi UKM lemah ketika harga ikan naik atau jumlah bahan baku sedikit Saat ini kesulitan bahan baku ikan terjadi pada UKM sentra industri
pengolahan ikan dan udang di indramayu ketika pasokan ikan menurun, sehingga menyebabkan harga ikan naik yang tidak terkontrol. Pengusaha kerupuk ikan dan udang disisi lain tidak dapat menaikkan harga sesuai dengan kenaikan harga bahan bakunya, karena tidak dapat mempengaruhi harga kerupuk ikan dan udang di pasar. Kondisi lain yang sering terjadi yaitu tidak tersedianya modal pada saat harga ikan naik atau saat pesanan bahan baku ikan datang, sehingga menyebabkan proses produksi terganggu yang pada akhirnya dapat mengakibatkan proses produksi terhenti sama sekali. Unit usaha kecil dan menengah sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu, belum mempunyai manajemen atau pengelolaan bahan baku yang baik. Kesalahan dalam jumlah dan waktu pemesanan bahan baku yang dilakukan, menimbulkan pemborosan biaya persediaan bahan baku. Hal inilah yang menyebabkan beberapa UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu mengurangi pemesanan/permintaan jumlah pembeli. Ditambah lagi, tidak adanya kerja sama dalam bentuk MOU yang jelas dan tertulis dalam pemenuhan bahan baku ikan antara pemasok dan UKM, sehingga posisi UKM lemah ketika harga ikan naik atau jumlah bahan baku sedikit. Pemasaran produk kerupuk ikan dan udang UKM sentra pengolahan di Indramayu, pada umumnya adalah pasar lokal dan belum menembus pasar global
152
atau ekspor. Selain menggunakan pasar tradisional dalam memasarkan produkproduk kerupuk, beberapa unit usaha menggunakan strategi menjual produk secara langsung kepada konsumen dengan menyediakan ruang kecil/sejenis toko oleh-oleh di bagian depan bangunan unit usahanya (Gambar 43), menggunakan papan reklame, memanfaatkan perayaan tahunan di wilayah Indramayu (seperti pasar malam, pameran produk, dan lain-lain), melalui media internet dan surat kabar (Gambar 44), TV, radio, majalah, dan lain-lain.
Gambar 43 Toko kecil untuk menjual produk, terletak di depan bangunan UPI. http://kerupuk-kapalemas.blogspot.com/ Kerupuk Indramayu Kapal Emas
Minggu, 15 April 2012 | 09:26 WIB Yusuf Zainal, Raja Kerupuk dari Indramayu (1) Rabu, 25 Maret 2009 | 09:46 WIB KOMPAS/SIWI YUNITA CAHYANINGRUM Industri kerupuk di Desa Kenanga, Kecamatan Sindang, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. KOMPAS.com — Jangan anggap enteng profesi perajin kerupuk. Kisah sukses Yusuf Zainal Abidin membuktikan bahwa keuntungan dari bisnis kerupuk tak seenteng produk kerupuk. Berkat usahanya yang tak kenal lelah, pengusaha kerupuk asal Indramayu ini mampu menangguk omzet ratusan juta rupiah setiap bulan. a tak lebih sekadar mendapat limpahan rahmat dari Yang Maha Esa. Namun, di balik kenikmatan itu, alumni Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA) Negeri Indramayu ini sempat memendam kekecewaan mendalam. (Anastasia Lilin Yuliantina/Kontan) Sumber :
Share Index Berita Info Kita Surat Pembaca Berita Duka Seremonia DKK Matahati Tanah Air Kompas Kita Kompas AR Kompas Dakode
PERUSAHAAN KERUPUK PERAHU KENCANA Jl.Perindustrian No.20 Dukuh Ds.Kenanga Kec.Sindang Indramayu Untuk Pemesanan Hubungi: - 081326327008 - 085692332222 Email: -
[email protected] -
[email protected] Diposkan oleh Ade Rudi di 05:49 0 komentar Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
Gambar 44 Promosi dan iklan di media internet.
Salah satu perusahaan kerupuk Kelapa Gading di Indramayu yang sudah berjalan selama 18 tahun sejak tahun 1994, mengalami perkembangan usaha yang cukup signifikan yang ditandai dengan peningkatan produksi dan omset yang terus meningkat setiap tahun. Saat ini perusahaan kerupuk Kelapa Gading, telah
153
menghasilkan sebanyak 60-70 ton kerupuk/bulan dengan wilayah pemasaran yang semakin luas. Pemasaran produk selain dijual langsung kepada konsumen, juga memasarkan produk melalui agen dan pedagang di wilayah Indramayu. Selain itu, juga dipasarkan ke wilayah Cirebon, Bandung, Yogyakarta, Solo, Sidoarjo, Surabaya, DKI Jakarta, Medan, dan kota-kota di Sulawesi, serta ekspor (melalui Jawa Timur). Perusahaan Sri Tanjung salah satu pengolah kerupuk ikan dan udang di Indramayu, dengan produksi sebanyak ± 51 ton per bulan. Pemasaran hasil kerupuk, dilakukan ke Sidoarjo dengan jumlah pengiriman 5 ton per minggu atau 20 ton per bulan, Jakarta 10 ton per bulan, Bogor 10 ton per bulan, Bandung 5 ton per bulan, dan pengecer di Jakarta, Purwakarta, dan Cirebon sebanyak 5 ton per bulan, dan Indramayu 1 ton per bulan. Pengiriman produk ke Sidoarjo, dilakukan dengan menggunakan truk kosong dari Jawa Timur yang selesai mengantar barang ke Indramayu. Berdasarkan situasi problematik di atas, di bawah ini diuraikan mengenai pendapat aktor tentang permasalahan tataran mikro dalam pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu (Tabel 18). Tabel 18 Pendapat aktor tentang permasalahan dalam tataran mikro TATARAN MAKRO
TATARAN MESO
TATARAN MIKRO
(Pemerintah Pusat & Daerah)
(Koperasi & Asosiasi)
(Pelaku Usaha/UKM)
1
2
3
Beberapa upaya yang telah dilakukan pemerintah bagi UKM untuk mendapatkan kredit modal usaha yaitu melalui KKMB, pembiayaan modal ventura, dll Tidak ada masalah pada ketersediaan bahan baku untuk pembuatan kerupuk ikan dan udang, baik untuk bahan baku ikan, udang, tepung tapioka, dll tetapi kondisi yang sering terjadi yaitu tidak tersedianya modal/dana di UKM pada saat harga bahan baku naik atau saat pesanan bahan baku datang Pemerintah sudah banyak membantu dalam permasalahan bahan baku ikan dan udang, antara lain pemberian modal usaha/kredit tanpa bunga/suku bunga rendah, pemberian cool box, pembangunan cold storage, dll
Adanya anggapan UKM sering dinilai tidak layak untuk menjadi nasabah bank komersial yang berorientasi pada profit, karena umumnya UKM tidak memiliki agunan yang cukup untuk menjamin sejumlah kredit yang dibutuhkan KKMI memfasilitasi anggotanya mendapat-kan bahan baku (ikan, tepung, gula, dll) dan atau membantu memberikan pinjaman modal untuk UKM membeli bahan baku, dengan tempo pembayaran 1 (satu) bulan. Jika pembayaran lunas sebelum 1 (satu) bulan maka dapat discount, tetapi kalau lewat 1 (satu) bulan kena bunga
Bank tidak layak menjadi lembaga perkreditan untuk UKM, karena UKM sulit mendapatkan pinjaman modal melalui bank yang tanpa agunan Kalaupun ada lembaga permodalan memberikan pinjaman kepada UKM, besaran pinjaman kecil sekali Semakin lama sulit mendapatkan bahan baku ikan remang dalam jumlah yang banyak karena tergantung dari hasil melaut nelayan sehingga harga ikan naik yang tidak terkontrol. Pada saat ketersediaan bahan baku terbatas, maka kami hanya berproduksi kerupuk dalam jumlah sedikit/terbatas atau bahkan sama sekali tidak berproduksi
154
1
2
Seharusnya asosiasi dan koperasi yang terbentuk, dapat memfasilitasi atau membantu UKM dalam kemudahan mendapatkan bahan baku tersebut
APKI selaku koordinator cold storage belum dapat mengoperasionalkan, karena masih mengharap bantuan pemerintah daerah untuk menguji coba alat tersebut
Pemenuhan bahan baku ikan tertentu, seharusnya UKM mencoba dengan menggunakan jenis ikan lain, sehingga keberlangsungan produksi dapat kontinyu Untuk pemenuhan bahan baku, agar UKM menjalin kerja sama dengan pemasok bahan baku, sesama UKM di sentra, usaha besar, dll Pemerintah sudah seringkali memberikan pelatihan (keterampilan, GMP/SSOP, manajemen, dll) dan studi banding ke lokasi UKM sejenis yang telah maju dan berkembang atau pengolahan kerupuk skala besar, tetapi pemilik usaha belum dapat mengembangkan keahlian karyawannya dengan baik akibatnya hasil produk kerupuk belum memiliki daya saing Pada saat pelatihan, seringkali SDM yang dikirim adalah pemilik usaha sehingga SDM produksi/tenaga kerja lainnya tetap tidak memiliki keterampilan
Tenaga kerja yang digunakan umumnya tidak mempunyai keahlian khusus, sehingga tenaga kerja pria dan wanita dapat dipekerjakan pada semua tahap pembuatan kerupuk. Akibatnya SDM tidak mempunyai keahlian khusus, akan menghasilkan produk kerupuk yang tidak berkualitas Kembali kepada masingmasing pelaku usaha/UKM, mau gak berusaha meningkatkan keterampilan tenaga kerjanya Kalau kondisi hasil produksi begini terus tidak ada peningkatan kualitas/mutu, saya rasa produk UKM Indramayu sulit untuk memenuhi pasar luar negeri/ekspor
3 Sudah lama kami tidak membuat kerupuk berbahan baku utama udang api-api melainkan penyedap rasa udang, karena bahan baku utama udang api-api selain harganya mahal juga sudah tidak lagi ditemukan di perairan Indramayu. Jadi kami membuat kerupuk udang dengan bahan baku udang, apabila ada pesanan khusus dari konsumen Sekarang kami dapat ikan remang dari pemasok bahan baku ikan di daerah Batang, Juana, Rembang, Banjarmasin, Palembang. Harga Ikan remang naik terus, yang sebelumnya harga Rp 15.000,-/kg sekarang sudah mencapai Rp 20.000/kg Persaingan mendapatkan ikan remang di TPI Karangsong sangat ketat, saat ini banyak dikuasai oleh eksportir dari Surabaya, Jakarta, dll. Untuk itu, pemerintah harus turun tangan membantu UKM, melalui pelarangan/pembatasan eksportir tersebut mendapatkan ikan remang Bahan baku ikan remang tidak tahan lama disimpan dalam cool box/ wadah penyimpanan sehingga harus segera diproses Jumlah tenaga kerja kami rata-rata sebanyak 85-125 orang/UPI dengan tingkat pendidikan umumnya sekolah dasar.Susah sekali saya mencari orang yang nantinya bertanggungjawab penuh mulai proses produksi, sampai selesai semua pekerjaan. SDM Indramayu susah dikasih tanggungjawab, beda dengan SDM di Jawa Timur Tidak ada/terbatasnya dana, sehingga kami tidak dapat mengadakan/mengikuti kegiatan pelatihan (keterampilan, GMP/ SSOP, manajemen, dll)Setelah mengikuti pelatihan, kami belum/tidak sempat mengimplementasikan atau melatih karyawan karena banyaknya kesibukan dan jadwal kegiatan Sehubungan keterbatasan dana, maka rasanya beban berat kami jika harus mengikuti semua aturan/standar dalam GMP/SSOP Daripada untuk merubah bangunan sesuai dengan SOP, mendingan tuk modal usaha
Berdasarkan pengungkapan situasi masalah tersebut di atas, menunjukkan hasil pengumpulan berbagai macam informasi yang berkaitan dengan situasi problematik melalui data primer dan sekunder yang merupakan situasi masalah yang tak terstruktur (unstructured problem). Hasil dari pengumpulan dan
155
interpretasi informasi akan memberi gambaran mengenai situasi problematik pada konteks penelitian. Langkah
selanjutnya
adalah
menyusun
gagasan
mengenai
situasi
problematik secara sistematis berdasarkan informasi yang diperoleh. Masalah dilihat dari berbagai sudut padang aktor dari tiga tingkat tataran kelembagaan, baik identitas pemangku kepentingan atau masalah, konflik, inspirasi, kepercayaan, sikap, kebiasaan dan hubungan antar manusia (formal dan informal) yang terjadi pada saat itu dalam situasi tersebut. Selanjutnya, situasi masalah yang tak terstruktur (unstructured problem) tersebut diurai permasalahannya sehingga menjadi structured problems melalui rich picture. Hasil kajian di lapangan didapatkan adanya situasi problematik yaitu rendahnya daya saing pada UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu. Berikut hasil penyusunan gagasan mengenai situasi problematik yang diperoleh dari para aktor pada tiga tingkat tataran kelembagaan. Pada tataran makro, pemerintah yang menurut Nee (2003) menunjukkan besarnya peran state regulation dan market mechanism dalam menjamin tercapainya daya saing UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu. Pada level institutional environment, terdapat pemerintah pusat (Kementerian Kelautan dan Perikanan) dan pemerintah daerah (Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat, dan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu) belum serius dalam mendukung pengembangan UKM, pasalnya program dan kegiatan dalam APBN dan APBD untuk pembinaan UKM masih bersifat hit and run bahkan cenderung hanya membuang anggaran saja. Selain itu program dan kegiatan dari APBN dan APBD belum sepenuhnya berasal dari usulan aspirasi masyarakat, sehingga bantuan pelatihan, saran dan prasarana, banyak yang tidak sesuai dengan yang dibutuhkan pelaku usaha/UKM. Ditambah lagi, program dan kegiatan masih terpecah-pecah akibat banyaknya kementerian/lembaga yang mempunyai program untuk UKM. Dampaknya, terjadi tumpang tindih pengelolaan dan penyaluran program UKM dan penyaluran bantuan untuk UKM pun tidak terfokus dan efektif. Selanjutnya, pemerintah pusat dan daerah menyampaikan kekecewaanya karena lembaga meso malah menjadi pemburu rente. Pemerintah pusat dan daerah
156
mengharapkan, agar lembaga meso dapat menjadi lembaga yang mandiri. Pemerintah pusat dan daerah mengharapkan agar UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu memiliki produk kerupuk ikan dan udang yang dihasilkan dengan ciri khas masing-masing UPI atau sebagai ciri khas produk kerupuk ikan dan udang Indramayu. Koperasi dan asosiasi di tataran meso dan pelaku usaha/UKM pada tataran mikro, mengharapkan pemerintah pusat dan daerah dalam pemberian pembinaan dan bantuan sarana prasarana agar terfokus dan sesuai dengan kebutuhan atau usulan dari pelaku usaha/UKM sehingga tidak akan ada lagi pembinaan dan bantuan untuk pelaku usaha/UKM yang diberikan sia-sia. Pada tataran meso, yayasan/NGO yang menurut Nee (2003) sebagai organizations: firm/nonprofit menilai mereka harus menjadi lembaga yang dapat memberdayakan usaha mikro, khususnya bagi UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu. Pada level production market/ organizational field, terdapat lembaga meso yaitu Koperasi Kerupuk Mitra Industri (KKMI) Indramayu, dan b) Asosiasi Pengusaha Kerupuk Indramayu (APKI). Pada umumnya, muncul berbagai keluhan tentang kurangnya jalinan kerja sama antara koperasi dan asosiasi yang merupakan pengejawantahan tataran meso dengan pemerintah pusat (Kementerian Kelautan dan Perikanan), dan pemerintah daerah (Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu). Koperasi dan asosiasi pada UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu, mengeluhkan kurangnya kemauan politik (political will) pemerintah pusat dan daerah dalam menjalin hubungan. Tataran meso menganggap pemerintah pusat dan daerah hanya mendorong lahirnya koperasi dan asosiasi UKM, namun tidak menjalin kemitraan yang sejajar. Tataran meso menambahkan keluhannya, bahwa sampai saat ini kebanyakan masyarakat dan UKM kurang memahami dan menyadari tentang arti penting dan peran strategis koperasi dan asosiasi bagi kesejahteraan hidup mereka. Pelaku usaha/UKM pada tataran mikro menyampaikan keluhan karena koperasi UKM yang ada sekarang sudah tidak sesuai dengan AD/RT ketika awal
157
koperasi dibentuk. Kondisi saat ini (1) banyak anggota koperasi sekarang bukan UKM pengolah kerupuk ikan dan udang, (2) koperasi dikuasai oleh salah satu orang pengurus yang memiliki modal kuat, sehingga hampir semua kebijakan/ keputusan yang diberlakukan berasal dari pemilik modal tersebut, dan (3) belum mampu membayar tunai hasil produksi yang dijual melalui koperasi dan asosiasi, sehingga UKM akhirnya lebih senang menjual hasil produksinya sendiri kepada para agen, pedagang atau konsumen akhir. Alasannya sederhana, karena koperasi dan asosiasi tidak memiliki modal yang mencukupi untuk membayar tunai hasil produksi UKM. Pemerintah pusat dan daerah pada tataran makro, menyoroti bahwa (1) kualitas SDM pengurus dan pengelola koperasi dan asosiasi sebagian besar masih rendah, (2) lemahnya aspek manajemen pada koperasi dan asosiasi, (3) kurangnya permodalan pada koperasi dan asosiasi, (4) koperasi dan asosiasi belum menjalankan usahanya dengan benar, sehingga belum mampu meningkatkan posisi tawar mereka dan meningkatkan kesejahteraannya, dan (5) adanya kegiatan koperasi dan asosiasi yang memanfaatkan program bantuan atau dukungan pemerintah terhadap keberadaan koperasi dan asosiasi bagi kepentingan pribadi (pemburu rente). Pada tataran mikro, pelaku usaha/UKM yang menurut Nee (2003) sebagai social groups menunjukkan adanya decoupling and compliance, serta embeddedness diantara aktor pelaku usaha. Pelaku usaha/UKM menghadapi berbagai permasalahan yang berkaitan dengan usaha yang dijalani dan dinamika antar aktor pelaku usaha/UKM dalam berwirausaha. Beberapa permasalahan yang terdapat pada UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu yaitu (1) Kualitas SDM (tingkat pendidikan tenaga kerja/SDM rendah, dan tidak memiliki keahlian/keterampilan khusus di bidangnya), (2) Keterbatasan modal usaha (sulit mendapatkan alokasi dana pinjaman/kredit yang lebih besar dari lembaga perbankan dengan persyaratan kredit yang mudah serta suku bunga yang rendah, dan belum tersedianya tenaga pendampingan dalam memenuhi persyaratan dari lembaga perbankan), dan (3) Keterbatasan bahan baku (sulit mendapatkan ikan dalam jumlah yang banyak karena tergantung dari hasil melaut
158
nelayan, sehingga harga ikan sulit terkontol, dan bahan baku ikan tidak tahan lama disimpan dalam cool box/wadah penyimpanan sehingga harus segera diproses). Pada tataran makro, pemerintah pusat dan daerah menyampaikan keluhan bahwa sebenarnya tidak ada masalah dengan bahan baku untuk pembuatan kerupuk ikan dan udang, tetapi kondisi yang sering terjadi yaitu tidak tersedianya modal/dana di UKM pada saat harga bahan baku naik atau saat pesanan bahan baku datang, dan tidak ada kerja sama/MOU yang jelas dan tertulis antara pemasok bahan baku dengan pelaku usaha/UKM, sehingga posisi UKM lemah ketika harga ikan naik atau jumlah bahan baku sedikit. Pada tataran meso, koperasi dan asosiasi menyampaikan saran masukan kepada pelaku usaha/UKM agar (1) fasilitasi program bantuan/dukungan pemerintah (berupa pelatihan, seminar, studi banding, dll) untuk peningkatan keterampilan SDM UKM, sebaiknya yang hadir/mengikuti pelatihan adalah karyawan yang bertanggung jawab/membidangi tugas tersebut bukan yang hadir pemilik usaha. (2) Kalaupun pemilik usaha yang ikut kegiatan peningkatan keterampilan tersebut, maka sebaiknya pemilik usaha menyediakan dana/anggaran khusus untuk mengadakan pelatihan/pendidikan atau melakukan studi banding ke lokasi UPI yang sejenis bagi karyawannya. Berdasarkan structured problems tersebut di atas, berikut gambaran situasi permasalahan (rich picture) pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu (Gambar 45).
159
TATARAN MAKRO
PENGEMBANGAN UKM Pemerintah Pusat
M
Pemerintah Daerah
S
Program dan kegiatan untuk UKM masih bersifat hit and run Belum ada organisasi yang secara jelas bertanggung jawab penuh terhadap pengembangan UKM Pembinaan secara keseluruhan kurang efisien & efektif karena secara sendiri-sendiri belum dibawah koordinator satu pintu Usulan program & kegiatan masih banyak berasal dari atas (top down) bukan berasal dari bawah (bottom up) Tataran meso belum mandiri Tataran meso menjadi pemburu rente Daya saing pelaku usaha/UKM rendah
S INSTITUTIONAL FRAME WORK
Koperasi
Asosiasi
TATARAN MESO Tataran meso belum berperan optimal dalam pengembangan UKM Masyarakat dan UKM belum mengetahui arti penting dan peran strategis koperasi dan asosiasi SDM dan aspek manajemen rendah Adanya pemburu rente
Peneliti TATARAN MIKRO
Trisna Ningsih Sugeng Hari Wisudo Martani Huseini Achmad Poernomo Tri Wiji Nurani
UKM Indramayu
Sulit mendapatkan modal pinjaman bank Sulit mendapatkan ikan/udang dalam jumlah banyak Harga ikan mahal dan sulit dikontrol Bahan baku tidak tahan lama disimpan Pembelian bahan baku harus cash Tidak tersedia dana banyak pada saat harga ikan naik Tidak ada kerja sama yang jelas dan tertulis SDM tidak mempunyai keahlian khusus Tidak punya dana khusus untuk pelatihan
Gambar 45 Gambaran situasi permasalahan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu.
6
ROOT DEFINITION(s) DAN MODEL KONSEPTUAL Dalam SSM tahap kesatu dan tahap kedua merupakan bagian dari tahap
dunia nyata (real world). Pada tahap real world ini, peneliti mengungkapkan permasalahan yang terjadi dan ditemukan di lokasi penelitian. Selanjutnya, masuk ke dalam tahap ketiga dan keempat yaitu tahap berpikir serba sistem (system thinking). Dalam bab ini disajikan dua tahap SSM yaitu hasil tahap tiga: menyusun root definition, dan hasil tahap empat: menyusun model konseptual.
6.1
Root Definition Tahap ini merupakan siklus kedua dari keseluruhan proses recoverability.
Tahapan ini berisi diskusi tentang systems thinking about real word. Tahap ketiga dalam SSM ini, peneliti akan menentukan root definitions (RDs). RDs adalah deskripsi terstruktur dari sebuah sistem aktivitas manusia yang relevan dengan situasi permasalahan yang menjadi perhatian di dalam penelitian SSM yang berbasis tindakan. RDs merupakan satu-satunya cara untuk menggambarkan sistem untuk membantu proses pemodelan sistem. Checkland dan Poulter (2006) menyarankan supaya digunakan rumus umum PQR dalam menyusun sebuah RDs. Formula PQR yaitu mengerjakan P dengan Q untuk mewujudkan R. Dalam konteks penelitian pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu dengan menggunakan rich picture (Gambar 45), penelitian ini mengelompokkan real world dalam tiga sistem yang paling relevan. Berdasarkan tiga sistem yang paling relevan yaitu sistem yang berjalan di tataran makro, meso, dan mikro, dihasilkan 6 (enam) RDs dengan memperhatikan elemen CATWOE untuk menganalisa proses transformasi. Makro
1. Pengorganisasian 2. Program, kegiatan, dan anggaran
Meso3.
3. Peran koperasi dan asosiasi
Mikro
4. Kualitas SDM 5. Permodalan 6. Bahan baku
162
1)
Root definition 1, untuk tataran makro berupa regulasi (Tabel 19) yaitu sistem yang dimiliki dan dioperasikan oleh pemerintah pusat dan daerah dalam rangka membentuk Sekretariat/Tim Pokja Pengembangan UKM (P) melalui penerbitan regulasi oleh Bupati (Q) untuk tercapainya keterpaduan program dan pembinaan pengembangan UKM di bawah koordinator satu pintu (R).
Tabel 19 CATWOE dan 3E dalam root definition 1 Customers
Tataran makro, meso, dan mikro
Actors
Pemerintah pusat dan daerah
Transformasi
Pembentukan Sekretariat/Tim Pokja: dari tidak ada menjadi ada
Worldview
Penerbitan regulasi oleh Bupati dalam pembentukan Sekretariat/ Tim Pokja sangat penting untuk membangun kerangka kelembagaan dalam rangka tercapainya pengembangan UKM di bawah koordinator satu pintu
Owners
Pemerintah pusat dan daerah
Environment
Dukungan Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, Gubernur Jawa Barat, dan Bupati Kabupaten Indramayu, ketersediaan anggaran, dan sumber daya
Efikasi
Penerbitan regulasi oleh Bupati dalam pembentukan Sekretariat/ Tim Pokja Pengembangan UKM
Efisiensi
Menggunakan SDM, sumber keuangan, dan waktu yang minimum
Efektif
Tercapainya pembentukan Sekretariat/Tim Pokja Pengembangan UKM sesuai tugas, pokok, dan fungsinya masing-masing bidang
2)
Root definition 2, untuk tataran makro berupa regulasi (Tabel 20) yaitu sistem yang dimiliki dan dioperasikan oleh pemerintah pusat dan daerah dalam rangka menetapkan mekanisme penyerapan aspirasi masyarakat (P) melalui penerbitan regulasi oleh Bupati (Q) agar tersusunnya program dan kegiatan pengembangan UKM yang lebih aspiratif (R).
163
Tabel 20 CATWOE dan 3E dalam root definition 2 Customers
Tataran makro, meso, dan mikro
Actors
Pemerintah pusat dan daerah
Transformasi
Penyerapan aspirasi masyarakat: dari kurang optimal menjadi lebih optimal
Worldview
Penerbitan regulasi oleh Bupati dalam penyusunan program, kegiatan, dan anggaran sangat penting, untuk membangun kerangka kelembagaan dalam rangka tercapainya program dan kegiatan pengembangan UKM melalui APBN dan APBD yang sesuai usulan dari aspirasi masyarakat (bottom up)
Owners
Pemerintah pusat dan daerah
Environment
Dukungan DPR/DPRD, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Pemda Provinsi Jawa Barat, Pemda Kabupaten Indramayu, ketersediaan anggaran, dan sumber daya
Efikasi
Penerbitan regulasi oleh Bupati dalam program dan kegiatan pengembangan UKM
Efisiensi
Menggunakan SDM dan sumber anggaran yang minimum
Efektif
Tersusunnya program dan kegiatan pengembangan UKM yang lebih aspiratif
3)
Root definition 3, untuk tataran meso berupa tata kelola (Tabel 21) yaitu sistem yang dimiliki dan dioperasikan oleh tataran meso (Koperasi Kerupuk Mitra Industri dan Asosiasi Pengusaha Kerupuk Indramayu) dalam rangka meningkatkan peran koperasi dan asosiasi (P) melalui pemanfaatan jaringan antara tataran meso, makro dan mikro (Q) untuk membangun kerangka kelembagaan dalam rangka tercapainya koperasi dan asosiasi sebagai fasilitator yang mewakili kepentingan UKM di tataran mikro (R).
Tabel 21 CATWOE dan 3E dalam root definition 3 Customers
Tataran makro, meso, dan mikro
Actors
Koperasi Kerupuk Mitra Industri (KKMI) dan Asosiasi Pengusaha Kerupuk Indramayu (APKI)
Transformasi
Peningkatan peran koperasi dan asosiasi: dari rendah menjadi tinggi Pemanfaatan jaringan: dari rendah ke tinggi
164
Worldview
Peningkatan peran koperasi dan asosiasi sangat penting untuk membangun kerangka kelembagaan dalam rangka tercapainya koperasi dan asosiasi sebagai fasilitator yang mewakili kepentingan UKM di tataran mikro
Owners
KKMI dan APKI
Environment
Dukungan pemerintah pusat dan daerah, serta pelaku usaha/ UKM
Efikasi
Pemanfaatan jaringan antara tataran meso dengan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pelaku usaha/UKM dalam peningkatan peran koperasi dan asosiasi
Efisiensi
Menggunakan SDM, sumber keuangan, dan waktu yang minimum
Efektif
Tercapainya peningkatan peran koperasi dan asosiasi sebagai fasilitator yang mewakili kepentingan UKM di tataran mikro
4)
Root definition 4, untuk tataran mikro berupa permasalahan (Tabel 22) yaitu sistem yang dimiliki dan dioperasikan oleh tataran mikro (pelaku usaha/ UKM) dalam rangka meningkatkan kualitas SDM (P) melalui interaksi dan kerja sama dengan lembaga pelatihan/pendidikan (Q) untuk membangun kerangka kelembagaan dalam rangka tercapainya kualitas/mutu produk yang lebih baik (R).
Tabel 22 CATWOE dan 3E dalam root definition 4 Customers
Tataran makro, meso, mikro, dan unit usaha penunjang (lembaga keuangan/permodalan, lembaga pendidikan/pelatihan, dan unit usaha besar)
Actors
Pelaku usaha/UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu
Transformasi
Peningkatan kualitas SDM: dari rendah ke tinggi Interaksi dan kerja sama: dari rendah ke tinggi
Worldview
Peningkatan kualitas SDM sangat penting untuk membangun kerangka kelembagaan dalam rangka tercapainya kualitas/mutu produk yang lebih baik
Owners
Pelaku usaha/UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu
165
Environment
Dukungan pemerintah pusat dan daerah, koperasi dan asosiasi, lembaga keuangan/permodalan, lembaga pendidikan/pelatihan, unit usaha besar dan ketersediaan sumber daya (manusia, anggaran, dan waktu)
Efikasi
Interaksi dan kerja sama antar pelaku usaha/UKM dengan basis keterlekatan dalam peningkatan keterampilan SDM
Efisiensi
Menggunakan SDM, sumber keuangan, dan waktu yang minimum
Efektif
Tercapainya peningkatan kualitas SDM dalam meningkatkan kualitas/mutu produk yang lebih baik
5)
rangka
Root definition 5, untuk tataran mikro berupa permasalahan (Tabel 23) yaitu sistem yang dimiliki dan dioperasikan oleh tataran mikro (pelaku usaha/ UKM) dalam rangka memperkuat permodalan (P) melalui interaksi dan kerja sama dengan lembaga pembiayaan/keuangan (Q) untuk membangun kerangka
kelembagaan
dalam
rangka
tercapainya
keberlangsungan/
kontuinitas produksi kerupuk ikan dan udang pada UKM sentra industri pengolahan di Indramayu (R).
Tabel 23 CATWOE dan 3E dalam root definition 5 Customers
Tataran makro, meso, mikro, dan unit usaha penunjang (lembaga keuangan/permodalan, dan unit usaha besar)
Actors
Pelaku usaha/UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu
Transformasi
Pemenuhan modal usaha: dari sulit menjadi mudah Interaksi dan kerja sama: dari rendah menjadi tinggi
Worldview
Pemenuhan modal usaha sangat penting untuk membangun kerangka kelembagaan dalam rangka tercapainya keberlangsungan/kontuinitas produksi kerupuk ikan dan udang pada UKM sentra industri pengolahan di Indramayu
Owners
Pelaku usaha/UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu
Environment
Kemampuan menyediakan dana/anggaran untuk keberlangsungan produksi/pembelian bahan baku/pelatihan, dukungan tataran makro dan meso, serta kerja sama antar pelaku usaha/UKM dan unit usaha penunjang
166
Efikasi
Interaksi dan kerja sama antar pelaku usaha/UKM berbasiskan keterlekatan dalam pemenuhan modal usaha
Efisiensi
Menggunakan SDM, sumber keuangan, dan waktu yang minimum
Efektif
Tercapainya pemenuhan modal usaha untuk keberlangsungan/ kontuinitas produksi kerupuk ikan dan udang pada UKM sentra industri pengolahan di Indramayu
6)
Root definition 6, untuk tataran mikro berupa permasalahan (Tabel 24) yaitu sistem yang dimiliki dan dioperasikan oleh tataran mikro (pelaku usaha/ UKM) dalam rangka memperkuat manajemen bahan baku (P) melalui interaksi dan kerja sama dengan pemasok bahan baku (Q) untuk membangun kerangka
kelembagaan
dalam
rangka
tercapainya
keberlangsungan/
kontuinitas produksi kerupuk ikan dan udang pada UKM sentra industri pengolahan di Indramayu (R).
Tabel 24 CATWOE dan 3E dalam root definition 6 Customers
Tataran makro, meso, mikro, dan unit usaha penunjang (lembaga keuangan/permodalan, pemasok bahan baku di TPI/dalam sentra/ luar sentra, dan unit usaha besar)
Actors
Pelaku usaha/UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu
Transformasi
Pemenuhan bahan baku: dari sulit menjadi mudah Interaksi dan kerja sama: dari rendah menjadi tinggi
Worldview
Pemenuhan bahan baku sangat penting untuk membangun kerangka kelembagaan dalam rangka tercapainya keberlangsungan/kontuinitas produksi kerupuk ikan dan udang pada UKM sentra industri pengolahan di Indramayu
Owners
Pelaku usaha/UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu
Environment
Ketersediaan bahan baku, kemampuan menyediakan dana/ anggaran untuk pembelian bahan baku, dukungan tataran makro dan meso, serta kerja sama antar pelaku usaha/UKM dan unit usaha penunjang
167
Efikasi
Interaksi dan kerja sama antar pelaku usaha/UKM berbasiskan keterlekatan dalam pemenuhan bahan baku
Efisiensi
Menggunakan SDM, sumber keuangan, dan waktu yang minimum
Efektif
Tercapainya pemenuhan bahan baku untuk keberlangsungan/ kontuinitas produksi kerupuk ikan dan udang pada UKM sentra industri pengolahan di Indramayu
Secara ringkas, root definitions pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu pada Tabel 25.
168
Tabel 25 Root definitions penelitian Tataran
Makro
Meso
Mikro
Root Definitions
Keterangan
Sistem yang dimiliki dan dioperasikan oleh tataran makro dalam rangka membentuk Sekretariat/Tim Pokja Pengembangan UKM (P) melalui penerbitan regulasi oleh Bupati (Q) untuk tercapainya keterpaduan program dan pembinaan pengembangan UKM di bawah koordinator satu pintu (R)
RD 1
Sistem yang dimiliki dan dioperasikan oleh tataran makro dalam rangka menetapkan mekanisme penyerapan aspirasi masyarakat (P) melalui penerbitan regulasi oleh Bupati (Q) agar tersusunnya program dan kegiatan pengembangan UKM yang lebih aspiratif (R)
RD 2
Sistem yang dimiliki dan dioperasikan oleh tataran meso (Koperasi Kerupuk Mitra Industri dan Asosiasi Pengusaha Kerupuk Indramayu) dalam rangka meningkatkan peran koperasi dan asosiasi (P) melalui pemanfaatan jaringan antara tataran meso, makro dan mikro (Q) untuk membangun kerangka kelembagaan dalam rangka tercapainya koperasi dan asosiasi sebagai fasilitator yang mewakili kepentingan UKM di tataran mikro (R)
RD 3
Sistem yang dimiliki dan dioperasikan oleh tataran mikro (pelaku usaha/UKM) dalam rangka meningkatkan kualitas SDM (P) melalui interaksi dan kerja sama dengan lembaga pelatihan/pendidikan (Q) untuk membangun kerangka kelembagaan dalam rangka meningkatkan mutu/kualitas produk yang lebih baik (R)
RD 4
Sistem yang dimiliki dan dioperasikan oleh tataran mikro (pelaku usaha/UKM) dalam rangka memperkuat permodalan (P) melalui interaksi dan kerja sama dengan lembaga pembiayaan/keuangan (Q) untuk membangun kerangka kelembagaan dalam rangka tercapainya keberlangsungan/kontuinitas produksi kerupuk ikan dan udang pada UKM sentra industri pengolahan di Indramayu (R)
RD 5
Sistem yang dimiliki dan dioperasikan oleh tataran mikro (pelaku usaha/UKM) dalam rangka memperkuat manajemen bahan baku (P) melalui interaksi dan kerja sama dengan pemasok bahan baku (Q) untuk membangun kerangka kelembagaan dalam rangka tercapainya keberlangsungan/kontuinitas produksi kerupuk ikan dan udang pada UKM sentra pengolahan di Indramayu (R)
RD 6
169
6.2
Model Konseptual Model konseptual yang dibangun dalam tahapan ini tanpa merujuk pada
dunia nyata (real world), tetapi dibangun dari ide/gagasan peneliti berdasarkan teori yang digunakan (Nee 2003) dan aturan formal yang berlaku, sehingga gagasan berpikir serba sistem (systems thinking) menjadi penting dalam tahapan ini. Adapun hasil model konseptual pada UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu sebagai berikut: 1)
Pembentukan Sekretariat/Tim Pokja Pengembangan UKM Pembentukan Sekretariat/Tim Pokja Pengembangan UKM dalam tataran
makro (Tabel 19), dapat dilakukan dengan serangkaian kegiatan yang terlihat dalam model konseptual pada Gambar 46. Kegiatan sistem pada model konseptual pembentukan Sekretariat/Tim Pokja Pengembangan UKM sebagai berikut:
Mengumpulkan data dan bahan Data dan bahan diperlukan untuk persiapan menyusun draft atau rancangan awal pembuatan Surat Keputusan Bupati. Sekretariat Daerah Kabupaten Indramayu mengumpulkan data dan bahan, dilakukan berdasarkan adanya usulan tertulis dari salah satu organisasi/instansi yang mewakili organisasi/instansi lainnya, untuk dibentuk Sekretariat/Tim Pokja Pengembangan UKM. Setelah mempelajari usulan tertulis tersebut, maka dilakukan evaluasi usulan dengan data dukung yang ada dan kondisi saat ini. Selanjutnya, dilakukan pertemuan/diskusi dengan instansi/organisasi yang mengusulkan tentang maksud dan tujuan usulan pembentukan tersebut. Hasil pengumpulan data dan bahan, didapatkan adanya dokumen tertulis mengenai (1) UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu, dan (2) organisasi yang saat ini banyak mendukung program, kegiatan, dan anggaran pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu.
Konsultasi publik Sekretariat Daerah melakukan diskusi dan pembahasan melalui pertemuan dengan semua pihak yang terkait (Sekretariat DPRD, Dinas Daerah, Lembaga Teknis Daerah, Kecamatan dan Kelurahan) untuk mendapatkan masukanmasukan dari berbagai pihak, dan membentuk tim penyusun SK Bupati.
170
Menyusun draft atau rancangan awal Setelah data dan bahan terkumpul, didukung dengan masukan dari berbagai pihak maka Tim penyusun SK Bupati menyusun draft usulan SK beserta data dukung dan daftar usulan nama-nama yang akan duduk dalam sekretariat/tim pokja pengembangan UKM.
Membahas draft dalam rangka penyempurnaan Setelah draft selesai disusun yang dilengkapi dengan nama-nama Tim Pokja, maka draft disampaikan kepada Sekda Kabupaten Indramayu melalui Bagian Hukum. Sekretaris Daerah melakukan pembahasan dan penyempurnaan draft melalui pertemuan yang melibatkan instansi teknis dan instansi terkait lainnya. Rancangan draft SK yang telah disusun dan dibahas serta disempurnakan, maka untuk disepakati bersama semua pihak yang terkait.
Mengajukan rancangan draft SK Bupati Rancangan draft SK tersebut, kemudian diajukan untuk dirumuskan ke dalam Rancangan Surat Keputusan Bupati.
Setelah keputusan terhadap rancangan SK Bupati tersebut diperoleh, proses selanjutnya adalah pengesahan dan penetapan SK Bupati. Selanjutnya, SK siap dipublikasi dan ditindaklanjuti.
Berhasil atau tidaknya model konseptual ini dapat diukur melalui kriteria sebagai berikut: Efikasi (E1)
Penerbitan regulasi oleh Bupati dalam pembentukan Sekretariat/Tim Pokja Pengembangan UKM
Efisiensi (E2)
Menggunakan SDM, sumber keuangan, dan waktu yang minimum
Efektif (E3)
Tercapainya pembentukan Sekretariat/Tim Pokja Pengembangan UKM sesuai tugas, pokok, dan fungsinya di masing-masing bidang
171
1
2
Mengumpulkan data dan bahan
Konsultasi publik
3
4
Menyusun draft/ rancangan awal
Membahas draft dalam rangka penyempurnaan draft
5 Mengajukan rancangan draft SK
6 Menetapkan SK Bupati
Monitor 1-6
Take control action
Define criteria: E1, E2, E3
Gambar 46 Model konseptual pembentukan Sekretariat/Tim Pokja.
2)
Penetapan mekanisme penyerapan aspirasi masyarakat Penetapan mekanisme penyerapan aspirasi masyarakat (Tabel 20), dapat
dilakukan dengan serangkaian kegiatan yang terlihat dalam model konseptual pada Gambar 47. Kegiatan sistem pada model mekanisme penyerapan aspirasi masyarakat adalah sebagai berikut:
Tataran makro (Kementerian Kelautan dan Perikanan, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat, dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Indramayu) mengevaluasi program, kegiatan, dan anggaran tahun sebelumnya Berdasarkan evaluasi hasil laporan kinerja pelaksanaan kegiatan sebelumnya, akan menghasilkan laporan program dan kegiatan apa yang telah dicapai, dan kinerja pelaksanaan kegiatan sebelumnya. Hasil evaluasi tersebut, akan dijadikan rekomendasi dalam penyusunan program, kegiatan, dan anggaran tahun berikutnya.
172
Dinas KP Kabupaten Indramayu melakukan diskusi dengan tataran meso dan mikro, untuk menjaring aspirasi masyarakat Selain berdasarkan hasil laporan kinerja pelaksanaan program dan kegiatan tahun sebelumnya, tataran makro juga perlu memperoleh masukan program dan kegiatan dari tataran meso (koperasi dan asosiasi) dan tataran mikro (pelaku usaha/UKM) untuk menjaring aspirasi masyarakat. Hasil diskusi antara tataran makro, meso, dan mikro tersebut, diharapkan menghasilkan kesepakatan bersama tentang program, kegiatan, dan anggaran yang diusulkan untuk tahun mendatang.
Dinas KP Kabupaten Indramayu menyusun usulan program dan kegiatan pengembangan UKM Setelah didapatkan hasil diskusi dengan tataran makro, meso, dan mikro, maka tataran makro menyusun usulan program dan kegiatan pengembangan UKM sesuai aspirasi masyarakat.
Melakukan diskusi dan dengar pendapat dengan tataran meso, mikro, perguruan tinggi, dan pihak terkait lainnya Sebelum usulan program dan kegiatan tersebut diajukan ke Bupati, maka tataran makro perlu melakukan diskusi dan dengar pendapat dengan melibatkan tataran meso, mikro, perguruan tinggi, dan pihak terkait lainnya. Pertemuan ini dilaksanakan untuk mendapatkan saran dan masukan dari pihak terkait
lainnya,
sehingga
usulan
program,
kegiatan,
dan
anggaran
pengembangan UKM yang diajukan nanti, benar-benar sudah sesuai dengan kebutuhan dan keinginan (aspirasi masyarakat).
Mengajukan usulan program dan kegiatan sesuai aspirasi masyarakat ke Bupati Usulan yang telah disusun bersama dengan semua pihak terkait, selanjutnya diajukan ke Bupati untuk diproses lebih lanjut.
Bupati membahas usulan program dan kegiatan di tingkat kabupaten Usulan program dan kegiatan yang diajukan tataran makro (Dinas KP Kabupaten Indramayu), selanjutnya dilakukan pembahasan di tingkat Kabupaten Indramayu. Dalam pembahasan tingkat kabupaten tersebut, perwakilan tataran meso, mikro, dan perguruan tinggi harus disertakan, agar semua usulan tersebut masih tetap ada/sesuai dengan usulan aspirasi masyarakat atau sesuai kesepakatan dalam pertemuan sebelumnya.
173
Bupati menyampaikan usulan program dan kegiatan ke tingkat provinsi Usulan program dan kegiatan yang telah dibahas di tingkat kabupaten, oleh Bupati siap untuk diusulkan ke tingkat provinsi. Dalam pembahasan tingkat provinsi tersebut, perwakilan tataran meso, mikro, dan perguruan tinggi tetap diikut sertakan untuk mengawal terus usulan program dan kegiatan yang berasal dari aspirasi masyarakat.
Berhasil atau tidaknya model konseptual ini dapat diukur melalui kriteria sebagai berikut: Efikasi (E1)
Penerbitan regulasi oleh Bupati dalam pengalokasian program, kegiatan, dan anggaran
Efisiensi (E2)
Menggunakan SDM dan sumber anggaran yang minimum
Efektif (E3)
Tersusunnya program dan kegiatan pengembangan UKM yang lebih aspiratif
Gambar 47 Model konseptual mekanisme penyerapan aspirasi masyarakat.
174
3)
Peningkatan peran koperasi dan asosiasi Peningkatan peran koperasi dan asosiasi dalam tataran meso (Tabel 21),
dapat dilakukan dengan serangkaian kegiatan yang terlihat dalam model konseptual pada Gambar 48. Kegiatan sistem pada model konseptual peningkatan peran koperasi dan asosiasi sebagai berikut:
KKMI dan APKI pada tataran meso perlu menjalin hubungan dengan pemerintah pusat dan daerah untuk mendapatkan pengakuan eksistensi kelembagaan. Hubungan yang terjalin baik tentunya akan mendatangkan manfaat bagi KKMI dan APKI, sehingga memudahkan bagi mereka dalam upaya mendapatkan pengakuan eksistensi sebagai sebuah lembaga.
Selain menjalin hubungan dengan pemerintah pusat dan daerah, KKMI dan APKI juga perlu memperoleh masukan dari pelaku usaha/UKM, komunitas, asosiasi UKM lain, perguruan tinggi, narasumber, masyarakat serta pemangku kepentingan lainnya terhadap setiap kegiatan UKM yang telah dilaksanakan. Dengan mendapat masukan dari berbagai pemangku kepentingan, KKMI dan APKI dapat menguatkan daya tawarnya (bargaining power) terhadap pemerintah pada tataran makro.
Upaya mendapatkan masukan dari sesama koperasi/asosiasi UKM juga dapat ditempuh dengan mengikuti atau terlibat dalam kegiatan atau program kerja pemerintah yang berkaitan dengan UKM, baik dalam bentuk seminar, pameran, dan Musrembang Kabupaten. Hal ini penting bagi KKMI dan APKI agar dapat memperoleh informasi dan akses dalam menjalankan organisasinya. Semakin sering KKMI dan APKI terlibat dalam kegiatan atau program kerja pemerintah, maka peran tataran meso baik dengan pemerintah pusat dan daerah maupun pemangku lainnya akan semakin kuat.
Setelah terlibat dalam berbagai kegiatan dan program kerja pemerintah yang berkaitan dengan UKM, KKMI dan APKI di tataran meso juga perlu melakukan diskusi dan rapat dengar pendapat (hearing) dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk perguruan tinggi, pelaku usaha/UKM, dan komunitas UKM. Hal ini perlu dilakukan oleh KKMI dan APKI untuk mempertimbangkan bagaimana kesepakatan yang terjalin akan dapat mempengaruhi keputusan-keputusan aturan formal yang ditetapkan oleh tataran makro.
175
Selain diskusi dan rapat dengar pendapat, sebagai agen perwakilan di tataran mikro, KKMI dan APKI juga seharusnya mengikuti perancangan RKA yang berkaitan dengan UKM oleh setiap SKPD sebelum dikonsultasikan dengan Bappeda. Dengan demikian, KKMI dan APKI dapat mengetahui apa saja yang telah dirancang dalam RKA UKM yang mereka wakili.
Terkait dengan RKA yang dilakukan oleh setiap SKPD, koperasi dan asosiasi di tataran meso juga dapat melanjutkan kegiatan dalam model ini dengan mengikuti
Musrenbang
Kabupaten
dengan
mengundang
pemangku
kepentingan seperti Kepala Dinas dan perangkat SKPD terkait, dll tentang rencana kegiatan dan program unggulan bagi UKM selama satu tahun ke depan.
Melalui keikutsertaan koperasi dan asosiasi dalam Musrenbang Kabupaten Indramayu yang dihadiri oleh para pemangku kepentingan, koperasi dan asosiasi menyampaikan program dan kegiatan kepada pemerintah daerah yang berkaitan dengan UKM pada setiap SKPD untuk memperkuat keberadaan eksistensi lembaga meso. Tentu saja, koperasi dan asosiasi membutuhkan berbagai fasilitas dalam menjalankan program dan kegiatannya. Dengan demikian, diharapkan hubungan/interaksi yang terbentuk dengan baik dapat mempermudah akses dalam mendapatkan fasilitas tersebut.
Tataran meso berharap memiliki posisi tawar terhadap pemerintah pusat dan daerah sebagai penegak aturan formal dalam kerangka kelembagaan. Selanjutnya, melalui pemanfataan jaringan sebagai tata kelola dengan tataran makro dan mikro dapat mendorong terciptanya peningkatan peran koperasi dan asosiasi sebagai fasilitator yang mewakili kepentingan UKM di tataran mikro.
Berhasil atau tidaknya model konseptual ini dapat diukur melalui kriteria sebagai berikut: Efikasi (E1)
Pemanfaatan jaringan sebagai tata kelola dengan pemerintah pusat dan daerah dalam meningkatkan peran koperasi dan asosiasi
Efisiensi (E2)
Menggunakan SDM, sumber keuangan, dan waktu yang minimum
Efektif (E3)
Tercapainya peningkatan peran koperasi dan asosiasi sebagai fasilitator yang mewakili kepentingan UKM di tataran mikro
176
2
1
Tataran meso mendapat masukan dari semua pihak terkait
Tataran meso menjalin hubungan dengan tataran makro
3 Mengikuti program dan kegiatan pemerintah terkait UKM
4 Melakukan diskusi dan dengar pendapat dengan pihak terkait
5 Mengikuti perancangan RKA
6 8
Mengikuti musrenbang kabupaten
Melakukan proses negosiasi
7 Menyampaikan program dan kegiatan pada pemerintah
9 Meningkatan peran koperasi dan asosiasi dalam rangka mendukung daya saing UKM
Monitor 1-9
Take control action
Define criteria: E1, E2, E3
Gambar 48 Model konseptual peningkatan peran koperasi dan asosiasi.
4)
Peningkatan kualitas SDM Peningkatan kualitas SDM dalam tataran mikro (Tabel 22), dapat dilakukan
dengan serangkaian kegiatan yang terlihat dalam model konseptual pada Gambar 49. Kegiatan sistem pada model konseptual peningkatan kualitas SDM sebagai berikut:
Pelaku usaha/UKM pada tataran mikro dapat menjalin dan membangun hubungan dengan tataran makro, meso, dan unit usaha penunjang (lembaga keuangan/permodalan, lembaga pendidikan/pelatihan, unit usaha besar, dll)
177
dalam rangka meningkatkan kualitas SDM pada UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu.
Terbentuknya interaksi dan kerja sama dengan basis keterlekatan tersebut, diharapkan tataran mikro dapat melakukan diskusi dan mendapatkan masukan mengenai peningkatan kualitas SDM dengan semua pihak terkait.
Hasil diskusi tersebut, diharapkan tataran mikro mendapatkan bantuan pembinaan/pelatihan dalam peningkatan kualitas SDM.
Selanjutnya dengan adanya interaksi tersebut, tataran mikro juga diharapkan dapat melakukan kerja sama dengan lembaga pembiayaan/permodalan, unit usaha besar, dll dalam penyediaan/pemenuhan anggaran khusus untuk kegiatan pendidikan/pelatihan keterampilan karyawannya.
Dengan tersedianya anggaran khusus untuk kegiatan peningkatan keterampilan SDM, maka pelaku usaha/UKM dapat melakukan kerja sama pendidikan/ pelatihan dengan lembaga pendidikan/pelatihan, melakukan kegiatan studi banding/magang ke unit pengolahan sejenis yang sudah maju atau unit usaha besar bagi karyawannya.
Selanjutnya, dengan meningkatnya kualitas SDM diharapkan mampu mencapai tujuan dan sasaran perusahaan dalam rangka mendukung daya saing UKM.
Berhasil atau tidaknya model konseptual ini dapat diukur melalui kriteria sebagai berikut: Efikasi (E1)
Interaksi dan kerja sama dengan basis keterlekatan dalam peningkatan keterampilan SDM
Efisiensi (E2)
Menggunakan SDM, sumber keuangan, dan waktu yang minimum
Efektif (E3)
Tercapainya peningkatan kualitas SDM dalam rangka meningkatkan mutu/kualitas produk yang lebih baik
178
2
1
Melakukan diskusi untuk mendapatkan masukan tentang keterampilan SDM terkait
Tataran mikro menjalin hubungan dengan tataran makro, meso, dan unit penunjang
4
3
Melakukan kerja sama dengan lembaga keuangan/permodalan, dll untuk penyediaan anggaran khusus kegiatan pendidikan/pelatihan
Mendapatkan pembinaan/pelatihan keterampilan SDM dari tataran makro, meso, dll
5
6
Melakukan kerja sama dengan lembaga pendidikan/pelatihan, studi banding, dll
Monitor 1-6
Meningkatkan kualitas SDM dalam rangka mendukung daya saing UKM
Take control action
Define criteria: E1, E2, E3
Gambar 49 Model konseptual peningkatan kualitas SDM.
5)
Pemenuhan modal usaha Pemenuhan modal usaha dalam tataran mikro (Tabel 23), dapat dilakukan
dengan serangkaian kegiatan yang terlihat dalam model konseptual pada Gambar 50. Kegiatan sistem pada model konseptual pemenuhan modal usaha sebagai berikut:
Pelaku usaha/UKM pada tataran mikro dapat menjalin dan membangun hubungan/interaksi dengan tataran makro, meso, dan unit usaha penunjang (lembaga keuangan/permodalan, unit usaha besar, dll). Pengembangan dan penguatan jaringan usaha, dapat bermanfaat sebagai sarana pertukaran informasi antar pelaku usaha, dan sebagai sarana transaksi bisnis dan kerja sama yang berbasiskan keterlekatan khususnya dalam pemenuhan modal usaha untuk keberlangsungan produksi.
179
Setelah tataran mikro menjalin interaksi, diharapkan akan terbentuk jaringan dalam hubungan formal dan informal. Dari hubungan tersebut, tataran mikro diharapkan dapat melakukan diskusi mengenai permodalan dengan semua pihak terkait.
Dasi hasil diskusi, diharapkan tataran mikro mendapatkan bantuan dalam pemenuhan modal usaha.
Selanjutnya, dengan adanya interaksi tersebut tataran mikro juga diharapkan dapat melakukan kerja sama dengan lembaga pembiayaan/keuangan dalam pemberian modal/kredit pinjaman dan atau kerja sama dengan sesama unit usaha lainnya (usaha kecil, menengah, dan besar) dalam pemenuhan modal usaha.
Setelah
anggaran/modal
usaha
tersedia,
maka
tataran
mikro
untuk
keberlangsungan produksinya dapat melakukan interaksi dan kerja sama dalam pembelian bahan baku, peningkatan keterampilan SDM, pemasaran, dll. Kapasitas bisnis dan jaringan usaha UKM bekembang, dengan lancarnya/ tercapainya pemenuhan modal usaha untuk keberlangsungan produksi.
Berhasil atau tidaknya model konseptual ini dapat diukur melalui kriteria sebagai berikut: Efikasi (E1)
Interaksi dan kerja sama antar pelaku usaha/UKM berbasiskan keterlekatan dalam pemenuhan modal usaha
Efisiensi (E2)
Menggunakan SDM, sumber keuangan, dan waktu yang minimum
Efektif (E3)
Tercapainya pemenuhan modal usaha untuk keberlangsungan/kontuinitas produksi kerupuk ikan dan udang pada UKM sentra industri pengolahan di Indramayu
180
2
1
Melakukan diskusi untuk mendapatkan masukan tentang permodalan
Tataran mikro menjalin hubungan dengan tataran makro, meso, dan unit usaha penunjang
3 Mendapatkan bantuan permodalan dari tataran makro, meso, dll
4 Melakukan kerja sama dengan lembaga pembiayaan/keuangan, dll dalam pemberian kredit/pinjaman modal usaha
5 Pemenuhan modal usaha untuk keberlangsungan produksi
Monitor 1-5
Take control action
Define criteria: E1, E2, E3
Gambar 50 Model konseptual pemenuhan modal usaha.
6)
Pemenuhan bahan baku Pemenuhan bahan baku dalam tataran mikro (Tabel 24), dapat dilakukan
dengan serangkaian kegiatan yang terlihat dalam model konseptual pada Gambar 51. Kegiatan sistem pada model konseptual pemenuhan bahan baku sebagai berikut:
Pelaku usaha/UKM pada tataran mikro dapat menjalin dan membangun hubungan dengan tataran makro, meso, dan unit usaha penunjang (lembaga keuangan/permodalan, TPI, pemasok bahan baku di dalam/luar sentra, dan unit usaha besar). Pengembangan dan penguatan jaringan usaha, dapat bermanfaat sebagai sarana pertukaran informasi antar pelaku usaha/UKM dan sebagai sarana transaksi bisnis atau kerja sama khususnya dalam pemenuhan bahan baku untuk produksi.
181
Dalam mengembangkan kapasitas bisnis dan jaringan usaha UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu dalam tataran mikro selaku aktor utama, melibatkan tataran makro, meso, dan unit usaha penunjang (lembaga keuangan, pemasok bahan baku, unit usaha besar, dll). Dalam proses ini diharapkan terjadi transformasi yang signifikan dalam interaksi dan kerja sama yang berbasiskan keterlekatan dalam pemenuhan bahan baku untuk produksi.
Setelah tataran mikro menjalin interaksi, diharapkan akan terbentuk jaringan dalam hubungan formal dan informal. Dari hubungan tersebut, tataran mikro dapat melakukan diskusi dan mendapat masukan mengenai bahan baku dengan semua pihak terkait.
Dari hubungan tersebut, diharapkan juga terbentuk kerja sama dengan lembaga keuangan dalam pemberian modal/kredit pinjaman.
Setelah anggaran pembelian bahan baku tersedia, maka tataran mikro dapat melakukan kerja sama dengan unit usaha penunjang (TPI, pemasok bahan baku di dalam atau di luar sentra, dan unit usaha besar). Dalam kondisi bahan baku terbatas, pelaku usaha/UKM dapat memenuhi kebutuhan bahan bakunya melalui kerja sama dengan semua sumber bahan baku yang ada sehingga kelancaran proses produksi tidak terganggu.
Kapasitas bisnis dan keberlangsungan produksi UKM meningkat dengan lancarnya/tercapainya pemenuhan bahan baku untuk produksi.
Berhasil atau tidaknya model konseptual ini dapat diukur melalui kriteria sebagai berikut: Efikasi (E1)
Interaksi dan kerja sama antar pelaku usaha/UKM berbasiskan keterlekatan dalam pemenuhan bahan baku
Efisiensi (E2)
Menggunakan SDM, sumber keuangan, dan waktu yang minimum
Efektif (E3)
Tercapainya pemenuhan bahan baku untuk keberlangsungan/ kontuinitas produksi kerupuk ikan dan udang pada UKM sentra pengolahan di Indramayu
182
2 Melakukan diskusi untuk mendapatkan masukan tentang bahan baku
1 Tataran mikro menjalin hubungan dengan tataran makro, meso, dan unit usaha penunjang
3 Melakukan kerja sama dengan lembaga pembiayaan/keuangan, dll untuk ketersediaan anggaran pembelian bahan baku
5 Pemenuhan bahan baku di UPI
4 Melakukan interaksi dan kerja sama dengan pemasok bahan baku, dll
Monitor 1-5
Take control action
Define criteria: E1, E2, E3
Gambar 51 Model konseptual pemenuhan bahan baku.
7
PERBANDINGAN DAN PERUBAHAN
Bab ini berisi dua tahap SSM yaitu hasil tahap lima: perbandingan model konseptual dan dunia nyata, dan hasil tahap enam: menentukan perubahan yang diinginkan. Ilustrasi untuk tahap lima, dan enam pengelolaan diskusi dan tindakan model konseptual dapat dilihat pada Tabel 26, 27, 28, 29, 30, dan 31 beserta narasi yang mengikutinya.
7.1
Perbandingan Model Konseptual dan Dunia Nyata Tahap lima dilakukan perbandingan antara model konseptual dengan
theoretical framework yang sesuai dengan research interest dan problem solving interest. Yang dimaksud membandingkan di sini adalah menggunakan model konseptual yang sudah dibuat untuk membahas situasi problematis dunia nyata. Checkland dan Poulter (2006) mengingatkan bahwa tahap ini bukanlah dimaksudkan untuk menilai kekurangan situasi problematik dunia nyata dibandingkan dengan model konseptual yang “sempurna”. Jadi, model konseptual merupakan alat buatan yang didasarkan pada sebuah sudut pandang murni sementara dunia nyata diwarnai oleh beraneka ragam sudut pandang bahkan di dalam diri satu orang yang terus mengalami perubahan, baik perubahan lambat maupun perubahan cepat. Model konseptual yang berisi aktivitas-aktivitas logis yang telah dibuat kemudian akan dilakukan perbandingan atau comparison. Perbandingan dilakukan bukan hanya untuk mempertemukan antara aktivitas logis dengan kenyataan di real world. Perbandingan seperti itu sifatnya adalah melakukan penelitian untuk menyelesaikan masalah atau problem solving, sehingga tabel untuk problem solving berisi adakah aktivitas tersebut di real world, bagaimana ukuran kinerja dan bagaimana penyelesaian masalah.
184
Tabel 26 Pembentukan Sekretariat/Tim Pokja Pengembangan UKM No
Model Konseptual
Dunia Nyata
1
Mengumpulkan data dan bahan
-
2
Konsultasi publik
-
3
Menyusun draft/ rancangan awal
-
4
Membahas draft
-
5
Menyempurnakan draft
-
6
Mengajukan rancangan draft SK
-
7
Menetapkan SK Bupati
-
Refleksi dengan Kerangka Teori dan Penyelesaian Masalah Melalui pembentukan Sekretariat/Tim Pokja Pengembangan UKM dengan tugas, pokok, dan fungsi masing-masing di bidangnya, diharapkan masalah pengorganisasian yang terjadi pada UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu akan terselesaikan. Sehingga akan menghasilkan: Keterpaduan program, kegiatan, dan anggaran antar organisasi berjalan dengan baik di bawah koordinator satu pintu yaitu Sekretariat/ Tim Pokja Pengembangan UKM Pembinaan secara keseluruhan yang efisien, efektif, dan terkoordinasi dengan baik dalam mengembangkan UKM Hal ini juga memperkuat pendapat: Bromley (1989) yang mengemukakan fondasi konseptual dari kebijakan publik Huseini dan Lubis (2009), Thoha (2002) tentang organisasi
Saat ini organisasi/instansi yang memiliki program pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu yaitu pemerintah pusat (Kementerian Kelautan dan Perikanan; Kementerian Perdagangan; Kementerian Industri; Kementerian Koperasi dan UKM; Kementerian Pekerjaan Umum), pemerintah daerah (Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat; Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu; Dinas Koperasi, UKM, Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Indramayu; Dinas Bina Marga Kabupaten Indramayu; Bank Indonesia Cabang Indramayu, dan lain-lain),
185
lembaga swasta (PT. Pertamina Balongan Kabupaten Indramayu, Bank Perkreditan Rakyat, dan lain-lain) yang di dalam cakupan kerjanya antara lain memiliki tugas dan kewenangan membina UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu. Selanjutnya, dalam pelaksanaan program dan kegiatan di lapangan seringkali antar instansi/organisasi menimbulkan tumpang tindih pembinaan maupun pemberian bantuan sarana dan prasarana yang tidak tepat dan efektif. Kondisi tersebut, boleh jadi malah menambah beban bagi UKM. Pembentukan Sekretariat/Tim Pokja Pengembangan UKM dengan tugas, pokok,
dan
fungsi
masing-masing
di
bidangnya,
diharapkan
masalah
pengorganisasian pada tataran makro akan dapat diselesaikan sehingga akan menghasilkan:
Keterpaduan program, kegiatan, dan anggaran antar organisasi berjalan dengan baik di bawah koordinator satu pintu yaitu Sekretariat/Tim Pokja Pengembangan UKM
Pembinaan maupun pemberian bantuan sarana dan prasarana yang efisien, efektif, dan terkoordinasi dengan baik dalam rangka pengembangan UKM sentra industrii pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu Hal ini juga memperkuat pendapat Huseini dan Lubis (2009) bahwa yang
dimaksud dengan organisasi adalah sebagai suatu kesatuan sosial dari sekelompok manusia, yang berinteraksi menurut suatu pola tertentu sehingga setiap anggota organisasi memiliki fungsi dan tugasnya masing-masing, yang sebagai satu kesatuan mempunyai tujuan tertentu dan mempunyai batas-batas yang jelas, sehingga bisa dipisahkan secara tegas dari lingkungannya. Menurut Blake dan Mounton, diacu dalam Thoha (2002) pengertian organisasi dengan mengenalkan adanya tujuh unsur yang melekat pada organisasi yaitu (1) organisasi senantiasa mempunyai tujuan, (2) organisasi mempunyai kerangka/struktur, (3) organisasi mempunyai sumber keuangan, (4) organisasi mempunyai cara
yang memberikan kecakapan bagi anggotanya untuk
melaksanakan kerja mencapai tujuan tersebut, (5) di dalam organisasi terdapat proses interaksi hubungan kerja antara orang-orang yang bekerja sama mencapai
186
tujuan tersebut, (6) organisasi mempunyai pola kebudayaan sebagai dasar cara hidupnya, dan (7) organisasi mempunyai hasil-hasil yang ingin dicapainya. Struktur organisasi menurut Child, diacu dalam Huseini dan Lubis (2009) antara lain yaitu (1) struktur organisasi memberikan gambaran mengenai pembagian tugas-tugas serta tanggung jawab kepada individu maupun bagianbagian pada suatu organisasi; dan (2) merupakan sistem hubungan dalam organisasi yang memungkinkan tercapainya komunikasi, koordinasi, dan pengintegrasian segenap kegiatan suatu organisasi, baik ke arah vertikal maupun horizontal. Menurut pendapat Bromley (1989) yang mengemukakan fondasi konseptual dari kebijakan publik, dimana memiliki tiga tingkatan yang berbeda berdasarkan hierarki kebijakan, yaitu: policy level, organizational level, operational level. Policy level diperankan oleh lembaga yudikatif dan legislatif, sedangkan organizational level diperankan oleh lembaga eksekutif. Adapun operational level dilaksanakan oleh satuan pelaksana seperti kedinasan, kelembagaan atau kementerian. Lebih lanjut lagi Bromley (1989) mengingatkan, kebijakan publik menyangkut dua konsep, yaitu penentuan institutional arrangement dan penentuan “batas-batas otonomi” dalam proses pengambilan keputusan. Oleh karena itu, pada masing-masing level, kebijakan publik diwujudkan dalam bentuk institutional arrangement atau peraturan perundangan yang disesuaikan dengan tingkat hierarkinya. Dalam teori yang dikemukakan Bromley, dijelaskan juga mengenai pattern interaction yang merupakan pola interaksi antara pelaksana kebijakan paling bawah (street level bureaucrat) dengan kelompok sasaran (target group) sehingga menentukan dampak (outcome) dari kebijakan tersebut. Dampak dari kebijakan yang dilaksanakan dapat berupa keberhasilan atau kegagalan berdasarkan penilaian masyarakat. Dalam kurun waktu tertentu, hasil yang ditetapkan akan ditinjau kembali (assesment) untuk menjadi umpan balik (feedback) bagi semua level kebijakan yang diharapkan terjadi sebuah perbaikkan atau peningkatan kebijakan. UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu sangat membutuhkan peran pemerintah dalam peningkatan daya saing, namun
187
yang perlu diperhatikan adalah bahwa kemampuan di sini bukan dalam arti kemampuan untuk bersaing dengan usaha (industri) besar tetapi lebih pada kemampuan untuk memprediksi lingkungan usaha dan kemampuan untuk mengantisipasi kondisi lingkungan tersebut. Untuk itu, pemerintah pusat dan daerah perlu segera membentuk Sekretariat/Tim Pokja Pengembagan UKM dalam rangka
meningkatkan
koordinasi
agar
keterpaduan
dalam
setiap
instansi/organisasi baik program, kegiatan, dan anggaran berjalan dengan baik, efektif, dan efisien sesuai dengan tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan dalam pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu. Salah satu permasalahan pada tataran makro adalah program dan kegiatan pengembangan UKM melalui APBN dan APBD, belum sesuai dengan keinginan dan kebutuhan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu. Hal ini disebabkan antara lain: -
Pemerintah pusat dan daerah belum memiliki visi bersama secara jangka panjang
-
Setiap individu dalam organisasi pemerintah pusat dan daerah belum mempunyai rasa saling memiliki dan bekerja sama dengan baik
-
Usulan program, kegiatan dan anggaran masih banyak yang berasal dari atas (top down) bukan berasal dari bawah (bottom up)
-
Alokasi dana dari APBN untuk UKM terpecah-pecah dengan jumlah yang terbatas sehingga penyaluran bantuan untuk UKM pun tidak terfokus
-
Selanjutnya, pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu perlu mendapat dukungan yang besar baik dari pemerintah pusat dan daerah serta masyarakat agar dapat berkembang lebih kompetitif bersama pelaku ekonomi lainnya. Kebijakan pemerintah pusat dan daerah ke depan perlu diupayakan lebih kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya UKM, dan upaya pemerintah pusat dan daerah dalam membuat program, kegiatan, dan anggaran yang mampu menyampaikan kepentingan UKM dan aspirasi masyarakat (bottom up).
188
Tabel 27 Mekanisme penyerapan aspirasi masyarakat
No
Model Konseptual
Dunia Nyata
1
Tataran makro, mengevaluasi anggaran sebelumnya
Tataran makro, mengevaluasi anggaran sebelumnya
2
Melakukan diskusi dengan tataran meso dan mikro, untuk menjaring aspirasi masyarakat
3
Menyusun usulan program dan kegiatan pengembangan UKM berdasarkan aspirasi masyarakat
4
Melakukan diskusi dan dengar pendapat dengan tataran meso, mikro, perguruan tinggi, dan pihak terkait lainnya
5
Mengajukan usulan program dan kegiatan ke Bupati
Mengajukan usulan program dan kegiatan ke Bupati
6
Bupati membahas usulan program dan kegiatan di tingkat kabupaten
Bupati membahas usulan program dan kegiatan di tingkat kabupaten
7
Bupati menyampaikan usulan program dan kegiatan ke tingkat provinsi
Bupati menyampaikan usulan program dan kegiatan ke tingkat provinsi
-
Menyusun usulan program dan kegiatan pengembangan UKM
-
Refleksi dengan Kerangka Teori dan Penyelesaian Masalah Pengalokasian program dan kegiatan pengembangan UKM melalui APBD oleh pemerintah daerah diharapkan sesuai dengan usulan program, kegiatan, dan anggaran yang berasal dari aspirasi masyarakat (bottom up). Perguruan Tinggi yang berada di luar sistem, namun berkaitan dengan institusional arrangement, dapat dilibatkan perannya dengan mendampingi tataran meso (koperasi dan asosiasi) dan tataran mikro (pelaku usaha/UKM) dalam pengawalan penyusunan program, kegiatan, dan anggaran dari mulai persiapan, pembahasan, sampai dengan tersusunnya konsep APBD. Melalui upaya pengawalan dan keterlibatan tataran meso, mikro, dan perguruan tinggi tersebut, diharapkan semua usulan program, kegiatan, dan anggaran yang disampaikan dapat terpenuhi dan terealisasi sesuai kepentingan dan kebutuhan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu. Hal ini juga memperkuat pendapat Robbins (2006), Catak & Cilingir (2010) tentang anggaran pemerintah
Melalui upaya yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah tersebut di atas, diharapkan akan menghasilkan:
Program, kegiatan, dan anggaran yang lebih terfokus bagi UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu
Pembinaan, pelatihan, dan bantuan sarana dan prasarana yang sesuai dengan usulan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu
189
Hal ini juga memperkuat pendapat Robbin (2006), bahwa anggaran pemerintah
sendiri
merupakan
instrumen
yang
mencerminkan
prioritas
pemerintah dan preferensi warga negara. Anggaran pemerintah inti dari kebijakan publik yang mengindikasikan bagaimana sumber daya publik direncanakan untuk digunakan dalam rangka mencapai tujuan kebijakan (Çatak & Çilingir 2010). Efektifitas proses penganggaran dindikasikan salah satunya oleh keterlibatan pemangku kepentingan. Proses mementingkan stakeholders merupakan salah satu prinsip pelaksanaan tata kelola pemerintahan atau good governance (Mattingly et al. 2009), oleh karena itu dikenal proses penganggaran partisipatif. Penganggaran partisipatif merupakan cara strategis untuk menciptakan daerah yang lebih demokratis dan berpartisipasi. Peserta harus memutuskan isu-isu lokal yang secara langsung mempengaruhi kehidupan mereka. Dengan demikian, partisipasi politik rakyat cenderung meningkat (Pinnington et al. 2009). Penganggaran partisipatif menawarkan beberapa entry point dan tingkat komitmen untuk keterlibatan masyarakat, terutama bagi mereka yang memiliki kepentingan. Dalam banyak kasus, sebagian orang dengan kepentingan tinggi memainkan peran lebih besar dalam pengambilan keputusan. Sehubungan penganggaran bersifat partisipatif, maka membuka peluang pengawasan publik, sehingga menciptakan tingkat akuntabilitas dan transparansi yang lebih tinggi dan mengurangi peluang korupsi. Negara yang menerapkan konsep desentralisasi, mengindikasikan adanya kewenangan yang begitu besar di level daerah untuk merumuskan anggaran. Dalam hal pemasukan, pemerintah daerah tidak sepenuhnya lepas dari ketergantungan kepada pemerintah pusat. Adanya mekanisme alokasi dana dari pemerintah yang levelnya lebih tinggi (pemerintah pusat), ke pemerintah yang levelnya lebih rendah (pemerintah daerah). Dalam lingkup daerah otonom, terjadi alokasi dana dari pemerintahan daerah ke pemerintahan kecamatan dan desa/ kelurahan. Roadway dan Shah (2007), diacu dalam Fitriati (2012) menjelaskan dua jenis transfer keuangan dari pemerintah yang tingkatannya lebih tinggi, yaitu general purpose transfer dan specific purpose transfer. Kedua jenis transfer ini menunjukkan adanya mekanisme implementasi program yang disesuaikan dengan anggaran berbasis kinerja (performance based budget) yang seharusnya mendukung prinsip money follow function. Kenyataanya di Indonesia, function
190
tidak jalan, kinerja tidak sesuai fungsi, dan aggaran sulit diukur kaitannya dengan kinerja. Penyusunan anggaran pada level SKPD maupun tingkat pemerintahan yang berada di kecamatan dan kelurahan, merupakan level kebijakan pada tataran operational level (Bromley 1989, diacu dalam Fitriati 2012). Dalam kaitannya dengan pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu, perencanaan anggaran pada tingkat kelurahan, kecamatan, dan SKPD, operational level terfasilitasi dalam musrenbang di tingkat masing-masing. Musrembang dilakukan dengan mengundang para pemangku kepentingan yang terkait. Pada tingkat pemerintah daerah, wujud dari organizational level terfasilitasi dari musrenbang yang diselenggarakan oleh kepala daerah. Output kebijakan anggaran pada organizational level berupa Rancangan Renja Daerah. Pada level ini, proses musrenbang juga dihadiri oleh pemangku kepentingan yang terkait di tingkat kabupaten. Selanjutnya, peran policy level dimainkan oleh Kementerian beserta DPR atau Bupati beserta DPRD selaku lembaga legislatif di tingkat pusat dan daerah. Dalam konteks perencanaan anggaran, peran yang dimainkan berupa menetapkan atau menyetujui anggaran serta mengesahkan Draft RKA Daerah menjadi RKA KKP. Bromley (1989) menjelaskan bahwa untuk meletakkan fondasi konseptual dari kebijakan publik pada masing-masing level, maka kebijakan publik diwujudkan dalam bentuk institutional arrangement atau peraturan perundangan yang disesuaikan dengan tingkat hierarki. Dalam kaitannya dengan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu sebagai rujukan penelitian, maka Perguruan Tinggi yang berada di luar sistem, namun berkaitan dengan institusional arrangement, dapat dilibatkan perannya dengan mendampingi tataran meso (koperasi dan asosiasi) dan tataran mikro (pelaku usaha/UKM) dalam pengawalan penyusunan program, kegiatan, dan anggaran dari mulai persiapan, pembahasan sampai dengan tersusunnya konsep DIPA. Melalui upaya pengawalan dan keterlibatan tataran meso, mikro, dan perguruan tinggi tersebut, diharapkan mekanisme penyerapan aspirasi masyarakat dapat terpenuhi dan terealisasi sesuai kepentingan dan kebutuhan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu.
191
Tabel 28 Peningkatan peran koperasi dan asosiasi No
Model Konseptual
Dunia Nyata
1
2
3
1
Tataran meso menjalin hubungan dengan tataran makro untuk mendapatkan pengakuan eksistensi kelembagaan
Tataran meso menjalin hubungan dengan tataran makro untuk mendapatkan pengakuan eksistensi kelembagaan
2
Tataran meso memperoleh masukan dari tataran makro dan mikro, perguruan tinggi, masyarakat, dan pemangku kepentingan lainnya terhadap setiap kegiatan UKM yang telah dilaksanakan Mengikuti atau terlibat dalam program dan kegiatan pemerintah yang berkaitan dengan UKM, baik dalam bentuk seminar, pameran, dan Musrenbang Kabupaten Melakukan diskusi dan rapat dengar pendapat (hearing) dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk perguruan tinggi Mengikuti perancangan Rencana Kerja Anggaran (RKA) yang berkaitan dengan UKM oleh setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sebelum dikonsultasikan dengan Bappeda Mengikuti Musrenbang Kabupaten dengan mengundang pemangku kepentingan seperti Kepala Dinas dan perangkat SKPD terkait, dll Menyampaikan program dan kegiatan kepada pemerintah daerah yang berkaitan dengan UKM pada setiap SKPD
Tataran meso memperoleh masukan dari tataran makro dan mikro untuk kegiatan UKM yang akan dilaksanakan
3
4
5
6
7
-
-
-
-
-
Refleksi dengan Kerangka Teori dan Penyelesaian Masalah 4 Dalam pengembangannya, koperasi dan asosiasi di Indramayu yang berdiri karena program pemerintah belum mampu meningkatkan perannya sebagai fasilitator yang mewakili kepentingan UKM di tataran mikro. Koperasi dan asosiasi di Indramayu perlu meningkatan perannya yang lebih pro aktif dan dinamis mengikuti perkembangan terkini untuk mendukung daya saing UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu, melalui peningkatan SDM koperasi/asosiasi, penyempurnaan ADRT yang lebih bermanfaat, membuat mekanisme koperasi/asosiasi lebih jelas dan sistematis. Hal ini memperkuat pendapat: Barbara (1995) dan Soekanto (2002) tentang peran dan peranan.
192
1
2
3
8
Melakukan proses negosiasi untuk membuat kesepakatan (collective action) dengan tataran makro
-
9
Meningkatkan peran koperasi dan asosiasi sebagai fasilitator yang mewakili kepentingan UKM di tataran mikro
-
4
Koperasi Kerupuk Mitra Industri (KKMI) Indramayu dan Asosiasi Pengusaha Kerupuk Indramayu (APKI) yang ada saat ini, belum memiliki peran yang sungguh-sungguh terhadap pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu. Tingkat partisipasi anggota koperasi masih rendah, ini disebabkan sosialisasi yang belum optimal. Masyarakat yang menjadi anggota hanya sebatas tahu koperasi dan asosiasi itu hanya untuk melayani konsumen seperti biasa, baik untuk barang konsumsi atau pinjaman. Artinya masyarakat belum tahu esensi dari koperasi dan asosiasi itu sendiri, baik dari sistem permodalan maupun sistem kepemilikanya. Masyarakat belum tahu betul bahwa dalam koperasi dan asosiasi konsumen, juga berarti pemilik, dan berhak berpartisipasi menyumbang saran demi kemajuan koperasi dan asosiasi miliknya serta berhak mengawasi kinerja pengurus. Ditambah lagi, adanya kegiatan koperasi dan asosiasi yang memanfaatkan program bantuan atau dukungan pemerintah bagi kepentingan pribadi (pemburu rente). Koperasi dan asosiasi di Indramayu perlu meningkatan perannya yang lebih pro aktif dan dinamis mengikuti perkembangan terkini untuk mendukung daya saing UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu. Pemerintah pusat dan daerah agar memperkuat dan memantapkan asosiasi dan koperasi usaha yang telah ada, sehingga asosiasi dan koperasi dapat meningkatkan perannya masing-masing antara lain dalam peningkatan SDM dan manajemen, pengembangan jaringan informasi usaha, dan lain-lain yang dibutuhkan untuk pengembangan UKM khususnya bagi usaha anggotanya.
193
Menurut Barbara (1995) peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai kedudukannya dalam suatu sistem. Peran dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari dalam maupun dari luar dan bersifat stabil. Soekanto (2002) mendefinisikan, peranan merupakan aspek dinamis kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai kedudukannya, maka ia menjalankan suatu peranan. Sitio dan Tamba (2001) mengemukakan, bahwa koperasi sebagai suatu perkumpulan yang beranggotakan orang-orang atau badan hukum, yang memberikan kebebasan kepada anggota untuk masuk dan keluar, dengan bekerja sama secara kekeluargaan menjalankan usaha untuk mempertinggi kesejahteraan jasmaniah para anggotanya. Asosiasi, persatuan antara rekan usaha; persekutuan dagang; perkumpulan orang yang mempunyai kepentingan bersama; tautan dalam ingatan pada orang atau barang lain; pembentukan hubungan atau pertalian antara gagasan, ingatan, atau kegiatan panca indera; berasosiasi/bergabung, berhubungan (antara cita-cita, gambar, angan-angan, dan lain-lain); mengasosiasikan/ membayangkan sesuatu (pikiran, anggapan, dan lain-lain) atas dasar kesan-kesan yang sudah ada; pengasosiasian dan hal (cara, perbuatan) mengasosiasikan. Coleman (1988) mendefinisikan modal sosial sebagai entitas-entitas yang berbeda, yang memiliki dua elemen yang sama, terdiri dari beberapa aspek struktur sosial, dan memfasilitasi tindakan aktor (aktor pribadi maupun perusahaan) dalam struktur organisasi. Konsep ini memperluas konsep asosiasi vertikal maupun horizontal dan perilaku antar entitas. Terkait masalah peran koperasi dan asosiasi di Indramayu sebagai fasilitator yang mewakili kepentingan UKM di tataran mikro, adalah koperasi dan asosiasi yang bukan organisasi bentukan underbow pemerintah maupun bukan pelaku tunggal yang bergerak sendiri. Koperasi dan asosiasi ini merupakan model hybrid (campuran) yang paling mendekati the nature of industry, sebagai bentuk dinamika antara kelompok sosial di level mikro dengan struktur tata kelola di level meso yang menjamin pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu.
194
Tabel 29 Peningkatan kualitas SDM Refleksi dengan Kerangka Teori dan Penyelesaian Masalah
No
Model Konseptual
Dunia Nyata
1
Menjalin dan membangun hubungan dengan tataran makro, meso, dan unit usaha penunjang (lembaga pembiayaan/ permodalan, lembaga pendidikan/ pelatihan, dll) untuk pengakuan eksistensi kelembagaan
Menjalin dan membangun hubungan dengan tataran makro dan meso untuk pengakuan eksistensi kelembagaan
UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu perlu mengembangkan atau meningkatkan kualitas SDM nya melalui keikutsertaan dalam kegiatan pendidikan, pelatihan, training, studi banding dll.
2
Melakukan diskusi utuk mendapatkan masukan tentang keteranpilan SDM dari semua pihak terkait
Melakukan diskusi utuk mendapatkan masukan tentang keteranpilan SDM dengan tataran makro
UKM juga perlu menyediakan anggaran khusus untuk kegiatan peningkatan kualitas SDM nya.
3
Mendapatkan pembinaan/ pelatihan keterampilan SDM dari tataran makro, meso, dll
Mendapatkan pembinaan/ pelatihan keterampilan SDM dari tataran makro
4
Menyediakan anggaran khusus untuk kegiatan peningkatan keterampilan SDM, melalui kerja sama dengan lembaga keuangan/ permodalan, unit usaha besar, dll
-
Selajutnya, pemerintah pusat dan daerah, lembaga pembiayaan/keuangan, koperasi, asosiasi, dan pihak terkait lainnya juga perlu meningkatkan perannya dalam mendukung atau memberdayakan UKM.
5
Melakukan kerja sama dengan lembaga pendidikan/pelatihan, studi banding, dll
-
6
Meningkatkan kualitas SDM dalam rangka mendukung daya saing UKM
-
Hal ini juga memperkuat pendapat Saydam (2005), Notoatmodjo (2003) tentang SDM dan keterampilan SDM
Permasalahan kualitas SDM ini timbul akibat tingkat pendidikan SDM pada UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu yang masih rendah. Hal ini menyebabkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi rendah. Minimnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan rendahnya produktivitas tenaga kerja, sehingga hal ini akan berpengaruh terhadap rendahnya kualitas hasil produksi. Upaya yang dapat dilakukan dalam peningkatan kualitas SDM antara lain (1) perencanaan tenaga kerja, untuk merencanakan jumlah dan jenis tenaga kerja
195
yang tepat untuk memenuhi kebutuhan guna mencapai tujuan perusahaan; (2) rekruetmen atau penarikan SDM, agar perusahaan dapat memperoleh tenaga kerja sesuai dengan keahlian yang dibutuhkan dan dapat mengetahui sejauh mana pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki tenaga kerja tersebut maka dapat ditempatkan sesuai dengan keahliannya masing-masing; dan (3) pengembangan tenaga kerja melalui pendidikan dan pelatihan/training, sehingga dapat meningkatkan SDM yang pontensial tersebut menjadi tenaga kerja yang produktif, mampu dan terampil serta menjadi efektif dan efisien dalam mencapai tujuan organisasi yang selanjutnya dapat mengurangi ketergantungan organisasi untuk menarik karyawan baru. Kesimpulan tersebut selaras dengan pendapat Saydam (2005), mengatakan bahwa sumber daya manusia dalam suatu organisasi atau perusahaan tidak saja sebagai objek (dianggap sebagai salah satu produksi) tetapi sebagai subjek yang menentukan keberhasilan organisasi itu untuk mencapai tujuan. Selanjutnya dikatakan bahwa SDM paling menetukan dibanding dengan mesin-mesin atau peralatan apapun yang ada dalam perusahaan itu. Belum dapat dibayangkan suatu organisasi dapat berjalan lancar tanpa ada sumber daya manusia (SDM) di dalamnya. Menurut Notoatmodjo (2003), bahwa keterampilan SDM menyangkut dua aspek yaitu aspek fisik (kualitas fisik) dan aspek non fisik (kualitas non fisik) yang menyangkut kemampuan bekerja, berfikir dan keterampilan-keterampilan lain. Hal ini juga memperkuat pendapat Werther dan Davis (1996) bahwa SDM adalah manusia yang siap, mau, dan mampu memberi sumbangan terhadap usaha pencapaian tujuan perusahaan. Kualitas SDM menurut Ruky (2003) adalah tingkat pengetahuan, kemampuan, dan kemauan yang dapat ditunjukkan oleh SDM. Tingkat itu dibandingkan dengan tingkat yang dibutuhkan dari waktu ke waktu oleh organisasi yang memiliki SDM tersebut. Kemampuan pegawai sebagai SDM dalam suatu organisasi sangat penting arti dan keberadaannya untuk peningkatan produktivitas kerja di lingkungan organisasi. Manusia merupakan salah satu unsur terpenting yang menentukan berhasil atau tidaknya suatu organisasi mencapai tujuan dan mengembangkan misinya.
196
Selanjutnya, keterampilan sumber daya UKM berhubungan dengan tingkat pendidikan dan pelatihan, pengalaman, kinerja yang dimiliki UKM dalam melaksanakan aktvitas-aktivitas yang menjadi tanggung jawab anggotanya untuk mencapai tujuan organisasi. Menurut Nawawi (2000) bahwa pelatihan merupakan peningkatan keterampilan kerja yang dibutuhkan untuk melaksanakan pekerjaan seseorang dan dapat digunakan untuk pengembangan pegawai dalam menghadapi peningkatan tanggung jawabnya pada masa mendatang bersamaan dengan peningkatan kepangkatannya serta dilakukan untuk pegawai lama dan baru. Nawawi (2000) menyatakan bahwa kinerja dalam arti untuk prilaku dalam bekerja (performance) yang positif, merupakan gambaran kongkrit kemampuan dalam mendaya gunakan sumber-sumber kualitas, yang berdampak pada keberhasilan mewujudkan, mempertahankan dan mengembangkan eksistensi non profit. Kinerja yang tinggi terlihat dari proses pelaksanaan pekerjaan yang berlangsung efektif dan efisien, yang terus menerus diperbaiki kualitasnya. Disamping itu juga dapat diketahui dari prestasi atau hasil kerja yang berkualitas, dan selalu sesuai dengan keinginan dan harapan masyarakat yang dilayani, sebagai bukti bahwa sumber-sumber kualitas berdaya guna secara efektif. Selanjutnya, tataran mikro (pelaku usaha/UKM) memperkuat intensitas dan kualitas hubungan melalui keterlibatan diri dalam setiap kegiatan tataran meso (koperasi dan asosiasi) yang diproyeksikan untuk pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu. Menurut Nee (2003), embeddedness digunakan untuk memecahkan masalah kepercayaan dan berfokus pada sistematika pola hubungan pribadi dengan transaksi ekonomi yang dilakukan. Hubungan interpersonal memainkan peran dalam hal pengamanan kepercayaan dan pelayanan saluran informasi. Pendekatan embeddedness juga menekankan solusi informal untuk mengatasi masalah kepercayaan. Tataran meso secara rutin memfasilitasi upaya peningkatan kualitas SDM untuk memperkuat hubungan dan interaksi, serta membangun keterlekatan di antara para tataran (makro, meso, dan mikro). Selain itu, tataran meso harus persuasif dalam meminta partisipasi dari pelaku tataran mikro untuk mengikuti program-program penguatan dan pemberdayaan UKM. Perilaku individu yang
197
saling terkait dan saling memengaruhi melalui alat komunikasi yaitu interaksi sosial.
Tabel 30 Pemenuhan modal usaha Refleksi dengan Kerangka Teori dan Penyelesaian Masalah
No
Model Konseptual
Dunia Nyata
1
Menjalin dan membangun hubungan dengan tataran meso, makro, dan unit usaha penunjang untuk pengakuan eksistensi kelembagaan
Menjalin dan membangun hubungan dengan tataran makro dan perbankan untuk pengakuan eksistensi kelembagaan
UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu diharapkan menjalin interaksi, dan mendapatkan/ memperoleh masukan dari pemerintah pusat dan daerah, asosiasi, dan koperasi dalam pemenuhan modal usaha.
2
Melakukan diskusi untuk mendapatkan masukan tentang permodalan dengan semua pihak terkait
Melakukan diskusi untuk mendapatkan masukan tentang permodalan dengan tataran makro
3
Mendapatkan bantuan permodalan dari tataran makro, meso, dll
Mendapatkan bantuan permodalan dari tataran makro
4
Melakukan kerja sama dengan lembaga keuangan/ permodalan, dll dalam pemberian kredit/ pinjaman modal usaha
Melakukan kerja sama dengan lembaga keuangan/permodalan dalam pemberian kredit/ pinjaman modal usaha
5
Pemenuhan modal usaha untuk keberlangsungan produksi
Pemenuhan modal usaha untuk keberlangsungan produksi
Pemerintah juga perlu memperluas skim kredit khusus dengan syarat-syarat yang tidak memberatkan bagi UKM, untuk membantu peningkatan permodalannya, baik itu melalui sektor jasa inansial formal, sektor jasa finansial informal, skema penjaminan, leasing dan dana modal ventura. Pembiayaan untuk UKM sebaiknya menggunakan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang ada, maupun non bank. LKM bank antara Lain: BRI unit Desa dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Hal ini juga memperkuat pendapat Sawir (2005) tentang permodalan
Permasalahan modal ini timbul akibat produk jasa lembaga keuangan sebagian besar masih berupa kredit modal kerja dengan besaran terbatas, sedangkan untuk kredit investasi sangat terbatas. Kesulitan untuk menambah modal usaha memberikan berbagai dampak kepada UKM, diantaranya adalah sulitnya (1) melakukan perluasan/akses pasar, (2) meningkatkan kelembagaan, (3) mendapatkan bahan baku, (4) melakukan peningkatan kemampuan SDM
198
khususnya dalam peningkatan kualitas mutu dan pengembangan produk, dan (5) melakukan promosi usaha. Upaya yang dapat dilakukan dalam peningkatan kapasitas modal bagi UKM antara lain (1) meningkatkan akses ke lembaga pembiayaan usaha dengan memenuhi aspek legalitas usaha/sesuai persyaratan yang diminta; dan (2) melakukan kemitraan dengan sesama UKM maupun usaha besar, dll. Pemerintah perlu memperluas skim kredit khusus dengan syarat-syarat yang tidak memberatkan bagi UKM, untuk membantu peningkatan permodalannya, baik itu melalui sektor jasa finansial formal, sektor jasa finansial informal, skema penjaminan, leasing dan dana modal ventura. Pembiayaan untuk UKM sebaiknya menggunakan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang ada, maupun non bank. LKM bank antara Lain: BRI unit Desa dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Sampai saat ini BRI memiliki sekitar 4.000 unit yang tersebar diseluruh Indonesia. Dari kedua LKM ini sudah tercatat sebanyak 8.500 unit yang melayani UKM. Untuk itu perlu mendorong pengembangan LKM. Yang harus dilakukan sekarang ini adalah bagaimana mendorong pengembangan LKM ini berjalan dengan baik, karena selama ini LKM non koperasi memilki kesulitan dalam legitimasi operasionalnya. Kesimpulan tersebut selaras dengan pendapat Levin dan Tadeli (2002), berdasarkan hasil risetnya tentang cost and benefit partnership organization, menyimpulkan bahwa organisasi yang melakukan kemitraan memperoleh beberapa hal (1) dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas produknya, (2) dapat meningkatkan profitnya secara maksimum, (3) kemitraan cenderung dapat meningkatkan kinerja sumber daya manusia yang ada, dan (4) organisasi yang bermitra dapat saling mengontrol kualitas produk yang dihasilkan. Ketersedian modal akan memperlancar kegiatan usaha, sehingga dapat mengembangkan modal itu sendiri. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Sawir (2005) bahwa modal kerja adalah keseluruhan aktiva lancar yang dimiliki perusahaan, atau dapat pula dimaksudkan sebagai dana yang harus tersedia untuk membiayai kegiatan operasi perusahaan sehari-hari. Menurut Adnan dan Kurniasih (2000) bahwa gabungan modal yang terdiri dari modal sendiri dan modal asing pada akhirnya akan membentuk suatu kekuatan modal guna
199
menjalankan usahanya sampai pada suatu volume penjualan yang diharapkan. Volume penjualan yang meningkat, pada umumnya akan disertai dengan peningkatan produksi dalam jangka panjang diikuti pula oleh perkembangan usaha tersebut. Peningkatan volume penjualan ini, pada akhirnya akan meningkatkan pangsa pasar dan mencerminkan daya saing yang tinggi. Selanjutnya, tataran mikro (pelaku usaha/UKM) memperkuat intensitas dan kualitas hubungan melalui keterlibatan diri dalam setiap kegiatan tataran meso (koperasi dan asosiasi) yang diproyeksikan untuk pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu. Menurut Nee (2003), embeddedness digunakan untuk memecahkan masalah kepercayaan dan berfokus pada sistematika pola hubungan pribadi dengan transaksi ekonomi yang dilakukan. Hubungan interpersonal memainkan peran dalam hal pengamanan kepercayaan dan pelayanan saluran informasi. Pendekatan embeddedness juga menekankan solusi informal untuk mengatasi masalah kepercayaan. Tataran meso secara rutin memfasilitasi upaya pemenuhan modal usaha untuk memperkuat hubungan dan interaksi, serta membangun keterlekatan di antara para tataran. Selain itu, tataran meso harus persuasif dalam meminta partisipasi dari pelaku tataran mikro untuk mengikuti program-program penguatan dan pemberdayaan UKM. Saat ini ketersediaan bahan baku ikan sulit dikendalikan, ada dua kesulitan yang dihadapi yaitu (1) sulit mendapatkan ikan dalam jumlah yang banyak karena tergantung dari hasil melaut nelayan sehingga harga ikan sulit terkontol, dan (2) bahan baku ikan tidak tahan lama disimpan dalam cool box/wadah penyimpanan, sehingga harus segera diproses. Kondisi lain yang sering terjadi yaitu tidak tersedianya modal pada saat harga ikan naik atau saat pesanan bahan baku ikan datang, sehingga menyebabkan keberlangsungan produksi terganggu yang pada akhirnya dapat mengakibatkan proses produksi terhenti sama sekali. Kesulitan dalam keberlangsungan produksi memberikan berbagai dampak kepada UKM, diantaranya adalah (1) sulitnya melakukan pengelolaan usaha, (2) sulitnya meningkatkan usaha, dan (3) produksi tidak dapat memenuhi kebutuhan/ permintaan konsumen.
200
Tabel 31 Pemenuhan bahan baku No
Model Konseptual
Dunia Nyata
1
Menjalin dan membangun hubungan dengan tataran makro, meso, dan unit usaha penunjang untuk pengakuan eksistensi kelembagaan
Menjalin dan membangun hubungan dengan tataran makro untuk pengakuan eksistensi kelembagaan
2
Mempererat hubungan (keterlekatan) melalui keterlibatan pelaku usaha/ UKM pada program kegiatan tataran meso, seperti diskusi, sarasehan, seminar maupunpameran
-
3
Melakukan kerja sama dengan lembaga pembiayaan/ keuangan, dll untuk ketersediaan anggaran pembelian bahan baku
Melakukan kerja sama dengan lembaga pembiayaan/ keuangan untuk ketersediaan anggaran pembelian bahan baku
4
Melakukan interaksi dan kerja sama dengan TPI, pemasok bahan baku di dalam/luar sentra, unit usaha besar, dll
Melakukan kerja sama dengan pemasok bahan baku di luar sentra
Pemenuhan bahan baku di UPI
Pemenuhan bahan baku di UPI
5
Refleksi dengan Kerangka Teori dan Penyelesaian Masalah UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu diharapkan menjalin interaksi, dan mendapatkan/memperoleh masukan dari pemerintah pusat dan daerah, koperasi dan asosiasi, dalam pemenuhan bahan baku. Selain itu juga terbentuk kerja sama dengan lembaga keuangan, dalam pemberian modal/kredit pinjaman. Serta kerja sama pemenuhan bahan baku dengan unit usaha penunjang (TPI, pemasok bahan baku di dalam atau di luar sentra, dan usaha besar) sehingga kelancaran proses produksi tidak terganggu. Hal ini juga memperkuat pendapat Tambunan (2001), Skousen (2004) tentang bahan baku
Upaya yang dapat dilakukan dalam peningkatan keberlangsungan produksi bagi UKM antara lain (1) meningkatkan modal usaha, (2) mengelola ketersediaan bahan baku di UPI; (3) melakukan kemitraan/kelembagaan untuk menunjang pengadaan bahan baku; dan (4) meningkatkan kerja sama dengan sesama UKM atau pemasok bahan baku. UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu diharapkan menjalin interaksi, dan mendapatkan/memperoleh masukan dari pemerintah pusat dan daerah, asosiasi, dan koperasi dalam pemenuhan bahan baku, dan terbentuk kerja sama dengan lembaga keuangan dalam pemberian modal/kredit pinjaman serta kerja sama pemenuhan bahan baku dengan unit usaha penunjang (TPI, pemasok bahan baku di dalam atau di luar sentra, dan usaha besar) sehingga kelancaran proses produksi tidak terganggu.
201
Menurut Tambunan (2001), salah satu faktor yang mempengaruhi keberlangsungan usaha/daya hidup adalah pengadaan bahan baku. Suatu proses produksi sangat bergantung pada pengadaan bahan baku, karena keberadaan bahan baku merupakan bahan dasar atau bahan utama yang digunakan dalam proses produksi. Keberadaan bahan baku akan sangat mempengaruhi daya hidup usaha atau keberlangsungan produksi karena bahan baku merupakan mata rantai dalam proses produksi yang pada akhirnya akan menentukan besarnya laba yang dihasilkan. Menurut Skousen dan Smith (2004), bahan baku adalah barang-barang yang dibeli untuk digunakan dalam proses produksi. Kieso et al. (2002) menyatakan bahwa bahan baku yang ada ditangan tetapi belum dialihkan ke produksi dilaporkan sebagai persediaan bahan baku. Menurut Niswonger et al. (1999) menyatakan persediaan bahan baku terdiri dari biaya bahan langsung dan bahan tidak langsung yang belum memasuki proses produksi. Menurut Sofjan (2008), pembelian bahan baku merupakan salah satu fungsi yang penting dalam berhasilnya operasi suatu perusahaan. Fungsi ini dibebani tanggung jawab untuk mendapatkan kuantitas dan kualitas bahan-bahan yang tersedia pada waktu dibutuhkan dengan harga yang sesuai dengan harga yang berlaku. Pengawasan perlu dilakukan terhadap pelaksanaan fungsi ini, karena pembelian menyangkut investasi dana dalam persediaan dan kelancaran bahan ke dalam pabrik. Selanjutnya, bahwa bahan baku merupakan barang-barang yang digunakan untuk diproses yang kemudian menjadi produk, dimana bahan baku tersebut harus berkualitas sehingga produk yang dihasilkan bermutu tinggi. Pemenuhan bahan baku adalah salah satu faktor produksi paling penting dalam menjaga keberlangsungan kegiatan usaha produksi pada UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu. Selanjutnya, tataran mikro (pelaku usaha/UKM) memperkuat intensitas dan kualitas hubungan melalui keterlibatan diri dalam setiap kegiatan tataran meso (koperasi dan asosiasi) yang diproyeksikan untuk pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu. Menurut Nee (2003), embeddedness digunakan untuk memecahkan masalah kepercayaan dan berfokus
202
pada sistematika pola hubungan pribadi dengan transaksi ekonomi yang dilakukan. Hubungan interpersonal memainkan peran dalam hal pengamanan kepercayaan dan pelayanan saluran informasi. Pendekatan embeddedness juga menekankan solusi informal untuk mengatasi masalah kepercayaan. Tataran meso secara rutin memfasilitasi upaya pemenuhan bahan baku untuk memperkuat hubungan dan interaksi, serta membangun keterlekatan di antara para tataran. Selain itu, tataran meso harus persuasif dalam meminta partisipasi dari pelaku tataran mikro untuk mengikuti program-program penguatan dan pemberdayaan UKM.
7.2
Perubahan yang Diinginkan Dalam tahap enam SSM ini adalah tahap perumusan saran tindak untuk
perbaikan, penyempurnaan, dan perubahan situasi dunia nyata. Penentuan perubahan ini dapat berupa rekomendasi yang searah dengan research interest dan problem solving interest penelitian, atau perubahan yang dilakukan dapat berupa rekomendasi sehingga 1) argumennya dapat diterima, dan 2) secara budaya dapat dimungkinkan. Temuan penelitian pada pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang mengangkat tiga sistem yang berjalan di tataran berbeda namun mempunyai hubungan timbal balik, saling terhubung dan saling mempengaruhi (Gambar 52). SSM berbasis riset tindakan mensyaratkan perubahan yang positif dan memberikan manfaat untuk jangka panjang. UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu dengan rujukan seperti dalam penelitian ini, membagi realitas dalam tiga sistem yang berjalan. Ketiga sistem di tiga tataran itu saling terhubung dan saling mempengaruhi satu dengan lain. Selanjutnya, untuk melihat kontribusi UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu dalam pertumbuhan ekonomi, dapat dilihat dengan kerangka NIES. Penggunaan framework NIES pada pengembangan UKM untuk tataran makro, menghasilkan regulasi sebagai faktor pembentuk pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu di tingkat makro. Selecting relevant of human activity systems dalam regulasi ini adalah (1)
203
regulasi yang terkait dengan penyusunan peraturan pemerintah/daerah tentang pembentukan Sekretariat/Tim Pokja Pengembangan UKM yang juga mengatur tupoksi (tugas, pokok dan fungsi), dan (2) regulasi yang terkait dengan mekanisme penyerapan aspirasi masrakat.
Pengembangan UKM pada tataran MAKRO: REGULASI
Pengembangan UKM pada tataran MESO: PERAN KOPERASI DAN ASOSIASI
Pengembangan UKM pada tataran MIKRO: PERMASALAHAN INTERNAL
Sumber: diadopsi dari Nee (2003)
Gambar 52 Perspektif tiga tingkat kerangka kelembagaan. Penggunaan framework NIES pada pengembangan UKM untuk tataran meso menghasilkan peran koperasi dan asosiasi pada UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu, yang bukan organisasi bentukan underbow pemerintah maupun bukan pelaku tunggal yang bergerak sendiri (pemburu rente). Koperasi dan asosiasi ini sebagai bentuk dinamika antara kelompok sosial di level mikro dengan struktur tata kelola di level meso yang menjamin pengembangan UKM. Selecting relevant of human activity systems dalam regulasi ini adalah (1) kesepakatan yang merupakan hasil proses negosiasi antara koperasi dan asosiasi yang mewakili kepentingan individu di tataran mikro dengan pemerintah pusat
204
dan daerah (tataran makro) untuk dapat mempengaruhi substansi regulasi agar menghasilkan regulasi yang menjamin tercapainya pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu; (2) pemantauan dan penegakan aturan yang dilakukan koperasi dan asosiasi terhadap pelaku usaha/ UKM (tataran mikro). Penggunaan framework NIES pada pengembangan UKM untuk tataran mikro menunjukkan adanya kendala/permasalahan internal berupa kualitas SDM, permodalan, dan bahan baku pada pelaku usaha/UKM yang merupakan basis pengembangan di tataran mikro pada UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu. Penelitian ini menghasilkan kendala/permasalahn internal yang merupakan faktor pembentuk pengembangan UKM di tingkat mikro. Selecting relevant of human activity systems pada tataran mikro adalah (1) decoupling dan compliance, yaitu membangun hubungan antara pelaku usaha/ UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu dengan pemerintah pusat dan daerah, serta membangun konsensus antara tataran mikro (pelaku usaha/UKM) dengan tataran makro (pemerintah pusat dan daerah); (2) membangun kerja sama diantara pelaku usaha/UKM, dan pelaku usaha/UKM dengan lembaga pembiayaan/keuangan, lembaga pelatihan/pendidikan, pemasok bahan baku, usaha besar, perguruan tinggi, dll. Berdasarkan kesimpulan pengembangan UKM untuk tataran makro, meso dan mikro di atas, menunjukkan adanya hubungan timbal balik di antara tiga tataran tersebut. Hubungan timbal balik ini berupa hubungan sinergis pada tiga tingkat kerangka kelembagaan berbasis daya saing. Penggunaan framework NIES pada pengembangan UKM untuk tiga tingkat kerangka kelembagaan secara keseluruhan menunjukkan adanya (1) regulasi, (2) peran koperasi dan asosiasi, dan (3) kendala/permasalahan internal dalam mendukung tercapainya daya saing UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu. Dalam konteks UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu sebagai rujukan penelitian, hubungan tersebut dapat diwakili, pertama, hubungan secara top-down (makro ke meso dan mikro) yang timbul dari kebutuhan terhadap aturan yang jelas, yang memberikan kesempatan dan
205
kepastian usaha bagi UKM untuk dapat menjalankan usahanya, mengakses sumber daya produktif dan mendapatkan perlindungan usaha dari persaingan yang tidak sehat. Aturan yang jelas juga dapat mendorong terbentuknya usaha bersama/kolektif yang memungkinkan tercapainya skala usaha dan efisiensi usaha yang lebih tinggi di antara UKM, yang difasilitasi melalui koperasi atau asosiasi. Kedua, hubungan secara bottom up (dari mikro ke meso ke makro), dimana aspirasi UKM yang disalurkan melalui koperasi dan asosiasi menjadi masukan bagi kebijakan di tingkat makro yang dibutuhkan untuk penguatan kelembagaan dan kapasitas UKM. Berkembangnya UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu dengan ciri khas masing-masing produk kerupuk ikan dan udang, juga dapat mempengaruhi pengembangan struktur kebijakan dan pembinaan yang perlu disediakan untuk mendukung pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu. Selanjutnya, untuk UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu hubungan timbal balik di antara tiga tataran sebenarnya sudah berjalan, meskipun masih perlu dioptimalkan. SSM berbasis pemecahan masalah, dari paparan komparatif di atas maka rekomendasi kebijakan pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu yaitu meningkatkan kapasitas UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu yang berdaya saing didukung oleh kebijakan yang tepat oleh pemerintah pusat dan daerah. Selanjutnya, kebijakan tersebut di atas dapat dicapai melalui strategi pengembangan UKM sebagai berikut: 1) Membentuk Sekretariat/Tim Pokja Pengembangan UKM. 2) Menetapkan mekanisme penyerapan aspirasi masyarakat. 3) Memperkuat peran koperasi dan asosiasi sebagai fasilitator bagi kepentingan UKM di tataran mikro. 4) Meningkatkan keterampilan SDM. 5) Memperkuat aspek permodalan. 6) Memperkuat manajemen bahan baku.
8 8.1
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Hasil penelitian terhadap pengembangan UKM sentra industri pengolahan
kerupuk ikan dan udang di Indramayu, dapat disimpulkan: 1) Daya saing UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu rendah. Hal ini disebabkan beberapa permasalahan yang dihadapi pada tataran makro yaitu (1) pengorganisasian, dan (2) program, kegiatan, dan anggaran; pada tataran meso yaitu peran koperasi dan asosiasi; dan pada tataran mikro yaitu (1) kualitas SDM; (2) permodalan; dan (3) bahan baku. 2) Pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu, menunjukkan adanya hubungan timbal balik di antara tiga tataran (makro, meso dan mikro). Penggunaan framework NIES pada pengembangan UKM untuk tiga tingkat kerangka kelembagaan secara keseluruhan menunjukkan adanya (1) regulasi, (2) peran koperasi dan asosiasi, dan (3) kendala/permasalahan internal dalam mendukung tercapainya daya saing UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu. Hubungan timbal balik ini berupa hubungan sinergis pada tiga tingkat kerangka kelembagaan berbasis daya saing, yaitu:
Pertama, hubungan secara top-down (makro ke meso dan mikro) yang timbul dari kebutuhan terhadap aturan yang jelas, yang memberikan kesempatan dan kepastian usaha bagi UKM untuk dapat menjalankan usahanya,
mengakses
sumber
daya
produktif
dan
mendapatkan
perlindungan usaha dari persaingan yang tidak sehat. Aturan yang jelas juga dapat mendorong terbentuknya usaha bersama/kolektif yang memungkinkan tercapainya skala usaha dan efisiensi usaha yang lebih tinggi di antara UKM, yang difasilitasi melalui koperasi atau asosiasi.
Kedua, hubungan secara bottom up (dari mikro ke meso ke makro), dimana aspirasi UKM yang disalurkan melalui koperasi dan asosiasi menjadi masukan bagi kebijakan di tingkat makro yang dibutuhkan untuk penguatan kelembagaan (insitutional strengthening) dan kapasitas UKM. Berkembangnya UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang
208
di Indramayu dengan ciri khas masing-masing produk kerupuk ikan dan udang, juga dapat mempengaruhi pengembangan struktur kebijakan dan pembinaan yang perlu disediakan untuk mendukung pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu. Hubungan timbal balik di antara tiga tataran (makro, meso, dan mikro) pada UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu sudah berjalan, meskipun masih perlu dioptimalkan. 3) Kebijakan pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu yaitu meningkatkan kapasitas UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu yang berdaya saing didukung oleh kebijakan yang tepat oleh pemerintah pusat dan daerah, melalui strategi sbb: (1) Pembentukan Sekretariat/Tim Pokja Pengembangan UKM yang juga mengatur tupoksi masing-masing bidang. (2) Penetapan mekanisme penyerapan aspirasi masyarakat. (3) Peningkatan peran koperasi dan asosiasi sebagai fasilitator bagi kepentingan UKM di tataran mikro. (4) Peningkatan kualitas SDM. (5) Pemenuhan modal usaha. (6) Pemenuhan bahan baku.
8.2
Saran Saran yang perlu dilakukan untuk pengembangan UKM sentra industri
pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu adalah: 1) Permasalahan yang terjadi pada UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu dapat diselesaikan melalui:
Koordinasi intensif antara pemerintah pusat dan daerah serta keterlibatan koperasi, asosiasi, dan pelaku usaha/UKM dalam membuat program dan kegiatan pengembangan UKM untuk mendukung daya saing UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu.
209
Peningkatan peran koperasi dan asosiasi yang lebih pro aktif dan dinamis mengikuti perkembangan terkini untuk mendukung daya saing UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu.
Kebijakan makro dari pemerintah yang diperlukan UKM antara lain tentang kredit bersubsidi, program pelatihan (dalam keahlian teknis dan kewiraswastaan), pembinaan/penyuluhan, bantuan pemasaran, pengadaan infrastruktur, dan lain-lain sehingga dapat meningkatkan daya saing UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu.
2) Diperlukan hubungan timbal balik yang bersinergi pada tiga tingkat kerangka kelembagaan, mencakup :
Penyusunan regulasi tentang peningkatan kualitas SDM, pemenuhan modal usaha, dan ketersediaan bahan baku bagi UKM melalui koperasi dan asosiasi atau kelembagaan yang direkomendasikan.
Peningkatan peran koperasi dan asosiasi melalui peningkatan SDM koperasi/asosiasi, penyempurnaan ADRT yang lebih bermanfaat, membuat mekanisme koperasi/asosiasi lebih jelas dan sistematis.
Penyelesaian kendala internal melalui perbaikan kinerja/kapasitas UKM yang utamanya dalam peningkatan kualitas SDM, pemenuhan modal usaha, dan ketersediaan bahan baku.
3) Dalam rangka implementasi strategi pengembangan UKM untuk mencapai tujuan yang diharapkan, diperlukan:
Peran perguruan tinggi yang berada di luar sistem, namun berkaitan dengan institusional arrangement. Perannya dapat dilibatkan dengan mendampingi tataran meso (koperasi dan asosiasi) dan tataran mikro (pelaku usaha/ UKM) dalam pengawalan penyusunan program, kegiatan, dan anggaran dari mulai persiapan, pembahasan sampai dengan tersusunnya konsep DIPA.
Peningkatan kerja sama lembaga pembiayaan/keuangan dengan koperasi dan asosiasi untuk penyediaan kredit/pinjaman modal usaha bagi UKM.
Penguatan sistem logistik dan transformasi dalam penyediaan bahan baku dan pendistribusian hasil produksi.
DAFTAR PUSTAKA
Aaker DA. 1989. Managing Assets and Skills: The Key to Sustainable Competitive Advantage. California Management Review. 31(2):91-106. Absah Y. 2008. Kompetensi: Sumberdaya Pendorong Keunggulan Bersaing Perusahaan. J Manajemen Bisnis 1(3):109-116. [ADB] Asean Development Bank. 2001. Best Practice in Developing Industry Cluster and Business Network. Asian Development Bank SME Development TA, Policy Paper No.8, Jakarta: Meneg Koperasi dan UKM RI. Adnan MA, Kurniasih. 2000. Analisis Tingkat Kesehatan Perusahaan Untuk Memprediksi Potensi Kebangkrutan Dengan Pendekatan Altman. J Akuntansi dan Auditing Indonesia. 4(2). Afrianto E, Liviawaty E. 2005. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Ed ke-14. Yogyakarta: Kanisius. Argyris C, Schon DA. 1989. Participatory Action Research and Action Science Compared. American Behavioural Scientist? 2(5):612-623. Avison DE, Wood-Harper AT. 1991. Conclusions from Action Research: The Multiview Experience, in Jackson MC et al. (Eds). Systems Thinking in Europe. Plenum Press. New York. Barbara K. 1995. Fundamentals of Nursing Concepts and Procedures. Adisson. California. hlm 21. Barney JB. 1991. Firm resources and sustained competitive advantage. J of Management. 17(1):99-121. Barney JB. 2007. Gaining and Sustaining Competitive Advantage. New York: Pearson Prentice Hall. Barney JB, Arikan AM. 2001. The Resource-Based View: Origin and Implication. The Blackwell Handbook of Strategic Management. hlm716. Barney JB, Clark. 2007. Resource-Based Theory: Creating and Sustaining Competitive Advantage. New York: Oxford University Press. Barton J, Stephen J, Hasslet T. 2009. Action Research: Its Foundation in Open Systems Thinking and Relationship to the Scientific Method. Systemic Practice Action Research. 22:475-488. Baskerville RL, Wood-Harper AT. 1996. A Critical Perspective on Action Research As A Method For Information Systems Research. J of Information Technology. 11:235-246. Becker GS. 1983. A Theory of Competition Among Pressure Groups for Political Influence. Quarterly Journal of Economics. 63:371-400.
212
[BI] Bank Indonesia. 2005. Peraturan Bank Indonesia No. 7/39/PBI/2005 tentang Pemberian Bantuan Teknis dalam rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Jakarta. [BI] Bank Indonesia. 2007. Usaha Kerupuk Ikan. Pola Pembiayaan Usaha Kecil Syariah (PPUK-Syariah). Jakarta. [BI] Bank Indonesia. 2009. Kerjasama Pengembangan KKMB Sektor Kelautan dan Perikanan. http://www.bi.go.id/web/id/Ruang+Media/Siaran+Pers/sp_ 112509.htm [BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Berita Resmi Statistik: Perkembangan Indikator UKM Tahun 2008. Jakarta. [BPS] Badan Pusat Statistik Jawa Barat. 2009. Jawa Barat Dalam Angka 2009. Indramayu. Brocklesby J. 1995. Using Soft Systems Methodology to Identify CompetenceRequirements in HRM. International Journal of Manpower 16, 5/6. Bromley DB. 1989. Economic Interest and Institutions: The Conceptual Foundations of Public Policy. Basil Blackwell Inc. New York. Bunch MJ. 2003. Soft Systems Methodology and The Ecosystem Approach: A System Study of The Cooum River and Environs in Chennai, India. 31(2):182-197. Burns R. 1994. Introduction to Research Methods in Education. Ed ke-2. Longman Cheshire. Melbourne. Burns A. 2005. State-of-the-Art, Action research: an evolving paradigm? Departement of Linguistic, Macquarie University, Sydney. Burrell G, Morgan G. 1979. Sociological Paradigms and Organizational Analysis. Heinemann Educational Books. London. Çatak S, Çilingir C. 2010. Performance Budgeting in Turkey. OECD Journal on Budgeting. 10(3):7-45. Chapman J. 2004. System Failure: Why governments must learn to think differently. Demos. London. Checkland P. 1981. Systems Thinking, Systems Practice. John Wiley. Chichester UK. Checkland P. 1991. From Framework through Experience to Learning: the essential nature of Action Research, in Information Systems Research: Contemporary Approaches and Emergent Traditions. Ed Nissen H-E. Elsevier. Amsterdam. Checkland P. 1999. Systems Thinking, Systems Practice: Includes a 30-year Retrospective. John Wiley. New York. Checkland P, Poulter J. 2006. Learning for Action: A Short Definitive Account of Soft System Methodology and its use for Practitioners, Teachers and Students, John Wiley and Sons, Ltd. Chichester.
213
Checkland P, Scholes. 1990. Soft Systems Methodology in Action. John Wiley & Sons Ltd. England. Chrisman, McMullan. 2004. Outsider Assistance as a Knowledge Resource for New Venture Survival. J of a Small Business Management. 42(3). Coleman WD. 1988. Business and Politics: A Study of Collective Action. McGillQueen’s University Press. Canada. Creswell JW. 2010. Rancangan Penelitian: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Kombinasi. Ed ke-3. Yogyakarta. Darwin. 2003. Model-Model Pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah. Pusat Penelitian Ekonomi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. David GH, Tammy LM. 2008. A Capability-Based View of Competitive Heterogeneity. Industrial and Corporate Change. 17(3):393-426. Deal T, Kennedy A. 1982. Corporate Culture. Reading Mass: Addison-Wesley. Denzin NK, Lincoln YS. 2000. Handbook of Qualitative Research. Ed ke-2. Sage Publications. London. [Deperin] Departemen Perindustrian. 2007. Peraturan Menteri Perindustrian No.78/ M-IND/PER/9/2007 tentang Peningkatan Efektifitas Pengembangan Industri Kecil dan Menengah melalui Pendekatan Satu Desa Satu Produk (One Village One Product-OVOP) di Sentra. Jakarta. [Depkeu] Departemen Keuangan. 2005. Peraturan Menteri Keuangan RI No. 12/ PMK.06/2005. Jakarta. Dick B. 1993. You Want to Do An Action Research Thesis?. www.scu.edu.au/ schools/gcm/ar/art/arthesis.html [Diskanlut] Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu. 2010. Produksi Perikanan Kabupaten Indramayu. Kabupaten Indramayu. Provinsi Jawa Barat. [Diskanlut] Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu. 2011. Produksi Perikanan Kabupaten Indramayu. Kabupaten Indramayu. Provinsi Jawa Barat. [Diskanlut] Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat. 2012. Produksi Perikanan Jawa Barat. Provinsi Jawa Barat. Djamhari C. 2006. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Sentra UKM Menjadi Klaster Dinamis. Jakarta: Kemeneg Koperasi dan UKM. Buletin Infokop. 22(29). [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2006. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.18/MEN/2006 tentang Kriteria Penentuan Skala Usaha Pengolahan Hasil Perikanan. Jakarta. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2008. Peranan UKM Dalam Sektor Perikanan. Pusat Data Statistik dan Informasi, Sekretariat Jenderal. Jakarta: DKP.
214
Eriyatno. 2003. Ilmu Sistem: Meningkatkan Mutu dan Efektifitas Manajemen. Bogor: IPB Press. Eriyatno, Sofyar F. 2007. Riset kebijakan: metode penelitian untuk Fl pascasarjana. Bogor: IPB Press. Fitriati R. 2012. Rekontruksi Daya Saing UMKM Industri Kreatif Berbasis Tiga Tingkat Kerangka Kelembagaan (Sebuah Aplikasi Riset Tindakan Berbasis Soft Systems Methodology). Disertasi. FISIP. Universitas Indonesia. Flood R, Jackson MC. 1991. Creative Problem Solving: Total System Intervention. Biddles Ltd, Guildford and King’s Lynn. England. Fujita, Thiesse. 2002. The Economics of Anglomeration: Cities, Industrial Location, and Regional Growth. Cambridge University Press. Cambridge. Gardiner B, Martin R, Tyler P. 2004. Competitiveness, Productivity, and Economic Growth across the European Regions. Cambridge: University of Cambridge. Granovetter M. 1985. Economic Action and Social Structure: The Problem of Embeddedness. American Journal of Sociology. 91(11):481-510. Granovetter M. 2005. Business Groups and Social Organization, in Neil J. Smelser and Richard Swedberg, Ed 2005. Handbook of Economic Sociology. Russel Sage Foundation: Princeton University Press. Hadi H. 2004. Ekonomi Internasional, Teori dan Kebijakan Perdagangan Internasional. Buku I. Ed Revisi. Ghalia Indonesia. Jakarta Hajime K. 2003. Strengthening Capacity of SME Clusters: Master Concept and Strategy for SME Cluster Development from Lessons Learnt. JICA Study Team. Haklay, M. 1999. Soft Systems Methodology Analysis for Scoping in Environmental Impact Statement in Israel. CASA University College London. http://www.casa.ucl.ac.uk/publications/workingPaperDetail/asp?Id= 13 Halwani H. 2005. Ekonomi Internasional & Globalisasi Ekonomi. Ed ke-2. Ghalia Indonesia. Bogor. Hardjosoekarto S. 2012. Soft Systems Methodology (Metode Serba Sistem Lunak). UI Press-Lab Sosio Pusat Kajian Sosiologi. Jakarta. Hari LSB, Huseini M. 2009. Pengantar Teori Organisasi: Suatu Pendekatan Makro. Jakarta: Departemen Ilmu Administrasi, FISIP UI. hlm 120. Hatch CR. 2000. Overcoming the Limitations of Size: Network strategies for SME in Asia. New Jersey Institute of Technology. Hoesada J. 2008. Corporate Social Responsibilty & Sustainability Reporting. Seminar IAI goest to campus. Bandung. Hofe RV, Chen K. 2006. Whither or Not Industrial Cluster: Conclusions Or Confusions? The Industrial Geographer. Issue 1. 4:2-28
215
Holwell S. 2000. Soft systems methodology: Other voices. Systemic Practice and Action Research. 13(6):773-797. Hooley JM, Hiller JB. 2000. Expressed emotion and the pathogenesis of relapse in schizophrenia. J of Abnormal Psychology. Huseini M, Lubis H. Teori Organisasi (Suatu Pendekatan Makro). PAU IlmuIlmu Sosial-Universitas Indonesia. Ilyas. 1979. Memperkembangkan Metode Pengolahan Tradisional Hasil Perikanan Indonesia. Lokakarya Teknologi Pengolahan Ikan Secara Tradisional. LPTP Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Deptan. Jakarta. Imawan R. 2002. Peningkatan Daya Saing: Pendekatan Paradigmatik Politis. J Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. 6 (I): 79-104. Instruksi Presiden No. 10 Tahun 1999 tentang Pemberdayaan Usaha Menengah. Jakarta. Jackson MC. 2001. Critical Systems Thinking and Practice. European Journal of Operational Research. 128:233-244. Jackson MC. 2003. Systems Thinking: Creative Holism for Managers. John Wiley & Sons Ltd. England. Jeppensen SL. 2009. Sustainable Transport Planning A Multi Methodology Approach to Decision Making, PhD Dissertation. Department of Transport Technical University of Denmark. Johnson KG. 1991. Thinking Creātically: A Systematic, Interdisciplinary Approach to Creative. Englewood. Institute of General Semantics. NJ. [Kemenkeu] Kementerian Keuangan RI. 2012. UMKM Berpotensi Meningkatkan Pendapatan Negara. http://www.depkeu.go.id/ind/Read/?type=ixDaerah&id= 24714&thn=2012&name=br_190912_6.htm. [Kemeneg Kop & UKM] Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia. 2003. Surat Keputusan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia Nomor 33.1/Kep/M.KUKM/IV/ 2003. Jakarta. [Kemeneg Kop & UKM] Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia. 2004. Peranan dan Strategi UKM dalam Ekonomi Indonesia. Jakarta [Kemeneg Kop & UKM] Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia. 2005. Surat Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah No: 23/Per/M.KUKM/XI/2005 tentang Pedoman Penumbuhan dan Pengembangan Sentra Usaha Kecil dan Menengah. Jakarta. [Kemeneg Kop & UKM] Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia. 2012. Peran Koperasi UKM agar Ditingkatkan. Jakarta.
216
[Kemeneg Kop & UKM] Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia. 2012. Kebangkitan Koperasi dan UMKM Menuju Kesejahteraan Rakyat. Laporan Kinerja Tahun 2011. Jakarta. Kemmis S. 1988. Action Research in J.P. Keeves (ed). Educational Research, Methodology and Measurement: An International Handbook. Pergamon Press. Oxford. Kieso DE, Weygandt JJ, Warfield TD. 2002. Akuntansi Intermediete. Ed ke-10. Terjemahan: Emil Salim. Jilid 1. Penerbit Erlangga. Jakarta Kompas edisi 12 Juli 2012. Kotelnikov D. 2007. Small and Medium Enterprises and ICT. Asia-Pacific Development Information Programme. E-Primers for the Information Economics, Society, and Polity. Kurniasih S. 2001. Pengaruh Modal Kerja dan Pemasaran Terhadap Laba. Petani Bunga di Desa Cihideung Kab Bandung. Bandung. hlm 43. Kurniawan T. 2010. Iklim Kondusif Bagi Pembangunan Daerah. Program Pasca Sarjana DIA, FISIP UI. Jakarta. Lawrence PR, Lorsch JW. 1967. Organization and Environment: Managing Differentiation and Integration. Harvard University. Boston. hlm 23. Lee GK. 2008. Relevance of Organizational Capabilities and Its Dynamics: What to Learn from Entrants Product Portfolios about the Determinants of Entry Timing. Strategic Manajemen J. 29(12):1257-1280. Levin J, Tadelis S. 2002. A Theory of Partnerships, Stanford Law and Economics Olin Working Paper. No. 244 : Social Science Electronic Publishing. Inc. Lipton. 2004. In Defence of Neo-Classical Neo-Populism.. J of Agrarian Change. 4(3):361-386. Lockett A, Thomson S, Morgenstern U. 2009. The Development of the ResourceBased View: A Critical Appraisal. International J of Management Reviews. Lubis SB, Huseini M. 2009. Pengantar Teori Organisasi: Suatu Pendekatan Makro. FISIP UI. Jakarta Luckett S, S Ngubane, B Memela. 2001. Desigining A Management System for Rural Community Development Organization Using A Systemic Action Research Process. J of Systemic Practice and Action Research. 14(4):517542. Maani KE, Cavana RY. 2004. System Thinking, System Dynamics: Managing Change and Complexity. Pearson Education. New Zealand. Makhija M. 2003. Comapring the resource-Based and Market Based Views of the Firm: Empirical Evidence From Czech Privatization. Strategic Management J. 24:433-451 DOI:10.1002/smj.304.www. interscience. wiley.com Man TWY, Chan KF. 2002. The competitiveness of small and medium enterprices: A conceptualization with focus on entrepreneurial competencies. J of Business Venturin. 17:123-142.
217
Martin E, Winarno B, Purnomo H, Wijayanto N. 2008. Penatakelolaan Kawasan Hutan Rawan Konflik Melalui Pendekatan Metodologi Sistem Lunak: Kasus Hutan Penelitian Benakat, Sumatera Selatan. J Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan. 5(3):179-202. Martin J, Fieldman M, Hatch MJ, Sitkin SB. 1983. The Unique Patradox in Organizational Stories. Administrative Science Quarterly. 28:438-453. Mattingly JE, Harrast SA, Olsen L. 2009. Governance Implications of The Effects Of Stakeholder Management On Financial Reporting. Corporate Governance. 9(3):271-282. Maqsood T, Finegan AD, Walker DH. 2001. Five Case Studies Applying Soft Systems Methodology To Knowledge Management. In Conference's Name Unknown .http://eprints.qut.edu.au/27456/. McKay J, Marshall P. 2001. The Dual Imperatives of action research. Information Technology and People. 14:46-59. McFetridge DG. 1995. Competitiveness: Concepts and Measures. Industry Canada. Occasional Paper 5(4). Meso P, Smith R. 2000. A Resources-Based View of Organizational Knowledge Management Systems. J of Knowledge Management. 4(3):224-231. Miller D. 1983. The correlates of entrepreneurship in three types of firms. Management Science. 29 (7):770-791. Mingers J. 2000. An Idea Ahead of Its Time: The History and Development of Soft Systems Methodology. 13(16):733-751. Muafi. 2008. Pengaruh Derajat Kesesuaian Orientasi Strategi, Lingkungan Eksternal, Struktur Saluran Ekspor, Budaya Organisasi dan Kinerja Ekspor. J Manajemen dan Kewirausahaan. 10(2):153-162. Nawawi H. 2000. Manajemen Stratejik Organisasi Non Profit Bidang Pemerintahan (dengan ilustrasi Bidang Pendidikan). Gajah Mada. Yogyakarta. hlm 358. Nidumolu UB, CAJM de Bie, H van Keulen, AK Skidmore, K Harmsen. 2006. Review of land use planning programme through the soft systems methodology. Land Use Policy. 23:187-203. Niswonger CR, Warren CS, Reeve JM, Fees PE. 1999. Prinsip-Prinsip Akuntansi. Ed 19. Alih bahasa: Sirait A, Gunawan H. Penerbit Erlangga. Jakarta. Nee V. 2003. The New Institutionalism in Economics and Sociology. Center of Study Economy and Society. 4(11). Nee V. 2005. The New Institutioinalism in Economic and Sociology dalam “The Handbook of Economic Sociology, h.49-74”. Princenton University Press: New York. North DC. 1990. Institution, Institutional Change, and Economic Performance. Cambridge University Press. Cambridge.
218
Notoatmodjo S. 2003. Pengembangan Sumber Daya Manusia. Rineka Cipta. Jakarta. O’Brien R. 1998. An Overview of the Methodological Approach of Action Research. http://www.web.ca/ ~robrien/papers/arfinal.html. Osborne D, Gaebler T. 1993. Reinventing Government: How the Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sector. Penguin. New York. Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor Per-05/MBU/2007 tentang PKBL. Jakarta. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Jakarta. Peters M, Robinson V. 1984. The Origins and Status of Action Research. The J of Applied Behavioral Science. 20(2):113-124. Pinnington E, Lerner J, Herna´ndez-Ca´novas S, Tgurensky D. 2009. Participatory Budgeting in North America: The Case of Guelph. J of Public Budgeting, Accounting and Financial Management. Canada. 21(3):454-483. Porter ME. 1980. Competitive Strategy. The Free Press. New York. Porter ME. 1990. The Competitive Advantage of Nations. Free Press. New York. Porter ME. 1994. Keunggulan Bersaing: Menciptakan dan Mempertahankan Kinerja Unggul (Competitive Advantage). Binarupa. Aksara Porter ME. 2001. Regions and The New Economics of Competitiveness. In Scott, A.J. (ed.) Global City Regions. Oxford University Press. Oxford. hlm 139157. Prahalad CK, Hamel G. 1990. The Core Competence of the Corporation. Harvard Business Review. hlm 79-91. Puradinata DS. 2012. Pembelajaran Interorganisasional dan Penciptaan Pengetahuan dalam Pengembangan Bioethanol di Indonesia (Sebuah Pendekatan Soft Systems Methodology di PT. Medco Ethanol Lampung). Disertasi. FISIP. Universitas Indonesia. Purwadarminta WJS. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta. hlm 1040. Rahman H. 2006. Kerangka Dasar Pembentukan Kebijakan UKM Indonesia: Sebuah Pemikiran Strategis. J Business & Manajemen. 2 (1). Riyadi IB. 2001. Perijinan dan Sertifikat Industri Kecil dan Menengah. Yogyakarta. Robbins SP. 2006. Perilaku Organisasi. Alih Bahasa: Drs. Benjamin Molan. Ed Bahasa Indonesia. PT. Intan Sejati. Klaten. Rose G. 1982. Deciphering Social Research. Macmillan. London. Roquebert JA, Phillips RL, Westfall PA. 1996. Markets Versus Management: What Drives Profitability? Strategic Management J. 17:653-664.
219
Ruky AS. 2003. Sumber Daya Manusia Berkualitas (Mengubah Visi Menjadi Realitas). Penerbit PT. Gramedia Pustaka Umum. Jakarta. hlm 57. Saraswati. 1986. Membuat Kerupuk Udang. Bhratara Karya Aksara. Jakarta. Sawir A. 2005. Analisis Kinerja Keuangan dan Perencanaan Keuangan Perusahaan. PT Gramedia Pustaka. Jakarta. Saydam G. 2005. Manajemen Sumber Daya Manusia (Human Resource) Suatu Pendekatan Mikro. Djambatan. Jakarta. Skousen KF, Smith JM. 2004. Akuntansi Intermediate. Ed ke-9. Terjemahan: Penerbit Erlangga. Jakarta. Sitio A, Tamba H. 2001. Koperasi teori dan praktik. Jakarta: Erlangga. Scott WR. 1995. Symbols and Organization: From Barnard to the Institutionalists. New York: Oxford University Press. hlm 44. Soekanto S. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta. hlm.243. Sofjan A. 2008. Manajemen Produksi dan Operasi. Edisi Revisi. Penerbit. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. CV Alfa Beta. Bandung. Sukirno MS. 2006. Pengembangan Teknologi dalam Upaya Peningkatan Produksi dan Kualitas Kerupuk Udang di Kabupaten Indramayu Jawa Barat. Seminar Sewindu Iptekda LIPI. hlm 154-170. Sumiharjo T. 2008. Daya Saing Berbasis Potensi Daerah. Pudkomedia. Bandung. Supraptini N. 2011. Orientasi Pasar Bagi Pengembangan Usaha Kecil Menengah. J Ilmiah Inkoma. 22(1). Surminah I, Pabeta AT, Soedibyo, Sutikno. 2007. Studi Kemitraan Lembaga Litbang untuk Mendorong Penerapan IPTEK. LIPI Press. Jakarta. Susman GI, Evered RD. 1978. An assessment of the scientific merits of action research. Administrative Science Quarterly. 23:582-603. Tambunan TTH. 2001. Perekonomian Indonesia Teori dan Temuan Empiris. Ghalia Indonesia. Jakarta. Tambunan TTH. 2002. Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia: Beberapa Isu Penting. Jakarta. Penerbit Salemba Empat. Tambunan TTH. 2005. Promoting SMEs: Enterprises with a Clustering Approach: A Policy Experience form Indonesia. J of Small Business and Management. 42(3):332-344. Tambunan TTH. 2006. Development of Small & Medium Enterprises in Indonesia from the Asia-Pacific Perspective. Jakarta: LPFE-Usakti. Tambunan TTH. 2007. Entrepreneurship Development in Developing Countries, New Delhi: Academic Excellence.
220
Tambunan TTH. 2008a. SME Development in Indonesia with Reference to Networking, Innovativeness, Market Expansion and Government Policy dalam Hank Lim (ed.). Asian SMEs and Globalization. ERIA Research Project Report 2007. ERIA. Bangkok. 5(3). Tambunan TTH. 2008b. Ukuran Daya Saing Koperasi dan UMKM. Backround Study RPJM Nasional Tahun 2010-2014 Bidang Pemberdayaan Koperasi dan UKM, Bappenas. Jakarta. http://www.kadin-indonesia.or.id/enm/ images/dokumen/KADIN-98-3000-21072008.pdf diakses 15 Mei 2013. Taufiq M. 2004. Proyeksi Sentra Menjadi Klaster. J Infokop. Jakarta. 25(XX). Thoha M. 2002. Perilaku Organisasi, Konsep Dasar dan Aplikasinya. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Uchiyama K. 1999. Reinterpreting Soft Systems Methodology (SSM): Introducing Actuality into The Field of Management and Information Systems Studies. Submitted in fulfilment of the requirements for award of the degree of Doctor of Philosophy. London School of Economics and Political Science. Uchiyama K. 2009. A Concise Theoritical Grounding of Action Research: Based on Checkland’s Soft Systems Methodology and Kimura’s Phenomenological Psiciatry. Institute of Business of Daito Bunka University, Japan. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 22 tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah. Jakarta. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 25 tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Jakarta. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Jakarta. [UNIDO] United Nations of Industrial Development Organization. 2001. Cluster Diagnosis in Kuningan Fried Onion Cluster. UNIDO. Jakarta. Verhess, Meulenberg. 2004. Market Orientation, Innovativeness, Product Innovation, and Performance in Small Firms. J of Small Business Management. 42(2). Wernerfelt B. 1984. A Resource-Based View of the Firm. Strategic Management J. 5:171-180. Werther WB, Davis K. 1996. Human Resources and Personel Management. McGraw Hill Inc. New York. Widjajani, Yudoko G. 2008. Keunggulan Kompetitif Industri Kecil di Klaster Industri Kecil Tradisional dengan Pendekatan Berbasis Sumber Daya: Studi Kasus Pengusaha Industri Kecil Logam Kiara Condong, Bandung. J Teknik Industri 10(1):50-64. Williams B. 2005. Soft systems methodology. The Kellogg Foundation. users. actrix.co.nz/bobwill/ssm. Williamson OE. 1994. Transaction Cost Economics and Organization Theory. The Handbook of Economic Sociology. Edited by Neil Smelser and Richard Swedberg. Russell Sage Foundation. New York. hlm 77-107.
221
Williamson O.E. 1996. The Mechanism of Governance. Oxford University Press. New York, USA. World Bank. 2001. Small and Medium Enterprise Development. Zubber-Skerritt O. 1991. New Direction in Action Research. The Falmer Press. London-Washington DC.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Peta lokasi Desa Kenanga, Kecamatan Sindang, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat
230 Lampiran 2 Keragaan UKM sentra pengolahan kerupuk ikan dan udang di Desa Kenanga, Kec. Sindang, Kab. Indramayu NO NAMA PENGOLAH 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34
2 H. Saein H. Wakyan H. Daspan H. Murtasim H. Muhammad Kharir H. Kasan Basari H. Carkendi H. Abdul Ajid Sunarto H. Thoyib A. Aziz H. Ahmad H. Dakim Nasuha Abdullah Kolinih/Wahyu Edy Mulyadi Casipan Sidik Sunara Siti Rohilah H. Yusuf H. Yatno Warsid Lili Solihin Warsan Mujahidin Sumitro Esih Darmo H. Nasihin Suwara Warno Takinih Kunadi
MEREK PRODUK 3 2 Gajah Indrasari Padi Kapas Kelapa Gading 2 Gajah Putra Candramawa Dua Mawar Bunga Turangga Sri Tanjung Guci Emas Kijang Bunga Sari Pandansari Dua Jempol Tiga Kunci Nuri Rantai Mas Kresna Jambal Thomas Cup Perahu Kencana Rajawali Dua Udang Menara Dua Kelinci Daun Jangkar Kresna Laba-Laba Kereta Kencana Bintang Sembilan Bunga Manggis Dua Naga Kupu-Kupu Bunga Cempaka
ASET (Rp) 4 3 Milyar 3 Milyar 3 Milyar 3 Milyar 3 Milyar 3 Milyar 3 Milyar 3 Milyar 1 Milyar 1 Milyar 1 Milyar 1 Milyar 700 Juta 700 Juta 500 Juta 500 Juta 500 Juta 500 Juta 500 Juta 500 Juta 500 Juta 500 Juta 500 Juta 500 Juta 500 Juta 500 Juta 500 Juta 500 Juta 500 Juta 500 Juta 500 Juta 500 Juta 500 Juta 500 Juta
PRODUKSI (Ton/Bulan) 5 65-75 60-75 65-75 60-70 60-70 60-70 60-70 60-70 45-50 40-50 45-50 40-50 20-30 25-30 15-25 15-20 15-20 15-20 15-20 15-20 15-20 15-20 15-20 15-20 15-20 15-20 15-20 15-20 15-20 15-20 15-20 15-20 15-20 15-20
JUMLAH (Ton per Bulan)
1005-1240
RATA-RATA PRODUKSI (Ton per Hari)
40-50
Sumber : Data primer (2011)
OMSET (per Bulan) 6 1 Milyar 1 Milyar 1 Milyar 1 Milyar 1 Milyar 1 Milyar 1 Milyar 1 Milyar 800 Juta 800 Juta 800 Juta 800 Juta 500 Juta 500 Juta 500 Juta 300 Juta 300 Juta 300 Juta 300 Juta 300 Juta 300 Juta 300 Juta 300 Juta 300 Juta 300 Juta 300 Juta 300 Juta 300 Juta 300 Juta 300 Juta 300 Juta 300 Juta 300 Juta 300 Juta
TENAGA KERJA (Orang) 7 125 120 120 90 85 80 95 85 48 40 45 40 35 30 27 25 33 35 25 30 27 25 30 34 32 25 25 30 25 26 25 30 25 25 1597
STATUS HUKUM DAN PERIJINAN 8 Berbadan hukum dan mempunyai ijin Berbadan hukum dan mempunyai ijin Berbadan hukum dan mempunyai ijin Berbadan hukum dan mempunyai ijin Berbadan hukum dan mempunyai ijin Berbadan hukum dan mempunyai ijin Berbadan hukum dan mempunyai ijin Berbadan hukum dan mempunyai ijin Berbadan hukum dan mempunyai ijin Berbadan hukum dan mempunyai ijin Berbadan hukum dan mempunyai ijin Berbadan hukum dan mempunyai ijin Berbadan hukum dan mempunyai ijin Berbadan hukum dan mempunyai ijin Berbadan hukum dan mempunyai ijin Berbadan hukum dan mempunyai ijin Berbadan hukum dan mempunyai ijin Berbadan hukum dan mempunyai ijin Berbadan hukum dan mempunyai ijin Berbadan hukum dan mempunyai ijin Berbadan hukum dan mempunyai ijin Berbadan hukum dan mempunyai ijin Berbadan hukum dan mempunyai ijin Berbadan hukum dan mempunyai ijin Berbadan hukum dan mempunyai ijin Berbadan hukum dan mempunyai ijin Berbadan hukum dan mempunyai ijin Berbadan hukum dan mempunyai ijin Berbadan hukum dan mempunyai ijin Berbadan hukum dan mempunyai ijin Berbadan hukum dan mempunyai ijin Berbadan hukum dan mempunyai ijin Berbadan hukum dan mempunyai ijin Berbadan hukum dan mempunyai ijin
PENERAPAN TEKNOLOGI 9 Semi mekanik Semi mekanik Semi mekanik Semi mekanik Semi mekanik Semi mekanik Semi mekanik Semi mekanik Semi mekanik Semi mekanik Semi mekanik Semi mekanik Semi mekanik Semi mekanik Semi mekanik Semi mekanik Semi mekanik Semi mekanik Semi mekanik Semi mekanik Semi mekanik Semi mekanik Semi mekanik Semi mekanik Semi mekanik Semi mekanik Semi mekanik Semi mekanik Semi mekanik Semi mekanik Semi mekanik Semi mekanik Semi mekanik Semi mekanik
TEKNIS DAN MANAJERIAL 10 Belum memiliki SKP Belum memiliki SKP Belum memiliki SKP Belum memiliki SKP Belum memiliki SKP Belum memiliki SKP Belum memiliki SKP Belum memiliki SKP Belum memiliki SKP Belum memiliki SKP Belum memiliki SKP Belum memiliki SKP Belum memiliki SKP Belum memiliki SKP Belum memiliki SKP Belum memiliki SKP Belum memiliki SKP Belum memiliki SKP Belum memiliki SKP Belum memiliki SKP Belum memiliki SKP Belum memiliki SKP Belum memiliki SKP Belum memiliki SKP Belum memiliki SKP Belum memiliki SKP Belum memiliki SKP Belum memiliki SKP Belum memiliki SKP Belum memiliki SKP Belum memiliki SKP Belum memiliki SKP Belum memiliki SKP Belum memiliki SKP
SKALA USAHA 11 Menengah Menengah Menengah Menengah Menengah Menengah Menengah Menengah Kecil Kecil Kecil Kecil Kecil Kecil Kecil Kecil Kecil Kecil Kecil Kecil Kecil Kecil Kecil Kecil Kecil Kecil Kecil Kecil Kecil Kecil Kecil Kecil Kecil Kecil
REKAPAN DATA PENGOLAH KERUPUK IKAN DAN UDANG KECAMATAN SINDANG, INDRAMAYU JAWA BARAT TAHUN 2011 NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34
NAMA PENGOLAH H. SAEIN H. WAKYAN H. DASPAN H. MURTASIM H. MUHAMMAD KHARIR H. KASAN BASARI H. CARKENDI H. ABDUL AJID SUNARTO H. THOYIB A. AZIZ H. AHMAD H. DAKIM NASUHA ABDULLAH KOLINIH/WAHYU EDY MULYADI CASIPAN SIDIK SUNARA SITI ROHILAH H. YUSUF H. YATNO WARSID LILI SOLIHIN WARSAN MUJAHIDIN SUMITRO ESIH DARMO H. NASIHIN SUWARA WARNO ( Alm) TAKINIH KUNADI
ALAMAT LENGKAP
JENIS OLAHAN
Ds.Kenanga Kec.Sindang Ds.Kenanga Kec.Sindang Ds.Kenanga Kec.Sindang Ds.Kenanga Kec.Sindang Ds.Kenanga Kec.Sindang Ds.Kenanga Kec.Sindang Ds.Kenanga Kec.Sindang Ds.Kenanga Kec.Sindang Ds.Kenanga Kec.Sindang Ds.Kenanga Kec.Sindang Ds.Kenanga Kec.Sindang Ds.Kenanga Kec.Sindang Ds.Kenanga Kec.Sindang Ds.Kenanga Kec.Sindang Ds.Kenanga Kec.Sindang Ds.Kenanga Kec.Sindang Ds.Kenanga Kec.Sindang Ds.Kenanga Kec.Sindang Ds.Kenanga Kec.Sindang Ds.Kenanga Kec.Sindang Ds.Kenanga Kec.Sindang Ds.Kenanga Kec.Sindang Ds.Kenanga Kec.Sindang Ds.Kenanga Kec.Sindang Ds.Kenanga Kec.Sindang Ds.Kenanga Kec.Sindang Ds.Kenanga Kec.Sindang Ds.Kenanga Kec.Sindang Ds.Kenanga Kec.Sindang Ds.Kenanga Kec.Sindang Ds.Kenanga Kec.Sindang Ds.Kenanga Kec.Sindang Ds.Kenanga Kec.Sindang Ds.Kenanga Kec.Sindang Kab.Indramayu
Krupuk Ikan&Udang Krupuk Ikan&Udang Krupuk Ikan&Udang Krupuk Ikan&Udang Krupuk Ikan&Udang Krupuk Ikan, udang Krupuk Ikan&Udang Krupuk Ikan&Udang Krupuk Ikan&Udang Krupuk Ikan&Udang Krupuk Ikan&Udang Krupuk Ikan&Udang Krupuk Ikan&Udang Krupuk Ikan&Udang Krupuk Ikan&Udang Krupuk Ikan&Udang Krupuk Ikan&Udang Krupuk Ikan&Udang Krupuk Ikan&Udang Krupuk Ikan&Udang Krupuk Ikan&Udang Krupuk Ikan&Udang Krupuk Ikan&Udang Krupuk Ikan&Udang Krupuk Ikan&Udang Krupuk Ikan&Udang Krupuk Ikan&Udang Krupuk Ikan&Udang Krupuk Ikan&Udang Krupuk Ikan&Udang Krupuk Ikan&Udang Krupuk Ikan&Udang Krupuk Ikan&Udang Krupuk Ikan&Udang
JUMLAH
MEREK PRODUKSI 2 Gajah Indrasari Padi Kapas Kelapa Gading 2 Gajah Putra Candramawa Dua Mawar Bunga Turangga Sri Tanjung Guci Emas Kijang Bunga Sari Pandansari Dua Jempol Tiga Kunci Nuri Rantai Mas Kresna Jambal Thomas Cup Perahu Kencana Rajawali Dua Udang Menara Dua Kelinci Daun Jangkar Kresna Laba-Laba Kereta Kencana Bintang Sembilan Bunga Manggis Dua Naga Kupu-Kupu Bunga Cempaka
BAHAN BAKU Tepung Tapioka Tepung Tapioka Tepung Tapioka Tepung Tapioka Tepung Tapioka Tepung Tapioka Tepung Tapioka Tepung Tapioka Tepung Tapioka Tepung Tapioka Tepung Tapioka Tepung Tapioka Tepung Tapioka Tepung Tapioka Tepung Tapioka Tepung Tapioka Tepung Tapioka Tepung Tapioka Tepung Tapioka Tepung Tapioka Tepung Tapioka Tepung Tapioka Tepung Tapioka Tepung Tapioka Tepung Tapioka Tepung Tapioka Tepung Tapioka Tepung Tapioka Tepung Tapioka Tepung Tapioka Tepung Tapioka Tepung Tapioka Tepung Tapioka Tepung Tapioka Ikan Remang
ASAL BAHAN BAKU Ciamis, Lampung, Pati, Banjar Ciamis, Lampung, Pati, Banjar Ciamis, Lampung, Banjar Ciamis, Lampung, Pati, Banjar Ciamis, Lampung, Pati Ciamis, Lampung, Banjar Ciamis, Lampung, Pati Ciamis, Lampung, Banjar Ciamis, Lampung Ciamis, Lampung Ciamis, Lampung Ciamis, Lampung Ciamis Ciamis Ciamis Ciamis Ciamis Ciamis Ciamis Ciamis Ciamis Ciamis Ciamis Ciamis Ciamis Ciamis Ciamis Ciamis Ciamis Ciamis Ciamis Ciamis Ciamis Ciamis Indramayu
PRODUKSI (Ton/Bln) 65-75 60-75 65-75 60-70 60-70 60-70 60-70 60-70 45-50 40-50 45-50 40-50 20-30 25-30 15-25 15-20 15-20 15-20 15-20 15-20 15-20 15-20 15-20 15-20 15-20 15-20 15-20 15-20 15-20 15-20 15-20 15-20 15-20 15-20 1,125
TENAGA KERJA NILAI/ (Orang) SKALA USAHA 125 Menengah 120 Menengah 120 Menengah 90 Kecil 85 Kecil 80 Kecil 95 Kecil 85 Kecil 48 Kecil 40 Kecil 45 Kecil 40 Kecil 35 Kecil 30 Kecil 27 Kecil 25 Kecil 33 Kecil 35 Kecil 25 Kecil 30 Kecil 27 Kecil 25 Kecil 30 Kecil 34 Kecil 32 Kecil 25 Kecil 25 Kecil 30 Kecil 25 Kecil 26 Kecil 25 Kecil 30 Kecil 25 Kecil 25 Kecil 1.597
KETERANGAN Tergantung bahan baku
237
Lampiran 4 Biaya investasi pengolahan kerupuk di Indramayu Tahun 2011 NO 1 2 3 4 5
JENIS BIAYA
NILAI (Rp)
Perijinan Tanah dan bangunan Mesin/peralatan produksi Peralatan lain Mobil box
600 000 350 000 000 100 100 000 1 800 000 150 000 000
Jumlah biaya investasi
602 500 000
Lampiran 5 Biaya operasional pengolahan kerupuk di Indramayu Tahun 2011 NO 1 2 3 4 5 6 7 8
JENIS BIAYA
NILAI (Rp)
Bahan baku Bahan pembantu Peralatan operasional Biaya transportasi Biaya listrik Biaya telepon Tenaga kerja Biaya pemeliharaan
520 125 000 16 200 000 11 700 000 14 400 000 7 200 000 1 800 000 109 940 000 29 933 900
Jumlah biaya operasional per tahun
711 298 900
Lampiran 6 Perkembangan omset PT. Kelapa Gading Tahun 2005 s.d 2011 Tahun
Jumlah Produksi (Kg)
Harga (Rp/Kg)
Nilai Produksi (Rp)
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
46 000 50 000 51 000 52 000 54 000 56 000 60 000
15 000 16 000 16 000 16 000 17 000 18 000 20 000
690 000 000 800 000 000 816 000 000 840 000 000 918 000 000 1 008 000 000 1 200 000 000
239
Lampiran 7 Beberapa merek produk UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu
241
Lampiran 8 Kegiatan diskusi, FGD, dan wawancara antara peneliti, pemerintah pusat, pemerintah daerah, koperasi, asosiasi, dan pelaku usaha/UKM