Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
PENGEMBANGAN TEKNIK DIAGNOSTIK Q FEVER AGUS SETIYONO Bagian Patologi Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor Jalan Agatis, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680
ABSTRAK Serangkaian Uji telah dilakukan terhadap performan kit diagnostik enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), uji indirect immunofluorescence antibody (IFA) dan Western immunoblot assay dalam mendiagnosis Q fever akut. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa tidak ada hasil yang paralel diantara ketiga uji serologis yang digunakan. Berdasarkan hasil tersebut, diagnosis infeksi Coxiella burnetii (C. burnetii) menggunakan hanya satu uji serologis saja adalah tidak cukup. Tambahan pula, kemurnian antigen yang digunakan dalam uji turut berpengaruh terhadap hasil yang diperoleh. Kasus infeksi C. burnetii dalam serum sampel harus ditetapkan menggunakan uji imunologi yang memungkinkan secara berturutan. Perbedaan hasil diantara uji-uji serologis juga didiskusikan dalam studi ini. Kata kunci: Q fever, coxiella burnetii, ELISA, indirect immunofluorescence antibody test, western immunoblot assay
PENDAHULUAN Coxiella burnetii (C. burnetii) adalah mikroorganisme yang bersifat obligate intracelluler penyebab Q fever, zoonosis yang terjadi di hampir seluruh negara di belahan bumi. C. burnetii ditularkan ke manusia kebanyakan melalui inhalasi secara umum yang terkontaminasi dengan parturient product, urine atau feses dari hewan terinfeksi. Gambaran klinis Q fever akut pada manusia menyerupai influenza dan seringkali diikuti dengan pneumonia (BACA and PARETSKY, 1983). Infeksi C. burnetii kronis ditandai dengan endocarditis yang dapat muncul beberapa tahun setelah keterpaparan agen penyebab pertama kali (BROUQUI et al., 1983; HALDANE et al., 1983). Karakteristik unik dari kuman C. burnetii adalah memiliki variasi fase antigen. Ada dua fase antigen, fase I bersifat virulen (patogenik) yang dapat diisolasi dari hewan maupun manusia yang terinfeksi di alam maupun di laboratorium. Sedangkan fase II bersifat kurang virulen diperoleh selama dikembangbiakan secara berseri di biakan sel atau telur tertunas (STOCKER dan FISET, 1956). Secara serologis, antibodi anti-fase I ditemukan dengan titer tinggi hanya selama dalam bentuk penyakit yang kronis, sedangkan antibodi antifase II ditemukan dominan dalam penyakit Q fever akut (PEACOCK et al., 1983). Diagnosis kedua bentuk penyakit Q fever akut dan kronis secara serologis menjadi
penting mengingat memperkembang-biakan kuman sangat berbahaya, memerlukan banyak waktu dan peralatan laboratorium yang memadai (Bio-Safety Laboratory 3) (PETER et al., 1985). Uji-uji imunologi berbasis enzim telah dikembangkan untuk mendiagnosis Q fever (FIELD et al., 2000; FIELD et al., 2003), dan perbandingan diantara uji-uji tersebut juga telah dilakukan untuk mendeteksi antibodi terhadap C. burnetii didalam sera (PETER et al., 1985). Akan tetapi hingga saat ini belum ada informasi yang tersedia berkenaan dengan diagnosis Q fever menggunakan enzyme immunoassays yang diikuti dengan uji Western blot. Di dalam upaya untuk standardisasi diagnosis Q fever, studi kali ini dilakukan untuk mengevaluasi performan kit ELISA komersial, uji Western blot dan uji IFA untuk mendeteksi antibodi terhadap C. burnetii di serum manusia. BAHAN DAN METODE Sampel serum Dalam penelitian ini menggunakan 200 sampel serum tunggal dan 151 serum pair yang berasal dari Jepang. Sebagai referensi untuk kontrol digunakan serum yang diperoleh dari DR. WERNER SLENCZKA (Institut fur Virologie, Postfach 2360, 35011 Marburg, Germany), DR. BARRIE P MARMION AO (Institute of Medical and Veterinary Science, Adelaide, Australia),
323
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
dan DR. E. KOVACOVA (Institute of Virology, Slovak Academy of Sciences, Slovak Republic). Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) Kit ELISA komersial dengan target immunoglobulin (Ig)M dan IgG digunakan dalam penelitian ini. ELISA dilakukan sesuai prosedur standar pabrik pembuatnya dengan menggunakan lempeng mikrotiter bersumur-96 yang dilapisi antigen murni fase II C. burnetii. Ikatan konjugasi dideteksi menggunakan tetramethylbenzidine sebagai substrate dan perubahan warna diuji dalam microplate reader dengan panjang gelombang 450 nm. Angka indek sebagai hasil pembacaan didapatkan setelah memperbandingkan angka cut-off absorbance dengan sampel absorbance dan kemudian melipat-gandakan dengan 10. Sampel serum dinyatakan positif jika memiliki angka indek lebih dari 11, equivocal bila angka indek diantara sembilan dan 11, dan negatif jika angka indek kurang dari sembilan. Uji Indirect immunofluorescence antibody (IFA) Uji IFA dilakukan dengan metode seperti yang digambarkan oleh PETER et al., (1985). Secara singkat, 4 µl antigen fase II C . burnetii dalam PBS diteteskan diatas gelas slide multites dengan 15 sumur (ICN Biomedicals, Inc., Aurora, Ohio, USA) dan dibiarkan kering pada temperatur kamar. Gelas slide lalu difiksasi dengan aseton selama 15 menit pada temperatur kamar dan siap untuk digunakan. Sampel serum diencerkan dalam PBS dengan perbandingan 1:16 hingga 1:4096, selanjutnya 8 µl larutan serum ini dilapiskan pada antigen di gelas slide dan diinkubasi pada temperatur 37oC dengan kelembaban secukupnya selama satu jam. Setelah dicuci satu kali dengan air (distilled water), dua kali dengan PBS dan satu kali lagi dengan air, ditambahkan 8 µl antibodi fluorescence isothiocyanate-labelled antihuman IgM atau IgG dalam 0.001% larutan Evans Blue dan diinkubasi lagi selama satu jam pada temperatur 37oC. Kemudian gelas slide dicuci seperti sebelumnya, dikeringkan di udara dan mounted dalam 50% glycerol-PBS
324
(pH 8.6) sebelum ditutup dengan cover glass. Slide diuji dibawah mikroskop fluorescence (Zeiss, Axioskop 2 plus, Germany) dengan perbesaran 400 x. Nilai batas ambang uji IFA untuk mendeteksi IgG adalah 1:128, sedangkan untuk IgM adalah 1:16. Kontrol positive dan kontrol negative disertakan disetiap uji yang dilakukan. Preparasi C. burnetii Komplek membran luar (outer membrane complex-OMC) dari C. burnetii murni yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dengan metode trichloroacetic acid (TCA) (SETIYONO and OGAWA, 2003). Suspensi C. burnetii murni dalam phospate buffered saline (PBS)- 1 ml setelah ditambahkan 100 µl 10% TCA di-stir pada temperatur 4oC selama 45 menit dan kemudian pada temperatur 37oC selama dua jam. Setelah masa inkubasi tersebut selesai, suspensi segera dinetralkan dengan 100 µl 10% NaOH dan disentrifus dengan kecepatan 15.000 rpm selama 45 menit. Sedimen atau endapan yang didapat kemudian dicuci satu kali menggunakan PBS dengan sentrifugasi 10.000 rpm, 4oC selama 10 menit. Konsentrasi OMC dihitung dengan metode Bio-Rad Protein Assay (Bio Rad Lab., Hercules, CA, USA) dan OMC yang diperoleh siap digunakan untuk pengujian. Sodium dodecyl sulphate-polyacrylamide gel electrophoresis (SDS-PAGE) dan Western immunoblot assay. Untuk menganalisa antigen terlarut OMC dan untuk membantu mengevaluasi spesifisitas antibodi dalam serum dilakukan dengan Western immunoblot analisis (SETIYONO et al., 2003). Secara singkat, 10 µl OMC dengan konsentrasi 0.3 µg/µl dilarutkan dalam 2X sampel buffer (0.125 M Tris-HCl {pH 6.8}, 4% SDS {wt/vl}, 20% glycerol {wt/vl}, 1% 2mercapto ethanol, dan 0.002%{wt/vl} bromophenol blue) dengan volume sama, kemudian dipisahkan dengan pemanasan 100oC selama lima menit dan segera diaplikasikan ke 12% PAGE. Gel kemudian diwarnai dengan Coomassie briliant blue R250. Sampel protein dari gel lalu ditransfer secara elektroforesis diatas membran polyvinylidene difluoride dengan semi-dry electroblotter (Bio Craft Model BE 300, USA)
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
selama tiga jam untuk keperluan reaksi Western immunoblot. Membran selanjutnya dicuci tiga kali dengan PBS mengandung 0.05% Tween 20 (PBS-T) dan diinkubasi pada temperatur kamar dengan antibodi primerserum sampel yang diencerkan dalam PBS-T 1:1.000 selama satu jam. Kemudian membran dicuci tiga kali dengan PBS-T dan ditambahkan antibodi sekunder HRPOconjugated goat anti mouse IgG atau IgM (Bio Source International, Camarillo, CA, USA) dalam PBS-T, dan membran diinkubasi lagi selama satu jam pada temperatur kamar. Blot kemudian dikembangkan dengan larutan substrat diaminobenzidine yang berisi 0.1 M Tris-Cl (pH 7.5), 4 mg/ml 3,3diaminobenzidine tetrahydrocholide, 2 mg/ml NiCl2 dan 0.45% H2O2. Berat molekul antigen yang terdeteksi ditetapkan menggunakan standar Kaleidoscope prestained (Bio Rad Laboratorius, Inc., Hercules, CA, USA). Western imunoblot dinyatakan positif bila serum mengenal protein 27 kDa dari komplek membran luar C . burnetii. HASIL DAN PEMBAHASAN Sampel serum yang diuji dalam studi ini menunjukkan ketidak-sesuaian hasil ketika serangkaian uji untuk kemungkinan infeksi C. burnetii dilakukan menggunakan ELISA, uji IFA dan Western immunoblot. Hasil secara keseluruhan menunjukkan bahwa ELISA mendeteksi antibodi IgM dan IgG terhadap C. burnetii di sebagian besar serum sampel. Dalam studi ini jarang didapatkan titer uji IFA tinggi namun serum tidak mengenal 27 kilo dalton (kDa) protein di uji Western immunoblot. Sebaliknya bila serum mengenal 27 kDa protein pada uji Western immunoblot, kebanyakan serum reaktif (positif) pada uji IFA. Selengkapnya rangkuman data hasil penelitian pengelompokan disajikan dalam Tabel 1. Pada Tabel terlihat bahwa data kontrol positif (serum no 1 s/d 4), baik pada IgM maupun IgG yang mengenal protein 27 kDa pada uji Western immunoblot adalah positif juga pada kedua uji yang lain yaitu uji ELISA dan uji IFA.
Tabel 1 ini juga merangkum data-data yang menunjukkan ketidak-konsistenan dari kedua uji yaitu pada ELISA dan IFA. Pada uji ELISA terlihat bahwa beberapa sampel menghasilkan nilai positif palsu untuk IgM (serum Jepang no 2,3,10,11,12 dan 13) maupun positif palsu untuk IgG (serum Jepang no 4 s/d 9 dan 14). Dikatakan positif palsu karena pada uji Western immunoblot keseluruhan serum tersebut tidak mengenal protein 27 kDa baik untuk IgM maupun IgG. Demikian juga pada uji IFA, muncul nilai positif pada IgG (serum Jepang no 2) akan tetapi negatif pada uji ELISA dan Western immunoblot. Khusus untuk serum Jepang no 1, pada uji Westwrn immunoblot mengenal protein 27 kDa untuk IgM, ternyata juga positif pada uji ELISA maupun IFA. Sedangkan pada IgG tidak mengenal protein 27 kDa dan negatif juga untuk kedua uji yang lain. Hasil uji ini konsisten dengan hasil uji serologis ELISA maupun IFA. Kasus ini memberikan gambaran juga bahwa Uji Western immunoblot dapat memastikan suatu kasus masuk ke dalam kelompok kondisi akut atau kronis. Penggunaan ELISA dalam rangka uji penyaringan (screening test) untuk Q fever di manusia maupun hewan sudah merupakan suatu keniscayaan. ELISA tidak hanya sensitif, akan tetapi juga cepat dan spesifik. Bahkan otomatisasi ELISA sudah dimungkinkan untuk dilakukan di laboratorium. Namun oleh karena antigen yang digunakan dalam kit ELISA adalah sel C. burnetii yang ditumbuh-kembangkan dalam biakan jaringan, sehingga masih ada kemungkinan antigen tercampur dengan protein medium biakan, yang berdampak membuka peluang untuk munculnya hasil positif palsu. Dilain hal, IFA sebagai gold standard uji serologis untuk diagnosis Q fever, masih memerlukan klarifikasi hasil dengan data yang samasamar (equivocal) yang diperoleh dalam penelitian ini (data serum Jepang no.1). Uji Western blot dapat mengidentifikasi komponen antigen yang penting secara biologis, sehingga pendekatan uji yang sensitif ini diyakini memberikan konfirmasi hasil yang lebih dapat dipercaya.
325
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
Tabel 1. Pengelompokan data uji serologis Q fever menggunakan ELISA, IFA dan Western immunoblot Subtipe Uji
1 1
ELISA 15.1 IgM
IFA
2
32
WB
3
+
ELISA 14.7 IgG
Asal serum Spesimen klinik Jepang
Patien Confirmed Q fever 2
3
4
1*)
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
13.8
8.3
8.8
12.8
14
12.5
3.4
7.3
7.9
10.4
4.2
8.3
13.5
11.1
11.2
15.7
5.1
+
<16
<16
32
<16
<16
<16
<16
<16
<16
<16
<16
<16
<16
<16
<16 <16
+
-
-
+
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
14
15.1
14.7
9.7
4.3
5.2
15.8
13
14.8
11.9
19.4
14.1
4.1
2.7
4.5
4.6
12.2
<16 <16
IFA
128
+
128
+
<16
32
<16
<16
<16
<16
<16
<16
<16
<16
<16
<16
WB
+
+
+
+
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
*)
Diduga kasus akut Q fever Indeks ELISA (+) jika >11; (-) jika <9 ; meragukan jika antara 9 – 10 2) IFA (+) jika IgM > 1: 16 dan IgG >1: 128; IFA (-) jika IgM<1:16 dan IgG<1:128 3) Western immunoblot (+): Positive, (-): Negative dalam mengenal 27 kDa protein 1)
KESIMPULAN Terdapat hasil yang inkonsisten pada uji serologis diagnosis Q fever dengan menggunakan kit ELISA yang telah beredar di pasaran saat ini. Juga tidak cukup kuat untuk mendiagnosa Q fever jika hanya menggunakan uji serologis IFA saja atau kombinasi IFA dan ELISA saja. Pengembangan uji serologis menggunakan Western imunoblot terbukti memberikan hasil diagnosa yang lebih meyakinkan, disamping dapat memperkuat diagnosa dalam membedakan kasus tergolong bersifat akut atau kronis. Oleh karena itu diagnosa Q fever dengan uji serologis secara berturut-turut yaitu ELISA, IFA dan Western imunoblot akan memberikan hasil yang lebih meyakinkan dan akurat. DAFTAR PUSTAKA BACA, O.G., and D. PARETSKY. 1983. Q fever and Coxiella burnetii: a model for host-parasite interactions. Microbiol. Rev. 47: 127-149. BROUQUI, P., H. TISSOT DUPONT, M. DRANCOURT, Y. BERLAN, J. ETIENNE, C. LEPORT, F. GOLDSTEIN, P. MASSIP, M. MICOUD, A. BERTRAND, and D. RAOULT. 1993. Chronic Q fever: 92 cases from France including 27 cases without endocarditis. Arch. Int. Med. 153: 642-648.
326
FIELD, P.R., J.L. MITCHELL, A. SANTIAGO, D.J. DICKENSON, S.-W. CHAN, D.W.T. HO, A.M. MURPHY, A.J. CUZZUBBO, and P.L. DEVINE. 2000. Comparison of a commercial enzymelinked immunosorbent assay with immunofluorescence and complement fixation tests for detection of Coxiella burnetii (Q fever) immunoglobulin M. J. Clin. Microbiol. 38:1645-1647. FIELD, P.R., A. SANTIAGO, S.-W. CHAN, D.B. PATEL, D.J. DICKENSON, J.L. MITCHELL, P.L. DEVINE, and A.M. MURPHY. 2003. Evaluation of a Novel Commercial Enzyme-Linked Immunosorbent Assay Detecting Coxiella Burnetii-Specific Immunoglobulin G for Q Fever Prevaccination Screening and Diagnosis. J. Clin. Microbiol. 40:3526-3529. PEACOCK, M.G., R.N. PHILIP, J.C. WILLIAMS, and R.S. FAULKNER. 1983. Serological evaluation of Q fever in humans: enhanced phase I titers of immunoglobulins G and A are diagnostic for Q fever endocarditis. Infect. Immun. 41: 1089-1098 PETER, O., G. DUPUIS, W. BURGDORFER, and M. PEACOCK. 1985. Evaluation of complement fixation and indirect immunofluorescence tests in the early diagnosis of primary Q fever. Eur. J. Clin. Microbiol. 4: 394-396. STOCKER, M.G.P., and P. FISET. 1956. Phase variation of the Nine Mile and other strains of Rickettsia burnetii. Can. J. Microbiol. 2: 310321.
-
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
SETIYONO, A, and M. OGAWA. 2003. Rapid method of preparing phase II Coxiella burnetii antigen for detection of Q fever antibodies in human sera. Proceeding of the International Conference, The 12th Indonesian Scientific Meeting in Osaka University-Japan, 5-7 September 2003. pg. 195-198.
SETIYONO, A., M. OGAWA and T. KISHIMOTO. 2003. Serodiagnosis of Coxiella burnetii infection in human sera: a Concesutive assay is needed. Proceeding of the International Conference, The 12th Indonesian Scientific Meeting in Osaka University-Japan, 5-7 September 2003. pg. 258-261.
327