Q-FEVER. Suatu Tinjauan Perkembangan Teknilc Diagnostik dan Permasalahannya
INDRA DWI RASMANA
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANZAN BOGOR 2009
ABSTRACT INDRA DWI RASMANA. Q-fever: An Overview of Development of Diagnostic Technique and Its Problem. Under direction of AGUS SETIYONO. Q-fever is a zoonoses that caused by Coxiella burnetti. Q-fever case in Indonesia was rarely reported. This was happen because of lack of knowledge in Qfever diagnose. The study of the disease diagnose technique become important and useful for Q-fever controlling in the field. This research was objected to study the Qfever diagnose technique and its problem. The first serologic diagnose technique used was the serological method and aimed to identify antibody (IgG and IgM) titer to C. burnetii. Serological method that firstly used was the Capillary tube in 1969 done by Fiset et al. In 1980s complement fixation test (CFT), immunofluorescence assay ([FA), and enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) were developed. CFT was also developed for diagnose the acute or chronic Q-fever specifically. However, CFT was less sensitive and costly than ELSA and IFA (Maurin & Raoult 1999). In 1999, IFA was used by Maurin and Raoult and became reference diagnose technique for Qfever. Although the test has high specificity and sensitivity but the result of the test was subjective (Slaba et al. 2005). ELISA diagnose technique has high specificity and sensitivity and could done the screening test in large number and very simple to use because it can be done automatically (field et al. 2000). However, the test was difficult to interpreted than the IFA (Maurin & Raoult 1999). The other method is PCR. PCR is the very sensitive method in laboratory diagnose for Q-fever. The PCR that commonly use are classic PCR, First-round PCR, Nested PCR and Real Time PCR. DNA sequencing has also developed, however this method is expensive and limited in small scale (Zhang et al. 1997). Key word :Q-fever, Coxiella burnetii, diagnose technique
RINGKASAN INDRA DWI RASMANA.
Q-fever:
Suatu Tinjauan Perkembangan Teknik
Diagnostik dan Pennasalahannya. Dibimbing oleh AGUS SETIYONO. zoonosis yang disebabkan ole11 Coxiellu bz~rnetii. ICasus QQ-fever mer~~pakan fever di Indonesia jarang dilaporkan. Hal ini karena kurangnya pengetahuan dalam mendiagnosa penyakit Q-fever. Kajian teknik diagnostik penyakit ini menjadi penting dan berguna untuk pertimbangan dalam upaya pengendalian Q-fever di lapangan. Kajian ini bertujuan untuk mempelajari perkembangan teknik diagnostik Q-fever dan permasalahannya. Teknik diagnostik yang mula-mula digunakan adalah metode serologis dan bertujuan untuk melihat titer antibodi (IgG dan IgM) pada kasus infeksi C. buvzetii. Metode serologis yang pertalna digunakan adalah Capillary tube pada tahun 1969 oleh Fiset et al.. Kemudian pada tahun 1980-an CFT, IFA, dan ELISA mulai dikembangkan. CFT dikembangkan untuk diagnosis Q-fever akut atau Q-fever kronis yang lebih spesifik. Tetapi CFT memiliki rasio sensitifitas yang reudah dan menlerlukan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan ELISA dan IFA (Maurin & Raoult 1999). Pada tahun 1999 IFA digunakan oleh Maurin dan Raoult dan menjadi referensi untuk diagnostik Q-fever. Uji ini memiliki tingkat spesifitas dan sensitifitas yang tinggi tetapi hasil tes masih bersifat subjektif (Slaba et al. 2005). ELISA adalah teknik diagnostik yang memiliki spesifitas dan sensitifitas tinggi, mampu melakukan penapisan dalam jumlah besar serta praktis karena dapat dilakukan secara otomatis (field et al. 2000). Tetapi uji ini lebih sulit diinterpretasi dibandingkan dengan IFA (Maurin & Raoult 1999). Metode diagnostik lain selain metode serologis adalah PCR. PCR adalah metode yang sangat sensitif dalam diagnostik laboratorium untuk Q-fever. Jenis PCR yang biasa digunakan adalah PCR klasik, First-round PCR, nested PCR dan Real Time PCR. Pengembangan DNA sequencing juga dilakukan, tetapi penggunaan metode ini relatif mahal dan terbatas dalam skala yang kecil (Zhang et al. 1997; Masuzawa et al. 1997; Muramatsu et al. 1997). Kata kunci: Q-fever, Coxiella burnetii, teknik diagnostik.
Q-FEVER : Suatu Tinjauan Perkembangan Teknik Diagnostik dan Permasalahantlya
Indra Dwi Rasmana
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
Judul Sltripsi
: Q-Fever: Suatu Tinjanan Perkembangan Teknik
Diagnostik dan Permasalahannya Nama
: Indra Dwi Rasmana
NRP
: B04104151
Disetujui
kan Fakultas Kedokteran Hewan
Puji syukulr kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, kariunia dan hidayahNya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan sesuai dengan yang diharapkan. Skripsi ini be~:judul"Suatu Ti~ijauanPerkembangan Teknik Diagnostik dan Permasalaha~mya" yaslg snerupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Faltultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB). Skripsi ini penulis didedikasikan untuk Keluarga atas segala dukungan yang diberikan. Pada kesempatan ini penulis ingin inenyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Drh. Agus Setiyono, MS, PhD sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, saran, kritik dan motivasi kepada penulis selaina pembuatan skripsi.
2. Dr. drh. Denny Widaya Luknlan, Msi sebagai dosen pembimbing akadernik penulis selan~ainenimba illnu di IPB. 3. Drh.
Retno Wulansari, Msi., Ph.D. selaku dosen penguji yang telah
menlberikan bimbingan, kritik, dan saran kepada penulis. 4. Seluruh Keluarga besar penulis di Bogor
5. Rekan sepenelitian, Ikhsania Roosari atas bantuan, semangat, dan kebersamaannya selarna penulisan skripsi.
6. Seluruh saudara penulis di F M IPB (Andro, Combo, Dian, Dimut, Fachrizal, Heryu, Jeri, Laurensius, Phoci, Ronaldo, Tresna ) 7. Semua Pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu
Penulis sadax bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempumaan. ICarena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang rnembangun untuk memperbaiki kesalahan yang terdapat dalam penulisan.
Semoga skripsi ini dapat berguna dan
membawa rnanfaat bagi para pembaca.
Bogor, Maret 2009 Indra Dwi Rasmana
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Bogor pada tanggal 23 Mei 1986 sebagai anak lcedua dari tiga bersa~~dara pasangan Bapak Herila dan Ibu Rasini. Penulis menyelesaikan sekolah dasar selama 6 tahun di SD Pengadilan V Bogor dan lulus tahun 1998. Penulis ~nelanjutlcanpendidikan di SLTPN 5 Bogor dan lulus tahun 2001. Penulis lulus dari SMUN IV Bogor pada tahun 2004 dan diterilna sebagai mahasiswa pada Fakultas Icedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB) melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada tahun 2004. Selama menjadi mahasiswa FKH IPB, penulis pernah aktif dalam berbagai organisasi di FKH IPB, antara lain menjadi anggota Himpunan Minat dan Profesi (HIMPRO) Ornith dan Veteriner English Club (VEC).
DAFTAR IS1 Halaman DAFTAR IS1 ......................................................................... Viii lx DAFTAR TABEL ..................................................................... DAFTAR GAMBAR ................................................................. X I . PENDAHULUAN ................................................................... I .1 Latar Belakang .................................................................. 1.2 Tuj uan ............................................................................ 1.3 Manfaat................................................................................................
1 1 2 2
I1 . TINJAUAN PUSTAKA ............................................................. 2.L Sejarah .................................................................................. 2.2 Biologi Agen Penyebab ......................................................... 2.3 Epide~niologi........................................................................... 2.4 Patologi Pada Hewan ............................................................. 2.5 Patologi Pada Manusia ........................................................ 2.6 Pengobatan ......................................................................... 2.7 Pencegahan ............................................................................ 111. TEKNIK DIAGNOSTIK ............................................................. 3.1 Metode Serologis ............................................................... 3.1.1 Capillary Tube .............................................................. 3.1.2 Immunofluorescence Assay (IFA) ........................................ 3.1.3 Complement Fixation Test (CFT)......................................... 3.1.4 Enzyme-linked Iminunosorbent Assay (ELISA) ..................... 3.1.5 Kombinasi Metode Serologis....................................................... 3.2 Metode Molekuler ............................................................. 3.2.1 Polymerase Chain Reaction ................................................. 3.2.1.1 PCR Klasik ............................................................. 3.2.1.2 First-round PCR ..................................................... 3.2.1.3 Nested PCR .............................................................. 3.2.1.4 PCR-Enzyme Linked Lmmunosorbent Assay .................... 3.2.1.5 Real-Time PCR ......................................................... 3.2.2 DNA sequencing ................................................................ IV. PEMBAHASAN
........................................................................
30
V . PENUTUP .................................................................................... 5.1. Kesi~npulan..................................................................... 5.2. Saran ..............................................................................
39 39 39
.....................................................................
40
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Metode Serologis Untuk Diagnosis Q-fever . . . . . . 32 Tabel 2. Metode Molekuler Ulltuk Diagllosis Q-fever ........... ....... ... ... . . ............ 35
DAFTAR GAMBAR Halarnan Gambar 1. Morfologi C. bz11.nerii ............................................................ 4 Gambar 2 . lllllnu~lofluorescel~t dari sampel seropositif IFA (200x) ....................... 17 Gambar 3 . lmmuofl~~orescent dari sampel seropositif IFA (400x) .......................... 17 .......................... 19 Garnbar 4 . Prinsip Kerja CF Gambar 4 . Prinsip Kerja ELISA ............................................................. 20 Ga~nbar5 . Prinsip Kerja PCR ..................................................................................22 Gambar 6. Prinsip Kerja PCR Primer ..........................................................23 Gambar 7 . Prinsip Kerja DNA hybridization ................................................... 28
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Query Fever (Q-Fever) atau demam query adalah zoonosis yang ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya.
Q-Fever disebabkan oleh Coxiella burnetii.
Hewan ternak yang umumnya terinfeksi adalah sapi, kambing, dan domba. Selain itu Q-Fever juga dapat Inenyerang hewan liar, hewan peliharaan serta unggas. Penyebaran Q-fever pada hewan dapat melalui udara, plasenta, cairan amnion, darah, dan dapat pula melalui vektor seperti caplak, serangga, dan rodensia. (Fournier et al. 1998; Maurin dan Raoult 1999). Penularan Q-fever pada manusia dapat terjadi melalui kontak langsung dengan hewan dan bahan makanan asal hewan, luka yang terkontaminasi, darah, cairan amnion serta dapat melalui udara (Anonim 2007a). Perantara irtan~apenularan Qfever pada n~anusiaadalah ternak sapi, domba dan kambing serta hewan peliharaan. Gejala klinis Q-fever pada manusia terdiri dari demam, nyeri sendi, sakit kepala, muntah, diare, sakit pada ahdo~nendan dada. Selain itu pada beberapa penderita QFever dapat menunjukkan pneumonia dan hepatitis. Indonesia merupakan negara yang rentan terhadap wabah Q-Fever. Karena sebagian besar penduduk Indonesia berprofesi sebagai petani dan petemak yang sering melakukan kontak dengan hewan yang rentan terhadap infeksi C. burnetii. Faktor lain yang dapat meningkatkan resiko Q-fever di Indonesia adalah minimnya pengetahuan masyarakat dan pelaku industri produk asal hewan mengenai Q-fever. Disamping itu, arus perdagangan ternak antara Indonesia dengan negara lain seperti Australia dan Amerika seiikat yang tidak bebas Q-fever, membuka kemungkinan masuknya penyakit Q-Fever ke Indonesia. Hal ini diperburuk dengan k~trangnya kualitas higiene terhadap pangan asal hewan di Indonesia. Penanggulangan wabah Q-fever memerlukan suatu teknik diagnostik yang cepat dan akurat, vaksinasi, maupun program biosekuriti yang ketat dan pengobatan yang tepat.
1.2. Tujuan
St~tdipustaka ini bertujuan untuk mempelajari perkembangan teknik diagnostik Q-fever dan permasalahannya,
sehingga dapat memberilcan refcrensi
dan
pertimbangan bagi para dokter hewan dalam melakukan diagnostik Q-fever di lapangan.
1.3. Manfaat
Studi pustaka ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan tentang teknik diagnostik Q-fever.
Selain itu, juga dapat dijadikan referensi dan pertimbangan
dalam menentukan teknik diagnostik yang terbaik untuk Q-fever yang sesuai dengan sumber daya dan fasilitas yang tersedia.
11. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sejarah
Pada tahun 1935 terjadi wabah demam yang tidak diketahui etiologinya. Wabah ini menyerang para pekerja rumah potong hewan di Brisbane, Australia. Orang pertama yang melakukan investigasi penyakit tersebut adalah Edward Holbrook Derrick. Derrick memberi nama penyakit demam itu Query Fever (QFever) karena penyebab utama dari penyakit tersebut belum diketahui (Baca & Paretsky 1983).
Kemudian Macfarlane Burnet dan Mavis Freeman berhasil
mengisolasi bakteri intraselluler pada hewan coba yang diinjeksi oleh darah atau urine dari pasien Edward H. Derrick dan menamainya Rickettsia burnetii (Maurin & Roult 1999). Pada tahun 1938, Cornelius B. Philip mengusulkan untuk menciptakan genus baru yang bemama Coxiella dan merubah nama agen etiologi Q-Fever menjadi Coxiella burnetii. Hal ini dikarenakan setelah diteliti secara filogenik berdasarkan analisis sekuen 16s rRNa temyata Rickettsia burnetii lebih dekat dengan pseudomonas, j?ancisella dan legionella dari sub divisi gamma Protobacteria. Akan tetapi C. burnetii tetap memiliki perbedaan dari ketiga kelompok tersebut sehingga akhirnya berdiri sendiri sebagai genus Coxiella (Maurin & Roult 1999). Pada tahun 1940 C. burnetii berhasil diisolasi dari hewan maupun manusia, selain itu C. burnetii dapat ditenlukan secara persisten pada hewan dan manusia yang pemah terinfeksi sampai dengan kira-kira 3 tahun sejak terjadi infeksi (Marmion et al. 2002). Setelah pertama kali ditemukan pada tahun 1935, Q-Fever telal~menyebar hampir di semua belahan dunia. Q-Fever sangat berpotensi menjadi penyakit yang sangat berbd~ayadi semua regional di dunia (Maurin & Roult 1999).
2.2. Biologi Agen Penyebab Coxiella burnetii adalah bakteri yang bersifat obligat intraseluler, kecil dengan lebar sekitar 0.2-0.4 p,panjang 0.4-1 pm, dan bersifat gram negatif. Bakteri ini
memilih dinding sel yang kompleks.
Lapisan membran luarnya terdiri dari
peptodoglikan, fosfolipida, polisakarida dan protein yang membentuk stnrktur khas lipopolisakarida yang dapat menghasilkan endotoksin (Lay 2002).
Lapisan ini
bersifat impermeable terhadap molekul besar, tetapi dapat berperan sebagai jalan masuk molekul-molekul kecil seperti nukleosida, oligosakarida, monosakarida, dan asam amino (Merchant &Packer 1961) Coxiella bzlrnetii hidup dan berkembang di phagolisosom dari sel inang yang terinfeksi pada pH 4,8 (Raoult 1993). Bakteri ini juga memiliki spore-like cycle yang membuat C. bumetii resisten terhadap panas dan desinfeksi (Raoult 1993). Sehingga bakteri ini bersifat tahan terhadap pH rendah (asam), pemanasan, kekeringan, bahan kimia, serta resisten terhadap pasteurisasi (60,5"C) selama 30 menit (Merchant & Packer 1961). Coxiella bumetii inemiliki klasifikasi sebagai berikut ( Anonim 2007a) Kingdom
: Bacteria
Filum
: Proteobacteria
Kelas
: Gamma Proteobacteria
Order
: Legionellales
Family
: Coxiellaceae
Genus
: Coxiella
Spesies
: Coxiella bumetii
Gambar 1 Morfologi C. Burnetii (Anonim 2007a).
Pewarnaan bakteri ini menggunakan pewarnaan Gimenez. Selain itu pewarnaan stamp's dengan pewarna 2% basic fuchsin dan cozrnlerslained nzethylen blue juga dapat digunakan sebagai alternatif (Maurin & Raoult 1999).
Coxiella burnetii lnelnpunyai dua bentuk, yaitu fase satu dan fase dua. Fase satu dari C. burnetii umumnya dapat diisolasi dari bentuk infeksius pada hewan, manusia dan arthropoda serta mempunyai daya tahan terhadap lingkungan yang sangat tinggi. C. burnetii fase 2 umumnya diperoleh dari hasil passage berulang pada kultur sel di laboratorium (Maurin & Roult 1999). Kedua fase C. burnetii memiliki susunan lipopolysaccharida (LPS) yang berbeda (Fournier et al. 1998). Menurut Hackstadt et a1 (1985), struktur LPS C.
burnetii fase 1 lebih halus
sedangkan LPS C. burnetii fase dua lebih kasar. Hal ini mengakibatkan Fase 1 lebih infeksius dibandingkan dengan fase 2 karena umumnya fase 2 diperoleh dari hasil passage berulang pada kultur sel di laboratorium (Maurin & Ro~11t1999). Akan tetapi, meski memiliki susunan LPS yang berbeda, pada analisis Electrospray
ioniztion-mass spectrometry melnperlihatkan bahwa lipid A yaug sama dapat diisolasi dari kedua fase. Hal ini merupakan fakta penting dalam infeksi C. burnetii karena lipid A yang dimurnikan dari fase 1 dan 2 tidak mampu mengaktifkan Toll like
receptor 2 (TRL-2) dan Toll like receptor 4 (TRL-4). Sedangkan molekul lipid A yang berasal dari LPS E. coli mampu mengintervensi sinyal TRL-4, sehingga diharapkan fakta ini dapat meinbatasi pertumbuhan agen di dalam sel inang (Coleman
et 01.2004; Dario et al. 2004). Selain perbedaan LPS, terdapat perbedaan protein membran luar pada infeksi akut dan kronis. Berdasarkan penelitian yang diisolasi pada susu segar, caplak dan manusia penderita Q-fever akut dengan C. burnetii berbobot 28-kDa, diketahui bahwa protein membran luar bersifat imunodominan. Sedangkan pada kasus infeksi Q-fever kronis, protein membran luar tidak bersifat imunodominan (Zhang et al. 2004).
Coxiella burnetii dapat dikembangkan secara in vitro dan in vivo.
Pada
perkembangbiakan secara in vitro, dapat digunakan beberapa tipe sel seperti sel makrofag tikus (sel ~ 3 8 8 ~ dan 1 J774), sel fibroblast (sel L929), dan sel vero.
Sedangkan pada perkembangan secara in vivo, dapat digunakan media telur ayam berembrio atau hewan laboratorium seperti inencit dan babi untuk me~~~propagasi C.
bumetii (Baca & Paretsky 1983). Coxielln burnetii mengg~unakan reseptor eukaryotik yang spesifik seperti integrin untuk dapat masuk ke dalam sel inang. Coxiella burnetii fase I1 illemasuki sel monosit tnanusia dengan c a a berikatan dengall reseptor CR3. Sedangkan C.
burnetii fase I, terjadi penghambatan pada reseptor CR3 lalu berikatan dengan sel monosit manusia melalui kompleks LRI (leukocyte response integrin, a&) dan IAP
(integrin-associated protein) sehingga C. burnetii fase I lebih bersifat infeksius daripada C. burnetii fase 11. Coxiella burnetii fase I hanya dapat dilemahkan oleh sel Makrofag dan sel monosit sedangkan sel yang lain tidak dapat melakukannya. Sedangkan C. burnetii fase I1 dapat dengan cepat dibunuh melalui phagolysosomal pathway (Maurin & Raoult 1999). 2.3. Epidemiologi
Q-Fever merupakan penyakit endemik yang dapat terjadi di belahan dunia manapun selain antartika. Penyakit ini dapat menular melalui udara, kontak langsung ataupun dari materi yang terkontaminasi bakteri C. burnetii. Infeksi pada hewan dapat berlangsung beberapa tahun dan dapat juga berlangsung seumur hidup.
Coxiella burnetii pada hewan biasanya terlokalisasi di kelenjar manae, limfonodus supramamae, uterus, plasenta, dan fetus. Hal ini mengakibatkan Q-Fever dapat menyebar melalui feses, cairan amnion, plasenta, darah, air susu, kontak langsung dengan hewan yang terinfeksi dan produksi hewan temak seperti susu, wol, daging.
Bahkan pada sperma sapi jantan ditemukan C. burnetii.
Hal ini
memungkinkan transinisi Q-fever melalui kontak seksual dan ini telah dibuktikan pada mencit (Anonim 2003a; Foumier et al. 1998). Q-Fever juga dapat inenular melaluu plasenta, inokulasi intradernlal, melalui transfi~sidarah dan bangkai hewan. Salah satu kasus yang terjadi, seorang laboran terinfeksi C. burnetii setelah menekropsi hewan yang telah terinfeksi (Founlier et al. 1998). Hal ini memungkinkan hewan liar dapat terserang Q-Fever setelah memakan
bangkai.
Sedangkan penularan C. burnetii ~nelalui saluran pencemaan, gigitan
caplak, lnaupun penularan antar nlanusia i~~erupakan faktor kecil yang niasi11 jarang terjadi (Maurin & Raoult 1999) Q-Fever memiliki reservoir yang bervariasi. Beberapa contohnya adalah hewan liar, n~anlaliadomestik, burung, dan arthropoda seperti kutu, tungau, dan beberapa lalat.
Beberapa spesies kutu yang dapat menjadi vektor diantaranya
Haemaphysalis humerosn, Dermacentor andersoni, Amblyonznia an7ericanum, Hnemciphysalis leporis-palustris, Dermacentor occidentalis, Ixodes dentatus, dun Ofobius megnini (Merchant & Packer 1961). Reservoir utama yang dapat menyebarkan Q-Fever kepada manusia adalah ruminansia yang didomestikasi seperti sapi, kerbau, kambing dan domba. Hal ini karena tingginya tingkat kontak manusia dengan hewan tersebut baik secara langsung atallpun melalui produknya. Kasus Q-fever dapat pula dikaitkan dengan hewan kesayangan seperti kucing, anjing, kelinci, burung atau dengan hewan liar seperti ular (Anonim 2003a) Coxiella burnetii juga memiliki ketahanan yang baik pada kondisi yang tidak menguntungkan. Organisme ini dapat ditemukan sampai 30 hari pada air liur, 120 hari di debu, 49 hari di urine yang mengering (pada babi percobaan) dan 19 minggu pada feses kutu. Selain itu, pada suhu 4 - 6 - ~ ,organisme ini dapat bertahan selama 42 minggu dalam susu dan 12 bulan pada wol (Anonim 2003a). Q-fever telah inenjadi penyakit endemik di seluruh dunia kecuali Antartika dan New Zealand karena banyaknya variasi penyebarannya. Sebagai contoh di Benua Eropa, kasus Q-Fever akut banyak dilaporkan terjadi pada musim semi dan awal musim panas, selain itu penyakit ini juga dapat menyerang berbagai usia dan jenis kelarnin. Di Prancis selatan 5-8 % kasus endokarditis yang ditemukan mengacu pada C. burnetii. Menurut survei seroepidemiologi yang dilakukan, 18,3 % dari donor darah di Marocco, 26 % di Tunisia, 37 % di Zimbabwe, 44 % di Nigeria, 10- 37 % di Africa utara, dan 14,6- 36,6 % pada daerah berbeda di Kanada dilaporkan memiliki antibodi terhadap C. burnetii. Outbreak besar dari penyakit Q-fever selanjutnya juga
telah dilaporkan di Spanyol, Switzerland, Berlin Jerman, Prancis dan Amerika serikat (Fo~~rnier et 01. 1998; Anoni~n2003a).
2.4. Patologi Pada Hewan
Coxielln Burnetii dapat menginfeksi banyak spesies hewan, baik itu hewan domestikasi maupun hewan liar.
Beberapa contoh spesies hewan yang telah
diketahui dapat terinfeksi C. burnetii antara lain sapi, domba, kambing, babi, anjing, kelinci, kuda, unta, banteng, rusa dan beberapa burung seperti ltakaktua, gagak, merpati dan walet. Selain itu dilaporkan juga bahwa C. burnetii dapat menginfeksi ular dan ikan.
Dari semua spesies yang dapat terinfeksi C.
burnetii, hewan
domestikasi merupakan reservoir utarna yang dapat menyebarkan Q-fever kepada manusia. Hewan dolnestifikasi yang inenjadi reservoir utama adalah sapi, domba dan kambing (Anonim 2003a). Periode inkubasi pada hewan berbeda-beda dan tidak diketahui secara pasti berapa lama periode inkubasi pada hewan. Hal ini disebabkan karena Q-fever pada hewan tidak memiliki gejala klinis yang jelas. Q-fever merupakan penyakit yang mudah menginfeksi hewan, akan tetapi hewan yang terinfeksi tidak memiliki gejala klinis yang jelas. Abortus, retensi placenta, endometritis dapat terjadi pada domba, kambing dan sapi. Selain gejala penyakit reproduksi, hewan terinfeksi tidak memiliki gejala klinis yang jelas. Kambing terkadang memiliki nafsu ~nakanyang rendah dan depresi selama satu atau dua hari sebelum aborsi. Dan dilaporkan juga kadang terjadi retensi plasenta d ~ ~ a sampai lima hari sebelum aborsi. Gejala klinis yang lain juga antara lain deinam, anorexia, batuk, rhinitis dan peningkatan respirasi terjadi pada hewan coba tetapi belurn pemah dilaporkan pada infeksi alami. Placentitis adalah bentuk patologis yang khas pada ruminansia. Plasenta terasa kasar dan tebal, berisi cairan benvama putih kekuningan, eksudat benvarna krem pada tepi-tepi cotyledon dan di area intercotyledon. Pada beberapa kasus eksudat benvanla coklat kemerahan dan memiliki konsistensi yang cair. Vaskulitis keras
adalah sesuatu yang luar biasa, tetapi pembekuan darah dan vaskular inflamasi pantas menjadi catatan. Fetal pneumonia kadang ditemukan pada kambing dan sapi.'
2.5. Patologi pada manusia
Infeksi Q-fever pada manusia dapat bersifat sii~lptoinatisdan asimptomatis. Infeksi yang bersifat simptomatis dibagi menjadi Q-fever akut dan Q-fever kronis (Anonim 2003a). Gejala klinis Q-fever akut menyernpai gejala penyakit flu disertai dengan delllam tinggi, sakit kepala, kelelahan, kedinginan, sakit pada tenggorokan, nyeri pada dada, myalgia dan malaise. Gejala ini berlangsung satu sampai tiga minggu, tetapi terkadang berlangsung sampai tiga bulan apabila terjadi atypical pneumonia Pada beberapa kasus akan terjadi hepatitis dan atypical pneumonia yang kejadiannya terga~ltungdengan regional geografis. Komplikasi Q-fever akut adalah pericarditis, myocarditis, aseptis meningitis, encephalitis, polyneuropathy, hemolytic anemia, optic neuritis, transient hypoplastic anemia, thyroiditis, gastroenteritis, pankreatitis, lymphadenopathy, erythrma nodosum, necrosis sumsum tulang, hemolytic uremic syndrome, splenic sindrome dan lain-lain. Selain komplikasi-komplikasi tersebut, kadang terjadi infeksi sistemik serius dan biasa terjadi pada pasien Q-fever setelah transplantasi. Q-fever kronis merupakan perkembangan dari Q-fever akut dalanl durasi waktu yang lama setelah adanya sindrome Q-fever akut. Gejala klinis Q-fever kronis yang sering dilaporkan adalah endocarditis. Gejala endocarditis biasanya terjadi pada orang yang menderita immunosupressan atau memiliki kerusakan jantung.
Selain
endocarditis, gejala lain pada Q-fever kronis adalah infeksi osteoarticular, pneumonia fibrosis, osteoarthritis, osteomyelitis, tenosynovitis, spondyloiditis, paravertebral abses, psoas abses dan hepatitis. Q-fever yang bersifat asimptomatis memiliki persentase sampai 60% dan biasanya menyerang wanita harnil dengan persentase sekitar 98%.
Pada wanita
hamil, Q-fever dapat mei~gakibatkankelahiran preinatur, abortus, plasentitis dan penurunan berat badan bayi yang dilahirkan.
Q-fever akut pada manusia memiliki periode inlcubasi 2 sanlpai 48 hari dan rata-rata periode inkubasinya dua sampai tiga minggu. Sedangkan periode inkubasi ai dan belum ada angka Q-fever kronis lebih lanla yakni berbulan-bulan s a i ~ ~ ptahunan periode secara pasti. Q-fever menyebar ke manusia secara langsung melalui udara (aerosol) dan ltontak langsung dengan hewan dan produk asal hewan. Selain itu konsumsi produk hewan yang tidak diproses secara higiene pangan juga dapat menjadi salah satu cara penyebaran Q-fever. Penyebaran Q-fever dari manusia ke manusia sangat jarang terjadi, sehingga isolasi biasanya tidak dibutuhkan. Q-fever merupakan penyakit zoonosis yang bersifat global karena hampir terjadi pada semua tempat di belahan dunia kecuali New Zealand dan Antartika. Beberapa negara yang telah melaporkan terjadinya Q-fever adalah Jerman, Prancis dan Amerika Serikat. Rasio kejadian Q-fever di Jerman adalah 0,1:3,1 per 1.000.000 orang dan sifatnya masih berva~iasipada setiap regional. Di Prancis, prevalensi Q-fever akut dilaporkan 50 kasus per 100.000 penduduk. Kasus Q-fever di Australia dalam kurun waktu 1990
-
2001 telah terjadi 171 kasus Q-fever dengan fakta bahwa 87,6 %
penderita adalah laki-laki, 83,l % penderita be~usia20 - 49 tahun, 50,s % penderita merupakan pekerja di tempat pengoldlan daging, 32,l % penderita inelakukan kontak dengan hewan d m 9,6 % pedagang adalah pedagang daging.
Berdasarkan data
tersebut, umumnya para penderita Q-fever adalah orang-orang yang sering melakukan kontak langsung dengan hewan dan produk asal hewan serta orang-orang yang berkecimpung di industri produk asal hewan. Pada daerah endemis, dapat terjadi wabah dan terjangkitnya Q-fever secara sporadis. Beberapa wabah Q fever yang dilaporkan adalah pada tahun 1935 di Brisbane, Australia. Lalu pada tahun 1954 di Jerman terjadi wabah Q-fever dimana sekitar 500 orang terinfeksi (Maurin & Raoult 1999). Q-fever akut biasanya bersifat se2f-limiting dimana penderita dapat sembuh secara spontan dalam beberapa minggu. Sekitar 2% kasus akan berlangsung menjadi endocaditis dengan Case Fatality Rate 35-55%. Q-fever akut biasanya bersifat
subklinis dengan persentase sekitar 60%. Sen~entaraitu sekitar 2-5% penderita Qfe\jer tingkat penyakitnya lceras dan n~embutuhkanperawatan di rumah sakit. Dan sekitar 1-2 % penderita Q-fever akut tidak dapat disembuhkan. Sedangkan nlortalitas pasien dengan Aiypicol Pneumonia 0,5-1,5% (Anonim 2003a). Q-fever kronis umumnya terjadi pada penderita Q fever dengan faktor predisposisi seperti immuilosuppressi dan memiliki gangguan ltesehatan sepei-ti cardiac valvular disease atau vascular gra$s.
Insiden Q-fever lcronis memiliki
persentase sekitar 1% yang disebabkan ole11 satu sumber penyakit dan sekitar 5% oleh sumber lain. Estimasi rasio mortalitas dari Q-fever kronis sangat luas, dengan persentase 1-11 % yang disebabkan satu sumber infeksi dan sekitar 65% yang disebabkan oleh sumber penyakit lain.
2.6. Pengobatan Pengobatan Q-fever sampai saat ini masih menggunakan antibiotik karena merupakan metode terbaik pada infeksi C. bznnetii. Akan tetapi, antibiotik lebih bersifat menekan infeksi daripada mengeliminasi infeksi (Raoult 1993). Pengujian antibiotik dilakukan pada tiga media yang berbeda yakni hewan coba, telur berembrio, dan kultur sel (Raoult 1993).Hewan coba yang digunakan antara lain adalah babi, tikus dan mencit. Media lain yaitu telur berembrio, merupakan suatu media yang sangat baik untuk mengetahui efek bakteriostatik dari antibiotik. Media terakhir yang digunakan adalal~kultur sel. Pada kultur sel ada dua model yang digunakan. Pengembangan dua model ini bertujuan untuk menentukan efek bakteriostatik dan bakterisidal dari antibiotik. Hal ini disebabkan karena perbedaan tujuan terapi pada Q-fever akut dan Q-fever kronis. Pengobatan Q fever dibagi menjadi dua metode, yaitu metode pengobatan untuk Q-fever kronis dan metode pengobatan untuk Q-fever akut. Perbedaan metode pengobatan ini karena pada Q-fever akut, antibiotik dengan efek bakteriostatik sudah cukup untuk membantu proses persembuhan Q-fever.
Sedangkan pada Q-fever
kronis, efek bakteriostatik dari antibiotik tidak cukup dalam proses persembuhan.
Ole11 sebab itu efelc bakterisidal lebih memungkinlcan uutuk persembuhan Q-fever kronis (Raoult 1993). Pengobatan Q-fever akut dilakukan dengan pemberian antibiotik goloilgan tetrasiklin terutama klortetrasiklin dan doksisiklin.
Golongan tetrasiltlin dapat
menghambat sintesis protein bakteri dengan cara inemasukkan autibiotik ke dalam ribosom. Antibiotik akan menghanlbat masuknya kompleks t-RNA asam amino pada lokasi asam amino. Proses pemasukan antibiotik dapat terjadi dalam dua cara, yaitu dengan difusi pasif melalui kana1 hidrofilik dan dengan sistem transport aktif (Ganiswarna et 01. 1995). Kelebihan lain tetrasiklin adalah bekerja pada bakteri gram negatif dan rickettsia, sehingga antibiotik golongan ini efektif dalarn pengobatan Qfever (Mutschler 1991). Selain doksisiklin, antibiotika kelompok makrolida juga dapat digunakan seperti chloramphenicol, co-trinzoxuzole, dun ceftriaxone sebagai alternatif pengobatan untuk Q-fever akut, nanlun penggunaan makrolida sebagai pengobatan penyakit Q-fever masih beluin jelas (Gikas et al. 2001). Tetapi sampai saat ini, doksisiklin merupakan antibiotik yang direkomei~dasilcan untuk mengobati Q-fever akut. Biasanya ditetapkan 200 mg doksisiklin untuk 15 ssunpai 20 hari. Selain pemberian senyawa tetrasiklin, erythronzycin juga diberikan untuk mengobati gejala pneumonia pada Q-fever akut. Pada Q-fever me~lingochepalitis,dapat pula diberikan senyawa Quinolone karena efeknya yang dapat mempenetrasi cairan cerebrospinal (Raoult 1993). Q-fever endocarditis (Q-fever kronis) adalah komplikasi C.
burnetii yang
paling serius. Dilaporkan telah ada 200 kasus dengan angka mortalitas di atas 65% (Raoult 1993). Pengobatan tetap dari Q-fever endokarditis adalah penggunaan antibiotik tetrasiklin.
Akan tetapi waktu persembuhan dengan penggunaan tetrasiklin
khususnya doksisiklin membutuhkan waktu yang lama yakni sekitar empat tahun untuk persen~buhankatup jantung. Umumnya pengobatan Q-fever kronis dengan antibiotik tetrasiklin akan dikombinasikan dengan pemberian antibiotik lain ataupun antibiotik lain yang dikombinasikan dengan pembeiian tetrasiklin. Beberapa contoh adalah pemberian antibiotik lincomycin dan tetrasiklin, co-trixomazole dan tetrasiklin,
beta-laktan~dcmamonoglycoside, tetapi hasil kolnbinasi antibiotilc ini tidak lebih baik dari pemberian tetrasiklin. Kombinasi rifampin dan doksisiklil~atau co-t~.i~ncrxrizole juga digunakan untuk pengobatan Q-fever dan kombinasi ini rnenunjukkan efek keselnbuha~lyang nyata, tetapi kombinasi ini dihentikan lcarena seringnya terjadi interaksi dengan antikoagulan (Raoult 1993). Pengobatan dengan kombinasi doksisiklin dan hidroksiklori~latau doksisiklin dengan fluorokuinolon jangka panjang sangat dianjurkan (Welch 2007). Penggunaan ini didasari efisiensi fluorokuinolon terhadap C. burnetii. Angka mortalitas pada pemberian kombinasi antibiotik ini jauh lebih rendah dibandingkan dengall angka mortalitas pada pemberian kombinasi antibiotik yang lain (Raoult 1993) Selain pemberian antibiotik, ada metode pembedahan pada pengobatan Q-fever endocarditis.
Operasi jantung biasanya dilakukan pada pasien dengan kegagalan
hemodynamic. Pada operasi ini juga dilakukan kultur jaringan katup jantung. Metode pembedahan juga dikombinasikan dengan pemberian antibiotik doksisiklin dan
jluoroquinolene
selama tiga tahun. Karena apabila setelah tiga tahun level
immunoglobuli~lG (IgG) terhadap C. burnetii fase satu di bawah 400 dan tidak ada immunoglobulin A (IgA) yang terdeteksi maka pemberian kombinasi antibiotik dapat dihentikan.
2.7. Pencegahan Tindakan pencegahan Q-fever pada hewan temak seperti sapi, kambing dan domba bertujuan untuk meminimalkan jumlah infeksi Q-fever dan mempersempit area
infeksinya.
Tindakan
pencegahan
Q-fever
dapat
dilakukan
dengan
meminimalkan masuknya hewan baru ke dalam kawanan domba, sapi dan kambing. Selain itu hindari dan kurangi kontak dengan hewan liar. Pada kawanan yang terinfeksi, lakukan isolasi pada hewan yang bunting. Lakukan pembakaran serta penguburan membran reproduksi dan plasenta sehingga transmisi via organ reproduksi dapat dicegah. Jumlah C. burnetii dapat direduksi dengan pembersihan lingkungan secara rutin. pembersihan dapat dilakukan dengan desinfektan. Selain itu,
pen~berian antibiotik pi.ophylatic dapat juga mencegah infeksi C
bumelii pada
anakan (Anonim 2003a). Tindakan pencegahan Q-fever pada manusia dapat dilakultan dengan cara n~elakukanvaksinasi pada orang-orang yang bekerja di bidang industri pangan asal hewan da11 orang-orang yang sering melakukan kontak langsung dengan hewan seperti dokter hewau, pekerja laboratorium, pekerja rumah potong hewan dan sebagainya. Vaksinasi terhadap Q-fever merupakan salah satu upaya yang telah dilakukan di Australia sejak tahun 1989 (Garner et 01.. 1997). Vaksin yang biasanya digunakan adalah Q-vax vaccine. Vaksin ini berasal dari C. burnetii fase I yang telah dilemahkan (Dorko & Cislakova 2005). Vaksin ini diberikan sebanyak 30 mikogram dosis tunggal dan diberikan secara sub-cutan. Vaksin ini memiliki jangka waktu selama lima tahun dan harus dilakukan vaksinasi ulang setelah habisnya jangka waktu vaksin (Soejodono 2004). Sebelum dilakukan vaksinasi, perlu dilakukan tes kulit terlebih dahulu untuk mengetahui tinglcat alergi pasien terhadap Vaksin. Pasien yang sebelumnya pernah terpapar C.
burnetii tidak dapat diberikan vaksin karena dapat mengakibatkan lokalisasi vaksin pada daerah yang disuntikkan ( Anonim 2003a) Pencegahan Q-fever dapat dilakukan dengan tindakan biosekuriti. Biosekuriti adalah tindakan perlindungan dari efek yang merugikan dari organisme seperti agen penyakit dan hama yang dapat membahayakan manusia, hewan dan lingkungan (Suseno 2007). Biosekuriti memiliki tiga komponen utama, yaitu berupa tindakan isolasi, pengawasan lalu lintas (manusia dan hewan) serta sanitasi (Anonim 2007~). Tindakan biosekuruti yang dapat dilakukan adalah pemberian penyuluhan dan edukasi tentang individu atau kelompok yang beresiko tinggi terhadap Q-fever. Pada produk hewan seperti susu, dapat dilakukan pasteurisasi dengan suhu 65°C selama 30 menit atau dengan suhu 75" C selama 15 detik. Pencegahan Q-fever di bidang peternakan dapat dilakukan dengan melakukan
good farming practice seperti pembersihan kandang teratur dengan menggunakan outoklaf atau desinfeksi peralatan laboratoriutn menggunakan desinfektan yang dapat membunuh C. burnetii seperti
0,05% hipoklorit, 5% peroxida atau 1:100 lisol
(Anoniin 2003a). Selain it11 penanganan kelahirail fetus dan sisa proses melahirkan seperti disposal plasenta atau sisa abortus secara baik dan higiene dapat nlellcegah penyebaran Q fever. Pada bidang transportasi hewan ternak, pencegahan Q-fever dapat dilakukan dengan inelakukan karantina bagi hewan-hewan )rang diimpor dari negaya lain.
111. TEKNlK DIAGNOSTIK Teknik diagnostik yang digunaka~luntuk mendeteksi C. burnetii dibagi menjadi metode serologis dan metode rnolekuler.
3.1. Metode Serologis
Metode serologis yang digunakan untuk diagnostik C.burnetii adalah CapillaryTube Aggltltination, Immunojluorescence Assay (IFA), Complenzent Fixation Test (CFT) dan Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)).
Kombinasi metode
serologis juga digunakan untuk mendapatkan tingkat akurasi yang lebih baik. Beberapa contoh kombinasi metode serologis adalah CFT-IFA, CFT-ELISA, bahkan ELISA-PCR. 3.1.1. Capillary-Tube Agglutination Metode serologis ini merupakan salah satu metode serologis tertua yang dipakai untuk mendeteksi Q-fever selain n2icroagglutination technique dan indirect haemolysis test (Anonim 2004). Uji ini digunakan Indrawati Rumawas pada tahun 1972 dan 1974 dalam studinya tentang kemungkinan adanya Q-fever di Indonesia. Uji ini dilakukan dengan mengambil serum darah dari hewan melalui vena jugularis dengan jumlah sekitar 10 ml. Kemudian dimasukkan ke dalam tube test yang steril dan disirnpan di dalam refrigerator bersuhu 4-10'~.
Lalu antigen
dimasukkan ke dalam capillary tube kira-kira 113 bagian dari capilla~y tube. Selanjutnya masukkan serum sampel dan IetaMtan dalam posisi vertikal di tanah liat dengan antigen berada di bawah. Kemudian disimpan dalam suhu karnar selama 4 jam, baru dibaca hasilnya. Setelall itu dibaca kembali hasilnya setelah 24 jam. Hasil dapat dikatakan positif bila terbentuk partikel benvama rtngu di perbatasan antara antigen dan serum sampel (Rumawas 1976). Uji ini tidak diketahui dengan pasti tingkat spesifitas dan sensitifitasnya. Berdasarkan uji yang dilakukan di Indonesia di tahun 1972, dari 413 sampel darah
ternyata semua sampel menunjukkan hasil negatif. Sedangkan pada tahun 1974, dari 898 sampel darah temyata 4 sampel menunjukkan hasil positif.
3.1.2. Immunofluorescence Assay (IFA) Metode serologis IFA dipakai untuk mendeteksi antibodi immunoglobulin M (IgM) , irnrnunoglobulm G(1gG) maupun immunoglobulin A(IgA) pada sampel darah. Prinsip dari uji IFA adalah ikatan antigen dan antibodi pada sampel uji. Uji IFA posiM ditandai dengan adanya pendaran waina lujau dengan pembesaran 200x akibat adanya ikatan antigen-antibodi homolog dan antibodi sekunder yang dilabel isothiosianat serta adanya sel vero benvarna hijau dengan pendaran hijau yang merata pada pembesaran 400x (Setiyono et a[.2005)
Gambar 2 Immunoflnorescent dari sampel seropositif IFA (pembesaran 200x) (Setiyono et. a1 2008)
Gambar 3 Immunofluorescent dari sampel seropositif IFA (pembesaran 400x) (Setiyono et a1 2008) Pada tal~un 2005, Setiyono et al. menyatakan kriteria baru IFA dalam mendiagnosa Q-fever dl Jepang. Studi yang dilakukan dengan menggunakan 346 sampel darah manusia, termasuk 16 sampel positif Q-fever, 304 sampel dari pasien pneumonia, dan 26 sampel negatif.
Studi ini menghasilkan kriteria bahwa kombinasi dari titer IgM phase I1 ? 1 :128 danlatau titer IgG phase I1 1 1:256 memberikan hasil positif untttk 13 sanlpel dari pasien yang dikonfirnlasi menderita Q-fever.
Uji serologis IFA secara umum
direkomendasikan untuk diagnosis terhadap Q-fever akut maupun kronis pada manusia berdasarkan titer IgM, IgG dan IgA spesifik terhadap antibodi C. burnetii fase I dan 11. Uji IFA memiliki tingkat sensitifitas dan spesifitas yang tinggi. Menurut studi yang dilakukan di Republik Slovakia, uji IFA menunjukkm sensitifitas sebesar 97,7% terhadap IgG dan 66,7% terhadap IgM. Sedangkan tingkat spesifitas IFA adalah 100% terhadap IgG dan 75,9% terhadap IgM (Slaba et al. 2005). Kekurangan dari metode ini adalah hasil ujinya yang masib bersifat subjektif dan sulit dilakukan untuk penapisan dalam skala besar.
3.1.3. Complement Fixation Test (CFT)
Con?plement fixation test (CFT) adalah CFT adalah metode serologis yang pertarna kali digunaltan untuk mengganti capillary tube (Field et 01. 1983). Metode ini dtemukan oleh Kolmer dan menggullakan 96-well U-bottomed nzicrotitre plates. Prinsip uji ini adalah adanya ikatan antara antigen dengm antibodi spesifik. Ikatan antigen d m antibodi tersebut akan berikatan dengan complement bind. Prosedur terakhir dari CFT adalalt penambahan hemolysin sensitized red blood cell. Bila terdapat antibodi spesifik yang berikatan dengan antigen maka pada serum sampel tid'ak terjadi lysis d a i &an terjadi reaksi positif berupa adanya endapan. Sedangkan apabila tidak terdapat antigen spesifik maka akan terjad serum sanlpel akan lisis dan tidak terdapat endapan. Uji ini sangat spesifik tetapi tidak terlalu sensitif bila dibandingkan dengan IFA dan ELISA (Anonim 2004). Serokonversi dalam uji ini lebih lambat tetapi dapat mendeteksi pada periode yang lama setelah kejadian penyakit sehingga dapat inemberikan hasil yang baik jika digunakan sebagai metode diagnosa rutin. Uji CFT memiliki ti~lgkatspesifitas terhadap IgM sebesar 90% dan tingkat sensitifitas 73% (Field et al. 2000).
Uji ini bersifat sangat spesifik dan dapat dipakai untuk
mengindikasi Q-fever akut atau Q-fever
kronis (Maurin & Raoult 1999).
Kekurangan dari metode CFT adalah sensitifitas uji ini leblh rendah dan memerlukan waktu yang lebih lama dalam interpretasi hasil d~bandingkandengan ELISA dan IFA (Maurin & Raoult 1999; Field et al. 2002).
Complement Fixation Test
Ga~nbar4 Prinsip Kerja CFT (Anonim 2008c)
3.1.4. Enzyme-linked Immnunosorbent Assay (ELISA) Enqnze-linked immunosorbent assay (ELISA) merupakan suatu metode uji serologis yang pertama kali dibuat oleh Engvall dan Perlmann (1972) kemudian diubah oleh Schinski et al. (1976). Uji ELISA dilakukan untuk melihat kadar titer antibodi immunoglobulin G (IgG) dan immunoglobulin M (IgM) terhadap C. bttmetii (Halle et al. 1977). F'rinsip kerja dari ELISA adalah adanya ikatan antigen dengan antibodi spesifik. Ikatan antigen dan antibodi akan dilabel dengan enzim dan substrat yang akan memberikan warna dan terbaca pada ELISA-reader sebagai reaksi positif.
Metode ini menggunakan piringan microtiter dengan 96 sumur. Sumur tersebut akan dilapisi dengan antigen inaktif C.burnetii. Kemudian pada sumur tersebut ditambahkan serum sampel yang telah diencerkan. Lalu diinkubasi dan kemudian dilakukan pencucian untuk membuang material yang tidak bereaksi. Lalu ditambahkan konjugat (ruminant anti-immunoglobulin) dan dilakukan pencucian lagi setelah inkubasi. Lalu ditambahkan chromogenic substrat . Lakukan pengocokan dan idcubasi Lalu reaksi yang terjadi dapat dibaca di ELISA reader (Anonirn 2004).
Gambar 5 Prinsip kerja ELISA (Anonim 2008c) Menurut Field et al. (2002), uji ELISA memiliki spesifisitas sebesar 96% dan sensitifitas sebesar 71% dalam mendeteksi immunoglobulin G (IgG). Sedangkan pada deteksi immunoglobulin M (IgM), ELISA menunjukkan spesifitas sebesar 88% dan sensitifitas sebesar 99% (Field et al. 2000). Selain itu menurut Field et al. (2000), ELISA memiliki standarisasi dalam diagnosis Q-fever, waktu inkubasi total yang pendek (50 menit), cocok dan dapat diotomatisasi karena menggunakan (ELISA reader). Pada studi yang dilakukan Field et al. (2000), ELISA tidak menunjukkan reaksi silang dengan serum dari pasien penderita infeksi mycoplasma, chlamydia dan legionella. Tetapi terjadi reaksi silang dengan pasien penderita infeksi leptospirosis.
3.1.5. Kombinasi Metocle Serologis
Metode serologis dapat diaplikasikan secara bersama-sama. bertujuan untuk meningkatkan akurasi dari metode serologis.
Kombinasi ini Beberapa contoh
metode kombinasi adalah CFT dengan IFA dan CFT dengan ELISA (Field et dl. 2000). Balikan metode serologis juga dapat diaplikasikan bersa~iiadengan metode molekuler seperti PCR yang telah dilakukan oleh Muraniatsu el al. (1997) pada sampel susu. 3.2. Metode Molekuler
Metode molekuler yang digunakari untuk mendiagnosa C. .bur-netii ada dua yakni Polyrnerase Chain Reaction (PCR) dan DNA-seqziencing. 3.2.1. Polymerase Chain Reaction (PCR) Polynierase Chain Reaction ditemukan pertama kali oleh Kary B. Mullis tahun 1985. PCR adalah teknik yang didasari oleh penggunaan oligonukleotida pendek sebagai primer dan taq DNA polirnerase sebagai enzim untuk menggandakan sejumlah rangkaian DNA khas C. burnetii pada sarnpel yang diperiksa. Polyrnerase Chain Reaction memiliki tingkat akurasi yang sangat tinggi untuk deteksi DNA khas C. burnetii pada serum dan leukosit manusia (Zhang et al. 1998 ;Ogawa et a1 2004), dan belum dilakukan pada jaringan padat, seperti jantung dan hati. Tetapi pada tahun 2007, dilakukan penelitian C. burnetii yang menggunakan jantung dan hati sebagai sampel untuk melihat C. burnetii pada fase kronis (Mahatmi el a1 2007). Prinsip tejadinya reaksi pada metode PCR adalah adanya sifat komplementasi rantai DNA dengan pasangannya dan dimanipuiasi melalui Empat tahapan suhu: denaturasi (pemisahan rantai), annealing, perpanjangan rantai oleh DNA polimerase dan pendinginan (Anonim 2004). Empat langkah utama dalam PCR yang ini dilakukan berulang-ulang hingga 30-40 kali. Langkah-langkah ini dilaksanakan pada rnesin yang secara otomatis melakukan reaksi dalam waktu yang singkat. Langkali pertama adalah d e ~ ~ a t u r a s i pada suhu 94°C. Pada saat denaturasi, rantai ganda DNA dari objek penelitian
mengalami pemisahan sehingga media berisi rantai tunggal DNA sebagai DNA template. Kemudian dilanjutkan dengan Annealing pada suhu 54'C: pada tahapan ini, molekul-molekul primer (rantai asam nukleat yang digunakan untuk mengawali proses PCR) yang telah ditambahkan pada media menempel pada rantai DNA. Primer didesain secara khusus agar bisa berkomplemen/berpasangan dengan DNA templat. Primer didesain pula untuk mengamplifikasi target DNA yang kita inginkan (misal DNA vinis WSSV). Dan langkah terakhir adalah Perpanjangan rantai pada suhu 72°C: Pada tahapan ini DNA polimerase yang ditelah ditambalkan pada media mulai bekerja untuk memanjangkan rantai sehingga terbentuk rantai ganda DNA yang diinginkan. Langkah terakhir adalah pendinginan di suhu 4' C: rantai ganda DNA akan mengalami penggandaan sehingga terdapat peningkatan jumlah gen secara eksponensial. Reaksi PCR yang berulang membuat jumlah gen template (gen yang ingin kita ketahui) memadai untuk kita analisis hasil amplifikasi. Amplifikasi adalah proses pembacaan hasil uji dengan mengunakan mesin PCR yang dielektroforesis dengan gel agarose 1,5% dalam l m t a n l x Tris Acetate EDTA menggunakan tegangan 100 volt dan fiekuensi 50 Hz selama 30 menit. Kemudian dilihat di bawah sinar UV dan difoto.
rCa annu--:
M",
."-.-.
ursn --nor
--..
unmuon: ON.
Gambar 6 Prinsip Kerja PCR (Anonim 2008a)
Saat ini, PCR yang digunakan dalam diagnosis Q-fever sangatlah bemariasi. Beberapa jenis metode PCR yang sexing digunakan ada PCR primer, nested PCR dan PCR-ELISA. 3.2.1.1. PCR Klasik PCR klasik menggunakan untaian nukleotida yang pendek yakni sekitar 18-25 nukleotida dan merupakan materi sintetis oligonucleotides (Anonim 2007a). H-
OH
PrimerA
Primer 8
a
Primers Anneal to Denatured DNA template at homologous regions
HO I 1
I
f
1
--C1!
A
!
I
I
*
I
I
I
I
1
I
I
1
1
I
,
,
I
I
H
Gambar 7 Prinsip Kerja PCR Primer (Anonim 2008a) Prinsip dari aplikasi PCR primer adalah adanya komplementer pada permulaan dan akhir fcagmen DNA sehingga memperkuat reaksi denaturasi DNA. Proses denaturasi terjadi saat siklus pendinginan logam yang terjadi di DNA template pada daerah homolog. Logam yang didingmkan akan menuju ke daerah komplementer dari DNA.
DNA polymerase mengikat 3'OH oligo sehingga memungkmkan
terjadmya sintesa DNA. Faktor-faktor yang harus diperhatikan pada aplikasi PCR primer (Anonim 2007a) adalah: 1. Temperatur pembekuan logam Optimal berkisar antara 50-60°C 2. Kandungan Oligonucleotide GC harus antara 40-60%. 3. Temperatur peleburan uiltuk kedua bahan dasar digunakan dalam reaksi tidak harus
berbeda >5"C.
4.
Suhu
penlbekuan
logam
biasanya
S°C
di
bawah
su11~1 yang
diperhitungkan.Sehingga diperlukan pengalaman untuk syarat-syarat individual. 5, Tiga menit terminal terakhir adalah periode yang sensitif. Sehingga kompleinenter tidak boleh ke daerah apapun dari bahan dasar lain yang digunakan d a l a ~ reaksi ~l dan h a r ~ ada ~ s lioreksi dasar yang mempertemukan dengan template. 6. Jika mungkin, bahan dasar harus di~uulaidan diakhiri dengan 1-2 G atau residu C.
'3.2.1.2. First-round PCR
Metode ini merupakan salah satu metode PCR klasik yang digunakan untuk mendeteksi C. burnetii. Uji PCR ini ~nencampurkomponen PCR seperti 3p sampel DNA uji, primer OMP 1 5 0 pM (5'-AGT AGA AGC ATC CCA AGC ATT-3'), dan OMP2:20 pM (TGC CTG CTA GCT GTA ACG ATT-3') masing-masing sebanyak 0,3 pl, lox taq buffeel (Takahara Shizo, Shiga, Japan) 3 p1, 18,25 pl akuabidestilata bebas DNA, dan 0,15 p1 tag poly~izerase (Takahara Shizo, Shiga, Japan). Kontrol positif yang digunakan adalah DNA C. btrrnetii strain nine mile-2 (ATCC). Amplifikasi DNA sampel dilakukan pada mesin thermal cycler (Perkin-Elmer Gene AMP PCR systems 9600) yang diprogram sebanyak 35 siklus, dengan rincian sebagai berikut. Proses denaturasi dilakukan pada suhu 94 "C selama satu menit, anneling pada suhu 54 "C selarna satu menit dan ekstensi pada suhu 72 OC selama dua menit. Produk first-round PCR yang diharapkan adalah DNA sebesar 500 bp (Mahatmi et a1 2007). Menurut Mahatrni et a1(2007), uji$rst-round PCR tidak memberikan hasil yang optimal karena tidak dite~nukanadanya sampel yang menunjukkan pita khas C. burnetii yaitu 500 bp. Hal ini menegaskan bahwa uji PCR terhadap C. burnetii pada sel lekosit (bufb coat) tidak memberikan hasil yang optimal (Raoult et al. 2002)
3.2.1.3. Nested-PCR
Nested-PCR adalah variasi dari PCR konvensional, dimana terjadi proses penggantian dari dua pasang PCR primer sehingga fiagmen PCR menjadi lebih h a t . Uji ini menggunakan sepasang primer yang dipakai untuk nested-PCR yakni OMP3
(5'-GAA GCG CAA CAA GAA GAA CAC-3') dan OMP4 (5'-TTG GAA GTT ATC ACG CAG TTG-3') yang dirancang dari gen penyandi protein pada nlembrane luar C. b~rrnetiidengan berat 29 kDa dan nlerupakan converse region dari gel1 (Zhang el crl. 1998 dan Ogawa et al. 2004). Volume total adalah 30 LI yang berisi 3111 DNA
sampel. 50 j.lM dari tiap primer masing-masing sebanyak 0,3 p1, 10x icrq bufer (Takara Shizo, Shiga, Japan) 3p1, campuran d NTP (2,5 mM) sebanyak 3 111, 18,25 p1 akuabidestilata bebas DNA dan 0,15
111
taq polymerase (Takara Shizo, Shiga,
Japan). Amplifikasi DNA dilakukan dengan mesin thermal cycler sebanyal35 siklus. Siklus PCR diprogram dengan pemanasan pada suhu 94 "C selama tiga menit, denaturasi pada suhu 94 OC selama satu menit, anneling pada suhu 56 OC selama satu menit, ekstensi pada suhu 72 "C selama selama satu menit tiga puluh detik, ekstensi althir pada suhu 72 "C selama empat menit, dan fase pendinginan pada suhu 4 "C. Produk yang diharapkan dari uji ini adalah anlplikon DNA sebesar 437 bp (Mahatmi et 01. 2007). Keuntungan dari nested-PCR adalah jika terjadi kesalahan dalanl memperkuat fragmen PCR, maka kecil kemungkinm terjadi reaksi yang kedua kalinya dengan target primer yang kedua. Dengan begitu, nested-PCR adalah satu pernbesaran PCR yang sangat spesifik. Pada tahun 1998, Zhang et al. melakukan evaluasi klinis terhadap nested-PCR yang terbaru. Nested-PCR ini didesaign untuk menjadikan com I gene yang dengan sandi 27-kDa OMP sebagai target primer dalam mendeteksi C. burnetii. Sensitifitas dari nested-PCR dengan target primer OMPI-OMP2 dan OMP3OMP4 lebih tinggi dibandingkan dengan PCR dengan target primer Q3-Q5 dan Q4Q6. Hal ini dapat disimpulkan karena nested-PCR dengan primer OMPI-OMP2 dan OMP3-OMP4 mendeteksi 60 sampel serum positif C. burnetii sedangkan ketika dilakukan uji dengan nested-PCR dengan primer Q3-Q5 dan Q4-Q6, 60 sampel tersebut menunjukkan hasil negatif. Zhang et al. (1998) juga melakukan perbandingan antara nested-PCR dengan IFA test. Temyata dari serum sampel yang diarnbil dari pasien Q-fever akut, nestedPCR menunjukkm hasil positif sedangkan IFA test menunjukkan hasil negative.
Zhang el crl. menyimpulkan bahwa nested-PCR dengan com 1 sebagai target primer ternyata lebih sensitif, spesifik dan merupakan metode- yang efektif dalanl mendiagnosa C. bz~rnetiipada serum sampel Menurut Mahatmi er a1 (2007), hasil uji nesle~l-PCRmenunjukltan bahwa pita DNA hasil amplifikasi dari control C. burnetii tainpak lebih spesifik dan lebih jelas jika dibandingltan dengan ,first-round PCR. Sehingga dapat disinlpulkan bahwa nested-PCR meillpunyai sensitifitas yang lebih tinggi untuk mendeteltsi C.bzrrnetii.
3.2.1.4. PCR-Enzyme linked Immunosorbent Assay
Metode PCR ini merupakan PCR yang digunakan untuk mendeteksi C.burnetii dalam susu sapi. Polymerase Chain Reaction diaplikasikan bersalna dengan metode serologis ELISA dan inenggunakan penambahan bahan dalam metode persiapan yakni Triton X-100. Triton X-100 berfungsi untuk meningkatkan
pemisahan
immunomagnetik dari C. burnetii. PCR-ELISA dapat mendeteksi C. burnetii lebih sensitive dari PCR konvensional yang lain (Muramatsu et al. 1997).
3.2.1.5. Real-Time PCR Real-Time PCR adalah metode PCR semi kuantitatif yang membutuhkan pemuatan sampel pada gel dan insensitif ethium bromida. Metode ini dikembangkan untuk membedakan ekspresi mRNA dengan lebih mudah dan cepat. Metode ini juga membutuhkan mRNA yang lebih sedikit sampel yang dibutuhkan juga lebih sedikit dibandingkan PCR klasik. Selain dari sampel, mRNA juga dapat diperoleh dari laser capture microdissection (LCM) isolated cells. (Anonim 2007b). Perbedaan Real Time PCR adalah proses amplifikasi dilakukan di putaran awal. Pada PCR klasik amplifikasi terjadi di putaran terakhir. Hal ini mengakibatkan DNA target dapat dideteksi lebil~cepat.
Prinsipnya adalah monito~ingkuantitas dari
pendaran flourescence pada reaksi PCR. Selain itu dynamic range dari real time PCR juga lebih luas dari PCR klasik. Dynamic range dari suatu uji sangat menentukan kuntitas dan konsentrasi target. Seinakin luas dynamic range maka selnakin kecil kuantitas dan konsentrasi target.
3.2.2. DNA sequencing
Metode DNA sequencing adalah n~etode biokimia yang bertujuan untuk menentukan urutan dari basis nukleotida, adenin, guanin, sitosin. dan thyanin pada
DNA oligonukleotida (Anonim 2008b). Pada rangkaian DNA terdapat info~masi genetik yang bersifat heritable pada nukleus, plasmid, mitokondria, dan kloroplast yang menentukan basis program pertumbnhan pada semua organisme. Metode ini dapat digunakan dalam bidang forensik, alat bantu diagnostik, dau sebagai dasar dari penelitian tentang proses biologis pada organisme. Teknologi DNA sequencing modem digunakan sebagai alat bantu dalam melakukan sequencing dalam skala besar pada genom manusia. Selain itu, metode ini telah lnenentukan DNA-sequence yang lengkap pada banyak hewan, tumbuhan, dan mikroorganisme. Metode DNA sequencing mula-mula ditemukan pada tahun 1975 oleh Frederick Sanger. Kemudian pada tabun 1976-1977, Allan Maxam dan Walter Gilbert mengembangkan nietode Sanger dan dinamakan metode Maxam dan Gilbert. Kemudian metode tersebut berkembang menjadi metode Chain Tert11i1?atio17 neth hod,
Dye-terminator sequencing. Icemudim muncul metode DNA sequencii7g baru seperti High-throughpzrt sequencing, In vitro clonal ampl$cation, Paralellized sequencing, dan Sequencing by hibridization.
Pada identifikasi C burnetii, metode yang
umumnya digunakan adalah metode In vitro clonal amplij?cation, Paralellized
sequencing, dan Sequencing by hibridization. Metode In vitro clonal amplzj?cation digunakan untuk menlperbanyak molekul individual. Metode ini diawali emulsi dengan PCR yakni proses isolasi molekul
DNA berdasarkan rangkaian lapisan primer. PCR akan melapisi tiap rangkaian dengan hasil kloning yang berasal dari isolasi n~olekul,kemudian rangkaian ini diimobilisasi. Nguyen et a1 (1999) melakukan kloning genom pada C.
Burnetii
dengan metode ini. Metode paralellized
sequencing
adalah
metode
sequencing
dengan
menggunakan proses sintesis DNA dengan DNA polymerase untuk mengidentifikasi basis dari molekul DNA komplemen. Metode ini dilakukan dengan penambahan nukleotida lalu diidentifkasi dengan metode fluorescence kemudian ikatan tersebut
dipindahkan untuk proses polimerisasi nukleotida lain. Pada identifkasi C.bumetii nukleotida sequence yang sering dipakai sebagai dalam uji ini adalah nucleotida sequence dari rpo B, salah satu sandi dalam P-subunit dari RNA polymerase dari C. burnetii (Mollet et al. 1997). Sequence gen lain yang digunakan adalah 16s rRNA gene sequence (Masuzawa et al. 1997).
Teknologi sequencing DNA yang digunakan adalah dengan metode DNA hibridization. Metode ini menggunakan kesatuan DNA yang berbentuk mikro dan tidak menggunakan enzim. Proses pengerjaannya diawali dengan penempatan DNA yang tidak diketahui di kolam tunggal dan dilabel dengan fluorescent. Kemudian dhbridisasi dengan kesatuan DNA yang telah dlketahui identitasnya. Apabila DNA yang tidak diketahui dapat menimbulkan bintik yang berpendar maka hasilnya positif dan dapat disimpulkan bahwa Kesatuan DNA yang ditambahkan terdapat dalam DNA yang diuji. Hendrix et a1 (1992) telah melakukan kloning dan sequencing
dengall n~enggunakanlapisan protein luar gene c o ~ n ldari C. Btll.netii dengall lnetode DNA hibridizntion.
.. .
.
. .
..
Menurut Masuzawa et 01. (1 997), identifikasi C.burnetii dengan lnenggunakan rnetode DNA sequencing nien~ilikiakurasi lebih dari 99%. Kendala utama dalani metode ini adalah biaya operasional yang nlahal. Menurut data yang diperoleh dari X prize Foundation pada tahun 2006, untuk seqzrencirzg satu genoin manusia dianggarkan dana sebesar 10.000 dolar Amerika serikat (Anonin1 2008b)
1%'.PEMBAHASAN Q-fever pertama kali ditemukan di Australia pada tahuli 1935 oleh Edward Holbrook Derrick.
Q-fever disebabkan oleh C. Blrrnelii yang merupakan
mikroorganisme intraseluler (Maurin dan Raoult 1999).
C. burnetti bersifat tahan terlladap pH rendah, pemanasan, kekeringan, bahan kimia, serta resisten tehadap pasteurisasi dengan suhu 60,5 "C (Merchant & Packer 1961). Hal ini dikarenakan C. btrrnetii memiliki lapisan lipopolisakarida dan sporelike cycle sehingga mikroorganisme ini bersifat sangat stabil dalam lingkungan dan
tahan di lingkungan ekstrim sekalipun kecuali di antartika. Metode penyebaran C.burnetti juga cepat karena menyebar via aerosol, kontak langsung dengan materi yang terkontaminasi seperti feses, cairan amnion, plasenta, darah, air susu, wol, daging, dan kontak seksual (Fournier er ul. 1998). Selain itu dosis infeksius Q-fever sangat rendall yaitu 10 sel C. bzrvnetii yang menginfeksi hospes sudah menunjukkan gejala klinis seperti peningkatan suhu tubuli. Hal inilah yang mengakibatkan penyakit Q-fever tersebar di hampir seluruh dunia dan berpotensi sebagai senjata biologis. Q-fever pada manusia dibagi menjadi Q-fever akut dan Q-fever kronis. Gejala Q-fever akut adalah demaln tinggi, sakit kepala, kelelahan, kedinginan, sakit pada tenggorokan, nyeri pada dada, myalgia dan malaise. Gejala ini berlangsung satu sampai tiga minggu, tetapi terkadang berlangsung sampai tiga bulan apabila terjadi atypical pneumonia. Pada beberapa kasus kadang terjadi hepatitis, tetapi hepatitis dan atypical pneumonia tergantung dengan regional geografis. Komplikasi Q-fever akut adalah pericarditis, myocarditis, aseptis meningitis, encephalitis, polyneuropati, heniolisis anemia,
neuritis pada mata, transient hypoplastic anemia, thyroiditis,
gastroenteritis, pancreatitis, lympiiadenopati, erythrma nodosum, necrosis sumsum tulang, hemolytic uremic syndrome, splenic sindrome dan lain-lain (Anonimus 2003a). Sedangkan gejala klinis Q-fever kronis adalah endocarditis, yaitu radang pada katup jantung yang bisa mengakibatkan kematian (Hamzic et nl. 2003).
Q-fever pada hewan memiliki gejala klinis yang tidak jelas. Beberapa gejala ltlinis yang terjadi pada hewan yang menderita Q-fever adalah abortus, endometritis, retensi plasenta, demam, dan infertilitas (Anonim 2007a). Karena gejala klinis yang tidak jelas baik itu pada inanusia ataupun pada hewan inaka sulit untuk menanggulangi Q-fever. Selain itu terkadang gejala penyakit akan hilang dengall sendirinya.
Hal ini dapat menyebabkail keterlainbatan dalain
pengobatan penyakit karena umumnya pasien yang positif rnenderita Q-fever telah dalam kondisi yang parah. Q-fever telah menjadi problem kesehatan inasyarakat di dunia sehingga dilakukan penelitian yang mencakup teknik diagnostik, pengobatan, pencegahan, bahkan sekuensing genom dari C. burnetii secara lengkap (Seshadri et al.. 2003). Penelitian dan pengembangan teknik diagnostik Q-fever merupakan salah satu upaya untuk mencegah dan menanggulangi penyebaran Q-fever. Teknik diagnostik dimulai dengan melakukan identifikasi agen. Sampel yang digunakan untuk identifikasi dapat berasal dari darah, susu, uterus, fetus, kelenjar mamae, dan sampel caplak (Oda dan Yoshiie 1989). Proses identifikasi agen dilakukan dengan tiga cara yaitu pewarnaan, penentuan mktode deteksi yang spesifik serta melakukan isolasi agen (Anonim 2004). Pewarna C. burnetii rnenggunakan pewarnaan Gimenez. Selain itu pewarnaan stamp's dengan pewarna 2% basic fuchsin dan counterstained methylen blue juga dapat digunakan sebagai alternatif (Maurin & Raoult 1999). Q-fever dapat diidentifikasi dengan dua metode uji yaitu metode serologis d m metode rnolekuler. Metode serologis yang digunakan untuk rnendeteksi C. Burnetii adalah Capillary-Tube Agglutination, Immunofluorescence Assay (IFA), Complement
Fixation Antibody (CFT) dun Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Metode serologis yang mula-mula dipakai adalah Capillary tube. Metode ini memiliki prosedur pengerjaan yang relatif tidak sulit karena memanfaatkan aglutinasi darah. Uji ini juga tidak illembutuhkan biaya yang besar sehingga dapat dilakukan untuk penapisan dalam skala besar. Tetapi tes ini sudah tidak digunakan lagi dalarn diagnostik Q-fever karena membutuhkan waktu pembacaan yang lama dan tidak
diketahui tingkat sensitifitas dan spesifitasnya. Karena tidak ada data sensitifitas dan spesifisitas dikhawatirkan ada kesalahan dalam diagnosis Q-fever karena i~jiini rentan terhadap reaksi silang dengan mikroorga~lismeyang hidup dalam daral~. U j i
c a p i l l a ~tube pernah digunakan pada tahun 1972 dan 1974 untuk mengetahui adanya kemungkinan Q-fever d i Indonesia dan merupakan yang merupakan sejarah dimulainya penelitian tentang Q-fever di Indonesia (Rumawas ef al. 1976). Metode serologis yang digunakan untuk diagnosis Q-fever selengkapnya tercantum pada tabel
Tabel 1. Metode Serologis Untuk Diagnosis Q-fever Metode Capillnly Tube
Kelebilian Mudah
Murah,
Kekurangns Waktu
pembacaan
Mampu melakukan
yang
penapisan
diketahui
tingkat
sensitiftas
dan
dalam
skala besar
lama,
Objek Uji
Publikasi
Sapi
Rumawas (1976).
Manusia
Maurin and Raoult
tidak
spesititasnya CFT
Hasil yang didapat bersifat dapat
spesifik, reaksi digunakan
sebagai uji rutin IFA
Rentan
Spesifitas dan sensitifitas tinggi,
terhadap silang
1999, Field et al.
&
sensitifitasnya
2000, Field et al.
rendah
2002.
Hasil
bersifat
Manusia
Setiyono
et
al.
subjektif dan sulit
2005
digunakan
untuk
Slaba et al. 2005
penapisan
dalam
Mahatmi 2006
skala besar ELISA
Penapisan
dapat
Rentan reaksi silang
dilakukan
dalam
dan interpretasi liasil
skala besar, dapat
uji sulit
Manusia
Schinski
et
al.
1976,Halie et al. 1977,Maurin
and
diotomatisasi,
Raoult 1999, Field
sensitifitas
et al. 2000, Field et
tinggi
sangat
al. 2002.
Uji serologis ketiga yang digunakan untuk diagnosa Q-fever adalali ELISA. ELISA pertama kali ditemukan pada tahun 1972 oleh Engvall dan Perlmann dan diubah oleh Schinski et 01.. pada tahun 1976. ELISA digunakan untuk melihat kadar titer antibodi IgG dan IgM terhadap C. bzri.nelii (Halle el al. 1977). Menurut Field et
al. (2000), uji ELISA memiliki spesifitas terhadap IgM sebesar 88% dan sensitifitas sebesar 99%. Pada IgG, ELISA me~nilikispesifitas 96%dan sensitifitas 71% (Field et
al. 2002).
Tetapi keunggulan terbesar dari ELISA adalah mampu melakukan
penapisan dalam skala yang besar. Hal ini karena pembacaan uji ini menggunakan alat ELISA reader yang dapat bekerja secara atomatis. Kelebihan lain adalah waktu yang dibutuhkan untuk melakukan diagnostik juga cepat, sehingga dalam segi kepraktisan uji ini sangat baik. Kekurangan yang dimiliki ELISA adalah rentan tehadap reaksi silang terutama dengan leptospirosis.
Sehingga dalain interpretasi
hasil dikhawatirkan terdapat hasil positif palsu karena tingkat sensitifitas ELISA yang sangat tinggi. Uji ini juga membutuhkan pengalaman yang cukup karena sulitnya menginterpretasikan hasil penapisan sampel dibandingkan dengan IFA dan CFT (Maurin dan Raouit 1999; Field et al. 2000) Metode serologis yang sering digunakan (CFT, IFA, dan ELISA) memiliki kelebihan dan kekurangan. Oleh sebab itu penentuan metode uji yang digunakan sangat penting karena dapat meningkatkan efektifitas dari diagnosa Q-fever. Selain itu alternatif lain untuk mendapatkan diagnosa yang terbaik adalah dengall inelakukan kombinasi dari uji-uji serologis tersebut seperti CFT-IFA, ELISA-IFA, ELISA-CFT bahkan dapat juga dikombinasikan dengan uji molekuler seperti PCR. Menurut Field et al. (2000) ,kombinasi antara CFT dan IFA dengan IFA sebagai referensi metode maka spesifitas dari CFT akan semakin baik (Field et al. 2000). Sedangkan kombinasi anatara CFT dan IFA digunakan bersama uji ELISA dengan tujuan untuk mengkonfirmasi hasil negatif sehingga hasil penampisall sampel semakin baik (Field et al. 2002). U~numnyakombinasi ini dilakukan dengan uji yang lebih mural1 seperti CFT. Kemudian dilakukan uji lagi dengan metode yang lebih tinggi spesifitas dan sensitifitasnya seperti ELISA dan IFA sebagai goldstandar.
.,
U j i serologis dapat juga dikombinasikan dengan teknik Polymerase Chain
Reacrion (PCR) seperti metode PCR-ELISA. U j i ini digunakan pada susu dan dapat tnendeteksi C. bzrrneiii lebih sensitif dibandingkan PCR konvensional (Muramatsu et
01. 1997). Tetapi kornbinasi uji serologis baik dengan uji seroiogis lain maupun dengan uji molekuler metnbutuhkan tambahan biaya dan waktu. Dengan mempertimbangkan keterbatasan yang dimiliki uji serologis dilihat dari tingkat spesifitas, sensitifitas, objektifitas dan skala penapisan maka dilakukan pengembangan metode diagnostik baru untuk Q-fever. Metode yang dianggap baik dan diyakini dapat menggantikan metode serologis adalah metode Molekuler. Metode molekuler yang digunakan dalain diagnosis Q-fever selengkapnya dirangkum pada tabel 2.
Tabel 2 Metode Molekuler Untuk Diagnosis Q-fever Teknik
Kelebihan
Kekurangan
Publikasi
PCR-klasik
Sensitiftas tinggi
Kurang optimal untuk
Muramatsu elul. 1997,
lnendeteksi C. b~rrnelii
Zhang et al. 1998,
padajaringan padat,
Anonimus 2004, Ogawa
mahal
el al. 2004,Mahatmi 2006,Mahatmi elal. 2007,Anonim 2008
Nested-PCR
Sensitifitas sensitif
IOx dari
lebih
Biaya yang dibutuhkan
PCR
lebih liiahal
Zhang e l 01. 1998; Ogawa e l a/. 2004
konvensional Real Time PCR
Lebih cepat, sampel yang
Mahal
Anonimus 2007b
dibutuhkm lebih sedikit DNA-sequencing
Butuh binya yang smgat
Stein
lebih dari 99%
mahal, sampel uji lerbatas
Masuzawae~al.1997
el
a/.
1993,
Sensitifim dan spesifitas
Polymerase Chain Reaction pertalna kali ditetnukan pada tahun 1985 oleh Kary
B Mullis. PCR memberikan terobosan signifikan dalam pemanfaatan teknologi D N A khususnya tekhnologi rekombinan atau rekayasa genetik yang semula hanya bisa dikerjakan melalui kloning dan propagasi (Anonim 2008). PoZynzerase Chain
Reaction digunakan untuk mendeteksi DNA khas C. burnetii pada serum dan let~kosit
manusia (Zhang et al. 1998; Ogawa et al. 2004). Tetapi belum pernah dilakukan pada jaringan padat seperti jantung dan hati. Hal ini karena pada jaringan padat masih ada protein, lemak dan mineral jaringan yang SLIMdipisahkan dari DNA selama proses ekstraksi. Tetapi, menurut Mahatmi et a1 (2007) sa~npelyang didapat dari jaringan padat seperti hati, li~npa,jantung dan plasenta dapat digunakan untuk menemukan C. burnetii pada fase kronis.
Hal ini karena pada fase kronis bakteri ballyak
terakumulasi dalatn sel fagosit yang terdapat pada organ-organ tersebut. Prinsip dari PCR adalah adanya sifat ko~nplementasi rantai DNA dengan pasangannya dan dimanipulasi lnelalui 4 tahapan utama (Anonimus 2004). Elnpat langkah utama dalam PCR ini dilakukan berulang-ulang hingga 30-40 kali. Langkahlangkah ini dilaksanakan pada mesin yang secara otomatis melakukan reaksi dalam waktu yang singkat. Langkah pertarna adalah det~atcrrasipada suhu 94 "C. Pada saat denaturasi, rantai ganda DNA dari objek penelitian mengalami pemisahan sehingga tnedia berisi rantai tunggal DNA sebagai DNA tenzplate.
Kemudian dilanjutkatl dengan
annealirzg pada suliu 54 "C: pada tahapan ini, molekul-molekul primer (rantai asam
nukleat yang digunakan untuk mengawali proses PCR) yang telah ditambahkan pada mediamenempel pada rantai DNA.
Primer didesain secara khusus agar bisa
berkomplemen/berpasangan dengan DNA template. Primer didesain pula untuk
mengamplifikasi target DNA yang kita inginkan (misal DNA virus WSSV). Langkah terakhir adalah perpanjangan rantai pada suhu 72 "C: pada tahapan ini DNA polimerase yang telah ditambahkan pada media mulai bekerja untuk melnanjangkan rantai sehingga terbentuk rantai ganda DNA yang diinginkan. Langkah terakhir adalah pendinginan di suhu 4" C: rantai ganda DNA objek mengalami penggandaan sehingga terdapat peningkatan jumlah gen secara eksponensial. Reaksi PCR yang berulang membuat jumlah gen template (gen yang kita ingin ketahui) memadai untuk kita periksa pada elektroforesis. Elektroforesis adalah proses pembacaa~lhasil i ~ j i dengan menggunakan mesin. Proses ini berlangsung kira-kira 30 menit (Anonimus 2008).
Metode PCR memiliki beberapa variasi seperti nested PCR dan PCR-ELISA. Pada nested-PCR, salnpel yang digunakan adalah hasil rlinning dari PCR konvensional.
Nested-PCR me~nilikisensitifitas yang lebih tinggi dibandingkan
metode PCR konvensional (Zhang et al. 1998; Ogawa et al. 2004). Beberapa faktor yang me~npengaruhikualitas PCR konvensional dan nesled-PCR adaiah perbedaan primer yang dipakai. Selain itu, satnpel pada nested-PCR adalah hasil running dari PCR konvensional sehingga jumlah bakterinya pun lebih banyak.
Metode ini
digunakan di Indonesia oleh Mahatmi (2006) untuk mendeteksi Q-fever pada ruminansia di Indonesia. PCR-ELISA digunakan untuk mendeteksi C.burnetii pada susu sapi dan lebili sensitiif dalam mendiagnosa C.burnetii dibandingkan dengan metode PCR konvensional (Muramatsu et al. 1997). Metode PCR yang terbaru adalah Real Tirne PCR dimana metode ini membutuhkan jumlah sampel yang lebih sedikit karena memiliki dynamic range yang lebih luas. Sehingga memungkinkan pembacaan sanipel secara lebih cepat. Metode PCR memiliki sensitifitas yang sangat baik dalam mendeteksi Cburnetii, aman, dan lebih awet karena ~nenggunakanmateri genetik.
Metode ini
terbatas untuk diagnostik sampei dalam jumlah kecil. Sehingga metode ini umumnya digunakan untuk sampel individu saja dan jarang digunakan untuk penapisan sampel dalam skala besar (Muramatsu et al. 1997; Zhang et al. 1997). Spesifitas dan sensitifitas yang di~nilikioleh PCR sangat baik, tetapi penelitian dan studi untuk menemukan teknik diagnostik Q-fever yang lebih baik tetap dilakukan. Hasilnya adalah munculnya teknik DNA-sequencing. DNA-sequencing merupakan teknik diagnostik mutakhir yang dapat dipakai dalam diagnostik Q-fever. DNA-sequencing merupakan pengembangan dari PCR karena ~nenggunakan nukleotida sequence dari DNA. Gene sequence yang dipakai dalam uji ini adalah 1 6 s rRNA sequencing (Masuzawa et al. 1997). Menurut studi yang dilakukan Stein et al. (1993), lebih dari 99% C.burnetii yang diuji memiliki ikatan dengan basis 16s rRNA sequence.
Pada tahun 1997, Masuzawa et al. melakukan ideatifikasi
C.bzlrnetii menggunakan isolat dari Jepang, Amerika Serikat dan Eropa dengan gene sequence 16s rRNA sequence, hasilnya lebih dari 99%(99,1%-99,9%) strain
memiliki kesamaan. Selain itu level ikatan dari isolat yang berasal dari jepang, Amerika Serikat, dan Eropa, 99% sama. Hal ini menui~jukkanakirrasi dari ~netode DNA sequencing tnencapai 99%. Kendala dari metode ini adalah biaya operasional yang besar. Selain itu tingkat kesulitan dari penggunaan [netode ini sangatlah tinggi karena berhubungan dengan pemecahan rantai DNA.
V. PENUTUP
5.1. Kesimpulan
I. Teknik diagnostik Q-fever pada awalnya menggunakan cupillury lube, CFT, IFA, ELISA. Pengembangan teknik diagnostik Q-fever adalah PCR diikuti dengan DNA-seqz~encitig. Dengan banyaknya variasi teknik diagnostik Qfever dan perbedaan aplikasinya serta kelebihan dan kekurangannya, dokter hewan diharapkan dapat menentukan metode diagnostik yang tepat.
Ini
penting untuk efisiensi dan efektifitas dari proses diagnostik 2. CFT adalah uji serologis sederhana yang memiliki spesifitas yang baik untuk
digunakan dalam diagnosa infeksi Q-fever akut atau Q-fever kronis. Tetapi uji ini rentan terhadap reaksi silang dan membutuhkan waktu yang lama. 3. IFA memiliki tingkat spesifitas dan sensitifitas yang tinggi terhadap IgG dan IgM, bersifat subjektif penapisan sampel terbatas.
4. ELISA dapat digunakan untuk penapisan sampel dalam jumlah besar, memiliki tingkat kepraktisan tinggi, tetapi sulit diinterpsetasi
5. PCR memiliki tingkat spesifitas dan sensitifitas tinggi dan awet karena menggunakan materi genetik, tetapi terbatas untuk diagnostik sampel dalam jumlah kecil.
6. DNA-seqzrencing memiliki spesifitas dan sensitifitas lebih dari 99%, namun dilakukan untuk screening dalam skala kecil. 5.2. Saran
Teknik diagnostik men~pakansalah satu prosedur klinis yang sangat penting, diharapkan teknik diagnostik untuk Q-fever akan lebih dikembangkan. Sehingga ditemukan teknik diagnostic yang memiliki spesifitas dan sensitifitas yang baik tetapi murah, mudah diaplikasikannya serta mampu melakukan penapisan dalam jumlah besar. Sehingga diharapkan dapat mencegah terjadinya wabah Q-fever secara global.
DAFTAR PUSTAKA Anotiitnus. 2003a. Q-fever. littp://\vww.cfsph.iastate.ed~t [I4 Februari 20081 Anonitnus. 2003b. Q-fever. http://www.bt.cdc.aov [I4 Februari 20081. Anonimus.
2004. Manual diagnostic tests atid vaccines for terrestrial animal.
[22 Mei 081. http//www.OlE.int/ esp/normes/manual/A~OOO49.htm Anonimus. 2006. DNA-sequencing. htt~:Ilimaees.aoonle.co.idlimores?in~eurl=http://~~sers.rcn.com/ikimball.ma.ultr
anet~BioloavPa~es/D/ddTTP.gif&imeref~trl=http://users.rcn.com/ikitnball.ma.u Itranet/BiolopvPa~es/D/DNAseouencine.html&uso= BzN AKocETUAllWV kivU9ShlvOl=&h=419&w=286&sz=5&lil=id&start=2&tbnid= mZO5DvUsXI-M:&tbnh=l25&tbnw=85&arev=/itnaees%3Fq%3DDNAsequencitie%26obv%3D2%26h1%3Did%26sa%3DG [22 Desember 20081 Anonimus. 2007a. Coxiella buriiefii. http://en.wikipedia.org/wiki/Coxieiia burnetii [I Mei 20081 Anonimus. 2007b. PCR. littp://www.pcrstation.com [22 Mei 081 Anonimus. 2007c. Whats is biosecurity.
http://wwv.searo.who.int/en/section23/sectionl001 11528.Litm
IS
Agustits
20081 [I4 juli 081 Anonimus. 2008a. PCR. http://akuatika.net~2007106/22/mengenal-PC Anonimus. 2008b. DNA sequencing.
http://www.sciencedirect.com/science?~ob=ArticleURL&udi= B6T30-473MDMR1& -user = lo&-rdoc =l&-fmt=&-orig=search&-sort=d&view=c& -version=l&-url
Version=O&-userid=lO&md5=l3df3efd9~2Od66cl f l a40 12d056afc6 Baca OG dan D. Paretsky. 1983. Q Fever and Coxiella bzrrnetii: A Model for HostParasite Interaction. Mikrobiol. Rev. 47 ( 2 ) : 127-149.
Coleman SA, Fischer ER, Howe D, Mead DJ, Heinzen RA. 2004. Temporal Analysis of Coxiella burnetii Morphological Differention. J. Bacteriol. 186 (21) : 7344 7353. Dario S et al. 2004. Stimulation of Toll-Like Receptor 2 by Coxiella burnetii is Required for Macrophage Productio~lof Pro-inflammatory Cytokines and Resistance to Infection. J. Biol. Chem. 279 (52): 54405-54415
Dorko E, dan Cislakova L. 2005. Qfever Prevention and Vaccinalion.
1~tto://wwh.ncbi.nlm.nih.~ov/oubmedll6 138276?ordinalpos=17&itool=EntrezS ystem2.PEntrez.l'ubmed.l'ubmed
Resultsl'anel.l'~~bmed KVDocSum [28
Maret 20081. Engvall E, P Perlmann. 1972. Enzyme-linked immunosorbent assay, ELISA. 111. Quantitation of specifik antibodies by enzyme-labeled anti-immunoglobulin in antigen-coated tubes. J. Imtnunol. 109: 129-135. Field PR, J.G. Hunt, A.M. Murphy. 1983. Detection and persistence of spesific IgM antibody to Coxiella burnetii by enzyme-linked immunosorbent assay: a comparisio~lwith irnmunofluorescence and complement fixation tests. J. Infect. Dis. 148:477-487. Field PR, JL Mitchell, A Santiago, DJ Dickeson, SW Chan, DWT Ha, AM Murphy, AJ Cuzzubbo, PL Devine.
2000. Co~nparasionof a Commercial Enzyme-
Linked lmmunosorbent Assay with Immunofluorescence and Complement Fixation Tests for Detection of Coxiella burnetii (Q Fever) Immunoglobulin M. JClin Microbial. Apr. 2000, p. 1645-1647. Field PR, A Santiago, SW Chan, DB Patel, D Dickeson, JL Mitchel, PL Devine, AM Murphy.
2002. Evaluation of a Novel Commercial Enzyme-Linked
Immunosorbent Assay Detecting Coxiella burnetii-Spesific Immunoglobulin G for Q fever Prevaccination Screening and Diagnosis. J clin nzicrobiol, Sept 2002, p. 3526-3529. Fournier PE, Thomas JM, D. Raoult. 1998. Diagrlosis of Q Fever. J. Clin. Mikrobiol. 36 (7) : 1823-1834. Garner MG, Longbottom HM, Cannon RM, Plant AJ. 1997. A review of Q-fever in Australia 1991-1994. http://www.ncbi.nIm.nih.gov/ Ganiswarna, SG et al. 1995. Farmakologi dun Terapi. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Gikas A, Diamantis PK, Andreas M, John P, Yiannis T. 2001. Newer Macrolides as Ernpiric Treatment for Acute Qfever Infection. Antimicrobial Agents and Chemotherapi. 45 (12) : 3644-3646.
Hackstadt T, Marius GP, Penny JH, Robert LC. 1985. Lipopolysaccliaride Variation in Coxiella burnetii: Intrastrain Heterogeneity in Structure and Antigenicity. Infection And Immunity. 48 (2). 359-365. Halle S, Dash GA, Weiss E. 1977. Sensitive enzyme-linked immunosorbent assay for detection of antibodies againts typhus rickettsiae, Rickettsia prowazekii, and Rickettsia @phi.J. Clin. Microbial. 6: 10 1 - 1 10.
Hamzic S, Beslagic E, Zvizdic S. 20003. Signiticance of Q-fever Serologic Diagnosis in Clinically Suspect Patiens. Annals of the Neiv Yorkof Science. 990:365 Hendrix LR, Mallavia LP, Samuel JE. 1992. Cloning and Sequencing of Coxiella burnetii Outer Membrane Protein Gene coml. Infection and i,ntrtr~ni@,Feb.
1993, p. 470-477. Lay BW. 2002. Mikrobiologi. Jakarta : Rajawali Pers. Mahatmi H. 2006. Studi Q-Fever Pada Rur~~inansia Di Wilayal~Bogor Dan Provinsi Bali Menggunakan Metode Nested-Polyi~zerase Chain Reaction Durz Uji Indirect Imunofluorescent Antibody [Disertasi]. Program Pascasarjana IPB.
Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, lnstitut Pertanian Bogor Mahatmi H, Agus S, Retno DS, Fachryan HP. 2007. Deteksi Coxiella burnetii Penyebab Q-fever pada Sapi, Domba dan Kambing di Bogor dan Bali. J. Vet.8(4): 180-187. Marmion BP, Harris RJ, Strom PA, Semendric L. 2002. Q fever Still a ~nysterious disease. Q. J. Med. 95 (12):832-833. Masuzawa T, K Sawaki, H Nagaoka, M Akiyama, K Hirai, Y Yanagihara. 1997. Identification of Rickettsiae Isolated in Japan as Coxiella burnetii by 16s rRNA Sequencing. Int. JSyst. Bacterial., July 1997, p. 883-884. Maurin M dan Raoult D. 1999. Q Fever. JClin. Mikrobiol. Rev. 12 (4) : 51 8-553. Merchant IA dan Packer RA. 1961. Veterinary Bacteriology and Virology. 6" edition. Iowa: Iowa State University Press. Mollet C, Michel D, Didier R. 1997. Determination of Coxiella burnetii rpo B sequence and its use for phylogenetic analysis. Int. J. Gene. 207. 97-103.
~ u i ~ a m a t sY, u Tsuyoshi Y, Tamaki 0 , Hiroshi U, Chiharu M. 1997. Detection of Coxiella burnetii in Cow's Milk by PCR-Enzyme-Linked Immunosorbent Assay Combined with a Novel sa~npelPreparation Method. Applied And Environ~iientalMicrobiolgy, June 1997, p, 2142-2146. Mutschler E. 199 1. Dinamiko Obat. Bandung: ITB. Nguyen VS, To H, Yamaguchi T, Fukushi H, Hirai K. 1999. Molecular cloning of an immunogenic and acid-induced isocitrate dehidrogenase gene from Coxiella burnetii. FEMS Microbiol. Lett. 175 (1999) 101-106. Oda H, Yoshiie K. 1989. Isolation of a Coxiella burnetii strain that has low virulence for mice from a patient with acute Q-fever. Microbiol. In7mzinol. 33:969-973. Ogawa M, Setiyono A, Sato K, Cai Y, Shiga S, Kishimoto T. 2004. Evaluation of PCR Assays curre~itly used for Detection of Coxiella burnetii in Japan. Southeast Asian. J. Pop. Med. Ptrb. Health. 35(4): 15 1- 154 Raoult Didier. 2002. Q fever Still a mysterious disease. Q. J. Med. 95: 491 Raoult, Didier. 1993. Treatment of Q fever. Antimicrobial Agent and Chemotherapy, Sep. 1993, p. 1733-1736. Rumawas, Indrawati. 1976. Some zoonosis and the possibilities of Q fever in Indonesia.
Confrence of the Singapore Veterinary Assosiation; Singapore,
October 22-24, 1976. Hlm. 16-21 Schinski, VD, Clutter WC, Murrel KD. 1976. Enzyme-linked immunosorbent assay and I-labeled anti-immunoglobulin assays in the irnmunodiagnosis of schistomiasis. Am. J. Trop. Med Hyg. 25: 824-83 I. Seshadri R, Paulsen IT, Eisen JA, Read TD, Nelson KE, Nelson WC, Ward NL, Tettelin H, Davidsen TM, Beanan MJ, Deboy RT, Daughtery SC, Brinkac LM, Madupu R, Dodson RJ, Khouri HM, Lee KH, Carty HA, Scanlan D, Heinzen
RA, Thompson HA, Samuel JE, Fraser CM, Heidelberg JF. 2003. Complete genome sequence of the Q fever pathogen Coxiella burnetii. PNAS. 100 (9); 5455-5460. Setiyono A, E Handharyani, H Mabatmi. 2008. Seroprevalensi Q-fever pada Domba dan Kambing di Wilayah Jawa Barat. Jurnal Ilmu ternak dan Veteriner. 13(1).
Setiyono A, M Ogawa, Y Cai, S Sliiga, T Kisliinioto, I Kurane. 2005. New Criteria for lmmunofluorescence Assay for Q-fever Diagnosis in Japan. J. Clin. ~\hcr.obiol.43(1 I): 5555-5559. Sienko DG el 01. 1988. Q fever A call to heighten our index of suspicion. Arch. Intern. Med. (Abstract) 143 (3): I . Slaba K, Skultety L, Toinan R. 2005. httv://~ww.~~cbi.~iIm.nih.~ov/pubmed/ 16047740?ordinalpos=6&itool=EntrezSvsteni2 .PEntrez.Pub~ned.PubmedResultPane1.Pubmed RVDocSuln [7 Agustus 20081 Soejoedono RR. 2004. Zoonosis. Bogor : Laboratorium Kesmavet FKH-IPB Stein A, Saunders NA, Taylor AG dan Raoult D. 1993. Phylogenic homogencity of Coxiella bzrrnetii strains as determined by 16s ribosomal RNA sequencing. FEMS rizicrobiol. Lett. 1 1339-334. Suseno PP.
2007.
Biosecurity continuum dan pelaksanaannya di Indonesia.
http://pebivurwosuseno.
Wordpress.co1n/2007/11/28/biosecurity-continuum-
dan-pelaksanaannya-di-indonesial[8 Agustus 20081. Welch DF. 2007. Basic Protocol For Level A (Sentinel) Laboratories For The Presztmptive Identification of Coxiella burnetii.
~I~~~://~~~.~~~.~~~/ASM/~~~~~/LEFTMARGINHEADER ILENAME/OOOOOOl088/coxiellaburnetii f6 Februari 20081 Zhang GQ, SA V Nguyen, H TO Ogawa, A Hotta, T Yamaguchi, HJ Kim, H Fukuishi, K Hirai.
1998. Clinical Evaluation of a New PCR Assay for
Detection of Coxiella buntetii in Human Serum Sampels. J Clin. Microbial. Jan. 1998. p. 77-80. Zhang GQ, Kiss K, Seshadri R, Hendrix LR, Samuel JE. 2004. Identification and Cloning Antigens of Coxiella burnetii. Jlnject. Itnmzm. 72 (2): 844-852.