STUDI Q FEVER PADA TERNAK RUMINANSIA DI SUMATERA UTARA
SANGKOT SAYUTI NASUTION
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Studi Q Fever pada Ternak Ruminansia di Sumatera Utara adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juni 2014 Sangkot Sayuti Nasution B351120061
RINGKASAN SANGKOT SAYUTI NASUTION. Studi Q Fever pada Ternak Ruminansia di Sumatera Utara. Dibimbing oleh AGUS SETIYONO dan EKOWATI HANDHARYANI. Salah satu penyakit yang dapat mengganggu produktifitas ternak ruminansia dan bersifat zoonosis adalah penyakit Q fever. Q fever merupakan penyakit yang terdapat di seluruh dunia kecuali Selandia Baru. Infeksi pada sapi umumnya berlangsung asimtomatik tetapi dapat menyebabkan keguguran, subfertilitas dan metritis. Pada ruminansia kecil, infeksi dapat menyebabkan keguguran, lahir mati, retensi membran fetus, endometritis dan infertilitas, dimana keguguran biasanya terjadi pada akhir kebuntingan. Dengan tidak spesifiknya gejala klinis yang ditimbulkan, sebagian besar kasus Q fever seringnya tidak dilaporkan dan tidak terdiagnosa. Hal ini berakibat pada terbatasnya informasi mengenai penyebaran penyakit ini. Mengingat sebagian besar kasus pada hewan berlangsung asimtomatik, diperlukan suatu usaha untuk mendeteksi agen penyebab penyakit ini melalui metode uji yang dapat membuktikan keberadaannya pada ternak ruminansia. Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi keberadaan Coxiella burnetii sebagai penyebab Q fever pada ternak ruminansia di Sumatera Utara, secara histopatologi dan serologi. Penelitian dilakukan dengan pendekatan deteksi penyakit, dimulai dengan pengambilan sampel organ sapi di RPH Kota Medan dan Deli Serdang (RPH Tani Asli dan RPH NP 96) serta pengumpulan sampel serum sapi, kambing dan domba dari 6 (enam) Kabupaten/Kota di Sumatera Utara (Medan, Deli Serdang, Simalungun, Asahan, Karo dan Labuhan Batu). Dalam tahap ini, sampel organ limpa, paru paru dan hati dikumpulkan dari 162 ekor sapi eks impor, sedangkan 184 sampel serum dikumpulkan dari 58 ekor sapi, 75 ekor kambing 51 ekor domba lokal. Selanjutnya dilakukan pengujian sampel di laboratorium dimana organ sapi yang diperoleh dievaluasi secara histopatologi menggunakan pewarnaan Imunohistokimia (IHK) untuk mendeteksi antigen Coxiella burnetii dan Mayer’s Hematoksilin dan Eosin (HE) untuk mendeskripsikan lesio histopatologi pada organ yang imunoreaktif dalam pengujian IHK. Imunohistokimia dikerjakan menggunakan kit komersial dengan metode LSAB produksi Dako®. Sampel serum sapi, kambing dan domba diuji dengan metode Enzyme Linked Immunosorbent assay (ELISA) untuk mendeteksi keberadaan antibodi terhadap Coxiella burnetii. Kit ELISA yang digunakan adalah produksi ID.Vet dengan nama produk ID Screen® Q Fever Indirect Multi-Species. Hasil pemeriksaan imunohistokimia pada sampel organ yang dikumpulkan di RPH menunjukkan bahwa, 62/162 (38,3%) sapi eks impor imunoreaktif terhadap antibodi Coxiella burnetii. Berdasarkan asal sampel, sampel yang berasal dari RPH Kota Medan 40/101 (39,6%) diantaranya imunoreaktif dan 22/61(36,1%) sampel yang berasal dari RPH Kabupaten Deli Serdang imunoreaktif. Organ yang imunoreaktif menunjukkan adanya warna coklat spesifik di dalam sitoplasma sel-sel makrofag baik limpa, paru-paru dan hati. Deskripsi lesio yang ditemukan pada organ limpa berupa infiltrasi sel-sel radang neutrofil dan peningkatan sel-sel makrofag yang umumnya terlihat pada daerah pulpa merah. Lesio lain yang ditemukan antara lain kongesti, kehadiran pigmen
hemosiderin, atrofi pulpa putih dan edema. Lesio yang terlihat pada paru-paru B C antara lain hemoragi, edema, atelektasis, D A adalah pneumonia interstitialis, H F parasit. kongesti, G interstitialis thrombus dan emfisema, infestasi Lesio pneumonia ditandai dengan pelebaran septa interalveolar akibat infiltrasi oleh sel-sel radang limfosit, makrofag dan sedikit neutrofil. Lesio histopatologi pada organ hati antara lain ; adanya reaksi peradangan yang ditandai dengan infiltrasi sel-sel radang limfosit, makrofag, neutrofil, dan eosinofil umumnya ditemukan di daerah porta yang menunjukkan adanya portal triaditis. Sel-sel radang didominasi oleh limfosit dan makrofag serta sedikit kehadiran neutrofil dan eosinofil. Disamping itu ditemukan kongesti, degenerasi dan nekrosis hepatosit, serta fibrosis hepatis. Pemeriksaan ELISA pada seluruh sampel serum sapi, kambing maupun domba lokal menunjukkan hasil negatif terhadap kehadiran antibodi Coxiella burnetii. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut dapat dikatakan bahwa kemungkinan besar hewan yang diuji belum pernah kontak dengan antigen Coxiella burnetii. Dengan demikian secara tidak langsung belum ditemukan kehadiran Coxiella burnetii pada populasi hewan sapi, kambing dan domba lokal di Sumatera Utara. Penelitian ini membuktikan adanya infeksi Coxiella burnetii sebagai penyebab Q fever pada ternak ruminansia khususnya pada sapi eks impor di Sumatera Utara. Namun demikian hasil pemeriksaan ELISA menunjukkan bahwa kasus Q fever pada sapi, kambing dan domba lokal belum ditemukan. Kata kunci : Q fever, Coxiella burnetii, ruminansia, imunohistokimia, ELISA
SUMMARY SANGKOT SAYUTI NASUTION. Studies on Q Fever in Ruminants Livestock in North Sumatra. Supervised by AGUS SETIYONO dan EKOWATI HANDHARYANI. Q fever is one of the animal diseases that can interfere the productivity of ruminants livestock and has zoonotic properties. Q fever is a worldwide distributed animal disease except for New Zealand. In cattle the infection of Q fever generally asymptomatic but may cause abortion, subfertility and metritis. In small ruminants the infection may cause abortion, stillbirth, retension of fetal membranes, endometritis and infertility, where the abortion usually occur in the last period of pregnancy. With no specific clinical signs, most cases of Q fever is often unreported and undiagnosed. This resulted in a lack of information about the spread of this disease. Because of majority of cases in animals appeared asymptomatic, required an effort to detect the causative agent of the disease through testing method that can prove its existence in ruminants. The aims of this study was to detect the presence of Coxiella burnetii antigens and antibodies as ethiological agent of Q fever in ruminants in North Sumatra, by histopathology and serology methods. The study was conducted with the disease detection approach, starting with sampling of cattle organs at slaughter houses of Medan and Deli Serdang (Tani Asli and NP 96 slaughter houses) and the collection of serum samples of cattles, goats and sheep in 6 (six) districts of North Sumatra Province (Medan, Deli Serdang, Simalungun, Asahan, Karo and Labuhan Batu). In this stage, spleen, lung and liver samples were collected from 162 ex import cattles, while 184 serum samples were collected from 58 local cattles, 75 goats, and 51 sheep. Further stage, the samples were tested in the laboratory where the cattle organs evaluated histopathologically using Immunohistochemical staining (IHC) for the detection of Coxiella burnetii antigens and Mayer's Hematoxylin and Eosin (HE) to describe the histopathological lesions in organs that showed the immunoreactivity in IHC. Immunohistochemistry was performed using a commercial kit from Dako® with LSAB method. Serum samples of cattles, goats and sheep were tested by enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) to detect the presence of antibodies to Coxiella burnetii. The ELISA kits that used were from ID.Vet with the product name ID Screen ® Q Fever Indirect Multi-Species. Immunohistochemical examination results showed that, 62/162 (38.3%) of ex import cattles were immunoreactive to Coxiella burnetii antibodies. Based on the origin of the samples, the samples originating from Medan slaughter house 40/101 (39.6%) of them were immunoreactive and 22/61 (36.1%) samples derived from Deli Serdang slaughter house were immunoreactive. The immunoreactive organs showed the specific brown color in the cytoplasm of macrophages in the spleen, lungs and liver. The lesions which were found in the spleen are infiltration of inflammatory cells of neutrophils and increased number of macrophages that commonly seen in the red pulp area. Other lesions such as congestion, presence of hemosiderin pigment, atrophy of the white pulp and edema were also found. Lungs histopathology revealed interstitial pneumonia, congestion, hemorrhage, edema, atelectasis, emphysema, thrombus, and parasitic infestations. Interstitial
pneumonia was characterized by widening of interalveolar septa due to infiltration by inflammatory cells such as lymphocytes, macrophages and neutrophils. Histopathological lesions in the liver such as inflammatory reaction characterized by infiltration of inflammatory cells such as lymphocytes, macrophages, neutrophils, and eosinophils were generally found in the portal area indicating portal triaditis. Inflammatory cells dominated by lymphocytes and macrophages with few neutrophils and eosinophils were also found. In addition, there were congestion, degeneration and necrosis of hepatocytes, and hepatic fibrosis. The ELISA results in all serum samples of local cattles, goats and sheep were negative for the presence of antibodies against Coxiella burnetii. Based on these results, it can be concluded that the animals which tested most likely has no contact with Coxiella burnetii antigens. Thus indirectly the presence of Coxiella burnetii were not found in populations of local cattles, goats and sheep in North Sumatra. The results indicated the presence of Q fever infection especially on ex import cattles in North Sumatra. However, the results of ELISA showed that the infection of Q fever in local cattles, goats and sheep were not found. Key words : Q fever, Coxiella burnetii, ruminant, immunohistochemistry, ELISA
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
STUDI Q FEVER PADA TERNAK RUMINANSIA DI SUMATERA UTARA
SANGKOT SAYUTI NASUTION
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Biomedis Hewan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof Dr drh Fachriyan Hasmi Pasaribu
Judul Tesis : Studi Q fever pada Ternak Ruminansia di Sumatera Utara Nama : Sangkot Sayuti Nasution NIM : B351120061
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Drh Agus Setiyono, MS PhD Ketua
Prof Dr Drh Ekowati Handharyani, MSi Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Biomedias Hewan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Drh Agus Setiyono, MS PhD
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 16 Juni 2014
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang telah dilaksanakan ialah penyakit hewan menular Q fever, dengan judul Studi Q Fever pada Ternak Ruminansia di Sumatera Utara. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Drh Agus Setiyono, MS, Ph.D dan Ibu Prof Dr Drh Ekowati Handharyani, MSi selaku pembimbing, Bapak Prof Dr drh Fachriyan Hasmi Pasaribu selaku penguji luar komisi serta Drh Mawar Subangkit, MSi yang telah memberikan bantuan, bimbingan dan saran selama pelaksanaan penelitian dan penyelesaian tesis ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Kepala BPPSDMP Kementerian Pertanian yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang magister ini melalui fasilitas beasiswa yang telah diberikan. Penghargaan juga disampaikan kepada Bapak Kepala Balai Veteriner Medan, Bapak Drh Suhirjan, Adinda Zulhajji, Bapak Sholeh, Bapak Kasnadi, Bapak Endang serta seluruh staf Laboratorium Patologi FKH IPB. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada istri tercinta Eka Ervika, MSi, Psikolog, Ananda M. Faiz Aqil Nasution dan M. Danish Afif Nasution serta seluruh keluarga, atas pengorbanan, doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan masyarakat.
Bogor, Juni 2014 Sangkot Sayuti Nasution
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
i
DAFTAR GAMBAR
ii
DAFTAR LAMPIRAN
iii
PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
1 1 2 3 3
TINJAUAN PUSTAKA Coxiella bunetii Patogenesis Q Fever Q Fever pada Ternak Ruminansia Deteksi Coxiella burnetii dengan Imunohistokimia Deteksi Antibodi Terhadap Coxiella burnetii Dengan ELISA
3 3 4 6 8 9
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode
10 10 10 10
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pengujian Imunohistokimia Hasil Pembacaan Lesio Histopatologi Hasil Pengujian ELISA Pembahasan umum
14 14 18 25 27
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
30 30 30
DAFTAR PUSTAKA
31
LAMPIRAN
36
RIWAYAT HIDUP
47
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8
Interpretasi Hasil Pengujian ELISA Jumlah Sampel Individu Sapi dan Hasil Pengujian Imunohistokimia Hasil Pengujian Imunohistokimia Berdasarkan Jenis Organ Hasil Pembacaan Lesio Histopatologi Limpa (HE) Hasil Pembacaan Lesio Histopatologi Paru-paru (HE) Hasil Pembacaan Lesio Histopatologi Hati (HE) Jumlah Sampel Serum dan Hasil Pengujian ELISA Ringkasan Hasil Pengujian IHK pada Sapi Eks Impor dan Hasil Pengujian ELISA pada Sapi, Kambing dan Domba Lokal
14 15 16 20 22 24 26 28
DAFTAR GAMBAR 1 Alur Penelitian 2 Hasil Pewarnaan Imunohistokimia. Deteksi antigen Coxiella burnetii pada sel-sel makrofag (panah) organ limpa (A), paru-paru (B) dan hati (C). 3 Lesio Histopatologi Limpa (HE). A. Infiltrasi sel-sel radang makrofag (panah) dan neutrofil (kepala panah) pada pulpa merah, B. Kongesti (panah), C. Akumulasi pigmen hemosiderin (panah), dan edema (kepala panah) ditandai dengan jarak antar sel yang melebar, D. Atrofi pulpa putih (panah). 4 Lesio Histopatologi Paru-paru (HE). A. Pneumonia interstitialis ditandai oleh infiltrasi sel-sel radang makrofag (panah hitam) dan limfosit (kepala panah) dan neutrofil (panah putih) pada jaringan interalveolar, B. Kongesti (panah), hemoragi (h) dan edema (kepala panah), C. Thrombus (panah), D. Emfisema (e), dan infestasi parasit (panah). 5 Lesio Histopatologi Hati (HE). Peradangan pada daerah porta ditandai dengan infiltrasi sel-sel radang limfosit (kepala panah) dan makrofag (panah), B. Kongesti (panah) C. Fokus nekrosis disertai oleh infiltrasi sel-sel radang limfosit (kepala panah) dan makrofag (panah), D. Fibrosis (panah).
11
17
19
21
24
DAFTAR LAMPIRAN 1 Populasi Ternak Ruminansia di Sumatera Utara Tahun 2012 2 Hasil Pengujian Imunohistokimia (IHK) 3 Hasil Pengujian Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
36 37 42
PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu penyakit yang dapat mengganggu produktifitas ternak ruminansia dan bersifat zoonosis adalah penyakit Q fever. Q fever merupakan penyakit yang terdapat di seluruh dunia kecuali Selandia Baru (Rodolakis 2006; Angelakis dan Raoult 2010). Pada Tahun 2009 wabah besar Q fever pernah terjadi di Belanda, yang menyerang lebih dari 2300 orang dan menyebabkan 6 orang meninggal dunia. Kasus tersebut diduga berasal dari peternakan kambing yang terinfeksi Coxiella burnetii (Enserink 2010). Australia sebagai asal utama sapi impor ke Indonesia masih belum bebas dari penyakit ini. Cooper et al. (2011) membuktikan hal ini dengan melakukan kajian seroprevalensi pada sapi potong di Queensland Australia, dimana 16.8% sampel serum yang diperiksa seropositif terhadap Coxiella burnetii. Di Indonesia, Q fever pertamakali dilaporkan pada sapi dimana sebanyak 189 serum sapi positif terhadap antibodi Coxiella burnetii (Kaplan dan Bertagna 1955). Miyashita et al. (2001) menemukan adanya kasus pneumonia yang disebabkan oleh Coxiella burnetii pada seorang penderita yang mempunyai riwayat pernah tinggal di Indonesia. Mahatmi et al. (2007), berhasil mendeteksi agen penyakit ini pada 6,68 % sampel organ Sapi Brahman Cross, 5,7 % pada organ domba yang diperoleh di Bogor, serta 4,29 % pada organ Sapi Bali yang diperoleh di rumah potong hewan di Bali dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR). Namun demikian, informasi keberadaan penyakit ini pada daerah lainnya di Indonesia masih sangat terbatas. Beberapa negara seperti Amerika Serikat, Jepang, dan negara-negara bekas Uni Soviet telah mengembangkan Coxiella bunetii sebagai senjata biologis (Jones et al. 2006). Q fever dianggap sebagai agen potensial dalam bioterorisme karena tingkat infektifitas dan stabilitasnya pada lingkungan serta berpotensi disebarkan melalui aerosol (OIE 2010). Amerika Serikat menempatkan Q fever sebagai agen bioterorisme kategori B, dimana agen ini secara moderat mudah disebarkan (Guarner dan Zaki 2006; Raoult 2009; CDC 2013). Q fever adalah zoonosis yang disebabkan oleh Coxiella burnetii, merupakan bakteri gram negatif intraseluler (Maurin dan Raoult 1999; Woldehiwed 2004; Roest et al. 2011). Penyakit ini memiliki reservoir yang sangat luas termasuk mamalia, unggas, dan arthropoda terutama caplak (Angelakis dan Raoult 2010). Ruminansia domestik merupakan reservoir utama terhadap kasus yang terjadi pada manusia (Astobiza 2012). Sapi, domba dan kambing merupakan reservoir utama pada hewan (Fournier et al. 1998; Maurin dan Raoult 1999). Infeksi pada sapi umumnya berlangsung asimtomatik tetapi dapat menyebabkan keguguran, subfertilitas dan metritis (Porter et al. 2011). Pada ruminansia kecil, infeksi dapat menyebabkan keguguran, lahir mati, retensi membran fetus, endometritis dan infertilitas, dimana keguguran biasanya terjadi pada akhir kebuntingan (Arricau-Bouvery dan Rodolakis 2005 ; Van den Brom dan Vellema 2009). Gejala klinis Q fever pada manusia sering digambarkan seperti flu. Akan tetapi gambaran penyakitnya dapat terlihat mulai dari demam tidak spesifik yang berhenti dengan sendirinya, sampai dengan pneumonia atipikal, endokarditis,
2 hepatitis dan manifestasi neurologis (Woldehiwet 2004; Porter 2011). Dengan tidak spesifiknya gejala klinis yang ditimbulkan, sebagian besar kasus Q fever tidak dilaporkan dan tidak terdiagnosa (EFSA 2010). Mengingat sebagian besar kasus pada hewan berlangsung asimtomatik, diperlukan suatu usaha untuk mendeteksi agen penyebab penyakit ini melalui metode uji yang dapat membuktikan keberadaannya pada ternak ruminansia. Pada penelitian ini dilakukan deteksi antigen Coxiella burnetii pada sampel organ yang telah difiksasi Buffered Neutral Formalin (BNF) menggunakan teknik Imunohistokimia (IHK). Aplikasi IHK untuk mendeteksi antigen Coxiella burnetii telah banyak digunakan. Studi histopatologi dan IHK menunjukkan keberadaan antigen Coxiella burnetii pada plasenta kambing yang diinfeksi (Sanchez et al. 2006). Hal yang hampir sama dilakukan oleh Hansen et al. (2011) untuk melihat distribusi antigen Coxiella burnetii pada plasenta sapi. Norina et al. (2011) melakukan studi retrospektif dengan teknik IHK pada organ kambing yang terinfeksi Coxiella burnetii, dan berhasil mendeteksi keberadaan agen tersebut pada berbagai organ seperti hati, limpa, paru-paru, plasenta, dan ginjal. Lebih lanjut, pada penelitian ini juga dilakukan deteksi antibodi Coxiella burnetii,menggunakan metode Enzyme Linked Immunosarbent Assay (ELISA). Metode ELISA memiliki sensitifitas yang tinggi dan spesifitas yang baik dalam mendeteksi antibodi Coxiella burnetii (Kittelberger et al. 2009; Rousset et al.2007). Teknik ini banyak digunakan dalam diagnosis veteriner karena relatif mudah dikerjakan terutama untuk tujuan screening sampel dalam skala besar. Enzyme Linked Immunosarbent Assay merupakan teknik yang cukup handal dalam menunjukkan keberadaan antibodi Coxiella burnetii (OIE 2010). Metode ELISA dapat mendeteksi baik antibodi terhadap fase I maupun fase II dari Coxiella burnetii, dimana antibodi spesifik terhadap Coxiella burnetii masih dapat dideteksi sampai dengan lima tahun setelah periode akut infeksi (Fournier et al. 1998).
Perumusan Masalah Q fever yang disebabkan oleh Coxiella burnetii merupakan penyakit yang dapat mengganggu produktifitas ternak ruminansia serta bersifat zoonosis. Sampai saat ini penelitian mengenai kejadian dan penyebaran Q fever di Indonesia masih jarang dilakukan. Hal ini menyebabkan terbatasnya ketersediaan informasi mengenai penyebaran penyakit tersebut. Sumatera Utara merupakan provinsi yang memiliki populasi ternak ruminansia yang cukup tinggi dan merupakan salah satu daerah penerima sapi impor. Namun demikian, informasi keberadaan dan tingkat penyebaran penyakit Q fever di provinsi tersebut belum diketahui. Oleh sebab itu itu dibutuhkan penelitian yang bisa membuktikan keberadaan dan tingkat penyebaran penyakit tersebut. Deteksi keberadaan penyakit Q fever tersebut dilakukan dengan pendekatan pengujian penyakit ini pada ternak ruminansia khsususnya pada sapi, kambing dan domba. Pengujian dilakukan dengan metode yang mampu membuktikan keberadaan agen penyebab penyakit tersebut pada sampel organ. Disamping itu deteksi antibodi terhadap Coxiella burnetii dilakukan sebagai pembuktian tidak langsung kehadiran antigen tersebut pada populasi ternak sapi,
3 kambing dan domba. Salah satu uji yang dapat mendeteksi antigen Coxiella burnetii pada organ adalah metode imunohistokimia. Sedangkan uji yang mampu mendeteksi keberadaan antibodi terhadap agen tersebut salah satunya adalah metode ELISA. Imunohistokimia merupakan teknik yang dapat dipakai untuk mendeteksi keberadaan antigen tertentu pada jaringan dengan mereaksikannya dengan antibodi spesifik. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa Coxiella burnetii bisa dideteksi pada sel-sel makrofag limpa, paru-paru dan hati. Dengan demikian jika antigen Coxiella burnetii terdapat pada sampel organ sapi yang dikumpulkan maka akan dapat dideteksi dengan teknik IHK yang digunakan. Antibodi terhadap Coxiella burnetii terbentuk 3-4 minggu setelah munculnya gejala akut Q fever dan masih dapat dideteksi selama bertahun-tahun. Enzyme Linked Immunosorbent Assay adalah teknik yang mampu mendeteksi antibodi tersebut. Jika antibodi terhadap Coxiella burnetii terdapat pada sampel serum sapi, kambing dan domba yang dikumpulkan akan dapat di deteksi dengan teknik ELISA yang digunakan. Dengan adanya hasil kedua uji ini maka akan diketahui keberadaan dan penyebaran penyakit Q fever di Sumatera Utara.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi keberadaan Coxiella burnetii sebagai penyebab Q fever pada ternak ruminansia di Sumatera Utara, secara histopatologi dan serologi.
Manfaat Penelitian Penelitian ini memberikan manfaat berupa tersedianya informasi keberadaan Q fever pada ternak ruminansia di Sumatera Utara. Secara spesifik penelitian ini menambah pengetahuan dan keterampilan khususnya dalam penggunaan metode IHK dan ELISA dalam mendeteksi Coxiella burnetii. Berdasarkan informasi yang diperoleh dapat dilakukan penelusuran balik (Traceback) terhadap asal ternak yang positif terhadap Coxiella burnetii sehingga dapat dilakukan usaha pengobatan, pengendalian dan pencegahan penyakit ini pada populasi ternak lainnya. Informasi ini dapat dimanfaatkan oleh pemerintah sebagai dasar dalam membuat kebijakan dan konsep pengendalian penyakit.
TINJAUAN PUSTAKA Coxiella bunetii Coxiella burnetii adalah penyebab Q fever pada hewan dan manusia. Q fever pertamakali dideskripsikan oleh Edward Holbrook Derrick pada pekerja rumah potong hewan di Brisbane Queensland Australia pada Tahun 1935. “Q” berarti “query” dan telah dipakai pada saat agen penyebab penyakit ini belum diketahui. Nama ini lebih dipilih dibanding “abattoir fever” dan “queensland
4 rickettsial fever” untuk menghindari konotasi negatif terhadap industri sapi dan negara bagian Queensland. Penyebab Q fever ditemukan Tahun 1937 ketika Frank Macfarlane Burnet dan Mavis Freeman mengisolasi bakteri dari salah satu pasien Derrick. Bakteri ini awalnya diidentifikasi sebagai salah satu spesies Rickettsia. Selanjutnya, pada Tahun 1938 HR Cox dan Gordon Davis mengisolasi bakteri ini dari caplak di Montana Amerika Serikat (Fournier et al. 1998; Honarmand 2012). Sebagai penghargaan terhadap kedua penemu tersebut, agen penyebab penyakit tersebut saat ini diberi nama Coxiella burnetii. Ada beberapa cara penularan penyakit ini baik pada hewan maupun manusia. Manusia dapat tertular terutama melalui aerosol yang terkontaminasi (Maurin dan Raoult 1999; Rodolakis 2006; Angelakis dan Raoult 2010), kontak langsung dengan sumber penularan, partikel debu, bahan makanan asal hewan, susu, luka yang terkontaminasi serta melalui transfusi darah (Baca dan Paretsky 1983; Fournier et al. 1998; Maurin dan Raoult 1999; Woldehiwed 2004). Lebih lanjut, Coxiella burnetii juga berpeluang ditularkan secara seksual (Porter et al. 2011). Coxiella burnetii adalah bakteri gram negatif intraseluler obligat kecil yang tidak dapat ditumbuhkan pada media buatan. Bakteri ini berbentuk batang pleomorfik kecil (lebar 0.4-1.0 µm, panjang 0.4-1.0 µm) yang memiliki membran mirip dengan bakteri gram negatif lainnya dan biasanya tidak bisa diwarnai dengan teknik pewarnaan gram (Maurin dan Raoult 1999). Bakteri ini berreflikasi di dalam vakuola parasitophorous dari sel inang eukariot dengan perkiraan waktu penggandaan 20-45 jam (Angelakis dan Raoult 2010). Organisme ini bisa berbentuk small cell variant (SCV) atau dalam bentuk large cell variant (LCV) (Angelakis dan Raoult 2010). Berdasarkan analisis sequensing rRNA 16S ditunjukkan bahwa, genus Coxiella termasuk dalam subdivisi dari gamma proteobacteria bersama dengan genus Legionella, Francissella dan Rickettsiella (Maurin dan Raoult 1999). Coxiella burnetii memiliki variasi genetik yang disebut dengan variasi fase. Fenomena ini mirip dengan variasi kasar-halus pada enterobacteria yang disebabkan oleh hilangnya sebagian dari lipopolisakarida (LPS). Lipopolisakarida bertindak sebagai determinan virulensi utama dari Coxiella burnetii. Ketika diisolasi dari hewan atau manusia Coxiella burnetii merupakan antigen fase I yang sangat infeksius. Setelah subkultur pada sel atau telur berembrio, modifikasi dari LPS menghasilkan pergeseran antigenik kedalam bentuk fase II yang kurang infeksius. Amano et al. 1987 menemukan bahwa fase II dari bakteri ini kehilangan komponen LPS galactosaminuonyl-α-(l-6)-glucosamine, virenose dan dihydrohydroxystreptose. Modifikasi LPS ini membuat protein permukaan dapat diakses oleh antibodi (Fournier et al. 1998; Arricau-Bouvery dan Rodolakis 2005; Angelakis dan Raoult 2010; Porter et al. 2011).
Patogenesis Q Fever Rute terpenting dari infeksi Q fever adalah inhalasi (aerosol) bakteri pada debu yang terkontaminasi, sementara rute oral dianggap sebagai rute sekunder. Pada saat terhirup atau termakan bentuk ekstraseluler dari Coxiella burnetii menempel pada membran sel dan kemudian masuk ke dalam sel induk semang.
5 Perlekatan bakteri fase I pada membran sel dimediasi oleh v3 integrin, sedangkan bakteri fase II dimediasi oleh v3 integrin dan reseptor CR3 (Capo et al. 1999; Angelakis dan Raoult 2010). Fagolisosom terbentuk setelah fusi dari fagosom dan acidic lisosom dari sel. Fagolisosom-fagolisosom intraselular pada akhirnya bersatu sampai terbentuk sebuah vakuola besar yang unik. Coxiella burnetii telah beradaptasi dengan fagolisosom sel eukariot dan mampu memperbanyak diri dalam vakuola yang asam (Arricau-Bouvery dan Rodolakis 2005; Porter et al.2011). Kondisi asam dibutuhkan bakteri ini untuk metabolisme termasuk asimilasi nutrien serta sintesis asam nukleat dan asam amino (Maurin dan Raoult 1999; Porter et al.2011). Multifikasi Coxiella burnetii dapat berhenti oleh peningkatan pH fagolisosom oleh agen lisosomotrofik seperti chloroquine (Porter et al. 2011) Siklus intraseluler Coxiella burnetii menyebabkan terbentuknya dua tahap perkembangan dari bakteri ini yang dikenal dengan small cell variant (SCV) dan large cell variant (LCV). Small cell variant adalah bentuk ekstraselular dari bakteri. Berdasarkan penelitian sebelumnya, SCV dianggap secara metabolisme inaktif dan mampu bertahan pada kondisi ekstrim seperti terhadap panas, desikasi, pH rendah atau tinggi, desinfektan, produk kimia, tekanan osmotik, dan sinar ultraviolet. Kondisi ini menyebabkan bakteri ini mampu bertahan lama pada lingkungan walaupun tidak terdapat induk semang yang cocok. Small cell variant dari Coxiella burnetii bersifat irreversibel (Maurin dan Raoult 1999; Porter et al.2011) Lebih lanjut, setelah terhirup atau termakan SCV menempel pada membran sel dan masuk ke dalam sel. Setelah fusi fagolisosom, keasaman dari vakuola yang baru terbentuk akan menginduksi aktivasi metabolisme SCV dan berkembang menjadi LCV (Maurin dan Raoult 1999; Porter et al. 2011). Selama morfogenesis dari SCV kedalam bentuk LCV tidak terdapat peningkatan jumlah bakteri (Porter et al. 2011). LCV dianggap sebagai bentuk intraseluler aktif dari Coxiella burnetii. Bentuk ini lebih pleomorfik dibanding SCV. Dinding selnya lebih tipis dan memiliki daerah filamentouse nucleoid yang lebih menyebar dan panjangnya bisa melebihi 1 µm (Porter et al. 2011). Pertumbuhan intraseluler relatif lambat dengan waktu penggandaan sekitar 8-12 jam (Porter et al. 2011). Large cell variant dapat berdiferensiasi menjadi bentuk spore-like dengan pembelahan biner asimetris. Bentuk endogenous spore-like dapat berkembang dan mengalami perubahan metabolisme sampai akhirnya mencapai bentuk SCV, dan pada akhirnya sel akan pecah atau kemungkinan mengalami eksositosis untuk melepaskan bakteri resisten ke media ekstraseluler (Maurin dan Raoult 1999; Porter et al. 2011). Coxiella burnetii memiliki dosis infeksi yang sangat rendah. Infeksi dapat berlangsung meskipun oleh satu sel bakteri tersebut (Woldehiwet 2004). Target sel dari Coxiella burnetii adalah sel-sel monosit/makrofag (Shannon dan Heinzen 2009; Angelakis dan Raoult 2010). Setelah multiplikasi primer pada limfonodus regional, akan disusul dengan bakteremia (Woldehiwet 2004). Pada fase akut infeksi pada hewan, kehadiran Coxiella burnetii dapat ditemukan pada paru-paru, hati, limpa dan darah. Pada fase kronis dari infeksi tidak ada gejala yang terlihat (Maurin dan Raoult 1999). Pada Q fever yang bersifat kronis, Coxiella burnetii bermultiplikasi di dalam sel-sel makrofag (Fornier et al. 1998).
6 Kontrol dari infeksi primer Q fever melibatkan respon immun beperantara sel dan pembentukan granuloma. Lesio granuloma memiliki sebuah ruang terbuka sentral dan sebuah cincin fibrin dan kemudian disebut sebagai doughnut granuloma (Angelakis dan Raoult 2010). Perubahan patologi pada marmut yang diinfeksi buatan dapat ditemukan pada organ yang berbeda beberapa hari setelah infeksi. Limpa dan limfonodus mesenterika dapat membengkak dan pada pengujian histologi paru-paru menunjukkan adanya infiltrasi sel sel mononuklear, sedangkan granuloma ditemukan pada hati, limpa dan sumsum tulang (Maurin dan Raoult 1999). Studi retrospektif yang dilakukan oleh Norina et al. (2011) pada kambing yang terinfeksi Coxiella burnetii menunjukkan adanya radang granulomatosa pada paru-paru, hati dan limpa. Pengambilan patogen intraseluler oleh antigen presenting cells (APC) menyebabkan kehadiran antigen patogen pada permukaan sel induk semang. Kehadiran antigen ini disertai dengan ekspresi molekul costimulatory Sel T pada pemukaan APC. Kejadian ini menyebabkan mobilisasi Sel T spesifik antigen. Sel T yang teraktivasi dalam jumlah besar direkrut ke daerah infeksi dan menghasilkan sitokin peradangan seperti interferon gamma (IFN-γ) dan tumornecrosis factor (TNF). Sitokin tersebut menstimulasi respon antimikrobial pada berbagai tipe sel yang mengkontrol infeksi. Sel T juga merekrut sel mononuklear limfosit dan limfoblas ke daerah infeksi dan membentuk granuloma yang secara efektif membatasi invasi patogen. Produksi spesies oksigen dan nitrogen reaktif (ROS dan RON) oleh sel sebagai respon terhadap IFN-γ, terlihat memainkan peranan penting dalam kontrol replikasi bakteri intraseluler. Infeksi Coxiella burnetii sering menyebabkan lesio granulomatosa pada berbagai organ termasuk limpa, hati dan paru-paru (Shannon dan Heinzen 2009). Antibodi terhadap Coxiella burnetii akan terbentuk 3-4 minggu setelah gejala Q fever akut, sebagian besar antibodi yang terbentuk adalah anti fase II yang diduga bersifat proteinaceouse. Faktanya, pembentukan anti fase II ini disertai pula dengan terbentuknya anti fase I pada tingkat yang rendah yang terutama ditujukan terhadap LPS, dan dianggap bernilai diagnostik pada Q fever akut (Shannon dan Heinzen 2009). Pada fase kronis antibodi terhadap fase I akan terlihat meningkat (Fournier et al. 1998)
Q Fever pada Ternak Ruminansia Q fever terdapat di seluruh dunia kecuali New Zealand (Angelakis dan Raoult 2010). Reservoir dari Coxiella burnetii sangat luas termasuk mamalia liar, mamalia domestik, unggas, dan arthropoda seperti caplak. Meskipun demikian ruminansia domestik merupakan sumber penularan utama infeksi Coxiella burnetii pada manusia (Maurin dan Raoult 1999). Q fever menyebar luas pada ternak, dimana seroprevalensinya dari tahun ke tahun diduga terus meningkat. Penyakit ini sering diabaikan dalam diferensial diagnosa, sehingga tetap bertahan pada kelompok ternak dan menimbulkan kerugian finansial dalam jangka panjang (Porter et al.2011). Berdasarkan deteksi yang dilakukan di lima benua, umumnya prevalensi (apparent prevalence) Coxiella burnetii adalah sebesar 20 % pada sapi dan 15 % pada ruminansia kecil seperti kambing dan domba (Guatteo et al. 2011).
7 Infeksi pada hewan umumnya asimtomatik. Pada fase akut dari infeksi kehadiran Coxiella burnetii dapat ditemukan pada paru-paru, hati, limpa dan darah. Pada fase kronis dari infeksi tidak ada gejala yang terlihat (Maurin dan Raoult 1999). Pada sapi infeksi sering bersifat asimtomatik, tetapi dapat menyebabkan abortus, subfertilitas, metritis dan mastitis (Porter et al.2011). Pada studi yang dilakukan Plommet et al. dalam Agerholm (2013), ditemukan bahwa sapi yang dinfeksi Coxiella burnetii secara intradermal menunjukkan adanya respon deman 40-41 oC dalam 24-36 jam, yang disertai dengan adanya pneumonia yang sembuh dengan sendirinya. Infeksi pada ruminansia kecil dapat menyebabkan abortus, lahir mati, retensi membran fetus, endometritis dan infertilitas (Van den Brom dan Vellema 2009). Umumnya abortus terjadi pada periode akhir kebuntingan (Arricau-Bouvery dan Rodolakis 2005). Hewan terinfeksi dapat mengeluarkan Coxiella burnetii pada produk kelahiran, urin, feses, dan susu. Pengeluaran agen ini bisa bertahan selama berbulan bulan (Arricau-Bouvey dan Rodolakis 2005). Studi yang dilakukan oleh Rousset el al.(2009) pada kambing perah yang terinfeksi menunjukkan adanya pengeluaran Coxiella burnetii pada mukus vagina, feses dan susu, dimana pada kambing yang tidak mengalami abortus ekskresi antigen masih terlihat pada 27 % sampel mukus vagina, 20 % pada feses, dan 31 % pada susu. Sedangkan pada kambing yang mengalami abortus ekskresi antigen masih terlihat pada 44 % sampel mukus vagina, 21 % pada feses, dan 38 % pada susu. Guatteo et al.(2006) melakukan kajian mengenai rute pengeluaran Coxiella burnetii oleh sapi perah yang terinfeksi. Pada studi ini terlihat bahwa pengeluaran melalui susu merupakan yang paling tinggi angka positif terhadap Coxiella burnetii dibanding pada sampel feses dan mukus vagina. Meskipun demikian pengeluaran melalui feses dan mukus vagina masih memberikan akibat yang besar pada terjadinya kontaminasi terhadap lingkungan. Kruszewska dan Wierzbanowska (1997) pernah melaporkan adanya Coxiella burnetii pada semen sapi pejantan yang digunakan dalam inseminasi buatan. Studi pada kambing yang terinfeksi secara alami menunjukkan adanya abortus dan lahir mati, dimana pada hapusan (swab) vagina dan sampel susu, pengeluaran bakteri masih dapat ditemukan empat bulan setelah terjadinya wabah Coxiella burnetii (Berri et al. 2007). Data epidemiologi menunjukkan bahwa sapi lebih sering terinfeksi secara kronis dibandingkan pada domba dan secara persisten mengeluarkan bakteri Coxiella burnetii. Tempat infeksi kronis pada sapi adalah uterus dan kelenjar ambing (Baca dan Paretky 1984). Lebih lanjut Coxiella burnetii berkaitan erat dengan kejadian plasentitis (Hansen et al. 2011; Porter et al. 2011). Nekrosis plasenta dan bronchopneumonia pada fetus juga sangat erat kaitannya dengan kehadiran Coxiella burnetii pada trofoblas. Tidak seperti pada manusia dan sapi yang diinfeksi secara eksperimental, ruminansia yang terinfeksi secara alami jarang menunjukkan gejala respirasi dan jantung (Porter et al. 2011). Beberapa studi menunjukkan bahwa kejadian Q fever pada kambing berhubungan dengan kejadian Q fever pada manusia (Shcimmer et al. 2009; Van den Brom dan Vellema 2009; Porter et al.2011). Di beberapa negara, kambing merupakan sumber utama infeksi terhadap manusia karena perkembangan peternakannya yang ekstensif dan kedekatannya dengan manusia (Porter et al. 2011). Q fever pada kambing dapat menginduksi terjadinya pneumonia,
8 keguguran, lahir mati dan lahir lemah, dua gejala klinis terakhir merupakan yang paling sering terlihat (Porter et al. 2011). Keguguran terjadi diakhir masa kebuntingan (Rousset et al. 2009). Frekuensi kejadian keguguran pada kambing lebih sering dibandingkan dengan domba (Porter et al. 2011) Q fever pada domba dapat menyebabkan keguguran, sama dengan yang terjadi pada kambing (Berri et al.2007; Porter et al. 2011). Meskipun demikian infeksi kronis jarang terjadi pada domba. Domba terinfeksi mengeluarkan Coxiella burnetii dari sekresi vagina, urin, feses dan susu. Infeksi alami pada domba menunjukkan bahwa, bakteri dapat diisolasi pada cairan vagina pada waktu lama setelah terjadinya keguguran. Dua kasus pada manusia yang terjadi di Prancis berhubungan dengan penggunaan pupuk dari feses domba. Pada domba tidak ditemukan gejala klinis meskipun hewan seropositif dan mengeluarkan bakteri pada fesesnya. Wabah Q fever yang terjadi di Bulgaria Tahun 2004 juga berkaitan dengan infeksi pada domba dan kambing (Porter et al. 2011).
Deteksi Coxiella burnetii dengan Imunohistokimia Coxiella burnetii memiliki virulensi yang sangat tinggi sehingga hanya laboratorium yang memiliki fasilitas biosafety level 3 (BSL3) dan personil yang berpengalaman yang diperbolehkan melakukan manipulasi spesimen yang terkontaminasi agen ini dan menumbuhkan mikroorganisme ini dari sampel klinis (Fournier et al. 1998). Pada penelitian ini dilakukan deteksi antigen Coxiella burnetii pada berbagai sampel organ yang telah difiksasi dengan BNF, menggunakan teknik pewarnaan Imunohistokimia (IHK) sehingga diharapkan resiko zoonosis akan dapat dikurangi selama pengerjaan. Konsep dasar dari imunohistokimia adalah menunjukkan adanya antigen di dalam jaringan oleh antibodi yang spesifik terhadap antigen tersebut. Ketika ikatan antigen dan antibodi terjadi, ikatan ini akan diperlihatkan dengan sebuah reaksi warna histokimia yang terlihat dengan mikroskop cahaya biasa atau dengan fluorokrom dengan cahaya ultraviolet. Imunohistokimia telah menjadi sebuah metode yang kuat dan handal baik untuk diagnosa rutin dan penelitian dalam bidang kedokteran hewan (Ramos-Vara 2005). Imunohistokimia memiliki peranan penting dalam diagnostik histopatologi (D’Amico et al. 2008). Spesifitas dan sensitifitas yang baik, produk reaksinya yang permanen, kegunaannya dalam jaringan yang diembeding dengan parafin membuat metode immunoperoxidase sebagai teknik yang banyak dipakai saat ini (Baumgartner et al. 1988). Lebih lanjut teknik ini dapat digunakan untuk mempelajari penyebaran dan patogenesis Coxiella burnetii dengan infeksi buatan pada hewan laboratorium serta infeksi alami pada hewan dan manusia pada jaringan yang telah diembeding dengan parafin (Baumgartner et al. 1988). Aplikasi imuhistokimia untuk mendeteksi antigen Coxiella burnetii telah banyak digunakan. Dilbeck dan McElwain (1994) telah mengembangkan teknik ini pada plasenta kambing dan domba yang telah diembeding serta diketahui positif terhadap Coxiella burnetii, dan mampu menunjukkan keberadaan agen ini. Hal yang sama dilakukan pada plasenta sapi dimana distribusi antigen terlihat pada sitoplasma trofoblas kotiledon (Hansen et al. 2011). Studi histopatologi dan imunohistokimia infeksi buatan Coxiella burnetii pada kambing menunjukkan
9 keberadaan antigen ini pada plasenta (Sanchez et al. 2006). Metode IHK juga telah digunakan untuk mendeteksi Coxiella burnetii pada kasus endokarditis (Lepidi et al. 2006) dan kasus hepatitis kronis yang disebabkan oleh agen ini (Lepidi et al. 2009). Studi retrospektif yang dilakukan oleh Norina et al.(2011) pada kambing yang terinfeksi Coxiella burnetii menunjukkan teknik IHK mampu mendeteksi keberadaan agen tersebut pada berbagai organ seperti hati, limpa, paru-paru, plasenta, dan ginjal. Russell-Lodrigue et al. (2006) mampu membuktikan keberadaan antigen Coxiella burnetii pada organ limpa, paru-paru dan hati marmut yang di infeksi secara buatan melalui jalur pernafasan dengan metode IHK. Deteksi Antibodi Terhadap Coxiella burnetii Dengan ELISA Prinsip dasar dari ELISA adalah menggunakan enzim untuk mendeteksi adanya ikatan antigen dan antibodi. Enzim mengubah substrat (chromogen) tidak berwarna menjadi hasil yang berwarna yang mengindikasikan keberadaan ikatan antigen dan antibodi. Enzyme Linked Immunosorbent Assay dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan antigen maupun antibodi dalam sampel tergantung bagaimana uji ini didisain (Ma et al. 2006). Teknik ELISA memiliki sensitifitas yang tinggi dan spesifitas yang baik dalam mendeteksi antibodi Coxiella burnetii (Kittelbergeret al. 2009; Rousset et al.2007). ELISA lebih dipilih dibanding Immunofluorescence Antibody Assay (IFA) dan Complement Fixation Test (CFT) khususnya dalam diagnosis veteriner karena teknik ini mudah dikerjakan pada uji screening dengan sampel skala besar dan merupakan teknik yang cukup handal untuk menunjukkan keberadaan antibodi Coxiella burnetii (OIE 2010). Teknik ELISA digambarkan lebih spesifik dan sensitif dibandingkan dengan CFT dalam diagnosis Q fever. Metode ini diusulkan sebagai metode dalam melakukan survey seroepidemiologi. Teknik ELISA dapat mendeteksi baik antibodi terhadap fase I maupun fase II dari Coxiella burnetii, dimana antibodi spesifik terhadap Coxiella burnetii masih dapat dideteksi sampai dengan lima tahun setelah periode akut infeksi terjadi (Fournier et al. 1998) Aplikasi ELISA untuk mendeteksi antibodi Coxiella burnetii pada hewan ruminansia telah banyak digunakan. Teknik ELISA pernah digunakan dalam diagnosa serologis kambing perah yang mengalami gangguan reproduksi. Pada kasus ini, uji serologi yang dilakukan 6 (enam) bulan setelah keguguran menunjukkan adanya antibodi Coxiella burnetii (Berry et al. 2007). Nogareda et al. (2012) menggunakan ELISA dalam melihat dinamika seroprevalensi dari infeksi Coxiella burnetii dan serokonversi pada kelompok sapi perah yang terinfeksi Coxiella burnetii. Selanjutnya, investigasi yang dilakukan dengan ELISA pada kambing perah yang mengalami abortus menunjukkan seroprevalensi Coxiella burnetii sebesar 74 %, 67 % dan 50 % pada sampel serum yang diambil pada hari ke 24, 130 dan 207 setelah abortus yang terakhir (Reichel et al. 2012). Survey seroepidemiologi dengan teknik ELISA yang dilakukan pada peternakan domba di bagian selatan Marmara Turki menunjukkan bahwa 20 % (151/743) sampel serum seropositif terhadap Coxiella burnetii (Kennerman et al. 2010). Serum sapi potong yang dikumpulkan dari rumah potong hewan di
10 Queensland Australia menunjukkan 16.8 % seropositif Coxiella burnetii dengan teknik ELISA yang menggunakan antigen fase I maupun fase II dari bakteri (Cooper et al. 2011). Penelitian yang dilakukan di Al-Qossim City Iraq memperlihatkan 16 % seropositif terhadap Coxeilla burnetii dari 500 sampel serum ruminansia kecil (domba dan kambing) yang duji dengan ELISA (Kshash 2012). Hal ini menunjukkan teknik ini sangat berguna dalam diagnosis dan survey serologis Q fever pada kelompok ternak ruminansia.
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan dari bulan Juli 2013 sampai dengan Januari 2014 di Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Medan, RPH Tani Asli dan RPH NP 96 Kabupaten Deli Serdang, Balai Veteriner Medan dan Laboratorium Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Bahan dan Alat Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah organ limpa, paru-paru dan hati yang dikumpulkan dari ternak sapi eks impor di RPH Kota Medan dan Kabupaten Deli Serdang (RPH Tani Asli dan RPH NP 96) serta sampel serum sapi, kambing, dan domba lokal yang berasal dari 6 (enam) kabupaten/kota di Sumatera Utara. Kabupaten/Kota yang menjadi lokasi pengambilan sampel serum adalah ; Medan, Deli Serdang, Simalungun, Asahan, Karo dan Labuhan Batu. Pemilihan lokasi ini didasarkan pada populasi ternak dan/atau manusia yang relatif tinggi. Bahan dan peralatan yang dibutuhkan antara lain : buffered neutral formaline (BNF) 10%, poly l lysine, kit LSAB dari Dako®, polyclonal antibody terhadap Coxiella burnetii (Rabbit anti Coxiella burnetii FKH-IPB), phospate buffer saline (PBS), kit ELISA Q fever (ID Screen® Q Fever Indirect MultiSpecies, ID.Vet), botol spesimen, microtube, gunting, skalpel, pisau, tissue processor, embedding center, microtome, ELISA reader, pisau microtome, waterbath, gelas objek, dan lain-lain.
Metode Data epidemiologi dikumpulkan dengan kuesioner dan diisi berdasarkan keterangan pemilik atau petugas RPH melalui proses wawancara. Dalam penelitian ini dilakukan pengumpulan data berupa ; asal ternak, jenis kelamin, umur, ras, dan data lain yang melengkapi penelitian ini. Organ sapi yang diperoleh dievaluasi secara histopatologi menggunakan pewarnaan Imunohistokimia (IHK) untuk mendeteksi antigen Coxiella burnetii dan Hematoksilin dan Eosin (HE) untuk mendeskripsikan lesio histopatologi pada organ yang imunoreaktif dalam pengujian IHK. Sedangkan sampel serum sapi, kambing dan domba diuji dengan
11 metode Enzyme Linked Immunosorbent assay (ELISA) untuk mendeteksi keberadaan antibodi terhadap Coxiella burnetii. Alur pelaksanaan penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Pengambilan Sampel Pengujian Laboratorium Organ dalam BNF 10%
Serum
Histopatologi (HE, IHK)
ELISA Analisis Data
Gambar 1. Alur Penelitian
Besaran Sampel Jumlah sampel individu sapi yang dikumpulkan sampel organnya di RPH dihitung berdasarkan jumlah pemotongan harian (23 ekor/hari di RPH Kota Medan dan 10 ekor/hari pada RPH Deli Serdang) yang dianggap sebagai populasi target dan asumsi prevalensi Q fever. Perhitungannya dilakukan menggunakan software Win Episcope 2.0 dengan pendekatan deteksi penyakit. Asumsi yang dipakai adalah angka prevalensi 7% dengan tingkat kepercayaan 95%. Berdasarkan asumsi di atas sampel yang harus dikumpulkan masing-masing adalah 20 ekor sapi di RPH Kota Medan dan 10 ekor sapi di RPH Deli Serdang. Untuk meningkatkan peluang deteksi antigen Coxiella burnetii maka pengambilan sampel dilakukan selama 5 (lima) hari berturut-turut sehingga jumlah sampel yang harus dikumpulkan adalah 150 ekor sapi. Jumlah sampel serum sapi, domba dan kambing yang diambil di Kab/Kota yang dipilih dihitung menggunakan software dan pendekatan yang sama berdasarkan data populasi ternak sapi, kambing dan domba di Sumatera Utara, dimana asumsi prevalensi penyakit yang digunakan adalah 7% untuk sapi dan 6% untuk kambing dan domba dengan tingkat kepercayaan 95%. Berdasarkan asumsi di atas sampel serum yang harus dikumpulkan masing-masing adalah ; 42 serum sapi, 49 serum kambing dan 49 serum domba sehingga jumlah keseluruhan sampel serum adalah 140. Pengambilan Sampel Sampel organ yang akan diambil berupa paru-paru, hati, dan limpa dengan ketebalan ± 1 cm, kemudian dimasukkan ke dalam Buffered Neutral Formalin (BNF). Pengambilan darah dilakukan melalui vena jugularis. Darah yang diambil sebanyak 3 ml yang ditempatkan di dalam tabung tanpa antikoagulan. Darah tersebut didiamkan sampai serum terpisah dari bekuan darah. Kemudian
12 dilakukan koleksi serum, ditempatkan dalam microtube dan disimpan pada 4 oC atau dibekukan pada freezer -20 oC. Pembuatan Sediaan Histopatologi Sampel organ yang sudah terfiksasi dipotong dengan ketebalan 3 mm, kemudian dimasukkan ke dalam tissue casset. Organ yang ada di dalam casset dimasukkan ke dalam Automatic Tissue Processor yang berisi reagen dengan urutan ; alkohol 70 %, 80 %, 90 %, 96 %, alkohol absolut I, alkohol absolut II, alkohol absolut III, xylol I, xylol II, parafin I dan parafin II. Proses tersebut memakan waktu sekitar 24 jam dengan tujuan dehidrasi, clearing, dan impregnasi jaringan. Setelah proses tersebut, jaringan yang ada di dalam casset dipindahkan ke dalam cetakan yang telah berisi sedikit parafin dan organ disusun agar tepat berada di tengah cetakan. Parafin cair kemudian ditambahkan sampai cetakan hampir penuh. Proses pembuatan blok parafin tersebut dikerjakan pada alat paraffin embedding console. Cetakan yang telah berisi organ dan parafin cair dikeringkan dengan mendinginkannya di atas alat frozen tissue embedding machine. Selanjutnya jaringan dalam blok parafin dipotong dengan rotary microtome dengan ketebalan 3-5 µm. Irisan jaringan kemudian diapungkan pada waterbath dan diambil dengan gelas objek. Irisan jaringan yang telah menempel pada gelas objek dikeringkan dan dimasukkan ke dalam inkubator selama 1 malam dengan suhu 50-60 oC. Imunohistokimia Pewarnaan imunohistokimia digunakan untuk mendeteksi keberadaan antigen Coxiella burnetii pada berbagai organ yang diambil. Imunohistokimia dikerjakan menggunakan Kit LSAB dari Dako®. Adapun prosedur pewarnaan yang akan dilakukan adalah sebagai berikut : Organ pada blok parafin di potong dengan ketebalan 3-5 µm dan ditempelkan pada gelas objek yang telah lapisi dengan poly l lysine 1 %. Selanjutnya dilakukan deparafinasi menggunakan xylene serta rehidrasi dengan alkohol bertingkat dan aquades. Untuk tujuan antigen retrieval, jaringan yang sudah direhidrasi dipanaskan dalam buffer sitrat menggunakan microwave selama 5 menit, kemudian dicuci dengan Phospate Buffered Saline Tween 20 (PBST) selama 3x5 menit. Proses dilanjutkan dengan blocking endogenouse peroxidase menggunakan H2O2 3 % selama 30 menit, kemudian dicuci dengan PBST 3x5 menit. Blocking ikatan non spesifik dilakukan menggunakan fetal bovine serum (FBS) 1 % selama 30 menit kemudian cuci dengan PBST 3x5 menit. Selanjutnya jaringan ditetesi dengan antibodi primer (Antibodi poliklonal, Rabbit anti Coxiella burnetii FKH-IPB) dan inkubasikan pada suhu 4 oC selama satu malam, kemudian dicuci kembali dengan TBST 3x5 menit. Setelah pencucian, jaringan ditetesi dengan antibodi sekunder (biotinilated link universal) selama 30 menit, dan dilanjutkan dengan pencucian menggunakan PBST 3x5 menit. Selanjutnya jaringan ditetesi dengan Streptavidine-HRP selama 30 menit, kemudian dicuci lagi dengan PBST 3x5 menit. Chromogen 3,3’-Diaminobenzidine (DAB) kemudian diteteskan pada jaringan dan dibiarkan selama ±15 detik. Setelah pemberian DAB, dilakukan perendaman pada aquades dan dilanjutkan dengan pemberian counterstain menggunakan Mayer’s hematoksilin selama 25 detik. Jaringan kemudian dicuci dengan aquades dan disusul dengan proses dehidrasi
13 menggunakan alkohol bertingkat dan clearing dengan xylol. Jaringan dalam gelas objek kemudian di-mounting dengan permount dan diberi cover glass. Gelas objek yang berisi jaringan yang telah diwarnai diamati di bawah mikroskop cahaya. Organ yang diuji dinyatakan imunoreaktif apabila terdapat warna coklat spesifik pada jaringan, dan disebut non imunoreaktif apabila tidak ditemukan warna coklat spesifik pada jaringan. Pewarnaan Hematoksilin Eosin Pewarnaan rutin Hematoksilin dan Eosin (HE) digunakan untuk mengevaluasi organ yang dikumpulkan. Pewarnaan ini digunakan untuk melihat lesio histopatologi yang ada pada organ sehingga bisa dideskripsikan. Adapun prosedur pewarnaan HE adalah sebagai berikut : Gelas objek yang berisi organ dilakukan proses deparafinasi dan rehidrasi dengan merendamnya di dalam xylol I dan II masing-masing 2 menit dilanjutkan dengan perendaman pada alkohol 96 % dan 80 % masing-masing 1 menit. Selanjutnya dilakukan perendaman pada aquades selama 1 menit. Pewarnaan dimulai dengan memasukkannya ke dalam pewarna Mayer’s hematoksilin selama 8 menit, kemudian dicuci dengan air mengalir selama 30 detik. Jaringan yang telah diwarnai dengan hematoksilin tersebut dimasukkan ke dalam larutan lithium karbonat selama 30 detik dan dicuci kembali dengan air mengalir selama 2 menit. Pewarnaan dilanjutkan dengan perendaman jaringan pada eosin selama 2-3 menit dan dibilas dengan air mengalir selama 30-60 detik. Untuk tujuan dehidrasi jaringan kemudian dimasukkan ke dalam alkohol bertingkat 70 %, 80 %, 96 % dan alkohol absolut masing-masing sepuluh celupan. Setelah proses di atas selanjutnya dilakukan clearing dengan xylol I, II, dan III masing-masing 2 menit. Jaringan yang telah terwarnai tersebut kemudian di-mounting dengan permount dan ditutup dengan cover glass. Jaringan yang sudah terwarnai siap diperiksa di bawah mikroskop cahaya.
Enzim Linked Immunosorbent Assay (ELISA) Metode ELISA dipakai dalam menguji kemungkinan adanya antibodi terhadap Coxiella burnetii dalam sampel serum sapi, kambing dan domba. Prosedur pengerjaannya disesuaikan dengan petunjuk produsen Kit ELISA yang akan digunakan. Adapun Kit ELISA yang digunakan adalah produksi ID.Vet dengan nama produk ID Screen® Q Fever Indirect Multi-Species. Prosedur ELISA yang dilakukan adalah sebagai berikut : Sebanyak 90 µl dilution buffer 2 ditambahkan ke dalam setiap microwell. Kemudian 10 µl kontrol negatif ditambahkan pada microwell A1 dan B1, 10 µl kontrol positif pada microwell C1 dan D1 dan 10 µl sampel serum pada sisa microwell lainnya dan diinkubasikan selama 45 menit pada suhu 21±5 oC. Selanjutnya microwell dikosongkan dan dicuci dengan 300 µl washing solution sebanyak tiga kali. Konjugat 1X disiapkan dengan mengencerkan konjugat 10X menggunakan dilution buffer 3. Kemudian sebanyak 100 µl konjugat 1X ditambahkan ke setiap s microwell dan diinkubasikan selama 30 menit pada suhu 21±5 oC. Microwell selanjutnya dikosongkan dan dicuci dengan 300 µl washing solution sebanyak tiga kali. Sebanyak 100 µl substrate solution ditambahkan ke dalam setiap microwell dan diinkubasikan selama 15 menit 21±5 oC dalam
14 kondisi gelap. Stop solution dengan volume 100 µl ditambahkan pada setiap microwell untuk menghentikan reaksi. Selanjutnya dilakukan pembacaan optical density (OD) pada panjang gelombang 450 Nm menggunakan ELISA reader. Adapun interpretasi hasil dilakukan dengan perhitungan sbb : (ODSampel - ODKontrol Negatif) S/P (%) =
X 100 (ODKontrol Positif - ODKontrol Negatif)
Tabel 1 Interpretasi Hasil Pengujian ELISA Nilai S/P (%) Interpretasi
≤ 40 Negatif
40-50 Dubius
˃50 Positif
Analisis data Data yang diperoleh diolah menggunakan Microsoft Excel MS Office 2006. Hasil pengolahan data disajikan secara deskriptif melalui tabel hasil pengujian IHK, tabel hasil pengujian ELISA serta tabel jumlah lesio pada pembacaan sediaan histopatologi organ limpa, paru-paru dan hati. Selanjutnya ditampilkan gambar distribusi antigen pada organ yang imunoreaktif pada pengujian IHK dan gambar deskripsi lesio histopatologi yang ditemukan pada organ yang diwarnai dengan HE.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pengujian Imunohistokimia Konsep dasar dari imunohistokimia adalah menunjukkan adanya antigen (Ag) di dalam jaringan oleh antibodi (Ab) yang spesifik. Ketika ikatan antigen dan antibodi terjadi, ikatan ini akan diperlihatkan dengan sebuah reaksi warna histokimia (Ramos-Vara 2005). Pada uji yang telah dilakukan, ikatan antigen antibodi divisualisasikan dengan pemberian chromogen DAB, dimana hasilnya terlihat dalam bentuk warna coklat spesifik pada jaringan. Reagen utama yang digunakan pada uji ini diperoleh dari Kit IHK komersial produksi DAKO dengan metode Labeled Streptavidin Biotin (LSAB). Metode ini menggunakan antibodi sekunder yang terbiotinilasi yang akan menghubungkan antibodi primer dengan streptavidin-peroxidase conjugate. Satu antibodi primer akan berikatan dengan beberapa molekul streptavidin-peroxidase menyebabkan rasio enzim terhadap antibodi yang lebih besar sehingga dapat meningkatkan sensitifitas uji (Key 2009). Untuk mendapatkan hasil uji yang optimal, ada beberapa aspek teknis yang perlu diperhatikan. Aspek teknis tersebut antara lain ; proses demasking antigen/antigen retrieval, penghambatan (blocking) peroksidase endogen pada jaringan dan penghambatan ikatan non spesifik antara antibodi primer dengan jaringan yang diwarnai. Seperti yang telah dijelaskan dalam metode penelitian, organ yang digunakan pada penelitian ini difiksasi di dalam buffered neutral
15 formalin (BNF). Proses ini dapat menyebabkan tertutupnya epitope/antigen permukaan oleh senyawa aldehyde yang terkandung dalam BNF, sehingga epitope tersebut akan sulit diakses oleh antibodi primer yang digunakan (D’Amico, 2008). Usaha pembukaan kembali epitope disebut dengan proses demasking antigen atau antigen retrieval. Antigen retrieval akan meningkatkan konsistensi hasil melalui peningkatan sensitifitas deteksi epitope. Proses ini dilakukan dengan berbagai metode seperti penggunaaan bahan kimia dan proses fisika atau kombinasi keduanya. Salah satu contoh penggunaan bahan kimia adalah penggunaan buffer sitrat, sedangkan pendekatan fisika bisa berupa proses pemanasan (D’Amico 2008; Kumar dan Rudbeck 2009). Pada pengujian yang telah dilakukan, antigen retrieval dikerjakan dengan memanaskan jaringan dalam larutan buffer sitrat menggunakan microwave selama 5 (lima) menit. Untuk menghindari munculnya warna coklat yang tidak spesifik sebagai pewarnaan latar belakang (background staining), perlu dilakukan penghambatan enzim peroksidase endogen yang ada pada jaringan. Penghambatan dilakukan dengan pemberian larutan H2O2 3% (dalam aquades) pada jaringan yang akan diwarnai, dimana larutan ini sudah tersedia dalam kit yang digunakan. Ikatan non spesifik antara reseptor Fc (FcRs) yang terdapat pada jaringan dengan bagian Fc dari antibodi primer juga dapat terjadi (Dagleish et al. 2010). Untuk menghilangkan ikatan non spesifik tersebut, telah digunakan FBS 1%, sehingga diharapkan dapat mengurangi ikatan non spesifik tersebut. Dalam penelitian ini telah dikumpulkan organ limpa, paru-paru dan hati dari 162 ekor sapi potong eks impor. Hasil pemeriksaan imunohistokimia menunjukkan bahwa, 62/162 (38,3 %) sampel sapi imunoreaktif terhadap antibodi Coxiella burnetii (Tabel 2). Organ limpa yang imunoreaktif menunjukkan adanya warna coklat spesifik di dalam sitoplasma sel-sel makrofag dan sebagian besar terdapat di daerah pulpa merah (Gambar 1A). Deteksi antigen Coxiella burnetii pada organ paru-paru juga terlihat pada sel-sel makrofag yang terdapat pada interstitium paru-paru dan di sekitar bronkhus (Gambar 1B). Begitu juga dengan organ hati yang menunjukkan adanya kehadiran antigen Coxiella burnetii pada sitoplasma sel makrofag di daerah porta (Gambar 1C). Tabel 2 Jumlah Sampel Individu Sapi dan Hasil Pengujian Imunohistokimia Lokasi Pengambilan RPH. Kota Medan RPH. Kab. Deli Serdang (DS) RPH. NP 96 RPH. Tani Asli Sub Total DS Total
Hasil Pengujian IHK
Jumlah Sampel (Ekor)
Imunoreaktif (+)
%
101
40
39,6
36 25 61 162
13 9 22 62
36,1 36,0 36,1 38,3
Menurut Woldehiwet (2004), rute utama infeksi Coxiella burnetii adalah melalui inhalasi (aerosol), dimana dosis infeksi yang dibutuhkan sangat rendah. Sementara rute ingesti dianggap sebagai rute alternatif yang jarang terjadi (Maurin dan Raoult 1999). Target sel infeksi Coxiella burnetii adalah sel-sel
16 monosit/makrofag yang tersebar pada berbagai organ tubuh (Shannon dan Heinzen, 2009; Angelakis dan Raoult 2010). Setelah multiplikasi primer pada limfonodus regional, akan disusul dengan terjadinya bakteremia (Woldehiwet 2004). Apapun rute infeksinya Coxiella burnetii mampu menyebar ke berbagai organ melalui jalur hematogen sehingga agen ini dapat dideteksi pada paru-paru, hati, limpa, sumsum tulang dan saluran reproduksi. Infeksi penyakit ini biasanya dikontrol oleh respon immun melalui aksi sel limfosit T. Namun demikian, mekanisme respon immun berperantara sel ini tidak mampu menghilangkan agen penyakit ini dari induk semang yang terinfeksi (Maurin dan Raoult 1999). Pada fase kronis Coxiella burnetii mampu berreflikasi di dalam makrofag (Fournier et al. 1998). Dari hasil pewarnaan IHK diketahui bahwa kehadiran antigen Coxiella burnetii pada organ yang imunoreaktif ditemukan pada sel-sel makrofag, baik pada limpa, paru-paru maupun hati. Hal ini sesuai dengan temuan Lepidi et al. (2006), dimana antigen Coxiella burnetii ditemukan di dalam makrofag yang terdapat pada endokardium menggunakan metode IHK. Uji ini dilakukan pada kasus manusia yang mengalami endokarditis yang membuktikan terjadinya infeksi Q fever kronis. Pada kasus hepatitis kronis yang disebabkan oleh Q fever, antigen Coxiella burnetii juga ditemukan pada makrofag yang terdapat pada hati (Lepidi et al., 2009). Penelitian Stein et al. (2005) pada mencit yang diinfeksi dengan Coxiella burnetii membuktikan kehadiran antigen tersebut pada sel-sel makrofag paru-paru, hati dan limpa. Penelitian ini menyimpulkan bahwa walaupun infeksi pada awalnya terjadi pada paru-paru namun kemudian dapat menyebar secara hematogen ke organ sistemik lainnya seperti hati dan limpa. Pemeriksaan IHK yang dilakukan pada organ Kambing Mini Afrika Barat berhasil mendeteksi keberadaan Coxiella burnetii pada 33 % sampel organ yang dikumpulkan. Antigen tersebut ditemukan pada limpa dan paru-paru, dimana lokasi antigen tersebut berada pada sitoplasma makrofag alveoli paru dan makrofag di daerah pulpa merah organ limpa (Emikpe et al. 2013). Norina et al. (2011) melakukan penelitian pada organ kambing yang diduga terinfeksi Coxiella burnetii. Diagnosa awal dilakukan berdasarkan perubahan histopatologi yang temukan pada pewarnaan HE. Organ-organ yang memiliki perubahan yang mengarah pada infeksi Coxiella burnetii kemudian diuji dengan metode IHK. Hasil pengujian menunjukkan bahwa 152 dari 197 ekor Kambing Boer positif terhadap Coxiella burnetii. Keberadaan antigen tersebut dapat ditemukan pada plasenta, limpa, hati, jantung, paru-paru dan ginjal. Tabel 3 Hasil Pengujian Imunohistokimia Berdasarkan Jenis Organ Jenis Organ
Jumlah Sampel (Organ)
Hasil Pengujian IHK Imunoreaktif (+)
Limpa Paru-Paru Hati
162 162 162
61 12 2
% 37,7 7,4 1,2
17
Gambar 2 Hasil Pewarnaan Imunohistokimia. Deteksi antigen Coxiella burnetii pada sel-sel makrofag (panah) organ limpa (A), paru-paru (B) dan hati (C).
18 Deteksi antigen Coxiella burnetii menunjukkan hasil yang berbeda pada masing-masing jenis organ. Deteksi antigen tertinggi ditemukan pada limpa, disusul oleh paru-paru dan hati (Tabel 3). Perbedaan jumlah organ yang imunoreaktif pada limpa, paru-paru dan hati, kemungkinan berkaitan dengan rute infeksi, lama infeksi dan populasi makrofag pada masing-masing organ. Rute utama infeksi Coxiella burnetii adalah melalui jalur pernafasan (inhalasi), sementara jalur ingesti dianggap sebagai jalur sekunder. Tingginya temuan pada organ limpa kemungkinan berkaitan dengan fungsinya sebagai organ pertahanan, dimana fungsi limpa analog dengan limfonodus yang memiliki fungsi antara lain ; menyaring material asing dan mikroorganisme serta membuang eritrosit tua dan rusak. Proses ini berlangsung pada bagian pulpa merah dari limpa. Fagositosis material asing seperti bakteri yang berasal dari aliran darah dilakukan oleh sel-sel makrofag limpa sebagai bagian dari monocyte-macrofage system (Fry dan McGavin, 2006). Sementara itu, paru-paru diduga sebagai tempat infeksi awal Coxiella burnetii sebelum beredar ke organ lainnya. Temuan antigen Coxiella burnetii pada organ paru-paru merupakan yang terbanyak setelah limpa. Perbedaan temuan pada organ ini berguna secara diagnostik. Informasi ini dapat digunakan dalam memilih organ yang paling sesuai pada saat melakukan pengambilan sampel untuk tujuan pengujian. Keberhasilan pengujian IHK dalam deteksi antigen Coxiella burnetii membuktikan bahwa metode ini dapat dipakai dalam surveilan penyakit khususnya pada sampel organ yang difiksasi. Deteksi antigen Coxiella burnetii pada sampel organ sapi eks impor yang di kumpulkan di RPH menunjukkan telah adanya infeksi Q fever pada ternak ruminansia di Sumatera Utara, khususnya pada populasi sapi asal ternak yang dipotong di RPH tersebut.
Hasil Pembacaan Lesio Histopatologi Pewarnaan HE digunakan untuk melihat lesio histopatologi yang kemungkinan bisa ditemukan pada sampel individu yang imunoreaktif. Berdasarkan pemeriksaan IHK diketahui bahwa tidak semua jenis organ yang berasal dari individu hewan imunoreaktif tersebut ditemukan agen Coxiella burnetii. Dari Tabel 3 terlihat antigen tersebut ditemukan pada 61 organ limpa, 12 paru-paru dan 2 organ hati. Namun demikian, semua organ yang berasal dari individu imonoreaktif telah diwarnai dengan HE dan dilakukan evaluasi histopatologi untuk melihat lesio pada organ. Seperti yang telah dijelaskan di atas, sampel organ yang diambil berasal dari hewan sapi yang dipotong di RPH, sehingga sejarah penyakit masing-masing individu sapi tersebut tidak diketahui. Dengan demikian kemungkinan lesio-lesio yang ditemukan bukan hanya disebabkan oleh Coxiella burnetii tetapi dapat juga disebabkan oleh agen lain sebagai penyebab primer atau oleh adanya infeksi sekunder maupun infeksi campuran berbagai penyakit (coinfection). Evaluasi histopatologi dengan pewarnaan HE digunakan sebagai pendekatan terhadap lesio-lesio yang mungkin ditemukan pada organ yang diinfeksi oleh Coxiella burnetii. Oleh sebab itu perlu dilakukan uji yang mampu membuktikan kehadiran antigen Coxiella burnetii pada jaringan seperti metode imunohistokimia yang telah dilakukan di atas.
19 Pembacaan Sediaan Limpa Deteksi antigen Coxiella burnetii pada uji IHK pada organ limpa menunjukkan jumlah yang paling tinggi. Sebanyak 61 organ limpa imunoreaktif terhadap antibodi anti Coxiella burnetii-FKH IPB dari 62 individu sapi yang imunoreaktif. Tingginya temuan pada organ limpa kemungkinan berkaitan dengan fungsinya sebagai organ pertahanan. Fungsi limpa analog dengan limfonodus yang berfungsi dalam menyaring material asing, mikroorganisme serta membuang eritrosit tua dan rusak. Proses ini berlangsung pada bagian pulpa merah dari limpa (Cesta 2006 ; Fry dan McGavin 2006 ; Suttie 2006). Deskripsi lesio yang ditemukan pada organ limpa berupa infiltrasi sel-sel radang neutrofil dan peningkatan sel-sel makrofag yang umumnya terlihat pada daerah pulpa merah (Gambar 1A). Lesio lain yang ditemukan antara lain kongesti (Gambar 1B), kehadiran pigmen hemosiderin (Gambar 1C), atrofi pulpa putih (Gambar 1D) dan edema (Gambar 1C). Hasil pembacaan lesio selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4. Namun demikian, lesio yang lebih khas berupa granuloma yang sering ditemukan pada infeksi akut Coxiella burnetii, tidak ditemukan pada limpa. Lesio granuloma bisa ditemukan pada limpa hewan percobaan yang diinfeksi dengan agen ini seperti yang terlihat pada marmut dan mencit (Maurin dan Raoult 1999; Stein et al. 2005) maupun pada hewan yang terinfeksi secara alami seperti yang ditemukan oleh Norina et al. 2011 pada kasus kambing boer.
A A
B B
40 µm
40 µm
C C
D D
40 µm
80 µm
Gambar 3 Lesio Histopatologi Limpa (HE). A. Infiltrasi sel-sel radang makrofag (panah) dan neutrofil (kepala panah) pada pulpa merah, B. Kongesti (panah), C. Akumulasi pigmen hemosiderin (panah), dan edema (kepala panah) ditandai dengan jarak antar sel yang melebar, D. Atrofi pulpa putih (panah).
20 Sebagian besar limpa yang dievaluasi menunjukkan infiltrasi sel-sel radang neutrofil dan makrofag sehingga dapat dikatakan adanya peradangan limpa yang bersifat kronik aktif. Menurut Vally (2007) pada kondisi peradangan sistemik akan terjadi akumulasi sel-sel radang neutrofil pada marginal zone dan disekitar area sinus limpa. Di daerah inilah berlangsung destruksi bakteri dan pengolahan antigen lainnya disertai oleh sebuah pola migrasi tertentu, dimana benda asing dipindahkan dengan makrofag khusus menuju marginal zone dan kemudian disusul limfosit kecil mencapai germinal center. Makrofag limpa berfungsi dalam fagositosis material asing seperti bakteri yang berasal dari aliran darah sebagai bagian dari sistem monosit-makrofag limpa (Fry dan McGavin 2006). Coxiella burnetii sebagai bakteri intraseluler obligat dapat ditemukan di dalam makrofag dan dalam kondisi kronis dapat bermultiplikasi di dalam makrofag tersebut (Russell-Lodrigue et al. 2006 ; Fournier et al. 1998). Atrofi pulpa putih dijumpai pada beberapa organ limpa yang dievaluasi dimana ukuran pulpa putih tampak mengecil. Atrofi/deplesi pulpa putih bisa diakibatkan oleh infeksi berat yang menyebabkan limfolisis pada tengah germirmal center dan menghasilkan debris inti sel (kariolisis, karioreksis) (Vally 2007). Disamping itu atrofi pulpa putih juga dapat terjadi sebagai respon terhadap lemahnya stimulasi antigenik, toksin, pengobatan dengan zat antineoplasia, infeksi virus, radiasi, malnutrisi dan penyakit yang menyebabkan kekurusan (wasting/cachectic disease) (Fry dan McGavin 2006). Tabel 4 Hasil Pembacaan Lesio Histopatologi Limpa (HE) Organ Limpa
Lesio Infiltrasi sel-sel radang Neutrofil Makrofag Kongesti Pigmen hemosiderin Atrofi pulpa putih Edema
Jumlah 55/62 25/62 14/62 14/62 4/62 3/62
Pigmen hemosiderin ditemukan pada 14/62 sediaan limpa yang imunoreaktif. Hemosiderin merupakan bentuk penyimpanan besi, dan merupakan pigmen yang memiliki arti penting pada limpa. Hemosiderin umumnya hanya berada di dalam makrofag, namun apabila bertahan dalam waktu yang lama akumulasi hemosiderin bisa melapisi serat jaringan ikat. Hemosiderin dianggap penting apabila jumlahnya telah menyebabkan kerusakan jaringan dan fibrosis yang kemudian disebut dengan hemosiderosis. Peningkatan jumah besi pada limpa merupakan salah satu perubahan limpa yang mengindikasikan kondisi anemia hemolitika (Vally 2007 ; Suttie 2006). Lesio lain yang ditemukan adalah adanya kondisi kongesti dan edema. Kongesti adalah tergenangnya darah di dalam pembuluh darah vena. Kongesti pada limpa umumnya diakibatkan oleh gangguan sirkulasi sistemik dan portal. Secara mikroskopik sinus mengalami dilatasi dan diisi oleh sel darah merah, germinal center terlihat menjauh satu sama lain dan trabekula telihat menipis (Vally 2007). Edema bisa merupakan konsekuensi dari adanya kongesti. Edema
21 ditandai dengan merenggangnya jarak antar sel-sel limpa dalam bentuk ruang kosong. Edema disebabkan oleh ganguan sirkulasi seperti adanya kongesti, yang terjadi akibat gangguan sistemik dan porta (Vally 2007). Pembacaan Sediaan Paru-Paru Pemeriksaan IHK menunjukkan 12 organ paru-paru imunoreaktif terhadap antibodi Coxiella burnetii dari 62 individu sapi yang imunoreaktif. Hal ini diduga berkaitan dengan rute infeksi yang lebih sering melalui jalur inhalasi (aerosol). Lesio yang terlihat pada paru-paru antara lain adalah pneumonia interstitialis (Gambar 2A), kongesti (Gambar 2B), hemoragi (Gambar 2B), edema (Gambar 2B), atelektasis, thrombus (Gambar 2C), emfisema (Gambar 2D), dan infestasi parasit (Gambar 2D). Hasil pembacaan lesio pada organ paru-paru dapat dilihat pada Tabel 5.
A A
B B
80 µm
40 µm
C
C
D
80 µm
h
D e
80 µm
Gambar 4 Lesio Histopatologi Paru-paru (HE). A. Pneumonia interstitialis ditandai oleh infiltrasi sel-sel radang makrofag (panah hitam) dan limfosit (kepala panah) dan neutrofil (panah putih) pada jaringan interalveolar, B. Kongesti (panah), hemoragi (h) dan edema (kepala panah), C. Thrombus (panah), D. Emfisema (e), dan infestasi parasit (panah). Pada pengamatan yang dilakukan lesio pneumonia interstitialis ditandai dengan pelebaran septa interalveolar akibat infiltrasi oleh sel-sel radang limfosit, makrofag dan sedikit neutrofil. Dilihat dari jenis sel radangnya peradangan paru-
22 paru umumnya telah berjalan kronis atau kronik aktif yang biasanya disebabkan oleh agen yang sulit difagositosis dan infeksi yang berjalan persisten. Coxiella burnetii adalah salah satu agen yang sulit difagositosis dan bisa berlangsung persisten. Infeksi Coxiella burnetii sering berjalan kronis dan secara persisten mengeluarkan agen tersebut melalui feses dan urin (Maurin dan Raoult 1999). Perubahan pada paru-paru yang bisa ditemukan pada kasus Q fever dapat berupa pneumonia interstitialis dimana terdapat infiltrasi sel-sel radang terutama makrofag, limfosit dan sedikit neutrofil serta eksudat pada alveol. Fibrin, eritrosit serta sel-sel radang mononukleus bisa ditemukan pada eksudat alveolar. Meskipun demikian, lesio ini bukanlah merupakan perubahan spesifik. Perubahan ini bisa juga disebabkan oleh infeksi penyakit lainnya (Maurin dan Raoult, 1999). Temuan pada mencit dan marmut yang diinfeksi Coxiella burnetii juga mempelihatkan lesio pneumonia interstitialis yang ditandai dengan infiltrasi sel-sel radang monukleus terutama makrofag dan limfosit pada paru-paru (Stein et al. 2005; Russell-Lodrigue et al. 2006). Hasil pengamatan histopatologi organ paru-paru yang dilakukan oleh pada kasus infeksi alami Coxiella burnetii pada kambing menunjukkan adanya edema insterstitialis, infiltrasi sel-sel radang limfosit dan makrofag, fokal nekrosis intraalveolar, hemoragi dan pneumonia interstitialis yang parah (Norina et al. 2011). Ada beberapa penyebab lain yang bisa menimbulkan lesio pneumonia interstitialis pada sapi antara lain ; infeksi virus (misalnya Bovine Respiratory Sincytial Virus, Bovine Herpes Virus-1), migrasi larva parasit (Dictyocaulus viviparus), mekanisme immun, gas toksik, dan kondisi lingkungan. Pneumonia interstitialis pada peternakan sapi potong juga bisa disebabkan oleh pemberian melengestrol acetate pada heifer untuk menekan estrus. Lesio ini juga bisa disebabkan oleh endotoksin yang dihasilkan oleh infeksi bakteri gram negatif (Panciera dan Confer 2010). Tabel 5 Hasil Pembacaan Lesio Histopatologi Paru-paru (HE) Organ Paru-paru
Lesio Peneumonia Interstitialis Infiltrasi sel-sel radang Neutrofil Limfosit Makrofag Eosinofil Kongesti Edema Hemoragi Thrombus Emfisema
Jumlah 25/62 13/62 24/62 22/62 2/62 20/62 17/62 10/62 4/64 4/64
Kongesti pada paru-paru merupakan lesio yang cukup banyak ditemukan. Kongesti ditandai dengan akumulasi darah di dalam lumen pembuluh darah paruparu. Pada pengamatan juga terlihat bahwa kongesti sering disertai oleh adanya edema. Kongesti pada paru-paru umumnya disebabkan oleh gagal jantung dan peradangan yang mengakibatkan stagnasi darah di dalam pembuluh darah paru-
23 paru, serta menyebabkan terjadinya edema dan keluarnya darah ke ruang alveol (Lopez 2006 ; Caswell dan Williams 2007). Edema terjadi akibat pengeluaran cairan dari pembuluh darah ke insterstitium melebihi kemampuan sistim limfatik dan alveol untuk mengambil kembali cairan tersebut. Kondisi ini disebabkan oleh dua hal yang dikelompokkan menjadi edema kardiogenik dan nonkardiogenik (permiability type) (Lopez 2006; Caswell dan Williams 2007). Penyebab edema kardiogenik dapat berupa gagal jantung kongestif, peningkatan tekanan hidrostatik, penurunan tekanan osmotik darah akibat hipoalbuminemia serta terganggunya fungsi saluran limfatik. Sedangkan edema yang bersifat non kardiogenik disebabkan oleh pembukaan yang berlebihan dari endothelial gaps dan kerusakan blood-air barrier. Tipe edema non kardiogenik ini sering merupakan bagian dari respon peradangan akibat mediator peradangan seperti leukotrienes, platelet-activating factor, sitokin, dan vasoactive amines yang dilepaskan oleh neutrofil, makropag, sel mast, limfosit, dan sel-sel endotel (Lopez 2006; Caswell dan Williams 2007). Pada sebagian sediaan paru-paru yang diamati temuan ini diduga disebabkan oleh gangguan permiabilitas pembuluh darah akibat adanya infeksi Coxiella burnetii dibuktikan dengan ditemukannya agen ini pada 12 sediaan paru-paru pada pemeriksaan IHK. Lesio hemoragi juga ditemukan pada sediaan paru-paru, dimana darah keluar dari pembuluh darah dan terdapat pada ruang alveol. Hemoragi dapat terjadi akibat adanya trauma, koagulopati, tromboemboli, disseminated intravascular coagulation (DIC), vaskulitis, kongesti berat, hemangiosarcoma, atau sepsis (Lopez 2006; Caswell dan Williams 2007). Temuan hemoragi ini bisa dikelirukan oleh terisapnya darah pada saat dilakukan pemotongan arteri karotis dan trakhea pada proses pemotongan hewan (Lopez 2006). Pembacaan Sediaan Hati Pemeriksaan IHK menunjukkan 2 organ hati yang imunoreaktif terhadap antibodi Coxiella burnetii. Pengamatan organ hati dilakukan pada 62 individu yang imunoreaktif meskipun tidak semua organ hati pada individu imunoreaktif tersebut ditemukan kehadiran Coxiella burnetii berdasarkan pemeriksaan IHK. Lesio histopatologi yang ditemukan pada organ hati dengan pewarnaan HE antara lain adalah; adanya reaksi peradangan yang ditandai dengan infiltrasi sel-sel radang limfosit, makrofag, neutrofil, dan eosinofil umumnya ditemukan di daerah porta yang menunjukkan adanya portal triaditis. Sel-sel radang didominasi oleh limfosit dan makrofag dan sedikit kehadiran neutrofil dan eosinofil. Disamping itu ditemukan kongesti, degenerasi dan nekrosis hepatosit, serta fibrosis hepatis. Lesio-lesio tersebut dapat dilihat pada Gambar 5. Menurut Maurin dan Raoult (1999) indikasi adanya infeksi Coxiella burnetii pada hati umumnya ditandai dengan lesio granulomatosa. Disamping itu ditemukan pula perubahan lain seperti portal triaditis, hiperplasia sel-sel Kupffer dan degenerasi lemak. Perubahan histopatologi yang bisa ditemui berupa nekrosis sel-sel hepatosit yang bersifat fokal, dan infiltrasi sel-sel radang yang terdiri dari makrofag, limfosit dan neutrofil. Lesio yang lebih khas ditunjukkan oleh adanya ruangan kosong (central clear space) dan cincin fibrin yang terdapat diantara granuloma atau di pinggir granuloma yang disebut dengan doughnut granuloma (Maurin dan Raoult, 1999).
24 Tabel 6 Hasil Pembacaan Lesio Histopatologi Hati (HE) Organ Hati
Lesio Infiltrasi sel-sel radang Neutrofil Limfosit Makrofag Eosinofil Kongesti Degenerasi hepatosit Nekrosis hepatosit Fibrosis
A A
Jumlah 2/62 35/62 14/62 2/62 15/62 9/62 6/62 41/62
B B
40 µm
40 µm
C C
D D
40 µm
80 µm
Gambar 5 Lesio Histopatologi Hati (HE). Peradangan pada daerah porta ditandai dengan infiltrasi sel-sel radang limfosit (kepala panah) dan makrofag (panah), B. Kongesti (panah) C. Fokus nekrosis disertai oleh infiltrasi sel-sel radang limfosit (kepala panah) dan makrofag (panah), D. Fibrosis (panah). Pada pembacaan sediaan hati tidak ditemukan adanya lesio granuloma tersebut. Namun demikian ditemukan adanya portal triaditis, fokus nekrosis dan infiltrasi sel-sel radang limfosit dan makrofag. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh infeksi yang telah berlangsung kronis. Lesio granuloma jarang ditemukan pada kasus infeksi Coxiella burnetii yang bersifat kronis, yang kemungkinan disebabkan oleh lemahnya respon immun oleh sel-sel T. Lesio dominan yang
25 ditemukan pada infeksi kronis pada hati adalah hepatitis reaktif yang tidak spesifik, infiltrasi sel-sel radang limfositik dan fokus nekrosis (Maurin dan Raoult, 1999). Temuan peradangan yang tinggi pada daerah porta terkait dengan adanya aliran darah dari vena porta yang berasal dari saluran pencernaan dan memberikan konsekuensi kemungkinan masuknya mikroba dan zat toksik lain yang termakan atau diproduksi oleh flora normal di dalam usus (Cullen 2006). Rute penularan Coxiella burnetii bisa juga melalui jalur ingesti ini akibat termakannya bakteri ini pada pakan yang terkontaminasi. Disamping itu pada pengamatan sediaan hati ditemukan lesio fibrosis yang cukup tinggi. Fibrosis merupakan ciri terjadinya kerusakan hati kronis (Cullen 2006). Fibrosis yang ditemukan masih terbatas pada area yang kecil dan umumnya berlokasi di daerah porta. Fibrosis bisa disebabkan oleh aktivasi sel stellate untuk memproduksi kolagen akibat reaksi peradangan yang menghasilkan proinflamatory cytokines seperti tumor necroses factor dan interlekuin-1, atau stimulasi langsung sel tersebut oleh toksin (Stalker dan Hayes 2007; Cullen 2006). Adanya kehadiran sel-sel radang eosinofil yang disertai dengan kejadian fibrosis mengindikasikan terjadinya infeksi parasit seperti cacing hati. Lesio lain berupa kongesti ditemukan dengan indikasi adanya genangan darah di dalam pembuluh darah dan sinusoid hati. Kongesti sering disebabkan oleh adanya kegagalan jantung kanan dan gangguan sirkulasi porta (Stalker dan Hayes 2007).
Hasil Pengujian ELISA Antibodi terhadap Coxiella burnetii akan mulai terbentuk 3-4 minggu setelah gejala Q fever akut, sebagian besar antibodi yang terbentuk adalah anti antigen fase II. Pembentukan anti fase II ini kenyataannya disertai juga dengan terbentuknya anti fase I pada tingkat yang rendah terutama ditujukan terhadap LPS. Kondisi ini dianggap bernilai diagnostik pada kasus Q fever akut (Shannon dan Heinzen 2009). Pada fase kronis antibodi terhadap fase I terlihat mengalami peningkatan (Fournier et al. 1998). Enzime Linked Immunosorbent Assay memiliki sensitifitas yang tinggi dan spesifitas yang baik dalam mendeteksi antibodi Coxiella burnetii (Kittelbergeret al. 2009; Rousset et al. 2007). Teknik ELISA lebih dipilih dibanding IFA dan CFT khususnya dalam diagnosis veteriner karena relatif mudah dikerjakan dalam uji screening sampel pada skala besar serta merupakan teknik yang cukup handal untuk menunjukkan keberadaan antibodi Coxiella burnetii (OIE 2010). Teknik ELISA dapat mendeteksi baik antibodi terhadap fase I maupun fase II dari Coxiella burnetii, dimana antibodi spesifik terhadap agen tersebut masih dapat dideteksi sampai dengan lima tahun setelah periode akut infeksi (Fournier et al. 1998). Penelitian ini menggunakan Kit ELISA komersial yang diproduksi oleh ID.Vet Prancis dengan nama produk ID Screen® Q Fever Indirect Multi-Species. Kit tersebut didisain mampu mendeteksi antibodi Coxiella burnetii baik antibodi terhadap fase I maupun fase II pada sapi, domba dan kambing. Sampel yang digunakan dalam pemeriksaan ini adalah serum yang diperoleh dari hewan sapi, kambing dan domba. Untuk mengevaluasi kualitas pengujian terlebih dahulu dilakukan validasi hasil pengujian. Hasil uji dikatakan valid apabila Optical
26 Dencity (OD) kontrol positif (PC) lebih besar dari 0,350 dan rasio kontrol positif terhadap kontrol negatif (NC) hasus lebih besar dari 3. Hasil validasi uji menunjukkan hasil yang valid dimana pada plate I menunjukkan OD PC 1,418 dan plate II memiliki OD PC 1,586 dengan rasio OD kontrol positif dibandingkan dengan OD kontrol negatif masing-masing yaitu 24,4 pada plate I dan 23,1 pada plate II. Interprestasi hasil dinyatakan dalam bentuk nilai S/P dengan satuan %, dihitung dengan membandingkan OD sampel yang dikurangi OD NC dibagi dengan OD PC yang dikurangi OD NC dikalikan dengan 100. Tabel 7 Jumlah Sampel Serum dan Hasil Pengujian ELISA Asal Sampel (Kab/Kota) Karo Labuhan Batu Deli Serdang Simalungun Asahan Medan Jumlah Total
Hewan Sapi 6 10 12 8 10 12 58
Kambing Domba 16 21 10 16 12 75
9 10 6 9 17 51
Jumlah per Kab/Kota 31 31 32 30 31 29 184
Hasil ELISA Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif
Sampel serum yang diuji dengan ELISA berasal dari hewan yang berbeda dengan hewan yang dikumpulkan organnya di RPH dan digunakan dalam pengujian IHK. Serum dikumpulkan dari ternak masyarakat di 6 (enam) kabupaten/kota di Sumatera Utara. Jumlah keseluruhan sampel serum yang diuji adalah sebanyak 184 dengan rincian 58 serum sapi, 75 serum kambing dan 51 serum domba lokal (Tabel 7). Pemeriksaan ELISA pada sampel serum sapi, kambing maupun domba tersebut menunjukkan nilai S/P berada dibawah 50 %. Dengan demikian seluruh sampel serum menunjukkan hasil negatif terhadap kehadiran antibodi Coxiella burnetii. Berdasarkan hasil pemeriksaan ELISA tersebut dapat dikatakan bahwa kemungkinan besar hewan yang diuji belum pernah kontak dengan antigen Coxiella burnetii. Dengan demikian secara tidak langsung belum ditemukan kehadiran Coxiella burnetii pada populasi hewan sapi, kambing dan domba lokal khususnya pada sampel yang telah diuji dan umumnya pada populasi ternak ruminansia lokal di Sumatera Utara. Penelitian lain yang menggunakan metode ELISA dalam mendeteksi antibodi Coxiella burnetii pernah dilakukan oleh Kusumawati (2012) pada sapi perah yang diimpor dari Australia melalui Bandara Soekarno Hatta, dimana dari 46 sampel serum yang diuji ditemukan 23 (50 %) sampel positif terhadap antibodi Coxiella burnetii. Di berbagai negara ELISA telah banyak digunakan dalam mendeteksi antibodi Coxiella burnetii pada ruminansia. Serum sapi potong yang dikumpulkan di rumah potong hewan di Queensland Australia menunjukkan 16.8 % seropositif Coxiella burnetii dengan teknik ELISA yang menggunakan antigen fase I maupun fase II dari bakteri tersebut (Cooper et al. 2011). Mccaughey et al. (2010) melakukan survey pada populasi sapi di Irlandia Utara dimana dari 5182
27 ekor sapi, 273 (6,2 %) diantaranya positif antibodi Coxiella burnetii menggunakan metode ELISA. Survey seroepidemiologi dengan teknik ELISA yang dilakukan pada peternakan domba di Southern Marmara Turki menunjukkan bahwa 20 % (151/743) sampel serum domba menunjukkan hasil seropositif terhadap Coxiella burnetii (Kennerman et al. 2010). Penelitian yang dilakukan di Al-Qossim City, Iraq memperlihatkan, dari 500 sampel serum ruminansia kecil (domba dan kambing) yang duji dengan ELISA, 16 % seropositif terhadap Coxeilla burnetii (Kshash 2012). Arserim et al. 2011 melakukan studi epidemiolgi pada domba, kambing, sapi dan manusia di Regional Diyarbakir Turki, dimana ditemukan antibodi Coxiella burnetii pada 25,4 % serum domba, 38,6 % serum kambing, 20,0 % serum sapi dan 6,6 % pada manusia. Abed et al. 2010 mendeteksi antibodi Coxiella burnetii dengan ELISA pada 9,3 % sapi dan 5,8 % pada domba di Provinsi Thi-Qar Iraq. Di Indonesia deteksi antibodi Coxiella burnetii pada domba dan kambing pernah dilakukan dengan metode IFA. Studi tersebut dilakukan di wilayah Jawa Barat yaitu di Kabupaten Bogor dan Cianjur. Hasil pengunjian IFA tersebut mempelihatkan adanya antibodi Coxiella burnetii pada 22 dari 69 (31,88 %) sampel serum domba dan 14 dari 69 (20,28 %) serum kambing (Setiyono et al. 2008).
Pembahasan umum Hasil pengujian imunohistokimia pada sampel organ sapi eks impor yang dikumpulkan di 3 (tiga) RPH (RPH Kota Medan, RPH Tani Asli dan RPH NP 96) di Sumatera Utara menunjukkan bahwa, 62/162 (38,3 %) sampel sapi imunoreaktif terhadap antibodi Coxiella burnetii. Hal ini mengindikasikan bahwa antigen ini telah ada pada populasi ternak sapi khususnya pada populasi asal sapi yang dipotong di RPH tersebut. Sebelum penelitian ini dilakukan, sejauh pengetahuan penulis data mengenai keberadaan penyakit Q fever pada ternak ruminansia di Sumatera Utara belum pernah dilaporkan. Secara epidemiologi temuan ini memiliki arti penting karena berdasarkan data yang diperoleh di RPH diketahui bahwa sampel organ yang dikumpulkan berasal dari sapi eks impor dengan jenis Brahman Cross. Sebelumnya, Mahatmi et al. (2007) juga telah berhasil mendeteksi agen penyakit ini pada 6,68 % sampel organ Sapi Brahman Cross yang juga merupakan eks impor di RPH Bogor dengan metode PCR. Begitu juga dengan penelitian Kusumawati (2012) yang mendeteksi adanya antibodi Coxiella burnetii pada 23 sampel dari 46 (50 %) sampel serum sapi perah yang di impor melalui Bandara Soekarno Hatta. Menurut Guatteo et al. (2011) rata-rata prevalensi Coxiella burnetii pada sapi adalah 20%, sedangkan pada domba dan kambing umumnya adalah 15% berdasarkan studi literatur yang pernah dilaporkan. Berbeda dengan hasil pengujian IHK pada organ sapi eks impor yang berhasil mendeteksi adanya antigen Coxiella burnetii, pemeriksaan ELISA pada 184 sampel serum ternak sapi, domba dan kambing lokal yang dikumpulkan dari 6 (enam) kabupaten/kota di Sumatera Utara seluruhnya menunjukkan hasil negatif terhadap antibodi Coxiella burnetii (Tabel 8). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh belum adanya kontak antara ternak yang diuji dengan agen penyebab
28 penyakit Q fever tersebut. Dengan demikian secara tidak langsung dapat dikatakan kemungkinan agen ini belum ada pada kelompok ternak yang diuji. Tabel 8 Ringkasan Hasil Pengujian IHK pada Sapi Eks Impor dan Hasil Pengujian ELISA pada Sapi, Kambing dan Domba Lokal Jenis Uji
Jenis Sampel
IHK
Organ
ELISA
Serum
Hewan Sapi Sapi, Kambing, Domba
162
Hasil Pengujian Positif 62
38,3
184
0
0
Jumlah Hewan (Ekor)
%
Sampai saat ini Indonesia masih melakukan impor sapi hidup, terutama sapi bakalan untuk tujuan penggemukan. Sapi yang dipotong di tiga RPH tersebut berasal dari feedlot yang ada di Sumatera Utara yang tersebar di beberapa lokasi seperti di Kabupaten Asahan, Langkat dan Deli Serdang. Selain impor sapi potong pemerintah juga masih melakukan impor sapi pejantan untuk produksi semen yang digunakan dalam kegiatan inseminasi buatan di Indonesia. Kruszewska dan Wierzbanowska (1997) pernah melaporkan adanya Coxiella burnetii pada semen sapi pejantan yang digunakan dalam inseminasi buatan. Q fever telah dimasukkan sebagai salah satu penyakit hewan menular strategis yang ada di Indonesia (KEMENTAN 2013). Namun demikian informasi sebaran penyakit ini masih sangat terbatas. Adanya temuan keberadaan Coxiella burnetii pada organ sapi eks impor yang dikumpulkan dari RPH tersebut, akan meningkatkan risiko penularan pada populasi ternak ruminansia yang belum terinfeksi di Sumatera Utara. Sumatera Utara memiliki populasi ternak ruminansia yang cukup tinggi. Sesuai dengan data DISNAK SUMUT (2013) jumlah populasi ternak sapi, kambing dan domba Tahun 2012 adalah 611.008 ekor sapi (potong dan perah), 781.774 ekor kambing, 374.286 ekor domba. Populasi ini dapat dianggap sebagai populasi beresiko terhadap infeksi Coxiella burnetii. Pencegahan penularan penyakit Q fever dari kelompok ternak terinfeksi ke populasi ternak dan wilayah yang belum terinfeksi sangat perlu dilakukan. Usaha tersebut antara lain melalui kebijakan impor hewan hidup yang lebih ketat, pengendalian transportasi hewan dari daerah terinfeksi ke daerah yang masih bebas dan pengobatan hewan yang sudah terinfeksi. Kebijakan impor yang dapat dilakukan antara lain adalah mensyaratkan pemeriksaan status kesehatan ternak terutama terhadap penyakit hewan menular tertentu seperti Q fever yang disebabkan oleh Coxiella burnetii. Disamping itu perlu dilakukan analisa risiko importasi hewan berdasarkan status penyakit tertentu baik di Indonesia maupun di negara asal. Dengan demikian dapat diketahui tingkat risiko yang ditimbulkan oleh penyakit hewan menular tertentu apabila dilakukan importasi dari negara tertentu. Q fever adalah penyakit yang dapat menular dengan dosis yang sangat rendah walaupun oleh satu sel bakteri (Woldehiwed 2004). Hewan yang kontak dengan hewan terinfeksi dapat tertular apabila dikumpulkan dalam satu kelompok. Pernah dilaporkan kasus kejadian abortus pada kelompok kambing yang terpapar dengan tiga ekor kambing yang sebelumnya terinfeksi Coxeiella burnetii. Abortus
29 terjadi setelah 21 hari pasca terpapar dan menyebabkan abortus pada 20-46 % hewan yang bunting pada kelompok hewan tersebut. Digambarkan pula bahwa sapi yang dimasukkan dari daerah yang tidak terinfeksi ke daerah endemis Q fever menunjukkan 40 % sapi yang tidak terinfeksi tersebut ikut terinfeksi enam bulan kemudian (Angelakis dan Raoult 2010). Selain sangat penting dalam aspek kesehatan hewan, temuan keberadaan penyakit Q fever pada ternak ini juga memiliki konsekuensi pada aspek kesehatan masyarakat. Q fever merupakan penyakit yang dapat menular dari hewan ke manusia (zoonosis). Penyakit ini pertamakali ditemukan pada Tahun 1935 pada pekerja rumah potong di Queensland Australia. Beberapa penelitian dan laporan menunjukkan adanya kasus penularan dari hewan ke manusia terutama pada orang yang secara langsung kontak dengan hewan. Q fever masih merupakan bahaya yang berkaitan dengan pekerjaan terutama pada orang-orang yang kontak dengan hewan domestik seperti sapi, domba dan kambing. Orang yang beresiko terhadap kemungkinan infeksi Q fever antara lain peternak, dokter hewan, pekerja rumah potong, orang yang memiliki kontak dengan produk ternak perah dan personil laboratorium yang mengerjakan kultur Coxiella burnetii serta bekerja dengan hewan yang terinfeksi atau diinfeksi (Angelakis dan Raoult 2010; RussellLodrigue et al. 2006). Laporan Marrie dan Fraser (1985) menunjukkan dari 65 orang dokter hewan dan 96 pekerja RPH yang diperiksa di Nova Scotia 17 % dan 12,5 % diantaranya memilik antibodi terhadap Coxiella burnetii. Di Jepang dari 275 dokter hewan, 107 pekerja pengolahan daging, 184 dari pasien yang mengalami gangguan pernafasan dan 60 orang yang sehat yang diperiksa masing-masing 54 (8,6 %) dan 103 (16,5 %) positif terhadap antibodi fase I dan Fase II Coxiella burnetii (Htwe et al. 1993). Pemeriksaan serum 189 orang dokter hewan di Belanda menjukkan 65,1 % positif terhadap antibodi Coxiella burnetii (Van den Brom et al. 2013). Pada kelompok pasien yang mengalami Q fever akut ditemukan bahwa 8% dari pasien merupakan peternak atau dokter hewan, 37,9 % hidup di lingkungan pedesaan, 23,2 % pernah mengkonsumsi keju dari peternakan kambing dan 35,4 % pernah kontak dengan hewan baru lahir atau hewan bunting (Angelakis dan Raoult 2011). Wabah besar Q fever pada manusia pernah terjadi di Belanda yang menyerang lebih dari 2300 orang dan menyebabkan 6 orang meninggal dunia. Kasus tersebut diduga berasal dari peternakan kambing yang terinfeksi Coxiella burnetii (Enserink 2010 ; Schimmer et al. 2009). Ruminansia domestik merupakan reservoir utama terhadap kasus yang terjadi pada manusia (Astobiza 2012). Hasil temuan ini perlu ditindaklanjuti dengan melakukan penelusuran balik terhadap asal ternak yang terinfeksi dan dilakukan usaha pengobatan dan dilanjutkan dengan usaha pencegahan penularannya terhadap populasi ternak yang belum terinfeksi. Pengobatan yang dapat dilakukan pada ternak ruminansia adalah pemberian antibiotika seperti oksitetrasiklin 20 mg/kg berat badan (Angelakis dan Raoult 2010). Namun demikian pemberian antibiotika belum tentu bisa menurunkan tingkat maupun lama shedding bakteri, sehingga negara-negara Eropa saat ini tidak lagi merekomendasikan pengobatan dengan antibiotika (EFSA 2010). Pencegahan dapat dilakukan dengan pengendalian populasi caplak, praktek sanitasi yang baik dan menurunkan kontaminasi lingkungan oleh Coxiella
30 burnetii. Cairan fetus yang terkontaminasi, fetus yang mengalami abortus serta alas kandang yang terkontaminasi harus dibakar dan dikubur. Pemisahan hewan sakit dari hewan sehat juga perlu dilakukan untuk mencegah meluasnya penularan. Disamping itu pencegahan pada hewan dapat dilakukan dengan penggunaan vaksin (Angelakis dan Raoult 2010). Vaksinasi terhadap fase I Coxiella burnetii terbukti efektif untuk mengurangi shedding antigen sehingga dapat mencegah penularan dan mengurangi kontaminasi lingkungan (Astobiza et al. 2011; Agerholm 2013). Untuk memperluas informasi mengenai situasi penyakit ini perlu dilakukan kegiatan surveilan yang lebih luas pada hewan khususnya pada ternak ruminansia. Begitu juga dengan surveilan pada manusia terutama pada orang yang memiliki resiko tinggi terhadap infeksi penyakit ini. Uji lainnya dalam deteksi antigen Coxiella burnetii dibutuhkan seperti penggunaan metode isolasi bakteri dan PCR. Disamping itu perlu pula dikerjakan sequencing untuk mempelajari strain Coxiella burnetii yang ada di Indonesia secara molekuler.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Penelitian ini telah berhasil mendeteksi keberadaan infeksi Coxiella burnetii sebagai penyebab Q fever pada ternak ruminansia khususnya pada sapi eks impor di Sumatera Utara. Deteksi antigen dengan metode imunohistokimia menunjukkan 62/162 (38,3 %) sampel organ sapi potong eks impor yang dikumpulkan di RPH imunoreaktif terhadap antibodi Coxiella burnetii. Namun demikian, deteksi antibodi terhadap Coxiella burnetii pada 184 serum yang berasal dari ternak sapi, kambing dan domba lokal yang dikumpulkan dari 6 (enam) kabupaten/kota di Sumatera Utara menggunakan teknik ELISA seluruhnya menunjukkan hasil negatif. Metode imunohistokimia sebagai salah satu metode dalam bidang patologi terbukti dapat digunakan dalam kegiatan surveilan khususnya pada kajian yang dilakukan di RPH pada sampel yang telah difiksasi.
Saran Perlu dilakukan studi yang lebih luas untuk mempelajari tingkat prevalensi Q fever pada ternak ruminansia di Sumatera Utara. Pengujian menggunakan metode konfirmatif lainnya untuk membuktikan keberadaan antigen Coxiella burnetii seperti metode isolasi bakteri dan PCR perlu dilakukan. Begitu juga dengan sequencing antigen yang ditemukan untuk mempelajari strain Coxiella burnetii yang ada di Indonesia pada tingkat molekuler.
31
DAFTAR PUSTAKA Abed J, Salih AA, Husien AA. 2010. Seroprevalence of Coxiella burnetii among cows and sheep in Thi Qar province Iraq. Al-Qadisiya J Vet Med Sci. 9(2):2630. Agerholm JS. 2013. Coxiella burnetii associated reproductive disorders in domestic animals-a critical review. Acta Vet Scand. 55(13):1-11. Amano KI, Williams JC, Missler SR, Reinhold VN. 1987. Structure and Biological Relationships of Coxiella burnetii Lipopolysaccharides. J Biol Chem. 262(10):4740-4747. Angelakis E, Raoult D. 2010. Q Fever. Vet Microbiol.140:297–309. Angelakis E, Raoult D. 2011. Emergence of Q Fever. Iranian J Publ Health. 40 (3):1-18. Arricau-Bouvery N, Rodolakis A. 2005. Is Q Fever an Emerging or Re-Emerging Zoonosis?.Vet. Res. 36:327–349. Arserim NB, Yesilmen S, Tel OY, Ozekinci T, Keskin O, Pulat H, Vural A. 2011. Seroprevalence of Coxiellosis in cows, sheep, goats and humans in Diyarbakir region of Turkey. Afric J Microb Res. 5(15):2041-2043. Astobiza I, Barandika JF, Ruiz-pons F, Hurtado A, Povedano I, Juste RA, GarciaPerez AL. 2010. Coxiella burnetii shedding and environmental contamination at lambing in two highly naturally-infected dairy sheep flocks after vaccination. Res Vet Sci. 91:58-63. Astobiza I, Tilburg JJHC, Pinero A, Hurtado A, Garcia-Perez AL, NabuursFranssen MH, Klaassen CHW. 2012. Genotyping of Coxiella burnetii from domestic ruminants in northern Spain. BMC Vet Res. 8(241):1-8. Baca OG, Paretsky D. 1983. Q Fever And Coxiella Burnetii: A Model for HostParasit Interactions. Microbiol Rev. 47(2):127-149. Baumgartner W, Dettinger H, Schmeer N, Hoffmeister E. 1988. Evaluation of Different Fixatives and Treatments for Immunohistochemical Demonstration of Coxiella burnetii in Paraffin-Embedded Tissues. J Clin Microbiol. 26(10):2044-2047. Berri MA, Rousset EB, Champion JLC, Russo PB, Rodolakis AA. 2007. Goats May Experience Reproductive Failures and Shed Coxiella burnetii at Two Successive Parturitions After a Q Fever Infection. Res In Vet Sci. 83:47–52. Caswell JL, Williams KJ. 2007. Respiratody System. Di dalam: Pathology of Domestic Animals. Ed ke-5. Maxie MG, editor. Philadelphia (US): Saunders Elsevier. hlm 523-650. [CDC] Central Deases Control and Prevention. 2013 [internet]. [diunduh 2013 Maret 30]. Tersedia pada : http://Www.Bt.Cdc.Gov/Agent/AgentlistCategory.Asp. Cesta MF. 2006. Normal structure, function, and histology of the spleen. Toxicol Pathol. 34:455-465. Cooper A, Hedlefs R, Mcgowan M, Ketheesan N, Govan B. 2011. Serological Evidence of Coxiella burnetii Infection in Beef Cattle in Queensland [Abstract]. Aust Vet J. 89(7):260-264. Doi: 10.1111/J.17510813.2011.00794.X.
32 Cullen JM. 2006. Liver, Biliary System, and Exocrine Pancreas. Di dalam: Pathologic Basis Of Veterinary Disease. Ed ke-4. McGavin MD, Zachary JF, editor. St Louis (US): Mosby Elsievier. hlm 393-461. Dagleish MP, Benavides J, Chianini F. 2010. Immunohistochemical diagnosis of infectious diseases of sheep. Small Rum Res. 92:19-32. D'Amico F, Skarmoutsou E, Stivala F. 2008. State of the art in antigen retrieval for immunohistochemistry. J Immunol. Meth. xxx xxx–xxx :1-18. [DISNAK SUMUT] Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sumatera Utara. 2013. Data Populasi Ternak Sumatera Utara Tahun 2012. Medan (ID): DISNAK SUMUT. [EFSA] European Food Safety Authority. 2010. Scientific Opinion on Q fever. EFSA J. 8(5):1-144. Emikpe BO, Yussouf SM, Ezeasor CK, Tanko PN. 2013. Immunohistochemical detection of Brucella mellitensis and Coxiella burnetii antigens in formalinfixed tissues of West African Dwarf goats [Abstract]. Arc Clin Microb. 4(2) [internet]. [Diunduh 2014 Maret 04] Tersedia pada : http://imedpub.com/ojs/index.php/acmicrob/article.view/520/0. Enserink M. 2010. Questions Abound in Q-Fever Explosion in the Netherlands [Abstract]. Science. 327(5963):266-267.DOI: 10.1126/science.327.5963.266a. Fournier PE, Marrie TJ, Raoult D. 1998. Diagnosis of Q Fever. J Clin Microbiol. 36(7):1823-1834. Fry MM, McGavin MD. 2006. Bone Marrow, Blood Cells, and Lymphatic System. Di dalam: Pathologic Basis Of Veterinary Disease. Ed ke-4. McGavin MD, Zachary JF, editor. St Louis (US): Mosby Elsievier. hlm 743831. Guarner J, Zaki SR. 2006. Histopathology and Immunohistochemistry in the Diagnosis of Bioterrorism Agents. J Histochem & Cytochem. 54(1): 3–11. Guatteo R, Beaudeau F, Berri A, Rodolakis A, Joly A, Seegers A. 2006. Shedding routes of Coxiella burnetii in dairy cows: implications for detection and control. Vet Res. 37 : 827–833. DOI: 10.1051/vetres:2006038. Guatteo R, Seegers H, Taurel AF, Joly A, Beaudeau F. 2011. Prevalence of Coxiella burnetii infection in domestic ruminants: A critical review. Vet Microbiol. 149:1–16. Hansen MS, Rodolakis A, Cochonneau D, Jens F. Agger JF, Christoffersen AB, Jensen TK, Agerholm JS. 2011. Coxiella burnetii Associated Placental Lesions and Infection Level in Parturient Cows. Vet J. 190:135–139. Honarmand H. 2012. Q Fever: An Old but Still a Poorly Understood Disease. Hindawi Publishing Corporation, Interdisc Perspec on Infect Dis :1-8. doi:10.1155/2012/131932. Htwe KK, Yoshida T, Hayashi S, Miyake T, Amano KI, Morita C,Yamaguchi T, Fukushi H, Hirai K.1993. Prevalence of Antibodies to Coxiella Burnetii in Japan. J Clin Microb. 31(3):722-723. Jones RM, Nicas M, Hubbard AE, and Reingold AL. 2006. The Infectious Dose of Coxiella burnetii (Q Fever). Appl Biosafety. 11(1) : 32-41. Kaplan MM, Bertagna P. 1955. The Geographical Distribution of Q Fever. Bull. Wld Hlth Org. 13:829-860.
33 [KEMENTAN] Kementerian Pertanian. 2013. Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 4026/Kpts./OT.140/4/2013 tentang Penetapan Jenis Penyakit Hewan Menular Strategis. Jakarta (ID): KEMENTAN. Kennerman EA, Rousset EB, Go Lcu EA, Dufour PB. 2010. Seroprevalence of Q Fever (Coxiellosis) in Sheep from the Southern Marmara Region, Turkey. Microbiol Infec Dis. 33:37–45. Key M. 2009. Immunohistochemistry Staining Methods. Di dalam. Immunohistochemical Staining Methods. Ed ke-5. Kumar GL, Rudbeck L, editor. California (US) : Dako North America. hlm 57-60. Kittelberger R, Mars J, Wibberley G, Sting R, Henning K, Horner GW, Garnett KM, Hannah MJ, Jenner JA, Piggott CJ, O'Keefe JS. 2009. Comparison of the Q-fever complement fixation test and two commercial enzyme-linked immunosorbent assays for the detection of serum antibodies against Coxiella burnetti (Q-fever) in ruminants : recommendations for use of serological tests on imported animals in New Zealand [Abstract]. N Z Vet J. 57(5):262-8. doi: 10.1080/00480169.2009.58619. Abstract. Kruszewska D, Wierzbanowska ST. 1997. Isolation of Coxiella burnetii from Bull Semen.Res Vet Sci. 62: 299-300. Kshash QH. 2012. Prevalence of Q-Fever in Small Ruminants in Al-Qassim City. Bas J Vet Res. 11(1):342-348. Kumar GL, Rudbeck L. 2009. Demasking of Antigens. Di dalam. Immunohistochemical Staining Methods. Ed ke-5. Kumar GL, Rudbeck L, editor. California (US) : Dako North America. hlm 51-56. Kusumawati E. 2012. Kajian Q Fever pada Sapi Perah Impor dari Australia yang Masuk Melalui Bandar Udara Soekarno-Hatta [tesis]. Bogor (Id): Institut Pertanian Bogor. Lepidi H, Coulibaly B, Casalta JP, Raoult D. 2006. Autoimmunohistochemistry: A New Method for the Histologic Diagnosis of Infective Endocarditis. JID. 193:1711-1717. Lepidi H, Gouriet F, Raoult D. 2009. Immunohistochemical detection of Coxiella burnetii in chronic Q fever Hepatitis. J Europ Soc Clin Microbiol Infect Dis. 15(2):169-170. Lopez A. 2006. Respiratory System. Di dalam: Pathologic Basis Of Veterinary Disease. Ed ke-4. McGavin MD, Zachary JF, editor. St Louis (US): Mosby Elsievier. hlm 462-557. Ma H, Shieh KJ, Lee SL. 2006. Study of ELISA Technique. Nat and Sci. 4(2): 3637. Mahatmi H, Setiyono A, Soejoedono RD, Pasaribu FH. 2007. Deteksi Coxiella burnetii Penyebab Q Fever pada Sapi, Domba dan Kambing di Bogor dan Bali. J Vet. 8(4):180-187. [diunduh 2013 Mei 10]. Tersedia pada : http://Ejournal.Unud.Ac.Id/Abstrak/Hapsare-Baru.Edited%20copy.Pdf. Marrie TJ, Fraser J. 1985. Prevalence of Antibodies to Coxiella burnetii Among Veterinarians and Slaughterhouse Workers in Nova Scotia. Can Vet J. 26: 181-184. Maurin M. Raoult D. 1999. Q Fever. Clin Microbiol Rev. 12(4):518–553. Mccaughey C, Murray LJ, Mckenna JP, Menzies FD, Mccullough SJ, O’neill HJ, Wyatt DE, Cardwell CR, Coyle PV. 2010. Coxiella Burnetii (Q Fever) Seroprevalence in Cattle. Epidemiol. Infect. 138:21–27.
34 Miyashita N, Fukano H, Hara H, Hara F, Nakajima T, Niki Y, Matsushima T. 2001. A Case of Coxiella burnetii Pneumonia in an Adult [Abstract]. Nih Kok Gak Zas. 39(6):446-451. Nogareda NA, Almeria SB, Serrano BA, Garcia-Ispierto IA, Lopez-Gatius FA. 2012. Dynamics of Coxiella burnetii Antibodies and Seroconversion in a Dairy Cow Herd with Endemic Infection and Excreting High Numbers of the Bacterium in the Bulk Tank Milk. Res Vet Sci. 93:1211–1212. Norina L, Sabri Y, Goh MY, Saad Z, Sarenasulastri AB, Latifah H, Jamilah J, Noordin MM. 2011. Immunohistological Localisation of Coxiella burnetii in Various Organs of Naturally Q-Fever Infected Goats. Pertanika J Trop Agric Sci. 34(1):167-173. [OIE] Office International des Epizootie. 2010. Q Fever (Chapter 2.1.12). OIE Terresterial Manual. 1-13. Panciera RJ, Confer AW. 2010. Pathogenesis and Pathology of Bovine Pneumonia. Vet Clin Food Anim. 26:191–214. Peter O, Dupuis G, Peacock MG, Burgdorfer W. 1987. Comparison of EnzymeLinked Immunosorbent Assay and Complement Fixation and Indirect Fluorescent-Antibody Tests for Detection of Coxiella burnetii Antibody. J Clin Microbiol. 25(6):1063-1067. Porter SR, Czaplicki G, Mainil J, Guatteo R, Saegerman C. 2011. Q Fever: Current State of Knowledge and Perspectives of Research of a Neglected Zoonosis. Int J Microbiol. 2011 : 1-22. doi:10.1155/2011/248418. Ramos-Vara JA. 2005. Technical Aspects of Immunohistochemistry. Vet Pathol. 42:405–426. Reichel RA, Mearns RC, Brunton LB, Jones RB, Horigan MB, Vipond RD, Vincent DE, Evans SB. 2012. Description of a Coxiella burnetii Abortion Outbreak in a Dairy Goat Herd, and Associated Serology, PCR and Genotyping Results. Res Vet Sci. 93:1217-1224. Raoult D. 2009. Reemergence of Q Fever After 11 September 2001.CID. 48 :558559. Rodolakis A. 2006. Q fever, state of art: Epidemiology, diagnosis and prophylaxis. Small Rum Res. 62:121-124. Roest HIJ. Ruuls RC, Tilburg JJHC, Nabuurs-Franssen MH, Klaassen CHW, Vellema P, Brom RVD, Dercksen D, Wouda W, Spierenburg MAH, Spek ANV, Boer RBAGD, 2011. Molecular Epidemiology of Coxiella burnetii From Ruminants in Q Fever Outbreak, The Netherlands. Em Inf Dis. 17(4): 668-674. Rousset E. Berri M, Durand B, Dufour P, Prigent M, Delcroix T, Touratier A, Rodolakis A. 2009. Coxiella burnetii Shedding Routes and Antibody Response After Outbreaks of Q Fever-Induced Abortion in Dairy Goat Herds. Appl Environ Microbiol. 75(2):428-433. Rousset E, Durand B, Berri M, Dufour P, Prigent M, Russo P, Delcroix T, Touratier A, Rodolakis A, Aubert M. 2007. Comparative diagnostic potential of three serological tests for abortive Q fever in goat herds [Abstract]. Vet Microbiol.124(3-4):286-297. Russell-Lodrigue KE, G. Q. Zhang GQ, McMurray DN, Samuel JE. 2006. Clinical and Pathologic Changes in a Guinea Pig Aerosol Challenge Model of Acute Q Fever. Infect Immun. 74(11):6085–6091.
35 Sanchez J, Souriau A, Buendia AJ, Arricau-Bouvery N, Martinez CM, Salinaz J, Rodolakis A, Navarro JA. 2006. Experimental Coxiella burnetii Infection in Pregnant Goats: A Histopathological and Immunohistochemical Study. J. Comp. Path. 135:108-115. Schimmer B, Dijkstra F, Vellema P, Schneeberger PM, Hackert V, Schegget RT, Wijkmans C, Van Duynhoven Y, Van der Hoek W. 2009. Sustained intensive transmission of Q fever in the south of the Netherlands. Eurosurveillance. 14:1-3. Setiyono A, Handharyani E, Mahatmi H. 2008. Seroprevalensi Q Fever pada Domba dan Kambing di Wilayah Jawa Barat. JITV. 13(1): 61-66. Shannon JG, Heinzen RA. 2009. Adaptive Immunity to the Obligate Intracellular Pathogen Coxiella burnetii. Immunol Res. 43(1-3):138-148. doi:10.1007/s12026-008-8059-4. Stalker MJ, Hayes T. 2007. Liver and Biliary System. Di dalam: Pathology of Domestic Animals. Ed ke-5. Maxie MG, editor. Philadelphia (US): Saunders Elsevier. hlm 297-387. Stein A, Louveau C, Lepidi H, Ricci F, Baylac P, Davoust B, Raoult D. 2005. Q Fever Pneumonia: Virulence of Coxiella burnetii Pathovars in a Murine Model of Aerosol Infection. Infect Immun. 73(4):2469–2477. Suttie AW. 2006. Histopathology of the Spleen. Toxicol Pathol. 34: 466-503. Vally VEO. 2007. Hematopoietic System. Di dalam: Pathology of Domestic Animals. Ed ke-5. Maxie MG, editor. Philadelphia (US): Saunders Elsevier. hlm 107-324 Van den Brom R, Schimmer B, Schneeberger PM, Swart WA, Van der Hoek W, Vellema P. 2013. Seroepidemiological Survey for Coxiella burnetii Antibodies and Associated Risk Factors in Dutch Livestock Veterinarians. Plos One. 8(1):1-5 Van den Brom R, Vellema P. 2009. Q fever outbreaks in small ruminants and people in the Netherlands. Small Rum Res. 86:74-79. Woldehiwet Z. 2004. Q Fever (Coxiellosis): Epidemiology and Pathogenesis. Res Vet Sci. 77:93-100.
36 Lampiran 1 Populasi Ternak Ruminansia di Sumatera Utara Tahun 2012 NO
Kabupaten/Kota
Sapi Kambing Domba Potong Perah 1 Nias 0 0 2.387 0 2 Mandailing Natal 5.043 0 24.322 8.520 3 Tapanuli Selatan 2.427 10 13.885 1.847 4 Tapanuli Tengah 2.134 0 14.185 1.358 5 Tapanuli Utara 526 0 2.140 590 6 Toba Samosir 1.650 0 3.766 360 7 Labuhanbatu 12.236 0 19.614 9.055 8 Asahan 75.094 11 68.868 22.073 9 Simalungun 104.235 37 67.320 10.801 10 Dairi 3.198 22 11.395 0 11 Karo 16.448 294 16.072 439 12 Deli Serdang 78.995 223 101.910 74.496 13 Langkat 152.115 44 143.856 142.623 14 Nias Selatan 105 0 3.511 34 15 Humbang Hasundutan 1.021 0 977 0 16 Pakpak Bharat 304 0 1.071 0 17 Samosir 2.117 24 9.850 281 18 Serdang Bedagai 47.325 84 72.223 31.753 19 Batu Bara 27.598 12 22.730 11.406 20 Padang Lawas Utara 6.640 14 14.725 7.043 21 Padang Lawas 13.983 0 15.256 5645 22 Labuhanbatu Selatan 11.048 0 101.654 3.288 23 Labuhanbatu Utara 32.622 3 24.897 24.288 24 Nias Utara 186 0 887 0 25 Nias Barat 114 0 21 0 26 Sibolga 0 235 0 27 Tanjungbalai 429 0 1.349 389 28 Pematangsiantar 668 15 844 136 29 Tebing Tinggi 2.116 20 7.259 7.259 30 Medan 2.771 177 6.196 1.495 31 Binjai 5.904 67 6.083 9.058 32 Padangsidimpuan 777 0 1.389 49 33 Gunungsitoli 122 0 897 609.951 1.057 781.774 374.286 (Sumber : Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan SUMUT)
37 Lampiran 2 Hasil Pengujian Imunohistokimia (IHK)
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
RPH Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan
Jenis Hewan Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi
Hasil Pengujian IHK ParuHati Limpa Paru + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + -
Ket Negatif Positif Positif Positif Negatif Negatif Positif Negatif Negatif Positif Positif Positif Positif Negatif Positif Negatif Negatif Negatif Negatif Positif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Positif Positif Positif Negatif Positif Negatif Positif Negatif Negatif Positif
38
No 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72
RPH Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan
Jenis Hewan Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi
Hasil Pembacaan IHK ParuHati Limpa Paru + + + + + + + + + + + + + + -
Ket Positif Positif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Positif Negatif Negatif Negatif Positif Negatif Negatif Positif Negatif Positif Positif Negatif Negatif Negatif Negatif Positif Negatif Positif Negatif Positif Negatif Positif Positif Negatif Negatif Positif Negatif Positif
39
No 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107
RPH Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan NP 96 Deli Serdang NP 96 Deli Serdang NP 96 Deli Serdang NP 96 Deli Serdang NP 96 Deli Serdang NP 96 Deli Serdang
Jenis Hewan Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi
Hasil Pembacaan IHK ParuHati Limpa Paru + + + + + + + + + + + + + + -
Ket Positif Positif Negatif Positif Negatif Negatif Negatif Positif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Positif Positif Negatif Positif Negatif Negatif Positif Negatif Negatif Positif Negatif Negatif Positif Negatif Negatif Negatif Negatif Positif Negatif Negatif Negatif Negatif
40
No
RPH
108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144
NP 96 Deli Serdang NP 96 Deli Serdang NP 96 Deli Serdang NP 96 Deli Serdang NP 96 Deli Serdang Tani Asli Deli Serdang Tani Asli Deli Serdang Tani Asli Deli Serdang Tani Asli Deli Serdang NP 96 Deli Serdang NP 96 Deli Serdang NP 96 Deli Serdang NP 96 Deli Serdang NP 96 Deli Serdang NP 96 Deli Serdang NP 96 Deli Serdang NP 96 Deli Serdang NP 96 Deli Serdang NP 96 Deli Serdang Tani Asli Deli Serdang Tani Asli Deli Serdang Tani Asli Deli Serdang Tani Asli Deli Serdang Tani Asli Deli Serdang Tani Asli Deli Serdang Tani Asli Deli Serdang NP 96 Deli Serdang NP 96 Deli Serdang NP 96 Deli Serdang NP 96 Deli Serdang NP 96 Deli Serdang NP 96 Deli Serdang NP 96 Deli Serdang NP 96 Deli Serdang NP 96 Deli Serdang Tani Asli Deli Serdang Tani Asli Deli Serdang
Jenis Hewan Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi
Hasil Pembacaan IHK ParuHati Limpa Paru + + + + + + + + + + + + + + + + -
Ket Negatif Negatif Positif Negatif Negatif Negatif Positif Negatif Negatif Positif Positif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Positif Negatif Negatif Negatif Positif Negatif Negatif Negatif Positif Negatif Negatif Positif Negatif Positif Negatif Positif Positif Positif Negatif Negatif Positif
41
No
RPH
145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162
Tani Asli Deli Serdang Tani Asli Deli Serdang Tani Asli Deli Serdang Tani Asli Deli Serdang Tani Asli Deli Serdang Tani Asli Deli Serdang NP 96 Deli Serdang NP 96 Deli Serdang NP 96 Deli Serdang NP 96 Deli Serdang NP 96 Deli Serdang NP 96 Deli Serdang Tani Asli Deli Serdang Tani Asli Deli Serdang Tani Asli Deli Serdang Tani Asli Deli Serdang Tani Asli Deli Serdang Tani Asli Deli Serdang
Jenis Hewan Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi
Hasil Pembacaan IHK ParuHati Limpa Paru + + + + + + + + + -
Ket Positif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Positif Positif Positif Negatif Negatif Negatif Negatif Positif Positif Positif Positif Negatif
42 Lampiran 3 Hasil Pengujian Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37
Kab/Kota Karo Karo Karo Karo Karo Karo Karo Karo Karo Karo Karo Karo Karo Karo Karo Karo Karo Karo Karo Karo Karo Karo Karo Karo Karo Karo Karo Karo Karo Karo Karo Labuhan Batu Labuhan Batu Labuhan Batu Labuhan Batu Labuhan Batu Labuhan Batu
Kode Sampel Kb1 Kb2 Kb20 Kb21 Kb32 Kb33 Kb41 Kb42 Kb56 Kb57 Kb58 Kb64 Kb65 Kb66 Db9 Db10 Db11 Db12 Db13 Db14 Db15 Db16 Db17 S24 S25 Kb55 S27 Kb68 S29 S30 S31 Kb1 Kb2 Kb3 Kb4 Kb13 Kb14
Jenis Hewan Kambing Kambing Kambing Kambing Kambing Kambing Kambing Kambing Kambing Kambing Kambing Kambing Kambing Kambing Domba Domba Domba Domba Domba Domba Domba Domba Domba Sapi Sapi Kambing Sapi Kambing Sapi Sapi Sapi Kambing Kambing Kambing Kambing Kambing Kambing
% PC
Interprestasi
25,15 2,87 1,54 3,68 4,41 0,44 0,22 1,69 1,99 1,10 1,18 0,88 12,06 10,81 8,38 6,03 9,93 7,06 5,74 2,72 1,99 1,69 -0,07 4,93 14,85 2,21 5,00 0,51 5,74 3,60 3,09 12,87 2,65 3,24 1,76 3,82 4,12
Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif
43 NO
Kab/Kota
38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75
Labuhan Batu Labuhan Batu Labuhan Batu Labuhan Batu Labuhan Batu Labuhan Batu Labuhan Batu Labuhan Batu Labuhan Batu Labuhan Batu Labuhan Batu Labuhan Batu Labuhan Batu Labuhan Batu Labuhan Batu Labuhan Batu Labuhan Batu Labuhan Batu Labuhan Batu Labuhan Batu Labuhan Batu Labuhan Batu Labuhan Batu Labuhan Batu Labuhan Batu Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang
Kode Sampel Kb15 Kb16 Kb32 Kb33 Kb34 Kb35 Kb56 Kb57 Kb58 Kb59 Kb61 Kb62 Kb63 Kb64 Kb65 S29 S30 S31 S49 S50 S51 S52 S53 S54 S55 S1 S2 S3 S4 S5 S6 S7 S8 S9 S10 S11 S12 Db1
Jenis Hewan Kambing Kambing Kambing Kambing Kambing Kambing Kambing Kambing Kambing Kambing Kambing Kambing Kambing Kambing Kambing Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Domba
% PC
Interprestasi
1,25 0,81 3,09 3,90 10,59 0,59 0,74 1,99 0,59 0,74 5,29 1,54 2,06 1,47 4,71 3,75 1,54 1,54 2,28 1,69 2,35 5,88 1,25 3,01 35,00 0,35 0,20 0,24 0,18 0,11 0,07 0,12 0,09 0,17 0,26 0,20 0,13 0,09
Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif
44 NO
Kab/Kota
76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112
Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Deli Serdang Simalungun Simalungun Simalungun Simalungun Simalungun Simalungun Simalungun Simalungun Simalungun Simalungun Simalungun Simalungun Simalungun Simalungun Simalungun Simalungun Simalungun Simalungun
Kode Sampel Db2 Db3 Db4 Db20 Db21 Db22 Db23 Db24 Db25 Kb38 Kb39 Kb40 Kb41 Kb42 Kb43 Kb44 Kb45 Kb46 Kb47 Kb1 Kb2 Kb3 Kb22 Kb23 Kb24 Kb25 Kb35 Kb36 Kb38 Kb53 Kb54 Db4 Db5 Db6 Db7 Db8 Db9
Jenis Hewan Domba Domba Domba Domba Domba Domba Domba Domba Domba Kambing Kambing Kambing Kambing Kambing Kambing Kambing Kambing Kambing Kambing Kambing Kambing Kambing Kambing Kambing Kambing Kambing Kambing Kambing Kambing Kambing Kambing Domba Domba Domba Domba Domba Domba
% PC
Interprestasi
0,10 0,11 0,09 0,13 0,16 0,13 0,10 0,10 0,10 0,13 0,10 0,09 0,09 0,10 0,08 0,08 0,17 3,33 3,26 4,52 9,00 3,33 3,07 2,01 4,58 14,27 1,81 0,23 14,34 2,47 2,01 1,29 3,66 1,94 0,69 0,69 16,71
Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif
45 NO
Kab/Kota
113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150
Simalungun Simalungun Simalungun Simalungun Simalungun Simalungun Simalungun Simalungun Simalungun Simalungun Simalungun Simalungun Asahan Asahan Asahan Asahan Asahan Asahan Asahan Asahan Asahan Asahan Asahan Asahan Asahan Asahan Asahan Asahan Asahan Asahan Asahan Asahan Asahan Asahan Asahan Asahan Asahan Asahan
Kode Sampel Db10 Db11 Db12 Db13 S31 S32 S33 S34 S49 S50 S51 S52 S1 S2 S3 S4 S5 S6 S7 S8 S9 S10 Kb11 Kb15 Kb20 Kb30 Kb31 Kb35 Kb41 Kb45 Kb48 Kb50 Kb63 Kb64 Db54 Db55 Db56 Db57
Jenis Hewan Kambing Kambing Kambing Kambing Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Kambing Kambing Kambing Kambing Kambing Kambing Kambing Kambing Kambing Kambing Kambing Kambing Domba Domba Domba Domba
% PC
Interprestasi
1,88 2,14 1,68 5,11 33,26 6,30 11,24 8,67 10,05 2,54 7,55 3,46 6,16 9,79 6,82 15,19 5,77 3,46 19,94 8,34 7,75 22,78 0,89 3,66 0,16 3,00 2,41 13,55 9,20 2,60 0,43 2,80 1,94 1,15 3,66 7,09 2,54 2,27
Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif
46 NO 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163 164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177 178 179 180 181 182 183 184
Kab/Kota Asahan Asahan Asahan Asahan Asahan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan Medan
Kode Sampel Db58 Db59 Db60 Db61 Db62 S1 S2 S3 S15 S16 S17 S18 S19 S20 S21 S22 S23 Db4 Db5 Db6 Db7 Db8 Db24 Db25 Db26 Db27 Db34 Db35 Db36 Db37 Db45 Db46 Db47 Db48
Jenis Hewan Domba Domba Domba Domba Domba Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Domba Domba Domba Domba Domba Domba Domba Domba Domba Domba Domba Domba Domba Domba Domba Domba Domba
% PC
Interprestasi
1,35 0,36 3,86 4,19 1,94 6,43 14,27 3,39 3,13 6,62 4,52 7,22 2,54 4,85 2,80 5,90 7,28 3,66 0,43 0,16 -0,03 3,66 2,54 4,65 1,62 2,01 1,22 0,03 2,87 4,45 10,58 1,81 1,09 -0,63
Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif
47
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Muarasoma, Kecamatan Batang Natal, Kabupaten Mandailing Natal pada Tanggal 9 Pebruari 1977, merupakan anak ke tujuh dari lima belas bersaudara dari pasangan Ayahanda Muhammad Nasution (Almarhum) dan Ibunda Rahma Lubis (Almarhumah). Penulis menyelesaikan pendidikan SLTA di SMA Negeri Muarasoma Tahun 1996, pendidikan sarjana di Fakultas Kedokteran Hewan IPB Tahun 2000, dan Program Pendidikan Dokter Hewan, FKH IPB Tahun 2002. Selama pendidikan sarjana, penulis memiliki pengalaman organisasi sebagai pengurus pada Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FKH IPB, pengurus organisasi kedaerahan pada Ikatan Mahasiswa Tapanuli Selatan (IMATAPSEL) dan Ikatan Mahasiswa Mandailing Natal (IKMAMADINA). Penulis memiliki pengalaman kerja pada sektor swasta mulai dari Tahun 2002 sampai dengan awal Tahun 2005 sebagai Veterinary Representative pada PT. Romindo Primavetcom. Sejak Tahun 2005 penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Kementerian Pertanian sampai dengan saat ini. Saat ini Penulis bekerja sebagai staf Fungsional Medik Veteriner pada Balai Veteriner Medan, Direktorat Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian. Tahun 2012 penulis mendapat kesempatan tugas belajar program pendidikan pascasarjana pada Sekolah Pascasarjana IPB, melalui program beasiswa dari Badan Penyuluhan dan Peningkatan Sumber Daya Manusia, Kementerian Pertanian.