PENGEMBANGAN PERIKANAN BUBU UNTUK KEBERLANJUTAN USAHA NELAYAN SIBOLGA
LUCIEN PAHALA SITANGGANG
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pengembangan Perikanan Bubu Untuk Keberlanjutan Usaha Nelayan Sibolga adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Oktober 2012
Lucien Pahala Sitanggang NRP C461080011
ABSTRACT LUCIEN PAHALA SITANGGANG. Development of Traps for Sustainable Fishing at Sibolga. Under direction of ARI PURBAYANTO, DOMU SIMBOLON, and FEDI SONDITA. Rapid population growth in the world will has implication to the increasing demand for protein especially from fish. Traps is one of fishing gears to catch demersal or coral reef fish. Recently trap operation at coast of Western Sumatera has been restricted. The operation of trap is considered destructive for coral reef. The objectives of this research are to evaluate fishing operation technic of demersal fishing using basket traps, to measure technical performance of basket trap modification, to analysis potential fishing ground and catch of basket trap and to arrange development strategy of trap fisheries at coast of Western Sumatera. The research was conducted in coastal area of western Sumatera from March 2011 to February 2012. The methods applied in this research were experimental fishing and survey method. Analysis of data used descriptive analysis, the statictical analysis for significantly test, analysis hierarchy process and SWOT analysis. The result showed that the evaluation of fishing operation technic using basket trap need repair, especially from the way of landing and construction. There were 26 species found in four fishing grounds located around coast of western Sumatera. The 26 species were dominated by three families, for example Serranidae, Carangidae and Lutjanidae. Basket trap modification showed higher productivity compared to the fishers basket trap. The average catch of Sibolga fishermen was 57.66%, which was lower than the average catch of basket trap modification about 75.28%. Based on the factorial analysis, type of traps gave significantly influence to the catch of demersal fish. Analysis of hierarchy process showed that repairing technic operations of trap is the main priorities in improving the sustainable fishing at Sibolga. Development of capture fisheries activities must consider resources sustainability. Keywords: demersal, fishing, modification, basket trap, Sibolga
RINGKASAN LUCIEN PAHALA SITANGGANG. Pengembangan Perikanan Bubu Untuk Keberlanjutan Usaha Nelayan Sibolga. Dibimbing oleh ARI PURBAYANTO, DOMU SIMBOLON, dan FEDI SONDITA. Perikanan tangkap khususnya perikanan demersal terus berkembang seiring dengan tingginya permintaan pasar ekspor. Ikan demersal memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi, sehingga berdampak pada upaya penangkapan yang terus meningkat tanpa mempertimbangkan keberlanjutan sumberdaya. Saat ini perkembangan kegiatan penangkapan ikan demersal di pantai Barat Sumatera mulai terhambat dengan adanya pelarangan beroperasi oleh pemerintah setempat. Bubu kawat merupakan salah satu alat tangkap nelayan Sibolga yang digunakan untuk menangkap ikan demersal atau ikan yang berhabitat di sekitar terumbu karang. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi teknik operasional bubu kawat di pantai Barat Sumatera, untuk menganalisis tingkat produktivitas bubu modifikasi dan bubu yang digunakan nelayan dalam pengembangan perikanan demersal, mengukur kinerja teknis pengoperasian bubu modifikasi sebagai hasil dari perbaikan alat tangkap, analisis finansial pengoperasian bubu untuk keberlanjutan usaha nelayan Sibolga dan menyusun strategi pengembangan perikanan bubu di pantai Barat Sumatera. Manfaat dari penelitian ini antara lain: sebagai informasi kepada pelaku usaha bubu di pantai Barat Sumatera; dan informasi kepada pemerintah dalam menyusun kebijakan dan memberikan bantuan kepada nelayan. Penelitian ini dilaksanakan di pantai Barat Sumatera dengan daerah pengoperasian di Pulau Mursala, Pulau Pini, Pulau Nias dan Pulau Karang. Metode penelitian yang digunakan dalam pengembangan usaha perikanan bubu adalah experimental fishing. Percobaan penangkapan ikan dilakukan dengan mengoperasikan 36 unit bubu nelayan dan 36 unit bubu modifikasi. Setiap daerah pengoperasian yang telah ditentukan memiliki 9 stasiun percobaan. Metode pengoperasian bubu nelayan mengikuti kebiasaan nelayan Sibolga, sedangkan pengoperasian bubu modifikasi dilakukan dengan perendaman 4 hari. Hasil dari penelitian menunjukkan teknik pengoperasian bubu nelayan masih memerlukan beberapa perbaikan khususnya dari proses pendaratan bubu di dalam air. Pendaratan bubu yang tidak sempurna menyebabkan bubu nelayan menjadi sulit saat dicari. Pada lokasi pengoperasian bubu nelayan di Pulau Karang, sering ditemukan ghost fishing karena pergeseran bubu yang cukup jauh dari titik setting. Perbaikan metode pengoperasian bubu dilakukan dengan memberikan pemberat pada alas bubu nelayan dan memberikan pelampung pada selimut atas bubu, dengan tujuan bubu akan mendarat sempurna dan pergeseran bubu akibat arus dasar dapat dieliminir. Berdasarkan perbandingan produktivitasnya, bubu nelayan dan bubu modifikasi memiliki umur teknis yang sama yaitu 3 bulan. Metode perendaman bubu yang berbeda menyebabkan bubu modifikasi dapat dioperasikan lebih banyak jika dibandingkan dengan bubu nelayan. Bubu modifikasi dapat digunakan sebanyak 8 sampai 12 trip, sedangkan bubu nelayan hanya 5 sampai 6 trip. Sebanyak 26 spesies ikan tertangkap di empat daerah pengoperasian bubu
yang digunakan dalam penelitian ini. Hasil tangkapan bubu modifikasi ini didominasi famili Serranidae, Carrangidae, Centroponidae dan Lutjanidae. Hasil tangkapan rata-rata ikan target dari bubu nelayan 57,66%, nilai ini lebih rendah dari hasil tangkapan rata-rata ikan target bubu modifikasi yakni sebesar 75,28%. Hal ini menunjukkan bahwa nelayan masih membutuhkan pengembangan dan perbaikan metode pengoperasian untuk keberlanjutan usaha bubu mereka. Hasil analisis hirarki proses menunjukkan bahwa perbaikan teknik operasi adalah prioritas pengembangan usaha perikanan bubu di pantai Barat Sumatera. Nilai SWOT pada strategi pengembangan usaha perikanan bubu di Sibolga menunjukkan bahwa perairan Sibolga masih memiliki peluang yang cukup baik. Peran serta pemerintah dalam pengawasan sumberdaya dan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan merupakan strategi yang dapat difokuskan pada pengembangan perikanan bubu di Sibolga.
Kata kunci: demersal, penangkapan, modifikasi, bubu, Sibolga
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
PENGEMBANGAN PERIKANAN BUBU UNTUK KEBERLANJUTAN USAHA NELAYAN SIBOLGA
LUCIEN PAHALA SITANGGANG
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Mayor Teknologi Perikanan Tangkap
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Komisi Penguji Luar pada Ujian Tertutup Disertasi: 1. Dr. Sulaeman Martasuganda, B.Sc, M. Sc 2. Dr. Ir. Ronny Irawan Wahju, M.Phil
Komisi Penguji Luar pada Ujian Terbuka Disertasi: 1. Prof. Dr. Ir. Wudianto 2. Dr. Ir. Budi H. Iskandar
LEMBAR PENGESAHAN Judul Disertasi
: Pengembangan Perikanan Bubu untuk Keberlanjutan Usaha Nelayan Sibolga
Nama
: Lucien Pahala Sitanggang
NRP
: C461080011
Program Studi
: Teknologi Perikanan Tangkap
Disetujui, Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc Ketua ’
Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si Anggota
Dr. Ir. M. Fedi A. Sondita, M.Sc Anggota
Mengetahui, Ketua Program Studi Teknologi Kelautan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Mulyono S Baskoro, M.Sc NIP. 196203031988031001
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr NIP. 196508141990021001
Tanggal Ujian : 9 Agustus 2012
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sibolga Sumatera Utara pada tanggal 12 Maret 1980 dari ayah Florencius Sitanggang dan ibu Almarhum Tiominar Br Marbun. Penulis merupakan putra kedelapan dari sepuluh bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2003, penulis diterima di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Program Pascasarjana IPB dan menamatkan diri pada tahun 2006. Pada tahun 2008, penulis kembali melanjutkan pendidikan pada Program Doktor Mayor Teknologi Perikanan Tangkap, Pascasarjana IPB. Penulis mengikuti pendidikan Program Doktor melalui beasiswa dari Bantuan Pendidikan Pasca Sarjana (BPPS) yang diberikan oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional. Pada tahun 2004 penulis bekerja sebagai Technical Support Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Terbuka. Pada tahun 2007 penulis diangkat sebagai dosen tetap pada Sekolah Tinggi Perikanan Sibolga. Pada tahun yang sama penulis diangkat menjadi Pembantu Ketua I Bidang Akademik di Sekolah Tinggi Perikanan Sibolga. Saat menjalani pendidikan pada tahun 2009 penulis diberikan tanggung jawab sebagai Ketua Sekolah Tinggi Perikanan Sibolga sampai pada saat ini. Pada tahun 2010 penulis juga diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil pada lingkungan pemerintah Kota Sibolga.
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi dengan judul “Pengembangan Perikanan Bubu Untuk Keberlanjutan Usaha Nelayan Sibolga” ini dengan baik. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang setulusnya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc., Bapak Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si., dan Bapak Dr. Ir. M. Fedi A. Sondita, M.Sc., atas kesediaannya untuk membimbing penulis. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Syarfi Hutauruk selaku Walikota Sibolga, Bapak Marudut Situmorang selaku Wakil Walikota Sibolga. K.M Renta Sari, nelayan-nelayan di pantai Barat Sumatera, Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Sibolga, Kepala Pelabuhan Perikanan Nusantara Sibolga, Staf Sekolah Tinggi Perikanan Sibolga. Secara khusus penghargaan dan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada: 1. Kepada bapak yang telah mendampingi penulis selama ujian dan mama di surga yang telah menjadi inspirator sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan; 2. Kepada istriku Yenny March Fransisca Harefa dan anakku Natasya Zomasienka
Sitanggang
yang
setia
mendampingi
penulis
dalam
menyelesaikan disertasi; 3. Keluarga besar Sitanggang atas segala bantuan, doa, kesabaran, dorongan, dan pengertian yang telah diberikan secara tulus dan ikhlas selama penulis menempuh pendidikan; 4. Irnawaty Sinaga dan keluarga yang turut membantu proses penyelesaian studi di IPB; 5. Lambok Parulian Pasaribu sebagai teman penelitian di lapangan yang telah mempermudah penulis dalam pengumpulan data; 6. Mahasiswa Sekolah Tinggi Perikanan Sibolga Aferius, Davida, Harry, Metty,
Ratna
dan
Anwar
menyelesaikan studi di IPB.
sebagai
pendamping
penulis
selama
Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih belum sempurna, sehingga kritik dan saran yang konstruktif sangat diharapkan untuk perbaikan dan penyempurnaan disertasi ini. Besar harapan disertasi ini dapat memberikan konstribusi yang positif dalam pengembangan perikanan tangkap di Sibolga dan sekitarnya. Semoga disertasi ini dapat bermanfaat.
Bogor, Oktober 2012
Lucien Pahala Sitanggang
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ...................................................................................
i
DAFTAR ISI ..................................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
vii
DAFTAR TABEL ..........................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
xiii
DAFTAR ISTILAH .......................................................................................
xv
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...........................................................................................
1
1.2 Perumusan Masalah ...................................................................................
5
1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................................
8
1.4 Manfaat Penelitian .....................................................................................
8
1.5 Kerangka Pemikiran...................................................................................
9
1.6 Novelti........................................................................................................
12
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sumberdaya Ikan Demersal .......................................................................
13
2.2 Perikanan Bubu .......................................................................................... 2.2.1 Definisi bubu ................................................................................ 2.2.2 Daerah pengoperasian bubu........................................................... 2.2.3 Jenis-jenis bubu ............................................................................. 2.2.4 Tingkah laku ikan terhadap bubu .................................................. 2.2.5 Bubu ramah lingkungan ................................................................
16 16 19 22 25 27
2.3 Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Berkelanjutan..................................
28
2.4 Kelayakan Usaha Bubu .............................................................................. 2.4.1 Net Present Value (NPV) ............................................................... 2.4.2 Internal Rate of Return (IRR) ........................................................ 2.4.3 Benefit Cost Ratio (B/C Ratio) ...................................................... 2.4.4 Break Event Point (BEP) ...............................................................
34 35 35 36 36
2.5 Pengembangan Usaha Perikanan ............................................................... 2.5.1 Analysis Hierarchy Process (AHP) ............................................... 2.5.2 Strenghts Weaknesess Opportunities Threats (SWOT) ................
37 39 42
iii
3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat .....................................................................................
43
3.2 Bahan dan Alat ...........................................................................................
44
3.3 Metode Penelitian ....................................................................................... 3.3.1 Prosedur percobaan............................................................................ 3.3.2 Modifikasi bubu................................................................................. 3.3.3 Pemilihan lokasi penempatan bubu ...................................................
46 47 48 51
3.4 Metode Pengumpulan Data ........................................................................ 3.4.1 Teknik pengoperasian bubu ............................................................... 3.4.2 Data kinerja teknis bubu modifikasi .................................................. 3.4.3 Data produktivitas bubu .................................................................... 3.4.4 Data daerah pengoperasian ................................................................
52 53 54 54 55
3.5 Analisis Data .............................................................................................. 3.5.1 Tingkat potensi pemanfaatan tangkapan utama bubu........................ 3.5.2 Konstruksi dan teknik pengoperasian ................................................ 3.5.3 Pergeseran titik bubu ......................................................................... 3.5.4 Kinerja teknis bubu modifikasi.......................................................... 3.5.5 Perbandingan produktivitas bubu ...................................................... 3.5.6 Pengaruh jenis bubu terhadap hasil tangkapan .................................. 3.5.7 Kelayakan usaha bubu ....................................................................... 3.5.8 Pengembangan perikanan demersal .................................................. 3.5.9 Teknologi berwawasan lingkungan ...................................................
57 57 59 59 60 60 60 62 64 70
4. PROFIL LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Umum Kota Sibolga .....................................................................
75
4.2 Kondisi Unit Penangkapan Ikan ................................................................. 4.2.1 Kapal perikanan ................................................................................. 4.2.2 Alat penangkapan ikan ...................................................................... 4.2.3 Nelayan ..............................................................................................
76 76 78 79
4.3 Pemanfaatan Sumberdaya Ikan ..................................................................
80
5. HASIL PENELITIAN 5.1 Tingkat Pemanfaatan Ikan Demersal ..........................................................
83
5.2 Teknik Pengoperasian Bubu Nelayan......................................................... 87 5.2.1 Konstruksi bubu nelayan ................................................................... 87 5.2.2 Daerah penangkapan ikan .................................................................. 90 5.2.3 Operasi penangkapan ikan dengan bubu nelayan .............................. 97 5.2.4 Dampak pengoperasian bubu nelayan ............................................... 104 5.3 Kinerja Teknis Bubu Modifikasi ................................................................ 105 5.3.1 Stabilitas gerak bubu modifikasi ....................................................... 105 5.3.2 Operasi penangkapan ikan dengan bubu modifikasi ......................... 108
iv
5.3.3 Perbandingan konstruksi dan pengoperasian bubu modifikasi dengan bubu nelayan ......................................................
114
5.4 Produktivitas Bubu..................................................................................... 5.4.1 Komposisi jenis dan jumlah hasil tangkapan .................................... 5.4.2 Komposisi jenis dan bobot hasil tangkapan ...................................... 5.4.3 Ukuran panjang hasil tangkapan ....................................................... 5.4.4 Pengaruh jenis bubu terhadap berat hasil tangkapan ........................ 5.4.5 Pengaruh jenis bubu terhadap jumlah hasil tangkapan .....................
116 116 126 137 143 146
5.5 Keberlanjutan Usaha Bubu ........................................................................ 5.5.1 Tingkat efisiensi bubu ....................................................................... 5.5.2 Kelayakan usaha bubu ......................................................................
148 148 149
5.6 Pengembangan Perikanan Bubu................................................................. 5.6.1 Prioritas pengembangan .................................................................... 5.6.2 Perumusan strategi pengembangan ................................................... 5.6.3 Penentuan unit penangkapan bubu mendukung CCRF ....................
152 152 155 160
6. PEMBAHASAN 6.1 Potensi dan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Demersal .............................. 6.1.1 Ikan kerapu....................................................................................... 6.1.2 Kakap merah.................................................................................... 6.1.3 Kuwe ................................................................................................
163 165 166 166
6.2 Daerah Pengoperasian Bubu ......................................................................
167
6.3 Perbandingan Konstruksi dan Operasional Bubu ..................................... 6.3.1 Konstruksi bubu nelayan dan bubu modifikasi ................................ 6.3.2 Operasi penangkapan ikan dengan bubu ......................................... 6.3.3 Perbandingan kinerja teknis bubu nelayan dan modifikasi.............. 6.3.4 Faktor yang mempengaruhi pengoperasian bubu ............................
169 169 171 181 182
6.4 Dampak Pengoperasian Bubu ....................................................................
183
6.5 Perbandingan Produktivitas Bubu..............................................................
186
6.6 Keberlanjutan Usaha Bubu ........................................................................ 6.6.1 Efisiensi bubu .................................................................................. 6.6.2 Kelayakan usaha bubu .....................................................................
193 193 194
6.7 Strategi Pengembangan Perikanan Bubu ................................................... 6.7.1 Prioritas pengembangan .................................................................. 6.7.2 Strategi pengembangan ................................................................... 6.7.3 Pengembangan bubu ramah lingkungan ..........................................
195 195 195 197
v
7. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan ................................................................................................. 199 7.2 Saran ........................................................................................................... 200 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 201 LAMPIRAN .................................................................................................... 207
vi
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Diagram alir penelitian perikanan bubu ....................................................
11
2. Desain bubu kawat nelayan Sibolga ..........................................................
25
3. Peta lokasi penelitian bubu di pantai Barat Sumatera ................................
44
4. Alat akustik Garmin 178 C ........................................................................
45
5. Katrol yang digunakan saat menarik bubu .................................................
46
6. Alat bantu yang digunakan nelayan saat mencari bubu kawat ..................
46
7. Desain dan konstruksi rangka bubu modifikasi .........................................
48
8. Rancangan bubu modifikasi pantai Barat Sumatera ..................................
49
9. Desain bubu modifikasi tampak atas .........................................................
50
10. Desain bentuk bukaan mulut bubu .............................................................
52
11. Skematis analisis SWOT............................................................................
68
12. Matrik SWOT ............................................................................................
70
13. Histogram armada penangkapan ikan tahun 2006-2010 ............................
77
14. Grafik maximum sustainable yield ikan kakap ..........................................
84
15. Grafik maximum sustainable yield ikan kerapu .........................................
85
16. Grafik maximum sustainable yield ikan kuwe ...........................................
86
17. Desain dan konstruksi bubu kawat nelayan Sibolga ..................................
87
18. Bubu nelayan berdasarkan tampak depan .................................................
88
19. Desain bubu nelayan tampak atas ..............................................................
89
20. Konstruksi bubu dasar pada tahun 1970 (Rose, 1998) ..............................
89
21. Peta daerah pengoperasian bubu nelayan Sibolga di perairan Mursala .....
90
22. Peta daerah pengoperasian bubu nelayan Sibolga di perairan Pini ............
92
23. Peta daerah pengoperasian bubu nelayan Sibolga di perairan Nias ...........
93
24. Peta daerah pengoperasian bubu nelayan Sibolga di perairan Karang ......
95
25. Grafik rata-rata dan standar error pergeseran titik bubu pada daerah pengoperasian yang berbeda ......................................................................
97
26. Diagram alir proses penjatuhan bubu nelayan ...........................................
100
27. Waktu rata-rata pencarian bubu nelayan ....................................................
104
vii
28. Analisis hubungan waktu penjatuhan bubu modifikasi dengan kedalaman perairan ....................................................................................................... 106 29. Analisis hubungan waktu penjatuhan bubu nelayan dengan kedalaman perairan ................................................................................... 107 30. Grafik rata-rata dan standar error perbandingan pergeseran bubu modifikasi ................................................................................................... 112 31. Waktu pencarian bubu modifikasi berdasarkan daerah pengoperasian .... 113 32. Waktu rata-rata pencarian bubu modifikasi................................................ 113 33. Grafik sebaran jumlah individu ikan yang tertangkap................................ 117 34. Perbandingan persentasi jumlah hasil tangkapan kedua jenis bubu ........... 118 35. Rata-rata jumlah individu ikan berdasarkan jenis hasil tangkapan di Pulau Mursala (a) hasil tangkapan utama untuk ekspor, (b) hasil tangkapan utama untuk lokal, (c) hasil tangkapan sampingan ................... 119 36. Rata-rata jumlah individu ikan berdasarkan jenis hasil tangkapan di Pulau Pini (a) hasil tangkapan utama untuk ekspor, (b) hasil tangkapan utama untuk lokal, (c) hasil tangkapan sampingan ................... 121 37. Rata-rata jumlah individu ikan berdasarkan jenis hasil tangkapan di Pulau Nias (a) hasil tangkapan utama untuk ekspor, (b) hasil tangkapan utama untuk lokal, (c) hasil tangkapan sampingan ................... 123 38. Rata-rata jumlah individu ikan berdasarkan jenis hasil tangkapan di Pulau Karang (a) hasil tangkapan utama untuk ekspor, (b) hasil tangkapan utama untuk lokal, (c) hasil tangkapan sampingan ................... 125 39. Sebaran data bobot hasil tangkapan bubu berdasarkan DPI ....................... 127 40. Perbandingan persentasi bobot hasil tangkapan bubu ................................ 128 41. Rata-rata bobot ikan berdasarkan jenis hasil tangkapan di Pulau Mursala (a) hasil tangkapan utama untuk ekspor, (b) hasil tangkapan utama untuk lokal, (c) hasil tangkapan sampingan ................... 129 42. Rata-rata bobot ikan berdasarkan jenis hasil tangkapan di Pulau Pini (a) hasil tangkapan utama untuk ekspor, (b) hasil tangkapan utama untuk lokal, (c) hasil tangkapan sampingan ................... 131 43. Rata-rata bobot ikan berdasarkan jenis hasil tangkapan di Pulau Nias (a) hasil tangkapan utama untuk ekspor, (b) hasil tangkapan utama untuk lokal, (c) hasil tangkapan sampingan ................... 133 44. Rata-rata bobot ikan berdasarkan jenis hasil tangkapan di Pulau Karang (a) hasil tangkapan utama untuk ekspor, (b) hasil tangkapan utama untuk lokal, (c) hasil tangkapan sampingan ................... 135 45. Perbandingan komposisi hasil tangkapan; (a) komposisi hasil tangkapan bubu modifikasi; (b) komposisi hasil tangkapan bubu nelayan ............................................................................. 137
viii
46. Sebaran data panjang ikan kerapu merah hasil tangkapan bubu ................
138
47. Sebaran data panjang ikan kerapu macan hasil tangkapan bubu ...............
139
48. Sebaran data panjang ikan kakap merah hasil tangkapan bubu .................
140
49. Sebaran data panjang ikan kerapu putih hasil tangkapan bubu .................
141
50. Sebaran data panjang ikan kuwe hasil tangkapan bubu .............................
142
51. Sebaran data panjang ikan jenaha hasil tangkapan bubu ...........................
142
52. Hasil analisis prioritas pengembangan perikanan demersal ......................
152
53. Prioritas pengambilan kebijakan berstruktur .............................................
155
54. Posisi faktor internal dan ekternal perikanan bubu di pantai Barat Sumatera ................................................................................
158
55. Pola gerak jatuh bubu nelayan dalam perairan ..........................................
173
56. Pola gerak jatuh bubu modifikasi dalam perairan ......................................
174
57. Proses pencarian bubu modifikasi yang dilengkapi pelampung ................
180
ix
x
DAFTAR TABEL
Halaman 1.
Dimensi bubu kawat nelayan di Sibolga ...................................................
24
2.
Sebaran bubu penelitian untuk setiap DPI ................................................
47
3.
Perbedaan dimensi dan massa penyusun bubu nelayan dan bubu modifikasi pantai Barat Sumatera ...................................................
50
4.
Jenis dan teknik pengumpulan data pengoperasian bubu nelayan ............
53
5.
Metode pengumpulan data produktivitas bubu .........................................
54
6.
Skala banding berpasang berdasarkan taraf relatif pentingnya.................
66
7.
Nilai random consistency index (ri) untuk jumlah elemen (n) 1 sampai dengan 10 .....................................................................................
67
Kriteria teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan dan nilai bobot .................................................................................................
72
Kemiringan lahan kota Sibolga .................................................................
76
10. Perkembangan jenis alat tangkap ikan tahun 2006-2010 ..........................
78
11. Jumlah nelayan Kota Sibolga tahun 2001-2010 .......................................
80
12. Ikan yang didaratkan di Sibolga pada tahun 2010 ....................................
81
13. Daftar harga ikan hasil tangkapan bubu Tahun 2011 ...............................
84
14. Jarak antara posisi penjatuhan dan pengangkatan bubu nelayan di Pulau Mursala .....................................................................................................
91
8. 9.
15. Jarak antara posisi penjatuhan dan pengangkatan bubu nelayan di Pulau Pini ............................................................................................................ 16. Jarak antara posisi penjatuhan dan pengangkatan bubu nelayan di Pulau Nias ........................................................................................................... 17. Jarak antara posisi penjatuhan dan pengangkatan bubu nelayan di Pulau Karang ..................................................................................................... 18. Faktor pengoperasian bubu nelayan nelayan Sibolga ...............................
94
19. Kriteria perairan saat penjatuhan bubu nelayan ........................................
101
20. Waktu pencarian bubu nelayan di pantai Barat Sumatera ........................
102
21. Dampak pengoperasian bubu terhadap kerusakan karang ........................
105
92
96 98
22. Jarak antara posisi penjatuhan dan pengangkatan bubu modifikasi di Pulau Mursala ....................................................................................................
108
23. Jarak antara posisi penjatuhan dan pengangkatan bubu modifikasi di Pulau Pini ............................................................................................................
xi
109
24. Jarak antara posisi penjatuhan dan pengangkatan bubu modifikasi i di Pulau Nias ........................................................................................................... 110 25. Jarak antara posisi penjatuhan dan pengangkatan modifikasi di Pulau Karang ...................................................................................................... 111 26. Perbandingan bubu nelayan dan bubu modifikasi ..................................... 115 27. Bobot hasil tangkapan berdasarkan DPI (kilogram) ................................. 144 28. Jumlah hasil tangkapan berdasarkan DPI (ekor) ....................................... 146 29. Perbandingan analisis kelayakan usaha bubu nelayan dan bubu modifikasi......................................................................................... 150 30. Matriks IFAS ............................................................................................. 156 31. Matriks EFAS ............................................................................................ 157 32. Analisis perumusan strategi SWOT pada perikanan bubu di pantai Barat Sumatera.................................................................................................... 159 33. Kriteria CCRF ........................................................................................... 161 34. Hasil penilaian kriteria CCRF pada bubu di pantai Barat Sumatera ......... 162
xii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Daftar pemilik kapal bubu di Sibolga ........................................................
207
2. Peta 135 ......................................................................................................
209
3. Titik koordinat penjatuhan bubu nelayan...................................................
210
4. Titik koordinat penjatuhan bubu modifikasi ..............................................
212
5. Analisis regresi hubungan waktu penjatuhan bubu terhadap kedalaman perairan.......................................................................................................
214
6. Sebaran spesies ikan yang tertangkap pada bubu ......................................
216
7. Hasil analisis faktorial hubungan DPI dan jenis bubu terhadap berat hasil tangkapan..................................................................................
217
8. Hasil analisis faktorial hubungan DPI dan jenis bubu terhadap jumlah hasil tangkapan...............................................................................
218
9. Analisis kelayakan usaha bubu nelayan .....................................................
219
10. Analisis kelayakan usaha bubu modifikasi ................................................
222
11. Dokumentasi kegiatan penimbangan ikan per individu .............................
225
12. Dokumentasi jenis ikan hasil tangkapan utama bubu Sibolga ...................
226
xiii
xiv
DAFTAR ISTILAH Berkelanjutan
: Pemanfaatan sumberdaya secara lestari, yaitu dimana laju pemanfaatan harus lebih kecil atau sama dengan laju pemulihan sumberdaya tersebut.
Bubu
: Suatu jenis alat tangkap berupa jebakan yang bersifat pasif dan selektif, memiliki bentuk serta ukuran yang beraneka ragam dan teknik pengoperasiannya ada yang diletakkan pada dasar perairan, mengapung dan dihanyutkan.
By catch
: Hasil tangkapan sampingan dari operasi penangkapan ikan.
Demersal
: Jenis ikan yang habitatnya berada perairan.
Diurnal
: Mahluk hidup yang aktif pada siang hari.
Ekosistem
: Suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik yang tak terpisahkan antara makhluk hidup dengan lingkungannya.
Ghost fishing
: Suatu kondisi dimana alat penangkapan hilang akibat terlepas, putus atau karena fenomena alam.
Habitat
: Lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang secara alami.
pada bagian dasar
Internal Rate of : Suatu tingkat discount rate yang menghasilkan net Return (IRR) present value sama dengan nol. Kebijakan
: Arah kegiatan dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan; atau intervensi pemerintah (dan publik) untuk mencari pemecahan masalah dalam pembangunan dan mendukung proses pembangunan yang lebih baik.
Komoditas unggulan
: Suatu jenis komoditas yang paling diminati dan memiliki nilai jual tinggi serta diharapkan mampu memberikan pemasukan yang besar dibandingkan dengan jenis yang lainnya.
Masyarakat nelayan
: Orang yang memiliki mata pencaharian menangkap, mamanfaatkan sumberdaya ikan di laut maupun di perairan umum.
Modifikasi
: Merubah sesuatu tanpa menghilangkan fungsi atau sifat
xv
dasarnya. MSY
: Keuntungan maksimum dalam usaha penangkapan.
Nelayan
: Orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan atau binatang air lainnya atau tanaman air.
Net Benefit Cost : Perbandingan antara total penerimaan bersih atau total Ratio (Net B/C) biaya produksi. Net Present : Selisih antara nilai sekarang dari penerimaan dengan nilai Value (NPV) sekarang dari pengeluaran pada tingkat bunga tertentu. Open Access
: Pemanfaatan sumberdaya ikan secara bebas, tidak ada larangan bagi pengguna sumberdaya ikan untuk ikut memanfaatkan dan meningkatkan jumlah kapal atau upaya penangkapan (effort).
Pakar (expert)
: Seseorang yang mempunyai pengalaman yang luas dan pengetahuan yang intuitive tentang suatu domain tertentu.
Pengembangan
: Usaha perubahan dari suatu nilai yang kurang kepada suatu yang lebih baik; proses yang menuju pada suatu kemajuan.
Perikanan
: Semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari pra produksi, produksi, pengelolaan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.
Perikanan tangkap
: Kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah dan atau mengawetkannya
Stakeholder
: Pihak yang kepentingan.
Substrat
: Senyawa penyusun dasar perairan.
Sumberdaya ikan
: Potensi semua jenis ikan.
Terumbu karang
: Suatu komunitas di dasar laut tropis yang dibangun terutama oleh biota laut penghasil kapur khususnya jenis
berkepentingan
xvi
atau
para
pemangku
moluska, crustacea, ecinodermata, policeata dan lunicata. Thigmotaksis
: Suatu sifat mahluk hidup yang tertarik akibat rasa ingin tahu.
Topografi
: Relief atau bentuk permukaan dari dasar laut.
Unit penangkapan ikan
: Suatu kesatuan teknis dalam suatu operasi penangkapan ikan yang terdiri dari kapal perikanan, alat tangkap dan nelayan.
Up welling
: Fenomena oseanografi yang melibatkan wind-driven motion dan mengakibatkan terjadinya pergerakan massa air secara vertikal.
xvii
1
1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di beberapa
negara, telah mendorong meningkatnya permintaan komoditas perikanan dari waktu ke waktu. Meningkatnya permintaan ikan ini mengarah pada jumlah yang tidak terbatas, mengingat kegiatan pembangunan yang merupakan faktor pendorong dari permintaan ikan berlangsung secara terus-menerus. Sementara di sisi lain, permintaan ikan tersebut dipenuhi dari sumberdaya ikan yang jumlahnya di alam mulai terbatas. Hal ini dapat dilihat dengan semakin canggihnya alat tangkap yang digunakan nelayan tanpa memperhatikan unsur kelestarian lingkungan. Kecenderungan meningkatnya permintaan ikan telah membuka peluang berkembangnya industri perikanan, baik perikanan tangkap maupun perikanan budidaya. Sayangnya, perkembangan industri perikanan ini lebih banyak dilandasi oleh pertimbangan teknologi dan ekonomi, namun mengabaikan pertimbangan lainnya seperti lingkungan, sosial budaya serta kelestarian sumberdaya ikan. Dampak yang terjadi saat ini, jaminan usaha perikanan yang berkelanjutan mulai dipertanyakan terutama akibat pengelolaan sumberdaya ikan yang belum optimal. Hal ini mempengaruhi kebijakan pemerintah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan nelayan. Bagi Indonesia, perikanan mempunyai peranan yang cukup penting dalam pembangunan nasional. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor (Dahuri, 2001): 1)
Sekitar 2.274.629 orang nelayan dan 1.063.140 rumah tangga budidaya, menggantungkan hidupnya dari kegiatan usaha perikanan;
2)
Adanya sumbangan devisa yang jumlahnya cukup signifikan dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun melalui pemenuhan kebutuhan sumber protein hewani bagi sebagian masyarakat;
3)
Terbukanya lapangan kerja bagi angkatan kerja baru, sehingga diharapkan mampu mengurangi angka pengangguran;
4)
Adanya potensi perikanan yang dimiliki Indonesia.
2 Kerangka pembangunan nasional menyatakan, peningkatan kontribusi perikanan harus diupayakan secara hati-hati agar tidak menimbulkan dampak negatif di masa yang akan datang. Kondisi saat ini peranan pengelolaan potensi perikanan menjadi sangat strategis. Disisi lain
pertumbuhan penduduk dan
pertumbuhan ekonomi beberapa negara di dunia, telah mendorong meningkatnya permintaan bahan makanan salah satunya ikan. Timbulnya kesadaran masyarakat akan kesehatan telah menggeser pola makan masyarakat, khususnya sumber protein hewani dari yang bersifat “red meat” (sapi, domba dan sebagainya) ke pola “white meat” (ikan). Kondisi tersebut telah berimplikasi pada meningkatnya permintaan ikan dunia. Sibolga merupakan salah satu wilayah pesisir di pantai Barat Sumatera, yang memiliki aktivitas perikanan tangkap cukup tinggi. Aktivitas yang cukup tinggi ditunjukkan dengan keberadaan Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Saat ini banyak para nelayan di luar wilayah Sibolga yang mendaratkan hasil tangkapannya di PPN dan tangkahan (pelabuhan swasta) yang ada di sepanjang pantai Sibolga. Kebanyakan hasil tangkapan ini berupa ikan pelagis kecil, sedangkan untuk ikan pelagis besar dan ikan demersal biasanya langsung ditampung oleh PT. Putra Ali Sentosa dan PT. Anugerah Samudera Hindia untuk diekspor. Berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Balai Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan tahun 2005, potensi perikanan laut dalam di pantai Barat Sumatera sebesar 8.293 ton per tahun (Suman dalam Purbayanto, 2007). Potensi perikanan yang sangat besar di Indonesia khususnya di perairan pantai Barat Sumatera telah mendorong nelayan Sibolga untuk mengembangkan usaha penangkapan ikan di laut dengan bubu kawat. Pengembangan alat tangkap bubu saat ini didorong oleh keberadaan daerah penangkapan ikan yang memiliki berbagai jenis terumbu karang. Ekosistem terumbu berpotensi sebagai habitat dari ikan demersal dan ikan yang berasosiasi dengan ekosistem karang. Salah satu komoditas perikanan yang memiliki nilai ekonomis cukup tinggi adalah ikan demersal. Sumberdaya ikan demersal banyak diminati oleh
3 masyarakat Jepang, Hongkong dan Singapura hal ini dapat dilihat dengan banyaknya restoran sea food yang menjadikan ikan demersal sebagai menu utama. Peningkatan permintaan yang terus terjadi memberikan dampak terhadap upaya nelayan dalam mengeksploitasi sumberdaya ikan demersal. Salah satu usaha nelayan dalam meningkatkan hasil tangkapan ikan demersal adalah dengan mengembangkan alat tangkap bubu. Penggunaan alat tangkap bubu menghasilkan ikan yang lebih segar karena ikan tertangkap dalam kondisi hidup. Bubu merupakan salah satu alat tangkap yang paling sering digunakan oleh nelayan Sibolga. Alat tangkap ini dikategorikan sebagai alat yang ramah lingkungan karena bersifat pasif dan selektif. Banyak nelayan Sibolga yang berasumsi bahwa bubu yang mereka gunakan saat ini cukup efisien karena sistem kerjanya sederhana dan menghasilkan ikan-ikan ekonomis penting. Inovasi teknologi penangkapan ikan karang dengan bubu dasar memberikan keuntungan yang signifikan (Risamasu, 2008). Alat ini
menjadi efektif karena mampu
menghasilkan ikan karang yang memiliki nilai jual tinggi terutama untuk ekspor. Disisi lain nelayan dengan sistem operasional menggunakan purse seine lebih membutuhkan modal besar dan nilai jual hasil tangkapan tidak sebaik ikan karang. Prinsip kerja bubu kawat di pantai Barat Sumatera adalah menjebak ikan agar masuk melalui mulut bubu dan sulit untuk keluar. Pemilihan daerah pengoperasian bubu sangat dipengaruhi oleh keberadaan ekosistem terumbu karang. Pulau-pulau kecil sepanjang pantai Barat Sumatera masih memiliki ekosistem karang yang relatif baik sehingga masih memerlukan perluasan daerah pengoperasian bubu. Bubu kawat di pantai Barat Sumatera saat ini menjadi salah satu jenis alat tangkap yang tidak diijinkan oleh pihak pemerintah daerah khususnya mereka yang berada di Sumatera Barat. Sementara untuk pengoperasian bubu kawat ini, nelayan Sibolga sampai menjangkau daerah Sumatera Barat. Isu mengenai rusaknya terumbu karang akibat pengoperasian bubu ini menjadi tolak ukur pemerintah setempat dalam membuat kebijakan. Pengoperasian bubu kawat dengan cara menempatkannya di atas terumbu karang telah merusak ekosistem terumbu karang terutama saat nelayan melakukan pengangkatan bubu sehingga berdampak kepada habitat karang di wilayah tersebut.
4 Nelayan Sibolga saat ini mulai mengurangi operasi penangkapan ikan dengan bubu akibat meningkatnya biaya operasional dan pembatasan wilayah pengoperasian dengan adanya pelarangan oleh pemerintah daerah di sekitar pantai Barat Sumatera. Saat ini Pulau Mursala, Pulau Pini dan pulau-pulau kecil yang terletak di Kabupaten Tapanuli Tengah dan Kabupaten Nias Selatan banyak digunakan sebagai daerah pengoperasian bubu oleh nelayan Sibolga. Melihat kekayaan hayati yang dimiliki perairan pantai Barat Sumatera dan belum optimalnya tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan demersal, maka timbul suatu pemikiran untuk mengoptimalkan hasil sumberdaya hayati tersebut melalui pengembangan alat tangkap dengan tujuan peningkatan produktivitas hasil tangkapan tanpa harus merusak lingkungan. Penelitian mengenai pemanfaatan ikan demersal melalui pengoperasian bubu yang relevan dengan studi ini menyangkut inovasi teknologi penangkapan ikan karang dengan bubu dasar rumpon (Risamasu, 2008) dan studi posisi bukaan mulut bubu terhadap nilai hasil tangkapan (Hermawan, 2007). Penelitian terdahulu belum menjawab permasalahan bubu di pantai Barat Sumatera. Metode pengoperasian bubu khususnya teknik pencarian dan pengangkatan bubu yang bersifat acak masih dianggap sebagai penyebab utama rusaknya terumbu karang. Saat ini
dibutuhkan penelitian yang mampu menganalisis bagaimana sistem
pengoperasian bubu di pantai Barat Sumatera sekaligus memberikan rekomendasi terhadap keberlanjutan usaha nelayan bubu. Potensi perikanan demersal pantai Barat Sumatera menjadi salah satu alasan perlu adanya kajian ilmiah yang bersifat kompeherensif untuk menciptakan keberlanjutan usaha masyarakat disekitarnya. Pedoman pemanfaatan sumberdaya dengan mengacu pada Code of Conduct Responsibility Fisheries (CCRF) dapat membantu nelayan dalam mempertahankan keberlangsungan sumberdaya ikan demersal. Dengan demikian penelitian pengembangan perikanan bubu di pantai Barat Sumatera dapat memberikan solusi terhadap permasalahan sulit berkembangnya daerah pengoperasian bubu yang dianggap merusak lingkungan. Pengembangan usaha bubu yang berkelanjutan dan pelarangan pemerintah daerah seperti di Sumatera Barat akan terjawab jika bubu dapat dioperasikan secara baik dan tidak menimbulkan kerusakan pada ekosistem disekitarnya.
5
1.2
Perumusan Masalah Pemanfaatan
sumberdaya
perikanan
demersal
dengan
bubu
mulai
mengalami hambatan akibat pelarangan pengoperasian bubu di beberapa wilayah perairan pantai Barat Sumatera. Teknik penjatuhan bubu di sekitar wilayah terumbu karang dianggap sebagai penyebab utama rusaknya ekosistem karang. Kerusakan karang terlihat saat proses pencarian bubu, dimana gancu yang digunakan sebagai alat bantu harus digerakkan secara acak dan menimbulkan benturan terhadap karang disekitarnya. Teknik penempatan bubu yang tidak memperhatikan daya gerak bubu saat menyentuh dasar perairan juga sering menyebabkan bubu sulit untuk ditemukan. Pelarangan pengoperasian bubu di beberapa wilayah pantai Barat Sumatera harus didasari alasan yang kuat. Hal ini dapat menghambat keberlangsungan usaha nelayan bubu karena semakin sempitnya daerah pengoperasian. Perbaikan teknik pengoperasian dengan memodifikasi bubu nelayan harus dilakukan sebagai langkah awal memperbaiki kinerja teknis bubu. Perbaikan kinerja teknis operasional bubu nelayan yang saat ini digunakan, diharapkan menjadikan pengoperasian bubu di pantai Barat Sumatera dapat berkelanjutan. Perbaikan dalam teknik penjatuhan, proses penempatan dan penarikan bubu merupakan aspek yang harus dikaji dalam mewujudkan bubu yang ramah terhadap lingkungan. Memodifikasi bubu nelayan tentunya harus dipertimbangkan dengan target produksi yang tidak merugikan nelayan. Perbaikan metode dan alat tangkap sebaiknya tidak menimbulkan peningkatan biaya operasional dan tingkat pengoperasian yang sulit. Permasalahan pengopersian bubu yang dianggap merusak lingkungan harus diselesaikan dengan alternatif pemecahan yang juga berpihak pada nelayan. Salah satu pertimbangan yang harus diperhatikan dalam memodifikasi bubu adalah dengan tidak mengurangi pendapatan nelayan sehingga usaha bubu dapat berkesinambungan. Kinerja teknis dari bubu nelayan dan bubu modifikasi harus memberikan pengaruh yang nyata terhadap keberlangsungan usaha nelayan Sibolga. Alat tangkap yang produktif adalah alat yang mampu menghasilkan ikan target seoptimal mungkin dan mengurangi by-catch dalam setiap pengoperasiannya.
6 Bubu modifikasi yang mengalami perbaikan pada metode pengoperasian dan konstruksinya, diharapkan mampu menjawab permasalahan kerusakan karang dan meningkatkan pendapatan nelayan Sibolga. Saat ini bubu kawat yang ada di pantai Barat Sumatera dibeli nelayan dengan harga Rp 280.000 dan dioperasikan dengan sistem rawai (bergandengan). Penggunaan bubu kawat sendiri hanya digunakan selama kurang lebih 3 bulan karena kawat penyusun bubu mudah mengalami korosi. Berdasarkan umur teknisnya, bubu kawat hanya dapat digunakan sebanyak 5 sampai 6 kali operasi karena waktu perendaman bubu kawat berkisar 7 sampai 10 hari. Sistem pengoperasian bubu kawat yang dianggap merusak terumbu karang dan tingginya biaya pembuatan bubu kawat menjadi dasar permasalahan sulit berkembangnya usaha bubu di Sibolga. Pemanfaatan sumberdaya ikan oleh nelayan tanpa mengkaji aspek biologi tentunya tidak efektif dan kurang efisien. Nilai jual ikan akan semakin tinggi apabila hasil tangkapan memenuhi permintaan pasar seperti dari jenis ikan, ukuran ikan dan terlebih kualitas kesegaran ikan. Bubu yang dioperasikan dengan perendaman selama 10 hari harus memberikan alasan yang kuat dan harus dikaji secara ilmiah. Perbaikan terhadap lama perendaman bubu, diharapkan mampu meningkatkan produktivitas nelayan. Berkurangnya waktu perendaman bubu tentunya akan meningkatkan jumlah operasional satu unit bubu dengan asumsi umur teknis satu unit bubu adalah tiga bulan. Menguji kinerja teknis bubu nelayan dan bubu modifikasi pada daerah pengoperasian yang berbeda diperlukan pembuktian dengan mengukur tingkat produktivitasnya. Bubu modifikasi yang dijadikan sebagai alternatif pemecahan masalah harus dapat digunakan di sekitar wilayah perairan pantai Barat Suamatera yang memiliki karakteristik berbeda. Pulau Pini, Mursala, Nias dan Karang yang menjadi daerah pengoperasian bubu setelah adanya pelarangan merupakan wilayah yang dapat digunakan dalam menguji kedua jenis bubu. Bubu modifikasi yang dihasilkan dalam penelitian ini seharusnya memberikan tingkat efektivitas yang lebih baik khususnya dalam menangkap ikan target. Tingginya hasil tangkapan samping pada bubu saat ini juga harus mulai menunjukkan pengurangan.
7 Penelitian pemanfaatan sumberdaya ikan demersal diharapkan dapat menghasilkan sebuah konsep evaluasi perikanan bubu yang telah ada di Sibolga. Analisis metode pengoperasian bubu dan produktivitas terhadap ikan target menjadi alternatif penyelesaian permasalahan perikanan demersal. Faktor-faktor penyebab semakin rendahnya tingkat pendapatan nelayan bubu menjadi alasan pelaksanaan penelitian. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi kepada nelayan meliputi daerah pengoperasian bubu, teknik pengoperasian yang efisien, struktur biologi ikan yang sesuai untuk ditangkap serta teknis pengoperasian bubu yang ramah lingkungan. Belum adanya sebuah konsep yang terintegrasi antara perikanan tangkap dan keberlangsungan sumberdaya ikan demersal turut mempengaruhi kondisi kehidupan nelayan Sibolga. Saat ini dibutuhkan strategi pengembangan perikanan demersal melalui usaha bubu sebagai rekomendasi kepada pihak pemerintah yang berperan dalam pengambilan kebijakan. Strategi pengembangan yang baik diharapkan membuat usaha nelayan bubu di pantai Barat Sumatera dapat berkelanjutan dan memberikan manfaat yang signifikan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Beberapa pertanyaan yang dijawab melalui penelitian ini adalah : 1)
Apakah pengoperasian bubu saat ini telah merusak ekosistem terumbu karang, sehingga perlu adanya pelarangan beroperasi?
2)
Apakah dengan adanya perbaikan metode pengoperasian dan konstruksi bubu
nelayan
dapat
membantu
meningkatkan
produktivitas
dan
keberlanjutan usaha nelayan Sibolga? 3)
Bagaimana perbandingan komposisi produksi antara bubu konvesional dengan bubu yang telah dimodifikasi?
4)
Penerapan sistem operasi yang bagaimana yang paling sesuai digunakan demi terciptanya keberlangsungan usaha dan kelestarian sumberdaya ikan demersal di pantai Barat Sumatera?
5)
Bagaimana strategi pengembangan perikanan bubu yang sesuai untuk pantai Barat Sumatera?
8
1.3
Tujuan Penelitian Penelitian ini dimaksudkan untuk mengembangkan perikanan demersal
melalui penerapan modifikasi bubu kawat, untuk meningkatkan kinerja bubu terhadap keramahan lingkungan ekosistem terumbu karang. Penelitian ini diharapkan dapat membantu terciptanya pemanfaatan sumberdaya ikan demersal yang berkelanjutan khususnya di perairan Pulau Pini, Pulau Marsala, Pulau Nias dan pulau-pulau kecil di sekitar pantai Barat Sumatera. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1)
Menganalisis teknik pengoperasian bubu nelayan di pantai Barat Sumatera.
2)
Mengukur kinerja teknis bubu modifikasi di pantai Barat Sumatera.
3)
Membandingkan produktivitas bubu nelayan dengan bubu modifikasi dalam menangkap ikan demersal.
4)
Menganalisis kelayakan usaha bubu dalam membangun usaha perikanan yang berkelanjutan.
5)
Merumuskan strategi pengembangan perikanan bubu di pantai Barat Sumatera.
1.4
Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian pengembangan perikanan demersal melalui modifikasi
bubu diharapkan dapat memberikan manfaat yang signifikan terhadap keberlanjutan usaha bubu kawat di pantai Barat Sumatera. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1)
Sebagai informasi kepada pengusaha atau nelayan kecil, bagaimana teknik pengoperasian bubu yang efektif dan efisien untuk keberlanjutan usaha perikanan tangkap di pantai Barat Sumatera.
2)
Sebagai bahan pertimbangan kepada pihak pemerintah dalam menyusun kebijakan atau peraturan daerah terkait dengan pengelolaan perikanan bubu.
3)
Perkembangan ilmu dan teknologi perikanan tangkap khususnya dalam usaha perikanan demersal, sehingga pengoperasian bubu tidak merusak ekosistem dan profitabilitas usaha dapat terus berkembang.
4)
Sebagai alternatif penyusunan kebijakan strategi pengembangan bagi pihak Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) kota Sibolga.
9
1.5
Kerangka Pemikiran Pengembangan perikanan tangkap khususnya optimasi penangkapan ikan-
ikan demersal di Sibolga mulai menghadapi hambatan. Pelarangan operasi bubu oleh pemerintah daerah khususnya di perairan pantai Barat Sumatera telah membatasi usaha nelayan bubu saat ini. Bubu dianggap sebagai salah satu alat tangkap yang merusak keberadaan ekosistem terumbu karang. Pengoperasian bubu dengan sistem rawai dianggap menghancurkan ekosistem karang khususnya dari sisi pengangkatan bubu yang dilakukan secara acak. Kajian mengenai bubu kawat dilakukan untuk mengetahui dan membandingkan sejauh mana pengaruh teknik pengoperasian bubu berdampak terhadap kerusakan karang. Pendekatan lain yang dikaji dari evaluasi bubu nelayan adalah daerah pengoperasian bubu, bentuk konstruksi bubu dan metode perendaman bubu terkait dengan optimalisasi hasil tangkapan. Tujuannya agar produktivitas hasil tangkapan bubu semakin meningkat namun tetap bersifat ramah lingkungan. Ada 3 (tiga) hal utama yang akan dijawab dalam penelitian pengembangan perikanan bubu di Sibolga, yaitu: dampak pengoperasian bubu terhadap lingkungan; dampak pengoperasian bubu terhadap kelimpahan sumberdaya ikan demersal; dan dampak pengoperasian bubu terhadap peningkatan nilai ekonomi dari usaha nelayan itu sendiri. Evaluasi dampak pengoperasian oleh alat tangkap bubu kawat terhadap habitat perairan, minimal harus mampu menjawab apakah alat tangkap bubu sesuai untuk dikembangkan di kawasan pantai Barat Sumatera. Bagaimana bubu dapat mempertahankan keseimbangan ekosistem terumbu karang pada saat dilakukan hauling, serta sistem penentuan daerah penangkapan yang optimal bagi nelayan sehingga usaha perikanan demersal di Sibolga dapat berjalan secara berkelanjutan. Penelitian pengembangan perikanan demersal di pantai Barat Sumatera dimulai dengan melakukan pendekatan untuk setiap permasalahan bubu kawat di Sibolga. Permasalahan ini diidentifikasi dengan melakukan wawancara langsung kepada pihak pemerintah dan Angkatan Laut yang mengetahui pelarangan operasi bubu di beberapa wilayah perairan. Penelitian dilanjutkan dengan melakukan observasi langsung pada wilayah perairan yang menjadi target operasi nelayan
10 bubu Sibolga. Hasil identifikasi akan dijadikan tolak ukur dalam mencari solusi pengoperasian bubu yang ramah lingkungan dan dapat diterima oleh pemerintah. Adapun yang menjadi variabel input pada penelitian ini diantaranya: evaluasi teknik operasi bubu kawat nelayan Sibolga; evaluasi penentuan daerah penempatan bubu dan evaluasi hasil tangkapan bubu yang dioperasikan nelayan. Data ini dibandingkan dengan hasil pengoperasian bubu modifikasi yang telah mengalami perbaikan metode pengoperasian dan perubahan konstruksi. Hal ini dilakukan untuk menjawab kritikan pemerintah daerah terhadap pelarangan operasi bubu kawat nelayan. Permasalahan bubu di pantai Barat Sumatera, membutuhkan beberapa tahapan proses kajian yang harus ditempuh. Variabel proses dalam pengembangan perikanan bubu pantai Barat Sumatera yaitu: perbaikan teknik operasi bubu melalui perhitungan, metode peletakan dan pengangkatan bubu dan analisis stabilitas bubu di dalam air; penggunaan echosounder dan pemetaan dasar laut; perhitungan komposisi hasil tangkapan, indikator biologi hasil tangkapan dan potensi lestari hasil tangkapan. Hasil atau keluaran dari penelitian pengembangan perikanan demersal melalui modifikasi bubu antara lain; perbaikan teknis kerja bubu nelayan, rancangan
bubu
termodifikasi
dari
penelitian;
peta
penentuan
daerah
pengoperasian bubu yang potensial; kelestarian sumberdaya ikan dan analisis kelayakan usaha nelayan bubu. Prosedur penelitian dimulai dari evaluasi metode penangkapan ikan dengan bubu kawat di pantai Barat Sumatera. Evaluasi pengoperasian bubu terkait dengan metode penempatan bubu kawat, metode pemilihan lokasi bubu kawat, metode hauling sampai pada komposisi hasil tangkapan. Evaluasi pengoperasian bubu digunakan sebagai langkah awal untuk menjawab pertanyaan mengapa perikanan bubu mulai sulit berkembang dan mendapat larangan beroperasi dari pemerintah daerah di sekitar wilayah pantai Barat Sumatera. Kerangka penelitian dapat dilihat pada diagram alir yang ditunjukkan Gambar 1.
11
Input
Perikanan bubu di Sibolga 1) Teknik pengoperasian 2) DPI rusak 3) Pelarangan operasi 4) SDI sulit diperoleh 5) Umur teknis bubu
Pengoperasian bubu nelayan CCRF Identifikasi permasalahan operasi bubu nelayan
Proses Perbandingan bubu nelayan dan bubu modifikasi
Teknis operasi
DPI
1) Analisis setting 2) Analisis towing 3) Analisis hauling
1) Kedalaman 2) Topograf 3) Arus
Output
Kelayakan usaha
SDI
1) Jenis 2) Panjang 3) Berat
1) NPV 2) R/C Ratio 3) ROI
Strategi pengembangan
1) AHP 2) SWOT
Pengembangan usaha bubu
Metode pengoperasian
Kontruksi
Bubu modifikasi
1) Peningkatan produktivitas 2) Keberlangsungan usaha
Pengembangan usaha perikanan bubu
Gambar 1 Diagram alir penelitian perikanan bubu
12 Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dugaan sementara dampak pengoperasian bubu nelayan terhadap kerusakan ekosistem terumbu karang dan peningkatan produktivitas bubu dengan perbaikan metode pengoperasian. Adapun hipotesis yang dirumuskan dalam penelitian ini antara lain: 1) Adanya kerusakan terumbu karang sebagai dampak pengoperasian bubu nelayan di pantai Barat Sumatera. 2) Adanya perubahan perbaikan kinerja teknis dari konstruksi bubu nelayan melalui proses modifikasi. 3) Adanya peningkatan produktivitas modifikasi bubu nelayan terhadap hasil tangkapan ikan karang. 4) Terjadinya peningkatan nilai ekonomi usaha bubu dengan adanya modifikasi
1.6
Novelti Kebaruan (novelti) dari penelitian ini adalah modifikasi bubu yang paling
sesuai dioperasikan pada perairan pantai Barat Sumatera dengan tujuan memperbaiki kinerja, baik dari segi produktivitas maupun keramahan terhadap lingkungan. Alat tangkap ini diciptakan sebagai alternatif pemecahan masalah kerusakan ekosistem terumbu karang akibat pengoperasian bubu. Konsep pengembangan perikanan bubu di pantai Barat Sumatera disusun dalam suatu strategi pengembangan AWOT yaitu penggabungan dari Analysis Hierarchy Process (AHP) dan Strengths Weaknesses Oppportunities Threats (SWOT).
13
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Sumberdaya Ikan Demersal Ikan demersal adalah jenis ikan yang habitatnya berada di bagian dasar
perairan, dapat dikatakan juga bahwa ikan demersal adalah ikan yang tertangkap dengan alat tangkap dasar seperti trawl dasar (bottom trawl), jaring insang dasar (bottom gillnet), rawai dasar (bottom long line), bubu dan lain sebagainya. Menurut Ayodhyoa (1992) ikan dasar memilki sifat ekologi sebagai berikut: 1)
Mempunyai adaptasi dengan kedalaman perairan
2)
Aktifitasnya relatif rendah dan mempunyai daerah kisaran ruaya yang lebih sempit jika dibandingkan dengan ikan pelagis
3)
Jumlah kawanan relatif kecil jika dibandingkan dengan ikan pelagis
4)
Habitat utamanya berada di dekat dasar laut meskipun berbagai jenis diantaranya berada di lapisan perairan yang lebih atas
5)
Kecepatan pertumbuhannya rendah
6)
Komunitas memiliki seluk beluk yang komplek
7)
Dibandingkan sumberdaya ikan pelagis, potensi sumberdaya ikan demersal relatif lebih kecil akan tetapi banyak yang merupakan jenis ikan dengan nilai ekonomis yang tinggi Ikan demersal tersebar di seluruh perairan Indonesia, terutama di paparan
Sunda, Samudera Hindia dan Laut Arafura dengan kecenderungan kepadatan potensi tinggi di daerah pantai. Ikan demersal sangat dipengaruhi oleh faktor oseanografi seperti: suhu, salinitas, arus dan bentuk dasar perairan. Jenis ikan ini pada umumnya menyenangi dasar perairan bersubstrat lumpur atau lumpur berpasir (Rumajar, 2001). Perikanan demersal Indonesia menghasilkan berbagai jenis ikan (multi species) yang dieksploitasi dengan menggunakan berbagai alat tangkap (multi gear). Hasil tangkapan ikan demersal pada umumnya terdiri dari berbagai jenis yang jumlah masing-masing jenis tersebut tidak terlalu besar. Ikan tersebut antara lain: kakap merah/bambangan (Lutjanus spp), peperek (Leiognathtus spp), manyung (Arius spp), kurisi (Nemipterus spp), kuniran (Upeneus spp), tiga waja (Epinephelus spp), bawal (Pampus spp) dan lain-lain (Risamasu, 2008).
14 Statistik Perikanan Indonesia menunjukkan bahwa ikan demersal memiliki potensi yang cukup besar yaitu sebesar 1.786.350 ton/tahun, sedang produksi pada tahun 2010 sebesar 620.610 ton. Selain itu, jenis ikan ini memiliki nilai ekonomis yang tinggi, karena cita rasa yang lezat dan digemari masyarakat. Ikan demersal laut dalam (deep sea) adalah ikan yang sebagian besar hidupnya berada di dekat dasar perairan di luar daerah paparan benua (continental shelf) atau pada kedalaman lebih dari 200 m. Diperkirakan tingkat eksploitasi ikan demersal ini semakin meningkat pada tahun-tahun mendatang seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan protein ikan. Kajian teknik dan metode penangkapan ikan demersal laut dalam yang berkelanjutan menjadi perlu untuk dilakukan (Husni, 2009). lkan demersal banyak hidup dan tersebar di hampir seluruh perairan Indonesia pada umumnya ditangkap dengan menggunakan pancing ulur dan masih sedikit yang menggunakan bubu. Aktifitas penangkapan ikan demersal dengan bubu banyak dilakukan di perairan sekitar Pulau Karimunjawa. Penangkapan ikan demersal dengan bubu dapat menghasilkan kualitas tangkapan yang lebih baik. Unit penangkapan bubu sudah termasuk ke dalam skala usaha penangkapan menengah ke atas, untuk itu diperlukan modal yang besar untuk memulainya (Irnawaty, 2011). Berdasarkan kategori nilai ekonomisnya, sumberdaya ikan demersal dibagi menjadi 3 kelompok (Rumajar, 2001) antara lain: 1)
Kelompok komersial utama : terdiri dari ikan kerapu (Ephinephelus sp), bambangan (Lutjanus spp), bawal putih (Pampus spp), kakap (Lates calcarifer), mayung (Arius spp) dan kuwe (Carangoides spp).
2)
Kelompok komersial kedua: terdiri dari ikan bawal hitam (Formio niger), kurisi (Nemipterus spp), layur (Trichiurus savala), kurau (Eletheronema tetredactylum), ketang-ketang (Drepane punctata) dan baronang (Siganus spp).
3)
Kelompok komersial ketiga: terdiri dari ikan pepetek (Leiognathidae), beleso (Saurida, spp), kuniran (Upeneus sulphureus), mata merah (Priacanthus spp), kerong-kerong (Therapon spp) dan sidat (Muraenesox sp)
15 Ikan karang juga termasuk bagian dari ikan demersal. Ikan karang adalah ikan yang hidup di perairan karang. Jenis-jenis ikan yang hidup di sekitar perairan karang diantaranya adalah ikan giru (Siganus guttatus), kakap merah (Lutjanus timorensis), kakak tua hijau (Scarus rivulatus), kerapu macan, kuwe, lobster dan pogot tanduk (Monacanthus ciliatus). Terumbu karang merupakan rumah atau tempat berlindung berbagai biota laut lainnya. Berbagai jenis ikan, termasuk juga moluska, crustacea, echinodermata dan rumput laut yang hidup subur di sekitarnya. Terumbu karang memiliki peran yang sangat penting dalam ekosistem laut. Kerusakan terumbu karang dapat mengakibatkan terganggunya seluruh ekosistem laut dan pantai. Manfaat dari keberadaan ekosistem terumbu karang pada wilayah perairan antara lain (Hermawan, 2007): 1)
Merupakan rumah untuk berbagai jenis ikan dan tumbuhan;
2)
Melindungi ikan kecil dan mahluk laut lainnya dari serangan hewan pemangsa;
3)
Sebagai tempat berlindung mahluk laut dari ombak dan arus kencang;
4)
Sebagai penyedia makanan untuk berbagai jenis ikan, moluska dan echinodermata;
5)
Merupakan tempat tumbuh dan berkembangbiak berbagai jenis ikan dan mahluk lainnya;
6)
Terumbu karang yang sehat menghasilkan tangkapan ikan jauh lebih besar dari pada terumbu karang yang rusak;
7)
Terumbu
karang
membentuk
penghalang
alami
yang
melindungi
masyarakat pesisir dari gelombang laut dan topan. Pendapat lain dikemukakan oleh Maliskusworo dalam Rumajar (2001) menyatakan bahwa untuk perairan Indonesia paling sedikit ada 13 famili utama sebagai penyumbang produksi ikan karang, yaitu Caesiodidae, Pomacentridae, Acanthuridae, Serranidae, Scanidae, Caetodontidae, Labridae, Haemulidae, Lutjanidae, Holocentridae, Sigangidae, Lethrinidae dan Priacanthridae. Ketiga belas ikan karang ini yang tergolong ikan konsumsi diantaranya: Caesiodidae (ekor kuning), Labridae (napoleon), Scaridae (kakak tua), Serranidae (kerapu), Lutjanidae (kakap), Siganidae (baronang) dan Letthrinidae (lencam) (Djamali dan Mubarak, 1998). Ikan kerapu (Serranidae) dan kakap (Lutjanidae) dalam
16 pengelompokan sumberdaya ikan demersal termasuk dalam kelompok komersial utama. Selain ikan kerapu dan kakap yang termasuk dalam kelompok ini adalah ikan bambangan (Lutjanus spp.), bawal putih (Pampus spp.), jenaha (Lutjanus johni) dan kuwe (Carangoides spp.) Menurut Dartnall dan Jones (1986), berdasarkan fungsi ekologisnya ikanikan karang dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian, yaitu: 1)
Kelompok ikan target (target species) merupakan ikan yang dikenal sebagai ikan konsumsi, seperti ikan-ikan dari famili Serranidae, Lutjanidae, Haemulidae dan Lethrinidae
2)
Kelompok ikan indikator (indicator species) merupakan ikan-ikan yang digunakan sebagai indikator keberadaan suatu perairan yang memiliki terumbu karang seperti famili Caetodontidae
3)
Kelompok ikan yang berperan dalam rantai makanan. Kelompok ikan ini merupakan ikan-ikan yang belum diketahui perannya seperti ikan-ikan dari famili Pomacentrinidae, Scaridae, Acanthuridae, Caesionidae, Labridae, Siganidae, Mullidae dan Apogonidae. Di Indonesia potensi ikan pangan yang terdapat pada ekosistem karang
diduga sebesar 75.875 ton/tahun dengan besarnya sumberdaya 151.750 ton/tahun (Djamali dan Mubarak, 1998). Dilihat dari prospek pasar, potensi pemanfaatan ikan karang ini meningkat dari tahun ke tahun dengan negara tujuan Singapura, Hongkong, Jepang, Amerika Serikat dan Uni Eropa (Badan Agribisnis Departemen Pertanian, 1999). Ikan demersal seperti kakap dan kerapu sangat diperlukan untuk diekspor baik dalam bentuk hidup maupun mati. Hal ini seiring dengan semakin berkembangnya restoran sea food dan hotel, maka permintaan akan ketersediaan ikan karang semakin besar.
2.2
Perikanan Bubu
2.2.1 Definisi bubu Bubu adalah suatu jenis alat tangkap berupa jebakan yang bersifat pasif dan selektif, memiliki bentuk serta ukuran yang beraneka ragam dan teknik pengoperasiannya ada yang diletakkan pada dasar perairan, mengapung dan dihanyutkan. Bubu merupakan alat penangkap ikan yang efektif digunakan di
17 perairan terumbu karang. Alat tangkap ini sangat membantu nelayan bermodal kecil
karena
biaya
pembuatannya
relatif
murah
dan
mudah
dalam
pengoperasiannya (Ismail dan Nuraini, 1983). Lagler et al. (1997) menyatakan tanggapan ikan dan hewan air terhadap suatu rangsangan terjadi apabila rangsangan yang diberikan tersebut sesuai dengan kebiasaan dan reflek ikan tersebut. Kebanyakan dari mereka melakukan aksi apabila benda yang diberikan kepadanya bergerak, mempunyai warna dan mempunyai bentuk. Anun dan Barus (2000), berpendapat berhasilnya suatu usaha penangkapan ikan melalui operasi bubu juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan karena berkaitan dengan pertumbuhan dan populasi ikan, distribusi ikan pada suatu perairan yang menjadi tujuan penangkapan dan mempengaruhi hasil tangkapan terhadap alat itu sendiri. Faktor lingkungan adalah suhu, kecerahan, kedalaman perairan, salinitas dan arus. Selain pengaruh lingkungan, faktor lain yang juga berperan dalam produktivitas bubu adalah aspek teknis bubu tersebut. Berdasarkan penelitian Anun dan Barus (2000) jumlah bukaan mulut, pemberian umpan dan lama perendaman memberikan pengaruh terhadap hasil tangkapan bubu. Hela dan Laevastu (1970) menyatakan bahwa dalam keadaan gelap ikan cenderung berenang mengikuti arus dan sebaliknya pada saat terang ikan cenderung berenang melawan arus. Penempatan alat tangkap harus disesuaikan dengan teknik pengoperasian alat tangkap dan target spesies dari alat itu sendiri. Pengembangan alat tangkap harus diikuti dengan pengetahuan mengenai daerah penangkapan (fishing ground), sehingga dapat ditemukan suatu jenis alat tangkap yang cocok untuk daerah tersebut (Ayodhyoa, 1996). Ismail dan Nuraini (1983), menyatakan bahwa penangkapan ikan di perairan karang akan efektif dengan menggunakan alat tangkap bubu. Selain biaya pembuatan dan operasinya relatif murah, alat ini hanya sedikit menimbulkan kerusakan karang. Penelitian-penelitian tentang bubu dalam operasi penangkapan yang telah dilakukan, antara lain: pengaruh kedalaman dan kontur dasar perairan terhadap hasil tangkapan kakap merah (Lutjanus malabaricus) (Urbinas, 2004); pengaruh kedalaman pemasangan bubu terhadap hasil tangkapan kakap merah (Lutjanus
18 sanguineus) (Nurhidayat, 2002); selektivitas ukuran ikan kakap (Lutjanus sp.) pada bubu yang dilengkapi dengan celah pelolosan (escaping gaps) (Tirtana, 2003); uji coba alat tangkap bubu dengan ukuran mesh size berbeda (Ariefandi, 2005); pengaruh penggunaan jenis umpan terhadap hasil tangkapan ikan karang pada bubu (traps) (Mahulette, 2004); pengoperasian bubu dengan umpan dan konstruksi funnel yang berbeda terhadap hasil tangkapan ikan laut dalam (Susanto, 2006) dan studi tentang pengaruh pemasangan leader net terhadap hasil tangkapan dan tinjauan tingkah laku ikan karang pada alat tangkap bubu sayap (Mahulette, 2004). Sarjono et al. (1997), menyatakan bahwa salah satu teknik penangkapan ikan yang dianggap merusak keberadaan terumbu adalah bubu karang disamping pukat ikan dan bom ikan. Alasannya, selain bubu didudukkan di atas karang sehingga merusak terumbu karang, nelayan sering mematahkan koloni karang untuk menimbun bubu. Saat pengoperasian tali pelampung tanda sering dililitkan pada batu karang sehingga pada saat hauling akan menghancurkan karang yang dilaluinya. Sementara Martasuganda, (2003), berpendapat bahwa alat tangkap yang cocok untuk menangkap ikan demersal tanpa merusak terumbu karang adalah bubu, selain bersifat pasif dan ramah lingkungan juga selektif. Karang merupakan habitat hidup ikan-ikan demersal ekonomis penting seperti kakap, kerapu, jenaha, kuwe dan lobster. Menurut Norris et al. (2010),
pengoperasian bubu sering mengalami
kendala dengan hilangnya alat tangkap di dasar perairan (ghost fishing). Perairan terbuka dan pencurian oleh nelayan lain merupakan salah satu factor penyebab ghost fishing pada bubu. Selain itu hasil tangkapan kadangkala tidak sesuai dengan ikan yang menjadi sasaran penangkapan. Hal ini disebabkan nelayan pada umumnya belum mengetahui tingkah laku ikan dan karakteristik ekosistem karang. Nelayan belum mengetahui secara pasti pada kedalaman berapa ikan tersebut hidup dan berkembangbiak. Risamasu (2008) menyimpulkan bahwa bubu akan lebih efektif menangkap ikan hias pada kedalaman 40 meter dan 70 meter. Penangkapan ikan hias terutama dari kelompok ikan tiger atau yang dikenal jabung dapat mengurangi produktivitas bubu.
19
2.2.2 Daerah pengoperasian bubu Bubu merupakan alat tangkap yang bersifat pasif, sehingga penentuan lokasi menjadi syarat utama dalam operasi penangkapan. Sasaran target alat tangkap ini adalah ikan demersal yang memiliki habitat di sekitar terumbu karang. Bubu sangat cocok dioperasikan di perairan yang memiliki ekosistem terumbu karang dengan suhu diantara 18oC sampai 25oC. Pulau-pulau kecil di sepanjang Samudera Hindia merupakan habitat terumbu karang yang kaya akan ikan demersal. Ikan demersal memiliki kebiasaan hidup di dasar perairan yang bersubstrat lumpur dan terlindungi oleh karang. Ekosistem karang dijadikan sebagai tempat berlindung, mencari makan dan menghindar dari predator bagi ikan demersal (Riyanto, 2008). Penentuan daerah penangkapan ikan yang tepat akan mengurangi terjadinya ghost fishing (Norris et al. 2010). Efektivitas pengoperasian bubu tentunya dapat ditingkatkan dengan mengurangi ghost fishing pada usaha bubu. Pantai Barat Sumatera merupakan daerah pengoperasian bubu yang potensial karena selain suhunya yang relatif lebih hangat, diperairan ini juga sangat banyak dijumpai terumbu karang. Terumbu karang ini merupakan penghasil sumber makanan yang cukup baik sehingga mempermudah ikan untuk mencari makanan dan sekaligus merupakan tempat ikan berkembang (Simbolon, 2011). Ikan-ikan selain penghuni asli terumbu karang yang berinteraksi dengan ekosistem terumbu dan bernilai ekonomis tinggi juga banyak ditemukan (Jeyaseelan, 1998). Terumbu karang adalah suatu komunitas di dasar laut tropis yang dibangun terutama oleh biota laut penghasil kapur khususnya jenis-jenis moluska, crustacea, ecinodermata, policeata dan lunicata serta biota lain yang hidup di perairan sekitarnya termasuk plankton dan ikan. Terumbu terdapat di perairan tropis pada kedalaman antara 0 sampai 40 meter, dasarnya keras, airnya jernih dan mempunyai suhu rata-rata tahunan relatif stabil yaitu 180C. Terumbu dapat hidup subur pada perairan yang suhunya berkisar 25oC sampai dengan 300C, tersebar di daerah tropis antara 300 LU dan 250 LS. Di Indonesia terumbu dapat ditemukan hampir di seluruh pulau-pulau. Bagi kehidupan sekitarnya, terumbu juga berperan sebagai faktor penyubur oleh karena biota utama pembentuk terumbu karang bersimbiosis dengan monocelluler
20 algae (zooxanthellae) yang mempunyai peranan penting dalam penyediaan oksigen hasil fotosintesis (Wells dalam Sukarno, 1995). Kurnia (2003) menyatakan terumbu baik secara fisik maupun biologis mempunyai struktur yang sangat kompleks. Terumbu yang kita lihat sebenarnya adalah hasil keseimbangan antara faktor yang bersifat merusak (destruktif) yang bekerja secara simultan dan terus-menerus. Faktor yang bersifat membangun, sebagian besar terdiri dari unsur organik yang dihasilkan oleh berbagai biota laut penghasil kapur seperti karang batu, algae berkapur melalui berbagai proses baik secara fisik, biologi maupun kimia. Terumbu akan tumbuh dengan baik pada daerah tropis yang memiliki kandungan oksigen dan penetrasi cahaya yang baik. Hal ini disebabkan karena terumbu karang membutuhkan unsur tersebut dalam proses fotosintesis. Pengembangan terumbu karang buatan melalui proses transplantasi juga sudah mulai dikembangkan di Indonesia. Biota laut yang dikategorikan sebagai perusak terumbu karang yang sangat handal adalah Acanthaster planchi yaitu sejenis echinodermata yang memakan karang batu, molusca, sponge dan ikan. Adapun faktor alami yang dapat merusak terumbu karang antara lain (Suharsono, 1995) : 1)
Angin topan;
2)
Gempa bumi;
3)
Arus;
4)
Gelombang;
5)
Letusan gunung berapi; dan
6)
Kenaikan suhu air laut. Sukarno (1995) menyatakan faktor-faktor perusak tersebut setelah
mengalami berbagai proses, selanjutnya menjadi endapan kapur yang sangat halus atau fragmen-fragmen karang batu yang oleh bantuan arus akhirnya terperangkap di sela kerangka karang batu dan algae berkapur yang merupakan substrat dasar terumbu karang yang keras tempat hidup berbagai biota penyusun komunitas terumbu. Disamping faktor destruktif alamiah, tidak kalah perannya faktor destruktif oleh manusia baik secara langsung maupun tidak langsung. Faktor destruktif oleh manusia dijabarkan sebagai berikut:
21 a.
Secara langsung : 1) Penambangan karang secara liar, 2) Pencarian biota laut untuk perhiasan, 3) Pengambilan fosil kimia (Tridacna spp), 4) Penggunaan bahan peledak (bom), 5) Racun untuk menangkap ikan.
b.
Secara tidak langsung : 1) Pembuangan limbah rumah tangga 2) Pembuangan limbah industri dan 3) Limbah kapal Terumbu pantai berkembang di sepanjang pantai mencapai kedalaman tidak
lebih dari 40 meter. Terumbu ini tumbuh ke permukaan dan meluas ke arah laut. Pertumbuhan terbaik adalah pada bagian yang berarus deras. Terumbu penghalang terletak jauh dari pantai dan dipisahkan oleh lembah berpasir dari pantai (Sukarno, 1995). Menurut bentuk dan letaknya terumbu dapat dibedakan menjadi tiga tipe (Froelich, 2002) yaitu : 1)
Fringing reef (terumbu karang pantai)
2)
Barrier reef (terumbu karang penghalang)
3)
Atol (terumbu karang cincin) Terumbu penghalang memiliki akar pada kedalaman melebihi kedalaman
maksimum tumbuhnya karang batu. Umumnya terumbu penghalang sejajar garis pantai dan seolah melingkupi pulau. Terumbu cincin terlihat bagaikan sumur yang terendam air. Kedalaman rata-rata sekitar 45 meter. Seperti halnya terumbu penghalang akar terumbu ini tertanam pada kedalaman melebihi ambang batas kedalaman layak hidup karang batu. Walaupun demikian ketiga terumbu ini masih memiliki kesamaan pada permukaan tutupan yaitu : 1)
Permukaan mendatar (reef flat)
2)
Permukaan landai hingga curam (reef slop)
3)
Permukaan mendatar di tempat yang dalam (lagoon floor/submarine terrace) Terumbu dikenal sebagai suatu ekosistem yang produktif, keanekaragaman
biotanya tinggi dan memiliki panorama yang sangat indah sehingga terumbu tidak
22 saja penting karena perannya sebagai sumber makanan dan pelindung pulau dari gempuran ombak, tetapi juga berperan sebagai tempat rekreasi yang sangat menarik. Namun dengan pertumbuhan penduduk yang cepat serta berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah pesisir termasuk terumbu secara terus-menerus meningkat pula. Akibatnya beberapa kawasan terumbu di kawasan di Asia Pasifik telah dapat dikategorikan sebagai kawasan terumbu yang telah rusak, bahkan ada diantaranya yang sudah mencapai tingkat kritis, yaitu suatu kondisi terumbu karang yang telah sedemikian rupa sehingga dalam waktu 10-20 tahun lagi fungsi sebagai ekosistem terumbu karang itu akan hilang. Sehingga pengelolaan komunitas terumbu karang secara bijaksana dan berkelanjutan perlu segera dilakukan (Sukarno, 1995). Operasi bubu dasar atau laut dalam biasanya antara 15 meter sampai tidak terhingga dalamnya, hal ini sangat tergantung dari besar kecilnya bubu yang dibuat. Bubu kawat biasanya berada di laut dalam maka sangat bertentangan dengan bubu tradisional yang diletakkan pada kedalaman tertentu di atas terumbu karang. Pada kedalaman yang tak terhingga dibutuhkan sejumlah tali yang cukup panjang untuk digunakan sebagai pelampung tanda sekaligus menarik bubu dari dasar laut. Jenis hewan laut yang dapat ditangkap terdiri atas ikan kakap, kerapu, lobster, kepiting, udang dan belut laut yang peka terhadap sinar atau fototaksis negatif (Nontji, 2000). Kedalaman laut di perairan Indonesia secara garis besar dibagi dua yaitu perairan dangkal berupa paparan dan perairan laut dalam. Paparan adalah zona di laut terhitung mulai dari garis surut terendah hingga pada kedalaman sekitar 120 sampai dengan 200 meter, biasanya disusul dengan lereng yang lebih curam ke arah laut dalam. Bubu kawat biasanya dioperasikan pada daerah paparan yang memiliki terumbu karang (Mahulette, 2004).
2.2.3 Jenis-jenis bubu Menurut bentuk dan teknik operasionalnya bubu dikategorikan menjadi 3, antara lain (Martasuganda, 2003):
23 1)
Bubu dasar (stationary fish pots) Ukuran bubu dasar bervariasi menurut besar kecilnya yang dibuat menurut kebutuhan. Dalam operasional penangkapannya bisa tunggal (umumnya bubu berukuran besar), bisa ganda (umumnya bubu berukuran sedang atau kecil) yang dalam pengoperasiannya dirangkai dengan tali panjang yang pada jarak tertentu diikatkan bubu tersebut. Hasil tangkapan dengan bubu umumnya terdiri dari jenis-jenis ikan, udang kualitas baik, baronang, kerapu, kakap dan lainnya.
2)
Bubu apung (floating fish pots) Tipe bubu apung berbeda dengan bubu dasar. Bubu apung ini dilengkapi dengan pelampung dari bambu yang penggunaannya diatur sedemikian rupa yaitu ada yang diletakkan tepat di bagian atasnya atau kurang lebih demikian. Sementara itu kadang-kadang digantungkan pada rakit bambu. Rakit bambu tersebut dilabuh melalui tali panjang dan dihubungkan dengan jangkar. Panjang tali yang digunakan biasanya 1,5 kali dari kedalaman perairan. Berbeda dengan bubu dasar, hasil tangkapan bubu apung adalah ikan-ikan pelagis.
3)
Bubu hanyut (drifting fish pots) Disebut bubu hanyut karena dalam operasional penangkapannya, bubu ini dihanyutkan. Bubu hanyut yang terkenal adalah ”pakaja”. Sistem pengoperasian dilakukan sebagai berikut : -
Pada sekeliling mulut pakaja diikatkan rumput laut
-
Pakaja disusur ke dalam air
-
Kelompok yang satu dengan yang lain berhubungan melalui tali penanda (drifting line)
-
Pakaja dibiarkan dalam air dalam beberapa jam sebelum diangkat
Bubu yang beroperasi di Pulau Pini, Pulau Mursala, Pulau Nias, Pulau Karang dan pulau lain di sekitar pantai Barat Sumatera termasuk sederhana, terdiri atas badan, mulut dan rangka bubu. Badan bubu memiliki pintu untuk mengeluarkan hasil tangkapan. Pintu terbuat dari kawat yang berukuran 60 cm x 20 cm, serta memakai kayu sebagai alat pengunci. Mulut bubu berfungsi sebagai tempat masuknya ikan, berbentuk mengerucut dengan ukuran lebar mulut bagian
24 luar bubu 44 cm dan tinggi mulut bagian luar 55 cm, sedangkan lebar mulut bagian tengah 29 cm dan tinggi 40 cm, serta lebar mulut bagian dalam berukuran 25 cm. Panjang mulut bubu ini 75 cm, yaitu jarak dari mulut terluar sampai mulut terdalam. Konstruksi utama dalam badan bubu terbentuk dari kawat berukuran mess size 5 cm x 5 cm (Hermawan, 2007). Harga satu bubu yang biasa digunakan masyarakat nelayan Sibolga memerlukan biaya sebesar Rp. 280.000. Bubu ini diperkirakan memiliki daya tahan ± 3 bulan dan biasanya dicat dengan warna merah. Pemilihan warna ini dilakukan berdasarkan permintaan nelayan karena menurut pengalaman mereka bubu yang dicat dengan warna cerah memiliki hasil tangkapan yang lebih banyak daripada yang tidak dicat. Asumsi yang digunakan nelayan Sibolga belum dikaji secara ilmiah, namun cat yang melapisi selimut bubu dapat memperlambat korosi. Konstruksi bubu nelayan Sibolga sampai pada tahun 2008 dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Dimensi bubu kawat nelayan di Sibolga Uraian Bahan badan bubu Bentuk bubu Bentuk mulut bubu Mesh size kawat Panjang Lebar Tinggi Lebar mulut bagian luar Lebar mulut bagian tengah Lebar mulut bagian dalam Tinggi mulut bagian luar Tinggi mulut bagian tengah Tinggi mulut bagian dalam Panjang mulut
Keterangan Kawat weldingmesh Kayu dan rotan Kubus Silinder mengerucut 5 cm x 5 cm 150 cm 100 cm 50 cm 44 cm 29 cm 25 cm 35 cm 30 cm 15 cm 55 cm
Sumber : data penelitian (Siamanungkalit, 2008)
Desain dan konstruksi bubu nelayan Sibolga sangat dipengaruhi oleh nelayan asing yang pernah beroperasi di pantai Barat Sumatera (Hermawan, 2007). Konstruksi bubu nelayan yang biasanya digunakan nelayan Sibolga dapat dilihat pada Gambar 2.
25
Gambar 2 Desain bubu kawat nelayan Sibolga Bubu kawat nelayan Sibolga memiliki tulang yang terbuat dari rotan dan diberikan pemberat berupa batu karang pada setiap sudut alas bubu dengan cara diikatkan. Selimut bubu berukuran 5 cm dan pintu bukaan bubu terletak di bagian alas. Tali ris (main line) penghubung bubu diletakkan di bagian selimut atas bubu dan dihubungkan pada bubu lainnya karena sistem pengoperasian bubu bersifat rawai (bergandengan). Bubu di Sibolga biasanya hanya digunakan dalam 5 sampai 6 kali operasi dan ditempatkan dalam satu daerah pengoperasian selama kurang lebih 10 hari.
2.2.4 Tingkah laku ikan terhadap bubu Risamasu (2008) menyatakan, bubu merupakan salah satu alat tangkap yang bersifat pasif dan digunakan untuk menangkap ikan karang salah satunya adalah kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus). Bubu memiliki pintu masuk yang berbentuk corong yang memungkinkan ikan mudah masuk tetapi akan sulit keluar (non return device). Bubu memiliki dinding dengan ukuran mata yang relatif kecil sehingga memungkinkan ikan kecil yang belum memiliki nilai ekonomi tinggi akan tertangkap dan tidak dapat meloloskan diri. Ikan karang umumnya tertarik masuk ke dalam bubu karena beberapa alasan diantaranya sebagai tempat persembunyian atau menghindar dari predator. Untuk itu perlu dibuat sebuah celah pelolosan (escaping gap) pada bubu agar ikan yang masih kecil dapat meloloskan diri dan tidak terluka. Tingkah laku ikan melalui
26 celah pelolosan ini sangat berkaitan erat dengan bentuk dan ketinggian celah pelolosan dari dasar bubu (Norris, 2010). Umpan merupakan salah satu faktor penting untuk menunjang operasi penangkapan ikan karang dengan bubu. Ikan karang yang sifatnya sering bersembunyi pada terumbu karang terpancing keluar saat mengetahui adanya makanan. Ketersediaan umpan dalam bubu akan memancing ikan masuk ke dalam bubu. Penciuman adalah salah satu indera yang paling sering digunakan ikan karang dalam mendeteksi keberadaan makanan. Penggunaan umpan untuk memancing ikan kerapu macan (epinephelus fusgoguttatus) adalah salah satu cara yang efektif menunjang produktivitas bubu kawat (Riyanto, 2008). Efektivitas umpan sangat ditentukan oleh sifat fisika dan kimiawi dari umpan itu sendiri. Ikan karang yang umumnya memiliki ketajaman penglihatan yang lebih rendah akan lebih baik merespon dengan menggunakan indera penciuman. Tingkat respon ikan terhadap umpan ditentukan oleh sifat umpan tersebut. Umpan yang memberikan aroma yang lebih menyengat akan memberikan respon yang lebih efektif dalam memancing ikan masuk ke dalam perangkap. Umpan yang mengandung protein, lemak dan asam amino akan memberikan aroma terhadap ikan. Komposisi protein tertinggi akan memberikan respon yang paling tinggi terhadap ikan. Waktu rata-rata arrousal ikan terhadap umpan buatan dalam bubu yang mengandung protein tidak berbeda nyata (Riyanto, 2008). Prinsip dasar penangkapan ikan dengan alat yang bersifat pasif adalah bagaimana ikan tertarik pada alat tangkap. Terumbu karang buatan adalah salah satu alternatif menciptakan daerah pengoperasian bubu yang efektif Pembuatan terumbu karang buatan ditujukan untuk membentuk lubang atau celah yang cukup banyak sebagai habitat keberadaan ikan karang. Karang buatan yang berbentuk piramid atau memiliki kemiringan yang teratur tercatat lebih banyak dihuni oleh ikan karang sebagai tempat persembunyian dan mencari makan. Bentuk karang yang lebih terjal mampu memberikan pengaruh arus yang relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan karang yang landai (Kurnia, 2003). Risamasu (2008) menyatakan bahwa pada umumnya jenis ikan yang menjadi target utama untuk ekspor dari pengoperasian bubu kawat adalah ikan-
27 ikan demersal yang bernilai ekonomis tinggi antara lain ikan kerapu, kakap, kuwe, rajungan, lobster dan beberapa jenis crustacea. Secara umum ada beberapa penerapan alat akustik yang digunakan dalam mempengaruhi hasil tangkapan dengan menggunakan bubu. Alat akustik umumnya menjadi pemegang peran utama (primer use) dalam optimasi pengoperasian bubu.
2.2.5 Bubu ramah lingkungan Sianida diperkenalkan pada perikanan karang yang menjanjikan kemudahan pengoperasian dan hasil tangkap yang berlipatganda. Sejak itu banyak daerah perairan yang memiliki terumbu karang mengalami kerusakan serius seperti di Pulau Bali. Penggunaan bahan kimia atau perusakan terumbu karang yang luar biasa menyebabkan kelestarian sumberdaya laut mulai terancam. Akibatnya keberadaan ikan demersal menjadi terancam bersama dengan beberapa jenis ikan hias ekonomis (Mahulette, 2004). Menurut Ayodhya dan Diniah (1989), alat penangkapan ikan demersal bermacam-macam, antara lain: pancing, bubu dan trawl dasar. Bubu yang umum dipakai di perairan Indonesia adalah jenis bubu dasar. Pengoperasian bubu dilakukan dengan cara meletakkan bubu di sela-sela terumbu karang atau tempat hunian ikan. Bubu dikategorikan ramah lingkungan karena sifatnya yang pasif, berupa perangkap ikan yang tidak memberikan kerusakan pada lingkungan sekitar. Bubu terbuat dari kawat, rotan, besi, jaring, kayu dan plastik yang dijalin sedemikian rupa sehingga ikan yang masuk tidak dapat keluar (Brandt, 1984). Monintja dan Martasuganda (1991) mengemukakan bahwa bubu merupakan alat tangkap tradisional yang memiliki banyak keistimewaan antara lain : 1)
Pembuatan bubu mudah dan murah
2)
Mudah dalam pengoperasiannya
3)
Hasil tangkapan diperoleh dalam keadaan segar
4)
Tidak merusak sumberdaya baik secara ekologi maupun teknik
5)
Biasanya dioperasikan pada tempat-tempat yang alat tangkap lain tidak bisa dioperasikan.
28 Bubu merupakan alat tangkap yang memiliki satu atau dua pintu masuk dan dapat diangkat ke daerah penangkapan dengan mudah. Bubu tetap dapat dioperasikan oleh nelayan tradisional dengan atau tanpa perahu. Cann dan Mounsey (1990) menambahkan bahwa bubu adalah semacam perangkap yang memudahkan ikan untuk memasukinya dan membuat ikan sulit untuk keluar. Alat ini juga sering diberi nama fishing pots atau fishing basket. Menurut Rounsevell dan Everhart dalam Rumajar (2001), bubu adalah alat tangkap yang sangat efektif untuk menangkap organisme yang bergerak lambat di perairan baik laut maupun danau. Umumnya bubu berbentuk kecil dan ringan, dengan konstruksi demikian bubu dapat ditumpuk di atas kapal dalam jumlah banyak. Berdasarkan metode pengoperasiannya, bubu dapat dikelompokan dalam 3 kategori yaitu bubu dasar (stationery fish pot), bubu apung (floating fish pot) dan bubu hanyut (drift fish pot). Bubu kawat termasuk dalam kategori bubu dasar yang pengoperasiannya diletakkan di sela-sela karang. Alat tangkap ini menjadi ramah karena hasil tangkapannya selektif dan tidak merusak ekosistem.
2.3
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Berkelanjutan Pengertian pemanfaatan sumberdaya perikanan berkelanjutan adalah
pemanfaatan sumberdaya daya ikan dan biota air lainnya untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan pangan manusia. Sumberdaya perikanan adalah jenis sumberdaya yang dapat diperbaharui. Jika kita dapat mengelola dengan baik dan disertai restocking, maka keberadaaan sumberdaya tersebut akan terjaga dan lestari (Bintoro, 1995). Kata berkelanjutan dalam pemanfaatan sumberdaya berasal dari bahasa Inggris sustainable yang berarti meneruskan tanpa berhenti atau terus menerus sehingga sustainable dapat diartikan sesuatu yang dapat dimanfaatkan secara terus-menerus (Munasinghe. 1993). Sumberdaya ikan bersifat dapat pulih (renewable resource) yang memiliki kemampuan regenerasi secara biologis, akan tetapi apabila tidak dikelola secara hati-hati dan menyeluruh akan mengarah pada pengurasan sumberdaya ikan. Dalam pengelolaan sumberdaya perikanan rantai ekonomi yang sebesar-besarnya hendaknya diperoleh tanpa melakukan pengurasan terhadap sumberdaya ikan itu sendiri. Prinsip pembangunan yang berkelanjutan hendaknya diterapkan dalam
29 pengelolaan sumberdaya perikanan (Munasinghe, 1993). Perhatian pembangunan perikanan yang berkelanjutan dimulai pada tahun 1990 yang merupakan proses dari terjadinya beberapa perubahan (Fauzi dan Anna, 2002): 1)
Meningkatkan perhatian terhadap lingkungan dari para stakeholder sebagai akibat rio summit yang menyerukan diperlukannya perbaikan secara global terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan
2)
Terjadinya collapse dari beberapa perikanan dunia seperti anchovy, tuna dan salmon yang menyadarkan orang tentang konsekuensi yang ditimbulkan tidak hanya ekologi namun juga konsekuensi sosial dan ekonomi
3)
Pemberdayaan para stakeholder yang menuntut diperlukan pandangan yang lebih luas (holistik) mengenai pengelolaan perikanan. The World Commission on Enviroment and Development (WCED), 1987
mendefenisikan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan umat manusia saat ini, tanpa menurunkan atau menghancurkan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya. Menurut Monintja (1997) perikanan tangkap yang berkelanjutan dapat didefenisikan sebagai usaha penangkapan ikan yang perlu memiliki beberapa persyaratan khusus antara lain: 1)
Produk-produk dapat diterima oleh masyarakat konsumen (marketable)
2)
Usaha penangkapan menunjukkan keragaman yang menguntungkan (profitable)
3)
Usaha penangkapan tidak mengganggu habitat serta kegiatan-kegiatan sub sektor lainnya (enviromental friendly)
4)
Usaha penangkapan akan dapat berjalan terus-menerus tanpa mengganggu kelestarian spesies sasaran (sustainable) Keberlanjutan (sustainability) hendaknya dijadikan salah satu tujuan dalam
pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan karena hal ini telah diamanatkan dalam deklarasi yang dihasilkan oleh United Nation Conference on Enviroment and Development yang diselenggarakan di Rio de Janeiro, Brazil, tahun 1992 dimana Indonesia merupakan salah satu peserta. Pembangunan berkelanjutan mengisyaratkan keserasian antara laju kegiatan pembangunan dengan daya dukung (carrying capacity) lingkungan alam untuk menjamin tersedianya aset
30 sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang minimal sama untuk generasi mendatang (UNCED, 1992). Pembangunan berkelanjutan mengandung tiga dimensi utama yang meliputi dimensi ekonomi, ekologi dan sosial. Suatu kegiatan pembangunan dinyatakan berkelanjutan apabila kegiatan pembangunan bersifat ekonomis, ekologis dan sosialis. Berkelanjutan secara ekonomis berarti suatu kegiatan pembangunan harus mampu membuahkan pertumbuhan ekonomi dan penggunaan sumberdaya serta investasi secara efisien. Berkelanjutan secara ekologis mengandung arti bahwa kegiatan dimaksud harus mampu mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan dan konservasi sumberdaya alam termasuk keanekaragaman sumberdaya
hayati
dapat
(biodiversity),
berkelanjutan.
sehingga
Berkelanjutan
diharapkan secara
pemanfaatan sosial
politik
mengisyaratkan bahwa kegiatan pembangunan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil-hasil pembangunan, mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat dan pengembangan kelembagaan (Doring, 2001). Munasinghe (1993) juga mengemukakan tentang konsep sustainable development yang mempertimbangkan 3 (tiga) isu utama yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan. Bertambahnya penduduk dunia menyebabkan meningkatnya kebutuhan protein hewani sehingga hal ini juga meningkatkan level eksploitasi sumberdaya perikanan yang akan menyebabkan tercapainya tingkat eksploitasi penuh (fully exploited). Pemanfaatan sumberdaya pada level ini harus lebih hati-hati karena tingkat eksploitasi sumberdaya perikanan sudah seimbang dengan daya dukung sumberdaya perikanan tersebut. Pada tahap ini pertimbangan yang digunakan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan sudah bergeser ke arah pertimbangan ekologi. FAO (1995) mengemukakan bahwa berdasarkan status pemanfatan sumberdaya perikanan dapat dibagi menjadi 6 (enam) kelompok, yaitu: 1)
Unexploited; Stok sumberdaya perikanan belum tereksploitasi (masih perawan). Aktivitas penangkapan sangat dianjurkan untuk mendapatkan keuntungan dari produksi
31 2)
Lightly exploited; Stok sumberdaya baru tereksploitasi sedikit (<25% MSY). Peningkatan jumlah upaya penangkapan sangat dianjurkan karena tidak mengganggu kelestarian sumberdaya. CPUE masih dimungkinkan untuk meningkat.
3)
Moderately exploited: Stok sumberdaya sudah tereksploitasi setengah dari MSY. Peningkatan jumlah upaya penangkapan masih dianjurkan tanpa mengganggu kelestarian sumberdaya, CPUE mungkin mulai menurun.
4)
Fully exploited; Stok sumberdaya sudah terekploitasi mendekati nilai MSY. Peningkatan jumlah upaya penangkapan sangat tidak dianjurkan walaupun jumlah tangkapan masih bisa meningkat karena akan mengganggu kelestarian sumberdaya, CPUE harus menurun.
5)
Over exploited; Stok sumberdaya sudah menurun karena terekploitasi melebihi nilai MSY. Upaya penangkapan harus diturunkan karena kelestarian sumberdaya sudah terganggu.
6)
Depleted Stok sumberdaya dari tahun ke tahun jumlahnya menurun drastis. Upaya penangkapan sangat dianjurkan untuk dihentikan karena kelestarian sumberdaya sudah sangat terancam. Pemanfaatan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan, erat hubungannya
dengan konsep pengembangan perikanan (fisheries development) dan pengelolaan perikanan (fisheries management). Tahap awal yaitu saat sumberdaya perikanan belum tereksploitasi (unexploited) atau baru saja tereksploitasi (lightly exploited), pemanfaatan sumberdaya yang dikenal pada tahap ini adalah pengembangan (development)
yaitu
mengupayakan
peningkatan
eksploitasi
sumberdaya
perikanan untuk mendapatkan keuntungan. Satu-satunya pertimbangan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan pada tahap ini adalah orientasi ekonomi semata yang diwujudkan dengan peningkatan produksi. Selanjutnya oleh karena adanya peningkatan eksploitasi terus-menerus terhadap sumberdaya tersebut,
32 kondisi stok berubah statusnya menjadi tereksploitasi menengah (moderately exploited) (Garcia et al. 1999). Satu rumusan perikanan masa depan yang sudah menjadi komitmen internasional adalah terciptanya perikanan berkelanjutan (sustaineble fisheries) yang tidak semata memperhatikan aspek ekologis tetapi berdimensi ekonomi dan sosial (Dahuri, 2002). Walaupun harus diakui bahwa pengintegrasian secara seimbang ke tiga hal tersebut adalah suatu hal yang tidak mudah dilakukan. Charles (2001) menambahkan bahwa selain unsur sosial dan ekonomi, perikanan yang berkelanjutan harus memperhatikan aspek ekologi, komunitas dan institusi. Model pemanfaatan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan harus diterapkan pada sumberdaya yang statusnya sudah fully exploited. Jika hal ini diabaikan, cepat atau lambat sumberdaya perikanan akan menjadi lebih tangkap (over exploited) dan bahkan turun drastis akibat tidak terkontrolnya tingkat eksploitasi yang melebihi daya dukung sumberdaya ikan. Selanjutnya kepunahan sumberdaya (extint) hanya tinggal menunggu waktu (Garcia et al. 1999). Aktivitas perikanan tangkap cenderung mengikuti aturan pengembangan umum (commond development pattern), yaitu seiring dengan ditemukannya sumberdaya perikanan. Pada awalnya stok sumberdaya tersebut (waktu tertentu) dalam keadaan belum tereksploitasi, kondisi ini terus bergerak ke arah berkembang (moderately exploited) oleh karena adanya teknologi penangkapan, infrastruktur dan permintaan pasar yang menyebabkan meningkatnya upaya penangkapan dan produksi. Monintja (1999) mengemukakan beberapa kriteria teknologi penangkapan ikan yang dikatakan ramah lingkungan. Kriteria teknologi ramah lingkungan tersebut antara lain: 1)
Memiliki selektivitas alat tangkap tinggi Dasar yang digunakan untuk menilai keramahan lingkungan suatu teknologi penangkapan ikan adalah dilihat dari ukuran ikan hasil tangkapan dan lebar mesh size jaring. Semakin besar ukuran ikan hasil tangkapan dan ukuran mesh size jaring semakin tinggi nilai keramahan lingkungan alat tangkap tersebut
33 2)
Tidak destruktif terhadap habitat Alat tangkap yang paling sedikit menimbulkan kerusakan pada habitat memiliki nilai keramahan yang tinggi
3)
Tidak membahayakan operator Alat tangkap yang paling sedikit menimbulkan kecelakaan ada nelayan, memiliki keramahan yang tinggi
4)
Ikan tangkapan bermutu baik Mutu ikan hasil tangkapan akan menjadi tolak ukur nilai keramahan lingkungan suatu teknologi penangkapan. Semakin baik mutu ikan akan semakin tinggi nilai keramahannya
5)
Produk tidak membahayakan konsumen Teknologi penangkapan yang menghasilkan tangkapan yang paling aman dikonsumsi mendapat nilai keramahan paling tinggi
6)
Minimum discard dan by-catch Penilaian keramahan teknologi penangkapan pada materi ini didasarkan pada ada atau tidaknya hasil tangkapan yang dibuang. Dalam hal ini hasil tangkapan utama sebaiknya lebih banyak dibandingkan dengan hasil sampingan lainnya, maka penilaian keramahan tidak didasarkan pada ada atau tidaknya ikan hasil sampingan
7)
Tidak merusak keanekaragaman sumberdaya hayati Keramahan suatu teknologi penangkapan didasarkan pada ada atau tidaknya kerusakan keragaman sumberdaya hayati akibat aktivitas teknologi penangkapan tersebut
8)
Tidak menangkap protected spesies Faktor fishing ground dalam penangkapan harus membedakan jenis ikan yang ditangkap, oleh karena udang ada di dasar perairan maka tidak ada spesies ikan yang dilindungi seperti napoleon dan penyu. Nilai keramahan teknologi penangkapan yang ada adalah sama
9)
Diterima secara sosial Penerimaan masyarakat nelayan di lokasi penangkapan tidak menimbulkan konflik pemanfaatan terhadap nelayan lain
34 Aktivitas penangkapan ikan juga harus berjalan berkelanjutan. Monintja (1997) menyatakan bahwa kriteria aktivitas penangkapan ikan yang berkelanjutan yaitu: 1)
Menerapkan teknologi penangkapan ramah lingkungan Penerapan teknologi penangkapan yang ramah lingkungan akan dijadikan dasar penilaian pada materi.
2)
Jumlah tangkapan tidak melebihi kuota Ukuran jumlah hasil tangkapan dan kemampuan menangkap adalah dasar pendekatan dalam penentuan penilaian tingkat keberlanjutan suatu teknologi penangkapan
3)
Menguntungkan Pendekatan yang digunakan adalah nilai NPV dan B/C Ratio
4)
Rendah investasi Tidak membutuhkan modal yang besar dan investasi bergulir secara cepat
2.4
Kelayakan Usaha Bubu Menurut Kadariah et al. (1999), analisis kelayakan usaha pada prinsipnya
dapat dilakukan dengan dua pendekatan. Pendekatan ini sangat tergantung pihak yang berkepentingan langsung dalam usaha, yaitu: 1)
Analisis finansial, dilakukan apabila yang berkepentingan langsung dalam usaha adalah individu atau kelompok individu yang bertindak sebagai investor dalam usaha. Dalam hal ini kelayakan usaha dapat dilihat dari besarnya manfaat bersih tambahan yang diterima investor tersebut
2)
Analisis ekonomi, dilakukan apabila yang berkepentingan langsung dalam usaha adalah pemerintah atau masyarakat secara keseluruhan. Dalam hal ini maka kalayakan usaha dilihat dari besarnya manfaat bersih tambahan yang diterima oleh masyarakat. Analisis kelayakan dilakukan untuk mengkaji kemungkinan keuntungan
(profitability) atau kerugian yang diperoleh dari suatu usaha. Aspek ekonomi yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan teknologi penangkapan ikan adalah besarnya
modal
investasi,
besarnya
modal
kerja,
proyeksi
hasil
tangkapan/pengembalian modal (Monintja et al., 1986). Dalam mengevaluasi
35 suatu usaha perlu memperhatikan beberapa aspek antara lain: analisis terhadap aspek ekonomi dan aspek finansial. Aspek finansial dievaluasi menyangkut perbandingan antara pengeluaran dan pengembalian, sedangkan aspek ekonomi diperhatikan dalam rangka menentukan apakah usaha akan memberikan sumbangan atau peran yang positif. Bentuk sumbangan tersebut meliputi pembangunan alat tangkap, bahan bakar dan lain-lain (Kadariah et al., 1999). Para ahli telah mengembangkan ukuran menyeluruh sebagai dasar pengukuran kelayakan proyek/sebuah usaha yaitu “investment criteria” yang hakekatnya untuk mengukur hubungan antara manfaat dan biaya dari usaha. Setiap kriteria mempunyai kelemahan dan kebaikan, sehingga dalam menilai kelayakan usaha sering digunakan lebih dari satu kriteria. Beberapa kriteria investasi yang digunakan pada penelitian ini adalah:
2.4.1 Net Present Value (NPV) Investasi bersifat jangka panjang sehingga perhitungan/analisis keuangan harus dilakukan jauh ke depan. Batasan rentang waktu minimal yang diperlukan oleh kegiatan investasi untuk menghasilan keuntungan bersih yang wajar. Dengan alasan tersebut perhitungan nilai uang saat ini (semua pengeluaran dan pemasukan selama periode usaha) harus dihitung dengan nilai uang saat ini menjadi pertimbangan penting. Menurut Kadariah et al. (1999), metode NPV digunakan untuk menentukan nilai net cash flow pada masa yang akan datang, yang kemudian didiskontokan menjadi nilai sekarang dengan menggunakan tingkat bunga tertentu dan dikurangi dengan investasi awal. Suatu usaha akan dinyatakan layak jika nilai NPV > 0. Jika NPV = 0 berarti proyek tersebut mengembalikan tepat sebesar social opportunity cost of capital. Jika NPV < 0, proyek ditolak, artinya ada penggunaan lain yang lebih menguntungkan untuk sumber-sumber yang diperlukan dalam kelayakan usaha.
2.4.2 Internal Rate of Return (IRR) Kelayakan suatu usaha dapat dilihat dari perbandingan antara laju perolehan keuntungan dibandingkan dengan keuntungan yang dapat diperoleh dari sejumlah
36 investasi yang disimpan di bank. Dalam konteks bisnis, keuntungan yang diperoleh dari investasi harus lebih besar dari keuntungan yang dapat diperoleh dari bunga bank. Hal ini adalah wajar karena kegiatan investasi memerlukan upaya dan mengandung resiko yang lebih besar dibandingkan dengan menyimpan uang di bank. Kadariah et al. (1999) menyatakan bahwa, IRR merupakan suatu tingkat bunga (discount rate) yang membuat NPV dari proyek sama dengan nol. Besarnya nilai IRR tidak ditentukan secara langsung. Untuk menentukan berapa tepatnya tingkat bunga tersebut adalah dengan menggunakan coba-coba (trial and error) melalui interpolasi, yakni dengan menyisipkan tingkat bunga diantara bunga yang menghasilkan NPV positif dan tingkat bunga yang menghasilkan NPV negatif. Selanjutnya dinyatakan bahwa IRR dapat juga dianggap sebagai tingkat keuntungan atas investasi dalam suatu usaha, asal setiap keuntungan bersih yang diperoleh tiap periode ditanam kembali pada periode berikutnya.
2.4.3 Benefit Cost Ratio (B/C Ratio) Analisis B/C Ratio merupakan perbandingan antara total penerimaan dengan total biaya. Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) digunakan untuk mengetahui berapa besar penerimaan dibandingkan dengan pengeluaran selama umur ekonomis usaha bubu. Semakin tinggi nilai B/C rasio usaha bubu, maka akan semakin besar peluang pengembangan yang dapat dilakukan. Nilai Net B/C merupakan perbandingan antara total nilai sekarang dari penerimaan bersih yang bersifat positif (Bt – Ct > 0) dengan total nilai sekarang dari penerimaan yang bersifat negatif (Bt – Ct < 0) (Kadariah et al., 1999).
2.4.4 Break Even Point (BEP) Break event point menunjukan produksi minimum setiap tahun pada tingkat tidak untung dan tidak rugi. Break even point atau analisis titik impas adalah suatu analisis yang digunakan untuk mengetahui sampai pada batas mana usaha bubu yang dijalankan masih mendatangkan keuntungan. Keadaan titik impas merupakan keadaan dimana penerimaan perusahaan (TR) sama dengan biaya yang ditanggungnya (TC), TR = TC.
37
2.5
Pengembangan Usaha Perikanan Pengembangan menurut DEPDIKBUD (1990) dalam kamus besar bahasa
Indonesia berarti pengertian proses, cara atau perbuatan mengembangkan. Pengembangan merupakan usaha perubahan dari suatu kondisi yang kurang kepada suatu yang dinilai lebih baik. Manurung et al. (1998) memberikan pengertian tentang pengembangan sebagai suatu proses yang membawa peningkatan kemampuan penduduk dalam mengelola lingkungan sosial yang disertai dengan meningkatkan taraf hidup mereka. Pengembangan adalah suatu proses yang menuju pada suatu kemajuan. Pengembangan usaha perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan dan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik (Bahari, 1989). Kebijakan merupakan suatu bentuk keputusan pemerintah atau sebuah lembaga yang dibuat agar dapat memecahkan suatu masalah untuk mewujudkan keinginan rakyat. Suatu kebijakan mampu mempengaruhi keikutsertaan masyarakat secara keseluruhan dipengaruhi oleh proses kebijakan, mulai dari perumusan, pelaksanaan hingga penilaian kebijakan (Abidin, 2004). Kebijakan yang dilakukan akan bertolak pada dasar hukum serta peraturan yang berlaku. Pengembangan merupakan suatu istilah yang berarti suatu perubahan dari suatu yang dinilai kurang menjadi sesuatu yang dinilai lebih baik. Kemajuan akan dicapai apabila kondisi ekonomi berubah/meningkat. Perubahan ekonomi berkaitan erat dengan mekanisme ekonomi, sosial dan institusional baik swasta maupun pemerintah untuk dapat menciptakan perbaikan taraf hidup masyarakat dengan luas dan cepat. Pengembangan jenis teknologi penangkapan ikan di Indonesia perlu diarahkan agar dapat menunjang tujuan pembangunan umum perikanan. Syaratsyarat yang harus dipenuhi menurut Monintja (2003) yaitu: 1) menyediakan kesempatan kerja yang banyak; 2) menjamin pendapatan yang memadai bagi para tenaga kerja atau nelayan; 3) menjamin jumlah produksi yang tinggi untuk menyediakan protein; 4) mendapatkan jenis ikan komoditi ekspor atau jenis ikan yang bisa diekspor; 5) tidak merusak kelestarian sumberdaya.
38 Upaya pengelolaan dan pengembangan perikanan laut di masa mendatang akan terasa lebih berat sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi dengan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi diharapkan akan mampu mengatasi keterbatasan sumberdaya melalui suatu langkah yang rasional untuk mendapatkan manfaat yang optimal dan berkelanjutan. Langkah pengelolaan dan pengembangan tersebut juga harus mempertimbangkan aspek biologi, teknis, sosial, budaya dan ekonomi (Barus et al., 1991). Seleksi teknologi menurut Haluan dan Nurani (1988) dapat dilakukan melalui pengkajian pada aspek bio-tekhnico-socio-economi approach oleh karena itu ada empat aspek yang harus dipenuhi oleh suatu jenis teknologi penangkapan ikan yang dikembangkan yaitu: 1) jika ditinjau dari segi biologi tidak merusak dan mengganggu kelestarian sumberdaya; 2) secara teknis efektif digunakan; 3) secara sosial dapat diterima masyarakat nelayan; 4) secara ekonomi teknologi tersebut bersifat menguntungkan. Pengembangan jenis-jenis teknologi penangkapan ikan di Indonesia perlu diarahkan agar dapat menunjang tujuan pembangunan perikanan. Apabila hal ini dapat disepakati, maka syarat-syarat pengembangan teknologi penangkapan ikan haruslah dicapai dengan: 1)
Menyediakan kesempatan kerja yang banyak;
2)
Menjamin pendapatan yang memadai bagi tenaga kerja atau nelayan;
3)
Menjamin jumlah produksi yang tinggi;
4)
Mendapatkan jenis ikan komoditi ekspor atau jenis ikan yang biasa diekspor;
5)
Tidak merusak kelestarian sumberdaya ikan. Intensifikasi untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan pada
dasarnya merupakan penyerapan teknologi modern pada sarana dan teknik yang digunakan termasuk alat penangkapan ikan, perahu atau kapal dan alat bantu penangkapan ikan yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing daerah namun tidak semua modernisasi dapat menghasilkan peningkatan produksi dan peningkatan pendapatan nelayan. Produksi teknik penangkapan ikan yang baru harus didahului dengan penelitian dan percobaan yang intensif dengan hasil yang meyakinkan (Wisudo et al., 1994).
39 Pengembangan perikanan tangkap akan mengalami berbagai masalah. Masalah dan kendala yang dihadapi dalam pengembangan perikanan tangkap antara lain: 1)
Usaha perikanan tangkap masih didominasi oleh usaha perikanan skala kecil;
2)
Tidak ada kepastian dalam hal produktivitas dan ketersediaan bahan baku;
3)
Maraknya IUU fishing oleh nelayan asing maupun nelayan local sehingga beberapa jenis alat tangkap produktivitasnya mengalami penurunan;
4)
Rendahnya kepastian hukum;
5)
Kurang insentifnya investasi;
6)
Banyaknya pungutan terhadap pelaku usaha baik yang resmiu maupun tidak resmi;
7)
Keamanan kegiatan penangkapan diberbagai wilayah kurang kondusif;
8)
Bidang perikanan tangkap dipandang tidak bankable;
9)
Rendahnya kualitas sumberdaya manusia
10)
Sarana dan prasarana daerah tertentu belum memadai
11)
Tumpang tindihnya peraturan pusat dan daerah terutama terkait dengan pungutan, distribusi dan pajak pengusahaan perikanan (DJPT, 2004) Pengembangan perikanan demersal dengan memodifikasi bubu kawat di
perairan pantai Barat Sumatera dikaji dengan menggunakan dua pendekatan yaitu Analysis Hierarchy Process (AHP) dan Strenghts Weaknesess Opportunities Threats (SWOT). Kedua pendekatan ini diharapkan dapat memberikan hasil akhir berupa perumusan strategi yang dapat diimplementasikan pada perairan pantai Barat Sumatera.
2.5.1 Analysis Hierarchy Process (AHP) Analysis Hierarchy Process (AHP) merupakan salah satu alat analisis pendukung pengambilan keputusan dalam perencanaan pembangunan, alokasi sumberdaya, serta penentuan bobot dan prioritas alternatif strategi atau kebijakan (Saaty, 1993). AHP dapat juga digunakan untuk memilih portofolio, analisis biaya manfaat, peramalan dan lain-lain (Mulyono, 1991). Metode ini dapat digunakan untuk kondisi pengambilan keputusan yang memiliki banyak kriteria yang tidak
40 pasti dan dibutuhkan segera untuk diimplementasikan. AHP merupakan suatu pendekatan sistem yang digunakan untuk menelaah konsistensi dari suatu kebijakan strategi yang bersifat hirarki. Kompleksitas permasalahan yang terkait dengan pengambilan keputusan distrukturkan dalam bentuk hirarki dan memasukkan pertimbangan-pertimbangan untuk memasukkan skala prioritas relatif terhadap alternatif keputusan. Metode ini dikembangkan pertama kali oleh Thomas L. Saaty pada tahun 1970. Menurut Permadi (1992) pendekatan AHP adalah salah satu bentuk operation research yang sudah kembali pada ciri operasionalnya. Metode AHP telah diaplikasikan dalam berbagai bidang ekonomi, sosial dan manajemen. Expert choice merupakan perangkat lunak yang umum digunakan dalam membantu proses AHP. Desain program ini telah disesuaikan dengan kebutuhan proses analisis dan dibangun untuk memudahkan pengguna (user friendly). Metode AHP pada dasarnya merupakan sebuah hirarki fungsional dengan input utamanya persepsi dan preferensi manusia. Masalah yang kompleks dan tidak terstruktur diuraikan ke dalam kelompok atau kriteria, kemudian kelompok ini diatur ke dalam suatu bentuk hirarki (Permadi, 1992). Tingkat kepentingan dalam AHP terletak pada tingkat variabel-variabel setiap kriteria, komponen kriteria dan alternatif keputuasan ditentukan melalui pemberian nilai numerik secara subjek. Nilai subjek tersebut akan dibandingkan dengan nilai variabel pada setiap levelnya. Hasil berbagai pertimbangan tersebut kemudian disintesis untuk menetapkan
variabel
yang
memiliki
prioritas
tertinggi
dan
berperan
mempengaruhi hasil pada sistem yang sedang dianalisis. AHP juga menguji konsistensi penilaian bila terjadi penyimpangan yang terlalu jauh dari nilai konsistensi sempurna, maka diperlukan evaluasi ulang penilaian atau hirarki distruktur ulang. Keberhasilan analisis AHP untuk memperoleh keputusan yang representatif sangat ditentukan oleh keefektivan struktur hirarki dan ketepatan kriteria terpilih serta kesempurnaan intuisi dan kapasitas key person. AHP adalah suatu hirarki fungsional dengan memanfaatkan persepsi dari key person yang terkait dengan masalah yang diteliti. Metode ini memiliki kelebihan karena prosedurnya sederhana dan tidak memerlukan asumsi. Metode AHP sering digunakan dalam
41 proses pengambilan keputusan yang kompleks dengan permasalahan yang tidak terstruktur termasuk dalam penyelesaian permasalahan yang bersifat strategis dan makro, seperti pengelolaan perikanan tangkap. Penyelesaian persoalan dengan menggunakan AHP menurut Saaty (1993) meliputi 3 (tiga) prinsip dasar yaitu: 1) prinsip penyusunan hirarki, 2) prinsip penentuan prioritas dan 3) prinsip konsistensi logis, sehingga dalam AHP harus dilakukan: 1)
Dekomposisi, merupakan langkah untuk menguraikan persoalan menjadi unsur-unsur yang tidak mungkin diuraikan lagi dan akhirnya akan diperoleh beberapa tingkatan persoalan yang disusun terstruktur sebgai suatu hirarki;
2)
Perbandingan berpasangan, melakukan perbandingan kepentingan relatif antara dua elemen pada tingkat tertentu dengan tingkat diatasnya;
3)
Sintesa dan prioritas, merupakan langkah untuk mencari faktor eigen pada setiap matriks berpasangan untuk mendapatkan nilai prioritas. Berdasarkan nilai prioritas lokal dari berbagai matriks, akan diperoleh nilai prioritas global. Dengan demikian prosedur menentukan sintesa berbeda menurut bentuk hirarki
4)
Konsistensi, mengandung dua arti yaitu konsistensi yang menyangkut pengelompokan objek berdasarkan keragaman atau relevansinya dan menyangkut hubungan antara objek yang didasarkan pada kriteria tertentu. Jika penilaian tidak konsisten maka proses harus diiterasi untuk mendapatkan nilai yang tepat. Tahap terpenting dari proses analisis hirarki adalah penilaian perbandingan
pasangan, yang pada dasarnya merupakan perbandingan tingkat kepentingan antara komponen (elemen) dalam satu tingkat hirarki. Penilaian dilakukan dengan cara membandingkan sejumlah kombinasi elemen yang ada pada setiap hirarki, sehingga dapat dilakukan penelitian kuantitatif untuk mengetahui besarnya bobot setiap elemen. Perbandingan pasangan berbentuk matriks yang merupakan bentuk paling disukai.
42
2.5.2 Strenghts, Weaknesess, Opportunities, Threats (SWOT) Salah satu perumusan strategi yang dapat digunakan dalam pengembangan sektor perikanan adalah analisis SWOT. Analisis SWOT merupakan analisis berbagai faktor secara sistematis yang didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan
kekuatan
meminimalkan
kelemahan
(strengths)
dan
(weaknesses)
peluang
dan
(opportunities)
ancaman
(threats).
serta Proses
pengambilan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi dan kebijakan perusahaan. Dengan demikian perencana strategis (strategic planner) harus menganalisis faktor-faktor strategis perusahaan (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman) dalam kondisi yang ada saat ini (Rangkuti 2001). Analisis SWOT dampak kegiatan perikanan bubu
terhadap masyarakat
digolongkan ke dalam faktor eksternal (peluang dan ancaman) atau dampak yang bersifat langsung, dan faktor internal (kekuatan dan kelemahan) atau dampak tidak langsung. Identifikasi kondisi internal meliputi: (1) kondisi dan ketersediaan tenaga kerja; (2) penguasaan teknologi penangkapan ikan demersal; (3)
pola-pola
pengembangan sarana dan fasilitas; (4) sumber daya modal dan investasi; (5) pengembangan investasi; (6) kelembagaan lokal dan pemerintahan; serta (7) daerah pemasaran. Faktor eksternal meliputi (1) pasar ekspor yang terbuka; (2) perdagangan bebas; (3) minat investor dalam perikanan tangkap cukup tinggi: (4) pembinaan terhadap nelayan intensif. Formulasi strategi disusun dengan cara menentukan faktor-faktor strategis eksternal, menentukan faktor-faktor strategis internal dan perumusan alternatif strategi.
43
3 METODOLOGI
3.1
Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan dalam dua kali tahapan yaitu mengevaluasi
pengoperasian bubu yang dilaksanakan dari bulan Maret 2011 sampai Agustus 2011. Penelitian tahap yang dua yaitu untuk mengaplikasikan rancangan bubu modifikasi dilaksanakan dari September 2011 sampai Februari 2012. Pemilihan waktu dan daerah penelitian didasari oleh pengaruh potensi hasil tangkapan nelayan dan mengikuti jalur kebiasaan nelayan bubu. Daerah pulaupulau kecil sepanjang pantai Barat Sumatera merupakan habitat yang kaya akan terumbu karang. Hampir seluruh perairan pulau-pulau kecil pantai Barat Sumatera memiliki soft coral dan hard coral hidup. Karakteristik wilayah perairan berkarang hidup merupakan daerah dimana populasi ikan demersal tumbuh dan berkembang seperti kerapu, kakap merah dan lobster. Lokasi penelitian meliputi 4 (empat) wilayah perairan dengan 9 stasiun di sekitar pantai Barat Sumatera. Adapun wilayah perairan yang menjadi objek penelitian adalah Pulau Pini, Pulau Nias, Pulau Mursala dan Pulau Karang. Penempatan bubu pada lokasi ini karena pertimbangan ekosistem terumbu karang yang masih baik dan jauh dari jangkauan manusia atau nelayan asing yang dapat mencuri bubu. Pulau-pulau kecil yang terlihat pada Gambar 3 merupakan daerah penempatan bubu yang dilakukan dalam penelitian ini. Penelitian untuk bubu nelayan memerlukan waktu sekitar 14 hari dalam satu trip pengoperasian. Nelayan pada umumnya membutuhkan 7 sampai dengan 10 hari setelah setting untuk perendaman satu unit bubu sebelum pengangkatan. Nelayan biasanya menjatuhkan bubu pada hari pertama sampai hari ketujuh kemudian berputar lagi dari penjatuhan bubu pertama untuk melakukan hauling. Empat daerah pengoperasian bubu nelayan Sibolga juga menjadi lokasi penjatuhan bubu nelayan penelitian. Lokasi penempatan bubu modifikasi yaitu pada sekitar lokasi penempatan bubu nelayan. Evaluasi pengoperasian bubu dalam penelitian ini dilaksanakan pada 4 pulau secara bertahap. Keseluruhan lokasi mendapatkan ulangan 9 kali untuk setiap perlakuan agar hasil penelitian tidak menjadi bias.
44
Gambar 3 Peta lokasi penelitian bubu di pantai Barat Sumatera 3.2 Bahan dan Alat Bahan dan alat yang digunakan sebagai faktor pendukung kegiatan penelitian ini adalah: 1)
Kapal motor: jumlah 1 unit dengan spesifikasi mesin Yamaha 120 PK, dengan dimensi panjang 14 meter, lebar 2,4 meter dan tinggi 1,7 meter untuk mengangkut bubu ke daerah pengoperasian.
2)
Bubu Kawat: jumlah 72 bubu, dengan dimensi panjang 1,5 meter, lebar 1,0 meter dan tinggi 0,5 meter. Selimut bubu memiliki mesh size 5 cm dan berwarna merah mengikuti standar alat tangkap nelayan Sibolga.
3)
Echosounder: jumlah 1 unit, dengan merek dagang Garmin 178 C, layar warna dan dilengkapi GPS, digunakan untuk mendeteksi daerah pengoperasian yang berkarang dan melihat bentuk topografi dasar perairan yang akan dijadikan sebagai lokasi penempatan bubu (Gambar 4).
4)
Katrol: jumlah satu unit, berfungsi sebagai alat bantu dalam penarikan bubu dari dasar perairan (Gambar 5).
45 5)
Gancu: jumlah satu unit, berfungsi sebagai alat pengait tali ris saat mencari bubu di dasar perairan (Gambar 6).
6)
Tali ris: sebanyak 10 bal, digunakan sebagai tali penghubung antara bubu yang dioperasikan secara bergandengan (sistem rawai).
7)
Timbangan dan penggaris: jumlah satu unit, sebagai alat untuk mengukur berat dan ukuran hasil tangkapan.
8)
Kamera digital: berfungsi sebagai alat dokumentasi penelitian. Alat akustik adalah perlengkapan utama yang digunakan dalam operasi
bubu. Nelayan akan menempatkan bubu pada terumbu karang yang sehat dan memiliki elevasi kurang dari 45 derajat. Tujuan dari peletakan bubu di sekitar karang yang sedikit terjal adalah agar ikan-ikan demersal besar seperti kakap dan kerapu tertarik masuk pada perangkap yang sering menjadi habitat ikan-ikan kecil. Dari sekitar 35 pasang bubu yang dijatuhkan nelayan Sibolga, ada sekitar 2 sampai 5 pasang bubu hilang. Penentuan lokasi penempatan bubu biasanya menggunakan echosounder dengan merek dagang Garmin 178 C.
Gambar 4 Alat akustik Garmin 178 C Operasi penangkapan ikan oleh bubu sangat memerlukan dua alat bantu pada saat hauling yaitu gancu dan katrol. Gambar 5 menunjukkan alat bantu yang digunakan pada perikanan bubu di pantai Barat Sumatera.
46
Gambar 5 Katrol yang digunakan saat menarik bubu Alat bantu yang selama ini dianggap merusak lingkungan terumbu karang adalah gancu. Alat ini digunakan saat mencari tali ris (main line) penghubung bubu di dasar perairan saat akan diangkat. Pencarian tali ris dilakukan secara acak dan hanya berpatokan pada titik koordinat yang direkam. Gancu akan digerakkan terus sampai menemukan tali iris penghubung bubu dengan panjang 24 meter. Gancu yang digunakan nelayan Sibolga dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6 Alat bantu yang digunakan nelayan saat mencari bubu kawat 3.3
Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode experimental
fishing dan survei terhadap objek hasil tangkapan bubu. Experimental fishing yaitu melakukan uji coba pengoperasian 36 unit bubu kawat yang biasa digunakan nelayan Sibolga di 4 (empat) daerah perairan pulau-pulau kecil yang terletak di sekitar wilayah perairan pantai Barat Sumatera (Tabel 2). Tujuan metode experimental fishing dengan 36 bubu untuk mengambil data hasil tangkapan dan perbandingan produktivitas antara bubu nelayan dan bubu modifikasi.
47 Tabel 2 Sebaran bubu penelitian untuk setiap DPI Jenis bubu Bubu nelayan Bubu Modifikasi
Pulau Pini 9 bubu 9 bubu
Daerah Penangkapan Ikan (DPI) Pulau Nias Pulau Mursala Pulau Karang 9 bubu 9 bubu 9 bubu 9 bubu 9 bubu 9 bubu
3.3.1 Prosedur percobaan Tahapan percobaan dimulai dengan mempersiapkan 36 bubu yang ditempatkan di 4 (empat) lokasi pengoperasian bubu mengikuti kebiasaan para nelayan. Setiap wilayah perairan memiliki 9 stasiun penempatan bubu nelayan dan bubu modifikasi. Adapun tahapan prosedur penelitian ini adalah sebagai berikut : 1)
Merakit bubu modifikasi dengan konstruksi yang disesuaikan pada bubu kawat nelayan Sibolga sebanyak 36 unit;
2)
Merancang pemberat, pelampung dan tali rajut pada bubu modifikasi sekaligus mengukur dimensi dan massa setiap elemen yang ditambahkan pada bubu modifikasi;
3)
Membawa bubu modifikasi dan meletakkannya pada daerah pengoperasian bubu sesuai dengan kebiasaan nelayan Sibolga yaitu Pulau Mursala, Pulau Pini, Pulau Nias dan Pulau Karang;
4)
Menunggu hasil pengoperasian bubu modifikasi selama 4 hari, bersamaan dengan kegiatan ini enumerator mengambil data hasil tangkapan bubu pada tangkahan yang ada di Sibolga;
5)
Menganalisis hasil tangkapan bubu modifikasi yang diujikan dengan konstruksi dan metode perendaman yang berbeda dengan bubu nelayan. Analisis dilakukan melalui data keragaman hasil tangkapan dan ukuran hasil tangkapan;
6)
Melakukan pengulangan terhadap perlakuan percobaan pada 9 stasiun penelitian yang koordinatnya telah disimpan;
7)
Membuat perbandingan hasil percobaan operasi penangkapan dengan bubu nelayan dan bubu modifikasi;
8)
Membuat laporan dari penarikan kesimpulan dan rekomendasi.
48
3.3.2 Modifikasi bubu Proses pembuatan bubu modifikasi disesuaikan dengan bentuk dasar bubu nelayan yang telah dikembangkan di pantai Barat Sumatera. Pengukuran massa dan dimensi bubu modifikasi memperoleh hasil yang tidak jauh berbeda dengan bubu nelayan. Massa kawat selimut bubu diperoleh sebesar 5,6 kg, massa pemberat 11 kg dan massa rangka 1,8 kg dengan dimensi tulang alas 2,5 cm dan tulang rangka 2,0 cm. Konstruksi bubu modifikasi yang dikembangkan di pantai Barat Sumatera dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7 Desain dan konstruksi rangka bubu modifikasi Konstruksi bubu modifikasi yang direkomendasikan sebagai alat tangkap ramah lingkungan diperbaiki dari beberapa sisi. Perubahan konstruksi ini meliputi desain rangka yang dilengkapi dengan karet dan pemberat yang diletakkan pada 4 sudut di dasar bubu dengan massa yang relatif sama. Perbaikan lain yang digunakan dalam bubu modifikasi adalah penggunaan pelampung pada bagian atas badan bubu dan tali ris penghubung bubu. Penambahan beberapa elemen bubu modifikasi dari bubu nelayan difokuskan pada perbaikan daya gerak bubu di dalam air. Hasil pengukuran massa total bubu modifikasi sebesar 18,4 kg. Kendati massa bubu modifikasi tidak jauh berbeda dengan massa bubu nelayan, namun daya gerak bubu modifikasi menjadi relatif
lebih baik. Hasil lain yang diamati dari perubahan konstruksi bubu
49 modifikasi adalah pergeseran bubu di dasar perairan. Desain dan konstruksi bubu modifikasi yang telah dicoba dikembangkan di Sibolga terlihat pada Gambar 8.
Gambar 8 Rancangan bubu modifikasi pantai Barat Sumatera Bentuk bubu yang dimodifikasi masih menyerupai bubu nelayan Sibolga, tetapi dengan memberikan kerangka alas yang lebih besar agar bergerak vertikal dan tidak terbalik. Modifikasi lain adalah memberikan pemberat pada 4 sudut bagian alas dengan harapan bubu dapat jatuh dengan sempurna menuju dasar perairan. Pemberian bahan pemberat pada 4 sudut alas bubu untuk memudahkan nelayan
mencari
titik
koordinat
bubu
saat
ditempatkan
di
daerah
pengoperasiannya. Nelayan bubu di Pulau Pini, Pulau Mursala, Pulau Nias dan Pulau Karang menggunakan bubu yang dimensi mulut tidak konsisten. Kerangka mulut bubu dan selimut atas dibuat sesuai dengan bahan baku rotan yang mereka peroleh di sekitar pulau. Modifikasi mulut bubu dengan ukuran dan jarak yang konsisten dari kerangka diterapkan saat pengoperasian di lapangan. Desain rangka bubu modifikasi tampak atas disajikan pada Gambar 9.
50
Gambar 9 Desain bubu modifikasi tampak atas Bubu yang digunakan masyarakat Sibolga umumnya dioperasikan pada kedalaman 30 sampai 70 meter. Daerah ini merupakan daerah perairan yang pergerakan arus dasarnya cukup kuat (Mahulette, 2004). Penggunaan pelampung dan pemberat menjadi alternatif untuk membantu bubu jatuh secara sempurna ke dasar perairan, sehingga ikan tertarik masuk ke dalam bubu. Perbedaan dimensi dan massa bahan penyusun bubu nelayan dan bubu modifikasi dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Perbedaan dimensi dan massa penyusun bubu nelayan dan bubu modifikasi pantai Barat Sumatera No
Parameter
1
Dimensi: Panjang Lebar Tinggi Mesh size Diameter kawat Diameter rangka Diameter tulang alas Diameter funnel luar Diameter funnel dalam
150 cm 100 cm 50 cm 5 cm 0,02 cm 0,2 cm 0,2 cm 44 cm 12 cm
150 cm 100 cm 50 cm 5 cm 0,02 cm 0,2 cm 0,25 cm 44 cm 12 cm
sama sama sama sama sama sama berbeda sama sama
Massa: Kawat Rangka Pemberat
5600 gram 1600 gram Tidak ada
5600 gram 1800 gram 11000 gram
sama berbeda berbeda
2
Bubu Nelayan
Bubu Nelayan
Keterangan
51 Perbaikan metode pengoperasian bubu yang juga dilakukan pada penelitian ini, yaitu melengkapi tali ris dengan sebuah pelampung. Teknik pemberian pelampung diharapkan membuat tali tetap renggang dan memudahkan gancu dalam menemukan tali ris. Modifikasi konstruksi dan perbaikan metode pengoperasian bubu diharapkan mampu meningkatkan produktivitas bubu dan menjaga kelestarian ekosistem karang di sekitar pantai Barat Sumatera. Secara umum bentuk bubu kawat modifikasi yang dihasilkan menyerupai dengan fish pot milik nelayan Amerika dan Asia Timur. Secara umum desain bubu modifikasi tidak banyak berubah dengan bubu nelayan. Ukuran panjang 150 cm, lebar 100 cm dan tinggi 50 cm tetap menjadi dasar oengembangan bubu modifikasi. Selimut atas bubu berbentuk melengkung dengan elevasi tidak lebih dari 15o. Tujuan dari selimut atas yang sedikit melengkung adalah agar kawat bubu tidak terlalu ketat dan lebih elastis saat ditarik atau dijatuhkan sehingga selimut tidak mudah robek. Untuk bukaan mulut bubu dibuat berbentuk silinder dengan diameter yang semakin kecil ke arah bagian dalam. Diameter mulut yang semakin kecil ditujukan agar ikan mudah memasuki bubu tetapi tidak dapat keluar khususnya melalui mulut bubu.
3.3.3 Pemilihan lokasi penempatan bubu Penempatan bubu yang baik sangat berpengaruh terhadap hasil tangkapan. Pada umumnya masyarakat nelayan di pantai Barat Sumatera memilih daerah penempatan bubu berdasarkan bentuk terumbu karang yang terlihat pada echosounder bersamaan dengan melihat arah arus. Penjatuhan bubu pada saat penelitian menggunakan tiga unsur penentuan lokasi yaitu: substrat perairan, bentuk topografi dasar perairan dan kedalaman perairan. Penempatan bubu difokuskan pada letak bukaan mulut yang konsisten pada posisi saat dijatuhkan dan tidak terbalik saat dijatuhkan ke dalam air. Asumsi ini disebabkan bubu yang dirancang pada penelitian ini hanya memiliki satu bukaan mulut (funnel). Desain bentuk bukaan mulut bubu disajikan pada Gambar 10. Asumsinya ikan hasil tangkapan bubu hanya masuk melalui bukaan mulut saja. Keberhasilan penenmpatan bubu sangat berpengaruh terhadap produktivitas bubu di pantai Barat Sumatera. Metode peletakan bubu pada setiap daerah
52 pengoperasian dilakukan secara konsisten yaitu dengan mengikuti kebiasaan nelayan. Perbandingan kinerja teknis kedua bubu dilihat dengan kesempurnaan letak mulut bubu. Bubu yang kosong karena letak funnel yang tidak sempurna tetap dijadikan data pengukuran hasil tangkapan.
Gambar 10 Desain bentuk bukaan mulut bubu Kedalaman perairan lokasi penempatan bubu biasanya berkisar 30 meter sampai 70 meter, agar tidak dapat dilihat oleh nelayan lain dan ikan target yang diperoleh berukuran lebih besar. Kebiasaan nelayan Sibolga diuji melalui penelitian ini, dimana bubu ditempatkan pada lokasi yang lebih dangkal namun dengan kondisi terumbu karang yang baik. Penempatan bubu pada lokasi yang lebih dalam biasanya menyebabkan ghost fishing pada saat pengambilan bubu kembali. Hasil dari percobaan diukur melalui perbandingan hasil tangkapan bubu nelayan dengan bubu modifikasi yang digunakan.
3.4
Metode Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian merupakan penggabungan dua
sumber data yaitu data primer dan data sekunder. Data primer terdiri dari data hasil tangkapan dari tiap perlakuan yang diberikan dan data parameter perairan. Data primer diperoleh dengan cara pengukuran dan pengamatan langsung terhadap unit penangkapan ikan serta wawancara kepada nelayan bubu. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari data tangkahan setiap kapal bubu yang mendarat dan tinjauan literatur atau instansi pemerintah yang terkait dengan
53 kegiatan penelitian seperti data batimetri dari pangkalan Angkatan Laut dan data produksi perikanan dari pelabuhan perikanan di lokasi penelitian.
3.4.1 Teknik pengoperasian bubu Data teknis yang dikumpulkan terkait dengan pengoperasian bubu di pantai Barat Sumatera meliputi: 1)
Informasi konstruksi bubu nelayan diperoleh dengan pengukuran langsung bubu kawat milik nelayan yang beroperasi di pantai Barat Sumatera;
2)
Informasi teknik pengoperasian bubu nelayan diperoleh dengan observasi langsung pada pemilik kapal bubu dan mengikuti trip penangkapan ikan dengan bubu;
3)
Titik lokasi atau koordinat daerah pengoperasian bubu nelayan diperoleh dari nahkoda (tekong) kapal bubu dan echosounder yang tersedia di kapal tersebut;
4)
Waktu yang dibutuhkan dalam pencarian bubu nelayan diperoleh dari pengamatan langsung bersama kapal bubu Waktu pencarian bubu nelayan dan bubu modifikasi diperoleh untuk
mengukur kinerja teknis dari pengoperasian bubu dan menentukan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pergeseran titik hauling bubu. Jenis dan teknik pengumpulan data yang dibutuhkan dalam menjawab teknik pengoperasian bubu nelayan di pantai Barat Sumatera dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Jenis dan teknik pengumpulan data pengoperasian bubu No 1 2 3 4
Jenis data Konstruksi bubu nelayan Daerah pengoperasian bubu nelayan Titik setting dan hauling Waktu pencarian bubu nelayan
Metode
Alat
Fungsi
Wawancara Kuesioner Observasi Observasi
Evaluasi data teknis bubu Echosounder Mendapatkan informasi dan GPS pengoperasian bubu
Echosaunder Mendapatkan informasi dan GPS pengoperasian Pengukuran Stopwatch Mengukur permasalahan pengangkatan bubu
54
3.4.2 Data kinerja teknis bubu modifikasi Data kinerja teknis bubu modifikasi antara lain meliputi : 1)
Massa dan dimensi unit penyusun bubu modifikasi diperoleh dengan cara penimbangan langsung terhadap unit penyusun bubu modifikasi. Adapun unit penyusun yang diukur anatara lain: massa kawat selimut, massa pemberat, massa rangka dan pelampung.
2)
Data kecepatan gerak bubu mendarat di dasar perairan diukur dengan cara menghitung waktu yang dibutuhkan bubu mulai dari atas kapal menuju dasar perairan dengan menggunakan stopwatch.
3)
Umur teknis dan jumlah trip bubu modifikasi selama pengoperasian dilakukan dengan menghitung jumlah operasi bubu sebelum bubu dinyatakan rusak atau tidak dapat digunakan lagi.
4)
Data titik koordinat setting dan hauling diperoleh dengan alat bantu akustik dan GPS yang tersedia di atas kapal bubu.
5)
Waktu yang dibutuhkan dalam mencari satu unit bubu modifikasi dilakukan dengan menggunakan stopwatch.
3.4.3 Data produktivitas bubu Data produktivitas bubu dihitung dengan mengukur jumlah hasil tangkapan dan komposisi hasil tangkapan dari jenis unit bubu yang berbeda. Data yang dikumpulkan dari produktivitas bubu nelayan dan bubu modifikasi adalah: panjang ikan, berat ikan, komposisi hasil tangkapan utama untuk ekspor, tangkapan utama untuk pasar lokal dan hasil tangkapan sampingan. Tabel 5 Metode pengumpulan data produktivitas bubu No
Jenis data
Metode
1
Data panjang
Pengukuran
2
Data berat
Pengukuran
3
Komposisi hasil tangkapan
Observasi
4
Kelayakan usaha
Wawancara
Alat Penggaris dan kamera Timbangan dan kamera
Fungsi Membandingkan dengan nilai LM Mengetahui pola pertumbuhan ikan
Kuesioner
Mengetahui tingkat efektivitas
Kuesioner
Mengetahui tingkat keberlangsungan usaha bubu
55 Metode pengumpulan data, terkait dengan produktivitas bubu nelayan dan bubu modifikasi dapat dilihat pada Tabel 5. Data panjang dan berat ikan hasil tangkapan bubu diukur secara acak pada setiap trip penangkapan.
3.4.4 Data daerah pengoperasian Data daerah pengoperasian bubu dijadikan sebagai analisis penangkapan ikan demersal. Pengambilan data ini dilakukan melalui observasi langsung bersama kapal nelayan dan juga wawancara dari pihak nelayan yang dibantu dengan kuesioner. Ada beberapa variabel data yang diperoleh pada tahapan ini, diantaranya : 1)
Pengukuran kedalaman dasar laut (Bathymetry) Pengukuran kedalaman dasar laut dapat dilakukan dengan Conventional Depth Echosounder
dimana kedalaman dasar laut dapat dihitung dari
perbedaan waktu antara pengiriman dan penerimaan pulsa suara. Penggunaan metode yang sama untuk mengukur kedalaman laut. Parameter ini menjadi salah satu pertimbangan dalam menjatuhkan bubu. Rata-rata kedalaman yang dipilih berkisar antara 30-70 meter. Pertimbangan ini didasarkan pada tingkat kesulitan yang akan diperoleh oleh anak buah kapal (ABK) pada saat pengambilan bubu. Dengan pertimbangan sistem Side-Scan Sonar
pada saat ini, pengukuran kedalaman dasar laut
(Bathymetry) dapat dilaksanakan bersama-sama dengan pemetaan dasar laut (Sea Bed Mapping) dan pengidentifikasian jenis-jenis lapisan sedimen di bawah dasar laut (Subbottom Profilers). 2)
Identifikasi jenis-jenis lapisan sedimen (Subbottom Profilers) Seperti telah disebutkan di atas bahwa dengan teknologi akustik bawah air, peralatan side-scan sonar yang mutahir dilengkapi dengan subbottom profilers dengan menggunakan frekuensi yang lebih rendah dan sinyal impulsif yang bertenaga tinggi yang digunakan untuk penetrasi ke dalam lapisan-lapisan sedimen di bawah dasar laut. Dengan adanya klasifikasi lapisan sedimen dasar laut dapat menunjang penentuan kandungan mineral dasar laut dalam. Demikian teknologi akustik bawah air dapat menunjang eksplorasi sumberdaya non hayati laut. Identifikasi jenis lapisan dilakukan
56 dengan tujuan agar ikan yang menjadi sasaran tangkap bubu adalah ikanikan yang memiliki nilai ekonomis tinggi, diantaranya ikan kerapu, ikan kakap, ikan kuwe, lobster dan beberapa crustacea yang berukuran besar. Ikan-ikan ini pada umumnya ditemukan pada daerah perairan yang memiliki jenis lapisan dasar berupa karang keras (hard coral). Karang keras menjadi habitat yang sangat baik buat ikan-ikan demersal yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Pertimbangan ini membuat nelayan pada umumnya menjatuhkan bubu di sekitar daerah yang memiliki lapisan dasar berupa karang. 3) Pemetaan dasar laut (Sea bed mapping) Teknologi side-scan sonar dalam pemetaan dasar laut, dapat mengahasilkan tampilan peta dasar laut dalam tiga dimensi. Teknologi akustik bawah air yang canggih dan dikombinasikan dengan data dari subbottom profilers, akan diperoleh dari pemetaan dasar laut yang lengkap dan rinci. Pemetaan dasar laut yang lengkap dan rinci ini dapat digunakan untuk menunjang penginterpretasian struktur geologi bawah dasar laut dan kemudian dapat digunakan untuk mencari mineral bawah dasar laut. Nelayan terlebih dahulu melakukan pemetaan dasar laut sebelum menjatuhkan bubu. Biasanya bubu yang dijatuhkan diletakkan di sekitar terumbu karang yang masih hidup. Bubu yang ditempatkan di dasar dianalisis berdasarkan bentuk karang. Pada umumnya karang yang memiliki elevasi tinggi lebih dihindari, alasannya karena pertimbangan tingkat kesulitan saat pengambilan bubu. Biasanya bubu yang jatuh di daerah karang memiliki resiko tinggi akan hilang terbawa arus. Data ini menjadi dasar penentuan apakah pengoperasian bubu di pantai Barat Sumatera masih berpotensi untuk dikembangkan dan daerah pengoperasian mana yang sudah mengalami kerusakan sehingga perlu melakukan proteksi atau pelarangan pengoperasian seperti yang terjadi saat ini. Data parameter fisika yang diambil dalam penelitian ini meliputi: kedalaman, topografi, jenis sendimen dan tinggi permukaan karang. Data kecepatan arus diperoleh dari Pangkalan Angkatan Laut Sibolga.
57
3.5
Analisis Data Analisis data pada penelitian ini tetap mengacu pada tujuan penelitian, yaitu
dimulai dengan evaluasi pengoperasian alat tangkap, mengukur kinerja teknis bubu modifikasi, menganalisis produktivitas bubu modifikasi dan bubu nelayan dan menganalisis pengaruh jenis bubu terhadap hasil tangkapan.
3.5.1 Tingkat potensi pemanfaatan tangkapan utama bubu Tujuan penggunaan model produksi surplus adalah untuk menentukan tingkat upaya optimum, yaitu suatu upaya yang dapat menghasilkan hasil tangkapan maksimum yang lestari tanpa mempengaruhi produktivitas stok secara jangka panjang (MSY). Model produksi surplus yang lebih sering digunakan adalah model Schaefer (Sparre dan Venema 1999). Model Schaefer menghubungkan antara hasil tangkapan per-upaya penangkapan dengan upaya penangkapan sebagai berikut :
CPUE = a − bE …………………………………………………………(1) Hubungan antara upaya penangkapan dengan hasil tangkapan adalah : C = aE − bE 2 …………………………………………………………...(2)
Nilai intersep (a) dan slope (b) diduga dengan model-model penduga parameter biologi dari persamaan produksi Schaefer yaitu: (1) Equilibrium Schaefer
ht = qkEt −
q2k Et ………………………………………………………(3) r
(2) Disequilibrium Schaefer
U t +1 − U t −1 r = r − U t − qEt ……………………………………….……(4) kq 2U t (3) Schnute ⎛U ⎞ r ⎛ U + U t + 1 ⎞ ⎛ Et + Et +1 ⎞ Ln⎜⎜ t +1 ⎟⎟ = r − ⎜ t ⎟ − q⎜ ⎟ ………………….............(5) 2 2 kq ⎝ ⎠ ⎠ ⎝ ⎝ Ut ⎠
58 (4) Walter-Hilborn
U t +1 r − 1 = r − U t − qEt …………………………………………...........(6) Ut kq (5) Clark, Yoshimoto, dan Pooley (CYP) Ln(Ut +1 ) =
2r q ⎛ 2−r ⎞ ln(qk ) + ⎜ (E t + E t +1 ) ⎟ln(Ut ) − 2 ( 2 + r) 2+r + r ⎝ ⎠
.........................................(7)
Keterangan : ht
= hasil tangkapan pada periode t,
Ut
= CPUE pada waktu t,
Ut+1 = CPUE pada waktu t+1, Et
= upaya penangkapan (effort) pada waktu t,
Et+1 = upaya penangkapan (effort) pada waktu t+1, k
= konstanta daya dukung perairan,
q
= konstanta kemampuan alat tangkap,
r
= konstanta pertumbuhan alami (intrinsik).
Kelima model yang dikemukakan diatas, dipilih yang terbaik (best fit). Penilaian ini berdasarkan kesesuaian tanda dalam persamaan, pendekatan dengan koefisien determinasi (R2) terbesar dan model yang memiliki nilai validasi mendekati nol. (1) nilai a dan b didapat melalui persamaan : a = qk ……………………………………………………………………(8)
q2k b= ………………………………………………………………….(9) r (2) jumlah upaya penangkapan optimum yang diperlukan untuk mendapatkan hasil tangkapan lestari diperoleh dengan menurunkan persamaan dari hubungan antara upaya penangkapan dengan hasil tangkapan, yaitu : dC = aE − 2bE ……………………………………...…………………(10) dE
59 Sehingga diperoleh persamaan E opt =
a ………………………………………………………….……(11) 2b
(3) Hasil tangkapan maksimum lestari (MSY) diperoleh:
CMSY
a2 = …………………………………………………………..…..(12) 4b
3.5.2 Konstruksi dan teknik pengoperasian Data konstruksi bubu nelayan yang diperoleh melalui wawancara dianalisis secara deskriptif. Data konstruksi bubu nelayan disajikan dalam bentuk tabel sebagai informasi awal pengembangan dan perbaikan bubu di pantai Barat Sumatera. Data teknik pengoperasian bubu nelayan dianalisis dengan statistik deskriptif menggunakan perangkat microsoft excell. Data yang menjadi input dalam mengukur tingkat kesulitan pencarian bubu adalah waktu yang diperlukan dalam menemukan satu bubu nelayan.
3.5.3 Pergeseran titik operasi bubu Pemetaan titik lokasi pengoperasian bubu dianalisis dan disajikan dengan menggunakan perangkat lunak surfer 8. Pencarian titik hauling bubu merupakan bagian pengoperasian yang sering menyebabkan terjadinya kerusakan terumbu karang. Data pergeseran titik bubu disajikan dalam bentuk tabulasi dan dianalisis secara deskriptif. Analisis data titik koordinat bubu merupakan bagian proses penentuan titik setting dan hauling kedua jenis bubu. Pergeseran bubu dihitung dari selisih lintang utara dan bujur timur yang terjadi pada pencarian bubu setelah proses peletakan. Pergeseran bubu dihitung dengan rumus sebagai berikut: JP = √ Keterangan: JP
= jarak pergeseran (meter)
SL
= selisih jarak pada lintang (meter)
SB
= selisih jarak pada bujur (meter)
60
3.5.4 Kinerja teknis bubu modifikasi Sebelum melakukan analisis terhadap kinerja teknis bubu modifikasi, terlebih dahulu dilakukan standarisasi satuan unit percobaan. Kinerja teknis bubu diukur dengan melihat gerak stabilitas bubu saat mendarat (landing) menyentuh dasar perairan. Model yang digunakan dalam melihat hubungan kedalaman air terhadap kecepatan gerak bubu menyentuh dasar perairan dianalisis dengan pendekatan regresi linear (Pramesti, 2011). Yij = a + b x keterangan : Yij = Waktu bubu menyentuh dasar perairan (detik) a
= Nilai intercep
b
= Nilai slope regresi
x
= Kedalaman perairan (meter). Data pergeseran titik bubu modifikasi disajikan dalam bentuk tabulasi dan
dianalisis secara deskriptif. Analisis data titik koordinat bubu merupakan bagian proses penentuan titik setting dan hauling bubu modifikasi.
3.5.5 Perbandingan produktivitas bubu Produktivitas bubu nelayan dan modifikasi dihitung dari jumlah ikan target utama untuk ekspor yang tertangkap, dengan persamaan:
P
bubu
=
C C
TU
x 100
%
total
keterangan : Pbubu : produktivitas bubu pada periode t (kg/alat tangkap) CTU : hasil tangkapan ikan target utama untuk ekspor pada periode t (kg) Ctotal :
hasil tangkapan total pada periode t (kg)
Data disajikan dalam bentuk diagram dengan perangkat lunak microsft excel untuk melihat perbandingan efektivitas bubu dalam menangkap ikan target.
3.5.6 Pengaruh jenis bubu terhadap hasil tangkapan Pengaruh jenis bubu terhadap komposisi hasil tangkapan berdasarkan wilayah pengoperasian yang berbeda direpresentasikan menggunakan uji statistik.
61 Pengaruh kedua jenis perlakuan ini dilihat dari 9 kali ulangan yang dilakukan pada keempat daerah penangkapan ikan. Faktor interaksi antara kedua jenis perlakuan yaitu jenis bubu dan daerah penangkapan ikan juga dihitung, tujuannya adalah untuk melihat apakah perlakuan yang diberikan memiliki hubungan satu sama lain. Adapun model yang digunakan untuk menganalisis pengaruh kedua jenis perlakuan dan melihat interaksi di antara perlakuan tersebut adalah rancangan faktorial (Pramesti, 2011). Model : Yij= μ + αi+βj+(αβ)ij + εijk keterangan : Yij
: Nilai pengamatan pengaruh jenis bubu terhadap DPI.
µ
: Nilai rataaan umum
αi
: Pengaruh jenis bubu terhadap hasil tangkapan
βj
: Pengaruh daerah penangkapan ikan terhadap hasil tangkapan
(αβ)ij : Interaksi diantara DPI dan bubu εijk
: Pengaruh galat. Percobaan ini menggunakan selang kepercayaan yang sama (α=0,05),
namun pada prinsipnya data yang digunakan dalam menjawab penelitian adalah data berat dan jumlah individu ikan yang tertangkap pada setiap unit percobaan. Kondisi ekosistem karang dan data parameter fisika perairan pada masing-masing daerah penangkapan ikan dianalisis dengan peta 135 milik TNI Angkatan Laut. Karena penelitian ini menerapkan metode eksperimental maka bila hasil penelitian menunjukkan niali F hitung yang signifikan akan dilanjutkan dengan uji berbeda nyata terkecil (BNT). Adapun asumsi yang digunakan dalam penggunaan model ini adalah : 1)
Pengaruh lingkungan di setiap lokasi daerah penangkapan ikan dianggap sama.
2)
Peluang ikan untuk masuk kedalam bubu dianggap sama.
3)
Teknik penjatuhan dan penarikan tidak memberikan pengaruh.
62
3.5.7 Kelayakan usaha bubu Kelayakan usaha dilakukan untuk mengkaji kemungkinan keuntungan (profitability) atau kerugian yang diperoleh dari bubu modifikasi dan bubu nelayan. Ada dua macam analisis yang digunkan untuk mengevaluasi kelayakan usaha, yaitu analisis finansial dan analisis ekonomi (Kadariah et al., 1999). Dalam analisis kelayakan usaha bubu di pantai Barat Sumatera digunakan analisis finansial dengan menghitung kriteria investasi. Beberapa kriteria investasi yang digunakan adalah : 1)
Net Present Value (NPV) Net Present Value (NPV), digunakan untuk menilai manfaat investasi dengan nilai ukuran masa kini (present value) dari keuntungan bersih usaha bubu, jika NPV > 0 maka usaha layak diterima dan jika NPV < 0 maka usaha tidak layak diterima. Rumus untuk menghitung NPV adalah : 1 keterangan : Bt = manfaat (penerimaan) bruto pada tahun ke-t (Rp) Ct = biaya bruto pada tahun ke-t (Rp)
2)
i
= tingkat suku bunga (%)
t
= periode investasi (i = 1, 2, 3, ..., n)
Internal Rate of Return (IRR) IRR atau Internal Rate of Return adalah suatu tingkat discount rate(suku bunga) yang menghasilkan Net Present Value sama dengan nol. Dengan Kriteria :IRR > i, berarti usaha layak dan IRR < i, berarti usaha tidak layak/rugi. Rumus untukk menghitung IRR adalah:
IRR = i1 +
NPV1 x (i2 − i1 ) NPV1 − NPV2
keterangan: i1 = tingkat discount rate yang dihasilkan NPV1 i2 = tingkat discount rate yang dihasilkan NPV2.
63 3)
Perbandingan Ratio (B/C Ratio) Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) adalah untuk mengetahui berapa besarnya penerimaan dibandingkan dengan pengeluaran selama umur ekonomis bubu. Net B/C merupakan antara total nilai sekarang dari penerimaan bersih yang bersifat positif (Bt – Ct > 0) dengan total nilai sekarang dari penerimaan yang bersifat negatif (Bt – Ct < 0), dengan rumus (Kadariah et al., 1999). ∑ ∑
1 1
∑ ∑
kriteria: Net B/C > 1, berarti usaha layak/menguntungkan Net B/C = 1, berarti usaha pulang pokok Net B/C < 1, berarti usaha tidak layak/rugi Selain menggunakan analisis kriteria investasi, penelitian ini juga menggunakan analisis finansial rugi laba, yang meliputi : 1)
Keuntungan usaha, suatu usaha menguntungkan akan memiliki nilai penerimaan lebih besar daripada total pengeluaran, sedangkan suatu usaha dikatakan merugikan jika total pengeluaran lebih besar daripada penerimaan. π = TR – TC keterangan : π = keuntungan usaha TR = Total penerimaan TC = Total biaya
2)
Revenue Cost Ratio (R/C), merupakan alat analisis untuk melihat keuntungan relatif suatu usaha dalam satu tahun terhadap biaya yang dipakai dalam kegiatan tersebut. R/C Ratio = Revenue/Cost kriteria : R/C Ratio <1 ; usaha tidak layak R/C Ratio = 1 ; usaha impas R/C Ratio > 1 ; usaha layak
64 3)
Payback Period (PP), analisis Payback Periode bertujuan untuk mengetahui waktu tingkat pengembalian investasi yang telah ditanamkan saat memulai usaha bubu. Analisis ini merupakan salah satu metode nelayan dalam mengevaluasi
kemampuan
suatu
usaha
menghasilkan
keuntungan
(profitibilitas). Pay Back Periode adalah waktu yang diperlukan oleh suatu usaha untuk mengembalikan jumlah dana yang telah diinvestir dalam usaha tersebut. PP = I /π keterangan : PP
= Payback period
I
= Investasi/biaya yang dibutuhkan untuk membiayai pengadaan barang modal atau modal tetap (Rp).
π 4)
= Penerimaan (Rp) Break Even Point (BEP) Dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu : atas unit dan atas dasar nilai jual dalam rupiah. a)
Break Even Point atas dasar produksi unit (banyaknya hasil tangkapan) dapat dilakukan dengan rumus :
b)
Analisis BEP atas dasar harga jual : 1
.
keterangan : BEP = Break Even Point
P = harga jual
V
= biaya variable
FC = biaya tetap
C
= produksi
S = volume penjualan
3.5.8 Pengembangan perikanan bubu Analisis ini digunakan untuk melihat respon masyarakat, dengan menggambarkan perilaku kelompok berupa tindakan yang mencerminkan upayaupaya untuk mempertahankan keberadaan dalam menghadapi perubahan-
65 perubahan yang terjadi disekitarnya. Analisis ini dilakukan secara deskriptif berdasarkan data dan informasi yang diperoleh di lapangan. Analisis juga dilakukan untuk melihat dampak pengembangan usaha perikanan bubu yang dilakukan nelayan Sibolga, pengaruh kegiatan penangkapan perikanan demersal terhadap masyarakat, baik masyarakat lokal maupun masyarakat yang berada di luar kawasan dan terhadap wilayah. 1)
Analisis Hirarki Proses (AHP) Analisis AHP digunakan untuk menentukan prioritas strategi yang
diharapkan dilakukan. Tahapan analisis dalam AHP adalah mendefenisikan masalah dan menentukan solusi yang ingin dicapai. Tahapan selanjutnya adalah penyusunan struktur hirarki yang dimulai dengan penyusunan tujuan umum (level 1), dilanjutkan dengan sub tujuan (level 2) dan kemungkinan alternatif pada tingkat kriteria paling bawah (level 3). Tahapan berikutnya adalah dengan membuat skala perbandingan pada setiap sub kriteria yang ada dengan beberapa alternatif. Skala perbandingan dibuat dengan tingkatan kualitatif dari sub kriteria yang dikuantitatifkan dengan tujuan untuk mendapatkan suatu skala baru yang memungkinkan untuk perbandingan antara beberapa alternatif. Dalam pembuatan skala ini, diusahakan agar setiap sub kriteria mempunyai skala yang sebanding. Lebar dan jumlah skala disesuaikan dengan kemampuan untuk membedakan dari setiap level dan disesuaikan dengan kondisi yang ada di lapangan. Analisis perbandingan secara menyeluruh berdasarkan dua kriteria utama menggunakan sistem perbandingan berganda dengan analisis matriks. Sistem pembobotan skala perbandingan pada analisis antar kriteria menggunakan tabel panduan skala perbandingan menurut saaty (1991). Sistem perbandingan ini didasarkan pada taraf relatif pentingnya suatu kriteria yang dibandingkan dengan kriteria lainnya. Prioritas strategi yang akan diperoleh dari perhitungan Analytical Hierarchy Process (AHP). Langkah pertama yang dilakukan dalam AHP adalah penyusunan struktur hierarki. Struktur hierarki dilakukan dengan mengawali tujuan umum sebagai tujuan utama (level 1), dilanjutkan dengan sub tujuan/kriteria (level 2) dan kemungkinan alternatif pada tingkatan kriteria paling bawah (level 3). Langkah
66 selanjutnya adalah membuat skala banding berpasang, untuk membandingkan setiap sub kriteria yang ada dengan beberapa alternatif yang ditawarkan. Skala banding berpasang ini dibuat berdasarkan tingkatan kualitatif dari sub kriteria yang dikuantitatifkan dengan tujuan untuk mendapatkan suatu skala baru yang memungkinkan untuk melakukan perbandingan beberapa alternatif. Analisis banding berpasang secara menyeluruh merupakan analisis perbandingan dari dua kriteria utama yang digunakan dalam analisis ini. Sistem pembobotan pada skala banding berpasang menggunakan tabel panduan skala banding berpasang seperti disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Skala banding berpasang berdasarkan taraf relatif pentingnya Intensitas Definisi Pentingnya 1 Kedua elemen sama pentingnya 3
Elemen yang satu sedikit lebih penting dibandingkan elemen yang lainnya
5
Elemen yang satu esensial atau sangat penting dibanding elemen yang lainnya
7
Satu elemen jelas lebih penting dari elemen lainnya
9
Satu elemen mutlak lebih penting dibandingkan elemen yang lainnya
2,4,6,8
Nilai-nilai antara dua hal yang berdekatan Jika satu aktivitas mendapat satu angka dibandingkan dengan aktivitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i
Kebalikan
Penjelasan Dua elemen menyumbangkan sifat sama besar pada sifat itu Pengalaman dan pertimbangan sedikit menyokong satu elemen atas lainnya Pengalaman dan pertimbangan dengan kuat menyokong satu elemen atas elemen lainnya Suatu elemen dengan kuat disokong dan dominannya telah terlihat dalam praktek Bukti yang menyokong elemen yang satu dengan lain memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan Kompromi diperlukan antara dua pertimbangan
Sumber: Saaty (1993).
Nilai perspektif pengembangan perikanan demersal di pantai Barat Sumatera yang diperoleh dari stakeholder ditabulasikan terlebih dahulu.
67 Pengukuran konsistensi dari setiap individu yang memberikan penilaian diukur terlebih dahulu agar kesimpulan yang diberikan dapat mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Kriteria data yang digunakan dalam pengembangan usaha perikanan demersal melalui bubu terdiri dari: 1) perbaikan teknik operasi; 2) peningkatan nilai produksi dan 3) peningkatan nilai ekonomi. Pemilihan kriteria ini didasarkan pada identifikasi permasalahan perikanan bubu yang telah terjadi di Sibolga. Prinsip konsistensi logis harus dilakukan mengingat konsistensi sangat penting dalam pengambilan keputusan. Konsisten memiliki dua makna yaitu: pertama, obyek yang serupa dikelompokkan sesuai keragaman dan relevansinya, kedua, konsistensi terkait dengan tingkat hubungan antara obyek-obyek yang didasarkan pada kriteria tertentu. AHP mengukur konsistensi menyeluruh dari berbagai pertimbangan melalui rasio konsistensi (consistency ratio: CR). Nilai rasio konsistensi tidak lebih dari 10%. Jika rasio konsistensi lebih dari 10%, pertimbangan tersebut mungkin acak dan perlu diperbaiki (Saaty 1993 dan Marimin 2004). Nilai indeks acak (RI) dari matriks berordo 1 sampai 10 yang digunakan untuk menentukan rasio konsistensi (CR) tercantum pada Tabel 7. Tabel 7 Nilai random consistency index (ri) untuk jumlah elemen (n) 1 sampai dengan 10 N RI
1 0,00
2 0,00
3 0,58
4 0,90
5 1,12
6 1,24
7 1,32
8 1,41
9 1,45
10 1,49
Sumber: Mulyono (1991)
2)
Strength, Weakness, Opportunity, Threats (SWOT) Matriks SWOT dapat digambarkan sebagaimana hasil identifikasi dan
perhitungan, dilakukan dengan menggunakan analisa IFAS (Internal Factor Analysis Summary) dan EFAS (External Factor Analysis Summary). Adapun langkah untuk melakukan analisis SWOT adalah sebagai berikut (Rangkuti, 2009): 1)
Pembobotan dengan analisis SWOT i)
Menentukan faktor-faktor kelemahan dan kekuatan, serta faktor peluang dan ancaman.
68
ii)
Memberi bobot pada masing-masing faktor tersebut dengan skala mulai dari 1,00 (paling penting) sampai dengan 0,00 (tidak penting), berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap posisi strategis instansi. Jumlah bobot tidak boleh lebih dari skor total 1,00.
iii)
Memberi rating untuk masing-masing faktor dengan menggunakan skala mulai dari 4 (sangat baik) sampai dengan 1 (di bawah rata-rata).
iv)
Mengalikan bobot dan rating untuk menentukan skor tiap-tiap faktor.
v)
Menjumlahkan skor pembobotan untuk memperoleh total skor pembobotan.
2)
Berdasarkan total skor dari masing-masing kriteria S-W-O-T, digunakan dalam penggambaran posisinya pada matriks SWOT. Matriks SWOT yang dikembangkan dari penilaian kriteria pengembangan
usaha bubu di pantai Barat Sumatera, dijadikan acuan penempatan kuadran. Dengan mencari nilai absis (x) dan ordinat (y) maka titik kuadran pengembangan usaha bubu dapat ditentukan. Jika kriteria penilaian usaha bubu berada pada kuadran yang positif maka program pengembangan dapat disusun dalam waktu lebih singkat. Gambaran model matriks SWOT untuk pengembangan usaha bubu di pantai Barat Sumatera disajikan pada Gambar 11.
Berbagai peluang
Kuadran III (mendukung strategi turn-around)
Kelemahan internal Kuadran IV (mendukung strategi defensif)
Kuadran I (mendukung strategi agresif)
Kekuatan internal Kuadran II (mendukung strategi diversifikasi)
Berbagai ancaman Gambar 11 Skematis analisis SWOT
69 Keterangan: Kuadran I
: Merupakan situasi yang sangat menguntungkan. nelayan memberi peluang dan kekuatan sehingga dapat memanfaatkan peluang yang ada. Strategi yang dapat diterapkan dalam strategi ini adalah mendukung kebijakan pertumbuhan yang agresif (Growth oriented strategy).
Kuadran II : Meskipun menghadapi berbagai ancaman, nelayan bubu masih mempunyai kekuatan dari segi internal. Strategi yang harus diterapkan adalah menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka panjang dengan cara strategi pengembangan usaha bubu. Kuadran III : Nelayan bubu menghadapi peluang yang sangat besar, tetapi di lain pihak menghadapi beberapa kendala/kelemahan internal. Fokus strategi ini adalah meminimalkan masalah-masalah internal instansi sehingga dapat merebut peluang dengan lebih baik. Kuadran IV : Posisi Ini merupakan keadaan yang sangat tidak menguntungkan, nelayan bubu sedang mengalami berbagai ancaman dan kelemahan internal. Matriks SWOT dapat menggambarkan secara jelas berbagai peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi nelayan dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya. Matriks ini dapat menghasilkan empat set kemungkinan alternatif strategi. Salah satu dari empat set kemungkinan alternatif strategis inilah yang diharapkan dari analisis SWOT untuk digunakan dalam strategi suatu pengembangan perikanan demersal (Gambar 12). Empat set alternatif strategis yang dihasilkan dari matriks SWOT adalah sebagai berikut: (1)
Strategi SO; Strategi ini dibuat berdasarkan jalan pikiran nelayan, yaitu dengan memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan peluang yang sebesar-besarnya.
(2)
Strategi ST; Merupakan strategi yang menggunakan kekuatan yang dimiliki oleh nelayan untuk mengatasi ancaman.
(3)
Strategi WO; Strategi ini dimanfaatkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada.
70 (4)
Strategi WT; Strategi ini didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman. IFAS
EFAS Opportunities (O) Tentukan faktor-faktor peluang eksternal
Threats (T) Tentukan faktor-faktor ancaman eksternal
Strengths (S) Tentukan faktor-faktor kekuatan internal
Weaknesses (W) Tentukan faktorfaktor kelemahan internal Strategi SO Strategi WO Ciptakan strategi yang Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan meminimalkan untuk memanfaatkan kelemahan untuk peluang Memanfaatkan peluang Strategi ST Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi Ancaman
Strategi WT Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman
Gambar 12 Matrik SWOT 3.5.9 Teknologi berwawasan lingkungan Analisis teknologi berwawasan lingkungan dalam pengembangan armada perikanan tangkap dilakukan secara deskriptif. Analisis armada berwawasan lingkungan didasarkan pada ketentuan internasional mengenai perikanan bertanggung jawab. Kriteria ini tertera pada Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) yang ditetapkan oleh FAO (1995). Berdasarkan kriteria dan pembobotan tersebut, selanjutnya dilakukan analisis metode skoring. Skor terendah diberikan nilai 1 dan tertinggi diberi nilai sesuai dengan urutan pembobotan terbaik (Tabel 4). Masing-masing jenis alat tangkap diberi skor pada setiap kriteria dan sub kriteria teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan. Langkah berikutnya adalah standarisasi nilai dengan menggunakan fungsi nilai (Mangkusubroto dan Trisnadi 1987), dengan menggunakan rumus: V ( x) =
X − Xo ; Xi − Xo
V ( A) = ∑Vi( Xi) , untuk i= 1,2,3,.......,n
71 Keterangan: V(x)
= fungsi nilai dari variabel x;
X
= variabel x;
Xo
= nilai terburuk kriteria x;
V(A)
= fungsi nilai dari alternatif A;
Vi(Xi) = fungsi nilai dari alternatif pada kriteria ke-i; Xi
= kriteria ke-i Pendekatan ramah lingkungan digunakan untuk memudahkan analisis
berdasarkan aspek biologi, teknik, sosial, dan ekonomi. Aspek biologi meliputi: (i) tidak merusak habitat, tempat tinggal dan berkembang biak ikan dan organisme lainnya; (ii) menghasilkan ikan bermutu baik; (iii) produk tidak membahayakan konsumen; (iv) alat tangkap tidak membahayakan sumber daya hayati (biodiversity); (v) tidak menangkap jenis yang dilindungi atau terancam punah. Aspek teknik meliputi: (i) selektivitas alat tangkap terhadap jenis ikan; (ii) tidak membahayakan nelayan yang menangkap ikan; dan (iii) hasil tangkapan yang terbuang minimum (minimum bycatch). Aspek sosial yang dianalisis adalah (i) tidak bertentangan dengan peraturan yang ada, dan (ii) jumlah tenaga kerja yang terserap. Tidak bertentangan dengan peraturan yang ada dalam hal ini alat tangkap dioperasikan secara legal, yaitu (i) beroperasi di daerah penangkapan yang
diijinkan;
(ii)
mengoperasikan
jenis
alat
yang
ditetapkan;
(iii)
mengoperasikan ukuran alat yang diijinkan; (iv) mengoperasikan jumlah alat yang ditentukan; dan (v) memiliki kelengkapan dokumen usaha. Skor yang diberikan untuk aspek sosial adalah satu, apabila memenuhi kurang dari tiga syarat yang ditetapkan; dua, apabila memenuhi tiga syarat yang ditetapkan; tiga, apabila memenuhi empat syarat yang ditetapkan; empat, apabila memenuhi seluruh syarat yang ditetapkan. Aspek ekonomi meliputi: (i) biaya investasi murah; dan (ii) usaha menguntungkan secara ekonomi (profitable). Teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan dilanjutkan dengan analisis keberlanjutan (sustainable fisheries) yang dilakukan secara deskriptif, didasarkan pada kriteria (Simbolon 2004), yaitu: mengikuti ketentuan total allowable catch, kontinuitas produksi tejamin, pasar/pembeli yang terjamin dan jelas. Kriteria teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan dapat dilihat pada Tabel 8.
72 Tabel 8 Kriteria teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan dan nilai bobot No 1.
2.
3.
4.
5.
Kriteria Memiliki selektivitas yang tinggi
Tidak merusak habitat, tempat tinggal dan berkembang biak ikan dan organisme lainnya
Tidak membahayakan nelayan (penangkap ikan)
Menghasilkan ikan yang bermutu baik
Produk membahaya kesehatan konsumen
tidak kan
Penjelasan Alat tangkap tersebut diupayakan hanya dapat menangkap ikan/organisme lain yang menjadi sasaran penangkapan saja. Ada dua macam selektivitas yang menjadi sub kriteria, yaitu selektivitas ukuran dan selektivitas jenis. Sub kriteria ini terdiri dari: i) Alat menangkap lebih dari tiga spesies dengan ukuran yang berbeda jauh ii) Alat menangkap tiga spesies dengan ukuran yang berbeda jauh iii) Alat menangkap kurang dari tiga spesies dengan ukuran yang kurang lebih sama iv) Alat menangkap satu spesies saja dengan ukuran yang kurang lebih sama Kriteria yang ditetapkan berdasar luas dan tingkat kerusakan yang ditimbulkan UPI, dengan pembobotan: i) Menyebabkan kerusakan habitat pada wilayah yang luas ii) Menyebabkan kerusakan habitat pada wilayah yang sempit iii) Menyebabkan sebagian habitat pada wilayah yang sempit iv) Aman bagi habitat (tidak merusak habitat) Keselamatan manusia menjadi syarat penangkapan ikan, karena manusia merupakan bagian yang penting bagi keberlangsungan perikanan yang produktif. Pembobotan resiko diterapkan berdasar tingkat bahaya dan dampak yang mungkin dialami oleh nelayan, yaitu: i) Alat tangkap dan cara penggunaannya dapat berakibat kematian pada nelayan ii) Alat tangkap dan cara penggunaannya dapat berakibat cacat menetap (permanen) pada nelayan iii) Alat tangkap dan cara penggunaannya dapat berakibat gangguan kesehatan yang sifatnya sementara iv) Alat tangkap aman bagi nelayan Tingkat kualitas ikan ditentukan berdasarkan kondisi hasil tangkapan secara morfologis (bentuknya), dengan pembobotan: i) Ikan mati dan busuk ii) Ikan mati, segar, dan cacat fisik iii) Ikan mati dan segar iv) Ikan hidup Ikan yang ditangkap dengan bom, pupuk kimia atau racun sianida kemungkinan tercemar racun. Pembobotan kriteria ditetapkan berdasarkan tingkat bahaya yang mungkin dialami konsumen, yaitu: i) Berpeluang besar menyebabkan kematian konsumen ii) Berpeluang menyebabkan gangguan kesehatan konsumen iii) Berpeluang sangat kecil bagi gangguan kesehatan konsumen iv) Aman bagi konsumen
Bobot
1 2 3 4
1 2 3 4
1 2 3 4
1 2 3 4
1 2 3 4
73 Tabel 8 Lanjutan No 6.
7.
8.
9.
Kriteria Hasil tangkapan yang terbuang minimum
Alat tangkap yang digunakan harus memberikan dampak minimum terhadap keanekaan sumberdaya hayati (biodiversity)
Tidak menangkap jenis yang dilindungi undangundang atau terancam punah Diterima sosial
secara
Penjelasan Alat tangkap yang tidak selektif mengakibatkan hasil tangkapan yang terbuang akan meningkat, karena banyak jenis non-target yang turut tertangkap. Hasil tangkapan non-target, ada yang bisa dimanfaatkan dan ada yang tidak. Pembobotan kriteria ini ditetapkan berdasarkan pada hal berikut: i) Hasil tangkapan sampingan (by-catch) terdiri dari beberapa jenis (spesies) yang tidak laku dijual di pasar ii) by-catch terdiri dari beberapa jenis dan ada yang laku dijual di pasar iii) by-catch kurang dari tiga jenis dan laku dijual di pasar iv) by-catch kurang dari tiga jenis dan berharga tinggi di pasar Pembobotan kriteria ini ditetapkan berdasarkan pada hal berikut: i) Alat tangkap dan operasinya menyebabkan kematian semua mahluk hidup dan merusak habitat ii) Alat tangkap dan operasinya menyebabkan kematian beberapa spesies dan merusak habitat iii) Alat tangkap dan operasinya menyebabkan kematian beberapa spesies tetapi tidak merusak habitat iv) Aman bagi keanekaan sumberdaya hayati Tingkat bahaya alat tangkap terhadap spesies yang dilindungi undang-undang ditetapkan berdasarkan kenyataan bahwa: i) Ikan yang dilindungi sering tertangkap alat ii) Ikan yang dilindungi beberapa kali tertangkap alat iii) Ikan yang dilindungi pernah tertangkap iv) Ikan yang dilindungi tidak pernah tertangkap Penerimaan masyarakat terhadap suatu alat tangkap, akan sangat tergantung pada kondisi sosial, ekonomi, dan budaya di suatu tempat. Suatu alat diterima secara sosial oleh masyarakat bila: (1) biaya investasi murah, (2) menguntungkan secara ekonomi, (3) tidak bertentangan dengan budaya setempat, (4) tidak bertentangan dengan peraturan yang ada. Pembobotan kriteria ditetapkan dengan menilai kenyataan di lapangan bahwa: i) Alat tangkap memenuhi satu dari empat butir persyaratan di atas ii) Alat tangkap memenuhi dua dari empat butir persyaratan di atas iii) Alat tangkap memenuhi tiga dari empat butir persyaratan di atas iv) Alat tangkap memenuhi semua persyaratan di atas
Sumber: Departemen Kelautan dan Perikanan 2006.
Bobot
1 2 3 4
1 2 3 4
1 2 3 4
1 2 3 4
74 Kriteria penilaian bobot yang digunakan dalam pengembanagan perikanan bubu di pantai Barat Sumatera dimodifikasi menjadi konsep análisis komperatif. Perbandingan kriteria teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan, dilakukan dengan membandingan bubu nelayan dan bubu modifikasi. Kedua jenis bubu akan diberikan bobot penilaian berdasarkan
pada kriteria biologi hasil
tangkapan, kriteria teknologi, kriteria ekonomi dan kriteria sosial. Modifikasi penilaian kriteria dilakukan karena variabel yang digunakan dalam penilaian hanya menggunakan dua jenis alat tangkap. Salah satu kriteria yang dinilai dalam melihat kinerja bubu dalam memperoleh hasil tangkapan adalah persentase bobot target utama untuk ekspor. Kriteria pembobobtan yang digunakan dalam melihat hasil tangkapan bubu antara lain: Nilai 4 = jika hasil tangkapan target utama untuk ekspor > 75% Nilai 3 = jika hasil tangkapan target utama untuk ekspor 50 sampai 74% Nilai 2 = jika hasil tangkapan target utama untuk ekspor 25 sampai 49% Nilai 1 = jika hasil tangkapan target utama untuk ekspor < 25% Fungsi nilai masing-masing kriteria pada tiap alat tangkap dijumlahkan, dan dirata-ratakan untuk mendapatkan urutan ranking. Alat tangkap yang memiliki fungsi nilai tertinggi adalah alat tangkap yang paling ramah lingkungan. Modifikasi bobot penilaian bubu digunakan juga pada kriteria lain. Hasil akhir dari penilaian ini adalah rekomendasi terhadap jenis bubu yang paling ramah lingkungan.
75
4 PROFIL LOKASI PENELITIAN 4.1
Kondisi Umum Kota Sibolga Sibolga merupakan kota yang terletak di pantai Barat Indonesia tepatnya
pantai Barat Sumatera. Daerah ini memiliki iklim tropis dengan curah hujan yang relatif tinggi sebagai akibat dari hujan orografis di bagian utara dan hujan akibat tekanan laut di bagian selatan. Ketinggian tempat daerah kotamadya Sibolga sangat bervariasi yaitu 0-150 m dari permukaan laut, dimana daerah terendah berada di sekitar pantai, sedangkan daerah yang paling tinggi yaitu daerah perbukitan yang dikenal dengan Bonan Dolok di bagiar utara Sibolga. Daerah pusat kota sendiri memiliki iklim tropis basa. Secara geografis Kota Sibolga terletak pada garis 98047' sampai dengan 98050' Bujur Timur dan 01044' sampai dengan 01052' Lintang Utara. Daerah Kota Sibolga memiliki batas sebagai beriku0t: 1)
Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Tengah;
2)
Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Tengah;
3)
Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Tengah; dan
4)
Sebelah barat berbatasan dengan Teluk Tapian Nauli Kabupaten Tapanuli Tengah Daerah ini memiliki iklim tropis dengan suhu maksimum mencapai 32,30C
di bulan Mei 2009. Curah hujan di Kota Sibolga cenderung tidak teratur di sepanjang tahunnya. Curah hujan tertinggi terjadi di bulan September 2009 (526,1 mm), hari hujan terbanyak berada di bulan Nopember 2009 (25 hari). Sedangkan Kecepatan angin tertinggi mencapai 8 knot (bulan Juli – Agustus dan September) dan terendah 6 knot terjadi di bulan Februari – Juni dan Desember. Secara ratarata, tingkat kelembaban udara di Kota Sibolga cenderung merata. Tingkat kelembaban udara paling tinggi terjadi di bulan Nopember yaitu sebesar 86 mm sedangkan yang paling rendah terjadi di bulan Juni berkisar 76 mm (BPS Kota Sibolga, 2010). Secara geografis Kota Sibolga terletak pada wilayah pengembangan pantai Barat Sumatera Utara serta memiliki topografi, kontur dan iklim yang relatif datar di bagian selatan dan berbukit di bagian utara. Kawasan utara yang konturnya
76 mulai bergelombang berhawa tropis pegunungan sedangkan kawasan pantainya berhawa tropis. Sebagian besar lahan di sebelah selatan Sibolga lebih didominasi
oleh
lereng datar dengan kemiringan lahan 0-2% dengan luas 313.8 ha atau 29.14% dari total luas kawasan Sibolga, sedangkan pada bagian utara berupa perbukitan dengan kemiringan lahan lebih dari 40%, luas daerah ini sendiri diperkirakan mencapai 632.2 ha atau 59.26%, data ini dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Kemiringan lahan kota Sibolga No
Kemiringan
1 2 3 4
0=2 2-15 15-40 >40 Total
Luas (ha) Daratan Daratan Jumlah (ha) Sumaterra Kepulauan 218.80 95.00 313.8 73.00 18.00 91.0 13.00 21.00 34.0 584.36 53.84 638.2 889.16 187.84 1077.0
Persentase (%) 29.14 8.45 3.16 59.26 100.00
Sumber : Buku profil dan analisis daerah Kota Sibolga (2010)
4.2
Kondisi Unit Penangkapan Ikan Unit penangkapan ikan merupakan suatu kesatuan teknis dalam suatu
pengoperasian alat tangkap dimana terdiri dari nelayan, perahu/kapal penangkap ikan dan alat tangkap yang digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya ikan.
4.2.1 Kapal perikanan Sibolga merupakan kota pelabuhan yang memiliki lokasi pendaratan ikan yang cukup banyak. Pada tahun 2010 tercatat ada 63 pelabuhan perikanan swasta yang beroperasi di Sibolga (Dinas Perikanan dan Kelautan Sibolga, 2010). Keseluruhan pelabuhan swasta ini adalah tempat pendaratan ikan dan sekaligus sebagai tempat pemasaran hasil tangkapan. Umumnya armada kapal yang dimiliki Sibolga mendarat pada pelabuhan perikanan swasta ini. Armada penangkapan ikan di Sibolga didominasi oleh alat tangkap purse seine, bagan apung, pukat ikan, bubu dan gillnet. Berdasarkan grosstonase kapal, armada penangkapan ikan di Sibolga didominasi oleh kapal yang berukuran 10 sampai 30 GT. Kapal perikanan nelayan Sibolga banyak bersandar di Jalan
77 Mojopahit, Kecamatan Sibolga Selatan. Untuk kapal berukuran lebih dari 30 GT, saat ini memiliki jumlah yang relatif lebih kecil dan hanya bersandar pada Pelabuhan Perikanan Nusantara Sibolga. Pada tahun 2006 kapal berukuran lebih dari 30 GT memiliki jumlah yang cukup tinggi, namun seiring naiknya harga bahan bakar minyak pada tahun 2008 pengusaha kapal di atas 30 GT mulai mengalami kerugian dan beralih usaha. Jumlah armada perikanan yang relatif stabil dari tahun 2006 sampai saat ini adalah armada penangkapan ikan yang menggunakan motor tempel. Armada penangkapan ikan ini umumnya menggunakan alat tangkap tradisional berupa pancing dan gillnet. Bubu merupakan armada penangkapan ikan yang memiliki kapal dengan grostonase sekitar 10 GT. Kapal penangkapan ikan dengan bubu juga sudah mengalami penurunan dari tahun 2007. Perkembangan armada penangkapan ikan yang dimiliki kota Sibolga sangat tergantung dengan perkembangan bahan bakar minyak. Data ini direpresentasikan melalui perkembangan armada penangkapan ikan yang berukuran besar cenderung mengalami penurunan. Armada penangkapan ikan yang beroperasi di Kota Sibolga tahun 2006 sampai dengan 2010 dapat dilihat pada Gambar 13.
Jumlah armada (unit)
160 Perahu Tanpa Motor Motor Tempel
110
Armada 0 – 10 GT 60
Armada 10 – 30 GT Armaga 30 – >50 GT
10 2006
2007
2008 Tahun
2009
2010
Gambar 13 Histogram armada penangkapan ikan tahun 2006-2010 Bubu yang dioperasikan nelayan di pesisir Barat Sumatera merupakan alat tangkap yang telah digunakan secara turun temurun berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan. Berdasarkan data yang dihimpun dari
Dinas Kelautan dan
Perikanan, tercatat 26 armada penangkapan ikan yang memilih operasi
78 penangkapan ikan dengan bubu (Lampiran 1). Sebagian besar kapal nelayan bubu bersandar pada tangkahan milik swasta yang berada di sekitar jalan Balam Sibolga. Pada umumnya pelaku usaha bubu mengkombinasikan operasi penangkapan ikan dengan menggunakan pancing ulur.
4.2.2 Alat penangkapan ikan Perkembangan jenis alat tangkap ikan selama tahun 2006-2010 di Sibolga sebagaimana tercantum pada Tabel 10. Tahun 2006 terjadi penurunan jumlah alat tangkap pada pukat cincin, hal ini disebabkan oleh banyaknya armada yang menjual alat tangkapnya. Alat tangkap bagan apung, pukat cincin, pukat ikan, trammel net, rawai tetap dan serok merupakan armada yang jumlahnya cenderung stabil dari tahun 2008 sampai 2010. Tabel 10 Perkembangan jenis alat tangkap ikan tahun 2006-2010 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Jenis Alat Tangkap Pukat Cincin Bagan Terapung Bagan Tancap Rawai Tetap Gillnet Pukat Ikan Pancing Ulur Bubu Tramel net Serok
2006
2007
2008
2009
2010
164 96 25 39 125 38 55 41 21 18
102 74 25 5 124 30 62 38 26 18
105 104 64 1 53 20 62 34 6 37
105 104 42 1 53 20 74 27 6 37
105 104 42 1 62 20 78 26 6 37
Perkembangan (%) -35,97 8,33 68,00 -97,43 -50,40 -47,36 41,81 -36,58 -71,42 105,55
Sumber : Data statistik perikanan Kota Sibolga 2011
Perkembangan alat tangkap di Sibolga pada umumnya mengalami fluktuasi. Jumlah alat tangkap pukat cincin (purse seine) dan bagan terapung merupakan alat tangkap yang paling dominan di Sibolga (Tabel 10). Untuk alat tangkap pancing ulur, ada beberapa nelayan yang mengoperasikan alat tangkap ini bersamaan dengan bubu kawat. Jumlah alat tangkap bubu dari tahun 2006 sampai 2010 mengalami penurunan namun tidak secara signifikan. Untuk alat tangkap pukat ikan, penurunan jumlah alat tangkap ini disebabkan karena pelarangan operasi
79 oleh nelayan yang dianggap sebagai trawl. Pada tahun 2011 jumlah alat tangkap di Sibolga secara keseluruhan mengalami penurunan. Tingginya biaya operasional dan semakin terbatasnya daerah pengoperasian merupakan alasan yang diberikan oleh nelayan.
4.2.3 Nelayan Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan usaha penangkapan ikan. Keberhasilan kegiatan operasi penangkapan ikan ditentukan oleh sumberdaya nelayan dalam menggunakan dan mengoperasikan unit penangkapan yang dimiliki. Berdasarkan kepemilikan unit penangkapan ikan yang digunakan untuk usaha penangkapan, nelayan dikelompokkan berdasarkan nelayan pemilik dan nelayan buruh. Nelayan pemilik adalah orang yang memiliki armada penangkapan ikan sedangkan nelayan buruh adalah orang yang bertugas untuk mengoperasikan armada penangkapan ikan. Umumnya nelayan ini memperoleh biaya operasional penangkapan ikan dari nelayan pemilik armada penangkapan. Dalam pembagian hasil tangkapan, para nelayan buruh ini mendapatkan bagian yang sudah ditentukan. Jumlah nelayan berdasarkan armada penangkapan di Kota Sibolga mengalami fluktuasi dari tahun ketahun, dimana pada tahun 2002 jumlah nelayan paling banyak mencapai 807 jiwa dan yang paling rendah yaitu pada tahun 2008 dimana jumlah nelayan turun menjadi 321 jiwa. Hal ini terjadi karena pada tahun tersebut harga bahan bakar minyak sangat tinggi dan sangat sulit untuk memperoleh bahan bakar minyak tersebut, sehingga banyak nelayan beralih profesi. Pada tahun 2009 jumlah nelayan mengalami peningkatan sebanyak 51 jiwa dan pada tahun 2010 jumlah nelayan relatif stabil seperti pada tahun sebelumnya. Untuk lebih jelasnya jumlah nelayan di kota Sibolga, periode 20012010 disajikan pada Tabel 11. Berdasarkan jenis armadanya, jumlah nelayan Sibolga didominasi oleh usaha perikanan skala tradisional sampai menengah. Dari tahun 2001 sampai saat ini nelayan Sibolga dominan beraktivitas pada armada penangkapan di bawah 30 GT. Secara umum nelayan yang bekerja pada kapal di atas 30 GT terus
80 mengalami penurunan. Penurunan jumlah nelayan pada kapal perikanan skala menengah ke atas karena mulai berkurangnya kapal besar yang mendaratkan hasil tangkapan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Sibolga. Tabel 11 Jumlah nelayan Kota Sibolga tahun 2001-2010 Jumlah Nelayan No
Jenis Armada
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Persentese (%)
1
Perahu Tanpa Motor
33
33
33
22
20
20
25
11
53
53
14,25
2
Motor Tempel
156
156
144
118
98
98
136
68
77
77
20,70
3
Armada Perikanan ¾ 0 – 30 GT
425
434
435
276
254
233
229
197
197
197
52,96
¾ > 30 GT
184
184
184
176
105
116
67
45
45
45
12,10
Jumlah
798
807
796
592
477
467
457
321
372
372
100
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Tahun 2010
Ada beberapa kemungkinan penyebab rendahnya jumlah angka nelayan di Sibolga. Data nelayan Sibolga masih cenderung sulit dibedakan dengan nelayan yang berdomisili di Tapanuli Tengah. Nelayan Sibolga banyak yang berdomisili di daerah administrasi Tapanuli Tengah, sehingga tercatat sebagai pemilik dan anak buah kapal pada daerah tersebut. Perbaikan data ini telah mulai dilakukan sejak Tahun 2011 melalui Pelabuhan Perikanan Nusantara Sibolga.
4.3
Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Sibolga merupakan wilayah pesisir yang dijadikan tempat rantai
perdagangan ikan di wilayah Sumatera Utara, Sumatera Barat dan provinsi Riau. Pesatnya perkembangan pemasaran ikan di Sibolga telah melahirkan beberapa perusahaan pengolahan ikan, diantaranya P.T Agung Samudra Hindia, P.T Putra Ali Sentosa (PAS) dan P.T Anugrah Sari Laut (ASL). Perdagangan ikan di Sibolga tentunya didukung oleh sumberdaya ikan yang didaratkan di pelabuhan perikanan. Berdasarkan data Dinas Perikanan dan Kelautan Sibolga tahun 2010, hasil tangkapan ikan yang paling besar diperoleh dari alat tangkap pukat tarik yaitu 52.694,4 ton. Data hasil tangkapan bubu pada umumnya adalah ikan demersal yang berjumlah 2.399,8 ton per tahun. Untuk
81 pasar lokal sebagian besar ikan ini dijual langsung ke Belawan, Padang dan Pekanbaru. Untuk pasar ekspor ikan biasanya dimasukkan dalam sterofoam dan langsung dikirim melalui pelabuhan Belawan. Hasil tangkapan nelayan tradisional biasanya diperoleh dari alat tangkap gillnet yang beroperasi di sekitar wilayah perairan Sibolga. Ikan ini pada umumnya dijual di pasar lokal atau pasar tradisional yang berada di Sibolga dan Tapanuli Tengah. Ikan hasil tangkapan nelayan tradisional pada umumnya masuk dalam kategori ikan komersial kedua dan ketiga. Untuk hasil tangkapan bubu nelayan Sibolga, pada umumnya ikan masuk dalam kategori ikan komersial utama. Ikan yang didaratkan di Sibolga sampai pada Tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Ikan yang didaratkan di Sibolga pada tahun 2010 Alat tangkap
Tri wulan I (Ton)
Tri wulan II (Ton)
Tri wulan III (Ton)
Pukat tarik udang ganda 3.138,2 12.218,5 13.806,9 Pukat tarik ikan 3.057,5 2.843,5 3.213,1 Pukat cincin 4.334,3 4.030,9 4.554,9 Jaring insang hanyut 209,0 194,3 219,6 jaring insang tetap 639,0 594,2 671,5 Jaring tiga lapis 139,6 129,8 146,7 Bagan perahu 1.885,1 1.753,2 1.981,1 Rawai tetap 695,9 647,1 731,3 Pancing ulur 1.579,5 1.468,0 1.659,9 Bubu 598,3 556,5 628,8 Jumlah 26.276,4 24.436,0 27.613,8 Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Sibolga, 2011
Tri wulan IV (Ton)
13.530,8 3.148,9 4.463,8 215,2 658,1 143,7 1.941,5 716,6 1.626,7 616,2 27.061,5
Tahun 2010
52.694,4 12.263,0 17.383,9 838,1 2.562,8 559,8 7.560,9 2.790,9 6.334,1 2.399,8 105.387,7
Ikan yang didaratkan di Sibolga didominasi dari hasil tangkapan pukat udang. Alat tangkap ini merupakan alat tangkap yang cukup banyak beroperasi di Sibolga. Jika dibandingkan dari jumlah armada penangkapannya, pukat cincin merupakan alat tangkap yang mendominasi di Sibolga, namun hasil tangkapan pukat cincin masih berada di bawah pukat udang. Hal ini dapat terjadi karena kebanyakan pukat udang di Sibolga merupakan modifikasi dari trawl yang sudah dilarang beroperasi di pantai Barat Sumatera. Hasil tangkapan pukat udang nelayan Sibolga memiliki keanekaragaman yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan pukat cincin.
82
83
5 HASIL PENELITIAN 5.1
Tingkat Pemanfaatan Ikan Demersal Produksi perikanan bubu yang tercatat di PPN Sibolga pada tahun 2011
mencapai 14.847 kg, sedangkan pada tahun 2012 sampai bulan Februari mencapai 11.245 kg. Data ini menjadi sangat kecil karena banyaknya nelayan yang tidak melaporkan hasil tangkapan kepada petugas perikanan. Data yang diperoleh pada tahun 2011 merupakan data dari 2 pemilik kapal bubu yang rutin melakukan pelaporan, sedangkan data pada 2012 merupakan data dari 9 pemilik usaha bubu. Agar dapat memperoleh kondisi perikanan bubu yang mendekati angka tepat, sebaiknya pemerintah memperhatikan teknik pengumpulan data yang ada di pelabuhan perikanan swasta. Ikan yang menjadi target utama untuk ekspor pada penangkapan bubu adalah ikan kerapu merah, kerapu macan, kakap merah, kakap putih, jenaha dan kuwe. Ikan ini menjadi kategori ikan target utama untuk ekspor karena merupakan komoditas ekspor. Ikan target utama pasar lokal merupakan jenis ikan yang tidak masuk dalam dikategori ekspor. Jenis ikan target utama pasar lokal yang dihasilkan bubu antara lain pari, cumi-cumi, bayeman, ekor kuning, kurisi dan baronang. Hasil tangkapan sampingan pada bubu merupakan kelompok ikan yang tidak memiliki nilai jual dan biasanya dijadikan sebagai bahan pembuat ikan asin atau makanan ternak seperti ikan kepe-kepe, giro pasir, gabus laut, jabung (triger) dan butana garis. Penentuan kualitas ikan karang bukan saja ditentukan oleh jenis, tetapi dapat juga dari ukuran dan kondisi ikan. Bagi nelayan bubu penangkapan ikan target utana akan sangat mempengaruhi pendapatan dalam satu tripnya. Hasil tangkapan bubu yang didaratkan pada pelabuhan perikanan di Sibolga didominasi ikan demersal ekonomis utama antara lain ikan kerapu, kakap, kuwe dan jenaha. Hasil tangkapan nelayan bubu biasanya diekspor ke negara Singapura dan Hongkong. Hal ini disebabkan nilai tukar penjualan menggunakan mata uang dolar. Untuk sortasi ikan, nelayan bubu mengenal istilah grade A dan bekas sortir (BS). Hasil wawancara dengan pedagang pengumpul, harga ikan hasil tangkapan bubu dapat dilihat pada Tabel 13.
84 Tabel 13 Daftar harga ikan hasil tangkapan bubu Tahun 2011 No 1 2 3 4 5 6
Nama ikan Kerapu merah Jenaha Kerapu macan Kakap merah Kakap putih Kuwe
Grade A A A A A A
Ukuran (gram) >1000 >700 >1000 >700 >700 >700
Harga (Rp) 70.000 35.000 28.000 23.000 20.000 18.000
Sumber: Hasil wawancara nelayan Sibolga
Data staatistik perikanan Sibolga, ada 3 (tiga) kelompok ikan demersal ekonomis penting yang banyak diperdagangkan nelayan Sibolga. Tingkat pemanfaatan ikan demersal ini berbeda satu sama lainnya. Ketiga jenis kelompok ikan demersal tersebut adalah: 1)
Ikan kakap Data hasil tangkapan ikan kakap pada tahun 2006-2010, penagkapan ikan
kakap didominasi oleh alat tangkap bubu sekitar 40,87%, pancing ulur 29,86% dan pukat ikan 29,28%. Alat tangkap standar ikan kakap yang sesuai berdasarkan nilai Fishing Power Index (FPI) adalah bubu. Ikan kakap merupakan salah satu ikan ekonomis penting yang banyak diekspor ke Hongkong dan Singapura. Gambar 14 menunjukkan grafik MSY untuk ikan kakap berdasarkan data dinas perikanan kota Sibolga. Model Walter-hilborn menunjukkan effortoptimum untuk ikan kakap merah sebanyak 60 unit bubu dan catchMSY 2754,11 ton/tahun.
Produksi (ton)
3000
2010 2009 2008
2000
Ikan kakap
2006 2007
1000 0 0 Data aktual
50
100
Jumlah bubu (unit) Kurva produksi surplus
150 Batas MSY
Gambar 14 Grafik maximum sustainable yield ikan kakap
85 Grafik pemanfaatan ikan kakap pada Gambar 14 menunjukkan pada saat ini jumlah penangkapan ikan tersebut telah mencapai titik MSY. Peningkatan upaya penangkapan melalui bubu sebaiknya mulai dibatasi untuk menghindari terjadinya over fishing. 2)
Ikan kerapu Hasil perhitungan nilai maximum sustainable yield (MSY) untuk ikan
kerapu merah (kerapu sunu)
menunjukkan tingkat eksploitasi yang belum
optimal. Gambar 15 menunjukkan grafik produksi surplus ikan kerapu sampai pada tahun 2010. Data pemanfaatan ikan kerapu menunjukkan
bahwa
penangkapan ikan kerapu belum mengalami batas over fishing.
Produksi (ton)
1500 1000
Ikan kerapu 2010
2009 2008
2007 2006
500 0 0 Data aktual
100 Jumlah bubu (unit) Batas MSY
200 Kurva produksi surplus
Gambar 15 Grafik maximum sustainable yield ikan kerapu Tingkat upaya pemanfaatan ikan kerapu sampai pada tahun 2010 belum mencapai titik jumlah maksimum. Armada penangkapan ikan demersal khususnya bubu masih dapat ditingkatkan. Hal ini menggambarkan bahwa bubu sebagai alat tangkap perikanan demersal di Sibolga masih memiliki peluang yang cukup besar. Berdasarkan total hasil tangkapan, ikan kerapu di Sibolga masih berada di bawah nilai MSY. Pemanfaatan sumberdaya ikan kerapu secara bertanggung jawab dengan memperhatikan aspek biologi akan membantu keberlanjutan usaha bubu. 3)
Ikan kuwe Ikan kuwe merupakan ikan yang hidup berasosiasi dengan ekosistem karang
dan masih ditemukan pada pengoperasian bubu. Berdasarkan data Dinas Periukanan Sibolga sampai pada tahun 2010, bubu merupakan alat tangkap standar yang dapat digunakan untuk menangkap ikan kuwe dengan total hasil
86 tangkapan 44,8%, selain itu pukat ikan juga memiliki peran dalam menangkap ikan kuwe, terlihat dari nilai tangkapan sebesar 33,4%. Upaya penangkapan ikan kuwe khususnya pada ukuran ekonomis masih cukup rendah. Berdasarkan data statistik perikanan Sibolga, nilai upaya penangkapan ikan kuwe menunjukkan effortoptimum sebanyak 59 unit bubu dan catchMSY 787,84 ton/tahun. Gambar 16 menunjukkan grafik MSY untuk pemanfaatan ikan kuwe berdasarkan kurva produksi surplus masih barada pada garis yang belum terindikasi kelebihan tangkap. Berdasarkan data statistik perikanan tahun 2009 sampai tahun 2010 produksi mengalami penurunan disebabkan banyaknya nelayan bubu yang beralih pada alat tangkap lain. Peralihan ini disebabkan tingginya biaya operasional yang dibutuhkan dalam pengoperasian alat tangkap bubu.
Ikan Kuwe Produksi (ton)
900
2007 2009
600
2006 2010 2008
300 0 0
20
40
60
80
100
120
140
Jumlah bubu (unit) Data aktual
Kurva produksi surplus
Batas MSY
Gambar 16 Grafik maximum sustainable yield ikan kuwe Dalam empat tahun terakhir, hasil penangkapan ikan kuwe masih berada di bawah garis MSY. Tingkat upaya pemanfaatan untuk jenis ikan kuwe juga masih belum mencapai titik maksimum. Bubu bukan merupakan alat tangkap yang paling baik dalam memanfaatkan sumberdaya ikan kuwe di pantai Barat Sumatera. Berdasarkan data statistika perikanan di Sibolga, pukat ikan merupakan alat tangkap standar yang digunakan dalam memanfaatkan sumberdaya ikan kuwe. Pemanfaatan ikan kuwe pada bubu paling rendah jika dibandingkan dengan ikan target utama untuk ekspor lainnya.
87
5.2
Teknik Pengoperasian Bubu nelayan
5.2.1 Konstruksi bubu nelayan Bubu nelayan Sibolga memiliki bentuk persegi dengan satu funnel pada bagian sisi. Pada bagian alas bubu nelayan dilengkapi dengan tulang rangka yang terbuat dari rotan dengan diameter 2 cm. Bagian selimut atas bubu ditopang dengan tulang rangka sebanyak 5 ruas dengan diameter 2 cm, agar bubu tetap tegak. Pintu bubu terletak pada bagian alas sebagai lubang tempat mengeluarkan hasil tangkapan. Selimut bubu terbuat dari kawat besi berdiameter 0,2 cm dengan mesh size 5 cm. Desain bubu nelayan nelayan Sibolga berdasarkan dimensi dan ukuran penyusunnya dapat dilihat pada Gambar 17.
Gambar 17 Desain dan konstruksi bubu kawat nelayan Sibolga Pembuatan bubu diawali dengan menyelesaikan rangka alas, rangka selimut atas, rangka bagian sisi depan dan belakang. Pembuatan funnel dilakukan secara terpisah karena selimut kawat pada bagian ini dibentuk sedemikian rupa untuk mengatur gerakan ikan saat memasuki bubu. Setiap sudut alas dibuat berbentuk siku dan diikat pada setiap persambungannya. Desain bubu nelayan telah dilakukan sejak awal tahun 1970 sampai saat ini. Desain ini dibawa oleh nelayan asing yang dahulu beroperasi di pantai Barat Sumatera. Funnel bubu nelayan berbentuk silinder dan memiliki diameter yang semakin mengkerucut. Diameter bagian depan funnel berukuran 44 cm, bagian tengah 29 cm dan bagian dalam 12 cm. Funnel yang dimiliki bubu nelayan
88 merupakan pintu satu-satunya jalan masuk ikan, sehingga bagian dinding dari funnel dilengkapi dengan kawat berduri yang diarahkan ke bagian dalam bubu. Pemberian kawat sebagai duri ini bersifat elastis dan searah dengan jalan masuk ikan, tujuannya agar ikan yang telah bergerak masuk diantara bagian funnel tidak mungkin keluar lagi. Desain bubu nelayan berdasarkan tampak muka dilihat pada Gambar 18.
Gambar 18 Bubu nelayan berdasarkan tampak depan Tinggi bubu nelayan dari rangka alas adalah 50 cm, sedangkan tinggi bubu dibagian tengah 60 cm. Perubahan tinggi bagian bubu disebabkan rangka rotan pada selimut atas memiliki elevasi sebesar 105o-. Desain seperti ini dirancang agar selimut kawat lebih elastis dan ruang menjadi lebih besar. Semakin kecilnya ukuran diameter kawat bubu nelayan berpengaruh terhadap umur teknis alat tersebut. Sebelum tahun 2006 kawat selimut bubu nelayan diimpor dari Singapura dan memiliki diameter 0,3 cm, sedangkan saat ini kawat yang digunakan merupakan kawat galvanis yang berasal dari Batam dengan diameter 0,2 cm. Desain rangka bubu nelayan tampak atas dapat menunjukkan konstruksi funnel yang dirancang oleh nelayan Sibolga. Funnel
tidak hanya dibuat
mengerucut, namun memiliki kemiringan dan berbelok pada bagian ujungnya. Kawat galvanis selimut bubu juga berfungsi dalam memperkokoh konstruksi bubu nelayan. Kawat selimut dirancang oleh nelayan menjadi 4 bagian. Bagian pertama digunakan untuk menutup rangka bubu dari bagian sisi samping menuju sisi lainnya. Bagian kedua digunakan untuk menutup bagian sisi depan sampai sisi belakang. Bagian ketiga untuk menutup sisi alas yang memiliki pintu untuk
89 mengeluarkan hasil tangkapan. Bagian keempat digunakan sebagai kawat funnel. Kerangka bubu nelayan tampak atas dapat dilihat pada Gambar 19.
Gambar 19 Desain bubu nelayan tampak atas Teknologi pembuatan bubu besi ini sudah dilakukan oleh beberapa negara di dunia khususnya Amerika Serikat dan Jepang. Bubu didesain untuk memikat ikan masuk ke dalam dan mempersulit ikan untuk keluar kembali. Jika melihat bubu nelayan milik nelayan Sibolga, konstruksi dasar yang dimiliki hampir menyerupai bubu yang telah dikembangkan oleh nelayan Amerika Serikat pada awal tahun 1960 sampai 1970.
Gambar 20 Konstruksi bubu dasar pada tahun 1970 (Rose, 1998)
90 Konstruksi bubu yang didesain masyarakat nelayan Amerika dipublikasikan oleh Rose (1998). Desain konstukrsi bubu yang digunakan oleh nelayan di Amerika Serikat pada tahun 1970 dapat dilihat pada Gambar 20. Menurut Cann (1990) bubu untuk penangkapan ikan demersal banyak menggunakan selimut berbahan kawat karena harus memperhatikan profitabilitas dari pengembangan dan umur teknis alat.
5.2.2 Daerah penangkapan ikan Nelayan Sibolga di pantai Barat Sumatera memiliki daerah pengoperasian bubu yang cukup luas, dimulai dari perairan Aceh sampai pada perairan Sumatera Barat. Ada 4 daerah penangkapan ikan yang digunakan nelayan Sibolga dalam mengoperasikan bubu. Daerah pengoperasian ini memiliki karakteristik dan kondisi lingkungan yang berbeda. Pulau Mursala merupakan daerah kepulauan yang paling dekat dengan Sibolga. Perairan ini terletak pada sekitar 98o25''30’ Bujur Timur dan 01o47''25’ Lintang Utara (Gambar 21). Berdasarkan karakteristik perairannya, Pulau Mursala merupakan daerah perairan yang memiliki kedalaman 48 sampai 54 meter. Topografi perairan ini pada umumnya berkarang dengan substrat lumpur. Berdasarkan peta batimetri LANAL Sibolga penutupan karang paling tinggi di Pulau Mursala sekitar 5 meter.
Gambar 21 Peta daerah pengoperasian bubu nelayan Sibolga di perairan Mursala
91 Dilihat dari posisi perairan Pulau Mursala, bubu nelayan Sibolga banyak ditempatkan pada perairan yang mengarah ke Pulau Sumatera (main land). Penempatan bubu seperti ini memudahkan nelayan dalam proses pencariannya. Pulau mursala merupakan daerah yang memiliki penduduk cukup banyak, sehingga nelayan bubu menempatkan alat sedikit lebih jauh dari pantai. Penempatan titik pengoperasian bubu di perairan Pulau Mursala dilakukan pada 9 titik. Pengamatan pergeseran titik penempatan bubu menjadi salah satu aspek yang dikaji dalam stabilitas bubu di dasar perairan (Lampiran 4). Penutupan karang pada perairan Pulau Mursala cukup banyak, hal ini dapat mempengaruhi pola pergerakan arus di dasar perairan. Berdasarkan sifatnya terhadap bentuk dasar perairan, arus akan lebih kuat jika melewati dasar perairan yang lebih landai. Penempatan bubu pada sela-sela karang akan membantu mengurangi gerak bubu. Pergeseran titik penjatuhan bubu nelayan dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Jarak antara posisi penjatuhan dan pengangkatan bubu nelayan di Pulau Mursala Posisi titik 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Rata-rata
Selisih bujur (m) 10 61 26 7 17 56 60 49 94
Selisih lintang (m) 18 4 80 10 3 99 22 48 55
Perubahan pergeseran (m) 20 61 84 12 17 114 64 69 108 61.20
Pulau Pini merupakan daerah perairan yang termasuk pada daerah administratif Nias Selatan. Perairan Pulau Pini memiliki karakteristik dengan kedalaman 54 sampai 63 meter, topografi yang berkarang dan memiliki substrat perairan yang berlumpur. Penutupan karang berdasarkan peta batimetri milik LANAL Sibolga, yang paling tinggi sekitar 8 meter. Daerah pengoperasian bubu di perairan Pulau Pini dapat dilihat pada Gambar 22.
92
Gambar 22 Peta daerah pengoperasian bubu nelayan Sibolga di perairan Pini Pola pergeseran bubu nelayan di perairan Pulau Pini dapat menggambarkan karakteristik daerah penangkapan ikan di daerah tersebut. Pergeseran bubu nelayan yang terjadi di Pulau Pini tergolong sangat variatif yaitu dari 32 meter sampai 207 meter. Penyebaran bubu yang cukup berjauhan memberikan dampak terhadap pola pergeseran titik setting bubu di perairan Pulau Pini. Secara umum pergeseran titik bubu dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Jarak antara posisi penjatuhan dan pengangkatan bubu nelayan di Pulau Pini Posisi titik 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Rata-rata
Selisih bujur (m) 5 11 56 62 157 5 14 132 43
Selisih lintang (m) 46 30 46 33 58 164 56 160 55
Perubahan pergeseran (m) 46 32 72 70 168 164 57 207 70 98.46
93 Hasil perhitungan rata-rata pergeseran bubu di perairan Pulau Pini adalah 98,46 meter. Kecepatan arus pada perairan ini selama melakukan pengoperasian diperoleh sebesar 1,1 m/s sampai pada 2,1 m/s. Pola pergerakan arus yang paling tinggi diperoleh saat angin musim barat sedang berlangsung. Pulau Nias merupakan daerah pengoperasian bubu yang paling dekat pada laut lepas. Perairan ini memiliki karakteristik perairan dengan kedalaman 38 sampai 70 meter. Topografi perairan pada umumnya berkarang dengan substrat lumpur. Penutupan karang yang paling tinggi di daerah perairan Pulau Mursala sekitar 5 meter. Peletakan bubu nelayan pada daerah perairan ini dapat dilihat pada Gambar 23.
Gambar 23 Peta daerah pengoperasian bubu nelayan Sibolga di perairan Nias Pergerakan arus pada perairan Pulau Nias relatif lebih besar jika dibandingkan dengan Pulau Mursala dan Pini. Kecepatan arus saat proses penjatuhan bubu yang diperoleh pada perairan Pulau Nias adalah 1,6 m/s sampai 2,2 m/s. Daerah perairan Nias merupakan wilayah yang memiliki ekosistem terumbu karang paling luas dan masih dikategorikan dalam kondisi yang baik. Berdasarkan hasil pemetaan batimetri perairan Nias, ketinggian karang pada perairan ini sangat bervariasi seperti yang dimiliki Pulau Pini. Masyarakat banyak menempatkan bubu pada perairan terbuka karena kondisi terumbu karang yang lebih baik dibandingkan dengan perairan bagian timur Nias.
94 Secara umum pola pergeseran arus telah menyebabkan pergeseran bubu nelayan yang dioperasikan di Pulau Nias. Pergeseran titik pengoperasian bubu sangat bervarasi, yaitu dari 42,67 meter sampai pada 163,51 meter. Berdasarkan nilai rata-ratanya, pergeseran bubu di perairan Pulau Nias diperoleh sebesar 138,89 meter. Pergeseran jarak bubu pada perairan Nias secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 Jarak antara posisi penjatuhan dan pengangkatan bubu nelayan di Pulau Nias Posisi titik
Selisih bujur (m)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 Rata-rata
150 24 8 50 9 52 94 103 149
Selisih lintang (m)
Perubahan pergeseran (m)
46 36 108 354 98 97 47 30 67
157 43 108 358 98 110 105 107 164 138.89
Penempatan bubu nelayan sebagian bessar dilakukan di perairan barat Nias menyebabkan pergeseran yang lebih besar baik saat musim timur maupun musim barat. Perbandingan yang dilakukan dengan peta 135, menunjukkan perairan timur Nias juga memiliki ekosistem terumbu karang yang cukup baik. Nelayan tidak menempatkan bubu pada bagian timun pulau Nias didasarkan karena tingginuya aktivitas penangkapan dan banyaknya nelayan yang berdomisili di sekitar pantai. Hal ini dapat dicegah dengan menempatkan bubu pada perairan yang sedikit lebih jauh dari garis pantai. Perairan Pulau Karang adalah perairan yang paling dekat dengan Pulau Sumatera. Perairan Pulau Karang merupakan perairan terbuka yang memiliki substrat pasir berlumpur. Topografi perairan ini berkarang dengan kedalaman tergolong dangkal dengan kisaran 21 sampai 39 meter. Penutupan karang yang paling tinggi di perairan Pulau Karang sekitar 6 meter. Posisi peletakan bubu nelayan pada perairan Pulau Karang dapat dilihat pada Gambar 24.
95 Perairan Pulau Krang yang sangat terbuka tidak dihalangi oleh pulau lain yang berukuran lebih besar. Kondisi Pulau karang yang sangat kecil menyebabkan arus pada daerah perairannya sangat dipengaruhi oleh pasang surut, angin, turbulensi dan proses termoklin. Gerakan air pada perairan Pulau Karang dapat bersifat vertikal maupun horizontal karena perairannya tergolong dangkal.
Gambar 24 Peta daerah pengoperasian bubu nelayan Sibolga di perairan Karang Paparan benua yang langsung berhadapan dengan perairan Pulau Karang menyebabkan pembentukan substrat pada perairan ini cenderung lumpur berpasir. Hal ini dapat dilihat dari titik penjatuhan bubu yang digunakan oleh nelayan Sibolga (Gambar 24). Perairan ini memiliki ekosistem karang yang cenderung tumbuh dengan baik karena selain dangkal kondisi air pada bersih. Ekosistem seperti ini membuat wilayah perairan karang cukup subur sebagai habitat ikan demersal. Penempatan bubu pada daerah ini sangat potensial mengingat keberadaan ekosistem karang sebagai tempat berkembangbiaknya ikan. Kecepatan arus rata-rata pada saat kondisi normal adalah 1,6 m/s sampai 2,2 m/s. Kecepatan arus yang cukup tinggi telah menyebabkan pergeseran bubu di daerah pengoperasian Pulau Karang. Pada beberapa titik penempatan bubu nelayan di Pulau Karang, sering terjadi ghost fishing. Hasil perhitungan jarak antara penjatuhan dan pengangkatan bubu di Pulau Karang menunjukkan nilai yang paling besar di antara perairan lain. Sebaran data titik pergeseran bubu pada perairan Pulau Karang disajikan pada Tabel 17.
96 Tabel 17 Jarak antara posisi penjatuhan dan pengangkatan bubu nelayan di Pulau Karang Posisi titik
1 2 3 4 5 6 7 8 9 Rata-rata
Selisih bujur (m)
Selisih lintang (m)
134 359 8 72 55 247 205 25 43
54 119 130 81 86 368 98 47 165
Perubahan pergeseran (m) 145 378 130 108 102 443 228 53 171 195.25
Secara umum bubu nelayan nelayan pantai Barat Sumatera dioperasikan pada karang yang tergolong pada terumbu karang pantai. Ekosistem karang ini banyak ditemukan pada sekitar garis pantai pulau-pulau kecil dengan kedalaman perairan tidak lebih dari 70 meter. Berdasarkan data batimetri milik Pangkalan Angkatan Laut Sibolga, tinggi karang yang berada pada sekitar paparan benua Samudera Hindia berkisar 5 sampai 11 meter. Penentuan fishing ground oleh nelayan bubu Sibolga didasarkan pada beberapa karakteristik dasar perairan. Adapun kriteria pemilihan lokasi daerah pengoperasian bubu antara lain: terdapatnya gugus karang di sekitar lokasi penjatuhan bubu; memiliki jarak lebih dari 1 mil dari garis pantai atau pulau terdekat yang berpenduduk; dan kedalaman perairan berkisar antara 15 sampai 70 meter. Tingginya potensi sumberdaya ikan demersal di pantai Barat Sumatera harus disesuaikan dengan pengoperasian bubu yang efektif. Berdasarkan pengamatan, pergeseran bubu nelayan pada daerah pengoperasian di empat wilayah perairan menunjukkan perbedaan. Pulau Karang merupakan daerah penangkapan ikan yang mengalami ghost fishing. Pergeseran titik pada daerah pengoperasian bubu yang berbeda, dapat dijadikan nelayan sebagai informasi dalam menempatkan bubu. Hasil penelitian menunjukkan pergeseran titik
97 pengoperasian bubu berdasarkan daerah perairan yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 25. Pergeseran bubu nelayan pada Pulau Karang memiliki rata-rata 195,25 meter, nilai ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan pergeseran bubu pada ketiga daerah pengoperasian lainnya. Pulau Mursala memiliki pergeseran yang relatif paling kecil yaitu sebesar 61,20 meter. Hasil pergeseran titik operasi bubu nelayan menyertakan karakteristik daerah penempatan bubu. Posisi peletakan bubu yang lebih cenderung terbuka pada umumnya menyebabkan pergeseran yang lebih besar dibandingkan dengan karakteristik perairan yang lebih tertutup. Penempatan bubu pada Pulau Karang berada pada posisi yang menghadap laut lepas. Bubu nelayan yang ditempatkan pada Pulau Mursala berada pada bagian selatan pulau tersebut.
Rata‐rata Pergeseran Posisi Bubu Konvensional (m)
250 200
195.25
150
138.89
100 50
98.46 61.20
0 Pulau Mursala
Pulau Pini
Pulau Nias
Pulau Karang
Daerah Penangkapan Ikan
Gambar 25 Grafik rata-rata dan standar error pergeseran titik operasi bubu pada daerah pengoperasian yang berbeda 5.2.3 Operasi penangkapan ikan dengan bubu nelayan Berdasarkan hasil survei terhadap nelayan bubu, pemilihan konstruksi bubu nelayan dan metode pengoperasian merupakan ilmu yang diperoleh nelayan secara turun temurun (intuisi). Nelayan tidak dapat memberikan alasan yang pasti terhadap pemilihan metode pengoperasian bubu nelayan saat ini. Beberapa faktor yang diidentifikasi pada percobaan bubu nelayan disajikan pada Tabel 18.
98 Tabel 18 Faktor pengoperasian bubu nelayan Sibolga No 1 2 3 4 5
Penelaahan Sudah Belum √ √ √ √ √
Faktor pengoperasian Waktu penjatuhan bubu Teknik penjatuhan bubu Gerak jatuh bubu Posisi peletakan bubu di dasar perairan Lama perendaman
Sumber: Hasil wawancara nelayan bubu, 2011
Hasil
observasi
menggambarkan
yang
beberapa
dilakukan faktor
yang
terhadap dapat
nelayan
bubu
Sibolga
mempengaruhi
metode
pengoperasian bubu nelayan. Faktor tersebut anatara lain: 1) jarak lokasi penjatuhan bubu dari aktivitas nelayan lain; 2) hasil tangkapan dari pengoperasian sebelumnya; 3) Proses menemukan bubu yang telah dijatuhkan. Pada prinsipnya pengoperasian bubu kawat nelayan dilakukan pada dasar perairan khususnya daerah yang memiliki karang pantai (fringing reef). Terumbu karang pantai tumbuh dan berkembang tidak jauh dari pulau yang terletak disepanjang pantai Barat Sumatera. Jenis terumbu karang pantai yang digunakan nelayan sebagai tempat peletakan bubu adalah reef flat yaitu karang yang memiliki permukaan mendatar (Froelich, 2002). Pengoperasian bubu oleh nelayan dibagi menjadi empat tahap yaitu pra setting, setting, towing dan hauling (Hermawan, 2007). Sebelum masuk ke tahap pertama yaitu persiapan alat tangkap, biasanya bubu yang sudah selesai dirakit dan dicat, direndam terlebih dahulu sebelum dioperasikan. Waktu perendaman ini 4 sampai 6 hari atau dilihat dengan ciri terdapatnya biota dan lumut yang melekat pada kawat bubu. Hal ini bertujuan untuk menghindari bau polymer cat yang melekat pada kawat bubu pada saat dioperasikan pertama sekali. Setting, kegiatan ini meliputi persiapan bubu yang sudah ditempatkan pada sisi kapal dan juga tali ris (main line) yang akan menghubungkan kedua bubu yang dijatuhkan ke dalam air. Setelah tiba di daerah fishing ground, kecepatan kapal motor dikurangi agar juru kemudi (tekong) bisa dengan mudah melihat topografi dasar perairan pada monitor. Setelah menentukan fishing ground yang
99 tepat maka juru kemudi memberikan perintah kepada anak buah kapal (ABK) untuk menjatuhkan bubu. 1)
Penjatuhan bubu nelayan Waktu penjatuhan bubu nelayan belum menjadi acuan yang konsisten
dilakukan oleh nelayan. Nelayan dapat menjatuhkan bubu saat pagi, siang, sore dan bahkan malam hari. Hal tersebut dilakukan secara bersamaan dengan proses pencarian bubu. Jumlah bubu nelayan yang dapat dijatuhkan oleh nelayan dalam satu hari rata-rata 10 bubu, dengan jumlah maksimal 12 bubu dan minimal 5 bubu. Penjatuhan bubu dilakukan dengan dua pendekatan. Pendekatan pertama menempatkan bubu pada lokasi yang sama dengan lokasi saat diangkat, dilakukan bila jumlah hasil tangkapan sesuai. Pendekatan kedua dengan mencari lokasi baru, penjatuhan bubu dilakukan sesuai kriteria ekosistem yang mereka tentukan. Berdasarkan hasil wawancara, penjatuhan satu unit bubu membutuhkan waktu sekitar 1 sampai 3 menit. Pemetaan dasar sebelum penjatuhan bubu nelayan dianalisis berdasarkan conventional depth acoustic yang dimiliki nelayan. Hasil wawancara terhadap nelayan, bubu yang ditempatkan pada karang yang topografinya landai cenderung mengalami pergeseran sampai pada tahap hilang. Diantara empat lokasi penjatuhan bubu yang ditentukan pada penelitian ini, Pulau Karang merupakan tempat peletakan bubu nelayan mengalami ghost fishing terbesar. Berdasarkan pengalaman nelayan bubu Sibolga menunjukkan bahwa dari 30 unit bubu yang dijatuhkan di perairan Pulau Karang akan hilang sekitar 2 sampai 3 pasang bubu. Penjatuhan bubu dimulai saat kapal telah menemukan titik koordinat yang sesuai dengan bentuk topografi yang diinginkan nelayan. Kecepatan kapal akan diperlambat, kemudian salah satu bubu ditempatkan pada bagian sisi badan kapal untuk dijatuhkan. Sebelum bubu pertama dijatuhkan, tekong kapal akan melihat tanda-tanda di sekitar perairan. Pada umumnya tanda yang digunakan oleh juru mudi kapal adalah pulau kecil yang ada di sekitar daerah penjatuhan bubu. Tujuan pengamatan lingkungan di sekitar penjatuhan agar arah pencarian bubu saat hauling dapat disesuaikan dengan penjatuhan bubu. Juru mudi akan menggunakan arah yang berlawanan antara proses penjatuhan dan penarikan bubu.
100 Bubu nelayan yang dijatuhkan nelayan Sibolga menggunakan sistem rawai. Bubu ini menggunakan tali ris sebagai penghubung antara bubu pertama terhadap bubu yang lain. Tali ris yang digunakan memiliki panjang 24 meter dengan jarak penjatuhan setiap pasangan bubu sejauh 15 meter. Proses penjatuhan bubu diawali dengan pembersihan selimut kawat bubu, dilanjutkan dengan mengikatkan tali ris dan tali terajut. Beberapa kali pengoperasian, nelayan memberikan pemberat pada bagian dasar bubu dengan menggunakan batu karang yang telah diambil dari laut. Proses penjatuhan pasangan bubu berikutnya dimulai dengan menggerakkan kapal sesuai dengan arah topografi yang diinginkan juru mudi kapal. Biasanya penjatuhan pasangan bubu berikutnya kurang lebih 15 meter dari penjatuhan bubu pertama. Proses penjatuhan bubu dengan menggunakan tali ris penghubung akan mempermudah nelayan mencari bubu. Tali ris merupakan alat bantu yang akan disentuh oleh gancu saat proses penarikan, sehingga tali ris yang posisinya tidak mengkerut memastikan bubu berpeluang besar dapat ditemukan. Proses penjatuhan
bubu sangat mempengaruhi hasil tangkapan. Saat
pengoperasian, nelayan akan menjatuhkan bubu sebagai sebuah tim karena mereka harus melakukan koordinasi. ABK akan mengikuti kode yang diberikan nahkoda kapal (tekong) sesaat setelah menemukan titik koordinat yang tepat. Proses penjatuhan bubu dilakukan pada bagian sisi sebelah kanan kapal nelayan. Bagan proses penjatuhan bubu kawat dapat dilihat pada Gambar 26. Penentuan DPI Kriteria: 1) Kedalaman > 30 meter 2) Topografi berkarang 3) Jauh dari garis pantai (>1 mil) 4) Memiliki substrat berlumpur
Mengikatkan tali ranjut sepanjang 3,5 m dan menghubungkan tali ris pada bubu lain
Kapal di perlambat dengan kecepatan <4 knot
Bubu 1 diletakkan di sisi kanan kapal
Kapal bergerak ke utara sejauh 10-15 m dan bubu kedua di jatuhkan
Gambar 26 Diagram alir proses penjatuhan bubu nelayan
101 Bubu dijatuhkan tidak secara bersamaan agar tali ris (main line) dapat tetap renggang. Sebelum proses penjatuhan bubu, terlebih dahulu dilakukan pengukuran terhadap seluruh komponen penyusun bubu. Saat penjatuhan, kapal akan bergerak lambat (< 1 knot) dan tekong akan memperhatikan arah gerak haluan kapal. Perhatian kepada arah gerak kapal agar proses pencarian bubu lebih mudah, kapal akan bergerak ke arah yang berlawanan dengan saat penjatuhan. Setelah menemukan fishing ground yang tepat, maka kapal akan berjangkar dan menyimpan titik koordinat dari posisi kapal. Ada beberapa kriteria penempatan bubu saat dijatuhkan ke dalam air yaitu: kedalaman air, bentuk dasar perairan, kondisi terumbu karang dan arus. Beberapa faktor lain adalah perairan yang jarang dikunjungi oleh nelayan bubu lain, untuk menghindari pencurian. Penggunaan krieria yang konsisten dalam pengoperasian bubu diperoleh dari pengalaman nelayan Sibolga. Parameter perairan yang sering digunakan menjadi hasil pengamatan dalam penelitian pengoperasian bubu nelayan. Hasil identifikasi kriteria perairan saat penjatuhan bubu nelayan dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19 Kriteria perairan saat penjatuhan bubu nelayan No 1 2 3 4
Kriteria Kedalaman air Kecepatan arus Sapuan tinggi karang Substrat
Nilai Parameter Minimum Maksimum 30 meter 70 meter 0,8 m/s 2,4 m/s 3 meter 8 meter pasir berlumpur Lumpur
Kedalaman perairan menjadi salah satu faktor penting saat penjatuhan bubu. Nelayan Sibolga pada umumnya menjatuhkan bubu pada kedalaman di atas 30 meter untuk memperoleh hasil tangkapan yang lebih besar, sekaligus menghindari pengambilan bubu oleh nelayan atau alat tangkap lain. Dalamnya perairan sering mengakibatkan bubu yang dijatuhkan bergeser dari titik setting yang telah disimpan dalam alat akustik yang mereka miliki. Pada kedalaman 70 meter matahari sulit menembus kolom perairan, hal ini mempengaruhi para penyelam swallow tidak beroperasi pada kedalaman tersebut. Bagi nelayan bubu, pencurian hasil tangkapan oleh penyelam juga sering terjadi disekitar periaran yang dangkal.
102 Bentuk topografi dasar perairan adalah salah satu parameter utama yang digunakan oleh nelayan saat menjatuhkan bubu. Berdasarkan pengamatan di lapangan dan mengikuti kebiasaan nelayan, bentuk topografi yang memiliki karang menjulang dan warna permukaan garis pada echosounder terlihat merah adalah pilihan yang paling tepat menjatuhkan bubu. Hal ini didasarkan pada pengalaman nelayan yang menyimpulkan bahwa pewarnaan merah pada layar menunjukkan dasar perairan yang sangat sesuai untuk peletakan bubu. Arus permukaan saat penjatuhan bubu dapat diketahui pada daerah fishing ground. Data kecepatan arus diambil pada posisi 98030'3170'' BT dan 1033''1172''' LU pada lokasi yang menjadi stasiun tempat penjatuhan bubu (Lampiran 3). Kecepatan arus yang diperoleh berkisar antara 0,8 m/s sampai dengan 2,4 m/s. Kecepatan arus permukaan semakin besar saat daerah pengoperasian menuju laut terbuka yaitu Samudera Hindia. Hasil wawancara pada nelayan bubu mengungkapkan bahwa variabel arus bukan menjadi faktor utama yang diperhatikan saat menjatuhkan bubu. Nelayan bubu melakukan penjatuhan atau setting saat gelombang pada permukaan laut kecil dan akan bersandar pada pulaupulau di sekitar pantai Barat Sumatera saat gelombang besar. 2) Pencarian bubu nelayan Waktu yang dibutuhkan oleh nelayan untuk menemukan bubu nelayan di pantai Barat Sumatera berkisar antara 20 menit sampai pada 90 menit untuk satu pasang bubu. Lamanya kisaran waktu pencarian bubu sangat bervariasi dan tergantung pada daerah pengoperasian bubu. Berdasarkan stasiun percobaan, waktu pencarian bubu nelayan dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20 Waktu pencarian bubu nelayan di pantai Barat Sumatera No 1 2 3 4
Daerah Pengoperasian Pulau Mursala Pulau Pini Pulau Nias Pulau Karang
Minimum 27 20 35 54
Waktu Maksimum 55 60 84 120
Perhitungan waktu pencarian bubu dilakukan saat memulai pengangkatan. Pengangkatan dilakukan setelah gancu menyentuh tali ris (main line) pasangan
103 bubu. Tal ris tersebut telah ditambatkan pada tali terajut di bawah funnel bubu. Tali terajut (branch line) bubu memiliki ukuran panjang 3,5 meter dan pada bagian tengah dibuat untaian tempat menambatkan tali ris. Hasil analisis data waktu pencarian bubu nelayan berdasarkan empat daerah perairan pengoperasian menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan. Waktu pencarian bubu nelayan tentunya dilihat dari pergeseran yang dialami oleh alat tangkap itu sendiri. Hasil wawancara nelayan menyatakan bahwa pergeseran bubu yang cukup jauh menyebabkan bubu tidak dapat ditemukan kembali saat pencarian. Waktu pencarian pada suatu daerah pengoperasian akan dihentikan jika telah melebihi 2 jam. Bubu nelayan di perairan Pulau Pini memiliki waktu minimum tercepat untuk ditemukan, sedangkan waktu maksimum untuk menemukan bubu terletak di perairan Pulau Karang. Pulau Mursala sebagai wilayah perairan yang paling dekat ke Sibolga memiliki waktu rata-rata pencarian bubu sebesar 38,3 menit. Rata-rata waktu pencarian bubu tercepat adalah di Pulau Pini sedangkan waktu rata-rata terlama pencarian bubu adalah di Pulau Karang. Pencarian bubu di Pulau Karang membutuhkan waktu rata-rata 79,3 menit. Pencarian titik pengangkatan bubu nelayan sangat ditentukan dengan bentuk topografi yang terlihat pada layar echosounder. Tekong akan mengingat kembali ciri-ciri topografi perairan saat penyimpanan titik koordinat setting. Bubu kawat yang dimiliki nelayan Sibolga pada umumnya memperhatikan posisi dan kondisi perairan yang disekitarnya. Salah satu kriteria yang paling diperhatikan oleh nelayan adalah bagaimana bubu tidak mudah ditemukan oleh nelayan lain karena perendaman bubu di pantai Barat Sumatera cukup lama. Hasil perhitungan waktu pencarian bubu nelayan, nelayan Sibolga hanya mampu mencari 5 sampai 10 unit bubu dalam satu hari. Secara teknis, sistem kerja pengoperasian bubu nelayan dapat dikategorikan tidak efisien karena penggunaan waktu yang lebih lama akan meningkatkan biaya operasional. Bubu nelayan yang tidak ditemukan dalam waktu lebih dari 2 jam akan dianggap hilang dan pencarian tidak dilanjutkan lagi. Pengalaman ini sangat sering terjadi khususnya pada perairan Pulau Karang dan Nias Selatan. Waktu rata-rata pencarian bubu nelayan dapat dilihat pada Gambar 27.
104
Waktu rata‐rata (menit)
Bubu nelayan 79.3
80.0 60.0 38.3
47,7
Pulau Mursala
Pulau Pini
40.0
56,2
20.0 0.0 Pulau Nias Pulau Karang
Daerah Pengoperasian
Gambar 27 Waktu rata-rata pencarian bubu nelayan Dengan melihat hasil perhitungan waktu rata-rata pencarian bubu nelayan, dapat diperkirakan ada beberapa faktor alam yang mempengaruhi waktu pencarian bubu. Adapun faktor tersebut antara lain: 1)
Kedalaman perairan, pengoperasian bubu di laut yang semakin dalam akan mempersulit daya gerak gancu dalam menemukan tali ris. Disamping sulitnya menemukan tali ris, gerakan arus di dasar perairan sering mempersulit tekong dalam membedakan gancu yang telah terkait dengan arus dasar yang kuat.
2)
Posisi perairan terhadap samudera, perairan yang terbuka merupakan perairan yang memiliki arus dasar lebih kuat, sehingga bubu akan bergeser mengikuti arah gerak arus.
3)
Topografi dasar perairan, jenis substrat yang disenangi oleh ikan target merupakan jenis substrat berlumpur. Penempatan bubu di sekitar karang akan membantu menahan gerak bubu saat dibawa oleh arus.
5.2.4 Dampak pengoperasian bubu nelayan Hasil pengamatan pengoperasian bubu nelayan terlihat saat bubu telah berhasil ditarik dari dasar perairan. Pada umumnya bubu nelayan yang tersangkut pada karang akan terlihat dari rusaknya selimut bubu dan ditemukannya beberapa bunga karang yang terkait pada bubu. Disamping kerusakan yang ditimbulkan terhadap ekosistem, bubu yang tersangkut pada karang menyebabkan kerugian
105 pada nelayan karena alat tersebut tidak dapat digunakan kembali dan ikan yang tertangkap sebagian ada yang lepas. Kerusakan yang terjadi pada ekosistem karang di pantai Barat Sumatera khususnya daerah Kepulauan Nias, Pini, Mursala dan Pulau Karang sebagian besar disebabkan oleh aktivitas manusia dan bukan hanya bubu. Hasil observasi dan melalui wawancara menyimpulkan ada beberapa faktor penyebab kerusakan ekosisitem terumbu karang akibat pengoperasian bubu, faktor-faktor tersebut dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21 Dampak pengoperasian bubu terhadap kerusakan karang No 1 2 3 4 5
5.3
Jenis kerusakan Patahan bunga karang
Faktor penyebab Terkait pada selimut alas bubu atau tali ris saat pengoperasian Terangkatnya terumbu dari dasar Ikut bersama bubu saat proses perairan penarikan Polusi dan pencemaran Ghost fishing Menurunnya sumberdaya ikan Ghost fishing dan upaya demersal penangkapan yang berlebihan Pecahnya terumbu karang Penggunaan alat bantu saat pencarian bubu Kinerja Teknis Bubu Modifikasi Untuk mencapai pengembangan kegiatan usaha perikanan demersal di
pantai Barat Sumatera, perbaikan terhadap bubu nelayan dari aspek teknis dan metode pengoperasian adalah solusi yang ditawarkan dari penelitian ini. Kinerja teknis bubu dimulai dengan mengukur massa penyusun bubu dan mengamati stabilitas gerak bubu modifikasi saat mendarat di dalam air. Pergeseran bubu saat masa perendaman merupakan salah satu penentu keberhasilan ditemukannya bubu kembali. Hasil perbaikan bubu nelayan diamati dari tingkat produktivitas hasil tangkapan yang dapat diperoleh oleh bubu modifikasi.
5.3.1 Stabilitas gerak bubu modifikasi Hasil perhitungan kecepatan gerak bubu modifikasi saat menyentuh dasar perairan pada kondisi arus normal adalah 0,34 m/dtk sedangkan bubu nelayan sebesar 0,22 m/dtk (Lampiran 4). Bubu yang diberikan pemberat cenderung bergerak secara vertikal dan tidak mengalami pergeseran yang signifikan dari titik
106 awal penjatuhan di atas kapal. Diameter rotan yang digunakan pada rangka bubu termodifikasi dibuat lebih kecil yaitu 0,2 cm dengan tujuan keseimbangan gerak bubu ditekankan pada bagian dasar yang telah diberi pemberat. Hasil analisis regresi hubungan waktu penjatuhan bubu modifikasi menuju dasar perairan dengan kedalaman air dapat dilihat pada Gambar 28.
80 y = 2.631x + 3.730 R² = 0.977
70 Waktu (detik)
60 50 40 30 20 10 0 0
5
10
15
20
25
30
Kedalaman (m)
Gambar 28 Analisis hubungan waktu penjatuhan bubu modifikasi dengan kedalaman perairan Untuk membantu nelayan agar bubu tidak jatuh terlalu jauh dari titik awal, percobaan ini melakukan pengukuran waktu yang diperlukan bubu sampai pada dasar perairan. Analisis regresi yang dilakukan menunjukkan nilai determinasi sebesar 97,31% dengan nilai korelasi 6,7110. Dengan adanya analisa gerak bubu saat penjatuhan maka nelayan dapat memperkirakan berapa lama bubu akan sampai di dasar perairan sehingga tidak terlalu jauh terbawa arus. Jika kecepatan jatuh bubu dihubungkan dengan kecepatan arus di dasar perairan, maka semakin cepat bubu menyentuh dasar perairan akan membantu nelayan menemukan kembali bubu saat hauling. Bubu yang dioperasikan nelayan berada pada kisaran kedalaman 30 sampai 70 meter, pada analisis regresi maka waktu yang dibutuhkan bubu untuk menyentuh dasar perairan pada gerakan arus normal adalah sebesar 204,23 detik atau sekitar 3,4 menit.
107 Gerak jatuh bubu nelayan yang digunakan sebagai perbandingan stabilitas gerak bubu modifikasi menunjukkan nilai kecepatan rata-rata 0,22 m/s. Nilai ini lebih redah dibandingkan dengan bubu modifikasi. Sebaran waktu penjatuhan bubu nelayan pada kedalaman tertentu dapat dilihat pada Gambar 29. 160.00 y = 5.084x ‐ 4.488 R² = 0.986
140.00 Waktu (detik)
120.00 100.00 80.00 60.00 40.00 20.00 0.00 0
5
10
15
20
25
30
Kedalaman (m)
Gambar 29 Analisis hubungan waktu penjatuhan bubu nelayan dengan kedalaman perairan Hasil analisis regresi dari dua jenis bubu memiliki persamaan dalam nilai korelasi dan determinasi. Kedua variabel tersebut sama-sama menunjukkan bahwa kedlaman perairan sangat berpengaruh nyata terhadap waktu yang dibutuhkan bubu menuju dasar perairan. Nilai determinasi pada bubu nelayan 98.60% sedangkan bubu modifikasi 98,67%. Nilai ini menujukkan bahwa pemberian pemberat pada bubu modifikasi tidak berpengaruh nyata terhadap pola arus tetapi memberikan pengaruh terhadap kecepatan jatuh bubu secara vertikal. Untuk menjaga posisi bubu agar bukaan mulut bubu tidak mengarah ke dasar laut, maka pada bagian atas selimut bubu modifikasi diberikan pelampung. Pemberian pelampung menjaga proses gerakan bubu dalam air tetap sama seperti saat dijatuhkan dari atas kapal. Perhatian nelayan pada teknis penjatuhan bubu di pantai Barat Sumatera selama ini hanya difokuskan pada penentuan fishing ground saja, sementara hilangnya bubu yang selama ini mereka jatuhkan dianggap sebagai proses alamiah akibat arus semata. Hasil pengamatan gerak bubu
108 modifikasi telah membuktikan bahwa penjatuhan bubu pada keempat stasiun secara keseluruhan dapat ditemukan kembali.
5.3.2 Operasi penangkapan ikan dengan bubu modifikasi Pengoperasian bubu modifikasi secara umum memiliki prosedur penjatuhan dan pencarian yang hampir sama dengan bubu modifikasi. Perbedaan pengoperasian bubu modifikasi terletak pada perlengkapan bubu dan tali ris (main line) saat penjatuhan bubu. 1)
Penjatuhan bubu modifikasi Evaluasi peningkatan kerja bubu modifikasi saat proses penjatuhan diukur
dari gerak bubu saat dijatuhkan. Variabel lain yang diukur adalah bagaimana arus mempengaruhi kedudukan bubu di dasar perairan. Secara umum dari keempat wilayah pengoperasian bubu, titik peletakan bubu modifikasi tidak jauh dari pengambilan titik bubu nelayan (Lampiran 5). Hasil pengamatan titik koordinat penjatuhan bubu pada Pulau Mursala sebagian besar tetap berada pada koordinat saat dijatuhkan. Karakteristik perairan yang tertutup dari laut terbuka, menjadikan perairan lokasi penjatuhan bubu relatif stabil dari arus. Titik koordinat penjatuhan bubu dan pergeseran kedudukan bubu berdasarkan daerah pengoperasian dapat dilihat pada Tabel 22 sampai Tabel 25. Tabel 22
Posisi titik 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Rata-rata
Jarak antara posisi penjatuhan dan pengangkatan bubu modifikasi di Pulau Mursala Selisih bujur (m)
Selisih lintang (m) 5 2 2 2 7 6 4 6 6
Perubahan pergeseran (m) 4 5 5 10 3 4 8 8 1
6 5 5 10 7 7 9 10 6 7,25
109 Pergeseran bubu pada perairan Pulau Mursala sudah lebih rendah dibandingkan dengan bubu nelayan. Bubu yang ditempatkan pada bagia selatan Pulau Mursala lebih terlindung dari gerak arus akibat pasang surut dan angin yang ditimbulkan oleh perbedaan suhu permukaan laut. Nilai pergeseran rata-rata bubu modifikasi di Pulau Mursala adalah 7,25 meter. Pola pergeseran seperti ini semakin memudahkan nelayan dalam menemukan kembali bubu yang telah dijatuhkan. Karakteristik perairan Pulau Pini seperti yang dijelaskan sebelumnya merupakan perairan yang memiliki ekosistem karang yang masih baik. Pola penyebaran karang yang tinggi menyebabkan perairan ini memiliki topografi curam. Pengambilan titik koordinat pengoperasian bubu di Pulau Pini dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23 Jarak antara posisi penjatuhan dan pengangkatan bubu modifikasi di Pulau Pini Posisi titik 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Rata-rata
Selisih bujur (m) Selisih lintang (m) 10 5 7 6 3 10 8 5 5 7 7 8 2 6 6 9 11 3
Perubahan pergeseran (m) 11 9 11 9 8 11 7 10 12 9,77
Nilai pergeseran bubu modifikasi setelah dijatuhkan pada perairan Pulau Pini terjauh adalah 12 meter, sedangkan pergeseran terdekat adalah 7 meter. Jarak rata- rata pergeseran bubu di Pulau Pini adalah 9,77 meter, nilai ini lebih besar jika dibandingkan dengan Pulau Mursala. Pergerakan arus di perairan Pulau Pini dapat disebabkan oleh gerakam massa air dari pasang surut, angin dan upwelling. Hal ini dapat terjadi karena perairan Pini lebih mendekati Samudera Hindia dibandingkan Mursala.
110 Hasil perekaman titik koordinat dari peletakan bubu modifikasi di Perairan Pulau Nias menunjukkan pergeseran yang tidak terlalu jauh. Dampak dari pergeseran yang relatif dekat ini, telah memudahkan proses pencarian bubu pada perairan Pulau Nias. Data koordinat peletakan bubu modifikasi di perairan Pulau Nias selama berlangsungnya penelitian dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24 Jarak antara posisi penjatuhan dan pengangkatan bubu modifikasi di Pulau Nias Posisi titik 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Rata-rata
Selisih bujur (m) Selisih lintang (m) 6 8 8 7 9 4 9 3 7
9 9 4 9 4 9 3 16 6
Perubahan pergeseran (m) 11 12 9 11 10 9 10 17 9 10,93
Hasil perhitungan nilai rata-rata pergeseran bubu di perairan Pulau Nias sebesar 10,93 meter menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan bubu nelayan. Bubu nelayan mengalami pergeseran rata-rata sejauh 138,89 meter dimungkinkan karena dua faktor yaitu lama perendaman dan proses penjatuhan. Perairan terbuka sebagai daerah penjatuhan bubu modifikasi hampir sama dengan penjatuhan bubu nelayan, akan tetapi kedalaman perairan yang mencapai 70 meter membuat pemberat mampu membantu gerak jatuh bubu modifikasi. Pergerakan arus pada perairan ini hampir sama dengan karakteristik arus pada perairan Pulau Pini. Gerakan massa air menuju daratan akibat pasang surut adalah salah satu faktor utama pergeseran bubu di perairan Nias. Data perekaman titik koordinat penjatuhan bubu modifikasi pada perairan Pulau Karang menunjukkan nilai pergeseran yang relatif lebih besar dari ketiga perairan lain. Pergeseran titik terjauh pada Lintang Utara sebesar 18 meter, sedangkan pada bujur Timur 14,92 meter. Pergeseran titik terendah pada Lintang Utara sebesar 5,15 meter sedangkan pada Bujur Timur sebesar 3,09 meter. Data
111 pergeseran titik penjatuhan bubu modifikasi pada daerah perairan Pulau Karang dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25 Jarak antara posisi penjatuhan dan pengangkatan bubu modifikasi di Pulau Karang Posisi titik
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Selisih bujur (m)
Selisih lintang (m)
5 12 14 11 19 10 6 9 9
Rata-rata
Perubahan pergeseran (m) 5 4 15 15 8 11 11 3 6
7 13 20 19 20 15 12 10 11 14,13
Pergerakan bubu pada perairan Pulau Karang yang terjauh berada pada sekitar 20 meter. Untuk nilai rata-rata pergeseran bubu di Pulau Karang diperoleh sebesar 14,13 meter. Nilai ini relatif lebih besar jika dibandingkan dengan daerah pengoperasian Pulau Mursala, Pini dan Nias. Secara umum nilai pergeseran titik operasi bubu modifikasi perairan Pulau Karang sudah lebih baik jika dibandingkan dengan pergeseran bubu modifikasi di sekitar perairan yang sama. Faktor internal yang mempengaruhi semakin rendahnya pergeseran bubu modifikasi di keempat daerah penjatuhan bubu adalah pemasangan pemberat pada alas bubu modifikasi. Gerak jatuh yang lebih cepat membantu bubu untuk berada pada posisi yang relatif lebih stabil. Faktor eksternal yang mempengaruhi pola pergeseran bubu modifikasi adalah sistem perendaman bubu yang lebih singkat. Dengan melakukan perendaman yang lebih singkat maka pergeseran bubu akibat gerakan massa air akan dapat dikurangi. Untuk membandingkan pergeseran titik penempatan bubu modifikasi, dapat kita lihat pada Gambar 30. Grafik pergeseran titik penempatan bubu modifikasi pada daerah pengoperasian yang telah ditentukan sebelumnya, dapat menjelaskan perbedaan untuk setiap pulau. Pada grafik dapat dilihat bagaimana pola pergeseran bubu modifikasi di pantai Barat Sumatera jika dibandingkan dengan
112 bubu nelayan nelayan. Pemberian modifikasi pada bubu kawat telah membantu
Rata‐rata Pergeseran Bubu Modifikasi (m)
mengurangi pergeseran bubu di dasar perairan.
18 16
14.13
14 12 10 8
9.77
10.93
7.25
6 4 2 0 Pulau Mursala
Pulau Pini
Pulau Nias
Pulau Karang
Daerah Penangkapan Ikan
Gambar 30 Grafik rata-rata dan standar error perbandingan pergeseran bubu modifikasi Perbedaan daerah pengoperasian bubu modifikasi memberikan pengaruh yang nyata terhadap pergeseran bubu di dasar perairan (Gambar 30). Nilai standar error pada pergeseran ini relatif lebih kecil dari bubu nelayan yaitu 7,25 sampai 14,13. Nilai standar error ini menunjukkan bahwa jarak antara nilai satu unit pergeseran bubu semakin rendah terhadap nilai tengahnya. 2)
Pencarian bubu modifikasi Hasil perhitungan waktu pencarian bubu modifikasi untuk empat daerah
pengoperasian yang telah dilakukan di pantai Barat Sumatera menunjukkan nilai yang berbeda (Lampiran 3). Hasil pengukuran waktu pencarian bubu cukup beragam, namun berdasarkan wilayah perairan Pulau Mursala memiliki keragaman waktu yang paling rendah. Keragaman waktu pencarian bubu yang paling tinggi ditemukan pada perairan Pulau Pini. Hasil pengukuran waktu pencarian bubu modifikasi setelah proses perendaman dapat dilihat pada Gambar 31.
Lama Pencarian Bubu (menit)
113
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 Pulau Mursala
Pulau Pini
Pulau Nias
Pulau Karang
Daerah Pengoperasian Waktu Pencarian Minimum (menit)
Waktu Pencarian Maksimum (menit)
Gambar 31 Waktu pencarian bubu modifikasi berdasarkan daerah pengoperasian Perhitungan waktu rata-rata yang dibutuhkan dalam mencari satu unit bubu modifikasi, dilakukan dengan pengulangan pada 9 titik di setiap perairan. Dari hasil pengolahan data waktu pencarian bubu modifikasi diperoleh rata-rata waktu tercepat pencarian berada pada lokasi Pulau Mursala yaitu 19,8 menit.
Bubu Modifikasi Waktu rata‐rata(menit)
40.0 33.0 28.4
30.0 20.0
23.8 19.8
10.0 0.0 Pulau Mursala
Pulau Pini
Pulau Nias
Pulau Karang
Daerah pengoperasian
Gambar 32 Waktu rata-rata pencarian bubu modifikasi Grafik waktu rata-rata pencarian bubu modifikasi berdasarkan daerah pengoperasiannya memberikan perbedaan satu sama lain seperti yang ditunjukkan pada Gambar 32. Untuk Pulau Pini, waktu rata-rata pencarian bubu modifikasi
114 membutuhkan 23,8 menit. Waktu ini lebih cepat jika dibandingkan dengan pencarian bubu modifikasi di Pulau Karang dan Pulau Nias. Proses pengangkatan bubu dimulai dengan pencarian titik koordinat lokasi bubu yang tersimpan pada echosunder garmin 178 C. Bubu yang diletakkan pada koordinat tertentu akan dicari kembali dengan memperhatikan arah kapal saat proses penjatuhan. Bila posisi kapal menghadap Utara-Selatan maka proses pencarian bubu harus menggunakan arah Timur-Barat. Penggunaan arah ini adalah salah satu teknik nelayan mempermudah menemukan tali ris bubu yang digunakan sebagai penghubung bubu. Proses pengangkatan bubu dari dasar perairan setelah dilakukannya perendaman sangat terkait dengan pergeseran titik penempatan. Pergeseran bubu yang semakin jauh akan mempengaruhi waktu pencarian bubu saat hauling. Dari hasil pergeseran yang telah dipaparkan sebelumnya, terlihat Pulau Mursala yang memiliki pergeseran paling rendah memerlukan waktu yang paling sedikit untuk mengangkat bubu. Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa penempatan bubu yang baik akan memperngaruhi efektivitas pengoperasian. Semakin baik kedudukan bubu di dasar perairan akan mempercepat proses pencarian bubu tersebut. Kesimpulan yang dapat diberikan dari waktu pencarian bubu membuktikan bahwa proses setting akan mempengaruhi kegiatan hauling. Proses pengangkatan bubu yang menghasilkan angka 100% menjadi peluang nelayan Sibolga untuk mengembangkan metode pengoperasian bubu modifikasi di pantai Barat Sumatera. Bubu kawat nelayan Sibolga pada daerah perairan Pulau Karang sebaiknya mendapatkan perhatian khususnya dalam posisi penempatannya. Pulau karang merupakan daerah sekitar garis pantai pulau Sumatera yang tidak dilindungi oleh pulau besar, pengoperasian bubu saat arus kencang dapat menyebabkan terjadinya resiko kehilangan bubu.
5.3.3 Perbandingan konstruksi dan pengoperasian bubu modifikasi dengan bubu nelayan Perbandingan bubu modifikasi dan nelayan pada prinsipnya tidak jauh berbeda. Perubahan diameter rangka pada alas menjadi lebih besar ditujukan untuk menahan massa pemberat agar konstruksi tidak mudah rusak. Untuk diameter selimut, bubu nelayan dan modifikasi dinyatakan sama, tetapi selimut
115 atas pada bubu modifikasi dilengkapi pelampung. Secara umum perbandingan antara bubu modifikasi dengan bubu nelayan dapat dilihat pada Tabel 26. Perubahan bubu modifikasi dari milik nelayan pada dasarnya ditujukan untuk tiga hal yaitu; 1) perbaikan teknik operasi; 2) peningkatan nilai produksi; dan 3) peningkatan nilai efisiensi. Ketiga tujuan pokok perubahan bubu nelayan diukur dari nilai hasil tangkapan dan umur teknis yang dihasilkan bubu modifikasi. Tabel 26 Perbandingan bubu nelayan dan bubu modifikasi No Parameter 1 Teknik Operasi: Perendaman Penjatuhan bubu Pelampung main line 2 Waktu pencarian bubu Minimum Maksimum 3 Umur teknis bubu Minimum Maksimum
Bubu nelayan
Bubu modifikasi
7 - 10 hari Sistem rawai Tidak ada
4 hari Sistem rawai Ada
20 menit 120 menit
10 menit 45 menit
5 trip 6 trip
8 trip 12 trip
Perbedaan antara konstruksi bubu nelayan dan bubu modifikasi terletak pada pelengkap tali ris dan selimut bubu. Pemberian pemberat dan pelampung dilakukan untuk menjaga stabilitas gerak bubu saat akan menyentuh dasar perairan. Resultan gaya akibat arus horizontal dikurangi dengan mempercepat daya gerak bubu modifikasi yang diberi massa 2,75 kg pada setiap sudut. Perbedaan waktu perendaman bubu antara bubu nelayan dengan bubu modifikasi juga mempengaruhi metode pengoperasian dua jenis bubu tersebut. Perbedaan waktu perendaman antara kedua bubu tersebut berimplikasi terhadap jumlah operasi selama umur teknis bubu. Bubu modifikasi memiliki jumlah operasi yang lebih banyak karena lama perendaman bubu yang tidak terlalu lama. Jumlah operasi bubu modifikasi dapat meningkat dua kali lipat dari bubu nelayan yaitu 8 sampai 12 trip selama umur teknis bubu. Hasil lain yang terlihat menonjol antara bubu nelayan dengan bubu modifikasi adalah waktu pencarian bubu saat hauling. Waktu pencarian bubu
116 nelayan berkisar 20 sampai 120 menit, sedangkan bubu modifikasi memiliki waktu pencarian selama 10 sampai 45 menit. Hal ini disebabkan bubu nelayan lebih mudah bergeser terkena arus laut, berbeda dengan bubu modifikasi yang lebih stabil karena diberi pemberat. Selain itu akibat lamanya perendaman, alga yang menempel pada bubu nelayan lebih banyak sehingga menyebabkan bubu lebih berat saat diangkat dan menimbulkan kerusakan di banyak sisi. Perbedaan waktu pencarian bubu ini juga dipengaruhi oleh lamanya perendaman bubu. Bubu nelayan yang direndam dalam waktu lebih lama telah memberikan peluang pergeseran akibat kegiatan alam yang terjadi di dasar perairan. Fenomena alam yang mungkin menggeser kedudukan bubu adalah arus akibat pasang surut, arus akibat turbulensi, arus akibat lapisan termohalin dan akibat upwelling.
5.4
Produktivitas Bubu Hasil tangkapan bubu secara umum menemukan jenis dan komposisi
tangkapan yang relatif sama. Sebanyak dua puluh enam spesies ditemukan pada keempat daerah pengoperasian bubu (Lampiran 6). Hasil tangkapan ini didominasi oleh 4 (empat) famil ikan karang antara lain: Serranidae (kerapu), Lutjanidae (kakap merah), Centroponidae (kakap putih) dan Carangidae (kuwe). Ikan ini merupakan kelompok ikan target utama untuk ekspor dalam usaha penangkapan dengan bubu. 5.4.1 Komposisi jenis dan jumlah hasil tangkapan Data perhitungan jumlah individu ikan yang tertangkap pada keempat daerah pengoperasian bubu menunjukkan target utama untuk ekspor mendominasi jumlah hasil tangkapan. Jumlah target utama untuk ekspor tertinggi diperoleh pada daerah pengoperasian Pulau Pini dengan nilai 1049 ekor, nilai ini merupakan hasil tangkapan dari bubu modifikasi. Jumlah individu tertinggi pada bubu nelayan juga diperoleh dari daerah pengoperasian Pulau Pini dengan nilai 1042 ekor. Sebaran data individu ikan target utama untuk ekspor, target utama pasar lokal dan hasil sampingan dapat dilihat pada Gambar 33. Jumlah total individu ikan yang tertangkap berdasarkan jenis bubu terendah diperoleh pada perairan Pulau Karang. Bubu modifikasi pada Pulau Karang
117 memperolleh hasil tanngkapan tarrget utama untuk eksppor untuk eekspor 227 ekor, sedangkann bubu nelaayan 301 ekor. e Nilai jumlah inddividu ikann demersal pada Pulau Karrang menunnjukkan bahhwa pengoperasian buubu di daerrah ini mem miliki
Jumlah Jenis Hasil Tangkapan (ekor)
produktiviitas yang cuukup rendahh dibandingk kan dengann perairan laainnya.
1500 1000 500 0 BM
BN
BM
BN N
P. PINI
P. MURSALA
BM
B BN
BM
P. NIASS
BN
P. KARANG
Perbandingan Je P enis Bubu pada 4 DPI HTUE HTU UL HTS
G Gambar 33 Grafik sebaaran jumlah individu ikkan yang terrtangkap Perbbandingan
produktiviitas
jumlaah
individdu
pada
hasil
mping sam
menunjukkkan nilai yang lebih besar padaa bubu moddifikasi (Gaambar 33). Pada perairan Pulau P Murssala by caccth yang tertangkap t 173 ekor ssedangkan bubu nelayan 1558 ekor. Jennis ikan hassil samping yang tertanngkap pada bubu modifikasi didominassi dari ikann butana garis. g Ikan ini merupaakan jenis ikan hias yang memiliki ukuran tubbuh maksim mal relatif kecil k dan biasanya b baanyak tingg gal di s pada bubu nelayan didom minasi oleh jenis sekitar aneemon laut. Ikan hasil samping trigger fiish yang memiliki m u ukuran men nyerupai ikkan napoleon dan baanyak ditemukann pada sekittar karang keras. k Prodduktivitas hasil h tangkaapan keduaa jenis bubuu ini, makaa menurut FAO (1995) alat tangkap bubu massih memerllukan perbaikan. CCR RF menekaankan pendekataan biologi pada p pengem mbangan alat tangkapp ramah linggkungan deengan kriteria memperkecil m l spesies haasil tangkap pan. Metodee pengoperaasian bubu yang menggunaakan perenddaman cukuup lama bissa menjadi penyebab ttingginya ju umlah individu by b catch padda bubu di pantai Baraat Sumateraa. Metode perendaman bubu di daerah lain pada umumnya u h hanya meng ggunakan peerendaman maksimal 3 hari seperti yanng dikembaangkan olehh masyarakaat Kupang.
118 Nilai perssentase hasiil tangkapaan jumlah individu pada kedua jenis bubu, bubuu nelayan memiliki m perrsentase jum mlah individ du tertinggi dengan nilai 69,03%. Perseentase yangg tertinggi pada p bubu modifikasi ditemukann pada peraairan Pulau Karaang dengann nilai 66,337%. Perbaandingan sebaran s datta persentaase jumlah indivvidu ikan yaang tertangkap pada kedua k jenis bubu dapatt dilihat padda Gambar
P. KARANG P. NIAS P. PINI P. MURSALA
Perbandingan Jenis Bubu pada 4 DPI g p
34.
53.6 65%
BN
27.81%
663.45%
BM
21.35% %
61 1.11%
BN
23.02% %
6 63.07%
BM
23.99 9%
69.03%
BN
200.58%
72.74%
BM
21.30% %
6 64.13%
BM
0%
20%
40%
15.20% 15.88% 12.94% 10.39%
1 18.17% 9.09%
61.62%
BN
18.54%
21.97 7% 60%
8 80%
17.08% 13.90% 100% %
Presentasse Jumlah pada JJenis Hasil Tangkkapan HTUEE HTUL HTSS
Gaambar 34 Perbandingann persentasee jumlah haasil tangkapan kedua jeenis bubu Berdasarkkan perbanddingan prooduktivitas menangkapp ikan tarrget utama untukk ekspor, empat daeerah penanngkapan ik kan menunjjukkan kinnerja bubu modiifikasi lebiih baik darripada bubbu nelayan. Bubu moodifikasi m memperoleh jumlah hasil tanngkapan tarrget utama untuk eksp por tertinggii pada peraairan Pulau Pini dengan nilaai 72%. Prooduktivitas bubu ikan target b nelayan dalam menangkap m utam ma untuk eksspor memperoleh nilaii sebesar 70 0% juga diteemukan padda perairan Pulauu Pini. Hasil tangkapaan sampingaan by-catch tertinggi diperoleh d daari perairan Pulauu Karang deengan nilai sebesar 20% % Secara ekkologi, hasill penelitian penangkap pan individuu ikan di paantai Barat Sumatera menuunjukkan baahwa ekosisstem yang masih baikk akan mem mpengaruhi hasill tangkapann ikan demeersal di daeerah tersebu ut. Pulau karang k yangg memiliki produuktivitas paling rendaah di antarra daerah lainnya l tidaak memilikki gugusan karanng yang cukkup besar seebagai daeraah persembu unyian ikann karang.
119
18
Rata‐rata Jumlah Ikan (ekor)
16 14 12 10 8 6 4 2 0 Jenaha
Kakap Bakau
Gorara
Kakap Merah
Kakap Putih
Kerapu Kerapu Kerapu Kerapu Kerapu Kerapu sunu lumpur macan merah Minyak putih
Kuwe
Nama Ikan Bubu Modifikasi
Bubu Nelayan
(a) Hasil tangkapan utama untuk ekspor 8
Rata‐rata Jumlah Ikan
7 6 5 4 3 2 1 0 Ayam ayam
Baronang
Bayeman
Ekor Kuning
Kurisi Merah
Pari
Nama Ikan Bubu Modifikasi
Bubu Nelayan
(b) Hasil tangkapan utama untuk lokal 8
Rata‐rata Jumlah Ikan (ekor)
7 6 5 4 3 2 1 0 Butana Garis
Gabus Laut
Ikan Giro Pasir
Jabung
Kepe kepe
Lencam
Nama Ikan Bubu Modifikasi
Bubu Nelayan
(c) Hasil tangkapan sampingan Gambar 35 Rata-rata jumlah individu ikan berdasarkan jenis hasil tangkapan di Pulau Mursala (a) hasil tangkapan utama untuk ekspor, (b) hasil tangkapan utama untuk lokal, (c) hasil tangkapan sampingan
120 Sebaran data jumlah ikan target utama untuk ekspor, target utama pasar lokal dan hasil samping pada perairan Pulau Mursala dapat dilihat pada Gambar 35. Jumlah individu hasil tangkapan bubu modifikasi dan nelayan pada perairan Pulau Mursala didominasi jenis ikan kakap putih (lates calcarifer) dan kerapu macan (Epinepheluts fuscoguttus). Pada bubu nelayan sebaran rata-rata jumlah individu ikan kakap putih memiliki nilai 15 ekor/trip, sedangkan jenis ikan kerapu macan sebesar 13 ekor/trip. Pada bubu modifikasi jumlah individu ikan yang tertinggi berasal dari jenis kerapu macan dengan nilai 10 ekor/trip. Sebaran data penangkapan individu ikan di perairan Pulau Mursala sebagian besar sama dengan daerah penangkapan lain. Produktivitas kedua jenis bubu menangkap ikan target utama pasar lokal memiliki persentase yang cukup berbeda. Pada bubu nelayan, ikan target utama pasar lokal yang tertinggi diperoleh dari jenis ikan ayam-ayam, sedeangkan pada bubu modifikasi ikan target utama pasar lokal paling tinggi berasal dari jenis bayeman (cheilinux undulates). Ikan ayam-ayam (Naso brevisrostris) merupakan ikan dasar yang memiliki pola berenang secara bergerombol. Bila ikan ini tertangkap pada suatu alat tangkap, biasanya akan memiliki jumlah yang cukup besar. Bubu nelayan yang memiliki perendaman lebih lama, memungkinkan ikan dari famili Acanthunidae dapat masuk dan berlingung dalam bubu. Hasil samping pada kedua jenis bubu didominasi oleh jenis ikan butana garis (Acanthurus nubilus). Jumlah hasil tangkapan pada bubu modifikasi rata-rata 6 ekor/trip, sedangkan pada bubu modifikasi 12 ekor/trip. Persentase sebaran hasil tangkapan pada perairan Pulau Pini merupakan hasil yang paling tinggi, jika dibandingkan dengan daerah pengoperasian bubu lainnya. Jenis ikan target utama pada bubu modifikasi didominasi ikan kerapu macan (Epinepheluts fuscoguttus), sedangkan pada bubu nelayan didominasi oleh ikan kakap putih (lates calcarites). Untuk target utama pasar lokal, jenis ikan yang mendominasi hasil tangkapan bubu nelayan berasal adalah ikan ayam-ayam (Naso brevisrostris), sedangkan pada bubu modifikasi didominasi ikan bayeman (Scarus quoyi). Sebaran data jumlah ikan yang tertangkap pada Pulau Pini dapat dilihat pada Gambar 36.
121
40
Rata‐rata Jumlah Ikan (ekor)
35 30 25 20 15 10 5 0 Jenaha
Kakap Bakau
Gorara
Kakap Merah
Kakap Putih
Kerapu Kerapu Kerapu Kerapu Kerapu Kerapu sunu lumpur macan merah Minyak putih
Kuwe
Nama Ikan Bubu Modifikasi
Bubu Nelayan
(a) Hasil tangkapan utama untuk ekspor
Rata‐rata Jumlah Ikan (ekor)
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 Ayam ayam
Baronang
Bayeman
Ekor Kuning
Kurisi Merah
Pari
Nama Ikan Bubu Modifikasi
Bubu Nelayan
(b) Hasil tangkapan utama untuk lokal
Rata‐rata Jumlah Ikan (ekor)
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 Butana Garis
Gabus Laut
Ikan Giro Pasir
Jabung
Kepe kepe
Lencam
Nama Ikan Bubu Modifikasi
Bubu Nelayan
(c) Hasil tangkapan sampingan Gambar 36 Rata-rata jumlah individu ikan berdasarkan jenis hasil tangkapan di Pulau Pini (a) hasil tangkapan utama untuk ekspor, (b) hasil tangkapan utama untuk lokal, (c) hasil tangkapan sampingan
122 Perbandingan produktivitas kedua jenis bubu dalam menangkap by-catch dapat dilihat dari jenis dan jumlah ikan yang tertangkap. Pada perairan Pulau Pini bubu modifikasi memiliki hasil samping yang paling dominan dari jenis ikan butana garis (Acanthurus nubilus), hal yang sama juga diperoleh pada bubu nelayan. Sebaran data hasil tangkapan ikan di Perairan Pulau Pini menunjukkan daerah tersebut sangat potensial sebagai daerah penangkapan ikan demersal. Bubu modifikasi dominan menangkap kerapu macan, sedangkan bubu nelayan dominan menangkap ikan kakap putih. Secara ekonomi produktivitas bubu modifikasi lebih baik daripada bubu nelayan karena nilai jual ikan kerapu macan lebih baik dari kakap putih. Jumlah individu ikan kerapu macan pada bubu modifikasi sebesar 31 ekor/trip sedangkan kakap putih pada bubu nelayan 29 ekor/trip. Rata-rata bobot tangkapan bubu modifikasi kerapu macan di Pulau Pini adalah 41,11 kg, sedangkan bubu nelayan menangkap kakap putih sebesar 35,00kg. Jumlah ikan target utama untuk ekspor yang tertangkap pada perairan Pulau Pini baik pada bubu modifikasi dan nelayan telah melewati ukuran ekonomis untuk ekspor yaitu 1 kg untuk kerapu dan 0,6 kg untuk kakap putih. Dengan melihat produktivitas bubu dalam menangkap ikan target utama untuk ekspor pada perairan Pulau Pini, nelayan dapat mengembangkan usaha bubu dengan memperbaiki metode yang ada saat ini. Produktivitas bubu dalam menangkap jumlah individu hasil samping masih tergolong tinggi. Ikan butana garis (Acanthurus nubilus) dari famili Acanthuridae dapat dijadikan indikator dalam mengukur kinerja kedua jenis bubu. Hasil tangkapan jumlah individu ikan pada perairan Pulau Nias memiliki sebaran yang relatif sama dengan perairan Pulau Pini. Perairan
Pulau Nias
merupakan daerah yang paling mendekati perairan lepas dan memiliki kedalaman perairan yang paling tinggi diantara ketiga daerah pengoperasian bubu lainnnya. Penyebaran hasil tangkapan utama berdasarkan jumlah individu ikan didominasi oleh kerapu merah (Epinepheluts fuscoguttus) dan kakap putih (lates calcarites). Secara umum sebaran data jumlah hasil tangkapan ikan berdasarkan jenis di perairan Pulau Nias dapat dilihat pada Gambar 37.
123
Rata‐rata Jumlah Ikan (ekor)
25
20
15
10
5
0 Jenaha
Kakap Bakau
Gorara
Kakap Merah
Kakap Kerapu Kerapu Kerapu Kerapu Kerapu Kerapu Putih sunu lumpur macan merah Minyak putih
Kuwe
Nama Ikan Bubu Modifikasi
Bubu Nelayan
(a) Hasil tangkapan utama untuk ekspor 10
Rata‐rata Jumlah Ikan (ekor)
9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 Ayam ayam
Baronang
Bayeman
Ekor Kuning
Kurisi Merah
Pari
Nama Ikan Bubu Modifikasi
Bubu Nelayan
(b) Hasil tangkapan utama untuk lokal 10
Rata‐rata Jumlah Ikan (ekor)
9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 Butana Garis
Gabus Laut
Ikan Giro Pasir
Jabung
Kepe kepe
Lencam
Nama Ikan Bubu Modifikasi
Bubu Nelayan
(c) Hasil tangkapan sampingan (d) Gambar 37 Rata-rata jumlah individu ikan berdasarkan jenis hasil tangkapan di Pulau Nias (a) hasil tangkapan utama untuk ekspor, (b) hasil tangkapan utama untuk lokal, (c) hasil tangkapan sampingan
124 Ikan target utama pasar lokal berdasarkan jumlah individu, pada bubu modifikasi dan nelayan sama-sama didominasi oleh jenis ikan bayeman (Scarus quoyi). Pada ikan yang menjadi hasil samping bubu modifikasi, jumlah individu yang memiliki ukuran paling tinggi adalah ikan butana garis (Acanthurus nubilus). Nilai rata-rata maksimum hasil tangkapan jumlah ikan bubu nelayan di Pulau Nias adalah 16 ekor/trip, sedangkan bubu modifikasi 20 ekor/trip. Dilihat dari nilai rata-rata hasil tangkapan, bubu yang dioperasikan, bubu modifikasi memperoleh ikan yang memiliki nilai ekonomis lebih baik dari bubu nelayan. Ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) merupakan ikan yang mendominasi hasil tangkapan bubu modifikasi memiliki nilai jual yang lebih baik dari kakap putih. Ikan bayeman yang tertangkap pada kedua jenis bubu adalah ikan yang mendominasi hasil tangkapan kedua. Ikan ini pada umumnya tertangkap dalam ukuran yang besar relatif besar (> 1kg). Tingginya hasil tangkapan sampingan pada bubu yang dioperasikan pada perairan Pulau Nias dimungkinkan karena proses perendaman bubu yang cukup lama. Ikan demersal yang menjadi hasil sampingan pada perairan Pulau Nias didominasi spesies butana garis (Acanthurus nubilus). Butana garis merupakan jenis kelompok ikan yang memiliki habitat di sekitar anemon laut dan berenang secara berkelompok. Data penangkapan ikan di Pulau Nias memperoleh spesies ikan Triger sp atau Jabung yang rendah. Jabung merupakan ikan karang yang memiliki gigi yang sangat tajam dan sifat predator terhadap sesama ikan demersal. Tertangkapnya ikan ini dalam bubu akan mengurangi produktivitas bubu terhadap jumlah ikan target terutama yang masih berukuran kecil. Jumlah hasil tangkapan individu ikan oleh bubu nelayan pada perairan Pulau Karang menunjukkan nilai yang lebih besar dibandingkan dengan bubu modifikasi. Produktivitas sebaran jumlah individu ikan pada perairan Pulau Karang yang tertinggi ditemukan pada spesies kakap putih (Lates calcarites) dengan bobot 9 kg/trip dengan alat tangkap bubu nelayan. Bubu modifikasi memperoleh hasil tangkapan tertinggi pada jenis kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) sebesar 6 kg/trip. Data sebaran jumlah individu hasil tangkapan bubu di perairan Pulau Karang dapat dilihat pada Gambar 38.
125
10
Rata‐rata Jumlah Ikan (ekor)
9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 Jenaha
Kakap Bakau
Gorara
Kakap Merah
Kakap Putih
Kerapu Kerapu Kerapu Kerapu Kerapu Kerapu sunu lumpur macan merah Minyak putih
Kuwe
Nama Ikan Bubu Modifikasi
Bubu Nelayan
(a) Hasil tangkapan utama untuk ekspor
Rata‐rata Jumlah Ikan (ekor)
5 4 3 2 1 0 Ayam ayam
Baronang
Bayeman
Ekor Kuning
Kurisi Merah
Pari
Nama Ikan Bubu Modifikasi
Bubu Nelayan
(b) Hasil tangkapan utama untuk lokal
Rata‐rata Jumlah Ikan (ekor)
4
3
2
1
0 Butana Garis
Gabus Laut
Ikan Giro Pasir
Jabung
Kepe kepe
Lencam
Nama Ikan Bubu Modifikasi
Bubu Nelayan
(c) Hasil tangkapan sampingan Gambar 38 Rata-rata jumlah individu ikan berdasarkan jenis hasil tangkapan di Pulau Karang (a) hasil tangkapan utama untuk ekspor, (b) hasil tangkapan utama untuk lokal, (c) hasil tangkapan sampingan
126 Secara keseluruhan jumlah spesies ikan yang tertangkap pada bubu konvensial dan bubu modifikasi ada 26 jenis (Lampiran 2). Hasil tangkapan bubu secara umum dalam sembilan kali trip penangkapan didominasi oleh 17 spesies. Kelompok famili utama terdiri dari yaitu Serranidae, Lutjanidae, dan Carangidae. Kelompok target utama untuk ekspor terdiri dari 11 spesies yaitu ikan kerapu macan, kerapu merah, kerapu belang, kerapu lumpur, kakap putih, kakap kuning, kakap merah, lencam, kuwe dan jenaha, sedangkan kelompok target utama pasar lokal yaitu baronang, bayeman, ayam-ayam, pari, ekor kuning dan kurisi. Untuk ikan hasil sampingan terdiri dari 5 spesies yaitu jabung, butana garis, kaci, gabus laut dan platax. Berdasarkan persentase keragaman hasil tangkapan, ikan kerapu lumpur mendominasi jumlah hasil tangkapan selama penelitian dengan nilai 31,95%. Data ini menunjukkan bahwa operasional bubu yang dilakukan di pantai Barat Sumatera sesuai dengan target ikan yang menjadi sasaran. Jenis ikan yang persentasenya lebih kecil terdapat pada spesies ikan kuwe dengan nilai 4,90%. Sebaran data ikan hasil tangkapan pada bubu modifikasi dan nelayan menunjukkan nilai yang tidak terlalu jauh berbeda. Bubu modifikasi dominan menangkap ikan target utama untuk ekspor dari jenis kerapu macan, sedangkan bubu nelayan memiliki hasil tangkapan utama kakap putih dan kerapu macan.
5.4.2 Komposisi jenis dan bobot hasil tangkapan Hasil penangkapan ikan demersala berdasarkan daerah pengoperasian menunjukkan nilai yang berbeda antara ikan target utama untuk ekspor, target utama pasar lokal dan hasil samping. Bubu modifikasi memiliki bobot hasil tangkapan yang relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan bubu nelayan. Setiap daerah penangkapan ikan di pantai Barat Sumatera menunjukkan hasil tangkapan bubu didominasi oleh ikan target utama untuk ekspor. Ikan target yang tertangkap pada umumnya berasal dari famili Serranidae (kerapu merah, kerapu macan, kerapu lumpur, kerapu belong, dan kerapu muara), famili Lutjanidae (kakap merah, kakap gorara dan Jenaha), family Centropongidae (kakap putih) dan famili Carangidae (kuwe).
127 Hasiil tangkapaan ikan targget utama untuk u ekspor bubu moddifikasi terttinggi diperoleh dari perairaan Pulau Pinni sebesar 1282 1 kg. Peenagkapan ikkan target utama u untuk eksppor untuk bubu b modifiikasi yang paling p rendaah terdapat di Pulau Karang sebesar 2663 kg. Perbbandingan hasil tangk kapan ikan target utam ma untuk ek kspor dengan menggunaka m an bubu neelayan mem mperoleh hasil h yang berbeda. Bubu nelayan teertinggi mennangkap ikkan target di perairan pulau p pini ssebesar 146 67 kg, sedangkann hasil tangkkapan terenndah dari Bu ubu nelayann adalah 3088 kg. Hasiil tangkapaan target uttama pasar lokal bubuu adalah jeenis ekor ku uning (Caesinoddae
cuninng),
bayeman
arus (Sca
quoyyi),
baronang
(sig ganus
canaliculuuatus), ayam m-ayam (Naaso brevisro ostris) dan kurisi k (nimim mterus hexo odon) dan pari (D Dasyatus spp). Target utama u pasarr lokal yangg paling tingggi tertangk kap di daerah Puulau Pini dengan d boboot 280 kg dari bubu nelayan. S Sedangkan target t utama pasar lokal yang y palingg rendah diperoleh d daari perairann Pulau Karang dengan boobot 23 kg.. Sebaran data d penang gkapan ikann demersal yang tertan ngkap
Jumlah Jenis Hasil Tangkapan (kg)
pada bubuu nelayan daan bubu modifikasi dap pat dilihat pada p Gambaar 39.
120 100 80 60 40 20 0 B BM
BN
P P. MURSALA
BM
BN
BM
B BN
P. NIAS
P. PINI
BM
BN
ANG P. KARA
Pe erbandingan Je enis Bubu pada 4 DPI HTUE
HTU UL
HTS
mbar 39 Sebbaran data bobot b hasil tangkapan t b bubu berdassarkan DPI Gam Perbbandingan yang y ditunjjukkan darri bobot haasil tangkappan antara bubu nelayan dan bubu moodifikasi, memperlihat m tkan hasil yang y lebih bbesar pada bubu nelayan. Nilai N perbanndingan bobbot hasil tan ngkapan ini harus distanndarisasi deengan jumlah tanngkapan perr hari operaasi. Berdasaarkan jumlahh bobot hassil tangkapaannya, bubu moddifikasi mem miliki prodduktivitas harian h yang lebih tinggi dibandin ngkan
128 denggan bubu neelayan. Hassil tangkapaan bubu neelayan yangg paling tinnggi dalam satu hari sebesaar 23,28 kg,, sedangkann bubu mod difikasi padaa menghasilkan bobot hariaan sebesar 35,61 3 kg. Perbandinga P an bobot haasil tangkappan ini dipeeroleh dari peraiiran Pulau Pini P yang paaling potenssial menang gkap ikan deemersal. Dalam meembandingkkan produkktivitas bubu u, digunakaan juga perrbandingan perseentase jumllah bobot hasil h tangkappan dari target utama untuk eksppor sampai padaa by-catch. Nilai N perbanndingan perrsentase ini akan menguukur sejauhh mana alat tangkkap yang digunakann efektif dalam meenghasilkan ikan targget. Hasil perhiitungan perrsentase boobot hasil tangkapan pada bubuu nelayan dan bubu modiifikasi mennunjukkan kedua k jeniss bubu ini cukup efekktif. Nilai persentase targeet utama unntuk eksporr lebih besaar dari targ get utama pasar p lokal, dan nilai targeet utama pasar lokal juuga lebih beesar dari bobot hasil saamping. Perrbandingan
P. NIAS
BM
BM
20.33%
2 20.33% 16.87%
80.84%
BN BM
1 18.38%
18.38%
59.33%
BM
P. PINI
P. KARANG
63..23%
BN
P. MURSALA
Perbandingan Jenis Bubu pada 4 DPI
perseentase boboot hasil tangkkapan bubuu dapat dilih hat pada Gam mbar 40.
13.20%
85.46%
13.36%
83.47%
BN
76.28%
0%
20%
1.98%
15.59%
83.21%
BN
2.29%
19.78%
78.24%
20.85%
40%
60%
8 80%
1.20% 1.34% 3.17% 2.87%
100% %
Presentase Jumlah pada Jenis Hasil Tngkkapan HTUEE
HTUL
HTSS
Gambar 40 Perbanndingan perrsentase bob bot hasil tanngkapan bubbu Melihat nilai n perbaandingan persentase p bobot haasil tangkaapan bubu modiifikasi dan nelayan di perairan paantai Barat Sumatera, alat a tangkapp ini dapat dikattegorikan ramah r lingkkungan. Peerbandingan n persentasse bobot ikkan target utam ma untuk ekkspor dan taarget utamaa untuk eksp por dapat mencapai m niilai di atas 75%. Perairan Pulau Pini pada bubu mod difikasi mencapai 844,8% dan mengghasilkan byy-catch sebbesar 15,2% %. Bobot jen nis hasil tanngkapan padda perairan Pulauu Mursala dapat d dilihatt pada Gam mbar 41.
129
Rata‐rata Jumlah Ikan (ekor)
12 10 8 6 4 2 0 Jenaha
Kakap Bakau
Gorara
Kakap Merah
Kakap Putih
Kerapu Kerapu Kerapu Kerapu Kerapu Kerapu sunu lumpur macan merah Minyak putih
Kuwe
Nama Ikan Bubu Modifikasi
Bubu Nelayan
(a) Hasil tangkapan utama untuk ekspor 9
Rata‐rata Jumlah Ikan
8 7 6 5 4 3 2 1 0 Ayam ayam
Baronang
Bayeman
Ekor Kuning
Kurisi Merah
Pari
Nama Ikan Bubu Modifikasi
Bubu Nelayan
(b) Hasil tangkapan utama untuk lokal
Rata‐rata Jumlah Ikan (ekor)
0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0.0 Butana Garis
Gabus Laut
Ikan Giro Pasir
Jabung
Kepe kepe
Lencam
Nama Ikan Bubu Modifikasi
Bubu Nelayan
(c) Hasil tangkapan sampingan Gambar 41
Rata-rata bobot ikan berdasarkan jenis hasil tangkapan di Pulau Mursala (a) hasil tangkapan utama untuk ekspor, (b) hasil tangkapan utama untuk lokal, (c) hasil tangkapan sampingan
130 Berdasarkan FAO (1995) terkait dengan kriteria biologi alat tangkap yang ramah lingkungan, bubu yang dikembangkan di pantai Barat Sumatera dapat dikategorikan ramah lingkungan. Pendekatan biologi lain yang dapat dilihat dari bobot hasil tangkapan kedua jenis bubu adalah kemampuan bubu dalam menghasilkan ukuran bobot hasil tangkapan yang relatif sama. Perbandingan produktivitas kedua bubu berdasarkan nilai ekonomi menunjukkan bahwa bubu modifikasi lebih baik dari bubu modifikasi. Aspek ekonomi yang menjadi tolak ukur bobot hasil tangkapan bubu modifikasi dan nelayan menunjukkan bahwa rata-rata hasil tangkapan tetapi memberikan nilai ekonomi yang berbeda. Hasil tangkapan ikan target utama untuk ekspor, kedua dan hasil samping pada masing-masing daerah pengoperasian juga dianalisis dengan tujuan melihat daerah penangkapan yang potensial dikembangkan nelayan Sibolga. Hasil tangkapan kedua jenis bubu di Perairan Pulau Mursala, ikan target yang memiliki bobot tertinggi diperoleh dari spesies kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) dengan rata-rata tangkapan 135 kg/trip. Untuk ikan target yang memiliki bobot paling tinggi diperoleh dari spesies ayam-ayam dengan rata-rata tangkapan 42,03 kg/trip. Total tangkapan hasil samping pada bubu rata-rata diperoleh sebesar 39,96 kg/trip dari jenis butana garis. Berdasarkan produktivitas menangkap ikan target di Pulau Mursala, bubu modifikasi memiliki persentase lebih tinggi jika dibandingkan dengan bubu nelayan. Bobot hasil tangkapan ikan demersal pada perairan Pulau Pini menunjukkan nilai yang paling tinggi jika dibandingkan dengan perairan lainnya. Sebaran data ikan target utama untuk ekspor pada bubu modifikasi dan bubu nelayan masih didominasi dari keluarga ikan Serranidae, yaitu jenis ikan kerapu. Ikan target utama pasar lokal yang tertangkap pada perairan Pulau Pini berasal dari jenis Bayeman. Sebaran data bobot ikan hasil sampingan pada operasi penangkapan di Pulau Pini didominasi jenis butana garis. Komposisi bobot hasil tangkapan ikan demersal di perairan Pulau Pini dapat dilihat pada Gambar 42.
131
Rata‐rata Jumlah Ikan (ekor)
30 25 20 15 10 5 0 Jenaha
Kakap Gorara Kakap Bakau Merah
Kakap Kerapu Kerapu Kerapu Kerapu Kerapu Kerapu Kuwe Putih sunu lumpur macan merah Minyak putih
Nama Ikan Bubu Modifikasi
Bubu Nelayan
(a) Hasil tangkapan utama untuk ekspor 10
Rata‐rata Jumlah Ikan (ekor)
9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 Ayam ayam
Baronang
Bayeman
Ekor Kuning
Kurisi Merah
Pari
Nama Ikan Bubu Modifikasi
Bubu Nelayan
(b) Hasil tangkapan utama untuk lokal
Rata‐rata Jumlah Ikan (ekor)
0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0.0 Butana Garis
Gabus Laut
Ikan Giro Pasir
Jabung
Kepe kepe
Lencam
Nama Ikan Bubu Modifikasi
Bubu Nelayan
(c) Hasil tangkapan sampingan Gambar 42 Rata-rata bobot ikan berdasarkan jenis hasil tangkapan di Pulau Pini (a) hasil tangkapan utama untuk ekspor, (b) hasil tangkapan utama untuk lokal, (c) hasil tangkapan sampingan
132 Ikan kerapu macan menjadi ikan target utama untuk ekspor yang mendominasi hasil tangkapan di perairan Pulau Pini. Total bobot rata-rata jenis ikan kerapu yang tertangkap pada bubu modifikasi dan nelayan relatif sama. Ikan ini tergolong pada jenis ikan demersal yang tertangkap pada ukuran dewasa. Ikan kerapu macan yang tertangkap pada bubu nelayan memiliki bobot rata-rata 41,11 kg, sedangkan pada bubu modifikasi 38,33 kg. Ikan kerapu yang tertangkap pada bubu modifikasi memiliki bobot rata-rata 2,64 kg. Ikan target utama untuk ekspor yang tertangkap paling sedikit berdasarkan bobot hasil tangkapan berasal dari jenis kakap belang (Lutjanus vita). Jenis ikan baronang (siganus canaliculuatus) yang ditemukan pada perairan ini memiliki bobot yang cukup besar (>0,25 kg) jika dibandigkan dengan ikan baronang yang ada di sekitar pantai. Hasil tangkapan bubu nelayan dan modifikasi di perairan Pulau Nias memberikan gambaran yang tidak jauh berbeda dengan perairan Pulau Pini dan Pulau Mursala. Jenis kerapu macan masih mendominasi tangkapan utama di perairan Pulau Nias. Perbedaan yang terjadi adalah rasio tangkapan jenis kerapu macan tidak diikuti oleh penangkapan jenis kerapu lainnya. Ikan target utama untuk ekspor yang tertangkap paling banyak setelah kerapu macan adalah kakap putih. Ikan target utama pasar lokal yang ditemukan pada perairan Pulau Nias didominasi oleh jenis bayeman (Scarus quoyi) sebesar 9 kg/trip pada bubu nelayan dan 7 kg/trip pada bubu modifikasi. Hasil tangkapan terendah pada target utama pasar lokal untuk perairan Pulau Nias diperoleh dari jenis ikan baronang dan pari. Ikan baronang yang ditemukan pada bubu nelayan biasanya bersifat musiman dan umumnya tertangkap secara bergerombol. Hasil tangkapan samping yang diperoleh bubu nelayan dan bubu modifikasi pada perairan Nias relatif lebih kecil. Hasil tangkapan sampingan ini didominasi oleh jenis ikan butane garis yaitu ikan yang banyak hidup di sekitar karang lunak. Secara umum sebaran data bobot hasil tangkapan ikan demersal pada perairan Pulau Nias dapat dilahat pada Gambar 43.
133
20
Rata‐rata Jumlah Ikan (ekor)
18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 Jenaha
Kakap Gorara Kakap Bakau Merah
Kakap Kerapu Kerapu Kerapu Kerapu Kerapu Kerapu Kuwe Putih sunu lumpur macan merah Minyak putih
Nama Ikan Bubu Modifikasi
Bubu Nelayan
(a) Hasil tangkapan utama untuk ekspor
Rata‐rata Jumlah Ikan (ekor)
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 Ayam ayam
Baronang
Bayeman
Ekor Kuning
Kurisi Merah
Pari
Nama Ikan Bubu Modifikasi
Bubu Nelayan
(b) Hasil tangkapan utama untuk lokal Rata‐rata Jumlah Ikan (ekor)
0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0.0 Butana Garis
Gabus Laut
Ikan Giro Pasir
Jabung
Kepe kepe
Lencam
Nama Ikan Bubu Modifikasi
Bubu Nelayan
(c) Hasil tangkapan sampingan Gambar 43 Rata-rata bobot ikan berdasarkan jenis hasil tangkapan di Pulau Nias (a) hasil tangkapan utama untuk ekspor, (b) hasil tangkapan utama untuk lokal, (c) hasil angkapan sampingan
134 Perbandingan produktivitas bubu nelayan dan bubu modifikasi pada perairan Pulau Nias dalam memperoleh ikan target utama untuk ekspor terlihat sama untuk semua jenis ikan. Perbedaan produktivitas bubu nelayan dan modifikasi terlihat lebih jelas pada penangkapan ikan target utama pasar lokal yaitu pada jenis ikan bayeman dan kurisi merah. Untuk penangkapan hasil samping, bubu modifikasi lebih efektiv karena menghasilkan jumlah bobot hasil tangkapan yang lebih rendah daripada bubu nelayan. Secara umum dapat dilihat, perbedaan produktivitas bubu pada perairan Pulau Nias lebih baik daripada bubu nelayan. Hal ini sesuai dengan ketetapan FAO (1995) dalam CCRF yang menilai produktivitas suatu alat tangkap dari by catch yang dilebih rendah. Pada perairan Pulau Nias ini juga bubu nelayan telah menangkap ikan kerapu (epinephelus fuscoguttatus) dengan bobot maksimum yaitu 14,2 kg/ekor. Pengoperasian bubu di Pulau Karang memberikan sebaran data bobot hasil tangkapan yang lebih rendah dibandingkan dengan perairan lain. Hasil tangkapan ikan target utama untuk ekspor, kedua dan hasil samping pada perairan Pulau Karang. Penangkapan ikan target melalui bubu modifikasi sangat fluktuatif, sedangkan bubu nelayan relatif lebih stabil untuk semua jenis ikan. Ikan kerapu macan tetap mendominasi bobot hasil tangkapan pada perairan Pulau Karang, Bobot hasil tangkapan rata-rata tertinggi pada ikan target diperoleh sebesar 7,67 kg dari jenis kerapu, sedangkan pada ikan target utama pasar lokal berasal dari jenis ayam-ayam dengan bobot 5,67 kg. Sebaran data bobot hasil tangkapan ikan di perairan Pulau Karang dapat dilihat pada Gambar 44.
135
Rata‐rata Jumlah Ikan (ekor)
8 7 6 5 4 3 2 1 0 Jenaha Kakap Gorara Kakap Kakap Kerapu Kerapu Kerapu Kerapu Kerapu Kerapu Kuwe Bakau Merah Putih sunu lumpur macan merah Minyak putih
Nama Ikan Bubu Modifikasi
Bubu Nelayan
(a) Hasil tangkapan utama untuk ekspor
Rata‐rata Jumlah Ikan (ekor)
4
3
2
1
0 Ayam ayam
Baronang
Bayeman
Ekor Kuning
Kurisi Merah
Pari
Nama Ikan Bubu Modifikasi
Bubu Nelayan
(b) Hasil tangkapan utama untuk lokal
Rata‐rata Jumlah Ikan (ekor)
4
3
2
1
0 Butana Garis
Gabus Laut
Ikan Giro Pasir
Jabung
Kepe kepe
Lencam
Nama Ikan Bubu Modifikasi
Bubu Nelayan
(c) Hasil tangkapan sampingan Gambar 44 Rata-rata bobot ikan berdasarkan jenis hasil tangkapan di Pulau Karang (a) hasil tangkapan utama untuk ekspor, (b) hasil tangkapan utama untuk lokal, (c) hasil tangkapan sampingan
136 Hasil percobaan bubu modifikasi pada pemilihan lokasi penempatan bubu yang sama memberikan dampak yang signifikan jika dibandingkan dengan hasil tangkapan bubu nelayan setempat. Ukuran bobot hasil tangkapan ikan memiliki keseragaman yang lebih tinggi, sedangkan nilai by-catch dari bubu rmodifikasi lebih rendah dari bubu nelayan. Bobot tangkapan rata-rata ikan yang terbesar pada bubu modifikasi berdasarkan lokasi pengoperasian terdiri dari kerapu macan (135 kg/trip), kakap putih (65 kg/trip) dan kerapu lumpur (59 kg/trip). Untuk perbandingan bobot tertinggi pada daerah pengoperasian yang sama, bubu nelayan memperoleh bobot tertinggi 41,11 kg dari jenis kerapu macan, sedangkan bubu modifikasi memperoleh 38,33 kg dari jenis yang sama.. Bagi nelayan bubu nelayan, hasil tangkapan ikan target terutama dari famili Serranidae telah memberikan keuntungan tersendiri dalam menutupi biaya operasionalnya. Bila nelayan mampu menghasilkan kerapu merah dengan bobot rat-rata individu di atas 1 kg sebanyak 50 kg sudah mencukupi biaya operasional yang dikeluarkan. Ukuran hasil tangkapan turut mempengaruhi nilai ekonomi ikan yang dihasilkan. Bobot rata-rata individu ikan dari kelompok kerapu minimal 1000 gram, untuk kelompok kakap minimal 600 gram, dan kelompok kuwe minimal 500 gram. Ukuran ikan di bawah ukuran ekonomi akan dijual di pasar lokal dan mengakibatkan harga menjadi turun. Dari ketiga kelompok ikan yang tertangkap ternyata ikan yang ditemukan pada bubu modifikasi memiliki umur yang telah matang gonad. Pada ikan target khususnya dari famili serranidae bobot tertinggi untuk satu ekor ikan diperoleh sebesar 14,2 kg dari spesies kerapu macan. Ikan-ikan ini justru banyak diburuh karena ukuran nilai ekonomis yang diminta pasar ekspor. Komposisi tangkapan bubu terhadap ikan target utama untuk ekspor pada bubu modifikasi tidak berbeda nyata dengan bubu nelayan. Nilai rata-rata hasil tangkapan ikan target utama untuk ekspor bubu konevensional 281 kg/trip, sedangkan nilai rata-rata hasil tangkapan bubu modifikasi 299 kg/trip. Bubu modifikasi menghasilkan ikan target yang lebih baik jika dibandingkan dengan bubu nelayan. Perbandingan fluktuasi hasil tangkapan bubu terhadap ikan target dari 9 kali pengoperasian dapat dilihat seperti pada Gambar 45.
137
Target kedua 13,90
Hasil sampi ngan, 10,80 % Target utama 75,28 %
Hasil ssampi ngan 23,99 %
TTarget kedua 18,34 %
(a)
Tarrget utaama 57 7,66 %
(b)
4 Perbandingan kom mposisi haasil tangkaapan; (a) kkomposisi hasil Gambar 45 tangkaapan bubu modifikassi; (b) koomposisi hhasil tangk kapan bubuvnnelayan k hasil tangk kapan ikan target utam ma untuk ek kspor, Beerdasarkan komposisi target utam ma pasar lokkal dan hasiil samping, bubu modifikasi dan nnelayan mem miliki hasil yangg berbeda. Hasil H tangkkapan ikan target t padaa bubu moddifikasi dipeeroleh sebesar 755,28% sedaangkan ikann target utaama untuk ekspor padda bubu neelayan sebesar 577,66%. Dataa hasil tanggkapan men nunjukkan bahwa b lamaanya perend daman bubu dalam m air tidak memberikaan hasil tan ngkapan yanng lebih bessar terhadap p ikan target padda pengoperrasian bubu.. Nilai perbandingan ikkan target uutama pasar lokal pada bubbu modifikasi diperolleh sebesarr 13,90%, sedangkann bubu neelayan 18,34%. Perbandinggan nilai juumlah indiividu ikan target utaama pasar lokal menunjukkkan bahwa bubu modiffikasi sedik kit lebih baikk daripada bbubu nelayaan.
5.4.3 Uku uran panjaang ikan haasil tangkap pan Penyyebaran haabitat dan kecepatan pertumbuhhan ikan ddemersal sangat s dipengaruuhi oleh keliimpahan maakanan dan n kondisi linngkungan. Ikan karang akan bermigrasi ke tempatt lain yang lebih sesuaai (cocok) apabila a habiitatnya tercemar. Perkembaanga larva di d tempat peemijahan (sp pawning arrea) sangat tergantung pada persediaann makanan.. Tingkat keberhasilan k n rekruitmeent telur/larvva menjadii ikan dewasa juuga sangat tergantungg pada kehadiran heewan pemaangsa (pred dator) disekitar spawning sp arrea (Simbollon, 2011).
138 Hasil pengamatan ukuran panjang ikan pada penelitian ini didasarkan pada jenis ikan demersal ekonomis penting yang tertangkap pada bubu nelayan dan bubu modifikasi. Jenis ikan tersebut antara lain: kerapu merah, kerapu macan, kakap merah, kakap putih , jenaha dan kuwe. Keenam jenis ikan ini merupakan ikan ekonomis penting yang mendominasi hasil tangkapan nelayan. Panjang ukuran rata-rata kerapu merah yang tertangkap pada bubu nelayan sedikit berbeda dengan hasil tangkapan bubu modifikasi. Bubu nelayan memiliki dominasi hasil tangkapan kerapu merah pada ukuran panjang 24 sampai 36 cm. Hasil tangkapan kerapu merah yang memiliki ukuran paling panjang berdasarkan daerah penangkapannya ditemukan pada perairan Pulau Pini. Sebaran data panjang ikan kerapu merah hasil tangkapan bubu nelayan dan bubu modifikasi
Pulau Pulau Pulau Nias Mursala Karang Pulau Pini
Daerah Penangkapan Ikan
dapat dilihat pada Gambar 46.
Kerapu Merah
Bubu Modifikasi Bubu Nelayan Bubu Modifikasi Bubu Nelayan Bubu Modifikasi Bubu Nelayan Bubu Modifikasi Bubu Nelayan 0
20
40
60
80
100
Jumlah Ikan (ekor) Selang 50‐62 cm
Selang 37‐49 cm
Selang 24‐36 cm
Gambar 46 Sebaran data panjang ikan kerapu merah hasil tangkapan bubu Bubu modifikasi memberikan hasil tangkapan dengan ukuran panjang ikan yang lebih baik daripada bubu nelayan. Bubu modifikasi dominan menangkap ikan kerapu merah pada ukuran 37 sampai 49 cm, sedangkan ukuran ikan kerapu merah yang tertangkap bubu nelayan berada pada kisaran 24 sampai 36 cm. Ukuran ikan paling panjang hasil tangkapan bubu berdasarkan daerah penangkapan ditemukan pada daerah perairan Pulau Pini. Ukuran ikan pada selang 50 sampai 62 cm ditemukan sebanyak 12 ekor pada bubu modifikasi dan
139 10 ekor pada bubu nelayan. Hasil pengukuran ikan kerapu merah pada selang 37 sampai 49 cm ditemukan pada perairan Pini dengan jumlah 77 ekor. Hasil penangkapan kerapu macan merupakan hasil tangkapan yang paling dominan ditemukan pada bubu. Hasil tangkapan paling banyak ditemukan pada selang ukuran 38 sampai 52 cm dengan jumlah 176 ekor. HAsil tangkapan pada selang ukuran 53 sampai 67 cm juga ditemukan pada perairan Pulau Pini, hasil tangkapan ini ditemukan pada bubu modifikasi dengan jumlah individu58 ekor. Sebaran data ukuran panjang hasil tangkapan bubu berdasarkan daerah
Pulau Pulau Pulau Pulau Pini Nias Mursala Karang
Daerah Penangkapan Ikan
penangkapannya dapat dilihat pada Gambar 47.
Kerapu Macan
Bubu Modifikasi Bubu Nelayan Bubu Modifikasi Bubu Nelayan Bubu Modifikasi Bubu Nelayan Bubu Modifikasi Bubu Nelayan 0
50
100
150
200
Jumlah Ikan (ekor)
Selang 53‐67 cm
Selang 38‐52 cm
Selang 23‐37 cm
Gambar 47 Sebaran data panjang ikan kerapu macan hasil tangkapan bubu Secara umum penyebaran hasil tangkapan kerapu macan berdasarkan daerah penangkapannya menunjukkan nilai yang berbeda satu sama lain. Pulau Mursala merupakan daerah penangkapan yang memiliki hasil tangkapan bubu modifikasi dengan ukuran paling baik. Dari 102 ekor ikan yang ditemukan di Pulau Mursala hanya 14 ekor yang memiliki ukuran 23 sampai 37 cm. Rata-rata hasil tangkapan ikan kerapu macan yang diperoleh dari bubu modifikasi berada pada selang ukuran yang sesuai dengan permintaan pasar yaitu lebih dari 30 cm. Hasil tangkapan ikan kakap merah berdasarkan daerah penangkapan paling tinggi ditemukan pada perairan Pulau Pini. Hasil penangkapan ini masih
140 sama dengan hasil tangkapan kerapu merah dan kerapu macan. Selang ukuran 33 sampai 45 cm paling banyak ditemukan pada perairan Pini dengan jumlah 38 ekor. Selang ukuran panjang 46 sampai 58 cm tertinggi juga ditemukan pada perairan Pulau Pini dengan jumlah 9 ekor. Ukuran ikan dengan selang 20 sampai 32 cm paling rendah ditemukan pada Pulau Karang dan Mursala dengan jumlah 10 ekor. Sebaran panjang hasil tangkapan kakap merah secara keseluruhan dapat
Pulau Pulau Pulau Nias Mursala Karang
Bubu Modifikasi
Pulau Pini
Daerah Penangkapan Ikan
dilihat pada Gambar 48.
Bubu Modifikasi
Kakap Merah
Bubu Nelayan Bubu Modifikasi Bubu Nelayan Bubu Modifikasi Bubu Nelayan Bubu Nelayan 0
Selang 46‐58 cm
10
20
30
40
Jumlah ikan (ekor) Selang 33‐45 cm Selang 20‐32 cm
Gambar 48 Sebaran data panjang ikan kakap merah hasil tangkapan bubu Hasil tangkapan bubu terhadap jenis kakap merah pada selang ukuran 20 sampai 32 cm masih trergolong cukup besar. Total hasil tangkapan kakap merah pada Pulau Pini yang diperoleh bubu modifikasi sebesar 79 ekor, hanya 9 ekor diantaranya yang telah mencapai ukuran pada selang 46 sampai 56 cm. Penangkapan kakap merah dengan sebaran data yang cukup tinggi pada ukuran di bawah 32 cm (Gambar 48) dapat mengancam keberlangsungan sumberdaya ikan tersebut. Berdasarkan jenis bubu, penangkapan kakap merah terhadap ukuran panjang ikan tidak memberikan pengaruh yang nyata. Bubu modifikasi dan bubu nelayan masih memiliki hasil yangkapan yang cukup rendah pada ukuran 46 sampai 58 cm. Hasil penangkapan kakap putih berdasarkan daerah penangkapan ikan memiliki pola yanh hamper sama. Sebanyak 172 ekor kakap putih pada perairan
141 Pulai Pini ditemukan pada selang ukuran paanjang 20 sampai 32 cm m. Untuk daerah d penangkappan lain, seebaran data panjang ik kan kakap putih p juga ddidominasi pada ukuran di bawah 32 cm. c Hasil pengukuran p terhadap ikkan kakap putih berdasarkan jenis bubuu menunjukkkan bubu nelayan leebih dominnan memperoleh ikan pada selang 20 sampai 32 cm jika dibandingkan dengan bubbu modifikaasi. Secara umum u
Pulau Pulau Pulau Pulau Mursa Karan Pini Nias la g
Daerah Penangkapan Ikan
sebaran daata panjang ikan kakapp putih dapaat dilihat padda Gambar 49.
Kakap P Putih
Bubu Modifikasi Bubu Nelayan Bubu Modifikasi Bubu Nelayan Bubu Modifikasi Bubu Nelayan Bubu Modifikasi Bubu Nelayan 0
50
1 100
150 0
200
Jumlah Ikan (ekor) Selan ng 46‐58 cm
Selang 33 3‐45 cm
S Selang 20‐32 c cm
Gam mbar 49 Sebaaran data paanjang ikan kakap putihh hasil tangkkapan bubu u n nilai Sebaran data panjang ikaan kuwe haasil tangkapan bubu meenunjukkan p selangg 19 sampaii 26 cm. Uk kuran ikan kuwe k hasil tangkapan bubu tertinggi pada relatif lebiih kecil darri ikan ekonnomis pentiing lain yanng dihasilkaan bubu. Uk kuran selang pannjang yangg paling renndah pada penangkapa p an ikan kuw we justru berada b pada selanng 35 samppai 42 cm. Ukuran ikaan ini rata-rrata masih bberada di bawah b length at first f maturitty. Pada konndisi sepertii ini keberlaangsungan ssumberdayaa ikan kuwe akibbat pengopeerasian bubuu dapat teran ncam. Sebaaran data paanjang ikan kuwe hasil tangkkapan bubuu dapat dilihhat pada Gam mbar 50.
Pulau Pulau Pulau Nias Mursala Karang
Bubu Modifikasi
Pulau Pini
Daerah Penangkapan Ikan
142
Bubu Modifikasi
Kuwe
Bubu Nelayan Bubu Modifikasi Bubu Nelayan Bubu Modifikasi Bubu Nelayan
Bubu Nelayan 0
50 Jumlah Ikan (ekor) Selang 27‐34 cm Selang 19‐26cm
Selang 35‐42 cm
100
Gambar 50 Sebaran data panjang ikan kuwe hasil tangkapan bubu Hasil tangkapan ikan jenaha (Lutjanus argentimaculatus) menunjukkan perbedaan pada bubu modifikasi dan bubu nelayan. Sebaran data panjang ikan
Pulau Pulau Pulau Pulau Pini Nias Mursala Karang
Daerah Penangkapan Ikan
jenaha yang tertangkap bubu dapat dilhat pada Gambar 51. Bubu Modifikasi
Jenaha
Bubu Nelayan Bubu Modifikasi Bubu Nelayan Bubu Modifikasi Bubu Nelayan Bubu Modifikasi Bubu Nelayan 0
Selang 30‐35 cm
20
40
60
Jumlah Ikan (ekor) Selang 24‐29 cm Selang 18‐23 cm
Gambar 51 Sebaran data panjang ikan jenaha hasil tangkapan bubu Hasil pengukuran ikan yang tertangkap pada bubu nelayan untuk jenis ikan target yaitu famili Serranidae, Carangidae dan Lutjanidae diperoleh panjang minimum 22 cm dan panjang maksimum 55 cm. Panjang minimum ikan target diperoleh dari jenis ikan kerapu lumpur, sedangkan panjang maksimum diperoleh
143 dari jenis ikan kerapu muara. Untuk kelompok ikan target utama pasar lokal, panjang maksimum diperoleh dari jenis ikan pari dengan ukuran 60 cm dan yang terkecil berasal dari jenis ikan ayam-ayam dengan ukuran 14 cm. Untuk hasil tangkapan bubu modifikasi, ukuran ikan yang paling panjang berasal dari kelompok famili Serranidae, yaitu jenis kerapu lumpur dengan panjang 58 cm. Untuk jenis ikan target yang memiliki ukuran rata-rata paling kecil berasal dari jenis kakap yaitu family Lutjanidae. Ukuran ikan yang terpendek dari kakap yang tertangkap adalah 17 cm, sedangkan ukuran yang paling panjang diperoleh sebesar 40 cm dari jenis kakap merah. Pada bubu modifikasi jenis ikan non target yang tertangkap terkecil berasal dari jenis butane garis dengan ukuran 9 cm. Ukuran ikan non target seperti ikan hias dan butane garis pada bubu modifikasi relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan bubu nelayan. Berdasarkan hasil pengukuran struktur biologi ikan, bubu kawat nelayan Sibolga yang menggunakan mesh size 2 inchi sudah termasuk alat tangkap yang ramah terhadap lingkungan. Hal ini ditunjukkan dengan pengukuran hasil tangkapan ikan target yang paling kecil adalah 14 cm dari famili carangidae dengan bobot 140 gr/ekor dan yang terbesar adalah 56 cm dengan bobot 14000 gram/ekor dari famili serranidae. Jika usaha peningkatan produktivitas hasil tangkapan yang memperhatikan kelestarian ikan diperhatikan, maka modifikasi bubu nelayan sibolga sebaiknya lebih memperhatikan teknik operasi bubu yang sering dianggap merusak Terumbu karang
5.4.4 Pengaruh jenis bubu terhadap berat hasil tangkapan Hasil tangkapan bubu modifikasi dan bubu nelayan menunjukkan nilai yang berbeda pada setiap daerah pengoperasian. Bobot hasil tangkapan tertinggi pada bubu modifikasi diperoleh dari perairan Pulau Pini dengan nilai 278 kg. Bubu konvesional memiliki bobot hasil tangkapan tertinggi pada perairan Pulau Pini dengan nilai 258 kg. Perbedaan jenis bubu pada daerah pengoperasian yang berbeda memberikan hasil tangkapan bobot ikan bervariasi. Berdasarkan jenis bubu, hasil tangkapan ikan demersal secara keseluruhan ditemukan lebih besar pada bubu nelayan daripada bubu modifikasi. Bubu
144 modifikasi memperoleh hasil tangkapan total sebesar 37 11 kg, sedangkan bubu nelayan sebesar 4455 kg. Total berat target utama untuk ekspor yang diperoleh bubu modifikasi adalah 2794 kg dan bubu nelayan adalah 2569 kg. Secara umum perbandingan nilai bobot ini telah menunjukkan perbedaan antara setiap jenis bubu. Hasil ini perlu dibuktikan secara statistika, apakah jenis bubu yang berbeda telah memberikan pemngaruh yang nyata terhadap bobot hasil tangkapan. Untuk meilihat pengaruh penentuan daerah penangkapan ikan dan jenis bubu yang berbeda terhadap hasil tangkapan digunakan data berat (kg) dan jumlah individu (ekor). Data berat dan jumlah individu merupakan dasar pengambilan keputusan apakah kedua faktor yaitu DPI dan jenis bubu memberikan pengaruh yang nyata terhadap hasil tangkapan. Hasil perhitungan total hasil tangkapan kedua jenis bubu berdasarkan bobot hasil tangkapan disajikan pada Tabel 27. Tabel 27 Bobot hasil tangkapan berdasarkan DPI (kilogram) Jenis bubu
Bubu modifikasi
Bubu nelayan
P. Pini 244 156 172 157 278 168 218 155 171 234 194 254 197 215 232 258 207 191
Daerah penangkapan ikan P. Nias P. Mursala 163 94 94 60 113 61 81 51 177 102 99 58 133 73 91 44 110 57 161 94 159 95 151 61 115 52 177 102 120 78 153 77 136 94 120 77
P Karang 43 28 35 36 58 33 47 19 32 43 79 35 36 47 53 47 59 52
Berdasarkan daerah penangkapannya, bubu modifikasi dan bubu nelayan sama-sama memperoleh hasil tangkapan tertinggi pada perairan Pulau Pini. Nilai tangkapan tertinggi pda perairan Pulau Pini adalah 278 kg, sedangkan bobot terendah diperoleh dari perairan Pulau Karang yaitu 32 kg. Karakteristik daerah
145 penangkapan yang cukup berbeda memberikan hasil tangkapan terhadap bobot menjadi bervariasi. Perbedaan hasil tangkapan berdasarkan daerah penangkapan ikan dibuktikan dengan melakukan analisis faktorial. Hasil analisis faktorial, pengaruh daerah pengoperasian bubu terhadap bobot (kg) ikan hasill tangkapan memberikan nilai F hitung 132,56. Nilai F hitung yang lebih tinggi dari F tebel menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan penempatan bubu pada daerah penangkapan yang berbeda terhadap bobot hasil tangkapan. Sinergis dengan pengaruh daerah penangkapan, jenis bubu memberikan nilai F hitung (12,57) lebih besar dari nilai F tabel (3,09) (Lampiran 7). Nilai ini menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan jenis bubu nelayan dan bubu modifikasi terhadap bobot hasil tangkapan. Bubu modifikasi yang cenderung stabil karena dilengkapi pemberat dan metode penempatan yang peluang bubu terbalik kecil menghasilkan bobot tangkapan yang lebih baik. Bubu yang terletak secara sempurna dalam air akan menyebabkan ikan lebih mudah masuk, karena jenis bubu pantai Barat Sumatera hanya memiliki satu bukaan mulut. Untuk interaksi diantara perlakuan DPI dan jenis bubu diperoleh nilai F hitung sebesar 58,90 dengan nilai F tabel 5,11. Hasil analisis interaksi faktorial telah menunjukkan adanya interaksi antara jenis bubu dan daerah pengoperasian bubu terhadap bobot hasil tangkapan. Secara keseluruhan pengaruh pemberian perlakuan terhadap bobot ikan hasil tangkapan bubu memberikan pengaruh yang nyata. Hasil penangkapan pada daerah yang memiliki terumbu karang mendukung alat tangkap bubu dalam peningkatan bobot hasil tangkapan. Keberdaan ekosistem karang telah membantu ikan demersal dalam mencari makan, berlindung dan tumbuh secara konsisten. Sesuai dengan penelitian Risamasu (2008) penempatan bubu pada ekosistem karang yang baik akan meningkatkan hasil tangkapan secara sugnifikan. Migrasi ikan karang berukuran dewasa tidak akan terjadi jika ketersediaan makanan di sekitar lingkungannya masih tercukupi.
146
5.4.5 Pengaruh jenis bubu terhadap jumlah hasil tangkapan Jumlah individu ikan hasil tangkapan kedua jenis bubu memberikan hasil yang bervariasi. Pulau Pini merupakan perairan yang memiliki hasil tangkapan individu ikan terbesar. Bubu modifikasi pada perairan Pulau Pini menghasilkan tangkapan tertinggi dengan nilai 234 ekor, sedangkan bubu nelayan pada perairan Pulau Pini menghasilkan jumlah tertingg 210 ekor. Nilai ini tentunya harus dibuktikan dengan melihat apakah jenis bubu memberikan pengaruh terhadap hasil tangkapan. Sebaran jumlah individu ikan yang tertangkap dengan pengoperasian bubu disajikan pada Tabel 28. Tabel 28 Jumlah hasil tangkapan berdasarkan DPI (ekor) Jenis bubu
Bubu modifikasi
Bubu nelayan
Daerah penangkapan ikan P. Pini P Nias P Mursala P Karang 234 127 75 48 150 84 48 22 217 122 80 36 151 97 56 28 257 186 256 64 157 86 57 30 229 178 107 56 148 109 45 15 174 124 70 43 213 131 80 51 140 84 48 22 197 140 87 45 132 85 71 50 205 197 267 98 127 90 87 57 210 180 138 106 130 97 60 61 157 117 87 71
Jumlah individu ikan yang tertangkap pada daerah pengoperasian Pulau Pini lebih besar jika dibandingkan dengan nilai hasil tangkapan Pulau Nias, Mursala dan Karang. Penggunaan jenis bubu yaitu bubu nelayan dan bubu modifikasi juga memberikan jumlah individu hasil tangkapan yang berbeda. Bubu modifikasi pada daerah Pulau Pini menghasilkan jumlah individu yang lebih besar, tetapi bubu modifikasi pada daerah pengoperasian Pulau Karang memberikan hasil tangkapan
147 yang lebih kecil jika dibandingkan dengan bubu nelayan. Untuk melihat pengaruh dua faktor yaitu DPI dan jenis bubu terhadap jumlah individu hasil tangkapan dilakukan analisis faktorial dengan tabel sidik ragam. Berdasarkan hasil analisis faktorial pengaruh daerah penangkapan terhadap jumlah individu ikan menunjukkan bahwa nilai F hitung 27,01 lebih besar dari F critical 3,09 (Lampiran 8). Kesimpulan yang dapat diberikan terhadap hipotesa, daerah penangkapan ikan memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah individu ikan yang tertangkap. Ikan demersal adalah ikan yang bersifat soliter dan mendiami sebuah ekosistem tidak dalam waktu yang singkat. Hasil penangkapan ikan pada bubu yang ditempatkan pada empat wilayah perairan pantai Barat Sumatera memberikan hasil yang berbeda. Ikan kerapu, kakap dan triger merupakan ikan yang jumlah individu mendominasi pada bubu. Ikan kerapu dan kakap merupakan endemik asli perairan demersal yang mencari makan dan berlindung di sekitar dasar perairan. Pengamatan jenis bubu terhadap jumlah individu hasil tangkapan, nilai F hitung sebesar 0,41 menunjukkan tidak ada pengaruh yang signifikan jenis bubu terhadap jumlah individu ikan. Jumlah individu ikan pada bubu modifikasi di perairan Pulau Karang tertinggi 64 ekor sedangkan bubu nelayan 106 ekor. Nilai hasil tangkapan jenis bubu yang berbeda ternyata tidak berpengaruh untuk setiap wilayah percobaan. Jumlah individu ikan pada pada bubu modifikasi di Pulau Pini lebih besar dari pada bubu nelayan sedangkan pada Pulau Karang sebaliknya. Jumlah individu ikan ini memiliki jenis dan keanekaragaman yang berbeda. Pada bubu nelayan, ikan yang tertangkap didominasi oleh jenis ikan karang berupa ikan triger dan ikan ikan hias yang lebih menyukai sela-sela karang sebagai tempat tinggal. Hasil analisis interaksi diantara dua faktor yang digunakan, nilai F hitung interaksi perlakuan diperoleh sebesar 12,01 sedangkan F ctabel 5,11. Nilai F menggambarkan adanya pengaruh yang signifikan faktor interaksi dua perlakuan terhadap jumlah individu ikan hasil tangkapan bubu.
148
5.5
Keberlanjutan Usaha Bubu Keberlanjutan usaha bubu dalam pengembangan perikanan demersal di
Sibolga dilakukan dengan dua pendekatan. Pendekatan pertama adalah pendekatan teknis, yaitu dengan mengukur tingkat efisiensi bubu. Tingkat efisiensi bubu membandingkan antara bubu nelayan dengan bubu modifikasi. Pendekatan kedua adalah pendekatan ekonomi, berupa kelayakan usaha bubu. Kelayakan usaha bubu memperhitungkan analisis rugi laba dan investment kriteria.
5.5.1 Tingkat efisiensi bubu Efesiensi bubu diukur dari berapa banyak bubu dapat dioperasikan dalam satu kali operasi, kemudian berapa umur teknis satu unit bubu dan berapa hasil yang mampu diberikan bubu dalam setiap unitnya. Produktivitas alat tangkap ini menggunakan persamaan seperti yang telah dituliskan dalam metodologi. Besarnya produktivitas bubu diperoleh dari banyaknya ikan yang ditangkap dalam satu unit bubu dibagi jumlah trip. Hasil analisis produktivitas bubu modifikasi dalam penelitian ini memperoleh tangkapan 117,21 kg/unit sedangkan bubu yang dioperasikan nelayan 103,28 kg/unit. Jumlah tangkapan maksimum satu unit bubu modifikasi dengan perendaman 4 hari adalah 164 kg/unit sedangkan bubu yang dioperasikan nelayan dengan perendaman 7 sampai 10 hari 108,20 kg/unit. Hasil tangkapan ikan target utama untuk ekspor yang dihasilkan bubu modifikasi mencapai 75,28% dan ikan target utama untuk ekspor pada bubu nelayan 57,66%. Nilai efisiensi bubu modifikasi terhadap target utama untuk ekspor sebesar 88,23 kg/unit, sedangkan pada bubu nelayan sebesar 58,87 kg/unit. Jika hasil ini dihubungkan dengan nilai ekonomi maka keberlangsungan usaha nelayan bubu yang mengoperasikan bubu modifikasi ternyata memberikan keuntungan yang relatif lebih besar. Berdasarkan
hasil
analisis
statistik
deskriptif
pada
dua
metode
pengoperasian bubu yang berbeda diperoleh perbedaan nilai standar deviasi yang cukup tinggi. Data pada bubu modifikasi memiliki standar deviasi sebesar 28,36 sedangkan pada bubu yang dioperasikan nelayan 4,53. Hal ini menunjukkan
149 bahwa data yang diperoleh dari bubu modifikasi memiliki sebaran data yang cukup besar, dengan kata lain kemampuan satu unit bubu menghasilkan berapa kg ikan belum konsisten atau bersifat fluktuatif. Nilai standar deviasi pada bubu nelayan sebesar 4,53 menunjukkan hasil tangkapan yang relatif konsisten. Ada beberapa faktor yang menyebabkan hasil tangkapan bubu sangat beragam, diantaranya adalah komposisi hasil tangkapan ikan target yang cenderung besar pada bubu modifikasi. Bubu nelayan memiliki hasil tangkapan yang relatif sama, kendati demikian besarnya angka hasil tangkapan non target adalah nilai yang turut mempengaruhi jumlah hasil tangkapan satu unit bubu. Efisiensi bubu berdasarkan terjadinya ghost fishing juga menjadi variabel yang diperhatikan. Berdasarkan posisi setting dan hauling yang dilakukan pada bubu modifikasi, pergeseran bubu akibat arus maupun saat proses penjatuhan relatif kecil atau kurang dari 3 menit. Pemberian pemberat secara seimbang telah membantu gerak jatuh benda menjadi lebih stabil. Pemberian pelampung pada bagian atas selimut bubu juga memastikan mulut bubu tidak terbalik atau memposisikan bubu menjadi vertikal. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan, ada beberapa penyebab bubu hilang saat dioperasikan. Hal pertama yang paling logis adalah pergeseran arus dasar yang terjadi pada sekitar wilayah penempatan bubu. Walaupun secara statistik kedua percobaan penempatan bubu dengan pemberat seimbang dan bubu nelayan tidak berbeda nyata, namun kehilangan 2-3 unit bubu pada daerah Pulau Karang telah meningkatkan biaya operasional pengusaha bubu. Bubu yang dioperasikan pada penelitian ini (bubu modifikasi) secara keseluruhan dapat ditemukan kembali. Hal ini disebabkan tali ris merentang secara sempurna sehingga proses pencarian bubu paling lama terjadi hanya di Pulau Karang yang membutuhkan waktu sekitar 45 menit.
5.5.2 Kelayakan usaha bubu Perikanan tangkap membutuhkan keberlanjutan ekonomi agar dapat memenuhi kebutuhan hidup stakeholder dan konsumen. Keberlanjutan ekonomi perikanan bubu pada penelitian ini dikaji dengan menghitung kelayakan usaha
150 unit penangkapan bubu. Kelayakan usaha akan dihitung dengan analisis finansial cashflow dan analisis investment criteria. Hasil perhitungan nilai investasi usaha bubu nelayan sebesar Rp. 87.400.000,00 sedangkan bubu modifikasi sebesar Rp 895.600.000,00. Nilai investasi diperoleh dari modal yang harus ditanamkan pemilik kapal terhadap: satu unit kapal, satu unit alat akustik, 100 unit bubu dan perlengkapan lain seperti tali. Hasil analisis kelayakan usaha bubu modifikasi dan nelayan menunjukkan perbandingan yang cukup signifikan (Lampiran 9 dan 10). Nilai perbandingan analisis kelayakan usaha bubu modifikasi dan nelayan dapat dilihat pada Tabel 29. Tabel 29
Perbandingan analisis kelayakan usaha bubu nelayan dan bubu modifikasi
Parameter NPV IRR NET B/C Π R/C PP BEP
Bubu nelayan Rp 516.662.896,00 42,40% 2,13 Rp 224.600.000,00 2,47 19 bulan Rp 236.264.541,00
Bubu modifikasi Rp 751.748.360,00 57,91% 2,90 Rp 330.440.000,00 2,61 11 bulan Rp 276.878.642,00
Nilai Net Present Value (NPV) kelayakan usaha untuk ke dua jenis bubu menunjukkan angka lebih dari 1, artinya pengoperasian bubu di pantai Barat Sumatera masih layak untuk dikembangkan. Nilai NPV yang diperoleh telah dihitung dengan discount rate sebesar 12%. Bubu modifikasi memiliki NPV lebih besar dibandingkan bubu nelayan. Berdasarkan nilai IRR, bubu modifikasi memiliki nilai yang lebih baik dari pada bubu nelayan yaitu 57,91% berbanding 42,40%. Artinya kedua jenis bubu ini layak untuk dikembangkan karena tingkat keuntungan dari suku bunga yang diperoleh lebih dari tingkat suku bunga bank yang berlaku. Nilai IRR sangat dipengaruhi oleh metode pengoperasian yang dilakukan oleh nelayan Sibolga. Bubu nelayan memiliki masa perendaman yang lebih lama dari bubu modifikasi. Fakta tersebut mendorong jumlah operasional bubu nelayan pada umur teknis yang sama lebih rendah dibandingkan bubu modifikasi yang pengoperasiannya hanya 4 hari.
151 Berdasarkan B/C ratio, bubu modifikasi tetap memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan bubu nelayan. Perbandingan B/C pada bubu modifikasi adalah 2,90 sedangkan perbandingan B/C bubu nelayan adalah 2,13. Perbandingan B/C ini menunjukkan perbandingan antara keuntungan yang diperoleh dengan biaya yang dikeluarkan selama umur teknis alat tangkap. Berdasarkan 3 kriteria dari investment criteria menunjukkan bahwa bubu modifikasi lebih baik dibandingkan bubu nelayan. Berdasarkan perhitungan nilai rugi laba, laba yang diperoleh dari bubu nelayan dan bubu modifikasi, masing-masing adalah Rp 224.600.000,00 dan Rp 330.440.000,00. Perbandingan pendapatan dengan biaya yang dikeluarkan pada bubu nelayan sebesar 2,47 sedangkan pada bubu modifikasi sebesar 2,61. Nilai pada bubu modifikasi tetap menunjukkan nilai yang lebih tinggi, artinya usaha bubu modifikasi lebih layak. Jangka waktu pengembalian investasi yang ditanamkan pada bubu nelayan (PP) adalah 19 bulan sedangkan PP pada bubu modifikasi adalah 11 bulan. Hal ini
menunjukkan
bahwa
penggunaan
bubu
modifikasi
mengembalikan
modal/investasi lebih cepat dibandingkan bubu nelayan. Artinya bubu modifikasi lebih layak daripada bubu nelayan secara pengembalian modal. Analisis anggaran parsial atau partial budget analysis dilakukan untuk mengevaluasi akibat yang disebabkan oleh perbahan-perubahan dalam metode produksi suatu usaha. Dalam analisis anggaran parsial hanya diperhatikan faktorfaktor yang ada kaitannya dengan perubahan. Dalam usaha bubu nelayan Sibolga, ada beberapa variabel yang mengalami perubahan antara lain; analisis parsial mengenai kemungkinan penggunaan 1 bubu kawat untuk berapa trip penangkapan, kemungkinan hilangnya bubu saat pengoperasian dan fluktuasi hasil tangkapan antara ikan target dan non target. Sedangkan waktu penggunaan satu bubu diperkirakan hanya memiliki umur teknis 3 bulan, umur kapal 5 tahun, umur tali 1 tahun dan alat akustik 5 tahun. Hasil perhitungan nilai BEP menunjukkan pendapatan minimum yang harus diperoleh nelayan untuk mendapatkan keadaan impas (tidak untung maupun rugi) selama umur teknis unit penangkapan bubu. Nilai BEP bubu nelayan adalah Rp 236.264.541,00 sedangkan nilai BEP untuk bubu modifikasi lebih tinggi yaitu
152 sebesar Rp 276.878.642,00. Lebih tingginya BEP pada bubu modifikasi disebabkan adanya penambahan investasi pada unit penangkapan berupa penambahan pelampung dan pemberat pada bubu.
5.6 Pengembangan Perikanan Bubu 5.6.1 Prioritas pengembangan Identifikasi
model
pengembangan
perikanan
demersal
melalui
pengoperasian bubu difokuskan pada tiga aspek yaitu: 1) perbaikan teknik operasi (PTO), 2) peningkatan nilai produktivitas (PNP), 3) peningkatan nilai efisiensi (PNE). Setiap fokus pada strategi pengembangan perikanan demersal dibagi menjadi tiga kriteria.
Matriks analysis hierarchy process (AHP) dari
pengembangan perikanan demersal dapat dilihat pada Gambar 52. TMT 0,401
PTO 0,759
LDS 0,106 MDT 0,252
PTU 0,103
Pengembangan Perikanan Bubu
PNP 0,159
BBK 0,227
PBC 0,019 PGF 0,037
BBM 0,773
NPV 0,044
PNE 0,082
BCR 0,024
ROI 0,013
Gambar 52 Hasil analisis prioritas pengembangan perikanan demersal
153 Keterangan gambar: Kriteria BBK BBM BCR LDS MDT NPV PBC PGF PNE PNP PTO PTU ROI TMT
Keterangan bubu nelayan bubu modifikasi peningkatan B/C rasio landing sempurna mudah ditemukan peningkatan NPV pengurangan by catch pengurangan ghost fishing peningkatan nilai efisiensi peningkatan nilai produksi perbaikan teknik operasi peningkatan target utama Return of Investment cepat tidak merusak terumbu
Tiga kriteria yang perlu untuk diperbaiki pada fokus PTO adalah tidak merusak terumbu karang (TMT), landing dengan sempurna (LDS) dan mudah ditemukan (MDT). Bubu seringkali dianggap tidak ramah lingkungan karena banyak merusak terumbu karang. Hal ini disebabkan proses saat penjatuhan bubu maupun saat pencarian bubu di dalam laut yang dilakukan secara acak, tanpa mengetahui dengan pasti letak terumbu karang. Penggunaan gancu juga menambah potensi kerusakan pada terumbu karang. Pendaratan bubu sangat mempengaruhi hasil tangkapan, jika bubu jatuh di dasar perairan pada posisi yang tidak tepat maka kemungkinan ikan terperangkap akan semakin kecil. Bubu juga harus memiliki kriteria mudah ditemukan dengan kata lain tidak mengalami pergeseran yang jauh dari saat setting. Bubu yang sulit untuk ditemukan akan memperpanjang waktu hauling sehingga berimplikasi terhadap bahan bakar yang digunakan dan menyebabkan meningkatnya biaya operasi penangkapan. Bubu yang terlalu lama tidak ditemukan akan dianggap hilang sehingga menjadi penyebab ghost fishing. Kriteria yang penting untuk diperhatikan pada PNP antara lain: peningkatan target utama untuk ekspor (PTU), pengurangan nilai by-catch (PBC) dan pengurangan ghost fishing (PGF). Alat tangkap yang efektif adalah alat tangkap yang dapat menangkap spesies target dengan jumlah yang lebih banyak dibanding hasil tangkapan sampingan. By-catch adalah hasil tangkapan yang tidak dapat dimanfaatkan atau memiliki nilai ekonomi rendah. By-catch pada bubu
154 merupakan ikan hias yang memiliki nilai ekonomi tinggi jika ditangkap dalam kondisi hidup, namun pada saat hauling ikan-ikan tersebut kebanyakan dalam kondisi mati. Nelayan bubu tidak memiliki sistem penyimpanan untuk ikan hidup sehingga ikan hias tidak dapat dijual dengan harga tinggi, ikan-ikan ini biasanya diasinkan untuk konsumsi nelayan. Ghost fishing akan merusak sistem ekologi di perairan, karena alat penangkap ikan yang hilang akan terus menangkap ikan sedangkan manusia tidak dapat memanfaatkannya. Hal ini terjadi pada bubu nelayan yang beroperasi di Pulau Karang, untuk itu PGF menjadi kriteria pada PNP. PNE memiliki tiga kriteria yang harus diperhatikan, yaitu: peningkatan pendapatan selama umur teknis alat tangkap (NPV), peningkatan perbandingan antara keuntungan dengan biaya yang dikeluarkan (B/C) dan tingkat kecepatan pengembalian investasi (ROI). Hasil perhitungan kelayakan usaha pada unit penangkapan bubu menunjukkan bahwa bubu modifikasi memiliki kelayakan usaha lebih tinggi daripada bubu nelayan. Hal ini ditunjukkan pada nilai NPV dan B/C rasio bubu modifikasi yang lebih tinggi, serta pengembalian investasi bubu modifikasi yang lebih cepat dibandingkan dengan bubu nelayan. Hasil analisis AHP menunjukkan pengembangan usaha perikanan demersal melalui pengoperasian bubu diprioritaskan pada perbaikan teknik operasi. Nilai analisis AHP secara berurut untuk PTO adalah 0,759, PNP 0,159 dan PNE adalah 0,082. Berdasarkan prioritas pengembangan jenis alat tangkap dari perbandingan bubu nelayan dan modifikasi diperoleh nilai koefisien internal bubu modifikasi 0,773 sedangkan bubu nelayan 0,277. Berdasarkan nilai yang telah dianalisis menggunakan AHP, bubu modifikasi memiliki peluang yang lebih baik sebagai prioritas utama penangkapan ikan demersal. Perbaikan metode pengoperasian yang digambarkan pada AHP dilakukan dengan pendaratan bubu yang sempurna, teknik pengangkatan bubu yang tidak merusak karang dan bubu mudah untuk ditemukan atau tidak mengalami pergeseran yang cukup jauh. Hasil analisis rasio prioritas pada pengoperasian bubu di Sibolga dapat menggambarkan
bahwa
perbaikan
teknik
operasi
akan
mempengaruhi
peningkatan produktivitas dan peningkatan nilai ekonomi bagi nelayan. Urutan
155 prioritas dari inventarisasi pendapat stakeholder di Sibolga dapat dilihat pada Gambar 53.
Gambar 53 Prioritas pengambilan kebijakan berstruktur Gambaran urutan prioritas menunjukkan hubungan yang sinergis antara perbaikan teknik pengoperasian bubu dengan peningkatan nilai produktivitas bubu. Perbandingan nilai produktivitas pada bubu modifikasi juga telah menggambarkan, bahwa teknik pengoperasian bubu kovnesional dengan metode saat ini menghasilkan nilai yang lebih kecil. Lamanya sistem pengoperasian dan besarnya biaya telah mempengaruhi tingkat pendapatan nelayan di Sibolga.
5.6.2 Perumusan strategi pengembangan Berdasarkan hasil analisis SWOT pada faktor-faktor internal dan eksternal, perikanan bubu masih memiliki potensi yang cukup besar dikembangkan di Sumatera. Hasil perhitungan bobot faktor internal menunjukkan nilai 2,96 sedangkan faktor eksternal menunjukkan nilai 2,79. Hal ini menggambarkan bahwa perikanan demersal di pantai Barat Sumatera memiliki kekuatan dan peluang yang besar. Tabel 30 dan Tabel 31, masing-masing menunjukkan faktor internal dan faktor eksternal perikanan demersal menggunakan alat tangkap bubu di pantai Barat Sumatera. Nilai IFAS memiliki banyak
kekuatan yang mendukung perikanan
demersal di pantai Barat Sumatera. Kekuatan tersebut disebabkan potensi sumberdaya ikan demersal yang tersedia cukup banyak, lokasi yang sangat
156 strategis sebagai contoh adanya PPN, selain itu tersedianya pendukung perikanan tangkap seperti es, air dan BBM. Sedangkan kelemahan utama yang mempengaruhi perikanan bubu pada perikanan demersal di pantai Barat Sumatera adalah rendahnya tingkat pendidikan nelayan, tidak efisiennya pengoperasian bubu dan pemanfaatan sumberdaya ikan demersal yang sering merusak habitat. Kelemahan yang terjadi di pantai Barat Sumatera dapat ditutupi dengan banyaknya kekuatan yang mendukung perikanan bubu di pantai Barat Sumatera. Tabel 30 Matriks IFAS No
Faktor-faktor Strategi Internal
Bobot
Rating
Skor
Potensi sumberdaya perikanan demersal di pantai Barat Sumatera cukup besar
0,10
3
0,30
0,09
4
0,36
3
Lokasi pesisir Sibolga terhadap daerah perikanan lainnya sangat strategis Tenaga kerja yang melimpah
4
Kualitas hasil tangkapan bubu sangat baik
0,08 0,09
2 4
0,16 0,36
5
Tersedianya instalasi BBM Tersedianya pabrik es di sekitar daerah pendaratan ikan Adanya Pelabuhan Perikanan Nusantara KELEMAHAN
0,08 0,09
3 4
0,24 0,36
0,06
4
0,24
1
Rendahnya tingkat pendidikan nelayan
0,05
3
0,15
2 3 4 5
Tidak efisiennya pengoperasian bubu Pemborosan penggunaan bahan bakar minyak Penggunaan es dan air tawar yang tidak efisien Jumlah hari operasi yang belum konsisten Pemanfaatan sumberdaya demersal yang merusak habitat karang TOTAL
0,07 0,07 0,08 0,08 0,06
4 1 2 2 2
0,28 0,07 0,16 0,16 0,12
KEKUATAN
1 2
6 7
6
1,00
2,96
Hasil perhitungan IFAS pada analisis SWOT menunjukkan nilai yang cukup tinggi seperti yang terlihat pada Tabel 30.
Berdasarkan semua faktor yang
teridentifikasi pada analisis SWOT, faktor potensi sumberdaya ikan demersal memiliki bobot yang paling tinggi. Faktor daerah pesisir Sibolga yang strategis juga merupakan variabel yang mendukung kekuatan perikanan bubu disana.
157 Untuk faktor kelemahan, system pengoperasian bubu yang belum efisien memiliki bobot yang paling tinggi dibandingkan dengan faktor lain. Hasil analisis EFAS juga memiliki nilai yang cukup tinggi, namun sedikit lebih rendah dari nilai IFAS. Tingginya nilai EFAS disebabkan banyaknya peluang yang mendukung perikanan bubu. Peluang tersebut antara lain kemajuan teknologi yang mendukung kebaruan dalam teknologi perikanan tangkap, masih besar dan peluang pasar yang menjanjikan diantaranya minat investor yang tinggi terhadap produk perikanan demersal yang tinggi. Perkembangan teknologi perikanan tangkap yang dilakukan nelayan bubu Sibolga, seharusnya dapat dijadikan peluang dalam mengurangi resiko kerusakan ekosistem. Faktor ancaman yang mengkhawatirkan adalah pengoperasian unti penangkapan bubu yang merusak lingkungan terumbu karang, pencurian ikan oleh kapal asing (IUU Fishing) serta konflik kepentingan antar sektor. Tabel 31 Matriks EFAS No
1 2 3 4
Faktor-faktor Strategi Eksternal PELUANG Kemajuan teknologi perikanan tangkap berkembang cukup baik Pasar ekspor masih sangat terbuka untuk ikan demersal Minat investor pada perikanan tangkap cukup tinggi Peningkatan jumlah permintaan ikan demersal ANCAMAN
Bobot
Rating
Skor
0,10
1
0,10
0,14
4
0,57
0.09 0.14
2 2
0,18 0,27
1
Supplai bahan bakar minyak sering dimonopoli
0,13
2
0,26
2
Pencurian ikan oleh kapal asing
0,11
4
0,43
3
Masih beroperasinya trawl di sekitar pantai Barat Sumatera
0,10
4
0,41
4
Konflik kepentingan antar sektor
0,10
3
0,29
0,09
3
0,26
5
Perubahan iklim terhadap jumlah hasil tangkapan nelayan TOTAL
1,00
2,79
Berdasarkan perhitungan IFAS dan EFAS maka perikanan bubu di perairan pantai Barat Sibolga berada pada kuadran 1 SWOT (Gambar 54). Perumusan
158 strategi yang cocok untuk diimplementasikan pada kondisi perikanan bubu di pantai Barat Sumatera adalah ekspansi usaha yang gencar dengan memanfaatkan kekuatan dan peluang yang tersedia. Namun hal lain yang perlu diperhatikan adalah kerusakan terumbu karang akibat pengoperasian bubu nelayan, sehingga perlu adanya perbaikan unit penangkapan bubu kawat untuk dioperasikan di pantai Barat Sumatera. Perbaikan metode pengoperasian bubu diharapkan mampu meningkatkan pendapatan nelayan, terutama dari sisi jumlah hari operasi. Analisis kelayakan usaha yang telah dilakukan juga menunjukkan bahwa usaha bubu masih cukup berpotensi untuk dikembangkan. Perumusan strategi dengan melibatkan aparat pemerintah akan mempermudah elayan dalam mencapai tujuan pengembangan usaha. Harga ikan demersal yang selama ini sangat fluktuatif dan dapat dimonopoli oleh tengkulak akan dicegah dengan partisipasi pemerintah. Pembentukan kelompok usaha bersama (KUB) dan koperasi nelayan dapat dijadikan salah satu solusi menunjang keberlangsungan usaha nelayan bubu. BERBAGAI PELUANG
Kuadran III
0,12
Kuadran I
0,56
KELEMAHAN INTERNAL
KEKUATAN INTERNAL
Kuadran IV
Kuadran II
BERBAGAI ANCAMAN
Gambar 54 Posisi faktor internal dan eksternal perikanan bubu di pantai Barat Sumatera
159 Tabel 32 Analisis perumusan strategi SWOT pada perikanan bubu di pantai Barat Sumatera
Internal
Eksternal
Kekuatan (S)
Kelemahan (W)
1) Potensi SDI yang tinggi
1)
Rendahnya tingkat pendidikan nelayan
2) Lokasi Sibolga yang strategis
2)
Tingginya pencemaran di pesisir Sibolga
3) Tenaga kerja yang melimpah
3)
Pemborosan penggunaan BBM
4) Kualitas hasil tangkapan baik
4)
Pemborosan penggunaan es dan air tawar
5) Tersedianya instalasi BBM
5)
Pengaturan hari operasi yang belum tertib
6) Fasilitas pabrik es yang memadai
6)
Pemanfaatan bubu yang merusak karang
7) Tersedianya PPN Sibolga Peluang (O)
Strategi SO
Strategi WO
1) Kemajuan teknologi penangkapan ikan
1) Pengembangan industri perikanan demersal di
1) Penyuluhan pada nelayan seputar
2) Pasar ekspor yang terbuka untuk ikan demersal 3) Minat investor pada perikanan tangkap tinggi 4) Peningkatan permintaan ikan demersal
Sibolga (S1, S2, S3, S5, S6, O1) 2) Peningkatan regulasi untuk mempermudah pemasaran ikan karang (S7, O2, O3)
pengetahuan perikanan tangkap khususnya ikan karang (W1, W2, W3, W4, W5, O1) 2) Regulasi perikanan bubu (W6, O2, O3, O4)
3) Membangun laboratorium mutu hasil perikanan (S4, O4) Ancaman (T) 1) Supplai BBM yang sering terlambat
Strategi ST
Strategi WT
1) Pengelolaan SDI karang secara lestari dan
1) Peningkatan pelayanan pelabuhan pada
2) IUU fishing
berkelanjutan melalui penerapan UPI ramah
3) Masih beroperasianya trawl
lingkungan (S1, S2, S3, S4, S5, S6, S7, T3, T5)
4) Konflik kepentingan antar sektor 5) Pengaruh iklim terhadap hasil tangkapan
2) Penggunaan BBM secara efesien dengan
usaha bubu (W1, W3, W4, W5, T1) 2) Integrasi pengawasan pada perairan pantai Barat Sumatera (W2, W6, T2, T3, T4, T5)
memperbaiki metode pengoperasian bubu (T1) 3) Penyatuan persepsi antar sektor melalui
159
pemerintah (T2, T4)
160 5.6.3 Penentuan unit penangkapan bubu mendukung CCRF Unit penangkapan yang dinilai pada pengembangan perikanan demersal di pantai Barat Sumatera adalah bubu nelayan dan bubu modifikasi. Pengembangan usaha perikanan demersal untuk bubu didasarkan pada kriteria CCRF yang dideskripsikan berdasarkan pada aspek biologi, tenis dan ekonomi. Aspek biologi, teknis dan ekonomi dijadikan dasar penilaian tingkat keramahan bubu terhadap keberlangsungan usaha. Hasil pengamatan terhadap beberapa literatur menunjukkan penilaian keramahan terhadap bubu kawat belum ada. Dominasi hasil tangkapan bubu kawat adalah ikan karang yang memiliki habitat di dasar perairan. Penilaian terhadap bubu dimulai dari jumlah spesies hasil tangkapan bubu selama penelitian. Hasil tangkapan bubu kawat menunjukkan niali yang cenderung sama untuk setiap trip pengoperasiannya. Secara ekologi, pengoperasian bubu diukur dari berapa banyak kerusakan ekosistem yang ditimbulkan. Penilaian unit penangkapan bubu di pantai Barat Sumatera juga didasarkan pada pemberian bobot yang berbeda. Penangkapan speies target dan dampak terhadap kerusakan karang memiliki bobot penilaian terbesar karena berdampak langsung terhadap sumberdaya ikan demersal. Untuk kriteria alat tangkap diterima secara sosial dan kriteria menangkap ikan yang dilindungi menjadi kriteria yang memiliki bobot terendah. Hasil modifikasi penilaian kriteria CCRF menjadi lebih konsisten dalam upaya pengembangan bubu di pantai Barat Sumatera. Secara umum Pembobotan nilai pengukuran bubu terhadap kriteria CCRF dapat dilihat pada Tabel 33.
161 Tabel 33 Kriteria CCRF No 1
Kriteria ST
2
TMH
3
TMN
4
HTBT
5
PTMK
6
BDCM
7
DMTB
8
TMSYD
9
DDSS
Penjelasan Menangkap < 25% sp target utama untuk ekspor menangkap 25-49% sp target utama untuk ekspor menangkap 50-74% sp target utama untuk ekspor pada ukuran kurang lebih sama Menangkap > 75% sp target utama untuk ekspor pada ukuran kurang lebih sama Termbu karang rusak pada wilayah yang luas Terumbu karang rusak pada wilayah yang sempit Sebagian terumbu karang rusak pada wilayah yang sempit Aman bagi terumbu karang (tidak merusak habitat) berakibat kematian pada nelayan berakibat cacat menetap (permanen) pada nelayan berakibat gangguan kesehatan yang sifatnya sementara aman bagi nelayan ikan mati dan busuk Ikan mati, segar, dan cacat fisik Ikan mati dan segar Ikan hidup Berpeluang besar menyebabkan kematian konsumen Berpeluang menyebabkan gangguan kesehatan konsumen Berpeluang sangat kecil bagi gangguan kesehatan konsumen Aman bagi konsumen by-catch terdiri dari beberapa jenis (spesies) yang tidak laku dijual di pasar by-catch terdiri dari beberapa jenis dan ada yang laku dijual di pasar by-catch kurang dari tiga jenis dan laku dijual di pasar by-catch kurang dari tiga jenis dan berharga tinggi di pasar Alat tangkap dan operasinya menyebabkan kematian semua mahluk hidup dan merusak habitat Alat tangkap dan operasinya menyebabkan kematian beberapa spesies dan merusak habitat Alat tangkap dan operasinya menyebabkan kematian beberapa spesies tetapi tidak merusak habitat Aman bagi keanekaan sumberdaya hayati Ikan yang dilindungi sering tertangkap alat Ikan yang dilindungi beberapa kali tertangkap alat Ikan yang dilindungi pernah tertangkap Ikan yang dilindungi tidak pernah tertangkap Alat tangkap memenuhi satu dari empat butir persyaratan Alat tangkap memenuhi dua dari empat butir persyaratan Alat tangkap memenuhi tiga dari empat butir persyaratan Alat tangkap memenuhi semua persyaratan
Skor 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Berdasarkan nilai kriteria CCRF yang dimodifikasi untuk menilai tingkat keramahan bubu dalam pemanfaatan sumberdaya ikan demersal, diperoleh
162 perbandingan bubu nelayan dan bubu modifikasi relatif sama. Nilai total skoring bubu nelayan terhadap kriteria CCRF adalah 68, sedangkan bubu modifikasi sebesar 76. Perbandingan nilai kriteria CCRF pengoperasian bubu di pantai Barat Sumatera dapat dilihat pada Tabel 34.
Tabel 34 Hasil penilaian kriteria CCRF pada bubu di pantai Barat Sumatera
No
Kriteria
Pengaruh
Bobot
Skoring
BN
BM
BN
BM
1
Selektivitas bubu tinggi (ST)
4
3
4
12
16
2
Tidak merusak habitat karang (TMH)
4
2
3
8
12
3
Tidak membahayakan nelayan (TMN)
2
4
4
8
8
4
Menghasilkan ikan bermutu baik (HTBT)
3
4
4
12
12
5
Produk tidak (PTMK)
2
4
4
8
8
6
Hasil tangkapan terbuang rendah (BDCM)
3
2
2
6
6
7
Dampak minimum (DMTB)
2
4
4
8
8
8
Tidak menangkap jenis yang dilindungi (TMSYD)
1
2
2
2
2
9
Diterima secara sosial (DDSS)
1
4
4
4
4
68
76
membahayakan
Total
terhadap
konsumen
biodiversity
Bubu modifikasi memiliki efektivitas yang lebih baik dalam menangkap spesies target jika dibandingkan dengan bubu nelayan. Berdasarkan dampak terhadap keberadaan ekosistem terumbu karang, bubu modifikasi lebih ramah terhadap lingkungan karang jika dibandingkan dengan bubu nelayan. Hal ini dapat dilihat dari waktu pencarian bubu yang lebih singkat pada bubu modifikasi. Pergeseran titik pengoperasian bubu nelayan secara tidak langsung telah memberikan dampak terhadap kerusakan terumbu karang, karena metode penngangkatan bubu dengan gancu sering menimbulkan benturan di sekitar ekosistem karang.
163
6 PEMBAHASAN
6.1 Potensi dan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Demersal Pemanfaatan sumberdaya perikanan demersal oleh nelayan Sibolga khususnya melalui operas penangkapan dengan bubu masih memiliki peluang yang cukup besar. Data hasil tangkapan nelayan pada kelompok ikan demersal ekonomis penting masih belum melewati batas pemanfaatan maksimum. Saat ini pengelolaan penangkapan ikan karang di pantai Barat Sumatera masih belum dilakukan oleh pemerintah dan nelayan karena belum adanya aturan yang diberlakukan khususnya pada ukuran hasil tangkapan. Hasil penelitian ini sangat berbeda dengan apa yang telah dikembangkan oleh masyarakat Meksiko dalam pemanfaatan sumberdaya ikan kakap merah (Joy et al., 2009). Perencanaan pengembangan usaha perikanan karang telah dikembangkan sejak tahun 1984. Pemanfaatan sumberdaya ikan karang khususnya kakap merah dan kerapu dapat dilakuakan dengan memberikan escaping gap pada alat tangkap bubu yang digunakan nelayan. Tujuan penggunaan escaping gap salah satunya adalah untuk mengurangi hasil tangkapan yang tidak memenuhi permintaan pasar dan menjaga kelestarian sumberdaya ikan demersal. Penelitian ini menunjukkan ukuran ikan hasil tangkapan bubu rata-rata telah mencapai ukuran dewasa. Ukuran panjang kakap merah yang tertangkap (length catch) pada penelitian ini realatif sama pada setiap spesiesnya. Hal ini menunjukkan bahwa ikan kakap merah memiliki kebiasaan berenang secara berkelompok pada ukuran dan umur yang hampir sama dalam satu komunitasnya. Hasil penelitian pengoperasian bubu di Raja Empat (Urbinas, 2004) menyatakan bahwa ikan tangkapan bubu memiliki keseragaman ukuran pada setiap spesies. Pendistribusian
ikan hasil tangkapan bubu harus melalui Belawan dan
Pekanbaru yang difasilitasi oleh pedagang pengumpul. Dua kota ini menjadi pusat pengumpulan ikan hasil tangkapan nelayan bubu di Sibolga. Ikan hasil tangkapan dengan grade A akan langsung dijual ke luar negeri yaitu negara tujuan Singapura, Hongkong dan Jepang. Ikan dengan grade BS akan dijual ke pasar lokal. Pengelompokan jenis hasil tangkapan menurut grade berdasarkan pada spesies, ukuran (panjang dan bobot) dan kondisi fisik ikan.
164 Selama ini penentuan kualitas hasil tangkapan ikan demersal masih sering dimonopoli oleh para juragan. Belum adanya laboratorium penjamin mutu perikanan di Sibolga menjadi alasan utama sulitnya nelayan menentukan harga dan kualitas hasil tangkapannya. Monintja (2003) menyatakan bahwa strategi pengembangan perikanan tangkap yang masih dimonopoli oleh satu pihak akan menghambat laju pengembangan usaha perikanan itu sendiri. Kegiatan pelelangan ikan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Sibolga sampai saat ini masih lebih rendah jika dibandingkan dengan kegiatan perikanan di tangkahan (pelabuhan perikanan swasta). Peran serta pemerintah dalam mengembangkan perikanan bubu dapat dilakukan dengan peningkatan regulasi dan fasilitas yang mendukung nelayan bubu. Perhitungan potensi pemanfaatan ikan kakap menunjukkan bahwa ikan kakap di pantai Barat Sumatera telah mencapai tangkapan maksimum lestari. Sesuai dengan pernyataan Monintja (2007) pemanfaatan yang sudah mencapai full exploited akan menyebabkan kepunahan pada spesies kakap di pantai Barat Sumatera. Penyebaran daerah penangkapan ikan kakap sudah dapat menjadi alternatif pengembangan yang dilakukan oleh nelayan Sibolga saat ini. Hasil tangkapan kakap berdasarkan ukuran ikan juga telah mencerminkan mulai sulitnya mendapatkan ikan kakap pada ukuran ekonomis tinggi. Ikan kakap yang didaratkan di tangkahan Sibolga untuk ukuran ekspor memiliki bobot minimal 1 kg/ekor. Jumlah tangkapan ikan kuwe masih sangat rendah jika dibandingkan dengan pemanfaatan ikan kakap dan kerapu. Kelompok ikan carangoides sp sebenarnya merupakan jenis ikan komersial utama yang banyak diminati oleh negara Singapura dan Hongkong. Rendahnya konsistensi penangkapan ikan kuwe menyebabkan harga ikan tersebut masih lebih rendah dibandingkan ikan kakap dan kerapu. Secara umum potensi perikanan karang di pantai Barat Sumatera masih cukup besar. Pemanfaatan ikan demersal dari famili Serranidae dan Lutjanidae sudah mulai termanfaatkan secara baik, namun pemanfaatan ikan kerapu masih memerlukan peningkatan upaya penangkapan. Tingginya potensi pemanfaatan ika larang di pantai Barat Sumatera didukung oleh keberadaan ekosistem terumbu karang. Berdasarkan penyebaran karang seperti yang tertera pada Peta 135
165 (Lampiran 3), potensi sumberdaya ikan demersal masih menjanjikan di daerah pantai Barat Sumatera. Pemanfaatan sumberdaya ikan kakap putih secara lestari berada pada nilai 1260,89 ton/tahun, pada tahun 2006 sampai 2010 pemanfaatan masih berada dibawah batas pemanfaatan lestari (Lampiran 2). Data tersebut diperoleh dari hasil tangkapan yang berfluktuasi dari tahun ketahun, hasil tangkapan tertinggi terjadi pada tahun 2007 dan terendah berada pada tahun 2008 hal ini terjadi karena pada tahun 2008 terjadi penurunan jumlah effort yang sangat signifikan dari tahun 2006 dan 2007 karena adanya kebijakan pemerintah dalam menaikkan harga bahan bakar minyak sehingga nelayan banyak tidak melaut. Pada tahun 2009 dan 2010 meskipun effort mengalami penurunan namun memberikan hasil tangkapan yang lebih tinggi bila dibandingkan tahun 2008. 6.1.1
Ikan kerapu Penurunan jumlah upaya penangkapan ikan kerapu pada Tahun 2009 telah
memberikan pengaruh yang signifikan pada kenaikan jumlah hasil tangkapan. Pada tahun 2010 upaya penangkapan ikan kerapu mulai mengalami penurunan namun hasil tangkapan nelayan terhadap ikan kerapu tidak mengalami peningkatan. Perubahan hasil tangkapan ini menunjukkan bahwa pengoperasian bubu terhadap sumberdaya ikan karang tidak semata-mata dipengaruhi oleh jumlah upaya penangkapan. Sesuai dengan pernyataan Cann (1990), profitabilitas sebuah alat tangkap sangat dipengaruhi oleh kemampuan alat tangkap dalam menghasilkan ikan target. Kerapu yang tertangkap oleh bubu di pantai Barat Sumatera kemungkinan besar telah berada pada ukuran yang layak tangkap, sehingga penurunan upaya penangkapan kerapu dengan bubu justru memberikan kesempatan kepada ikan berukuran besar untuk masuk ke dalam perangkap. Hal ini semakin diperkuat dengan hasil pengukuran kerapu yang didominasi pada ukuran melebihi kriteria LM. Ikan kerapu merupakan jenis ikan demersal yang banyak ditemukan pada daerah karang di paparan benua tropis (Lounghurst and Pauly, 1987). Sesuai dengan pernyataan ini, pantai Barat Sumatera memrupakan ekosistem yang cukup
166 baik untuk pertumbuhan karang. Hal ini diperkuat dengan hasil tangkapan nelayan yang mampu menangkap ikan kerapu sepanjang tahun tanpa adanya pengaruh musim. Ikan kerapu tergolong pada kelompok ikan demersal yang hidup menetap dan memiliki pola gerak yang cenderung lambat. Ikan demersal dengan pola gerak seperti ini akan memiliki kandungan eritrosit dan haemoglobin yang relatif lebih rendah (Lee dan Kim, 1992). Sifat ikan yang memiliki pola gerak lambat akan mempengaruhi pola migrasinya, sehingga ikan kerapu cenderung tertangkap sepanjang tahun pada bubu yang ditempatkan disekitar karang. 6.1.2
Kakap merah Ikan kakap putih merupakan target penangkapan dari alat tangkap bubu.
Bubu yang dioperasikan nelayan Sibolga diletakkan pada daerah sekitar terumbu karang yang menjadi habitat dari ikan kakap merah dengan perendaman selama 7 sampai 10 hari. Kakap merah merupakan kelompok ikan karang yang termasuk dalam keluarga Lutjanidae. Sifat ikan ini cenderung mendiami ekosistem yang relatif berpindah saat terjadi perubahan usia (Jeyaseelan, 1998). Ikan ini akan mendiami ekosistem mangrove saat masih berukuran juvenil dan akan memijah, kemudian saat mulai tumbuh dewasa, ikan kakap putih akan mulai memasuki perairan yang lebih dalam dan bergerak ke arah padang lamun. Ikan kakap merah memiliki sifat sedentarIy yaitu menetap dalam waktu yang cukup lama setelah berumur dewasa. Sesuai dengan hasil tangkapan bubu nelayan Sibolga, ikan kakap putih yang masuk pada bubu rata-rata memiliki ukuran bobot di atas 0,6 kg. Jika nilai bobot ini dikorelasikan dengan nilai LM kakap putih, ukuran panjang 30 cm telah memberikan bobot sebesar 0,4 kg. Perbandingan nilai ini telah menunjukkan bahwa ikan kakap merah yang tertangkap oleh bubu telah memiliki ukuran yang layak tangkap. 6.1.3 Kuwe Sesuai dengan pernyataan Jeyaseelan (1998) terumbu karang merupakan habitat yang dijadikan ikan kuwe sebagai tempat berasosiasi dengan ikan lain. Ikan ini memiliki bentuk pipih dengan pola gaya renang yang cepat. Ikan kuwe memiliki sifat bermigrasi aktif dan berenang secara scholing serta tidak mendiami daerah ekosistem karang dalam waktu yang cukup lama. Sesuai dengan hasil
167 penelitian pukat ikan merupakan alat tangkap standar yang digunakan untuk menangkap ikan kuwe. Ikan kuwe sering dikategorikan sebagai ikan demersal karena sering tertangkap bersama kelompok ikan karang yang lain. Sebenarnya ikan ini merupakan jenis ikan yang melakukan asosiasi terhadap ekosistem terumbu karang. Ikan ini sering berada di celah karang untuk mencari makanan. Ikan ini tergolong sebagai predator aktif dalam rantai makanan yang terbentuk pada ekosistem terumbu karang. Sesuai dengan pernyataan (Lee dan Kim, 1992) variasi kelimpahan ikan kuwe sangat dipengaruhi oleh musim. Ikan kuwe dapat melakukan migrasi yang cenderung lebih jauh jika dibandingkan dengan ikan kerapu. Secara vertikal daerah renang ikan kuwe sering ditemukan pada perairan menangah sampai perairan dasar. Hasil perhitungan penangkapan ikan kuwe yang didaratkan di Sibolga menunjukkan bahwa bubu buksn merupakan alat tangkap yang paling dominan menangkap kuwe. Menurut Subani dan Barus (1989) pukat ikan merupakan alat yang paling produktif menangkap jenis ikan tersebut. Alat ini merupakan jenis alat tangkap yang dioperasiakn pada perairan menengah sampai peraran dasar. Pada saat melakukan migrasi untuk mencari makan, ikan ini sering tertangkap pada kantong jaring pukat ikan. Hasil penelitian pengoperasian bubu modifikasi menunjukkan bahwa perbaikan metode pengoperasian tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penangkapan ikan kuwe. Pernyataan ini juga sinergis dengan hasil penelitian Risamasu (2008) yang menyimpulkan pengoperasian bubu yang telah diberikan rumpon cenderung menghasilka ikan karang yang bersifat sedentary. Sifat menetap pada ikan karang memberikan pengaruh yang lebih baik dalam produktivitas bubu.
6.2 Daerah Pengoperasian Bubu Bentuk topografi yang bervariasi akibat keberadaan karang telah membantu nelayan bubu Sibolga dalam menemukan bubu saat dioperasikan di Pulau Mursala. Daerah pengoperasian yang menghindari laut terbuka juga mengurangi pergerakan bubu akibat proses pasang surut. Menurut Pratomo (2010), topografi mempengaruhi arus pada kecepatannya saat menuju daratan sewaktu terjadi arus
168 pasang, serta saat berbalik ke daratan pada waktu surut. Kecepatan arus rata-rata di perairan Pulau Mursala pada kondisi normal sekitar 0,8 m/s sampai 1,2 m/s. Dengan pola arus seperti ini rata-rata pergeseran bubu pada sisi lintang 42 meter, sedangkan pada sisi bujur sebesar 38 meter. Bubu yang ditemukan kembali di perairan Pulau Mursala tentunya sangat dipengaruhi oleh pergeseran titiknya. Rata-rata pergeseran titik pengoperasian bubu nelayan diperoleh sebesar 61 meter. Kecepatan arus yang relatif stabil dan besar sangat berpengaruh terhadap keberadaan ekosistem karang. Menurut Lee dan Kim (1992) perbedaan kelimpahan ikan demersal sangat ditentukan oleh keberadaan ekosistem disekitarnya. Perbedaan kelimpahan ini juga sangat dipengaruhi oleh musim dan intensitas matahari. Terumbu karang yang sehat akan dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari dan pergerakan arus yang stabil. Kondisi terumbu karang yang masih cukup baik di sekitar perairan Pulau mursala akan memberikan pengaruh terhadap pola arus dan sebaliknya. Pola pergerakan arus pada perairan Pulau Pini dapat berubah secara ekstirm karena daerh ini termasuk pada wilayah yang mendekati perairan terbuka. Bentuk topografi dasar laut di perairan Pulau Pini sangat bervariasi dan cenderung terjal, Menurut Pratomo (2010) gerakan arus akan semakin lambat pada saat bertemu dengan bentuk topografi dasar laut yang ekstrem. Ditambahkan oleh Pratomo (2010), semakin landai bentuk topografi semakin cepat dan laminer gerakan arusnya, tetapi semakin beragam bentuk topografinya maka semakin lambat gerakan arusnya. Topografi yang beragam juga dapat membentuk aliran turbulen pada gerakan arusnya. Penempatan bubu di celah karang yang mencapai ketinggian 8 meter di perairan Pulau Pini dapat membantu mengurangi pergerakan bubu. Menurut Gross (1990) pergerakan angin juga akan mempengaruhi pola arus di dasar perairan. Pada saat musim barat pergerakan angin lebih besar jika dibandingkan dengan musim timur. Gross (1990) menambahkan bahwa arus dasar akibat pergerakan angin memberikan pemgaruh sebesar 2%, pengaruh ini akan semakin kecil dan hilang setelah perairan mencapai kedalaman 200 meter. Perairan Pulau Pini sebagai daerah pengoperasian bubu hanya memiliki kedalaman maksimum 63 meter, sehingga dapat disimpulakan bahwa arus dasar pada perairan ini masih dipengaruhi oleh pergerakan arah angin.
169 Menurut Lee dan Kim (1992), perairan wilayah tropis yang berarus akan membentuk ekosistem terumbu karang bersama ikan-ikan yang mendiaminya. Pada ekosistem karang yang baik akan ditemukan ikan-ikan clupeidae dan dua kelompok pemangsa bento-pelagis mirip belut. Beliau menambahkan perairan Indo-Pasifik memiliki 7 spesies dari 3 famili utama yang memdiami ekosistem terumbu karang sebagai target utama untuk ekspor kegiatan penangkapan. Dua kelompok ikan Scorpaeniformes kuga terdapat melimpah di perairan tropis pada substrat dasar lumpur berpasir. Spesies ikan scorpion sering digunakan sebagai indikator dari keberadaaan terumbu karang yang masih cukup baik. Kondisi perairan seperti ini banyak ditemukan di sekitar perairan Pulau Nias. Keberadaan eksositem karang menjadikan daerah penangkapan ikan pada perairan Pulau Nias masih dapat dikembangkan oleh nelayan bubu. Penempatan bubu pada daerah yang berhadapan dengan perairan terbuka dapat dijadikan pertimbangan dalam mencegah pergerakan bubu di dasar perairan. Posisi Pulau Nias yang lebih dekat
pada Samudera Hindia juga menimbulkan arus yang
disebabkan oleh angin. Menurut Pratomo (2010) pergerakan arus di perairan pantai Barat Sumatera sangat dipengaruhi oleh pasut serta pola arus regional di Samudera Hindia. Berdasarkan penelitian, kecepatan arus terbesar di pantai Barat Sumatera terjadi saat musim peralihan yang memiliki kecepatan maksimal mencapai 3,58 m/s dengan arah dominan ke tenggara hingga selatan. Pada musim timur kecepatan arus maksimal mencapai 2,24 m/s dengan arah dominan ke arah tenggara. 6.3 Perbandingan Konstruksi dan Operasional Bubu 6.3.1 Konstruksi bubu nelayan dan bubu modifikasi Rose (1998) menyatakan diameter tulang/rangka alas pada bubu memiliki ukuran yang lebih besar dari diameter rangka selimut bubu. Penggunaan diameter alas yang lebih besar ditujukan sebagai tempat menambatkan batu pemberat yang ditempatkan pada keempat sisi alas bubu. Konstruksi bubu besi juga diberikan tempat mengikatkan pemberat, tujuan dari pembuatan pemberat pada sudut yang sama adalah untuk mempermudah gerak jatuh bubu.
Konstruksi bubu juga
dipengaruhi oleh metode perendaman bubu dalam air. Dengan mempersingkat waktu perendaman bubu, diharapkan umur teknis bubu kawat semakin panjang
170 karena bubu yang digunakan nelayan biasanya akan dicuci sebelum dijatuhkan kembali. Pencucian bubu dilakukan untuk membersihkan alga dan lumut yang menempel pada selimut bubu. Konstruksi bubu kawat milik nelayan di pantai Barat Sumatera dapat lebih efektif dengan cara memperbaiki bahan penyusun selimut. Berdasarkan hasil penelitian pabrik pembuat perabot rumah tangga, pemberian pelapis anti karat dapat memperlambat kerusakan besi akibat korosi. Baja (aloi dari besi) mengandung sebelas persen hingga dua belas persen kromium dan sedikit mengandung karbon yang dikenal stainless steel. Baja tahan karat dan sering digunakan dalam industri, untuk bahan kimia, dan alat rumah tangga. Rose (1998) menyatakan pembuatan bubu dengan kawat baja memberikan konstruksi yang lebih kuat dan memperlambat proses korosi. Menurut Martasuganda (2003) bahwa teknologi penangkapan ikan dengan menggunakan bubu kawat banyak dilakukan hampir di seluruh belahan dunia. Masyarakat Indonesia mengoperasikan bubu besi atau kawat mulai dari skala menengah sampai pada skala besar karena usaha ini memerlukan modal yang relatif besar. Untuk skala menengah umumnya banyak dilakukan oleh negaranegara yang memiliki perairan pantai yang masih belum maju sistem perikanannya. Pada skala besar banyak dilakukan oleh negara maju seperti Amerika dan Jepang yang industri perikanannya telah berkembang pesat. Masyarakat Sibolga sebagai objek pengguna bubu telah termasuk pada kategori perikanan bubu skala menengah dan besar. Hal ini didasarkan pada armada penangkapan dan jumlah unit bubu yang digunakan dalam setiap pengoperasiannya. Pada umumnya kapal yang digunakan dalam pengoperasian bubu adalah kapal perikanan yang memiliki ukuran di atas 10 GT dan memiliki mesin lebih dari 105 PK. Untuk jumlah satuan bubu dalam sekali operasi penangkapan, rata-rata nelayan Sibolga memiliki 30 sampai 60 bubu dalam satu kali trip penangkapan. Kawat penyusun selimut bubu merupakan bahan yang mudah mengalami korosi saat terkena air laut. Peristiwa korosi, logam mengalami oksidasi, sedangkan oksigen (O2) mengalami reduksi. Karat logam umumnya adalah berupa oksida atau karbonat.
171 Rumus kimia karat pada kawat besi seperti bahan selimut bubu adalah Fe2O3.nH2O. Benda tersebut merupakan suatu zat padat berwarna coklat kemerahan yang sering ditemukan pada selimut kawat bubu. Korosi pada bubu merupakan proses elektrokimia, dimana bagian tertentu dari besi berlaku sebagai anoda. Fe(s) <--> Fe2+(aq) + 2e. Elektron yang dibebaskan di anoda mengalir ke bagian lain dari besi tersebut yang bertindak sebagai katoda, dengan rumus kimia: O2(g) + 4H+(aq) + 4e <--> 2H2O(l) atau O2(g) + 2H2O(l) + 4e <--> 4OH-(aq) Kecepatan korosi pada bubu sangat tergantung beberapa faktor, yaitu: 1)
Keberadaan lapisan oksida, bubu yang ditempatkan di udara terbuka saat menunggu proses penjatuhan turut mempercepat pengkaratan. Penempatan bubu pada lokasi yang tidak berpindah-pindah dapat mengurangi resiko percepatan korosi.
2)
Karat, karat yang telah terbentuk pada kawat bubu akan mempercepat proses pengaratan berikutnya, sehingga karat pada bubu sebaiknya dibersihkan sebelum dijatuhkan kembali.
3)
Kontak dengan air, mekanisme terjadinya korosi adalah logam besi yang kontak dengan udara akan teroksidasi oleh ion Fe2+. Ion ini larut dalam tetesan air yang menimbulkan karat. Semakin lama bubu terendam dalam air akan mempercepat proses karat besi (Fe2O3.H2O).
6.3.2 Operasi penangkapan ikan dengan bubu 1) Penjatuhan bubu Penjatuhan bubu kawat dengan sistem rawai sangat berbeda dengan sistem nelayan Indonesia di beberapa daerah. Bubu kawat nelayan Sabesi (Mahulette, 2004) dan Kupang (Risamasu, 2008) mengoperasikan bubu dengan sistem tunggal dan dilakukan pada daerah perairan yang relatif sama. Bubu nelayan kupang bahkan melakukan inovasi dengan memberikan rumpon di sekitar wilayah perairan
penempatan
pengoperasian
bubu
bubu. dimulai.
Rumpon Nelayan
ini
dijatuhkan
bubu
Sibolga
sebulan
sebelum
seharusnya
dapat
172 meningkatkan efisiensi proses penjatuhan bubu dengan melihat perkembangan teknik operasi yang dilakukan oleh nelayan daerah lain. Pengoperasian bubu nelayan yang tidak mengukur arus, ternyata berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Rose (1998) pada saat merancang bubu kawat di laut terbuka. Bubu kawat merupakan benda yang memiliki massa jenis lebih besar dari rotan atau bambu. Pergerakan benda dari kawat besi menuju dasar perairan sangat dipengaruhi oleh arus dan kedalaman. Senada dengan pengoperasian bubu di Bali, faktor arus merupakan variabel penting yang sangat berpengaruh pada kedudukan bubu di dasar laut. Semakin dalam pengoperasian sebuah alat tangkap, maka semakin besar kemampuan yang dibutuhkan benda tersebut untuk bertahan pada kedudukannya. Pada dasarnya arus dapat dibagi atas dua bagian yaitu arus makro dan mikro (Brown et al. dalam Mahulette, 2004). Arus makro adalah arus global yang selalu terjadi setiap musim dalam satu tahun sedangkan arus mikro merupakan arus lokal yang terjadi karena adanya pergantian musim. Tekanan air pada permukaan menyebabkan zona divergensi pada permukaan air. Pembentukan zona tersebut akan menghasilkan perbedaan tekanan air yang menimbulkan gelombang pada permukaan. Nelayan menyatakan faktor keseimbangan gerak bubu dalam air, letak bubu di dasar perairan dan posisi peletakan bubu yang terus bergerak akibat arus belum diperhatikan. Asumsi terkait pengoperasian bubu nelayan diperlihatkan dengan seringnya nelayan tidak menemukan bubu dan waktu pencarian bubu yang cukup lama. Fishing ghost yang terjadi pada bubu nelayan dinyatakan sebagai akibat pencurian oleh nelayan lain, sehingga banyak nelayan bubu menempatkan bubu pada kedalaman lebih dari 60 m. Penempatan bubu pada kedalaman lebih dari 30 meter menyebabkan gerak jatuh bubu nelayan menyentuh dasar perairan menjadi sangat dipengaruhi arus. Tidak sempurnanya gerak jatuh bubu menimbulkan osilasi pada permukaan selimut bubu. Osilasi yang terjadi pada bubu telah merubah luas permukaan selimut bubu menjadi lebih besar dan cenderung tidak stabil. Permukaan yang lebih besar akan menimbulkan gaya tahanan terhadap arus yang semakin besar, hal ini menyebabkan bubu nelayan cenderung bergeser lebih jauh dari titik
173 penjatuhan. Pola pergeseran bubu nelayan biasanya akan mengikuti gerak arus laut (Gambar 55).
Gambar 55 Pola gerak jatuh bubu nelayan dalam perairan Sesuai pernyataan Husni (2007), pola gerak jatuh bubu laut dalam berdasarkan pengaruh lingkungan secara umum terjadi secara dua dimensi. Gerak jatuh bubu nelayan dipengaruhi resultan gaya vertikal dan horizontal. Resultan gaya vertikal sangat terkait dengan besarnya energi potensial yang dimiliki oleh bubu itu sendiri. Penambahan pemberat pada bubu modifikasi telah memberikan penambahan energi potensial pada bubu sehingga mempercepat laju jatuhnya bubu menyentuh dasar perairan. Secara horizontal pergeseran bubu sangat dipengaruhi oleh pola arus. Gerakan jatuh bubu di pantai Barat Sumatera sama seperti pernyataan Norris (2010) bahwa tingginya pergerakan arus dapat menyebabkan pergeseran pada bubu sampai pada tahap hilang (ghost fishing). Pergeseran bubu modifikasi menjadi relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan bubu nelayan. Hal ini terjadi karena gaya horizontal yang ditimbulkan oleh arus dapat dikurangi dengan adanya percepatan gaya gerak jatuh bubu modifikasi menyentuh dasar perairan. Penambahan pemberat pada setiap sudut telah menjaga keseimbangan gerak jatuh bubu dan mengurangi terjadinya osilasi. Pengurangan pergeseran ini pada akhirnya akan mempercepat proses penemuan
174 bubu sehingga efektivitas operasi penangkapan dapat ditingkatkan. Pola gerak jatuh bubu modifikasi menyentuh dasar perairan dapat dilihat pada Gambar 56.
Gambar 56 Pola gerak jatuh bubu modifikasi dalam perairan Gerakan air laut yang terjadi merupakan hasil resultan dari berbagai macam gaya yang bekerja pada permukaan, kolom, dan dasar perairan. Hasil dari gerakan massa air adalah vektor yang mempunyai besaran kecepatan dan arah. Prinsip gerakan jatuh bubu pada kolom air merupakan jenis gerak lurus beraturan. Gerak ini memiliki syarat tidak terjadinya perubahan kecepatan karena adanya kerapatan air selama bubu menuju dasar perairan. Sesuai dengan pendapat Gross (1990), pola arus horizontal baik akibat pasang surut maupun gaya coriolis dari perputaran bumi telah mempengaruhi gerak jatuh benda menyentuh dasar perairan. Berdasarkan resultan gaya yang dimiliki oleh bubu modifikasi, penambahan pemberat telah mempercepat gerakan bubu secara vertikal dan mengurangi pergeseran secara horizontal akibat adanya tekanan dari pemberat di alas bubu. Sesuai dengan penelitian Rose (1998) mendesain bubu kawat dengan meletakkan titik keseimbangan pada bagian bawah akan mempercepat laju gerak bubu itu sendiri. Bubu modifikasi yang memberikan rangka lebih besar pada alas telah menambah kemampuan rangka bawah bubu dalam menahan penambahan massa akibat pemberat. Percobaan ini juga didukung dengan hasil penelitian yang
175 menunjukkan titik setting bubu modifikasi tidak berbeda jauh dengan posisi hauling. 2) Pergeseran bubu nelayan dan modifikasi Pergeseran bubu nelayan pada daerah pengoperasiannya terjadi akibat beberapa faktor utama diantaranya: 1)
Arus di dasar perairan, arus timbul karena adanya pergerakan massa air di laut. Daerah yang terlindungi dari arus merupakan pilihan yang paling tepat dalam menjatuhkan bubu.
2)
Kedalaman perairan, proses bubu menyentuh dasar perairan membutuhkan waktu dan saat yang bersamaan bubu akan terbawa oleh gerakan air sebelum
menyentuh
dasar
perairan.
Kedalaman
perairan
akan
mempengaruhi gerakan bubu di daerah penjatuhannya. 3)
Topografi, daerah pengoperasian yang memiliki ekosistem karang keras akan menimbulkan turbulensi yang semakin kuat. Turbulensi merupakan gerakan arus akibat adanya gesekan di antara dua lapisan batas air. Karang yang keras akan menghasilkan gaya gesekan air yang lebih kuat, sehingga bubu yang berada di sekitar karang akan mengalami pergeseran (Gross, 1990). Pantai Barat Sumatera memiliki daerah penangkapan yang cenderung
terbuka, hal ini mengakibatkan sering terjadinya pergeseran bubu yang cukup jauh. Pola arus dasar yang cukup kuat membuat nelayan sering memberikan pemberat berupa batu karang yang diikatkan pada dasar bubu. Penggunaan batu karang sebagai pemberat turut merusak ekosistem terumbu di sekitar daerah pengoperasian bubu. Penempatan bubu secara tepat dan tidak berpindah-pindah dapat dilakukan dengan pembentukan daerah pengoperasian bubu sendiri seperti memberikan rumpon disekitarnya. Pergeseran bubu akibat pembentukan zona perairan menjadi informasi yang perlu diketahui oleh nelayan. Fenomena perubahan suhu perairan juga dapat menyebabkan terjadinya arus. Perubahan suhu sering terjadi pada laut terbuka sepanjang zona divergensi dan sepanjang pantai seperti pada pantai Barat Sumatera. Angin yang mendorong lapisan air permukaan mengakibatkan kekosongan di bagian atas, sehingga air yang berasal dari bawah menggantikan
176 kekosongan yang berada di atas. Air yang berada di dasar perairan belum berhubungan dengan atmosfer, maka kandugan oksigennya rendah dan suhunya lebih dingin dibandingkan dengan suhu permukaan lainnya. Kejadian bergeraknya massa air dari dasar perairan menuju permukaan disebut upwelling (Gross, 1990). Daerah pengoperasian yang berarus mengandung larutan nutrien seperti nitrat dan fosfat sehingga cederung mengandung banyak fitoplankton. Fitoplankton merupakan bahan dasar rantai makanan di lautan, dengan demikian di daerah upwelling umumnya kaya sumberdaya ikan. Sesuai dengan pendapat Simbolon (2011), daerah penangkapan ikan pada umumnya mengalami dinamika dan karakteristik yang berbeda. Pulau Karang yang merupakan daerah perairan terbuka memiliki arus yang cukup kuat, namun sistem rantai makanan pada daerah pengoperasian ini tidak berlangsung dengan baik. Kelimpahan ikan juga sangat dipengaruhi oleh sistem rantai makanan yang berlangsung dalam ekosistem tersebut. Dapat disimpulkan bahwa arus pada akhirnya juga akan mempengaruhi hasil tangkapan nelayan di pantai Barat Sumatera. Menurut Lee dan Kim (1992), keanekaragaman ikan demersal pada paparan benua di daerah tropis sangat tinggi karena didukung oleh keberadaan ekosistem terumbu karang. Pantai Barat Sumatera merupakan salah satu daerah paparan benua yang memiliki potensi ikan demersal cukup besar. Ikan demersal akan tumbuh dan berkembang di sekitar daerah pantai seperti ekosistem mangrove dan padang lamun. Pada usia dewasa ikan akan bergerak ke arah ekosistem karang untuk berkembang dan mencari makan. Pernyataan ini juga didukung oleh Jeyaseelan (1998) yang menyatakan bahwa potensi perikanan pantai Barat Sumatera masih cukup besar karena keberadaan ekosistem mangrove sebagai penyangga ekologi di pantai. Mangrove akan dijadikan sebagai spawning ground ikan demersal seperti kakap (Lutjanus sp). Ikan kakap dan kerapu akan berkembang di daerah perairan dangkal dan setelah dewasa menuju daerah karang. Secara umum penempatan bubu modifikasi yang memiliki bentuk hampir sama dengan bubu nelayan memberikan perbedaan yang nyata. Berdasarkan daerah pengoperasiannya, bubu modifikasi yang ditempatkan pada perairan Pulau Mursala memiliki titik pergeseran yang paling kecil. Perairan Pulau Mursala merupakan perairan yang dekat dengan Sumatera dan penempatan bubu dilakukan
177 tidak mengarah pada Samudera Hindia. Peletakan bubu yang menghindari arus akibat pasang surut dan termohalin membantu stabilitas bubu di dasar. Hal ini sesuai dengan pernyataan Gross (1990) yang menyatakan bahwa arus yang ditimbulkan oleh pemanasan yang tidak merata pada permukaan laut dan rotasi bumi terhadap matahari menimbulkan daya gerak air di laut. Daya gerak air ini akan semakin kuat ketika daerah perairan bersifat terbuka dan mengarah pada perairan yang lebih luas. Penempatan bubu modifikasi pada perairan yang menghadap laut terbuka dan samudera seperti Pulau Karang, telah menjadikan pergeseran bubu terbesar jika dibandingkan Pulai Pini dan Nias. Perairan Pulau Karang sebenarnya merupakan perairan yang paling dekat dengan Pulau Sumatera, tetapi karena tidak adanya pulau kecil yang menghalangi pergerakan arus menuju Pulau Karang, hal ini sering menyebabkan nelayan kehilangan bubu. Penempatan bubu pada tubir karang di perairan Pulau tersebut dapat dijadikan alternatif pencegahan pergeseran bubu yang sangat jauh. Nelayan Sibolga pada perairan ini dapat mencoba mengoperasikan bubu modifikasi dengan menggunakan rumpon seperti yang dikembangkan di Indonesia Timur (Risamasu, 2008). Penggunaan rumpon akan membantu nelayan untuk tidak berpindah-pindah dalam jarak yang jauh ketika menjatuhkan bubu. Untuk mempersingkat proses pencarian bubu, peningkatan stabilitas gerak bubu dan pencegahan pergeseran saat setting sudah cukup untuk dikembangkan nelayan Sibolga. Pembuktian melalui penelitian ini telah menunjukkan bagaimana proses penjatuhan dan pencarian bubu akan mempersingkat waktu pengoperasian bubu. Jumlah hari operasi bubu nelayan Sibolga yang mencapai 14 hari, dapat dikurangi jika mengoperasikan jumlah unit bubu yang sama. Pertimbangan lain yang dihasilkan dari penelitian ini adalah nelayan akan dapat meningkatkan jumlah unit pengoperasian bubu dengan jumlah hari operasi yang sama. Dengan pertimbangan ini maka produktivitas nelayan bubu akan semakin meningkat atau biaya operasional dapat dikurangi. Pergeseran bubu besi pada perairan dalam juga telah dikembangkan di Pelabuhan Ratu. Besi yang memiliki massa lebih besar jika dibandingkan dengan bubu bambu atau rotan dapat dijadikan sebagai alternatif penangkapan ikan
178 demersal pada kedalaman lebih dari 30 meter (Mahulette, 2004). Pola penempatan bubu yang berpindah-pindah sebenarnya dapat menjadi pertimbangan nelayan agar tidak merusak ekosistem. Bubu yang dioperasikan secara ramah akan menjaga keseimbangan ekosistem disekitarnya. Purbayanto et al. (2007) mengemukakan hasil penelitian bubu laut dalam yang dilaksanakan di Teluk Pelabuhan Ratu, posisi peletakan bubu besi yang terletak pada laut dalam hanya mengalami pergeseran tidak lebih dari 2 menit khususnya pada bujur timur. Bubu besi ini tidak bergerak karena diberikan pemberat dan pada saat pengoperasian bubu dilengkapi dengan pelampung tanda. Pengoperasian bubu ini senada dengan penelitian Mahulette (2004) yang melakukan penelitian bubu kawat dan bambu di perairan Bali. Pada umumnya bubu yang diletakkan pada kedalaman 15 sampai 70 meter akan mengalami pergeseran akibat adanya arus dasar. Peletakan bubu pada paparan samudera khususnya bubu besi akan menjaga keseimbangan bubu dari gerak arus jika dibandingkan dengan bubu yang terbuat dari rotan atau bambu. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa bubu kawat lebih produktif dalam menghasilkan ikan karang jika dibandingkan dengan bubu bambu. Jika memperhatikan tingkat perbandingan angka kehilangan bubu saat pengangkatan, nelayan Sibolga menyatakan bahwa daerah Pulau Karang merupakan posisi yang paling sering terjadinya kehilangan bubu. Sesuai dengan tujuan penelitian ini yaitu untuk meningkatkan usaha bubu yang berkelanjutan maka penempatan bubu pada Pulau Karang sebaiknya dikurangi dan lebih melihat potensi daerah penangkapan ikan karang lain seperti daerah kepulauan yang ada di perairan Aceh. Daerah perairan Aceh merupakan lokasi yang tidak jauh dari Pulau Karang, karena Pulau Karang merupakan bagian barat laut yang merupakan perbatasan Sumatera Utara dengan Aceh. Sesuai dengan pendapat Martasuganda (2003) yaitu dengan memperhatikan waktu pengoperasian bubu kawat maka resiko hilangnya bubu dapat dikurangi. Peningkatan jumlah hari pengoperasian bubu dapat dikurangi dengan memberikan rumpon pada sekitar daerah penjatuhan bubu seperti yang dilakukan nelayan Kupang (Risamasu, 2008). Pengembangan daerah pengoperasian bubu dengan rumpon dapat menjadi salah satu alternatif pengembangan usaha bubu di pantai Barat Sumatera.
179 3) Pencarian bubu nelayan dan modifikasi Berdasarkan hasil penelitian ini, maka diperlukan sebuah bahan yang mampu menjaga gerak stabilitas bubu agar tidak terbawa arus. Kedalam perairan dan lokasi perairan yang mendekati laut lepas telah mempengaruhi waktu pencarian bubu. Pemberian pemberat ini sesuai dengan penelitian Rose (1998) yang merekomendasikan bubu besi pada wilayah perairan terbuka dan mendekati samudera sebaiknya dilengkapi benda yang mampu menahan laju bubu oleh air. Berbeda dengan pendapat Risamasu (2008), penempatan bubu secara berpindah-pindah akan meningkatkan resiko kehilangan. Bubu nelayan di pantai Barat Sumatera sebaiknya mempertimbangkan penempatan yang terus berpindahpindah. Pemberian rumpon dan terumbu karang buatan sebenarnya dapat menjadi alternatif dalam meningkatkan prduktivitas bubu tanpa harus memindahkan bubu dan mencari lokasi penempatan baru. Bubu nelayan di Sibolga merupakan ketegori bubu dasar yang sifatnya tetap menempel pada dasar perairan. Pantai Barat Sumatera merupakan perairan yang umumnya memiliki jenis substrat pasir berlumpur. Ekosistem karang di pantai Barat Sumatera terdiri dari karang lunak dan keras yang hidup pada kedalaman kurang dari 30 m. Hasil pengamatan penempatan bubu oleh nelayan, kedalaman perairan yang lebih dari 30 m adalah kriteria utama penjatuhan bubu. Bubu dijatuhkan di wilayah karang dengan topografi perairan yang memiliki kemiringan tidak terjal. Hasil pengamatan penjatuhan bubu nelayan pada Pulau Mursala yang dimulai pada titik 98'30''3170''' BT dan 1'33''1172''' LU, bubu akan bergeser dan ditemukan pada titik 98'30''3189''' BT dan 1'33''1190''' LU. Pergeseran titik setting bubu di Pulau Mursala pada lintang utara terjauh 546 meter. Untuk pergeseseran bubu nelayan di Pulau Pini yang paling jauh 300 meter pada posisi Lintang Utara. Pergeseran bubu terjauh yang terjadi di Pulau Nias adalah sekitar 330 meter, sedangkan pergeseran bubu nelayan untuk Pulau Karang 570 meter. Pergeseran titik setting menjadi salah satu alasan utama sulitnya menemukan bubu nelayan. Titik koordinat awal yang disimpan oleh nelayan menjadi tidak akurat karena gerak bubu nelayan tidak stabil dan cenderung mengikuti arah arus. Penjatuhan bubu dengan pemberat yang dibuat dari semen,
180 menjadikan bubu kawat nelayan Kupang lebih mudah untuk dicari (Risamasu, 2008). Bubu yang dioperasikan secara bergandengan tentu akan semakin statis pada saat diberikan pemberat, karena bila bubu yang satu bergerak maka bubu pasangannya akan memiliki daya untuk menahan gerak bubu tersebut. Perbaikan titik setting dan hauling pada bubu nelayan dapat dilakukan dengan meningkatkan daya stabilitas gerak bubu menuju dasar perairan. Kegiatan ini juga diperkuat dengan pengoperasian nelayan bubu Teluk Bone (Kurnia, 2001) yang mengoperasikan bubu kawat dengan pemberat dan pelampung tanda. Proses pencarian bubu dengan alat bantu gancu pada perairan pantai Barat Sumatera dapat dilihat pada Gambar 57.
Gambar 57 Proses pencarian bubu modifikasi yang dilengkapi pelampung Modifikasi teknik pengoperasian yang melengkapi tali ris (main line) dengan pelampung terbukti dapat mempercepat pencarian dan mengurangi kerusakan karang. Tali gancu pada pencarian bubu tidak dijatuhkan sampai menyentuh dasar perairan karena tali ris berada pada kondisi renggang. Hal ini tentu saja meningkatkan efektivitas pencarian bubu. Gancu yang dioperasikan 3 meter di atas dasar perairan membuat benturan pada karang dapat dihindari. Teknik seperti ini masih berbeda dengan cara pengoperasian bubu di perairan Indonesia lainnya, seperti pengoperasian bubu di Sabesi (Mahulette, 2004) dan Karimunjawa (Nurhidayat, 2002) yang menjatuhkan bubu secara tunggal.
181 6.3.3 Perbandingan kinerja teknis bubu nelayan dan modifikasi Sesuai dengan pendapat Gross (1990) fenomena kejadian alam yang menimbulkan arus di air dapat terjadi setiap saat. Perubahan iklim secara mendadak dan akibat adanya gaya koriolis akan mampu menghasilkan gerakan air di dasar perairan. Penempatan bubu yang terlalu lama juga sangat berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Martasuganda (2003), penempatan bubu besi yang menangkap ikan karang biasanya dilakukan maksimal 3 hari. Metode ini dilakukan untuk menjaga bubu agar tidak hilang dan ikan target tidak saling memangsa. Ikan yang tertangkap pada bubu besi dengan kedalaman lebih dari 30 meter umumnya merupakan ikan karang yang memiliki kecenderungan bersifat karnivora (Susanti, 2009). Daya tahan bubu juga dipengaruhi oleh metode pengoperasian, inovasi bubu dasar pernah dicobakan dengan kombinasi pengoperasian bersama rumpon (Risamasu, 2008). Bubu yang dioperasikan dengan rumpon berpengaruh terhadap waktu perendaman. Menurut Martasuganda (2003), lama perendaman bubu di perairan ada yang dilakukan beberapa jam, satu malam, tiga malam bahkan sampai seminggu. Bubu inovasi dengan rumpon di Semau Kupang dioperasikan dengan sistem perendaman 10 jam dan umur teknisnya dapat mencapai satu tahun. Berbeda dengan metode pengoperasian bubu di Semau Kupang, perendaman bubu di pantai Barat Sumatera dilakukan lebih dari satu minggu. Selimut bubu yang terbuat dari kawat besi (Fe) merupakan bahan yang mudah mengalami korosi. Perendaman bubu dengan metode yang dilakukan di pantai Barat Sumatera menyebabkan umur teknis bubu hanya mencapai 3 bulan. Air laut yang mengandung NaCl merupakan senyawa yang mempercepat proses korosi pada besi. Elektrolit (asam atau garam) merupakan media yang baik untuk melangsungkan transfer muatan. Hal itu mengakibatkan elektron lebih mudah untuk dapat diikat oleh oksigen di udara. Oleh karena itu, air hujan (asam) dan air laut (garam) merupakan penyebab korosi yang utama.
182 6.3.4 Faktor yang mempengaruhi pengoperasian bubu Secara umum dari hasil pengamatan pengoperasian bubu nelayan di pantai Barat Sumatera, ada beberapa faktor utama yang menentukan keberhasilan usaha bubu, antara lain: kedalaman, topografi, sedimen dan substrat perairan 1)
Kedalaman perairan Berdasarkan sifat ekologinya terhadap kedalaman perairan, ikan karang digolongkan dalam tiga kelompok yaitu di perairan dangkal (0 sampai 4 meter), sedang (5 sampai 19 meter) dan dalam (>20 meter). Bubu yang dioperasikan pada kedalaman lebih dari 20 meter ditujukan untuk menangkap ikan karang yang berukuran besar. Daerah penangkapan ikan yang digunakan nelayan bubu Sibolga dalam mengoperasikan bubu memiliki variasi kedalaman yang berbeda-beda. Dari keempat daerah pengoperasian bubu tersebut, perairan Pulau Nias merupakan perairan yang paling dalam. Hal ini dimungkinkan karena perairan ini merupakan perairan terluar yang mendekati laut bebas. Ikan karang yang bersifat diurnal memiliki aktivitas mencari makan dan berlindung pada siang hari. Penempatan bubu pada kolom periaran yang masih dapat ditembus matahari seharusnya menjadi pertimbangan nelayan. Ikan akan masuk ke dalam bubu saat siang hari, karena ikan karang cenderung memiliki visual acuity yang lebih rendah dibandingkan dengan ikan pelagis.
2)
Topografi perairan Togografi perairan dalam mengoperasikan bubu harus perairan berkarang, karena karang merupakan habitat dari ikan target bubu. Terumbu karang merupakan sistem yang sangat kompleks dan terdiri dari makrohabitat. Secara umum ikan karang benar-benar telah menyatu dengan ekosistem terumbu karang dan merupakan penghuni dari terumbu karang yang paling menonjol. Ikan target bubu yang hidup di terumbu karang merupakan ikan yang bersifat diurnal (beraktivitas di siang hari). Menurut Risamasu (2008) kurang lebih 30% merupakan ikan yang bersifat driptik (tidak mudah kelihatan). Sejumlah besar ikan karang dari kelompok Serranidae, Carangidae dan Lutjanidae yang tertangkap pada bubu merupakan ikan yang bersimbiosis dengan terumbu karang. Penempatan bubu pada karang yang
183 masih baik menjadi salah satu faktor keberhasilan usaha pengoperasian bubu. 3)
Substrat Jenis substrat perairan yang umum ditemukan sebagai habitat ikan karang adalah: karang hidup, karang mati, pecahan pasir, karang lunak dan pasir. Ikan karang yang berukuran besar pada umumnya berlindung dan bersembunyi pada tubir karang keras dan pecahan karang di dasar perairan. Penempatan bubu akan semakin berhasil bila nelayan mampu meletakkan bubu pada daerah karang yang memungkinkan ikan tinggal. Ikan karang memiliki sifat sedentary (menetap) pada suatu wilayah. Pemilihan perairan dengan subtrat yang memiliki ciri ekologi kompleks akan membantu nelayan dalam menangkap ikan target. Salah satu ikan karang yang menjadi target utama untuk ekspor bubu yaitu kerapu, memiliki karakteristik yang cenderung menetap dan berkembangbiak pada wilayah perairan yang terbatas (Suharti, 2009).
6.4 Dampak Pengoperasian Bubu Nelayan Hasil penelitian teknik pengoperasian bubu nelayan menunjukkan bahwa bubu kawat dianggap merusak ekosistem karang karena alas bubu sering tersangkut pada karang. Penelitian Risamasu (2008) menyimpulkan bahwa pengoperasian bubu yang tidak berpindah-pindah dapat mengurangi resiko kerusakan ekosistem karang. Produktivitas hasil tangkapan akan terus konsisten dengan menambahkan rumpon pada daerah pengoperasian bubu. Penyebab kerusakan terbesar di pantai Barat Sumatera terjadi karena pengambilan batu karang, pencemaran laut dan aktivitas penangkapan ikan oleh trawl atau Pukat Harimau. Hasil pengamatan ini sesuai dengan pernyataan Nontji (2002) yang menyatakan bahwa kerusakan terbesar ekosistem laut akibat aktivitas manusia. Pengambilan batu karang oleh masyarakat khususnya untuk bahan pemberat merupakan salah satu penyebab utama rusaknya ekosistem laut. Masyarakat Pulau Pini, Nias dan Mursala menggunakan batu karang untuk mengoperasikan bubu dan membuat pembatas di sekitar tempat tinggal mereka. Batu karang yang digunakan sering diambil pada ekosistem karang yang masih dalam kondisi baik.
184 Pertumbuhan karang keras seperti jenis Archopora memerlukan waktu yang cukup lama untuk mencapai 1 cm. Penangkapan ikan yang bersifat destruktif adalah penyebab utama yang selalu diangkat oleh pemerintah daerah khususnya Sumatera Barat. Bubu adalah salah satu alat tangkap yang dilarang beroperasi oleh pemerintah daerah, namun setelah dikonfirmasi peraturan pelarangan operasi bubu secara tertulis belum ada. Pemerintah daerah khususnya melalui Dinas Perikanan melarang masyarakat nelayan dari luar untuk menjatuhkan bubu di perairan Sumatera Barat. Hal lain yang menjadi isu kerusakan terumbu karang adalah penggoperasian alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, khususnya penggunaan potasium dan bom untuk menangkap ikan karang. Hasil pengamatan ini diperoleh dari hasil wawancara dengan pihak LANAL Sibolga yang sering menangkap nelayan di sekitar perairan pantai Barat Sumatera. Penggunaan potasium telah menyebabkan pencemaran pada lingkungan ekosistem terumbu karang. Pencemaran lain terjadi karena pembuangan minyak oleh kapal, minyak yang menutupi permukaan karang menghambat proses fotosintesis karang. Kegiatan penangkapan ikan yang berpengaruh langsung terhadap rusaknya gugusan karang hanya sebagian kecil yang disebabkan oleh nelayan bubu. Hal ini dapat dilihat dengan hasil pengambilan data izin operasional bubu yang diterbitkan oleh Pelabuhan Perikanan Nusantara melalui Surat Layak Operasi (SLO) yang berjumlah 26 kapal. Jumlah armada ini masih lebih rendah dari izin operasional untuk armada penangkapan ikan yang menggunakan alat tangkap muroami dan trawl yang masih terus beroperasi di pantai Barat Sumatera. Bubu salah satu alat tangkap yang merusak daerah karang sangat dipengaruhi oleh metode pengoperasiannya. Pergeseran
bubu akibat gerakan
massa air dan proses peletakan bubu mempersulit nelayan dalam pencariannya. Proses pencarian bubu dengan gancu berlangsung cukup lama karena harus menemukan main line (tali ris) yang telah bergerak dan tidak lagi berada di sekitar titik koordinat setting. Pada hasil penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya, pergeseran bubu nelayan ada yang mencapai 358 meter. Pencarian bubu seperti yang terjadi di Pulau Karang akan merugikan nelayan dan juga ekosistem di sekitar penjatuhan bubu.
185 Proses penjatuhan yang tidak memperhatikan arah gerak dan kecepatan arus juga mempengaruhi gerak jatuh bubu. Kegiatan lain dari penjatuhan bubu di pantai Barat Sumatera yang merusak karang adalah penjatuhan jangkar yang sering mengenai karang. Sebelum menurunkan gacu, nelayan terlebih dahulu menjatuhkan jangkar di sekitar daerah pencarian. Jangkar yang terkait pada karang diangkat secara paksa dan menyebabkan karang rusak. Penarikan bubu dengan selimut dasar yang memiliki mesh size 5 cm juga menyebabkan karang sering tersangkut pada bubu. Kerusakan karang akan sangat berdampak terhadap sumberdaya ikan demersal di sekitarnya. Saat ini nelayan Sibolga sering melakukan pencarian lokasi baru penjatuhan bubu karena semakin rendahnya jumlah hasil tangkapan utama ikan demersal. Menurut Lee dan Kim (1992), sumberdaya ikan demersal di perairan tropis banyak ditemukan pada celah karang yang masih baik. Simbolon (2011) menyatakan keberadaan kerapu lumpur dan kerapu bebek sangat tergantung pada ekosistem terumbu karang. Secara vertikal jenis kerapu macan dapat hidup sampai kedalaman 60 meter dengan dasar perairan karang berbatu seperti pada daerah pengoperasian yang dilakukan nelayan Sibolga. Ikan-ikan karang yang berukuran besar akan lebih menyukai daerah pada kedalaman di atas 30 meter. Kerusakan ekologi lain yang ditimbulkan oleh pengoperasian bubu adalah waktu perendaman yang cukup lama. Perendaman bubu yang mencapai 10 hari sering menyebabkan cumi-cumi memijah pada selimut bubu. Telur cumi-cumi yang dipijahkan pada bubu tidak akan sempat menetas dan akan mati akibat dimakan ikan lain atau diangkat oleh nelayan. Jumlah telur cumi-cumi ini dapat mencapai ribuan dan tidak pernah dimanfaatkan oleh nelayan. Tingginya by-catch akibat lama perendaman bubu juga berdampak pada keberlangsungan sumberdaya ikan demersal yang melakukan kanibalisme di dalam bubu. Keberadaan ikan demersal di pantai Barat Sumatera dengan sendirinya akan semakin sulit ditemukan apabila kerusakan karang berlangsung secara terus menerus. Keberadaan ekosistem terumbu karang juga berperan aktif dalam mensuplai oksigen sebagai hasil dari proses fotosintesis. Kandungan oksigen yang cukup baik juga ditandai dengan kelimpahan fitoplakton yang menjadi makanan
186 bagi ikan kecil. Secara tidak langsung kerusakan karang akibat pengoperasian bubu akan berdampak pada pola rantai makanan di sekitar eksosistem terumbu karang. Sesuai dengan Simbolon (2011) yang menyatakan bahwa bioekologi dan dinamika daerah penangkapan ikan akan sangat dipengaruhi oleh pola pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah tersebut. Dalam penelitian ini kerusakan karang akibat pengoperasian bubu dapat dieliminir melalui modifikasi yang telah dilakukan. Pemberian pemberat pada bubu secara seimbang dan penggunaan karet pada tulang rangka bawah bubu telah mengurangi tersangkut karang saat penarikan bubu. Pendeteksian daerah peletakan bubu melalui echosounder juga salah satu cara agar hilangnya bubu (ghost fishing) akibat arus dapat dikurangi. Sifat ikan karang seperti kakap dan kerapu sunu sebenarnya lebih menyukai substrat lumpur (Simbolon 2011). Peletakan bubu di sekitar karang yang memiliki substrat lumpur akan mengurangi kerusakan karang. Perbaikan lain dalam pengoperasian bubu di pantai Barat Sumatera dapat ditempuh dengan memberntuk daerah penangkapan ikan saat pengoperasian bubu. Pembentukan daerah penangkapan ikan dapat dilakukan dengan memberikan rumpon di sekitar ekosistem karang. Pemberian rumpon ini akan memancing ikan-ikan kecil untuk berada disekitarnya. Ketersediaan makanan bagi ikan-ikan karang pada sekitar bubu akan membantu nelayan dalam meningkatkan produktivitas hasil tangkapan.
6.5 Perbandingan Produktivitas Bubu Penangkapan ikan demersal dengan bubu nelayan tertinggi diperoleh pada perairan Pulau Pini. Jika nilai produktivitas ini dikaitkan dengan karakteristik daerah penangkapan ikan, Pulau Pini merupakan daerah perairan yang memiliki topografi karang cenderung tajam. Ekosistem seperti ini banyak diminati oleh kelompok ikan karang yang senang tinggal di sekitar celah karang seperti kerapu. Sesuai dengan Jeyaseelan (1998), penyebaran ikan karang sangat dipengaruhi oleh ekosistem sekitarnya. Pesisir Pulau Pini masih banyak ditemukan eksositem mangrove yang digunakan oleh ikan karang sebagai daerah pemijahan (spawning ground). Hal ini turut mempengaruhi hasil tangkapan bubu pada perairan ini, dimana ikan karang yang menjadi target utama untuk ekspor bubu memiliki daya jelajah yang tidak terlalu jauh (Lee dan Kim, 1992).
187 Penangkapan ikan karang di Pulau Pini menunjukkan adanya korelasi yang erat antara ekosistem penyangga di daerah pesisir dengan sumberdaya ikan demersal. Ekosistem penyangga pada wilayah peisir ini anatara lain: hutan bakau, padang lamun dan terumbu karang. Menurut Cann (1990), penempatan bubu di perairan dengan waktu yang lebih lama, tidak selalu berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan. Profitabilitas usaha penangkapan ikan demersal harus lebih difokuskan pada target dan kualitas hasil tangkapan bukan pada jumlah rata-rata hasil tangkapan. Hasil pegoperasian bubu modifikasi yang dilakukan di Pulau Nias dengan jumlah trip yang lebih singkat mampu memberikan hasil yang tidak jauh berbeda dengan bubu nelayan. Persentase rata-rata hasil tangkapan menunjukkan bahwa ikan kuwe bukanlah ikan yang berhabitat asli pada karang. Ikan ini merupakan jenis ikan yang berasosiasi dengan kelompok ikan karang (Jeyaseelan, 1998). Sesuai dengan penelitian Mahulette (2004), kepadatan ikan karang pada kedalaman 30 sampai 60 cenderung masih tersebar secara merata, dan kepadatan yang tinggi berada pada kedalaman 30 sampai 50 meter. Bubu modifikasi dan bubu nelayan di pantai Barat Sumatera dioperasikan pada kedalaman yang hampir sama dengan masyarakat Pulau Sabesi. Ikan yan tertangkap pada bubu tersebar secara merata karena kebiasaan ikan karang yang berenang secara soliter. Pengembangan perikanan bubu di Sibolga dengan pendekatan kedalaman perairan sudah dilakukan di Raja Ampat Provinsi Papua pada tahun 2004. Ikan kerapu dan kakap yang ditangkap dengan pengoperasian bubu pada kedalaman yang berbeda tidak memberikan dampak signifikan terhadap bobot tangkapan. Ikan kerapu dan kakap secara alamiah memasuki ekosistem karang dengan tiga alasan yaitu: mencari makan, memijah dan berlindung dari predator. Kecenderungan lain yang menyebabkan ikan masuk kedalam bubu adalah sifat tigmotaksis yaitu rasa ingin tahu terhadap sebuah benda disekitarnya. Pada bubu modifikasi ukuran ikan kerapu dan kakap yang tertangkap umumnya seragam dan cenderung dari spesies yang sama. Selaras dengan penelitian Urbinas (2004), ikan yang masuk kedalam bubu tanpa umpan, pada umumnya merupakan ikan yang mencari makanan karena keberadaan makanan di dalam bubu. Ikan yang terlebih dahulu terjebak di dalam
188 bubu pada ukuran tertentu akan menjadi makanan bagi lain. Bubu kawat Sibolga yang dioperasikan tanpa umpan sebaiknya mengurangi jumlah hari operasi, karena ikan yang terjebak dalam bubu tanpa umpan akan membentuk ikatan rantai makanan sampai pada proses hauling. Penyebaran ikan yang hampir sama pada ukuran bobot individu, merupakan sebuah bentuk adaptasi ikan demersal untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Berdasarkan sifatnya ikan demersal akan mempertahankan hidup dengan mencari makanan di sekitar daerah teritorialnya tanpa melakukan migrasi dalam jarak yang jauh (Susanti, 2009). Pendapat ini selaras dengan hasil penangkapan bubu pada daerah pengoperasian yang berbeda di pantai Barat Sumatera. Pulau Pini, Nias, Mursala dan Karang akan memperoleh hasil tangkapan yang memiliki ukuran bobot relatif sama untuk setiap individunya. Secara ekologi pola sirkulasi gerakan arus di pantai Barat Sumatera memiliki keterkaitan erat dengan sumberdaya ikan demersal. Sesuai dengan yang disampaikan Pratomo (2010) yang menganalisis hidrodinamika pola arus di pantai Barat Sumatera, pergerakan arus di daerah ini sangat dipengaruhi oleh pasang surut dan pola arus regional di Samudera Hindia. Kelimpahan dan komposisi spesies ikan demersal akan semakin tinggi pada daerah karang tropis yang kondisinya cukup baik. Kondisi pasang surut di derah ini telah membawa nutrien di sekitar karang dan mempengaruhi pola pertumbuhan ikan disekitarnya. Sesuai dengan Lee dan Kim (1992) jumlah eritrosit (sel darah merah) dan kadar hemoglobin yang lebih rendah pada ikan demersal membuat aktivitas geraknya lebih rendah. Aktivitas yang lebih rendah menyebabkan pertumbuhan bobot pada ikan demersal lebih cepat jika dibandingkan dengan ikan pelagis. Menurut Simbolon (2011), ikan kakap merupakan ikan yang menyenangi ekosistem karang tetapi mampu mentoleransi salinitas secara baik. Penyebaran ikan ini juga cukup banyak ditemukan di sekitar pantai Pulau Mursala yang memiliki hutan bakau dan muara. Jumlah ikan butana garis sebagai hasil samping pada kedua jenis bubu masih relatif besar. Sifat ikan hias ini memasuki bubu kemungkinan dipengaruhi oleh faktor thigmotaksis terhadap suatu benda dan mencari tempat perlindungan. Bubu modifikasi dan nelayan secara umum tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap ikan target utama untuk ekspor pada perairan Pulau Pini.
189 Perbedaan kedua jenis bubu ini terlihat dalam menangkap ikan hasil samping. Ikan yang tertangkap pada bubu nelayan relatif lebih besar daripada bubu modifikasi. Ikan hasil samping yang terdapat pada bubu nelayan banyak didominasi jenis ikan jabung (trigger) dan gabus laut. Ikan trigger merupakan ikan pemakan karang yang memiliki kebiasaan hidup di sekitar terumbu keras (hard coral). Ikan gabus laut juga bersifat karnivora dan cenderung bersifat kanibalisme ketika makanan yang tersedia tidak cukup. Menurut Susanti (2009), ikan-ikan karang yang masuk ke dalam suatu perangkap cenderung karena alasan berlindung dan menjadikannya tempat tinggal. Sesuai dengan pendapat tersebut pada bubu nelayan sering ditemukan jenis ikan hias yang bukan merupakan ikan konsumsi. Menurut Simbolon (2011), keberadaan kerapu sunu dan kerapu macan sangat tergantung pada kondisi terumbu karang. Kedua jenis ikan ini hidup pada celah karang sampai kedalaman 60 meter. Sesuai dengan pernyataan ini, perairan Pulau Mursala yang memiliki ekosistem karang cukup baik terutama pada bagian selatan yaitu daerah penjatuhan bubu menunjukkan hasil tangkapan ikan kerapu cukup tinggi. Daerah perairan ini memiliki subtrat berlumpur yang sangat disenangi oleh ikan kerapu sebagai daerah mencari makan. Keberadaan ekosistem mangrove dan sungai di Pulau Mursala juga memberikan pengaruh penyebaran ikan kakap. Menurut Lee dan Kim (1992) sifat ikan demersal yang cenderung hidup menetap mempengaruhi pola pertumbuhannya. Ikan kakap merah, ikan kerapu dan jenis ikan kuwe pada saat juvenil biasanya hidup di sekitar mangrove dan celah karang yang dangkal. Pergerakan kelompok ikan ini masih cenderung berimigrasi dari satu perairan ke parairan lain. Setelah berukuran dewasa ikan kakap dan kerapu cenderung akan mendiami ekosistem karang dan mencari makanan di sekitar perairan yang sama. Pada masa ini pertumbuhan ikan demersal tercapai secara maksimum. Sesuai dengan penelitian ini, bubu yang dioperasikan di Pulau Nias berada pada ekosistem karang dengan kedalaman 30 sampai 70 meter telah menghasilkan ikan demersal dengan ukuran yang cukup besar. Sesuai dengan hasil penelitian bubu dasar yang dilakukan Risamasu (2008) pada dasarnya ukuran panjang tubuh ikan karang tidak seragam seperti kelompok
190 ikan lainnya. Ketiga kelompok ikan karang, baik kelompok famili utama (mayor), kelompok target dan indikator ternyata memiliki ukuran tubuh bervariasi. Pada famili Pomacentridae (famili utama) umumnya ukuran ikan relatif kecil begitu juga pada famili Chaetodonidae (kelompok indikator). Beberapa ikan dari kelompok target memiliki ukuran yang lebih panjang dan bobot yang lebih besar khususnya dari famili Seranidae, Aulostomidae, Achanturidae, Scharidae dan jenis famili lainnya. Secara keseluruhan perbandingan ukuran bobot hasil tangkapan bubu modifikasi dan bubu nelayan tidak berbeda secara signifikan. Ukuran ikan target pada bubu nelayan relatif sama dengan bubu modifikasi, tetapi untuk ukuran ikan non target bubu nelayan memiliki ukuran hasil tangkapan yang lebih besar daripada bubu modifikasi. Perbandingan ukuran hasil tangkapan bubu juga dipengaruhi oleh waktu perendamannya. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan penelitian Risamasu (2008) yang merendam bubu kawat dengan sistem one day fishing. Bubu yang direndam lebih singkat akan lebih produktif jika dioperasikan bersamaan dengan rumpon. Perendaman bubu nelayan yang mencapai 10 hari dapat menciptakan interaksi kanibalisme di dalam bubu. Secara umum ikan yang tertangkap pada bubu kawat memiliki sebaran data panjang dan berat yang hampir sama untuk setiap jenisnya. Hal ini membuktikan bahwa sifat ikan karang hidup secara berkelompok menurut jenis dan ukuran tertentu. Data ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan di pulau Sabesi yang menggunakan bubu kawat dengan mesh size berbeda. Fenomena ini dapat disebabkan kebiasaan hidup ikan karang yang cenderung bersifat karnivora sehingga berkelompok dengan ukuran yang sama agar tidak saling memangsa. Tingginya nilai keragaman hasil tangkapan pada bubu menunjukkan bahwa ikan yang tertangkap tidak hanya merupakan ikan yang berhabitat asli pada terumbu karang. Ikan yang mencari makanan dan berasosiasi dengan ikan karang juga tertarik masuk bubu. Ada beberapa sifat ikan demersal yang masuk ke dalam bubu, antara lain: ikan demersal merupakan ikan endemik yang tinggal pada suatu ekosistem tidak dalam waktu singkat, ikan demersal lebih tertarik berenang secara soliter, dan ikan demersal lebih menggunakan indera penciuman dibandingkan dengan indera penglihatannya (Riyanto, 2008). Data keragaman hasil tangkapan bubu di Sibolga lebih didominasi ikan demersal sesuai dengan sifat ikan tersebut.
191 Pola penyebaran ikan demersal hasil tangkapan bubu relatif sama pada setiap daerah pengoperasian. Dari 26 spesies ikan yang diperoleh, pada umumnya ikan yang tertangkap adalah ikan karnivora atau jenis ikan pemakan daging. Pada bubu nelayan yang direndam lebih lama sering ditemukan sisa kepala ikan akibat sifat kanibalisme diantara ikan-ikan tersebut. Ikan pari sering ditemukan masuk ke dalam bubu melihat mangsa berada di dalam perangkap. Ikan pemangsa seperti pari akan dijumpai dengan jumlah yang sedikit. Sesuai dengan pendapat Urbinas (2003) yang melakukan penelitian bubu tanpa umpan di Raja Ampat, pola migrasi ikan demersal umumnya terjadi di saat siang hari karena sifat ikan yang cenderung diurnal. Penglihatan ikan akan lebih baik di saat siang hari karena bubu kawat umumnya dioperasikan pada kedalaman lebih dari 30 meter. Pencarian makanan yang dilakukan ikan sampai memasuki bubu, karena ikan melihat adanya mangsa yang terjebak. Kejadian ini memberikan dampak terhadap jumlah individu ikan yang tertangkap dalam bubu nelayan dan modifikasi. Perairan Pulau Pini merupakan daerah penangkpan yang potensial karena topografi perairan yang cukup landai, arus dasar perairan yang relatif tidak menggeser bubu dan kondisi terumbu karang yang lebih baik dibandingkan Pulau Mursala dan Karang (Hermawan, 2007). Hasil pengamatan ini sesuai dengan apa yang dikemukakan Rose (1998) terkait pengembangan bubu di Asia Timur dan Asia Tenggara. Konstruksi bubu yang terbuat dari besi lebih produktif dibandingkan dengan bubu rotan atau bambu. Kondisi perairan yang terlindung dari arus dasar, memiliki ekosistem karang yang baik dan alat tangkap yang terletak secara sempurna akan memberikan dampak terhadap hasil tangkapan (Mahulette, 2004). Bubu modifikasi yang digunakan peneliti telah memiliki proses landing lebih baik. Gerakan massa air akibat pasang surut yang terjadi setiap hari tidak menggeser bubu dan tidak menyebabkan bubu terbalik. Daerah penangkapan ikan yang terletak pada perairan terbuka seperti Pulau Karang cenderung memiliki hasil tangkapan yang lebih rendah. Ikan demersal memiliki kebiasaan mendiami suatu ekosistem dalam interval cukup lama ketika telah beranjak dewasa (Lee dan Kim, 1992).
Kondisi perairan yang sangat
dinamis akibat gerakan arus bukanlah habitat yang disenangi ikan karang untuk
192 mencari makan. Penempatan bubu dan metode pengoperasian menunjukkan adanya korelasi terhadap bobot hasil tangkapan. Hasil percobaan penempatan bubu pada daerah penangkapan ikan yang berbeda juga telah diuji melalui inovasi penangkapan ikan karang dengan bubu dasar yang menggunakan rumpon (Risamasu, 2008). Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa bubu yang dioperasikan dengan rumpon lebih produktif daripada bubu tanpa rumpon. Daerah penangkapan ikan yang memiliki rumpon lebih memungkinkan sebagai tempat berkumpulnya ikan-ikan kecil dan membentuk pola rantai makanan yang baik. Ikan karang akan mendiami sebuah ekosistem jika ketersediaan makanan dapat tetap terjaga dan terhindar dari predator lain. Bubu kawat yang dioperasikan di dasar perairan menghasilkan jumlah individu yang berbeda, nilai tangkapan yang tertinggi adalah 257 ekor pada DPI Pulau Pini dan yang terendah 15 ekor pada DPI Pulau Karang. Pulau Karang yang memiliki bentuk perairan terbuka menyebabkan substrat perairan cenderung berpasir dan produktivitas primer lebih rendah dibandingkan perairan karang yang terlindung oleh pulau. Rendahnya produktivitas primer menyebabkan sistem rantai makanan yang dimulai oleh ikan kecil menjadi sulit ditemukan pada perairan Pulau Karang. Hal ini sesuai dengan penelitian Nugraha (2002) yang menyatakan bahwa banyaknya ikan demersal ekonomis penting pada perairan Pulau Seribu dipengaruhi oleh kondisi ekosistem yang mampu menciptakan proses rantai makanan yang baik. Sesuai dengan penelitian Risamasu (2008) yang melengkapi bubu karang dengan pemberat. Produktivitas bubu yang memiliki kedudukan sempurna di dasar perairan lebih produktif dalam menangkap ikan-ikan ekonomis seperti famili Serranidae dan Lutjanidae. Bubu modifikasi di Sibolga yang ditempatkan pada perairan Pulau Karang memiliki jumlah individu yang lebih kecil dari bubu nelayan tetapi rasio ikan target yang lebih besar. Pemberat yang diberikan pada bubu modifikasi menyebabkan ikan-ikan demersal yang memiliki struktur pertumbuhan dengan pola alometrik negatif dapat masuk melalui pintu mulut bubu. Untuk bubu nelayan jumlah individu lebih tinggi tetapi didominasi oleh ikan hias seperti triger fish dan butana garis yang berenang secara berkelompok.
193 Interaksi jenis bubu dan daerah penangkapan ikan terlihat dengan tingkat efektivitas bubu menangkap ikan target berdasarkan wilayah perairan yang telah ditentukan. Pulau Pini, Pulau Mursala dan Pulau Nias memiliki jumlah individu hasil tangkapan yang lebih baik dari Pulau Karang. Jika dilihat dari posisi stasiun penjatuhan bubu pada Pulau Pini, Nias dan Mursala, bubu ditempatkan pada garis pantai yang terlindungi oleh pulau. Posisi peletakan bubu terhadap garis pantai juga memberikan pengaruh terhadap hasil tangkapan (Hermawan, 2007) Penelitian terdahulu pengembangan bubu di pantai Barat Sumatera juga menggambarkan hasil tangkapan yang semakin baik jika bubu ditempatkan pada gugus pulau yang tidak menghadap laut terbuka. Ikan demersal cenderung mencari makan dengan sifat lebih pasif karena ikan demersal cenderung fototaksis negatif (Mahulette, 2004). Sifat ikan demersal yang cenderung karnivora umumnya memangsa ikan kecil yang bergerak di sekitar habitatnya. Ikan-ikan kecil pada gugus karang memiliki kecenderungan bergerak dengan arah melawan arus, karena arus dapat membawa makanan bagi kelompok ikan kecil di dasar perairan. Dengan alasan ini penempatan bubu pada ekosistem yang memiliki arus akan lebih disukai oleh ikan demersal. Jenis bubu terhadap interaksi perlakuan memang tidak memberikan pengaruh signifikan, namun secara teknis bubu yang dilengkapi dengan pemberat telah mengurangi pergeseran bubu akibat arus. Pemberian pelampung pada tali ris dan selimut atas bubu juga membantu gerakan bubu untuk tidak terbalik. Pelampung secara teknis memiliki massa jenis lebih kecil dari air laut, asumsi ini akan memaksa pelampung untuk mempertahankan kedudukannya sehingga selimut bubu atas tidak akan bergerak ke bawah.
6.6 Keberlanjutan Usaha Bubu 6.6.1 Efisiensi bubu Sesuai dengan analisis parsial yang dilakukan Mahulette (2004), pengoperasian bubu kawat yang lebih lama akan meningkatkan biaya produksi dan mengurangi jumlah operasi bubu karena umur teknis yang terbatas. Perbaikan metode perendaman bubu menunjukkan hasil yang signifikan terhadap
194 produktivitas nelayan Sibolga. Dengan mengurangi jumlah hari operasi maka biaya operasional dan efektivitas alat tangkap akan dapat ditingkatkan. Bubu nelayan Sibolga memiliki dimensi panjang 1,5 meter, lebar 1 meter dan tinggi 0,5 meter yang dilengkapi dengan rigid funnel berbentuk silinder. Ditinjau dari sisi bentuk, bubu nelayan Sibolga sudah sangat efektif karena bentuknya yang cukup besar dapat membuat ikan tertarik menjadikan bubu sebagai tempat persembunyian atau perlindungan dari predator (Risamasu, 2008). Hasil penelitian tahun 2008 ini juga menambahkan ikan karang merupakan ikan yang hidup secara soliter sehingga diperlukan rumpon untuk memikat ikan agar penangkapan dengan bubu lebih efektif. Purbayanto (2007) membuktikan bahwa penempatan bubu laut dalam yang merentang sempurna memiliki hasil tangkapan yang lebih baik. Bubu kawat Sibolga merupakan bubu yang memiliki mulut dengan klasifikasi rigid funnel. Posisi bukaan mulut yang tidak tepat akan mempengaruhi ikan masuk kedalam body bubu. Selain itu Watanuki dan Kawamura (1999) menambahkan bahwa bubu dasar yang memiliki rigid funnel keras seperti pada bubu nelayan Sibolga memiliki hasil tangkapan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan bubu soft funnel.
6.6.2 Kelayakan usaha bubu Berdasarkan analisis kelayakan usaha yang dilakukan pada kedua jenis bubu, bubu modifikasi lebih layak dibanding bubu nelayan, baik dengan perhitungan analisis rugi-laba maupun analisis kriteria investasi. Lama perendaman bubu dan pemberian pelampung dan pemberat pada bubu berpengaruh cukup signifikan terhadap kelayakan usaha. Hal ini memberikan kesimpulan
bahwa
bubu
nelayan
hendaknya
dipertimbangkan
metode
pengoperasian yang saat ini dilakukan. Nelayan Sibolga melakukan perendaman bubu selama 7 sampai 10 hari sedangkan bubu modifikasi ini melakukan perendaman selama 4 hari. Besarnya biaya operasi pada satu trip penangkapan bubu yang lebih lama akan meningkatkan biaya konsumsi dan bahan bakar. Penelitian terdahulu yang dilakukan pada tahun 2004 di Nusa Penida Bali oleh Mahulette (2004) mengemukakan bahwa pengoperasian bubu besi dapat memberikan keuntungan yang lebih besar dari bubu lainnya seperti bambu. Bubu
195 kawat besi yang dioperasikan oleh nelayan Sibolga dapat dijatuhkan pada kedalaman yang lebih dari 30 meter sehingga berpotensi menangkap ikan karang besar yang bersifat fototaksis negatif atau tidak menyukai cahaya. Selain daerah pengoperasian yang bisa menyentuh kedalaman lebih dari 30 meter, bubu besi juga lebih tahan saat terendam dalam air sehingga memiliki umur teknis yang lebih panjang. Penggunaan bubu secara efisien dengan memperhatikan faktor biaya dan hasil tangkapan menjadi dasar keberlanjutan usaha ini.
6.7 Strategi Pengembangan Perikanan Bubu 6.7.1 Prioritas pengembangan Sesuai dengan penelitian Sultan (2004), prioritas pengembangan perikanan tangkap yang memfokuskan pada aspek lingkungan dan keberlangsungan sumberdaya akan memberikan dampak yang berkelanjutan pada nelayan itu sendiri. Pengembangan perikanan demersal melalui modifikasi bubu sebaiknya difokuskan pada aspek yang memperhatikan keberlangsungan sumberdaya. Pertimbangan nilai pendapatan bagi nelayan akan dapat ditingkatkan apabila produktivitas hasil penangkapan juga tidak bersifat sementara. Pemerintah melalui Pelabuhan Perikanan Nusantara telah berperan dalam mengurangi IUU fishing di Sibolga. Dukungan dari nelayan dan para stakeholder akan turut mempercepat pengembangan perikanan demersal di Sibolga.
6.7.2 Strategi pengembangan SWOT mengkombinasikan dua faktor untuk menghasilkan strategi. Strategi SO merumuskan pengelolaan perikanan yang berkembang. Hal ini dapat dilakukan karena banyaknya kekuatan yang dimiliki internal perikanan bubu Sibolga dengan peluang yang ada di luar. Peningkatan regulasi untuk mempermudah pemasaran hasil perikanan demersal juga perlu dilakukan agar hasil tangkapan nelayan dapat termanfaatkan dengan baik. Kedua strategi ini bertujuan untuk melakukan ekspansi perikanan bubu demersal. Dukungan pemerintah dalam merealisasikan strategi pengembangan usaha perikanan demersal dapat ditempuh dengan menyediakan sarana pendukung kegiatan ekspor. Ikan merupakan bahan yang bersifat perishable (mudah busuk).
196 Dengan memperpendek mata rantai transportasi perdagangan ikan demersal, maka kualitas hasil tangkapan nelayan Sibolga akan semakin baik. Strategi WO menghasilkan tiga rumusan strategi, yaitu: penyuluhan pada nelayan seputar pengetahuan mengenai perikanan tangkap serta polaritas investasi penyempurnaan kapal, mesin dan alat tangkap. Penyuluhan pada nelayan perlu ditingkatkan untuk memperbaiki kondisi internal perikanan bubu. Beberapa penyuluhan yang penting untuk dilakukan adalah penggunaan BBM, es dan air tawar serta penyuluhan mengenai kemajuan teknologi pada perikanan tangkap seperti alat tangkap maupun DPI. Polaritas investasi penyempurnaan kapal, mesin dan alat tangkap ditujukan untuk memperbaiki operasi penangkapan perikanan bubu. Hal ini secara tidak langsung akan berdampak terhadap minat investor dan pemasaran yang baik karena semakin tingginya permintaan terhadap produk perikanan. Strategi ST mengkombinasikan kekuatan internal dan ancaman dari eksternal perikanan bubu Sibolga. Strategi yang dihasilkan antara lain: pengelolaan sumberdaya ikan secara lestari dan berkelanjutan, penggunaan BBM secara efisien dengan memperbaiki teknik dan waktu operasi dan penyatuan persepsi antar sektor. Penerapan unit penangkapan ikan yang ramah lingkungan hendaknya mulai diperkenalkan untuk dapat mengelola sumberdaya ikan dengan lestari. Penelitian ini telah menunjukkan bahwa bubu modifikasi dapat menjadi salah satu alat tangkap yang ramah lingkungan. Teknik pengoperasian bubu yang ada di Sibolga saat ini (bubu nelayan) memerlukan waktu perendaman yang cukup lama yaitu 7-10 hari. Hal ini ternyata tidak memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah dan hasil tangkapan, selain itu perendaman bubu yang lama akan menyebabkan kanibalisme di dalam bubu yang sudah berisi hasil tangkapan karena kurangnya makanan di dalam bubu. Lamanya perendaman juga berpengaruh terhadap kecepatan terjadi proses pengkaratan pada bubu. Penggunaan BBM akan efisien jika bubu mudah ditemukan, sehingga diperlukan alat bantu atau rekonstruksi unit penangkapan yang tidak mengalami banyak pergeseran selama proses perendaman. Penyatuan persepsi stakeholder penting dilakukan agar sistem perikanan bubu di pantai Barat Sumatera dapat memiliki visi yang jelas untuk kemajuan dan keberlanjutan perikanan demersal.
197 Strategi WT menghasilkan dua rumusan strategi yaitu peningkatan pelayanan pelabuhan dan integrasi pengawasan perairan Barat Sumatera. Kedua hal ini dilakukan untuk bertahan agar kegiatan perikanan demersal di pantai Barat Sumatera dapat terus berlangsung. Peningkatan pelayanan pelabuhan dapat dilakukan dengan cara menjaga stabilitas bahan-bahan operasional nelayan seperti BBM, es dan air bersih. Integrasi pengawasan diharapkan dapat mengawasi masalah IUU fishing dan trawl yang masih beroperasi. Pengawasan akan mempersatukan beberapa sektor untuk dapat bekerja sama menjaga keamanan perairan. Selain itu dengan sistem pengawasan yang baik informasi mengenai keadaan cuaca yang buruk atau pun kondisi perairan dapat cepat diketahui nelayan.
6.7.3 Pengembangan bubu ramah lingkungan Secara teknis pengoperasian bubu kawat tidak membahayakan nelayan. Dampak sosial alat tangkap ini juga tidak mempengaruhi hasil tangkapan nelayan tradisional karena alat tangkap ini berada pada daerah yang jauh dari garis pantai. Saat ini alat tangkap ikan demersal yang digunakan nelayan Sibolga hanya berupa pancing (hand line), bahkan tidak sedikit nelayan yang mengkombinasikan pengoperasian bubu dengan alat tangkap ini. Bubu yang dioperasiakan nelayan Sibolga pada umumnya berada pada kedalaman 30 sampai 70 meter, sehingga jarang mengalami konflik dengan nelayan tradisional kecuali pukat harimau yang masih sering beroperasi di pantai Barat Sumatera. Secara ekologi, pengoperasian bubu sedikit memberikan dampak negatif terhadap spesies ikan yang dilindungi. Pada bubu modifikasi dan bubu nelayan masih sering ditemukan ikan napoleon yang merupakan kelompok ikan yang dilindungi. Tingginya keanekaragaman hasil tangkapan bubu di pantai Barat Sumatera juga berpengaruh terhadap keberlangsungan sumberdaya ikan demersal. Menurut Jeyaseelan (1998), interaksi antara komunitas penghuni ekosistem karang yang terganggu akan memberikan dampak terhadap speies lainnya. Ikan kakap merah yang berumur dewasa akan bermigrasi ke daerah mangrove untuk melakukan pemijahan. Jika ikan-ikan yang dalam kondisi matang gonad tertangkap pada bubu maka dampak terhadap keberlangsungan ikan kakap akan
198 semakin terganggu. Sesuai dengan hasil penangkapan bubu di pantai Barat Sumatera, ikan-ikan yang tertangkap bubu merupakan ikan yang sudah berukuran dewasa. Berdasarkan kualitas hasil tangkapan, ikan demersal yang tertangkap bubu pada umumnya masih dalam keadaan baik dan hidup. Pengembangan usaha hatchery dapat dilakukan jika ikan-ikan yang telah matang gonad dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya. Secara umum pengoperasian bubu di pantai Barat Sumatera berdasarkan kriteria CCRF masih cukup baik dan dapat dikembangkan. Perbaikan metode pengoperasian untuk mengurangi by catch dan mencegah ikan-ikan yang dilindungi tertangkap dapat menjadi fokus perbaikan alat tangkap. Perbaikan alat tangkap bubu sebaiknya tidak hanya berfokus pada profitabilitas tetapi juga pada keberlangsungan sumberdaya ikan demersal (Cann, 1990).
199
7 KESIMPULAN DAN SARAN
7.1
Kesimpulan Keberlangsungan usaha nelayan bubu di Sibolga memerlukan beberapa
perhatian dalam metode pengoperasiannya. Ada beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari kegiatan penelitian ini, diantaranya : 1)
Teknik operasi bubu nelayan di pantai Barat Sumatera masih memerlukan perbaikan metode pengoperasian, sehingga menjadi efisien dan ramah lingkungan.
2)
Bubu modifikasi memiliki kinerja teknis yang lebih baik dari bubu nelayan dengan kecepatan gerak 0,34 m/detik dan rata-rata pergeseran yang lebih kecil (7-14 m) dibanding pergeseran bubu nelayan (13-195 m).
3)
Berdasarkan
perbandingan
produktivitas
hasil
tangkapannya,
bubu
modifikasi menghasilkan produktivitas lebih baik terhadap hasil tangkapan ikan target yaitu 75,28% target utama untuk ekspor sedangkan bubu nelayan 57,66%. 4)
Hasil analisis kelayakan usaha menunjukkan bubu modifikasi memiliki nilai pengembalian modal (PP) yang lebih cepat (11 bulan) daripada bubu nelayan (19 bulan).
5)
Berdasarkan analisis SWOT perikanan bubu pantai Barat Sumatera masih memiliki peluang yang cukup besar untuk dikembangkan. Strategi pengembangan perikanan demersal dapat dicapai dengan melibatkan masyarakat secara aktif
khususnya dalam pengawasan sumberdaya dan
meningkatkan fasilitas pendukung kegiatan ekspor. 6)
Hasil analisis kriteria CCRF yang telah dimodifikasi menunjukkan bubu di pantai Barat Sumatera masih tergolong pada alat tangkap yang ramah lingkungan.
200 7.2
Saran
1)
Melihat hasil kinerja teknis bubu modifikasi, disarankan kepada nelayan untuk mulai mempertimbangkan waktu
perendaman bubu agar lebih
singkat dan menambahkan pemberat pada setiap sudut alas rangka bubu. 2)
Hasil penelitian menunjukkan produktivitas bubu modifikasi lebih baik dalam menangkap ikan target, dan sebaiknya mulai disosialisasikan oleh pemerintah. Peran serta P2SDKP hendaknya lebih aktif melakukan penyuluhan rutin agar bubu yang dioperasikan nelayan dapat menangkap ikan dengan lebih selektif.
3)
Sebaiknya pelarangan operasi bubu di Pantai Barat Sumatera mulai dipertimbangkan dengan mencarikan solusi karena perairan Pantai Barat Sumatera masih memiliki potensi ikan karang yang baik.
4)
Pengembangan alat tangkap bubu khususnya dalam teknik pengangkatan bubu sebaiknya mulai dipertimbangkan dengan menggunakan metode tagging dan penggunaan lempeng magnet agar proses hauling tidak lagi bersifat acak dan menimbulkan kerusakan terumbu karang.
201
DAFTAR PUSTAKA Anung A, Barus HR. 2000. Pengaruh Jumlah Mulut, Jenis Umpan dan Lama Perendaman Bubu terhadap Hasil Tangkapan Ikan Demersal di Selat Sunda. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Perikanan 1999/2000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Eksplorasi Laut dan Perikanan. Jakarta. Hal 133-139. Ayodhyoa. 1996. Pengaruh Kedalaman Pemasangan Bubu terhadap Hasil Tangkapan Kakap Merah. Bogor. LPPM. Institut Pertanian Bogor. Badan Agribisnis. 1999. Komoditas Unggulan Perikanan. Jakarta. Departemen Pertanian. Bahari. 1989. Peranan Koperasi Perikanan dalam Pengembangan Perikanan Rakyat. Jakarta. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian Jakarta. 125 hal. Barus 1991. Sistem Informasi Geografi. Bogor: Laboratorium Penginderaan Jauh dan Kartografi, Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian IPB. 73 hal. Bintoro G. 1995. Tuna resources and Indonesia’s waters. Makalah disampaikan pada ”Symposium Present Status Trawl in Indonesia Waters” Discover The Echo-Frendly Trawl in Indonesia. Jakarta. 45 hal. Brandt A. Von. 1984. Fishing Catching Methods of The World. England. Fishing News Books Ltd. Farnham Surrey. 204 hal. Cann B, Mounsey R. 1990. An assessment of the profitability of a demersal trap fishery in the waters adjacent to the nothern territory. Technical Buletin no. 157 Charles AT. (2001). Sustainable Fishery Systems. Oxford: Blackweel Science Ltd. 370 pg. Dahuri R. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Dartnall AJ, Jones M. 1986. A Manual of Survey Methods; Living Resources in Coastal Areas. ASEAN-Australia. Cooperative Program on Marine Science. Departemen Kelautan dan Perikanan. 2003. Penyusunan Spesifikasi Teknis Alat Penangkapan Ikan. Jakarta. 132 hal. [DEPDIKBUD] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka 1090 hal.
202 DJPT Ditjen Perikanan Tangkap. 2004. Statregi pengolahan kawasan perikanan terpadu di sentra-sentra kegiatan nelayan. Kawasan 13:17-19. Djamali A, Mubarak H. 1998. Sumberdaya Benih Komersial dalam Potensi Penyebaran Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Komisi Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut. Lembaga Ilmu Pengatahuan Indonesia. Hal 169-189. Doring R. 2001. Concept of Sustainable Fisheries. Graifswald. Botanical Institut University of Graifwald. 254pg. Fauzi A, Anna S. 2002. Evaluasi status keberlanjutan pembangunan perikanan. aplikasi pendekatan rapfish (studi kasus perairan pesisir DKI Jakarta). Pesisir dan Lautan. 4:43-55. [FAO] Food and Agricultural Organization. 1995. Tata Laksana Untuk Perikanan yang Bertanggungjawab. Direktorat Jendral Perikanan bersama Departemen Pertanian dan Japan International Cooperation Agency (JICA), penerjemah. Jakarta: Terjemahan dari Code of Conduct for Responsible Fisheries. [FAO] Food and Agricultural Organization. 1997. Fisheries Management. FAO Technical Guidelines for Respnsible Fisheries, No. 482p. Roma.82p. Froelich AS. 2002. Functional Aspects of Nutrient Cycling on Coral Reefs. Florida. Rosenstiel School of Marine and Atmospheric Science. University of Miami. 131-139. Garcia SM, Cochrane KG, Santen VF, Christy. 1999. Toward sustainable fisheries: a strategy for fao and the world bank. Ocean and Coastal Management 42:369-698p. Garcia SM, Staples DJ, Chesson J. 2000. The FAO guidelines for the development and use of indicator for sustainable development of marine capture fisheries and an Australian example of their application. Ocean and Coastal Management 43 : 537-556. Gross MG. 1990. Oceanography: A View of Earth. Prentice Hall, Inc. Englewood Cliff. New Jersey. Hela I, Laevastu T. 1970. Fisheries Oceanography Fishing News. London. 123 pg. Hermawan. 2007. Kajian teknis dan finansial unit penangkapan bubu kawat di Pulau Sebesi, Kabupaten Lampung Selatan. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. http://www.wikipedia.com [3 Mei 2012]
203 Husni E. 2009. Studi laut dalam dengan bubu di Pelabuhan Ratu. [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. 190 hal. Imron M. 2008. Pemanfaatan sumberdaya perikanan demersal yang berkelanjutan di perairan Tegal Jawa Tengah. [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Hal 6-46. Irnawaty R. 2011. Model pengembangan taman nasional laut: optimalisasi pengelolaan perikanan tangkap di taman nasional Karimunjawa. [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. 240 Hal. Ismail W, Nuraini S. 1983. Studi benih ikan bronang (Siganus sp) dan ikan kerapu (Epinephelus sp) dengan alat tangkap bubu. Jurnal Balai Penelitian Perikanan Laut. Joy N, Smith, Stephanie M. 2009. Fisheries Management of Red Snapper in The Gulf of Mexico: A Case of Study. Journal Natural Resources and Life Science Education 38 : 115-128. Jeyaseelan MJP. 1998. Manual of fish egg and larvae from Asia Mangrove Waters. UNESCO. Kadariah, Karlina L, Gray C, 1999. Pengantar Evaluasi Proyek. Jakarta. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Hal 49-67. Kurnia M. 2003. Perbandingan hasil tangkapan bubu pada jenis terumbu buatan bambu dan ban di perairan Teluk Bone. Jurnal Sains dan Teknologi 3:5764. Lagler KFJE, Bardach RR, Miller, Passino DRM, 1997. Ichtyology. John willey and Son Inc, New York. Lee TW and GC Kim. 1992. The Demersal Fishes of Asian Bay. 2. Diurnal and Seasonal Variation in Abundance and Species Composition. Bulletin of Korean Fisheries Society 25 : 103 -114. Mahulette TR. 2004. Analisis komparasi teknologi bubu dasar dalam rangka peningkatan pendapatan nelayan di Klungkung Bali. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Hal 42-5. Manadianto HH, Latif, Iriandi S. 2000. Status dan Pemanfaatan Udang Penaeid. Pasca Pukat Harimau di Perairan Laut Jawa. Balai Penelitian Perikanan Laut. 136 hal. Marnane MRL, Ardiwijaya JT, Wibowo, Pardede ST, Mukminim A, Herdiana Y. 2004. Study on Muro-Ami Fishing Activity in Karimun Jawa Islands. Bogor. September 2003, Wildlife Conservation Society Marine program Indonesia. 126 hal.
204 Martasuganda S. 2003. Bubu (Traps). Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Monintja DR, Martasuganda S. 1991. Teknologi Pemanfaatan Sumberdaya Hayati Laut II. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Monintja DR. 1997. Pengembangan Perikanan Tangkap yang Berkelanjutan: Catatan tentang Usaha Penangkapan Cakalang. Bahan Pelatihan Perencanaan Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu. Bogor. PKSPL. Institut Pertanian Bogor. 156 hal. Monintja DR. 1999. Pemanfaatan Pesisir dan Laut Untuk Kegiatan Perikanan Tangkap. Prosiding Pelatihan Untuk Pelatih, Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Bogor. PKSPL. Institut Pertanian Bogor. Hal 45-57. Monintja DR. 2003. Strategi Pengembangan Perikanan Tangkap Berbasis Ekonomi Kerakyatan. Seminar Nasional Strategi Pengembangan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan Berbasis Kerakyatan. Riau. 12 hal Monintja DR. 2006. Rencana Pengelolaan Perikanan Demersal di Laut Arafura: Suatu Perspektif Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Tangkap di Laut Arafura. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Institut Pertanian Bogor. 235 hal. Mulyono S. 1991. Operation Research. Jakarta. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi. Universitas Indonesia. 247 hal. Munasinghe M. 1993. Environmental Economics and Sustainable Development. World Bank Environment paper No.3. The World Bank. Washington D.C. USA. 112.pg. Nontji A. 2002. Laut Nusantara. Jakarta. Norris NJ, Defoe J, Ishida M. 2010. Ghost Fishing by Lost and Derelict Fish Pots in The Commonwealth of Dominica. Proceeding of the 63rd Gulf and Caribbean Fisheries Institute, 1-5 November. San Juan, Puerto Rico. Page 37-40. Nurhidayat. 2002. Pengaruh kedalaman pemasangan bubu terhadap hasil tangkapan kakap merah (Lutjanus sanguineus) di perairan sekitar Kepulauan Karimunjawa. [skripsi]. Bogor: Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Institut Pertanian Bogor 69 hal Permadi B. 1992. Analitycal Hierarchy Process (AHP). Depok: Universitas Indonesia. Pramesti G. 2011. Aplikasi SPSS Dalam Penelitian. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 197 hal.
205 Pramono B. 2006. Kajian keberlanjutan perikanan arat di wilayah Perairan Kota Tegal [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.125 hal. Pratomo DG. 2010. Pengaruh Topografi Terhadap Arus. Indonesian Journal of Marine Sciences. ITS-Surabaya. Purbayanto A, Susanto A, Husni E. 2007. Pengaruh penggunaan umpan dan konstruksi funnel terhadap hasil tangkapan bubu laut dalam di Teluk Pelabuhanratu. Biota 12: 108-115. [PUSLITBANG] Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. 1991. Perikanan Jaring Trammel dan Jaring Arat. Jakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan Perikanan. 68 hal. Rangkuti F. 2001. Analisis SWOT Teknis Membedah Kasus Bisnis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 188 hal. Risamasu FJL. 2008. Inovasi teknologi penangkapan ikan karang dengan bubu dasar berumpon. [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Hal 39-178. Riyanto M. 2008. Respon penciuman ikan kerapu macan (epinephelus fuscoguttatus) terhadap umpan buatan [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Rose CS. 1998. Pot Fishing and Research Western USA. Alaska Fisheries Science Center. National Marine Fisheries Service. NOAA. 7600 Sand Point. Rumajar TP. 2001. Pendekatan sistem untuk pengembangan usaha perikanan ikan karang dengan alat tangkap bubu di perairan Tanjung Manimbaya Kabupaten Donggala Sulawesi Tenggara. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Hal 28-36. Saaty TL. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi para Pemimpin. Jakarta. PT Pustaka Binaan Pressindi. 270 hal. Sarjono Y. Mulyanto, Elizai, Wijayanto, Nandila F. 1997. Studi dan Desain Rencana Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang (COREMAP). Simbolon D. 2011. Bioekologi dan Dinamika Daerah Penangkapan Ikan. Bogor. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 211 hal. Subani W, Barus HR. 1989. Alat Penangkap Ikan dan Udang Laut di Indonesia. Jurnal Penelitian Perikanan Laut No.50. Tahun 1988/1989. Edisi Khusus. Jakarta. Balai Penelitian Perikanan Laut. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian Jakarta. 248 hal.
206 Suharsono. 1995. Metode Penelitian Terumbu Karang. Kumpulan Materi Kursus Metode Penelitian Terumbu Karang. Padang. P3O-LIPI dan Universitas Bung Hatta. Sukarno. 1995. Pengelolaan ekosisitem terumbu karang. Makalah pada Pelatihan Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu. Bogor. Angkatan I, Kerjasama Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Institut Pertanian Bogor dengan Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional. UNCED. 1992. Our Commod Future. New York. Oxford University Press. 142 pg. Urbinas MP. 2004. Pengaruh kedalaman dan kontur dasar perairan terhadap hasil tangkapan kakap merah (Lutjanus malabaricus) dalam pengeoperasian bubu di Kabupaten Raja Ampat Provinsi Papua [tesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. 55 hal. Wisudo SH, Nurani TW, Zulkarnain. 1994. Teknologi Penangkapan Ikan yang Layak Dikembangkan di Labuan, Jawa Barat (tidak dipublikasikan). Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. 136 hal.
207
Lampiran
SINAR MAS SRI JOHAR
SRI MALAKA SRI NUAR
WINDI
PUTRA MAJU-02
RAMOS NAULI
RENTA SARI REZEKI BAHARI REZEKI SINAR MAS SUMBER HARAPAN SUMBER REZEKI BERSAMA
1 2
3
5
6
7
8
12
11
10
9
4
Nama kapal
No
MARHINGOTAN TAMPUBOLON
NOVITA TANIA
TONO DASIRAN
NURIATY SIAHAAN YOLANDA
HU HIAN
GIM SUAN
SUN HIN
TONO DASIRAN
TONO DASIRAN
TONO DASIRAN TONO DASIRAN
Pemilik
425/S.70
476/S.70
301/S.69
189/S.70
476/S.70
628/SSd
723/SSd
424/S.70
984/SSdX
789/SSd
Tanda selar 39/S.69 983/SSd
Lampiran 1 Daftar pemilik kapal bubu di Sibolga
BUBU
BUBU
BUBU
BUBU
BUBU
BUBU
BUBU
BUBU
BUBU
BUBU
Alat tangkap BUBU BUBU
7
6
6
3
7
6
10
7
23
27
6 17
GT
523.3a/45/IUP/2008
523.3a/05/I/IUP/2008
523.3a/10/IUP/2008
523.3a/58/VII/IUP/ 2008 523.3a/IUP/2008
523.3a/100/IUP/2008
61523.3a/61/IUP/2008
523.3a/323/IUP/2008
523.3a/839.E/IUP/2008
523.3a/IUP/2008
523.3a/31/IUP/2008 523.3a/666-E/IUP/2008
Nomor SIUP
523.3a/05/I/SPI/ 2008 523.3a/45/IUP/2008
523.3a/SPI/2008
523.3a/58/VII/SPI/ 2008 523.3a/SPI/2008
523.3a/100/SPI/ 2008
61523.3a/61/SPI/ 2008
523.3a/839.E/P.6/ 2008 523.3a/323/SPI/ 2008
523.3a/31/SPI/2008 523.3a/666-E/P06/2008 523.3a/IUP/2008
Nomor SIPI
12,00
11,30
12,50
11,45
12,00
11,80
13,80
12,00
16,95
18,30
12,50 15,10
P
2,65
2,55
0,75
2,70
2,95
2,80
3,10
2,83
4,14
5,37
2,96 3,60
L
0,90
0,70
0,75
0,75
0,98
0,90
0,95
0,87
1,45
1,50
0,83 1,32
D
213
207
SUMBER UTAMA LAUT MAS USAHA BERSAMA ANUGRAH BARU C.K.8 Ex.GALTOB CAHATA INDAH HAMPARA N PERAK HARAPAN SENTOSA HORIZON KARYA BARU REZEKI KARYA HARAPAN MERPATI-II OCEAN STAR PERMATA SARI
13
26
24 25
23
21 22
20
19
18
17
16
14 15
Nama kapal
No
Lampiran 1 lanjutan
214
MINEKIA PASARIBU
EKO HARTONO CEMERLANG TJAO KIM ENG LIE LIEPE
MULYADI BASTIAN
NOVITA TANIA
TONO DASIRAN
TONO DASIRAN
AZRAN SINAGA MAIDAR SINAGA MINERIA PASARIBU TJING K
TONO DASIRAN
Pemilik
482/S.70
215/S.69 1666/SSd
266/S.70
1458/SSd 254/SSS
587/S.70
212/S.69
62/S.69
1660/SSd
489/S.70
330/s.66 12/S.77
Tanda selar 290/S.69
BUBU
BUBU BUBU
BUBU
BUBU BUBU
BUBU
BUBU
BUBU
BUBU
BUBU
BUBU BUBU
Alat tangkap BUBU
6
6 19
6
9 28
6
5
6
6
6 3
5
GT
523.3a/99/IUP/2008
523.3a/83/IUP/2008 523.3a/584-E/IUP/2008
523.3a/341/IUP/2008
523.3a/91/IUP/2008 523.3a/340-E/IUP2008
523.3a/266/IUP/2008
523.3a/337/IUP/2008
523.3a/298/IUP/2008
523.3a/72/IX/IUP/2008
523.3a/15/IUP/2008 523.3a/IUP/2008
523.3a/338/IUP/2008
Nomor SIUP
523.3a/341/IUP/200 8 523.3a/83/SPI/2008 523.3a/584-E/P01/2008 523.3a/99/PPI/2008
523.3a/298/SPI/200 8 523.3a/337/SPI/200 8 523.3a/266/SPI/200 8 523.3a/91/SPI/2008 523.3a/340E/SPI/2008
523.3a/72/IX/SPI/2 008
523.3a/338/SPI/200 8 523.3a/15/IUP/2008 523.3a/SPI/2008
Nomor SIPI
11,35
10,50 17,85
11,75
13,10 18,30
0,14
11,45
12,05
11,75
12,50 11,45
11,00
P
2,80
2,65 4,26
2,73
3,10 4,95
3,10
2,70
2,56
2,80
0,75 2,70
1,40
L
0,80
1.00 1,20
0,83
1,25 1,58
0,95
0,75
0,83
0,86
0,75 0,70
0,80
D
208
209
Lampiran 2 Peta 135
210
Lampiran 3 Titik koordinat penjatuhan bubu nelayan a) Pulau Mursala Posisi titik 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Setting Bujur Timur
Hauling
Lintang Utara
98'34''3170''' 98'37''3505''' 98'37''186''' 98'35''2380''' 98'37''2157''' 98'33''1484''' 98'32''3578''' 98'29''206''' 98'27''3751'''
1'32''3582''' 1'37''2124''' 1'36''2417''' 1'40''2971''' 1'41''436''' 1'44'2146''' 1'45''1681''' 1'47''257''' 1'46''2193'''
Bujur Timur
Lintang Utara
98'34''3189''' 98'38''24''' 98'37''135''' 98'35''2394''' 98'37''2190''' 98'33''1593''' 98'33''95''' 98'29''302''' 98'27''3569'''
1'33''17''' 1'37''2132''' 1'36''2262''' 1'40''2990''' 1'41''431''' 1'44''1953''' 1'45''1638''' 1'47''351''' 1'46''2299'''
b) Pulau Pini Posisi titik 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Setting Bujur Timur 98'32''1977''' 98'41''1416''' 98'56''2661''' 98'54''1212''' 98'20''3325''' 98'19''787''' 98'17''2315''' 98'15''3435''' 98'18''3428'''
Hauling
Lintang Utara 0'24''204''' 0'33''336''' 0'27''2632''' 0'21''1932''' 0'16''1214''' 0'13''3314''' 0'17''3513''' 0'11''2436''' 0'13''2087'''
Bujur Timur 98'32''1987''' 98'41''1438''' 98'56''2769''' 98'54''1332''' 98'21''31''' 98'19''796''' 98'17''2342''' 98'16''91''' 98'18''3511'''
Lintang Utara 0'24''293''' 0'33''394''' 0'27''2721''' 0'21''1996''' 0'16''1327''' 0'14''33''' 0'18''21''' 0'11''2125''' 0'13''2194'''
211
Lampiran 3 lanjutan c)
Pulau Nias
Posisi titik 1 2 3 4 5 6 7 8 9
d)
Setting Bujur Timur
Hauling
Lintang Utara
Bujur Timur
0'3''2261''' 0'3''288''' 0'4''24''' 0'7''2621''' 0'19''2171''' 0'4''3279''' 0'4''1381''' 0'1''3071''' 0'4''3081'''
98'10''14''' 98'8''3073''' 98'11''1223''' 98'11''1160''' 98'11''397''' 98'13''273''' 98'12''911''' 98'14''2121''' 98'15''1641'''
98'9''3322''' 98'8''3119''' 98'11''1239''' 98'11''1258''' 98'11''379''' 98'13''172''' 98'12''728''' 98'14''1921''' 98'15''1931'''
Lintang Utara 0'3''2171''' 0'3''219''' 0'3'3415''' 0'7''1932''' 0'19''2361''' 0'4''3090''' 0'4''1290''' 0'1''3129''' 0'4''3211'''
Pulau Karang
Posisi titik
Setting Bujur Timur
Hauling
Lintang Utara
Bujur Timur
Lintang Utara
1 2 3 4 5 6 7 8
98'24''2608''' 98'22''3041''' 98'23''1465''' 98'23''2399''' 98'24''141''' 98'20''2941''' 98'19''1410''' 98'18''2123'''
1'51''104''' 1'52''1329''' 1'51''1492''' 1'53''173''' 1'57'1'941''' 1'54''961''' 1'54''1180''' 1'54''612'''
98'21''138''' 98'23''1450''' 98'23''3160''' 98'20''1961''' 98'18''171'''
1'52''1098''' 1'52''144''' 1'53''2331''' 1'53''2946''' 1'53''221'''
9
98'18''3197'''
1'54''1493''
98'18''1281'''
1'54''172'''
212
Lampiran 4 Titik koordinat penjatuhan bubu modifikasi a) Pulau Mursala Posisi titik 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Setting Bujur Timur
Hauling
Lintang Utara
98'30''3180''' 98'34''1201''' 98'25''3026''' 98'35''2390''' 98'34''2157''' 98'31''1484''' 98'29''88''' 98'38''186''' 98'23''2558'''
1'33''1182''' 1'35''723''' 1'47''2532''' 1'40''2971''' 1'43''3421''' 1'44''946''' 1'46''1622''' 1'38''47''' 1'43''2297'''
Bujur Timur
Lintang Utara
98'30''3189''' 98'34''1205''' 98'25''3023''' 98'35''2394''' 98'34''2170''' 98'31''1496''' 98'29''95''' 98'38''198''' 98'23''2569'''
1'33''1190''' 1'35''732''' 1'47''2541''' 1'40''2990''' 1'43''3427''' 1'44''953''' 1'46''1638''' 1'38''62''' 1'43''2299'''
b) Pulau Pini Posisi titik 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Setting Bujur Timur 98'33''967''' 98'18''578''' 98'58''2763''' 98'56''2314''' 98'20''2921''' 98'19''783''' 98'17''345''' 98'14''3486''' 98'52''1416'''
Hauling
Lintang Utara 0'24''2084''' 0'9''2087''' 0'21''1635''' 0'15''2987''' 0'7''1414''' 0'3''2314''' 0'6''513''' 0'4''3438''' 0'33''3434'''
Bujur Timur 98'33''987''' 98'18''565''' 98'58''2769''' 98'56''2330''' 98'20''2931''' 98'19''796''' 98'17''349''' 98'14''3497''' 98'52''1438'''
Lintang Utara 0'24''2093''' 0'9''2098''' 0'21''1655''' 0'15''2996''' 0'7''1427''' 0'3''2330''' 0'6''525''' 0'4''3455''' 0'33''3440'''
213
Lampiran 4 lanjutan c) Pulau Nias Posisi titik
Setting Bujur Timur
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Hauling
Lintang Utara
98'9''373''' 98'8''2057''' 98'11''2731''' 98'11''2956''' 98'22''1379''' 98'17''253''' 98'15''762''' 98'17''3123''' 98'19''1660'''
0'3''53''' 0'4''2858''' 0'11''2407''' 0'0''373''' 0'12''1057''' 0'10''2655''' 0'3''3084''' 0'1''1547''' 0'4''2087'''
Bujur Timur
Lintang Utara
98'9''384''' 98'8''2073''' 98'11''2747''' 98'11''2969''' 98'22''1397''' 98'17''260''' 98'15''780''' 98'17''3129''' 98'19''1646'''
0'3''71''' 0'4''2841''' 0'11''2415''' 0'0''390''' 0'12''1065''' 0'10''2638''' 0'3''3090''' 0'1''1515''' 0'4''2098'''
d) Pulau Karang Posisi titik 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Setting
Hauling
Bujur Timur
Lintang Utara
Bujur Timur
Lintang Utara
98'23''1601''' 98'19''1688''' 98'18''477''' 98'21''1153''' 98'17''3123''' 98'16''1942''' 98'14''1444''' 98'11''175''' 98'13''3172'''
1'54''2067''' 1'53''1171''' 1'51''496''' 1'50''721''' 1'59''945''' 1'55''2968''' 1'53''3418''' 1'56''1619''' 1'58''44'''
98'23''1621''' 98'19''1664''' 98'18''450''' 98'21''1131''' 98'17''3159''' 98'16''1961''' 98'14''1456''' 98'11''193''' 98'13''3189'''
1'54''2077''' 1'53''1178 1'51''525''' 1'50''750''' 1'59''960''' 1'55''2946''' 1'53''3439''' 1'56''1625''' 1'58''56'''
214
Lampiran 5 Analisis regresi hubungan waktu penjatuhan bubu terhadap kedalaman perairan a) Bubu nelayan SUMMARY OUTPUT
Regression Statistics Multiple R
0.993395
R Square Adjusted R Square Standard Error
0.986833 0.985187 5.061325
Observations
10
ANOVA df
Significance F
SS
MS
F 599.5755
Regression
1
15359.33
15359.33
Residual
8
204.9361
25.61701
Total
9
15564.27
Coefficients
Standard Error
t Stat
P-value
-4.48842
3.287622
-1.36525
0.209328
5.08442
0.207644
24.48623
8.26E-09
Intercept X Variable 1
RESIDUAL OUTPUT
8.26E-09
Upper 95%
Lower 95.0%
Upper 95.0%
-12.0697
3.092853
-12.0697
3.092853
4.605592
5.563248
4.605592
5.563248
Lower 95%
PROBABILITY OUTPUT
Observation
Predicted Y
Residuals
Percentile
Y
1
13.30705
1.692948
5
15
2
21.95057
-1.95057
15
20
3
31.10252
-3.60252
25
27.5
4
40.25448
7.845522
35
47
5
51.4402
-4.4402
45
48.1
6
66.69346
3.972892
55
70.66635
7
87.53958
-8.53958
65
79
8
100.7591
1.45649
75
102.2156
9
107.3688
3.631178
85
111
10
137.8753
-0.06616
95
137.8092
215
Lampiran 5 Lanjutan b) Bubu modifikasi SUMMARY OUTPUT
Regression Statistics Multiple R
0.988883
R Square Adjusted R Square Standard Error
0.977889 0.975126 3.249766
Observations
10
ANOVA df
MS
F 353.8189
Regression
1
3736.674
3736.674
Residual
8
84.48783
10.56098
Total
9
3821.162
Coefficients
Standard Error
Intercept
3.730914
X Variable 1
2.630993
t Stat
P-value
2.18428
1.708075
0.126003
0.139871
18.81007
6.59E-08
RESIDUAL OUTPUT
Observation
Significance F
SS
6.59E-08
Upper 95%
Lower 95.0%
Upper 95.0%
-1.30605
8.767874
-1.30605
8.767874
2.308449
2.953537
2.308449
2.953537
Lower 95%
PROBABILITY OUTPUT
Predicted Y
Residuals
Percentile
Y
1
14.25489
-3.25489
5
11
2
16.88588
-0.26588
15
16.62
3
19.51687
4.483127
25
24
4
30.04085
-1.03085
35
29.01
5
32.67184
3.238161
45
35.91
6
45.03751
-5.77751
55
39.26
7
48.4578
0.922202
65
49.38
8
59.24487
-0.83487
75
58.41
9
61.61276
2.687236
85
64.3
10
72.13674
-0.16674
95
71.97
216
Lampiran 6 Sebaran spesies ikan yang tertangkap pada bubu
6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Nama Lokal Janang Jubahak Kerapu Belang Gepeng Kerapu muara Bayam Kakap putih Jarang gigi Jenaha Galebut Barracun Kaci Kampi Taji Cabe-cabe Cabe-cabe Gabu Ramung Bona Bantal Pari Hias Cumi-cumi
24
Batman
25 26
Bayam putih Kurisi
No 1 2 3 4 5
Nama Indonesia
Famili
Spesies
Kerapu Merah Kerapu Macan
Serranidae Serranidae
Cephalopholis miniata Epinepheluts fuscoguttus
Kerapu sunu/raja
Serranidae
Plectropomus maculates
Kerapu Lumpur
Serranidae
Epinephelus tauvina
Kerapu minyak
Serranidae
Epinephelus colotdes
Bayeman Kakap putih Gorara Jenaha Kakap Merah Lencam Kepe-kepe Ayam ayam Butana Garis Beronang lingkis beronang kuning Kuwe Ekor Kuning Enjel Kurisi Merah Pari kelapa Ikan Giro Pasir Cumi-cumi Biji nangka karang Napoleon Kurisi
Scarinidae Centroponidae Lutjanidae Lutjanidae Lutjanidae Lethrinidae Lethrinidae Acanthunidae Acanthuridae Siganidae Siganidae Carangidae Caesionidae Ephppidae Nemipteridae Dasyatidae Chaetodontidae Loligonidae
Scarus quoyi lates calcarites Lutjanus vita Lutjanus argentimaculatus Lutjanus saguineus Lethrinus lentjam Lethrinus erythacantus Naso brevisrostris Acanthurus nubilus siganus canaliculuatus siganus virgatus caranx melampygus Caesinodae erythrogaster Platax teira Nemipterus sp Trygon sephen Heniochus acumrnatus loligo spp
Mullidae
parupeneus indicus
Bayam Nemipteridae
cheilinux undulates nimimterus hexodon
217
Lampiran 7 Hasil analisis faktorial hubungan DPI dan jenis bubu terhadap berat hasil tangkapan Hasil analisis : Between-Subjects Factors N DPI
Bubu
1,00 2,00 3,00 4,00 1,00 2,00
18 18 16 20 36 36
Descriptive Statistics Dependent Variable: Berat DPI 1,00
2,00
3,00
4,00
Total
Bubu 1,00 2,00 Total 1,00 2,00 Total 1,00 2,00 Total 1,00 2,00 Total 1,00 2,00 Total
Mean 191,0000 220,2222 205,6111 117,8889 143,5556 130,7222 66,6667 79,8571 72,4375 36,7778 56,5455 47,6500 103,0833 123,7500 113,4167
Std. Deviation 44,82466 25,44493 38,42202 33,26952 21,76069 30,30008 19,49359 18,54210 19,64338 11,33333 19,01770 18,60751 65,90832 68,68286 67,63942
N 9 9 18 9 9 18 9 7 16 9 11 20 36 36 72
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Berat Source Corrected Model Intercept DPI Bubu DPI * Bubu Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares 281187,693(a) 924756,601 272012,276 8570,436 624,875 43643,807 1250992,000 324831,500
df Mean Square 7 40169,670 1 924756,601 3 90670,759 1 8570,436 3 208,292 64 681,934 72 71
a R Squared = ,866 (Adjusted R Squared = ,851)
F 58,905 1356,078 132,961 12,568 ,305
Sig. ,000 ,000 ,000 ,001 ,821
218
Lampiran 8 Hasil analisis faktorial hubungan DPI dan jenis bubu terhadap jumlah hasil tangkapan Hasil analisis: Between-Subjects Factors DPI
Bubu
1,00 2,00 3,00 4,00 1,00 2,00
N 18 18 16 20 36 36
Descriptive Statistics Dependent Variable: Jumlah DPI 1,00
2,00
3,00
4,00
Total
Bubu 1,00 2,00 Total 1,00 2,00 Total 1,00 2,00 Total 1,00 2,00 Total 1,00 2,00 Total
Mean 190,7778 167,8889 179,3333 123,6667 124,5556 124,1111 88,2222 111,1429 98,2500 38,0000 64,3636 52,5000 110,1667 114,3889 112,2778
Std. Deviation 43,15605 37,62461 41,00359 36,69128 41,56655 38,03696 65,74150 73,87699 68,01519 16,11676 24,61818 24,68645 70,43802 58,12463 64,15435
N 9 9 18 9 9 18 9 7 16 9 11 20 36 36 72
Dependent Variable: Jumlah Source Corrected Model Intercept DPI Bubu DPI * Bubu Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares 165942,820(a) 916876,706 159860,931 826,748 7041,470 126277,625 1199874,000 292220,444
df Mean Square 7 23706,117 1 916876,706 3 53286,977 1 826,748 3 2347,157 64 1973,088 72 71
a R Squared = ,568 (Adjusted R Squared = ,521)
F 12,015 464,691 27,007 ,419 1,190
Sig. ,000 ,000 ,000 ,520 ,321
200
ikan non target
1
120
50
1
Kapal dan mesin
Bubu
Tali
Echosounder G 400 S Total Investasi
1. BIAYA INVESTASI
OUT FLOW
Jumlah
100
ikan non target
Nilai sisa Jumlah
300
Ikan target
Musim paceklik
400
Ikan target
Musim puncak
Kg
IN FLOW
4
4
18
18
trip
Hasil tangkapan
URAIAN
280000
15000
30000
15000
30000
Harga satuan
87400000
7800000
6000000
33600000
40000000
0
0
39600000
6000000
33600000
0 312000000
6000000
36000000
54000000
216000000
1
39600000
6000000
33600000
0 312000000
6000000
36000000
54000000
216000000
2
Tahun ke-
Cash flow unit penagkapan bubu nelayan
Lampiran 9 Analisis kelayakan usaha bubu konvensional
39600000
6000000
33600000
0 312000000
6000000
36000000
54000000
216000000
3
39600000
6000000
33600000
0 312000000
6000000
36000000
54000000
216000000
4
47400000
6000000 7800000
33600000
0 312000000
6000000
36000000
54000000
216000000
5
219
219
7800000
Total biaya tetap TOTAL BIAYA PRODUKSI TOTAL OUT FLOW Total pendapatan kotor (in flow)
40000000
Echosaunder
22
biaya
22
Penyusutan kapal
SIUP
2.2 Biaya tetap
Adm kapal Total Biaya variabel
22
Minyak tanah
35
4
Air bersih perbaikan kapal dan mesin
5 tahun 5 tahun
87400000
12860000 86400000 126000000 186000000
86400000 126000000 186000000
8000000 1560000
3300000
2200000 73540000
3080000
6000000
660000
44000000
6600000
11000000
12860000
8000000 1560000
3300000
2200000 73540000
100000 umur teknis 150000
3080000
6000000
660000
44000000
6600000
11000000
4000
1500000
5000 30000
22
400
BBM 22
15000
22
20
harga satuan 500000
Es balok
durasi 22
jumlah
kebutuhan perhari
Makanan (perbekalan)
2.1 Biaya Variabel
2. BIAYA PRODUKSI
Lampiran 9 lanjutan
220
186000000
126000000
86400000
12860000
8000000 1560000
3300000
2200000 73540000
3080000
6000000
660000
44000000
6600000
11000000
186000000
126000000
86400000
12860000
8000000 1560000
3300000
2200000 73540000
3080000
6000000
660000
44000000
6600000
11000000
178200000
133800000
86400000
12860000
8000000 1560000
3300000
2200000 73540000
3080000
6000000
660000
44000000
6600000
11000000
220
93000000 186000000 0,893 166071428,6 Rp 516.662.896,6 212%
-87400000 1,000 -87400000
Total pendapatan bersih NET BENEFIT DISCOUNT FACTOR 12% PV/TAHUN
2,36
-87400000
PV NEGATIF
NET B/C
186000000
PV POSITIF
IRR
NPV
93000000
Bagi hasil kapal (50%)
Lampiran 9 lanjutan
148278061,2
0,797
93000000 186000000
93000000
132391126,1
0,712
93000000 186000000
93000000
118206362,6
0,636
93000000 186000000
93000000
101115465,7
0,567
89100000 178200000
89100000
221
221
100
ikan non target
120
50
1
Bubu
Tali
Echosounder G 400 S
Lampiran 6 lanjutan
Total investasi
1
Kapal dan mesin
1. BIAYA INVESTASI
OUT FLOW
Jumlah
100
ikan non target
Nilai sisa Jumlah
300
Ikan target
Musim paceklik
400
Ikan target
Musim puncak
kg
IN FLOW
4
4
28
28
trip
Hasil tangkapan
URAIAN
298000
15000
30000
15000
30000
Harga satuan
89560000
7800000
6000000
35760000
40000000
0
0
41760000
6000000
35760000
0 420000000
6000000
36000000
42000000
336000000
1
41760000
6000000
35760000
0 420000000
6000000
36000000
42000000
336000000
2
Tahun ke-
Cash flow unit penagkapan bubu Modifikasi
Lampiran 10 Analisis kelayakan usaha bubu modifikasi
222
41760000
6000000
35760000
0 420000000
6000000
36000000
42000000
336000000
3
41760000
6000000
35760000
0 420000000
6000000
36000000
42000000
336000000
4
49560000
7800000
6000000
35760000
0 420000000
6000000
36000000
42000000
336000000
5
222
7800000
Total biaya tetap TOTAL BIAYA PRODUKSI TOTAL OUT FLOW Total pendapatan kotor (in flow)
40000000
Echosaunder
32
biaya
32
Penyusutan kapal
SIUP
2.2 Biaya tetap
Adm kapal Total Biaya variabel
32
Minyak tanah
35
4
Air bersih perbaikan kapal dan mesin
5 tahun 5 tahun
89560000
14360000 118600000 160360000 259640000
118600000 160360000 259640000
8000000 1560000
4800000
3200000 104240000
4480000
6000000
960000
64000000
9600000
16000000
14360000
8000000 1560000
4800000
3200000 104240000
100000 umur teknis 150000
4480000
6000000
960000
64000000
9600000
16000000
4000
1500000
5000 30000
32
400
BBM 32
15000
32
20
harga satuan 500000
Es balok
durasi 32
jumlah
kebutuhan perhari
Makanan (perbekalan)
2.1 Biaya Variabel
2. BIAYA PRODUKSI
Lampiran 10 lanjutan
259640000
160360000
118600000
14360000
8000000 1560000
4800000
3200000 104240000
4480000
6000000
960000
64000000
9600000
16000000
259640000
160360000
118600000
14360000
8000000 1560000
4800000
3200000 104240000
4480000
6000000
960000
64000000
9600000
16000000
251840000
168160000
118600000
14360000
8000000 1560000
4800000
3200000 104240000
4480000
6000000
960000
64000000
9600000
16000000
223
223
0,893 231821428,6 Rp 751.748.360,4 290%
-89560000 1,000 -89560000
NET B/C
PV NEGATIF
PV POSITIF
IRR
-89560000 1,74
259640000
129820000 259640000
Total pendapatan bersih NET BENEFIT DISCOUNT FACTOR 12% PV/TAHUN
NPV
129820000
Bagi hasil kapal (50%)
Lampiran 10 lanjutan
224
206983418,4
0,797
129820000 259640000
129820000
184806623,5
0,712
129820000 259640000
129820000
165005913,9
0,636
129820000 259640000
129820000
142900779,3
0,567
125920000 251840000
125920000
224
225
Lampiran 11 Dokumentasi kegiatan penimbangan ikan per individu
226
Lampiran 12. Dokumentasi jenis ikan hasil tangkapan utama bubu Sibolga
(a) Jenaha
(b) Kakap merah
(c) Kuwe
(d) Kerapu