Jurnal Ilmu Pertanian dan Perikanan Desember 2013 Vol. 2 No. 2 Hal : 121-126 ISSN 2302-6308
Available online at:
http://umbidharma.org/jipp
PENDEKATAN CARRYING CAPACITY BERDASARKAN ASPEK SOSIAL PRODUKSI NELAYAN BUBU (Determination of Carrying Capacity Based On Social Aspect of Bubu’s Fishermen Production) Dwi Rosalina1*, Sudirman Adibrata1 1Jurusan
Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Pertanian Perikanan dan Biologi Universitas Bangka Belitung Gedung Babel IV Kampus Terpadu Balunijuk Desa Balunijuk, Kecamatan Merawang, Kabupaten Bangka Induk *Korespondensi:
[email protected] Diterima: 02 September 2013/ Disetujui: 10 Oktober 2013
ABSTRACT Social carrying capacity is the maximum level of development activities in an area that is not socially harmful or do not conflict with other activities. The purpose of this research was to know the social carrying capacity which is based on the social aspects of fishermen fishing activities using grouper traps in Pongok Island, Province of Bangka Belitung Islands. Social data are obtained from secondary datain the form of village monographs or figure data of the district. The primary data are obtained from interview swith local fishermen using structured questions in the form of formal or informal dialogue, and questionnaires. Grouper aquaculture management strategies that need to be implemented in the form of groups of users (community groups) fishing traps model. Keywords: carrying capacity, fishermen, social aspect, traps ABSTRAK Daya dukung sosial yakni tingkat kegiatan pembangunan maksimal pada suatu kawasan yang tidak merugikan secara sosial atau terjadinya konflik dengan kegiatan lainnya.Tujuan dari penelitian ini yaitu mengetahui carrying capacity nelayan bubu berdasarkan aspek sosial. Untuk memperoleh data sosial biasanya digunakan data sekunder berupa monografi desa atau kecamatan dalam angka. Selanjutnya wawancara berupa dialog formal dan informal dilakukan untuk memperoleh data primer yang dirangkum dalam pertanyaan terstruktur atau data dari kuisioner. Strategi pengelolaan budidaya kerapu perlu ditempuh dengan cara implementasi model berbentuk kelompok masyarakat pemanfaat (pokmas) nelayan bubu. Kata kunci: aspek sosial, daya dukung, nelayan bubu PENDAHULUAN Pulau Pongok sebagai salah satu sumberdaya pulau kecil berperan penting dalam mendukung pembangunan ekonomi daerah dalam mening-
katkan penerimaan devisa, lapangan kerja, dan pendapatan penduduk. Pulau Pongok mempunyai keunggulan komparatif karena memiliki ekosistem terumbu karang yang dominan, selain itu ter-
122
ROSALINA DAN ADIBRATA
dapat pula ekosistem mangrove dan padang lamun (Dahuri R 2001). Ekosistem terumbu karang di Pulau Pongok menjadi tempat berlindung, tempat mencari makan, tempat asuhan dan tempat berkembang biak bagi ikan karang. Salah satu ikan karang yang bernilai ekonomis adalah ikan kerapu famili serranidae. Ikan kerapu ini ditangkap dalam kondisi hidup dengan alat tangkap bubu sehingga nelayannya disebut nelayan bubu. Kehidupan nelayan bubu sampai saat ini sudah berlangsung cukup lama sehingga perlu mengetahui dinamika produksi ikan kerapu yang dapat dikaji nilai ekonominya (Djamali et al. 2001). Hal ini menjadi penting dalam memahami daya dukung (carrying capacity) produksi ikan kerapu oleh nelayan bubu di pulau kecil.
JIPP menggunakan alat yang mudah dan praktis seperti kertas plano beserta alat tulis lainnya. Kegiatan wawancara juga dilakukan pada waktu malam hari karena kebiasaan nelayan bubu yang menangkap ikan pada siang hari dan istirahat pada malam hari. Pertanyaan yang diajukan mencakup informasi mengenai: 1) Jumlah nelayan bubu di Pulau Pongok serta tingkatannya. 2) Cara penangkapan ikan apakah merusak atau tidak terhadap lingkungan. 3) Persepsi dari nelayan lain selain nelayan bubu. 4) Potensi konflik antara nelayan bubu dan pemanfaat sumberdaya lainnya. HASIL DAN PEMBAHASAN
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan pada tahun 2013 di Pulau Pongok Kabupaten Bangka Selatan Propinsi Kepulauan Bangka Belitung. Data sekunder diambil dari monografi desa dan kecamatan dalam angka. Selanjutnya dilakukan wawancara berupa dialog formal dan informal untuk memperoleh data primer yang dirangkum dalam pertanyaan terstruktur dan data dari kuisioner. Dialog dapat
Kabupaten Bangka Selatan memiliki 8 (delapan) kecamatan dengan luas wilayah yang beragam. Luas kecamatan di Kabupaten Bangka Selatan disajikan pada Tabel 1. Kecamatan Kepulauan Pongok Kabupaten Bangka Selatan yang berpenghuni yaitu di Pulau Pongok atau Desa Pongok dan Pulau Celagen atau Desa Celagen dengan jumlah penduduk seperti disajikan pada Tabel 2.
Tabel 1 Kecamatan, luas wilayah, dan jumlah penduduk di Kabupaten Bangka Selatan No
Kecamatan
Luas (Km²)
Prosentase Luas (%)
Jumlah Penduduk (Orang)
1.460,34
40,49
69.272
1
Toboali
2
Air Gegas
853,64
23,67
40.142
3
Payung
372,95
10,34
19.792
4
Simpang Rimba
362,30
10,04
22.544
5
Lepar Pongok
172,31
4,78
7.266
6
Tukak Sadai
126,00
3,49
10.577
7
Pulau Besar
169,87
4,71
8.706
8
Kepulauan Pongok
89,67
2,49
5.187
Luas Total
3.607,08
100,00
183.486
Sumber: Bangka Selatan dalam angka 2013
Vol. 2, 2013
Pendekatan Carrying Capacity
123
Tabel 2 Jumlah penduduk di Kecamatan Kepulauan Pongok No
Desa
Luas Daerah 2 (km )
Laki-laki (Orang)
Perempuan (Orang
Jumlah (Orang
Jumlah Rumah Tangga (KK)
1
Pongok
86,74*
1.877
2.107
4.084
922
2
Celagen
2,93*
583
520
1.103
345
Jumlah
89,67
2.460
2.627
5.187
1.267
Sumber : Papan Informasi Desa Pongok dan Celagen 2013
Ikan kerapu hidup yang sudah menjadi komoditas ekspor mendorong beberapa nelayan untuk berkecimpung dalam bidang usaha ini. Penjualan ikan karang seperti ikan kerapu hidup cukup diminati pasar sehingga dapat digambarkan tata niaga ikan kerapu pada Gambar 1 mulai dari nelayan bubu, pengusaha Keramba Jaring Apung (KJA), eksportir kerapu, dan pembeli dari Hongkong. Biasanya kapal dari Hongkong datang setiap bulan hanya satu kali ke tempat eksportir di Belitung sehingga pengusaha eksportir ini harus menjemput ikan dari penang-kar atau penangkar yang membawa ikan kerapu hidup ke tempat Eksportir sesuai dengan perjanjian yang mereka lakukan. Nelayan Bubu di Pulau Pongok Sebelum muncul pengusaha keramba jaring apung (KJA) di Pulau Pongok, penjualan ikan karang seperti ikan kerapu dilakukan dengan menjual kerapu dalam kondisi mati atau dikenal sebagai ikan kerapu segar. Setelah adanya pengusaha KJA di Pulau Pongok, maka harga kerapu berangsur naik dan nelayan berusaha menjualnya dalam kondisi hidup. Nelayan sangat terbantu dengan adanya peningkatan harga yang sangat signifikan ini sampai akhirnya ditemukan cara penangkapan ikan karang dengan menggunakan alat tangkap bubu di perairan Pulau Pongok. Berdasarkan wawancara dengan pejabat DKP Bangka Selatan, bubu diperbolehkan karena masih tergolong alat tangkap yang ramah lingkungan. Daerah penangkapan ikan dengan bubu
oleh nelayan bubu Pulau Pongok hanya di sekitar perairan Kecamatan Kepulauan Pongok Kabupaten Bangka Selatan. Nelayan bubu di Pulau Pongok berjumlah 11 orang yang biasa dikenal dengan sebutan juragan, masing-masing juragan memiliki anak buah kapal. Pada tahun 2011, nelayan bubu di Pulau Pongok berjumlah 11 orang termasuk Bapak Mulkan, namun pada tahun 2013 Bapak Mulkan digantikan oleh anaknya yaitu Bapak Bali. Secara garis besar, nama-nama juragan dapat dilihat pada Tabel 3 dan 4. Sarana Prasarana dan Operasional Penangkapan Sarana dan prasarana peralatan yang mendukung untuk melaut sangat penting bagi nelayan bubu agar bubu dapat terpasang di lokasi yang diinginkan sehingga persiapan dari mulai berangkat melaut sampai membawa ikan hasil tangkapan harus direncanakan dengan matang. Peralatan melaut dapat diuraikan seperti kapal 3 GT dan GPS, genset, kompressor, solar, ransum, bubu, sepatu selam, sarung tangan, masker, selang kompresor, selang kecil atau ujung pemancar radio, dan panbel. Peralatan ini setelah dipakai tentunya mengalami penyusutan atau kerusakan dan penyusutan peralatan ini menjadi tanggungan juragan. Masa hidup (life time) peralatan di atas berbeda-beda yaitu kapal, GPS, compressor, dan wadah fiber glass disusutkan 10% setiap tahun sehingga terpakai untuk 10 tahun, bubu diganti setiap 3 bulan karena aus atau perlu
124
ROSALINA DAN ADIBRATA
JIPP
pembaharuan dimana bahan dasar bubu terdiri dari ram kawat dan rotan yang pembuatan bubunya dirakit sendiri oleh juragan nelayan bubu dengan perhitungan tertentu berdasarkan jumlah lobang ram kawat, sepatu selam diganti setiap 2 bulan, sarung tangan diganti setiap 0,5 bulan, masker diganti setiap 12 bulan, selang kompresor diganti setiap 5 bulan, panbel diganti setiap 3 bulan.
Kebiasaan para nelayan bubu di Pulau Pongok dalam mengoperasikan alat tangkap bubu dapat dikatakan hampir sama yaitu setiap hari dipergunakan untuk melaut kecuali ada halangan, sakit atau ada acara tertentu di kampung yang memerlukan gotong royong masyarakat. Hasil tangkapan masing-masing nelayan bubu relatif sama pada bulan yang sama dalam siklus tahunan
Sumber : Survey Lapangan 2013
Gambar 1 Tata niaga komoditas ikan kerapu di Pulau Pongok
Tabel 3 Data nelayan bubu di Pulau Pongok Nama
Umur (thn)
Sekolah Terakhir
Status
Pengalaman (thn)
Jumlah Keluarga (org)
Anton
26
STM
Menikah
7
3
Pairus
26
SMP
Menikah
9
4
Juanda
20
SMP
Blm Menikah
3
1
Sumar
32
SD
Menikah
15
5
Mano
26
SD
Menikah
11
4
Didin
32
SD
Menikah
15
4
Bujang
32
SD
Menikah
15
5
Sopa
20
SD
Blm Menikah
6
1
Idrus
39
SD
Menikah
20
5
Roni
22
SMP
Menikah
5
2
Bali
22
SD
Blm Menikah
2
1
Sumber: Survey lapangan 2013
Vol. 2, 2013
Pendekatan Carrying Capacity
125
Tabel 4 Data nelayan KJA di Pulau Pongok dan Belitung Nama
Umur (thn)
Sekolah
Keterangan
Hendri(5 perahu)
47
SD (tidak tamat)
Menjual ke pak Abeng
Anton (2 perahu)
26
STM
Menikah
Idrus
39
SD
Sering menjual ke pak Hendri
Abeng
47
SD (tidak tamat)
Penampung besar, eksportir
Ahay
37
SD
Aheng
32
SD
P.Pongok
P.Belitung
Sumber: Survey lapangan, 2013
Operasional penangkapan ikan karang untuk pemasangan bubu diletakkan di sekitar karang mati dan terumbu karang dengan ditindih batu atau karang mati (bukan di atas terumbu karang) agar tidak merusak kondisi terumbu. Setiap satu kapal atau perahu dipimpin oleh 1 orang juragan, masing-masing juragan memiliki 3 anak buah sehingga total dalam satu kapal adalah 4 orang anak buah kapal (ABK). Waktu kerja atau melaut mulai pukul 9.00 sampai dengan pukul 17.00 WIB, di mana waktu libur menyesuaikan dengan kebutuhan seperti ada acara keluarga atau jika ada salah satu ABK yang terkena sakit. Tingkat kekeluargaan di Pulau Pongok masih tinggi, terbukti jika ada acara hajatan seperti pernikahan, mereka libur kerja dan bergotong royong untuk mempersiapkan kebutuhan pesta seperti membantu membuat panggung dan lain-lain.
Mengenai sistem pembagian hasil dalam satu buah kapal yaitu untuk 1 orang juragan sebagai pemimpin di kapal merangkap penyelam mendapat 2/5 bagian, dan untuk 3 orang ABK lainnya mendapat 3/5 bagian, dimana pembagian hasil tangkapan ini adalah setelah dipotong biaya lain-lain diantaranya pembelian solar, stroom accu, dan lain-lain yang jumlahnya sekitar Rp 150.000,00/ trip melaut. Ikan yang diambil dari bubu di dasar perairan, selanjutnya ikan ini segera ditusuk perutnya dengan selang kecil atau ujung pemancar radio yang bertujuan agar ikan tidak terjadi dekompresi dan ikan dapat hidup dalam keramba, selanjutnya dimasukan dalam fiberglass berisi air laut untuk dipindahkan ke dalam keramba (Zhiyong dan Sheng 2009).
Sumber : Analisis dari wawancara dengan nelayan bubu 2013
Gambar 2 Penerimaan kerapu di lokasi pengusaha KJA Tahun 2013
Gambar 3 Tangkapan kerapu pada bulan Oktober 2012September 2013
126
ROSALINA DAN ADIBRATA
Ikan hasil tangkapan dari bubu ini disetorkan kepada pengusaha KJA setiap pulang melaut, ditimbang dan dicatat yang nantinya dibayarkan setiap akhir bulan atau dibayarkan setiap awal bulan berikutnya. Bagi nelayan bubu yang memiliki ikatan khusus maka biaya modal untuk kapal dan bubu ditanggung oleh pengusaha KJA dengan aturan misalnya ikan tangkapan di jual kepada pengusaha KJA tersebut dan nilai penjualan kerapu yang berbeda. Lokasi penyelaman di laut dibatasi sekitar 20 titik/hari dimana 10 titik dipergunakan untuk mengambil bubu yang sudah terpasang dan 10 titik lagi dipergunakan untuk memasang bubu yang baru. Setiap titik dicatat koordinatnya dengan alat bantu GPS garmin, dimana alat ini sangat bermanfaat bagi nelayan bubu dalam mempercepat pencarian lokasi yang akurat. Setiap titik penyelaman dipasang bubu secara berpasangan atau dua buah bubu di sekitar karang dengan mulut bubu menghadap searah datangnya arus air dengan masa perendaman selama 4 hari, jadi setiap juragan nelayan bubu memiliki sekitar 80 buah bubu Sugiarto et al. 2002). Pemasangan mulut bubu searah arus air ini disesuaikan dengan tingkah laku ikan (fish behaviour) dimana kebiasaan ikan target mencari makanan dengan menentang arah arus perairan. Lokasi yang pernah dipasang bubu dapat dipasang bubu kembali setelah sekitar satu bulan atau lebih, hal ini dilakukan untuk memperoleh hasil tangkapan yang diharapkan.
JIPP KESIMPULAN Strategi pengelolaan budidaya kerapu perlu ditempuh dengan cara implementasi model berbentuk kelompok masyarakat pemanfaat (pokmas) nelayan bubu. DAFTAR PUSTAKA Dahuri R. 2001. Analisis Daya Dukung Kawasan Pesisir dan Laut. Bahan Kuliah: Analisis Sistem Permodelan. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Djamali A, Mayunar, KA Azis, M Boer, J Widodo, A Ghofar. 2001. Perikanan Kerapu di Perairan Indonesia. Kerjasama Departemen Kelautan dan Perikanan, Komisi Nasional Pengkajian Sumberdaya Perikanan laut, dan PKSPL IPB. Bogor. Sugiarto T, Herlambang, Brastoro, R. Sudjana, S Kelana. 2002. Ekonomi Mikro: Sebuah Kajian Komprehensif. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Zhiyong F dan Sheng Z. 2009. Research on psychological carrying capacity of tourism destination. Chinese Journal of Population. 7(1): 47-50.