PENGEMBANGAN PENYALURAN KREDIT MELALUI KOPERASI DENGAN POLA SWAMITRA UNTUK PENINGKATAN EKONOMI DAERAH DAN MASYARAKAT DI KOTA PEKANBARU
R. MOCHTAR. M
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
iv
2008
PERNYATAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tugas Akhir Pengembangan Penyaluran Kredit Melalui Koperasi Dengan Pola Swamitra Untuk Peningkatan Ekonomi Daerah dan Masyarakat di Kota Pekanbaru adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tugas Akhir ini,
Bogor,
Juli 2008
R. Mochtar M.
v
ABSTRACT R. MOCHTAR M. Development of Credit Disbursement by Cooperative trough Swamitra Arrangement to Increase the Region and People Economy in Pekanbaru City. Under supervision of LALA M. KOLOPAKING, and LUKMAN M. BAGA
Local government of Riau Province through Cooperation and UKM Department of Riau Province in 2001 has allocated 18 billion rupiah to 36 units of credit cooperative in 15 regencies/cities. This program aims to develop swamitra arrangement held in 2006. The objectives of this research is to analyze swamitra arrangement supporting credit cooperative and identify impacts and strategies of credit through swamitra arrangement for region and people economy. This research indicated that the implementation of credit through swamitra arrangement in Pekanbaru City worked well. The indications such as credit disbursement succeeds to strengthen cooperation capital, accelerate credit disbursement, and use professional worker to strengthen cooperation also technological expert to disburse credit trough computer. Besides, fund given by Riau Province government to increase swamitra arrangement has contributed to PAD. Generally, developing of credit disbursement of swamitra arrangement has positive impact for regonal economy. To develop swamitra arrangement further, some constraints have to be controlled such as requirements to have credit rent, condition of enterprises, interest rate of credit, and adjustment between time to return and amount of rent. Swamitra arrangement is a good program to support cooperative in disbursing credit as well. In the future, development of “exit strategy” program is required for cooperatives which are swamitra arrangement locations.
Keywords: Cooperative, Credit, Swamitra
vi
RINGKASAN R. MOCHTAR M. Pengembangan Penyaluran Kredit Melalui Koperasi Dengan Pola Swamitra untuk Peningkatan Ekonomi Daerah dan Masyarakat di Kota Pekanbaru : LALA M. KOLOPAKING dan LUKMAN M. BAQA. Kajian bertujuan untuk menelaah pengembangan penyaluran kredit melalui koperasi yang dimitrakan dengan perbankan. Pola Swamitra adalah salah satu bentuknya, yang merupakan kerjasama yang berazazkan prinsip-prinsip kebersamaan dan saling menguntungkan (saling butuh, saling memperkuat dan saling menguntungkan). Kerjasama kemitraan ini dilakukan antara Bank Bukopin dengan koperasi, untuk memoderenisasi usaha simpan pinjam melalui pemanfaatan jaringan teknologi (network) dan dukungan sistem manajemen yang profesional sehingga memiliki kemampuan memberikan pelayanan jasa-jasa keuangan yang lebih luas. Pemerintah Daerah Provinsi Riau pada Tahun Anggaran 2001 melalui Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Riau telah mengalokasikan dana APBD Provinsi Riau sebesar 18 Milyar bagi 36 Unit Koperasi Simpan Pinjam/Unit Simpan Pinjam Koperasi di 15 Kabupaten/Kota Provinsi Riau untuk mengembangkan Pola Swamitra ini dan pada Tahun 2006 akan dilaksanakan kembali. Berdasarkan hal tersebut, kajian ini berupaya menelaah kebenaran tentang pola Swamitra dalam mendorong Koperasi Simpan Pinjam/Unit Simpan Pinjam Koperasi menjadi lembaga pembiayaan yang dapat memberikan kemudahan pinjaman kepada anggota dan calon anggota untuk membiayai usaha-usaha produktif. Kajian ini mengidentifikasi dampak dan strategi yang terjadi akibat pemberian kredit melalui Pola Swamitra terhadap ekonomi daerah dan ekonomi masyarakat di Kota Pekanbaru. Kajian ini dilaksanakan selama dua bulan. Lokasi kajian bertempat di Kota Pekanbaru Provinsi Riau, diseluruh unit Swamitra di Kota Pekanbaru yaitu Unit KPJ Sail Jaya, Koppas Tangkerang dan Koperasi Fatma Pesona Adhi Karya. Dasar pertimbangan dipilihnya di Kota Pekanbaru sebagai tempat kajian adalah 1) kajian ini bersifat makro sehingga satuan unit kajian diambil pada tingkat Kota Pekanbaru; 2) program-program bantuan permodalan bagi usaha kecil menengah dan Koperasi diputuskan pada tingkat Kota Pekanbaru; 3) dapat ditelurusi dan dikaji tentang tingkat perkembangan penyaluran bantuan modal dan tentang kemampuan Koperasi melalui pola Swamitra memperkuat struktur permodalan untuk membiayai usaha-usaha produktif anggota/calon anggotanya serta kemampuan pola Swamitra dalam meningkatkan peran koperasi untuk mendukung sasaran ekonomi kerakyatan; 4) tersedianya data pendukung berupa data primer dan data sekunder. Hasil kajian menemukan bahwa pelaksanaan kredit Pola Swamitra di Kota Pekanbaru berjalan baik, karena berhasilnya kredit yang disalurkan memperkuat permodalan koperasi, memperlancar penyaluran kredit dengan meminimumkan kredit macet dan dapat menyerap tenaga profesional untuk memperkuat koperasi serta alih teknologi dalam penyaluran kredit berbasis komputer. Selain itu, dana penyertaan yang
vii
diberikan oleh Pemerintah Provinsi Riau untuk pengembangan Pola Swamitra sebesar Rp. 18 Milyar dicatat telah menyumbangkan PAD 1,9 Milyar dan pemanfaatan kredit dilakukan oleh penerima kredit anggota koperasi untuk memperluas usaha, menambah modal usaha, menambah jumlah tempat/lokasi usaha dan membuka usaha baru. Secara umum pengembangan penyaluran kredit dengan Pola Swamitra ini memberikan dampak positif terhadap ekonomi masyarakat. Dampak tersebut berbeda-beda pada masingmasing jumlah pinjaman yaitu semakin besar jumlah pinjaman maka semakin besar pula dampak yang ditimbulkan. Untuk mengembankan lebih lanjut Pola Swamitra ini ada beberapa masalah yang perlu diperhatikan dan ditangani diantaranya persyaratan memperoleh pinjaman kredit seperti agunan, kondisi riil usaha yaitu jumlah modal sendiri (aset finansial), suku bunga kredit dan perlu adanya kesesuaian antara lama pinjaman dengan jumlah pinjaman. Penyaluran kredit dengan Pola Swamitra ini pada dasarnya cukup berhasil. Dengan demikian perlu diperluas dan lebih dikenalkan kepada masyarakat luas. Kredit dengan pola ini perlu dibangun dengan citra atau image meskipun melalui koperasi tetapi berbasis pelayanan perbankan yang profesional. Pengembangan Pola Swamitra pada masa mendatang perlu menggunakan empat strategi utama yaitu mengadakan pelatihan dan bimbingan teknis. Strategi kedua meningkatkan peran dan fungsi koperasi. Strategi ketiga meningkatkan pembiayaan dan pendampingan bagi usaha kecil menengah/UKM. Strategi keempat adalah meningkatkan kepercayaan anggota dan masyarakat yang membutuhkan dana tapi tidak memiliki agunan. Dalam konteks pengembangan penyaluran melalui strategi yang dikemukakan, hal lain yang diperlukan didalam penyokong hal tersebut adalah adanya kebijakan dalam penurunan bunga agar lebih kecil dari 9 %. Selain itu, dicara celah pengaturan agar persyaratan peminjaman dapat lebih mudah. Dana yang disalurkan untuk UKM dari pemerintah daerah diperbesar. Ada perbaikan pelayanan pembayaran angsuran dengan menggunakan fasilitas ATM, selain itu menambah jangka waktu kredit. Hal yang penting juga, perlu adanya kegiatan evaluasi rutin terhadap penerima kredit Swamitra untuk antisipasi agar tidak terjadi kredit macet/menunggak, karena saat ini evaluasi yang dilakukan hanya menegur setelah penerima kredit menunggak. Untuk yang menunggak antisipasi masalah dilakukan yang diperlukan juga adalah mendampingi peminjam melalui komunikasi tentang kondisi usaha yang sedang dihadapi. Dasar komunikasi yang dilakukan adalah membangun kepercayaan pihak pengelola Pola Swamitra, bahwa penerima kredit berkomitmen akan membayar. Dengan semangat mencari solusi bersama melalui cara-cara untuk memfasilitasi kemungkinan penunggakan seperti menambah bulan angsuran, memberikan keringanan jumlah angsuran. Pola Swamitra adalah sebuah program yang dapat terus dikembangkan untuk menjadikan koperasi dapat kuat untuk menyalurkan dana berupa kredit secara baik. Dengan demikian, untuk selanjutnya yang perlu dipikirkan adalah pengembangan program “exit strategy” dari koperasi-koperasi yang menjadi lokasi Program Swamitra. Hal ini dapat menjadi bahan pemikiran bagi pengembang program maupun Pemerintah Provinsi Riau khususnya yang turut aktif didalam menyokong penerapan penyaluran kredit melalui koperasi dengan Pola Swamitra.
viii
@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ix
PENGEMBANGAN PENYALURAN KREDIT MELALUI KOPERASI DENGAN POLA SWAMITRA UNTUK PENINGKATAN EKONOMI DAERAH DAN MASYARAKAT DI KOTA PEKANBARU
Oleh :
R. MOCHTAR M. NRP. A.153050025
Tugas Akhir Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Profesional Pada Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
x
Dosen Penguji Luar Komisi : 1. Dr Yusman Syaukat 2. Ir Shorea Khaswarina, MP
xi
Judul Tugas Akhir
: Pengembangan Penyaluran Kredit Melalui Koperasi Dengan Pola Swamitra untuk Ekonomi Daerah dan Masyarakat di Kota Pekanbaru
Nama
: R. Mochtar M.
NRP
: A153050165
Disetujui
Komisi Pembimbing,
Dr Ir Lala M Kolopaking, MS Ketua
Ir Lukman M. Baqa, MEc Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah
Dr Ir Yusman Syaukat MEc
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Khairil A, Notodiputro, MS
xii
Tanggal Ujian :
Tanggal Lulus :
xiii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan dan penulisan Tesis yang berjudul ” Pengembangan Penyaluran Kredit Melalui Koperasi Dengan Pola Swamitra untuk Ekonomi Daerah dan Masyarakat di Kota Pekanbaru”. Tulisan berupa tugas akhir ini merupakan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Lala M Kolopaking, MS dan Ibu Ir Shorea Khaswarina, MP sebagai Dosen pengasuh dan pembimbing tugas akhir ini yang telah banyak memberikan dan menambah ilmu, pengalaman, dan wacana pemikiran sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan proposal ini. Terima kasih juga kepada seluruh dosen dan rekan-rekan di Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan penulisan di masa yang akan datang. Tugas Akhir ini disusun dan diajukan untuk memenuhi sebagaian persyaratan dalam menyelesaikan studi pada Program Magister Profesional Manajemen Pembangunan Daerah, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Mudah-mudahan Tugas Akhir ini dapat bermanfaat selain bagi penulis, juga bagi yang membacanya. Terima kasih. Pekanbaru,
April 2008
Penulis
xiv
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Rengat Riau pada tanggal 18 Nopember 1949 sebagai anak ke tiga dari lima bersaudara, dengan ayahanda Radjamat dan Ibunda Hj. R. Zainar Saleh. Mempunyai Istri Dra. Elma Yusniarti bekerja sebagai Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan pada Badan Pemberdayaan Perlidungan Masyarakat Provinsi Riau, dikaruniahi 4 (empat) orang anak. Pendidikan Sarjana ditempuh pada Fakutas Ekonomi Unioversitas Riau Pekanbaru, Jurusan Ekonomi Umum dan selesai tahun 1979.Pada tahun 2005 mengikuti Program S 2 / MPD IPB, dengan Bea Siswa Pendidikan Pasca Sarjana dari Pemerintah Provinsi Riau. Penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil tahun 1979 pada Kantor Pembangunan Desa Kabupaten Indragiri Hulu Rengat, sekarang menjabat sebagai Kepala Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Riau sejak tahun 2004 sampai dengan sekarang
xv
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI
......................................................................
iv
DAFTAR TABEL ...........................................................................
vii
DAFTAR GAMBAR .....................................................................
ix
BAB I. PENDAHULUAN
..........................................................
1
1.1. Latar Belakang ..........................................................
1
1.2. Perumusan Masalah
3
..............................................
1.3. Tujuan dan Manfaat Kajian
..................................
5
1.3.1 Tujuan Umum .................................................
5
1,3,2 Tujuan Spesifik ...............................................
5
1.4. Manfaat Kajian ......................................................... BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
5
..............................................
6
2.1. Koperasi dan Ekonomi Rakyat ...................................
6
2.2. Pola Swamitra
...............................................
10
2.3. Ikhtisar ........................................................................
12
BAB III. METODOLOGI KAJIAN ...............................................
14
3.1. Kerangka Pemikiran
...............................................
3.2. Lokasi dan Waktu Kajian 3.3. Metode Penelitian
14
...................................
16
...............................................
16
3.3.1. Sasaran Penelitian dan Teknik Sampling ........
16
3.3.2. Metode Pengumpulan Data
17
.......................
3.3.3. Metode Pengolahan dan Analisis Data ...........
18
3.4. Metode Perancangan Program ....................................
18
BAB IV. GAMBARAN UMUM LOKASI KAJIAN .......................
21
4.1 Keadaan Umum Lokasi Kajian ……………………...
21
4.1.1 Letak dan Luas Wilayah ..................................
21
4.1.1.1 Letak ...................................................
21
4.1.1.2 Batas Wilayah. ………………………
21
4.1.1.3 Pengunaan Tanah dan Lahan. ………
22
4.1.1.4 Sungai. ..............................................
23
xvi
4.1.1.5 Iklim. ................................................
24
4.1.2 Administrasi Daerah ......................................
24
4.1.2.1. Letak dan Luas . ..............................
24
4.1.2.2. Jarak Ibukota ...................................
26
4.1.3. Kependudukan .............. ................................
26
4.1.3.1. Jumlah dan Kepadatan Penduduk.....
26
4.2. Perkembangan Pelayanan Sosial .............................
27
4.2.1 Perkembangan Pendidikan .............................
27
4.2.2 Perkembangan Palayanan Kesehatan.....................
28
Perkembangan Ekonomi ........... .............................
29
4.3.1 Prasarana dan Sarana Ekonomi .....................
29
4.3.1.1. Panjangan Jalan ..............................
29
4.3.1.2. Perkembangan Perbankan ..............
30
4.3.2 Perkoperasian ................................................
36
4.3.3 Penyaluran Kredit ..........................................
38
Perkembangan Ekonomi Daerah ............................
42
4.3.
4.4.
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN ...........................................
43
5.1. Pemberdayaan UKMK dalam Pembangunan Ekonomi ..
43
5.2. Profil Dinas Koperasi Dan UKM Provinsi Riau .............
45
5.2.1. Dasar Hukum ........................................................
45
5.2.2. Tugas Pokok dan Fungsi .......................................
45
5.2.3. Susunan Organisasi ...............................................
46
5.2.4. Faktor Pendukung .................................................
47
5.2.5. Visi Dan Misi ........................................................
48
5.2.6. Tujuan Dan Sasaran ..............................................
48
5.3 Profil PT. Bank Bukopin Sebagai Pengembang Pola Swamitra.... ....................................
49
5.4 Profil Swamitra ...........................................................
52
5.5. Dampak Pemberian Kredit melalui pola Swamitra ........
60
5.6.1. Dampak Terhadap Peminjam Skala Kecil ( Pinjaman Kurang Rp 10 Juta).......
60
5.6.1.1. Dampak Terhadap Peningkatan Aset
xvii
dan Skala Usaha...............
60
5.6.1.2. Dampak Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja...
66
5.6.1.3. Dampak Terhadap Perluasan Pasar........
67
5.6.1.4. Dampak Terhadap Peningkatan Pendapatan.....
69
5.6.2 Dampak Terhadap Peminjam Skala Sedang. (Pinjaman Rp 10 Juta sampai dengan Rp 30 Juta)......
71
5.6.2.1. Dampak Terhadap Peningkatan Aset dan Skala Usaha...............
71
5.6.2.2. Dampak Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja...
74
5.6.2.3. Dampak Terhadap Perluasan Pasar........
76
5.6.2.4. Dampak Terhadap Peningkatan Pendapatan.....
78
5.6.3. Dampak Terhadap Peminjam Skala Besar .(Pinjaman Rp. 30 Juta sampai Rp. 50 Juta).....................
79
5.6.3.1. Dampak Terhadap Peningkatan Aset dan Skala Usaha...............
80
5.6.3.2. Dampak Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja...
82
5.6.3.3. Dampak Terhadap Perluasan Pasar........
83
5.6.3.4. Dampak Terhadap Peningkatan Pendapatan.....
84
5.7. Masalah Yang Dihadapi Oleh Peminjam
...................
86
BAB VI. STRATEGI PELAKSANAAN POLA SWAMITRA........
88
6.1 Analisa SWOT pada Pelaksanaan Pola Swamitra Di Kota Pekanbaru...................................................... 6.2 Strategi
88
Prioritas Pelaksanaan Pola Swamitra
Di Kota Pekanbaru......................................................
89
BAB VII. KESEIMPULAN DAN SARAN ....................................
95
7.1 Kesimpulan .................................................................
95
7.2 Implikasi Kebijakan.....................................................
96
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................
98
xviii
19
DAFTAR TABEL
Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel
Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel .Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel
Halaman 1. Perbandingan Luas Wilayah di Kota Pekanbaru ....................... 2. Distribusi Luas Tanah di Kota Pekanbaru menurut Penggunaanya Tahun 2005....................................................... 3. Kelurahan dirinci menurut status Kecamatan........................... 4. Jumlah Rumahtangga, Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin Menurut Kecamatan, Tahun 2007............................................ 5. Jumlah Penduduk Kota Pekanbaru yang berumur 10 tahun Keatas Menurut Pendidikan Dan Ijazah Yang Dimiliki, pada Tahun 2002 – 2006.................................................................... 6. Penduduk Kota Pekanbaru dirinci menurut Kelompok umur dan jenis kelamin ............................................................. 7. Panjang Jalan Kota Pekanbaru.................................................. 8. Perkembangan Jumlah Bank di Riau ...................................... 9. Perkembangan Aktiva Menurut Kelompok Bank di Riau ...... 10. Struktur DPK Perbankan Riau Pasca Otonomi Daerah .......... 11. Rencana Target Pencapaian Koperasi Berkualitas (Klasifikasi A,B,C) Tahun 2006 S/D 2009 Propinsi Riau....... 12a. Target Penumbuhan Wiarausaha Baru Tahun 2006-2009...... 12b. Alokasi Kredit Perbankan di Riau Jenis Penggunaan ............ 13. Distribusi Penyaluran Kredit Menurut Kab/Kota di Riau...... 14. Perkembangan Kredit Usaha Kecil Menurut Penggunaan di Riau (juta Rupiah)................................................................. 15. Pendapatan Regional dan angka per kapita Kota Pekanbaru................................................................................. 16. Pemberian Pinjaman Swamitra Berdasarkan Jenis Usaha....... 17. Perkembangan Keuangan Swamitra Kota Pekanbaru.......... 18. Perkembangan Swamitra Pola PEMDA ................................. 19. Perkembangan Keuangan Swamitra Periode 2004 - 2007 20. Jenis Pekerjaan Pokok dan Sampingan, Besar Kredit dan Tujuan Penggunaan Pinjaman yang diperoleh......................... 21. Jenis Asset yang dimiliki oleh Peminjam................................... 22. Keadaan Volume Penjualan per bulan Sampel sebelum dan Sesudah Memperoleh Kredit Swamitra.................................... 23. Jumlah Tenaga Kerja Peminjam Sebelum dan Sesudah Menerima Kredit Swamitra... 24. Perubahan Tenaga Kerja Sesudah Menerima Kredit................ 25. Perbandingan Pemasaran Produk/Perluasan Pasar Usaha Peminjam setelah menerima kredit. ……………………… 26. Pendapatan Bersih Sampel Sebelum dan Sesudah Mempeoleh Kredit Swamitra……………………………………………….
22 23 25 27
28 28 30 31 32 35 37 37 39 40 41 42 53 53 55 60 62 63 65 66 67 68 70
19
20
Tabel 27. Jenis Pekerjaan Pokok dan Sampingan, Besar Kredit dan Tujuan Penggunaan Pinjaman yang diperoleh………………… Tabel 28. Jenis Asset yang dimiliki oleh Peminjam. .................................. Tabel 29. Keadaan Volume Penjualan per Bulan Sampel sebelum dan Sesudah Memperoleh Kredit Swamitra.................................... Tabel 30. Jumlah Tenaga Kerja Sampel sebelum dan Sesudah Menerima Kredit Swamitra....................................................... Tebel 31. Perubahan Tenaga Kerja Sesudah Menerima Kredit............... Tabel 32. Perluasan Pasar Usaha Sampel dengan Pinjaman antara Rp. 10 juta – Rp. 30 juta.......................................................... Tabel 33. Pendapatan Bersih Sampel Sebelum dan Sesudah Mempeoleh Kredit Swamitra........................................................................ Tabel 34. Jenis Pekerjaan Pokok Sampingan, Besar Kredit dan Tujuan Penggunaan Pinjaman yang diperoleh. .................................... Tabel 35. Jenis Aset yang dimiliki oleh Sampel...................................... Tabel 36. Volume Penjualan per Bulan sampel Sebelum dan Sesudah Memperoleh Kredit Swamitra................................................. Tabel 37. Perubahan Tenaga Kerja yang digunakan setelah menerima Kredit. ....................................................................................... Tabel 38. Perluasan Pasar dari Usaha Pokok Sampel................................ Tabel 39. Pendapatan Bersih Sampel Sebelum dan Sesudah Memperoleh Kredit Swamitra.......................................................................... Tabel 40. Penilaian Komponen-komponen SWOT Pelaksanaan Pola Swamitra.................................................................................. Tabel 41. Analisis Faktor-faktor Strategi Internal................................... Tabel 42. Analisis Faktor-faktor Strategi Eksternal................................ Tabel 43. Pemilihan Strategi Pada Pelaksanaan Pola Swamitra.............
71 73 74 75 76 77 78
79 81 82 83 84 85
90 90 91 93
20
21
DAFTAR GAMBAR
Gambar Gambar 1 Pengembangan Kegiatan Penyaluran Kredit Pola Swamitra Untuk Peningkatan Ekonomi Daerah Dan Masyarakat Di Kota Pekanbaru .................................................................................. Gambar 2 Pola kemitraan swamitra/pola kerjasama Pola Swamitra .........
Halaman 15
57
21
22
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Menghadapi era globalisasi dan AFTA, serta fase APEC sampai pada tahun 2020, selain merupakan tantangan juga merupakan peluang yang sangat strategis untuk memberdayakan Usaha Kecil Menengah dan Koperasi (UKMK). Adanya kemauan politik yang tinggi dari pemerintah juga merupakan peluang yang sangat besar untuk menumbuhkembangkan ekonomi rakyat, khususnya UKMK. Melalui paradigma baru pembangunan diharapkan tidak lagi terjadi pemusatan aset ekonomi produktif pada segelintir orang atau golongan, melainkan justru sebaliknya memperluas aset produktif ditangan rakyat. Hal ini dalam arti meningkatkan partisipasi dan advokasi rakyat dalam proses pembangunan, ketersediaan dana yang cukup untuk mereka didalam pengembangan koperasi dan UKM.
Proses yang pada akhirnya merupakan upaya
pembangunan basis ekonomi wilayah di tingkat kabupaten/kota, kecamatan dan pedesaan.
Pada gilirannya prose itu dapat meluaskan kesempatan usaha yang
berkeadilan bagi rakyat didalam menikmati hasil-hasil pembangunan. Kesemuanya itu mencirikan bahwa tantangan dan peluang pemberdayaan ekonomi rakyat didalam era setelah pasca reformasi menjadi hal yang perlu diperjuangkan. Peran UKMK sangat penting dalam menumbuhkan dan mengembangkan potensi ekonomi rakyat serta dalam mewujudkan kehidupan demokrasi ekonomi yang mempunyai ciri-ciri demokratis, kebersamaan, kekeluargaan dan keterbukaan. Koperasi dan UKM yang sebagian besar juga tergabung sebagai anggota koperasi menampung sebagian besar angkatan kerja dan merupakan mayoritas perusahaan yang ada. Dalam kehidupan ekonomi yang seperti ini koperasi selayaknya memiliki ruang gerak dan kesempatan usaha yang luas, terutama yang menyangkut kepentingan kehidupan ekonomi rakyat. Perkembangan
pertumbuhan
UKMK
selama
ini
belum
sepenuhnya
menampakkan wujud dan perannya seperti diharapkan sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Pada saat ini, kondisi UKMK umumnya masih lemah, baik kondisi internal
22
23
berupa permodalan, manajemen dan organisasi, teknologi dan jaringan usaha maupun kondisi eksternal yang disebabkan oleh lingkungan strategis seperti penguasaan pasar, berbagai sumber dan kegiatan ekonomi. Dalam kondisi demikian, sangat sulit bagi UKMK untuk dapat tumbuh dan berkembang serta mewujudkan fungsi dan perannya dengan baik, apalagi dihadapkan pada reformasi ekonomi yang saat ini sedang dilakukan mengarah kepada mekanisme pasar dan persaingan bebas sebagaimana kecenderungan tuntutan dalam era globalisasi. Dalam situasi yang demikian diperlukan peranan pemerintah dan masyarakat agar UKMK dapat tumbuh dan berkembang sebagaimana Usaha Besar. Untuk menjadi besar, UKMK di Provinsi Riau harus memiliki visi dan misi. Visi UKMK di Provinsi Riau sebagai pelaku dalam sistem perekonomian yang berbasis kerakyatan. Sedangkan misi UKMK adalah (1) memberdayakan UKMK menjadi pelaku ekonomi yang tangguh dan profesional;
(2) mengembangkan sistem ekonomi
kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar yang berdaya saing melalui peningkatan sumber daya alam dan sumber daya manusia, memperkuat kelembagaan, struktur permodalan, pengembangan teknologi dan jaringan UKMK. Dalam rangka menumbuhkembangkan dan memberdayakan ekonomi kerakyatan sangat diperlukan kemampuan dari semua pihak terutama bantuan permodalan dalam rangka perkuatan modal koperasi untuk digunakan mengembangkan dan memperluas kegiatan usaha-usaha produktif anggota dan calon anggota koperasi. Oleh karena itu, untuk menjalin keseimbangan pelayanan koperasi dalam rangka memberikan pinjaman pada anggota dan calon anggotanya serta dapat berdaya guna dan berhasil guna untuk memperkokoh ekonomi yang berbasis kerakyatan, maka perlu dikembangkan kerjasama koperasi dengan pihak perbankan. Satu contoh didalam hal tersebut adalah penyaluran kredit melalui koperasi dengan Pola Swamitra. Pola Swamitra hakekatnya dikembangkan dengan bentuk kerjasama koperasi dengan lembaga perbankan yang berazazkan prinsip-prinsip kebersamaan dan saling menguntungkan (saling butuh, saling memperkuat dan saling menguntungkan). Pola kerjasama kemitraan ini dilakukan antara Bank Bukopin dengan Koperasi. Ciri khasnya adalah untuk memoderenisasi usaha simpan pinjam koperasi melalui pemanfaatan jaringan teknologi (network) dan dukungan sistem manajemen yang profesional,
23
24
sehingga memiliki kemampuan memberikan pelayanan jasa-jasa keuangan yang lebih luas. Hal ini sesuai dengan tujuan dari pola Swamitra yaitu untuk memperkuat struktur permodalan Koperasi Simpan Pinjam dan Unit Simpan Pinjam Koperasi, dan meningkatkan kemampuan sumber daya manusia (SDM)-nya dalam mengelola keuangan serta menyerap tenaga kerja yang profesional. Pemerintah Daerah Provinsi Riau pada Tahun Anggaran 2001 melalui Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Riau telah mengalokasikan dana APBD Provinsi Riau sebesar Rp18 Milyar bagi 36 unit koperasi simpan pinjam/unit simpan pinjam koperasi di 15 Kabupaten/Kota Provinsi Riau untuk usaha penyertaan modal. Jumlah koperasi di Provinsi Riau setiap tahun bertambah yaitu pada tahun 2004 ada sebanyak 3.785 unit, pada tahun 2005 sebanyak 3.869 unit, pada tahun 2006 sebanyak 4.008 unit dan pada tahun 2007 4.118 unit dan tahun 2008 sebanyak 4.176 unit (Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Riau, 2008). Meskipun
pola
Swamitra
digagas
sebagai
salah
satu
upaya
untuk
memberdayakan fungsi dan peran koperasi serta lembaga keuangan mikro agar mampu mendukung ekonomi rakyat, namun masih timbul pertanyaan: apakah Pola Swamitra ini telah mampu mewujudkan Koperasi Simpan Pinjam/Unit Simpan Pinjam Koperasi yang baik sebagai lembaga pembiayaan yang dapat memberikan kemudahan pemberian pinjaman kepada anggota dan calon anggota untuk membiayai usaha-usaha produktif seperti pertanian, tanaman pangan, hortikultura, nelayan, peternakan, industri kecil, perdagangan. Adakah atau bagaimana dampak yang terjadi akibat pemberian kredit Swamitra terhadap ekonomi daerah dan ekonomi masyarakat. Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi perhatian dari kajian ini. Bahkan, kajian ini ingin mencoba mengenal pasti atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. 1.2.
Perumusan Masalah Pembangunan koperasi sebagai badan usaha sekaligus sebagai gerakan ekonomi
rakyat perlu mengalami perubahan yang mendasar. UKMK masih menghadapi berbagai masalah yang bersifat internal maupun eksternal. Untuk itu maka perlu dilakukan suatu upaya dalam mengatasi permasalahan yang ada. Salah satu upaya yang telah dilakukan dan akan dilaksanakan kembali yaitu upaya bantuan permodalan melalui Pola Swamitra
24
25
dalam rangka perkuatan modal Koperasi untuk digunakan mengembangkan dan memperluas kegiatan usaha-usaha produktif anggota dan calon anggota Koperasi. Persoalan mengembangkan pengembangan usaha kecil dan menengah seperti koperasi, hakekatnya merupakan proses yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan yang berkeadilan dan bagian penting dari prosesnya itu keterlibatan pihak-pihak berkepentingan dalam pengambilan keputusan, pelaksanaan, hingga pembagian perolehan hasil. Ketidakberhasilan dalam pelaksanaan pengembangan koperasi yang terjadi bukan tanpa sebab atau merupakan sebuah bias dari pengembangan usaha kecil dan menengah lainnya, namun lebih tepat merupakan sebuah agenda tersembunyi (hidden agenda), hal ini disebabkan beberapa faktor : 1) tidak transparannya dan keterbatasan pelaksanaan manajemen di dalam koperasi tersebut; 2) adanya persepsi tentang setiap bantuan sebagai suatu tanggung jawab sosial dari penyedia bantuan modal dari pemerintah; 3) kuantitas dan kualitas keberadaan kelembagaan pendukung (supporting agency) masih kurang sehingga dapat mengurangi kesenjangan antara usaha kecil, menengah; 4) usaha besar masih kurang menghargai usaha kecil terhadap persyaratan atau faktor QCD (Quality, Cost, Delivery); 5) kualitas SDM masih rendah. Pengembangan kelembagaan seperti koperasi masih terdapatnya beberapa kelemahan. Secara umum beberapa kelemahan itu yang menjadi hambatan masih ditemukan antara lain lemahnya posisi petani atau pelaku ekonomi kerakyatan karena kurangnya kemampuan manajerial, wawasan dan kemampuan kewirausahaan. Kondisi ini mengakibatkan petani kurang mampu mengelola usaha tani secara efisien dan komersial. Adanya permasalahan dalam pelaksanaan pola kemitraan, maka diperlukan upaya untuk meningkatkan dan mengembangkan usaha UKMK sebagai salah satu perwujudan perberdayaan ekonomi kerakyatan. Salah satu langkah nyata yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Riau melalui Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Riau yaitu menyelenggarakan Program Penyaluran dan Pengelolaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Swamitra. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan pengkajian apakah pola Swamitra ini telah mampu mewujudkan Koperasi Simpan Pinjam/Unit Simpan Pinjam Koperasi sebagai lembaga pembiayaan yang dapat
25
26
memberikan kemudahan pemberian pinjaman kepada anggota dan calon anggota untuk membiayai usaha-usaha produktif sehingga mampu memperkuat struktur permodalan bagi Koperasi Simpan Pinjam/Unit Simpan Pinjam Koperasi.
1.3. Tujuan dan Manfaat Kajian 1.3.1. Tujuan Umum Tujuan umum kajian ini adalah untuk mengidentifikasi perkembangan pelaksanaan kredit melalui koperasi dengan Pola Swamitra terhadap peningkatan pendapatan anggota ekonomi daerah, serta merumuskan strategi pengembangan penyaluran kredit melalui Koperasi dangan Program Pola Swamitra.
1.3.2. Tujuan Spesifik 1. Untuk mengidentifikasi perkembangan pelaksanaan kredit oleh PT. Bank Bukopin melalui Pola Swamitra. 2. Untuk mengidentifikasi dampak yang terjadi akibat pengembangan kegiatan penyaluran Kredit Pola Swamitra untuk peningkatan ekonomi daerah dan masyarakat. 3. Merumuskan strategi pengembangan penyaluran Kredit melalui Koperasi dengan Pola Swamitra.. 1.4. Manfaat Kajian Manfaat dari kajian ini adalah: 1. Hasil kajian dapat diguna bagi sebagai bahan informasi dan acuan dalam hal pelaksanaan dan pengembangan program perkreditan melalui koperasi dengan Pola Swamitra. 2. Hasil kajian dapat dimanfaatkan sebagai rujukan masyarakat yang ingin melakukan pinjaman untuk pengembangan usaha baru dan/atau usaha yang sedang dijalani.
26
27
BAB. II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Koperasi dan Ekonomi Rakyat Koperasi sebagai alat pendemokrasian ekonomi nasional, dalam hal ini berarti
bahwa koperasi harus memegang peran aktif untuk mewujudkan tercapainya kesejahteraan hidup masyarakat, karena dengan tercapainya peningkatan pendapatan maka para anggota koperasi yang telah membiasakan diri dalam rasa kesetiakawanan, gotong royong dan kesadaran bermasyarakat, akan menyisihkan sebagian dari pendapatannya melalui koperasi, sebagai dana penunjang pelaksanaan pembangunan didaerahnya, yang mana pembangunan tersebut akan lebih melancarkan lagi kehidupan ekonomi didaerah tersebut, seperti misalnya dana swadaya masyarakat untuk pembangunan/rehabilitasi
jalan-jalan
pedesaan,
jembatan-jembatan,
elektrifikasi
pedesaan, dan lain sebagainya. Fungsi Koperasi Indonesia dalam Undang-Undang No.25 Tahun 2002, bagian 2, pasal 4 adalah sebagai berikut : 1) sebagai alat perjuangan ekonomi untuk mempertinggi kesejahteraan rakyat; 2) sebagai alat pendemokrasian ekonomi nasional; 3) sebagai salah satu urat nadi perekonomian bangsa Indonesia; 4) sebagai alat pembina insan masyarakat untuk memperkokoh kedudukan ekonomi bangsa Indonesia serta bersatu dalam mengatur tata laksana perekonomian rakyat. Fungsi koperasi sebagai alat perjuangan ekonomi, tentang hal ini bermakna bahwa: 1) tujuan koperasi bukan untuk mengejar keuntungan semata-mata, tetapi yang utama adalah memberikan jasa-jasa agar para anggotanya bersemangat dan bergairah kerja, sehingga tercapai peningkatan pendapatannya; 2) dalam hal memberikan jasa-jasa ini, koperasi selain berjuang untuk memberikan kemudahan-kemudahan dan menyediakan
fasilitas-fasilitas
untuk
memuaskan
kebutuhan-kebutuhan
para
anggotanya, juga memberikan bimbingan dan usaha pembinaan kepada anggotanya (yang umumnya berekonomi lemah) agar mereka masing-masing dapat memperbaiki cara kerja, mutu hasil kerja dan jumlah hasil kerja, sehingga dalam wadah koperasi
27
28
secara terpadu dan terarah mereka dapat memberikan sumbangan besar, baik terhadap pembangunan masyarakat pedesaan, regional dan nasional. Koperasi sebagai alat pendemokrasian ekonomi nasional berarti bahwa koperasi harus memegang peranan aktif untuk mewujudkan tercapainya kesejahteraan hidup masyarakat. Koperasi berfungsi sebagai urat nadi perekonomian bangsa Indonesia, karena 1) koperasi merupakan wadah bagi produsen di pedesaan yang mampu menyalurkan dengan harga wajar seluruh produk yang dihasilkan ke para konsumen di perkotaan;
2) koperasi mampu mengelola pengadaan atau penyediaan produk
dan fasilitas yang diperlukan rakyat ekonomi lemah; 3) ditinjau dari aktivitas pemasaran segala produk yang dihasilkan produsen di pedesaan ke konsumen di perkotaan dengan harga yang layak dan memuaskan. Koperasi sebagai alat pembina insan masyarakat untuk memperkokoh kedudukan ekonomi bangsa Indonesia dalam mengatur tata laksana perekonomian rakyat (Kartasapoetra, 2003). Peranan dan tugas koperasi pada pasal 7 ayat 1 UU No 12 Tahun 1997 adalah untuk mempersatukan, mengerahkan, membina dan mengembangkan potensi, daya kreasi, daya usaha rakyat untuk meningkatkan produksi dan mewujudkan tercapainya pendapatan yang adil dan keadilan yang merata. Koperasi bertujuan ideal karena tujuannya bukan profit undertaking, tetapi service undertaking. Koperasi bersifat komersial, karena untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan para anggotanya, badan ini harus melakukan usaha, simpan pinjam, berdagang, jual beli, melakukan produksi dan lain sebagainya yang menghasilkan laba untuk :1) menutup biaya-biaya dan perongkosan dan mempertahankan agar kelangsungan hidup koperasi dapat berlangsung sebagai mana mestinya; 2) dikembalikan kepada anggota dan sebagaian disisihkan sebagai dana pembangunan daerah/lingkungan, yang hasilnya dapat lebih mengairahkan hidup lebih baik dan teratur (Kadar, 1967). Peran
koperasi
juga
penting
didalam
memperbaiki
tatanan
struktur
perekonomian daerah. Oleh karena hasilnya selain dapat mendorong perekonomian yang melibatkan orang banyak dapat menjadi sarana menekan munculnya masalah sosial akibat ketimpangan sosial ekonomi. Hal ini secara nyata juga telah mempunyai payung hukum sebagaimana diamanatkan oleh TAP MPR 1998 No XVI/1998 tentang
28
29
pemberian prioritas dan bantuan pengembangan ekonomi rakyat mencakup langkahlangkah sebagai berikut : 1) pemerintah akan membantu mengembangkan dan memberikan prioritas kepada usaha ekonomi lemah; 2) usaha ekonomi menengah dan koperasi akan memperoleh kesempatan utama dukungan dan perlindungan serta pengembangan; 3) BUMN dan usaha swasta besar akan didorong untuk bermitra dengan usaha kecil menengah dan koperasi; 4) usaha kecil menengah dan koperasi akan diberi akses terhadap pengolahan tanah, terutama di bidang pertanian termasuk bidang kehutanan dan perkebunan; 5) usaha kecil menengah dan koperasi juga diberi kesempatan untuk mengakses sumber dana dari perbankan dan lembaga keuangan lainnya. Hal-hal itu semua sangat penting bagi pengembangan ekonomi rakyat. Konsep ekonomi rakyat didalam hal ini diartikan sebagai bagian dasar dari caracara rakyat bertahan menjaga kelangsungan hidupnya di pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan, perkebunan, industri kecil dan kerajinan serta perdagangan atau kegiatan swasta lainnya, baik di daerah pedesaan maupun perkotaan. Ekonomi rakyat berciri subsistem (tradisional), dengan modal utama tenaga kerja keluarga, sumber dana dan teknologi seadanya (Mubyarto, 1999). Konsep lain dikemukakan oleh (Angito Abimayu, 2000), ekonomi kerakyatan adalah satu upaya memberdayakan unit ekonomi yang tertinggal oleh karena itu pemerintah menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi perkembangan ekonomi rakyat kecil, ini berarti berpihak kepada rakyat yang tertinggal. Pengertian-pengertian itu sejajar dengan definisi yang diungkap oleh Tim Pengendali Jaring Pengaman Sosial dalam Kompas tanggal 7 Oktober 2001 yang menyebutkan, bahwa ekonomi rakyat adalah sektor ekonomi yang berisi kegiatan-kegiatan ekonomi rakyat, sehingga merupakan landasan empirik lain dari wujud usaha ekonomi kerakyatan dapat dilihat dalam kegiatan usaha kecil dan koperasi. Langkah-langkah strategi yang hakekatnya perlu dipertimbangkan dalam pemberdayaan ekonomi rakyat diantaranya : 1) melakukan identifikasi terhadap pelaku ekonomi seperti Koperasi, Usaha kecil, pertanian dan nelayan mengenai potensi dan mengembangkan usahanya; 2) melakukan program pembinaan yang kontinu terhadap pelaku-pelaku tersebut melalui program pendampingan; 3) melakukan program pendidikan dan pelatihan sesuai dengan kebutuhan mereka pada saat mengembangkan usaha; 4) melakukan kordinasi dan evaluasi secara periodik antara instansi yang terlibat
29
30
dalam proses pembinaan baik pembinaan permodalan, sumber daya manusia, pasar, informasi pasar maupun penerapan teknologi. Menurut Tonny (2003) pengembangan kelompok sosial ekonomi skala kecil dan menengah mampu menurunkan angka pengangguran,
meningkatkan
daya
beli
masyarakat,
memberikan
peluang
pengembangan kegiatan ekonomi lokal dan usaha-usaha produktif di tingkat komunitas. Tujuh komponen kapasitas di tingkat komunitas dapat dikembangkan untuk mendorong aktivitas-aktivitas ekonomi anggotanya melalui pembentukan kelompok usaha ekonomi produktif yaitu 1) Community leader, siapa saja orang-orang yang berpengaruh dalam masyarakat yang dapat mendorong penguatan kelompok usaha ekonomi produktif; 2) Community technologi, teknologi apa yang digunakan masyarakat untuk memproduksi sesuatu, apa konsekuensi dari suatu komunitas ;
3)
Community fund, apakah ada mekanisme penghimpunan dana dalam masyarakat ; 4) Community material, sarana apa saja yang ada di masyarakat berguna untuk pengembangan kelompok, apa modal usaha keluarga/komunitas ; 5) Community knowledge, apa persepsi masyarakat berkaitan dengan usaha mereka, apa harapan terhadap pelayanan ekonomi produktif, sejauh mana kepercayaan para pelaku pelayanan ekonomi produktif;
6) Community decision making, apakah masyarakat disertakan
dalam program secara keseluruhan; 7) Community Organizations, usaha ekonomi mana yang dapat berkembang menjadi organisasi ekonomi produktif (Unicef, 1999 dalam Sumarti MC dan Syaukat, 2002). Keberhasilan dalam pemberdayaan ekonomi rakyat bukan hanya tanggung jawab pemerintah melainkan juga instansi lainnya, baik dalam bentuk pembiayaan maupun pengembangan pola kemitraan yang sesuai dengan kondisi suatu daerah. Oleh karena itu peran perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, perusahaan besar swasta dan pemerintah semakin berarti bila keterkaitan tersebut dapat diciptakan dengan baik. Dengan konsep ini perlu diarahkan sesuai potensi daerah yaitu terhadap sektorsektor yang menonjol dalam bidang agrobisnis dan agroindustri khususnya industri kecil berbasis bahan baku lokal termasuk sektor perdagangan dan jasa lainnya. Untuk mencapai dan memperoleh manfaat dari peran koperasi tersebut, maka perlu upaya untuk mengatasi permasalahan yang ada dengan melakukan kemitraan. Kemitraan usaha bertujuan meningkatkan potensi usaha dan menciptakan keterkaitan
30
31
dengan berpedoman pada kemitraan yang saling membutuhkan, saling memperkuat dan saling menguntungkan, saling membutuhkan dalam artian perusahaan mitra memerlukan pasokan bahan baku dan kelompok mitra memerlukan penampungan hasil dan bimbingan, saling memperkuat dalam artian baik kelompok mitra maupun perusahaan sama-sama memperhatikan tanggung jawab moral dan etika bisnis sehingga akan memperkuat kedudukan masing-masing dalam meningkatkan daya saing usahanya, saling menguntungkan yaitu baik kelompok mitra maupun perusahaan memperoleh peningkatan pendapatan dan kesinambungan usaha. Untuk mendukung pelaksanaan trilogi kemitraan tersebut maka kelompok mitra perlu ditingkatkan kemampuannya serta mentaati perjanjian kemitraan, memupuk modal dan manfaat pendapatan secara rasional Berdasarkan pengalaman mikro yang diuraikan diatas, kemitraan yang dilakukan cukup beragam. Hal yang dikembangkan ternyata memang tidak lepas dari segi legal. Sebagaimana diketahui, secara formal, kemitraan sebagaimana dikonsepsikan dalam Undang-Undang (UU) No. 9 tahun 1995 adalah : “kerjasama antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan yang berkelanjutan oleh usaha menengah atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Hal ini dapat dilihat dari pola Swamitra (Kartasoepoetra, 2003).
2.2.
Pola Swamitra Pola Swamitra adalah suatu bentuk kerja sama kemitraan antara koperasi dengan
lembaga perbankan dalam hal ini Bank Bukopin selaku pemilik dan pengembang program. Ciri Pola Swamitra adalah pengembangan kemitraan untuk penyaluran kredit melalui koperasi dalam rangka peningkatan dan pengembangan teknologi agar menguatkan dan membentuk prosedur yang mengutamakan profesionalisme usaha dari Unit Simpan Pinjam milik koperasi. Tujuan dari Pola Swamitra adalah 1) menumbuhkembangkan usaha simpan pinjam yang mendapat kepercayaan dari calon/anggota koperasi sehingga mampu memberikan dukungan untuk pertumbuhan usaha calon/anggotanya tersebut agar tercapainya suatu peningkatan kesejahteraan; 2) membuka peluang akses permodalan
31
32
bagi koperasi yang selama ini menghadapi banyak kendala dalam kerja sama dengan bank atau lembaga keuangan lainnya; 3) mendukung terciptanya sinergi kerja sama antar usaha simpan pinjam di seluruh Indonesia. Disamping itu mamfaat dari Pola Swamitra adalah 1) calon/anggota simpan pinjam dapat melakukan transaksi simpan pinjam, pembayaran tagihan dan kiriman uang dengan lebih baik; 2) perencanaan produksi dan pemasaran dapat dilakukan lebih baik dengan tersedianya fasilitas untuk mengakses informasi dan komunikasi bisnis; 3) memungkinkan terjadinya transaksi jual beli langsung antar penjual dan pembeli dari calon/anggota Swamitra; 4) laporan keuangan beserta perubahannya dapat diketahui lebih cepat dan akurat sehingga pengendalian dan pengawasan dalam pengelolaan Swamitra dapat dilakukan dengan baik. Konsep pengembangan Pola Swamitra adalah 1) sasaran pemberdayaan ekonomi rakyat; 2) menghubungkan kebutuhan produsen/petani dan konsumen; 3) pelayanan transaksi keuangan yang lebih luas; 4) membangun sistem jaringan kerja (network) yang didukung dengan teknologi. Konsep
pertama
dari
pengembangan
Pola
Swamitra
adalah
sasaran
pemberdayaan ekonomi rakyat maksudnya adalah bagian terbesar peran pelaku ekonomi berasal dari ekonomi kerakyatan dan pemberdayaan usaha kecil perlu dukungan pembinaan teknis, pemasaran dan pembiayaan. Lembaga perbankan dalam hal ini Bank Bukopin mempelopori kerja sama dengan koperasi guna meningkatkan kepercayaan terhadap usaha pengalangan dana dari anggota untuk disalurkan kepada anggota lain yang membutuhkan. Oleh karena itu diharapkan melalui konsepsi ini sasaran pemerintah untuk pemberdayaan ekonomi rakyat akan tercapai. Konsep kedua dari pengembangan Pola Swamitra adalah menghubungkan kebutuhan produsen/petani dan konsumen maksudnya pertumbuhan sektor riel membutuhkan dukungan sistem informasi dan komunikasi untuk efisiensi dan efektifitas. Terhubungnya titik-titik produsen/petani dan konsumen melalui penyediaan sistem informasi dan komunikasi bisnis di Swamitra diharapkan dapat memotong jalur distribusi yang panjang, sehingga produsen dan konsumen sama-sama menikmati nilai tambah.
32
33
Konsep ketiga dari pengembangan Pola Swamitra adalah pelayanan transaksi keuangan yang lebih luas yaitu penyediaan layanan transaksi keuangan yang beraneka ragam sudah menjadi kebutuhan masyarakat moderen. Layanan pembayaran transaksi antar daerah/provinsi
sudah menjadi kebutuhan yang dapat memperlancar arus
perdagangan. Untuk itu pelayanan transaksi yang lebih luas menjadi satu keunggulan Pola Swamitra. Konsep keempat dari pengembangan Pola Swamitra adalah membangun sistem jaringan kerja (network) yang didukung dengan teknologi maksudnya dengan tersebarnya koperasi/Swamitra diperlukan adanya sinergi antar koperasi/Swamitra. Untuk sinergi tersebut diperlukan sistem jaringan kerja terpadu (network) dengan teknologi muktahir (Hardware dan Software). Pola Swamitra dinilai selain dapat meningkatkan kemampuan koperasi dijangka dapat menguatkan perekonomian daerah. Tidak keliru apabila beberapa pemerintah daerah yang mencoba mendukung upaya kemitraan penyaluran kredit koperasi yang dikembangkan dengan Pola Swamitra ini. Pemerintah Provinsi Riau adalah salah satu pemerintah daerah yang mendukung hal tersebut.
2.3
Ikhtisar Sistem ekonomi kerakyatan merupakan sistem ekonomi yang memihak kepada
kepentingan sebagaian besar rakyat secara adil, manusiawi dan demokratis. Ekonomi kerakyatan harus mengedepankan sektor ekonomi rakyat dimana hidup para petani, nelayan, dan kaum miskin. Pemberdayaan ekonomi kerakyatan telah menjadi perhatian banyak pihak untuk sekian lama. Tetapi permasalahan pemberdayaan ekonomi rakyat seperti masalah kelembagaan koperasi belum juga menunjukkan perkembangan kearah yang lebih baik. Penyebabnya adalah antara lainnya adanya kekeliruan dalam strategi besar dan kelemahan dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Berdasarkan kompleksitas dari permasalahan diatas maka perlu upaya penanggulangan yang dilakukan secara menyeluruh dan terpadu dengan melibatkan para pelaku pembangunan (pemerintah, swasta, masyarakat). Harapan agar pelaku pembangunan ekonomi rakyat diberi proporsi yang memadai perlu adanya realitas bahwa kebijakan ekonomi cendrung diskriminatif dan
33
34
bukan oleh adanya perasaan sentimen terhadap pelaku ekonomi yang berskala besar. Oleh karena itu harus ada upaya menyeimbangkan kembali iklim ekonomi yang tidak sehat bagi seluruh rakyat pelaku pembangunan. Salah satu syarat yang diperlukan agar pembangunan dapat berjalan seperti yang diinginkan, perlu ada kekuatan dari dalam (indegeneous forces) yaitu kekuatan yang ada pada masyarakat itu sendiri berupa keinginan untuk meningkatkan taraf hidupnya. Upaya pemberdayaan usaha ekonomi masyarakat merupakan suatu strategi pembangunan daerah, yang memerlukan peran kelembagaan seperti kinerja koperasi sangat menentukan keberhasilan usaha ekonomi mikro tersebut.
Salah satu upaya
meningkatkan peran koperasi dalam meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat di Provinsi Riau adalah pengembangan program Pola Swamitra pada koperasi-koperasi Swadana. Dengan cara pemikiran tersebut, Pemerintah Provinsi Riau telah menggulirkan bantuan modal untuk mendukung penyaluran kredit melalui koperasi dengan Pola Swamitra..
34
35
BAB III METODOLOGI KAJIAN
3.1
Kerangka Pemikiran Usaha skala mikro dan kecil/pedesaan sangat potensial karena jumlahnya sangat
besar. Dalam kondisi krisis, usaha skala mikro dan kecil terbukti ikut berperan dalam memyelamatkan kondisi perokonomian nasional. Layanan perbankan ke sektor usaha mikro/kecil memerlukan pengerahan daya yang besar (over head tinggi), penyediaan sumber daya yang memadai, perlu adanya penyederhanaan/penyesuaian persyaratan yang secara umum yang kurang sejalan dengan prudential banking regulation. Dalam rangka menumbuh kembangkan dan memberdayakan ekonomi kerakyatan sangat diperlukan adanya bantuan dari semua pihak terutama bantuan permodalan dalam rangka perkuatan modal bagi lembaga-lembaga usaha mikro/kecil menengah seperti Koperasi untuk digunakan mengembangkan dan memperluas kegiatan usaha-usaha produktif anggota dan calon anggota Koperasi. Pelaksanaan penyertaan modal untuk lembaga-lembaga usaha kecil menengah seperti Koperasi menjadi prioritas tersendiri bagi pemerintah, karena pelaku ekonomi terbesar berada pada usaha kecil menengah. Pemberian bantuan modal untuk menjamin kesinambungan pelayanan Koperasi dalam rangka memberikan pinjaman kepada anggota dan calon anggotanya serta dapat berdaya guna dan berhasil guna untuk memperkokoh ekonomi yang berbasis kerakyatan maka perlu dikembangkan kerja sama Koperasi dengan pihak perbankan. Oleh karena itu digagas suatu program yang disebut dengan Swamitra. Swamitra adalah perwujudan misi lembaga perbankan yang turut berperan dalam perkembangan koperasi dan usaha mikro/kecil. Tujuan pelaksanaan penyertaan modal untuk Koperasi melalui pola Swamitra adalah untuk memperkuat struktur permodalan bagi Koperasi Simpan Pinjam dan Unit Simpan Pinjam Koperasi, dan meningkatkan kemampuan sumber daya manusia dalam mengelola keuangan serta menyerap tenaga kerja yang profesional (Gambar 1). Sasaran pelaksanaan penyertaan modal untuk Koperasi melalui pola Swamitra adalah untuk 1) terwujudnya Koperasi Simpan Pinjam/Unit Simpan Pinjam Koperasi, sebagai lembaga pembiayaan dan dapat memberikan kemudahan pemberian pinjaman
35
36
PENGEMBANGAN PENYALURAN KREDIT MELALUI KOPERASI DENGAN POLA SWAMITRA UNTUK PENINGKATAN EKONOMI DAERAH DAN MASYARAKAT DI KOTA PEKANBARU
DANA APBD
Pola Swamitra
Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat
Transfer Teknologi Penglolaan Simpan Pinjam
Memperkuat Sumber Permodalan Koperasi
Menghubungkan Produsen dan Konsumen
Penyerapan Tenaga Kerja Profesional
Pengembangan Jaringan Netword berbasis Komputer
Alih Teknologi dan Penguatan SDM Koperasi
Kredit Lancar
Pendapatan Anggota Meningkat
Peningkatan Pendapatan Daerah
Strategi Pengembangan Gambar 1. Kerangka Pemikiran Kajian kepada anggota dan calon anggota untuk membiayai usaha-usaha produktif seperti pertanian, tanaman pangan, hortikultura, nelayan, peternakan, industri kecil, perdagangan dan lain-lain; 2) sebagai pedomen teknis Koperasi Simpan Pinjam/Unit
36
37
Simpan Pinjam Koperasi pelaksana pola Swamitra dan bank pelaksana serta instansi terkait dan Tim Pengembangan Pola Swamitra di Provinsi Riau dalam rangka pembinaan pengawasan dan pengembangan terhadap pelaksanaan penyertaan modal untuk Koperasi melalui Pola Swamitra di Provinsi Riau. Hal ini selanjutnya menjadi sarana didalam menentukan strategi pengembangan Program Pola Swamitra. Demikian seterusnya, proses penyaluran kredit melalui koperasi dengan Pola Swamitra menjadi sebuah proses yang diharapkan selain meningkatkan pendapatan anggota koperasi dapt juga mendorong perekonimian daerah. 3.2.
Lokasi dan Waktu Kajian Kajian ini dilaksanakan selama dua bulan. Lokasi kajian bertempat di Kota
Pekanbaru Provinsi Riau, diseluruh unit Swamitra di Kota Pekanbaru yaitu Unit KPJ Sail Jaya, Koppas Tangkerang dan
Koperasi Fatma Pesona Adhi Karya. Dasar
pertimbangan dipilihnya di Kota Pekanbaru sebagai tempat kajian adalah 1) kajian ini bersifat makro sehingga satuan unit kajian diambil pada tingkat Kota Pekanbaru; 2) program-program bantuan permodalan bagi usaha kecil menengah dan Koperasi diputuskan pada tingkat Kota Pekanbaru; 3) dapat ditelurusi dan dikaji tentang tingkat perkembangan penyaluran bantuan modal dan tentang kemampuan Koperasi melalui pola Swamitra memperkuat struktur permodalan untuk membiayai usaha-usaha produktif anggota/calon anggotanya serta kemampuan pola Swamitra dalam meningkatkan peran koperasi untuk mendukung sasaran ekonomi kerakyatan; 4) tersedianya data pendukung berupa data primer dan data sekunder. 3.3.
Metode Penelitian
3.3.1. Sasaran Penelitian dan Teknik Sampling Unit analisis yang digunakan adalah program Swamitra di Kota Pekanbaru Provinsi Riau. Sasaran kajian adalah masyarakat penerima kredit Swamitra di 3 lokasi unit Swamitra Kota Pekanbaru yaitu Sail, Dupa/Tangkerang dan Simpang Panam. Peminjam dari kajian ini diambil dengan menggunakan purposive sampling, sehingga diperoleh masing-masing Peminjam sekitar 10 % dari setiap range pinjaman. Pada range < 10 juta adalah 116 orang dengan 11 orang. Pada range Rp.10 juta-Rp.30 juta jumlah populasi 100 orang dengan Peminjam sebanyak 11 orang. Pada range
37
38
pinjaman Rp.30 juta-Rp.50 juta, jumlah populasi sebanyak 83 orang dengan responden sebanyak 8 orang.
3.3.2. Metode Pengumpulan Data Cara
pengumpulan
data
yang
dipergunakan
dalam
kajian
ini
yaitu
mengumpulkan data dari berbagai sumber baik melalui pengumpulan data primer (diskusi/wawancara langsung dengan tokoh formal maupun informal, diskusi kelompok, pengamatan lapangan); pengumpulan data sekunder (data statistik, laporan dari instansiinstansi, kajian-kajian pihak lain dan publikasi lainnya). Tahapan-tahapan dan pendekatan yang akan dilakukan dalam pengumpulan data adalah : 1) observasi lapangan, digunakan untuk menjaring data-data usaha mikro produktif apa saja yang dilakukan oleh masyarakat, anggota/calon anggota koperasi dan kegiatan-kegiatan usaha mikro produktif yang telah dilakukan, potensi-potensi usaha mikro produktif yang perlu diberdayakan dan dikembangkan serta permasalahan yang dihadapi masyarakat penerima kredit Swamitra; 2) diskusi dan wawancara mendalam yang dilakukan dengan unsur Pemerintah Daerah Kota dan Provinsi Riau, Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Riau,
LSM,
Tokoh-tokoh
Masyarakat,
Pengelola/Pengurus
Koperasi
serta
Anggota/Calon Anggota Koperasi, Lembaga Perbankan/Bank Bukopin. Pengumpulan data sekunder berkaitan dengan kajian ini dikumpulkan dari Badan Pusat Statistik Provinsi Riau, Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Riau serta Instansi Pemerintah lainnya maupun sumber-sumber lain yang meliputi : 1)
perkembangan pola Swamitra (Jumlah Swamitra, Aset Swamitra, Kredit pada
Anggota/Calon Anggota Koperasi, Jumlah Debitur, Jumlah Simpanan, Jumlah Nasabah, Modal Tetap dan Tidak Tetap serta SHU; 2) kondisi keuangan pola Swamitra; 3) koperasi pelaksana Swamitra penerima modal penyertaan dari Pemerintah Daerah Provinsi Riau; 4) mekanisme pelaksanaan pola Swamitra.
3.3.3
Metode Pengolahan dan Analisis Data Data hasil kajian diolah dengan menggunakan statistik deskriptif dan perangkat
lunak komputer seperti program excel. Data-data kuantitatif disajikan dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi. Sedangkan data Kualitatif disajikan secara
38
39
deskriptif seperti data perkembangan pelaksanaan kredit oleh Bank Bukopin melalui pola Swamitra di Kota Pekanbaru, Dampak ekonomi dari pelaksanaan kredit Swamitra terhadap ekonomi daerah dan ekonomi masyarakat di Kota Pekanbaru, aktivitas dan kinerja anggota/calon anggota koperasi pola Swamitra, cara pemanfaatan dan pengelolaan dana bantuan modal pola Swamitra, usaha-usaha mikro produktif, dan permasalahan dalam pelaksanaan kredit Swamitra serta upaya apa saja yang perlu diberdayakan.
3.4
Metode Perancangan Program Metode yang digunakan dalam kajian ini untuk menganalisis perancangan
program dengan menemukan pilihan tindakan strategis. Analisis memilih tindakan strategis digunakan Analisis SWOT (Strength, Weaknesses, Opportunities dan Threats). Analisis SWOT digunakan dengan asumsi pelaksanaan Pola Swamitra tidak dapat berjalan seperti yang diharapkan sesuai tujuan dan sasaran program baik bagi masyarakat, pengelola swamitra, pemerintah daerah dan pihak-pihak terkait lainnya, apabila faktor kekuatan. Kelamahan, peluang dan ancaman yang ada tidak teridentifikasi dengan baik. Rangkuti (1997), menyatakan bahwa untuk mengidentifikasi faktor-faktor tersebut dapat digunakan analisis SWOT. Analisis ini berdasarkan logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strength) dan peluang (Opportunities) namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats). Jadi prinsipnya analisis SWOT membandingkan antara faktor eksternal (peluang dan ancaman) dengan faktor internal (kekuatan dan kelemahan) guna menetapkan formulasi strategi (perencanaan strategi) dalam upaya menyusub jangka panjang. Matriks SWOT dapat dilihat sebagai berikut :
Faktor internal
Strenghts (S) Daftar kekuatan internal
Weaknesses (W) Daftar kelemahan internal
Strategi SO
Strategi WO
Faktor eksternal Opportunities (O) Daftar peluang eksternal
39
40
Threats (T) Daftar ancaman eksternal
Strategi ST
Strategi WT
Setelah diperoleh tindakan strategis, maka dilakukan pengkajian dan menganalisis perkembangan dan permasalahan pelaksanaan Pola Swamitra serta dampak ekonomi dari pelaksanaan kredit tersebut terhadap ekonomi daerah dan masyarakat penerima kredit di Kota Pekanbaru. Terdapat tiga tahapan penting dalam penentuan kemampuan peran koperasi melalui program Swamitra yaitu : 1) identifikasi perkembangan pelaksanaan kredit oleh Bank Bukopin melalui pola Swamitran di Kota Pekanbaru; 2) menganalisis/mengkaji dampak ekonomi dari pelaksanaan kredit tersebut terhadap ekonomi daerah dan masyarakat penerima kredit di Kota Pekanbaru Swamitra; 3) evaluasi pelaksanaan program Swamitra dengan mengetahui dan mengidentifikasi permasalahan pelaksanaan kredit Swamitra dan upaya apa saja yang harus dilakukan. Berdasarkan kombinasi dari empat faktor tersebut menghasilkan empat kelompok faktor strategi sebagai berikut : 1. Strategi SO adalah strategi yang dibuat berdasarkan kekuatan pelaksanaan pola swamitra untuk memanfaatkan peluang. 2. Strategi ST adalah strategi untuk menggunakan kekuatan yang dimiliki pola swamitra dengan cara menghindari ancaman. 3. Strategi WO adalah strategi yang diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan cara mengatasi kelemahan-kelemahan yang dimiliki. 4. Strategi WT adalah strategi yang berdasarkan pada kegiatan yang diwujudkan untuk meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman. Berdasarkan informasi dari pengelola swamitra, masing-masing aparat kecamatan, tokoh masyakat, kelompok PKK, Majelis Taqlim serta para pihak dan instansi yang terkait, maka alternatif strategi yang dipilih berasal dari kepentingan yang paling dominan yang dibutuhkan didalam pelaksanaan pola swamitra. Setiap unsur SWOT diberi nilai 3, 2 dan 1. Nilai 3 berati sangat penting, nilai 2 berarti penting dan nilai 1 berarti cukup penting. Setiap alternatif strategi dihubungkan keterkaitannya dengan unsur SWOT dan ditentukan rangking 1, 2 dan 3 untuk strategi yang dipilih.
40
41
BAB. IV GAMBARAN UMUM LOKASI KAJIAN 4.1.
Keadaan Umum Lokasi Kajian
4.1.1. Letak dan Luas Wilayah 4.1.1.1 Letak Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1987 tanggal 7 September 1987 daerah Kota Pekanbaru diperluas dari ± 62,96 Km2 menjadi ± 446,50 Km2 yang terdiri dari 8 Kecamatan dan 45 kelurahan atau desa. Kota Pekanbaru merupakan ibukota Propinsi Riau yang terletak antara 110° 14´-101° 34´ Bujur Timur dan 0° 25´-0° 45´ Lintang Utara. Hasil pengukuran atau pematokan dilapangan oleh BTN Tk I Riau ditetapkan luas wilayah Kota Pekanbaru sebesar 632,26 Km2 (BPS, 2005). Untuk lebih terciptanya tertib pemerintahan dan pembinaan wilayah yang cukup luas, maka dibentuklah kecamatan baru dengan Perda Kota Pekanbaru No. 3 Tahun 2003 menjadi 12 Kecamatan dan Kelurahan atau desa. Rincian luas masing-masing Kelurahan atau desa terutama yang baru dibentuk masih dalam pengukuran sedangkan rincian luas masing-masing Kecamatan dapat dilihat dalam perbandingan luas antara masing-masing Kecamatan di Kota Pekanbaru secara disajikan pada Tabel 1. Dilihat dari Tabel 1 tersebut diketahui, bahwa untuk masing-masing kecamatan menurut luas wilayah kecamatan yang terluas adalah Kecamatan Tenayan Raya yaitu sebesar 171,27 Km2 atau mencapai 27% dari keseluruhan luas wilayah Kota Pekanbaru. Kecamatan ini merupakan pemekaran dari Kecamatan Bukit Raya. Sedangkan Kecamatan yang paling sempit luas wilayahnya adalah Kecamatan Pekanbaru Kota yaitu seluas 2,56 Km2 atau hanya 0,36% dari total luas wilayah Kota Pekanbaru.
4.1.1.2. Batas Wilayah Kota Pekanbaru merupakan Ibukota Propinsi Riau yang mempunyai jarak lurus dengan Ibukota di kota-kota lainya. Jarak Kota Pekanbaru dengan Taluk Kuantan sekitar 188 Km, dengan Rengat 159 Km, dengan Tembilahan 213,5 Km, dengan Kerinci 33,5 Km, jarak dengan Siak sekitar 74,5 Km, dengan Bangkinang 51 Km, dengan Pasir pengairan 132,5 Km, dengan Bengkalis 128 Km, Bagan sekitar 192,5 Km, Tanjung
41
42
Pinang sekitar 337,5 Km, jarak dengan Karimun 229 Km, dengan Ranai 260 Km, dengan Batam 286 Km dan dengan Dumai 125 Km. (BPS Kota Pekanbaru, 2005). Tabel 1. Perbandingan Luas Wilayah di Kota Pekanbaru. No
Luas
Kecamatan Km2
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Jumlah
Tampan Payung Sekaki Bukit Raya Marpoyan Damai Tenayan Raya Lima Puluh Sail Pekanbaru Kota Sukajadi Senapelan Rumbai Rumbai Pesisir
Persentase (%)
59,81 43,24 22,05 29,74 171,27 4,04 3,26 2,26 3,76 6,65 128,85 157,33 632,26
9,46 6,84 3,49 4,70 27,09 0,64 0,52 0,36 0,59 01,05 20,38 24,88 100
Sumber: BPS Kota Pekanbaru, 2005 Untuk lebih jelas posisi dari Kota pekanbaru maka dapat dilihat dari batas Kota pekanbaru tersebut, yaitu sebagai berikut : Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Siak dan Kabupaten Kampar, Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Kampar dan Palalawan, Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Siak dan Kabupaten Palalawan, Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Kampar.
4.1.1.3. Penggunaan Tanah dan Lahan Penggunaan tanah dan lahan di Kota Pekanbaru umumnya diperuntukkan untuk untuk lahan sawah, perkarangan atau lahan bangunan dan halaman sekitar, tegal atau kebun, ladang atau huma, pengembangan padang rumput, rawa-rawa yang tidak ditanami, tambak kolam empang, lahan kering yang sementara tidak ditanami, lahan yang ditanami kayu-kayuan, hutan negara, perkebunan dan lain-lain. Tanah dan lahan di Kota pekanbaru merupakan daerah dataran dengan struktur tanah umumnya terdiri dari jenis alluvial dengan pasir dan dipinggirannya terdiri dari jenis tanah orgosol dan humus yang merupakan rawa-rawa yang bersifat asam, sangat kerosif untuk besi.
42
43
Distribusi penggunaan tanah atau lahan tersebut dimana dapat dilihat bahwa penggunaan lahan yang dipergunakan untuk perkarangan atau lahan bangunan dan halaman sekitar sebesar 14.437 Ha atau sebesar 22,88%, sedangkan untuk lahan sawah dan tambak tidak dimanfaatkan dalam jumlah yang cukup kecil, lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 2.
Berdasarkan luasan tanah menurut penggunaannya ini ditunjukkan,
bahwa Kota Pekanbaru sudah berkembang menjadi kota yang cenderung padat penduduknya. Kota yang semakin dipenuhi oleh bangunan dan halaman rumah untuk penduduk tinggal dan menetap. Tabel 2. Distribusi luas tanah di Kota Pekanbaru menurut penggunaannya, Tahun 2005. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Jumlah
Jenis Penggunaan Lahan Lahan Sawah Perkarangan, Lahan Bangunan dan Halaman Sekitar Tegal atau Kebun Ladang atau Huma Pengembalaan Padang Rumput Rawa-rawa yang tidak ditanami Tambak Kolam atau Empang Lahan kering yang sementara tidak ditanami Lahan yang ditanami kayu-kayuan Hutan Negara Perkebunan Lain-lain
Luas (Ha)
Persentase (%)
14.437
0 22,88
4.076 8.510 28 1.338 199 4.133 1.402 4.321 7.510 17.272 63.226
6,45 13,46 0,04 2,12 0 0,31 6,54 2,22 6,83 11,88 27,32 100
Sumber: BPS Kota Pekanbaru, 2005.
4.1.1.4. Sungai Sungai yang berada di Kota Pekanbaru adalah Sungai Siak. Sungai siak ini mengalir dari Barat ke Timur, memiliki beberapa anak sungai antara lain: Sungai Umban Sari, Air Hitam, Sibam, Setukul, Pengambang, Ukai, Sago, Senapelan, Mintar, dan Tampan. Sungai Siak mempunyai peranan penting dalam menunjang perekonomian di Kota Pekanbaru khususnya dan Propinsi Riau umumnya, karena sungai ini merupakan jalur perhubungan lalu lintas perekonomian rakyat dari pedalaman ke kota serta dari daerah lainnya.
43
44
4.1.1.5. Iklim Kota Pekanbaru pada umumnya beriklim tropis dengan suhu udara maksimum berkisar antara 31,9° C-35,1° C dan suhu minimum berkisar antara 23,1° C dan 24,2° C. Curah hujan 67,8-695,5 mm per tahun, musim hujan jatuh pada bulan Januari sampai bulan April dan September sampai dengan Desember. Musim kemarau jatuh pada bulan Mei sampai Agustus. Kelembaban maksimum antara 96%-99%. Kelembaban minimum 44%-64%. Iklim menjadi penting didalam perkembangan Kota Pekanbaru. Oleh karena, saat ini apabila musim hujan datang banjir di beberapa wilayah sudah menjadi ancaman. Demikian juga, dengan datangnya musim kemarau,
asap yang menyelimuti kota
menjadi ancaman untuk penduduk dan roda kehidupan ekonomi kota. Ancaman asap ini setiap tahun sering berulang, meskipun larangan untuk melakukan pembukaan lahan di sekitar kawasan perkotaan sudah dilarang. Tidak jarang kabut asap pada musim kemarau tersebut mengganggu prasarana perhubungan,. Bahkan, untuk perhubungan udara harus sampai menghentikan penerbangan ke dan keluar Bandara Syarif Kassim 2 di Kota Pekanbaru.
4.1.2. Administrasi Daerah 4.1.2.1 Letak dan Luas Kota Pekanbaru terletak antara : 1010 140 - 1010 340 Bujur Timur 00 25 0 00 25 0 Lintang Utara, berbatasan dengan : sebelah Utara : Kabupaten Siak dan Kampar, sebelah selatan : Kabupaten Kampar dan Pelalawan, sebelah Timur
:
Kabupaten Kampar. Berdasarkan Peraturan Pemerintah no. 19 tahun 1987 daerah Kota Pekanbaru diperluas dari ± 62,96 Km 2 menjadi ± 446,50 Km 2 terdiri dari 12 (dua belas) Kecamatan, Kecamatan Tampan ada 4 Kelurahan, 45 RW dan 221 RT, Kecamatan Payung Sekaki ada 4 Kelurahan, 33 RW dan 155 RT, Kecamatan Bukit Raya ada 4 Kelurahan, 55 RW dan 222 RT, Kecamatan Marpoyan Damai ada 5 Kelurahan, 63 RW dan 303 RT, Kecamatan Tenayan Raya ada 4 Kelurahan, 33 RW dan 155 RT dan 59 (lima puluh sembilan) Kelurahan Lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 3.
44
45
Tabel 3. Kelurahan dirinci menurut status Kecamatan. NO KECAMATAN KELURAHAN 1
Tampan
2
Payung Sekaki
3
Bukit Raya
4
Marpoyan Damai
5
Tenayan Raya
6
Lima Puluh
7
Sail
8
Pekanbaru Kota
9
Sukajadi
10
Senapelan
001 002 003 004 001 002 003 004 001 002 003 004 001 002 003 004 005 001 002 003 004 001 002 003 004 001 002 003 001 002 003 004 005 006 001 002 003 004 005 006 007 001 002
Simpang Baru Sidomulyo Barat Tuah Karya Delima Labuh Baru Timur Tampan Air Hitam Labuh Baru Barat Simpang Tiga Tangkerang Selatan Tangkerang Utara Tangkeran Labuai Tangkerang Tengah Tangkerang Barat Maharatu Sidomulyo Timur Wonorejo Kulim Tangkerang Timur Rejosari Sail Rintis Sekip Tanjung Rhu Pesisir Cinta Raja Suka Maju Suka Mulia Simpang Empat Sumahilang Tanah Datar Kota Baru Suka Ramai Kota Tinggi Jadirejo Kampung Tenggah Kampung Melayu Kadung Sari Harjosari Sukajadi Pulau Karam Padang Bulan Padang Terubuk
45
46
11
Rumbai
12
Rumbai Pesisir
003 004 005 006 001 002 003 004 005
Sago Kampung Dalam Kampung Bandar Kampung Baru Umban Sari Rumbai Bukit Muara Fajar Palas Sri Meranti
001 Mernati Pandak 002 Limbungan 003 Lembah Sari 004 Lembah Damai 005 Limbungan Baru 006 Tebing Tinggi Okura Sumber: BPS Kota Pekanbaru, 2006.
4.1.2.2 Jarak Ibukota Kota Pekanbaru merupakan ibukota Provinsi Riau yang mempunyai jarak lurus dengan kota-kota lain sebagai Ibukota Tk. II lainnya sebagai berikut : Pekanbaru dengan Taluk Kuantan = 118 Km, Rengat = 159 Km, Tembilahan = 213,5 Km, Kerinci = 33,5 Km, Siak = 74,5 Km, Bangkinang = 51 Km, Pasir Pengaraian = 132,5 Km, Bengkalis = 128 Km, Bagan = 192,5 Km, Dumai = 125 Km.
4.1.3. Kependudukan 4.1.3.1 Jumlah dan Kepadatan Penduduk Jumlah penduduk sudah mencapai 754 467 jiwa dan bervariasi menurut kecamatan (Tabel 4). Kecamatan terbanyak penduduknya adalah Kecamatan Marpoyan Damai dan Tenayan Raya. Kepadatan penduduk Kota Pekanbaru ini sudah masuk kategori menengah, sekitar 1 148 jiwa per Km persegi.
Tabel 4. Jumlah Rumahtangga, Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin MeNurut Kecamatan, Tahun 2007
46
47
No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Kecamatan Tampan Payung Sekaki Bukit Raya Marpoyan Damai Tenayan Raya Lima Puluh Sail Pekanbaru Kota Sukajadi Senapelan Rumbai Rumbai Pesisir
Banyak Rumah Tangga 20.061 13.858 16.019 30.027 23.003 8.779 6.107 6.003 13.444 7.398 11.488 13.770
LakiLaki
169.957
380.993
Total
48.698 34.622 40.705 62.007 45.230 21.795 11.505 15.667 26.108 19.187 24.921 30.671
Perempuan
Jumlah
44.711 35.517 39.696 54.556 48.001 22.378 11.566 15.349 27.669 19.059 23.385 31.464
93.409 70.139 80.401 116.563 93.231 44.173 23.071 31.016 53.777 38.246 48.306 62.135
373.474
754.467
Sumber : BPS Kota Pekanbaru
4.2
Perkembangan Pelayanan Sosial.
4.2.1
Perkembangan Pendidikan Pendidikan merupakan sarana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, oleh
sebab itu berhasil tidak pembangunan banyak dipepengaruhi oleh tingkat tingkat pendidikan penduduk. Untuk melihat gambaran secara umum perkembangan pendidikan di Kota Pekanbaru mengenai data pendidikan meliputi STK, SD, SLTP dan SLTA baik yang dikelola Pemerintah maupun yang dikelola Swasta. Banyaknya sekolah, murid, guru dan kelas disemua tingkat sekolah dalam lingkungan Depdikbud tidak banyak mengalami perubahan kecuali data perguruan tinggi Swasta ada perubahan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya Perkembangan penduduk berumur 10 tahun keatas yang menurut kepemilikan ijazah antara Tahun 2002 sampai 2006 dapat dilihat pada Tabel 5.
Dari tabel ini
ditunjukkan, bahwa penduduk
47
48
Tabel 5 Penduduk Berumur 10 Tahun Keatas Menurut Pendidikan Dan Ijazah Yang Dimiliki, pada Tahun 2002 – 2006 No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Pendidikan yang ditamatkan Tidak Punya SD SLTP SLTA Akademi Universitas Total
2002
2003
9,59 18,48 21,82 38,74 4,52 6,85 100,00
10,40 16,49 22,09 40,80 4,32 5,90 100,00
2004
2005
2006
11,54 15,33 20,89 42,08 3,88 6,28
11,58 19,25 20,00 37,63 4,20 7,34
12,54 16,82 18,16 40,54 4,12 7,81
100,00
100,00
100,00
Sumber : BPS Kota Pekanbaru Kota Pekanbaru cenderung mempunyai perkembangan pendidikan yang membaik, proporsi mereka yang tamat SLTP dan SLTA serta tamat universitas meningkat. Sedangkan Jumlah Penduduk Kota Pekanbaru dirinci menurut kelompok umur dan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 6 . Tabel 6 Penduduk Kota Pekanbaru dirinci menurut Kelompok Umur dan jenis kelamin Kelompok Umur 0–4 5–9 10 – 14 15 – 19 20 – 24 25 – 29 30 – 34 35 – 39 40 – 44 45 – 49 50 – 54 55 – 59 60 – 64 65 – 69 70 – 74 70 + TOTAL
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
46.672 37.452 36.156 35.089 39.280 33.908 31.661 31.318 25.222 20.307 14.973 10.058 7.429 5.410 3.277 2.781
36.414 37.011 35.816 33.687 44.219 41.232 35.816 24.238 24.463 24.724 13.781 6.125 6.872 3.399 2.876 2.801
83.086 74.463 71.972 68.776 83.499 75.140 67.477 55.556 49.685 45.031 28.754 16.183 14.301 8.809 6.153 5.582
380.933
373.474
754.467
Sumber : BPS Kota Pekanbaru 4.2.2
Perkembangan Pelayanan Kesehatan
48
49
Dari Tabel 6 dapat dilihat penduduk penduduk usia bawah lima tahun (balita) di Kota Pekanbaru masih cukup banyak.
Demikian juga penduduk berusia produktif
(antara 15-55 Tahun). Oleh karenanya, prasarana pelayanan kesehatan menjadi penting untuk memberi layanan kepada penduduk. Belum lagi, pembangunan kesehatan untuk penduduk Kota Pekanbaru menjadi penting dengan tujuan semua lapisan masyarakat dapat memperoleh pelayanan kesehatan secara mudah murah dan merata. Dengan tujuan tersebut diharapkan akan tercapai derajat kesehatan masyarakat dengan baik. Saat ini berbagai pembangunan sarana kesehatan, tenaga medis, rumah sakit semakin baik. Demikian juga, peningkatan kesadaraan masyarakat akan keluarga berencana menujukan perkembangan yang mengembirakan.
4.3
Perkembangan Ekonomi
4.3.1
Prasarana dan Sarana Ekonomi.
4.3.1.1 Panjang Jalan Panjang Jalan Kota Pekanbaru dirinci menurut jenis permukaan jalan (Km) pada Tahun 2006 cenderung diaspal.
Panjang jalan yang dicatat dengan jenis
permukaan diaspal ada 1 015 209 km. Sisanya, jalan dengan jenis permukaan kerikil sekitar 44 601 km, dan yang dengan jenis permukaan tanah ada sepanjang 1 369 173 km. Kondisi tersebut tidak berbeda jauh dengan kondisi pada Tahun 2005. Apabila memperhatikan Tabel 7, maka dapat diketahui perkembangan panjang jalan menurut jenis permukaan dan kondisi jalan di Kota Pekanbaru. Hal ini menunjukkan, bahwa perkembangan penyediaan jalan di Kota Pekanbaru tidak terlalu berbeda.
Namun
demikian, apabila memperhatikan kondisi lalu-lintas saat ini, maka penambahan panjang jalan di Kota Pekanbaru mendesak dilakukan pada masa mendatang.
49
50
Tabel 7. Panjang Jalan Kota Pekanbaru PANJANG JALAN NO KEADAAAN 2005 2006 1. Jenis Permukaan A. Diaspal 957.401 1.015.209 B. Kerikil 41.556 44.601 C. Tanah 1.428.954 1.369.173 D. . Cor Beton Jumlah Total 2.427.954 2.428.983 2. Kondisi Jalan A. Diaspal Kerikil B. Tanah C. D. Cor Beton Jumlah Total
983.266 524.279 920.366 2.427.954
939.940 571.249 917.794 2.428.983
4.3.1.2 Perkembangan Perbankan Perkembangan perbankan di Kota Pekanbaru tidak terlepas dari perkembangan lembaga tersebut di Provinsi Riau.
Sebagaimana ditunjukkan, perkembangan
perbankan di Kota Pekanbaru adalah cerminan perkembangan perbankan di Provinsi Riau yang sangat tinggi. Jumlah bank berkembang pesat, baik dengan dibukanya kantor-kantor cabang yang baru maupun cabang-cabang pembantu. Sampai dengan triwulan III tahun 2007 jumlah bank sudah mencapai 34 buah. Jumlah ini meningkat 25,9 % jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Jumlah seluruh kantor pelayanan bank juga mengalami peningkatan yang cukup pesat. Triwulan III 2006 banru sebanyak 265 buah dan tahun 2007 meningkat menjadi 312 buah atau 17,7 %. Jumlah bank pemerintah 6 buah, bank swasta 21 buah, bank asing 2 buah, bank syariah 2 dan unit usaha syariah 3 buah (Tabel 8). Peningkatan jumlah bank di Provinsi Riau cenderung berada di Kota Pekanbaru. Hal ini mengindikasikan perkembangan ekonomi kota Pekanbaru cukup berkembang pesat.
50
51
Tabel 8 Perkembangan Jumlah Bank di Provinsi Riau Periode TW III Pertumbuhan 2007 (%) 34 25.9 6 0.0 21 10.5 2 2 0.0 3 1 0.0 66 4.8 41 5.1 23 -4.2 2
TW III Keterangan 2006 Jumlah Bank 27 Pemerintah 6 Swasta 19 Asing 0 Syariah 2 Unit Usaha Syariah 0 Kantor Pusat 1 Kantor Cabang 63 Pemerintah 39 Swasta 24 Asing 0 Kantor Cabang IV Pembantu 80 85 1 Pemerintah 43 46 2 Swasta 37 39 3 Asing 0 0 V Kantor Kas 33 35 1 Pemerintah 21 22 2 Swasta 12 13 VI BRI Unit 62 70 VII DSP 12 12 VIII Lainnya 14 43 JUMLAH 265 312 Sumber: Bank Indonesia Pekanbaru, 2007. NO I 1 2 3 4 5 II III 1 2 3
6.3 7.0 5.4 6.1 4.8 8.3 12.9 0.0 207.1 17.7
Sejalan dengan perkembangan jumlah bank dan seluruh kantor pelayanannya maka jumlah dana yang berhasil dihimpun juga mengalami perkembangan yang pesat. Keadaan ini juga didorong oleh implementasi otonomi daerah dan desentralisasi fiscal. Dana-dana yang mengucur dari sistem perimbangan keuangan pusat dan daerah menyebabkan jumlah uang yang beredar di Riau makin besar. Pada gilirannya mampu menaikkan jumlah aktiva yang dimiliki. Sampai akhir peride 2006 jumlah aktiva bank di Riau telah mencapai Rp 32,106 triliun yang terdiri dari Bank Pemerintah Rp 24,479
51
52
triliun (76,24 %) dan Bank Swasta Rp 7,349 triliun (22,89%) serta Bank Perkreditan Rakyat (BPR) sebesar Rp 0,227 triliun atau hanya 0,71 % (Tabel 9).
Tabel 9 Perkembangan Aktiva Menurut Kelompok Bank di Provinsi Riau (juta rupiah) Bank Pemerintah
No
Tahun
Bank Swasta
BPR
Total
1
1997
5,098,072
2,751,819
12,522
7,862,413
2
1998
8,437,685
5,847,238
26,277
14,311,200
3
1999
8,000,467
5,617,263
29,256
13,646,986
4
2000
8,849,230
5,225,251
51,799
14,298,083
5
2001
14,551,300
6,517,143
70,444
23,508,435
6
2002
15,682,704
5,686,859
116,111
21,485,674
7
2003
16,248,789
7,382,066
122,314
23,753,169
8
2004
18,405,735
10,082,704
191,948
28,680,387
9
2005
18,084,632
6,364,528
233,036
24,682,196
10
2006
24,479,864
7,349,358
277,692
32,106,914
Sumber: Bank Indonesia, SEKD, 2007
Sejak kebijakan otonomi daerah digulirkan jumlah aktiva perbankan di Provinsi Riau meningkat pesat. Pada tahun1999 total aktiva perbankan di Riau baru sebesar Rp 13,65 triliun sedangkan pada tahun 2006 telah mencapai Rp 32,11 triliun. Ini berarti terjadi peningkatan sebesar 135,24 %
atau rerata 19,32 % setiap tahunnya.
Perkembangan pada bank pemerintah lebih pesat dibandingkan kelompok bank lainnya. Pada tahun 1999 aktiva bank pemerintah baru sebesar Rp 8 triliun sedangkan tahun 2006 sudah mencapai Rp 24,48 triliun atau naik sebesar 206 %. Keadaan ini terjadi akibat naiknya aktiva bank daerah dan bank pemerintah lainnya. Bank swasta termasuk bank asing tinggat pertumbuhan aktivanya sebesar 30,85 % dan Bank Perkreditan Rakyat sebesar 849,18 %. Pesatnya perkembangan aktiva BPR sejalan dengan
52
53
pertumbuhan jumlah BPR yang semakin banyak. Pada tahun 1999 jumlah kantor BPR baru sebayak 9 buah dan pada tahun 2006 sudah mencapai 14 buah. Dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun perbankan juga mengalami perkembangan yang pesat. Pada tahun 1999 dana pihak ketiga yang berhasil dikumpul baru sebanyak Rp 8,19 triliun yang terdiri dari Giro sebesar Rp 2,054 triliun atau 25,08 %, Deposito sebesar Rp 2,793 triliun atau 34,1% dan Tabungan sebesar Rp 3,346 triliun atau 40,85 %. Keadaan ini mencerminkan struktur dana pihak ketiga lebih terkonsentrasi pada dana jangka pendek yang membuat bank kurang leluasa melemparkan dana tersebut dalam bentuk kredit berdurasi panjang. Pada tahun 2006 dana pihak ketiga telah mencapai Rp 27,841 triliun. Jika dibanding dengan Tahun 1999 berarti mengalami peningkatan sebesar 239,44 % atau naik rerata 34,21 % setiap tahunnya. Strukturnya terdiri dari Giro sebesar Rp 14,57 triliun atau 52,32 %. Depositu berjumlah Rp 6,379 atau 22,91 % sedangkan tabungan mencapai Rp 9,30 triliun atau 33,38 %. Keadaanini menunjukkan bahwa dana-dana jangka pendek dalam struktur DPK perbankan Riau yang mencapai 85,7 % jauh lebih besar dari dana-dana jangka panjang sehingga menimbulkan kesulitan untuk memainkan dana tersebut dalam bentuk kredit berdurasi panjang. Jalan yang paling aman untuk menjaga likuiditas adalah dengan menempatkan dana tersebut disektor moneter dalam bentuk SBI dan lain-lain. Hanya saja startegi ini kurang memberikan keuntungan (profitabilitas). Perbandingan Rupiah dan Valas dalam struktur DPK perbankan di Provinsi Riau masih didominasi oleh DPK dalam bentuk rupiah. Pada tahun 1999 porsi DPK dalam rupiah mencapai 84,84 % sedangkan tahun 2006 komposisinya 96,47 %. Dilihat dari julah rekening maka pada tahun 1999 yang terbesar adalah dalam bentuk tabungan yang mencapai 1.695.567 rekening, deposito 101.816 rekening dan giro sebanyak 52.636 rekening. Pada tahun 2006 julah rekening tabungan mencapai 1.344.496 reking, deposito sebanyak 37.448 rekening dan giro sebanyak 42.722 rekening, struktur DPK seperti Tabel 10. Berdasarkan tabel tersebut diketahui juga pada tahun 1999 rerata giro per rekening dalam mata uang rupiah sebesar Rp 34,16 juta, deposito Rp 24,16 juta dan tabungan sebesar Rp 1,97 juta. Sedangkan tahun 2006 rerata giro per rekening sebesar
53
54
Rp 300 juta, deposito sebesar Rp 168,616 dan tabungan sebesar Rp 6,94 juta. Berarti selama otonomi daerah jumlah dana per rekening untuk semua jenis rekening mengalami peningkatan. Giro meningkat sebesar 778,22 %, deposito 597,91 % sedangkan tabungan meningkat 252,28 %. Percepatan jumlah giro dari segi kuantitas dana disebabkan oleh naiknya dana-dana pemerintah daerah meskin jumlah rekeningnya menyusut. Tahun 2006 dibandingkan dengan tahun sebelumnya jumlah rekening giro turun sebesar 10,99 % padahal jumlah dananya naik sebesar 47,79 %. Untuk deposito jumlah rekening di tahun 2006 dibandingkan dengan tahun sebelumnya meningkat sebesar 6,42 % sedangkan dananya naik sebesar 35,27 %. Tabungan mengalami kenaikan jumlah dana sebesar 24 % sedangkan jumlah rekeningnya turun sebesar 13,39 %. Fenomena ini seperti menggambarkan adanya pemusatan kepemilikan asset ekonomi kepada orang yang berpenghasilan lebih tinggi. Menciutnya jumlah penabung untuk jenis tabungan menandakan semakin mengecilnya kemampuan menabung masyarakat kelas bawah. Naiknya dana dari jenis tabungan menggambarkan penabung-penabung besar mengalami kenaikan dana. Penabung kecil kian terkikis dari dunia perbankan.
54
55
Tabel 10 Struktur DPK Perbankan Riau Pasca Otonomi Daerah (juta rupiah) Tahun No
Jenis
1999
2000
2001
2002
2003
2004
I
Jumlah DPK
8,193,228
10,459,025
15,520,358
16,917,547
19,421,053
23,987,933
1
Rupiah
6,951,737
8,665,071
13,755,878
15,026,877
17,297,773
21,470,320
a
Giro
1,215,126
1,653,222
4,296,190
4,370,475
4,605,655
6,183,087
Rekening
35,578
35,901
44,110
59,983
66,478
67,762
Deposito
2,391,135
2,366,481
3,324,011
3,580,697
3,750,645
4,315,708
Rekening
98,988
71,684
76,224
62,446
55,966
50,646
Tabungan
3,345,476
4,645,368
6,135,677
7,075,705
8,941,472
10,971,526
Rekening
1,694,567
1,724,019
1,896,876
2,133,072
2,268,924
2,271,161
2
Valuta Asing
1,241,491
1,793,954
1,764,480
1,890,670
2,123,280
2,517,613
a
Giro
839,221
1,281,295
1,360,444
1,545,266
1,710,432
2,079,264
Rekening
16,014
17,080
20,865
20,206
19,577
19,500
Deposito
402,270
488,031
403,958
345,288
412,425
437,917
Rekening
2,828
5,842
2,426
2,472
2,421
2,079
Tabungan
-
24,628
78
116
423
432
Rekening
-
746
21
22
38
45
b
c
b
c
Sumber: Bank Indonesia Pekanbaru, SEKD, 2007.
55
56
4.3.2 Perkoperasian
Penyaluran kredit melalui koperasi sebenarnya berkaitan dengan upaya untuk memperkuat koperasi didalam memberdayakan ekonomi rakyat.
Oleh karenanya
program tersebut berkait dengan Program pembinaan Koperasi dan UKM. Program
Pemberdayaan
Koperasi
dan
UKM
secara
Nasional
adalah
mewujudkan 70.000 Koperasi berkualitas dan menumbuhkan 6 juta wirausaha baru. Program tersebut mempunyai tujuan dan sasaran sebagai berikut : •
Mengembangkan Koperasi dan UKM sebagai Wadah kolektif yang efisien dan efektif sehingga dapat meningkatkan kegiatan-kegiatan produktif yang mempunyai nilai tambah (value added)
•
Meningkatkan dan mengembangkan ekonomi produktif dalam rangka meningkatkan produktivitas untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat melalui Koperasi dan UKM.
•
Memperkuat kerangka dasar Koperasi dan UKM sebagai wadah ekonomi rakyat sekaligus mitra kerja usaha lainnya sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh dalam mewujudkan perekonomian nasional. Dari target nasional tersebut Propinsi Riau diharapkan mampu mewujudkan
1.542 Koperasi berkualitas dan menumbuhkan 123.000 wirausaha baru sampai dengan tahun 2009. Rincian target pencapaian Koperasi berkualitas (Klasifikasi A, B dan C ) dan penumbuhan wirausaha baru dapat dilihat pada Tabel 11 dan 12. Dalam rangka percepatan Pemberdayaan Koperasi dan UKM telah dilakukan Pembinaan kepada Koperasi dan UKM melalui program dan kegiatan yang bersinergi dengan Dinas Koperasi dan UKM Kabupaten/Kota beserta stakeholder lainnya yang didukung melalui APBD Propinsi Riau dan APBN. Untuk mewujudkan 1.542 Koperasi berkualitas dan menumbuhkan 123.000 unit wirausaha baru telah dibuat program dan kegiatan yang pendanaannya berasal dari APBD Propinsi Riau dan APBN (Tabel 11 dan 12).
56
57
Tabel 11 Rencana Target Pencapaian Koperasi Berkualitas (Klasifikasi A, B, C ) Tahun 2006 S/D 2009 Propinsi Riau. NO
KABUPATEN KOTA
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
KAMPAR ROKAN HULU PELALAWAN BENGKALIS ROKAN HILIR SIAK DUMAI INDRAGIRI HULU KUANSING INDRAGIRI HILIR PEKANBARU
JUMLAH
JLH KOPE RASI
AKTI F
2006
2007
227 182 163 734 339 208 359 283 190 502 771
229 95 123 725 150 140 187 218 154 200 558
44 12 22 148 42 33 35 44 29 40 113
30 6 13 107 29 21 23 30 19 27 81
27 11 16 77 25 21 21 25 19 23 62
23 15 17 48 22 20 20 22 19 21 40
124 44 68 380 118 95 99 121 86 111 296
4.103
2.779
562
386
327
267
1.542
2008
2009
JUM LAH
Sumber : Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Riau
Tabel 12a. Target Penumbuhan Wirausaha Baru Tahun 2006 - 2009 Propinsi Riau. NO
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
KABUPATEN KOTA
Pelalawan Indragiri Hilir Kampar Rokan Hilir Siak Bengkalis Pekanbaru Kuansing Dumai Indragiri Hulu Rokan Hulu
JUMLAH
TARGET UMKM/WIRA USAHA BARU
T AH U N 2006
2007
2008
2009
7.690 9.870 7.690 5.789 7.897 7.890 26.978 7.343 23.068 9.876 8.909
1.538 1.974 1.538 1.158 1.579 1.578 5.396 1.468 4.614 1.975 1.782
2.307 2.961 2.307 1.737 2.369 2.367 8.093 2.203 6.920 2.963 2.673
2.307 2.961 2.307 1.737 2.369 2.367 8.093 2.203 6.920 2.963 2.673
1.538 1.974 1.538 1.157 1.580 1.578 5.396 1.469 4.614 1.975 1.781
123.000
24.600
36.900
36.900
24.600
Sumber : Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Riau
57
58
4.3.3 Penyaluran Kredit Alokasi kredit perbankan,
maka Selama sepuluh tahun terakhir rerata
peningkatan alokasi kredit mencapai 30,59 %. Peningkatan terbesar adalah untuk jenis penggunaan konsumsi sebesar 80,30 % diikuti oleh modal kerja 44,45 % dan investasi 13,89 %. Proporsi kredit untuk konsumsi masih lebih kecil jika dibandingkan dengan jenis penggunaannya. Proporsi terbesar tahun 2006 adalah untuk jenis penggunaan modal kerja sebesar 44,37 %, investasi 34,02 % dan konsumsi sebesar 21,62 %. Pada awal otonomi daerah tahun 1999 porsi kredit untuk modal kerja adalah sebesar 36,35 %. Berarti selama otonomi daerah proporsi kredit untuk modal kerja kian membesar. Untuk jenis penggunaan investasi justru mengalami penurunan dimana proporsi tahun 1999 mencapai 55,30 %. Untuk jenis penggunaan konsumsi proporsinya tahun 1999 baru sebesar 8,32 % sedangkan tahun 2006 porsinya meningkat pesat. Data ini menggambarkan bahwa perbankan di Provinsi Riau lebih banyak mendorong perilaku konsumtif masyarakat dengan memberi porsi yang besar bagi keperluan kredit konsumsi dan pertumbuhannya sangat tinggi. Kenaikan pemberian kredit untuk modal kerja terjadi sebagai antisipasi terhadap melonjaknya harga barang sehingga para pedanganharus didorong melakukan distribusi dan penyediaan dengan memberi kredit pada mereka dapat dilihat pada Tabel 12. Apabila analisis alokasi itu diteruskan dengan menelaah secara sektoral, maka diketahui pada awal otonomi daerah kredit untuk sektor pertanian baru sebesar Rp 2,94 triliun atau sebesar 37,99 % dari total kredit yang diberikan. Tahun 2006 jumlah kredit yang disalurkan meningkat menjadi Rp 5,32 triliun atau meningkat sebesar 81,12 % atau rerata 11,58 % setiap tahunnya. Porsinya dalam struktur alokasi kredit sektoral di Riau turun menjadi 24,12%.
58
59
Tabel 12b. Alokasi Kredit Perbankan di Riau Jenis Penggunaan Klasifikasi Kredit (Juta Rupiah) Modal Kerja
No
Tahun
1
1996
1,765,899.0
3,142,305.0
528,336.0
5,436,540.0
2
1997
2,632,653.0
4,434,248.0
760,789.0
7,827,690.0
3
1998
3,043,001.0
6,111,382.0
698,279.0
9,852,662.0
4
1999
2,813,907.0
4,280,960.0
644,900.0
7,739,767.0
5
2000
3,811,432.0
5,986,293.0
1,044,361.0
10,842,086.0
6
2001
4,670,362.0
5,109,526.0
1,587,164.0
11,367,052.0
7
2002
4,740,760.0
7,777,510.0
2,135,544.0
14,653,814.0
8
2003
6,158,818.0
8,272,913.0
2,785,293.0
17,217,024.0
9
2004
6,992,198.0
10,489,734.0
4,262,557.0
21,744,489.0
10
2005
6,593,278.0
8,572,203.0
3,885,969.0
19,051,450.0
9,790,020.0
7,506,418.0
4,770,900.0
22,067,338.0
45.44
13.89
80.30
30.59
11
2006 Rerata Pertumbuhan
Investasi
Konsumsi
Total Kredit
Sumber, Bank Indonesia, SEKD, 2007.
Hanya saja alokasi kredit untuk pertanian lebih banyak dialokasikan untuk sub-sektor perkebunan dan kurang menyentuh petani-petani kecil yang banyak bermukim di pedesaan. Kredit perkebunan pada umumnya dikelola oleh para cukong atau petani berdasi. Masyarakat hanya terlibat dalam bentuk pola inti-plasma yang banyak dicengkram oleh pengusaha intinya. Kebun plasma kurang berkembang dengan baik. Dari kredit untuk keperluan industri meningkat dari Rp 2,28 triliun menjadi sebesar Rp 6,5 triliun atau rerata setiap tahunnya meningkat sebesar 26,51 %. Porsi kredit untuk konsumsi naik dari 29,41 tahun 1999 menjadi 29,45 %. Sedangkan untuk sektor perdagangan rerata pertumbuhannya setiap tahun mencapai 26,15 %. Porsi kredit
59
60
untuk perdagangan tahun 1999 sebesar 13,79 % sedangkan pada tahun 2006 turun sedikit menjadi 13,69 %. Pertumbuhan kredit untuk sektor perdagangan,hotel dan restoran rerata setiap tahunnya mencapai 26,19 %. Kredit sektor industri dan sektor perdagangan banyak tertumpu di wilayah perkotaan. Termasuk kredit untuk sektor jasa dan lainnya.
Sektor yang kian melemah pertumbuhan kreditnya sejak dua tahun
terakhir adalah sektor listrik, gas dan air minum. Tahun 2004 total kredit untuk sektor ini mencapai Rp770,986 milyar sedangkan pada tahun 2006 merosot menjadi Rp 112,261 milyar atau turun sebesar 85,44 % . Padahal dinamika disektor ini sangat diperlukan untuk menunjang bergeraknya investasi disektor lain. Banyak daerah di Riau yang
sangat
membutuhkan
tersedianya
listrik
dan
air
bersih,
baikuntuk
kepentinganrumahtangga maupununtuk mendukung sektorindustri dan perdagangan. Apabila melihat alokasi kredit yang dialokasikan perbankan di Provinsi Riau berdasarkan wilayah terasa sangat timpang. Kredit banyak tercurah diwilayah perkotaan. Sedangkan wilayah pedesaan kurang mendapat dukungan. Berdasarkan lokasi bank pada tahun 2006 alokasikredit untuk wilayah Pekanbaru mencapai 75,2 %. Ditambah dengan wilayah Dumai sebesar 3,82 % maka total kredit perbankan untuk dua kota besar mencapai 79,02 % dapat dilahat pada Tabel 13. Tabel 13. Distribusi Penyaluran Kredit Menurut Kab/Kota di Riau Lokasi Bank No
Kabupaten/Kota
2006
Lokasi Proyek
TW II 2007
2006
TW II 2007
10,418,990
10,737,120
10,976,924
11,403,294
Bengkalis
378,192
421,201
1,190,135
1,366,591
3
Dumai
528,615
609,053
1,621,055
822,670
4
Indragiri Hilir
788,122
742,532
1,223,378
1,237,341
5
Indragiri Hulu
572,889
653,873
1,807,521
1,791,158
6
Lainnya
1
Pekanbaru
2
Total
1,168,033
1,404,432
5,079,588
5,413,438
13,854,841
14,568,211
21,898,601
22,034,492
Sumber: Bank Indonesia Pekanbaru, 2007 Di kabupaten lain konsentrasi kredit juga masih terpusat diwilayah perkotaan atau di ibu kota kabupaten. Kondisi tersebut tidak berubah jika diamati pada tahun 2007. Sampai triwulan kedua tahun 2007 alokasi kredit untuk kota Pekanbaru masih mencapai 73,70 % dan Kota Dumai sebesar 4,18 %. Berdasarkan lokasi proyek penyaluran kredit juga lebih banyak tertumpu di perkotaan. Tahun 2006 dari total kredit berdasarkan lokasi proyek sebesar Rp 21,899
60
61
triliun porsi untuk Kota Pekanbaru mencapai 50,12 % sedangkan tahun 2007 mencapai 51, 75 %. Pertumbuhan kredit di Kota Pekanbaru berdasarkan lokasi bank mencapai 3,06 % sedangkan berdasarkan lokasi proyek sebesar 3,89 %. Penelaahan tentang pola porsi kredit usaha kecil yang diberikan perbankan di Provinsi Riau menemukan, bahwa perkembangannya cukup baik. Hanya saja kualitas penggunaannya masih memerlukan perubahan yang lebih signifikan kearah peningkatan produktivitas. Sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2006 kredit usaha kecil tumbuh rerata setiap tahunnya sebesar 9,64 %. Porsi terbesar pada kurun waktu tersebut adalah pada sektor pertanian. Menurut jenis penggunaan porsi terbesar kredit usaha kecil pada tahun 1999 digunakan untuk investasi, yakni sebesar Rp 799,691 milyar atau sekitar 44,54 % diikuti oleh keperluan konsumsi sebesar Rp 549,372 milyar atau 30,60 % dan kebutuhan modal kerja sebesar Rp 445,105 milyar atau 24,81 %. Pada tahun 2006 porsi terbesar masih pada kepentingan investasi, yakni 46,43 % diikuti oleh modal kerja sebesar 39,77. Kredit untuk konsumsi justru mengalami penurunan, baik dalam porsi maupun dalamjumlah. Tahun 2006 kredit usaha kecil yang dialokasikan untuk kepentingan konsumsi hanya sebesar Rp 472,298 milyar atau 13,77 % dapat dilahat pada Tabel 14. Tahun 2000 sektor pertanian menyerap kredit mencapai 25,93 % dan tahun 2006 menyerap sebesar 43,39 %. Sektor lain yang banyak menyerap kredit usaha kecil adalah sektor perdagangan. Pada tahun 2000 sektor ini menyerap kredit sebesar 14,23 % sedangkan tahun 2006 mencapai 33,5 % Tabel 14. Perkembangan Kredit Usaha Kecil Menurut Penggunaan di Riau (juta Rupiah) TAHUN No
URAIAN
1
1999
2000
2001
2002
2003
Modal Kerja
445,105
471,492
565,625
847,855
1,227,764
2
Investasi
799,691
864,026
770,048
828,361
3
Konsumsi
549,372
835,623
1,102,413
Jumlah
1,794,168
2,171,141
2,438,086
2004
2005
2006
1,439,170
1,334,244
1,363,661
877,688
1,052,970
1,019,569
1,591,981
909,847
802,207
720,432
467,568
472,298
2,586,063
2,907,659
2,821,381
3,427,940
3,212,572
Sumber: Bank Indonesia Pekanbaru, SEKD, 2007. 4.4.
Perkembangan Ekonomi Daerah
61
62
Pendapatan Regional dan angka per kapita Kota Pekanbaru atas dasar harga berlaku tahun 2004 – 2006 dapat dilahat pada Tabel 15. Dari tabel tersebut dapat diperlihatkan, bahwa perkembangan ekonomi Kota Pekanbaru semakin meningkat. Dengan pendapatan regional per kapita terus meningkat, dan pada Tahun 2006 dicatat mencapai Rp 20 301 656,93 per kapita.
Tabel 15. Pendapatan Regional dan angka per kapita Kota Pekanbaru NO
URAIAN
1.
Produk Domestik Regional Bruto atas Dasar Harga Pasar (Juta Rp.) Penyusunan Barang-barang Modal (Juta Rp.) Produk Domestik Regional Netto atas Dasar Harga Pasar (Juta Rp.) Pajak Tak Langsung Netto (Juta Rp.) Produk Domestik Regional Netto atas Harga Faktor (Juta Rp.) Produk Pertengaahan Tahun (Juta Rp.) Per Kapita Produk Domestik Regional Bruto (Rp.) Per Kapita Pendapatan Regional (Rp.)
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
2004
2005
2006
11.317.386,14
13.830.013,30
16.487.454,96
314.623,33
384.474,37
458.353,78
11.002.762,80
13.445.538,93
16.029.192,18
488.911,08 10.513.851,72
597.456,57 12.848.082,35
712.261,99 15.316.930,20
699.514 16.178.927,28
740.753 18.670.208,96
754.467 21.853.236,74
15.030.223,44
17.344.624,12
20.301.656,93
Sumber : BPS Kota Pekanbaru
62
63
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Pemberdayaan UKMK dalam Pembangunan Ekonomi
Kebijakan Bank dalam menyalurkan kredit bagi Koperasi dan UMKM (Usaha Kecil Menengah dan Koperasi) diatur dan mengacu pada Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 3/2/PBI/2001 tentang pemberian Kredit Usaha Kecil, antara lain meliputi : 1. Bank dianjurkan menyalurkan dananya melalui pemberian KUK. 2. Bank wajib mencantumkan rencana pembarian KUK dalam laporan Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan (RKAT). 3. Bank Wajib melaporkan pelaksanaan pemberian KUK dalam laporan bulanan Bank Umum. 4. Bank wajib mengumumkan pencapaian pemberian KUK kepada masyarakat melalui Laporan Keuangan Publikasi. 5. Plafon KUK disesuaikan menjadi Rp. 500 juta per nasabah. Peran UMKM dalam perekonomian nasional sangat strategis sebab eksistensi UKM cukup dominan. Hal ini didasarkan pada 3 hal penting yakni : Pertama : Jumlah UMKM tercatat 42,39 juta unit yang tersebar disegala sektor usaha. Kedua, Sektor UMKM dapat menciptakan dan menyerap lebih banyak tenaga kerja yaitu sebanyak 79,04 juta tenaga kerja atau 99,4% dari total angkatan kerja. Ketiga : Kontribusi UMKM dalam pembentukan PDB cukup signifikan yakni sebesar 56,72% dari total PDB. Selain itu sektor UKM merupakan sektor yang kebal krisis, hal ini teruji sejak krisis moneter melanda Indonesia pertama kali pada tahun 1997 hingga saat ini kegiatan usaha yang bergerak di sektor mikro masih tetap berjalan bahkan semakin berkembang. Hal ini disebabkan kegiatan usaha yang bergerak disektor mikro berkaitan erat dengan
63
64
kebutuhan sehari-hari masyarakat yang bersifat primer sehingga pengaruh atas krisis moneter maupun gejolak ekonomi sangat kecil dirasakan. Sementara pada sektor korporasi atau perusahaan besar sangat rentan terhadap krisis moneter, dan pada saat krisis terjadi banyak perusahaan besar yang gulung tikar, dan kredit yang dikucurkan perbankan banyak yang bermasalah. Total Penyaluran Kredit Perbankan di Kota Pekanbaru sampai dengan akhir Mei 2006 sebesar Rp. 12,93 triliun. 59,61% atau sebesar Rp. 7,71 triliun diserap oleh UMKM, 40,39% atau sebesar Rp. 5,22 triliun diserap oleh korporasi (perusahaan besar). Jika dibandingkan penyaluran kredit kepada UMKM pada posisi Mei 2005 sebesar Rp. 5,87 triliun maka, penyaluran kredit kepada UMKM pada tahun 2006 meningkat sebesar Rp.1,84 triliun atau sebesar 31,20 % (Bank Indonesia Wilayah kerja Pekanbaru, 2008). Selain itu Sektor UKM merupakan sektor yang kebal krisis, hal ini teruji sejak krisis moneter melanda Indonesia pertama kali pada tahun 1997 hingga saat ini kegiatan usaha yang bergerak di sektor mikro masih tetap berjalan bahkan semakin berkembang. Hal ini disebabkan kegiatan usaha yang bergerak disektor mikro berkaitan erat dengan kebutuhan sehari-hari masyarakat yang bersifat primer sehingga pengaruh atas krisis moneter maupun gejolak ekonomi sangat kecil dirasakan. Sementara pada sektor korporasi atau perusahaan besar sangat rentan terhadap krisis moneter, dan pada saat krisis terjadi banyak perusahaan besar yang gulung tikar, dan kredit yang dikucurkan perbankan total penyaluran kredit perbankan di Pekanbaru sampai dengan akhir Mei 2006 sebesar Rp. 12,93 triliun. 59,61% atau sebesar Rp. 7,71 triliun diserap oleh UMKM, 40,39% atau sebesar Rp. 5,22 triliun diserap oleh korporasi. Jika dibandingkan penyaluran kredit kepada UMKM pada posisi Mei 2005 sebesar Rp. 5,87 triliun maka, penyaluran kredit kepada UMKM pada tahun 2006 meningkat sebesar Rp. 1,84 triliun atau sebesar 31,20 %. (Bank Indonesia Wilayah kerja Pekanbaru, 2008).
5.2. Profil Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Riau 5.2.1. Dasar Hukum
64
65
Pembentukan Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Propinsi Riau adalah berdasarkan Peraturan Daerah Propinsi Riau Nomor : 10 Tahun 2001 Tentang Pembentukan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas koperasi dan Usaha Kecil Menengah.
5.2.2. Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Propinsi Riau adalah perangkat daerah yang diserahkan wewenang, tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan otonomi daerah, desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan dibidang Koperasi dan Usaha Kecil Menengah di Daerah.
Dinas Koperasi dan UKM
mempunyai tugas pokok : 1. Merumuskan Kebijakan Pemerintah Daerah di Bidang Koperasi serta Pengembangan Usaha Kecil Menengah di Daerah. 2. Mengkoordinasikan, kebijaksanaan dan
memajukan,
menyelaraskan
dan
menyerasikan
kegiatan Koperasi serta Pengembangan Usaha Kecil
Menengah di Daerah. 3. Menyusun rencana kerja dan program Pengembangan bidang Koperasi serta Pengembangan Usaha Kecil Menengah di Daerah. 4. Melaksanakan Rencana Kerja dan Program Pengembangan yang menyangkut bidang tugasnya sesuai dengan mekanisme yang ditetapkan. 5. Pembinaan terhadap Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, serta peningkatan peranan dan kemampuan Usaha Kecil Menengah. 6. Membantu pembinaan dan pengembangan Koperasi serta Usaha Kecil Menengah di Daerah. 7. Penyediaan dukungan dan bantuan kerjasama Pengembangan Kerajinan, Koperasi serta Usaha Kecil Menengah di Daerah. 8. Pengembangan Koperasi serta Usaha Kecil Menengah di Daerah. 9. Melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan pekerjaan. 10. Membuat laporan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan. 11. Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan lingkup tugas.
65
66
12. Memberikan pelayanan umum dan pelayanan teknis di bidang Koperasi serta Usaha Kecil Menengah. 13. Melaksanakan Pelatihan di Bidang Koperasi dan Usaha Kecil Menengah. 14. Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan Gubernur Riau. Untuk menjalankan tugas pokoknya, Dinas Koperasi dan UKM mempunyai fungsi : 1. Merumuskan Kebijaksanaan 2. Pengambilan Keputusan 3. Perencanaan 4. Pengorganisasian 5. Pelayanan Umum dan Teknis 6. Pengendalian/Pengarahan/Pembinaan dan Bimbingan 7. Pengawasan 8. Pemantauan dan Evaluasi 9. Pelaksanaan Lapangan 10. Pelaporan 11. Penelitian dan Pengkajian 12. Pelaporan
5.2.3. Susunan Organisasi Susunan Organisasi Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Propinsi Riau terdiri dari : 1. Kepala dan Wakil Kepala Dinas 2. Bagian Tata Usaha terdiri dari : a.
Sub Bagian Administrasi,Umum dan Hubungan Masyarakat
b.
Sub Bagian Kepegawaian
c.
Sub Bagian Keuangan
d.
Sub Bagian Perlengkapan
e.
Sub Bagian Perencanaan
3. Sub Dinas Pengembangan Koperasi terdiri dari : a.
Seksi Kelembagaan Koperasi
b.
Seksi Koperasi Industri dan Pertanian
66
67
c.
Seksi Koperasi Serba Usaha dan Simpan Pinjam
d.
Seksi Koperasi Pegawai/Karyawan
4. Sub. Dinas Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) terdiri dari : a. Seksi Pengembangan Usaha Kecil b. Seksi Pengembangan Usaha Menengah c. Seksi Pengembangan Sarana dan Prasarana UKM 5. Sub. Dinas Fasilitasi Pembiayaan dan Simpan Pinjam terdiri dari : a. Seksi Permodalan dan Jasa Keuangan b. Seksi Akuntabilitas Koperasi 6. Sub. Dinas Penyuluhan dan Promosi terdiri dari : a. Seksi Penyuluhan b. Seksi Promosi 7. Balai Latihan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah terdiri dari : a. Seksi Tata Usaha b. Seksi Pelatihan 8. Kelompok Jabatan Fungsional.
5.2.4. Faktor Pendukung 1. Personil Karyawan dan Karyawati Dinas Koperasi dan UKM Propinsi Riau berjumlah sebanyak 95 (sembilan puluh lima ) orang PNS dan 7 (tujuh ) orang tenaga honor dengan pangkat/golongan dan Eselon sebagai berikut :
a. Menurut Pangkat/Golongan : - Golongan
IV
: 10 orang
- Golongan
III
: 70 orang
- Golongan
II
: 15 orang
- Tenaga Honor
:
7 orang
b. Menurut Eselon : - Eselon
II
: 2 orang
- Eselon
III
: 4 orang
67
68
- Eselon
IV
- Staf
: 17 orang : 72 orang
c. Menurut Fungsional (Widyaiswara) - Widyaiswara Utama Madya
(IV/d)
: 1 orang
- Widyaiswara Utama Muda
( IV/c)
: 1 orang
- Widyaiswara Utama Pratama
(IV/b)
: 1 orang
- Widyaiswara Ajun Widyaiswara Madya (III/a) : 1 orang 2. Sarana dan Prasarana Untuk melaksanakan kegiatan administrasi dan pembinaan Koperasi dan UKM, Dinas Koperasi dan UKM Propinsi Riau didukung oleh sarana dan prasarana.
5.2.5 Visi dan Misi Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Propinsi Riau mempunyai Visi dan Misi sebagai berikut : 1. Visi Mewujudkan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah sebagai pelaku utama dalam sistem perekonomian yang berbasis kerakyatan. 2. Misi ¾ Memberdayakan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah menjadi pelaku ekonomi yang tangguh dan professional ¾ Mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar yang berdaya saing melalui peningkatan Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia. Perkuatan Kelembagaan, Struktur Permodalan, Pengembangan Teknologi dan jaringan Usaha Koperasi Usaha Kecil Menegah (Kemitraan).
5.2.6. Tujuan dan Sasaran Tujuan Pembangunan Koperasi dan UKM adalah sebagai berikut : 1. Meningkatkan Produktifitas dan Efisiensi Usaha Koperasi dan UKM 2. Mengembangkan Koperasi dan UKM dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat untuk mempercepat pengentasan kemiskinan.
68
69
3. Meningkatkan akses pasar dan jaringan Usaha Koperasi dan UKM (Kemitraan) 4. Meningkatkan Kualitas dan Kapasitas Kelembagaan dan Usaha Koperasi dan UKM. 5. Meningkatkan Kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) Pembina Koperasi dan UKM. Sasaran Pembangunan Koperasi dan UKM adalah sebagai berikut : 1. Meningkatkan peran Koperasi dan Usaha Kecil Menengah sebagai pelaku Ekonomi yang berbasis kerakyatan 2. Meningkatkan Sumber Daya Manusia Aparatur serta koperasi dan Usaha Kecil Menengah. 3. Meningkatnya
Permodalan Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah
dalam menunjang Ekonomi Kerakyatan. 4. Meningkatnya Kemitraan Koperasi dan UKM dengan Usaha besar (Perusahaan Besar Swasta, BUMN, BUMD)
5.3. Profil PT.Bank Bukopin Sebagai Pengembang Pola Swamitra Bank Bukopin pada awalnya didirikan pada tanggal 10 Juli 1970 oleh 8 induk koperasi. Berdasarkan hasil rapat anggota pada tahun 1993 Status badan hukum Bank Bukopin dari Koperasi dirubah menjadi Perseroan Terbatas (PT). Pada tahun 1997 Bank Bukopin menjadi bank devisa. Pada tahun 2001 Bank Bukopin, satu-satunya bank pertama yang berhasil mempercepat penyelesaian Program Rekapitalisasi Perbankan. Pada Juni 2006 Bank Bukopin telah Go Publik. Visi Bank Bukopin adalah menjadi bank yang terpercaya dalam pelayanan jasa keuangan. Sedangkan misi Bank Bukopin adalah memberikan pelayanan yang terbaik kepada nasabah, berperan dalam pengembangan usaha kecil dan koperasi serta meningkatkan nilai tambah investasi pemegang saham dan kesejahteraan karyawan. Jenis-jenis Skim Kredit Bank Bukopin : 1. Skim Kredit Dana Surat Utang Pemerintah (SUP-005) 2. Skim Kredit Pelayanan Pembiayaan Pertanian (SP-3) 3. Skim Kredit Dana Penjaminan Menegkop 4. Skim Kredit Ketahanan Pangan
69
70
5. Skim Kredit PUNDI & SUDARA 6. Skim Kredit Koperasi Kepada Anggota (K3A) 7. Skim UKM Rekanan 8. Skim Hiswana Migas 9. Skim Pengadaan Barang & Kontrak Sewa 10. Skim Alat Berat 11. Skim Pembiayaan Gula 12. Skim Kredit Pengadaan Beras Kepada Rekanan bulog 13. Skim Pemilikan Untuk Usaha (KPKU) Ada beberapa Skim Kredit Bank Bukopin Bagi Koperasi dan UMKM, yaitu sebagai berikut : Dana Surat Utang Pemerintah (SUP-005) adalah kredit modal kerja dan investasi yang diberikan Bank Bukopin kepada usaha mikro dan kecil guna pembiayaan usaha produktif yang sumber dananya berasal dari pemerintah. Kredit Kepada Koperasi untuk Anggota (K3A) adalah kredit yang diberikan kepada koperasi karyawan, koperasi pegawai negeri atau koperasi sejenis lainnya yang diteruskan kepada anggotanya untuk memenuhi kebutuhannya Kredit Skim Pelayanan Pembiayaan Pertanian (SP-3) adalah kredit modal kerja atau investasi yang diberikan Bank Bukopin kepada usaha mikro dan kecil yang bergerak dalam bidang usaha pertanian (tanaman pangan, holtikultura, peternakan, perkebunan) mulai dari hulu sampai dengan hilir. Kredit SP-3 ini kerjasama antara Bank Bukopin dengan Departemen Pertanian, terdiri dari : Kredit dana Penjaminan Menegkop adalah pemberian fasilitas kredit kepada UKKM yang sebagian fasilitas kredit tersebut dijamin dengan Dana Penjaminan dari Kementrian UKKM Jenis usaha yang dapat dibiayai adalah UKM individual atau Badan Usaha, KSP/ USP Koperasi, Koperasi lainnya, KUKM yang memiliki program unggulan/strategis dan KSP Sekunder Kredit Kepada Koperasi untuk Anggota (K3A)
70
71
Kredit Ketahanan Pangan (KKP) adalah kredit investasi dan atau modal kerja yang diberikan Bank Bukopin kepada petani, peternak, nelayan, petani ikan, kelompok (tani, peternak, nelayan dan petani ikan). Kredit KKP ini kerjasama antara Bank Bukopin, Deptan, dan Departemen Keuangan. Di dalam kredit ini terdapat subsidi Pemerintah sebesar 5% dan 9% sesuai dengan jenis pembiayaannya. Besarnya plafond kredit sesuai dengan kebutuhan indikatif yang telah ditentukan. Ketentuan kreditnya mengacu kepada ketentuan kredit Bank Bukopin. Jenis usaha yang dapat dibiayai oleh Bank Bukopin adalah petani, peternak, nelayan, petani ikan yang bergabung dalam Koperasi/Kelompok Tani, yaitu dalam bentuk sebagai berikut : Kredit Pengadaan Kendaraan untuk Usaha (KPKU) adalah fasilitas kredit yang diberikan Bank Bukopin kepada perorangan atau badan usaha atau badan hukum yang direkomendasi oleh Dealer berdasarkan permohonan dari pemohon kredit, untuk pembelian kendaraan dengan nomor polisi plat hitam yang digunakan untuk usaha atau mendukung usaha yang bukan untuk angkutan penumpang umum. Kredit Pengadaan Beras Kepada Rekanan Bulog adalah fasilitas kredit yang diberikan kepada rekanan Dolog/sub Dolog dalam rangka pengadaan beras dan atau gabah berdasarkan kontrak dengan Perum Bulog/Divre/Sub Divre. Kredit PUNDI adalah fasilitas kredit Modal Kerja dan atau Investasi yang diberikan Bank Bukopin kepada Usaha Kecil Produktif yang dimiliki oleh Keluarga Miskin, Keluarga yang semula miskin, Kelompok Taskin, Kelompok Usaha Kecil, dan atau Usaha Kecil yang mempekerjakan tenaga kerja berasal dari Keluarga Miskin untuk pengembangan Usaha Kecil Produktif. Kredit PUNDI ini kerjasama antara Bank Bukopin dengan Yayasan Damandiri. Jenis usaha yang dapat dibiayai Kredit PUNDI adalah usaha perdagangan, jasa, agribisnis meliputi pertanian, perkebunan, perikanan dan peternakan; serta bidang usaha lainnya guna meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan Pola Kerjasama dengan prinsip Win-win Solution. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa sektor UMKM pada umumnya belum memiliki persyaratan-persyaratan yang diwajibkan oleh Perbankan, seperti
71
72
perizinan, manajemen dan administrasi yang belum memadai, sehingga belum masuk dalam kategori Bankable, dan belum dapat dibiayai oleh Perbankan, sementara pada sisi lain sektor UMKM sangat membutuhkan permodalan. Dalam rangka mengatasi permasalahan tersebut maka Bank Bukopin yang peduli terhadap Koperasi dan UMKM telah melakukan suatu terebosan dengan cara bekerjasama dengan Koperasi dalam memodernisasi manajemen simpan pinjam dengan mengunakan teknologie on line yang disebut dengan nama Swamitra. Program Swamitra Bank Bukopin telah mendapatkan pengakuan internasional sejak tahun 1999 yakni berupa penghargaan dari Asian Banking Award untuk kategori Produk Kredit Komersial atau Kredit Program.
5.4. Profil Swamitra Swamitra adalah nama dari suatu bentuk kerjasama/kemitraan antara Bank Bukopin dengan Koperasi, untuk memodernisasi usaha simpan pinjam melalui pemanfaatan jaringan teknologi (network) dan dukungan sistem manajemen yang profesional sehingga memiliki kemampuan pelayanan jasa-jasa keuangan yang lebih luas. Sehingga Swamitra disebut juga sebagai suatu upaya terobosan dari Bank Bukopin guna lebih memberdayakan fungsi dan peran koperasi serta lembaga keuangan mikro di Indonesia. Latar belakang pengembangan koperasi melalui pola Swamitra ini didasari atas beberapa pertimbangan dan kenyataan yang ada, yaitu sebagai berikut : 1. Usaha menengah kecil dan mikro sangat potensial karena jumlahnya sangat besar dan tersebar disegala sektor usaha. Pemberian Pinjaman Swamitra berdasarkan jenis usaha per Provinsi Riau dapat di lihat pada Tabel 16.
72
73
Tabel 16. Pemberian Pinjaman Swamitra Berdasarkan Jenis Usaha No
Jenis Usaha
1 2 3
Pertanian / Perkebunan Perikanan / Peternakan Perindustrian
4 5
Perdagangan Jasa
6
Lain -Lain
Jumlah
TOTAL Jumlah tenaga kerja yg diserap oleh UKM yg dibiayai Swamitra Jumlah Karyawan Swamitra
Persentase (%)
2.702org 557 org 940 org
8,63 % 1,78 % 3,00 %
19.773 Org 4.771 org
63,15 % 15,24 %
2.569 org
8,20 %
31.312 org 15.969 org
100 % 51 %
220 org
Sumber : Bank Bukopin Cabang Pekanbaru 2. Sedangkan Usaha menengah kecil dan mikro sangat potensial Kota Pekanbaru untuk Pemberian Pinjaman Swamitra dari tahun 2004 s/d 2008 dapat di lihat pada Tabel 17 Tabel 17. Perkembangan Keuangan Swamitra Kota Pekanbaru NO I 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
KETERANGAN KPJ Sail Jaya Total Asset Total Pinjaman yang disalurkan s/d Jumlah Penerima Pinjaman O/S Pinjaman Posisi Jumlah Peminjam O/S Penyertaan Modal Pemprov. Riau PT. Bank Bukopin Tbk Total Simpanan Jumlah Peminjam S/d SHU Non Ferform Loan
II 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Koppas Tangkerang Total Asset Total Pinjaman yang disalurkan s/d Jumlah Penerima Pinjaman O/S Pinjaman Posisi Jumlah Peminjam O/S Penyertaan Modal Pemprov. Riau PT. Bank Bukopin Tbk Total Simpanan
2004
2005
2006
2007
FEB 08
1,216 3,590 370 958 159 500 621 463 193 126 13.57
1,091 4,857 517 1,005 171 500 464 246 107 5.10 %
1,083 6,094 638 1,044 148 500 44 421 285 95 6.00 %
2,504 8,669 985 2,250 191 750 500 992 370 185 0.88 %
2,235 8,669 1.085 1.985 197 750 728 591 382 36 1.04 %
M M Org M Org Juta Juta Juta Org Juta
646 2,075 243 557 105 500 500 91
710 2,902 330 682 109 500 100 60
847 3,815 442 788 143 500 144 128
1.291 5,263 713 1,182 161 500 627 148
1.180 5,361 741 1.076 152 500 432 176
M M Org M Org Juta Juta Juta
73
74
9. 10. 11. III 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Jumlah Peminjam S/d SHU Non Ferform Loan Koperasi Patma Pesona Adhi Karya Total Asset Total Pinjaman yang disalurkan s/d Jumlah Penerima Pinjaman O/S Pinjaman Posisi Jumlah Peminjam O/S Penyertaan Modal Pemprov. Riau PT. Bank Bukopin Tbk Total Simpanan Jumlah Peminjam S/d SHU Non Ferform Loan
196 58 11.06
237 47 5,73%
287 59 4,55%
331 67 6,06%
338 6 6,76%
Org Juta
706 1,967 211 627 91 500 578 126 217 28 31.11%
777 2,761 310 734 121 500 21 221 266 47 14,28%
910 3,706 405 303 129 500 183 87 283 17 17,72%
1,228 4,642 594 1,012 110 750 7 119 312 65 13,53%
1.197 4,699 626 863 104 750 250 108 320 15 15,53%
M M Org M Org Juta Juta Juta Org Juta
Sumber : PT. Bank Bukopin Pekanbaru 3. Usaha menengah kecil dan mikro sangat potensial dan perkembangan Swamitra Pola Pemerintah Daerah untuk Provinsi Riau dapat di lihat pada Tabel 18 4. Penanganan sektor UMKM memerlukan overhead yang tinggi, administrasi tidak mendukung, perlu layanan tambahan. 5. Untuk menjamin kesinambungan pelayanan Koperasi diperlukan suatu kerjasama antara Koperasi dengan pihak perbankan dan Pemerintah. 6. Salah satu misi Bukopin, berperan dalam pengembangan Koperasi dan Usaha kecil. 7. Dalam pemberdayaan
ekonomi
kerakyatan
diperlukan
aspek
permodalan,
manajemen, dan teknologi. 8. USP Swamitra merupakan lembaga keuangan non bank milik Koperasi yang telah didukung dengan sistem dan teknologi serta manajemen perbankan.
74
75
Tabel 18 PERKEMBANGAN SWAMITRA POLA PEMDA
NO
Nama Swamitra
Lokasi
Total Asset (Rp)
Akumulasi Total Pinjaman yang Telah diberikan
Akumulasi Dan Pemda yang Telah diberikan
Ekspansi Pinjman Bulan ini
Pelunasan Pinjaman Bulan ini
Outstanding Pinj
(Rp) (Org) 1
(Rp)
(Org)
K P J. Sail
Pekanbaru
2.394,6
8.794,9
1.021
2.815,2
489
2
Koppas Tangkerang
Pekanbaru
1.201,9
5.262,8
713
2.432,8
399
3
KOP Fatma Pesona Adi Karya
Pekanbaru
1.198,5
4.685,1
614
2.139,1
375
4
Koperasi Pratiwi
Minas
624,7
3.129,4
411
1.105,8
200
(Rp)
(Org)
126,0
(Rp)
(Org)
(Rp)
10
1.920,6
10,0
8
1.104,7
57,5
10
921,7
7,1
3
460,8
9
371,6
-
-
43,0
5
25,0
1
5
KSU. Sakato
Perawang
1.904,9
8.969,4
1.174
2.584,6
513
250,0
17
26,7
23
1.738,7
6
Kopontren Hidayatul Ma'arifiyyah
Pkl. Kerinci
1.260,2
5.266,2
624
1.844,2
290
105,0
5
36,7
4
1.137,4
7
KPRI - GKK Air Tiris
Air Tiris
1.159,8
4.218,7
653
2.018,2
402
102,0
10
57,1
9
978,6
8
KPP. Bangkinang
Bangkinang
1.479,9
5.414,9
958
2.587,7
581
119,0
12
45,1
8
1.287,0
9
Koperasi Beringin
Duri
1.129,2
5.135,2
677
1.705,6
279
70,0
6
15,4
8
999,3
10
KUD. Sehati Kukok
Teluk Kuantan
2.099,5
5.993,1
802
1.811,6
361
113,0
7
64,3
18
1.653,2
11
Koperasi Syari'ah Arridha
Baserah
2.062,5
6.202,8
1.479
2.231,8
630
141,0
16
16,0
13
1.759,5
12
KPRI - Guru Kecamatan Tandun
Ujung batu
1.428,1
6.391,0
1.003
2.724,0
542
55,0
3
23,1
7
1.231,8
13
Koppas Ujung Batu
Ujung batu
1.962,5
8.397,0
1.155
2.909,5
571
266,0
13
33,0
21
1.485,9
14
KSU. AL-Munawarah
Air Molek
1.414,6
5.419,0
803
2.138,5
402
156,0
14
5,0
2
901,5
15
KPRI - Guru Kecamatan Rambah
Pasir Pengaraian
1.420,7
5.579,5
997
2.583,5
580
201,0
19
6,2
9
1.276,2
16
Koppas Rengat
Rengat
1.003,8
4.407,1
521
1.219,6
239
25,0
1
8,6
2
856,8
17
Koperasi Wahana Putra
Bengkalis
1.557,0
4.835,3
754
1.746,3
322
100,5
8
128,3
17
1.252,2
18
Koppas Permata Sabang
Sungai Apit
443,2
3.247,3
512
1.439,4
272
-
-
1,6
2
409,0
19
Koppas Kasuma
Tembilahan
1.413,4
5.886,8
818
2.116,5
508
87,0
9
19,9
10
970,0
20
KSP. Usaha Berasama
Tembilahan
1.424,4
7.082,6
1.069
2.563,6
656
89,0
14
25,8
13
1.010,1
21
Koperai Putri Tujuh Tuah Negri
Dumai
1.440,3
2.272,3
373
1.064,8
184
50,0
4
39,2
9
496,4
22
Koptranpas Pulau Payung
Dumai
632,7
2.822,8
432
1.367,3
228
14,0
2
9,5
3
581,6
23
Koperasi Usaha Karya Bersama
Dumai
235,0
1.205,8
163
778,8
110
-
-
0,9
1
116,5
24
KPP Semangat
Bagan Siapiapi
158,3
619,2
104
347,2
69
-
-
-
-
151,7
25
KSU. Guntung Gemilang
Sungai Gutung
594,0
2.535,7
420
885,3
150
24,0
3
8,4
3
362,1
26
KSU. Jasa Sarana
Bagan Batu
786,5
3.445,1
640
1.458,4
356
100,0
10
7,6
11
642,1
27
Koppas. Sei Harapan Sekupang
Batam
243,4
632,5
152
567,7
135
-
-
-
-
168,5
28
Koppas. Rakyat Teluk Tj. Uma
Batam
402,4
1.876,1
298
419,0
77
64,5
3
5,4
4
351,8
29
Koperasi Budi Mulia
Tj. Batu-Karimun
721,5
2.729,5
593
783,5
222
52,5
11
11,6
11
586,6
428,2
1.272,0
207
633,5
111
-
-
-
-
381,5
1.844,7
6.498,8
1.257
1.579,3
316
82,0
11
29,1
16
1.670,0 196,7
30
KSU. Usaha Abadi
Buru-Karimun
31
KUD. Karya jaya
Kijang-Tj.Pinangh
32
KUD. Tanjung Pinang Timur
Tj. Pinang-Kepri
190,7
806,5
124
549,0
95
-
-
-
-
33
KUD. Terempa
Tarempa-Natuna
773,8
3.164,6
413
958,1
179
-
-
1,1
1
571,8
34
Koperasi Karya Nelayan
sedanau-Natuna
2.385,3
4.805,4
935
1.417,9
314
139,5
25
13,5
9
1.346,3
35
KPRI Kecamatan Bungur Timur
Ranai-Natuna
847,3
3.197,2
487
1.343,2
211
-
-
24,5
9
550,3
36
Koperasi Serba Jaya
Tj. Balai-Karimun
612,1
1.642,8
352
361,3
97
100,0
14
4,9
2
527,6
40.880
153.844
23.708
57.232
11.465
2.700
252
1.114,7
276
32.056,5
Sumber : PT. Bank Bukopin Pekanbaru
75
ii
Tujuan pemberdayaan koperasi melalui pola Swamitra juga didasari atas beberapa hal, sebagai berikut : 1. Memperkuat struktur permodalan bagi KSP/USP Koperasi. 2. Meningkatkan sumber daya manusia koperasi dalam pengelolaan keuangan. 3. Menciptakan tenaga kerja yang profesional. 4. Membuka peluang akses permodalan bagi Koperasi yang selama ini menghadapi banyak kendala dalam kerjasama dengan bank atau lembaga keuangan lainnya. Sasaran pemberdayaan koperasi melalui pola Swamitra ini adalah : 1. Bagian terbesar peran ekonomi adalah ekonomi kerakyatan /usaha kecil & mikro. 2. Pemberdayaan usaha kecil perlu dukungan pembinaan teknis, pemasaran dan pembiayaan. 3. Terwujudnya KSP/USP Koperasi sebagai lembaga pembiayaan mikro yang mandiri. 4. Dapat memberikan kemudahan pemberian pinjaman kepada anggota dan calon anggota untuk membiayai usaha produktif. 5. Bukopin dan Pemprov. Riau mempelopori kerjasama dengan Koperasi guna meningkatkan kepercayaan anggota dan masyarakat terhadap lembaga keuangan koperasi. 6. Melalui konsepsi ini sasaran pemerintah untuk “pemberdayaan ekonomi rakyat” akan tercapai. Prospek Swamitra untuk semakin berkembang di Provinsi Riau, khususnya di Kota Pekanbaru dapat dilihat dari beberapa keunggulan yang dimiliki oleh pola Swamitra tersebut, yaitu sebagai berikut : •
Swamitra adalah koperasi dengan manajemen perbankan
•
Swamitra menggunakan sistem & teknologi modern, dan online dengan jangkauan yang luas.
•
Transparansi dalam laporan keuangan.
•
Adanya pemisahan fungsi masing-masing Pengembangan dan pengelolaan Swamitra memberikan dampak yang positif
bagi masyarakat dan daerah di Provinsi Riau, karena :
ii
iii
•
Menciptakan lapangan kerja terutama masyarakat tempatan.
•
Pelayanan cepat & langsung menyentuh UKM
•
Pengawasan Swamitra yang melibatkan Dinas Koperasi dan UKM kabupaten/kota se - Provinsi Riau. PEMBAGIAN SHU
OPERASIONAL
SWAMITRA
PENGHARGAAN
TEKNOLOGI & MANAJEMEN OPERASIONAL SWAMITRA
PENYETORAN MODAL & MODAL KERJA USAHA
BANK BUKOPIN
KOPERASI PRESTASI
KESEPAKATAN
PERJANJIAN KERJASAMA
PEMODAL Gambar 2. Pola Kemitraan Swamitra/Pola Kerjasama Swamitra. Kerjasama antara Pemerintah Provinsi Riau dengan Bank Bukopin dalam bentuk pengembangan koperasi melalui pola swamitra sampai saat ini masih berjalan lancar. Isi perjanjian kerjasama antara Pemerintah Provinsi Riau dengan Bank Bukopin dalam bentuk pengembangan koperasi melalui pola swamitra dapat dilihat pada Lampiran 1-3. Sedangkan dasar kerjasama ini ada 4 point yaitu sebagai berikut : 1.
No. 580/EK/3117 dan No.206/DIR/XI/2000 tanggal 13 Nopember 2000 tentang Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan Melalui Pola Swamitra.
iii
iv
2. PKS antara Dinas Koperasi & Usaha Kecil Menengah Provinsi Riau dengan Bank Bukopin No. 507/Dinaskop/XI/2001 & No. 690/Pimp-Pkb/XI/2001 tanggal 03 Nopember 2001 tentang Penyertaan Modal dalam Menunjang Ekonomi Kerakyatan Pola Swamitra. 3. Perpanjangan PKS antara Dinas Koperasi & Usaha Kecil Menengah Provinsi Riau dengan Bank Bukopin No. 84/Dinaskop/XI/2006 & No. 10/PKS/Buki-Pku/XI/2006 tanggal 03 Nopember 2006 tentang Penyertaan Modal dalam Menunjang Ekonomi Kerakyatan Pola Swamitra. 4. Dibentuknya Tim Pengembangan Pelaksanaan Pola Swamitra bagi Koperasi di Provinsi Riau berdasarkan SK Gubernur Riau No. KPTS.283a/VII/2001 tanggal 28 Juli 2001 yang terdiri dari unsur : Sekretariat Daerah Riau, Bappeda, Diskop Prov. Riau, Akademisi, dan Bank Bukopin. Peranan Pemprov. Riau dan Bukopin dalam Swamitra sangat jelas batasanbatasannya adalah sebagai berikut : 1. Peranan Pemerintan Provinsi Riau : Pemerintah Provinsi Riau menempatkan Dana sebesar Rp 18 Milyar sebagai penyertaan modal pada 36 USP Swamitra yang bersumber dari dana APBD Provinsi Riau TA. 2001, penambahan modal pada tahun 2006 sebesar Rp. 2,75 Milyar dan penambahan modal pada tahun 2008 sebesar Rp. 1,5 Milyar. 2. PT. Bank Bukopin : •
Menyiapkan suatu sistem penyelenggaraan keuangan mikro yang mendapat kepercayaan dari masyarakat
•
Menerapkan sistem dan teknologi perbankan
•
Menyiapkan sumberdaya manusia yang terampil
•
Menyiapkan sumber tambahan permodalan yang memadai bagi Swamitra.
Dampak kerjasama antara Pemerintah Provinsi Riau dengan Bank Bukopin melalui pengembangan koperasi dengan pola Swamitra ini dapat dilihat dari beberapa hal, yaitu : 1. Output : terciptanya 48 Unit Simpan Pinjam (USP) Swamitra milik Koperasi di Provinsi Riau.
iv
v
2. Outcome : terwujudnya peningkatan struktur permodalan KSP/USP – Koperasi yang lebih kuat dan handal dalam melayani kebutuhan permodalan usaha kecil dan mikro. 3. Benefit : terciptanya perluasan akses terhadap sumber permodalan yang lebih terjangkau bagi usaha mikro dan kecil sampai tingkat Kecamatan. 4. Impact : a).terciptanya perluasan kesempatan kerja yang lebih luas melalui peningkatan kapasitas usaha mikro, kecil dan menenggah. b). terciptanya pengentasan kemiskinan melalui peningkatan pendapatan para penerima manfaat dari kerjasama ini. Kontribusi Swamitra terhadap pendapatan asli daerah (PAD) Provinsi Riau dari hasil kerjasama Tri patrit antara PT. Bukopin TBK, koperasi dan Pemerintah Daerah Provinsi Riau dalam bentuk Swamitra telah memberikan sumbangsih terhadap PAD Pemprov. Riau sebanyak Rp. 1,905 Milyar. Pelaksanaan pengembangan koperasi melalui pola Swamitra, agar berjalan sesuai tujuan yang diharapkan, maka pada awal pelaksanaan Swamitra dibentuk Tim Pengembangan Swamitra. Peran tim ini adalah sebagai berikut : 1. Melakukan seleksi awal atas usulan Dinas Koperasi & UKM Kabupaten/Kota untuk menetapkan Koperasi sebagai peserta program Swamitra. 2. Menetapkan skim kredit atas dana yang bersumber dari Pemprov.Riau. 3. Membuat pedoman bagi pengurus koperasi dalam rangka pengawasan Swamitra. 4. Melakukan rapat koordinasi secara berkala membahas perkembangan Swamitra. 5. Melakukan monitoring dan evaluasi langsung ke lapangan atas kegiatan Swamitra. 6. Menetapkan petugas pengawas Swamitra baik dari unsur Dinas Koperasi Kab/Kota maupun dari unsur pengurus koperasi. Perkembangan Swamitra dapat juga di lihat dari laporan keuangan Swamitra selama Periode 2004 s/d 2007 (pada Tabel 2). Dari perkembangan keuangan Swamitra ini dapat diketahui juga komponen-komponen penting dari keuangan Swamitra yaitu berapa total Aset, total PYD, jumlah penerima pinjaman, O/S pinjaman, jumlah peminjam O.S, penyertaan modal Pemprov. Riau, total simpanan, jumlah penyimpan,
v
vi
SHU positif, nominal SHU positif dan non perform loan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 20. Pada Tabel 19 ini dapat diketahui keuangan Swamitra dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Perkembangan terbaru pada Tahun 2007 untuk semua komponen keuangan
Swamitra
cenderung
meningkat
dibandingkan
dengan
tahun-tahun
sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan Swamitra memberikan dampak yang positif bagi daerah dan masyarakat di Provinsi Riau.
Tabel 19. Perkembangan Keuangan Swamitra Periode 2004 – 2007. No
Keterangan
1 2 3 4 5 6
Total Aset Total PYD Jml Penerima Pinjaman O/S Pinjaman Jml Peminjam O/S Penyertaan Modal Pemprov. Riau 7 PT. Bank Bukopin, Tbk 8 Total Simpanan 9 Jml Penyimpan 10 SHU Positif 11 Nominal SHU Positif 12 Non Perform Loan Sumber : Data Primer 2008
5.5.
2004
2005
2006
2007
44,779 M 128,714 M 13,970 Org 34,172 M 5,994 Org
43,683 M 167,772 M 18,111 Org 36,463 M 6,498 Org
48,368 M 211,876 M 22,523 Org 41,558 M 6,886 Org
67,386 M 269,282 M 31,312 Org 53,432 M 7,386 Org
18,000 M 18,708 M 15.95 M 16,423 Org 35 Unit 2,461 M 18.38%
17,985 M 18,708 M 14,073 M 18,283 Org 36 Unit 3,092 M 14.92%
20,485 M 18,393 M 15,978 M 20,005Org 35 Unit 3,074 M 13.44%
22,235 M 24,443 M 23,182 M 24,136 Org 40 Unit 4,683 M 10.87%
Dampak Pemberian Kredit Melalui Pola Swamitra
5.6.1. Dampak Terhadap Peminjam Skala Kecil ( Pinjaman Kurang Rp 10 Juta) 5.6.1.1. Dampak Terhadap Peningkatan Aset dan Skala Usaha Aset yang dimiliki rumah tangga Peminjam merupakan modal yang dapat digunakan untuk mengembangkan dan mengelola usaha untuk menghasilkan pendapatan. Menurut kriteria Bank Dunia, indikator utama kemiskinan diantaranya
vi
vii
adalah kepemilikan aset seperti tanah dan modal yang terbatas. Di dalam kajian ini, untuk mengetahui dampak ekonomi dari keberadaan kredit pola Swamitra bagi Peminjam, terlebih dahulu dikaji tentang aset yang dimiliki oleh Peminjam pada saat sebelum dan sesudah adanya pola Swamitra. Aset dalam kajian ini adalah segala sesuatu yang dimiliki oleh seseorang yang diperoleh sesaat sesudah memperoleh pinjaman, sesuai dengan tujuan melakukan pinjaman, apakah untuk modal kerja ataupun investasi. Aset ini terdiri dari aset finansial dan aset riil. Aset finansial berupa tabungan seperti uang, deposito dan sebagainya dan aset riil berupa rumah, tanah, kendaraan dan lain-lain. Berdasarkan hasil kajian dilapangan, bahwa semua Peminjam yang jumlah pinjamannya < Rp 10 Juta melakukan pinjaman dengan tujuan untuk modal kerja, artinya pinjaman yang diperoleh melalui pola Swamitra ini digunakan untuk menambah volume bahan baku agar dapat meningkatkan produksi dari usaha yang dijalani, sehingga jumlah barang/produk dan jasa yang dijual bertambah. Disamping itu sebanyak 3 orang (27,27%) yang memiliki pekerjaan sampingan. Pekerjaan/penghasilan sampingan ini bertujuan untuk mengantisipasi jika usaha pokok mengalami kegagalan, sehingga penghasilan sampingan dapat diharapkan mampu menutupi pembayaran kredit. Dari 3 orang Peminjam tersebut menggunakan dana pinjaman Swamitra adalah untuk menambah bahan baku dari usaha pokok dan usaha sampingan, sehingga tidak ada aset yang secara langsung bertambah sesaat sesudah Peminjam melakukan pinjaman, yang bertambah hanyalah modal usaha. Jika ada aset yang bertambah, seperti yang terlihat pada Tabel 20, hal itu diperoleh pada saat sesudah Peminjam menjalani usaha dalam waktu yang cukup lama. Dampak dari mempergunakan kredit tersebut, diharapkan adanya terjadi peningkatan aset lain yang dimiliki oleh Peminjam. Tabel 21 berikut akan menjelaskan mengenai perubahan Aset yang dimiliki oleh Peminjam sebelum dan sesudah menerima kredit. Pada Tabel 21 dapat diketahui, Peminjam yang termasuk kategori kondisi pengembalian kreditnya adalah lancar, sebelum menerima kredit ada 3 orang (33,33 %) yang tidak memiliki aset finansial, tetapi setelah menerima kredit semua Peminjam kredit lancar yaitu sebanyak 9 orang memiliki aset finansial.
vii
viii
Kondisi aset riil yaitu berupa rumah, kendaraan, tanah dan barang perhiasan, sebelum menerima kredit hanya 1 orang (11,11 %) Peminjam yang memiliki aset riil, tetapi setelah menerima kredit meningkat menjadi 3 orang (33,33 %). Aset riil lain berupa rumah, tanah dan kendaraan merupakan Peminjam terbanyak memilikinya, kondisi sebelum menerima kredit ada 2 orang Peminjam (22,22 %) dan setelah menerima kredit meningkat menjadi 4 orang (44,44 %). Tabel 20. Jenis Pekerjaan Pokok dan Sampingan, Besar Kredit dan Tujuan Penggunaan Pinjaman yang diperoleh. No Peminjam 1 2 3
Jenis Pekerjaan Pokok Pekerjaan Sampingan
4 5 6 7
Catering, Rental PS Berdagang ikan Sales Sparepart K. Bermotor Buka warung Berdagang (toserba) Berdagang wiraswasta
8
Travel
Berdagang Pedagang makanan dan minuman 11 Menjahit Sumber : Data Primer, 2008.
Rental PS
Dagang (kedai makanan dan minuman)
9 10
Jual alat jahit
Besar Kredit (Rp) 7.000.000 4.000.000
Tujuan Penggunaan Modal kerja Modal kerja
5.000.000 5.000.000 10.000.000 4.000.000 4.000.000
Modal kerja Modal kerja Modal kerja Modal kerja Modal kerja
10.000.000
Modal kerja
7.000.000
Modal kerja
10.000.000 10.000.000
Modal kerja Modal kerja
Artinya kredit yang diterima peminjam untuk modal kerja mampu meningkatkan pendapatan Peminjam sehingga aset finansial dan aset riil mereka juga menjadi meningkat. Bukti ini memberi gambaran yang menggembirakan, karena penyaluran kredit skala kecil ternyata dapat mendorong usaha produktif peminjam. Padahal selama ini, penyaluran kredit di Provinsi Riau atau Kota Pekanbaru pada khususnya selalu didakwa tidak berhasil mendorong peminjam mengembangakan usahanya.
viii
ix
Tabel 21. Jenis Aset Yang Dimiliki Oleh Peminjam. Kredit Lancar No
Jenis Aset Yang Dimiliki
1 Aset Finansial Ada dak ada Jumlah 2 Aset Riil Kendaraan Rumah Tanah, Kendaraan Rumah, Kendaraan, Tanah Tanah, Kendaraan, Barang perhiasan Rumah, kendaraan, Barang perhiasan Rumah, Kendaraan,Tanah, Barang perhiasan Jumlah Kredit Macet No
Jenis Aset Yang Dimiliki
Aset Finansial Ada Tidak ada Jumlah 2 Aset Riil Kendaraan, barang perhiasan Rumah, kendaraan, tanah Jumlah Sumber : Data Primer, 2008.
Sebelum Sesudah Jumlah Persentase Jumlah Persentase (Peminjam) (%) (Peminjam) (%) 6 3 9
66,67 33,33 100,00
9 0 9
100,00 0 100,00
1 1 2 2
11,11 11,11 22,22 22,22
1 0 0 4
11,11 0 0 44,44
1
11,11
0
0
1
11,11
1
11,11
1
11,11
3
33,33
9
100,00
9
100,00
Sebelum Sesudah Jumlah Persentase Jumlah Persentase (Peminjam) (%) (Peminjam) (%)
1
1 1 2
50,00 50,00 100,00
2 0 2
100,00 0 100,00
1 1 2
50,00 50,00 100,00
1 1 2
50,00 50,00 100,00
Dampak dari mempergunakan kredit Swamitra, terjadi juga bagi Peminjam yang pengembalian kreditnya macet/menunggak. Menurut Rudjito (2003) pengalaman PT.Bank Rakyat Indonesia sebagai anggota pelaksana proyek pemerintah untuk
ix
x
masyarakat miskin di pedesaan menunjukkan bahwa tingkat kemacetan kredit yang disalurkan untuk modal usaha kecil-kecilan secara umum persentasenya kecil sekali, hal ini antara lain disebabkan karena tingkat kejujuran dan keuletan berusaha masyarakat pedesaan masih sangat tinggi. Pada kajian ini Peminjam menunggak umumnya disebabkan karena adanya kebutuhan yang tidak terduga seperti sakit, biaya sekolah, kegagalan usaha yang dibangun dengan menggunakan dana pinjaman, relasi dari Peminjam dengan pihak luar bermasalah. Dari beberapa masalah yang dihadapi Peminjam, masalah yang paling dominan dan menjadi masalah permanen adalah penghasilan yang diperoleh dari usaha yang dikelola Peminjam tidak bersifat kontinyu/tidak setiap bulan usaha yang dikelola menghasilkan. Peningkatan aset dapat dilihat pada Tabel 21 yang menjelaskan mengenai perubahan Aset finansial dan aset riil yang dimiliki oleh Peminjam kredit macet sebelum dan sesudah menerima kredit. Sebelum menerima kredit tidak ada Peminjam yang memiliki aset finasial, meskipun Peminjam pengembalian kreditnya macet tetapi setelah menerima kredit menjadi memiliki aset finansial. Hal ini disebabkan karena setelah menerima kredit, modal kerja menjadi bertambah dan kondisi pengembalian kredit yang tidak lancar/macet adalah menunggak (pengembalian/cicilan kredit tetap dibayar, hanya hampir tidak dilakukan rutin setiap bulan/dirapel pada bulan berikutnya). Sedangkan kondisi aset riil dari 2 orang Peminjam yaitu berupa kendaraan, barang perhiasan (1 orang) dan rumah, kendaraan, tanah (1 orang) sebelum dan sesudah menerima kredit tidak mengalami perubahan. Pemanfaatan kredit Swamitra memberikan dampak selain terhadap peningkatan aset, juga mempengaruhi volume penjualan Peminjam. Mengukur perkembangan usaha dengan mengkaji volume penjualan dalam waktu relative singkat bukan hal yang mudah. Hal ini tidak menjadi masalah, karena pelaksanaan kredit oleh Bank Bukopin bekerjasama dengan Pemprov.Riau (Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Provinsi Riau) melalui pola Swamitra telah berlangsung sejak Tahun 2001 hingga sekarang, sehingga indikator volume penjualan per bulan dapat dikaji dan diperoleh
x
xi
datanya di lapangan. Untuk mengetahui tentang kondisi sebelum dan sesudah kredit terhadap volume penjualan rata-rata per bulan dari masing-masing Peminjam, dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22. Keadaan Volume Penjualan per Bulan Peminjam Sebelum dan Sesudah Memperoleh Kredit Swamitra. Kredit Lancar Volume Penjualan rata-rata No perbulan (Rp/bln) 1 2 3 4 5 6
< 1.000.000 1.000.000-1.500.000 1.500.000-2.000.000 2.000.000-2.500.000 2.500.000-3.000.000 >3.000.000 Jumlah Kredit Macet Volume Penjualan rata-rata No perbulan (Rp/bln) 1 2 3 4 5 6
< 1.000.000 1.000.000 - 1.500.000 1.500.000 - 2.000.000 2.000.000 - 2.500.000 2.500.000 - 3.000.000 > 3.000.000 Jumlah Sumber : Data Primer, 2008.
Sebelum Sesudah Jumlah Persentase Jumlah Persentase (Peminjam) (%) (Peminjam) (%) 0 0 0 0 1 11,11 0 0 1 11.11 1 11,11 0 0 1 11,11 3 33,33 2 22,22 4 44,44 5 55,55 9 100,00 9 100,00 Sebelum Sesudah Jumlah Persentase Jumlah Persentase (Peminjam) (%) (Peminjam) (%) 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 1 0 0 100,00 1 100,00 2 100,00 2 100,00
Pada Tabel 22 diketahui Peminjam kredit lancar, Peminjam setelah menerima kredit volume penjualan rata-rata perbulan meningkat. Hal ini dapat dilihat dari volume penjualan Rp.1.000.000–Rp.1.500.000/bulan tidak ada lagi, karena volume penjualan masing-masing Peminjam cenderung meningkat. Pada volume penjualan terbesar > Rp.3.000.000/bulan dari 4 orang menjadi 5 orang, diikuti pada volume penjualan Rp.2.500.000–Rp.3.000.000/bulan dari 3 orang berkurang menjadi 2 orang, dan sebelum menerima kredit tidak ada Peminjam yang volume penjualan rata-rata per bulannya berkisar antara Rp.2.000.000-Rp.2.500.000, tetapi setelah menerima kredit Swamitra ada 1 orang.
xi
xii
5.6.1.2. Dampak Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang pentingdalam meningkatkan produksi dan pendapatan. Dari kajian dilapangan menunjukkan sumber tenaga kerja berasal dari dalam keluarga dan luar keluarga. Tenaga kerja dalam keluarga terdiri dari bapak, ibu dan anaknya merupakan unsur penentu dalam usaha keluarga, karena berfungsi sebagai penekan biaya tenaga kerja. Pernyataan ini sama dengan pendapatan Tohir (1983) bahwa tenaga kerja dalam keluarga sangat menentukan dalam menjamin kelestarian usaha yang dikelola keluarga. Meskipun demikian tenaga dalam keluarga dihitung sama dengan tenaga kerja luar keluarga, karena usaha yang dikelola dipandang sebagai perusahaan dimana tenaga kerja dalam keluarga juga merupakan biaya produksi. Berikut ini adalah jumlah tenaga kerja yang dipergunakan oleh Peminjam sebelum dan sesudah menerima kredit. Tabel 23. Jumlah Tenaga Kerja Peminjam Sebelum dan Sesudah Menerima Kredit Swamitra. Kredit Lancar No
Jumlah Tenaga Kerja Yang digunakan
1 2 3 4
1 orang 2 orang 3 orang 4 orang Jumlah
Sebelum Jumlah Persentase (Peminjam) (%) 8 88,89 1 11,11 0 0 0 0 9 100
Sesudah Jumlah Persentase (Peminjam) (%) 8 88,89 0 0 0 0 1 11,11 9 100
Sebelum Jumlah Persentase (Peminjam) (%) 2 100,00 0 0 2 100,00
Sesudah Jumlah Persentase (Peminjam) (%) 1 50,00 1 50,00 2 100,00
Kredit Macet No 1 2
Jumlah Tenaga Kerja Yang digunakan
1 orang 2 orang Jumlah Sumber : Data Primer 2008
Tabel 23 menunjukkan bahwa pada kredit lancar, sebelum dan sesudah menerima kredit ada 8 Peminjam menggunakan 1 orang tenaga kerja di dalam pengelolaan usahanya. Kemudian terjadi peningkatan jumlah tenaga kerja yang
xii
xiii
digunakan oleh Peminjam yaitu ada 1 orang Peminjam, sebelum menerima kredit menggunakan 2 orang tenaga kerja dan sesudah memanfaatkan kredit Swamitra jumlah tenaga kerja yang digunakan meningkat menjadi 4 orang tenaga kerja. Pada Peminjam kredit macet yang berjumlah 2 orang, sebelum menerima kredit masing-masing hanya memiliki 1 orang tenaga kerja dan setelah memanfaatkan kredit Swamitra hanya 1 orang yang bertambah tenaga kerjanya dari 1 orang menjadi 2 orang. Tabel 24 Perubahan Tenaga Kerja Sesudah Menerima Kredit. Kredit Lancar No Keterangan 1 Tenaga Kerja Bertambah 2 Tenaga Kerja Tetap 3 Tenaga Kerja Berkurang Jumlah Kredit Macet No Keterangan 1 Tenaga Kerja Bertambah 2 Tenaga Kerja Tetap 3 Tenaga Kerja Berkurang Jumlah Sumber : Data Primer 2008
Jumlah (Peminjam) 1 8 0 9
Persentase (%) 11,11 88,89 0 100,00
Jumlah (Peminjam) 1 1 0 2
Persentase (%) 50,00 50,00 0 100,00
Dari Tabel 24 diatas, pada Peminjam yang pengembalian kredit lancar diketahui hanya 1 orang Peminjam yang melakukan penambahan tenaga kerja di dalam usahanya dan selebihnya yaitu sebanyak 8 orang tenaga kerja adalah tetap. Pada Peminjam yang termasuk kategori kredit macet ada 2 orang, masing-masing mengalami penambahan tenaga kerja dan tetap. Artinya usaha yang dikelola masing-masing Peminjam baik yang termasuk kredit lancar maupun kredit macet, meskipun dengan adanya penerimaan bantuan pinjaman dana untuk modal kerja, tidak semua Peminjam menambah tenaga kerja yang digunakan di dalam pengelolaan usahanya, salah satu penyebabnya adalah dana pinjaman yang diperoleh hanya cukup dimanfaatkan untuk menambah bahan baku produksi. 5.6.1.3. Dampak Terhadap Perluasan Pasar
xiii
xiv
Pemasaran adalah suatu proses sosial dan finansial yang didalamnya terdapat individu dan kelompok untuk mendapatkan apa yang dibutuhkan dengan menciptakan apa yang dibutuhkan, menawarkan dan mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain. Sudah diketahui bersama jika kondisi pasar bebas menyebabkan barang/produk dan jasa sejenis bersaing antar pedagang/penjual/penyedia jasa. Dalam keadaan demikian, maka kekuatan daya saing berupa yang salah satunya ditentukan oleh jaringan pasar yang luas menjadi syarat utama untuk dapat masuk di pasar bebas tersebut. Semakin luas jaringan pasar didalam pemasaran
produk maka semakin
meningkat pula pendapatan dan keuntungan yang diperoleh. Untuk lebih jelasnya lihat pada Tabel 25 Tabel 25. Perbandingan Pemasaran Produk/Perluasan Pasar Usaha Peminjam Setelah Menerima Kredit. No Sebelum Menerima Setelah Menerima Jenis Pekerjaan Pokok Peminjam Kredit Kredit Catering, rental 1 Catering, Rental PS catering PS 2 Berdagang ikan 1 kios 1 kios Sales Sparepart K. 3 Bermotor 1 kios supir angkot 1 kedai, 1 rental 4 Buka warung 1 kedai PS 5 Berdagang (toserba) toserba Toserba 6 Berdagang 1 warung (sukajadi) 2 warung 7 Wiraswasta jl. Durian jl. Durian 8 Travel sukajadi Sukajadi 9 Berdagang kualu Kualu Pedagang makanan panam (jual nasi, panam (jual nasi, 10 minuman lontong) lontong, ojek) 11 Menjahit Jl. Adi sucipto Jl. Adi sucipto Sumber : Data Primer, 2008. Pada Tabel 25 dapat diketahui bahwa, untuk debitur yang lancar, dengan adanya pemberian kredit pola swamitra, luasnya pemasaran produk dari Peminjam yang menerima kredit cukup berpengaruh. Dari 11 Peminjam yang pinjamannya kecil dari Rp10 juta, ada sebanyak 4 orang Peminjam kredit lancar yang mengalami perluasan pasar, yaitu Peminjam nomor 1 sebelum menerima kredit hanya memiliki usaha pokok
xiv
xv
catering, setelah menerima kredit usahanya bertambah catering dan rental PS. Peminjam nomor 4 sebelum menerima kredit usaha pokok buka warung, setelah menerima kredit buka warung dan usaha rental PS. Peminjam nomor 6 sebelum menerima kredit usaha pokok berdagang hanya punya 1 buah warung, setelah menerima kredit bertambah menjadi 2 buah warung. Peminjam nomor 10 sebelum menerima kredit usaha pokok berdagang makanan dan minuman, setelah menerima kredit usahanya berdagang dan ojek. Khusus untuk Peminjam nomor 3 sebelum menerima kredit buka 1 buah kios sebagai sales sparepart kendaraan bermotor, dikarenakan usahanya tidak berjalan lancar, maka setelah menerima kredit berganti usaha menjadi supir angkot. Dari 4 orang Peminjam yang melakukan perluasan pasar, ada 7 orang Peminjam tidak melakukan perluasan pasar. Hal ini disebabkan karena semua Peminjam hanya mengembangkan usaha yang telah ada, tanpa membuka usaha baru. Oleh karena itu semua Peminjam memanfaatkan pinjamannya untuk menambah modal kerja mereka dan melakukan investasi di bidang usaha yang sama pada saat sebelum maupun sesudah adanya pinjaman kredit 5.6.1.4. Dampak Terhadap Peningkatan Pendapatan Mengukur tingkat pendapatan masyarakat dapat dilihat dari penggunaan pendapatan yang diterima untuk keperluan memenuhi kebutuhan pangan dan non pangan. Untuk memperkecil kesalahan dalam pengukuran tingkat pendapatan tersebut maka perhitungan dengan rata-rata per bulan. Keberhasilan pelaksanaan kredit pola Swamitra dapat dilihat dari kemajuan usaha para pemanfaat kredit Swamitra. Keberhasilan tersebut salah satunya dapat dilihat apakah pemberian kredit modal usaha melalui pola Swamitta memberikan dampak terhadap peningkatan pendapatan masyarakat penerima kredit Swamitra Pendapatan rumah tangga Peminjam merupakan seluruh penerimaan yang diterima rumah tangga selama satu bulan yang diperoleh dari berbagai sumber pendapatan. Pendapatan Peminjam diperoleh dari berbagai sumber yaitu dari usaha pokok dan usaha sampingan. Pendapatan usaha pokok Peminjam bervariasi mulai dari berdagang makanan dan minuman sampai menjual jasa seperti menjahit, service mobil, dll, untuk lebih jelas tentang jenis usaha pokok dan usaha sampingan dapat dilihat pada
xv
xvi
Tabel 4 di atas. Berikut ini Tabel 10 yang menjelaskan pengaruh pemberian kredit terhadap pendapatan Peminjam sebagai penerima kredit dengan membandingkan antara pendapatan sebelum dan sesudah menerima kredit tersebut.
Tabel 26. Pendapatan Bersih Peminjam Sebelum dan Sesudah memperoleh Kredit Swamitra. Kredit Lancar No
Pendapatan rata-rata perbulan (Rp/bln)
1 2 3 4 5 6 7
< 500.000 500.000-1.000.000 1.000.000-1.500.000 1.500.000- 2.000.000 2.000.000- 2.500.000 2.500.000- 3.000.000 > 3.000.000 Jumlah Kredit Macet No 1 2
Pendapatan rata-rata perbulan (Rp/bln)
< 1.000.000 1.000.000-1.500.000 Jumlah Sumber : Data Primer, 2008.
Sebelum Jumlah (%) (Peminjam) 4 44,45 2 22,22 1 11,11 1 11,11 1 11,11 9 100,00
Sesudah Jumlah (%) (Peminjam) 33,33 3 11,11 1 11,11 1 22,22 2 22,22 2 100,00 9
Sebelum Jumlah (%) (Peminjam) 2 100,00 0 0 2 100,00
Sesudah Jumlah (%) (Peminjam) 1 50,00 1 50,00 2 100,00
Pada Tabel 26 dapat diketahui bahwa pendapatan rata-rata per bulan dari seluruh Peminjam kredit lancar dengan jumlah pinjaman < Rp. 10 Juta, cenderung meningkat. Sebelum Peminjam menerima kredit Swamitra ada sekitar 4 orang (44,45 %) yang ratarata pendapatan per bulan nya < Rp.500.000 dan sesudah menerima kredit Swamitra menjadi 3 orang. Begitu juga pada range pendapatan per bulan Rp.500.000-1.000.000
xvi
xvii
sebelum menerima kredit ada 2 orang, setelah menerima kredit menjadi 1 orang. Kondisi setelah menerima kredit, pendapatan per bulan Peminjam menjadi meningkat dapat dilihat pada Peminjam yang memiliki pendapatan per bulan antara Rp.1.500.0002.000.000 dan
> Rp.3.000.000. Sedangkan pendapatan per bulan pada
Peminjam kredit macet juga mengalami peningkatan, tetapi masih ada juga yang tidak mengalami peningkatan.
5.6.2. Dampak Terhadap Peminjam Skala Sedang (Pinjaman Rp 10 Juta sampai dengan Rp 30 Juta) Peminjam dengan jumlah pinjamannya antara Rp 10 juta sampai dengan Rp 30 juta dapat dilihat pada Tabel 27. Pada Tabel 27 dapat juga diketahui mengenai jenis mata pencarian utama dan mata pencarian sampingan dari masing-masing Peminjam dengan besar kredit serta tujuan dari pinjaman dana melalui pola Swamitra. Tujuan penggunaan dana yang diperoleh Peminjam adalah untuk modal kerja (7 orang) dan untuk investasi dan modal kerja (4 orang). Hal ini berbeda dengan seluruh Peminjam yang jumlah pinjamannya
< Rp.10 juta, dana dimanfaatkan hanya untuk modal kerja.
Tabel 27. Jenis Pekerjaan Pokok dan Sampingan, Besar Kredit dan Tujuan Penggunaan Pinjaman yang diperoleh. Besar Kredit No Jenis Pekerjaan Pokok Pekerjaan Sampingan (Rp) Peminjam 1 Berdagang buah Rumah sewa 25.000.000 2 Berdagang ikan Rumah sewa 20.000.000 Kontraktor, kebun 3 Pengusaha batu bata 25.000.000 karet 4 Home industri wajik 16.000.000 5
Apotik kelontongan
6 7
Menjahit Peras kelapa
8
Wiraswasta
9 Berdagang 10 Berdagang 11 Ponsel Sumber : Data Primer, 2008.
Penjaga kantor Rental mobil
15.000.000 20.000.000 12.000.000 17.000.000 20.000.000 25.000.000 30.000.000
Tujuan Penggunaan Modal kerja Modal kerja Investasi, modal kerja Investasi Investasi, Modal kerja Modal kerja Modal kerja Investasi, Modal kerja Modal kerja Modal kerja Modal kerja
xvii
xviii
5.6.2.1. Dampak Terhadap Peningkatan Aset dan Skala Usaha Jenis aset serta peningkatan dari aset yang dimiliki seluruh Peminjam kredit lancar (10 orang) dengan jumlah pinjaman antara Rp.10 juta sampai dengan Rp.30 juta, dapat dilihat pada Tabel 28 dibawah ini. Sebelum menerima kredit Swamitra aset finansial dimiliki oleh 7 orang (70 %) Peminjam, sedangkan yang tidak memiliki aset finansial ada 3 orang (30 %) Peminjam. Dari Tabel 28 dapat juga diketahui bahwa seluruh Peminjam kredit lancar memiliki aset finansial yaitu setelah menerima kredit Swamitra dan setelah beberapa lama memperoleh hasil dari usaha yang dijalankannya. Demikian juga dengan aset riil yang dimiliki oleh masing-masing Peminjam, sebelum menerima kredit masih ada Peminjam yang belum memiliki rumah dan kendaraan, tetapi kondisi ini berubah setelah memanfaatkan dana pinjaman Swamitra selain Peminjam sudah memiliki rumah dan kendaraan, mereka juga masih bisa mengelola usaha yang telah ada selama ini. Meskipun setelah menerima kredit Swamitra Peminjam yang memiliki aset riil berupa tanah dan kendaraan berkurang 1 orang, yang sebelumnya ada 3 orang. Sedangkan aset riil berupa tanah, kendaraan dan barang perhiasan sebelum menerima kredit Swamitra ada 3 orang, setelah menerima kredit Swamitra tidak ada Peminjam yang memiliki aset riil tersebut dan aset riil berupa rumah, kendaraan, tanah dan barang perhiasan, sebelumnya masih ada 1 orang Peminjam setelah menerima kredit tidak ada Peminjam yang memiliki aset riil tersebut. Hal ini disebabkan karena beberapa Peminjam tersebut, lebih memilih aset finansial yang dapat dimanfaatkan untuk menambah modal kerja dari usaha yang mereka kembangkan, dengan menjual aset riil yang mereka miliki. Jumlah Peminjam kredit macet dengan jumlah pinjaman antara Rp.10 juta sampai dengan Rp.30 juta, hanya 1 orang. Sebelum dan sesudah Peminjam memanfaatkan kredit Swamitra, kondisi aset finansial tidak mengalami perubahan. Berbeda dengan aset rii yang dimiliki, setelah menerima kredit Swamitra, Peminjam memiliki tanah, rumah dan kendaraan. Dimana awalnya aset riil yang dimiliki hanya berupa kendaraan dan barang perhiasan. Hal ini disebabkan karena meskipun Peminjam menunggak kewajiban dari pinjaman kredit Swamitra tersebut, tetapi pembayaran tetap diselesaikan
xviii
xix
dengan cara dibayar setiap 2 atau 3 bulan sekali sampai habis waktu pinjaman tersebut. Penundaan pembayaran kredit ini disebabkan karena usaha yang dikelola tidak bersifat kontinyu/tidak setiap bulan menghasilkan, meskipun demikian Peminjam tetap mampu membayar/mencicil pinjaman karena Peminjam selain sebagai pengusaha batu bata juga memiliki mata pencarian lain yaitu sebagai kontraktor dan berkebun karet (Peminjam nomor 3 pada Tabel 28).
Tabel 28. Jenis aset yang dimiliki oleh Peminjam. Kredit Lancar No
Jenis Aset Yang Dimiliki
Aset Finansial Ada Tidak ada Jumlah 2 Aset Riil Rumah Rumah, kendaraan Tanah, Kendaraan Tanah, kendaraan, barang perhiasan Rumah, kendaraan, tanah, barang perhiasan Tanah, barang perhiasan Jumlah Kredit Macet
Sebelum Jumlah Persentase (jiwa) (%)
Sesudah Jumlah Persentase (jiwa) (%)
1
No 1
2
Jenis Aset Yang Dimiliki Aset Finansial Ada Tidak ada Jumlah Aset Riil Kendaraan, barang perhiasan Tanah, rumah, kendaraan,
7 3 10
70,00 30,00 100,00
10 0 10
100,00 0 100,00
0 0 3
0 0 30,00
1 1 2
10,00 10,00 20,00
3
30,00
0
0
1
10,00
0
0
2 10
20,00 100,00
6 10
60,00 100,00
Sebelum Jumlah Persentase (jiwa) (%)
Sesudah Jumlah Persentase (jiwa) (%)
1 0 1
100,00 0 100,00
1 0 1
100,00 0 100,00
1 0
100,00 0
0 1
0 100,00
xix
xx
Jumlah Sumber : Data Primer 2008
1
100,00
1
100,00
Pengaruh dana kredit Swamitra ini tidak hanya terhadap peningkatan aset finasial dan aset riil saja, tetapi juga berpengaruh terhadap volume penjualan dari barang dan jasa dari masing-masing Peminjam yang pinjamannya Rp.10 – 30 juta. Peminjam kredit lancar yang mengalami peningkatan volume penjualannya ada sebanyak 4 orang (40 %) sedangkan yang tidak mengalami peningkatan sebanyak 6 orang (60 %). Sedangkan Peminjam kredit macet (1 orang) mengalami peningkatan volume penjualan per bulan dari Rp.2.500.000-Rp.3.000.000 menjadi > Rp.3.000.000. Kondisi ini dapat juga dilihat pada Tabel 29 Tabel 29. Keadaan Volume Penjualan per Bulan Peminjam Sebelum dan Sesudah Memperoleh Kredit Swamitra. Kredit Lancar No
Volume Penjualan Ratarata perbulan (Rp/bln)
1 2 3 4 5 6
< 1.000.000 1.000.000-1.500.000 1.500.000-2.000.000 2.000.000-2.500.000 2.500.000-3.000.000 > 3.000.000 Jumlah Kredit Macet No 1 2 3
Volume Penjualan Ratarata perbulan (Rp/bln)
< 1.000.000 2.500.000-3.000.000 > 3.000.000 Jumlah Sumber : Data Primer, 2008.
Sebelum Sesudah Jumlah Persentase Jumlah Persentase (Peminjam) (%) (Peminjam) (%) 0 0 0 0 0 0 0 0 1 10,00 0 0 1 10,00 1 10,00 2 20,00 1 10,00 6 60,00 8 80,00 10 100,00 10 100,00 Sebelum Sesudah Jumlah Persentase Jumlah Persentase (Peminjam) (%) (Peminjam) (%) 0 0 0 0 1 100,00 0 0 0 0 1 100,00 1 100.00 1 100.00
5.6.2.2. Dampak Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Perkembangan penggunaan tenaga kerja dalam suatu usaha menunjukkan perkembangan dari usaha tersebut. Pada Tabel 14 dapat dilihat bahwa Setelah menerima
xx
xxi
kredit Swamitra, jumlah Peminjam yang menggunakan tenaga kerja hanya 1 orang dalam setiap usaha yang dikelolanya menjadi berkurang (dari 5 Peminjam menjadi 3 Peminjam), yang menggunakan tenaga kerja 2 orang dalam usahanya menjadi bertambah (dari 1 Peminjam menjadi 2 Peminjam). Ada 4 orang Peminjam yang menggunakan tenaga kerja sebanyak 3 orang dalam usahanya dan jumlah tenaga kerja yang paling banyak digunakan adalah 9 orang dengan jumlah Peminjam hanya 1 orang. Hal ini menunjukkan bahwa setelah adanya pemanfaatan dana kredit Swamitra maka jumlah tenaga kerja yang digunakan semakin meningkat untuk menghasilkan barang/jasa yang lebih banyak, artinya usaha yang dikelola Peminjam semakin berkembang. Tabel 30. Jumlah Tenaga Kerja Peminjam Sebelum dan Sesudah Menerima Kredit Swamitra. Kredit Lancar
No
Sebelum
Jumlah Tenaga Kerja Yang digunakan
Sesudah
Jumlah
Persentase
Jumlah
Persentase
(Peminjam)
(%)
(Peminjam)
(%)
1
1 orang
5
50,00
3
30,00
2
2 orang
1
10,00
2
20,00
3
3 orang
3
30,00
4
40,00
4
5 orang
0
0
1
10,00
5
6 orang
1
10,00
0
0
6
9 orang
0
0
1
10,00
10
100,00
10
100,00
Jumlah Kredit Macet
No
Sebelum
Jumlah Tenaga Kerja Yang digunakan
Sesudah
Jumlah
Persentase
Jumlah
Persentase
(Peminjam)
(%)
(Peminjam)
(%)
1
2 orang
1
0
1
0
2
3 orang
0
0
0
0
xxi
xxii
Jumlah
1
100
1
100
Sumber : Data Primer 2008 Dari Tabel 30 juga dapat disimpulkan bahwa Peminjam kredit macet tidak mengalami peningkatan maupun penurunan tenaga kerja. Artinya pemberian kredit oleh Bank Bukopin melalui pola Swamitra tidak mempengaruhi Peminjam kredit macet untuk menambah ataupun mengurangi jumlah tenaga kerja yang digunakan. Untuk lebih jelasnya, perubahan tenaga kerja tersebut dapat dilihat dari Tabel 31 di bawah ini.
xxii
xxiii
Tabel 31. Perubahan Tenaga Kerja Sesudah Menerima Kredit Kredit Lancar No
Keterangan
Jumlah (Peminjam)
Persentase (%)
1
Tenaga Kerja Bertambah
6
60,00
2
Tenaga Kerja Tetap
4
40,00
3
Tenaga Kerja Berkurang
0
0
Jumlah
10
100,00
Jumlah (Peminjam)
Persentase (%)
Kredit Macet No
Keterangan
1
Tenaga Kerja Tetap
0
0
2
Tenaga Kerja Tetap
1
100,00
3
Tenaga Kerja Berkurang
0
0
Jumlah
1
100.00
Sumber : Data Primer 2008 Pada Tabel 31 diketahui jumlah Peminjam kredit lancar yang menambah tenaga kerjanya ada sebanyak 6 orang (60%) dan tidak menambah atau mengurangi tenaga kerjanya ada 4 orang Peminjam (40 %). Penambahan jumlah tenaga kerja ini karena usaha yang dijalankan oleh Peminjam semakin berkembang, volume penjualan yang semakin bertambah dan pasar yang semakin luas sehingga memerlukan tenaga kerja yang sesuai dengan bidangnya masing-masing. Sementara itu, Peminjam kredit macet tidak mengalami perubahan/tetap jumlah tenaga kerja yang digunakan. Hal ini disebabkan karena Peminjam mempertimbangkan usaha yang tidak kontinyu sehingga masih belum memerlukan penambahan tenaga kerja. 5.6.2.3. Dampak Terhadap Perluasan Pasar Usaha Peminjam dengan pinjaman Rp.10 juta-Rp.30 juta, mengalami perluasan pasar. Hal ini memberikan indikasi bahwa pemberian kredit oleh Bank Bukopin melalui pola Swamitra cukup berhasil. Pada Tabel 32 dapat diketahui bahwa jumlah Peminjam
xxiii
xxiv
yang usahanya mengalami perluasan pasar ada sebanyak 4 orang (36,67 %) dan yang tidak mengalami perluasan pasar ada sebanyak 7 orang (63,63 %). Pemberian kredit melalui pola Swamitra tidak mempengaruhi perluasan pasar Peminjam, disebabkan karena permintaan terhadap barang dan jasa yang diusahakan Peminjam tidak meningkat secara significan sehingga menurut Peminjam tidak perlu menambah cabang usaha yang sama di lokasi yang berbeda. Kondisi ini berbeda dengan Peminjam yang mengalami perluasan pasar, menurut mereka perlu menambah cabang usaha lama juga perlu menambah cabang usaha yang baru di lokasi yang berbeda, dengan pertimbangan permintaan dan tempat dari barang yang dijual meningkat/bertambah. Sementara untuk debitur kredit macet (1 orang) mengalami perluasan pasar. Dengan adanya fasilitas kredit, usaha batu bata yang dikelolanya mengalami perluasan pasar dalam artian bertambahnya jumlah produksi batu bata dengan bertambahnya tempat memproduksi batu bata tersebut yaitu awalnya hanya 1 buah tungku bertambah menjadi 3 buah tungku. Namun meskipun demikian perputaran/pengembalian modal dalam usaha Peminjam ini masih lambat/tidak kontinyu setiap bulan, dikarenakan selain usaha baru bata Peminjam juga menanamkan modalnya untuk usaha kebun karet yang sifatnya musiman untuk menghasilkan. Tabel 32. Perluasan Pasar Usaha Peminjam dengan Pinjaman antara Rp 10 -30 Juta No Usaha pokok Peminjam 1 Berdagang buah 2 Berdagang ikan 3 Pengusaha batu bata 4 Home industri wajik 5 Apotik kelontongan 6 Menjahit 7 Peras kelapa 8 Wiraswasta ( service mobil ) 9 Berdagang 10 Berdagang 11 Ponsel Sumber : Data Primer 2008
Sebelum Menerima Kredit 1 Kios 1 Kios 1 Tungku 6 Jalur pemasaran Pasar dupa Marpoyan damai Pasar dupa Marpoyan damai Pasar dupa Jl. Adi sucipto tidak ada ruko
Setelah Menerima Kredit 2 Kios 1 Kios, rumah sewa,oplet 3 Tungku, kebun karet 11 Jalur pemasaran Pasar dupa Marpoyan damai Pasar dupa Marpoyan damai Pasar dupa Jl. Adi sucipto 1 ruko (sewa)
xxiv
xxv
5.6.2.4. Dampak Terhadap Peningkatan Pendapatan Menurut Soetrisno (2002) salah satu indikator penting untuk mengetahui tingkat pendapatan dari suatu usaha adalah nilai tukar produk usaha. Semakin tinggi nikai tukar produk, semakin tinggi pendapatan pelaku usaha. Sebaliknya semakin rendah nilai tukar produk usaha maka semakin rendah tingkat pendapatan pelaku usaha. Nilai tukar yang dimaksudkan di sini adalah harga yang diterima pelaku usaha dari hasil penjualan produknya. Dari Tabel 33 dapat diketahui bahwa setelah memanfaatkan dana kredit Swamitra, maka pendapatan rata-rata per bulan dari masing-masing peminjam cenderung meningkat dibandingkan dengan kondisi sebelum menerima kredit. Artinya nilai tukar produk (barang/jasa) dari masing-masing Peminjam semakin meningkat sehingga harga yang diperoleh juga semakin bagus. Kondisi ini dapat dilihat pada Tabel 33. Tabel 33. Pendapatan Bersih Peminjam Sebelum dan Sesudah memperoleh Kredit Swamitra. Kredit Lancar No
Pendapatan rata-rata perbulan (Rp/bln)
1 2 3 4 5 6 7 8
< 1000.000 1.000.000-2.000.000 2.000.000-3.000.000 3.000.000- 4.000.000 4.000.000- 5.000.000 6.000.000- 7.000.000 7.000.000- 8.000.000 > 8.000.000 Jumlah Kredit Macet No 1 2 3 4 5 6
Pendapatan rata-rata perbulan (Rp/bln) < 1.000.000 1.000.000-1.500.000 1.500.000-2.000.000 2.000.000- 2.500.000 2.500.000- 3.000.000 > 3.000.000 Jumlah
Sebelum Sesudah Jumlah Persentase Jumlah Persentase (Peminjam) (%) (Peminjam) (%) 2 20,00 2 20,00 2 20,00 0 0 0 0 1 10,00 2 20,00 2 20,00 0 0 1 10,00 0 0 0 0 2 20,00 0 0 2 20,00 4 40,00 10 100.00 10 100.00 Sebelum Sesudah Jumlah Persentase Jumlah Persentase (Peminjam) (%) (Peminjam) (%) 1 100,00 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 100,00 1 100,00 1 100,00
xxv
xxvi
Sumber : Data Primer 2008 Pada Tabel 33 tersebut, peminjam kredit lancar yang tertinggi mengalami peningkatan pendapatan adalah peminjam pada nilai pendapatan rata-rata per bulan > Rp.8.000.000 yaitu sebelum menerima kredit hanya 2 orang peminjam dan setelah menerima kredit meningkat menjadi 4 orang. Demikian juga, bagi peminjam kredit macet, dana kredit Swamitra sangat membantu di dalam perkembangan usahanya. Meskipun dalam membayar cicilan kredit setiap bulan sering menunggak, tetapi pendapatan rata-rata per bulan semakin meningkat. Hal ini disebabkan jenis usaha yang dikelolanya tidak menghasilkan setiap bulan, tetapi jika telah menghasilkan akan meningkatkan pendapatan Peminjam.
5.6.3. Dampak Terhadap Peminjam Skala Besar (Pinjaman Rp. 30 Juta sampai Rp. 50 Juta) Pada Tabel 17 lalu dapat diketahui mengenai Peminjam dengan jumlah pinjamannya antara Rp. 30 Juta sampai dengan Rp. 50 Juta dengan jenis mata pencarian utama yang bervariasi yaitu berdagang, bengkel mobil dan menjahit. Seluruh Peminjam penerima jumlah pinjaman antara Rp 30-50 juta, cenderung menggunakan dana Swamitra untuk mengembangkan usaha yang telah ada dalam memperkuat modal dan memanfaatkan potensi sumberdaya serta aset finansial dan aset riil yang dimiliki. Mengenai kepemilikan aset Peminjam dapat dilihat pada Tabel 34. Tabel 34. Jenis Pekerjaan Pokok dan Sampingan, Besar Kredit dan Tujuan Penggunaan Pinjaman yang diperoleh. No Peminjam 9 10 20 24 27 28 29 30
Jenis Pekerjaan Pokok Berdagang Buka warung/kedai Menjahit Berdagang warung dan bengkel mobil berdagang berdagang berdagang
Besar Kredit 40.000.000 40.000.000 34.000.000 37.000.000 50.000.000 50.000.000 50.000.000 50.000.000
Tujuan Penggunaan Modal Kerja Modal Kerja Modal kerja Modal Kerja Modal Kerja Modal Kerja Modal Kerja Modal Kerja
xxvi
xxvii
Sumber : Data Primer 2008
5.6.3.1. Dampak Terhadap Peningkatan Aset dan Skala Usaha Peminjam yang termasuk kelompok pinjamannya antara Rp.30 juta-Rp.50 juta memanfaatkan dana kredit Swamitra juga memberikan pengaruh terhadap aset yang dimiliki Peminjam. Semakin berkembang usaha yang dijalankan maka semakin bertambah aset yang dimiliki. Untuk lebih jelasnya bagaimana pengaruh pemberian dana kredit pola Swamitra terhadap peningkatan aset dan skala usaha, dapat dilihat kembali pada Tabel 19. Jenis aset yang dimiliki Peminjam kredit lancar adalah aset finansial dan aset riil. Pemberian kredit oleh Bank Bukopin ini telah membantu Peminjam dalam menambah modal kerja bagi usahanya sehingga aset finansial yang dimiliki Peminjam menjadi bertambah. Awalnya hanya 6 orang Peminjam yang memiliki aset finansial, setelah ada kredit seluruh Peminjam (7 orang) memiliki aset tersebut. Setelah kredit dimamfaatkan Peminjam, aset riil yang paling banyak dimiliki Peminjam (2 orang Peminjam) atau (28,57 %) termasuk kategori yang sangat lengkap yaitu berupa tanah, kendaraan, rumah dan barang perhiasan. Kondisi ini mengalami penurunan jumlah Peminjam, karena sebelum ada kredit ada 3 orang Peminjam yang memiliki aset riil tersebut. Penurunan ini disebabkan karena ada Peminjam yang menjual beberapa aset riilnya untuk menambah modal kerja usaha, agar usaha mereka dapat terus berkembang. Peminjam kredit macet awalnya tidak memiliki aset finansial tetapi setelah memperoleh dana pinjaman Swamitra, baru Peminjam memiliki aset finansial. Demikian juga dengan kepemilikan terhadap aset riil, sebelumnya Peminjam hanya memiliki 3 jenis aset riil (kendaraan, rumah dan barang perhiasan) tetapi setelah menerima kredit Swamitra, menjadi 4 jenis aset riil (tanah, kendaraan, rumah dan barang perhiasan). Hal ini menunjukkan bahwa setelah memperoleh dan memanfaatkan dana kredit, maka Peminjam membeli tanah untuk modal kerja dari usaha yang dikelolanya. Sebelum dan sesudah memperoleh kredit Swamitra, volume penjualan barang/jasa dari usaha yang dikembangkan Peminjam kredit lancar, mengalami peningkatan. Berbeda dengan Peminjam kredit macet tidak mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan pada kredit lancar jumlah modal usaha akan bertambah begitu juga
xxvii
xxviii
dengan luasan pasar dari produk yang dijualnya akan bertambah juga volume penjualan, sebaliknya pada kondisi kredit macet/menunggak yang tidak meningkat/tetap.
Tabel 35. Jenis aset yang dimiliki oleh Peminjam. Kredit Lancar No
Jenis Aset Yang Dimiliki
Aset Finansial Ada Tidak ada Jumlah Aset Riil 2 Tanah Rumah Rumah, Kendaraan Rumah, Barang Perhiasan Rumah, Kendaraan, Barang Perhiasan Rumah, Kendaraan, Tanah Kendaraan, Barang Perhiasaan Tanah, Kendaraan, rumah, Barang Perhiasan. Jumlah
Sebelum Jumlah Persentase (jiwa) (%)
Sesudah Jumlah Persentase (jiwa) (%)
1
6 1 7
85,71 14,29 100,00
7 0 7
100,00 0 100,00
1 0 1 0 0
14,29 0 14,29 0 0
0 1 0 1 1
0 14,29 0 14,29 14,29
1 1 3
14,29 14,29 42,89
1 0 2
14,29 0 28,57
7
100,00
7
100,00
Kredit Macet No
Jenis Aset Yang Dimiliki
Aset Finansial Ada Tidak ada Jumlah 2 Aset Riil Rumah, Kendaraan, Barang Perhiasaan Rumah, Kendaraan, Tanah, Barang Perhiasan Jumlah Sumber : Data Primer, 2008.
Sebelum Jumlah Persentase (jiwa) (%)
Sesudah Jumlah Persentase (jiwa) (%)
1
0 1 1
0 100,00 100,00
1 0 1
100,00
1
100,00
0
0
0
0
1
100,00
1
100,00
1
100,00
100,00
xxviii
xxix
Pelaksanaan kredit pola Swamitra terhadap masyarakat/Peminjam tidak hanya membantu Peminjam dalam menambah jenis dan jumlah dari barang/jasa yang dijualnya, tetapi juga membantu Peminjam dalam mengembangkan usaha baru dan usaha yang sudah ada sebelum kredit diterima Peminjam. Hal ini disebabkan karena dengan adanya kredit, sumber permodalan usaha menjadi bertambah, sehingga memungkinkan Peminjam memanfaatkan aset yang dimiliki serta menambah barang/jasa yang dijual sehingga meningkatkan volume penjualan dan pendapatan. Keadaan volume penjualan per bulan sebelum dan sesudah
memperoleh kredit
Swamitra dapat dilihat pada Tabel 39. Tabel 36. Volume Penjualan per Bulan Peminjam Sebelum dan Sesudah Memperoleh Kredit Swamitra. Kredit Lancar
1
Sebelum Sesudah Jumlah Persentase Jumlah Persentase (Peminjam) (%) (Peminjam) (%) 1.000.000 - 2.000.000 1 16,67 0 0
2
4.000.000 - 5.000.000
1
16,67
0
0
3
5.000.000 - 6.000.000
2
33,33
1
16,67
4
6.000.000 - 7.000.000
1
16,67
0
0
5
8.000.000 - 9.000.000
1
16,67
1
16,67
6
9.000.000 -10.000.000
0
0
3
50,00
7
> 10.000.000
0
0
1
16,67
6
100,00
6
100,00
No
Volume Penjualan Rata-rata perbulan (Rp/bln)
Total Kredit Macet No
Volume Penjualan Rata-rata perbulan (Rp/bln)
Sebelum Sesudah Jumlah Persentase Jumlah Persentase (Peminjam) (%) (Peminjam) (%) 1 50,00 0 0
1
500.000-1.000.000
2
1.500.000- 2.000.000
0
0
1
50,00
3
2.000.000- 2.500.000
1
50,00
0
0
4
> 3.000.000
0
0
1
50,00
xxix
xxx
Total
2
100,00
22
100,00
Sumber : data Primer, 2008. 5.6.3.2.
Dampak Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Pada kajian Peminjam kredit lancar dengan jumlah pinjaman antara Rp.30 juta –
Rp.50 juta, yang mengalami peningkatan jumlah tenaga kerja yang digunakan sebelum dan sesudah adanya kredit Swamitra sebanyak 4 orang (66,67 %), karena mayoritas tenaga kerja yang digunakan setelah adanya kredit adalah tenaga kerja yang telah bekerja sebelum adanya kredit Swamitra, setelah adanya kredit Swamitra jam kerja tenaga kerja bertambah dengan bertambahnya bidang usaha/skala usaha dan meningkatnya perluasan pasar dari barang/jasa yang dijual, sehingga jumlah tenaga kerja yang digunakan juga bertambah. Sedangkan Peminjam kredit macet/yang menunggak sebanyak 2 orang, sebelum dan sesudah adanya kredit Swamitra tidak menambah jumlah tenaga kerja untuk usaha yang dikelolanya, karena usaha yang dikelola bersifat musiman/tidak setiap bulan menghasilkan, meskipun demikian penghasilan dari usaha Peminjam tergolong tinggi sehingga dapat membayar kewajiban dari pinjaman kredit yang dimanfaatkan. Mengenai tenaga kerja yang digunakan dan perubahan tenaga kerja setelah adanya kredit Swamitra dapat di lihat pada Tabel 37. Tabel 37. Perubahan Tenaga Kerja yang digunakan Setelah Menerima Kredit. Kredit Lancar No Keterangan 1 Tenaga Kerja Bertambah 2 Tenaga Kerja Tetap 3 Tenaga Kerja Berkurang Jumlah Kredit macet No Keterangan 1 Tenaga Kerja Bertambah 2 Tenaga Kerja Tetap 3 Tenaga Kerja Berkurang Jumlah Sumber : Data Primer, 2008.
Jumlah (Responden) 4 2 0 6
Persentase (%) 66.67 33,33 0 100,00
Jumlah (Responden) 0 2 0 2
Persentase (%) 0 100,00 0 100,00
xxx
xxxi
5.6.3.3. Dampak Terhadap Perluasan Pasar Perluasan pasar untuk pengembangan usaha dapat dilihat pada Tabel 41. Perluasan pasar dari usaha Peminjam yang berprofesi sebagai pedagang dengan cara menambah jumlah kios/tempat usaha pakaian dari 1 kios menjadi 2 kios dan menambah lokasi pemasaran dari produk yang dijualnya dari 1 lokasi menjadi 2 lokasi serta membeli kios, awalnya menyewa tetapi setelah memanfaatkan dana kredit Swamitra mampu membelinya serta Peminjam yang berusaha di bidang jasa, awalnya hanya membuka warung, tetapi setelah menerima pinjaman modal kerja melalui pola Swamitra selain membuka warung juga buka bengkel mobil/service mobil. Sedangkan Peminjam yang tidak melakukan perluasan pasar yaitu 1 orang Peminjam yang berusaha di bidang jasa yaitu menerima jahitan dan 2 orang Peminjam sebagai pedagang (masing-masing berlokasi di Purwodadi dan Jl. Kutilang Simpang Panam). Hal ini disebabkan karena penggunaan dana kredit Swamitra atau dana dari hasil usaha stelah memanfaatkan dana kredit digunakan untuk menambah jumlah dan jenis barang dagangan maupun menambah sarana penunjang usaha yaitu menambah jumlah bangku dan memperbaiki fasilitas tempat berusaha agar lebih nyaman. Tabel 38. Perluasan Pasar dari Usaha Pokok Peminjam No Peminjam 9 10 20 24
Berdagang Berdagang/Buka kedai Menjahit Berdagang
Sebelum Menerima Kredit 1 Kios pakaian Sewa kios Marpoyan damai Purwodadi
27
Warung dan bengkel mobil
Jl. Suka karya (warung)
28 29 30
Berdagang Berdagang Berdagang
Jl. Kutilang Purwodadi (1 lokasi) Jl. Suka karya
Usaha Pokok
Setelah Menerima Kredit 2 Kios pakaian Milik sendiri Marpoyan damai Purwodadi Jl. Suka karya (warung,bengkel) Jl. Kutilang Purwodadi (2 lokasi ) Jl. Suka karya
5.6.3.4. Dampak Terhadap Peningkatan Pendapatan Peningkatan pendapatan masyarakat setelah memanfaatkan dana pinjaman modal usaha melalui pola Swamitra secara tidak langsung berpengaruh terhadap perekonomian masyarakat. Hal ini dapat dipahami jika dilihat dari posisi Peminjam sebagai produsen/penjual, semakin banyak barang yang terjual, semakin meningkat
xxxi
xxxii
proses/aktivitas/transaksi yang terjadi di pasar dan semakin meningkat pula uang yang beredar di pasar, yang diindikasikan dengan semakin meningkatnya volume penjualan dan tumbuhnya usaha baru/berkembangnya usaha yang sudah ada, sehingga pendapatan Peminjam menjadi semakin meningkat. Untuk mengetahui kondisi pendapatan bersih Peminjam/masyarakat penerima kredit pola Swamitra dengan kisaran sebesar 30 – 50 juta dapat dilihat Tabel 39 Berdasarkan Tabel 39 itu, terlihat pendapatan meningkat sesudah memperoleh dana kredit pola Swamitra dibandingkan sebelum menerima kredit, hal ini mengindikasikan bahwa mayoritas Peminjam memanfaatkan kredit dengan baik sesuai kebutuhan usaha yang dikelolanya. Peningkatan jumlah modal dari pola Swamitra ini memberikan dampak positif pada peningkatan jumlah pendapatan Peminjam, meskipun tujuan penggunaan dana tidak hanya untuk modal kerja tetapi juga digunakan untuk investasi. Disamping itu, seluruh Peminjam memiliki aset finansial dan aset riil sebagai sumberdaya ekonomi yang digunakan untuk perkembangan usaha yang mereka miliki sehingga berpengaruh positif terhadap pendapatan Peminjam. Tabel 39. Pendapatan Bersih Peminjam Sebelum dan Sesudah memperoleh Kredit Swamitra. Kredit Lancar No
Pendapatan rata-rata perbulan (Rp/bln)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
< 1000.000 1.000.000 - 2.000.000 2.000.000 - 3.000.000 3.000.000 - 4.000.000 4.000.000 - 5.000.000 5.000.000 - 6.000.000 6.000.000 - 7.000.000 7.000.000 - 8.000.000 8.000.000 - 9.000.000 9.000.000 -10.000.000 > 10.000.000 Jumlah Kredit Macet No 1 2
Pendapatan rata-rata perbulan (Rp/bln) < 500.000 500.000-1.000.000
Sebelum Sesudah Jumlah Jumlah Persentase Persentase (%) (Peminjam) (Peminjam) (%) 1 16,67 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 33,33 1 16,67 1 16,67 0 0 1 16,67 0 0 0 0 1 16,67 1 16,67 3 50,00 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 16,67 6 100,00 6 100,00 Sebelum Sesudah Jumlah Jumlah Persentase Persentase (%) (Peminjam) (Peminjam) (%) 1 50,00 1 50,00 0 0 0 0
xxxii
xxxiii
3 4 5 6 7
1.000.000-1.500.000 1.500.000- 2.000.000 2.000.000- 2.500.000 2.500.000- 3.000.000 > 3.000.000 Jumlah
0 1 0 0 0 2
0 50,00 0 0 0 100,00
0 1 0 0 0 2
0 50,00 0 0 0 100,00
Sumber : Data Primer, 2008.
5.7. Masalah Yang Dihadapi Oleh Peminjam Permasalahan yang dihadapi oleh Peminjam penerima kredit Bank Bukopin melalui pola Swamitra secara umum adalah sebagai berikut : 1. Agunan merupakan persyaratan wajib mendapatkan pinjaman Bank Bukopin melalui pola Swamitra baik sebelum maupun setelah diperoleh kredit. Mayoritas Peminjam menyatakan sanggup dan tidak menjadi masalah dengan adanya agunan seperti sertifikat rumah/tanah, karena mereka memiliki surat berharga dari aset riil yang ada. Bagi Peminjam yang tidak memiliki agunan maka menggunakan surat berharga/sertifikat rumah/tanah milik orang lain seperti dari sanak famili, kerabat dekat dan mitra usaha mereka. Peminjaman agunan ada perjanjian tertulis dengan ketentuan, agunan dikembalikan tepat waktu dan berkewajiban membagi jumlah dana pinjaman yang diperoleh, dengan porsi (70 %, untuk peminjam agunan : 30 % untuk pemilik agunan) sedangkan cicilan kredit setiap bulan wajib dibayar oleh peminjam agunan. Meskipun hanya beberapa Peminjam yang menghadapi masalah ini, tetap saja akan menimbulkan masalah bagi peminjam agunan. 2. Kondisi riil usaha Peminjam yaitu jumlah modal sendiri (aset finansial). Jumlah modal sendiri yang dimiliki Peminjam dalam menjalankan usahanya merupakan persyaratan juga untuk memperoleh kredit. Kondisi yang sebenarnya, persyaratan ini tidak semua Peminjam dapat memenuhinya, meskipun demikian mereka masih bisa memperoleh pinjaman kredit karena memiliki aset riil. Umumnya masalah yang dihadapi Peminjam adalah ketidaksanggupan membiayai usahanya dengan modal sendiri.
xxxiii
xxxiv
3. Suku bunga kredit Bank Bukopin melalui pola Swamitra adalah sekitar 9 persen per tahun, lebih tinggi dibandingkan suku bunga dari lembaga keuangan mikro lainnya seperti Bank Rakyat Indonesia (BRI) yaitu sekitar 6,00 – 11,00 persen per tahun dan Bank Riau sekitar 7,00 – 11,00 persen per tahun tergantung jenis kreditnya. Meskipun demikian mayoritas Peminjam merasa puas dengan pelayanan yang diberikan Swamitra karena pengurusan untuk memperoleh pinjaman lebih cepat, prosedur lebih mudah dan tidak berbelit-belit. 4. Perlu adanya kesesuaian antara lama pinjaman dengan jumlah pinjaman, karena masih ada sebagian Peminjam yang memiliki usaha yang tidak kontinyu menghasilkan setiap bulannya. Ada sebanyak 29 Peminjam setuju dengan besarnya pinjaman yang ditentukan oleh pihak Bank dan 1 Peminjam tidak setuju dengan besarnya jumlah pinjaman yang ditentukan oleh pihak Bank dengan alasan jumlah pinjaman lebih diperbesar lagi. 27 Peminjam menyatakan bunga swamitra dalam kategori sedang dan 3 orang yang menyatakan kecil. 5. Ada 5 Peminjam yang menunggak dan 25 orang yang tidak menunggak. Permasalahan yang dihadapi oleh Peminjam macet/menunggak adalah kebutuhan hidup yang lain yang lebih mendesak saat itu, sehingga dana yang seharusnya untuk angsuran dipakai untuk kepentingan yang lain (kredit rumah, sepeda motor), kondisi kesehatan dari Peminjam dimana dana untuk angsuran dipakai untuk biaya perobatan, adanya kegagalan usaha yang dibangun dengan menggunakan dana pinjaman, adanya pihak ketiga yang menyebabkan usaha dari Peminjam terganggu baik itu penipuan dan melarikan uang dari usaha yang ada, relasi dari Peminjam dengan pihak luar bermasalah. Dari beberapa masalah yang dihadapi Peminjam menunggak, masalah yang paling dominan dan menjadi masalah permanen adalah penghasilan yang diperoleh dari usaha yang dikelola Peminjam tidak bersifat kontinyu/tidak setiap bulan usaha yang dikelola menghasilkan.
xxxiv
xxxv
BAB VI STRATEGI PENGEMBANGAN POLA SWAMITRA
6.1. Analisa SWOT Pengembangan Pola Swamitra Di Kota Pekanbaru. Analisa SWOT digunakan dalam mengkaji pelaksanaan Pola Swamitra di Kota Pekanbaru bertujuan untuk mengetahui dan menyusun strategi pelaksanaan pola swamitra yang akan diterapkan dan dilaksanakan di Kota Pekanbaru. Agar pelaksanaan pelaksanaan pola swamitra tersebut terus berjalan lancar dan sukses pada masa yang akan datang. Analisa SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strenght) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threaths). Proses pengambilan keputusan strategi selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan dan kebijakan. Formulasi strategi yang tepat pada pelaksanaan pola swamitra, perlu dilakukan analisis yang akan disajikan dalam bentuk matrik seperti yang terlihat pada lampiran 1. Pada lampiran 1 matrik SWOT dapat diketahui bahwa pelaksanaan pola swamitra yang dilakukan di Kota Pekanbaru terdiri dari faktor internal berupa kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh seluruh swamitra di Kota Pekanbaru serta faktor eksternal berupa peluang dan ancaman yang dihadapi. Lebih jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut : A. Kekuatan (S) 1.
Suatu program yang mempelopori meningkatkan kepercayaan anggota dan masyarakat terhadap lembaga keuangan koperasi.
xxxv
xxxvi
2.
Merupakan usaha simpan pinjam yang menggunakan sistem online dan tekonologi modern dengan jangkauan luas.
3.
Salah satu usaha simpan pinjam yang langsung menyentuh lembaga keuangan mikro (LKM)
4.
Program ekonomi kerakyatan yang mempunyai landasan kuat (SK Gubernur, MOU antar pihak yang terlibat).
B. Kelemahan (W) 1.
Keberadaan dan pelaksanaan swamitra belum merata ke seluruh wilayah yang membutuhkannya.
2.
Jumlah dana terbatas sehinggabelum terdistribusi merata
3.
Kurangnya kesadaran sebagian penerima dana untuk mengembalikan pinjaman (menunggak)
4.
Suku bunga tidak begitu jauh berbeda dibandingkan dengan lembaga keuangan mikro (LKM) lainnya.
C. Peluang (O) 1.
Adanya sumber dana tetap dari Pemda
2.
Adanya kerjasama berupa dukungan dari banyak pihak yang berkompeten (Pemda,Bank, dinas terkait, koperasi, akademisi)
3.
Adanya akses permodalan bagi koperasi yang selama ini menghadapi banyak kendala dalam kerjasama dengan lembaga keuangan lainnya
4.
Adanya permintaan pengembangan swamitra bagi wilayah yang belum
D. Ancaman (T) 1.
Program belum dapat menyentuh seluruh anggota dan masyarakat
2.
Resiko bagi penerima dana yang menunggak berupa agunan/jaminan disita/dilelang
3.
Keberlanjutan dana program
4.
Sebagian besar operasional program dengan sistem teknologi dan manajemen perbankan ditangani oleh pihak Bank.
6.2. Strategi Prioritas Pada Pelaksanaan Pola Swamitra di Kota Pekanbaru.
xxxvi
xxxvii
Faktor internal dan eksternal serta alternative yang dapat digunakan selanjutanya dipindahkan ke dalam matriks SWOT. Matriks dapat dilihat pada Tabel 40. Penilaianpenilaian komponen SWOT dapat dilihat pada Tabel 40 . Komponen-komponen SWOT dinilai, selanjutnya dihubungkan keterkaitan alternative strategi yang ada dengan komponen-komponen SWOT, kemudian diberi bobot yang diperoleh dari penjumlahan komponen-komponen SWOT yang terkait dengan alternative strategi tersebut. Setelah itu diberikan rangking berdasarkan jumlah bobot yang ada. Rangking untuk tiap-tiap alternatif strategi dapat dilihat pada Tabel 40 . Tabel 40 . Penilaian Komponen-komponen SWOT Pelaksanaan Pola Swamitra
Komponen S1 S2 S3 S4
Nilai 3 3 3 2
Komponen WI W2 W3 W4
Nilai 2 3 3 3
Komponen O1 O2 O3 O4
Nilai 3 3 3 3
Komponen T1 T2 T3 T4
Nilai 3 3 3 2
Keterangan : Nilai 3 = Penting, Nilai 2 = Cukup Penting, Nilai 1 =Tidak Penting Penentuan untuk mengetahui strategi yang menjadi prioritas dalam pelaksanaan swamitra di Kota Pekanbaru, maka diperhatikan skor masing-masing alternative strategi yang telah ditentukan. Skor ditentukan berdasarkan nilai bobot dikali dengan rating. Pada Tabel 40 ditentukan skor masing faktor internal. Tabel 41. Analisis Faktor-faktor Strategi Internal No A 1
B
Faktor-faktor Strategi Internal Strenghts 1. Meningkatkan pembiayaan usaha kecil menengah/UKM 2. Meningkatkan partisipasi seluruh lapisan masyarakat dalam pelaksanaan dan mendapatkan pinjaman 3. Meningkatkan peran dan fungsi koperasi 4. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan dana yang tepat sasaran.
Bobot
Ranking Skor
0.20
3 3 3 2
0.10
0.60 0.30 0.45 0.10
0.15 0.05
Weakneses
xxxvii
xxxviii
W1. Keberadaan dan pelaksanaan swamitra belum merata ke seluruh wilayah yang membutuhkannya. W2. Jumlah dana terbatas sehinggabelum terdistribusi merata W3. Kurangnya kesadaran sebagian penerima dana untuk mngembalikan pinjaman (menunggak) W4. Suku bunga tidak begitu jauh berbeda dibandingkan dengan lembaga keuangan mikro (LKM) lainnya. Total Tabel 42. Analisis Faktor-faktor Strategi Eksternal No A
Faktor-faktor Strategi Eksternal Opportunity
1 1. Adanya sumber dana tetap dari Pemda 2. Adanya kerjasama berupadukungan dari banyak pihak yang berkompeten (Pemda,Bank, dinas terkait, koperasi, akademisi) 3. Adanya akses permodalan bagi koperasi yang selama ini menghadapi banyak kendala dalam kerjasama dengan lembaga keuangan lainnya 4. Adanya permintaan pengembangan swamitra bagi wilayah yang belum
B
Threats 1. Program belum dapat menyentuh seluruh anggota dan masyarakat 2. Resiko bagi penerima dana yang menunggak berupa agunan/jaminan disita/dilelang 3. Keberlanjutan dana program 4. Sebagian besar operasional program dengan sistem teknologi dan manajemen perbankan ditangani oleh pihak Bank.
Total
0.05
0.20
2 3 3 3
0.10 0.60 0.30 0.45
0.10 0.15
1.00 Bobot
Rating
Skor
0.15 0.12
3 3 3 3
0.45 0.36 0.24 0.06
3 3 3 2
0.30 0.45 0.60 0.10
0.08
0.20
0.10 0.15 0.20 0.05
1.00
Berdasarkan matrik SWOT pada lampiran 1, maka dapat disusun alternatif strategi yang akan diterapkan pada revitalisasi posyandu yang dilaksanakan dan dibina. Alternatif strategi itu adalah sebagai berikut :
xxxviii
xxxix
Strategi SO 1. Meningkatkan pembiayaan usaha kecil menengah/UKM 2. Meningkatkan partisipasi seluruh lapisan masyarakat dalam pelaksanaan dan mendapatkan pinjaman 3. Meningkatkan peran dan fungsi koperasi 4. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan dana yang tepat sasaran Strategi ST 1. Memperluas akses wilayah pelaksanaan swamitra ke wiayah lain yang membutuhkannya 2. Anggota dan masyarakat tidak hanya memperoleh dana pinjaman tetapi juga diberikan bimbingan kemampuan dalam mengelola usaha mereka agar berjalan lancar 3. Meningkatkan kepercayaan anggota dan masyarakat yang membutuhkan dana tapi tidak memiliki agunan 4. Meningkatkan peran swamitra sehingga dapat dirasakan manfaat dari keberadaan swamitra. Strategi WO 1. Adanya sumber dana dari APBD, maka dapat memberikan suku bunga yang lebih rendah dibandingkan dengan LKM lainnya 2. Memberikandana pinjaman kepada yang lebih tepat sasaran 3. Membuat aturan tertulis yang disepakati oleh semua pihak 4. Memberlakukan sanksi bagi penerima dana yang melanggar aturan yang telah disepakati oleh semua pihak. Strategi WT 1. Menyiapkan sumber dana tambahan lainnya yang memadai bagi swamitra (tidak hanya dari Pemda) 2. Memberikan sanksi kepada penerima dana yang menunggak pengembalian cicilan 3. Pengelolaan program swamitra yang tepat sasaran melalui pendampingan terhadap penerima dana 4. Menjalankan aturan yang telah disepakati bersama.
xxxix
xl
Setelah diketahui bobot, rating dan skor dari masing-masing faktor internal dan eksternal maka ditentukan strategi yang terbaik bagi pelaksanaan pelaksanaan pola swamitra di Kota Pekanbaru. Pemberian nilai berguna untuk mengetahui strategi mana yang terbaik dari 15 strategi yang digunakan. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 43. Dari pembobotan strategi yang dibuat maka ditentukan strategi prioritas yang diambil dalam pelaksanaan pola swamitra di Kota Pekanbaru. Strategi prioritas tersebut adalah sebagai berikut : Berdasarkan urutan strategi prioritas dalam pelaksanaan pola swamitra di Kota Pekanbaru, tindakan pertama yang harus dilakukan adalah meningkatkan peran swamitra sehingga dapat dirasakan manfaat dari keberadaan swamitra. Strategi ini dapat diterapkan dengan mengadakan pelatihan dan bimbingan teknis seperti penggunaan teknologi online dan aplikasi dari manajemen perbankan, manajemen keuangan, dll bagi anggota, pengelola koperasi dan masyarakat sehingga manfaat sawmitra tidak hanya dirasakan dalam hal menyediakan pinjaman modal usaha, tetapi juga berperan meningkatkan kemampuan anggota dan masyarakat (strategi ST4).
Tabel 43. Pemilihan Strategi Pada Pelaksanaan Pola Swamitra. Strategi Keterkaitan Komponen SWOT SO1 S1, S3, S4, O1, O2, O3 SO2 S1, S2, S3, S4, O2, O4 SO3 S1, S2, S3, S4, O1, O2, O3, O4 SO4 S2, S3, O1, O2, O3 ST1 S1, S2, S3, T1 ST2 S1, S2, S3, T1, T2, T4 ST3 S1, S2, S3, T1, T2 ST4 S1, S2, S3, S4, T1, T2, T3, T4 WO1 W1, W3, W4, O1, O2, O3, O4 WO2 W1, W2, W3, O3 WO3 W3, O2, O3, O4 WO4 W3, W4, O2, O3, O4 WT1 W1, W2, T1, T3 WT2 W3, T2, T3 WT3 W1, W2, W3, T1, T2 WT4 W3, T2 Sumber : Olahan Data Primer, 2008.
Bobot 2.20 1.87 2.56 1.80 1.65 2.20 2.10 2.90 1.96 1.24 0.96 1.41 1.60 1.35 1.75 0.75
Rangking 3,5 7 2 8 10 3,5 5 1 6 14 15 12 11 13 9 16
xl
xli
Strategi kedua yang harus dilakukan adalah meningkatkan peran dan fungsi koperasi. Upaya yang dilakukan untuk melaksanakan strategi kedua ini adalah meningkatkan pembiayaan usaha kecil seluruh lapisan
menengah/UKM, meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam pelaksanaan dan mendapatkan pinjaman,
meningkatkan peran dan fungsi koperasi, meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan dana yang tepat sasaran. Strategi ketiga adalah meningkatkan pembiayaan usaha kecil menengah/UKM dan Anggota dan masyarakat tidak hanya memperoleh dana pinjaman tetapi juga diberikan bimbingan kemampuan dalam mengelola usaha mereka agar berjalan lancar. Strategi ini dapat dilakukan karena adanya peluang sumber dana tetap dari Pemda, adanya kerjasama berupa dukungan dari banyak pihak yang berkompeten (Pemda,Bank, dinas terkait, koperasi, akademisi), adanya akses permodalan bagi koperasi yang selama ini menghadapi banyak kendala dalam kerjasama dengan lembaga keuangan lainnya dan adanya permintaan pengembangan swamitra bagi wilayah yang belum. Strategi keempat adalah meningkatkan kepercayaan anggota dan masyarakat yang membutuhkan dana tapi tidak memiliki agunan. Strategi ini perlu dilaksanakan karena pelaksanaan pola swamitra masih belum dapat menyentuh seluruh anggota dan masyarakat dan adanya resiko bagi penerima dana yang menunggak berupa agunan/jaminan disita/dilelang.
xli
xlii
xlii
xliii
BAB VII KESIMPULAN dan IMPLIKASI KEBIJAKAN
7.1 Kesimpulan 1. Perkembangan pelaksanaan kredit oleh PT. Bank Bukopin melalui pola Swamitra di Kota Pekanbaru berjalan dengan baik, bahkan cukup berhasil dan dapat dikembangkan lebih lanjut untuk masa mendatang. Ukurannya keberhasilnya dapat dilihat
melalui
keberhasilannya
dalam
memperkuat
permodalan
koperasi,
memperlancar penyaluran kredit dengan meminimumkan kredit macet dan dapat menyerap tenaga profesional untuk mempekuat koperasi serta alih teknologi untuk penyaluran kredit berbasis komputer. 2. Kredit Swamitra yang diberikan oleh PT. Bank Bukopin secara umum memberikan dampak positif terhadap ekonomi masyarakat. Pemanfaatan kredit oleh penerima kredit adalah untuk memperluas usaha (diversifikasi usaha), menambah modal usaha (biaya produksi atau modal belanja), menambah jumlah tempat/lokasi usaha dan membuka usaha baru (meminjam untuk memulai usaha baru). Namun demikian, dampak positif tersebut berbeda-beda pada masing-masing jumlah pinjaman. Semakin besar jumlah pinjaman maka semakin besar pula dampak yang ditimbulkan.
Pengembangan Kegiatan Penyaluran Kredit terhadap peningkatan
pendapatan anggota Koperasi dan memberikan tambahan pada pendapatan asli Daerah Provinsi Riau.
Dana penyertaan yang diberikan oleh Pemprov Riau,
sebesar. Rp. 18 Milyar diketahui telah menyumbangkan PAD 1,9 Milyar. 3. PT. Bank Bukopin salah satu BUMN yang mengembangkan Pola Swamitra ini dapat dikatakan dalam konteks pengembangan penyaluran kredit melalui koperasi di Provinsi Riau telah berhasil ikut memajukan UMKM. Beberapa terobosan yang telah wujud adalah mendorong kerjasama dengan koperasi didalam menyediakan fasilitas kredit dengan memodernisasi manajemen simpan pinjam menggunakan teknologi on line. Namun, ditemukan beberapa masalah yang perlu diperhatikan dan ditangani oleh PT. Bank Bukopin dan pihak pengelola Swamitra serta Pemerintah Provinsi Riau untuk pengembangan Pola Swamitra ini pada masa mendatang, diantaranya persyaratan memperoleh pinjaman kredit seperti agunan,
xliii
xliv
kondisi riil usaha penerima yaitu jumlah modal sendiri (aset finansial), suku bunga kredit dan perlu adanya kesesuaian antara lama pinjaman dengan jumlah pinjaman. 4. Pengembangan
Pola
Swamitra
pada
masa
mendatang
ditunjukkan
perlu
menggunakan empat strategi utama. Strategi utamanya dengan mengadakan pelatihan dan bimbingan teknis seperti penggunaan teknologi online dan aplikasi dari manajemen perbankan, manajemen keuangan bagi pengelola koperasi. Strategi kedua yang penting dilakukan adalah meningkatkan peran dan fungsi koperasi. Upaya yang dilakukan untuk melaksanakan strategi kedua ini adalah meningkatkan pembiayaan usaha kecil menengah/UKM, meningkatkan partisipasi seluruh lapisan masyarakat dalam pelaksanaan dan mendapatkan pinjaman, meningkatkan peran dan fungsi koperasi, meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan dana yang tepat sasaran.
Strategi ketiga adalah meningkatkan pembiayaan usaha kecil
menengah/UKM dan Anggota dan masyarakat tidak hanya memperoleh dana pinjaman tetapi juga dilakukan pendampingan kemampuan dalam mengelola usaha mereka agar berjalan lancar. Strategi ini dapat dilakukan karena adanya peluang sumber dana tetap dari Pemda, adanya kerjasama berupa dukungan dari banyak pihak yang berkompeten (Pemda,Bank, dinas terkait, koperasi, akademisi), adanya akses permodalan bagi koperasi yang selama ini menghadapi banyak kendala dalam kerjasama dengan lembaga keuangan lainnya dan adanya permintaan pengembangan swamitra bagi wilayah yang belum.
Strategi keempat adalah meningkatkan
kepercayaan anggota dan masyarakat yang membutuhkan dana tapi tidak memiliki agunan. Strategi ini perlu dilaksanakan karena pelaksanaan pola swamitra masih belum dapat menyentuh seluruh anggota dan masyarakat dan adanya resiko bagi penerima dana yang menunggak berupa agunan/jaminan disita/dilelang.
7.2. IMPLIKASI KEBIJAKAN 1. Penyaluran kredit dengan Pola Swamitra ini perlu diperluas dan lebih dikenalkan kepada masyarakat luas. Kredit dengan pola ini perlu dibangun dengan citra atau image meskipun melalui koperasi tetapi berbasis pelayanan perbankan yang profesional.
xliv
xlv
2. Dalam konteks penyaluran yang ada saat ini diharapkan juga ada kebijakan dalam penurunan bunga agar lebih kecil dari 9 %. Selain itu, dicara celah pengaturan agar persyaratan peminjaman dapat lebih mudah. Dana yang disalurkan untuk UKM dari pemerintah daerah diperbesar.
Ada perbaikan pelayanan pembayaran angsuran
dengan menggunakan fasilitas ATM, selain itu menambah jangka waktu kredit. 3. Hal yang penting juga, perlu adanya kegiatan evaluasi rutin terhadap penerima kredit Swamitra untuk antisipasi agar tidak terjadi kredit macet/menunggak, karena saat ini evaluasi yang dilakukan hanya menegur setelah penerima kredit menunggak. Untuk yang menunggak antisipasi masalah dilakukan yang diperlukan juga adalah mendampingi peminjam melalui komunikasi tentang kondisi usaha yang sedang dihadapi. Dasar komunikasi yang dilakukan adalah membangun kepercayaan pihak pengelola Pola Swamitra, bahwa penerima kredit berkomitmen akan membayar. Dengan semangat mencari solusi bersama melalui cara-cara untuk memfasilitasi kemungkinan penunggakan seperti menambah bulan angsuran, memberikan keringanan jumlah angsuran. 4. Pola Swamitra adalah sebuah program yang disiapkan untuk menjadikan koperasi dapat kuat untuk menyalurkan dana berupa kredit. Dengan adanya indikasi program tersebut menunjukkan hasil yang menggembirakan, maka yang selanjutnya perlu dipikirkan untuk masa mendatang adalah pengembangan program “exit strategy” dari koperasi-koperasi yang menjadi lokasi Program Swamitra.
Hal ini dapat
menjadi bahan pemikiran bagi pengembang program maupun Pemerintah Provinsi Riau yang turut aktif didalam menyokong penerapan penyaluran kredit melalui koperasi dengan Pola Swamitra.
DAFTAR PUSTAKA
--------. 2001. Ekonomi Kerakyatan Hanya Retorika?. Tulisan Tim Pengendali
xlv
xlvi
Jaringan Pengaman Sosial di Harian Kompas Tanggal 7 Oktober 2001. --------. 2001. Laporan Utama Pola Pengembangan Ekonomi Kerakyatan Provinsi Riau, Pemerintah Daerah Provinsi Riau, Riau. Ali, M. 2005. Web : Sawit Witch On Line Bank Bukopin, 2001. Panduan dan Pedoman Pelaksanaan Pola Swamitra. Bank Bukopin Kota Pekanbaru Provinsi Riau, Riau. Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Riau, 2002. Pelaksanaan Penyertaan Modal Dalam Menunjang Ekonomi Kerakyatan, Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Riau, Riau. Jafar Hafsah, M. 2003. Kemitraan Usaha Konsepsi dan Strategi. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. Kadar, 1967. Memperkenalkan Koperasi, dalam Teori dan Praktek. PT. Ganaco NV, Bandung. Kartasapoetra, dkk. 2003. Koperasi Indonesia. PT. Rineka Cipta, Jakarta. Kian Gie, Kwik. 1998. Praktek Bisnis dan Orientasi Ekonomi Indonesia. PT. Gramedia, Jakarta. Magnis, Franz. 1994, Etika Bisnis Dasar dan Aplikasinya. PT. Gramedia, Jakarta. Mubyarto, 1999. Ekonomi Kerakyatan. Tulisan di Harian Kompas Tanggal 22 Pebruari 1999. Sumarti, Titik MC, dan Syaukat, Yusman. 2002. Analisis Ekonomi Lokal, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Syahrial. 2007. Kinerja Koperasi Pola Swamitra di Tinjau dari Rasio Keuangan di Provinsi Riau. Tonny, Fredian. 2003. Pengembangan Masyarakat dan Kelembagaan Pembangunan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Zulkarnain, 2003. Membangun Ekonomi Rakyat, Adi Cipta Karya Nusa, Yogyakarta. Zulkarnaini, 2001. Menuju Pembangunan Masyarakat Bisnis Suatu Pengantar Sosiolagi Politik, Unri Press Pekanbaru, Pekanbaru.
xlvi
xlvii
xlvii