PENGEMBANGAN PENGGUNAAN METODE DIRECT SEEDING UNTUK REHABILITASI LAHAN PASCA TAMBANG PT TUNAS INTI ABADI KALIMANTAN SELATAN
AGUNG YUDHI NUGROHO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengembangan Penggunaan Metode Direct Seeding Untuk Rehabilitasi Lahan Pasca Tambang PT Tunas Inti Abadi Kalimantan Selatan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2013
Agung Yudhi Nugroho E451090041
SUMMARY AGUNG YUDHI NUGROHO. Development of Direct Seeding Implementation for Post Mining Rehabilitation PT Tunas Inti Abadi South Kalimantan Province. Supervised by IRDIKA MANSUR and SRI WILARSO BUDI R. The method of direct seeding is developed in post mining land in order to give the opportunity to seeds to early adapt with extreem condition in post mining land. This method is implemented in impermanent reclamation land by small mining enterprises caused of its cheap operational cost. The objective of this research is to find out the efficiency of direct seeding method and the suitability of four species; trembesi (Samanea saman), sengon (Falcataria moluccana), sengon buto (Enterolobium cyclocarpum), and randu (Ceiba pentandra) in reclaiming post mining land. The research was conducted implementating three experiments: Experiment I implemented Seeds Physical and Physiological Quality Testing, Experiment II is Forest Species Seeds Adaptation in Post Mining Land, and Experiment III is Effect of Manure Addition in Seed Germination and Growth of Direct Seeding Results. Seed physical quality testing with 1000 grain weight method used the seeds which are classified into small size seeds (sengon and randu) and medium size seeds (trembesi and sengon buto). Based on physiological quality testing, the result of experiment I is 66.67% - 86.67%, Experiment II is 11.2% - 31.6%, and Experiment III is 7.2%-13.2%. Manure addition has significantly influenced the height and diameter growth in Experiment III, but not to the survival rate of plantation. In Experiment II, at the age of twelve weeks, the height of randu plantation was 9.6 cm; trembesi 7.9 cm; and sengon 3.6 cm. The diameter of sengon buto was 4.35 mm; randu 2.12 mm; trembesi 1.91 mm; and sengon 0.98 mm. The result of Experiment III is that average height of sengon buto was 41.5 cm; trembesi 15.4 cm; randu 12.4 cm; and sengon 7.4 cm. The diameter of sengon buto was 5.46 mm; trembesi 2.47 mm; randu 2.42 mm; and sengon 1.12 mm. The survival rate based on the plantation hole in Experiment II was the survival rate of randu and sengon was 66%; trembesi 58%; and sengon bruto 52%. In Experiment III, the higest survival rate was trembesi 72% followed by randu 40%, sengon 38% and sengon buto 28%. From the result of these four species used in the experiment, all of the species are highly adaptive with extreme condition in post mining land and suitable to implement with direct seeding method. It is also identified that size of seed highly influenced the successfulness of direct seeding. Small size seeds are the most suitable one in competition with weed. Direct seeding is more economic with plantation cost of 2 million rupiahs per hectare compared with conventional seeding method with cost of 4.487.500 rupiah per ha. Keywords: Direct seeding, Samanea saman, Falcataria moluccana, Enterolobium cyclocarpum, Ceiba pentandra
RINGKASAN AGUNG YUDHI NUGROHO. Pengembangan Penggunaan Metode Direct Seeding Untuk Rehabilitasi Lahan Pasca Tambang PT Tunas Inti Abadi Kalimantan Selatan. Dibawah bimbingan IRDIKA MANSUR dan SRI WILARSO BUDI R. Metode direct seeding dikembangkan di lahan pasca tambang karena memberikan kesempatan bibit untuk beradaptasi secara dini dengan lingkungan yang ekstrim. Metode ini dapat diterapkan pada lahan reklamasi sementara, dan oleh perusahaan tambang skala kecil karena biaya yang murah. Tujuan dari penelitian ini yaitu mengetahui apakah jenis tanaman hutan dapat diterapkan dalam metode direct seeding dan efisiensi dari metode ini. Jenis tanaman kehutanan yang digunakan yaitu, trembesi (Samanea saman), sengon (Falcataria moluccana),sengon buto (Enterolobium cyclocarpum), randu (Ceiba pentandra). Penelitian ini dilakukan dengan tiga percobaan, Percobaan I Pengujian Mutu Fisik dan Fisiologis Benih, Percobaan II Adaptasi Benih Tanaman Kehutanan Di Lahan Pasca Tambang dan Percobaan III Pengaruh Penambahan Pupuk Kandang Pada Perkecambahan dan Pertumbuhan Bibit Hasil Direct Seeding. Hasil pengujian mutu fisik benih dengan menggunakan metode berat 1000 butir, benih yang digunakan dalam percobaan ini diklasifiksikan menjadi dua yaitu benih berukuran kecil yaitu sengon dan randu sedangkan benih berukuran sedang yaitu trembesi dan sengon buto. Berdasarkan hasil uji fisiologis daya kecambah percobaan I ; 66,67%.-86,67%, Percobaan II; 11,2% - 31,6% dan Percobaan III; 7,2%-13,2%. Penamabahan pupuk kandang pada Percobaan III berpengaruh terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman, tetapi tidak berpepengaruh terhadap daya hidup tanaman. Pada Percobaan II tinggi tanaman minggu kedua belas, sengon buto mencapai 18,4 cm, randu 9,6 cm, trembesi 7,9 cm dan sengon 3,6 cm. Diameter tanaman mencapai 4,35 mm untuk sengon buto, randu 2,12 mm, trembesi 1,91 mm dan sengon 0,98 mm. Pada Percobaan III tinggi rata-rata tanaman pada minggu kedua belas sengon buto sudah menacapai 41,5 cm, tinggi tanaman trembesi 15,4 cm, randu 12,4 cm dan sengon 7,4 cm. Sedangkan rata rata diameter tanaman sengon buto 5,46 mm, rata-rata diameter tanaman tiga jenis lainnnya tidak berbeda nyata yaitu trembesi 2,47 mm, randu 2,42 mm dan sengon 1,12 mm. Daya hidup tanaman berdasarkan lubang tanam pada Percobaan II , randu dan sengon 66%, trembesi 58%, sengon buto 52%. Pada Percobaan III trembesi mempunyai daya hidup paling tinggi yaitu 72%, randu 40%, sengon 38% dan sengon buto 28%. Hasil penelitian menunjukkan keempat jenis tanaman yang diujikan mempunyai adaptasi terhadap lahan pasca tambang yang relatif tinggi sehingga berpotensi untuk ditanam dengan menggunakan metode direct seeding. Ukuran benih berpengaruh terhadap keberhasilan direct seeding, benih berukuran sedang lebih mampu berkompetisi terhadap gulma. Metode direct seeding lebih ekonomis, rata-rata biaya penanaman berkisar Rp 2.000.000 per ha dibandingkan dengan menggunakan bibit yang memerlukan biaya Rp 4.487.500 per ha. Kata
kunci:
Direct seeding, Samanea saman, Falcataria Enterolobium cyclocarpum, Ceiba pentandra.
moluccana,
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENGEMBANGAN PENGGUNAAN METODE DIRECT SEEDING UNTUK REHABILITASI LAHAN PASCA TAMBANG PT TUNAS INTI ABADI KALIMANTAN SELATAN
AGUNG YUDHI NUGROHO
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada pada Program Studi Silvikultur Tropika
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Cahyo Wibowo, MScF
Judul Tesis
Nama NIM
: Pengembangan Penggunaan Metode Direct Seeding untuk Rehabilitasi Lahan Pasca Tambang PT Tunas Inti Abadi, Kalimantan Selatan : Agung Yudhi Nugroho : E 451090041
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr Ir Irdika Mansur, MForSc Ketua
Dr Ir Sri Wilarso Budi R., MS Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Silvikultur Tropika
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Basuki Wasis, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 07.02.2013
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segara karuniaNya sehingga dapat menyelesaikan studi, penelitian dan tesis ini yang berjudul Pengembangan Penggunaan Metode Direct Seeding untuk Rehabilitasi Lahan Pasca Tambang PT Tunas Inti Abadi Kalimantan Selatan. Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Irdika Mansur MForSc selaku ketua komisi pembimbing beserta keluarga dan Bapak Dr Ir Sri Wilarso, MS selaku anggota komisi pembimbing, yang telah banyak memberikan bimbingan dan nasehat selama penelitian dan penulisan tesis ini. Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Cahyo Wibowo, MScF, sebagai dosen penguji luar komisi yang telah memberikan masukan untuk penulisan tesis, serta terima kasih kepada Bapak Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto, MS dari Mayor Silvikultur Tropika atas masukannya dan pelayanannya selama meyelesaikan studi di Mayor Silvikultur Tropika.
Di samping itu, penghargaan penulis
sampaikan kepada Manajemen PT TUNAS INTI ABADI yang telah memberikan kesempatan dan memfasilitasi selama penelitian. Penghargaan juga penulis sampaikan kepada TANOTO FOUNDATION yang telah memberikan beasiswa selama menyelesaikan studi. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2013
Agung Yudhi Nugroho
viii
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR PENDAHULUAN
x xiv 1
Latar Belakang
1
Kerangka Pemikiran
3
Rumusan Masalah
4
Tujuan Penelitian
4
Hipotesis Penelitian
4
Manfaat Penelitian
4
TINJAUAN PUSTAKA
5
Teknik Direct Seeding
5
Pemilihan Jenis Tanaman
6
Karakteristik Jenis
6
Perkecambahan dan Pertumbuhan Anakan
7
Penggunaan Kompos dalam Teknik Direct Seeding
8
Bahan Organik Tanah
9
Logam Berat
9
METODE PENELITIAN
10
Tempat dan Waktu
10
Bahan dan Alat
10
Prosedur Penelitian
10
Percobaan I Pengujian Mutu Fisik dan Fisiologis Benih
10
Percobaan II Adaptasi Benih Tanaman Kehutanan di Lahan Pasca Tambang
12
Percobaan III Pengaruh Penambahan Pupuk Kandang Pada Perkecambahan dan Pertumbuhan Bibit Hasil Direct Seeding
13
Pengamatan dan Pengumpulan Data
13
Rancangan Percobaan
14
Analisis Data
14
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
15
ix
HASIL DAN PEMBAHASAN
17
HASIL
17
Percobaan I Pengujian Mutu Fisik dan Fisiologis Benih
17
Percobaan II Adaptasi Benih Tanaman Kehutanan di Lahan Pasca Tambang
19
Percobaan III Pengaruh Penambahan Pupuk Kandang Pada Perkecambahan dan Pertumbuhan Bibit Hasil Direct Seeding
26
Analisis Biaya
31
PEMBAHASAN
33
SIMPULAN DAN SARAN.
40
Simpulan
40
Saran
40
DAFTAR PUSTAKA
41
x
DAFTAR TABEL
1
Hasil pengujian mutu fisik benih trembesi (S. saman), sengon (F. moluccana), sengon buto (E. cyclocarpum) dan randu (C. pentandra)
17
Hasil pengujian mutu fisiologis benih trembesi (S. saman), sengon (F. moluccana), sengon buto (E. cyclocarpum) dan randu (C. pentandra)
18
Hasil sidik ragam daya kecambah dan laju kecambah benih trembesi (S. saman), sengon (F. moluccana), sengon buto (E. cyclocarpum) dan randu (C. pentandra) di lapangan
19
Rata-rata daya kecambah benih trembesi (S. saman), sengon (F. moluccana), sengon buto (E. cyclocarpum) dan randu (C. pentandra) di lapangan setelah 4 MST
20
Rata-rata laju kecambah tanaman trembesi (S. saman), sengon (F. moluccana), sengon buto (E. cyclocarpum) dan randu (C. pentandra) di lapangan
20
Hasil analisis sidik ragam terhadap parameter pengamatan tinggi tanaman, diameter tanaman dan daya hidup tanaman di lapangan
21
Rata-rata pertambahan tinggi tanaman trembesi (S. saman), sengon (F. moluccana), sengon buto (E. cyclocarpum) dan randu (C. pentandra) di lapangan per 2 minggu
21
Rata-rata diameter tanaman trembesi (S. saman), sengon (F. moluccana), sengon buto (E. cyclocarpum) dan randu (C. pentandra) di lapangan per 4 minggu
22
Daya hidup tanaman rembesi (S. saman), sengon (F. moluccana), sengon buto (E. cyclocarpum) dan randu (C. pentandra) Percobaan II
23
Daya hidup tanaman trembesi (S. saman), sengon (F. moluccana), sengon buto (E. cyclocarpum) dan randu (C. pentandra) berdasarkan lubang tanam pada Percobaan II
24
11
Sifat fisik tanah lahan pasca tambang PT Tunas Inti Abadi
25
12
Sifat kimia tanah lahan pasca tambang PT Tunas Inti Abadi
25
13
Rata-rata daya kecambah tanaman trembesi (S. saman), sengon (F. moluccana), sengon buto (E. cyclocarpum) dan randu (C. pentandra) di lapangan setelah 4 MST pada Percobaan III
26
Rata-rata laju kecambah tanaman trembesi (S. saman), sengon (F. moluccana), sengon buto (E. cyclocarpum) dan randu (C. pentandra) pada Percobaan III
27
2
3
4
5
6 7
8
9
10
14
xi
15
Rata-rata pertambahan tinggi tanaman trembesi (S. saman), sengon (F. moluccana), sengon buto (E. cyclocarpum) dan randu (C. pentandra) per 2 minggu pada Percobaan III
28
Rata-rata diameter tanaman trembesi (S. saman), sengon (F. moluccana), sengon buto (E. cyclocarpum) dan randu (C. pentandra) per 4 minggu pada Percobaan III
29
Daya hidup tanaman tanaman trembesi (S. saman), sengon (F. moluccana), sengon buto (E. cyclocarpum) dan randu (C. pentandra) pada Percobaan III
29
Daya hidup tanaman trembesi (S. saman), sengon (F. moluccana), sengon buto (E. cyclocarpum) dan randu (C. pentandra) berdasarkan lubang tanam pada Percobaan III
30
19
Hasil analisis kandungan unsur hara pupuk kandang
30
20
Kebutuhan tenaga kerja untuk penanamana dengan metode direct seeding dan konvensional per ha
31
21
Biaya pembelian pupuk kandang kotoran sapi per ha
31
22
Analisis kebutuhan benih tanaman trembesi (S. saman), sengon (F. moluccana), sengon buto (E. cyclocarpum) dan randu (C. pentandra) per ha
31
Biaya tanam tiap jenis tanaman trembesi (S. saman), sengon (F. moluccana), sengon buto (E. cyclocarpum) dan randu (C. pentandra) per ha
32
Analisis biaya penanaman dengan bibit sengon
32
16
17
18
23
24
xii
DAFTAR GAMBAR
1
Kerangka Pemikiran
2
Metode pengujian mutu fisik benih; A) Trembesi (S. saman); B) Sengon (F. moluccana); C) Sengon buto (E.cyclocarpum); D) Randu (C. pentandra)
17
Pengujian mutu fisiologis; A) Rumah kaca pengujian mutu fisiologis; B) Pengujian fisiologis benih dengan metode standar
18
Lahan yang digunakan untuk direct seeding, (A) Penataan lahan inpit dump, (B) Lahan yang siap untuk direct seeding, sudah dilakukan penaburan top soil
19
Daya kecambah harian benih trembesi (S. saman), sengon (F. moluccana), sengon buto (E. cyclocarpum) dan randu (C. pentandra)
20
Tinggi rata-rata tanaman trembesi (S. saman), sengon (F. moluccana), sengon buto (E. cyclocarpum) dan randu (C. pentandra) di lapangan
22
Diameter rata-rata tanaman rembesi (S. saman), sengon (F. moluccana), sengon buto (E. cyclocarpum) dan randu (C. pentandra) di lapangan per 4 minggu
23
Bibit A) Trembesi (S. saman), B) Sengon (F. moluccana), C) Sengon buto (E. cyclocarpum) dan D) Randu (C. pentandra), umur 8 minggu ditanam dengan metode direct seeding
23
Tanaman sengon umur 4 minggu yang mulai tertimbun dan tergerus air hujan
24
Tahapan Percobaan III: (A) pembuatan lubang tanam; (B) penambahan pupuk kandang; (C) penaburan benih; dan (D) penandaan
26
Daya kecambah harian tanaman trembesi (S. saman), sengon (F. moluccana), sengon buto (E. cyclocarpum) dan randu (C. pentandra) pada Percobaan III
27
12
Kecambah dari tanaman lain yang terbawa pupuk kandang
27
13
Tinggi rata-rata tanaman trembesi (S. saman), sengon (F. moluccana), sengon buto (E. cyclocarpum) dan randu (C. pentandra) pada Percobaan III
28
3 4
5
6
7
8
9 10
11
3
xii
14
15
Diameter rata-rata tanaman trembesi (S. saman), sengon (F. moluccana), sengon buto (E. cyclocarpum) dan randu (C. pentandra) pada Percobaan III
29
Kondisi tanaman pada Percobaan III, A) trembesi (S. saman), B) sengon (F. moluccana),C) sengon buto (E. cyclocarpum) dan D) randu (C. pentandra)¸umur 8 minggu ditanam dengan metode direct seeding
30
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumber daya energi dan mineral, baik berupa minyak dan gas bumi, tembaga, nikel, dan lainlain. Salah satu jenis bahan tambang andalan selain minyak dan gas, adalah batu bara. Dengan kekayaan sumber daya energi dan mineral, pertambangan di Indonesia semakin berkembang seiring kemajuan zaman. Explorasi dan exploitasi semakin gencar dilakukan untuk mendapatkan hasil tambang yang maksimal. Pada tahun 2005, Indonesia penghasil barang tambang pemasok kebutuhan dunia, antara lain: peringkat kedua dunia untuk timah, peringkat ketiga dunia untuk tembaga, peringkat keempat dunia untuk nikel, peringkat kedelapan dunia untuk emas, dan peringkat kedua dunia ekspor batubara (sumber:http:minerals.usgs.gov/minerals/pubs/commodity). Produksi batubara nasional mampu memenuhi permintaan luar negeri yaitu rata-rata 72,11 % dan sisanya 27,89% untuk memenuhi permintaan dalam negeri. Sumberdaya batubara di Indonesai sebesar 61.365,86 juta ton dengan cadangan 6.758,90 juta ton, sumberdaya batubara tersebut tersebar di 19 propinsi. Propinsi Sumatera Selatan mempunyai sumberdaya terbesar yaitu 23.197,88 juta ton dengan cadangan 2.679,00 juta ton, Kalimantan Timur 21.076,98 juta ton dengan cadangan 2.071,68 juta ton. Propinsi Kalimantan Selatan menempati urutan ketiga dengan sumberdaya 9.101,38 juta ton dengan cadangan 1.867,84 juta ton (Tim Kajian Batubara Nasional 2006). Kegiatan explorasi dan exploitasi pertambangan banyak dilakukan pada kawasan hutan produksi, sehingga menyebabkan berkurangnya luasan kawasan hutan. Kawasan hutan produksi yang telah dialokasikan untuk kegiatan pertambangan batubara sebesar 11.177.168 ha dari 722 izin (Kristanti 2011). Selain menyebabkan berkurangnya kawasan hutan, pertambangan juga menyebakan kerusakan pada lahan. Kerusakan hutan dan lahan pada daerah pertambangan antara lain dikarenakan metode yang digunakan berupa penambangan terbuka. Kerusakan yang diakibatkan oleh adanya pertambangan yakni meningkatnya laju erosi tanah, laju aliran permukaan (run off ), sedimentasi dan terganggunya daerah tangkapan air (watershed areas). Dampak lain terjadinya penurunan keragaman jenis tanaman lokal serta terganggunya habitat satwa. Kerusakan yang diakibatkan aktivitas penambangan perlu dilakukan rehabilitasi. Kegiatan rehabilitasi dilakukan untuk mengembalikan daya dukung sehingga dapat kembali sesuai dengan fungsinya. Kegiatan rehabilitasi merupakan kewajiban bagi pemegang kuasa pertambangan, yang diatur dalam beberapa perundangan dan peraturan diantaranya Undang – Undang No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Selain itu pada tahun 2008 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menerbitkan Peraturan Menteri No. 18 Tahun 2008 tentang Pedoman Reklamasi Hutan, dimana peraturan tersebut mengatur tentang kegiatan reklamasi yang dilakukan pasca kegiatan tambang. Pada tahun 2009 Kementerian Kehutanan juga mengeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.60/Menhut-II/2009, tentang Pedoman Penilaian Keberhasilan Rehabilitasi Hutan. Peraturan tersebut mengatur penilaian
2
keberhasilan rehabilitasi hutan sebelum dilakukan penyerahan kembali kepada negara terhadap lahan pinjam pakai. Peraturan tentang kewajiban merehabilitasi lahan pasca tambang sudah diundangkan namun kegiatan rehabilitasi mengalami berbagai kesulitan diantaranya kondisi lahan menjadi marjinal. Tanah yang memadat, minimnya kandungan unsur hara, potensi keracunan mineral, miskinnya bahan organik, status KTK (Kapasitas Tukar Kation) yang rendah, dan minimnya populasi dan aktivitas mikroba tanah potensial, merupakan faktor-faktor penyebab buruknya pertumbuhan tanaman dan rendahnya tingkat keberhasilan rehabilitasi (Setiadi 2006). Dengan rendahnya teknik keberhasilan rehabilitasi maka perlu dikembangkan teknik rehabilitasi yaitu dengan direct seeding. Metode direct seeding dikembangkan karena memberikan kesempatan bibit untuk beradaptasi secara dini dengan lingkungan. Metode ini dapat diterapkan pada lahan reklamasi sementara, dan oleh perusahaan tambang skala kecil karena biaya yang murah. Salah satu keuntungan yang paling penting dalam metode ini adalah dapat mengurangi biaya pembangunan lahan pasca tambang dengan meniadakan biaya produksi bibit persemaian. Disamping itu biaya penanaman dapat ditekan sehingga biaya total penanaman dapat dikurangi secara nyata. Keuntungan lain dari teknik ini adalah pembangunan lahan dapat secara cepat dan dapat mempertahankan performa tanaman (dalam pengangkutan sering terjadinya goncangan dan terputusnya akar) (Purnell & Higgins 1999; Ochsner 2001; Goode 2006). Penggunaan metode direct seeding untuk rehabilitasi lahan pasca tambang telah digunakan di negara India dan Australia (Ochsner 2001). Berbagai jenis tanaman yang digunakan untuk rehabilitasi lahan pasca tambang antara lain Cajanus cajan telah diujicobakan di India (Ochsner 2001), Acacia spirorbis (legum), Casuarina collina dan Gymnostoma deplacheanum (Casuarinaceae), Grevillea spp (Protoceae) Carpolepis laurifolia (Myrtaceae) telah diaplikasikan di lahan tambang di New Caledonia (Sarrailh & Aryault 2001).
3
Kerangka Pemikiran Pertambangan di hutan produksi menyebabkan kerusakan lingkungan, sehingga perlu dilakukan rehabilitasi pada lahan tersebut. Kendala yang dihadapi dalam rehabilitasi lahan bekas tambang yaitu terjadinya penurunan kualitas lahan dan biaya rehabilitasi yang tinggi, untuk itu perlu dikembangkan suatu metode untuk mempermudah dan menurunkan biaya reklamasi lahan pasca tambang. Metode direct seeding merupakan salah satu metode yang berpotensi dikembangkan untuk tujuan tersebut, seperti pada Gambar 1. Reklamasi lahan bekas tambang dapat bersifat final atau permanen, dan temporer. Reklamasi permanen, berarti di lahan bekas tambang tersebut tidak akan dilakukan aktivitas terkait tambang lagi. Sebaliknya, pada lahan reklamasi temporer sewaktu-waktu lahan pasca tambang tersebut akan ditambang kembali karena masih terdapat cadangan yang dengan naiknya harga bahan tambang menjadi ekonomis untuk ditambang kembali. Sifat temporer juga dapat terjadi jika sewaktu-waktu lahan yang telah direklamasi tersebut digunakan untuk menumpuk batuan penutup atau material Pertambangan di Hutan Produksi Kerusakan Hutan dan Lahan Rehabilitasi Lahan PascaTambang
Permanen
Temporer
Penurunan kualitas lahan
Biaya Rehabilitasi yang mahal
Metode Direct Seeding
Karakteristik Benih
Seleksi Benih
Ukuran Benih
Viabilitas Benih
Uji Laboratorium (Tuheteru 2009)
Uji Lapangan
Gambar 1 Kerangka Pemikiran.
Gangguan Benih & Kondisi Lapangan
4
Rumusan Masalah Berdasarkan pertimbangan di atas, maka penelitian ini dilaksanakan dalam rangka menjawab beberapa pertanyaan sebagai berikut : 1. Apakah teknik direct seeding untuk jenis pohon hutan dapat diterapkan untuk rehabilitasi lahan pasca tambang? 2. Apakah teknik direct seeding efektif diterapkan pada lahan pasca tambang di Indonesia? 3. Apakah teknik direct seeding efisien diterapkan pada lahan pasca tambang? 4. Apakah faktor - faktor yang mempengaruhi keberhasilan dari metode direct seeding? Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini yaitu: 1. Mendapatkan jenis pohon hutan yang dapat ditanam dengan teknik direct seeding untuk rehabilitasi lahan pasca tambang. 2. Menganalisa daya hidup dan pertumbuhan bibit pohon hutan yang ditanam dengan metode direct seeding. 3. Menganalisa efisiensi teknik direct seeding dalam rehabilitasi lahan. 4. Menganalisa faktor yang mempengaruhi keberhasilan direct seeding. Hipotesis Penelitian Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah: 1. Terdapat pohon hutan yang potensial untuk ditanam dengan metode direct seeding 2. Terdapat jenis pohon hutan dengan daya hidup dan persen hidup yang tinggi, ketika ditanam dengan metode direct seeding. 3. Penerapan teknik direct seeding lebih efisien dibandingkan dengan penanaman menggunakan bibit. 4. Ukuran benih mempengaruhi keberhasilan direct seeding. Manfaat Penelitian Adanya pengembangan metode direct seeding memberikan alternatif metode baru dan efisien untuk mendukung kegiatan rehabilitasi lahan pasca tambang pada PT Tunas Inti Abadi dan perusahaan tambang lain secara umum.
5
TINJAUAN PUSTAKA Teknik Direct Seeding Pembenihan langsung (direct seeding) merupakan teknik penaburan benih di lapangan tanpa melalui tahapan persemaian. Keuntungan penggunaan direct seeding dalam reklamasi lahan bekas tambang; (1) Direct seeding dapat mengurangi biaya penananaman jika dibandingkan dengan penanaman menggunakan bibit, (2) Direct seeding dapat lebih cepat menutup luasan lahan dan jenis tanaman yang digunakan dapat bermacam – macam, (3) Direct seeding lebih praktis ketika yang digunakan adalah benih dari spesies lokal,(4) Direct seeding lebih mudah dari penanaman menggunakan bibit, jika akses susah dijangkau, (5) Pada umumnya semua pohon menghasilkan benih namun belum tentu tersedia bibitnya, (6) Direct seeding memungkinkan pertumbuhan akarnya lebih normal karena terhindar dari stres setelah penanaman, (7) Direct seeding dapat dilakukan setiap musim, asalkan kelembaban tanah cukup (Herman et al. 2003). Menurut Colin (1998) pemilihan metode pembenihan langsung tergantung dari (1) ketersediaan alat atau sarana, (2) luas areal yang akan ditanami dan kepadatan tanaman yang diinginkan, (3) aksesibilitas lahan serta (4) tipe tanah, erosi, waterlogging, serta pengaruh angin. Secara umum Schmidt (2007) menyebutkan beberapa hal penting penentuan keberhasilan penerapan pembenihan langsung: Kondisi Iklim Direct seeding dapat berhasil dengan kondisi temperatur dari sedang sampai tinggi tanpa kondisi temperatur yang ekstrim. Untuk daerah kering, pemilihan metode sangat penting. Waktu penaburan, persiapan lahan serta pemilihan jenis juga turut berpengaruh. Pemilihan tempat dan penyiapan lahan Pertimbangan utama pemilihan tempat yaitu tempat dengan topografi yang datar sehingga mempermudahkan penanaman dan mengeliminasi terjadinya erosi tanah dan menghindari lokasi dengan kecuraman topografi yang tinggi. Sedangkan persiapan lahan ditujukan untuk menghindari terjadi tumbuhnya vegetasi pesaing (rumput atau gulma) sehingga dapat memberikan peluang mulai tumbuh dan bersaing lebih cepat. Pemilihan jenis Jenis yang dipilih dapat beradaptasi dengan kondisi tanah, memiliki daya kecambah dan pertumbuhan awal yang cepat dan dengan adanya daya hidup yang tinggi di lapangan, penguasaan teknik silvikultur serta benihnya tersedia sepanjang waktu (tidak menghambat). Kontrol terhadap predator benih Kontrol tehadap kompetisi vegetasi sebelum dan sesudah penanaman
6
Pemilihan Jenis Tanaman Pemilihan jenis merupakan faktor yang sangat penting dalam keberhasilan rehabilitasi lahan. Menurut Setiadi (2010) bahwa jenis yang dipilih adalah jenis yang tahan terhadap cahaya matahari, tumbuh cepat, mempunyai tajuk yang luas, menghasilkan banyak serasah, mampu tumbuh baik pada tanah yang mempunyai kahat unsur hara dan kadar air yang terbatas, serta memiliki sifat katalitik. Kriteria jenis yang dipilih tersebut harus dipenuhi karena pada lahan bekas tambang intensitas cahaya matahari umumnya 100% sehingga jenis yang ditanam tidak butuh naungan. Selain itu, bibit dengan kecepatan tumbuh yang baik dan mempunyai tajuk yang luas memungkinkan terjadinya penutupan tajuk pada areal tersebut lebih cepat. Sedangkan jenis yang bersifat katalitik perlu dipertimbangkan karena jenis-jenis ini mampu mengundang hewan-hewan penyebar biji sehingga akan mempercepat terjadinya kolonisasi pada areal tersebut. Tanaman yang dapat digunakan untuk pembenihan langsung mempunyai beberapa kriteria. Kriteria tanaman yang umumnya digunakan untuk teknik pembenihan langsung adalah (1) jenis asli setempat, (2) cepat tumbuh untuk merestorasi fungsi ekosistem, (3) dapat berasosiasi dengan mikroba tanah seperti mikoroza, rhizobium dan frankia, (4) umumnya tanaman dengan benih ortodoks, dan (5) tanaman yang sesuai secara ekologis (sifat fisik dan kimia tanah), ekonomi dan sosial (Higgins et al 1993; Ochshner 2001). Salah satu famili yang jenisnya banyak dipakai dalam kegiatan revegetasi adalah famili Fabaceae. Famili ini mempunyai tingkat pertumbuhan yang tinggi, mampu memfiksasi nitrogen dari udara karena memiliki bintil akar, toleran pada kondisi yang ekstrim, dapat mengkonservasi tanah , tidak memiliki bahan beracun pada daun dan eksudat akar (Pinyopusarerk 1998). Selain itu, pada umumnya teknik silvikultur dari famili ini telah dikuasai dengan baik dan telah banyak tumbuh pada daerah kering serta merupakan jenis pioner di daerah tropis lembab (Schmidt 2000). Karakteristik Jenis Trembesi (Samanea saman (Jacq.) Merr.) Samanea saman (Jacq.) Merr. famili Fabaceae mempunyai nama lokal trembesi atau kihujan. Trembesi dapat tumbuh pada ketinggian 0-300 mdpl, dengan rata-rata hujan tahunan 600-3000 mm/tahun. Trembesi dapat tumbuh pada tanah lapisan dangkal dan miskin hara toleran terhadap tanah asam , dapat tumbuh pada pH yang asam sampai basa serta dengan kandungan unsur hara yang sedikit (Staples dan Elevitch 2006). Sengon (Falcataria moluccana (Miq.) Barneby and Grimes) Falcataria moluccana (Miq.) Barneby and Grimes) yang dulu bernama Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen, famili Fabaceae mempunyai nama lokal sengon. Sebaran alami sengon adalah Irian Jaya dan Kepulauan Maluku. Sengon dapat tumbuh pada ketinggian 0 -1200 m dpl dengan curah hujan 2400 - 4800
7
mm/tahun. Sengon tumbuh pada tanah berlapisan dalam, drainase baik. Toleran terhadap tanah asam, padat dan terpaan angin. Sengon mempunyai jumlah benih per 1 kg adalah 25.000 - 28.000 butir (Nurhasybi 2000). Sengon buto (Enterolobium cyclocarpum Griseb.) Enterolobium cyclocaorpum Griseb. yang biasa dikenal dengan sengon buto. Sebaran alami mulai dari daerah tropis Amerika, terutama di bagian utara, tengah dan selatan Mexico. Jenis ini tumbuh pada ketinggian 0 – 1000 m dpl dengan curah hujan 600 – 4800 mm/tahun. Tumbuh pada tanah berlapisan dalam, drainase baik. Toleran terhadap tanah berpasir dan asin tapi bukan pada tanah berlapisan dangkal. Tahan terhadap suhu dingin dan terpaan angin. Buah sengon buto termasuk buah polong, dengan kulit keras. Bentuk polong melingkar dengan garis tengah 7 dan 5 cm sehingga pangkal buah dan ujungnya menempel. Benih masak ditandai dengan warna buah coklat tua dan berisi ± 13 benih. Benih sengon buto berukuran panjang 1,1 – 2 cm dan garis tengah 0,8 – 1,3 cm dan agak gemuk, berwarna coklat tua dengan garis coklat muda ditengahnya. Dalam 1 kg terdapat 900 – 1000 benih (Djaman 2003). Randu (Ceiba pentandra (L.) Gaertn.) Ceiba pentandra (L.) Gaertn. mempunyai nama lokal, kapok, cotton silk tree (Eng.); kapokier (Fr.); kapok baum (Germ.); ceiba, ceibo (Sp.); Kapuk, randu (Indonesia). Randu menyebar Secara alami pada 16°LU di AS, terus ke Amerika Tengah sampai 16°LS di Amerika Selatan. Randu dapat tumbuh di dataran pesisir sampai ketinggian di atas 500 m dpl, dengan hujan tahunan 1000-2500 mm dan suhu dari 20 sampai 27°C. Di daerah tropis randu menyebar di16°LU sampai 16°LS. Randu dapat tumbuh pada berbagai macam tanah, dari tanah berpasir sampai tanah liat berdrainase baik, pada tanah asam , sedikit asam sampai netral. Randu mempunyai buah yang keras, menyerupai elips, menggantung, panjang 10-30 cm, lebar 3-6 cm, jarang pecah di atas pohon. Buah berkotak lima, berisi kapuk abu-abu, terdapat 120-175 butir benih. Benih randu berwarna hitam atau coklat tua, terbungkus kapuk. Setiap kg benih terdapat 10,000-45,000 butir tergantung provenan (Salazar dan Dorthe 2001). Perkecambahan dan Pertumbuhan Anakan Perkecambahan benih merupakan batas antara benih yang masih terganggu pada sumber makanan dan induknya dengan tanaman yang mampu berdiri sendiri dalam mengambil hara. Perkecambahan dimulai dari pengambilan air, penyerapan, diikuti dengan proses metabolisme dalam benih yang menyebabkan pembesaran embrio dan tumbuhan menjadi anakan (Schmidt 2000;2007). Perkecambahan ditentukan oleh kualitas benih (vigor dan kemampuan berkecambah), perlakuan awal (pematahan dormansi) dan kondisi perkecambahan seperti air, suhu, media, cahaya dan bebas dari hama penyakit (Schmidt 2000). Kualitas fisiologis benih yang tinggi diperlukan untuk memperoleh kapasitas perkecambahan dan vigor yang tinggi. Kapasitas perkecambahan menunjukan kemampuan bawaan benih berkecambah dibawah kondisi yang optimal selama
8
pengujian benih, sedangkan vigor mencakup beberapa parameter yang menyatakan kemampuan untuk tumbuh dan berkembang sangat dipengaruhi oleh ukuran dan massa benih (Eugenio 1993; Reich et al. 1998; Seiwa et al. 2002; Paz and Ramos 2003; Yanlong et al. 2003;Schmidt 2007). Selain kualitas benih, tingkat dormansi benih juga menentukan keberhasilan perkecambahan benih. Dormansi didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana benih-benih sehat (viable) gagal berkecambah ketika berada dalam kondisi yang secara normal baik untuk perkecambahan, seperti kelembaban cukup, suhu dan cahaya yang sesuai (Schmidt 2000). Lebih lanjut dijelaskan Schmidt (2000;2007) bahwa umumnya dormansi dapat terjadi dalam bentuk dormansi embrio (benih secara fisiologis belum masak), dormansi mekanis (pertumbuhan embrio terhambat karena kulit biji yang tipis), dormansi fisik (kulit benih kedap air), dormansi kimia (bahan mengandung zat-zat kimia penghambat perkecambahan), dormasi cahaya (benih tidak dapat berkecambah kecuali jika berada pada kondisi cahaya) serta dormansi suhu (perkecambahan rendah tanpa perlakuan suhu yang tepat). Famili fabaceae umumnya memiliki dormansi fisik. Oleh karena itu sebelum perkecambahan perlu dilakukan pematahan dormansi. Pematahan dormansi dapat dilakukan dengan cara skarifikasi berupa perendaman air pada suhu tertentu atau perendaman dengan asam atau bahan kimia lainnya pada konsentrasi tertentu, dapat melunakkan kulit benih dan hidrasi air protoplasma sehingga mempermudah proses imbibisi dan penyerapan oksigen (Schmidt 2007). Perlakuan awal dilakukan sebelum penaburan atau penanaman benih dengan tujuan menambah kecepatan dan keseragaman perkecambahn benih (Schmidt 2007). Penggunaan Kompos dalam Teknik Direct Seeding Kompos merupakan bahan organik seperti daun – daunan, jerami, alangalang, rumput-rumputan, dedak padi, batang jagung, sulur, carang-carang serta kotoran hewan yang telah mengalami proses dekomposisi oleh organisme pengurai, sehingga dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki sifat – sifat tanah. Penggunaan kompos sebagai bahan pembenah tanah (soil conditioner) dapat meningkatkan kandungan organik tanah sehingga mempertahankan dan menambah kesuburan tanah. Karakteristik umum dimiliki kompos antara lain; (1) mengandung unsur hara dalam jenis dan jumlah bervariasi tergantung bahan asal; (2) menyediakan unsur hara secara lambat dan dalam jumlah terbatas; dan (3) mempunyai fungsi utama untuk memperbaiki kesuburan dan kesehatan tanah (Setyorini 2006). Lahan bekas tambang mempunyai suhu tanah yang sangat tinggi, kondisi ini akan menyulitkan bagi pertumbuhan tanaman terutama yang ditanam secara langsung. Menurut Setiadi (2010) hal ini dikarenakan akar yang keluar dari kecambah menjadi terbakar, untuk mencegahnya cara yang efektif adalah dengan cara memberikan lapisan bahan organik berupa mulsa atau kompos. Dengan cara demikian, akar dari biji yang baru berkecambah bisa langsung terlindungi dengan bahan organik tersebut, sehingga biji bisa tumbuh normal.
9
Bahan Organik Tanah Bahan organik (BO) adalah salah satu komponen terpenting di dalam tanah. Berperan dalam perkembangan struktur tanah dan mengatur perpindahan polutan dan bahan pencemar di dalam tanah, dan berperan penting di dalam siklus perputaran serta penyimpanan hara dan air. Rata-rata kandungan BO di permukaan tanah adalah 6%. Untuk lahan yang dapat ditanami, kandungan BO < 4%. Namun dalam 15 tahun terakhir, perubahan praktis dalam sistem pertanian telah menyebabkan konsentrasi BO menurun dibeberapa tanah (Environment Agency 2002). Bahan organik juga sering digunakan sebagai bahan amelioran untuk mereklamasi tanah-tanah terkontaminasi logam/limbah, yang bersumber dari lapisan tanah atas, atau bahan kompos, jerami, serbuk gergaji, miselia jamur, dan pupuk kandang (Moynahan et al. 2000). Penggunaan tanaman (revegetation) sebagai sumber BO untuk mengembalikan kesuburan tanah, meningkatkan populasi mikroorganisme, sehingga keracunan logam-logam berat dapat menurun akibat aktivitas mikroorganisme tanah telah banyak dilakukan. Pemanfaatan tanaman cepat tumbuh (fast growing species) seperti sengon buto, sengon, angsana (Pterocarpus indicus), dan gmelina (Gmelina arborea) sebagai sumber BO lebih efektif dibandingkan tanaman semusim (Puradyatmika & Husin 1999). Selain itu pemanfaatan tanaman kacang-kacangan dan tanaman penutup tanah (Leguminosa) sebagai sumber N juga banyak digunakan pada lingkungan tanah terkontaminasi logam berat. Logam Berat Kehadiran logam berat secara berlebihan dapat menyebabkan polusi pada air bawah tanah, toksik pada tanaman, dan pengaruh merugikan bagi jaringan tanaman atau mikroorganisme tanah (California State Water Resources Control Board 2000). Lingkungan tanah yang terkontaminasi logam berat merupakan salah satu kendala utama, karena adanya saling interaksi secara langsung maupun tidak langsung dengan organisme di atas permukaan tanah (manusia, tumbuhan, binatang) maupun di dalam tanah (mikroorganisme). Sumber antropogenik dari tanah terkontaminasi terbagi dalam 5 kelompok, yaitu : (1). Penambangan logam Fe dan peleburan (As, Cd, Hg); (2). Industri (As, Cd, Cu, Pb, Sm, U, Zn); (3). Deposisi atmosfir (As, Cd, Cr, Cu, Pb, Hg, U); (4). Pertanian (As, Cd, Cu, Pb, Sm, U, Zn); (5). Pembuangan sampah/limbah (As, Cd, Cr, Cu, Pb, Hg, Zn) (Turpeinan 2002). Tingkat ketersediaan logam berat tergantungpada pH lingkungan dimana logam tersebut berada.Pada pH rendah ketersediaan beberapa logam berat meningkat, seperti : Fe, Al, Cu, Zn, dalam bentuk larut. Ion Al3+ larut pada pH < 5.5, sedangkan pada pH 5.5 terjadi pengendapan Al dalam bentuk Al(OH)3. Pada pH < 8, Cd dalam bentuk bebas,Cd+2 dan Cd(OH)+ mulai terbentuk pada kisaran pH 7 – 7.5, dan Cd(OH)2 pada pH 9 (Babich dan Stotzki 1978).
10
METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan pada Agustus-Desember 2011, di Laboratorium Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB dan PT Tunas Inti Abadi, Kabupaten Tanah Bumbu Kalimantan Selatan. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu top soil dan benih jenis tanaman kehutanan. Benih yang digunakan yaitu sengon buto (Enterolobium cyclocarpum), benih sengon (Falcataria moluccana), trembesi (Samanea saman) yang didapatkan dari Bogor dan randu (Ceiba pentandra) didapatkan dari Batulicin Kalimantan Selatan. Pupuk kandang diperoleh dari Desa Trimartani. Alat yang digunakan dalam percobaan ini yaitu bak kecambah, sprayer, timbangan analitik dan alat tulis. Prosedur Penelitian Penelitian dilakukan dengan 3 percobaan, Percobaan I Pengujian Mutu Fisik dan Fisiologis Benih, Percobaan II Adaptasi Benih Tanaman Kehutanan di Lahan Pasca Tambang dan Percobaan III Pengaruh Penambahan Pupuk Kandang Pada Perkecambahan dan Pertumbuhan Bibit Hasil Direct Seeding.
Percobaan I Pengujian Mutu Fisik dan Fisiologis Benih Percobaan dilaksanakan pada bulan Agustus – September 2011 di Laboratorium Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB dan rumah kaca PT Tunas Inti Abadi Kabupaten Tanah Bumbu Kalimantan Selatan. Pengujian mutu fisik benih dilakukan dengan metode berat 1000 butir benih menurut ISTA sedangkan mutu fisiologis benih dilakukan dengan cara mengecambahkan benih dengan metode standard. Pengujian Mutu Fisik Benih Pengujian mutu fisik benih merupakan bentuk kegiatan pengujian terhadap benih yang diuji untuk mendapatkan informasi tentang kondisi fisik benih. Pengujian mutu fisik benih dilakukan dengan cara metode 1000 butir benih hal ini dikarenakan dapat digunakan untuk mengetahui jumlah benih per kg dari suatu jenis yang dapat dijadikan standar dalam perencanaan kebutuhan benih untuk persemaian maupun penanaman. Pengujian 1000 butir benih dilakukan dengan cara: mengambil sejumlah 100 butir benih dengan 8 kali ulangan secara acak dari contoh kerja, kemudian ditimbang.
11
Pengujian Mutu Fisiologis Pengujian mutu fisiologis benih dimaksudkan sebagai penentuan kualitas dari metabolisme yang terjadi didalam benih. Pengujian mutu fisiologis benih dilakukan dengan mengecambahkan benih dengan metode standar. Tahapan tahapan yang dilakukan adalah sebagai berikut: Penyiapan media kecambah Media kecambah yang digunakan adalah tanah (topsoil). Media kecambah kemudian dimasukan kedalam bak-bak kecambah dengan jumlah yang disesuaikan dengan jumlah unit percobaan. Pengecambahan benih dilakukan terhadap masing-masing jenis yang dikecambahkan sebanyak 50 benih dengan ulangan 3 kali. Pematahan dormansi Pematahan dormansi dilakukan sebelum pengecambahan. Pematahan dormansi dilakukan sesuai dengan karakteristik benihnya. Pematahan dormansi benih sengon buto, trembesi dan sengon dilakukan dengan cara merendam biji dengan air yang mendidih selama 3 menit, kemudian air panas dibuang dan selanjutnya direndam dengan air dingin semalam, kurang lebih 6 jam (Mansur 2010). Pematahan dormansi randu dilakukan dengan cara direndam pada air dingin selama 1 jam. Pengamatan dan Analisis Data
Data yang diamati dalam pengujian mutu fisik benih yaitu berat 1000 butir dan jumlah benih per kg, sedangkan dalam pengujian fisiologis benih data yang diamati yaitu daya kecambah dan laju kecambah. Analisis data yang digunakan dalam pengujian mutu fisik benih dengan cara pengujian 1000 butir. Rumus yang digunakan: 2 2 n x − ( x) Standar Deviasi S = n(n − 1) Koofisien korelasi =
s 100 x
Dimana: x = berat masing-masing ulangan n = jumlah ulangan ∑ = jumlah total Menurut peraturan ISTA jika koefisien keragaman tidak kurang lebih dari 4.0, maka analisa diterima. Sedangkan jika CV lebih dari 4, maka ulangan ditambah 8 ulangan (menjadi 16 ulangan). Daya berkecambah adalah kemampuan benih untuk berkecambah normal dalam kondisi optimum yang diukur dalam persentase kecambah normal terhadap jumlah benih yang ditanam. Daya berkecambah dapat dihitungmenggunakan rumus; 𝐷𝑎𝑦𝑎 𝐵𝑒𝑟𝑘𝑒𝑐𝑎𝑚𝑏𝑎ℎ ℎ% =
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ ℎ 𝑘𝑒𝑐𝑎𝑚𝑏𝑎ℎ × 100% 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑏𝑒𝑛𝑖ℎ ℎ 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑘𝑒𝑐𝑎𝑚𝑏𝑎ℎ 𝑘𝑎𝑛
12
Laju perkecambahan dihitung untuk mengetahui jumlah hari yang diperlukan untuk munculnya radikel atau plumula. Laju perkecambahan dapat dihitung berdasarkan rumus; 𝐿𝑎𝑗𝑢 𝑃𝑒𝑟𝑘𝑒𝑐𝑎𝑚𝑏𝑎ℎℎℎ ℎ𝑎𝑟𝑖 =
N1T1 + N2T2 + ⋯ + NxTx Jumlah total benih berkecambah
Keterangan: N ; Jumlah benih yang berkecambah T ; waktu atau hari yang diperlukan untuk berkecambah.
Percobaan II Adaptasi Benih Tanaman Kehutanan Di Lahan Pasca Tambang Penanaman langsung dilakukan untuk mendapatkan teknik pembenihan langsung yang sesuai untuk rehabilitasi lahan pasca tambang. Tahapan percobaan yang dilakukan sebagai berikut: a. Persiapan Lahan Lahan yang digunakan adalah lahan yang sudah selesai proses kegiatan pertambangan, dan telah dilakukan penutupan tambang. Persiapan lahan diawali dengan membagi areal berdasarkan rancangan penelitian yang dilakukan. Setelah pembagian lahan dilakukan pembuatan lubang tanam dengan ukuran 30 x 30 x 30 cm dengan jarak tanam 4 x 4 m. Ulangan setiap jenis tanaman sebanyak 50. b. Perlakuan Awal Benih Perlakukan awal benih masing – masing spesies pada Percobaan II dilakukan dengan cara yang sama seperti pada Percobaan I. c. Metode Direct Seeding Metode Direct seeding pada penelitian ini dilakukan dengan cara menaburkan benih pada lubang tanam. Setiap lubang tanam ditaburkan 5 benih dengan kedalaman 0,5 cm. d. Pemeliharaan Pemeliharaan dilakukan dengan cara menjaga dan mengamati benih yang ditanam dari kondisi lingkungan yang tidak mendukung serta predator yang lainnya.
13
Percobaan III Pengaruh Penambahan Pupuk Kandang Pada Perkecambahan Dan Pertumbuhan Bibit Hasil Direct Seeding Penanaman langsung dilakukan untuk mendapatkan teknik pembenihan langsung yang sesuai untuk rehabilitasi lahan pasca tambang. Tahapan percobaan yang dilakukan sebagai berikut: a. Persiapan Lahan Lahan yang digunakan adalah lahan yang sudah selesai proses kegiatan pertambangan, dan telah dilakukan penutupan tambang. Persiapan lahan diawali dengan membagi areal berdasarkan rancangan penelitian yang dilakukan. Setelah pembagian lahan dilakukan pembuatan lubang tanam dengan ukuran 30 x 30 x 30 cm dengan jarak tanam 4 x 4 m. Pada percobaan ini dilakukan pemberian pupuk kandang sebanyak 2 kg pada tiap lubang tanam. Ulangan setiap jenis tanaman sebanyak 50. b. Perlakuan Awal Benih Perlakukan awal benih masing – masing spesies pada Percobaan III, dilakukan dengan cara yang sama pada Percobaan I. c. Metode Direct Seeding Metode Direct seeding pada penelitian ini dilakukan dengan cara menaburkan benih pada lubang tanam yang telah diberi pupuk kandang. Setiap lubang tanam ditaburkan 5 benih dengan kedalaman 0,5 cm. d. Pemeliharaan Pemeliharaan dilakukan dengan cara menjaga dan mengamati benih yang ditanam dari kondisi lingkungan yang tidak mendukung serta predator yang lainnya.
Pengamatan dan Pengumpulan Data Pengamatan dan pengumpulan data pada Percobaan II dan Percobaan III antara lain: a.
Daya Berkecambah Daya berkecambah adalah kemampuan benih untuk berkecambah normal dalam kondisi optimum yang diukur dalam persentase kecambah normal terhadap jumlah benih yang ditanam. Daya berkecambah dapat dihitung berdasarkan rumus; 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ ℎ 𝑘𝑒𝑐𝑎𝑚𝑏𝑎ℎ ℎ 𝐷𝑎𝑦𝑎 𝐵𝑒𝑟𝑘𝑒𝑐𝑎𝑚𝑏𝑎ℎ ℎ% = × 100% 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑏𝑒𝑛𝑖ℎ ℎ 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑘𝑒𝑐𝑎𝑚𝑏𝑎ℎ 𝑘𝑎𝑛
b. Laju Perkecambahan Jumlah hari yang diperlukan untuk munculnya radikel atau plumula. Laju perkecambahan dapat dihitung berdasarkan rumus; N1T1 + N2T2 + ⋯ + NxTx 𝐿𝑎𝑗𝑢 𝑃𝑒𝑟𝑘𝑒𝑐𝑎𝑚𝑏𝑎ℎ ℎℎℎℎ 𝑎𝑟𝑖 = Jumlah total benih berkecambah Keterangan: N ; Jumlah benih yang berkecambah T ; waktu atau hari yang diperlukan untuk berkecambah
14
c.
Tinggi (cm) Pengukuran tinggi dilakukan sejak satu bulan penanaman, selanjutnya pengukuran dilakukan setiap 2 minggu. Pengukuran tinggi dimulai dari kotiledon sampai pucuk tertinggi.
d. Diameter (mm) Pengukuran dilakukan diameter dilakukan diatas kotiledon, pengukuran dilakukan dengan menggunakan kaliper, pengukuran dilakukan setiap 4 minggu. e.
Pengamatan Lingkungan Pengamatan keadaan lingkungan hanya dilakukan pada lokasi penanaman metode direct seeding, selama penelitian berlangsung.
f.
Analisis Tanah Rutin Analisis tanah dilakukan untuk mengetahui tingkat kesuburan tanah, dan mengetahui kandungan unsur hara. Analisis tanah dilakukan Laboratorium Penelitian dan Uji Tanah Universitas Lambung Mangkurat.
Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap, dimana 𝑌𝑖𝑗 = µ + 𝛼𝑖 + 𝜀𝑖𝑗 Dimana: Yij = Respon pertumbuhan pada perlakuan ke –i, ulangan ke-j µ = Nilai rata-rata umum αi = Pengaruh jenis tanaman ke-i εij = Galat percobaan dari ulangan ke- j pada perlakuan ke- i
Analisis Data Analisis data menggunakan ANOVA dan pengujian lanjutan menggunakan uji lanjut LSD. Pengolahan data akan menggunakan program SAS.
15
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Letak dan Posisi Geografis PT Tunas Inti Abadi (PT TIA) terletak di Kabupaten Tanah Bumbu, Provinsi Kalimantan Selatan. PT TIA berada pada empat wilayah adminstrasi kecamatan yakni Kecamatan Angsana, Kecamatan Sungai Loban, Kecamatan Kusan Hulu dan Kecamatan Satui. Lokasi tambang berbatasan langsung dengan lima desa yaitu Desa Sebamban Lama, Desa Sebamban Baru, Desa Trimartani, Desa Bunati, dan Desa Mangkalapi. Selain berbatasan dengan desa wilayah kuasa pertambangan eksploitasi PT TIA berbatasan dengan beberapa konsesi batubara, sebagai berikut : Konsesi Pertambangan Eksploitasi PT Multi Cahaya Prima (PT MCP), PT Aneka Cipta Prima, PT Dipta Iriana Sejahtera dan PT Sinar Megah Prima berbagi batas dengan Barat KP Eksploitasi PT TIA, bersama – sama dengan konsesi batubara PT Borneo Indo Bara (PT BIB), perusahaan ini adalah pemegang PKP2B yang pada saat ini telah berproduksi, wilayah PKP2B PT Borneo Indo Bara berbagi batas dengan PT Tunas Inti Abadi sebelah Utara dan Timur. Secara geografis kuasa pertambangan (KP) PT TIA berada pada koordinat 115o 54’ 00” – 115o 57’ 30” BT dan 3o 34’ 30” – 3o 37’ 00” LS (PT TIA 2010). Lokasi penambangan batubara dapat ditempuh dari Jakarta dengan cara perjalanan dari Jakarta – Banjarmasin menggunakan pesawat terbang selama kurang lebih 2 jam, dilanjutkan perjalanan darat dengan menggunakan mobil melalui jalan aspal (jalan propinsi) Banjarmasin – Kecamatan Angsana, berjarak 260 km. Dapat ditempuh dalam waktu kurang lebih 4 jam. Lokasi site PT TIA yang berada di daerah Sebamban, yang berjarak ± 30 km dari kota kecamatan ditempuh dengan mobil double gardan melalui ruas jalan angkut batubara selama 30 menit (PT TIA 2010). Status Kawasan PT Tunas Inti Abadi Berdasarkan status kawasan hutan menurut SK Menhutbun Nomor 453 tahun 1999 lokasi tambang PT Tunas Inti Abadi dengan luas areal 2.355,2 ha berada di kawasan hutan produksi (HP) dan sedikit hutan produksi konversi (HPK), jalan berada di kawasan hutan konversi (HK) dan hutan produksi (HP), dan pelabuhan khusus batubara berada di kawasan areal penggunaan lain (APL), sedangkan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) Kalimantan Selatan lokasi tambang berada di kawasan hutan produksi (HP) dan kawasan budidaya tanaman perkebunan (KBTP), jalan berada di kawasan budidaya tanaman perkebunan (KBTP) dan pelabuhan khusus batubara berada di kawasan budidaya tanaman perkebunan (KBTP). Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten ( RTRWK) Tanah Bumbu lokasi tambang berada di kawasan budidaya tanaman tahunan (KBTT), hutan produksi tetap (HPT) dan kawasan budidaya lahan kering (KBLK), jalan berada di kawasan budidaya tanaman tahunan (KBTT) dan kawasan budidaya lahan kering (KBLK), pelabuhan khusus batubara berada di kawasan budidaya perikanan (KBP) sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa lokasi tambang, jalan, dan pelabuhan khusus batubara PT Tunas Inti Abadi cukup sesuai dengan arahan rencana tata ruang wilayah (PT TIA 2010).
16
Keadaan Topografi Topografi daerah Kabupaten Tanah Bumbu hampir sebagian besar adalah dataran rendah, yaitu dengan ketinggian 0 – 25 meter di atas permukaan laut (mdpl) dan sebagian lagi dengan ketiggian 25 – 100 m dpl serta sebagian kecil dengan ketinggian antara 100 – 1000 mdpl (PT TIA 2010). Kondisi cuaca dan iklim Secara klimatologi, daerah site PT TIA berdasarkan klasifikasi iklim Koppen termasuk tipe Alfa (Iklim hujan hujan tropis) dengan ciri suhu udara minimum bulanan sekitar 180C. Sedangkan menurut Schmidt & Ferguson termasuk daerah beriklim A (Iklim hutan hujan tropis) dengan ciri sangat basah. Menurut data PT TIA (2010) curah hujan bulanan rata – rata selalu di atas 200 mm dengan curah hujan berkisar antara 2.828 mm/tahun sampai dengan 3.366 mm/tahun dan rata – rata curah hujan bulanan antara 257 mm sampai dengan 394 mm, serta curah hujan tertinggi jatuh pada bulan Juni dan curah hujan terendah jatuh pada bulan September. Rona Awal Vegetasi Pengamatan vegetasi alami di lokasi penambangan batubara PT Tunas Inti Abadi meliputi lokasi tambang, lokasi jalan angkut dan lokasi sekitar komplek mess. Keadaan vegetasi di lokasi tambang adalah vegetasi hutan sekunder dengan keanekaragaman dan kerapatan flora sedang. Vegetasi hutan terdiri pepohonan serta sisanya berupa semak belukar. Jenis – jenis vegetasi yang terdapat di lokasi penambangan antara lain adalah akasia (Acacia mangium), meranti (Shorea sp.), keruing (Dipterocarpus sp.), nyatoh (Palaqium byrchil), ulin (Eusideroxylon zwageri), dan jabon (Anthocephalus cadamba) (PT TIA 2010). Satwa Liar Satwa atau fauna darat yang terdapat di sekitar lokasi penelitian adalah fauna dari beberapa jenis mamalia, reptil, dan aves. Babi hutan (Sus barbatus), tupai (Glyphatus simus), kera ekor panjang (Macaca fasicularis), bekantan (Nasalis larvatus), tikus hutan (Ratus sp.). Jenis reptil yang terdapat disekitar lokasi penelitian antara lain, biawak (Varanus salvator), kadal (Mobuoya multifasciata), bunglon (Colotus cobarus), ular hijau (Trimeresurus sp.), ular tanah (Angkistodon sp.), ular piton (Python reticulatus), ular kobra (Naja sp.). Jenis aves yang terlihat disekitar lokasi penelitian antara lain elang bondol (Heliantus indus), pipit (Luchura leneogasta), ayam hutan (Gallus barius), tekukur (Streptolia chinensis), srindit (Loricolus passilus), gagak (Carvus macharothynchos), prenjak (Prinia familiaris), emprit (Lonchura puntulata), puyuh (Tumix suscicator), jalak hitam (Leucopsar sp.) (PT TIA 2010).
17
HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL Percobaan I Pengujian Mutu Fisik dan Fisiologis Benih Pengujian Mutu Fisik Benih Pengujian mutu fisik benih sangat penting untuk dilakukan karena menentukan pertumbuhan benih dilapangan. Pengujian mutu fisik benih dilakukan dengan uji berat 1000 butir benih Hasil pengujian mutu fisik benih dengan metode berat 1000 butir benih dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Hasil pengujian mutu fisik benih trembesi (S. saman), sengon (F. moluccana), sengon buto (E. cyclocarpum) dan randu (C. pentandra) Jenis Tanaman S. saman F. moluccana E. cyclocarpum C. pentandra
Berat 1000 butir (g) 193,16 21,55 1052,60 61,99
Parameter Uji Jumlah per Kg (butir) 5.177 46.409 950 16.145
Koofisien Keragaman 1,78 0,25 3,83 0,80
Hasil pengujian mutu fisik benih dengan metode berat 1000 butir diketahui sengon buto mempunyai berat paling tinggi yaitu 1052,60 g, hal ini dikarenakan benih tersebut mempunyai ukuran benih paling besar jika dibandingkan dengan tiga jenis tanaman lainnya. Dari hasil perhitungan berat 1000 butir diketahui jumlah benih per 1 kg dari keempat contoh uji tersebut. Jumlah benih trembesi 5.177 butir, sengon 46.409 butir, sengon buto 950 butir dan randu 16.145 butir. Metode pengujian mutu fisik benih dapat dilihat pada Gambar 2.
Cbenih; A) Trembesi (S. saman); D Gambar 2 Metode pengujian mutu fisik B) Sengon (F. moluccana); C) Sengon buto (E. cyclocarpum); D) Randu (C. pentandra).
18
Pengujian Fisiologis Benih Pengujian fisiologis benih juga dilakukan untuk mengetahui kemampuan benih tumbuh. Pengujian fisologis dilihat dari dua parameter uji yaitu daya kecambah benih dan laju perkecambahan. Hasil uji fisiologis benih dapat dilihat pada Tabel 2 Tabel 2 Hasil pengujian mutu fisiologis benih trembesi (S. saman), sengon (F. moluccana), sengon buto (E. cyclocarpum) dan randu (C. pentandra) Jenis Tanaman S. saman F. moluccana E. cyclocarpum C. pentandra
Parameter Uji Daya Berkecambah (%) Laju Perkecambahan (Hari) 77,33 14 86,67 6 66,67 13 77,33 10
Hasil uji fisiologis dari keempat benih yang diuji cobakan, sengon mempunyai daya kecambah yang paling tinggi yaitu sebesar 86,67%. Daya kecambah randu dan trembesi sebesar 77,33%. Sengon buto mempunyai daya kecambah paling rendah yaitu sebesar 66,67%. Hasil uji laju perkecambahan benih sengon mempunyai laju paling cepat yaitu hanya 6 hari, sedangkan jenis lainnya laju perkecambahan minimal 10 hari. Laju perkecambahan randu 10 hari, sengon buto 13 hari dan trembesi 14 hari. Pengujian fisiologis benih dapat dilihat pada Gambar 3.
A
B
Gambar 3 Pengujian mutu fisiologis; A) Rumah kaca pengujian mutu fisiologis; B) Pengujian fisiologis benih dengan metode standar.
19
Percobaan II Adaptasi Benih Tanaman Kehutanan di Lahan Pasca Tambang Percobaan dilakukan di lokasi inpit dump lahan bekas tambang batubara PT TIA. Lahan yang digunakan untuk percobaan merupakan lahan yang telah dilakukan penaburan top soil. Lokasi Percobaan II dan Percobaan III dapat dilihat pada Gambar 4.
A
B
Gambar 4 Lahan yang digunakan untuk direct seeding, (A) Penataan lahan inpit dump, (B) Lahan yang siap untuk direct seeding, sudah dilakukan penaburan top soil. Uji Fisiologis Pengamatan uji fisiologis yang meliputi daya kecambah dan laju kecambah juga dilakukan pada saat metode direct seeding diterapkan di lahan bekas tambang untuk masing-masing jenis benih. Dari hasil pengamatan fisiologis di lapangan dilakukan sidik ragam terhadap parameter daya kecambah dan laju kecambah Hasil sidik ragam disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Hasil sidik ragam daya kecambah dan laju kecambah benih trembesi (S. saman), sengon (F. moluccana), sengon buto (E. cyclocarpum) dan randu (C. pentandra) di lapangan Parameter Signifikansi R Square Daya Kecambah <.0001* 0.1067 Laju Kecambah 0,3235 tn 0,1616 Keterangan; *: Perlakuan berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 5% tn : Perlakuan tidak berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 5%
Dari hasil sidik ragam daya kecambah memberikan pengaruh yang nyata pada daya kecambah pada tingkat kepercayaan 5%. Untuk mengetahui perlakuan yang berpengaruh terhadap daya kecambah dilakukan uji Duncan’s Multiple Range Test. Hasil pengujian dapat dilihat pada Tabel 4.
20
Tabel 4 Rata-rata daya kecambah benih trembesi (S. saman), sengon (F. moluccana), sengon buto (E. cyclocarpum) dan randu (C. pentandra) di lapangan setelah 4 MST Jenis Tanaman Rata – Rata Daya Kecambah (%) S. saman 14,4b F. moluccana 31,6a E. cyclocarpum 11,2b C. pentandra 19,6b Keterangan: rata-rata yang diikuti huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 5%, hasil uji Duncan’s Multiple Range Test.
Hasil uji Duncan’s Multiple Range Test diketahui pada perlakuan sengon mempunyai rata-rata daya kecambah paling tinggi yaitu 31,6%, randu 19,6% trembesi 14,4% dan sengon buto 11,2%. Daya kecambah harian dapat dilihat pada Gambar 5. % 35 30 25 Samanea saman
20
Falcataria moluccana 15
Enterolibium cylocarpum
10
Ceiba pentandra
5 0 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31
Hari
Gambar 5 Daya kecambah harian benih trembesi (S. saman), sengon (F. moluccana), sengon buto (E. cyclocarpum) dan randu (C. pentandra). Rata-rata laju kecambah jenis tanaman pada Percobaan II dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Rata-rata laju kecambah tanaman trembesi (S. saman), sengon (F. moluccana), sengon buto (E. cyclocarpum) dan randu (C. pentandra) di lapangan Jenis Tanaman S. saman F. moluccana E. cyclocarpum C. pentandra
Rata – Rata Laju Kecambah (hari) 12 12 8 13
21
Laju kecambah paling cepat yaitu tanaman sengon buto, tanaman trembesi, sengon mempunyai laju kecambah 12 hari sedangkan laju kecambah randu 13 hari. Pertumbuhan Tanaman di Lapangan Pengamatan pertumbuhan tanaman di lapangan meliputi tiga parameter yaitu tinggi, diameter tanaman dan daya hidup. Pertumbuhan tinggi dan diameter diamati setelah kecambah berumur 4 minggu, sedangkan pengamatan daya hidup dilakukan ketika tanaman umur 12 minggu. Untuk mengetahui hasil pengamatan dilakukan sidik ragam tehadap tiga parameter tersebut. Hasil analisis sidik ragam terhadap parameter pengamatan tanaman di lapangan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Hasil analisis sidik ragam terhadap parameter pengamatan tinggi tanaman, diameter tanaman dan daya hidup tanaman di lapangan Parameter Tinggi tanaman Diameter Tanaman Daya hidup tanaman
Signifikansi <,0001* <.0001* 0,5313tn
R Square 0,79 0,94 0,07
Keterangan; *: Perlakuan berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 5% tn : Perlakuan tidak berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 5%
Tinggi Tanaman Hasil analisis sidik ragam diketahui bahwa jenis tanaman memberikan pengaruh terhadap ketiga parameter uji yaitu tinggi tanaman, diameter tanaman dan daya hidup tanaman. Untuk mengetahui perlakuan yang paling berpengaruh terhadap tanaman maka dilakukan uji lanjut Duncan’s Multiple Range Test terhadap masing – masing parameter pengamatan. Hasil uji lanjut lanjutDuncan’s Multiple Range Test terhadap rata-rata pertambahan tinggi tanaman dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Rata-rata pertambahan tinggi tanaman trembesi (S. saman), sengon (F. moluccana), sengon buto (E. cyclocarpum) dan randu (C. pentandra) di lapangan per 2 minggu Jenis Tanaman S. saman F. moluccana E. cyclocarpum C. pentandra
Rata – Rata Pertambahan Tinggi Tanaman (cm) 0,76b 0,49b 1,43a 1,44a
Keterangan: rata-rata yang diikuti huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 5%, hasil uji lanjut Duncan’s Multiple Range Test.
Hasil uji lanjut duncan diketahui bahwa jenis tanaman sengon buto dan randu mempunyai rata-rata pertambahan tinggi lebih baik jika dibandingkan dengan tanaman trembesi dan sengon. Rata-rata pertambahan tinggi sengon buto dan randu adalah berturut-turut 1,43 dan 1,44 cm sedangkan trembesi dan sengon 0,79 dan 0,49 cm. Dengan rata-rata pertambahan tinggi yang diukur per 2 minggu, pertumbuhan tinggi tanaman selama 12 minggu dapat dilihat pada Gambar 6.
22
20,0 15,1
15,0
18,4
17,6
16,4
Tinggi (cm)
12,7
Samanea saman
10,0 5,0
4,9 3,9
IV
2,6
2,0
1,4
0,0
7,0 6,6
5,8 5,7
VI
VIII
IX
8,6 7,5
9,6 7,9
Falcataria moluccana
3,3
3,6
Ceiba pentandra
XII
Enterolobium cyclocarpum
Minggu
Gambar 6 Tinggi rata-rata tanaman trembesi (S. saman), sengon (F. moluccana), sengon buto (E. cyclocarpum) dan randu (C. pentandra) di lapangan. Diameter Tanaman Uji lanjut Duncan’s Multiple Range Test dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan perbedaan jenis tanaman terhadap diameter tanaman. Hasil uji lanjut dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Rata-rata diameter tanaman trembesi (S. saman), sengon (F. moluccana), sengon buto (E. cyclocarpum) dan randu (C. pentandra) di lapangan per 4 minggu Jenis Tanaman Rata – Rata Diameter Tanaman (mm) S. saman 1,73b F. moluccana 0,81c E. cyclocarpum 3,89a C. pentandra 1,74b Keterangan: rata-rata yang diikuti huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 5%, hasil uji lanjut Duncan’s Multiple Range Test.
Dari hasil uji lanjut diketahui sengon buto mempunyai rata – rata pertambahan diameter paling besar sedangkan sengon mempunyai rata – rata pertambahan paling kecil. Pertambahan rata-rata diameter trembesi dan randu tidak berbeda nyata pada masing-masing perlakuan. Pertambahan rata-rata diameter sengon buto 3,89 mm, randu 1,74 mm, trembesi 1,73 mm dan sengon 3,89 mm. Grafik ratarata pertambahan diameter setiap jenis tanaman pada Percobaan II dapat dilihat pada Gambar 7.
23 mm 5,00 4,50 4,00 3,50 3,00 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 0,00
4,35 3,42
Falcataria moluccana
1,55 1,33 0,72 I
Gambar
Samanea saman
3,89
7
1,76 1,74
2,12 1,91
0,84
0,98
II
III
Enterolobium cyclocarpum Ceiba pentandra
Bulan
Diameter rata-rata tanaman rembesi (S. saman), sengon (F. moluccana), sengon buto (E. cyclocarpum) dan randu (C. pentandra) di lapangan per 4 minggu.
Daya Hidup Daya hidup tanaman dari hasil analisis tidak berpengaruh nyata, daya hidup masing-maaing tanaman dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Daya hidup tanaman rembesi (S. saman), sengon (F. moluccana), sengon buto (E. cyclocarpum) dan randu (C. pentandra) Percobaan II Jenis Tanaman S. saman F. moluccana E. cyclocarpum C. pentandra
Daya Hidup Tanaman (%) 19,2 30,8 14,8 29,6
Sengon mempunyai daya hidup paling tinggi yaitu 30,8%, randu 29,6%. Daya hidup benih berukuran sedang lebih rendah dari benih berukuran kecil, daya hidup trembesi 19,2% dan daya hidup sengon buto 14,8%. Adaptasi pertumbuhan tanaman dapat dilihat pada Gambar 8.
A
B
C
D
Gambar 8 Bibit A) Trembesi (S. saman), B) Sengon (F. moluccana), C) Sengon buto (E. cyclocarpum) dan D) Randu (C. pentandra),umur 8 minggu ditanam dengan metode direct seeding.
24
Daya hidup tanaman berdasarkan lubang tanam pada Percobaan II disajikan pada Tabel 10 Tabel 10 Daya hidup tanaman trembesi (S. saman), sengon (F. moluccana), sengon buto (E. cyclocarpum) dan randu (C. pentandra) berdasarkan lubang tanam pada Percobaan II Jenis Tanaman Lubang Tanam Lubang Tanam Tidak Berkecambah (%) Berkecambah (%) S. saman 58 42 F. moluccana 66 34 E. cyclocarpum 52 48 C. pentandra 66 34 Dari hasil tersebut diketahui bahwa daya hidup sengon dan randu berdasarkan lubang tanam lebih tinggi jika dibandingkan dengan trembesi dan sengon buto. Daya hidup sengon dan randu sebesar 66%, sedangkan daya hidup trembesi dan sengon buto 58% dan 52%. Daya hidup tanaman juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Aliran air dapat menyebabkan kematian tanaman, karena sedimentasi dapat menimbun tanaman. Kematian yang disebabkam oleh aliran air dpat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9 Tanaman sengon umur 4 minggu yang mulai tertimbun dan tergerus air hujan. Pertumbuhan tanaman memerlukan unsur hara. Untuk mengetahui kandungan unsur hara lahan yang digunakan dalam Percobaan II dan III maka dilakukan analisis tanah. Analisis tanah di Pusat Penelitian Lingkungan Universitas Lambung Mangkurat. Hasil analisis sifat fisk tanah dapat dilihat pada Tabel 11.
25
Tabel 11 Sifat fisik tanah lahan pasca tambang PT Tunas Inti Abadi Tekstur (%) Pasir Debu Liat PSH Kelas Tekstur 13,81 27,82 51,18 7,19 Liat Hasil analisis sifat kimia tanah dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Sifat kimia tanah lahan pasca tambang PT Tunas Inti Abadi C N P2O5 K20 P2O5tsd pH Ca-dd Mg-dd % mg/100 g ppm H2O me/100 g 8,98 0,53 23.07 0,67 8,00 3,93 0,73 2,40 Lanjutan K-dd Al-dd H-dd KTK KB BD PD Perm me/100 g % g/cm3 cm/jam 0,03 8,34 2,08 18,98 18,45 1,03 2,27 0,08
Na-dd 0,35 Pori % 39,21
26
Percobaan III Pengaruh Penambahan Pupuk Kandang Pada Perkecambahan dan Pertumbuhan Bibit Hasil Direct Seeding Percobaan III dilakukan di lokasi inpit dump lahan bekas tambang. Lahan yang digunakan merupakan lahan bekas tambang yang telah direklamasi dengan ketebalan top soil dengan ketebalan 60 cm. Lokasi Percobaan III dapat dilihat pada Gambar 4. Pada Percobaan III dilakukan penambahan pupuk kandang dari kotoran sapi dengan dosis 2 kg berat kering per lubang tanam. Tahapan Percobaan III dapat dilihat pada Gambar 10.
A
B
C
D
Gambar 10 Tahapan Percobaan III: (A) pembuatan lubang tanam; (B) penambahan pupuk kandang; (C) penaburan benih; dan (D) penandaan. Uji Fisiologis Hasil sidik ragam diketahui bahwa penambahan pupuk memberikan pengaruh terhadap rata-rata daya kecambah Percobaan III. Hasil uji dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Rata-rata daya kecambah tanaman trembesi (S. saman), sengon (F. moluccana), sengon buto (E. cyclocarpum) dan randu (C. pentandra) di lapangan setelah 4 MST pada Percobaan III Jenis Tanaman Rata – Rata Daya Kecambah (%) S. saman 13,2a F. moluccana 11,6a E. cyclocarpum 7,2b C. pentandra 12a Keterangan: rata-rata yang diikuti huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 5%, hasil uji Duncan’s Multiple Range Test.
Dari hasil uji diketahui bahwa daya kecambah trembesi, sengon, sengon buto dan randu tidak berbeda nyata. Daya kecambah berkisar 7,2 -13,2 %. Daya kecambah paling rendah yaitu tanaman sengon buto 7,2%, daya kecambah trembesi 13,2 %, sengon 11,6 % dan randu 12 %. Daya kecambah harian dapat dilihat pada Gambar 11.
27
% 14 12 10 Samanea saman
8
Falcataria moluccana
6
Enterolibium cylocarpum
4
Ceiba pentandra
2 0 1
3
5
7
9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31
Hari
Gambar 11 Daya kecambah harian tanaman trembesi (S. saman), sengon (F. moluccana), sengon buto (E. cyclocarpum) dan randu (C. pentandra) pada Percobaan III. Hasil sidik ragam penambahan pupuk tidak memberikan pengaruh terhadap laju kecambah (Tabel 3). Rata-rata laju kecambah jenis tanaman pada Percobaan III dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Rata-rata laju kecambah tanaman trembesi (S. saman), sengon (F. moluccana), sengon buto (E. cyclocarpum) dan randu (C. pentandra) pada Percobaan III Jenis Tanaman S. saman F. moluccana E. cyclocarpum C. pentandra
Rata – Rata Laju Kecambah (hari) 17 12 10 14
Dari Tabel 5 diketahui bahwa laju kecambah paling cepat yaitu sengon buto dengan rata-rata laju kecambah 10 hari, sengon 12 hari, randu 14 hari dan trembesi 17 hari. Pada Percobaan III terjadi persaingan laju kecambah dengan tanaman tanaman lain yang benihnya terbawa oleh pupuk kandang. Kecambah tanaman lainnya dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12 Kecambah dari tanaman lain yang terbawa pupuk kandang.
28
Pertumbuhan Tanaman di Lapangan Tinggi Tanaman Hasil sidik ragam tinggi tanaman berbeda nyata. Untuk mengetahui sejauh mana pengaruhnya dilakukan uji lanjut Duncan’s Multiple Range Test terhadap rata-rata pertambahan tinggi tanaman dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Rata-rata pertambahan tinggi tanaman trembesi (S. saman), sengon (F. moluccana), sengon buto (E. cyclocarpum) dan randu (C. pentandra) per 2 minggu pada Percobaan III Jenis Tanaman Rata – Rata Pertambahan Tinggi Tanaman (cm) S. saman 2,31b F. moluccana 1,38c E. cyclocarpum 6,65a C. pentandra 2,26b Keterangan: rata-rata yang diikuti huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 5%, hasil uji lanjutDuncan’s Multiple Range Test.
Pada Percobaan III diketahui sengon buto mempunyai rata-rata pertambahan tinggi yaitu 6,65 cm per 2 minggu, sedangkan trembesi dan randu rata-rata pertambahan tinggi 2,31 cm dan 2,26 cm. Pada Percobaan III sengon mempunyai rata-rata pertambahan tinggi hanya 1,38 cm per 2 minggu. Perubahn tinggi rata-rata per dua minggu dapat dilihat pada Gambar 13. cm 45,0 40,0 35,0
Samanea saman
30,0 25,0
Falcataria moluccana
20,0 Enterolobium cyclocarpum
15,0 10,0
Ceiba pentandra
5,0 0,0 IV
VI
VIII
IX
XII
Minggu ke-
Gambar 13 Tinggi rata-rata tanaman trembesi (S. saman), sengon (F. moluccana), sengon buto (E. cyclocarpum) dan randu (C. pentandra) pada Percobaan III.
29
Diameter Tanaman Uji lanjut Duncun’s Multiple Range Test dilakukan untuk mengetahui perbedaan pengaruh perlakuan terhadap diameter tanaman. Hasil uji lanjut dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 Rata-rata diameter tanaman trembesi (S. saman), sengon (F. moluccana), sengon buto (E. cyclocarpum) dan randu (C. pentandra) per 4 minggu pada Percobaan III Jenis Tanaman Rata – Rata Diameter Tanaman (mm) S. saman 2,47b F. moluccana 1,12c E. cyclocarpum 5,46a C. pentandra 2,42b Keterangan: rata-rata yang diikuti huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 5%, hasil uji lanjut Duncun’s Multiple Range Test.
Rata-rata diameter tanaman tertinggi pada tanaman sengon buto sebesar 5,46 mm, trembesi dan randu mempunyai rata-rata diameter 2,47 mm dan 2,42 mm, rata-rata daimeter terkecil pada tanaman sengon yakni 1,12 mm. Grafik ratarata pertambahan diameter setiap jenis tanaman dapat dilihat pada Gambar 14. mm 9,00 8,00 7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00
Samanea saman Falcataria moluccana Enterolobium cyclocarpum Ceiba pentandra
I
II
III
Bulan
Gambar 14 Diameter rata-rata tanaman trembesi (S. saman), sengon (F. moluccana), sengon buto (E. cyclocarpum) dan randu (C. pentandra) pada Percobaan III. Daya Hidup Hasil sidik ragam menunjukkan perlakuan tidak berpenagrauh terhadap daya hidup tanaman. Daya hidup tanaman dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Daya hidup tanaman tanaman trembesi (S. saman), sengon (F. moluccana), sengon buto (E. cyclocarpum) dan randu (C. pentandra) pada Percobaan III Jenis Tanaman S. saman F. moluccana E. cyclocarpum C. pentandra
Daya Hidup Tanaman (%) 21,3 10,4 8 13,2
30
Daya hidup tanaman sengon buto pada Percobaan III 8 %, daya hidup sengon 10,4%, daya hidup randu 13,2%. Trembesi mempunyai daya hidup paling tinggi yaitu 21,3%. Pertumbuhan tanaman pada Percobaan III dapat dilihat pada Gambar 15.
B
A
C
D
Gambar 15 Kondisi tanaman pada Percobaan III, A) trembesi (S. saman), B) sengon (F. moluccana),C) sengon buto (E. cyclocarpum) dan D) randu (C. pentandra)¸ umur 8 minggu ditanam dengan metode direct seeding. Hasil sidik ragam menunjukan daya hidup tanaman berdasarkan lubang tanam pada Percobaan III tidak berbeda nyata. Daya hidup tanaman disajikan pada Tabel 18. Tabel 18 Daya hidup tanaman trembesi (S. saman), sengon (F. moluccana), sengon buto (E. cyclocarpum) dan randu (C. pentandra) berdasarkan lubang tanam pada Percobaan III Jenis Tanaman S. saman F. moluccana E. cyclocarpum C. pentandra
Hidup (%) 72 38 28 40
Kosong (%) 28 62 72 60
Tanaman trembesi mempunyai daya hidup berdasarkan lubang tanam paling tinggi yaitu 72% jika dibandingkan dengan tiga tanaman lainnya. Daya hidup sengon sebesar 38%, randu 40% dan sengon buto 28%. Penambahan pupuk kandang memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan tanaman. Untuk mengetahui kandungan pupuk kandang maka dilakukan analisis di Laboratorium Departemen Tanah dan Sumberdaya Lahan FAPERTA IPB. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19 Hasil analisis kandungan unsur hara pupuk kandang C N P K Ca MG Kadar Air .....%..... 23,2
1,07
0,51
1.09
0,41
0,49
11,25
31
Analisis Biaya Untuk mengetahui biaya yang digunakan dalam pengembangan metode direct seeding pada lahan bekas tambang dilakukan analisa terhadap biaya tenaga kerja, pembelian pupuk kandang dan kebutuhan benih. Perhitungan ekonomi didasarkan jarak tanam 4 x 4 m dengan perhitungan luasan per ha. Kebutuhan tenaga kerja dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20 Kebutuhan tenaga kerja untuk penanamana dengan metode direct seeding dan konvensional per ha Metode Jumlah Waktu Biaya HOK Total Biaya Penanaman Tanaga Kerja (Hari) (Rp) HOK/ ha Direct seeding 2 4 75.000 600.000 Bibit persemaian 2 7 75.000 1.050.000 Dosis pupuk kandang yang digunakan untuk penelitian dan rehabilitasi di PT Tunas Inti sebanyak 2 kg per lubang tanaman. Analisa biaya untuk pembelian pupuk dengan dosis 2 kg per ha dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21 Biaya pembelian pupuk kandang kotoran sapi per ha Jumlah Lubang Dosis (kg) Harga/kg (Rp) Total Biaya Pupuk Tanam Kandang/ ha 625 2 1000 1.250.000 Ukuran benih menentukan berat 1000 butir benih, setiap jenis tanaman mempunyai berat yang berbeda. Analisis kebutuhan benih setiap jenis tanaman per ha dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22 Analisis kebutuhan benih tanaman trembesi (S. saman), sengon (F. moluccana), sengon buto (E. cyclocarpum) dan randu (C. pentandra) per ha Jenis Tanaman Kebutuhan Harga Harga Benih/ha Benih/ha (kg) Benih/kg (Rp) (Rp) S. saman 0,6 35000 21.127 F. moluccana 0,1 90000 6.060 E. cyclocarpum 3,3 40000 131.579 C. pentandra 0,2 20000 3.871 Dari hasil analisis biaya tenaga kerja, biaya pembelian pupuk kandang dan biaya kebutuhan benih, maka diketahui biaya penananaman dengan menggunakan metode direct seeding. Biaya penanaman masing-masing jenis tanaman trembesi (S. saman), sengon (F. moluccana), sengon buto (E. cyclocarpum) dan randu (C. pentandra) per ha tersebut dapat dilihat pada Tabel 23.
32
Tabel 23 Biaya tanam tiap jenis tanaman trembesi (S. saman), sengon (F. moluccana), sengon buto (E. cyclocarpum) dan randu (C. pentandra) per ha Jenis Tanaman Biaya Biaya Biaya Total Tenaga Pupuk Pembelian Biaya/ha Kerja Kandang Benih (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) S. saman 600.000 1.250.000 21.127 1.871.127 F. moluccana 600.000 1.250.000 6.060 1.856.060 E. cyclocarpum 600.000 1.250.000 131.579 1.981.579 C. pentandra 600.000 1.250.000 3.871 1.853.871 Analisis biaya penanaman dengan menggunakan bibit sengon berdasarkan hasil obeservasi yang dilakukan terhadap kontraktor yang melakukan penanaman. Hasil analisis penanaman dengan menguunakan bibit sengon dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24 Analisis biaya penanaman dengan bibit sengon Variabel Jumlah Harga Kebutuhan Total (Rp) (Rp) Tenaga kerja 2 orang 75.000 7 hari 1.050.000 Pupuk kandang 2 kg/ lubang tanam 1000 625 1.250.000 Bibit sengon 1bibit/lubang 3500 625 bibit 2.187.500 Jumlah 4.487.500
33
PEMBAHASAN Pengujian Mutu Fisik Benih Dari hasil pengujian mutu fisik benih dengan menggunakan metode berat 1000 butir benih diketahui bahwa benih yang digunakan dalam percobaan ini diklasifikasikan menjadi dua yaitu benih berukuran kecil dan benih berukuran sedang. Benih berukuran kecil yaitu sengon dan randu, hasil perhitungan berat 1000 butir benih yaitu sengon 21,55 g dan randu yang beratnya 61,99 g. Sedangkan benih berukuran sedang yaitu trembesi dan sengon buto. Berat 1000 butir untuk benih yang berukuran sedang ini yaitu trembesi yang beratnya 193,16 g dan sengon buto beratnya 1052,60 g. Pengklasifikasian benih berdasarkan Doust et al., (2006) yang mengutarakan benih berukuran kecil (<0.01–0.099 g); sedang (0.1–4.99 g); besar (>5.0 g). Dari hasil perhitungan berat 1000 butir benih dan jumlah benih per kilogram (Tabel 1) diperoleh hasil yang hampir sama dengan penelitian yang dilakuan oleh peneliti sebelumnya. Benih sengon jumlah benih per kg sebanyak 46.409 butir, jumlah ini tidak jauh bebeda dengan penelitian Tuheteru (2009), dimana dalam penelitianya jumlah benih per 1 kg sebanyak 42.395 butir. Tetapi jumlah ini jauh berbeda dengan Pramono (2010) yang menyatakan jumlah benih per 1 kg 25.000 – 28.000 butir. Untuk benih sengon buto dan randu hasil pengujian mutu fisik benih jumlah per 1 kg benih sebanyak 950 butir dan 16.145. Jumlah per kg ini tidak jauh berbeda dengan penelitian sebelumnya jumlah benih 1 kg sebanyak 900-1000 benih untuk benih sengon buto (Djoker 2003) dan 10.000-45.000 untuk randu (Djoker dan Salazar 2005). Pengujian Mutu Fisiologis Benih Selain uji fisik benih, pengujian mutu fisiologis benih juga perlu dilakukan untuk mengetahui daya kecambah benih. Pengujian mutu fisik benih dilakukan disetiap percobaan dengan lama pengamatan 30 hari. Parameter yang diamati yaitu daya kecambah dan laju kecambah. Hasil pengujian mutu fisiologis Percobaan I pada Tabel 2 menunjukkan bahwa sengon mempunyai daya kecambah yang paling tinggi jika dibandingkan dengan 3 jenis lainnya. Daya berkecambah sengon mencapai 86,67%, sedangkan yang lain hanya 77,33% untuk trembesi dan randu. Sengon buto mempunyai ukuran benih yang paling besar namun mempunyai daya kecambah paling kecil yaitu 66,67%. Bertoni dan Juarez (1980) di Mexico Tenggara hasil pengecambahan sengon buto yang dilakukan di rumah kaca sebesar 77%. Laju perkecambahan dari empat jenis yang diujikan sengon mempunyai laju paling cepat yaitu hanya 6 hari, sementara ketiga jenis tanaman yang lain memiliki laju perkecambahan minimal 10 hari. Laju perkecambahan randu 10 hari, sengon buto 13 hari dan trembesi laju perkecambahan 14 hari. Dari percobaan ini diketahui bahwa benih berukuran kecil mempunyai laju kecambah lebih cepat dari benih yang berukuran sedang. Pengamatan fisiologis benih pada Percobaan II dilakukan untuk mengetahui adaptasi benih terhadap lahan pasca tambang yang memiliki suhu yang ekstrim. Dari hasil uji fisiologis Percobaan I dengan Percobaan II daya kecambah pada Percobaan II jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan Percobaan I. Daya kecambah pada Percobaan II berkisar 11,2% - 31,6%, sedangkan
34
Percobaan I daya kecambah mencapai 66,67% - 86,67%. Daya kecambah masing-masing tanaman pada Percobaan II ini trembesi 14,4%, sengon 31,6%, sengon buto 11,2% dan randu 19,6%. Pada Percobaan I dan Percobaan II tanaman sengon mempunyai daya kecambah paling tinggi jika dibandingkan dengan ketiga tanaman lainnya. Schmidt (2000;2007) melaporkan bahwa perkecambahan ditentukan oleh kualitas benih, perlakuan awal dan kondisi perkecambahan seperti air, suhu, udara, media, cahaya dan bebas dari hama penyakit. Pada kondisi ini faktor lingkungan perkecambahan sangat berpengaruh, pada Percobaan I kondisi lingkungan dapat terkontrol sedangkan pada areal penananaman kondisi lingkungan tidak dapat terkontrol. Berdasarkan daya kecambah pada Percobaan I, daya kecambah pada Percobaan II dapat ditingkatkan dengan penambahan jumlah benih yang ditabur. Untuk mendapatkan daya kecambah minimal 60% dapat dilakukan penaburan benih minimal 25 biji untuk trembesi, 10 biji untuk tanaman sengon, 30 biji untuk tanaman sengon buto dan 20 biji untuk tanaman randu. Sengon buto pada Percobaan II mempunyai laju kecambah paling cepat jika dibandingkan dengan tiga jenis tanaman lainnya yaitu trembesi, sengon dan randu. Laju kecambah sengon buto pada Percobaan II yaitu 8 hari. Hasil penelitian Sahgun et al. (2007) diperoleh laju kecambah sengon buto 8-9 hari. Pada Gambar 5 terlihat bahwa bahwa pada awalnya 3 jenis tanaman lainnya grafiknya berada berada dibawah tanaman sengon buto, namun mulai hari kedua belas perkecambahan sengon buto tersaingi oleh trembesi, sengon dan randu. Laju kecambah sengon mulai terhenti pada hari keenam belas dimana rata-rata daya kecambahnya sebesar 11,2%. Randu yang mempunyai laju pertumbuhan paling lama yaitu hari ketiga belas, namun pada akhirnya rata-rata daya kecambahnya lebih tinggi jika dibandingkan dengan tanaman trembesi hal ini dikarenakan randu lebih toleran terhadap tanah kering jika dibandingkan dengan trembesi. Randu dapat tumbuh pada daerah dengan curah hujan 1000-2500 mm per tahun (Salazar dan Dorthe 2001) sedangkan trembesi mampu tumbuh pada daerah dengan curah hujan 600-3000 mm pertahun (Staples dan Elevitch 2006). Laju perkecambahan trembesi mulai stabil pada hari keenam belas sedangkan randu mulai stabil pada hari kedua puluh empat. Penambahan pupuk kandang dengan dosis 2 kg pada Percobaan III tidak dapat meningkatkan daya kecambah tanaman pada lahan bekas tambang, karena daya kecambah pada Percobaan III nilainya lebih kecil dari daya kecambah pada Percobaan I dan Percobaan II. Pada Percobaan I daya kecambahnya 66,6786,67%, sedangkan pada Percobaan II daya kecambahnya 14,4-31,6%. Daya kecambah pada Percobaan III, tanaman trembesi mempunyai daya kecambah paling tinggi yaitu sebesar 13,2%, randu 12%, sengon 11,6% dan sengon buto 7,2%. Hasil penelitian Priadi (2010) melaporkan bahwa tempat tumbuh mempengaruhi daya kecambah suatu tanaman, daya kecambah sengon pada tanah berumput 61,7% sedangkan daya kecambah pada tanah berpasir 39,0%. Pada Gambar 11 terlihat pada awalanya perkecambahan tanaman trembesi daya kecambahnya paling rendah dari tiga tanaman lainnya. Pada hari keenam belas daya kecambah tanaman trembesi mampu menyaingi tanaman randu dan sengon buto, pada hari kedua puluh delapan trembesi mampu menyaingi daya kecambah sengon.
35
Daya kecambah pada Percobaan III cenderung rendah hal ini diduga karena adanya persaingan dengan tanaman lainnya yang benihnya terbawa oleh pupuk kandang. Benih tanaman lain (gulma) tersebut mulai berkecambah pada hari kelima sampai hari keenam, sedangkan benih yang diuji cobakan mulai berkecambah pada hari kesepuluh. Benih tanaman yang terbawa pupuk kandang antara lain rumput-rumputan, bayam ( Gambar 12). Peningkatan daya kecambah pada Percobaan III dapat dilakukan dengan menambahkan jumlah biji yang ditabur. Untuk mendapatkan daya kecambah mimimal 60%, pada Percobaan III dapat dilakukan penaburan benih minimal 15 biji untuk trembesi, 30 biji untuk sengon, 45 biji untuk sengon buto dan 15 biji untuk tanaman randu. Laju kecambah yang paling cepat pada Percobaan III yaitu tanaman sengon buto, rata-rata laju kecambahnya 10 hari. Sengon mempunyai laju kecambah 12 hari, randu mempunyai laju kecambah 14 hari dan trembesi mempunyai laju kecambah 17 hari. Dengan adanya persaingan antara kecambah tanaman lain (gulma) dengan menghambat proses perkecambahan. Holl (1998) menyatakan bahwa penyebaran dan persaingan spesies lain menjadi faktor utama dalam pertumbuhan semai. Selain menjadi faktor penghambat pertumbuhan gulma dapat menjadi faktor utama dalam peningkatan kematian kecambah pada metode direct seeding (Engel dan Parrota 2001). Persaingan ini memberikan pengaruh terhadap perkecambahan karena adanya persaingan dalam perebutan ketersediaan air yang langka dan unsur hara yang rendah (Chapman et al. 2002). Dari hasil pengujian fisiologis tersebut diketahui bahwa ukuran benih tidak berpengaruh terhadap daya kecambah dan laju perkecambahan. Hal ini terlihat pada pecobaan Winarni dan Eliya (2008) melaporkan bahwa ukuran benih tidak mempengaruhi daya kecambah dan laju perkecambahan, tetapi yang berpengaruh yaiti berat dari masing-masing benih tersebut. Pertumbuhan Tanaman di Lapangan Hasil sidik ragam diketahui perlakuan memberikan pengaruh terhadap tinggi tanaman. Dari hasil uji lanjut lanjut Duncan’s Multiple Range Test menunjukkan bahwa tanaman yang mempunyai benih berukuran kecil yakni sengon dan randu mampu beradaptasi pada lahan bekas tambang. Dari hasil uji lanjut bahwa nilai rata-rata pertambahan tinggi pada tanaman randu tidak berbeda nyata dengan sengon buto yaitu 1,44 cm dan 1,43 cm per dua minggu. Sedangkan pertambahan tinggi rata-rata sengon dan trembesi juga tidak berbeda nyata yaitu 0,49 cm dan 0,76 cm per dua minggu. Pada minggu kedua belas tinggi sengon buto mencapai 18,4 cm, randu 9,6 cm, trembesi tingginya mencapai 7,9 cm dan sengon tingginya 3,6 cm. Meskipun pertambahan rata-rata benih per dua minggu antara sengon buto dan randu tidak berbeda nyata begitu pula trembesi dengan sengon tidak berbeda nyata tetapi pada Gambar 6 tinggi rata-rata tanaman terlihat berbeda. Pertumbuhan sengon buto yang cepat hal ini dikarenakan mempunyai sistem perakaran yang kuat untuk menembus tanah. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Hendromono (2002) sengon buto yang ditanam pada lahan tanpa olah mempunyai pertumbuhan dan persen jadi yang tidak berbeda nyata dengan tanaman sengon buto yang ditanam pada lahan yang telah diolah terlebih dahulu. Pada tanah yang tidak diolah tanahnya cenderung lebih keras jika dibandingkan dengan tanah yang diolah. Daya adaptasi yang konsisten juga terlihat pada tanaman randu, pada uji fisiologis
36
tanaman ini mampu menyaingi laju perkecambahan tanaman trembesi. Mulai minggu keenam tanaman randu mempunyai tinggi rata-rata lebih tinggi jika dibandingkan dengan tanaman trembesi. Hasil uji lanjut Duncan’s Multiple Range Test menunjukkan sengon buto mempunyai pertambahan rata-rata diameter per 4 minggu paling tinggi yaitu 3,89 mm, sedangkan trembesi dan randu rata-rata diameternya tidak berbeda nyata yakni 1,73 mm dan 1,74 mm, sedangkan sengon mempunyai rata-rata diameter 0,81 mm. Dari hasil ini diketahui bahwa randu mempunyai daya adaptasi yang konsisten sebab randu yang benihnya berukuran kecil mampu beradaptasi dengan lahan pasca tambang. Kemampuan beradaptasi ini terlihat pada rata-rata diameter randu hasil uji lanjut lanjut Duncan’s Multiple Range Test tidak berbeda nyata dengan trembesi dan pada bulan ketiga rata-rata diameternya lebih besar dari trembesi. Rata-rata diameter pada bulan ketiga diameter sengon buto sebesar 4,35 mm, randu sebesar 2,12 mm, trembesi 1,91 mm dan sengon 0,98 mm. Sengon buto mempunyai rata-rata tinggi dan diameter paling besar hal ini disebabkan sengon buto mempunyai ukuran biji paling besar jika dibandingkan yang lain ukuran benih lainnya. Benih masak ditandai dengan warna buah coklat tua dan berisi ± 13 benih. Benih sengon buto berukuran panjang 1,1 – 2 cm dan garis tengah 0,8 – 1,3 cm dan agak gemuk, berwarna coklat tua dengan garis coklat muda ditengahnya (Djam’an 2003). Hasil penelitian Doust et al. (2006;2008) pembenihan langsung pada 16 jenis dengan berbagai ukuran benih (kecil, sedang, dan besar) menunjukan bahwa jenis dengan ukuran benih yang besar memiliki kemampuan tumbuh dan berkembang yang tinggi. Pertumbuhan tanaman pada Percobaan II kurang maksimal hal ini dikarenakan minimnya unsur hara pada lahan bekas tambang. Lahan bekas tambang yang digunakan pada percobaan ini mempunyai tekstur liat (Tabel 11), dan mempunyai pH tanah 3,93 dengan kandungan unsur hara karbon 8,98%, nitrogen 0,53%, bulk density pada lahan ini yaitu 1,03 g/cm3 (Tabel 12). Lahan bekas tambang mempunyai kondisi hilangnya profil lapisan tanah, terjadi pemadatan tanah (tingginya tingkat bulk density), kekurangan unsur hara penting, pH rendah, pencemaran oleh logam-logam berat pada lahan bekas tambang, serta penurunan populasi mikroba tanah (Setyaningsih 2007; Tamin 2010; Rusdiana et al. 2000). Dengan pH tanah yang rendah menyebabkan kemungkinan adanya unsur-unsur beracun. Pada tanah-tanah masam banyak ditemukan ion-ion Al di dalam tanah, disamping memfiksasi unsur P juga merupakan racun bagi akar tanaman. Disamping itu pada reaksi tanah yang masam, unsur-unsur mikro menjadi mudah larut, sehingga ditemukan unsur mikro yang terlalu banyak. Unsur mikro merupakan hara yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah sangat kecil, sehingga menjadi racun kalau dalam jumlah besar (Hardjowigeno 1995). Dengan pH 3,93 menyebabkan ketersedian unsur hara semakin sedikit, selain itu jika pH tanah kurang dari 4,2 dapat menyebabkan penyerapan kation-kation oleh akar tanaman dapat berhenti (Tamadjoe 1995). Ketersidaan Al yang relatif tinggi yaitu 8,34 dapat meyebabkan tanaman keracunan dan perkembangan akar akan terbatas sehingga serapa unsur hara akan semakin sedikit. Penambahan pupuk kandang pada Percobaan III merupakan upaya untuk meningkatakan kualitas dari kecambah tanaman dengan metode direct seeding. Penambahan pupuk kandang dapat memperbaiki kondis sifat fisik tanah dan kimia tanah (Rasool et al. 2007). Pupuk kandang yang ditambahkan berasal dari kotoran
37
sapi. Dari hasil analisis kandungan hara yang terkandung dalam pupuk kandang sapi tersebut karbon 23,2%, Nitrogen 1,07%, Phospor 0,51%, Kalium 1,09%, Kalsium 0,41%, Magnesium 0,48%, dan kadar air 11,25%. Pemberian pupuk kandang dosis 2 kg memberikan pengaruh terhadap tinggi tanaman. Penambahan rata-rata tinggi tanaman per 2 minggu pada sengon buto mencapai 6,65 cm, trembesi dan randu masing-masing 2,31 cm dan 2,26 cm, pertambahn tinggi sengon hanya 1,38 cm. Pada minggu kedua belas tinggi rata-rata tanaman sengon buto sudah menacapai 41,5 cm, tinggi tanaman trembesi 15,4 cm, randu 12,4 cm dan sengon 7,4 cm. Penambahan pupuk juga memberikan pengaruh terhadap pertambahan diameter tanaman. Rata rata diameter tanaman sengon buto 5,46 mm. Rata-rata diameter tanaman tiga jenis lainnnya tidak berbeda nyata yaitu trembesi 2,47 mm, randu 2,42 mm dan sengon 1,12 mm. Rata – rata daimeter pada Percobaan III lebih besar daripada rata – rata diameter pada Percobaan II. Hasil penilitian yang dilakukan Wasis (2011) melaporkan bahwa pemberian bahan organik dalam bentuk kompos memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan tinggi rata-rata 6,81 cm, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap diameter tanaman. Penamabahan bahan organik dapat meningkat kandungan hara pada tanah. Menurut Hakim et al. ( 1986) Penambahan kompos pada tanah tailing dapat meningkatkan kandungan hara terutama N dan P, sementara itu kandungan Fe +3 yang bersifat toksik menurun sekitar 3-5 kali. Hal tersebut disebabkan oleh penambahan bahan organik pada media dapat meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK) tanah karena memiliki daya jerap kation yang lebih besar. Semakin tinggi kandungan bahan organik maka semakin tinggi pula KTK-nya sehingga Fe+3 berubah menjadi Fe+2 yang lebih tersedia bagi tanaman dan memiliki fungsi penting dalam sistem enzim dan diperlukan dalam sintesa klorofil. Daya Hidup Tanaman Daya hidup tanaman pada Percobaan II mengalami peningkatan kecuali tanaman sengon. Tanaman randu mempunyai daya hidup paling tinggi yaitu 29,6%, daya hidup trembesi 19,2%, daya hidup sengon buto 19,2%, sedangkan daya hidup sengon mengalami penurunan 0,8% sehingga daya hidup sengon diakhir pengamatan 30,8%. Berdasarkan lubang tanam, daya hidup tanaman yang diujikan rata-rata lebih dari 50% lubang tanam berkecambah. Benih berukuran kecil yaitu sengon dan randu mempunyai daya hidup lebih tinggi jika di bandingkan dengan benih berukuran sedang yaitu trembesi dan sengon buto. Daya kecambah sengon dan randu 66%, sedangkan daya kecambah trembesi dan sengon buto 58% dan 52%. Daya kecambah berdasarkan lubang tanam ini menunjukkan bahwa benih tanaman kehutanan yang berukuran kecil juga berpotensi untuk dikembangkan dengan metode direct seeding. Daya hidup sengon mengalami penurunan disebabkan karena tanaman tersebut terkena gangguan yaitu tertimbun tanah yang terbawa erosi dan tanaman terbawa aliran air. Namun gangguan yang ada disebabkan karena timbunan tanah yang terbawa erosi (Gambar 9). Tanaman sengon mudah tertimbun dan terbawa aliran air karena ukuran benihnya kecil sehingga kecambahnya juga kecil. Menurut Seiwa et al. 2002 bahwa ukuran benih memegang peranan penting dalam kehidupan tanaman, salah satunya terhadap perkecambahan benih dan
38
pertumbuhan awal anakan. Pada Percobaan II ini mempunyai kemiripan dengan percobaan yang dilakukan oleh Turner (2001) yang mengatakan beberapa jenis dari benih yang berasal dari benih berukuran kecil sperti Acacia celse dan Alphito petrei mempunyai daya kecambah yang tinggi tetapi memiliki karakateristik kematian yang tinggi pula. Penambahan pupuk kandang tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap daya hidup tanaman. Pada Percobaan III daya hidup tanaman cenderung lebih rendah dari pada daya hidup Percobaan II. Daya hidup yang lebih rendah ini disebabkan karena adanya persaingan dengan gulma. Seperti halnya pada Percobaan II, pada Percobaan III ini sengon mengalami penurunan daya hidup sebesar 1,2%. Pada Percobaan III trembesi mempunyai daya hidup paling tinggi yaitu 21,2%, daya hidup randu 13,2%, sengon 10,4% dan daya hidup sengon buto 8%. Daya hidup berdasarkan lubang tanam, trembesi mempunyai daya hidup paling tinggi yaitu 72%, sedangkan sengon dan randu mempunyai daya hidup lebih tinggi dari sengon buto yaitu sebesar 38% dan 40%, sengon buto sebesar 28%. Pertumbuhan tanaman yang lambat menyebabkan gulma berkembang terlebih dahulu, sehingga unsur hara, air yang tersedia diserap terlebih dahulu. Daya hidup sengon paling kecil hal ini dikarenakan sengon kalah bersaingan untuk mendapatkan nutrisi, air dan hara. Selain itu jika dilihat pada Gambar 9 gulma mempunyai tinggi rata-rata lebih tinggi dari tinggi rata-rata tanaman yaitu 5 cm, sehingga bersaing untuk mendapatkan cahaya matahari. Menurut Hendromono (2002) berkembangnya gulma dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan bahkan kematian tanaman. Selain dari faktor tersebut sengon mempunyai syarat tumbuh pada tanah berlapis dalam dan berdrainase baik (Nurhasybi 2000). Berbeda halnya dengan randu meskipun sama-sama mempunyai benih yang berukuran kecil tetapi masih mampu bersaing dengan gulma karena randu tanaman pioner yang mampu tumbuh pada tumbuh di atas berbagai macam tanah, dari tanah berpasir sampai tanah liat berdrainase baik (Salazar dan Dorthe 2001). Dari hasil analisis tanah yang dilakukan di Universtas Lambung Mangkurat tanah pada lokasi percobaan mempunyai tekstur liat, sehingga cocok terhadap pertumbuahn randu. Pada benih yang berukuran sedang yaitu sengon buto dan trembesi mampu bersaing dengn gulma. Pada Percobaan III perlakuan penambahan pupuk kandang mampu meningkatkan daya hidup trembesi karena trembesi toleran terhadap lahan miskin unsur hara (Staples dan Elevitch 2006) dengan penambahan pupuk kandang yang mempunyai kandungan C 23,20%, N 1,07% , P 0,51%, K 1,09% , Ca 0,41%, Mg 0,49% daya hidup tanaman meningkat 42,4%. Analisis Biaya Dari hasil analisis biaya untuk penanaman dengan metode direct seeding dengan jarak tanam 4 x 4 m dan setiap lubang tanam berisi 5 benih lebih murah jika dibandingkan dengan penanaman dengan menggunakan bibit dari persemaian. Biaya penanaman per ha dengan menggunakan metode direct seeding berkisar Rp. 2.000.000, sedangkan penanaman sengon dengan menggunakan bibit dari persemaian memerlukan biaya penanaman Rp 4.487.500. Penanaman dengan menggunakan metode direct seeding ini memerlukan tenaga kerja 2 orang per hari dengan lama pekerjaan selama 4 hari untuk menyelesaikan
39
1 ha. Pada penanaman dengan menggunakan bibit deperlukan waktu 7 hari dengan pekerja 2 orang. Untuk banyaknya benih yang diperlukan tergantung dari ukuran benih, semakin besar ukuran benih maka jumlah yang diperlukan semakin banyak. Biaya tanam sengon buto paling tinggi karena ukuran benih sengon buto paling besar sehingga kebutuhan benihnya juga paling banyak, biaya penanaman sengon buto Rp.1.981.579. Untuk biaya penanaman tiga jenis lainnya yaitu trembesi sebesar Rp. 1.571.127, sengon sebesar Rp. 1.571.127 dan randu sebesar Rp. 1.553.871. Biaya penanaman ini sangat murah jika dibandingkan dengan menggunakan semai. Target penanaman PT TIA rata-rata setiap tahun berkisar 110 ha. Reahabilitasi dengan menggunakan metode direct seeding biaya yang dikeluarkan berkisar Rp 220.000.000, sedangkan dengan menggunakan bibit memerlukan biaya Rp 493.625.000. Penggunaan metode direct seeding dapat menghemat biaya rehabilitasi sebesar 44,57%.
40
SIMPULAN DAN SARAN 1.
2.
3.
4.
1. 2. 3.
Simpulan Ke empat jenis tanaman yang diujikan mempunyai adaptasi terhadap lahan pasca tambang yang relatif tinggisehingga berpotensi untuk ditanam dengan menggunakan metode direct seeding, berdasarkan lubang tanam mempunyai daya kecambah sebesar, S. saman 58 %, F. Moluccana 66%, E. cyclocarpum 52% dan C. pentandra 66 %. Benih berukuran sedang yaitu trembesi mempunyai daya hidup dan daya tumbuh yang tinggi sehingga dapat digunakan untuk penanaman dengan metode direct seeding. Metode direct seeding lebih ekonomis, rata-rata biaya penanaman hanya berkisar Rp. 2.000.000 per ha dibandingkan dengan menggunakan bibit yang memerlukan biaya Rp 4.487.500 per ha. Ukuran benih berpengaruh terhadap keberhasilan direct seeding, benih berukuran sedang lebih mampu berkompetisi terhadap gulma Saran Perlunya pengamatan lebih lanjut untuk bibit hasil penanaman dengan metode direct seeding ini. Uji coba jenis-jenis pohon lokal berbiji besar seperti laban (Vitex pubescens). Perlunya pengamatan lebih lanjut untuk jumlah benih yang ditabur pada tiap lubang tanam
41
DAFTAR PUSTAKA Babich, H and G. stotzky. 1978. Effect of cadmium on the biota : influence of environmental factors. Edv. Appl. Microbiol. 23:55-117. Bertoni VR, Juarez VM. 1980. Comportamento de nueve especies forestales tropicales plantadas en 1971 en el campo experimental "El Tormento". Revista Ciencia Forestal 25(5): 4B39. Chapman CA, Chapman LJ, Zanne A, Burgess MA. 2002. Does weeding promote regeneration of an indigenous tree community in felled pine plantationsin Uganda? Restoration Ecology 10, 408–415. Colin H. 1998. Direct Seeding of Native Plants For Revegetation. Farmnote 40/98. Australia: Western Australia Agriculture. Djam’an. 2003. Sengon Buto. Di dalam: Nurhasybi, Hero DPK, Zanzibar M, Sudrajat DJ, Pramono AA, Buharman, Sudrajat dan Suhariyanto, Penyunting Atlas Benih Tanaman Hutan Indonesia jilid I. Bogor: BPTP. Djoker D, Salazar D. 2005. Ceiba pentandra (L) Gaertn. Seed Leaflet. No. 22 September 2005. Denmark: Forest and Lanscape. Djoker D. 2003. Enterolobium cyclocarpum Griseb. Seed Leaflet. No. 77 juni 2003. Denmark: Danida Forest Seed Centre Dougles GB, Dodd MB, Power IL 2007. Potential of Direct Seeding for Establishing Native Plants Into Pastoral Land In New Zealand [Review]. New Zealand Journal of Ecology 31:143-153. Doust SJ, Erskine PD, Lamb D. 2006. Direct seeding to restore rainforest species: Microsite effect on the early establishment and growth of rainforest tree seedling on degraded land in the wet tropics of Australia. Forest Ecology and Management 234: 333-334. Doust SJ, Erskine PD, Lamb D. 2008. Restoring rainforest species by direct seeding: Tree seedling on degraded land in the tropics of Australia. Forest Ecology and Management 256: 1178-1188. Environment Agency,. 2002. Enviromental Facts and Figures. Soils. Eugenio GJ. 1993. Effect of Seed Size on Germination and Seedling Vigor of Vivola koschnyi Warb. Foerst Ecology and Management 152: 275-281. Goode A. 2006. The Effect of Sowing Rate, Surface Amelioration and Smoke Treatment on Emergence and Early Growth of Direct Sown Native Species In South Gippsland. Parkville: The University of Melbourne. Hakim N et al. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Lampung : Universitas Lampung. Hardjowigeno S. 1995. Ilmu Tanah. Jakarta: Akademika Pressindo. Hendromono. 2002. Penyiapan lahan dan tanpa bakar dan tanpa olah tanah untuk tanaman sengon buto (Enterolobium cyclocarpum Griseb.). Bul. Pen. Hutan 633:13-24.
42
Herman R , Bob S, Dan S, Tom W. 2003. Direct seeding Handbook: A Reforestation Guide. US: Direct seeding Subcommittee of theAssociation of Illinois Soil and Water Conservation Districts (AISWCD). Higgins I, Perry D, Youl D. 1993. Direct Seeding of Trees and Shrub for the Northen Hill Country of Victoria. Landcore Notes LC0106. State of Victoria, Departement of Natural Resources and Environment. http://minerals.usgs.gov/minerals/pubs/commodity. terhubung berkala 23 Maret 2011. Holl KD. 1998. Do bird perching structures elevate seed rain and seedling establishmentin abandoned tropical pasture? Restoration Ecology 6, 253– 261. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. 2008. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya MineralRepublik Indonesia No. 18 Tahun 2008 tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang. Jakarta: Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Kementerian Kehutanan. 2009. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P. 60/Menhut-II/2009tentang Pedoman Penilaian Keberhasilan Reklamasi Hutan. Jakarta: Kementerian Kehutanan. Kristanti R. 2011. Assessment And Development Scheme of Coal Mining Reclamation In East Kalimantan, Indonesia. [Thesis].Thailand: The Degree of Master of Science (Natural Resource Management) Faculty of Graduate Studies Mahidol University. Mansur I. 2010. Teknik Silvikultur Untuk Reklamasi Lahan Bekas Tambang. Bogor: SEAMEO BIOTROP. Nurhasybi. 2003. Sengon Buto. Di dalam: Nurhasybi, Hero DPK, Zanzibar M, Sudrajat DJ, pramono AA, Buharman, Sudrajat dan Suhariyanto, Penyunting Atlas Benih Tanaman Hutan Indonesia jilid I. Bogor: BPTP. Matagi SV, Swai D, and Mugabe R, 1998. Heavy metal removal mechnisms in Wetlands. Afr. J. Trop. Hidrobiol. Fish. 8:23-35. Moynahan SO, Stuart Stuart RJ and Catherine AZ. 2000. Microbial inoculation potential of organic matter amendements for mine tailing reclamation. Reclamation Symposium. Ochsner P. 2001. Direct Seeding In The Tropics. Denmark: Danida Forest Seed. Paz H and Ramos M. 2003. Seed mass and seedling performance within species of sychotria (Rubiaceae). Ecology 84:439-450.
eight
Pinyopusarerk K. 1998. Acacias for amenity planting and enviromental conservation. Proceeding of 3rd meeting of the Cogreida, 28-29 June 1984. Priadi D. 2010. Aplikasi Teknik Enkapsulasi Pada Benih Sengon (Paraserianthes Falcataria). Bogor: Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI.
43
PT Tunas Inti Abadi [PT TIA]. 2010. Rencana penutupan Tambang PT Tunas Inti Abadi Kabupaten Tanah Bumbu, Propinsi Kalimanatan Selatan. Tanah Bumbu: PT Tunas Inti Abadi. [ Tidak dipublikasikan]. Puradyatmika P, and Y Husin, 1999. Pemanfaatan Kompos Dalam Upaya Peningkatan Kesuburan Tailing. Departemen Lingkungan, PT. Freeport Indonesia. Purnell K dan I Higgins. 1999. What is Direct Seeding. Department of Natural Resources and Environment State of Victoria. [jurnal]. http://www.dpi.vic.gov.au.[terhubung berkala]. [09.11.2009]. Republik Indonesia. 2009. Undang – Undang No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia. Reich PB, Tjoelkoer MG, Walters MB, Vanderklien DW and Buschena C. 1998. Close association of RGR, leaf and root morphology, seed mass and shade tolerance in seedling of nine boreal tree species grown in high and low light. Func. Ecol. 12:327-338. Sarrailh JM, Aryault N. 2001. Rehabilitation of Nickel Mining Sites in New Caledonia. Unasylva, 207 (52):16-20. Schmidt L. 2000. Guide to Handling of Tropical and Subtropical Forest. Denmark: Danida Forest Seed Center. Schmidt L. 2007. Tropical Forest Seed. Springer. Seiwa K, Watanabe A, Saitoh T, Kannu H, Akasaka S. 2002. Effect of burying and seed size on seedling establishment of Japanese chestnuts, Castanea crenata. Forest Ecology and Management 164: 149-156. Setiadi Y. 2006. Teknik Revegetasi Untuk Merehabilitasi Lahan Pasca Tambang [intisari]. Di dalam: Seminar Nasional PKRLT Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta, Sabtu 11 Februari 2006. Bogor: Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga, P0 Box 69 Darmaga. Setiadi Y. 2010. Revegetation Techniques for Erosion Control and Land Stabilization of Post Mine Site. Bogor: PT Green Earth Indonesia. [Tidak dipublikasikan]. Setyaningsih L. 2007. Pemanfaatan cendawan mioriza arbuskula dan kompos aktif untuk meningkatkan pertumbuhan semai mindi (Melia azedarach Linn) pada media tailing tambang emas Pongkor. [Tesis] Bogor. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Staples GW dan Elevitch CR. 2006. Samanea saman (rain tree). Hawaii. Rasool R, SS Kukal, and GS Hira. 2007. Soil physical fertility and crop performance as affected by long term application of FYM andinorganic fertilizer in rice wheat system. Soil and Tillage Res. 96:64-72.
44
Rusdiana O., Y. Fakuara, C Kusmana, Y Hidayat. 2000. Respon pertumbuhan tanaman sengon (Paraserianthes falcataria) terhadap kepadatan dan kandungan air tanah podsolik merah kuning. Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol 6 No. 2 : 43 – 53. Tamin R. P. 2010. Pertumbuhan Semai Jabon (Anthocephalus cadamba Roxb Mic) pada media pasca penambangan batu bara yang diperkaya fungi mikoriza arbuskula, limbah batubara dan pupuk NPK. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Tim Kajian Batubara Nasional. 2006. Batubara Indonsia.Jakarta: Kelompok Kajian Kebijakan Mineral dan BatubaraPusat Litbang Teknologi Mineral dan Batubara. Tuheteru FD. 2009. Pengembangan teknik Pembenihan Langsung (Direct Seeding) Untuk Regenerasi Hutan. [Thesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. Turpeinan R. 2002. Interactions between metals, microbes, and plants– Bioremediation of arsenic and lead contaminated soils. Academic Dissertation in Enviromental Ecology. Dept. of Ecological and Enviromental Sciences, Univ. of Helsinki. Wasis B, A Sandrasari. 2011. Pengaruh Pemberian Pupuk Kompos terhadap Pertumbuhan Semai Mahoni (Swietenia macrophylla King.) pada Media Tanah Bekas Tambang Emas (Tailing). Jurnal Silvikultur Tropika Vol. 03 No. 01 Agustus 2011, Hal. 109 – 112. Yanlong D, Mantang W, Shujen W, Yanhui Z, Tao M, and Guozhen D. 2007. Seed size effecton seedling growth under different light conditions in the clonal herb Ligularia virgauera in Qianghai Tibet Plateu. Acta Ecologiaca sinica 27(8), 3091-3108.
45
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Lamongan pada tanggal 27 Januari 1983 sebagai anak bungsu dari pasangan Sungkono dan Titik Sugiharti. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Budidaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, lulus pada tahun 2006. Pada tahun 2009 penulis melanjutkan ke Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Mayor Silvikultur Tropika. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Tanoto Foundation. Penulis pernah bekerja di perusahaan swasta asing yaitu PT Seng Fong Moulding Perkasa, dan di beberapa perusahaaan swasta antara lain PT Sukajadi Sawit Mekar, PT Aksenta Gigas Dinamika, dan saat ini penulis bekerja di PT Performa Qualita Mandiri.