PENGEMBANGAN KURIKULUM DI PERGURUAN TINGGI Harsono Pusat Pengembangan Pendidikan Universitas Gadjah Mada Pengantar Dampak globalisasi bersifat multidimensional; hal ini juga terasa dalam bidang pendidikan terutama pendidikan tinggi yang secara langsung berinteraksi dengan komunitas internasional. Secara spesifik, globalisasi mendorong terjadinya perubahan peran institusi pendidikan tinggi. Peran sebagai institusi pembelajaran tradisional tidak dapat dipertahankan lagi dan perlu diubah menjadi institusi pencipta pengetahuan. Sementara itu, perencanaan yang dibuat secara acak (by accident) harus diubah menjadi perencanaan strategis (by design). Ditinjau dari sudut tantangan maka pendekatan komparatif harus diubah menjadi pendekatan kompetitif.1 Secara umum, kurikulum merupakan gambaran gagasan pendidikan yang diekspresikan dalam praktik. Saat ini definisi kurikulum makin berkembang, termasuk seluruh program pembelajaran yang terencana di sekolah atau institusi pendidikan. Pondasi kurikulum meliputi kemasan tata nilai (values) dan kepercayaan (beliefs) tentang apa yang harus diketahui mahasiswa dan bagaimana caranya mahasiswa dapat memperoleh dan / atau menguasai pengetahuan tadi. Di samping itu, kurikulum harus dikemas dalam bentuk yang mudah dikomunikasikan kepada pihak-pihak yang terkait dalam institusi pendidikan, harus terbuka untuk kritik, dan harus mudah untuk ditransformasikan dalam praktik.2,3 Harden (2001) memerikan kurikulum secara lengkap, sebagai berikut : ”The curriculum is a sophisticated blend of educational strategies, course content, learning outcomes, educational experiences, assessment, the educational environment and the individual students’ learning style, personal time table and program of work”.4 Acuan utama pengembangan kurikulum pendidikan tinggi Undang-udang Republik Indonesia Nomor 20 Thaun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengatur kurikulum pendidikan sebagaimana tercantum pada Bab X pasal 36, pasal 37, dan pasal 38. Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional (pasal 36 ayat 1), kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik (pasal 36 ayat 2). Yang dimaksud dengan pengembangan kurikulum dengan prinsip diversifikasi adalah suatu pengembangan yang memungkinkan penyesuaian program pendidikan pada satuan pendidikan dengan kondisi dan kekhasan potensi yang ada di daerah.5
Dipresentasikan pada lokakarya kurikulum Universitas Negeri Semarang, 20-21 September 2006, direvisi tanggal 2 Februari 2007.
1
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (UU SISDIKNAS No.20 Tahun 2003, Pasal 1 butir 19). Sementara itu, KEPUTUSAN MENDIKNAS nomor 232/U/2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil belajar Mahasiswa menjabarkan kurikulum pendidikan tinggi sebagai berikut: seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi maupun bahan kajian dan pelajaran serta cara penyampaian dan penilaiannya yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar di perguruan tinggi. Sementara itu, KEPMENDIKNAS NO.045/U/2002 menambah rambu-rambu penyusunan kurikulum inti sebagaimana diaturdalam KEPMENDIKNAS no.232/U/2000. Keputusan tersebut dikenal sebagai tonggak diberlakukannya kurikulum berbasis kompetensi (KBK).5,6,7 Di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan terdapat penjelasan tentang kerangka dasar kurikulum dan kurikulum tingkat satuan pendidikan. Yang dimaksud dengan kerangka dasar kurikulum adalah rambu-rambu yang ditetapkan untuk dijadikan pedoman dalam penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya pada setiap satuan pendidikan (butir 14).Sementara itu yang dimaksud dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. Pasal 9 ayat 1 menyebutkan kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh pergurun tinggi yang bersangkutan untuk setiap program studi; ayat 2 menyebutkan kurikulum tingkat satuan pendidikan tinggi wajib memuat matakuliah pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris. Ayat 3 menyebutkan adanya kewajiban untuk memuat matakuliah yang bermuatan kepribadian, kebudayaan, serta matakuliah statistika dan / matematika. Ayat 4 menegaskan bahwa kurikulum tingkat satuan pendidikan dan kedalaman muatan kurikulum pendidikan tinggi diatur oleh perguruan tinggi masing-masing.8 Pasal 9 ini mengisyaratkan adanya kewenangan satuan pendidikan untuk menyusun dan mengembangkan kurikulum sesuai dengan situasi, kondisi, dan potensi yang ada. Konsep pengembangan kurikulum Institusi pendidikan tinggi ditantang untuk mengubah kurikulum secara total. Penekanan pengembangan kurikulum tidak lagi terbatas pada content atau pengetahuan melainkan juga meliputi pengembangan pembelajaran, kemampuan kreatif, serta penggunaan informasi baru dan teknologi komunikasi. Dengan demikian setiap institusi pendidikan tinggi yang akan mengembangkan kurikulum harus memperhatikan azas kompetensi, manfaat, kelenturan (fleksibilitas), dan continuous improvement. Komponen dalam pengembangan kurikulum meliputi hal-hal sebagai berikut: (a) perencanaan strategis, (b) persiapan secara menyeluruh, (c) identifikasi tujuan pembaharuan, pengukuran kinerja, sasaran dan langkah-langkah, (d) analisis kurikulum yang ada / masih digunakan, (e) perancangan kurikulum baru, dan (f) implementasi & evaluasi, yang untuk seterusnya merupakan suatu siklus continuous improvement.3 Pengembangan kurikulum seyogyanya mengikuti alur proses inovatif yang bercirikan hal-hal sebagai berikut: (a) interaktif atau non-linear, (b) iteratif atau berulang secara spiral / helix yang juga dikenal sebagai feed-back loops, (c) penyaringan dan
2
pelurusan, (d) beberapa paradoks yang perlu dipertimbangkan, meliputi i) keperluan jangka panjang vs jangka pendek, ii) pengabaian kompetensi vs penekanan kompetensi, iii) individual (collective creativity versus strategic alignment), iv) keefektivan versus efisiensi, serta v) kelambanan versus kecepatan.9,10 Pengembangan kurikulum pada hakekatnya terjadi sepanjang masa. Namun demikian, dalam praktik dikenal adanya peninjauan dan revisi kurikulum secara berkala, pada umumnya antara 4-5 tahun sekali. Apabila dikaitkan dengan hakekat continuous improvement maka pengembangan kurikulum perlu dirancang melalui program monitoring & evaluation sejalan dengan dilaksanakannya kurikulum.Dengan demikian apabila pengembangan kurikulum (baca: revisi kurikulum) dilakukan setiap 4-5 tahun sekali maka proses pengembangan tidak akan mengalami hambatan yang berarti karena sudah ada perencanaan dan data yang mendukungnya. Perancangan kurikulum Kurikulum setidaknya mempunyai empat elemen pokok, yaitu content, teaching and learning strategies, assessment processes, dan evaluation processes. Proses untuk menetapkan dan mengorganisasikan elemen-elemen tadi ke dalam suatu pola yang logis dikenal sebagai rancangan kurikulum. Perancang kurikulum terlebih dahulu mencoba untuk membuat urutan atau rasionalitas proses perancangan kurikulum dengan menggunakan advocating models. Ada 2 jenis model utama, ialah prescriptive model dan descriptive model dengan penjelasan sebagai berikut: 11 Model preskriptif: objectives model • Tujuan pendidikan apa yang ingin dicapai oleh institusi? • Pengalaman belajar-mengajar apa saja yang diperlukan untuk mencapai tujuan pendidikan tadi? • Bagaimana dengan penataan pengalaman pembelajaran secara efektif? • Bagaimana cara menetapkan bahwa tujuan pendidikan telah tercapai? • Pernyataan tentang cara mencapai tujuan pendidikan diken al sebagai objectives • Objectives harus ditulis dengan arti bahwa terjadi perilaku pembelajar yang dapat diukur secara mudah • Jenis objectives: acceptable verbs dan unacceptable verbs • Objectives diawali dengan kata-kata students will be able to…. Model preskriptif: outcomes-based education • Premis: kurikulum harus ditentukan oleh outcomes yang harus dicapai mahasiswa, dengan demikian disebut sebagai outcomes based education; ini mirip dengan objectives model. • Dengan demikian perancangan kurikulum “bergerak ke belakang”: dari outcomes menuju elemen-elemen lainnya (isi, pengalaman pembelajaran, student assessment, evaluasi) Model deskriptif • Malcolm Skillbeck menekankan pentingnya situasi atau konteks dalam rancangan kurikulum ( analisis situasi – pernyataan maksud – program / content – program / 3
• • • •
learning & teaching – program / assessment – organisasi & implementasi – monitoring & evaluasi – analisis situasi….dst). Perancang kurikulum menganalisis situasi secara menyeluruh, utuh, dan sistematik, dengan perhatian pada dampak terhadp apa yang dikerjakan dalam kurikulum Analisis situasi meliputi faktor eksternal dan internal Faktor eksternal meliputi harapan / perubahan masyarakat, harapan stakeholders, nilai dan asumsi komunitas, disiplin subyek, system pendukung, dan sumber daya Faktor internal meliputi mahasiswa, dosen, staf pendukung, struktur dan etos institusi, sumber daya yang ada, masalah dan tatacara pemecahannya dalam kurikulum yang ada
Tingkatan kurikulum Pada saat menyelesaikan langkah-langkah perancangan kurikulum maka perancang kurikulum hendaknya menyadari dan memperhatikan tingkatan kurikulum. Hal ini akan sangat berarti apabila perancang kurikulum akan membangun KBK. Secara sederhana tingkatan kurikulum dapat digambarkan sebagai berikut (gambar 1).2
Kurikulum yang dirancang Apa yang dikehendaki oleh perancang kurikulum
Kurikulum yang diajarkan Apa yang dikelola oleh administrator Apa yang diajarkan oleh dosen
Kurikulum yang dipelajari Apa yang dipelajari mahasiswa Gambar 1. Tingkatan kurikulum Peta kurikulum Dalam setiap pengembangan kurikulum perlu dibuat peta kurikulum secara utuh dan menyeluruh. Fungsi peta kurikulum adalah sebagai berikut.4 • Menggambarkan hubungan antarelemen dalam kurikulum • Menggambarkan kurikulum secara jelas dan ringkas • Memperlihatkan struktur organisasi kurikulum secara sistematik • Menyiapkan dasar untuk computer databases • Titik awal peta kurikulum bervariasi, bergantung pada audience
4
•
Peta kurikulum untuk mahasiswa mempunyai fokus yang berbeda dengan peta kurikulum untuk dosen, administrator, dan badan akreditasi; namun demikian petapeta tadi mempunyai tujuan umum yang memperlihatkan ruang lingkup, kompleksitas, dan kohesi kurikulum
Proses pengembangan kurikulum Proses pengembangan kurikulum dapat dikategorisasikan ke dalam 5 (lima) langkah yaitu (1) needs assessment, (2) the planning session, (3) content development, (4) pilot delivery & revision, (5) the completed curriculum package. Apabila situasinya ideal, maka perancangan dan pengembangan kurikulum memerlukan waktu antara 12-18 bulan. Situasi ini memberi kesempatan kepada penyusun kurikulum untuk menyelenggaraan perencanaan, menindaklanjuti perencanaan, membangun rancangan program, revisi berdasarkan uji-coba rancangan, dan membuat kemasan terakhir agar rancangan kurikulum dapat dioperasikan.12 Sementara itu, proses pengembangan kurikulum menurut Ralph Tyler berbeda dengan apa yang tersebut di atas, melalui langkah-langkah pembahasan sebagai berikut: (1) philosophy of education, (2) goals & aims, (3) general instructional objectives, (4) specific instructional objectives & outcomes, (5) task analysis & content selection, (6) learning activities.13 Seleksi bahan ajar termasuk di dalam proses pengembangan kurikulum yang disebut sebagai content development. Seleksi bahan ajar didasarkan atas hal-hal sebagai berikut: kriteria (relevansi, tingkat kepentingan, prioritas), wawasan ( jumlah, kedalaman cakupan, konsentrasi), dan urutan (hierarki, tingkat perkembangan kompleksitas atau kesulitan). Pendekatan terhadap bahan ajar dapat bersifat tekstual, eksperimental, perkembangan, psikososial, dan eksperiensial. Berdasarkan kebutuhan pembelajar maka bahan ajar dapat dibedakan ke dalam pengembangan kognitif, pengembangan linguistik, pengembangan psikososial, pengembangan moral / afektif, dan fokus vokasional.10 Langkah-langkah pengembangan kurikulum Langkah-langkah berikut didasari oleh pemikiran Taba (1962) yang kemudian menjadi pemikiran klasik dan dijadikan landasan setiap upaya inovasi dan / pengembangan kurikulum.10 • Identifikasi kebutuhan • Penetapan learning outcomes • Kesepakatan isi • Penataan isi • Keputusan tentang strategi pendidikan • Keputusan tentang strategi pembelajaran • Persiapan student assessment • Sosialisasi kurikulum kepada pengajar dan mahasiswa • Perbaikan lingkungan pendidikan / pembelajaran yang sesuai • Manajemen kurikulum
5
Kurikulum terpadu dan KBK Pengembangan kurikulum yang akhir-akhir ini memperoleh perhatian secara sungguh-sungguh adalah pengintegrasian kurikulum yang hasilnya disebut sebagai kurikulum terpadu ( integrated curriculum ) dan kurikulum berbasis kompetensi (KBK). Sebenarnyalah bahwa kurikulum terpadu merupakan bagian tak terpisahkan dari inovasi pembelajaran yang mengajak dan mendorong para mahasiswa untuk belajar dan berdiskusi secara kontekstual, mempelajari fenomena yang telah tersedia secara alamiah baik yang terjadi sesuai dengan evolusi alam maupun yang terkait dengan hasil peradaban manusia - tidak lagi bersifat tekstual. Apabila di bagian hulu tersedia berbagai konsep ilmiah maka di bagian hilir terhampar bebagai fenomena yang dalam skala kecil berbentuk berbagai macam “modul”, dan “modul-modul alamiah” inilah yang akan ditiru oleh - atau menjadi sumber inspirasi bagi - para penyusun kurikulum terpadu agar para mahasiswa dapat belajar secara kontekstual, menyenangkan, efektif, efisien, bermakna, serta mampu menghubungkan konsep ilmiah yang relevan dengan kejadian-kejadian yang dapat dideteksi oleh panca-indera. Kemampuan ini sangat penting dalam konteks pengaplikasian dan pengembangan pengetahuan mereka kelak di dunia kerja. Secara ringkas, kurikulum terpadu dapat dikatakan sebagai suatu refleksi kehidupan itu sendiri.1 Manfaat atau keuntungan kurikulum terpadu sudah diakui oleh para teoriwan dan pakar filosofi pendidikan. Di dalam kurikulum terpadu dikenal adanya hubungan antardisiplin (horisontal dan vertikal) yang dapat dipelajari oleh para mahasiswa secara terpisah (untuk mendalami karakteristik masing-masing disiplin ilmu) dan sekaligus dipelajari secara kontekstual ( untuk memahami keterpaduan berbagai disiplin yang ada sebagai fenomena yang menarik dan bermakna). Kurikulum terpadu dapat disusun dari standar dan prinsip umum sampai dengan isi dan nilai-nilai praktis yang spesifik, dari tingkat dasar sampai dengan tingkat lanjut dan kompleks, dan dari tingkat prasyarat sampai dengan tingkat yang menunjukkan hubungan jejaring ilmu.14 Pengembangan kurikulum terpadu memerlukan alasan yang logis dan kuat, disertai tujuan yang jelas, obyektif, terukur, memperhatikan rancangan implementasi (method of delivery) yang jelas serta mudah dipantau dan dikendalikan, serta memperhatikan sistem evaluasi untuk mengukur keberhasilan mahasiswa yang sesuai dengan proses pembelajarannya. Secara keseluruhan, pengembangan kurikulum terpadu harus memperlihatkan aspek jaminan mutu serta continuous improvement.15 Komponen dalam pengembangan kurikulum PBL (Gambar 2). Komponen dalam pengembangan kurikulum PBL bersifat lintas sektoral. Hal ini menggambarkan keterpaduan kurikulum PBL yang bersifat kontekstual, baik dalam aspek pembelajaran maupun aspek fenomena yang dipelajari oleh para mahasiswa. Salah satu ciri dari keterpaduan kurikulum PBL adalah adanya apsek profesional pada semester pertama; dengan demikian para mahasiswa sejak awal telah dipaparkan / dikenalkan kepada permasalahan profesi yang kelak akan dijalaninya.3,16
6
Keterkaitan praktik dalam dunia kerja
Keterkaitan pengetahuan berbasis antardisiplin
Simulated learning stimulus “Real world situation” Enquiry process Response to situation Justified from related learning
Keterkaitan pengetahuan / ketrampilan berdasarkan pengalaman
Keterkaitan pengembangan ketrampilan
Keterkaitan nilai & perilaku profesional Gambar 2. Hubungan antarkomponen dalam pengembangan kurikulum PBL Kurikulum berbasis kompetensi Kompetensi adalah seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu.6 Komponen kompetensi meliputi (a) kompetensi utama, ialah kemampuan seseorang untuk menampilkan kinerja yang memadai pada suatu kondisi pekerjaan yang memuaskan, (b) kompetensi pendukung, ialah kemampuan seseorang yang dapat mendukung kompetensi utama, dan (c) kompetensi lain, ialah kemampuan seseorang yang berbeda dengan kompetensi utama dan kompetensi pendukung, namun membantu meningkatkan kualitas hidup.17 Memperhatikan batasan dan penjelasan tentang kompetensi sebagaimana tersebut di atas maka penyusun kompetensi perlu bersikap arif dalam memahami makna kurikulum nasional (inti) dan kurikulum fakultas / lokal. Pengembangan KBK harus mengacu pada visi dan misi institusi, memerlukan perumusan kompetensi yang rasional dan rinci, serta memperhatikan keberhasilan pribadi peserta didik maupun masyarakat, dan akumulasinya di Indonesia berwujud sebagai keberhasilan bangsa. Namun demikian, kompetensi juga dirumuskan dari karakteristik program studi penyelenggara pendidikan yang mengacu pada wawasan nasional, kualitas internasional, kelenturan (fleksibilitas), kepribadian baik, kepekaan kebutuhan masyarakat, student-centered learning, dan lifelong learning. Kompetensi bidang ilmu yang bersifat universal tidak akan terlepas dari kompetensi yang bersifat lokal atau khas perguruan tinggi. Dengan demikian penetapan tujuan pembelajaran dalam bentuk kompetensi program studi bukan dengan jalan mencotoh apalagi melalui proses copy-paste dari institusi lain, melainkan ditetapkan
7
berdasar visi dan misi yang dimiliki setiap program studi. Penyusun kurikulum harus mencermati referensi secara luas, tetapi tidak melakukan adopsi secara gegabah, dan harus melakukan upaya pencarian dan penemuan jatidiri yang selaras atau sesuai dengan karakteristik spesifik program studi. Kurikulum berbasis kompetensi dapat disusun melalui berbagai macam cara atau alternatif. Cara apapun yang dipilih maka penyusun KBK harus melibatkan para dosen yang akan menjadi pelaku utama dalam proses pembelajaran. Di samping itu, stakeholders perlu diikutsertakan karena dari merekalah institusi memperoleh feedback yang sangat berguna. Kebersamaan para dosen menjadi faktor utama, dan kebersamaan ini akan berkembang menjadi suatu pembelajaran yang kemudian memunculkan rasa memiliki serta mendorong terjadinya collective intelligence. Terbangunnya collective intelligence akan meminimalisasi munculnya resistensi dari beberapa dosen, yaitu sikap mempertahankan kurikulum yang ada atau menentang terhadap upaya pengembangan kurikulum. Tantangan dalam pengembangan kurikulum Berbagai kendala yang sekiranya dapat menghambat proses pengembangan harus ditanggapi secara positif dan sekaligus ditransformasi menjadi tantangan untuk dicarikan solusinya. Ketetapan tentang perlunya pengembangan kurikulum harus tercantum secara eksplisit di dalam rencana strategis institusi yang kemudian dijabarkan dalam rencana operasional tahunan. Adanya ketetapan institusional akan menggerakkan penanggung jawab / Pengurus Perguruan Tinggi untuk melaksanakannya secara konsekuen dan konsisten disertai komitmen yang tinggi. Hal ini merupakan tantangan tersendiri yang harus dijawab secara positif oleh Pengurus Perguruan Tinggi, betapa pun beratnya tanggung jawab yang diemban. Suatu program pengembangan kurikulum memerlukan dukungan dana yang cukup, mulai dari awal program pengembangan sampai dengan evaluasi kurikulum baru yang akan dilaksanakan oleh institusi pendidikan. Dengan demikian penyusun kurikulum harus memahami makna siklus continuous improvement, agar segmen dana dapat diprakirakan dan direncanakan secara rasional. Monitoring & evaluation merupakan aktivitas yang memerlukan kesungguhan, kesabaran, ketekunan, kejujuran dan fleksibilitas tanpa kehilangan ketegasan sikap. Kegiatan ini merupakan kunci continuous improvement. Ringkasan Pengembangan kurikulum di perguruan tinggi memerlukan perencanaan yang strategis dan menyeluruh, dengan mengacu pada undang-undang dan peraturan pemerintah yang mengatur penyelenggaraan pendidikan tinggi. Penyusun kurikulum perlu memperhatikan wawasan nasional, kualitas internasional, kekhasan / potensi lokal, dan collective intelligence di antara para dosen. Secara teknis, penyusun kurikulum – dengan dukungan pimpinan satuan pendidikan / program studi – memerlukan pemahaman tentang perancangan kurikulum
8
serta konsep, proses, dan langkah-langkah pengembangan kurikulum agar penyusun kurikulum dapat melaksanakan tugasnya secara efektif dan efisien. Kurikulum terpadu dan KBK sudah menjadi keniscayaan bagi perguruan tinggi. Kurikulum terpadu merupakan refleksi fenomena atau refleksi kehidupan dan bagian tak terpisahkan dari inovasi pembelajaran yang mengajak dan mendorong para mahasiswa untuk belajar dan berdiskusi secara kontekstual, mempelajari fenomena yang telah tersedia secara alamiah. Dengan mengacu pada visi dan misi institusi, KBK dapat disusun melalui berbagai macam cara atau alternatif, dengan melibatkan para dosen dan stakeholders. Daftar pustaka 1. Harsono, Yohannes HC. Kurikulum Terpadu. Pusat Pengembangan Pendidikan Universitas Gadjah Mada – Aditya Media Yogyakarta, 2005. 2. Prideaux D. ABC of learning and teaching in medicine: Curriculum design. BMJ 2003;326:268-70. 3. Harsono. Pengantar Problem-based Learning. Edisi kedua, Medika – Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, 2005. 4. Harden RM. Curriculum mapping: a tool for transparent and authentic teaching and learning. Med Teach 2000;23(2):123-27. 5. Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 78. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; 2003. 6. Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional nomor 232/U/2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa. Jakarta, 2000 7. Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Keputusan Menteri Pendidikan Naisonal nomor 045/U/2002 tentang Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi.Jakarta 2000. 8. Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Jakarta 2005. 9. Tanner D, Tanner LN. Curriculum development: theory into practice; New York, Merril 1995. 10. Bligh J, Prideaux D, Parsell G. PRISMS: new educational strategies for medical education. Med Educ 2001;35:520-21. 11. Caffarella RS. Planning Programs for Adult Learners. 2nd ed. Jossey-Bass, San Fransisco, CA, 2002 . 12. University of Rochester Medical Center. Curriculum development principles and guidelines. URL http://www.urmc.rochester.edu/smd/ca/dh/principles.html.2004 13. Madeus GF, Stufflebeam DL. Educational evaluation: The works of Ralph Tyler. Boston MA; Kluwer Academic Press; 1989. 14. Harden RM. Planning a curriculum. In JA Dent & RM Harden (eds): A Practical Guide for Medical Teachers; Churchill Livingstone, Edinburgh 2001; pp.13-24. 15. Shoemaker B. Integrative education: a curriculum for twenty-first century. Oregon School Study Council, 1989.
9
16. PROBLARC. PBL-curriculum design. Newcastle University, 1996 17. Direktorat Pembinaan Akademik dan Kemahasiswaan DITJEN DIKTI DEPDIKNAS. Tanya jawab seputar kurikulum berbasis kompetensi di Perguruan Tinggi. Jakarta, 2005.
10