PENGEMBANGAN KOMODITAS UNGGULAN PERKEBUNAN DI KABUPATEN TANGGAMUS PROPINSI LAMPUNG
NURLELI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengembangan Komoditas Unggulan Perkebunan di Kabupaten Tanggamus Propinsi Lampung adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2008
NURLELI NRP A353060304
ABSTRACT NURLELI. Primary Estate Crops Commodities Development in Tanggamus Regency. Lampung Province. Supervised by KUKUH MURTILAKSONO and SETIA HADI. Tanggamus regency has a high potential of plantation, but it has not been used optimally because of the lack of data and information. Due to this condition, identification about the potential natural resources is needed, in order to develop the variety of the primary comodities especially sustainable plantation development The objectives of this research were : (1) to identify land potential in Tanggamus Regency using land suitability evaluation; (2) to built Regionalization of estate crops commodites; (3) to observe the prospect of estate crops commodites; and (4) to formulate the direction of estate crops commodities development. Primary data was gathered from interview and quisioner with the farmers and other respondents, while secondary data consists of plant area and production in Tanggamus Regency and thematic maps. The data analyzed by Land Sutability Analysis based on Framework for Land Evaluation (FAO 1976) using ALES software and GIS approach, Locational Quotient (LQ), financial analysis and Focus Group Disscusion (FGD). The identification of physical resources indicated that Kabupaten Tanggamus consist of Inceptisol, Entisol dan Ultisol. This soils generally have high fertility and potential for the growth of the estate crops commodities. Based on land suitability evaluation Kabupaten Tanggamus is suitable (S2) for the growth of palm oil and pepper, marginally suitable (S3) for the growth of coffee, cacao, coconut and rubber. The LQ analysis approach using wide of harvesting area series data for five years period (2001-2005) indicates that coffee, cacao, pepper and coconut are basic comodities in Tanggamus Regency (LQ >1). This means that the commodities have comparative primary. Financial analysis showed that BC ratio and NPV for estate crops commodities are positif which means the farm are financially feasible but the IRR of palm to produce mature kernel, tapped palm and palm oil are under the discount rate. There is farm on marjinal suitability (S3) land because the constraints still economically to hold. Problems identificaton by Focus Group Discussion (FGD) find that the cause of low farmers revenue were: (1) low production and productivity, (2) low quality, (3) high cost transportation and (4) high price fluctuation. The direction of primary commodities based on these regional potensial and the strategy to reach it through human resource development, increasing yield productivity, infrastructure development and increasing the quality of processing and marketing. Key words : Superior Comodities, Regionalization, Plantation, Tanggamus
RINGKASAN NURLELI. Pengembangan Komoditas Unggulan Perkebunan di Kabupaten Tanggamus Propinsi Lampung. Dibimbing oleh : KUKUH MURTILAKSONO dan SETIA HADI. Kabupaten Tanggamus memiliki potensi perkebunan yang cukup besar. Luas areal perkebunan mencapai 30% dari luas wilayah dan merupakan mata pencaharian dominan penduduk. Saat ini sub sektor perkebunan di Kabupaten Tanggamus belum dimanfaatkan secara optimal karena belum tersedianya data dan informasi mengenai potensi sumber daya alam. Berkaitan dengan pengembangan potensi wilayah khususnya sub sektor perkebunan, keragaman sifat lahan akan sangat menetukan jenis komoditas yang dapat diusahakan serta tingkat produktivitasnya. Untuk dapat mengembangkan jenis-jenis komoditas unggulan perkebunan yang sesuai dengan potensi yang ada diperlukan identifikasi potensi sumber daya alam sehingga akan membantu upaya peningkatan produksi komoditas pertanian khususnya sub sektor perkebunan yang berkelanjutan. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengidentifikasi potensi lahan di Kabupaten Tanggamus melalui evaluasi kesesuaian lahan, (2) membangun pewilayahan komoditas perkebunan unggulan, (3) mengamati prospek pengembangan komoditas yang menjadi unggulan, dan (4) merumuskan arahan pengembangan komoditas perkebunan di Kabupaten Tanggamus. Metode untuk mengetahui potensi sumberdaya lahan di Kabupaten Tanggamus adalah evaluasi kesesuaian lahan dengan bantuan software ArcView Ver 3.2 dan ALES yang menghasilkan peta kelas kesesuaian untuk komoditas unggulan. Metode untuk mengukur suatu komoditas merupakan komoditas unggulan adalah dengan analisis Location Quotient (LQ). Untuk menilai kelayakan finansial komoditas yang akan dikembangkan dilakukan analisis BC rasio, NPV dan IRR. Untuk merumuskan arahan pengembangan komoditas unggulan dilakukan analisis Focus Group Discussion (FGD). Hasil analisis potensi sumberdaya lahan melalui evaluasi lahan menunjukkan bahwa Kabupaten Tanggamus sesuai untuk tanaman kopi sebesar 183.834 ha atau 42,4 %, tanaman kakao sebesar 171.143 ha atau 50,3%, tanaman lada sebesar 190.312 ha atau 56%, tanaman kelapa sebesar 302.696 ha atau 89%, tanaman kelapa sawit 117.939 ha atau 34,5% dan tanaman karet sebesar 171.143 ha atau 50,4%. Faktor pembatas yang bervariasi tersebut masih dapat diatasi petani yaitu dengan pemupukan dan kemiringan lahan masih bisa diatasi dengan teknik budidaya sehingga usahatani masih menguntungkan. Analisis LQ berdasarkan luas panen selama lima tahun (2001-2005) menunjukkan bahwa komoditas kopi, kakao, lada dan kelapa menjadi sektor basis perkebunan rakyat di Kabupaten Tanggamus yang ditunjukan dengan nilai LQ > 1 yang menggambarkan pemusatan luasan usahatani komoditas kopi, kakao, kelapa dan lada Kabupaten Tanggamus. Perkebunan rakyat di Kabupaten Tanggamus menunjukkan kriteria unggul secara komparatif dan dari sisi penawaran. Hasil analisis finansial terhadap lima komoditas basis di Kabupaten Tanggamus menunjukan usahatani gula kelapa memiliki nilai manfaat paling tinggi yaitu 4,70, diikuti kelapa butir 3,77, kakao 3,40, kopi 2,05, kelapa sawit 1,94, lada 1,89 dan kopra 1,38, sehingga disimpulkan usahatani masih menguntungkan untuk dilakukan. Tingkat pengembalian internal untuk
komoditas kelapa butir, kopra dan kelapa sawit menunjukan nilai dibawah tingkat suku bunga yang disebabkan skala usahatani yang tidak ekonomis dan rendahnya manajemen usahatani. Usahatani pada lahan S3 layak dilakukan karena faktor pembatas yang ada masih ekonomis dilaksanakan. Identifikasi permasalahan dengan metode FGD ditemukan 4 hal yang secara langsung menyebabkan rendahnya pendapatan petani, yaitu (1) produksi dan produktifitas rendah, (2) mutu hasil rendah, (3) transportasi mahal, dan (4) fluktuasi harga. Perumusan arahan pengembangan dilakukan dengan mempertimbangkan: 1) peruntukan lahan / Rencana Tata Ruang dan Wilayah; 2) kesesuaian agroklimat berdasarkan evaluasi lahan; 3) potensi komoditas basis melalui analisis LQ; 4) nilai ekonomis melalui analisis finansial; serta 4) kondisi sosiologi masyarakat melalui analisis FGD. Arahan pengembangan untuk komoditas kopi adalah melalui intensifikasi di Kecamatan Pulau Panggung, Ulu Belu, Talang Padang, dan Sumberejo. Arahan untuk kakao adalah perluasan, rehabilitasi dan intensifikasi di Kecamatan Kota Agung, Pematang Sawa, Adiluwih, Cukuh Balak dan Kelumbayan. Arahan untuk lada adalah diversifikasi dengan tanaman perkebunan lainnya. Arahan pengembangan kelapa adalah dengan diversifikasi dan intensifikasi di Kecamatan Wonosobo, Semaka, Kota Agung, Talang Padang, Sukoharjo, Pringsewu, Adiluwih, Gadingrejo dan Kelumbayan. Arahan kelapa sawit dan karet adalah ekstensifikasi di wilayah Kecamatan Pagelaran, Sukoharjo, Adiluwih dan Banyumas. Strategi untuk mencapainya adalah dengan meningkatkan produktivitas petani antara lain melalui pengembangan sumberdaya manusia pertanian, peningkatan produksi, pengembangan infrastruktur penunjang pertanian dan perbaikan pengolahan hasil dan pemasaran Kata kunci: Komoditas Unggulan, Pewilayahan, Perkebunan, Tanggamus
© Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tesis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penuisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin Institut Pertanian Bogor
PENGEMBANGAN KOMODITAS UNGGULAN PERKEBUNAN DI KABUPATEN TANGGAMUS PROPINSI LAMPUNG
NURLELI
Tesis Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Judul Tesis
: Pengembangan Komoditas Unggulan Perkebunan di Kabupaten Tanggamus Propinsi Lampung
Nama
: Nurleli
NRP
: A 353060304
Program Studi : Ilmu Perencanaan Wilayah
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, M.S. Ketua
Dr. Ir. Setia Hadi, M.S. Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian : 26 Desember 2007
Tanggal Lulus :
Karya Ilmiah ini aku persembahkan kepada Ayahanda ST. Nazaruddin Ma’sin dan Ibunda Syamsinur (Almarhum) Suamiku tercinta Nirwan Yustian dan Anak-anakku tersayang Ahmad Raffi Yustian Muhammad Rayhan Akbar Yustian Seluruh Keluargaku
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena hanya dengan rahmat dan ridhoNya penelitian dengan judul Pengembangan Komoditas Unggulan Perkebunan di Kabupaten Tanggamus Propinsi Lampung, dapat diselesaikan dengan baik. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Bapak Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS dan Bapak Dr. Ir Setia Hadi, MS. sebagai pembimbing dan Dr. Ir. Widiatmaka, MSc sebagai dosen penguji luar. 2. Segenap staf pengajar dan manajemen Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB; 3. Pimpinan dan staf Pusbindiklatren Bappenas atas kesempatan beasiswa yang diberikan bagi penulis; 4. Bupati Kabupaten Tanggamus yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk melanjutkan tugas belajar; 5. Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tanggamus dan staf yang telah memberikan kemudahan selama proses penelitian; 6. Bapak dan Ibu tercinta Hi. St Nazaruddin Ma’sin dan Syamsinur (Alm), Ibunda Aswati, saudara-saudaraku yang telah memberikan doa dan restunya selama pendidikan ini. 7. Suami dan anak-anakku tercinta atas kasih sayang, pengertian, kesabaran dan pengorbanannya dalam menunggu selesainya pendidikan. 8. Rekan-rekan seperjuangan PWL 2006 yang selalu kompak, sahabatku atas dorongan untuk melanjutkan pendidikan serta semua pihak yang telah membantu. Akhirnya penulis menyadari bahwa penelitian ini masih banyak keterbatasan dan kekurangannya. Namun demikian, penulis mengharapkan tulisan ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan orang-orang yang memerlukannya terlebih lagi bagi perkembangan dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan.
Bogor, Januari 2008 Nurleli
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tangkit Serdang Kabupaten Lampung Selatan, pada tanggal 20 Januari 1976 sebagai anak kedua dari empat bersaudara pasangan ST. Nazaruddin Ma’sin dan Syamsinur (Alm). Penulis menyelesaikan Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Tanjung Karang pada tahun 1994. Pada tahun yang sama diterima di Fakultas Pertanian Program Studi Agronomi Universitas Lampung (Unila) dan memperoleh gelar sarjana pada tahun 1998. Pada Tahun 1999 penulis diterima sebagai PNS di Pemerintah Daerah Kabupaten Tanggamus. Pada tahun 2002 penulis menikah dengan Nirwan Yustian, SP dan dikaruniai dua orang putra bernama Ahmad Raffi Yustian dan Muhammad Rayhan Akbar Yustian. Tahun 2006 penulis mendapat kesempatan meneruskan pendidikan pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah pada Sekolah Pascasarjana IPB. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Pusbindiklatren Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Sejak tahun 2001 sampai dengan sekarang penulis bekerja di Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tanggamus.
PENDAHULUAN Latar Belakang Kebijakan otonomi daerah telah memberikan tanggungjawab yang besar kepada daerah dalam mengelola pemerintahan dan sumberdaya daerah. Otonomi yang diberikan pemerintah pusat dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada pemerintah daerah secara proporsional. Undang-undang ini memberikan otonomi secara utuh kepada daerah untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakatnya. Daerah diberi kewenangan yang utuh dan bulat untuk merencanakan, melaksanakan, mengawasi, mengendalikan dan mengevaluasi kebijakan-kebijakan daerah. Dengan semakin besarnya partisipasi masyarakat, desentralisasi ini bisa mempengaruhi komponen kualitas pemerintahan lainnya. Orientasi pemerintah daerah akan bergeser dari command and control menjadi berorientasi pada tuntutan dan kebutuhan publik. Pelaksanaan otonomi daerah secara tidak langsung akan memaksa daerah untuk melakukan perubahan-perubahan baik perubahan struktur maupun perubahan proses dan kultur birokrasi. Proses perencanaan pembangunan di daerah juga mengalami perubahan, daerah dituntut mampu melakukan perencanaan pembangunan dengan memanfaatkan potensi yang ada dan sesuai dengan karakteristik wilayahnya. Perencanaan pembangunan suatu wilayah tidak terlepas dari potensi sumber daya alam yang melekat di wilayah tersebut dan pemanfaatan sumber daya alam tersebut secara bijaksana, yaitu terarah, efisien, sistematik dan berkelanjutan. Perencanaan dimulai dengan menganalisis kondisi wilayah, potensi unggulan wilayah dan permasalahan yang ada diwilayah tersebut yang selanjutnya digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam menentukan strategi pengembangan wilayah. Perencanaan pembangunan yang baik memerlukan ketersediaan data dan informasi mengenai potensi sumber daya alam yang menjelaskan penyebaran keruangan karakteristik bio-fisik dan potensi sumber daya alam sehingga dapat mendukung perencanaan pembangunan daerah, termasuk rencana pembangunan perkebunan.
2 Berkaitan dengan pengembangan potensi wilayah untuk sektor pertanian, keragaman sifat lahan akan sangat menentukan jenis komoditas yang dapat diusahakan serta tingkat produktivitasnya. Hal ini disebabkan setiap jenis komoditas pertanian memerlukan persyaratan sifat lahan yang spesifik untuk dapat tumbuh dan berproduksi dengan optimal (Djaenudin et al., 2000). Setiap komoditas untuk dapat tumbuh atau hidup dan berproduksi dengan baik memerlukan persyaratan-persyaratan tumbuh tertentu. Persyaratan tersebut antara lain faktor iklim (suhu, kelembaban, curah hujan), media perakaran (drainase, tekstur, kedalaman efektif), kesuburan tanah (kandungan bahan organik, fosfat, kalium, dan sebagainya) serta kondisi terrain (relief, keadaan batuan di permukaan) sangat mempengaruhi tingkat kemampuan pertumbuhan komoditas tersebut. Pengembangan komoditas pertanian pada wilayah yang sesuai dengan persyaratan pedo-agroklimat tanaman, yang mencakup iklim, tanah, dan topografi, akan memberikan hasil yang optimal dengan kualitas prima. Oleh karena itu, informasi dan data sumber daya lahan yang beragam perlu diketahui dengan pasti, agar jenis komoditas yang akan dikembangkan sesuai dengan kondisi wilayah yang bersangkutan. Keragaman sifat lahan ini merupakan modal dasar yang dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam menentukan pewilayahan komoditas pertanian. Perencanaan pembangunan pertanian yang berdasarkan pewilayahan akan dapat mengatasi terjadinya persaingan jenis dan produksi komoditas antar wilayah, sehingga peluang pasar akan terjamin. Aspek yang tidak kalah pentingnya adalah manajemen dalam mengelola lahan yang didasarkan pada sifat-sifat lahan untuk mencapai produktivitas yang berkelanjutan. Faktor pengusahaan dimana analisis tingkat sosial ekonomi maupun budaya diperlukan sebagai bahan pertimbangan bagi pengembangan suatu komoditas pada suatu wilayah. Secara nasional Departemen Pertanian telah membuat peta arahan pewilayahan komoditas pertanian unggulan nasional yang menyediakan data sumber daya lahan untuk seluruh Indonesia pada skala eksplorasi (1:1.000.000), sehingga peta yang disajikan hanya sesuai digunakan sebagai acuan untuk perencanaan atau arahan pengembangan komoditas secara nasional. Sedangkan
3 untuk tujuan operasional pengembangan pertanian ditingkat kabupaten diperlukan data/peta sumber daya lahan pada skala yang lebih besar. Wilayah Kabupaten Tanggamus memiliki beragam kekayaan alam yang belum dimanfaatkan secara optimal. Hal ini disebabkan karena belum tersedianya data dan informasi mengenai potensi sumber daya alam yang lengkap. Kondisi alam yang berbeda antara satu wilayah dengan yang lainnya memerlukan identifikasi potensi sumber daya alam untuk dapat mengembangkan jenis-jenis komoditas pertanian yang sesuai dengan potensi sumber daya lahan, upaya ini akan sangat membantu peningkatan produksi komoditas pertanian khususnya sub sektor perkebunan yang berkelanjutan. Kabupaten Tanggamus dengan luas wilayah 335.661 ha memiliki luas areal perkebunan sebesar 29,76% atau 99.896,67 ha.
Sub sektor perkebunan
merupakan mata pencaharian dominan masyarakat di Kabupaten Tanggamus. Dalam sektor pertanian ini, hampir 40 % penduduk mengusahakan komoditas perkebunan. Jenis tanaman perkebunan yang diusahakan bervariasi, baik tanaman semusim maupun tanaman tahunan, perkebunan besar maupun perkebunan rakyat. Data statistik Dishutbun Kabupaten Tanggamus (2006) memperlihatkan bahwa dari 24 jenis komoditas perkebunan yang dikembangkan
terdapat beberapa
komoditas cukup menonjol baik dari luasan maupun produksi yang diusahakan. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan luas areal tanaman perkebunan, sebagaimana disajikan pada Tabel 1. Komoditas perkebunan utama yang diusahakan sebagian besar masyarakat Kabupaten Tanggamus adalah kopi, kakao, kelapa dan lada. Diantara tanaman perkebunan tersebut, kopi merupakan komoditas andalan di Kabupaten Tanggamus. Total lahan yang digunakan untuk perkebunan kopi pada tahun 2006 adalah 54.509,00 ha atau sebesar 54,56% dari luas areal perkebunan dengan produktivitas sebesar 466,51 kg/ha/th. Sedangkan total produksi pada tahun 2006 mencapai 25.453,24 ton. Luasan komoditas kopi cenderung menurun setiap tahun karena banyak petani kopi yang mulai mengganti tanamannya dengan komoditas lain yang lebih menguntungkan seperti kakao. Komoditas kakao menempati urutan kedua setelah kopi. Untuk komoditas kakao dari luasan sekitar 26.190 ha kebun kakao di Lampung sekitar 47,6 % terdapat di Kabupaten Tanggamus,
4 Tabel 1 Perkembangan luas tanam dan produksi beberapa komoditas perkebunan di Kabupaten Tanggamus tahun 2001-2006 No
Jenis Tanaman
Luas Tanaman (ha) 2001
2003
Produksi (Ton)
2006
2001
2003
2006
248,25
238,25
494,75
338,57
370,43
206,87
93,50
77,50
112,50
102,59
35,32
78,29
1.
Aren
2.
Jabe Jawa
3.
Cengkeh
1.528,90
1.456,90
1.751,25
316,19
370,72
448,32
4.
Kakao
9.971,05
11.134,55
19.225,00
4.968,24
5.847,60
11.956,39
5..
Kelapa Dalam
19.392,95
19.018,50
22.865,75
18.997,52
19.601,33
24.600,60
6.
Kopi Robusta
54.189,50
52.379,50
54.509,00
33.576,00
29.831,48
25.453,24
7.
Lada
11.298,50
9.021,55
5.596,00
3.067,81
2.097,31
5.779,42
8.
Kelapa sawit
188,20
303,95
903,95
2.104,45
3.397,35
10.123,73
9.
Pinang
838,05
847,50
780,50
213,57
218,92
157,00
10
Nilam
70,70
70,70
177,50
33,71
31,80
45,35
11
Vanili
44,00
43,00
41,50
6,87
5,67
6,90
Sumber: Dishutbun Tanggamus,2006
sedangkan sisanya menyebar di kabupaten lain (Pemda Kabupaten Tanggamus, 2005). Komoditas kelapa dan
lada juga merupakan komoditas yang banyak
diusahakan di Kabupaten Tanggamus. Produktivitas tanaman perkebunan selain dipengaruhi pemeliharaan yang umumnya masih dilakukan secara konvensional juga sangat dipengaruhi oleh kondisi cuaca sehingga produksi sangat berfluktuasi setiap tahunnya. Memperhatikan potensi yang ada dan prospek di masa depan, komoditas perkebunan tersebut merupakan komoditas unggulan yang berpotensi untuk dikembangkan di Kabupaten Tanggamus.
Melihat cukup dominannya
pengusahaan komoditas perkebunan di Kabupaten Tanggamus, maka akan sangat berpengaruh terhadap kondisi perekonomian Kabupaten Tanggamus, untuk itu perlu dilakukan pengembangan tanaman perkebunan di Kabupaten Tanggamus berdasarkan kesesuaian lahannya. Selain itu perlu dilakukan pewilayahan komoditas unggulan perkebunan lainnya sesuai dengan potensi lahan tiap wilayah sehingga dapat memberikan produksi optimal. Hal ini sesuai dengan salah satu misi pembangunan daerah Tanggamus yaitu mendorong pusat – pusat pertumbuhan yang ada agar mampu menjadi motor penggerak perekonomian Kabupaten Tanggamus dan dapat merangsang pertumbuhan daerah sekitarnya.
5 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang diuraikan, maka rumusan masalah sebagai dasar dalam penelitian ini dapat dibuat dalam pertanyaan sebagai berikut : 1. Bagaimana data penyebaran potensi sumber daya fisik secara spasial untuk pengembangan perkebunan? 2. Apakah
pewilayahan
komoditas
perkebunan
sudah
berdasarkan
pertimbangan aspek daya dukung sumber daya alam? 3. Apakah komoditas perkebunan yang dikembangkan dan agroteknologi penanaman saat ini sudah sesuai dengan karakteristik lahan dan merupakan komoditas unggulan? 4. Bagaimana arah pengembangan komoditas perkebunan di Kabupaten Tanggamus? Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengidentifikasi potensi lahan di Kabupaten Tanggamus melalui evaluasi kesesuaian lahan. 2. Membangun pewilayahan komoditas perkebunan unggulan. 3. Mengkaji prospek pengembangan komoditas yang menjadi unggulan. 4. Merumuskan arahan pengembangan komoditas perkebunan di Kabupaten Tanggamus. Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan bermanfaat untuk: 1. Memberikan data dan informasi sebagai bahan pertimbangan Pemerintah Kabupaten
Tanggamus
dalam
perumusan
kebijakan
pewilayahan
komoditas perkebunan. 2. Memberikan masukan dan informasi kepada Pemerintah Kabupaten Tanggamus dalam menentukan program pembangunan yang terkait dengan pewilayahan komoditas perkebunan Ruang Lingkup Penelitian Dalam rangka perumusan kebijakan pembangunan wilayah dengan membuat pewilayahan komoditas tanaman perkebunan, permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah mengidentifikasi potensi lahan yang sesuai untuk komoditas
6 unggulan perkebunan dan pengembangannya di Kabupaten Tanggamus sehingga bisa digunakan sebagai arahan pengembangan komoditas unggulan perkebunan di Kabupaten Tanggamus. Sesuai dengan tujuan penelitian ini, maka ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada perkebunan rakyat yang dominan diusahakan oleh penduduk di Kabupaten Tanggamus. Klasifikasi atau pengelompokkan wilayah dilakukan dengan menggunakan satuan unit wilayah administrasi kecamatan yang layak untuk pengembangan perkebunan rakyat berdasarkan kesesuaian lahan dan analisis finansial serta sejalan dengan kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Tanggamus. Analisis interaksi spasial yang mampu mendukung pengembangan wilayah dan kebijakan pengelolaan dan perlindungan kawasan tersebut tidak termasuk dalam bahasan penelitian ini. Penelitian ini juga meliputi pendekatan yang diperlukan untuk mengetahui potensi wilayah dan kesesuaiannya untuk komoditas perkebunan yang menjadi unggulan secara fisik dan ekonomi sehingga bisa digunakan sebagai arahan pemanfaatan lahan perkebunan rakyat di Kabupaten Tanggamus. Keterbatasan Penelitian Penelitian ini memiliki keterbatasan pada skala peta yang digunakan yaitu peta skala 1: 250.000 yang akan menimbulkan ketidakdetilan dan keterbatasan informasi yang dihasilkan. Penelitian ini juga menggunakan berbagai jenis data dari sumber yang berbeda antara lain; Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Tanggamus, Badan Petanahan Nasional Kabupaten Tanggamus, Badan Pusat Statistik Kabupaten Tanggamus dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tanggamus sehingga dalam beberapa hal terdapat inkonsistensi data.
TINJAUAN PUSTAKA Konsep Perencanaan Pembangunan Wilayah Perencanaan merupakan kegiatan yang sering dilakukan oleh berbagai pihak, baik perorangan maupun suatu organisasi. Perencanaan adalah suatu aktifitas yang dibatasi oleh lingkup waktu sehingga diartikan sebagai suatu kegiatan terkoordinasi untuk mencapai suatu tujuan tertentu di dalam waktu tertentu. Untuk memahami kegiatan yang dilakukan dalam perencanaan, sangat bervariasi tergantung dari kompleksitas masalah dan tujuan yang ingin dicapai. Konsep perencanaan secara sederhana menurut Tarigan (2005) adalah menetapkan suatu tujuan dan memilih langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut.
Selanjutnya secara lebih lengkap Tarigan (2005)
memberikan pengertian bahwa perencanaan berarti mengetahui dan menganalisis kondisi saat ini, meramalkan perkembangan berbagai faktor yang tidak dapat di kontrol (noncontrolable) namun relevan, memperkirakan faktor-faktor pembatas, menetapkan tujuan dan sasaran yang diperkirakan dapat dicapai, serta mencari langkah-langkah untuk mencapai tujuan tersebut. Sedangkan menurut Kay and Alder (1999) dalam Rustiadi et al. (2006) perencanaan adalah suatu proses menentukan apa yang ingin dicapai di masa yang akan datang serta menetapkan tahapan-tahapan yang dibutuhkan untuk mencapainya. Dengan demikian proses perencanaan dilakukan dengan menguji berbagai arah pencapaian serta mengkaji berbagai ketidakpastian yang ada, mengukur kemampuan (kapasitas) kita untuk mencapainya kemudian memilih arah-arah terbaik dan memilih langkah-langkah untuk mencapainya. Pembangunan secara filosofis dapat diartikan sebagai upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik sedangkan UNDP mendefinisikan pembangunan dan khususnya pembangunan manusia sebagai suatu proses memperluas pilihan-pilihan bagi penduduk (a process of enlarging people’s choices). Todaro (2000), mendefinisikan pembangunan sebagai proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat dan institusi- institusi nasional sebagai akselerasi pertumbuhan ekonomi, pengurangan
8 ketimpangan pendapatan serta pengentasan kemiskinan. Pembangunan juga dapat diartikan mengadakan, membuat atau mengatur sesuatu yang belum ada (Rustiadi et al.,2006). Wilayah menurut Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional.
Konsep wilayah yang paling klasik
(Hagget, Cliff dan Frey, 1977 dalam Rustiadi et al., 2006) mengenai tipologi wilayah, mengklasifikasikan konsep wiayah ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) wilayah homogen (uniform/homogenous region); (2) wilayah nodal (nodal region); dan (3) wilayah perencanaan (planning region atau programming region). Wilayah homogen adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan pada kenyataan bahwa faktor-faktor dominan pada wilayah tersebut bersifat homogen, sedangkan faktor-faktor yang tidak dominan dapat beragam (heterogen). Pada dasarnya terdapat beberapa faktor penyebab homogenitas wilayah. Secara umum terdiri atas faktor alamiah dan faktor artifisial.
Faktor alamiah yang dapat
menyebabkan homogenitas wilayah adalah kelas kemampuan lahan, iklim dan berbagai faktor lainnya. Sedangkan homogenitas yang bersifat artifisial adalah homogenitas yang didasarkan pada pengklasifikasian berdasarkan aspek tertentu yang dibuat oleh manusia. Contoh wilayah homogen artifisial adalah wilayah homogen atas dasar kemiskinan (peta kemiskinan). Wilayah homogen pada umumnya sangat dipengaruhi oleh potensi sumber daya alam dan permasalahan spesifik yang seragam, maka menurut Rustiadi et al. (2006)
wilayah homogen sangat bermanfaat dalam penentuan sektor basis
perekonomian wilayah sesuai dengan potensi/daya dukung utama yang ada (comparative advantage) dan dalam pengembangan pola kebijakan yang tepat sesuai dengan permasalahan masing-masing wilayah. Perencanaan pembangunan wilayah adalah konsep perencanaan yang utuh dan menyatu dengan pembangunan wilayah.
Secara luas perencanaan
pembangunan wilayah diartikan sebagai suatu upaya merumuskan dan mengaplikasikan kerangka teori ke dalam kebijakan ekonomi dan program
9 pembangunan yang di dalamnya mempertimbangkan aspek wilayah dengan mengintegrasikan aspek sosial dan lingkungan menuju tercapainya kesejahteraan yang optimal (Nugroho dan Dahuri, 2004). Menurut Nasution (1997) terdapat empat pilar penting pengembangan wilayah yang berkaitan dengan aspek wilayah dan implementasi dalam kebijakan ekonomi yaitu: 1. Sumberdaya alam, pada umumnya sumberdaya alam dan manusia menyebar tidak merata pada suatu wilayah serta mempunyai sifat yang spesifik yaitu berlokasi tetap atau sangat sukar berubah.
Sedangkan sumberdaya alam
dengan segala sifat dan bentuknya harus dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk memelihara kelestarian lingkungan. Dengan demikian evaluasi sumber daya alam, baik mengenai kuantitas maupun kualitas serta penyebarannya merupakan hal yang sangat penting. 2. Analisa lokasi, dalam hal menentukan lokasi yang optimum untuk suatu kegiatan produksi perlu dikaji dan dianalisa perbedaan aspek yang bersifat alamiah dan buatan manusia diantara bagian-bagian suatu wilayah, karena akan dapat menyebabkan adanya perbedaan peluang bagi kegiatan-kegiatan wilayah untuk berkembang secara baik. Selanjutnya perbedaan tersebut akan dapat mendorong terciptanya aktivitas sosial ekonomi masyarakat. 3. Analisa ekonomi wilayah, dalam kaitannya dengan pertumbuhan sangat dipengaruhi
oleh
mengantisipasi
motivasi-motivasi
permintaan
(demand)
ekonomi, dan
sebagai
penawaran
contoh
usaha
(supply)
serta
memperhitungkan kekuatan-kekuatan pasar agar tercipta keseimbangan (equilibrum) diantara faktor-faktor tersebut.
Dengan demikian dapat
diperhitungkan dan dipertimbangkan pemusatan suatu kegiatan pada suatu wilayah. 4. Analisa sosial, tingkat kultur penduduk suatu wilayah seperti budaya, adat istiadat, persepsi, tingkat kemampuan dalam mengadopsi ilmu pengetahuan dan teknologi baru serta kelembagaan yang berlaku di masyarakat sangat mempengaruhi pertumbuhan dan pengembangan suatu wilayah.
10 Pembangunan pertanian melalui ‘pendekatan komoditas’ yaitu pendekatan yang dilakukan untuk meningkatkan produksi dan produktivitas komoditas yang memiliki keunggulan komparatif bagi suatu wilayah diharapkan dapat menumbuhkan ekonomi wilayah tersebut. Sejalan dengan terjadinya pergeseran paradigma dalam pembangunan ekonomi, maka ukuran keberhasilan pembangunan ekonomi
juga mengalami
pergeseran, tidak hanya dari aspek pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) atau kenaikan pendapatan per kapita penduduknya namun lebih jauh lagi ke arah perkembangan masyarakat. Menurut Arsyad (1999) pembangunan ekonomi didefinisikan sebagai proses yang menyebabkan kenaikan pendapatan riil per kapita penduduk suatu negara dalam jangka panjang, yang disertai oleh perbaikan sistem kelembagaan. Jadi pembangunan ekonomi harus dipandang sebagai suatu proses dimana saling keterkaitan dan saling mempengaruhi antara faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pembangunan ekonomi tersebut dapat diidentifikasi dan dianalisis dengan seksama. Oleh karena itu, sebelum melakukan kegiatan pembangunan ekonomi pada suatu daerah perlu dilakukan perencanaan yang matang. Arsyad (1999) berpendapat terdapat tiga implikasi pokok dari perencanaan pembangunan ekonomi daerah yaitu 1) perlunya pemahaman tentang hubungan antara daerah dengan lingkungannya (horisontal dan vertikal) dimana daerah tersebut merupakan bagian darinya, 2) perlu memahami bahwa sesuatu yang tampaknya baik secara nasional (makro) belum tentu baik untuk daerah, dan sebaliknya yang baik bagi daerah belum tentu baik secara nasional, dan 3) tersedianya perangkat kelembagaan untuk pembangunan daerah seperti administrasi dan proses pengambilan keputusan. Perencanaan yang efektif harus bisa membedakan apa yang seyogyanya dilakukan dan apa yang dapat dilakukan. Sedangkan menurut Jhingan (2004) perkembangan ekonomi dapat dipergunakan untuk menggambarkan faktor-faktor penentu yang mendasari pertumbuhan ekonomi seperti perubahan dalam teknik produksi, sikap masyarakat dan
lembaga-lembaga
pertumbuhan ekonomi.
dimana
perubahan
tersebut
dapat
menghasilkan
11 Gambaran Umum Sektor Perkebunan Perkebunan merupakan salah satu sub sektor yang berperan penting dalam perekonomian Indonesia.
Komoditas perkebunan merupakan komoditas yang
memiliki keunggulan komparatif dan diperdagangkan secara internasional (internationally traded goods) sehingga berperan penting sebagai penghasil devisa. Negara-negara beriklim tropis merupakan negara pengekspor komoditas perkebunan sebagai bahan baku bagi industri-industri negara maju. Pertumbuhan ekspor dan impor komoditas utama perkebunan menunjukkan adanya fluktuasi, yang merupakan salah satu ciri perdagangan komoditas perkebunan.
Setiap
komoditas utama perkebunan mempunyai pasar yang dijadikan rujukan (reference) bagi pelaku pasar. London merupakan pasar rujukan perdagangan teh, kopi dan kakao.
Singapura merupakan pasar rujukan bagi komoditas karet,
sedangkan Rotterdam menjadi pasar rujukan bagi komoditas minyak sawit. Hasil perkebunan yang selama ini menjadi komoditas ekspor adalah karet, kelapa sawit, lada, teh, kopi, tembakau, kakao dan jambu mete. Sebagian besar tanaman perkebunan tersebut merupakan usaha perkebunan rakyat, sedangkan sisanya diusahakan perkebunan besar baik perkebunan besar negara (PBN) maupun perkebunan swasta (PBS). Perkebunan rakyat menguasai 81% dari luas areal perkebunan yang ada di Indonesia dengan melibatkan 11 juta rumah tangga petani pekebun dengan produksi mencapai 60% dari seluruh produksi perkebunan (Soetrisno, 1999). Direktorat Jendral Perkebunan (1994) mencatat bahwa secara tradisional, subsektor ini menjadi salah satu andalan perekonomian nasional dalam meningkatkan
pendapatan
petani,
pertumbuhan
produk
domestik
bruto,
penyerapan tenaga kerja, peningkatan penerimaan ekspor, pemenuhan kebutuhan bahan baku industri dalam negeri, pemanfaatan sumber daya alam dan lain-lain. Sejalan dengan peranan sub sektor perkebunan di atas, pemerintah dan pelaku ekonomi di sub sektor perkebunan terus berupaya mengembangkan sub sektor perkebunan melalui pola pengembangan, seperti pola Unit Pelaksana Proyek (UPP), Pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR) dan Pola Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN). Hasil yang dicapai dalam tigapuluh tahun terakhir adalah luas
12 areal, produksi, dan ekspor komoditas perkebunan mengalami peningkatan, terutama lima komoditas utama yaitu teh, kopi, kakao, karet dan kelapa sawit. Sampai saat ini, komoditas utama perkebunan telah menyebar keseluruh penjuru tanah air. Sentra-sentra setiap komoditas diantaranya adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sumatra Utara (teh), Lampung, Sumatra Selatan, Bengkulu, Aceh, Sumatera Utara, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Utara. Menurut Drajat (2003) perkebunan di Indonesia masih menghadapi masalah produktivitas per luas areal tanam, terutama bentuk usaha perkebunan rakyat. Tingkat produktivitas yang dicapai perkebunan di Indonesia masih berada di bawah potensi produktivitas masing-masing jenis komoditas. Sebagai informasi, potensi produktivitas kopi, kakao, karet dan minyak sawit masing-masing adalah 1,2 ton/ha/tahun, 1,5 ton/ha/tahun,1,6 ton/ha/tahun dan 7-8 ton/ha/tahun. Fenomena di atas sekaligus mengindikasi bahwa kenaikan produksi perkebunan rakyat berasal dari perluasan areal, bukan kenaikan produktivitas. Kondisi ini terjadi antara lain karena petani belum sepenuhnya menerapkan teknologi maju, tingginya harga dan kurang tersedianya sarana produksi terutama pupuk dan bibit unggul. Petani masih mengusahakan sendiri dalam pemeliharaan kebun, pengolahan dan pemasaran hasil dan lemahnya insentif produksi bagi petani karena harga hasil produksinya murah. Sedangkan pada perkebunan besar, faktor utama penyebab belum tingginya produktivitas adalah manajemen produksi perkebunan besar belum sepenuhnya berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi hasil penelitian dan masih mengandalkan kelimpahan sumber daya alam dan manusia. Sektor Basis Pendekatan yang sering digunakan untuk lebih mengenal potensi aktivitas ekonomi suatu wilayah adalah analisis basis ekonomi yang merupakan rujukan dalam menentukan keunggulan kompratif dan sekaligus sektor basis. Salah satu metode untuk mengetahui potensi ekonomi suatu wilayah dapat dikatagorikan basis dan bukan basis adalah analisis Location Quotient (LQ), yang merupakan perbandingan relatif antara kemampuan sektor yang sama pada daerah yang lebih luas dalam suatu wilayah.
13 Asumsi dalam LQ adalah terdapat sedikit variasi dalam pola pengeluaran secara geografi dan produktivitas tenaga kerja seragam serta masing-masing industri menghasilkan produk atau jasa yang seragam. Berbagai dasar ukuran dalam pemakaian LQ harus disesuaikan dengan kepentingan penelitian dan sumber data yang tersedia (Blakely 1994 dan Rodinelli 1995 dalam Rustiadi et al. 2006). LQ juga menunjukkan efisiensi relatif wilayah, serta terfokus pada subtitusi impor yang potensial atau produk dengan potensi ekspansi ekspor. Hal ini akan memberikan suatu gambaran tentang industri mana yang terkonsentrasi dan industri mana yang tersebar (Shukla 2000 dalam Rustiadi et al. 2006). Menurut Rustiadi et al. (2006) kemampuan memacu pertumbuhan suatu wilayah sangat tergantung dari keunggulan atau daya saing sektor-sektor ekonomi di wilayahnya. Nilai strategis setiap sektor dalam memacu menjadi pendorong utama (primer mover) pertumbuhan ekonomi wilayah berbeda-beda. Aktivitas eknomi suatu wilayah dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu sektor basis dimana kelebihan dan kekurangan yang terjadi dalam proses pemenuhan kebutuhan tersebut menyebabkan terjadinya mekanisme ekspor dan impor antar wilayah. Artinya industri basis ini akan menghasilkan barang dan jasa, baik untuk pasar domestik daerah maupun pasar luar wilayah/daerah. Sedangkan sektor non basis adalah sektor dengan kegiatan ekonomi yang hanya melayani pasar di daerahnya sendiri dan kapasitas ekspor ekonomi daerah belum berkembang. Arus pendapatan yang dihasilkan dari aktivitas ekonomi industri basis akan meningkatkan investasi, kesempatan kerja, pendapatan dan konsumsi, pada gilirannya akan menaikkan pendapatan dan kesempatan kerja serta menaikkan permintaan hasil industri non basis.
Hal ini berarti kegiatan industri basis
mempunyai peranan penggerak pertama (primer mover role), dimana setiap perubahan kenaikan atau penurunan mempunyai efek pengganda (multiplier effect) terhadap perekonomian wilayah (Rustiadi et al., 2006). Menurut Hendayana (2003), penentuan komoditas unggulan merupakan langkah awal menuju pembangunan pertanian yang berpijak pada konsep efisiensi untuk meraih keunggulan komparatif dan kompetitif dalam menghadapi globalisasi perdagangan.
Langkah menuju efisiensi dapat ditempuh dengan
mengembangkan komoditas yang memiliki keunggulan komparatif, baik ditinjau
14 dari segi penawaran maupun permintaan.
Dari sisi penawaran komoditas
unggulan dicirikan oleh superioritas dalam pertumbuhannya pada kondisi biofisik, teknologi dan kondisi sosial ekonomi petani di suatu wilayah. Komoditas Unggulan Komoditas unggulan adalah komoditas andalan yang memiliki posisi strategis, baik berdasarkan pertimbangan teknis (kondisi tanah dan iklim) maupun sosial ekonomi dan kelembagaan (penguasaan teknologi, kemampuan sumberdaya manusia, infrastruktur dan kondisi sosial budaya setempat), untuk dikembangkan disuatu wilayah (BPTP, 2003). Menurut Ali (1998), komoditas unggulan adalah komoditas yang mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif, teknologi yang sudah dikuasai dan memberikan nilai tambah bagi pelaku agribisnis yang diusahakan oleh petani dalam suatu kawasan yang tersentralistik, terpadu, vertikal, dan horisontal. Unggul secara komparatif, berupa keunggulan yang didukung oleh potensi sumberdaya alam (letak geografis, iklim, dan lahan) sehingga memberikan hasil yang tinggi dibandingkan dengan daerah lain, serta peluang pasar lokal, nasional maupun peluang ekspor.
Unggul secara kompetitif, berupa keunggulan yang
diperoleh karena produk tersebut diupayakan dan dikembangkan sehingga menghasilkan
produksi yang tinggi, memiliki peluang pasar yang baik serta
menjadi ciri khas suatu daerah. Pada lingkup nasional kriteria komoditas unggulan diarahkan untuk ketahanan pangan dan merubah keungggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif. Komoditas unggulan nasional diharapkan memenuhi beberapa kriteria (Ali, 1998) yaitu; (1) mempunyai tingkat agroekologi yang tinggi; (2) mempunyai pasar yang jelas; (3) mempunyai kemampuan yang tinggi dalam menciptakan nilai tambah; (4) mempunyai kemampuan dalam meningkatkan ketahanan pangan masyarakat berpendapatan rendah; (5) mempunyai dukungan kebijakan pemerintah dalam bidang-bidang teknologi, prasarana, sarana, kelembagaan, permodalan dan infrastruktur lain dalam arti luas;
15 (6) merupakan komoditas yang telah diusahakan masyarakat setempat; dan (7) mempunyai kelayakan untuk diusahakan baik secara finansial maupun ekonomi. Pada lingkup kabupaten/kota, kriteria penetapan komoditas unggulan mengacu kriteria komoditas unggulan nasional dan diarahkan pada komoditas yang dapat ditingkatkan nilai tambahnya dalam agroindustri.
Komoditas
unggulan kabupaten diharapkan memenuhi beberapa kriteria yaitu; (1) mengacu kriteria komoditas unggulan nasional; (2) memiliki ekonomi yang tinggi di kabupaten; (3) mencukupi kebutuhan sendiri dan mampu mensuplai daerah lain atau ekspor; (4) memiliki pasar yang prospektif, merupakan komoditas yang berdaya saing tinggi; (5) memiliki potensi untuk ditingkatkan nilai tambahnya dalam agroindustri; (6) merupakan komoditas bernilai ekonomi tinggi; dan (7) dapat dibudidayakan secara meluas di wilayah kabupaten. Pewilayahan Komoditas Pertanian Pewilayahan komoditas pertanian sesuai dengan daya dukung lahan dimaksudkan agar produktivitas lahan yang diusahakan mencapai optimal. Dalam mendukung kegiatan agribisnis, pengertian produktivitas lahan ditujukan untuk suatu tipe penggunaan lahan ("Land Utilization Types" = LUTs"), baik secara campuran ("multiple land utilization types") maupun individual ("compound land utilization types") mampu berproduksi optimal. Dari aspek ekonomi, komoditas yang dihasilkan harus mempunyai peluang pasar, baik sebagai komoditas domestik maupun ekspor. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka komoditas harus dikembangkan pada lahan yang paling sesuai, sehingga akan mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif. Pada umumnya setiap tanaman dan/atau kelompok tanaman mempunyai persyaratan tumbuh/hidup yang spesifik untuk dapat berproduksi secara optimal (Djaenudin et al., 2000). Dalam kaitannya dengan hal tersebut, maka suatu wilayah kemungkinan hanya sesuai untuk komoditas tertentu, tetapi tidak untuk yang lain. Dengan kata lain, tidak selalu setiap jenis komoditas dapat diusahakan
16 di setiap wilayah apabila persyaratan tumbuhnya dari segi lahan tidak terpenuhi. Perbedaan karakteristik lahan yang mencakup iklim terutama suhu udara dan curah hujan, tanah (sifat fisik, morfologi, kimia tanah), topografi (elevasi, lereng), dan sifat fisik lingkungan lainnya dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk seleksi awal dalam menyusun zonasi pengembangan komoditas pertanian. Pendekatan pewilayahan komoditas pertanian akan dapat mengatasi penggunaan lahan yang kurang atau tidak produktif menuju kepada penggunaan lahan dengan jenis komoditas unggulan yang lebih produktif. Untuk menghindari terjadinya benturan kepentingan dalam hal penggunaan lahan, maka konversi tata guna lahan harus dilakukan mengacu kepada rencana tata ruang baik di tingkat propinsi ataupun kabupaten. Areal yang dipilih harus tercakup pada wilayah yang peruntukkan sebagai kawasan budi daya pertanian sesuai dengan kriteria sektoral dengan mempertimbangkan kesesuaian lahan dan/atau daya dukung lahan (Subagyo et al., 2000). Komoditas perkebunan merupakan komoditas pertanian penting di Indonesia yang dapat dikembangkan mengingat Indonesia mempunyai potensi lahan perkebunan yang luas khususnya diluar Jawa dan didukung oleh kondisi iklim tropis dan tanah yang sesuai dengan syarat tumbuh tanaman pohon (tree crops). Untuk mewujudkan peranan komoditas perkebunan sebagai basis pertumbuhan ekonomi diperlukan sistem yang mantap mulai dari produksi sampai konsumsi. Untuk itu penyusunan tata ruang pertanian khususnya sub sektor perkebunan melalui pendekatan pewilayahan komoditas dengan mempertimbangkan daya dukung dan/atau kesesuaian lahan akan dapat menjamin produktivitas lahan yang berkelanjutan tanpa merusak lingkungan. Pendekatan kewilayahan dalam pembangunan daerah yang utuh dan terpadu akan mampu mewujudkan efisiensi dan efektivitas fungsi perencanaan pembangunan daerah.
Memanfaatkan seoptimal mungkin potensi wilayah,
sumber daya, dan aspirasi masyarakat setempat merupakan modal utama dalam melaksanakan pembangunan daerah. Apabila pemilihan lahan dan sektor atau komoditas unggulan yang akan dikembangkan dapat dilakukan secara benar dan sesuai dengan tujuan program, maka pusat pertumbuhan yang akan menjadi andalan daerah dapat diwujudkan (Haeruman, 2000).
17 Evaluasi Kesesuaian Lahan Untuk dapat melakukan perencanaan Penggunaan lahan untuk pertanian salah satu hal pokok yang diperlukan adalah tersedianya informasi faktor fisik lingkungan yang meliputi sifat dan potensi lahan. Evaluasi lahan merupakan salah satu mata rantai yang harus dilaksanakan dalam suatu perencanaan penggunaan lahan. Evaluasi lahan (Land Evaluation atau Land Assessment) merupakan proses penilaian potensi suatu lahan untuk penggunaan-penggunaan tertentu. Tujuan evaluasi lahan adalah menentukan nilai (kelas) suatu lahan untuk tujuan tertentu. Menurut FAO (1976), dalam evaluasi lahan juga perlu memperhatikan aspek ekonomi, sosial serta lingkungan . Ada dua pendekatan yang dapat ditempuh dalam melakukan evaluasi lahan, yaitu pendekatan dua tahapan (two stage approach) dan pendekatan paralel (parallel approach).
Pendekatan dua tahap adalah proses evaluasi dilakukan
secara bertahap, pertama evaluasi secara fisik dan kedua evaluasi secara ekonomi. Pendekatan ini biasanya untuk inventarisasi sumberdaya lahan secara makro dan studi potensi produksi (FAO, 1976). Dalam pendekatan paralel kegiatan evaluasi lahan secara fisik dan ekonomi dilakukan bersamaan (paralel) atau dengan kata lain analisis ekonomi sosial dari jenis penggunaan lahan dilakukan secara serempak bersamaan dengan pengujian faktor-faktor fisik.
Pendekatan ini
umumnya menguntungkan untuk suatu acuan yang spesifik dalam kaitannya dengan proyek pengembangan lahan pada tingkat semi detil dan detil dan diharapkan hasil yang lebih pasti dalam waktu singkat. Evaluasi kesesuaian lahan merupakan bagian dari proses perencanaan tata guna tanah yang membandingkan persyaratan yang diminta untuk penggunaan lahan yang akan diterapkan dengan sifat-sifat atau kualitas lahan yang dimiliki oleh lahan yang digunakan.
Inti prosedur evaluasi lahan adalah mula-mula
menentukan jenis penggunaan (jenis tanaman) yang akan ditetapkan, kemudian menentukan
persyaratan
dan
pembatas
pertumbuhannya
dan
akhirnya
membandingkan persyaratan penggunaan lahan (pertumbuhan tanaman) tersebut dengan kualitas lahan secara fisik. Klasifikasi kelas kesesuaian lahan yang biasa digunakan adalah klasifikasi menurut metode FAO (1976). Metode ini digunakan
18 untuk mengklasifikasikan kelas kesesuaian lahan berdasarkan data kuantitatif dan kualitatif, tergantung data yang tersedia (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2001) Kesesuaian lahan ádalah tingkat kecocokan suatu bidang lahan untuk penggunaan tertentu. Kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai untuk kondisi saat ini atau setelah diadakan perbaikan (improvement). Lebih spesifik lagi kesesuaian lahan tersebut ditinjau dari sifat-sifat fisik lingkungannya, yang terdiri dari iklim, tanah, topografi, hidrologi dan/atau drainase sesuai untuk status usaha tani atau komoditas tertentu yang produktif (Djaenudin et al., 2003) Pengertian kesesuaian lahan (land suitability) berbeda dengan kemampuan lahan (land capability). Kemampuan lahan lebih menekankan kepada kapasitas berbagai penggunaan secara umum yang dapat diusahakan di suatu wilayah. Jadi semakin banyak jenis tanaman yang dapat dikembangkan atau diusahakan di suatu wilayah maka kemampuan lahan tersebut semakin tinggi. Sedangkan kesesuaian lahan adalah kecocokan dari sebidang lahan untuk tipe penggunaan tertentu (land utilization type) sehingga harus mempertimbangkan aspek manajemennya. Dalam menilai kesesuaian lahan ada beberapa cara, antara lain dengan perkalian parameter, penjumlahan, atau menggunakan hukum minimum yaitu mencocokan (matching) antara kualitas lahan dan karakteristik lahan sebagai parameter dengan kriteria kelas kesesuaian lahan yang telah disusun berdasarkan persyaratan penggunaan atau persyaratan tumbuh tanaman atau komoditas lain yang dievaluasi. Struktur klasifikasi kesesuaian lahan menurut kerangka FAO (1976) dapat dibedakan menurut tingkatannya sebagai berikut : Ordo, keadaan kesesuaian lahan secara global. Pada tingkat ordo kesesuaian lahan dibedakan antara lahan yang tergolong sesuai (S) dan lahan yang tergolong tidak sesuai (N). Kelas, adalah keadaan tingkat kesesuaian dalam tingkat ordo, dimana
pada
tingkat kelas lahan yang tergolong ordo sesuai (S) dibedakan ke dalam tiga kelas, yaitu sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2), dan sesuai marginal (S3). Sedangkan lahan yang tergolong ordo tidak sesuai (N) tidak dibedakan ke dalam kelas-kelas. Subkelas, adalah tingkat dalam kelas kesesuaian lahan. Kelas kesesuaian lahan dibedakan menjadi subkelas berdasarkan kualitas dan karakteristik lahan yang menjadi faktor pembatas terberat.
Faktor pembatas ini sebaiknya dibatasi
jumlahnya, maksimum dua pembatas. Tergantung peranan faktor pembatas pada
19 masing-masing subkelas, kemungkinan kelas kesesuaian lahan yang dihasilkan ini bisa diperbaiki dan ditingkatkan kelasnya sesuai masukan yang diperlukan. Unit, adalah tingkat dalam subkelas kesesuaian lahan yang didasarkan pada sifat tambahan yang berpengaruh dalam pengelolaannya. Semua unit yang berada dalam satu subkelas mempunyai tingkatan yang sama dalam kelas. Unit yang satu berbeda dari unit yang lainnya dalam sifat-sifat atau aspek tambahan dari pengelolaan yang diperlukan dan sering merupakan pembedaan tingkat detil dari faktor pembatasnya. Dengan diketahuinya pembatas tingkat unit tersebut memudahkan penafsiran secara detil dalam perencanaan usaha tani. Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah sebuah sistem baik manual maupun komputerisasi yang meliputi seperangkat prosedur yang berkaitan dengan penyimpanan, pengolahan, penyajian data dan informasi geografi. Sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komputer, SIG lebih umum diasosiasikan pada sistem komputerisasi yang dapat menyediakan berbagai kemampuan dalam menangani data dan informasi geografi, seperti pemasukan data, pengolahan data, manipulasi dan analisis data serta penyajian hasilnya.
Data dan informasi
geografi adalah informasi mengenai permukaan bumi yang menjelaskan suatu objek mengenai posisinya dihubungkan dengan sistem koordinat (proyeksi) yang ada, Informasi dapat dipandang sebagai data yang telah mengalami pengolahan, biasanya ditambah dengan ilmu pengetahuan agar dapat lebih dimanfaatkan langsung oleh pengguna (Pratondo, 2001) Pengertian lain Sistem Informasi Geografis (SIG) menurut Puntodewo et al. (2003), merupakan suatu komponen yang tediri dari perangkat keras, perangkat lunak, data geografis dan sumber daya manusia yang bekerja bersama secara efektif untuk menangkap, menyimpan, memperbaiki, memperbaharui, mengelola, memanipulasi, mengintegrasi, menganalisa dan menampilkan data dalam suatu informasi berbasis geografis. Aronoff (1989) mengemukakan bahwa SIG dirancang untuk menyimpan dan menganalisis objek-objek dan fenomena dimana lokasi geografis merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis. SIG merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan dalam menganalisis data yang
20 bereferensi geografis yaitu masukan, keluaran, menajemen data (penyimpanan dan pemanggilan data) serta analisis dan manipulasi data. Selanjutnya Barus dan Wiradisastra (2002) menjelaskan bahwa SIG memiliki kemampuan menangani data spasial yang besar karena dalam sejarahnya berkembang dari berbagai disiplin ilmu, yang diawali oleh kelompok survei dan pemetaan, ilmu komputer dan geografi kuantitatif. Wadsworth dan Treweek (1999), berpendapat bahwa SIG pada umumnya digunakan untuk menggambarkan bentuk permukaan bumi secara horizontal dan juga mampu menghadirkan gambaran secara vertikal. Selain digunakan untuk mempelajari suatu fenomena yang berada pada kisaran milimeter (misalnya kompetisi antar tanaman rumput) hingga kilometer, SIG juga mempunyai peranan dalam : 1) memberikan gambaran tentang distribusi jenis atau fenomena tertentu; 2) menginventarisasi sumberdaya alam yang ada dan mempelajari perubahannya; dan 3) menganalisis, memprediksi, membuat pemodelan, dan sumber informasi penting untuk pengambilan keputusan. Peranan SIG semakin besar dalam kajian sumberdaya ekologi termasuk perencanaan penggunaan lahan (Lioubimtseva dan Defouney, 1999).
Secara
umum SIG sangat bermanfaat baik untuk pemetaan, evaluasi sumberdaya lahan, pemodelan atau aplikasi model.
Sedangkan peran SIG secara lebih spesifik
adalah sebagai berikut: 1. menyediakan struktur data untuk penyimpanan dan pengolahan data yang lebih efisien termasuk untuk luasan yang besar. 2. memungkinkan pengumpulan atau pemisahan data dengan skala yang berbeda 3. mendukung analisis statistik spasial dan distribusi ekologi 4. menyediakan masukan data/parameter dalam pemodelan atau aplikasi model 5. meningkatkan kemampuan ekstraksi informasi dari penginderaan jauh. Menurut Robinson et al. (1995), beberapa ahli menjelaskan tahapantahapan kelengkapan dalam SIG menjadi tiga tahapan.
Tahap pertama
kelengkapan SIG adalah inventarisasi data. Data yang menjadi masukan dalam SIG dapat berupa peta tematik digital maupun rekaman digital dari sistem satelit Landsat yang sudah memberikan kenampakan tentang informasi yang dibutuhkan
21 Tahap kedua kelengkapan SIG adalah penambahan operaional analisis pada tahap pertama.
Pada tahapan ini bentuk data diberikan kedalam data dengan
menggunakan data statistik dan perlengkapan untuk analisis keruangan. Berbagai layer dari data yang dihasilkan pada tahap pertama dianalisis secara bersama-sama untuk menetapkan lokasi atau bentuk yang memiliki atribut yang sama atau serupa, nalisis ini bisa dilakukan setelah overlay. Overlay peta merupakan proses yang paling banyak dilakukan dalam SIG.
Selanjutnya kalkulasi peta dapat
dilakukan. Kalkulasi peta merupakan sekumpulan operasi untuk memanipulasi data spasial baik berupa peta tunggal maupun beberapa peta sekaligus. Operasi ini dapat berupa penjumlahan, pengurangan maupun perkalian antar peta, namun dapat pula melalui pengkaitan dengan suatu basis data atribut tertentu (Danoedoro, 1996). Tahap akhir kelengkapan SIG adalah pengambilan keputusan. Pada tahap ini digunakan model-model untuk mendapatkan evaluasi secara real time untuk kemudian hasil yang didapatkan dari pemodelan dibandingkan dengan kondisi di lapangan. Keluaran utama dari SIG adalah informasi spasial baru. Prahasta (2001), menguraikan SIG atas beberapa subsistem yang saling terkait, yaitu: 1. Data
input,
yang
bertanggung
jawab
dalam
mengkonversi
atau
mentransformasikan fomat-format data ke dalam format yang digunakan oleh SIG. 2. Data output, sub sistem ini menampilkan atau menghasilkan keluaran atau sebagian basis data baik dalam bentuk softcopy maupun hardcopy, seperti tabel, grafik, peta dan lain-lain. 3. Data management, yang mengorganisasikan baik data spasial maupun atribut ke dalam sebuah basis data sedemikian rupa sehingga mudah dipanggil, diperbaharui (update) dan dikoreksi (edit). 4. Data manipulation dan analisis, sub sistem ini menentukan informasiinformasi yang dihasilkan oleh SIG. Selain itu juga melakukan manipulasi dan pemodelan data untuk menghasilkan informasi yang diharapkan. Keterkaitan subsistem GIS tersebut berdasarkan uraian jenis masukan, proses dan jenis keluarannya dapat dilihat pada Gambar 1.
22
Data Management & Manipulation
Data Input
Data Output
Tabel Laporan Pengukuran Lapang
Peta Data Base
Tabel
Data Digital Peta (Tematik, dll)
Input
Retrieval
Output
Processing Citra Satelit
Laporan Inforasi Digital (Softcopy)
Foto Udara Data lainnya
Gambar 1. Keterkaitan susbsistem SIG (Prahasta, 2001) Partisipasi dalam Pembangunan Masyarakat Secara sederhana, menurut Sumardjo dan Saharuddin (2006) partisipasi mengandung makna peranserta seseorang atau sekelompok orang atau sesuatu pihak dalam suatu kegiatan atau upaya mencapai sesuatu yang (secara sadar) diinginkan oleh pihak yang berperanserta tersebut. Unsur utama partisipasi adalah adanya kesadaran dan kesukarelaan dalam berperilaku sesuai dengan kebutuhan dan keinginan partisipan, sehingga dalam berperilaku didasari pada motivasi terutama motivasi intrinsik yang tinggi, baik dalam proses pengambilan keputusan maupun implementasinya dan dalam menikmati hasil perilaku tersebut.
23 Filosofi pengembangan partisipasi dari kacamata proses pembangunan adalah keberpihakan pada masyarakat dalam mewujudkan aspirasi dan kreatifitas untuk memenuhi kebutuhan hidup dan mencapai kesejahteraannya.
Ada tiga
prasyarat partisipasi seseorang dalam suatu kegiatan dalam masyarakat, yaitu adanya kesadaran pada diri yang bersangkutan tentang adanya kesempatan dan adanya kemauan (sikap positif terhadap sasaran partisipasi), serta didukung oleh kemampuan (inisiatif untuk bertindak dengan komitmen dan menikmati hasilnya). Implementasi partisipatif dalam pembangunan adalah penerapan prinsip pembangunan yang berpusat pada rakyat, yang secara tegas menempatkan masyarakat harus menjadi pelaku utama dalam pembangunan. Apabila suatu pembangunan masyarakat tidak mendapat partisipasi masyarakat secara meluas kecenderungan yang terjadi adalah pembangunan tersebut tidak bermanfaat bagi rakyat, melainkan hanya bermanfaat pada segolongan pihak yang punya kepentingan dalam pembangunan. Metoda-metoda dan teknik partisipatif dalam pembangunan masyarakat yang banyak digunakan antara lain; (1) metoda partisipatif dalam identifikasi kebutuhan melalui Pendekatan Rapid Rural Appraisal (RRA) yang dianggap sebagai salah satu cara untuk mengisi kelemahan-kelemahan yang terkandung dalam aplikasi pendekatan “turis pembangunan” atau “survei konvensional” dalam mengindentifikasi potensi, permasalahan dan kebutuhan pembangunan; (2) partisipatif dalam perencanaan sosial Participatory Rural Appraisal (PRA) merupakan salah satu alternatif yang diutamakan dalam pemberdayaan masyarakat; (3) parisipatif melalui Participatory Impact Monitoring (PIM) yang memfokuskan pada monitoring dan evaluasi dampak proyek; (4) partisipatif melalui Focus Group Discussion (FGD); dan (5) partisipatif dalam pengembangan Usaha Produktif Masyarakat (SL, kemitraan). Focus Group Discussion (FGD) FGD adalah suatu proses pengumpulan informasi mengenai suatu permasalahan tertentu yang sangat spesifik melalui diskusi kelompok. Menurut Irwanto (1998: 1) dalam Sumardjo dan Saharuddin (2006) ada tiga kata kunci FGD, yaitu: (i) diskusi bukan wawancara; (ii) kelompok-bukan individu, dan (iii)
24 terfokus bukan bebas. Ibrahim (1997) dalam Sumardjo dan Saharuddin (2006) menyatakan bahwa Kelompok Diskusi Terarah (FGD) pada dasarnya adalah wawancara kelompok yang dipandu oleh seorang moderator, berdasarkan topik diskusi yang merupakan pokok permasalahan penelitian. Berdasarkan kedua pengertian di atas, maka FGD merupakan suatu forum yang dibentuk untuk saling membagi informasi dan pengalaman diantara para peserta diskusi dalam suatu kelompok untuk membahas satu masalah khusus yang telah terdefinisikan sebelumnya.
FGD yang demikian adalah forum untuk
membahas masalah penelitian, suatu permasalahan yang telah disusun sedemikian rupa untuk mendapatkan jawabannya.
Perbedaan kedua penulis hanya pada
terminologi, yang jika dilihat secara teliti mengandung pengertian yang sama yaitu antara “diskusi” dengan “wawancara yang dipandu oleh seorang moderator”. Dalam bidang ilmu sosial, hasil analisis atau temuan dengan FGD dapat digunakan pada tahap pra perencanaan, perencanaan, proses penelitian, selama inplementasi program hingga evaluasi proyek. Pada tahap pra perencanaan FGD dapat digunakan untuk mencari masukan awal tentang disain proyek. Pada tahap perencanaan, FGD dapat digunakan untuk analisis taksiran, penentuan design, kelayakan program, dan sebagainya.
Pada tahap implementasi membantu
memberikan masukan untuk program/rencana yang sedang dijalankan, sehingga perubahan program atau tindakan (intervensi) dapat dilakukan, bahkan sekaligus bisa melakukan pencegahan (preventif) yang dapat mengurangi kendala sosial yang mungkin terjadi sebagai rekomendasi. Sedangkan pada tahap evaluatif FGD dapat digunakan untuk memperoleh umpan balik yang berguna bagi langkahlangkah selanjutnya. Menurut Sumardjo dan Saharuddin (2006) Ada tiga alasan pokok munculnya FGD yaitu: alasan filosofis, alasan metodologis dan alasan praktis. Secara fiosofis seseorang melakukan FGD karena; (1) penelitian selalu tidak terpisah dengan aksi.
Diskusi sebagai proses pertemuan antar pribadi sudah
merupakan aksi. Artinya, setelah pertemuan ini, maka para peserta sudah akan mengalami perubahan. Oleh karena itu untuk mencegah akibat-akibat yang tidak diinginkan, FGD harus dapat dilakukan sedemikian rupa sehingga dampaknya bagi setiap peserta lebih bersifat positif-memberdayakan, membuat orang merasa
25 lebih enak (karena dapat mengeluarkan pendapat atau karena ada orang lain yang ternyata mempunyai pengalaman yang sama); (2) penelitian yang bersifat aksi membutuhkan perasaan memiliki dari masyarakat yang diteliti- sehingga pada saat peneliti memberikan rekomendasi aksi, dengan mudah masyarakat mau menerima rekomendasi tersebut. Partisipasi dalam FGD memberikan jalan bagi tumbuhnya rasa seperti itu. Secara metodologi seseorang melakukan FGD karena; (1) adanya keyakinan bahwa masalah yang diteliti tidak dapat difahami dengan metode survai atau wawancara individu; (3) untuk memperoleh data kualitatif yang bermutu dalam waktu yang relatif singkat; dan (3) sebagai metode yang dirasa cocok bagi permasalahan yang bersifat sangat lokal dan spesifik. FGD dengan melibatkan masyarakat setempat dipandang sebagai pendekatan yang paling sesuai. Alasan praktis penggunaan FGD adalah semua peserta memiliki kesempatan untuk dapat berbagi pengalaman, pendapat atau ide, sehingga mudah melakukan penelusuran mengapa orang berfikir dan merasakan apa yang mereka lakukan. Mengapa mereka bersikap dan bertindak seperti itu. Alasan praktis lainnya adalah: biaya murah, waktu dapat dihemat, memungkinkan dilakukan proyektibilitas, keterlibatan langsung pihak kedua, kegunaan untuk proses pengembangan, khusus menggali ide-ide baru, kepraktisan memilih lokasi dan fleksibilitas dalam memilih isu yang akan dibahas. Moderator dalam FGD memegang peranan penting bagi kedinamisan kelompok diskusi. Karena itu seorang moderator harus memiliki kemampuan untuk menggerakkan diskusi dari segala persoalan yang akan mempengaruhi jalannya dan efektifitas diskusi.
Sekurang-kurangnya terdapat empat jenis
keterampilan yag harus dimiliki oleh moderator, yaitu; (1) keterampilan menyeleksi peserta, peserta FGD diseleksi dari sejumlah orang yang terkait dengan permasalahan yang sedang diteliti; (2) keterampilan substantif, yaitu keterampilan untuk memahami substansi permasalahan yang didiskusikan; (3) keterampilan proses, yaitu keterampilan yang perlu dikuasai oleh moderator untuk mengatur proses diskusi sehingga tujuan yang ingin dicapai dengan memfokuskan diskusi pada persoalan yang hendak diteliti dapat benar-benar tercapai; (4) kemampuan melakukan refleksi terhadap pernyataan peserta; (5) kemampuan
26 probing, yaitu kemampuan mendorong semangat agar pembicara tidak segansegan meneruskan pembicaraannya karena materi yang disampaikan manarik untuk didengarkan; (6) kemampuan menggugah peserta untuk menyampaikan gagasannya; dan (7) keterampilan memfasilitasi proses diskusi.
METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Perencanaan pembangunan di suatu wilayah sangat memerlukan dukungan data potensi sumberdaya alam. Untuk itu diperlukan penelitian potensi wilayah untuk mengidentifikasi sumber daya lahan dalam upaya pengembangan potensi biofisik yang sesuai untuk pewilayahan komoditas perkebunan. Pewilayahan komoditas perkebunan tersebut didasarkan pada potensi sumber daya fisik wilayah dan sosial ekonomi. Potensi fisik wilayah yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah bahwa pengembangan komoditas pertanian pada wilayah yang sesuai dengan persyaratan pedo-agroklimat tanaman, yang mencakup iklim, tanah dan topografi akan memberikan hasil yang optimal. Evaluasi kesesuaian lahan merupakan bagian dari proses perencanaan pengembangan wilayah. Inti evaluasi lahan adalah membandingkan persyaratan yang diminta oleh tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan dengan sifat-sifat atau kualitas lahan yang dimiliki oleh lahan yang akan digunakan. Hasil evaluasi lahan menyajikan kelas kesesuaian lahan untuk berbagai komoditas perkebunan andalan terpilih. Untuk memilih jenis komoditas yang akan dikembangkan di suatu
wilayah,
perlu
dipertimbangkan
juga
antara
lain
komoditas
andalan/unggulan daerah, peluang pasar dan sosial ekonomi. Aspek sosial ekonomi pengembangan komoditas adalah aspek yang menyangkut kelayakan usaha tani. Selanjutnya dirumuskan indikator kelayakan usaha tani berupa kriteria komoditas unggulan sehingga akan mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif. Kelas kesesuaian lahan yang telah diperoleh berdasarkan analisis kesesuaian lahan kemudian disesuaikan dengan kebijakan arahan pemanfaatan ruang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
RTRW merupakan pedoman
secara spasial yang bertujuan untuk efisiensi alokasi pemanfaatan lahan dan perencanaan pembangunan serta pengembangan wilayah. Selain itu data penggunaan lahan saat ini (present landuse) diperlukan juga sebagai salah satu faktor pertimbangan dalam pewilayahan komoditas.
Data-data tersebut
28 diperlukan untuk memperoleh pewilayahan komoditas perkebunan sesuai secara fisik dan layak dikembangkan secara ekonomi. Sebaran potensi komoditas unggulan perkebunan secara spasial dalam kenyataanya akan berbeda dengan kondisi eksisting penggunaan lahan yang ada, oleh karena itu perlu dilakukan analisis kebijakan untuk memperoleh arahan yang tepat mengenai kelayakan komoditas yang akan dikembangkan. Arahan tersebut diharapkan dapat digunakan dalam merumuskan kebijakan pewilayahan komoditas perkebunan yang sesuai dengan potensi sumber daya lahan. Diagram alur kerangka pikir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Tanggamus Propinsi Lampung yang saat ini memiliki 24 kecamatan dan 313 pekon (desa). Peta penelitian ini berdasarkan data tahun 2000 yaitu 17 kecamatan. Penelitian ini berlangsung selama 3 (tiga) bulan yaitu Juni 2007 sampai dengan Agustus 2007. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan pengumpulan data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara dan penyebaran kuesioner kepada para responden. Sedangkan data sekunder meliputi data statistik dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Tanggamus dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Tanggamus, Peraturan Daerah (Perda) yang dikeluarkan oleh Pemerintah Dearah Kabupaten Tanggamus serta sumber-sumber pustaka lain yang relevan dengan topik penelitian. Jenis data dan sumber dapat dilihat pada Tabel 2. Kajian fisik lahan dilakukan dengan mengumpulkan berbagai data dan peta mengenai sumberdaya lahan daerah yang tersedia di dinas dan istansi yang terkait seperti peta tanah dan peta lereng serta informasi lain yang diturunkan dari peta topografi. Satuan Lahan Homogen (SLH) didapatkan dengan overlay peta peta tematik seperti peta tanah, peta lereng dan penyebaran hujan. SLH merupakan unit analisis kesesuaian lahan yang mempunyai karakteristik lahan.
Belum tersedianya data dan informasi mengenai potensi sumber daya lahan di Kabupaten Tanggamus
Permasalahan : Pemanfaatan Sub Sektor Perkebunan Belum optimal
IDENTIFIKASI POTENSI WILAYAH
• Sumber Daya Fisik Lahan • Sumber Daya Sosial Ekonomi
Analisis: • Kesesuaian Lahan
dengan overlay petapeta • Analisis komoditas unggulan • Analisis finasial • Analisis partisipatif
Pewilayahan Komoditas Unggulan Secara Spasial
Implikasi yang diharapkan: Arahan Pengembangan Komoditas Unggulan Perkebunan di Kabupaten Tanggamus 29
Gambar 2. Diagram alur kerangka pikir penelitian
30 Analisis LQ dilakukan dengan mengumpulkan data luas areal dan produksi tanaman perkebunan. Responden untuk analisis finansial diambil dari petani yang mengusahakan komoditas tersebut dan dipilih dari wilayah yang menjadi sentra komoditas.
Responden yang dipilih untuk kegiatan Focus Group Discusion
(FGD) terdiri dari unsur pemerintah daerah, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, kepala cabang dinas, dan petani dengan prinsip bahwa responden yang dipilih mempunyai pemahaman yang baik tentang perkembangan sektor perkebunan di Kabupaten Tanggamus. Tabel 2. Jenis dan sumber data penelitian No
Jenis Data
Skala
Tahun
Bentuk
Sumber Data
1
Peta LREP
1: 250.000
1990
Digital
Puslitanak Bogor
2
Peta Land Use
1: 250.000
2003
Hard Copy
BPN Tanggamus
3
Peta RTRW
1: 100.000
2004
Digital
Bappeda Tanggamus
4
Peta Lereng
1: 250.000
2003
Digital
5
Peta Administrasi
1: 250.000
2003
Digital
Hasil olahan peta kontur BP DAS Propinsi Lampung Bappeda Tanggamus
6
Data Luas dan Produksi Perkebunan RTRW Kab. Tanggamus Analisis ekonomi usahatani
-
20002005
Tabular
-
2004
Dokumen
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten.Tanggamus Bappeda Tanggamus
-
-
Data Primer
Hasil wawancara dengan petani
7 8
Metode Analisis Data yang telah terkumpul dianalisis sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian sehingga akan dapat menjawab permasalahan yang diangkat.
Kerangka tahapan analisis penelitian dan matriks penelitian dapat
dilihat pada Gambar 3 dan Tabel 3. Analisis Kesesuaian Lahan Evaluasi lahan dilakukan dengan bantuan program ALES (Automated Land Evaluation System) yang merupakan salah satu perkembangan teknologi dalam bidang evaluasi lahan dengan memanfaatkan perangkat komputer untuk otomatisasi penilaian lahan.
Program ALES merupakan suatu program
31 mikrokomputer yang mengijinkan evaluator membangun sistem kepakaran sehingga dapat mengevaluasi kesesuaian fisik dan ekonomi dari suatu peta satuan lahan untuk suatu jenis pengunaan lahan dengan menggunakan Framework for Land Evaluation FAO (Rossiter, 1990). Menurut Rossiter dan Wambeke (1997), ALES mempunyai 7 komponen sebagai berikut; 1. Kerangka pengetahuan dasar yang menggambarkan arahan penggunaan lahan, baik secara fisik dan ekonomi; 2. Kerangka pengetahuan dasar yang menggambarkan lokasi lahan yang dievaluasi; 3. Kesimpulan mekanisme secara komputerisasi tentang hubungan antara fisik dan ekonomi satu unit peta untuk arahan penggunaan lahan; 4. Fasilitas yang menjelaskan model yang dibangun agar bisa dipahami; 5. Konsultasi yang memungkinkan pengguna mudah mengquery tentang suatu penggunaan lahan pada waktu tertentu; 6. Laporan yang umum (dilayar, dicetak atau dalam bentuk file); dan 7. Modul yang bisa mengimport atau mengeksport yang memungkinkan data dipertukarkan dengan data base eksternal informasi geografi dan lembar kerja. Data yang dipersiapkan untuk keperluan evaluasi lahan terdiri atas: data satuan peta (mapping unit) dan karakteristik lahan (land characteristic). Terdapat dua cara dalam penyiapan data untuk evaluasi lahan dalam ALES yaitu data dientri secara manual dalam program ALES dan data dientri dengan bantuan program pengolah data (MS Excel) atau database management (dBase). Dalam penyusunan peta potensi pewilayahan komoditas data harus tersedia dalam format database. Untuk data semacam ini dalam ALES terdapat fasilitas import data dari format xBase ke ALES. Karena semua variabel yang ada di dalam database tersebut digunakan untuk keperluan evaluasi lahan, maka dilakukan seleksi dan kalkulasi data terlebih dahulu dengan bantuan program SDPLE (Soil Data Processing for Land Evaluation). Penyajian hasil evaluasi lahan dalam wujud spasial atau peta dilakukan dengan cara mengimport data
32
Sumber Daya Fisik Lahan (Peta Tanah, Peta Lereng, Data Iklim Kabupaten Tanggamus)
Overlay
Satuan Lahan Homogen (SLH) ALES Peta Kelas Kesesuaian Lahan
- Peta penggunaan Lahan - RTRW
Overlay
Peta Pewilayahan Komoditas Unggulan
Kondisi Sosial Ekonomi dan Kelembagaan
Analisis Prospek Pengembangan Komoditas Unggulan /Analisis Kelayakan (LQ, Analisis NPV, BCR, IRR) Analisis Kebijakan (metode FGD atau Wawancara terstruktur)
Arahan Pengembangan Komoditas Unggulan Perkebunan
Gambar 3. Diagram alir tahapan penelitian
33 tabulasi ke dalam format GIS. Penyajian peta kesesuaian lahan dapat dibuat berdasarkan jenis komoditas pertanian dengan menggunakan program ArcView. Tabel 3 Masalah, tujuan, metode analisis, data, dan sumber data No
Data yang dibutuhkan Primer Sekunder
Masalah
Tujuan
Analisis
Bagaimana data penyebaran potensi sumber daya fisik secara spasial?
Mengidentifiksi potensi lahan di Kabupaten Tanggamus melalui evaluasi lahan.
Analisis Kesesuaian Lahan/ ALES
-
2.
Apakah pewilayahan komoditas perkebunan sudah berdasarkan pertimbangan aspek daya dukung sumber daya alam?
Membangun pewilayahan komoditas perkebunan unggulan
Overlay/ GIS
-
3.
Apakah komoditas perkebunan yang dikembangkan dan agroteknologi sudah sesuai dengan karakteristik lahan merupakan komoditas unggulan?
Mengamati prospek pengembangan komoditas yang menjadi unggulan
-Analisis Kelayakan (analisis finansial) -Location Quotient
Data Luas Areal, Penduduk, Wawancara
4.
Bagaimana arahan pengembangan komoditas perkebunan di Kabupaten Tanggamus?
Merumuskan arahan pengembangan komoditas perkebunan di Kabupaten Tanggamus
Analisis Kebijakan /FGD
Wawancara Terstruktur
1
Sumber Data
Peta Tanah, Peta Lereng, Curah Hujan
Puslitbang-
Peta Kesesuaian Lahan, RTRW, Eksisting Land Use
Bapeda Kab. Tgms, BPN.
-
Hasil sintesis point 1, 2 dan 3
tanak
Dishutbun, BPS, Wawancara Petani
Stakeholders
Analisis Sistem Informasi Geografis (SIG) Untuk mengetahui lahan yang sesuai untuk pengembangan komoditas perkebunan, terlebih dahulu dilakukan pengolahan data spasial yaitu overlay peta tanah, peta lereng dan data curah hujan untuk mendapatkan peta satuan lahan homogen (SLH). Analisis kesesuaian lahan dilakukan dengan bantuan program ALES yaitu dengan mencocokan (matching) antara kualitas lahan dan karakteristik lahan sebagai parameter dengan kriteria kelas kesesuaian lahan yang
34 telah disusun berdasarkan persyaratan penggunaan atau persyaratan tumbuh tanaman atau komoditas Perkebunan dengan menggunakan kriteria FAO dalam ”A Framework for land Evaluation” (FAO, 1976) dan kriteria kesesuaian lahan untuk komoditas pertanian yang dikeluarkan Balai Penelitian Tanah (Balittan, 2003) dengan penyesuaian. Kelas kesesuaian lahan untuk komoditas unggulan
perkebunan di
Kabupaten Tanggamus diperoleh dengan overlay peta penggunaan lahan Kabupaten Tanggamus dan peta Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW), untuk melihat apakah areal potensial tersebut berada pada kawasan budidaya atau tidak. Peta RTRW diperoleh dari Bappeda Kabupaten Tanggamus. Lahan yang layak dan potensial dijadikan kawasan pewilayahan komoditas perkebunan yang didasarkan kesesuaian secara spasial dan biofisik adalah lahan yang sesuai untuk tanaman perkebunan kelas S1, S2 dan S3.
Software yang digunakan dalam
analisis ini adalah ArcView Ver 3.2. Analisis Location Quotient (LQ) Berbagai pendekatan dan alat analisis telah banyak digunakan untuk mengidentifikasi komoditas unggulan, yaitu menggunakan beberapa kriteria teknis dan non teknis dalam kerangka memenuhi aspek penawaran dan permintaan.
Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk mengetahui
komoditas unggulan adalah metode Location Quotient (LQ). Teknik LQ banyak digunakan untuk analisis kondisi perekonomian, mengarah pada identifikasi spesialisasi kegiatan perekonomian atau mengukur konsentrasi relatif kegiatan ekonomi untuk mendapatkan gambaran dalam penetapan sektor unggulan sebagai leading sektor suatu kegiatan ekonomi. Pada prakteknya pendekatan LQ meluas untuk menentukan sebaran komoditas atau melakukan identifikasi wilayah berdasarkan potensinya (Hendayana, 2003). Teknik LQ relevan digunakan sebagai metoda dalam menentukan komoditas unggulan khususnya dari
sisi penawaran (produksi dan populasi).
Untuk
komoditas yang berbasis lahan seperti perkebunan, perhitungannya didasarkan pada lahan pertanian (areal tanam atau areal panen) data series selama kurun waktu lima tahun (2000 – 2005).
35 Kelebihan metode LQ dalam mengidentifikasi komoditas unggulan antara lain penerapannya sederhana, penyelesaian analisis dengan menggunakan spread sheet dari Excel. Keterbatasannya adalah dituntut akurasi data, oleh karena itu validitas data sangat diperlukan. Metode analisis LQ pada penelitian ini menggunakan data luas areal tanam komoditas perkebunan yang dominan diusahakan oleh penduduk di Kabupaten Tanggamus dan memiliki luasan yang menyebar di seluruh kecamatan. Pemilihan indikator luas areal berdasarkan ketersediaan data yang ada, selain itu penentuan LQ dapat juga menggunakan indikator produksi. Hasil Pengamatan data luas areal perkebunan selama lima tahun terakhir diperoleh empat komoditas utama yaitu kopi, kakao, lada dan kelapa serta dua komoditas yang menjadi prioritas pengembangan pemerintah daerah yaitu karet dan kelapa sawit.
Data yang
digunakan bersumber dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tanggamus tahun 2001-2005. Analisis data dilakukan melalui beberapa tahapan sebagai berikut: a). Insert data, insert data dilakukan selama lima tahun terakhir ke dalam spreadsheet dengan format kolom dan baris. Kolom diisi nama kecamatan dan tahun sedangkan baris diisi nama jenis komoditas pertanian. b). Menghitung nilai rataan, Untuk jenis tanaman dihitung rataan luas areal panen menurut tiap komoditas.
Hasil rataan yang diperoleh diberi notasi ”pi”.
Selanjutnya menjumlahkan nilai rataan masing-masing komoditas di tiap wilayah itu (penjumlahan horizontal). Hasilnya menunjukkan jumlah areal panen masing-masing komoditas yang selanjutnya diberi notasi ”pt”. c). Menjumlahkan luas areal panen, menjumlahkan luas areal panen dari tiap komoditas menurut wilayah, yang akan menghasilkan total luas panen yang diberi notasi ”Pi”. Selanjutnya menjumlahkan luas panen semua komoditas dari semua wilayah yang kemudian diberi notasi ”Pt”. d). Menghitung LQ, dilakukan dengan memasukkan notasi-notasi yang diperoleh ke dalam formula LQ, yaitu pi/pt sebagai pembilang dan Pi/Pt sebagai penyebut. Secara ringkas ditulis:
pi/pt LQ = Pi/Pt
36 (e) Interpretasi nilai LQ. Nilai LQ yang diperoleh akan berada dalam kisaran lebih kecil atau sama dengan satu sampai lebih besar dari angka 1, atau 1 ≥ LQ > 1. Besaran nilai LQ menunjukkan besaran derajat spesialisasi atau konsentrasi dari komoditas itu diwilayah yang bersangkutan relatif terhadap wilayah referensi. Artinya semakin besar nilai LQ di suatu wilayah, semakin besar pula derajat konsentrasinya di wilayah tersebut. Komoditas yang menghasilkan nilai LQ> 1 merupakan standar normatif yang ditetapkan sebagai komoditas unggulan.
Namun demikian jika banyak
komoditas di suatu wilayah yang menghasilkan LQ>1, maka harus dipilih komoditas yang mendapatkan nilai LQ paling tinggi. Karena nilai LQ yang semakin tinggi di suatu wilayah menunjukkan semakin tinggi pula potensi keunggulan komoditas tersebut. Pengolahan
dan
analisis
data
tersebut
dilakukan
secara
sederhana
menggunakan spreadsheet dari Excel dalam Microsoft Windows XP Analisis Kelayakan Pengembangan Komoditas Unggulan Menurut Gittinger (1982) aspek finansial pada dasarnya terutama menyangkut perbandingan antara pengeluaran dengan pendapatan (revenue earning) dari industri atau aktifitas usaha ekonomi, serta waktu didapatkannya hasil (returns). Untuk mengetahui secara komprehensif tentang kinerja layak atau tidaknya suatu aktivitas usaha maka dikembangkan berbagai kriteria yang pada dasarnya membandingkan antara biaya dan manfaat atas dasar suatu tingkat harga umum tetap yang diperoleh suatu usaha ekonomi yang menggunakan nilai sekarang (present value) yang telah didiskonto selama umur usaha tersebut. Tingkat diskonto yang dipakai untuk mencari present value dari benefit atau cost harus senilai dengan opportunity cost of capital atau biaya marjinal kegiatan usaha tersebut dari sudut pandang pemilik modal atau peserta usaha. Dengan demikian tingkat diskonto yang berlaku untuk setiap kegiatan usaha tidak seragam nilainya. Biasanya tingkat tersebut merupakan tingkat usaha untuk meminjam modal. Kegiatan usaha merupakan kegiatan yang dapat direncanakan dan dilaksanakan dalam suatu bentuk kesatuan dengan menggunakan sumber-sumber untuk mendapatkan manfaat. Dalam unit usaha, sumber-sumber yang digunakan
37 tersebut dapat berupa barang-barang modal, bahan baku, tenaga kerja dan waktu. Sumber-sumber tersebut sebagian atau seluruhnya dapat dianggap sebagai barang konsumsi yang dikorbankan dari penggunaan masa sekarang untuk memperoleh manfaat. Untuk mengetahui tingkat kelayakan finansial maka kriteria yang umum digunakan untuk menilai suatu usaha adalah: (1) Benefit Cost Ratio (BC ratio), (2) Internal Rate of Return (IRR), dan (3) Net Present Value (NPV). (Gittingger, 1982). Asumsi yang digunakan dalam penelitian digunakan dalam penelitian ini adalah; 1) Discount faktor (DF) yang digunakan adalah 17 %, merupakan tingkat suku bunga pinjaman rata-rata yang berlaku di daerah penelitian; 2) Tingkat harga input dan output yang digunakan adalah tingkat harga rata-rata pada saat penelitian dilakukan. 3) Siklus atau umur usahatani yang digunakan dalam analisis kelayakan finansial merupakan siklus usaha yang masih memberikan laba bersih positif dengan demikian NPV, IRR dan BC rasio dihitung berdasarkan siklus ini. 4) Analisis yang dilakukan tidak mempertimbangkan pendapatan tambahan dari sistem pertanaman tumpang sari. Analisis kelayakan finansial pada penelitian ini menggunakan data primer. Data primer diperoleh dari hasil wawancara oleh petani. Pengambilan sampel dilakukan dengan sengaja sesuai tujuan (Purposive sample) dimana kuisioner dilakukan pada wilayah-wilayah yang merupakan sentra perkebunan yang menjadi unggulan di Kabupaten Tanggamus, yaitu komoditas kopi, kakao, lada, kelapa dan kelapa sawit. Lokasi pengambilan sampel untuk sentra kopi dan lada di Pekon Datarajan Kecamatan Ulu Belu, pekon Tekad, Pekon Kemuning Kecamatan Pulau Panggung, dan Pekon Way Panas Kecamatan Wonosobo. Untuk sentra kakao terdapat di Pekon Pariaman dan Pekon Ampai Kecamatan Limau, Pekon Nusawungu Kecamatan Banyumas, Pekon Wonosari Kecamatan Sukoharjo dan Pekon Bandung Baru Kecamatan Adiluwih serta sentra kelapa di Kecamatan Wonosobo.
38 Kelayakan usahatani dilakukan dengan menghitung biaya produksi yang dikeluarkan petani yang terdiri dari biaya investasi dan biaya operasional. Untuk komoditas kopi, kakao, lada, kelapa dan kelapa sawit biaya investasi meliputi biaya penanaman tahun ke-0 dan biaya pemeliharaan tanaman belum menghasilkan (TBM) sedangkan biaya operasional merupakan biaya yang dikeluarkan petani setelah tanaman menghasilkan. Perhitungan analisis usahatani dapat dilihat pada Lampiran 8–14.
Untuk komoditas karet tidak dilakukan
analisis karena belum ada petani yang mengusahakannya.
Saat ini karet
merupakan komoditas yang baru akan dikembangkan di Kabupaten Tanggamus. Jumlah responden yang diambil sebanyak 30 orang petani pada masing-masing sentra. a. Net Present Value (NPV) Net Present Value (NPV) menghitung nilai sekarang dari aliran kas yaitu merupakan selisih antara Present Value (PV) manfaat dan Present Value (PV) biaya.
Nilai bersih sekarang akan menggambarkan keuntungan dan layak
dilaksanakan jika mempunyai nilai positif. Apabila nilai NPV sama dengan nol, maka usaha tersebut tidak untung dan tidak rugi (marjinal), sehingga terserah kepada penilaian pengambilan keputusan dilaksanakan atau tidak. Apabila NPV kurang dari nol, maka usaha tersebut merugikan sehingga lebih baik tidak dilaksanakan. Rumus kriteria investasi ini adalah sebagai berikut: n
NPV =
∑ t −1
Bt − Ct (1 + i ) t
Dimana: Bt : Benefit/penerimaan atau manfaat yang diperoleh sehubungan dengan suatu usaha atau proyek pada time series (tahun, bulan dan sebagainya) ke-t (Rp). Ct : Cost/biaya yang dikeluarkan sehubungan dengan suatu usaha atau proyek pada time series ke-t tidak dilihat apakah biaya tersebut dianggap bersifat modal (pembelian peralatan, tanah, konstruksi dan sebagainya) (Rp). i : merupakan tingkat suku bunga yang relevan. t : time/waktu (1,2,3 ... n).
39 b. Benefit Cost Ratio (BC ratio) Benefit Cost Ratio adalah perbandingan antara Present Value manfaat positif dengan Present Value biaya negatif.
Dengan demikian Benefit Cost Ratio
merupakan tingkat besarnya tambahan manfaat setiap penambahan satu satuan rupiah biaya yang digunakan. BC ratio akan menggambarkan keuntungan dan layak dilaksanakan jika mempunyai nilai lebih besar dari satu atau Profit Cost Ratio (PCR)/Benefit Cost Ratio (BCR) lebih besar dari nol. Apabila BC ratio sama dengan satu, maka usaha tersebut tidak untung dan tidak rugi (marjinal), sehingga terserah kepada penilaian pengambilan keputusan. Apabila BC ratio kurang dari nol, maka usaha tersebut merugikan maka tidak layak dilaksanakan (Gittigger (1982), secara sistematis BC ratio dapat dituliskan sebagai berikut: n
∑B /(1+ i) B/C =
t −1 n
t
t
∑C /(1+ i) t =1
t
t
c. Internal Rate of Return (IRR) Internal Rate of Return (IRR) adalah nilai diskonto yang membuat NVP dari kegiatan usaha sama dengan nol. Dengan demikian IRR merupakan tingkat bunga maksimum yang dapat dibayar oleh kegiatan usaha tersebut untuk sumberdaya yang digunakan. IRR ini kemudian dibandingkan dengan tingkat diskonto yang berlaku. Jika IRR lebih besar daripada tingkat diskonto yang dianggap relevan, maka usaha tersebut layak dilaksanakan.
Apabila IRR sama dengan tingkat
diskonto yang dianggap relevan, maka terserah kepada penilaian pengambil keputusan dilaksanakan atau tidak. Apabila IRR kurang dari tingkat diskonto yang dianggap relevan, maka usaha tersebut merugikan sehingga tidak layak dilaksanakan. Secara matematis IRR dapat ditulis sebagai berikut: IRR = i’ + (i” – i’)
NPV ' NPV '− NPV "
Dimana: i’ : Tingkat discount rate (DR) pada saat NPV positif. i” : Tingkat discount rate (DR) pada saat NPV negatif. NPV’ : Nilai NVP positif. NPV” : Nilai NVP negatif.
40 Analisis Focus Group Discussion (FGD)
Perancangan arahan dilakukan melalui pendekatan kualitatif dengan metode diskusi kelompok terfokus (Focus Group Discussion). FGD dilaksanakan dengan membentuk kelompok pada wilayah yang merupakan sentra untuk komoditas kopi, kakao, lada dan kelapa. Kelompok diskusi terdiri dari 20-30 orang yang terdiri dari petani, ketua kelompok tani, kepala pekon dan petugas lapang. Tahapan dalam perancangan arahan pengembangan komoditas perkebunan dilakukan melalui aktifitas yang meliputi mengidentifikasi potensi, masalah, solusi permasalahan dan penyusun arahan. Rincian responden, informan dan cara pengumpulan data disajikan pada Tabel 4. Diskusi Kelompok Terfokus (Focus Group Discussion-FGD) bertujuan untuk melakukan pemetaan masalah. Secara sederhana FGD dapat didefinisikan sebagai suatu diskusi yang dilakukan secara sistematis dan terarah atas suatu isu atau masalah tertentu. Diskusi diawali dengan pembukaan oleh moderator dilanjutkan dengan penjelasan konsep FGD dan pengarahan. Diskusi dipimpin oleh peserta yang ditunjuk oleh peserta diskusi.
Setiap kelompok tani
memperoleh giliran untuk mengemukakan potensi, masalah dan usulan program untuk ditanggapi oleh peserta lainnya.
Pemimpin diskusi menyusun daftar
masalah dan program sesuai dengan prioritasnya. Tabel 4. Rincian responden, informan dan cara pengumpulan data No
Tujuan Kajian
Data dan Informasi
Sumber
Metode
Rekaman
1.
Mengetahui dan identifikasi potensi
Potensi SDM, SD fisik & modal sosial
Dinas terkait Masyarakat, tokoh masyarakat, pemda - Masyarakat - Pemda
- Observasi Data sekunder - Wawancara mendalam - Diskusi Kelompok - Diskusi kelompok
- Dokumen - Tabulasi data - Catatan Harian
2.
Identifikasi permasalahan
3.
Merumuskan solusi pemecahan masalah
4.
Menyusun arahan pengembangan
Permasalahan, penyebab permasalahan, faktor penghambat, Bentuk solusi penanganan masalah, cara kerja penanganan masalah Perumusan arahan sesuai aspirasi masyarakat
- Masyarakat - Pemda
- Diskusi kelompok
- Catatan Harian
- Catatan Harian
41 Setelah diperoleh data dilakukan analisis dekskriptif dan komparatif. Analisis deskriptif merupakan interpretasi logis terhadap data dengan cara mengambarkan dan mengungkapkan makna, hubungan sebab dan akibat yang terdapat dibalik fakta. Hasil analisis dituangkan dalam bentuk narasi. Analisis komparatif dimaksudkan untuk menentukan potensi dan/atau masalah yang terjadi di lokasi yang diidentifikasi. Analisis ini dilakukan dengan cara membandingkan data tentang kondisi riil di lapangan dengan konsep ideal yang telah disusun antara lain membandingkan kriteria kesuburan tanah dengan kesesuaian lahan Komparasi akan menghasilkan dua kemungkinan, pertama adanya kesesuaian antara kondisi saat ini dengan kondisi ideal kriteria.
Dalam hal
demikian, berarti terdapat potensi yang bisa dikembangkan. Sebaliknya dapat terjadi ketidaksesuaian atau kesenjangan atara kondisi eksisting dengan kriteria ideal.
Hal ini berarti terdapat masalah yang memerlukan solusi, yang dapat
berupa penanganan secara cepat atau melalui pengusulan program, sesuai dengan permasalahannya.
Setelah dilakukan analisis dan interpretasi data, maka
dilakukan penarikan kesimpulan sehingga dapat disusun keputusan sebagai dasar perumusan kebijakan, baik dalam bentuk program aksi atau opsi pemecahan masalah. Perumusan Strategi
Perumusan strategi pengembangan komoditas unggulan di Kabupaten Tanggamus dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa aspek antara lain: 1. Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kabupaten Tanggamus yang dituangkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Tanggamus Nomor 4 tahun 2005 dimana kriteria penentuan pengembangan wilayah adalah berdasarkan: -
kesamaan fungsi pemanfaatan ruang dilihat dari struktur produksi dan besarnya produksi dominan
-
pusat pengembangan berfungsi sebagai penggerak dari kegiatan ekonomi dan sosial
-
Secara geografis saling berdekatan untuk memudahkan pola distribusi dan kolektivitas produksi komoditas
-
Aksesibilitas antar kecamatan, kabupaten, propinsi cukup baik
42 -
Berpotensi untuk dikembangkan menjadi pusat-pusat pertumbuhan baru yang mempunyai fungsi dan peran dalam mendukung perkembangan wilayah (pemerataan).
2. Kesesuaian lahan, pengembangan komoditas unggulan perkebunan diarahkan pada lahan yang memiliki kelas kesesuaian sesuai (S) dengan urutan prioritas pemilihan adalah S1, S2, dan S3. 3. Arahan dinas, pengembangan komoditas unggulan disesuaikan dengan program pembangunan perkebunan yang dilaksanakan oleh dinas. 4. Kelayakan ekonomi, arahan pengembangan juga mempertimbangkan hasil analisis kelayakan finansial dengan melihat nilai BC rasio, NPV dan IRR. 5. Analisis FGD, arahan pengembangan mempertimbangkan potensi dan permasalahan yang diidentifikasi dalam diskusi kelompok.
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak dan Administrasi Wilayah Kabupaten Tanggamus terbentuk sebagai wilayah kabupaten pada tanggal 21 Maret 1997 dengan Ibukota Kota Agung. Berdasarkan letak geografis, Kabupaten Tanggamus terletak antara 104o18’ – 105o12’ Bujur Timur dan antara 5o05’ – 5o56’ Lintang Selatan. Di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Lampung Tengah, sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia; sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Lampung Barat; dan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Lampung Selatan. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 4. Kabupaten Tanggamus mempunyai luas wilayah 3.356,61 km2 atau sebesar 9,5% dari luas Propinsi Lampung. Pada awalnya Kabupaten Tanggamus secara administrasi terdiri dari 11 (sebelas) kecamatan dan 6 (enam) kecamatan perwakilan. Tahun 2000 keenam kecamatan perwakilan tersebut menjadi kecamatan definitif, sehingga menjadikan jumlah kecamatan menjadi 17 kecamatan. Pada pada tahun 2005 dilaksanakan pemekaran beberapa kecamatan di Kabupaten Tanggamus menjadi 24 kecamatan dan pada tahun 2007 dimekarkan lagi menjadi 28 kecamatan yang terdiri dari 323 pekon atau desa dan 7 kelurahan. Rincian luas wilayah, kecamatan dan jumlah pekon disajikan pada Tabel 5. Kondisi Fisik Wilayah Berdasarkan keadaan topografisnya wilayah Kabupaten Tanggamus bervariasi antara dataran rendah dan dataran tinggi, yang sebagian merupakan daerah berbukit sampai bergunung, yakni sekitar 40% dari seluruh wilayah dengan ketinggian antara 0 sampai dengan 2.115 meter dari permukaan laut. Dari segi geografis Kabupaten Tanggamus terdiri dari Lembah Semangka, yang merupakan patahan geologi memanjang dan Teluk Semangka ke arah barat laut. Struktur tanahnya subur, berbatuan andesit dan turf asam, keadaan permukaan datar. Pegunungan vulkanis muda sebagian berbatuan andesit, ditutupi turf asam batuan andesit meluas ke timur.
Keadaan fifiografi bergelombang
sampai bukit, daerah landai bagian timur yang termasuk wilayah Tanggamus tidak begitu luas, berbatuan andesit ditutupi turf asam. Dataran rendah mencakup 65%
44 wilayah Tanggamus dan sisanya dataran tinggi mencakup 35 % wilayah Tanggamus. Tabel 5. Luas wilayah kecamatan dan jumlah pekon (desa) di Kabupaten Tanggamus No Kecamatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Wonosobo Semaka Kota Agung Pematang Sawa Kota Agung Timur Kota Agung Barat Pulau Panggung Ulu Belu Talang Padang Sumberejo Gisting Gunung Alip Pugung Pagelaran Sukoharjo Adiluwih Banyumas Pringsewu Ambarawa Gadingrejo Pardasuka Cukuh Balak Kelumbayan Limau Jumlah
Ibukota Tanjung Kurung Sukaraja Kota Agung Way Nipah Kagungan Negara Batin Tekad Ngarip Talang Padang Margoyoso Kuta Dalom Banjar Negeri Rantau Tijang Gumuk Mas Sukoharjo I Adiluwih Banyumas Pringsewu Ambarawa Gadingrejo Pardasuka Putih Doh Napal Kuripan
Luas Daerah (Km) 307,75 170,90 76,93 185,29 73,33 101,3 623,56 323,08 45,13 56,77 32,53 25,68 232,40 163,55 71,00 65, 4 30,62 44,29 22,76 69,57 85,64 133,76 174,76 240,61 3.356,61
Jumlah Pekon 31 20 10 Pekon, 3 kel 8 10 15 22 11 17 12 6 7 21 20 12 7 8 8 Pekon, 4 kel 7 15 18 18 10 10 7 Kel & 323 Pekon
Sumber : Tanggamus Dalam Angka Tahun 2006
Berdasarkan ketinggiannya dari permukaan laut, maka Kabupaten Tanggamus dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) wilayah kegiatan : ketinggian antara
0 - 200 meter dari permukaan laut, merupakan
daerah yang sering
tergenang air. Umumnya didominasi oleh jenis gleyhumus dan alluvial, sering disebut sebagai lahan dataran rendah (low-land). Wilayah ini meliputi daerah Kota Agung, Wonosobo, Pematang Sawa, Semaka, Pringsewu, Gadingrejo, Pardasuka, Cukuh Balak, Sukoharjo, Adiluwih, Pugung, Pagelaran dan Kelumbayan. Ketinggian antara 200 – 400 meter dari permukaan laut, umumnya didominasi jenis tanah latosol dan podsolik merah kuning, biasa disebut lahan
104°31'00"
104°46'30"
105°2'00"
PETA ADMINISTRASI KABUPATEN TANGGAMUS
KABUPATEN LAMPUNG TENGAH
8 " 03 ' 13° 5
5 °1 3' 3 0"
#
Adiluwih Ngarip #
#
Gumuk Mas
Margoyoso #
#
#
Pringsewu #
#
#
Rantau Tijang Talang Padang
Gadingrejo
Tanjung Kurung
" 00' 29° 5
# #
Pardasuka #
Kota Agung %
Sukaraja
Putih Doh #
K
#
LU TE
Way Nipah
KABUPATEN LAMPUNG SELATAN
5 °2 9' 0 0"
M SE G AN KA
N AT TE AR PA B BU NG KA PU M LA
M SA
" 30' 44 ° 5
Napal #
5 °4 4' 3 0"
P. Tabuhan
16
LEGENDA %
#
8
Kilometers
#
Sukoharjo I
Tekad
0
Ibukota kecamatan Ibukota Kabupaten Batas Kabupaten Sungai besar Sungai kecil Jalan Provinsi Jalan Kabupaten Jalan Kecamatan Kec. Adiluwih Kec. Cukuhbalak Kec. Gadingrejo Kec. Kelumbayan Kec. Kotaagung Kec. Pagelaran Kec. Pardasuka Kec. Pematangsawah Kec. Pringsewu Kec. Pugung Kec. Pulaupanggung Kec. Semaka Kec. Sukoharjo Kec. Sumberejo Kec. Talangpadang Kec. Ulubelu Kec. Wonosobo Laut
DR U
Sumber: Bappeda Kab. Tanggamus tahun 2003
A O D IN I ES N A 104°31'00"
104°46'30"
105°2'00"
45
Gambar 4. Lokasi penelitian
PS. PERENCANAAN WILAYAH IPB BOGOR 2007
46 dataran tinggi (up-land). Wilayah ini meliputi daerah Talang Padang, Pulau Panggung. Ketinggian sampai di atas 400 m dpl dan sebagian merupakan hutan lindung dan daerah tangkapan hujan (catchment area) dengan ketinggian sampai 1000 m dpl. Wilayah ini meliputi daerah Gisting dan Ulu Belu. Jenis tanah yang terdapat di Kabupaten Tanggamus menurut klasifikasi USDA meliput jenis-jenis tanah alluvial, latosol, andosol, regosol dan hidromorf kelabu. Secara lebih rinci jenis batuan dalam asosiasinya dengan jenis tanah di Kabupaten Tanggamus dalam kaitannya dengan bentuk fisiografi wilayah adalah sebagai berikut: satuan tanah latosol yang berasal dari bahan induk komplek tufa batuan gunung api intermedier dan basis dengan fisiografi pegunungan lipatan. Satuan tanah andosol coklat kekuningan yang berasal dari bahan induk kompleks tufa intermedier dan basis pada fisiografis pegunungan patahan. Satuan tanah andosol coklat, kompleks tufa dan batuan tufa intermedier. Satuan tanah podsolik merah kuning yang berasal dari bahan induk komplek sedimen tufa dengan batuan metamorf pada fisiografi dataran.
Asosiasi podsolik merah kekuningan dari
litosol yang berasal dari kompleks batuan kukuh plutonik masam dan metamorf pada fisiografi pegunungan dan satuan tanah alluvial hydromorf yang berasal dari bahan induk endapan marin dengan fisiografi dataran. Sekitar 50 % dari wilayah Kabupaten Tanggamus memiliki bentuk topografi wilayah perbukitan dan bergunung lereng lebih dari 40 % yang tersebar di kecamatan Wonosobo, Pulau Panggung, Kota Agung, Talang Padang dan Cukuh Balak, sedangkan wilayah datarnya tidak sampai seperlima (19 %) dari keseluruhan wilayah (Gambar 5).
Wilayah dengan bentuk fifiografi dataran
sebagian besar terdapat di sekitar kecamatan Pagelaran, Pugung, Pringsewu, Sukoharjo dan Gadingrejo. Kecamatan yang wilayahnya tidak berlereng 40% ke atas terluas adalah kecamatan Pulau Panggung yaitu seluas 53.911 Ha dari total wilayah 94.664 Ha, akan tetapi secara relatif Kecamatan Cukuh Balak dan juga Wonosobo memiliki wilayah berlereng 40 % ke atas terluas yaitu meliputi sekitar 67% dari luas wilayahnya. Tipe iklim wilayah Kabupaten Tanggamus menurut klasifikasi LR Oldeman sebagian besar termasuk pada Zona B-1 dengan jumlah bulan basah 7 s/d 9 bulan dan zona C dengan jumlah bulan basah 7 bulan. Untuk curah hujan rata - rata per
`
104°31'00"
104°46'30"
105°2'00"
PETA LERENG
#
Ngarip
Adiluwih Sukoharjo I
Tekad
#
KABUPATEN TANGGAMUS 5°13'30"
5°13'30"
KABUPATEN LAMPUNG TENGAH
8
0
8
16
Kilometers
#
#
Pringsewu Gumuk Mas # # # # Rantau Tijang Gadingrejo Talang Padang
Margoyoso #
LEGENDA
#
#
%
5°29'00"
# #
Pardasuka #
Kota Agung %
Sukaraja
Lereng 0 - 3 % Lereng 3 - 15 % Lereng 15 - 25 % Lereng 25 - 40 % Laut
Putih Doh #
K
#
LU TE M SE G AN
N AT TE AR PA B BU NG KA PU M LA
Way Nipah
KABUPATEN LAMPUNG SELATAN
5°29'00"
Tanjung Kurung
Ibu kota kecamatan Ibukota Kabupaten Batas Kabupaten Jalan Provinsi Jalan Kabupaten Jalan Kecamatan Sungai besar Sungai kecil
KA
Napal 5°44'30"
M SA
5°44'30"
#
Sumber: - BPN Kabupaten Tanggamus tahun 2003
P. Tabuhan
DR U A O D IN I ES N A 104°46'30"
105°2'00"
Gambar 5. Peta lereng Kabupaten Tangamus `
47
104°31'00"
PS. PERENCANAAN WILAYAH IPB BOGOR 2007
bulan dapat dilihat pada Gambar 6. Dari grafik tersebut terlihat bahwa curah hujan tertinggi pada bulan Oktober sedangkan curah hujan terendah pada bulan Maret. Curah hujan tertinggi mendekati 3.000 mm per tahun terutama pada wilayah Kecamatan Wonosobo, Kota Agung, Talang Padang, Pulau Panggung dan Cukuh Balak yang bentuk topografi wilayahnya berbukit-bukit dan bergunung. Sebagian besar dari wilayah Kabupaten Tanggamus dipengaruhi oleh udara Tropikal pantai dan dataran dengan temperatur udara rata-rata 28o C dan sebagian wilayah dengan udara sejuk pegunungan di sekitar Gisting (Talang Padang) yang terletak sekitar 500 m dpl sampai dengan 3000 m dpl di Gunung Tanggamus. Wilayah Kabupaten Tanggamus cukup berlimpah dengan sumber daya air, baik air permukaan maupun air basah.
Kondisi hidrologis secara makro
didrainasekan menuju Samudra Indonesia oleh beberapa sungai-sungai besar seperti Way Sekampung dengan Daerah Aliran Sungai (DAS) seluas 479.252 Ha dan Way Semangka dengan daerah aliran sungai seluas 98.500Ha.
mm
Curah Hujan Rata-rata Per Bulan di Kabupaten Tanggamus Tahun 2000-2005 450,0 400,0 350,0 300,0 250,0 200,0 150,0 100,0 50,0 0,0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Bulan
Sumber : Dinas Pengairan Propinsi Lampung (Stasiun Way Lalaan, Way Belu, Siring Betik, Kunyir dan Sri Kuncoro)
Gambar 6. Grafik curah hujan rata-rata per bulan Kabupaten Tanggamus dari tahun 2000-2005.
`
49 Hidrologi DAS Way Sekampung memiliki pola aliran denditrik dan mengaliri wilayah Kecamatan Pulau Panggung, Talang Padang, Pagelaran, Pugung, Pardasuka, Pringsewu, Gadingrejo, Sukoharjo di Kabupaten Tanggamus serta beberapa wilayah kecamatan lain yang berada di Kabupaten Lampung Selatan. Sementara itu DAS Way Semangka memiliki pola aliran yang pararel dan mencakup wilayah Kecamatan Pulau Panggung sebelah barat dan Kecamatan Wonosobo. Wilayah Kabupaten Tanggamus banyak dilintasi sungai. Sungai terpanjang ialah sungai Way Sekampung yang panjangnya kira-kira 256 km. Sungai ini memiliki anak-anak sungai yaitu Way Pisang, Way Gatal, Way Semah, Way Seharus, dan Way Bulok. Sungai-sungai lainnya ialah Sungai Way Semangka, Way Seputih, dan Way Tulang Bawang. Dilihat dari banyaknya sungai yang melintasi wilayah Kabupaten Tanggamus, maka dapat dibayangkan bahwa wilayah ini memiliki sumber air yang cukup banyak. Tapi pada kenyataannya banyak daerah pertanian yang pengairannya tergantung pada curah hujan. Terutama daerah-daerah yang letaknya didaerah dataran tinggi. Penggunaan Lahan Berdasarkan data penggunaan tanah yang ada dalam buku database Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tangamus tahun 2005, pengunaan lahan dikelompokkan menjadi 13 bentuk penggunaan lahan. Hutan menempati urutan pertama penggunaan lahan terbesar, yaitu Hutan Negara seluas 141.881 ha, sedangkan perkebunan menempati urutan kedua, yaitu 103.951 ha dari total luas lahan.
Ini memberikan gambaran bahwa sektor perkebunan di Kabupaten
Tanggamus merupakan kegiatan ekonomi yang cukup besar peranannya dalam pembangunan ekonomi daerah.
Rincian penggunaan tanah disajikan pada
Tabel 6. Kependudukan Jumlah
penduduk
Kabupaten
Tanggamus
menurut
hasil
updating
Pendaftaran Pemilihan dan Pendataan Berkelanjutan (P4B) sampai dengan awal tahun 2004 tercatat sejumlah 833.747 jiwa yang terdiri dari 435.011 jiwa laki-laki daan 398.736 jiwa perempuan. Angka ini menempatkan Kabupaten Tanggamus
50 pada peringkat keempat di Propinsi Lampung dalam hal jumlah penduduk setelah Kabupaten Lampung Selatan, Lampung Tengah dan Lampung Timur. Tabel 6. Jenis penggunaan lahan tahun 2005 di Kabupaten Tanggamus No
Jenis Penggunaan
Luas (Ha)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Pekarangan dan Perumahan Persawahan Tegalan Ladang/huma Padang rumput Hutan Negara Hutan Rakyat Perkebunan Rawa Tambak Kolam/Tebat/Empang Lahan tak diusahakan Lainnya Total
23.091 24.540 20.764 4.667 57 141.881 6.300 103.951 137 412 572 2.215 7.074 335.661
Prosentase (%) 6,88 7,31 6,19 1,39 0,02 42,27 1,88 30,97 0,04 0,12 0,17 0,66 2,10 100,00
Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tanggamus Tahun 2005
Bedasarkan hasil Sensus Penduduk tahun 2000, jumlah penduduk Kabupaten Tanggamus adalah 800.211 jiwa. Bila dibandingkan dengan angka Pendaftaran Pemilih dan Pendataan Penduduk Berkelanjutan (P4B), terjadi peningkatan sekitar 4,19 persen atau sekitar 33.536 jiwa. Peningkatan yang cukup besar terjadi dalam kurun waktu 2002-2003 dimana dari 4,19 persen penambahan diatas, sekitar 2,22 persen (17.782 jiwa) diantaranya terjadi dalam kurun waktu tersebut.
Pada tahun 2006 jumlah penduduk Kabupaten Tanggamus tercatat
sebanyak 837.355 jiwa yang terdiri dari laki-laki 438.018 jiwa dan perempuan 399.337 jiwa. Kepadatan penduduk rata-rata sebanyak 249,46 jiwa per kilometer persegi. Secara rinci persebaran penduduk dapat dilihat pada Tabel 7. Dari Tabel tersebut dapat dilihat, kecamatan yang memiliki kepadatan penduduk paling tinggi adalah kecamatan Pringsewu sebesar 1.688 jiwa/km2 dan yang paling jarang adalah Kecamatan Limau yaitu hanya 69 jiwa/km2. Laju pertumbuhan penduduk di Kabupaten Tanggamus pada periode waktu yaitu antara 1990 – 2000 tercatat 0,27 persen per tahun, sedangkan pada periode 2000-2006 meningkat menjadi 0,76 persen per tahun. Kenaikan laju pertumbuhan penduduk ini diduga disebabkan mutasi besar penduduk yang pernah terjadi dalam
kurun
waktu
2002 - 2003
sehingga
menggeser
struktur dan
51 komposisi penduduk di Kabupaten Tanggamus. Komposisi penduduk menurut jenis kelamin (sex ratio) atau perbandingan jumlah penduduk laki-laki dan perempuan, pada tahun 2003 tercatat sebesar 104,82, pada tahun 2003 mengalami kenaikan tajam hingga 109,03 setelah pada tahun-tahun sebelumnya sempat mengalami penurunan. Data terakhir memperlihatkan bahwa sex ratio penduduk di Kabupaten Tanggamus sebesar 109,69 yang artinya bahwa pada setiap 100 jiwa penduduk perempuan terdapat sekitar 110 penduduk laki-laki Tabel 7. Jumlah dan distribusi penduduk Kabupaten Tanggamus per kecamatan tahun 2006 No
Kecamatan
Jumlah Keluarga
Lakilaki
Perempuan
Jumlah Penduduk
12.085 26.591 24.066 50.675 Wonosobo 9.173 17.267 15.473 32.740 Semaka 8.208 18.492 17.287 35.779 Kota Agung 3.980 8.322 7.102 15.424 Pematang Sawa 3.634 8.474 7.771 16.245 Kota Agung Timur 4.451 8.196 6.248 14.444 Kota Agung Barat 12.171 27.863 24.137 52.000 Pulau Panggung 8.602 18.445 15.378 33.823 Ulu Belu 8.892 20.891 20.027 40.918 Talang Padang 7.686 15.277 13.619 28.896 Sumberejo 7.584 17.228 15.955 33.183 Gisting 3.573 8.983 8.060 17.043 Gunung Alip 11.718 25.972 24.199 50.171 Pugung 13.893 29.042 26.781 55.823 Pagelaran 10.417 21.161 19.764 40.925 Sukoharjo 7.669 16.398 14.928 31.326 Adiluwih 4.575 9.075 8.123 17.198 Banyumas 15.998 37.936 36.835 74.771 Pringsewu 7.580 13.559 12.819 26.378 Ambarawa 16.467 33.457 31.303 64.760 Gadingrejo 12.046 25.337 22.992 48.329 Pardasuka 4.472 10.605 9.467 20.072 Cukuh Balak 4.949 10.637 9.297 19.934 Kelumbayan 3.354 8.810 7.706 16.516 Limau 203.177 438.018 399.337 837.355 Jumlah Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Tanggamus Tahun 2006
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Luas (Km2) 307,75 170,90 76,93 185,29 73,33 101,30 623,56 323,08 45,13 56,77 32,53 25,68 232,40 163,55 71,00 65,40 30,62 44,29 22,76 69,57 85,64 133,76 174,76 240,61 3.356,61
Kepadatan /(Km2) 164,60 191,57 465,09 83,24 221,53 142,59 83,39 104,69 906,67 509,00 1.020,07 663,67 215,88 341,32 576,41 478,99 561,66 1.688,21 1.158,96 930,86 564,33 150,06 114,07 68,64 249,46
Ditinjau dari jumlah penduduk menurut pekerjaannya menunjukkan ada tiga sektor menyerap banyak tenaga kerja, yaitu sektor pertanian, sektor perdagangan dan sektor jasa. Menurut hasil Susenas tahun 2003 dan 2004 masing-masing sebesar 68,5 persen dan 64,15 persen penduduk Kabupaten Tanggamus masih bekerja di sektor pertanian.
Banyaknya jumlah pekerja di sektor pertanian
52 disebabkan beberapa
alasan.
Pertama, masih konsistennya lahan pertanian
produktif di Kabupaten Tanggamus dalam menopang kehidupan masyarakat. Mutasi atau alih lahan dari lahan pertanian ke non pertanian relatif masih terbatas. Kedua, sektor ini dapat menampung tenaga kerja tanpa memandang umur, jenis kelamin dan jenjang pendidikan. Semua kelompok dapat dengan mudah memasuki sektor ini.
Jenis pekerjaan di sektor pertanian cenderung tidak
membutuhkan pendidikan dan keterampilan khusus seperti sektor-sektor lainnya sehingga sangat mudah dimasuki oleh lapisan penduduk yang bermukim di daerah pedesaan.
Pada umumnya penduduk yang bekerja di sektor pertanian
berpendidikan rendah, terbanyak berpendidikan SD. Ketiga, masyarakat pedesaan semakin berfikir realistis bahwa sektor pertanian khususnya sub sektor perkebunan terbukti tidak rentan terhadap krisis ekonomi dan moneter. Berbeda halnya dengan sektor-sektor lain yang pada umumnya menerima pengaruh negatif dari krisis ekonomi. Keempat, adanya asumsi masyarakat pedesaan bahwa sektor pertanian masih menjadi sektor yang menjanjikan bagi kelangsungan kehidupan ekonomi mereka. Tabel 8 menunjukkan data penduduk Kabupaten Tanggamus menurut pekerjaannya. Tabel 8. Jumlah dan presentase penduduk usia 10 tahun keatas yang bekerja menurut lapangan usaha utama, tahun 2002, 2003 dan 2004 Lapangan Usaha Utama (1)
Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Listrik, Gas dan Air Konstruksi Perdagangan Transportasi dan Komunikasi Keuangan Jasa Jumlah
2002 Jumlah % (2)
(3)
2003 Jumlah % (4)
(5)
2004 Jumlah % (6)
(7)
225.772
66,28
232.930
68,85
232.930
68,85
4.131 22.302 296 5.071 48.158
1,21 6,55 0,09 1,49 14,14
771 30.985 256 7.249 31.677
0,23 9,16 0,08 2,14 9,36
771 30.985 256 7.249 31.677
0,23 9,16 0,08 2,14 9,36
7.952 2.014 24.902 340.548
2,34 0,59 7,31 100,00
14.741 782 18.901 338.292
4,36 0,23 5,59 100,00
14.741 782 18.901 338.292
4,36 0,23 5,59 100,00
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Tanggamus Tahun 2004
53 Struktur Perekonomian Struktur perekonomian Kabupaten Tanggamus pada tahun 2005 masih didominasi
sektor pertanian, peternakan, perikanan dan kehutanan dengan
kontribusi terbesar 49,50 % dengan tingkat pertumbuhan ekonomi 4,48 %. meningkat apabila dibandingkan dengan tahun 2004 yang hanya mencapai 48,38 persen, disusul dengan sektor Jasa-jasa serta sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran.
Secara rinci struktur dan pertumbuhan ekonomi di Kabupaten
Tanggamus dapat dilihat pada Tabel 9. Besarnya peran sektor pertanian, perkebunan,kehutanan dan perikanan terhadap total PDRB karena sangat didukung oleh potensi perkebunan dengan sumber daya lahan kebun rakyat seluas 100.468,45 Ha dan jumlah penduduk yang bekerja dalam sektor ini mencapai 40 % dari jumlah penduduk. Tabel 9. Struktur perekonomian di Kabupaten Tanggamus, tahun 2002-2005 Sektor Perekonomian 1. Pertanian, Perkebunan, Kehutanan dan Perikanan 2. Pertambangan dan Penggalian 3. Industri Pengolahan 4. Listrik dan air minum 5. Kontruksi 6. Perdagangan, hotel dan restoran 7. Transportasi dan komunikasi 8. Keuangan, persewaan dan Jasa perusahaan 9. Jasa-jasa Jumlah
Tahun (%) 2002
2003
2005
2005
48,07
47,81
48,38
49,50
1,85 4,62 0,56 6,98 21,37 2,08 4,77
1,79 4,72 0,54 6,61 20,74 2,49 5,19
1,65 5,60 0,38 6,31 13,31 3,26 5,59
1,64 5,21 0,36 7,02 12,95 3,14 5,35
9,70 100,00
10,12 100,00
15,63 100,00
14,83 100,00
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Tanggamus Tahun 2004
Perkembangan PDRB Kabupaten Tanggamus pada kurun waktu 2000-2005 relatif stabil.
Berdasarkan PDRB harga berlaku Kabupaten Tanggamus pada
tahun 2005 mencapai 3.603.608 juta rupiah, lebih tinggi dibandingkan dengan PDRB tahun 2004 yang nilainya sebesar 3.282.050 juta rupiah. PDRB Kabupaten Tanggamus atas dasar harga konstan pada tahun 2005 mengalami kenaikan dibandingkan tahun sebelumnya, dimana pada tahun 2005 ini PDRB harga konstan Kabupaten Tanggamus sebesar 2.798.680 juta rupiah, sedangkan pada tahun 2004 nilai PDRB harga konstan hanya 2.678.748 juta rupiah. Dengan kata
54 lain PDRB Kabupaten Tanggamus pada tahun 2005 mengalami pertumbuhan sebesar 4,48 persen. Data perkembangan PDRB dari tahun 2000 – 2005 dapat dilihat pada Lampiran 1. Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Tanggamus pada tahun 2005 cukup baik, yaitu 4,48 persen, namun lebih rendah dibandingkan pertumbuhan tahun 2004 yang mencapai 5,60 persen, tetapi masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi propinsi Lampung yang mencapai 3,76 persen. Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Tanggamus per sektor dapat dilihat pada Gambar 7. Pada Tahun 2005 semua sektor mengalami pertumbuhan yang cukup stabil dan merata, apabila dibandingkan tahun 2004, dimana semua sektor yang mendukung perekonomian mengalami pertumbuhan.
Pertumbuhan ekonomi
tertinggi terjadi pada sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan sebesar 5,70 persen kemudian di peringkat kedua oleh sektor transportasi dan komunikasi sebesar 5,35 persen. 11,11
12 10 8
8,7 6,41
6
5,7
5,84
5,42
persen
4 1,89
2
5,35
4,84
3,97
3,77 1,39
2,07
1,84 0,64
1,6 0,77
0 -2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
-4 -6 -6,68
-8 2004
2005
Sektor
Gambar 7. Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Tanggamus per sektor Sektor: 1. Pertanian, Perkebunan, Kehutanan dan Perianan 2. Pertambanagan dan Penggalian 3. Industri Pengolahan 4. Listrik, Gas dan Air Bersih 5. Konstruksi Sumber: BPS Kabupaten Tanggamus, 2006
6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 7. Transportasi dan Komunikasi 8. Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 9. Jasa-jasa
HASIL DAN PEMBAHASAN Sumber Daya Fisik Kabupaten Tanggamus Berdasarkan peta satuan tanah yang dibuat Puslittanak terdapat 45 satuan peta lahan di Kabupaten Tanggamus yang masih dalam satuan asosiasi dan kompleks (Gambar 8). Peta satuan tanah tersebut menunjukkan bahwa Tanah di Kabupaten Tangamus dapat diklasifikasikan kedalam 3 ordo tanah yaitu Inceptisol, Entisol dan Ultisol. Menurut Hadjowigeno (1985) Inceptisol merupakan tanah muda tetapi sudah menunjukkan adanya perkembangan dengan susunan horison A-Bw-C pada lahan kering dengan drainase baik, atau susunan horison A-Bg-C pada lahan basah dengan drainase terhambat. Tanah terbentuk dari berbagai macam bahan induk aluvium dan kolovium. Penampang tanah pada lahan kering berbukit mempunyai solum sedang sampai dangkal, berwarna coklat kemerahan sampai coklat, tekstur lempung berliat sampai berliat, pada lahan basah solum dalam, dan struktur cukup baik, kondisi teguh, reaksi tanah netral, jenis tanah yang masuk dalam ordo ini yang terdapat di Kabupaten Tanggamus adalah Tropaquepts, Dystropepts, Eutropepts, Humitropepts dan Dystrandepts. Entisol merupakan tanah yang masih sangat muda yaitu baru tingkat permulaan dari perkembangan. Tidak ada horizon penciri lain kecuali epipedon ochrik, albik atau histik. Dulu tanah ini disebut Aluvial atau Regosol. Jenis tanah yang termasuk dalam ordo ini yang terdapat di Kabupaten Tanggamus adalah Fluvaquents, Trofofluvents, Troporthents, Tropopsamments, Hydroquents dan Solfaquents. Ultisol merupakan tanah dimana terjadi penimbunan liat dihorison di bawah, bersifat masam, kejenuhan basa kurang dari 35%. Tanah ini dahulu disebut juga tanah Podzolik Merah Kuning, terkadang juga termasuk tanah Latosol dan Hidromof kelabu. Jenis ini dijumpai di daerah dengan curah hujan 2500 hingga 3000 mm setahun dengan jumlah bulan kering >3, iklim digolongkan dalam AfAm (Koppen) atau A, B, C (Schmidt dan Ferguson). Tanah ultisol memiliki solum agak dalam (1-2 m) dengan kadar kemasaman < 5,5, kadar bahan organik rendah hingga
tinggi.
Jenis
tanah yang termasuk dalam ordo ini yang
104°31'00"
104°46'30"
105°2'00"
PETA SATUAN LAHAN KABUPATEN TANGGAMUS
5°13'30"
5°13'30"
KABUPATEN LAMPUNG TENGAH
#
Ngarip
Adiluwih Sukoharjo I
Tekad
#
#
#
Gumuk Mas Pringsewu #
Margoyoso #
#
#
#
Talang Padang Rantau Tijang
5°29'00"
KABUPATEN LAMPUNG SELATAN
Putih Doh #
G AN M SE
#
#
K LU TE KA
N AT TE AR PA B BU NG KA PU M LA
Way Nipah
Pardasuka
5°29'00"
Tanjung Kurung # Kota Agung # % Sukaraja
#
Gadingrejo
Napal 5°44'30"
5°44'30"
#
DR U M SA
P. Tabuhan
A O D IN
8
0
8
16
Kilometers
Tropaquepts, fluvaquents, dystropepts Propaquept, tropofluvents, dystropepts Fluvaquent, tropaquepts Eutropepts, tropaquepts Tropaquepts, eutropepts Tropaquepts, tropofluvents Tropaquepts, tropofluvents, eutropepts Troporthents, tropopsaments Hydraquents, sulfaquents Dystropepts, hapludults, humitropepts Dystropepts 70%, humitropepts 30% Dystropepts 80%, humitropepts 20% Dystropepts, hapludults Dystropepts, hapludults, humitropepts Dystropepts, humitropepts, tropaquepts Dystropepts 60%, hapludult 30% Dystropepts 70%, hapludults 30% Dystropepts, formasi Tnp Dystropepts, hapludults, troporthents Dystropepts, kanhapludults Humitropepts, dystropepts, hapludults, slope < 30% Humitropepts, dystropepts, hapludults, slope 30-75% Humitropepts, dystropepts, hapludults, slope > 75% Humitropepts, dystropepts, kanhapludults Dystropepts 70%, hapludults 30% Dystropepts 55%, hapludults 35% Dystropepts 60%, hapludults 30% Dystropepts 70%, hapludults 30% Dystropepts, formasi Tmv Dystropepts 90%, troporthents 10% Dystropepts 80%, troporthents 10%, Tmgr Dystropepts 80%, troporthents 10%, Kgr Dystropepts 90%, kanhapludults 10% Dystropepts, hapluduts, tropaquepts Kanhapludults, Dystropepts, tropaquepts Dystropepts, eutropepts, tropaquepts Dystrandepts, troporthents, humitropepts Humitropepts, dystrandepts, troporthents Humitropepts 50%, dystropepts 20%, dystrandepts Humitropepts, dystropepts, dystrandepts,slope 8-15% Humitropepts, dystropepts, dystrandepts, slope 3-8% Dystropepts, humitropepts, hapludults Dystropepts, humitropepts Dystrandepts 55%, humitropepts 30%, hapludults 10% tidak dinilai Laut
Sumber: - Peta Satuan Lahan Puslittanak Bogor Tahun 1990
I ES N A 104°31'00"
LEGENDA # Ibukota kecamatan % Ibukota Kabupaten Batas administrasi Sungai besar Sungai kecil Jalan Provinsi Jalan Kabupaten Jalan Kecamatan
104°46'30"
105°2'00"
56
Gambar 8 Peta satuan lahan Kabupaten Tanggamus
PS. PERENCANAAN WILAYAH IPB 2007
57 terdapat di Kabupaten Tanggamus adalah Hapludults dan Kanhapludults. Jenis tanah tersebut umumnya merupakan tanah-tanah yang baru berkembang sehingga memiliki tingkat kesuburan yang cukup untuk pertumbuhan komoditas perkebunan. Evaluasi Kesesuaian Lahan Komoditas Unggulan Perkebunan Evaluasi kesesuaian lahan dengan menggunakan program ALES memperoleh hasil bahwa Kabupaten Tanggamus memiliki kelas kesesuaian bervariasi untuk berbagai jenis komoditas unggulan perkebunan yang dikembangkan.
Luas
masing-masing kelas kesesuaian lahan secara aktual disajikan pada Tabel 10. Kesesuaian Tanaman Kopi Secara aktual kesesuaian lahan di Kabupaten Tanggamus untuk tanaman kopi sebagian besar masuk sebagai lahan tidak sesuai (N) yaitu seluas 184.683 ha (54%) yang sebagian besar berada di kecamatan Wonosobo, Ulu Belu, Cukuh Balak, Kelumbayan, Semaka dan Pulau Panggung. Kelas sesuai bersyarat (S3) seluas 124.642 ha (36,7%) yang sebagian besar terdapat di Kecamatan Pulau Panggung, Ulu Belu, dan Pugung dan hanya sedikit yang masuk kelas sesuai (S2) seluas 19.192 ha (5,7%) terdapat di Kecamatan Pugung, Pagelaran, Talang Padang dan Sukoharjo. Sisanya seluas 11.527 ha tidak dinilai karena merupakan lereng terjal atau gawir (Tabel 10). Peta Kesesuaian Lahan Aktual untuk tanaman perkebunan disajikan pada Gambar 9. Kelas Kesesuaian sangat sesuai (S1) untuk tanaman kopi tidak terdapat di Kabupaten Tanggamus karena karakteristik tanah di wilayah ini tidak sesuai dengan persyaratan tumbuh S1 untuk tanaman kopi (Lampiran 2). Untuk kelas kesesuaian S2 hanya terdapat dalam presentase yang kecil hal ini karena faktor pembatasnya adalah bahaya erosi (eh) sehingga kondisi bentuk lahan yang sebagian besar berlereng menjadi pembatas untuk pertumbuhan tanaman kopi. Kelas kesesuaian sesuai bersyarat (S3) dengan faktor pembatas retensi hara (nr), media perakaran (rc) dan bahaya erosi (eh) sebanyak 36,7% masih layak untuk pertumbuhan kopi karena faktor - faktor pembatas tersebut masih dapat diatasi petani dengan pemupukan. Kemiringan lahan masih bisa diatasi dengan teknik budidaya
sehingga
usahatani
masih
menguntungkan.
Tabel 10 . Luas lahan berdasarkan kelas kesesuaian komoditas unggulan perkebunan di Kabupaten Tanggamus
No
Kelas Kesesuaian
Luas Kopi Ha %
Kakao Ha
Lada %
Ha
%
Kelapa Ha
Kelapa Sawit Ha %
%
Karet Ha
%
1
S1
-
-
4.118,79
1,21
7.007,20
2,06
0
0
0
0
0
0
2
S2
19.192
5,7
22.081,04
6,49
113.156,20
33,27
126.830,64
37,30
61.597,76
18,11
29.778,71
8,76
3
S3
124.642
36,7
144.943,68
42,62
70.148,87
20,63
175.865,71
51,72
55.841,76
16,42 141.364,79 41,57
4
N
184.682
54,3
157.374,97
46,28
138.206,21
40,64
25.822,13
7,59
211.078,96
62,07 157.374,97 46,28
5
td
11.527
3,3
11.528,19
3,51
11.528,19
3,51
11.528,19
3,51
11.528,19
3,51
11.528,19
3,39
Jumlah
340.043
100
340.043
100
340.043
100
340.043
100
340.043
100
340.043
100
58
104°31'00"
104°46'30"
105°2'00"
PETA KESESUAIAN LAHAN KOMODITAS KOPI KABUPATEN TANGGAMUS
5°13'30"
5°13'30"
KABUPATEN LAMPUNG TENGAH
#
Adiluwih Ngarip
#
Gumuk Mas Pringsewu #
Margoyoso
#
#
5°29'00"
Pardasuka #
%
#
Gadingrejo
KABUPATEN LAMPUNG SELATAN
5°29'00"
Tanjung Kurung # Kota Agung # % Sukaraja
K LU TE
Ibukota kecamatan Ibukota Kabupaten Batas Kabupaten Batas administrasi Sungai besar Sungai kecil Jalan Provinsi Jalan Kabupaten Jalan Kecamatan
Kelas kesesuaian Sesuai Sesuai Marjinal Tidak Sesuai Tidak dihitung Laut
Putih Doh #
G AN M SE
N AT TE AR PA B BU NG KA P U M LA
#
16
Kilometers
#
#
Talang Padang Rantau Tijang
Way Nipah
8
LEGENDA
#
#
0
Sukoharjo I
Tekad
#
8
KA Napal 5°44'30"
5°44'30"
#
M SA
P. Tabuhan
DR U
Sumber: - Peta Rupa Bumi Indonesia Skala 1:250000 - Peta Satuan Lahan Puslittanak Bogor, tahun 1990
A O D IN IA ES N 104°46'30"
105°2'00"
Gambar 9. Peta kesesuaian lahan kopi
PS. PERENCANAAN WILAYAH IPB BOGOR 2007
59
104°31'00"
60 Kesesuaian lahan tidak sesuai (N) menempati presentase terbesar dengan faktor pembatas bahaya erosi (eh), sebagai faktor pembatas yang berat karena kondisi wilayah dikabupaten Tanggamus sebagian besar berbukit dan memiliki kemiringan diatas 30%. Wilayah berlereng ini akan sangat berbahaya apabila dilakukan sistem penanaman intensif karena akan menyebabkan kerusakan lingkungan seperti longsor dan terjadi degradasi lahan akibat terkikisnya lapisan tanah sehingga harus dijadikan wilayah konservasi. Selain itu kesesuaian lahan tidak sesuai (N) disebabkan oleh drainase dan media perakaran yang untuk mengatasinya diperlukan modal tinggi. Perlu adanya campur tangan pemerintah atau pihak swasta karena petani tidak mampu mengatasinya sehingga menjadi tidak layak. Hasil penilaian kesesuaian lahan di Kabupaten Tangamus menunjukkan bahwa
kecamatan
yang
menjadi
sentra
kopi
di Kabupaten Tanggamus
memiliki kelas kesesuaian S3 yaitu Kecamatan Ulu Belu, Pulau Panggung dan Sumberejo, hanya sedikit kelas S2 yaitu Kecamatan Pagelaran dan Talang Padang. Pada kondisi lapang sentra kopi yang terdapat pada wilayah Kecamatan Ulu Belu menunjukkan produktifitas yang optimal terutama pada saat musim hujan dan untuk kecamatan Pulau Panggung, Pagelaran dan Talang Padang menunjukkan produktifitas yang cukup baik pada musim kemarau. Penggunaan
lahan
dengan
kesesuaian
sesuai
bersyarat
(S3)
ini
menyebabkan produktifitas kopi di Kabupaten Tanggamus rata-rata masih dibawah produksi optimal walaupun secara ekonomis masih menguntungkan. Hal ini diduga disebabkan karena tidak dilakukannya pemupukan dan penggunaan lahan tidak sesuai dengan daya dukung lahan lahan diwilayah ini, terutama faktor lereng yang merupakan pembatas yang cukup sulit untuk diatasi oleh petani. Penggunaan lahan untuk jangka panjang akan menyebabkan lahan semakin cepat terdegradasi sehingga bila dihubungkan dengan pemanfaatan lahan secara lestari dan berkesinambungan akan sulit dicapai. Kelas Kesesaian S2 merupakan lahan dengan kualitas yang secara fisik dan ekonomis masih layak dilakukan, seperti kecamatan Adiluwih dan Sukoharjo tetapi tidak terdapat perkebunan kopi karena wilayah ini merupakan wilayah pemukiman.
61 Kesesuaian Tanaman Kakao Secara aktual kesesuaian lahan di Kabupaten Tanggamus untuk tanaman kakao memiliki kelas kesesuaian sangat sesuai (S1) seluas 4.118,79 ha (1,21%) yang terdapat di Kecamatan Wonosobo, Kelumbayan, Semaka, Pematang Sawa, dan Kota Agung. Kelas kesesuaian sesuai (S2) terdapat di Kecamatan Pulau Panggung, Pardasuka, Wonosobo, Pugung, Pringsewu dan Sumberejo. Kelas Kesesuaian sesuai bersyarat (S3) seluas 144.943 ha (42,62%) terdapat di Kecamatan Pulau Panggung diikuti Pugung dan Ulu Belu sisanya masuk sebagai lahan tidak sesuai (N) seluas 157.374, 79 ha (46%) dan tidak dinilai (Tabel 10) Kelas kesesuaian S1 terdapat pada wilayah yang memiliki kesesuaian untuk persyaratan tumbuh tanaman kakao.
Tabel penilaian kesesuaian lahan untuk
tanaman kakao dapat dilihat pada Lampiran 3. Kelas kesesuaian S3 dengan faktor pembatas bahaya erosi dan retensi hara dapat diatasi sendiri oleh petani dengan pemberian pupuk maka kelas S3 aktual dapat menjadi kelas S2 bahkan S1 secara potensial. Perkebunan kakao rakyat di Kabupaten Tanggamus saat ini terpusat di wilayah Kecamatan Cukuh Balak, Kelumbayan, Sukoharjo, Banyumas dan Adiluwih. Dari data kesesuaian lahan maka dapat dilihat bahwa wilayah tesebut memiliki kesesuaian S2 dan S3. Lahan S2 memiliki karakteristik yang sesuai untuk
syarat tumbuh tanaman kakao, sehingga produktivitasnya lebih baik
dibandingkan lahan S3 pada usaha tani tanpa input karena kesesuaian lahan adalah penilaian pada manajemen sama dengan nol. Lahan kelas N memiliki luasan terbesar terdapat di Kecamatan yang pada kondisi lapang juga banyak diusahakan tanaman kakao oleh masyarakatnya. Peta kesesuaian lahan kakao disajikan pada Gambar 10. Kesesuaian Tanaman Lada Kesesuaian lahan secara aktual di Kabupaten Tanggamus untuk tanaman Lada memiliki kelas kesesuaian sangat sesuai (S1) seluas 7.007,20 Ha (2,06%) yang terdapat di Kecamatan Pematang Sawa (61,6%), Wonosobo (26%), dan sisanya di Semaka, Kota Agung dan Kelumbayan. Kelas kesesuaian sesuai (S2) seluas 113.156,20 ha (33,27%) terdapat di Kecamatan Pulau Panggung (26%), Ulu belu
104°31'00"
104°46'30"
105°2'00"
PETA KESESUAIAN LAHAN KOMODITAS KAKAO KABUPATEN TANGGAMUS 5°13'30"
5°13'30"
KABUPATEN LAMPUNG TENGAH
#
Adiluwih Ngarip
0
8
16
Kilometers
Sukoharjo I
Tekad
#
8
#
#
#
#
#
#
Rantau Tijang Talang Padang
5°29'00"
#
KABUPATEN LAMPUNG SELATAN
LU TE
Putih Doh #
K M SE G AN
T EN R A AT A P B BU NG KA PU M LA
#
%
Gadingrejo
Pardasuka
KA
Ibukota Kecamatan Ibukota Kabupaten Batas Kabupaten Jalan Provinsi Jalan Kabupaten Jalan Kecamatan Sungai besar Sungai kecil Kelas kesesuaian Sangat sesuai Sesuai Sesuai marjinal Tidak sesuai Tidak dihitung Laut #
#
5°29'00"
Tanjung Kurung # Kota Agung # % Sukaraja
Way Nipah
LEGENDA
Gumuk Mas Pringsewu #
Margoyoso
Napal 5°44'30"
5°44'30"
#
DR U M SA
P. Tabuhan
Sumber: Puslittanak Bogor tahun 1990
A O D IN I ES N A 104°46'30"
105°2'00"
Gambar 10. Peta kesesuaian lahan kakao
PS. PERENCANAAN WILAYAH IPB BOGOR 2007
62
104°31'00"
63 (14%) dan sisanya menyebar di seluruh wilayah kabupaten. Kelas Kesesuaian S3 seluas 70.148,87 ha (20,63%) terdapat di seluruh kecamatan dengan luasan terbesar di Kecamatan Pulau Panggung (12%). Sisanya masuk sebagai lahan kelas tidak sesuai (N) yang memiliki luasan terbesar yaitu 138.206,21 ha (40,64%) dan tidak dinilai (Tabel 10). Berdasarkan evaluasi kesesuaian beberapa komoditas unggulan di Kabupaten Tanggamus tanaman lada memiliki kesesuaian S1 paling besar dalam luas karena Kabupaten Tanggamus memang memiliki
karakteristik
yang sesuai bagi
persyaratan tumbuh tanaman lada. Tabel penilaian kesesuaian lahan untuk tanaman lada dapat dilihat pada Lampiran 4. Hal ini sesuai dengan kondisi lapang bahwa Kabupaten Tanggamus pada awalnya merupakan sentra tanaman lada sebelum masuknya transmigrasi ke Lampung, tanaman lada ini kemudian banyak dikembangkan oleh masyarakat transmigrasi di daerah lain (Kabupaten Lampung Tengah dan Lampung Timur) yang kemudian berkembang lebih baik sehingga sentra lada saat ini bergeser ke wilayah tersebut.
Masyarakat Tanggamus
kemudian banyak mengembangkan kopi yang dirasa lebih menguntungkan hingga saat ini. Peta kesesuaian lahan lada disajikan pada Gambar 11. Saat ini lada banyak diusahakan petani dengan pola diversifikasi dengan tanaman kopi atau kakao di Kecamatan Pulau Panggung dan Ulu Belu, dengan kesesuain lahan yang dimiliki maka produktivitas lada didaerah ini cukup optimal dan memiliki kesinambungan jangka panjang. Kelas kesesuaian N dengan faktor pembatas lereng terlihat memang berada pada wilayah pegunungan yang merupakan wilayah terbesar kabupaten ini, tetapi pada kondisi lapang masih banyak masyarakat yang mengusahakan lada diwilayah dengan kelas tidak sesuai. Kesesuaian Tanaman Kelapa Kesesuaian lahan secara aktual di Kabupaten Tanggamus untuk tanaman kelapa memiliki kelas kesesuaian sesuai (S2) seluas 126.830,64 ha (37,30%) yang menyebar di seluruh kecamatan dengan luasan terbesar terdapat di Kecamatan Cukuh Balak (15%), yang kemudian diikuti Kecamatan Pugung dan Kelumbayan. Kelas kesesuaian sesuai bersyarat (S3) seluas 175.865,71 ha (51,72%) terdapat di Kecamatan Pulau Panggung (20%), Ulu belu (20%), Wonosobo (15%) dan
104°31'00"
104°46'30"
105°2'00"
PETA KESESUAIAN LAHAN KOMODITAS LADA KABUPATEN TANGGAMUS
KABUPATEN LAMPUNG TENGAH
#
Adiluwih Ngarip
Sukoharjo I
Tekad
#
5°13'30"
5°13'30"
N
8
0
8
16
Kilometers
LEGENDA
#
#
#
#
5°29'00"
#
K LU TE
KABUPATEN LAMPUNG SELATAN
Putih Doh #
SE G AN M KA
T EN R A AT A P B BU NG KA PU M LA
#
Pardasuka
#
Gadingrejo
5°29'00"
Tanjung Kurung # Kota Agung # % Sukaraja
Way Nipah
%
#
Talang Padang Rantau Tijang
Ibukota kecamatan Ibukota Kabupaten Batas Kabupaten Jalan Provinsi Jalan Kabupaten Jalan Kecamatan Batas administrasi Sungai besar Sungai kecil Kelas Kesesuaian Sangat sesuai Sesuai Sesuai Marjinal Tidak Sesuai Tidak dihitung Laut #
Gumuk# Mas Pringsewu #
Margoyoso
Napal
SA M UD RA
5°44'30"
5°44'30"
#
P. Tabuhan IN DO NE S
Sumber : - Peta Rupa Bumi Indonesia Skala 1:250000 - Peta Satuan Lahan Puslittanak Bogor tahun 1990
IA
104°31'00"
104°46'30"
105°2'00"
64
Gambar 11 Peta kesesuaian lahan lada
PS. PERENCANAAN WILAYAH IPB BOGOR 2007
65 sisanya menyebar di seluruh kecamatan. Kelas Kesesuaian tidak sesuai (N) seluas 25.822,13 ha (7,59%) terdapat di seluruh kecamatan dengan luasan terbesar di Kecamatan Semaka, Pulau Panggung dan Pagelaran dan tidak dinilai sebanyak 3,5% (Tabel 10). Kelapa merupakan komoditas perkebunan yang paling banyak ditanam di seluruh kecamatan karena pola penanaman kelapa yang banyak ditumpangsarikan dengan tanaman lain dan ditanam masyarakat di lahan sekitar rumah. Berdasarkan evaluasi kesesuaian lahan untuk komoditas kelapa diketahui bahwa sebagian besar lahan di Kabupaten Tanggamus merupakan kelas S2 dan S3 untuk tanaman kelapa. Kelas kesesuaian lahan S1 tidak terdapat diwilayah ini karena faktor pembatas media perakaran (rc) dan retensi hara (nr) untuk tanaman kelapa. Tabel penilaian kesesuaian lahan untuk tanaman kelapa dapat dilihat pada Lampiran 5. Lahan kelas S2 dengan faktor pembatas ketersediaan oksigen, retensi hara dan media perakaran masih dapat diatasi oleh petani sehingga menjadi lahan yang sesuai untuk pertumbuhan kelapa seperti di kecamatan Kelumbayan yang merupakan daerah pantai sehingga pertumbuhan kelapa di wilayah ini cukup baik, sedangkan daerah sentra kelapa
di Kecamatan Wonosobo dan Kotaagung
memiliki kelas lahan S3 sehingga produktifitas kelapa tidak seoptimal di lahan S2. Lahan S3 dengan faktor pembatas lereng yang cukup luas terutama diwilayah Ulu Belu disebabkan wilayah ini merupakan daerah pegunungan sehingga tidak sesuai dengan persyaratan tumbuh tanaman kelapa (temperatur 25-28oC). Peta Kesesuaian lahan kelapa disajikan pada Gambar 12. Kesesuaian Tanaman Kelapa Sawit Kesesuaian lahan secara aktual di Kabupaten Tanggamus untuk tanaman kelapa memiliki kelas kesesuaian S2 seluas 61.597,76 ha (18,8%) yang menyebar diseluruh kecamatan dengan luasan terbesar terdapat di Kecamatan Pulau Panggung (14,48%), Pagelaran (11,65%), dan Kotaagung (12,22%) sisanya menyebar diseluruh kecamatan dengan luasan yang lebih kecil. Kelas kesesuaian S3 seluas 55.841,76 ha (16,42%) terdapat di Kecamatan Pugung (14,87%), Wonosobo (11,65%), Sukoharjo (10,77%)
dan Gadingrejo (10,02%) sisanya
menyebar dikecamatan lain dengan luasan yang lebih kecil. Kelas Kesesuaian N seluas 211.078,96 ha (62,07%) terdapat di seluruh kecamatan dengan luasan
104°31'00"
104°46'30"
105°2'00"
PETA KESESUAIAN LAHAN KELAPA KABUPATEN TANGGAMUS 5°13'30"
5°13'30"
KABUPATEN LAMPUNG TENGAH
#
Adiluwih Ngarip
0
8
16
Kilometers
Sukoharjo I
Tekad
#
8
#
#
Gumuk Mas Pringsewu #
Margoyoso #
#
#
#
#
Tanjung Kurung # Kota Agung % Sukaraja
#
#
K LU TE
KABUPATEN LAMPUNG SELATAN
Putih Doh #
G AN M SE KA
N AT TE A R PA B U G AB N K PU M LA
Way Nipah
Pardasuka
#
Gadingrejo
5°29'00"
5°29'00"
Rantau Tijang Talang Padang
LEGENDA Ibukota kecamatan # % Ibukota Kabupaten Batas Kabupaten Batas administrasi Sungai besar Sungai kecil Jalan Provinsi Jalan Kabupaten Jalan Kecamatan Kelas Kesesuaian Sesuai Sesuai marjinal Tidak Sesuai Tidak dihitung Laut
Napal 5°44'30"
M SA
5°44'30"
#
DR U
P. Tabuhan
A
Sumber: - Peta Rupa Bumi Indonesia Skala 1:250.000 - Peta Satuan Lahan Puslittanak Bogor tahun 1990
O D IN IA ES N PS. PERENCANAAN WILAYAH IPB BOGOR 2007
104°31'00"
104°46'30"
105°2'00"
66
Gambar 12. Peta kesesuaian lahan kelapa
67 terbesar di Kecamatan Pulau Panggung (19%), Ulu Belu (16,3%), Wonosobo (12,8%) dan Cukuh Balak (11,03) dan tidak dinilai sebanyak 3,51% (Tabel 10). Kelapa sawit merupakan program pengembangan tanaman perkebunan yang baru dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Tanggamus sehingga baru sebagian kecil masyarakat yang mengusahakannya. Program pengembangan awal yang dilaksanakan pada tahun 1997, saat ini menunjukkan pertumbuhan dan produktivitas yang sangat baik dan menguntungkan petani. Hasil evaluasi kesesuaian lahan untuk kelapa sawit menunjukkan wilayah Tanggamus memiliki karakteristik yang cocok untuk pengembangan kelapa sawit selain itu pengembangan ini juga bertujuan untuk meningkatkan pendapatan petani dengan memanfaatkan lahan – lahan marjinal yang kurang baik untuk pertumbuhan komoditas yang lain.
Pemilihan komoditas kelapa sawit selain
harganya TBS cukup tinggi juga karena komoditas ini lebih tahan terhadap tanahtanah marjinal. Kriteria kesesuaian lahan untuk komoditas kelapa sawit dapat dilihat pada Lampiran 6.
Peta kesesuaian lahan kelapa sawit disajikan pada
Gambar 13. Kesesuaian Tanaman Karet Kesesuaian lahan secara aktual di Kabupaten Tanggamus untuk tanaman karet memiliki kelas kesesuaian S2 seluas 29.778,71 ha (8,76%) yang menyebar diseluruh kecamatan, luasan terbesar terdapat di Kecamatan Pagelaran (17,07%), Wonosobo (17,92%), Pugung (13,82%), Pringsewu (13,04%), Talang Padang (11,37%) dan sisanya menyebar diseluruh kecamatan dengan luasan yang lebih kecil. Kelas kesesuaian S3 seluas 141.364,79 ha (41,57%) terdapat di Kecamatan Pulau Panggung (22,58%), Ulu Belu (11,89%), sisanya menyebar dikecamatan lain dengan luasan yang lebih kecil. Kelas Kesesuaian N seluas 157.374,97 (46,28%) terdapat di seluruh kecamatan dengan luasan terbesar di Kecamatan Wonosobo (15,89%), Ulu Belu (15,25%), Cukuh Balak (14,80%), Kelumbayan dan Pulau Panggung. Tidak dinilai sebanyak 3,39% (Tabel 10). Karet merupakan program pengembangan tanaman perkebunan yang baru dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Tanggamus, Pemerintah daerah baru dalam tahap mensosialisasikan
program pengembangan ini sehingga saat ini
belum ada petani karet rakyat di Kabupaten Tanggamus. Perkebunan karet yang
104°31'00"
104°46'30"
105°2'00"
PETA KESESUAIAN LAHAN KELAPA SAWIT KABUPATEN TANGGAMUS
KABUPATEN LAMPUNG TENGAH
5°13'30"
5°13'30"
N
#
Adiluwih Ngarip #
0
8
16
Kilometers
Sukoharjo I
Tekad
8
#
#
Gumuk Mas Pringsewu #
Margoyoso #
#
#
#
Talang Padang Rantau Tijang
5°29'00"
KABUPATEN LAMPUNG SELATAN
Putih Doh
G AN M SE
#
#
K LU TE
#
KA
T EN R A AT A P B B U NG KA PU M LA
Way Nipah
Pardasuka
5°29'00"
Tanjung Kurung # Kota Agung # % Sukaraja
#
Gadingrejo
LEGENDA Ibu kota kecamatan # % Ibukota Kabupaten Batas Kabupaten Batas Administrasi Jalan Provinsi Jalan Kecamatan Jalan Kabupaten Sungai besar Sungai kecil Kelas kesesuaian Sesuai Sesuai marjinal Tidak sesuai Tidak dihitung Laut
Napal 5°44'30"
5°44'30"
#
SA M UD R
P. Tabuhan A
IN D ON ES I
Sumber : - Peta Rupa Bumi Indonesia Skala 1:250000 - Peta Satuan Lahan Puslittanak Bogor tahun 1990
A
104°31'00"
104°46'30"
105°2'00"
68
Gambar 13. Peta kesesuaian lahan kelapa sawit
PS. PERENCANAAN WILAYAH IPB BOGOR 2007
69 ada di Kabupaten Tanggamus saat ini adalah milik perkebunan PTPN VII. Program pengembangan karet ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan petani dengan memanfaatkan
lahan – lahan marjinal dan adanya jaminan dari
PTPN VII yang bersedia bekerjasama dengan pemerintah daerah untuk menampung hasil getah karet rakyat selain itu juga karena harga karet mentah dipasaran cukup tinggi dan stabil sehingga banyak pedagang pengumpul yang bersedia menampung getah karet. Kriteria kesesuaian lahan untuk komoditas karet dapat dilihat pada Lampiran 7. Peta kesesuaian lahan karet disajikan pada Gambar 14. Berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian lahan dapat ditarik kesimpulan Kabupaten Tanggamus memiliki kelas kesesuaian lahan sangat sesuai (S1) untuk persyaratan tumbuh komoditas kakao dan lada dengan luasan yang kecil (< 3%) dan sebagian besar merupakan lahan sesuai (S2) dan sesuai bersyarat (S3) untuk persyaratan tumbuh berbagai komoditas unggulan. Kelapa merupakan komoditas yang memiliki sebaran paling luas di Kabupaten Tanggamus. Kabupaten Tanggamus termasuk daerah potensial untuk pengembangan komoditas perkebunan. Kesesuaian dicerminkan oleh kemampuan dan keadaan sumberdaya alam dan lingkungan yang baik sehingga dapat menghasilkan produk perkebunan yang berkualitas.
Hasil evaluasi kesesuaian lahan komoditas
unggulan tersebut dijadikan landasan dalam arahan pengembangan komoditas perkebunan dengan pemanfaatan ketersediaan lahan potensial.
Arahan
pengembangan perkebunan adalah pada lahan dengan tingkat kesesuaian S1, S2 dan S3, untuk seluruh jenis komoditas unggulan yang dianalisis. Kelas kesesuaian S3 termasuk areal yang potensial dalam penelitian ini dengan alasan kelas kesesuaian S3 memiliki faktor pembatas yang masih dapat diatasi oleh petani sehingga menjadi layak. Analisis Komoditas Unggulan Berdasarkan hasil analis LQ (Tabel 11) menunjukkan bahwa komoditas kakao merupakan sektor basis di kecamatan Kota Agung (1,18), Pematang Sawa (1,05), Adiluwih (1,41), Cukuh Balak (3,22) dan Kelumbayan (1,86). Komoditas kelapa menjadi basis di Kecamatan Wonosobo (2,06), Semaka (2,34), Kotaagung
104°31'00"
104°46'30"
105°2'00"
PETA KESESUAIAN LAHAN KARET KABUPATEN TANGGAMUS
KABUPATEN LAMPUNG TENGAH
5°13'30"
5°13'30"
N
#
Adiluwih Ngarip
#
#
#
#
5°29'00"
Pardasuka #
%
#
Gadingrejo
KABUPATEN LAMPUNG SELATAN
5°29'00"
Tanjung Kurung # Kota Agung # % Sukaraja
K LU TE
Ibu kota kecamatan
Ibukota Kabupaten Batas Kabupaten Batas Administrasi Jalan Provinsi Jalan Kabupaten Jalan Kecamatan Sungai besar Sungai kecil
Kelas kesesuaian Sesuai Sesuai Marjinal Tidak Sesuai Tidak dihitung Laut
Putih Doh
G AN M SE
#
K A
N AT TE AR PA B BU NG KA PU M LA
#
16
Kilometers
#
#
Talang Padang Rantau Tijang
Way Nipah
8
LEGENDA
Gumuk Mas Pringsewu #
Margoyoso #
0
Sukoharjo I
Tekad
#
8
Napal
SA M UD
5°44'30"
5°44'30"
#
P. Tabuhan ER A
IN DO NE SI
Sumber : - Peta Rupa Bumi Indonesia Skala 1:250000 - Peta Satuan Lahan Puslittanak Bogor tahun 1990
A
104°31'00"
104°46'30"
105°2'00"
70
Gambar 14. Peta kesesuaian lahan karet
PS. PERENCANAAN WILAYAH IPB BOGOR 2007
71 (1,92), Talang Padang (1,09), Sukoharjo (3,66), Adiluwih (4,01), Pringsewu (3,97), Gadingrejo (3,58) dan Kelumbayan (1,23). Komoditas kopi merupakan basis di Kecamatan Pematang Sawa (1,21), Pulau Panggung (1,39), Ulu Belu (1,56), Talang Padang (1,27), Sumberejo (1,30), Pugung (1,52), Pagelaran (1,37) dan Pardasuka (1,57) serta komoditas lada menjadi basis di Kecamatan Semaka (1,77), Kotaagung (1,21), Pulau Panggung (1,89), Pugung (1,00) dan Cukuh Balak (1,73). Hal ini menunjukkan bahwa komoditas kopi, kakao, lada dan kelapa memiliki sebaran yang luas di Kabupaten Tanggamus dibadingkan komoditas perkebunan yang lain dan diusahakan petani merata di seluruh kecamatan. Komoditas karet merupakan basis di Kecamatan Pugung (7,20), Pagelaran (2,27), Sukoharjo (2,67) dan Kelumbayan (3,46).
Nilai LQ karet tinggi
disebabkan luasan di kecamatan tersebut besar sedangkan pembandingnya yaitu total luas kabupaten relatif kecil. Kelapa sawit memiliki nilai LQ < 1 tetapi komoditas ini merupakan program pengembangan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Tanggamus untuk memanfaatkan lahan-lahan perkebunan marjinal yang jumlahnya cukup luas dan saat ini hanya berupa semak belukar yang tidak dimanfaatkan oleh masyarakat. Berdasarkan hasil analisis LQ dapat ditarik kesimpulan bahwa komoditas kopi, kakao, lada dan kelapa menjadi sektor basis dibanyak kecamatan yang ditunjukan dengan nilai LQ > 1. Nilai LQ menunjukkan rasio antara luas areal panen suatu komoditas pada suatu kecamatan terhadap total luas panen komoditas tersebut pada tingkat kabupaten, sehingga nilai LQ > 1 menunjukkan kriteria unggul dari sisi penawaran. tanaman kelapa merupakan komoditas yang paling unggul di Kabupaten Tanggamus karena memiliki nilai LQ >1 terbanyak yang artinya diusahakanan hampir di seluruh kecamatan. Kopi merupakan komoditas unggulan kedua diikuti kakao, lada, karet dan kelapa sawit. Secara spasial, komoditas kopi, kakao, lada dan kelapa menjadi tanaman basis yang memiliki keunggulan absolut bagi masyarakat di beberapa kecamatan yang memiliki nilai LQ >1, hal ini sesuai dengan pewilayahan yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Tanggamus, yang menjadikan Kecamatan Ulu Belu (1,56) dan Pulau Panggung (1,39) sebagai sentra perkebunan kopi, dilihat dari kelas kesesuaian wilayah tersebut memang memiiki kelas kesesuaian S3 dengan
Nomor
Kecamatan
Aren
Cabe Jawa
Cengkeh
Kakao
Kayu Manis
Kapuk
Karet
Kelapa Dalam
Kelapa Hibrida
Kelapa Sawit
Kemiri
Kopi Robusta
Lada
Nilam
Pala
Pinang
Vanili
Jahe
Kencur
Kunyit
Lengkuas
Tembakau
Temu Lawak
Tabel 11. Nilai LQ luas areal tanaman perkebunan Kabupaten Tanggamus
1.
Womosobo
0,00
0,00
0,29
O,8
0,00
0,28
0,00
2,06
3,85
0,00
0,00
0,69
0,92
2,88
0,36
0,19
5,99
0,09
0,39
0,49
0,00
0,86
0,00
2.
Semaka
0,15
0,00
0,11
0,58
0,00
0,14
0,00
2,34
0,00
0,00
0,00
0,53
1,77
4,21
0,74
0,04
3,59
0,17
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
3.
Kotaagung
0,88
0,00
2,94
1,18
0,00
4,45
0,00
1,92
8,57
0,00
1,35
0,38
1,21
8,87
7,79
2,25
2,35
0,46
0,49
2,46
2,08
0,37
0,66
4.
Pmt Sawa
0,59
0,00
0,00
1,05
0,31
1,16
0,00
0,94
0,00
0,00
0,00
1,21
0,33
0,00
0,00
0,56
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
5.
P Panggung
0,56
0,00
0,11
0,12
0,30
0,64
0,00
0,19
0,08
0,00
0,66
1,39
1,89
0,00
0,00
0,22
2,11
0,53
1,01
1,02
1,42
2,33
0,00
Ulu Belu
0,00
0,00
0,11
0,05
11,6
0,28
0,00
0,04
0,00
0,00
0,00
1,56
0,36
1,06
0,00
9,52
0,99
0,21
0,35
0,46
0,00
0,00
0,00
7.
Tl Padang
0,00
0,00
0,89
0,14
0,00
0,00
0,00
1,09
0,00
0,00
0,00
1,27
0,85
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
8.
Sumberejo
0,00
0,00
0,76
0,22
0,00
0,00
0,00
0,87
0,00
0,00
0,00
1,30
0,98
0,00
0,00
0,00
0,00
0,57
0,40
0,52
2,00
0,00
0,00
9.
Pugung
0,98
2,32
0,07
0,22
0,48
0,18
7,20
0,28
0,00
0,00
0,00
1,52
1,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,18
0,00
0,58
0,45
0,00
0,00
10.
Pagelaran
1,57
3,05
0,00
0,27
0,00
0,00
2,27
0,91
0,00
4,99
0,00
1,37
0,39
0,00
0,00
0,00
0,00
0,45
0,00
0,64
0,00
0,00
16,9
11.
Sukoharjo
0,03
1,95
0,00
0,98
0,00
0,00
2,67
3,66
2,01
3,63
0,00
0,24
0,08
0,00
0,00
0,00
0,00
0,33
0,57
1,05
0,00
4,30
0,00
Adiluwih
0,00
0,00
0,00
1,41
0,00
0,00
0,00
4,01
0,00
68,1
0,00
0,00
0,07
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
10,0
0,00
13.
Pringsewu
0,00
21,5
0,00
0,35
0,00
0,00
0,00
3,97
0,00
0,00
0,00
0,08
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
7,28
10,9
28,1
17,9
0,00
0,00
14.
Gd Rejo
0,19
2,36
0,00
0,56
0,00
0,00
0,00
3,58
7,63
0,00
0,00
0,13
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
7,21
18,1
5,85
29,7
0,00
0,00
15.
Pardasuka
2,08
0,00
0,22
0,35
0,52
1,87
0,00
0,45
0,00
0,00
1,00
1,57
0,15
0,00
0,62
0,61
0,00
0,49
1,06
0,70
0,00
0,00
0,00
16
C Balak
0,00
0,43
1,94
3,22
0,00
0,00
0,00
0,21
0,00
0,00
0,00
0,70
1,73
0,00
0,00
0,00
0,00
1,31
0,00
0,00
0,00
1,71
0,00
17
Kelumbayan
8,76
4,26
5,09
1,86
0,00
6,64
3,46
1,23
0,00
0,00
12,4
0,50
0,52
0,00
6,55
0,54
0,00
6,15
5,16
1,87
0,00
085
0,00
6.
12.
Sumber:Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tanggamus Tahun 2001-2005 Data diolah
72
73 faktor pembatas lereng yang tidak mempengaruhi pertumbuhan tanaman sehingga dari segi produktifitas sangat baik. Sentra perkebunan kakao terdapat Kecamatan Cukuh Balak (3,22), Kelumbayan (1,86), dan Adiluwih (1,41), dilihat dari kesesuaian lahan Kecamatan Kelumbayan memang memiliki kelas kesesuaian S1 sehingga cocok untuk
pengembangan kakao, sedangkan Adiluwih memiliki
kesesuaian lahan S3 (1,5%) dan S2 (< 1%). Cukuh Balak sebagian besar memiliki kelas kesesuaian N dan S3 hanya 1,17%, namun di Kecamatan ini masyarakat banyak mengusahakan kakao karena faktor pembatas masih dapat diatasi petani sehingga secara ekonomi masih menguntungkan. Sentra pengembangan perkebunan lada terdapat di Kecamatan Pulau Panggung (1,89), Semaka (1,77) dan Cukuh Balak (1,73), pengembangan lada dilakukan secara diversifikasi dengan tanaman perkebunan lainnya terutama kopi sehingga terdapat pada wilayah yang juga banyak mengusahakan tanaman kopi. Kecamatan Semaka memiliki kesesuaian lahan S1 sehingga sangat cocok untuk pengembangan lada sedangkan Pulau Panggung memiliki kesesuaian lahan S2 dimana masih cukup baik untuk pertumbuhan lada dengan faktor pembatas bervariasi dari bahaya erosi, retensi hara dan media perakaran. Sentra perkebunan Kelapa terdapat di Kecamatan Wonosobo (2,06), Semaka (2,34), dilihat dari kelas kesesuaian lahan Kabupaten Tanggamus memiliki kelas kesesuaian S2 dan S3 yang paling luas untuk komoditas ini, sehingga secara pedoagroklimat wilayah ini sangat mendukung untuk pengembangan kelapa. Nilai LQ menggambarkan pemusatan luasan usahatani suatu komoditas dibandingkan dengan total luasan Kabupaten Tanggamus. Suatu wilayah dikatakan memiliki keunggulan komparatif untuk suatu komoditas jika terjadi pemusatan komoditas dengan luas areal yang tinggi dibandingkan dengan wilayah lain pada suatu titik tahun.
Nilai LQ juga menunjukkan bahwa kecamatan
tersebut menghasilkan produksi yang memungkinkan untuk di ekspor ke kecamatan lain sehingga diharapkan mampu mendatangkan pendapatan wilayah. Menurut Hendayana (2003), hal tersebut karena areal panen merupakan resultante kesesuaian tumbuh tanaman dengan kondisi agroekologi yang secara implisist mencakup unsur-unsur (peubah) iklim, fisiografi dan jenis tanah sehingga secara agregat di wilayah kecamatan tersebut produksi tanaman menghasilkan surplus
74 produksi yang memungkinkan untuk mengeksport surplus itu keluar wilayah dan akhirnya mampu mendatangkan pendapatan wilayah. Pengembangan komoditas yang mempunyai keunggulan komparatif dari sisi penawaran menunjukkan bahwa komoditas tersebut memiliki superioritas dalam pertumbuhannya pada kondisi biofisik, teknologi dan kondisi sosial ekonomi petani di suatu wilayah.
Kondisi sosial ekonomi yang dimaksud
mencakup penguasaan teknologi, kemampuan sumberdaya manusia, infrastruktur misalnya pasar dan kebiasaan petani setempat (Anonymous, 1995). Nilai LQ yang menyebar di banyak kecamatan untuk komoditas yang menjadi unggulan tersebut menunjukkan secara agro-ekologis Kabupaten Tanggamus cocok mengembangkan komoditas kopi, kakao, kelapa, lada, kelapa sawit dan karet. Komoditas tersebut merupakan tanaman tropis dan sangat cocok untuk iklim Indonesia, sehingga dapat dikatakan komoditas tersebut memiliki keunggulan mutlak (absolute advantage) karena kondisi alam yang medukung budidaya komoditas tersebut. Analisis Kelayakan Finansial Kelayakan usahatai merupakan hal yang penting untuk diidentifikasi karena menggambarkan nilai tambah yang akan diperoleh petani. Kelangsungan suatu usaha tani ditentukan oleh besar kecilnya keuntungan yang diperoleh, sehingga akan mempengaruhi keputusan seorang petani untuk meneruskan usahataninya atau mengganti dengan komoditas lain. Salah satu ciri usahatani komoditas perkebunan adalah tingginya fluktuasi harga yang merupakan faktor penyebab petani enggan melakukan pemeliharaan secara intensif sehingga produktivitasnya rendah. Analisis kelayakan usahatani dilakukan pada lima komoditas yaitu kopi, kakao, lada, kelapa dalam dan kelapa sawit. Pemilihan komoditas tersebut karena merupakan komoditas basis perekonomian masyarakat di Kabupaten Tanggamus. Hasil analisis finansial komoditas basis di Kabupaten Tanggamus disajikan pada Tabel 12.
75 Tabel 12. Hasil analisis finansial komoditas basis di Kabupaten Tanggamus tahun 2007 Komoditas Kopi Kakao Lada Kelapa * Kelapa butir * Kopra * Gula kelapa Kelapa Sawit
NPV (Rp) 18.502.849 30.892.258 5.071.729
BC Rasio 2,05 3,40 1,89
IRR (5) 20% 29% 18%
3.666.635 539.318 32.146.316 19.920.833
3,77 1,38 4,7 1,94
14 % 4% 33% 8%
Sumber: Hasil kuisioner dan wawancara lapang, diolah, 2007
Analisis Usahatani Kopi Hasi perhitungan input dan output produksi tanaman kopi memperoleh nilai NPV sebesar Rp 18.502.849,-, (Tabel 12) hal ini menunjukkan pada tingkat bunga 17% nilai NPV masih menunjukkan nilai positif, sehingga disimpulkan usahatani kopi yang dilakukan petani kopi di Kabupaten Tanggamus pada tingkat opportunity 17% layak untuk dilaksanakan. Hasil analisis BC rasio terhadap komoditas kopi sebesar 2,05, hal ini menunjukkan bahwa setiap satu rupiah yang dikeluarkan sebagai biaya akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp 2,05 yang berarti pengusahaan komoditas kopi cukup menguntungkan karena penerimaan yang akan diperoleh sebesar 2,05 kali lipat dari modal yang dikeluarkan. Selanjutnya hasil analisis menunjukkan nilai IRR 20%, hal ini berarti bahwa dibandingkan dengan tingkat bunga bank sebesar 17% usahatani masih bisa mengembalikan pinjaman sampai tingkat suku bungan 20% sehingga investasi kopi masih menguntungkan.
Hasil perhitungan analisis usahatani kopi dapat
dilihat pada Lampiran 8. Produksi kopi di Kabupaten Tanggamus masih rendah yakni sekitar 700 800 kg/ha/th, bila ditinjau dari nilai ekonomi belum menghasilkan produksi yang maksimal yaitu 1200-1500 kg/ha/th. Rendahnya produksi kopi selain di sebabkan oleh faktor kesesuaian juga disebabkan antara lain oleh sistem pengelolaan yang masih sangat konvensional. Perkebunan kopi di Kabupaten Tanggamus pada umumnya merupakan perkebunan rakyat skala kecil dan diusahakan dengan teknik budidaya secara tradisional.
76 Rendahnya skala pengusahaan dan cara budidaya yang masih sangat tradisional menyebabkan produktivitas dan mutu kopi yang dihasilkan masih sangat rendah. Selain itu faktor cuaca juga sangat mempengaruhi. Sebagaimana diketahui, areal perkebunan kopi di Kabupaten Tanggamus sebagian besar terletak di dataran rendah dan sisanya di dataran tinggi. Untuk daerah dataran tinggi kemarau panjang akan menyebabkan petani kopi di daerah ini mengalami panen raya pada musim berikutnya sedangkan didataran rendah sebaliknya. Pada musim penghujan maka akan terjadi panen raya di dataran rendah yang mengakibatkan terjadi pasokan berlebih (over supply) karena areal perkebunannya jauh lebih luas, sehingga menyebabkan harga kopi jatuh. Analisis Usahatani Kakao Hasil analisis usahatani kakao memperoleh Nilai NPV sebesar Rp 30.892.256,- . Hal ini menunjukan nilai keuntungan dari usahatani, nilai NPV menunjukkan nilai positif sehingga pada tingkat discount rate 17 % usahatani layak dilaksanakan. Hasil analisis BC rasio memperoleh nilai sebesar 3,4 (Tabel 12).
Nilai BC rasio menunjukkan bahwa setiap Rp 1,00 biaya yang
dikeluarkan akan diperoleh keuntungan sebesar Rp 3,40 sehingga disimpulkan bahwa pengusahaan komoditas kakao cukup menguntungkan, dimana nilai BC rasio lebih besar dari 1 yang artinya usahatani kakao di Kabupaten Tanggamus layak dilakukan. Hasil analisis IRR memperoleh nilai IRR kakao sebesar 29 % menunjukkan dengan potensi produksi dan struktur biaya seperti sekarang, petani masih mampu mengembalikan modal pinjaman sampai tingkat suku bunga 29 %. Hasil perhitungan analisis usaha tani kakao dapat dilihat pada Lampiran 9. Kelayakan pengembangan kakao juga ditunjukkan dengan nilai LQ>1 dan kelas kesesuaian lahan S1 yang sangat sesuai untuk pengembangan kakao sebagai komoditas unggulan, walaupan sebagian besar lahan (46%) memiliki kelas kesesuaian S3 dengan faktor pembatas yang dapat diatasi dengan pemupukan maka kakao cocok dikembangkan sebagai komoditas unggulan pada wilayah yang menjadi sentra. Secara garis besar karakteristik usahatani yang dilakukan petani kakao rata-rata mempunyai luasan 1,12 ha dengan jenis tanaman sebagian besar klon lokal dengan jumlah populasi rata-rata 830 pohon.
Sistem penanaman
diversifikasi dengan tanaman kelapa. Tanaman kakao didaerah penelitian rata-
77 rata berumur 10-13 tahun, dimana umur tersebut adalah usia produktif untuk tanaman kakao.
Menurut Monde (2007) penerimaan usahatani akan terus
meningkat sampai umur tanaman kakao mencapai 12-13 tahun dan setelah itu keuntungan atau hasil akan perlahan mulai menurun. Dalam melakukan budidaya rata-rata petani melakukan pemupukan 2 kali setahun dengan penggunaan input produksi pupuk kandang 576 kg, pupuk Urea 120 Kg/Ha, pupuk TSP 120 Kg/ha, pupuk KCl sebesar 30 Kg/ha, penggunaan pestisida sebanyak 0,6 liter dan penggunaan input tenaga kerja rata-rata 131 HOK. Dengan teknik budidaya yang dilaksanakan saat ini maka petani kakao di Kabupaten Tanggamus cukup mengenal teknologi budidaya yang baik, namun belum memenuhi teknologi anjuran. Dengan demikian dapat disimpulkan peningkatan pengelolaan usahatani dan peremajaan tanaman kakao yang sudah tidak produktif dapat dilakukan dengan penyambungan klon unggul sehingga produktivitas kakao dan pendapatan petani di Kabupaten Tangamus masih dapat ditingkatkan. Analisis Usahatani Lada Analisis usahatani lada menunjukkan nilai NPV sebesar Rp 5.071.729,- dan nilai BC rasio sebesar 1,89 yang berarti usahatani masih menguntungkan untuk dilakukan. Hasil analisis IRR diperoleh nilai 18% (Tabel 12), yang menunjukkan kemampuan usahatani mengembalikan pinjaman pada tingkat suku bunga 17% hanya sampai suku bunga 18 % namun investasi tersebut masih menguntungkan untuk dilaksanakan. Hasil perhitungan analisis usahatani lada dapat dilihat pada Lampiran 10. Kabupaten Tanggamus memiliki areal pertanaman lada yang cukup luas dan cenderung meningkat. Hal ini menggambarkan minat petani terhadap komoditas lada cukup besar karena terdorong oleh harga jual yang relatif tinggi dan cukup bersaing dengan komoditas lainnya. Namun peningkatan luas tidak diikuti dengan peningkatan produktivitas. Rendahnya produksi lada dikarenakan sistim budidaya yang sederhana dan tradisional. Usahatani lada yang dilakukan di Kabupaten Tanggamus juga umumnya dilakukan secara tumpang sari dengan tanaman kakao atau kopi, sehingga tidak ada perkebunan lada rakyat secara monokultur. Hal ini disebabkan tanaman lada
78 merupakan tanaman yang cukup sulit pemeliharaannya karena banyaknya penyakit yang menyerang selain itu juga disebabkan fluktuasi harga yang tinggi cenderung menyebabkan petani lada tidak dapat bertahan. Oleh karena itu dalam rangka meningkatkan pendapatan petani lada pemerintah daerah menganjurkan petani untuk melakukan diversifikasi dengan tanaman perkebunan lainnya. Panen lada yang bersifat tahunan juga merupakan alasan yang menyebabkan petani melakukan diversifikasi dengan komoditas lain yang pemanenannya bersifat musiman seperti kakao. Analisis Usahatani Kelapa Hasil analisis finansial komoditas kelapa butir pada Tabel 12 menunjukkan nilai NPV sebesar Rp 3.666.635,-, dari hasil tersebut disimpulkan bahwa pada tingkat bunga 17% NPV masih menunjukkan nilai positif sehingga investasi layak untuk dilakukan. Hasil analisis menunjukkan nilai BC rasio produksi kelapa butir sebesar 3,77, yang berarti usaha tersebut dapat dilakukan. Selanjutnya analisis IRR menunjukan nilai IRR usahatani kelapa butir 14%, hal ini menunjukkan usahatani hanya dapat mengembalikan pinjaman sampai tingkat suku bunga 14 %. Hasil perhitungan analisis usahatani kelapa butir dapat dilihat pada Lampiran 11. Usaha tani dilakukan dengan jarak tanam 9 x 9 m, maka populasi kelapa sekitar 143 pohon/ha. Putaran petik buah kelapa dilakukan dua bulan sekali dengan hasil rata-rata 6 butir/pohon. Dengan asumsi jumlah populasi penuh, maka produksi buah kelapa yang dapat diperoleh sebanyak 5.148 butir/ha/th dengan harga buah kelapa sekitar Rp 1000,- per butir dengan demikian akan diperoleh pendapatan sekitar Rp5.148.000,-/ha/th.
Sementara itu biaya produksi yang
dikeluarkan hanya upah petik, kupas, hitung dan pengangkutan kelapa sebesar Rp 514.800,-
/ha/th.
Pemupukan
tanaman
kelapa
tidak
pernah
dilakukan,
pengendalian hama dan penyakit hanya dilakukan penyemprotan rumput satu kali dengan biaya Rp 25.000. Hasil analisis usahatani kelapa butir menunjukkan usahatani kelapa butir menguntungkan untuk dilaksanakan dan lebih banyak dilakukan oleh petani karena lebih effisien dan tidak memerlukan biaya tambahan, namun usahatani tersebut umumnya dilakukan dalam skala yang kecil sehingga hasil perhitungan IRR menunjukkan tingkat pengembalian suku bunga cukup rendah.
79 Hasil analisis finansial komoditas kelapa kopra menunjukkan nilai NPV sebesar Rp 539.318,-, (Tabel 12) dari hasil tersebut disimpulkan bahwa pada tingkat bunga 17% NPV masih menunjukkan nilai positif sehingga investasi layak untuk dilakukan. Hasil analisis menunjukkan nilai BC rasio produksi kelapa kopra sebesar 1,38, yang berarti bahwa setiap Rp 1,00 biaya yang dikeluarkan akan diperoleh keuntungan sebesar Rp 1,38 sehingga disimpulkan bahwa pengusahaan komoditas kakao masih menguntungkan walaupun relatif kecil, nilai BC rasio lebih besar dari 1 yang artinya usahatani kakao di Kabupaten Tanggamus masih layak dilakukan. Hasil analisis IRR memperoleh nilai sebesar 4 %, dengan demikian disimpulkan usahatani tersebut tidak dapat dilakukan pada tingkat bunga bank 17% hal ini disebabkan usahatani kopra hanya dilakukan dalam skala kecil sehingga walaupun BC rasio dan NPV menunjukkan nilai positif usahatani belum dapat mensejahterakan petani. Hasil perhitungan analisis usahatani kopra dapat dilihat pada Lampiran 12. Hasil analisis finansial usahatani gula kelapa pada Tabel 12 menunjukkan nilai NPV sebesar Rp 32.146.316,-, dari hasil tersebut disimpulkan bahwa pada tingkat bunga 17% NPV masih menunjukkan nilai positif sehingga investasi layak untuk dilakukan. Analisis BC rasio menunjukkan nilai usahatani gula kelapa sebesar 4,75, hal ini menunjukkan efektivitas biaya yang baik, artinya setiap Rp 1,00 biaya yang dikeluarkan akan diperoleh keuntungan sebesar Rp 4,75 sehinga disimpulkan usaha tersebut dapat dilakukan.
Selanjutnya analisis IRR
menunjukan nilai 33%, hal ini menunjukkan usahatani gula kelapa dapat mengembalikan pinjaman sampai tingkat suku bunga 33%. Hasil perhitungan analisis usahatani gula kelapa dapat dilihat pada Lampiran 13. Hasil analisis finansial komoditas kelapa dan produksi turunannya menunjukkan
usahatani
gula
kelapa
merupakan
usaha
yang
paling
menguntungkan. Namun kenyataan dilapang usaha tani kelapa butir lebih banyak dilakukan masyarakat. Usaha tani gula kelapa hanya sebagian kecil petani yang mengusahakannya, hal ini disebabkan selain membutuhkan biaya yang lebih besar juga petani sering mengalami kendala dalam pemasarannya selain masalah skala produksi yang kecil sehingga tidak menguntungkan.
80 Produk turunan usaha pengolahan kelapa di Kabupaten Tanggamus selain ketiga tersebut di atas yaitu: minyak kelapa, arang tempurung, serat kelapa (cocofibre), serbuk kelapa (cocodust) dan nata de coco. Dari berbagai produk tersebut analisis hanya dilakukan pada produksi kelapa butir, gula kelapa dan kopra karena usaha pengolahan produk yang lain bersifat musiman dan sebagian tidak berjalan disebabkan tidak adanya modal. Pemeliharaan umumnya dilakukan secara konvensional, petani hanya melakukan pemeliharaan bersamaan dengan pemeliharaan tanaman sela. Pemupukan tidak dilakukan sedangkan penggantian tanaman rusak atau mati dilakukan dengan menggunakan bibit cabutan yang berasal dari kebun sendiri. Analisis Usahatani Kelapa Sawit Hasil analisis Kelayakan usaha perkebunan kelapa sawit (Tabel 12) menunjukkan nilai NPV positif sebesar Rp 19.920.833, nilai BC rasio sebesar 1,94. Hal ini menunjukkan setiap Rp 1,00 biaya yang dikeluarkan menghasilkan manfaat bersih sebesar Rp 1,94 sehingga usahatani masih menguntungkan. Nilai IRR sebesar 8 %, dengan demikian disimpulkan usahatani tersebut tidak dapat dilakukan pada tingkat bunga bank 17% hal ini disebabkan luasan usahatani dilakukan dalam skala yang tidak ekonomis sehingga walaupun BC rasio dan NPV menunjukkan nilai positif usahatani belum dapat meningkatkan pendapatan petani.
Hasil perhitungan analisis usahatani kelapa sawit dapat dilihat pada
Lampiran 14. Komoditas kelapa sawit merupakan komoditas yang baru dikembangkan di Kabupaten Tanggamus sehingga belum banyak diusahakan. Petani kelapa sawit yang ada saat ini merupakan petani peserta program pengembangan Kelapa Sawit yang dilaksanakan oleh Pemerintah daerah bekerjasama dengan PTPN VII. Usahatani yang dilakukan rata-rata mempunyai luasan 1,26 ha dengan bibit unggul yang berasal dari PTPN VII, dengan jumlah populasi rata-rata 143 pohon per hektar. Sistem penanaman dilakukan sebagai tanaman sela pada komoditas yang ditanam saat ini sehingga pada saat tanaman kelapa sawit belum menghasilkan petani masih mendapatkan penghasilan. Tanaman kelapa sawit didaerah penelitian rata-rata berumur 10 tahun. Pemeliharaan dilakukan dengan pemupukan sebanyak 2 kali setahun dengan
81 penggunaan pupuk rata-rata 852 Kg/ha, penggunaan pestisida sebanyak 4 liter dan penggunaan input tenaga kerja rata-rata 15 HOK. Perkembangan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Tanggamus menunjukkan gejala menggembirakan, sejak awal pengembangannya pada tahun 1997, luasan perkebunan kelapa sawit saat ini mencapai 800 ha. Hasil analisis finansial usahatani yang dilakukan pada komoditas kelapa, kopi, kakao, kelapa, lada, dan kelapa sawit menunjukkan usahatani masih layak dilakukan. Namun skala usahatani yang tidak ekonomis dan produksi yang masih rendah menyebabkan usahatani kopra, kelapa sawit dan kelapa butir memiliki nilai IRR yang lebih rendah dari suku bunga yang berlaku. Usahatani yang memiliki manfaat paling besar adalah gula kelapa disusul kakao dan kelapa butir. Nilai manfaat kakao tinggi karena kakao memiliki potensi pemasaran yang cukup luas sehingga memungkinkan usaha yang berkelanjutan di Kabupaten Tanggamus. Usaha peningkatan produksi dan perbaikan manajemen usahatani diharapkan
dapat
meningkatkan
keuntungan
petani
sehingga
menjaga
kelangsungan usahatani. Analisis kesesuaian lahan menunjukkan komoditas unggulan tersebut memiliki kelas kesesuaian sangat sesuai (S1) sampai sesuai bersyarat (S3). Dengan demikian komoditas basis tersebut memiliki keunggulan baik secara kesesuaian lahan, komparatif dan finansial dan mempunyai peranan yang
cukup
besar
dalam
meningkatkan
pendapatan
dan
pertumbuhan
perekonomian wilayah Kabupaten Tanggamus sehingga sangat berpotensi untuk dikembangkan. Analisis Focus Group Discussion (FGD) Berdasarkan hasil Analisis Focus Group Discussion (FGD) yang dilakukan maka
dapat diidentifikasi potensi dan permasalah perkebunan kelapa, kopi,
kakao, lada dan kelapa sawit yang ada di Kabupaten Tanggamus. Selanjutnya berdasarkan potensi dan permasalahan yang berhasil diidentifikasi kemudian dirumuskan pemecahan masalah dan disusun arahan pengembangan komoditas yang merupakan basis di Kabupaten Tanggamus dan secara finansial menguntungkan untuk diusahakan.
82 Potensi Perkebunan Kabupaten Tanggamus Potensi Wilayah Kabupaten Tanggamus yang mempunyai luas wilayah sekitar 335.661 Ha, ± 103.899,30 Ha merupakan areal perkebunan yang terdiri dari Perkebunan rakyat seluas ± 101.067,52 Ha, perkebunan swasta seluas ± 624.28 Ha dan perkebunan Negara seluas ± 2.207.50 ha. Kopi, kakao kelapa dan lada merupakan komoditi andalan, sedangkan lahan berpotensi yang di peruntukan untuk perkebunan dalam RTRW masih ada yang belum dimanfaatkan. Lahan tersebut berpotensi dan memungkinkan untuk pengembangan tanaman perkebunan khususnya pengembangan kelapa sawit dan karet yang bertujuan meningkatkan pendapatan petani perkebunan dengan memanfaatkan lahan-lahan perkebunan yang marjinal (Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tanggamus, 2006). Kopi. Kopi merupakan salah satu komoditi andalan Propinsi Lampung yang dapat dibanggakan didalam maupun diluar negeri. Perkebunan Kopi di Kabupaten Tanggamus dengan luas areal 53.861,00 ha dan produksi 33.528,72 ton/tahun (rata-rata 622,49 kg/ha/tahun) merupakan salah satu komoditi unggulan di Kabupaten Tanggamus walaupun belum menghasilkan produksi yang maksimal (1.200–1.500 kg/ha/tahun). Potensi kopi dimasing-masing kecamatan dapat dilihat pada Tabel 13. Tanaman kopi yang banyak dikembangkan adalah jenis robusta karena jenis ini memiliki keunggulan dibandingkan jenis arabika yaitu, (1) lebih tahan terhadap penyakit karat daun, (2) tumbuh sangat baik pada ketinggian lebih dari 400-700 meter dpl dengan temperatur harian 21-24oC, dan (3) jumlah produksi lebih tinggi dari kopi arabika dengan rata-rata tingkat produksi normal mencapai 0,9 – 3 ku/ha/tahun (Andriyanti, 2005). Untuk meningkatkan pendapatan petani kopi upaya yang dilakukan adalah dengan memperbaiki produktivitas dan kualitas kopi rakyat, Oleh karena itu, pemerintah dalam hal ini Dinas Kehutanan dan Perkebunan perlu melakukan berbagai program kegiatan, baik yang berkaitan dengan teknik budidaya, manajemen maupun pasca panen.
83 Tabel 13 Luas areal dan produksi kopi di Kabupaten Tanggamus tahun 2005 Area (Ha) TM
Total (Ha)
Produksi (Ton)
No
Kecamatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Wonosobo Kotaagung Cukuh Balak Talang Padang Pulau Panggung Pagelaran Semaka Pematang Sawa Ulu Belu Kelumbayan Pardasuka Pugung Sumberjo
209,00 68,50 1.320,00 230,00 504,00 203,00 56,50 122,00 114,00 350,25 143,00 559,00 107,00
1.696,00 957,50 4.050,00 4.895,00 8.259,50 2.893,00 988,00 1.574,00 7.450,00 914,00 4.865,00 4.839,00 1.590,75
241,50 232,50 815,00 99,00 420,50 1.133,00 115,50 104,00 109,00 304,75 841,00 450,00 37,25
2.146,50 1.258,50 6.185,00 5.224,00 9.184,00 4.229,00 1.160,00 1.800,00 7.673,00 1.569,00 5.849,00 5.848,00 1.735,00
871,60 794,10 2.540,00 4.160,70 6.194,62 1.644,00 395,20 632,00 7.296,00 200,42 3.892,00 3.387,00 1.521,08
Jumlah
3.986,25
44.971,75
4.903,00
53.861,00
33.528,72
TBM
TR
Keterangan : *TBM (Tanaman Belum Menghasilkan) *TR ( Tanaman Rusak ) *TM (Tanaman Menghasilkan ) * Sumber: Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tanggamus
Kakao. Perkebunan Kakao di Kabupaten Tanggamus memiliki luas areal 13.294,00 ha dengan produksi 9.528,04 ton/tahun (rata-rata 716,00 kg/ha/tahun). Luas areal Kakao per kecamatan dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Luas areal dan produksi kakao di Kabupaten Tanggamus tahun 2005 No
Kecamatan TBM
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Area (Ha) TM
TR
Total (Ha)
Produksi (Ton)
Wonosobo Kotaagung Cukuh Balak Talang Padang Pulau Panggung Pagelaran Semaka Pematang Sawa Ulu Belu Kelumbayan Pardasuka Pugung Sumberjo Sukoharjo Adi Luwih Gading Rejo
77,00 125,00 3.050,00 47,75 14,00 66,50 65,00 56,00 29,50 409,00 286,80 22,00 42,25 386,00 226,00 50,00
400,00 565,00 3.150,00 47,25 109,00 291,00 156,00 1.381,00 36,00 757,00 236,50 295,00 27,00 572,00 260,00 16
3,00 43,50 420,00 2,5 3,50 50 1,00 1,50 2,6 -
477,00 733,50 6.200,00 97,5 127,00 357,5 1.496,00 169,00 46,00 1.167,50 523,3 320,00 69,25 958,00 486,75 66,00
1080,00 1.029,00 2.520,00 56,7 81,75 186,24 1035,75 68,00 20,00 609,09 1182,50 236,00 31,8 837,41 550,00 3,80
Jumlah
4.952,80
8298,75
524,60
13.294,00
9528,04
Keterangan : * TBM (Tanaman Belum Menghasilkan) * TR (Tanaman Rusak ) *TM (Tanaman Menghasilkan ) * Sumber: Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tanggamus
84 Kelapa. Komoditi kelapa merupakan komoditi potensial yang banyak diusahakan oleh petani perkebunan di Kabupaten Tanggamus.
Luas areal
tanaman kelapa mencapai 18.906,95 ha dengan produksi 18.935,52 ton kopra per tahun. Luas areal kelapa per kecamatan disajikan pada Tabel 15.
Produk
turunan yang dihasilkan oleh tanaman kelapa antara lain gula kelapa, minyak kelapa, arang tempurung, serat kelapa (cocofibre), serbuk kelapa (cocodust), nata de coco, dan kopra. Tabel 15 Luas areal dan produksi kelapa di Kabupaten Tanggamus tahun 2005 No
Area (Ha)
Kecamatan TBM
TM
Total (Ha)
TR
Produksi (Ton)
1
Sukoharjo
184,00
2.458,00
-
2.642,00
1.169,00
2
Wonosobo
281,00
1.984,70
132,00
2.397,70
1.587,76
3
Kotaagung
361,00
1.990,00
80,00
2.431,00
7.779,70
4
Cukuh Balak
220,00
460,00
10,00
690,00
280,00
5
Talang Padang
74,00
1.437,00
14,50
1.525,50
1.580,70
6
Gading Rejo
73,25
895,50
59,75
1.028,50
624,18
7
P.Panggung
19,25
456,50
-
475,75
388,02
8
Pagelaran
57,00
420,00
529,00
1.006,00
1.072,00
9
Semaka
165,00
1.737,00
8,50
1.910,50
1.389,60
10
Adi Luwih
180,00
862,50
11,50
1.054,00
409,95
11
Kelumbayan
88,75
1.344,50
19,25
1.452,50
556,31
12
Pardasuka
25,00
551,00
64,00
640,00
531,00
13
Sumberjo
26,50
420,75
5,75
453,00
715,30
14
Pematang sawa
43,00
398,00
56,00
497,00
452,00
15
Pringsewu
32,50
599,50
71,50
703,50
400,00
1.830,25
16.014,95
1.061,75
18.906,95
18.935,52
Jumlah
Keterangan : * TBM(Tanaman Belum Menghasilkan) * TR(Tanaman Rusak ) * TM (Tanaman Menghasilkan) * Sumber: Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tanggamus
Lada.
Usaha perkebunan lada rakyat terkonsentrasi pada Kecamatan
Cukuh Balak, Pulau Panggung, Pugung dan Ulu Belu. Pada tahun 2002 produksi lada rakyat menghasilkan 11.279,00 ton. Pada tahun 2005 produksi lada rakyat menurun mencapai 9.071,00 ton dengan rata-rata produksi per hektar 542,39 kg. Lebih dari setengah total produksi lada Kabupaten Tanggamus berasal pada Kecamatan Cukuh Balak, Pulau Panggung, dan Pugung sebanyak 2.072,00 ton.. Luas produksi tanaman kakao per kecamatan disajikan pada Tabel 16.
85 Tabel 16 Luas areal dan produksi lada di Kabupaten Tanggamus tahun 2005 No
Kecamatan
Area (Ha) TBM
TM
TR
Total
Produksi
(Ha)
(Ton)
1
Wonosobo
119,00
408,25
28,00
555,25
182,00
2
Kotaagung
65,00
59,00
5,00
129,00
26,55
3
Cukuh Balak
1.410,00
1.624,00
-
3.034,00
1.046,00
4
Talang Padang
78,25
237,25
82,00
397,50
194,55
5
Pulau Panggung
560,00
1.565,75
365,50
2.491,25
822,00
6
Pagelaran
67,00
136,00
22
225,00
130,00
7
Semaka
15,00
128,00
16,50
159,00
70,40
8
Pematang Sawa
80,00
40,00
10,00
130,00
32,00
9
Ulu Belu
226,00
129,00
-
355,00
61,00
10
Kelumbayan
147,20
150,85
63,25
361,30
92,43
11
Pardasuka
40,00
70,00
-
110,00
38,00
12
Pugung
330,00
375,00
61,00-
766,00
204,00
13
Sumberjo
56,00
235,00
3,50
295,50
173,53
14
Sukoharjo
14,00
38,00
-
52,00
13,30
15
Adi Luwih
5,00
5,65
-
11,50
1,95
16
Gading Rejo
-
-
-
-
-
3.212,45
5.202,60
656,75
9.071,80
3.087,71
Jumlah
Keterangan : * TBM (Tanaman Belum Menghasilkan) * TR (Tanaman Rusak ) * TM (Tanaman Menghasilka) * Sumber: Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tanggamus
Potensi Pemasaran Sistem pemasaran petani sangat berhubungan dengan faktor internal dan usaha petani yang bersangkutan. Mekanisme pasar dari penjualan di tingkat petani hingga di tingkat pabrik/eksportir hampir sama seperti pada setiap penjualan hasil panen petani atau komoditi lainnya, dimana peranan tengkulak atau pedagang pengumpul sangat dominan, ada beberapa unsur yang terkait berperan dominan dalam pemasaran komoditi yaitu; petani, tengkulak atau pedagang pengumpul tingkat daerah, tengkulak atau pedagang pengumpul pada tingkat kabupaten dan pabrik atau eksportir.
Mekanisme sistem pemasaran pertanian di Kabupaten
Tanggamus disajikan pada Gambar 15.
Petani
Tengkulak / pedagang pengumpul tk. kecamatan
Tengkulak/ pedagang pengumpul tk. kabupaten
Gambar 15. Mekanisme Pemasaran Komoditas Perkebunan
Pabrik/ eksportir
86 Petani menjual produksinya di kebun kepada tengkulak atau membawa produknya ke pasar untuk dijual di pasar. Pedagang pengumpul tingkat kabupaten membeli dari pedagang pengumpul tingkat kecamatan, pedagang pengumpul tingkat kabupaten dapat juga berupa pedagang yang berperan sebagai agen pabrik atau eksportir. Penentuan harga sepenuhnya dilakukan oleh pedagang perantara, petani pada umumnya tidak mengetahui harga. Sementara itu cara penentuan mutu dari hasil panen petani tidak jelas dan alat ukur atau alat uji yang tersedia (bila ada) dihindari untuk digunakan oleh pedagang perantara. Cara penilaian yang biasanya dilakukan adalah cara visual atau disebut cara “taksiran”. Kopi. Penentuan harga kopi didasarkan pada kandungan air biji kopi dan nilai cacat, dimana mutu asalan memiliki kadar air berkisar 18-3% dengan nilai cacat kopi atau defect berkisar 150-300 (trase 18-30%) sedangakan mutu yang diterima eksportir yaitu grade IVa dengan kadar air 12,5 % dan defect 80. Penentuan kadar air biji kopi biasanya hanya berdasarkan penetuan pedagang sehingga harga kopi juga ditentukan oleh pedagang. Kurangnya pengetahuan petani tentang teknik penanganan pasca panen khususnya penetuan kadar air menyebabkan mutu kopi yang dihasilkan petani rendah, tidak adanya perbedaan harga antara kualitas asalan (non grade) dengan kualitas yang baik menimbulkan keengganan petani untuk membuat kualitas kopi menjadi lebih baik. Kegiatan yang dilakukan pemerintah utnuk meningkatkan kualitas kopi antara lain melakukan pelatihan petani kopi baik yang berkaitan dengan teknik budidaya, manajemen maupun pasca panen. Selain itu melakukan kerjasama kemitraan dengan Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI). Kakao. Bentuk produksi kakao rakyat yang diperjualbelikan pada umumnya dalam bentuk basah dan kering. Biji kakao kering terdiri dari kualitas asalan dan fermentasi, kualitas asalan pengeringannya lebih singkat dan harganya lebih rendah dari biji kakao yang difermentasi. Namun petani sering menjual karena terdesak kebutuhan sehingga tidak melakukan fermentasi dan pengeringan yang baik, dengan demikian harga yang diterima lebih rendah. Penentuan harga biji kakao ditentukan dengan pengukuran kadar air biji kakao, setelah terjadi kesepakatan dilakukan pembayaran yang biasanya bersifat kontan (cash), pada jual beli ini tidak ada pembatasan jumlah minimal yang dapat
87 dijual oleh petani. Dilihat dari sedikitnya jumlah pembeli maka petani berada pada posisi yang lemah, namun antar pedagang pengumpul juga terjadi persaingan dalam mendapatkan biji kakao, selain itu petani juga dapat menjual langsung ke pedagang kecamatan sehingga petani memilik posisi tawar yang cukup baik. Kelapa. Pemanenan kelapa biasanya dilakukan 50 hari sekali, seperti yang dilakukan oleh Bapak Hasbiani, Ketua Kelompok Tani Kelapa pekon Bandar Sukabumi Kecamatan Bandar Negeri Semong Kabupaten Tanggamus, pemanenan dilakukan dengan memborongkan pada orang lain atau buruh, satu kali unduh (panen) bisa menghasilkan 500 gandeng kelapa butir. Sortasi biasanya langsung dilakukan dengan mengelompokkan berdasarkan ukuran (grading). Petani kelapa di Kabupaten Tanggamus pada umumnya menjual produk berupa kelapa butir karena dianggap jauh lebih menguntungkan dibandingkan dengan kopra karena tidak memerlukan biaya dan tenaga tambahan Selain kelapa butir produk turunan kelapa yang dihasilkan adalah gula merah, arang tempurung kelapa dan minyak kelapa (minyak kletik), cocodust, coco fiber dan nata de coco. Lada. Petani lada umumnya menjual hasil panennya dalam bentuk kering. Kadar air sangat menentukan harga lada dan menentukan daya simpannya. Petani lada umumnya menyimpan lada dan menjualnya pada saat harga mulai membaik atau pada saat memerlukan uang tunai. Seperti diketahui fluktuasi harga lada sangat tinggi sehingga petani enggan mengusahakan lada sebagai komoditas utama, hal ini menyebabkan hasil panen tidak terlalu baik karena selain petani mengusahakannya hanya sebagai tanaman sela juga pemeliharaannya jarang dilakukan. Potensi Kelembagaan Kelembagaan sub sektor perkebunan di Kabupaten Tanggamus masih lemah. Sistem usahatani masih bersifat tradisional, pemeliharaan tanaman seperti pemupukan dan pengendalian hama penyakit jarang atau tidak dilakukan sehingga produktifitas masih dibawah optimal. Skala usahatani umumnya kecil sehingga tidak ekonomis untuk diusahakan. Perbaikan kelembagaan pemasaran juga perlu dilakukan. Secara umum suatu sistem pemasaran dikatakan efisien bila untuk komoditi yang sama diperlukan marjin pemasaran yang rendah yaitu selisih antara harga ditingkat
88 konsumen akhir (eksportir) terhadap harga yang diterima petani. Indikator lain yang sering digunakan untuk mengukur efisiensi pemasaran adalah bagian dari harga yang diterima petani (farmer’s share), rendahnya bagian yang diterima petani dianggap sebagai indikator belum efisiennya sistem pemasaran tersebut. Umumnya petani perkebunan masih sangat tergantung kepada pedagang pengumpul/tengkulak. Rendahnya pengetahuan petani mengenai mutu dan informasi harga menyebabkan penentuan harga dilakukan oleh pedagang pengumpul sebagai price maker sehingga harga yang didapatkan petani rendah. Menurut Taufiqurrahman (2006), perbaikan kelembagaan pemasaran perlu diciptakan dengan sistem transparansi harga dalam pemasaran.
Pengembangan
sistem pemasaran komoditas perkebunan yang efisien, antara lain dengan sistem kontrak, sistem jual langsung dan sistem lelang.
Hal ini bertujuan unutk
meningkatkan posisi petani dalam penetapan harga dan menciptakan pasar yang lebih kompetitif. Dalam pengembangan sistem pemasaran diperlukan peran aktif instansi terkait (dinas perkebunan, perdagangan dan perindustrian), perbankan, petani dan industri. Aktivitas pedagang perantara sedapat mungkin dihilangkan karena cenderung merugikan petani. Sistem informasi pasar perlu dibangun untuk menyebarluaskan informasi pasar dan standar mutu sebagai sinyal pasar sampai ke tingkat petani. Kelembagaan yang dibentuk oleh pemerintah juga bertujuan untuk meningkatkan pendapatan petani kopi.
Beberapa cara telah dilakukan oleh
pemerintah daerah yaitu kerjasama kemitraan antara kelompok tani kopi Margo Rukun Kecamatan Ulu belu dengan PT. Nestle Beverages Indonesia yang berlangsung sejak tahun 1994, dengan kontrak penjualan sebesar 3.000 ton/tahun. Dalam rangka meningkatkan pendapatan petani kopi telah diusahakan peningkatan usaha melalui kelompok-kelompok tani/koperasi dengan mengolah kopi biji menjadi produk akhir yaitu kopi bubuk (Tabel 17). Penguatan permodalan petani juga diperlukan antara lain untuk peningkatan skala usaha, peremajaan kebun dan perbaikan mutu hasil pertanian.
Untuk
meningkatkan pendapatan petani perkebunan Pemerintah Kabupaten Tanggamus membentuk 12 buah Unit Pengolahan Hasil (UPH) sabut kelapa. Selain itu juga terdapat kelompok tani pengelola komoditas kakao, yaitu Kelompok Tani Karya
89 Lestari di Desa (Pekon) Tanjung Siom Kecamatan Cukuh Balak, yang telah melaksanakan kemitraan dengan PT. Insan Permata (Jakarta) dalam hal pemasaran biji kakao. Kontrak penjualan antara kelompok dengan perusahaan tersebut adalah sebesar 60 ton/bulan. (Dishutbun Kabupaten Tanggamus, 2005). Kelembagaan pembinaan mutu juga perlu ditingkatkan. Perbaikan mutu akan memberikan keuntungan berupa peningkatan harga, perluasan pasar dan peningkatan daya saing.
Upaya ini dipengaruhi oleh aspek teknologi, biaya,
kapasitas usaha, keteramplan teknis petani, manajemen usahatani dan harga jual. Penguatan kelembagaan sangat perlu dilakukan antara lain karena kelemahan kelembagaan inilah yang melatarbelakangi permasalahan efisiensi pertanian baik dari hulu sampai hilir. Tabel 17 Daftar nama koperasi, kelompok tani/KUB yang mengolah kopi menjadi kopi bubuk dan telah memiliki izin SITU, dan Kesehatan Nama Kelompok Ketua Kelompok
Alamat
Jenis Usaha
Kopbun Mulya Suripto KUB. Mitra Mandiri Suwarno UP3HP Karya Bakti Mugi Raharjo KUB. Megang Jaya Ir. Amirudin Hamidi KUB. Tani Makmur Sukirman KUB. Tri Tunggal Sarijan KUB. Rukun Tani Suyanto KUB. Sumber Rejeki M. Sukur
Desa Tekad Kec Pulau Panggung Desa Way Illahan Kec.Pulau Panggung Desa Tekad Kec Pulau Panggung Desa Gunung Megang Kec Pulau Panggung Desa Talang Beringin Kec Pulau Panggung Desa Tanjung Rejo Kec Pulau Panggung Desa Sumber Mulyo Kec Sumberjo Desa Kebumen Sumberjo
Kopi Bubuk dan Saprotan Kopi Bubuk
Batu tegi
Kapasitas Produksi Per Bulan (Kg) 12,000
Lumpang
4,500
Kopi Bubuk
Gunung Rete
4,500
Kopi Bubuk
Sinar Bukit
4,500
Kopi Bubuk
Air Tejun
4,500
Kopi Bubuk
6.6
4,500
Kopi Bubuk
Gembok Mas
4,500
Kopi Bubuk
S.R
4,500
Jumlah Sumber: Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tanggamus, 2005
43,500
No
1 2 3 4 5 6 7 8
Merk/Cap
Permasalahan Berdasarkan diskusi analisa masalah dalam diskusi kelompok terfokus (FGD) yang dilakukan pada petani kopi, kakao, lada dan kelapa, maka permasalahan yang ada pada masing-masing usaha tani diuraikan sebagai berikut:
90 Kopi. Areal perkebunan kopi di Kabupaten tanggamus secara keseluruhan merupakan areal perkebunan kopi rakyat yang umumnya merupakan perkebunan skala kecil dan diusahakan dengan teknik budidaya secara tradisional.
Hal ini
menyebabkan produktivitas dan mutu kopi yang dihasilkan petani kopi masih tergolong rendah. Rendahnya produksi dan produktifitas tanaman kopi terjadi karena 4 (empat) masalah utama yaitu (a) kualitas tanaman rendah; (b) banyak tanaman tua; (c) serangan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT); dan (d) tanaman tidak dipupuk. Hasil penelitian menemukan bahwa sebagian besar petani menggunakan bibit lokal karena terbatasnya ketersediaan teknologi maju ditingkat petani dan tidak mampu mengadakan bibit unggul, baik dengan cara melakukan pembibitan sendiri maupun dengan cara membeli. Banyaknya tanaman tua mengakibatkan turunnya produksi dan produktifitas tanaman kopi. Petani di Kecamatan Pulau Panggung sebagian besar telah melakukan penyambungan kopi dengan klon unggul guna meningkatkan produksi dan produktifitas kopinya. Terbatasnya modal dan pengetahuan petani, mengakibatkan banyak petani tidak melakukan pemeliharaan tanaman dengan baik yang meliputi penyiangan, pemupukan, dan pengendalian hama penyakit. Hal itu mengakibatkan serangan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT), sehingga produksi dan produktifitas tanaman menurun. Rendahnya mutu hasil komoditi kopi disebabkan oleh dua masalah utama yaitu kegiatan pengolahan yang tidak sesuai dan dilakukannya petik muda. Masih banyak petani kopi yang menjual biji kopi dengan nilai cacat (defect count) yang tinggi dan kadar air yang tidak sesuai dengan persyaratan, dan yang paling sering terjadi cacat dalam cita rasa seperti bulukan/berjamur, rasa tanah, apek, rasa mentah, terkontaminasi rempah-rempah, atau bau karung goni.
Hingga saat ini
belum ada pihak swasta yang lain yang bekerjasama dengan petani kopi dalam hal pemasaran.
Selain dari kegiatan pengolahan yang tidak sesuai, dilakukannya
petik muda juga mengakibatkan mutu hasil komoditi perkebunan menjadi rendah. Petik muda biasanya terjadi diakibatkan faktor ekonomi petani yang tidak memiliki alternatif penghasilan lainnya.
91 Kakao. Masih banyak petani kakao dan lada yang menjual produknya dengan kadar air yang tidak sesuai persyaratan dan tidak difermentasi. Penyebab langsung dari permasalahan ini adalah karena masih banyak petani yang belum memiliki lantai jemur, dan UPH-UPH lain yang mendukung. Penyebab lain yang menjadi alasan petani tidak melakukan pengolahan yang sesuai dikarenakan tidak adanya penghargaan mutu atau harga tidak sesuai. Transportasi yang mahal juga menjadi kendala dalam pemasaran, hal ini terjadi antara lain dikarenakan infrastruktur yang jelek. Pihak Pemerintah Daerah Kabupaten Tanggamus belum dapat melakukan perbaikan jalan di seluruh wilayah kabupaten dikarenakan terbatasnya anggaran. Kelapa. Permasalahan yang dihadapi petani kelapa adalah menurunnya produksi yang disebabkan oleh umur tanaman yang sudah tua, disamping minimnya pemeliharaan seperti pemupukan dan pemberantasan hama dan penyakit. Menurut Bapak Slamet, petani kelapa dan ketua kelompok tani kendala yang dirasakan petani pada umumnya adalah masalah hama seperti bajing yang cukup mempengaruhi produksi, untuk tanaman muda hama yang sering menyerang adalah babi.
Selain itu petani juga merasakan kurang mendapat
bimbingan dari penyuluh atau petugas pertanian, hal ini disebabkan karena jumlah tenaga penyuluh masih sangat sedikit. Satu penyuluh memiliki wilayah binaan yang sangat luas sehingga tidak optimal.
Pemerintah Kabupaten telah
mengadakan program pengembangan kelapa dengan memberikan bantuan mesin pengolah sabut kelapa dan membantu mendirikan UPH kelapa namun UPH tersebut tidak berjalan karena kendala modal dan pemasaran Lada. Fluktuasi harga ditingkat petani lada kerap terjadi karena petani tidak mengetahui informasi harga terbaru sehingga hanya menerima harga yang ditetapkan oleh pedagang pengumpul. Kejadian ini karena petani tidak bermitra dan rantai pemasaran yang panjang.
Menurut Bapak Madi, petani kopi di
Datarajan Kecamatan Ulu Belu yang melakukan diversifikasi lada, rantai pemasaran tradisional yang cukup panjang turut mempengaruhi ketidakstabilan harga. Mata rantai pemasaran tradisional yang biasa dilalui yaitu dari petani kemudian ke pedagang pengumpul desa, pedagang pengumpul kecamatan, pedagang besar kabupaten selanjutnya ke eksportir, sehingga harga yang diterima
92 petani sangat rendah dan petani tidak memiliki bargaining position yang menyebabkan harga ditingkat petani sangat ditentukan oleh para tengkulak. Lemahnya kelembagaan petani ini diakibatkan oleh lemahnya SDM sehingga mereka tidak terdorong untuk bekerja sama (bermitra) guna meningkatkan posisi tawar dalam menentukan harga. Sampai saat ini jumlah yang sampai ke eksportir baru sebagian kecil. Namun untuk mengubah rantai pemasaran untuk komoditas perkebunan sangatlah sulit, menurut Bapak
Ir. Konstiyanto Kepala Bidang Perkebunan Dinas
Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tanggamus hal tersebut dikarenakan para eksportir hanya menerima hasil dalam jumlah besar (ton) sehingga tidak mungkin bagi para eksportir untuk menampung hasil langsung dari petani yang biasanya dalam jumlah kecil (kg) karena akan membutuhkan biaya operasional yang sangat tinggi. Komoditas perkebunan merupakan komoditas yang sebagian besar hasilnya digunakan pasar luar negeri atau eksport sehingga harga sangat dipengaruhi oleh pasar dunia. Untuk itu itu maka pemerintah daerah mendorong petani perkebunan untuk selalu mengikuti informasi harga,
saat ini petani kopi dan kakao di
Kabupaten Tanggamus bisa memantau harga melalui internet sehingga petani dapat mempertimbangkan untuk menjual atau menyimpan hasil panen sampai harga yang diinginkan. Selain itu untuk mengatasi permasalahan rendahnya posisi tawar petani
maka Pemerintah Kabupaten Tanggamus mengadakan program
peningkatan pasca panen yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas produk sehingga memenuhi grade yang sesuai standar baku mutu internasional. Dengan demikian masih memungkinkan adanya upaya menambah volume ekspor tersebut dengan melakukan sosialisasi kepada petani. Hal yang juga perlu diingat adalah bahwa perkebunan rakyat merupakan segmen terbesar pemasok kopi nasional, maka solusi atas masalah perbaikan kualitas baik di tingkat eksportir maupun di tingkat petani tanpa memberi perhatian pada upaya – upaya pembukaan pasar baik pasar nasional maupun pasar ekspor tidak akan memberikan hasil yang efektif. Berdasarkan diskusi analisa masalah yang dilakukan dalam diskusi kelompok terfokus (FGD), disimpulkan bahwa yang menjadi permasalah utama
93 yaitu rendahnya pendapatan petani merupakan isu sentral petani di Kabupaten Tanggamus. Ditemukan 4 hal yang secara langsung menyebabkan rendahnya pendapatan petani, yaitu (1) Produksi dan produktifitas per hektar rendah, (2) Mutu hasil rendah, (3) Transportasi mahal, dan (4) Fluktuasi harga. Keempat masalah ini disebabkan dan tidak dapat dilepaskan dari pengaruh sejumlah faktor penyebab lain yang berkaitan dengan usaha tani perkebunan rakyat. Matriks permasalahan dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Matriks permasalahan usahatani komoditas unggulan perkebunan di Kabupaten Tanggamus. Masalah Utama 1.Produktifitas per hektar rendah
Permasalahan tingkat 1 * kualitas tanaman yang dihasilkan rendah,
* tidak dilakukan pemupukan
Permasalahan tingkat 2 * Bibit yang digunakan adalah bibit asalan/cabutan
* SDM petani rendah
* modal petani yang kurang
* harga saprodi yang tinggi.
2. Mutu hasil rendah
* serangan organisme pengganggu tanaman * banyak tanaman tua (di atas 20 tahun) * proses pengolahan tidak tepat
* petik muda 3. Transportasi mahal 4. Fluktuasi harga tinggi
* infrastruktur penunjang pertanian masih sangat terbatas * kemitraan masih sangat terbatas * rantai pemasaran panjang * minimnya informasi pasar
* kurang melakukan pemeliharaan * tidak pernah dilakukan peremajaan * tidak memiliki lantai jemur * UPH terbatas * keengganan petani karena tidak ada perbedaan harga * Kebutuhan mendesak * Alasan keamanan * pembangunan prasarana jalan usaha tani masih kurang
Permasalahan tingkat 3 * kesadaran untuk menggunakan bibit unggull masih kurang * bibit yang berkualitas masih sulit didapat dan mahal * kurangnya pengetahuan petani * kurangnya pembinaan * pendapatan rendah * tidak adanya kemitraan atau bantuan pemerintah * tidak ada bantuan pemerintah atau subsidi * jaringan distribusi kurang * kurang modal * rendahnya pengetahuan petani * kurang modal * rendahnya pengetahuan petani * alokasi anggaran pemerintah daerah terbatas * tidak ada kemitraan
* alokasi anggaran pemerintah daerah terbatas
* lemahnya kelembagaan
* rendahnya SDM petani
* lemahnya kelembagaan
* Kurangnya pembinaan dari pemerintah daerah * Kurangnya pembinaan dari pemerintah daerah
* SDM petani rendah
94 Berdasarkan uraian permasalahan di atas maka dilakukan perumusan solusi pemecahan masalah Untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi petani perkebunan, kelompok diskusi mengusulkan kegiatan-kegiatan sebagai berikut: 1. Pelatihan bagi petani mencakup aspek teknis budidaya terutama
teknis
pembangunan kebun entris, teknis penyambungan, manajemen pengelolaan perkebunan, pengendalian
organisme pengganggu
tanaman, pelatihan
pengolahan hasil dan pelatihan pemberdayaan petani. 2. Pelatihan manajemen kelompok, pelatihan manajemen keuangan terutama tentang pengembalian kredit, pelatihan pengembangan kelembagaan dan usaha (manajemen perkoperasian). 3. Pembuatan kebun bibit sebagai sumber klon unggul didekat lokasi pertanaman, sehingga petani yang akan melakukan peremajaan dengan klon unggul dapat
lebih mudah memperoleh
bahan sambungan. Kebun bibit
hendaknya dikelola oleh kelompok tani dengan bimbingan penyuluh dari dinas. 4. Adanya pinjaman atau bantuan modal pinjaman kepada petani atau kelompok tani yang memiliki pengalaman, kemampuan teknis, dan berminat untuk melakukan penangkaran bibit. 5. Penyuluhan yang lebih intensif dan adanya kegiatan pengendalian organisme pengganggu tanaman yang terorganisir. 6. Adanya bantuan pemerintah untuk pengadaan kios tani di tingkat desa sebagai penyedia sarana produksi pertanian yang dikelola oleh kelompok tani. Arahan Pengembangan Komoditas Unggulan Perkebunan Mengingat
banyaknya
jenis
komoditas
perkebunan
di
Kabupaten
Tanggamus, maka dalam pengembangannya tidak mungkin dikembangkan seluruhnya tetapi perlu difokuskan. Oleh karena itu perlu tahapan-tahapan untuk merumuskan arahan pengembangan dengan mempertimbangkan: 1) peruntukan lahan / Rencana Tata Ruang dan Wilayah; 2) kesesuaian agroklimat berdasarkan evaluasi lahan; 3) potensi komoditas basis melalui analisis LQ; 4) nilai ekonomis melalui analisis finansial; serta 4) kondisi sosiologi masyarakat melalui analisis FGD. Matriks arahan disajikan pada Tabel 19.
Tabel 19. Matriks kriteria arahan pengembangan komoditas unggulan di Kabupaten Tanggamus No
Komoditas
1
2
1
Kopi
2.
Kakao
3.
Lada
4.
Kelapa * Kelapa butir
* kopra
* Gula kelapa
5.
Kelapa Sawit
6.
Karet
RTRW
Kesesuaian Lahan
3
4
Areal perkebunan Rakyat, Areal perkebunan Rakyat, Areal perkebunan Rakyat,
S3
Areal perkebunan Rakyat, Areal perkebunan Rakyat, Areal perkebunan Rakyat, Areal perkebunan Rakyat, lahan terlantar Areal perkebunan Rakyat, lahan terlantar
S2,S3
S2
S1, S2, S3
Keunggulan Komparatif (LQ)
Kelayakan finansial
Hasil FGD
Arahan Pemda
5
6
7
8
LQ >1( Ulu Belu, P Panggung, Pugung, Sumberejo) LQ >1(Kota agung, P sawa, Adiluwih, C balak, Kelumbayan) LQ >1(Semaka, Kotaagung, P panggung, Pugung)
NPV Rp 18.502.498 BC rasio 2,05 IRR 20% NPV Rp 30.829.258 BC rasio 3,4 IRR 29% NPV Rp 5.071.729 BC rasio 1,89 IRR 18%
Potensi 53.861 ha Produksi 33.527 ton/th, masalah: produktivitas rendah Potensi 13.294 ha Produksi 9.528 ton/th, masalah: produktivitas rendah Potensi 9.071 ha Produksi 3.087 ton/th, masalah: produktivitas rendah
Intensifikasi
LQ >1(Wonosobo, Semaka, Kotaagung, Talang padang, Sukoharjo, Adiluwih, Pringsewu, Gading rejo, Kelumbayan)
NPV Rp 3.666.635 BC rasio 3,77 IRR 14% NPV Rp 539.318 BC rasio 1,38 IRR 4% NPV Rp 32.146.316 BC rasio 4,7 IRR 33% NPV Rp 19.920.833 BC rasio 1,94 IRR 8%
masalah: produktivitas rendah
S2,S3
Pagelaran, Sukoharjo, Adiluwh, Banyumas
S2,S3
Pematang sawa Kelumbayan (4,46)
-
masalah: proses pengolahan cukup lama masalah: pemasaran, kurangnya permodalan Harga produk cukup tinggi dan stabil sehingga masyarakat tertarik untuk mengembangkannya Harga produk cukup tinggi dan stabil sehingga masyarakat tertarik untuk mengembangkannya
Intensifikasi dan Ektensifikasi Diversifikasi dengan kakao dan kopi, intensifikasi Divesifikasi dengan komoditas perkebunan lainnya, intensifikasi Divesifikasi dengan komoditas perkebunan lainnya, intensifikasi Divesifikasi dengan komoditas perkebunan lainnya, intensifikasi Ekstensifikasi
Ekstensifikasi
95
96 Rencana Pengembangan perkebunan harus memperhatikan peruntukan lahan atau rencana tata ruang yang ada. Peruntukan lahan perkebunan menurut RTRW Kabupaten Tanggamus adalah seluas 125.818,69 ha, merupakan peringkat kedua setelah hutan. Hutan menempati urutan pertama penggunaan lahan terbesar, yaitu hutan negara seluas 141.881 ha (Tabel 20).
Peta arahan
dibuat dengan melakukan overlay peta RTRW (Gambar 16), peta penggunaan lahan saat ini (Gambar 17), dan peta kesesuaian lahan komoditas unggulan (Gambar 9-14). Pengembangan
komoditas
unggulan
perkebunan
dilakukan
dengan
mempertimbangkan penggunaan lahan saat ini karena tidak semua wilayah berkembang sesuai dengan RTRW, semakin bertambahnya jumlah penduduk menyebabkan terjadinya perkembangan pemukiman dan alih fungsi lahan. Pengembangan
perkebunan
diarahkan
pada
areal
perkebunan
tersedia,
kemampuan lahan sesuai (S1, S2, dan S3), kemiringan lahan kurang dari 15 persen, serta tidak berada pada kawasan lindung. Lahan untuk pengembangan tersebut saat ini berupa tegalan, belukar dan hutan sosial yang belum dimanfaatkan secara optimal. Tabel 20. Peruntukan lahan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tanggamus No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Peruntukan Lahan Hutan Lindung Hutan Lindung Sosial Perkebunan Besar Perkebunan Rakyat Horikultura Dataran Rendah Hortikultura Dataran Tinggi Kawasan Pertambakan Kawasan Lahan Basah Pantai Berhutan Bakau TNBBS Jumlah
Luas (Ha)
(%)
104.198,30 26.588,74 5.193,39 125.818,70 5.294,09 2.605,16 4.799,09 56.371,29 361,35 9.473,62 340.046,92
30,58 7,80 1,52 36,93 1,55 0,76 1,41 16,55 0,11 2,78 100,00
Keterangan: Luas berdasarkan hitungan peta
Identifikasi potensi sumberdaya lahan melalui analisis kesesuaian lahan merupakan pertimbangan kesesuaian agroklimat. Berdasarkan analisis kesesuaian lahan Kabupaten Tanggamus mempunyai potensi keragaman agroklimat yang
104°31'00"
104°46'30"
105°2'00"
PETA RTRW KABUPATEN TANGGAMUS
5°13'30"
5°13'30"
KABUPATEN LAMPUNG TENGAH
#
Adiluwih Ngarip
Sukoharjo I
Tekad
#
#
#
Gumuk Mas Pringsewu
Margoyoso #
#
#
#
#
Rantau Tijang Talang Padang
#
5°29'00"
#
KABUPATEN LAMPUNG SELATAN
Putih Doh
K LU TE
N AT TE AR PA B BU NG KA PU M LA
Way Nipah
Pardasuka
5°29'00"
Tanjung Kurung # Kota Agung # % Sukaraja
#
Gadingrejo
#
G AN M SE KA
Napal
8
0
8
16
Kilometers LEGENDA # Ibukota Kecamatan % Ibukota Kabupaten Jalan Provinsi Jalan Kabupaten Jalan Kecamatan Sungai besar Sungai kecil Batas Administrasi Batas Kabupaten Peruntukan Lahan Hutan lindung Hutan lindung sosial Pantai berhutan bakau Kawasan lahan basah Kawasan pertambakan Hortikultura dataran tinggi Hortikultura dataran rendah Perkebunan besar Perkebunan rakyat Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Laut
5°44'30"
5°44'30"
#
Sumber: Bappeda Kabupaten Tanggamus Tahun 2003
SA
P. Tabuhan
UD M RA SI NE DO IN A
PS. PERENCANAAN WILAYAH IPB BOGOR 2007
104°31'00"
104°46'30"
105°2'00"
97
Gambar 16. Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tanggamus
104°31'00"
104°46'30"
105°2'00"
PETA PENGGUNAAN LAHAN SAAT INI KABUPATEN TANGGAMUS
5°13'30"
5°13'30"
KABUPATEN LAMPUNG TENGAH
#
Adiluwih Ngarip
#
#
Gumuk Mas Pringsewu #
Margoyoso #
#
#
Talang Padang
#
KABUPATEN LAMPUNG SELATAN
5°29'00"
5°29'00"
#
Gadingrejo
Pardasuka
8
16
Kilometers LEGENDA # ibukota kecamatan % Ibukota Kabupaten Jalan Provinsi Jalan Kabupaten Jalan Kecamatan Sungai besar Sungai kecil Batas Administrasi Batas Kabupaten
Penggunaan Lahan Hutan belukar Hutan lebat Kampung Kebun campuran Kebun sayuran Perkebunan rakyat Sawah 2x padi/tahun Tambak Tegalan Laut
Putih Doh
K LU TE
#
G AN M SE KA
N AT TE AR PA B BU NG KA PU M LA
#
#
Rantau Tijang
Tanjung Kurung # Kota Agung # % Sukaraja
Way Nipah
0
Sukoharjo I
Tekad
#
8
Napal #
5°44'30"
5°44'30"
SA
Sumber: BPN Kabupaten Tanggamus Tahun 2003
UD M
P. Tabuhan
RA SI NE DO IN A 104°46'30"
105°2'00"
PS. PERENCANAAN WILAYAH IPB BOGOR 2007
Gambar 17. Peta penggunaan lahan saat ini Kabupaten Tanggamus
98
104°31'00"
99 sesuai (S) untuk pengembangan komoditas kopi, kakao, lada dan kelapa oleh karena
itu
dalam
pengembangannya
perlu
mempertimbangkan
cakupan
penyebaran yang luas, sehingga secara optimal dapat memanfaatkan potensi atau kesesuaian agroklimat yang ada. Pertimbangan selanjutnya adalah keunggulan komparatif yang diperoleh melalui analisis LQ, berdasarkan analisis LQ komoditas Kopi, kakao, lada dan kelapa merupakan komoditas basis di Kabupaten Tanggamus. Setiap tempat atau wilayah mempunyai keunggulan tertentu karena kekhasannya (lokal spesifik). Komoditas yang akan dikembangkan merupakan komoditas spesifik tropis, sehingga diharapkan komoditas tersebut mampu bersaing dipasaran dalam negeri maupun internasional karena memiliki keunggulan komparatif disebabkan oleh kelimpahan dan kekhasan tropisnya. Selanjutnya Pertimbangan nilai ekonomis melalui analisis finansial. Pengembangan komoditas perkebunan tersebut harus mempunyai nilai ekonomis yang tinggi untuk memberikan nilai tambah bagi petani sehingga dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. Berdasarkan analisis BC rasio, NPV dan IRR yang dilakukan terhadap komoditas basis di Kabupaten Tanggamus maka komoditas kopi, kakao, lada dan kelapa layak untuk diusahakan, walaupun untuk komoditas kelapa butir, kopra dan kelapa sawit memiliki tingkat pengembalian suku bunga yang rendah. Namun demikian komoditas tersebut tetap menjadi arahan pengembangan karena komoditas tersebut memiliki harga jual dan serapan permintaan pasar tinggi sehingga memiliki keberlanjutan usahatani. Pertimbangan kondisi sosiologi masyarakat diperoleh melalui analisis FGD. Berdasarkan identifikasi yang dilakukan maka dapat diketahui potensi dan permasalahan dalam usaha tani kopi, kakao, lada dan kelapa yang digunakan dalam menyusun arahan pengembangan komoditas unggulan perkebunan di Kabupaten Tanggamus. Setelah dilakukan tahapan analisis di atas, maka arahan pengembangan untuk masing-masing komoditas yang menjadi unggulan di Kabupaten Tanggamus adalah sebagai berikut:
100 Arahan Pengembangan Kopi Kabupaten Tangamus merupakan penghasil kopi terbesar di propinsi Lampung, perkebunan kopi rakyat dapat ditemui di hampir semua kecamatan. Berdasarkan hasil analisis di atas dan arahan pemerintah daerah maka pengembangan kopi ditujukan untuk peningkatan produksi yang dilakukan dengan intensifikasi dan tidak diakukan perluasan areal. Berdasarkan hasil depth interview dengan Kasubdin Bina Program Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tangamus (Ir. FB Karjiyono) maka untuk komoditas kopi tidak dilakukan pengembangan lagi, melainkan hanya dilakukan rehabilitasi dan intensifikasi areal kopi yang ada. Hal ini disebabkan karena komoditas kopi dipandang sudah maksimal dan mengalami stagnasi, selain fluktuasi harga yang sangat tajam sehingga petani merasa terombang ambing dan sulit memprediksi harga.
Harga kopi sangat tergantung pada pasokan
internasional sehingga apabila terjadi over supply sedangkan tingkat konsumsi dunia cenderung stabil maka otomatis harga kopi jatuh. Intensifikasi kopi diarahkan pada Kecamatan Pulau Panggung, Ulu Belu, Talang Padang, Sumberejo yang merupakan penghasil kopi terbesar yang diharapkan mampu memenuhi permintaan kopi. Di lain pihak teknologi yang diterapkan petani kopi umumnya masih sangat sederhana, pengelolaan yang dilakukan baru berupa pengendalian gulma sedangkan pemupukan, pengendalian hama dan penyakit tidak dilakukan. Dengan demikian diperlukan upaya untuk meningkatkan produksi dan mutu kopi melalui penyuluhan, sekolah lapang dan program lainnya sehingga pendapatan petani kopi dapat meningkat. Selain itu ketersediaan pasar yang dapat menampung produksi petani perlu dikembangkan. Produksi kopi robusta Kabupaten Tanggamus yang berjumlah 33.578 ton pada Tahun 2005 masih memerlukan pasar yang dapat menampung produk petani, rendahnya mutu kopi menyebabkan sebagian besar hasil tidak memenuhi standar eksport sehingga ditampung untuk konsumsi lokal dengan harga yang jauh lebih rendah. Selanjutnya perlu diikuti dengan pengembangan industri pengolahan kopi. Arahan pengembangan kopi di Kabupaten Tanggamus disajikan pada Tabel 21. Peta arahan pengembangan kopi dapat dilihat pada Gambar 18.
Tabel 21. Arahan pengembangan komoditas unggulan perkebunan di Kabupaten Tanggamus No
Komoditas
1.
Kopi
2.
3.
Kakao
Lada
Luas (ha) eksisting (ha) 50.861,0
30.225,0
10.071,0
Ketersediaan (ha) -
10.450
6.054
4.
Kelapa
20.708,0
20.145
5.
Kelapa Sawit
903,95
9.864,0
Lokasi Ulu Belu, P Panggung, Pugung, Sumberejo (Areal perkebunan kopi rakyat eksisting) Kota agung, P sawa, Adiluwih, C balak, Kelumbayan (Areal perk. Kakao rakyat eksisting) Semaka, Kotaagung, P. panggung, Pugung (Areal perk. Lada rakyat eksisting) Seluruh Kecamatan
- Peningkatan produktifitas - Pemberdayaan dan pengemb.pasar - Peningkatan Mutu dan penanganan pasca panen - Peningkatan produktifitas - Pemberdayaan pasar - Peningkatan penanganan pascapanen - Peningkatan produktifitas - Peningkatan Mutu - Pemberdayaan pasar - Peningkatan produktifitas - Peningkatan Skala usaha, - Peningkatan produksi - Peningkatan mutu CPO
- Peningkatan produksi - Pemberdayaan pasar - Pembangunan infrastruktur
Strategi - Peremajaan kebun, pemakaian bibit unggul, diversifikasi dengan lada, peningkatan manajemen usahatani - Sistem kontrak, sistem lelang, peningkatan informasi pasar - Perbaikan mutu petik, perbaikan teknik pengeringan, diversifikasi produk olahan (kopi bubuk) - Peremajaan kebun, pemakaian bibit unggul, diversifikasi dengan lada, peningkatan manajemen usahatani - Peningkatan Pengetahuan tentang standar mutu dan informasi pasar - Perbaikan teknik pengeringan dan fermentasi - Diversifikasi, pemakaian bibit unggul,peningkatan pemeliharaan - Perbaikan teknik pengeringan dan penyimpanan, perbaikan manajemen usahatani - Sistem kontrak, sistem lelang - Peremajaan, peningatan pemeliharaan, diversisifikasi dengan tanaman pangan - Penguatan modal, diversifikasi pengolahan produk turunan - Ekstensifikasi, diversifikasi dengan ternak, - Pengembangan Infrastruktur untuk memperpendek jarak antara kebun dan pabrik - Ekstensifikasi, diversifikasi dengan ternak - Memberdayakan pasar lelang karet - Pembuatan jalan usahatani
101
Pagelaran, Sukoharjo, Adiluwh, Banyumas 6. Karet 11.450 Ulu Belu, P. Panggung, Pagelaran, Pardasuka, Adiluwih, Sukoharjo Keterangan: Luas berdasarkan hitungan peta
Program
104°31'00"
104°46'30"
105°2'00"
PETA ARAHAN PENGEMBANGAN KOMODITAS UNGGULAN PERKEBUNAN
KABUPATEN LAMPUNG TENGAH
5°13'30"
5°13'30"
8
#
Adiluwih Sukoharjo I
Tekad
#
#
#
#
#
#
Talang PadangRantau Tijang
5°29'00"
Pardasuka #
KABUPATEN LAMPUNG SELATAN
Warna
Keterangan Warna Arahan Ekstensifikasi Karet Arahan Ekstensifikasi Sawit Areal perkebunan lada rakyat Areal perkebunan kelapa rakyat Areal intensifikasi, diversifikasi dan ekstensifikasi kakao Arahan intensifikasi kopi
K LU TE G AN M SE
N AT TE AR PA B BU NG KA PU M LA
Napal
5°44'30"
KA
#
Hutan lindung Hutan lindung sosial Pantai berhutan bakau Kawasan lahan basah Kawasan pertambakan Hortikultura dataran tinggi Hortikultura dataran rendah Perkebunan besar Perkebunan rakyat Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Laut
SA UD M RA SI NE DO IN A
104°46'30"
11.450,00 9.864,00 10.071,00 20.708,00 30.225,00 50.861,00 104.198,00 26.588,74 361,35 56.371,29 4.799,09 2.605,16 5.294,09 5.193,39 125.818,70 9.473,00
Sumber: - Puslittanak Bogor tahun 1990 - Bappeda Kabupaten Tanggamus
P. Tabuhan
104°31'00"
Luas
Peruntukan Lahan
#
#
Sungai besar Sungai kecil Batas Administrasi Batas Kabupaten
Arahan Pengembangan
Putih Doh
Way Nipah
5°44'30"
#
Gadingrejo
5°29'00"
Tanjung Kurung # Kota Agung # % Sukaraja
ibukota kecamatan Jalan Provinsi Jalan Kabupaten Jalan Kecamatan
Gumuk Mas Pringsewu #
Margoyoso
16
Kilometers
% Ibukota Kabupaten
#
8
LEGENDA #
Ngarip
0
105°2'00"
PS. PERENCANAAN WILAYAH INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
102
Gambar 18. Peta arahan pengembangan komoditas unggulan perkebunan
103 Arahan Pengembangan Kakao Arahan pengembangan komoditas kakao di Kabupaten Tanggamus adalah dengan perluasan, rehabilitasi dan intensifikasi. Perluasan dilakukan pada areal yang masih tersedia dan memiliki kelas kesesuaian lahan sesuai untuk tanaman kakao. Rehabilitasi dan Intensifikasi dilakukan pada areal eksisting perkebunan kakao rakyat yang ada saat ini yaitu di Kecamatan Kota Agung, Pematang Sawa, Adiluwih, Cukuh Balak dan Kelumbayan. Arahan pengembangan kakao dan Peta arahan pengembangan kakao dapat dilihat pada Tabel 21 dan Gambar 18. Harga kakao relatif stabil karena kebutuhan industri berbahan baku kakao lebih banyak sehingga permintaan akan kakao juga lebih tinggi.
Alasan lain yang
menyebabkan tingginya minat petani untuk menanam kakao adalah sifat panen tidak musiman.
Pemanenan kakao dilakukan secara mingguan sehingga
menjamin pendapatan petani untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Komoditas kakao di Kabupaten Tanggamus banyak ditanam sebagai tanaman sela diantara tanaman kelapa atau ditumpangsarikan dengan lada, perawatan yang dilakukan sebagian besar masih secara tradisional, sehingga produktivitasnya tidak maksimal.
Upaya peningkatan produksi harus diupayakan karena
permintaan terhadap biji kakao sangat tinggi. Seperti diketahui produk olahan yang memerlukan kakao sebagai bahan dasar relatif lebih banyak dibanding komoditas perkebunan lainnya, yaitu antara lain lemak coklat (cocoa butler), bubuk coklat (cocoa powder), pasta coklat (cocoa paste) serta coklat olahan lainnya, sehingga peluang pasar untuk menampung produksi petani masih sangat tinggi. Selain
upaya
peningkatan
produksi
melalui
perbaikan
budidaya,
peningkatan sarana transportasi juga sangat penting dilakukan, dengan meningkatnya akses ke sentra – sentra kakao akan memperlancar pengangkutan produk bahkan akan mengundang penampung-penampung besar atau eksportir untuk langsung datang karena lokasi mudah dicapai. Perbaikan infrastruktur juga diharapkan akan mendorong program pengembangan komoditas unggulan. Semakin tinggi tingkat pelayanan sosial ekonomi dan ketersediaan infrastruktur, makin tinggi minat investor untuk menanamkan modalnya.
104 Arahan Pengembangan Kelapa Arahan pengembangan komoditas kelapa di Kabupaten Tanggamus adalah dengan diversifikasi dan intensifikasi. Diversifikasi dilakukan dengan komoditas perkebunan lainnya. Intensifikasi dilakukan pada areal eksisting perkebunan kakao kelapa yang ada saat ini yaitu di Kecamatan Wonosobo, Semaka, Kota Agung, Talang Padang, Sukoharjo, Pringsewu, Adiluwih, Gadingrejo dan Kelumbayan. Arah pengembangan komoditas kelapa dapat dilihat pada Tabel 21. Secara umum kelapa memiliki areal terluas di Kabupaten Tanggamus dan penyebarannya dapat ditemui hampir diseluruh kecamatan. Kecamatan Kotaagung memiliki produktivitas tertinggi karena wilayah tersebut merupakan daerah pantai yag sangat cocok untuk pertumbuhan kelapa lokal.
Wilayah pengembangan
kelapa prioritas pemerintah daerah adalah Kecamatan Wonosobo, karena kecamatan tersebut memiliki kesesuaian lahan untuk pengembangan kelapa dan mempunyai nilai LQ>1. Wilayah Sukoharjo, Gadingrejo, dan Adiluwih walaupun memiliki luas areal yang tinggi namun produktivitasnya relatif rendah karena kelapa merupakan tanaman sela untuk kakao. Sebagian masyarakat yang lebih mementingkan pemeliharaan kakao menyebabkan produksi kelapa kurang selain faktor kesuburan tanah yang berbeda dengan Kecamatan Kota Agung.
Peta
arahan pengembangan kelapa dapat dilihat pada Gambar 18. Tanaman kelapa yang ada dikabupaten Tangamus pada umumnya merupakan tanaman tua (di atas 20 tahun), dengan pemeliharaan yang konvensional sehingga kondisi saat ini produktifitasnya semakin menurun. Upaya peremajaan dilakukan dengan menggunakan bibit cabutan yang berasal dari kebun sendiri. Pengolahan pasca panen yang dilakukan sebagian petani secara umum baru berupa pembuatan kelapa kopra, gula kelapa, dan kelapa butiran sedangkan pengolahan menjadi produk olahan lain adalah arang tempurung (charcoal), nata de coco dan VCO. Hal ini disebabkan selain karena rendahnya pengetahuan petani juga keterbatasan modal yang dimiliki. Untuk memproduksi
produk
turunan kelapa memerlukan modal yang tidak sedikit, karena itu pendampingan petani melalui penyuluhan mengenai teknik-teknik pengelolaan pascapanen dan bantuan penguatan modal untuk kelompok tani masih sangat diperlukan.
105 Arahan Pengembangan Lada Arahan
pengembangan
lada adalah
dengan
melakukan
penanaman
diversifikasi lada dengan tanaman perkebunan lainnya (kopi, kakao, kelapa). minimal 10 %, sehingga tidak ada pertanaman lada monokultur. Pengembangan lada dilakukan untuk menambah pendapatan petani sehingga sangat dianjurkan untuk melakukan diversifikasi.
Permasalahan pada budidaya lada terutama
produksinya yang masih rendah, disebabkan penyakit busuk pangkal batang yang pengendaliannya sangat sulit, karena letaknya didalam tanah sehingga seringkali tanaman tiba-tiba mati karena terlambat dideteksi, selain itu fluktuasi harga yang sangat tinggi sehingga menimbulkan keengganan petani untuk mengusahakannya. Upaya pemerintah daerah untuk mengembangkan dan meningkatkan produktivitas lada perlu dilakukan mengingat Tanggamus memiliki lahan yang sesuai untuk pertumbuhan lada. Pewilayahan lada diharapkan dapat menjadikan Tanggamus yang secara historis merupakan penghasil lada dapat kembali menjadi sentra. Peta arahan pengembangan lada disajikan pada Gambar 18. Arahan Pengembangan Kelapa Sawit dan Karet Komoditas kelapa sawit dan karet merupakan komoditas yang baru dikembangkan di Kabupaten Tanggamus, pengembangan komoditas ini diarahkan untuk memanfaatkan lahan-lahan perkebunan kurang subur yang banyak tidak dimanfaatkan oleh masyarakat. Arahan pengembangan komoditas kelapa sawit yang dilakukan pemerintah daerah saat ini adalah di wilayah Kecamatan Pagelaran, Sukoharjo, Adiluwih dan Banyumas. Lokasi arahan pengembangan kelapa sawit dan karet dapat dilihat pada Tabel 21, peta arahan kelapa sawit dan karet disajikan pada Gambar 18. Kelapa sawit dipilih oleh Pemerintah Daerah untuk dikembangkan di Kabupaten Tanggamus karena Kabupaten Tanggamus memiliki kesesuaian lahan untuk tanaman kelapa sawit, harga Crude Palm Oil (CPO) cukup tinggi dan stabil dipasaran serta adanya kemitraan dengan PTPN VII yang menjamin pemasaran sawit rakyat. Komoditas karet diarahkan untuk dikembangkan di Kabupaten Tanggamus karena harganya tinggi, pemasarannnya mudah dan banyak penampung dari perusahaan swasta (contoh: PT. Garuntang) yang bersedia
106 menerima karet petani. Selain itu pemanenan karet yang tidak bersifat musiman tetapi harian dapat membantu petani memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dukungan Pemerintah Kabupaten Tanggamus dalam pengembangan perkebunan dilakukan dengan adanya kebijakan-kebijakan di bidang perkebunan antara lain dengan mengadakan MOU dengan PTPN VII dan Pusat Penelitian Koka Jember yaitu mengadakan kemitraan petani kelapa sawit dan kakao dalam rangka pengembangan komoditas perkebunan. Untuk karet direncanakan akan dilakukan kerjasama dengan Pusat Penelitian Karet Sembawa. Berdasarkan uraian diatas maka pengembangan komoditas perkebunan perlu dilakukan oleh pemerintah kabupaten. Produksi yang rendah menunjukkan bahwa usaha intensifikasi dan rehabilitasi masih kurang dilaksanakan. Perluasan areal juga sangat kurang walaupun terjadi peningkatan areal tanaman muda. Peningkatan terjadi karena penambahan tanaman muda berada dalam areal yang sudah ada bukan menambah lahan baru, sehingga lebih bersifat peremajaan. Potensi perkebunan berupa lahan perkebunan yang belum dimanfaatkan, produktivitas petani yang perlu ditingkatkan serta kondisi sosial ekonomi merupakan sasaran pengembangan perkebunan di Kabupaten Tanggamus. Strategi Pengembangan Komoditas Unggulan Perkebunan Agar tujuan pengembangan komoditas unggulan dapat tercapai perlu dibuat strategi untuk mencapainya.
Strategi pengembangan perkebunan yang perlu
dilakukan oleh pemerintah daerah adalah dengan melakukan kebijakan secara integral antara pengembangan subsektor perkebunan yang berbasis komoditas unggulan dan pengembangan sentra produksi dan sentra industri yang berbasis potensi kecamatan. Pemerintah perlu melaksanakan peningkatan produktivitas petani antara lain melalui pengembangan sumberdaya manusia pertanian, peningkatan produksi, pengembangan infrastruktur penunjang pertanian dan perbaikan pengolahan hasil dan pemasaran. Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian Pengembangan sumber daya manusia pertanian dilakukan dengan melakukan pemberdayaan petani. Pemberdayaan petani (masyarakat) diartikan sebagai upaya meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam perencanaan,
107 pelaksanaan, dan kepemilikan dari prasarana dan sarana yang dibangun. Upayaupaya yang perlu dilakukan untuk memobilisasi masyarakat dan keluarga serta memberdayakan masyarakat dalam kaitannya dengan pengembangan perkebunan. Upaya ini antara lain melalui berbagai pelatihan, pendampingan dan berbagai kegiatan pengembangan kemampuan lainnya yang berhubungan dengan pembangunan perkebunan rakyat berkelanjutan mulai dari penjajagan masalah, perencanaan, pelaksanaan, operasi dan pemeliharaan serta pengembangan lebih lanjut guna mencapai kesinambungan. Pelatihan petani dilakukan baik teknis maupun non teknis. Pelatihan teknis tersebut dapat berupa; (1) pelatihan pembangunan kebun entris; (2) pelatihan pengenalan jenis klon; (3) pelatihan penyambungan; (4) pelatihan budidaya; (5) pelatihan pengendalian hama dan penyakit; (6) pelatihan pengolahan hasil; (7) pelatihan pengolahan hasil perkebunan; dan (8) pelatihan teknis keuangan dan lain sebagainya. Pelatihan petani non teknis (farmer empowerment) meliputi beberapa tahapan yaitu; (1) pelatihan penumbuhan kebersamaan petani (dinamika kelompok); (2) pelatihan penguatan kelembagaan petani; dan (3) pelatihan pengembangan kelembagaan dan usaha (management perkoperasian) Kegiatan pelatihan petani diperlukan untuk meningkatkan SDM petani dengan pemberian materi yang cukup beragam.
Hasil yang diharapkan dari
kegiatan ini adalah peningkatan kualitas SDM petani secara individu yang mecakup aspek kognisi, afeksi, keterampilan baik dibidang kerjasama, manajemen kegiatan on farm dan off farm maupun teknis budidaya. Peningkatan Produktivitas Strategi peningkatan produktivitas ditekankan pada aspek budidaya dengan rencana intensifikasi yang meliputi rehabilitasi perkebunan rakyat dan diversifikasi usahatani serta rencana ekstensifikasi atau perluasan areal. Intensifikasi dilaksanakan pada sentra-sentra produksi. ekstensifikasi,
perlu
adanya
investasi
swasta
dan
Untuk rencana kemitraan
dengan
petani/masyarakat. Kegiatan rehabilitasi perkebunan rakyat, harus didasarkan pada kebutuhan riil masyarakat setempat dan akan memberikan pilihan yang diinformasikan (Informed Choice) kepada masyarakat. Pilihan yang diinformasikan tersebut
108 menyangkut seluruh aspek peningkatan produktivitas perkebunan rakyat termasuk sarana dan pilihan teknologi baru pengolahan komoditi yang mencakup aspek teknologi, pembiayaan, lingkungan, sosial dan budaya serta kelembagaan pengelolaan. Rehabilitasi perkebunan rakyat dilakukan dengan melakukan peremajaan pada tanaman yang sudah tua. Peremajaan/rehabilitasi pada tanaman kopi dilakukan dengan melakukan
pangkasan peremajaan (rejuvinasi) yaitu suatu
proses untuk membuat kebun kopi yang sudah tua atau yang tidak produktif menjadi muda kembali tanpa disertai penebangan dan penanaman baru. Batang pohon pelindung kopi berupa tanaman dadap dapat dimanfaatkan untuk tiang pemanjat tanaman lada, dengan demikian petani kopi mendapat penghasilan tambahan dari tanaman lada. Klonalisasi tanaman kakao dewasa atau yang telah berusia lanjut dilakukan dengan cara sambungan celah samping atau okulasi (mature budding). Pelaksanaan penyambungan dilakukan secara bertahap / selektif, sehingga sebelum hasil sambungan berbuah petani masih mendapat hasil dari tanaman yang belum disambung. Sebagai pelindung tetap kakao disarankan tanaman kelapa, bila tanaman kelapa belum cukup tinggi dapat ditanam pelindung sementara seperti pisang. Pemeliharaan tanaman juga sangat perlu dilakukan, berupa penyiangan, pemupukan dan pengendalian hama dan penyakit. Pengendalian hama penyakit hendaknya
menerapkan
prinsip
pengendalian
terpadu
(Integrated
Pest
Management / IPM). Diversifikasi usaha tani dapat berupa penanaman tanaman diversifikasi diantara tanaman utama dan pemeliharaan ternak. Pemilihan jenis tanaman diversifikasi haruslah mempertimbangkan kesesuaian lahan dan iklim serta tersedia pasar dari produk yang dihasilkannya. Disamping tanaman semusim dapat juga ditanam tanaman keras seperti tanaman lada. Diversifikasi sistem usahatani dengan komoditi utama akan meningkatkan pemanfaatan sumberdaya manusia atau peningkatan pemintaan akan tenaga kerja upahan, sehingga rumah tangga buruh tani mendapat peluang kerja dengan program diversifikasi usahatani.
109 Pengembangan Infrastruktur Penunjang Pertanian Sarana dan prasaran yang memadai merupakan pendukung utama pengembangan perkebunan.
Kegiatan pengembangan sarana dan prasarana
perkebunan meliputi perbaikan sistem pemasaran dan pembangunan sarana dan prasarana fisik Peningkatan infrastruktur juga akan meningkatkan kelembagaan petani. Infrastruktur yang baik akan memperlancar transportasi, mengurangi biaya transport, sehingga berdampak positif pada turunnya biaya produksi. Komponen kegiatan prasarana fisik yang dibangun berupa prasarana transportasi darat, yaitu jalan dan jembatan. Perbaikan dan pembangunan jaringan jalan akan memudahkan mobilisasi masyarakat dan memudahkan pengangkutan saprotan dan hasil panen selain itu akan membuka akses yang diharapkan akan meningkatkan perekonomian desa. Pembangunan jalan diprioritaskan pada jalan desa yang menghubungkan daerah sentra produksi dengan kota atau pusat distribusi. Peningkatan
kegiatan
off-farm
membutuhkan
upaya
peningkatan
infrastruktur fasilitas perekonomian dan pengadaan sarana produksi pertanian. Peranan dan investasi pemerintah sangat diperlukan dalam penyediaan infrastruktur
penunjang
pertanian
terutama
jalan
usahatani
sehingga
memperlancar kegiatan usahatani dan mendorong peningkatan produksi. Perbaikan Pengolahan Hasil dan Pemasaran Secara internal yang perlu dilakukan untuk pengolahan hasil yang baik adalah penyadaran bahwa pendapatan yang baik dapat diperoleh dengan menghasilkan bahan olahan yang baik dan secara eksternal harus dijamin bahwa terdapat perbedaan penghargaan terhadap bahan olahan yang bermutu baik dengan yang jelek. Pengolahan hasil di tingkat petani untuk memperoleh bahan olah membutuhkan ketrampilan dan penguasaan teknis petani, sehingga diperlukan pelatihan pengolahan pasca panen serta pentingnya pelatihan enterpreneurship bagi petani untuk membangun jiwa kewirausahaan. Perbaikan mutu hasil perkebunan yang perlu mendapat prioritas adalah panen masak dan pengeringan. Pengeringan atau penjemuran hendaknya
110 menggunakan lantai penjemuran atau menggunakan tikar. Dalam rangka peningkatan pendapatan petani perlu dikembangkan diversifikasi produk. Selain itu petani juga dapat melakukan pemasaran bersama atau melakukan kemitraan guna meningkatkan posisi tawar sehingga dapat mengendalikan harga pasar dan tidak dipermainkan oleh pedagang pengumpul atau tengkulak. Langkah penganekaragaman produk juga dapat dilakukan tetapi harus disertai dengan pendampingan oleh ahli yang benar-benar dapat membantu petani untuk memasarkan hasil Kegagalan pemasaran seringkali menyebabkan semangat untuk mengolah menjadi lemah. Perbaikan sistem pemasaran hasil pertanian rakyat hanya mungkin dilakukan antara lain dengan meningkatkan posisi tawar petani dengan meniadakan pemasaran oleh petani secara individu dan menggantikan dengan pemasaran secara bersama. Mekanisme ini akan memperkuat kelembagaan dan posisi petani dalam menentukan harga jual bahan baku dari petani. Kebijakan ini juga dapat
memperpendek rantai pemasaran. Program pemberdayaan ini
diharapkan mampu meningkatkan kebersamaan berkelompok yang akhirnya mampu membentuk koperasi berdasarkan kemauan mereka sendiri. Alternatif lainnya adalah dengan membangun pasar lelang bahan baku hasil-hasil perkebunan. Pasar lelang khusus bahan baku disediakan oleh pemerintah daerah agar dapat mempengaruhi harga sekitar wilayah petani dan dapat digunakan untuk melakukan pengujian terhadap mutu produk petani. Penyediaan informasi pasar juga penting dalam pengembangan pasar lelang ini.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Kabupaten Tanggamus memiliki kelas kesesuaian lahan mayoritas sesuai (S2) untuk komoditas lada 113.156 Ha (33,27%) dan kelapa sawit 61.597,76 Ha (18,8%) dan mayoritas kelas sesuai bersyarat (S3) untuk komoditas kopi 124.642 Ha (36,7%), kakao 144.943 Ha (42,62%), kelapa 175.856 Ha (51,72%) dan karet 141.364,79 Ha (41,57%). 2. Hasil analisis LQ menunjukkan komoditas kopi, kakao, kelapa dan lada merupakan komoditas basis (LQ>1) yang mempunyai keunggulan komparatif dari sisi penawaran dan menggambarkan pemusatan perkebunan kopi, kakao, kelapa dan lada di Kabupaten Tanggamus. 3. Hasil analisis finansial terhadap lima komoditas basis di Kabupaten Tanggamus menunjukan usahatani gula kelapa memiliki nilai manfaat paling tinggi yaitu 4,70, diikuti kelapa butir 3,77, kakao 3,40, kopi 2,05, kelapa sawit 1,94, lada 1,89 dan kopra 1,38, sehingga disimpulkan usahatani masih menguntungkan untuk dilakukan. 4. Berdasarkan hasil analisa masalah yang dilakukan dalam diskusi kelompok terfokus (FGD), disimpulkan bahwa yang menjadi permasalah utama yaitu rendahnya pendapatan petani merupakan isu sentral petani di Kabupaten Tanggamus. Ditemukan 4 hal yang secara langsung menyebabkan rendahnya pendapatan petani, yaitu (1) Produksi dan produktifitas rendah, (2) Mutu hasil rendah, (3) Transportasi mahal, dan (4) Fluktuasi harga. 5. Arahan pengembangan untuk komoditas kopi adalah melalui intensifikasi di Kecamatan Pulau Panggung, Ulu Belu, Talang Padang,
dan Sumberejo.
Arahan untuk kakao adalah perluasan, rehabilitasi dan intensifikasi di Kecamatan Kota Agung, Pematang Sawa, Adiluwih, Cukuh Balak dan Kelumbayan. Arahan untuk lada adalah diversifikasi dengan tanaman perkebunan
lainnya.
Arahan
diversifikasi dan intensifikasi di
pengembangan
kelapa
adalah
dengan
Kecamatan Wonosobo, Semaka, Kota
Agung, Talang Padang, Sukoharjo, Pringsewu, Adiluwih, Gadingrejo dan
112 Kelumbayan. Arahan kelapa sawit dan karet adalah ekstensifikasi di wilayah Kecamatan Pagelaran, Sukoharjo, Adiluwih dan Banyumas. 6. Strategi pengembangan komoditas perkebunan adalah dengan meningkatkan produktivitas petani antara lain melalui pengembangan sumberdaya manusia pertanian, peningkatan produksi, pengembangan infrastruktur penunjang pertanian dan perbaikan pengolahan hasil dan pemasaran Saran 1. Perlu dilakukan pengembangan sub sektor perkebunan berdasarkan potensi wilayah yang dimiliki. 2. Perlu kebijakan pemerintah dalam pemafaatan sumberdaya lahan pertanian dengan pemberian fasilitas serta peningkatan sumberdaya petani. 3. Peranan dan investasi pemeritah sangat diperlukan dalam penyediaan inftastruktur penunjang pertanian.
113
| Lahan-lahan di Kabupaten Tanggamus memiliki kelas kesesuaian lahan untuk tanaman kopi yaitu S2 19.192 Ha (5,7%), S3 124.642 Ha (36,7%), N 184.682 (54,3%), tanaman kakao yaitu S1 4.118 Ha (1,21%), S2 22.081 Ha (6,49%), S3 144.943 Ha (42,62%), N 157,37 Ha (46,28%), untuk tanaman lada yaitu S1 7.007 Ha (2,06), S2 113.156 Ha (33,27%), S3 70.148 (20,63%), N 138.206 (40,64%), untuk tanaman kelapa yaitu S2 126.830 Ha (37 %), S3 175.856 Ha (51,72%), dan N 25,8 Ha (7,6%).
LAMPIRAN
DAFTAR PUSTAKA
Ali WZ. 1998. Petunjuk Teknis Sistem dan Panduan Sentra Pengembangan Komoditas Unggulan (SPAKU). Forum Komunikasi Pengembangan Agribisnis Kabupaten Lampung Selatan. Kalianda. Dinas Pertanian Kabupaten Lampung Selatan Anonymous. 1995. Visi Pertanian Abad 21. Pengembangan Pertanian.
Jakarta: Balai Penelitian dan
Andriyanti R. 2005. Analisis Kinerja Kelembagaan Kemitraan Dalam Upaya Peningkatan Mutu Kopi: Studi Kasus di Desa Ngarip Kecamatan Ulu Belu Provinsi Lampung [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian. Bogor. Aronoff, S. 1993. Geographic Information System: A Management Perspective. Ottawa: WDL Publications. Arsyad, Lincolin. 1999. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah. Yogyakarta : PT. BPFE . Barus B, Wiradisastra US. 2000. Sistem Informasi Geografi. Laboratorium Penginderaan Jauh dan Kartografi. Bogor: IPB. [BPTP] Badan Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 2003. Panduan Umum: Pelaksanaan Pengkajian serta Program Informasi, Komunikasi dan Diseminasi di BPTP. Jakarta: BPTP. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Tanggamus. 2006. Tanggamus Dalam Angka. Kotaagung: BPS. [Balittan] Balai Penelitian Tanah. 2003. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian. Jakarta: Deptan. [Bappeda] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Tanggamus. 2005. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tanggamus 2005-2015. Kotaagung: Bappeda. [Bappeda] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Tanggamus. 2006. Kerangka Acuan Kerja Kabupaten Tanggamus. Kotaagung: Bappeda. Danoedoro P. 1996. Pengelolaan Data Digital – Teori dan Aplikasinya dalam Bidang Penginderaan Jauh. Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM.
114 D’haeze D, Deckers J, Raes D, Phong TA dan Loi HV. 2005. Environmental and Socio-economic Impacts of Institusional reforms on The Agricltural Sector of Vietnam Land Suitability Assessment for Robusta Coffe in The Dak Gan Region. Journal of Agriculture, Ecosystems and Environment 105: 59-76. www.sciencedirect.com [24 Mei 2004]. [Dirjenbun] Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. 1994. Rencana Pembangunan Lima Tahun keenam (Repelita VI) Subsektor Perkebunan (1994/1995 – 1998/1999). Jakarta; Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. [Dirjen PU] Direktorat Jenderal Pekerjaan Umum. 2007. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Jakarta: Direktorat Jenderal Penataan Ruang. [Dishutbun] Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tanggamus. 2006. Luas Areal dan Produksi Perkebunan Kabupaten Tanggamus. Kotaagung: Dishutbun. Djaenudin D, Marwan H, Mulyani A, Subagyo H dan Suharta N. 2000. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Pertanian. Versi 3,0. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Litbang Pertanian, Deptan. Djaenudin D, Marwan H, Subagjo H, Hidayat.. 2003. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian. Edisi ke-1. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Litbang Pertanian. Deptan Drajat BTS. 2003. Kinerja Subsektor Perkebunan: Evaluasi Masa Lalu (1994 – 1998) dan Prospek Pada Era Perdagangan Beras Dunia (2003-2008). [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. [FAO] Foundation Agriculture Organization. 1976. A Frame Work Of Land Evaluation. FAO Soil Bulletin No 6. Rome. Gittingger JP 1982. Ekonomic Analysis of agricultural projects. Second Edition. Jakarta: UI Press-John Hopkins University Press, Haeruman H. 2000. Keterpaduan pengembangan wilayah integrasi program pengembangan kawasan sentra produksi, kawasan pengembangan ekonomi terpadu, kawasan tertinggal. Lokakarya Mencari Format Baru Pengembangan KTI dalam Era Otonomi Daerah. Jakarta: 23−24 November 2000. Hardjowigeno S dan Widiatmaka. 2001. Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tata Guna Tanah. Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan Bogor: IPB.
115 Hendayana R. 2003. Aplikasi Metode Location Quotient (LQ) dalam Penentuan Komoditas Unggulan Nasional. Jurnal Informatika Pertanian 12 [Desember 2003]. Jansen HGP. 2005. An Interdisiplinary approach to Regional Land Use Analysis Using GIS, with applications to the atlanic Zone of Costa Rica. Journal of Agricultural Economics 32: 87- 104. Jhingan. 2004. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Lioubimtseva E dan Defourny P. 1999. GIS-Based Landscape Clasification and Mapping of European Russian. Landscape Urban and Planning 44:63-75. Monde A. 2007 Dinamika Erosi, Kualitas Tanah dan Pendapatan Petani Akibat Alih Guna Lahan Hutan Menjadi Lahan Pertanian dan Agroforestri di DAS Nopu Sulawesi Tengah. [Draft Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Nasution LI. 1997. Prinsip Perencanaan Ekonomi Regional dan Pedesaan. Bahan Kuliah Ilmu Perencanaan Wilayah dan Pedesaan. Bogor; Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Nugroho I dan Dahuri R. 2004. Pembangunan Wilayah : Perspektif Ekonomi, Sosial dan Lingkungan. Jakarta : LP3ES. [Pemda] Pemerintah Daerah Kabupaten Tanggamus. 2005. Sub Project Appraisal Report (SPAR) Percepatan Peningkatan Produktivitas Tanaman Perkebunan. Kotaagung: Pemda. Prahasta E. 2001. Konsep-konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Bandung: Penebit Informatika. Pratondo BJ. 2001. Evaluasi Sumberdaya Lahan dengan Memanfaatkan Teknologi Inderaja dan SIG di Kabupaten Blitar. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Puntodewo A, Dewi S dan Tarigan J. 2003. Sistem Informasi Geografi untuk Pengelolaan Sumber Daya Alam. Bogor: Center for International Forestry Research (CIFOR). Robinson AH, Morisson JL, Muehrcke PC, Kimerling AJ. Guptil SC. 1995. Element of Cartography. Ottawa. Rossiter DG. 1990. ALES: a framework for and evaluation using a microcomputer. Journal of Soil Use and Management, 6(1):7-21.
116 Rossiter D and Wambeke V. 1997. Automated Land Evaluation System (ALES). User manual version 4.65. New York: Cornell University Departemen of Soil, Crop and Atmospheric Sciences SCAS Theaching series No. T93-2 Revision 6. Rustiadi E. Saefulhakim S. dan Panuju DR. 2006. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Fakultas Pertanian Bogor. Bogor. IPB. Saefulhakim S. 2004. Modul Permodelan Perencanaan Pengembangan Sumberdaya Lahan. Departemen Tanah dan Sumberdaya Lahan. Bogor : IPB. Sitorus SRP. 2004. Evaluasi Sumber Daya Lahan.. Bandung : Tarsito Bandung. Slameto. 2003. Analisis Produksi, Penawaran dan Pemasaran Kakao Di Daerah Sentra Pengembangan Komoditas Unggulan Lampung. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Soetrisno L. 1999. Pertanian pada Abad ke 21. Jakarta; Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Subagyo H, Djaenudin D, dan Adi A. 2000. Perubahan tata guna lahan dalam kaitannya dengan ketahanan pangan. Seminar Hasil Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian. Palangkaraya, 10 Oktober 2000. Sumardjo dan Saharuddin. 2006. Metode-metode Partisipatif dalam Pengembangan Masyarakat. Depatremen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Tarigan RMRP. 2005. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Jakarta: Bumi Aksara. Taufiqurrahman. 2006. Studi Potensi Pertanian Sebagai Alternatif Pengembangan Wilayah Kabupaten Balangan. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Todaro MP. 2000. Pembangunan ekonomi di Dunia Ketiga. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Tejemahan.
Tomich TP, Chomitz K, Francisco H, Izac AN, Murdiyarso D, Ratner BD, Thomas DE and Noordwijk M. 2004. Policy Analysis and Environmental Problems at Different Scales: Asking The Right Questions. Journal of Agriculture, Ecosystems and Environment 104: 5-18. www.sciencedirect.com [2004] Wadsworth R and Treweek J. 1999. Geographical Information Systems for Ecology An Introduction. England: Addison Wesley Longman Limited.
118 Lampiran 1. PDRB Kabupaten Tanggamus menurut lapangan usaha atas dasar harga berlaku tahun 2001-2005 (juta rupiah) 2004
2005
1,271,405
1,258,921
1,335,181
1,473,292
1,587,813
1,783,876
448,973 383,817 201,694 1,109 235,811
483,455 307,364 215,265 1,415 251,420
481,560 348,026 204,237 1,596 299,761
511,840 400,307 237,743 1,671 321,731
634,442 358,100 235,876 1,815 348,580
774,712 372,877 266,172 2,020 368,095
41,176
43,286
45,531
47,934
54,015
59,143
3. INDUSTRI PENGOLAHAN
135,731
153,294
165,440
175,992
183,664
187,636
a. Industri Besar dan Sedang
-
-
-
1,298
1,114
1,130
-
-
-
102,859
112,560
125,373
3,908
4,573
9,098
12,478
12,489
12,873
2,566
3,374
7,366
9,597
10,332
10,663
1,342
1,199
1,732
2,881
2,157
2,210
5. KONTRUKSI
139,226
150,405
165,888
183,264
207,132
253,131
6. PERDAGANGAN, HOTEL &
325,551
338,480
374,551
395,856
436,912
466,722
303,829
316,293
348,137
365,391
405,535
434,991
134
171
228
245
352
382
21,587
22,015
26,184
30,220
31,025
31,349
Lapangan Usaha 1. PERTANIAN, PETERNAKAN,
2000
2001
2002
2003
KEHUTANAN DAN PERIKANAN
a. Tanaman Bahan Makanan b. Tanaman Perkebunan c. Peternakan d. Kehutanan e. Perikanan 2 .PERTAMBANGAN &PENGGALIAN
b. Industri Kecil dan Kerajinan Rumah Tangga 4. LISTRIK, GAS DAN AIR BERSIH a. Listrik b. Air Bersih
RESTORAN
a. Perdagangan Besar dan Eceran b. Hotel c. Restoran/Rumah makan 7. TRANSPORTASI & KOMUNIKASI
45,666
63,625
79,381
93,015
107,074
113,264
a. Transportasi
33,434
42,570
48,601
60,599
71,519
75,320
b. Komunikasi
12,232
21,055
30,781
32,416
35,555
37,944
89,374
112,024
133,223
162,673
183,410
192,616
-1,000
1,916
3,475
8,379
15,434
20,897
3,233
3,633
4,318
4,710
5,300
5,842
87,140
106,474
125,428
149,584
162,676
165,877
232,045
300,211
357,650
434,151
509,541
534,347
205,161
269,760
323,055
397,423
470,710
494,024
26,885
30,451
34,594
36,728
38,831
40,323
14,787
16,811
19,793
20,759
21,679
22,353
364
298
335
361
397
410
11,734
13,342
14,465
15,608
16,755
17,560
2,284,087
2,424,823
2,665,946
2,978,655
3,282,050
8. KEUANGAN, PERSEWAAN & JASA PERUSAHAAN
a. Bank b.Lembaga Keuangan Bukan Bank c. Sewa Bangunan dan Jasa Perusahaan 9. JASA-JASA a. Pemerintahan Umum b Swasta 1. Sosial Kemasyarakatan 2. Hiburan dan Rekreasi 3. Perorangan&Rumah Tangga PDRB
Keterangan: *) Angka sementara **) Angka sangat sementara Sumber Data BPS Kabupaten Tanggamus 2006
3,603,608
119 Lampiran 2. Kriteria kesesuaian lahan untuk tanaman Kopi Robusta (Coffea cenephora) Persyaratan penggunaan /KarekteristikLahan
S1
Kelas Kesesuaian Lahan S2 S3
N
Temperatur (tc) o temperatur rerata ( C)
22 - 25
25 - 28
19 – 22 28 – 32
< 19 > 32
Ketersediaan air (wa) Curah hujan (mm)
2.000 – 3.000
Lama bulan kering (bln) Kelembanab udara (%)
2–3 45 - 80
1.750 – 2.000 3.000 – 3.500 3–5 80-90;35–45
1.500 - 1.750 3.500 – 4000 5–6 >90;30 - 35
<1.500 > 4.000 >6 < 20 > 90
baik
sedang
agak terhambat, agak cepat
terhambat, sangat terhambat, cepat
Agak kasar
Ketersediaan Oksigen (oa) Drainase
Media Perakaran (rc) Tekstur
Halus, agak halus, sdang < 15 > 100
15 – 35 75 -100
35 -60 50 - 75
Kasar, sangat halus > 60 < 50
< 60 < 140
60 - 140 140 – 200
140 - 200 200 – 400
> 200 > 400
saprik+
saprik, + hemik
hemik, fibrik+
fibrik
> 16 > 20 5,3 - 6,6 >0,8
≤16 ≤ 20 6.0 – 6,5 5,0 – 5,3 ≤ 0,8
<1
-
1-2
>2
-
-
-
-
> 175
125 - 175
75- 125
< 75
Bahaya Erosi (eh) Lereng (%) Bahaya Erosi
<8 sangat rendah
8 – 16 rendah -sedang
16–30;16-50 berat
> 30; > 50 sangat berat
Bahaya banjir (fh) Genangan
F0
F0
F1
>F0
Penyiapan Lahan (lp) Batuan di permukaan (%) Singkapan batuan (%)
<5 <5
5 -15 5 - 15
15 - 40 15 - 25
> 40 > 25
Bahan kasar (%) Kedalaman tanah (cm) Gambut: Ketebalan (cm) Ketebalan (cm), jika ada Sisipan bahan mineral/ Pengkayaan Kematangan Retensi hara (nr) KTK liat (cmol) Kejenuhan basa (%) pH H2O C – Organik (%) Toksisitas (xc) Salinitas (dS/m) Sodisitas (xn) Alkalinitas/ESP (%) Bahaya sulfidik (xs) Kedalaman sulfidik
Sumber: Balai Penelitian Tanah, 2003
> 6,5 < 5,3
120 Lampiran 3. Kriteria kesesuaian lahan untuk tanaman Kakao (Theobroma cacao L.) Persyaratan penggunaan /KarekteristikLahan
S1
Kelas Kesesuaian Lahan S2 S3
N
Temperatur (tc) o temperatur rerata ( C)
25-28
20 – 25 28 - 32
32 - 35
< 20 > 35
Ketersediaan air (wa) Curah hujan (mm)
1.500 – 2.500
Lama bulan kering (bln) Kelembaban (%)
1–2 40 - 65
2.500 – 3.000 2–3 65 – 75` 35 - 40
1.250 - 1.500 3.000 – 4.000 3–4 75 – 85 30 - 35
<1.250 > 4.000 >4 > 85 < 30
Baik, sedang
Agak terhambat
terhambat, agak cepat
sangat terhambat, cepat
Halus, agak halus, sdang < 15 > 100
-
Kasar
15 – 35 75 -100
Agak kasar, sangat halus 35 -55 50 - 75
< 60 < 140
60 - 140 140 – 200
140 - 200 200 – 400
> 200 > 400
saprik+
saprik, hemik +
hemik, fibrik+
fibrik
> 16 > 35 6,0 – 7,0
< 20 <5,5 > 7,6 < 0,8
-
Ketersediaan Oksigen (oa) Drainase Media Perakaran (rc) Tekstur Bahan kasar (%) Kedalaman tanah (cm) Gambut: Ketebalan (cm) Ketebalan (cm), jika ada Sisipan bahan mineral/ Pengkayaan Kematangan Retensi hara (nr) KTK liat (cmol) Kejenuhan basa (%) pH H2O
> 55 < 50
C – Organik (%)
>1,5
≤16 20 - 35 5,5 – 6,0 7,0 – 7,6 0,8 – 1,5
Toksisitas (xc) Salinitas (dS/m)
< 1,1
1,1 – 1,8
1,8-2,2
>2 2,
-
-
-
-
> 125
100 - 125
60 - 100
< 60
Bahaya Erosi (eh) Lereng (%) Bahaya Erosi
<8 sangat rendah
8 – 16 rendah -sedang
16 – 30 berat
> 30 sangat berat
Bahaya banjir (fh) Genangan
F0
-
F1
>F`
Penyiapan Lahan (lp) Batuan di permukaan (%) Singkapan batuan (%)
<5 <5
5 -15 5 - 15
15 - 40 15 - 25
> 40 > 25
Sodisitas (xn) Alkalinitas/ESP (%) Bahaya sulfidik (xs) Kedalaman sulfidik
Sumber: Balai Penelitian Tanah, 2003
121 Lampiran 4. Kriteria kesesuaian lahan untuk tanaman Lada (Piper ningrum LINN) Persyaratan penggunaan /KarekteristikLahan
S1
Kelas Kesesuaian Lahan S2 S3
Temperatur (tc) o temperatur rerata ( C) harian
23 - 32
20 – 23 32 - 34
Ketersediaan air (wa) Curah hujan (mm)
2.000 – 2.500
2.500 – 3.000
60 – 80 <2
Kelembaban (%) Lama masa kering (bulan) Ketersediaan Oksigen (oa) Drainase
Media Perakaran (rc) Tekstur Bahan kasar (%) Kedalaman tanah (cm) Gambut: Ketebalan (cm) Ketebalan (cm), jika ada Sisipan bahan mineral/ Pengkayaan Kematangan Retensi hara (nr) KTK liat (cmol) Kejenuhan basa (%) pH H2O
N > 34 < 20
<3
3.000 – 4.000 1.500 – 2.000 3-4
<1.500 > 4.000 < 50, > 100 >5
Baik, sedang
Agak terhambat
terhambat, agak cepat
sangat terhambat, cepat
Agak kasar, sedang, agak halus, halus < 15 > 75
-
kasar, sangat halus
Kasar
15 – 35 50 -75
35 -55 30 - 50
> 55 < 30
< 60 < 140
60 - 140 140 – 200
140 - 200 200 – 400
> 200 > 400
saprik+
saprik, + hemik
hemik, fibrik+
fibrik
> 16 > 50 5,0 – 7,0
< 35 < 4,0 >8,0
C – Organik (%)
>0,4
≤16 35 - 50 4,0 – 5,0 7,0 – 8,0 ≤ 0,4
Toksisitas (xc) Salinitas (dS/m)
<5
5-8
8 - 10
> 10
Sodisitas (xn) Alkalinitas/ESP (%)
< 10
10 - 15
15 - 20
> 20
Bahaya sulfidik (xs) Kedalaman sulfidik
> 100
75 - 100
40 - 75
< 40
Bahaya Erosi (eh) Lereng (%) Bahaya Erosi
<8 sangat rendah
8 – 16 rendah -sedang
16 – 30 berat
> 30 sangat berat
Bahaya banjir (fh) Genangan
F0
-
F1
>F1
Penyiapan Lahan (lp) Batuan di permukaan (%) Singkapan batuan (%)
<5 <5
5 -15 5 - 15
15 - 40 15 - 25
> 40 > 25
Sumber: Balai Penelitian Tanah, 2003
122 Lampiran 5. Kriteria kesesuaian lahan untuk tanaman Kelapa (Cocos nicifera L.) Persyaratan penggunaan /KarekteristikLahan
S1
Kelas Kesesuaian Lahan S2 S3
N
Temperatur (tc) o temperatur rerata ( C) harian
25 - 28
28 – 32 23 - 25
32 – 35 20 - 23
< 35 > 20
Ketersediaan air (wa) Curah hujan (mm)
2.000 – 3.000
1.300 – 2.000 3.000 – 4.000 50 - 60 2-4
1.000 – 1.300 4.000 – 5.000 < 50 4-6
<1.000 > 5.000
Baik, sedang
Agak terhambat
terhambat, agak cepat
sangat terhambat, cepat
halus, agak halus, sedang < 15 > 100
Agak kasar
sangat halus
kasar, halus
15 – 35 75 -100
35 -55 50 - 75
> 55 < 50
< 60 < 140
60 - 140 140 – 200
140 - 200 200 – 400
> 200 > 400
saprik+
saprik, + hemik
hemik, + fibrik
fibrik
> 20 5,2 – 7,5
< 4,8
-
Kelembaban (%) Lama masa kering (bulan) Ketersediaan Oksigen (oa) Drainase Media Perakaran (rc) Tekstur Bahan kasar (%) Kedalaman tanah (cm) Gambut: Ketebalan (cm) Ketebalan (cm), jika ada Sisipan bahan mineral/ Pengkayaan Kematangan Retensi hara (nr) KTK liat (cmol) Kejenuhan basa (%) pH H2O
> 60 0-2
>6
C – Organik (%)
>0,8
≤ 20 4,8 – 5,2 7,5 – 8,0 ≤ 0,8
Toksisitas (xc) Salinitas (dS/m)
< 12
12 - 16
16 - 20
> 20
-
-
-
-
> 125
100 - 125
60 - 100
< 60
Bahaya Erosi (eh) Lereng (%) Bahaya Erosi
<8 sangat rendah
8 – 16 rendah -sedang
16 – 30 berat
> 30 sangat berat
Bahaya banjir (fh) Genangan
F0
-
F1
>F1
Penyiapan Lahan (lp) Batuan di permukaan (%) Singkapan batuan (%)
<5 <5
5 -15 5 - 15
15 - 40 15 - 25
> 40 > 25
Sodisitas (xn) Alkalinitas/ESP (%) Bahaya sulfidik (xs) Kedalaman sulfidik
Sumber: Balai Penelitian Tanah, 2003
>8,0
123 Lampiran 6. Kriteria kesesuaian lahan untuk tanaman Kelapa sawit (Elaeis guinensis JACK.) Persyaratan penggunaan /KarekteristikLahan
Kelas Kesesuaian Lahan S2 S3
S1
N
Temperatur (tc) o temperatur rerata ( C)
25-28
22 – 25 28 - 32
20 – 22 32 - 35
< 20 > 35
Ketersediaan air (wa) Curah hujan (mm)
1.700 – 2.500
Lama bulan kering (bln)
<2
1.450 – 2.700 2.500 – 3.500 2-3
1.250. 1.450 3.500 – 4000 3-4
<1.250 > 4.000 >4
baik, sedang
Agak terhambat
Terhambat, agak cepat
Sangat ter hambat, cepat
Halus, agak halus, sdang < 15 > 100
-
Agak kasar
15 – 35 75 -100
35 -55 50 - 75
Sangat terhambat, cepat > 55 < 40
< 60 < 140
60 - 140 140 – 200
140 - 200 200 – 400
> 200 > 400
saprik, hemik+
hemik, fibrik +
fibrik
-
-
Ketersediaan Oksigen (oa) Drainase Media Perakaran (rc) Tekstur Bahan kasar (%) Kedalaman tanah (cm) Gambut: Ketebalan (cm) Ketebalan (cm), jika ada Sisipan bahan mineral/ Pengkayaan Kematangan
saprik
Retensi hara (nr) KTK liat (cmol) Kejenuhan basa (%) pH H2O
> 16 > 20 5,0 - 6,5
+
C – Organik (%)
>0,8
≤16 ≤ 20 4,2 – 5,0 6,5 – 7,0 ≤ 0,8
Toksisitas (xc) Salinitas (dS/m)
<2
2-3
3-4
>4
-
-
-
-
> 125
100 - 125
60 - 100
< 60
Bahaya Erosi (eh) Lereng (%) Bahaya Erosi
<8 sangat rendah
8 – 16 rendah -sedang
16 – 30 berat
< 30 sangat berat
Bahaya banjir (fh) Genangan
F0
F1
F2
>F2
Penyiapan Lahan (lp) Batuan di permukaan (%) Singkapan batuan (%)
<5 <5
5 -15 5 - 15
15 - 40 15 - 25
> 40 > 25
Sodisitas (xn) Alkalinitas/ESP (%) Bahaya sulfidik (xs) Kedalaman sulfidik
Sumber: Balai Penelitian Tanah, 2003
< 4,2 > 7,0
124 Lampiran 7. Kriteria kesesuaian lahan untuk tanaman Karet (Hevea brassiliensis M.A.) Persyaratan penggunaan /KarekteristikLahan
Kelas Kesesuaian Lahan S2 S3
S1
N
Temperatur (tc) o temperatur rerata ( C)
26-30
30 – 34 24-26
23 – 24,5
> 34 < 22
Ketersediaan air (wa) Curah hujan (mm)
2.500 – 3.000
Lama bulan kering (bln)
1-2
2.000 – 2.500 3.000 – 3.500 2-3
1.500 - 2.000 3.500 – 4000 3-4
<1.500 > 4.000 >4
Ketersediaan Oksigen (oa) Drainase
baik
sedang
Agak terhambat, terhambat
Sangat ter hambat, cepat
Halus, agak halus, sdang < 15 > 100
-
Agak kasar
kasar
15 – 35 75 -100
35 -60 50 - 75
> 60 < 50
< 60 < 140
60 - 140 140 – 200
140 - 200 200 – 400
> 200 > 400
saprik, hemik+
hemik, fibrik +
fibrik
> 50 > 6,5 < 4,5
-
Media Perakaran (rc) Tekstur Bahan kasar (%) Kedalaman tanah (cm) Gambut: Ketebalan (cm) Ketebalan (cm), jika ada Sisipan bahan mineral/ Pengkayaan Kematangan
saprik
Retensi hara (nr) KTK liat (cmol) Kejenuhan basa (%) pH H2O
< 35 5,0 - 6,0
+
C – Organik (%)
>0,8
35 - 50 6,0 – 6,5 4,5 – 5,0 ≤ 0,8
Toksisitas (xc) Salinitas (dS/m)
< 0,5
0,5 - 1
1-2
>2
-
-
-
-
> 175
125 - 175
75 - 125
< 75
<8
8 – 16
sangat rendah
rendah -sedang
16 – 30 16 - 45 berat
> 30 > 45 sangat berat
Bahaya banjir (fh) Genangan
F0
-
F1
>F1
Penyiapan Lahan (lp) Batuan di permukaan (%) Singkapan batuan (%)
<5 <5
5 -15 5 - 15
15 - 40 15 - 25
> 40 > 25
Sodisitas (xn) Alkalinitas/ESP (%) Bahaya sulfidik (xs) Kedalaman sulfidik Bahaya Erosi (eh) Lereng (%) Bahaya Erosi
Sumber: Balai Penelitian Tanah, 2003
Lampiran 14. Analisis finansial usahatani kelapa sawit per ha di Kabupaten Tanggamus 0 6.420.700 1,000 6.420.700 0 0 -6.420.700
1 1.626.700 0,855 1.390.829 0 0 -1.390.829
2 1.606.700 0,731 1.174.498 0 0 -1.174.498
3 1.586.700 0,624 990.101 0 0 -990.101
Tahun 4 1.566.700 0,534 836.618 0 0 -836.618
5 1.733.100 0,456 790.294 0 0 -790.294
6 2.659.740 0,390 1.037.299 4.272.840 1.666.408 629.109
7 2.968.620 0,333 988.550 5.366.790 1.787.141 798.591
8 3.277.500 0,285 934.088 7.722.000 2.200.770 1.266.683
9 3.509.160 0,243 852.726 11.325.600 2.752.121 1.899.395
10 3.769.525 0,208 784.061 15444000 3.212.352 2.428.291
11 4.001.185 0,178 712.211 18918900 3.367.564 2.655.353
12 4.155.625 0,152 631.655 21621600 3.286.483 2.654.828
Tahun 13 4.310.065 0,130 560.308 24.324.300 3.162.159 2.601.851
14 4.464.505 0,111 495.560 27.027.000 2.999.997 2.504.437
15 4.724.870 0,095 448.863 28.314.000 2.689.830 2.240.967
16 4.879.310 0,081 395.224 31.145.400 2.522.777 2.127.553
17 5.033.750 0,069 347.329 33.976.800 2.344.399 1.997.070
18 19 20 1 Total Biaya 5.033.750 5.033.750 4.879.310 2 Discount Factor (DF) 17% 0,059 0,051 0,043 3 Discount input 296.991 256.721 209.810 4 Output (penerimaan) 31.145.400 31.145.400 30.579.120 5 Discount output 1.837.579 1.588.415 1.314.902 6 NPV 1.540.587 1.331.694 1.105.092 7 NPV kumulatif 19.920.833 8 B/C 1,94 9 IRR sebenarnya 8% Keterangan: a. Produksi tahun 1-10 sebenarnya, 11-25 adalah estimasi b. Harga 1-10 sebenarnya, 11-15 harga rata-rata tahun penelitian
21 5.055.923 0,037 187.069 32.741.280 1.211.427 1.024.358
23 4.729.883 0,027 127.707 30.888.000 833.976 706.269
24 4.575.443 0,023 105.235 30.888.000 710.424 605.189
25 4.575.443 0,020 91.509 30.579.120 611.582 520.074
No
Uraian
1 2 3 4 5 6
Input (biaya) Discount Factor (DF) 17% Discount input Output (penerimaan) Discount output NPV
Lanjutan No
Uraian
1 2 3 4 5 6
Input (biaya) Discount Factor (DF) 17% Discount input Output (penerimaan) Discount output NPV
Lanjutan No
Uraian
Tahun 22 4.729.883 0,032 151.356 32.432.400 1.037.837 886.481
c. Data primer diolah
d. Harga rata-rata tahun penelitian
Lampiran 11. Analisis finansial usahatani kelapa butir per ha di Kabupaten Tanggamus No
Tahun
Uraian 0
1 2 3 4 5 6
Input (biaya) Discount Factor (DF) 17% Discount input Output (penerimaan) Discount output PV
Lanjutan No
683000 1,000 683.000 0 0 -683.000
1
2
3
4
5
25000 0,855 21.368 0 0 -21.368
25000 0,731 18.263 0 0 -18.263
25000 0,624 15.609 0 0 -15.609
25000 0,534 13.341 0 0 -13.341
25000 0,456 11.403 0 0 -11.403
11
12
13
14
Uraian 10
1 Input (biaya) 2 Discount Factor (DF) 17% 3 Discount input 4 Output (penerimaan) 5 Discount output 6 PV 7 NPV 8 B/C 9 IRR Keterangan: Data primer diolah
25000 0,208 5.201 0 0 -5.201 3.666.635 3,77 14%
Harga rata-rata tahun penelitian
539800 0,178 95.982 5.148.000 915.364 819.383
539800 0,152 82.036 5.148.000 782.363 700.327
539800 0,130 70.116 5.148.000 668.686 598.570
539800 0,111 59.928 5.148.000 571.527 511.598
Tahun 15 539800 0,095 51.221 5.148.000 488.484 437.264
6 25000 0,390 9.746 0 0 -9.746
16 539800 0,081 43.778 5.148.000 417.508 373.730
7 25000 0,333 8.330 0 0 -8.330
17 539800 0,069 37.417 5.148.000 356.844 319.427
8 25000 0,285 7.120 0 0 -7.120
18 539800 0,059 31.981 5.148.000 304.995 273.015
9 25000 0,243 6.085 0 0 -6.085
19 539800 0,051 27.334 5.148.000 260.680 233.346
20 539800 0,043 23.362 5.148.000 222.803 199.441
Lampiran 12. Analisis finansial usahatani kopra per ha di Kabupaten Tanggamus No
Uraian
1 2 3 4 5 6
Input (biaya) Discount Factor (DF) 17% Discount input Output (penerimaan) Discount output PV
0 683.000 1,000 683.000 0 0 -683.000
1 25.000 0,855 21.368 0 0 -21.368
2 25.000 0,731 18.263 0 0 -18.263
3 25.000 0,624 15.609 0 0 -15.609
10 25.000 0,208 5.201 0 0 -5.201 539.318 1,380 4%
11 620.620 0,178 110.352 2.002.000 355.975 245.623
12 620.620 0,152 94.318 2.002.000 304.252 209.934
13 620.620 0,130 80.614 2.002.000 260.045 179.431
Tahun 4 5 25.000 25.000 0,534 0,456 13.341 11.403 0 0 0 0 -13.341 -11.403
6 25.000 0,390 9.746 0 0 -9.746
7 25.000 0,333 8.330 0 0 -8.330
8 25.000 0,285 7.120 0 0 -7.120
9 25.000 0,243 6.085 0 0 -6.085
Tahun 15 620.620 0,095 58.889 2.002.000 189.966 131.077
16 620.620 0,081 50.333 2.002.000 162.364 112.031
17 620.620 0,069 43.020 2.002.000 138.773 95.753
18 620.620 0,059 36.769 2.002.000 118.609 81.840
19 620.620 0,051 31.426 2.002.000 101.375 69.949
Lanjutan No
Uraian
1 Input (biaya) 2 Discount Factor (DF) 17% 3 Discount input 4 Output (penerimaan) 5 Discount output 6 PV 7 NPV 8 B/C 9 IRR Keterangan: Data primer diolah
Harga rata-rata tahun penelitian
14 620.620 0,111 68.901 2.002.000 222.260 153.360
20 620.620 0,043 26.860 2.002.000 86.646 59.786
Lampiran 8. Analisis finansial usahatani kopi per ha di Kabupaten Tanggamus
No 1 2 3 4 5 6 7
Uraian Input (biaya) Discount Factor (DF) 17% Discount input Output (penerimaan) Discount output PV NPV
0 2.674.270 1,000 2.674.270 0 0 -2.674.270
1 1.974.270 0,855 1.687.410 0 0 -1.687.410
2 1.974.270 0,731 1.442.231 0 0 -1.442.231
3 2.574.270 0,624 1.607.298 3.900.000 2.435.045 827.747
11 3.192.300 0,178 567.622 13.650.000 2.427.103 1.859.481 18.502.849 2,05 20%
12 3.192.300 0,152 485.147 14.300.000 2.173.230 1.688.083
13 3.192.300 0,130 414.656 14.950.000 1.941.892 1.527.236
14 3.192.300 0,111 354.406 15.600.000 1.731.899 1.377.492
Tahun 5 2.875.700 0,456 1.311.639 6.500.000 2.964.722 1.653.084
6 2.875.700 0,390 1.121.059 7.800.000 3.040.741 1.919.682
7 2.875.700 0,333 958.170 9.100.000 3.032.078 2.073.908
8 2.875.700 0,285 818.949 10.400.000 2.961.737 2.142.788
9 2.875.700 0,243 699.956 11.700.000 2.847.824 2.147.868
Tahun 15 16 3.192.300 3.519.500 0,095 0,081 302.912 285.435 13.260.000 13.130.000 1.258.217 1.064.856 955.306 779.421
17 3.519.500 0,069 243.962 12.350.000 856.066 612.105
18 3.519.500 0,059 208.514 11.700.000 693.171 484.657
19 3.519.500 0,051 178.217 11.570.000 585.871 407.654
20 3.519.500 0,043 152.322 3.193.192,7 11.440.000 495.118 13.227.422,8 342.796
4 2.574.270 0,534 1.373.759 5.200.000 2.774.980 1.401.221
10 2.875.700 0,208 598.253 13.000.000 2.704.486 2.106.233
Lanjutan No
Uraian
1 Input (biaya) 2 Discount Factor (DF) 17% 3 Discount input 4 Output (penerimaan) 5 Discount output 6 PV 7 NPV 8 B/C 9 IRR Keterangan: Data primer diolah
Harga rata-rata tahun penelitian
Lampiran 9. Analisis finansial usahatani kakao per ha di Kabupaten Tanggamus No 1 2 3 4 5 6 7
Uraian
0 Input (biaya) 4.084.000 Discount Factor (DF) 17% 1,000 Discount input 4.084.000 Output (penerimaan) 0 Discount output 0 PV -4.084.000 NPV
1 1.064.000 0,855 909.402 0 0 -909.402
2 1.224.000 0,731 894.149 0 0 -894.149
3 1.524.000 0,624 951.541 4.800.000 2.996.979 2.045.438
11 1.989.250 0,178 353.708 16.400.000 2.916.080 2.562.372
12 1.989.250 0,152 302.315 16.800.000 2.553.165 2.250.851
13 1.989.250 0,130 258.388 16.640.000 2.161.410 1.903.021
Tahun 4 5 1.254.000 1.753.500 0,534 0,456 669.197 799.791 6.400.000 8.000.000 3.415.360 3.648.889 2.746.163 2.849.098
6 1.753.500 0,390 683.582 9.600.000 3.742.450 3.058.869
7 1.753.500 0,333 584.258 11.200.000 3.731.788 3.147.530
8 1.753.500 0,285 499.366 12.800.000 3.645.214 3.145.848
9 1.753.500 0,243 426.808 14.400.000 3.505.014 3.078.205
Tahun 15 1.989.250 0,095 188.756 16.160.000 1.533.393 1.344.637
16 1.989.250 0,081 161.330 16.160.000 1.310.592 1.149.262
17 1.989.250 0,069 137.889 16.160.000 1.120.164 982.275
18 1.989.250 0,059 117.854 16.160.000 957.405 839.551
19 1.989.250 0,051 100.730 16.160.000 818.295 717.565
Lanjutan No
Uraian
10 1 Input (biaya) 1.958.000 2 Discount Factor (DF) 17% 0,208 3 Discount input 407.337 4 Output (penerimaan) 15.200.000 5 Discount output 3.162.168 6 PV 2.754.831 7 NPV 30.892.258 8 B/C 3,400 9 IRR 29% Keterangan: Data primer diolah
Harga rata-rata tahun penelitian
14 1.989.250 0,111 220.845 16.320.000 1.811.833 1.590.988
20 1.989.250 0,043 86.094 16.160.000 699.398 613.304
Lampiran 10. Analisis finansial usahatani lada per ha di Kabupaten Tanggamus No
Uraian
1 Input (biaya) 2 Discount Factor (DF) 17% 3 Discount input 4 Output (penerimaan) 5 Discount output 6 PV 7 NPV 8 B/C 9 IRR Keterangan: Data primer diolah
0 2.236.200 1,000 2.236.200 0 0 -2.236.200 5.071.729 1,89 18%
Harga rata-rata tahun penelitian
1 626.000 0,855 535.043 0 0 -535.043
2 626.000 0,731 457.301 0 0 -457.301
3 626.000 0,624 390.856 1.950.000 1.217.523 826.667
4 851.000 0,534 454.136 2.600.000 1.387.490 933.354
Tahun 5 865.000 0,456 394.536 3.250.000 1.482.361 1.087.825
6 841.000 0,390 327.854 3.900.000 1.520.371 1.192.516
7 841.000 0,333 280.217 4.550.000 1.516.039 1.235.822
8 841.000 0,285 239.502 4.550.000 1.295.760 1.056.258
9 841.000 0,243 204.703 5.200.000 1.265.699 1.060.997
10 841.000 0,208 174.959 5.200.000 1.081.794 906.835
Lampiran 13 Analisis finansial usahatani gula kelapa per ha di Kabupaten Tanggamus No
Uraian
1 2 3 4 5 6
Input (biaya) Discount Factor (DF) 17% Discount input Output (penerimaan) Discount output PV
Tahun 0 683.000 1,000 683.000 0 0 -683.000
1 25.000 0,855 21.368 0 0 -21.368
2 25.000 0,731 18.263 0 0 -18.263
3 25.000 0,624 15.609 0 0 -15.609
4 25.000 0,534 13.341 0 0 -13.341
5 25.000 0,456 11.403 0 0 -11.403
6 25.000 0,390 9.746 0 0 -9.746
7 25.000 0,333 8.330 0 0 -8.330
8 25.000 0,285 7.120 0 0 -7.120
9 25.000 0,243 6.085 0 0 -6.085
10 1 Input (biaya) 25.000 2 Discount Factor (DF) 17% 0,208 3 Discount input 5.201 4 Output (penerimaan) 0 5 Discount output 0 6 PV -5.201 7 NPV 32.146.316 8 B/C 4,750 9 IRR 33% Keterangan: Data primer diolah
11 8.211.000 0,178 1.459.996 42.000.000 7.468.009 6.008.013
12 7.861.000 0,152 1.194.669 42.000.000 6.382.913 5.188.245
13 7.861.000 0,130 1.021.084 42.000.000 5.455.482 4.434.397
14 8.211.000 0,111 911.578 42.000.000 4.662.805 3.751.226
Tahun 15 7.861.000 0,095 745.916 42.000.000 3.985.303 3.239.387
16 7.861.000 0,081 637.535 42.000.000 3.406.242 2.768.707
17 8.211.000 0,069 569.163 42.000.000 2.911.318 2.342.155
18 7.861.000 0,059 465.728 42.000.000 2.488.306 2.022.578
19 7.861.000 0,051 398.058 42.000.000 2.126.757 1.728.699
Lanjutan No
Uraian
Harga rata-rata tahun penelitian
20 8.211.000 0,043 355.368 42.000.000 1.817.741 1.462.373