Pengembangan Agribisnis di Indonesia: Antara Pemikiran dan Penerapan Dr. Abdul Basit
Pendahuluan Sebagai sebuah refleksi atas kebijakan pembangunan “Sistem dan Usaha Agribisnis di Indonesia”, tulisan ini tentu saja tidak akan mengurai secara mendalam tentang substansi konsep agribisnis dan tidak pula ditujukan untuk mengevaluasi kinerja penerapan kebijakan tersebut di Indonesia. Materi tulisan akan lebih terfokus pada ungkapan tentang pengamatan dan pengalaman yang penulis rasakan, baik pada saat perumusan konsep maupun penerapan kebijakan pembangunan sistem dan usaha agribisnis tersebut dalam pembangunan pertanian. Kebanyakan orang mungkin akan berpendapat sama, bahwa apabila kita membicarakan tentang pengembangan agribisnis di Indonesia, maka sulit untuk memisahkannya dengan nama Prof. Bungaran Saragih. Karena memang beliaulah yang menjadi motor penggagas sekaligus penerap kebijakan pengembangan agribisnis dalam pembangunan pertanian di Indonesia. Oleh karena itu sedikit banyak tulisan ini juga akan terkait dengan peran Prof. Bungaran dalam pengembangan agribisnis tersebut. Konsep agribisnis berawal dari rasa keprihatinan bersama yang mendalam terhadap nasib petani Indonesia. Ada beberapa hal yang menyebabkan keprihatinan tersebut, antara lain: (1) sudah lebih dari setengah abad kita merdeka dan selama itu pula kita memiliki kedaulatan yang utuh dalam membangun pertanian bangsa. Secara fisik relatif banyak kemajuan yang sudah dicapai, tetapi nasib petani tidak banyak mengalami perubahan. (2) para pendekar pembangunan dan begawan ekonomi kita pascakemerdekaan relatif sedikit yang menaruh perhatian terhadap pembangunan pertanian. Hal tersebut ditandai dengan sedikitnya ide-ide dan terobosan dalam pembangunan pertanian yang terjadi pascakemerdekaan. (3) upaya-upaya pembangunan pertanian yang dilakukan sebelumnya lebih banyak bersifat “tambal sulam”, tanpa didasarkan konsep dan kerangka yang utuh mau dibawa kemana pertanian Indonesia. Membangun pertanian pada masa lalu lebih dipandang sebagai pekerjaan rutin dalam memproduksi komoditas pertanian untuk memenuhi target produksi tahunan. Kalau ada permasalahan yang dapat menggangu proses produksi tahunan tersebut, maka masalah tersebutlah
R1_Refleksi AGB.indd 113
07/04/2010 19:03:58
114
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
yang ditambal dan disulam demi penyelamatan produksi. Petani seolah-olah hanya sebagai mesin produksi, hingga selama petani masih mau berproduksi atau “terpaksa bertani”, maka hal tersebut belum dianggap sebagai masalah pembangunan pertanian. Banyak pakar pertanian, khususnya pakar pertanian dari perguruan tinggi yang merasakan kondisi tersebut, bahkan banyak pula diantaranya yang berupaya melahirkan konsep-konsep terobosan untuk mengatasinya. Tetapi bagi seorang Prof. Bungaran, hal tersebut belum cukup. Beliau justru menginginkan, ide dan gagasan tersebut harus merupakan keyakinan bersama, bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, disosialisasikan dan pada gilirannya harus bisa direalisasikan dalam kebijakan pembangunan pertanian di Indonesia. Sebagai intelektual, beliau tidak puas dan tidak mau berhenti dengan konsep, tetapi harus terus diperjuangkan sampai konsep dan gagasan bersama tersebut dapat diimplementasikan. Langkah-langkah seperti itu sudah sering beliau lakukan, tetapi khusus yang menyangkut konsep agribisnis sangat nyata dan konkrit beliau intensifkan perumusannya pada saat memimpin Pusat Studi Pembangunan (PSP) IPB. Sejak memimpin lembaga tersebut, tidak henti-hentinya beliau memfasilitasi sekaligus menjadi pelaku utama kegitan diskusi dan perdebatan untuk melahirkan konsep yang tepat untuk membangun pertanian di Indonesia. Para pakar baik dari internal IPB maupun dari luar IPB secara rutin diajak bertemu untuk menghimpun pemikiran dan memformulasi konsep pembangunan pertanian. Tidak hanya dalam bentuk forum diskusi, tetapi sebagian dari ide dan gagasan yang prospektif dari diskusi tersebut beliau uji cobakan melalui berbagai studi dan penelitian yang dilakukan oleh PSP-IPB. Pada akhirnya langkah-langkah tersebut berbuah dalam bentuk konsep yang menjadi kesepakatan bersama yaitu pembangunan pertanian di Indonesia harus dilakukan melalui pendekatan agribisnis. Kristalisasi pemikiran tersebut selanjutnya beliau tuangkan dalam pidato orasi ilmiah pada saat pengukuhan beliau sebagai guru besar di IPB. Berbekal konsep yang sudah merupakan kristalisasi pemikiran bersama tersebut, mulailah agribisnis disosialisasikan pada berbagai kesempatan, baik pada forum-forum nasional maupun daerah. Mungkin kita semua bisa mengingat-ingat kembali, hampir pada setiap forum pertemuan dengan topik apapun di mana beliau berkesempatan untuk berbicara, hal yang tidak pernah ketinggalan adalah lontaran beliau mengenai konsep pembangunan pertanian dengan pendekatan agribisnis. Beliau telah secara konsisten menyuarakan konsep agribinis di mana-mana. Tidak hanya itu, tulisan berupa buku, tulisan
R1_Refleksi AGB.indd 114
07/04/2010 19:03:58
Dr. Abdul Basit
115
dalam koran dan media cetak lainnya, paparan dalam media elektronik televisi hingga artikel-artikel yang ditujukan secara khusus pada para pribadi dan pejabat, semuanya sarat dengan muatan sosialisasi konsep agribisnis. Proses sosialisasi konsep agribisnis akhirnya menampakkan titik-titik terang. Istilah agribisnis mulai menggema di mana-mana, baik dikalangan birokrat maupun masyarakat umum, baik di kalangan teknokrat maupun pengusaha, baik di tingkat pusat maupun daerah. Bahkan banyak kalangan mengidentikkan Prof. Bungaran dengan Agribisnis. Kalau ada forum pertemuan yang menyangkut pengembangan agribsinis, maka semua orang merasa belum “sempurna” kalau tidak dihadiri Prof. Bungaran. Sampai pada akhirnya pucuk pimpinan tertinggi di negara inipun tertarik untuk mengimplementasikan konsep agribisnis dalam pembangunan pertanian di Indonesia. Hal itulah yang kemudian membawa beliau untuk mengemban kepercayaan sebagai Menteri Pertanian pada periode 2000-2004.
Logika Kebijakan Sistem dan Usaha Agribisnis dalam Pembangunan Pertanian Bagi masyarakat awam, apalagi kaum intelektual yang berpikiran jernih, pasti akan sampai pada pandangan bahwa sesungguhnya pendekatan agribisnis merupakan bentuk terobosan pemikiran yang sangat logis dalam proses pembangunan pertanian di Indonesia. Beberapa argumen yang melatarbelakangi pandangan tersebut, antara lain tercermin dari:
Kerangka Pemikiran yang Logis Agribisnis bisa memiliki banyak pengertian. Tetapi pengertiannya dalam bentuk umum adalah memadukan berbagai unsur dan atau kegiatan yang berperan dalam usaha pertanian, hingga masing-masing unsur/kegiatan tersebut dapat saling bersinergi satu sama lain dalam mempercepat pencapaian tujuan pengembangan pertanian. Dengan demikian, sistem agribisnis tidak selalu diartikan secara terbatas berupa kombinasi berbagai cabang usahatani/ komoditas yang dilakukan oleh suatu keluarga petani. Pengertian yang demikian masih terlalu sempit, sebab keterpaduan yang dilakukan hanya dalam bentuk horizontal dan masih dalam lingkup on-farm (teknis budidaya pertanian). Sementara itu masalah yang dihadapi petani tidak lagi sepenuhnya terletak pada kegiatan budidaya. Masalah seperti penyediaan sarana produksi, pemenuhan kebutuhan modal, akses terhadap teknologi, pengolahan dan pemasaran hasil, lebih banyak ditentukan oleh kegiatan di luar budidaya.
R1_Refleksi AGB.indd 115
07/04/2010 19:03:58
116
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
Oleh karena itu keterpaduan perlu juga dilakukan terhadap unsur/kegiatan pertanian secara vertikal baik ke hulu maupun hilir. Sinergi seperti inilah yang seharusnya menjadi strategi utama pembangunan pertanian Indonesia, atau sering di istilahkan dengan Pembangunan.
Sistem dan Usaha Agribisnis. Terus terang saja kita semua perlu merenung kembali. Lebih dari setengah abad bangsa ini membangun sektor pertanian dimana para petani kita menggantungkan kehidupan ekonominya, ternyata belum berhasil meningkatkan pandapatan mereka sesuai dengan harapan. Dalam banyak hal misalnya peningkatan produksi pertanian kita mungkin berhasil, tetapi kehidupan ekonomi petani masih belum berhasil kita tingkatkan secara nyata. Itu berarti manfaat yang dihasilkan dari pembangunan pertanian selama setengah abad terakhir ini masih sedikit dinikmati petani. Justru yang menikmati paling besar adalah mereka yang bukan petani. Mengapa demikian? Hal di atas dapat di jelaskan sebagai berikut. Dalam usaha pertanian (dan juga usaha apapun) keuntungan atau pendapatan yang tercipta akan terdistribusi pada pemilik input (faktor produksi) berdasarkan kontribusi masing-masing input dalam usaha pertanian. Input itu mencakup lahan, modal (pupuk, benih, pestisida, alat/mesin, dll), tenaga kerja (upah), pemilik teknologi menerima pendapatan atas teknologi (rent), dan pemilik manajemen (pengusahaan) memperoleh pendapatan manajemen (gaji dan keuntungan). Kalau di jumlahkan pendapatan-pendapatan tersebut yakni sewa, bunga modal, upah, rent, gaji, dan keuntungan akan sama dengan nilai tambah total yang tercipta dalam usaha pertanian. Dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa faktor produksi yang paling besar kontribusinya pada nilai tambah usaha pertanian adalah barang-barang modal, teknologi, dan manajemen. Sedangkan kontribusi lahan dan tenaga kerja relatif rendah. Karena itu, umumnya dari nilai tambah total yang tercipta dalam usaha pertanian akan lebih besar dinikmati pemilik modal, teknologi, dan manajemen. Nah, sekarang kita lihat faktor produksi apa yang dimiliki para petani kita. Barang-barang modal (pupuk, benih, pestisida, dan alat/mesin), teknologi, dan manajemen hampir semuanya bukan milik petani. Manajemen (pengusahaan) yang di kuasai petani hanyalah pada usaha budidaya, sedangkan usaha pengolahan dan perdagangan hasil pertanian serta usaha produksi input (pupuk, benih, pestisida, dan alat/mesin) tidak di kuasai petani. Hanya tenaga kerja dan lahan yang di miliki. Itupun tidak semua petani memiliki lahan.
R1_Refleksi AGB.indd 116
07/04/2010 19:03:58
Dr. Abdul Basit
117
Jadi, penyebab utama masih rendahnya pendapatan petani bukan hanya karena lahan yang dimiliki sempit, tetapi juga karena faktor produksi yang memiliki kontribusi besar dalam usaha pertanian yakni barang-barang modal, teknologi, dan manajemen/pengusahaan tidak mereka kuasai. Sehingga nilai tambah yang mereka nikmati tetap relatif kecil. Pada usaha perberasan misalnya banyak hasil penelitian mengungkapkan bahwa sebagian besar manfaat yang tercipta akibat perbaikan teknologi usahatani padi, bukan di nikmati petani, melainkan oleh para pedagang sarana produksi, pedagang padi, pedagang beras dan pihak-pihak yang terlibat dalam agrbisnis beras. Kita tidak akan mampu membangun agribisnis modern kalau kita hanya mengembangkan usahatani (budidaya) saja, karena itu kita juga mempromosikan tumbuh-kembangnya agribisnis hulu yakni perbenihan, usaha pupuk (organik dan an-organik), pestisida dan alat mesin pertanian, agribisnis hilir yakni pengolahan dan pemasaran hasil pertanian juga dikembangkan secara simultan. Demikian juga sektor jasa yang menyediakan jasa bagi agribisnis seperti perkreditan, transportasi, penelitian dan pengembangan teknologi, pendidikan SDM, infrastruktur dan kebijakan ekonomi. Pendek kata dengan mempromosikan pembangunan sistem agribisnis, kita membangun industri-industri dan jasa yang mendukung pertanian. Ini berbeda dengan paradigma kita di masa lalu yakni membangun pertanian untuk mendukung industri. Dengan konseptualisasi pembangunan sistem agribisnis yang demikian, maka prinsip pokok dalam pembangunan sistem agribisnis adalah mengembangkan keseluruhan sub-sistem yang tercakup dalam agribisnis secara simultan dan harmonis. Secara simultan artinya sub-sistem agribisnis hulu, sub-sistem on-farm, sub-sistem agribisnis hilir dan sub-sistem jasa penunjang harus dikembangkan sekaligus. Sedangkan secara harmonis maksudnya adalah bahwa perkembangan keempat subsistem tersebut haruslah berkembang secara berimbang. Ketertinggalan perkembangan merupakan salah satu subsistem yang akan menjadi pembatas (bottle neck) sistem agribisnis secara keseluruhan. Ibarat iring-iringan suatu konvoi, laju konvoi secara keseluruhan akan ditentukan oleh anggota konvoi yang paling lambat lajunya. Oleh karena itu, tugas pengelolaan pembangunan sistem agribisnis adalah memadukan perkembangan keseluruhan subsistem agribisnis tersebut sedemikian rupa sehingga menjadi “orchestra” pembangunan yang saling mendukung.
R1_Refleksi AGB.indd 117
07/04/2010 19:03:58
118
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
Sesuai Tuntutan Perubahan Lingkungan Strategis Liberalisasi perdagangan dunia yang sedang dan akan terus berlangsung merupakan tantangan yang dihadapi pembangunan agribisnis kedepan. Komitmen-komitmen dalam WTO dan berbagai bentuk Free Trade Area (FTA) untuk menurunkan bentuk-bentuk proteksi baik tarif maupun non-tarif perdagangan hasil-hasil agribisnis mengandung kesempatan sekaligus tantangan. Bagi negara yang mampu meningkatkan daya saingnya, berkesempatan untuk memperbesar pangsa pasarnya baik di pasar internasional maupun di pasar domestik. Sebaliknya negara-negara yang tidak mampu meningkatkan daya saingnya akan terdesak oleh para pesaingnya. Oleh karena itu, untuk menghadapi liberalisasi perdagangan tersebut bagi Indonesia tidak ada pilihan kecuali mempercepat peningkatan daya saing dan atau efisiensi. Daya saing dan efisiensi hanya akan terjadi bila ada integrasi vertikal mulai dari hulu sampai ke hilir dari suatu sistem agribisnis komoditas pada suatu aliran produk (product-line). Atribut suatu produk akhir agribisnis merupakan hasil kumulatif dari semua sub sistem agribisnis dari hulu sampai ke hilir. Karena itu, pengelolaan secara integrasi vertikal suatu sistem agribisnis yang menjamin transmisi informasi pasar secara sempurna dan cepat dari hilir ke hulu, meminimumkan margin ganda, dan menjaga konsistensi mutu produk dari hulu ke hilir. Hal inilah yang akan menjadi penentu daya saing dan efisiensi. Sampai saat ini kelompok terbesar pelaku pertanian adalah para petani yang selama ini kurang memiliki kemampuan ekonomi, maka pembangunan pertanian ke depan harus memfokuskan upaya pemberdayaan petani dan organisasi ekonominya. Mengingat skala usahatani yang dikuasai para petani umumnya relatif kecil, maka untuk meningkatkan pendapatan petani perlu dialihkan dari perluasan lahan kepada produktifitas baik dari penggunaan barang-barang modal (capital-driven) maupun dari inovasi teknologi (innovation driven). Selain itu, organisasi ekonomi petani perlu di tumbuhkembangkan untuk ikut menangani industri hulu dan hilir pertanian sehingga nilai tambah yang ada pada industri hulu dan hilir pertanian dapat dinikmati oleh para petani yang secara individu menguasai usahatani. Sekali lagi hal ini mengindikasikan dasar logika yang kuat kalau pembangunan pertanian memang harus di tempuh melalui pembangunan agribisnis.
R1_Refleksi AGB.indd 118
07/04/2010 19:03:58
Dr. Abdul Basit
119
Fakta Historis dan Empiris Harus di akui bahwa pembangunan pertanian pada masa lalu yang berfokus pada peningkatan produksi (on-farm), pada tingkat tertentu telah berhasil memecahkan sebagian masalah tenaga kerja, kemiskinan, dan stabilitas makro-ekonomi nasional. Setidaknya dalam dua kali krisis yaitu tahun 1986 dan tahun 1998 pertanian tetap tegar menghadapi krisis. Ketangguhan sektor agribisnis di indikasikan oleh kemampuannya untuk tumbuh secara positif (0,22 %) pada saat krisis (1998) sementara perekonomian nasional secara agregat mengalami kontraksi yang sangat hebat, yaitu sebesar 13,7 persen. Sektor agribisnis merupakan penyumbang nilai tambah (value added) terbesar dalam perekonomian nasional (4547 %). Hal ini berarti sektor agribisnis merupakan penyumbang terbesar dalam pembentukan nilai tambah total (GDP total). Dengan demikian, cara yang paling efektif untuk meningkatkan GDP nasional adalah melalui pembangunan sektor agribisnis. Berdasarkan Tabel Input-Output yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS), kontribusi sektor agribisnis dalam penyerapan tenaga kerja berkisar antara 70-80 %. Hal ini mengindikasikan bahwa cara yang paling tepat untuk meningkatkan kesempatan kerja dan berusaha di Indonesia adalah melalui pembangunan agribisnis. Kontraksi perekonomian agregat pada tahun 1998 menyebabkan penurunan penyerapan tenaga kerja nasional sebesar 2,13 % atau sekitar 6,43 juta orang. Penyerapan tenaga kerja sektor pertambangan dan galian turun sebesar 290,5 ribu orang (-32,4 %), sektor industri manufaktur turun sebesar 1,38 juta orang (-12,36 %), sektor bangunan turun sebesar 1,75 juta orang (-41,62 %), perdagangan dan hotel turun 2,27 juta orang (-13,22 %), sektor keuangan, persewaan turun sebesar 141,7 juta orang (-13,10 %). Namun penyerapan tenaga kerja sektor pertanian naik sebesar 432,5 ribu orang atau sektiar 1,21 persen. Hal ini menunjukkan bahwa sektor agribisnis mampu mengurangi beban pengangguran nasional akibat krisis ekonomi. Ekspor produk sektor pertanian juga mengalami peningkatan yang cukup besar selama krisis ekonomi. Dibandingkan dengan ekspor tahun 1997, ekspor pertanian tahun 1998 naik sebesar 26,5 persen. Peningkatan ekspor pertanian selama masa krisis (1997-1998) jauh lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata sebelum krisis yang hanya sebesar 4,5 persen per tahun (1982-1997). Sebaliknya ekspor produk manufaktur turun sebesar 4,2 persen selama tahun 1997-1998. Penurunan juga terjadi pada hampir semua ekspor produk industri berbahan baku impor.
R1_Refleksi AGB.indd 119
07/04/2010 19:03:58
120
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
Bukti historis dan empiris kontribusi agribisnis dalam perekonomian Indonesia tersebut di atas mengungkapkan bahwa suatu pembangunan ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kesempatan kerja dan berusaha, serta peningkatan devisa negara di Indonesia akan dapat dicapai melalui pembangunan agribisnis. Pembangunan agribisnis juga merupakan penyumbang terbesar dalam struktur ekonomi hampir setiap daerah. Sektor agribisnis adalah penyumbang terbesar dalam PDRB dan ekspor daerah. Demikian juga dalam penyerapan tenaga kerja, kesempatan berusaha di setiap daerah, sebagian besar disumbang oleh sektor agribisnis. Karena itu, melalui percepatan modernisasi agribisnis di setiap daerah akan secara langsung memodernisasi perekonomian daerah dan dapat memecahkan sebagian besar persoalan ekonomi di daerah.
Tantangan Penerapan Agribisnis Walaupun sudah bergema di mana-mana dan secara formal telah dijadikan kebijakan pembangunan pertanian selama periode pemerintahan 2000-2004 (seiring dengan Prof. Bungaran dipercaya sebagai Menteri Pertanian), serta sudah pula mulai menampakkan hasil yang menggembirakan, namun masih ada kalangan baik birokrat maupun teknokrat yang belum sepenuhnya yakin akan paradigma agribisnis dalam pembangunan pertanian. Bahkan setelah periode tersebut, terkesan paradigma agribisnis ingin ditinggalkan. Diantara mereka ada yang menyatakan bahwa kebijakan pembangunan sistem dan usaha agribisnis sebagai kebijakan yang mengawang-awang, tidak membumi dan tidak jelas arahnya. Walaupun dalam hal ini penulis merupakan bagian dari kelompok yang sangat meyakini akan paradigma agribisnis, tetapi penulis juga tidak bisa menyalahkan anggapan kelompok lain yang seolaholah berseberangan. Pandangan yang seolah-olah berseberangan tersebut dapat bersumber dari beberapa faktor, antara lain: (a) Mungkin konsep pemikiran sistem dan usaha agribisnis yang belum sepenuhnya utuh (seperti indikator spesifik untuk mengukur kinerja agribisnis yang belum terumuskan dengan baik dan belum jelasnya program/kegiatan apa yang di prioritaskan sebagai titik awal menerapkan kebijakan agribisnis), (b) Lingkungan birokrasi penerapannya yang belum kondusif (memerlukan sosialisasi yang intensif, koordinasi lintas sektor dan institusi, organisasi dan tatalaksana yang sesuai, serta tekad politik yang kuat), dan (c) Kebiasaan pemangku kebijakan yang ingin menempuh kebijakan berbeda dari yang sudah diterapkan pendahulunya.
R1_Refleksi AGB.indd 120
07/04/2010 19:03:58
Dr. Abdul Basit
121
Belum Terumuskannya Indikator Spesifik Suatu konsep pemikiran yang akan diterapkan menjadi kebijakan memang sudah selayaknya memunculkan parameter yang dapat dijadikan indikator sasaran kebijakan yang akan dicapai. Indikator-indikator tersebut tidak hanya sebagai sarana untuk evaluasi dan panduan dalam merancang program dan kegiatan, tetapi juga sebagai sarana untuk memberikan jaminan dan keyakinan kepada publik (termasuk birokrat dan teknokrat pelaksana dan atau pengamat) bahwa kebijakan yang ditempuh telah dirancang secara konstruktif dan jelas tujuan akhirnya. Sayangnya dalam konsep pemikiran pengembangan sistem dan usaha agribisnis, indikator-indikator tersebut belum terumuskan secara jelas sejak awal. Akibatnya, publik masih mengandalkan indikator-indikator lama yang selama ini mereka anggap sebagai indikator kinerja pembangunan pertanian, antara lain seperti: peningkatan produksi komoditas pertanian serta pertumbuhan GDP sektor pertanian. Ketika program dan kegiatan yang dirancang dalam kebijakan pembangunan sistem dan usaha agribisnis tidak secara langsung tertuju pada upaya peningkatan produksi, maka mereka beranggapan program dan kegiatan tersebut tidak jelas atau mengawang-awang. Hal ini mengisyaratkan perlunya kebijakan sistem dan usaha agribisnis memunculkan indikator-indikator kinerja sejak awal sesuai dengan sasaran kebijakannya. Sebagai contoh, indikator seperti pertumbuhan jumlah usaha agribisnis, peningkatan nilai tambah produk pertanian, indeks daya saing komoditas pertanian, keterlibatan petani/ kelompok tani dalam kegiatan off-farm (kegiatan di hulu dan hilir sistem agribsinis), daya tarik dan dorong (backward dan forward linkages) agribisnis terhadap sektor ekonomi lainnya, dan lain-lain dapat dijadikan indikator pembangunan sistem dan usaha agribisnis. Memang indikator-indikator sistem dan usaha agribisnis seperti dicontohkan di atas belum ada dalam publikasi resmi Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia. Tetapi Kementerian Pertanian sangat dimungkinkan untuk melakukan kerjasama dengan BPS untuk mempublikasikan indikatorindikator yang dimaksud. Upaya ini merupakan hal yang perlu dilakukan untuk memberikan pembelajaran kepada publik bahwa kebijakan sistem dan usaha agribisnis memang merupakan pendekatan pembangunan pertanian terobosan yang berbeda baik konsep maupun sasarannya, jika dibandingkan dengan masa lalu.
R1_Refleksi AGB.indd 121
07/04/2010 19:03:58
122
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
Prioritas Program dan Kegiatan sebagai Titik Awal Pengembangan sistem dan usaha agribisnis merupakan upaya merangkai dan menyinergikan sub-sistem/komponen (hulu, on-farm, pengolahan, pemasaran, dan subsistem pendukung) yang ada dalam suatu cluster agribisnis. Sebagai suatu sistem dengan cluster yang sangat banyak jumlah, ragam, dan cakupannya (nasional, regional dan lokal), maka sangatlah sulit bahkan bisa dikatakan mustahil untuk membenahi sistem dan cluster tersebut secara keseluruhan dalam waktu bersamaan mengingat keterbatasan sumberdaya pembangunan pertanian yang ada (waktu, anggaran, dan tenaga). Selain itu perkembanagan sub-sistem/komponen dalam suatu cluster agribisnis yang sudah ada (existing) cukup bervariasi kemajuannya (ada yang sudah maju dan ada pula yang masih perlu didorong pemerintah), hingga tidak perlu semuanya ditangani Pemerintah. Pemerintah hanya perlu membenahi subsistem/ komponen yang masih lemah/tertinggal serta mengarahkan aktivitas ekonomi antar subsistem/komponen dalam suatu cluster agribisnis agar dapat saling bersinergi dengan prinsip saling menguntungkan. Itulah seharusnya yang menjadi titik awal bentuk dorongan, fasilitasi, promosi maupun proteksi dalam pembangunan sistem dan usaha agribisnis. Upaya mencari titik awal penerapan kebijakan oleh Pemerintah di atas tentu saja membutuhkan pemetaan kembali (re-mapping) secara menyeluruh tentang kondisi perkembangan sistem dan usaha agribisnis yang ada di Indonesia. Dengan kata lain, dibutuhkan data dan informasi yang akurat tentang kondisi dan status subsistem/komponen cluster agribisnis serta bentuk keterkaitannya satu sama lain. Kalau peta situasi agribisnis ini tidak tersedia atau tidak bisa disiapkan dalam waktu segera, maka akan sulit untuk membuat prioritas program/kegiatan untuk memulai penerapan kebijakan sistem dan usaha agribisnis. Akibatnya dalam membuat program dan kegiatan tahunan, para perencana di lingkup Kementerian Pertanian tidak memiliki arahan yang jelas dan cenderung merancang program/kegiatan yang belum tentu sesuai dengan hakekat penerapan kebijakan sistem dan usaha agribisnis.
Belum Sepenuhnya Tersosialisasi Konsep pemikiran tentang Sistem dan Usaha Agribisnis yang kelahirannya lebih banyak di dominasi oleh persepsi kalangan akademisi memang secara teoritis tidak sulit untuk diterapkan. Dari kacamata akedemisi dan lingkungan kampus, konsep tersebut tidak membutuhkan pemahaman yang rumit. Tetapi dalam kenyataan konsep ini diterapkan pada lingkup birokrasi Kementerian
R1_Refleksi AGB.indd 122
07/04/2010 19:03:58
Dr. Abdul Basit
123
Pertanian. Hubungan yang terjadi tentu saja hubungan birokrasi antara atasan dan bawahan yang mempunyai tugas pokok dan fungsinya masing-masing. Sosialisasi konsep agribisnis kepada para birokrat rupanya jauh lebih sulit dibandingkan mengajarkan konsep agribisnis kepada seorang murid di lingkungan kampus. Sementara itu sebagian besar koordinasi dan implementasi konsep agribisnis tersebut berada ditangan para birokrat Kementerian Pertanian, mulai Eselon I sampai dengan Eselon IV bahkan para staf Kementrian Pertanian secara keseluruhan. Agribisnis pasti akan tersendat-sendat implementasinya bila para pejabat dan staf yang menjadi implementatornya tidak sepenuhnya yakin dan atau tidak memahami dengan baik akan konsep baru tersebut. Hal itulah yang penulis amati sesungguhnya terjadi, di mana para birokrat seolah-olah bersikap paham dan menerima konsep agribisnis, tetapi itu terjadi hanya karena ingin terlihat patuh pada atasan. Dalam prakteknya, mereka tetap melaksanakan program/kegiatan yang sudah biasa mereka lakukan walaupun dengan berusaha mengaitngaitkan program/kegiatan yang biasa mereka lakukan tersebut sehingga seolah-olah mendukung dan relevan dengan konsep agribisnis. Implementasi agribisnis seperti ini lebih bersifat semu hingga penerapan paradigma baru pembangunan pertanian seolah-olah hanya pergantian “baju”, tetapi isinya tidak banyak berubah.
Kesiapan Organisasi Birokrasi Kebijakan pengembangan sistem dan usaha agribisnis merupakan suatu payung besar kebijakan pembangunan pertanian, dimana dalam penerapannya akan dijabarkan kembali dalam bentuk program dan kegiatan sub-sistem/komponen agribinis yang satu sama lain saling terkait dalam bentuk hubungan fungsional. Oleh karena itu, organisasi Kementerian Pertanian yang menjadi pelaksana utama kebijakan tersebut juga harus siap dengan struktur organisasi yang mencerminkan pelaksanaan sub-sistem agribisnis, di mana setiap tingkatan struktur harus dirancang untuk dapat saling memiliki hubungan fungsional pula. Dalam kenyataannya, organisasi Kementerian Pertanian memang sudah memiliki struktur yang relatif sesuai dengan subsistem agribisnis, khususnya pada tingkat Eselon I. Tetapi pada tingkat Eselon II, III dan IV struktur tersebut menjadi beragam, tidak lagi mengikuti fungsi-fungsi sub-sistem agribisnis. Akibatnya, sangat sulit untuk memadukan fungsi-fungsi dari struktur organisasi Kementerian Pertanian ke dalam fungsi-fungsi sub-sistem agribisnis secara utuh dan sinergis. Pada tingkat Eselon I memang ada komitmen untuk saling bersinergi, tetapi pada
R1_Refleksi AGB.indd 123
07/04/2010 19:03:58
124
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
tingkat Eselon di bawahnya sinergisme itu akan sangat sulit diterapkan. Hal ini disebabkan Eselon II s/d IV yang ada di bawah Eselon I tertentu secara fungsi tidak lagi terikat oleh keharusan untuk melakukan fungsi sub-sistem agribisnis yang terpadu (cluster, waktu, komoditas, dan wilayah/lokasi yang sama) dengan Eselon II s/d IV yang berada di bawah Eselon I lainnya di lingkup Kementerian Pertanian.
Butuh Koordinasi Pembangunan sistem dan usaha agribisnis merupakan tugas yang besar dan kompleks yang melibatkan berbagai instansi dan lembaga terkait sehingga diperlukan sistem manajemen yang baik untuk mengorkestra proses pembangunan secara harmonis. Mekanisme perencanaan perlu dirancang melalui perpaduan antara mekanisme dari bawah (bottom up) dan perencanaan dari atas (top-down). Di tingkat Kabupaten dan tingkat propinsi telah tersedia forum Rapat Koordinasi Pembangunan Pertanian Tingkat II (Rakorbangtan II) dan Rapat Koordinasi Pembangunan Pertanian Tingkat I (Rakorbangtan I). Kedua forum tersebut memerlukan penyesuaian agar substansi yang dibahas secara lintas sub-sektor dan lintas sektor relevan dengan pembangunan sistem dan usaha agribisnis yang akan dilaksanakan. Perencanaan di tingkat petani di laksanakan dengan metode partisipatif, yaitu menempatkan petani sebagai bagian terpenting dalam usaha agribisnis, di mana petani diberikan kesempatan untuk berperan sebagai pemilik, pelaku dan pengelola usaha agribisnis. Melalui perencanaan partisipatif, petani terlibat langsung dalam penyusunan Rencana Usaha Agribisnis melalui musyawarah yang difasilitasi oleh Penyuluh Pertanian. Di tingkat Pusat, perencanaan pembangunan sistem dan usaha agribisnis juga memerlukan forum yang secara formal dapat mengkoordinasikan berbagai hal yang berkaitan dengan pengembangan agribisnis nasional. Pada hakekatnya, pembangunan sistem dan usaha agribisnis tidak mengenal batas-batas administrasi pemerintahan (kabupaten, propinsi) dan bersifat lintas sektoral. Untuk itu diperlukan adanya sinkronisasi kegiatan pembangunan sistem dan usaha agribisnis yang lebih luas dari batasbatas administratif pemerintahan dan kesektoran. Sinkronisasi kegiatan pembangunan sistem dan usaha agribisnis mencakup: (1) sinkronisasi antar instansi/departemen level pusat termasuk dengan perwakilan di Luar Negeri (2) sinkronisasi kegiatan pembangunan sistem dan usaha agribisnis
R1_Refleksi AGB.indd 124
07/04/2010 19:03:59
Dr. Abdul Basit
125
antara pusat dan daerah, (3) sinkronisasi antar dinas di daerah (Propinsi dan Kabupaten/Kota) dibidang sistem dan usaha agribisnis, dan (4) sinkronisasi antar daerah/wilayah (antarPropinsi, antarKabupaten, antara Propinsi dan Kabupaten). Kegiatan sinkronisasi diarahkan untuk membangun komitmen dari setiap stakeholder dalam pembangunan sistem dan usaha agribisnis. Langkahlangkah yang perlu dilakukan dalam membangun komitmen adalah: (1) sosialisasi program pembangunan sistem dan usaha agribisnis, (2) penyusunan perencanaan terpadu yang disepakati, (3) membangun net-working diantara stakeholders pembangunan sistem dan usaha agribisnis, dan (4) penyusunan action plan secara terpadu. Pelaksanaan pembangunan sistem dan usaha agribisnis diserahkan kepada masyarakat sesuai kemampuannya dengan difasilitasi oleh pemerintah secara konsisten dan berkelanjutan. Untuk pembangunan agribisnis berskala luas dalam masyarakat, pemerintah perlu mendorong gerakan-gerakan yang tumbuh dari masyarakat melalui upaya pemberdayaan kelembagaan masyarakat dan menumbuhkan kemandirian petani dalam agribisnis. Dari gambaran kebutuhan koordinasi di atas dan pengalaman dari pengimplementasian konsep agribisnis menunjukkan sungguh tidaklah mudah melakukan koordinasi dan penetapan komitmen bersama antar instansi/lembaga. Seorang Menteri Pertanian adalah sama dan sederajat dengan para Menteri atau pimpinan Lembaga Negara lainnya. Walaupun Menteri Pertanian berinisiatif melakukan koordinasi dengan para pimpinan instansi/lembaga lainnya, tetapi rupanya itu belum cukup, masih diperlukan mekanisme lain yang mungkin lebih bersifat “memaksa”. Demikian pula dengan di daerah, dimana di era otonomi para Gubernur dan Bupati tidak mudah untuk diarahkan saling bersinergi, baik secara vertikal maupun horizontal.
Tekad Politik Selain dukungan dari rakyat (petani) dan wakil rakyat (Dewan Perwakilan Rakyat), kemauan politik (political will) dari pimpinan tertinggi negara ini dalam pembangunan agribisnis mutlak diperlukan. Selain itu komitment untuk saling bersinergi dari para Menteri, Pimpinan Lembaga non Kementerian, para Gubernur dan Bupati, serta semua pihak yang menangani dan bertanggung jawab terhadap pengembangan agribisnis juga sangat dibutuhkan. Bahkan dalam era otonomi daerah komitmen bersama
R1_Refleksi AGB.indd 125
07/04/2010 19:03:59
126
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
antar para gubernur, antar gubernur dan bupati serta antar para bupati memainkan peran sangat penting dan strategis bagi kemajuan pembangunan daerah, tak terkecuali bagi kemajuan agribisnis. Kebijakan yang diperlukan pembangunan agribisnis sebenarnya tidak terlalu sulit, hanya saja diperlukan kesepakatan, keberanian dan kemauan politik diantara para pengambil kebijakan yang ada.
Ingin Kebijakan Berbeda Ada juga kesan bahwa individu atau kelompok tertentu yang dipercaya untuk menjadi pemangku utama pengambilan kebijakan pembangunan pertanian ingin memiliki ciri dan kekhasan tersendiri sebagai suatu atribut yang berbeda dari pendahulunya, termasuk dalam penetapan kebijakan. Apabila pendahulunya sudah menetapkan agribisnis sebagai payung utama kebijakan pembangunan pertanian, maka pemangku kebijakan baru cenderung untuk menghilangkan atribut yang melekat pada pendahulunya tersebut, walaupun sebenarnya kebijakan yang dibuat pendahulunya perlu keberlanjutan dan tidak bisa selesai dalam satu periode masa kepemimpinan saja. Tentu saja hal ini tidak salah, tetapi perlu dilandasi oleh alasan logis dan evaluasi akademis bahwa kebijakan yang dilakukan terdahulu tersebut memang tidak layak untuk dilanjutkan. Tetapi kalau perubahan kebijakan tersebut dilakukan tanpa alasan yang jelas, maka tentu saja ini merupakan ancama besar bagi berkembangnya suatu konsep dan implementasi kebijakan, termasuk kebijakan pengembangan sistem dan usaha agribisnis.
Catatan Penutup Karakteristik khusus yang dimiliki sistem agribisnis seperti ketergantungan (interdepedency) yang kuat antar sub-sistem, antar unitunit kegiatan dalam satu sub-sistem, serta dukungan yang kuat dari subsistem/kegiatan pendukung, menuntut teamwork SDM agribisnis yang harmonis. Berbagai bentuk masalah yang menjadi kendala perkembangan sistem agribisnis banyak bersumber dari ketidakharmonisan SDM atau tidak berjalannya suatu teamwork secara sinergis. Pelaku ekonomi pada subsistem agribisnis hulu yang cenderung bertindak demi kepentingan sendiri dan tidak melihat konsekuensi perilakunya pada subsistem on-farm agribusiness dan subsistem agribisnis hilir, sering menimbulkan konflik ekonomi dalam sistem agribisnis secara keseluruhan. Demikian juga pelaku ekonomi pada sub-sistem agribisnis hilir, yang bertindak demi kepentingan sendiri dan tidak melihat
R1_Refleksi AGB.indd 126
07/04/2010 19:03:59
Dr. Abdul Basit
127
konsekuensi tindakannya pada sub-sistem hulu dan on-farm agribusiness. Kondisi ini semakin diperburuk pula oleh kebijaksanaan atau layanan yang disediakan oleh lembaga penyedia jasa sistem agribisnis (pemerintah, perbankan, dan lain-lain) yang tidak integratif dilihat dari tuntutan agribisnis sebagai suatu sistem, sehingga sering menciptakan optimisme pada sub-sistem tertentu dan pesimisme pada subsistem yang lain. Berbagai kondisi tersebut dipandang dapat merugikan perkembangan sistem agribisnis dan tentu saja juga merugikan semua pelaku/usaha agribisnis secara keseluruhan. 1. Lingkungan perguruan tinggi dengan lingkungan birokrasi sungguh merupakan dua lingkungan yang sangat berbeda. Suatu konsep pemikiran yang secara jernih dan menggunakan pendekatan ilmiah dilahirkan di perguruan tinggi ternyata bisa menemui banyak kendala (constrains) ketika diimplementasikan di lingkungan birokrasi. Secara faktual ke dua lingkungan tersebut telah tumbuh, berkembang, dan mengakar sesuai dengan karakteristiknya masing-masing. Oleh karena itu, walaupun bukan merupakan sesuatu hal yang mustahil, tetapi membutuhkan tenaga ekstra dan waktu yang sangat panjang bagi masing-masing lingkungan untuk saling menyesuaikan diri. Pelajaran berharga yang bisa kita tarik dalam hal ini adalah perlunya suatu konsep pemikiran untuk mengakomodasi sejumlah karakteristik (khususnya yang berpotensi menjadi kendala) pada lingkungan mana konsep itu akan diterapkan. 2. Suatu konsep pemikiran akan selalu berkembang dan tidak akan pernah ada konsep yang bersifat final, termasuk konsep pembangunan pertanian melalui paradigma pembangunan sistem dan usaha agribisnis. Oleh karena itu, walaupun banyak kendala yang ditemui dalam pengimplementasiannya, hal tersebut bukanlah selalu berarti konsepnya yang salah. Kendala pelaksanaan akan selalu ada, sebaik dan sesempurna apapun sebuah konsep. Selama kendala tersebut tidak bersifat permanen atau memungkinkan dan feasible untuk dikurangi bahkan ditiadakan, maka tidak logis untuk menyalahkan suatu konsep. Tetapi tidak sedikit pula kalangan yang secara terburu-buru langsung ingin mengganti konsepnya begitu menemui kendala, tanpa membayangkan bahwa konsep baru juga pasti akan mengalami hal yang sama. Pelajaran berharga yang bisa kita tarik dari situasi seperti ini adalah wajar kalau selama ini kita tidak memiliki konsep yang utuh dan solid tentang pembangunan pertanian di Indonesia karena memang selalu memandang suatu konsep bersifat final. Bagi mereka, begitu menemukan kendala sama artinya dengan konsepnya salah dan harus segera ditinggalkan.
R1_Refleksi AGB.indd 127
07/04/2010 19:03:59
128
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
3. Seorang ilmuwan akan sangat ideal mempertahankan atau dominan memunculkan sifat-sifat keilmuwanannya ketika berada di lingkungan akademis (termasuk di perguruan tinggi), tetapi ketika berada di lingkungan birokrasi, lebih-lebih sebagai pimpinan di lingkungan birokrasi tersebut, maka sikap sebagai seorang birokrat juga selayaknya dikedepankan. Memang perubahan status tersebut tidak perlu sampai meniadakan sifat-sifat keilmuwanan yang sudah lama melekat, tetapi itu belum cukup harus dipaksakan juga menerapkan prinsip-prinsip hubungan atasan-bawahan secara tegas dan bijak. Kalau seorang ilmuwan dengan sabar memberi pelajaran dan membimbing muridnya secara berulang-ulang untuk sampai mengerti dan memahami materi yang diajarkan, maka hal tersebut tidak begitu relevan diterapkan dalam dunia birokrasi. Dalam institusi birokrasi memiliki tugas pokok dan fungsi yang tingkat kesuksesannya ditentukan oleh kerjasama tim, baik secara horizontal (antar pejabat) maupun vertikal (antara atasan dan bawahan). Setiap pejabat memang perlu diberi kesempatan untuk belajar dan ditoleransi kalau berbuat kesalahan, tetapi pembelajaran tidak mungkin dilakukan secara berulang-ulang atau apalagi mengulang kesalahan yang sama. Kalau memang kesempatan dan toleransi yang sudah diberikan tersebut tidak membuat seseorang menjadi lebih baik, maka tentu saja harus diiringi dengan sangsi yang tegas, agar kinerja tim secara keseluruhan selalu mengalami perbaikan.
R1_Refleksi AGB.indd 128
07/04/2010 19:04:01