PENGELOLAAN TANAMAN TEBU (Saccharum officinarum.L) LAHAN KERING DI PT GULA PUTIH MATARAM, LAMPUNG DENGAN ASPEK KHUSUS TEBANG, MUAT, DAN ANGKUT
OLEH DHIYAUDZDZIKRILLAH A24062623
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
RINGKASAN DHIYAUDZDZIKRILLAH. Pengelolaan Tanaman Tebu (Saccharum officinarum) Lahan Kering di PT Gula Putih Mataram, Lampung, Dengan Aspek Khusus Tebang, Muat, dan Angkut. (Dengan pembimbing Ir. Purwono, MS.) Kegiatan magang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan serta kemampuan teknis dan manajemen budidaya tebu. Aspek khusus yang diamati dalam magang ini adalah sistem tebang, muat, dan angkut di PT Gula Putih Mataram. Kegiatan magang dilaksanakan dari tanggal 15 Febuari dan berakhir pada tanggal 15 Juli 2010 di perkebunan
tebu PT Gula Putih
Mataram, Lampung. Kegiatan magang menggunakan dua metode yaitu metode langsung dengan pengamatan pelaksanaan kegiatan teknis budidaya terutama terhadap sistem tebang, muat, dan angkut. Metode yang kedua adalah metode tidak langsung dengan mempelajari dan menganalisis laporan pihak kebun dan studi pustaka. PT Gula Putih Mataram menerapkan sistem panen burn cane atau tebu bakar. Sistem pembakaran menjadi faktor yang perlu diperhatikan oleh perusahaan karena berpengaruh terhadap kelestarian dan fungsi metabolisme tebu sendiri serta pengaruh lainnya terhadap lingkungan. Pembakaran yang bijak akan memberikan keuntungan bagi perusahaan maupun daerah sekitar. Penebangan tebu dilakukan secara manual atau menggunakan tenaga manusia dengan alat berupa golok tebang. Sistem muat dan angkutnya dibedakan atas sistem tebu urai (loose cane) dan tebu ikat (bundle cane). Perbedaan antara dua sistem tersebut yaitu pemakaian mesin untuk memuatnya. Sistem loose cane dimuat dengan menggunakan grabloader dan sidetyping setelah tebu ditebang dan ditumpuk di areal. Selanjutnya tebu dipindahkan ke truk atau trailer untuk diangkut ke pabrik. Tebu pada sistem bundle cane, setelah ditebang kemudian diikat dengan kulit tebu dan selanjutnya dimuat ke bundle truck, dan selanjutnya diangkut ke pabrik. Curah hujan yang tinggi cukup mempengaruhi proses tebang, muat, dan angkut. Tingginya curah hujan menyebabkan tebu tidak bisa dibakar ataupun dipanen. Proses muat dan pengiriman tebu ke pabrik pun terhambat karena adanya faktor kesulitan penggunaan alat di areal atau jalan yang basah. Semakin tinggi
curah hujan maka semakin berkurang pengiriman tebu ke pabrik (-0.417). Hal ini pun akan berpengaruh terhadap brix dan pol tebu. Pola penebangan yang masih menggunakan tebang rangkul menunjukkan adanya kehilangan hasil di areal, walaupun evaluasi kehilangan hasil masih lebih baik dibandingkan standarnya. Pada pelaksanaannya perlu dilakukan pengawasan dengan tepat, baik pemberian peringatan bagi tim pekerja yang kurang sesuai dengan standar maupun pemberian reward untuk pekerjaan yang sesuai. Kebutuhan tenaga kerja cukup besar selama on season, terutama untuk tenaga penebang. Jumlah tenaga tebang yang sedikit menjadi kendala dalam manajemen tebangan. Jumlah tenaga kerja yang ada harus mampu memenuhi kapasitas giling pabrik demi menjaga efisiensi kerja pabrik. Kekurangan tenaga tebang yang terjadi saat ini dikarenakan banyaknya profesi lain yang lebih diminati dan menguntungkan pekerja serta adanya persaingan pemberian upah dengan perkebunan tebu lainnya.
PENGELOLAAN TANAMAN TEBU (Saccharum officinarum.L) LAHAN KERING DI PT GULA PUTIH MATARAM, LAMPUNG DENGAN ASPEK KHUSUS TEBANG, MUAT, DAN ANGKUT
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
OLEH DHIYAUDZDZIKRILLAH A24062623
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
v
Judul
: PENGELOLAAN TANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.) LAHAN KERING, DI PT GULA PUTIH MATARAM, LAMPUNG (DENGAN ASPEK KHUSUS TEBANG, MUAT, DAN ANGKUT
Nama
: DHIYAUDZDZIKRILLAH
NRP
: A24062623
Menyetujui, Dosen Pembimbing
(Ir. Purwono, MS.) NIP: 19580922 198203 1 001
Mengetahui, Ketua Departemen
(Dr. Ir. Agus Purwito, MSc. Agr) NIP: 19611101 198703 1 003
Tanggal lulus:
vi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 30 Juni 1988. Penulis merupakan anak keempat dari empat bersaudara dari pasangan Abdul Aziz Yasin dan Anisah Asfas. Penulis lulus dari SDN Depok 2 pada tahun 2000. Pada tahun 2003 penulis berhasil menyelesaikan pendidikan dari SLTPN 2 Depok untuk selanjutnya masuk ke SMAN 1 Depok pada tahun 2003 dan lulus pada tahun 2006. Tahun 2006 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI. Pada tahun 2007, saat penulis tingkat dua, penulis berhasil diterima di Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB (angkatan kedua kurikulum mayor-minor). Penulis aktif dalam keorganisasian sejak tingkat SLTP hingga SLTA di bidang kerohanian islam dan pendidikan. Penulis pernah menjadi perwakilan Kota Depok dalam Olimpiade Kimia Tingkat SLTA se-Jawa Barat. Saat menjadi mahasiswa, penulis aktif di beberapa organisasi seperti BIRENA (2006-2008) dan LPQ (2007-2008) DKM Al-Hurriyyah, staff Forum Komunikasi Rohis Departemen (FKRD) periode 2007-2008. Pada tahun 2008-2011, penulis terlibat pada pembinaan mahasiswi baru sebagai Senior Residence (SR) Asrama Putri TPB IPB. Selain itu, penulis aktif dalam beberapa seminar yang berhubungan dengan perkembangan dunia pendidikan dan pertanian. Selama kuliah, penulis mendapatkan beasiswa yang mendukung kegiatan penulis terutama dalam peningkatan belajar, diantaranya PPA (2006-2009) dan Korean Exchange Bank/KEB (2010). Salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian, penulis melakukan kegiatan magang skripsi yang berjudul “Pengelolaan Tanaman Tebu (Saccharum officinarum L.) di PT Gula Putih Mataram, Lampung (dengan aspek khusus Tebang, Muat, dan Angkut)” di bawah bimbingan Ir. Purwono, MS.
vii
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan kegiatan magang dan penyusunan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini berjudul “ Pengelolaan Tanaman Tebu (Saccharum officinarum L.) Lahan Kering, Di PT Gula Putih Mataram, Lampung, dengan Aspek Khusus Tebang, Muat, dan Angkut”. Skripsi ini memberikan gambaran mengenai kegiatan magang yang dilaksanakan oleh penulis. Pelaksanaan magang dan penulisan skripsi ini dalam rangka menyelesaikan tugas akhir sebagai salah satu syarat kelulusan di Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Penulis menyampaikan terimakasih kepada: 1. Ibu dan ayah tercinta yang telah mendidik dan mendo’akan dalam setiap sujudnya selama ini, 2. Keluarga besar (Ce Shanti dan Bang Mujahid, Aa Rama dan Ce Ana, Ce Enten dan Ka Dodi, dan 7 keponakan yang luar biasa) yang telah memberikan dorongan, menginspirasi, dan menjadi penyejuk mata, 3. Ir. Purwono, MS. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan nasihat dan saran selama bimbingan, 4. Dr. Ir. Hariyadi, MS dan Dwi Guntoro, SP. MS selaku dosen penguji yang telah memberikan nasihat dan saran selama penyusunan skripsi, 5. Dr. Ir. Winarso D. Widodo, MS selaku dosen pembimbing akademik yang telah mengarahkan selama program studi serta membantu dalam keperluan beasiswa, 6. Ir. C. Sudrajat Widiarso sebagai Harvesting Manager PT GPM sekaligus pembimbing lapang yang telah membantu pembelajaran di lapangan selama magang, 7. Ir. H. A. Amin Budiarto selaku Plantation Manager beserta staff, karyawan serta pihak lainnya di PT GPM yang telah mendukung pelaksanaan magang, 8. Ika Yuli Astuti dan Nita Choirunnisa, teman sebimbingan yang telah menemani dan berjuang bersama-sama dalam tugas akhir ini,
viii
9. Teman-teman AGH43 yang bersama-sama berjuang mengejar cita-cita dan memberikan banyak warna indah selama kuliah, 10. Teman-teman Jelitaqu dan Mba Yof yang telah membantu, memotivasi, dan menginspirasi tuk menjadi yang terbaik di dunia dan akhirat, 11. Teman-teman SR, BPA dan staff Asrama TPB yang telah memberikan banyak kesempatan untuk penulis berkarya di asrama dan IPB, 12. Teman-teman FKRD, BIRENA, dan LPQ DKM Al-Hurriyyah yang menjadi pelabuhan untuk bermuhasabah dan beramal nyata, 13. Guru-guru dan murid-murid SDIT Al-Kautsar yang special dan luar biasa, mewarnai indahnya perjalanan tugas akhir, 14. Orang-orang luar biasa yang berada di sekitar kehidupan penulis yang bekerja keras membantu penyusunan skripsi ini serta menjadi motivator dan muhasabah diri untuk selalu bersyukur dan bersabar
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada pihak-pihak lainnya yang telah memberikan doa, dorongan dan dukungan baik moril maupun materil dalam penulisan skripsi ini. Penulis pun meminta maaf atas kekurangan dalam penyusunan skripsi ini, karena penulis menyadari bahwa skripsi magang ini masih jauh dari kesempurnaan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi masyarakat, terutama dalam perkembangan ilmu pertanian.
Bogor, Mei 2011
Penulis
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL .............................................................................................. xi DAFTAR GAMBAR......................................................................................... xii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xiii PENDAHULUAN............................................................................................... 1 Latar Belakang ................................................................................................ 1 TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................... 4 Botani dan Syarat Tumbuh Tebu...................................................................... 4 Budidaya Tebu Lahan Kering .......................................................................... 6 Kemasakan dan Pemanenan Tebu .................................................................... 8 Pembakaran ................................................................................................... 10 Sistem Tebang, Muat, dan Angkut ................................................................. 12 Trash dan Tebu Tertinggal............................................................................. 15 METODE MAGANG ....................................................................................... 17 Tempat dan Waktu ........................................................................................ 17 Metode Pelaksanaan ...................................................................................... 17 Pengamatan dan Pengumpulan Data .............................................................. 18 Analisis Data dan Informasi........................................................................... 19 KEADAAN UMUM PERUSAHAAN............................................................... 20 Sejarah dan Perkembangan Perusahaan.......................................................... 20 Letak Geografis dan Topografi ...................................................................... 21 Keadaan Tanah dan Iklim .............................................................................. 21 Luas Areal dan Tata Guna Lahan................................................................... 22 Keadaan Tanaman dan Perkembangan Produksi ............................................ 22 Keragaan Pabrik ............................................................................................ 23 Struktur Organisasi dan Ketenagakerjaan....................................................... 23 PELAKSANAAN KEGIATAN MAGANG ...................................................... 25 Aspek Teknis................................................................................................. 25 Persiapan Lahan (Land Preparation) .......................................................... 25 Pembibitan dan Persiapan Bahan Tanam .................................................... 34 Persiapan Tanam dan Penanaman............................................................... 36 Pengairan/Irigasi ........................................................................................ 37 Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman......................................... 38 Kultivasi (Cultivation)................................................................................ 42 Pemupukan (Fertilizer) .............................................................................. 44 Pemeliharaan Tanaman Keprasan (Ratoon Cane/RC) ................................. 45 Kegiatan Tebang, Muat, dan Angkut .......................................................... 46 Evaluasi Kehilangan Hasil (Cane Wastage)................................................ 57 Proses Pengolahan Gula di Pabrik .............................................................. 58 Aspek Manajerial .......................................................................................... 60 Pengorganisasian Kebun............................................................................. 60 Deskripsi Kerja Karyawan.......................................................................... 61
x
PEMBAHASAN ............................................................................................... 63 Pengaruh Curah Hujan dengan Sistem Pemanenan Tebu................................ 63 Pelaksanaan Tebang ...................................................................................... 65 Transportasi/Angkutan Tebu.......................................................................... 67 Tenaga Kerja ................................................................................................. 67 KESIMPULAN DAN SARAN.......................................................................... 69 Kesimpulan ................................................................................................... 69 Saran ............................................................................................................. 69 DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 71 LAMPIRAN...................................................................................................... 73
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Rencana dan Realisasi Program Tebangan PT GPM 2010 .................... 51 Tabel 2. Kehilangan Tebu di Jalan pada Sistem Loose Cane dan Bundle Cane.. 56 Tabel 3. Kualitas Tebangan Sistem Loose Cane dan Bundle Cane ..................... 58 Tabel 4. Korelasi Tebu Terkirim Berdasarkan Waktu Pembakaran (Burn to crush) periode Juni 2010 .............................................................................................. 64 Tabel 5. Trend Jumlah Tenaga Kerja PT GPM Periode 2007-2010 .................... 68
xii
DAFTAR GAMBAR
Diagram 1. Tahapan Land Preparation (LP), Mechanical Maintenance Replanting Cane (RPC)............................................ 26 Diagram 2. Tahapan Mechanical Maintenance Ratoon Cane (RC) ..................... 45 Diagram 3. Tahapan Harvesting Program ......................................................... 47 Diagram 4. Tahapan Analisa Kemasakan (Maturity Test) .................................. 49 Diagram 5. Tahapan Pengukuran Nilai Brix dan Pol Tebu ................................. 50
Gambar 1. Pencacahan Tunggul (Brushing)....................................................... 27 Gambar 2. Aplikasi Blotong (Filter cake).......................................................... 29 Gambar 3. Implemen Bajak Singkal (Ploughing)............................................... 30 Gambar 4. Implemen Penggaruan (Harrowing) ................................................. 31 Gambar 5. Implemen Pembuatan Jalur Lintasan Alat (Track Marking) .............. 32 Gambar 6. Implemen Pengolahan Lapisan Kedap Tanah (Ripping).................... 33 Gambar 7. Implemen Furrowing and Basalt-Carbofuran Application ............... 34 Gambar 8. Tebang dan Angkut Bibit Divisi III PT GPM ................................... 35 Gambar 9. Ecer (unloading) Bibit Divisi III PT GPM ........................................ 36 Gambar 10. Pencacahan Bibit............................................................................ 37 Gambar 11. Pengairan/Irigasi ............................................................................ 38 Gambar 12. Serangan Kutu Babi ....................................................................... 40 Gambar 13. Aplikasi Boom spraying ................................................................. 41 Gambar 14. Klentek dan Gancu ........................................................................ 42 Gambar 15. Implemen Kultivasi (a) leaf tine, (b) tera tine ................................. 43 Gambar 16. Implemen Pemupukan (fertilizer) ................................................... 44 Gambar 17. Pembakaran dan Penebangan Tebu................................................. 53 Gambar 18. Model Penumpukan Loose Cane & Bundle Cane ........................... 54 Gambar 19. Muat Loose cane (a) grabloader ke side tipping, (b) side tipping ke trailer ................................................................................................................ 55 Gambar 20. Muat Bundle cane .......................................................................... 56 Gambar 21. Bongkaran (Lifter).......................................................................... 57
xiii
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Peta Perkebunan PT Gula Putih Mataram ...................................... 73 Lampiran 2. Jurnal Harian Pelaksanaan Magang di PT Gula Putih Mataram ...... 74 Lampiran 3. Data Rata-rata Curah Hujan PT Gula Putih Mataram ..................... 82 Lampiran 4. Data Rata-rata Suhu Daerah Lampung ........................................... 84 Lampiran 5. Data Rata-rata Kelembaban Daerah Lampung................................ 85 Lampiran 6. Struktur Organisasi Perusahaan dan Plantation Departement PT Gula Putih Mataram................................................................................................... 86 Lampiran 7. Contoh Lembar Hasil Pengujian Maturity Test............................... 87 Lampiran 8. Sistem Pembagian Blok dan Petak Perkebunan PT GPM ............... 88
PENDAHULUAN
Latar Belakang Gula di dalam perekonomian Indonesia memiliki peranan yang sangat penting dan strategis, karena gula merupakan salah satu kebutuhan pokok penduduk Indonesia. Kebutuhan gula nasional diperkirakan terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Produksi gula nasional ditargetkan dapat memenuhi konsumsi langsung rumah tangga serta konsumsi tidak langsung oleh industri. Demi tercapainya tingkat produksi yang dapat memenuhi kebutuhan tersebut, pemerintah telah merancang kebijakan swasembada gula nasional. Biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan program swasembada gula diperkirakan mencapai 15 trilyun rupiah yang bersumber dari anggaran pemerintah, pelaku usaha, dan perbankan. Dana tersebut digunakan untuk membiayai kegiatan pengembangan tanaman, rehabilitasi pabrik gula (PG) dan pembangunan PG baru, infrastruktur, pengembangan sumber daya manusia (SDM), penelitian, dan manajemen (Ditjenbun, 2009). Akselerasi yang telah dilakukan pemerintah dalam periode 2003-2008, menunjukkan bahwa produksi gula nasional meningkat dalam kurun waktu 5 tahun tersebut yaitu dari 1.62 juta ton menjadi 2.7 juta ton, dengan rendemen yang berfluktuatif 7.14-8.10%. Tingkat produksi gula tersebut pada dasarnya telah memenuhi konsumsi rumah tangga sebesar 2.67 juta ton gula yang diperuntukkan lebih dari 230 juta jiwa penduduk Indonesia atau setara dengan 12 kg/orang/tahun. Jumlah pabrik gula untuk jenis kristal putih hingga tahun 2009 sebanyak 60 unit, sedangkan untuk jenis rafinasi terdapat 8 pabrik gula. Pembangunan PG baru maupun program pemerintah lainnya akan dilakukan secara simultan dari tahun ke tahun sehingga pada tahun 2014 diproyeksikan produksi gula nasional mencapai 5.7 juta ton yang diperuntukkan bagi konsumsi rumah tangga maupun industri, walaupun dalam pelaksanaannya masih terdapat banyak kendala (Ditjenbun, 2010). Perluasan areal perkebunan tebu pun dilakukan untuk mendukung swasembada gula nasional. Luas areal perkebunan tebu di Jawa sekitar 211 000 ha dan di luar Jawa sekitar 133 400 ha dan hampir 80% areal beralih ke lahan kering.
2
Perkebunan tebu lahan kering di Indonesia yang cukup prosfektif banyak terdapat di daerah Lampung. Luas areal perkebunan tebu di Lampung yang telah digunakan yaitu 105 915 ha (Bappenas, 2008). Salah satu pelopor usaha perkebunan dan pabrik gula di luar Jawa, khususnya Lampung, yang turut memenuhi pasokan gula nasional adalah PT Gula Putih Mataram (GPM). Perusahaan ini mengembangkan konsep budidaya tebu lahan kering dengan berbagai sarana pendukung pada setiap tahapannya. Majunya suatu industri gula pada umumnya ditentukan pertama-tama oleh kualitas tebu. Oleh karena itu, setiap pabrik gula sangat berkepentingan memelihara tanaman tebunya sebaik mungkin, sehingga dapat menghasilkan jumlah kristal per hektar setinggi mungkin (Moerdokusumo, 1993). Aspek yang mempengaruhi kualitas tersebut yaitu aspek tanaman tebu (on farm) dan aspek pabrik (off farm) terkait teknis dan teknologi proses (Sutaryanto, 2009). Pada aspek on farm, peningkatkan produksi per hektar dan peningkatan nilai rendemen dapat dilaksanakan melalui penataan varietas, penyediaan bibit sehat dan murni, optimalisasi waktu tanam, pengaturan kebutuhan air, pemupukan berimbang, pengendalian organisme pengganggu, penentuan awal giling yang tepat, penentuan kebun tebu yang ditebang dengan menggunakan analisis kemasakan, penebangan tebu secara bersih dan pengangkutan tebu secara cepat (P3GI, 2008b). Hubungan dan koordinasi antara produksi tebu per hektar di lapangan dengan kapasitas giling di pabrik merupakan kunci utama dalam menjaga kualitas dan kontinyuitas produksi gula. Kegiatan giling tebu akan optimal dan efisien, jika jumlah tebu yang dikirim memenuhi kapasitas giling yang diharapkan. Selama musim giling, pengelolaan tebang-angkut harus ada di dalam satu tangan dengan pengelolaan di pabrik atau paling sedikit ada di bawah satu komando, sehingga penyediaan tebu atau jumlah tebu yang ditebang sesuai dengan kebutuhan pabrik. Kesulitan di pabrik yang akan menyebabkan pabrik berhenti giling dan kesulitan dalam penebangan/pengangkutan yang akan menyebabkan tertundanya tebu digiling atau kekurangan tebu harus segera diinformasikan pada pengelola sehingga dapat segera diambil jalan pengamanan (P3GI, 1989).
3
Pihak manajemen perlu menentukan dan memperhitungkan areal dan luasan yang hendak ditebang sesuai dengan perkiraan produktivitasnya hingga memenuhi target gilingan di pabrik. Manajemen akan menunda penebangan pada areal yang diduga dapat dimundurkan waktu panennya apabila kapasitas giling telah terpenuhi dan tebu di areal memiliki daya tahan tinggi (kadar gula tidak mengalami penurunan jika ditunda). Sebaliknya, beberapa pabrik sering juga mengurangi kapasitas kerjanya bahkan menghentikan kegiatan gilingan
jika
ketersediaan tebu tidak memenuhi kapasitas pabrik karena random fluctuation. Random fluctuation yaitu faktor yang selalu berubah, tidak diinginkan, tidak bisa/sukar dikendalikan, mempengaruhi secara acak proses produksi, dan seringkali menyebabkan output bisa berbeda dengan yang diinginkan. Hal ini terjadi karena lingkungan sangat berpengaruh terhadap sistem. Oleh karena itu manajemen harus bekerja keras dalam menetapkan langkah-langkah yang tepat.
Tujuan 1. Mengetahui aspek budidaya dan manajemen perkebunan tebu lahan kering 2. Mengetahui dan mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh dalam sistem tebang, muat, dan angkut 3. Menganalisis manajemen tebang, muat, dan angkut yang tepat, optimal, dan efisien di perkebunan tebu lahan kering
TINJAUAN PUSTAKA
Botani dan Syarat Tumbuh Tebu Gula diproduksi di 121 negara dengan produksi dunia melebihi 120 juta ton per tahun. Sekitar 70% gula dihasilkan dari tebu yang dibudidayakan di negara-negara tropis. Produksi gula lainnya diperoleh dari bit gula, terutama di daerah beriklim sedang. Secara historis, gula hanya dihasilkan dari tebu dan dalam jumlah yang relatif kecil. Hal ini mengakibatkan gula menjadi barang mewah, terutama di Eropa karena tebu sulit ditanam. Saat ini, beberapa negara mengimpor raw sugar (gula mentah) untuk memproduksi gula kristal putih. Tanaman tebu termasuk suku rumput-rumputan yang tumbuh bergerombol membentuk rumpun. Akarnya berbentuk serabut. Batangnya bulat panjang dan berbuku-buku. Tingginya dapat mencapai 6 meter. Warna batangnya beragam, ada yang hijau, kuning, ungu, merah dan lain-lain. Permukaan batangnya kadangkadang berlilin. Pada buku-buku batang terdapat mata akar dan tunas. Helaian daun berbentuk pita. Panjang daun dapat mencapai panjang 1-2m dan lebar 48cm. Pada permukaan daun atas dan bawah terdapat bulu-bulu yang panjang dan tajam. Bunganya tersusun dalam malai yang tegak berwarna putih. Masa berbunga biasanya antara bulan Februari dan Juni (LIPI, 1978). Tanaman tebu dapat diperbanyak dengan biji, stek batang, atau stek ujung. Perbanyakan biji biasanya dilakukan pada usaha pemuliaan tanaman saja. Secara komersil perbanyakan tanaman tebu dilakukan secara vegetatif, yaitu dalam bentuk stek batang. Rata-rata di Jawa setiap 1 ha kebun bibit dapat memenuhi kebutuhan 8 ha kebun tebu giling, sedangkan di luar Jawa lebih kecil lagi, 1 ha kebun bibit hanya dapat memenuhi kebutuhan 6 ha kebun tebu giling (Direktorat benih, 2008). Tebu merupakan tanaman sub-tropis dan tropis yang menyukai banyak sinar matahari dan air yang melimpah (akar tidak tergenang) untuk pertumbuhan optimal. Beberapa spesies yang dikembangkan yaitu Saccharum officinarum, S. spontaneum, S. barberi, dan S. sinense. Tanaman komersial ini memiliki banyak kultivar yang dapat dimanfaatkan oleh petani dalam usahataninya. Kemasakan
5
tebu biasanya terjadi pada umur 12 bulan. Rata-rata tebu yang masak memiliki kandungan gula 10% dari bobot tebunya. Jika estimasi produktivitas tebu 100 ton per hektar, maka gula yang diperoleh sebesar 10 ton per hektar. Beberapa faktor yang membedakan kandungan gula dari satu kebun dengan kebun lainnya yaitu varietas tebu, perubahan musim, dan perbedaan keadaan lokasi (SKIL, 1998). Tebu (Saccharum officinarum) yang banyak dikembangkan oleh masyarakat merupakan tanaman C4, yang menyimpan hasil produksinya dalam batang. Tebu merupakan salah satu tanaman yang sangat efisien memproduksi karbohidrat melalui fotosintesis dibandingkan tumbuhan lain. Fotosintesisnya melibatkan 2 kumpulan sel yang ditunjukkan dengan adanya Kranz Anatomi, yaitu perpindahan struktur dalam prosesnya, yang melibatkan sel-sel mesofil dan sel-sel seludang pembuluh. Tanaman C4 lebih efisien ketika proses reduksi CO2 dan tingkat fotorespirasinya rendah. Tanaman ini cukup beradaptasi dengan iklim yang agak panas. Tebu dapat tumbuh baik pada tanah yang cukup subur, gembur, mudah menyerap tapi juga mudah melepaskan air. Di Indonesia tebu dapat tumbuh pada ketinggian 0-1300 m (LIPI, 1978). Tanaman tebu sangat toleran pada kisaran kemasaman tanah (pH) 5-8. Jika pH tanah kurang dari 4.5 maka kemasaman tanah menjadi faktor pembatas pertumbuhan tanaman, seperti pada beberapa kasus disebabkan oleh pengaruh toksik unsur aluminium (Al) bebas. Pemberian kapur pada tanah mineral masam dapat meningkatkan produksi tebu. Hasil tebu pun akan optimum apabila ketersediaan hara makro primer (N, P, K), hara makro sekunder (Ca, Mg, S), dan hara mikro (Si, Cu, Zn) dalam tanah lebih tinggi dari batas kritisnya(Balai Penelitian Tanah, 2010). Sifat iklim yang diinginkan tanaman tebu adalah iklim kering pada musim kemarau selama 3-6 bulan dengan suhu optimum 25-300C. Suhu udara yang tinggi diikuti dengan kelembaban tanah dan udara yang juga tinggi, akan sangat menguntungkan pertumbuhan vegetatif tanaman. Cuaca kering yang dingin atau cool dry weather dapat mempercepat pematangan (Balai Penelitian Tanah, 2010). Menurut Bey dan Las (1991) menyatakan bahwa curah air hujan bagi pertumbuhan tanaman tebu rata-rata 45-145 mm/bulan dengan radiasi surya berkisar antara 1.0-1.4 kal/cm2/menit.
6
Budidaya Tebu Lahan Kering Hasil gula yang tinggi dapat diperoleh dengan memahami pengetahuan tentang teknik budidaya tebu yang mencakup ketersediaan air, sifat fisik tanah, kemasaman/pH tanah, pemupukan berdasarkan uji tanah, penggunaan varietas unggul,
serta
pengendalian
organisme
pengganggu
tanaman
(OPT).
Pengembangan tebu lahan kering merupakan pilihan yang sangat menjanjikan untuk mempercepat proses pencapaian kuantitas, kualitas dan kontinyuitas produksi gula menuju kemandirian gula nasional. Luas lahan kering yang tersedia menurut skala ekonomi dan potensi sumberdaya yang memungkinkan serta teknologi proses produksi yang sudah dikuasai dengan baik menjadi pertimbangan dalam pengembangannya. Apabila masalah bibit dan penyediaan air menurut ruang (spasial) dan waktu (temporal) dapat dilakukan dengan baik, maka produktivitas tebu lahan kering tidak kalah dengan tebu lahan sawah di Jawa seperti yang terjadi selama ini. Lahan kering umumnya memiliki tingkat kesuburan relatif rendah. Kebanyakan pengembangannya dilakukan pada daerah dengan topografi tidak rata, peka terhadap erosi, dan kerusakan lainnya. Titik kritis dari pengelolaan tebu lahan kering yaitu kondisi kekeringan yang kelak akan berdampak terhadap penurunan produksi tebu per hektar, terutama pada fase pembentukan gula maupun fase pematangan. Kondisi tersebut berdampak terhadap penurunan produktivitas gula persatuan luas secara signifikan, meskipun secara kuantitas rendemen (kandungan gula persatuan bobot tebu) meningkat (Irianto, 2003). Kondisi ideal syarat tumbuh tebu dari variabel sifat fisik lahan ditentukan oleh drainase tanah yang baik dengan kelebihan air keluar dari tubuh tanah tidak lebih dari 24 jam, sifat olah tanah ideal yang berada pada kisaran antara tanah ringan dan berat (mengurangi tenaga, biaya dan beban pengolahan tanah) dan lahan cukup air (kecukupan air tersedia sepanjang tahun). Adapun penilaian terhadap hirarki klas lahan tinggi sampai rendah, meliputi : a. Klas S1, lahan sangat sesuai (highly suitable), tidak mempunyai pembatas pertumbuhan berarti yang mempengaruhi pengelolaan tebu. Apabila jaminan nutrisi hara dipenuhi, potensi produksi tebu padat mencapai >100.000 kg/ha.
7
b. Klas S2, lahan cukup sesuai (moderatelly suitable), mempunyai pembatas ringan (bersyarat rendah) yang mempengaruhi pengelolaan tebu dan memerlukan masukan biaya sedang. Apabila jaminan nutrisi hara dipenuhi, potensi tebu dapat mencapai 80.000 - 100.000 kg/ha c. Klas S3, lahan sesuai marginal (marginaly suitable) mempunyai pembatas berat (bersyarat tinggi) yang mempengaruhi pengelolaan tebu dan memerlukan biaya besar. Apabila nutrisi hara dipenuhi, potensi produksi tebu dapat mencapai 45.000 – 80.000 kg/ha d. Klas N, lahan tidak sesuai saat ini (currenty not sutitable), mempunyai pembatas sangat berat. Apabila nutrisi hara dipenuhi, potensi produksi tebu mencapai < 45.000 kg/ha.
Berdasarkan definisi klas pengelompokan lahan di atas, klasifikasi klas lahan memberikan informasi terhadap faktor pembatas, tingkat pengelolaan dan potensi produksi. Prinsip lain dari pengklasan tanah juga adalah mengandung makna (berdasarkan faktor pembatas yang ada) terhadap upaya-upaya yang diperlukan untuk
mendapatkan
produktivitas
lahan
sesuai
kemampuan
yang
berkesinambungan (Ditjenbun, 2003). Menurut Irianto (2003), masalah ketersediaan air menurut ruang dan waktu serta pengelolaan sumber daya iklim memang memegang peranan strategis dalam proses produksi tebu lahan kering. Pengelolaan sumber air untuk menekan resiko kekeringan, penurunan hasil tebu dapat dilakukan dengan pengembangan konsep “rainfall and runoff harvesting” melalui pembangunan “channel reservoir”, yaitu dengan menyimpan air aliran permukaan pada saat musim hujan dan didistribusikan pada saat musim kemarau. Teknologi ini terbukti sangat efektif untuk menekan laju aliran permukaan (runoff velocity), erosi dan pencucian hara (nutrient leaching) serta menyediakan air secara spasial dan temporal, sehingga peluang terjadinya cekaman air dapat diminimalkan. Di wilayah dengan kemiringan kurang dari 8% dan terdapat banyak alur sungai kecil seperti yang ada di hampir semua perkebunan tebu di Lampung, terbukti dapat digunakan untuk menyimpan dan mendistribusikan air dengan baik apabila dibangun parit bertingkat (channel reservoir in cascade).
8
Kemasakan dan Pemanenan Tebu Secara konvensional untuk meningkatkan banyaknya gula yang dapat diperah, dapat dilaksanakan melalui penataan varietas, penyediaan bibit sehat dan murni, optimalisasi waktu tanam, pengaturan kebutuhan air, pemupukan berimbang, pengendalian organisme pengganggu, penentuan awal giling yang tepat, penentuan kebun tebu yang ditebang dengan menggunakan analisis kemasakan, penebangan tebu secara bersih dan pengangkutan tebu secara cepat. Untuk mengurangi kehilangan gula selama proses di pabrik maka diperlukan optimasi kapasitas giling dan menjaga kelancaran giling dan mengurangi kehilangan gula di stasiun gilingan dan pengolahan (P3GI, 2008a). Komposisi kandungan tebu terdiri dari 11-19% sukrosa, 65-75% air, serta komponen lainnya. Demi mencapai nilai sukrosa yang tinggi, dalam sistem pemanenan tebu, faktor kemasakan tebu menjadi sangat penting. Tebu yang masak akan memberikan tingkat kandungan gula yang tinggi. Kemasakan tebu secara umum diukur berdasarkan nilai brix, pol, harkat kemurnian, dan rendemen. Brix adalah zat kering yang larut dalam air yang terdiri dari kristal gula dan bukan gula. Pol menyatakan kadar gula, baik dari zat kering yang larut atau yang berada dalam air. Harkat kemurnian (HK) menyatakan prosentase kemurnian gula dalam komposisi zat kering yang larut dalam air atau dengan kata lain prosentase perbandingan pol dengan brix. Rendemen menunjukkan banyaknya gula dari bobot tebu tertentu. Kemasakan tebu menjadi permasalahan prapanen. Pengawasan kemasakan tebu pada petak-petak tebang menjelang giling di pabrik-pabrik gula sudah sejak lama dilakukan secara intensif. Rendemen tebu akan maksimal, hanya dapat diperoleh pada tebu yang telah masak, sehingga analisis kemasakan diperlukan sebelum pemanenan. Berbagai cara penentuan kemasakan dapat digunakan analisis brix atau analisis tiga bagian yang lebih teliti (Mochtar, 1989). Analisis tingkat kematangan tebu dilaksanakan terus menerus selama tahun giling dan beberapa bulan sebelumnya. Perubahan tingkat kematangan tebu, dapat diketahui dari semua data hasil analisis tebu dari berbagai areal, yang pengambilan contohnya ditentukan dari peta tanaman. Tiap contoh biasanya diperlukan 15
9
batang tebu dan dianalisis 7 kali berturut-turut dalam hal polarisasi, brix, nilai nira dan harkat kemurnian (HK). Tujuan dari perhitungan ini yaitu mengetahui berapa besar selisih rendemen batang atas dan bawah. Pada tebu yang tua, perbedaan atau selisih tersebut berkurang, dan rendemen rata-ratanya bertambah, dan pada titik tertentu tetap. Pada tingkat inilah tebu dinyatakan mencapai tingkat kematangan tertinggi, meskipun itu belum berarti tanaman tebu di areal tersebut sudah saatnya ditebang (Moerdokusumo, 1993). Ketika tebu mencapai kemasakan yang maksimal, maka rendemen dan kadar P2O5 akan tinggi dan kadar gula reduksi akan turun. Jadi keuntungan yang akan diperoleh apabila penebangan dilakukan pada saat masak optimal dengan potensi produksi gula tertinggi. Kadar P2O5 yang memegang peranan penting dalam proses pemurnian nira di pabrik juga dalam kondisi tertinggi dan akan mengurangi biaya penambahan P2O5. Penambahan P2O5 dimaksudkan untuk membantu proses pemurnian nira dan agar inkrustasi di pan penguapan sesedikit mungkin dan tidak terlalu sulit dibersihkan (Mochtar, 1989). Kemasakan tebu dalam beberapa kondisi tertentu dapat mengalami kendala sehingga kandungan sukrosanya tidak mencapai sepenuh potensinya. Cuaca yang basah pada saat tanaman tebu mendekati umur panen, misalnya, dapat mengakibatkan tanaman gagal mencapai puncak kemasakan potensialnya. Demikian pula intensitas penyinaran yang tidak maksimal akibat cuaca yang sering berawan selama periode pemasakan, seperti yang sering dialami oleh pertanaman tebu di wilayah tropika, dapat menyebabkan pencapaian kadar gula atau rendemen yang relatif rendah. Teknologi zat pemacu kemasakan tebu (ZPK, cane ripener) mulai diperkenalkan di pertengahan tahun 1970an, terutama di perkebunan-perkebunan di Hawaii, Florida, Lousiana, Afrika Selatan, dan Brasil. Tujuan aplikasi ZPK adalah untuk memacu kemasakan tebu, khususnya di dalam situasi yang tidak ideal untuk berlangsungnya proses pemasakan secara alami. Bahan kimia yang digunakan sebagai ZPK pada umumnya adalah sama dengan herbisida, namun diaplikasikan dalam dosis sub-letal (non-herbisida) (Widyatmoko, 2009). Zat Pemacu Kemasakan (ZPK) pada tebu atau cane ripener merupakan suatu bahan kimia yang dapat mempercepat kemasakan tebu dengan mekanisme
10
menyimpan hasil fotosintesis dalam bentuk sukrosa pada batang tebu. Penggunaan ZPK biasanya ditujukan pada tebu yang secara fisiologis belum masak atau mengalami penundaan kemasakan akibat berbagai faktor seperti kondisi tanah kelebihan air dan kebanyakan pupuk nitrogen (N). Percepatan proses kemasakan pada akhirnya akan berdampak terhadap rendemen atau perolehan gula. Namun walaupun demikian pemberian ZPK tidak bisa meningkatkan rendemen di atas batas optimum yang dihasilkan tebu secara alamiah. Bila secara alami suatu varietas tebu memiliki potensi rendemen 11% pada umur 12 bulan, maka pemberian ZPK tidak akan menyebabkan rendemen menjadi lebih dari 11%. Aplikasi ZPK diperlukan pada saat awal giling, terutama pada hamparan tebu dengan komposisi varietas yang memiliki komposisi kemasakan kurang baik atau didominasi oleh varietas tebu masak tengah hingga akhir. Pada awal musim giling dibutuhkan tebu masak relatif banyak, sementara sebagian besar tebu yang ada masih belum masak. Untuk mengatasi hal tersebut biasanya diaplikasikan ZPK. Secara alamiah sebenarnya kemasakan tebu bisa dipercepat dengan cara mengeringkan tanah, menurunkan suhu sekitar perakaran, membuat tanaman stress (kekurangan) hara atau memperpendek penyinaran matahari. Akan tetapi, cara-caratersebut relatif sulit dilakukan dan perlu waktu cukup panjang. Iklim tropika basah seperti di Indonesia sangat bertentangan dengan kondisi yang dibutuhkan untuk proses pemasakan tebu secara alami. Karena itu alternatif yang paling efektif adalah dengan menyemprotkan ZPK (Toharisman, 2009).
Pembakaran Tanaman tebu ketika dewasa hampir seluruh daun-daunnya mengering, namun masih mempunyai beberapa daun hijau. Sebelum panen, jika memungkinkan, seluruh tanaman tebu dibakar untuk menghilangkan daun-daun yang telah kering dan lapisan lilin. Api membakar pada suhu yang cukup tinggi dan berlangsung sangat cepat sehingga tebu dan kandungan gulanya tidak ikut rusak. Di beberapa wilayah, pembakaran areal tanaman tebu tidak diijinkan karena asap dan senyawa-senyawa karbon yang dilepaskan dapat membahayakan penduduk setempat. Banyak bahan yang biasa ditemukan dalam udara yang
11
tercemar diketahui merupakan penyebab sakitnya seseorang, jika terdapat dalam kadar yang cukup tinggi. Biasanya, kadar yang menunjukkan pengaruh yang membahayakan pada uji laboratorium jauh lebih tinggi daripada yang teramati dalam atmosfer. Karbon monoksida yang lebih mudah bergabung dengan hemoglobin dibandingkan oksigen, dapat mengurangi daya darah untuk mengangkut oksigen, meningkatkan bahaya kematian akibat penyakit jantung, mengurangi kemampuan untuk melakukan kegiatan fisik, mempengaruhi mental, kesiagaan, dan ketajaman penglihatan. (SKIL, 1998). Pembakaran yang dilakukan merupakan salah satu bentuk sumbangsih gas rumah kaca. Efek rumah kaca terjadi ketika kadar gas rumah kaca (seperti karbon dan turunannya) cukup tinggi, sehingga mempengaruhi ketebalan atmosfer bumi dan menyebabkan naiknya suhu bumi. Suhu udara yang tinggi akan meningkatkan suhu tanaman, sehingga akan mengganggu banyak proses dalam tanaman. Suhu merupakan faktor penting dalam pertumbuhan, perkembangan, dan produksi tanaman. Berbagai proses fisiologi pada tanaman terjadi pada kisaran suhu 0400C. Pada sebagian besar tanaman laju pemanjangan tercepat dari daun muda terjadi pada kisaran 20-300C. Pada suhu 40-450C laju pemanjangan daun muda akan menurun drastis. Hal ini disebabkan oleh rusaknya protein dan terjadinya defisit air pada sel jaringan tanaman. Suhu juga mempengaruhi distribusi asimilat serta proses transformasi dan penyimpanannya. Ini terutama menyangkut kegiatan enzim serta laju transpirasi maupun respirasi yang dapat berakibat matinya tanaman. Keadaan cuaca (terutama unsure suhu) di suatu tempat serta perubahannya dalam jangka pendek berpengaruh kuat terhadap proses metabolisme sel seperti tersebut di atas. Di samping itu, keadaan cuaca juga berpengaruh kuat terhadap kadar air dalam tanah. Dengan demikian tedapat pola hubungan yang jelas antara keadaan cuaca dan proses fisiologi tanaman. Dalam hal ini, data cuaca sehari-hari bermanfaat untuk membantu tindakan operasional di dalam suatu usahatani. Dan dalam jangka panjang akan dapat diketahui hubungan mantap antara data iklim dan data pertumbuhan, perkembangan, dan produksi tanaman (Nasir, 1991). Salah satu bentuk konservasi tanah di lahan tebu adalah dengan penambahan mulsa dan bahan organik. Dalam upaya melakukan konservasi pada
12
tanaman tebu, kebiasaan membakar tebu atau sisa-sisa daun tebu di lapang harus dihilangkan. Pembakaran daun tebu bisa menyebabkan pencemaran udara, serta akan menghilangkan berbagai unsur hara tanah yang mudah menguap seperti nitrogen dan belerang. Daun tebu dan sisa tanaman tebu lainnya sebaiknya dijadikan mulsa atau dikomposkan (Ditjenbun, 2003).
Sistem Tebang, Muat, dan Angkut Sistem tebangan berhubungan dengan cara-cara praktis di lapang untuk memanen tebu. Pelaksanaan sistem tebang, muat, angkut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor terutama dalam penentuan jadwal tebang (T-score) yang meliputi masa tanam, selisih harkat kemurnian bawah dan harkat kemurnian atas, rendemen rata-rata, selisih antara rendemen atas dan bawah, faktor kemasakan, koefisien peningkatan, koefisien daya tahan, hama penggerek pucuk, kondisi tanaman, jarak. Sedangkan layout kebun, prasarana (kondisi jalan, jembatan), topografi, iklim dan cuaca, dan peralatan penanggulangan kebakaran menentukan sistem tebangan yang akan digunakan (Supatma, 2008). Pemanenan dapat dilakukan baik secara manual dengan tangan ataupun dengan mesin. Pemotongan tebu secara manual dengan tangan merupakan pekerjaan kasar yang sangat berat tetapi dapat mempekerjakan banyak orang di area di mana banyak terjadi pengangguran.Tebu dipotong di bagian atas permukaan tanah, dedauan hijau di bagian atas dihilangkan dan batang-batang tersebut diikat menjadi satu. Potongan-potongan batang tebu yang telah diikat tersebut kemudian dibawa dari areal perkebunan dengan menggunakan pengangkut-pengangkut kecil dan kemudian dapat diangkut lebih lanjut dengan kendaraan yang lebih besar ataupun lori tebu menuju ke penggilingan. Pemotongan dengan mesin umumnya mampu memotong tebu menjadi potongan pendek-pendek. Mesin-mesin hanya dapat digunakan ketika kondisi lahan memungkinkan dengan topografi yang relatif datar. Sebagai tambahan, solusi ini tidak tepat untuk kebanyakan pabrik gula karena modal yang dikeluarkan untuk pengadaan mesin dan hilangnya banyak tenaga kerja kerja (SKIL, 1998).
13
Sistem tebangan yang diterapkan di beberapa perusahaan yaitu sistem tebangan secara mekanis, semimekanis, dan manual. Menurut Soepardan (1989), tebangan secara mekanisasi dalam pelaksanaan seluruh kegiatan sejak tebang, muat, angkut, dan bongkarnya di pabrik dilakukan secara mekanisasi. Namun cara ini seperti yang telah diamati di PG Subang, tidak dapat diterapkan karena faktor tenaga kerja relatif cukup banyak tersedia, keadaan topografi yang tidak menunjang karena sangat bergelombang, juga mutu tebangan yang dihasilkan sangat rendah. Bahkan dari beberapa penelitian yang dilakukan pada tahun 1985, trash (kotoran) mencapai 30 %. Mekanisasi dalam bidang pertanian bertujuan meningkatkan produktivitas dari tenaga kerja untuk memberikan hasil yang maksimal. Penggunaan mesin tebang memerlukan syarat-syarat yang hingga saat ini belum sepenuhnya dipenuhi dengan baik. Salah satu syarat utama yang perlu dipenuhi adalah layout dari kebun secara keseluruhan. Apabila mesin tebang yang digunakan jenis chopper, maka mesin tebang yang memotong batang tebu menjdi 30 cm ini, memerlukan adanya road transport (Kartohadikusumo, 1975). Kapasitas penebangan dengan menggunakan mesin tebang bisa mencapai 20-45 ton per jam. Jika dalam satu harinya bisa bekerja dengan lancar selama 8jam, maka sudah dapat menghasilkan 160-360 ton tebu. Jadi untuk suatu pabrik dengan kapasitas 2 000 TCD akan diperlukan 12 atau 8 mesin tebang. Oleh karena mesin tebang ini harganya mahal, maka untuk merendahkan biayanya perlu mencapai hasil pekerjaan yang maksimal (Kartohadikusumo, 1975). Tebangan semimekanis yang pernah dilaksanakan di PG Subang (Soepardan, 1989) ialah pelaksanaan tebangan sejak tebang, muat, angkut, serta bongkarnya dilakukan secara mekanisasi, sedangkan pembersihan klaras (tras cleaning) dan pengikatan batang-batang tebu tebangan dilakukan oleh tenaga manusia. Akan tetapi sistem ini hanya sebagian kecil saja dari kegiatan pekerjaan tebangan manual secara keseluruhan. Tebangan secara manual (Soepardan, 1989), merupakan kegiatan tebangan sejak menebang, pembersihan klaras (sisrikan), pengikatan dan muat tebu hasil tebangan dilakukan seluruhnya oleh tenaga manusia. Sedangkan pengangkutannya dilakukan
dengan
menggunakan
truk-truk
milik
kontraktor,
serta
14
pembongkarannya dilakukan secara mekanisasi di pabrik. Sistem tebang manual yang dilaksanakan di lahan kering seperti di PG Subang ini, pelaksanaannya meliputi penebangan batang tebu rata dengan permukaan tanah, membersihkan klaras, akar serta kotoran lain yang melekat pada setiap batang tebu yang ditebang, memotong pucuk yang kemudian disisihkan bersama klaras dan kotoran lain pada lajur khusus. Selanjutnya meletakkan batang-batang tebu tebangan pada lajur atau juringan-juringan yang telah dibersihkan dari klaras dan kotoran lain sebelumnya, yang terdapat diantara dua lajur tempat timbunan klaras dan potongan pucuk. Namun menurut Suharyono (1989), tebangan manual yang dilakukan di PG Bone, dilakukan dengan tebang pangkal, memotong pucuk, kelentek, sisik, pengikatan dan dipindahkan sampai di pinggir jalan kebun atau jalan diperkeras. Hal ini disebabkan karena unit angkutan tebu tidak diperbolehkan masuk ke tengah kebun. Keuntungan dari sistem ini yaitu tidak terjadi pemadatan tanah di kebun dan angkutan tebu lebih diperlancar, namun kerugiannya kapasitas tebang per orang menurun dan tebu tertinggal di kebun meningkat terutama pada kebun bertopografi miring atau bergelombang. Muat tebu didefinisikan sebagai kegiatan yang dimulai dari pekerjaan mengambil ikatan tebu pada lahan, mengangkat ikatan tebu menuju truk pengangkut, sampai meletakkan di atas truk. Kegiatan selanjutnya, pengangkutan tebu yang harus dilakukan dengan cepat dan aman. Hal ini berarti bahwa pengangkutan tidak menimbulkan kerusakan atau kehilangan nira pada tebu, memenuhi target giling pabrik setiap harinya, tidak merusak lingkungan dan dalam jangkauan biaya (Irawan, 2008). Alat muat yang biasa digunakan yaitu grabloader. Kapasitasnya sekitar 10-60 ton per jam tergantung dari jenisnya. Jika rata-rata memuat 25 ton per jam-nya, maka dalam satu hari (8 jam) bekerja bisa memuat 200 ton tebu. Prinsip dalam penggunaannya perlu memperhatikan layout mekanisasi yang baik (Kartohadikusumo, 1975). Menurut Sutaryanto (2009), tebang dan angkut dengan mutu tebu yang MBS (Masak, Bersih, dan Segar) dilakukan dengan cara, yaitu: 1. Memperkecil front tebang dan Tebang Sendiri Angkut Sendiri (TSAS) melalui kelompok tebang. Batasan jumlah kebun ditebang maksimal 3-
15
6 kebun tebangan per wilayah. Hal ini bertujuan agar kontrak petugas tebangan terjangkau masing-masing wilayah. 2. Penjadwalan kebun ditebang berdasarkan analisis kemasakan yaitu faktor kemasakan (FK), koefisien peningkatan (KP), koefisien daya tahan (KDT). 3. Pemenuhan bahan baku tebu sesuai kapasitas giling harian dan total 4. Pengendalian sisa tebu pagi di emplasemen 0-10% kapasitas giling. 5. Pada periode awal ditetapkan brix minimal nira tebu yang ditebang lebih dari sama dengan 17%.
Trash dan Tebu Tertinggal Kebersihan tebu yang dikirim ke pabrik adalah sangat penting. Trash (kotoran) yang ikut terbawa ke pabrik harus ditekan serendah mungkin. Trash adalah segala sesuatu yang tidak mengandung gula yang melekat pada tanaman tebu. Trash yang dianalisis pada umumnya meliputi kelaras (kelopak daun) daun kering/hijau, sogolan yang kurang dari 1.5m, pucuk, akar, tali ikat, dan tebu mati. Trash dinyatakan dengan nilai EM (extraneous matter), yaitu persentase dari berat kotoran dibanding dengan berat tebu. Berdasarkan kriteria di lapangan, dinyatakan tebu bersih bila EM< 5% (Haryanti, 2008). Menurut Mochtar (1989), kotoran bersabut (seperti daun, pucuk, kelaras, akar, sogolan, gulma, kayu) akan menurunkan rendemen tebu karena akan menaikkan kadar sabut dengan menurun kadar nira tebu. Ini berarti sebagian gula yang seharusnya dapat diperoleh hiang dalam ampas. Di samping itu ada bagian nongula yang larut dalam nira tebu, sehingga menurunkan nira tebu. Kotoran tidak bersabut (tanah, pasir, batu, bahan logam) mungkin tidak larut, akan tetapi akan merusak peralatan gilingan, sehingga dapat menurunkan keragaan peralatan tersebut dan menambah biaya untuk perbaikan. Tanah yang tidak larut, akan masuk sampai stasiun pemurnian dan sebagai koloid akan mempersulit proses pengendapan, sehingga sukar untuk mendapatkan nira yang jernih sehingga dapat menekan kapasitas pengolahan. Tebu tertinggal yang biasa terjadi di lapangan berupa tunggak, yaitu sisa tebu akibat tebangan yang melebihi tinggi standar tebangan. Tunggak merupakan masalah yang harus dipecahkan karena merupakan bagian yang memiliki kadar
16
gula tinggi. Di PG Subang, tunggak pada tahun 2006 mencapai 7.4 kuintal per hektar (Renatho, 2007).
Pada PG Sindang Laut dan Tersana Baru, untuk tinggi
tunggak maksimal yang diperbolehkan adalah 5 cm (Supatma, 2008).
METODE MAGANG
Tempat dan Waktu Kegiatan magang dilaksanakan di perkebunan tebu milik PT. Gula Putih Mataram, Lampung. Magang dilaksanakan selama 4 bulan atau 16 minggu efektif, yang dimulai sejak 15 Maret hingga 15 Juli 2010.
Metode Pelaksanaan Metode yang dilakukan adalah bekerja langsung di lapangan dan menjadi satu bagian dari sistem kerja di perkebunan tebu PT Gula Putih Mataram, Lampung. Kegiatan ini memberikan pengalaman tentang keterampilan teknis dan manajerial dari berbagai level atau spesifikasi pekerjaan sesuai dengan tahapannya. Kemampuan analisis mahasiswa juga dilatih dalam memandang suatu permasalahan. Mahasiswa selama magang dilibatkan dalam aktivitas budidaya tanaman tebu dengan melaksanakan pekerjaan pada posisi tugas sebagai pendamping mandor atau field maintenance, pendamping officer, dan pendamping manajer. Tahap budidaya yang dilakukan di lapangan pada saat itu, mulai dari persiapan lahan (land preparation), pembibitan dan persiapan bahan tanam, persiapan tanam dan penanaman, pengairan/irigasi, pengendalian OPT, kultivasi, dan pemupukan, pemanenan (program ripener, analisis kemasakan, tebang, muat, angkut dan bongkar), hingga pengolahan hasil. Secara administrasi mahasiswa melakukan penyusunan jurnal harian yang diketahui pembimbing lapang, mencatat prestasi kerja tenaga kerja yang diperoleh pada beberapa tahapan budidaya, kemudian dibandingkan dengan norma kerja di perusahaan tersebut. Pada aspek khsusus yang diamati, mahasiswa melakukan pendekatan masalah pada sistem panen, terutama mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi tebang, muat, dan angkut pada dua sistem pemanenan yang diterapkan (bundle cane dan loose cane).
18
Pengamatan dan Pengumpulan Data Pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder. Data primer dilakukan melalui pengamatan langsung di lapangan terhadap semua kegiatan yang berlangsung di perkebunan, khususnya terhadap faktor-faktor yang diduga memiliki pengaruh terhadap tebang, muat, dan angut tebu. Faktor-faktor tersebut yaitu perencanaan program tebang, pembakaran dan pengiriman tebu (burn to crush), aspek teknis dan kehilangan hasil, serta aspek ketenagakerjaan. Pengumpulan data terhadap faktor perencanaan program tebang meliputi penentuan jadwal tebangan dan luasannya dengan berdasarkan prinsip nilai kemasakan. Pada aspek teknis dan kehilangan hasil meliputi: 1. Jenis pemanenan: a) hijau atau bakar, b) manual, mekanisasi, atau semimekanisasi, c) sistem penumpukan tebu. 2. Proses muat berdasarkan sistem pemanenan (burai atau ikat) serta banyaknya muatan. 3. Pengangkutan memperhatikan letak dan arah gerakkan angkutan. 4. Kehilangan hasil diamati dengan pengukuran berat a. tebu tidak tertebang yang melebihi standar (tunggul) pada sistem bundle cane dan loose cane yang diwakili oleh beberapa kontraktor. Standar tunggul yang diperbolehkan yaitu 5 cm. b. pengukuran bobot tebu tebangan yang tertinggal di petakan (lonjoran) pada sistem bundle cane (BC) dan loose cane (LC) yang diwakili oleh beberapa kontraktor. Luas petak contoh pengukuran kehilangan hasil pada BC yaitu 4 double row (DR) sepanjang 5 m, sedangkan LC 6 DR sepanjang 5 m. c. pengukuran bobot tebu yang terjatuh ketika pengangkutan di jalur pengangkutan, dengan pengamatan sepanjang 500 m pertama jalur pengangkutan.
Jarak
500
m
pertama
merupakan
jalur
kritis
pengangkutan karena peristiwa tebu jatuh lebih banyak dibandingkan jarak selanjutnya. Data sekunder diperoleh dari kebun meliputi lokasi dan letak geografis kebun, keadaan tanah dan iklim, luas areal dan tata guna lahan, kondisi
19
pertanaman dan produksi, norma kerja di lapang serta organisasi dan manajerial, dan data lain yang terdapat diperusahaan yang mendukung. Data brun to crush bulan Juni dan jumlah tenaga kerja juga diperoleh dari data perusahaan.
Analisis Data dan Informasi Analisis data yang digunakan untuk menginterpretasikan hasil pengamatan adalah dengan membandingkan data-data yang diperoleh dari kebun dan data standar perusahaan. Dari data tersebut, selanjutnya akan dilakukan pengolahan data menggunakan perhitungan matematis dan statistik. Analisis diawali dengan membandingkan nilai brix dan pol tebu tiap kemasakan tebu (masak awal, tengah, dan akhir). Analisis data tenaga kerja dilakukan dengan membuat grafik trend tenaga kerja setiap bulannya. Analisis lainnya yaitu menduga banyaknya kehilangan hasil dari penebangan dan pengangkutan.
KEADAAN UMUM PERUSAHAAN
Sejarah dan Perkembangan Perusahaan Seiring dengan ditetapkannya kebijakan pemerintah untuk berswasembada gula pada masa yang akan datang, maka pada tahun 1988 dibangun PT Gula Putih Mataram (PT GPM). Perusahaan yang dibangun dengan mengintegrasikan perkebunan tebu dengan pabrik gula ini merupakan wujud partisipasi pihak swasta dalam menunjang pengembangan perindustrian gula di Indonesia, terutama dalam mendukung penciptaan dan pemerataan pusat-pusat perekonomian baru di daerah. Pabrik dan perkebunannya berlokasi di Kecamatan Bandar Mataram, Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung, sedangkan kantor pusat berada di Jakarta. Perusahaan ini berbentuk Perseroan Terbatas (PT) swasta penuh dengan status Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), dan merupakan salah satu perusahaan dari Sugar Group Companies (SGC), kelompok usaha PT Garuda Pancaarta. PT GPM tergolong perusahaan yang padat modal dan padat karya. Hal ini tercermin dari besarnya investasi yang ditanam dan jumlah tenaga kerja yang diserap. PT GPM didirikan dengan akte notaris Imas Fatimah, SH. Nomor 33 pada tanggal 21 April 1988 dan surat izin 064/SITU/BKPMD/II/1988 serta terdaftar di kantor
Pengadilan
Negeri
Jakarta
Selatan
dengan
nomor
1092/Not/1991/PN.JK.SEL, juga telah memperoleh Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dari Departemen Perdagangan pada bulan Juni 1991 dengan nomor SIUP:507/09-04/PB/UI/91. Kegiatan perkebunan tebu dan pabrik gula mulai beroperasi sejak 1987 dengan memanfaatkan konsesinya seluas 12 860.66 ha dengan status Hak Guna Lahan (HGU) dengan luasan pabrik 43 361 m2. Pada penggilingan perdana pada tahun 1987, sudah menghasilkan gula dengan kualitas super yang setara dengan semi rafinasi, dengan kapasitas giling 10 000 TCD. Pabrik perusahaan ini merupakan yang pertama dibangun di Indonesia untuk menghasilkan kualitas gula yang demikian. Saat ini pabrik PT GPM dikembangkan untuk memproduksi gula dengan merk dagang ”GULAKU”. Gula kemasan jenis premium bermerk pertama
21
di Indonesia ini, diproses secara higienis dan berkualitas tinggi dengan standar internasional. Pengolahannya menggunakan mesin-mesin otomatis yang modern dan berteknologi tinggi tanpa perlu melibatkan kontak fisik manusia untuk mencegah kontaminasi oleh bakteri, debu, dan partikel asing lainnya. Produk ”GULAKU” telah didistribusikan ke seluruh wilayah Indonesia.
Letak Geografis dan Topografi PT GPM mempunyai kantor direksi di Jakarta, dan untuk membantu kelancaran kegiatan divisi bisnis dibuka kantor pembantu yaitu kantor Purchasing di Bandar Lampung dan Molasses Instalation di Pelabuhan Panjang. Perkebunan tebu dan pabrik gula PT GPM terletak di Mataram Udik, Kecamatan Seputih Mataram, Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung. Jarak perusahaan dari Bandar Lampung sekitar 144 km. Lokasi pabrik berada di tengah-tengah areal perkebunan tebu. Peta lokasi dapat dilihat pada Gambar Lampiran 1. Letak geografis PT GPM berada pada 105026’18”-105030’22” BT dan 4042’50” LS. Batas-batas wilayahnya yaitu dikelilingi dari bagian: Selatan timur
: areal perkebunan PT Gunung Madu Plantation
Barat bagian selatan
: areal perkebunan PT Great Giant Pineapple
Barat bagian utara
: Way Terusan
Utara
: areal perkebunan PT Sweet Indo Lampung
Perusahaan ini berada pada ketinggian 105-127 meter di atas permukaan laut (mdpl), dengan kondisi tanah secara umum datar hingga bergelombang. Tingkat kemiringan tertinggi yaitu 9-15% terutama pada daerah yang dekat sungai atau lebung.
Keadaan Tanah dan Iklim Jenis tanah di areal perkebunan PT GPM yaitu ultisol dan aluvial. Ultisol memiliki ciri-ciri warna yang relatif krem tua terang, tanahnya dalam dan liat. Aluvial umumnya dekat dengan aliran air, dominana sedimen. Jika dilihat dengan penampang melintang, maka akan terlihat dalam satu tanah terdapat lapisanlapisan yang berbeda. Derajat kemasaman (pH) tanah antara 4.5-6.5. Tipe iklim menurut Schmidt & Ferguson, perkebunan tebu PT GPM termasuk ke dalam tipe
22
B. Suhu udara rata-rata berkisar 26.1-27.1 0C, dengan kecepatan angin rata-rata 0.79-3.09 km/jam. Rata-rata curah hujan tahunan yaitu 2 424.6 mm dengan jumlah hari hujan rata-rata 141 hari. Jumlah bulan basah berturut-turut yaitu 5-6 bulan (November-April). Data curah hujan selama 10 tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel Lampiran 3.
Luas Areal dan Tata Guna Lahan Areal perusahaan secara keseluruhan memiliki luasan sebesar 34 912.75 ha, yang digunakan untuk perkebunan, pabrik, perkantoran dan fasilitas perusahaan lainnya, serta bentangan alam yang ada (hutan dan rawa-rawa). Luas perkebunan sebesar 24 515.98 ha yang terdiri dari areal untuk riset seluas 140.87 ha, lahan produksi 22 300 ha, dan sisanya untuk pembibitan. Sebagian besar areal perkebunan merupakan perkebunan HGU, akan tetapi perusahaan juga memiliki perkebunan plasma inti yang bekerja sama dengan masyarakat. Sekitar 75% areal perkebunan ini berasal dari hutan sekunder dan selebihnya hutan primer. Data luas areal dan pemanfaatan lahan dapat dilihat pada Tabel Lampiran 4. Areal kebun produksi di PT GPM dibagi menjadi lima divisi yakni divisi 1, 2, 3, 4, dan 5. Pembagian divisi ini berdasarkan jalan utama (main road) menjadi empat kuadran. Titik pusat (0,0) dari kuadran tersebut terletak di pabrik. Letak masing-masing divisi tersebut yaitu: Divisi I
: mulai dari km 5 – km 17 Timur Utara
Divisi II
: mulai dari km 2 Timur Selatan – Ujung Barat Selatan
Divisi III
: mulai dari Ujung Barat Utara– km 5 Timur Utara
Divisi IV : mulai dari km 2 Timur Selatan – km 17 Timur Selatan Divisi V
: mulai dari km 17 Timur – Ujung Timur
Keadaan Tanaman dan Perkembangan Produksi Tanaman tebu yang dibudidayakan terdiri dari 2 kategori yaitu Replanting Cane (RPC) dan Ratoon Cane (RC). Replating Cane adalah tanaman tebu baru yang ditanam pada areal yang pernah ditanam sebelumnya atau ”dibongkar”. Ratoon Cane (tebu keprasan) merupakan tanaman tebu yang berasal dari sisa tanaman yang ditebang sebelumnya yang kemudian dipelihara kembali menjadi
23
tanaman baru. Sistem RC dapat dilakukan hingga 2-3 kali tahun tanam tergantung dengan sifat atau varietas tebu yang ditanam. Jika tanaman dinilai tidak mampu berproduksi lagi selanjutnya dilakukan replanting. Kategori tanaman yang dibudidayakan lainnya yaitu Plant Cane (PC) atau tanaman tebu pertama yang ditanam pada areal yang baru dibuka. Perkebunan tebu GPM pada tahun 2010 membuka areal penanaman baru untuk dipanen pada tahun selanjutnya. Sistem tanam yang digunakan yaitu sistem baris ganda (double row). Jarak tanam antar baris yang berdekatan 65 cm, dan antar double row 185 cm. Produktivitas tanaman rata-rata 80 ton/ha dari varietas yang dikembangkan perusahaan ataupun yang didatangkan dari luar negeri seperti Taiwan.
Keragaan Pabrik PT GPM memiliki pabrik sendiri yang dibangun sejak bulan Juni 1986 dan mulai beroperasi penuh mulai tahun 1987. Kapasitas giling awal pabrik ini 8 000 10 000 TCD. Pada tahun 1994 kapasitas giling pabrik ditingkatkan menjadi 10000 -12 000 TCD. Waktu giling pabrik mulai bulan April sampai dengan November. Produksi gula sejak 2005-2009 yaitu 152 608.62 ton, 136 736.26 ton, 154 904.36 ton, 168 264.64 ton, dan 153 045.08 ton. Kebutuhan listrik dipenuhi dengan memiliki sumber pembangkit listrik sendiri menggunakan 2 Boiler dengan kapasitas 120 ton bagas per jam per unit, 3unit Turbo Generator dengan kapasitas 6 000 KVA per unit, dan 3 unit Diesel Generator dengan kapasitas 750 KVA per unit.
Struktur Organisasi dan Ketenagakerjaan PT Sugar Group Companies (SGC) merupakan perusahaan gabungan dari lima perusahaan yaitu PT Gula Putih Mataram (GPM), PT Indo Lampung Perkasa (ILP), PT Indo Lampung Distillery (ILD), PT Sweet Indo Lampung (SIL), dan PT Guna Layang Kuasa (GULAKU). Direktur PT GPM membawahi 6 departemen dengan masing-masing departemen dipimpin oleh seorang manager. Struktur organisasi PT GPM dapat dilihat pada Lampiran 2.
24
Salah satu departemen yang terdapat di PT GPM yaitu departemen pertanian (Plantation). Keberadaannya sangat penting karena menentukan produktivitas dan kualitas tebu yang diharapkan. Departemen ini bertanggung jawab dalam mengelola seluruh kegiatan budidaya tanaman, sejak dari penanaman, perawatan, pemanenan sampai pengangkutan tebu ke cane yard. Manajer Plantation Departement membawahi 10 divisi yaitu 5 divisi wilayah, harvesting, field technical support (FTS), stillage & blotong, administrasi, dan quality control. Workshop Departement bekerja sama dengan bagian workshop divisi wilayah, bertanggung jawab dalam mengelola perbaikan, perawatan serta pengadaan barang spare part seluruh alat dan mesin yang digunakan. Depatemen Warehouse mengelola stok material yang berhubungan dengan kebutuhan perusahaan, seperti BBM, pupuk, spare part, dan lain-lain. Factory Department merupakan bagian perusahaan yang bertanggung jawab dalam mengelola seluruh kegiatan di pabrik, mulai dari tebu tiba di cane yard hingga pengemasan gula, serta pemeliharaan peralatan di pabrik. Departemen Administrasi bertanggung jawab terhadap pendataan serta kesejahteraan karyawan. Manajer Finance berkaitan dengan keuangan internal perusahaan dan mengatur hubungan dengan pihak-pihak yang bekerja sama dengan perusahaan. Tenaga kerja dibedakan atas karyawan dan tenaga harian. Dalam beberapa tahun terakhir ini terdapat karyawan berstatus kontrak dalam jangka waktu tertentu di perusahaan. Karyawan dibedakan atas karyawan staf dan nonstaf. Karyawan nonstaf terdiri atas pengawas, teknisi lapangan, mandor, mekanik, dan operator.
25
PELAKSANAAN KEGIATAN MAGANG
Aspek Teknis Budidaya tebu lahan kering yang dilakukan PT GPM merupakan rangkaian tahapan-tahapan yang saling berkelanjutan, terutama saat on season (April-November). Tahapan tersebut meliputi survey dan pembukaan lahan, persiapan lahan (land preparation), pembibitan dan persiapan bahan tanam, persiapan tanam dan penanaman, pengairan/irigasi, pengendalian organisme pengganggu tanaman, pemupukan dan pemeliharaan lainnya, pemanenan.
Persiapan Lahan (Land Preparation) Persiapan lahan akan dilakukan pada areal yang ditujukan untuk kategori RPC. Pertimbangan suatu petakan siap dibongkar dan replanting yaitu apabila tanaman tidak mampu menghasilkan produksi optimal pada musim selanjutnya. Alasan lainnya yaitu kondisi areal yang rusak berat akibat aktivitas mekanikal harvesting. Program RPC dilakukan sekitar 30% dari seluruh program penanaman. Kegiatan ini bertujuan untuk mempersiapkan kondisi lahan yang siap tanam dengan sebaik-baiknya demi mendukung pertumbuhan tanaman. Kondisi lahan yang diharapkan yaitu tanah yang gembur sehingga infiltrasi air, sistem aerasi, dan perkembangan akar menjadi lebih baik. Kegiatan persiapan lahan pun diharapkan mampu memutus siklus perkembangan organisme pengganggu tanaman (gulma, hama, dan penyakit). Setelah tebangan selesai, lahan diolah dalam beberapa tahapan untuk siap ditanami kembali. Langkah-langkah dalam program persiapan lahan (land preparation) yaitu pencacahan tunggul (brushing), pembajakan (ploughing), penggaruan (harrowing), pembuatan alur tanam (track marking), ripping, furrowing
and
basalt-carbofuran
application.
Rangkaian
kegiatan
ini
membutuhkan waktu minimal dua minggu hingga siap tanam. Perbaikan lahan seringkali dilakukan sebelum kegiatan pengolahan dengan tujuan mengatur dan menata kembali saluran drainase, menghilangkan genangan-
26
genangan pada petak (water logging), dan mengatur tanah agar tidak tererosi. Perbaikan lahan ini dilakukan dengan memperhatikan kontur lahan. Alat yang digunakan yaitu bulldozer dan excavator. Brushing Aplikasi Stillage Tabur Blotong Tabur Kapur
Furrowing, Basalt, Carbofuran Plough Tanam dan Irigasi Harrow I, II
Sulam Pre Emergence
Track Marking Cultivation Ripping Top Dressing Furrowing, Basalt, Carbofuran (A)
(B)
Diagram 1. Tahapan (A). Land Preparation (LP), (B). Mechanical Maintenance Replanting Cane (RPC) a. Pencacahan Tunggul (Brushing) Kegiatan tebangan yang telah selesai, meninggalkan tunggul dan sampah tebu di areal. Kegiatan brushing merupakan tahapan awal dalam kegiatan land preparation yang bertujuan memecah dan mencacah tunggul dan perakaran tebu yang tersisa. Kebersihan areal dari sampah dan kondisi areal yang lebih rata merupakan fungsi lainnya. Implemen yang digunakan yaitu berupa garu dengan 28 disc yang disusun dengan tipe offset, dengan jumlah disc depan dan belakang sama banyak. Diameter dari masing-masing disc sekitar 30 cm. Lebar pengolahan mencapai 2.5m dan kedalaman olah sekitar 20 cm. Implemen ditarik traktor medium berdaya 140 HP (horse power). Standar kapasitas kerja alat brushing ini 1.2 ha/jam. Kapasitas kerja alat sangat dipengaruhi dengan kondisi lingkungan dan
27
petakan itu sendiri. Areal yang basah akan sulit dikerjakan dan membutuhkan waktu yang cukup lama serta tingkat resiko alat rusak cukup tinggi.
Gambar 1. Pencacahan Tunggul (Brushing) Pada kegiatan ini, traktor dijalankan searah dengan baris tanam yang lama. Tiap petakan diawali dengan mengerjakan pada bagian pinggir yang berlawanan arah lintasan baris yang lama. Pada petakan dengan baris tanam yang lurus, bagian pinggir cukup dilakukan pada dua sisi saja. Sedangkan petakan dengan baris tanam yang miring/diagonal maka dilakukan pada semua sisi pinggirnya.
b. Aplikasi Stillage Stillage merupakan limbah cair hasil pengolahan molases menjadi etanol. Stillage yang dihasilkan dari PT ILD ini merupakan pengganti atau subtitusi pupuk KCl karena kandungan kalium yang terdapat di dalamnya. Stillage yang ditampung pada kolam pembuangan didistribusikan dengan menggunakan mobil tangki berbahan stainlessteel ke petakan-petakan tanaman tebu. Dosis yang diberikan yaitu 10 000 l/ha (dari kolam/pond C). Unsur hara yang terkandung pada stillage yaitu 2.22% K, 0.4% Ca, 0.17% Mg. Pemberian stillage yang berlebihan akan menyebabkan tebu rusak bahkan mati. Oleh karena itu, pemakaiannya yang bijak akan memberikan hasil yang baik.
28
c. Tabur Kapur Jenis tanah di areal perkebunan PT GPM yaitu ultisol dan aluvial, dengan derajat kemasaman (pH) tanah antara 4.5-6.5. Hal ini menjadi faktor pembatas dalam budidaya tebu karena tanaman tebu akan berkembang optimal pada pH netral. Oleh karena itu, dilakukan kegiatan tabur kapur dengan tujuan meningkatkan pH tanah dan kadar Ca tanah. Jenis kapur yang diberikan yaitu gypsum dan lime dengan dosis masing-masing yaitu 1 ton/ha dan 2 ton/ha. Pada kondisi tingkat unsur hara Mg yang rendah sering kali suatu areal diberikan dolomit. Kegiatan ini dilakukan oleh kontraktor dari luar perusahaan yang diawasi pelaksanaannya oleh mandor. Jumah kapur yang dibawa dari gudang disesuaikan luasan petak yang dituju. Selanjutnya kapur dibawa dengan traktor hingga petakan. Karung-karung berisi kapur langsung diecer pada titik-titik yang memudahkan dan merata pembagiannya. Penaburan dilakukan oleh tenaga manusia dengan cara ditebar. Kontraktor rata-rata mampu menyelesaikan setiap hari seluas 6 ha.
d. Tabur Blotong (Filter Cake) Tebu dapat tumbuh baik pada tanah yang cukup subur, gembur, mudah menyerap dan mudah melepaskan air. Kemampuan blotong dalam menahan air tanah, banyak digunakan PT GPM di areal perkebunannya. Perkebunan lahan kering memerlukan aplikasi ini untuk menjaga air tanah pada musim penghujan dan menyediakannya pada musim kemarau. Blotong merupakan limbah dari proses pengolahan tebu menjadi gula. Blotong secara fisik berwarna cokelat kehitaman, agak kasar, dan menimbulkan bau yang tidak sedap.
29
Gambar 2. Aplikasi Blotong (Filter cake) Blotong yang keluar dari pabrik diangkut dengan dump truck ke areal dengan kapasitas tiap truk sekitar 8 ton. Areal yang diberikan blotong diutamakan pada areal dengan kondisi fisik tanahnya sulit menampung air atau rusak. Pada aplikasi di lapangan, blotong ditebarkan pada areal yang cenderung dekat dengan pabrik. Hal ini terkait dengan tidak seimbangnya jumlah unit pengangkut dengan kecepatan pabrik menghasilkan blotong. Dosis yang digunakan yaitu 40 ton/ha atau dibutuhkan 5 truk pengangkut tiap hektarnya. Cara pemberiannya yaitu tiap 1 ha (27 double row), blotong diletakkan di bagian tengah-tengah baris. Kemudian diletakkan 5 tumpukan blotong dengan jarak yang sama. Selanjutnya blotong diecer dalam jumlah yang lebih sedikit menggunakan tenaga manusia. Blotong diecer menjadi sekitar 60 kg kemudian menjadi 30 kg. Blotong akan merata di petakan seiring dengan berjalannya traktor pada kegiatan pengolahan.
e. Pembajakan (Ploughing) Kegiatan bajak merupakan tahapan persiapan lahan yang bertujuan untuk memotong, memecah, dan membalikkan tanah. Implemen yang digunakan dalam pembajakan ini menggunakan jenis bajak singkal (mouldbord plough). Bajak singkal ini memiliki 3 mata singkal yang ditarik dengan traktor medium berdaya
30
140 HP. Ukuran masing-masing mata singkal yaitu sekitar 60 cm. Kedalaman olah bajak ini yaitu 40 cm.
Gambar 3. Implemen Bajak Singkal (Ploughing) Pembajakan dilakukan mengikuti alur tanam sebelumnya. Pembajakan pada satu petakan diawali dengan membajak pada 3 bagian yang menjadi garis awal alur bajak sehingga membaginya menjadi 3 bagian. Selanjutnya dari tiap garis dilakukan bajak dengan alur seperti spiral, dengan traktor berbelok di dalam petakan. Kegiatan ini akan optimal dan efisien jika dilakukan pada areal tidak basah, karena pada areal basah menyebabkan roda traktor akan lebih mudah slip dan kebutuhan bahan bakar akan cukup tinggi. Kapasitas kerja alat pada kondisi normal yaitu 0.3-0.33 ha/jam. Kegiatan ini dilakukan sekitar 3-5 hari setelah brushing.
f. Penggaruan (Harrowing I, II) Harrowing atau penggaruan merupakan kegiatan menghaluskan butiranbutiran tanah. Tujuan dari kegiatan ini yaitu meremahkan tanah hasil bajakan dan lebih meratakannya. Kegiatan ini menggunakan implemen disc plow yang ditarik tarktor medium berdaya 140 HP sebagaimana pada kegiatan brushing. Disc plow berdiameter sekitar 50 cm. Kedalaman olahnya sekitar 20 cm. Kapasitas kerja alat 1.2 ha/jam.
31
Gambar 4. Implemen Penggaruan (Harrowing) Arah kerja traktor garu tegak lurus dengan arah pembajakan. Hal ini dimaksudkan agar bongkahan tanah dapat lebih remah. Pada kondisi tertentu apabila tanah kurang remah maka dilakukan harrowing kedua dan seterusnya.
g. Pembuatan Jalur Lintasan Alat (Track Marking) Pembuatan jalur lintasan (track marking) ini merupakan tahapan penting dari persiapan lahan karena jalur yang dibuat harus lurus dan tepat. Tujuan dari track marking adalah membuat jalur lintasan untuk kegiatan-kegiatan berikutnya yaitu ripping dan furrowing. Kegiatan ini harus dilakukan oleh operator yang berpengalaman sehingga hasilnya baik dan tepat. Alur yang terbentuk memiliki lebar 1.85 m. Jalur dibuat berdasarkan kontur, terutama pada lahan miring untuk mengatur drainase dan menghindari terjadinya erosi. Pada lahan yang datar, alur dibuat dengan memperhatikan datangnya sinar matahari. Secara umum alur dibuat mengikuti arah barat-timur sepanjang 200 m. Pada petak utuh atau berukuran 200 x 500 m, jumlah alur selebar 1.85 m yang dibuat sebanyak 270 alur atau 27 alur setiap hektar.
32
Gambar 5. Implemen Pembuatan Jalur Lintasan Alat (Track Marking) Pembuatan alur ini menggunakan implemen dengan 12 disc yang ditarik traktor medium berdaya 140 HP. Keduabelas disc tersebut berada pada posisi bagian depan dan belakang disebelah kanan dan kiri masing-masing sebanyak 3 disc. Kedalaman olah yang tebentuk sekitar 30 cm. Kapasitas kerja alat sebesar 0.5-0.6 ha/jam.
h. Pengolahan Lapisan Kedap Tanah (Ripping) Ripping merupakan bagian dari kegiatan pengolahan lahan terutama pengolahan pada sub-soil. Tujuan dari kegiatan ini yaitu untuk memecah dan menggemburkan lapisan kedap tanah yang berfungsi sebagai penampung air (water reservoir). Tanah yang telah dilakukan ripping diharapkan mampu menampung air ketika hujan ataupun dilakukan aplikasi irigasi. Ketersediaan air tanah akan sangat berpengaruh sekali pada pertumbuhan tanaman, terutama pada saat bibit mulai tumbuh (germination).
33
Gambar 6. Implemen Pengolahan Lapisan Kedap Tanah (Ripping) Kegiatan ini menggunakan implement 2 mata pisau beserta hollowbuster yang ditarik denga traktor medium 140 HP. Hollowbuster (seperti besi pemberat) memiliki diameter 15 cm yang berfungsi membuat jalur aliran air, aerasi dan drainase dalam tanah. Kedalam olah pada kegiatan ini yaitu sebesar 70 cm atau hingga bagian subsoil. Kapasitas kerja rata-rata 0.7 ha/jam.
i. Pembuatan Alur Tanam dan Pemupukan Dasar (Furrowing and Basalt-Carbofuran Application) Sistem penanaman tebu yang digunakan yaitu sistem double row atau dua alur tanam. Pembuatan alur tanam (furrowing) ini dilakukan bersamaan dengan pengaplikasian pupuk dasar dan pemberian carbofuran (basalt-carbofuran application). Kegiatan ini menggunakan traktor medium berdaya 140 HP dengan implemen furrower and basalt-carbofuran application. Jarak antar double row yang terbentuk selebar 60 cm. Kedalaman olah furrower sekitar 30 cm.
34
Gambar 7. Implemen Furrowing and Basalt-Carbofuran Application Pupuk dasar yang digunakan yaitu ZA dan TSP dengan dosis masingmasing 100 kg/ha. Kedua pupuk tersebut dicampur di gudang pupuk yang jumlahnya disesuaikan dengan luasan petak yang dipupuk. Pupuk dimasukkan ke dalam 2 hopper dengan kapasitas masing-masing 250 kg. Aplikasi karbofuran menggunakan furadan dengan dosis 30 kg/ha. Kapasitas kerja alat yaitu 0.5-0.6 ha/jam. Biasanya traktor dijalankan dengan kecepatan sekitar 23 km/jam. Kegiatan ini merupakan tahapan terakhir pada pengolahan lahan, sehingga tanah siap untuk ditanami tebu.
Pembibitan dan Persiapan Bahan Tanam Pembibitan merupakan salah satu tahapan budidaya tanaman yang memerlukan pengelolaan yang baik. Kebun pembibitan seluas 1 ha mampu mencukupi kebutuhan bibit di areal tanam seluas 7 ha. Pengelolaannya dilakukan oleh masing-masing divisi wilayah dan pengawasannya dibantu oleh FTS. Luas kebun bibit tiap divisi sekitar 400 ha. Hal ini dalam rangka menyediakan kebutuhan bibit yang akan digunakan dalam program replanting sekitar 30% luas kebun tiap divisi. Kegiatan budidaya untuk bibit umumnya sama dengan tebu untuk produksi seperti pengolahan lahan, penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan. Akan tetapi sistem dalam pembibitan lebih intensif dan ditambah dengan berbagai perlakuan.
35
Hal ini bertujuan untuk memperoleh bibit yang sehat dan terjaga kualitas fisik, fisiologis, dan genetiknya. Salah satu kegiatan penting dalam pembibitan yaitu dongkel anak bibit. Kegiatan ini merupakan kegiatan seleksi dengan membuang bibit tanaman yang tidak termasuk dalam varietas pada petak tersebut (off type). Dongkel anak bibit dilakukan pada tanaman yang telah berumur sekitar 3 bulan. Tujuan kegiatan ini untuk menjaga kemurnian varietas, atau meminimalisir pencampuran varietas di lahan. Kemurnian varietas sangatlah penting dalam budidaya tanaman. Kemurnian varietas akan memberikan peluang waktu kemasakan seragam dan menghindarkan banyaknya jenis organisme pengganggu tanaman. Pemanenan bibit dilakukan pada umur bibit sekitar 6-7 bulan, dengan jumlah ruas rata-rata 21. Kegiatan ini dilakukan oleh kontraktor yang telah bermitra dengan perusahaan. Sistem tebangan dilakukan secara manual sebagaimana dilakukan pada sistem bundle cane pada tebu giling namun perbedaannya tebu tidak dibakar dan daun tidak dibersihkan. Tebu dinilai baik menjadi bibit bila tebu tersebut dipotong hingga ruas terbawah (tunggul pendek) dan bagian pucuknya dihilangkan agar tunas tumbuh dengan baik.
Gambar 8. Tebang dan Angkut Bibit Divisi III PT GPM
Tiap penebang bibit mendapat bagian tebang sebanyak 2 k (1k setara 2 DR x 50 m). Tebu dari dua double row ditebang, dihilangkan pucuknya, dan ditumpuk pada satu baris dan diikat sekitar 30 kg. Tiap ikat bibit dimuat ke atas truk dan
36
selanjutnya siap dibawa ke areal tanam. Bibit yang ditebang dapat juga digunakan untuk kebun bibit selanjutnya dengan diberikan perlakuan perendamaan pada air panas (hot water system) terlebih dahulu.
Persiapan Tanam dan Penanaman Bibit yang telah ditebang selanjutnya ditransportasikan ke areal yang hendak ditanam. Kebutuhan bibit disesuaikan dengan luas petakan yang hendak ditanami dengan perbandingan areal bibit ditebang dengan tanam 1:7. Bibit diangkut dengan menggunakan truk. Pada areal tanam, truk pengangkut bibit mengecer (unloading) bibit dan bergerak diantara 3 DR kiri dan 3 DR kanan.
Gambar 9. Ecer (unloading) Bibit Divisi III PT GPM Tenaga kontraktor selanjutnya mengecer tiap ikat bibit pada alur tanam yang ada. Standar penanaman yang baik yaitu single-overlapping 50%, atau 1 bibit diletakkan berhimpitan setengah bagiannya dengan 1 bibit lainnya. Pelaksanaan di lapangan menunjukkan bahwa sistem tanam yang diterapkan yaitu double-overlapping 25%, yaitu 2 bibit diletakkan berhimpitan seperempat bagiannya dengan 2 bibit lainnya. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga daya tumbuh bibit supaya tinggi. Sistem ini secara analisis menunjukkan bahwa pertanaman terlalu rapat dan dapat mengakibatkan persaingan faktor tumbuh seperti hara, air, dan udara antar tanaman.
37
Bibit yang telah diecer pada alur tanam kemudian dicacah dengan menggunakan golok tebang. Kegiatan ini bertujuan untuk mengurangi dominasi apikal pada batang sehingga tunas akan banyak yang tumbuh. Selanjutnya tanaman disiram dengan air irigasi selama 2 jam. Jika irigasi telah selesai maka tanaman dapat ditutup (cover) dengan tanah dan dipadatkan (compact) dengan memanfaatkan ban traktor yang berjalan. Pemadatan ini berfungsi melekatkan batang dengan tanah lebih awal, sehingga kebutuhan hara akan lebih mudah dipenuhi dan tunas baru segera terbentuk. Kapasitas tenaga kerja tanam mulai dari mengecer, mencacah, serta menutup bibit dengan tanah rata-rata dapat mencapai 600 m DR/orang/hari atau 3 DR utuh/orang/hari.
Gambar 10. Pencacahan Bibit Kendala yang sering dihadapi pada tahapan ini yaitu ketersediaan bibit di areal tanam karena faktor jarak antara kebun bibit dengan areal yang hendak ditanam cukup jauh. Standar penanaman yang diterapkan perusahaan perlu diperhatikan atau diawasi dengan baik, agar bibit tumbuh menjadi optimal dengan jumlah populasi yang tinggi (mencapai 80% daya tumbuhnya).
Pengairan/Irigasi Tanaman tebu memerlukan air yang lebih banyak pada tahap pertumbuhan awal. Perkebunan tebu di lahan kering menerapkan sistem irigasi curah (springkle irrigation) sebagai pemenuhan kebutuhan air bagi tanaman. Irigasi dilakukan pada
38
tanaman RPC maupun RC. Kegiatan penyiraman pada tanaman RPC dilakukan sebanyak 2 kali. Penyiraman pertama dilakukan sebelum bibit ditutup tanah (covering) dan penyiraman kedua dilakukan setelah tanah ditutup. Penyiraman pada kategori RC dilakukan setelah tebu dikepras.
Gambar 11. Pengairan/Irigasi Irigasi dilakukan selama 2 jam dengan target per hari sebesar 2,5 ha. Perusahaan telah memberikan ketentuan bahwa pemakaian pompa hanya dilakukan dalam rentang waktu pkl 07.00-22.00. Peralatan yang digunakan yaitu engine pump dan aksesorisnya. Penyiraman selama 2 jam pada 2 titik (gun) mampu menyirami lahan seluas 0,5 ha. Lebar semprotnya sebesar 20-40 m dengan overlapping 10%. Air yang digunakan berasal dari lebung yang dipompa dengan engine pump (mesin diesel) dan dialirkan melalui pipa-pipa (galvanis) berdiameter 4 inci dan 5 inci dengan panjang 5.9 m.
Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman Pertumbuhan tebu sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan tumbuhnya. Pabrikasi dalam tubuh tebu akan mampu menghasilkan bahan dan energi dengan baik dan sempurna jika kondisi keragaan tebu terjaga. Kelembaban merupakan faktor
penting
yang
mempengaruhi
perkembangan
berbagai
organisme
pengganggu tanaman (OPT) seperti hama, penyakit, dan gulma. Menurut Badan Meteorologi dan Geofisika Lampung, rata-rata kelembaban udara di daerah Lampung berkisar 75-85% (Lampiran.5). Pengendalian dapat dilakukan dengan
39
cara mekanis, kimia, dan biologi. Biasanya kegiatan pengendalian dilakukan apabila telah terjadi serangan tinggi pada petakan terserang, yang didasarkan atas analisis data tim survey divisi wilayah yang dibantu oleh Divisi R and D. sasaran utama dalam pengendalian OPT yaitu menurunkan tingkat kehilangan hasil panen dengan metode yang secara ekonomis menguntungkan bahkan tidak menimbulkan pencemaran. Hadirnya gulma pada periode permulaan siklus hidup tanaman dan periode menjelang panen tidak berpengaruh atau hanya berpengaruh kecil terhadap produksi tanaman. Akan tetapi di antara dua periode tersebut tanaman peka terhadap gulma. Periode kritis merupakan saat suatu pertanaman berada pada kondisi yang peka terhadap lingkungan terutama unsur hara, air, cahaya, dan ruang tumbuh. Bila gulma tumbuh dan mengganggu pertanaman pada periode kritis tersebut maka tanaman akan kalah bersaing dalam hal penggunaan unsurunsur yang diperlukan untuk pertumbuhannya sehingga pertumbuhan tanaman terhambat, sehingga akhirnya akan menurunkan produksinya. Gulma yang banyak tumbuh di areal tanaman tebu GPM terdiri dari jenis teki, rumputan, dan daun lebar. Beberapa gulma yang banyak tumbuh di areal yaitu Echinochloa colona (L.) Link, Cyperus rotundus L., dan lain sebagainya. Hama yang sering dijumpai di GPM yaitu penggerek pucuk (top borer), penggerek batang (stem borer), kutu bulu putih, kutu perisai, kutu babi, kutu daun merah, tikus, dan belalang. Hama penggerek pucuk (Tryporyza novella F.) dapat menyerang tebu mulai tunas umur 2 minggu hingga saat tebang. Ulat penggerek pucuk menyerang batang tebu melalui tulang daun kemudian terus menembus ke bawah di tengah-tengah batang sehingga merusak titik tumbuh batang tebu. Hama penggerek batang (Chillo spp.) dapat menyerang tebu pada setiap fase pertumbuhan. Pada tanaman muda, penggerek batang dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan, batang mudah patah atau dapat pula menyebabkan kematian bila titik tumbuh batang terserang. Serangan pada tebu yang telah beruas dapat meyebabkan batang-batang mati atau busuk yang tidak dapat digiling, penurunan bobot tebu dan rendemen. Kutu bulu putih (Ceratovacuna lanigera Z.) hidup berkelompok di bawah permukaan daun dan menghisap nira tebu. Sisa-sisa kotoran dan embun madu
40
yang dikeluarkan jatuh melekat pada daun di bawahnya, sehingga permukaan daun tampak hitam dan menghambat proses asimilasi daun. Kutu perisai batang (Aulacaspis spp.) umumnya menyerang tebu yang telah beruas dengan menghisap cairan batang. Tebu yang pelepahnya rapat dan sukar membuka lebih disukai oleh kutu perisai batang. Kutu babi melekat pada batang dan dapat menyebabkan penurunan produksi tebu.
Gambar 12. Serangan Kutu Babi Serangan penyakit di perkebunan PT GPM tidak banyak terjadi. Menurut tim survey pengendalian hama dan penyakit, penyakit yang sering menyerang tanaman tebu di GPM yaitu karat daun, pokahbung, luka api. Tanaman yang terserang karat daun menunjukkan gejala pada daun seperti ada noda karat dan tanaman terlihat kerdil. Penyakit pokahbung yang disebabkan oleh fusarium ditunjukkan dengan daun yang berwarna putih bening, sedangkan luka api yang disebabkan oleh jamur ditunjukkan dengan terdapatnya warna hitam pada bagian pucuknya. Kegiatan pengendalian OPT yang dilakukan di GPM lebih banyak dilakukan setelah terjadi serangan dibandingkan bentuk pencegahan (preventif). Pengendalian dilakukan secara biologi, kimiawi (pestisida), dan mekanis (manual). Secara biologi biasanya dilakukan dengan menebarkan predator/parasit bagi hama atau hama penyebar penyakit. Pelepasan predator ini dilakukan dan diawasi oleh Divisi R & D. Kegiatan pengendalian yang sering dilakukan di perkebunan PT GPM yaitu pre emergence, post emergen, klentek, dan weeding.
41
a. Pengendalian Gulma Pra Tumbuh (Pre Emergence) Kegiatan pre emergence yaitu pemberian herbisida pra tumbuh atau pengendalian bibit-bibit gulma. Keberhasilan pada kegiatan ini menjadi kunci persaingan pertumbuhan gulma dan tebu selanjutnya. Aplikasinya dilakukan dengan menggunakan boom spraying yang ditarik oleh small tractor berdaya 7690 HP dengan kapasitas kerja alat 1.2-1.5 ha/jam. Kegiatan ini menggunakan herbisida berbahan aktif Diuron 2.5 kg/ha dan 2,4 D Amine 1.5 l/ha. Volume semprot tiap boom spray berkapasitas 600 l yaitu 400 l larutan untuk 1,5 ha. Lebar semprot sekitar 10 m atau 7 DR dengan overlapping 1 DR. Nozel yang digunakan sebanyak 24 buah dengan ukuran nozel 16. Jarak antara nozel dengan tanah sekitar 50-70 cm. Penggunaannya sangat dipengaruhi cuaca terutama angin dan hujan. Kondisi berangin akan membuat pemberian herbisida tidak efektif karena butiranbutiran (spray) tidak jatuh pada tanah. Dalam pelaksanaannya seringkali menghadapi masalah tersumbatnya nozel. Hal ini terjadi karena bahan herbisida diuron yang digunakan berbentuk tepung terlalu kasar.
Gambar 13. Aplikasi Boom spraying
b. Pengendalian Gulma Periode Tumbuh (Post Emergence) Gulma yang tumbuh di lahan perlu dikendalikan dengan segera agar pertumbuhan tanaman tebu berkembang dengan optimal. Pengendalian pada saat pertumbuhannya dapat dilakukan secara kimiawi dengan herbisida. Dosis
42
herbisida yang digunakan yaitu herbisida berbahan aktif 2,4 D Amine 2 l/ha, paraquat 2 l/ha, serta surfactan 0.5 l/ha. Pemberiannya dilakukan oleh pekerja dengan cara disemprot menggunakan knapsack sprayer berukuran 16 l. Volume semprot yang biasa digunakan yaitu 32 l/ha. Pemberian pada tahap pertumbuhan ini dapat dilakukan hingga lebih dua kali jika aplikasi tidak ada atau kurang berpengaruh.
c. Klentek Kondisi yang lembab akan memberikan peluang berkembangnya bermacam hama dan penyakit. Pelepah daun tebu seringkali menjadi tempat berkembangnya beberapa hama, seperti kutu perisai, kutu bulu putih, atau kutu babi. Klentek merupakan kegiatan membuka batang tebu dari pelepah-pelepah yang terserang hama dengan menggunakan gancu. Areal dengan tingkat serangan hama cukup besar menjadi prioritas dalam kegiatan pengendalian ini. Kebutuhan tenaga kerja rata-rata pada kegiatan ini yaitu 25 orang/ha/hari.
Gambar 14. Klentek (kiri) dan Gancu (kanan)
Kultivasi (Cultivation) Lapisan tanah perlu digemburkan agar lapisan tanah memiliki aerasi yang baik.
Kutivasi
merupakan
kegiatan
menggemburkan
tanah
sekaligus
mengendalikan gulma dengan menaikkan lapisan tanah ke permukaan. Kultivasi
43
dilaksanakan pada program tanaman replanting dan ratoon. Implemen yang digunakan antara keduanya berbeda. Pada program replanting, implemen yang digunakan leaf tyne yang memiliki kedalaman olah 15-20 cm. Implemen ditarik oleh traktor small berdaya 76-90 HP dengan kapasitas kerja alat 0.4 ha/jam. Aplikasinya diterapkan pada tebu berumur rata-rata 1.5 bulan. Program ratoon juga dilakukan kultivasi yang lebih bertujuan memutus zona perakaran lama dan merangsang pertumbuhan akar baru. Implemen yang digunakan yaitu tera tine yang ditarik traktor small berdaya 76-90 HP dengan kapasitas kerja 0.75 ha/jam.
(a)
(b) Gambar 15. Implemen Kultivasi (a) leaf tine, (b) tera tine
44
Pemupukan (Fertilizer) Kebutuhan tanaman akan hara tidak sepenuhnya dapat dipenuhi dari media tanamnya (tanah). Hara perlu disuplai dengan pemupukan. Program pemupukan merupakan suatu hal yang sangat penting yang harus dilakukan untuk mencapai produksi yang diinginkan dalam suatu usaha perkebuan. Besar kecilnya jumlah pupuk yang diberikan harus dipertimbangkan. Jumlah pupuk yang diberikan kepada
suatu
pertanaman
memiliki
pengaruh
terhadap
tanaman
yang
bersangkutan, tanah tempat tumbuh, dan pengaruh secara ekonomi terhadap pembiayaan yang harus dikeluarkan untuk pembelian pupuk dan tenaga kerja. Dalam pemupukan sangat penting untuk diperhatikan mengenai jenis pupuk, jumlah pupuk, waktu pemberian, dan tata cara pemupukan.
Gambar 16. Implemen Pemupukan (fertilizer) Pemupukan pada fase pertumbuhan, dilakukan dengan menggunakan traktor kecil berdaya 76-90 HP yang menarik implemen berbentuk pedang, dengan kedalaman olah lebih dari 20cm. Kapasitas kerja alat sekitar 0.5-0.6 ha/jam. Pada tanaman tebu berumur lebih dari 2 bulan diberikan pupuk dengan dosis urea 283 kg/ha, TSP 100 kg/ha, KCl 240 kg/ha (jika tidak menggunakan stillage). Pupuk diberikan diantara dua baris di dalam DR. Pemupukan perlu pengawasan yang baik, agar pupuk yang diberikan benar-benar mencukupi kebutuhan tanaman (sesuai dosis).
45
Pemeliharaan Tanaman Keprasan (Ratoon Cane/RC) Tebu merupakan tanaman yang dapat tumbuh dan berkembang secara vegetatif dengan menggunakan tunas. Tunas atau tanaman baru dapat diperoleh dari pemeliharaan batang yang telah ditebang pada musim sebelumnya, atau disebut keprasan. Pertimbangan suatu petakan tebu akan dikepras yaitu apabila tebu masih mampu memberikan keuntungan pada musim selanjutnya tanpa harus dibongkar. Penilaiannya lebih banyak didasarkan rendemen dan produktivitas tanaman serta pertimbangan biaya. Hampir 70% program tanam tiap musim dilakukan dengan memelihara tanaman keprasan. Beberapa varietas tebu mampu dikepras lebih dari dua kali (musim). Investasi yang dikeluarkan pada program ratoon dibandingkan replanting lebih sedikit, begitu pula aktivitas mekanisasi di lahan akan lebih sedikit. Tebang
Stubble Shaver
Aplikasi Stillage
Irigasi
Furrowing, Basalt, Carbofuran
Cultivasi
Pre Emergence
Sulam
Subsoiling/Ripping
Diagram 2. Tahapan Mechanical Maintenance Ratoon Cane (RC)
46
Tahapan pemeliharaan tanaman ratoon setelah tebangan (mechanical maintenance) yaitu irigasi, stubble shaver, stillage, top dressing-carbofuran aplication, kultivasi, pre emergence, sulam, subsoiling/ripping. Lahan yang siap dikepras (setelah ditebang) dilakukan aplikasi/pemberian stillage
dan
irigasi
sebagaimana
dilakukan
pada
program
replanting.
Keseragaman tumbuh tanaman ratoon ini diharapkan dapat tercapai dengan memotong tunggul sisa tebangan dengan menggunakan stubble shaver. Implemen yang digunakan yaitu piringan dengan 6 mata pisau (seperti pemotong rumput), dengan ditarik traktor small. Kapasitas kerja alat 0.5 ha/jam. Pemakaian alat ini baru diterapkan 3 tahun terakhir. Pisau yang digunakan harus terjaga ketajamannya dengan mengganti mata pisaunya. Selanjutnya tanaman diberikan pupuk (single dressing) dan karbofuran. Dosis yang digunakan yaitu urea 283 kg/ha, TSP 100 kg/ha, KCl 240 kg/ha (jika tidak diaplikasikan stillage), dan carbofuran 30 kg/ha. Tahapan kegiatan ini bertujuan untuk memberikan nutrisi serta mengendalikan hama (terutama stem dan top borrer). Pupuk diberikan diantara baris dalam 1 DR dengan menggunakan traktor small (implemen berbentuk pedang) berkapasitas 0.5-0.6 ha/jam. Kedalam pupuk lebih dari 20 cm. Tahap kultivasi merupakan tahapan yang memegang peranan penting dalam memutus zona perakaran lama dan merangsang pertumbuhan akar baru. Implemen yang digunakan yaitu tera tine yang ditarik oleh traktor small dengan kedalaman olah lebih dari 20 cm. Kapasitas kerja alat sebesar 0.75 ha/jam. Tahap berikutnya yaitu pre emergence dan penyulaman yang dilakukan sama seperti pada replanting. Sub soiling/ ripping merupakan tahapan yang bertujuan memecah dan menggemburkan tanah lapisan kedap air. Kedalaman olah lebih dari 40 cm dengan menggunakan traktor yang memiliki kapasitas kerja 0.5-0.7 ha/jam.
Kegiatan Tebang, Muat, dan Angkut Kegiatan pemanenan merupakan tahapan penting dari budidaya. Tebu yang telah dibudidayakan selama ini, kemudian dipanen untuk diambil bagian ekonomisnya terutama batang utama untuk dapat dimanfaatkan.
47
Harversting Program
Analisis Kemasakan
Program Ripener
Taksasi TCH
TEBANG
MUAT
ANGKUT
BONGKAR
Diagram 3. Tahapan Harvesting Program a. Program Ripener Zat pemacu kemasakan (ZPK) banyak digunakan pada budidaya tanaman tebu. Penggunaannya menjadi fokus bagi perusahaan untuk mencapai nilai rendemen optimal saat tanaman tebu dipanen. Aplikasinya dilakukan dengan menggunakan pesawat terbang yang telah disesuaikan untuk penyemprotan. Pesawat yang digunakan yaitu AT 502 B dengan mesin PTG-34 AG. Pesawat dilengkapi dengan tangki yang berisi larutan ZPK dengan daya tampung 1 800 l. Pada sayap bagian kanan dan kirinya masing-masing dipasang 17 nozel, dengan lebar semprot aplikasinya 20 m. Jumlah pesawat yang ada sebanyak 3 buah dan hanya 2 yang dioperasikan. Penggunaan pesawat ini ditujukan untuk 3 perkebunan SGC yaitu GPM, SIL, dan ILP. Bahan ZPK yang digunakan yaitu Touchdown dengan bahan aktif glifosat. Dosis penggunaannya yaitu 0,46 l/ha yang diencerkan dengan air hingga 30 l/ha. Pesawat dalam satu kali terbang mampu mencukupi areal semprot seluas 60 ha. Kegiatan penyemprotan ini dilakukan pada pukul 06.30-10.00 dan sangat dipengaruhi dengan cuaca terutama angin. Ketinggian pesawat saat aplikasi ke tanaman tebu dalam satu blok yaitu mencapai 2-3 m. Hal ini dimaksudkan agar
48
penyemprotan efektif (cepat diserap tanaman dan menghindari banyaknya yang hilang). Rata-rata kecepatan terbang sekitar 140 knot atau 500 km/jam. Blok atau petak-petak yang akan diaplikasikan diberikan tanda bendera (orange). Kecepatan angin di areal dan dianggap aman pada kecepatan 2-7 knot. Pesawat akan mulai menyeprotkan ZPK sejauh 2 meter dari tepi petak atau blok. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari petak di sebelahnya atau sekitarnya terkena semprotan. Pemberian ZPK ini menyebabkan daun tebu berwarna kuning, karena butir-butir klorofilnya pecah. Rendemen akan meningkat hingga titik optimal. Tebu dapat dipanen pada umur 28-35 hari setelah aplikasi ZPK.
b. Analisis Kemasakan (Maturity Test) Pada dasarnya program penebangan disesuaikan dengan memperhitungkan kemasakan tanaman melalui analisis kemasakan. Apabila tanaman telah mencapai kemasakan optimal dan dilakukan tebangan maka nilai gula yang diperoleh akan tinggi. Hal ini dikarenakan kuantitas dan kualitas gula telah mencapai optimal. Analisis kemasakan atau yang biasa disebut ’maturity test’ dilakukan oleh Field Technical Service (FTS) Departemen Research and Development. Hasil analisis kemudian menjadi rekomendasi bagi divisi Harvesting. Pengamatan nilai kemasakan dilakukan secara terus menerus, terutama pada petakan yang mendekati masa tebang dan telah diberikan zat pemacu kemasakan (ZPK). Analisis ini untk mengetahui nilai brix, pol, dan purity sampel. Pengambilan sampel dilakukan terutama pada areal yang telah diberikan cane ripener dengan diwakilkan 2 petak setiap bloknya. Sampel diambil sejauh 20m dari tepi petak, dengan mengambil 9 batang tua dan 1 sogolan. Hal ini dilakukan sebagaimana gambaran ketika penebangan dilakukan sehingga data akan memberikan gambaran kondisi yang terjadi. Pada pengamatan selanjutnya dapat diambil sampel pada petak yang sama atau tidak. Namun yang terpenting dapat mewakili aplikasi ZPK yang telah diberikan pada blok tersebut. Batang yang telah ditebang dibersihkan daunnya dan dipotong pucuknya hingga ruas kelima. Selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk dianalisis. Tiap batang diamati serangan hama dan penyakitnya. Selanjutnya dilakukan pendataan
49
meliputi nomor sampel, divisi, nomor petak, varietas, kategori tanam, masa tanam, umur, jumlah batang, panjang batang, diameter batang, dan berat sampel. Survei Lapangan
Penebangan Contoh
Laboratorium Kualitas Tebu
Observasi Bahan Jumlah Panjang (cm) Berat (kg) Diameter batang (cm) Keberadaan hama atau penyakit
Penggilingan
Analisis Nira Bobot (kg) Brix Pol Kemurnian Diagram 4. Tahapan Analisa Kemasakan (Maturity Test) Analisis Bagase
Langkah berikutnya tebu digiling dengan miller kecil (dipasang pada faktor perasan 50%), disaring dan diambil niranya serta ditimbang beratnya. Selanjutnya dilakukan pengukuran brix dan suhu dengan Hydrometer Brix. Nira yang telah diperhitungkan brixnya kemudian ditentukan nilai pol. Nira dimasukkan pada labu takar 100/110 ml sebanyak 100 ml kemudian ditambahkan 1 ml masing-masing penjernih aman lingkungan (PAL) I berupa timbal asetat dan II berupa eter. Selanjutnya ditambahkan dengan aquades hingga 110 ml kemudian dikocok. Larutan disaring dengan kertas saring, dan hasil saringannya ditampung pada beker glass. Kemudian dimasukkan ke dalam pembulu pol 200 mm dan ditera pada polarimeter/ sukromat dan dibaca nilai pol nya. Nilai yang diperoleh
50
dari analisis tersebut dikoreksi dengan suatu konstanta yang telah disesuaikan dengan alat yang digunakan oleh pabrik. Prosesnya dapat dilihat pada bagan di bawah ini.
Diagram 5. Tahapan Pengukuran Nilai Brix dan Pol Tebu c. Pemanenan (Tebangan) Kegiatan tebang dan giling di GPM memerlukan sistem organisasi yang baik. Semua pihak saling terkait satu dengan lainnya. Divisi Harvesting yang ada di GPM merupakan bagian utama dalam tahap penting ini. Divisi ini bertanggung jawab mengkoordinasikan bagian pengelola divisi wilayah, kontraktor tebang, kelompok pekerja, serta pabrik. Hampir 100% tebu yang dipanen merupakan tebu bakar (burn cane). Hal ini sangat berhubungan dengan kemampuan dan kebiasaan penebang, serta luasan tebangan tiap harinya yang cukup luas (sekitar 143,75 ha). Hanya pada kondisi tertentu seperti hujan, tebu ditebang hijau. Sistem tebangan yang diterapkan yaitu bundle cane (BC), loose cane (LC), dan chopped cane. Sistem bundle cane yaitu sistem tebang, ikat, dan muat dengan menggunakan tenaga manusia. Loose cane
51
yaitu sistem tebang menggunakan tenaga manusia dan pengangkutannya menggunakan mesin grabloader. Pada tiga tahun terakhir, sistem loose cane banyak digunakan di perkebunan GPM dikarenakan tenaga tebang bundle cane mulai sulit didapatkan, terutama tenaga dari Pulau Jawa. Berdasarkan banyaknya tenaga kerja yang digunakan, perbandingan loose cane dengan bundle cane pada tahun 2010 yaitu 65:35 sampai 70:30. Berbeda dengan sistem lainya, sistem chopped cane menggunakan mesin harvester untuk menebang dan memuatnya. Tebu yang dihasilkan berupa potongan. Harvester digunakan pada kondisi kekurangan tenaga penebang pada sistem loose cane dan bundle cane. Pengoperasiannya mengeluarkan biaya yang cukup besar, terutama terhadap penggunaan bahan bakar. Sistem chopped cane sudah 3 tahun tidak dioperasikan karena sistem tanam di perkebunan berubah dari sistem single row menjadi double row. Kapasitas giling pabrik GPM yang dipasang sebesar 11 500 TCD. Artinya perkebunan harus mampu memasok 11 500 ton tebu yang telah masak tiap harinya ke pabrik. Target milling pada tahun 2010 yaitu 23 152.12 ha dengan ratarata produktivitas tanaman 80 ton/ha. Tebu yang digiling pada musim tersebut sekitar 1 852 169.6 ton. Musim giling ditargetkan sejak bulan April hingga November. Tabel 1. Rencana dan Realisasi Program Tebangan PT GPM 2010 Target Tebangan
Realisasi Tebangan
Bulan Luas Areal (ha) April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Total
3 544.68 3 125.22 3 229.44 4 086.83 2 907.92 1 795.37 3 909.63 553.03 23 152.12
Luas Areal (%) 15.31 13.50 13.95 17.65 12.56 7.75 16.89 2.39 100.00
Luas Areal (ha) 1 970.29 2 785.51 2 170.46
Luas Areal (%) 8.51 12.03 9.37
Kegiatan tebang di areal diawali dengan kegiatan pembakaran. Pembakaran dilakukan dalam dua tahap yaitu sekitar 30% luas tebangan dibakar
52
pada malam hari dan sisanya pada pagi atau siang hari. Pembakaran yang dilakukan harus memperhatikan kondisi areal, terutama arah angin dan kondisi petak-petak di sekitarnya, agar api tidak menyebar pada areal yang tidak ditujukan. Jika angin bertiup dari arah barat ke timur, maka permulaan bakaran dari tepi petak bagian timur (berlawanan arah). Hal ini dimaksudkan agar bakaran tidak menyebar pada areal yang tidak termasuk dalam program tebangan. Setelah sejauh 20 m, kemudian dibakar searah angin atau dari arah petak yang telah ditebang/ aman agar lebih cepat dan api akan mati pada tengah-tengah petak. Pembakaran dilakukan oleh tim PMK beranggotakan 4 orang dengan pembagian tugas yaitu 1 operator, 2 pembakar, 1 penyemprot. Tim memiliki tugas agar pembakaran dapat dilakukan dengan sempurna dan api dapat dikendalikan. Bahan bakar yang digunakan campuran solar dan avtur dengan menggunakan alat lighted (5 liter). Rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk membakar sekitar 10-15 menit tergantung dengan luas dan letak petakan, kondisi pertanaman (kerapatan tanaman, aplikasi ripener, banyaknya gulma, klentekan), dan kondisi cuaca.
(a)
53
(b) Gambar 17. (a) Pembakaran dan (b) Penebangan Tebu Selanjutnya mandor membagikan luasan petak yang akan ditebang kepada sejumlah
kontraktor
tenaga
kerja.
Jumlah
luasan
dan
pembagiannya
mempertimbangkan kemampuan tenaga kontraktor. Pembagian luasan biasanya dilakukan pada pagi hari dengan cara pengundian. Kontraktor yang mendapat urutan pertama dalam undian berhak menentukan petakan yang akan ditebang oleh timnya, dan selanjutnya diikuti oleh urutan berikutnya. Biasanya dalam sistem loose cane, kontraktor lebih memilih areal yang mudah atau ringan dilakukan. Kontraktor kemudian membagikan luasan/barisan yang menjadi tanggung jawab tiap penebangannya. Prinsipnya adalah tiap orang dioptimalkan memiliki kapasitas kerja 2 k atau 2 x 8 DR x 15 m atau 8 DR sepanjang 30 m atau sekitar 30 orang/ha. Akan tetapi pembagian tanggung jawab baris tebangan tidak harus demikian apabila jumlah baris yang diberikan bukan kelipatan 8. Oleh karena itu, perlu sekali peranan kontraktor dalam pembagian yang adil antar penebang. Pada sistem bundle cane, areal tebang diharapkan mampu memberikan tonase yang tinggi, karena pembayaran berdasarkan berat tebu yang ditebang. Pembagian petakannya pun sama dengan sistem loose cane dengan cara diundi dan pembagian barisan tebangan diserahkan kepada kontraktor. Tebu dipotong dengan golok tebang hingga rata dengan tanah. Bagian pucuknya dipotong hingga ruas kelima dan daun-daunnya dibersihkan.
54
Selanjutnya tebu ditumpuk untuk memudahkan proses muat. Pada sistem loose cane tebu ditebang dan langsung ditumpuk 8:1. Sistem tumpukan ini maksudnya dari 8 baris ditumpuk pada 1 baris. Tumpukan tebu diletakkan pada baris keempat dan kelima. Sistem tumpukan pada bundle cane yaitu 4:1. Tebu yang telah ditebang dari 4 baris kemudian diikat dengan kulit tebu rata-rata setiap 30 kg dan ditumpuk pada 1 baris (yaitu baris kedua dan ketiga).
Gambar 18. Model Penumpukan Loose Cane (kiri) & Bundle Cane (kanan) d. Muat, Angkut dan Bongkar Faktor yang menjadi pembeda antara sistem loose cane dengan bundle cane yaitu sejak muat tebu hingga dibongkarnya. Pada saat muat, sistem loose cane menggunakan peralatan-peralatan atau mesin, sedangkan bundle cane secara manual. Pengangkutannya pun berbeda dalam alat transportasi antara keduanya. Begitu pula perlakuan pada bongkaran di cane yard pabrik. Pada sistem loose cane, tebu yang ditebang dan selesai ditumpuk kemudian dimuat dengan menggunakan grabloader (GL) dan side tipping (STP). Penggunaan STP baru diterapkan 2 tahun belakangan ini. Penggunaan STP dimaksudkan untuk mengganti penggunaan trailer di areal yang menyebabkan pemadatan tanah. STP memiliki lebar ban yang lebih besar dibandingkan trailer. Akan tetapi STP ini secara prosedur, digunakan pada sistem chopped cane atau tebu potong. Jika tebu potong dimuat ke dalam STP maka akan optimal dibandingkan pada sistem loose cane (tebu dalam bentuk lonjoran/stalk). Jika tumpukan tebu diletakkan pada baris keempat dan kelima, maka GL akan bergerak diantara baris ketiga atau keempat dan STP akan mengiringi GL diantara baris keenam. Traktor yang dilengkapi grabloader, beberapa diantaranya dipasang pada sisi kanan (sehingga dapat bergerak pada sisi kanan saja) dan dipasang pada bagian depan traktor (sehingga dapat bergerak ke sisi kanan dan
55
kiri). Setiap STP mampu dipenuhi 3 kali cakupan grabloader. Tiap STP mampu memuat tebu seberat 2.5-3 ton.
(a)
(b) Gambar 19. Muat Loose cane (a) grabloader ke side tipping, (b) side tipping ke trailer Tebu dari petak tebangan kemudian dibawa STP ke secondary road (selebar 12 m) untuk dipindahkan ke dalam head truck dan trailernya. Rata-rata 1 trailer mampu memuat tebu dari 4 STP. Tebu yang ditumpahkan dari STP bermesin hidrolik tersebut, selanjutnya diatur dan dipadatkan dengan grabloader. Sirkulasi antara STP yang satu dengan yang lainnya perlu diatur dan diawasi agar waktu pengisian berlangsung secara efektif. Sekeliling petakan yang ditebang
56
dibuat rute jalur kosong dan jalur isi (dengan muatan). Hal ini dilakukan dalam rangka efisiensi alat dan menghindarkan terjadinya penumpukan alat ataupun kecelakaan.
Gambar 20. Muat Bundle cane Tebu yang ditebang pada sistem bundle cane selanjutnya diikat dan diangkut dengan tenaga manusia. Tebu ditumpuk di atas truk secara rapi agar aman dan tidak tumpah/ tercecer selama perjalanan. Tebu yang disusun diamankan dengan sabuk/tali. Tinggi muatan dapat mencapai 6 m dengan berat rata-rata 15 ton. Tebu yang telah dimuat dari areal, ditransportasikan ke pabrik untuk siap digiling. Dalam sistem transportasi/pengangkutan tebu seringkali terjadi tebu terjatuh yang dianggap sebagai kehilangan hasil (loses). Tabel 2. Kehilangan Tebu di Jalan pada Sistem Loose Cane dan Bundle Cane Sistem Angkutan Loose Cane (LC) Bundle Cane (BC)
Berat Tebu Terjatuh di Jalan 500m pertama pengangkutan (ton/ha)* 0.014 0.006
*angka dikonversi dengan asumsi 1 muatan seberat 15 ton Tebu yang masuk ke pabrik ditimbang angkutan terisi dan saat keluar ditimbang kembali berat kosongnya, sehingga diketahui banyaknya tebu yang terangkut. Di cane yard pabrik, pembongkaran dilakukan dengan menggunakan tripper dan lifter (yang diatur dari menara pengawas) serta cane stacker.
57
Tebu yang dibawa menggunakan truk bundle cane dibongkar dengan menggunakan tripper dan cane stacker. Tripper yaitu alat bongkar yang menggunakan ‘lantai angkat’ hingga terbentuk sudut sekitar 45 derajat sehingga tebu jatuh atau langsng masuk ke feeding cane. Cane stacker atau traktor yang dilengkapi implemen berbentuk seperti garpu mendorong tebu-tebu dari arah samping truk sehingga tebu-tebu jatuh ke lantai cane yard. Angkutan loose cane yang dilengkapi trailer dibongkar dengan lifter. Boom trailer (besi panjang yang dihubungkan dengan rantai-rantai pada trailer) akan dikaitkan dan diangkat dengan lifter, sehingga tebu-tebu yang berada di atas rantai-rantai terangkat dan jatuh pada lantai cane yard atau langsung meluncur ke feeding cane.
Gambar 21. Bongkaran (Lifter)
Evaluasi Kehilangan Hasil (Cane Wastage) Tebu yang tertinggal di areal tebangan secara umum masih bernilai ekonomis. Tebu yang biasanya tertinggal yaitu pucuk, lonjoran, dan tunggul. Bagian pucuk yang masih memiliki kandungan gula yaitu ruas batang di bawah ruas/daun kelima dari ujung. Penebang seringkali memotong bagian pucuk melebihi ruas kelima, sehingga ada bagian yang masih mengandung gula yang terbuang. Lonjoran (stalk) merupakan tebu utuh yang tidak tertebang atau
58
tertinggal di areal. Tunggul yaitu bagian pangkal tebu yang tersisa karena penebangan dilakukan tidak rata tanah (standar tebangan perkebunan). Ukuran contoh evaluasi kehilangan hasil ini yaitu 4 DR x 5 m pada sistem bundle cane dan 6 DR x 5 m pada sistem loose cane. Kegiatan ini dilakukan pada areal tebangan tiap kontraktor. Tunggul-tunggul ditebang, pucuk dipotong, dan lonjoran tertinggal dikumpulkan. Selanjutnya bagian-bagian tersebut dibersihkan dari tanah, akar, atau daun. Kemudian masing-masing ditimbang beratnya sehingga dapat diketahui berat tebu tertinggal pada petak contoh tersebut. Nilai cane wastage dapat digunakan untuk menduga berapa ton tebu yang tertinggal tiap hektar serta mengevaluasi kualitas tebangan tiap kontraktor. Tabel 3. Kualitas Tebangan Sistem Loose Cane dan Bundle Cane Sistem Standar Perusahaan Loose Cane (LC) Bundle Cane (BC)
Bobot Tebu Tertinggal di Areal (ton/ha) Pucuk Lonjoran Tunggul 0.70 0.30±0.1 0.31±0.1
1.00 0.20±0.1 0.48±0.3
1.10 0.39±0.1 0.48±0.1
Proses Pengolahan Gula di Pabrik Gula pasir diolah secara teknologi yang lebih baik sehingga menghasilkan gula yang bermutu. Proses pengolahan gula yang dilakukan PT GPM menggunakan sistem sulfitasi. Proses pembuatan gula pasir terdiri atas beberapa tahap, yaitu: 1. Tahap persiapan (cane preparation) Pertama tebu ditimbang untuk diketahui berat/jumlah tebu yang akan digiling, setelah itu ditampung di emplasemen (cane yard). Kapasitas cane yard ini 20-30% dari kapasitas giling. Selanjutnya tebu dimasukkan ke dalam meja tebu (feeding table) dengan bantuan alat stacker, kemudian melewati krepyak (intermediate cane carrier) menuju pisau pencacah (cane cutter I dan II) sehingga tebu akan menjadi bagian cacahan lebih kecil. Kemudian masuk ke mesin penghancur (cane hammer shredder) sehingga menjadi serpihan-serpihan halus yang siap dilakukan pemerahan selanjutnya. Pada proses ini belum ada nira tebu (juice) yang terperah.
59
2. Tahap pemerahan/gilingan (cane milling) Tebu yang telah menjadi serpihan halus dari tahapan sebelumnya selanjutnya digling/diperah berulang-ulang sehingga akan diperoleh nira tebu (mixed juice). Jumlah tandem gilingan di PT GPM berjumlah 5 tandem/5 mill dan masing-masing mill memiliki 4 roll. Ampas dari penggilingan atau bagase yang diperoleh digunakan untuk bahan bakar boiler sebagai penghasil uap (steam). Steam tersebut berfungsi untuk menggerakkan turbin, memasak nira tebu, dan pembangkit tenaga listrik. 3. Tahap pemurnian dan penguapan (clarification and evaporation) Nira tebu (mixed juice) hasi pemerahan (setelah ada penambahan asam fosfat) akan melewati flow meter untuk mengetahui jumlah juice yang diperoleh, menuju alat pemanasan (juice heater) yang akan dipanaskan pada suhu kurang lebih 750C untuk mematikan mikroorganisme. Kemudian dipompa menuju tangki pengapuran. Susu kapur diberikan pada tangki pengapur hingga pH 8.9-9.2 (limed juice). Selanjutnya dipompa menuju tangki sulfitasi (juice sulphitator) untuk ditambah gas SO2 sehingga pH menjadi 6.8-7.2 (sulphured juice). Kemudian dipanaskan kembali ke juice heater pada suhu 1050C, menuju alat pengembang (flash tank) untuk dibuang gas-gas yang ada dalam juice, selanjutnya ditambah bahan pembantu penggumpal yaitu flocculant dan diendapkan/pemurnian (clarification). Pada tahap ini akan dihasilkan nira jernih (clear juice) dan lumpur juice (mud). Lumpur juice/mud dipompa menuju alat penapis (vacuum filter) sehingga diperoleh blotong (filter cake) yang digunakan sebagai pupuk, dan nira tapis (filtrate juice) yang akan dikembalikan ke tangki pengapuran untuk diolah lagi. Sedangkan clear juice dipompa untuk diuapkan ke badan penguapan (evaporator) sehingga akan diperoleh nira kental (raw syrup). 4. Tahap pengkristalan dan pemisahan (crystallization/boiling and centrifugal) Sistem pemasakan di PT GPM dikenal dengan sistem 3 tingkat yaitu A, B, C. Tujuan tingkat masak ini menekan kehilangan gula yang terikut dalam tetes tebu (final molasses). Sedangkan jumlah tingkatnya didasarkan atas
60
kualitas bahan baku (tebu), jika kualitas bahan baku rendah cukup memakai sistem 3 tingkat dan jika kualitas bahan baku tinggi memakai 4 tingkat. 5. Tahap pengeringan dan pendinginan (dryer and cooler) 6. Tahap penimbangan dan pengarungan (weighing and bagging)
Aspek Manajerial Pengorganisasian Kebun Pengelolaan kebun di PT GPM dilakukan oleh Departemen Plantation. Pimpinan puncak di Departemen Plantation PT GPM dipegang oleh kepala manager. Plantation Manager memiliki wewenang tertinggi untuk memimpin mengelola dan melakukan pengawasan secara tidak langsung terhadap kinerja kebun. Plantation Manager membawahi 5 manager divisi wilayah, harvesting, field technical support (FTS), stillage & blotong, administrasi, dan quality control (Lampiran.2). Perkebunan PT GPM dibagi menjadi 5 sektor/divisi dengan luasan sekitar 4 500-5 000 ha. Divisi wilayah melakukan tugasnya secara sektoral, artinya wilayah perkebunan ini dibagi menjadi 5 bagian wilayah yang masing–masing dipimpin oleh manajer divisi. Manajer divisi wilayah bertanggung jawab terhadap pelaksanaan teknis dan manajerial wilayah yang dipimpinnya. Bagian (seksi) kegiatan budidaya tanaman yang dibawahi oleh divisi wilayah yaitu land preparation (alat berat dan tanam), manual maintenance (dibagi 2 sektor meliputi kegiatan weeding, spraying, klentek, dan sebagainya), mechanical maintenance (RPC dan RC), irigasi dan administrasi. Divisi harvesting merupakan koordinator dalam program pemanenan. Bagian-bagian yang dibawahi yaitu bagian tebangan bundle cane (barat, tengah, timur), tebangan loose cane (barat, timur, gleaning), angkutan, ripener, dan administrasi. Bagian tebangan bertanggung jawab dalam pembakaran, koordinasi teknis kontraktor dan tenaga tebang, serta memantau kualitas tebangan. Pengordinasian angkutan perlu diperhatikan agar proses pengangkutan berjalan dengan baik dan tebu tetap terjaga kesegarannya. Field technical support (FTS) menjadi bagian penting dalam penelitian dan pengembangan produksi tanaman tebu. Divisi stillage dan blotong
61
bertanggung jawab dalam mengelola limbah atau by product berupa stillage dan blotong sebagai penambah bahan organik bagi tanaman. Pengolahan limbah pabrik pun perlu dikelola dengan baik untuk mendukung kelestarian lingkungan. Semua kegiatan budidaya dinilai dan dievaluasi oleh Divisi Quality Control sebagai masukan untuk perbaikan kegiatan budidaya selanjutnya. Sedangkan untuk pendataan yang berkaitan dengan kegiatan budidaya dan administrasi seluruhnya berpusat dan dikelola oleh Divisi Administrasi (PAS/MIS).
Deskripsi Kerja Karyawan a. Tenaga Harian Lepas Tenaga harian lepas adalah tenaga kerja yang direkrut oleh kontraktor dan tidak memiliki ikatan kontrak kerja secara langsung dengan perusahaan. Bertugas menyelesaikan pekerjaan yang telah disepakati oleh kontraktor dan perusahaan, seperti menebang tebu (harvesting), tanam tebu (replanting), menabur kapur dan blotong serta kegiatan lainnya. Masa kerja karyawan bersifat musiman atau sekitar 6 (enam) bulan bekerja. Dengan sistem penggajian kolektif setiap minggunya melalui kontraktor masing-masing.
b. Karyawan Harian Tetap Karyawan harian tetap adalah tenaga kerja harian yang memiliki hubungan kontrak kerja secara langsung dengan perusahaan. Penggajian dilakukan seminggu sekali setiap hari Sabtu dengan gaji pokok yang telah ditetapkan perusahaan. Masa kontrak kerja bersifat relatif, ada yang enam bulan dan ada pula yang satu tahun. Perpanjangan kontrak dipertimbangan berdasarkan etos kerja dan kedisiplinan karyawan. Karyawan bertugas menyelesaikan pekerjaan teknis di lapangan, seperti pengoperasian tractor, weeding, gleaning, spraying, dan terkadang juga diperbantukan untuk menebang tebu jika kekurangan tenaga kerja tebang.
c. Karyawan Bulanan Karyawan bulanan adalah tenaga kerja yang telah diangkat menjadi pegawai tetap perusahaan. Masa kerja sejak penerimaan SK pengangkatan
62
karyawan sampai pensiun yaitu hingga berusia 55 tahun. Beberapa karyawan masih bersifat kontrak atau belum tetap sejak beberapa tahun belakangan ini. Sistem penggajian dilakukan sebulan sekali per tanggal 28 atau 29 melalui rekening bank masing-masing. Karyawan juga mendapatkan hak kesejahteraan berupa perumahan dinas dan pelayanan kesehatan gratis bagi dirinya dan batih/anggota keluarga. Karyawan bulanan terbagi beberapa tingkat jabatan, yang memiliki tugas masing-masing dan yang termasuk sebagai staf Departemen Plantation yaitu Officer, Division Manager, dan Departemen Plantation Manager. 1. Mandor dan Field Maintenance Mandor bertugas mengarahkan karyawan harian agar bekerja sesuai dengan target program yang telah ditentukan oleh atasan. Seorang mandor membawahi 10 hingga 100 karyawan harian. Mandor juga bertugas mendata kehadiran para karyawan. 2. Pengawas (Supervisor dan Officer) Pengawas bertugas mengevaluasi hasil kerja karyawan harian. Jika terdapat kekurangan/ kesalahan hingga hasil kerja tidak sesuai dengan yang diharapkan, pengawas akan memberikan teguran baik kepada karyawan harian maupun mandor yang mengarahkan. Pengawas melaporkan hasil kerja di lapangan kepada divisi manager. 3. Divisi manager Departemen plantation terbagi menjadi beberapa divisi. Setiap kepala divisi (divisi manager) bertanggung jawab atas divisinya. Divisi manager bertugas mengkoordinir seluruh pengawas agar pekerjaan di lapangan terlaksana sesuai target yang diharapkan. 4. Departemen manager Departemen manager adalah pemimpin tertinggi di Departemen Plantation. Bertanggung jawab terhadap proses keseluruhan perkebunan. Mulai dari persiapan lahan sampai panen/tebang dan angkut tebu ke pabrik. Bertugas mengkoordinir seluruh divisi manager agar dapat mencapai target yang telah ditentukan.
63
PEMBAHASAN
Prinsip dari manajemen atau pengelolaan tebangan (harvesting) tebu adalah menghasilkan dan membawa bagian tebu yang bernilai ekonomis (dalam perolehan gula) sejak penebangan hingga siap digiling di pabrik. Tebu yang ditebang diharapkan memiliki kriteria segar, bersih, dan manis (SBM). Tebu yang segar menunjukkan bahwa tebu yang ditebang sesegera mungkin dikirim ke pabrik dan maksimal ditempuh dalam waktu 30 jam hingga digiling. Kebersihan tebu sangat penting diperhatikan karena benda-benda yang tidak bernilai ekonomis (selain batang tebu) akan menurunkan kadar gula. Nilai kemanisan diketahui pada tingkat kemasakan tebu. Jika kemasakan tebu optimal maka kandungan gula di dalamnya akan tinggi sehingga dapat menguntungkan. Sistem manajemen tebang, muat, angkut yang optimal dan efisien dapat dinilai melalui keberhasilan pengelolaan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi pemenuhan target giling pabrik serta kemampuan membawa tebu dari areal hingga pabrik dalam kondisi yang baik. Berdasarkan Tabel 1. target giling tahun 2010, selama 3 bulan pertama (April-Juni) yaitu dengan luas areal yang ditebang 9 899.34ha (42.76%). Pelaksanaan di lapang menunjukkan luas areal tebu yang sudah ditebang seluas 6 926.29 ha. Hal ini menunjukkan bahwa 70% program terlaksana dari target 3 bulan pertama yang direncanakan. Berdasarkan pengamatan di lapang, diketahui bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pelaksanaan giling pada 3 bulan pertama tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhinya yaitu curah hujan, pelaksanaan tebangan, transportasi, dan faktor tenaga kerja. Pengaruh Curah Hujan dengan Sistem Pemanenan Tebu Pada bulan pertama musim tebangan, pengiriman dilakukan dalam jumlah yang cukup sedikit. Hal ini dikarenakan curah hujan pada bulan tersebut masih sangat tinggi dan kondisi peralatan pabrik yang masih belum baik. Curah hujan yang tinggi menjadi faktor kesulitan operasi peralatan muat (grabloader dan side typing) serta angkutan tebu (truck dan head truck). Gilingan tebu dalam jumlah
64
banyak di pabrik pada bulan pertama juga kurang efisien. Perolehan gula akan sedikit pada gilingan pertama karena nira akan banyak menempel pada bahanbahan tertinggal/tersisa pada peralatan giling musim sebelumnya. Jika tebu yang digiling terlalu banyak pada bulan pertama maka akan banyak gula yang terbuang yang terikut dengan ampas/kotoran. Kondisi tebu akan terjaga kesegarannya apabila antara waktu pembakaran hingga digiling ditempuh dalam waktu sesingkat mungkin. Kunci dari kesegaran ini terletak pada pembakaran/burning (burn to crush). Prinsipnya pembakaran dilakukan semalam mungkin dan sesedikit mungkin. Penambahan bakaran akan lebih banyak dilakukan pada pagi atau siang hari. Pertimbangan dari kegiatan bakaran ini memperkecil waktu tempuh tebu dibakar dan dipanen dari areal hingga digiling. Kondisi tebu sejak dibakar hingga siap digiling akan mengalami penurunan kualitas kandungan gulanya. Pembakaran dilakukan dalam 2 tahap tiap harinya, yaitu pembakaran pertama sebanyak 30% (dari luasan program tebangan) pada sore atau malam hari, selanjutnya 70% bagian pada pagi atau siang hari. Jika dalam satu hari ditargetkan pada sistem loose cane sebesar 5000 ton tebu, dan TCH diperkirakan sekitar 80ton/ha, maka dilakukan tebangan sebanyak 62.5 ha. Pembakaran tahap pertama sebesar 30% yaitu 18.75 ha dan sisanya 43.75 ha pada tahap kedua. Pada sistem bundle cane, diusahakan perbandingan pembakaran pertama lebih banyak daripada bakaran kedua. Tenaga bundle cane akan optimal pada tebangan pertama, dan akan berkurang kemampuannya pada bakaran kedua. Tabel 4. Korelasi Tebu Terkirim Berdasarkan Waktu Pembakaran (Burn to crush) periode Juni 2010
Total Kiriman Brix Pol % Kiriman Tebu ≤ 30 jam Keterangan : *) nyata **) sangat nyata
Rata-rata CH -0.417* -0.703** -0.701** -0.450*
Total Kiriman 0.558** 0.570** 0.665**
Brix
Pol
0.999** 0.801**
0.793**
65
Bakaran akan sangat terkait dengan kondisi cuaca terutama hujan. Terjadi kondisi yang diluar perkiraan pada bulan Juni 2010 yaitu curah hujan masih dalam kisaran yang tinggi. Hal ini sangat mempengaruhi jumlah tebu dalam memenuhi kapasitas giling pabrik per hari serta mempengaruhi kerja alat angkut bahkan memperpanjang waktu penundaan pengangkutan tebu dari areal. Iklim mikro yang tidak beraturan ini, memberikan dampak yang berarti pada sistem tebangan yang telah ditetapkan PT GPM. Analisis data (Tabel 4.)menunjukkan bahwa total kiriman tebu berkolerasi nyata dengan rata-rata curah hujan, dan kolerasi keduanya bersifat negatif (-0.417). Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan curah hujan mengakibatkan berkurangnya total pengiriman tebu. Persentase kiriman tebu ≤ 30 jam ke pabrik berkolerasi positif dengan total pengiriman pada hari tersebut (0.665) atau tebu yang terkirim ≤ 30 jam, bobotnya cenderung akan tetap. Pengamatan di lapang menunjukkan bahwa seringkali manajemen mengambil keputusan secara cepat untuk mengganti petak yang akan dibakar agar memenuhi kiriman tebu pada hari tersebut. Namun cuaca yang tidak diduga, seringkali petak yang telah dibakar tersebut juga mengalami hujan. Alat muat dan angkut dengan kondisi areal yang basah pun mengalami kesulitan bahkan tidak dioperasikan. Hal inilah yang mempengaruhi pengiriman tebu ke pabrik. Persentase kiriman tebu ≤ 30 jam mempengaruhi sangat nyata terhadap nilai brix (0.801) dan pol (0.793). Hubungan antara brix dan pol menunjukkan korelasi sangat nyata dan bersifat positif (0.999). Analisis data tersebut membuktikan bahwa prinsip mendasar dari harvesting management adalah tebu yang telah dibakar dan ditebang untuk sesegera mungkin dikirim dan digiling di pabrik agar kualitas tebu terjaga. Tebu bakar akan rentan terkena penyakit dan mudah berkurang kadar gulanya sejak dibakar. Pelaksanaan Tebang Bagian pangkal batang tebu memiliki nilai gula tertinggi. Penebangan dengan standar yang ditetapkan akan menguntungkan perusahaan dalam perolehan gula. Standar tebangan (tebu bakar) yang ditetapkan perusahaan yaitu:
66
a) Pemotongan batang tebu diusahakan rata dengan tanah atau minimal 5cm dari tanah b) Pucuk dipotong hingga ruas ke lima dari atas (30 cm) c) Tidak meninggalkan lonjoran (tebu utuh) Pelaksanaannya yang diawali dengan pembakaran perlu ditindaklanjuti. Hal ini dikarenakan pembakaran cukup memberikan dampak negatif terhadap tanaman ataupun kesehatan manusia baik jangka pendek maupun jangka panjang. Konservasi terhadap sumberdaya yang ada perlu dilakukan dengan sebaikbaiknya, terutama pengurangan kegiatan pratebangan. Kualitas tebangan antara kontraktor tebang loose cane dan bundle cane secara umum baik. Berdasarakan data pada Tabel 3. diketahui bahwa nilai pucuk, lonjoran, dan tunggul yang tertinggal (pengukuran setelah tebangan) lebih sedikit pada loose cane dibandingkan pada bundle cane. Kehilangan hasil pada bundle cane (Tabel 3.) lebih besar dibandingkan dengan loose cane diakibatkan banyaknya lonjoran (0.48 ton/ha) yang tidak terangkut atau tertutupi oleh sampah sisa panen. Kehilangan pucuk dan tunggul sebesar 0.31ton/ha dan 0.48ton/ha. Dua sistem panen yang diterapkan perusahaan dinilai baik karena memiliki nilai cane wastage dibawah standar yang ditetapkan perusahaan. Penggunaan tenaga tebang sistem loose cane lebih banyak daripada bundle cane merupakan pilihan yang dianggap tepat oleh perusahaan. Hal ini didukung dengan, biaya yang dikeluarkan untuk sistem loose cane dalam jumlah banyak akan sama ataupun menutupi pendapatan seperti penggunaan sistem bundle cane. Pemakaian sistem loose cane yang lebih banyak ini pun terkait dengan waktu ataupun capaian target giling. Kemasakan tebu yang semakin menurun dari masa masak fisiologisnya akan mempengaruhi perolehan gula. Jika waktu penebangan diundur akibat kekurangan tenaga kerja maka perusahaan akan mengalami kerugian. Hal perlu meninjau juga penggunaan harvester yang memiliki kapasitas kerja yang lebih baik dibandingan secara semimanual yang dilakukan selama ini. Jika kita memprediksi masa depan, maka tenaga tebang tebu semakin lama akan berkurang. Sehingga untuk mempersiapkan masa tersebut, perusahaan mulai menggunakan harvester dalam pelaksanaan tebang.
67
Transportasi/Angkutan Tebu Kegiatan muat dan angkut memerlukan kondisi areal yang optimal atau tidak basah. Areal yang basah menjadi faktor kesulitan dalam pengoperasian alat, bahkan menyebabkan tidak beroperasinya alat. Sistem bundle cane perlu masuk ke areal untuk memudahkan dalam proses muat dan angkut. Transportasi pun dipengaruhi dengan kondisi jalan yang baik. Jika jalur/jalan angkutan tidak baik maka akan mengakibatkan tebu terjatuh bahkan dapat berakibat angkutan terbalik dan muatan tebu tumpah. Kehilangan tebu di jalan banyak terjadi pada angkutan tebu loose cane dibandingkan bundle cane yaitu sebesar 0.014ton/ha (Tabel 2.). Perbandingan sistem loose cane dan bundle cane mengalami perubahan dari tahun sebelumnya sebesar 30:70, menjadi 60:40. Penggunaan sistem tebangan loose cane memiliki resiko yang cukup besar dibandingkan dengan bundle cane karena pada pelaksanaannya kondisi lingkungan dalam kondisi normal (tidak hujan), sedangkan saat-saat ini iklim tidak menentu. Sedangkan sistem muat bundle cane sangat rapih sehingga kecil kemungkinan jatuh di jalan. Tenaga Kerja Trend tenaga kerja meningkat pada saat on season (Maret-November) karena adanya karyawan musiman. Tenaga kerja musiman pada on season tersebut berkisar 4000-6000 orang karena banyak diperlukan untuk kegiatan tebangan, seperti untuk memenuhi kebutuhan operator alat-alat (grabloader dan side typing), angkutan, dan beberapa sebagai tenaga harian tebang yang direkrut oleh perusahaan. Masa kerja karyawan musiman ini relatif singkat yaitu sekitar 6 bulan. Prinsip pengelolaan tenaga kerja ini didasarkan atas produktivitas dan kesejahteraan tenaga kerja, serta mempertimbangakan efisiensi alat. Selama tiga tahun terakhir trend tenaga kerja mengalami peningkatan. Jumlah tenaga kerja pada bulan Maret-April 2010 sebanyak 5 290 dan 5 670 pekerja. Hal ini dikarenakan semakin luas areal perkebunan serta semakin panjang rantai pengangkutan dan pemakaian berbagai jenis alat yang dioperasikan. Contohnya penggunaan alat muat perantara (side typing) selama 2 tahun belakangan ini,
68
banyak digunakan untuk memudahkan pengangkutan tebu dari areal ke angkutan (trailer) dan mengurangi pemadatan tanah (karena ukuran ban yang lebar). Tabel 5. Trend Jumlah Tenaga Kerja PT GPM Periode 2007-2010 Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Rata-rata Sumber : PAS 2010
2007
2008
2009
2010
3580 3097 3072 3172 3219 3918 4411 4624 4551 4427 4426 3042 3795
3085 3085 3501 4170 4324 4990 5281 5254 5062 5074 3732 3810 4281
3841 3902 4710 4977 5310 5855 5953 5103 4812 5011 3618 3987 4757
3970 4247 5290 5670
4794
Tenaga tebang yang direkrut perusahaan secara langsung pun dalam jumlah yang banyak. Hal ini dikarenakan semakin berkurangnya jumlah kontraktor dan tenaga tebang kontraktor, sehingga untuk memenuhi target pengiriman tebu tiap harinya, perusahaan melakukan perekrutan sendiri. Jumlah kontraktor dan tenaga tebang kontraktor yang berkurang didasarkan atas pertimbangan kesejahteraan, karena hampir seluruh tenaga tebang kontarktor berasal dari Pulau Jawa. Target kiriman tebu oleh tenaga tebang yang direkrut perusahaan biasanya lebih rendah daripada target tenaga tebang kontraktor, karena pelaksanaan tebangan memerlukan keahlian khusus.
69
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Manajemen atau pengelolaan tebangan (harvesting) tebu yang optimal dan efisien akan memberikan keuntungan dan manfaat yang besar bagi perusahaan. Pengelolaan kebun yang baik diharapkan dapat menghasilkan dan membawa bagian tebu yang bernilai ekonomis (dalam perolehan gula) sejak penebangan hingga siap digiling di pabrik. Tebu yang ditebang diharapkan memiliki kriteria segar, bersih, dan manis (SBM). Optimalisasi sistem tebang, muat, dan angkut tebu dapat dinilai dari pencapaian target gilingan pabrik. Faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian target gilingan pabrik yaitu curah hujan, pelaksanaan tebang, transportasi, dan tenaga kerja. Terdapat korelasi negatif antara curah hujan dan total kiriman. Tingginya curah hujan menyebabkan berkurangnya kiriman tebu ke pabrik. Terjadi kehilangan hasil di areal karena penebangan yang tidak tepat. Kehilangan hasil bundle cane lebih banyak daripada loose cane yaitu 0.31 ton/ha pucuk, 0.48 ton/ha lonjoran, 0.48 ton/ha tunggul. Transportasi/alat angkut tebu sangat dipengaruhi oleh kondisi areal dan jalur angkut. Terjadi kehilangan hasil lebih banyak pada sistem loose cane dibandingkan bundle cane yaitu 0.014 ton/ha. Jumlah tenaga tebang meningkat tiap tahun karena semakin luas areal, semakin banyak penggunaan alat, dan berkuranganya kontraktor dan atau tenaga tebangnya.
Saran Pengelolaan seluruh proses/tahapan budidaya perkebunan PT Gula Putih Mataram perlu memperhatikan aspek sumber daya alam (SDA), sumber daya manusi (SDM), dan pengelolaan secara finansialnya. Manajemen tebang, muat, angkut harus memiliki perencanaan yang matang dan harus siap dengan keputusan yang cepat dan tepat dalam pencapaian target tiap harinya, terutama terhadap faktor random fluctuation seperti hujan. Koordinasi antara perkebunan dan pabrik diusahakan berjalan dengan baik.
70
Pembakaran tebu perlu dilakukan secara bijak. Hal ini dikarenakan pembakaran menyebabkan kenaikan suhu yang akan berpengaruh pula pada sistem metabolisme tanaman, yang kelak akan mempengaruhi pula hasil produksi. Pelaksanaan tebangan perlu dilakukan pengawasan yang optimal. Pelaksanaannya dapat menggunakan sistem reward and punishment. Pengangkutan menjadi penting dalam pengiriman tebu ke pabrik, sehingga perlu dilakukan pemeliharaan areal dan jalur angkut yang lebih intensif. Perusahaan harus membangun hubungan baik dengan kontraktor dan tenaga tebangnya, terutama dalam kesepakatan tugas dan hak tenaga tebang, serta pemberian upah yang sesuai. Besarnya upah perusahaan akan menentukan banyaknya tenaga tebang, karena upah kebutuhan tenaga tebang bersaing juga dengan perkebunan gula lainnya. Batas minimal upah dapat disesuaikan dengan upah minimum regional (UMR) Lampung ditambah dengan tunjangan yang relevan seperti tunjangan kesehatan atau kesejahteraan (seperti beras).
71
DAFTAR PUSTAKA
BAPPENAS. 2008. Kapasitas Giling Tebu dan Produksi Gula. http://www.bappenas.go.id/node/138/353/kapasitas-giling-tebu-danproduksi-gula/ [12 Februari 2010] Balai Penelitian Tanah. 2010. Gagasan Swasembada Gula di Indonesia. http://www.pustaka.litbang.deptan.go.id [12 Februari 2010] Bey, A. dan Las, I. 1991. Strategi Pendekatan Iklim dalam Usaha Tani. Kapita Selekta Dalam Agrometeorologi. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Hal 31 Direktorat Benih, 2008. Penyediaan Bibit Tebu Berkualitas Melalui Kebun Berjenjang. http://
[email protected] [6 April 2009] Ditjenbun. 2003. Prospek dan Peluang Produksi Gula Tebu Tahun 2008, Klas Pengelompokan Lahan. http://
[email protected] [11 Mei 2009] Ditjenbun. 2009. Road Map Swasembada http://
[email protected] [23 November 2009] Ditjenbun. 2010. Workshop Swasembada http://
[email protected] [29 Maret 2010]
Gula
Gula
Nasional.
Nasional.
Haryanti, V. 2008. Analisa Sistem Pemanenan Tebu (Saccharum officinarum L.) yang Optimal di PG Jati Tujh, Majalengka, Jawa Barat. Skripsi. Fakultas Teknik Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 104 hal. Irianto, G. 2003. Tebu Lahan Kering dan Kemandirian Gula Nasional. http://
[email protected] [15 November 2009] Irawan, L. C. 2008. Analisis Beban Kerja pada Kegiatan Tebang dan Muat Tebu Secara Manual di PG Bungamayang PTPN VII (Persero), Lampung. Skripsi. Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kartohadikusumo, N. 1975. Masalah Pelaksanaan Mekanisasi pada Tanaman Tebu di Indonesia. Prosiding Ikatan Ahli Gula Indonesia. Pengurus Pusat Ikatan Ahli Gula Indonesia. Yogyakarta. Hal 18-23. Lembaga Biologi Nasional-LIPI. 1978. Tanaman Industri. PT Bina Kancana: Bogor. Moerdokusumo, A. 1993. Pengawasan Kualitas dan Teknologi Pembuatan Gula di Indonesia. Penerbit ITB Bandung
72
Mochtar, M. 1989. Beberapa Aspek Pra-Panen dan Pasca Panen Yang Perlu Diperhatikan Dalam Rangka Maksimalisasi Perolehan Gula Dari Tebu. Prosiding Seminar Budidaya Tebu Lahan Kering, Pasuruan 23-25 Nov1988. P3GI. Pasuruan: 71-89. Nasir, A. A. 1991. Informasi Iklim dalam Budidaya Pertanian. Kapita Selekta Dalam Agrometeorologi. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Hal 75 P3GI. 1989. Manajemen Tebangan dan Pabrik. http://www.p3gi.net [16 Maret 2009] P3GI. 2008a. Konsep peningkatan rendemen. http://www.p3gi.net [16 Maret 2009] P3GI. 2008b. Gambaran Sekilas Kondisi Pertanaman Tebu Giling Saat Ini Dan Prediksi Produksi Gula Indonesia Tahun 2008. http://www.p3gi.net [30 April 2009] Renatho, I. 2007. Mempelajari Aspek Keteknikan pada Pemanenan Tebu di PT Rajawali II Unit PG Subang, Jawa Barat. Laporan Praktek Lapang. Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 67 hal SKIL
(Sugar Knowledge International). http://www.sucrose.com [13 November 2010]
1998.
Sugarcane.
Soepardan, D. 1989. Upaya Peningkatan Mutu Tebangan PG Subang dengan Sistem Empat Dua dan Enam Dua. Prosiding Seminar Budidaya Tebu Lahan Kering, Pasuruan 23-25 Nov1988. P3GI. Pasuruan: 736-752. Suharyono. 1989. Tebang dan Angkut Di Pabrik Gula Bone. Prosiding Seminar Budidaya Tebu Lahan Kering, Pasuruan 23-25 Nov1988. P3GI. Pasuruan: 753-761. Supatma, I. A. 2008. Susut Rendemen dalam Sistem Tebang Muat Angkut di Pabrik Gula Sindang Laut dan Tersana Bar, Cirebon. Skripsi. Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sutaryanto, T. 2009. Pentingnya Peningkatan Mutu Tebu. Gula Indonesia Vol.33 (2): 60. Ikatan Ahli Gula Indonesia (IKAGI). Pasuruan Toharisman, A. 2009. Info Singkat Seputar ZPK. http://www.sugarresearch.org [23 November 2009] Widyatmoko, K. 2009. Aplikasi Zat Pemacu http://www.ikagisumatera.com [17 Desember 2010]
Kemasakan.
73
LAMPIRAN Lampiran 1. Peta Perkebunan PT Gula Putih Mataram
74
Lampiran 2. Jurnal Harian Pelaksanaan Magang di PT Gula Putih Mataram No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Tanggal
Jenis Kegiatan
15-Mar-10 Administrasi dan orientasi lapangan 16-Mar-10 Libur Nasional 17-Mar-10 Diskusi tebangan dan pengawasan pembuatan gorong-gorong 18-Mar-10 Pemeliharaan tebu (klentek dan post emergence) 19-Mar-10 Cek persiapan tebangan 20-Mar-10 Pengenalan Dep.Riset and Development 21-Mar-10 Libur Hari Minggu 22-Mar-10 Persiapan aplikasi ripener 23-Mar-10 Pengawasan persiapan alat muat dan angkut 24-Mar-10 Analisis kemasakan (maturity test) 25-Mar-10 Penjelasan pengambilan sample analisis kemasakan 26-Mar-10 Pengawasan pembuatan gorong-gorong pada lebung 27-Mar-10 Persiapan administrasi tebangan dan selamatan 28-Mar-10 Libur Hari Minggu 29-Mar-10 Persiapan administrasi tebangan
HOK : Hari Orang Kerja (7 jam/hari)
Lokasi Kantor Administrasi Dep.Plantation dan Div.3 Div.4 Div.4 Dep. R&D Run Way Supporting Div. HVT Dep. R&D Div.3 Div.3 Div. HVT
Div. HVT
Prestasi Kerja (HOK) Standar Pekerja Mahasiswa
75
Lampiran 2. Lanjutan No
Tanggal
Jenis Kegiatan
16 17 18 19 20 21 22
30-Mar-10 31-Mar-10 1-Apr-10 2-Apr-10 3-Apr-10 4-Apr-10 5-Apr-10
23
6-Apr-10 Scoring tunggul dan lonjoran serta pengamatan loose cane 7-Apr-10 Scoring tunggul dan lonjoran serta pengamatan loose cane 8-Apr-10 Scoring tunggul dan lonjoran serta pengamatan loose cane 9-Apr-10 Aplikasi gypsum dan klentek 10-Apr-10 Pengawasan tebangan 11-Apr-10 Libur Hari Minggu 12-Apr-10 Membantu administrasi tebangan 13-Apr-10 Pengawasan tebangan
24 25 26 27 28 29 30
Persiapan administrasi tebangan Persiapan administrasi tebangan Persiapan administrasi tebangan Libur Nasional Bongkaran tebu dari angkutan Libur Hari Minggu Tebangan (Bundle cane)
HOK : Hari Orang Kerja (7 jam/hari)
Lokasi
Prestasi Kerja (HOK) Standar Pekerja Mahasiswa
Div. HVT Div. HVT Div. HVT Cane yard PT SIL 20 BS 46 Div.2 dan TU Div.2 dan TU Div.2 dan TU Div.2 8 BU 4 (Main road) Div. HVT 148 TS 15 dan Div.4
0.03 ha
0.024 ha
76
Lampiran 2. Lanjutan No
Tanggal
31 32 33 34 35 36
14-Apr-10 15-Apr-10 16-Apr-10 17-Apr-10 18-Apr-10 19-Apr-10
37 38 39
20-Apr-10 21-Apr-10 22-Apr-10
40 41 42 43
23-Apr-10 24-Apr-10 25-Apr-10 26-Apr-10
44
27-Apr-10
45
28-Apr-10
Jenis Kegiatan
Membantu administrasi tebangan Supervisi Dosen Membantu administrasi tebangan Pengawasan tebangan Libur Hari Minggu Pengawasan tebangan dan bongkaran (loose cane) Pengawasan tebangan Pembakaran tebu Pengawasan tebangan dan rapat dengan kontraktor Membantu administrasi tebangan Pengawasan jalur angkutan panen Libur Hari Minggu Pengenalan alat angkutan dan penjelasan budidaya tanaman Diskusi tebangan dan pengambilan data sekunder Pengawasan jalur angkutan panen
Lokasi
Prestasi Kerja (HOK) Standar Pekerja Mahasiswa
Div. HVT Dep.Plantation Div. HVT Div.4 Div.2,3,4 dan Cane yard GPM Div.2,3,4 TU 2/7 (Div.1) Div.1 Div. HVT Div.2 Supporting Div. HVT Div. HVT Div.3
0.03 ha
0.25 ha
77
HOK : Hari Orang Kerja (7 jam/hari) Lampiran 2. Lanjutan No
Tanggal
Jenis Kegiatan
46 47 48 49 50 51 52 53 54
29-Apr-10 30-Apr-10 1-Mei-10 2-Mei-10 3-Mei-10 4-Mei-10 5-Mei-10 6-Mei-10 7-Mei-10
Pengenalan alat angkutan Membantu administrasi tebangan Pembakaran tebu Libur Hari Minggu Pengawasan tebangan Orientasi kegiatan divisi wilayah Klentek dan spraying Klentek Klentek
55 56 57 58 59 60
8-Mei-10 9-Mei-10 10-Mei-10 11-Mei-10 12-Mei-10 13-Mei-10
Klentek Libur Hari Minggu Klentek Penanaman dan Irigasi Land preparation (LP) Libur Nasional
HOK : Hari Orang Kerja (7 jam/hari)
Lokasi
Prestasi Kerja (HOK) Standar Pekerja Mahasiswa
Supporting Div. HVT Div. HVT BS 3/8 BS 2/8 dan TS Div.3 TU (Div.3) BU (Div.3) 32 TU 09, 30 TU 07, 30 TU 05 BU (Div.3) TU (Div.3) BU (Div.3) BU dan TU (Div.3)
0.070 ha 0.070 ha 0.070 ha 0.052 ha 0.001 ha 0.070 ha 0.020 ha 0.001 ha 0.070 ha 0.020 ha
78
Lampiran 2. Lanjutan No
61
Tanggal
Jenis Kegiatan
Lokasi
BU dan TU (Div.3)
62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72
14-Mei-10 Land preparation (LP), terutama furrowing,basalt-carbofuran application 15-Mei-10 Land preparation (LP) 16-Mei-10 Libur Hari Minggu 17-Mei-10 Pengawasan blotong 18-Mei-10 Tebang bibit dan Penanaman 19-Mei-10 Penanaman (dan Irigasi) 20-Mei-10 Penanaman (dan Irigasi) 21-Mei-10 Penanaman (dan Irigasi) 22-Mei-10 Pemupukan dan tera 23-Mei-10 Libur Hari Minggu 24-Mei-10 Pemupukan 25-Mei-10 Pre emergence/boom spraying dan kepras
73 74 75
26-Mei-10 Pemupukan dan tera 27-Mei-10 Pemupukan dan tera 28-Mei-10 Libur Nasional
BU 3/6 dan 1/7 BU 3/6 dan 1/7
HOK : Hari Orang Kerja (7 jam/hari)
Prestasi Kerja (HOK) Standar Pekerja Mahasiswa 3.5 ha
3.5 ha
2.3 ha
BU dan TU (Div.3) Pabrik dan BU (Div.3) BU dan TU (Div.3) BU 1/2 BU 1/2 BU 1/2 BU 3/6 BU 3/6 dan 1/7 BU 3/6 dan 1/7
0.036 ha 0.036 ha 0.0001 ha 0.036 ha 0.036 ha 0.036 ha 0.036 ha
3.5 ha
3.5 ha
79
Lampiran 2. Lanjutan No
Tanggal
Jenis Kegiatan
76 77 78 79 80 81
29-Mei-10 30-Mei-10 31-Mei-10 1-Jun-10 2-Jun-10 3-Jun-10
Pemupukan dan tera Libur Hari Minggu Tera Membantu administrasi tebangan Pengawasan tebangan Cane wastage dan ripper ratoon
82 83 84 85 86 87 88 89 90
4-Jun-10 5-Jun-10 6-Jun-10 7-Jun-10 8-Jun-10 9-Jun-10 10-Jun-10 11-Jun-10 12-Jun-10
Cane wastage Cane wastage Libur Hari Minggu Cane wastage Cane wastage Cane wastage Cane wastage Cane wastage Cane wastage
HOK : Hari Orang Kerja (7 jam/hari)
Lokasi
Prestasi Kerja (HOK) Standar Pekerja Mahasiswa
BU 3/6 dan 1/7 BU (Div.3) Div. HVT BU (Div.3) TU 1/26 (Div.5) dan BU 2/1 (Div.3) BS 1/6 TS 1/17 BS 1/6 TU 1/16 TU 5/3 TU 5/3 BU 3/5 TS 1/21
5.25 ha
5.25 ha
80
Lampiran 2. Lanjutan No
91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105
Tanggal
Jenis Kegiatan
13-Jun-10 Libur Hari Minggu 14-Jun-10 Membantu administrasi tebangan, data sekunder, konsultasi 15-Jun-10 Membantu administrasi tebangan, data sekunder, konsultasi 16-Jun-10 Membantu administrasi tebangan, data sekunder, konsultasi 17-Jun-10 Membantu administrasi tebangan, data sekunder, konsultasi 18-Jun-10 Membantu administrasi tebangan, data sekunder, konsultasi 19-Jun-10 Membantu administrasi tebangan, data sekunder, konsultasi 20-Jun-10 Libur Hari Minggu 21-Jun-10 Membantu administrasi tebangan 22-Jun-10 Penjelasan aplikasi ripener 23-Jun-10 Pengecekan waktu angkut 24-Jun-10 Membantu administrasi tebangan 25-Jun-10 Membantu administrasi tebangan 26-Jun-10 Penyulaman 27-Jun-10 Libur Hari Minggu
HOK : Hari Orang Kerja (7 jam/hari)
Lokasi
Div. HVT Div. HVT Div. HVT Div. HVT Div. HVT Div. HVT
Div. HVT Dep.Plant TU 6/5 Div. HVT Div. HVT Div.3
Prestasi Kerja (HOK) Standar Pekerja Mahasiswa
81
Lampiran 2. Lanjutan No
Tanggal
Jenis Kegiatan
Lokasi
Prestasi Kerja (HOK) Standar
106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123
28-Jun-10 29-Jun-10 30-Jun-10 1-Jul-10 2-Jul-10 3-Jul-10 4-Jul-10 5-Jul-10 6-Jul-10 7-Jul-10 8-Jul-10 9-Jul-10 10-Jul-10 11-Jul-10 12-Jul-10 13-Jul-10 14-Jul-10 15-Jul-10
Membantu administrasi tebangan Pengawasan tebangan Pengecekan angkutan panen Membantu administrasi tebangan Izin Izin Libur Hari Minggu Membantu administrasi tebangan Membantu administrasi tebangan Leaf tine Penyusunan Laporan dan diskusi Penyusunan Laporan dan diskusi Penyusunan Laporan dan diskusi Libur Hari Minggu Penyusunan Laporan dan diskusi Penyusunan Laporan dan diskusi Pengawasan kegiatan divisi wilayah Pulang
HOK : Hari Orang Kerja (7 jam/hari)
Div. HVT TU 6/5 TU 2/29 (Div.5) Div. HVT
Div. HVT Div. HVT BU 1/2 Div. HVT Div. HVT Div. HVT Div. HVT Div. HVT Div.2
Pekerja
Mahasiswa
82
Lampiran 3. Data Rata-rata Curah Hujan PT Gula Putih Mataram DATA RATA-RATA CURAH HUJAN PT GPM PERIODE 2004-2010 (mm) BULAN TAHUN JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT 2000 277 212 279 247 139 201 120 52 32 215 2001 302 363 262 201 281 102 24 117 119 315 2002 252 305 354 180 238 88 195 11 13 0 2003 452 416 325 232 136 24 47 54 52 126 2004 288 445 309 146 156 37 61 21 5 40 2005 389 277 375 240 175 229 96 105 54 126 2006 436 308 390 309 167 115 29 0 10 0 2007 246 364 338 300 81 110 149 37 21 59 2008 297 107 524 215 79 83 9 78 76 133 2009 210 299 381 157 207 83 86 75 1 143 2010 575 516 *497 *) s/d tanggal 19 Maret 2010 Klasifikasi Iklim Schmidt-Ferguson BK = Jumlah Bulan Kering = 2.4 Jumlah tahun BB = Jumlah Bulan Basah = 8.3 Jumlah tahun Q = BK x 100 % = 28.92% BB
NOV 406 391 93 204 225 201 69 182 344 327
DES 371 373 258 235 384 286 354 344 409 268
83
Tipe Iklim B (Basah) dengan nilai 0.143 < Q < 0.333
84
Lampiran 4. Data Rata-rata Suhu Daerah Lampung DATA RATA-RATA SUHU LAMPUNG PERIODE 1999-2009 (0C) BULAN TAHUN JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT 1999 26.1 26.1 26.5 27.4 26.2 26.1 25.6 25.8 26.7 26.2 2000 26.0 26.2 26.5 26.8 27.3 26.1 26.1 25.7 27.0 26.9 2001 26.2 26.0 26.7 26.9 26.8 26.6 26.0 26.5 26.3 26.8 2002 26.7 26.4 26.9 26.0 27.0 25.9 26.4 26.6 27.1 28.3 2003 27.1 26.4 26.8 25.9 26.9 25.7 25.9 26.6 25.6 26.8 2004 26.9 26.1 26.5 25.7 27.1 25.4 25.9 26.2 27.0 27.5 2005 26.1 26.5 26.3 26.7 26.7 26.4 26.1 26.3 27.2 26.8 2006 26.1 26.6 26.6 26.6 26.9 25.9 26.2 25.9 26.6 27.7 2007 26.7 26.6 26.7 26.8 27.0 26.3 26.1 25.9 25.9 27.5 2008 26.8 26.2 26.2 25.5 26.7 25.3 26.0 26.1 26.9 26.6 2009 26.2 26.1 26.5 27.1 27.1 25.8 26.3 Sumber: BMKG, Stasiun Meteorologi Radin Inten II Bandar Lampung
NOV 26.8 26.8 26.7 27.5 26.6 27.1 26.8 28.2 27.6 25.6
DES 26.0 26.7 26.2 27.0 26.1 26.5 26.9 27.0 26.7 26.1
85
Lampiran 5. Data Rata-rata Kelembaban Daerah Lampung DATA RATA-RATA KELEMBABAN LAMPUNG PERIODE 1999-2009 (%) BULAN TAHUN JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT 1999 88.4 86.5 86.1 79.1 85.7 83.8 82.9 82.2 76.1 83.9 2000 86.2 84.4 81.9 82.9 80.5 84.1 85.3 80.2 77.8 80.5 2001 85.4 85.7 83.6 79.4 83.2 79.8 83.2 78.3 78.8 82.5 2002 85.9 84.3 84.3 84.1 84.0 78.9 82.7 79.3 73.8 69.0 2003 82.4 86.9 85.4 83.9 84.2 78.7 80.8 75.2 77.3 80.9 2004 83.7 86.6 85.5 86.7 83.5 80.5 83.8 77.1 76.0 75.6 2005 84.0 85.3 79.9 79.0 78.8 78.5 78.1 76.4 75.5 80.0 2006 84.4 82.9 83.5 82.2 80.7 81.5 79.6 71.9 67.4 68.3 2007 80.0 80.5 80.4 82.8 81.7 82.7 80.5 77.0 69.0 71.4 2008 80.2 74.4 82.9 78.7 76.7 77.9 74.2 78.7 76.4 79.9 2009 82.0 81.8 80.7 79.1 79.2 82.6 78.0 Sumber: BMKG, Stasiun Meteorologi Radin Inten II Bandar Lampung
NOV 81.5 83.0 82.1 78.3 83.3 79.5 79.9 70.7 68.9 79.3
DES 85.9 82.9 85.5 83.8 86.9 83.8 75.2 81.6 69.6 84.3
86
Lampiran 6. Struktur Organisasi Perusahaan dan Plantation Departement PT Gula Putih Mataram
87
Lampiran 7. Contoh Lembar Hasil Pengujian Maturity Test SUGAR GROUP COMPANIES Agro Lab. Division-PT GPM ANALISIS PENDAHULUAN/KEMASAKAN Periode: -------------------------------------------------------------Bobot N O
Petak
V
C
M T
J
U
B
PB
Brix
Pol
%
D B
HK Tebu
Nira
SKL
Suhu
%
SKL
%
Inten Pol APS
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
1
10BU15
A
R1
5B
100
10
204
22
87
48
19,36
27
19,32
629
16,71
0,86
Frkwns
18
Rend 19
H
T
S
K
B
B
20
21
22
SB
Keterangan: 1: Nomor 2: Petak 3: Varietas 4: Kategori 5: Masa Tanam 6: Umur (bln) 7: Jumlah Batang 8: Panjang Batang (cm) 9: Diameter Batang (cm) 10: Bobot Tebu (gr) 11: Bobot Nira (gr) 12: Skala Brix
13: Suhu (0C) 14: Brix (%) 15: Skala Pol 16: Pol (%) 17: Harkat Kemurnian 18: Pol APS 19: Rendemen 20: Harkat Kemurnian 21: Top Borer 22: Stem Borer 23: Intensitas Stem Borer
Kegiatan umum dilakukan termuat kolom 1-17
yang pada
SKL Pol yaitu nilai pol berdasarkan polarimeter/Sucromart
SKL Brix yaitu nilai brix berdasarkan Hydrometer Brix
% Pol yaitu nilai SKL pol terkoreksi berdasarkan suhu (dapat diketahui dari tabel koreksi)
% Brix yaitu nilai SKL brix terkoreksi berdasarkan suhu (dapat diketahui dari tabel koreksi)
Harkat kemurnian (HK) merupakan pembagian % pol dengan % brix
Nilai Nira = pol-0.4 (brix-pol) KNT (Kadar Nira Tebu) = Bobot nira/Bobot tebu Rendemen = Nilai Nira x KNT/100
23
88
Lampiran 8. Sistem Pembagian Blok dan Petak Perkebunan PT GPM
Main Road
: 20 m
Second Road
: 12 m
Infiel Road
:8m
Perimeter Road
:6m