© 2003 Septifitri Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702) Program Pasca Sarjana / S3 Institut Pertanian Bogor December 2003
Posted, 6 December 2003
Dosen: Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (Penanggung Jawab) Prof. Dr. Zahrial Coto
PENGELOLAAN SUMBERDAYA UDANG DI ESTUARIA SUNGAI SEMBILANG
Oleh:
Septifitri C561024021/TKL Email:
[email protected]
Abstrak Perairan Estuaria Sungai Sembilang merupakan daerah penangkapan udang yang paling potensial di Propinsi Sumatera Selatan, sehingga di wilayah ini terjadi aktifitas penangkapan udang yang cukup padat. Akibatnya terjadi tekanan yang cukup besar terhadap sumberdaya udang, hasil tangkapan udang didominasi oleh udang yang berukuran kecil dan menurunnya hasil tangkapan dari nelayan, selain itu juga masih beroperasinya alat tangkap yang dilarang (trawl) dan terjadinya konflik antar nelayan. Untuk menjaga kelestarian sumberdaya udang di Estuaria Sungai Sembilang, konsep pengelolaan yang dapat diterapkan adalah: - Perlu pengaturan terhadap jumlah alat tangkap, jenis alat tangkap serta areal atau jalur penangkapan, disesuaikan dengan daya dukung sumberdaya udang yang ada. - meningkatkan pengawasan serta menindak tegas sesuai peraturan terhadap kapal trawl dan kapal yang tidak memiliki izin. - memberikn dukungan
modal,- mendorong majunya kegiatan budidaya agar nelayan tertarik pindah kegiatan menjadi pembudidaya, - meningkatkan penyuluhan tentang pentingnya menjaga kelestarian sumberdaya, pemahaman terhadap peraturan yang ada, - menjaga ekosistem hutan mangrove.
I. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Komoditi udang merupakan , komoditas unggulan eksport hasil perikanan
nasional, sebahagian besar devisa negara yang dihasilkan dari sektor Kelautan dan Perikanan , dihasilkan dari hasil eksport udang. Sumatera Selatan adalah salah satu Propinsi
yang menghasilkan devisa
yang cukup besar dari eksport udang. Ekosisitem pesisir pantai Sumatera Selatan merupakan habitat yang sangat cocok untuk kehidupan udang, karena di sepanjang pantai ditumbuhi oleh pohon bakau, sehingga perairan kaya akan zat hara. Menurut Heald & Odum (1972), daun – daun mangrove yang telah gugur, yang jatuh kedalam air akan menjadi substrat yang baik bagi bakteri dan fungi, yang sekaligus berfungsi membantu proses pembusukan daun – daun menjadi detritus. Detritus akan digunakan oleh pemakan detritus seperti amphipoda, mysidaceae, dan lain-lain. Pemakan detritus akan dimakan oleh larva-larva ikan, kepiting, udang dan lain-lain. Dengan kata lain, detritus organik akan merupakan sumber energi yang esensial bagi sebagian besar hewan estuaria. Detritus dari daun-daun Rhizophora mangle merupakan salah satu sumber makanan bagi komunitas akutik (Odum,1971). Perairan pantai timur Sumatera Selatan diantaranya di Kabupaten Banyuasin, didominasi oleh mangrove jenis
Rhizophora spp (Hanafi & Wijayanto,2002). Perairan pantai Sumatera Selatan tergolong cukup ideal untuk kehidupan udang, maka potensi udang di perairan Sumatera Selatan ini cukup besar, hal ini terlihat dari hasil eksport perikanan dari Sumatera Selatan didominasi oleh
udang. Potensi yang besar ini sangat meransang para nelayan untuk melakukan aktivitas penangkapan udang. Perairan Estuaria Sungai Sembilang ini adalah suatu wilayah yang terletak di dusun Sungai Sembilang, Desa Sunsang IV, Kabupaten Banyuasin Propinsi Sumatera Selatan. Lokasi ini merupakan daerah penangkapan udang yang paling potensial di Propinsi Sumatera Selatan. Penangkapan udang di perairan ini umumnya dilakukan dengan mempergunakan tiga jenis alat, yaitu : jaring kantong (trammel net), jaring trawl(mini trawl) dan Sondong (Push net). Jenisjenis udang yang dominan di perairan ini berdasarkan hasil kajian Potensi Sumberdaya Perikanan di Kawasan Pesisir Kabupaten Banyuasin yang telah dilakukan oleh Djamali et al (2002) adalah jenis udang famili Panaedae dengan spesies Penaeus merguensis (udang jerbung), Penaeus monodon (udang windu), metapenaeus ensis (udang api-api), Parapenalopsis sculiptylis (udang cat). Aktivitas nelayan penangkap udang ini setiap tahun cenderung mengalami peningkatan,
baik
dari
penambahan
kapasitas
alat
tangkap
maupun
penambahan dari para nelayan itu sendiri. Hal ini kalau tidak diwaspadai sebelumnya, dikuatirkan sumberdaya udang di perairan ini akan mengalami over fishing, sehingga akan mengurangi Catch Per Unit Effort (CPUE) dari para nelayan itu sendiri yang pada akhirnya pendapatn akan menurun, sehingga kegiatan kelaut tidak menguntungkan lagi, selain ini karena padatnya nelayan yang beroperasi di perairan ini, maka potensi Konflik antar nelayan cukup besar. Untuk itu pengelolaan udang di Perairan Estuaria Sungai Sembilang ini perlu dilakukan dengan sebaik-baiknya. Disamping itu kalau kita melihat kehidupan para nelayan disini, cukuplah memprihatinkan, tidak seimbang antara
manfaat
yang
disumbangkan
dari
hasil
tangkapannya
yang
menghasilkan devisa negara dan pemenuhan kebutuhan protein hewani kepada masyarakat, bila dibandingkan dengan hasil yang mereka terima. Para nelayan dan keluarganya umumnya hidup pada kondisi kemiskinan, sedangkan pihak
eksportir, pedagang/pengumpul dilain pihak umumnya hidup jauh lebih baik. Kesenjangan status sosial ini sangat jauh sehingga diperlukan upaya-upaya pengelolaan yang baik, agar kesenjangan ini dapat dikurangi dan taraf hidup serta kesejahteraan nelayan dapat ditingkatkan.
1.2 Permasalahan Sebagaimana diuraikan di atas, pemanfaatan sumberdaya udang di Perairan Estuaria Sungai Sembilang mengalami beberapa permasalahan yang dapat diuraikan sebagai berikut : a. Sumberdaya Udang di Perairan Estuaria Sungai Sembilang mengalami tekanan yang cukup besar karena : Jumlah nelayan cukup besar serta beroperasinya alat tangkap trawl. b. Potensi Konflik yang cukup besar antar nelayan dalam pemanfaatan sumberdaya udang c. Pendapatan nelayan yang masih rendah sehingga kesenjangan sosial antara nelayan dengan pedagang/pengumpul cukup besar. 1.3 Tujuan Penulisan Tujuan penulisan ini adalah menyusun rencana Pengelolaan sumberdaya udang di Estuaria Sungai Sembilang
agar Sumberdaya ini tetap lestari dan
dapat dimanfaatkan secara optimal oleh para nelayan
untuk
peningkatan
pendapatan dan menghasilkan devisa bagi negara.
II.
GAMBARAN KONDISI UMUM DAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA UDANG DI ESTUARIA SUNGAI SEMBILANG
2.1.
Kondisi Umum Estuaria Sungai Sembilang
Sungai Sembilang adalah nama salah satu dusun dari Desa Sungsang IV di wilayah Kecamatan Banyuasin II, Kabupaten Banyuasin, Propinsi Sumatera Selatan. Dusun Sungai Sembilang berada pada tanjung sisi timur dari muara Sungai Sembilang, dusun ini merupakan pemukiman nelayan dan pusat kegiatan perikanan. Di sini berada tiga perusahaan yang relatif besar yang bekerja sebagai pengekspor hasil perikanan yaitu PT. Bintang Timur, PT. Lola Mina dan PT Asian. Pangkalan pendaratan dari ketiga perusahaan ini merupakan pangkalan bagi kapal-kapal ikan dari dusun sekitar. Di samping itu ketiga perusahaan tersebut digunakan sebagai tempat menjual ikan dan membeli perbekalan laut bagi kapal – kapal dari Propinsi Jambi, Riau, Bangka Belitung dan dari propinsi di Jawa. Dusun ini berada di atas Sungai dan tepi sungai karena daratannya adalah wilayah Hutan Suaka Alam yang tidak boleh dibuka menjadi pemukiman. Topografi wilayah ini terdiri dari rawa-rawa dengan ketinggian kurang dari 50 m di atas permukaan laut (m dpl), sehingga daerah ini sangat dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Jenis tanahnya adalah alluvial hidromorf dengan bahan induk endapan triat (marin). Tipe iklim berdasarkan klasifikasi Schmith dan Fergusson termasuk iklim tropis tipe A. Adapun batas wilayah Hutan Suaka Alam Sungai Sembilang adalah sebelah barat dengan Sungai Benu dan batas Propinsi Jambi, sebelah timur dengan Selat Bangka dan menghadap ke Laut Cina Selatan, sebelah selatan dengan muara Sungai Banyuasin dan Sungai Galis, dan sebelah utara dengan hutan produksi tetap (wilayah HPH PT. Riwayat Musi Timber dan PT. Suksesi Sumatera Timber). 2.2. Kegiatan Penangkapan Alat tangkap yang beroperasi di Estuaria Sungai Sembilang dapat digolongkan kedalam 2 (dua) kelompok, yaitu alat tangkap menetap seperti tuguk, kelong dan alat – alat tangkap yang bergerak seperti sondong, jaring insang, trammel net, trawl, pancing rawai dan lain-lain. Alat tangkap yang
tujuan utamanya menangkap udang adalah : trawl, sondong dan trammel net. Kapal ikan yang beroperasi di Sungai Sembilang tidak hanya berasal dari Sungai Sembilang, banyak kapal –kapal ikan yang datang dari daerah lain seperti dari desa tetangga, Propinsi Jambi, Riau, Bangka Belitung, Jakarta, Jawa Tengah, kapal pencuri ikan dari Thailand dan Vietnam. Alat tangkap
ikan yang terdaftar di kecamatan Banyuasin II sejumlah
2.432 unit alat tangkap. Alat tangkap trammel net merupakan yang terbanyak jumlahnya yaitu 573 unit, kemudian sondong 453 unit, kelong 375 unit, tuguk 368 unit, pancing rawai 154 unit, dan lain – lain. Alat tangkap trawl mini tidak tercatat dengan resmi, karena izin untuk trawl memang terlarang sesuai Keppres No 39 tahun 1980. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jumlah alat trawl ini diperkirakan antara 200 – 400 unit. Kapal sondong yang beroperasi terlihat bahwa 50 % diantaranya juga membawa alat trawl di buritan kapal. Alat trawl yang berukuran besar dari 60 GT yang berasal dari Thailand banyak mencuri ikan sampai 8 mil dari pantai. Konflik yang ditemui terjadi antara alat tangkap menetap tuguk dengan alat tangkap bergerak yaitu sondong dan trawl. Alat tangkap menetap merasa hasil tangkapannya menurun semenjak terjadinya lonjakan jumlah trawl dan sondong yang beroperasi. Demikian juga terjadi konflik antara jaring trammel net dan pancing rawai dengan trawl dan sondong. Alat tangkap trawl dan sondong sering menyeret atau menabrak sampai putus jaring trammel net dan pancing rawai. Konflik pemanfaatan juga terjadi antara kapal-kapal ikan lokal dengan kapal ikan dari daerah lain seperti dari Jambi, Riau, Jakarta, Jawa tengah, dan Thailand. Kapal – kapal dari daerah lain umumnya menggunakan jaring trawl yang lebih besar, sehingga nelayan lokal merasa kalah bersaing dalam menangkap udang atau ikan. Konflik tersebut sudah sering berujung pembakaran kapal trawl dari daerah lain oleh nelayan lokal. Meningkatnya jumlah alat tangkap trawl yang pemiliknya adalah nelayan lokal yang berasal dari Sungsang, Sembilang, Makarti Jaya, menyebabkan terjadinya konflik antara nelayan lokal yang tidak memiliki trawl dengan pemilik
trawl, nelayan yang mengoperasikan trawl umumnya adalah nelayan yang punya modal lebih besar. Menurut Ginting (2002), komposisi jenis alat tangkap yang terdaftar di kecamatan Banyuasin II dapat dilihat seperti pada tabel 1 berikut. Tabel. 1 Komposisi jenis alat tangkap di kecamatan Banyuasin II No
Jenis tangkap
1
Sondong
2
alat
Rata-rata tangkapan per unit (kg/hari) 30
Jumlah alat tangkap (unit)
Trammel net
2,5
573
3
Rawai
300
154
4
Jaring insang
30
287
5
Tuguk
10
368
6
Kelong
25
375
7
Lain - lain Total
453
258 2.432
2.3 Komposisi Hasil Tangkapan Udang Jenis udang komersial yang tertangkap di perairan ini adalah Famili Penaedae seperti Penaeus merguiensis (udang jerbung), Parapenaeopsis (udang cat) dan Metapenaeus ensis. Dari pencatatan hasil tangkapan udang yang masuk ke salah satu pengumpul udang di Sungsang, Banyuasin pada bulan Maret 2001, diperoleh bahwa nelayan yang mendaratkan hasil tangkapan tiap hari 23 – 67 kapal dengan rincian hasil yaitu : udang jerbung (P.
merguiensis) berkisar 26,5 %, udang kerosok – api-api (Metapenaeus spp) berkisar 76,4 % , dan udang cat (Parapenaeopsis spp) berkisar 20,4 %. Tiap hari jumlah yang ditampung sebanyak 150,3 kg sampai 813,85 kg setiap perusahaan penampung.
Hasil tangkapan udang yang didata selama 12 bulan, yaitu dari bulan Agustus 2000 sampai dengan Juli 2001, produksi totalnya setelah dianalisis mencapai 3.019.288,85 kg. Berdasarkan data tersebut dapat diperkirakan produksi bulanan berkisar antara 71.570,50 kg sampai 480.424,00 kg. Berdasarkan size (ukuran) udang hasil tangkapan dapat digolongkan menjadi 3 (tiga) kelompok ukuran, yaitu size < 30 ekor/kg, size 30-100 ekor/kg, dan size > 100 ekor/kg. Komposisi size selama 12 bulan dinyatakan bahwa size < 30 ekor/kg mencapai nilai sebesar 31 %, sedangkan untuk size 30-100 ekor/kg dan size > 100 ekor/kg masing-masing sebesar 30 % dan 38 %. Komposisi bulanan size < 30 ekor/kg, size 30-100 ekor/kg dan size > 100 ekor/kg dapat dilihat pada gambar 1 ,2 dan 3.
Presentasi produksi udang size <30 ekor/kg dari Sungai Sembilang selama 12 bulan (Agustus 2000 s/d Juli 2001) 44.00 30.00
38.00 22.00 33.00
25.00
29.00 39.00
21.00 9.00 66.00
39.00
August 2000 September 2000 October 2000 November 2000 December 2000 January 2001 February 2001 March 2001 April 2001 May 2001 June 2001 July 2001
Gambar 1. Komposisi produksi udang dengan ukuran <30 ekor/kg per bulan
P re s e n ta s i p ro d u k s i u d a n g s iz e 3 0 - 1 0 0 e k o r /k g d a ri S u n g a i S e m b ila n g s e la m a 1 2 b u la n (A g u s tu s 2 0 0 0 s /d J u li 2 0 0 1 )
3 4 .0 0
2 4 .0 0 2 1 .0 0 2 4 .0 0
5 8 .0 0
2 3 .0 0 1 9 .0 0
2 2 .0 0 1 8 .0 0
5 2 .0 0
2 3 .0 0 1 9 .0 0
A ugust 2000 S e p te m b e r 2 0 0 0 O c to b e r 2 0 0 0 N ovem ber 2000 D ecem ber 2000 J a n u a ry 2 0 0 1 F e b ru a ry 2 0 0 1 M a rc h 2 0 0 1 A p ril 2 0 0 1 M ay 2001 June 2001 J u ly 2 0 0 1
Gambar 2. Komposisi produksi udang dengan ukuran 30 - 100 ekor/kg per bulan
Presentasi produksi udang size >100 ekor/kg dari Sungai Sembilang selama 12 bulan (Agustus 2000 s/d Juli 2001) 22.00
38.00
12.00 56.00
53.00 43.00
43.00
10.00 47.00
43.00 39.00
61.00
August 2000 September 2000 October 2000 November 2000 December 2000 January 2001 February 2001 March 2001 April 2001 May 2001 June 2001 July 2001
Gambar 3. Komposisi produksi udang dengan ukuran > 100 ekor/kg per bulan
III. KONSEP PENGELOLAAN SUMBERDAYA UDANG DI ESTUARIA SUNGAI SEMBILANG Dari data hasil tangkapan didapatkan bahwa selama 12 bulan komposisi produksi udang yang diekspor, 38 % adalah udang yang berukuran lebih besar dari 100 ekor/kg. Ini menunjukan tekanan terhadap potensi udang dari upaya penangkapan yang ada semakin berat. Ukuran udang < 30 ekor/kg hanya sebesar 31 % dari ekspor. Ukuran udang sedang yaitu 30-100 ekor/kg didapatkan 30 % dari ekspor udang yang didata di pengekspor. Pendataan dieksportir ini sebetulnya tidak mencakup produksi udang yang dikonsumsi lokal, sedangkan diperkirakan 90 % udang yang dijual untuk konsumsi lokal adalah udang sisa ekspor atau udang yang ukurannya lebih dari 100 ekor/kg. Tekanan ini salah satunya disebabkan oleh jumlah nelayan semakin lama makin bertambah sehingga jumlah alat tangkap makin bertambah, disisi lain sumberdaya yang diekploitasi relatif tidak bertambah. Untuk mengatasi hal ini ada beberapa langkah Pengelolaan yang dapat dilakukan diantaranya adalah sebagai berikut: 1.Melakukan sosialisasi peraturan perikanan kepada nelayan, karena tingkat pengetahuan nelayan terhadap peraturan yang ada masih kurang, nelayan tidak mengetahui bahwa setiap alat tangkap dan kapal penangkapan yang digunakan harus memiliki izin dari instansi terkait. Sehingga hal ini menyebabkan Dinas Perikanan dan Kelautan kesulitan merumuskan suatu pengelolaan karena data-data yang dibutuhkan kurang tersedia. 2. Penertiban izin terhadap alat tangkap udang, alat tangkap udang yang sudah beroperasi tidak perlu ditambah lagi, sedangkan alat tangkap udang yang terlarang dan alat tangkap udang yang tidak mempunyai izin beroperasi di Sungai Sembilang perlu ditertibkan.
3. Untuk mengantisipasi pertambahan jumlah nelayan serta mengurangi kepadatan
dari
nelayan
yang
sudah
ada,
pemerintah
perlu
mensosialisasikan kegiatan budidaya . Peluang kegiatan budidaya yang dapat dilaksanakan di sini adalah budidaya laut dan budidaya di tambak, karena lokasi ini merupakan lahan yang cukup potensial untuk melaksanakan budidaya. Budidaya di tambak ini dilakukan dengan pola perikanan silvo fisheries, yang bertujuan selain dapat mempertahankan (konservasi)
hutan
mangrove,
akan
dapat
mendukung
kegiatan
perikanan tangkap dan perikanan budidaya, terutama budidaya udang yang berwawasan lingkungan. Di perairan Estuaria Sungai Sembilang, ada 3 (tiga) jenis alat yang sangat berpotensi menimbulkan konflik, yaitu : trawl, sondong, dan kelong. Ketiga alat ini adalah alat non selektif , sehingga bila ketiga alat ini memperlihatkan gejala
over fishing bagi komoditi sasaran utamanya, berarti juga kekhawatiran over fhising juga terhadap komoditi sampaingan. Karena alat ini non selektif, maka komoditi sampingan dapat berupa anak-anak atau larva ikan dan udang. Bila keadaan demikian terus berlangsung maka akan terjadi penurunan potensi sumberdaya ikan dan udang secara keseluruhan. Dalam pengoperasiannya ketiga jenis alat ini, jarak antara satu kelong dengan kelong yang lain juga sering menimbulkan konflik. Demikian pula tumpang tindih ruang operasi antara sondong dan trawl yang alatnya ditarik, dengan gill net dan pancing rawai alatnya dipasang/dibentang dalam aiar. Sering terjadi tabrakan fisik antara alat sewaktu operasi yang menimbulkan perkelahian. Pengalokasian dan penataan pemanfaatan belum terpola dengan baik. Pengalokasian alat tangkap yang memanfaatkan sumberdaya ikan harus dilakukan berdasarkan hasil dari kajian kondisi lingkungan dan kajian tingkat pemanfaatan yang dicapai sebelumnya. Alokasi pemanfaatan harus dapat menjawab penataan pemanfaatan yang mengatur secara berimbang jumlah alat, ukuran alat, waktu penangkapan, areal masing-masing alat tangkap atau jalur-jalur penangkapan dari masing-masing alat tangkap. Di Estuaria Sungai
Sembilang penataan tersebut belum dilakukan sehingga terlihat ada beberapa alat yang sudah melebihi jumlah seperti alat penangkapan udang. Sondong jumlahnya sudah mencapai 453 unit yang terdaftar di kecamatan , belum termasuk yang tidak terdaftar. Alat penangkapan udang trawl yang berasal dari Estuaria
Sungai
Sembilang
dan
sekitarnya
(kecamatan
Banyuasin
II)
diperkirakan berkisar antara 200 - 400 unit, disamping itu ada pula trawl yang berasal dari propinsi lain dan negara lain. Kegiatan
pengelolaan
yang
dapat
permasalah tersebut adalah dengan
kita
lakukan
untuk
mengatasi
mengatur areal masing-masing alat
tangkap atau jalur – jalur penangkapan dari masing-masing alat tangkap. Wilayah operasi dari setiap alat perlu ditata secara baik dengan pola yang transparan dengan melibatkan masyarakat mulai perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan. Di lihat dari data jenis alat tangkap yang beroperasi di Sungai Sembilang, masih terdapat alat tangkap trawl, malahan alat tangkap ini jumlahnya cukup besar. Padahal alat tangkap trawl ini didalam Kepres no 39 tahun 1980 secara tegas sudah dilarang. Pengoperasian alat tangkap trawl ini disamping merusak kelestarian sumberdaya udang khususnya, juga sangat sering menimbulkan konflik antar nelayan, malahan disini juga sering beroperasi kapal trawl yang berukuran cukup besar dari propinsi lain dan Negara lain. Beroperasinya kapal trawl ini terutama trawl dari luar, sangat meresahkan para nelayan, karena hasil tangkapan para nelayan setempat cendrung menurun dan sering terjadi rusaknya jaring tramel net para nelayan. Terhadap kapal trawl dari luar ini, para nelayan setempat sudah pernah menghakimi sendiri, dimana kapal trawl secara bersama-sama ditangkap oleh nelayan kemudian langsung dibakar. Dari kejadian ini terlihat masih lemahnya penegakan peraturan yang sudah dibuat yakni kepress no 39 tahun 1980 dan, kurangnya pengawasan dari instansi terkait serta kurangnya kesadaran dari nelayan itu sendiri untuk menjaga kelestarian sumberdaya.
Upaya pengelolaan yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalayan tersebut adalah : 1. Meningkatkan penyuluhan kepada para nelayan tentang kepres No 39 tahun 1980 mengenai pelarangan penggunaan alat tangkap trawl, serta meningkatkan kesadaran nelayan tentang pentingnya menjaga kelesetarian sumberdaya perikanan. 2. Pemerintah
bersama
para
nelayan
meningkatkan
pelaksanaan
pengawasan terhadap beroperasinya alat tangkap trawl. 3. Pemerintah perlu mengambil tindakan yang tegas sesuai peraturan yang berlaku terhadap kapal-kapaal trawl dan kapal yang tidak memiliki izin yang masih beroperasi di perairan Estuaria Sungai Sembilang. Dari segi pendapatan para nelayan di Estuaria Sungai Sembilang umumnya masih rendah, sehingga kehidupan dari nelayan ini masih tergolong ke dalam masyarakat miskin. Hal ini sangat kontras sekali bila dilihat dari kehidupan dari para pedagang/pengumpul hasil tangkap dari para nelayan itu sendiri yang hidupnya sangat sejahtera.
Ada beberapa faktor yang
menyebabkan hal tersebut dapat terjadi diantaranya yaitu ; 1. Hasil tangkapan dari nelayan ini semakin lama makin menurun karena jumlah nelayan makin lama makin banyak, rusaknya kelestarian sumberdaya karena beroperasinya jenis alat-alat tertentu seperti trawl. 2. Para
nelayan
dalam
melakukan
aktifitas
penangkapan
masih
berorientasi kepada jumlah yang di dapat, kurang menjaga kualitas mutu dari hasil tangkapan, sehingga umumnya mutu hasil tangkapan menjadi turun dan hasil jual jadi rendah. 3. Karena keterbatasan modal, umumnya para nelayan melakukan kerjasama dengan para pengumpul/pedagang, tetapi kerjasama ini tidak didasarkan pada prinsip saling menguntungkan, kebanyakan para nelayan selalu pada pihak yang dirugikan, dimana harga barang
– barang yang dibeli nelayan sebelum melaut, dihargai diatas harga pasaran, sedangkan hasil dari nelayan dibeli dibawah harga pasar. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, kegiatan pengelolaan yang dapat dilakukan diantaranya adalah : 1. Meningkatkan kegiatan penyuluhan untuk meningkatkan kesadaran dari nelayan tentang pentingnya
menjaga kualitas mutu dari hasil
tangkapan serta meningkatkan pengetahuan para nelayan cara penangan hasil tangkapan yang baik. 2. Membantu para nelayan untuk mengatasi permasalahan permodalan yang dihadapi, agar para nelayan dapat melepaskan diri dari para pengumpul yang merugikan. Bila para nelayan berusaha dengan modal
sendiri,
para
nelayan
dapat
bebas
memasarkan
hasil
tangkapannya kepada siapa saja, sehingga para nelayan dapat memilih harga jual yang terbaik. Selain hal-hal tersebut di atas, dilihat dari kepadatan larva udang penaeid di perairan Estuaria Sungai Sembilang berkisar antara 526.000 – 581.000 ind/1000 m3 , bila jumlah larva yang cukup besar ini, masuk ke daerah stok sebesar 1 % dari jumlah larva, maka hal ini sangat memberikan potensi yang besar terhadap ketersediaan udang di perairan Estuaria Sungai Sembilang. Untuk itu pengelolaan dari sumberdaya udang di Estuaria Sungai Sembilang ini perlu memperhatikan potensi peremajaan (recruitment), yaitu udang-udang muda yang berasal dari hasil pemijahan yang akan masuk ke daerah stok (daerah ekploitasi). Untuk itu kelestarian hutan mangrove di Estuaria Sungai Sembilang ini perlu di jaga agar pola suksesi ekosistem estuaria dapat berjalan dengan stabil.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan Dari pembahasan tersebut di atas dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Estuaria Sungai Sembilang bila dikelola dengan baik merupakan daerah yang sangat potensial bagi penangkapan udang, karena estuaria ini memiliki kepadatan larva udang penaeid sebanyak 526.000 – 581.000 ind/1000 m3. 2. Pemanfaatan sumberdaya udang di Estuaria Sungai Sembilang telah terlihat gejala over Fishing, gejala ini ditunjukan oleh komposisi hasil tangkapan udang di Sungai Sembilang didominasi oleh udang ukuran > 100 ekor/kg 3. Pengelolaan sumberdaya udang di Estuaria Sungai Sembilang belum dilakukan dengan baik, karena belum dilakukan pengaturan terhadap jenis alat, jumlah alat, areal atau jalur-jalur alat tangkap yang beroperasi dan ukuran mata jaring. 4. Lemahnya
pelaksanaan
penegakan
hukum
dan
pemerintah sehingga di Estuaria Sungai Sembilang
pengawasan
oleh
banyak kapal –kapal
yang beroperasi tanpa memiliki izin dan masih banyak kapal trawl yang beroperasi, baik yang berasal dari nelayan setempat maupun dari propinsi dan negara lain. 5. Pendapatan nelayan di Estuaria Sungai Sembilang masih rendah karena nelayan masih berorientasi kepada jumlah hasil tangkapan dan kurang memprioritaskan kualitas mutu hasil tangkapan, kebanyakan para nelayan bekerjasama dengan para pedagang, yang pada pelaksanaannya umumnya banyak merugikan nelayan. 4.2
Saran Agar sumberdaya udang dapat dimanfaatkan secara optimal untuk
meningkatkan kelestarian
pendapatan dan kesejahteraan hidup para nelayan serta
sumberdaya
udang
dapat
dipertahankan,
pengelolaan yang disarankan adalah sebagai berikut :
maka
kegiatan
1.Ternyata dengan eratnya hubungan antara jumlah produksi udang dengan luasnya areal hutan mangrove di daratan di sekitarnya, maka disarankan untuk tidak terlalu banyak mengubah atau merusak
ekosistem hutan
mangrove yang ada di Estuaria Sungai Sembilang. 2. Pemerintah perlu mengatur : jumlah alat tangkap, jenis alat tangkap serta areal atau jalur dari alat tangkap udang yang beroperasi di Estuaria Sungai Sembilang, disesuaikan dengan daya dukung sumberdaya udang yang ada. 3.
Pemerintah perlu meningkatkan penyuluhan kepada nelayan tentang : ¾
pentingnya menjaga kelestarian sumberdaya udang
¾
pemahaman terhadap peraturan-peraturan yang telah ditetapkan
¾
pentingnya menjaga kualitas dari mutu hasil tangkapan
4.Pemerintah perlu meningkatkan kegiatan pengawasan dengan melibatkan masyarakat nelayan serta menindak tegas sesuai peraturan yang telah ada terhadap kapal trawl dan kapal yang tidak memiliki izin yang beroperasi di Estuaria Sungai Sembilang 5. Pemerintah mendorong majunya kegiatan budidaya laut dan tambak, agar para nelayan tertarik berubah kegiatan sehingga tekanan terhadap sumberdaya udang dapat berkurang. 4
Pemerintah perlu membantu dukungan modal kepada para nelayan agar ketergantungan kepada pihak pedagang dapat dihilangkan.
DAFTAR PUSTAKA Djamali, A., Mayunar dan Septifitri. 2002. Kajian Potensi Sumber Daya Perikanan di Kawasan Pesisir Kabupaten Musi Banyuasin. Procceding Seminar Pemantapan Pembangunan Sektor Kelautan dan Perikanan Sumatera Selatan. Dinas Kelautan dan Perikanan Sumatera Selatan: 67-75 Ginting, M.I. 2002. Analisis Fungsi Ekosistem dan Sumberdaya Estuaria sebagai Penunjang Perikanan Berkelanjutan (Studi Kasus Sungai Sembilang, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan), IPB, Bogor.
Hanafi, Wijayanto. 2002. Inventaris Kerusakan Hutan Bakau di Pantai Timur Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Procceding Seminar Pemantapan Pembangunan Sektor Kelautan dan Perikanan Sumatera Selatan. Dinas Kelautan dan Perikanan Sumatera Selatan: 17-25