TESIS
PENGELOLAAN SAIL INDONESIA DI DESTINASI WISATA LAYAR KECAMATAN MAUROLE, KABUPATEN ENDE, PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
CHRISPINIANUS MESIMA NIM 1191061008
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KAJIAN PARIWISATA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013
i
PENGELOLAAN SAIL INDONESIA DI DESTINASI WISATA LAYAR KECAMATAN MAUROLE, KABUPATEN ENDE, PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Kajian Pariwisata, Program Pascasarjana Universitas Udayana
CHRISPINIANUS MESIMA NIM 1191061008
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KAJIAN PARIWISATA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013
ii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 5 SEPTEMBER 2013
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, SU. NIP. 194409231976021002
Ir. A.A. Gde Raka Dalem, M.Sc (Hons). NIP. 196507081992031004
Mengetahui:
Ketua Program Studi Magister Kajian Pariwisata Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Prof. Dr. I Nyoman Sirtha, SH., MS NIP. 194409291973021001
Prof. Dr. dr. A. A, Raka Sudewi, Sp,S(K) NIP. 195902151985102001
iii
Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 3 Oktober 2013
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No. 1867/UN 14.4/HK/2013, Tanggal 30 September 2013
Ketua
: Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, SU
Sekretaris
: Ir. A.A. Gde Raka Dalem, M.Sc (Hons)
Anggota
: 1. Prof. Dr. I Nyoman Sirtha, SH., MS 2. Dr. I Nyoman Madiun, M.Sc 3. Dr. Ir. I Made Adhika, MSP
iv
UCAPAN TERIMA KASIH
Saya memanjatkan puji dan syukur ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, dengan limpahan Roh Kudus-Nya saya telah menyelesaikan tesis ini. Ucapan terima kasih yang tiada terhingga saya sampaikan kepada yang terhormat: 1. Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, SU., selaku pembimbing satu yang dengan kesabaran dan kearifannya telah membimbing saya dalam membangun konstruksi berpikir mulai dari penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian sampai pada penyusunan tesis ini. 2. Ir. A.A. Gde Raka Dalem, M.Sc (Hons)., selaku pembimbing dua yang telah menuntun saya dalam memahami perspektif berpikir secara komprehensif
dan
menuntun
saya
dalam
penyusunan
proposal,
pelaksanaan penelitian sampai pada penyusunan tesis ini. 3. Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD., Rektor Universitas Udayana, yang telah memberikan kesempatan dan semua fasilitas untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister di Universitas Udayana. 4. Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, SpS (K)., Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, yang telah menyelenggarakan Program Pascasarjana dengan segala sarana dan prasarananya. 5. Ketua Program Studi Magister Kajian Pariwisata Program Pascasarjana Universitas Udayana atas motivasi dan kesempatan yang diberikan kepada penulis selama mengikuti kuliah. 6. Prof. Dr. I Nyoman Sirtha, SH, MS., selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan arahan dan kritik demi kesempurnaan tesis ini.
v
7. Dr. I Nyoman Madiun, M.Sc., selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan masukan yang sangat bermanfaat bagi penulis. 8. Dr. Ir. I Made Adhika, MSP., selaku dosen penguji yang telah memberikan saran, petunjuk, maupun koreksi untuk kesempurnaan tesis ini. 9. Bupati Ende yang memberikan kepercayaan dan menugaskan saya untuk mengikuti Program Magister Kajian Pariwisata Universitas Udayana. 10. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende yang telah bersedia diwawancarai dan memberikan data penunjang bagi tesis ini. 11. Camat Maurole dan Para Kepala Desa di delapan desa yang menjadi lokasi penelitian ini yang selalu siap membantu saya dalam penelitian ini. 12. Bapak Raymond T. Lesmana, Ketua Dewan Pengurus Yayasan Cinta Bahari Antar Nusa dan Tenaga Ahli Wisata Layar Nasional di Dirjen Pengembangan Destinasi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang memberikan wawasan dan kesempatan bagi saya untuk menyelami jiwa dari pengembangan wisata layar. 13. Om Yakobus Ari, selaku budayawan di Kabupaten Ende yang memberikan wawasan bagi saya dalam memahami nilai-nilai budaya lokal. 14. Bapak Damianus Deda, selaku tokoh masyarakat di Kecamatan Maurole dan Ibu Sofia Gene yang memfasilitasi saya selama penelitian di Maurole. 15. Seluruh informan lainnya yang tidak saya sebutkan satu per satu, yang dengan kesabarannya selalu meluangkan waktu untuk diwawancarai. 16. Ayahanda (alm) Hermanus Wilhelmus Ma dan Ibunda (alm) Bernadetha Fori, Ayahanda Mertua H. Moh. Soegeng Prastowo dan Ibu Mertua Hj.
vi
Soliqah Istiqomah yang telah memberi restu bagi perjalanan saya dalam mengikuti program ini. 17. Istriku tercinta Dwi Ratna Prastiwi, SST. Par., yang telah menjadi inspirasi dan pemicu semangat bagi saya dalam menyelesaikan program ini. 18. Semua kakak dan adik saya, semua kakak dan adik ipar saya, semua keponakan saya yang telah memberikan dorongan moral dan material sehingga saya dapat mengikuti program ini dengan baik. 19. Kepada mereka yang telah memberikan dorongan dan dukungan moral dan material, yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, saya menyampaikan ucapan terima kasih tiada terhingga. Saya menyadari tesis ini masih jauh dari sempurna, namun saya berharap bermanfaat bagi para pembaca khususnya karyasiswa Program Studi Magister Kajian Pariwisata, Program Pasca Sarjana, Universitas Udayana.
Denpasar, 3 Oktober 2013 Chrispinianus Mesima
vii
ABSTRAK PENGELOLAAN SAIL INDONESIA DI DESTINASI WISATA LAYAR KECAMATAN MAUROLE, KABUPATEN ENDE, PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Sejak tahun 2007 Kecamatan Maurole, Kabupaten Ende, Provinsi Nusa Tenggara Timur disinggahi oleh kapal wisata (yacht) yang mengikuti reli kapal layar internasional – Sail Indonesia. Hal ini berarti sudah enam tahun Maurole menjadi destinasi singgah, namun belum ada perencanaan pariwisata kawasan untuk pengembangannya. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi potensi Maurole, mengkaji pengelolaan dan partisipasi pemangku kepentingan dan faktorfaktor yang mendukung pengembangan Maurole sebagai pariwisata alternatif. Diharapkan kajian ini menjadi masukan bagi pemangku kepentingan dalam pengembangan destinasi wisata layar. Penelitian ini dirancang dengan menggunakan paradigma interpretatif ilmu sosial dengan pendekatan kualitatif, sehingga metode analisis data yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Analisa dilakukan untuk mengidentifikasi potensi, mengkaji pengelolaan dan partisipasi pemangku kepentingan, dan mengkaji faktor-faktor yang mendukung pengelolaan destinasi wisata layar Maurole sebagai pariwisata alternatif. Untuk itu, penelilitan ini menggunakan teori tourism area life cycle, teori partisipasi dan teori perencanaan. Data primer diperoleh dari informan dari kalangan pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat. Salah satu sumber data sekunder adalah peserta reli yang telah mengemukakan pendapat mereka mengenai Sail Indonesia melalui internet dan media terkait lainnya. Hasil kajian sebagai berikut. Pertama, Maurole memiliki kekhasan lokal (local distinctiveness) yakni adanya beberapa kampung adat dan atraksi wisata yang terletak dekat dan mudah diakses dari titik labuh. Dalam siklus hidup destinasi pariwisata, Maurole berada pada tahap involvement. Kedua, pengelolaan lokasi labuh, atraksi seni budaya, dan pengelolaan perjalanan wisata di Maurole telah memicu pengembangan destinasi wisata secara keseluruhan. Partisipasi pemangku kepentingan dalam pengelolaam Sail Indonesia terdiri dari induced participation dan partisipasi inisiasi. Nilai budaya juga mendukung partisipasi dari masyarakat dalam menyambut wisatawan. Nilai budaya itu adalah “ata mai (tamu) ata ji’e (orang baik)”. Keempat, faktor-faktor yang mendukung pengembangan Maurole mencakup faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terdiri atas potensi, pengelolaan, partisipasi pemangku kepentingan, dan posisi geografis dari Maurole pada rute perjalanan yacht. Faktor eksternal mencakup kebijakan pemerintah, persepsi wisatawan, sistem wisata layar, dan wisata layar sebagai pemicu pengembangan destinasi. Pengembangan destinasi wisata layar Maurole harus mempertimbangkan motivasi dari perencanaan, perencanaan pariwisata kawasan, pendekatan perencanaan, dan perencanaan yang berbasis pada nilai-nilai pariwisata alternatif. Kata kunci: destinasi, partisipasi, pengelolaan, Sail Indonesia.
viii
ABSTRACT MANAGEMENT OF SAIL INDONESIA IN SAIL DESTINATION OF MAUROLE, ENDE REGENCY, EAST NUSA TENGGARA PROVINCE
Since 2007, Maurole, a sub-district in Ende Regency, East Nusa Tenggara Province, Indonesia has been visited by yachts that participated in the international yacht rally - Sail Indonesia. It means six years Maurole has became a sail destination, but there is no planning for regional tourism development. This study aimed to identify Maurole’s potential, reviewing management and stakeholder’s participation and the factors that support the development of Maurole as an alternative tourism especially for sail destination. It is expected that result of this study can be utilized as input for development of Maurole as a sail destination. This study was designed to use the interpretive social science paradigm with a qualitative approach. The data analysis method used was descriptive qualitative method. Analysis undertaken to identify the potential, assessed management and stakeholder’s participation, and examined factors that support the development of Maurole as sail destination. Therefore, this study utilized tourism area life cycle theory, participation theory, and planning theory. Primary data were obtained from informants (government, the tourism industry, and society). One of the secondary data sources was information of the rally participants, the information of which expressed through the internet and other related published media. Results of the study provided an overview of the following: First, Maurole has local distinctiveness that is the presence of several indigenous villages and tourist attractions are located nearby and easily accessible from the anchorage area. In the tourism area life cycle, Maurole is considered at the stage of involvement. Second, anchoring site management, art and cultural attractions, and tour management in Maurole had triggered the development of a tourist destination as a whole. Third, the participation of stakeholders consisted of induced participation and initiation participation. Cultural values “ata mai (guest) ata jie (good people)” also supports participation of the community in welcoming tourists. Fourth, the factors that supported the development of Maurole included internal factors and external factors. The internal factors consisted of potential, management, stakeholder participation, and the geographical position of Maurole on the yacht trip. External factors included government policies, the perception of tourists, sailing tourism system, and sailing tourism as a trigger for the development of tourism destinations. Development of Maurole should consider the motivation of planning, regional tourism planning, planning approaches, and planning based on the values of alternative tourism. Keywords: destination, participation, management, Sail Indonesia.
ix
RINGKASAN
Aktivitas wisata layar di Indonesia oleh kapal jenis yacht sudah ada sejak tahun 1973 ditandai dengan pelayaran yang dilakukan dari Darwin menuju ke Indonesia melalui kegiatan lomba layar (yacht race) yaitu Darwin – Ambon Race. Pada tahun 2003 dikembangkan Darwin – Kupang Rally, yang sejak Tahun 2005 namanya menjadi Sail Indonesia. Kapal-kapal wisata mulai memasuki Kabupaten Ende sejak Tahun 2007 setelah Kecamatan Maurole ditetapkan menjadi destinasi singgah Sail Indonesia. Kendatipun Maurole sudah menjadi destinasi singgah, belum ada perencanaan yang komprehensif dalam pengelolaannya. Idealnya, ada perencanaan yang sifatnya jangka panjang dan berkelanjutan. Penelitian ini bertujuan: (1) mengidentifikasi potensi Maurole sebagai destinasi singgah Sail Indonesia, (2) mengkaji pengelolaan dan partisipasi pemangku kepentingan pariwisata dalam Sail Indonesia di destinasi singgah Maurole, dan (3) mengkaji faktor-faktor yang mendukung pengembangan destinasi wisata layar Maurole sebagai pariwisata alternatif di Kabupaten Ende. Dengan tujuan itu, maka penelitian ini hanya mengkaji aspek penawaran (supply) dari destinasi wisata layar Maurole. Sebagai bentuk kajian kepariwisataan, penelitian ini dirancang dengan menggunakan paradigma interpretatif ilmu sosial dengan pendekatan kualitatif. Oleh karenanya, metode analisis data yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Data primer diperoleh dari informan dari kalangan pemerintah, industri
x
pariwisata, dan masyarakat yang terkait dengan aktivitas destinasi singgah Maurole. Salah satu sumber data sekunder adalah informan dari peserta reli Sail Indonesia di Maurole yang telah mengemukakan pendapat mereka
melalui
internet dan media terkait lainnya. Hasil kajian penelitian ini mengungkapkan bahwa Maurole memiliki potensi dan kekuatan sebagai sebuah destinasi wisata layar karena ditunjang oleh komponen destinasi pariwisata, yaitu atraksi, aksesibilitas, amenitas, dan ancillary services. Berdasarkan empat komponen destinasi wisata dan perkembangannya, maka Maurole berada pada tahap involvement dalam siklus hidup destinasi pariwisata. Pemahaman akan posisi dalam siklus hidup destinasi bermanfaat sebagai bahan untuk perencanaan pariwisata kawasan. Penelitian ini juga mengungkapkan tentang pengelolaan dan partisipasi pemangku kepentingan di destinasi wisata layar Maurole. Pertama, pengelolaan destinasi Maurole mencakup pengelolaan areal titik labuh, pengelolaan atraksi seni dan budaya, dan pengelolaan perjalanan wisata. Pengalaman masyarakat dalam ikut mengelola destinasi Maurole membangkitkan keyakinan bahwa mereka memiliki kemampuan untuk secara mandiri memberikan pelayanan kepada wisatawan. Kedua, adanya pengelolaan destinasi menandakan adanya partisipasi pemangku kepentingan pariwisata. Partisipasi pemerintah ditunjukkan dengan menjadikan Kecamatan Maurole sebagai destinasi singgah Sail Indonesia. Kosekuensinya adalah pemerintah memfasilitasi dan mengalokasikan anggaran untuk pengelolaan destinasi singgah Maurole. Partisipasi pelaku usaha pariwisata
xi
ditunjukkan melalui penanganan perjalanan wisata, penyediaan transportasi, dan pemanduan perjalanan wisata. Partisipasi masyarakat dilakukan di areal titik labuh Maurole dan di desa-desa yang dikunjungi oleh wisatawan. Ketiga, penelitian ini menemukan bahwa tipe partisipasi pemangku kepentingan khususnya masyarakat adalah tipe induced participation yaitu partisipasi masyarakat karena masyarakat terdorong untuk melakukannya. Partisipasi masyarakat juga dapat dikategorikan sebagai partisipasi inisiasi yaitu masyarakat ikut memelihara dan merasa memiliki kegiatan di wilayahnya. Nilai budaya yang memengaruhi adanya partisipasi masyarakat adalah nilai budaya ata mai (orang yang datang/tamu) adalah ata ji’e (orang baik). Tamu dianggap membawa keselamatan. Semakin banyak tamu yang datang, diyakini semakin banyak rejeki yang akan diterima. Karena itu, tuan rumah mau menunjukkan kepada tamu bahwa mereka juga adalah orang baik yang bisa menerima tamu dengan baik. ‘Kita simo tamu naja ma’e re’e’ (kita terima tamu dengan baik agar nama kita tidak jelek). Menerima tamu dengan baik juga untuk menjaga waka atau menjaga waka nga’a (waka/waka nga’a dapat dipahami sebagai taksu dalam tradisi Bali). Kajian terhadap faktor-faktor yang mendukung Maurole sebagai destinasi wisata layar menemukan adanya dua faktor pendukung yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan gambaran keberadaan sebuah destinasi dengan segenap potensi dan pengelolaannya (services) yang melibatkan semua pemangku kepentingan. Faktor ini dianggap sebagai ‘kekuatan sebuah
xii
destinasi’. Faktor internal terdiri dari potensi, pengelolaan, partisipasi pemangku kepentingan, dan posisi geografis Maurole dalam rute pelayaran kapal wisata. Faktor eksternal meliputi beberapa hal. Pertama, kebijakan pemerintah pusat dalam pengembangan wisata layar ditunjukkan dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2011 tentang kunjungan kapal wisata (yacht) asing ke Indonesia. Regulasi ini membuka peluang lebih lebar bagi berkembangnya aktivitas wisata layar. Kedua, pelitian ini menemukan bahwa komponen sistem wisata layar ikut memengaruhi keberadaan destinasi wisata. Ketiga, persepsi wisatawan merupakan salah satu referensi yang dipakai oleh wisatawan lain untuk singgah atau tidak di destinasi Maurole. Keempat, penelitian ini mengungkapkan bahwa wisata layar yang terwujud melalui kegiatan Sail Indonesia memicu pengembangan destinasi singgah Maurole. Beberapa hal perlu diperhatikan dalam perencanaan pariwisata kawasan Maurole sebagai destinasi wisata layar, yaitu: penetapan lokasi yang menjadi fokus pengembangan titik labuh di Maurole; pengembangan Maurole yang sesuai dengan kebutuhan yang spesifik untuk melayani kapal-kapal wisata; fasilitas di areal titik labuh dan destinasi wisata layar secara keseluruhan dirancang agar bermanfaat juga bagi masyarakat setempat; prasarana pendukung yang perlu dimasukkan dalam perencanaan adalah supply air bersih, listrik, penanganan sampah, toilet dan kamar mandi, telekomunikasi, bahan bakar minyak, perbengkelan, jasa kebersihan dan keamanan;
perancangan yang mencakup
aplikasi arsitektur lokal, landscape, dan massa bangunan; dan pengembangan destinasi wisata layar yang berbasis masyarakat.
xiii
DAFTAR ISI
Halaman SAMPUL DALAM ………………………………………………………..
i
PRASYARAT GELAR ……………………………………………………
ii
LEMBAR PENGESAHAN ………………………………………………
iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ………………………………………
iv
UCAPAN TERIMA KASIH ………………………………………………
v
ABSTRAK …………………………………………………………………
viii
ABSTRACT ……………………………………………………………….
ix
RINGKASAN ……………………………………………………………...
x
DAFTAR ISI ………………………………………………………………
xiv
DAFTAR TABEL …………………………………………………………
xix
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………
xx
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………
xxi
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………..
1
1.1 Latar Belakang …………………………………………………...
1
1.2 Rumusan Masalah ………………………………………….........
8
1.3 Tujuan Penelitian …………………………………………….......
9
1.3.1 Tujuan Umum ……………………………………………...
9
1.3.2 Tujuan Khusus ………………………………………..........
9
1.4 Manfaat Penelitian ………………………………………………..
9
xiv
1.4.1 Manfaat Teoretis ……………………………………………
9
1.4.2 Manfaat Praktis ……………………………………………..
9
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN ……………………………………
11
2.1 Kajian Pustaka ……………………………………………………
11
2.2 Konsep ……………………………………………………………
15
2.2.1 Wisata Layar (Sailing Tourism) dan Destinasi Wisata Layar ……………………………………………….
15
2.2.2 Sail Indonesia ………………………………………………
19
2.2.3 Maurole sebagai Destinasi Singgah Sail Indonesia ………..
22
2.2.4 Pengelolaan Destinasi Wisata Layar sebagai Pariwisata Alternatif …………………………………………………...
22
2.3 Landasan Teori……………………………………………………
25
2.3.1 Teori Siklus Hidup Destinasi Pariwisata (Tourism Area Life Cycle) ………………………...............
26
2.3.2 Teori Partisipasi…………………………………………….
28
2.3.3 Teori Perencanaan ………………………………...............
30
2.4 Model Penelitian ………………………………………………….
33
BAB III METODE PENELITIAN ………………………………………...
36
3.1 Rancangan Penelitian …………………………………………….
36
3.2 Lokasi Penelitian …………………………………………………
38
3.3 Jenis dan Sumber Data …………………………………………...
42
3.3.1 Jenis Data …………………………………………………..
42
3.3.2 Sumber Data ……………………………………………….
42
3.4 Instrumen Penelitian ……………………………………………..
43
xv
3.5 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ………………………….
44
3.6 Metode dan Teknik Analisis Data ………………………………..
45
3.7 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data ………………
45
BAB IV GAMBARAN UMUM KECAMATAN MAUROLE …………...
46
4.1 Keadaan Fisik Wilayah …………………………………………..
47
4.2 Potensi Wilayah …………………………………………………..
48
4.3 Sumber Daya Pariwisata Maurole ………………………………..
51
4.3.1 Sumber Daya Alam ………………………………………..
51
4.3.2 Sumber Daya Manusia …………………………………….
53
4.3.3 Sumber Daya Budaya ……………………………………...
53
BAB V POTENSI MAUROLE SEBAGAI DESTINASI SINGGAH SAIL INDONESIA ………………………………….....................
55
5.1 Atraksi Wisata ……………………………………………………
55
5.1.1 Desa Otogedu ………………………………………………
55
5.1.1.1 Letak, Luas, Kondisi Geografis, Demografis, Sosial, dan Ekonomi ……………………………………….
55
5.1.1.2 Atraksi Wisata di Otogedu ……………………........
57
5.1.2 Desa Mausambi …………………………………………….
60
5.1.2.1 Letak, Luas, Kondisi Geografis, Demografis, Sosial, dan Ekonomi ………………………………..
60
5.1.2.2 Atraksi Wisata di Mausambi ……………………….
61
5.1.3 Desa Maurole ………………………………………………
63
5.1.3.1 Letak, Luas, Kondisi Geografis, Demografis, Sosial, dan Ekonomi ………………………………..
63
5.1.3.2 Atraksi Wisata di Maurole …………………………
64
xvi
5.1.4 Desa Watukamba …………………………………………..
66
5.1.4.1 Letak, Luas, Kondisi Geografis, Demografis, Sosial, dan Ekonomi ………………………………..
66
5.1.4.2 Atraksi di Watukamba ……………………………...
67
5.2 Aksesibilitas ……………………………………………………...
71
5.3 Amenitas ………………………………………………………….
74
5.4 Ancillary Services ………………………………………………...
78
BAB VI PENGELOLAAN MAUROLE SEBAGAI DESTINASI SINGGAH SAIL INDONESIA ………………………………….
81
6.1 Pengelolaaan Areal Titik Labuh ………………………………….
81
6.2 Pengelolaan Atraksi Seni Budaya ………………………………..
88
6.3 Pengelolaan Perjalanan Wisata …………………………………..
91
6.4 Partisipasi Pemangku Kepentingan Pariwisata …………………..
97
6.4.1 Partisipasi Pemerintah ……………………………………...
98
6.4.2 Partisipasi Pelaku Usaha …………………………………...
100
6.4.3 Partisipasi Masyarakat ……………………………………..
101
BAB VII FAKTOR-FAKTOR YANG MENDUKUNG PENGEMBANGAN DESTINASI WISATA LAYAR MAUROLE SEBAGAI PARIWISATA ALTERNATIF ………
111
7.1 Faktor Internal …………………………………………………....
111
7.2 Faktor Eksternal ………………………………………………….
118
7.2.1 Kebijakan Pemerintah ……………………………………...
119
7.2.2 Sistem Wisata Layar ……………………………………….
120
7.2.3 Persepsi Wisatawan ………………………………………..
125
7.2.4 Wisata Layar Sebagai Pemicu Pengembangan Destinasi ….
129
xvii
7.3 Rencana Pengembangan Wisata Layar …………………………..
133
BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN …………………………………....
138
8.1 Simpulan ………………………………………………………….
138
8.2 Saran ……………………………………………………………...
141
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………...
143
LAMPIRAN – LAMPIRAN ……………………………………………....
148
xviii
DAFTAR TABEL Halaman 4.1 Banyaknya Dusun, RW dan RT di Kecamatan Maurole Tahun 2011…………………………………………………………….
46
4.2 Tingkat Kemiringan Lahan di Kecamatan Maurole …………………...
47
5.1 Komposisi Warga Desa Maurole Menurut Mata Pencaharian ………...
64
5.2 Rute, Jadwal, Jenis dan Jumlah Moda Transportasi Antarkota dari dan ke Kecamatan Maurole ……………………………………….
72
5.3 Penginapan dan Rumah Makan di Kecamatan Maurole ……………….
76
5.4 Fasilitas Pendukung (amenitas) Lainnya di Kecamatan Maurole ……..
77
5.5 Unsur Ancillary Services dalam Kegiatan Sail Indonesia di Destinasi Singgah Maurole …………………………………………….
79
6.1 Fasilitas, Pengeloaan, dan Pemanfaatan Bahan dan Tenaga Lokal di Titik Labuh – Destinasi Singgah Keamatan Maurole ………………….
84
6.2 Atraksi Seni Budaya di Destinasi Singgah Maurole …………………..
89
6.3 Tempat Kunjungan Wisatawan dalam Sail Indonesia di Maurole …….
92
6.4 Pemangku Kepentingan dalam Sail Indonesia di Destinasi Singgah Maurole ……………………………………………………….
98
6.5 Sifat Partisipasi Stakeholder Pariwisata dalam Sail Indonesia di Destinasi Singgah Maurole dan Parameternya ………………………...
109
7.1 Substansi Penilaian terhadap Destinasi Singgah Maurole Berdasarkan Unsur yang Dinilai ………………………………………. 126
xix
DAFTAR GAMBAR Halaman 2.1 Rute Pelayaran Sail Indonesia …………………………………………
21
2.2 Model Penelitian ……………………………………………………….
35
3.1 Peta Provinsi Nusa Tenggara Timur …………………………………...
40
3.2 Peta Administrasi Kabupaten Ende dan Lokasi Maurole ……………...
41
4.1 Areal Persawahan di Maurole ………………………………………….
49
5.1 Penduduk Memperagakan Proses Pembuatan Arak …………………...
58
5.2 Kunjungan Wisatawan di Dusun Detuara Desa Mausambi ……………
63
5.3 Kunjungan ke SD Maurole …………………………………………….
65
5.4 Penobatan Peserta Sail Indonesia sebagai Mosalaki …………………..
68
5.5 Titik Labuh Pantai Nanganio, Desa Watukamba ……………………...
69
6.1 Titik Labuh Pantai Mausambi …………………………………………
88
6.2 Areal Pentas Seni Budaya di Mausambi ……………………………….
90
6.3 Penari di Desa Nualise …………………………………………………
91
6.4 Sailor - Kelimutu Tour 2012 …………………………………………..
96
6.5 Pemasangan Atap Rumah Adat di Wologai Tengah …………………..
104
6.6 Peserta Sail Indonesia dan Tomat yang Dipetiknya di Waturaka ……... 106 6.7 Tetua Adat di Desa Nualise dan Peserta Sail Indonesia ………………
108
7.1 Hirarki Geografis Destinasi Wisata Layar …………………………….. 124 7.2 Wisata Layar yang Dilukiskan sebagai Sistem Pariwisata …………….
124
7.3 Titik Labuh Pantai Nanganio ………………………………………….
127
7.4 Model Faktor Internal dan Faktor Eksternal yang Mendukung Pengembangan Maurole sebagai Destinasi Wisata Layar ……………..
132
xx
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Lampiran 1
Halaman : Pedoman Wawancara dengan Aparat Desa, Masyarakat Desa, Operator, dan Tim Teknis …………..
149
Lampiran 2
: Pedoman Wawancara dengan Masyarakat ………………
153
Lampiran 3
: Pedoman Wawancara dengan Pemerintah Daerah, Aparat Desa, dan Tim Teknis ……………………………
154
: Pedoman Wawancara dengan Pemerintah, Industri, dan Masyarakat…………………………………
156
: Pedoman Wawancara dengan Ahli dan Tokoh Masyarakat ………………………………………………
159
Lampiran 6
: Daftar Informan …………………………………………
161
Lampiran 7
: Foto-foto Kegiatan Sail Indonesia ……………………….
165
Lampiran 8
: Foto-Foto Penelitian……………………………………..
167
Lampiran 4
Lampiran 5
xxi
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki
wilayah laut seluas 5,8 juta km². Wilayah laut itu terdiri dari wilayah teritorial seluas 3,2 juta km² dan wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia 2,7 juta km². Selain itu, terdapat 17.840 pulau dengan garis pantai sepanjang 95.181 km. (Lukita, 2012). Fakta fisik ini menunjukkan “wilayah laut mencakup dua per tiga luas wilayah Indonesia” (Mina Bahari, 2013: 9). Terkait dengan fakta mengenai wilayah negara kepulauan itu, Dahuri (2009: 2) menyebutkan bahwa kawasan pesisir dan laut Indonesia merupakan tempat ideal bagi aktivitas pariwisata bahari, yaitu: berjemur di pantai, berenang di laut yang jernih, olah raga air (selancar angin, selancar, paralayang di air, kayak, katamaran), wisata dengan kapal (pleasure boating), wisata dengan kapal jenis yacht (ocean yachting), wisata dengan kapal jenis cruise (cruising), memancing, menyelam, snorkeling, fotografi bawah laut, taman laut, rekreasi bermain kano (canoeing), taman pesisir laut, suaka margasatwa, dan kampung nelayan. Menurutnya, jika potensi wisata bahari yang tersebar di kepulauan nusantara ini dikembangkan, maka nilai ekonominya sangat besar. Diuraikannya, pada tahun 2003, negara bagian Queensland, Australia dengan panjang garis pantai 2100 km dapat meraup devisa dari pariwisata bahari sebesar US$ 2,1 milyar, sedangkan
1
2
devisa dari sektor pariwisata bahari di Indonesia baru mencapai sekitar US$ 1 milyar per tahun. Fakta ini menggambarkan Indonesia belum sepenuhnya memanfaatkan potensi wisata bahari. Hal ini berakibat pada aspek-aspek terkait lainnya yaitu hilangnya peluang pengembangan industri bahari, peluang edukasi kebaharian, teknologi kebaharian, perangkat keras, telekomunikasi dan navigasi, perangkat lunak kemaritiman, pemetaan global (global mapping), acara-acara kemaritiman internasional, peluang pekerjaan dalam konteks bahari internasional, dan basis data kebaharian (Lesmana, 2012: 3). Dalam ranah wisata layar yang merupakan salah satu bentuk aktivitas wisata bahari, Caribbean Tourism Organization (2008: 61) menyebutkan bahwa jenis wisata layar mengalami perkembangan yang pesat. Diperkirakan setidaknya terdapat 10 juta aktivitas wisata layar di dunia setiap tahunnya. Jumlah itu mencakup 2,5 juta aktivitas wisata layar yang dilakukan oleh penduduk Amerika dan 1 juta aktivitas wisata layar yang dijalankan oleh penduduk Inggris. Kenyataan itu menggambarkan bahwa terbentang kesempatan yang luas untuk mengembangkan destinasi wisata layar oleh para pelaku aktivitas wisata ini. Di Indonesia, menurut Lesmana (2012: 4) aktivitas wisata layar yang dilakukan oleh kapal jenis yacht, (istilah “yacht” digunakan secara bergantian dengan istilah “kapal layar”, atau “kapal wisata” dengan pengertian yang sama), sudah berlangsung sejak tahun 1973 melalui kegiatan lomba kapal layar (yacht race) yaitu Darwin-Ambon Race. Lomba kapal layar dengan rute Darwin-Ambon
3
ini berlangsung hingga tahun 1998. Aktivitas layar berikutnya adalah Darwin-Bali Race tahun 2000-2004 dengan rute Darwin-Bali. Terkait kegiatan reli kapal layar, Lesmana (2012) juga menjelaskan bahwa reli kapal layar (yacht rally) di Indonesia dimulai dengan adanya kegiatan Indonesia Marine Tournament dengan rute Darwin-Bali (2003-2004) dan Darwin Kupang Rally dengan rute Darwin-Kupang (2003-2005). Nama Sail Indonesia mulai digunakan sejak tahun 2005 hingga saat ini untuk mengganti nama DarwinKupang Rally, dengan memanfaatkan rute reli yang disebut Indonesian Passage yang meliputi beberapa destinasi singgah di Indonesia. Terdapat juga beberapa kegiatan wisata layar seperti fun sailing dengan rute Darwin-Saumlaki (2005), lomba layar Darwin-Ambon Race (2006), Singapore Straight Regata (dengan rute Singapura-Batam), fun sailing Fremantle-Bali (dengan rute Fremantle-Bali tahun 2012). Aktivitas reli kapal layar berikutnya adalah Back to Down Under Rally yang mulai diadakan sejak tahun 2012 hingga saat ini dengan rute Tarakan sampai Papua. Dalam kegiatan reli kapal layar Sail Indonesia, kapal-kapal layar masuk ke perairan Indonesia di bagian selatan dari Darwin, Australia. Pelabuhan masuk (entry port) yang digunakan adalah Kupang di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Saumlaki di Provinsi Maluku. Selama di Indonesia, kapal-kapal itu melewati rute sepanjang perairan di utara Pulau Flores dalam pelayarannya menuju ke bagian barat wilayah Indonesia. Destinasi di Pulau Flores yang secara nyata telah disinggahi oleh kapal layar adalah Larantuka di Kabupaten Flores Timur, Maumere di Kabupaten Sikka, Maurole di Kabupaten Ende, Riung di Kabupaten
4
Ngada, dan Labuan Bajo di Kabupaten Manggarai Barat (SailToIndonesia, 2012). Kenyataan ini menggambarkan bahwa secara geografis, perairan di sebelah utara Pulau Flores merupakan jalur bagi kapal layar. Tahun 2007 kapal-kapal wisata mulai memasuki Kabupaten Ende yaitu melalui Kecamatan Maurole sebagai destinasi singgah Sail Indonesia. Di tahuntahun berikutnya, destinasi ini juga mulai disinggahi oleh kapal-kapal wisata yang melakukan perjalanan secara individu bukan melalui event wisata tertentu. Sebelumnya, akses wisatawan melalui laut ke Kabupaten Ende hanya dilakukan melalui Pelabuhan Ende dan Pelabuhan Ipi yang berlokasi di pesisir selatan Pulau Flores. Wisatawan datang atau meninggalkan Ende melalui kedua pelabuhan itu, menggunakan kapal feri atau kapal motor penumpang yang dikelola oleh PT. Pelni. Pelabuhan asal atau pelabuhan tujuan wisatawan antara lain Kupang, Sabu, Sumba, Bima, dan Benoa, Bali. Kenyataan ini menunjukkan bahwa destinasi Maurole menjadi salah satu akses bagi wisatawan ke Kabupaten Ende melalui pesisir utara di Pulau Flores (Disbudpar, 2009). Disadari ada fakta yang menunjukkan bahwa akses melalui laut ke Kabupaten Ende tidak hanya terbatas melalui kedua pelabuhan yang ada, namun dapat juga melalui Maurole. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa kegiatan wisata layar dapat menembus keterisolasian pulau-pulau kecil yang memiliki potensi wisata bahari, tetapi sulit diakses karena keterbatasan infrastruktur dan fasilitas pariwisata (Budhiana, N, 2012). Realitas kehadiran kapal – kapal wisata di sejumlah destinasi singgah, di satu sisi menciptakan peluang bagi daerah untuk mengembangkan wilayahnya
5
sebagai destinasi wisata layar, namun di sisi lainnya peluang ini melahirkan masalah tersendiri. Misalnya, masalah kemampuan stakeholder di destinasi dalam memanfaatkan peluang itu, masalah partisipasi dan koordinasi antarpemangku kepentingan, dan masalah pengelolaan destinasi. Partisipasi pemangku kepentingan pun menjadi perlu diperhatikan dengan seksama karena keterlibatannya sangat dipengaruhi oleh bagaimana sebuah destinasi dikelola. Pelibatan pemangku kepentingan sejak awal sangat dibutuhkan untuk membangkitkan kepercayaan akan potensi dan kemampuan destinasi dalam memanfaatkan peluang pengembangan wisata layar. Partisipasi pengambil kebijakan
pariwisata,
pelaku
pariwisata,
dan
masyarakat
lokal
sangat
memengaruhi keberlangsungan keberadaan destinasi. Misalnya, masyarakat lokal akan enggan ikut teribat dalam memanfaatkan peluang, jika pemerintah daerah tidak melibatkannya dalam upaya pengembangan destinasi. Pelaku pariwisata juga menjadi kurang bergairah memanfaatkan peluang ekonomi yang timbul dari kehadiran kapal-kapal wisata manakala ruang untuk keterlibatannya tidak terbuka. Keterlibatan masyarakat dalam pariwisata di sebuah destinasi akan dapat membantu peningkatan ekonomi masyarakat di destinasi itu. Menurut Yoeti (2008: 18) keterlibatan langsung masyarakat dalam program-program pariwisata adalah melalui pemanfaatan hasil kerajinan tangan, hasil pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan, produk hasil seni dan budaya tradisional serta pengembangan desa wisata. Pada kenyataanya, pemangku kepentingan baik industri, masyarakat, maupun pemerintah telah berupaya untuk memastikan bahwa potensi wisata layar
6
itu dimanfaatkan. Kalangan industri secara nyata turut berperan dalam memberikan pelayanan, misalnya melalui pengemasan kunjungan wisata di darat bagi wisatawan kapal layar yang singgah di destinasi tertentu. Demikian pun dengan masyarakat di titik singgah kapal layar, mereka ikut terlibat dalam memberikan pelayanan wisata bagi para wisatawan yang berkunjung ke wilayahnya. Memanfaatkan kehadiran wisatawan itu, masyarakat, antara lain, menyediakan jasa maupun barang-barang kebutuhan wisatawan. Pemerintah Indonesia memberikan kemudahan bagi masuknya kapal wisata (yacht) asing ke Indonesia dengan menerbitkan peraturan khusus tentang masuknya kapal wisata yaitu Perpres No. 79 Tahun 2011. Peraturan presiden ini dikeluarkan setelah periode lebih dari tiga dasawarsa perkembangan aktivitas wisata layar di Indonesia. Ada dua dasar pertimbangan lahirnya peraturan ini. Pertama, bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki keanekaragaman hayati dan kekayaan budaya sebagai modal dasar untuk mengembangkan
industri
wisata
bahari.
Kedua,
bahwa
dalam
rangka
mengembangkan industri wisata bahari dan meningkatkan perekonomian masyarakat pesisir, pulau-pulau kecil, dan perairan pedalaman, perlu diberikan kemudahan bagi kapal wisata asing yang berkunjung ke Indonesia. Pertimbangan kedua kiranya perlu diapresiasi bahwa pemerintah kian menyadari potensi wisata bahari, khususnya potensi wisata layar dengan kehadiran kapal wisata, sebagai salah satu alternatif yang dapat menunjang upaya pengembangan industri wisata bahari. Bagi daerah, seperti Pulau Flores, yang secara geografis berada dalam
7
jalur pelayaran kapal wisata, kebijakan pemerintah ini merupakan peluang untuk membangun industri wisata bahari di daerahnya. Maurole telah menjadi sebuah destinasi yang disinggahi kapal wisata dalam enam tahun terakhir, namun belum ada perencanaan yang komprehensif dalam pengelolaan dan pengembangannya. Idealnya, ada perencanaan yang sifatnya jangka panjang dan berkelanjutan. Perencanaan dimaksud dapat menjadi landasan bagi daerah untuk memanfaatkan peluang berkembangnya wisata layar. Dengan kalimat ain, dalam rangka mengelola kegiatan pariwisata yang lebih profesional, dibutuhkan adanya perencanaan yang terpadu dan berkesinambungan (Paturusi, 2008: 6). Upaya pengembangan destinasi wisata, termasuk destinasi yang memiliki potensi wisata bahari, memerlukan kajian menyeluruh terhadap berbagai aspek. Hal ini, menurut Yoeti (2008: 18), disebabkan karena sebagai suatu industri, pariwisata mencakup aspek-aspek yang amat luas dan menyangkut berbagai kegiatan ekonomi masyarakat. Karena itu, pengembangan sebuah destinasi mencakup beberapa elemen. Cooper, et al., (1996) menyebutkan bahwa elemen dasar destinasi terdiri dari “4A”, yaitu attraction, accessibility, amenity, dan ancillary services. Dalam konteks ekonomi, keempat elemen itu merupakan komponen penawaran (supply) pariwisata, seperti yang dikemukakan Yoeti (2008: 163) bahwa yang termasuk dalam pengertian penawaran dalam industri pariwisata adalah semua bentuk daya tarik wisata (tourist attractions), semua bentuk kemudahan untuk memperlancar perjalanan (accssesibilities), dan semua bentuk fasilitas dan pelayanan (facilities and services) yang tersedia pada suatu destinasi
8
wisata, yang dapat memuaskan kebutuhan dan keinginan wisatawan selama mereka berkunjung ke destinasi tersebut. Dengan demikian, destinasi menempati posisi yang sangat penting, dan menurut Cooper et.al., (1996) destinasi mempertemukan seluruh aspek pariwisata – permintaan, transportasi, penawaran, dan pemasaran – dalam sebuah kerangka kerja yang bermanfaat. Walaupun demikian, penelitian ini hanya mencakup aspek penawaran (supply) dari sebuah destinasi wisata. Dengan kalimat lain, kajian penelitian ini dibatasi pada beberapa komponen aspek penawaran dari destinasi Maurole. Dalam konteks destinasi wisata yang baru mulai berkembang seperti Maurole, pengembangan destinasi dengan pendekatan yang partisipatif, dan pendekatan berbasis pariwisata alternatif menjadi sebuah objek kajian yang menarik. 1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka
permasalan yang dikaji dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Apa potensi Maurole sebagai destinasi singgah Sail Indonesia? 2. Bagaimana pengelolaan Maurole sebagai destinasi singgah Sail Indonesia? 3. Faktor-faktor apakah yang mendukung pengembangan destinasi wisata layar Maurole sebagai pariwisata alternatif?
9
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum Secara umum penelitian ini bertujuan memahami gejala kepariwisataan yang terkait dengan wisata layar di Maurole dan mengkaji pengembangan destinasi wisata layar sebagai pariwisata alternatif. 1.3.2 Tujuan Khusus 1. Mengidentifikasi potensi Maurole sebagai destinasi singgah Sail Indonesia. 2. Mengkaji pengelolaan dan partisipasi pemangku kepentingan pariwisata dalam Sail Indonesia di destinasi singgah Maurole. 3. Mengkaji faktor-faktor yang mendukung pengembangan destinasi wisata layar Maurole sebagai pariwisata alternatif di Kabupaten Ende. 1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoretis Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat secara teoretis dalam kaitan dengan pemanfaatan teori-teori, konsep, dan model penelitian untuk mengkaji gejala pariwisata dan memberikan tambahan wawasan di bidang pariwisata, khususnya dalam memahami destinasi wisata layar dan perencanaan pengembangannya sebagai pariwisata alternatif. 1.4.2 Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat praktis kepada sejumlah pihak yang terkait dengan penelitian ini. Bagi pemerintah daerah di Kabupaten
10
Ende khususnya dan Flores pada umumnya, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai masukan dalam pembuatan perencanaan pengembangan destinasi wisata layar. Hasil penelitian ini juga dapat menjadi acuan bagi pemangku kepentingan pariwisata lainnya yakni masyarakat dan industri pariwisata untuk ikut berpartisipasi dalam pengembangan destinasi wisata layar.
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
2.1
Kajian Pustaka Untuk memperoleh perspektif yang jelas sebagai titik tolak dalam mencapai
tujuan penelitian, maka dikemukakan sejumlah penelitian terdahulu dan referensi ilmiah yang dianggap relevan dengan penelitian ini. Karena itu, penelusuran penelitian dan referensi ilmiah mencakup tema wisata bahari, wisata layar, dan pengembangan destinasi wisata. Penelitian ini mengacu pada lima penelitian yang membahas topik potensi wisata bahari, pengelolaan destinasi, partisipasi pemangku kepentingan, dan rencana pengembangan destinasi. Kelimanya tidak terkait langsung dengan destinasi wisata layar ataupun destinasi singgah Sail Indonesia, namun dianggap relevan dengan penelitian ini. Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Derksen (2007), yaitu “Nautical Tourism Potential in Dalmatia Dubrovnik Region”. Penelitian dalam bentuk disertasi ini menganalisis alasan dan motivasi Kementerian Pariwisata di Croatia tidak memasukkan wisata bahari di Dubrovnik dalam rencana strategisnya. Selain itu, mencermati dampak dari keputusan itu bagi pengembangan wisata bahari. Lebih jauh penelitian itu mengkaji apa yang ditawarkan Dalmatia Dubrovnik bagi wisatawan yang menikmati wisata bahari, bagaimana sektor ini dikembangkan, dan rencana pengembangan wisata bahari lebih lanjut. Kajian mengenai wisata bahari dan konsep wisata bahari termasuk
11
12
konsep wisata layar dalam penelitian ini digunakan sebagai acuan dalam memahami wisata layar dalam penelitian ini. Kedua, penelitian yang dilakukan Wirawan (2009) tentang pengembangan daya tarik wisata bahari secara berkelanjutan di Nusa Lembongan, Kabupaten Klungkung. Penelitian ini berfokus pada tiga hal yaitu bentuk pengembangan daya tarik
wisata
bahari,
peran
pemangku
kepentingan,
dan
manfaat
dari
pengembangan daya tarik wisata bahari yang mencakup manfaat ekonomi, manfaat sosial budaya, dan manfaat lingkungan. Kajiannya menggunakan teori perencanaan, teori partisipasi dan teori pengelolaan alam secara berkelanjutan. Hasil penelitian dalam bentuk tesis ini menunjukkan bahwa pengembagan daya tarik wisata bahari di Nusa Lembongan menggunakan pendekatan integrated planning, dengan mengoptimalkan pelibatan komunitas, penataan fasilitas dan penyediaan infrastruktur serta diversifikasi aktivitas dan paket wisata. Teori partisipasi, teori perencanaan, optimalisasi pelibatan komunitas, dan diversifikasi aktivitas dan paket wisata dijadikan acuan oleh penelitian ini untuk memahami pengelolaan destinasi dan upaya pengembangan destinasi wisata. Ketiga, penelitian oleh Murdana (2010) yang mengkaji pengembangan pariwisata Pulau Gili Trawangan berbasis ekowisata bahari. Penelitian dalam bentuk tesis ini menggunakan pendekatan pariwisata berkelanjutan, pendekatan pariwisata alternatif, dan pendekatan pariwisata berbasis masyarakat. Sedangkan teori yang diaplikasikannya mencakup teori perencanaan, teori siklus hidup area wisata, dan teori adaptasi. Penelitian ini digunakan sebagai acuan untuk mengkaji pengembangan destinasi dengan pendekatan pariwisata alternatif.
13
Keempat, terkait kajian mengenai karakteristik destinasi wisata, terdapat penelitain mengenai karakteristik pantai Sanur dalam menunjang kegiatan wisata bahari yang dilakukan oleh Gautama (2011). Dalam bentuk tesis, secara khusus, ia mengevaluasi perkembangan wisata bahari di Pantai Sanur. Kajiannya antara lain mengulas tentang karakteristik pantai yang cocok untuk pengembangan wisata bahari. Pemahaman akan karakteristik sebuah destinasi wisata bahari dalam penelitian ini dijadikan acuan untuk memahami karakteristik titik labuh di sebuah destinasi singgah kapal layar. Kelima, penelitian mengenai keberadaan Pulau Flores dalam kaitannya dengan siklus hidup destinasi wisata dilakukan oleh Tallo (2011). Ia melakukan kajian tentang strategi pengembangan Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur sebagai destinasi pariwisata berkelanjutan. Penelitian dalam bentuk tesis ini antara lain menganalisis kepariwisataan di masing-masing kabupaten di Flores dalam hubungannya dengan siklus hidup pariwisata. Salah satu temuannya adalah Pulau Flores berada pada tahap siklus hidup destinasi pariwisata yaitu tahap exploration dan tahap involvement. Temuan dalam penelitian ini dipakai sebagai acuan untuk memahami tahap pengembangan destinasi wisata layar dalam kerangka siklus hidup sebauah destinai wisata. Secara umum, keempat penelitian yang disebutkan terdahulu bertema pokok wisata bahari.
Tema
itu
memayungi aspek-aspek
yang dikaji seperti
pengembangan kawasan pesisir, karakteristik wilayah kajian, partisipasi pemangku kepentingan, siklus hidup destinasi pariwisata, dan pola pengembangan pariwisata
terpadu
baik
dalam
kerangka
ekowisata
dan
keberlanjutan
14
(sustainability). Penelitian terakhir mencakup kajian yang lebih luas terhadap kepariwisataan di kabupaten-kabupaten di Pulau Flores dengan sudut pandang pengembangan destinasi pariwisata berkelanjutan. Tema pokok penelitian ini sama dengan empat penelitian terdahulu. Namun, penelitian ini secara khusus mengkaji wisata kapal layar (wisata layar) yang merupakan salah satu bagian dari wisata bahari sebagai objek penelitian. Penelitian kelima yang berlokasi di Pulau Flores memiliki kesamaan dalam hal kajian terhadap siklus hidup destinasi pariwiata. Namun, perbedaannya terletak pada cakupan destinasi yang digarap. Penelitian ini membatasi diri pada siklus hidup destinasi singgah Maurole. Perbedaan utama penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah menyangkut lokasi penelitian dan objek kajian. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Maurole dengan pertimbangan daerah ini telah menjadi salah satu destinasi singgah reli perahu layar internasional Sail Indonesia. Pertimbangan ini dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman mengenai Maurole sebagai destinasi wisata layar. Dengan demikian, objek kajian penelitan ini mencakup potensi destinasi singgah, pengelolaan dan partisipasi masyarakat dalam aktivitas destinasi singgah terkait Sail Indonesia, dan berdasarkan kedua aspek itu dilakukan kajian terhadap faktor-faktor yang mendukung pengembangan destinasi wisata layar sebagai pariwisata alternatif.
15
2.2
Konsep
2.2.1 Wisata Layar (Sailing Tourism) dan Destinasi Wisata Layar Pemahaman konsep wisata layar tidak bisa dipisahkan dari pemahaman akan konsep wisata bahari. Istilah wisata layar dalam penelitian ini digunakan sebagai padanan istilah sailing tourism atau yachting tourism (Derksen, 2007: 13). Sedangkan istilah wisata bahari digunakan sebagai padanan istilah marine tourism (Orams, 2002: 9) dan/atau nautical tourism (Derksen, 2007: 13). Derksen memasukkan pengertian wisata bahari sebagai suatu aktivitas di waktu luang dimana orang bepergian ke sebuah destinasi wisata baik melalui darat untuk menghabiskan waktu di perairan maupun bepergian melalui perairan untuk menghabiskan waktu luang di daratan. Sehingga yang dibutuhkan dalam wisata bahari adalah perairan ataupun daratan di dekat perairan tempat orang menghabiskan waktu luangnya. Ditegaskannya wilayah yang sukses dalam wisata bahari adalah wilayah yang mempunyai kedua tempat aktivitas baik di perairan maupun di daratan di sekitarnya. Ia juga menggunakan pengertian wisata bahari sebagai aktivitas wisata yang multi fungsi dengan penekanan khusus pada komponen-komponen kebaharian. Dua pengertian yang digunakan oleh Derksen menggambarkan keberagaman aktivitas wisata bahari yang tidak saja mencakup aktivitas wisata di perairan laut, namun mencakup aktivitas wisata di jenis perairan lainnya. Orams menjelaskan bahwa wisata bahari meliputi aktivitas rekreasi yang meliputi melakukan perjalanan ke tempat yang memiliki dan berfokus pada lingkungan kebaharian. Menurutnya lingkungan kebaharian (marine environment)
16
adalah lingkungan dengan perairan yang mengandung kadar garam dan dipengaruhi oleh pasang. Pengertian ini memberikan penekanan pada aktivitas wisata bahari yang terbatas di perairan laut. Pengertian kebaharian – sebagai sesuatu yang berhubungan dengan laut – mendapatkan posisi yang lebih tegas. Dibandingkan dengan Derksen, maka Orams lebih menekankan pada lokasi aktivitas rekreasi wisata yaitu di perairan laut. Sejumlah literatur menyebutkan wisata layar merupakan bagian dari wisata bahari (Pendit, 1986: 40 dan Dahuri, 2009). Selain menggunakan istilah wisata bahari, Pendit juga memakai istilah wisata maritim (marina) atau wisata tirta. Menurutnya, wisata bahari adalah jenis wisata yang banyak dikaitkan dengan aktivitas olahraga di air. Aktivitas itu antara lain memancing, berlayar, fotografi bawah air, berselancar, lomba dayung, berkeliling di taman laut menikmati pemandangan indah di bawah permukaan air, dan aktivitas rekreasi air lainnya baik di danau, sungai, pantai, teluk, atau laut. Secara lebih jelas, Dahuri memasukkan jenis wisata dengan kapal (pleasure boating), wisata dengan kapal jenis yacht (ocean yachting), dan wisata dengan kapal jenis cruise (cruising) dalam aktivitas wisata bahari. Jennings (2007) secara khusus membahas wisata layar dalam kaitan dengan wisata tirta (water-based tourism). Menurutnya wisata tirta adalah kegiatan wisata yang dilakukan di atau dalam kaitannya dengan sumber daya air, seperti danau, waduk, kanal, sungai, wilayah pesisir laut, laut, samudra, dan di daerah yang diselimuti es (ice-associated areas).
17
Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang kepariwisataan, secara tersirat wisata bahari masuk dalam usaha wisata tirta. Wisata tirta merupakan salah satu dari tiga belas jenis usaha pariwisata yang diatur oleh undang-undang. Pengertian tentang wisata tirta dan wisata bahari tidak terdapat dalam undang-undang itu, namun pengertian mengenai keduanya secara tersurat baru muncul dalam Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor: PM. 96/HK.501/MKP/2010 tentang Tata Cara Pendaftaran Usaha Wisata Tirta. Dalam peraturan menteri itu tercantum usaha wisata tirta yang selanjutnya disebut dengan usaha pariwisata adalah usaha penyelenggaraan wisata dan olahraga air, termasuk penyediaan sarana dan prasarana serta jasa lainnya yang dikelola secara komersil di perairan laut, pantai, sungai, danau, dan waduk. Selanjutnya yang dimaksudkan dengan wisata bahari adalah penyelenggaraan wisata dan olahraga air, termasuk penyediaan sarana dan prasarana serta jasa lainnya yang dikelola secara komersil di perairan laut. Mengacu pada peraturan ini, wisata bahari merupakan salah satu bidang usaha wisata tirta. Peraturan menteri itu juga merinci jenis usaha wisata bahari yang meliputi sub-jenis usaha: (a) wisata selam; (b) wisata perahu layar; (c) wisata memancing; (d) wisata selancar; (e) dermaga bahari; dan (f) sub jenis usaha lainnya dari jenis usaha bahari yang ditetapkan oleh bupati, walikota dan/atau gubernur. Dengan demikian wisata perahu layar merupakan salah satu jenis wisata bahari. Dalam penelitian ini istilah wisata perahu layar disamakan dengan istilah wisata layar. VisitScotland (dalam Derksen, 2007) memberikan batasan tentang wisata layar sebagai sebuah aktivitas wisata yang meliputi pemanfaatan waktu tertentu
18
dalam kapal wisata. Biasanya jenis kapal yacht, powerboats, dinghies dan motorbats (ocean cruise – kapal pesiar tidak termasuk). Wisata layar mengacu pada kegiatan wisata yang tujuan utamanya adalah berlayar atau belajar bagaimana berlayar. Wisata layar mempunyai dua kategori yang ditunjukkan oleh jenis kapal yang digunakan: yacht yang juga digunakan sebagai tempat menginap atau dinghy (sebuah kapal kecil tanpa fasilitas untuk menginap sehingga akomodasi untuk kebutuhan menginap tersedia di darat (onecaribbean.org, 2012). Berdasarkan pemahaman itu, konsep wisata layar yang dimaksudkan dalam penelitian ini hanya mencakup kunjungan kapal wisata asing (yacht) ke suatu destinasi wisata tertentu. Kunjungan itu juga mencakup aktivitas menikmati atraksi wisata yang dilakukan di darat. Dalam kasus Maurole, aktivitas wisata di darat menjadi salah satu atraksi utama yang dilakukan oleh wisatawan yang mengunjungi Maurole. Sehubungan dengan konsep wisata bahari dan kenyataan bahwa wisata layar memanfaatkan wilayah laut sebagai areal jelajahnya, maka dapat dikemukakan bahwa konsep wisata layar dalam penelitian ini mencakup beberapa hal. Pertama, wisata layar dikategorikan sebagai salah satu bagian atau jenis dari wisata bahari. Kedua, wisata layar mencakup aktivitas wisatawan (travellers/sailors/yachters) yang menggunakan kapal wisata (yacht) dan mengunjungi destinasi wisata layar untuk melakukan aktivitas wisata baik di laut dan di darat, maupun yang singgah tanpa aktivitas wisata di darat. Berdasarkan pemahaman akan konsep wisata layar sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, maka konsep destinasi wisata layar dalam penelitian
19
ini adalah destinasi yang secara nyata dikunjungi kapal wisata (yacht) dan ada aktivitas pemangku kepentingan pariwisata di destinasi yang dipicu oleh kehadiran kapal wisata itu. 2.2.2 Sail Indonesia Sail Indonesia adalah kegiatan reli kapal wisata (yacht) internasional di perairan Indonesia dan menyinggahi sejumlah destinasi wisata layar yang berada di sepanjang rute reli. Pesertanya berasal dari sejumlah negara dan dimulai dengan Darwin – Kupang Rally pada tahun 2003. Acara ini menjadi reli layar pertama yang berkaitan erat dengan acara Lomba Layar Darwin – Dili dan Darwin – Ambon. Sejak tahun 2005, nama Darwin – Kupang Rally diganti dengan nama Sail Indonesia hingga kini. Nama tersebut telah dipatenkan atas nama Yayasan Cinta Bahari Indonesia yang saat ini bernama Yayasan Cinta Bahari Antar Nusa (YCBAN).
Dalam lima tahun pertama perjalanan Sail Indonesia, YCBAN
berfokus pada misi membentuk suatu jalur layar (yacht) yang kelak menjadi jalur layar yang dikenal oleh para pelayar dunia. Karena itu, dicetuskan gagasan tema Sail Indonesia dalam kurun waktu itu, yakni “Sail Indonesia for the Regions”. Dalam pelaksanaan misi ini, Sail Indonesia meniti untaian destinasi dari Kupang sampai ke Batam yang bermuara pada terbentuknya jalur layar yang aman dan nyaman untuk dilewati atau disinggahi para pelayar dunia. Karya nyata misi itu setelah lima tahun adalah terbentuknya jalur layar yang dikenal dengan nama “Indonesian Passage” (Rasdiani, 2008). Jalur layar “Indonesian Passage”, menyatukan 8 provinsi, 13 kabupaten dan menyinggahi 3 kota. Para peserta reli layar international masuk wilayah Indonesia
20
melalui pelabuhan pintu masuk (entry port) di Kupang. Khusus Provinsi Nusa Tenggara Timur peserta reli singgah di delapan kabupaten (Kupang, Timor Tengah Selatan, Alor, Lembata, Sikka, Ende, Ngada, dan Manggarai Barat) dan satu kota yaitu Kota Kupang. Selanjutnya Kabupaten Bima menjadi titik singgah di Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Kabupaten Buleleng menjadi titik singgah di Provinsi Bali. Destinasi berikutnya yang disinggahi adalah Kota Makasar di Provinsi Sulawesi Selatan, Kabupaten Jepara di Provinsi Jawa Tengah, Kumai di Kalimantan Tengah, dan Belitung di Bangka Belitung. Destinasi terakhir yang disinggahi adalah Kota Batam di Provinsi Riau Kepulauan. Jalur layar itu menjadi akses bagi para peserta untuk menjalankan beragam aktivitas wisata di daratan (land tourism) ketika tiba titik-titik singgah (Lesmana, 2012). Sail Indonesia pada tahun 2008 membentuk dua rute reli internasional yaitu Indonesian Passage Route dan Eastern Pass Route (Saumlaki, Tual, Banda, Ambon, Ternate, Menado, Toli-Toli/Donggala, Mamuju, Pare-pare, Makasar, Kumai, Belitung, Batam). Sejak tahun 2009, rute layar Indonesian Passage menggalang misi berbeda yakni Sail Indonesia – for the People (Lesmana, 2012). Mulai Tahun 2012, menurut Lesmana (2012), dibuka jalur pelayaran perahu layar melalui kegiatan Back to Down Under Rally (BTDUR) untuk mengantisipasi peluang bergeraknya kapal layar dari Asia ke Australia dan New Zealand di belahan bumi bagian selatan dan ke negara-negara di sebelah timur Indonesia. Diuraikannya rute BTDUR adalah: Tarakan – Berau – Toli-Toli – Kwandang – Morotai – Jailolo – Ternate – Togean – Pagimana – Banggai – Labuha – Ambon. Setelah Ambon rute reli bisa dilanjutkan ke Raja Ampat lalu ke Biak, atau menuju
21
ke Banda – Tual – Saumlaki. Gambar 2.1 menyajikan secara garis besar rute pelayaran Sail Indonesia.
Keterangan gambar: : Rute Indonesian Pass : Rute Eastern Pass Route : Rute Back to Down Under Gambar 2.1 Rute Pelayaran Sail Indonesia Sumber: SailToIndonesia, 2011 Minat para pelayar dunia terhadap Sail Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat secara signifikan. Misalnya, tahun 2003 tercatat 24 kapal layar. Tahun 2005 peserta bertambah menjadi 70 kapal, kemudian 127 kapal di tahun 2007 dan 130 kapal di tahun 2009. Tahun 2012 - data sampai dengan tanggal 23 Mei 2012 jumah peserta yang terdaftar mencapai 100 kapal (Sail Indonesia, 2012).
22
2.2.3 Maurole sebagai Destinasi Singgah Sail Indonesia Maurole adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Ende yang terletak di pesisir utara Pulau Flores bagian tengah. Sejak Tahun 2007 Maurole mulai menjadi destinasi yang dikunjungi oleh kapal-kapal wisata peserta reli perahu layar internasional Sail Indonesia (Disbudpar, 2009). Sampai Tahun 2012 Maurole termasuk dalam rute wisata layar yang disinggahi oleh para peserta Sail Indonesia (Sail Indonesia, 2012). Adanya kunjungan wisata layar ini menjadikan Maurole sebagai salah satu destinasi singgah Sail Indonesia. Dalam penelitian ini, sesuai dengan konsep wisata layar seperti telah dikemukakan pada bagian sebelumnya dan kenyataan bahwa Maurole disinggahi oleh kapal-kapal layar yang melakukan aktivitas wisata, maka Maurole dianggap sebagai salah satu destinasi wisata layar. 2.2.4 Pengelolaan Destinasi Wisata Layar sebagai Pariwisata Alternatif Dalam upaya memahami perkembangan destinasi wisata secara umum, maka penelitian ini juga mengadaptasi kerangka atribut destinasi 6A dari Buhalis (2000: 98). Buhalis menunjukkan bahwa destinasi wisata terdiri dari beberapa komponen inti. Ia mengkategorikan komponen-komponen ini ke dalam kerangka 6A. Pertama, atraksi (attractions) yang meliputi alam, buatan, bangunan artifisial, dan event khusus. Dalam penelitian ini atraksi mencakup alam, budaya, dan buatan manusia. Kedua, aksesibilitas (accessibility) yang meliputi sistem transportasi, terminal, dan moda transportasi. Ketiga, amenitas (amenities) terdiri dari akomodasi, catering, ritel dan jasa wisata lainnya. Keempat, paket wisata yang tersedia (available packages) yaitu paket-paket wisata yang telah disiapkan
23
oleh tour operator atau biro perjalan. Kelima, aktivitas (activities) yakni semua kegiatan yang dapat dilakukan oleh wisatawan ketika berada di destinasi. Keenam, ancillary services mengacu kepada bank, telekomunikasi, jasa pos, rumah sakit, dan lain-lain. Dengan demikian, dalam penelitian ini kerangka 6A dari Buhalis diadaptasi untuk memahami karakterisik destinasi singgah Maurole. Pengelolaan destinasi singgah Sail Indonesia merupakan aktivitas yang dilakukan oleh berbagai pihak. Bentuk pengelolaannya umumnya didasarkan pada panduan tertentu. Panduan itu dibuat oleh pengelola Sail Indonesia berdasarkan kebutuhan dasar para peserta reli dan aktivitas wisata yang dapat dilakukan sesuai dengan kondisi destinasi singgah. Pengelolaannya antara lain mencakup aksesibilitas ke darat misalnya pada destinasi tertentu disiapkan floating jetty (dermaga apung). Pemenuhan kebutuhan makan dan minum misalnya melalui penyediaan restoran khusus selama acara berlangsung atau dengan memanfaatkan restoran-restoran yang sudah tersedia. Penyelenggaraan perjalanan wisata di darat dalam bentuk paket wisata, baik yang disiapkan oleh tour operator mapun yang dilakukan oleh kelompok masyarakat. Di samping itu, juga disiapkan sarana humaniter seperti toilet di sejumlah tempat yang terkait. Prinsip pengelolaannnya adalah memberikan kenyamanan bagi para tamu yang datang dengan melibatkan pemangku kepentingan setempat (Disbudpar, 2009). Pola ini memungkinkan pengelolaan antara masing-masing destinasi menjadi berbeda. Perbedaan itu merupakan karakter yang menjadi ciri khas masing-masing destinasi singgah, sehigga pengelolaannya menjadi sesuatu yang perlu dicermati. Untuk maksud itu, maka konsep pengelolaan yang mendasari
24
kajian dalam penelitian ini mencakup: (a) penataan titik labuh (anchorage area); (b) aksesibilitas ke darat; (c) penataan areal titik labuh di darat; (d) penyelenggaraan aktivitas perjalanan wisata di darat; (e) penyelenggaraan pagelaran atraksi seni dan budaya daerah; dan (f) partisipasi pemangku kepentingan dalam seluruh penanganan itu. Keseluruhan bentuk pengelolaan dan partisipasi pemangku kepentingan dalam pengelolaan itu dapat dipandang sebagai sebuah bentuk aktivitas pariwisata alternatif. Secara umum pariwisata alternatif merupakan pilihan lain dari konsep mass tourism. Menurut Smith & Eadington (1992:3) pariwisata alternatif adalah bentuk pariwisata yang konsisten dengan nilai-nilai alam, sosial dan nilai-nilai masyarakat serta memungkinkan baik masyarakat lokal maupun wisatawan untuk menikmati interaksi yang positif serta bermanfaat dan menikmati pengalaman secara bersama-sama. Penghargaan terhadap nilai alam, sosial, dan kearifan lokal menjadi ciri utama pariwisata alternatif. Model pariwisata alternatif ini memungkinkan terjalinnnya kebersamaan atau relasi yang positif dengan pengunjung atau wisatawan. Artinya, masyarakat lokal menjadi subjek yang berperan penuh dan penting. Bila diuraikan lebih lanjut maka pariwisata alternatif mencakup beberapa pengertian. Pertama, pariwisata alternatif diaplikasikan pada pariwisata yang tidak merusak lingkungan, berbasis ekologis, dan menghindari dampak negatif dari pengembangan pariwisata berskala besar di daerah wisata yang belum berkembang. Kedua, pariwisata alternatif merupakan proses pengembangan bentuk perjalanan yang yang berbeda dan yang berupaya menciptakan adanya
25
saling pemahaman, solidaritas, dan persamaan di antara para peserta yang ikut dalam perjalanan wisata tertentu. Ketiga, pariwisata alternatif mencakup pengembangan atraksi bagi wisatawan yang berskala kecil yang dilakukan dan dikelola oleh masyarakat lokal. Istilah alternatif juga mengandung makna sesuatu yang beda, sebagai pilihan lain dari sesuatu yang telah ada. Fandeli (2002: 104) menyebutkan bahwa pariwisata alternatif hadir sebagai akibat kebosanan wisatawan karena menikmati atraksi yang sama dari waktu ke waktu. Mereka ingin memperoleh sesuatu yang lain. Dalam penelitian ini, wisata layar dipahami sebagai salah satu bentuk aktivitas wisata yang dapat dikembangkan di Maurole sebagai pariwisata aternatif. Para wisatawan yang datang dengan kapal-kapal wisata melakukan aktivitas wisata tidak hanya di laut tetapi dan terutama di darat. Pemanfaatan aktivitas ini sangat mungkin dilakukan dengan menerapkan prinsip-prinsip pariwisata alternatif. Dengan kalimat lain, wisata layar sebagai salah satu bentuk pariwisata alternatif menjadi akses atau pemicu bagi pengembangan pariwisata alternatif di darat (land-based tourism). 2.3
Landasan Teori Secara substansial, penelitian ini bertolak dari adanya permasalahan terkait
belum jelasnya arah pengembangan potensi wisata layar. Karena itu, dalam konteks pemanfaatan peluang kehadiran wisatawan melalui kapal wisata, seharusnya pemangku kepentingan terkait sudah sejak awal memanfaatkan peluang itu. Antara lain melalui perencanaan pengembangan yang holistik dan
26
terpadu. Bertolak dari kondisi ini, dan formulasi permasalahan yang telah dikemukakan di bagian awal, maka dibutuhkan kerangka teori yang sesuai untuk menganalisis permasalahan dimaksud. Adapun teori yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah teori siklus hidup destinasi pariwisata (tourism area life cycle), teori partisipasi, dan teori perencanaan. 2.3.1 Teori Siklus Hidup Destinasi Wisata (Tourism Area Life Cycle) Salah satu konsep yang lazim dipakai untuk memahami pengembangan suatu destinasi pariwisata adalah konsep tentang siklus hidup pariwisata (tourism area life cycle) yang dibuat oleh Butler (1996). Dalam siklus hidup pariwisata terdapat tujuh tahapan. Pertama, tahap exploration: dicirikan oleh destinasi wisata yang baru ditemukan baik oleh wisatawan, pelaku pariwisata, maupun pemerintah. Jumlah pengunjung masih sedikit, wisatawan tertarik karena daerahnya belum tercemar, sepi. Lokasinya sulit dicapai karena keterbatasan sarana dan prasarana penunjang pariwisata. Kedua, tahap involvement: ditandai oleh munculnya kontrol oleh masyarakat lokal. Sudah mulai timbul inisiatif dari masyarakat untuk menyediakan keperluan dasar wisatawan. Mulai dilakukan promosi khususnya promosi dari mulut ke mulut (word of mouth) untuk mengunjungi destinasi tersebut. Ketiga, tahap development: mulai dilakukan pengembangan terutama oleh masuknya investor dari luar daerah yang menyediakan sarana dan prasarana seperti hotel dan restoran. Perkembangan ini mulai berdampak pada lingkungan alam dan sosial budaya destinasi.
27
Keempat, tahap consolidation: ditandai dengan adanya intervensi pemerintah melalui regulasi dan kebijakan untuk mengelola beragam kepentingan pemangku kepentingan pariwisata dan pesatnya perkembangan yang terjadi. Kelima, tahap stagnation: jumlah kunjungan wisasatawan ke destinasi mencapai tingkat kunjungan yang tinggi, namun pertumbuhan pariwisata secara keseluruhan kecil. Ditandai pula dengan destinai mulai ditinggalkan oleh wisatawan karena kejenuhan, tidak adanya atraksi baru, adanya masalah lingkungan alam, sosial, dan budaya. Akibatnya destinasi hanya berharap dari kunjungan ulang wisatawan. Keenam, tahap decline: destinasi sudah mulai ditinggalkan oleh wisatawan karena mereka mengalihkan kunjungannya ke tempat lain yang lebih baru. Destinasi ini hanya dikunjungi pada akhir pekan atau dalam waktu sehari saja sehingga berakibat pada banyaknya fasilitas wisata yang berpindah tangan atau pemilik dan berubahnya fungsi fasilitas pariwisata untuk tujuan lain. Ketujuh, tahap rejuvenation: ditandai dengan adanya upaya dari seluruh pemangku kepentingan untuk meremajakan kembali produk pariwisata, mencari saluran distribusi lain dan mencari pasar baru dengan tujuan untuk mereposisi produk wisata. Dengan merujuk pada pentahapan yang dibuat Butler dan berdasarkan data hasil penelitian, maka akan dapat ditentukan posisi destinasi wisata layar Maurole pada siklus hidup sebuah destinasi.
Namun, mengacu pada ciri-ciri itu dan
berpijak pada data dan pengamatan awal, maka dapat diasumsikan bahwa destinasi wisata layar Maurole berada pada tahap involment. Masuknya kapal
28
wisata jenis yacht ke wilayah ini, mendorong masyarakat setempat mulai menyediakan keperluan wisatawan tersebut. Di samping itu, upaya promosi mulai dilakukan oleh pemangku kepentingan pariwisata dengan berbagai cara. Dalam konteks Maurole, peran para pelayar yang pernah singgah di tempat ini sangat besar dalam turut mempromosikannya (word of mouth). 2.3.2 Teori Partisipasi Menurut Tosun (dalam Madiun, 2008: 36) partisipasi dilakukan dengan cara yang berbeda-beda. Perbedaan itu mencakup partisipasi karena paksaan (manipulative participation),
dengan kekuasaan dan ancaman (coercive
participation), karena adanya dorongan (induced participation), partisipasi yang bersifat pasif (passive participation), maupun partisipasi secara spontan (spontaneous participation). Terkait dengan model partisipasi itu, Tosun selanjutnya mengembangkan tipologi partisipasi masyarakat dalam pariwisata. Ia menklasifikasi tipe partisipasi masyarakat ke dalam tiga bagian utama yaitu partisipasi masyarakat secara spontan (spontaneous participation), partisipasi masyarakat karena adanya kekerasan (coercive participation), dan partisipasi masyarakat karena masyarakat merasa terdorong untuk melakukannnya (induced participation). Pada tipe terakhir masyarakat lokal mempunyai kesempatan untuk mendengar dan didengarkan suaranya. Mereka memiliki suara dalam proses pembangunan pariwisata, tetapi mereka tidak berdaya terhadap kekuatan-kekuatan lain yang mempunyai kepentingan seperti kekuatan yang berasal dari pemerintah, perusahaan-perusahaan besar, tour operator internasional serta kekuatan-kekuatan besar lainnya (Madiun, 2009).
29
Tosun dan Timothy (2003:4-9) mengajukan tujuh proposisi mengenai partisipasi masyarakat dalam proses pengembangan pariwisata. Pertama, partisipasi masyarakat merupakan elemen vital dalam perencanaan dan strategi pariwisata. Kedua, partisipasi masyarakat berkontribusi bagi pembangunan pariwisata berkelanjutan dalam berbagai cara. Ketiga, partisipasi masyarakat meningkatkan kepuasan wisatawan. Keempat, partisipasi masyarakat membantu para profesional di bidang pariwisata dalam mendesain perencanaan pariwisata yang lebih baik. Kelima, partisipasi publik berkontribusi dalam distribusi pembiayaan dan keuntungan yang adil di antara anggota masyarakat. Keenam, partisipasi masyarakat dapat membantu memuaskan keinginan masyarakat yang teridentifikasi. Ketujuh, partisipasi masyarakat memperkuat proses demokratisasi di destinasi pariwisata. Hoofsteede (dalam Madiun, 2009) menyebutkan ada tiga kategori partisipasi. Pertama, partisipasi inisiasi yaitu partisipasi yang diinisiasi oleh pemimpin desa, baik formal maupun informal ataupun dari anggota masyarakat tentang suatu proyek yang menjadi kebutuhan masyarakat. Kedua, partisipasi legitimasi yaitu partisipasi pada tingkat pembicaraan atau pembuatan keputusan mengenai projek tersebut. Ketiga, partisipasi eksekusi yaitu partisipasi pada tingkat pelaksanaannya. Partisipasi inisiasi mempunyai nilai yang lebih tinggi dibandingkan partisipasi legitimasi dan eksekusi. Dalam partisipasi inisiasi, masyarakat tidak sekedar menjadi objek pembangunan tetapi turut menentukan dan mengusulkan suatu rencana. Partisipasi ini dilandasi oleh motivasi kesadaran. Partisipasi ini timbul dari kehendak anggota
30
masyarakat dan timbul dari dorongan hati nurani. Melalui partisipasi ini masyarakat ikut memelihara dan merasa ikut memiliki pembangunan di wilayahnya. Teori yang terkait dengan partisipasi ini membantu analisis dalam kaitannya dengan bentuk kegiatan dalam pengelolaan Maurole sebagai destinasi singgah Sail Indonesia. Pengelolaan destinasi singgah melibatkan masyarakat baik yang berada di areal titik labuh maupun di beberapa desa yang memiliki atraksi wisata dan dikunjungi oleh peserta Sail Indonesia. 2.3.3 Teori Perencanaan Inskeep (dalam Paturusi, 2008:45-49) menyebutkan unsur-unsur dalam pendekatan perencanaan dan pengembangan sebagai berikut: (1) pendekatan berkelanjutan, tambahan, dan fleksibel, (2) pendekatan sistem, (3) pedekatan menyeluruh, (4) pendekatan yang terintegrasi, (5) pendekatan pengembangan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, (6) pendekatan masyarakat, (7) pendekatan pelaksanaan, dan (8) penerapan proses perencanaan sistematis. Mengutip Inskeep, Paturusi menguraikan secara umum masing-masing model pendekatan perencanaan itu. Pertama, perencanaan pariwisata merupakan proses yang berlanjut dan membutuhkan evaluasi didasarkan pada umpan balik terhadap pencapaian tujuan pengembangan. Kedua, pariwisata merupakan suatu sistem. Komponen dalam sistem pariwisata dianggap sebagai sistem tersendiri dan saling berhubungan. Perubahan pada satu komponen berpengaruh pada komponen lainnya.
31
Ketiga, dalam pendekatan menyeluruh, perencanaan pariwisata perlu memperhatikan beragam komponen dalam keseluruhan sistem. Seluruh aspek pengembangan pariwisata yang meliputi unsur-unsur kelembagaan dan implikasi sosial ekonomi dan lingkungan didekati secara holistik. Keempat, pariwisata direncanakan dan dikembangkan sebagai sistem yang terintegrasi secara internal dan eksternal. Perencanaan pengembangan sebuah kawasan perlu bersinergi dengan keberadaan dan pengembangan kawasan terkait lainnya. Kelima,
perencanaan
pariwisata
dilakukan
dengan
keselarasan dengan lingkungan fisik dan sosial budaya.
memperhatikan
Kajian daya dukung
merupakan unsur utama dalam pendekatan ini. Keenam, perencanaan pariwisata sejak awal melibatkan masyarakat. Artinya, seluruh proses perencanaan dan pengambilan keputusan pariwisata melibatkan masyarakat lokal. Ketujuh, perencanaan pariwisata itu haruslah logis, fleksibel, objektif, dan realistis sehingga dapat diterapkan dan dilaksanakan. Kedelapan, perancanaan pariwisata dipandang sebagai penerapan proses perencanaan yang bersistem. Ada tahapan kegiatan dalam proses perencanaan itu berdasarkan atas dimensi waktu, sumber pembiayaan, dan institusi sektoral. Dalam teori perencanaan dikenal dua bentuk motivasi perencanaan secara umum (Paturusi, 2008). Kedua bentuk motivasi perencanaan itu mencakup: (a) perencanaan berdasarkan pertimbangan kecenderungan yang berkembang saat ini (trend oriented planning); (b) perencanaan berdasarkan pertimbangan target (target oriented planning). Dijelaskannya, trend oriented planning didasarkan pada pertimbangan pengalaman dan tata laku yang ada dan berkembang saat ini.
32
Kecenderungan yang ada saat ini akan dipertimbangkan untuk menentukan arah dan tujuan perkembangan masa depan. Misalnya, kecenderungan berkembangnya wisata layar berkonsekuensi pada berkembangnnya destinasi wisata layar. Kondisi ini semestinaya diikuti dengan pembuatan perencanaan destinasi wisata. Terkait target oriented planning, Paturusi (2008: 15) menjelaskan tujuan dan sasaran ideal yang hendak dicapai pada masa yang akan datang merupakan faktor penentu. Sehingga semua kecenderungan yang ada dalam proses pencapaian tujuan selalu diarahkan pada target utama. Dengan kalimat lain, apapun kecenderungan yang terjadi dalam proses perencanaan, para perencana akan selalu fokus pada target utama yang ingin dicapai. Motivasi ini merupakan pilihan bagi para perencana. Namun, menurut Paturusi (2008: 16) bagi negara berkembangan seperti Indonesia, lebih cocok menggunakan pendekatan kombinasi antara “kecenderungan” dan “target”. Diuraikannya ada beberapa pertimbangan penggunaan pendekatan kombinasi ini, yaitu: (1) banyak masalah yang sulit atau tidak dapat diperhitungkan secara kuantitatif; (2) masih tingginya dinamika perubahan dalam masyarkat; (3) kecenderungan perkembangan yang yang dilandasi oleh nilai-nilai yang berlaku di masyarkat; (4) stabilitas perekonomian yang belum mantap; (5) keadaan sosial politik yang masih berkembang. Bertolak dari dasar pemikiran Paturusi itu, maka konsep pengembangan destinasi wisata layar dalam penelitian ini dilandasi oleh motivasi perencanaan dalam bentuk trend oriented planning. Pilihan ini didasarkan beberapa pertimbangan, yakni: (a) dalam kerangka kawasan pengembangan baru seperti
33
Maurole, perencanaan dibuat untuk mengantisipasi perkembangan di masa yang akan datang (Paturusi, 2008: 29); (b) dalam kurun waktu lima tahun terakhir telah ada kecenderungan berkembangnya wisata layar di Indonesia yang juga meliputi kawasan perairan di utara Pulau Flores (Lesmana, 2012); (c) kecenderungan ini melahirkan kebutuhan akan penyusunan rencana masa depan sebagai langkah proaktif atas kecenderungan itu. Dengan demikian perencanaan yang berorientasi pada kecenderungan (trend oriented planning) dianggap sesuai untuk diterapkan dalam penelitian ini. 2.4
Model Penelitian Penelitian ini bertolak dari pemahaman bahwa industri pariwisata bahari
merupakan sub sistem dari sistem kepariwisataan global. Karena itu, elemen pariwisata bahari dan kepariwisataan secara keseluruhan saling berkaitan. Di satu sisi, sistem pariwisata yang melingkupi pariwisata bahari dapat dipandang sebagai sebuah unsur globalisasi yang turut memengaruhi dan membentuk industri pariwisata bahari. Pada sisi lainnya, industri pariwisata bahari dimungkinkan berkembang karena didukung oleh sumber daya pariwisata. Perkembangan industri wisata bahari yang dipengaruhi oleh globalisasi dan sumberdaya pariwisata mendorong munculnya beragam aktivitas wisata. Salah satunya adalah wisata layar. Dewasa ini, wisata layar dunia sangat berkembang seiring berkembangnya teknologi pelayaran, industri pelayaran, dan minat pelaku layar memanfaatkan semua aspek itu untuk melakukan aktivitas pelayaran di perairan di dunia ini. Sail Indonesia merupakan salah satu wujud dari aktivitas pelayaran yang berbasis pada kegiatan wisata. Kongkritnya Sail Indonesia
34
dikemas menjadi sebuah reli wisata kapal wisata yang melibatkan para palayar dunia dengan memanfaatkan jalur layar di perairan laut Indonesia selama kurun waktu tertentu. Secara umum Sail Indonesia dimungkinkan oleh adanya pelaku layar dunia yang menggunakan kapal wisata jenis yacht dan destinasi singgah yang didukung oleh pemangku kepentingan. Meminjam elemen geografis dalam model sistem pariwisata Leiper (1990), Sail Indonesia menyangkut tiga elemen, yaitu: (1) traveller-generating region merupakan asal dan pasar wisata para pelayar dunia, (2) tourist destination region merupakan tujuan perjalanan wisata yang dalam kerangka ini mencakup berbagai destinasi singgah dalam rute pelayaran Sail Indonesia, (3) transit route region yaitu daerah tujuan wisata yang dikunjungi sebelum mencapai perairan Indonesia. Dalam kerangka Sail Indonesia, daerah ini menjadi titik start reli kapal wisata. Kerangka keterkaitan antara kapal wisata, kemasan reli kapal wisata internasional, dan pemangku kepentingan di destinasi singgah menjadi menarik untuk diuraikan dan dipahami. Daya tariknya terutama pada masalah yang muncul yaitu keberadaan dan keberlangsungan destinasi. Dalam konteks Maurole sebagai destinasi singgah atau destinasi wisata layar, masalah utamanya adalah bagaimana mengembangkan destinasi wisata layar yang berbasis pada nilai-nilai pariwisata alternatif. Karena itu, penelitian ini diarahkan pada tiga tujuan khusus. Pertama, mengidentifikasi potensi Maurole sebagai destinasi singgah. Tujuan ini dicapai dengan memanfaatkan teori tourism area life cycle (TALC). Kedua, mengkaji
35
pengelolaan dan partisipasi pemangku kepentingan di destinasi singgah Sail Indonesia dengan menggunakan teori partisipasi. Ketiga, mengkaji faktor-faktor yang mendukung perencanaan pengembangan destinasi wisata layar Maurole sebagai pariwisata alternatif dengan menggunakan teori perencanaan. Dengan demikian, alur berpikir penelitian ini disajikan dalam Gambar 2.2.
Globalisasi
Kapal Wisata dan Yachters
Industri Pariwisata Bahari
Sail Indonesia di Maurole
Sumber Daya Pariwisata Pemangku Kepentingan Pariwisata
Teori: Tourism Area Life Cycle
Teori: Partisipasi
Teori: Perencanaan
Potensi Maurole Sebagai Destinasi Singgah
Pengelolaan Maurole Sebagai Destinasi Singgah
Faktor-faktor yang mendukung Pengembangan Maurole sebagai Destinasi Wisata Layar
Keterangan tanda : Hubungan langsung (searah) : Hubungan langsung dua arah Gambar 2.2. Model Penelitian
BAB III METODE PENELITIAN
2.1
Rancangan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif.
Sebagai bentuk kajian kepariwisataan, penelitian ini dirancang dengan menggunakan paradigma interpretatif ilmu sosial (Jennings, 2001: 38). Paradigma ini bertolak dari beberapa patokan dasar yaitu bagaimana realitas sosial dipahami (basis ontologis), relasi antara peneliti dengan subjek atau objek yang diteliti (basis epistemologis), dan bagaimana peneliti mengumpulkan data/informasi (basis metodologis). Jennings lebih jauh menguraikan dari aspek ontologi, realitas sosial dipandang sebagai kenyataan yang beragam. Secara epistemologis, relasi antara peneliti dan subjek (orang yang diwawancarai/informan) bersifat subjektif. Paradigma ini menggunakan metodologi kualitatif (aspek metodologis). Berdasarkan pemahaman yang dikemukakan Jennings, maka basis ontologis penelitian ini adalah realitas sosial yang terkait dengan keberadaan destinasi singgah Maurole dalam kegiatan Sail Indonesia yang memiliki faktor-faktor untuk pengembangan wisata layar sebagai pariwisata alternatif. Basis epistemologis terkait pengumpulan data di lokasi destinasi singgah Maurole dan di lokasi terkait lainnya dilakukan dengan pola hubungan subjektif antara peneliti dengan informan. Sesuai dengan pendekatan penelitan ini, maka basis metologis yang digunakan adalah metodologi kualitatif.
36
37
Creswell (2009: 175-176) meyebutkan sejumlah karakteristik dari penelitian kualitatif, yaitu: seting alamiah, peneliti adalah instrumen kunci, sumber data yang digunakan beragam, data dianalisa secara induktif, makna berasal dari partisipan, desain penelitian berkembang, menggunakan lensa teoritis, bersifat interpretatif, dan holistik. Cresswell menjelaskan dalam seting alamiah, peneliti cenderung mengumpulkan data langsung di lapangan sehingga peneliti merupakan instrumen kunci yang berhadapan dengan sumber data yang beragam. Keragaman sumber data diperoleh melalui wawancara, observasi, dan pemeriksaan dokumen. Diuraikannya, peneliti juga membangun pola, kategori dan tema-tema dari bawah atau dari data lapangan untuk melakukan analisa secara induktif. Sehingga dalam prosesnya, tema-tema yang baru dapat saja bermunculan dari partisipan. Karena itu, dalam keseluruhan proses penelitian, peliti berupaya memahami makna yang dipegang oleh partisipan, bukan makna yang dibawa oleh peneliti ke partisipan. Menurutnya proses penelitian kualitatif terus berubah dan desainnya dapat berkembang. Karena itu, perencanaan penelitian tidak bisa kaku. Artinya seluruh proses dapat berubah-ubah selaras perkembangan di lapangan. Terhadap apa yang dilihat, didengar, dan dipelajarinya, peneliti memberikan interpretasi. Interpretasi itu tidak dapat dipisahkan dari latar belakang, sejarah, konteks dan pemahaman sebelumnya. Sehingga, peneliti berusaha mengembangkan gambaran yang kompleks atau holistik dari permasalahan yang ditelitinya. Untuk memahami kajiannya itu, peneliti sering menggunakan lensa teori, namun dapat juga bertolak dari isu atau permasalahan penelitiannya untuk memahami teori.
38
Bertolak dari karakteristik penelitian kualitatif yang dipaparkan oleh Creswell, maka keseluruhan tahap penelitian ini sejauh mungkin didasarkan dan disesuaikan dengan karakteristik itu. Dengan kalimat lain, rancangan penelitian ini sepenuhnya merujuk pada karakteristik penelitian kualitatif. Terkait dengan Maurole sebagai destinasi singgah Sail Indonesia, maka pendekatan kualitatif digunakan untuk memahami fakta sosial yang meliputi realitas potensi destinasi, pengelolaan destinasi singgah Sail Indonesia baik bentuk pengelolaan maupun partisipasi pemangku kepentingan, dan faktor-faktor yang mendukung pengelolaan destinasi wisata layar Maurole sebagai pariwisata alternatif. 3.1
Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Maurole, Kabupaten Ende, Provinsi
Nusa Tenggara Timur. Desa yang tercakup dalam ruang lingkup penelitian ini adalah empat desa di Kecamatan Maurole yang dalam aktivitas Sail Indonesia menjadi desa yang dikunjungi wisatawan. Ke empat desa itu adalah Mausambi, Maurole, Watukamba, dan Otogedu. Ditambah dengan empat desa di luar Kecamatan Maurole yang dikunjungi juga oleh wisatawan saat Sail Indonesia yaitu Desa Nualise, Waturaka, Wologai Tengah, dan Wolotopo Timur. Data dari ke-empat desa tersebut menjadi data penunjang dalam kerangka analisis. Secara
umum,
penentuan
lokasi
ini
dilakukan
dengan
beberapa
pertimbangan: 1. Sejak Tahun 2007 Kecamatan Maurole merupakan salah satu destinasi singgah reli perahu layar (kapal wisata) internasional Sail Indonesia.
39
2. Sebagai destinasi singgah Sail Indonesia, sejumlah aktivitas telah dilakukan di Maurole seperti penentuan lokasi titik labuh, penataan areal titik labuh, penyambutan, pelaksanaan aktivitas wisata, pagelaran seni budaya sebagai ajang apresiasi seni dan pelestarian budaya daerah, serta interaksi antara wisatawan dan mayarakat lokal. 3. Sebagai destinasi singgah Sail Indonesia, Maurole menjadi salah satu destinasi yang menawarkan aktivitas kunjungan wisata di darat (land-based tourism) yang beragam. Aktivitas itu memberikan sesuatu yang unik, yang berbeda, yang memiliki kearifan lokal baik ditinjau dari sisi budaya maupun lingkungan serta keterlibatan masyarakat lokal sehingga dari perspektif pariwisata alternatif, Maurole menjadi objek kajian yang menarik. Secara geografis Kecamatan Maurole terletak di Kabupaten Ende, Provinsi Nusa Tenggara Timur seperti terlihat pada Gambar 3.1 dan 3.2 berikut.
40
Gambar 3.1 Peta Provinsi Nusa Tenggara Timur Sumber: Buana Raya, 2012 (dimodifikasi)
41
Gambar 3.2 Peta Administrasi Kabupaten Ende dan Lokasi Maurole Sumber: Bappeda, 2011 (dimodifikasi)
42
4.1
Jenis dan Sumber Data
3.3.1 Jenis Data Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah kualitatif yaitu data yang dinyatakan dalam bentuk kata-kata, kalimat narasi, uraian dan berbagai bentuk pemahaman lainnya (Ratna, 2010: 509). Data ini didapatkan dari hasil wawancara dengan informan, hasil observasi dan pemeriksaan dokumen yang relevan. Data kualitatif terdiri dari data potensi Maurole sebagai destinasi singgah Sail Indonesia, data bentuk pengelolaan dan partisipasi pemangku kepentingan dalam kegiatan Sail Indonesia di Maurole, dan data faktor-faktor yang mendukung pengembangan destinasi wisata layar Maurole sebagai pariwisata alternatif. Untuk memperkuat data kualitatif, penelitian ini juga menggunakan data kuantitatif yang fungsinya menunjang data kaulitatif, seperti: statistik, bagan, diagram dan berbagai bentuk pengukuran lainnya yang terkait dengan keberadaan destinasi singgah Sail Indonesia dan wisata layar pada umumnya. 3.3.2 Sumber Data Sumber data ada dua macam yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer adalah informan yang yang diwawancarai dalam penelitian ini. Informan dimaksud terdiri dari informan dari kalangan pemerintah, industri pariwisata, dan masyarakat. Informan dari kalangan pemerintah berasal dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende dan dari sejumlah desa yang terkait dengan aktivitas Sail Indonesia. Informan dari industri berasal dari sejumlah institusi pariwisata seperti operator wisata layar, HPI, dan Tourist Management Organization (TMO) Kabupaten Ende. Informan dari kalangan
43
masyarakat berasal dari tokoh masyarakat dan anggota masyarakat yang terlibat langsung dalam kegiatan Sail Indonesia. Seluruh informan dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu: (1) informan dari pemerintah daerah; (2) informan dari masyarakat yang terlibat langsung dalam kegiatan Sail Indonesia; dan (3) informan dari kalangan industri, pengusaha, dan ahli.
Kelompok pemerintah daerah Kabupaten Ende ditetapkan sebanyak 15
informan kunci terdiri dari 7 informan kunci di tingkat kabupaten dan kecamatan, dan 8 informan kunci di tingkat desa, sesuai dengan jumlah desa yang pernah menjadi lokasi kunjungan wisata dalam kegiatan Sail Indonesia. Kelompok informan dari kalangan masyarakat yaitu tokoh masyarakat sebanyak 9 orang. Kelompok informan dari kalangan pelaku pariwisata sebanyak 3 orang, dan ahli sebanyak 2 orang. Sumber data sekunder adalah berbagai pembicaraan yang sudah dilakukan sebelumnya, termasuk buku-buku teks yang berkaitan dengan wisata layar pada umumnya dan destinasi singgah Sail Indonesia pada khususnya. Salah satu sumber data sekunder adalah informan dari kalangan peserta reli wisata layar yang telah mengemukakan pendapatnya mengenai Sail Indonesia di Kecamatan Maurole melalui media internet (websites atau weblogs) dan dokumen tertulis yang dibuat oleh informan. 3.4
Instrumen Penelitian Intrumen penelitian digunakan untuk menunjang metode dan teknik
pengumpulan data. Instrumen
penelitian adalah pedoman tertulis untuk
wawancara, atau pengamatan yang dipersiapkan untuk mendapatkan informasi
44
selama penelitian (Gulö, 2007: 123). Karena itu, untuk memperoleh data sesuai dengan tujuan penelitian ini, maka digunakan istrumen berupa pedoman wawancara, panduan observasi, kamera foto, dan alat-alat untuk mencatat. 3.5
Metode dan Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data lapangan menggunakan tiga teknik, yaitu wawancara
mendalam, observasi, dan pemeriksaan dokumen. Wawancara mendalam diawali dengan penentuan sejumlah informan secara purposif dengan mempertimbangkan kompetensinya sesuai dengan kebutuhan data (Ratna, 2010: 510). Observasi dengan melakukan peninjauan langsung ke lapangan yaitu ke Kecamatan Maurole dan delapan desa yaitu Mausambi, Maurole, Watukamba, Otogedu, Wolotopo, Wologai Tengah, Waturaka, dan Nualise yang menjadi lokasi kunjungan wisata dalam reli kapal wisata Sail Indonesia. Observasi dilakukan mencakup tiga objek, yaitu (1) lokasi tempat penelitian berlangsung, (2) para pelaku dengan peran-peran tertentu, dan (3) aktivitas para pelaku yang dijadikan objek penelitian (Ratna, 2010: 220). Dengan demikian, melalui observasi diperoleh gambaran mengenai tempat penelitian, kegiatan, peristiwa, pelaku, dan waktu yang terkait dengan keberadaan destinasi singgah Maurole dan kegiatan Sail Indonesia di destinasi tersebut. Dokumen yang diperlukan adalah dokumen resmi yang dimiliki oleh lembaga-lembaga resmi pemerintah maupun informal yang dimiliki secara pribadi oleh anggota masyarakat tertentu. Ciri khas dokumen adalah menunjuk pada masa lampau, dengan fungsi utama sebagai catatan atau bukti suatu peristiwa, aktivitas, dan kejadian tertentu (Ratna, 2010: 235). Sejalan dengan penelitian ini, dokumen
45
yang dimanfaatkan adalah catatan yang terkait aktivitas Sail Indonesia di destinasi singgah Maurole. 3.6
Metode dan Teknik Analisis Data Sesuai dengan rancangan penelitian ini yaitu menggunakan pendekatan
kualitatif, maka metode analisis data yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Penggunaan metode ini bertujuan untuk membuat deskripsi, gambaran secara sistematis dan objektif, mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, ciri-ciri serta hubungan di antara unsur-unsur yang ada atau suatu fenomena tertentu (Kaelan. 2005: 58). Sejalan dengan itu, Bungin (2010: 153) mengungkapkan dua hal yang ingin dilakukan oleh analisis data kualitatif, yaitu: (1) menganalisis proses berlangsungnya suatu fenomena sosial dan memperoleh gambaran yang tuntas dari proses tersebut; dan (2) menganalisis makna di balik informasi, data, dan proses suatu fenomena sosial. Untuk itu, analisis dilakukan sejak pengumpulan data di lapangan sampai pada analisis yang dilakukan setelah datanya terkumpul. 3.7
Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data Penyajian hasil analisis data dilakukan secara informal atau deskriptif sesuai
dengan topik bahasan melalui kata-kata, kalimat dan bentuk-bentuk narasi lain. Karena itu, untuk memperjelas dan membantu pemahaman sesuai dengan tujuan penelitian, maka penyajian hasil penelitian dilengkapi dengan penyajian secara formal berupa tabel, diagram, foto, dan peta.
BAB IV GAMBARAN UMUM KECAMATAN MAUROLE
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Maurole yang merupakan salah satu kecamatan dari 21 kecamatan di Kabupaten Ende, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Secara geografis, Kecamatan Maurole berbatasan langsung dengan Laut Flores di sebelah utara, Kecamatan Detukeli dan Kecamatan Wewaria di sebelah selatan, Kecamatan Kotabaru di sebelah timur, dan Kecamatan Wewaria di sebelah barat (BPS, 2012: 1). Luas wilayah Kecamatan Maurole adalah 155,94 km² atau 7,6% dari total luas Kabupaten Ende (2046,60 km²). Secara administrasi wilayah Kecamatan Maurole terdiri atas 13 Desa. Tabel 4.1 Banyaknya Dusun, RW dan RT di Kecamatan Maurole Tahun 2011 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Desa Ranakolo Selatan Ranakolo Keliwumbu Mausambi Maurole Watukamba Aewora Detuwulu Otogedu
Dusun 4 2 3 4 8 4 4 3 3 35 -
RW 4 2 3 7 9 8 8 3 4 48 -
RT 1 8 9 15 18 18 21 6 17 113 -
Jumlah 10 Woloau *) 11 Uludala *) 12 Niranusa *) 13 Ngalukoja *) Sumber: BPS, 2010 (data diolah) Keterangan: *) merupakan desa pemekaran baru dalam tahun 2013 dan data dusun, RW dan RT di masing-masing desa pemekaran tersebut tidak tersedia. Sumber: Maurole dalam Angka 2012 (dimodifikasi).
46
47
Berdasarkan data registrasi penduduk akhir Tahun 2011, jumlah penduduk Kecamatan Maurole adalah sebanyak 11.592 jiwa. Penduduk laki-laki sebanyak 5.566 jiwa atau 48,02% dan perempuan sebanyak 6.026 jiwa atau 51,98% (BPS, 2012: 3). Penduduk di Kecamatan Maurole sebagian besar menganut agama Katolik, yaitu sebanyak 10.548 orang atau sebesar 91% dari total jumlah penduduk. Kemudian disusul penduduk beragama Islam sebanyak 1.044 orang atau sebesar 9% (BPS, 2010: 6). 4.1
Keadaan Fisik Wilayah Tinggi wilayah Kecamatan Maurole di atas permukaan laut (DPL) berkisar
antara 2 m sampai 800 m (BPS, 2012: 5). Desa Detuwulu dan Desa Otogedu berlokasi di ketinggian yakni antara 700 m sampai dengan 800 m di atas permukaan laut. Tiga desa yang berbatasan langsung dengan Laut Flores yakni Desa Mausambi, Maurole dan Aewora, wilayahnya membentang antara 2 m sampai 3 m di atas permukaan laut. Tingkat kemiringan lahan di Kecamatan Maurole sangat bervariasi dan diklasifikasi ke dalam empat kelas kemiringan dengan rinciannya seperti terlihata pada Tabel 4.2. Tabel 4.2 Tingkat Kemiringan Lahan di Kecamatan Maurole No 1 2 3 4
Tingkat Kemiringan Luas (km²) >40% 221, 68 3-12% 76,96 12-40% 62,60 0-3% 18, 82 Jumlah 380,06 Sumber: BPS, 2010 (data diolah)
Prosentase 58,33 20,25 16,47 4,95 100
48
Tingkat kemiringan >40% merupakan tingkat kemiringan yang paling luas di wilayah Kecamatan Maurole yaitu 58,33% dari total luas Kecamatan Maurole. Tingkat kemiringan 0-3% merupakan yang paling kecil di wilayah itu yaitu hanya meliputi 4,95 % dari total luas wilayah. Seperti daerah tropis lainnya di Indonesia, Kecamatan Maurole termasuk wilayah yang beriklim tropis dengan dua musim, yaitu musim kemarau/kering yang berlangsung selama lima bulan antara bulan Mei sampai dengan bulan September, dan musim hujan/basah antara bulan Oktober sampai bulan April yang berlangsung sepanjang tujuh bulan. Suhu rata-ratanya 26-30˚ C. 4.2
Potensi Wilayah Kecamatan Maurole memiliki potensi wilayah yang cukup dalam
mendukung perkembangan aktivitas wisata. Salah satu potensi itu adalah potensi pertanian. Potensi ini mencakup potensi tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, peternakan, dan perikanan. Tanaman pangan yang cukup menonjol yaitu padi sawah yang meliputi luas panen pada tahun 2011 sebesar 584 ha dengan tingkat produksi 3.596 ton. Di samping itu, luas panen padi ladang meliputi 452 ha dengan produksi 904 ton (BPS, 2012: 64). Tanaman pangan lainnya adalah jagung dengan luas panen 203 ha dan total prosuksi 464 ton, ubi kayu mencakup luas panen 64 ha dengan total produksi 589 ton, ubi jalar meliputi luas panen 9 ha dengan produksi 62,50 ton, kacang tanah dengan luas panen 8 ha dan produksi 12 ton, kacang hijau mencakup luas panen 12 ha dan produksi 15,20 ton, tanaman kedelai meliputi luas panen 11 ha dan produksi 16,50 ton.
49
Gambar 4.1 Areal Persawahan di Maurole Sumber: Penelitian, 2013 Beberapa jenis sayur-sayuran dan buah-buahan juga diproduksi di Kecamatan Maurole. Jenis sayur-sayuran yang ada yaitu: petsay, kacang panjang, cabai, tomat, terung, dan cabai rawit. Total produksi jenis sayur-sayuran ini mencapai 105 ton di tahun 2011. Jenis sayur-sayuran dengan produksi terbesar yaitu 70 ton adalah cabai disusul dengan rata-rata produksi 8 ton yakni tomat, terung dan cabai rawit. Jenis buah-buahan yang diproduksi meliputi: avokat, mangga, rambutan, jeruk, jambu biji, sirsak, pepaya, pisang, nenas, dan salak dengan total produksi sebesar 41,69 ton. Pisang merupakan jenis buah-buahan yang paling banyak diproduksi di Kecamatan Maurole dalam tahun 2011 yakni mencapai 33,28 ton (BPS, 2012: 72).
50
Produksi tanaman perkebunan di Kecamatan Maurole, yaitu: kelapa, kopi arabika, cengkeh, kakao, jambu mete, kemiri, kapuk, pinang, dan vanili. Pada tahun 2011 (BPS, 74) produksi tanaman perkebunan terbesar adalah kelapa yaitu mencapai 804,65 ton, disusul oleh jambu mete 411,5 ton, kemiri 244,2 ton, kakao 147,5 ton, kopi arabika 11,14 ton, cengkeh 3,06 ton, tanaman perkebunan pinang 2,95 ton, panili 1,10 ton, dan terakhir kapuk 0,84 ton. Ternak di Kecamatan Maurole meliputi ternak besar, yaitu: sapi, kerbau, dan kuda. Ternak kecil mencakup kambing, babi, ayam kampung, dan itik (Anonim, 2012: 84). Pada tahun 2011, populasi unggas jenis ayam kampungnya mencapai 5.949 ekor, jenis itik 496 ekor. Populasi ternak besarnya adalah 2.471 ekor dengan populasi terbesar sapi yaitu 2.113 ekor dan populasi ternak kecil sebanyak 6.781 ekor dengan populasi terbesar adalah babi sebanyak 5.951 ekor. Perikanan merupakan salah satu potensi di wilayah Kecamatan Maurole. Sarana yang digunakan oleh rumah tangga perikanan laut adalah perahu tanpa motor (jangkung dan perahu papan), motor tempel, dan kapal motor. Pada tahun 2011 (BPS, 2012: 85) terdapat 82 unit jangkung dan 25 unit perahu papan. Motor tempel ada sebanyak 10 unit. Kapal motor ukuran 0-5 GT ada sebanyak 24 unit dan > 5 GT ada sebanyak 4 unit. Alat penangkapan ikan yang paling banyak digunakan yaitu: pancing, disusul jaring insang, pukat buang/bagan, jala lompo, dan pukat cincin. Dalam aktivitas perikanan di Kecamatan Maurole, terdapat sebanyak 33 kelompok nelayan dengan jumlah total anggota sebanyak 162 orang dan 8 kelompok wanita nelayan dengan total jumlah anggota sebanyak 42 orang.
51
Sebanyak 98 orang di antaranya sudah pernah mengikuti pelatihan di bidang perikanan (BPS, 2012: 87). Jenis ikan yang diproduksi oleh perikanan laut di Kecamatan Maurole, yaitu: paperek, kakap, ekor kuning, cucut, terbang, julung, selar, tembang, kembung, cakalang, tenggiri, tongkol, tuna, layaran, pari, laying, dan jenis lainnya. Ikan ekor kuning merupakan jenis yang paling banyak diproduksi (BPS, 2012: 90). 4.3. Sumber Daya Pariwisata Maurole Salah satu potensi di Kecamatan Maurole adalah potensi pariwisata. Hal ini terlihat dari sumber daya pariwisatanya. Pitana dan Diarta (2009: 68) mengemukakan sumber daya pariwisata adalah segala sesuatu yang memiliki potensi untuk dikembangkan dalam mendukung pariwisata, baik secara langsung maupun tidak langsung. Mereka menguraikan lebih lanjut bahwa sumber daya yang terkait dengan pariwisata umumnya berupa sumber daya alam, sumber daya budaya, sumber daya minat khusus, disamping sumber daya manusia. Dalam konteks Maurole sebagai destinasi yang disinggahi oleh kapal-kapal wisata (yacht), maka destinasi ini memiliki sumber daya seperti diuraikan berikut ini. 4.3.1. Sumber Daya Alam Maurole memiliki sumber daya alam air yang salah satunya mencakup keberadaan pantai seperti dikemukakan oleh Fennel (1999: 68). Menurutnya, air memegang peran sangat penting dalam menentukan jenis dan tingkat partisipasi dari rekreasi outdoor di laut dan lingkungan laut (sea environments). Pitana dan Diarta (2009: 71) menegaskan sumber daya air bisa dikembangkan, misalnya, menjadi jenis wisata pantai/bahari seperti sailing, cruises, fishing, snorkelling.
52
Wisata pantai (bahari) di Maurole yaitu pantai Mausambi, pantai Nanganio, pantai pasir putih Enabara, dan pantai pasir putih di Aewora. Pantai Mausambi dan pantai Nanganio merupakan dua lokasi yang menjadi titik labuh kapal wisata (yacht) yang berkunjung ke Maurole melalui aktivitas Sail Indonesia sejak tahun 2007. Pantai Enabara dan Pantai pasir putih di Aewora adalah dua lokasi yang menjadi tempat rekreasi masyarakat khususnya pada hari libur dan akhir pekan. Sumber daya alam lain yang berpotensi dikembangkan untuk tujuan kegiatan pariwisata di Maurole adalah vegetasi. Menurut Fennel (1999: 68) vegetasi merujuk pada keseluruhan kehidupan tumbuhan atau tumbuhan yang menutupi suatu area tertentu. Potensi sumber daya vegetasi di maurole mencakup potensi tanaman pangan (padi sawah, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah dan kedelai) dan perkebunan (kelapa, kopi arabika, cengkeh, kakao, jambu mete, kemiri, kapuk, pinang, dan vanili. Keberadaan komponen sumber daya ini berpotensi dikembangkan untuk kegiatan pariwisata. Aktivitas dalam perjalanan wisata yang dibuat bagi wisatawan yang mengunjungi Maurole juga mencakup kunjungan (atau perhentian) di tempat-tempat dimana bisa diperoleh informasi mengenai tumbuhan yang terdapat di Maurole. Misalnya informasi mengenai kakao, jambu mete, dan kemiri. Aktivitas pemberian informasi mengenai tumbuhan tertentu dengan melihat langsung tumbuhannya menjadi salah satu daya tarik perjalanan wisata di Maurole. Atraksi ini berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai bentuk produk wisata yang unik. Potensi atraksi wisata alam di Kecamatan Maurole yang terkait aktivitas Sail Indonesia akan diuraikan pada bab berikutnya.
53
4.3.2. Sumber Daya Manusia Dalam konteks kehadiran kapal-kapal wisata di Maurole melalui adanya kegiatan Sail Indonesia, maka eksistensi sumber daya manusianya dapat dilihat dari keberadaan masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan Sail Indonesia baik di areal titik labuh, maupun di desa-desa yang dikunjungi wisatawan selama kegiatan itu berlangsung. Sejak awal kegiatan Sail Indonesia, masyarakat di Maurole ikut berpartisipasi dalam beragam bentuk aktivitas sesuai dengan acara yang diselenggarakan. Secara umum, masyarakat terlibat dalam pengelolaan titik labuh, pengelolaan desa – desa yang dikunjungi dalam perjalanan wisata, dan pengelolaan atraksi seni budaya. Kenyataan ini mengungkapkan keberadaan Maurole sebagai sebuah destinasi singgah Sail Indonesia sangat ditentukan oleh sumber daya manusianya. Di samping itu, kehadiran wisatawan di destinasi singgah mendorong pengembangan potensi sumber daya manusia untuk memenuhi kebutuhan wisatawan di destinasi singgah. Hal ini sejalan dengan hal yang disampaikan oleh Pitana dan Diarta (2009: 72) bahwa sumber daya manusia sangat menentukan eksistensi pariwisata. 4.3.3. Sumber Daya Budaya Dalam kegiatan Sail Indonesia di Maurole, terutama melalui aktivitas perjalanan wisata, wisatawan dapat menyaksikan tradisi dan cara hidup masyarakat, melihat rumah adat dengan gaya arsitekturnya, menyaksikan seni dan musik
yang
ditampilkan oleh
masyarakat,
menikmati
sajian
makanan
lokal/tradisional, dan membeli kerajinan setempat seperti tenun ikat. Dengan
54
demikian, Maurole memiliki sejumlah sumber daya budaya yaitu (1) tradisi, misalnya upacara penobatan tetua adat (mosalaki); (2) sejarah dari suatu tempat/daerah, misalnya sejarah kampung asli watukamba. (3) arsitektur, misalnya bentuk rumah adat; (4) makanan lokal/tradisional, misalnya kue cucur (filu); (4) seni dan musik, misalnya feko genda (musik suling dan perkusi); (6) cara hidup masyarakat; (7) pakaian lokal/tradisional, misalnya lawo lambu (sarung dan baju untuk perempuan); dan (8) kerajinan pane (peralatan makan yang terbuat dari tanah liat). Sumber daya budaya ini merujuk pada ‘sepuluh elemen budaya yang menjadi daya tarik wisatatawan dalam kegiatan pariwisata’ (Ardika, 2003: 50). Berdasarkan data dari penelitian, kedelapan elemen budaya inilah yang antara lain menjadi atraksi wisata budaya di destinasi singgah Maurole, di samping atraksi wisata lainnya.
BAB V POTENSI MAUROLE SEBAGAI DESTINASI SINGGAH SAIL INDONESIA
Konsep destinasi singgah atau destinasi wisata layar yang digunakan dalam penelitian ini adalah destinasi pariwisata yang secara nyata dikunjungi kapal wisata (yacht) dan ada aktivitas pemanggku kepentingan pariwisata di destinasi yang dipicu oleh kehadiran kapal wisata itu. Sejalan dengan konsep itu, maka dilakukan kajian terhadap potensi Maurole sebagai salah satu destinasi yang disinggahi oleh kapal wisata melalui aktivitas Sail Indonesia. Untuk itu, potensi Maurole dilihat dari atraksi wisata, aksesibilitas, amenitas dan ancillary services. 5.1
Atraksi Wisata Kajian mengenai atraksi wisata di Kecamatan Maurole dilakukan terhadap
atraksi wisata alam, budaya, dan buatan di desa-desa yang dikunjungi oleh wisatawan peserta Sail Indonesia. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran keragaman atraksi wisata. Data diperoleh dari hasil wawancara dengan berbagai informan dan observasi lapangan. 5.1.1 Desa Otogedu 5.1.1.1
Letak, Luas, Kondisi Geografis, Demografis, Sosial, dan Ekonomi
Desa Otogedu termasuk dalam wilayah Kecamatan Maurole, Kabupaten Ende, dan wilayahnya secara administratif terbagi menjadi tiga dusun yaitu Dusun Otogedu, Dusun Mbotuboa, dan Dusun Woloau, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut: 1. Di sebelah utara berbatasan dengan Desa Watukamba;
55
56
2. Di sebelah timur berbatasan dengan Desa Detuwulu; 3. Di sebelah selatan berbatasan dengan Desa Watunggere Marilonga; 4. Di sebelah barat berbatasan dengan Desa Watukamba. Desa Otogedu terletak sekitar 11 km di sebelah selatan Kota Kecamatan Maurole atau sekitar 95 km di utara kota Kabupaten Ende. Perjalanan menuju desa ini dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor, baik roda dua maupun roda empat melalui jalur wisata Ende – Detusoko – Wewaria – Maurole – Nuabela – Otogedu. Jalur lain adalah jalur darat dari barat yaitu Marapokot (Nagekeo) – Maukaro – Maurole – Nuabela – Otogedu, sedangkan jalur dari Maumere di bagian timur adalah Maumere – Kotabaru – Maurole – Nuabela – Otogedu. Jalur dari kota kecamatan ke desa Otogedu sebagian berupa jalan beraspal, sebagian berbatu dan sebagiannya lagi berupa rabat beton. Secara geografis Desa Otogedu terletak di dataran tinggi dengan ketinggian 700 meter di atas permukaan laut. Luas wilayah Desa Otogedu adalah 16 km² atau sekitar 10,46% dari luas Kecamatan Maurole (BPS, 2012: 3). Desa Otogedu memiliki 86 kepala keluarga dengan total penduduk berjumlah 346 jiwa yang terdiri atas 181 laki-laki dan 165 perempuan. Sebagian besar petani menggarap usaha pertanian tanaman palawija yaitu ubi kayu, ubi jalar, dan jagung. Tanaman perkebunan yang dibudidayakan adalah kemiri, kakao, jambu mete. Salah satu tanaman yang dimanfaatkan hasilnya adalah pohon enau sebagai bahan pokok pembuatan minuman arak (Profil Desa, 2012).
57
5.1.1.2
Atraksi Wisata di Otogedu
Atraksi wisata yang menjadi daya tarik utama di Desa Otogedu adalah atraksi pembuatan moke (minuman arak dari pohon enau). Tercatat ada empat lika (tempat pembuatan arak) di Desa Otogedu. Lika biasanya berlokasi di dekat rumah tinggal pemiliknya. Tempat pembuatan arak di Desa Otogedu umumnya terdiri dari tungku api tempat memasak, periuk tanah sebagai wadah yang dipakai untuk memasak air nira/aren, dan peralatan untuk proses penyulingan yang terbuat dari bambu. Proses pembuatan (memasak) moke di masing-masing lika pada prinsipnya sama. Namun, yang membedakannya adalah ramuan yang dipakai pada saat memasak moke. Jenis ramuan tidak hanya dipakai saat memasak air nira, namun sudah mulai digunakan sejak menampung air di pohon aren/enau. Ramuan itu dimasukkan ke dalam wadah bambu penampung air nira yang diikatkan di pelepah daun nira. Efek ramuan yang dipakai oleh masing-masing lika diyakini menentukan kualitas rasa moke, sehingga ramuan yang dipakai dalam pembuatan moke menjadi rahasia dapur para pemilik lika. Hal ini ditegaskan salah seorang pembuat moke dan sekaligus tokoh masyarakat Desa Otogedu yaitu Frans Watu: “Ramuan yang saya pakai di lika ini berbeda dengan yang dipakai di lika yang lain. Saya tidak tahu ramuan yang mereka pakai, mereka pun tidak mengetahui ramuan yang saya pakai. Ramuan yang saya pakai di sini, saya peroleh dari orang tua saya. Ramuan ini diberitahu kepada kami secara turun temurun. Yang saya ingat ramuan ini telah dipakai oleh empat generasi keturunan keluarga kami” (Wawancara 12 Juni 2013). Daya tarik atraksi pembuatan moke ini terletak pada keunikan lika dengan peralatan tradisional yang digunakan serta ritual adat dan legenda yang
58
mendukung aktivitas ini. Legenda setempat menyebutkan bahwa pohon enau yang menghasilkan air nira dianggap sebagai seorang “perempuan”. Tentang hal ini, Frans Watu menjelaskan: “Kami harus memerlakukan pohon enau dan seluruh proses pembuatan arak dengan baik. Mulai dari saat kami memukul-mukul tandan enau, saat menyayat dan mengiris tandan enau itu berkali-kali, sampai saat kami harus berhenti mengiris tandannya. Semuanya dilakukan dengan penuh kelembutan, perhatian, penghormatan seperti perlakuan bagi seorang perempuan. Sebelum memasak moke, kami juga harus melakukan upacara adat khusus memohon pada penguasa langit dan bumi untuk merestui semua usaha kami agar moke yang dihasilkan baik adanya” (Wawancara 12 Juni 2013).
Gambar 5.1 Penduduk Memperagakan Proses Pembuatan Arak Sumber: Dokumentasi Disbudpar Ende, 2007
59
Potensi lain yang terdapat di Desa Otogedu adalah potensi ekologis seperti kebun kemiri, kakao, jambu mete, dan keberdaan pohon nira yang merupakan sumber
bahan
baku
pembuatan
moke.
Keberadaan
pohon
enau
dan
pemanfaatannya sebagai sumber bahan baku pembuatan moke oleh masyarakat setempat juga merupakan salah satu atraksi wisata. Atraksi pengambilan air nira dari pohon enau di Desa Otogedu bisa dijumpai setiap hari di waktu pagi dan petang, sesuai dengan kebiasaan dan tuntutan cara pembuatan moke. Potensi ini merupakan sumber daya pariwisata yang dapat dikembangkan karena menurut Pujaastawa (2005: 132) kombinasi yang harmonis antara potensi sumber daya alam, sumber daya budaya, dan sumber daya manusia dapat melahirkan beraneka macam atraksi wisata yang dapat menjaid daya tarik wisata. Secara keseluruhan, potensi atraksi wisata di Otogedu sudah menjadi daya tarik wisata yang disuguhkan kepada wisatawan asing dalam kegiatan Sail Indonesia, seperti diungkapkan oleh Ignasius Siga, Kepala Desa Otogedu: “Mereka (tamu dari peserta Sail Indonesia) menyaksikan atraksi pembuatan moke di empat lika yang ada di desa ini. Pemilik masingmasing lika memberikan penjelasan tentang proses pembuatan disertai cerita legenda yang diyakini masyarakat yang diterjemahkan oleh pemandu wisata. Mereka juga mencicipi moke yang sudah jadi dan sebagian besar dari mereka membeli moke ini” (Wawancara 12 Juni 2013). Penuturan ini menggambarkan bahwa aktivitas masyarakat sehari-hari yang berhubungan dengan pemanfaatan sumber daya alam dan budaya di sebuah desa dapat menjadi atraksi wisata. Atraksi wisata yang didasarkan pada kebiasaan hidup masyarakat serupa itu, oleh Yoeti (2008: 168) disebut sebagai social attractions yaitu atraksi wisata yang didasarkan pada tata cara hidup masyarakat.
60
Sejalan dengan itu, dari aspek budaya, Ardika (2003: 50) memasukkan cara hidup suatu masyarakat sebagai salah satu elemen budaya yang menjadi daya tarik wisata. 5.1.2 Desa Mausambi 5.1.2.1
Letak, Luas, Kondisi Geografis, Demografis, Sosial, dan Ekonomi.
Desa Mausambi merupakan salah satu desa dalam wilayah Kecamatan Maurole, Kabupaten Ende.
Terletak sekitar 84 km di sebelah utara ibukota
Kabupaten Ende dan 1 km di sebelah barat ibukota Kecamatan Maurole. Batasbatas wilayah Desa Mausambi adalah: 1. Di sebelah utara dengan Laut Flores; 2. Di sebelah timur dengan Desa Maurole; 3. Di sebelah barat dengan Desa Niranusa; 4. Di sebelah selatan dengan Desa Woloau. Secara administratif, wilayah Desa Mausambi terbagi menjadi empat dusun, yaitu Dusun Detuara, Dusun Detuwane, Dusun Mausambi, dan Dusun Niranusa. Luasnya adalah 31,22 km² atau 20,41% luas dari luas wilayah Kecamatan Maurole (152,94 km²). Sebagian merupakan tanah tegalan atau perkebunan dan sebagian lagi digunakan sebagai sawah, tanah pemukiman dan pekarangan (BPS, 2012). Penduduk Desa Mausambi berjumlah 1.458 orang yang terdiri atas 787 (53,98%) laki-laki dan 671 (46,02%) perempuan. Sebagian besar mata pencaharian pokok mereka adalah sebagai petani, dan sebagian kecil lainnya menekuni pekerjaan sebagai nelayan, pegawai negeri sipil, pedagang, dan tukang
61
(Profil Desa, 2012). Aktivitas masayarakat untuk memperoleh manfaat ekonomi dari pariwisata terbatas pada kegiatan yang muncul dengan hadirnya peserta reli kapal wisata sail Indonesia di titik labuh Mausambi sejak tahun 2007 hingga saat ini. 5.1.2.2
Atraksi Wisata di Mausambi
Potensi pariwisata utama di Desa Mausambi adalah pantai dan teluk Mausambi khususnya areal titik labuh di depan perairan pantai Mausambi dan areal perairan yang dibatasi oleh Tanjung Watulaja. Lokasi ini sejak tahun 2007 telah menjadi titik labuh bagi kapal wisata (Disbudpar, 2007). Kehadiran kapalkapal wisata (yacht) di Maurole menggerakkan pemangku kepentingan memanfaatkan kehadiran itu, baik untuk memenuhi kebutuahn wisatawan maupun untuk mengelola aktivitas yang melibatkan masyarakat setempat. Sejalan dengan siklus hidup destinasi pariwisata dari, maka dapat dikatakan bahwa tahun 2007 Maurole sudah memasuki tahap exploration dalam siklus hidup destinasi wisata. Menurut Butler (1980), dalam tahap ini destinasi wisata baru ditemukan, baik oleh wisatawan, pelaku pariwisata, maupun pemerintah. Kegiatan Sail Indonesia memicu adanya kunjungan kapal wisata ke Maurole, dan berdasarkan informasi dari sejumlah informan, maka dapat dikemukakan bahwa destinasi ini memasuki tahap exploration, menyusul dilakukannya survei titik labuh di Maurole pada tahun 2006 yang melibatkan pemerintah daerah dan operator Sail Indonesia dari Yayasan Cinta Bahari Antar Nusa. Potensi lainnya adalah atraksi pembuatan pane (peralatan makan dari tanah liat) di Dusun Detuara, kawasan persawahan, dan jalur trekking melewati kebun
62
jambu mete dan kakao menuju kampung adat Pu’u Pau. Sebagai sebuah atraksi wisata, kampung adat Pu’u Pau dikunjungi oleh wisatawan dari kapal wisata yang singgah di Teluk Mausambi pada tahun 2012. Hal ini terungkap dalam wawancara dengan pemandu wisata yang berasal dari Mausambi, Vinsen Atabala: “Sebanyak dua rombongan wisatawan berkunjung ke Pu’u Pau. Kunjungan itu menjadi berkesan bagi para tamu dan tuan rumah karena bertepatan dengan berlangsungnya upacara pembuatan rumah adat di kampung ini. Karena jaraknya dekat dengan pantai Mausambi, rombongan wisatawan bejalan kaki ke kampung ini” (Wawancara 9 Juni 2012). Perjalanan menuju desa ini dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor, baik roda dua maupun roda empat melalui jalur wisata Ende – Detusoko – Wewaria – Ropa – Mausambi. Jalur lain adalah jalur darat dari barat yaitu Marapokot (Nagekeo) – Maukaro – Ropa – Mausambi, sedangkan jalur dari Maumere di bagian timur adalah Maumere – Kotabaru – Maurole – Mausambi. Jalur dari Mausambi ke Detuara dan Kampung adat Pu’u Pau berupa jalan tanah, sebagian berbatu, dan sebagiannya lagi berupa rabat beton dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua dan roda empat serta berjalan kaki (trekking). Kunjungan ke kampung adat, yang terletak di sekitar lokasi titik labuh kapal wisata, menunjukkan bahwa daerah ini memiliki sumber daya yang potensial untuk dikembangkan sebagai atraksi wisata. Masyarakat atau pelaku usaha dapat memperoleh manfaat ekonomi dan sosial dengan mengatur paket wisata berupa kunjungan ke atraksi wisata yang mudah dijangkau. Fakta ini menngungkapkan Desa Mausambi merupakan salah satu lokasi bagi “wisatawan yang bermasuksud menghabiskan waktu mereka di luar tempat tinggalnya” (Jafari, 2000).
63
Gambar 5.2 Kunjungan Wisatawan di Dusun Detuara, Desa Mausambi Sumber: Dokumentasi Disbudpar Ende, 2007 5.1.3 Desa Maurole 5.1.3.1
Letak, Luas, Kondisi Geografis, Demografis, Sosial, dan Ekonomi
Desa Maurole merupakan salah satu desa di Kecamatan Maurole, Kabupaten Ende. Secara administratif, wilayah Desa Maurole terbagi menjadi empat dusun, yaitu: Dusun Maurole 1, Maurole 2, Maurole 3, dan Maurole 4. Desa yang terletak di pusat kecamatan ini, berada sekitar 84 km di sebelah utara Ende (BPS, 2012). Batas-batas wilayah Desa Maurole meliputi: 1. Di sebelah utara berbatasan dengan Laut Flores; 2. Di sebelah timur berbatasan dengan Desa Watukamba; 3. Di sebelah selatan berbatasan dengan Desa Maurole Selatan, Kecamatan Detukeli; 4. Di sebelah barat berbatasan dengan Desa Mausambi.
64
Desa Maurole mempunyai 491 kepala keluarga dengan total jumlah penduduk sebanyak 2.501 jiwa yang terdiri atas 1.124 laki-laki dan 1.337 perempuan. Dengan jumlah itu, desa ini merupakan desa dengan penduduk terpadat di Kecamatan Maurole. Hal ini dapat dipahami karena ia merupakan pusat aktivitas pemerintahan kecamatan, dan dilalui oleh jaringan jalan trans utara Flores, dan jalur utama menuju ke desa-desa lain di Kecamatan Maurole. Berdasarkan matapencahariannya, penduduk desa ini dapat dirinci seperti pada Tabel 5.1. Mengacu pada tabel ini, terlihat bahwa 32% penduduk bermatapecaharaian petani, dan 1,2% adalah nelayan. Kendatipun sebagian wilayah desa ini berada di pesisir pantai, masyarakatnya lebih banyak menggantungkan hidup dari sektor pertanian. Tabel 5.1 Komposisi Warga Desa Maurole Menurut Mata Pencaharian No
Mata Pencaharian
Jumlah (orang)
Prosentase
1
Petani
812
32,97
2
Nelayan
31
1,26
3
PNS
53
2,15
4
Pensiunan
22
0,89
5
Pengusaha
5
0,21
6
Pedagang
52
2,11
7
TNI/Polri
2
0,08
8
Lain-lain
1.486
60,33
Jumlah
2.463
100
Sumber: Profil Desa Maurole, 2012 (data diolah) 5.1.3.2
Atraksi Wisata di Maurole
Atraksi wisata yang menjadi daya tarik di Maurole adalah kunjungan ke pasar mingguan di Maurole yang terletak di pinggir pantai Maurole. Di samping itu, kunjungan wisatawan ke sejumlah sekolah untuk bertemu dan berbagai
65
pengalaman dengan murid-murid SD dan SLTP. Wisatawan biasanya berjalanjalan juga di pusat kota kecamatan ini untuk menyaksikan kehidupan masyarakat setempat dan membeli sejumlah kebutuhan pribadi mereka di kios-kios penduduk. Perjalanan menuju Maurole dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor, baik roda dua maupun roda empat melalui jalur wisata Ende – Detusoko – Wewaria – Ropa – Maurole. Jalur lain adalah jalur darat dari barat yaitu Marapokot (Nagekeo) – Maukaro – Ropa – Maurole, sedangkan jalur dari Maumere di bagian timur adalah Maumere – Kotabaru – Maurole.
Gambar 5.3 Kunjungan ke SD Maurole Sumber: Dokumentasi Disbudpar Ende, 2007 Atraksi wisata di desa Maurole mencerminkan adanya peluang untuk mengembangkan paket wisata yang bervariasi. Jennings (2007: 36) menyebutkan salah satu keuntungan bagi para wisatawan dalam aktivitas wisata layar ketika mengunjungi sebuah destinasi adalah mereka mendapat akses ke latar belakang
66
dari masyarakat dan kebudayaannya. Berdasarkan pendapat Jennings ini, dapat dikemukakan bahwa destinasi berpeluang untuk menyuguhkan atraksi wisata yang membuka
akses
bagi
pemahaman
wisatawan
akan
masyarakat
dan
kebudayaannya. 5.1.4 Desa Watukamba 5.1.4.1
Letak, Luas, Kondisi Geografis, Demografis, Sosial, dan Ekonomi.
Desa Watukamba termasuk dalam wilayah Kecamatan Maurole, Kabupaten Ende, dan wilayahnya secara administratif terbagi menjadi empat dusun yaitu Dusun Nanganio, Dusun Aepetu, Dusun Wolosambi, dan Dusun Watukamba dengan batas-batas wilayah sebagai berikut: 1. Di sebelah utara berbatasan dengan Laut Flores; 2. Di sebelah timur berbatasan dengan Desa Aewora; 3. Di sebelah selatan berbatasan dengan Desa Otogedu; 4. Di sebelah barat berbatasan dengan Desa Maurole. Luas wilayah Desa Watukamba adalah 16,98 km² atau sekitar 10,10% dari luas Kecamatan Maurole. Secara geografis Desa Watukamba terletak di dataran ketinggian 15 meter di atas permukaan laut. Penduduk Desa Watukamba berjumlah 1.093 jiwa, terdiri atas 524 laki-laki dan 569 perempuan (BPS, 2012: 521). Matapencaharian penduduk sebagian besar adalah petani yang menggarap usaha pertanian tanaman palawija yaitu ubi kayu, ubi jalar, dan jagung. Tanaman perkebunan yang dibudidayakan adalah kemiri dan kakao. Salah satu tanaman
67
yang dimanfaatkan hasilnya adalah pohon enau dan kemiri sebagai bahan pokok pembuatan gula aren (Profil Desa, 2012). 5.1.4.2
Atraksi Wisata di Watukamba
Atraksi wisata yang menjadi daya tarik utama di Desa Watukamba adalah pembuatan gula aren khususnya di kampung adat Nuabela. Dari 16 kepala keluarga (KK) yang menghuni kampung Nuabela, terdapat 14 KK yang merupakan pembuat gula aren. Tempat pembuatan gula aren umumnya terdiri dari tungku api tempat memasak, kuali dari bahan aluminium sebagai wadah untuk memasak air nira, dan peralatan untuk mencetak gula aren yang terbuat dari bambu. Proses pembuatan (memasak) gula aren di masing-masing rumah pada prinsipnya sama. Satu-satunya bahan yang dicampurkan ke dalam air nira yang dimasak adalah bubuk kemiri. Hal ini dijelaskan oleh Hironimus Nira salah seorang pemuat gula aren dan kini menjabat sebagai kaur Desa Watukamba: “Air nira dimasak sampai kental lalu diaduk dan ditambahkan bubuk kemiri yang sudah diparut halus. Fungsi bubuk kemiri ini adalah untuk memadatkan adonan agar tidak mudah hancur ketika sudah jadi gula dan tahan lama” (Wawancara 13 Juni 2013). Dalam kegiatan Sail Indonesia, pembuatan gula aren juga menjadi atraksi yang disaksikan oleh wisatawan yang berkunjung ke kampung Nuabela dan produk gula aren juga dibeli oleh wisatawan. Sama seperti beberapa aktivitas masyarakat di desa – desa lainnya, aktivitas pembuatan gula aren juga berpotensi menjadi atraksi wisata yang dapat dikembangkan. Penjualan produk gula aren tentu saja memberikan keuntungan ekonomi bagi masyarakat setempat. Kondisi
68
ini sejalan dengan pendapat Jennings (2007: 36) bahwa salah satu dampak ekonomi dari wisata layar adalah “increased income generaion in host communities”, atau meningkatkan pendapatan masyarakat setempat. Atraksi lainnya yang ada di Desa Watukamba adalah keberadaan kampung adat Nuabela dengan rumah-rumah adat dan seremoni adatnya. Pada tahun 2007, sebagai penghargaan, komunitas adat di Nuabela menobatkan sepasang peserta Sail Indonesia yang datang ke kampung ini sebagai tetua adat (mosalaki) dengan sebutan mosalaki ulu beu eko bewa (tamu yang dinobatkan sebagai bagian dari mosalaki di suatu komunitas adat). Kenyataan ini sejalan dengan pendapat Jennings (2007: 36) bahwa salah satu dampak sosial dari wisata layar adalah meningkatkan pemahaman di antara wisatawan dan masyarakat.
Gambar 5.4 Penobatan Peserta Sail Indonesia sebagai Mosalaki Sumber: Dokumen Disbudpar Ende, 2007
69
Desa Watukamba juga mempunyai kelompok sanggar seni yang biasa berperan saat penyambutan tamu dan berbagai acara seni budaya lainnya. Sanggar seni budaya dari desa ini menjadi entertainer dalam kegiatan Sail Indonesia dengan atraksi seni feko genda (suling dan perkusi yang mengiringi tarian) (Disbudpar, 2007). Desa Watukamba terletak sekitar 6 km dari kota Kecamatan Maurole atau sekitar 88 km di utara kota Ende. Perjalanan menuju desa ini dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor, baik roda dua maupun roda empat melalui jalur wisata Ende – Detusoko – Wewaria – Maurole – Watukamba. Jalur lain adalah jalur darat dari barat yaitu Marapokot (Nagekeo) – Maukaro – Ropa – Maurole Watukamba, sedangkan jalur dari Maumere di bagian timur adalah Maumere – Kotabaru – Nanganio – Maurole – Watukamba. Jalur dari kota kecamatan ke Desa Watukamba sebagian berupa jalan beraspal, sebagian berbatu dan sebagiannya lagi berupa rabat beton.
Gambar 5.5 Titik Labuh Pantai Nanganio, Desa Watukamba Sumber: Dokumen Disbudpar Ende, 2010
70
Fakta atraksi wisata di empat desa di Kecamatan Maurole membentuk kekhasan lokal Maurole sebagai sebuah destinasi. Tourism Insights (2008) mengatakan kekhasan lokal (local distinctiveness) adalah kombinasi berbagai hal yang menyebabkan suatu tempat memiliki karakter yang unik. Dijelaskannya, pengunjung menginginkan “pengalaman” dari kunjungan mereka. Kekhasan suatu destinasi adalah alat untuk membentuk “pengalaman” itu sehingga pengunjung merasakan perbedaan satu destinasi wisata dengan destinasi wisata lainnya. Tourism insight juga menegaskan kekhasan lokal merupakan stimulan bagi keinginan pengunjung untuk berwisata, merekomendasikan sebuah destinasi pada teman dan keluarga, serta melakukan kunjungan ulang. Konsep kekhasan yang dari Tourism insight ini membuka ruang bagi pemahaman yang beragam. Salah satunya adalah, kekhasan selalu ada di setiap destinasi. Ukuran kekhasannya relatif bagi setiap orang atau wisatawan yang berkunjung, dengan kalimat lain “pengalaman” yang didapat di sebuah destinasi merupakan sesuatu yang “khas” bagi pemilik pengalaman itu. Dalam konteks kehadiran wisatawan dari kapal wisata, mereka memerlukan interaksi dengan masyarakat lokal (understanding between people). Mason (dalam Hermantoro, 2011: 80) menegaskan masyarakat lokal dapat menjadi atraksi utama untuk wisatawan. Dengan demikian, perpaduan (amalgam) dari berbagai komponen atraksi wisata di Maurole merupakan kekhasan tersendiri. Beberapa segi dari kekhasan Kecamatan Maurole menyangkut beberapa komponen sebagai berikut:
71
1) alam (natural features): bentangan (landscape) alamnya yaitu mulai dari laut yang memiliki kekhasan sebagai titik labuh bagi kapal layar (Pantai Mausambi dan Nanganio), pantai dengan masyarakat yang tinggal di sekitarnya sebagai ranah interkasi dengan komunitas setempat, dataran sedang sampai daratan tinggi yang berpotensi sebagai panorama alam dan areal trekking; tumbuh-tumbuhan (hortikultura dan tanaman perkebunan) yang merupakan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan aktivitas wisata dan bahan baku yang mendukung aktivitas masyarakat yang juga berfungsi sebagai atraksi wisata (pembutan tuak dan gula aren); 2) buatan manusia (man made feautures): gaya arsitek rumah-rumah adat dan bangunan adat lainnya yang khas dari etnik lio yang berbasis pada nilainilai arsitektur masyarakat agraris; atraksi-atraksi wisata yang dikemas menjadi paket wisata (khususnya yang terlihat dalam kegiatan Sail Indonesia); 3) kebudayaan (culture and traditions) yang mewujud dalam cara hidup masyarakat setempat, upacara adat, tarian, dan musik. 5.2
Aksesibilitas Aksesibilitas ke Kecamatan Maurole dapat digambarkan berdasarkan akses
ke empat Desa yang dikunjungi oleh wisatawan asing peserta reli wisata layar internasional Sail Indonesia sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya. Observasi di lapangan mendapatkan data perjalanan darat menuju Kecamatan Maurole dapat ditempuh melalui beberapa jalur, yaitu: 1) Ende – Detusoko – Welamosa – Ropa – Mausambi – Maurole.
72
2) Marapokot (Kabupaten Nagekeo) – Maukaro – Wewaria – Ropa – Mausambi – Maurole. 3) Maumere (Kabupaten Sikka) – Kotabaru – Aewora – Watukamba – Maurole. Bertolak dari jalur aksesibilitas ke Kecamatan Maurole itu, diperoleh data moda transportasi yang digunakan untuk mencapai destinasi ini. Tabel 5.2. memperlihatkan angkutan umum yang melayani penumpang di Kecamatan Maurole. Tabel 5.2 Rute, Jadwal, Jenis dan Jumlah Moda Transportasi Antarkota dari dan ke Kecamatan Maurole No 1
Rute Maurole – Ende PP
Moda Transportasi
Jumlah (unit)
Jadwal
Mini Bus
2
Tiap hari
Bus Kayu*)
3
Tiap hari
Bus Kayu*)
2
Tiap hari
2
Maurole – Maumere PP
3
Ende – Kota Baru via Maurole
Bus
2
Tiap hari
4
Maumere – Mbay via Maurole
Bus
3
Tiap hari
5
Mbay – Maumere via Maurole
Bus
3
Tiap hari
6
Travel Maumere – Ende PP via Maurole
Mobil Travel
1
Tiap hari
*)Bus Kayu adalah sebutan untuk jenis angkutan umum berupa kendaraan roda empat jenis truk yang didesain untuk mengangkut penumpang. Sumber: Penelitian, 2013. Dalam kegiatan Sail Indonesia, beberapa dari moda transportasi itu dimanfaatkan untuk melayani kebutuhan wisatawan dalam kunjungan wisata ke berbagai atraksi wisata. Pemanfaatannya disesuaikan dengan kebutuhan paket perjalanan wisata yang dibeli oleh wisatawan.
73
Salah satu jalur perjalanan wisata menuju ke Maurole adalah melalui jalur laut. Akses ini menjadi semakin nyata ditandai dengan adanya kapal wisata (yacht) peserta reli perahu layar internasional Sail Indonesia yang menyinggahi Maurole sejak Tahun 2007. Jalur laut menuju ke Maurole adalah sesuai dengan rute perjalanan sail Indonesia (Lesmana, 2012) yaitu: Darwin (Australia) – Kupang (entry port) – Alor – Lembata – Larantuka – Maumere – Maurole. Setelah singgah di Maurole, kapal wisata meneruskan perjalanan ke arah barat menuju Marapokot (Kabupaten Nagekeo) – Riung (Kabupaten Ngada) – Labuan Bajo (Kabupaten Manggarai Barat) – Lombok (NTB) – Lovina (Bali) – Karimun Jawa (Jawa Tengah), Kumai River (Kalimantan Selatan) – Belitung (Kabupaten Bangka-Belitung) – Bintan – Batam (Kepulauan Riau) sebagai pelabuhan keluar (exit port). Sebelum memasuki perairan Indonesia dan berangkat dari Darwin, kapalkapal wisata umumnya mengarungi rute pelayaran baik di Australia, maupun di negara-negara di Samudera Pasifik, seperti: Fiji, Tonga, Vanuatu, Samoa, Kepulauan Solomon, Kaledonia Baru, Selandia Baru, dan Tasmania. Setelah meninggalkan
perairan
Indonesia,
kapal-kapal
wisata
itu
melanjutkan
pelayarannya menuju ke berbagai destinasi di Asia, seperti: Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Brunei Darusalam, Filipina, Kepulauan Andaman, Myanmar, Bangladesh, India, Pakistan, dan ke negara-negara di timur tengah. Masuknya wisatawan asing melalui jalur laut di Kecamatan Maurole menunjukkan bahwa destinasi singgah Maurole telah menjadi salah satu pintu
74
masuk wisatawan ke Kabupaten Ende. Hal ini diungkapkan oleh Nyo Cosmas, SH., Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende: “Sebelum Kecamatan Maurole menjadi destinasi singgah Sail Indonesia, kami hanya mengandalkan wisatawan asing masuk melalui jalur darat dari barat dan dari timur Kabupaten Ende, melalui Bandar Udara H. Hasan Aroeboesman, dan melalui pelabuhan laut (Ende, Ipi, dan Nangakeo). Sejak Tahun 2007, kami mempunyai alternatif pintu masuk baru melalui laut yaitu di Kecamatan Maurole” (Wawancara 17 Juni 2013). Kenyataan itu dapat menjadi pemicu pengembangan destinasi wisata lebih lanjut. “Destinasi menjadi alasan bagi adanya perjalanan dan atraksi di destinasi membangkitkan kunjungan” (Cooper
et al., 1996: 77). Dalam upaya
pengembangan destinasi wisata yang secara nyata telah dikunjungi oleh wisatawan dan menjadi pintu masuk bagi wisatawan, diperlukan campur tangan berbagai pemangku kepentingan, sehingga diharapkan, aspek ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan di destinasi wisata dapat berkembang secara harmonis. 5.3
Amenitas Konsep amenitas yang menjadi landasan kajian ini adalah segala fasilitas
pendukung yang bisa memenuhi kebutuhan dan keinginan wisatawan selama berada di destinasi. Amenitas berkaitan dengan ketersediaan sarana akomodasi untuk menginap serta restoran untuk makan dan minum. Amenitas juga berhubungan dengan ritel dan jasa-jasa lain seperti jasa keamanan, jasa penukaran uang dan asuransi (Cooper et al., 1996: 84-85). Dalam kaitan dengan destinasi Maurole, fasilitas bagi wisatawan asing diadakan untuk memenuhi kebutuhan peserta Sail Indonesia. Fasilitas –fasilitas itu ada yang bersifat permanen dan ada yang tidak permanen (Disbudpar, 2007).
75
Fasilitas permanen misalnya toilet yang dibangun di beberapa lokasi kunjungan seperti di Pantai Mausambi, Desa Otogedu, dan Dusun Detuara. Fasilitas yang tidak permanen adalah dermaga apung (jetty), tempat relax, berbagai jenis tenda dan panggung hiburan di lokasi pantai titik labuh yang dibangun menggunakan bahan-bahan lokal dari bambu, kayu, dan daun kelapa. Hal ini ditegaskan oleh Martinus Lagho SST. Par., Kasubag Program, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende: “Sesuai karakteristik acara Sail Indonesia yang kunjungannya terjadi pada bulan Juli – September setiap tahun dan singgah beberapa hari di Maurole di bulan Agustus, maka diadakan juga beberapa acara penyambutan dan paket wisata ke beberapa atraksi wisata yang ada di Kabupaten Ende. Sehingga dibangunlah beberapa fasilitas non permanen untuk memberikan kenyamanan bagi wisatawan selama mereka berada di Maurole” (Wawancara 15 Juni 2013). Melalui berbagai acara penyambutan dan acara pendukung lainnya, diharapkan dapat menciptakan kesan yang baik bagi wisatawan sehingga merupakan alat promosi yang baik bagi destinasi singgah Maurole. Menurut Cooper et al., (1996: 80) sangat penting bagi sebuah destinasi untuk memberikan pengalaman yang berkualitas bagi wisatawan. Hingga saat ini, Kecamatan Maurole memiliki beberapa sarana akomodasi penginapan dan rumah makan yang melayani kebutuhan masyarakat setempat dan tamu lokal yang berkunjungan ke Maurole terutama karena pekerjaan, kepentingan bisnis dan kepentingan lainnya, bukan untuk keperluan khusus wisata. Secara umum, sarana akomodasi penginapan yang dimiliki masyarakat lokal itu memiliki fasilitas yang minim. Demikian juga fasilitas dan jenis hidangan yang disajikan di rumah makan. Seiring dengan pertumbuhan
76
permintaan dan pemahaman akan aspek hospitaliti, keberadaannya diharapkan akan lebih berkualitas. Dalam kegiatan Sail Indonesia, wisatawan yang berkunjung ke Maurole tidak menginap di penginapan yang ada di Maurole, namun memanfaatkan kapal layar mereka sebagai tempat untuk menginap. Hal ini sesuai dengan karakteristik wisatawan yang menggunakan kapal layar. Jenings (2007: 33), dalam uraiannya mengenai profil pasar para yachties (wisatawan dengan yacht), menjelaskan bahwa mereka yang berlayar dalam jangka waktu panjang ke luar negeri atau ke tempat yang jauh dari pelabuhan keberangkatannya, tinggal di kapal mereka (live aboard in their own yachts). Berdasarkan uraian Jennings, maka dapat dikatakan akomodasi atau penginapan bukanlah kebutuhan utama para wisatawan kapal layar seperti yang terjadi di Maurole. Tabel. 5.3 Penginapan dan Rumah Makan di Kecamatan Maurole No Lokasi 1 Desa Maurole 2 Desa Watukamba 3 Desa Mausambi Jumlah Sumber: Penelitian, 2013.
Penginapan Rumah Makan Jumlah Kamar Jumlah Kursi 2 16 4 85 1 7 2 40 3 23 6 125
Sarana penunjang lainnya adalah sarana perdagangan seperti pasar desa, kios, dan warung. Sarana perdagangan yang biasanya dikunjungi oleh wisatawan di Maurole adalah pasar desa yang beraktivitas seminggu sekali. Di samping untuk melihat aktivitas pasar, sebagian wisatawan juga menggunakan kesempatan ini untuk membeli barang-barang kebutuhan mereka. Keberadaaan pasar tradisional memang menarik perhatian para wisatawan, karena mereka dapat melihat secara
77
langsung aktivitas para penjual dan pembeli, dan melihat berbagai jenis barang dagangan yang dijual. Hal ini terungkap dalam wawancara dengan Vinsen Atabala, seorang pramuwisata lokal: “Pasar desa yang dikunjungi dalam aktivitas Sail Indonesia adalah pasar di Desa Maurole, Uludala (Pasar Ropa), dan Aewora. Barang yang dibeli antara lain: sayur-sayuran, buah-buahan, dan baju” (Wawancara 9 Juni 2013). Fasilitas pendukung lainnya yang terdapat di Kecamatan Maurole adalah fasilitas kesehatan, fasilitas penerangan listrik, fasilitas telpon seluler (termasuk untuk akses internet), jaringan air minum, agen penjualan BBM, bank, jasa pos, dan toilet. Secara rinci disajikan pada Tabel 5.4. Tabel. 5.4 Fasilitas Pendukung (Amenitas) di Kecamatan Maurole No 1 2 3 4 5
Fasilitas Bank Jasa Pos Telepon Seluler Air minum Agen Penjualan BBM (bahan bakar minyak) 6 Fasilitas Kesehatan
Jumlah 2 1 1 1 2 6
7 Toilet yang dibangun 4 dalam rangka Sail Indonesia 8 Listrik 1 Sumber: Hasil Penelitian, 2013.
Keterangan Bank NTT dan BRI PT. Pos Indonesia PT. Telekomunikasi Seluler PDAM Minyak tanah, bensin, dan solar. 1 Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), 3 Puskesmas Pembantu (Pustu), dan 2 Pos Kesehatan Desa (Poskesdes). Di Pantai Mausambi, Dusun Detuara, Desa Otogedu, dan Pantai Nanganio. PT. PLN
Fasilitas pendukung ini sangat nyata perannya dalam melayani wisatawan Sail Indonesia. Hal ini terungkap dalam wawancara dengan Gregorius Gadi, Sekretaris Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Ende, yang dalam tahun 2007 dan 2008 menjadi Camat Maurole:
78
“Wisatawan yang membutuhkan air bersih dilayani oleh masyarakat dengan memanfaatkan jaringan air PDAM yang dialirkan ke lokasi titik labuh. Demikian juga dengan kebutuhan bensin dan solar dilayani oleh agen penjualan BBM setempat. Sebagian juga menggunakan jasa pos untuk mengirimkan kartu pos. Dan lagi ada wisatawan yang mendapat pertolongan pertama di Puskesmas Maurole” (Wawancara 29 Juni 2013). Tersedianya fasilitas-fasilitas tersebut dan pemanfaatannya untuk memenuhi kebutuhan wisatawan, menggambarkan bahwa destinasi singgah seperti Maurole sangat mungkin dikembangkan lebih lanjut. Oleh karenanya, aspek-aspek pelayanan dasar semacam ini perlu mendapat pertimbangan dalam perencanaan pengembangan pariwisata kawasan. 5.4
Ancillary Services Salah satu komponen destinasi pariwisata yang diperkenalkan oleh Cooper et
al., (1996) adalah ancillary services. Menurut mereka, ancillary services berbentuk organisasi lokal yang mendukung kegiatan pariwisata di sebuah destinasi seperti Destination Management Organization (DMO), Convention and Visitors Bureaus. Dijelaskan bahwa pelayanan yang diberikan oleh organisasi seperti ini mencakup beberapa kegiatan, yaitu: aktivitas pemasaran, koordinasi dan pengawasan pengembangan, penyediaan informasi, koordinasi bisnis lokal, dan penyediaan fasilitas tertentu. Konsep yang senada menyebutkan bahwa ancillary services adalah pelayanan tambahan yang memberikan dukungan yang dibutuhkan oleh industri pariwisata. Pelayanan tambahan yang diberikan oleh organisasi-organisasi penyedia ancillary services meliputi pemasasaran, reservasi, dan koordinasi di antara agen perjalanan (Tourism in Singapore, 2003).
79
Sesuai dengan konsep itu, penelitan ini hanya mengkaji lembaga-lembaga yang berpartisipasi dalam kegiatan Sail Indonesia di destinasi singgah Maurole, yakni: lembaga pemerintah, organizer/operator Sail Indonesia, Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI), biro perjalanan wisata, dan kelompok masyarakat (komunitas adat dan kelompok seni budaya). Rincian ancillary services di destinasi Maurole dalam pengelolaan Sail Indonesia dikemukakan dalam Tabel 5.5. Tabel. 5.5 Unsur Ancillary Services dalam Kegiatan Sail Indonesia di Destinasi Singgah Maurole No Ancillary Services
Keterangan
1 Pemerintah kabupaten
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dan Satuan Kerja Perangkat Daerah Terkait
2 Organizer/operator
Yayasan Cinta Bahari Antar Nusa (YCBAN)
3 Himpunan pramuwisata
DPC HPI Kabupaten Ende
4 Biro perjalanan
-
5 Komunitas adat
Di tiap desa
6 Kelompok seni budaya
Di tiap desa
Sumber: Penelitian, 2013. Mencermati potensi destinasi singgah Maurole berdasarkan empat komponen destinasi pariwisata dan perkembanganya, maka terungkap beberapa hal. Pertama, destinasi singgah Maurole mulai dikenal oleh dunia internasional, khususnya oleh para pelayar sejak dijadikan titik singgah kapal-kapal wisata (yacht) di Tahun 2007. Sejak itulah Maurole menjadi pintu masuk bagi wisatawan ke Kabupaten Ende melalui perairan laut di pesisir utara.
80
Kedua, sejak awal pengelolaan destinasi singgah Maurole dirancang dengan melibatkan masyarakat setempat. Upaya pemberdayaan yang dilakukan itu mendorong masyarakat untuk turut menyiapkan berbagai kebutuhan dasar wisatawan. Ketiga, sebagai sebuah destinasi singgah, Maurole mendapat dukungan promosi dari berbagai pihak. Pemerintah melakukan promosi melalui bahan cetak misalnya brosur. Operator Sail Indonesia mempromosikan destinasi Maurole di dunia maya memanfaatkan fasilitas internet. Wisatawan (yachters) pun turut mempromosikan Maurole dari mulut ke mulut dan melalui situs internet milik mereka. Sesungguhnya tiga hal yang yang telah dikemukakan merupakan gambaran yang nyata bahwa destinasi singgah Maurole berada pada tahap involvement sesuai teori siklus hidup destinasi wisata. Butler (1980), dalam teorinya Tourism Area life Cycle, menguraikan tahap involvement ditandai oleh munculnya kontrol oleh masyarakat lokal. Sudah mulai timbul inisiatif dari masyarakat untuk menyediakan keperluan dasar wisatawan. Ciri lainnya adalah mulai dilakukan promosi, khususnya promosi dari mulut ke mulut (word of mouth) atau WOM untuk mengunjungi destinasi tersebut. WOM ini terutama dilakukan oleh para yachters yang pernah mengunjungi Maurole. Promosi lainnya dilakukan oleh pemerintah daerah melalui pembuatan bahan cetak promosi wisata yang memasukkan Maurole sebagai destinasi singgah Sail Indonesia. Tambahan pula, promosi yang dilakukan oleh berbagai pihak (pemerintah, swasta, dan yachters) melalui websites dan weblogs.
BAB VI PENGELOLAAN MAUROLE SEBAGAI DESTINASI SINGGAH SAIL INDONESIA
Salah satu tujuan penelitian ini adalah mengkaji pengelolaan Maurole sebagai destinasi singgah Sail Indonesia, dan partisipasi pemangku kepentingan dalam pengelolaan itu. Konsep pengelolaan yang digunakan mengacu kepada jenis aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat, pelaku wisata, dan pemerintah dalam mengantisipasi kehadiran kapal – kapal wisata. Karena itu, hal – hal yang dikaji meliputi pengelolaan areal titik labuh di Kecamatan Maurole, pengelolaan atraksi seni dan budaya, pengelolaan perjalanan wisata, dan partisipasi pemangku kepentingan. 6.1
Pengelolaan Areal Titik Labuh Dalam kajian ini, istilah “titik labuh” dipahami sebagai tempat kapal layar
berlabuh, dan “areal titik labuh” adalah kawasan pantai di dekat (sekitar) titik labuh yang digunakan oleh wisatawan untuk akses ke darat, dan juga dimanfaatkan oleh stakeholder pariwisata untuk memberikan pelayanan terkait kehadiran kapal – kapal layar itu. Bertolak dari pemahaman itu, maka kajian terhadap pengelolaan areal titik labuh difokuskan pada kegiatan-kegiatan terjadi di tempat itu selama kegiatan Sail Indonesia berlangsung. Kecamatan Maurole memiliki dua titik labuh kapal wisata (yacht) yaitu Pantai Mausambi atau juga dikenal dengan nama Teluk Mausambi di Desa Mausambi dan Pantai Nanganio di Desa Watukamba. Di samping sebagai titik labuh kapal wisata, lokasi ini biasa digunakan oleh nelayan lokal maupun nelayan
81
82
antar pulau sebagai tempat berlabuhnya kapal-kapal mereka karena terlindung dari angin kencang dan terpaaan gelombang pada musim-musim tertentu. Pada musim angin barat, antara Desember dan Maret, Teluk Mausambi sangat aman sebagai titik labuh, sedangkan ketika musim angin timur antara April dan Oktober, Pantai Nanganio sangat nyaman sebagai titik labuh. Pada musim angin timur, areal laut di sekitar Tanjung Watulaja yang membentengi sebagian wilayah Teluk Mausambi merupakan titik labuh yang nyaman. Kondisi ini menyebabkan titik labuh Mausambi sering dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, seperti dijelaskan oleh Martinus Lagho, SST. Par., Kasubag Program Dinas Pariwisata Kabupaten Ende. “Pada saat terjadi bencana gempa bumi dan tsunami di Pulau Flores dalam tahun 1992, kapal-kapal barang yang mengangkut pasokan material bantuan dari luar pulau menggunakan titik labuh Teluk Mausambi” (Wawancara 9 Juni 2013). Penuturan itu mau menegaskan bahwa titik labuh ini secara alamiah aman sebagai tempat labuhnya kapal-kapal layar. Kondisi ini menjadi salah satu pertimbangan dipilihnya Teluk Mausambi sebagai titik labuh bagi kapal wisata peserta Sail Indonesia di destinasi singgah Maurole. Rosalia J.E. Rae, SST.Par., tenaga teknis dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende, menjelaskan tentang penetapan titik labuh: “Penentuan itu dilakukan setelah melalui tahap survei yang dilakukan oleh pihak operator Sail Indonesia dari Yayasan Cinta Bahari Antar Nusa (ketika itu masih bernama Yayasan Cinta Bahari Indonesia) bersama Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende. Faktor lain yang juga mendukung penetapan lokasi ini adalah adanya atraksi wisata, aksesibilitas, dan fasilitas umum yang mendukung” (Wawancara 9 Juni 2013).
83
Dalam kegiatan Sail Indonesia, areal titik labuh menjadi lokasi berbagai aktivitas dan pelayanan kepada wisatawan. Dalam dua tahun pertama (2007 dan 2008) pelayanan bagi para peserta Sail Indonesia dipusatkan di Pantai Mausambi, dan pada tahun-tahun berikutnya dipusatkan di Pantai Nanganio (Disbudpar, 2009). Pelayanan itu dikelola melalui kerjasama antar pemangku kepentingan. Aktivitas yang dikelola antara lain meliputi penataan tempat relax wisatawan, tempat penjualan berbagai kebutuhan wisatawan, fasilitas informasi pariwisata, keamanan, dan kesehatan. Pengelolaan areal titik labuh ini dilakukan dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan jadwal singgah kapal-kapal wisata yang diatur oleh operator Sail Indonesia. Menurut Lesmana (2012) pengaturan jadwal untuk kegiatan Sail Indonesia, disesuaikan dengan jangka waktu visa kunjungan yang diberikan yaitu tiga bulan. Dalam jangka waktu ini, para pelayar mengarungi perairan Indoneisa dari wilayah timur hingga ke bagian barat dengan kecepatan rata-rata 8 knot per mil laut. Kondisi inilah yang menyebabkan, rata-rata lama tinggal di tiap destinasi singgah adalah empat hari (Sail Indonesia, 2013). Lamanya waktu singgah ini, menjadi pertimbangan bagi destinasi singgah dalam mengemas berbagai jenis aktivitas dan penyediaan fasilitas pendukung. Dengan kalimat lain, fasilitas dan pelayanan yang diberikan dirancang sesuai dengan jangka waktu dan kondisi itu. Berikut Tabel 6.1 memperlihatkan fasilitas yang disediakan sekaligus menyajikan gambaran pengelolaan titik labuh, pemanfaatan sumber daya manusia dan bahan lokal.
84
Tabel 6.1 Fasilitas, Pengeloaan, dan Pemanfaatan Bahan dan Tenaga Lokal di Titik Labuh – Destinasi Singgah Kecamatan Maurole No Fasilitas
Pengelolaan dan pemanfaatan bahan dan tenaga lokal 1 Floating Jetty Pembuatannya ditangani oleh Dinas Pekerjaan (Dermaga Apung) Umum dengan memanfaatkan tukang dan buruh lokal. Dibangun dengan teknik bongkar pasang. 2 Berbagai fasilitas Seluruhnya dikerjakan oleh Masyarakat lokal pelayanan, yaitu: dikoordinasikan Camat Maurole dan Kepala tempat relax Desa. Ada tenaga yang dibiayai dan ada yang Wisatawan, tempat merupakan tenaga sukarela (swadaya penjualan dan promosi masyarakat). kerajinan daerah Material yang digunakan adalah bahan lokal (souvenir), tempat dari kayu, daun kelapa, daun gebang dan penjualan sayur dan bambu. Seluruhnya dibeli dari masyarakat buah, pos keamanan, setempat. pos kesehatan, pusat Pusat informasi dikelola oleh tenaga lokal informasi pariwisata, dan pramuwisata lokal dibawa koordinasi dan panggung pentas Dinas Kebudayaan dan Pariwisata seni budaya Kabupaten Ende. Tempat Penjualan sayur dan buah dimanfaatkan oleh pedagang dari Desa Nduaria, sebuah desa yang memiliki pasar tradisional yang biasanya menjadi tempat persinggahan wisatawan. Tempat penjualan dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menjual makanan dan minuman, bahan bakar minyak, dan jasa laundry. Tempat promosi kerajinan daerah dikoordinasi oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Ende. Dimanfaatkan oleh beberapa pedagang souvenir (tenun ikat daerah). Tenaga lokal juga dimanfaatkan sebagai petugas jetty, petugas kebersihan, petugas keamanan, petugas penyambutan, dan seniman lokal. Sumber : Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende, 2013 (data diolah) Terlihat bahwa tenaga lokal ikut berpartisipasi dalam pengelolaan areal titik labuh. Hal ini sejalan dengan upaya untuk menghindari, sejak dini, marginalisasi
85
masyarakat lokal dan terabaikannya hak-hak mereka dalam mendapatkan manfaat dari pengelolaan sumberdaya setempat (Pujaastawa et al., 2005: 127). Manfaat dari kehadiran para wisatawan di titik labuh Mausambi diungkapkan oleh Yan Fangidae, seorang guru SMP di Maurole. “Jasa yang saya tawarkan kepada para peserta Sail Indonesia adalah jasa laundry. Ternyata banyak juga yang memanfaatkan pelayanan ini. Saya tidak menggunakan mesin cuci. Semua dilakukan secara konvensional. Lumayanlah pendapatan yang saya terima” (Wawancara 13 Juni 2013). Pada tahun 2012, pengelolaan Sail Indonesia di Maurole dipusatkan di Mausambi. Hal ini terjadi karena sebagian besar kapal lego jangkar di Pantai Mausambi. Pada saat itu, tidak ada pengelolaan khusus yang disiapkan oleh berbagai pemangku kepentingan termasuk oleh pemerintah yang biasanya memfasilitasi kegiatan Sail Indonesia. Namun aktivitas pelayanan kepada wisatawan yang singgah tetap berjalan. Hal ini disampaikan oleh Vinsen Atabala, pramuwisata lokal di Mausambi. “Saya melayani sejumlah kapal yang lego jangkar di Mausambi terutama di areal perairan dekat Tanjung Watulaja. Mereka mengakui sangat nyaman berlabuh di areal itu. Kapal-kapal datang secara bergelombang dalam kurun waktu dua minggu di Bulan Agustus (2012). Seluruhnya, ada 38 kapal. Saya mengatur dan memandu kunjungan mereka ke Danau Kelimutu, kampung adat Pu’u Pau yang berjarak kurang lebih 1 km dari pantai Mausambi dan ke sejumlah atraksi wisata lainnya termasuk mengadakan acara dinner dengan para tamu” (Wawancara 10 Juni 2013). Vinsen juga menguraikan bahwa pelayanan kepada para tamu dilakukannya bersama-sama dengan sejumlah masyarakat di Mausambi. Terutama dalam penanganan kunjungan wisata, pelayanan makan dan minum, pembelian sayuran dan buah-buahan. Ditambahkannya, kunjungan ke kampung adat Pu’u Pau
86
dilakukan setelah mendapat izin dari mosalaki atau tetua adat setempat karena bertepatan dengan upacara pembangunan rumah adat. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pengelolaan titik labuh sudah dapat dilakukan oleh masyarakat setempat secara mandiri, sekaligus menunjukkan “pentingnya unsur masyarakat lokal dalam sebuah destinasi” (Hermantoro, 2011: 80). Dengan cara berbeda, Murphy (dalam Timothy dan Tosun, 2003: 6) mengungkapkan pariwisata bergantung kepada goodwill dan kerjasama dari masyarakat setempat karena mereka merupakan bagian dari produk. Kenyataan juga menunjukkan munculnya keyakinan di kalangan masyarakat bahwa mereka mampu mengelola sebuah bentuk pelayanan bagi wisatawan asing yang datang. Keyakinan itu terungkap dalam pendapat yang disampaikan Desi Darius Saba, Kepala Desa Mausambi. “Kami akan berusaha sedapat mungkin melayani setiap tamu dari kapal wisata yang berkunjung ke daerah kami. Kami belajar dari pengelolaan sail sebelumnya terutama belajar dari kunjungan mereka ke kampung kami Pu’u Pau. Karena itu, dalam Sail Indonesia tahun ini (2013), kami berencana membangun tenda relax bagi wisatawan di pantai Mausambi sekaligus sebagai pusat pelayanan kami kepada para wisatawan yang singgah.” Penuturan ini menggambarkan bahwa ada proses belajar dalam keterlibatan masyarakat. Berdasarkan pengetahuan yang dimiliki dan dengan didukung faktor lainnya seperti tersedianya sumber daya manusia di desa, masyarakat berinisiatif memberikan pelayanan kepada wisatawan yang datang ke wilayahnya. Hal ini mencermintakn bahwa “pendekatan pariwisata berbasis masyarakat dalam pengembangan pariwisata merupakan syarat bagi keberlanjutan” (Woodly dalam Timothy dan Tosun, 2003).
87
Kunjungan kapal wisata di tahun 2012 dapat dipahami sebagai dampak keberadaan Maurole sebagai salah satu destinasi singgah dalam rute pelayaran kapal-kapal wisata yang melayari perairan Indonesia. Sejak tahun 2007 informasi mengenai titik labuh Mausambi dapat diperoleh melalui beberapa websites yang secara khusus memberikan informasi mengenai Sail Indonesia, baik yang berbasis di Darwin, Australia maupun di Jakarta. Raymond T. Lesmana, Konsultan Ahli Bidang Wisata Layar di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang juga menjadi Ketua Dewan Pengurus YCBAN menjelaskan pola dikenalnya sebuah destinasi singgah: “Ketika sebuah destinasi telah menjadi titik labuh dan pernah disinggahi oleh kapal-kapal wisata maka koordinat titik labuh (anchorage position) otomatis dikenal dunia pelayaran kapal wisata. Apalagi jika para pelayar dunia terkesan dengan hospitality dari masyarakat di destinasi singgah” (Wawancara 19 Juni 2013). Uraian Lesmana itu mengandung pengertian bahwa sebuah destinasi singgah akan selalu berpeluang disinggahi oleh kapal-kapal wisata. Konsekuensinya adalah terbukanya beragam kesempatan untuk mendapatkan manfaat dari kehadiran kapal-kapal wisata. Manfaat ekonomi bisa didapat dari antara lain pengelolaan perjalanan wisata, jasa guide, penjualan makan dan minum, jasa transportasi, dan jasa laundry. Pengelolaan aktivitas itu memberikan dampak terhadap pendapatan masyarakat. Manfaat dari aspek sosial-budaya adalah terjadinya interaksi antara masyarakat dengan wisatawan yang dapat memperkaya pengalaman. Dalam hal ini, dibutuhkan adanya upaya untuk pengelolaan areal titik labuh dan destinasi wisata secara menyeluruh melalui pendekatan pariwisata yang berbasis masyarakat dan berkelanjutan.
88
Gambar 6.1 Titik Labuh Pantai Mausambi Sumber: Foto oleh Raymond T. Lesmana (YCBAN, 2007)
6.2
Pengelolaan Atraksi Seni Budaya Persinggahan kapal-kapal wisata di Maurole dimanfaatkan oleh seniman lokal
sebagai wadah untuk mengapresiasikan kreativitas seni mereka, sekaligus sebagai cara untuk melestarikan dan mempromosikan seni budaya daerah. Shaw dan Williams (dalam Ardika, 2003: 50) menyebutkan seni dan musik merupakan salah satu elemen budaya yang menjadi daya arik wisata. Elemen terkait lainnya yang digunakan dalam pementasan seni budaya adalah pakaian lokal/tradisional. Oleh sebab itu, berbagai atraksi seni budaya daerah ditampilkan, bukan hanya untuk menghibur wisatawan asing, namun juga untuk dinikmati oleh masyarakat setempat. Pagelaran seni budaya melibatkan berbagai kelompok seni di
89
Kabupaten Ende dan se-daratan Flores. Tabel 6.2 menjelaskan berbagai atraksi seni budaya itu. Tabel 6.2 Atraksi Seni Budaya di Destinasi Singgah Maurole No Tahun
Acara Seni Budaya
1
2007
Festival Seni Budaya Rayon II Flores dan Lembata
2
2008
Pagelaran Seni Budaya Daerah Kabupaten Ende
3
2009
Pagelaran Seni Budaya Kecamatan Maurole
4
2010
Pagelaran Seni Budaya Kecamatan Maurole
5
2011
Tidak ada acara pagelaran seni budaya
6
2012
Tidak ada acara pagelaran seni budaya
Sumber: Disbudpar Kabupaten Ende, 2013 (data diolah) Tahun 2011 tidak ada acara pagelaran seni budaya, karena Sail Indonesia tidak ditangani langsung oleh pemerintah kabupaten, namun oleh Desa Watukamba. Pengelolaannya, termasuk penentuan acara di lokasi dan perjalanan wisata diatur oleh pihak desa. Tahun 2012 tidak ada acara pagelaran seni budaya karena pada tahun itu acara Sail Indonesia tidak ditangani secara khusus oleh pemerintah daerah maupun oleh desa. Ketika itu pengelolaannya dilakukan langsung oleh masyarakat di Desa Mausambi. Masyarakat berinisiatif melayani wisatawan dari sejumlah kapal yang lego jangkar di Teluk Mausambi. Pengelolaan atraksi seni budaya dilakukan bersama-sama antara masyarakat dan pemerintah daerah. Masyarakat berpartisipasi melalui sanggar-sanggar seni yang ikut dalam pementasan seni budaya. Pemerintah memfasilitasi dengan menyiapkan wadah apresiasi seni bagi masyarakat. Kolaborasi ini merupakan
90
bentuk kongkrit dari pengelolaan seni budaya daerah sekaligus sebagai upaya pelestarian karya seni masyarakat.
Gambar 6.2 Areal Pentas Seni Budaya di Mausambi Sumber: Dokumen Disbudpar Ende, 2007 Kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan seni dan budaya di Maurole juga mencerminkan adanya apresiasi terhadap kebudayaan. Gee dan Fayos (dalam Ardika, 2003: 55) menyebut bahwa salah satu prinsip pengembangan kepariwisataan yang berkelanjutan adalah adanya upaya untuk menghormati kebudayaan yang dilakukan oleh stakeholder yang terlibat di dalam pengembangan pariwisata, dalam hal ini wisatawan juga ikut menghormati kebudayaan, pandangan hidup, dan perilaku masrarakat lokal. Atraksi seni budaya juga diadakan di desa-desa yang dikunjungi oleh wisatawan. Setiap desa menampilkan atraksi yang berbeda sesuai dengan kebiasaan dan kekhasan tempatnya masing-masing. Sesuai dengan hasil
91
wawancara dengan berbagai informan di beberapa desa, diketahui bahwa atraksi seni budaya di desa-desa ini dilakukan sebagai bentuk partisipasi menyambut wisatawan yang berkunjung ke desa mereka. Dengan demikian dapat dikatakan bentuk keterlibatan ini “bottom up, atas inisiatif komponen masyarakat” (Dalem, et.al., 2007: 92).
Gambar 6.3 Penari di Desa Nualise Sumber: Dokumen Disbudpar Ende, 2009
6.3
Pengelolaan Perjalanan Wisata Pengelolaan perjalanan wisata di destinasi singgah Maurole berwujud paket-
paket wisata dengan kelompok sasaran para wisatawan. Pengelolaan paket wisata ini dilakukan oleh pemandu wisata lokal yang dikoordinir oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Ada pula yang dikelola oleh biro perjalanan wisata (Disbudpar, 2010). Khusus pada tahun 2012 dikelola langsung oleh masyarakat.
92
Tempat-tempat yang dikunjungi wisatawan terdapat di Kecamatan Maurole dan di luar Kecamatan Maurole. Masing-masing tempat itu memiliki daya tarik tersendiri. Paket wisata ke berbagai tempat itu, khususnya ke desa – desa, dibuat dengan koordinasi terlebih dahulu. Hal ini dilakukan agar desa yang dikunjungi dapat mempersiapkan atraksi seni budaya dan hal lainnya seperti kuliner lokal sesuai kebutuhan perjalanan. Tabel 6.3 memperlihat tempat kunjungan wisatawan dan daya tariknya. Tabel 6.3 Tempat Kunjungan Wisatawan dalam Sail Indonesia No 1
Tempat yang dikunjungi Desa Wologai Tengah
Daya tarik Kampung adat, rumah-rumah adat, dan atraksi seni budaya. 2 Desa Otogedu Pembuatan arak lokal (moke) 3 Nuabela (Desa Watukamba) Pembuatan Gula Aren 4 Detuara (Desa Mausambi) Pembuatan peralatan makan dari tanah liat (pane) 5 Pu’u Pau Kampung adat, rumah-rumah adat, dan atraksi seni budaya. 6 Desa Tanali Rumah adat dan permainan tradisional. 7 Air Panas Detusoko Kolam pemandian. 8 Danau Kelimutu Danau kawah berbeda warna. 9 Wolotopo Landscape perkampungan adat dan rumah adat. 10 Kota Ende Situs Rumah Pengasingan Bung Karno, Tempat permenungan Bung Karno, Museum Bahari, dan suasana Kota Ende. 11 Desa Waturaka Agrowisata, landscape persawahan dan pemandian air panas Liasembe. 12 Wolofeo (Desa Nualise) Kampung adat, rumah adat, atraksi seni budaya, kuliner lokal. 13 Desa Rewarangga Pembuatan parang (pandai besi) 14 Sekolah-sekolah Komunikasi dan berbagi pengalaman dengan siswa-siswa SD, SMP, dan SMA Sumber: Disbudpar Ende, 2010 dan Penelitian, 2013 (data diolah) Pada Tahun 2011 pengelolaan Sail Indonesia di lokasi titik labuh Pantai Nanganio dilakukan oleh Desa Watukamba. Hal in dilakukan untuk lebih
93
memberdayakan desa dan masyarakat dalam pengelolaan destinasi wisata (Disbudpar, 2011). Seluruh acara persiapan dan pelaksanaannya dilakukan oleh masyarakat setempat dengan mengacu pada pelaksanaan pada tahun-tahun sebelumnya. Salah satu bentuk pengelolaan yang dilakukan adalah kerjasama dengan travel agent/ tour oprator dalam penanganan perjalanan wisata. Stronza (2008: 103) menegaskan bentuk kerjasama ini memungkinkan masyarakat menghubungkan pengetahuan, wilayah, tenaga kerja, dan modal sosial mereka dengan kemampuan manajerial lembaga lain seperti tour operator. Melalui pola kerjasama ini, masyarakat mendapat kesempatan belajar banyak hal seperti manajemen event dan pengelolaan perjalanan wisata. Pujaastawa, et.al., 2005: 105) menegaskan “hubungan antara lemabaga-lembaga masyarakat lokal dengan pengusaha pariwisata bersifat hubungan kemitraan yang saling menguntungkan”. Pada tahun 2012 penanganan para wisatawan dari kapal-kapal wisata yang berlabuh di Pantai Mausambi dilakukan oleh masyarakat di Desa Mausambi. Vinsen Atabala, pramuwisata lokal di Mausambi menjelaskan: “Kendatipun tidak ada acara khusus yang dipersiapkan oleh pemerintah daerah, kunjungan kapal tetap ada. Semuanya berlabuh di pantai Mausambi. Saya berkomunikasi dengan dua sailors (wisatawan) dari kapal yang pertama tiba dan bersamanya mengatur kunjungan ke Kelimutu sesuai permintaan mereka. Wisatawan berkebangsaan Swedia ini berkomunikasi dengan kapal-kapal yang akan melewati jalur Mausambi dan menawarkan tour ke Kelimutu. Tour ke Kelimutu bersama 18 orang dari 9 kapal yang lego jangkar dilakukan pada dua hari berikutnya.” (Wawancara 10 Juni 2013). Lebih jauh Vinsen menjelaskan tentang pengelolaan tour ke Kelimutu. Bemo milik masyarakat setempat digunakan sebagai alat transportasi. Dalam perjalanan menuju Kelimutu singgah di Ranga, sebuah tempat yang memiliki
94
pemandangan landscape persawahan. Setelah menikmati keindahan Kelimutu, lokasi yang disinggahi berikutnya adalah Desa Waturaka untuk menyaksikan aktivitas masyarakat di sawah. Setelah itu menuju Moni untuk makan siang di salah satu restoran di sana. Perjalanan kembali ke Maurole dilanjutkan dengan singgah di beberapa tempat. Di Pasar Nduaria wisatawan melihat aktivitas pasar tradisional dan membeli sayur dan buah. Selanjutnya berhenti di Ekoleta untuk menikmati pemandangan persawahan di pinggir sungai dan aktivitas fotografi. Perhentian terakhir sebelum Maurole adalah di Ropa, dan di lokasi ini para wisatawan mendapat penjelasan tentang pohon jambu mete. Setelah tiba di Maurole, perjalanan dilanjutkan dengan mengunjungi kampung Pu’u Pau. Kunjungan ini bertepatan dengan berlangsungnya upacara pembuatan rumah adat. Dalam upacara semacam itu, masyarakat pengusung kampung adat selalu hadir dan suasananya ramai. Para mosalaki (tetua adat) menyambut wisatawan dengan tarian. Wisatawan mengenakan pakaian adat yang disewakan oleh penduduk kampung. Perempuan mengenakan lawo (kain) dan lambu (baju). Pria mengenakan luka (kain) dan ragi (selendang). Dengan mengenakan pakaian adat, para tamu ikut dalam tarian Gawi, sebuah tarian yang dilakukan secara bersama-sama sambil bergandengan tangan sebagai simbol kebersamaan. Makan malam dilakukan di dalam rumah adat bersama para mosalaki. Usai makan malam bersama, para tamu mengumpulkan donasi untuk kampung adat dan kembali ke Mausambi berjalan kaki diantar oleh para pemuda kampung ke pantai tempat mereka menambatkan dinghy (perahu sekocinya).
95
Kemasan perjalanan wisata seperti yang digambarkan itu, ditambah dengan adanya interaksi antara wisatawan dengan masyarakat, memungkinkan terciptanya pengalaman wisata yang berbeda. Kenyataan ini selaras dengan konsep pariwisata alternatif yang menekankan pentingnya upaya menciptakan interaksi yang positif dan bermanfaat di antara wisatawan dan masyarakat (Smith dan Eadington, 1992). Bertolak dari fakta pengelolaan titik labuh, pengelolaan atraksi seni budaya, dan pengelolaan perjalanan wisata, maka dapat diperoleh gambaran bahwa keberadaan susatu titik labuh yang dikunjungi wisatawan dapat memicu pengembangan destinasi. Pengembangannya meliputi pengembangan potensi atraksi alam, budaya, dan buatan manusia. Pengembangan selanjutnya adalah pengembangan yang sejak dini dapat melibatkan masyarakat lokal sehingga terjadi pemberdayaan bukan marginalisasi. Hal ini selaras dengan pendapat Smith dan Eadington (1992:3) mengenai pengembangan bentuk pariwisata yang konsisten dengan nilai-nilai alam, sosial dan nilai-nilai masyarakat serta memungkinkan baik masyarakat lokal maupun wisatawan untuk menikmati interaksi yang positif serta bermanfaat dan menikmati pengalaman secara bersama-sama. Fakta pengelolaan areal titik labuh juga mencerminkan hubungan antar pihak yang terlibat, seperti yang diuraikan oleh Pujaastawa, et.al. (2005). Pertama, hubungan antar lembaga-lembaga masyarakat lokal (desa, komunitas adat, sanggar seni). Hubungan ini bersifat hubungan internal, yang mencakup kerjasama perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kegiatan di areal titik labuh dan aktivitas terkait lainnya. Kedua, hubungan antar lembaga-lembaga masyarakat dan
96
pihak pengusaha pariwisata (travel agent/biro perjalanan wisata). Hubungan ini berupa hubungan kemitraan yang saling menguntungkan dalam mengemas jenisjenis paket wisata bagi wisatawan Sail Indonesia. Ketiga, hubungan antar lembaga-lembaga masyarakat lokal, pengusaha pariwisata, dan pemerintah. Hubungan ini mencakup peran aktif lembaga pemerintah melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende dan satuan kerja perangkat daerah terkait lainnya, dalam memfasilitasi penyusunan kebijakan masuknya kapal – kapal wisata di Maurole, dan menjalin kerjasama di antara berbagai pemangku kepentingan itu.
Gambar 6.4 Sailor - Kelimutu Tour 2012 Sumber: Dokumentasi Atabala, V., 2012
97
6.4
Partisipasi Pemangku Kepentingan Pariwisata Pada bagian ini dipaparkan mengenai partisipasi pemangku kepentingan
dalam kegiatan Sail Indonesia di Destinasi singgah Maurole. Dasarnya adalah tipe partisipasi yang dibuat oleh Tosun (dalam Madiun, 2009). Salah satu tipe partisipasi itu adalah partisipasi masyarakat karena masyarakat terdorong untuk melakukannya (induced participation). Tipe partisipasi inilah yang mendasari partisipasi pemangku kepentingan dalam kegiatan Sail Indonesia di destinasi singgah Maurole dan desa-desa terkait lainnya seperti terlihat dalam berbagai kegiatan. Untuk mendapatkan uraian mengenai partisipasi pemangku kepentingan, maka dikemukakan terlebih dahulu pemangku kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan Maurole sebagai destinasi singgah Sail Indonesia. Pada tataran konsep terdapat insan pariwisata yang dikelompok dalam tiga pilar utama (Pitana dan Gayatri, 2005: 96 – 97), yaitu: (1) masyarakat. (2) swasta, dan (3) pemerintah. Dijelaskan bahwa masyarakat umum di destinasi adalah pemilik sah sumberdaya yang merupakan modal pariwisata, seperti kebudayaan. Masyarakat terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat, intelektual, LSM, dan media masa. Kelompok swasta mencakup lembaga usaha pariwisata dan para pengusaha. Kelompok pemerintah mulai dari pusat, provinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa.
Masing-masing
pemangku kepentingan terdiri dari berbagai pihak dan berperan sesuai dengan fungsinya masing-masing. Tabel 6.4 memperlihatkan pemangku kepentingan di Maurole.
98
Tabel 6.4 Pemangku Kepentingan dalam Sail Indonesia di Destinasi Singgah Maurole No Pemangku Kepentingan 1 Pemerintah Kabupaten Ende
2 3
Pelaku usaha (swasta) Masyarakat
Elemen yang berperan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata; Satuan Kerja Perangkat Daerah terkait: Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Perhubungan, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Kecamatan dan desa-desa terkait pariwisata Himpunan Pramuwisata Indonesia, biro perjalanan, operator/organizer pariwisata. Masyarakat yang berperan di lokasi kunjungan dan di titik labuh: petugas jetty, pelayan makan minum, petugas kebersihan, musisi lokal, keluarga paguyuban, sanggar seni, pembuat bahan kerajinan, kalangan pendidikan mulai SD sampai SMA dan masyarkat desa. Sumber: Penelitian, 2013
6.4.1 Partisipasi Pemerintah Partisipasi pemerintah ditunjukkan dengan berbagai upaya menjadikan Kecamatan Maurole sebagai destinasi singgah Sail Indonesia. Upaya ini dimulai pada Tahun 2006. Ketika itu, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata mengundang Yayasan Cinta Bahari Indonesia sebagai operator Sail Indonesia untuk melakukan survei titik labuh di pesisir utara Kabupaten Ende. Lebih jauh dijelaskan oleh Rosalia J.E. Rae, SST. Par, Tim Teknis dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende. “Hasil survei menetapkan bahwa Pantai Mausambi layak sebagai titik labuh bagi kapal-kapal wisata (yacht). Beberapa kriteria yang dipenuhi adalah: posisi geografis, kedalaman, jarak dari pantai, dan dekat aktivitas masyarakat sehari-hari. Bertolak dari kondisi fisik itu, diajukan rencana kegiatan dan biaya untuk menjadi destinasi singgah di Tahun 2007, dan usulan itu terlaksana” (Wawancara 9 Juni 2013).
99
Penuturan itu mengungkapkan bahwa penetapan pantai Mausambi sebagai titik labuh bagi kapal-kapal wisata membawa berbagai konsekuensi. Salah satunya adalah konsekuensi peran pemerintah daerah dalam pengelolaan dan pendanaan kegiatan untuk pengembangan destinasi singgah Maurole. Di samping itu, ada konsekuensi pemerintah di bidang pemberdayaan masyarakat lokal dan kalangan industri dalam memanfaatkan peluang kehadiran kapal-kapal wisata.
Hal ini
dikemukakan oleh Yuliana Ruka, S.Sos, Kepala Bidang Pemasaran dan Promosi, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende. “Kami mengadakan sosialisasi/pendekatan dengan berbagai pihak terkait, baik dari kalangan industri maupun masyarakat. Di Maurole, diadakan beberapa kali pertemuan membahas berbagai hal mengenai kunjungan wisatawan melalui reli perahu layar international ini. Demikian juga pertemuan diadakan di berbagai titik-titik kunjungan wisatawan. Intinya memberikan informasi mengenai Sail Indonesia, peluang, dan peran yang dapat diambil oleh baik oleh masyarakat maupun kalangan industri” (Wawancara 16 Juni 2013). Partisipasi pemerintah bersifat memfasilitasi pemangku kepentingan lainnya. Pemerintah mengusahakan agar masyarakat dapat secara kreatif memanfaatkan peluang yang dapat memberikan manfaat ekonomi dan sosial budaya. Penegasan ini disampaikan oleh Maria W.P. Wangge, SST. Par, salah satu Tenaga Teknis di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende, sebagai berikut. “Pemerintah daerah melalui tim teknisnya menfasilitasi untuk menyampaikan dan memberi pemahaman kepada masyarakat, tokoh masyarakat, tokoh adat tentang pentingnya kegiatan Sail Indonesia. Implementasinya, Pemda memberi kesempatan khusus kepada masyarakat di kecamatan dan desa-desa titik kunjugan. Juga kepada pihak swasta yang terlibat untuk mencapai tujuan yang di harapkan melalui kegiatan Sail Indonesia” (Wawancara 10 Juni 2013).
100
6.4.2 Partisipasi Pelaku Usaha Partisipasi pemangku kepentingan dari pelaku usaha pariwisata yaitu biro perjalanan diwujudkan melalui penanganan kegiatan perjalanan wisata bagi peserta Sail Indonesia di tahun 2010 (Disbudpar, 2010). Pelaku usaha pariwisata yang juga terlibat adalah para pemilik sarana transportasi yang digunakan untuk mengangkut wisatawan. Kunjungan ke berbagai tempat menggunakan jasa angkutan milik masyarakat seperti bus, mini bus, dan bemo serta angkutan lainnya seperti bus kayu (lihat Tabel 5.1). Pelaku usaha pariwisata lain yang berpartisipasi adalah pramuwisata. Komunikasi yang dibangun dengan wisatawan dilakukan oleh pramuwisata. Mereka memberikan informasi mengenai destinasi singgah Maurole, fasilitasnya, kehidupan masyarakatnya, budayanya, atraksi wisatanya, dan pagelaran seni budayanya. Mereka juga mengatur perjalanan wisata, pemanduan (guiding), menjadi penerjemah bagi masyarakat lokal, dan menangani beragam informasi lainnya. Lebih jauh digambarkan oleh Ferdinandus E.K. Radawara, SST. Par., Ketua DPC HPI Kabupaten Ende: “Mulai tahun 2007 beberapa guide lokal berpartisipasi dalam melayani peserta Sail Indonesia. Di tahun awal penyelenggaraan itu, terdapat 13 orang tenaga guide. Ketika itu belum ada pramuwisata yang bersertifikat HPI di Ende. Mereka berasal dari beragam latar belakang, seperti guru, pegawai, tukang ojek, pekerja serabutan, dan mahasiswa. Namun, mereka memiliki kemampuan bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya dan sedikit pengalaman dalam memandu wisatawan. Para guide itu sebelumnya juga mendapat pelatihan singkat mengenai guiding technic. Mereka mengomunikasikan semua informasi yang perlu disampaikan kepada para wisatawan dan membantu wisatawan dalam banyak hal” (Wawancara 15 Juni 2013).
101
Partisipasi para pramuwisata ini memberikan dampak yang baik bagi destinasi singgah Maurole. Hal tersebut tercermin dari tulisan yang termuat dalam situs web: sailindonesia.net., yaitu: “During the day there were tours to the 3 coloured lakes at Mt. Kelimutu as well as nearby villages that specialise in such products as Arak/Moke (liquor distilled in bamboo pipes from palm sap), palm sugar, cocoa, coffee and other products. The scenery during these tours varied from paddy fields to lush jungle and spectacular mountain ranges. Excellent English speaking guides provided the commentary and information on village life and customs; they continued to look after our every need. (http://sailindonesia.net/history/history2008.php diakes 30 Mei 2013). Terjemahan: Selama hari itu, ada kunjungan ke danau 3 warna di Gunung Kelimutu, dan juga kampung yang memproduksi arak/moke (minuman keras dari air nira yang disaring dalam bambu), gula aren, coklat, kopi, dan produk lainnya. Pemandangan dalam perjalanan ini bervariasi mulai dari lahan persawahan, hutan lebat, dan barisan pegunungan yang mengagumkan. Pramuwisata dengan bahasa Inggris yang sangat baik memberikan komentar dan informasi tentang kehidupan dan adat di kampung; mereka terus memperhatikan setiap kebutuhan kami. 6.4.3 Partisipasi Masyarakat Partisipasi yang menonjol dalam Sail Indonesia di destinasi singgah Maurole adalah keterlibatan masyarakat di berbagai desa yang dikunjungi. Secara umum, masyarakat memperoleh informasi dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata tentang rencana kunjungan peserta reli perahu layar. Berdasarkan informasi yang diperoleh, masyarakat di desa tertentu menindaklanjutinya dengan pertemuan dan penyiapan lokasi kunjungan. Cyprianus Pepi, Kepala Desa Nualise, Kecamatan Wolowaru menjelaskan langkah-langkah yang ditempuh desanya. “Kami mengadakan pertemuan dengan mosalaki (tetua adat), tokoh masyarakat, tokoh agama, karang taruna, kelompok wanita, para kepala dusun, dan Badan Perwakilan Desa untuk membicarakan mengenai
102
rencana kunjungan wisata ke desa kami. Kemudian kami menyepakati kegiatan apa saja yang kami lakukan, pembagian tugas-tugas dan jadwal kerjanya” (Wawancara 8 Juni 2013). Pemaparan itu menunjukkan bahwa sejak awal masyarakat di desa dilibatkan untuk menangani kunjungan wisatawan peserta Sail Indonesia. Keterlibatan masyarakat sejak awal juga terjadi pada desa-desa lainnya yang dikunjungi. Polanya hampir sama. Desa menindaklanjuti informasi yang diterima melalui pertemuan di desa. Peserta yang hadir pun berasal dari lembaga kemasyarakatan di desa. Hal ini dituturkan oleh Ignasius Siga, Kepala Desa Otogedu: “Di sini (di Desa Otogedu), dua kali pertemuan diadakan sebelum kerja di lapangan dilakukan. Seluruh perwakilan dari lembaga kemasayarakatan di desa, tokoh masyarakat, mosalaki (tetua adat) dan lain-lain perwakilan hadir. Masyarakat desa perlu tahu apa yang akan terjadi di desa, sehingga mereka dengan senang hati ikut berpartisipasi. Melalui pertemuan itu, kami ingin memastikan jadwal kerja, pengisi acara, kebutuhan material, dan fasilitas dibicarakan secara matang, sehingga pelaksanaannya menjadi efektif dan berhasil” (Wawancara 12 Juni 2011). Keterlibatan masyarakat semakin nyata dalam pelaksanaan kegiatan, mulai dari saat tamu menginjakkan kakinya di desa atau kampung, sampai mereka meninggalkan desa. Masyarakat berusaha agar para tamu Sail Indonesia merasa nyaman dan senang mengunjungi desa atau kampung. Mosalaki (tetua adat) kampung Nuabela, Desa Mausambi, Lambertus Laka menuturkan: “Para tamu disambut dengan pengalungan luka (selendang tenun ikat) lalu diantar memasuki kampung dengan tarian yang diiringi feko genda (musik suling). Kemudian disambut para mosalaki (tetua adat) dengan bhea (pengucapan kata-kata selamat datang dalam bahasa daerah). Mereka diantar untuk melihat rumah-rumah ada dan diajak berpartisipasi dalam tarian adat bersama masyarakat. Mereka juga menikmati makan siang yang disiapkan oleh masyarakat menggunakan alat makan tradisonal yang dibuat di kampung Nuabela” (Wawancara 13 Juni 2013).
103
Hal ini mengungkapkan adanya partisipasi inisiai (Hoofsteede dalam Madiun, 2009). Hooffsteede menjelaskan bahwa dalam partisipasi inisiasi, masyarakat tidak sekedar menjadi objek pembangunan tetapi turut menentukan dan mengusulkan suatu rencana. Partisipasi ini timbul dari kehendak anggota masyarakat dan dorongan hati nurani. Melalui partisipasi ini, masyarakat ikut memelihara dan merasa ikut memiliki pembangunan di wilayahnya. Setiap desa memiliki kekhasannya dan berusaha menunjukannya kepada tamu yang datang. Desa Wologai Tengah mengemas partisipasi masyarakatnya dengan cara berbeda. Pada tahun 2007, kunjungan para wisatawan ke desa ini bertepatan dengan upacara mengatap keda (salah satu rumah adat). Wisatawan berkesempatan menyaksikan masyarakat mengikuti rangkaian seremoni adat. Masyarakat menyediakan pakaian adat bagi wisatawan dan mengenakannya sebelum memasuki kampung adat. Berikut penuturan Emilianus Linu, Kepala Desa Wologai Tengah: “Seperti biasa kami menyambut tamu rombongan dengan tarian Goro Tenga. Penarinya berasal dari sanggar yang ada di desa. Tamu diantar dengan tarian itu menuju kampung. Sebelum masuk kampung masyarakat menyiapkan pakaian adat untuk dikenakan para tamu. Perempuan memakai lawo lambu (kain tenun ikat dan baju untuk perempuan) dan laki-laki memakai luka ragi (kain tenun ikat untuk lakilaki dan selendang). Memasuki kampung disambut mosalaki (tetua adat) menuju kanga dan berkeliling sebanyak 7 putaran di kanga. Setelah itu tamu dipandu melihat deretan rumah adat dan masuk ke dalam rumah adat serta menyaksikan masyarakat memasang atap keda” (Wawancara, 20 Juni 2013). Uraian yang disampaikan itu mencerminkan adanya tahap persiapan dan pelaksanaan yang dilakukan oleh desa bersama masyarakatnya, dan adanya partisipasi masyarakat. Inskeep (dalam Timothy dan Tosun, 2003) menjelaskan
104
pola kerjasama ini merupakan salah satu perhatian dari beberapa bentuk pariwisata alternatif dan minat khusus, sosial budaya, dan lingkungan, dan kerena itu, partisipasi masyarakat diperlukan untuk memastikan bahwa kegiatan pariwisata bermanfaat dan bukan sebaliknya menggangu kehidupan masyarakat sehari-hari.
Gambar 6.5 Pemasangan Atap Rumah Adat di Wologai Tengah Sumber: Disbudpar Ende, 2007.
105
Terlihat bahwa partisipasi masyarakat memicu kreatifitas pengemasan atraksi bagi wisatawan. Partisipasi juga menunjukkan bahwa masyarakat memiliki kemampuan untuk memberikan pelayanan atau menunjukkan hospitality bagi wisatawan. Di samping itu, potensi pariwisata di suatu desa dapat lebih dimanfaatkan jika masyarakat, sebagai pemiliknya, dilibatkan sejak awal pengembangannya. Desa berikutnya yang dikunjungi peserta Sail Indonesia adalah Desa Waturaka di Kecamatan Kelimutu. Letak desa ini sangat strategis karena berada di jalur utama menuju Danau Kelimutu. Hal utama yang menarik di desa waturaka adalah panorama persawahannya.
Disamping itu, desa ini juga memiliki lahan
tanaman hortikultura berupa sayuran dan buah-buahan yang berpotensi menjadi atraksi wisata. Potensi atraksi wisata alam lainnya, yaitu air terjun dan pemandian air panas yang sangat mudah dijangkau. Tokoh masyarakat Waturaka, Alexander Wae menjelaskan tentang atraksi wisata yang dikemas dalam menyambut wisatawan Sail Indonesia. “Salah satu produk andalan di desa kami adalah tomat. Karena itu, kami mengajak wisatawan ikut memetik tomat. Kami sediakan keranjang untuk menaruh tomat yang dibuat dari anyaman daun enau dan daun kelapa. Kuliner yang kami sediakan pun bahannya kami ambil dari kebun di desa ini. Kami menghibur mereka dengan tarian dan nyanyian yang diiringi dengan alat musik sato yang dibuat oleh masyaratkat di desa ini” (Wawancara 9 Juni 2013). Kegiatan lain yang juga melibatkan wisatawan di Desa Waturaka adalah penanaman pohon gaharu di salah satu lokasi. Wisatawan dari setiap kapal wisata diberikan kesempatan untuk menanamkan satu anakan pohon gaharu. Penanaman pohon dan kegiatan memetik tomat yang dilakukan oleh wisatawan menunjukkan
106
bahwa bentuk interaksi antara wisatawan telah diupayakan oleh masyarakat setempat dengan memanfaatkan potensi produk dan lahan yang dimiliki desa. Model pengembangan aktivitas pariwisata ini, menurut Pujaastawa, et.al. (2005: 134) merupakan pariwisata berbasis potensi ekologi dan budaya pertanian yang diharapkan mampu memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat dan konservasi lingkungan.
Gambar 6.6 Peserta Sail Indonesia dan Tomat yang Dipetiknya di Waturaka Sumber: Dokumen Disbudpar, 2009 Partisipasi masyarakat juga terlihat di Desa Wolotopo Timur. Partisipasi itu ditunjukkan dengan penerimaan terhadap kunjungan dan ijin untuk memasuki rumah-rumah adat. Nikolaus Dee, tokoh masyarakat di Wolotopo Timur menguraikan tentang kunjungan wisatawan ke desanya.
107
“Selain berkeliling kampung melewati jalur yang sudah biasa dilewati oleh wisatawan, mereka juga berkunjung ke rumah adat Sa’o Sue dan Sa’o Atalaki serta lokasi keda kanga. Selain itu, wisatawan juga menyaksikan atraksi wisata pembuatan tenun ikat yang menjadi aktivitas harian yang dilakukan oleh sebagaian besar perempuan di kampung ini. Mereka juga menikmati kuliner lokal yang disiapkan oleh masyarakat setempat” (Wawancara 9 Juni 2013). Partisipasi masyarakat di sejumlah desa bukan hanya karena efektivitas manajemen semata, namun aspek lain turut memengaruhinya, yaitu aspek budaya. Ada nilai budaya yang turut mendukung keinginan masyarakat untuk berpartisipasi menyambut tamu yang mengunjungi kampungnya. Nilai budaya seperti yang dimaksudkan oleh Koentjaraningrat dalam Mbete et al., (2006: 21) yaitu konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat tentang hal-hal yang harus mereka anggap sebagai amat bernilai dan bermakna dalam hidup. Orang yang datang ke kampung (rumah) atau tamu yang berkunjung dianggap sebagai manusia yang bernilai bagi kehidupan karena itu harus diterima dengan baik. Itulah yang menyebabkan semua desa yang dikunjungi mengemas beragam acara penyambutan bagi wisatawan peserta Sail Indonesia. Hal ini dijelaskan oleh tokoh budaya Kabupaten Ende, Yakobus Ari: “Ata mai (orang yang datang/tamu) itu adalah ata ji’e (orang baik). Tamu dianggap membawa keselamatan. Sehingga semakin banyak tamu yang datang, diyakini semakin banyak rejeki yang akan diterima. Karena itu, tuan rumah mau menunjukkan kepada tamu bahwa mereka juga adalah orang baik yang bisa menerima tamu dengan baik. ‘Kita simo tamu naja ma’e re’e’ (kita terima tamu dengan baik agar nama kita tidak jelek). Menerima tamu dengan baik juga untuk jaga waka atau jaga waka nga’a (waka nga’a dapat dipahami sebagai taksu dalam tradisi Bali)” (Wawancara 21 Juni 2013).
108
Lebih jauh dijelaskan bahwa ada nilai saling membantu dalam menerima tamu. Tuan rumah akan didukung oleh tetangganya atau orang di kampungnya. Dengan kalimat lain, ada semangat menolong sesama untuk menerima ata ji’e. Tuan rumah mau mengatakan bahwa: “Saya di sini tidak sendiri. Kami banyak!” Penuturan ini mengungkapkan bahwa nilai budaya inilah yang mendasari semangat masyarakat untuk menerima kunjungan wisawatawan asing. Nilai ini memicu keinginan masyarakat desa untuk menunjukkan keberadaannya dan kebisaannya. Namun diakuinya, dewasa ini, nilai budaya seperti ini mulai luntur.
Gambar 6.7 Tetua Adat (Mosalaki) di Desa Nualise dan Peserta Sail Indonesia Sumber: Dokumen Disbudpar, 2009 Mencermati partisipasi masyarakat di berbagai desa, maka penting juga untuk memahami derajat keterlibatan masyarakat. Steck et al. dalam Weber dan Damanik (2001: 108 – 109) mengelompokkan partisipasi masyarakat berdasarkan derajat
keterlibatan
mereka
dalam
pengelolaan
usaha
pariwisata.
109
Pengelompokannya mencakup sifat partisipasi dan parameter masing-masing sifat partisipasi. Mereka membagi tiga sifat partisipasi yaitu: (1) partisipasi lansung, (2) partisipasi tidak langsung, dan (3) nol/tidak ada partisipasi. Pengelompokkan itu diadaptasi dalam penelitian ini untuk memahami parisipasi masyarakat di destinasi singgah Maurole seperti terlihat pada Tabel 6.5. Tabel. 6.5 Sifat Partisipasi Stakeholder Pariwisata dalam Sail Indonesia di Destinasi Singgah Maurole dan Parameternya. Sifat Partisipasi Langsung
Parameter 1. Masyarakat bekerja dalam kegiatan Sail Indonesia di areal titik labuh. Jenis pekerjaannya: petugas parkir, petugas keamanan, pemandu wisata, petugas penyambutan, petugas kebersihan, petugas jetty (dermaga apung), entertainer harian, dan tukang bangunan. 2. Masyarakat sebagai pengusaha atau pengelola jasa makan dan minum, atraksi seni budaya, transportasi, jasa binatu di areal titik labuh. 3. Masyarakat menikmati peluang untuk memperoleh pendidikan dan pelatihan pengelolaan Sail Indonesia, yaitu pelatihan guide, pelatihan masyarakat desa menuju desa wisata bahari. 4. Masyarakat menjadi pemandu wisata bekerjasama dengan BPW atau tour operator, khusus pada tahun 2010. 5. Masyarakat secara sukarela membantu penataan lokasi titik labuh dan penataan di desa-desa yang dikunjungi. Tidak langsung Masyarakat sebagai supplier bahan kebutuhan kegiatan Sail Indonesia dalam bentuk: a) bahan pangan (beras, sayur-mayur, buah-buahan, minuman, termasuk minuman khas moke atau arak lokal, gua aren, daging, dan ikan; b) bahan bangunan (bambu, kayu, pelepah daun kelapa, dan daun gebang); c) kerajinan tangan (pane atau peralatan makan dari tanah liat, topi anyaman, sedotan dari buluh, dan tenun ikat). Sumber: Diadaptasi dari Steck et al. (dalam Weber dan Damanik, 2001) dan Penelitian 2013
110
Partisipasi masyarakat yang terungkap dalam penelitian ini adalah partisipasi dari masyarakat yang secara nyata terlibat dalam kegiatan Sail Indonesia. Artinya tidak seluruh masyarakat di destinasi singgah maupun di desa-desa yang dikunjungi ikut dalam kegiatan Sail Indonesia. Masyarakat yang terlibat adalah masyarakat yang memiliki waktu dan kesempatan untuk berperan, memiliki keterkaitan dengan acara, misalnya sebagai anggota sanggar seni, menjadi pemasok kebutuhan bagi kegiatan Sail Indonesia, atau berperan sebagai petugas berbagai bidang di areal titik labuh atau dalam berbagai aktivitas terkait lainnya. Mencermati partisipasi masyarakat di Maurole yang merupakan destinasi singgah kapal-kapal wisata, terlihat bahwa masyarakat ikut menentukan pengelolaan destinasi singgah baik langsung maupun tidak langsung. Fakta ini selaras dengan penegasan Ardika (2005: 36) bahwa konsep community based tourism yang merupakan dasar dari sustainable tourism development mengandung pengertian bahwa masyarakat bukan lagi objek pembangunan, tetapi penentu pembangunan.
BAB VII FAKTOR-FAKTOR YANG MENDUKUNG PENGEMBANGAN DESTINASI WISATA LAYAR MAUROLE SEBAGAI PARIWISATA ALTERNATIF
Fakta mengenai potensi Maurole sebagai destinasi singgah, pengelolaannya, dan partisipasi pemangku kepentingan dalam pengelolaannya telah dipaparkan pada dua bab sebelumnya. Pemaparan itu, sesungguhnya mangantarkan kajian penelitian pada faktor-faktor yang mendukung pengembangan sebuah destinasi singgah dan hal-hal pokok yang perlu diperhatikan dalam perencanaan pengembangannya. Faktor pendukung yang akan dikaji meliputi: (1) faktor internal dan (2) faktor eksternal. Selanjutnya, dikaji hal-hal penting dalam perencanaan pengembangan Maurole sebagai destinasi wisata layar. 7.1
Faktor Internal Faktor internal mencakup empat hal, yaitu: (1) potensi Maurole sebagai
destinasi singgah, (2) pengelolaan Maurole sebagai destinasi singgah, (3) partisipasi pemangku kepentingan dalam pengelolaan Maurole sebagai destinasi singgah, dan (4) posisi geografisnya dalam rute kapal-kapal wisata. Faktor internal ini dianggap sebagai ‘kekuatan sebuah destinasi’ (Hermantoro, 2011: 77), ‘any feature or characteristic of a place they (tourists) might visit’ (Leiper, 1995). Dengan kalimat lain, faktor internal sesungguhnya merupakan gambaran keberadaan sebuah destinasi dengan segenap potensi dan pengelolaannya (services) yang melibatkan semua pemangku kepentingan di destinasi.
111
112
Salah satu kerangka analisa terhadap destinasi pariwisata adalah kerangka analisa 6A yang dibuat oleh Buhalis (2000: 98), yaitu accessibility (aksesibilitas),
attractions (atraksi),
amenities (amenitas), available package (paket
wisata yang tersedia), activities (aktivitas), dan ancillary services (pelayanan atau jasa yang digunakan). Dalam kerangka analisa ini terdapat empat unsur yang bisa disejajarkan dengan elemen 4A dari Cooper et al., (1996). Di samping itu, ada dua unsur dari kerangka analisa ini yang juga dapat mengungkapkan kekuatan destinasi Maurole. Pertama, unsur available package. Unsur ini terlihat dari pengelolaan kunjungan wisata dalam kegiatan Sail Indonesia. Kunjungan wisata ke berbagai atraksi wisata di sejumlah desa-desa telah disiapkan terlebih dahulu. Bertolak dari fakta kunjungan wisata seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, dapat dikatakan kekuatan destinasi Maurole terletak pada pengaturan kunjungan yang melibatkan masyarakat di desa-desa. Keterlibatan masyarakat memberi warna khas pada interaksi dengan wisatawan selama kunjungan. Interaksi yang tercipta
juga
merupakan
kekuatan
tersendiri.
Keterlibatan
masyarakat
dimungkinkan karena pengelolaan kunjungan wisata memang dirancang agar masyarakat bisa ikut berpartisipasi. Kedua, unsur aktivitas. Ini menyangkut kegiatan yang dilakukan wisatawan selama kunjungan. Di samping aktivitas melalui kunjungan wisata, wisatawan juga melakukan aktivitas lainnya seperti berbagi (sharing) keahlian dengan masyarakat. Hal ini diungkapkan Fransiskus Dafro, seorang guide Sail Indonesia dan saat ini juga menjadi pengurus Tourist Management Organization (TMO) Kabupaten Ende.
113
“Karakteristik para pelayar (yachties) memang beda. Mereka tidak saja mengunjungi sebuah tempat, namun juga ingin berbagi keahlian dengan masyarakat. Seperti yang terjadi di Maurole pada tahun 2009. Gagasannya justru datang dari yachties. Para pelayar yang ahli mesin memperbaiki mesin genzet dan peralatan kesehatan yang rusak di Puskesmas Maurole dan berbagi keahlian dengan masyarakat yang mengerti mesin, para pelayar yang pensiunan guru berbagi pengalaman dengan para guru di Maurole. Pelayar yang dokter ahli berkomunikasi dengan dokter, bidan dan perawat di Puskesmas Maurole” (Wawancara 12 Juni 2013). Model aktivitas ini bermanfaat bagi masyarakat sekaligus menciptakan pola kunjungan yang memperkaya pengalaman. Hal ini, menurut Jenings (2007: 34, 37) dimungkinkan karena wisatawan (yachters) memiliki motivasi petualangan, self actualization, dan kesempatan untuk berpartisipasi dalam jangka pendek untuk
memberikan
bantuan
(keahlian)
dan
mendukung
pengembangan
sumberdaya manusia. Karena itu, dalam pengembangan wisata layar, model aktivitas semacam ini diharapkan dapat dilaksanakan secara berlanjut. Misalnya dari aspek sosial bermanfaat bagi pemberdayaan masyarakat. Lagipula interaksi dengan wisatawan menciptakan pengalaman berwisata yang unik, baik bagi wisatawan maupun bagi masyarakat sendiri. Model ini sejalan dengan konsep pengembangan pariwisata alternatif yang khas di sebuah destinasi. Penelitian ini juga menemukan aktivitas kunjungan ke sekolah-sekolah oleh wisatawan. Kunjungan dilakukan baik dalam bentuk rombongan maupun secara individu untuk melihat aktivitas murid sekolah, menyumbangkan buku untuk perpustakaan sekolah dan berbagi pengalaman. Sekolah yang dikunjungi adalah SD Maurole, SD Watumesi, SDK Dile, SMPK Maurole, dan SMPK Marsudirini Detusoko (Disbudpar, 2007, 2008, 2009, 2010).
114
Hal berikutnya yang mendukung Maurole sebagai destinasi wisata layar adalah
bentuk
partisipasi
pemangku
kepentingan
khususnya
partisipasi
masyarakat. Pelayanan di titik labuh sebagian besar dilakukan oleh masyarakat. Pelayanan itu mencakup pelayanan akses dari laut ke darat yaitu di dermaga apung (floating dock/ jetty), pelayanan makan dan minum di areal titik labuh, jasa informasi pariwisata, jasa pengelolaan kunjungan wisata dan pemanduan (guiding), penjualan buah-buahan, sayur-mayur, penjualan kerajinan daerah, pelayanan penjualan bensin dan solar, jasa binatu, jasa kebersihan areal titik labuh sampai pada jasa pengamanan di areal titik labuh. Partisipasi masyarakat sangat nyata di desa-desa yang dikunjungi oleh wisatawan. Seluruh desa yang dikunjungi dikelola secara mandiri oleh masyarakat desa. Seluruh acara dirancang dan dilakukan langsung oleh masyarakat mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi sesuai dengan mekanisme kerja di desa. Pemerintah dalam hal ini Dinas Kebudayaan dan Pariwisata hanya memfasilitasi saja. Posisi Geografis Maurole dalam rute pelayaran, memungkinkan destinasi ini menjadi pilihan bagi kapal – kapal wisata untuk disinggahi, dalam pelayaran dari bagian timur menuju ke bagian barat Pulau Flores. Sebagai destinasi singgah, tentu saja Maurole memiliki titik labuh (anchorage). Titik labuh merupakan salah satu faktor yang mendukung destinasi wisata layar, bahkan merupakan syarat utama bagi destinasi singgah kapal-kapal wisata. Tentang hal ini, Raymond T. Lesmana, Ketua Dewan Pengurus Yayasan Cinta Bahari Antar Nusa sekaligus sebagai Tenaga Ahli Pengembangan Wisata Layar Nasional di Direktorat Jenderal
115
Pengembangan Destinasi Pariwisata, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menjelaskan: “Hanya lokasi yang memenuhi syarat sebagai titik labuh-lah yang layak dijadikan destinasi wisata layar. Syaratnya mencakup beberapa hal, yaitu: (1) kedalaman air antara 5 – 20 meter pada saat surut terendah; (2) dasar laut bukan karang/terumbu karang; (3) tidak menghalangi aktivitas pelabuhan atau aktivitas masyarakat nelayan; (4) lokasi labuh tidak lebih dari 200 meter dari garis pantai; (5) tidak pada lokasi arus kuat; (6) tidak terkena hempasan angin dan gelombang; (7) adanya penerimaan dari masyarakat setempat; (8) tersedianya supply kebutuhan antara lain bahan bakar, air bersih dan air minum; (9) adanya sarana humaniter – WC dan kamar mandi; (10) aksesibilitas; (11) bank/ ATM; (12) telekomunikasi dan akses internet; dan (13) keamanan, kenyamanan dan keakraban dari masyarakat setempat” (Wawancara 19 Juni 2013). Hasil survei yang dilakukannya bersama tim teknis dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende pada tahun 2006, menetapkan titik labuh di Pantai Mausambi di Kecamatan Maurole layak menjadi destinasi singgah bagi kapalkapal wisata jenis yacht. Mulai tahun 2007, Pantai Mausambi, yang berada pada koordinat 8° 30' 36'' S, 121° 48' 56'' E, menjadi titik labuh bagi para peserta reli kapal layar internasional Sail Indonesia. Karena itu, Maurole menjadi salah satu akses bagi kapal wisata di Kabupaten Ende, dan dalam rute pelayaran, posisi Maurole berada di antara destinasi singgah Maumere di Kabupaten Sikka dan destinasi singgah Riung di Kabupaten Ngada (Disbudpar, 2007) Dalam konteks Sail Indonesia yacht merupakan alat trasportasi utama yang digunakan wisatawan untuk mencapai Maurole, dan sekaligus merupakan tempat tinggal utama selama kunjungan mereka. Secara konseptual, menurut McIntosh (dalam Yoeti, 2008: 173) salah satu jenis transportasi yang termasuk dalam komponen supply di destinasi adalah yacht. Dengan karakteristik ini, posisi geografis yang ditunjang keberadaan titik labuh, merupakan faktor yang
116
mendukung keberaadan Maurole sebagai destinasi wisata layar. Karena itu, pengembangan aksesibilitas di Maurole, diharapkan mencakup prasarana akses dari laut, dan prasarana serta sarana transportasi di darat. Faktor internal, yang merupakan faktor pendukung (supporting factors) seperti yang telah dikemukakan, mengarahkan pada pemahaman akan beberapa hal berikut. Pertama, seluruh elemen dalam faktor internal secara nyata telah memberikan dukungan bagi keberadaan Maurole sebagai destinasi yang dikunjungi oleh kapal-kapal wisata. Dalam kaitannya dengan dengan siklus hidup destinasi pariwisata (Butler, 1996), dan kenyataan bahwa Maurole berada dalam tahap involvement, maka perencanaan pariwisata diharapkan dilakukan dengan menyesuaikan dengan tahap perkembangan ini. Dengan kalimat lain, faktor internal yang mendukung keberadaan Maurole sebagai destinasi wisata layar merupakan salah satu referensi dalam pembuatan rencana pengembangan destinasi. Kedua, faktor internal itu merupakan sesuatu yang turut memotivasi kunjungan ke Maurole melalui reli wisata layar. Disebut ‘turut memotivasi’ karena peserta reli wisata layar diberikan kebebasan untuk singgah atau tidak singgah di sebuah destinasi. Kebebasan ini merupakan ciri dari reli wisata layar, seperti yang termuat dalam situs http://sailindonesia.net: “You are welcome to participate in all events and stopovers after your first port of entry in Kupang or Saumlaki, as the Indonesia Organising Committee at each port will provide you with hospitality, reception and festivities. You do not have to participate in all the events and the stopovers on our rally as there will simply not be enough time, you can just join the events that suit your schedule” (diakses 12 Maret 2013).
117
Terjemahan: Anda boleh saja berpartisipasi dalam semua acara di titik singgah setelah pelabuhan pintu masuk Kupang atau Saumlaki, karena panitia penyelenggara di Indonesia, di setiap pelabuhan, akan memberikan hospitality, penerimaan, dan berbagai perayaan. Anda tidak harus berpatisipasi di semua acara di titik singgah dalam reli ini, karena tidak cukup waktu. Anda bisa ikut acara yang sesuai dengan jadwal anda. Berdasarkan tulisan itu dapat dikatakan bahwa keputusan untuk singgah di sebuah destinasi, salah satunya ditentukan oleh daya tarik atau kekuatan faktor internal. Daya tarik atau kekuatan yang mencakup potensi, pengelolaan, partisipasi masyarakat, dan posisi geografis sebuah titik singgah Sail Indonesia dipromosikan baik oleh operator reli kapal wisata melalui media internet, dan promosi oleh wisatawan yang telah mengunjungi Maurole secara word of mouth. Ketiga, fakta pengelolaan dan partisipasi masyarakat di Maurole telah memicu keyakinan pemangku kepentingan akan kekuatan destinasi singgah. Keyakinan itu menjadi modal mental yang besar dalam upaya pengembangan seluruh sumber daya pariwisata yang ada di destinasi. Hal ini terungkap dari apa yang dikemukakan oleh Damianus Deda, tokoh masyarakat Kecamatan Maurole: “Sudah saatnya pengelolaan dilakukan penuh oleh masyarakat di lokasi titik labuh agar masyarakat dapat mengalami proses pembelajaran. Pemerintah hanya perlu memfasilitasi dengan membangun sarana dan prasarana kebutuhan sebuah titik labuh. Untuk pengembangannya perlu ada pelatihan pengelolaan pariwisata bagi masyarakat lokal dan pemberian kredit lunak bagi pelaku usaha pariwisata setempat” (Wawancara 14 Juni 2013). Hal tersebut sejalan dengan penegasan Timothy dan Tosun (2003: 3) bahwa partisipasi aktif dan langsung dari masyarakat setempat dalam kegiatan yang terkait dengan wilayahnya merupakan wahana yang sangat diperlukan untuk pembelajaran publik.
Melalui pembelajaran publik
diharapkan semakin
118
meningkatkan kemandirian masyarakat, dan untuk memastikan kemandirian itu, maka pemerintah dituntut untuk memfasilitasinya, antara lain melalui program pelatihan keterampilan dan dukungan pendanaan. Dalam teori perencanaan, pembalajaran publik (public education) dapat diwujudkan “melalui pendekatan swadaya masyarakat (community approach)” (Paturusi, 2008: 47). Ia menjelaskan, pendekatan ini melibatkan masyarakat mulai dari proses perencanaan, membuat keputusan, pelaksanaan, sampai pengelolaan pengembangan pariwisata. 7.2
Faktor Eksternal Faktor eksternal adalah fakta-fakta yang terdapat di luar destinasi singgah
Maurole (di luar potensi, pengelolaan, partisipasi pemangku kepentingan lokal di Maurole) yang dianggap memengaruhi dan turut menentukan pengembangan destinasi wisata layar. Hal ini dengan sangat gamblang diungkapkan oleh Raymond T. Lesmana, Tenaga Ahli Bidang Wisata Layar, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif: “Sangat perlu difahami bahwa kapal layar mempunyai karakteristik tersendiri. Kapal layar memerlukan lintasan dan singgahan. Oleh karena itu, kita tidak bisa bicara hanya Pulau Flores saja (atau Maurole saja) tapi dari mana mereka ke Flores dan kemana mereka pergi sesudah Pulau Flores sangat memengaruhi kehadiran mereka” (Wawancara 19 Juni 2013). Penuturan itu juga mau mengungkapkan bahwa sebuah destinasi wisata layar tidak bisa berdiri sendiri. Destinasi itu berada dalam rangkaian rute pelayaran dan sangat bergantung pada keberadaan rute pelayaran itu. Ditelusuri lebih jauh, rute pelayaran sangat bergantung pada pintu masuk dan pintu keluar (entry dan exit port). Pintu masuk bagi kapal wisata juga sangat tergantung dari mana kapal itu masuk (transit route dan traveller generating region).
119
Salah satu pendekatan dalam teori perencanaan adalah pendekatan sistem. Menurut Paturusi (2008: 46) “pariwisata dilihat sebagai suatu sistem yang saling berhubungan”, dan “komponen pariwisata sangat kompleks, di mana setiap komponen merupakan suatu sistem”.
Karena itu, faktor eksternal dalam
penelitian ini dapat dipandang sebagai juga sebagai suatu sistem yang berkaitan dengan system kepariwisataan secara keseluruhan. Penelitian ini menemukan faktor eksternal yang mendukung pengembangan destinasi wisata layar Maurole, yakni: (1) kebijakan pemerintah, (2) sistem wisata layar, (3) persepsi wisatawan, (4) wisata layar sebagai pemicu pengembangan destinasi. Masing – masing faktor itu akan diuraikan berikut ini. 7.2.1 Kebijakan Pemerintah Kebijakan pemerintah pusat yang dimaksud adalah kebijakan yang terkait dengan regulasi. Pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden No. 79 Tahun 2011 tentang masuknya kapal wisata (yacht) asing ke Indonesia. Disebutkan dalam regulasi itu bahwa dalam rangka mengembangkan industri wisata bahari dan meningkatkan perekonomian masyarakat pesisir, pulau-pulau kecil, dan perairan pedalaman, perlu diberikan kemudahan bagi kapal wisata (yacht) asing yang berkunjung ke Indonesia. Kemudahan yang diberikan itu seperti tertuang dalam pasal 2 angka (1), yaitu: “Kapal wisata (yacht) asing beserta awak kapal dan/atau penumpang termasuk barang bawaan dan/atau kendaraan yang akan memasuki wilayah perairan Indonesia dalam rangka kunjungan wisata diberikan kemudahan di bidang Clearance and Approval for Indonesian Territory (CAIT), kepelabuhanan, kepabeanan, keimigrasian, dan karantina.”
120
Seterusnya peraturan itu mengatur detail kemudahan yang mencakup lima bidang (CAIT, Custom, Immigration, Quarantine, Port). Dengan demikian, kebijakan di bidang regulasi ini akan memberikan pengaruh yang positif bagi upaya peningkatan kunjungan kapal wisata asing ke Indonesia. Tentu saja, destinasi wisata layar seperti Maurole pun akan mengalami dampak dari pengaturan itu khususnya dalam rangka pengembangannya. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Raymond T. Lesmana, Tenaga Ahli Bidang Wisata Layar Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif: “Perpres No. 79 Tahun 2011 tentang kunjungan kapal wisata (yachts) asing ke Indonesia harus menjadi pemicu yang paling dasar dan paling kuat untuk semua pihak (yang terlibat dalam pengembangan wisata layar dan wisata bahari pada umumnya) di Indonesia. Perpres ini menjadi salah satu solusi untuk mengatasi masalah dan kendala yang timbul dalam pengembangan destinasi wisata layar” (Wawancara 19 Juni 2013). Bagi Maurole, kemudahan dalam rangka kunjungan wisata melalui laut merupakan jaminan jangka panjang untuk pengembangan destinasi wisata layar. Dengan kalimat lain, regulasi yang mangatur kemudahan kunjungan wisata merupakan faktor yang mendukung pengembangan wisata layar. Ia merupakan dasar pengembangan dan selanjutnya pengembangan itu dilakukan di atas kondisikondisi eksternal yang memungkinkan. 7.2.2 Sistem Wisata Layar Penelitian ini menemukan bahwa kehadiran kapal-kapal wisata asing di Maurole tidak terlepas dari keberadaan destinasi singgah lainnya di Indonesia. Keputusan yang dibuat sebuah kapal untuk singgah di Maurole misalnya, sangat tergantung pada pengalaman yang didapatnya mulai dari entry port (pintu masuk) di Kupang dan destinasi-destinasi lain sebelum Maurole misalnya Alor, Lembata,
121
dan Maumere, dan destinasi-destinasi sesudah Maurole, misalnya Riung, Labuan Bajo, Lovina dan lain-lain. Apalagi penanganan berbagai kegiatan di destinasi singgah telah diatur dalam jadwal acara Sail Indonesia mulai dari pintu masuk sampai pintu keluar. Kenyataan ini memberikan gambaran bahwa wisata layar yang berkembang di Indonesia hingga saat ini mempunyai sistem tersendiri. Oleh karena itu, untuk memahami sistem itu digunakan model sistem pariwisata (whole tourism system) dari Leiper (2004) dan hirarki geografis destinasi (geographic hierarchy of destinations for multi-destination itineraries) dari Lamont (2008: 11). Leiper (2004) menyebutkan ada tiga elemen pokok dalam sistem pariwisata yaitu: (1) wisatawan; (2) tiga elemen geografis yakni: traveller – generating region (TGR), transit route (TR), dan tourist – destination region (TDR); dan (3) elemen industri pariwisata. Dalam konteks Sail Indonesia dengan mengacu pada keberadaan berbagai destinasi singgah termasuk destinasi Maurole maka TGRnya adalah negara-negara asal peserta Sail Indonesia. Tercatat ada 21 negara asal peserta reli di tahun 2007 dengan total 123 kapal (Disbudpar, 2007). TR-nya adalah Darwin – Australia sebagai titik start reli wisata layar internasional. Darwin tidak saja menjadi TR, namun juga menjadi ‘enroute tourism destination atau tujuan wisata antara’ (Pitana dan Diarta, 2009: 59), karena kapal-kapal itu berada di Darwin untuk waktu tertentu dan melakukan berbagai acara terkait seperti farewell barbeque dan rally briefing (http://sailindonesia.net). TDR-nya adalah Indonesia dengan sejumlah destinasi singgah (multi-destinations) dalam rute pelayaran.
122
Pemahaman lebih jauh mengenai tourist destination region dalam reli wisata layar ini, seperti sudah diutarakan sebelumnya, akan menggunakan hirarki geografis destinasi. Lamont (2008: 11) melakukan penelitian dengan objek kajian tentang bicycle tourism. Objek kajiannya memang jauh berbeda dengan penelitian ini, namun kerangka pemahaman terhadap destinasi yang dipakainya dianggap sesuai untuk kajian dalam penelitian ini. Lamont menyebutkan hirarki geografis destinasi terdiri dari: destination area, tourist destinasion region, dan node destination. Diuraikannya, destination area memiliki entry dan exit point. Di Indonesia, terdapat 18 entry dan exit port sesuai dengan Perpres No. 79 Tahun 2011. Salah satunya adalah Kupang yang menjadi entry port bagi kapal wisata yang sebelumnya berada di transit route Darwin. Sebagian besar kapal yang singgah di Maurole melalui jalur entry port ini sejak tahun 2007. Lebih jauh Lamont memaparkan sebuah destination area dipilih oleh wisatawan karena memiliki karakter yang sesuai dengan aktivitas wisatawan itu. Misalnya, untuk bicycle tourism sebuah destinasi dipilih karena memiliki jalur bersepeda. Demikian juga dengan destinasi bagi kapal-kapal layar; dipilih karena mempunyai jalur pelayaran. Pilihan terhadap Indonesia karena Indonesia memiliki jalur pelayaran, bahkan dikenal sebagai negara dengan arena wisata layar terbesar di dunia. Tingkatan berikutnya adalah tourist destinastion regions. Menurut Lamont, secara alamiah sama dengan konsep TDR dari Leiper yaitu merupakan tujuan perjalanan wisata. Biasanya tujuan wisata merupakan daerah dengan keunikan tersendiri yang berbeda dengan daerah lain dalam hal budaya, sejarah alam dan
123
sebagainya (Pitana dan Diarta, 2009: 59). Dalam kerangka wisata layar, TDR adalah destinasi – destinasi singgah yang merangkai untaian jalur wisata layar di perairan laut Indonesia. Keunikan sebagai daya tarik wisata di berbagai destinasi singgah Indonesia membentuk keunikan Indonesia sebagai suatu destination area. Hal inilah yang menjadi energi utama yang mengakibatkan permintaan akan perjalanan wisata bagi traveller generating region (Pitana dan Diarta, 2009:59). Selanjutnya, tingkatan ketiga oleh Lamont disebut node destinations. Dalam konsepnya, node destinations merupakan tempat yang digunakan oleh wisatawan (bicycle tourist) untuk bermalam, menggunakan fasilitas dan jasa-jasa wisata, beristirahat memulihkan tenaga, atau memperbaiki kendaraan yang digunakan. Dalam penelitian ini, node destinations-nya adalah desa-desa yang dikunjungi oleh wisatawan dalam perjalanan wisata di darat. Tempat-tempat yang dikunjungi itu hanya untuk tujuan kunjungan wisata, bukan sebagai tempat menginap. Wisatawan dalam reli wisata Sail Indonesia menginap di kapal mereka yang berlabuh di titik labuh destinasi singgah. Oleh karena itu, fungsi node destination dalam penelitian ini berbeda dengan fungsi node destinations dalam pemahaman Lamont. Gambar 7.1 memperlihatkan hirarki geografis destinasi wisata layar berdasarkan hirarki yang dikembangkan oleh Lamont. Secara ringkas, cakupan geografis yang lebih luas yaitu destination area, disejajarkan dengan destinasi Indonesia (wilayah perairan laut Indonesia). Tourist destination region disejajarkan dengan destinasi singgah (destinasi wisata layar). Dalam pengertian ini, Maurole merupakan salah satu dari berbagai destinasi singgah di Indonesia.
124
Node destination disejajarkan dengan desa-desa yang dikunjungi di destinasi singgah (misalnya Desa Otogedu, Desa Wologai tengah, dan Desa Wolotopo). Destination Area
Destinasi Indonesia
Tourist Destination Region
Destinasi Singgah
Node Destination Desa-desa yang dikunjungi
Gambar 7.1 Hirarki Geografis Destinasi Wisata Layar Sumber: Diadaptasi dari geographic hierarchy of destinations for multidestination itineraries (Lamont, 2008: 11) Selanjutnya, Gambar (7.2) memperlihatkan wisata layar yang dilukiskan sebagai sistem pariwisata.
Departing travellers Traveller Generating Region
Transit Route Region Returning Travellers
Destination area Tourist Destination Region Environments: human, socio-cultural, Economic, Technology,physical, political, legal, etc
Desa-desa kunjungan Saiing route
Gambar 7.2. Wisata Layar yang Dilukiskan sebagai Sistem Pariwisata Sumber: Diadaptasi dari Leiper (2004: 5) dan Lamont (2008: 17)
125
7.2.3 Persepsi Wisatawan Sebagaimana disebutkan sebelumnya, wisatawan merupakan salah satu elemen pokok dalam sistem pariwisata. Bila dirujuk ke sistem wisata layar, maka para
pelayar
(yachtperson)
merupakan
salah
satu
elemen
pokoknya.
Konsekuensinya, persepsi wisatawan terhadap sebuah destinasi wisata layar menjadi sangat penting. Persepsi wisatawan merupakan salah satu aspek sosiologis dalam kajian tentang wisatawan (Gayatri dan Pitana, 2005: 77). Keduanya menambahkan bahwa unsur yang dinilai wisatawan antara lain: kebersihan lingkungan, komunikasi/bahasa, kemudahan memperoleh informasi, fasilitas angkutan umum, hal yang bisa dilihat dan dilakukan, keamanan, pedagang asongan, kriminalitas, pelestarian lingkungan, dan lainnya. Penelitian ini tidak melakukan kajian aspek sosiologis itu secara mendalam, namun kajian hanya dilakukan terhadap pendapat-pendapat lepas dari wisatawan yang pernah berkunjung ke Maurole, atau pun yang pernah mengarungi rute pelayaran Sail Indonesia. Sumbernya adalah tulisan di internet (website dan blog), dan kesan-kesan yang dituliskan oleh wisatawan dalam buku tamu yang disiapkan oleh salah satu informan yang berkedudukan di Pantai Mausambi. Sejumlah penilaian tentang destinasi singgah Maurole diuraikan dengan cara memecah-mecah penilaian itu ke dalam beberapa bagian berdasarkan unsur yang dinilai. Tabel 7.1 menampilkan unsur yang dinilai dan subtansi penilaian terhadap unsur itu.
126
Tabel 7.1 Penilaian terhadap Destinasi Singgah Maurole berdasarkan Unsur yang Dinilai No Unsur 1 Titik Labuh
2 3
4
5 6
7
8
9
10
Substansi Penilaian “This is an open anchorage and the east wind of up to 20 knots which assisted most yachts in reaching this area then produced a rolly anchorage for the next few days, these conditions are infrequent but when they occur the anchorage is uncomfortable….” Pemerintah “The Regent (local Governor) went to great lengths to ensure we were welcome.” Fasilitas “Considerable facilities had been specially built for this event, a substantial dinghy dock, large circular dining area, entertainment stage, first aid centre, stalls for fruit and vegetables, cafe and craft.” Acara “The program was extensive and well organised including the non usual welcome ceremony, gala dinner, entertainment, dancing and singing. Yachties were always encouraged to join in or sing….” Pengisi “A very good backing group of male musicians kept the acara guests fully entertained.” Perjalanan “During the day there were tours to the 3 coloured lakes at wisata Mt. Kelimutu as well as nearby villages that specialise in such products as Arak/Moke (liquor distilled in bamboo pipes from palm sap), palm sugar, cocoa, coffee and other products. The scenery during these tours varied from paddy fields to lush jungle and spectacular mountain ranges.” Pemandu “Excellent English speaking guides provided the commentary wisata and information on village life and customs; they continued to look after our every need.” Pelayanan “A crew member became quite ill and despite being put on a Kesehatan drip did require hospitalisation for two days. The care provided was excellent and visitors included the Regent complete with entourage and a string of doctors, nurses and members of the organising committee.” Penjualan “The fruit and vegetables available in the stalls were high sayur dan quality.” buah Keramahta “The thoughtfulness, generosity and extent to which villages mahan go to look after us are overwhelming.”
Sumber: Diolah dari http://sailindonesia.net/history/history2008.php diakses 12 Juni 2013.
127
Gambar 7.3 Titik Labuh Pantai Nanganio Sumber: Penelitian, 2013 Walaupun tulisan yang dimuat di situs internet http://sailindonesia.net itu bersifat penilaian umum, namun seperti terlihat, ada 10 unsur yang dinilai atau diberi komentar di destinasi singgah Maurole, dan keseluruhannya memberikan kesan tentang apa yang terjadi di Maurole. Sebagai sebuah fakta yang tertulis dan dapat diakses oleh siapa saja dan di mana saja, maka tulisan itu tentu memberikan kesan tersendiri bagi pembacanya. Apa pun kesan yang muncul di benak pembaca (para yachtperson), kesan itu berpengaruh bagi proses pengambilan keputusan untuk singgah atau tidak di Maurole. Karena itulah maka persepsi wisatawan dianggap sebagai faktor eksternal yang mendukung keberadaan sebuah destinasi wisata layar. Pendapat atau komentar lainnya menyoroti pengalaman yang didapat dari perjalanan wisata yang dilakukan di desa-desa di Kecamatan Maurole. Ada hal – hal menarik dari pengalaman mereka.
128
“We visited the traditional villages of Otogedu, Nuabela and Detuara where they produce local products such as palm sugar, cashew nuts, moke (a local spirit distilled from juice from the sugar palm) pottery and candle nuts which unfortunately gave many of the yachties including us upset tummies as we think they are to be used in cooking and not eaten raw as most of us did. At each village we were entertained by dancers and music and had the opportunity to sample some of their culinary delights” (Seven Heaven, 2008). Terjemahan: "Kami mengunjungi desa tradisional Otogedu, Nuabela dan Detuara yang menghasilkan produk lokal seperti gula aren, kacang mete, moke (minuman keras lokal yang disuling dari sari gula aren), tembikar dan kemiri. Banyak dari kami merasa mual karena memakan kemiri mentah padahal seharusnya dimasak terlebih dahulu. Di setiap desa kami dihibur oleh penari dan musik dan berkesempatan untuk mencicipi beberapa kuliner mereka" Komentar itu mengenai pengalaman yang didapat oleh wisatawan dan sekaligus merupakan kekhasan pengelolaan perjalanan wisata di Maurole. Masyarakat lokal pun mendapatkan pengalaman dari interaksi mereka dengan wisatawan. Pola ini sejalan dengan konsep pariwisata alternatif yang dikemukakan oleh Fennel dan Dowling (2003: 2) yaitu suatu bentuk pariwisata yang dirancang untuk selaras dengan alam, sosial, dan nilai-nilai masyarakat yang memungkinkan masyarakat lokal dan wisatawan menikmati interaksi yang positif dan bermanfaat serta saling berbagi pengalaman. Komentar berikutnya diperoleh dari wisatawan yang berkunjung ke Maurole dalam Tahun 2011. Komentar ini dimuat dalam buku tamu yang disiapkan oleh pemandu wisata lokal di Mausambi. Salah satunya ditulis oleh wisatawan dari kapal wisata bernama Jangada. “We have been very very well welcomed by Vincent (speaking good English) and his family even at home. The visit of the Saturday pasar and the two villages – OTOGEDU and NUABELA was very interesting. The call in Maurole/Mausambi is made for knowing/discovering
129
authentic life in the traditional villages. Thanks a lot to Vincent and his family for this very very kind welcoming. We will recommend to others sailing boats to stop in this bay” (Atabala, 2011). Terjemahan: "Kami diterima dengan sangat sangat baik oleh Vincent (berbicara bahasa Inggris dengan baik) dan keluarganya di rumah mereka. Kunjungan ke pasar di hari Sabtu dan dua desa - OTOGEDU dan NUABELA sangat menarik. Kunjungan di Maurole/Mausambi dilakukan untuk mengetahui/menemukan kehidupan sejati di desa-desa tradisional. Terima kasih banyak untuk Vincent dan keluarganya atas penyambutan yang sangat sangat baik. Kami akan merekomendasikan kepada orang lain untuk singgah di teluk ini" Apresiasi wisatawan terhadap pelayanan yang mereka rasakan sangat berdampak bagi promosi suatu destinasi singgah. Pernyataan wisatawan yang dikutip sebelumnya bahwa ia akan merekomendasikan kepada kapal-kapal lainnya untuk singgah di Mausambi membuktikan hal itu. 7.2.4 Wisata Layar sebagai Pemicu Pengembangan Destinasi Penelitian ini juga menemukan bahwa wisata layar yang terwujud melalui kegiatan Sail Indonesia memicu pengembangan destinasi singgah Maurole. Seperti diuraikan sebelumnya, pemerintah daerah Kabupaten Ende menyadari bahwa pesisir utara wilayah kabupaten Ende telah menjadi pintu masuk atau akses bagi kapal-kapal wisata asing. Kehadiran kapal-kapal itu mendorong pemerintah untuk mengembangkan berbagai atraksi wisata yang dapat diakses dari Maurole. Aktivitas kepariwisataan di darat yang dijalani para peserta Sail Indonesia yang singgah di Maurole sangat beragam dan bervariasi sesuai kondisi dan kekayaan wisata tiap desa yang dikunjungi. Dalam tujuh tahun penyelenggaraan Sail Indonesia di Kabupaten Ende, para peserta mengunjungi sejumlah atraksi wisata. Atraksi wisata utama yang dikunjungi adalah Danau Tiga Warna
130
Kelimutu. Hal ini menggambarkan bahwa akses ke Kelimutu secara nyata bisa dicapai melalui Maurole di pantai utara, tidak hanya secara konvensional dicapai melalui Maumere ataupun melalui Kota Ende. Demikian pula ia membuka peluang bagi masyarakat, jasa tour operator atau biro perjalanan untuk mengembangkan paket-paket perjalanan wisata yang bervariasi. Pada Tahun 2007 (tahun pertama penyelenggaraan), peserta reli layar internasional yang singgah di Maurole mengunjungi empat tempat baru yaitu Otogedu, Nuabela-Watukamba, Dusun Detuara, dan mengunjungi Desa Tanali. Sebelum Sail Indonesia masuk Maurole, keempat tempat itu sama sekali tidak pernah terpikirkan bisa menjadi lokasi yang dikunjungi wisatawan asing. Apalagi oleh kelompok wisatawan asing yang masuk melalui laut di pantai utara. Dengan demikian pengembangan tempat-tempat baru dalam rangka Sail Indonesia menjadi salah satu alternatif model pengembangan destinasi wisata daerah. Pengelolaan lokasi kunjungan peserta Sail Indonesia di desa-desa melibatkan partisipasi masyarakat setempat. Mulai dari tahap persiapan, pelaksanaan sampai pada evaluasinya. Sehingga konsep-konsep sapta pesona atau sadar wisata tidak hanya berhenti pada tataran penyuluhuan tetapi langsung diimplementasikan oleh masyarakat sendiri. Wisatawan asing yang tergabung dalam peserta reli layar internasional memiliki karakteristik tersendiri. Mereka sangat ingin melihat daerah yang dikunjungi sebagaimana realitas kesehariannya. Karena realitas apa adanya itu, bagi mereka, merupakan keunikan yang ingin dilihat, diamati, dipelajari dan
131
dinikmati. Tentang hal ini, Raymond T. Lesmana, Tenaga Ahli Bidang Wisata Layar, Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menuturkan: “Yang perlu disiapkan dan yang paling penting adalah menjadi diri sendiri karena para pelayar dunia datang ke Maurole untuk melihat budaya, manusia dan kehidupannya, alam Maurole dan bukan lainnya” (Wawancara 19 Juni 2013). Karena itu, menurutnya, strategi penyelenggaraan wisata layar adalah membangun program yang implementatif terhadap kebijakan dan kondisi masyarakat setempat dengan tidak merubah kondisi apapun yang ada, bahkan semaksimal mungkin memakai atau mengakomodasi kebijakan lokal. Strategi ini diharapkan akan mendongkrak potensi yang ada di semua sektor seperti potensi alam, budaya, sumberdaya manusia, dan produk lokal. Fakta dari penelitian ini menunjukkan bahwa peran faktor internal dan faktor eksternal yang mendukung Maurole sebagai destinasi wisata layar sangat menentukan keberadaan dan pengembangan sebuah destinasi wisata layar. Seluruh elemen dari faktor yang mendukung – internal maupun eksternal – saling memengaruhi satu sama lainnya. Faktor internal memengaruhi faktor eksternal dan berlaku sebaliknya. Elemen dalam faktor internal pun saling memengaruhi, demikian pula dengan elemen dalam faktor eksternal. Dengan kalimat lain, seluruh elemen faktor yang mendukung Maurole sebagai destinasi wisata layar berada dalam kondisi yang saling memengaruhi. Keragaman atraksi wisata di Maurole memengaruhi pengelolaan perjalanan wisata. Hal ini dapat dilihat pada penyesuaian paket wisata dengan jenis atraksi di tempat yang dikunjungi. Sebaliknya, kunjungan wisatawan ke desa-desa memicu kreativitas masyarakat di desa itu.
132
Demikian juga halnya dalam faktor eksternal. Kebijakan pemerintah berperan dalam
menentukan
keberadaan
wisata
layar
sebagai
pemicu
pengembangan destinasi. Kemudahan masuknya kapal wisata ke wilayah Indonesia mendorong destinasi-destinasi yang disinggahi oleh kapal wisata berupaya untuk mengembangkan destinasinya. Sebaliknya, pengembangan wisata layar dapat merangsang lahirnya kebijakan tertentu dari pemerintah. Gambar 7.4 memperlihatkan hubungan yang saling memengaruhi di antara berbagai elemen faktor yang mendukung pengembangan destinasi wisata layar di Maurole.
Wisata layar sebagai pemicu pengembangan destinasi
Kebijakan pemerintah
Posisi geografis
Potensi Destinasi
Pengelolaan destinasi
Partisipasi stakeholder s
Persepsi wisatawan
Sistem wisata layar
Keterangan tanda: : Faktor eksternal : Destinasi Wisata Layar : Faktor internal : Hubungan langsung dua arah : Hubungan langsung dua arah
Gambar 7.4 Model Faktor Internal dan Faktor Eksternal yang Mendukung Pengembangan Maurole sebagai Destinasi Wisata Layar
133
7.3
Rencana Pengembangan Destinasi Wisata Layar Beberapa hal perlu dipertimbangkan dalam rencana pengembangan
pariwisata alternatif di destinasi wisata layar. Pertimbangan yang dimaksud mencakup motivasi perencanaan, perencanaan pariwisata kawasan, pendekatan perencanaan, dan perencanaan yang berbasis pada nilai-nilai pariwisata alternatif yang selaras dengan keberadaan (kekhasan) destinasi. Secara konseptual, perencanaan pengembangan destinasi wisata layar dalam penelitian ini dilandasi oleh motivasi perencanaan dalam bentuk trend oriented planning, yaitu perencanaan yang didasarkan pertimbangan kecenderungan yang berkembang saat ini. Kecenderungan yang terjadi saat ini akan dipertimbangkan untuk menentukan arah dan tujuan perkembangan di masa datang (Paturusi, 2008: 14-15). Hal ini dikarenakan adanya kecenderungan perkembangan wisata layar di Indonesia. Di Maurole, kecenderungan itu mulai terjadi sejak Tahun 2007. Dengan kondisi ini, perencanaan destinasi Maurole seharusnya didasarkan atau diarahkan pada kecenderungan tersebut. Destinasi Maurole termasuk dalam perencanaan pariwisata kawasan ditinjau dari aspek hirarki perencanaan. Perencanaan pariwisata kawasan adalah arahan kebijakan dan strategi pariwisata suatu kawasan dalam kabupaten/kota, dan perencanaan itu fokus pada beberapa hal (Paturusi, 2008: 61). Dalam penelitian ini, fokus yang dimaksud disesuaikan dengan kondisi destinasi wisata layar, seperti yang secara umum disampaikan oleh Raymond T. Lesmana: “Tentukan secara bersama lokasi yang akan dikembangkan; perhitungkan kebutuhan primer yang harus disediakan yaitu listrik, air, telekomunikasi; rencanakan pengembangan masa bangunan yang selaras dengan lingkungan yang ada sehingga tidak merubah nuansa Maurole
134
saat ini; membangun aksesibilitas yang baik dan efektif; membangun sumber daya manusia (SDM) sesuai tujuan” (Wawancara 19 Juni 2013). Selanjutnya fokus perencanaan pariwisata kawasan di destinasi Maurole dikemukakan sebagai berikut. Pertama, penentuan lokasi titik labuh yang menjadi fokus pengembangan. Di Maurole terdapat titik labuh di Pantai Mausambi dan titik labuh di Pantai Nanganio. Perlu ditetapkan di mana lokasi yang menjadi fokus pengembangan. Penetapannya dilakukan dengan mekanisme yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan di Maurole, terutama pemilik lahan ulayat di kawasan terkait. Dalam kerangka ini, dipikirkan juga pengembangan kenyaman titik labuh dari terpaan angin, arus, dan gelombang.
Misalnya, dengan rekayasa panahan gelombang
melalui pemanfaatan kondisi alam di Tanjung Watulaja di Teluk Mausambi. Kedua, arahan lokasi untuk fasilitas yang dibutuhkan di destinasi wisata layar. Khususnya arahan lokasi untuk fasilitas yang mendukung keberadaan titik labuh seperti fasilitas makan dan minum, fasilitas pelayanan informasi pariwisata dan penanganan perjalanan wisata, serta pelayanan terkait lainnya. Tentunya, di tahap awal, pengembangan destinasi singgah disesuaikan dengan kebutuhan yang spesifik, sehingga fasilitas yang dibangun hanyalah fasilitas yang dibutuhkan untuk melayani kapal-kapal wisata. Penting untuk disadari bahwa arahan lokasi berbagai fasilitas harus dilakukan untuk pengembangan secara holistik dan bervisi jangka panjang. Ketiga, sistem jaringan traportasi dan kawasan pejalan kaki (pedestrian). Hal ini menyangkut aksesibilitas yang efektif dan pola arus wisatawan dalam pemanfaatan fasilitas di areal titik labuh dan destinasi wisata layar secara
135
keseluruhan. Tentunya, sistem ini dirancang agar bermanfaat juga bagi masyarakat setempat. Keempat, perencanaan prasarana pendukung. Elemen prasarana pendukung yang perlu dimasukkan dalam perencanaan adalah supply air bersih, listrik, penanganan sampah, toilet dan kamar mandi, telekomunikasi (telpon dan internet), bahan bakar minyak, perbengkelan, jasa kebersihan dan keamanan. Kelima, kriteria perancangan. Perancangan yang dimaksud mencakup aplikasi arsitektur lokal, landscape, dan massa bangunan. Hal ini sangat penting karena menyangkut upaya mempertahan nuansa kekhasan dan keunikan Maurole. Keenam, pemanfaatan sumber daya manusia lokal. Pendidikan dan pelatihan ketrampilan juga perlu direncanakan dengan seksama sehingga tercipta pengembangan destinasi wisata layar yang memberdayakan masyarakat setempat atau partisipatif. Secara keseluruhan pengembangan pariwisata kawasan seperti destinasi wisata layar Maurole dapat dilakukan dengan pendekatan perencanaan tertentu. Paturusi (2008:45-49) menyebutkan unsur-unsur dalam pendekatan perencanaan dan pengembangan pariwisata sebagai berikut: (1) pendekatan berkelanjutan, inkremental, dan fleksibel, (2) pendekatan sistem, (3) pendekatan menyeluruh, (4) pendekatan yang terintegasi, (5) pendekatan pengembangan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, (6) pendekatan swadaya masyarakat, (7) pendekatan pelaksanaan, dan (8) penerapan proses perencanaan sistematis. Seluruh pendekatan ini tentu dapat diimplementasikan dalam perencanaan destinasi wisata layar Maurole. Namun, berdasarkan fakta yang diperoleh dari penelitian ini,
136
pendekatan yang dapat digunakan merupakan kombinasi dari pendekatan sistem, menyeluruh, terintegrasi (integrated approach), dan pendekatan swadaya masyarakat. Penerapan pendekatan ini tentu saja harus digarap dengan baik agar menghasilkan rencana yang baik pula. Basis dari pengembangan wisata layar adalah nilai-nilai yang terkandung dalam pariwisata alternatif. Fennel dan Dowling (2002:2) menyebutkan lima karakteristik positif dari pariwisata alternatif, yaitu: 1. Pengembangan yang sesuai dengan karakter lokal sebuah tempat. Tercermin dari karakter arsitektural, gaya pengembangan, dan peka terhadap keunikan warisan budaya dan lingkungan. 2. Pemeliharaan, perlindungan, dan peningkatan kualitas sumberdaya yang merupakan basis pariwisata. 3. Mengusahakan agar pengembangan atraksi wisata tambahan bagi wisatawan berakar pada kearifan lokal dan dikembangkan sebagai dukungan bagi karakter lokal. 4. Pengembangan pelayanan bagi wisatawan yang meningkatkan warisan budaya dan lingkungan setempat. 5. Mendukung pertumbuhan di suatu tempat hanya ketika pertumbuhan itu meningkatkan sesuatu, bukan ketika dia merusak sesuatu atau melampaui daya dukung lingkungan alam yang berakibat kurang baik bagi kualitas kehidupan masyarakat. Beberapa karakter ini dapat juga diimplementasi ke dalam pengembangan wisata layar di sebuah destinasi yang baru berkembang. Pertama, pengembangan
137
wisata layar tidak merusak lingkungan atau harus selaras dengan lingkungan dan mendukung kehidupan sosial dan budaya masyarakat. Kedua, pariwisata alternatif di destinasi wisata layar merupakan proses pengembangan bentuk perjalanan yang yang berbeda dan yang berupaya menciptakan adanya saling pemahaman, solidaritas, dan persamaan di antara para peserta yang ikut dalam perjalanan wisata itu. Ketiga, pariwisata alternatif di destinasi wisata layar mencakup pengembangan atraksi bagi wisatawan yang berskala kecil yang dilakukan dan dikelola oleh masyarakat lokal. Dengan demikian rencana pengembangan wisata layar sejauh mungkin didasarkan pada karakter positif pariwisata alternatif. Fakta pengelolaan destinasi singgah Maurole dalam rangka reli kapal wisata layar selama enam tahun terakhir menunjukkan bahwa karakteristik pariwisata alternatif sangat mungkin dijadikan landasan pengembangannya.
BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN
8.1
Simpulan Bertolak dari permasalahan, tujuan penelitian, kajian terhadap data
penelitian, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1.
Sebagai destinasi singgah Sail Indonesia, Maurole memiliki potensi untuk dikembangkan mengacu pada empat komponen destinasi pariwisata (4A). Pertama, atraksi wisata, yaitu:
kampung adat Nuabela, Puu Pau, dan
Detuara; atraksi seni dan budaya; pembuatan tuak (moke) di Otogedu; pembuatan gula aren di Nuabela. Atraksi lainnya yang dapat dijangkau dari Maurole yaitu Kelimutu (danau tiga warna), kampung adat Wologai, Nualise, Wolotopo; hortikultura di Waturaka; pemandian air panas Detusoko, pasar tradisional Nduaria, landscape perbukitan dan persawahan di Detusoko. Kedua, akses ke Maurole dapat melaui darat maupun laut. Sail Indonesia membuka Maurole sebagai salah satu pintu masuk wisatawan melalui laut di Kabupaten Ende di tahun 2007. Ketiga, adanya amenitas yang mendukung aktivitas wisata layar, yaitu tersedianya rumah makan dan supply kebutuhan bahan bakar, air bersih dan air minum, listrik; bank dan kantor pos; sarana telekomunikasi dan akses internet; dermaga apung (jetty), tempat relax, berbagai jenis tenda dan panggung hiburan di areal titik labuh dan sejumlah toilet yang dibangun dalam rangka Sail Indonesia. Keempat, unsur ancillaries services dalam Sail Indonesia, yaitu: pemerintah (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende, serta satuan kerja perangkat daerah yang terkait); Operator wisata layar (Yayasan Cinta Bahari Antar Nusa); DPC HPI 138
139
Kabupaten Ende, komunitas adat dan kelompok seni budaya di tiap desa. Berdasarkan empat komponen destinasi wisata dan perkembangan aktivitas wisata, maka Maurole berada pada tahap involvement dalam siklus hidup destinasi pariwisata, dan memiliki kekhasan lokal (local distinctiveness) yakni adanya beberapa kampung adat dan atraksi wisata yang terletak dekat dan mudah diakses dari titik labuh. 2.
Pengelolaan Maurole sebagai destinasi singgah Sail Indonesia bersifat seasonal, yaitu pengeloaan sejumlah aktivitas wisata yang disesuaikan dengan jadwal kunjungan kapal layar dalam acara Sail Indonesia (pertengahan sampai akhir Agustus setiap tahun). Pertama, pengelolaan areal titik labuh meliputi penyediaan berbagai fasilitas dan pelayanan bagi wisatawan. Kedua, pengelolaan atraksi seni dan budaya meliputi pagelaran seni budaya di areal titik labuh, dan atraksi seni budaya di desa-desa yang dikunjungi wisatawan. Ketiga, pengelolaan perjalanan wisata tidak saja ke atraksi wisata di Kecamatan Maurole, namun juga ke beberapa atraksi wisata lain yang mudah dijangkau dari Maurole. Keempat, partisipasi pemangku kepentingan dilakukan dalam pengelolaan areal titik labuh, atraksi seni dan budaya, dan perjalanan wisata. Pemerintah memfasilitasi dan mengalokasikan anggaran untuk pengelolaan destinasi singgah Maurole. Pelaku usaha pariwisata berpartisiasi dalam penanganan perjalanan wisata, penyediaan transportasi, dan pemanduan wisata. Partisipasi masyarakat terwujud di areal titik labuh Maurole dan di desa-desa yang dikunjungi oleh wisatawan. Tipe partisipasi masyarakat adalah tipe induced participation, yaitu masyarakat
140
berpartisipasi karena terdorong untuk melakukannya, dan partisipasi inisiasi, yaitu masyarakat ikut memelihara dan merasa memiliki kegiatan di wilayahnya. Partisipasi masyarakat juga dipengaruhi nilai budaya ata mai (orang yang datang/tamu) ata ji’e (orang baik). Tamu dianggap membawa keselamatan, sehingga tuan rumah mau menunjukkan kepada tamu bahwa mereka juga adalah orang baik yang bisa menerima tamu dengan baik. Menerima tamu dengan baik berfungsi untuk menjaga waka atau menjaga waka nga’a (waka nga’a dapat dipahami sebagai taksu dalam tradisi Bali). 3.
Ada dua faktor yang mendukung Maurole sebagai destinasi wisata layar. Pertama, faktor internal, terdiri dari potensi Maurole sebagai destinasi singgah, pengelolaan Maurole sebagai destinasi singgah, partisipasi pemangku kepentingan dalam pengelolaan Maurole sebagai destinasi singgah, dan posisi geografisnya dalam rute kapal-kapal wisata. Faktor internal merupakan kekuatan destinasi wisata layar Maurole. Kedua, faktor eksternal, terdiri dari kebijakan pemerintah, sistem wisata layar, persepsi wisatawan, dan wisata layar sebagai pemicu pengembangan destinasi. Kebijakan pemerintah pusat dalam pengembangan wisata layar ditunjukkan dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2011 tentang kunjungan kapal wisata (yacht) asing ke Indonesia yang
memberikan
kemudahan bagi kapal wisata asing yang masuk ke perairan laut Indonesia. Kemudian komponen sistem wisata layar dalam Sail Indonesia terdiri dari: negara-negara asal wisatawan sebagai tourist generating region (TGR), titik start Sail Indonesia sebagai transit route (TR), negara kepulauan Indonesia
141
sebagai destination area, destinasi-destinasi singgah sebagai tourist destination region (TDR), dan desa-desa yang dikunjungi di destinasi singgah sebagai node destination. Selanjutnya, persepsi wisatawan yang dituliskan di website atau weblogs merupakan salah satu referensi yang dipakai oleh wisatawan lain untuk singgah atau tidak di destinasi Maurole. Hal lainnya adalah Sail Indonesia memicu pengembangan destinasi singgah Maurole dan menjadi salah satu alternatif model pengembangan destinasi wisata daerah. 8.2. Saran Berdasarkan simpulan yang diperoleh dari penelitian ini, maka diajukan saran sebagai berikut: 1. Untuk penyusunan perencanaan pariwisata kawasan Maurole sebagai destinasi wisata layar, maka pemerintah daerah perlu memperhatikan hal berikut.
Pertama,
agar
ditetapkan
lokasi
yang
menjadi
fokus
pengembangan titik labuh di Maurole. Penetapannya dilakukan dengan mekanisme yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan di Maurole, terutama pemilik lahan ulayat di kawasan terkait. Kedua, di tahap awal, pengembangan Maurole disesuaikan dengan kebutuhan yang spesifik, sehingga fasilitas yang dibangun hanyalah fasilitas yang dibutuhkan untuk melayani kapal-kapal wisata. Penting untuk disadari bahwa arahan lokasi berbagai fasilitas harus dilakukan untuk kajian secara holistik dan bervisi jangka panjang. Ketiga, aksesibilitas yang efektif dan pola arus wisatawan dalam pemanfaatan fasilitas di areal titik labuh dan destinasi wisata layar secara keseluruhan dirancang agar bermanfaat juga bagi masyarakat setempat. Keempat, prasarana pendukung yang perlu dimasukkan dalam
142
perencanaan adalah supply air bersih, listrik, penanganan sampah, toilet dan kamar mandi, telekomunikasi (telpon dan internet), bahan bakar minyak,
perbengkelan, jasa kebersihan dan keamanan. Kelima, untuk
mempertahankan nuansa kekhasan dan keunikan Maurole, maka perancangan titik labuh diterapkan dengan memperhatikan kriteria perancangan yang mencakup aplikasi arsitektur lokal, landscape, dan massa bangunan. Keenam, pendidikan dan pelatihan ketrampilan juga perlu direncanakan dengan seksama sehingga tercipta pengembangan destinasi wisata layar yang berbasis masyarakat setempat atau partisipatif. Ketujuh, pengembangan destinasi wisata layar Maurole perlu mengacu kepada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Ende. 2. Penelitian ini hanya menyentuh beberapa hal umum dari sebuah destinasi wisata layar.
Karena itu disarankan agar ada penelitian lanjutan dan
mendalam mengenai topik-topik yang terkait destinasi wisata layar. Misalnya, mengenai strategi pengembangan destinasi wisata layar.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2012. Panduan Monitoring dan Evaluasi DMO. Jakarta: Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Ardika, I. G. 2005. “Kebijakan Nasional Pengurangan Kemiskinan Melalui Pariwisata” (dalam Damanik, J., Kusworo, H. A., Raharjana, D. T., Penanggulangan Kemiskinan Melalui Pariwisata, penyunting,Yogyakarta: Kepel Press). Ardika, I. W. 2003. Pariwisata Budaya Berelanjutan – Refleksi dan Harapan di Tengah Peradaban Global. Denpasar: Program Studi Magister (S2) Kajian Pariwisata Program Pascasarjana Universitas Udayana. Atabala, V. 2011. Buku Tamu. Mausambi: Dokumen Pribadi. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. 2011. Laporan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kabupaten Ende Tahun 2011 – 2031. Ende: Bappeda. Badan Pusat Statistik. 2012. Maurole dalam Angka 2012. Ende: Katalog BPS: 1409.5311060 Kabupaten Ende ----------. 2012. Statistik Kecamatan Maurole 2012. Ende: Katalog BPS: 1101002.5311060 Kabupaten Ende. Buana Raya. 2012. Atlas Dunia. Solo: Buana Raya. Budhiana, N. 2012. Wisata Layar Cocok untuk Kepulauan (dalam http://bali.antaranews.com/berita/29342/wisata-layar-cocok-untuk kepulauan., diakses 30 Januari 2013). Buhalis, D. 2000. “Marketing the Competitive Destination of Future”, (dalam Tourism Management 21 97-116, http://www.elsevier.com/locate/tourman., diakses 14 Februari 2013). Bungin, B.M. 2010. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Butler, R. W. 1980. The Concept of Tourism Area Life Cycle of Evolution: Implication for the Management of Resources. The Canadian Geographer. Caribbean Tourism Organization. 2008. “Sailing” (dalam Developing a Niche Tourism Market Database for the Caribbean, http://www. onecaribbean.org/ content/ files/ Sailing/ pdf., diakses 28 September 2012). Cooper, C., Fletcher, J., Gilbert, D., and Wanhill, S. 1996. Tourism Principles and Practice. London: Longman Group Limited.
143
144
Creswell, J.W. 2009. Research Design Quantitative, Qualitative and Mixed Methods Approachs. 3rdEdition. London: Sage Publication, Inc. Dahuri, R. 2009. Pariwisata Bahari Raksasa Ekonomi Indonesia yang Masih Tidur dalam http://rokhmindahuri.wordpress.com/, diakses 8 Oktober 2012. Dalem, A. A .G. Raka. 2007. “Filosofi Tri Hita Karana dan Implementasinya dalam Industri Pariwisata” (dalam Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, Dalem, A. A. G. Raka, Wardi, I N., Suarna I W., dan Adnyana, I W. Sandi, ed., Denpasar: UPT Penerbit Universitas Udayana dan PPLH Unud). Damanik, J dan Weber H. F. 2006. Perencanaan Ekowisata – Dari Teori ke Aplikasi. Yogyakarta: Pusat Studi Pariwisata (Puspar) UGM dan Penerbit Andi. Derksen, B. D. M. 2007. “Nautical Tourism Potential in the Dalmatia Dubrovnik Region” (dissertation). Breda: NHTV University of Professional Education. Desa Mausambi. 2012. Profil Desa Mausambi. Desa Otogedu. 2012. Profil Desa Otogedu. Desa Watukamba. 2012. Profil Desa Watukamba. Disbudpar. 2007. Laporan Pelaksanaan Sail Indonesia. Ende: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. ----------. 2008. Laporan Pelaksanaan Sail Indonesia. Ende: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. ----------. 2009. Laporan Pelaksanaan Sail Indonesia. Ende: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. ----------. 2010. Laporan Pelaksanaan Sail Indonesia. Ende: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Edgell, D. L. 2006. Managing Sustainable Tourism: A Legacy for the Future. Oxford: The Haworth Hospitality Press. Fandeli, C. 2002. Perencanaan Kepariwisataan Alam. Yogyakarta: Penerbit Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada. Fennel, A. D dan Dowling K. R. 2003. “The Context of Ecotourism Policy and Planning” (dalam Ecotourism Policy and Planning, Fennel, A. D dan Dowling, K. R, ed., UK: CAB International). Gautama, I G. A .G .O. 2011. “Evaluasi Perkembangan Wisata Bahari Sanur” (tesis). Denpasar: Universitas Udayana.
145
Heaven, S. 2008. The Cruising Adventures of Seventh Heaven with Charlieand Betty(http://www.charlieandbetty.com/seventhheaven/default.asp?listtype=r ange&datestart=20080726&dateend=20081027., diakses 12 Juli 2013. Hermantoro, H. 2011. Creative-Based Tourism, dari Wisata Rekreatif Menuju Wisata Kreatif. Jawa Barat: Penerbit Aditri. Inskeep, E. 1991. Tourism Planning: An Integrated and Sustainable Development Approach. New York: Van Nostrand Reinhold. Jennings, G. 2001. Tourism Research. Australia: Wiley. Jennings, G. 2007. Water-Based Tourism, Sport, Leisure, and Recreation Experiences, ed., UK: Elsevier’s Science & Technology Rights Department. Kaelan. 2005. Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat – Paradigma bagi Pengembangan Penelitian Interdisipliner Bidang Filsafat, Budaya, Sosial, Semiotika, Sastra, Hukum dan Seni. Yogyakarta: Paradigma. Kecamatan Maurole. 2009. Rencana Strategis (Restra). Lamont, MJ. 2008, “Wheels of Change: A Model of Whole Tourism Systems for Independent Bicycle Tourism”, (dalam Re-creating tourism: New Zealand Tourism and Hospitality Research Conference, Proceedings of Hanmer Springs, New Zealand, 3-5 December, Lincoln University, Christchurch, NZ). Leiper, N. 1990. Tourism System. Occasional Paper 2. Auckland: Department of Management System. Massey University. Leiper, N. 2004. Studying Tourism: A Whole Systems Approach (dalam Tourism Management. 3rd ed. Sydney: Pearson Australia). Lesmana, R. T. 2012. “Peluang Wisata Bahari Indonesia – Apa, Siapa, Mengapa, Bilamana, Bagaimana?” Makalah pada Presentasi Survei Sail Tomini 2014 di Kabupaten Tojo Una Una, Sulawesi Tengah. Lukita, B. M. 2012. Potensi Laut Indonesia 1,2 Triliun Dolar AS (dalam http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/10/24/13283219/Potensi.Laut. Indonesia.1.2.Triliun.Dollar.AS, diakses 31 Januari 2013). Madiun, I.N. 2009. “Partisipasi Masyarakat Lokal dalam Pengembangan Kawasan Pariwisata Nusa Dua - Perspektif Kajian Budaya” (disertasi). Denpasar: Universitas Udayana. Mbete, A. M., Dhae, F.X., Banda, M. M dan Wake, P. 2006. Khazanah Budaya Lio-Ende. Jogya: Pustaka Larasan dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Ende.
146
Mina Bahari. 2013. “Membangun Secara Lestari dan Berkelanjutan” (dalam Mina Bahari Edisi I Januari). Munt, I dan Monforth, M., 2003. Tourism and Sustainability – New Tourism in The Third World. London: Taylor and Francis e-Library. Murdana, I.M. 2010. “Pengembangan Pariwisata Pulau Gili Trawangan Berbasis Ekowisata Bahari” (tesis). Denpasar: Universitas Udayana Noor, J. 2011. Metodologi Penelitian – Skrispi, Tesis, Disertasi, dan Karya Ilmiah. Jakarta: Kencana. Orams, M. 2002. Marine Tourism – Development, Impacts and Management. New York: Routledge – edition published in the Taylor and Francis eLibrary. Paturusi, S. A. 2008. Perencanaan Kawasan Pariwisata. Denpasar: Universitas Udayana. Pendit, N. S. 1996. Ilmu Pariwisata Sebuah Pengantar Perdana. Jakarta: PT Pradnya Paramita. Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor: PM. 96/HK.501/MKP/2010 Tentang Tata Cara Pendaftaran Usaha Wisata Tirta. Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2011 Tentang Kunjungan Kapal Wisata (Yacht) Asing Ke Indonesia. Pitana, I. G dan Diarta, S. K I. 2009. Pegantar Ilmu Pariwisata. Yogyakarta: Penerbit ANDI. Pitana, I. G dan Gayatri, P. G. 2005. Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta: Penerbit Andi. Pujaastawa, I.B.G., Wirawan, I G.P., dan Adhika, I M. 2005. Pariwisata Terpadu – Alternatif Model Pengembangan Pariwisata Bali Tengah. Denpasar: Universitas Udayana. Rasdiani, E. 2008. “Sail Indonesia – Menjadikan Kebaharian Indonesia Mampu Berdiri Sejajar dengan Negara lain”. Makalah dalam Workshop Percepatan Pembangunan Perikanan, Pariwisata Bahari, dan Jasa Kelautan. Jakarta, 22 Oktober. Ratna, N. K. 2010. Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sail Indonesia. 2012. Sail Indonesia Confirmed Entries (http://sailindonesia.net/news/entries.php., diakses 23 Mei).
147
-----------. 2013. Sail Indonesia 2013 Program Of Events (http://sailindonesia.net., diakses 28 Maret 2013. SailToIndonesia. 2012. Destinations (http://sailtoindonesia.com, diakses 27 Mei) Smith, V. L. dan Eadington, W.R. 1992. Tourism Alternatives: Potentials and Problems in the Development of Tourism: Philadelphia: Univeristy of Pennsylvania Press. Stronza, A. 2008. “Partnerships for Tourism Development” (dalam Moscardo, G. Editor. Building Community Capacity for Tourism Development. UK: CABI) Tallo, P. E. 2011. “Strategi Pengembangan Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur Sebagai Destinasi Pariwisata Berkelanjutan” (tesis). Denpasar: Universitas Udayana. Timothy, D. J dan Tosun, C. 2003. “Arguments for Community Participation in the Tourism Development Process” (dalam The Journal of Tourism Studies Vol. 14, No. 2, Dec). Tosun, C. 2006. Expected Nature of Community Participation in Tourism Development. Turkey: School of Tourism and Hotel Management, Mustafa Kemal University, Tourism Management. Tourism Insights. 2008. Identifying and Developing Local Distinctiveness, (http://www.insights.org.uk/destinationmanagementguideitem.aspx?title=2 G%3a+Identifying+and+Developing+Local+Distinctiveness., diakses 29 Juni 2013). Tourism in Singapore. 2003. Ancillary Services (http://infocommclub. vs.moe.edu.sg/tourism/ancillary.html., diakses 6 Juni 2013). Wirawan, G. P S. 2009. “Pengembangan Daya Tarik Wisata Berkelanjutan di Nusa Lembongan, Kabupaten Klungkung” (tesis). Denpasar: Universitas Udayana. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966.
Lampiran 1: PEDOMAN WAWANCARA (Untuk: mencapai tujuan tujuan khusus satu)
Informan: aparat desa, masyarakat desa, operator, dan tim teknis. Mohon kesediaan Bapak/Ibu untuk diwawancarai dan memberikan jawaban sesuai dengan kenyataan riil yang ada/dialami. Pertanyaan
yang
diajukan
dalam
wawancara
ini
disusun
guna
mengumpulkan data tertulis dalam rangka menunjang penyusunan tesis/karya tulis ilmiah. Pertanyaan yang diajukan dalam wawancara ini disusun untuk mendapatkan bahan analisis guna mengkaji karakteristik destinasi singgah Sail Indonesia. Wawancara ini dilakukan hanya untuk tujuan penelitian ilmiah. Atas kesediaan Bapak/Ibu menjadi informan dalam penelitian ini, saya mengucapkan terima kasih. Hari/Tanggal : A. Identitas Informan Nama: Umur: Pekerjaan/ Jabatan: Alamat: No. Telepon/ HP: B. Potensi destinasi singgah Atraksi wisata Alam: 1. Apakah ada atraksi alam yang terkait dengan flora dan fauna? Sebutkan! 2. Apakah kecamatan/desa sudah melakukan pendataan terhadap atraksi wisata alam itu? 3. Apakah atraksi wisata alam itu sudah pernah dikunjungi atau dinikmati oleh wisatawan? Sejak kapan?
148
149
Atraksi wisata budaya dan buatan: 1. Apa saja atraksi seni budaya lokal (tari, musik, drama, permainan rakyat, dll) yang terdapat di wilayah ini? Sebutkan! 2. Apakah ada festival seni budaya? Bagaimana penyelenggaraannya? 3. Apakah ada upaya peningkatan dan pelestarian peninggalan sejarah dan purbakala? Bagaimana upaya itu dilakukan? 4. Apa saja seni kerajinan dan ukir-ukiran yang tersedia? 5. Apa saja kuliner lokal yang tersedia? Bagaimana keberadaan dan upaya pengembangannya? Aksesibilitas: 1. Bagaimana cara mencapai atraksi wisata di kecamatan/desa ini? 2. Apa saja moda transportasi yang digunakan? 3. Bagaimana kondisi jalan menuju ke lokasi atraksi wisata itu? 4. Apakah ada program peningkatan aksesibilitas ke berbagai atraksi wisata selama kegiatan Sail Indonesia? Amenitas: 1. Apa saja jenis akomodasi wisata yang terdapat di kecamatan/desa ini, dan berapa jumlahnya? 2. Berapa jumlah rumah makan atau restoran di kecamatan/desa ini? 3. Bagaimana kondisi fasilitas akomodasi penginapan dan restoran/rumah makan yang ada? 4. Apakah tersedia fasilitas belanja misalnya artshop yang menjual barang kerajinan lokal dan produk souvenir lainnya? 5. Apakah ada agen penjualan bahan bakar minyak? 6. Apakah tersedia pasar-pasar tradisional? 7. Bagaimana akses ke layanan kesehatan dan unit gawat darurat 8. Bagaimana ketersediaan air bersih dan energi listrik? 9. Bagaimana ketersediaan fasilitas telekomunikasi (telepon, internet, jasa pos)? 10. Bagaimana ketersediaan jasa perbankan dan jasa penukaran uang (money changer)?
150
11. Bagaimana ketersediaan fasilitas humaniter seperti toilet? Ancillary services: 1. Apakah terdapat kelompok sadar wisata (Pokdarwis) di kedamatan/desa ini? Berapa jumlahnya? 2. Apakah lembaga DMO (Destination Management Organization) dan TMO
(Tourist
Management
Organization)
ikut
berperan
dalam
pengembangan pariwisata di kecamatan/desa ini? 3. Bagaimana peran Dinas Kebudayaan dan Pariwisata kabupaten dalam mengembangkan kepariwisataan di kecamatan/desa ini? 4. Bagaimana peran pemerintah kecamatan dan desa dalam mengembangkan kepariwisataan di kecamatan/desa ini? 5. Apakah kawasan ini masuk dalam tata ruang pengembangan wilayah kepariwisataan daerah? 6. Apakah ada kebijakan pemerintah pusat, provinsi, atau kabupaten yang terkait pengembangan wisata layar? 7. Apakah tersedia Tourist Information Centre (TIC) di kecamatan/desa ini? 8. Bagaimana dengan penyerapan SDM dalam aktivitas pariwisata yang bersifat temporer misalnya dalam aktivitas Sail Indonesia. 9. Siapa saja pemangku kepentingan yang terlibat di dalam pengelolaan berbagai atraksi wisata dalam kegiatan Sail Indonesia dan bagaimana perannya masing-masing? 10. Apa manfaat yang diperoleh pemangku kepentingan dalam pengelolaan atraksi wisata itu? 11. Apa saja masalah yang timbul dalam pengelolaan atraksi wisata itu dan bagaimana solusinya? 12. Apakah terbukanya akses wisatawan melalui laut dalam aktivitas Sail Indonesia memberikan manfaaat bagi kecamatan/desa? 13. Apakah tersedia informasi yang cukup bagi wisatawan mengenai cara mencapai lokasi atraksi wisata itu dan siapa yang menyiapkan informasi itu?
151
14. Apakah tersedianya berbagai fasilitas yang terkait aspek amenitas itu memberikan manfaat bagi kecamatan/desa? 15. Apa masalah yang ada terkait berbagai fasilitas itu? Bagaimana solusi mengatasi masalah tersebut? Letak dan posisi Maurole dalam rute pelayaran kapal wisata di kegiatan Sail Indonesia: 1. Apa saja syarat yang harus dipenuhi oleh sebuah tempat untuk menjadi destinasi singgah Sail Indonesia? 2. Bagaimana karakteristik umum para peserta reli wisata layar dan apa motivasi kunjungan mereka? 3. Apa saja kebutuhan dasar para pelayar dunia di suatu destinasi singgah? 4. Berapa lama peserta reli tinggal atau berlabuh di sebuah destinasi singgah? 5. Mengapa Maurole ditetapkan sebagai salah satu destinasi singgah Sail Indonesia, dan bagaimana gambaran posisi Maurole dalam rangkaian rute pelayaran kapal wisata di Indonesia? 6. Dalam kaitan dengan aktivitas wisata di daratan, apa saja yang perlu disiapkan oleh sebuah destinasi singgah? Dan siapa yang idealnya menyiapkan kebutuhan itu? 7. Siapa saja yang perlu terlibat pengelolaan titik labuh dalam kaitannya dengan upaya pemenuhan kebutuhan para pelayar dunia dan manfaat ekonomi bagi masyarakat? 8. Siapa saja dan bagaimana peran masing-masing pemangku kepentingan di destinasi singgah? 9. Apa saja dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan yang terjadi di sebuah destinasi singgah? 10. Bagaimana prospek dan peluang pengembangan destinasi singgah? 11. Siapa saja target pasar wisata layar dan bagaimana prospeknya bagi Indonesia secara umum dan destinasi singgah secara khusus? 12. Apa saja masalah atau kendala yang timbul dalam pengelolaan destinasi singgah dan apa solusi untuk mengatasi masalah itu?
Lampiran 2: PEDOMAN WAWANCARA (Untuk: mencapai tujuan tujuan khusus dua)
Informan: masyarakat A. Bentuk dan Tingkat Partisipasi 1. Apakah Bapak/Ibu terlibat dalam kegiatan Sail Indonesia? Bagaimana bentuk keterlibatannya? 2. Apakah yang mendorong Bapak/Ibu terlibat dalam kegiatan Sail Indonesia ini? 3. Apakah ada pertemuan/musyawarah warga dalam membicarakan kegiatan Sail Indonesia? Jika ada, berapa kali diadakan? 4. Selain pertemuan, seringkah Bapak/Ibu mengikuti kegiatan yang menunjang kegiatan Sail Indonesia (seperti kerja bakti, dll)? 5. Menurut Bapak/Ibu, apa bentuk partisipasi yang tepat dari masyarakat dalam kegiatan Sail Indonesia? B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Masyarakat 1. Bagaimana peran pemerintah daerah dalam melibatkan masyarakat dalam kegiatan Sail Indonesia? 2. Bagaimana peran pengurus desa/dusun dalam melibatkan masyarakat dalam kegiatan Sail Indonesia? 3. Bagaimana peran tenaga teknis dari pemerintah daerah dalam memberikan pendampingan teknis terkait dengan kegiatan Sail Indonesia? 4. Bagaimana peran tokoh masyarakat/adat untuk mengajak masyarakat berpartisipasi dalam kegiatan Sail Indonesia? C. Manfaat, masalah, dan solusi: 1. Apa saja manfaat yang diperoleh dari keterlibatan Bapak/Ibu dalam kegiatan dan pengelolaan Sail Indonesia? 2. Apa saja masalah yang timbul terkait keterlibatan dalam kegiatan Sail Indonesia? 3. Apa solusi untuk mengatasi masalah tersebut?
152
Lampiran 3: PEDOMAN WAWANCARA (Untuk: mencapai tujuan khusus dua)
Informan: pemerintah daerah, desa, dan tim teknis. A. Pemerintah Daerah – Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende 1. Apa dasar hukum dan kebijakan terkait pelaksanaan Sail Indonesia di destinasi singgah Maurole? 2. Apakah sudah ada peraturan yang terkait penetapan zonasi pengembangan destinasi wisata layar? 3. Bagaimana Pemda melakukan pendekatan kepada masyarakat di Kecamatan Maurole dan desa-desa terkait dalam kegiatan Sail Indonesia? 4. Bagaimana hubungan kerjasama antara Pemda dengan LSM/NGO, tokoh masyarakat dan pemerintah kecamatan dan desa? 5. Kontribusi apa saja yang diberikan Pemda dalam kegiatan Sail Indonesia? B. Pertanyaan untuk Kepala Desa, dan tokoh masyarakat (pemuka adat) 1. Bagaimana Bapak/Ibu melakukan pendekatan kepada masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan Sail Indonesia? 2. Faktor apa yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam kegiatan Sail Indonesia? C. Pertanyaan untuk tim teknis dari pemda 1. Bagaimana Tim teknis melakukan pendekatan kepada masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan Sail Indonesia? 2. Bagaimana hubungan kerjasama antara tim teknis, tokoh masyarakat dan pemerintah kecamatan dan desa? 3. Bagaimana bentuk pendampingan tim teknis dalam kegiatan Sail Indonesia? 4. Apakah faktor yang turut mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam kegiatan Sail Indonesia?
153
154
D. Umum : Manfaat, masalah, dan solusi 1. Apa manfaat dari keterlibatan pemerintah daerah, aparat kecamatan/desa, dan tim teknis dalam kegiatan Sail Indonesia? 2. Apa saja masalah dan kendala yang timbul dalam keikutsertaan pemangku kepentingan itu dalam aktivitas Sail Indonesia? Terhadap masalah yang timbul itu, apa solusi yang dapat diberikan?
Lampiran 4: PEDOMAN WAWANCARA (Untuk : mencapai tujuan khusus tiga)
Informan: pemangku kepentingan (pemerintah, industri, dan masyarakat). A. Penguatan gerakan kesadaran kolektif pemangku kepentingan (Anonim, Panduan Monev DMO: 2012). Panduan ini disesuaikan dengan upaya pencapaian tujuan penelitian. 1. Siapa saja kelompok pemangku kepentingan yang terlibat dalam kegiatan Sail Indonesia di Maurole? 2. Bagaimana koordinasi lintas kelompok komunitas lokal dalam persiapan Sail Indonesia? 3. Apakah sudah ditetapkannya peran pemangku kepentingan dalam konteks lintas sektoral pada kegiatan Sail Indonesia? 4. Apakah sudah ditetapkannya perencanaan tata kelola destinasi singgah Maurole? 5. Apakah sudah ada SK (Surat Keputusan) Bupati atau MoU antara pemerintah kabupaten dengan stakeholder tertentu dalam kegiatan Sail Indonesia? B. Pengembangan Manajemen Destinasi Singgah (Anonim, Panduan Monev DMO: 2012): Terkait telah teridentifikasinya kondisi awal destinasi melalui kajian awal/ baseline assessment. 1. Apakah sudah teridentifikasi profil dan peta wilayah destinasi singgah Maurole? 2. Apakah telah teridentifikasinya lingkungan internal dan eksternal destinasi singgah Maurole? 3. Apakah telah tersedianya informasi tentang: atraksi, transportasi intra dan antar destnasi, infrastruktur, fasilitas dan layanan, event/festival, dan aktivitas wisata?
155
156
Terkait Tourism Management Plan secara kuantitatif dan kualitatif untuk jangka pendek, menengah, dan panjang sesuai perinsip keterpaduan, kolaboratif, berkelanjutan dan partisipatif. 1. Apakah sudah tersedia berbagai peraturan dan ketetapan tentang arah kebijakan pengembangan destinasi untuk jangka pendek, menengah dan panjang sesuai prinsip keterpaduan, kolaboratif, berkelanjutan dan partisipatif? 2. Apakah sudah ditetapkannya peraturan tata ruang destinasi? 3. Apakah sudah tersedia Tourism Management Plan untuk desitnasi Maurole? Terkait pola perjalanan wisata (travel pattern) Apakah ada pola perjalanan wisata di dalam destinasi yang terintegrasi mencakup seluruh atau sebagian wilayah destinasi? C. Pengembangan Bisnis (Anonim, Panduan Monev DMO: 2012) Terkait inovasi dan diversifikasi produk: 1. Apakah sudah ada diversifikasi dan inovasi produk dan sudah diimplementasikan selama kegiatan Sail Indonesia berlangsung sejauh ini? 2. Apakah sudah tercipta kegiatan inovasi produk dalam kegiatan Sail Indonesia? Terkait kegiatan pemasaran destinasi 1. Apakah sudah ada informasi dan ide pemasaran destinasi terkait Sail Indonesia? 2. Apakah sudah dilakukan analisis lingkungn internal dan eksternal terkait pemasaran destinasi singgah Maurole? 3. Apakah tersedia rencana pemasaran dan promosi destinasi Maurole? 4. Apakah ada kerjasama pemasaran dengan pihak lainnya (intra dan antar destinasi)? Terkait aktivitas kewirausahaan/industri yang juga mendorong pengembangan ekonomi kreatif dan memperluas bisnis networking komunitas lokal: 1. Apakah ada peluang usaha yang tercipta bagi masyarakat lokal di destinasi singgah?
157
2. Apakah ada pelatihan kegiatan ekonomi kreatif di destinai singgah? 3. Apakah masyarakat lokal terlibat dalam berbagai aktivitas kepariwisataan dalam proses perencanaan, sosialisasi, implementasi dan pengawasan program? 4. Apakah ada bentuk dukungan yang nyata untuk memperluas business networking bagi pengusaha lokal didukung oleh seluruh pemangku kepentingan? 5. Apakah dilaksanakan pelatihan pengembangan bisnis di destinasi singgah?
Lampiran 5: PEDOMAN WAWANCARA (Untuk: mencapai tujuan penelitian tiga)
Informan: ahli dan tokoh masyarakat 1.
Apakah visi, misi, tujuan, dan strategi penyelenggaraan Sail Indonesia yang Bapak/Ibu ketahui?
2.
Bagaimanakah tahap-tahap pelaksanaan reli perahu layar internasional Sail Indonesia mulai dari kapal wisata itu berada di luar perairan Indonesia hingga memasuki perairan Indonesia?
3.
Bagaimana gambaran rute kapal wisata dalam Sail Indonesia, dan apakah rute-rute itu masih mungkin dikembangkan?
4.
Apa sesungguhnya kekuatan dari kegiatan Sail Indonesia bagi pengembangan dan promosi wisata daerah khususnya destinasi singgah?
5.
Apakah Sail Indonesia mampu meningkatkan kunjungan wisata ke daerah?
6.
Apa karakteristik yang perlu dimiliki oleh sebuah lokasi untuk dapat menjadi destinasi singgah Sail Indonesia?
7.
Apa saja sarana dan prasarana yang perlu disiapkan oleh sebuah destinasi singgah?
8.
Apakah Pulau Flores berpotensi menjadi destinasi wisata layar? Bagaimana dengan potensi yang dimiliki Maurole?
9.
Siapa saja stakeholder yang perlu dilibatkan dalam pengembangan wisata layar?
10. Apa sesungguhnya peran yang bisa dimainkan pemerintah daerah dalam upaya pengembangan wisata layar? 11. Bagaimana memaksimalkan partisipasi masyarakat lokal dan pelaku usaha dalam kegiatan Sail Indonesia? 12. Apa saja aspek atau faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pengembangan destinasi wisata layar? 13. Apakah Sail Indonesia memiliki prospek pengembangan yang strategis di masa depan?
158
159
14. Strategi perencanaan seperti apa yang perlu dibuat dalam rangka mengembangkan destinasi wisata layar? 15. Apa saja kendala dan masalah yang timbul dalam upaya pengembangan distinasi wisata layar secara umum? Dan bagaimana dengan destinasi singgah Maurole? 16. Bagaimana solusi untuk mengatasi masalah dan kendala yang timbul dalam pengembangan destinasi wisata layar?
Lampiran 6: DAFTAR INFORMAN
1.
Nama Umur Pekerjaan Alamat Hp
: : : : :
Cyprianus Pepy 45 tahun Kepala Desa Nualise Kampung Wolofeo, Desa Nualise, Kecamatan Wolowaru. 082144350014
2.
Nama Umur Pekerjaan Alamat
: : : :
Prudensia Mariana Pepy 37 tahun TP. PKK Kampung Wolofeo, Desa Nualise, Kecamatan Wolowaru.
3.
Nama Umur Pekerjaan Alamat Hp
: : : : :
Aloysius Djira Loy 55 tahun Kepala Desa Desa Waturaka Kecatan Kelimutu 081357431158
4.
Nama Umur Pekerjaan Alamat Hp
: : : : :
Alexander Wae 61 tahun Tokoh Masyarakat Desa Waturaka Kecamatan Kelimutu 082144503179
5.
Nama Umur Pekerjaan Alamat Hp
: : : : :
Nikolaus Dee 52 tahun Tokoh Masyarakat Desa Wolotopo Timur, Kecamatan Ndona. 085253465173
6.
Nama Umur Pekerjaan Alamat Hp
: : : : :
Siprianus Madana Jirabara 33 tahun Kepala Desa Wolotopo Timur Wolotopo Timur 081236659719
7.
Nama Umur Pekerjaan Alamat Hp
: : : : :
Ignasius Siga 45 tahun Kepala Desa Otogedu Desa Otogedu Kecamatan Maurole 081319735410
160
161
8.
Nama Umur Pekerjaan Alamat
: : : :
Frans Watu 60 tahun Tokoh Masyarakat Desa Otogedu Kecamatan Maurole
9.
Nama Umur Pekerjaan Alamat Hp
: : : : :
Hironimus Nira 48 tahun Kaur Desa Nuabela Desa Watukamba Kecamatan Maurole 082144146985
10. Nama Umur Pekerjaan Alamat
: : : :
Stefanus Ngga’e 57 tahun Mosalaki (tetua adat) Nuabela Desa Watukamba Kecamatan Maurole
11. Nama Umur Pekerjaan Alama Hp
: : : : :
Damianus Deda 61 tahun Tokoh Masyarakat Kecamatan Maurole 085239984854
12. Nama Umur Pekerjaan Alamat Hp
: : : : :
Silvester Sina 54 tahun Sekretaris Desa Maurole Desa Maurole Kecamatan Maurole 085253218303
13. Nama Umur Pekerjaan Alamat Hp
: : : : :
Desi Darius Saba 43 tahun Kepala Desa Mausambi Desa Mausambi 082341890181
14. Nama Umur Pekerjaan Alamat
: : : :
Lambertus Laka 73 tahun Mosalaki (tetua adat) Dusun Detuara Desa Mausambi Kecamatan Maurole
15. Nama Umur Pekerjaan Alamat Hp
: : : : :
Martinus Mani 53 tahun BPD Desa Mausambi Dusun Detuara Desa Mausambi Kecamatan Maurole 081337257974
162
16. Nama Umur Pekerjaan Alamat Hp
: : : : :
Yan Fangidae 48 tahun Guru SMP Desa Mausambi Kecamatan Maurole 081353871315
17. Nama Umur Pekerjaan Alamat Hp
: : : : :
Emilianus Linu 47 tahun Kepala Desa Wologai Tengah Desa Wologai Tengah 081236991044
18. Nama Umur Pekerjaan Alamat Hp
: : : : :
Nyo Cosmas, SH 53 tahun Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende Jl. Soekarno No. 4 Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur 081339300611
19. Nama Umur Pekerjaan Alamat Hp
: : : : :
Yuliana Ruka, S. Sos 42 tahun Kepala Bidang Pemasaran dan Promosi Disbudpar Kab. Ende Jl. Soekarno No. 4 Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur 085239414211
20. Nama Umur Pekerjaan
: Martinus Lagho, SST. Par : 47 tahun : Kepala Sub Bagian Program Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende. : Jl. Soekarno No. 4 Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur : 081339411204
Alamat Hp 21. Nama Umur Pekerjaan Alamat Hp 22. Nama Umur Pekerjaan Alamat Hp
: Rosalia J.E. Rae, SST. Par : 44 tahun : Kasi Pelatihan dan Ketrampilan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende/Tim Teknis Sail Indonesia 2007 : Jl. Soekarno No. 4 Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur : 082144492459 : Maria W.P. Wangge, SST. Par : 40 tahun : Kasi Pengkajian Pemasaran Pariwisata/Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan Sail Indonesia di Maurole tahun 2008 : Jl. Soekarno No. 4 Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur : 085287948595
163
23. Nama Umur Pekerjaan Alamat Hp
: : : : :
Gregorius Gadi 49 tahun Sekretaris Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kab. Ende Ndona-Ende 081353842816
24. Nama Umur Pekerjaan Alamat Hp
: : : : :
Maria Sarto Deda 32 tahun Pegawai di Kecamatan Maurole Maurole 085239984854
25. Nama Umur Pekerjaan Alamat Hp
: : : : :
Ferdinandus E.K. Radawara, SST.Par 36 tahun Ketua Himpunan Pramuwisata Kabupaten Ende/Guide Ende 081334330155
26. Nama Umur Pekerjaan Alamat Hp
: : : : :
Fransiskus Dafro 45 tahun Guru/ Guide Mbomba – Ende 085215067777
27. Nama Umur Pekerjaan Alamat Hp
: : : : :
Vinsen Atabala 39 tahun Guide Lokal Pantai Mausambi Desa Mausambi 081246243764
28. Nama Umur P8kerjaan Alamat
: : : :
Yakobus Ari 73 tahun Tokoh Budaya Kabupaten Ende Ende
29. Nama Umur Pekerjaan
: Raymond T. Lesmana : 55 tahun : Ketua Dewan Pengurus Yayasan Cinta Bahari Antar Nusa – Tenaga Ahli Pengembangan Wisata Layar Nasional, Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi Pariwisata, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif R.I. : Denpasar – Bali : 0811124574
Alamat Hp
Lampiran 7: FOTO-FOTO SAIL INDONESIA DI KABUPATEN ENDE
Areal Titik Labuh Mausambi Kecamatan Maurole Kabupaten Ende Sumber: YCBAN, 2007 (Foto oleh Raymond T. Lesmana)
Areal Titik Labuh Pantai Mausambi Kecamatan Maurole Kabupaten Ende Sumber: YCBAN, 2007 (Foto by Raymond T. Lesmana)
164
165
Dermaga Wisata di Pantai Nanganio Sumber: Disbudpar, 2010.
Kuliner Lokal di Desa Nualise Sumber: Disbudpar, 2009
Atraksi Tarian Wanda Pa’u di Nanganio Sumber: Disbudpar, 2010
Lampiran 8: FOTO-FOTO WAWANCARA PENELITIAN
Wawancara di Desa Nualise, Kecamatan Wolowaru Sumber: Penelitian, 2013
Informan Desa Waturaka Kec. Kelimutu Sumber: Penelitian, 2013
Wawancara di Desa Wolotopo Timur Sumber: Penelitian, 2013.
Wawancara di Desa Otogedu Kecamatan Maurole Sumber: Penelitian, 2013
166
167
Wawancara di Nuabela Desa Watukamba Sumber: Penelitian, 2013
Wawancara di Desa Maurole Sumber: Penelitian, 2013
Wawancara di Detuara Desa Mausambi Sumber: Penelitian, 2013
Wawancara di Desa Mausambi Sumber: Penelitian, 2013
168
Wawancara di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende Sumber: Penelitian, 2013
Wawancara Dengan Raymond T. Lesmana, Tenaga Ahli Wisata Layar Nasional, Dirjen Pengembangan Destinasi, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sumber: Penelitian, 2013