PENGELOLAAN AIRTANAH DI INDONESIA Sebuah Ulasan dan Pemikiran DR. Heru Hendrayana (2007)
[email protected]
Fakultas Teknik – UGM
PENDAHULUAN Di Indonesia kebutuhan air bersih bagi masyarakat setiap tahun selalu meningkat sesuai dengan dinamika pembangunan baik peruntukannya sebagai air minum dan rumah tangga, industri, pertanian maupun menunjang usaha komersial lainnya. Sumbersumber alternatif untuk memenuhi kebutuhan air bersih adalah air hujan, air sungai, dan airtanah. Airtanah biasanya menjadi pilihan utama untuk memenuhi kebutuhan air bersih, hal ini disebabkan karena airtanah mempunyai kualitas yang lebih baik, mudah dieksploitasi, tidak perlu pengolahan dan dapat digunakan langsung di daerah yang memerlukan. Dengan berbagai keuntungan dan anggapan airtanah sebagai common property, airtanah dipergunakan tanpa pengelolaan dan perlindungan yang memadai, sebagai akibatnya terjadi degradasi kualitas dan kuantitas air tanah di berbagai tempat. Saat ini di beberapa kota besar di Indonesia telah terjadi degradasi airtanah dan kerusakan lingkungan baik di daerah rechage maupun di daerah discharge. Terjadinya kerusakan lingkungan di daerah recharge airtanah, antara lain karena penggundulan hutan dan alih fungsi lahan menjadi areal pertanian bahkan menjadi pemukiman berikut fasilitas pendukungnya. Pembentukan airtanah berkurang, sehingga jumlah cadangan airtanah pada cekungan airtanah pun berkurang. Hal ini ditunjukkan dengan semakin mengecilnya debit mataair dan turunnya muka airtanah secara regional. Setiap musim kemarau di beberapa daerah mengalami kekeringan dan kekurangan air. Sebaliknya di daerah yang sama pada musim penghujan terjadi banjir. Salah satu penyebab krisis air bersih di dunia sebagaimana terungkap pada 2nd World Water Forum di Den Haag adalah kelemahan penyelenggaraan pengelolaan air di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Pada forum tersebut telah dinyatakan 7 tantangan pokok pada pengelolaan sumberdaya air, yaitu:
Pertama, mengutamakan penggunaan sumberdaya air sebagai air minum yang bersih untuk memenuhi kebutuhan pokok manusia;
Kedua, menjamin tersedianya sumberdaya air bagi produksi pangan;
Ketiga, melindungi fungsi air untuk mendukung berkelanjutan kehidupan ekosistem;
Keempat, mengusahakan pembagian sumberdaya air secara adil bagi sebanyak mungkin manusia yang memerlukan;
Kelima, mengelola resiko yang berkaitan untuk menjamin berkelanjutan sumberdaya air bersih;
Keenam, memberikan nilai kepada air;
Ketujuh, membangun good governance untuk mengelola sumberdaya air secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan generasi masa kini tanpa mengurangi kebutuhan generasi masa depan. Salah satu langkah nyata dalam rangka mengatasi masalah air di Indonesia pada
bulan April 2004 di Jakarta telah dilakukan “Deklarasi Nasional” oleh 11 (sebelas) Menteri yang bernama “Deklarasi Nasional Pengelolaan Air Yang Efektif Dalam Penanggulangan Bencana”. Adapun isi Deklarasi Nasional tersebut adalah: 1. Meningkatkan upaya pengelolaan dan perlindungan sumberdaya air untuk menanggulangi bencana 2. Melakukan pencegahan kerusakan lingkungan melalui konservasi, rehabilitasi hutan dan lahan pada DAS kritis, pengelolaan kuantitas dan kualitas air, serta pengendalian pencemaran air. 3. Meningkatkan koordinasi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, serta meningkatkan kemampuan dan partisipasi seluruh pemangku kepentingan dan masyarakat luas dalam pengelolaan air pada penanggulangan bencana. 4. Meningkatkan pertukaran data dan informasi di bidang pengelolaan sumberdaya air dan penanggulangan bencana. Disamping itu, Pemerintah Republik Indonesia telah mencanangkan program Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air (GNKPA) pada perayaan Hari Air Nasional (HAS) pada tahun 2005. Program yang menjadi acuan kegiatan penyelamatan air meliputi : penataan ruang/pembangunan fisik, konservasi dan rehabilitasi hutan, lahan, dan air, pengendalian daya rusak air, pengelolaan penggunaan air yang berkelanjutan dan pemenuhan kebutuhan air yang adil. Airtanah merupakan satu sumberdaya air yang mempunyai peranan penting pada masalah penyediaan pasokan kebutuhan air bagi berbagai keperluan. Mengingat peranan airtanah yang semakin vital dan strategis, maka pemanfaatan airtanah harus Heru Hendrayana
2
memperhatikan keseimbangan dan pelestarian sumberdaya itu sendiri, atau dengan kata lain pemanfaatan airtanah harus berwawasan lingkungan. Airtanah sebagai salah satu sumberdaya air, saat ini telah menjadi masalah Nasional, sehingga mutlak dituntut perlunya langkah-langkah nyata untuk memperkecil dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan eksploitasi airtanah yang tidak terkontrol. Pengelolaan airtanah harus dilakukan secara bijaksana yang bertumpu pada aspek hukum, yakni peraturan perundangan yang berlaku di bidang airtanah, serta aspek teknis yang menyangkut pengetahuan keairtanahan (groundwater knowledge) suatu daerah. Pengelolaan airtanah dalam arti luas adalah segala upaya yang mencakup inventarisasi, pengaturan pemanfaatan, perijinan, pengendalian serta pengawasan dalam rangka konservasi airtanah. Pengelolaan airtanah pada hakekatnya melibatkan banyak pihak dan harus dilakukan secara bijaksana dengan mendasarkan aspek hukum dan aspek teknis. Pengelolaan airtanah harus didasarkan pada konsep pengelolaan cekungan airtanah (Groundwater Basin Management). Pengelolaan airtanah yang berwawasan lingkungan mencakup kegiatan untuk pelaksanaan konservasi airtanah dan pemantauan keseimbangan pemanfaatan airtanah. Pada saat ini pengelolaan airtanah dan kegiatan konservasi airtanah telah banyak dilakukan oleh berbagai pihak, baik Instansi Pemerintah maupun Swasta, tetapi pada kenyataannya hasil pengelolaan maupun konservasi airtanah belum dapat mencapai sasaran dan masih relatif jauh dari titik optimal.
KEBIJAKAN DAN PENGATURAN PENGELOLAAN AIRTANAH DI INDONESIA Pengelolaan airtanah di Indonesia pada dasarnya bertumpu pada aspek hukum dan aspek teknis. Aspek hukum merupakan peraturan dan perundangan yang digunakan untuk melandasi upaya pengelolaan airtanah, baik yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Peraturan dan perundangan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah sebenarnya merupakan pranata hukum yang bertindak sebagai ujung tombak upaya pelaksanaan pengelolaan dan perlindungan airtanah, dengan demikian peraturan daerah sangat menentukan dalam pencapaian program perlindungan sumberdaya airtanah. Karena sifatnya demikian, maka sebaiknya peraturan dan perundangan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah disesuaikan dan berdasarkan pada kondisi fisik sumberdaya airtanah yang ada di daerah tersebut. Aspek teknis Heru Hendrayana
3
pelaksanaan pengelolaan airtanah tidak mendasarkan pada batas administrasi suatu daerah, tetapi harus tetap mengacu pada konfigurasi cekungan airtanah dengan memperhatikan kondisi batas hidrogeologi yang ada.
2.1. Permasalahan Pengelolaan Airtanah Tantangan yang dihadapi pada pelaksanaan pengelolaan airtanah adalah terbatasnya sumberdaya airtanah di alam yang disertai dengan meningkatnya pengambilan airtanah. Peningkatan pengambilan sumberdaya airtanah di kota-kota besar di Indonesia telah melampaui batas kemampuan cadangan airtanah itu sendiri. Ditambah dengan keterbatasan pelayanan air bersih oleh Pemerintah yang sangat terbatas dan belum dapat menjangkau seluruh kebutuhan air domestik bagi masyarakat, telah mendorong pengambilan airtanah secara tidak terkontrol. Akibatnya di pusat-pusat pengambilan airtanah terjadi degradasi kuantitas, kualitas dan bahkan lingkungan airtanah secara signifikan. Kerusakan lingkungan di daerah imbuhan airtanah karena penggundulan hutan dan alih fungsi lahan menjadi areal kebun sayur atau palawija, bahkan menjadi pemukiman berikut berikut fasilitas pendukungnya telah menyebabkan turunnya kemampuan resapan air. Tekanan terhadap sumberdaya air khususnya airtanah seperti telah diuraikan di atas menunjukkan, bahwa sasaran pelaksanaan pengelolaan airtanah belum optimal sesuai seperti yang diharapkan, yaitu pengelolaan airtanah secara bijaksana, menyeluruh, terpadu, berkelanjutan, berwawasan lingkungan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Permasalahan pengelolaan airtanah yang masih banyak dijumpai, antara lain: a. Kebijakan pengelolaan belum menjamin : 1. Hak setiap individu mendapatkan air bersih temasuk airtanah guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari 2. Hak dasar masyarakat memperoleh akses penyediaan airtanah untuk memenuhi berbagai keperluan 3. Pemanfaatan
airtanah
yang
berkelanjutan
bagi
kemakmuran
dan
kesejahteraan rakyat 4. Perlindungan airtanah agar tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang memadai demi kelangsungan kesejahteraan umat manusia 5. Wewenang dan tanggung jawab pelaksanaan pengelolaan airtanah
Heru Hendrayana
4
6. Pelaksaanaan koordinasi pengelolaan airtanah antar industri Pemerintah dan atau
antar
Pemerintah
Daerah
guna
mengoptimalkan
pelaksanaan
perlindungan terhadap airtanah 7. Keterpaduan pengelolaan antara airtanah dan air permukaan sebagai upaya mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya air terpadu 8. Pelaksanaan penggunaan yang saling menunjang antara airtanah dan air permukaan guna mengatasi krisis air bersih b. Pengelolaan sumberdaya air yang terdiri dari air hujan, air permukaan dan airtanah tidak mungkin dilaksanakan oleh satu instunsi, akan tetapi harus secara terkoordinasi antar instansi terkait. Dengan demikian pengelolaan pemanfaatan air saling menunjang dapat dilaksanakan dengan optimal. c. Sistem pengambilan keputusan tidak efektif karena campur tangan pemerintah pada pengelolaan airtanah di daerah. Di samping itu, organisasi di daerah tidak atau kurang dilibatkan, sehingga daerah tidak mempunyai rasa memiliki atas sumberdaya air yang ada di wilayahnya. d. Pengelolaan airtanah oleh Pemerintah Daerah yang tidak berdasar pada cekungan airtanah lintas batas, tetapi lebih cenderung berdasarkan pada batas administrasi. Hal ini jelas bertentangan dengan sifat dasar airtanah yang mengalir sesuai kondisi hidrogeologinya tanpa mengenal batas administrasi. e. Belum adanya jaringan data dan informasi airtanah yang terintegrasi antar lembaga pengumpul atau pengelola data airtanah, hal tersebut akibat kurang tegasnya penerapan peraturan dan keterbatasan sumberdaya manusia di daerah. f.
Pemanfaatan airtanah secara parsial, kurang berkeadilan, belum menjadi hak masyarakat,
khususnya
masyarakat
miskin
untuk
mendapatkan
akses
penyediaan air bersih guna memenuhi kebutuhan dasarnya. g. Tidak dihargainya nilai ekonomi dan lingkungan airtanah pada pemanfaatannya, tetapi lebih menitik beratkan pada eksploitasi untuk mendapatkan pendapatan bagi daerah dari pada perlindungannya. h. Data dan informasi airtanah kurang memadai baik kuantitas maupun kualitasnya. Data dan informasi kurang informatif dan tidak seragam dalam format, belum tersusunnya standar sistem informasi airtanah, yang merupakan alat bantu pada perencanaan pengelolaan dan pendukung pengambilan keputusan.
Heru Hendrayana
5
i.
Terjadinya konflik kepentingan antar pengguna sumber air baku, karena meningkatnya degradasi kualitas, kuantitas, dan lingkungan airtanah, terutama pada cekungan airtanah di perkotaan. Di sisi lain, terjadi peningkatan kebutuhan sumber airbaku yang sangat pesat sejalan dengan dinamika pengembangan wilayah.
j.
Keterbatasan
sumberdaya (manusia, peralatan,, biaya) baik
di tingkat
pemerintah pusat maupun daerah, mengakibatkan pelaksanaan pengelolaan airtanah kurang efektif dan kurang maksimal. k. Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum atas setiap pelanggaran yang terjadi terhadap peraturan perundangan pengelolaan airtanah yang ada. l.
Kurangnya kepedulian masyarakat terhadap keberadaan dan fungsi airtanah, baik kualitas, kuantitas dan kontinuitasnya, yang disebabkan terbatasnya pengetahuan
masyarakat
terhadap
pemahaman
airtanah
(groundwater
knowledge). Permasalahan pengelolaan airtanah dipicu juga dengan adanya perubahan paradigma, yang pada akhirnya berpengaruh pada penentuan kebijakan dan proses pelaksanaan pengelolaan airtanah, antara lain:
Perubahan status airtanah dari komoditas sosial dan barang bebas menjadi komoditas sosial-komersial
Pergeseran peran Pemerintah sebagai provider menjadi enabler.
Perubahan sistem pemerintahan dari sentralisasi menjadi desentralisasi.
Perubahan
pola
pengelolaan
dan
pengembangan
sumberdaya
air
dari
Government Centrist menjadi Private-Public Participation.
Perubahan pelayanan pemerintah dari birocrative-normative menjadi responsiveflexible.
Perubahan sistem kebijakan Pemerintah dari top-down menjadi botton-up.
2.2. Tantangan pada Pelaksanaan Pengelolaan Airtanah Banyaknya permasalahan dan kendala yang masih ada terhadap pelaksanaan pengelolaan airtanah di Indonesia, baik yang bersifat teknis maupun non teknis yang berpengaruh pada sasaran pengelolaan airtanah, maka dalam rangka penyelenggaraan pengelolaan airtanah banyak menghadapi tantangan, antara lain:
Heru Hendrayana
6
Pengelolaan sumberdaya air secara terpadu antara airtanah dan air permukaan, mengingat, bahwa airtanah adalah bagian tak terpisahkan dari ekosistem hidrologi dengan air permukaan. Menerapkan konsep dasar pengelolaan air tanah secara total (Total Groundwater Management) yang memadukan konsep pengelolaan Groundwater Basin dan River Basin. Pendekatan pengelolaan airtanah dengan mendasarkan konsep Regional, Intermediate dan Local/Artificial Gruondwater Flow System guna memecahkan permasalahan kuantitas dan kualitas airtanah pada setiap recharge area ataupun discharge area. Mempertimbangkan penilaian resiko (Risk Assessment) pada airtanah, baik pada aspek kuantitas maupun kualitas pada setiap kebijakan pengelolaan airtanah. Hal ini untuk meminimalkan dampak negatif akibat pemanfaatan airtanah terhadap lingkungannya. Desentralisasi pengelolaan airtanah dengan cara memberdayakan daerah untuk mengelola airtanah pada lingkup wilayahnya tanpa mengabaikan sifat keterdapatan dan aliran airtanah serta prinsip cekungan airtanah lintas batas. Pemenuhan hak dasar setiap orang untuk mendapatkan air bersih dari airtanah bagi kebutuhan pokok sehari-hari guna mencapai kehidupan yang sehat, bersih, dan produktif. Ketersediaan sistem informasi airtanah mencakup jaringan data dan informasi airtanah terpadu didasarkan pada data keairtanahan yang andal, tepat, akurat, dan berkesinambungan, yang mencangkup seluruh wilayah Indonesia. Kontinuitas
ketersediaan
airtanah
dengan
menjaga
keseimbangan
antara
pemanfatan nilai ekonomi air dan ketersediaan airtanah sebagai bagian ekosistem hidrologi, mencegah degradasi kuantitas, kualitas, dan lingkungan airtanah, mengendalikan
pemanfaatan
air
tanah
sesuai
nilai
ekonomi
dan
aspek
lingkungannya. Mewujudkan dan mengoptimalkan pemanfaatan air saling menunjang dengan menciptakan keterpaduan pemanfaatan airtanah, air permukaan, dan air hujan. Meningkatkan dan mengoptimalkan sumberdaya (manusia, keahlian, peralatan, dan biaya) pengelolaan, yaitu dengan memberdayakan masyarakat, swasta, para pihak berkepentingan, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat. Segera dilakukan identifikasi Bencana atau Bahaya Airtanah (Groundwater Hazard) yang mencakup kuantitas dan kualitas, khususnya di daerah-daerah urban di Indonesia. Kebijakan pengelolaan airtanah di masa datang harus mengacu pada Heru Hendrayana
7
Groundwater Hazard Management yang disusun berdasarkan Groundwater Risk Assessment. Mengingat penduduk daerah urban di masa datang akan mencapai 60% jumlah penduduk, maka segera diterapkan konsep Urban Hydrogeology pada setiap evaluasi kondisi airtanah di kota-kota besar di Indonesia. Mengingat isu krisis air bersih di dunia yang semakin meningkat, maka sudah saatnya mulai dikenalkan konsep Airtanah sebagai Sumberdaya Tidak Terbarukan (Groundwater as Non-Renewable Resource) dalam rangka untuk mencapai Groundwater Sustainibility.
2.3. Kebijakan pada Bidang Airtanah di Indonesia Sumberdaya air adalah karunia Tuhan yang sangat vital bagi kehidupan dan penghidupan seluruh makhluk hidup. Oleh sebab itu, keberadaannya termasuk di bumi Indonesia perlu dikelola secara bijaksana, demi kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rahyat. Dengan demikian, maka pengelolaan sumberdaya airtanah didasarkan atas azas, bahwa:
Sumberdaya airtanah adalah karunia Tuhan, yang terkandung di dalam bumi Indonesia, dikuasai oleh Negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat di segala bidang nasional, ekonomi, lingkungan, politik maupun ketahanan nasional.
Sumberdaya airtanah mempunyai fungsi sosial. Pola pengaturan airtanah didasarkan atas asas kemanfaatan, keseimbangan dan kelestarian,
Hak atas airtanah adalah semata-mata hak guna air, yakni hak untuk memperoleh air bagi keperluan tertentu.
Airtanah untuk keperluan air minum merupakan prioritas utama diatas keperluan lain.
Pertimbangan lain yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan airtanah: o
Keterpihakan kepada masyarakat atau kepentingan yang lebih luas yang tercermin pada prioritas peruntukannya
o
Tuntutan kebutuhan pendapatan daerah perlu diimbangi dengan peningkatan upaya perlindungan airtanah dan pelayanan kebutuhan masyarakat terhadap air bersih.
Untuk mencapai tujuan tersebut, serta untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya degradasi kondisi dan lingkungan Heru Hendrayana
airtanah, maka Pemerintah telah 8
merumuskan dan menetapkan berbagai kebijakan di bidang airtanah antara lain sebagai berikut : 1. Menyelenggarakan pengelolaan airtanah berdasarkan pada prinsip pelestarian Pembentukan airtanah pada akuifer memerlukan waktu yang relatif lama, sehingga upaya perbaikan atau rehabilitasi sulit dilakukan, serta membutuhkan waktu yang relatif lama. Dengan demikian pada setiap upaya pendayagunaan perlu diimbangi dengan upaya perlindungan agar pemanfaatannya dapt berkelanjutan. Beberapa ketentuan yang diberlakukan adalah kewajiban melakukan upaya konservasi bagi yang mendayagunakan airtanah, serta kegiatan lain yang berpotensi merusak kondisi lingkungan airtanah, misalnya kegiatan penambangan, pengeringan airtanah, pembangunan kawasan pemukiman, kawasan industri, dan lain-lain. 2). Melaksanakan pengelolaan airtanah didasarkan pada cekungan airtanah Konsep cekungan airtanah sebagai kesatuan wilayah
pengelolaan airtanah
didasarkan pada prinsip terbentuknya airtanah yang utuh dalam satu neraca air sejak dari daerah imbuhan hingga daerah lepasan pada suatu wadah. Tujuan kebijakan di atas agar seluruh kegiatan pengelolaan airtanah meliputi konservasi, pendayagunaan, pengendalian dan pengawasan dapat dilakukan dalam satu cekungan airtanah yang mencakup ekosistem hidrogeologinya. Penetapan cekungan airtanah di Indonesia dikuatkan oleh Peraturan Presiden sebagai dasar penyelenggaraan pengelolaan airtanah oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. 3) Mendorong penyelenggaraan pengelolaan sumberdaya air terpadu (Intergrated water resources management) Pengelolaan terpadu merupakan suatu proses yang mengutamakan pembangunan dan pengelolaan sumberdaya air, lahan, dan sumberdaya terkait lainnya secara terkoordinasi untuk memaksimalkan pencapaian target ekonomi dan kesejahteraan sosial tanpa mengorbankan ekosisitem. Karena pentingnya keterpaduan untuk mewujudkan tujuan pengelolaan sumberdaya air, Pemerintah telah memasukkan kegiatan ini kedalam UU No 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional. Terdapat tiga program keterpaduan yang telah dicanangkan dalam UU tersebut, yaitu (1) penyelenggaraan konservasi airtanah dan air permukaan secara terpadu, (2) keterpaduan penggunaan airtanah dan air permukaan, serta (3) keterpaduan pengendalian pencemaran airtanah dan air permukaan. Melalui kegiatan ini Pemerintah mengharapkan permasalahan-permasalahan yang mendasar pada pengelolaan sumberdaya air dapat segera diselesaikan. Dan sebagai upaya menjamin Heru Hendrayana
kesinambungan
ketersediaan
sumberdaya
air,
serta
menjamin 9
pemanfaatan
yang
berkelanjutan,
Pemerintah
secara
konsisten
akan
terus
mengupayakan terlaksananya pengelolaan airtanah yang baik, bijaksana, dan terpadu. 4) Memprioritaskan pemanfaatan untuk air minum di atas semua peruntukan lain Masyarakat luas memperoleh hak atas air, yang merupakan hak guna air. Pemanfatan air sebagai air minum merupakan prioritas utama di atas segala keperluan lain, menyusul prioritas untuk keperluan rumah tangga, peternakan dan pertanian
sederhana, irigasi, industri, pertambangan, usaha
perkotaan
dan
kepentingan lainnya. 5) Pengembangan airtanah untuk mengatasi kesulitan air Sebagai upaya membantu pengentasan kemiskinan masyarakat di desa-desa sulit air, Pemerintah telah mencanangkan program pengembangan airtanah melalui pengeboran akuifer dalam, pembuatan sumur pengumpul, penurapan mata air serta pemanfaatan sungai bawah tanah. Upaya ini bertujuan agar pada masa mendatang tidak ada lagi masyarakat pedesaan yang mengalami kesulitan memperoleh air bersih. Demikian juga masyarakat di daerah perkotaan agar dapat memperoleh air bersih bagi kebutuhan hidupnya, serta mendukung untuk keperluan industri.
DINAMIKA PENGATURAN SUMBERDAYA AIRTANAH DI INDONESIA Dinamika sejarah pengaturan sumberdaya airtanah dapat dikelompokkan menjadi beberapa periode, yaitu 1) Zaman Belanda, 2) Zaman kemerdekaan, 3) Zaman sebelum Otonomi Daerah, dan 4) Zaman Otonomi Daerah. Perkembangan pengaturan sumberdaya airtanah di Indonesia dijelaskan sebagai berikut:
3.1. Periode Sebelum Kemerdekaan 1945 Peranan airtanah yang sangat vital untuk menunjang perkembangan Negara, maka sejak zaman kolonial, Pemerintah Hindia Belanda menyelenggaraka kebijakan pengelolaan airtanah dalam suatu perundangan yang pada dasarnya menguasai sumber alam tersebut. Pada awalnya, seperti pada Staatblad 1871, No. 19, pengeboran airtanah dapat dilaksanakan oleh Pemerintah (dalam hal ini Zeni Angkatan Darat). Setelah berdirinya Heru Hendrayana
10
Dinas Penyelidik Bumi (Diens van het Grondpielwezen) pada 1873, seluruh kegiatan pengeboran dilaksanakan oleh dinas tersebut (Staatblad 1873, No 337). Pada lembaran tersebut diatur, bahwa pengeboran artesis hanya boleh dilaksanakan oleh Menteri Pertambangan. Perusahaan pengeboran swasta dimulai terlibat pada tahun 1884 (Staatblad 1884, No. 50) dan ijin pengeboran airtanah lebih dari 15 meter dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Pemerintah Hindia Belanda. Selanjutnya pada tahun 1912, kewenangan pemberian ijin pengeboran dikeluarkan ole Dienst van Mijnwezen (Saatblad 1912, No.430). Pada 1924, diberlakukan peraturan baru pada kegiatan pengeboran airtanah yang dilaksanakan oleh perusahaan swasta (Saatbald 1924, No. 74). Berdasarkan peraturan ini, pengeboran sumur lebih dari 15 meter, dikenakan ijin yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi, setelah dikonsultasikan dengan Biro Pertambangan. Ijin ini mencakup kegiatan untuk untuk mengubah, menutup, memperdalam, ataupun membersihkan sumur. Pada 1936, telah diundangkan peraturan pusat di bidang sumberdaya air, yang berlaku di Jawa dan Madura, Algemeen Waterreglement (Staatbaald 1936, No 489). Pasal 28 yang menyangkut airtanah pada peraturan tersebut, mengatur: 1.
Tanpa ijin dari Pemerintah Provinsi, kegiatan berikut ini dilarang; a. Pengambilan airtanah lebih dari 15 meter b. Pengubahan dan pembersihan sumur lebih dari 15 meter
2. Kegiatan seperti di atas akan diijinkan setelah dikonsultasikan terlebih dahulu dengan Kepala Biro Pertambangan. Semua peraturan tentang airtanah masa kolonial tersebut di atas masih dipakai selama masa awal kemerdekaan, tetapi pada saat ini tidak sesuai lagi.
3.2. Periode 1945-1974 Kegiatan pengembangan airtanah tidak banyak dilaksanakan pada awal kemerdekaan. Pengeboran sumur dalam masa itu dilaksanakan oleh Direktorat Geologi. Setelah itu perusahaan pengeboran swasta melakukan pemboran beberapa sumur bor dalam. Tahun 1972 diterbitkan keputusan Presiden No. 64 tentang “Pengaturan penguasaan dan Pengurusan Uap Geothermal, Sumber Air Bawah Tanah dan Mata Air Panas“. Pada pasal 1 keputusan tersebut, tertulis tanggung jawab pengurusan
Heru Hendrayana
11
administrasi atas geothermal, sumber air bawah tanah dan mata air panas yang terdapat di Indonesia ada pada Menteri Pertambangan.
3.3. Periode 1974-2000 Sebagai perwujudan dari ayat 3 pasal 33 Undang Undang Dasar 1945, maka pada tahun 1974 diundangkan Undang-Undang No 11 tentang Pengairan. Undang Undang ini menitikberatkan fungsi sosial sumberdaya air, dengan demikian penguasaan atas penggunaan sumberdaya tersebut dilakukan oleh Negara bagi kemakmuran rakyat. Peraturan-peraturan hukum yang ada mengenai air dan atau sumber-sumber air, sebelum undang-undang ini ditetapkan, dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan pada saat itu dan tidak memenuhi cita-cita yang diharapkan sesuai Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Algemen Waterreglement (AWR) tahun 1936 yang digunakan sebagai dasar pengaturan sebelum Undang-Undang tersebut tidak memberikan dasar yang kuat untuk usaha-usaha pengembangan pemanfaatan air dan atau sumber-sumber air guna meningkatkan taraf hidup rakyat. Selain itu AWR hanya berlaku di pulau Jawa dan Madura. Pasal 5 ayat 2 khusus tentang airtanah, undang-undang tersebut menetapkan sebagai berikut “Pengurusan administrasi atas sumber air bawah tanah dan mata air panas sebagai sumber mineral dan tenaga adalah diluar wewenang dan tanggung jawab Menteri yang disebut dalam ayat 1 pasal ini ”(maksudnya Menteri yang diberi tugas urusan pengairan). Pasal tersebut jelas mengamanatkan, bahwa air bawah tanah diperlakukan pengaturan tersendiri oleh Menteri yang diserahi tugas urusan air bawah tanah. Peraturan yang diterbitkan pada zaman sebelum otonomi daerah antara lain: a. Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1982 Pelaksanaan Undang-Undang No. 11 Tahun 1974 tersebut, telah ditetapkan Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1982, tentang tata pengaturan air. Karena kedudukan akuifer pada tiap daerah berbeda-beda kedalamannya, maka pengaturan pengambilan air bawah tanah harus disesuaikan dengan kondisi hidrogeologi setempat. Batas-batas kedalaman ini ditetapkan oleh Menteri yang diatur dalam suatu peraturan tersendiri. b. Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No. 03/P/M/Per-Tamben/1983 Mengingat peraturan ketentuan pada pasal 6 ayat 1 dari Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1982, maka ditetapkan Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No. 03/P/M/Per-Tamben/1983, tentang pengelolaan air bawah tanah.
Heru Hendrayana
12
Pada dasarnya Peraturan Menteri tersebut menetapkan, bahwa pengurusan administratif air bawah tanah adalah pengelolaan air bawah tanah dalam arti luas yang mencakup segala usaha inventarisasi, pengaturan, pemanfaatan, perijinan dan pengendalian serta pengawasan dalam rangka konservasi air bawah tanah. c. Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No. 08.P/03/M.PE/1991 Mengingat, bahwa kegiatan usaha industri dan pertambangan termasuk kegiatan usaha pertambangan, maka berkaitan dengan hubungan ekonomi internasional dan mempunyai peranan yang luas dalam pembangunan ekonomi sesuai pasal 22 Peraturan Pemerintah No. 22 tahun 1982, maka ditetapkan
Peraturan
Menteri
Pertambangan
dan
Energi
No.
08.8/03/MPE/1991, yang mengatur : Penggunaan air dan/atau sumber air untuk kegiatan usaha industri dan pertambangan, termasuk kegiatan usaha pertambangan minyak dan gas bumi diatur bersama oleh Menteri yang terkait. d. Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No. 02.P/101/M.PE/1994 Pada pelaksanaan kedua peraturan di atas ditemui adanya perbedaan pemahaman tentang kewenangan pemberian ijin pengambilan airtanah untuk kegiatan usaha industri oleh Pemerintah Daerah, sehingga pengelolaan airtanah di beberapa daerah tidak berjalan sesuai sasaran. Oleh sebab itu, untuk
menunjang
kebijakan
Pemerintah
di
bidang
deregulasi
dan
debirokratisasi, terutama berkaitan dengan pengambilan dan pemanfaatan airtanah, maka Menteri memandang perlu untuk mencabut Peraturan Menteri Pertambangan
dan
Energi
No.
03/P/M/Pertamben/83
dan
Nomor
08.P/03/M.PE/1991, dan menetapkan Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 02.P/101/M.PE/1994 tanggal 26 Desember 1994 tentang pengurusan administrasi air bawah tanah. e. Keputusan
Dirjen
Geologi
dan
Sumberdaya
Mineral
Nomor
005.K/10/DDJG/1995 Untuk pelaksanaan Peraturan Menteri tersebut Direktur Jenderal Geologi dan Sumberdaya Mineral menetapkan Keputusan Direktur Jenderal Geologi dan Sumberdaya Mineral nomor 005.K/10/DDJG/1995 tanggal 11 Maret 1995 tentang petunjuk pelaksanaan pengurusan administratif air bawah tanah. Keputusan Direktur Jenderal ini mengatur wewenang dan tanggung jawab pengurusan
administrasi
air
bawah
tanah
yang
dalam
hal
tertentu
pelaksanaannya dilakukan oleh Direktur Geologi Tata Lingkungan atau Kepala Kantor Wilayah Departemen Pertambangan dan Energi. Heru Hendrayana
13
f. Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No. 1945.K/102/-M.PE/1995 Penyerahan sebagian urusan pemerintah di beberapa bidang kepada Pemerintah Daerah Tingkat II Otonomi Percontohan seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1995, maka di bidang air bawah tanah, Menteri
Pertambangan
dan
Energi
menetapkan
Keputusan
Menteri
Pertambangan dan Energi No. 1945.K/102/M.PE/1995 tanggal 26 Desember 1995 tentang Pedoman Pengelolaan Air Bawah Tanah untuk Daerah Tingkat II. g. Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No. 1946.K/102/-M.PE/1995 Sebagai pedoman pelaksanaan pasal 7 Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 02.P/101/M.PE/1994, maka ditetapkan Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No. 1946.K/102/M.PE/1995 tanggal 26 Desember 1995 tentang Perijinan Pengeboran dan Pengambilan Air Bawah Tanah Untuk Kegiatan Usaha Pertambangan dan Energi. Semua peraturan yang terbit sebelum otonomi daerah di bidang air bawah tanah jelas menunjukan, bahwa wewenang pengurusan administratif air bawah tanah adalah pada Menteri Pertambangan dan Energi sebagai Menteri yang bertanggung jawab dalam urusan pertambangan (Undang-Undang Nomor 11 tahun 1974 pasal 5
ayat 2 jo
peraturan pemerintah nomor 22 tahun 1982 pasal 6 ayat 1). Dengan demikian berarti, bahwa pengurusan administratif merupakan wewenang Pemerintah Pusat. Pemerintah Provinsi c/q Gubernur Kepala Daerah berwewenang pada pemberian ijin pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah berdasarkan petunjuk teknis Menteri dalam hal ini Menteri yang bertanggung jawab dalam urusan pertambangan (Peraturan Pemerintah nomor 22 tahun 1982 pasal 6 ayat 2). Dengan demikian peran Pemerintah Daerah adalah melakukan tugas pembangunan terhadap Pemerintah Pusat dalam pengurusan administratif air bawah tanah; termasuk bagi Pemerintah Daerah Tingkat II otonomi percontohan sesuai Peraturan Pemerintah nomor 8 tahun 1995 jo keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No 1945.K/102/M.Pe/1995. Tugas perbantuan tersebut secara garis besar mencakup: 1. Pemberian ijin pengeboran dan ijin pengambilan air bawah tanah 2. Pengawasan 3. Pengendalian
3.4. Pengaturan Airtanah Pada Masa Otonomi Daerah Dengan diberlakukan UU No. 22 Tahun 1999 dan PP Nomor 25 tahun 2000, saat itu penyelenggaraan pengelolaan airtanah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, Heru Hendrayana
14
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah (Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral sesuai kewenangannya). Sesuai amanat PP No. 25 Tahun 2000, maka DESDM telah mengeluarkan Keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral No. 1451.K/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Penyelanggaraan Tugas Pemerintah di Bidang Pengelolaan Bawah Tanah berikut 11 Lampiran Pedoman Teknis dan prosedur sebagai acuan penyusunan Peraturan Daerah dan pedoman pelaksanaan pengelolaan air tanah di daerah pada era otonomi daerah. Sebagai acuan dalam penyelenggaraan pengelolaan airtanah berbasis cekungan airtanah telah dikeluarkan Keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral No. 716.K/40/MEM/2003 tentang Batas Horisontal Cekungan Airtanah di P.Jawa dan P.Madura yang termuat dalam peta cekungan airtanah skala 1:250.000. Selanjutnya telah disiapkan Keputusan MESDM yang memuat 16 Pedoman Teknis, prosedur, dan kriteria untuk melengkapi panduan pada pelaksanaan pengelolaan airtanah. Kewenangan pengelolaan airtanah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 dan PP No.25 tahun 2000 telah diserahkan kepada Provinsi dan Kabupaten/Kota sesuai kewenangannya, tetapi belum seluruh daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota memiliki Peraturan
Daerah
tentang
Pengelolaan
Airtanah.
Pemerintah
Provinsi
dan
Kabupaten/Kota yang belum memiliki Peraturan Daerah didorong untuk menyiapkan Perda tentang Pengelolaan Airtanah. Pemerintah telah menetapkan UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air yang bersifat desentralistik guna menggantikan UU No. 11 tahun 1974 yang bersifat sentralistik. Hal tersebut untuk menyesuaikan pengelolaan sumberdaya air di era otonomi daerah. Undang-undang tersebut masih perlu dilengkapi dengan peraturan pemerintah tentang airtanah. Kebutuhan peraturan pemerintah ini sudah sangat mendesak mengingat meningkatnya permasalahan airtanah. Peraturan ini akan berfungsi sebagai payung pada penyelenggaraan pengelolaan airtanah oleh Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, serta sebagai acuan pada penyusunan peraturan daerah di bidang airtanah. Substansi pengaturan pada peraturan pemerintah ini sebagai upaya pemecahan berbagai masalah dalam pengelolaan airtanah, sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Upaya pemecahan masalah tersebut antara lain: a. Penetapan kebijakan pengelolaan airtanah secara terpadu dengan sumberdaya air yang lain, serta bagian tak terpisahkan dalam penataan ruang. b. Penetapan kebijakan atas pengakuan hak dasar setiap orang untuk mendapatkan air, hak mendapatkan informasi dan hak keterlibatan dalam pengelolaan. Heru Hendrayana
15
c. Penetapan wewenang dan tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah pada pengelolaan airtanah sesuai dengan prinsip-prinsip desentralisasi dan sifat aliran airtanah. d. Perencanaan pengelolaan terpadu didasarkan pada data dan informasi keairan yang
handal,
tepat,
akurat,
dan
berkesinamungan,
serta
menjamin
terselenggaranya konservasi, pendayagunaan, pencegahan degradasi airtanah, dan pemberdayaan para pelaku pengelolaan. e. Penyelenggaraan konservasi dengan menetapkan kawasan lindung dan kawasan budidaya airtanah, serta upaya pelestarian dan pengawetan airtanah. f.
Penggunaan airtanah secara terpadu dan menyeluruh dengan menerapkan prinsip konservasi, keadilan, pemanfaatan akuifer lintas batas, conjunctive use, demand management, dan korporasi yang mencerminkan keseimbangan nilainilai ekonomi, lingkungan, sosial, dan budaya dari airtanah.
g. Pengendalian dan pemantauan pemanfaatan airtanah, melalui penciptaan instrument
pengendalian,
penutupan
daerah
bagi
pengambilan
airtanah,
pembatasan pengambilan, peningkatan imbuhan, mitigasi, penegakan hukum yang taat asas, menerus dan tidak diskriminatif. h. Pemberdayaan masyarakat, swasta, para pihak berkepentingan, pemerintah daerah, dan pemerintah dengan melibatkan pada setiap proses pengelolaan, pendidikan sepanjang hayat, dan pelatihan. Beberapa pengaturan pada pengelolaan airtanah dalam peraturan pemerintah antara lain: a. Pengelolaan pada cekungan airtanah Pengelolaan airtanah dilaksanakan berdasarkan cekungan airtanah, dalam satu neraca air secara utuh mulai dari daerah imbuhan sampai daerah lepasan.
Pengelolaan
air
tanah
meliputi inventarisasi,
perencanaan,
pendayagunaan, konservasi, peruntukan pemanfaatan, perijinan, pembinaan dan pengendalian, serta pengawasan dilaksanakan secara utuh dalam satu cekungan airtanah. b. Perijinan Airtanah Penerapan
perijinan
airtanah
merupakan
bentuk
legitimasi
dalam
pengelolaan airtanah, dan juga dimaksudkan sebagai pengendalian dalam pendayagunaan airtanah. Ijin pengeboran, penurapan mata air, pengambilan airtanah dan mata air hanya diberikan untuk daerah yang kondisi airtanahnya
Heru Hendrayana
16
masih aman atau masih memungkinkan dapat diambil tanpa mengakibatkan degradasi kondisi dan lingkungan airtanah. c. Pengendalian pengambilan airtanah Pemanfaatan airtanah dari tahun ketahun terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan meningkatnya pembangunan berbagai sektor. Kebijakan yang diambil pada pengendalian pemanfaatan airtanah antara lain pengaturan persyaratan teknis pada pemberian ijin pengeboran, penurapan mata air, dan pengambilan, serta pembatasan debit pengambilan. Kebijakan ini bertujuan untuk menjaga lingkungan sumberdaya airtanah, serta mempertahankan keberadaan airtanah agar mampu menopang kebutuhan air untuk jangka panjang dan masa datang. Pada pemanfaatan airtanah untuk industri, secara bertahap perlu dikurangi, dan diganti dengan air permukaan. Penentuan kawasan industri, terutama jenis industri yang memerlukan banyak air perlu mempertimbangkan daya dukung ketersediaan sumber air, terutama air permukaan, dan menghindari ketergantungan pada pemanfaatan airtanah.
Dengan melalui proses yang panjang, akhirnya pada tahun 2008 pemerintah telah mengesahkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2008 tentang Airtanah. Peraturan ini merupakan salah satu tindakan nyata dan serius dari pemerintah dalam rangka menangani permasalahan airtanah, dan juga merupakan penjabaran yang lebih rinci tentang airtanah dari Undang Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Dalam peraturan pemerintah ini telah diatur segala sesuatu yang berkaitan dengan sumberdaya airtanah, termasuk landasan, kebijakan dan strategi pengelolaan airtanah, tentang perijinan, pemberdayaan, pengendalian dan pengawasan, beserta sanksi terhadap pelanggaran terhadap peraturan perundangan airtanah. Dengan berlakunya
peraturan
pemerintah
ini,
maka
diharapkan
pelaksanaan
dan
penyelenggaraan pengelolaan airtanah di Indonesia segera mencapai sasaran optimal yang dapat dirasakan masyarakat secara lebih nyata.
Heru Hendrayana
17
BATASAN KONSEPTUAL KONSERVASI DAN PENGENDALIAN PADA PENGELOLAAN AIRTANAH
Pengelolaan airtanah adalah upaya merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan kegiatan konservasi, pendayagunaan airtanah dan pengendalian daya rusak airtanah. Perkembangan pemanfaatan airtanah yang berkelanjutan membutuhkan konsep pengelolaan airtanah yang efektif dan efisien serta tepat sasaran. Pada dasarnya pengelolaan airtanah bertujuan untuk menselaraskan kesetimbangan
pemanfaatan
dalam
kerangka
kuantitas
dan
kualitas
dengan
pertumbuhan kebutuhan air yang meningkat dengan tajam. Penerapan pengelolaan airtanah sebaiknya dilakukan sebelum terjadinya penurunan kuantitas dan kualitas airtanah akibat pengambilan airtanah dan pencemaran airtanah. Oleh sebab itu, pengelolaan airtanah tidak saja merupakan upaya mengelola sumberdaya airtanah (managing
aquifer
resources),
tetapi
juga
upaya
mengelola
manusia
yang
memanfaatkannya (managing people). Pengelolaan airtanah sangat diperlukan baik secara teknis maupun non teknis untuk menghindari degradasi airtanah yang serius (baik kuantitas maupun kualitasnya), dimana pengelolaan harus disesuaikan dengan perilaku airtanah meliputi keterdapatan, penyebaran, ketersediaan, dan kualitas airtanah, serta lingkungan keberadaannya. Pengelolaan airtanah perlu diarahkan untuk mewujudkan keseimbangan antara pendayagunaan
airtanah
dan
upaya
konservasi, serta
pengendaliannya.
Pada
pemanfaatan airtanah yang berkelanjutan di wilayah cekungan airtanah, terdapat empat komponen teknis pengelolaan airtanah penting yang harus diperhatikan yaitu: 1. Resource Evaluation: Evaluasi Potensi Sumberdaya Airtanah 2. Resource Allocation: Alokasi Sumberdaya Airtanah yang tepat 3. Hazard and Risk Assessment: Kajian bahaya dan resiko pemanfaatan airtanah dan atau pencemaran airtanah 4. Side Effect and/or Pollution Control: Pengendalian dan pengontrolan dampak negatif pemanfaatan airtanah dan atau pencemaran airtanah.
Mengkaji peraturan perundangan pemerintah baik pusat maupun daerah (termasuk di dalamnya rancangan peraturan) tentang pengelolaan airtanah, ke-empat hal tersebut umumnya telah dipertimbangkan, walau terkemas dalam istilah dan urutan yang Heru Hendrayana
18
berbeda. Berdasarkan arti dari pengelolaan airtanah, konservasi airtanah merupakan salah satu komponen pengelolaan. Arti dari konservasi airtanah adalah upaya menjaga kelestarian,
kesinambungan
mempertahankan
ketersediaan,
keberlanjutan
daya
pemanfaatan
dukung,
fungsi
airtanah
airtanah. Disebutkan
serta
juga, bahwa
konservasi airtanah dilaksanakan melalui: (a) penentuan zona konservasi airtanah, (b) perlindungan dan pelestarian airtanah, (c) pengawetan airtanah, (d) pengelolaan kualitas dan pengendalian pencemaran airtanah, (e) pengendalian penurunan kuantitas airtanah dan
(f)
pemulihan
airtanah.
Penjelasan
ini
berarti,
bahwa
secara
konsep
penyelenggaraan konservasi airtanah meliputi juga tindakan pengendalian airtanah, sehingga batas antara kedua istilah ini menjadi saling tumpang tindih. Beberapa pustaka menggabungkan kedua istilah ini dalam satu istilah yang disebut perlindungan airtanah (groundwater protection). Secara umum strategi perlindungan airtanah dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu (1) perlindungan alamiah (natural protection), (2) tindakan pencegahan (preventive actions) dan (3) tindakan koreksi (corrective actions). Berkaitan dengan pelaksanaan pengelolaan airtanah batasan antara konservasi dan pengendalian airtanah perlu diperjelas agar pelaksanaannya tidak saling tumpang tindih atau hanya merupakan perulangan. Untuk itu dengan berdasarkan ke-empat faktor teknis dalam pengelolaan airtanah, batasan konservasi dan pengendalian harus ditetapkan. Secara umum komponen teknis pengelolaan airtanah, dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu: 1. Komponen teknis yang berkaitan dengan sumberdaya airtanah, dan 2. Komponen teknis kajian bahaya/resiko pemanfaatan dan pencemaran airtanah.
Untuk mewujudkan pemanfataan airtanah yang berkelanjutan, komponen sumberdaya
airtanah
adalah
komponen
yang
wajib
untuk
dikonservasi
demi
mempertahankan keberadaan airtanah baik kuantitas maupun kualitasnya (Gambar 1). Di sisi lain, pemanfaatan airtanah yang berkelanjutan juga harus ditunjang dengan pengendalian terhadap aktivitas eksploitasi airtanah dan pencemaran airtanah (lihat Gambar 2). Berdasarkan pemikiran sederhana ini, batasan konseptual antara tindakan konservasi dan pengendalian airtanah dapat ditetapkan seperti diperlihatkan pada Gambar 3. Pada gambar ini, yang dimaksudkan dengan konservasi airtanah adalah segala
tindakan
melindungi
airtanah
dengan
cara
melestarikan
mengawetkan
sumberdaya airtanah dan penghematan pemanfaatan sumberdaya airtanah. Tindakan pelestarian, pengawetan dan penghematan ini harus didasarkan pada hasil evaluasi kondisi sumberdaya airtanah dan alokasi pemanfaatan sumberdaya airtanah. Sedangkan Heru Hendrayana
19
pengendalian airtanah adalah segala tindakan melindungi airtanah dengan cara mengendalikan dampak negatif yang dapat muncul akibat pemanfaatan airtanah dan pencemaran airtanah.
Evaluasi Sumberdaya Airtanah
Potensi/Tata Guna Sumberdaya Aitranah
Alokasi Sumberdaya Airtanah Harus KONSERVASI
Pemanfaatan Airtanah yang Berkelanjutan Gambar 1. Komponen yang harus dikonservasi dalam kerangka pemanfaatan airtanah yang berkelanjutan.
Heru Hendrayana
20
Kajian Bahaya/Resiko
Efek Samping Eksploitasi dan Pencemaran Airtanah
Berhubungan dengan aktivitas pengambilan airtanah dan pencemaran airtanah
Harus DIKENDALIKAN
Pemanfaatan Airtanah yang Berkelanjutan Gambar 2. Komponen yang harus dikendalikan dalam kerangka pemanfaatan airtanah yang berkelanjutan. Berdasarkan penjelasan di atas, maka konservasi airtanah merupakan tindakan melindungi airtanah dengan strategi perlindungan alamiah (natural protection) dan tindakan pencegahan (preventive actions) untuk mempertahankan potensi dan alokasi sumberdaya airtanah. Sedangkan tindakan pengendalian airtanah adalah tindakan perlindungan airtanah dengan strategi tindakan pencegahan (preventive actions) dan tindakan koreksi (corrective actions) terhadap pengambilan dan atau pemanfaatan airtanah, serta pencemaran airtanah yang terjadi. Perlu digarisbawahi, bahwa tindakan pencegahan lebih masuk akal, karena umumnya lebih mudah dilakukan dengan waktu yang relatif singkat dan dengan biaya yang lebih rendah daripada tindakan koreksi yang umumnya membutuhkan waktu yang lama, serta biaya yang sangat tinggi.
Heru Hendrayana
21
Komponen Teknis Pengelolaan Airtanah Pada Suatu Wilayah Cekungan Airtanah Groundwater Resources Potential
Groundwater Abstraction and Pollution
Evaluasi Potensi Sumberdaya Airtanah
Kajian Bahaya dan Resiko Pemanfaatan dan Pencemaran Airtanah
Alokasi Sumberdaya Airtanah
Pengendalian Dampak Negatif Pemanfaatan dan Pencemaran Airtanah
Konservasi
Pengendalian
Tindakan Pelestarian, Pengawetan dan Penghematan Sumberdaya Airtanah
Tindakan Pengendalian untuk menghindari timbulnya dampak negatif pemanfaatan airtanah dan pencemaran airtanah
Gambar 3. Skema konservasi dan pengendalian pemanfaatan airtanah yang berkelanjutan.
airtanah
untuk
menunjang
KONSERVASI DAN PENGENDALIAN AIRTANAH 5.1. Etika Konservasi dan Pengendalian Airtanah Di Indonesia, kontribusi airtanah sebagai sumber air baku adalah sangat penting, sampai saat ini sekitar 150 juta penduduk Indonesia kebutuhan air bersih terpenuhi dari sumberdaya airtanah. Dari tahun ke tahun persediaan airtanah semakin berkurang, bahkan menjadi kritis di masa datang apabila ekploitasi airtanah dan pencemaran airtanah tidak dikontrol. Hal tersebut sangat mungkin terjadi, mengingat kebutuhan air akan meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk, peningkatan daerah
Heru Hendrayana
22
urban, peningkatan kebutuhan sanitasi, peningkatan kebutuhan industri dan pertanian, serta tantangan lain yang sejalan dengan kemajuan peradaban kehidupan manusia. Untuk menjaga keberlanjutan penggunaan airtanah, salah satu aspek penting dalam pengelolaan airtanah adalah pelaksanaan perlindungan airtanah yang mencakup kegiatan konservasi airtanah dan pengendalian airtanah. Konservasi airtanah adalah upaya memelihara keberadaan dan keberlanjutan keadaan, sifat, dan fungsi airtanah dengan melindungi airtanah dengan cara melestarikan, mengawetkan sumberdaya airtanah
dan
penghematan
pemanfaatan
sumberdaya
airtanah.
Sedangkan,
pengendalian airtanah adalah upaya untuk menjaga, mencegah, menanggulangi dan memulihkan kerusakan airtanah dengan melindungi airtanah melalui pengendalian dampak negatif yang timbul akibat pemanfaatan airtanah dan pencemaran airtanah. Etika pelaksanaan upaya konservasi dan pengendalian harus didasarkan dari hasil suatu penilaian bahaya dan resiko terhadap airtanah (groundwater hazard and risk assessment).
Penilaian bahaya dan resiko terhadap airtanah harus dimulai sejak di
lokasi pengambilan airtanah termasuk catchment area of groundwater, distribusi air, hingga sebelum dipergunakan oleh masyakarat untuk berbagai keperluan. Dalam kerangka konservasi airtanah, penilaian bahaya dan resiko didasarkan pada dua hal, yaitu (1) bahaya/resiko alamiah dan antropogen yang dapat menyebabkan perubahan potensi airtanah baik kuantitas dan kualitas dan (2) bahaya/resiko alamiah dan antropogen yang dapat menyebabkan perubahan pada alokasi sumberdaya airtanah. Sedangkan dalam kerangka pengendalian airtanah, penilaian bahaya dan resiko didasarkan pada tiga hal, yaitu (1) bahaya/resiko dampak kegiatan pengambilan airtanah dari aktivitas manusia, (2) bahaya/resiko pencemaran airtanah secara alami dan akibat aktivitas manusia, serta (3) kelayakan tindakan pemulihan kerusakan airtanah. Strategi
tindakan
perlindungan
airtanah
dengan
upaya
konservasi
dan
pengendalian sebenarnya dapat dibagi menjadi tiga kelompok tindakan, yaitu (1) perlindungan alamiah (natural protections), (2) tindakan pencegahan (preventive actions) dan (3) tindakan pemulihan (corrective actions). Dengan sistem penilaian bahaya/resiko, maka strategi tindakan yang tepat dan efisien pada kerangka upaya konservasi dan pengendalian airtanah dapat direncanakan dengan tepat sasaran. Hal ini dapat terwujud karena penilaian bahaya dan resiko mencakup semua evaluasi permasalahan alamiah dan aktivitas manusia yang dapat merubah kuantitas serta kualitas airtanah.
Heru Hendrayana
23
Konservasi airtanah melindungi airtanah dengan cara melestarikan, mengawetkan dan penghematan pemanfaatan sumberdaya airtanah. Upaya yang dilakukan adalah melalui tindakan perlindungan alamiah (misalnya, mempertahankan tatanan/tataguna lahan alamiah di daerah catchment area airtanah) dan tindakan pencegahan (misalnya, pengaturan penggunaan lahan di daerah catchment area airtanah, pembuatan sumur resapan). Sedangkan pengendalian airtanah melindungi airtanah melalui pengendalian dampak negatif yang dapat muncul akibat pemanfaatan airtanah dan pencemaran airtanah. Upaya yang dilakukan akan lebih mengarah pada tindakan pencegahan (misalnya, pengaturan jarak sumur pemompaan dan debit maksimum pemompaan) dan tindakan pemulihan (misalnya, pengaturan waktu pemompaan airtanah, mitigasi pencemaran airtanah). Perlu digarisbawahi, bahwa tindakan pencegahan lebih masuk akal karena umumnya lebih mudah dilakukan dengan waktu yang relatif singkat dan dengan biaya yang lebih rendah, daripada tindakan pemulihan yang umumnya membutuhkan waktu lama, serta biaya yang mahal. Setelah upaya konservasi dan pengendalian yang tepat telah direncanakan dan ditentukan berdasar sistem penilaian bahaya dan resiko, maka pelaksanaan upaya konservasi dan pengendalian airtanah harus dilakukan dengan pengawasan dan pemantauan (monitoring) terhadap indikator konservasi atau pengendalian. Selanjutnya diikuti dengan evaluasi dan komunikasi program pengelolaan yang optimal untuk menjamin terciptanya sasaran perlindungan airtanah, yaitu pemanfaatan airtanah yang berkelanjutan (Gambar 5).
Tindakan Perlindungan Airtanah Perlindungan Alamiah Konservasi Airtanah Pencegahan
Pemulihan
Pengendalian Airtanah
Gambar 4 : Hubungan antara tindakan perlindungan airtanah, konservasi airtanah dan pengendalian airtanah. Heru Hendrayana
24
Konservasi dan Pengendalian Airtanah Sistem Penilaian Bahaya dan Resiko
Operasional dan Pengawasan
Evaluasi dan Komunikasi
Gambar 5 : Diagram alir pelaksanaan konservasi dan pengendalian airtanah
5.2. Strategi Konservasi Airtanah Konservasi airtanah adalah upaya memelihara keberadaan serta keberlanjutan keadaan, sifat, dan fungsi airtanah agar senantiasa tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan makhluk hidup, baik pada waktu sekarang maupun masa datang. Secara umum strategi konservasi airtanah dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu : (1) konservasi alamiah, (2) tindakan pemulihan dan (3) tindakan pencegahan.
Pemilihan
dari
ketiga
strategi
konservasi
tersebut
memerlukan
pertimbangan serius. Penentuan pilihan strategi konservasi tidak memiliki rumusan tertentu yang memberi garansi, bahwa strategi konservasi terpilih adalah paling efektif dan akan berhasil di suatu daerah atau wilayah cekungan airtanah. Setiap wilayah cekungan airtanah yang berbeda dapat diterapkan strategi yang berbeda sesuai dengan kondisinya. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari keanekaragaman sistem airtanah, persepsi lokal tentang permasalahan pengelolaan airtanah, tradisi sosial dan politik, serta kemampuan pengelolaan dan pembiayaan program konservasi airtanah. Keberhasilan strategi kegiatan konservasi di suatu wilayah cekungan airtanah, belum tentu dapat diterapkan di wilayah cekungan airtanah lain dengan strategi yang sama. Tetapi secara umum, prinsip konservasi airtanah harus berdasarkan pada pengelolaan yang memperhatikan aspek lingkungan. Dan tindakan pencegahan adalah tindakan yang lebih baik, karena tindakan ini membutuhkan biaya yang lebih murah daripada tindakan pemulihan yang umumnya mahal, membutuhkan
Heru Hendrayana
25
waktu yang lama, serta kadang memerlukan tindakan rekayasa yang tidak mungkin dilakukan.
5.3. Kegiatan Konservasi Airtanah Konservasi
airtanah
merupakan
pengelolaan
airtanah
untuk
menjamin
pemanfaatannya secara bijaksana dan menjamin kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara, serta meningkatkan mutunya. Dengan demikian konservasi merupakan tindakan yang perlu dilakukan dalam mengelola sumberdaya airtanah agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Untuk dapat melaksanakan konservasi airtanah perlu pemahaman tentang sifatsifat, karakteristik airtanah di alam, meliputi : geometri dan konfigurasi sistem akuifer, proses pembentukan dan pergerakan airtanah mulai dari daerah imbuhan hingga daerah pelepasan, serta sifat fisik dan kimia sumberdaya air tersebut. Kegiatan konservasi airtanah merupakan bagian dari pengelolaan sumberdaya air tepadu, telah diatur dalam UU Sumberdaya Air, yang kemudian dirinci dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2008 tentang Airtanah. Dalam pelaksanaannya, kegiatan konservasi airtanah masih memerlukan pedoman yang lebih rinci agar kegiatan konservasi tersebut dapat berjalan dengan optimal. Berdasarkan batasan antara konservasi dan pengendalian airtanah, maka konservasi airtanah antara lain mencakup kegiatan: 1. perlindungan dan pelestarian airtanah; 2. pengawetan dan penghematan airtanah; 3. penentuan zona konservasi airtanah.
Seperti disebutkan di atas, upaya konservasi dilakukan melalui serangkaian kegiatan meliputi pelestarian, perlindungan, pengawetan yang ditentukan dalam kerangka zona konservasi airtanah. Pelestarian airtanah merupakan upaya menjaga kelestarian kondisi dan lingkungan airtanah agar tidak mengalami perubahan. Perlindungan airtanah merupakan upaya menjaga keberadaan serta mencegah terjadinya kerusakan kondisi dan lingkungan airtanah, dan termasuk di dalamnya upaya memelihara keberadaan airtanah agar tersedia sesuai fungsinya. Pengawetan airtanah merupakan upaya memelihara kondisi dan lingkungan airtanah agar selalu tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang memadai. Heru Hendrayana
26
Upaya konservasi airtanah dilaksanakan secara menyeluruh pada wilayah cekungan airtanah, mencakup daerah imbuhan dan daerah lepasan airtanah dan harus menjadi salah satu pertimbangan dalam perencanaan pendayagunaan airtanah dan perencanaan tata ruang. Pelaksanaan pendayagunaan airtanah dan kegiatan lain yang berpotensi mengubah dan merusak kondisi dan lingkungan airtanah wajib disertai dengan upaya konservasi airtanah. Setiap upaya konservasi airtanah menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah baik pusat maupun daerah. Upaya perlindungan dan pelestarian airtanah harus juga mengikut sertakan peran masyarakat.
5.4. Strategi Pengendalian Airtanah Seperti halnya dengan strategi konservasi airtanah yang lebih diarahkan sebagai upaya preventif untuk menjaga kesinambungan pemanfaatan airtanah dan lingkungan yang tergantung pada airtanah, maka strategi pengendalian airtanah juga diarahkan pada upaya-upaya preventif seperti (1) pengendalian kerusakan kuantitas airtanah akibat pengambilan dan atau pemanfaatan airtanah, dan (2) pengendalian kerusakan kualitas airtanah akibat pencemaran airtanah.
Upaya-upaya pemulihan dalam pengendalian
airtanah perlu juga diprioritaskan khususnya jika berhadapan dengan kriteria kerusakan airtanah yang parah, walaupun tindakan pemulihan airtanah pada sistem airtanah yang telah rusak akan memerlukan biaya dan teknologi yang kadang tidak dapat dipenuhi serta waktu yang sangat lama. Jika pada pengelolaan kuantitas airtanah, pengendalian hanya berkaitan dengan tindakan pengambilan dan pemanfaatan airtanah, tidak sedemikian dengan pengelolaan kualitas airtanah. Pengendalian kualitas airtanah tidak saja berhubungan dengan airtanah tetapi meliputi tindakan pengendalian lingkungan, khususnya perubahan tata guna lahan, serta pengawasan terhadap buangan limbah dan tata guna lahan agar tidak meresap ke dalam tanah dan kemudian mencemari airtanah. Kajian kemungkinan masuknya zat pencemar harus diterapkan pada pencegahan pencemaran airtanah, sehingga titik-titik atau area potensial pencemar airtanah dapat terpetakan, yang akan memudahkan proses pemantauan dan pengawasan dalam kerangka pengendalian kualitas dan pencemaran airtanah. Pada skala yang luas, strategi pengendalian kuantitas dan kualitas airtanah (dan prasyarat pengkajian bahaya pencemaran) harus dipromosikan oleh regulator yang berhubungan dengan lingkungan atau air (atau agensi, departemen, pemerintah lokal, regional, atau nasional yang bertanggung jawab melaksanakan fungsi ini). Sangatlah, Heru Hendrayana
27
penting, bahwa perhatian terhadap pengendalian airtanah yang spesifik difokuskan pada skala dan tingkat yang lebih detail.
5.5. Kegiatan Pengendalian Airtanah Pengendalian kerusakan kuantitas airtanah akibat pengambilan dan atau pemanfaatan airtanah dilakukan untuk menjaga mencegah, rnenanggulangi, dan memulihkan kerusakan kuantitas airtanah. Berdasarkan prioritas kepentingan atau kriteria kerusakan airtanah, pengendalian kerusakan kuantitas airtanah sangat penting dilakukan terhadap akuifer yang mengalami pengurasan, daerah imbuhan yang mengalami perubahan fisik, dan lingkungan airtanah yang rusak akibat pengambilan airtanah yang intensif. Untuk menjaga, mencegah, menanggulangi dan memulihkan kerusakan airtanah, dalam kerangka pengendalian airtanah terdapat tiga kegiatan utama, yaitu: 1. Pengendalian Pengambilan/Pemanfaatan Airtanah; 2. Pengelolaan Kualitas dan Pengendalian Pencemaran Airtanah; 3. Pemulihan Kerusakan Airtanah
PENUTUP
Sesuai dengan kenyataan, bahwa hasil pelaksanaan pengelolaan airtanah di Indonesia masih jauh dari sasaran yang diharapkan, dan dengan jelas terindikasikan adanya permasalahan yang sangat kompleks, sehingga perlu untuk mewujudkan tantangan tersebut menjadi peluang (opportunities) dalam rangka mencapai tujuan pengelolaan airtanah yang optimal. Dengan demikian perlu perwujudan pranata hukum pengelolaan airtanah berupa tindakan yang bersifat kebijakan, pengaturan, dan penetapan dalam pengelolaan airtanah. Di samping itu, pengembangan aspek teknis perlu terus dilakukan untuk mendukung pelaksanaan aspek hukum. Pranata hukum yang mengacu pada aspek teknis tersebut akan menjadi dasar pada setiap pelaksanaan pengelolaan airtanah dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah maupun di tingkat pusat. Semangat reformasi, serta visi air dunia menciptakan paradigma baru pengelolaan sumberdaya air di Indonesia. Paradigma baru harus Heru Hendrayana
28
menjadi dasar dalam menciptakan pranata hukum yang baru dalam pengelolaan airtanah. Berkaitan dengan tuntutan kebutuhan yang semakin meningkat atas pemanfaatan sumberdaya air akibat peningkatan taraf hidup, pembangunan dan kenaikan jumlah penduduk, sementara di sisi lain tuntutan terhadap kelestarian lingkungan, meningkatnya kelangkaan (scarcity) sumber air baku, serta tuntutan keterlibatan masyarakat, telah mengubah secara radikal pola pikir (paradigm) tentang pengelolaan sumberdaya air. World Water Forum, menetapkan visi air dunia “Making Water Everybody’s Business”, serta tujuh tantangan terhadap kebutuhan air baku, yaitu : i) memenuhi kebutuhan pokok penduduk; ii) menjamin penyediaan pangan; iii) melindungi ekosistem; iv) membagi sumberdaya air antar wilayah berkaitan; v) menanggulangi resiko; vi) memberi nilai air; dan vii) menguasai air secara bijaksana. Untuk menjawab tantangan tersebut disepakati: 1) inovasi di bidang kelembagaan, teknologi, dan finansial; 2) pengelolaan sumberdaya air dan sumberdaya lahan secara terpadu, yang mencakup perencanaan dan pengelolaan sumberdaya manusia; 3) kerjasama dan kemitraan di semua tingkat; 4) melaksanakan prinsip-prinsip yang telah disepakati berupa tindakan nyata berdasarkan kemitraan semua pihak untuk mewujudkan keamanan terhadap air baku dengan berbagai cara. Di Indonesia, dengan diundangkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka terjadi perubahan kewenangan dalam pengelolaan sumberdaya air, dan dengan diilhami rekomendasi dari konferensi di atas, maka telah terjadi reformasi pengelolaan sumberdaya air yang bertumpu pada paradigma baru pengelolaan sumberdaya air seperti yang telah direkomendasikan pada konferensi tersebut. Paradigma baru dalam pengelolaan sumberdaya air di Indonesia dapat dijelaskan sebagai berikut :
Pengelolaan yang terpadu antar setiap jenis sumberdaya air (air hujan, air permukaan, dan air bawah tanah), tidak lagi terfragmentasi.
Pengelolaan bersifat desentralisasi, daerah kabupaten/kota berwenang mengelola sumberdaya nasional (termasuk sumberdaya air) yang tersedia di wilayahnya.
Peran pemerintah pusat dari regulator dan sekaligus operator yang sentralistik menjadi
sebagai
regulator,
pembuat
kebijakan,
perencanaan
nasional,
pembinaan, konservasi dan standarisasi nasional, dan menyerahkan pelaksanaan kebijakan dan pengambilan keputusan pengelolaaan kepada pemerintah daerah, serta melibatkan para stake holders, akar rumput di daerah, dan sektor swasta. Heru Hendrayana
29
Pengelolaan yang tidak hanya menitikberatkan pada pemanfaatan sumberdaya air, tetapi juga menjamin keberlanjutan (sustainability) ketersediaan sumberdaya air dalam ruang dan waktu tertentu, baik jumlah maupun kualitasnya. Pengelolaan sumberdaya airtanah harus dilakukan secara bijaksana oleh semua
pihak dengan bertumpu pada aspek teknis dan aspek hukum dan kelembagaan yang benar. Secara teknis, penerapan konsep dasar pengelolaan airtanah secara total harus diterapkan secara nyata, yaitu dengan memadukan konsep pengelolaan air permukaan yang berbasis daerah aliran sungai dan konsep pengelolaan airtanah berbasis cekungan airtanah, yang mendasarkan pada analisis sistem aliran airtanah regional, menengah dan lokal, guna memecahkan permasalahan kuantitas dan kualitas airtanah secara lebih nyata. Aspek hukum dan kelembagaan memegang peran sangat penting dalam penyelenggaraan pengelolaan airtanah. Pranata hukum dan kelembagaan yang baik adalah yang tidak mengingkari asal-usul dan sifat alamiah airtanah. Dukungan komitmen yang nyata dari semua pihak terkait, kelembagaan, aspek hukum, pemerintah, swasta dan masyarakat serta dukungan teknis yang memadai menjamin terlaksananya konsep pengelolaan airtanah secara total (total groundwater basin management concept). Siklus pengelolaan seharusnya tetap diimplementasikan untuk evaluasi efektivitas pengelolaan airtanah. Pengelolaan cekungan airtanah di setiap wilayah mempunyai karakteristik dengan kata kunci, sebagai berikut : a. Bersifat spesifik pada setiap daerah yang dikelola b. Evaluasi bersifat spatial berdasar cekungan airtanah c. Evaluasi Sebab-Akibat d. Implementasi program bersifat integrasi e. Komitmen dari pemegang kebijakan f.
Didukung oleh peraturan perundangan
g. Partisipasi Pemerintah–Masyarakat–Swasta h. Demokrasi-HAM-Lingkungan Hidup Penataan ruang yang berdasarkan kepada paradigma pengelolaan sumberdaya airtanah yang berwawasan lingkungan memperhatikan satu kesatuan hubungan hidrologi dengan sumberdaya air lainnya, seperti air hujan atau air permukaan pada umumnya. Pemahaman cekungan airtanah artinya mengetahui secara pasti karakteristik kawasan resapan airtanah dan kawasan pengambilan airtanah secara tiga demensi. Neraca Heru Hendrayana
30
airtanah yang seimbang mampu memberi rekomendasi daya dukung sumberdaya air baku untuk memenuhi berbagai kebutuhan di suatu wilayah yang akan dilakukan penataan ruangnya, dan juga bagi pengembangan wilayah tersebut dikemudian hari. Potensi sumberdaya air yang terdapat pada suatu cekungan airtanah perlu dikelola secara menyeluruh, tidak hanya terhadap airtanahnya, tetapi juga cekungan airtanah itu sendiri beserta lingkungannya. Tujuan pengelolaan cekungan airtanah antara lain agar terjadi efektivitas pemanfaatan airtanah, yang mencakup : a) untuk rnernenuhi kebutuhan air baku, b) untuk menghindari kekeringan, c) dapat mengendalikan pencemaran, d) mampu memelihara lingkungan, e) mengetahui karakteristik imbuhan (imbuhan lokal, imbuhan regional, atau kombinasi keduanya). Setelah penataan ruang di suatu wilayah, maka pengelolaan cekungan airtanah tersebut bukan hanya menjadi tanggungjawab pemerintah, tetapi juga bagi pengguna airtanah, misalnya masyarakat setempat, industri, pemakai air irigasi, para pelaku pengelola airtanah dll. Pemerintah dalam hal ini berfungsi sebagai fasilitator dan mewujudkan “networking”, serta mengontrol mekanisme pengelolaan airtanah berikut penataan kawasan yang telah ditetapkan sebagai zona-zona tertentu. Dengan demikian pola distribusi pemukiman, lahan-lahan terbuka, kawasan konservasi, kawasan preservasi
mempunyai
pertimbangan
yang
kuat
dan
rasional
dalam
rangka
mengendalikan pengembangan wilayah dari waktu ke waktu dengan bertumpu pada keberlanjutan sumberdaya airtanah. Kondisi sistem hidrogeologi di suatu wilayah harus menjadi salah satu parameter kendali dalam penataan ruang dan pengembangan wilayah. Dan akhirnya, dengan berlakunya PP No. 43 tahun 2008 tentang Airtanah, maka diharapkan penyelenggaraan pengelolaan airtanah di Indonesia segera mencapai sasaran optimal yang dapat dirasakan masyarakat secara lebih nyata.
PUSTAKA
Anonymous, 1993, Water Resources Management. A World Bank Policy Paper, The World Bank, Washington D.C. Anonymous, 2000, Tinjauan Umum dan Pokok-Pokok Pikiran Konservasi dan Pelestarian Sumberdaya Air, Deputi Bidang Sumberdaya Air, Kantor Menteri Negara Pekerjaan Umum, Jakarta. Anonymous, 2005, Air Tanah di Indonesia dan Pengelolaannya, Direktorat Tata Lingkungan Geologi dan Kawasan Pertambangan, Dirjen Geologi dan Sumberdaya Mineral, Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, Jakarta. Heru Hendrayana
31
BMZ-GTZ, 2000, Water Framework Planning, Prosiding Sistem Pengelolaan Terpadu DAS, Program LH Indonesia-Jerman, Kantor Menteri Negara LH/BapedalGTZ, Jakarta Burchi S., 1999, National Regulations for Groundwater: Options, Issues and Best Practices, dalam Grounwater, Legal and Policy Perspectives, World Bank Technical Paper # 456, The World Bank, Washington D. C. Fakultas Teknik UGM, 2007a, Penyusunan Rancangan Pedoman Konservasi Airtanah, Direktorat Pembinaan Pengusahaan Panas Bumi dan Pengelolaan Airtanah, Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral Republik Indonesia, Jakarta. Fakultas Teknik UGM, 2007b, Penyusunan Rancangan Pedoman Pengendalian Airtanah, Direktorat Pembinaan Pengusahaan Panas Bumi dan Pengelolaan Airtanah, Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral Republik Indonesia, Jakarta. Hehanussa P.E., 1999, Ketersediaan Air dalam Perspektif Abad-21, Kaitannya dengan Hak Asasi Manusia, Makalah dalam Seminar Sehari Air Bersih dan Hak Asasi Manusia, Bogor, 25 Februari 1999. Hendrayana, H., 1993, Hydrogeologie und Groudwassergewinnung Im YogyakartaBecken, Indonesien, Mainz Gmbh, Aachen, Germany. Hendrayana, H., 2000a, Hasil Zonasi Kawasan Perlindungan Sumber Airbaku di Kab. Sleman, Makalah Desiminasi Informasi Hasil Penelitian Perlindungan Sumber Air Baku, Yogyakarta. Hendrayana, H., 2000b, Konservasi Airtanah dalam rangka Pemanfaatan Air yang Berkelanjutan, Makalah Pembinaan kepada Pemakai Air Bawah Tanah, Dinas Pertambangan DIY, Yogyakarta. Hendrayana, H., 2000c, Interaksi Kualitas Air Bawah Tanah dan Air Sungai, serta Peran Masyarakat pada Pengendalian Kualitas Air, Makalah Seminar Nasional Lingkungan Hidup Pengendalian Pencemaran Sungai Dalam Menunjang Prokasih 2005, Yogyakarta. Hendrayana, H., 2001a, Pemodelan Airtanah untuk Prediksi Land Settlement Akibat Pemompaan Airtanah, Makalah Seminar: Tinjauan Geologi Terhadap Daerah Genangan di Wilayah Propinsi DKI Jakarta, Yogyakarta. Hendrayana, H., 2001b, The Development of Drinking Water – Protection Zones in Indonesia, Drinking Water Quality Surveillance Project–GTZ, Institut Fresenius GmbH - Fresenius Environmental Consulting; GFA - Infrastruktur - und Umweltschutz GmbH, Neuhof – GERMANY. Hendrayana, H., 2002a, A Concept Approach of Total Groundwater Basin Management, International Symposium on Natural Resource and Environmental Management, held in the framework of the 43 rd Anniversary of UPN “Veteran” Jogyakarta, on January 21 – 22, 2002 (Published in English Proceeding). Hendrayana, H., 2002b, Konsep Dasar Pengelolaan Cekungan Air Bawah Tanah, Pelatihan Manajemen Air Bawah Tanah di Wilayah Perkotaan Yang Berwawasan Lingkungan, Fakultas Teknik UGM, 15 – 27 September 2002, Yogyakarta. Hendrayana, H., 2002c, Program Perencanaan Pendayagunaan Sumberdaya Air Bawah Tanah, Pelatihan Manajemen Air Bawah Tanah di Wilayah Perkotaan Yang Heru Hendrayana
32
Berwawasan Lingkungan, Fakultas Teknik UGM, 15 – 27 September 2002, Yogyakarta. Hendrayana, H., 2002d, Sistem Pengelolaan Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan, dalam buku Peluang dan Tantangan Pengelolaan Sumberdaya Air di Indonesia, P3-TPSLK BPPT and HSF, Jakarta. Hendrayana, H., 2002e, Groundwater Conservation for Sustainable Groundwater Resources (Discussion on Technical Aspect)”, presented in Seminar on Mineral and Groundwater Resources Management, Yogyakarta. Hendrayana, H., 2007, Sustainable Groundwater Development as Non Renewable Resource based on Risk Management, Lokakarya Rekayasa Penanggulangan Dampak Pengambilan Airtanah, Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, Badan Geologi – Pusat Lingkungan Geologi, Jakarta, 6 September 2007. Hendrayana, H., Putra, DPE., 2008, Urbanization and Groundwater Resources : Interaction and Management, Proceeding of National Seminar on Strategy and Challenge in Geological Education and National Development, Yogyakarta, 15 February 2008. Hendrayana, H.; Putra, DPE., 2008, Assessment of Urban Groundwater Contaminant Loading, Proceeding of Science and Technology on Groundwater Usage and Conservation, Indonesian Geological Board, Ministry of Energy and Mineral Resources, Republic Indonesia, Bandung. Shibasaki, T., 1995, Environmental Management of Groundwater Basin, Tokai University Press, Tokyo, 202p. Soetrisno S., 1997, Pengelolaan Air Tanah di Indonesia, Buletin Lingkungan Pertambangan Vol. 1 & 2 , Departemen Pertambangan dan Energi, Jakarta. Soetrisno S., 2000, Pengelolaan Terpadu Data Sumberdaya Air. Suatu tinjauan atas peraturan/perundangan dan hubungan antar lembaga air tanah, dalam Makalah Akademik I Koordinasi Antar Instansi Hidrologi, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Jakarta. Soetrisno S., 2002a, Aspek Hukum dan Kelembagaan Pengelolaan Air Bawah Tanah Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pelatihan Manajemen Air Bawah Tanah di Wilayah Perkotaan Yang Berwawasan Lingkungan, Fakultas Teknik UGM, 15 – 27 September 2002, Yogyakarta. Soetrisno S., 2002b Evaluasi Efektivitas Manajemen Air Tanah, Pelatihan Manajemen Air Bawah Tanah di Wilayah Perkotaan Yang Berwawasan Lingkungan, Fakultas Teknik UGM, 15 – 27 September 2002, Yogyakarta.
Heru Hendrayana
33