ISSN: 2088-4133
PENGELOLA
• Pemimpin Umum: Rosyid, • Penyunting
•
M. Arief Al-Fikri, Pemimpin Redaksi: Nur Ahli: Muhammad Zamzam Fauzanafi, Redaktur Usaha: Yulina Dwita Putri, Anggota Redaksi: Dhimas Unggul Laksita, Arita N., Arif Syaripudin Penyunting: Rudi Gunawan, Keuangan: Anis Izdiha, Humas: M. Faris Milzam, Artistik dan Tata Letak: Buhari, Foto Sampul: Antonius Nurhadi Kusno
•
•
• •
•
•
•
Alamat Redaksi Sekretariat Keluarga Mahasiswa Antropologi (KEMANT) Gedung Laboratorium dan Perpustakaan Jurusan Antropologi Jl. Sosio-Humaniora No. 1, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada Bulaksumur, Yogyakarta 55281 Surat elektronik:
[email protected] Situs internet: www.kemant.or.id Jurnal RANAH adalah jurnal mahasiswa Jurusan Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Gadjah Mada (UGM) yang dikelola oleh Keluarga Mahasiswa Antropologi (KEMANT) FIB UGM. Jurnal ilmiah ini terbit dua kali setahun pada bulan April dan Oktober. Harga eceran Rp. 25.000,-/eksemplar. Redaksi menerima naskah artikel baik yang bersifat teoritis, metodologis, hasil penelitian (laboratorium, lapangan, kepustakaan) maupun etnografis, atau tinjauan buku atau wacana yang masuk wilayah kajian antropologi. Artikel harus sesuai dengan tema yang ditawarkan tiap nomor terbitan. Naskah yang masuk diseleksi dan disunting oleh redaksi bekerjasama dengan penyunting ahli. ISSN: 2088-4133 Hak cipta © 2013 KEMANT dan para kontributor. Dilarang menggandakan, menyalin, atau menerbitkan ulang artikel atau bagianbagian artikel dalam jurnal ini tanpa seizin penerbit/redaksi.
RANAH
ISSN: 2088-4133
JURNAL MAHASISWA ANTROPOLOGI UNIVERSITAS GADJAH MADA
Neo-liberalisme
Th. III, No. 1, Mei 2013
DAFTAR ISI Kata Pengantar____________________________________________________ii Budaya Neo-Liberalisme: Konsumsi dan Transformasi Inderawi (Sebuah Agenda Riset Etnografi Inderawi__________________________________2 M. Zamzam Fauzanafi Merajut dengan Tanah, Menjejak dengan Sekolah: Gerakan Perlawanan atas Neoliberalisme di Desa Pertanian Sarimukti_____________________12 Yuda Rasyadian “We Are The 99%“ Gerakan Menolak Neoliberalisme di Kota Jantung Kapitalisme_________40 Ali Carica Dan Bayang-Bayang Neoliberalisme di Dieng______________________50 Dhimas Unggul Laksita dan Nur Rosyid “Maaf Jalan Ditutup, Ada Hajatan” Rebutan Ruang Antara Tradisi dan Privatisasi di Yogyakarta_______________________________________68 Nindyo Budi Kumoro Gapura Kampung dan Ketahanan Identitas__________________________80 Roikan Neo-Liberalisme: Don Quixote dan Perjuangan Melawan Hegemoni Wacana_____________________________________________________90 Rio Heykhal Belvage
Jurnal RANAH Th. III, No. 1, Mei 2013
KATA PENGANTAR
Salam hangat para pembaca!
Tema yang diangkat oleh redaksi pada RANAH edisi kali ini adalah “Penetrasi Pasar: Gejala, Gerakan, dan Kontestasi di Ranah Lokal”. Pada awalnya, redaksi mengusung tema gejala Neoliberalisme yang akan dibahas secara antropologis. Gejala ini merupakan sebuah isu yang sangat menarik. Berawal dari upaya mengajak mahasiswa Antropologi untuk lebih sensitif membaca persoalanpersoalan kultural secara luas dan terbuka terhadap perkembangan-perkembangan luar sebagaimana tema “Netnografi” pada jurnal RANAH sebelumnya. Tema Neoliberalisme ini sebenarnya berkembang dari sebuah mahzab pemikiran ekonomi di Barat. Kemudian berubah menjadi ideologi dominan yang nilai-nilainya tersebar sangat luas, mulai dari perekonomian sampai aktivitas sehari-hari. Selama masa pengumpulan naskah sejak September 2012 sampai April 2013, tak kunjung ditemukan tulisan mengenai neoliberalisme. Warna tulisan sangat beragam. Tidak hanya menyangkut masalah Neoliberalisme, bahkan ada yang ‘memaksakan’ bahasan mereka ke tema pokok. Akhirnya tim redaksi sepakat untuk mengkerangkai naskah-naskah dalam edisi ini dengan tema “Penetrasi Pasar: Gejala, Gerakan, dan Kontestasi Lokal” dimana Neoliberalisme menjadi salah satu bagiannya. Di dalam edisi ini, terdapat tujuh artikel yang berhasil terkumpulkan dari mahasiswa S1, S2, dan dosen. Artikel pertama ditulis oleh dosen Antropologi Budaya, M. Zamzam Fauzanafi, berjudul “Budaya Neo-liberalisme: Konsumsi dan Transformasi Inderawi”. Naskah ini berisi telaah teoretis dan metodologis mengenai Neoliberalisme bukan hanya gejala politik-ekonomi, melainkan kultural dan sensorial. Artikel kedua ditulis oleh mahasiswa sarjana, Yuda Rasyadian berjudul “Merajut dengan Tanah, Menjejak dengan Sekolah: Gerakan Perlawanan Neoliberalisme di Desa Pertanian Sarimukti”. Tulisan ini berisi tentang bagaimana komunitas petani sadar dan membuat gerakan terhadap kekuatan Neoliberalisme melalui pendidikan. Tulisan ketiga Ali, mahasiswa sarjana, berjudul “WE ARE THE 99%“: Gerakan Menolak Neoliberalisme di Kota Jantung Kapitalisme”. Naskah ini sebenarnya bersifat reportase mengenai gerakan melawan Neoliberalisme di New York secara antropologis. Tulisan keempat ditulis oleh dua orang
ii
mahasiswa sarjana, Dhimas Unggul Laksita dan Nur Rosyid berjudul “Carica dan Bayang-bayang Neoliberalisme di Dieng”. Tulisan ini berisi tentang kontestasi Neoliberalisme di ranah lokal, khususnya Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah. Artikel selanjutnya ditulis oleh (calon) mahasiswa pascasarjana Antropologi Budaya, Nindyo Budi Kumoro, berjudul “Maaf Jalan Ditutup, Ada Hajatan”: Rebutan Ruang antara Tradisi dan Privatisasi di Yogyakarta”. Artikel ini berisi tentang adanya penetrasi pasar melalui privatisasi ruang publik, jalan, dalam konteks ritus sosial”. Artikel keenam, ditulis oleh Rio Heykhal Belvage, mahasiswa pascasarjana Antropologi, berjudul “Neo-liberalisme: Don Quixote dan Perjuangan Melawan Hegemoni Wacana”. Naskah ini berisi tentang refleksi filosofis sebagai renungan melalui obrolan sehari-hari di warung kopi. Artikel terakhir ditulis oleh mahasiswa pascasarjana Antropologi, Roikan, berjudul “Gapura Kampung dan Ruang (Baru) Penetrasi Pasar”. Tulisan ini berisi tentang adanya praktik penetrasi pasar secara halus melalui iklan di Gapura. Di samping naskah-naskah terpilih, terdapat beberapa foto yang diambil oleh Zamzam Fauzanafi. Foto ini tidak memakai caption agar memungkinkan pemaknaan yang beragam dari pembaca. Foto-foto tersebut merupakan hasil riset inderawi, yang memungkinkan kita untuk menyelami keterkaitan indera penglihatan kita dengan yang lainnya. Akhirnya melalui pengantar singkat ini kami menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam penerbitan RANAH edisi kali ini. Semoga dengan diterbitkannya jurnal ini, wacana dan diskusi mengenai ilmu antropologi bisa mencakup permasalahan yang lebih luas dan lebih beragam sehingga perkembangan ilmu antropologi di Indonesia juga semakin bertambah. Jurnal ini juga diharapkan bisa memberikan gairah untuk menulis bagi mahasiswa, terutama mahasiswa antropologi sendiri, sehingga semakin banyak tulisan-tulisan ilmiah yang tercipta dan menambah warna bagi dunia akademik di Indonesia. Jurnal yang ada dihadapan pembaca ini tentu saja tidak lepas dari kekurangan, maka redaksi mengharapkan pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang nantinya bisa kami gunakan untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas jurnal ini pada edisi-edisi selanjutnya. Tabik! Redaksi
iii
Jurnal RANAH Th. III, No. 1, Mei 2013
1
M. Zamzam Fauzanafi - Budaya Neo-Liberalisme TH. III NO. 1, MEI 2013
RANAH
HALAMAN 2-10
BUDAYA NEO-LIBERALISME: KONSUMSI DAN TRANSFORMASI INDERAWI (SEBUAH AGENDA RISET ETNOGRAFI INDERAWI) M. Zamzam Fauzanafi
Neo-liberalisme antara ‘Kebijakan’ dan ‘kebudayaan’ Kondisi mutakhir di dunia, termasuk Indonesia, digerakan oleh program politik ekonomi dan pemahaman mengenai kondisi manusia dan eksistensi sosial yang disebut sebagai ‘neo-liberalisme’. Di Indonesia, neo-liberalisme memiliki dua wajah: pertama, ia dipandang sebagai kebijakan yang dikembangkan untuk merubah ekonomi-politik negeri, dan kedua, ia merupakan proyek reformasi etika individu yang bertujuan untuk memunculkan tipe subjektifitas yang sejalan dengan norma-norma neo-liberal, seperti: kompetisi, transparansi, dan privatiasi. (Rudnyckyj, 2009:108). Namun, kajian mengenai neo-liberalisme di Indonesia lebih banyak berfokus pada sisi yang pertama, terutama pada bagaimana lembaga-lembaga seperti IMF, World Bank, dan WTO memaksakan kebijakan mereka kepada pemerintah dan bagaimana kebijakan tersebut berdampak pada kondisi ekonomi Indonesia (lihat Rizky dan Majidi, 2008). Selain itu, muncul tulisan-tulisan lain dari para akademisi yang mencoba memahami neo-liberalisme secara historis dan filosofis berupa tulisan di Koran, jurnal, atau pidato kebudayaan (lihat, Priyono dan Nugroho, 2001). Hanya sedikit penelitian yang berhubungan dengan wajah kedua dari neoliberalisme di Indonesia. Salah satu studi menarik mengenai ini dilakukan oleh ahli antropologi Rudnyckyj (2009). Dengan mengikuti paradigma yang ditawarkan oleh Foucault (2008:318), dia dalam melihat neo-liberalisme bukan sebagai doktrin abstrak, tetapi sebagai bentuk tindakan praktis (Rudnyckyj, 2009:107). Studi ini memunculkan konsep yang disebut sebagai ‘ekonomi spiritual’, yakni bagaimana nilai-nilai religius ditanamkan kepada para pekerja di perusahaan besar, dalam hal ini: Krakatau Steel, sebagai upaya untuk meningkatkan produktifitas perusahaan, mengurangi korupsi, menjadi lebih kompetitif secara internasional, dan mempersiapkan para karyawan ke dalam proses privatisasi dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tersebut (Ibid:106). Namun, studi Rudnyckij masih terbatas di wilayah ekonomi-produksi
2
Jurnal RANAH Th. III, No. 1, Mei 2013
sebuah pabrik dan pada karyawan level menengah ke atas yang pekerjaannya sudah mapan dan relatif tidak merasa terancam dengan perubahan yang mungkin terjadi di lingkungan kerja mereka. Hingga saat ini belum ada penelitian empiris yang cukup memadai mengenai neo-liberalisme sebagai praktik dalam hidup seharihari di Indonesia. Praktik yang menurut antropolog John and Jean Commaroff (2001:12) disebut sebagai: ‘budaya neo-liberalisme’, yakni “budaya yang merivisi seseorang sebagai produser dari komunitas tertentu menjadi konsumen untuk pasar dunia” (Comaroff and Comaroff, 2011:13). Studi mengenai ‘budaya neoliberalisme’ ini, menurut Comaroff dan Commaroff, bukan hanya lebih kompleks dan tersebar dari pada studi mengenai kebijakan ekonomi-politik dan praktik produksi di perusahaan tertentu, tetapi juga bisa dirasakan secara langsung dalam praktik kehidupan sehari-hari, baik dalam proses produksi (pekerjaan dan tenaga kerja) dan terutama dalam proses konsumsi (misal; konsumsi media dan praktik tatapan di jalanan (Ibid: 13). Budaya Neo-liberalisme, Konsumerisme, dan Transformasi Inderawi Mengikuti definisi ‘budaya neo-liberalisme’ di atas, konsumerisme menjadi salah satu aspek penting untuk ditelaah. Dalam hal ini, konsumerisme mengacu pada ‘sensibilitas material yang secara aktif ditanamkan oleh negeranegara Barat dan kepentingan komersial, terutama sejak perang dunia ke II’ (Comaroff dan Comaroff, 2011:3). Saat ini, termasuk di Indonesia, konsumerisme menjadi ‘pendorong’ dan ‘prinsip’ yang menentukan definisi mengenai nilai dan konstruksi identitas pada masyarakat global (ibid.) Karena konsumerisme didefinisikan sebagai ‘sensibilitas material’ yang ‘secara aktif ditanamkan’, ia berhubungan dengan ‘pengalaman inderawi’ manusia sebagai ‘arena penanaman sensibilititas material’ tersebut. Hal ini dikarenakan manusia mengalami dunia material mereka melalui tubuh dan indera mereka. Penglihatan, pendengaran, rabaan, cercapan, penciuman, digunakan bukan hanya untuk mengetahui fenomena fisik tetapi juga untuk transmisi budaya dan mempertunjukan praktik-praktik sosial di masyarakat. (Classen,1997:204, Howes 2006:xii, Herzfeld,2007: 432,Hsu, 2008:433). Dengan demikian, penanaman dan pembentukan indera manusia adalah konstruksi sosial-budaya juga. Sebagaimana dicatat oleh Karl Marx, “pembentukan lima panca indera adalah kerja sepanjang sejarah dunia dari dulu hingga kini” (1998:109). Pengalaman inderawi, dalam hal ini, berarti dibentuk dan dimediasi secara sosial (Hsu, 2008:433). Indera kita, dunia material, dan relasi sosial budaya saling terkait satu sama lain. Transformasi material dan sosio-kultural berhubungan, atau bahkan, bekerja melalui transformasi inderawi. Sebagaimana diasumsikan oleh Karl Marx dalam Economic and Philosophic Manuscripts of 1844, “tanpa transformasi inderawi
3
M. Zamzam Fauzanafi - Budaya Neo-Liberalisme
tidak akan ada transformasi sosial (Howes, 2006 : 204-205). Bagaimana transformasi inderawi sebagai pra-syarat tranformasi sosial bisa memungkinkan dalam konteks budaya neo-liberalisme? Sebagaimana Rudnyckyj (2009:107), studi ini menempatkan neo-liberalism dalam kerangka pemikiran Michael Foucault yang menempatkan neo-liberalisme bukan hanya bentuk pengaturan (mode of governing) negara atau ekonomi, tetapi lebih merupakan ‘kepengaturan’ (governmentality) individu ke dalam bentuk kehidupan tertentu (Foucault 2008 , Read 2009:27), yang dalam bahasa Rudnyckyj (2009:107) merupakan pengaturan individu ke dalam: “tipe subjektifitas yang cocok dengan norma-norma neo-liberal”. Foucault yang menggolongkan risetnya sendiri sebagai studi mengenai: “berbagai moda yang melaluinya, dalam kebudayaan kita, manusia dibentuk menjadi subjek, (dan) proses ini selalu berhubungan dengan rejim kuasa/ pengetahuan” (Foucault, 1982:208). Dia mengklaim, subjek neo-liberalisme adalah: ‘homo economicus’ (Foucault, 2004:226). Akan tetapi, berbeda dengan subjek ‘liberalisme klasik’ yang mengkonseptualisasikan ‘homo economicus’ sebagai ‘manusia pertukaran’ (man of exchange) dalam aktifitas ekonomi, neo-liberalisme mengubah ‘homo-economicus’ menjadi ‘mahluk kompetitif’ (competitive creature) dalam matriks relasi sosial dan politik (Foucault, ibid. Read, 2009:26). Dewasa ini salah satu sebutan bagi subjek neo-liberalisme adalah apa yang kita kenal sebagai ‘entrepreneurs’ atau ‘wirausahawan’. Seorang ‘wirausahawan’ adalah ‘agen yang heroik sebagai symbol utama dari neo-liberalisme itu sendiri’ (Freeman, 2011:355, Bourdieu, 1998; Harvet 2005). Pertaruhan dalam analisa mengenai neo-liberalism, menurut Foucault, tidak lain adalah analisa mengenai: “pergantian homo economicus sebagai rekan dalam pertukaran (partner of exchange) dengan homo-economicus sebagai wirausahawan untuk dirinya sendiri (entrepreneur of himself), menjadi untuk dirinya sendiri dan modalnya sendiri, menjadi untuk dirinya sendiri sebagai produser, dan menjadi untuk dirinya sendiri sebagai sumber bagi penghasilannya sendiri” (Foucault, 2004:226) Sejalan dengan pemikiran tersebut, Foucault juga menghubungkan tipe subjektifitas ini ke dalam wilayah konsumsi. Dalam hal ini ia melihat, “manusia yang mengkonsumsi…adalah seorang produser. Apa yang ia produksi? ..ia memproduksi kepuasan-nya sendiri” ( Foucault 2004: 226). Mengikuti argumen tersebut, studi ini menempatkan ‘manusia yang mengkonsumsi’ dan ‘wirausahawan’ sebagai tipe subjektifitas yang sama yang coba untuk dibentuk oleh budaya neo-liberalisme. Kedua-duanya ‘subjek’ yang berorientasi pada ‘diri-
4
Jurnal RANAH Th. III, No. 1, Mei 2013
nya sendiri’; menjadi modal untuk dirinya sendiri, menjadikan dirinya sendiri sebagai sumber penghasilan, dan memproduksi kepuasan untuk dirinya sendiri. Dari teori subjektifitas ini dapat diungkap, subjek neo-liberalisme melalui ‘modal’ tertentu dibentuk ‘di dalam kebududayaan’ tertentu, yaitu: ‘budaya neoliberalisme’. Budaya, yang didefinisikan oleh Jean dan John Commaroff, dan sudah diungkap diawal sebagai: “Budaya yang merubah manusia bukan sebagai produser dari komunitas tertentu, tetapi konsumen bagi pasar global” (Comaroff and Comaroff, 2001:13). Budaya neo-liberalisme, dalam pengertian Foucault di atas, berarti merubah subjek dari ‘produser dari komunitas tertentu’ menjadi ‘produser bagi kepuasaan dirinya sendiri’ atau ‘konsumen’. Pertanyaannya kemudian, bagaimana proses perubahaan tipe subjektifitas ini mungkin terjadi? Carla Freeman (2011) melalui risetnya mengenai ‘buruh afektif’ (the affective labor) di Barbados, menunjukan, proses perubahan atau pembentukan subjektifitas ini diterapkan ke tubuh melalui teknik disiplin produksi dan kerja, sekaligus melalui perluasan cakupan praktik konsumsi yang dramatis (Freeman, 2011:355) Dengan demikian, proses tersebut berhubungan dengan ‘penubuhan’ (embodiment) dan ‘pengalaman inderawi’ (sensory experience) .Penubuhan (embodiment) dalam pengertian yang luas mengacu pada: cara bagiamana menghidupi dunia dan juga sumber dari ‘kepribadian’ (personhood), diri (self), subjektifitas, dan pre-kondisi untuk relasi inter-subjektif (Van Wolputte 2004: 259, Marcia-less, 2011:12). Penubuhan biasanya dipelajari dibawah payung: “antropologi tubuh” (anthropology of the body) dan fokus pada upaya untuk mengatasi paradigma yang memisahkan “tubuh” (body) dan ‘jiwa’ (mind) dengan mengusulkan paradigma kebersatuan tubuh dan jiwa. Dalam studi ini, ‘penubuhan’, mengikuti Csordas (1994:12) akan dilihat sebagai, “Wilayah metodologis yang tak menentu yang didefinisikan oleh pengalaman inderawi dan modus penampakan dan keterlibatan manusia di dunia.” Pengalaman inderawi, dalam hal ini, adalah komponen dari penubuhan (Csordas 2011:147). Mengacu pada paradigma tersebut, riset ini akan menekankan ‘elaborasi yang beragam terhadap indera yang bisa bertentangan satu sama lain tetapi tetap berhubungan, dibawah bendera studi ‘etnografi inderawi’ (Howes, 2011:411) . Kebudayaan dan Agenda Riset Etnografi Inderawi Melalui pendekaran etnografi inderawi ini, kebudayaan didefinisikan sebagai, “…pembentukan atau penanaman berbagai cara untuk merasakan (sensing), atau ‘teknik merasakan’ (technique of the senses)” (Howes, 2011:441). Tugas dari etnografi adalah untuk menggambarkan kondisi sosial-budaya yang
5
M. Zamzam Fauzanafi - Budaya Neo-Liberalisme
menunjukan bagaimana anggota masyarakat dalam konteks kebudayaan tertentu membedakan, menilai, menghubungkan, dan mengkombinasikan beraneka indera dalam hidup sehari-hari (ibid.) Misalnya, bagaimana indera dikonstruksi secara jender (Classen, 1998), diawasi (Laplantine 2002), dikomodifikasikan (Howes, 2004), dijadikan percobaan penggunaan obat-obatan (Jackson, 2004), ditempatkan (emplaced) (Fletcher 2004) dan yang paling penting adalah ‘dialami’ (Howes, 2009:29-32). Atau secara umum, kebudayaan berhubungan ‘keberagamaninderawi’ (polysensoriality), sebuah istilah yang menitikberatkan pada beragam cara bagaimana indera manusia dibentuk dan dihidupi dalam konteks budaya tertentu (Howes,2011:441) Berhubungan dengan pengertian kebudayaan ini, maka budaya neoliberalisme diartikan lebih jauh sebagai Budaya yang merivisi subjek sebagai produser dari komunitas tertentu menjadi konsumen untuk pasar dunia melalui pembentukan atau penanaman berbagai cara untuk merasakan (construction of ways of sensing), atau ‘teknik merasakan’ (technique of the senses)” (Howes, 2011:441). Dengan mengajukan definisi kebudayaan seperti tersebut di atas, riset etnografi inderawi mencoba melampaui perdebatan antara pandangan yang menempatkan indera sebagai objek kajian antropologi dan pandangan yang menempatkannya sebagai perspektif teoritis dan pendekatan terhadap beragam topik penelitian antropologi. Riset ini memperlakukan indera sebagai objek kajian sekaligus sebagai persfektif dalam meneliti konsumsi dalam konteks budaya neoliberalisme. Karena riset etnografi ini berfokus pada beragam cara bagaimana indera manusia dibentuk dan dihidupi melalui praktik konsumsi, berarti riset seperti ini akan mengungkap dua hal sekaligus yaitu: bagaimana indera manusia dibentuk melalui praktik konsumsi dan bagaimana indera manusia digunakan (membentuk) praktik konsumsi dalam konteks budaya neo-liberalisme. Metodologi Riset Etnografi Inderawi Untuk Merasakan Budaya Neoliberalisme, Konsumsi, dan Transformasi Inderawi Riset etnografi Inderawi memfokuskan diri pada beragam cara pembentukan indera dan praktik pengindraan dunia material dan sosial dalam hubungannya dengan transformasi subjektifitas. Dengan demikian, metode yang bisa digunakan adalah metode yang disebut sebagai: ‘etnografi inderawi’ (Pink, 2009:2011). Sebuah metode yang mencoba “memikirkan dan mempraktekan ulang metode etnografi dengan perhatian pada persepsi, pengalaman, dan kategori inderawi” (Ibid.)
6
Jurnal RANAH Th. III, No. 1, Mei 2013
Metode ini didasari oleh pemahaman, indera manusia terkoneksi satu sama lain (Pink, 2009:26-17). Pandangan ini dipengaruhi oleh pendekatan fenomenologis dari Merleau-Ponty (1962:234) yang menganggap ‘tubuh bukan koleksi dari organ-organ yang terpisah, tetapi sebuah sistem yang sinergis, semua fungsi organ tersebut dilatih dan terhubung satu sama lain dalam tindakan untuk mengada di dunia” (Marleau-Ponty.1962:234). Pandangan ini diikuti oleh antropolog seperti Tim Ingold yang menulis, “mata, telinga, (dan indera lainnya) jangan dipahami sebagai organ penerima sensasi yang terpisah, akan tetapi sebagai organ dari tubuh secara keseluruhan, di mana gerak di dalam lingkungan tertentu, dan aktititas persepsi berada atau berjalan” (Ingold, 2000:268). Hal serupa juga diungkap oleh ahli antropologi visual, David MacDougall, “meskipun penglihatan dan sentuhan tidak lah sama, keduanya bersumber dari tubuh yang sama dan objek yang dipersepsikan tumpang tindih satu sama lain, keduanya berbagi wilayah pengalaman dan keduanya mengacu pada kemampuan inderawi secara menyeluruh” (MacDougall.1998:51). Dengan demikian, metode pengumpulan data dari etnografi inderawi melampaui partsipasi observasi dan wawancara mendalam karena ia melibatkan beragam media, seperti: media audio-visual dalam pelaksanaannya. Penggunaan media audio-visual (video, foto, rekaman suara) memungkinkan peneliti untuk membuat materi riset audio-visual yang tidak hanya mengungkap pengetahuan dan pengalaman visual atau verbal yang bisa diungkap melalui pengamatan dan wawancara, akan tetapi pengalaman inderawi lainnya, seperti: sentuhan, pencercapan, dan penciuman. Dalam hal ini, bukan berarti media audio-visual bisa merekam bau, rasa, dan tekstur dengan cara yang sama sebagaimana ia merekam suara dan gambar, akan tetapi pemahaman bahwa indera manusia terkoneksi satu sama lain memungkinkan rekaman audio-visual mengungkap atau mengundang ingatan multi-inderawi (multi-sensoriality) yang muncul pada proses penelitian (Pink, 2009:10). Aspek pra-linguistik dari media audio-visual memungkinkan peniliti untuk ‘menunjukan’ dan ‘mengatakan’ yang ‘tak terucapkan’ dan memungkin peneliti untuk masuk kembali ke pengalaman inderawi dirinya dan orang lain (subjek yang diteliti) (MacDougall, 2006: 270). Kamera (video atau foto) bukan semata-mata alat, tetapi juga menjadi bentuk keterlibatan peneliti dengan lingkungan di mana pengalaman inderawi itu dibentuk, atau cara mengalami dan moda partisipasi. Kamera, dengan cara mengisolasi pengamatan, ia mampu mengungkap kerbersamaan dan relasi antara tubuh, indera, dan lingkungan yang mungkin tidak terperhatikan sebelumnya (MacDougall,2006:4). Media audio-visual, dalam hal ini: video, foto, dan rekaman suara, akan digunakan secara bersama-sama dalam metode pengumpulan data yang disebut: ‘partisipasi multi-inderawi’ dan wawancara sebagai ‘peristiwa multi-inderawi’. Dalam metode etnografi inderawi, keduanya ditempatkan sebagai proses belajar
7
M. Zamzam Fauzanafi - Budaya Neo-Liberalisme
melalui pengalaman multi-inderawi dari si peneliti itu sendiri untuk mendapatkan pengetahuan yang melampaui bahasa, di mana pengetahuan tertanam di tubuh melalui penglihatan, cercapan, suara, bau, dan gerak tubuh itu sendiri (Okely, 1997:23 sitasi dalam Pink, 2009:64). Metode ini bukan berarti hanya ‘mengamati’ dan ‘mengambil data’ tetapi lebih dalam ‘menjadi’ dan ‘terlibat’ dalam cara-cara mengetahui dunia dan tindakan dari informan atau subjek penelitian kita, dengan cara berjalan, bekerja, mendiskusikan hasil pengambilan gambar, makan, dan berbicara dengan informan. Metode ini juga berarti bukan semata-mata metode untuk “mengambil data untuk dianalisa di lain waktu’, akan tetapi lebih sebagai proses ‘produksi makna’ dengan partisipasi bersama subjek penelitian; alias berbagi aktifitas dan tempat antara peneliti dengan subjek yang diteliti (Pink, 2011:271, MacDougall, 2006). Signifikansi dari Riset Etnografi Inderawi mengenai Budaya Neo-liberalisme, Konsumerisme dan Transformasi Inderawi Konsumsi, konsumerisme, dan budaya neo-liberisme adalah penggerak dan pembentuk dinamika subjek (manusia) dan masyarakat saat ini. Dinamika yang mengarah pada berbagai permasalahan di masyarakat, karena semua relasi manusia semata-mata ditentukan oleh relasi pasar (ekonomi). Dalam konteks konsumsi dan konsumerisme, warga masyarakat dibentuk dan memahami diri mereka sendiri semata-mata sebagai ’konsumen’ dan bukan ’warga’, sehingga identitas, kesejahteraan sosial, pelayanan publik (pendidikan, kesehatan, perumahan) hanya bisa diterima dan diakses dalam kerangka ’jual-beli’. Semua aktifitas direduksi hanya menjadi aktifitas ’membeli’ dan ’memiliki’. Kebebasan manusia, dikerdilkan menjadi kebebasan mengkonsumsi yang sangat ditentukan oleh ’daya beli’. Maka warga masyarakat yang tidak punya daya beli tidak memiliki kebebebasan bahkan mungkin ’kemanusiaan’. Permasalahan tersebut semakin jelas gejalanya di masyarakat, namun sampai saat ini belum ada penelitian mendalam menyangkut bagaimana proses itu terjadi dan melalui apa? Dengan menempatkan konsumsi dan transformasi inderawi dalam konteks budaya neo-liberalisme sebagai kajian utama, riset etnografi inderawi bisa berkontribusi dengan mengenali bagaimana melalui pengalaman inderawi dan interaksi hidup sehari-hari manusia berubah menjadi subjek baru; mahluk ekonomi yang mencari kepuasan sendiri, atau konsumen. Identifkasi dan pemahaman terhadap proses ini bisa mengungkap praktik dan kekuatan apa yang bisa membentuk manusia menjadi semata-mata konsumen, sehingga bisa digunakan untuk ’mengatasi-nya’ melalui program-program pendidikan populer pendidikan formal, dan bahkan gerakan sosial.
8
Jurnal RANAH Th. III, No. 1, Mei 2013
Daftar Pustaka Bourdieu, “The Essence of Neo-liberalism”, Le Monde Diplomatique, December, 1998. Classen, Constance,1997, “Foundations for an Anthropology of the Senses”. International Social Science Journal, 153: 401-412. Comaroff, Jean and John L. (ed.), 2001, Millineal Capitalism and The Culture Of Neoliberalism, Duke University Press. Csordas, Thomas J., ed., 1994. Embodiment and Experience: The Existential Ground of Culture and Self. Cambridge: Cambridge University Press. Csordas, Thomas J., 2011, “Cultural Phenomenology; Embodiment, Sexual Difference, and Illness”, in A Companion To Anthropology of The Body and Embodiment, Mascia-Less (ed.), 2011, Willey-Blackwell. Farquhar, Judith, 2002. Appetites: Food and Sex in Post-Socialist China. Durham, NC: Duke University Press. Michel Foucault, ”The Subject and Power,”, Afterward to Michel Foucault: Beyond Structuralism and Hermeneutics, ed. Hubert L. Dreyfus and Paul Rabinow (Chicago, IL: Universi- ty of Chicago Press, 1982), 208. Foucault, 2008, The Birth of Biopolitics ; Lectures at The College De France: 1978-79, Edited by Michel Senellart, Palgrave Macmillan. Freeman, Carla, 2011, “Embodying and Affecting Neo-liberalism” in A Companion To Anthropology of The Body and Embodiment, Mascia-Less (ed.), 2011, WilleyBlackwell. Howes, David, 2003. Sensual Relations: Engaging the Senses in Culture and Social Theory. Ann Arbor: University of Michigan Press. Howes, David, 2004. “Hyperaesthesia, or The Sensual Logic of Late Capitalism”. Empire of the Senses: The Sensual Culture Reader. David Howes, ed. Oxford: Berg. Howes, David, “Debate Section: Response to Sarah Pink”. Social Anthropology/ Anthropologie Sociale (2010) 18, 3 331–340 Howes. David, 2011a, “Polysensoriality”, in A Companion To Anthropology of The Body and Embodiment, Mascia-Less (ed.), 2011, Willey-Blackwell. Howes, David, 2011b, “Debate Section : Reply To Tim Ingold”. Social Anthropology/ Anthropologie Sociale (2011) 19, 3 318–322 Hsu, Elisabeth, 2008, “The Senses and The Social: An Introduction”. Ethos: Journal of Anthropology, vol. 73:4, dec. 2008 (pp. 433–443) Ingold, T. 2000. The perception of the environment: essays on livelihood, dwelling and skill. London: Routledge. Ingold, Tim, 2011, “Debate Section : Worlds of sense and sensing the world: a response to Sarah Pink and David Howes”, Social Anthropology/Anthropologie Sociale (2011) 19, 3 313–317 MacDougall, David, 1998, Transcultural Cinema. Princeton, NJ: Princeton University Press. MacDougall, David, 2005, The Corporeal Image: Film, Ethnography, and the Senses. Princeton, NJ: Princeton University Press. Marcia-less, France E., 2011, Introduction, in A Companion To Anthropology of The Body
9
M. Zamzam Fauzanafi - Budaya Neo-Liberalisme
and Embodiment, Mascia-Less (ed.), 2011, Willey-Blackwell. Marx, Karl, 1988, Economic and Philosophic Manuscripts of 1844, translated by Martin Milligan, Promotheus Books. Merleau-Ponty, M. 1962. Phenomenology of perception, (trans. C. Smith). London: Routledge & Kegan Paul. Nelson, Bryan, 2011, “Politics of the senses: Karl Marx and empirical subjectivity”, Subjectivity Vol. 4, 4, 395–412 Pink, Sarah, 2007a, Doing Visual Ethnography. London: Sage. Pink, Sarah, 2007b, “Walking with video”. Visual Studies 22(3): 240–242. Pink, Sarah, 2009, Doing Sensory Ethnography. London: Sage. Pink, Sarah, 2010, “Debate Section; The future of sensory anthropology/the anthropology of the senses”, Social Anthropology/Anthropologie Sociale (2010) 18, 3 331–340 Pink, Sarah, 2011, “Multimodality, multisensoriality and ethnographic knowing: social semiotics and the phenomenology of perception”. Qualitative Research 2011 11: 261 Priyono and Nugroho, 2001, Selamat Datang Jaman Baru, Sinar Harapan, Sinar Harapan, 5&6 September 2011 Rudnyckyj, Daromir, 2009, “Spiritual Ecomonies: Islam and Neo-liberalism in Contemporary Indonesia”, Cultural Anthropology, Vol.24, Issue 1. Pp. 104-141. Read, Jason, 2009, “A Genealogy of Homo-Economicus: Neoliberalism and the Production of Subjectivity”, Foucault Studies, No 6, pp. 25-36, February 2009 Rizky and Majidi, 2008, Neo-liberalisme Mecengkram Indonesia, E Publishing Company.
10
Jurnal RANAH Th. III, No. 1, Mei 2013
11
Yuda Rasyadian - Merajut dengan Tanah, Menjejak dengan Sekolah TH. III NO. 1, MEI 2013
RANAH
HALAMAN 12-38
MERAJUT DENGAN TANAH, MENJEJAK DENGAN SEKOLAH1 "GERAKAN PERLAWANAN ATAS NEOLIBERALISME DI DESA PERTANIAN SARIMUKTI" Yuda Rasyadian ABSTRAK Tulisan ini berupaya untuk membahas bagaimana neoliberalisme telah masuk ke dalam sendi-sendi perekonomian pedesaan. Penelitian ini dilakukan di desa Sarimukti, kecamatan Pasirwangi, kabupaten Garut, provinsi Jawa Barat. Di desa ini digambarkan bagaimana tangan-tangan ‘privatisasi’ datang membabi buta, dengan tengkulak sebagai aktor sentralnya. Keberadaan neoliberalisme melalui penetrasi pasar, telah memunculkan bentuk resistensi tingkat lokal melalui sebuah institusi sekolah, SMK Pertanian Sarimukti. Penelitian ini menggunakan paradigma Marxian dengan konsep perjuangan kelas melalui pendidikan berbasis alam. Perlawanan yang juga dipicu oleh kelas menengah ini merepresentasikan konsep ‘hidden transcript’-nya James Scott pada teori-teori gerakan sosial. Namun ada bentuk baru dalam gerak ‘hidden transcript’ terkait dengan gejala yang muncul di desa Sarimukti. Jadi, tulisan ini sekaligus juga sebagai usaha kritis untuk melengkapi konsep Scott tersebut. Kata Kunci: neoliberalisme, perlawanan, privatisasi, hidden transcript, pendidikan, tengkulak “Kita tak bisa memiliki pendidikan tanpa revolusi.
Kita telah mencoba pendidikan damai selama 1900 tahun.. mari kita coba revolusi,dan kita lihat apa yang dapat dilakukannya sekarang.” (Hellen Keller) 1 Ucapan terimakasih sebesarnya teruntuk Putri Prameswari dan Gaffari Ramadian, atas kritik dan saran yang berharga kepada penulis. Ucapan terimakasih juga untuk Yayasan Kampung Halaman, karena ide untuk tema tulisan ini berawal dari keterlibatan penulis di program ‘Sekolah Remaja 2011 Kampung Halaman’ dimana desa Sarimukti (Garut) sebagai salah satu site program.
12
Jurnal RANAH Th. III, No. 1, Mei 2013
Sebuah Pendahuluan: Neoliberalisme Saat mendengar kata ‘neoliberalisme’ rata-rata dari kita akan membayangkan tentang sesuatu hal besar yang bergerak dalam era modernisasi atau era pembangunan. Apa itu neoliberalisme? Sebenarnya terdapat beberapa – atau bahkan banyak- pandangan dari para akademisi yang mendefinisikan apa itu neoliberalisme, atau apa itu ideologi neoliberal serta apa maksud darinya. Bagi Davis (2006: p.89-3) misalnya, neoliberalisme berfungsi sebagai proyek politik dan ekonomi dalam kerangka proyek pembangunan. Lalu bagi Priyono (2006: 2) fungsi neoliberalisme bukan hanya tentang statistik ekonomi, terlebih sebagai bangunan ideologi tentang manusia dan pengaturan masyarakat. Saya tidak akan membahas secara detail, atau membahas penuh dengan analisa-analisa tertentu tentang ideologi neoliberal sendiri. Dalam bagian ini saya hanya akan memberikan garis besar bagaimana istilah neoliberalisme didefinisikan dan dalam kerangka seperti apa ia digunakan. Dari semua pandangan, saya menemukan kesepakatan bahwa neoliberalisme itu lahir dari –apa yang disebutbentuk aliran ekonomi liberalisme klasik dimana cikal bakalnya dipicu oleh karya Adam Smith yang monumental, The Wealth of Nations, di tahun 1776 (Khudori, 2004: 15). Smith menganjurkan agar pemerintah membiarkan mekanisme pasar bekerja dengan logikanya sendiri, melakukan deregulasi, serta menghilangkan segala bentuk hambatan (tarif dan non-tarif) dan restriksi. Selanjutnya, bagi Smith, apabila dorongan untuk mencari keuntungan individual adalah kapasitas yang alamiah, maka tidak boleh ada intervensi negara atau monopoli negara karena hal itu hanya akan mengganggu kebebasan individu dalam berkompetisi (Robinson, 1986). Jadi, penekanannya adalah dilucutinya peran pemerintah agar tidak terusmenerus melakukan kontrol terhadap semua sektor publik, tapi membiarkan sektor swasta mengambil-alih. Inilah representasi ideologi liberalisme lama. Ide liberalisme sendiri sebenarnya telah masuk ke Indonesia pada zaman kolonialisme Inggris (pasca kekuasaan H.M.Daendels dari Belanda tahun 18081811)2 yang dipimpin oleh Thomas Stamford Raffles. Raffles-lah yang pertama kali menerapkan secara nyata kebijakan liberal tersebut: dengan adanya land rent system (sistem persewaan tanah), menghapus sistem penyerahan paksa (hasil bumi) dengan harga yang tidak adil, menghapus rodi, dan menentang stelsel (tanam paksa) yang menguntungkan aristokrasi ‘feodal’. Walau kemudian pada masa krisis di negeri Belanda, raja Willem I menyerahkan kekuasaan HindiaBelanda kepada Van Den Bosch yang kembali menerapkan sistem tanam paksa 2 Pengetahuan ini saya dapatkan di perkuliahan Sejarah Pedesaan Abad 19-20 jurusan Sejarah UGM saat saya menempuh studi S1 Antropologi, yang diampu oleh Prof.Dr. Djoko Suryo. Penjelasan ini juga dipaparkan oleh Frans Husken (1998: 27) bahwa sebenarnya pada tahun 1794 pelopor liberalisme Belanda, Dirk van Hogendorp, sudah memperjuangkan penghapusan pemilikan tanah yang bersifat komunal dan kerja rodi yang dinilainya sebagai penyebab utama macetnya ekonomi di Jawa.
13
Yuda Rasyadian - Merajut dengan Tanah, Menjejak dengan Sekolah
dengan versi yang lebih halus sesudah tahun 1830 (Husken, 1998: 21). Lalu jika kita bertanya kapan istilah neoliberalisme muncul, ada dua pandangan besar yang dapat saya paparkan, dimana keduanya memiliki keterkaitan. Pada awal dasawarsa 1930-an, Jerman yang sedang dihantui fasisme (dalam suasana ganjil campuran antara totalitarianisme dan kolektivisme) mendorong sekawanan ahli ekonomi dan hukum yang terkait dengan Universitas Freiburg mengembangkan suatu gagasan ekonomi-politik liberal yang kemudian disebut ‘Mazhab Freiburg’ (Priyono, 2006: 2-3). Kemudian lewat jurnal bernama Ordo (kurang lebih berarti ‘tatanan’) mereka menyebarkan gagasannya, yang diterbitkan dari kota Dusseldorf.Itulah mengapa gagasan mereka kemudian disebut Mazhab Ordo-Liberal. Namun, pada awalnya Ordo-Liberal sering kali juga disebut ‘Neo-Liberal’3. Dalam waktu yang tidak begitu jauh, sebuah sekte dari jaringan mazhab Freiburg diatas muncul di Amerika dengan mengadopsi mazhab Ordo-Liberal, yaitu mazhab Chicago4 (yang memiliki keterkaitan dengan pemikir Ordo-Liberal). Inilah mazhab yang di kemudian hari disebut kaum ‘libertarian’. Lalu pada saat rezim Augusto Pinochet di Chile (tahun 1973) mengadopsi sistem ekonomipolitik mazhab Chicago dalam corak yang ekstrem, Pinochet mendapatkan pertentangan dan demonstrasi besar-besaran dari para pejuang demokrasi Amerika Latin. Saat Pinochet berkuasa, para pemegang kebijakan ekonominya adalah sekelompok ekonom Chile murid para libertarian di Universitas Chicago. Itulah yang membuat para pejuang demokrasi di Amerika Latin lalu menyebut para ‘Chicago boys’ ini sebagai kaum neo-liberal (Priyono, 2006: 5). Dari sini kita bisa lihat, kalau neoliberalisme awalnya menjadi istilah yang digunakan oleh para pejuang demokrasi Amerika Latin tahun 1973-1990 untuk menggambarkan watak ideologis kolusi antara rezim kediktatoran dan ekonomi pasar-bebas dalam coraknya yang ekstrem. Inilah pandangan pertama tentang awal munculnya istilah neoliberalisme. Pandangan yang kedua berasal dari penjelasan Noam Chomsky; istilah neoliberalisme pertama kali digagas sebagai suatu rangkaian prinsip-prinsip berorientasi pasar yang dirancang oleh pemerintah Amerika Serikat bersama lembaga keuangan internasional yang berkuasa pasca Perang Dunia II (Chomsky, 3 Gagasan Ordo-Liberal dipandu oleh pertanyaan konkret begini: apabila persoalan kaum liberal di abad ke-18 dan ke-19 adalah bagaimana menciptakan kebebasan ekonomi dalam tata-negara yang tidak bebas,masalah kaum liberal di paroh pertama abad ke-20 adalah bagaimana mendirikan tata-negara dalam suasana kebebasan ekonomi yang sudah ada (Lemke, 2001, dalam Priyono, 2006: 4 & 17). Cukup pasti persoalan ini mencerminkan kegelisahan para pemikir Ordo-Liberal atas kekosongan bangunan tata-negara di Jerman yang luluh-lantak setelah kekalahan Nazi dan kejatuhan Hitler. 4 Penggerak utamanya adalah para ekonom yang terkait dengan Universitas Chicago setelah Perang Dunia II, seperti Milton Friedman, Friedrich von Hayek, Gary Becker, dan George Stigler.
14
Jurnal RANAH Th. III, No. 1, Mei 2013
2003: 4). Gagasan dan ideologi ini juga dikenal sebagai Konsensus Washington sebagai era lahirnya istilah neoliberalisme. Walaupun sebenarnya saya dapat menyimpulkan bahwa ide gagasan yang dibangun pemerintah Amerika tersebut juga diadopsi dari gagasan ekonomi-politik mazhab Chicago yang saat itu pun sedang berkembang pasca Perang Dunia II (dengan para pemikir ekonomi dari Universitas Chicago). Lalu apa bedanya antara liberalisme lama dengan neoliberalisme? Menurut Priyono (2006: 5) awalan ‘neo’ (yang artinya ‘baru’) dipakai untuk membedakan diri dari liberalisme abad ke-18 dan ke-19, dengan memasukkan kritik dari gagasan sosialisme. Tapi mari kita lihat prinsip dasar kebijakan dari Konsensus Washington yang di kemukakan Chomsky, yaitu: liberalisasi perdagangan dan keuangan, biarkan pasar menentukan harga (“dapatkan harga yang tepat”), akhiri inflasi (stabilitas makro-ekonomi), dan privatisasi. Jika kita bandingkan penjelasan Chomsky tersebut dengan konsep aliran liberalisme klasik dari Adam Smith serta gagasan ‘pertanyaan konkret’ Ordo-Liberal (pada catatan kaki nomor tiga), kita akan menemukan dua tanda evolusi liberal yang membedakan liberalisme lama dengan neoliberalisme. Tanda pertama; mendirikan tata-negara dalam suasana ‘kebebasan ekonomi yang sudah ada’, dimana sebelumnya (era liberalisme klasik) ingin menciptakan ‘kebebasan ekonomi dalam tata-negara yang tidak bebas’. Kedua; munculnya terminologi privatisasi, yang menekankan kepada aspek penjualan suatu aset kepada publik dengan tidak dihalangi oleh batas-batas konvensional suatu negara (dimana sebelumnya Adam Smith menawarkan gagasannya untuk individuindividu berkompetisi dalam batas suatu negara). Michel Foucault menyebut hal itu sebagai absennya seni sosialis dari suatu negara (dalam Ferguson, 2009: 167). Dua hal inilah yang menurut saya menjadi tanda pembedanya. Chomsky memang menjelaskan bahwa istilah neoliberalisme juga tidak digunakan secara umum di seluruh dunia, termasuk di Amerika Serikat. Di Amerika Serikat, istilah neo-liberal dalam pengertian dewasa ini lebih disebut dengan istilah ‘libertarian’ (Priyono, 2006: 17)5 atau juga Konsensus Washington (dalam paparan Chomsky). Saat sirkulasi kapital pada era pasca-kolonial6 berkembang pesat, 5 Dengan berpegang kepada sebuah literatur berjudul The Economist,Priyono menjelaskan bahwa Istilah ‘neo-liberal’ adalah istilah yang lebih dekat dengan sejarah pemikiran politik Eropa Barat (spektrum konservatif – liberal – sosial progresif) daripada dengan sejarah politik Amerika Serikat (spektrum konservatif – liberal). Istilah ‘sosialis’ di Eropa lebih dekat dengan kategori ‘liberal’ di Amerika Serikat, dan istilah ‘liberal’ di Amerika Serikat lebih dekat dengan kategori ‘sosialis’ di Eropa daripada dengan istilah ‘liberal’ di Eropa. 6 Semenjak komunisme diruntuhkan, ide tentang sosialisme menjadi basi dan kuno. Rekonstruksi dan pembaharuan yang diterapkan oleh negara-negara di dunia pasca-kolonial menunjukkan bahwa “demokrasi politik dan ekonomi yang sejati” adalah gagasan yang seharusnya diambil untuk mengakhiri kolonialisme formal dan demi terciptanya kesetaraan relatif dalam hal akses sumber daya, materi, informasi, dan lainnya (Chomsky, 2003: 85, 129). Tetapi pada kenyataannya,
15
Yuda Rasyadian - Merajut dengan Tanah, Menjejak dengan Sekolah
privatisasi (sebagai kekuatan inti dari neoliberalisme) diamini sebagai konsep penting dalam proses ekonomi pasar yang diterapkan besar-besaran di segala sendi perkotaan maupun di pedesaan. Bagi Khudori (2004: 14-16) ide neoliberalisme adalah pemujaan terhadap pasar (istilah lain: fundamentalisme pasar), yaitu para pemeluk neoliberalisme percaya bahwa tidak hanya produksi, distribusi, dan konsumsi yang tunduk pada hukum pasar, tapi seluruh aspek kehidupan. Tak ketinggalan Chomsky (2003: 15) dengan keras mendefinisikan bahwa faham neoliberalisme sejatinya adalah mengacu pada kebijakan dimana sekelompok kecil pihak swasta yang saling terkait diizinkan untuk mengontrol sebanyak mungkin kehidupan sosial dalam rangka memaksimalkan keuntungan pibadi mereka. Dari semua pandangan yang saya kemukakan, konsep neoliberalisme selalu memiliki kecenderungan untuk membuka ruang perdebatan bagi pemikirpemikir modern yang ingin memihak, mengkritik, atau menolak neoliberalisme. Namun pada intinya, ideologi neoliberal ini mengacu kepada situasi dan hasil yang sama, yaitu mengakomodasi pemilik modal (atau orang kaya) menjadi semakin kaya, sedangkan pihak yang tidak memiliki akses terhadap modal (orang miskin, misalnya: buruh) menjadi semakin miskin. Era neoliberalisme adalah era ketika kekuatan bisnis tumbuh semakin kuat dan agresif, serta menghadapi lebih sedikit oposisi yang terorganisir dari sebelumnya (Chomsky, 2003: 14). Gagasan tentang neoliberalisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang sama sekali baru. Itu hanyalah versi terbaru dari apa yang disebut Marx sebagai perjuangan segelintir orang kaya yang ingin membatasi hingga ke titik minimal hak politis dan kekuatan sipil dari masyarakat luas. Bahkan Ferguson (2009: 166) mengekspresikannya dalam sebuah bentuk kalimat yang sederhana: “neoliberalisme adalah hal yang buruk untuk para pekerja dan orang miskin, oleh karena itulah kita harus melawannya!”. Sebenarnya semua definisi dan penjelasan teoritis tentang neoliberalisme hampir tidak ada yang berbeda substansi serta gejala-gejala yang muncul dari diterapkannya ideologi tersebut. Sejauh ini saya merasa paling sepakat dengan penjelasan David Harvey, yang mendefinisikan dengan aspek-aspek yang jelas serta paling komprehensif tentang bagaimana ideologi neoliberal dirumuskan, yaitu: Neoliberalism is the first instance a theory of political economic practices which proposes that human well-being can best be advanced by the maximization of entrepreneurial freedoms within an institutional framework characterized by private property rights, individual liberty, free markets and free trade (Harvey, 2006: 145). ideologi neoliberal (dengan selimut ‘berinti pada demokrasi’) menjadi arah yang diambil untuk mencegah munculnya demokrasi yang sejati. Sehingga ungkapan yang menyebutkan “demokrasi adalah pijakan yang mutlak diperlukan dan diperjuangkan bagi semua masyarakat pasca-kapitalis” hanya menjadi gagasan utopis belaka.
16
Jurnal RANAH Th. III, No. 1, Mei 2013
Sarimukti: Wajah Sebuah Desa dalam Transisi Sapaan hangat dari sejuknya udara akan langsung menerpa wajah saat kita menginjakan kaki di desa Sarimukti yang berada cukup tinggi dari permukaan laut. Desa Sarimukti terletak di kecamatan Pasirwangi, kabupaten Garut, provinsi Jawa Barat. Saat kita ingin berkunjung ke desa ini, kita akan melewati pemandangan dengan hamparan luas sawah dan gunung sepanjang perjalanan. Lokasi desa Sarimukti berada di arah gunung Papandayan dan gunung Cikurai, yang berjarak 47 km dari ibukota kabupaten Garut. Perjalanan kesana tidaklah terlalu mulus, karena infrastruktur jalan yang ada membuat mobil atau motor dipaksa untuk menjadi tangguh, apalagi saat musim hujan. Jika kita melihat kondisi desa Sarimukti, pembaca tidak akan menyangka bahwa desa ini adalah desa yang tertinggal (dari konteks sosio-ekonomi), begitu pula saya pada awalnya. Ketika sampai disana, terlihat sepintas wajah desa dengan kita akan berucap, “wow, desa ini kaya dan subur!”. Namun Pak Dadang Darojat, kepala desa Sarimukti, pada masa kepemimpinannya sekarang sempat berkata: “desa Sarimukti merupakan termasuk desa yang tertinggal,,”7. Sebenarnya desa Sarimukti memang memiliki potensi tanah yang sangat subur dan sangat baik untuk pertanian atau perkebunan. Masyarakat disana bercocok-tanam kentang dan jenis sayuran yang dikembangkan, seperti kubis dan cabai. Panen yang dihasilkan pun cukup besar rata-rata pertahunnya. Lalu tanaman konservasi yang ditanam adalah eucalyptus, yang bibitnya dicari dan diperoleh di hutan. Begitu lengkap bahan-bahan agrikultur yang dibutuhkan disana. Selain itu, dalam perjalanan ke Sarimukti kita akan melihat beberapa tempat usaha pemandian air panas (kolam air panas, energi panas bumi) komersil. Ini membuat saya membatin bahwa semakin lengkap potensi yang dimiliki desa Sarimukti. Sayangnya, sebagian besar tanah pertanian dan perkebunan yang ada di Sarimukti bukanlah milik mereka. Lahan tersebut kebanyakan milik orang lain, orang luar Sarimukti, yang memang tinggal di desa Sarimukti tetapi bukan orang dari desa Sarimukti asli. Sebenarnya orang-orang desa Sarimukti memiliki tanah, yang mereka sebut dengan ‘tanah waris’ (Yufik8, Sarimukti: 2011), yang terletak di tengah desa dan di kaki bukit (dekat dengan hutan), sekitar 20 menit berjalan dari balai desa. Permasalahannya adalah tanah waris ini tidak memiliki sertifikat. Secara historis, tidak ada orang desa Sarimukti yang mempunyai pengetahuan bagaimana cara membuat sertifikat. Beberapa cerita juga menunjukkan bahwa mereka –sedikit agak- tidak mempermasalahkan atau tidak peduli bahwa ‘tanah waris’ mereka itu memiliki sertifikat atau tidak, karena secara fungsional mereka 7 Pernyataan saya kutip dari sebuah wawancara di surat kabar Inilah Koran: Dari Bandung untuk Indonesia, Edisi no 070 tahun II/2013, 21 Januari 2013: 13., atau dari www.issuu.com/ inilahkoran2/docs/21_jan__13 8 Yufik adalah salah seorang pemuda penggerak (aktivis) pendidikan di SMK Pertanian Sarimukti, yang juga seorang guru non-formal di SMK Pertanian Sarimukti.
17
Yuda Rasyadian - Merajut dengan Tanah, Menjejak dengan Sekolah
telah menggunakan tanah itu selama bertahun-tahun. Anggapan akan warisan, dalam kesadaran umum mereka, mempunyai identitas tak tertulis yang berkaitan dengan hukum lokal. Sistem zonasi mereka sudah diatur berdasarkan kesepakatan desa dan diakui seluruh orang-orang di Sarimukti. Orang-orang tua yang ada di desa Sarimukti sebagian besar adalah buruh tani. Sebagian kecil dari mereka para generasi tua ini ada yang menjadi petani utuh (pemilik lahan pertanian atau perkebunan), tetapi dengan konformitas yang kecil. Ini adalah golongan yang bisa dikategorikan petani miskin/petani kecil. Berdasarkan cerita dan informasi, jika kita datang berkunjung ke desa Sarimukti sekitar lima sampai enam tahun lalu, kita akan banyak, dan hanya, menemukan orang-orang tua berkutat dengan pertanian. Saat itu, semua yang ‘menyentuh tanah’ adalah orang tua. Mengapa generasi tua? Karena memang di Sarimukti generasi tua-lah yang mampu mengolah pertanian atau menjadi buruh di pertanian atau perkebunan (Yufik, Sarimukti: 2011). Lalu bagaimana dengan anak-anak mudanya? Sebagian anak-anak muda dari Sarimukti ini melakukan migrasi keluar desa, ke kecamatan lain, ke kabupaten lain, atau bahkan ke kota-kota besar. Dorongan utama bagi mereka yang bermigrasi dari desa ke kota adalah untuk memperoleh penghasilan dan kehidupan yang lebih baik yang tidak bisa dibentuk di daerah asalnya (Manning, 1996: 13). Hal ini dilakukan demi pekerjaan; “daripada menganggur di desa..”, begitu kata mereka. Data yang ada juga menunjukkan sebagian besar anak-anak muda di desa Sarimukti tidak mengenyam sekolah tingkat menengah atas, bahkan yang mengenyam sekolah setingkat SMP pun sangat sedikit. Setelah lulus SD atau setelah SMP, biasanya si anak diminta membantu keluarganya (untuk bekerja atau berkegiatan apa saja) atau jika perempuan maka dia dinikahkan dini. Pada laki-laki, pekerjaan mereka sebagian besar menjadi tukang ojek (selanjutnya dapat saya sebut ‘ngojek’), tetapi banyak dari mereka terlihat tidak melakukan apa-apa atau hanya sekedar nongkrong. Saya mendapat jawaban dari beberapa anak muda bahwa ngojek ini bukanlah kegiatan yang disebut “mata pencaharian”, tetapi lebih kepada bagaimana mereka bisa mengisi waktu luang mereka dan tampak -berusaha- menghindari diri dari terlihat sebagai orang yang tidak melakukan apa-apa. Pertanyaan lain yang muncul adalah; dengan sumber daya alam sebesar itu kenapa masyarakat desa Sarimukti tergolong kekurangan dan tidak sejahtera? Milik siapa sebagian besar tanah di lahan agraria yang subur di desa tersebut? Seperti yang sudah saya sebutkan diatas, sebagian besar lahan pertanian di Sarimukti adalah milik orang luar. Mereka adalah tuan-tuan tanah yang membeli banyak lahan pertanian di Sarimukti yang tidak bisa diolah secara maksimal oleh generasi tua mereka. Tak dapat dipungkiri bahwa kekayaan di desa Sarimukti
18
Jurnal RANAH Th. III, No. 1, Mei 2013
ini menarik investor dari luar untuk menginvestasikan modal ke desa, entah itu sebuah perusahaan, ataupun individu yang memiliki modal dalam strata yang mapan. Secara historis, ledakan investasi ini dimulai pada tahun 1935, ketika banyak tuan tanah dan pedagang-pedagang besar Indonesia menginvestasikan uang mereka dalam gelombang industri. Wertheim memaparkan, “dan yang terjadi kemudian, ketika industri-industri seperti ini mulai menunjukkan aspek vitalnya, orang-orang luar (termasuk Cina) mulai menunjukkan ketertarikannya” (dalam Robinson, 1986: 24 ). Sebagai contoh, di desa Sarimukti ada sebuah pabrik yang berdiri di atas sebuah bukit disana. Pabrik tersebut adalah pabrik pembangkit listrik bertenaga panas bumi atau Geothermal. Cukup mengejutkan bahwa pabrik tersebut ternyata milik Chevron, salah satu perusahaan swasta penghasil energi terbesar di dunia. Di kondisi desa yang jauh dan cukup terpencil seperti itu, Chevron bisa datang serta mematri cakarnya di Sarimukti yang terlihat jauh dari perkembangan. Weber (1930)berpendapat bahwa kapitalisme modern –yang ditunjukkan lewat perusahaan bebas- dicirikan oleh tingkat rasionalitas yang tinggi untuk mereifikasi pola pikir masyarakat terhadap arus ekonomi era modern. Konteks ini menunjukkan bahwa perusahaan sebenarnya adalah organisasi totaliter yang efektif dan beroperasi dalam jalur non demokratis9. Kemudian terkait dengan tanah waris, tanah mereka tersebut di klaim menjadi milik Perhutani semenjak kayu putih dan pohon jati masuk. Sebagian besar pemanfaatan komoditas ini memang berdiri diatas tanah waris orangorang Sarimukti. Pernah ada yang memanfaatkan lahan (tanah waris) tersebut untuk diolah sebagai lahan kentang. Namun, orang asli Sarimukti tersebut dipermasalahkan dan dipenjara atas tuduhan penggunaan lahan Perhutani secara ilegal (Yufik, Sarimukti: 2011). Ternyata dalam sirkulasi kapital di desa-desa seperti ini pun negara ingin ikut ‘memiliki andil’. Kenneth Young menjelaskan pendapatnya tentang ambiguitas ini, "Peran klasik dari pemerintah (negara) pada masyarakat kapitalis ideal adalah tidak adanya intervensi, diluar menjaga stabilitas produksi kepemilikan-pribadi kapitalis, kebebasan dalam kontrak perjanjian, pasar dan lain-lain. Tetapi kenyataannya berbeda. Pemerintah turut campur dalam perluasan atau pengurangan tingkat ekonomi kapitalis. Saat ini, pemerintah terlibat dalam kehidupan ekonomi masyarakat pedesaan di Jawa, khususnya aspek-aspek dimana sistem ekonomi desa menawarkan ruang terbaik atas akumulasi kapital, mereka mengambil peran disitu. Posisi pemerintah tersebut sangat menonjol dibanding investor dan subjek pengambil-keuntungan lainnya." (Tanter & Young, 1990: 148) 9 Menurut saya Weber kurang menjelaskan lebih lanjut dari teorinya diatas, bahwa sebenarnya fase teritorikal dan ekonomikal ini bukanlah rasionalitas yang terbentuk secara mendadak, namun gejala yang muncul secara repetitif, seperti data yang ditunjukkan oleh Sarimukti.
19
Yuda Rasyadian - Merajut dengan Tanah, Menjejak dengan Sekolah
Melucci memaparkan hal tersebut sebagai rasionalisasi dominan, yaitu bagaimana negara dan pasar merasionalisasi (mencari dalih) atas ruang privat, membangkitkan kelompok sosial baru dan tindakan kolektif yang menjelaskan ‘kebisuan dan elemen kesewenang-wenangan dari peraturan yang dominan’ dan ‘memperkenalkan kepada umum sebuah alternatif baru’ (Edelman, 2001: 289). Gegar konformitas tersebut, –mengutip ungkapan Husken- yang paling berat merasakan akibatnya adalah keluarga tunakisma yang semakin hilang kesempatan kerja dan penghasilannya dalam pertanian10, dan terjadi di Sarimukti. Bait-bait cerita diatas menekankan pada satu hal; sistem privatisasi terhadap lahan. Jika mengacu pada konsep akumulasi primitif di pendekatan Marxian, proses penguasaan pribadi terhadap tanah adalah fase transformasi masyarakat feudal ke masyarakat kapitalis. Tetapi sebenarnya menurut Marx, akumulasi primitif terkait dengan kemajuan yang berdiri atas berubahnya bentuk perbudakan, yaitu transformasi dari eksploitasi feudal menjadi eksploitasi kapital (Marx, 1867/1887: 501). Tahapan ini didahului oleh pengambil-alihan aset-aset produksi dari para petani, dimana proses reformasi juga semakin mendorong terjadinya penjualan murah tanah-tanah luas kepada para spekulan, yang kemudian mengusir para pengolah tanah. Proses pengambil-alihan tersebut memunculkan suatu lapisan yang dinamakan proletariat dan yang sekarang kita kenal sebagai ‘buruh-upahan’ (buruh tani). Pada fase neoliberal, petani tidak lagi berhadapan pada tuan tanah tetapi langsung dengan pemodal besar yang tidak lagi dihalangi oleh batasbatas konvensional suatu negara. Diterapkannya privatisasi atas lahan-lahan yang potensial untuk menyokong ekonomi-sosial pada komunitas, menyebabkan situasi yang abu-abu bagi masyarakat di Sarimukti11. Privatisasi telah membuat sektor sumber daya alam bukan lagi dalam rangka untuk kesejahteraan bersama atau untuk memenuhi kebutuhan bersama, melainkan milik segelintir orang atau lapisan kelas sosial12 tertentu. Ini tak lepas dari program modernisasi pertanian
10 Frans Husken juga menarik analisa bahwa kondisi ini terjadi pada panen-panen padi dan perkebunan sejak tahun 1978. Dan kelompok petani kayalah yang banyak mengambil keuntungan, terutama terkait program modernisasi dimana di dalamnya terhubung dengan fasilitas kredit dan lain-lain (lih. Husken, 1998: 272& 319). 11 Secara historis kondisi ini sudah meninggalkan jejaknya sejak paro pertama abad 19. Pada tahun 1860, negeri Belanda membuat kebijakan liberalisasi agraria di Hindia-Belanda (Jawa). Saat itu Garut pun mulai ditelanjangi tangan swasta, seperti masuknya Karl Frederick Holle yang membuka hutan waspada di kaki gunung Cikurai menjadi kebun teh (lih. artikel ‘zainulmukhtar/ gin’. Inilah Koran: Dari Bandung untuk Indonesia, Edisi no 070 tahun II/2013, 21 Januari 2013: 11., atau di www.issuu.com/inilahkoran2/docs/21_jan_13) 12 Ada banyak perdebatan serta perluasan konsep yang menjelaskan tentang bagaimana ‘kelas sosial’ dirumuskan. Richard Miller menyatakan bahwa “tidak ada aturan yang prinsipnya bisa digunakan untuk mengelompokkan orang di dalam suatu masyarakat tanpa mempelajari interaksiinteraksi yang aktual di antara proses-proses ekonomi di satu sisi, dan antara proses politis dan kultural di sisi lain” (dalam Ritzer & Goodman, 2004: 58). Dalam buku Capital vol. I, Marx mengartikan kelas sebagai pengelompokan sosial yang terbentuk dari hubungan produksi utama
20
Jurnal RANAH Th. III, No. 1, Mei 2013
pada akhir tahun 1960-an dan berkembang tahun 1970-an (diprakarsai oleh pemerintah) yang telah memberikan akibat berbeda-beda pada berbagai lapisan penduduk di agraria di Jawa (Husken, 1998: 272), termasuk Garut. Model seperti ini telah merangsek ke desa-desa sejak studi Clifford Geertz tentang pertanian di Jawa, yang dijelaskan lebih lanjut oleh Robinson (1986: 6): “mulai pertengahan abad ke-19, kehadiran ekonomi kolonial secara pesat telah merubah sistem perdagangan alami menjadi perusahaan kapitalis”. Berubahnya sistem ini, menurut Husken adalah pemicu berubahnya diferensiasi sosial yang ada pada masyarakat pedesaan di pulau Jawa. Satu yang terpenting adalah munculnya ‘tengkulak’ dan ‘mandor’. Sosok ini terlihat setelah masuknya modal secara besarbesaran dan introduksi teknologi pertanian baru ke desa-desa di pulau Jawa, yang menyebabkan perubahan struktur dalam produksi dan organisasi kerja (Husken, 1998: 239). Tengkulak ternyata sangat berperan besar dalam menentukan sirkulasi kapital serta proses agraria, yang mana pada dasarnya kepentingan tersebut adalah untuk dirinya sendiri dan elit desa. Husken memaparkan bahwa visibilitas tersebut terkait dengan peranan penting “tengkulak” dan “pemborong hasil pertanian” dalam proses produksi (tebasan) yang sudah terjadi pada masa kolonial. Pada studi kasus di Sarimukti, subjek yang disebut tengkulak juga sebenarnya merangkap sebagai mandor. Tengkulak adalah sosok penting sebagai pemilik perusahaan pertanian dan perkebunan diatas lahan yang besar, atau bahkan dalam proliferasi pertukaran-pertukaran simbolik dan material yang terjadi di ranah publik. Tengkulak juga sebagai wakil dari pemodal besar yang berinvestasi di Sarimukti, dimana dirinya seperti pemilik lahan itu sendiri. Semua yang berkaitan dengan distribusi hasil lahan, dan perkembangan ekonomi (dalam hal uang dan bibit) semua diatur oleh tengkulak. Tatanan ekonomi yang terbentuk di desa tersebut mengharuskan, atau secara tidak langsung memaksa, wajibnya para petani desa memiliki interkoneksi dengan tengkulak. Ini adalah pergulatan eklektik yang bersifat ambigu bagi para generasi tua petani di Sarimukti. Ada beberapa alasan yang akan saya paparkan. Pertama; tengkulak membawa tenaga kerja ahli yang mengerti –memiliki pengetahuan- bagaimana cara mengolah lahan. Ini adalah cara kuat menekan para petani kecil di Sarimukti dalam persaingan produktivitas, karena kurangnya dalam masyarakat. Sedangkan dalam Manifesto of the Communist Party(1848/1888) Marx mengajukan ancangan dua kelas yang mahsyur, borjuis-proletar, dimana patokannya tidak pada sumber penghasilan, tapi pada hak milik atas sarana produksi dan nilai-lebih serta pada keikutsertaan dalam pergulatan politik (Mollona, De Neve & Parry, 2009: 399). Untuk konteks Sarimukti, saya mengacu pada apa yang didefinisikan E.P.Thompson tentang terminologi kelas: “...and class happens when some men, as a result of common experiences (inherited or shared) feel and articulate the identity of their interests as between themself, and as against other men, whose interests are different from (and usually opposed to) theirs” (dalam Kalleberg & Berg, 1987: 68).
21
Yuda Rasyadian - Merajut dengan Tanah, Menjejak dengan Sekolah
sumber daya manusia bagi petani kecil untuk meningkatkan produktivitas pertanian dan perkebunan disana. Kedua; petani-petani Sarimukti sulit untuk mendistribusikannya keluar, dalam pengertian ‘tidak bisa langsung’ melempar ke arena pasar hasil produksi mereka tersebut. Ini dikarenakan sistem embargo tidak langsung dari tengkulak, dengan jaringan pasar yang dimilikinya dan proliferasi aturan-aturan tertentu yang bersifat superior. Sehingga, persaingan besar-besaran terjadi antara petani kaya dan petani kecil; masyarakat pedesaan bertransformasi menjadi petani kapitalis dan kaum proletar desa. Dari situ kita lihat bahwa tengkulak menguasai jalur pasar dengan modal simbolik13 yang dimilikinya sebagai aset kepercayaan bagi aktor-aktor pasar, menegaskan dirinya mengakses kelas sosial yang lebih tinggi lewat pasar. Gambaran tersebut bertolak belakang dari himne yang dikumandangkan ke benak kita tentang ekonomi yang kompetitif, rasional, efisien dan adil dalam ‘pasar’. Bagi Robinson (1986: 34), alasan utama atas hal ini adalah dominasi dari perusahaan perkebunan dalam komersialisasi hasil produksi, yang artinya pasar nyaris tidak pernah kompetitif. Dalam kapitalis modern seperti sekarang, arena publik (pasar) dialihkan kewenangan pengambilan keputusannya oleh kontrol pada tiran swasta dalam kenyataannya, dan meminimalkan peran negara (Chomsky, 2003: 130). Ketiga; tengkulak inilah aktor yang esensial, dan sentral dari hampir semua sirkulasi ekonomi agraria yang ada. Konsep sentral yang dimiliki oleh tengkulak ini terlihat bagi saya juga sebagai ‘perantara’ (middlemen), yang bisa bergerak bebas dalam struktur dan menarik keuntungan dari sana. Cerita dari seorang bapak petani di pinggir galangan sawah pada suatu waktu menjelaskan bahwa, yang menjadi perantara masuknya investasi swasta ke Sarimukti adalah tengkulak dan segelintir elit desa dari golongan kelas atas. Aktor ini membuka ruang baru dimana posisi mereka sebagai perantara bisa bergerak bebas sebagai penghubung, pemilik, dan pengait. Dengan posisi tersebut dalam realisme sosial yang ada, tengkulak bagaikan representasi dari raja dalam konteks monopoli, senada dengan tafsir Geertz (1992: 35) tentang theory of the exemplary center (teori pusat yang patut dicontoh), yang tergambarkan sebagai sebuah mikrokosmos tatanan adikodrati dalam skala yang lebih kecil. Tengkulak tidak hanya merupakan mesin, inti, atau poros ekonomi pertanian di desa; tengkulak adalah ekonomi pertanian desa itu sendiri. Otoritas penuh dalam perputaran ekonomi pertanian dan perkebunan dimiliki oleh tengkulak tanpa memerlukan tindakan supresif. Ini 13 Pierre Bourdieu menjelaskan bahwa ada empat capital yang digambarkannya sebagai pembentuk kelas, yaitu modal ekonomi (modal capital) seperti tanah dan uang, modal sosial (social capital) yakni relasi dan kenalan, modal budaya (cultural capital) yakni cara berbicara, tatapan hingga cara mendengarkan, dan keempat modal simbolik (symbolic capital) seperti ijazah, nama besar keluarga dan kharisma (Bourdieu, 1984). Penggunaan dan penyerapan empat capital ini tercermin dalam pola “habitus”.
22
Jurnal RANAH Th. III, No. 1, Mei 2013
sesuai dengan tipe ‘otoritas legal’14, dilegitimasikan oleh keyakinan formalistik pada supremasi hukum apa pun isi spesifiknya (Weber, 1947), yang membuat petani tunduk kepada sistem monopoli yang diberikan oleh tengkulak karena mereka tahu bahwa mereka tidak akan bisa hidup tanpa terlibat di lingkaran tersebut. Dalam sistem ini kepatuhan tidak disebabkan oleh orang, melainkan oleh seperangkat prinsip impersonal. Asumsinya ialah bahwa aturan-aturan legal sengaja dibuat untuk memajukan pencapaian rasional atas tujuan-tujuan kolektif. Tengkulak membentuk aturan-aturan (seperti harga, perangkat penjualan, alur distribusi, penyediaan transportasi, menyediakan pasar, bibit dll) sebagai dasar prinsip yang ditanamkan ke masyarakat menjadi kesadaran baru. Hal ini menjadi sebuah keyakinan bagi petani yang ada di desa Sarimukti bahwa itulah sistem yang benar dan yang menghidupi, sebuah konstruksi hukum di alur ekonomi pertanian, dengan melegitimasi diri pada ‘tujuan kolektif’ kesejahteraan. Tengkulak memiliki otoritas dengan sistem miliknya –serta perangkat hukum kasat mata- yang dipatuhi dan aksiomatis, seakan-akan secara sah memonopoli penggunaan paksaan. Oleh karena itu tengkulak tidak lagi dilihat sebagai orang yang berkuasa atas sistem, tetapi dia adalah sistem itu sendiri. Babak Baru: SMK Pertanian Sarimukti SMK Pertanian Sarimukti15 didirikan pada tahun 2008 atas dasar inisiatif warga desa Sarimukti, yang juga didukung oleh Serikat Petani Pasundan (SPP). Oleh Nancy Peluso SPP disebut sebagai organisasi kaum petani terbesar di Jawa, yang sebenarnya sudah digerakkan secara ‘bawah tanah’ sejak pertengahan tahun 90-an tetapi baru formal didirikan pada tahun 2000 (dalam Saturnino, Edelman & Kay, 2008: 221). Berdirinya SMK Sarimukti ini juga adalah hasil gagasan dari beberapa orang yang peduli dengan perkembangan pendidikan yang adaptif di Sarimukti. Salah satunya adalah pak Yayan Supriatna (dikenal juga dengan 14 Saya melihat bahwa kecenderungan petani Sarimukti terikat dalam subordinasi yang dipegang oleh tengkulak bukanlah karena ada tindakan supresif dari tengkulak tersebut, lebih kepada sifat sukarela yang digarisbawahi oleh elemen-elemen tertentu secara simbolik. Weber mengungkapkan (dalam Wrong, 2003), bahwa kriteria fundamental dalam otoritas adalah “kepatuhan sukarelaminimal tertentu”, melibatkan kepatuhan sukarela tanpa syarat di pihak bawahan. Analogi ini seperti budak yang secara buta mematuhi majikan mereka meskipun majikannya tidak menggunakan cambuk, karena takut dia akan menggunakannya, tidak jauh berbeda dengan tentara yang mematuhi komandan mereka atau pejabat yang mematuhi atasan birokrasi mereka, karena mereka juga tahu bahwa atasan akan memberikan sanksi untuk menghukum mereka jika tidak patuh. Tanpa adanya ancaman hukuman, akan ada hukuman yang otomatis terjadi –yang telah terancang hampir sempurna- di kemudian waktu. Ini membentuk kontrol terhadap relasi struktur baru tersebut. Untuk terlaksananya transformasi ini sebuah sistem keyakinan harus muncul yang secara sosial melegitimasi pelaksanaan kontrol. 15 Untuk hematnya, selanjutnya akan saya sebut ‘SMK Sarimukti’ saja (tanpa mengurangi makna).
23
Yuda Rasyadian - Merajut dengan Tanah, Menjejak dengan Sekolah
nama mang Ade Jabok), seorang yang menjadi motor di SPP juga penah menjabat sebagai lurah desa Sarimukti. Salah satu yang lain adalah pak Anas, yang pernah menjadi guru di Mts Sururon di Sarimukti (tingkat menengah pertama) dan akhirnya menjadi guru juga di SMK Sarimukti. Ceritera lain mengatakan bahwa Mts Sururon inilah yang menjadi cikal bakal SMK Sarimukti (pendapat dari seorang guru), yang kemudian –tanpa tebang pilih- di dirikan atas visi yang sama. Tujuan utama SMK yang menyisipkan nama ‘Pertanian’ sebagai identitasnya ini adalah untuk menghasilkan siswa-siswa muda yang memiliki kemampuan dalam mengolah lahan pertanian, perkebunan, serta pengetahuan untuk mengelola sirkulasi ekonomi agraria di Sarimukti. Dengan begitu lulusan dari sekolah ini bisa memanfaatkan dan mengatur sumber daya agraria di desanya untuk kesejahteraan yang merata, dapat menghindari urbanisasi, serta menjadi generasi penerus orang-orang tua di desanya. Pada awalnya, pak Anas lah yang memperjuangkan SMK Sarimukti untuk mendapat pengakuan dan akreditasi agar bisa diakui seperti SMK yang lainnya. Kemudian apa yang dilakukan? Pak Anas berkonsolidasi dengan SMK Karang Pawitan (yang terletak jauh dari desa Sarimukti), untuk menstrukturisasi SMK Sarimukti sebagai sub-unit dari SMK Karang Pawitan. Ada dua alasan mengapa pak Anas memperjuangkan hal itu, pertama agar dapat diakui dan dilihat sebagai sebuah badan utuh yang dinamakan sekolah, kedua, untuk mendapatkan akreditasi. SMK Sarimukti didirikan diatas sebuah tanah carik yang disumbangkan, yang di alokasikan untuk sekolah. Kebetulan pada waktu itu, sebelum bangunan SMK ini berdiri, ada sebuah bangunan bekas gudang jamur, yang akhirnya di pinta oleh anak-anak desa (calon-calon siswa pertama SMK Sarimukti) untuk di bongkar agar bahan-bahan materialnya seperti kayu, atap, dan lainnya bisa digunakan untuk membangun kelas. Pak Lurah (yang saat itu dijabat pak Yayan/mang Ade Jabok) pun setuju, dan beliau meminta izin kepada si empunya bangunan, yang akhirnya dibolehkan untuk pembongkaran. Setelah itu secara gotong-royong, calon siswa-siswi (pertama) SMK Sarimukti bersama dengan orang-orang tua mereka, membangun ruang kelas diatas tanah carik yang disediakan, dan berdirilah SMK Sarimukti sampai sekarang. Jumlah siswa yang ada di SMK Sarimukti tidak banyak, satu angkatan rata-rata hanya sekitar 15 – 25 orang. Pada waktu riset untuk tulisan ini berlangsung, SMK Sarimukti sedang mendirikan Bale Baca, yang dalam tahap pembangunan secara swadaya dan dipimpin langsung oleh bapak Anas. Bale Baca ini akan difungsikan sebagai perpustakaan dan tempat membaca siswa. Dibangun dengan bentuk bale-bale (panggung) dengan bahan mayoritas bambu, nampak akan terlihat asri walaupun belum seratus persen jadi. Buku-buku yang terdapat di bale baca ini bukan hanya buku-buku tentang pertanian saja, buku pengetahuan
24
Jurnal RANAH Th. III, No. 1, Mei 2013
umum dan sastra juga ada. Tujuannya adalah tetap memberikan siswa-siswinya pelajaran umum dalam kurikulum mereka, sebagai gambaran mereka untuk melihat ilmu pengetahuan yang berkembang secara general, juga tentunya untuk mencapai ujian kelulusan (kesetaraan). Proses belajar mengajar di SMK Sarimukti bersifat sangat terbuka, dengan ‘dua arah’16, dengan konsep kebebasan berpendapat yang menarik nalar anak-anak muridnya untuk mampu menganalisa permasalahan agraria serta perkebunan. Sistem pengajaran ini agak mirip dengan cara memfasilitasi, seperti dalam sebuah workshop; sang guru menjadi fasilitator dan murid-murid menjadi peserta. Misalnya, dalam belajar mereka menggunakan proses ‘berbincangbincang’ sebagai metode untuk mengenalkan sebuah pengetahuan serta menarik respon akan pengetahuan tersebut, dan saat murid ingin bertanya mereka akan merasa lebih nyaman. Cara ini mempermudah mengetahui tingkat kedalaman siswa untuk memahami materi atau permasalahan. Hasilnya? Siswa yang ada di SMK Sarimukti benar-benar memiliki kemampuan serta pengetahuan yang maksimal –secara teori dan praktek- tentang bagaimana mengembangkan lahan pertanian, perkebunan, juga memanfaatkan sumber daya alam lainnya untuk diolah (saya berani menyebut mereka benar-benar cekatan dan pandai). Mereka juga memiliki kemampuan dalam hal manajemen ekonomi atas hasil produksi. Misalnya, secara perlahan mengembangkan lahan pertanian mereka, bagaimana membentuk jaringan dengan pasar, serta mengorganisasikan cara terbaik untuk membentuk relasi dengan pasar agar dapat diakomodir secara bersama-sama. Hal penting lainnya adalah mereka memiliki pengetahuan tentang kebijakan dalam memanfaatkan sumber daya alam, bagaimana agar keseimbangan alam itu terjaga dan sebagainya. Ini dapat dilihat dari metode yang –secara tidak langsung- diterapkan oleh SMK Sarimukti dimana siswanya dirangsang menjadi warga negara yang kritis dan aktif. Metode ini –meminjam istilah John Fien- disebut “hidden curriculum”, yaitu konsep memilah diri dengan berefleksi atasbeberapa peran tertentu untuk mencapai ‘ketepatan’ di masa depan (Yencken, Fien & Sykes, 2000: 254-258). Konsep ini, meninjau berbagai posisi siswa terhadap lingkungan mereka jika mereka merefleksikan diri: as a worker (petani), as a consumer, as a resident, as a leisure, as a learner, atau as a revolusioner. Pemahaman siswa pun bangkit, kritis, dan memungkinkan mereka untuk mengeksplorasi setiap kemungkinan yang ada. Mereka bisa memilah mana yang baik atau tidak, efisien atau tidak, dan memilah kelebihan atau potensi kehancuran yang dimiliki desa 16 Pembelajaran baru terjadi jika ada komunikasi dua arah antara guru dan murid. Tetapi dewasa ini banyak Sekolah (yang guru-gurunya) tidak menerapkan esensi tersebut, hanya bersifat satu arah, guru memberikan, murid mendengar dan menghafal. Implementasi tersebut bukanlah “pembelajaran” dalam arti yang sebenar-benarnya.
25
Yuda Rasyadian - Merajut dengan Tanah, Menjejak dengan Sekolah
mereka. Seorang murid dari SMK Sarimukti yang bernama Riswan berkata, “sebenernya sih kalau dibilang lebih memilih, tidak.. karena, semua orang tahulah, kalau pertanian, pasti ujung-ujungnya ke gunung lagi. Tapi ketika saya terjun langsung, misalnya ikut praktek di sekolah ini, ternyata bertani itu memang mengasyikan, dan itu menurut saya luar biasa..” Pada praktiknya siswa-siswa ini menunjukan minat yang berbeda dalam pertanian atau perkebunan, dan masing-masing mempunyai ‘kelebihan’ dalam bidangnya. Ada yang cenderung hebat dalam mengolah tanah dan merawat, ada yang mempunyai kemampuan sangat cekatan jika disuruh menanam dan memilih bibit, sampai panen. Ada pula yang lebih tertarik pada manajemen pengolahan panen sampai penjualan atau semacamnya (manajemen pasar).Menakjubkan lagi, seorang ibu bercerita kepada saya bahwa SMK Sarimukti ini gratis untuk orangorang yang mau belajar. Biaya operasional dan lain-lain adalah murni swadaya masyarakat dan sumbangan. Sejauh ini pula, guru-guru di SMK Sarimukti juga tidak memaksa bagaimana jalur hidup yang harus diambil siswanya setelah mereka lulus dari sekolah. Dijalankannya metode tersebut, yang notabene berbeda dengan sistem sekolah yang biasa, membuat perubahan besar pada minat pemuda disana untuk belajar. Mereka di-konstelasikan secara emosional bahwa sekolah itu adalah ruang bermain dan eksplorasi terhadap cara-cara hidup, yang jika mengutip ungkapan Fien, sekolah adalah ruang untuk menemukan ‘hidup’, memperoleh kesenangan, dan untuk memiliki ilmu sepanjang masa17. Metode yang dijalankan SMK Sarimukti adalah bentuk negasi atau counter act dari teori Foucault (1979) tentang disiplinisasi tubuh, yaitu terkait dengan sistem waktu yang merupakan disiplinisasi warisan kolonial18; Time penetrates the body and with it all the meticulous controls of power.... it imposes the best relation between a gesture and the overall position of the body, which is its condition of efficiency and speed (Foucault, 1979: 152 - 153). Konsep Foucault tersebut diterapkan di banyak sistem pendidikan umum saat ini, yang mana hal itu sebenarnya adalah potensi untuk mempertegas supresifitas struktur19 (direpresentasikan dengan sistem pengajaran satu arah: guru memberi, murid menerima – guru adalah dewa). 17 Lih. John Fien, Listening to the Voice of Youth: Implications for Educational Reform. 2000: 257. 18 Prof.P.M. Laksono pernah menyebutkan dalam tulisannya, bahwa “kebiasaan jam karet (Lombard 1996) adalah praktik perlawanan akan disiplin tepat waktu pada budaya industrial Barat” (Laksono, P.M., 2000. Permainan Tafsir: Politik Makna di Jalan pada Penghujung Orde Baru). 19 Metode SMK Pertanian Sarimukti adalah lawan dari praktik pendidikan pasif yang umumnya diterapkan di sekolah-sekolah modern sekarang ini. Freire (1986) menganggap bahwa pendidikan pasif pada dasarnya adalah melanggengkan sistem ‘relasi penindasan’.
26
Jurnal RANAH Th. III, No. 1, Mei 2013
Sekolah adalah ranah eklektis untuk membentuk daya hidup seluasluasnya dari apa yang di dapat, bukan sebagai kontrol untuk seragamisasi model manusia demi lahirnya pasukan baru dibawah supremasi tertentu. Supremasi tersebut terkait dengan membentuk individu modern –atas ideologi negara- dalam industrialisasi dan modernisasi (di aspek ekonomi pedesaan maupun perkotaan). Jika sekolah selalu dengan cara yang umum hal tersebut pasti mengarah pada pembentukan pasukan tenaga kerja pendukung sistem kapitalis (penjelasan Marx atas risetnya tahun 1844 di Inggris), dimana kapitalis membutuhkan efisiensi dan disiplin dalam rangka mempertahankan keberlangsungan produksi dan memaksimalkan fungsi mesin industri (Turner, 2008: 70). Kita dapat lihat, yang terjadi adalah keberlanjutan homogenisasi pasukan baru. Anak-anak dalam sekolah umum ini menjadi tenaga kerja potensial di dalamnya, dan segera setelah itu menjadi bagian dari industri di kota dengan skill yang mereka punya dalam kerangka yang homogen, dimana homogenisasi adalah alasan utama akan mata rantai kelemahan bagi keahlian dan tahapan buruh (Thompson, 1983/1989: 119)20. Oleh karena itu saya melihat bahwa visi SMK Sarimukti ini juga satu wacana aktif yang bukan sekedar gagasan utopis untuk mengurangi ledakan “tentara cadangan”21 (seperti yang di analisa Marx, 1867/1887: 235, 244-245., 1844/1959: 47). Tak pelak bahwa wacana yang dibawa SMK Sarimukti mengurai segregasi nyata antara wacana sentralistik industri pada tubuh SMK umum22 dengan proyeksi realita bahwa konsep SMK umum adalah deskilling bagi alur ekonomi lokal (seperti di pedesaan atau di pesisir). Untuk ini Riswan kembali mengemukakan pendapatnya, “..ya memang itu sih sebenernya. Menurut saya, memang kita itu harus ngembangin (mengembangkan) pertanian, karena tanah kita itu berasal dari pertanian. Kita memang yang harus belajar, sama harus bisa buat ngebangun dari apa yang kita punya..” 20 Homogenisasi ini dibentuk dari metode disiplin sebagai teknologi politis terhadap tubuh yang ternyata dicerminkan oleh sistem sekolah modern dengan tujuan untuk membentuk individuindividu yang berguna bagi industri modern. Foucault menyimpulkan untuk mencapai hal itu disiplin menjalankan empat teknik, yakni: memberikan jadwal, mengatur gerakan, mengajukan latihan, dan menyusun ‘taktik’ untuk menghasilkan kombinasi kekuatan (Foucault, 1979: 167). Hal tersebut menunjukkan bahwa kontrol dari aturan waktu seperti yang disebut diatas mematikan kontrak relasi secara kultural dan emosional dan mengedepankan sistem tubuh manusia untuk efisiensi produksi. 21 Istilah “tentara cadangan” ini adalah konsep yang diberikan Marx ketika dia melihat adanya cadangan buruh penganggur dalam jumlah besar yang –terpaksa- mau dibayar murah untuk melakukan pekerjaan industri. Hal tersebut adalah strategi dari para kapitalis dengan mengkonstruksi kerangka pemaksaan industri antara pembatasan kesempatan kerja dengan kapasitas mesin industri. Degradasi ini memicu kondisi ‘teralienasi’, yang melahirkan banyak orang menjadi sempit ruang kesempatan di bagian-bagian roda industri. 22 Konsep SMK pada umumnya dianggap sebagai up-skillingdi era modernisasi dalam sudut pandang ‘pemerintah pusat’.
27
Yuda Rasyadian - Merajut dengan Tanah, Menjejak dengan Sekolah
Kemudian ia menegaskan,
“..sekarang kalau misalkan sekolah (SMK umum), misalkan mengambil (jurusan) otomotif, otomatis kalau enggak mempunyai biaya, kita harus pergi ke kota. Untuk mencari pekerjaan yang sesuai dengan jurusan kita..”
Kata-kata tersebut, paling tidak, menunjukkan bahwa Sarimukti telah mampu menanamkan kesadaran pada siswa-siswinya atas apa yang sebenarnya mereka butuhkan atau apa yang harus mereka lakukan. Munculnya SMK Sarimukti memberi beberapa perubahan besar yang terjadi di desa tersebut, yaitu, 1.
Petani yang ada di Sarimukti sekarang bukan hanya generasi tua saja, tetapi banyak anak muda yang sudah turun ke aspek agraria, yang berarti proses regenerasi telah berhasil. Anak-anak muda ini sebagian besar siswa atau lulusan SMK Sarimukti.
2.
Dengan serentak dan bersama-sama, anak-anak muda ini (dengan dibantu oleh orang-orang tuanya) membangun jaringan atau akses terhadap pasar secara mandiri. Ini membuat mereka tidak bergantung lagi kepada tengkulak atas sirkulasi hasil pertanian dan perkebunan mereka. Mereka juga berani membangun jaringan dengan petani-petani dari luar desa mereka
3.
Petani kecil di desa Sarimukti sekarang mampu untuk bersaing dengan pemodal dan petani kaya yang bukan orang Sarimukti. Mereka juga mampu bersaing dengan perusahaan pertanian milik tengkulak, dengan dukungan sumber dari daya manusia yang dihasilkan SMK Sarimukti yang memadai untuk menopang tahap tersebut.
4.
Perlahan-lahan tingkat ekonomi rata-rata warga desa mulai beranjak naik (walaupun tentu saja tidak semua). Ini didukung oleh meningkatnya tingkat produktivitas produksi mereka terhadap pertanian dan perkebunan. Perlahan-lahan, banyak petani yang sedikit demi sedikit membeli tanah yang dulu tidak bisa mereka garap, atau yang mereka jual.
5.
Semakin banyak anak muda yang menyadari bahwa sekolah seharusnya bisa memberikan mereka bekal untuk menghadapi potensi dan kesulitankesulitan dalam ranah lokal. Hal ini membuat SMK Sarimukti semakin diminati, dengan berkaca pada hasil dari tujuan diberikannya pengetahuan dan sistem yang berbeda di sekolah ini.
Apa yang diberikan di SMK Sarimukti telah terpenuhi, termasuk dalam aspek ideologis, yaitu ilmu untuk membangun kesejahteraan berbasis pertanian, dimanapun hal tersebut diterapkan. Itulah hal yang terpenting. Sampai saat ini, tidak ada siswa lulusan SMK Sarimukti meninggalkan desanya untuk mencari
28
Jurnal RANAH Th. III, No. 1, Mei 2013
penghidupan baru. Mereka serius untuk memperbaiki kesejahteraan di bidang perkebunan dan pertanian Sarimukti serta sistem-sistemnya, dengan kekuatan baru yang dilandaskan asas pengembangan bersama. Gerakan Resistensial: Hidden Transcript dalam Selimut Pendidikan Mari kita masuk ke ranah kontemplatif dimana terdapat pergelutan ntara tubuh SMK Pertanian Sarimukti, neoliberalisme, sistem pendidikan serta privatisasi lahan yang terjadi disana. Hal-hal tersebut merupakan suatu interkoneksi yang saya lihat sebagai paradoks serta non-paradoksal. SMK Pertanian Sarimukti adalah sebuah lembaga yang lahir atas ide segelintir orang, dan sebenarnya termanifetasikan menjadi sebuah gerakan. Gerakan ini tentu saja resistensial terhadap kerangka neoliberalisme yang ada di desa tersebut. Gerakan SMK Sarimukti ini memiliki dua sisi; pertama, adalah kesadaran bahwa hal tersebut adalah solusi aktif, atau kedua, sebagai transgresi (penyimpangan) dari tatanan yang dianggap positif. James Scott mengisyaratkan bahwa gerakan-gerakan pedesaan ditakdirkan untuk terus bersifat lokal dan terpecah-pecah, menonjolkan ‘bentuk-bentuk pembangkangan awam keseharian’ dan menghindari konfrontasi terbuka dengan negara atau kelas-kelas yang lebih kaya (Scott, 1985). Saya tidak setuju atas analisa James Scott tersebut, di balik sebuah ke-setujuan saya akan satu konsep dari paparan beliau diatas. Pertama, saya setuju bahwa gerakan-gerakan pedesaan terkadang bersifat lokal dan terpecah-pecah. Kenyataan ini terlihat bahwa gerakan pendidikan SMK Sarimukti sebagai ‘jalan keluar’ yang berlawanan dari adaptisasi sistem neoliberal di Sarimukti, memiliki dualisme ideologis yang menekankan pada pembedaan tafsir ke orang-orang desa. Sebagian besar orang-orang desa mendukung, namun ada yang menolak serta berstigma negatif23. Jadi konsep kesadaran tidak dapat terserap seluruhnya, dan gerakan ini hanya ada di Sarimukti (bersifat lokal). Kedua, saya tidak setuju bahwa gerakan hanya menonjolkan bentuk pembangkangan awam keseharian. Rekonstruksi yang dilakukan orang-orang di dalam sebuah tubuh bernama SMK Sarimukti ini adalah act, yang hasilnya memotong regularitas sirkulasi ekonomi serta cara hidup yang ada di desa tersebut, dimana hal tersebut tidak terjadi dalam keseharian. Kita bisa menyebut hal ini pemberontakan dalam tubuh yang halus dengan tahapan-tahapan tertentu. 23 Terdapat sedikit orang-orang tua di Sarimukti yang masih berpikiran bahwa SMK Sarimukti adalah SMK yang menyimpang, aneh dan tidak umum. Kritik tersebut juga dalam aspek cara mengajar (metode) yang dipunya SMK Sarimukti tersebut. Bagi beberapa orang tua tersebut gambaran tentang SMK yang biasa mereka tahu adalah SMK yang umum seperti yang ditemukan di kabupaten, atau seperti SMK Pasirwangi, dimana kurikulum sekolah berpegang pada spesialisasi jurusan otomotif, mesin industri, atau akuntansi.
29
Yuda Rasyadian - Merajut dengan Tanah, Menjejak dengan Sekolah
Gluckman (dalam Claessen, 1987: 18) berkata bahwa pemberontakan (rituals of rebellion) terdapat di seluruh dunia dalam bentuk yang berbeda-beda. Aspek ini juga merujuk pada prinsip “loyalitas berlawanan” (conflicting loyalities). Loyalitas berlawanan terkait dengan hal ketiga, yaitu beberapa gerakan muncul dengan ‘tidak menghindarkan diri dari konfrontasi terbuka’, tetapi adakalanya dalam waktu bersamaan ‘sekaligus menghindarkan diri dari konfrontasi terbuka’ dalam aspek yang lain. Misalnya aspek ideologis atau pada praktik kerja. Loyalitas yang dimiliki oleh suatu kelas tertentu secara substantif dapat mengalami gejolak dan perpindahan alur, yang koheren dengan ‘wacana serta akses sokongan hidup yang bisa mempengaruhi pemikiran mereka’. Sehingga, otoritas menemui benturan dan ‘kepatuhan sukarela’ menjadi berubah. Paul Willis (1990) dalam analisanya mengemukakan bagaimana budaya resistensi mendekonstruksi dan merakit kembali budaya hegemoni. Dari sudut pandang Marxis ortodoks, resistensi budaya ini dapat dilihat sebagai tindakan menyokong (holding action). Ketimpangan yang terjadi di Sarimukti bukanlah sebuah konklusi ekonomi semata dan juga bukan sebuah konformitas bentuk sosial, tetapi juga membangkitkan bentuk budaya hegemoni. Satu hal yang mesti diperhatikan, secara substansial, resistensi sejatinya tidak semudah itu terbangun dari pertukaran, pemberian material ataupun penghisapan material, tetapi dari pola-pola “penghinaan” personal yang terciri dalam eksploitasi tersebut (Scott, 1990: 111). Jadi orang-orang pun sejatinya sudah ‘muak’ dalam posisi terhinakan di tanah mereka sendiri, yang tertekan dalam dominasi (hilangnya rasa merdeka). Alasan tersebut termasuk faktor yang kuat di luar simpulanatas tindakan ekonomik. Sehingga, SMK Sarimukti seakan menjadi jawaban untuk menghadirkan bentuk budaya baru, yang akan merakit suatu bentuk budaya hegemoni dalam dialektika hegemonial, dan akan menarik orang-orang dari posisi terhinakan. Ini adalah pertemuan antara kontradiksi-kontradiksi, dimana usaha untuk memecahkan kontradiksi-kontradiksi ini adalah esensi yang dibangun atas realitas, dan akan menumbuhkan kontradiksi-kontradiksi baru yang ditanggulangi hanya dengan perubahan sosial yang nyata (Marx, 1867/1887: 119-121). Apa yang dilakukan oleh SMK Sarimukti adalah untuk menyokong proses kooptasi dalam rangka menanggulangi kontradiksi tersebut, kontradiksi dalam roda ekonomi berbasis-tanah mereka. Resistensi, sekurangnya ditemukan dalam bentuk protes terbuka, petisipetisi, kerusuhan, dan revolusi yang adakalanya meledak tetapi juga adakalanya lebih dalam ‘diam’ namun dengan pola pengelakan yang besar-besaran (Scott, 1990: 195). Mengacu pada Scott, berbagai bentuk resistensi bisa dikelompokkan menjadi dua kategori, yakni public transcript dan hidden transcript. Public Transcript adalah bentuk yang terbuka/ eksplisit dari resistensi itu, misalnya
30
Jurnal RANAH Th. III, No. 1, Mei 2013
terlihat dalam berbagai pertunjukan di atas pentas yang diibaratkan pemain teater yang harus hidup di dua dunia, yakni dunia nyata sehari-hari dan dunia “berpurapura diatas panggung”. Sedangkan hidden transcript adalah bentuk resistensi yang dilakukan tersembunyi atau lebih tepatnya ‘di belakang’: pelaku resistensi berpura-pura bersikap baik di depan lawannya tetapi di belakang (ketika sedang berkumpul dengan teman yang satu pemikiran) mereka membicarakan lawannya itu, dengan menggosip, memfitnah, mengumpat, dan sebagainya. Di cerita saya tentang SMK Sarimukti, tidak ada sifat perlawanan yang sesungguhnya sebagaimana diajarkan oleh organisasi modern Leninisme dan demokrasi kapitalis. Perlawanan mereka berada di luar kedua mainstream itu dan tetap berbasis pada analisisi kelas untuk melihat persoalan ketimpangan serta penindasan yang terjadi. Resistensi, layaknya dominasi, selalu dalam posisi pertempuran antara dua bidang/ kubu (Scott, 1990: 188), dan ini terefleksikan di Sarimukti: antara siswa-siswa lulusan SMK Sarimukti dengan tengkulak; antara guru-guru (serta komunitas penggagas SMK Sarimukti) dengan pemilik modal dan elit desa; dan antara tubuh SMK Sarimukti dengan tubuh perusahaan swasta di desa Sarimukti. Identifikasi terhadap persoalan ini berlangsung dalam suatu proses dialektika antara identitas kelas dan kesadaran kelas dalam suatu perjuangan kelas antara kelas-kelas subordinat dan kelas-kelas dominan di desa Sarimukti tersebut. Kita dapat menarik benang merahnya, bahwa perlawanan berlangsung dalam suatu hubungan subordinasi dan dominasi. Perlawanan terjadi dari kelas rendahan atau yang disubordinasi, terhadap kelas atasan atau yang mendominasi. Titik pertentangan kepentingan kelas diidentifikasi sebagai suatu pengambilalihan surplus oleh kelas atas dari “hak” kelas bawah, dengan dalih menguasai alat produksi dan kekuasaan politik. Dengan demikian, perlawanan berlangsung dalam suatu hubungan dominasi dan subordinasi yang timpang, seperti pengambilalihan surplus dan manipulasi kekuasaan, baik dalam bentuk politik, ekonomi, maupun simbol-simbol budaya. Jadi orang-orang desa, martir-martir pendiri SMK Sarimukti, dan penggerak ekonomi desa yang dalam posisi ter-subordinasi, melakukan perlawanan melalui SMK Sarimukti sebagai sebuah gerakan resistensi baru dalam tubuh pendidikan. Penekanannya, yang dilakukan oleh SMK Sarimukti dan apa yang dihasilkan olehnya bukanlah sebuah aksi turun ke jalan, demonstrasi, atau memproduksi individu-individu yang mau melakukan kerusuhan sebagai tanda perlawanan. Praktiknya adalah melalui ‘bentuk gugatan’ dengan ‘wajah tersembunyi’, yaitu apa yang disebut Scott sebagai resistensi hidden transcript. Scott memetaforakannya dalam ungkapan, ..that the hidden transcript is continually pressing against the limit of
31
Yuda Rasyadian - Merajut dengan Tanah, Menjejak dengan Sekolah
what is permitted on stage, much as a body of water might press against a dam (Scott, 1990: 196). Namun, bertolak dari dasar-dasar di kondisi Sarimukti, saya melihat ada gejala baru dari hidden transcript yang batas-batasnya tidak seperti dijelaskan oleh Scott. Bentuk dari hidden transcript bukan hanya dibatasi pada tingkat yang tertata (yang diizinkan) serta dalam kondisi pasif (mengumpat, menolak di belakang, dsb) yang suatu saat bisa jadi akan pecah terbuka menjadi public transcript24. Gejala dan unsur praktik perlawanan dari SMK Sarimukti ini adalah pergerakan lewat pemahaman yang imanen serta memproduksi individu-individu yang bergerak aktif untuk melakukan perlawanan lewat elemen-elemen pengetahuan dan ‘praktik kerja’ (manifestasi mereka dalam bergerak kolektif mengolah agraria dan mengontrol balik sirkulasi ekonomi agraria). Secara bersamaan mereka tetap tidak melakukan konfrontasi terbuka atas apa yang tidak disetujuinya akan eksistensi dari lawannya, atau atas sistem yang diterapkan oleh lawannya. Bagi saya hal tersebut seperti ‘rekonsiliasi kepada cara yang berbeda dengan tipe pergerakan sama’ dan ‘dengan tujuan yang berbeda’ pula dengan aktor-aktor serta subjek neoliberalisme di desa Sarimukti. Tilly mengatakan, bentuk-bentuk baru akan gugatan kolektif muncul untuk merespon pergeseran geografis dalam kekuasaan politik dan modal (artikel Missingham, dalam Fauzi, 2005: 206). Bentuk-bentuknya tidak lagi ditujukan pada pemegang kekuasaan lokal dan parokial, tetapi yang dibutuhkan adalah untuk membidik organ-organ kapitalisme industri. Pembebasan yang dilakukan oleh segelintir orang atau komunitas tersebut, tidak terletak pada revolusi sosial melawan para elite yang mendominasi struktur-struktur ekonomi dan politik, melainkan di dalam tantangan yang berhasil melawan kekuasaan atas wacanawacana dan interaksi-interaksi yang terjadi dalam masyarakat (Foucault, 1979). Berdirinya SMK Sarimukti sejatinya menemukan wujud sebagai gerakan resistensi, dengan bentuk tertentu (yang bisa saya sebut agak eksperimental). Bentuk-bentuk resistensi akan tetap ada selama dominasi itu masih berkuasa. Jika tidak dengan gaya resistensi yang lebih terbuka dan demokratis (prosedural), maka terjadi dengan bentuk yang “lain” yang bersifat cerminan, reflektif, dan tindakan simbolis baru sebagai transformasi dari gaya resistensi sebelumnya. Geliat Politik Kelas Menengah: “Kesadaran” dan Tandingan Mengacu pada analisis marxis tentang perluasan pasar berkelanjutan: 24 Jika perlawanan yang terjadi dalam bentuk public transcript, ranah yang terlibat –kebanyakanbukan hanya dalam wilayah ekonomi saja, tapi juga ke wilayah kekuasaan politik. Bentuk ini cenderung menimbulkan friksi yang dapat dirasakan bersama dan membawa akibat perubahan terhadap sikap dan perilaku politik, bahkan perilaku kekerasan., lih. Scott, 1990: 46-61.
32
Jurnal RANAH Th. III, No. 1, Mei 2013
penetrasi modal ke dalam ekonomi subsistensi dan semi-feodal, serta globalisasi pasar budaya dan modal, dalam struktur global melahirkan sejumlah gerakan berciri kesadaran kelas (class consciousness movement) (Mirsel, 2004). Kesadaran seperti itu terbentuk atas keinginan sekelompok orang untuk membuat perubahan dan mengkooptasi akses elementer dari kelas yang lebih tinggi, serta hasrat manusia untuk selalu berjuang dalam meraih posisi, pengaruh dan kekuasaan yang lebih tinggi. Sekelompok orang yang menggagas terbentuknya SMK Sarimukti ini adalah orang-orang yang sebenarnya bukan berasal dari kelompok/kelas bawah (saya menyebut bahwa guru di SMK itu juga termasuk), namun mempunyai kecenderungan ‘memposisikan diri’ sebagai kelas bawah dalam memandang ketimpangan yang terjadi di desa Sarimukti. Orang-orang tersebut (termasuk juga pak Yayan) adalah dari kelompok kelas menengah (middle class). Geliat kontestasi di desa Sarimukti tergambarkan dengan munculnya dua kelompok dari kategori kelas menengah yang sama-sama memiliki tujuan dan kepentingan atas kondisi ekonomi desa tersebut, dan menjadi subjek utama di tulisan ini. Dua subjek ini bertentangan secara prinsip dan pergerakan. Pertama adalah penggagas SMK Pertanian Sarimukti, dan kedua adalah tengkulak. Menurut Wright (1985, dalam Tanter & Young, 1990: 154), secara konservatif kelas menengah di sebagian besar masyarakat dihubungkan dengan tingkat kesadaran dimana untuk mendapatkan keuntungan mereka menambatkan diri kepada kekuasaan –atau tatanan- yang ada (dan sebuah kesadaran akan ‘peralihan yang seperti apapun juga’). Tengkulak dapat berperan sebagai aktor yang mengkooptasi status dari kelas dominan sekaligus rekonsiliasi peran dengan kelas bawah, menegaskan kategori bahwa dirinya sebagai kelas menengah (middle class). Tengkulak juga subjek yang bergerak dengan persoalan menciptakan ruang antara negara dan masyarakat (ibid. 153), dan mengkonformitaskan langkah untuk mencoba berafiliasi dengan kelas dominan (Bourdieu, 1984: 251-254). Perspektif dan gejala dari dua kelas menengah yang ber-oposisi ini berbeda dari apa yang didefinisikan Wright. Pertama, tengkulak adalah subjek yang komprehensif dengan definisi bahwa kelas menengah Indonesia memiliki tingkat ketergantungan kepada sebuah tatanan sosial yang mana di dalamnya terdiri atas birokrat-politik dan orang-orang militer yang menggenggam posisi dominan atas masyarakat dan ekonomi. Lalu yang kedua memiliki entitas makna yang berbeda dari sebelumnya. Kelas menengah Indonesia juga ada yang mengidentifikasi diri dalam usaha untuk tidak melibatkan dirinya, berada di luar, dan independen, dari kuatnya ikatan negara-sentris atas elit desa, pemilik tanah (yang kaya raya), dan para kapitalis desa (Tanter & Young, 1990: 159-160), dan ini saya asosiasikan ke para penggagas SMK Sarimukti. Satu pihak dengan motivasi menyerap perekonomian dan kontrol
33
Yuda Rasyadian - Merajut dengan Tanah, Menjejak dengan Sekolah
pembaharuan. Sedangkan yang lain dengan keprihatinan atas ketidak-adilan alur perekonomian, serta memproduksi manusia-manusia berkemampuan dan berpendidikan sebagai manifestasi gerakan mereka. Kedua subjek kelas menengah ini memiliki dasar kemampuan yang membuat mereka bisa melakukan perubahan dan melaksanakan tujuan mereka masing-masing. Mari kita lihat satu ungkapan dari William R.Liddle: "Di Indonesia, pendidikan memiliki aspek signifikansi sosial yang besar, dan itu adalah kunci untuk masuk dalam beberapa kedudukan kelas menengah." (1985, ibid. 154) Ungkapan tersebut menjadi dasar bahwa sebenarnya kelompok kelas menengah tersebut dikonstelasi dari sosok-sosok intelektual. Sejatinya pun setiap pergerakan yang ada dari kelas bawah itu dirangsang dari kaum kelas menengah seperti ini, entah itu berupa internalisasi sokongan material, ataupun introduksi ideologi. Pada intinya, kedua subjek utama kelas menengah yang menjadi perdebatan di bagian ini sama-sama memiliki dasar “pendidikan”. Tengkulak membawa pengetahuan yang dimiliki olehnya dalam hal ekonomi pasar, membawa tenaga kerja dari luar desa yang berpengalaman, serta manajemen alat produksi bidang agraria. Semua dalam rangka mengakomodir eksploitasi lahan dengan efektif dan efisien. Sedangkan penggagas dari SMK Pertanian Sarimukti yang pertama adalah aktivis berpendidikan, dimana sensibilitas mereka dalam ketimpangan sosial sangat terasah. Lalu penggagas yang kedua adalah pemilik bekal sebagai guru, yang bisa menganalisa keseluruhan potensi-potensi yang ada (SDA dan SDM di desa Sarimukti), serta mampu memberi rangsangan pada kesadaran masyarakat untuk bergerak. Munculnya SMK Pertanian Sarimukti ini menjadi satu tanda pertempuran dua kelas menengah dengan tendensi ‘merekonstruksi dan mengobjektifikasi’ desa, yang bisa kita lihat kemana arahnya. Dua-duanya menjadi pemicu bagi konstruksi sosial, yang dibentuk dengan analisa dan perencanaan. Basis dukungan bagi mobilisasi sebuah gerakan tidak tersedia secara ‘alamiah’ dan otomatis; sebaliknya, basis itu dari dirinya sendiri merupakan sebuah konstruksi sosial (social construct) (Foucault, 1973). Basis dukungan bisa saja mengarahkan sebuah gerakan menjadi agen bagi kelompok-kelompok yang merasakan adanya tegangan struktural (structural strain), namun gerakan juga menciptakan basis dukungan bagi dirinya sendiri. Gerak kelas menengah itu pun bagi saya memiliki ciri subversif-nya sendiri-sendiri, juga bersifat impersonal,serta dengan bentuk yang tidak umum dan imanen, bagaimanapun masing-masing tujuannya. Konflik antar kelas tidak lagi dialami dan terungkap secara langsung sebagai perjuanganperjuangan di kawasan produksi antara kaum pekerja dan kaum pemilik modal. Sebaliknya, konflik-konflik ini “muncul dalam bentuk-bentuk yang lebih terpencar
34
Jurnal RANAH Th. III, No. 1, Mei 2013
dan kurang kasat mata di dalam berbagai setting kelembagaan lain” (Garner, 1977). Sebagai penutup, sejarah membuktikan bahwa nilai liberal dalam demokrasi, kekuasaan hukum dan kebebasan berbicara atau berpendapat, nampak secara tegas diakibatkan oleh intelektual dan profesional lapisan (strata) menengah (Tanter & Young, 1990: 67). Dari situ pembaca dapat melihat sendiri diskursus dari kelas menengah; ‘nilai liberal’ dan ‘kebebasan berpendapat’ yang tersimulasikan oleh pergulatan kelas menengah di desa Sarimukti. Kesimpulan Dalam tulisan ini saya hanya ingin menunjukkan, berdirinya SMK Pertanian Sarimukti bukanlah sekedar permasalahan pendidikan belaka. Berdirinya SMK Pertanian Sarimukti bukan sebuah program pemerintah, bukan pula program LSM, terkait dengan‘membangun sekolah bermutu’ di daerah transisi. Secara genesis, SMK Pertanian Sarimukti adalah gugatan terhadap cara pendidikan Indonesia yang tidak bisa mengakomodasi individu-individu pada taraf lokal untuk mampu bersaing dan membangkitkan kesejahteraan hidup daerahnya sendiri. Transferensi sintesa pun berhasil diurai, bahwa SMK Pertanian Sarimukti lahir sebagai hasil dari kemuakan kelas menengah di desa Sarimukti akan hegemoni politik neoliberalisme di Sarimukti, serta atas kepedulian kepada para petani (orang-orang desa) yang kalah. Kekuasaan terselubung yang ada di Sarimukti, membangkitkan kekuatan lain yang bergerak dalam tubuh pendidikan. Penggambaran tersebut layaknya apa yang menjadi bagan besar kerangka kerja Michel Foucault dalam risetnya; where there is power, there is resistance, and yet, or rather consequently, this resistance is never in a position of exteriority in relation to power. (Foucault, 1980: 73) Saya setuju dengan pendapat Freire (2000), bahwa pendidikan merupakan sebuah pilot project dan agen untuk melakukan perubahan sosial guna membentuk masyarakat baru. Apa yang saya jelaskan dalam bait-bait kata di atas merujuk ke sebuah permasalahan, bahwa sekolah (sebagai ruang bernaungnya pendidikan) seharusnya merekonstruksi ‘ide dan tubuhnya’ agar bisa memberi pengetahuan dan kemampuan bagi siswa di suatu daerah demi menjawab persoalan-persoalan di komunitasnya tersebut. Untuk membentuk masyarakat baru? Ya, hanyasayang di waktu sebelumnya yang ‘memberi bentuk’ adalah aktor-aktor serta sistem neoliberal yang datang ke Sarimukti, dan itu mengarah ke segregasi sosial serta ketimpangan. Sekolah-sekolah umum di Sarimukti (atau dimanapun) menjadi cerminan
35
Yuda Rasyadian - Merajut dengan Tanah, Menjejak dengan Sekolah
dari sistem pendidikan Gaya Bank, dimana peran pendidik adalah mengatur cara “dunia masuk ke dalam” diri para murid, menabung informasi, dan murid hanya menyimpan dengan rapi (Freire, 1986)25. Usaha untuk berpikir menjadi sebuah kegiatan yang tidak layak untuk dilakukan, malahan berulang-ulang siswa diminta untuk menghafal serangkaian data yang kerap kali tak ada kaitan dengan kebutuhannya atau yang dibutuhkan oleh lingkungannya. Sudah saatnya di negeri ini mengedepankan konsep ‘pendidikan aktif’, adaptif, manusiawi, dan revolusioner. Dengan cara tersebut, masyarakat yang terpinggirkan dapat menemukan jalan keluar lewat harapan pendidikan. Sebuah kalimat teoritis dan evokatif dilontarkan oleh John Fien; ..sistem pendidikan untuk menopang masa depan yang paling baik adalah mencari cara untuk mendorong dan memberi kuasa pada murid untuk memilih kemajuan perubahan dan terus menyokong pembangunan dengan berkaca pada cara-cara mereka hidup. (Yencken, Fien & Sykes, 2000: 257) Sarimukti adalah satu yang terlihat dari sekian banyak masalah serupa di Indonesia, seperti di banyak daerah pesisir, di bukit barisan, atau pulaupulau terpencil seperti di Tenggara Jauh Indonesia.SMK Pertanian Sarimukti, yang dibangun dengan segelintir ide dan segelintir modal dengan mengusung ideologi dan kurikulum non-sentralistik (atapun non-industrialistik) muncul untuk menjawab hal tersebut. Sarimukti bangkit melawan neoliberalisme lewat tubuh sekolah. Pendidikan sejati menjawab tantangannya. -tulisan ini di dedikasikan untuk orang-orang kalah yang mau bangkit untuk menang-
25 Dalam konteks guru-murid, Freire menyusun daftar antagonisme pendidikan gaya bank itu seperti: a. Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa, b. Guru berpikir, murid dipikirkan, c. Guru mengatur, murid diatur, d. Guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang profesionalismenya, dan mempertentangkannya dengan kebebasan murid-murid, e. Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menuruti.
36
Jurnal RANAH Th. III, No. 1, Mei 2013
Bibliografi Pustaka Buku
Bourdieu, Pierre. 1984. Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste (Third Englishtranslation). London: Routledge Chomsky, Noam. 2003. Neoliberalism and Global Order. New York: Seven Stories Press Claessen, H.J.M. 1987. Antropologi Politik: Suatu Orientasi (terj.). Jakarta: Erlangga Fauzi, Noer (peny.). 2005. Gerakan-Gerakan Rakyat Dunia Ketiga. Yogyakarta: Resist Book Foucault, Michel. 1973. The Order of Things: An Archeology of the Human Sciences. New York: Vintage Books Foucault, Michel. 1979. Discipline and Punish: The Birth of the Prison. New York: Vintage Books Foucault, Michel. 1980. The History of Sexuality. An Introduction. Vol I. New York: Vintage Books Freire, Paulo. 1986. Pedagogy of the Oppressed. New York: Continuum Freire, Paulo. 2000. Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan (terj.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar Garner, Roberta. 1977. Social Movements in America. Chicago, IL: Rand McNally Geertz, Clifford. 1963. Agricultural Involution: The Processes of Ecological Change in Indonesia. Berkeley: University of California Press Geertz, Clifford. 1992. Politik Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius Husken, Frans. 1998. Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman: Sejarah Diferensiasi Sosial di Jawa 1830 - 1980 (terj.). Jakarta: Grasindo Khudori. 2004. Neoliberalisme Menumpas Petani. Yogyakarta: Resist Book Kalleberg, Arne L, & Berg, Ivar. 1987. Work and Industry: Structures, Markets, and Processes. New York: Plenum Press Laksono, P.M. dkk. 2000. Permainan Tafsir: Politik Makna di Jalan pada Penghujung Orde Baru. Yogyakarta: Insist Press Lombard, Denys. 1996. Nusa Jawa: Silang Budaya. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Manning, Chris, & Effendi, Tadjuddin N. 1996. Urbanisasi, Pengangguran, dan Sektor Informal di Kota. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Mirsel, Robert. 2004. Teori Pergerakan Sosial. Yogyakarta: Insist Press Mollona, M., Geert De Neve, & Parry, J. 2009. Industrial Work and Life: an Anthropological Reader. Vol 78. Oxford & New York: Berg Publishers Robinson, Richard. 1986. Indonesia: The Rise of Capital. North Sidney: Allen & Unwin Pty Ltd Scott, James C. 1985. Weapons of the Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance. New Haven: Yale University Press Scott, James C. 1990. Domination and the Arts of Resistance. (Hidden Transcript). New Haven: Yale University Press Tanter, Richard, & Young, K. 1990. The Politics of Middle Class Indonesia. Victoria Australia: Centre of Southeast Asian Studies, Monash University
37
Yuda Rasyadian - Merajut dengan Tanah, Menjejak dengan Sekolah
Thompson, Paul. 1989. The Nature of Work: An Introduction to Debates on The Labour Process (Second Edition). London: The Macmillan Press Ltd Turner, Bryan S. 2008. The Body & Society (3rd Edition). London: Sage Publications Ltd Weber, Max. 1930. The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. London: Allen & Unwin, New York: Scribners Weber, Max. 1947. The Theory of Social and Economics Organization. New York: Oxford University Press Willis, Paul. 1990. Common Culture. San Fransisco: Westview Press Wolf, Eric. 1969. Peasant Wars of the Twentieth Century. New York: Harper and Row Wrong, Dennis. 2003. Max Weber: Sebuah Khazanah (terj.). Yogyakarta: Ikon Teralitera Pustaka Jurnal Borras, Saturnino M., Edelman, M., & Kay, Cristobal. 2008. “Transnational Agrarian Movements: Origins and Politics, Campaigns and Impact” di dalam Journal of Agrarian Change. Vol 8. Issue 2/3 Davis, Diana K. 2006. “ Neoliberalism, Environmentalism, and Agricultural Restructuring in Morocco” di dalamThe Geographical Journal, Vol. 172, No. 2 (Jun., 2006), pp. 88-105 Edelman, Marc. 2001. “Social Movements: Changing Paradigms and Forms of Politics” di dalam Annu. Rev. Anthropol. 2001. 30: 285–317 Ferguson, James. 2009. “The Uses of Neoliberalism” di dalam Journal Compilation. Antipode Vol. 41 No. S1 2009 ISSN 0066-4812, pp 166–184 doi: 10.1111/j.14678330.2009.00721.x Harvey, David.2006. “Neo-Liberalism as Creative Destruction” dalam Geografiska Annaler. Series B, Human. Geography, Vol. 88, No.2, Geography and Power, The Power of Geography, pp. 145-158 Priyono, B.Herry. 2006. “Neoliberalisme dan Sifat Elusif Kebebasan” di dalam Makalah Refleksi: Ketua Program Studi Pascasarjana STF Driyakara dalam acara “Pidato Kebudayaan” DKJ., TamanIsmail Marzuki, Jakarta E-Book Fien, John. 2000. “Listening to the Voice of Youth: Implications for Educational Reform” di dalam Environment, Education and Society in the Asia-Pacific. Yencken, D., Fien, J., & Sykes, H., 2000. London: Routledge Marx, Karl.1867/1887. Capital: A Critique of Political Economy. Volume I: The Process of Production of Capital. Moscow: Progress Publishers (First English edition) 1844/1959. Economic & Philosophic Manuscripts of 1844. Moscow: Progress Publishers (First English edition) Marx, Karl, & Engels, Frederick.1848/1888. Manifesto of the Communist Party. Moscow: Progress Publishers (First English edition)
38
Jurnal RANAH Th. III, No. 1, Mei 2013
39
Ali - “We Are The 99%” TH. III NO. 1, MEI 2013
RANAH
HALAMAN 40-48
“WE ARE THE 99%“ GERAKAN MENOLAK NEOLIBERALISMEDI KOTA JANTUNG KAPITALISME Ali
17 September 2011, puluhan orang berkumpul di salah satu sudut kota yang dikenal sebagai hutan beton, New York. Mereka berseru, “Occupy, Occupy, Occupy“ sambil bergerak dengan misi pendudukan New York Stock Exchange yang ada di Wall Street. Polisi menutup jalan, para demonstran dilarang mendekati Wall Street untuk menggagalkan upaya pendudukan. Akhirnya New York Police Department bertindak keras, para demonstran dipukul mundur hingga akhirnya mereka terpojok di taman Zuccoti, sebuah taman di mana mereka mendirikan tenda dan bertahan hingga beberapa bulan kemudian. Semenjak hari itu, jumlah demonstran terus bertambah. Di New York, salah satu kota pusat perdagangan dunia, ribuan orang menyerukan perubahan sistem ekonomi Amerika secara fundamental. Kehancuran perekonomian nasional menjadi latar belakang pergerakan ini. Apa daya, niatan untuk menduduki New York Stock Exchange terhalang oleh barikade polisi. Pada akhirnya di taman Zuccoti, mereka bertahan untuk menyampaikan aspirasi demi perubahan. Gerakan ini cukup menarik, karena tidak terjadi di ibukota negara yang diklasifikasikan sebagai bagian dari dunia ketiga. Alih alih negara dunia ketiga, penolakan terhadap sistem ini terjadi di sebuah negara, bahkan di kota yang menjadi jantung aktivitas perdagangan berbagai perusahaan yang sering dicap sebagai kapitalis internasional. Di kota tersebut, perdagangan saham dan pergerakan dalam indeks yang tersiar dalam Dow Jones mempengaruhi nilai Dollar dan perdagangan secara internasional. “We are the 99%“, itulah jargon yang para demonstran Occupy usung sebagai pembenaran gerakan. Jargon 99% dikutip dari dari tulisanJoseph E. Stiglitz1 yang menyampaikan sistem perekonomian Neoliberal Amerika berdampak pada ketimpangan kesejahteraan yang sangat tajam. Dalam tulisannya, Stiglitz mengungkapkan bagaimana 25% peredaran uang di Amerika Serikat dikuasai 1 Tulisan yang disampaikan oleh Joseph Stiglitz berjudul“ Of the 1%, by the 1%, for the 1%“. Judul tersebut adalah plesetan dari kutipan salah satu bagian pidato Abraham Lincoln yang terkenal pasca pertempuran Gettysburg yang berbunyi : “Government of the people, by the people, for the people“.
40
Jurnal RANAH Th. III, No. 1, Mei 2013
oleh 1% dari total penduduk2. Golongan 1% tersebut amat bergantung pada bagaimana 99% penduduk sisanya bekerja untuk profit yang mereka nikmati. 1% tersebut terdiri atas para bankir yang mampu mengendalikan peredaran uang dan melakukan pengambilan profit dalam jumlah besar. Kebijakan Neoliberal sebagai garis dasar kebijakan negara untuk mengatur perekonomian dinilai sebagai pembebasan yang kebablasan oleh pegiat Occupy Wall Street. Para aktivis menilai Neoliberalisme melahirkan penjahat baru dalam wujud bankir yang serakah dan akhirnya membahayakan perekonomian. Tidak adanya regulasi untuk mengatur para pelaku ekonomi dalam mencari keuntungan memungkinkan menjadi nyatanya lagu Rhoma Irama, Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin di sebuah Serikat bernama Amerika. Neoliberalisme Apa itu Neoliberalisme? untuk definisi ini, David Harvey menyampaikan pandangannya. Harvey menyebutkan Neoliberalisme sebagai“Political economic practices that proposes that human well-being can best be advanced by liberating individual entrepreneurial freedoms and skills within an institutional framework characterized by strong private property rights, free markets, and free trade“(2005: 2). Kebebasan berusaha, itulah ciri utama dari prinsip Neoliberalisme, di mana intervensi negara hanya ada dalam aspek sangat minimum atau malah tidak ada sama sekali. Amerika Serikat dengan berbagai negara bagian yang ada di bawah naungannya menjadikan basis Neoliberalisme sebagai landasan kebijakan ekonomi. Sistem Neoliberal berakar pada gagasan Adam Smith dalam bukunya Wealth of a Nations, yang kemudian dikenal dengan istilah laissez-faire. Gagasan yang dilahirkan oleh Adam Smith kemudian dikembangkan lebih jauh oleh para ekonom dari Freiburg dan Chicago. Dua kutub tersebut akhirnya melahirkan gagasan yang berlawanan tentang prinsip manusia dalam aktivitas ekonomi dengan premis Homo oeconomicus dan Homo socialis3. Aplikasi nilai-nilai Neoliberalisme pada praktiknya merujuk pada definisi prinsip Homo oeconomicus yang diajukan oleh para ekonom Universitas Chicago (Chicago Boys)4. Hal ini dikritik oleh salah satu pendidik Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, B. Herry Priyono.“Homo oeconomicus adalah, apa saja yang ada 2 “The upper 1 percent of Americans are now taking in nearly a quarter of the nation’s income every year“ (Stiglitz, 2011). 3 Priyono, 2006, hal. 6. 4 Chicago Boys adalah sebutan bagi para penyiar nilai-nilai Neoliberalisme dengan pendulum yang bertumpu pada kriteria manusia ideal sebagai Homo oeconomicus. Mereka terdiri atas para ekonom yang mengajar di universitas Chicago, Milton Friedman, Friederich von Hayek, Gary Becker, dan George Stigler (Priyono, 2006: 5)
41
Ali - “We Are The 99%”
padanya – dari uang sampai tanah, dan dari kecantikan sampai ijazah – adalah modal (kapital) yang mesti diubah menjadi laba, sama seperti cara-berpikir dan bertindak sang pengusaha kayu yang mengubah hijau hutan menjadi kayu gelondongan dan laba. Ringkasnya, -seluruh gugus relasi kehidupan adalah perusahaan-”(Priyono, 2006: 7). Perspektif yang ditawarkan oleh penyuara NeoLiberalisme golongan ekstrem menetapkan manusia ideal adalah manusia yang memperlakukan segala hal di sekelilingnya sebagai modal untuk meraih laba. Priyono mengkritik gagasan tersebut karena merasa kemanusiaan mustahil dinilai dari perspektif Neoliberal yang akhirnya menilai kesempurnaan manusia dari daya beli. Kritik ini lahir dari realitas afeksi gagasan Neoliberal yang begitu besar pada lingkup individu dalam taraf komunal. Tak bisa dipungkiri, dengan menjadi Homo oeconomicus, uang menjadi segala-galanya. Keberhasilan dalam kepemilikan kapital akan berimplikasi pada status sosial seseorang di dalam masyarakatnya. Para pendukung implementasi Neoliberalisme mengutarakan, orang yang mampu memakmurkan dirinya sendiri adalah orang yang perlu ditiru dan diklasifikasikan sebagai sebuah kesuksesan. Namun keserakahan menjadi hal yang tidak diantisipasi dalam prinsip Neoliberal. Semakin minim intervensi incumbent terhadap kegiatan perekonomian, semakin besar peluang para pemilik modal mengendalikan aspek kehidupan yang krusial untuk dijadikan aset perdagangan.Hal inilah yang dikritik Marx dalam gagasannya, ia menyebutkan, bagaimanapun, tujuan pemilik modal adalah pergerakan profit tiada henti5. Kritik Marx sebenarnya linear dengan gagasan Adam Smith yang menyebutkan“The fixed capital, and that part of the circulating capital which consists in money, so far as they affect the revenue of the society, bear a very great resemblance to one another“(Wealth of Nations, hal.233). Pembeda di antara kedua nama besar tersebut adalah, Marx melihat implikasi kebebasan ekonomi berorientasi profit secara negatif, sementara Adam Smith melihat hal tersebut sebagai hal yang positif. Hulu dari Hilir “Look at these people, wondering around with absolutely no idea whats about to happen“kata Peter Sullivan,seorang bankir, di pinggir jalan New York melihat orang berlalu lalang ketika akan menjual saham tanpa nilai dari perusahannya dalam film berjudul Margin Call6. Sullivan memprediksi terjadinya 5 Karl Marx, Das Kapital, hal. 372; “Use values must therefore never be treated as the immediate aim of the capitalist, nor most the profit of any single transaction. His aim is rather the unceasing movement of the profit making“. 6 Film Margin Call adalah sebuah film yang menggambarkan suasana genting dari sebuah perusahaan ketika akan menjual saham yang sudah tidak bernilai ke pasar, yang pada akhirnya melahirkan krisis di Amerika pada akhir 2008. Menurut kritikus film, perusahaan yang digambarkan dalam film tersebut adalah Lehman Brothers.
42
Jurnal RANAH Th. III, No. 1, Mei 2013
malapetaka perekonomian sebagai dampak tindakannya. Margin Call sendiri adalah sebuah film yang mencoba menyampaikan kronologis terjadinya skandal keserakahan perbankan yang terjadi pada September 2008. Demonstrasi dengan tujuan pendudukan sentral bankir Amerika, Wall Street, tentu tidak terjadi tanpa adanya alasan. Pergerakan Occupy yang terjadi pada kuartal terakhir tahun 2011 adalah implikasi jangka panjang dari krisis dahsyat yang terjadi pada tahun 2008. Pada 2008, perekonomian Amerika kolaps karena perusahaan terkemuka Lehmann Brothers mengucurkan Kredit Perumahan Rakyat(Subprime Mortgage) dengan sistem yang ternyata abal-abal7. Kehancuran perusahaan besar ini memberi efek domino pada runtuhnya berbagai perusahaan perbankan yang ada di Amerika. Perekonomian nasional morat-marit, hingga kemudian menyeret perbankan non-Amerika (Eropa dan Asia) ikut terseret dalam robohnya perekonomian8. Tingkat kepercayaan antar perusahaan perbankan terjun bebas, presentase pengangguran naik drastis, kucuran kredit menjadi sulit karena peluang kredit macet meningkat tajam9. David Graeber dalam bukunya Debts, The First 5000 years muncul dengan gagasan sistem ekonomi Amerika yang berlaku pasca 1971 sebagai sesuatu yang belum terdefinisi10. Mekanisme yang berlaku di Amerika Serikat adalah sesuatu yang lebih rumit dari yang dibayangkan banyak orang dengan berbagai regulasi di dalamnya bahkan mampu melahirkan eksistensi nilai imajiner dalam transaksi ekonomi. Berkat nilai imajiner yang makin lama nilainya mencapai 0 inilah, Amerika pada akhirnya menghadapi bencana tahun 2008. Dengan sarkastis ia menulis“Finance Capital became the buying and selling of chunks of that future, and economic freedom, for most of us, was reduced to the right to buy a small piece of ones own permanent subordination“ (Graeber, 2013 : 383). Beberapa pakar bahkan menyebut dampak krisis 2008 lebih dahsyat dibanding masa yang dikenal sebagai The Great Depression Amerika yang terjadi pada periode 1930an11. Sejak krisis 2008, 8,8 juta lapangan pekerjaan hilang, kekayaan rumah tangga di Amerika mengalami penurunan sebesar 19,2 triliun 7 Sistem abal-abal ini adalah sebuah sistem di mana nilai kredit Perumahan yang tidak bernilai dijual lagi dalam bentuk saham. 8 The result is that the global financial crisis has seen the largest and sharpest drop in global economic activity of the modern era.(McKibbin, Stoeckel; 2009 Hal.1) 9 Resiko peminjaman modal antar bank yang menurut statistik memiliki resiko kurang dari 1% mendadak naik menjadi 5% setelah kebangkrutan Lehman Brothers. (McKibbin, Stoeckel; 2009 Hal. 7) 10 Dalam bukunya, Debt, Graeber menyebut era pasca 1971 sebagai The Beginning of Something Yet to Be Determined. (Graeber, 2011: 361) 11 Sebagai gambaran parahnya keadaan, Presiden Bush pada 24 September 2009 bahkan menyebutkan The entire Economy is in danger. (website Economic Times, diakses pada 30 September 2008 di alamat http://articles.economictimes.indiatimes.com/2008-09-30/news/28390990_1_share-priceplunges-dow-slides-stocks-plunge)
43
Ali - “We Are The 99%”
dolar, Statistik pengangguran naik turun di sekitar angka 10% (Federal Reserve Flow of Funds dalam laporan U.S Department of Treasury, April 2012). Pemicu terjadinya kemarahan publik adalah, perusahaan yang kolaps tersebut berlomba-lomba mengajukan bailout pada pemerintah agar diberi kucuran dana untuk memperbaiki kesalahan. Rencana bailout yang kemudian digagalkan di Senat tersebut memuakkan masyarakat umum yang terkena dampak langsung karena terjadinya inflasi dan menurunnya daya beli akibat huru-hara perbankan. Pasca krisis 2008, tingkat pengangguran tidak pernah masuk dalam taraf tidak mengkhawatirkan (sampai artikel ini ditulis). Negara terjebak dalam krisis berkepanjangan karena nilai Dollar melemah secara internasional. Masyarakat menjadi semakin muak adalah para bankir tersebut ternyata tetap mendapatkan bonus karena kinerjanya memerosotkan keuangan negara. Gerakan Occupy Wall Street adalah hilir dari hulu berupa kinerja perbankan yang merugikan. Occupy Wall Street Occupy Wall Street tak bisa dilepaskan dari Revolusi Musim Semi yang terjadi di berbagai negara Arab. Occupy Wall Street mengklaim dirinya terinspirasi oleh revolusi Arab Springs yang terjadi secara domino dalam kurun waktu satu tahun sebelumnya.Arab Springs mampu membawa perubahan fundamental bagi negara-negara yang dikuasai diktator militer menjadi semacam inspirasi dari kalimat yang mereka suarakan,“We are unstoppable, another world is possible“. Menduduki Wall Street menjadi sama pentingnya dengan menduduki Lapangan Tahrir di Kairo, pendudukan Lapangan Martir di Tunisia, dan pendudukan area Bani Walid di Libya. Dengan menguasai secara konsisten tempat-tempat tersebut untuk menyuarakan perubahan, masyarakat Arab di berbagai tempat menumbangkan pemimpin mereka dan merubah sistem pemerintahan secara radikal. Ada dua cara yang dilakukan gerakan ini untuk melakukan perubahan. Pertama melakukan upaya pendudukan secara harfiah dengan aksi demonstrasi langsung. Kedua, menyerukan perubahan melalui berbagai jejaring sosial. Upaya pendudukan secara harfiah mereka lakukan pada periode September-November 2011 cukup sukses merebut perhatian publik. Walaupun aksi secara langsung tersebut mampu menyedot massa dengan jumlah yang cukup besar, polisi berhasil menahan mereka untuk tetap di luar Wall Street. Cara kedua untuk melakukan perubahan adalah melalui beberapa media sosial dunia maya semacam Facebook, Youtube, dan Twitter dan website resmi. Dalam akun resmi di jejaring sosial tersebut, aktivis Occupy gencar menyerukan pergerakan untuk merubah sistem perekonomian. Mereka rajin memperbaharui informasi secara langsung dari lokasi demonstrasi agar bisa diakses oleh siapapun, di manapun. Penggunaan media sosial yang mereka lakukan terpengaruh dari
44
Jurnal RANAH Th. III, No. 1, Mei 2013
praktik para demonstran di lapangan Tahrir Mesir yang mengorganisasi diri dan menyiarkan keadaan terkini melalui Twitter. Melihat konfigurasi peserta aksi Occupy Wall Street, bisa dilihat tendensi yang cukup menarik, tidak ada latar belakang homogen. Aksi penolakan sistem Neoliberalisme yang biasanya umum dilakukan oleh kaum buruh di negara dunia ketiga (semacam Indonesia, Korea Selatan, Afrika Selatan, dan negaranegara Amerika Selatan) dilakukan di jantung Neoliberal oleh berbagai lapisan masyarakat umum. Para Yankees ini memiliki latar belakang status yang sangat heterogen, terdapat mahasiswa, koki, seniman, pekerja bangunan dan latar belakang ras yang berbeda-beda12. Gerakan Occupy Wall Street yang lahir di New York menjadi anti tesis dari sistem yang sentral pada fokus pemaksimalan laba. Mereka menegaskan diri sebagai organisasi tanpa struktur untuk representasi anti tesis tersebut. Dalam website resmi, mereka menyebut diri sebagai “Leaderless resistence movement, that will no longer tolerate the greed and the corruption of the 1%“13. Adanya perlawanan terhadap sistem yang menyebabkan 1% orang menjadi mempengaruhi secara signifikan keadaan finansial 99% yang lain menyebabkan mereka menjadi antipati terhadap mekanisme struktural rantai komando. Leaderless, gerakan tanpa satu pemimpin utama adalah ciri utama dari gerakan ini. Mereka memilih untuk menjadi gerakan tanpa ketua dan menentukan berbagai keputusan secara komunal. Majalah TEMPO yang meliput para aktivis pergerakan setahun pasca aksi yang mereka lakukan menyampaikan semangat egalitarianisme dalam suasana rapat tanpa ketua. Tak ada pemimpin, semua yang hadir berhak menyampaikan dan menolak pendapat.Para aktivis Occupy memiliki kode khusus dengan jari tangan untuk menyetujui dan menolak gagasan untuk memudahkan rapat tanpa pemimpin14. Gerakan ini bila dilihat dari perspektif teori pergerakan sosial akan sesuai dengan definisi dari Manuel Castells yang menyatakan “Urban issues have become central because of the growing importance of collective consumption and the necessity of the state to intervene to promote the production of nonprofitable but vitally needed public goods“(Castell dalam Buechler; 1995: hal.4). Occupy Wall Street dalam hal ini, menekankan betapa pentingnya intervensi publik dalam ide dasar tindakan ekonomi. Setelah tiga bulan menginap di taman Zucotti, aksi Occupy Wall Streetdibubarkan paksa oleh polisi pada 16 November 2011. Sehari setelah 12 TEMPO edisi 29 Oktober-4 November, dalam rubrik, Occupy Wall Street, Setahun Kemudian. 13 Pernyataan ini terdapat dalam halaman depan website occupywllst.org 14 Baca Tarian Jemari di Tengah Rapat (TEMPO edisi 29 Oktober-4 November 2012), sebuah reportase yang menggambarkan bagaimana melalui gerakan jari tertentu, para aktivis Occupy Wall Street saling menyampaikan kode untuk berkomunikasi.
45
Ali - “We Are The 99%”
pemaksaan pembubaran, aksi simpatik terhadap gerakan Occupy menjalar ke lebih dari 50 kota di Amerika dengan aksi pendudukan berbagai taman kota15. Terinspirasi oleh rekan-rekannya di New York, massa yang terinspirasi Occupy Wall Street juga bergerak di berbagai penjuru dunia. Embel-embel Occupy menjadi seruan yang umum untuk menamai gerakan anti liberalisme dan kapitalisme di berbagai kota di negara barat. Dalam peringatan hari buruh Internasional misalnya, demonstrasi untuk memperingati dengan embel-embel Occupy bertebaran di berbagai negara Barat16. Pasca pembubaran aksi, upaya untuk melakukan perubahan lebih sering dilakukan oleh para aktivis melalui upaya penyebaran informasi via internet. Aksi yang dilakukan langsung pasca pembubaran di bulan November bersifat sporadis dan tidak menarik massa sebesar saat September-November 2011. Melalui berbagai jejaring sosial dan pertemuan internal, mereka secara intensif menyerukan ide yang mereka perjuangkan di taman Zucotti.Setelah dibubarkan polisi, beberapa pihak menganggap gerakan ini tidak memberi dampak apapun terhadap sistem perekonomian di Amerika. Selain gagal menduduki Wall Street, gerakan ini dianggap tidak memberi solusi aplikatif permasalahan ekonomi. Berkaca pada Amerika, Melihat Indonesia Neoliberalisme diaplikasikan pada beberapa negara yang kemudian berkembang pesat dan membanggakan diri sebagai negara maju. Sistem yang mendasarkan diri pada kebebasan untuk berusaha tanpa campur tangan sama sekali oleh pemerintah dianggap cara yang paling efektif untuk memakmurkan sebuah negara. Kejadian yang terjadi di penghujung dekade pertama abad 21 menunjukkan kenyataan yang berbeda. Amerika Serikat sebagai salah satu garda terdepan aplikasi nilai-nilai Neoliberal menampakkan bagaimana keserakahan untuk meraih laba menjadi bumerang mematikan bagi perekonomian nasional. Statistik secara riil menunjukkan penurunan pertumbuhan sektor ekonomi karena efek domino dari perekonomian Amerika (McKibbin, Stoeckel, 2009, hal.1). Gagasan yang dilontarkan oleh Adam Smith dan disempurnakan oleh Chicago Boys menjerembabkan perekonomian nasional di berbagai negara dalam jurang krisis karena keserakahan akibat rongga dari sistem. Ketidakpastian ekonomi, berimplikasi secara langsung pada penurunan jumlah lapangan pekerjaan yang berdampak domino pada kecemasan terkait kondisi finansial masyarakat dalam taraf mengkhawatirkan. Gerakan Occupy Wall Street dipandang pesimis oleh banyak pihak karena 15 TEMPO edisi 29 Oktober-4 November, dalam rubrik, Occupy Wall Street, Setahun Kemudian. 16 Dokumentasi visual demonstrasi dengan nama Occupy di berbagai wilayah selain New York bisa dilihat di http://www.boston.com/bigpicture/2012/05/may_day_2012.html
46
Jurnal RANAH Th. III, No. 1, Mei 2013
tidak pernah sukses melakukan pendudukan Wall Street. Walaupun begitu, seruan yang mereka lakukan dirasa mempengaruhi pendulum kebijakan eksekutif di pusat pemerintahan. Kebijakan untuk menaikkan pajak lebih besar untuk orang berpenghasilan tinggi dan regulasi serta aturan yang lebih ketat untuk kegiatan perbankan diharapkan menjadi tameng untuk mengantisipasi krisis terulang di masa depan. Walaupun begitu, upaya mereka untuk melakukan perubahan fundamental sistem perekonomian masih belum terpenuhi. “Neoliberalism has spawned a swath of oppositional movements both within and outside of its compass“ (Harvey, 2007: 39). Neoliberalisme sebagai sebuah gagasan ideal untuk memajukan perekonomian dalam aplikasinya tidak pernah diterapkan secara murni. Pragmatisme pengambil kebijakan akan sangat mempengaruhi bagaimana implementasi nilai-nilai standar acuan kebijakan. Berbagai gerakan oposisi yang mendorong intervensi negara dalam kegiatan ekonomi demi kepentingan publik dimungkinkan terjadi. Munculnya intervensi oleh pemerintah bisa terjadi bila terdapat tekanan publik, dalam hal ini, Occupy Wall Street memposisikan diri opresor pihak eksekutif. Ia bertindak sebagai penekan pemerintah terkait kebijakan ekonomi. Berkaca pada kasus di Amerika Serikat, Indonesia seharusnya belajar bagaimana kebijakan Neoliberal yang secara fantasi menampilkan citra kemakmuran minoritas pihak kemudian dianggap kesejahteraan nasional. Angka kesejahteraan berdasar pada Produk Domestik Bruto dan Pendapatan per Kapita Nasional tidak menampakkan jurang kesenjangan yang ada di balik data statistik. Gagasan ekonomi Pancasila yang dianggap menjadi area abu-abu di antara gagasan Sosialis dan Liberalis terbukti menurut sejarah diimplementasikan menurut interpretasi hegemoni politik yang berkuasa. Uraian Stiglitz yang menyampaikan hasil dari statistik 93% perkembangan ekonomi nasional ternyata dinikmati oleh golongan 1% tersebut bukan tidak mungkin terjadi dalam kasus Indonesia. Data tahun 2011 mengenai perkembangan ekonomi Indonesia sebesar 6,4% dengan nilai $846,8 Milyar vis a vis dengan 12,55% penduduk bawah di garis kemiskinan17 dan banyaknya jumlah penduduk yang kesulitan memenuhi kebutuhan hidup dan tingkat pengangguran menimbulkan pertanyaan, siapa yang menikmati kenaikan statistika ekonomi tersebut?.
17 Data terdapat di website http://data.worldbank.org/country/indonesia ; kriteria mengenai kemiskinan pun menjadi perdebatan yang cukup alot sehingga banyak pihak yang mengkritik kriteria batas kemiskinan karena dianggap tidak representatif mewakili rendahnya daya beli/ kecukupan asupan kalori masyarakat miskin.
47
Ali - “We Are The 99%”
Daftar Pustaka Graeber, David. DEBT, The First 5,000 years. Buku Elektronik. (diakses pada 10 April, 2013 pukul 20.30 WIT di www.unwelcomeguests.net Herry. B, Priyono. Neoliberalisme dan Sifat Elusif Kebebasan. 2006. Buku Elektronik. Artikel adalah naskah pidato yang disampaikan pada acara Pidato Kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 10 November 2006. (diakses pada 5 Oktober 2012 pukul 22.00 di alamat http://www.unisosdem.org/ download/PDF/prelease/Neoliberalisme%20dan%20Kebebasan.pdf ) Harvey, David. A Brief History of Neoliberalism. 2005. Oxford: Oxford University Press. (Diakses pada 11 November 2012 pukul 11.30 di alamat http://www2.warwick. ac.uk/fac/soc/sociology/rsw/research_centres/theory/conf/rg/harvey_a_brief_ history_of_neoliberalism.pdf ) Harvey, David. Neoliberalism as Creative Destruction. 2007. Sage Publications Inc. : Buku Elektronik (diakses pada 10 November 2012 pukul 09.00 di alamat http:// www.jstor.org/stable/2509788t The Department of Treasury. 2012.The Financial Crisis Reports on Charts. Buku Elektronik.(diakses pada 15 November 2012 pada pukul 12.30 di alamat http:// www.treasury.gov/resource-center/data-chart-center/Documents/20120413_ FinancialCrisisResponse.pdf ) Marx, Karl. 1890. Das Kapital, Volume 1. Buku Elektronik (Diakses pada tanggal 7 November 2012 pada pukul 23.40 di alamat http://www.marxists.org/archive/ marx/works/download/pdf/Capital-Volume-I.pdf ) McKibbin J Warwick, Stoeckel Andrew. 2009. The Global Financial Crisis :Causes and Consequences. Buku Elektronik (diakses pada 14 November 2012 pada pukul 19.30 di alamat http://melbourneinstitute.com/downloads/conferences/mcKibbin_ stoeckel_session_5.pdf ) Smith, Adam. 1776 (tahun pembuatan data elektronik, 2005)). Wealth of Nations. Buku Elektronik.(Diakses pada 16 November 2012 pada pukul, 21.30 di alamat http:// www2.hn.psu.edu/faculty/jmanis/adam-smith/Wealth-Nations.pdf ) Buechler, Steven M. 1995. New Social Movement Theories. Buku Elektronik. ( Diakses pada 21 November 2012 pada pukul 11.00 di alamat http://www.jstor.org/ stable/4120774 ) Media cetak Tempo, Edisi 29 Oktober-4 November 2012 Sumber internet http://www.vanityfair.com/society/features/2011/05/top-one-percent-201105 pada tanggal 1 November 2012 pukul 08.00)
(diakses
48
Jurnal RANAH Th. III, No. 1, Mei 2013
49
Dhimas Unggul Laksita & Nur Rosyid - Carica dan Bayang-Bayang Neoliberalisme di Dieng TH. III NO. 1, MEI 2013
RANAH
HALAMAN 50-66
CARICA DAN BAYANG-BAYANG NEOLIBERALISME DI DIENG Dhimas Unggul Laksita & Nur Rosyid ABSTRAK Tulisan ini dimaksudkan untuk mengkaji kontradiksi-kontradiksi pengembangan produksi komoditas pertanian, yaitu kentang dan carica. Penelitian dilakukan di dataran tinggi Dieng, Wonosobo. Produksi kentang, sebagai komoditas pokok petani setempat, menghadapi beberapa permasalahan yang menyangkut tenaga kerja, modal, dan ekologi. Dalam perspektif ekologi politik, model produksi, kondisi ekologis, dan intervensi politik atas ekologi berada pada hubungan yang dialektis. Di samping itu, saya mencoba mengkaitkannya dengan konsep neo-liberalisme sebagai sebuah gagasan sistem ekonomi baru yang berkembang beberapa dekade terakhir. Neo-liberalisme sebagai sebuah konsep tentang kebebasan ekonomi yang bertumpu pada kekuatan pasar, telah merasuk di konteks lokal dataran tinggi melalui introduksi carica. Meskipun bertumpu pada kekuatan pasar, intervensi Negara bukannya berkurang, justru membuka peluang dengan adanya kebijakan dan hak paten atas komoditas. Intervensi baru itu dilakukan melalui program sertifikasi komoditas yang disebut Sertifikasi Indikasi Geografis. Kata Kunci: Komoditas, Politik Ekologi, Neoliberalisme, Sertifikasi Komoditas Neoliberalisme sebagai Konsep Sistem Ekonomi Politik Global Neoliberalisme sebagai isu utama tulisan ini perlu dipahami lebih dahulu konsepnya. Thorsen dan Lie menjelaskan neoliberalisme: “…as the return and spread of one specific aspect of the liberal tradition, namely economic liberalism. Economic liberalism is, basically, the belief that states ought to abstain from intervening in the economy, and instead leave as much as possible up to individuals participating in free and self-
50
Jurnal RANAH Th. III, No. 1, Mei 2013
regulating markets”1(what is neolib hal 2) Pembatasan intervensi pemerintah terhadap pasar merupakan hal yang esensial bagi neoliberalisme. Hal ini dikatakan oleh Ortner sebagai kebalikan dari teori Keynesian bahwa “pemerintah diharapkan ikut ambil bagian dalam ekonomi dan mempertahankan program-program sosial untuk kesejahteraan bersama”2. Kemunculan neoliberalisme sebagai sebuah ideologi yang dominan dalam perekonomian dunia saat ini, merupakan hasil dari perkembangan ekonomi, politik dan filsafat, khususnya di Barat. Neoliberalisme bukan muncul dari satu fenomena yang mengakibatkan efek bola salju, akan tetapi hasil dari kumpulan fenomenafenomena yang kompleks. Misalnya saja krisis tahun 1970-an sebagaimana yang disinggung David Harvey, “By the end of the 1960s embedded liberalism began to break down, both internationally and within domestic economies. Signs of a serious crisis of capital accumulation were everywhere apparent. Unemployment and inflation were both surging everywhere, ushering in a global phase of ‘stagflation’ that lasted throughout much of the 1970s. Fiscal crises of various states (Britain, for example, had to be bailed out by the IMF in 1975–6) resulted as tax revenues plunged and social expenditures soared”3 Krisis ini, merupakan sebuah awal kebangkitan bagi sistem baru yang menjadi alternatif sistem perekonomian sebelumnya yang dianggap “gagal”. Tanda-tanda lain yang menunjukkan kemunculan neoliberalisme bisa ditelusuri memalui perkembangan pemikiran di bidang ekonomi, politik, dan sosial. Hal ini dimulai dengan munculnya Mont Pelerin Society4 yang beranggotakan para akademisi Eropa. Orang-orang ini, kumpulan para intelektual ini mempunyai pandangan yang berbeda mengenai bagaimana sebuah sistem ekonomi pasar itu seharusnya. Mereka mempunyai pandangan yang bertentangan dengan para state intervensionist dan juga Marxist yang cenderung memberikan negara wewenang lebih dalam mengontrol pasar dan modal. Sedangkan “pionir neoliberalisme” ini beranggapan bahwa “kebanyakan dari keputusan pemerintah itu bias akan 1 Lihat Dag Einar Thorsen and Amund Lie. What is neoliberalism?. Department of Political Science University of Oslo. 2007. hal: 2, diunduh dari folk.uio.no/.../What%20is%20Neo-Liberalism pada tanggal 28 Februari 2013 pukul 11.52 WIB 2 Lihat Sherry Ortner. On Neoliberalism. Dalam http://aotcpress.com/articles/neoliberalism/ diunduh pada tanggal 1 Maret 2013 pukul 20.59 WIB 3 Lihat David Harvey. A Brief History of Neoliberalism. Oxford University Press: New York, 2005, hal: 21 4 Mont Pelerin Society adalah organisasi yang menggambarkan diri mereka sebagai liberal (dalam pengertian tradisional Eropa) karena komitmen fundamental mereka terhadap gagasan kebebasan individu. Label neoliberal mengisaratkan ketaatan mereka terhadap prinsip pasar bebas ekonomi neoklasik yang muncul pada pertengahan kedua abad ke-19 untuk menggantikan teori klasik Adam Smith, David Ricardo dan tentu Saja Karl Marx (Harvey, hal 29)
51
Dhimas Unggul Laksita & Nur Rosyid - Carica dan Bayang-Bayang Neoliberalisme di Dieng
kepentingan salah satu golongan yang berkuasa, yang tidak akan sanggup mengikuti perkembangan pasar”5. Asumsi para penggagas neo-liberalisme ini, menurut Harvey,“…that individual freedoms are guaranteed by freedom of the market and of trade is a cardinal feature of neoliberal thinking”6. Kebebasan atau freedom merupakan salah satu konsep kunci dari pemikiran neoliberalisme, yang menjadi “tokoh utama” dibalik timbulnya pemikiran-pemikiran yang menjadi bibit neoliberalisme. Meski menggunakan ‘kebebasan’ sebagai ‘jargon’ utamanya, neoliberalisme yang muncul sebagai ideologi dominan justru berkembang karena intervensi, dalam hal ini kekuatan internasional terhadap negara-negara dunia ketiga. Intervensi yang dilakukan kekuatan internasional khususnya Amerika Serikat dan Eropa, dilakukan dengan cara pemberian kredit bagi negara-negara berkembang. Kredit yang dikeluarkan oleh kekuatan internasional ini bukan sembarang kredit, melainkan “kredit yang bersyarat”. Seperti yang Harvey jelaskan, “In return for debt rescheduling, indebted countries were required to implement institutional reforms, such as cuts in welfare expenditures, more flexible labour market laws, and privatization. Thus was ‘structural adjustment’ invented”7. Semua perombakan yang sudah disebut diatas merupakan salah satu upaya untuk mempenetrasi paham neoliberalisme melalui kekuatan (force). Hal ini tentu saja berkaitan dengan pergolakan politik di Amerika Serikat sendiri dengan terpilihnya Reagan sebagai presiden Amerika Serikat dan menjabatnya Margaret Thatcher sebagai perdana menteri Inggris yang sama-sama mendukung paham neoliberalisme dengan kebijakan-kebijakan seperti seperti yang sudah dijelaskan. Berangkat dari asumsi neoliberalisme sebagai sebuah gagasan sistem ekonomi global yang bertumpu pada mekanisme pasar telah masuk ke ranah lokal, kami ingin melihat lebih jauh seperti apa kontradiksi-kontradiksi yang hadir di dataran tinggi Jawa Tengah. Penelitian dilakukan di dataran tinggi Dieng, Kejajar, Wonosobo. Transformasi agraria Dieng menarik untuk dikaji dalam konteks wacana neoliberalisme, ditandai dengan adanya ekspansi komoditas carica (pepaya Dieng) atas komoditas kentang. Problematika Kentang Dieng Komoditas kentang yang dikembangkan di Dieng bukan semata-mata strategi masyarakat setempat melihat peluang ekonomi dari tanaman kentang. Dalam konteks historis, kentang diintroduksi di sana merupakan pengembangan 5 ibid, hal: 31 6 ibid, hal: 16 7 ibid, hal: 38
52
Jurnal RANAH Th. III, No. 1, Mei 2013
pangan global di dataran tinggi. Roudhotun Arbangiyah pernah melakukan studi historis mengenai perkembangan dan pengaruh introduksi kentang di Sembungan, Dieng8. Berdasarkan studinya, kentang diintroduksi ke Indonesia tahun 1811, khususnya ke Brastagi, Sumatera Utara. Kemudian berkembang ke beberapa daerah: Kerinci (Jambi), Pangalengan (Jawa Barat), Dieng (Jawa Tengah), Tengger (Jawa Timur) dan Toraja (Sulawesi Selatan)9. Sampai akhir tahun 1970-an zaman penanaman kentang varietas baru di Sembungan belum berlangsung. Pada saat itu lahan-lahan pertanian didominasi tanaman tembakau, sayuran kubis, dan kacang Dieng. Kentang varietas baru, mulai diperkenalkan di wilayah ini pada tahun 1979 oleh Muqodas, seorang petani dari Desa Patak Banteng, sebuah desa di bawah desa Sembungan10. Bahkan menurutnya, tahun 1978 sekitar 75 persen tanah pertanian di Sembungan dikuasai oleh petani-petani dari Patak Banteng. Pada tahun tersebut pula petani-petani Patak Banteng berhasil memproduksi hingga mencapai 20-30 ton/ ha. Jika dihitung keuntungannya, dengan harga jual pada saat itu Rp 550/ kg kira-kira bisa mencapai Rp 11 juta sampai Rp 12.5 juta rupiah tiap hektarnya. Setelah dipotong biaya modal meliputi biaya pupuk, pengolahan tanah dan bibit sekitar Rp 3 juta/ha, maka keuntungan bersih petani sebesar Rp 8 juta hingga Rp 15.5 juta. Sejumlah uang yang sulit dibayangkan oleh petani Sembungan yang pada waktu itu rata-rata penghasilannya hanya Rp 166.00011. Menjelang tahun 1980-an, perkembangan yang signifikan itu kemudian terus merambah ke desadesa sekitarnya, termasuk Sembungan, desa tertinggi di Jawa. Kehadiran kentang ini menandai adanya perubahan orientasi sistem ekonomi masyarakat dataran tinggi Dieng, dari subsistensi ke sistem pertanian berbasis komersial. Sistem pertanian yang dibangun oleh masyarakat Dieng diarahkan untuk kepentingan-kepentingan pasar dan , sirkulasi ekonomi dan Perubahan ini tentu saja tidak secara total. Masyarakat setempat masih menggunakan sistem subsistensi, terutama pada rentang masa tanam dengan masa panen. Hal ini terlihat dari strategi masyarakat setempat mengembangkan berbagai tanaman lain di samping kentang: kacang babi, loncang, buncis merah, 8 lihat Roudhotun Arbangiyah. “Perubahan Pola Pertanian Rakyat di Desa Sembungan Dataran Tinggi Dieng”. Skripsi jurusan Sejarah Universitas Indonesia. 2013 9 Ibid, hal: 3, lihat juga Adiyoga, W. A. Pola Pertumbuhan Produksi Beberapa Jenis Sayuran Di Indonesia. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang. 1998
10 Ibid, hal: 4 11 Perhitungan ini, berdasarkan keterangan Arbangiyah, dilakukan terhadap tanah seluas 300 keranjang (sekitar 0.4 ha) yang disewakan dengan harga Rp 100.000 per musim. Sementara untuk komponen tenaga kerja dalam satu musim perhitungannya sebagai berikut. Jika satu musim terdiri dari 12 minggu dan dalam satu minggu rata-rata curahan tenaga kerja buruh laki-laki empt hari dan butuh perempuan dua hari, maka jumlah total curahan tenaga kerja buruh laki-laki dan perempuan dalam satu musim masing-masing 48 Hari Orang Kerja (HOK) dan 24 HOK. Apabila dirupiahkan jumlahnya adalah 48 x Rp 1000 = Rp 46.000 untuk buruh laki-laki dan 24 x Rp 750 = Rp 18.000 untuk buruh perempuan. Total upah buruh adalah Rp 166.000.
53
Dhimas Unggul Laksita & Nur Rosyid - Carica dan Bayang-Bayang Neoliberalisme di Dieng
cabai bandung, dan sebagainya. Potensialitas kentang dalam konteks ekonomi tersebut, tidaklah sesederhana anggapan komoditas kentang mendatangkan kesejahteraan baru. Arbangiyah yang mengkaji perubahan itu sampai tahun 1995, menengarai ada perubahan sosial yang dibarengi dengan perubahan jenis komoditas. Produksi kentang di Dieng terus berlanjut sampai tahun-tahun belakangan. Justru keberlanjutan produksi pertanian ini menjadi salah satu agenda Dinas Perdagangan Nasional, sebagai sumber ekonomi yang relatif mapan sejak tahun 1997-2009 dalam menghadapi ancaman krisis global12. Sebagaimana pernyataan intervensinya, “mengingat sektor pertanian masih mampu bertahan meskipun terjadi krisis ekonomi di Indonesia tahun 1997, dan krisis global beberapa tahun terakhir ini sehingga dapat diandalkan dalam pemulihan perekonomian nasional”13.
Grafik 1: Fluktuasi produksi hasil pertanian di Kejajar Sumber: Data diolah dari Badan Pusat Statistk Kabupaten Wonosobo, dan Badan Pusat Statistik Kecamatan Kejajar
Proses perkembangan produksi kentang di Dieng menemui berbagai persoalan yang terus berkelindan. Satu persoalan pokok yang dihadapi oleh petani setempat adanya degradasi ekologi akibat ekspansi teknologi untuk meningkatkan 12 lihat Pusat danta dan informasi pertanian. “Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian”.Volume 1 No. 1, 2009, hal: 1 13 ibid.
54
Jurnal RANAH Th. III, No. 1, Mei 2013
produksi atas pertimbangan potensialitas komoditas kentang tersebut. Ekspansi teknologi pengolahan itu meliputi proses pemupukan, pengobatan, pengairan, dan pembukaan lahan-lahan baru semasa reformasi. Degradasi ekologi sebagai masalah lanjutan justru berdampak pada produksi kentang yang semakin menurun sejak masa reformasi (1999). Berikut data perkembangan produksi pertanian wilayah Kejajar secara umum dalam Kejajar dalam Angka 1999-2011. Berbagai komoditas tersebut menggambarkan fluktuasi yang sangat signifikan mengenai apa yang sedang terjadi di wilayah Dieng. Pertautan komoditas kentang dengan tanaman lainnya menunjukkan juga perubahan mendasar strategi masyarakat setempat membangun basis pertanian yang relevan dalam konteks ekologi maupun aspek lainnya. Pembahasan ini akan kami analisis menggunakan paradigma Ekologi Politik. Ekologi Politik Sebagai Pendekatan Pendekatan Ekologi-Politik berkembang dalam cabang antropologi ekologi. Benjamin S. Orlove mendefinisikan disiplin antropologi ekologi sebagai “the study of the relations among the population dynamics, social organization, and culture of human populations and the environments in which they live”14. Pendekatan ekologi politik sebagai salah satu paradigma dalam antropologi ekologi, mulai berkembang sejak permasalahan degradasi lingkungan akibat deforestasi di berbagai wilayah di dunia semakin meningkat. Pendekatan ini dikembangkan oleh beberapa pakar lingkungan seperti Peterson (2000), Bryant (1992), Andrew Vaida (1983), Baikie dan Brookfield (1987), Abe-KenIchi (2003). Pendekatan “ekologi politik”, oleh Peterson, merupakan salah satu pendekatan yang menggabungkan masalah lingkungan (ekologi budaya) dengan politik ekonomi dan dinamika antara lingkungan dengan manusia, antara kelompok bermacam-macam di dalam masyarakat dalam skala dari individulokal kepada transnasional secara keseluruhan15. Asumsi dari pendekatan ini, berdasarkan pandangan Naess, “kesembronoan manusia dilihat sebagai nilai yang paling penting dalam melihat degradasi lingkungan”16. Paradigma ini lahir dari kritik terhadap studi ahli lingkungan yang melihat kerusakan alam akibat 14 Lihat Benyamin Orlove . “Ecological Anthropology” dalam Annual Review of Anthropology IX. Tahun 1980. hlm: 235-6 15 Peterson. 2002, dalam Herman Hidayat, John Haba, & Robert Siburian (eds) (2011). Politik Ekologi: Pengelolaan Taman Nasional Era Otda (edisi ke-1, cetakan ke-1). Jakarta: LIPI Press dan Yayasan Obor Indonesia. 2011, hlm: 8 16 Naess (1987) dalam Peet, Richard, Paul Robbins, dan Michael J. Watts . Global Political Ecology. London and New York: Routledge. 1996, hlm: 23-24
55
Dhimas Unggul Laksita & Nur Rosyid - Carica dan Bayang-Bayang Neoliberalisme di Dieng
ulah penduduk setempat sehingga mereka harus bertanggung jawab terhadap kerusakan itu17, maupun akibat dari aktivitas ekonomi yang semakin bebas, meningkatnya investasi secara global, sehingga mereka dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab menangani persoalan ini18. Cakupan studi yang begitu luas di atas, dipersempit oleh Sinead Bailey dalam bukunya, “Third World Poltical Ecology.” Melalui buku itu, dia mencoba memberikan arah bagaimana pandangan Pett dan Watts di atas, digunakan dalam memahami proses-proses perubahan ekologi di Dunia Ketiga. Menurutnya, seorang ekolog politik harus melihat perubahan lingkungan Dunia Ketiga dan konflik dalam terma problem lingkungan (permasalahan ekologi), konsep pembangunan berkelanjutan, karakteristik sosial ekonomi, aktor-aktor (negara dan pasar), serta wilayah khusus19. Bailey sudah memberikan arah, bagaimana perubahan lingkungan yang politis tersebut dapat dipahami. Menurutnya, pendekatan ini berawal dari penjelasan bagaimana perubahan lingkungan tersebut bisa berlangsung. Selanjutnya, perubahan itu direlasikan dengan proses-proses politik ekonomi20. Jejak-jejak penelitian dengan menggunakan pendekatan politik ekologi, terlihat pada beberapa penelitian yang dilakukan oleh Roy Ellen, pada studinya mengenai hutan di Nuaulu21. Penelitian ini dilakukan di luar Jawa dimana ketegangan antara penduduk lokal dengan pendatang, pemerintah dan investor sangat besar. Apalagi fokus penelitiannya berada pada masyarakat yang tinggal di daerah hutan. Belum adanya penelitian yang menggunakan pendekatan ini di Jawa membuat saya tertarik untuk mengembangkannya. Politik Kentang Sebagaimana yang sudah kami singgung di atas, kehadiran kentang bukan serta-merta strategi masyarakat setempat mempunyai kearifan lokal yang canggih. Kehadiran ini justru dipicu oleh agenda politik-ekonomi Negara modern untuk mengembangkan kesejahteraan masyarakat dataran tinggi, maupun secara keseluruhan. Semenjak kentang diintroduksi dari Sumatera dan terus berkembang ke berbagai daerah, Dieng menjadi salah satu agenda pembangunan perekonomian Negara yang berpotensi sebagai komoditas perdagangan internasional. Di samping 17 Lihat juga Grossman “The Political Ecology of Bananas: Contract Farming, Peasants, and Agrarian Change in Eastern Carribean”. University of North Carolina Press. tahun 1997 18 Lihat Richard Peet dan Watt. Ibid: 24 19 Lihat Sinead Bailey “Introduction”, dalam Third World Political Ecology. 1997 hal: 1 20 Bailey, ibid: 27-28 21 Lihat Roy Ellen “pengetahuan tentang hutan, transformasi hutan: ketidakpastian politik, sejarah, ekologi, dan renegosiasi terhadap alam di seram tengah”, dalam Tania Li, (ed.) “Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia”. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2002, hl:205246
56
Jurnal RANAH Th. III, No. 1, Mei 2013
itu, FAO pun ikut andil dalam proses pengembangan kentang sebagai salah satu tanaman pangan global. Berdasarkan informasi dalam International Year of Potato tahun 2008, kentang menjadi salah satu agenda global menghadapi kelaparan, kemiskinan, dan ancaman lingkungan. Tiga agenda itulah yang menjadi misi FAO “The potato is already an integral part of the global food system. It is the world’s number one non-grain food commodity, with production reaching a record 325 million tonnes in 2007. Potato consumption is expanding strongly in developing countries, which now account for more than half of the global harvest and where the potato’s ease of cultivation and high energy content have made it a valuable cash crop for millions of farmers.22” Berdasarkan pernyataan tersebut, kentang menjadi potensi karena pertimbangannya sebagai sumber energi manusia dunia. Pertimbangan inilah yang membuat kentang menjadi komoditas ekspor-impor pangan dunia. Tidak hanya itu saja, harga kentang yang dihasilkan dari proses tawar-menawar di tingkat harga lokal, menjadi pertimbangan penunjang FAO untuk menjadi salah satu tanaman yang memberi keuntungan pada ketahanan pangan dan peningkatan pendapatan petani. Ketahanan pangan berbasis kentang menjadi pilihan karena produksinya yang relatif cepat dalam lahan yang terbatas di dataran tinggi. Ditambah pengelolaan berbasis rumah tangga memungkinkan kemudahan untuk proses-proses manajemen23. Dalam konteks politik global ini, munculnya produksi kentang menandai adanya intervensi Negara maupun FAO yang sangat dominan. Misi besar mereka untuk menanggulangi kelaparan, mengharuskan produksi ini tetap berlanjut. Padahal data BPS di atas menunjukkan, semenjak reformasi produksi kentang justru menurun sangat tajam. Meskipun tahun 2003-2005 sempat naik 66 %. Meski demikian, tetap saja tidak ada kenaikan yang signifikan di tahun-tahun selanjutnya. Upaya-upaya politis untuk mendongkrak hasil kentang yang semakin menurun, tidak memberi hasil yang memuaskan. Dengan demikian, tentu ada persoalan lain yang mempengaruhi fluktuasi produksi ini. Konteks ekologi tentu saja menjadi faktor yang penting karena aktivitas pertanian tidak lepas dari kondisi-kondisi dukungan ekologis. Kentang Dieng dan Kontestasi Ekologi Satu informasi yang mengejutkan dari seorang petani di Patak Banteng 22 Lihat New Light of Hidden Treasure. International Year of Potato Roma. 2008, hal: 3 diakses dari http://www.potato2008.org/en/events/book.html pada tanggal 28 Februari 2013 pukul 11: 24 WIB 23 Lihat, Potato in Highlands: Increasing profits and improving, dalam http://cipotato.org/research/ potato-in-highlands yang diunduh pada tanggal 28 februari 2013 pukul 13.29 WIB
57
Dhimas Unggul Laksita & Nur Rosyid - Carica dan Bayang-Bayang Neoliberalisme di Dieng
mengenai ingatan menurunnya hasil produksi pada kriris moneter sebelum reformasi, bukanlah didorong oleh kondisi ekologis yang rusak semata. Masa reformasi menjadi awal dirasakannya penurunan produksi kentang oleh para petani disini. Harga kentang turun akibat inflasi selama empat tahun. “Harga pestisida saja 1 kg-nya, awalnya hanya 12-13 ribu, tapi waktu itu naik jadi 24 ribu/kg, naik lagi 30 ribu/kg, naik lagi 40ribu/kg”, terangnya. Ambruknya nilai rupiah sebenarnya disebabkan oleh peredaran uang yang sangat besar melalui pembiayaan KUT (Kredit Usaha Tani). Program kredit yang diberikan oleh pemerintah untuk peningkatan produksi kentang setelah diadakannya perluasan lahan ke gunung atas perintah Perhutani. Melalui kredit ini, tiap kepala/orang bisa mendapat 15 juta/hektar dan maksimal dua hektar. Akan tetapi penurunannya melalui kelompok tani. Penebangan hutan pasca reformasi merupakan cerita klasik tentang siapa sebenarnya dalang penebangan itu24. Catatan kami menunjukkan, beberapa petani menyebut penebangan yang mereka lakukan waktu itu atas perintah Perhutani dan Dinas Pertanian untuk keperluan perluasan produksi kentang yang sangat menguntungkan. Proses penebangan yang sangat luas, membutuhkan waktu yang cukup lama. Apalagi pengerjaannya dilakukan dalam unit keluarga yang didorong adanya KUT sebesar 15 juta per hektar. Lamanya proses penebangan dan penyediaan modal yang besar inilah, membuat produksi kentang tidak lagi dikerjakan secara serius yang berdampak pada produksi yang menurun. Beredannya uang yang cukup besar di Dieng, membuat harga kentang menurun. Menurut keterangan Rd (43-an tahun), perluasan lahan ke gunung justru membawa kegagalan karena konstruksi lereng dan jenis tanah yang berbatuan, membuat kentang tidak bisa tumbuh dengan bagus. “Bertani diwilayah gunung itu malah bangkrut. Tapi juga mungkin karena dengan tanah yang luas, sampai ke gunung juga, sedangkan hasilnya tidak besar. Orang sini apa anane, hukum alamlah, karena bukan haknya. Sejak ada yang bangkrut itu tidak ada lagi yang berani mencangkul gunung, karena Tuhan tidak meridhoi”, begitu katanya sambil mengenang ingatan itu. Ekspansi tanah yang semakin luas di Dieng membawa problem baru pada ketersediaan tenaga kerja. Padahal, perekonomian kentang mulai mapan di tahun 2003 sampai 2004 dengan kenaikan produksi yang cukup berarti. Wilayah tempat berasalnya tenaga kerja pengelolaan kentang: Mojotengah dan Garung (dua kecamatan di bawah Kejajar), menjadi sentra pengembangan cabai merah 24 Mengenai sejarah dan kajian etnografis kasus penebangan hutan secara besar-besaran pascareformasi, bisa dilihat Hery Santoso, “Perlawanan di Simpang Jalan: Kontes harian di desa-desa sekitar hutan di Jawa. Yogyakarta: Damar. 2004 maupun Anu Lounela “Contesting forests and power; dispute, violence and negotiation in Central Java”. PhD. Research Series in Anthropology 17. Helsinki, Finland: University of Helsinki.”. Mengenai studinya di hutan Wonosobo.
58
Jurnal RANAH Th. III, No. 1, Mei 2013
pada tahun 2005. Pengembangan cabai sebagai program pengembangan kapasitas masyarakat di kaki pegunungan Dieng memang berdampak pada kesejahteraan para tenaga kerja. Terlebih dengan harga cabai yang dari tahun ke tahun terus naik bahkan sempat sampai Rp 80.000 /kg. Di sisi lain, hal ini membawa dampak pada pengelolaan produksi kentang. Hal ini juga ditandai dengan naiknya harga tenaga kerja dari Rp 17.500-20.000 selama 9 jam, menjadi Rp 25.000-30.000 dengan jam yang sama. Di samping itu, migrasi penduduk dataran tinggi ke kota-kota maupun luar Jawa, ikut mempengaruhi penurunan ini. Dengan demikian, tidak adanya sinkronisasi pengembangan program antar-wilayah menjadi problem pokok pelaksanaan pembangunan perekonomian kentang di Dieng. Di samping itu, kontestasi ekologi semakin mencuat ketika ada kasus longsor dan banjir erosi di tahun 2007-2008. Tiga longsor besar dan empat banjir besar sempat terjadi di tahun 200825. Terjadinya longsor ini berakibat pada pemindahan dusun ke daerah yang cukup landai. Data yang diambil oleh TKPD (Tim Kerja Pemulihan Dieng) ini, memberi gambaran nyata akan adanya kesadaran ekologis yang “tengah rusak” diantara subyek-subyek yang berkepentingan terhadap pengembangan Dieng. TKPD ini merupakan sebuah organisasi untuk konservasi wilayah Dieng. TKPD mengatasi masalah sumber air, karena banyak mata air yang menyusut lantaran tidak ada pepohonannya. Sehingga, kalau musim kering kemarau yang susah bukan orang gunung atas sini tapi orang bawah. TKPD ini mencakup 8 desa, yaitu: Parikesit, Dieng, Sembungan, Jojogan, Tieng, Sigendang, Campursari, dan Sikunang. Problem ketersediaan air sebagai salah satu sumber yang harus tersedia untuk produksi kentang mengharuskan petani untuk membangun pola pengelolaan yang baru26. Petani kemudian mengurangi pola penanaman dari tiga kali menjadi dua kali. Cara ini digunakan untuk memperpanjang masa bera (istirahat tanah). Tentu saja, hal ini berdampak pada berkurangnya produksi kentang di tahuntahun berikutnya. “Biasanya setelah semusim (tiga bulan atau 100 hari) masa tani kentang itu kemudian musim berikutnya sudah tidak untuk untung/hasilnya tidak bagus lagi”, tutur Kz. Menurunnya produksi kentang juga berimbas pada penurunan pendapatan. Dari sinilah muncul kontestasi ekologi dan ekonomi. Kontestasi ini dibawa ke dalam satu wacana besar tentang bagaimana Dieng hendak dibentuk, dikelola, dan 25 Diambil dari Survey data potensi kawasan Dieng tahun. Tim Kerja Pemulihan Dieng (TKPD) tahun 2011 26 Untuk menyemprot, tanah sekitar 1/8 hektar membutuhkan1/2 drum air. Di musim kemarau karena tidak bisa tadah hujan makan airnya membeli dari yang punya air di bawah, harganya 15 ribu/drum. Waktu musim kemarau nyemprotnya baru dilakukan setiap 7-10 hari sekali tapi kalau musim hujan nyemprotnya tiap 4 hari sekali. Disamping gubuk milik Pak Kz itu ada kolam tadah hujan untuk air ketika musim hujan volumenya sekitar 2m x 2m x 2m. Dia biasa pakai insektisida dimusim kemarau, sedangkan dimusim penghujan biasanya memakai fungisida.
59
Dhimas Unggul Laksita & Nur Rosyid - Carica dan Bayang-Bayang Neoliberalisme di Dieng
diatur agar keduanya mampu memberikan keuntungan ekonomis dan ekologis sekaligus. Program konservasi yang dijalankan di Dieng bergerak pada penanaman pohon pegunungan untuk perbaikan pengairan. Reboisasi ini sebenarnya sudah berjalan sejak tahun 2005 dan dilanjutkan tahun 2009 dengan program RHL (Rehabilitasi Hutan Lindung). Program konservasi ini tidak membuahkan hasil yang maksimal. Dana 29 juta untuk penyediaan bibit pohon seluas 25 hektar tiap desa hanya hidup separuhnya saja. Tidak berjalannya program konservasi dikarenakan tidak ada nilai ekonomi yang sebanding dengan kentang. Ada pendapat logis mengenai kegagalan penanaman pohon ini dari Sy, “Yang merusak tanah itu ya pengobatan. Untuk pemulihan tanah, seharusnya dari atasan (pemerintah) mengembalikannya dengan pupuk organik. Hasilnya ya lebih baik, tapi itu tidak sekaligus. Sini berbeda dengan Sembungan. Kalau di Sembungan yang tanahnya rusak, di sana mereka bisa merotasi tanaman, di sana ditanami kubis, yang lainnya kentang, itu bisa, tapi kalau di sini yang tanahnya hanya sedikit. Mau dirotasi seperti di sana untuk mengembalikan, nanti masalahnya misalnya mau ganti kubis, pas nanam harganya 3-4 ribu, tapi waktu panen hanya 800 rupiah, lha gimana, tetapi kalau kentang kan terus, harganya relatif stabil” Apa yang bisa kita pahami dari pernyataan tersebut, terdapat satu petunjuk adanya kontradiksi yang jelas antara prioritas ekologi dan ekonomi. Belum lagi petani dihadapkan pada persoalan modal dan kredit. Ini artinya, petani mempunyai hutang kepada orang-orang kaya maupun bank-bank. Pentingnya modal dalam sirkulasi produksi dikarenakan naiknya harga obat-obatan dalam dosis yang cukup tinggi akibat semakin kebalnya penyakit tanaman dan kondisi hara tanah yang semakin buruk. Hutang ke bank untuk sekali masa tanam mencapai Rp 4.500.0005.000.000 dengan pengembalian mencapai Rp 6.000.000. Masalah modal dalam pembangunan perekonomian memang menjadi solusi teknis paling prioritas. Tahun 2011, Dinas Pertanian menurunkan bantuan sebesar Rp 100.000.000 kepada setiap Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) di seluruh Kejajar dan Batur (Banjarnegara). Ada kontradiksi baru dengan hadirnya bantuan modal sebagai solusi untuk keberlanjutan produksi sebab, adanya modal berimplikasi pada hutang dan ikatan yang ketat ini mengharuskan adanya perluasan dan perbanyakan pemasukan untuk menutup bunga dan kebutuhan hidup lainnya. Dengan demikian, akses masyarakat terhadap pasar harus semakin terbuka. Salah satu strategi petani kentang di Parikesit untuk meningkatkan pemasukan, adalah mengurangi pengeluaran untuk tranportasi dan biaya tenaga. Cara ini ditempuh dengan membuat jalan yang bisa dilalui mobil angkut ke tegal-
60
Jurnal RANAH Th. III, No. 1, Mei 2013
tegal mereka sampai pelosok. Dalam kesempatan mengikuti rapat pembuatan jalan di desa Parikesit, ada sebuah program besar pelebaran jalan sepanjang 800 meter dan lebar 2,5 meter. Nr, informan kami, membuka rapat pelebaran jalan dengan mengatakan, “dalan niki kebutuhane dewek, sanes kebutuhane wong mriko-mriko. Kabeh iku kebutuhan ekonomi, nek diniati ngibadah dados dalan ngibadah, mboten usah khawatir, mangke kangge anak putu kulo panjenengan sedoyo” (jalan itu kebutuhan sendiri, bukan kebutuhan orang lain. Semua itu kebutuhan ekonomi, tetapi kalau diniati ibadah maka menjadi jalan ibadah. Tidak usah khawatir, itu untuk kepentingan anak-cucu kita). Sebuah pernyataan yang menarik bagaimana masyarakat setempat membangun wacana dalam konteks pengetahuan mereka mengenai hidup. Rapat yang berjalan sekitar tiga jam, membuahkan kesepakatan untuk membuat jalan dengan kriteria iuran bergantung pada jauh-dekatnya tegal dengan jalan baru tersebut. Jalan tersebut rencananya bisa dimanfaatkan oleh sekitar 113 penggarap/ pemilik lahan. Jalan sebagai perbaikan infrastruktur menggambarkan kondisi nyata bagaimana ekologi Dieng hendak dibentuk. Pelebaran jalan ini juga menunjukkan pelebaran akses dan upaya intervensi politik kelas atas yang mempunyai kendaraan untuk membuat dan memanfaatkan peluang baru. Pernyataan Nr di atas menunjukkan sedikit banyak pengaruh neo-liberalisme, terutama menyangkut penerapan relasi ekonomi di setiap bentuk relasi. Jalan sebagai wilayah yang bersifat publik ditransformasi menjadi ranah yang bersifat ekonomis. Tidak adanya keinginan untuk mengelola bantuan kredit atas pertimbangan hutang dan ikatan, di samping upayanya mempermudah akses ke tegal, membuat berbagai kontradiksi-kontradiksi itu semakin tajam. Selain itu, kontradiksi ini memperlihatkan bagaimana proses dialektika antara masyarakat setempat, pemerintah maupun lembaga konservasi dengan konteks ekologis. Hasil dialektika tersebut semakin nyata dengan diwujudkannya pengembangan komoditas baru bernama carica, purwaceng, dan terung Belanda. Pengembangan ketiga komoditas ini, oleh pemerintah kecamatan disebut dengan program “Telur Emas”. Di antara ketiga komoditas tersebut, hanya carica yang cukup memberi peluang baru untuk pengembangan perekonomian masyarakat Dieng. Artinya, tampak ada pintu intervensi baru dari pemerintah terhadap perekonomian pertanian setempat. Carica sebagai Komoditas Baru Carica sebagai tanaman buah, secara historis dikenalkan oleh PT Dieng Jaya milik isteri Presiden Soeharto yang berdiri sekitar tahun 1980-an. Perusahaan ini bergerak pada budidaya jamur dan sedikit carica. PT Dieng Djaja merupakan perusahaan pengolah jamur terbesar yang dirintis almarhum Teguh Sutantyo pada
61
Dhimas Unggul Laksita & Nur Rosyid - Carica dan Bayang-Bayang Neoliberalisme di Dieng
awal 1970 mengalami masa kejayaan pada 1980-an. Namun dari 1994 sampai 2002, kondisi perusahaan terus merosot. Dan, pada 2003 perusahaan menghentikan produksi. Sampai tahun 2000-an, carica masih ditanam sebagai batas tegal dan konsumsi rumahan. Produksi ini memperlihatkan perkembangannya semenjak tahun 2007. Komoditas ini mulai menampakkan nilai ekonomisnya semenjak ada inovasi pengolahan carica menjadi manisan maupun selai. Meningkatnya nilai ekonomis carica ini ditanggapi pemerintah Wonosobo. Maksudnya, carica dihakpatenkan menjadi tanaman yang secara khas hanya ada di Wonosobo. Padahal secara historis, carica bukanlah tanaman endemik yang hidup di Wonosobo, melainkan atas introduksi PT Dieng Djaja. Lantas bagaimana privatisasi ini berdampak pada pengelolaan ekologi, perekonomian, dan konteks sosial maupun politik?
Grafik 2: Produksi carica Sumber: Dieng dalam Angka tahun 1999-2011, Badan Pusat Statistik Kebupaten Wonosobo
62
Jurnal RANAH Th. III, No. 1, Mei 2013
Hak paten atas komoditas, merupakan sebuah program pemerintah yang bernama Sertifikasi Indikasi Geogragfis. Sertifikasi ini diatur dalam PP (peraturan pemerintah) no 51 tahun 2007 tentang indikasi geografis27. Sertifikasi indikasi geografis “merupakan suatu tanda yang tanpa disadari sudah lama ada dan secara tidak langsung dapat menunjukkan kekhususan pada suatu barang yang dihasilkan dari daerah tertentu.” Tanda dan kekhususan yang sudah dijelaskan diatas diharapkan “dapat digunakan untuk menunjukkan asal suatu barang baik yang berupa hasil pertanian, bahan pangan, hasil kerajinan tangan, atau barang lainnya, termasuk bahan mentah dan/atau hasil olahan, baik yang berasal dari hasil pertanian maupun yang berasal dari hasil tambang”28. Pematenan carica atau sertifikasi indikasi geografis carica mulai diupayakan pada tahun 2011 oleh Pemkab Kabupaten Wonosobo yang bekerjasama dengan pemerintah Jawa tengah dan DPRD jawa Tengah29. Hal ini dilakukan untuk menjawab keresahan “dari para perajin carica dan purwaceng bahwa produk-produk asli Wonosobo tersebut diincar pemodal dari luar daerah sebagai komoditas bisnis30”. Pihak yang mengajukan sertifikasi ini bernama Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) Carica Dieng. tidak hanya carica, MPIG juga mendaftarkan purwaceng sebagai kekayaan daerah Dieng-Wonosobo dibawah logonya sendiri yaitu Purwaceng Dieng. kedua produk pertanian diatas sudah terdaftar secara resmi dan “bersertifikat” indikasi-geografis tertanggal 20 juli 201231. Adanya hak paten carica sebagai sesuatu yang dianggap khas Wonosobo, membawa dampak signifikan pula terhadap perubahan sistem politik-ekonomi Dieng. Hal ini berkaitan dengan klaim “otentisitas” atas komoditas carica sebagai produk “asli” Dieng atau Wonosobo. Hak paten atas komoditas ini mendorong produksi carica naik secara tajam sejak tahun 2008 sampai sekarang. Dengan demikian, Pemerintah setempat membuka ruang intervensi baru melalui pengembangan carica dengan penilaian masyarakat setempat masih memproduksi carica dalam bentuk mentah atau olahan tanpa label. Carica dinilai bisa mengurangi erosi tanah melalui perakarannya yang cukup kuat, tidak menghalangi fotosintesis untuk tanaman sayuran, merupakan tanaman tahunan 27 Diunduh di laman http://www.dgip.go.id/indikasi-geografis/referensi-hukum-indikasi-geografis pada tanggal 10 april 2013 pukul 20:51 28 Lihat PP (Peraturan Pemerintah) No. 51 tahun 2007, hal: 1 29 Lihat, “Pemkab Wonosobo Patenkan Purwaceng dan Carica”, dalam http://regional.kompas. com/read/2011/10/10/1709338/Pemkab.Wonosobo.Patenkan.Purwaceng.-dan.Carica 30 ibid, 31 Lihat “Indikasi Terdaftar dan Alamat” diunduh di laman http://www.dgip.go.id/images/adelchimages/pdf-files/permohonan_ig_terdaftar.pdf pada tanggal 10 april 2013 pukul 21.00. di dalam daftar tersebut, Carica tercatat dengan nomor agenda: IG.00.2011.00008, sedangkan Purwaceng tercatat dengan nomor agenda: IG.00.2011.00007 dan nomor pendaftaran : untuk carica, ID G 000000016; dan untuk purwaceng, ID G 000000015
63
Dhimas Unggul Laksita & Nur Rosyid - Carica dan Bayang-Bayang Neoliberalisme di Dieng
yang tidak akan memakai obat-obatan dalam dosis yang banyak. Dengan demikian, seolah carica mempunyai nilai ramah lingkungan dan ekonomis dibandingkan dengan sayuran. Jadi, intervensi yang dilakukan pemerintah tersebut merupakan upaya untuk melindungi petani, produsen, dan pedagang carica di Dieng. Intervensi tersebut tetap ada, tetapi hanya digunakan untuk ‘memuluskan’ kerja pasar. Pemerintah kecamatan, semenjak ada hak paten, terlihat bersemangat melalui program baru tersebut. Menurut camat setempat, carica dan purwaceng ditengarai bisa mengantisipasi anjloknya ekonomi kentang. Cara yang dilakukan pemerintah adalah dengan membangun basis atau sentra produksi carica di berbagai desa yang dinaungi dibawah satu koperasi di kecamatan. Melalui koperasi ini, proses jual-beli, produksi, dan distribusi produk akan diatur lebih lanjut. Satu hal yang patut diselami lebih dalam, kehadiran carica justru memicu munculnya kelas usahawan-usahawan di dataran tinggi dieng. Sebuah status kelas yang muncul atas kuasanya membangun basis pasar yang lebih luas untuk pengembangan produksi carica. Dengan demikian, setiap perubahan komoditas pertanian, melahirkan pula perubahan sosial ekonomi yang mendasar. Neoliberalisme dan Negosiasi di Ranah Lokal Datangnya komoditas baru buah dan obat sebagai salah satu alternatif pokok pengganti kentang, mencerminakan kontradiksi-kontradiksi yang menonjol. Berkurangnya produksi tanaman pangan tentu saja akan berdampak pada ketahanan pangan nasional maupun global. Kehadiran carica menandai adanya perluasan kekuatan pasar dalam program-program pengembangan kesejahteraan. Ekspansi pasar di Dieng, dalam pandangan kami, disebabkan adanya krisis kepercayaan para petani terhadap pemerintah yang dinilai tidak pernah berhasil menangani penurunan kentang. Dalam suatu kesempatan, kami bertemu dengan petani Patak Banteng. Dia bercerita tentang aspirasi petani meminta bantuan alat untuk mengukur kadar kesuburan tanah. Pengetahuan petani akan kebutuhannya pada alat itu, semenjak ada perusahaan pupuk melakukan tes terhadap kadar keasaman tanah akibat penggunaan pestisida yang berlebihan. Menurutnya, keinginan itu dikabulkan Dinas Pertanian setempat dengan menganggarkan dana bantuan sebesar 1,5 milyar rupiah. Malangnya, dana sebesar itu tidak sampai ke Gapoktan setempat. Menurut keterangannya, dana itu dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau dikorupsi karena tidak ada kejelasan kemana uang itu diturunkan. Lurah setempat pun menyusun proposal lagi, akan tetapi sampai penelitian ini dilakukan, belum ada jawabannya. Tidak tepatnya sasaran bantuan ini, memicu krisis kepercayaan petani
64
Jurnal RANAH Th. III, No. 1, Mei 2013
terhadap pemerintah. Peluang paling besar petani untuk mengatasi permasalahan produksi kentang ialah masuk ke “ruang” pasar carica. Padahal, harga setiap kilogram carica hanya berkisar Rp 2.000-3.000 setelah dua tahun masa tanam. Jumlah yang cukup jauh dengan nilai kentang justru merupakan pilihan yang dianggap paling logis. Pilihan ini dipengaruhi oleh dukungan TKPD sebagai tanaman yang ramah secara ekologis, misalnya sebagai penahan terasering. Dengan demikian, masuknya intervensi pasar yang semakin luas dipicu kontradiksikontradiksi dan kontestasi ekologi, ekonomi, dan politik. Inilah dinamika neoliberalisme di Dieng, intervensi Negara mengenai perlindungan terhadap carica memberikan “akses” pasar kepada masyarakat. Peran pemerintah dalam hal ini bukan untuk mengatur carica sebagai alternatif tanaman pengganti kentang yang dianggap merugikan secara ekologis saja, akan tetapi upaya membuka akses carica ke mekanisme pasar. Perspektif ekologi politik memberi kerangka yang cukup representatif dalam membingkai kontestasi wacana pengembangan perekonomian berbasis pertanian di dataran tinggi Dieng. Satu catatan yang penting dari studi ini, adalah penting untuk menempatkan konteks politik-ekonomi dan ekologi budaya sebagai faktor-faktor yang signifikan dalam proses dialektika masyarakat setempat, LSM, maupun pemerintah dalam membangun sistem perekonomian yang sesuai dalam konteks lokalitasnya masing-masing. Sebagaimana terlihat dari bentuk kebijakan yang berangkat dari kondisi geografis yang khas, kondisi pasar, respon masyarakat, maupun sebaliknya. Dengan demikian, kita tidak akan lagi terjebak pada penilaian tentang apakah neoloberalisme baik atau buruk, positif atau negatif. Daftar Pustaka Ahimsa Putra, Heddy Shri. (1994). Antropologi Ekologi: Beberapa Teori dan Perkembangannya. Masyarakat Indonesia LIPI Jakarta Tahun XX, No. 4, 1994 Anu Lounela. (2009). Contesting forests and power; dispute, violence and negotiation in Central Java. PhD. Research Series in Anthropology 17. Helsinki, Finland: University of Helsinki.” Bryant, Raimon L. dan Sinead Bailey. (1997). Third Worlds Political Ecology. London and New York: Routledge Forsyth, Timothy. (2003). Critical political ideologi: the politics of environmental science. London and New York: Routledge Grossman (1997). The Political Ecology of Bananas: Contract Farming, Peasants, and Agrarian Change in Eastern Carribean. University of North Carolina Press. Hardesty, Donald L. (1977). Ecological Anthropology. Canada: John Wiley & Sons. Harvey, David. (2005) A Brief History of Neoliberalism. Oxford University Press: New York, 2005 Hidayat, Herman, John Haba, & Robert Siburian (eds)/ (2011). Politik Ekologi:
65
Dhimas Unggul Laksita & Nur Rosyid - Carica dan Bayang-Bayang Neoliberalisme di Dieng
Pengelolaan Taman Nasional Era Otda (edisi ke-1, cetakan ke-1). Jakarta: LIPI Press dan Yayasan Obor Indonesia International Year of Potato Roma. (2008). New Light of Hidden Treasure. diakses dari http://www.potato2008.org/en/events/book.html pada tanggal 28 Februari 2013 pukul 11: 24 WIB Orlove, Benjamin S. (1980). Ecological Anthropology dalam Annual Review of Anthropology. IX, 235-37 Ortner, Sherry. On Neoliberalism. Dalam http://aotcpress.com/articles/neoliberalism/ diunduh pada tanggal 1 Maret 2013 pukul 20.59 WIB Peet, Richard, Paul Robbins, dan Michael J. Watts . (1996). Global Political Ecology. London and New York: Routledge. Potato in Highlands: Increasing profits and improving, dalam http://cipotato.org/research/ potato-in-highlands yang diunduh pada tanggal 28 februari 2013 pukul 13.29 WIB Pusat data dan informasi pertanian (2009) “Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian”. Volume 1 No. 1 Santoso, Hery. 2004 “Perlawanan di Simpang Jalan: Kontes harian di desa-desa sekitar hutan di Jawa. Yogyakarta: Damar Steger, Manfred B. (2006). Globalisme, bangkitnya ideologi pasar (Cet. 2). Manfred B. steger. Yogyakarta: Lafadl. Survey data potensi kawasan Dieng tahun. Tim Kerja Pemulihan Dieng (TKPD) tahun 2011 Thorsen, Dag Einar dan Amund Lie. What is neoliberalism?. Department of Political Science University of Oslo. 2007. hal: 2, diunduh dari folk.uio.no/.../What%20 is%20Neo-Liberalism pada tanggal 28 Februari 2013 pukul 11.52 WIB http://www.dgip.go.id/indikasi-geografis/referensi-hukum-indikasi-geografis pada tanggal 10 april 2013 pukul 20:51 PP (Peraturan Pemerintah) No. 51 tahun 2007 tentang Sertifikasi Indikasi Geografis “Pemkab Wonosobo Patenkan Purwaceng dan Carica”, dalam http://regional.kompas. com/read/2011/10/10/1709338/Pemkab.Wonosobo.Patenkan.Purwaceng.-dan. Carica Di akses 11 April 2013 pukul 15:20 WIB “Indikasi Terdaftar dan Alamat” diunduh di laman http://www.dgip.go.id/images/adelchimages/pdf-files/permohonan_ig_terdaftar.pdf “Kasus Dieng Jaya, Penjualan Aset Diminta Seizin Tim”, dalam “http://www.suaramerdeka. com/harian/0606/15/ked10.htm. Di akses 11 April 2013 pukul 15:17 WIB
66
Jurnal RANAH Th. III, No. 1, Mei 2013
67
Nindyo Budi Kumoro - “Maaf Jalan Ditutup, Ada Hajatan” TH. III NO. 1, MEI 2013
RANAH
HALAMAN 68-78
“MAAF JALAN DITUTUP, ADA HAJATAN” REBUTAN RUANG ANTARA TRADISI DAN PRIVATISASI DI YOGYAKARTA Nindyo Budi Kumoro ABSTRAK Tulisan ini membahas bagaimana tarik menarik antara hasrat kultural komunitas dengan ketiadaan ruang tradisi. Fokusnya mengambil pada komunitas Jawa di Yogyakarta yang masih sering memunculkan ekspresi kultural pada sebuah acara. Namun sebagaimana bentuk kota-kota modern lain, tata ruang pemukiman di Yogyakarta kurang mengakomodasi tergelarnya suatu acara tradisi yang biasanya membutuhkan ruang-ruang lebar. Betapa tata ruang kota telah terokupasi oleh kekuatan ekonomi liberal dimana segala ruang telah terprivatisasi. Yang tersisa di sana hanyalah gang, jalan, dan protokol yang dimanfaatkan untuk menggelarnya.Tulisan ini secara sederhana ingin melihat bahwa pertemuan antara globalisasi dan komunitas lokal menimbulkan efek-efek yang terkadang ambigu, semrawut, namun juga kreatif. Kata Kunci: Ruang Tradisi, Privatisasi, Frontierisme, Globalisasi Izinkan saya membagi kisah berikut. Malam itu terjadi kemacetan panjang di jalan dekat rumah, tepatnya jalan protokol Kota Yogya yang menghubungkan ke Solo. Berkilo-kilo meter mobil, motor bahkan bis dan truk terpaku, hanya sesekali merayap. Ini tumben, waktu liburan dan lebaran pun nggak separah ini. Sungguh absurd, ternyata ada pentas wayang yang di episentrum kemacetan. Sebuah rumah makan menggelar wayangan dengan panggung di parkirannya yang sempit, sedangkan setengah badan jalan di-tratag1 atau didirikan tenda untuk menjadi tempat duduk penontonnya. Pemakai jalan pun mengalah, hanya menggunakan setengah lajur untuk lewat motor, mobil dan bis-truk antar propinsi. Penggunaan jalan sebagai ‘tribun’ penonton initampak sah-sah saja. 1 Tratag (Jw) dalam arti harafiah merupakan bangunan temporer untuk berteduh di sekitar bangsal Kraton Yogyakarta berbentuk kanopi beratap dan bertiang bambu (http://id.wikipedia.org/). Namun dalam bahasa sehari-hari, “ditratag” dapat mengacu pada pendirian tenda dan instalasi lainnya untuk keperluan suatu hajatan.
68
Jurnal RANAH Th. III, No. 1, Mei 2013
Paling tidak ini terlihat dari bapak polisi yang sibuk mengatur pengendara agar tak rebutan tempat dengan penonton wayang. Portal dari polisi berpadu dengan bambu yang dipalangkan, plus kursi di tengah jalan yang diduduki Hansip. Beberapa pemuda berjaga sambil ngawe-awe menyuruh kendaraan pelan-pelan antri lewat. Jelas, perjalanan yang direpotkan. Namun, alih-alih ada pengendara yang turun memprotes atau memperkarakan, mungkin paling banter hanya nggrundel seperti saya. Atau bisa jadi kebanyakan pengendara hanya maklum belaka. Jika cerita itu hanya “meminjam” setengah badan jalan, di lain tempat sudah hal umum jalan ditutup penuh dan pengendara dialihkan ke lain jalur. Demi seseorang yang sedang nduwe gawe, pengendara umum seolah sudah mahfum perjalanannya direpotkan. Pengalaman saya di atas sepertinya telah menjadi perkara lazim, tatkala jalan raya dapat digunakan sebagai tempat alternatif untuk menggelar hajatan. Seperti kita tahu, wayangan merupakan pergelaran tradisi Jawa yang membutuhkan ruang-ruang yang lebar. Ini seragam seperti perkawinan, layatan, slametan, atau hajatan lain yang kental dengan selubung tradisi Jawa di Yogyakarta. Tapi bagaimana jika si pemilik hajat tak mempunyai tempat yang cukup untuk menggelar acara, apa lagi rumahnya di samping jalan raya? Ya jadilah gang, jalan kampung, atau jalan protokol pun ‘ditratag’ untuk menggelar hajat. Apa yang akan ditunjukkan di sini hanya sebagai contoh kecil, bahwa hasrat kultural komunitas Jawa di sana-sini masih muncul ditengah aras modernisasi Kota Yogya yang terus melaju. Saya tak sedang membicarakan Grebeg Maulud, Sekaten, atau upacara Jawa monumental lain, namun lebih pada upacara hajatan sehari-hari yang seringkali lebih dalam, hangat, dan bermakna bagi setiap keluarga yang melabeli dirinya Jawa (Mulder, 1986). Akan tetapi yang terjadi betapa tata ruang modern kota saat ini sulit memberi tempat bagi tergelarnya hajatan-hajatan tersebut. Sekalinya akan menggelar hajatan, opsinya hanya di jalanan. Hal ini membawa kita pada bagaimana pengaruh globalisasi dan neoliberalisasi yang masif saat ini berimplikasi pada ketersediaan ruang tradisi di perkotaan. Neoliberalisasi dalam hal ini bukan hanya pada ragam sistem ekonomi seperti yang dicanangkan kaum liberalis lama, namun bagaimana privatisasi terjadi dalam semua ranah kehidupan. (Priyono, 2011). Segala celah kehidupan masyarakat dimanfaatkan untuk mereguk keuntungan. Sistem neoliberal yang dominan di masyarakat inilah yang membuat tidak dibiarkannya ruang kosong sejengkal pun di perkotaan. Semua tanah menjadi diprivatkan, dipagari. Sehubungan dengan hal itu, tulisan ini berniat menyorot bagaimana komunitas Jawa di Yogyakarta melakukan siasat dan strategi dalam merespon ketiadaan ruang bagi upacara-upacara tradisinya. Fokusnya ‘mempermasalahkan’ betapa ruang tradisi yang sebenarnya terakomodasi dalam lingkungan Jawa tradisional pada saat ini telah digeser ke jalanan. Padahal, jalan raya sebagai
69
Nindyo Budi Kumoro - “Maaf Jalan Ditutup, Ada Hajatan”
simbol modernitas kota sudah barang tentu mengakomodasi kepentingan individu penggunanya, bukan milik komunitas atau tradisi tertentu. Ruang Mengakomodasi Tradisi Dalam diskusi mengenai perubahan, tidak bisa tidak terdapat dua bentuk yang disyaratkan hadir; dahulu dan kini. Yang pertama acapkali terkenang akan hal-hal yang luhur, ideal, harmonis, komunal, dan seterusnya. Ini juga identik dengan image kultur Jawa lampau, dimana Yogyakarta secara klasik menyandang status sebagai patok kebudayaannya (Mulder, 1986). Imajinasi tentang ‘dahulu’ inilah yang bisa kita sebut sebagai tradisi, disebabkan adanya suatu konsep yang terus diwariskan sampai saat ini2. Karena tradisi berdiri pada tatanan konseptual dan sebuah imajinasi masa lampau, bisa saja pada praktiknya ia berubah seiring zaman. Namun demikian, di luar tujuan praktis lainnya ia kadang muncul karena bisa berfungsi memberi legitimasi transenden bagi tindakan komunitas, khususnya terhadap acara yang terstruktur dengan persoalan hidup-mati yang tak terpecahkan (Laksono, 2009; Abdullah, 2006). Itulah yang mendasari ‘kini’, peristiwa kelahiran, pernikahan, dan kematian yang dibalut dengan upacara tradisi Jawa seringkali masih muncul dalam realitas Kota Yogyakarta. Ini juga bisa dikatakan bahwa nilai-nilai masyarakat Jawa pada saat tertentu merupakan kondisi yang riil dan mewujud dalam kehidupan seharihari. Jadi sekencang apapun modernitas menjamah Yogya, di sana-sini kita masih dapat menyaksikan hajatan-hajatan bernuansa tradisional. Tapi apa benar dulunya acara-acara tradisi itu sama sekali bebas dari kolonialisasi ruang publik seperti cerita di atas? Nah di sini ada baiknya jika dibedakan dulu orang Jawa yang mana, sebab paling tidak terdapat dua tipe pemukiman di sana3. Pertama pada wilayah Kraton dan Negara dimana sekitarnya terdapat kampung tradisional tempat tinggal para abdi dalem dan sentana dalem yang mempunyai kepentingan dengan raja dan kraton. Pembagian kampung berdasarkan fungsi kerja para pembantu kraton. Pada wilayah ini pola pemukiman padat berhimpit dengan lorong-lorong kecil seperti halnya terlihat di kampung Kauman atau Kotagedhe misalnya. Tipe Kedua terdapat dalam wilayah Negaragung berisi para petani pengelola tanah-tanah mahosan dalem (pajak), dan Mancanegara dimana 2 Bandingkan dengan penjelasan Irwan Abdullah (2006) mengenai perbedaan budaya generik dan budaya diferensial 3 Seperti yang dijelaskan Selo Soemardjan (1981), model Kerajaan Jawa kuno berpola konsentris berawal dari lingkaran Kraton dan wilayah Negara sebagai titik pusat, lalu berturut-turut diliputi lingkaran Negaragung, dan Mancanegara pada wilayah terluar. Wilayah Kraton dan Negara inilah yang menjadi ibu kota bagi Jawa Mataram, di mana bertempat di daerah Kota Yogyakarta saat ini
70
Jurnal RANAH Th. III, No. 1, Mei 2013
merupakan masyarakat desa yang dengan berbagai hasil buminya memberi pemasukan pada kraton. Di sini terdapat nuansa agraris yang cukup kental (rural), dengan tipe rumah-rumah lapang (jw: amba) juga pekarangan-pekarangan di sekelilingnya. Pembedaan ini penting karena nantinya kita melihat bahwa karakter rumah Jawa cukup kental dengan nuansa pertanian. Dengan demikian kita dapat mengambil representasi pada pemukiman Jawa tipe kedua, dari pada tipe kutha-nagari yang merupakan wilayah tata pemerintahan dan telah mengenal pembagian kerja terspesifikasi. Pada representasinya, sebuah rumah tinggal Jawa (joglo) setidaknya terdiri dari dua bagian, omah njero dan omah njaba. Omah njero terdapat sentong tengah, sentong kiri, sentong kanan berwujud kamar-kamar yang juga digunakan untuk pemujaan kepada Dewi Sri atas hasil panen yang melimpah. Di depan deretan senthong terdapat dalem berupa ruang luas yang acap kali untuk meletakkan hasil panen (Kartono, 2005). Pada omah njaba terdapat emperan (pringgitan) dan juga pekarangan yang sering untuk menjemur gabah. Jika yang punya rumah seorang priyayi, maka racaknya terdapat pendhapa di bagian luar. Dalam menggelar semacam pesta, slametan, kenduri, atau upacara apapun, jelas sangat praktis jika memiliki pendhapa. Bangunan ini terpisah dari rumah induk dan memang berfungsi sebagai ruang komunal yang lebih bersifat publik. Ada juga pringgitan yang biasanya untuk menggelar acara seni. Maka pada saat mengelar wayang seperti di atas, layar diletakkan sepanjang pringgitan, dalang dan perangkatnya di bagian pendhapa dengan penonton laki-laki, sedangkan perempuan menonton dari bagian belakang (bayangannya) di emperan rumah (ibid). Jikapun kurang masih ada pekarangan di sekitar. Tapi bagaimana dengan rumah orang kebanyakan yang tak punya pendhapa misalnya? Di sinilah kecanggihan arsitektur rumah tradisional model joglo yang sangat akomodatif untuk menyelenggarakan suatu hajatan. Tata ruang dalam rumah tak tersekat banyak, tapi memberi ruang lebar pada bagian tengah-depan omah njero4. Bagian ini bisa jadi ruang tamu, ruang keluarga, atau ruang apapun. Kamar tidur, dapur diberi porsi lebih sempit dan nyempil di sisi rumah. Ruang lebar ini di sisi lain dapat memberi tempat digelarnya ritus yang bersifat komunal-publik sebagaimana slametan dan kenduri. Keleluasaan ini juga berguna memfasilitasi sanak-saudara atau kindred manakala saat hari raya datang berkunjung. Jika empunya joglo ini akan menggelar hajat yang lebih besar seperti resepsi pernikahan atau wayangan, maka dinding-depan-kayu (gebyok) rumah ini dapat bongkar dan jika selesai bisa dipasang lagi. Kalau pun di dalam rumah tak 4 Dalem atau omah njero sebenarnya bisa disebut juga sebagai bagian utama domestik rumah Jawa. Di sana terdapat tiga bagian; senthong kiwa dan tengen sebagai kamar tidur, dan senthong tengah sebagai ruang multifungsi untuk ruang keluarga, tamu, atau menggelar slametan.
71
Nindyo Budi Kumoro - “Maaf Jalan Ditutup, Ada Hajatan”
memungkinkan untuk menggelar suatu upacara, tratag siap dipasang di sekitar halaman (pekarangan). Lingkungan hunian Jawa agraris sedikit banyak memang mempunyai pekarangan yang fungsi sehari-hari untuk bertanam palawija, hias, juga memelihara hewan ternak. Gambaran sederhana tentang pengaturan hunian Jawa ini sedikit banyak memperlihatkan prioritas pola hidup berkomunitas yang terstrukturkan dalam tata ruang pemukiman. Antisipasi terhadap munculnya rasa individualistik mengada disebabkan adanya konsep-konsep tertentu seperti rukun. Sebagaimana slametan berfungsi untuk menunjukkan sebuah masyarakat yang rukun, yang merupakan prasyarat memohon berkat dari tuhan, roh halus dan nenek moyang (Geertz, 1960; Mulder, 1986). Masyarakat rukun adalah sebuah masyarakat yang satu, komunal. Simbol-simbol yang dipakai dalam ritual convivium (makan bersama: slametan) melambangkan masyarakat yang integral dan egaliter (Laksono, 2009). Abai terhadap hajatan, slametan, umumnya meninggalkan rasa tak senang, rikuh, kepada orang lain. Menjadi terang tatkala arsitektur, tata ruang dan lingkungan rumah Jawa tradisional bukan ditujukan untuk previlese keluarga inti saja, namun juga pada komunitasnya yang lebih luas. Di dalam rumah terdapat tatanan spasial dan hierarki ruang, mulai dari ruang privat, semi privat, semi publik, sampai ruang publik (Sunaryo, 2009). Acara-acara tertentu yang melibatkan warga komunitas dapat ditampung didalam rumah atau di sekitarnya. Tapi memang tak menutup kemungkinan penggunaan ruang di luar lingkungan rumah, jalan misalnya. Cuma dengan adanya ruang-ruang seperti di atas,‘penjajahan’ sarana publik jadi bisa diminimalisir. Lagi pula,tidak perlu repot dan merasa mengganggu manakala pekarangan masih banyak, jalan masih sepi dan tak se-formil sekarang5. Ruang yang Terprivatisasi Mungkin tak usah berpanjang-panjang bernostalgia akan kisah romantis hunian Jawa. Jelas kondisi kota Yogyakarta saat ini telah jauh berbeda. Sudah jarang di Yogyakita dapat menemukan bentuk hunian berkarakter tradisional. Ada pandangan bahwa modernitas dan globalisasi membuat segalanya tampak seragam. Di lain hal pandangan ini bisa dibantah, seperti terdapat rumah hybrid Jawa-Eropa. Tapi sulit diingkari kalau secara umum bentuk pemukiman di kota ini memang tak ada bedanya dengan kota manapun; pemukiman padat-berhimpit dengan rumah-rumah model baru. Kebanyakan ya berdinding tembok, berlantai keramik, minim halaman dan mepet jalan. Tata ruang dalam rumah disekat tembok dalam proporsi yang hampir sama; ruang tamu, kamar tidur, ruang nonton tv, 5 Hingga awal tahun 1980 , jalan di Yogyakarta masih didominasi kendaraan tak bermotor http:// www.tembi.org/majalah-prev/20100705.htm
72
Jurnal RANAH Th. III, No. 1, Mei 2013
garasi, dan halaman kecil didepan. Yang paling penting adalah perubahan orang memandang rumah menjadi ruang yang hanya dikhususkan untuk kebutuhan eksklusif keluarga semata. Sasaki Shiraishi (2001) dalam penelitian mengenai keluarga Jawa mengungkapkan keheranannya tatkala menjumpai rumah-rumah kota di Indonesia saling tersekat pagar-pagar tembok-besi kokoh. Seolah menyiratkan akan memberi kemanan dan kenyamanan bagi setiap keluarga. Jika masuk kedalamnya tanpa permisi bisa-bisa dianggap pencuri. Dengan setiap rumah yang dibentengi ini seolah mengokohkan kekuasaan privat keluarga. Terjadi pergeseran antara batas-batas yang dulunya sangat cair, saat ini tegas terbagi mana ruang privat mana ruang publik. Konsepsi mengenai ‘batas’ memang menjadi hal krusial pada masyarakat modern yang menjunjung kepemilikan pribadi. Hal ini sepertinya relevan dengan pola-pola neoliberalisme dimana ragam relasi manusia baik kultural, politik, legal, sosial, dst. tetap dipandu oleh prinsip transaksi pasar bebas yang berujung pada privatisasi (Herry-Priyono, 2006). Di sinilah ‘batas’ sangat penting yang merupakan instrumen utama sebuah hal menjadi privat atau bukan. Cobalah sekilas kita melihat perumahan mewah gaya baru saat ini. Model rumahnya memang saling tak berpagar, seperti rumah-rumah Eropa. Tapi jangan dikira pengeliminasian pagar berfungsi sosio-kultural seperti di atas. Pagar tetap ada, bertransformasi menjadi benteng-benteng tinggi memagari perumahan untuk ‘mengamankan’ wilayah dari pemukiman warga lain yang kumuh, liar dan miskin di sekitarnya. Seolah terdapat imagined security, rasa aman terbayang dengan dilindungi benteng kokoh dan penjagaan satpam 24 jam. Eksklusivisme kemodernan di masyarakat perkotaan kita ini mempunyai ciri dengan dilandai rasa takut yang luar biasa pada unsur-unsur dari ‘luar’ rumah (Shiraishi, 2001). Jika dirunut ke belakang, pola baru pemukiman baru orang Jawa atau Yogyakarta khususnya memang tidak bisa dilepaskan dari pengaruh kolonial. Laksono (2000) mengatakan penetrasi modal pemerintah kolonial ke desa-desa Jawa untuk meliberalisasi pertanian membuat banyak sekali petani kalah saing, sehingga terlempar ke kota menjadi buruh-buruh lepas. Urbanisasi inilah antara lain berguna untuk membaca perilaku Jawa pedesaan yang kadang-kadang masih muncul di situasi eksklusivisme kemodernan kota. Terdapat sebuah kontinuitas tradisi agraris terkait adanya peasant in the city (Kemp dalam Abdullah, 2006). Di luar sebab migrasi, perubahan model pemukiman Yogyakarta ini paling tidak dapat ditandai sejak kehadiran komunitas Eropa swasta secara masif pada peralihan abad 19 ke 20. Ini mendorong pembentukan Yogyakarta sebagai kota modern secara signifikan. Maka merebaklah bangunan gedongan bercorak Barat. Lebih-lebih saat era “pembangunan” dimana kran modernisasi dibuka lebar-lebar. Bentuk-bentuk tradisional segera saja menyandang beban kekolotan, termasuk
73
Nindyo Budi Kumoro - “Maaf Jalan Ditutup, Ada Hajatan”
rumah-rumah warga. Kampung-kampung pun mengalami perubahan; pohon besar, pekarangan, ruang terbuka bermain anak, hilang tergantikan oleh hunian padat. Pun tak banyak lagi ruang semi publik semacam pendhapa, pringgitan, omah dalem, atau pekarangan. Pertambahan penduduk dan laju modernitas lama-lama menkonversi sawah dan lahan (yang dianggap) kosong menjadi komplek-komplek perumahan modern dan pertokoan. Tak dibiarkan ada tanah ‘nganggur’, sejengkal pun dibuat bangunan. Halaman tak usah lebar-lebar, mending dijual biar dibangun rumah orang. Terus bergeserlah kebiasaan ngopeni palawija di pekarangan menjadi potpot tanaman hias di teras rumah yang sempit. Di manapun sama saja, kota maupun pinggiran. Efek kapitalisasi dan liberalisasi pada tanah itu membuat setiap ruang dan petak tanah dimiliki orang dengan eksklusif. Dalam bahasa Kuntowijoyo (2002), kekuatan ekonomi memaksa orang Jawa untuk mengubah pandangan mereka tentang tanah. Desakralisasi tanah terjadi, tanah yang sebelumnya tabu untuk dijual dan diatur dalam pewarisan, namun apa daya jika kini pemilik berhadapan dengan uang dan pasar. Jarang yang punya tanah luas, kebanyakan sempit berhimpit-himpit. Di luar itu yang tersisa hanyalah jalan raya, gang, atau lorong yang membelah kota Yogyakarta yang penuh pemukiman padat penduduk. Jalan menjadi satu-satunya ruang terbuka yang bebas dari rezimentasi modal atau hak milik perorangan. Jalan: Antara Siasat dan Frontierisme Mari kita membahas bagaimana respon masyarakat Jawa atas ketiadaan ruang tradisi. Mengikuti teorisasi Arjun Appadurai (1995) bahwa globalisasi yang datang tidak lantas menghilangkan sama sekali pola kebudayaan lama pada masyarakat tempatan. Selalu muncul siasat dan strategi untuk menjalankan nilai-nilai lokalitas mereka ditengah modernitas. Pendapat ini bisa digunakan untuk melihat masyarakat Jawa yang hidup ditengah hiruk pikuk modernitas kota Yogyakarta. Mereka masih mengadakan acara maupun ritual tradisional, walaupun kita tahu sulit menemukan tempat untuk menggelarnya. Boleh kita bertanya, “lho kan masih ada tempat lain, menyewa gedung pernikahan misalnya?”. Memang, tapi tak semua orang mampu/mau menyewa tempat untuk itu. Di luar alasan tersebut, bagaimanapun “rumah” (dalem) masih menempati posisi yang esensial bagi tergelarnya acara tradisi Jawa. Pernikahan tradisi Jawa mengenal kepanggihan, siraman, midadareni,ngunduh mantu, dst. yang mesti dilakukan di rumah pengantin perempuan. Jika tak menyewa gedung, resepsi pun digelar di sana. Habis itu masih ada boyongan yang mestinya dilakukan
74
Jurnal RANAH Th. III, No. 1, Mei 2013
di rumah si pria6. Begitu juga dengan layatan. Dalam upacara kematian ini di beberapa tempat masih memerlukan ruang ‘lapang’ (halaman rumah) untuk: memandikan jenazah, ritual mbrobosi jenazah, pemberangkatan jenazah di depan rumah, dan jalan kaki memikul jenazah ke kuburan. Tentunya upacara-upacara itu masih dengan imanjinasi konsep ideal yang perlu ruang-ruang tertentu. Sebenarnya telah ada semacam rumah perawatan jenazah yang mengurusi dari awal sampai pemakaman plus dengan tempat upacara yang tersedia. Namun jelas, selain butuh butuh dana yang tidak sedikit, bisa jadi ada kerisauan untuk meninggalkan apa yang telah menjadi tradisi terhadap hal-hal yang menyangkut hidup-mati, takut kualat mungkin. Nah, jika pekarangan, pendhapa, pringgitan hilang atau omah dalem tak lagi luas, maka untuk keberlangsungan tradisi problem keruangan tersebut perlu ‘disiasati’. Lantas jadilah jalan, gang, lorong pun termasuk menjadi venue acara. Setidaknya jika mendirikan tratag di gang atau jalan tak ditarik bayaran oleh siapapun. Walaupun hanya sementara, pemakaian jalan ini seirama dengan apa yang disebut Murray Melbin (1978) sebagai fenomena frontierisme. Daerah yang sebenarnya padat dengan aktivitas manusia dicitrakan sebagai frontier, sebuah daerah kosong tak bertuan yang dapat diduduki dan dikuasai. Hasrat untuk menduduki ruang kosong tersebut membangun ideologi frontierisme ini (Riomandha, 2000). Dengan kondisi pemukiman yang padat dan tak ada lagi ruang yang cukup terbuka, maka jalanan dipandang sebagai “frontier” yang dipinjam untuk menggelar suatu acara. Padahal dalam praktiknya sudah barang tentu sebuah jalan (entah gang entah jalan raya) penuh dengan orang berlalu lalang dan punya kepentingan masing-masing. Ketika jalanan sedang menjadi daerah frontier yang diduduki, layaknya aneksasi, pastinya ada pihak yang tertaklukkan. Dalam hal ini pengguna jalan ditaklukkan oleh orang-orang yang sedang nduwe gawe7. Di wilayah frontier, hukum dan aturan-aturan formal dikesampingkan, sehingga interkasi yang terjadi kemudian selain menunjukkan kesemrawutan juga munculnya kompromi untuk menerima keadaan yang terjadi (ibid). Inilah mengapa seperti kisah di awal, sangat jarang para pengendara memprotes penghalangan (baca: penaklukan) jalan. Ada semacam hegemoni kultural yang mengambang di udara, membuat fenomena tersebut dianggap lumrah; “biarkan saja lah, di mana lagi kalau nggak di jalan?” 6 Lihat Clifford Geertz, “Abangan, Santri, Priyayi (1989). Memang Geertz meneliti tradisi upacara Jawa di Mojokuto pada tahun 1950an, namun karakteristik upacara ini masih mudah kita temukan di Yogyakarta pada saat ini. 7 Bandingkan dengan Transpiosa Riomandha (2000) yang meneliti tentang perilaku frontierisme PKL di trotoar Malioboro. Ibid
75
Nindyo Budi Kumoro - “Maaf Jalan Ditutup, Ada Hajatan”
Teknis dalam menginvasi jalan ini memunculkan aturan-aturan tersendiri yang racaknya juga dipahami oleh si pemakai jalan. Terdapat rambu-rambu lalu lintas “lokal” seperti palang bambu, kursi, drum bekas, janur kuning maupun bendera putih. Janur kuning yang ada di mulut gang misalnya, penanda ini bukan hanya sebagai penunjuk tempat ewuh, tapi juga peringatan bagi pemakai jalan lain untuk perjalanannya siap-siap direpotkan. Lebih-lebih juga membahasakan bahwa jalan itu sedang tak boleh dilewati. Tak ada sanksi hukum jika dilanggar, tapi toh para pemakai jalan manut saja dengan rambu-rambu tradisional ini. Seperti juga dikisahkan di awal, keberadaan polisi sebagai penegak hukum lalu lintas menjadi ambigu dan tak menjelaskan apapun. Ada semacam kombinasi kompromistis antara aturan kultural dan aturan formal pada peristiwa tersebut. Bahwa hukum dapat berkompromi dengan desakan-desakan tradisi. Begitu juga dengan fungsi jalan raya di Yogyakarta tak selamanya hanya jadi sarana transportasi kemodernan semata, tapi saat-saat tertentu dapat berubah menjadi “panggung budaya” terlegitimasi8. Ambiguitas yang hadir pada contoh kasus jalanan Yogyakarta menjadi keniscayaan dalam sebuah arena pertarungan kebudayaan (frontier). Kita bisa mengambil apa yang disebut Anna L. Tsing (2005) sebagai friksi, yaitu ‘gesekan’ antara komunitas dengan sistem dunia modern (globalisasi) dalam memanfaatkan peluang/bersiasat pada “ruang-ruang kosong” yang tersisa. Gesekan ini menurut Tsing memunculkan gejala yang ambigu, bisa jadi semrawut, namun juga kreatif. Di sini kita bisa melihat bahwa ini salah satu cara komunitas Jawa mengkomunikasikan tradisinya ditengah arus modernitas dengan memanfaatkan celah-celah yang ada. Penutup Dari penjelasan itu jalanan di kota Yogyakarta bisa di lihat dari dua hal, secara tradisional dan modern. Yang pertama jika melihat penggunaan jalan sebagai pergelaran acara tradisi, jalan masih dipandang sebagai ‘perpanjangan halaman rumah’. Sehingga berguna bagikomunitas Jawa untuk mempertahankan lokalitas ditengah perkotaan yang padat dan penuh kapitalisasi ruang. Kedua, di sisi lain jalan raya kini telah menjadi bagian dari sarana modernitas yang memiliki hukum formal dan padat kepentingan pengguna di dalamnya. Suatu ‘pendudukan’ jalan bisa berakibat mengganggu kepentingan masyarakat yang lebih umum. Singkatnya, di satu pihak ini menjadi siasat, di pihak lain menjadi problem. 8 Juga bandingkan dengan Gunawan (2000) dalam “Permainan Tafsir” (Laksono, dkk) yang mencermati berbagai “aturan” di jalan raya. Selain aturan tertulis yang berujud simbol rambu lalu lintas juga terdapat ‘bahasa’ non-formal lain seperti lambaian tangan, teriakan, gerakan tubuh yang disepakati di antara pengguna jalan. Ibid
76
Jurnal RANAH Th. III, No. 1, Mei 2013
Fokus terhadap fenomena pentratagan jalan untuk sebuah acara tradisi sebenarnya hanyalah contoh kecil dari gejala sosial yang lebih besar, yaitu bagaimana globalisasi dan sistem neoliberal yang datang bergesekan dengan komunalisme dengan caranya masing-masing. Tidak selamanya pergesekan ini membuahkan hal baru, hybrid, atau apa yang disebut glokalitas. Kadangkala nilai satu lebih mencolok dari yang lain, tergantung pada kondisi yang membuat ia muncul lebih dominan. Ketika pada momen tertentu satu pihak lebih menonjol, maka ada pihak lain yang teraneksasi, seperti halnya efek modernitas yang dominan menghilangkan ruang-ruang tradisi di Yogyakarta. Sebaliknya, manakala kepentingan memunculkan hasrat tradisi menguat, maka ia akan menggeser pola sistem modern seperti kasus di jalan raya. Keduanya satu sama lain saling menempati ruang yang dianggap “hampa kebudayaan” (frontier). Dalam sebuah ruang yang sama, keduanya hadir sebagai sebuah kebudayaan diferensial, yang berfungsi relatif dan saling bernegosiasi dalam keseluruhan interaksi di masyarakat. Saya kira demikian. [] Daftar Bacaan: Abdullah, Irwan. 2006. “Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan.” Yogyakarta: Pustaka Pelajar Appadurrai, Arjun. 1995. Localism, Globalism and Cultural Identity, dalam Mike Featherstone, Undoing Culture: Globalization, Postmodernism, and Identity. London: Sage Publications Budiawan, Odit. 2006. “Siasat Kaum Urban di Ranah Tradisi” dalam Jurnal Balairung. Menerka Kota, Menakar Peradaban. Yogyakarta: BPPM Balairung UGM Geertz, Clifford. 1989. “Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa.” Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya Herry-Priyono, B. 2006. “Neoliberalisme dan Sifat Elusif Kebebasan”. Makalah “Pidato Kebudayaan” Dewan Kesenian Jakarta (DKJ),10 November 2006, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Kuntowijoyo. (2002). “Selamat Tinggal Mitos Selamat Datang Realitas: Esai-esai Budaya dan Politik”. Bandung: Mizan Laksono, PM. 2000. “Jalanan Tanda Hampa Makna” dalam Permainan Tafsir: Politik Makna di Jalan pada Penghujung Orde Baru. Laksono, PM., Nugroho Trisnu Brata, Kirik Ertanto, Transpiosa Riomandha, Gunawan. Yogyakarta: Insist Press dan Jerat Budaya -------------------. 2001. “Ilmu-Ilmu Humaniora, Globalisasi, dan Representasi Identitas.” Makalah Pidato Dies Natalis Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada 2011 -------------------. 2009. “Tradisi Dalam Struktur Masyarakat Jawa Kerajaan dan Pedesaan: Alih Ubah Model Berfikir Jawa”. Yogyakarta: Kepel Press Magnis-Suseno, Franz. 1984. “Etika Jawa: Sebuah Kajian Filasafi tentang Kebijaksaan Hidup Jawa”. Jakarta: Gramedia
77
Nindyo Budi Kumoro - “Maaf Jalan Ditutup, Ada Hajatan”
Mulder, Niels. 1996. “Pribadi Masyarakat Jawa”. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan Kartono, Lukito J. 2005. “Konsep Ruang Tradisional Jawa dalam Konteks Budaya” dalam Dimensi Interior, Vol. 3, No. 2, Desember 2005: 124 – 136http://puslit.petra.ac.id/ journals/interior/ diunduh pada 8 November 2012 Riomandha, Transpiosa. 2000. “Dunia (Citra) Kaki Lima di Malioboro” dalam Permainan Tafsir: Politik Makna di Jalan pada Penghujung Orde Baru. Laksono, PM., Nugroho Trisnu Brata, Kirik Ertanto, Transpiosa Riomandha, Gunawan. Yogyakarta: Insist Press dan Jerat Budaya Soemardjan, Selo. 1981. “Perubahan Sosial di Yogyakarta.” Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Shiraishi, Saya, S. (2001). “Pahlawan-Pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam Politik.” Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia Sunaryo, Rony Gunawan, Nindyo Soewarno, Ikaputra, Bakti Setiawan. 2010.“Posisi Ruang Publik dalam Transformasi Konsepsi Urbanitas Kota Indonesia.”Makalah Seminar Nasional Bidang Ilmu Arsitektur dan Perkotaan:Morfologi Transformasi dalam Ruang Perkotaan yang Berkelanjutan, 20 November 2010, Universitas Diponegoro, Semarang Tsing, Anna Lowenhaupt. 2005. Friction: An Ethnography of Global Connection. New Jersey: Princeton University Press Tim Penulis. 2006. “Menjadi Jogja: Menghayati Jatidiri dan Transformasi”. Yogyakarta: DKK dan PSK UGM Widayat, Ramanu. 2012. “Krobongan, Ruang Sakral Rumah Tradisi Jawa”http://puslit. petra.ac.id/journals/interior/ diunduh pada 8 November 2012 http://kabutinstitut.blogspot.com/2009/11/orang-jawa-ilang-pekarangane.html diunduh pada 8 November 2012 http://www.tembi.org/majalah-prev/20100705.htm 8 November 2012 http://id.wikipedia.org/kraton-yogyakarta
78
Jurnal RANAH Th. III, No. 1, Mei 2013
79
Roikan - Gapura Kampung dan Ketahanan Identitas TH. III NO. 1, MEI 2013
RANAH
HALAMAN 80-87
GAPURA KAMPUNG DAN KETAHANAN IDENTITAS Roikan ABSTRAK Perkampungan di Indonesia merupakan pola kehidupan kemasyarakatan yang bersifat komunal. Teritorial yang didasarkan pada kesamaan genealogis terkait dengan kampung yang dibatasi oleh unsur-unsur tertentu seperti rumpun bambu dan pintu depan dengan gapura. Gapura bukan sekadar gerbang masuk perkampungan, terdapat hal-hal yang bersifat implisit terkait kampung itu sendiri. Tulisan ini membahas tentang dinamika masyarakat terutama pada ketahanan identitas yang diperlihatkan dari keberadaan gapura. Gapura mencerminkan latar belakang budaya masyarakatnya dan identitas ditengah pusaran kepentingan politik dan pasar bebas. Kata Kunci: Kampung, Gapura, Imperium Citra, Cultural Identity, Neoliberalisme Pendahuluan Manusia sebagai makhluk sosial mengembangkan cara dalam mendiami suatu tempat dalam upaya melestarikan keturunan dan mengembangkan peradaban. Bermula dari kesatuan terkecil yang dinamakan keluarga (family) yaitu keluarga inti hingga meluas menjadi kesatuan masyarakat terbesar yang dinamakan negara. Secara historis pada dasarnya teritori manusia dalam hidup bermasyarakat ditentukan oleh aspek pergerakan kompleksitas masyarakat dan lingkup manusia pendukungnya. Keluarga inti berkembang menjadi klan sebagai suatu sistem kekerabatan. Klan mengalami perkembangan menjadi tribe yaitu masyarakat suku, sebagai kesatuan teritori yang didasarkan pada kesamaan keturunan dan kebudayaan. Perkembangan selanjutnya dari suku menjadi bangsa/ nation sebagai kesatuan masyarakat yang didasarkan karena kompleksitas dari asal usul dan budaya masyarakat pendukungnya. Kesatuan hidup setempat atau komunitas didasarkan pada ikatan tempat tinggal dengan sentimen persatuan dan mempunyai sifat kesatuan wilayah, cinta wilayah dan kepribadian kelompok (Koentjaraningrat 1980: 155). Kampung merupakan kesatuan masyarakat yang didiami oleh sekelompok orang yang
80
Jurnal RANAH Th. III, No. 1, Mei 2013
terikat pada aspek kesamaan teritorial, tinggal secara turun temurun dan terikat pada aturan yang berlaku di dalamnya. Kampung di Indonesia terdapat berbagai penamaan seperti dukuh untuk daerah Jawa, Kampung –misalnya kampung melayu, kampung pecinan, kampung arab, kampung Madura- untuk daerah perkotaan di Jawa khususnya, masyarakat Aceh menyebut sebagai Gampong, masyarakat Minang menyebut sebagai kampuang dan Bali menyatakan kampung sebagai banjar. Fungsionalisme melihat bahwa keberadaan kampung didasarkan pada azas kerja sama dalam suatu institusi yang didasarkan pada aspek territorial. Aspek territorial menekankan pada ikatan komunitas didasarkan atas persamaan tujuan, keserasian hubungan, dan kerja sama. Bentuk Institusinya adalah kelompok ketetanggaan, kelompok berburu, rombongan nomaden, komunitas dukuh, desa, kota. Termasuk distrik (kabupaten), kelompok suku (Malinowski 1944:63). Studi tentang desa dan kampung khususnya dalam perspektif antropologis selama ini yang saya lihat lebih menekankan pada aspek kewilayahan, lokalitas, etnisitas, konflik sampai studi adaptasi. Tulisan ini membahas kampung dari sisi gapuranya sebagai penanda suatu komunitas. Gapura merupakan gerbang yang dapat kita jumpai jika memasuki batas wilayah atau pintu masuk baik dalam lingkup negara, provinsi, kabupaten sampai kampung. Fokus dalam tulisan ini merupakan pembahasan tentang gapura kampung yang terletak pada daerah pedesaan dan perkampungan kecamatan sepanjang jalan antar provinsi dari Jogjakarta sampai Malang. Ide dasar pembuatan tulisan ini berasal dari rutinitas mingguan naik bus antar provinsi dan selama perjalanan terutama pada siang hari mengamati gapura yang tersebar di perkampungan tersebut. Gapura merupakan penanda untuk menyatakan suatu wilayah. Berdasarkan aspek histori ekologi perkampungan dan gapura merupakan suatu korelasi antara penguasaan tanah dengan batas-batas tertentu. Pekarangan (garden in the shadow) merupakan cara lain lagi memelihara daya hasil tanah. Menyatukan daerah hutan sementara dengan kebun tanaman pohon, kelapa, teh, kopi, misalnya yang membutuhkan pohon pelindung. Jadi penggunaan tanah ada batas-batasnya, biasanya diawasi oleh yang berwenang berlandas pada peraturan-peraturan yang keras (de Vries via Sajogyo 1982:16) Batas perkampungan pada pemukiman masyarakat Jawa merupakan rumpun bambu yang sengaja ditanam mengelilingi kampung, selain sebagai batas wilayah juga menjadi semacam benteng alami untuk melindungi kampung dari angin dan bambu yang ada dapat dimanfaatkan untuk sayur rebung. Bambu juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan dinding (gedhek guling), keranjang, kursi sampai dijual perbatang. Penanaman bambu dibentuk mengitari perkampungan yang dimulai dari gerbang masuk dan diakhiri pada gerbang pula.
81
Roikan - Gapura Kampung dan Ketahanan Identitas
Jadi pola penataan perkampungan tradisional dibuat dalam satu pintu, dan ini diterapkan sampai hari ini pada perumahan-perumahan di Indonesia mulai dari tingkap Perumnas sampai elit. Gapura adalah bagian pintu masuk pada suatu kawasan yang merepresentasikan salah satu aspek kehidupan masyarakatnya. Misalnya di kawasan Sragen terdapat gapura dengan patung seorang pendekar silat sebagai gambaran bahwa daerah tersebut merupakan basis perguruan pencak silat Setia Hati dan Teratai. Jika kita masuk kawasan Mantingan sebelah barat sebagai wilayah perbatasan antara Jawa Timur dengan Jawa Tengah, terdapat dua buah gapura yang mewakili ciri khas kedua wilayah. Bagian barat wilayah merupakan Sragen dan sebelah timur adalah Ngawi yang keduanya dipisahkan oleh sebuah sungai. Khusus gapura yang terletak di sebelah barat kita dapat melihat sebuah miniature candi Penataran yang terkenal di Jawa Timur. Memasuki kawasan Surakarta kita dapat melihat gapura dengan patung seorang Ibu yang sedang membatik. Pada daerah Klaten terdapat patung Ibu yang sedang menenun lurik. Gapura pada kampung dengan skala yang lebih kecil mempunyai bentuk yang berbeda dengan daerah perbatasan. Berdasarkan pengamatan saya sepanjang jalur bus antar provinsi dari Jogjakarta sampai Malang via Surabaya. Gapura pada pintu masuk perkampungan memiliki bentuk yang lebih kecil dan sekarang terdapat pergesaran dalam ‘kemasan’ terkait perubahan masyarakat akibat globalisasi. Tulisan ini membahas tentang perubahan dalam gapura dari masa rezim Orde Baru sampai pada masa Reformasi dari pergeseran politis menjadi ekonomi pasar bebas. Tipologi Gapura Gapura merupakan bagian terdepan yang dapat kita lihat dari suatu perkampungan. Gapura sebagai gerbang mempunyai dua bagian pada dua sisi dengan bentuk dan ukuran yang sama. Gapura dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI via artikata.com) adalah pintu besar untuk masuk pekarangan rumah (termasuk jalan dan taman) dan sebagai sarana penghormatan bagi orang yang akan memasuki kawasan tertentu maupun sebaliknya dari tuan rumah untuk orang yang bertandang. Gapura Pada umumnya gapura terbuat dari batu bata dan semen, pertimbangannya karena bangunan ini dibangun sekali untuk digunakan selamanya. Terdapat berbagai tipe bentuk gapura yang terdiri atas: pertama, gapura dengan tipe seperti pintu gerbang candi yang terbelah; kedua, gapura dengan bentuk tiang yang mempunyai bagian penghubung pada atasnya dengan penanda tulisan nama perkampungannya; ketiga, gapura dengan model bagian
82
Jurnal RANAH Th. III, No. 1, Mei 2013
atas mempunyai atap; keempat, gapura yang dibangun dengan tujuan sekaligus sebagai sarana keamanan, gapura ini biasanya merangkap sebagai gardu. Gardu terdapat di perkotaan Jawa sebagai tempat berkumpul terutama kaum laki-laki untuk jaga malam atau sekadar mengisi waktu luang (Kusno 2007: 2)1 ;Kelima, gapura berbentuk tiga dimensi yang tidak lagi menandakan suatu wilayah dengan menggunakan keterangan tulisan namun memakai ikon pada benda tertentu yang menjadi ciri khas kehidupan masyarakatnya, saya menyebutnya sebagai tetenger. Seperti pada gapura yang terdapat di daerah Nganjuk Jawa Timur pada depan perkampungan warga dekat jalan besar terdapat gapura tunggal yang berbentuk jagung besar. Jagung ini mencerminkan kehidupan masyarakatnya yang bergerak pada sektor pertanian terutama jagung. Pembuatan bangunan tambahan gapura di suatu kawasan menjadi penanda (tetenger) pada suatu wilayah yang juga mencerminkan kebudayaan dan pola kehidupan masyarakat yang ada. Misalnya pada gapura pada perbatasan Klaten dengan Boyolali di Jawa Tengah mempunyai kesamaan dengan gapura yang terdapat pada perbatasan Malang-Pasuruan dan Probolinggo-Pasuruan di Jawa Timur. Kesamaan yang ada terdapat pada patung sapi yang menjadi ikon kota sekaligus refleksi kehidupan masyarakatnya yang mengandalkan hidup pada sektor peternakan terutama sapi perah. Gapura dapat memperlihatkan karakteristik masyarakatnya terkait pada hubungan antara rakyat dengan negara. Sebagaimana pada masa Orde Baru gapura yang terdapat pada perkampungan menjadi media untuk sosialisasi doktrin dan program pemerintah. Misalnya kebanyakan gapura pada masa Orde Baru terdapat hiasan dinding baik relief maupun cat berisi tentang Pancasila dan Program Keluarga Berencana. Gapura berbasis pancasila masih dapat kita jumpai pada banyak kampung terutama sepanjang jalur selatan dari Jogjakarta sampai Malang. Tipologi gapura yang ada khususnya yang pada kawasan Jawa Tengah khususnya daerah Sragen sampai Solo bagian barat mempunyai ornamen yang pancasialis. Gapura yang ada pada umumnya terbuat dari bahan semen dan mempunyai dua tiang, tiang kanan adalah gambar sila-sila dalam Pancasila dan tiang sebelah kiri adalah tulisan dari sila-sila pancasila. Artinya pada bagian kiri terdapat penjelasan visual dan pada bagian kanan penjelasan tertulis tentang ideologi negara yang diwajibkan oleh rezim Orde Baru.
1 Gardu dianggap sebagai suatu artefak yang merepresentasikan ketertiban dan keamanan, baik berkaitan dengan kekuasaan negara maupun lokal (Kusno 2007:5). Gardu digunakan sebagai sarana untuk kepentingan kontrol dan komunikas termasuk komunikasi simbolik –lewat kentongan - terhadap masyarakat. Pada era Orde Baru terdapat kebijakan keamanan berbasis komunitas melalui Sistem Keamanan Kelililng (Siskamling) (Ibid, hlm. 37). Gardu menjadi posko berkumpul maupun koordinasi yang lebih dikenal sebagai Poskamling.
83
Roikan - Gapura Kampung dan Ketahanan Identitas
Gapura dan Identitas budaya Identitas budaya menurut Friedman terdiri dari empat bagian pendekatan yaitu ras, etnis barat, etnisitas tradisional dan gaya hidup (Friedman 1995: 30). Identitas budaya menyebabkan kebudayaan dapat dikenal secara lebih luas oleh pihak lain yang berada diluar lingkungan masyarakatnya. Ras merupakan identitas yang berhubungan dengan bentuk fisik manusia dari ujung rambut sampai ujung kaki. Keberagaman ras yang ada berpengaruh pada pandangan suatu budaya terhadap manusia yang berasal dari ras lain. Misalnya saat orang dari kaukasoid mengatakan bahwa ras melayu adalah eksotis dan sebaliknya orang melayu melihat bahwa ras kaukasoid merupakan standar untuk manusia yang cantik atau tampan. Artinya budaya membentuk pandangan tentang standarisasi cantik dan tampan yang didukung oleh media. Identitas budaya berkaitan dengan etnisitas yang secara dikotomis dibedakan atas modern dan tradisional. Modern diwakili oleh bangsa-bangsa yang berada di kawasan barat sebagai sumber dari para pemikir yang mempunyai kontribusi yang besar bagi ilmu pengetahuan. Etnis tradisional mewakili bangsa-bangsa timur yang dipandang kalangan barat masih bersifat sederhana dan kurang berkembang. Dua hal yang kontras ini menjadikan kedua etnis saling berorientasi, barat melihat timur dan timur melihat barat. Tulisan mencoba melihat perubahan pemaknaan terhadap gapura dan implementasinya terhadap representasi keadaan masyarakatnya terutama pada gaya hidup (life style). Gapura pada perkampungan di Jawa mengalami perubahan bentuk dan orientasi. Pada masa lalu gapura identik dengan warnawarna kuning, gambar dan ornamen Pancasila, relief pahlawan sampai tulisan dan gambaran terkait semangat perjuangan bangsa. Gapura yang terlihat saat ini lebih merepresentasikan gaya hidup dalam masyarakat terkait budaya konsumsi pada operator seluler tertentu.Iklan terkait dengan berkembangnya budaya konsumerisme yang pada jangka panjang dapat menggerus jati diri. Periklanan menurut Berger (via Sobur 2003:189) adalah bukan hanya sekadar alat memasarkan dagangan, mengambil kendali terhadap kehidupan keseharian dan mendominasi hubungan-hubungan sosial. Dalam iklan terdapat pemaksaan orang kedalam bentuk selera kolektif. Iklan dapat mengubah semua aspek mulai dari aspek pola konsumsi sampai pada pergeseran ideologi. Gapura yang pada masa rezim Orde Baru menjadi salah media propaganda untuk kepentingan pemerintah, saat ini seperti sebuah pintu gerbang yang tidak berarti. Walaupun terdapat gambar dan ikon Pancasila namun tidak mempengaruhi perilaku masyarakat sekarang yang cenderung kurang bahkan tidak pancasialis sebagaimana masa pemerintahan Pak Harto. Gapura yang kita saksikan hari ini khususnya di perkampungan kecil pinggir jalan hanya sebagai media untuk menampilkan iklan suatu produk yang mempengaruhi gaya hidup masyarakatnya. Gaya hidup menurut Sobur (2003:167) merupakan istilah menyeluruh yang
84
Jurnal RANAH Th. III, No. 1, Mei 2013
meliputi cita rasa seseorang terhadap hal yang dikonsumsi setiap hari, bisa dalam bentuk fashion, mobil, hiburan, rekreasi sampai pada bacaan. Gaya hidup kerap dihubungkan dengan kelas sosial ekonomi dan sebagai ajang pencitraan bagi seseorang atau masyarakat tertentu. Gapura dengan iklan operator seluler memberikan gambaran betapa tidak berdayanya ketahanan identitas suatu masyarakat terhadap kepentingan pasar dengan dominasi suatu perusahaan tertentu. Kontribusi yang diberikan untuk warga pada perombakan gapura lebih pada tulisan nama kampung yang lebih didominasi oleh citra visual dari pihak pengiklan. Sehingga orang kampung yang hidup di dalamnya lebih paham tentang operator tertentu secara spesifik daripada nama kampung bahkan nilai-nilai Pancasila. Jika orang pada masa Orde Baru ketika keluar kampung disuguhi oleh citra yang berhubungan dengan Pancasila, Keluarga Berencana, sampai gambaran betapa gigihnya perjuangan para pahlawan dalam mengusir penjajah. Sekarang yang terlihat adalah operator seluler tertentu dengan segala fasilitas dan bonus yang ada dan berbagai keunggulan yang ditawarkan secara visual. Lambat laun dengan membuat iklan di gapura atau tembok rumah pada lokasi terluar akan mempengaruhi budaya konsumsi masyarakat bahkan dapat mengarah pada transformasi identitas. Misalnya jika ditanya orang tentang letak kampungnya maka jawaban yang diajukan adalah “Pokoknya kampung saya dekat jalan besar dan terdapat gapura bergambar operator X”. Permasalahan yang terjadi pada saat ini merupakan dominasi citra dalam kehidupan masyarakat modern kontempoter yang mengarah pada imperium citra. Sebagaimana yang dituturkan oleh Herbert Marcuse via Valentinus Saeng, CP. (2012:264) bahwa masyarakat sekarang lebih mementingkan bungkusan daripada isi, kesan daripada substansi, tampilan daripada intisari serta peran daripada jatidiri. Terjadi masyarakat yang lebih gemar pada hal-hal yang berbau sensasi sehingga memunculkan istiah populis pada hal-hal yang sedang menjadi trend. Kemasan gapura pada beberapa daerah yang didominasi oleh iklan seluler dikuatirkan berpengaruh pada budaya konsumsi masyarakat terkait persepsi atas citra yang ada di depan kampungnya. Penggunaan ponsel pada saat ini merambah sampai dunia dari kalangan perkotaan sampai pada kawasan perkampungan kecil. Gapura dan ketahanan identitas masyarakat Sejarah memberikan kontribusi kepada komunitas dalam upaya memahami pergulatan dan perubahan yang mereka alami dalam hidup mereka. Misalnya perang, perubahan sosial, perubahan teknologi sampai pada masuknya orang baru yang berasal dari luar ke dalam komunitas (Thompson via Susanto, 2010: 295). Gapura dan tetenger merupakan representasi dari keadaan masyarakat terkait perubahan masyarakat dari kurun waktu tertentu. Bentuk gapura dan
85
Roikan - Gapura Kampung dan Ketahanan Identitas
tetenger menjadi semacam penanda monumental terhadap suatu peristiwa tertentu baik yang bersifat heroik maupun mitologi. Kita dapat melihat pada beberapa kawasan terdapat patung atau relief di sekitar gapura yang menggambarkan sosok pahlawan masa revolusi dalam perjuangannya dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Berdasarkan pengamatan di lapangan, penulis melihat terdapat daerah yang pada sekitar gapuranya tidak hanya terdapat tetenger dalam bentuk patung pejuang masa revolusi atau aktivitas khas yang dapat mengindentikan daerah tertentu. Pada perkampungan di sekitar Pasar Singosari sebelah utara Kota Malang terdapat patung Hanoman dan Bima (Werkudoro). Patung ini menurut saya dibuat sebagai sarana agar masyarakat maupun pengguna jalan yang melihatnya dapat menghayati sosok dari tokoh pewayangan tersebut. Diharapkan dengan melihat sosok tersebut dapat mengikuti jejaknya. Keberadaan gapura dan tetenger dapat menjadi identitas masyarakatnya. Pada dasarnya gapura dapat menjadi elemen yang memperkuat solidaritas dalam masyarakat. Hal ini dapat dilihat ketika menjelang perayaan kemerdekaan RI (agustusan) warga kampung bergotong royong mempercantik kemasan gapura dengan memberi cat baru sampai menghiasi dengan bendera merah putih sampai lampu hias. Masalah yang terjadi adalah pada masa sekarang keberadaan gapura dan tetenger hanya dianggap sebagai sekadar penanda dan batas kawasan tertentu. Antusiasme masyarakat untuk bergotong royong mengemas gapura sebagai pembuktian bagi negara bahwa wilayahnya menjadi salah satu pendukung program pemerintah tidak seperti pada masa Orde Baru. Neoliberalisme menurut Fisgon (2005: 82) mempunyai pandangan bahwa persaingan bebas dan modernisasi ekonomi akan mengeluarkan dunia ketiga dari kondisi yang terbelakang dam tidak maju-maju. Pada dasarnya tujuan utama dari neoliberal adalah ingin menyusutkan bahkan meniadakan peran negara. Doktrin yang dijanjikan mengenai kemerdekaan dan kemajuan hanya didapatkan melalui pasar bebas dan persaingan terbuka. Analisa pada tulisan ini saya arahkan keberadaan neoliberalisme dalam persaingan bebas dan transformasi cara pemasaran. Penetrasi pasar yang ada didominasi oleh pihak yang mempunyai modal terbesar berkontribusi pada krisis identitas. Pemasaran yang dilakukan tidak sekadar pemasangan iklan pada media namun merambah pada gapura yang menjadi penanda identitas suatu kawasan beserta masyarakatnya. Invasi visual dalam iklan ponsel yang terdapat pada gapura merepresentasikan bagaimana masyarakat mengalami ketidakberdayaan dua kali. Ketidakberdayaan yang pertama terjadi pada masa Orde Baru, ketika kekuasaan mewajibkan warga membuat gapura yang memuat gambar Pancasila dan program pembangunan seperti Keluarga Berencana. Ketidakberdayaan kedua terjadi pada saat persaingan pasar yang kuat pada bisnis operator ponsel yang mengembangkan pemasaran
86
Jurnal RANAH Th. III, No. 1, Mei 2013
sampai pada perkampungan. Pasar bebas merupakan bagian dari agenda globalisasi yang tidak hanya tertuju pada kepentingan pasar semata, namun identitas dan ideologi turut mempengaruhi masyarakatnya. Jika saya menganalogikan neoliberalisme maupun globalisasi merupakan sebuah angin tornado yang besar dan dapat menerbangkan semua yang dilewatinya. Kita dapat bertahan pada satu tiang kecil yang tertancap dengan kuat di tanah dan pegangan itu bernama kearifan lokal (local wisdom). Kearifan lokal merupakan pertahanan terakhir dari gempuran berbagai kepentingan global yang dapat menggerus identitas dari sebuah lokalitas.
Daftar Pustaka Fisgon, El., 2005. Menghadapi Globalisasi: Kiat Gombal buat Pengusaha Kecil. Serpong: Marjin Kiri. Friedman, Jonathan., 1995. Cultural Identity dan Global Process. London: Sage Publications. Koentjaraningrat., 1980. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat. Kusno, Abidin., Penjaga Memori: Gardu di Perkotaan Jawa. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Malinowski, Bronislaw., 1944. A Scientific Theory of Culture and Other Essays. Chapel Hill: The University of North Carolina Press. Saeng, Valentinus, CP. 2012. Herbert Marcuse: Perang Semesta Melawan Kapitalisme Global. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Sajogyo (ed),. 1982. Ekologi Pedesaan: Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Sobur, Alex., 2003. Semiotika Komunikasi . Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Susanto, Budi (ed). 2010. Indonesia Di mata (mata-i) Post Kolonialitas. Jogjakarta: Kanisius. http://www.artikata.com/arti-327812-gapura.html diakses pada tanggal 3 Maret 2013
87
88
Jurnal RANAH Th. III, No. 1, Mei 2013
89
Rio Heykhal Belvage - Neo-Liberalisme: Don Quixote dan Perjuangan Melawan Hegemoni Wacana TH. III NO. 1, MEI 2013
RANAH
HALAMAN 90-99
NEO-LIBERALISME: DON QUIXOTE DAN PERJUANGAN MELAWAN HEGEMONI WACANA Rio Heykhal Belvage ABSTRAK Tulisan ini akan membahas mengenai wacana yang berada di bawah payung neo-liberalisme. Bermula dari suara kerumunan manusia yang mengada di ruang publik serta wacana yang mengiringinya, pembacaan atas beberapa teks dimaksudkan sebagai refleksi bagi diri yang tidak jarang - karena disiplin ilmu yang sedang ditekuni - membuat kita mau tidak mau mesti dapat menempatkan cara pandang kita dalam posisi seorang pengamat. Melalui perspektif otokritik, tulisan ini hendak menunda kata neo-liberalisme dengan maksud untuk meninjau kembali paradigma yang digunakan oleh pengamat. Pengamat, berarti manusia yang sedang melihat, mengamati, mengawasi, dan tak jarang menjatuhkan penilaian atas apa yang ia amati. Inti tulisan ini adalah mencoba memetakan kembali relasi antara gejala, wacana dan manusia - sekaligus hegemoni yang berlangsung di dalamnya - ketika manusia berupaya memahami suatu peristiwa untuk memaknai keberadaan diri dan kelompoknya. Kata Kunci: Wacana, pengamat, hegemoni, refleksi “Kita hidup dengan warisan Cervantes. Para ksatria telah punah. Kita tahu, Don Quixote, lelaki tua krempeng yang naik kuda jelek itu – yang membayangkan diri sebagai seorang Don yang bersedia berperang untuk menenggakkan nilai-nilai luhur” - Goenawan Mohammad Cerita Don Quixote adalah cerita tentang seorang kutu-buku yang melihat dunia seperti gambaran dalam buku-buku yang dibacanya. Don lahir dari imajinasi Cervantes, seorang penulis spanyol dari abad ke-15. Yang menarik, konon setiap jaman memiliki pembacaan berbeda atas karyanya. Di awal kemunculannya, Quixote dibaca sebagai komik, pada abad 19, dipandang sebagai
90
Jurnal RANAH Th. III, No. 1, Mei 2013
kritik rasionalisme, lalu tiba di abad 20, siapa sangka, karya tersebut menjadi salah satu fondasi perkembangan sastra modern. Hal itu menunjukkan bahwa suatu anggapan atau pandangan terhadap suatu hal tidak dapat lepas dari jamannya, atau yang disebut Michel Foucault sebagai episteme1. *** Sepotong narasi di atas merupakan gambaran mengenai apa yang akan saya bahas pada tulisan ini. Saat mendengar kata neo-liberalisme, barangkali yang terbayang di benak kita adalah efek globalisasi, membuat yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin, kapitalisasi dimana-mana, perputaran uang, barang dan orang menjelma jadi roda-roda pemicunya. Saya kira anggapan semacam itu merupakan sesuatu yang umum terjadi di sekitar kita, atau mungkin juga terjadi pada diri kita sendiri, sekedar untuk memanipulasi diri secara nirsadar dari ketidaktahuan melalui hasrat ingin tahu, lalu sebagai jalan keluarnya, akan mengaitkan cerita-cerita yang pernah diketahuinya saat misalnya, ketika mendengar kata neo-liberalisme. Sebenarnya metode berpikir seperti ini juga bisa didapati di dalam tradisi berpikir ilmiah yang dikenal cukup ketat itu, yakni mengaitkan pengetahuan satu dengan pengetahuan lain secara sistematis hingga memunculkan apa yang disebut sebagai ilmu pengetahuan. Misalkan saja, ketika suatu kali mendengar kata neo-liberalisme, lalu yang terbayang di benak kita adalah popularitas minimarket atau swalayan-swalayan yang seolah semakin lama membuat ‘pasar tradisional’ kehilangan gaungnya. Di kota-kota, dimana saja memarkir kendaraan, biaya parkir sudah jadi hal mahfum. Bahkan tidak hanya di pusat perbelanjaan atau di warung-warung makan, di tempat-tempat ibadah pun, atau kuburan, tempat di mana orang meninggal tidur untuk selamanya, manusia mesti merogoh saku untuk membayar biaya parkir dan menjadikannya sebagai bagian dari kewajaran. Saya berasumsi bahwa kapitalisme, hedonisme, konsumerisme, dan beberapa hal lain yang ada sangkut-pautnya dengan ekonomi, merupakan wacanawacana yang berada di bawah payung wacana neo-liberalisme, dan kebetulan hal itu merupakan bagian dari obrolan yang biasa dilangsungkan oleh kaum muda di warung kopi (warkop)2 - tempat saya biasa melewatkan waktu luang. Entah apa yang membuat wacana tersebut menarik untuk dijadikan obrolan. Tetapi 1 Lihat, misalnya, Hayden White hlm: xviii, pada kata pengantar Order of Thing: Arkeologi Ilmu-ilmu Kemanusiaan, membahasakan istilah “episteme” yang digunakan Foucault sebagai “total sekumpulan hubungan yang menyatukan, pada periode tertentu, praktik diskursif yang memunculkan figur-figur epistemologis, ilmu pengetahuan, dan mungkin sistem yang terbentuk dari pengetahuan”. 2 Alasan saya berangkat dari obrolan warung kopi, adalah untuk mengetahui bagaimana kaum muda merespon wacana neo-liberalisme, sebab warung kopi adalah ruang sosial di mana egaliterianisme tercipta, dan suara publik bisa terbaca. Lihat, misalnya, Belvage, “Kopi Blandongan: Resistensi Kultural ala Jogja”, 2011.
91
Rio Heykhal Belvage - Neo-Liberalisme: Don Quixote dan Perjuangan Melawan Hegemoni Wacana
yang jelas, dengan tema yang tentunya dianggap asyik tersebut, kopi kemudian menjadi selingan dalam obrolan. Yang penting ngobrolnya. Kopi menjadi nomer dua. Namun sayangnya tidak jarang obrolan tersebut timpang sebelah. Dalam sepengamatan saya, selalu ada yang dihadirkan untuk menempati posisi ‘kambing hitam’ di dalam isu yang sedang diobrolkan. Misalkan, ketika suatu kali saya nimbrung dalam obrolan warkop, waktu itu tema obrolannya soal hedonisme. Beberapa orang yang memiliki latar belakang pelajar dari berbagai disiplin ilmu dan telah meleburkan identitasnya lewat secangkir kopi, ngrasani gaya hidup anak muda jaman sekarang. Obrolannya seru, sebab anak muda ngrasani anak muda, topik bahasan melompat dari satu tema ke tema lain (ciri khas obrolan warkop) dengan cepat, dan analisa-analisa yang tak kalah mengejutkan dan provokatif dibandingkan dengan yang ada di layar kaca. Tetapi yang saya garis bawahi dari obrolan itu adalah soal gaya hidup hedonis. Di sini saya mengartikan hedonis sebagai gaya hidup hura-hura, pemuasan hasrat yang termediasi lewat kesenangan. Inti obrolan tersebut menggugat kapitalisme dan menempatkannya sebagai aktor yang mengendalikan manusia dalam mengonsumsi segala sesuatu sesuai dengan agenda pasar. Soal selera bukan milik manusia, tapi milik pasar. Karena itu kapitalisme dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung-jawab, sebab telah memperlebar kesenjangan sosial dalam kondisi negeri seperti sekarang. Masyarakat dianggap tidak berdaya menerima perubahan radikal yang terjadi di dalam sistem ekonomi pasar. Namun barangkali kita bisa menyermatinya sekali lagi, apakah isi obrolan tersebut sudah klop, atau terkesan bias dan cenderung mencari pihak yang dapat dipojokkan? Pada obrolan tersebut, poin dari pernyataannya kurang lebih seperti ini: ‘masyarakat tidak berdaya merespon kuasa pasar, sehingga kapitalisme mesti dilawan’. Hal itulah yang juga terbayang di benak saya ketika hendak membuat tulisan ini. Setelah memperoleh penjelasan sekilas dari obrolan di sana-sini, saya dapati sebuah gambaran perspektif yang bermiripan dengan pola obrolan ala warkop. Ada semacam kreasi dari proses berpikir dikotomis yang kemudian menciptakan pandangan tentang adanya superior dan inferior, si kalah dan si menang, si kuat dan di lemah, yang keduanya kemudian saling diperlawankan. Tentu dalam obrolan tersebut, si kalah harus di bela, si lemah harus diperjuangkan agar menjadi kuat, lalu diperlemah lagi dengan menghadirkan si lemah lain, sebab si kuat tak akan berarti kuat tanpa kehadiran si lemah. Barangkali jika tidak demikian, selesailah perbincangan, tak ada yang bisa dipersoalkan atau dengan kata lain, disalahkan. Paradigma tersebut kerapkali hidup dalam imajinasi manusia yang memosisikan dirinya sebagai pengamat ketika berbicara mengenai suatu hal, tapi justru menjauhkan mata dari realitas (terlepas dari latar belakang disiplin ilmu yang ditekuninya). Sebab, kecenderungan menyederhanakan, membuat pengamat
92
Jurnal RANAH Th. III, No. 1, Mei 2013
kemudian terbiasa secara enteng mengelompokkan keberagaman identitas manusia ke kolom-kolom identitas yang saling beroposisi. Ada ilusi-ilusi yang membatasi ruang pandang kita ketika berbicara mengenai tema-tema besar yang terkadang membuat kita lupa akan tema-tema kecil. Berbicara mengenai neo-liberalisme dan isme-isme lain, tidak dapat dilepaskan dari bagaimana fungsi ideologisnya bekerja. Oleh sebab itulah saya mencoba mengawali tulisan ini dengan menunda pemosisian wacana neoliberalisme. Ada keraguan yang jangan-jangan ketika saya mewacanakan kembali wacana neo-liberalisme, saya terjebak dalam pencarian dalang tanpa akhir yang justru mengalienasi diri dari wacana yang coba dimunculkan. Sebab ketika berbicara neo-liberalisme, berbicara masyarakat, bukankah kita juga jadi bagian di dalamnya? Berdasarkan asumsi-asumsi tersebutlah, saya ingin mengetahui secara reflektif seperti apa formasi diskursif neo-liberalisme. Montase Dari bahasan seputar obrolan warung kopi di atas, saya ingin flashback sebentar ke masa silam untuk menyermati wacana yang mempengaruhi perspektif manusia dalam memandang suatu gejala yang berlangsung di luar dirinya untuk memaknai keberadaan dirinya. Pada bagian ini, saya akan mengulas teks yang diyakini sebagai ramalan. Namun perlu terlebih dahulu saya sampaikan, bahwa pembacaan terhadap teks bukanlah bertujuan untuk mereduksi keyakinan lokal, melainkan membaca ramalan sebagai simbol3 dari tradisi intelektual masa lalu. Saya juga bukan berupaya membuktikan kebenaran sebuah ramalan, akan tetapi menjadikannya sebagai metafora yang mewakili bagaimana wacana yang terkait dengan situasi sosial direspon dan dimaknai oleh masyarakat sekarang. Di sini, saya mencoba memberi jarak dengan wacana “neo-liberalisme” dengan menunda keberadaannya, lalu menganalisa teks ramalan untuk menemukan pola yang menghubungkan tema besar terhadap praktik sehari-hari. Sebab, kondisi sosio-kultural bukanlah hal lain yang ada di luar diri, ia meresap sampai ke laku hidup sehari-hari, begitu juga ketika mendengar neo-liberalisme. 3 Lihat, misalnya, Geertz, “Tafsir Kebudayaan”, 1992, hlm 56. Bandingkan, misalnya, AhimsaPutra, dalam”Fenomenologi Agama: Pendekatan Fenomenologi untuk Memahami Agama”, 2009, hlm 17. Dalam tulisannya, Ahimsa-Putra mendefinisikan simbol bukan sebagai sesuatu yang bermakna, melainkan sebagai sesuatu yang dimaknai. Meminjam penjelasan Levi-Strauss dalam Ahimsa-Putra, mistifikasi teks yang kemudian disebut sebagai ramalan, berfungsi untuk mengatasi atau memecahkan kontradiksi empiris yang tidak terpahami oleh nalar manusia (1963). Untuk dapat memahami kontradiksi tersebut nalar manusia kemudian memindahkan kontradiksikontradiksi ini ke tataran simbolis dengan cara sedemikian rupa, sehingga elemen-elemen yang kontradiktif kemudian dapat diothak-athik, dan terciptalah kemudian sebuah sistem simbol yang tertata apik dan rapi. Pada bagian ini, lihat misalnya Ahimsa-Putra, 2006, Strukturalisme LeviStrauss, Mitos dan Karya Sastra, hlm 259.
93
Rio Heykhal Belvage - Neo-Liberalisme: Don Quixote dan Perjuangan Melawan Hegemoni Wacana
Ia bukan sesuatu yang lain. Justru sebaliknya, karena sifat ideologisnya, kadang tanpa sadar saat kita mencoba meletakkannya di posisi tertentu, kita tidak bisa benar-benar menyentuhnya, sebab yang kita letakkan tidak lain adalah diri kita sendiri. Ketika meninjau kembali wacana neo-liberalisme, yang terbayang di benak saya mungkin lebih dekat dengan animasi skematis dari karya Zizek (2009) First As Tragedy, Then As Farce4, di mana aktivitas manusia digerakkan oleh keberadaan struktur yang lebih besar yang ada di luar dirinya. Kapitalisasi ruang/waktu terjadi di mana-mana hingga mengendalikan kesadaran manusia. Bayangan-bayangan itu mengingatkan saya pada kalimat yang pernah saya baca, karya pujangga Jawa yang dikenal dengan nama Serat Jangka Jayabaya, yang oleh beberapa orang diyakini sebagai ramalan tentang tanda-tanda jaman. Seperti inilah tulisnya; “Besuk yen wis ono kreto mlaku tanpa turonggo, tanah Jawa kalungan wesi, prahu mlaku ing awang-awang, kali padha ilang kedunge, pasar ilang kemandange, iku tondo yen tekane Jaman Djoyoboyo wis cedhak. Bumi saya suwe saya mengekeret, sekilan bumi dipajeki..” 5 Kemunculan wacana mengenai Ramalan Jayabaya dalam masyarakat Jawa bersifat siklikal, muncul-tenggelam tergantung situasi masyarakat ketika itu. Seperti ketika berlangsung pergantian penguasa, atau erupsi merapi tahun lalu, situasi-situasi peralihan inilah yang memantik munculnya kembali pemaknaan wacana mengenai tanda-tanda jaman - seperti Zizek dalam karyanya yang berangkat dari pengamatan mengenai tanda-tanda jaman. Menarik menyermati isi dari ramalan tersebut. Membayangkan neoliberalisme, pikiran saya seketika tersambung pada kalimat yang diyakini sebagai ramalan di atas. Menurut cerita, Serat Jangka Jayabaya dibuat dalam kurun waktu abad 12. Ada banyak versi mengenai siapa penulisnya. Akan tetapi pada bagian ini, saya tidak bermaksud membuktikan kebenaran suatu ramalan atau mengklaim siapa penulis sesungguhnya. Alih-alih bertolak dari teks yang dianggap sebagai ramalan, saya ingin mengetahui respon manusia menanggapi kondisi yang berlangsung di sekelilingnya. Wujud material yang disebutkan di dalam Serat Jangka Jayabaya di atas, tentang susutnya gema pasar oleh kapitalisasi ruang, merupakan respon manusia yang dalam perspektif sekarang lebih dipahami dalam konteks homo economicus 4 Lihat, misalnya di www.theRSA.org, berjudul Slavoj Zizek: First Tragedy Than Farce. 5 Diambil dari ramalan Jayabaya versi Sabdo Palon yang kurang lebih saya terjemahkan seperti ini; “Besok, kalau sudah ada kereta tanpa kuda, tanah Jawa berkalung besi, perahu mendayung di langit-langit, sungai kehilangan mata air, pasar kehilangan gaungya, itu adalah tanda akhir jaman sudah dekat, Bumi semakin lama semakin mengecil, sejengkal tanah dikenai pajak..”
94
Jurnal RANAH Th. III, No. 1, Mei 2013
- yang jika di jaman itu tersublim melalui teks sang pujangga dan mendapat ruang mistifikasinya, kini, ketika rasionalitas memperoleh ruang dominan melalui dukungan industri sains - homo economicus meresponnya dengan beragam cara yang dianggap lebih logis. Sebagai contoh, seperti pada gambar beberapa sampul buku yang saya tampilkan di bawah ini - yang jika dengan menggunakan perspektif semiotika, akan tampak seperti apa kiranya imaji dan ide para penulis dan desainer sampul - serta subjek pembaca seperti apa yang hendak ia desain melalui wacananya. 6
Lalu, mari kita kembali lagi sejenak ke pembahasan mengenai teks ramalan. Ketika pemahaman tentang mengadanya sebuah teks diasumsikan sebagai suatu respon, tentu terdapat hal lain yang menstimulus kemunculan sebuah teks. Sebagai homo economicus, nilai ekonomi menempati peran vital. Sekarang, mari kita bayangkan pujangga pada jaman dulu adalah intelektual di masa sekarang. Dengan keluesan pemahaman dan budaya literasi tinggi di jaman itu, sekaligus dengan kemampuan menulisnya (suatu kemampuan yang hanya dimiliki segelintir orang jika dibandingkan dengan masa sekarang, ketika semua bisa berbicara melalui tulisan) sang pujangga menuangkan kegelisahan akan kondisi di sekelilingnya ke 6 Keterangan mengenai beberapa sampul buku, saya ambil dari berbagai laman di internet dengan sumber alamat yang dapat dilihat di bagian daftar pustaka, pada bagian sumber laman.
95
Rio Heykhal Belvage - Neo-Liberalisme: Don Quixote dan Perjuangan Melawan Hegemoni Wacana
dalam tulisan, yang ternyata mampu melintasi masa ruang dan waktu. Kegelisahan yang muncul di tengah hancur-berdirinya Singosari, Kediri, dan Majapahit. Usia sebuah tulisan yang mampu bertahan hingga ratusan tahun, tentu tidak serta-merta eksis dengan sendirinya. Jika dilihat dari konteksnya, terdapat resiprositas di mana sebuah teks tetap dihidupkan karena menghidupi manusianya, memberi ruang pemaknaan kepada manusia untuk memahami suatu gejala yang sedang dihadapinya. Mistifikasi teks sebagai ramalan, mengidentifikasikan bahwa (kalau saya tidak salah) pada kurun waktu delapan ratus tahun lalu, rasionalisasi dalam merespon jaman tersublim ke dalam serat-serat yang dianggap memiliki kekuatan magis. Kini, seiring modernitas, episteme jaman bergerak dari apa yang disebut oleh Comte sebagai metafisis ke positivis, di mana rasionalisasi-rasionalisasi yang dilakukan untuk merespon tekanan sosial - dalam hal ini dominasi aset ekonomi oleh global terhadap lokal, memperoleh pembenarannya melalui bukti-bukti yang dianggap sebagai sesuatu yang ilmiah. Jika dulu dinamika sosial direspon melalui pembabakan tanda-tanda jaman yang bersifat transendental, maka tekanan ekonomi global terhadap lokal di masa sekarang direspon sebagai sesuatu yang horisontal, yang harus dikawan, dilawan, atau dibiarkan. Walau demikian, ketika pengetahuan jaman telah berubah, perilaku berubah, akan tetapi pola yang berlangsung masihlah sama, aspek ekonomi menjadi penentu ketika terjadi suatu tekanan sosial. Di sini, saya mencoba melihatnya dengan jalan reflektif dalam merespon wacana neo-liberalisme, sebagai tanggapan atas pemetaan diskursif sekaligus pertanyaan yang dilempar oleh Herry Priyono dalam Neoliberalisme dan Sifat Elusif Kebebasan7, bahwa bagi mereka yang tidak sepakat terhadap proyek neo-liberal, memiliki beragam argumentasi. Beberapa mengenali betapa naif premis neo-liberalisme. Beberapa lain, arah kritik tertuju pada proyek neo-liberal yang meremuk watak sosial hidup-bersama. Sedang untuk para aktivis, kritik terhadap proyek neo-liberal mungkin berupa aksi bersama. Dan untuk para budayawan? Dari pembacaan di balik teks di atas, dapat ditarik hipotesa awal bahwa berbagai respon terhadap wacana neo-liberalisme, merupakan bagian dari dinamika sosial yang menandakan bahwa masyarakat terus bergerak beriringan dengan kulturnya. Bahwa kebudayaan tidaklah mandeg. Di balik kemunculan neo-liberalisme, tergambar bahwa tata sosio-kultural terus berkembang ke arah yang kian kompleks. Di balik keyakinan akan datangnya tanda jaman, tersimpan keresahan, keinginan untuk mengantisipasi, menata, bagi siapa saja yang perhatiannya tersita oleh perubahan yang terjadi dalam sistem ekonomi pasar. 7 Lihat, misalnya, Herry-Priyono, B. 2006. Neoliberalisme dan Sifat Elusif Kebebasan, disampaikan dalam acara “Pidato Kebudayaan” Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 10 November 2006.
96
Jurnal RANAH Th. III, No. 1, Mei 2013
Akan tetapi kewajaran dalam merespon neo-liberalisme, kerapkali membuat ruang pandang bias, seolah ada yang serta-merta harus diteriakkan, ada yang harus dilawan, lalu munculah aksi-aksi yang dilembagakan, sehingga cara pandang kita kemudian tidak ada bedanya dengan anti-perubahan, anti-dinamika, melihat yang baru sebagai sesuatu yang sontak mesti dilawan, bukan disaring – untuk menciptakan pola baru, adaptif, bukan dengan membangun benteng dari arus perubahan melalui peneguhkan pola-pola yang dianggap ideal dalam imajinasinya. Bila flashback lagi ke belakang, bukankah kemunculan konsep neoliberalisme merupakan sejarah pemecahan masalah ekonomi pasca-perang dunia II saat perputaran uang dan barang mengalami penyumbatan? Agenda neoliberalisme adalah agenda membuka kran penyumbatan dengan ironi manusia turut terhisap ke dalam pusarannya8. Akankah kita juga menyerahkan diri untuk dihempas gelombang wacana neo-liberal yang menghegemoni via media dan buku-buku, sehingga kompleksitas sosial yang nampak adalah perwujudan dunia dari mata seorang Don Quixote? Refleksi Kaset-kaset bajakan, sepatu-sepatu bajakan, barang-barang elektronik bajakan, pakaian-pakaian bajakan, hingga buku-buku bajakan, tidak pernah sepi oleh pembeli. Di balik fenomena tersebut, berlangsung siasat ekonomi terhadap ekspansi pasar bebas yang bebas memasukkan kebutuhan hidup ke dalam tubuh masyarakat, ke dalam diri kita. Namun ketika wacana neo-liberalisme bergulir, kerapkali kita meresponnya dengan reaksioner, kita bayangkan ia sebagai sosok yang lain, ada di depan mata, yang berarti hadir di luar diri kita. Sosok yang kuat, yang jahat, bahkan berbahaya. Sesuatu yang mesti dijauhkan. Kita menjaga jarak dengannya. Kita membangun benteng. Kemudian neo-liberalisme dalam ruang pandang kita hanyalah lawan. Sementara, di balik kepulan asap rokok yang kita hisap, berlangsung agenda ekspansi kapital tembakau. Beberapa kelompok memperjuangkan nasib tembakau lokal, tembakau lokal yang juga dikapitalisasi oleh elit-elit lokal. Di balik sebotol air yang kita beli dan minum sehari-hari, di beberapa tempat, ada lahan yang kian kering oleh penyedotan sumber mata air. Petani kesulitan, plus dengan dikeluarkannya kebijakan impor beras dan serangkaian kebijakan lain. Beras itu, beras yang juga mungkin setiap harinya kita santap. Di balik air botolan dan rokok yang kita beli, orang mencari untung seratus-duaratus perak untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Di balik konsumsi alkohol, berlangsung agenda pasar dengan membingkai wacana via media, alkohol lokal yang khas, tergantikan 8 Lihat, misalnya, B. Herry-Priyono, “Neoliberalisme dan Sifat Elusif Kebebasan”, 2006, hlm 8-10.
97
Rio Heykhal Belvage - Neo-Liberalisme: Don Quixote dan Perjuangan Melawan Hegemoni Wacana
alkohol berlabel depkes milik industri besar. Dan kita dimabukkan oleh neoliberalisme dan isme-isme lain layaknya dimabuk alkohol. Ada dogsa dalam kultur konsumsi kita, suatu ketidakwajaran yang kemudian kita anggap sebagai sesuatu hal yang wajar. Ada kewajaran yang kita anggap tidak wajar sehingga serta-merta kita harus memperjuangkan hak masyarakat yang kita anggap kecil (karena kita masyarakat besar?). Empati berlebih yang seringkali membuat mata lengah, menatap liyan sebagai sekelompok manusia lemah yang perlu dikasihani, bukan dikasihi. Di sisi lain, kita lupa siapa kita, dimana kita. Kita lupa dengan apa yang biasa kita konsumsi sehari-hari, smartphone, perangkat digital, pakaian modis, sepatu-sepatu bermerek, fasilitas-fasilitas lain yang kita konsumsi demi memuaskan hasrat membeli. Kerapkali kita lupa, dan wajar, sebab kita dinyamankan, sebab diam-diam ideologi kita sejalan dengan apa yang kita lawan: Neoliberalisme? Daftar Bacaan Ahimsa-Putra, HS. 2006. Strukturalisme Levi-Strauss, Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: Kepel Press. _______________. 2008. Paradigma dan Revolusi Ilmu dalam Antropologi Budaya: Sketsa Beberapa Episode. Dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. _______________. 2009. Fenomenologi Agama: Pendekatan Fenomenologi untuk Memahami Agama, dalam Junal Penelitian Walisongo, Vol, XVII, Nomor 2, November 2009. Ajidarma, S.Gumira. 2008. Kentut Kosmopolitan. Depok: Koekoesan. Ananta Toer, Pramoedya. 2002. Arus Balik: Sebuah Epos Pasca Kejayaan Nusantara di awal Abad 16. Jakarta: Hasta Mitra. Aunullah, Indi. 2006. Bahasa dan Kuasa Simbolik Dalam Pandangan Pierre Bordieu. Yogyakarta: Fakultas Filsafat, UGM. Belvage, R.Heykhal. 2011. Kopi Blandongan: Studi Resistensi Kultural ala Jogja. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya, UGM. Bryant, Christopher G.A. 1985. Positivism in Social Theory and Research. New York: St. Martin’e Press. Dag Einar Thorsen and Amund Lie. What is Neoliberalism?. Oslo University: Departement of Political Science. Dant, Tim. 2006. Material and Civilization: Thing and Society, dalam The British Journal of Sociology 2006 Volume 57 Issue 2. Dhakidae, Daniel. 2008. Memahami Rasa Kebangsaan dan Menyimak Bangsa Sebagai Komunitas-komunitas Terbayang, dalam Anderson, Benedict. 2008. Imagine Communities. Yogyakarta: Insist. Foucault, Michel. 2007. Order of Thing: Arkeologi Ilmu-ilmu Kemanusiaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
98
Jurnal RANAH Th. III, No. 1, Mei 2013
Geertz, Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan. IKAPI Yogyakarta: Kanisius. Herry-Priyono, B. 2006. Neoliberalisme dan Sifat Elusif Kebebasan, disampaikan dalam acara “Pidato Kebudayaan” Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 10 November 2006. Laksono, PM. Ilmu-ilmu Humaniora, Globalisasi, dan Representasi Identitas, dalam Pidato Dies Natalis Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada ke-65. __________. 2009. Spektrum Budaya (Kita). Yogyakarta: Pusat Studi Asia Pasifik UGM dan Ford Foundation diterbitkan oleh KEPEL Press. Lury, Celia. 1988. Budaya Konsumen. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Mohammad, Goenawan. 2008. Tuhan dan Hal-hal yang Tak Selesai. Jakarta: KataKita. O’donnell, Kevin. 2009. Sejarah Ide-ide. IKAPI Yogyakarta: Kanisius. Purbani, Widyastuti. 2009. Analisis Wacana Kritis dan Analisis Wacana Feminis, dalam Seminar Metode Penelitian Berbasis Gender di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, 30 Mei 2009. Sen, Amartya. 2008. Kekerasan dan Ilusi tentang Identias. Jakarta: Marjin kiri. Sindhunata. 2007. Kambing Hitam: Teori Rene Girard. Jakarta: Gramedia Pustaka. Soewarno, Moh. Hari. 2004. Ramalan Jayabaya versi Sabdo Palon. Jakarta: PT. Yudha Gama Corp. Sunardi, ST. 2002. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Kanal. Film Animasi - Slavoj Zizek, First Tragedy Than Farce, www.theRSA.org. Sumber Internet http://lugaswicaksono.blogspot.com/2012/01/ramalan-joyoboyo-dan-sejarahnya.html, diunduh pada tanggal 18 Oktober 2012. http://1.bp.blogspot.com/-maAyXCYT3b8/T8GmWka7TBI/AAAAAAEA/AbFNXC1_ nXY/s1600/bahaya-neoliberalisme-200x300.jpg, diunduh pada tanggal 13 April 2013. http://img.bukabuku.com/wm.php?i=d656d12ab641b6149120fd80cea218ad.jpg, diunduh pada tanggal 13 April 2013. http://bursabuku2bekas.files.wordpress.com/2012/11/bebas-dari-neoliberal_ mansourfakih.jpg, diunduh pada tanggal 13 April 2013. http://img.bukabuku.com/wm.php?i=Krisisfinancialneoliberal191109.jpg, diunduh pada tanggal 13 April 2013. http://www.gerbangrakyatsemesta.org/foto/front.jpg, diunduh pada tanggal 13 April 2013. Wawancara - Informan Agus, seorang pengkaji Sejarah Jawa, pada tanggal 19 Oktober 2012. - Obrolan Warkop bersama kawan-kawan pada tanggal 13 dan 17 Oktober 2012.
99
KONTRIBUTOR Muhammad Zamzam Fauzanafi Lahir di Tasikmalaya, 25 Jnauari 1977. Seorang staff pengajar Antropologi Budaya UGM ini mengampu beberapa mata kuliah: Kebudayaan dan Inderawi Manusia, Antropologi Visual, Etnofotografi, Etnovideografi, Etnografi Sunda, dan Kajian Transgresi Sosial. Pernah meraih penghargaan ‘The 2011 National Arts and Humanities Youth Program’ dari Michele Obama, . Buku yang pernah diterbitkan, antara lain: “{Reog Ponorogo: Menari di antara Dominasi dan Keberagaman” dan “Melampaui Penglihatan” (Rumah Sinema) (2012). Pendiri Kampung Halaman (sekaligus fasilitator), dan Peneliti di Rumah Sinema. Rio Heykhal Belvage Lahir di Blitar pada akhir Juni 1988. Seusai menuntaskan Sekolah Menengah Pertama di Jombang, melanjutkan studi di SMAN 7 Kediri. Tahun 2007 diterima sebagai bagian dari Mahasiswa Antropologi Budaya UGM dan tamat pada tahun 2011. Pada 2012, ia kembali lagi ke almamaternya untuk melanjutkan studi dan menjadi mahasiswa Pascasarjana Antropologi Budaya UGM. Dua tulisan lain yang pernah diterbitkan, dapat ditemukan di Jurnal Ranah edisi Netnografi berjudul “Budaya Manusia Digital” dan Lembar Kerja Kebudayaan Indoprogress (LKIP) edisi ketiga dalam kolom kritik berjudul “Seni, Jalanan, dan Sketsa Awal Wajah Sosial”. Tulisan-tulisan lainnya dapat ditemukan di www.spektrumologi. wordpress.com. Nindyo Budi Kumoro (Doni) Lahir 26 April 1989 di Yogyakarta, mendapatkan gelar sarjana di Antropologi Budaya UGM (2007 – 2012). Sempat aktif di LSM IMPULSE (Instutute for Pluralism and Multicultural Studies) serta menjadi peneliti junior di CEES (Center for Extension and Extension Studies). Beberapa pengalaman penelitiannya antara lain dengan tema Ketahanan Pangan (Sukabumi, 2009), Pariwisata Etnosains (Merapi, 2011), Kedaulatan Pangan Masyarakat Urban (Yogyakarta, 2012), Pemuda Lereng Merapi (Merapi, 2012), dan Dinamika SosialBudaya Masyarakat Dayak (Kalteng, 2013). Tulisan yang pernah dipublikasikan: Budaya Instan dalam Industri Hiburan (2011), Konsep Diri dan Penyebaran Wacana dalam Cyberspace (2012), Pemuda Lereng Merapi; Agensi Perubahan yang Tak Terlihat (2012) dan sebuah buku “Kisah Meja Makan; Pemberdayaan Masyarakat Urban Menuju Kedaulatan Pangan” (2012). Saat ini sedang bergulat menjadi penulis dan peneliti lepas.
100
Jurnal RANAH Th. III, No. 1, Mei 2013
Roikan Lahir di Lamongan Jawa Timur (30 Oktober 1983). Naik gunung, teater dan menggambar kartun ditekuni sejak masa remaja. Kuliah S1 di Antropologi Sosial FISIP Universitas Airlangga (2003-2007) dengan berbagai aktivitas riset seperti: Penelitian tentang “Optimalisasi Pendidikan Nasional dengan Pendidikan Berbasis Multikultural” dalam Lomba Karya Tulis Mahasiswa (LKTM), Universitas Airlangga, Surabaya (5 Januari 2006), Penelitian tentang “Pengorganisasian Sosial sebagai Alternatif Penyelesaian Permasalahan Sampah di Perkotaan” dalam Lomba Karya Tulis Mahasiswa (LKTM) Dirjen Dikti Bidang Lingkungan, Universitas Airlangga, Surabaya (4 Agustus 2006), Penelitian tentang ”Rekonstruksi Waria Kota Surabaya 2007” Joint Reseach Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas UNAIR dengan Aucland University of Technology (AUT) New Zealand, sebagai Interviewer dan Surveyor (Maret – Mei 2007), Penelitian tentang ”Penerimaan Siaran Stasiun Televisi Nasional untuk Pemirsa Wilayah GerBangKerTaSuSiLa” di Media Riset (SCTV), Surabaya (8-23 November 2007). Sekarang masih aktif menggambar (termasuk berkomunitas dengan sesama kartunis, mengikuti lomba kartun di dalam dan luar negeri) dan melakukan penelitian tentang budaya visual terutama kartun dalam Etnokartunologi. Sedang menempuh S2 di Ilmu Antropologi FIB UGM dan mengajar di Antropologi Universitas Brawijaya Malang sejak tahun 2012. Publikasi karya tulis berjudul “Studi Etnografi Semiotika: Angkutan Umum sebagai Gaya Hidup Metropolitan dalam Kartun Benny Rachmadi” telah diterbitkan Jurnal MKP (Masyarakat, Kebudayaan dan Politik) Vol. 21/No.3/2008-07 FISIP UNAIR, publikasi secara berkala tentang kartun dan kajiannya dapat dilihat pada roikansoekartun.blogspot. com. Ali Pria kelahiran Pati, Jawa Tengah ini baru saja merampungkan studi sarjana Antropologi di UGM. Berbagai aktivitas penelitian pernah dilakukan, antara lain: Riset Kerjasama jurusan Antropologi UGM dengan University of Toronto, Kanada dengan tema ‘Kemiskinan dan Kemakmuran pada Ekonomi Baru I” pada bulan Juli 2010 di Meliau, Sanggau, Kalimantan Barat; Join Research Tandem dengan University of Freiburg, di Jerman selama sebulan; Riset Survey Pusat Studi Kebijakan dan Kependudukan di Bintuni, dan masih banyak lagi. Pengalaman organisasi yang pernah diikuti: UFO (Unit Fotografi) UGM, staff redaksi BPPM Balairung, dan lainnya. Yuda Rasyadian Aliaras (iduy) Pria kelahiran 11 Juni di Jakarta ini masih aktif sebagai mahasiswa Antropologi Budaya UGM Yogyakarta. Sempat aktif menjadi peneliti di Pustral
101
UGM (Pusat Studi Transportasi dan Logistik, 2010) dan menjadi Project Officer di Yayasan Kampung Halaman Yogyakarta (2011-2012). Beberapa pengalaman penelitiannya antara lain dengan tema Rumah Tangga Petani Di Tengah Arus Pasar Dunia di dusun Tlogopakis (Petungkriyono, 2008), Ketahanan Masyarakat Nelayan Pesisir di desa Labuan Badas kab.Sumbawa Besar (NTB, 2011), Jaringan Kekerabatan Dalam Aktivitas Ekonomi di desa Simego (Pekalongan, 2009), Program Sekolah Remaja (Literasi Media) Jawa Barat dari Yayasan Kampung Halaman di desa Pertanian Sarimukti (Garut, 2011), Program Sekolah Remaja Maluku dari Yayasan Kampung Halaman (Ambon, 2012), serta Pendidikan dan Ketahanan Masyarakat Adat di Orang Rimba Bukit 12 (Jambi, 2012). Pernah diundang dan terlibat dalam beberapa konferensi, antara lain ‘The 6th Asia Pasific Conference on Reproductive and Sexual Health and Rights’ di Yogyakarta (19 – 22 Oktober 2011), serta perwakilan D.I.Yogyakarta (Dispora Yogyakarta) untuk ‘Konferensi dan Kepeloporan Pemuda bidang Perubahan Iklim dan Lingkungan Hidup’ di Sulawesi Tengah (Palu, 27 – 29 Oktober 2012). Beberapa publikasinya antara lain Paradoks Hutan: Sublimasi Kepentingan dan Pagar kepedulian dalam ‘Pemanfaatan Jaringan Kekerabatan Dalam Aktivitas Ekonomi’ (UGM, 2010), artikel Melihat Dari Dekat Orang Rimba dalam media cetak Tribun Jogja (hal.15, 15 April 2012), dan Jejaring Sosial: Ruang Besi pada Konstruksi Inovasi dan Identitas Budaya Massa dalam ‘Budaya Digital dan Netnografi’ (Jurnal Ranah Antropologi, Tahun II, April 2012). Saat ini sedang bergelut untuk mendapatkan gelar sarjana di jurusan Antropologi Budaya UGM. Nur Rosyid Lahir di Boyolali, 6 Maret 1992. Masih belajar di jurusan Antropologi angkatan 2010. Pengalaman organisasi: anggota Divisi Pengembangan Sumber Daya Mahasiswa, Keluarga Mahasiswa Antropologi UGM dan Staff Riset BPPM Balairung UGM. Pengalaman riset: Riset “Di Bawah Sorot Lampu Kota”, 19 Januari-3 Februari 2011 di Paninggaran Pekalongan; Riset Kerjasama jurusan Antropologi UGM dengan University of Toronto, Kanada dengan tema ‘Kemiskinan dan Kemakmuran pada Ekonomi Baru II” pada bulan Juli 2011 di Meliau, Sanggau, Kalimantan Barat; Riset “Studi Perubahan tanaman Produksi di Dataran Tinggi Jawa”, 20 Januari-2 Februari 2012 di Watukumpul, Pemalang, Jawa Tengah; Riset kerjasama jurusan Antropologi UGM dengan University of Toronto, Kanada “Kemiskinan dan Kemakmuran pada Ekonomi Baru III”, di Dataran Tinggi Dieng, Wonosobo-Banjarnegara, Jawa Tengah pada tanggal 9 Juli6 Agustus 2012; dan Riset kerjasama antara LAURA (Laboratorium Antropologi untuk Riset dan Aksi) jurusan Antropologi UGM dengan BPNB (Badan Pelestarian Nilai Budaya), Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Yogyakarta, pada bulan September-Oktober 2012. Beberapa artikelnya pernah dimuat di Jurnal Ilmiah,
102
Jurnal RANAH Th. III, No. 1, Mei 2013
antara lain: “Bershalawat Bersama Habib: Transformasi Baru Relasi Audiens Muslim NU di Indonesia” di JANTRA (BPSNT) Yogyakarta, Vol. VII, No. 2, Des. 2012 (135-144), “Mempertanyakan Pendidikan Multikulturalisme di Indonesia: Dua kecenderungan Pendidikan Multikulturalisme”, dalam Jurnal ADDIN STAIN KUDUS, Vol. III, No.1, Jan. 2013. Beberapa naskah sedang dalam proses editing di beberapa jurnal. Email:
[email protected] Dhimas Unggul Laksita Lahir padas Februari 1992, lulus dari SMA 2 Bantul pada tahun 2010 Dan melanjutkan pendidikannya di jurusan Antropologi Budaya universitas Gajah Mada Yogyakarta. Pernah melakukan Riset “Studi Ritus Keseharian Masyarakat Dataran Tinggi Jawa”, 20 Januari-2 Februari 2012 di Watukumpul, Pemalang, Jawa Tengah; Riset kerjasama jurusan Antropologi UGM dengan University of Toronto, Kanada “Kemiskinan dan Kemakmuran pada Ekonomi Baru III”, di Dataran Tinggi Dieng, Wonosobo-Banjarnegara, Jawa Tengah pada tanggal 9 Juli6 Agustus 2012. Pernah juga menjadi pembicara dalam seminar TPL Watukumpul dengan judul Tahlilan di Masyarakat Pegunungan : Dalam Perspektif Gender (2012). Sekarang masih aktif menjadi mahasiswa Antropologi Budaya UGM Yogyakarta. Email:
[email protected]
103
104