PENGARUH UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 2008 TERHADAP PENERAPAN PSAK 46 (STUDI KASUS PADA PERUSAHAAN PADAT MODAL PT X)
SKRIPSI Program Studi Akuntansi
Nama : RAHARJO SUGENG UTOMO N I M : 43207120083
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS MERCU BUANA JAKARTA 2009
1
PENGARUH UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 2008 TERHADAP PENERAPAN PSAK 46 (STUDI KASUS PADA PERUSAHAAN PADAT MODAL PT X)
SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar SARJANA EKONOMI Program Studi Akuntansi – Strata 1
Nama : RAHARJO SUGENG UTOMO N I M : 43207120083
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS MERCU BUANA JAKARTA 2009
2
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Raharjo Sugeng Utomo
NIM
: 43207120083
Program Studi : Akuntansi
Menyatakan bahwa skripsi ini adalah murni hasil karya sendiri. Apabila saya mengutip dari karya orang lain, maka saya mencantumkan sumbernya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Saya bersedia dikenai sanksi pembatalan skripsi ini apabila terbukti melakukan tindakan plagiat (penjiplakan).
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Jakarta, 14 September 2009
(Raharjo Sugeng Utomo) N I M : 43207120083
3
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI
Nama
: Raharjo Sugeng Utomo
NIM
: 43207120083
Program Studi
: Akuntansi
Judul Skripsi
: Pengaruh
Undang-Undang Pajak Penghasilan
2008
Terhadap Penerapan PSAK 46 (Studi Kasus pada Perusahaan Padat Modal PT X) Tanggal Ujian Skripsi : 14 September 2009
Disahkan oleh, Pembimbing,
Nurul Hidayah, S.E., Ak., M.Si. Tanggal : 14 September 2009
Dekan,
Ketua Program Studi Akuntansi,
Dra. Yuli Harwani, M.M., Ak., M.Si. Tanggal : 14 September 2009
Nurul Hidayah, S.E., Ak., M.Si. Tanggal : 14 September 2009
i 4
LEMBAR PENGESAHAN DEWAN PENGUJI
Skripsi Berjudul PENGARUH UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 2008 TERHADAP PENERAPAN PSAK 46 (STUDI KASUS PADA PERUSAHAAN PADAT MODAL PT X)
Dipersiapkan dan Disusun oleh: Raharjo Sugeng Utomo NIM: 43207120083 Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal 14 September 2009 dan dinyatakan telah memenuhi syarat untuk diterima
Susunan Dewan Penguji Ketua Penguji/Pembimbing Skripsi
Nurul Hidayah, S.E., Ak., M.Si. Anggota Dewan Penguji
Diah Iskandar, S.E., M.Si. Anggota Dewan Penguji
Mutiah, S.E., M.Si.
ii 5
KATA PENGANTAR Alhamdulillah. Segenap rasa syukur penulis panjatkan ke hadirat Rabbi Allah SWT atas rahmat dan karunia yang telah dilimpahkan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Undang-Undang Pajak Penghasilan 2008 Terhadap Penerapan PSAK 46 (Studi Kasus pada Perusahaan Padat Modal PT X)”. Skripsi ini merupakan syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Mercu Buana. Penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Nurul Hidayah, S.E., Ak., M.Si., selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan saran, waktu, bimbingan, semangat, pengetahuan, dan nasehatnasehat yang sangat bermanfaat yang telah diberikan kepada penulis. Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ibu Dra. Yuli Harwani, M.M., Ak., M.Si. selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Mercu Buana. 2. Ibu Nurul Hidayah, S.E., Ak., M.Si. selaku Ketua Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Mercu Buana. 3. Ibu Diah Iskandar, S.E., M.Si. dan Ibu Mutiah, S.E., M.Si selaku pembahas dan penguji yang sudah banyak memberikan masukan untuk kesempurnaan skripsi ini. 4. Seluruh dosen dan staf Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Mercu Buana.
iii 6
5. Rekan-rekan seangkatan atas kebersamaannya selama menuntut ilmu di kampus tercinta. 6. Istri dan anak-anak tercinta – Fary, Maira, Rifky, dan Azka – atas kesediaannya kehilangan sedikit waktu kala penulis menuntut ilmu. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah khasanah ilmu pengetahuan bagi kita semua. Amin.
Jakarta, 14 September 2009
Raharjo Sugeng Utomo
iv 7
IMPACT OF INCOME TAX LAW 2008 ON APPLICATION PSAK 46 (CASE OF STUDY AT CAPITAL INTENSIVELY COMPANY PT X)
BY: RAHARJO SUGENG UTOMO 43207120083
ABSTRACT This research was about study of impact of new income tax law 2008 on application of accounting standard PSAK 46, specially its impact on capital intensively company PT X. The purpose of this reseach is how to know the impact of income tax law 2008 on financial performance PT X and how to report income tax. This research was using of the descriptive one. The result of this reseach will be showing that PT X implement unproperly accounting standard PSAK 46 in financial report yearly ended December 31, 2008 when newly income tax rate enacted by the law.
Key words: income tax, deferred tax, enacted tax rate
v 8
DAFTAR ISI Halaman LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI …………………………………..
i
LEMBAR PENGESAHAN DEWAN PENGUJI ……………………….. ii KATA PENGANTAR …………………………………………………... iii ABSTRACT ……………………………………………………………..
v
DAFTAR ISI …………………………………………………………….
vi
DAFTAR TABEL ……………………………………………………….
ix
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………. x DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………. BAB I
xi
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian …………………………… 1 B. Perumusan Masalah …………………………………. 3 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……………………… 3
BAB II
LANDASAN TEORI A. Pengertian Penghasilan Menurut UU PPh …………..
5
1. Objek Pajak Penghasilan ………………………...
5
2. Biaya Fiskal …………………………….………..
9
3. Rekonsiliasi Fiskal ……………………………….
12
B. Pajak Penghasilan Menurut UU PPh ………………..
15
1. Tarif Pajak Penghasilan Badan …………………..
15
2. Menghitung Pajak Penghasilan Badan …………...
16
C. Pajak Penghasilan Menurut PSAK 46 ……………….
17
1. Dasar Pengenaan Pajak dan Perbedaan Temporer..
18
2. Menghitung Pajak Kini dan Pajak Tangguhan…… 21
vi 9
D. Akuntansi Aset Tetap Menurut PSAK dan UU PPh…. 23 1. Penyusutan Aset Tetap menurut PSAK ………….. 23 2. Penyusutan Aset Tetap menurut UU PPh ………… 25 BAB III
METODOLOGI PENELITIAN A. Gambaran Umum ……………………………………. 27 1. Sejarah Singkat PT X …………………………….. 27 2. Proses Bisnis dan Struktur Organisasi PT X ……... 28 B. Metode Penelitian ……………………………………. 29 C. Definisi Operasional Variabel ………………..………. 29 D. Metode Pengumpulan Data ...………………..………. 30 E. Metode Analisis Data …….....………………..………. 31
BAB IV
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN A. Perlakuan Aset Tetap dan Pelaporannya …………...... 32 1. Penyusutan Aset Tetap dalam Laporan Keuangan Perusahaan …………………………………….. 36 2. Penyusutan Aset Tetap dalam SPT Tahunan PPh Badan ……………………………………. 38 B. Perhitungan Pajak Kini dan Pajak Tangguhan dalam Laporan Keuangan Perusahaan …………….…….. 41 C. Pengaruh Perubahan Tarif Pasal 17 UU PPh terhadap Penerapan PSAK 46 …………………….. 48
vii 10
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ……………………………………………… 54 B. Saran ………...………………………………………… 54
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………… 56
viii 11
DAFTAR TABEL
Tabel
4.1
Halaman
Ringkasan Neraca PT X (dalam ribuan Rupiah) per 31 Desember 2006, 2007, dan 2008 ……………………...
4.2
32
Ringkasan Laporan Laba Rugi PT X (dalam ribuan Rupiah) untuk tahun-tahun yang berahir per 31 Desember 2006, 2007, dan 2008 ………………………………………………...
33
4.3
Posisi Aset Tetap PT X (dalam ribuan Rupiah) ..……………...
35
4.4
Umur Manfaat Aset Tetap PT X ……………....……………...
36
4.5
Posisi Aset Tetap PT X menurut fiskal (dalam ribuan Rupiah) .
39
4.6
Perhitungan Pajak Tangguhan (dalam ribuah Rupiah) ………..
48
4.7
Perhitungan Penyusutan Tahun 2009 (dalam ribuan Rupiah)…
51
4.8
Perbandingan Kinerja PT X sebelum dan sesudah menggunakan Tarif PPh Badan dalam UU PPh Tahun 2008 (dalam ribuan Rupiah) ………………………....……………...
ix 12
52
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman
2.1
Akuntansi untuk Pajak Tangguhan (Pendekatan Neraca).……...
21
3.1
Struktur Organisasi PT X ………………………………………
29
x 13
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Halaman
I
Daftar Aset Tetap PT X ………………………………...……...
57
II
Penyusutan Aset Tetap PT X …………...……………...……...
58
III
Lampiran Khusus SPT Tahunan PPh Badan PT X……...……...
61
xi 14
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Penerapan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 46 (PSAK 46) telah berjalan hampir sepuluh tahun.
Penerapan tersebut menimbulkan
perubahan-perubahan dalam perlakuan akuntansi untuk pajak penghasilan. Apabila sebelumnya perusahaan lazimnya menggunakan “tax payable method” dalam akuntansi pajak penghasilan, maka dengan berlakunya PSAK 46, perusahaan harus menggunakan “balance sheet liability method” untuk menghitung dan mengakui pajak tangguhan atas konsekuensi pajak di masa depan. Sebelum
diberlakukannya
PSAK
46
tersebut,
perusahaan
hanya
menghitung dan mengakui besarnya beban pajak penghasilan untuk tahun berjalan saja tanpa menghitung dan mengakui pajak tangguhan. Beban pajak penghasilan dihitung dengan menggunakan aturan perpajakan atas hasil usaha perusahaan selama
periode tahun yang bersangkutan. Aturan-aturan
perpajakan tersebut mengharuskan perusahaan melakukan koreksi-koreksi fiskal karena terdapat perbedaan konsep pendapatan, cara pengukuran pendapatan, konsep biaya, cara pengukuran biaya, dan cara alokasi biaya antara Standar Akuntansi Keuangan (SAK) dan peraturan perpajakan. Akan tetapi, aturan perpajakan tetap menggunakan data dan informasi akuntansi yang telah diatur oleh Standar Akuntansi Keuangan sebagai dasar
1
untuk menentukan koreksi-koreksi tersebut berdasarkan aturan perpajakan yang berlaku. Meskipun tujuan pelaporan keuangan secara komersial berbeda dengan tujuan fiskal, namun untuk menerapkan PSAK 46 dalam penghitungan laba bersih perusahaan tetap harus memperhatikan ketentuan-ketentuan perpajakan yang berlaku, terutama yang berkaitan dengan pencatatan pendapatan dan beban. Ketentuan perpajakan yang paling nyata pengaruhnya pada penerapan PSAK 46 adalah tarih PPh Badan yang diatur dalam Undang-undang Pajak Penghasilan, sebab dengan tarif inilah ditentukan besarnya beban pajak tahun berjalan. Berdasarkan UU PPh Nomor 36 Tahun 2008, yang mulai berlaku 1 Januari 2009, terjadi perubahan tairf pajak PPh Badan dari semula berlaku tarif progresif 10%, 15%, dan 30% menjadi tarif tunggal sebesar 28%. Bahkan mulai tahun 2010, tarif tunggal tersebut diturunkan lagi menjadi hanya 25%. Berkaitan dengan tarif pajak yang telah diundangkan tersebut, PSAK 46 mengatur bahwa kewajiban (aset) pajak kini untuk periode berjalan dan periode sebelumnya diakui sebesar jumlah pajak terutang (restitusi pajak), yang dihitung dengan menggunakan tarif pajak (peraturan pajak) yang berlaku atau yang telah secara substantif berlaku pada tanggal neraca. Selanjutnya, dalam paragraf 30 PSAK 46 dijelaskan bahwa aset dan kewajiban pajak tangguhan harus diukur dengan menggunakan tarif pajak yang akan berlaku pada saat aset dipulihkan atau kewajiban dilunasi, yaitu dengan tarif pajak (peraturan pajak) yang telah berlaku atau yang telah secara substantif berlaku
2
pada tanggal neraca.
Dalam paragraf 31 dijelaskan juga bahwa aset dan
kewajiban pajak, baik yang bersifat kini maupun tangguhan, dihitung dengan tarif pajak (dan peraturan pajak) yang telah berlaku. B. Perumusan Masalah Penulis melalukan survey pendahuluan terhadap perusahaan PT X dan menemukan permasalahan yang dihadapi oleh perusahaan atas penerapan PSAK 46 berkaitan dengan Perubahan Undang-Undang PPh Tahun 2008. Berdasarkan data pendahuluan perusahaan PT X di atas, rumusan masalah dalam skripsi ini adalah: 1. Bagaiamana dampak UU PPh Tahun 2008 terhadap penerapan PSAK 46 pada perusahaan PT X. 2. Apakah PT X telah melakukan respon dengan benar dalam menerapkan PSAK 46 semenjak UU PPh Tahun 2008 diundangkan oleh Pemerintah. C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui apakah UU PPh Tahun 2008 mempengaruhi penerapan PSAK 46 di PT X. 2. Untuk mengetahui apakah dalam tahun buku 2008 PT X telah merespon perubahan UU PPh Tahun 2008 yang secara fiskal mulai berlaku mulai tahun 2009. Sedangkan manfaat yang diharapkan diperoleh dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat terhadap kepentingan dunia akademik, dimana diharapkan dapat memperkaya ilmu pengetahuan akuntansi perpajakan terutama yang
3
berkaitan dengan akuntansi pajak penghasilan. Sedangkan bagi penulis, manfaat yang diperoleh adalah dapat melakukan perbandingan antara dunia nyata praktek akuntansi di perusahaan dengan teori atau ilmu yang diperoleh dari buku-buku atau bacaan lain selama kuliah. 2. Manfaat terhadap dunia praktis, dimana diharapkan dapat memberikan masukan yang berguna bagi PT X yang beroperasi secara padat modal dalam menyikapi keluarnya UU PPh Tahun 2008 dikaitkan dengan kinerja keuangan perusahaan.
4
BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Penghasilan Menurut UU PPh Dalam khasanah perpajakan di Indonesia, pajak penghasilan diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008, atau sering disebut UU Pajak Penghasilan (UU PPh). Pelaksanaan dari UU PPh tersebut adalah diterbitkannya berbagai Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan, sampai dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak. UU PPh menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut.
Pengertian penghasilan dalam UU PPh ini tidak
memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan. 1. Objek Pajak Penghasilan Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, penghasilan dapat dikelompokkan menjadi:
5
i. penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya; ii. penghasilan dari usaha dan kegiatan; iii. penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak, seperti bunga, dividen, royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha; iv. penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah. Adapun Pasal 4 UU PPh mengatur jenis-jenis penghasilan yang merupakan objek pajak penghasilan maupun yang bukan objek penghasilan. Objek penghasilan menurut Pasal 4 UU PPh adalah sebagai berikut: Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk: a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam UndangUndang ini; b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan; c. laba usaha; d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk: 1. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal; 2. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;
6
e. f. g.
h. i. j. k. l. m. n. o.
p. q. r.
s.
3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama clan dalam bentuk apa pun; 4. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihakyang bersangkutan; dan 5. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak; bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang; dividen, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi; royalti atau imbalan atas penggunaan hak; sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; penerimaan atau perolehan pembayaran berkala; keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah; keuntungan selisih kurs mata uang asing; selisih lebih karena penilaian kembali aktiva; premi asuransi; iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas; tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak; penghasilan dari usaha berbasis syariah; imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan surplus Bank Indonesia
Adapun penghasilan yang bukan merupakan objek pajak menurut Pasal 4 UU PPh adalah sebagai berikut:
7
Yang dikecualikan dari Objek Pajak adalah: a. 1. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah; dan 2. harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan; b. warisan; c. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal; d. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15; e. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa; f. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat: 1. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan 2. bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor. g. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
8
h. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; i. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif; j. dihapus; k. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut: 1. merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan 2. sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia; l. beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; m. sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan n. bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan 2. Biaya Fiskal Untuk menentukan besarnya penghasilan yang dikenai pajak, atas penghasilan bruto yang menjadi objek pajak penghasilan harus dikurangi dengan biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Biaya-biaya fiskal yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto atau deductible expenses ini, menurut Pasal 6 UU PPh adalah sebagai berikut:
9
a. biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, antara lain: 1. biaya pembelian bahan; 2. biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang; 3. bunga, sewa, dan royalti; 4. biaya perjalanan; 5. biaya pengolahan limbah; 6. premi asuransi; 7. biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; 8. biaya administrasi; dan 9. pajak kecuali Pajak Penghasilan; b. penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A; c. iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan; d. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan; e. kerugian selisih kurs mata uang asing; f. biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia; g. biaya beasiswa, magang, dan pelatihan; h. piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat: 1. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial; 2. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan 3. telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu; 4. syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k; yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; i. sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
10
j. sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah; k. biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah; l. sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah; dan m. sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah. Sebaliknya, Pasal 9 UU PPh mengatur bahwa atas pengeluaran tertentu tidak boleh dikurangkan (nondeductible expenses) dari penghasilan bruto, yaitu: a. pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi; b. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota; c. pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali: 1. cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang; 2. cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial; 3. cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan; 4. cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan; 5. cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan 6. cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk usaha pengolahan limbah industri, yang ketentuan dan syarat-syaratnya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; d. premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan; e. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali
11
f.
g.
h. i. j. k.
penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan; harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i sampai dengan huruf m serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah; Pajak Penghasilan; biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya; gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham; sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.
3. Rekonsiliasi Fiskal Tujuan pokok akuntansi perpajakan menurut Harnanto (2003 : 3) adalah : untuk menentukan jumlah penghasilan kena pajak (penghasilan yang akan digunakan sebagai dasar penetapan beban dan pajak penghasilan yang terutang) yang diperoleh atau diterima dalam suatu tahun pajak untuk dipakai sebagai dasar penetapan beban dan/atau pajak penghasilan yang terutang oleh perusahaan sebagai Wajib Pajak. Sedangkan
tujuan
laporan
keuangan
dalam
Kerangka
Dasar
Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan pada Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang diterbitkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia adalah “menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja, serta
12
perubahan posisi keuangan suatu perusahaan yang bermanfaat bagi sejumlah besar pengguna dalam pengambilan keputusan ekonomi.” (2007 : 3). Meskipun tujuan akuntansi perpajakan berbeda dengan akuntansi komersial, tidak berarti bahwa untuk mencapai tujuannya masing-masing melakukan pembukuan yang terpisah.
Untuk menghitung besarnya
penghasilan kena pajak dalam Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Badan (SPT PPh Badan), ketentuan fiskal tidak mensyaratkan dilakukannya pencatatan terpisah.
Pasal 28 Undang-Undang Ketentuan Umum dan
Tatacara Perpajakan (UU KUP) mensyaratkan dilakukannya pembukuan atau pencatatan sehingga dengan demikian dapat dihitung besarnya penghasilan kena pajak (pajak terutang). Ketika
menyampaikan
SPT
Tahunan,
Wajib
Pajak
Badan
melengkapinya dengan laporan keuangan komersial yang berupa neraca dan perhitungan laba-rugi serta keterangan-keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak.
Oleh
karenanya dasar penyusunan laporan fiskal adalah laporan keuangan komersial yang telah direkonsiliasi. Rekonsiliasi menurut Gunadi (2006 : 11) dijelaskan sebagai berikut: Sesuai dengan proses penyusunan, laporan itu merupakan laporan keuangan yang semula disusun berdasarkan kebiasaan dan praktek akuntansi komersial, kemudian disusun kembali sesuai dengan ketentuan perpajakan. Proses rekonsiliasi fiskal pada dasarnya adalah penentuan penghasilan kena pajak menurut ketentuan fiskal berdasarkan data
13
penghasilan
akuntansi komersial setelah disesuaikan dengan penghasilan atau biaya yang diperkenankan atau tidak diperkenankan oleh ketentuan fiskal. Dalam penentuan penghasilan kena pajak, laba komersial direkonsiliasi sedemikian sehingga dihasilkan laba menurut fiskal.
Dalam proses
rekonsiliasi ini dikenal adanya perbedaan permanen dan perbedaan temporer. Perbedaan permanen menurut K. Fred Skousen (2000: 925) dijelaskan sebagai berikut: Some differences between financial and taxable income are permanent differences. These differences are caused by specific provisions of tax law that exempt certain types of revenues from taxation and prohibit the deduction of certain types of expenses. Nontaxable revenues and nondeductible expenses are never included in determining taxable income, but they are included in determining financial income under GAAP. Dalam UU PPh, nontaxable revenues tersebut adalah penghasilan bukan objek pajak dan PPh yang telah dikenai pajak yang bersifat final. Sedangkan nondeductible expenses merupakan biaya-biaya yang diatur dalam Pasal 9 UU PPh.
Perbedaan permanen tidak menimbulkan
konsekuensi adanya pajak tangguhan. Perbedaan temporer adalah perbedaan laba komersial dan laba fiskal yang timbul dari kegiatan bisnis yang dicatat dan diakui baik oleh ketentuan akuntansi komersial maupun fiskal namun berbeda dalam periode waktu. Contohnya adalah aset tetap yang disusutkan selama 5 tahun menurut komersial, namun harus disusutkan selama 4 tahun menurut ketentuan fiskal. Pada akhir usia atau masa manfaat aset tetap tersebut, nilai buku secara komersial maupun fiskal akan tetap sama.
14
Semua
perbedaan temporer memiliki dampak terhadap timbulnya pajak tangguhan, baik aset pajak tangguhan (deferred tax assets/DTA) maupun kewajiban pajak tangguhan (deferred tax liabilities/DTL).
B. Pajak Penghasilan Menurut UU PPh Pajak penghasilan terutang dari suatu perusahaan dihitung dari suatu penghasilan kena pajak (taxable income) tertentu dikalikan dengan tarif pajak tertentu yang diatur dalam UU PPh. Penghasilan kena pajak pada dasarnya adalah laba finansial sebelum pajak (pretax financial income) setelah disesuaikan melalui proses rekonsiliasi fiskal, yaitu mempertimbangan adanya unsur perbedaan permanen dan perbedaan temporer. 1. Tarif Pajak Penghasilan Badan Tarif pajak penghasilan badan diatur dalam Pasal 17 UU PPh, sehingga sering disebut Tarih PPh Pasal 17. Dalam perkembangannya, tarif PPh Pasal 17 ini berubah dari waktu ke waktu sesuai perubahan UU PPh yang terjadi.
Menurut Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (Perubahan
Ketiga UU PPh), tarif PPh Pasal 17 ditetapkan sebagai berikut: Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi : a. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut : ………………………. b. Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebagai berikut : Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak sampai dengan Rp 50.000.000,00 10% di atas Rp 50.000.000,00 s.d. Rp 100.000.000,00 15% di atas Rp 100.000.000,00 30% Ketentuan di atas mulai berlaku 1 Januari 2001 sampai dengan 31 Desember 2008. Sedangkan menurut ketentuan perpajakan terbaru yaitu
15
Undang-undang Nomor 38 Tahun 2008, yang mulai berlaku 1 Januari 2009, tarif PPh Pasal 17 adalah sebagai berikut: Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi : a. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut : ………………………. b. Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar 28%. Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b menjadi 25% (dua puluh lima persen) yang mulai berlaku sejak tahun pajak 2010. 2. Menghitung Pajak Penghasilan Badan Pajak penghasilan badan yang terutang merupakan jumlah tertentu yang dihitung dan disampaikan kepada pihak fiskus melalui media SPT Tahunan PPh Badan dan merupakan beban pajak kini (current tax) dalam laporan laba-rugi komersial. Beban pajak kini dihitung dari penghasilan kena pajak (PhKP) dikalikan tarif PPh Pasal 17.
PhKP adalah pretax financial income setelah
direkonsiliasi dengan perbedaan permanen dan temporer. Bila suatu PhKP masing-masing tahun sebesar Rp 300.000.000,00, maka pajak terutangnya adalah sebagai berikut: Tahun 2001 s.d. 2008: 10% x Rp 50.000.000,00 = Rp 5.000.000,00 15% x Rp 50.000.000,00 = Rp 7.500.000,00 30% x Rp 200.000.000,00 = Rp 60.000.000,00 Jumlah
= Rp 72.500.000,00
Tahun 2009: 28% x Rp 300.000.000,00 = Rp 84.000.000,00 Tahun 2010 dan seterusnya: 25% x Rp 300.000.000,00 = Rp 75.000.000,00
16
C. Pajak Penghasilan Menurut PSAK 46 Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 46 (PSAK 46) tentang Akuntansi Pajak Penghasilan disahkan oleh Pengurus Pusat Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) tanggal 23 Desember 1997 dan mulai berlaku efektif masingmasing mulai tanggal 1 Januari 1999 untuk perusahaan publik dan 1 Januari 2001 untuk perusahaan non publik. PSAK 46 bertujuan mengatur perlakuan akuntansi untuk pajak penghasilan. Masalah utama perlakuan akuntansi untuk pajak penghasilan adalah bagaimana mempertanggungjawabkan konsekuensi pajak pada periode berjalan dan periode mendatang untuk hal-hal berikut: a. pemulihan nilai tercatat aset yang diakui pada neraca perusahaan atau pelunasan nilai tercatat kewajiban yang diakui pada neraca perusahaan; b. transkasi-transaksi atau kejadian-kejadian lain pada periode berjalan yang diakui pada laporan keuangan perusahaan. Pengakuan aset atau kewajiban berarti perusahaan akan dapat memulihkan nilai tercatat aset tersebut atau akan melunasi nilai tercatat kewajiban tersebut. Apabila pemulihan atau pelunasan tersebut akan mengakibatkan pembayaran pajak pada periode mendatang, yang lebih besar atau kecil dibandingkan pembayaran pajak, maka perusahaan harus mengakui adanya kewajiban pajak tangguhan atau aset pajak tangguhan. Pengertian-pengertian dasar yang digunakan dalam PSAK 46 antara lain sebagai berikut:
17
-
Pajak Penghasilan, adalah pajak yang dihitung berdasarkan peraturan perpajakan dan pajak ini dikenakan atas penghasilan kena pajak perusahaan.
-
Pajak kini (current tax), adalah jumlah pajak pajak penghasilan terutang (payable) atas penghasilan kena pajak pada satu periode.
-
Laba akuntansi, adalah laba atau rugi bersih selama satu periode sebelum dikurangi beban pajak.
-
Penghasilan kena pajak atau laba fiskal (taxable profit) atau rugi pajak (tax loss) adalah laba atau rugi selama satu periode yang dihitung berdasarkan peraturan perpajakan dan yang menjadi dasar penghitungan pajak penghasilan.
-
Beban pajak (tax expense) atau penghasilan pajak (tax income) adalah jumlah agregat pajak kini dan pajak tangguhan (deferred tax) yang diperhitungkan dalam penghitungan laba rugi pada satu periode.
1. Dasar Pengenaan Pajak dan Perbedaan Temporer Paragraf 7 PSAK 46 menyatakan bahwa Dasar Pengenaan Pajak (DPP) atau tax base suatu aset atau kewajiban adalah nilai aset atau kewajiban yang diakui oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam penghitungan laba fiskal. DPP aset adalah jumlah yang dapat dikurangkan untuk tujuan fiskal, terhadap setiap manfaat ekonomi (penghasilan) kena pajak yang akan diterima perusahaan pada saat memulihkan nilai tercatat aset tersebut.
18
Manfaat ekonomi tersebut tidak akan dikenakan pajak, maka DPP aset adalah sama dengan nilai tercatatnya. Contoh: -
Mesin nilai perolehan 100. Untuk tujuan fiskal, mesin telah disusutkan sebesar 30 dan nilai sisa nilai buku dapat dikurangkan pada periode mendatang. Penghasilan mendatang dari penggunaan aset merupakan objek pajak. Maka, DPP aset tersebut adalah 70.
-
Piutang usaha mempunyai nilai tercatat 100. Pendapatan usaha terkait telah diakui untuk tujuan fiskal. Maka, DPP piutang usaha adalah 100.
Sedangkan DPP kewajiban adalah nilai tercatat kewajiban dikurangi dengan setiap jumlah yang dapat dikurangkan pada masa mendatang. Contoh: - Nilai tercatat beban yang masih harus dibayar (accrued expenses) 100. Biaya tersebut dapat dikurangkan untuk tujuan fiskal dengan dasar kas. Maka, DPP-nya adalah nol. -
Nilai tercatat pinjaman yang diterima 100.
Pelunasan pinjaman
tersebut tidak mempunyai konsekuensi pajak. Maka, DPP-nya adalah 100. Perbedaan temporer (temporary differences) adalah perbedaan antara jumlah tercatat aset atau kewajiban dengan DPP-nya. Perbedaan temporer dapat berupa: a. perbedaan temporer kena pajak (taxable temporary differences) adalah perbedaan temporer yang menimbulkan suatu jumlah kena pajak (taxable amount) dalam penghitungan laba fiskal periode mendatang
19
pada saat nilai tercatat aset dipulihkan (recovered) atau nilai tercatat kewajiban tersebut dilunasi (settled). Semua perbedaan temporer kena pajak diakui sebagai kewajiban pajak tangguhan. b. perbedaan temporer yang boleh dikurangkan (deductible temporary differences) adalah perbedaan temporer yang menimbulkan suatu jumlah
yang
boleh
dikurangkan
(deductible
amount)
dalam
penghitungan laba fiskal periode mendatang pada saat nilai tercatat aset dipulihkan (recovered) atau nilai tercatat kewajiban tersebut dilunasi (settled). Semua perbedaan yang boleh dikurangkan diakui sebagai aset pajak tangguhan, sepanjang besar kemungkinan dapat dimanfaatkan untuk mengurangi laba fiskal pada masa depan. Perlakuan akuntansi untuk perbedaan temporer ini secara ringkas dapat digambarkan sebagai berikut:
20
Sumber: Drs. Jusuf Halim (2003), Aplikasi PSAK 46: Akuntansi Pajak Penghasilan
Gambar 2.1 Akuntansi untuk Pajak Tangguhan (Pendekatan Neraca)
2. Menghitung Pajak Kini dan Pajak Tangguhan Sebelum berlakunya PSAK 46, perusahaan mengakui jumlah taksiran pajak penghasilan (provision for income taxes) di laporan laba rugi sesuai dengan jumlah yang terutang menurut SPT Tahunan PPh Badan berdasarkan tax payable method.
21
Kemudian PSAK 46 mengadopsi
metode asset/liability method. Perubahan ini menurut Jusuf Halim (2003 : 2) dijelaskan sebagai berikut: Apabila sebelumnya perusahaan lazimnya menggunakan “tax payable method” dalam akuntansi pajak penghasilan, maka dengan berlakunya PSAK 46, perusahaan harus melakukan suatu perubahan mendasar dalam akuntansi pajak penghasilan karena harus menghitung dan mengakui pajak tangguhan (deferred tax) atas “future tax effects” dengan menggunakan “balance sheet liability method” atau disebut juga “asset/liability method”. Penggunaan asset/liability method merupakan suatu hal baru dalam standar akuntansi, mengingat selama ini yang lazim diterapkan di berbagai negara dan juga dibahas dalam berbagai literatur adalah pengakuan pajak tangguhan (deferred tax) dengan menggunakan “deferred method” atau disebut juga “income statement liability method”. Menurut PSAK 46, penghitungan laba bersih setelah pajak (net income after tax), ditentukan dengan cara mengurangkan beban pajak dari laba akuntansi. Beban pajak meliputi pajak kini dan pajak tangguhan serta satu unsur tambahan (bila ada) yaitu income or benefit due to loss carryforward.
Pajak kini adalah pajak terutang sebagaimana yang
dilaporkan ke fiskus melalui SPT Tahunan PPh Badan. Pajak tangguhan pada satu periode ditentukan dengan membadingkan antara saldo akhir tahun DTA/DTL dengan saldo awalnya pada tahun yang bersangkutan. Jumlah kenaikan/penurunan DTA/DTL merupakan “beban pajak tangguhan (deferred tax income) yang harus diperhitungkan dalam laporan laba rugi periode berjalan.” (Jusuf Halim, 2003 : 3).
22
D. Akuntansi Aset Tetap Menurut PSAK dan UU PPh Perbedaan temporer yang muncul ketika menerapkan PSAK 46 bagi perusahaan di Indonesia kebanyakan berasal dari aset tetap, yaitu yang berkaitan dengan pemilihan metode penyusutan yang dipakai dan masa manfaat dari aset tersebut. 1. Penyusutan Aset Tetap menurut PSAK Karakteristik aset tetap adalah aset berwujud yang dimiliki untuk digunakan dalam produksi atau penyediaan barang atau jasa, untuk direntalkan kepada pihak lain, atau untuk tujuan administratif serta diharapkan untuk digunakan selama lebih dari satu periode. Penggunaan lebih dari satu periode mengindikasikan bahwa nilai tercatat (carrying amount) suatu aset tetap akan berubah pada periode mendatang seiring dengan pengakuan akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai. Pada umumnya nilai tercatat aset yang dilaporkan perusahaan adalah nilai yang disajikan di neraca setelah dikurangi akumulasi penyusutan. Penyusutan adalah alokasi sistematis jumlah yang dapat disusutkan (depreciable amount) dari suatu aset selama umur manfaatnya. Umur manfaat (useful life) menurut PSAK 16 tentang Aset Tetap didefinisikan sebagai “suatu periode dimana aset diharapkan akan digunakan oleh entitas atau jumlah produksi atau unit serupa yang diharapkan akan diperoleh dari aset tersebut oleh entitas”. Dengan demikian, penyusutan suatu aset tetap terdiri dari unsur-unsur metode penyusutan, umur manfaat,
23
dan jumlah yang dapat disusutkan. PSAK 16 tidak memberi batasan atau persyaratan tentang berapa lama (tahun) umur manfaat suatu aset, metode penyusutan yang harus digunakan entitas, dan besarnya yang harus disusutkan. PSAK 16 mensyaratkan bahwa “metode penyusutan yang digunakan harus mencerminkan ekspektasi pola konsumsi manfaat ekonomis masa depan dari aset oleh entitas”.
Berbagai metode penyusutan dapat
digunakan untuk mengalokasikan jumlah yang disusutkan secara sistematis dari suatu aset selama umur manfaatnya. antara lain metode garis lurus (straight line method),
Metode tersebut metode saldo
menurun (diminishing balance method), dan metode jumlah unit (sum of the unit method).
Pilihan metode penyusutan harus diterapkan secara
konsisten dari periode ke periode kecuali terdapat perubahan dalam ekspektasi pola konsumsi manfaat ekonomis masa depan dari aset tersebut. Barry J. Epstein (2006 : 220) mengelompokkan metode penyusutan sebagai berikut: 1) Depreciation methods based on time - Straight line - Accelerated methods: diminishing balance and sum of the years’ digit depreciation. 2) Depreciation methods based on actual physical unit: Units of production method. 3) Other depreciation methods - Retirement method - Replacement method - Group (or composite) method - Revenue method
24
2. Penyusutan Aset Tetap Menurut UU PPh Berbeda dengan PSAK, ketentuan perpajakan di Indonesia menetapkan bahwa aktiva tetap suatu perusahaan telah dikelompokkan berdasarkan masa manfaat, metode penyusutan, dan tarif penyusutannya. Pengaturan aktiva tetap dalam Pasal 11 UU PPh adalah sebagai berikut: Ayat (1) Penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan, perbaikan, atau perubahan harta berwujud, kecuali tanah yang berstatus hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai, yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut. Ayat (2) Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selain bangunan, dapat juga dilakukan dalam bagianbagian yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa manfaat nilai sisa buku disusutkan sekaligus, dengan syarat dilakukan secara taat azas. Ayat (3) Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk harta yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan selesainya pengerjaan harta tersebut. Ayat (6) Untuk menghitung penyusutan, masa manfaat dan tarif penyusutan harta berwujud ditetapkan sebagai berikut: Kelompok Harta Berwujud I. Bukan bangunan Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 Kelompok 4 II. Bangunan Permanen Tidak Permanen
Masa Manfaat
Tarif penyusutan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) Ayat (2)
4 tahun 8 tahun 16 tahun 20 tahun
25% 12,5% 6,25% 5%
20 tahun 10 tahun
5% 10%
25
50% 25% 12,5% 10%
Berdasarkan ketentuan Pasal 11 UU PPh tersebut di atas dapat diketahui bahwa dalam perpajakan hanya dikenal dua metode penyusutan yaitu metode garis lurus (straight-line method) dan metode saldo menurun (double-declining balance method).
Sedangkan untuk harta berwujud
kelompok bukan bangunan pengaturan lebih lanjut ditetapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan, dimana diatur jenis harta berwujud apa saja yang masuk dalam kelompok 1, kelompok 2, dan seterusnya. Selain itu, pemilihan metode penyusutan fiskal harus diterapkan perusahaan berdasarkan prinsip taat azas.
26
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Gambaran Umum Penulis melakukan penelitian lapangan, mulai dari survei pendahuluan sampai dengan perolehan data selama masa bulan Juli sampai dengan Agustus 2009. Penelitian dilakukan di kantor pusat PT X, Jakarta. 1. Sejarah Singkat PT X PT X didirikan berdasarkan Akta Notaris No. 7 tanggal 8 Februari 2006 oleh Notaris Netty Maria Machdar, SH, Notaris di Jakarta. Akta pendirian tersebut telah mendapatkan pengesahan dari
Menteri
Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dengan Nomor: W7-00133 HT.01.01-TH.2006 tanggal 4 September 2006. Akta pendirian tersebut juga telah mengalami perubahan berdasarkan Akta Notaris No. 24 tanggal 13 Maret 2007 oleh Notaris Sinta Susikto, SH , Notaris di Jakarta, mengenai perubahan susunan Direksi dan Komisaris Perusahaan. Menurut pasal 3 akta Pendirian Perusahaan, maksud dan tujuan pendirian Perusahaan adalah berusaha dalam bidang pembangunan, pengangkutan darat, dan pertambangan. Saat ini Perusahaan bergerak dalam bidang pertambangan batubara. Perusahaan mulai melalukan aktivitas penambangan dan jual beli batubara sejak bulan Agustus 2006.
Lokasi kegiatan penambangan saat
ini adalah di Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan dan Kabupaten Lahat,
27
Sumatra Selatan. Perusahaan berkantor pusat di Jakarta dengan jumlah karyawan sekitar 900 orang. 2. Proses Bisnis dan Struktur Organisasi PT X Proses bisnis Perusahaan secara berurutan dimulai dari proses eskplorasi atas suatu wilayah kuasa pertambangan dan terakhir adalah proses penjualan produk berupa batubara baik melalui kapal besar (mother vessel) maupun penjualan spot lewat tongkang.
Selengkapnya adalah
sebagai berikut: a. Eksplorasi. Tahapan ini merupakan proses pencarian dan studi atas suatu cadangan bahan tambang di suatu area of interest. Bila hasil studi menunjukkan bahwa secara ekonomis dapat dilakukan proses penambangan maka selanjutnya dibuatkan desain tambang. b. Pengembangan dan konstruksi.
Tahapan ini adalah membangun
prasarana tambang, pengadaan aset, dan rekrutmen sumber daya manusia untuk memulai proses penambangan. Arus kas perusahaan paling banyak digunakan pada tahapan ini karena investasi peralatan tambang, umumnya alat berat, mulai dilakukan. Sebagai perusahaan padat modal, investasi pada peralatan tambang adalah tulang punggung jalannya perusahaan. c. Eksploitas/Produksi. Tahapan ini adalah proses produksi komersial penambangan dengan proses mulai dari penggalian bahan tambang, pemrosesan, pengangkutan, dan penjualan.
28
d. Reklamasi/pemantauan lingkungan hidup. Tahapan ini dilakukan pada saat berakhirnya masa penambangan bahan galian. Untuk mencapai sasaran produksi dan menerapkan good mining practices, struktur organisasi PT X adalah sebagai berikut:
Sumber: PT X, 2006
Gambar 3.1 Struktur Organisasi PT X
B. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yaitu membuat deskripsi secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat pada objek penelitian yaitu pengaruh UU PPh Tahun 2008 terhadap penerapan PSAK 46 di PT X. C. Definisi Operasional Variabel Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pajak Penghasilan, Undang-Undang Pajak Penghasilan Tahun 2008, dan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 46.
29
1. Pajak Penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun. 2. Undang-Undang Pajak Penghasilan Tahun 2008 adalah Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. 3. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 46 adalah standar akuntansi tentang Pajak Penghasilan yang diterbitkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia. D. Metode Pengumpulan Data Untuk mencapai maksud dan tujuan penelitian, penulis mengumpulkan data penelitian dengan metode sebagai berikut: 1. Penelitian lapangan (field research) Untuk penelitian lapangan ini penulis melakukan survey dengan cara melakukan kunjungan ke kantor Perusahaan, mewawancarai manajer keuangan dan akuntansi, serta pihak terkait Perusahaan untuk memperoleh data-data yang diperlukan. 2. Penelitian kepustakaan (library research) Untuk penelitian kepustakaan penulis memperoleh sumber-sumber informasi dari buku-buku literatur, Undang-Undang Perpajakan, buku
30
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan, jurnal-jurnal akuntansi atau perpajakan, serta internet. Data-data yang berhasil penulis peroleh dari penelitian ini berupa data primer dan data sekunder, antara lain berupa laporan keuangan perusahaan, daftar aset tetap, pelaporan pajak, wawancara dengan pihak terkait, dan lainlain. E. Metode Analisis Data Penulis menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif dalam penelitian ini. Dengan metode ini, data yang dikumpulkan
dianalisis dan dibandingkan
dengan teori atau literatur terkait untuk mengetahui sejauh mana objek penelitian (PT X) telah menerapkannya dalam praktek. Bila penerapan tersebut tidak sesuai setelah dilakukan analisis, maka penulis melakukan analisis lanjutan untuk mengetahui bagaimana pengaruhnya atau yang seharusnya dilakukan oleh PT X agar menerapkannya dengan benar dalam praktek.
31
BAB IV PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN A. Perlakuan Aset Tetap dan Pelaporannya PT X yang berdiri tahun 2006 telah tiga kali menerbitkan laporan keuangan, masing-masing laporan keuangan tahun 2006, 2007, dan 2008. Laporan keuangan tahun 2007 dan 2008 telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik dengan pendapat wajar tanpa pengecualian.
Penerbitan laporan
keuangan selain untuk kepentingan internal pemegang saham dan manajemen perusahaan, juga untuk kepentingan bank selalu kreditor utama perusahaan. Ringkasan laporan keuangan berupa Neraca dapat disajikan secara ringkas pada tabel berikut: Tabel 4.1 Ringkasan Neraca PT X (dalam ribuan Rupiah) per 31 Desember 2006, 2007, dan 2008 Uraian
2007
2008
5.493.363
44.845.484
46.240.867
687.326 (39.089) 648.237 19.500.000 25.641.600
54.281.588 (5.086.562) 49.195.026 37.648.711 860.935 132.550.156
63.361.693 (17.364.252) 45.997.441 37.401.322 2.865.153 132.504.783
Kewajiban lancar 5.775.493 Kewajiban jangka panjang 19.600.000 Modal 250.000 Laba ditahan Laba berjalan 16.107 Jumlah kewajiban dan ekuitas 25.641.600 Sumber: Laporan Keuangan PT X, data diolah
72.470.553 48.406.020 250.000 16.107 11.407.475 132.550.156
54.258.663 40.125.449 250.000 11.423.582 26.447.089 132.504.783
Aset lancar Aset tetap Nilai perolehan Akumulasi penyusutan Nilai buku aset tetap Aset tidak lancar lain Aktiva Pajak Tangguhan Jumlah aset
2006
Aset lancar pada umumnya terdiri dari kas dan bank, stock bahan galian tambang, dan piutang usaha.
32
Aktiva pajak tangguhan tahun 2007 sebesar 860.935 adalah 30% dari perbedaan temporer aset tetap per 31 Desember 2007 atau 30% x (52.064.809 - 49.195.026), dimana 52.064.809 adalah nilai buku fiskal aset tetap, sedangkan 49.195.026 adalah nilai buku aset tetap menurut catatan akuntansi. Aktiva pajak tangguhan 2008 juga ditentukan dengan cara yang sama. Aset tidak lancar dalam Neraca PT X berasal dari deposit untuk kerjasama pengusahaan tambang yang dibayar perusahaan kepada mitra kerja pemilik Kuasa Pertambangan (KP). Masing-masing jumlah setoran ini diamortisasi sesuai dengan taksiran cadangan bahan galian di suatu wilayah penambangan. Ini sejalan dengan kebijakan perusahaan yang tidak memiliki KP atas namanya sendiri, sehingga dalam pengusahaan tambang selalu bekerja sama dengan para pemilik KP yang sudah ada. Ringkasan kinerja PT X yang tercermin dalam Laporan Laba Rugi secara ringkas disajikan dalam tabel berikut: Tabel 4.2 Ringkasan Laporan Laba Rugi PT X (dalam ribuan Rupiah) Untuk tahun-tahun yang berakhir per 31 Desember 2006, 2007, dan 2008 Uraian Penjualan Harga Pokok Penjualan Laba kotor Beban operasional Laba operasional Pendapatan/beban luar usaha Laba sebelum pajak Beban pajak: Kini Tangguhan Jumlah beban pajak Laba bersih setelah pajak
2006
2008
21.881.537 (20.681.563) 1.199.974 (1.158.121) 41.853 4.107 45.960
109.343.183 (82.496.279) 26.846.903 (8.609.537) 18.237.366 (1.432.346) 16.805.020
264.775.197 (169.582.796) 95.192.401 (59.253.565) 35.938.836 2.755.059 38.693.895
29.853 29.853 16.107
6.258.480 (860.935) 5.397.545 11.407.475
14.251.024 (2.004.218) 12.246.806 26.447.089
Sumber: Laporan Keuangan PT X, data diolah
2007
33
Beban pajak kini pada Laporan Laba Rugi di atas merupakan besarnya PPh terutang menurut SPT Tahunan PPh Badan, yaitu tarif pajak dikalikan penghasilan kena pajak (PhKP). PhKP tahun 2007 adalah laba sebelum pajak (laba komersial) setelah disesuaikan dengan rekonsiliasi fiskal masing-masing koreksi fiskal positif dan negatif, yaitu 20.919.932 (16.805.020 + 6.604.299 – 2.489.387). Jadi, PPh terutang 2007 adalah 6.258.480 (10% x 50.000 + 15% x 50.000 + 30% x 6.158.480). Pajak kini tahun 2008 juga ditentukan dengan cara yang sama. Tabel 4.2 di atas juga menunjukkan bahwa jumlah beban pajak yang dilaporkan ternyata lebih rendah dari besarnya pajak kini yang dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Badan.
Hal ini sejalan dengan timbulnya
“deductible temporary difference” dalam neraca, yaitu saldo aktiva pajak tangguhan.
Pajak tangguhan yang dilaporkan pada Laporan Laba Rugi
masing-masing sebesar Rp 860.935 ribu dan Rp 2.004.218 ribu pada dasarnya adalah keuntungan pajak tangguhan (deferred tax – benefit) yang mengurangi besarnya beban pajak. Adapun ringkasan aset yang dimiliki oleh PT X dan dilaporkan dalam laporan keuangan komersial maupun laporan fiskal adalah :
34
Tabel 4.3 Posisi Aset Tetap PT X (dalam ribuan Rupiah)
KELOMPOK
2006
Alat Berat Dump Truck Prasarana tambang Peralatan Kantor Mebel dan Perlengkapan Kantor Kendaraan roda 2 Kendaraan roda 4
Posisi per 31 Desember 2007 Nilai perolehan
94.470 579.173 13.683 687.326
31.552.105 20.275.000 538.780 426.217 633.513 82.207 773.765 54.281.587
2008
35.874.025 20.275.000 580.580 509.760 633.513 135.557 5.353.257 63.361.692
Akumulasi penyusutan 3.444.892 10.619.697 1.235.000 5.290.000 21.465 163.127 6.659 80.341 201.169 31.290 187.918 346.297 1.140 14.826 35.378 102.119 708.584 39.089 5.086.561 17.364.252
Alat Berat Dump Truck Prasarana tambang Peralatan Kantor Mebel dan Perlengkapan Kantor Kendaraan roda 2 Kendaraan roda 4
Alat Berat Dump Truck Prasarana tambang Peralatan Kantor Mebel dan Perlengkapan Kantor Kendaraan roda 2 Kendaraan roda 4
87.811 547.883 12.543 648.237
Nilai buku 28.107.213 19.040.000 517.315 345.876 445.595 67.381 671.646 49.195.026
25.254.328 14.985.000 417.453 308.591 287.216 100.179 4.644.673 45.997.440
Sumber: Laporan Keuangan PT X, data diolah
Daftar aset selengkapnya terdapat dalam LAMPIRAN I. Umur manfaat aset tetap PT X baik menurut kebijakan akuntansi perusahan untuk tujuan komersial maupun menurut ketentuan fiskal adalah seperti tabel berikut:
35
Tabel 4.4 Umur Manfaat Aset Tetap PT X KELOMPOK ASET
Umur manfaat (tahun) Komersial Fiskal
Alat Berat 5 Dump Truck 5 Mess dan Prasarana 4 Peralatan Kantor 4 Mebel dan Perlengkapan Kantor 4 Kendaraan roda 2 4 Kendaraan roda 4 5 Sumber: Laporan Keuangan PT X, data diolah
% penyusutan / tahun Komersial Fiskal
16 8 4 4
20.00 20.00 25.00 25.00
6.25 12.50 25.00 25.00
4 4 8
25.00 25.00 20.00
25.00 25.00 12.50
PT X menerapkan metode penyusutan garis lurus baik untuk tujuan komersial maupun fiskal.
Bulan mulainya penyusutan baik untuk tujuan
komersial mapun fiskal adalah sama, yaitu mulai bulan diperolehnya suatu aset tetap atau bulan dimana aset tersebut siap beroperasi secara komersial. Berdasarkan tabel 4.4 tersebut dapat diketahui bahwa umur manfaat aset PT X antara komersial dan fiskal adalah sama tahunnya, kecuali untuk aset tetap utama perusahaan yaitu alat berat, dump truck, dan kendaraan roda empat. Untuk ketiga aset utama tersebut, umur fiskalnya jauh lebih lama bila dibandingkan dengan umur komersialnya, hal ini mengindikasikan bahwa secara perpajakan PT X seolah-olah melakukan percepatan penyusutan aset dan konsekuensi adalah timbul deductible temporary difference yang di neraca muncul perkiraan aset pajak tangguhan. 1. Penyusutan Aset Tetap dalam Laporan Keuangan Perusahaan Berdasarkan tabel 4.1, besarnya biaya penyusutan masing-masing tahun 2006, 2007, dan 2008 adalah 39.089, 5.047.473 (5.086.562 – 39.089), dan 12.277.690 (17.364.252 – 5.086.562). Besarnya biaya penyusutan per
36
tahun ini sama dengan kenaikan nilai akumulasi penyusutan pada tanggal neraca karena PT X tidak melakukan pelepasan aset tetap selama tiga tahun tersebut. Biaya penyusutan alat berat, dump truck, serta mess dan prasarana tambang dimasukkan sebagai bagian dari harga pokok penjualan dalam Laporan Laba Rugi. Sedangkan untuk kelompok aset tetap lain dimasukan sebagai bagian dari beban operasional perusahaan. LAMPIRAN II menyajikan secara lengkap bagaimana PT X menghitung besarnya penyusutan aset tetap miliknya. Menurut penulis, perhitungan yang dilakukan PT X telah benar sesuai dengan kebijakan akuntansi yang dianut. Sebagai contoh alat berat berupa excavator SL500 – 2 unit senilai Rp 4.705.678.750,00 yang diperoleh tanggal 1 Februari 2007, disusutkan masing-masing sebesar Rp 862.7070.771,00 dan Rp 941.135.750,00 untuk tahun 2007 dan 2008 oleh PT X. Sedangkan perhitungan penulis adalah sebagai berikut: Nama aset tetap
: Excavator SL500 – 2 unit
Kelompok aset tetap : Alat berat Perolehan
: Rp 4.705.678.750,00; tanggal 1 Februari 2007
Usia manfaat
: 5 tahun
Tarif penyusutan
: 20,00% per tahun
Masa pemakaian 2007: 11 bulan (Februari – Desember) Penyusutan 2007
: 11 / 12 x 20,00% x Rp 4.705.678.750,00 = Rp 862.707.771,00
37
Masa pemakaian 2008: 12 bulan (Januari – Desember) Penyusutan 2008
: 12 / 12 x 20,00% x Rp 4.705.678.750,00 = Rp 941.135.750,00
Perhitungan penulis di atas telah sesuai dengan perhitungan penyusutan yang dibuat perusahaan sebagaimana dalam LAMPIRAN II. Dalam penghitungan penyusutan, PT X melakukan pengelompokan aset yang diperoleh lebih dari satu unit apabila tanggal perolehan dan harga per unitnya sama.
Hal ini dilakukan untuk memudahkan
administrasi aset tetap yang jumlahnya banyak. Sebagai contoh dump truck yang diperoleh tanggal 1 Maret 2007 sebanyak 5 unit dengan harga per unit Rp 505.000.000,00 dicatat dalam aset perusahaan sebagai “Dump Truck – 5 unit” dengan harga perolehan Rp 2.525.000.000,00. 2. Penyusutan Aset Tetap dalam SPT Tahunan PPh Badan Menurut ketentuan perpajakan yang berlaku, SPT Tahunan PPh Badan yang disampaikan kepada fiskus wajib dilampiri antara lain Daftar Penyusutan dan Amortisasi Fiskal, menggunakan Lampiran Khusus 1A bersama-sama dengan Formulir 1771 (SPT Induk). Ringkasan posisi aset tetap PT X secara fiskal pada akhir tahun berdasarkan lampiran SPT Tahunan adalah sebagai berikut:
38
Tabel 4.5 Posisi Aset Tetap PT X menurut Fiskal (dalam ribuan Rupiah)
KELOMPOK
2006
Alat Berat Dump Truck Prasarana tambang Peralatan Kantor Mebel dan Perlengkapan Kantor Kendaraan roda 2 Kendaraan roda 4
Posisi per 31 Desember 2007 Nilai perolehan
94.470 579.173 13.683 687.326
31.552.105 20.275.000 538.780 426.217 633.513 82.207 773.765 54.281.587
35.874.025 20.275.000 580.580 509.760 633.513 135.557 5.353.257 63.361.692
Akumulasi penyusutan 1.076.529 771.875 21.465 6.659 80.341 31.290 187.918 1.140 14.826 63.824 39.089 2.216.778
Alat Berat Dump Truck Prasarana tambang Peralatan Kantor Mebel dan Perlengkapan Kantor Kendaraan roda 2 Kendaraan roda 4
Nilai sisa buku fiskal 30.475.576 19.503.125 517.315 87.811 345.876 547.883 445.595 12.543 67.381 709.941 648.237 52.064.809
Alat Berat Dump Truck Prasarana tambang Peralatan Kantor Mebel dan Perlengkapan Kantor Kendaraan roda 2 Kendaraan roda 4
2008
3.318.656 3.306.250 163.127 201.169 346.297 35.378 442.864 7.813.741
32.555.369 16.968.750 417.453 308.591 287.216 100.179 4.910.391 55.547.951
Sumber: SPT Tahunan PT X, data diolah
Lampiran Khusus 1A SPT Tahunan PPh Badan, dimana PT X menghitung
dan
melaporkan
besarnya
penyusutan
fiskal
adalah
sebagaimana LAMPIRAN III. Berdasarkan tabel 4.5, jumlah penyusutan fiskal yang sama jumlahnya dengan penyusutan komersial pada tabel 4.3 adalah kelompok aset tetap prasarana tambang, peralatan kantor, mebel dan perlengkapan kantor, serta
39
kendaraan roda dua. Hal ini sejalan dengan lamanya umur manfaat yang sama sebagaimana tabel 4.4. Dengan demikian besarnya penyusutan fiskal per tahun untuk kelompok aset tetap tersebut di atas telah benar dihitung oleh PT X dan dilampirkan dalam SPT Tahunan PPh Badan. Perbedaan penyusutan fiskal dan komersial adalah pada kelompok aset tetap alat berat, dump truck, dan kendaraan roda empat. Hal ini sejalan dengan perbedaan usia manfaat sebagaimana tabel 4.4.
Perhitungan
penyusutan yang dilakukan PT X untuk ketiga kelompok aset tetap ini telah sesuai dengan ketentuan fiskal. Sebagai contoh, alat berat berupa excavator SL500 – 2 unit senilai Rp 4.705.678.750,00 yang diperoleh tanggal 1 Februari 2007, disusutkan untuk tujuan fiskal masing-masing sebesar Rp 269.596.178,00 dan Rp 294.104.922,00 untuk tahun 2007 dan 2008 oleh PT X. Sedangkan perhitungan penulis adalah sebagai berikut: Nama aset tetap
: Excavator SL500 – 2 unit
Kelompok aset tetap : Alat berat Perolehan
: Rp 4.705.678.750,00; tanggal 1 Februari 2007
Usia manfaat
: 16 tahun
Tarif penyusutan
: 6,25% per tahun
Masa pemakaian 2007: 11 bulan (Februari – Desember) Penyusutan 2007
: 11 / 12 x 6,25% x Rp 4.705.678.750,00 = Rp 269.596.178,00
Masa pemakaian 2008: 12 bulan (Januari – Desember) Penyusutan 2008
: 12 / 12 x 6,25% x Rp 4.705.678.750,00
40
= Rp 294.104.922,00 Perhitungan lain untuk item aset lainnya juga telah sesuai dengan yang dipersyaratkan oleh ketentuan perpajakan.
Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa PT X telah taat pajak dalam melaporkan aset tetap miliknya. B. Perhitungan Pajak Kini dan Pajak Tangguhan dalam Laporan Keuangan Perusahaan Beban pajak (dalam ribuan) yang dilaporkan PT dalam Laporan Laba Rugi sebagaimana tabel 4.2 adalah sebagai berikut: 2006
2007
2008
29.853
6.258.480
14.251.024
-
(860.935)
(2.004.218)
29.853
5.397.545
12.246.806
Beban pajak: Kini Tangguhan Jumlah beban pajak
Beban pajak masing-masing sebesar 29.853 tahun 2006, 5.397.545 tahun 2007, dan 12.246.806 tahun 2008 adalah pengurang laba sebelum pajak dalam laporan keuangan komersial sehingga diperoleh laba bersih setelah pajak (net income after taxes). Dalam Neraca sebagaimana tabel 4.1, PT X melaporkan adanya aktiva pajak tangguhan masing-masing sebesar 0 untuk tahun 2006, 860.935 untuk tahun 2007, dan 2.865.153 untuk tahun 2008. Hubungan antara pajak kini, pajak tangguhan, dan aktiva pajak tangguhan yang dilaporkan oleh PT X dapat dijelaskan sebagai berikut:
41
Pajak kini, merupakan hutang pajak penghasilan badan sesuai perhitungan PT X yang disampaikan kepada fiskus melalui SPT Tahunan PPh Badan. Seperti uraian pada BAB II, pajak kini dihitung dari penghasilan kena pajak dengan tarif PPh Pasal 17. merupakan
penghasilan
Penghasilan kena pajak atau taxable income
komersial
yang
telah
direkonsiliasi
fiskal.
Rekonsiliasi ini berasal dari perbedaan tetap maupun perbedaan temporer. Rekonsiliasi dapat berupa koreksi fiskal positif maupun koreksi fiskal negatif. Koreksi fiskal positif adalah biaya-biaya yang dicatat secara komersial namun tidak diakui oleh ketentuan fiskal (nondeductible expenses) atau penghasilan yang seharusnya diakui secara fiskal namun tidak atau belum diakui secara komersial.
Bila suatu laba akuntansi disesuaikan dengan
timbulnya nondeductible expenses atau penghasilan yang seharusnya dicatat, maka pengaruhnya adalah laba yang lebih tinggi secara fiskal.
Itulah
sebabnya koreksi ini disebut koreksi fiskal positif, sebab menyebabkan laba fiskal lebih besar dibandingkan laba akuntansi. Koreksi fiskal negatif adalah penghasilan yang dicatat menurut akuntansi namun bukan objek pajak menurut ketentuan fiskal (nontaxable income) atau biaya atau biaya-biaya yang boleh diakui menurut fiskal namun tidak dicatat dalam pembukuan komersial.
Bila kedua hal ini disesuaikan pada laba
akuntansi, maka akan diperoleh laba fiskal yang relatif lebih kecil. Itulah sebabnya disebut koreksi fiskal negatif. Sesuai kebijakan perusahaan, penulis tidak diperkenankan mendapatkan Lampiran SPT Tahunan PPh Badan Formulir 1771-I, dimana informasi
42
rekonsiliasi fiskal seharusnya ditentukan. Data yang penulis peroleh hanyalah total koreksi fiskal positif dan negatif untuk perbedaan permanen dan koreksi fiskal yang berkenaan dengan perbedaan temporer akibat penyusutan aset tetap. Naum demikian, berdasarkan data tersebut perhitungan pajak kini dapat dihitung dan dianalisis apakah PT X telah sesuai melakukan kewajiban perpajakannya. Perhitungan pajak kini PT X adalah sebagai berikut: Tahun 2006: Laba akuntansi
= 45.960
Perbedaan permanen: Koreksi fiskal positif
= 117.380
Koreksi fiskal negatif
=
(5.497)
Perbedaan termporer Penyusutan komersial
=
0
Penyusutan fiskal
=
0
Laba fiskal
= 157.843
PPh terutang (pajak kini):
- 10% x 50.000
=
5.000
- 15% x 50.000
=
7.500
- 30% x 57.843
= 17.353
Jumlah PPh terutang
= 29.853
43
Tahun 2007: Laba akuntansi
= 16.805.020
Perbedaan permanen: Koreksi fiskal positif
= 1.556.826
Koreksi fiskal negatif
=
(311.697)
Perbedaan termporer Penyusutan komersial
= 5.047.473
Penyusutan fiskal
= (2.177.690)
Laba fiskal
= 20.919.932
PPh terutang (pajak kini): - 10% x 50.000
=
5.000
- 15% x 50.000
=
7.500
- 30% x 20.819.932
= 6.245.980
Jumlah PPh terutang
= 6.258.480
Tahun 2008: Laba akuntansi
= 38.693.895
Perbedaan permanen: Koreksi fiskal positif
= 2.784.457
Koreksi fiskal negatif
=
(597.332)
Perbedaan termporer Penyusutan komersial
= 12.277.690
Penyusutan fiskal
= (5.596.962)
Laba fiskal
= 47.561.748
44
PPh terutang (pajak kini): - 10% x Rp
=
5.000
- 15% x Rp
=
7.500
- 30% x 47.461.748
= 14.238.524
Jumlah PPh terutang
= 14.251.024
Pada ketiga perhitungan di atas, koreksi fiskal positf berasal dari biayabiaya komersial perusahaan yang tidak boleh dikurangkan menurut Pasal 9 UU PPh, seperti sumbangan, biaya pengobatan, biaya jamuan, denda atau sanksi perpajakan, dan lain-lain. Sedangkan koreksi fiskal negatif merupakan pendapatan yang tidak diperhitungkan lagi dalam SPT Tahunan PPh Badan berupa penghasilan yang telah dikenakan PPh Final seperti bunga deposito/jasa giro. Dalam laba rugi PT X tidak terdapat penghasilan yang bukan merupakan objek PPh. Penyusutan komersial yang dilaporkan dalam SPT adalah sama dengan besarnya penyusutan menurut selisih saldo akumulasi penyusutan pada tabel 4.1 dan selaras dengan penyusutan komersial yang dihitung terpisah oleh PT X sebagaimana LAMPIRAN II. Sedangkan besarnya penyusutan fiskal yang digunakan PT X untuk menghitung pajak kini adalah penyusutan fiskal dalam Lampiran 1A SPT Tahunan PPh Badan sebagaimana LAMPIRAN III. Menurut penulis, perhitungan beban pajak kini di atas telah sesuai dengan ketentuan UU PPh dengan tarif PPh Pasal 17 yang berlaku efektif saat itu. Unsur kedua dari beban pajak tahun berjalan PT X adalah pajak tangguhan yang dalam Laporan Laba Rugi PT X dilaporkan masing-masing sebesar 0
45
pada tahun 2006, (860.935) pada tahun 2007, dan (2.004.218) pada tahun 2008. Pajak tangguhan tahun 2007 dan 2008 pada dasarnya adalah manfaat pajak tangguhan (deferred tax – benefit) karena menjadi unsur pengurang dalam menentukan beban pajak. Secara jurnal akuntansi, munculnya aktiva pajak tangguhan yang bersaldo debet sebesar 860.935 pada tahun 2007 pastilah diikuti pasangan jurnalnya yang bersaldo kredit. Saldo kredit tersebut berupa deferred tax – benefit yang mengurangi beban pajak. Pada tahun 2008, saldo aktiva pajak tangguhan menjadi 2.865.153 atau terjadi kenaikan saldo debet sebesar 2.004.218. Kenaikan saldo debet aktiva pajak tangguhan tahun 2008 sebesar 2.004.218 ini diikuti juga dengan munculnya saldo kredit deferred tax – benefit yang dilaporkan dalam laporan laba rugi sebagai pengurang beban pajak. Sebenarnya PT X menghitung pajak tangguhan didasarkan adanya perbedaan temporer pada tahun yang bersangkutan. Satu-satunya penyebab munculnya perbedaan temporer adalah berasal dari aset tetap kelompok alat berat, dump truck, dan kendaraan roda empat. Tidak ada unsur neraca lainnya yang menimbulkan adanya perbedaan temporer. Perhitungan pajak tangguhan adalah sebagai berikut: Tahun 2006:
tidak ada pajak tangguhan sebab tidak terdapat perbedaan
temporer antara akuntansi dan fiskal. Tahun 2007:
Dasar pengenaan pajak, aset (tabel 4.5)
= 52.064.809
Nilai tercatat aset tetap (tabel 4.3)
= 49.195.026
46
Perbedaan temporer
= 2.869.783
Perbedaan temporer yang dapat dikurangkan
= 30% x 2.869.783 = 860.935
Dasar pengenaan pajak aset (tax base) menurut uraian BAB II adalah jumlah yang dapat dikurangkan untuk tujuan fiskal terhadap penghasilan kena pajak yang akan diterima perusahaan pada saat memulihkan nilai tercatat aset tersebut. DPP aset PT X adalah nilai sisa buku fiskal sesuai tabel 4.5 sebesar 52.064.809.
Sedangkan, nilai tercatat aset (accounting base) sebesar
49.195.026 merupakan nilai buku komersial sebagaimana tabel 4.3. Karena tax base lebih besar daripada accounting base dan besar kemungkinan
perbedaan
temporer
yang
boleh
dikurangkan
dapat
direalisasikan atau dimanfaatkan untuk mengurangi laba fiskal di masa mendatang, maka PT X mengakui adanya aktiva pajak tangguhan sebesar 860.935, yaitu 30% x jumlah perbedaan temporer. Tarif 30% ini merupakan tarif tertinggi dari tarif progresif yang dianut dalam UU PPh yang berlaku sampai dengan 31 Desember 2008. Sedangkan untuk tahun 2008, perhitungan PT X adalah sebagai berikut: Dasar pengenaan pajak, aset (tabel 4.5)
= 55.547.951
Nilai tercatat aset tetap (tabel 4.3)
= 45.997.440
Perbedaan temporer
= 9.550.511
Perbedaan temporer yang dapat dikurangkan = 30%x9.550.511 = 2.865.152
Saldo awal tahun 2008
= 860.935
Manfaat pajak tangguhan (kenaikan aktiva pajak tangguhan)
= 2.004.218
47
Dalam menghitung besarnya pajak tangguhan tahun 2008, PT X masih menggunakan tarif 30% sebagaimana tarif tertinggi dari Tarif PPh Badan yang juga digunakan dalam SPT Tahunan PPh Badan PT X Tahun 2008. PT X mengabaikan ketentuan paragraf 29 dan 30 PSAK 46 ketika pada tahun 2008 telah diundangkan ketentuan pajak yang baru yang menyangkut tarif pajak yaitu Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Undang-Undang PPh 2008). Pembahasan dampak perubahan UU ini dijelaskan pada subbab berikut.
C. Pengaruh Perubahan Tarif Pasal 17 UU PPh terhadap Penerapan PSAK 46 Perbedaan temporer PT X berasal dari aset tetap kelompok alat berat, dump truck, dan kendaraan roda empat akibat perbedaan usia manfaat kelompok aset tersebut antara ketentuan fiskal dan kebijakan akuntansi yang diterapkan perusahaan. Nilai tercatat (accounting base) dan DPP-nya (tax base) dari ketiga kelompok aset tersebut serta perhitungan pajak tangguhan sebagaimana uraian sebelumnya dapat diringkas dalam tabel berikut: Tabel 4.6 Perhitungan Pajak Tangguhan (dalam ribuan Rupiah) Uraian
Tax Base
Accounting Base
Perolehan Ak. Penyusutan Base 2007
52.600.870 (1.912.228) 50.688.642
52.600.870 (4.782.011) 47.818.859
Perolehan Ak. Penyusutan
61.502.283 (7.067.770)
61.502.283 (16.618.282)
Base 2008
54.434.513
44.884.001
48
Beda temporer
Trf
DTA (DTL)
DT (Benefit)
2.869.783
30%
860.935
(860.935)
9.550.512
30%
2.865.153
(2.004.218)
PSAK 46 paragraf 29 dan 30 menyebutkan bahwa tarif pajak baru harus digunakan jika tarif tersebut akan berlaku pada saat aktiva dipulihkan atau kewajiban dilunasi serta dampak perubahan tarif tersebut terhadap akun pajak tangguhan harus diakui pada periode terjadinya perubahan. UU PPh Tahun 2008 diundangkan pada tanggal 23 September 2008 dan mulai berlaku tanggal 1 Januari 2009. Artinya kewajiban perpajakan mulai tahun buku 2009 harus mengacu pada ketentuan baru dalam UU tersebut, sedangkan kewajiban tahun pajak 2008 dan sebelumnya masih mengacu kepada UU PPh lama. Dalam hal pemenuhan kewajiban perhitungan pajak terutang melalui SPT Tahunan PPh Badan, PT X telah melaksanakannya sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku dan untuk tahun pajak 2009 masih akan dilihat pemenuhannya sampai nanti bulan April tahun 2010. Dari sisi penerapan PSAK, untuk tahun buku 2006 dan 2007, PT X telah menerapkannya dengan benar yaitu menghitung besarnya pajak tangguhan menggunakan tarif PPh Badan yang masih berlaku saat itu sebab pada saat itu UU PPh Tahun 2008 belum diundangkan atau berlaku efektif. Pada tahun 2008 PT X menghitung kewajiban pajak kini (SPT Tahunan PPh Badan) menggunakan tarif progresif PPh Badan yang masih berlaku pada tahun 2008, namun ketika menghitung pajak tangguhan untuk laporan keuangan per 31 Desember 2008 tidak melakukan respon dengan menerapkan PSAK 46 menggunakan tarif PPh sesuai UU PPh Tahun 2008 yang baru saja diundangkan.
Bila PT X menerapkan PSAK 46 dengan benar yaitu
49
menghitung pajak tangguhan menggunakan tarif baru PPh Badan, maka perhitungan PT X seharusnya dilakukan dengan langkah-langkah berikut: -
Menentukan jumlah perbedaan temporer pada tahun 2009 dan posisi perbedaan temporer pada akhir tahun 2009.
-
Menentukan tarif pajak baru yang akan berlaku efektif (substantively enacted tax rate), yaitu 28% pada tahun 2009 dan 25% pada tahun 2010.
-
Menghitung perbedaan temporer tahun 2009 dengan tarif pajak tahun 2009 dan posisi perbedaan per 31 Desember 2009 dengan tarif pajak tahun 2010. Jumlah tersebut merupakan Pajak tangguhan per 31 Desember 2008 dengan menggunakan substantively enacted tax rate.
-
Menghitung efek pengurangan tarif pajak dalam laporan laba rugi 2008, yaitu membandingkan posisi pajak tangguhan menggunakan tarif lama dengan pajak tangguhan yang menggunakan substantively enacted tax rate. Bila diasumsikan PT X tidak melakukan penambahan aset, maka aktiva
pajak tangguhan (DTA – Deferred Tax Asset) yang dicatat per 31 Desember 2008 diasumsikan dapat dipulihkan pada masa mendatang dengan tarif pajak yang berlaku pada masa mendatang. Pada tahun 2009, perbedaan timbul pada besarnya penyusutan dimana penyusutan komersial dan fiskal pada tahun 2009 dan seterusnya dihitung sebagai berikut:
50
Tabel 4.7 Perhitungan Penyusutan Tahun 2009 (dalam ribuan Rupiah) Kelompok aset Alat berat Dump truck Kendaraan roda 4
Nilai Perolehan
Tarif Penyusutan Fiskal Komersial
35.874.025 20.275.000 5.353.257 61.502.283
6.25 12.50 12.50
20.00 20.00 20.00
Penyusutan / tahun Fiskal Komersial 2.242.127 2.534.375 669.157 5.445.659
7.174.805 4.055.000 1.070.651 12.300.457
Berdarkan tabel 4.7 dan tabel 4.6 maka posisi aset tetap PT X guna perhitungan pajak tangguhan (perbedaan temporer 2009 dan posisi perbedaan temporer per 31 Desember 2009) adalah sebagai berikut: Uraian Nilai Perolehan Ak. Penyusutan Base 2008 Penyusutan 2009 Base 2009
Tax Base 61.502.283 (7.067.770) 54.434.513 5.445.659 48.988.854
Accounting Base 61.502.283 (16.618.282) 44.884.001 12.300.457 32.583.544
Beda temporer
9.550.512 (6.854.798) 16.405.310
Perhitungan aktiva pajak tangguhan (DTA) per 31 Desember 2008 menggunakan substantively enacted tax rate dilakukan sebagai berikut: Perbedaan temporer per 31 Desember 2008
9.550.512
Perbedaan temporer pada tahun 2009 = (6.854.798) x 28%
= (1.919.344)
Perbedaan temporer per 31 Desember 2009 = 16.405.310 x 25%= 4.101.328
DTA per 31 Desember 2008 menggunakan substantively enacted tax rate (4.101.3280 – 1.919.344)
= 2.181.984
DTA per 31 Desember 2008 menggunakan tarif lama (30% x 9.550.512)
= 2.865.154
Pengaruh penurunan tarif pajak pada DTA
=
51
683.170
Berdasarkan perhitungan di atas PT X seharusnya melaporkan posisi aktiva pajak tangguhan sebesar 2.181.984 bila menggunakan tarif PPh Badan sesuai UU PPh Tahun 2008. Kenyataannya PT X menggunakan tarif 30% sesuai ketentuan perpajakan lama sehingga menghitung posisi aktiva pajak tangguhan sebesar 2.865.154. Selisih aktiva pajak tangguhan sebesar 683.170 seharusnya dicatat oleh PT X untuk mencerminkan posisi DTA yang benar menurut UU PPh Tahun 2008. Pencatatan PT X seharusnya dengan jurnal akuntansi sebagai berikut: D Pengurangan tarif pajak – beban
683.170
K Aktiva pajak tangguhan
683.170
Akun “Pengurangan tarif pajak – beban” merupakan salah satu komponen beban pajak yang dilaporkan dalam laporan laba rugi perusahaan. Bila PT X menerapkan PSAK 46 dengan benar pada tahun buku 2008, maka kinerja keuangannya akan menurun sebesar 683.170. Hal ini terlihat dari Laporan Laba Rugi sebelum dan sesudah menerapkan PSAK 46 sebagai dampak UU PPh Tahun 2008 sebagai berikut: Tabel 4.8 Perbandingan Kinerja PT X sebelum dan sesudah menggunakan Tarif PPh Badan dalam UU PPh Tahun 2008 (dalam ribuan Rupiah) Penerapan PSAK dengan tarif pajak UU PPh Tahun 2000 UU PPh Tahun 2008 Laba sebelum pajak Beban pajak: Kini Tangguhan Penurunan tarif Jumlah beban pajak Laba bersih setelah pajak
52
38.693.895
38.693.895
12.251.024 (2.004.218) 10.246.806 28.447.089
12.251.024 (2.004.218) 683.170 10.929.976 27.763.919
Untuk tahun laporan keuangan tahun 2009 dan seterusnya, jumlah aktiva pajak tangguhan yang masih tercatat dalam neraca PT X akan dipulihkan dengan menggunakan tarif pajak yang berlaku saat itu yaitu 25% sampai dengan suatu saat dimana pemerintah mengubah tarif PPh Badan dalam UU PPh baru.
53
BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Berdasarkan uraian pada BAB IV, maka penulis menyimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. UU Pajak Penghasilan Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh Tahun 2008) berdampak pada penerapan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 46 (PSAK 46) terutama pada penentuan besarnya pajak tangguhan yang harus dicatat oleh perusahaan. Dampak terhadap kinerja perusahaan adalah penurunan laba bersih setelah pajak (net income after tax) dari sebelumnya 28.447.089 ribu rupiah menjadi 27.763.919 ribu rupiah. 2. Dalam menerapkan PSAK 46, PT X belum melakukan respon atas perubahan tarif PPh Badan baru yang diatur dalam UU PPh Tahun 2008 terutama dalam penentuan besarnya aktiva pajak tangguhan per 31 Desember 2008.
B. Saran 1. PT X melakukan perubahan perhitungan besarnya aktiva pajak tangguhan yang harus disajikan dalam Neraca perusahaan per 31 Desember 2008. 2. PT X memperhitungkan dampak UU PPh Tahun 2008 dalam menerapkan PSAK 46 dalam penghitungan beban pajak tahun buku 2008. 3. Badan regulasi akuntansi (Ikatan Akuntan Indonesia atau Institut Akuntan Publik Indonesia) hendaknya membuat panduan penerapan PSAK 46
54
menyusul diundangkannya ketentuan baru dalam UU PPh Tahun 2008 terutama yang berkaitan dengan dampak perubahan tarif PPh Badan.
55
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Jenderal Pajak. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, http://www.pajak.go.id, diakses tanggal 6 Juli 2009. Direktorat Jenderal Pajak. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan, http://www.pajak.go.id, diakses tanggal 6 Juli 2009. Epstein, Barry J. 2006. IFRS 2006: Interpretation and Aplication of International and Financial Reporting Standards, John Wiley & Sons, Inc, New Jersey. Epstein, B. J. and E. Jermakovicz. 2007. IFRS : Policies and Procedures, John Wiley & Sons, Inc, New Jersey. Gunadi. 2002. Ketentuan Dasar Pajak Penghasilan, Penerbit Salemba Empat, Jakarta. Gunadi. 2006. Akuntansi Pajak, Grasindo, Jakarta. Harnanto. 2003. Akuntansi Perpajakan, BPFE, Yogyakarta. Ikatan Akuntan Indonesia. 2007. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan per 1 September 2007, Penerbit Salemba Empat, Jakarta. Jusuf Halim. 2003. Aplikasi PSAK 46: Akuntansi Pajak Penghasilan, Ikatan Akuntan Indonesia, Jakarta. Mirza, A. A., Orrell, M., and Holt, G.G. 2008. IFRS : Practical Implementation Guides, John Wiley & Sons, Inc, New Jersey. Skousen, Fred K. 2000. Intermediate Accounting, Publishing, Cincinnati, Ohio
56
South-Western College
LAMPIRAN
57