PENGARUH TEH PUTIH DIBANDINGKAN DENGAN TEH HIJAU TERHADAP STATUS OKSIDATIF DAN PROFIL LIPID PEROKOK
ROSYANNE KUSHARGINA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Teh Putih Dibandingkan dengan Teh Hijau terhadap Status Oksidatif dan Profil Lipid Perokok adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015 Rosyanne Kushargina NIM I151130391
RINGKASAN ROSYANNE KUSHARGINA. Pengaruh Teh Putih Dibandingkan dengan Teh Hijau terhadap Status Oksidatif dan Profil Lipid Perokok. Dibimbing oleh RIMBAWAN dan BUDI SETIAWAN. Telah diketahui bahwa merokok baik jangka panjang maupun jangka pendek signifikan meningkatkan kerusakan oksidatif. Merokok mempercepat pembekuan darah yang merupakan salah satu faktor penyebab aterosklerosis yang memicu penyakit jantung. Dilaporkan bahwa trigliserida (TG), total kolesterol (TC), dan Low Density Lipoprotein- Cholesterol (LDL-C) perokok lebih tinggi dari bukan perokok. Efek negatif tersebut belum mampu meredam aktivitas merokok. Data Riskesdas menunjukkan bahwa jumlah perokok dan jumlah rokok yang dihisap dari tahun ke tahun cenderung semakin meningkat. Salah satu upaya mengatasi radikal bebas dari asap rokok dan penyakit degeneratif yang dapat timbul akibat merokok adalah dengan fitoterapi menggunakan teh. Jenis teh yang umumnya dikenal masyarakat adalah teh hitam, teh hijau, dan teh oolong. Saat ini teh putih juga sudah mulai diperkenalkan pada masyarakat meskipun belum sepopuler jenis teh lainnya. Penelitian mengenai teh putih masih terbatas, khususnya mengenai pengaruh teh putih terhadap profil lipid dan stres oksidatif pada perokok. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh teh putih dibandingkan dengan teh hijau terhadap status oksidatif dan profil lipid perokok. Tujuan khusus antara lain, mengetahui status gizi, usia mulai merokok, dan jenis rokok; mengetahui asupan zat gizi, tingkat kecukupan gizi, serta aktivitas fisik perokok sebelum dan selama intervensi; menganalisis pengaruh pemberian teh putih dibandingkan dengan teh hijau terhadap status oksidatif perokok dan; menganalisis pengaruh pemberian teh putih dibandingkan dengan teh hijau terhadap profil lipid perokok. Desain penelitian yang digunakan adalah paired sample clinical trials dengan 9 orang subjek dengan kriteria inklusi antara lain: laki-laki, usia 30-45 tahun, perokok kategori sedang (11-21 batang/hari), sudah merokok minimal 6 bulan, dan mengalami dislipidemia ringan. Kriteria eksklusi antara lain: tidak bersedia menjadi subjek, tidak suka teh, mengonsumsi obatobatan yang dapat mempengaruhi profil lipid, minum minuman beralkohol, dan mengonsumsi suplemen (cairan/padatan). Penelitian berlangsung pada dua periode, pada periode pertama semua subjek mendapatkan intervensi teh putih 3x 200 ml/hari dan pada periode kedua semua subjek mendapatkan intervensi teh hijau 3x200 ml/hari. Masing-masing periode berlangsung selama 28 hari dengan periode wash out 14 hari. Profil lipid dan Total Antioxidant Capacity (TAC) dianalisis menggunakan serum darah subjek sebelum dan setelah intervensi pada masing-masing periode teh putih dan teh hijau di laboratorium terakreditasi. Sebagian besar subjek memiliki status gizi overweight (44.44%), mulai merokok pada usia 17 tahun (44.44%) dan semua merokok dengan rokok kretek berfilter. Tidak ada perubahan asupan zat gizi, jumlah rokok yang dihisap dan aktivitas fisik subjek sebelum dan selama intervensi dilakukan (p>0.05). Terjadi peningkatan rata-rata TAC subjek yang signifikan (p<0.05) yaitu 0.25 m mol/L (∆) setelah intervensi teh putih dan 0.16 m mol/L (∆) setelah intervensi teh hijau.
Pengaruh teh putih pada perubahan TAC signifikan lebih besar (p<0.05) dibandingkan teh hijau (∆=0.09 m mol/L). Sama dengan TAC terjadi perubahan positif pada profil lipid subjek setelah diberi intervensi teh putih dan teh hijau. Terjadi penurunan yang signifikan (p<0.05) pada TG dan LDL-C, yaitu masingmasing 35 mg/dl (∆) dan 41 mg/dl (∆) setelah intervensi teh putih. Berbeda dengan teh putih, pada teh hijau terjadi penurunan yang signifikan hanya untuk LDL-C yaitu sebesar 34 mg/dl (∆). Pengaruh teh putih pada perubahan (∆) TG dan LDL-C signifikan (p<0.05) lebih besar dibandingkan teh hijau (∆ TG = 29 mg/dl; ∆ LDL-C=9 mg/dl). Melalui penelitian ini terlihat bahwa teh putih dan teh hijau berdampak positif pada status oksidatif dan profil lipid perokok. Terlihat juga bahwa efek tersebut hanya bersifat sementara, bila konsumsi teh dihentikan maka status oksidatif dan profil lipid akan kembali ke kondisi semula. Perokok disarankan untuk mengonsumsi teh putih atau teh hijau secara terus menerus bila ingin tetap mendapatkan efek positif pada status oksidatif dan profil lipid. Kata kunci: teh putih, teh hijau, perokok sedang, Total Antioxidant Capacity, profil lipid
SUMMARY ROSYANNE KUSHARGINA. The Effects of White Tea Compared with Green Tea on Smoker’s Oxidative Status and Lipids Profile. Supervised by RIMBAWAN dan BUDI SETIAWAN. Smoking long-term and short-term has been known significantly increase oxidative damage. Smoking accelerates blood clotting which is one of the factors causing atherosclerosis which leads to heart disease. Triglyceride (TG), total cholesterol (TC), and Low Density Lipoprotein- Cholesterol (LDL-C) of smokers were higher than non-smokers. These negative effects has not able to reduced smoking activity. The datas of National Basic Health Research from Ministry of Health showed that the number of smokers and the number of cigarettes rised continually. Phytoteraphy with tea can be used to minimalized these negative effects. There are many types of tea that generally known in public is black tea, green tea and oolong tea. Nowdays white tea have been introduced to the public despite not popular as other types of tea. Research on the white tea was still limited, especially about the effect of white tea on oxidative stress and lipids profile in smokers. The main objective of this study was to determine the effect of white tea compared with green tea on smoker’s oxidative status and lipids profile. There were four specific aims: to determine nutritional status, the age started smoking, and cigarrette type of the subjects; to determine consumption, level of nutritional adequacy, and physical activity of subjects before and during the intervention; to analyze the effect of white tea compared with green tea on oxidative status of subject and; to analyze the effect of white tea compared with green tea on lipids profile of subjects. This study used paired sample clinical trials design with 9 subjects with inclusion criteri: male, age 30-45 year, medium smokers (11-21 cigarettes/day), had smoked at least for 6 months, and mild dyslipidemia. The Exclusion criteria were not taking tea, taking drugs that may affect lipids profile, drinking alcoholic beverages and supplements. Subjects were asked to drink tea in 2 period of times. Firstly, all subjects were asked to drink 3x200 ml white tea/day for 28 days. Secondly, treatment started after 14 days washout period, and they were asked to drink 3x200 ml of green tea/day for 28 days. Lipids profile and Total Antioxidant Capacity (TAC) were analyzed using blood serum subjects before and after the intervention in each period of white tea and green tea in an accredited clinical laboratory. Most subjects had overweight nutritional status (44.44 %), started smoking at 17 year-old (44.44 %) and all subjects smoked clove filtered cigarettes. There was no significant difference (p> 0.05) in nutrients intake, number of cigarettes smoked and the physical activity of subjects before and during the intervention. TAC subjects significantly increase 0.25 m mol/L (∆) after intervention of white tea and 0.16 m mol/L (∆) after intervention of green tea (p <0.05). The effect of white tea on increasing TAC significantly higher (p <0.05) than green tea (∆=0.09 m mol/L). White tea and green tea have been observed to have positive impact on subject’s lipids profile. White tea intervention significantly decrease 35 mg/dl (∆) TG and 41 mg/dl (∆) LDL-C, while for green tea intervention can only reduced 34 mg/dl LDL-C significantly. Effect of white
tea on TG and LDL-C significantly (p> 0.05) greater than green tea (∆ TG = 29 mg/dl; ∆ LDL-C=9 mg/dl). The white tea and green tea had a temporarily positive impact on oxidative status and lipids profile of smokers, when tea consumption stopped the oxidative status and lipids profile returned to the previous conditions. There for smokers are advised to consume white tea or green tea continuously to sustain these positive impact. Keywords : white tea, green tea, medium smokers, Total Antioxidant Capacity, lipids profile
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENGARUH TEH PUTIH DIBANDINGKAN DENGAN TEH HIJAU TERHADAP STATUS OKSIDATIF DAN PROFIL LIPID PEROKOK
ROSYANNE KUSHARGINA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji Tesis: Prof Dr Ir Dodik Briawan, MCN
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Berkenaan dengan tersusunnya tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Dr Drs Rimbawan selaku ketua komisi pembimbing. 2. Dr Ir Budi Setiawan, MS selaku anggota komisi pembimbing. 3. Prof Dr Ir Dodik Briawan, MCN selaku dosen penguji sekaligus Ketua Program Studi Pascasarjana Ilmu Gizi Masyarakat 4. Direktur Pusat Penelitian Karet Bogor, yang telah mengizinkan menggunakan sebagian pegawai untuk menjadi subjek dan memperbolehkan pelaksanaan intervensi di kantor tersebut. 5. Pegawai Pusat Penelitian Karet Bogor yang telah bersedia menjadi subjek pada penelitian ini. 6. Kedua orang tua, Dr Kuswanhadi, MS DEA (Ayah) dan Ir Mudji Lasminingsih, MS (Ibu) yang memberikan doa dan dukungan baik secara moral maupun material. 7. Rosanna Kushargita, Rosenni Kushargena, dan Rosika Kusharfinna (saudara dan adik) yang telah bersedia mendampingi, memberikan doa, dan dukungan selama penyelesaian tesis ini. 8. Teman-teman Pascasarjana Gizi Masyarakat IPB angkatan 2013 atas doa, dukungan, semangatnya. 9. Pihak-pihak lain yang telah banyak memberi dorongan dan masukan dalam penulisan tesis ini. Diharapkan tesis ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak yang berkepentingan khususnya bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Bogor, Agustus 2015 Penulis
i
DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Tujuan Umum Tujuan Khusus Manfaat Penelitian Hipotesis 2 KERANGKA PEMIKIRAN 3 TINJAUAN PUSTAKA Teh putih dan teh hijau Rokok Antioksidan Kapasitas antioksidan total 4 METODE PENELITIAN Desain, waktu, dan tempat Bahan dan alat Jumlah dan cara pengambilan subjek Jenis dan teknik pengumpulan data Status gizi, usia mulai merokok, dan jenis rokok Asupan makanan sebelum dan selama intervensi Aktivitas fisik Pengambilan darah pre dan post-intervensi Pengukuran status oksidatif dengan TAC Profil lipid plasma Pengolahan dan analisis data Status gizi Asupan Aktifitas fisik TAC dan profil lipid Analisis data 4 DEFINISI OPERASIONAL 5 HASIL DAN PEMBAHASAN Status gizi Usia mulai merokok Jenis rokok yang dihisap Asupan zat gizi dan tingkat kecukupan gizi Aktivitas fisik Konsumsi rokok Kepatuhan minum teh Pengaruh intervensi teh putih dan teh hijau terhadap status oksidatif Pengaruh intervensi teh putih dan teh hijau terhadap profil lipid 6 SIMPULAN DAN SARAN
ii ii ii 1 1 2 3 3 3 3 4 4 5 5 10 11 12 12 12 12 15 17 17 17 17 17 17 17 18 18 18 19 20 20 20 21 21 22 22 23 27 28 29 30 34 39
ii Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
39 40 40 47 62
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Kerangka pemikiran Proses pengolahan berbagai jenis teh Bagian-bagian daun yang digunakan untuk pembuatan teh Peko segar (A), peko yang telah dikeringkan/teh putih (B), dan teh hijau (C) Hasil analisis polifenol teh putih, teh hijau, dan teh hitam dengan HPLC Bahan-bahan berbahaya pada rokok Prosedur persiapan minuman teh putih dan teh hijau Warna air seduhan teh hijau (A) dan teh putih (B) Tahapan penelitian Perubahan TAC Rata-rata profil lipid subjek sebelum dan setelah intervensi teh putih Profil lipid subjek sebelum dan setelah diberikan intervensi teh hijau Selisih perubahan profil lipid subjek setelah intervensi
5 6 6 7 9 11 13 14 16 31 34 37 38
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Berbagai manfaat teh putih (Dias et al. 2013) Kandungan katekin pada bagian-bagian tanaman teh Kategori status gizi berdasarkan IMT Kategori tingkat kecukupan lemak, vitamin, mineral, dan serat Kategori tingkat aktivitas fisik berdasarkan nilai PAL Kategori profil lipid Sebaran status gizi subjek Sebaran usia mulai merokok subjek Asupan zat gizi subjek sebelum dan selama intervensi teh putih Asupan zat gizi subjek sebelum dan selama intervensi teh hijau Selisih perubahan asupan zat gizi subjek saat intervensi teh putih dan teh hijau Tingkat kecukupan gizi subjek sebelum dan selama intervensi teh putih Tingkat kecukupan gizi subjek sebelum dan selama intervensi teh hijau Selisih perubahan tingkat kecukupan gizi subjek saat intervensi teh putih dan teh hijau Rata-rata asupan serat subjek sebelum dan selama intervensi Nilai PAL sebelum dan selama intervensi Rata-rata konsumsi rokok subjek (batang) sebelum dan selama intervensi Persentase (%) kepatuhan minum teh subjek Sebaran nilai TAC subjek berdasarkan IMT Perubahan kategori TG dan LDL-C subjek pada intervensi teh putih Perubahan kategori TG dan LDL-C subjek pada intervensi teh hijau
8 9 18 19 20 20 21 22 23 24 24 25 25 26 26 27 29 30 34 38 38
iii
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Studi sebelumnya terkait status oksidatif dan profil lipid yang pernah dilakukan menggunakan teh hijau Ethical clearence Prosedur Analisis TAC (Miller et al. 1993/Randox Ltd) Prosedur analisis profil lipid plasma Nilai PAR (Physical Activity Rate) untuk berbagai aktivitas pada lakilaki (WHO 2003) Asupan zat gizi subjek sebelum intervensi teh putih Asupan zat gizi subjek sebelum intervensi teh hijau Asupan zat gizi subjek selama intervensi teh putih Asupan zat gizi subjek selama intervensi teh hijau Tingkat kecukupan gizi subjek sebelum intervensi teh putih Tingkat kecukupan gizi subjek selama intervensi teh putih Tingkat kecukupan gizi subjek sebelum intervensi teh hijau Tingkat kecukupan gizi subjek selama intervensi teh hijau Hasil analisis TAC subjek sebelum dan setelah intervensi teh putih dan teh hijau Hasil analisis profil lipid subjek sebelum dan setelah intervensi teh putih Hasil analisis profil lipid subjek sebelum dan setelah intervensi teh hijau Hasil analisis paired sample t-test Hasil analisis independent t-test
47 49 50 52 53 54 54 55 55 56 56 57 57 58 58 59 59 61
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tidak hanya konsumsi, gaya hidup juga dapat mempengaruhi status gizi secara tidak langsung (Aryani et al. 2010). Perilaku makan termasuk kebiasaan hidup tidak sehat akan berdampak pada status gizi (Brown 2011). Salah satu kebiasaan yang tidak sehat adalah kebiasaan merokok. Merokok jangka panjang maupun jangka pendek signifikan meningkatkan kerusakan oksidatif (Diken et al. 2000). Setiap hembusan rokok mengandung 1014 radikal bebas, 8-20 mg nikotin, dan 800 ppm nitrogen oksida yang dapat bereaksi dengan peroksida sel radang membentuk radikal bebas (Marangon et al. 1998). Hal inilah yang menyebabkan kerusakan oksidatif. Akibatnya sistem imun bekerja lebih keras (Dietrich et al. 2002). Kerusakan oksidatif pada pembuluh darah dan jaringan jantung berkaitan dengan peningkatan risiko penyakit jantung (Dias et al. 2013). Sitepoe (2000b) menyatakan bahwa perokok memiliki risiko 2-3 kali lebih tinggi terkena penyakit jantung dibandingkan non perokok. Merokok mempercepat pembekuan darah yang merupakan salah satu faktor penyebab aterosklerosis yang memicu penyakit jantung. Gupta et al. (2006) menyatakan bahwa trigliserida (TG), total kolesterol (TC), dan Low Density Lipoprotein-Cholesterol (LDL-C) perokok lebih tinggi dari non perokok. Peningkatan tersebut disebabkan karena efek dari nikotin. Nikotin pada rokok menyebabkan oksidasi pada LDL-C. Chattopadhyay dan Chattopadhyay (2007) membuktikan bahwa terjadi peningkatan TG, TC, dan LDL-C pada tikus yang diberi intervensi nikotin 3.5 mg/kg/bb selama 15 hari. Nikotin bersifat toksik pada jaringan syaraf. Peningkatan TG, TC, dan LDL-C dapat memicu aterosklerosis dan meningkatkan risiko penyakit jantung. Merokok juga dapat memicu penyakit Diabetes Melitus (DM). Nikotin pada asap rokok akan menurunkan sensitivitas insulin (Ebersbach et al. 2013). Efek-efek negatif tersebut ternyata belum mampu meredam aktivitas merokok. Jumlah perokok dari tahun ke tahun cenderung semakin meningkat. Prevalensi penduduk laki-laki usia lebih dari 10 tahun yang merokok setiap hari adalah 23.7% (Depkes 2008). Tahun 2010 prevalensi penduduk laki-laki usia lebih dari 15 tahun yang merokok setiap hari adalah 28.2% (Depkes 2010). Jumlah ini meningkat lagi pada tahun 2013. Prevalensi penduduk laki-laki usia lebih dari 10 tahun yang merokok setiap hari adalah 29.8% (Depkes 2013). Peningkatan jumlah perokok juga diikuti dengan meningkatnya rata-rata rokok yang dihisap. Tahun 2010, rata-rata konsumsi rokok adalah 10 batang/hari (Depkes 2010). Jumlah ini meningkat pada tahun 2013 menjadi 12.3 batang/hari (Depkes 2013). Terkait penyakit jantung, Data Riskesdas 2013 juga menyatakan bahwa terjadi peningkatan prevalensi penyakit tersebut. Prevalensi penyakit jantung meningkat dari 0.9% pada tahun 2007 menjadi 1.5% di tahun 2013 (Depkes 2013). Meningkatnya jumlah perokok diikuti dengan meningkatnya prevalensi penyakit jantung dapat memicu meningkatnya risiko penyakit degeneratif yang lain hingga terjadinya sindrom metabolik. Salah satu upaya mengatasi radikal bebas dari asap rokok dan penyakit degeneratif yang dapat timbul akibat merokok adalah dengan menggunakan
2 fitoterapi. Fitoterapi atau terapi menggunakan tumbuhan sudah lama dikenal, terutama di Indonesia yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Salah satu yang dapat digunakan untuk fitoterapi adalah teh. Teh merupakan minuman yang berasal dari ekstrak daun teh (Camellia sinensis) yang mampu menstimulus saraf dan memberikan efek menyegarkan. Jenis teh yang umumnya dikenal masyarakat adalah teh hitam, teh hijau, dan teh oolong. Sekitar tahun 2000-an teh putih sudah mulai diperkenalkan meskipun belum sepopuler jenis teh lainnya. Almajano et al.(2008) menyatakan bahwa rasa teh putih lebih diterima di Eropa dibandingkan teh hijau ketika pertama kali diperkenalkan, karena rasa nya yang cenderung ringan dan tidak terlalu pahit. Manfaat teh yang berdampak positif pada kesehatan terkait dengan kandungan polifenol yaitu katekin dan turunannya (Firenzuoli et al. 2004). Polifenol utama dalam teh antara lain epicatechin (EC), epigallocatechin (EGC), epicatechin 3-gallate (ECG), dan epigallocatechin 3-gallate (EGCG) (De Mejia et al. 2009). Beberapa penelitian terkait dengan teh hijau pada perokok telah dilakukan. Lee et al. (1997) membuktikan bahwa terjadi penurunan kerusakan oksidatif yang dilihat dari penurunan nilai Sister-Chromatid Exchange (SCE) sebesar 1.52 pada perokok asia yang mengkonsumsi teh hijau 3 gelas/hari. Intervensi teh hijau sebanyak 900 ml/hari dilaporkan menurunkan TC, TG, dan LDL perokok masing-masing 3%, 7%, dan 3% setelah pemberian selama 2 minggu (Princen et al. 1998). Penelitian mengenai teh putih masih terbatas, khususnya mengenai pengaruh teh putih terhadap profil lipid dan stres oksidatif pada perokok. Penelitian terdahulu lebih banyak menggunakan teh hijau, maka peneliti tertarik untuk meneliti mengenai pengaruh teh putih dibandingkan dengan teh hijau terhadap status oksidatif dan profil lipid perokok. Perumusan Masalah Teh adalah minuman yang populer di dunia. Teh memiliki aroma kuat, rasa yang enak, dan memiliki manfaat untuk meningkatkan kesehatan. Hal ini lah yang membuat teh menjadi minuman populer di dunia. Terdapat beberapa jenis teh. Jenis teh menurut Dias et al. (2013) dapat diklasifikasikan berdasarkan proses pembuatan serta karakteristik kualitasnya menjadi empat jenis antara lain teh putih, teh hijau, teh oolong, dan teh hitam. Teh yang diberikan kepada subjek pada penelitian ini adalah teh putih dan teh hijau. Teh putih memiliki kandungan katekin yang paling tinggi dibandingkan jenis teh yang lain termasuk teh hijau. Selama fermentasi dan oksidasi, katekin berubah atau hilang sehingga jumlahnya menjadi semakin rendah pada teh hitam. Penurunan katekin selama fermentasi disebabkan karena terjadinya proses oksidasi yang merubah senyawa tersebut menjadi senyawa teaflavin dan tearubigin (Fulder 2004). Teh putih adalah teh yang diperoleh dari peko yang masih sangat muda. Peko adalah daun teh muda yang masih menggulung. Peko segar berwarna hijau dengan bulu-bulu halus berwarna putih dan dipanen pada pagi hari sebelum peko terbuka menjadi daun muda. Setelah dipanen teh putih mengalami proses minimal (Hilal & Engelhardt 2007). Teh putih akan melalui proses penyortiran, penjemuran, dan pengeringan. Suhu pengeringan tidak boleh lebih dari 40 0C. Teh akan dikeringkan hingga mencapai kadar air 3-4% (Rayati & Wahyu 2009). Terdapat dua jenis teh putih yang beredar di pasaran, yaitu peoni dan silver needle.
3 Peoni adalah teh putih yang dibuat dari campuran peko dengan pucuk daun pertama, sedangkan silver needle benar-benar dibuat hanya dari peko saja (PPTK 2006). Saat ini teh putih belum sepopuler teh hijau. Terkait teh hijau Dias et al. (2013) dalam reviewnya menyatakan bahwa beberapa studi telah memperlihatkan manfaat teh hijau pada penyakit kardiovaskular, obesitas dan DM tipe 2. Katekin pada teh hijau dapat menurunkan penyerapan kolesterol di usus dan meningkatkan ekskresi kolesterol dan total lipid melalui feses. Katekin terutama EGCG pada teh hijau dapat berperan sebagai antioksidan yang dapat menurunkan stres oksidatif. Memang belum ada bukti mengenai efek dari teh putih, namun diduga dengan tingginya katekin dan polifenol lain pada teh putih dibandingkan teh hijau (Hilal & Engelhardt 2007), teh putih dapat berdampak positif pada stres oksidatif, serta TC, TG dan LDL-C. Masih sedikit penelitian di Indonesia yang membahas mengenai manfaat teh, terutama teh putih terhadap profil lipid dan stres oksidatif. Jumlah perokok terus meningkat. Jenis dan intensitas merokok diketahui berpengaruh terhadap status oksidatif dan profil lipid. Status gizi, konsumsi pangan, dan aktivitas fisik juga dapat mempengaruhi status oksidatif dan profil lipid. Oleh karena itu, penelitian ini ingin mengetahui mengenai, 1. Status gizi perokok, usia mulai merokok, dan jenis rokok. 2. Bagaimana asupan zat gizi, tingkat kecukupan gizi, dan aktivitas fisik perokok sebelum dan selama intervensi? 3. Bagaimana pengaruh pemberian teh putih dibandingkan dengan teh hijau terhadap status oksidatif perokok? 4. Bagaimana pengaruh pemberian teh putih dibandingkan dengan teh hijau terhadap profil lipid perokok? Tujuan Penelitian Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh teh putih dibandingkan dengan teh hijau terhadap status oksidatif dan profil lipid perokok Tujuan Khusus 1. Mengetahui status gizi perokok, usia mulai merokok, dan jenis rokok 2. Mengetahui asupan zat gizi, tingkat kecukupan gizi, dan aktivitas fisik perokok sebelum dan selama intervensi. 3. Menganalisis pengaruh pemberian teh putih dibandingkan dengan teh hijau terhadap status oksidatif perokok. 4. Menganalisis pengaruh pemberian teh putih dibandingkan dengan teh hijau terhadap profil lipid perokok. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan mengenai manfaat teh putih dan teh hijau untuk kesehatan, khususnya pada perokok yang rentan mengalami kerusakan oksidatif dan peningkatan kadar TC, TG dan LDL-C, yang selanjutnya dapat meningkatkan risiko penyakit jantung. Intervensi teh putih dan teh hijau diharapkan dapat memberikan efek yang positif
4 pada kesehatan. Tidak hanya untuk perokok, konsumsi teh putih dan teh hijau juga dapat bermanfaat untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan. Hipotesis 1. Peningkatan status oksidatif subjek yang mendapatkan intervensi teh putih lebih besar daripada subjek yang mendapatkan intervensi teh hijau. 2. Penurunan TG, TC, dan LDL-C, serta peningkatan HDL-C subjek yang mendapatkan intervensi teh putih lebih besar daripada subjek yang mendapatkan intervensi teh hijau.
2 KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka pemikiran pada Gambar 1 menunjukkan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi status oksidatif. Status oksidatif pada penelitian ini menggunakan biomarker Total Antioxidant Capacity (TAC). Merokok jangka panjang maupun jangka pendek signifikan meningkatkan kerusakan oksidatif. Kerusakan oksidatif ditandai dengan nilai TAC yang rendah. Nilai normal TAC adalah 1.23-2.00 m mol/L. Block et al. (2002) menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan antara merokok dengan penurunan TAC. Merokok juga dapat mempengaruhi profil lipid dan sebaliknya. Profil lipid perokok diketahui lebih tinggi dari non perokok dan terdapat hubungan positif antara intensitas merokok dengan profil lipid. Penurunan TAC yang terjadi pada perokok juga dapat berdampak pada peningkatan profil lipid. Efek-efek negatif tersebut berkaitan dengan risiko berbagai penyakit. Risiko penyakit degeneratif dan sindrom metabolik akan semakin meningkat akibat merokok (Kusano & Bucalen 2008). Banyak faktor yang dapat mempengaruhi status oksidatif selain kebiasaan merokok. Cooper (2000) menyatakan bahwa aktivitas fisik yang maksimal dan melelahkan dapat meningkatkan leukosit dan memicu kerusakan oksidatif. Konsumsi sehari-hari termasuk konsumsi makanan atau minuman sumber antioksidan signifikan mempengaruhi TAC dan profil lipid. Faktor selanjutnya yang dapat mempengaruhi TAC adalah status gizi. Status gizi pada kategori overweight dan obese akan menurunkan nilai TAC (Block et al. 2002). Terlihat pada Gambar 1 bahwa perokok rentan mengalami kerusakan oksidatif. TAC yang rendah menandakan terjadinya kerusakan oksidatif yang dapat memicu terjadinya berbagai penyakit dan juga berhubungan dengan peningkatan profil lipid (TC, TG, dan LDL-C). Diharapkan dengan pemberian pangan sumber antioksidan, kerusakan oksidatif tersebut dapat diminimalisir. Teh merupakan salah satu sumber antioksidan. Antioksidan pada teh dapat meningkatkan TAC. Penelitian ini ingin menganalisis pengaruh konsumsi teh, dalam hal ini teh putih dan teh hijau pada TAC dan profil lipid perokok. Sebisa mungkin ingin dipastikan apakah efek yang terjadi benar-benar akibat teh yang diberikan. Variabel yang diduga dapat mempengaruhi TAC selain teh putih dan teh hijau yang diberikan adalah konsumsi antioksidan dari makanan atau minuman lain yang dikonsumsi subjek dan aktivitas fisik, sehingga pada penelitian ini konsumsi dan aktivitas fisik subjek juga dicatat dan dianalisis.
5 Tekanan darah (Sitepoe 2000b)
Profil Lipid
Merokok
Risiko Penyakit (Kusano dan Bucalen 2007) - Hipertensi - Aterosklerosis - Kanker - Asma - Kardiovaskular - DM - Sindrom Metabolik Konsumsi Status Oksidatif (TAC) (Block et al. 2002)
Aktivitas fisik (Cooper 2000)
Konsumsi teh (Thielecke & Boshmann 2009) Konsumsi Alkohol Konsumsi suplemen
Stress (Kusano & Bucalen 2007)
Status Gizi
Ket: : Variabel utama yang diteliti : Variabel yang tidak diteliti
Gambar 1 Kerangka pemikiran
3 TINJAUAN PUSTAKA Teh putih dan teh hijau Teh diambil dari tanaman Camellia Sinesis Linnaeus O. Kuntze. tanaman ini memiliki dua varietas, yaitu var. sinensis (China tea) and var. assamica (Assam tea). Tanaman teh saat ini sudah ditanam di berbagai negara selain Cina, yaitu India, Jepang, Taiwan, Sri lanka, Indonesia dan beberapa negara di Afrika. Jenis dari teh dapat ditentukan berdasarkan proses pembuatannya setelah daun teh dipetik. Daun teh yang baru dipetik harus segera dikeringkan dengan cepat, hal ini disebabkan karena daun teh akan cepat mengalami reaksi oksidasi, sehingga daun teh secara progresif menjadi lebih gelap yang disebabkan oleh pemecahan klorofil dan dikeluarkannya komponen tanin. Jenis teh menurut Dias et al. (2013) dapat diklasifikasikan berdasarkan proses pembuatan serta karakteristik kualitasnya menjadi empat jenis antara lain: (1) Teh putih; (2) Teh hijau; (3) Teh oolong; (4) Teh hitam. Perbedaan jenis teh dan cara pengolahannya dapat dilihat pada Gambar 2.
6
Gambar 2 Proses pengolahan berbagai jenis teh (Sumber : Dias et al. 2013) Perbedaan proses pada teh setelah dipetik akan menyebabkan perbedaan kandungan fenol pada teh. Semakin mengalami fermentasi maka kandungan katekin akan semakin rendah dan meningkatkan kandungan teaflavin dan tearubigin. Teh putih saat ini mulai menjadi trend baru. Rasa teh putih di Eropa lebih disukai dibandingkan teh hijau (Almajano et al. 2008), meskipun teh hijau masih lebih populer. Proses pengolahan teh putih seperti dilihat pada Gambar 2, paling sederhana yaitu hanya dikeringkan saja. Hal ini yang menyebabkan kandungan katekin terutama pada teh putih paling tinggi dibandingkan jenis teh lainnya. Selama fermentasi dan oksidasi, katekin berubah atau hilang sehingga jumlahnya semakin rendah pada saat proses produksi teh hitam. Selama fermentasi terjadi penurunan katekin yang disebabkan karena terjadinya proses oksidasi yang merubah senyawa tersebut menjadi senyawa teaflavin dan tearubigin (Fulder 2004). Teh putih didefinisikan sebagai teh yang terbuat dari peko. Peko adalah daun teh muda yang masih menggulung. Teh hijau, teh oolong, dan teh hitam tidak menggunakan peko sebagai bahan bakunya, melainkan menggunakan tiga pucuk teh teratas (Gambar 3). Teh hijau, teh oolong dan teh hitam berbeda karena proses fermentasi pucuk teh tersebut.
Gambar 3 Bagian-bagian daun yang digunakan untuk pembuatan teh
7 Peko segar berwarna hijau dengan bulu-bulu halus berwarna putih dan dipanen pada pagi hari sebelum peko terbuka menjadi daun muda. Bulu daun yang semakin banyak akan menghasilkan teh putih yang warna putihnya maksimal dan mengilap (Rayati & Wahyu 2009). Warna silver pada peko akan semakin terlihat setelah daun dikeringkan. Perbedaan warna peko segar dan peko yang telah dikeringkan dibandingkan dengan teh hijau dapat dilihat pada Gambar 4.
A C B Gambar 4 Peko segar (A), peko yang telah dikeringkan/teh putih (B), dan teh hijau (C) Setelah dipanen teh putih mengalami proses minimal (Hilal dan Engelhardt 2007). Teh putih akan melalui proses penyortiran, penjemuran, dan pengeringan. Suhu pengeringan tidak boleh lebih dari 400C. Teh akan dikeringkan hingga mencapai kadar air 3-4% (Rayati & Wahyu 2009). Terdapat dua jenis teh putih yang beredar di pasaran, yaitu peoni dan silver needle. Jenis Peoni adalah teh putih yang dibuat dari campuran peko dengan pucuk daun pertama, sedangkan jenis silver needle benar-benar dibuat hanya dari peko saja (PPTK 2006). Dilihat dari segi harga silver needle lebih mahal dibandingkan jenis peoni. Air seduhan teh putih berwarna jernih keemasan tidak pekat seperti air seduhan teh hitam. Pada umumnya, karakteristik dari teh termasuk rasa, warna, dan aroma secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan modifikasi komponen katekin. Katekin merupakan komponen kimia yang larut dalam air, tidak berwarna, serta memberikan rasa bitterness. Teh putih tinggi akan katekin dengan pengolahan yang minimal sehingga cenderung berwarna jernih keemasan. Teh hijau diolah tanpa mengalami oksidasi, tidak memberi kesempatan terjadinya fermentasi. Daun teh langsung digulung setelah layu, dikeringkan, dan siap untuk dikemas. Pucuk teh diproses langsung dengan uap panas (steam) atau digoreng (pan frying) untuk menghentikan aktivitas enzim. Hal ini membuat warna hijau tetap bertahan dan kandungan taninnya relatif tinggi. Hal tersebut berbeda dengan kandungan polifenol utama teh hitam yang terdiri dari teaflavin dan tearubigin. Tearubigin yang banyak terkandung pada teh hitam berperan membentuk warna coklat kemerahan pada air seduhan, sedangkan teaflavin memberikan warna kuning kemerahan (Rohdiana 2011). Teaflavin dan tearubigin merupakan hasil dari proses fermentasi yang melibatkan reaksi oksidasi enzimatis dari katekin sehingga terbentuk produk dengan pigmen yang berwarna coklat. Fermentasi pada teh bukan fermentasi oleh ragi tetapi proses oksidasi oleh enzim polifenoloksidase yang terdapat pada daun teh itu sendiri. Enzim tersebut akan keluar bila daun teh diremas, dan membentuk polifenol yang teroksidasi setelah berikatan dengan polifenol dan oksigen. Kandungan teaflavin yang terdapat pada berat kering teh hitam berkisar antara 0.3% hingga 2%, sedangkan kandungan thearubigin berkisar antara 10% hingga 20% (Chen et al. 2002; Wang
8 et al. 2000). Teaflavin selain berperan pada warna juga berperan memberi kesegaran sama halnya dengan katekin (Sujayanto 2008). Proses pembuatan teh hijau berbeda dengan teh putih. Daun teh segar yang sudah dipetik harus segera diproses dengan perlakuan uap dan panas. Metode yang dapat digunakan yaitu metode firing (perlakuan dengan panas) dan steaming (pelayuan dengan uap panas). Hal tersebut bertujuan untuk menghindari proses oksidasi enzimatis dari catechins yang terjadi secara alami. Daun akan menjadi lebih lentur dan lembek sehingga mudah tergulung. Daun teh yang sudah tergulung kemudian dilonggarkan oleh roll breaker / ball breaker disertai dengan proses pendinginan dan pengeringan hingga kadar air produk akhirnya kurang dari 6% (Wan et al. 2009). Proses pembuatan teh hijau yang diterapkan oleh PPTK (Pusat Penelitian Teh dan Kina) Gambung sedikit berbeda dengan proses tersebut. PPTK Gambung menerapkan proses pembuatan teh hijau untuk menghasilkan kandungan catechins yang optimal dengan menggunakan proses steaming yang terdiri dari tiga tahap, yaitu pelayuan selama kurang lebih lima menit pada suhu 80-100oC, penggulungan selama kurang lebih 15-17 menit, dan pengeringan dua tahap dengan suhu masuk 130-135oC dan suhu keluar 50-55oC selama 25 menit (PPTK 2006). Manfaat teh hijau telah banyak dikaji pada penelitian-penelitian terdahulu yang telah dirangkum pada Lampiran 1. Konsumsi teh hijau terbukti dapat menurunkan profil lipid, menurunkan kerusakan oksidatif, menurunkan kadar glukosa darah dan tekanan darah sehingga dapat menurunkan risiko DM dan hipertensi. Beberapa keunggulan teh putih dilaporkan sebelumnya. Berbagai manfaat teh putih dari beberapa hasil penelitian dirangkum pada Tabel 1. Tabel 1 Berbagai manfaat teh putih (Dias et al. 2013) Protective effects of White Tea Diabetes Obesity Mellitus
Cardiovscular Disease
Cancer
Antithrombogenic activity
Anti-mutagenic activity
Anti-diabetic activity
Stimulation of hepatic lipid metabolism
Hypotensive activity
Anticarcinogenic activity
Hypoglycemic activity
Inhibition of lipase
Antiinflammatory activity Antioxidant activity
Antiinflammatory activity DNA damage reduction Antioxidant activity Anti-angiogenic activity
Insulin Thermogenic resistance activity reduction Antioxidant Modulation of activity appetite Hypocholesterolemic activity
Central Nervous System Anti-stress activity
Microorganisminduced disease
Stimulant activity
Anti-fungal activity
Antidepressant activity Antioxidant activity
Anti-viral activity
Anti-microbial activity
Lipolytic and antiadipogenic activities Hypolipidemic activity
Manfaat teh putih pada kesehatan sedang banyak dikaji. Ekstrak teh putih diketahui efektif menghambat adipogenesis dan menstimulasi aktivitas lipolisis secara in vitro (Sohle et al. 2009). Tidak hanya perannya untuk menanggulangi obesitas, ekstrak teh putih juga diketahui memiliki peran sebagai anti-aging
9 (Thring et al. 2011). Penelitian dibidang kesehatan mulut dan gigi menyatakan bahwa ekstrak daun teh putih (Camellia sinensis) terbukti memiliki aktivitassebagai antibakteri terhadap bakteri penyebab karies gigi yaitu Streptococcus mutans (Noorhamdani 2013). Koutelidakis et al. (2009) melaporkan bahwa suplementasi ekstrak teh putih selama lima hari tidak hanya meningkatkan kapasitas antioksidan plasma, tapi juga pada organ lain mencit yaitu jantung dan paru-paru. Hal ini berarti bahwa teh putih memiliki cardioprotective effect. Hasil analisis Flavonoid untuk teh putih, teh hijau, dan teh hitam dapat dilihat pada Gambar 5. Teh putih diketahui memiliki kandungan antioksidan yang lebih besar dari teh hijau (Hilal & Engelhardt 2007). Hasil analisis menggunakan HPLC dapat membedakan jenis flavonoidnya mulai dari theogallin, gallic acis, theobromine, epigallocatechin, catecin, epigallocatechin gallate, epicathechin gallate, hingga kafein. Terlihat pada gambar 5 bahwa teh putih memiliki kandungan flavonoid yang secara umum lebih tinggi dibandingkan teh hijau dan teh hitam.
Ket: 1: Teogallin; 2:Gallic acid; 3:Teobromin; 4:Epigallocatechin; 5:Katekin; 6:Kafein; 7:Epicatechin; 8:EGCG; 9:Epicatechin gallate
Gambar 5 Hasil analisis polifenol teh putih, teh hijau, dan teh hitam dengan HPLC (Sumber : Hilal dan Engelhardt 2007) Hal ini disebabkan karena teh putih terbuat dari peko. Peko memiliki kandungan katekin yang paling tinggi dibandingkan bagian tanaman teh yang lain. Kandungan katekin pada bagian-bagian tanaman teh ditampilkan pada Tabel 2. Tabel 2 Kandungan katekin pada bagian-bagian tanaman teh Bagian teh Kandungan Katekin (%) Peko 26.5 Daun pertama 25.9 Daun kedua 20.7 Daun ketiga 17.1 Tangkai atas 11.7 (Sumber : Bambang et al. 1994 dalam Yunitasari 2010)
10 Rokok Pengertian rokok menurut PP No 19 tahun 2003 adalah hasil olahan tembakau yang terbungkus termasuk cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana Tabacum, Nicotiana Rustica dan spesies lainnya atau sintetisnya yang mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan tambahan. Nikotin adalah zat, atau bahan senyawa pirrolidin yang terdapat dalam Nikotiana Tabacum, Nicotiana Rustica dan spesies lainnya atau sintetisnya yang bersifat adiktif dapat mengakibatkan ketergantungan. Rokok berdasarkan bahan baku dibagi menjadi dua jenis, yaitu rokok putih dan rokok kretek. Rokok putih adalah rokok yang bahan baku atau isinya hanya daun tembakau yang diberi saus untuk mendapatkan efek rasa dan aroma tertentu. Rokok kretek adalah rokok yang bahan baku atau isinya berupa daun tembakau dan cengkeh yang diberi saus untuk mendapatkan efek rasa dan aroma tertentu (Sitepoe 2000a). Rokok ini mengandung sekitar 60% - 70% tembakau dan 30% 40% cengkeh. Tar, nikotin, dan karbon monoksida yang dikeluarkan dari rokok kretek dua kali lebih tinggi dibandingkan rokok putih. Berdasarkan penggunaan filter rokok dibagi menjadi dua yaitu rokok filter yang dibagian pangkalnya terdapat gabus, dan rokok non filter yang tidak memiliki gabus pada pangkalnya. Merokok secara umum adalah membakar tembakau yang kemudian dihisap asapnya, baik menggunakan rokok maupun menggunakan pipa. Temperatur pada sebatang rokok yang dibakar adalah 9000C pada bagian ujung rokok yang dibakar dan 300C untuk pangkal rokok yang dekat dengan bibir perokok. Asap rokok yang dihisap melalui mulut disebut mainstream smoke, sedangkan asap rokok yang terbentuk pada ujung rokok yang terbakar serta asap rokok yang dihembuskan ke udara oleh perokok disebut sidestream mengakibatkan seseorang menjadi perokok pasif. Seseorang disebut perokok pasif bila tidak merokok, namun terhirup asap rokok dari seseorang disekitarnya yang merokok. Menurut Sitepoe (2000a) perokok aktif adalah seseorang yang menghisap asap rokok yang berasal dari isapan dirinya sendiri. Asap rokok lebih berbahaya terhadap perokok pasif daripada perokok aktif. Asap rokok sigaret kemungkinan besar berbahaya terhadap mereka yang bukan perokok, terutama di tempat tertutup. Asap rokok yang dihembusan oleh perokok aktif dan terhirup oleh perokok pasif, lima kali lebih banyak mengandung karbon monoksida, empat kali lebih banyak mengandung tar dan nikotin (Wardoyo 1996). Mu’tadin (2002) membagi perokok menjadi 3 antara lain perokok ringan, sedang, dan berat. Perokok ringan adalah perokok yang menghabiskan rokok sekitar 10 batang. Perokok sedang menghabiskan rokok 11-21 batang. Perokok berat yaitu perokok yang merokok sekitar 21-30 batang sehari. Cara menghisap rokok juga berbeda-beda. Cara manghisap rokok dapat dibedakan menjadi tiga antara lain: secara dangkal (begitu menghisap langsung dihembuskan); dimulut saja (ditelan sampai ke dalam mulut ); dan hisapan dalam (ditelan sampai di kerongkongan) (Sitepoe 2000a). Asap rokok yang dihisap mengandung banyak bahan kimia yang mengganggu kesehatan (Gambar 6). Senyawa berbahaya pada rokok diantaranya adalah nikotin.
11
Gambar 6 Bahan-bahan berbahaya pada rokok (Sumber : Sitepoe 2000a) Nikotin merupakan unsur kimia beracun pada rokok. Nikotin dapat merusak jantung dan sirkulasi darah. Konsentrasi Nikotin biasanya sekitar 5% per 100 gram berat tembakau. Sebatang rokok biasanya mengandung 8-20 mg nikotin tergantung jenis dan merek rokok tersebut. Setiap satu batang rokok yang dihisap, tubuh menyerap 1 mg nikotin. Kadar nikotin 4-6 mg yang dihisap oleh orang dewasa setiap hari sudah bisa membuat seseorang ketagihan. Semakin banyak nikotin yang dikonsumsi, semakin tinggi juga risiko untuk terkena penyakitpenyakit berisiko tinggi akibat rokok. Hal ini dikarenakan nikotin dapat terakumulasi di dalam hati, ginjal, lemak dan paru-paru. Nikotin bersifat toksis terhadap jaringan syaraf, juga menyebabkan tekanan darah sistolik dan diastolik mengalami peningkatan. Denyut jantung bertambah, kontraksi otot jantung meningkat, pemakaian oksigen bertambah, aliran darah pada pembuluh koroner bertambah, dan vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Nikotin meningkatkan kolesterol LDL, dan meningkatkan agregasi sel pembekuan darah (Sitepoe 2000b). Merokok jangka panjang maupun jangka pendek signifikan menurunkan status oksidatif darah (Diken et al. 2000). Merokok akan meningkatkan oksigen reaktif yang terakumulasi sehingga stres oksidatif meningkat. Hal ini membuat perokok cenderung membutuhkan antioksidan yang tinggi. Banyak studi membuktikan bahwa suplementasi makanan atau minuman tinggi antioksidan merupakan upaya preventif dan protektif pada perokok. Antioksidan Antioksidan dikatakan sebagai senyawa yang dapat menghambat proses oksidasi (Rohdiana 2011). Antioksidan merupakan senyawa yang terdapat secara alami dalam hampir semua bahan pangan. Wildman (2001) menyatakan bahwa antioksidan merupakan agen yang dapat membatasi efek dari reaksi oksidasi dalam tubuh. Efek yang diberikan oleh antioksidan terhadap tubuh dapat secara langsung, yaitu dengan mereduksi radikal bebas dalam tubuh, dan secara tidak langsung, yaitu dengan mencegah terjadinya pembentukan efek radikal Berdasarkan fungsinya bagi tubuh, antioksidan dibagi menjadi tiga, yaitu antioksidan primer, sekunder dan tersier. Antioksidan primer adalah antioksidan yang berperan mencegah pembentukan senyawa radikal baru, contoh nya adalah Superoksida Dismutase (SOD) dan Glutation Peroksidase (GPx). Antioksidan
12 sekunder digunakan untuk mengikat logam yang bertindak sebagai pro-oksidan dan menangkap radikal bebas. Contoh antioksidan sekunder adalah vitamin E, vitamin C, β-caroten dan polifenol pada teh. Antioksidan tersier untuk memperbaiki kerusakan biomolekul yang disebabkan radikal bebas seperti enzimenzim yang memperbaiki DNA dan metionin sulfida reduktase. Kapasitas antioksidan total Awal tahun 1990-an Miller et al. (1993) telah menciptakan tes baru untuk mengukur status antioksidan total, yang dinamakan kapasitas antioksidan total (Total Antioksidan Capasity/TAC). Keuntungan utama dari tes ini adalah untuk mengukur kapasitas antioksidan dari semua antioksidan pada satu sampel dan bukan hanya kapasitas antioksidan dari senyawa tunggal. TAC dapat digunakan sebagai biomarker untuk diagnosis, prognosis, dan preventif dari suatu penyakit (Kusano dan Bucalen 2008). TAC merupakan jumlah dari beberapa antioksidan berbeda baik dari pangan yang dikonsumsi (eksogen), maupun antioksidan endogen (Collins 2005). Collins (2005) juga menyebutkan terdapat beberapa metode pengukuran TAC pada plasma, antara lain, Total Radical Trapping Potensial (TRAP), Trolox Equivalent Antioksidant Capasity (TEAC), Oxygen Radical Absorbance Capacity (ORAC), dan Ferric Reducing Ability of Plasma (FRAP). Tes TAC ini sekarang banyak digunakan dalam analisis serum, bahan makanan dan jaringan biologi. Metode FRAP berdasarkan pengurangan ion besi pada plasma atau sampel yang diukur secara spektrofotometri pada panjang gelombang 593 nm. Metode TAC menggunakan ORAC telah lama dikembangkan oleh Cao et al. pada tahun 1998. Metode ORAC didasarkan pada kemampuan plasma untuk menangkap radikal peroksil dari dekomposisi termal (ABAP- 2,2'-azobis [propana 2amidino]) dan kemudian diukur pada panjang gelombang 540 nm – 565 nm. Miller et al (1993) menggambarkan metode TEAC yang dengan menggunakan kit komersial dari Randox Laboratories Ltd (Inggris).
4 METODE PENELITIAN Desain, waktu, dan tempat Desain penelitian adalah paired samples clinical trials design. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari-April 2015 di Bogor. Ethical clearance pada penelitian ini didapat dari komisi etik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia No: 174/UN2.F1/ETIK/2015. Bahan dan alat Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah teh putih (silver njedle) dan teh hijau dari klon Gambung 7. Teh putih dan teh hijau diperoleh dari Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK) Gambung. Alat-alat yang digunakan terdiri dari peralatan untuk penyeduhan teh antara lain, kompor, panci, teko, gelas ukur, termometer suhu, gelas, saringan teh. Pengambilan darah subjek menggunakan jarum suntik, spuit 5 ml, sensi gloves, vacutainer dengan ethylenediaminetetraacetic acid (EDTA) 3 ml, dan cool box. Plasma didapatkan dengan alat sentrifuge, pipet mikro dan microtube. Status oksidatif diukur dengan
13 metode Trolox Equivalent Antioxidant Capacity (TEAC) menggunakan kalorimetri (Randox. Ltd). Teh putih dan teh hijau pada penelitian ini disiapkan dengan cara diseduh. Terdapat perbedaan kandungan antioksidan pada teh secara umum yang disebabkan karena faktor persiapan pada teh itu sendiri, salah satunya dipengaruhi oleh aspek pemanasan. Suhu yang baik untuk penyeduhan teh adalah 80 o – 95oC (Mckey dan Blumberg 2002). Teh putih pada penelitian ini diseduh pada suhu 95 o C mengacu pada Rohdiana et al. (2013), di mana pada suhu dan waktu penyeduhan tersebut kapasitas antioksidan pada teh putih maksimal. Berbeda dengan teh putih, teh hijau diseduh pada suhu 90 oC (Komes et al. 2010; Venditti et al. 2010). Pembuatan teh dilakukan secara komposit. Prosedur persiapan minuman teh putih dan teh hijau dapat dilihat pada Gambar 7. Berat teh putih dan teh hijau yang digunakan pada penelitian ini untuk masing-masing subjek adalah 2 gram per 200 ml air (Coimbra et al. 2006; Rohdiana et al. 2013). Waktu penyeduhan adalah 9 menit untuk teh putih (Rohdiana et al. 2013) dan 2.5 menit untuk teh hijau (Coimbra et al. 2006). Waktu penyeduhan teh yang lebih lama dari 10 menit akan membuat kandungan teh yang bermanfaat memberikan efek menenangkan akan berkurang (Fulder 2004). Suhu yang terlalu panas dan penyeduhan yang terlalu lama akan menyebabkan daun teh mengeluarkan lendir sehingga rasa teh menjadi lebih pahit dan warna lebih pekat (Sujayanto 2008). Teh putih dan teh hijau disajikan tanpa penambahan gula. Dipanaskan air sebanyak 5.4 liter (200 ml x 3 kali pemberian x 9 subjek) hingga suhu 95oC untuk teh putih dan 90oC untuk teh hjau
Air dituangkan ke dalam teko berisi 54 gram teh (2 gram x 3 kali pemberian x 9 subjek)
Teh diaduk dan didiamkan selama 9 menit untuk teh putih dan 2.5 menit untuk teh hijau
Teh disaring dan dituangkan ke dalam 27 gelas masing-masing 200 ml
Teh didistribusikan kepada subjek sesuai jadwal pemberian Gambar 7 Prosedur persiapan minuman teh putih dan teh hijau
14 Pembuatan teh selama intervensi dilakukan sendiri oleh peneliti. Setiap hari peneliti menyiapkan 27 gelas teh (3 kali pemberian x 9 subjek), masing-masing subjek mendapatkan 2 gram teh/200 ml, sehingga total minuman teh yang harus disiapkan untuk teh putih maupun teh hijau adalah 5.4 liter. Teh hanya disiapkan satu kali sehari yaitu setiap pagi hari, sehingga teh disajikan kepada subjek dalam keadaan tidak hangat lagi. Kandungan antioksidan pada teh dipengaruhi oleh suhu air ketika teh diseduh (Diaz et al. 2013). Suhu penyajian teh tidak mempengaruhi kandungan antioksidan pada teh tersebut, sehingga hal ini tidak mengganggu validasi hasil penelitian. Terdapat perbedaan warna air seduhan teh putih dengan teh hijau. Air seduhan teh putih berwarna jernih keemasan, sedangkan air seduhan teh hijau berwarna kehijauan dan lebih pekat (Gambar 8). Teaflavin dan tearubigin merupakan senyawa pembentuk warna pada teh. Tearubigin berperan membentuk warna coklat kemerahan pada air seduhan, sedangkan teaflavin memberikan warna kuning kemerahan (Rohdiana 2011). Teaflavin dan tearubigin merupakan hasil dari proses fermentasi yang melibatkan reaksi oksidasi enzimatis dari katekin sehingga terbentuk produk dengan pigmen yang berwarna coklat. Teaflavin selain berperan pada warna juga berperan memberi kesegaran sama halnya dengan katekin (Sujayanto 2008). Teh putih memiliki kandungan teaflavin dan tearubigin yang rendah, hal ini lah yang menyebabkan warna teh putih cenderung jernih keemasan.
A
B
Gambar 8 Warna air seduhan teh hijau (A) dan teh putih (B) Intervensi dilakukan selama 28 hari (Khosravi et al. 2014) pada hari kerja Senin-Jumat (5 hari) ditambah periode wash out 14 hari. Subjek yang digunakan merupakan pegawai Pusat Penelitian Karet di Bogor dengan jam kerja mulai pukul 7.30-16.15 WIB. Teh diberikan tiga kali sehari, pagi hari pukul 08.00 WIB (saat masuk kantor), siang hari pukul 12.00 WIB (waktu istirahat), dan sore hari (sebelum pulang kantor) pukul 16.00 WIB. Subjek yang memenuhi kriteria diminta untuk mengisi informed consent, mau berpartisipasi dan berkomitmen penuh untuk mematuhi protokol intervensi yang diberikan. Subjek selama penelitian diminta untuk: tidak mengonsumsi teh selain teh yang diberikan (Khosravi et al. 2014), menghindari konsumsi makanan yang mengandung polifenol seperti coklat (Khosravi et al. 2014), konsumsi kopi
15 dibatasi 1 kali sehari (200 ml/hari), meminum hingga habis teh yang diberikan (3 x 200 ml /hari), tidak merubah konsumsi dan aktivitas fisik termasuk aktivitas merokok (tetap merokok seperti biasa). Jumlah dan cara pengambilan subjek Penelitian ini menggunakan subjek yang merupakan pegawai Pusat Penelitian Karet di Bogor. Intervensi juga dilakukan di kantor tersebut. Pemilihan tempat intervensi dan subjek dalam penelitian ini dilakukan secara purposive. Pemilihan tempat penelitian secara purposive karena terkait kemudahan akses. Subjek yang terpusat pada satu tempat juga dapat memudahkan teknis pelaksanaan intervensi. Hal ini juga untuk untuk memastikan keseragaman (homogen) aktivitas sampel dan perlakuan serta mengontrol kepatuhan. Pemilihan subjek dilakukan setelah screening awal pada semua pegawai di kantor tersebut yang merokok dan bersedia untuk mengikuti proses screening. Saat screening dilakukan pengukuran TB, penimbangan BB, pengambilan darah untuk analisis profil lipid pada calon subjek, serta pengisian kuisioner. Terdapat beberapa kriteria yang harus dipenuhi untuk menjadi subjek dalam penelitian ini. Kriteria inklusi antara lain: laki-laki, usia 30-45 tahun, perokok kategori sedang (11-21 batang/hari) (Sitepoe 2000a), sudah merokok minimal 6 bulan (Gupta et al. 2006), memiliki kolesterol LDL-C >130 mg/dl dan trigliserida >150 mg/dl (dislipidemia ringan). Kriteria eksklusi antara lain: tidak suka teh, menggunakan obat-obatan yang dapat mempengaruhi profil lipid, sedang menjalani pengobatan, minum minuman beralkohol, dan mengonsumsi suplemen (cairan/padatan). Perhitungan jumlah subjek pada penelitian ini menggunakan data jumlah subjek dan standar deviasi pengukuran TAC pada penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Coimbra et al. (2006) mengenai pengaruh teh hijau pada stres oksidatif. Penelitian tersebut menggunakan 34 orang (n) subjek masing-masing terbagi dalam dua kelompok yaitu kelompok air putih sebagai kontrol dan kelompok perlakuan teh hijau. Hasil pengukuran TAC menunjukkan hasil bahwa TAC pada kelompok teh hijau lebih tinggi yaitu 1.07±0.13 mmol/l (µ±SD) dibandingkan kontrol yaitu 1.04±0.12 mmol/l (µ±SD). Selisih rata-rata TAC adalah 0.03 mmol/l (d). Menggunakan hasil dari penelitian tersebut, maka perhitungan subjek pada penelitian ini adalah sebagai berikut, 𝑛1 − 1 𝑆1 2 + 𝑛2 − 1 𝑆2 2 𝜎= 𝑛1 − 1 + 𝑛2 − 1 𝜎=
34 − 1 0.122 + 34 − 1 0.132 = 0.016 34 − 1 + 34 − 1
maka jumlah subjek dengan α=5%, power test = 95% dan d=0.03 mmol/l adalah, 2 𝑍∝ + 𝑍 𝛽 𝑥 2𝜎 2 𝑛= 𝑑2 𝑛=
1.96 + 1.64 2 𝑥 2(0.016)2 = 7.4 orang~8 orang 0.032
16 Antisipasi dropout adalah 10%, sehingga jumlah subjek yang digunakan adalah 9 orang/kelompok perlakuan. Penelitian ini menggunakan desain paired samples clinical trials sehingga hanya dibutuhkan 9 orang subjek, di mana kesembilan subjek tersebut mendapatkan seluruh perlakuan intervensi (teh putih dan teh hijau) (Tsuneki et al. 2004; Zanzer 2011) dengan periode washout antar perlakuan selama 14 hari (Grassi et al. 2012). Periode pertama, 9 orang subjek mendapatkan intervensi teh putih selama 28 hari. Periode berikutnya semua subjek mendapatkan teh hijau selama 28 hari setelah periode washout 14 hari. Tahapan penelitian secara lengkap ditampilkan pada Gambar 9. Populasi
1. 2. 3. 4.
Screening Awal Pengukuran Tinggi Badan Pengukuran Berat Badan Pengisian Kuisioner Pengukuran Profil Lipid* Kriteria Inklusi dan Eksklusi 9 orang subjek
Pengukuran status oksidatif (TAC) dan profil lipid* untuk data baseline teh putih Pencatatan konsumsi dan aktivitas fisik (2 x 24 jam; 1 hari kerja ; 1 hari libur) masingmasing sebelum dan selama intervensi
Intervensi teh putih selama 28 hari
Pengukuran status oksidatif (TAC) dan profil lipid* untuk data endline teh putih
Intervensi dilakukan di hari kerja Jadwal intervensi : • Pagi : pukul 08.00 WIB • Siang : pukul 12.00 WIB • Sore : pukul 16.00 WIB
Periode washout 2 minggu
Pencatatan konsumsi dan aktivitas fisik (2 x 24 jam; 1 hari kerja ; 1 hari libur) masingmasing sebelum dan selama intervensi *
Pengukuran status oksidatif (TAC) dan profil lipid* untuk data baseline teh hijau
Intervensi teh hijau selama 28 hari
Pengukuran status oksidatif (TAC) dan profil lipid* untuk data endline teh hijau
Pengambilan darah melalui vena sebanyak 5 ml oleh tenaga medis
Gambar 9 Tahapan penelitian
Intervensi dilakukan di hari kerja Jadwal intervensi : • Pagi : pukul 08.00 WIB • Siang : pukul 12.00 WIB • Sore : pukul 16.00 WIB
17 Jenis dan teknik pengumpulan data Status gizi, usia mulai merokok, dan jenis rokok Status gizi subjek diamati menggunakan indikator Indeks Massa Tubuh (IMT). Data berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) untuk perhitungan IMT diperoleh melalui pengukuran langsung. Data mengenai usia mulai merokok dan jenis rokok yang dihisap diperoleh melalui wawancara menggunakan kuesioner. Asupan makanan sebelum dan selama intervensi Data asupan makanan subjek sebelum intervensi diperoleh melalui kuisoner food recall 2 x 24 jam (1 hari biasa dan 1 hari libur) sebelum intervensi dilakukan. Asupan makanan subjek selama intervensi didapat melalui kuisioner Food Record 2 x 24 Jam (1 hari biasa dan 1 hari libur). Food recall dilakukan dua kali yaitu 2 x 24 jam sebelum intervensi teh putih dan 2 x 24 jam sebelum intervensi teh hijau. Sama halnya dengan food recall, food record juga dilakukan dua kali, yaitu 2 x 24 jam saat subjek mendapatkan teh putih dan saat subjek mendapatkan teh hijau. Aktivitas fisik Aktivitas fisik dicatat menggunakan kuisioner 2x 24 jam sebelum intervensi (1 hari biasa dan 1 hari libur) dan 2x 24 jam selama intervensi (1 hari biasa dan 1 hari libur). Pengukuran aktivitas fisik dilakukan terhadap jenis aktivitas yang dilakukan subjek dan lama waktu melakukan aktivitas dalam sehari. Sama dengan konsumsi, pencatatan aktivitas fisik juga dilakukan dua kali, masing-masing saat subjek mendapatkan intervensi teh putih dan teh hijau. Pengambilan darah pre dan post-intervensi Pengambilan darah subjek dilakukan pre dan post-intervensi pada masingmasing periode intervensi teh putih dan teh hijau. Sebelum pengambilan darah dilakukan, subjek diharuskan berpuasa selama 12 jam, subjek hanya boleh mengonsumsi air putih selama waktu tersebut. Darah subjek diambil melalui vena cubiti sebanyak 5 ml oleh tenaga medis. Pengukuran status oksidatif dengan TAC Pengukuran TAC dilakukan dengan metode TEAC menggunakan kalorimetri. Serum darah plasma yang digunakan untuk pengukuran ini sebanyak 20 µl. TAC diukur menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang (λ) 600 nm. Metode yang digunakan mengacu pada metode pengukuran TAC oleh Miller et al. (1993) (Randox Ltd). Analisis TAC dilakukan di laboratorium klinis terakreditasi (Prodia®). Prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 3. Profil lipid plasma Uji profil lipid plasma meliputi uji kadar TG, TC, HDL-C dan LDL-C. Uji profil lipid plasma menggunakan pereaksi kit merk DiaSys (Diagnostic Systems GmbH) dan absorbansi larutan dibaca pada λ 500 nm. Analisis profil lipid dilakukan di laboratorium klinis terakreditasi (Laboratorium Kesehatan Daerah Kota Bogor). Prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 4.
18 Pengolahan dan analisis data Status gizi Status gizi subjek dilihat menggunakan indikator IMT. Perhitungan IMT dilakukan menggunakan data BB dan TB subjek, dengan rumus sebagai berikut, IMT = BB/TB (cm)2 Keterangan IMT : Indeks Massa Tubuh (kg/m2) BB : Berat badan (kg) TB : Tinggi Badan (cm) (Sumber : Almatsier 2004)
Hasil perhitungan IMT tersebut selanjutnya dikategorikan untuk mengetahui status gizi subjek. Kategori status gizi berdasarkan IMT disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Kategori status gizi berdasarkan IMT Kategori status gizi Sangat kurus Underweight Normal Overweight Obese
IMT <17 kg/m2 17 -18.4 kg/m2 18.5-25 kg/m2 25.1-27 kg/m2 >27 kg/m2
Sumber: Kemenkes 2014
Asupan Asupan makanan dan minuman subjek dalam satuan Ukuran Rumah Tangga (URT) dikonversikan ke dalam satuan gram dan diolah menggunakan softwere nutrisurvey. Kecukupan energi dan zat gizi subjek dihitung menggunakan Angka Kecukupan Gizi (AKG) menurut Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) 2013 dengan koreksi BB aktual subjek. Subjek dengan status gizi kurang dan lebih menggunakan berat badan ideal. Tingkat kecukupan energi dan zat gizi diperoleh dengan membandingkan konsumsi energi dan zat gizi dengan kecukupan energi dan zat gizi subjek. Perhitungan-perhitungan tersebut menggunakan rumus sebagai berikut: BBi= (TB-100)-(10% x (TB-100)) Keterangan: BBi : Berat badan ideal TB : Tinggi badan (Sumber : Almatsier 2004)
AKGi = (Ba/Bs) x AKGI Keterangan: Ba : Berat badan aktual (kg) Bs : Berat badan rata-rata yang tercantum pada tabel AKG AKGI : Angka kecukupan lemak, vitamin A, B12, C, E, folat, Fe, dan Zn yang tercantum pada tabel AKG AKGi : Kecukupan lemak, vitamin A, B12, C, E, folat, Fe, dan Zn dengan koreksi berat badan aktual (Sumber : Hardinsyah & Briawan 1994)
TKGi = (Ki/AKGi ) x 100%
19 Keterangan: AKGi : Kecukupan lemak, vitamin A, B12, C, E, folat, Fe, dan Zn dengan koreksi berat badan aktual TKGi : Tingkat kecukupan lemak, vitamin A, B12, C, E, folat, Fe, dan Zn Ki : konsumsi zat gizi i (Sumber : Hardinsyah & Briawan 1994)
Tingkat kecukupan didapatkan dengan membandingkan konsumsi zat gizi dengan kecukupan zat gizi masing-masing subjek. Kecukupan zat gizi subjek dihitung mengunakan tabel AKG zat gizi tahun 2013 untuk laki-laki usia 30-49 tahun dengan penyesuaian menggunakan BB aktual subjek. Subjek dengan status gizi normal menggunakan BB aktual sedangkan untuk subjek dengan status gizi lebih dan kurus menggunakan berat badan ideal. Berdasarkan WKNPG (2013), AKG zat gizi laki-laki usia 30-49 tahun yaitu 73 g untuk lemak, 600 µg untuk vitamin A, 13 µg untuk Fe dan Zn, 90 mg untuk vitamin C, 15 mg untuk vitamin E, 400 µg untuk folat, dan 2.4 µg untuk vitamin B 12. Selanjutnya akan dilihat tingkat kecukupan lemak, vitamin (vitamin A, B12, C, E, folat), mineral (Fe dan Zn), dan serat dengan kategori yang ditampilkan pada Tabel 4. Tabel 4 Kategori tingkat kecukupan lemak, vitamin, mineral, dan serat Kategori Nilai Lemak (Hardinsyah dan Tambunan 2004) Cukup 20-30% kecukupan energi Lebih >30% kecukupan energi Vitamin dan mineral (Gibson 2005) Kurang <77% AKG Cukup = 77% AKG Serat (Perkeni 2011) Cukup ≥ 25 gram Kurang < 25 gram
Aktifitas fisik Aktivitas fisik subjek dihitung menggunakan PAL (Physical Activity Level). Aktivitas fisik adalah variabel utama setelah angka metabolisme basal dalam penghitungan pengeluaran energi (WHO 2004). PAL merupakan besarnya energi yang dikeluarkan (kkal) per kilogram berat badan dalam 24 jam. Nilai PAR (Physical Activity Rate) untuk berbagai jenis aktivitas dan tingkat aktivitas fisik menurut WHO (2003) tercantum dalam Lampiran 5. PAL ditentukan dengan rumus sebagai berikut : PAL =
(PAR i x W i ) 24 jam
Keterangan PAL : Physical activity level (tingkat aktivitas fisik) PARi : Physical activity rate dari masing-masing aktivitas (jumlah energi yang dikeluarkan untuk tiap jenis aktivitas per jam) Wi : Alokasi waktu tiap aktivitas (Sumber : WHO 2003)
Nilai PAL dari hasil perhitungan menggunakan nilai PAR kemudian ditentukan kategorinya berdasarkan WHO untuk mengetahui kategori aktivitas fisiknya termasuk ringan, sedang, atau berat. Kategori tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.
20 Tabel 5 Kategori tingkat aktivitas fisik berdasarkan nilai PAL Kategori Ringan (sedentary lifestyle) Sedang (active or moderately active lifestyle) Berat (vigorous or vigorously active lifestyle)
Nilai PAL 1.40-1.69 1.70-1.99 2.00-2.40
TAC dan profil lipid Hasil analisis serum TAC dan profil lipid selanjutnya ditentukan kategorinya. Pengkategorian TAC dilakukan menggunakan acuan dari Miller et al. (1993), di mana kategori normal TAC berkisar antara 1.23-2.00 mmol/L. Kategori untuk profil lipid ditampilkan pada Tabel 6. Tabel 6 Kategori profil lipid Kategori TC (Watson et al. 1995) Normal Tinggi TG (Watson et al. 1995) Normal Tinggi HDL Normal Rendah LDL ( Rifai et al. 1992) Normal Tinggi
Nilai ≤ 200 mg/dl >200 mg/dl <150 mg/dl ≥150 mg/dl ≥35 mg/dl < 35 mg/dl < 130 mg/dl ≥130 mg/dl
Analisis data Analisis statistik secara deskriptif dilakukan pada data IMT, usia mulai merokok, dan jenis rokok yang dihisap. Dilakukan uji beda paired sample t-test untuk data konsumsi termasuk jumlah rokok subjek, tingkat kecukupan gizi subjek, serta PAL subjek sebelum dan selama intervensi. Perbedaan selisih TAC (∆TAC) dan profil lipid (∆ TC, ∆ TG, ∆ LDL-C, ∆ HDL-C) subjek saat intervensi teh putih dan teh hijau dianalisis menggunakan independent sampel t-test. Pengolahan dan analisis data dilakukan menggunakan software Microsoft Excel 2007 dan SPSS 22.0 for Windows.
4 DEFINISI OPERASIONAL Perokok adalah laki-laki yang menghisap rokok 11-20 batang/hari (perokok kategori sedang). Asupan sebelum intervensi adalah jumlah makanan dan minuman subjek 2 x 24 jam sebelum intervensi (1 hari kerja dan 1 hari libur) yang dicatat menggunakan metode food recall. Asupan selama intervensi adalah jumlah makanan dan minuman subjek 2 x 24 jam selama intervensi (1 hari kerja dan 1 hari libur) yang dicatat menggunakan metode food record.
21 Aktivitas fisik sebelum intervensi adalah kegiatan yang dilakukan subjek 2 x 24 jam sebelum intervensi (1 hari kerja dan 1 hari libur) yang diukur menggunakan PAL. Aktivitas fisik selama intervensi adalah kegiatan yang dilakukan subjek 2 x 24 jam selama intervensi (1 hari kerja dan 1 hari libur) yang diukur menggunakan PAL. Status oksidatif adalah keadaan antioksidan dalam plasma darah yang diukur menggunakan biomarker TAC dengan nilai normal berada antara 1.23- 2.00 m mol/L. Profil lipid adalah kadar lipid dalam plasma yang terdiri dari TG,TC, LDL-C, dan HDL-C dengan nilai normal masing-masing <200 mg/dl, <150 mg/dl, < 130 mg/dl , dan ≥35 mg/dl.
5 HASIL DAN PEMBAHASAN Status gizi Status gizi adalah kondisi pada tubuh yang dihasilkan dari pemanfaatan zat gizi pada makanan dan minuman yang dikonsumsi. Salah satu indikator untuk menentukan status gizi adalah IMT dengan membandingkan BB dengan TB. Status gizi berdasarkan IMT dan usia mulai merokok subjek ditampilkan pada Tabel 8. Terlihat pada Tabel 7 sebagian besar subjek (44.44%) memiliki status gizi overweight, masing-masing 11.11% subjek memiliki status gizi underweight dan obese, serta 33.33% subjek dengan status gizi normal. Tabel 7 Sebaran status gizi subjek Status gizi Sangat kurus Underweight Normal Overweight Obese Total
n
% 0 1 3 4 1 9
0 11.11 33.33 44.44 11.11 100
Merokok diketahui berhubungan dengan status gizi. Khasanah (2013) membuktikan bahwa terdapat hubungan signifikan antara frekuensi merokok dengan status gizi. Dara et al. (2014) juga menyatakan bahwa jenis rokok, lama merokok, dan jumlah rokok yang dihisap berhubungan dengan status gizi. Subjek pada penelitian ini sebagian besar memiliki status gizi overweight. Hanya 1 orang subjek yang memiliki status gizi pada kategori underweight. Hal ini bertentangan dengan hasil penelitian Dara et al. (2014) dan Aginta (2012). Penelitian Aginta (2012) menemukan bahwa terdapat hubungan negatif antara merokok dengan status gizi, di mana artinya bahwa bila kebiasaan merokok semakin tinggi intensitasnya maka akan menurunkan status gizi atau membuat terjadinya underweight bahkan gizi kurang. Diperkuat melalui hasil penelitian Dara et al. (2014) yang menyebutkan bahwa sebanyak 50.5% subjek perokok yang menghisap rokok jenis filter memiliki status gizi pada kategori underweight. Hal
22 ini disebabkan nikotin pada rokok. Nikotin akan meningkatkan pengeluaran energi dan dapat menurunkan nafsu makan (Chiolero et al. 2008). Ini yang menyebabkan perokok biasanya memiliki berat badan yang lebih rendah dari orang yang tidak merokok. Perbedaan hasil penelitian terdahulu dengan penelitian ini diduga disebabkan karena perbedaan umur subjek dan kategori perokok. Dara et al. (2014) menggunakan subjek lansia usia 55-64 tahun dan Aginta (2012) menggunakan subjek remaja laki-laki usia 17-18 tahun. Remaja merupakan masa pertumbuhan dengan aktivitas tinggi (aktif) yang cenderung membutuhkan kalori yang tinggi. Menurunnya nafsu makan akibat rokok ditambah dengan aktivitas remaja yang tinggi diduga menjadi penyebab menurunnya status gizi perokok remaja. Dara et al. (2014) menyatakan bahwa pada lansia juga terjadi penurunan asupan gizi baik makro maupun mikro yang mempengaruhi status gizi lansia. Hal ini yang menyebabkan status gizi subjek lansia pada penelitian Dara et al. (2014) sebagian besar berada pada status gizi kurang. Kategori perokok pada penelitian ini juga berbeda dengan penelitian Dara et al. (2014) dan Aginta (2012). Subjek penelitian ini adalah perokok sedang, sedangkan pada penelitian Dara et al. (2014) dan Aginta (2012) masing-masing adalah perokok berat dan perokok ringan. Usia mulai merokok Diketahui bahwa usia mulai merokok dapat mempengaruhi status oksidatif dan profil lipid. Kebiasaan merokok yang dimulai saat usia remaja cenderung akan semakin meningkat dengan semakin bertambahnya usia (Gee 2005). Sebaran usia mulai merokok subjek disajikan pada Tabel 9. Tabel 8 Sebaran usia mulai merokok subjek Usia mulai merokok 16 tahun 17 tahun 18 tahun Total
n 2 4 3 9
% 22.22 44.44 33.33 100
Tabel 9 menunjukkan bahwa terdapat subjek yang mulai merokok pada usia 16 tahun, 17 tahun, dan 18 tahun. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Adhayanti (2007) yang menyatakan bahwa 70% perokok di Indonesia mulai merokok sebelum usia 19 tahun. Kebiasaan merokok cenderung sulit dihentikan, terutama bila kebiasaan tersebut sudah berlangsung sejak remaja. Intensitas merokok dalam jangka waktu yang lama dapat meningkatkan kerusakan oksidatif, profil lipid dan berbagai risiko penyakit degeneratif (Kusano & Bucalen 2007). Jenis rokok yang dihisap Semua subjek menghisap jenis rokok yang sama yaitu rokok kretek dengan filter. Rokok berdasarkan bahan baku dibagi menjadi dua jenis, yaitu rokok putih dan rokok kretek. Rokok putih adalah rokok yang bahan baku atau isinya hanya daun tembakau yang diberi saus untuk mendapatkan efek rasa dan aroma tertentu. Rokok kretek adalah rokok yang bahan baku atau isinya berupa daun tembakau dan cengkeh yang diberi saus untuk mendapatkan efek rasa dan aroma tertentu (Sitepoe 2000a). Berdasarkan penggunaan filter rokok dibagi
23 menjadi dua yaitu rokok filter yang di bagian pangkalnya terdapat gabus, dan rokok non filter yang tidak memiliki gabus pada pangkalnya. Konsumsi rokok di Indonesia (84.31%) didominasi oleh rokok kretek, baik berfilter maupun tanpa filter (Sitepoe 2000a). Rokok kretek mengandung sekitar 60%-70% tembakau dan 30% - 40% cengkeh. Tar, nikotin, dan karbon monoksida yang dikeluarkan dari rokok kretek dua kali lebih tinggi dibandingkan rokok putih (Sitepoe 2000b). Menurut hasil Survei Nielsen Retail Audit tahun 2013, 92% pasar rokok di Indonesia dikuasai oleh rokok kretek (Anonim 2014). Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Andi (2006) yang menyatakan bahwa 45% perokok di Bogor menyukai rokok kretek dengan filter. Hal ini diduga disebabkan karena citarasa, harga, dan lingkungan sosial tempat mereka tinggal maupun kerja mayoritas merokok dengan rokok jenis ini, sehingga mereka lebih memilih rokok ini daripada rokok jenis lain. Asupan zat gizi dan tingkat kecukupan gizi Asupan zat gizi yang diamati adalah lemak yang dapat mempengaruhi profil lipid, serta vitamin dan mineral yang dapat mempengaruhi TAC, yaitu vitamin A, vitamin B 12, folat, vitamin C, vitamin E, zat besi (Fe), dan seng (Zn). Rata-rata asupan zat gizi subjek sebelum dan selama intervensi teh putih dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Asupan zat gizi subjek sebelum dan selama intervensi teh putih Zat gizi Lemak (g) Vitamin A (µg) folat (µg) Vitamin B12 (µg) Vitamin C (mg) Vitamin E(mg) Fe (mg) Zn (mg)
Rata-rata asupan zat gizi Sebelum intervensi Selama intervensi Rata-rata SD Rata-rata SD 67.20 6.02 67.26 4.57 288.28 99.28 288.65 97.65 232.14 20.95 232.51 22.69 2.55 0.32 2.56 0.31 64.59 8.36 64.96 6.84 10.70 1.18 10.95 3.95 7.92 0.43 7.93 0.40 8.30 0.56 8.33 0.58
pa 0.917 0.776 0.776 0.155 0.776 0.838 0.468 0.130
Keterangan: SD=Standar Deviasi a paired sample t-test antara sebelum dan selama intervensi
Tabel 9 menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05) pada rata-rata asupan zat gizi subjek sebelum dan selama intervensi teh putih. Hal ini menunjukkan bahwa subjek mematuhi protokol penelitian yang ditetapkan, yaitu dengan tidak merubah konsumsi antara sebelum dan selama penelitian. Asupan zat gizi juga diamati sebelum dan selama intervensi teh hijau. Rata-rata asupan zat gizi sebelum dan selama intervensi teh hijau ditampilkan pada Tabel 10. Sama halnya dengan asupan sebelum dan selama intervensi teh putih, subjek juga tidak merubah konsumsinya saat intervensi teh hijau. Tabel 10 menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata pada rata-rata asupan subjek sebelum dan selama intervensi teh hijau. Perubahan asupan subjek dapat mempengaruhi TAC dan profil lipid yang diukur.
24 Tabel 10 Asupan zat gizi subjek sebelum dan selama intervensi teh hijau Zat gizi Lemak (g) Vitamin A (µg) folat (µg) Vitamin B12 (µg) Vitamin C (mg) Vitamin E(mg) Fe (mg) Zn (mg)
Rata-rata asupan zat gizi Sebelum intervensi Selama intervensi Rata-rata SD Rata-rata SD 67.09 3.67 67.42 4.91 285.40 79.76 286.79 77.52 232.52 59.63 241.73 3.30 2.56 0.33 2.63 0.30 65.18 8.06 65.60 7.95 10.54 1.03 10.63 0.97 7.92 0.31 7.95 0.33 8.28 0.63 8.29 0.64
pa 0.760 0.349 0.647 0.266 0.205 0.149 0.158 0.543
Keterangan: SD=Standar Deviasi a paired sample t-test antara sebelum dan selama intervensi
Tidak hanya memastikan subjek tidak merubah konsumsinya sebelum dan selama intervensi namun subjek juga tidak diperbolehkan merubah konsumsinya ketika intervensi teh putih dan intervensi teh hijau. Hal tersebut dianalisis melalui selisih perubahan (∆) konsumsi subjek antara sebelum dan selama intervensi pada masing-masing periode intervensi teh putih dan teh hijau. Selisih perubahan (∆) tersebut dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Selisih perubahan asupan zat gizi subjek saat intervensi teh putih dan teh hijau Zat gizi Lemak (g) Vitamin A (µg) folat (µg) Vitamin B12 (µg) Vitamin C (mg) Vitamin E(mg) Fe (mg) Zn (mg) Keterangan:
∆ Rata-rata asupan zat gizi Intervensi teh putih Intervensi teh hijau 0.06 0.33 0.37 1.39 0.37 9.21 0.01 0.07 0.37 0.42 0.25 0.09 0.01 0.03 0.03 0.01
pb 0.964 0.947 0.986 0.944 0.881 0.760 1.000 0.938
b
independent sample t-test
Tabel 11 menunjukkan bahwa tidak banyak perubahan (∆ rata-rata) asupan zat gizi subjek pada periode intervensi teh putih dan teh hijau. Hal ini dibuktikan dengan hasil uji beda menggunakan independent sample t-test yang tidak berbeda nyata (p>0.05). Perbedaan asupan zat gizi subjek sebelum dan selama intervensi akan mempengaruhi validitas TAC dan profil lipid yang diukur. Asupan lemak dapat mempengaruhi profil lipid. Vitamin A dalam bentuk beta karoten dapat berperan sebagai antioksidan pada subjek perokok (Chopra et.al. 2000; Kelly 2002; Bashar & Mitra 2004). Vitamin C juga dapat berperan sebagai antioksidan dan dapat meminimalisir stres oksidatif akibat asap rokok (Kelly 2002; Dwifitri 1999). Vitamin E dalam bentuk α-tokoferol dapat berperan sebagai antioksidan untuk meminimalisir stres oksidatif pada perokok (Bashar & Mitra 2004). TAC juga dapat dipengaruhi dari konsumsi Zn dan Fe. Seng (Zn) merupakan kofaktor dari Superoxide Dismutase (SOD) yang merupakan salah satu biomarker status
25 oksidatif (Anbarasi et al. 2006). Perubahan yang terjadi pada profil lipid dan TAC subjek dapat dipastikan karena intervensi yang diberikan yaitu teh putih dan teh hijau dengan tidak adanya perubahan asupan zat gizi subjek. Tingkat kecukupan zat gizi (lemak, vitamin A, vitamin B 12, folat, vitamin C, vitamin E, Fe, dan Zn) subjek sebelum dan selama intervensi teh putih dapat dilihat pada Tabel 12. Tingkat kecukupan lemak subjek sebelum dan selama intervensi teh putih termasuk pada kategori kategori cukup (<30% kecukupan energi). Tingkat kecukupan untuk zat gizi mikro juga termasuk pada kategori cukup (>77% AKG) kecuali untuk vitamin A, folat, dan fe. Tabel 12 Tingkat kecukupan gizi subjek sebelum dan selama intervensi teh putih Zat gizi Lemak Vitamin A Folat Vitamin B12 Vitamin C Vitamin E Fe Zn
Tingkat kecukupan gizi (%) Sebelum Selama Kategori Rata-rata SD Rata-rata SD 26.03 3.97 26.05 3.68 cukup 57.71 18.58 57.77 18.15 kurang 71.18 11.93 71.26 12.05 kurang 130.23 24.72 130.85 23.97 cukup 88.26 17.90 88.64 16.27 cukup 87.23 14.49 88.51 31.83 cukup 74.61 10.59 74.71 10.47 kurang 78.10 11.27 78.36 11.34 cukup
pa 0.913 0.833 0.825 0.150 0.830 0.897 0.445 0.108
Keterangan: SD=Standar Deviasi a paired sample t-test antara sebelum dan selama intervensi
Tingkat kecukupan gizi subjek sebelum dan selama intervensi teh hijau juga dikumpulkan. Tingkat kecukupan gizi subjek sebelum dan selama intervensi teh hijau ditampilkan pada Tabel 13. Sama halnya dengan teh putih, tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05) pada tingkat kecukupan gizi subjek sebelum dan selama intervensi teh hijau dilakukan. Tingkat kecukupan lemak berada pada kategori cukup. Tingkat kecukupan zat gizi mikro subjek juga sama dengan tingkat kecukupan zat gizi mikro saat intervensi teh putih. Vitamin A, folat, dan Fe berada pada kategori kurang, dan vitamin B 12, vitamin C, vitamin E, dan Zn berada pada kategori cukup. Tabel 13 Tingkat kecukupan gizi subjek sebelum dan selama intervensi teh hijau Zat gizi Lemak Vitamin A Folat Vitamin B12 Vitamin C Vitamin E Fe Zn
Tingkat kecukupan gizi (%) Sebelum Selama Kategori Rata-rata SD Rata-rata SD 25.93 3.05 26.11 3.70 cukup 57.22 14.45 57.55 14.10 kurang 71.44 21.98 73.78 8.20 kurang 130.83 25.36 133.73 21.49 cukup 89.00 17.41 89.54 17.18 cukup 86.03 14.36 86.68 13.74 cukup 74.51 9.60 74.75 9.80 kurang 77.96 12.03 78.08 12.17 cukup
pa 0.894 0.325 0.709 0.256 0.244 0.124 0.120 0.431
Keterangan: SD=Standar Deviasi a paired sample t-test antara sebelum dan selama intervensi
Selisih perubahan (∆) tingkat kecukupan gizi subjek pada intervensi teh putih dan teh hijau ditampilkan pada Tabel 14.
26 Tabel 14 Selisih perubahan tingkat kecukupan gizi subjek saat intervensi teh putih dan teh hijau Zat gizi Lemak Vitamin A Folat Vitamin B12 Vitamin C Vitamin E Fe Zn
∆ % kecukupan gizi Kategori pb Intervensi teh putih Intervensi teh hijau 26.03 3.97 cukup 0.910 57.71 18.58 kurang 0.507 71.18 11.93 kurang 0.715 130.23 24.72 cukup 0.357 88.26 17.90 cukup 0.924 87.23 14.49 cukup 0.949 74.61 10.59 kurang 0.451 78.10 11.27 cukup 0.502
Keterangan: b independent sample t-test
Terlihat pada Tabel 14 bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05) pada tingkat kecukupan gizi subjek saat intervensi teh putih dan teh hijau dilakukan. Tingkat kecukupan vitamin A, folat, dan Fe masih berada pada kategori kurang. Tingkat kecukupan vitamin A, folat, dan fe yang termasuk pada kategori kurang diduga disebabkan karena kurangnya konsumsi sayuran dan buahbuahan, meskipun tingkat kecukupan zat gizi mikro yang lain termasuk dalam kategori cukup. Perokok cenderung memiliki konsumsi, terutama sayur dan buah yang lebih rendah dibandingkan non perokok (Dwifitri 1999), padahal perokok membutuhkan sayuran dan buah-buahan sumber antioksidan yang lebih banyak. Kecukupan sayuran dan buah-buahan subjek dapat terlihat dari asupan serat. Asupan serat subjek pada penelitian ini ditampilkan pada Tabel 15. Tabel 15 Rata-rata asupan serat subjek sebelum dan selama intervensi Rata-rata asupan serat (gram) Teh putih Sebelum intervensi Selama intervensi Teh hijau Sebelum intervensi Selama intervensi
Kategori
20.78 19.89 pa= 0.127
kurang kurang
21.05 20.88 pa=0.296
kurang kurang
pb = 0.761 Keterangan: a paired sample t-test antara sebelum dan selama intervensi b independent sample t-test antara teh putih dan teh hijau
Terlihat pada Tabel 15 bahwa subjek rata-rata memiliki asupan serat yang termasuk pada kategori kurang baik sebelum maupun selama intervensi yaitu kurang dari 25 gram. Hasil analisis paired sample t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05) antara asupan serat subjek sebelum dan selama intervensi baik saat intervensi teh putih maupun teh hijau. Asupan serat juga tidak berubah bila dibandingkan antara intervensi teh putih dan teh hijau yang dibuktikan dari hasil analisis independent sample t-test yang tidak berbeda nyata (P>0.05)
27 Beberapa penelitian membuktikan konsumsi dan tingkat kecukupan zat gizi mikro perokok berada pada kategori kurang. Penelitian Rosiana (2012) menyatakan bahwa tingkat kecukupan vitamin C perokok termasuk pada kategori kurang. Kebutuhan vitamin C biasanya dipenuhi dari konsumsi suplemen (Dwifitri 1999). Sama dengan vitamin C kebutuhan vitamin E pada perokok meningkat. Perokok membutuhkan tambahan 110-125 mg vitamin E/ hari (Brown 2011), namun Bashar dan Mitra (2004) menyatakan bahwa konsumsi vitamin E perokok lebih sedikit dibandingkan non perokok dan berada pada kategori kurang. Tingkat kecukupan vitamin C dan vitamin E pada penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian-penelitian tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat kecukupan vitamin C dan vitamin E subjek berada pada kategori cukup. Perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian Dwifitri (1999) diduga disebabkan karena perbedaan jenis kelamin subjek. Penelitian Dwifitri (1999) menggunakan subjek perokok wanita sedangkan pada penelitian ini semua subjek adalah laki-laki. Konsumsi wanita cenderung lebih rendah dari laki-laki. Perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian Bashar dan Mitra (2004) diduga disebabkan karena perbedaan karakteristik subjek. Berbeda dengan penelitian ini, penelitian Bashar dan Mitra (2004) menggunakan subjek pasien rumah sakit dengan panyakit kardiovaskular yang mempunyai kebiasaan merokok. Aktivitas fisik Aktivitas fisik subjek sebelum dan selama intervensi dapat dilihat pada Tabel 16. Pengukuran aktivitas fisik dilakukan terhadap jenis aktivitas yang dilakukan subjek dan lama waktu melakukan aktivitas dalam sehari. Subjek diberikan kuisioner PAL dan mengisi sendiri dengan petunjuk dari peneliti. Tabel 16 Nilai PAL sebelum dan selama intervensi No Subjek 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Rata-rata SD
Rata-rata nilai PAL Teh putih Sebelum Selama Intervensi Intervensi 1.45 1.43 1.51 1.56 1.57 1.58 1.62 1.60 1.65 1.65 1.59 1.57 1.55 1.53 1.59 1.61 1.54 1.52 1.56 0.06
1.56 0.06 a p = 0.796
Rata-rata nilai PAL Teh hijau Sebelum Selama Intervensi Intervensi 1.42 1.40 1.53 1.59 1.55 1.54 1.61 1.59 1.63 1.63 1.56 1.55 1.53 1.51 1.60 1.58 1.53 1.50 1.55 1.54 0.06 0.07 a p = 0.410 pb = 0.424
Keterangan: SD=Standar Deviasi a paired sample t-test antara sebelum dan selama intervensi b independent sample t-test perubahan (∆) PAL antara teh putih dan teh hijau
28 Aktivitas fisik subjek sebelum intervensi teh putih berada antara 1.43-1.65 dengan rata-rata 1.56. Hal ini berarti bahwa rata-rata aktivitas fisik subjek sebelum intervensi teh putih termasuk pada kategori ringan. Tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05) antara aktivitas subjek sebelum dan selama intervensi teh putih dilakukan, ditunjukkan dengan hasil analisis paired sample ttest. Sebelum intervensi teh hijau aktivitas fisik subjek juga berada pada kategori ringan dengan rata-rata 1.55. Aktivitas fisik subjek selama intervensi teh hijau berada antara 1.40-1.63 dengan rata-rata 1.54 yang juga masih termasuk pada kategori ringan. Hasil analisis paired sample t-test untuk PAL subjek sebelum dan selama intervensi teh hijau menunjukkan perbedaan yang tidak nyata dengan nilai p>0.05. Diketahui subjek tidak merubah aktivitas fisik nya saat intervensi teh putih dan teh hijau, hal ini ditunjukkan dari nilai p hasil analisis independent t-test yang tidak berbeda nyata (p>0.05). Subjek penelitian ini terpusat di satu lokasi selama intervensi yaitu di Puslit Karet Bogor, di mana semua subjek merupakan pegawai di kantor tersebut. Pemilihan lokasi secara purposive dilakukan bukan hanya karena alasan kemudahan akses, namun juga untuk memastikan homogenitas aktivitas subjek. Semua subjek punya jam kerja dan hari kerja yang sama yaitu mulai pukul 07.3016.15 WIB setiap Senin-Jumat. Intervensi untuk penelitian ini dilakukan pada hari kerja (Senin-Jumat) pukul 08.00, 12.00, dan 16.00 WIB. Hal ini yang menyebabkan aktivitas subjek berada pada kategori yang sama yaitu kategori ringan dan memang subjek dilarang merubah aktivitas fisiknya sebelum dan selama intevensi berlangsung. Data aktivitas fisik juga dikumpulkan pada penelitian ini karena aktivitas fisik dapat mempengaruhi status oksidatif. Menurut Cooper (2000) radikal bebas dapat terbentuk dari konsumsi oksigen. Sebanyak 5 % dari konsumsi oksigen akan membentuk radikal bebas yang akan dinetralisir oleh antioksidan di dalam tubuh. Aktivitas fisik yang berat dan melelahkan akan membuat konsumsi oksigen meningkat melebihi 5 %, sehingga jumlah radikal bebas juga meningkat. Jumlah radikal bebas akan meningkat melebihi kapasitas sistem pertahanan antioksidan dalam tubuh. Ketidakseimbangan ini dapat menyebabkan terjadinya stres oksidatif. Aktivitas fisik yang berat ditambah dengan radikal bebas dari asap rokok dapat semakin menurunkan status oksidatif pada subjek. Konsumsi rokok Rata-rata konsumsi rokok subjek sebelum dan selama intervensi dapat dilihat pada Tabel 17. Jumlah konsumsi rokok pada penelitian ini dikumpulkan bersamaan dengan data konsumsi baik sebelum maupun selama intervensi. Ratarata jumlah rokok yang dihisap subjek baik sebelum maupun selama intervensi teh putih dan teh hijau adalah 14 batang/hari. Perokok yang menjadi subjek penelitian ini merupakan perokok aktif dan termasuk kategori perokok sedang (merokok 11-21 batang/hari). Menurut Sitepoe (2000b) perokok aktif adalah seseorang yang menghisap asap rokok yang berasal dari isapan dirinya sendiri. Intensitas merokok signifikan meningkatkan kerusakan oksidatif (Block et al. 2002). Semakin banyak jumlah rokok yang dihisap maka semakin tinggi kerusakan oksidatif. Hasil analisis dengan menggunakan paired sample t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05) pada rata-rata jumlah rokok yang dikonsumsi subjek antara sebelum dengan selama intervensi
29 baik teh putih maupun teh hijau. Diketahui juga bahwa subjek tidak merubah konsumsi rokoknya saat intervensi teh putih maupun teh hijau ditunjukkan dari hasil analisis independent sample t-test yang tidak berbeda nyata (p>0.05). Hasil pada Tabel 17 menunjukkan bahwa subjek tidak merubah aktivitas merokoknya. Perubahan konsumsi rokok subjek sebelum dan selama intervensi dapat mempengaruhi validitas dari nilai TAC dan profil lipid yang diukur. Tabel 17 Rata-rata konsumsi rokok subjek (batang) sebelum dan selama intervensi No Subjek 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Rata-rata SD
Rata-rata konsumi rokok saat intervensi teh putih Sebelum Selama Intervensi Intervensi 14 15 15 15 15 16 13 12 14 15 13 12 12 13 12 14 16 16 13.78 14.22 1.39 1.56 a p = 0.225
Rata-rata konsumi rokok saat intervensi teh hijau Sebelum Selama Intervensi Intervensi 14 13 14 13 15 16 13 13 16 14 14 13 14 13 13 12 14 15 14.11 13.56 0.93 1.24 pa =0.139 pb =0.053
Keterangan: SD=Standar Deviasi a paired sample t-test antara sebelum dan selama intervensi b independent sample t-test perubahan (∆) konsumsi rokok antara teh putih dan teh hijau
Kepatuhan minum teh Kepatuhan minum teh subjek disajikan pada Tabel teh subjek baik untuk teh putih dan teh hijau dapat dilihat pada Tabel 18. Kepatuhan subjek dilihat dari jumlah sisa teh. Sisa teh diamati setiap hari. Seperti yang telah dijelaskan di metode, bahwa intervensi dilakukan setiap hari kerja pada pukul 08.00; 12.00; dan 16.00. Masing-masing gelas teh subjek akan didistribusikan pada jam tersebut ke ruang kerja subjek. Pendistribusian dilakukan oleh peneliti dibantu oleh pegawai dapur (office boy) di kantor tersebut. Gelas teh subjek setelah intervensi dikumpulkan di pantry dan kemudian diukur serta dicatat sisanya. Terlihat pada Tabel 18 bahwa persentase kepatuhan minum teh putih lebih besar dibandingkan teh hijau. Hasil analisis independent sample t-test menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05) antara persentase kepatuhan minum teh putih dan teh hijau. Perbedaan kepatuhan minum teh subjek dapat mempengaruhi jumlah teh yang diminum dan dapat menjadi faktor perancu pada TAC dan profil lipid yang diukur antara teh putih dan teh hijau, namun, dengan tidak adanya perbedaan yang nyata pada sisa teh subjek diharapkan hal tersebut tidak terlalu mempegaruhi hasil pengukuran TAC dan profil lipid subjek. Kepatuhan minum teh hijau pada
30 penelitian ini adalah 97.50 %. Persentase kepatuhan ini lebih besar dibandingkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Khosravi et al. (2014). Persentase kepatuhan minum teh hijau pada penelitian Khosravi et al. (2014) adalah 91%. Tabel 18 Persentase (%) kepatuhan minum teh subjek No subjek 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Rata-rata SD
Teh putih 99.00 98.00 98.75 97.50 95.00 97.50 98.00 97.50 97.75 97.67 1.14
Teh hijau 98.75 97.50 97.50 95.00 97.50 97.75 97.75 96.75 99.00 97.50 1.16 b p = 0.918
Keterangan: SD=Standar Deviasi b independent sample t-test antara teh putih dan teh hijau
Kepatuhan minum teh hijau lebih rendah daripada teh putih diduga disebabkan rasa teh hijau yang lebih pahit dibandingkan teh putih. Teh hijau diolah tanpa mengalami oksidasi. Pucuk teh diproses langsung dengan uap panas (steam) atau digoreng (pan frying) untuk menghentikan aktivitas enzim, sehingga warna hijau tetap bertahan dan kandungan taninnya relatif tinggi. Tanin berperan membentuk rasa sepat dan pahit pada teh. Tanin pada teh hijau (1.44%) terbukti lebih tinggi dibandingkan teh hitam (0.99%) (Diniatik et al. 2007), namun belum ada cukup bukti mengenai kadar tanin pada teh putih. Pengaruh intervensi teh putih dan teh hijau terhadap status oksidatif Tidak dilaporkan adanya keluhan atau efek samping yang berbahaya pada subjek terkait intervensi. Status oksidatif menggambarkan keadaan antioksidan di dalam tubuh termasuk di dalam plasma darah. Status oksidatif pada penelitian ini diukur menggunakan biomarker TAC. TAC merupakan jumlah dari beberapa antioksidan berbeda baik dari pangan yang dikonsumsi (eksogen), maupun antioksidan endogen (Collins 2005). TAC efektif untuk mengukur antioksidan jenis fenol, seperti yang terdapat pada teh (Prior et al. 2005). Hasil analisis TAC subjek sebelum dan setelah intervensi teh putih dan teh hijau disajikan pada Gambar 10. Subjek adalah perokok yang rentan mengalami stres oksidatif. TAC subjek sebelum intervensi teh putih berada pada kategori rendah (tidak normal) dengan rata-rata hanya mencapai 1.17 m mol/L. Banyak penelitian yang telah membuktikan bahwa rokok meningkatkan stres oksidatif. Merokok meningkatkan oksigen reaktif secara kumulatif baik paparan eksogen maupun endogen sehingga perokok membutuhkan antioksidan yang tinggi (Kelly 2002). Asap rokok yang dihisap mengandung 4000 jenis bahan kimia dan mampu memberikan efek yang mengganggu kesehatan. Senyawa berbahaya pada rokok diantaranya adalah
31 nikotin. Nikotin adalah zat, atau bahan senyawa pirrolidin yang terdapat dalam Nikotiana Tabacum, Nicotiana Rustica dan spesies lainnya atau sintetisnya yang bersifat adiktif dapat mengakibatkan ketergantungan. Nikotin memicu kerusakan oksidatif dan mekanisme penurunan pertahanan antioksidan (Yildiz 2004; Muthukumaran et al. 2008), sehingga menyebabkan ketidakseimbangan antioksidan dalam tubuh (Sudheer at al. 2005).
1.42 m mol/La
1.34 m mol/Ld *
Rata-rata TAC (m mol/L)
1.18 m mol/Lb c 1.17 m mol/L
Keterangan : TAC_1: TAC sebelum intervensi teh putih (baseline teh putih) TAC_2: TAC setelah intervensi teh putih (endline teh putih) TAC_3: TAC setelah wash out /sebelum intervensi teh hijau (baseline teh hijau) TAC_4: TAC setelah intervensi teh hijau (baseline teh hijau) a berbeda signifikan (paired sample t-test, p<0.05:0.000) antara TAC_1 dengan TAC_2 b berbeda signifikan (paired sample t-test, p<0.05:0.000) antara TAC_2 dengan TAC_3 c tidak berbeda signifikan (paired sample t-test, p>0.05:0.065) antara TAC_1 dengan TAC_3 d berbeda signifikan (paired sample t-test, p<0.05:0.000) antara TAC_3 dengan TAC_4 * berbeda signifikan (paired sample t-test, p<0.05:0.004) antara teh putih dengan teh hijau
Gambar 10 Perubahan TAC Konsentrasi nikotin biasanya sekitar 5% per 100 gram berat tembakau. Sebatang rokok biasanya mengandung 8-20 mg nikotin tergantung jenis dan merek rokok tersebut. Kadar nikotin 4-6 mg yang dihisap oleh orang dewasa setiap hari sudah bisa membuat seseorang ketagihan. Nikotin dari rokok akan diserap melalui paru-paru dan dikeluarkan melalui peredaran darah. Lebih dari 80% nikotin yang diserap akan di metabolisme di hati (El-Zayadi 2006) menjadi kotinin yang selanjutnya dikeluarkan melalui urin. Hati merupakan organ penting yang berperan pada metabolisme obat-obatan, alkohol, dan zat toksik lainnya untuk dikeluarkan dari dalam tubuh. Tingginya nikotin yang diserap oleh tubuh seiring meningkatnya jumlah rokok yang dihisap dapat meningkatkan risiko kerusakan sel hati. Semakin banyak nikotin yang dikonsumsi, semakin tinggi juga risiko untuk terkena penyakit-penyakit berisiko tinggi akibat rokok. Penelitian Kurku et al. (2015) menyatakan bahwa perokok memiliki TAC yang lebih rendah dari non perokok. Subjek perokok pada penelitian Kurku et al. (2015) memiliki rata-rata TAC yang lebih rendah dari non perokok yaitu sebesar
32 0.466 mmol/GSH. Nilai TAC ini berbeda dengan TAC pada penelitian ini. Hal ini disebabkan karena metode pengukuran TAC yang berbeda. TAC pada penelitian ini diukur dengan metode TEAC yang menggunakan vitamin E sebagai standar. Penelitian Kurku et al. (2015) mengukur TAC serum pada perokok namun menggunakan TAC dengan menggunakan glutatihone (GSH) sebagai standarnya. Penelitian Onyesom et al. (2012) juga membuktikan bahwa perokok memiliki TAC serum yang signifikan (p<0.05) lebih rendah dari non perokok. Subjek perokok pada penelitian Onyesom et al. (2012) memiliki rata-rata TAC sebesar 1.45 m mol/L. Subjek perokok pada penelitian ini memiliki rata-rata TAC yang lebih rendah yaitu hanya 1.17 m mol/L. Hal ini disebabkan karena perbedaan kategori perokok penelitian ini dengan penelitian tersebut. Onyesom et al. (2012) mengamati TAC pada perokok ringan dengan jumlah rokok yang dihisap per hari 1-4 batang sedangkan pada penelitian ini subjek yang digunakan adalah perokok sedang yang merokok 11-21 batang per hari. Hal ini membuktikan bahwa intensitas merokok signifikan mempengaruhi TAC dan berbanding terbalik dengan TAC. Semakin banyak rokok yang dihisap maka TAC akan semakin rendah. Perbedaan jenis rokok yang dihisap juga diduga menyebabkan perbedaan TAC tersebut. Produk rokok di luar negeri sebagian besar merupakan rokok putih. Rokok putih adalah rokok yang bahan baku atau isinya hanya daun tembakau yang diberi saus untuk mendapatkan efek rasa dan aroma tertentu (Sitepoe 2000a). Rokok putih kurang digemari di Indonesia dibandingkan rokok kretek. Tar, nikotin, dan karbon monoksida yang dikeluarkan dari rokok kretek dua kali lebih tinggi dibandingkan rokok putih (Sitepoe 2000b), sehingga TAC subjek perokok pada penelitian ini memiliki rata-rata yang rendah dan termasuk pada kategori tidak normal. Kurku et al. (2015) juga menyatakan bahwa biomarker status oksidatif serum selain dari TAC yang diukur menggunakan air liur perokok juga berada pada level yang tidak normal dibandingkan dengan subjek non perokok. Gambar 10 juga menunjukkan bahwa terjadi peningkatan TAC subjek setelah diberikan intervensi teh putih. Peningkatan status oksidatif tersebut signifikan ditunjukkan melalui hasil analisis paired sample t-test (p<0.05). TAC subjek setelah intervensi teh putih meningkat dengan rata-rata 1.42 m mol/L (1.42± 0.05 m mol/L). Hasil ini sejalan dengan Koutelidakis et al. (2009) yang melakukan penelitian menggunakan mencit yang melaporkan bahwa suplementasi ekstrak teh putih selama lima hari tidak hanya meningkatkan kapasitas antioksidan plasma, tapi juga pada organ lain yaitu jantung dan paru-paru. Peningkatan TAC tersebut hanya berlangsung sementara. TAC subjek kembali menurun signifikan (p<0.05) ke kondisi semula sebelum intervensi dilakukan setelah 14 hari periode wash out. Rata-rata TAC subjek menurun signifikan (p<0.05) dari 1.42 m mol/L menjadi 1.18 m mol/L. Hasil ini menunjukkan bahwa dampak positif teh pada TAC hanya bersifat sementara, TAC subjek akan kembali ke kondisi semula bila intervensi teh dihentikan dan aktivitas merokok terus dilakukan. TAC subjek juga meningkat signifikan (p<0.05) setelah diberi intervensi teh hijau dari 1.18 m mol/L menjadi 1.34 m mol/L. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Lee et al. (1997). Lee et al. (1997) membuktikan bahwa subjek perokok yang diberi intervensi teh hijau selama 6 bulan memiliki kerusakan oksidatif yang lebih rendah dibandingkan dengan subjek perokok yang tidak
33 diberi teh hijau. Penelitian Lee et al. (1997) mengunakan status oksidatif dengan biomarker SCE (Sister-Chromatid Exchage) yang merupakan indikator kerusakan pada tingkat sel akibat radikal bebas. Subjek perokok yang diberi intervensi teh hijau memiliki nilai SCE 7.94 ± 0.31 sedangkan subjek perokok yang tidak diberi teh hijau memiliki nilai SCE yang lebih tinggi yaitu 9.46 ±0.46. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian teh hijau dapat menurunkan kerusakan oksidatif akibat merokok. Tidak hanya pada perokok, peningkatan TAC juga terjadi pada subjek yang tidak merokok meskipun peningkatannya tidak signifikan (p>0.05) (Sung et al. 2005), karena stres oksidatif yang cenderung lebih rendah dibandingkan dengan perokok. Peningkatan TAC subjek setelah diberikan intervensi teh putih maupun teh hijau disebabkan karena antioksidan pada kedua teh tersebut. Chakraborty et al. (2014) menyatakan bahwa antioksidan pada teh dapat memperbaiki 50% kerusakan sel akibat asap rokok. Pengaruh teh putih diketahui signifikan (p<0.05) lebih besar dibandingkan dengan teh hijau pada TAC subjek yang ditunjukkan dari hasil uji beda menggunakan independent t-test. Hal ini diduga disebabkan karena kandungan antioksidan teh putih yang lebih tinggi dibandingkan teh hijau. Hilal dan Engelhardt (2007) membuktikan bahwa teh putih memiliki kandungan antioksidan yang lebih besar dari teh hijau. Teh putih memiliki kandungan polifenol golongan flavonoid yang secara umum lebih tinggi dibandingkan teh hijau dan teh hitam terutama EGCG. EGCG pada teh yang masuk ke tubuh akan diserap di usus halus. EGCG kemudian dibawa ke jaringan lain seperti hati dan jantung. Aktivitas antioksidan yang tinggi pada EGCG dapat menangkap hidrogen peroksida (H2O2) (Zhen et al. 2007). Gawish et al. (2012) menyatakan bahwa teh terbukti dapat melindungi tubuh dari efek toksik nikotin. EGCG dapat menurunkan stres oksidatif dengan bantuan laminin reseptor (67LR) sehingga menyebabkan penurunan Reactive Oxygen Species (ROS). Kim et al. (2014) menyatakan bahwa hanya EGCG yang secara langsung akan berikatan dengan 67LR bukan jenis katekin yang lain. EGCG lebih efektif menurunkan ROS dibandingkan dengan EC, ECG, dan EGC (Wang et al. 2009). EGCG merupakan komponen terbesar dari katekin teh. Shimamura et al. (2007) menyatakan bahwa EGCG merupakan derivat akhir katekin yang mengandung senyawa gallo dan galat yang lebih stabil dan menyumbang 32% dari potensi antioksidan teh (Rohdiana 2011). Berdasarkan aktivitas antioksidannya EGCG memiliki aktivitas yang paling tinggi (EGCG>EGC>ECG>EC>C). Hal tersebut membuat EGCG paling menonjol diantara jenis katekin yang lain pada teh. Teh putih memiliki kandungan polifenol terutama EGCG paling tinggi diantara semua jenis teh karena dibuat dari peko. Kandungan katekin pada peko paling tinggi diantara bagian tanaman teh yang lain. Peko memiliki kandungan katekin paling besar yaitu 26.5% dibandingkan bagian tanaman teh yang lain. Teh hijau yang digunakan pada penelitian ini terbuat dari daun pertama yang memiliki kandungan katekin 25.9% (Bambang et al. 1994 dalam Yunitasari 2010). Hal ini lah yang diduga menyebabkan pengaruh teh putih pada peningkatan TAC subjek lebih besar dibandingkan teh hijau. IMT diketahui dapat mempengaruhi TAC (Block et al. 2002). Sebaran nilai TAC subjek sebelum dan setelah intervensi teh putih dan teh hijau berdasarkan IMT disajikan pada Tabel 19.
34 Tabel 19 Sebaran nilai TAC subjek berdasarkan IMT Kategori IMT Tidak normala Normal
Rata-rata TAC Intervensi teh putih Intervensi teh hijau Sebelum Setelah ∆ Sebelum Setelah ∆ 1.16 1.40 0.24 1.17 1.31 0.14 1.17 1.45 0.28 1.19 1.41 0.21
Keterangan: a IMT pada kategori underweight, overweight, dan obese
IMT yang termasuk kategori tidak normal adalah IMT pada kategori underweight, overweight, dan obese. Tabel 19 menunjukkan bahwa subjek dengan IMT normal memiliki rata-rata TAC yang lebih tinggi baik sebelum dan setelah intervensi teh putih dan teh hijau. Peningkatan TAC subjek setelah intervensi dengan IMT normal juga lebih tinggi dibandingkan subjek dengan IMT tidak normal yaitu 0.28 m mol/L untuk teh putih dan 0.21 m mol/L untuk teh hijau. Peningkatkan TAC subjek dengan IMT tidak normal lebih rendah yaitu 0.24 m mol/L setelah intervensi teh putih dan 0.14 m mol/L setelah intervensi teh hijau. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perokok dengan IMT yang tidak normal memiliki TAC yang lebih rendah dibandingkan subjek dengan IMT normal. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Block et al. (2002). Block et al. (2002) menyatakan bahwa IMT memiliki hubungan signifikan dengan status oksidatif. IMT pada kategori tidak normal (> 25 kg/m2 dan < 18.5 kg/m2 ) dapat menurunkan status oksidatif. Pengaruh intervensi teh putih dan teh hijau terhadap profil lipid
mg/dl
Rata-rata profil lipid subjek sebelum dan setelah intervensi teh putih dapat dilihat pada Gambar 11. 200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
174
180 166 145*
132 91*
42 48
TC
TG
Sebelum intervensi Setelah intervensi
HDL-C LDL-C
Ket : *berbeda signifikan (paired sample t-test, p<0.05)
Gambar 11 Rata-rata profil lipid subjek sebelum dan setelah intervensi teh putih Profil lipid yang diamati adalah TC, TG, LDL-C, dan HDL-C yang terdapat dalam plasma darah. Rata-rata TC subjek sebelum intervensi teh putih adalah 174 mg/dl dan setelah intervensi teh putih menurun menjadi 166 mg/dl. Tidak terdapat perbedaan signifikan antara rata-rata TC subjek sebelum dan setelah intervensi teh
35 putih. Terlihat pada Gambar 11 bahwa rata-rata TC subjek termasuk pada kategori normal baik sebelum maupun setelah diberi intervensi teh putih. Hal ini yang menyebabkan tidak terjadi perubahan yang signifikan pada TC subjek. Sama halnya dengan TC, rata-rata HDL-C subjek baik sebelum dan setelah intervensi teh putih berada pada kategori normal (≥35 mg/dl). Rata-rata HDL-C subjek sebelum intervensi teh putih sebesar 42 mg/dl. Hasil ini sejalan dengan penelitian Gupta et al. (2006). Subjek perokok pada penelitian tersebut juga memiliki rata-rata HDL yang berada pada kategori normal, yaitu 45.40 mg/dl. Rata-rata HDL-C perokok pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan rata-rata HDL-C subjek perokok pada penelitian Gupta et al. (2006). Hal ini diduga disebabkan karena perbedaan rata-rata jumlah rokok yang dihisap. Subjek pada penelitian ini merokok rata-rata 14 batang/hari sedangkan subjek pada penelitian Gupta et al. (2006) merokok rata-rata 12 batang/hari. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah rokok yang dihisap dapat mempengaruhi nilai HDL-C, semakin banyak rokok yang dihisap maka HDL-C cenderung akan semakin rendah. Terjadi peningkatan rata-rata HDL-C dari 42 mg/dl menjadi 48 mg/dl setelah intervensi teh putih, meskipun peningkatan tersebut tidak signifikan (p>0.05). Peningkatan HDL-C yang tidak signifikan tersebut diduga karena nilai HDL-C subjek sebelum intervensi sudah berada pada kategori normal. Rata-rata TG subjek sebelum intervensi teh putih adalah 180 mg/dl. Nilai ini termasuk pada kategori tinggi atau melebihi nilai normal. TG berada pada kategori normal bila nilainya < 150 mg/dl. Merokok dapat meningkatkan TG. Chattopadhyay dan Chattopadhyay (2007) membuktikan bahwa terjadi peningkatakan TG yang signifikan (p<0.001) pada tikus yang diberi 3.5 mg/kg nikotin selama 15 hari dari 94.1 mg/dl menjadi 108.8 mg/dl. Gupta et al. (2006) juga melaporkan bahwa subjek perokok memiliki TG yang lebih tinggi dibandingkan subjek non perokok. Rata-rata TG pada subjek perokok lebih tinggi yaitu sebesar 105.45 mg/dl sedangkan rata-rataTG pada subjek non perokok sebesar 103.64 mg/dl. TG terdapat paling banyak dalam darah dalam bentuk partikel lipoprotein. Kadar TG yang tinggi dapat merubah very low density lipoprotein- cholesterol (VLDL) menjadi large VLDL-C. Bentuk large VLDL-C ini dapat berubah menjadi LDL-C yang mudah teroksidasi sehingga merusak HDL-C. Kondisi ini dalam jangka panjang dapat memicu terjadinya aterosklerosis. Terjadi penurunan rata-rata TG yang signifikan (p<0.05) setelah intervensi teh putih selama 28 hari. Rata-rata TG subjek menurun dari 180 mg/dl menjadi 145 mg/dl. LDL-C subjek sebelum diberi intervensi teh putih rata-rata sebesar 132 mg/dl. Nilai ini lebih tinggi dibandingkan nilai normal LDL-C yaitu <130 mg/dl. LDL-C mempunyai sifat aterogenik, yaitu mudah melekat pada dinding bagian dalam pembuluh darah dan menyebabkan penumpukan lemak yang dapat menyempitkan pembuluh darah, sehingga meningkatnya LDL-C dalam jangka panjang dapat meningkatkan risiko aterosklerosis. Sama halnya dengan TG, Chattopadhyay dan Chattopadhyay (2007) juga membuktikan bahwa terjadi peningkatan LDL-C yang signifikan (p<0.001) pada tikus yang diberi 3.5 mg/kg nikotin selama 15 hari dari 54.2 mg/dl menjadi 64.6 mg/dl. Nilai LDL-C sebelum intervensi teh putih pada penelitian ini berbeda dengan penelitian Gupta et al. (2006). Nilai LDL-C subjek perokok pada penelitian tersebut lebih rendah yaitu
36 72.94 mg/dl. Sama dengan TG, perbedaan ini diduga disebabkan karena perbedaan jumlah rokok yang dihisap. Beberapa penelitian membuktikan bahwa merokok dapat meningkatkan TC, TG, dan LDL-C. Devaranavadgi et al. (2012) menyatakan bahwa intensitas dan lama merokok berhubungan positif dengan kadar lipid plasma. Semakin lama dan tinggi intensitas merokok maka akan meningkatkan TC, TG, LDL-C, dan VLDL-C (Very Low Density Lipoprotein) yang signifikan lebih tinggi pada subjek perokok dibandingkan non perokok. LDL-C dan TG signifikan lebih tinggi pada subjek yang merokok 11-20 batang/hari dibandingkan dengan subjek yang merokok 1-10 batang/hari (Neki 2002). Sejalan dengan meningkatnya TC, TG, dan LDL-C maka terjadi penurunan HDL-C. Perokok memiliki level HDL yang signifikan lebih rendah dibandingkan non perokok (Dirican et al. 1999; Gopdianto et al. 2013). Rokok dapat meningkatkan profil lipid melalui beberapa mekanisme. Menurut Benowitz (2003) nikotin pada rokok menyebabkan lipolisis, yaitu pecahnya partikel-partikel lemak menjadi partikel yang lebih kecil sehingga nikotin berdampak pada peningkatan LDL-C (Benowitz 2003). Mekanisme lain adalah bahwa nikotin yang masuk ke otak akan mengaktifkan nicotinic acetylcholine (nAChes) yang ada pada saraf tepi (Ario 2014). Aktivasi nAChes menstimulasi sistem adrenal simpatik yang menyebabkan meningkatnya sekresi katekolamin (Devaranavadgi et al. 2012). Katekolamin adalah senyawa hormon yang diproduksi oleh sel kromafin medula adrenal di otak. Katekolamin dapat distimulasi menjadi dopa, dopamin, noradrenalin, dan adrenalin. Dopamin memberi efek ketagihan akan rokok (Ario 2014). Sekresi katekolamin memicu meningkatnya lipolisis dan konsentrasi asam lemak bebas di plasma yang menstimulasi sintesis hepatik dari TG dan VLDL-C. Hal ini menyebabkan TG dan VLDL-C meningkat di dalam plasma serta menurunkan HDL-C. Peningkatan katekolamin akibat merokok juga dapat meningkatkan resistensi insulin (Zang et al. 2006). Resistensi insulin menyebabkan peningkatan glukosa darah sehingga terjadi peningkatan akumulasi lemak dan kolesterol melalui inaktivasi AMPactived protein kinase (AMPK). AMPK berperan pada regulasi glukosa dan homeostatis lipid (Hardie 2003), sehingga tidak aktifnya AMPK dapat berdampak pada gangguan regulasi glukosa dan homeostatis lipid di dalam tubuh. Hal ini juga menjelaskan mekanisme terjadinya penyakit DM akibat kebiasaan merokok. Sama halnya dengan TAC penurunan TG dan LDL-C juga bersifat sementara. Kembali terjadi peningkatan TG dan LDL-C yang signifikan (p<0.05) setelah periode wash out selama 14 hari yang terlihat dari hasil analisis profil lipid saat baseline/ sebelum intervensi teh hijau. Rata-rata TG kembali meningkat dari 145 mg/dl menjadi 178 mg/dl. Rata-rata LDL-C juga kembali meningkat dari 91 mg/dl menjadi 131 mg/dl. Hal ini menunjukkan bahwa efek teh putih pada penurunan TG dan LDL-C subjek hanya bersifat sementara, profil lipid perokok akan kembali ke kondisi semula bila intervensi teh dihentikan dan kebiasaan merokok tetap dilanjutkan. TG dan LDL-C subjek kembali menurun setelah diberi intervensi teh hijau. Profil lipid subjek sebelum dan setelah diberikan intervensi teh hijau disajikan pada Gambar 12.
mg/dl
37 200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
175
168
178 172 131 97* Sebelum intervensi Setelah intervensi 41 45
TC
TG
HDL-C
LDL-C
Ket : *berbeda signifikan (paired sample t-test, p<0.05)
Gambar 12 Profil lipid subjek sebelum dan setelah diberikan intervensi teh hijau Rata-rata TG dan LDL-C subjek kembali menurun, meskipun hanya signifikan (p<0.05) untuk penurunan LDL-C. Rata-rata TC, TG dan HDL mengalami perubahan namun tidak signifikan (p>0.05) secara statistik. Sung et al.(2005) mendapatkan hasil yang sama dengan hasil penelitian ini. Tidak terjadi penurunan TG yang signifikan (p>0.05) setelah pemberian teh hijau 600 ml/hari selama 4 minggu dengan rata-rata penurunan TG 1.69 mg/dl (Sung et al. 2005). Rata-rata penurunan TG pada penelitian ini lebih besar dibandingkan hasil penelitian Sung et al.(2005) yaitu 15 mg/dl untuk TG. Hal ini diduga karena subjek pada penelitian ini memiliki TG yang lebih tinggi saat baseline. Sung et al.(2005) menggunakan subjek sehat yang memiliki profil lipid pada kategori normal saat baseline. Intervensi teh hijau kepada subjek perokok pada penelitian Princen et al. (1998) juga mendapatkan hasil yang sama. Penurunan TC dan TG subjek perokok pada penelitian tersebut tidak signifikan (p>0.05) dengan rata-rata penurunan 5.35 mg/dl untuk TC dan 1.31 mg/dl untuk TG. Rata-rata penurunan tersebut juga berbeda dengan rata-rata penurunan TC dan TG pada penelitian ini. Princen et al. (1998) juga menggunakan subjek perokok, namun merupakan perokok ringan (<10 batang/hari) sedangkan penelitian ini menggunakan perokok sedang (11-21 batang/hari) yang memiliki rata-rata TC dan TG yang lebih tinggi saat baseline. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah rokok yang dihisap dapat mempengaruhi profil lipid. Perokok sedang memiliki TC dan TG yang lebih tinggi dibandingkan perokok ringan. Terlihat juga bahwa efek positif EGCG pada profil lipid akan semakin efektif bila profil lipid melebih nilai normal sebelum diberikan intervensi (baseline). Terdapat perbedaan signifikan (p<0.05) pada selisih perubahan TG dan LDL-C antara teh putih dan teh hijau (Gambar 13). Perubahan TG dan LDL-C signifikan lebih besar pada teh putih dibandingkan teh hijau. Hal ini dilihat dari selisih penurunan TG dan LDL-C yang lebih besar pada teh putih dibandingkan teh hijau. Rata-rata penurunan TG dan LDL-C untuk teh putih masing-masing 35 mg/dl, dan 41 mg/dl. Rata-rata penurunan TG dan LDL-C untuk teh hijau lebih rendah dibandingkan teh putih yaitu masing-masing 6 mg/dl dan 34 mg/dl.
38 45
41
40
35
34 *
35 mg/dl
30 25 Teh putih
20 15 10
Teh hijau 9
7
6*
6
5
4
0 TC
TG
HDL-C
LDL-C
Ket : *berbeda signifikan (independent sample t-test, p<0.05); p ∆TG=0.025; p ∆LDL-C=0.041
Gambar 13 Selisih perubahan profil lipid subjek setelah intervensi Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa terjadi perubahan kategori TG dan LDL-C subjek setelah intervensi teh putih dan teh hijau dari kategori tinggi melebihi nilai normal menjadi normal. Perubahan kategori TG dan LDL-C pada intervensi teh putih ditunjukkan pada Tabel 20. Tabel 20 Perubahan kategori TG dan LDL-C subjek pada intervensi teh putih Kategori TG dan LDL-C
Normal Tinggi Total
Intervensi teh putih TG LDL-C Sebelum Setelah Sebelum Setelah n % n % n % n % 0 0 6 66.7 0 0 0 0 9 100 3 33.3 9 100 9 100 9 100 9 100 9 100 9 100
Tabel 20 menunjukkan bahwa sebelum intervensi teh putih dilakukan semua subjek memiliki TG dan LDL-C yang termasuk pada kategori tinggi. Terdapat 6 orang subjek yang mengalami penurunan TG setelah intervensi teh putih selama 28 hari. TG subjek tersebut menurun signifikan menjadi normal. Berbeda dengan TG, semua subjek mengalami penurunan LDL-C yang signifikan. LDL-C semua subjek berubah menjadi normal setelah intervensi teh putih. Sama halnya dengan teh putih pada teh hijau juga terjadi perubahan kategori TG dan LDL-C. Perubahan tersebut ditunjukkan pada Tabel 21. Tabel 21 Perubahan kategori TG dan LDL-C subjek pada intervensi teh hijau Kategori TG dan LDL-C
Normal Tinggi Total
Intervensi teh hijau TG LDL-C Sebelum Setelah Sebelum Setelah n % n % n % n % 1 8 9
11.1 88.9 100
2 7 9
22.2 77.8 100
5 4 9
55.6 44.6 100
9 0 9
100 0 100
39 Tabel 21 memperlihatkan bahwa sebelum intervensi teh hijau, hanya terdapat 1 orang subjek yang nilai TG nya berada pada kategori normal. Terdapat 2 orang subjek yang memiliki TG normal setelah intervensi teh hijau dilakukan. Semua subjek memiliki nilai LDL-C pada kategori normal setelah intervensi teh hijau, di mana sebelumnya 4 orang memiliki LDL-C melebihi nilai normal. Tabel 20 dan 21 menunjukkan bahwa pemberian teh putih dan teh hijau pada perokok selama 28 hari tidak hanya dapat menurunkan TG dan LDL-C, namun juga membuat nilai TG dan LDL-C menjadi normal. Terlihat juga bahwa pengaruh teh putih lebih besar dibandingkan teh hijau, hal ini dapat dilihat dari jumlah subjek yang mengalami perubahan kategori TG dan LDL-C menjadi normal lebih banyak dibandingkan teh hijau. Penelitian terkait pengaruh teh putih pada penurunan profil lipid secara in vivo masih terbatas. Sohle et al. (2009) telah meneliti mengenai pengaruh teh putih terhadap aktivitas lipolisis dan adipogenesis pada jaringan lemak secara in vitro. Ekstrak teh putih signifikan mempengaruhi penurunan akumulasi TG di jaringan adiposa. Semakin banyak ekstrak teh putih yang diberikan, maka akumulasi TG semakin menurun. Sohle et al. (2009) melaporkan bahwa pemberian ekstrak EGCG teh putih sebanyak 50 µM signifikan (p<0.0001) menurunkan akumulasi TG hingga mencapai <40% dibandingkan kontrol dengan tingkat akumulasi TG sebesar 100%. Penelitian tersebut membuktikan bahwa ekstrak teh putih efektif menghambat adipogenesis dan menstimulasi aktivitas lipolisis secara in vitro. Terjadinya lipolisis dan terhambatnya lipogenesis juga dapat menjelaskan mekanisme teh dalam menurunkan berat badan. Penelitian secara in vivo yang telah dilakukan lebih dominan menggunakan teh hijau dengan subjek perokok (Nagaya et al. 2004; Sung et al. 2005; Princen et al. 1998) maupun non perokok (Imai & Nakachi 1995; Serafini et al.2000; Murakami & Ohsato 2003; Khosravi et al. 2014). Belum ada penelitian yang membandingkan antara teh putih dengan teh hijau terhadap profil lipid perokok. Melalui penelitian ini terlihat bahwa pengaruh teh putih lebih besar dibandingkan pengaruh teh hijau pada penurunan TG dan LDL-C subjek. Hal ini diduga disebabkan karena kandungan EGCG yang lebih tinggi pada teh putih.EGCG dan katekin serta teaflavin pada teh efektif menurunkan penyerapan kolesterol. Studi lain juga membuktikan bahwa terjadi penurunan TC, TG dan LDL-C pada tikus yang mendapatkan suplementasi EGCG (Dias et al. 2013). EGCG pada teh menurunkan profil lipid melalui mekanisme penurunan sekresi katekolamin (Han et al. 2011; Lim 2005) sehingga mengaktifkan AMPK (Zang et al. 2006; Wang et al. 2009). Aktifnya AMPK dapat memicu terjadinya lipolisis dan menghambat lipogenesis. Hal ini yang membuat EGCG pada teh dapat menurunkan profil lipid pada penelitian ini.
6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Sebagian besar subjek memiliki status gizi overweight (44.44%). Sebagian besar subjek mulai merokok pada usia 17 tahun (44.44%) dan semua merokok dengan rokok kretek berfilter. Tidak ada perubahan asupan zat gizi subjek sebelum dan selama intervensi dilakukan (p>0.05). Sama seperti asupan zat gizi
40 subjek, tingkat kecukupan zat gizi subjek juga tidak berbeda nyata (p>0.05) antara sebelum dan selama intervensi dilakukan. Rata-rata subjek memiliki tingkat aktivitas fisik ringan sebelum maupun selama intervensi (p>0.05). Terjadi peningkatan rata-rata TAC subjek yang signifikan setelah intervensi teh putih maupun teh hijau (p<0.05). Pengaruh teh putih pada perubahan (∆) TAC signifikan lebih besar (p<0.05) dibandingkan teh hijau. Sama dengan TAC terjadi perubahan positif pada profil lipid subjek setelah diberi intervensi teh putih dan teh hijau. Terjadi penurunan TG dan LDL-C, serta peningkatan HDL-C yang signifikan setelah intervensi teh putih (p<0.05). Berbeda dengan teh putih, pada teh hijau terjadi penurunan yang signifikan hanya untuk LDL-C. Pengaruh teh putih pada perubahan (∆) TG dan LDL-C signifikan (p<0.05) lebih besar dibandingkan teh hijau. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa teh putih memiliki pengaruh yang lebih besar dibandingkan teh hijau baik pada peningkatan TAC maupun penurunan TG dan LDL-C. Terlihat juga bahwa pengaruh teh putih dan teh hijau pada peningkatan TAC dan penurunan TG serta LDL-C hanya bersifat sementara, bila konsumsi teh dihentikan maka TAC dan profil lipid akan kembali tidak normal. Perokok disarankan untuk mengonsumsi teh putih dan teh hijau secara terus menerus bila ingin tetap mendapatkan efek positif pada status oksidatif dan profil lipid. Saran Penelitian ini membuktikan bahwa teh putih dan teh hijau memberikan efek positif pada status oksidatif dan profil lipid perokok, sehingga teh dapat dijadikan sebagai alternatif fitoterapi untuk meminimalisir efek negatif akibat merokok. Penelitian selanjutnya dapat dibandingkan antara subjek perokok, non perokok, maupun perokok pasif agar lebih menguatkan pengambilan kesimpulan terkait efek positif teh pada TAC dan profil lipid perokok. Saran untuk penelitian selanjutnya juga dapat diberikan intervensi pada subjek dengan paparan radikal bebas yang lain selain asap rokok seperti polisi lalu-lintas atau supir angkutan kota yang banyak terpapar radikal bebas dari asap kendaraan.
DAFTAR PUSTAKA Adhayanti. 2007. Hubungan tingkat pengetahuan bahaya rokok bagi kesehatan terhadap perilaku merokok. [skripsi]. Malang (ID): Universitas Brawijaya. Aginta E. 2012. Hubungan antara merokok dan kebiasaan makan dengan Status Gizi pada Remaja Putra (Studi pada Siswa SMAN 2 Ungaran). [skripsi]. Semarang (ID): UNDIP. Almatsier S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta (ID): PT. Gramedia Pustaka Utama. Anbarasi K, Van G, Balakrisna K, Devi CS. 2006. Effect of bacoside A on brain antioxidant status in cigarette smoke exposed rats. Life Science 78:13781384. Andi MHF. 2006. Analisis loyalitas konsumen terhadap rokok kretek di Kecamatan Bogor Barat.[skripsi]. Bogor (ID): IPB.
41 Anonim. 2014. Nielsen Retail Audit Result 2013. [internet]. [Diunduh 2015 Feb 3]. Tersedia di: www. sampoerna.com. Almajano MP. Carbo R. Jiménez J. Gordon MH. 2008. Antioxidant and antimicrobial activities of tea infusions. Food Chemistry. 108(1): 55-63. Ario MD. 2014. Pengaruh nikotin dalam rokok pada DM tipe 2. J Majority. 3(7):75-80. Aryani R, Tarwoto, Nuraeni A, Miradwiyana B, Tauchid SN, Aminah S, Sumiati, Diniarti, Nurhaeni H, Saprudin AH, Chairani R. 2010. Kesehatan Remaja Problem dan Solusinya. Jakarta (ID): Salemba Medika. Bashar SK, Mitra AK. 2004. Effect of smoking on vitamin A. vitamin E. and other trace elements in patients with cardiovascular disease in Bangladesh: a cross sectional study. Nutrition Journal. 3:18. Benowitz NL.2003. Basic cardiovascular research and its implications for the medicinal use of nicotine. Journal of the American College of Cardiology Volume 41: 497-498. Block G, Marion D, Edward PN, Jason DM, Mark H, et al. 2002. Factor assosiated with oxidative stress in human population. American Journal of Epidemiology. 156(3). Brown JE. 2011. Nutrition Through Life Cycle. USA (US): Wadsworth. Chakraborty A, Gupta A, Singh AK, Patni P. 2014. Effect of oxidative phytochemicals on nicotine-stresssed UMNSAH/DF-1 cell line. J Tradit Complement Med. 4 (2): 126-131. Chattopadhyay KBD. Chattopadhyay. 2007. Effect of nicotine on lipid profile. peroxidation dan antioxidant enzymes in female rats with restricted dietary protein. Indian J Med Res. 127:571-576. Chiolero A, Faeh D, Paccaud F, Cornuz J. 2008. Consequences of smoking for body weight. body fat distribution. and insulin resistance. Am J Clin Nutr. 87:801-9. Chopra M, O’neil ME, Keogh N, Wortley G, Southon S, Thurnham DI. 2000. Influence of increase fruit and vegetable intake on plasma and lipoprotein carotenoids and LDL-C oxidation in smokers and non smokers. Clin Chem. 46: 1818-1829. Coimbra S, Castro E, Rocha P, Rebelo I, Rocha S, Santos-Silva A. 2006. The effect of tea in oxidative stress. Clinical Nutrition. 25:790-796. Cooper KH. 2000. Antioxidant revolution. Nashville (USA): Thomas Nelson Publishers. Dara AL, Bahar B, Jafar N. 2014. Kebiasaan merokok dan asupan makanan terhadap status gizi manula Kelurahan Balla Kabupaten Enrekang. Karya Ilmiah. Makassar (ID): Universitas Hasanuddin. De Mejia EG, Ramirez-Mares MV, Puangpraphant S. 2009. Bioactive components of tea: cancer. inflammation and behavior. Brain Behavior and Immunity. 23(6): 721- 731. [Depkes] Departemen Kesehatan. 2008. Point-Point Laporan Riskesdas Tahun 2007. [internet]. [diunduh 2014 Feb 3]. Tersedia pada: http// www.litbang.depkes.go.id. . 2010. Laporan Riskesdas Tahun 2007. [Internet]. [diunduh 2014 Feb 3]. Tersedia pada: http// www.litbang.depkes.go.id.
42 . 2013. Laporan Riskesdas Tahun 2013. [internet]. [diunduh 2014 Feb 3]. Tersedia pada: http// www.litbang.depkes.go.id. Devaranavadgi BB, Aski BS, Kashinath RT, Hundekari IA. 2012. Effect of cigarette smoking on blood lipids- a study in Belgaum, Northern Karnataka,India. Global Journal of Medical Research. 12(1): 57-61. Dias TR, Tomás G, Teixeira NF, Alves MG, Oliveira PF, dan Silva BM. 2013. White tea (camellia sinensis (l.)): antioxidant properties and beneficial health effects. International Journal of Food Science. Nutrition and Dietetics (IJFS). 2:101. Dietrich M, Block G, Hudes M, Morrow JD, Norkus EP, Traber MG, Cross CE, Packer L. 2002. Antioxidant supplementation decreases lipid peroxidation biomarker F(2)-isoprostanes in plasma of smokers. Cancer Epidemiol Biomarkers Prev. 11: 7–13. Diniatik, Soemaryo E, Indri K. 2007. Perbandingan kadar flavonoid total dan tanin total pada teh hijau dan teh hitam. Pharmacy. 5(3):1-5. Diken H, Mustafa K, Cemil T, Basra D et al. 2000. Effect of cigarette smoking on blood antioxidant status in short term and long term smokers. Turk J Med Sci. 31:533-557. Dirican M, Sarandol E, Ulukaya E, Tokullogil HS. 1999. Effect of smoking on serum lipid and lipoprotein concentration and lecitin: cholesterolacyltransferase activity. The Journal of Medical Investigation. 46:169-172. Dwifitri YZ. 1999. Identifikasi hubungan kebiasaan merokok pada wanita dengan kadar vitamin C dan LDL-C kolesterol serum darah. [skripsi]. Bogor (ID): IPB. Ebersbach SP, Alves T, Fonseca AT, Oliveira MA, Machado UF, Seraphi PM. 2013. Cigarette smoke exposure severely reduced peripheral insulin sensitivity without changging GLUT4 expression in oxidative muscle of wistar rats. Arq Bras Endocrinol Metab. 57:1. El-Zayadi AR. 2006. Heavy smoking and liver. World J.Gastroenterol. 12(38):6089-6101. Ferrari CKB. 2001. Oxidative stress pathophysiology: Searching for an effective antioxidant protection. Int Med J. 8:175-184. Firenzuoli F, Gori L, Crupi A, Neri D et al. 2004. Flavonoids: risks or therapeutic opportunities. Recenti Progressi in Medicina. 95: 345-351. Fulder. 2004. Khasiat Teh Hijau. Jakarta (ID): Prestasi Pustaka. Gawish AM, Issa AM, Mcnaa SM. 2012. Role of green tea on nicotine toxicity on liver and lung of mice: histological and morphometrical studies. African Journal of Biotechnology. 11(8): 2013-2025. Gee Mc. 2005. Is cigarette smoking associated with suicidal ideation among young people?. The American Journal of Psychology. [internet]. [diunduh 2014 Nov 9]. Tersedia pada: http//www.proquest.com. Gibson RS. 2005. Principles of Nutritional Assessment. 2nd.Ed. New York (US): Oxford University Press Inc. Goptadianto DA, Wongkar D, Ticoalu SHR. 2013. Perbandingan kadar kolesterol high density lipoprotein darah pada pria perokok dan bukan perokok. Jurnal e-Biomedik. 1(2):967-1001.
43 Grassi D, Draijer R, Desideri G, Mulder T, Ferri C. 2012. Efects of black tea with and without a fat load on vascular function in miLDL-Cy hypertensive subjects. Circulation. 125: AP061. Gupta V, Sunita T, Agarwal, Pallavi S et al. 2006. Effect of short term cigarette smoking on insulin resistance and lipid profil in asymptomatic adults. Indian Journal Physiol Pharmacol. 50(3):285-290. Han JY, Kim CS, Lim KH, Kim JH, Kim S, Yun YP, Hong JT, Oh KW. 2011. Increases in blood pressure and heart rate induced by caffeine are inhibited by (-)-epigallocatechin-3-o-gallate: involvement of catecholamines. Journal Of Cardiovascular Pharmacology. [internet]. [diunduh 2014 Mar 4]. Tersedia pada: http //journals.lww.com/cardiovascularpharm/Abstract /publishahead/Increases_in_Blood_Pressure_and_Heart_Rate_Induced.9944 9.aspx. Hardie DG. 2003. Minireview: the AMP-actived protein kinase cascade: the key sensor of cellular energy status. Endocrinology. 144:5179-5183. Hardinsyah, Briawan D. 1994. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan. Bogor (ID): Departemen GMSK, FAPERTA IPB. Hardinsyah, Retnaningsih, Herawati T, Wijaya R. 2002. Analisis Kebutuhan Konsumsi Pangan. Bogor (ID): Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi (PSKPG). Hardinsyah, Tambunan V 2004. Angka Kecukupan Energi. Protein. Lemak. dan Serat Makanan. Dalam Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VII: Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta (ID): WKNPG. Hilal, Engelhardt. 2007. Characterisation of white tea – comparison to green and black tea. Journal of Consumer Protection and Food Safety. 2: 414 – 421. Imai K, Nakachi K. 1995. Cross sectional study of effects of drinking green tea on cardiovascular and liver diseases. BMJ. 310: 693–696. Kelly G. 2002. The interaction of cigarette smoking and antioxidant part I: diet and caroteniods. Alternative Medicine Review. 7:5 Khasanah H. 2013. Hubungan frekuensi merokok dengan status gizi pada anak usia sekolah dasar di RT 07 dan RW 08 Kelurahan Sawah Besar Semarang. [skripsi]. Semarang (ID): Universitas Muhammadiyah Semarang. Khosravi HM, Zeinab Ahadi, Marziyeh FT. 2014. The effect of green tea versus sour tea on insulin resistance. lipids profiles and oxidative stress in patients with type 2 diabetes mellitus:a randomized clinical trial. IJMS. 39:5. Kim HS, Quon MJ, Kim J. 2014. New insights into mechanism of polyphenols beyond antioxidant properrties; lessson from green tea polyphenols, epigallocatechin 3-gallate. Redox Biology. 2:187-195. Kim W, Jeong MH, Cho SH, Yun JH, Chae HJ, Ahn YK, Lee MC, Cheng X. Kondo T, Murohara T et al. 2006. Effect of green tea consumption on endothelial function and circulating endothelial progenitor cells in chronic smokers. Circ. J. 70: 1052–1057. Komes D, Horzic D, Belšcak A, Kovacevic GK, Vulic I. 2010. Green tea preparation and its influence on the content of bioactive compounds. Food Research International 43:167-176 Koutelidakis AE, Argyri K, Serafini M, Proestos C, Komaitis M, Pecorari M, Kapsokefalou M. 2009. Green tea, white tea, and pelargonium purpureum
44 increase the antioxidant capacity of plasma and some organs in mice. Nutrition. 25(4): 453-458. Kurku H, Kacmaz M, Kisa U, Dogan O, Caglayan O. 2015. Acute and cronic impact of smoking on salivary and serum total antioxidant capacity. J Pak Med Assoc. 65(2): 164-169. Kusano C, Bucalen F. 2008. Total antioksidan capacity: a biomarker in biomedical and nutritional studies. Journal of Cell and Molecular Biology. 7(1):1-15. Lee IP, Kim YH, Kang MH, Roberts C, Shim JS, Roh JK. 1997. Chemopreventive effect of green tea (camellia sinensis) against cigarette smoke-induced mutations (SCE) in Human. J Cell Biochem Suppl. 27:68-75 Lim DY. 2005. Comparison of green tea extract and epigallocatechin gallate on secretion of catecholamines from the rabbit adrenal medulla. Arch Pharm Res. 28(8):914-922. Marangon KB, Herbeth E, Leconte AP, Dauphin P, Groiler P, Chancerelle Y, Artur Y, Siest G. 1998. Diet. antioxidant atatus and smoking habits in Franch Men. Am J Clin Nutr. 67:231-237. McKay DL, Blumberg. 2002. The role of tea in human health: an update. Journal of the American College of Nutrition. 21(1): 1–13. Meenakshisundaram R, Rajendiran C, Thirumalaikolundusubramaniann P. 2010. Lipid and lipoprotein profiles among middle aged male smokers: a study from southern India. Tobacco Induced Disease. 8:1-5. Miller NJ, Rice-Evans, Davies MJ, Gopinathan V, Milner A. 1993. A novel method for measuring antioxidant capacity and its application to monitoring the antioxidant status in premature neonates. Clin Sci. 84:407-412. Murakami T, Ohsato K. 2003. Dietary green tea intake preserves and improves arterial compliance and endothelial function. J. Am. Coll. Cardio. 41: 271. Muthkumaran S, Sdheer AR, Menon Vp, Nalini H. 2008. Protective effect of quercetin on nicotine induced prooxidant and antioxidant imbalance and DNA damage in wistar rat. Toxicology. 13(5):217-224. Nagaya N, Yamamoto H, Uematsu M, Itoh T, Nakagawa K. 2004. Green tea reverses endothelial dysfunction in healthy smokers. Heart. 90: 1485–1486. Neki NS. 2002. Lipid profile in chronic smokers-a clinical study. JIACM. 3(1):514. Onyesom I, Osioma E, Ighodayenowho OK. 2012. Serum antioxidant capacity of some nigerian cigarette smokers. JPBM. 18(14):1-2. [PERKENI] Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta (ID): Perkeni. [PPTK] Pusat Penelitian Teh dan Kina. 2006. Sustainable Tea. Prosiding Pertemuan Teknis Industri Teh Berkelanjutan. Wisata Agro Gunung Mas PTPN VIII Bogor. 12-13 September. Bogor. Princen HM, van D, Buytenhek R, Blonk C, Tijburg LB et al. 1998. No effect of consumption of green and black tea on plasma lipid and antioxidant levels and on LDL-C oxidation in smokers. Arterioscler Thromb Vasc Biol. 18: 833–841.
45 Prior R, Xianli Wu, Karen S. 2005. Standardized methods for the determination of antioxidant capacity and phenolics in foods and dietary supplements. J. Agric. Food Chem. 53: 4290-4302. Rayati DJ, Wahyu H. 2009. More than A Cup of Tea. Bandung (ID) : PPTK. Rifai N, Warnick G, McNamara JR. 1992. Measurements of Low-DensityLipoprotein Cholesterol in Serum: a Status Report. ClinChem. 38(1).150-60. Rohdiana D. 2011. Teh Ini Menyehatkan : Telaah Ilmiah Populer. Bandung (ID) : Penerbit Alfabeta. Rohdiana D, Arief DZ, Soemantri M. 2013. Aktivitas penangkapan radikal bebas DPPH (1.1-Diphenyl-2-Picrylhydrazyl) oleh teh putih berdasarkan suhu dan lama penyeduhan. Jurnal Penelitian Teh dan Kina. 16:1. Rosiana DI. 2012. Hubungan status merokok, aktivitas fisik, asupan zat gizi, dan konsumsi alkohol dengan IMT pada mahasiswa fakultas teknik universitas Indonesia tahun 2012. [skripsi]. Jakarta (ID): Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Serafini M, Laranjinha JA, Almeida LM, Maiani G. 2000. Inhibition of human LDL-C lipid peroxidation by phenol-rich beverages and their impact on plasma total antioxidant capacity in humans. J. Nutr. Biochem. 11: 585–590. Shimamura T, Zho W, Hu Z. 2007. Mechanism of action and potential for use of tea catechine as an anti-infective. Anti-infective Agent in Medical Chemistry. 6(1):57-62. Sitepoe M. 2000a. Kekhususan Rokok Indonesia. Jakarta (ID) : PT. Gramedia. . 2000b. Usaha Mencegah Bahaya Merokok. Cetakan 3. Jakarta (ID) : PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Sohle J, Knott A, Holtzmann U, Siegner R, Gronniger E, Schepky A, Gallinat S, Wenck H, Stab F, Winnefeld M. 2009. White tea extract induces lipolytic activity and inhibits adipogenesis in human subcutaneous (pre)-adipocytes. Nutrition & Metabolism . 6:20. Sudheer AR, Kalpana C, Srinivasan M, Menon VP. 2005. Ferulic acid mudulateds altered lipids profile and prooxidant/antioxidant status in circulation during nicotine-induced toxicity: a dose dependent study. Toxicol Mech Method. 15:375-381. Sujayanto G. 2008. Khasiat Teh Untuk Kesehatan dan Kecantikan. Flona Serial Oktober (I): hal. 34-38. Sung H, Min WK, Lee W, Chun S, Park H, Lee YW, Jang S, Lee DH. 2005. The effects of green tea ingestion over 4 weeks on atherosclerotic markers. Ann. Clin. Biochem. 42: 292–297. Thielecke F, Boschmann M. 2009. The potential role of green tea catechins in the prevention of metabolic sindrom- a review. Phytochemistry.(1): 1-14. Tsuneki H, Ishizuka M, Terasawa M, Wu J-B, Sasaoka T, Kimura I. 2004. Effect of green tea on blood glucose levels and serum proteomic patterns in diabetic (db/db) mice and on glucose metabolism in healthy humans. BMC Pharmacology . 4:18. Venditti E, Bacchetti T, Tiano L, Carloni P, Greci L, Daminani E. 2010. Hot vs. cold water steeping of different teas: Do they affect antioxidant activity?. Food Chem. 119:1597-1604. Watson TDG, Butterwick RF, McConnell M, Markwell PJ. 1995. Development of method for analyzing plasma lipoprotein concentrations and associated
46 enzyme activities and their use to measure the effects of pregnancy and lactation in cat. American Journal of Veterinary Research. 56: 289−296. Wang CT, Chang HH, Hsiao CH, Lee MJ, Ku Hc, Kao YH. 2009. The effect of green tea (-)epigallocatechin-3-gallate on reactive oxygen species in 3T3-Li preadipocytes and adipocytes depend on the glutathione and 67 kDa laminin receptor pathways. Mol Nutr Food Res. 53(3): 349-60. [WHO] World Health Organization. 2003. Joint WHO/FAO Expert Consultation on Diet. Nutrition. and Prevention of Chronic Diseases. Draft 28 March 2002. Geneva (FR). http://www.who.int/world-health-day/q_and_a.en.shtml [10 Oktober 2014] ____. 2004. Human energy requirements : principles and definitions. Report of Joint FAO/WHO/UNU Expert Consultation. Food and Agriculture Organization of the United Nations (GB). 2004. http://www.fao.org/docrep [17 Agustus 2014]. Yang YC, Lu FH, Wu JS, Wu CH, Chang CJ. 2004. The protective effect of habitual tea consumption on hypertension. Arch Intern Med. 164: 1534– 1540. Yildiz D. 2004. Nicotine, its metabolism and an overview of its biological effects. Toxicon. 43:629-632. Yunitasari L. 2010. Quality control pengolahan teh hitam di unit Perkebunan Tambi, PT. Perkebunan Tambi Wonosobo. [tugas akhir]. Surakarta (ID): UNS. Zang M, Xu S, Karlene A, Zucallo A, Hou X, Jiang B, Wierzbicki M, Verbeuren TJ, Cohen RA. 2006. Polyphenols stimulate AMP-actived protein kinase, lower lipid, and inhibits accelerated atherosclerosis in diabetic LDL-C receptor- deficient mice. Diabetes. 55:2180-2191. Zanzer YC. 2012. Studi pengaruh variasi pemberian kadar teh hijau dalam mengontrol level glukosa plasma darah post prandial pada subjek dewasa muda sehat. [Skripsi]. Bogor (ID) : IPB. Zhen M, Wang O, Huang X, Cao L, Chen X, Sun K, Liu Y, Li w, Zhang L. 2007. Green tea polyphenol epigallocatechin-3-gallate inhibits oxidative damage and preventive effect on carbon tetracloride induced hepatic fibrosis. J Nutr Biosch. 18:795-805.
47
LAMPIRAN Lampiran 1 Studi sebelumnya terkait status oksidatif dan profil lipid yang pernah dilakukan menggunakan teh hijau Peneliti Imai dan Nakachi (1995)
Desain Studi Crosssectional study
Lee at al. (1997)
Clinical trial
52 subjek.
Princen et al. (1998)
Randomi zed single blind, placebocontrolle d paralel Clinical trial
32 laki-laki dan 32 perempuan sehat
Open design
150 orang Jepang berusia > 60 tahun
Serafini et al. (2000)
Murakami dan Ohsato (2003)
Nagaya et al. (2004)
Randomi zed crossover
Subjek
Dosis intervensi
1371 lakilaki
Konsumsi teh hijau 1. < 3 gelas/hr 2. 4-9 gelas/hr 3. >10 gelas/hr
3 gelas/hr Kelompok 1 : nonsmokers; kelompok 2 : smokers; kelompok 3 : smokers dan minum teh hijau; dan kelompok 4 smoker/coffee drinkers 1. 6 gelas teh hijau (3 gram/ 150 ml/gelas) 2. kapsul dengan 309 mg EGCG/kapsul (6 x 4 kpsl/hr) 300 ml air (kontrol), 300 ml teh hijau (6 gram teh hijau)
5 orang sehat tidak merokok
20 perokok
1.
2.
>800 ml teh hijau / hr (n=77) <800 ml teh hijau / hr (n=73)
400 ml teh hijau dengan 247 mg EGCG
Durasi Intervensi Habitual intake
6 bulan
4 minggu
Single dose
4 bulan
Single dose
Hasil Terjadi penurunan trigliserida dan kolesterol yang signifikan. Banyaknya konsumsi teh/hr berhubungan dengan penurunan prevalensi penyakit jantung (>10 gelas/hr= 26%, 4-9 gelas/hr = 29%, < 3 gelas/hr= 39.8%) Terjadi penurunan kerusakan oksidatif pada DNA, serta memiliki resiko lebih rendah pada pembentukan karsinogen.
Terdapat perbedaan pada profil lipid namun tidak signifikan
Terjadi peningkatan yang signifikan pada kapasitas antioksidan total plasma. Teh hijau siginifikan menurunkan oksidasi LDL. Konsumsi teh hijau melindungi orang Jepang dari beberapa faktor resiko yang mengurangi aterotrombogenic, melindungi fungsi endotelial dan kemungkinan berkontribusi pada rendahnya kasus kardiovaskular di Jepang. Intervensi signifikan menurunkan kolesterol dan melancarkan peredaran darah Intervensi tidak berpengaruh signifikan pada glukosa darah, profil lipid, tekanan darah, detak jantung namun signifikan meningkatkan
48 Lampiran Studi sebelumnya sebelumnyaterkait terkaitstatus status oksidatif dan profil lipidpernah yang dilakukan pernah dilakukan Lampiran 11 Studi oksidatif dan profil lipid yang menggunakan teh hijau (Lanjutan) menggunakan teh hijau Peneliti
Desain Studi
Subjek
Dosis intervensi
Durasi Intervensi
Sano et al. (2004)
Casecontrol
109 pasien PJK, 97 pasien tanpa PJK
1. kelompok kasus (case): konsumsi teh hijau 4 gelas/hr 2. kelompok kontrol (control): konsumsi teh hijau 6 gelas/hr
Habitual intake
Sung et al. (2005)
Clinical trial
12 subjek sehat
600 ml teh hijau/hr (5.2 gram)
4 minggu
Kim et al. (2006)
Open design
20 perokok muda
8 gram bubuk teh hijau/hr (EGCG=3.2%)
2 minggu
Coimbra et al. (2006)
Clinical trial
34 subjek sehat
Teh hijau 1 liter/hr
4 minggu
Hasil aliran darah. Konsumsi teh hijau melindungi fungsi endotelial pada perokok sehat karena efek antioksidan pada teh tersebut. Konsumsi teh signifikan lebih banyak pada kelompok kontrol (tanpa PJK). Terdapat hubungan negatif antara banyaknya konsumsi teh dengan kejadian PJK (berbanding terbalik). Semakin banyak konsumsi teh maka insiden PJK rendah (OR=0.84 CI 95% 0.760.91). Konsumsi teh hijau merupakan faktor protektif PJK. Level oksidasi LDL dan profil lipid menurun meskipun tidak signifikan. Konsumsi teh hijau meningkatkan peningkatan antioksidan plasma. Teh hijau efektif untuk mencegah penyakit jantung pada perokok berat. Terjadi peningkatan TAC dan penurunan MDA
49 Lampiran 2 Ethical clearence
50 Lampiran 3 Prosedur Analisis TAC (Miller et al. 1993/Randox Ltd) Metode ini berdasarkan pembentukan ABTS®+ kation. Prinsip pengukurannya adalah pembentukan ABTS®+ dari ABTS® (2,2’-Azino-di-[3ethylbenzothiazoline-6-sulfonat]) yang diinkubasi dengan enzim peroksidase (metmyoglobin) dan H2O2. Kation ABTS®+. Pada metode ini, spektrofotometer digunakan untuk mengukur tingkat kehilangan warna ketika antioksidan ditambahkan ke dalam kromofor biru-hijau ABTS®. Aktivitas antioksidan senyawa karotenoid, fenolik, dan beberapa plasma antioksidan dapat ditentukan berdasarkan hilangnya warna ABTS®. Pengukuran dilakukan dengan cara menghitung tingkat penurunan radikal kation sebagai presentase penghambatan absorbsi pada panjang gelombang 600 nm selama 6 menit. Absorbansi campuran reaksi antara ABTS® dan antioksidan nantinya akan dibandingkan dengan trolox (6-hidroksi-2,5,7,8-tetrametilkroman-2-karboksilik acid) dan hasilnya dinyatakan dalam bentuk TEAC. Trolox merupakan analog vitamin E yang larut air dan dapat digunakan sebagai standar antioksidan. Prinsip perubahan reaksi ABTS® pada pengukuran status antioksidan total metode TEAC adalah sebagai berikut, HX-FeIII + H2O2 X- [FeIV = 0] + H2O ABTS®+X [FeIV = 0] ABTS®+ + HX - FeIII Keterangan : HX-FeIII : Metmyoglobin X - [FeIV= 0] : Ferrylmyoglobin ABTS® : 2,2'-Azino-di-[3-ethylbenzthiazoline sulphonate] ABTS® : trademark dari Boehringer Mannheim.
Pereaksi yang dibutuhkan dan komposisinya Pereaksi Buffer (R1) Chromogen (R2) Substrate(R3) Standard
Komposisi Phosphate Buffered Saline 80 mmol/l. pH 7.4 Metmyoglobin 6.1 µmol/l ABTS® 610 µmol/l Hydrogen peroxide (in stabilised form) 250 µmol/l 6-hydroxy-2.5.7.8-tetramethylchroman -2-carboxylic acid
Prosedur 20 µl serum darah diambil dari plasma
Pipetkan ke dalam kuvet: DDH2O Standar Sampel Chromogen (R2)
Blanko 20 µl 1 ml
Standar 20 µl 1 ml
Ket : DDH2O = aqua bidestillata/ ultrapure water x
Sampel 20 µl 1 ml
51 Lampiran 3 Prosedur Analisis TAC (Miller et al. 1993/Randox Ltd) (Lanjutan) x Campurkan dengan baik, inkubasi pada suhu 370C dan baca absorban pada λ = 600 nm (A1), sisihkan Pipetkan ke dalam kuvet: Substrat (R3)
Blanko 200 µl
Standar 200 µl
Sampel 200 µl
baca absorban pada λ = 600 nm (A2) selama 3 menit
A2 - A1 = ∆A sample/standard/blank Perhitungan : Faktor =
Konsentrasi standar
∆ A Blanko − ∆ A Standar
m mol/L= Faktor x (∆ A blanko-(∆ A sampel) nilai normal TAC = 1.23-2.00 m mol/L
52 Lampiran 4 Prosedur analisis profil lipid plasma 1.
Trigliserida (TG) (Watson et al. 1995) Analisis kadar trigliserida menggunakan metode GPO-PAP. Prinsipnya adalah pengukuran trigliserida setelah mengalami pemecahan secara enzimatik oleh lipoproteinlipase. Dibuat larutan blanko dengan menggunakan 1000 µl reagen 1 (TG). Standar dibuat dengan penambahan 1000 µl reagen 1 (TG) dengan 10 µl standar. Dan untuk pembuatan sample dicampurkan 1000 µl reagen dengan 10 µl serum. Diinkubasi selama 20 menit pada suhu 20-25oC. Dibaca absorbansinya pada λ 500 nm. 2.
Kolesterol total (TC) (Watson et al.1995) Pada penetapan kadar kolesterol total, digunakan metode CHOD-PAP. Prinsip metode ini adalah menggunakan enzim kolesterol oksidase (CHOD) dan kolesterol esterase serta menggunakan phenol 4-aminoantipirin untuk membentuk senyawa berwarna yang dapat dideteksi dengan spektrofotometer. Dibuat larutan blanko dengan 1000 µl reagen CHOD-PAP. Dibuat larutan standard dengan 1000 µl reagen dengan 10 µl standard. Dibuat larutan sample dengan 1000 µl reagen dan 10 µl sample (serum yang telah disetrifuge). Diinkubasi selama 5 menit pada 37oC. Dibaca absorbansinya pada λ 500 nm, tidak boleh lebih dari 60 menit. 3.
HDL-C Precipitant Kadar HDL-C diukur dengan metode tidak langsung atau metode presipitasi yang menggunakan reagen HDL presipitat dan reagen kolesterol. Prinsip metode ini adalah HDL diendapkan dan setelah disentrifugsi. Disiapkan 3 tabung reaksi untuk presipitasi, blanko dan sampel, kemudian dipipet 250 µl sampel lalu dimasukkan ke dalam tabung reaksi kemudian ditambahkan reagen presipitasi HDL sebanyak 500 µl, setelah itu dicampur dan dibiarkan selama 10 menit pada suhu 37˚C lalu disentrifus dengan kecepatan 10000 rpm selama 2 menit. Kemudian diambil supernatan sebanyak 100 µl lalu dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang lain kemudian ditambahkan reagen kolesterol sebanyak 1000 µl kemudian campur lalu diinkubasi pada suhu 37˚C selama 10 menit lalu standar dan sampel terhadap blanko reagen dibaca pada photometer dalam waktu 6 menit dengan panjang gelombang 500 nm. 4.
LDL-C perhitungan Friedwald LDL-C dihitung menggunakan rumus Friedwald. Penggunaan metode ini diperbolehkan bila kadar trigliserida <400 mg/d. Perhitungan tersebut menggunakan rumus sebagai berikut (Rifai et al. 1992), Kadar kolesterol LDL = TC – HDL-C – 1/5 TG.
53 Lampiran 5 Nilai PAR (Physical Activity Rate) untuk berbagai aktivitas pada lakilaki (WHO 2003) Aktivitas Aktivitaspribadi Tidur Duduk Berdiri Berpakaian Mandi Makan dan minum Kegiatan transportasi Berjalan lambat Berjalan cepat Duduk di bis/kereta Mengendarai sepeda motor Memasak/mempersiapkan makanan Membuat adonan Mengupas sayuran Berbelanja Memeras kelapa Mencuci piring Pencucian Mencuci pakaian Menjemur Menyetrika Pekerjaan kantor Merapikan berkas Membaca Duduk Berdiri/berjalan sekitar Mengetik Menulis Aktivitasolahraga Basket Sepakbola Berlari jarak jauh Berlari sprint Berenang Voli Aktivitasrekreasi Menari Mendengarkan radio/musik Melukis Membaca Menonton TV
Rata-rata PAR (kkal/jam/orang) 1.0 1.2 1.4 2.4 2.3 1.4
Kisaran PAR (kkal/jam/orang)
1.6-3.3
2.8 3.8 1.2 2.7
2.6-3.0
1.9
1.3-2.4
2.4-3.0
3.5 1.3 1.3 1.3 1.6 1.8 1.4 6.95 8.0 6.34 8.21 9 6.06 5.0 1.57 1.25 1.5 1.22 1.64
7.5-8.5
8.5-9.4
1.45-1.9 1.4-1.8
54 Lampiran 6 Asupan zat gizi subjek sebelum intervensi teh putih No Subjek 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Ratarata SD
Lemak (g) 56.20 67.98 59.99 65.18 67.08 68.97 71.98 72.76 74.66
Vit A (µg) 186.29 354.60 343.72 476.25 219.58 191.64 210.28 355.4 256.79
67.20
288.28
6.02
99.28
Folat (µg) 219.98 186.34 234.41 228.01 235.22 242.44 238.95 239.87 264.08
B12 (µg) 2.05 2.30 2.20 2.38 2.87 2.63 2.76 2.88 2.87
Vit C (mg) 69.09 63.06 49.56 73.08 55.63 74.71 60.82 71.06 64.32
Vit E (mg) 9.08 9.65 10.88 10.65 9.76 10.01 12.01 12.32 11.97
Fe (mg) 7.80 6.90 8.03 7.81 7.92 8.04 8.15 8.27 8.38
Zn (mg) 7.40 7.81 7.92 8.04 8.30 8.50 8.70 8.91 9.11
232.14
2.55
64.59
10.70
7.92
8.30
20.95
0.32
8.36
1.18
0.43
0.56
Ket: SD=Standar Deviasi
Lampiran 7 Asupan zat gizi subjek sebelum intervensi teh hijau No Subjek 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Ratarata SD
Lemak (g) 59.99 65.18 67.08 68.97 69.91 72.76 64.32 66.98 68.65
Vit A (µg) 190.92 356.22 329.04 410.95 230.45 203.89 230.25 360.97 255.87
67.09
285.40
3.67
79.76
Ket: SD=Standar Deviasi
Folat (µg) 218.80 198.70 219.98 186.34 186.93 179.32 271.45 363.58 267.54
B12 (µg) 2.03 2.26 2.23 2.41 2.85 2.65 2.80 2.91 2.90
Vit C (mg) 68.98 65.56 50.62 73.54 54.50 73.24 62.34 70.99 66.86
Vit E (mg) 10.02 9.54 10.68 10.23 9.21 9.98 11.03 12.06 12.12
Fe (mg) 7.46 7.58 7.69 7.81 7.92 8.04 8.15 8.27 8.38
Zn (mg) 7.35 7.58 7.81 8.05 8.28 8.51 8.74 8.97 9.20
232.52
2.56
65.18
10.54
7.92
8.28
59.63
0.33
8.06
1.03
0.31
0.63
55 Lampiran 8 Asupan zat gizi subjek selama intervensi teh putih No Subjek 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Ratarata SD
Lemak (g) 60.01 67.86 61.21 65.18 67.01 69.03 69.21 71.98 73.88
Vit A (µg) 182.62 352.62 348.71 472.25 221.47 194.92 215.26 351.96 258.01
67.26
288.65
4.57
97.65
Folat (µg) 216.31 184.35 239.4 224.01 237.11 245.72 243.94 236.43 265.3
B12 (µg) 2.08 2.37 2.21 2.4 2.86 2.62 2.77 2.89 2.86
Vit C (mg) 65.42 61.07 54.55 69.08 57.52 77.99 65.81 67.62 65.54
Vit E (mg) 5.41 7.66 15.87 6.65 11.65 13.29 15.98 8.88 13.19
Fe (mg) 7.83 7.01 7.99 7.79 7.92 8.04 8.16 8.3 8.36
Zn (mg) 7.39 7.78 8.05 8.05 8.28 8.51 8.74 8.97 9.18
232.51
2.56
64.96
10.95
7.93
8.33
22.69
0.31
6.84
3.95
0.40
0.58
Ket: SD=Standar Deviasi
Lampiran 9 Asupan zat gizi subjek selama intervensi teh hijau No Subjek 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Ratarata SD
Lemak (g) 62.97 62.20 64.10 71.95 72.89 75.74 67.30 64.00 65.67
Vit A (µg) 202.1 354.34 329.04 410.95 230.45 203.89 230.25 359.08 260.98
67.42
286.79
4.91
77.52
Ket: SD=Standar Deviasi
Folat (µg) 235.22 242.44 238.95 239.87 241.73 242.78 243.83 244.87 245.92
B12 (µg) 2.05 2.32 2.75 2.39 2.83 2.69 2.86 2.88 2.89
Vit C (mg) 69.01 66.03 51.2 75.02 55.86 74.39 63.04 69.99 65.89
Vit E (mg) 10.1 10.05 10.71 10.21 9.3 10.01 11.1 12.01 12.17
Fe (mg) 7.5 7.6 7.64 7.79 8.01 8.1 8.2 8.25 8.42
Zn (mg) 7.4 7.51 7.79 8.15 8.28 8.51 8.76 8.99 9.19
241.73
2.63
65.60
10.63
7.95
8.29
3.30
0.30
7.95
0.97
0.33
0.64
56 Lampiran 10 Tingkat kecukupan gizi subjek sebelum intervensi teh putih No subjek 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Rata-rata SD
Tingkat kecukupan gizi (%) Vit A Folat B12 Vit C Vit E
Lemak 24.52 21.81 18.70 25.39 26.13 27.87 29.08 29.40 31.32 26.03 3.97
42.78 59.87 56.38 97.64 45.02 40.75 44.71 75.57 56.70 57.71 18.58
75.77 47.19 57.67 70.12 72.34 77.32 76.21 76.50 87.46 71.18 11.93
117.69 105.77 83.40 97.09 70.98 65.17 90.21 54.19 71.38 121.99 99.89 87.34 147.11 76.04 80.04 139.80 105.90 85.13 146.71 86.21 102.14 153.09 100.73 104.78 158.42 94.68 105.72 130.23 88.26 87.23 24.72 17.90 14.49
Fe
Zn
82.67 53.77 60.79 73.90 74.95 78.90 79.98 81.16 85.40 74.61 10.59
78.43 60.86 59.96 76.08 78.54 83.41 85.38 87.44 92.84 78.10 11.27
Ket: SD=Standar Deviasi
Lampiran 11 Tingkat kecukupan gizi subjek selama intervensi teh putih No subjek 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Rata-rata SD
Lemak
Vit A
26.19 21.77 19.08 25.39 26.11 27.89 27.96 29.08 31.00 26.05 3.68
41.93 59.54 57.20 96.82 45.41 41.44 45.77 74.83 56.97 57.77 18.15
Ket: SD=Standar Deviasi
Tingkat kecukupan gizi (%) Folat B12 Vit C 74.51 46.69 58.90 68.89 72.92 78.37 77.80 75.40 87.87 71.26 12.05
119.41 100.04 90.62 123.02 146.59 139.27 147.24 153.62 157.87 130.85 23.97
100.15 68.74 59.65 94.42 78.62 110.55 93.28 95.85 96.47 88.64 16.27
Vit E 49.69 51.73 104.12 54.54 95.54 113.03 135.91 75.52 116.49 88.51 31.83
Fe 82.98 54.63 60.49 73.71 74.95 78.90 80.08 81.45 85.19 74.71 10.47
Zn 78.32 60.63 60.94 76.18 78.35 83.51 85.77 88.02 93.55 78.36 11.34
57 Lampiran 12 Tingkat kecukupan gizi subjek sebelum intervensi teh hijau No subjek 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Rata-rata SD
Lemak 26.18 20.91 20.91 26.87 27.24 29.40 25.99 27.06 28.80 25.93 3.05
Vit A
Tingkat kecukupan gizi (%) Folat B12 Vit C
43.84 75.36 116.54 60.15 50.32 95.40 53.97 54.12 91.44 84.26 57.31 123.53 47.25 57.49 146.08 43.35 57.19 140.86 48.96 86.57 148.83 76.75 115.96 154.68 56.50 88.61 160.08 57.22 71.44 130.83 14.45 21.98 25.36
Vit E
105.60 92.04 73.80 64.43 55.35 70.07 100.52 83.90 74.49 75.53 103.82 84.88 88.36 93.81 100.63 102.57 98.42 107.04 89.00 86.03 17.41 14.36
Fe
Zn
79.06 59.07 58.21 73.90 74.95 78.90 79.98 81.16 85.40 74.51 9.60
77.90 59.07 59.12 76.18 78.35 83.51 85.77 88.02 93.75 77.96 12.03
Ket: SD=Standar Deviasi
Lampiran 13 Tingkat kecukupan gizi subjek selama intervensi teh hijau No Subjek 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Rata-rata SD
Lemak
Vit A
27.48 27.48 19.96 19.98 28.03 28.40 30.60 27.19 25.86 26.11 3.70
46.41 59.83 53.97 84.26 47.25 43.35 48.96 76.35 57.62 57.55 14.10
Ket: SD=Standar Deviasi
Tingkat kecukupan gizi (%) Folat B12 Vit C 81.02 61.40 58.79 73.77 74.34 77.43 77.76 78.10 81.45 73.78 8.20
117.69 97.93 112.76 122.50 145.06 142.99 152.02 153.09 159.53 133.73 21.49
105.64 74.33 55.99 102.54 76.35 105.45 89.36 99.21 96.99 89.54 17.18
Vit E 92.77 67.88 70.27 83.73 76.27 85.13 94.40 102.14 107.48 86.68 13.74
Fe 79.49 59.23 57.84 73.71 75.80 79.49 80.47 80.96 85.81 74.75 9.80
Zn 78.43 58.52 58.97 77.12 78.35 83.51 85.96 88.22 93.65 78.08 12.17
58
Lampiran 14 Hasil analisis TAC subjek sebelum dan setelah intervensi teh putih dan teh hijau No Subjek 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Rata-rata SD
TAC teh hijau (m mol/L)
TAC teh putih (m mol/L) Pre Post ∆ 1.14 1.39 0.25 1.18 1.49 0.31 1.19 1.40 0.21 1.22 1.49 0.27 1.13 1.35 0.22 1.15 1.42 0.27 1.19 1.34 0.15 1.15 1.44 0.29 1.14 1.45 0.31 1.17 0.03
Pre 1.15 1.19 1.19 1.21 1.15 1.19 1.18 1.18 1.16 1.18 0.02
1.42 0.25 0.05 0.02 p= 0.000a*
∆
Post
1.3 0.15 1.31 0.12 1.34 0.15 1.4 0.19 1.35 0.2 1.44 0.25 1.21 0.03 1.38 0.2 1.33 0.17 1.34 0.16 0.07 0.05 p=0.000ab*
Ket: SD=Standar Deviasi paired sample t-test: pre dibandingkan dengan post b independent sample t-test : ∆ TAC teh putih dibandingkan dengan teh hijau * berbeda nyata (p<0.05) a
Lampiran 15 Hasil analisis profil lipid subjek sebelum dan setelah intervensi teh putih
No Subjek 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Rata-rata
TC (<200 mg/dl) Pre Post ∆ 177 149 190 177 192 156 183 170 174 174
172 143 188 157 187 155 158 164 167 166
5 6 2 20 5 1 25 6 7 9
p= 0.053 *
TG* (<150 mg/dl) Pre Post ∆ 207 200 153 165 186 180 200 153 175 180
157 134 129 145 127 147 189 108 166 145
50 66 24 20 59 33 11 45 9 35
p= 0.001
LDL-C* (<130 mg/dl) Pre Post ∆
HDL-C (≥ 35 mg/dl) Pre Post ∆ 35 40 50 40 39 55 40 38 42 42
48 40 62 40 50 59 48 39 49 48
13 0 12 0 11 4 8 1 7 6
p= 0.050
berbeda signifikan (paired sample t-test, p<0.05) :pre dibandingkan dengan post
132 131 133 130 131 130 136 138 128 132
93 86 100 88 112 78 72 103 85 91
39 45 33 42 19 52 64 35 43 41
p= 0.000
59 Lampiran 16 Hasil analisis profil lipid subjek sebelum dan setelah intervensi teh hijau No Subjek 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Rata-rata *
TC (<200 mg/dl) Pre Post ∆ 174 166 9 175 174 1 170 164 6 190 187 3 170 156 14 190 188 2 160 158 2 187 156 31 166 166 0 175 168 7 p= 0.067
TG (<150 mg/dl) Pre Post ∆ 180 145 35 199 198 1 202 200 2 154 126 28 168 163 5 182 180 2 182 179 3 196 192 4 150 148 2 178 172 6 p= 0.086
HDL-C (≥ 35 mg/dl) Pre Post ∆ 42 48 6 39 42 3 39 40 1 50 53 3 38 43 5 41 42 1 50 58 8 32 39 7 39 40 1 41 45 4 p= 0.052
LDL-C* (<130 mg/dl) Pre Post ∆ 132 91 41 130 100 30 130 72 58 132 92 40 120 84 36 130 130 0 135 70 65 139 94 45 131 101 30 131 97 34 p= 0.002
berbeda signifikan (paired sample t-test, p<0.05) :pre dibandingkan dengan post
Lampiran 17 Hasil analisis paired sample t-test Perbedaan Pasangan
Ratarata Pair TAC_pre_teh_ 1 putih -.253 TAC_post_teh_ putih TAC_pre_teh_ P Pair hijau-.162 2 TAC_post_teh_ hijau TC_pre_teh_ P Pair putih8.556 3 TC_post_teh_ putih TG_pre_teh_ P Pair putih35.22 4 TG_post_teh_ putih HDL-C_pre_teh_ P Pair putih-4.667 5 HDL-Cpost_teh_ putih
Perbedaan pada 95% CI Standar Std. Error Batas Batas Deviasi rata-rata bawah atas
t
Derajat Sig. bebas (1-tailed)
.052
.017
-.294
-.213 -14.5
8
.000
.062
.020
-.210
-.114 -7.82
8
.000
8.233
2.744
2.227 14.884 3.118
8
.053
6.936 19.228 51.216 5.078
8
.001
1.716 -8.624
8
.050
20.807
5.148
-.710 -2.72
60 Lampiran 17 Hasil analisis paired sample t-test (Lanjutan) Perbedaan Pasangan
Ratarata LDL-C_pre_teh_ P Pair putih6 LDLC_post_teh_ putih TC_pre_teh_ P Pair hijau7 TC_post_teh_ hijau TG_pre_teh_ p Pair hijau8 TG_post_teh_ hijau HDL-C_pre_teh_ P Pair hijau9 HDLC_post_teh_ hijau LDL-C_pre_teh_ P Pair hijau10 LDL-Cpost_teh_ hijau TAC_pre_teh_ p Pair hijau11 TAC_pre_teh_ putih TC_pre_teh_ P Pair hijau12 TC_pre_teh_ putih TG_pre_teh_ P Pair hijau13 TG_pre_teh_ putih HDL-C_pre_teh_ P Pair hijau14 HDL-C_pre_teh_ putih LDL-C_pre_teh_ P Pair hijau15 LDL-C_pre_teh_ putih
Perbedaan pada 95% CI Standar Std. Error Batas Batas Deviasi rata-rata bawah atas
41.33
12.540
7.000
t
Derajat Sig. bebas (1-tailed)
4.180 31.694 50.972 9.888
8
.000
9.912
3.304
-.619 14.619 2.119
8
.067
5.556
8.502
2.834
-.979 12.090 1.960
8
.086
-3.222
2.863
3.377
8
.052
34.00
22.108
7.369 17.007 50.993 4.614
8
.001
.0122
.01716
.0057 -.00097 .02541 2.137
8
.065
1.111
8.298
2.766 -5.267
7.490
.402
8
.698
-1.889
3.983
1.328 -4.950
1.172 -1.42
8
.193
-.667
3.873
1.291 -3.644
2.310 -.516
8
.620
-1.333
4.717
1.572 -4.959
2.292 -.848
8
.421
.954 -5.423 -1.022
61 Lampiran 18 Hasil analisis independent t-test Tes Levene's untuk homogenitas
F Asumsi perbedaan .062 yang sama Tidak dengan asumsi perbedaan yang sama TG Asumsi perbedaan .072 yang sama Tidak dengan asumsi perbedaan yang sama HDL-C Asumsi perbedaan 5.612 yang sama Tidak dengan asumsi perbedaan yang sama LDL-C Asumsi perbedaan .249 yang sama Tidak dengan asumsi perbedaan yang sama TAC Asumsi perbedaan .042 yang sama Tidak dengan asumsi perbedaan yang sama
Sig.
t-test untuk keasamaan rata-rata Sig Standar Derajat . (1- Perbedaan error bebas tailed) rata-rata perbedaan
t
Perbedaan pada 95% CI Batas bawah
Batas atas
TC
.807
.362
16
.386
1.555
4.295 -7.550 10.660
.362 15.479
.386
1.555
4.295 -7.575 10.686
16
.025
19.889
12.062 -5.682 45.4596
1.649 14.353
.043
19.889
12.062 -5.922 45.699
16
.074
3.000
1.975 -1.189
7.188
1.518 12.454
.077
3.000
1.976 -1.288
7.287
16
.041
1.333
1.987 -2.880
5.549
.671 13.352
.039
1.333
1.987 -2.949
5.615
16
.004
.091
.027
.033
.149
3.360 15.555
.004
.091
.02712
.033
.148
.793 1.649
.051 1.518
.624
.671
.840 3.360
62
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 9 September 1988 di Palembang, Sumatera Selatan. Penulis adalah anak ketiga dari empat bersaudara yang merupakan anak dari Bapak Kuswanhadi dan Ibu Mudji Lasminingsih. Pendidikan diploma tiga (D3) ditempuh penulis di Institut Pertanian Bogor pada Program Keahlian Manajemen Industri Jasa Makanan dan Gizi tahun 2006-2009 dengan Tugas Akhir (TA) berjudul “Tingkat Ketersediaan serta Konsumsi Energi dan Protein Hidangan Lauk Hewani Makan Malam pada Diit Lunak Pasien RS Salak Bogor”. Tahun 2009 penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan sarjana strata satu (S1) melalui Program Penyelenggaraan Khusus SI pada Departemen Gizi Masyarakat di Institut Pertanian Bogor. Penulis lulus sebagai sarjana gizi (S Gz) pada tahun 2012 dengan penelitian berjudul "Daya Terima dan Asupan Energi, Protein serta Vitamin A Balita pada Produk Olahan Mi Ubi Jalar Merah”. Penulis sempat menjalani karir sebagai ahli gizi Rumah Sakit Ibu dan Anak Keluarga Kita (RSIA KK) tahun 2012. Selanjutnya penulis menjalani karir sebagai Head Gizi di Mayapada Hospital Tangerang dari Mei 2012- Mei 2013 sebelum akhirnya memilih melanjutkan pendidikan magister (S2) pada Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat, Institut Pertanian Bogor. Karya ilmiah berjudul “The Effect of White Tea on The Increment of Smokers' Oxidative Status” telah disajikan pada International Conference on Quality Improvement and Development of Food Product (QID-Food) di Padang pada bulan April 2015 dan diterbitkan pada International Journal on Advanced Science, Engineering and Information Technology (IJASEIT) volume 5 no 3 tahun 2015. Penulis juga telah melakukan publikasi sebagian hasil penelitian ini pada Jurnal Penelitian Teh dan Kina Volume 18 No. 1, Juni 2015 dengan judul “Aktivitas Penurunan Profil Lipid Perokok oleh Teh Putih dan Teh Hijau”. Karyakarya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S-2 penulis.