PENGARUH RESISTANCE TO CHANGE TERHADAP PERILAKU INOVATIF: KECERDASAN EMOSI SEBAGAI MEDIATOR Ayu Dwi Nindyati Abstract This research conducted to prove that emotional intelligence could minimize the negative effect of resistance to change to innovative behavior. In this condition it called mediator effect. Meyer and Salovey mentioned that emotional intelligence was personal cognitive function to organize situation and he could give proportional response to this situation. This condition support personal innovative behavior with applied the creative ideas (King and Anderson, 2003). For that reason, this research was conduct at company that has changes in tasks and need creative ideas to improve the personal and organization performance. The respondents were 152 persons. To prove this aim’s research, researcher use analysis methods that published by baron and Kenny (1986). The result says that emotional intelligence could minimize the negative effect of resistance to change to innovative behavior. Keywords: innovative behavior, emotional intelligence, resistance to change, mediating variable
Pendahuluan Perubahan yang terjadi pada bidang ekonomi, hukum dan teknologi, merupakan tantangan terbesar bagi organisasi untuk tetap bertahan dan menyesuaikan dengan perubahan tersebut (Burke dalam Milward, 2005). Terkait dengan hal tersebut, sebuah organisasi, tidak hanya berjalan karena adanya aturan dan standard operating procedure (SOP). Efektifitas perilaku kerja para pelaku organisasi tidak juga ditentukan oleh aturan dan SOP dari organisasi (Jansen, 2003). Karyawan yang terbiasa dengan tugas-tugas rutin, pada umumnya memiliki SOP yang sudah baku dan tertentu. Bila tugas-tugas rutin ini sudah terjadi sedemikian lama, maka dapat dikatakan karyawan tersebut sudah memiliki metode kerja yang nyaman. Pada umumnya perubahan yang terjadi mendorong karyawan untuk merasa kesulitan untuk keluar dari rasa nyaman yang sudah dimiliki. Dalam kondisi seperti ini, biasanya yang muncul adalah sikap yang kaku dan enggan untuk merubah cara kerjanya, akibat jangka panjang yang muncul adalah kinerjanya menjadi terhambat sehingga kinerja organisasi juga akan terhambat. Dengan demikian, untuk dapat beradaptasi dan menerima tantangan perubahan, sebuah organisasi membutuhkan karyawan yang memiliki aktifitas inovatif. Hal ini selaras dengan yang telah disampaikan oleh Ancona dan Caldwell, (1987), Amabile (1988), dan Kanter (1988), bahwa karyawan yang berinisiatif untuk berinovasi memberikan kontribusi pada efektifitas organisasi. Penelitian-penelitian tersebut menjelaskan
Ayu Dwi Nindyati Pengaruh Resistance to Change terhadap Perilaku Inovatif
pentingnya penelitian yang terkait dengan perilaku inovatif dan aspek personal yang dapat mempengaruh munculnya perilaku inovatif. Kajian Teori dan Model Penelitian Kata inovasi atau innovative itu sendiri tidak dapat dipisahkan dari pemahaman innovation. Kanter (1988) menjelaskan, bahwa innovation merupakan perilaku yang melibatkan serangkaian proses. West (2002), King dan Anderson (2003) menjelaskan innovation sebagai serangkaian aktifitas atau usaha dalam menghadapi pekerjaan yang melibatkan cara-cara dan ide-ide baru untuk menyelesaikan tugasnya. Luecke (2003) menjelaskan innovation sebagai pengenalan atas sesuatu atau metode kerja yang baru dan ada usaha untuk memperbarui metode yang lama. Baik King dan Anderson (2003) maupun West (2002), menjelaskan bahwa untuk proses innovation ini, diawali dengan adanya kreatifitas individual. Proses innovation ini diawali oleh adanya pengenalan masalah dan memberikan solusi umum atas masalah yang dikenali. Tahap selanjutnya berkaitan dengan bagaimana individu akan mencari dukungan atas ide yang akan dilaksanakannya. Tahap terakhir dari proses perilaku inovatif ini adalah adanya ide untuk menghasilkan sebuah model atau prototype dari perilaku innovation yang dapat digunakan dan dialami atau dirasakan. Berkaitan dengan perilaku manusia, maka innovation lebih dikenal sebagai perilaku inovatif yaitu sebagai intensi untuk memunculkan, meningkatkan dan menerapkan ide-ide baru dalam tugasnya, kelompok kerjanya atau organisasinya (Scott & Bruce, 1994; Woodman, Sawyer & Griffin, 1993; West & Farr, 1989; & Kanter, 1988). Semua aktifitas tersebut berorientasi pada pencapaian kinerja karyawan, kelompok atau organisasi. Axtel, Holman, Unsworth, Wall dan Waterson (2000) menjelaskan lebih lanjut bahwa perilaku inovatif berkaitan dengan perkembangan dan implementasi ide-ide baru yang berdampak pada teori, praktek (practices) atau produk yang dirasakan seluruh organisasi. Perilaku inovatif individu di tempat kerja merupakan dasar dari berbagai perilaku produktif bagi karyawan dan organisasi, sehingga penelitian-penelitian dan kajian-kajian yang berkaitan dengan perilaku inovatif menjadi satu hal yang kritikal. (Scott & Bruce, 1994). Beberapa penelitian menjelaskan manfaat perilaku inovatif tidak hanya pada efektifitas cara kerja karyawan, namun juga bermuara pada produktifitas perusahaan atau organisasi. Dengan mengembangkan inisiatif untuk lebih inovatif maka dapat menyebabkan organisasi tersebut berjalan lebih efektif (Ancona & Caldwell, 1987; Amabile, 1988; Kanter, 1988; Oldham & Cumings, 1996; Jansen, 2003). Secara spesifik, Jansen (2003) menjelaskan bahwa perilaku inovatif dapat menyebabkan adanya keterlibatan kerja (job involvement) karyawan meningkat. Dengan keterlibatan karyawan pada perusahaan atau organisasi, maka karyawan
95
Jurnal Universitas Paramadina Vol.6 No. 1, April 2009: 94-110
akan melaksanakan tugasnya dengan ringan dan berorientasi pada pencapaian tujuan tanpa harus diberikan SOP yang ketat. Scott dan Bruce (1994) menjelaskan dalam penelitiannya, bahwa perilaku inovatif dipengaruhi beberapa aspek yaitu aspek personal dan lingkungan baik secara langsung atau pun tidak langsung. Aspek personal yang dapat berpengaruh dalam penelitian Scott dan Bruce ini berkaitan dengan gaya pemecahan masalah. Sedangkan aspek eksternal yang diteliti adalah hal-hal yang berkaitan dengan kepemimpinan dan rekan kerja. Sedangkan dalam penelitian ini lebih berfokus pada aspek personal meliputi kecerdasan emosi dan RTC. Perilaku inovatif yang dikembangkan individu, tidak dapat dipisahkan dengan aspek personal yang dimiliki oleh setiap individu. Salah satunya adalah bagaimana individu merespon lingkungan dan situasi yang disebut dengan kecerdasan emosi. Kecerdasan emosi ini mampu membuat individu mengelola respon emosi yang akan dimunculkan berkaitan dengan tuntutan lingkungannya. Kecerdasan emosi pada awalnya diformulasikan oleh John Meyer dan Peter Salvoes pada tahun 1990. Definisi yang diberikan oleh Meyer dan Salvoes tentang kecerdasan emosi adalah kemampuan menerima dan mengekspresikan emosi yang dirasakan, memahami emosi secara kognitif, mengerti dan mengetahui penyebab emosinya serta mampu mengatur atau mencocokkan emosinya dengan situasi yang tidak menyenangkan (dalam Passer dan Smith, 2007; Weiten dan Lloyd, 2006). Definisi lain dari kecerdasan emosi menurut Goleman (1999) adalah kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri dan memiliki daya tahan ketika menghadapi rintangan, mampu mengendalikan impuls dan tidak cepat merasa puas. Individu mampu mengatur suasana hati dan mampu mengelola kecemasan agar tidak menggangu kemampuan berpikir. Selain hal-hal tersebut individu juga mampu berempati, membina hubungan yang baik dengan orang lain dan mudah mengenali emosi pada orang penuh perhatian. Pada definisi ini, Goleman menekankan pada lima area kecerdasan emosi yaitu mengenali emosi diri, dapat mengontrol emosi, dapat memotivasi diri, mengenali emosi orang lain dan dapat berhubungan dengan orang lain. Individu yang memiliki kecerdasan emosi tinggi mempunyai kesadaran diri untuk lebih mengenali emosi dan pikiran yang sedang terjadi pada dirinya, tidak larut dalam situasi yang tidak menyenangkan. Individu tersebut mempunyai kejernihan dalam berpikir, mampu lebih mengendalikan diri dan melindungi dirinya dari pengaruh stres yang datang, sehingga mengetahui tindakan apa yang akan diambil untuk mengatasi permasalahannya (Mayer dalam Goleman 1999; Taylor,2001; Salvoes & Pizarro, 2003). Sebaliknya, individu yang memiliki kecerdasan emosi yang rendah akan bereaksi terhadap situasi yang tidak menyenangkan dengan cara yang tidak sehat. Individu tersebut akan cenderung larut dalam permasalahan dan tidak dapat melihat permasalahan dengan jernih, sehingga sulit mencari solusi masalahnya. Bila 96
Ayu Dwi Nindyati Pengaruh Resistance to Change terhadap Perilaku Inovatif
situasi ini berkelanjutan, dapat menyebabkan gangguan fisik maupun mental individu tersebut (Taylor, 2001). Penelitian terkait dengan kecerdasan emosi yang dilakukan oleh Lewin ( dalam Hall & Gardner, 1993) menjelaskan bahwa untuk berperilaku (termasuk kinerja) individu membutuhkan kepribadian dan kemampuan merespon lingkungan (kecerdasan emosi). Sementara itu penelitian yang dilakukan Mayer (dalam Ciarochi, Forgas & Mayer, 2001) menjelaskan bahwa kecerdasan emosi mampu memprediksikan kinerja yang bagus bagi karyawan. Dari dua penelitian terakhir dijelaskan bahwa kecerdasan emosi dapat mempengaruhi kinerja karyawan sebagai salah satu perilaku produktif karyawan yang menunjang tercapainya tujuan organisasi. Memahami pembahasan kecerdasan emosi dan pentingnya terhadap pencapaian kinerja karyawan maka dapat dianalogikan, bagaimana kecerdasan emosi dapat berpengaruh terhadap perilaku inovatif. Untuk dapat menunjukkan perilaku inovatifnya, individu dituntut memiliki kemampuan untuk memahami stimulus yang dikirim oleh lingkungan dan menunjukkan responnya yang tepat. Terkadang stimulus tersebut tidak selalu mendukung, ada kalanya stimulus tersebut adalah stimulus yang tidak menyenangkan. Untuk menghadapi situasi tersebut maka setiap individu harus mampu menunjukkan respon yang tepat, agar terhindar dari pemahaman yang salah tentang situasi tersebut. Kecerdasan emosi memberikan gambaran sebagai individu yang mampu memberikan respon dengan dilandasi oleh adanya pemahaman atas stimulusnya secara proporsional. Individu dengan kecerdasan emosi tinggi pada umumnya mampu menunjukkan adanya penerimaan atas tuntutan dari lingkungan. Individu dengan kecerdasan emosi yang tinggi seharusnya tidak memiliki kecemasan terhadap situasi yang tidak diharapkannya seperti perubahan dalam organisasi yang menuntutnya untuk merubah cara kerja. Dengan kata lain dapat diasumsikan bahwa individu yang memiliki kecerdasan emosi tinggi adalah individu yang mampu mengendalikan emosinya. Individu tersebut tidak larut dalam situasi yang tidak menyenangkan sehingga individu tersebut tidak akan memiliki RTC tinggi. Resistance to change sebagai reaksi individu terhadap perubahan, dapat terlihat pada sikapnya terhadap perubahan itu sendiri. Sikap ini dapat dikategorikan ke dalam dua hal, yaitu sikap yang positif dan negatif. Menurut Azwar (2000) sikap seseorang terhadap obyek sikap tertentu mampu memprediksi perilaku seseorang. Dengan demikian sikap positif dapat terlihat pada perilaku yang mendukung adanya perubahan dan sebaliknya sikap negatif tercermin dalam perilaku yang menolak perubahan atau bertahan untuk tidak berubah. Konsep ini dijelaskan sebagai konsep resistance to change (RTC). Secara sederhana RTC dapat dipahami sebagai kecenderungan karyawan untuk menunjukkan perilaku yang tidak menghendaki adanya perubahan (Lines, 2004). Bovey dan Hede (2001) menjelaskan bahwa RTC adalah permasalahan yang selalu muncul jika manajemen dari organisasi melakukan perubahan pada organisasi.
97
Jurnal Universitas Paramadina Vol.6 No. 1, April 2009: 94-110
Perubahan dalam organisasi tidak hanya terjadi karena adanya perubahan manajemen, namun bisa saja suatu bentuk perubahan pola kerja yang mengikuti tuntutan perkembangan lingkungan. Karyawan menjadi memiliki beban kerja yang berubah untuk dapat mengikuti tuntutan perubahan lingkungan, sebagai usaha organisasi beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Dari beberapa penelitian yang berkaitan dengan RTC menjelaskan, bahwa RTC dapat mempengaruhi perilaku kerja individu. Penelitian yang dilakukan Nindyati dan Naomi (2007) menjelaskan bahwa RTC dapat memberikan pengaruh negatif terhadap kepuasan kerja karyawan. Sedangkan kepuasan kerja menurut Spector (1996) sangat mempengaruhi kinerja karyawan. Resistance to change merupakan sikap negatif dari individu dan berpotensi menjadi hambatan utama bagi perusahaan untuk melakukan perubahan (Muchinsky, 2003). Individu yang mengalami RTC menunjukkan sikap tidak mau meninggalkan cara lama saat bekerja, tidak mau belajar, melakukan kesalahan-kesalahan saat bekerja, dan membuat gosip tentang perubahan (Greenberg & Baron; Bovey & Hede; dalam Janou Vos, 2006). Sikap resisten yang timbul sebagai reaksi terhadap perubahan memberikan dampak pada organisasi, seperti menurunnya komitmen organisasi, meningkatnya jumlah keterlambatan dan ketidakhadiran individu (King & Anderson, 2003). Sikap individu ini menghalangi proses perubahan dan meningkatkan kerugian organisasi (Metselaar; Del Val & Fuentes; dalam Janou vos, 2006). Memahami konsep perilaku inovatif dan RTC, maka dapat dipahami bahwa individu yang mengalami RTC di atas rata-rata akan diasumsikan mampu memberikan pengaruh terhadap melemahnya perilaku kerja termasuk perilaku inovatif. Individu yang mampu mengembangkan perilaku inovatif adalah individu yang memiliki fleksibilitas dalam menghadapi tuntutan perubahan lingkungannya. Individu ini tidak mengalami hambatan untuk berinisiatif dalam situasi kerja yang berubah. Inisiatif yang berorientasi pada usaha yang berkesinambungan untuk membuat cara kerja baru atau memperbaiki cara kerja lama disesuaikan dengan tuntutan baru. Sementara individu yang mengalami RTC dapat dijelaskan sebagai individu yang cenderung mengalami hambatan untuk melakukan atau mengikuti tuntutan perubahan yang ada. Individu yang cenderung bertahan dan terhambat untuk mengikuti perubahan, maka individu tersebut cenderung kurang berinisiatif untuk melakukan perbaikan cara kerja sesuai dengan tuntutan kerja baru. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa keberadaan RTC dapat melemahkan perilaku inovatif individu, karena menghambat individu untuk berinisiatif melakukan perubahan ke arah yang lebih bagus. Berdasarkan pemahaman penjelasan variabel perilaku inovatif, kecerdasan emosi dan RTC, maka dapat dipahami saling keterkaitannya. Kecerdasan emosi dapat diasumsikan berkaitan positif dengan perilaku inovatif dan berkorelasi negatif dengan RTC, sedangkan RTC berkorelasi negatif dengan perilaku inovatif. Asumsi yang diajukan ini mendasari suatu pemikiran bahwa kecerdasan emosi dapat meminimalkan 98
Ayu Dwi Nindyati Pengaruh Resistance to Change terhadap Perilaku Inovatif
dampak negatif RTC terhadap perilaku inovatif, sehingga memunculkan hipotesis penelitian sebagai berikut: Hipotesis: Kecerdasan emosi berperan sebagai mediator pada pengaruh Resistance to Change terhadap perilaku inovatif Uraian model mediator yang tertuang pada hipotesis ke empat, dapat digambarkan pada model hipotesis (konseptual) yang diajukan untuk diuji dengan data lapangan, pada gambar 1 berikut.
Gambar 1. Model Penelitian
Keterangan: a : adalah jalur korelasi langsung VI (RTC) dengan VD (perilaku inovatif) b : adalah jalur korelasi VI (RTC) dengan mediator (kecerdasan emosi) c : adalah jalur korelasi mediator (kecerdasan emosi) dengan VD (perilaku inovatif) Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan desain penelitian non eksperimen. Penelitian ini dilakukan dalam setting alamiah tanpa memberikan perlakuan tertentu pada subyek penelitian untuk mendapatkan gambaran setiap variabel penelitiannya (Creswell, 2005). Organisasi yang akan digunakan pada penelitian ini adalah stasiun televisi. Hal ini sesuai dengan variabel yang digunakan, bahwa dalam perusahaan televisi dituntut adanya aktifitas yang memerlukan inisiatif, kreatifitas, inovatif dan harus memenuhi setiap tuntutan perubahan. Variasi tuntutan perubahan ini mendesak individu dalam dunia pertelevisian untuk tetap mengembangkan perilaku yang inovatif. Memperhatikan hal tersebut, maka pada penelitian ini akan digunakan karyawan dari stasiun televisi yang sedang atau telah mengalami peurbahan mendasar. Pemilihan sampel dilakukan dengan harapan memenuhi asas representative, salah satunya adalah dengan menggunakan teknik sampling tertentu untuk mendapatkan sampel. Teknik sampling yang digunakan adalah teknik sampling simple non random sampling (Creswell, 2005), yaitu teknik pengambilan sampel secara sederhana dengan tidak memberikan peluang yang sama bagi anggota populasi untuk menjadi sampel. Dalam penelitian ini sampel yang digunakan adalah karyawan yang telah
99
Jurnal Universitas Paramadina Vol.6 No. 1, April 2009: 94-110
ditentukan oleh perusahaan. Penelitian ini menggunakan subyek penelitian karyawan salah satu stasiun televisi swasta di Jakarta sejumlah 152 orang. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner pada setiap variabel penelitian. Variabel perilaku inovatif dijelaskan sebagai perilaku yang memunculkan, meningkatkan dan menerapkan ide-ide baru dalam tugasnya, kelompok kerjanya atau organisasinya. Pengukuran perilaku inovatif kuesioner yang dikembangkan dalam Kleysen dan Street (2001) sejumlah 19 pernyataan yang mencerminkan seberapa sering perilaku inovatif yang dtunjukkan. Kleysen dan Street menjelaskan ada lima aspek yang dijadikan dasar pembuatan pernyataan pada pengukuran perilaku inovatif yaitu Opportunity exploration, generativity, formative investigation, championing dan application. Untuk mengerjakan kuesioner ini diawali dengan kalimat “dalam tugas anda sekarang, seberapa sering anda ……” Pilihan jawaban mengikuti skala Likert dari 1 - 5 dengan alternative jawaban tidak pernah (TP), hampir tidak pernah (HTP), kadang-kadang (K), sering (S) dan selalu (SL). Resistance to change diukur dengan alat ukur RTC yang digunakan dalam penelitian ini dikembangkan oleh Oreg (2003). Alat ukur ini diperoleh dari Resistance to Change Scale (RTCS). Resistance to change scale didisain dengan tujuan mengukur kecenderungan individu untuk bertahan terhadap perubahan, yang meliputi dimensi perilaku, kognitif, dan afektif. Terdapat enam sumber yang diidentifikasi dari RTCS yaitu, reluctance to lose control, cognitive rigidity, lack of psychological resilience, intolerance to adjustment period involved in change, preference for low levels of stimulation and novelty, dan reluctance to give up old habits. Dari keenam sumber tersebut, dibentuk menjadi empat faktor yang digunakan dalam alat ukur RTCS yaitu, routine seeking, emotional reaction, short-term focus, dan cognitive rigidity. Alat ukur RTC ini menggunakan penskalaan model Likert. Alat ukur kecerdasan emosi pada penelitian ini menggunakan alat ukur yang sudah digunakan oleh Dharmasoeka (2005) pada penelitian sebelumnya. Alat ukur ini berjumlah 33 pernyataan yang dibuat berdasarkan lima dimensi kecerdasan emosi dari Goleman (1999), yaitu : kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi diri, empati dan ketrampilan sosial. Alat ukur ini menggunakan skala likert. Contoh item pada setiap variabel penelitian dapat dilihat pada table 1. Hasil uji reliabilitas dengan alpha cronbach menunjukkan hasil koefisien α alat ukur perilaku inovatif sebesar 0,9114, koefisien α RTC 0,809 dan koefisien α kecerdasan emosi .810. Berdasarkan Kaplan dan Sakuzo (2005), maka alat ukur yang digunakan pada penelitian ini memiliki reliabilitas bagus. Kaplan dan Sakuzo mensyaratkan minimal koefisien α sebesar 0,70 cukup memadai untuk penelitian.
100
Ayu Dwi Nindyati Pengaruh Resistance to Change terhadap Perilaku Inovatif
Tabel 1. Contoh item untuk variabel perilaku inovatif, kecedasan emosi dan RTC
Uji Hipotesis Pengujian hipotesis yang diajukan dengan menggunakan pijakan uji mediator berdasarkan metode yang dikembangkan oleh Baron dan Kenny (1986). Konsep dasar model mediator ini adalah suatu mekanisme yang menjelaskan bagaimana satu variabel mempengaruhi variabel lainnya (Baron & Kenny, 1986; James & Brett, 1984). MacKinnon (2007) menjelaskan bahwa relasi yang kompleks dapat diperlihatkan pada adanya variabel ketiga yang terletak diantara hubungan causa antara independent variabel (IV) dan dependenet variabel (DV). Tipe relasi ini dikenal dengan mediation, dan variabel ketiga tersebut dikenal dengan variabel mediator (M). Judd & Kenny, (1981); MacCorquodale & Meehl, (1948); Rozeboom, (1956) menjelaskan konsep mediator ini sebagai dampak tidak langsung (indirect effect), intervening variable atau intermediate effects (Chaplin dalam Robins, Kraley & Krueger, 2007). Untuk menjelaskan lebih komperhensif dari model mediator ini dapat dilihat pada gambar 2. Berdasarkan gambar 2 di atas, maka dapat diperoleh penjabaran terkait dengan konseptualisasi model mediator. Model pertama mengindikasikan adanya relasi sederhana antara IV dan DV. Untuk dapat membuktikan adanya model mediator, maka pada relasi IV dan DV ini tidak boleh nol. Hal ini dikarenakan, jika tidak ada korelasi antara IV dan DV, maka sudah dapat dipastikan tidak dapat diukur adanya dampak mediator. Model ke dua menggambarkan adanya model mediation.
101
Jurnal Universitas Paramadina Vol.6 No. 1, April 2009: 94-110
a (B1) IV
DV
a’ (B3) IV
DV
b (B2)
c (B4) M
Gambar 2. Diagram jalur model mediation. Catatan: B1, B2, B3, and B4 adalah koefisien regresi dari persamaan regresi 1, 2, dan 3 yang digunakan untuk memprediksi jalurnya. Sumber: Baron, R. M., & Kenny, D. A. (1986). Journal of Personality and Social Psychology, 51, 1173–1182.
Dalam model tersebut dampak langsung IV terhadap DV dialihkan melalui mediator (M) dengan menggunakan jalur b dan c. Jika IV dan DV berkorelasi melalui M maka jalur a’ menjadi nol, sehingga dapat dikatakan variabel M berperan penuh sebagai mediator. Jika jalur a’ tidak menjadi nol, namun lebih kecil dibandingkan jalur a, maka dapat dikatakan bahwa fungsi mediation dari variabel M hanya sebagian (Baron & Kenny, 1986; James & Brett, 1984). Berdasarkan uraian pada bagian sebelumnya dan uraian variabel mediator tersebut maka dapat diajukan secara model konseptual adanya peran mediator (kecerdasan emosi) pada pengaruh RTC (IV) terhadap perilaku inovatif (DV). Secara konseptual RTC berpengaruh negatif terhadap perilaku inovatif. Hal ini terlihat pada adanya karakteristik RTC yang bertahan pada perubahan, tidak dapat fleksibel menerima perubahan dan cenderung menghasilkan perilaku yang tidak mendukung adanya perubahan. Sementara itu perilaku inovatif adalah bentuk perilaku yang tercermin pada adanya usaha untuk menghasilkan cara kerja yang baru, minimal memperbaiki cara kerja lama agar berhasil menemukan cara kerja yang baru, untuk mencapai kinerja yang lebih bagus. Dengan demikian individu yang memiliki RTC tinggi akan cenderung mengakibatkan perilaku inovatifnya berkurang. Keberadaan variabel ketiga dalam hal ini adalah kecerdasan emosi secara konseptual mampu berperan sebagai variabel mediator. Hal ini dijelaskan secara konseptual, individu yang memiliki kecerdasan emosi, tidak mengalami hambatan untuk menunjukkan perilakunya yang inovatif. Dengan kemampuannya untuk mengendalikan emosinya dalam situasi yang tidak menyenangkan, maka individu tersebut dapat menelaah permasalahan dengan tepat dan akan memudahkannya untuk memecahkan masalah. Selain itu orang yang memilki kecerdasan emosi bagus juga akan 102
Ayu Dwi Nindyati Pengaruh Resistance to Change terhadap Perilaku Inovatif
fleksibel dalam merespon situasi yang tidak menyenangkan, seperti tuntutan perubahan cara kerja atau perubahan sistem manajemen. Dengan kata lain, kecerdasan emosi secara konseptual (M) dapat berpengaruh positif terhadap perilaku inovatif (DV). Kecerdasan emosi (M) secara konseptual juga memenuhi kriteria statistik bahwa keberadaanya berkorelasi dengan RTC (IV), dalam hal ini adalah korelasi negatif. Dengan kata lain individu yang memiliki kecerdasan emosi bagus dapat mengelola responnya secara proporsional terhadap perubahan yang akhirnya meminimalkan adanya RTC pada karyawan. Dengan demikian syarat untuk pengujian model mediator yang diajukan Baron dan Kenny (1986) sudah terpenuhi secara konseptual, dan harus dibuktikan secara statistik. Tehnik yang digunakan peneliti untuk menentukan uji hipotesis adalah analisis regresi karena setiap variabel penelitian memiliki jenis data interval. Penghitungan untuk uji hipotesis juga menggunakan SPSS 10.0 for windows. Tabel 2 mencerminkan hasil analisis data yang menginformasikan mean, standard deviasi dan interkorelasi antar variabel penelitian. Tabel 2. Rata-rata, Standard N= 152 Variabel Penelitian 1. Perilaku Inovatif 2. Resistance to Change 3. Kecerdasan Emosi
Deviasi dan Interkorelasi Antar Variabel Penelitian, M 71,68 30,10 91,10
SD 9,41 6,59 7,99
1 -0,353** 0,440**
2
-0,407**
** p = 0,000 * p < 0,01
Tabel 2 memberikan informasi tentang korelasi antar variabel penelitian. Terlihat bahwa semua variabel memiliki korelasi yang sangat signifikan dengan koefisien korelasi yang memiliki peluang kesalahan kurang dari 0,01. (p < 0,01). Kondisi tersebut menjelaskan bahwa analisis mediator selanjutnya dapat dilakukan. Dengan demikian syarat bahwa path a (korelasi IV dan DV) terbukti signifikan, demikian juga dengan path b (korelasi IV dan Me) dan path c (korelasi Me dan DV). Tahap terakhir adalah dengan melakukan analisis regresi untuk membuktikan bahwa kecerdasan emosi dapat berperan sebagai mediator. Informasi ini dapat dilihat pada tabel 3 berikut ini. Tabel 3. menjelaskan bahwa hipotesis penelitian yang diajukan pada penelitian ini terbukti. Hipotesis pertama yang menyatakan bahwa RTC berpengaruh negatif terhadap perilaku inovatif, terbukti signifikan dengan harga R2 = 0,124, dan β = -0,353 dan p = 0,000. Hasil analisis regresi ini menjelaskan bahwa RTC menyumbangkan perannya terhadap perilaku inovatif sebesar 12.4%, karena harga β negative, maka dapat dikatakan bahwa semakin besar RTC maka perilaku inovatifnya semakin berkurang
103
Jurnal Universitas Paramadina Vol.6 No. 1, April 2009: 94-110
Tabel 3. Ringkasan analisis multi regresi RTC dan kecerdasan emosi terhadap perilaku inovatif (N = 152) DV IV R2 β df Perilaku Inovatif Step1: 1. RTC 0,124** -0,353** 1 2. KE 0,194** 0,440** 1 Kecerdasan emosi RTC 0,166** -0,407** 1 Perilaku Inovatif Step 2: 3. RTC 0,230** -0,208** 2 4. KE 0,355** Catatan: Beta (β), merupakan koefisien regresi setiap variabel yang sudah terstandard dalam analisis regresi; KE = Kecerdasan emosi; RTC = resistance to change. * p < 0,05; ** p < 0,01.
Hipotesis kedua yang menyatakan bahwa RTC berpengaruh negatif terhadap kecerdasan emosi, terbukti signifikan dengan harga R2 = 0,124, dan β = -0,353 dan p = 0,000. Hasil analisis regresi ini menjelaskan bahwa RTC menyumbangkan perannya terhadap perilaku inovatif sebesar 12.4%, karena harga β negative, maka dapat dikatakan bahwa semakin besar RTC maka perilaku inovatifnya semakin berkurang. Hipotesis ketiga yang menyatakan kecerdasan emosi berpengaruh positif terhadap perilaku inovatif juga terbukti signifikan dengan R2 = 0,166, dan β = -0,407 dan p = 0,000. Hasil analisis regresi ini menjelaskan bahwa RTC menyumbangkan peran terhadap terbentuknya kecerdasan emosi sebesar 19.4%, mengingat harga β negatif, maka dapat dikatakan semakin besar RTC seseorang maka kecerdasan emosinya semakin kecil. Hipotesis keempat yang menyatakan kecerdasan emosi berperan sebagai mediator pada pengaruh RTC terhadap perilaku inovatif juga terbukti signifikan, hanya saja tidak berperan sebagai full mediator namun hanya sebagian. Hal ini dapat dilihat dengan adanya harga R2 RTC dan kecerdasan emosi terhadap perilaku inovatif yang meningkat dibandingkan harga R2 RTC terhadap perilaku inovatif (R2y xm = 0,230 > R2y x = 0,124). Demikian juga dengan besar pengaruh negatif RTC terhadap perilaku inovatif berkurang bila dibandingkan dengan pengaruh RTC terhadap perilaku inovatif melalui kecerdasan emosi. Hal ini dapat dilihat dari bertambahnya harga β pada pengaruh RTC melalui kecerdasan emosi terhadap perilaku inovatif dibandingkan dengan harga β pengaruh langsung RTC terhadap perilaku inovatif (βxm = -0,208 > βx = -0,353). Pembahasan Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk membuktikan apakah kecerdasan emosi dapat berperan sebagai mediator pada pengaruh RTC terhadap perilaku inovatif. Untuk mencapai tujuan utama tersebut harus dilakukan tahapan-tahapan analisis yang melibatkan setiap variabel penelitian seperti halnya yang tertuang pada hipotesis-hipotesis penelitian 104
Ayu Dwi Nindyati Pengaruh Resistance to Change terhadap Perilaku Inovatif
yang diajukan. Uji hipotesis yang dilakukan menunjukkan bahwa semua hipotesis yang diajukan dapat diterima. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa dampak negatif RTC terhadap perilaku inovatif dapat diminimalkan atau dikurangi dengan melibatkan kecerdasan emosi. Resistance to change dan kecerdasan emosi tidak hanya terbukti sebagai antiseden dari perilaku inovatif, namun kecerdasan emosi dapat menopang dampak RTC terhadap perilaku inovatif. Hal ini menjelaskan bahwa aspek kecerdasan emosi yang melibatkan kemampuan kognitif dalam mengelola kehidupan emosinya ikut berperan dalam menganalisis permasalahan yang dihadapi (Meyer dan Salovey dalam Passer dan Smith, 2007; Weiten & Lloyd, 2006). Kecerdasan emosi juga terbukti secara signifikan mampu mengurangi dampak RTC terhadap perilaku inovatif. Dengan demikian setiap individu yang mengalami RTC tidak lagi akan bermasalah dalam menunjukkan perilaku inovatifnya bila individu tersebut mampu mengembangkan kecerdasan emosinya. Kecerdasan emosi merupakan satu pola kognitif individu yang berkaitan dengan bagaimana individu mampu memberikan respon yang sesuai terhadap tuntutan dari lingkungannya. Individu dengan kecerdasan emosi mampu menata dirinya dengan tepat sebelum bertindak. Dengan kata lain, individu yang memiliki kecerdasan emosi mampu mengendalikan dirinya, sehingga hanya memberikan respon yang sesuai dengan tuntutan lingkungannya. Perilaku inovatif merupakan respon individu terhadap tantangan untuk selalu menghasilkan ide-ide dan tindakan-tindakan yang baru dan bermanfaat untuk meningkatkan produktifitasnya. Dengan demikian individu yang memiliki kecerdasan emosi bagus, tentunya akan dengan mudah memilah bagaimana menunjukkan respon yang inovatif atau merusak. Dalam penelitian ini terdapat beberapa kelemahan diantaranya adalah pengambilan data tidak dilakukan pada responden yang dipilih secara random, namun responden yang dpilihkan oleh perusahaan tempat penelitian. Hal ini menyebabkan berkurangnya representasi responden dari populasinya. Apalagi dalam perusahaan ini terdiri dari berbagai divisi atau bidang. Dengan kondisi tersebut idealnya jumlah responden pada setiap divisi diambil secara proporsional, sehingga teknik sampling yang digunakan seharusnya adalah proporsional cluster sampling. Selain terkait dengan teknik sampling, sebaiknya dilakukan uji model dengan menggunakan teknik analisis structural equation modelling yang dapat dijalankan, salah satunya dengan program LISREL. Kesimpulan dan Saran Dari hasil analisis data dan pembahasan yang dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosi dapat mengurangi dampak negatif resistance to change terhadap perilaku inovatif. Berdasarkan kesimpulan yang ada, maka dapat diberikan saran-saran sebagai berikut:
105
Jurnal Universitas Paramadina Vol.6 No. 1, April 2009: 94-110
1. Untuk perusahaan agar lebih: a. Mengurangi RTC karyawan, karena terbukti RTC dapat mengurangi perilaku inovatif karyawan. Dari penelitian ini diperoleh informasi bahwa dengan meningkatkan kecerdasan emosi karyawan dapat mengurangi RTC karyawan. b. Memperhatikan aspek kecerdasan emosi karyawan sebagai variabel yang harus dipertimbangkan untuk merekrut karyawan, karena aspek ini terbukti merupakan aspek yang dapat mengurangi RTC karyawan. c. Melakukan pelatihan-pelatihan yang dapat meningkatkan kecerdasan emosi karyawan, menciptakan iklim organisasi yang berwawasan emosi, menerapkan pola leadership berdasarkan kecerdasan emosi. 2. Memperhatikan kelemahan dalam penelitian ini, maka sebaiknya untuk peneliti selanjutnya mencoba untuk mengkaji hal-hal sebagai berikut: a. Menggunakan teknik sampling yang lebih sesuai dengan kondisi populasinya, sehingga dapat terwakili setiap bagian yang ada dalam populasi tersebut. b. Memperbaiki cara pengambilan data dengan membuatnya secara klasikal agar dapat dikendalikan administrasi pengisian kuesioner penelitiannya. c. Menggunakan metode LISREL untuk melakukan uji model penelitian yang diajukan.
Daftar Pustaka Alge, B.J., Ballinger, G.A., Tangirala, S., & Oakley, J.L. (2006) Information privacy in organizations: Empowering creative and extrarole performance. Journal of Applied Psychology. 91 (1), 221 – 232 Ancona, D. & Caldwell, L. (1987) Management issues facing new product teams in high technology companies, Dalam Lewin, D., Lipsky, D., dan Sokel, D., (Eds), Advances in industrial and labor relations, Vol. 4: 191 – 221. Greenwich, CT: JAI Press. Amabile, T.M., (1983) Social Psychology of creativity: A componential conceptualization. Journal of Personality and Social Psychology, 45. 357 – 377 Amabile, T.M., (1988) A model of creativity and innovations in organizations. Dalam B.M. Staw& L.L. Cummings (Eds). Research in organizational behavior (vol 10, h. 187 – 209, Greenwich, CT: JAI
106
Ayu Dwi Nindyati Pengaruh Resistance to Change terhadap Perilaku Inovatif
Axtel, C.M., Holman, D.J., Unsworth, K.L., Wall, T.D., Waterson, P.E. & Harrington, E. (2000) Shopfloor innovation: facilitating the sugestion and implementation of ideas. Journal of Occupational and Organizational Psychology. Vol. 73. 265 – 285 Azwar, S. (2000). Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya. ed. ke-2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Baron, M.R. & Kenny, D.A. (1986). The Moderator-Mediator Variable Distinction in Social Psychological Research: Conceptual, Strategic, and Statistical Consideration, Journal of Personality and Social Psychology, 51, 1173 – 118 Bordens, K. S & Abbott, B. B. (2005). Research Design and Methods, A Process Approach (ed. 6th). New York: Mc-Graw-Hill. Bovey, W.H. dan Hede, A. (2001) Resistance to organizational change: the role of defence mechanism. Journal of Managerial psychology, Vol. 16. h. 534 – 548 Chan, D. (2006). Interactive Effects of Situational Judgement Effectiveness and Proactive Personality on Work Perception and Work Outcomes. Journal of Applied Psychology. Vol. 91, No. 2 Ciarrochi, J., Joseph, F. & John, M. (2001) Emotional intelligence in everyday life: a scientific inquiry. USA: Psychology Press. Cohen, J., & Cohen, P. (1983). Applied multiple regression/correlation analysis for the behavior sciences (2nd ed.). Hillsdale, NJ: Erlbaum. Cresswell, J.,W. (2005). Educational research: planning, conducting and evaluating, quantitative and qualitative research. New Jersey: Pearson Education. Inc. Dharmasoeka, E. (2005). Hubungan antara kecerdasan emosional dengan kepuasan kerja karyawan di PT. Epsindo Jaya Pratama. Skripsi. Jakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Katolik Indonesia Atmajaya Del Val, M. P. & Fuentes, C. M. (2003). Resistance to Change: a Literature review and Empirical Study. Management Decision, 41, 148-155. Drazin, R. & Schoonhoven, C.B. (1996) Community, population, and organization effects on innovation: A multiple perspective. Academy of Management Journal, 39, 1065 -1083 Greenberg, J. dan Baron, R.A. (2002) Behavior in Organizations. New Jersey: Prentice Hall Goleman, D. (1999). Kecerdasan emosi untuk mencapai puncak prestasi (Pengalih Bahasa: A.T. Widodo). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Hall, C.S. & Gardner, L. (1993) Teori-teori holistik: organismik – fenomenologis. Yogyakarta: Kanisius
107
Jurnal Universitas Paramadina Vol.6 No. 1, April 2009: 94-110
Hall, D.T., & Moss, J.E. (1998) The new protean career contract: Helping organizations and employees adapt. Organizational Dynamics. 26(3) 22 – 37 Hartman, A. (2006) The role of organizational culture in motivating innovative behaviour in construction firms. Construction Innovation Journal. 6: 159–172 Hersen, M. & Gross, A.M. (2008) Handbook of Clinical Psychology, Volume 2: Children and Adolescents, New Jersey: JohnWiley & Sons, Inc. James, L. R., & Brett, J. M. (1984). Mediators, Moderators, And Tests For Mediation. Journal of Applied Psychology, 69, 307–321. Janou Vos. (2006) The role of personality and emotions in employee resistance to change. Rotterdam: Erasmus University Rotterdam Jansen, O. (2003) Innovative behavior and job involvement at the price of conflict and less satisfactory relations with co-workers. Journal of Occupational and Organizational Psychology; 76; p. 347 – 364 Johnson, M. B. (2005). Optimism, Adversity and Performance: Comparing Explanatory Style and AQ. San Jose State University: The Faculty of the Department of Psychology. Judge, T.A., Thoresen, C.J., Bono, J.E., & Patton, G.K. (2001) The job satisfaction-job performance relationship: A qualitative and quantitative review. Psychological Bulletin, 127. 376 -407. Kaplan,R.M & Saccuzo, D.P, 2005. Psychological Testing: Principles, Applications and Issues. USA: Thomson Learning Inc. Kimberly, J.R. (1981) Managerial innovation in PC Nystroom and W.H Starbuck (eds) Handbook of Organizational Design. Oxford: Oxford University Press. King, N. & Anderson, N., (2003) Managing Innovation and Change: A critical guide for organizations. Singapore: Thomson Learning Asia Kleysen, R.F & Street, C.T. (2001). Toward a multi-dimension measure of individual innovative behavior. Journal of Intellectual Capital. Vol. 2, No. 3 Lines,
R. (2004) Influence of participation in strategic change: resistance, organizational commitment and change goal achievement. Journal of change management, Vol. 4. h. 193 – 215
Locke, E. A. (2005). Why Emotional Intelligence is an Invalid Concept. Journal of Organizational Behavior. John Wiley & Sons, Ltd. Luecke, R. (2003), Managing creativity and innovation. United States of America: Harvard Business School Publishing Corporation Markman, G. D. (200?). Adversity Quotient: The Role Of Personal Bounce-Back Ability In New Venture Formation. Unpublished manuscript, (?), Rensselaer Polytechnic Institute. 108
Ayu Dwi Nindyati Pengaruh Resistance to Change terhadap Perilaku Inovatif
Miliken, F., & Martin, L. (1996) Searching for common threads: Understanding the multiple effects of diversity in organizational groups. Academy of Management Review, 21, 402 - 433 Muchinsky, P. M. (2003) Psychology Applied to Work. United States: Thomson Wadsworth. Oldman, G.R. & Cummings, R. (1996) Personal creativity: personal and contextual factors at work. Academy of Management Journal. Vol. 39, 607 – 634 Oreg, S. (2003) Resistance to Change: Developing an Individual Differences Measure. Journal of Applied Psychology. American Psychological Association, Inc. Vol. 88, No. 4, 680–693 Paulus, P.B. (2000) Groups, teams and creativity: The creative potential of idea generating groups. Applied Psychology: An International Review, 49, 237 – 262 Passer, M. W & Smith, R. E. (2007). Psychology the Science of Mind and Behavior (ed. 3rd). New York: Mc-Graw Hill. Rafferty, A. E & Griffin M. A. (2006). Perceptions of Organizational Change: A Stress and Coping Perspective. Journal of Applied Psychology, 91, 1154-1162. Robins, R.W.., Fraley, R.C. & Krueger, R.F. (2007) Handbook of Research Methods in Personality Psychology. New York: The Guilford Press. Rowe, A.J., (2004) Creative intelligence: discovering the innovative potential in ourselves and others. New Jersey: Pearson Education, Inc. Scott, S.G., & Bruce, R.A. (1994) Determinants of innovative behavior: A path model of individual innovation in the workplace. Academy of Management Journal; Vol. 37, Number 3; 580 Spector, P. E., 1996, Industrial and Organizational Psychology: Research and Practice, Canada : John Willey & Sons Van de ven, A.H., Schroeder, R., Scudder, G., & Polley, D. (1986) Managing innovation and changing processes: Findings from the Minnesota Innovation Research Program. Agribusiness Management Journal, 2, 501 -523 Van de Ven, A.H., Polley, D., Garud, R., & Venkatraman, S. (1999) The innovation journey, New York: Oxford University Press. Weiten, W. & lloyd, M.A. (2006). Psychology Applied to Modern Life: Adjustment in the 21st Century. Canada: Thomson Wadsworth. West, M.A. (2002) Sparkling fountains or stagnant ponds: an integrative model of creativity and innovation implementation in work groups. Applied psychological an International review. Vol. 51 (3), 335 –424
109
Jurnal Universitas Paramadina Vol.6 No. 1, April 2009: 94-110
West, M. & Farr, J. (1989) Innovation at works: psychological perspective. Social Behavior.Vol 4, 15 – 30 Woodman, R., Sawyer, J., & Griffin, R. (1993) Toward a theory of organizational creativity. Academy of Management Review. Vol. 18, 219 – 231
110