PENGARUH pH DAN PENGGOYANGAN MEDIA TERHADAP PERTUMBUHAN Botryodiplodia sp. DAN UJI PATOGENISITAS Botryodiplodia sp. PADA BIBIT JABON
PUTRI ARSHINTA
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh pH dan Penggoyangan Media terhadap Pertumbuhan Botryodiplodia sp. dan Uji Patogenisitas Botryodiplodia sp. pada Bibit Jabon adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juni 2013 Putri Arshinta NIM E44080057
ABSTRAK PUTRI ARSHINTA. Pengaruh pH dan Penggoyangan Media terhadap Pertumbuhan Botryodiplodia sp. dan Uji Patogenisitas Botryodiplodia sp. pada Bibit Jabon. Dibimbing oleh ACHMAD. Penyakit mati pucuk pada bibit jabon disebabkan oleh fungi patogen dari genus Botryodiplodia. Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh pH dan tingkat penggoyangan media terhadap pertumbuhan Botryodiplodia sp., serta mempelajari kejadian penyakit dan tingkat keparahan penyakit mati pucuk pada bibit jabon. Hasil penelitian menunujukan pemberian pH, penggoyangan media dan uji patogenisitas memberikan pengaruh yang beragam terhadap pertumbuhan Botryodiplodia sp. Pada media PDA (Potato Dextrose Agar) dan media PDB (Potato Dextrose Broth), Botryodiplodia sp. tumbuh pada kisaran pH 4-8. Pertumbuhan terbaik pada media PDA adalah pH 4 dan pada media PDB adalah pH 6. Bobot biomassa, tumbuh optimum pada media PDB dengan kecepatan penggoyangan 50 rpm. Seluruh tanaman dengan inokulasi patogen menunjukkan gejala penyakit. Tingkat keparahan tertinggi mencapai 61% yaitu pada bibit berumur 3 bulan. Bibit tanpa inokulasi patogen tidak menunjukkan adanya gejala penyakit hingga akhir pengamatan. Kata kunci: Botryodiplodia sp., jabon, penggoyangan media, pH, uji patogenisitas
ABSTRACT PUTRI ARSHINTA. The Influence of pH and Shaking Media On The Growth of Botryodiplodia sp. and Pathogenicity Testing of Botryodiplodia sp. on Jabon Seedling. Supervised by ACHMAD. Die back disease on jabon seedling caused by a genus of Botryodiplodia. The objectives of this research are to investigate the effect of pH and media shaking on growth Botryodiplodia sp. and to examine the disease incidence and disease severity of die-back on jabon seedling. The result shows that giving pH, shaking media, and pathogenicity testing give influence of diverse on the growth of Botryodiplodia sp. On the media of PDA (Potato Dextrose Agar) and PDB (Potato Dextrose Broth), Botryodiplodia sp. live at range pH 4-8. The best growth of Botryodiplodia sp. shows on PDA with pH 4 and PDB with pH 6. When shaking speed is 50 rpm, weight biomass on PDB shows optimum growth. All seedlings with inoculation pathogen shows disease incidence. Top level of disease severity attained 61%, when seedling at the age of 3 month. Seedling without inoculation pathogen does not show disease incidence until last observation. Key words: Botryodiplodia sp., jabon, pathogenicity testing, pH, shaking media
PENGARUH pH DAN PENGGOYANGAN MEDIA TERHADAP PERTUMBUHAN Botryodiplodia sp. DAN UJI PATOGENISITAS Botryodiplodia sp. PADA BIBIT JABON
PUTRI ARSHINTA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Silvikultur
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi : Pengaruh pH dan Penggoyangan Media terhadap Pertumbuhan Botryodiplodia sp. dan Uji Patogenisitas Botryodilodia sp. pada Bibit Jabon Nama : Putri Arshinta NIM : E44080057
Disetujui oleh
Dr Ir Achmad, MS Pembimbing
Diketahui oleh
Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto, MS Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli sampai Desember 2012 ini ialah fungi, dengan judul Pengaruh pH dan Penggoyangan Media terhadap Pertumbuhan Botryodiplodia sp. dan Uji Patogenisitas Botryodilodia sp. pada Bibit Jabon. Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Achmnad, MS selaku dosen pembimbing, serta Ai Rosah S.Hut yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada para staf Laboratorium Patologi Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB, Laboratorium Bioteknologi Kehutanan Pusat Antar Universitas (PAU) Bioteknologi IPB, Laboratorium Mikoriza Puslitbang Kehutanan Bogor, dan Laboratorium Mikologi Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian IPB yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada papa, mama, dan seluruh keluarga serta teman-teman Silvikultur 45, khususnya Icha dan Imun, juga teman-teman Winning Eleven yang telah memberikan dorongan moril dan semangat kepada penulis. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2013
Putri Arshinta
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Hipotesis Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) Hama dan Penyakit Jabon Patogenisitas Botryodiplodia sp. Sifat-sifat umum Botryodiplodia sp. Taksonomi dan Morfologi Botryodiplodia sp. Bioekologi dan Nilai Ekonomi Gejala Penyakit dan Kisaran Inang METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Penelitian Metode Pelaksanaan Penelitian Tahap Persiapan Pembuatan media PDA (Potato Dextrose Agar) Pembuatan media PDB (Potato Dextrose Broth) Penyediaan isolat fungi patogen Pemurnian dan peremajaan Sterilisasi bahan, peralatan, dan ruang inokulasi Penyediaan bibit Tahap Pelaksanaan Uji pertumbuhan in vitro diameter koloni Botryodiplodia sp. pada media PDA dengan berbagai tingkatan pH Uji pertumbuhan in vitro biomassa Botryodiplodia sp. pada media PDB dengan berbagai tingkatan pH Uji pertumbuhan in vitro biomassa Botryodiplodia sp. pada media PDB dengan berbagai tingkatan penggoyangan Uji patogenisitas Analisis data HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pertumbuhan in vitro diameter koloni Botryodiplodia sp. pada media PDA dengan berbagai tingkatan pH
vi vi vii 1 1 1 2 2 2 2 3 4 4 4 4 5 5 6 6 6 7 7 7 7 7 7 8 8 8 8 9 9 10 11 12 12 12
DAFTAR ISI Pertumbuhan in vitro biomassa Botryodiplodia sp. pada media PDB dengan berbagai tingkatan pH Pertumbuhan in vitro biomassa Botryodiplodia sp. pada media PDB dengan berbagai tingkatan penggoyangan Patogenisitas Botryodiplodia sp. Pembahasan Pertumbuhan in vitro diameter koloni Botryodiplodia sp. pada media PDA dengan berbagai tingkatan pH Pertumbuhan in vitro biomassa Botryodiplodia sp. pada media PDB dengan berbagai tingkatan pH Pertumbuhan in vitro biomassa Botryodiplodia sp. pada media PDB dengan berbagai tingkatan penggoyangan Patogenisitas Botryodiplodia sp. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
13 14 15 16 16 18 18 19 21 21 22 22 24
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5
Keparahan dan nilai numerik penyakit mati pucuk pada bibit jabon Hasil uji Duncan pengaruh pemberian tingkatan pH terhadap biomassa miselia Botryodiplodia sp. Hasil uji Duncan pengaruh pemberian tingkatan shaker terhadap biomassa miselia Botryodiplodia sp. Hasil uji Duncan pengaruh inokulasi patogen terhadap gejala penyakit Hasil uji Duncan nilai keparahan penyakit mati pucuk pada bibit jabon
10 14 14 16 16
DAFTAR GAMBAR 1 Pertumbuhan diameter koloni Botryodiplodia sp. pada media PDA dengan berbagai tingkatan pH 2 Pertumbuhan miselium Botryodiplodia sp. pada media PDA 3 Pertumbuhan miselium Botryodiplodia sp. pada media PDA dengan berbagai tingkatan pH setelah 3 hst 4 Konidia Botryodiplodia sp. 5 Miselia Botryodiplodia sp. pada media PDB dengan berbagai tingkatan pH 6 Miselia Botryodiplodia sp. pada media PDB dengan berbagai tingkatan penggoyangan
12 12 13 13 14 15
7 Gejala penyakit mati pucuk pada bibit jabon
15
DAFTAR LAMPIRAN 1 Komposisi media pertumbuhan Botryodiplodia sp. 2 Pertumbuhan diameter Botryodiplodia sp. pada media PDA dengan berbagai tingkatan pH 3 Biomassa miselia Botryodiplodia sp. dengan perlakuan pH kontrol (6.25) pada media PDB 4 Biomassa miselia Botryodiplodia sp. dengan perlakuan pH 2 pada media PDB 5 Biomassa miselia Botryodiplodia sp. dengan perlakuan pH 4 pada media PDB 6 Biomassa miselia Botryodiplodia sp. dengan perlakuan pH 6 pada media PDB 7 Biomassa miselia Botryodiplodia sp. dengan perlakuan pH 8 pada media PDB 8 Biomassa miselia Botryodiplodia sp. tanpa perlakuan penggoyangan (0 rpm) pada media PDB 9 Biomassa miselia Botryodiplodia sp. dengan perlakuan penggoyangan 50 rpm pada media PDB 10 Biomassa miselia Botryodiplodia sp. dengan perlakuan penggoyangan 100 rpm pada media PDB 11 Biomassa miselia Botryodiplodia sp. dengan perlakuan penggoyangan 150 rpm pada media PDB 12 Rekapitulasi bibit jabon yang terserang penyakit mati pucuk pada akhir pengamatan 13 Tingkat keparahan mati pucuk pada bibit jabon hingga akhir pengamatan 14 Perkembangan penyakit mati pucuk pada bibit jabon 15 Rekapitulasi uji-F
24 24 24 25 25 25 25 25 25 26 26 26 26 27 28
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan hutan tanaman, baik Hutan Tanaman Industri (HTI) maupun hutan rakyat merupakan jawaban atas tuntutan pembangunan akibat berkurangnya hutan alam serta untuk meningkatkan produktivitas lahan dan kualitas lingkungan hidup. Pemilihan jenis pohon yang akan dikembangkan pada pembangunan HTI harus memperhatikan beberapa faktor, antara lain tidak memerlukan syarat-syarat tumbuh yang tinggi, cepat tumbuh dan dapat dimanfaatkan untuk industri olahan kayu yang memiliki pasar yang luas. Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) merupakan salah satu jenis tumbuhan lokal Indonesia yang berpotensi untuk dikembangkan dalam pembangunan hutan tanaman maupun untuk tujuan lainnya, seperti reklamasi lahan bekas tambang, penghijauan dan pohon peneduh (Mansur dan Tuheteru 2010). Tanaman ini termasuk fast growing species, bahkan oleh pemerintah mulai diprogramkan untuk dikembangkan sebagai salah satu komoditas HTI yang menjanjikan. Permintaan pasar yang tinggi dalam skala luas, menuntut ketersediaan bibit jabon yang berkualitas dalam jumlah yang cukup. Sejauh ini pertumbuhan jabon di lapangan tidak terlalu banyak gangguan, namun tidak demikian pada masa pembibitan di persemaian. Sebagaimana diketahui bahwa karakteristik semai pada umumnya rentan terhadap serangan patogen. Serangan patogen ini merupakan salah satu penyebab utama berkurangnya jumlah bibit dan menurunkan kualitas semai jabon. Gejala yang terjadi pada bibit jabon yang terserang patogen, mula-mula daun menguning dan batang berwarna kecoklatan kemudian lama-kelamaan akan menjadi hitam. Setelah dilakukan pengamatan secara makroskopis dan mikroskopis, patogen yang teridentifikasi adalah berupa fungi dari genus Botryodiplodia yang mengakibatkan penyakit mati pucuk pada bibit jabon. Botryodiplodia sp. merupakan patogen yang memiliki kisaran inang yang luas. Patogen ini merupakan parasit lemah yang melakukan infeksinya melalui luka-luka mekanis seperti akibat pemangkasan atau luka akibat serangga (Semangun 2007). Pada awalnya, daun yang paling dekat dengan ranting yang terserang akan berwarna kuning, kemudian kerusakan akan terus meluas sepanjang cabang dan mencapai batang utama lalu tanaman akan mati dengan cepat. Bagian dalam ranting dan cabang akan mengalami perubahan warna menjadi coklat di bagian pembuluh (Mbenoun et al. 2008). Botryodiplodia theobromae dapat menyebabkan mati pucuk, busuk buah, dan kanker batang (Semangun 2000).
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh pH dan tingkat penggoyangan media terhadap pertumbuhan Botryodiplodia sp., serta mempelajari kejadian penyakit (Disease Incidence) dan tingkat keparahan penyakit (Disease Severity) mati pucuk pada bibit jabon.
2 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan baru tentang penyebab penyakit pada bibit jabon, mengetahui pengaruh penyakit yang disebabkan oleh patogen terhadap kelangsungan hidup bibit jabon, dan dapat memberikan informasi mengenai respon pertumbuhan diameter koloni serta bobot miselia Botryodiplodia sp. terhadap pemberian perlakuan pH dan tingkat penggoyangan media. Dengan diketahuinya penyebab penyakit mati pucuk pada bibit jabon, maka hasil tersebut dapat dimanfaatkan sebagai alternatif dan bahan rekomendasi dalam pengendaliannya.
Hipotesis Penelitian Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Secara in vitro, perlakuan perbedaan pH dan tingkat penggoyangan media mempengaruhi pertumbuhan fungi patogen Botryodiplodia sp. 2. Kejadian penyakit dan keparahan penyakit mati pucuk pada bibit jabon akibat serangan Botryodiplodia sp. dipengaruhi oleh umur semai jabon.
TINJAUAN PUSTAKA Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) Jabon merupakan pohon yang dapat mencapai tinggi sampai 45 meter, mempunyai batang yang lurus dan silindris dengan tinggi bebas cabang lebih dari 25 meter. Diameter batang dapat mencapai 100-160 cm. Di hutan tanaman, kecepatan tumbuh diameter jabon ialah 2-3 cm/tahun dan tinggi 2-3 m/tahun (Lembaga Biologi Nasional 1980). Menurut Heyne (1987), kayu Jabon merupakan kelas awet V, kelas kuat III-IV dengan berat jenis 0.42 (0.29-0.56). Kayunya lunak dengan nilai penyusutan dari keadaan basah sampai kering tanur sebesar 3% (radial) dan 6.9% (tangensial). Jabon termasuk ke dalam jenis intoleran yang menghendaki adanya cahaya penuh selama periode hidupnya. Karakteristik habitat alami jabon adalah dengan ketinggian tempat tumbuh 300-800 m dpl, dengan suhu optimum 23 ˚C, curah hujan rata-rata 1500-5000 mm/tahun, dan dapat hidup pada berbagai tipe tanah. Namun, dalam menunjang produktivitasnya jabon tumbuh optimal pada ketinggian kurang dari 500 m dpl. Kondisi lingkungan tumbuh yang baik untuk jabon yaitu tanah lempung, podsolik cokelat, dan aluvial lembab yang biasanya terdapat di daerah pinggir sungai, daerah peralihan antara tanah dan rawa, dan tanah kering yang kadang tergenang air. Umumnya, jabon ditemukan di hutan sekunder dataran rendah, dasar lembah, sepanjang sungai dan punggungpunggung bukit (Mansur dan Tuheteru 2010). Secara morfologi, pada pohon muda permukaan batang licin dan berwarna sangat terang, sedangkan pada pohon tua berwarna kelabu hingga cokelat kelabu,
3 beralur dangkal, kadangkala dengan punggung-punggung kecil, sering retak dan agak kasar. Cabang-cabang mendatar dengan ujung menjuntai, pemangkasan cabang terjadi secara alami. Bentuk daun bulat telur hingga lonjong dengan ukuran panjang 15-50 cm dan lebar 8-25 cm. Bagian pangkal berbentuk menyerupai jantung, bagian ujung lancip (Sutisna et al. 1998). Jabon mempunyai daun tunggal dengan ujung daun berbentuk runcing sampai meruncing serta berdaun penumpu, penumpu antar tangkai berbentuk segitiga sempit dan mudah rontok (Soerianegara dan Lemmens 1993). Perbanyakan tanaman jabon untuk memenuhi permintaan yang cukup tinggi, dapat dilakukan dengan cara generatif dan vegetatif. Cara generatif dilakukan dengan mengecambahkan bijinya sedangkan cara vegetatif dilakukan dengan cara stek pucuk maupun stek batang (Khaerudin 1994). Buah jabon merupakan buah majemuk dengan bentuk bulat dan bertekstur lunak. Jabon berbuah setahun sekali pada musim berbunganya, yakni pada bulan Januari-Juni dan akan masak pada bulan Maret-Juni. Buah jabon merupakan buah majemuk, berbentuk bulat dengan ukuran berkisar 4.5-6 cm, memiliki ruang-ruang biji yang sangat banyak dengan bagian tengah padat dikelilingi oleh ruang-ruang biji (Mansur dan Tuheteru 2010). Jabon ditanam sebagai ornamen, pohon penaung, dan dapat digunakan untuk reforestasi dan aforestasi (Soerianegara dan Lemmens 1993). Menurut Tantra (1980) kayu jabon merupakan kayu ringan yang digunakan untuk papan, peti, tripleks, dan korek api. Selain itu di industri perkayuan, jabon kerap dimanfaatkan untuk pembuatan kayu lapis (plywood), papan blok (laminated board, block board), papan serat (fiber block), dan papan partikel (particle board) (Mansur dan Tuheteru 2010). Kulit kayu yang telah kering berguna untuk mengobati demam dan sebagai obat kuat, ekstraksi dari daun digunakan untuk obat kumur, daun muda dapat dijadikan sebagai makanan ternak (fodder), getah kuning dari kulit akar dapat digunakan sebagai bahan celupan untuk barang kerajinan tangan (Kapisa dan Sapulata 1994).
Hama dan Penyakit Jabon Tanaman jabon secara umum tidak memiliki hama dan penyakit yang serius. Namun, hama yang sering menyerang semai atau kecambah di persemaian antara lain semut, bekicot dan penyakit dumping off oleh cendawan Fusarium spp., Rhizoctonia spp., dan Phytium spp. (Mansur dan Tuheteru 2010). Selain itu dilaporkan intensitas serangan dan kerugian yang diakibatkan dari serangan hama pada tanaman jabon lebih mendominasi dibandingkan dengan serangan patogen. Tanaman muda biasa dimakan binatang liar seperti rusa dan banteng. Serangga dan jamur Gloeosporium anrhocephali Desm and Mont. menyerang daun yang menyebabkan defoliasi dan mati pucuk. Selain itu terdapat beberapa serangga yang menyerang jabon tanaman muda di antaranya ulat grayak, kutu putih dan kutu daun (Mulyana et al. 2010).
4 Patogenisitas Patogenisitas adalah kemampuan patogen dalam menyebabkan penyakit, berbeda dengan virulensi. Virulensi merupakan keberhasilan ekspresi dari patogenisitas. Suatu patogen dikatakan avirulen apabila gagal menimbulkan penyakit (Bilgrami dan Dube 1976). Menurut Agrios (1988), patogen dapat mengakibatkan penyakit tanaman melalui berbagai cara, antara lain: a. Melemahkan inang melalui penyerapan makanan dari sel-sel inang secara terus menerus untuk dimanfaatkan oleh patogen. b. Membunuh atau mengganggu metabolisme dari selsel inang dengan racun, enzim, atau pengaturan bahan-bahan untuk pertumbuhan yang mereka sekresikan. c. Menghentikan transportasi makanan, nutrisi mineral, dan air melalui jaringan-jaringan yang konduktif pada inang. d. Mengkonsumsi kandungan sel-sel inang melalui suatu penghubung.
Botryodiplodia sp. Sifat-sifat Umum Botryodiplodia sp. Botryosphariaceae merupakan kelompok cendawan yang memuat sejumlah species yang tersebar pada beberapa genus anamorp, diantaranya yang paling dikenal adalah Diplodia, Lasiodiplodia, Neofusicoccum, Pseudofusicoccum, Dothiorella, dan Sphaeropsis (Henuk 2010). Anggota Botryosphaeriaceae mempunyai distribusi yang sangat luas dan terjadi dalam varietas yang luas pada berbagai tanaman inang termasuk monokotiledon, dikotiledon, gymnospermae, dan angiospermae, dimana anggota-anggota Botryosphaeriaceae ini dapat berperan sebagai saprofit, parasit, dan endofit (Begoude et al. 2009). Von Arx (1987) melaporkan bahwa spesies-spesies Botryosphaeriaceae telah lama dikenal sebagai patogen penting pada beberapa tanaman. Tanaman yang terinfeksi menunjukkan gejala yang beragam, misalnya mati pucuk, kanker, hawar, dan busuk pada seluruh organ tanaman bagian atas.
Taksonomi dan Morfologi Botryodiplodia sp. Klasifikasi Botryodiplodia sp. menurut Alexopoulos (1996) adalah sebagai berikut : Kingdom : Fungi Phylum : Deuteromycota Kelas : Deuteromycetes Ordo : Sphaeropsidales Famili : Sphaeropsidaceae Genus : Botryodiplodia Punithalingam (1976) menyebutkan bahwa karakter morfologi Botryodiplodia sp. ditandai dengan pertumbuhan miselia seperti benang rambut
5 halus atau kapas dan miselium udara berlimpah. Koloni mula-mula berwarna sepia, berubah menjadi abu-abu dan kemudian menjadi hitam. Piknidia sederhana, bergerombol, sering agregat, stromatik, ostiolate, lebar sampai dengan 5 mm. Konidia awalnya uniseluler, hialin, granulosa, subovoid sampai ellipsoid-oblong, berdinding tebal, memotong seperti sekat; konidia matang uniseptate, coklat seperti warna kayu manis, berukuran 20-30 µm x 10-15 µm.
Bioekologi dan Nilai Ekonomi B. theobromae merupakan cendawan yang memiliki kisaran inang yang luas. Patogen ini merupakan parasit lemah yang melakukan infeksinya melalui luka-luka mekanis seperti akibat pemangkasan atau luka akibat serangga (Semangun 2007). Patogen dapat membentuk struktur bertahan pada kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan untuk berkembang. Kondisi lingkungan yang mendukung, dimana kelembaban, nutrisi dan suhu tinggi, patogen akan segera berkecambah dan kemudian melakukan penetrasi ke dalam jaringan tanaman. Kondisi suhu lingkungan yang berbeda sangat tinggi antara siang dan malam terutama musim kemarau merupakan lingkungan yang mempermudah perkembangan patogen ini. Kondisi tanaman yang lemah didukung oleh kelembaban yang tinggi akan mendukung terjadinya penetrasi pada jaringan tanaman inang baru. Penetrasi yang sudah berhasil selanjutnya akan terjadi kolonisasi, patogen akan tumbuh dan memperbanyak dalam jaringan tanaman inang. Fase-fase kritis patogen adalah pada saat sebelum terjadi penetrasi, pada fase ini pengendalian akan lebih efektif dibanding apabila sudah lanjut (Henuk 2010) Botryodiplodia sp. ditemukan terdapat di berbagai belahan dunia diantaranya, di Amerika bagian utara dan selatan, Eropa, Afrika, Asia, dan Oceania (Urbez-Torres et al. 2008). Sejak akhir 1980 area perkebunan kakao di Kamerun mengalami kejadian penyakit mati pucuk yang luar biasa yang disebabkan oleh B. theobromae. Pada beberapa perkebunan di Kamerun, penyakit ini dapat merugikan tanaman kakao sampai 100%, hal ini menjadi pembatas produksi kakao di Kamerun (Mbenoun et al. 2008). Tahun 1998, B. theobromae ditemukan pada pohon karet di Vietnam dan menyebabkan mati pucuk pada pembibitan, patogen terus berkembang dan menyebabkan kerusakan yang serius sehingga menekan produksi perkebunan di Dau Tieng Rubber Company (Pha et al. 2009). Menurut Rustini (2010) di Denpasar, Bali, hampir 53,24% dari buah pisang yang dijual mengalami pembusukan akibat cendawan B. theobromae, hal ini menyebabkan tidak terpenuhinya kebutuhan pasar karena permintaan pisang di Bali cukup tinggi untuk berbagai upacara keagamaan.
Gejala Penyakit dan Kisaran Inang Botryodiplodia sp. dapat menyebabkan mati pucuk, busuk buah, dan kanker batang (Semangun 2000). B. theobromae pada tanaman kakao merupakan parasit lemah atau parasit sekunder terutama pada bagian cabang dan ranting. Sebagai parasit lemah cendawan ini hanya dapat menginfeksi jaringan-jaringan lemah, mengikuti patogen yang kuat atau menginfeksi melalui luka-luka yang diakibatkan oleh serangga. Gejala awal, daun yang paling dekat dengan ranting
6 yang terserang akan berwarna kuning, kemudian kerusakan akan terus meluas sepanjang cabang dan mencapai batang utama lalu tanaman akan mati dengan cepat. Bagian dalam ranting dan cabang akan mengalami perubahan warna menjadi cokelat di bagian pembuluh. Juga terdapat eksudat berwarna putih atau kekuningan yang keluar dari batang utama (Mbenoun et al. 2008). B. theobromae pada tanaman karet dapat menyebabkan penyakit mati pucuk. Gejalanya timbul pustul yang berukuran 3-5 mm pada batang kemudian kulit menjadi busuk disertai keluarnya lateks atau getah pada tanaman muda berumur 1-2 tahun. Serangan yang berat dapat menyebabkan retak dan gummosis. Selain itu, patogen ini dapat menekan pertumbuhan tanaman, menyebabkan produksi lateks rendah, dan untuk varietas yang rentan seluruh pohon mati dalam waktu 3-4 minggu (Pha et al. 2009). Serangan B. theobromae dapat menyebabkan busuk buah pada manggis. Gejala yang ditunjukkan pada awalnya kulit buah manggis akan berubah warna menjadi kehitaman dan mengkilat, kemudian warnanya menjadi lebih suram karena membentuk banyak piknidia yang menghasilkan konidium. Biasanya gejala dimulai dekat dengan tangkai kemudian dengan cepat akan meluas ke seluruh buah (Semangun 2007). Penyakit busuk buah merupakan penyakit pasca panen pada pisang yang disebabkan oleh B. theobromae. Patogen ini menyebabkan busuk ujung buah (tip rot), busuk telapak, dan busuk pangkal. Buah menjadi lunak dan berair, serta mengeluarkan bau yang khas. B. theobromae pada pisang hidup pada bagian tanaman yang membusuk, infeksinya hanya melalui luka-luka. Spora cendawan sudah terdapat pada permukaan buah di lapang (Semangun 2007).
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan dari bulan Juli 2012 sampai dengan bulan Desember 2012, di Laboratorium Patologi Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB, Laboratorium Bioteknologi Kehutanan Pusat Antar Universitas (PAU) Bioteknologi IPB, Laboratorium Mikoriza Puslitbang Kehutanan Bogor, dan Laboratorium Mikologi Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian IPB.
Alat dan Bahan Penelitian Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini ialah cawan petri, labu erlenmeyer, autoclave, laminar, lampu bunsen, cork borer, sudip, mikroskop, oven, alat shaker, timbangan digital, pH meter, pisau, alat penyiram/sprayer, alat tulis, laptop, dan kamera. Bahan yang digunakan dalam penelitian ialah bibit Anthocepalus cadamba yang berumur 3, 4, dan 5 bulan, isolat cendawan Botryodiplodia sp. yang
7 merupakan koleksi Laboratorium Patologi Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB, media PDA, media PDB, alkohol 70%, aquades, NaOH pro analisis, HCl 37%, kertas saring, alumunium foil, plastik wrap, tissue, kapas, kentang, agar putih, chlorampenicol, dan spirtus.
Metode Pelaksanaan Penelitian Tahap Persiapan Pembuatan Media PDA (Potato Dextrose Agar) Satu liter PDA memerlukan 200 gram kentang yang telah dipotong dadu dan 1 liter aquades kemudian direbus hingga kentang menjadi empuk. Air ekstrak kentang dipisahkan dan ditambahkan aquades sampai larutan menjadi 1 liter. Larutan dituang kedalam wadah yang berisi dekstrosa/glukosa 20 gram dan agar sebanyak 15 gram. Sebelum larutan dipindahkan ke dalam labu erlenmeyer, ditambahkan chlorampenicol dan diaduk hingga merata. Media disterilkan menggunakan autoclave pada tekanan 1 atm dengan suhu 121 °C selama 15 menit. Pembuatan media PDA pada berbagai tingkatan pH menggunakan bahan dan alat yang sama. Namun, dekstrosa dan agar ditambahkan setelah masingmasing larutan dalam labu erlenmeyer dititrasi dengan HCl dan NaOH 1% untuk mengatur pH media menjadi 2, 4, 6, dan 8. Dekstrosa dan agar akan tercampur saat media disterilkan dengan menggunakan autoclave.
Pembuatan Media PDB (Potato Dextrose Broth) Satu liter PDB memerlukan 200 gram kentang yang telah dipotong dadu dan 1 liter aquades, kemudian direbus hingga kentang menjadi empuk. Air ekstrak kentang dipisahkan dan ditambahkan dextrose 20 gram. Sebelum larutan dipindahkan ke dalam labu erlenmeyer, ditambahkan chlorampenicol dan diaduk hingga merata. Media disterilkan menggunakan autoclave pada tekanan 1 atm dengan suhu 121 °C selama 15 menit. Pembuatan media PDB pada berbagai tingkatan pH menggunakan bahan dan alat yang sama. Namun, larutan dalam labu erlenmeyer dititrasi dengan HCl dan NaOH 1% untuk mengatur pH media menjadi 2, 4, 6, dan 8 sebelum media disterilkan dengan menggunakan autoclave.
Penyediaan Isolat Fungi Patogen Isolat yang digunakan adalah isolat murni Botryodiplodia sp. yang diisolasi dari batang bibit jabon berumur 4 bulan yang menunjukkan gejala penyakit. Isolat merupakan koleksi Laboratorium Patologi Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB.
8 Pemurnian dan Peremajaan Biakan Pemurnian dan peremajaan biakan dilakukan sehingga diperoleh biakan yang homogen, bebas dari kontaminasi dan memiliki viabilitas yang cukup tinggi. Sterilisai Bahan, Peralatan dan Ruang Inokulasi Sterilisasi bahan seperti media PDA dan PDB, dilakukan pada waktu pembuatan media dengan menggunakan autoclave selama 15 menit pada suhu 121 oC dan tekanan 1 atm. Peralatan yang akan digunakan seperti cawan petri disterilkan dengan cara memasukkan ke dalam oven selama 24 jam pada suhu 60-80 °C, sedangkan untuk sterilisasi cork borer dan sudip dilakukan dalam laminer air flow pada saat pelaksanaan inokulasi dengan cara dibakar pada api bunsen hingga membara. Kebersihan lingkungan kerja dijaga dengan membatasi orang orang yang memasuki ruangan isolasi serta membersihkan ruangan dengan desinfektan. Strerilisasi ruang inokulasi (laminar air flow) dilakukan menggunakan larutan alkohol 70% yang disemprotkan sebelum dan sesudah inokulasi kemudian dibersihkan dengan menggunakan tisu. Blower atau peniup udara pada laminar air flow dinyalakan sebelum dan selama pemakaian untuk menghindari kontaminan. Selain itu sebelum digunakan dan setelah disemprot dengan alkohol 70%, laminar air flow dapat disterilisasi dengan menggunakan lampu UV yang dinyalakan selama beberapa menit.
Penyediaan Bibit Bibit jabon diperoleh dari persemaian Karya Barokah dengan umur bibit yaitu 3 bulan, 4 bulan, dan 5 bulan. Setiap tingkatan umur, bibit dipilih yang berukuran seragam dan dalam kondisi yang baik. Setelah dilakukan pengangkutan dari persemaian, bibit tidak langsung diberi perlakuan melainkan diberi tenggang waktu selama 3 hari sebelum diberi perlakuan. Hal ini dimaksudkan agar bibit tidak mengalami stres akibat perbedaan lingkungan tumbuh. Penyiraman bibit dilakukan dua kali sehari selama penelitian.
Tahap Pelaksanaan Uji Pertumbuhan In Vitro Diameter Koloni Botryodiplodia sp. pada Media PDA dengan Berbagai Tingkatan pH Penelitian disusun dalam rancangan acak lengkap (RAL) diulang tiga kali. Satuan percobaan berupa biakan Botryodiplodia sp. dalam cawan petri dan perlakuannya berupa pengaturan tingkatan pH pada media PDA. Satu potong koloni Botryodiplodia sp. dipotong dalam laminar air flow menggunakan cork borer (Ø 0.8 cm) ditanam tepat di tengah cawan petri yang berdiameter 9.0 cm berisi media PDA dengan lima tingkatan pH, yaitu kontrol (A0) dengan pH 6.8, pH 2 (A1), pH 4 (A2), pH 6 (A3), dan pH 8 (A4). Pengamatan dilakukan setiap 24 jam dengan mengukur diameter koloni arah radial sampai miselia memenuhi cawan petri. Perhitungan pertumbuhan diameter miselia Botryodiplodia sp. dilakukan dengan cara mengukur diameter arah radial. Rumus perhitungannya sebagai berikut:
9
Diameter arah radial = Ø x + Ø y 2
Øy Øx
Keterangan: Ø x = diameter sumbu X Ø y = diameter sumbu Y
Uji Pertumbuhan In Vitro Biomassa Botryodiplodia sp. pada Media PDB dengan Berbagai Tingkatan pH Penelitian disusun dalam rancangan acak lengkap (RAL) diulang tiga kali. Satuan percobaan berupa biakan Botryodiplodia sp. dalam labu erlenmeyer dan perlakuannya berupa pengaturan tingkatan pH pada media PDB. Satu potong koloni Botryodiplodia sp. dipotong dalam laminar air flow menggunakan cork borer (Ø 0.8 cm) kemudian dimasukkan kedalam labu erlenmeyer yang berisi media PDB dengan lima tingkatan pH yang berbeda, yaitu kontrol (B0) dengan pH 6.25, pH 2 (B1), pH 4 (B2), pH 6 (B3), dan pH 8 (B4). Biakan patogen dibiarkan tumbuh selama enam hari. Setelah enam hari, miselia Botryodiplodia sp. dipisahkan dari media PDB dengan menyaring miselia Botryodiplodia sp. dari media tumbuhnya. Penyaringan dilakukan menggunakan kertas saring yang telah dioven selama 24 jam pada suhu 60 °C dan telah diketahui berat keringnya. Miselia Botryodiplodia sp. pada kertas saring dioven selama 24 jam pada suhu 60 °C, sehingga akan didapatkan bobot kering miselia Botryodiplodia sp. dan kertas saring. Biomassa miselia dihitung menggunakan rumus sebagai berikut: Biomassa miselia = (BK kertas saring + BK miselia) – BK kertas saring Keterangan: BK = berat kering (gram)
Uji Pertumbuhan In Vitro Biomassa Botryodiplodia sp. pada Media PDB dengan Berbagai Tingkatan Penggoyangan Penelitian disusun dalam rancangan acak lengkap (RAL) diulang tiga kali. Satuan percobaan berupa biakan Botryodiplodia sp. dalam labu erlenmeyer dan perlakuannya berupa pengaturan tingkat penggoyangan media PDB. Satu potong koloni Botryodiplodia sp. dipotong dalam laminar air flow menggunakan cork borer (Ø 0.8 cm) kemudian dimasukkan kedalam labu erlenmeyer yang berisi media PDB. Penggoyangan media dilakukan menggunakan shaker dengan empat tingkatan penggoyangan, yaitu 0 rpm (C1) , 50 rpm (C2), 100 rpm (C3), dan 150 rpm (C4). Setelah diinkubasi selama enam hari, miselia Botryodiplodia sp. dipisahkan dari media PDB dengan menyaring miselia Botryodiplodia sp. dari media tumbuhnya. Penyaringan dilakukan menggunakan kertas saring yang telah dioven selama 24 jam pada suhu 60 °C dan telah diketahui berat keringnya. Miselia
10 Botryodiplodia sp. pada kertas saring dioven selama 24 jam pada suhu 60 °C, sehingga akan didapatkan bobot kering miselia Botryodiplodia sp. dan kertas saring. Biomassa miselia dihitung menggunakan rumus sebagai berikut: Biomassa miselia = (BK kertas saring + BK miselia) – BK kertas saring Keterangan: BK = berat kering (gram)
Uji Patogenisitas Metode yang digunakan dalam uji patogenisitas menggunakan metode penempelan. Batang jabon sehat disemprot dengan alkohol untuk menghilangkan kontaminan yang mungkin menempel pada permukaan kulit batang yang akan di inokulasi. Batang dilukai dengan pisau steril kemudian potongan patogen Botryodiplodia sp. ditempel pada batang yang telah dilukai. Batang ditutup alumunium foil untuk menjamin potongan patogen tidak terlepas. Pengamatan dilakukan terhadap insiden dan keparahan penyakit mati pucuk pada setiap tingkatan umur. Insidensi penyakit atau kejadian penyakit merupakan persentase jumlah tanaman yang terserang patogen (n) dari total tanaman yang diamati (N) tanpa melihat tingkat keparahan penyakitnya. Rumus yang digunakan adalah :
Pengamatan keparahan penyakit (Disease Severity) yang disebabkan oleh cendawan atau fungi yang menyerang tanaman dihitung menggunakan metode Townsend dan Heuberger dengan rumus sebagai berikut: Keparahan penyakit = Keterangan: n = jumlah tanaman dalam setiap kategori V = nilai numerik dari kategori serangan Z = kategori serangan dengan nilai numerik tertinggi N = jumlah seluruh tanaman yang diamati Tabel 1 menyajikan keparahan dan nilai numerik penyakit yang digunakan: Tabel 1 Keparahan dan nilai numerik penyakit mati pucuk pada bibit jabon Skor 0 1 2 3
Keterangan Tidak ada gejala ≥ 10-20% bagian tanaman terserang ≥ 21-60 % bagian tanaman terserang ≥ 61-100% bagian tanaman terserang
Percobaan ini disusun dalam rancangan petak terbagi (Split Plot Design) dengan pola RAL diulang tiga kali. Sebagai petak utama adalah inokulasi fungi
11 patogen Botryodiplodia sp. sedang anak petak adalah umur semai jabon. Satuan percobaannya adalah sepuluh semai jabon yang masing-masing ditanam dalam polybag terpisah. Faktor inokulasi fungi patogen terdiri atas dua taraf, yaitu: P0 (kontrol, tanpa inokulasi fungi patogen) dan P1 (diinokulasi Botryodiplodia sp.). Faktor umur bibit terdiri atas tiga taraf, yaitu: U1 (bibit umur 3 bulan), U2 (bibit umur 4 bulan), dan U3 (bibit umur 5 bulan).
Analisis Data Rancangan Data hasil pengukuran dianalisis dengan menggunakan analisis sidik ragam. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan yang diberikan terhadap peubah yang diamati, maka dilakukan analisis data menggunakan software SAS 9.1.3. Apabila hasil analisis menunjukkan berbeda nyata, maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (Duncan’s multiple range test–DMRT). Pengujian pH dan penggoyangan media menggunakan pola RAL dengan model linier aditif sebagai berikut (Mattjik et al. 2002): Yij = μ + αi + εij Keterangan: Yij μ αi εij
: Nilai respon pertumbuhan diameter koloni Botryodiplodia sp.
pada masing-masing percobaan (pH dan penggoyangan media) ke-i dan ulangan ke-j : Nilai rata-rata umum : Perlakuan (pH dan penggoyangan media) ke-i : Galat percobaan perlakuan konsentrasi (pH dan penggoyangan media) ke-i dan ulangan ke-j
Uji patogenesitas disusun dalam rancangan petak terbagi (Split Plot Design) dalam pola RAL diulang tiga kali, model yang digunakan adalah sebagai berikut: Yijk = µ + αi + δik + βj + (αβ)ij + εijk Keterangan: Yijk
: Intensitas serangan pada ulangan ke-k yang memperoleh taraf
µ αi δik
: : :
βj (αβ)ij
: :
εijk
:
ke-i dari faktor inokulasi dan taraf ke-j dari faktor umur Nilai rata-rata intensitas serangan sesungguhnya Pengaruh utama dari taraf ke-i faktor inokulasi Pengaruh galat yang muncul pada taraf ke-i dari faktor inokulasi dalam ulangan ke-k (galat petak utama) Pengaruh utama dari taraf ke-j faktor umur Pengaruh interaksi taraf ke-i dengan faktor inokulasi dan taraf ke-j faktor umur Pengaruh galat pada ulangan ke-k yang memperoleh taraf ke-i faktor inokulasi dan taraf ke-j faktor umur (galat anak petak)
12
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pertumbuhan In Vitro Diameter Koloni Botryodiplodia sp. pada Media PDA dengan Berbagai Tingkatan pH Hasil pertumbuhan in vitro Botryodiplodia sp. pada media PDA menunjukkan bahwa pada pH 2 fungi tersebut tidak tumbuh. Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya pertumbuhan miselia. Selain itu pada pH 2, media PDA tidak berbentuk padat (Gambar 2). Pertumbuhan miselia Botryodiplodia sp. pada pH 4, 6, 8, dan kontrol (pH 6.8) sama-sama memenuhi cawan petri pada 3 hst (hari setelah tanam), selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1
Pertumbuhan diameter koloni Botryodiplodia sp. pada media PDA dengan berbagai tingkatan pH
Pertumbuhan diameter koloni Botryodiplodia sp. meski sama-sama memenuhi cawan petri pada 3 hst namun pertambahan panjang diameternya berbeda antara pH yang satu dengan yang lain. Pertumbuhan pertambahan panjang diameter paling maksimal adalah pada media PDA dengan pH 4, yaitu sebesar 4.93 cm kemudian pH 6, pH kontrol (6.8), dan pH 8 dengan nilai pertambahan panjang masing-masing sebesar 4.60 cm, 4.53 cm, dan 4.08 cm. Sedangkan untuk pH 2 tidak mengalami pertumbuhan. Pertumbuhan Botryodiplodia sp. pada media PDA, mula-mula terlihat adanya koloni yang tumbuh seperti benang atau rambut halus berwarna putih keabu-abuan. Koloni yang dimaksud merupakan kumpulan dari miselia (miselium) yang berkembang. Hari berikutnya miselium berubah warna menjadi abu-abu keruh, semakin lama miselium semakin tebal dan berubah warna menjadi hitam. Pertumbuhan miselium terhitung cepat, karena dalam waktu 3 hst telah memenuhi cawan petri (Gambar 2).
Gambar 2 Pertumbuhan miselium Botryodiplodia sp. pada media PDA
13 Pertumbuhan diameter koloni Botryodiplodia sp. pada beberapa tingkatan pH, secara visual lebih baik pada media PDA dengan pH kontrol (6.8). Pada media ini, miselium yang tumbuh terlihat halus, kompak dan paling tebal, serta pertumbuhannya menyebar secara merata bila dibandingkan dengan pertumbuhan diameter koloni pada media PDA dengan pH yang lain. Selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 3.
a Gambar 3
b
c
d
e
Pertumbuhan miselium Botryodiplodia sp. pada media PDA dengan berbagai tingkatan pH setelah 3 hst: (a) pH 2, (b) pH 4, (c) pH 6, (d) pH 8, dan (e) pH kontrol (6.8)
Pengamatan secara mikroskopis, menggunakan mikroskop dengan perbesaran 4 x 10 menunjukkan bahwa fungi ini memiliki ciri-ciri konidia berpencar secara tunggal, berbentuk jorong atau silinder, dan memiliki sekat, seperti yang terlihat pada Gambar 4.
a b
Gambar 4
Konidia Botryodiplodia sp., berbentuk jorong dan tunggal: (a) konidia muda hyalin dan tidak memiliki sekat, (b) konidia tua berwarna gelap dan memiliki sekat
Pertumbuhan In Vitro Biomassa Botryodiplodia sp. pada Media PDB dengan Berbagai Tingkatan pH Hasil analisis ragam pertumbuhan in vitro biomassa miselia Botyrodiplodia sp. pada media PDB menunjukan bahwa perlakuan pH pada media PDB berpengaruh nyata terhadap biomassa miselia (Tabel 2). Respon tertinggi ditunjukkan pada media PDB dengan pH 6 dengan biomassa miselia sebesar 0.197 gram diikuti pada media PDB pH 8, pH 4, pH kontrol (6.25), dan pH 2 berturut-turut dengan bobot 0.195 gram, 0.189 gram, 0.184 gram, dan 0.118 gram. Berat kering miselia pada media PDB dengan pH 2 adalah berat kering inokulum yang tidak mengalami pertumbuhan miselia selama pengamatan berlangsung, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.
14 Tabel 2 Hasil uji Duncan pengaruh pemberian pH terhadap biomassa miselia Botryodiplodia sp. pH media Rata-rata biomassa (g)1 Kontrol (6.25) 0.184a 2 0.118b 4 0.189a 6 0.197a 8 0.195a 1) Angka yang diikuti huruf yang berbeda menyatakan berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% berdasarkan uji jarak berganda Duncan
a
e
a
d d Gambar 5
e
a e b
c
b c b
d c
Miselia Botryodiplodia sp. pada media PDB dengan berbagai tingkatan pH setelah di inkubasi selama 6 hari: (a) pH 2, (b) pH 4, (c) pH 6, (d) pH 8, dan (e) pH kontrol (6.25)
Pertumbuhan In Vitro Biomassa Botryodiplodia sp. pada Media PDB dengan Berbagai Tingkatan Penggoyangan Hasil analisis ragam pertumbuhan in vitro biomassa miselia Botyrodiplodia sp. di media PDB menunjukan bahwa perlakuan penggoyangan pada media PDB berpengaruh nyata terhadap biomassa miselia (Tabel 3). Tabel 3 Hasil uji Duncan pengaruh pemberian tingkatan shaker terhadap biomassa miselia Botryodiplodia sp. Tingkatan shaker (rpm) Kontrol (0) 50 100 150
Rata-rata biomassa (g)1 0.085b 0.233a 0.209a 0.092b
Pada tingkat penggoyangan media menggunakan shaker 50 rpm menunjukkan biomassa miselia tertinggi dengan nilai 0.233 gram. Selanjutnya biomassa miselia tertinggi yaitu pada tingkat penggoyangan 100 rpm, 150 rpm, dan 0 rpm (tanpa penggoyangan) dengan nilai berturut-turut yaitu 0.209 gram, 0.092 gram, dan 0.085 gram. Biomassa miselia Botryodiplodia sp. yang tercatat pada media PDB dengan tingkatan shaker 0 rpm adalah berat kering inokulum yang tidak mengalami pertumbuhan miselia selama pengamatan berlangsung (Gambar 6).
15
Gambar 6
Miselia Botryodiplodia sp. pada media PDB dengan berbagai tingkatan penggoyangan media setelah di inkubasi selama 6 hari. Pada kecepatan 0 rpm, miselia tidak mengalami pertumbuhan seperti yang ditunjukkan dengan anak panah
Patogenisitas Botryodiplodia sp. Kejadian penyakit dapat diamati dari gejala yang timbul pada tanaman yang terserang. Berdasarkan hasil pengamatan selama 14 hari, serangan penyakit mati pucuk hanya terjadi pada tanaman jabon dengan inokulasi fungi patogen. Seluruh tanaman yang di inokulasi fungi patogen, baik yang berumur 3, 4, maupun 5 bulan menunjukkan gejala penyakit. Tanaman jabon tanpa inokulasi fungi patogen sama sekali tidak menunjukkan gejala penyakit. Gejala penyakit mati pucuk yang dijumpai pada saat pengamatan, awalnya menyerang daun yang paling dekat dengan batang yang diinokulasi fungi patogen. Daun akan berubah warna, dari kekuningan sampai kecoklatan kemudian kerusakan akan terus meluas ke bagian tangkai dan helai daun yang terdekat sehingga tulang daun menjadi hitam, layu dan kadang-kadang rontok. Penyebaran infeksi pada pucuk dan batang, mengakibatkan seluruh bagian tanaman menghitam dan mati sampai pada pangkal batang. Bagian luar dan dalam batang juga mengalami perubahan warna menjadi cokelat (Lampiran 1). Gejala penyakit mati pucuk pada bibit jabon dapat dilihat pada Gambar 7.
a Gambar 7
b
Gejala yang nampak pada bibit jabon yang ditunjukkan dengan anak panah: (a) tanpa inokulasi fungi patogen, batang yang dilukai tidak menimbulkan gejala penyakit namun terlihat adanya kumpulan getah yang menutupi luka sebagai struktur bertahan, (b) dengan inokulasi fungi patogen, daun dan batang menunjukkan gejala
16 Berdasarkan hasil analisis ragam yang telah dilakukan, diketahui bahwa faktor dengan inokulasi fungi patogen berpengaruh nyata terhadap intensitas serangan penyakit mati pucuk yang ditimbulkan, sedangkan faktor tanpa inokulasi fungi patogen dan faktor umur serta interaksi kedua faktor tidak memberikan pengaruh yang nyata, seperti yang terlihat pada Tabel 4. Tabel 4
Hasil uji Duncan pengaruh inokulasi patogen terhadap gejala penyakit
Perlakuan Kejadian penyakit1 Bibit jabon berumur 3 bulan tanpa inokulasi fungi patogen 0b Bibit jabon berumur 4 bulan tanpa inokulasi fungi patogen 0b Bibit jabon berumur 5 bulan tanpa inokulasi fungi patogen 0b Bibit jabon berumur 3 bulan dengan inokulasi fungi patogen 100a Bibit jabon berumur 4 bulan dengan inokulasi fungi patogen 100a Bibit jabon berumur 5 bulan dengan inokulasi fungi patogen 100a 1) Angka yang diikuti huruf yang berbeda menyatakan berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% berdasarkan uji jarak berganda Duncan
Setelah diketahui kejadian penyakit berdasarkan gejala yang ditunjukkan oleh tanaman yang terserang, setiap umur tanaman memiliki nilai keparahan yang berbeda. Keparahan penyakit mati pucuk pada bibit jabon pada perlakuan dengan inokulasi fungi patogen, hingga akhir pengamatan yang memiliki nilai tertinggi mencapai 61% yaitu pada perlakuan bibit jabon dengan inokulasi fungi patogen berumur 3 bulan. Selanjutnya pada bibit jabon dengan inokulasi fungi patogen berumur 5 bulan dengan tingkat keparahan mencapai 54% dan bibit jabon dengan inokulasi fungi patogen berumur 4 bulan dengan tingkat keparahan 42%. Pada perlakuan tanpa inokulasi fungi patogen, semai yang berumur 3 bulan sampai 5 bulan tidak menunjukkan gejala serangan penyakit hingga akhir pengamatan, maka nilai keparahannya adalah 0%. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa faktor dengan inokulasi fungi patogen dan faktor umur berpengaruh nyata terhadap keparahan penyakit (Tabel 5). Secara tunggal, gejala penyakit terjadi pada bibit yang di inokulasi fungi patogen. Bibit tanpa inokulasi fungi patogen tidak ada yang terserang. Tabel 5
Hasil uji Duncan nilai keparahan penyakit mati pucuk pada bibit jabon
Perlakuan Tingkat keparahan1 Bibit jabon berumur 3 bulan tanpa inokulasi fungi patogen 0.00b Bibit jabon berumur 4 bulan tanpa inokulasi fungi patogen 0.00b Bibit jabon berumur 5 bulan tanpa inokulasi fungi patogen 0.00b Bibit jabon berumur 3 bulan dengan inokulasi fungi patogen 61.00a Bibit jabon berumur 4 bulan dengan inokulasi fungi patogen 42.00a Bibit jabon berumur 5 bulan dengan inokulasi fungi patogen 54.00a 1) Angka yang diikuti huruf yang berbeda menyatakan berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% berdasarkan uji jarak berganda Duncan
Pembahasan Pertumbuhan In Vitro Diameter Koloni Botryodiplodia sp. pada Media PDA dengan Berbagai Tingkatan pH Fungi pada umumnya mempunyai kemampuan bertahan hidup pada selang pH 3 sampai dengan 9 (Tarr 1972). Selang pH yang demikian besar bagi fungi
17 untuk bertahan hidup merupakan hal penting yang harus diperhatikan. Tindakan pengaturan pH media diarahkan untuk memberikan gambaran kondisi pH untuk menekan pertumbuhan patogen. Berdasarkan pengujian pertumbuhan in vitro Botryodiplodia sp. pada media PDA menunjukkan bahwa pada pH 2 fungi tersebut nyata tidak tumbuh. Tetapi pengendalian patogen dengan perlakuan pengaturan pH kurang dari 2 tidak mungkin dilakukan, karena pada kondisi ini kemungkinan hidup bagi inang atau tanaman juga sangat kecil. Kisaran pH untuk tanaman jabon yaitu antara pH 4 sampai dengan pH 7.5. Koloni Botryodiplodia sp. berdasarkan pengamatan, dapat memenuhi cawan petri pada 3 hst. Secara makroskopis, koloni mula-mula berwarna putih seperti kapas atau rambut halus kemudian berubah menjadi abu-abu keruh dan lama kelamaan menghitam. Ciri-ciri tersebut sesuai dengan pernyataan Gandjar et al. (1999), yang menyebutkan bahwa koloni B. theobromae tumbuh cepat pada media PDA dengan membentuk miselia aerial yang lebat dan berwarna coklat kehitaman. Pengamatan secara mikroskopis menunjukkan bahwa Botryodiplodia sp. memiliki konidia yang berpencar secara tunggal, berbentuk jorong atau silinder, konidia muda hyalin dan konidia tua memiliki sekat. Hal ini sesuai dengan ciriciri yang diungkapkan oleh Gandjar et al. (1999) bahwa B. theobromae memiliki konidia bersel dua, berbentuk elips, berwarna coklat tua. Akan tetapi pematangan konidia berjalan lambat, sehingga sering ditemukan konidia bersel satu dan berwarna hyalin. Miselia Botryodiplodia sp. pada media PDA dengan pH 4, 6, 8, dan kontrol (6.8) sama-sama memenuhi cawan petri yang berdiameter 9 cm pada 3 hst, namun pertumbuhan pertambahan panjang diameter koloni per harinya berbeda antar perlakuan pH. Pertumbuhan miselia pada media PDA dengan pH 4 mengalami pertambahan panjang paling tinggi dibandingkan yang lainnya. Pada media PDA dengan pH 2, miselia Botryodiplodia sp. tidak mengalami pertambahan panjang karena Botryodiplodia tumbuh pada kisaran pH 3.5-8 dengan pH optimum untuk pertumbuhannya antara pH 5.5-6.5 (Saha et al. 2008) sehingga pada media PDA dengan pH 2 tidak mengalami pertumbuhan. Secara visual, penampakan pertumbuhan miselia Botryodiplodiai sp. pada media PDA berbeda antara pH kontrol (6.8) dan yang lainnya. Berdasarkan pengamatan, pada pH kontrol (6.8) menunjukkan penampakan yang paling baik dengan miselia terlihat halus, kompak dan paling tebal serta pertumbuhannya merata dibandingkan dengan pH yang lainnya. Berdasarkan hasil pengamatan, Botryodiplodia sp. dapat tumbuh baik pada pH 4, 6, 8, dan kontrol (pH 6.8) karena pH media masih dalam kisaran tumbuh Botryodiplodia sp. sedangkan pada media PDA dengan pH 2, Botryodiplodia sp. tidak dapat tumbuh karena dibawah kisaran pH untuk pertumbuhan Botryodiplodia sp. Pertumbuhan pertambahan panjang diameter koloni Botryodiplodia sp. terbaik ditunjukkan pada media PDA dengan pH 4, sedangkan penampakan visual pertumbuhan miselia Botryodiplodia sp. yang terbaik adalah pada media PDA dengan pH kontrol (6.8).
18 Pertumbuhan In Vitro Biomassa Miselia Botryodiplodia sp. pada Media PDB dengan Berbagai Tingkatan pH Fungi adalah heterotrof yang mendapatkan nutrisinya melalui penyerapan (absorption) molekul-molekul organik kecil dari medium di sekitarnya. Fungi akan mencerna makanan diluar tubuhnya dengan cara mensekresikan enzimenzim hidrolitik yang sangat ampuh ke dalam makanan tersebut. Enzim-enzim itu akan menguraikan molekul kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana yang dapat diserap dan digunakan oleh fungi (Campbell et al. 2003). Menurut Moore (1972) enzim tidak dapat aktif pada pH yang ekstrem, tetapi mereka mempunyai tingkat pH optimum yang berbeda untuk aktivitasnya. Derajat kemasaman (pH) optimum untuk enzim adalah kisaran pH 4-8 dan pH yang tidak menguntungkan dapat mengubah kemampuan normal dari sel. Seperti yang telah diketahui bahwa pH optimum untuk pertumbuhan Botryodiplodia sp. adalah pH 5.5-6.5 (Saha et al. 2008) sehingga pertumbuhan yang baik bagi Botryodiplodia sp. adalah pada media PDB dengan pH 6, karena berada pada kisaran pH optimum untuk aktivasi enzim dan pH optimum untuk pertumbuhan Botryodiplodia sp. jika dibandingkan pH yang lain. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan pH pada media PDB berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan biomassa miselia Botryodiplodia sp. Pertumbuhan terbaik bagi fungi yaitu pada media PDB dengan pH 6, ditunjukkan dengan berat kering miselia tertinggi, diikuti dengan media PDB pH 8, pH 4, dan pH kontrol (6.25). Media PDB dengan pH 2 tidak mendukung untuk pertumbuhan fungi karena pH terlalu ekstrem sehingga enzim tidak dapat aktif dan tidak dapat menguraikan molekul kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana yang dapat diserap dan digunakan oleh fungi untuk pertumbuhan. Berat kering yang tercatat pada pH 2 adalah berat kering inokulum yang tidak mengalami pertumbuhan miselia selama pengamatan berlangsung.
Pertumbuhan In Vitro Biomassa Miselia Botryodiplodia sp. pada Media PDB dengan Berbagai Tingkatan Penggoyangan Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan penggoyangan pada media PDB berpengaruh nyata terhadap biomassa miselia Botryodiplodia sp. Hasil inkubasi Botryodiplodia sp. pada media PDB yang diberi perlakuan penggoyangan menggunakan shaker, menunjukkan bahwa pada tingkat penggoyangan 50 rpm memiliki biomassa miselia tertinggi, selanjutnya diikuti pada tingkat penggoyangan 100 rpm, 150 rpm dan 0 rpm (tanpa penggoyangan). Hal ini menunjukkan bahwa Botryodiplodia sp. tumbuh lebih baik dengan perlakuan penggoyangan, karena menurut Stakman dan Harrar (1957) sebagian besar patogen tanaman adalah aerob dan oleh karena itu persediaan oksigen yang cukup sangat diperlukan agar pertumbuhan maksimum. Perlakuan penggoyangan dapat meningkatkan sporulasi Botryodiplodia sp. sehingga dapat tumbuh dengan baik. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada kecepatan 50 rpm dan 100 rpm dihasilkan miselia dengan biomassa miselia yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa Botryodiplodia sp. tumbuh dengan baik, namun pada kecepatan penggoyangan 150 rpm dan 0 rpm (tanpa penggoyangan) biomassa miselia mengalami penurunan. Kondisi ini menunjukkan bahwa oksigen
19 memang sangat diperlukan untuk pertumbuhan, namun tetap memiliki ambang batas untuk pertumbuhan yang optimal.
Patogenisitas Botryodiplodia sp. Kejadian penyakit dapat diamati ketika timbul gejala pada tanaman. Gejala penyakit merupakan informasi penting dalam mengetahui penyebab suatu tanaman menjadi sakit. Menurut Martoredjo (1984), gejala (symptom) adalah perubahan yang ditunjukkan oleh tanaman itu sendiri sebagai reaksi terhadap patogen. Perkembangan penyakit dimulai dengan inokulasi, yaitu jatuhnya inokulum pada tanaman inang. Pada penelitian ini, inokulasi terjadi ketika dilakukan penempelan isolat fungi patogen pada batang bibit jabon yang telah dilukai. Patogen kemudian masuk ke dalam jaringan tanaman inang, dinamakan penetrasi. Setelah patogen masuk ke dalam jaringan tanaman, akan terjadi interaksi antara tanaman inang dan patogen yang disebut dengan infeksi. Di dalam jaringan tanaman, patogen terus berkembang yang disebut invasi. Pada tahap invasi ini, gejala mulai muncul berupa bercak pada daun atau batang yang telah dilukai. Gejala penyakit mati pucuk pada bibit jabon yang diamati disebabkan oleh faktor biotik yaitu fungi. Penyakit ini menunjukkan gejala nekrotis karena perlukaan pada batang yang diinokulasi fungi patogen dapat menyebar luas sehingga menyebabkan kematian sel pada seluruh organ tanaman. Hasil inokulasi pada bibit jabon, fungi ini dapat menyebabkan mati pucuk. Hal yang sama juga terjadi sejak akhir 1980, dilaporkan bahwa pada area perkebunan kakao di Kamerun mengalami kejadian penyakit mati pucuk yang parah yang disebabkan oleh B. theobromae. Di beberapa perkebunan, penyakit ini dapat merugikan tanaman kakao sampai 100%, hal ini menjadi pembatas produksi kakao di Kamerun (Mbenoun et al. 2008). Pada tahun 1998 B. theobromae ditemukan pada pohon karet di Vietnam dan menyebabkan mati pucuk pada pembibitan, fungi patogen terus berkembang dan menyebabkan kerusakan yang serius sehingga menekan produksi perkebunan di Dau Tieng Rubber Company (Pha et al. 2009). Berdasarkan hasil pengamatan, serangan penyakit mati pucuk hanya terjadi pada tiga perlakuan dengan inokulasi fungi patogen sedangkan pada perlakuan tanpa inokulasi fungi patogen sama sekali tidak menunjukkan gejala penyakit. Hal ini membuktikan bahwa patogen memiliki kemampuan untuk menyebabkan penyakit atau bersifat virulen. Perkembangan penyakit didukung oleh tiga faktor, yaitu inang yang rentan, patogen yang virulen, dan lingkungan yang mendukung. Bibit jabon sebagai inang dapat dikatakan rentan, dengan catatan apabila terjadi perlukaan. Menurut Semangun (2007) B. theobromae merupakan cendawan yang memiliki kisaran inang yang luas. Patogen ini merupakan parasit lemah yang melakukan infeksinya melalui luka-luka mekanis seperti akibat pemangkasan atau luka akibat serangga. Hal tersebut terbukti bahwa pada bibit jabon yang dilakukan perlukaan dan diinokulasi patogen, gejala penyakit muncul pada semua tanaman yang diinokulasi patogen (100%). Daya virulensi patogen terbukti dengan terjadinya gejala penyakit. Kondisi lingkungan yang mendukung menurut Henuk (2010) yaitu pada kondisi dimana kelembaban, nutrisi dan suhu tinggi, patogen akan
20 segera berkecambah dan kemudian melakukan penetrasi ke dalam jaringan tanaman. Kondisi suhu lingkungan yang berbeda sangat tinggi antara siang dan malam terutama pada musim kemarau merupakan lingkungan yang mempermudah perkembangan fungi ini, seperti yang terjadi selama penelitian berlangsung. Gejala yang teramati mulai dari daun yang paling dekat dengan batang yang diinokulasi isolat patogen. Daun akan berubah warna, dari kekuningan sampai kecoklatan kemudian kerusakan akan terus meluas ke bagian tangkai dan helai daun yang terdekat sehingga tulang daun menjadi hitam, layu dan kadang-kadang rontok. Penyebaran infeksi pada pucuk dan batang, mengakibatkan seluruh bagian tanaman menghitam dan mati sampai pada pangkal batang. Bagian luar dan dalam batang juga mengalami perubahan warna menjadi cokelat. Hal tersebut dapat diduga sebagai akibat dari substansi-substansi yang disekresikan oleh patogen dalam mekanisme penyerangannya untuk melumpuhkan inang. Luka merupakan salah satu jalan masuknya patogen. Penetrasi patogen akan lebih cepat dengan adanya luka. Berdasarkan pengamatan, pada bibit jabon yang di inokulasi patogen yang artinya dilakukan perlukaan terlebih dahulu seluruh tanaman (100%) menunjukkan gejala penyakit. Bibit jabon tanpa inokulasi patogen, meski dilakukan perlukaan pada batang tidak menunjukkan gejala penyakit sama sekali. Sel dan jaringan tanaman akan bereaksi terhadap kerusakan, baik yang disebabkan oleh patogen atau karena mekanik dan kimia melalui serangkaian reaksi biokimia untuk mengisolasi gangguan dan menyembuhkan luka (Mert-Turk 2002). Tanaman jabon yang dilukai tanpa inokulasi fungi patogen, dapat bereaksi dengan cepat terhadap kerusakan sel tanaman yang terjadi. Hal ini ditunjukkan terbentuknya lapisan getah yang menutupi sayatan akibat perlukaan pada batang. Secara umum tumbuhan akan memberikan respon terhadap serangan patogen dan respon tersebut akan bertanggung jawab terhadap resistensi tanaman terhadap patogen. Tanaman akan mempertahankan diri dengan dua cara, pertama dengan adanya sifat-sifat struktural pada tanaman yang berfungsi sebagai penghalang fisik dan akan menghambat patogen untuk masuk dan menyebar di dalam sel tanaman. Kedua, respon biokimia berupa reaksi-reaksi kimia yang terjadi di dalam sel dan jaringan tanaman sehingga patogen dapat mati atau terhambat pertumbuhannya (Groenewald 2005). Tingkat keparahan penyakit mati pucuk pada bibit jabon yang terserang, hingga akhir pengamatan yang tertinggi mencapai 61% yaitu pada perlakuan bibit jabon dengan inokulasi fungi patogen berumur 3 bulan. Selanjutnya pada bibit jabon dengan inokulasi fungi patogen berumur 5 bulan dan bibit jabon dengan inokulasi fungi patogen berumur 4 bulan dengan tingkat keparahan penyakit mencapai 54% dan 42%. Bibit dengan perlakuan tanpa inokulasi patogen tidak ada yang menunjukkan gejala terserang penyakit, maka nilai keparahan serangan penyakit adalah 0%. Hasil perhitungan tingkat keparahan penyakit mati pucuk pada bibit jabon menunjukkan bahwa bibit yang berumur 4 bulan memiliki nilai keparahan yang lebih rendah dari bibit yang berumur 3 atau 5 bulan. Hal ini menunjukkan bahwa bibit jabon berumur 4 bulan memiliki mekanisme pertahanan inang yang lebih kuat terhadap serangan penyakit mati pucuk dibandingkan dengan bibit yang berumur 3 atau 5 bulan. Namun belum diketahui secara pasti mekanisme
21 pertahanan inang yang digunakan, baik pertahanan struktural maupun biokimia. Serangan penyakit terjadi hanya pada periode umur tertentu, karena senyawa biokimia yang digunakan dalam mekanisme pertahanan inang dapat berubah sesuai dengan umur dan tempat tumbuh. Menurut Agrios (1997), ketahanan biokimia yang terdapat pada tanaman ditentukan oleh tersedianya senyawa bagi patogen sebagai nutrisi atau senyawa yang bersifat toksik. Senyawa tersebut antara lain adalah protein, gula dan fenol kompleks yang dapat berubah-ubah konsentrasinya dalam jaringan tanaman sesuai dengan umur dan faktor lingkungan tempat tanaman tumbuh. Sumaraw (1999) menyebutkan bahwa pada tanaman tomat, semakin tua tanaman maka semakin tinggi tingkat keparahan penyakitnya. Berbeda dengan tanaman pinus, menurut Achmad (2012) semakin tua semai, ketahanan terhadap serangan patogen lodoh semakin meningkat. Serangan lodoh pada semai Pinus merkusii terjadi dari benih hingga semai berumur tujuh minggu, semai berumur delapan minggu telah bebas dari penyakit. Secara teknis di lapangan, pemilihan bibit berumur 4 bulan sebagai bahan penanaman lebih dianjurkan karena berdasarkan hasil penelitian bibit berumur 4 bulan memiliki nilai keparahan yang lebih rendah daripada bibit berumur 3 atau 5 bulan.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Pemberian perlakuan pH pada media PDA berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan Botryodiplodia sp. Respon pertumbuhan koloni Botryodiplodia sp. terbaik adalah pada media PDA dengan pH 4. Pada media PDA dengan pH 2, Botryodiplodia sp. tidak mengalami pertumbuhan. Uji pertumbuhan biomassa Botryodiplodia sp. pada media PDB dengan perlakuan berbagai tingkatan pH berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan Botryodiplodia sp. dengan bobot miselia tertinggi pada media PDB dengan pH 6. Pemberian tingkat penggoyangan pada media PDB dengan pH netral menggunakan shaker, berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan Botryodiplodia sp. Bobot miselia tertinggi yaitu pada tingkat penggoyangan 50 rpm. Uji patogenisitas Botryodiplodia sp. pada beberapa tingkat umur bibit jabon menunjukkan bahwa gejala serangan penyakit mati pucuk hanya terjadi pada bibit yang diinokulasi patogen. Seluruh tanaman dengan inokulasi patogen mengalami gejala penyakit sehingga nilai kejadian penyakit adalah 100%. Nilai keparahan terendah adalah 42% yaitu pada bibit jabon berumur 4 bulan dengan inokulasi fungi patogen. Tingkat keparahan tertinggi mencapai 61% yaitu pada bibit jabon berumur 3 bulan dengan inokulasi fungi patogen. Bibit tanpa inokulasi fungi patogen tidak menunjukkan adanya gejala terserang penyakit hingga akhir pengamatan maka nilai kejadian penyakit dan tingkat keparahan serangannya adalah 0%.
22 Saran Diharapkan adanya penelitian lebih lanjut mengenai mekanisme penyerangan patogen terhadap tanaman dan mengenai pengaruh faktor lingkungan terhadap perkembangan penyakit mati pucuk dan perkembangan fungi patogen serta pengendaliannya.
DAFTAR PUSTAKA Achmad, Hadi S, Harran S, Sa’id EG, Satiawiharja B, Kardin MK. 2012. Mekanisme serangan patogen lodoh pada semai pinus (Pinus merkusii). Journal of Tropical Silviculture Science and Technology. 03(1):57-64. Agrios GN. 1988. Plant Pathology. Ed ke-3. New York (US): Academic Pr. Agrios GN. 1997. Plant Pathology. Ed ke-4. Toronto (CA): Academic Pr. Alexopoulos CJ, Mims CW and Blackwell M. 1996. Introductory Mycology. Ed ke-4. New York (US): John Willey & Sons, Inc. Begoude BAD, Bernard S, Michael JW, Jolanda R. 2009. Botryosphaeriaceae associated with Terminalia cattapa in Cameroon, South Africa and Madagascar. Mycol Progress 9: 101-123. Bilgrami KS, Dube HC. 1976. A Textbook of Modern Plant Pathology. New Delhi (IN): PVT LTD. Campbell NA, Reece JB, Mitchell LG. 2003. Biologi. Manalu W, penerjemah; Safitri A, editor. Jakarta (ID): Penerbit Erlangga. Terjemahan dari: Biology Fifth Edition. Gandjar I, Samson RA, Vermeulen, Oetari A, Santoso I. 1999. Pengenalan Kapang Tropik Umum. Jakarta (ID): Yayasan Obor Indonesia. Groenewald S. 2005. Biology, pathogenecity and diversity of Fusarium oxysporum f.sp. cubense [thesis]. Pretoria (ZA): University of Pretoria. Henuk JBD. 2010. Identifikasi dan uji patogenisitas penyebab busuk pangkal batang pada jeruk (Citrus spp.) dari beberapa sentra produksi jeruk di Indonesia [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Heyne K, 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid ke-2. Jakarta (ID): Yayasan Sana Wana Jaya. Kapisa N, Sapulata E. 1994. Informasi teknik tanaman jabon (Anthocephalus cadamba Miq.). Buletin Penelitian Kehutanan 10:3. Khaerudin. 1994. Pembibitan Tanaman HTI. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Lembaga Biologi Nasional. 1980. Kayu Indonesia. Jakarta (ID): Balai Pustaka. Mansur I, Tuheru FD. 2010. Kayu Jabon. Jakarta (ID): Balai Pustaka Martoredjo T. 1984. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan Bagian dari Perlindungan Tanaman. Yogyakarta (ID): Andi Offset. Mattjik AA, Sumertajaya. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab Jilid I. Bogor (ID): IPB Pr. Mbenoun M, Momo ZEH, Samuels G, Amougou FN, Nyasse S. 2008. Dieback due to Lasiodiplodia theobromae, a new constraint to cocoa production in Cameroon. Plant Pathology. 57: 381. [internet]. [diacu 2012 Juli 17]. Tersedia dari: hhtp://ddr.nal.usda.gov/bitstream/10113/13435/1/IND440 32848.pdf.
23 Mert-Turk F. 2002. Phytoalexin: defence or just a respon to stress. Journal of Cell and Molecular Biology 1:1-6. Moore E, Landecker. 1972. The Fungi. Toronto (CA): Prentice-Hall of Canada Ltd. Mulyana D, Asmarahman C, Fahmi I. 2010. Bertanam Jabon. Jakarta (ID): Agromedia Pustaka. Pha TA, Dung PT, Hieu ND, Nghia NA. 2009. Disease caused by Botryodiplodia theobromae Pat. on rubber tree in Vietnam. Rubber Research Institute of Vietnam. [internet]. [diacu 2012 Desember 20]. Tersedia dari: http://www. rriv.org.vn/uploads/userfiles/28-BCMalaysia-Pha.ppt. Punithalingam E. 1976. CMI Descriptions of Pathogenic Fungi and Bacteria. England (NL): Commonwealth Mycological Institute. Rustini NL. 2010. Aktivitas antijamur minyak atsiri rimpang dringo (Acorus calamus l.) Terhadap jamur Botryodiplodia theobromae penyebab busuk buah pisang. Jurnal Kimia 4 (2): 173-179. Saha A, Mandal P, Dasgupta S, Saha D. 2008. Influence of Culture Media and Environmental Factors on Mycelial Growth and Sporulation of Lasiodiplodia theobromae (Pat.) Griffon and Maubl. Journal of Environmental Biology 29(3): 407-410. Semangun H. 2000. Penyakit-penyakit Tanaman Perkebunan di Indonesia. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Pr. Semangun H. 2007 Penyakit-penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Ed ke2. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Pr. Soerianegara I, Lemmens RHMJ. 1993. Plant Resources of South-East Asia 5(1) : Timber Trees: Major Commercial Timbers. Wageningen (NL): Pudoc Scientific Publishers. Stakman EC, Harrar JG. 1957. Principles of Plant Pathology. New York (US): The Ronald Pr Company. Sumaraw SM. 1999. Periode kritis tanaman tomat terhadap serangan Alternalia solani (Ell. & G.Martin) Sor. dan faktor penentunya. Buletin Hama dan Penyakit Tumbuhan 11(2):67-72. Sutisna U, Kalima T, Purnadjaja. 1998. Training Manual Pedoman Pengenalan Pohon Hutan di Indonesia. Bogor (ID): Prosea. Tantra IGM. 1980. Flora Pohon Indonesia. Bogor (ID): Balai Penelitian Hutan. Tarr. 1972. The Principles of Plant Pathology. London (GB): The Macmillan Pr. Urbez-Torres JR, Leavitt GM, Guerrero JC, Gubler WD. 2008. Identification and pathogenicity of Lasiodiplodia theobromae and Diplodia seriata, the causal agents of Bot canker disease of grapevines in Mexico. Journal of Plant Disease 92: 519-529 Von Arx JA. 1987. Plant Pathogenic Fungi. Berlin (DE): J. Cramer
24
LAMPIRAN Lampiran 1
Komposisi media pertumbuhan Botryodiplodia sp. :
No 1
Jenis Media Potato Dextrose Agar
2
Potato Dextrose Broth
Lampiran 2
pH Kontrol (6.8)
pH 4
PH 6
pH 8
Lampiran 3 Ulangan ke1 2 3 Rata-rata
Jumlah 200 gr 20 gr 15 gr 1l 200 gr 20 gr 1l
Pertumbuhan diameter Botryodiplodia sp. pada media PDA dengan berbagai tingkatan pH : Pertumbuhan Hari keUlangan ke1 2 3
Perlakuan
pH 2
Komposisi Media Kentang Dextrose Agar Aquades Kentang Dextrose Aquades
1
3.10
7.60
9.00
2
2.95
7.40
9.00
3
2.95
7.60
9.00
rata-rata
3.00
7.53
9.00
1
0.00
0.00
0.00
2
0.00
0.00
0.00
3
0.00
0.00
0.00
rata-rata
0.00
0.00
0.00
1
2.20
7.15
9.00
2
2.50
7.75
9.00
3
2.80
7.40
9.00
rata-rata
2.50
7.43
9.00
1
2.70
7.15
9.00
2
2.50
7.15
9.00
3
2.20
6.90
9.00
rata-rata
2.47
7.07
9.00
1
1.85
5.70
9.00
2
2.45
6.30
9.00
3
2.75
7.30
9.00
rata-rata
2.35
6.43
9.00
Biomassa miselia Botryodiplodia sp. dengan perlakuan pH Kontrol (6.25) pada media PDB Berat kertas saring (g) 0.912 0.907 0.901
Berat kertas saring + miselia (g) 1.077 1.107 1.087
Biomassa miselia (g) 0.165 0.200 0.186 0.184
25 Lampiran 4 Ulangan ke1 2 3 Rata-rata
Lampiran 5 Ulangan ke1 2 3 Rata-rata
Lampiran 6 Ulangan ke1 2 3 Rata-rata
Lampiran 7 Ulangan ke1 2 3 Rata-rata
Lampiran 8 Ulangan ke1 2 3 Rata-rata
Lampiran 9
Ulangan ke1 2 3 Rata-rata
Biomassa miselia Botryodiplodia sp. dengan perlakuan pH 2 pada media PDB Berat kertas saring (g) 0.884 0.901 0.918
Berat kertas saring + miselia (g) 1.003 1.039 1.015
Biomassa miselia (g) 0.119 0.138 0.097 0.118
Biomassa miselia Botryodiplodia sp. dengan perlakuan pH 4 pada media PDB Berat kertas saring (g) 0.890 0.882 0.903
Berat kertas saring + miselia (g) 1.083 1.064 1.094
Biomassa miselia (g) 0.193 0.182 0.191 0.189
Biomassa miselia Botryodiplodia sp. dengan perlakuan pH 6 pada media PDB Berat kertas saring (g) 0.907 0.897 0.893
Berat kertas saring + miselia (g) 1.100 1.085 1.102
Biomassa miselia (g) 0.193 0.188 0.209 0.197
Biomassa miselia Botryodiplodia sp. dengan perlakuan pH 8 pada media PDB Berat kertas saring (g) 0.875 0.906 0.883
Berat kertas saring + miselia (g) 1.065 1.101 1.082
Biomassa miselia (g) 0.190 0.195 0.199 0.195
Biomassa miselia Botryodiplodia sp. tanpa perlakuan penggoyangan (0 rpm) pada media PDB Berat kertas saring (g) 0.837 0.830 0.853
Berat kertas saring + miselia (g) 0.906 0.941 0.928
Biomassa miselia (g) 0.069 0.111 0.075 0.085
Biomassa miselia Botryodiplodia sp. dengan perlakuan penggoyangan 50 rpm pada media PDB Berat kertas saring (g) 0.848 0.821 0.815
Berat kertas saring + miselia (g) 1.071 1.058 1.055
Biomassa miselia (g) 0.223 0.237 0.240 0.233
26 Lampiran 10 Ulangan ke1 2 3 Rata-rata
Lampiran 11 Ulangan ke1 2 3 Rata-rata
Lampiran 12 Ulangan 1 2 3 Total
Biomassa miselia Botryodiplodia sp. dengan perlakuan penggoyangan 100 rpm pada media PDB Berat kertas saring (g) 0.832 0.831 0.842
Berat kertas saring + miselia (g) 1.041 1.058 1.032
Biomassa miselia (g) 0.209 0.227 0.190 0.209
Biomassa miselia Botryodiplodia sp. dengan perlakuan penggoyangan 150 rpm pada media PDB Berat kertas saring (g) 0.826 0.853 0.838
Berat kertas saring + miselia (g) 0.947 0.930 0.917
Biomassa miselia (g) 0.121 0.077 0.079 0.092
Rekapitulasi bibit jabon yang terserang mati pucuk pada akhir pengamatan
P 0U 1 0 0 0 0
Jumlah tanaman yang terserang1 (bibit) P0U2 P0U3 P1U1 P1U2 0 0 10 10 0 0 10 10 0 0 10 10 0 0 30 30
P1U3 10 10 10 30
1) P0U1= Bibit jabon berumur 3 bulan tanpa inokulasi fungi patogen, P 0U2= Bibit jabon berumur 4 bulan tanpa inokulasi fungi patogen, P 0U3= Bibit jabon berumur 5 bulan tanpa inokulasi fungi patogen, P 1U1= Bibit jabon berumur 3 bulan dengan inokulasi fungi patogen, P 1U2= Bibit jabon berumur 4 bulan dengan inokulasi fungi patogen, P1U3= Bibit jabon berumur 5 bulan dengan inokulasi fungi patogen
Lampiran 13 Ulangan 1 2 3 Rata-rata
Tingkat keparahan mati pucuk pada bibit jabon hingga akhir pengamatan
P 0U 1 0 0 0 0
Tingkat keparahan pada tiap perlakuan1 (%) P0U2 P0U3 P1U1 P1U2 0 0 60 40 0 0 67 40 0 0 57 47 0 0 61 42
P1U3 57 53 53 54
1) P0U1= Bibit jabon berumur 3 bulan tanpa inokulasi fungi patogen, P 0U2= Bibit jabon berumur 4 bulan tanpa inokulasi fungi patogen, P 0U3= Bibit jabon berumur 5 bulan tanpa inokulasi fungi patogen, P 1U1= Bibit jabon berumur 3 bulan dengan inokulasi fungi patogen, P 1U2= Bibit jabon berumur 4 bulan dengan inokulasi fungi patogen, P1U3= Bibit jabon berumur 5 bulan dengan inokulasi fungi patogen
27 Lampiran 14
Perkembangan penyakit mati pucuk pada bibit jabon: (a) gejala hari ke-1, (b) gejala hari ke-2, (c) gejala hari ke-3, (d) gejala hari ke-4, (e) gejala hari ke-5
a
b
c
d
e
28 Lampiran 15
Rekapitulasi Uji-F
Sumber keragaman Pertambahan panjang diameter koloni Botryodiplodia sp. pada 1 hst Pertambahan panjang diameter koloni Botryodiplodia sp. pada 2 hst Pertambahan panjang diameter koloni Botryodiplodia sp. pada 3 hst Pengaruh pemberian pH pada media PDB terhadap biomassa miselia Botryodiplodia sp. Pengaruh penggoyangan media PDB terhadap pertumbuhan biomassa miselia Botryodiplodia sp. Kejadian penyakit
Keterangan
Df
Jumlah kuadrat
Nilai tengah
F Hit
Pr>F
Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Inokulasi patogen (I) Galat I Umur semai (U) I*U Galat II Total koreksi
4 10 14 4 10 14 4 10 14 4 10 14 3 8 11 1 4 2 2 8 17
8.3400 0.7400 9.0800 50.5100 0.6000 51.1100 10.7400 1.5600 12.3000 0.01307 0.00181 0.01489 0.05353 0.00312 0.05665 45000.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 45000.0000
2.0900 0.0700
28.1200
<.0001
12.6300 0.0600
212.2400
<.0001
2.6900 0.1600
17.2500
0.0002
0.00327 0.00018
18.0300
0.0001
0.01784 0.00039
45.8100
<.0001
45000.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.00000
Infty
<.0001
29
Keparahan penyakit
Inokulasi patogen (I) Galat I Umur semai (U) I*U Galat II Total koreksi
1 4 2 2 8 17
1.25875556 0.00028889 0.02807778 0.02807778 0.00884444 1.32404444
1.25875556 0.00007222 0.01403889 0.01403889 0.00110556
1138.57 0.0700 12.700 12.700
<.0001 0.9906 0.0033 0.0033
30
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Klaten pada tanggal 17 Mei 1990 merupakan anak kedua dari pasangan Bapak Sarwatja Singgih Oetomo, SH (alm) dan Ibu Siti Hindrianursih. Penulis memulai pendidikan formal di TK ABA Gondang (1195-1996), SDN Basin 1 (1996-2002), kemudian melanjutkan pendidikan ke SMP Al-Islam Ngawen (20022005) dan SMA Muhammadiyah 1 Klaten (2005-2008). Pada tahun 2008 penulis diterima di IPB (Institut Pertanian Bogor) melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) dan diterima di Program Studi Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan dan kegiatan yakni sebagai anggota Divisi Tanggap Sosial di BEM KM IPB tahun 2008-2009, anggota Divisi Danus dalam kepanitiaan Seminar HTR dan Stadium General Pelatihan Lacak Balak tahun 2009, anggota Divisi Pengkaderan dan Penguatan Organisasi di PC Sylva IPB periode 20092010, anggota Project Division di Tree Grower Community (Himpunan Profesi Mahasiswa ) Silvikultur periode 2009-2010, Bendahara dalam kepanitiaan TGC in Action tahun 2010, anggota Divisi PDD dalam kepanitiaan Java Cup IPB tahun 2010, Kepala Divisi Humas dalam kepanitian Pekan Ilmiah Kehutanan Nasional ke-5 tahun 2010, anggota Divisi Kewirausahaan di PC Sylva IPB periode 20102011, anggota Divisi HRD di Tree Grower Community periode 2010-2011, anggota Divisi Acara dalam kepanitiaan TGC in Action 2011, anggota Divisi HRD di KMK (Organisasi Mahasiswa Daerah) IPB periode 2010-2011, anggota Divisi Humas dalam kepanitiaan Seminar Nasional dan Lokakarya PCSI IPB tahun 2011 Penulis melakukan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) tahun 2010 di Baturraden-Cilacap, Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) tahun 2011 di Gunung Walat serta melakukan Praktek Kerja Profesi (PKP) tahun 2012 di PT Adaro Indonesia, Kalimantan Selatan.