RESISTENSI BIBIT JABON PUTIH DAN MERAH (Anthocephalus spp.) TERHADAP SERANGAN Botryodiplodia theobromae PENYEBAB PENYAKIT MATI PUCUK
LOLA ADRES YANTI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Resistensi Bibit Jabon Putih dan Merah (Anthocephalus spp.) terhadap Serangan Botryodiplodia theobromae Penyebab Penyakit Mati Pucuk adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2015 Lola Adres Yanti NIM E451120051
* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.
RINGKASAN LOLA ADRES YANTI. Resistensi Bibit Jabon Putih dan Merah (Anthocephalus spp.) terhadap Serangan Botryodiplodia theobromae Penyebab Penyakit Mati Pucuk. Dibimbing oleh ACHMAD dan NURUL KHUMAIDA. Bibit jabon putih dan merah sangat digemari para pembudidaya karena berbagai manfaat dan dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi. Permasalahan utama dalam pembibitan tanaman kehutanan adalah hama dan penyakit. Salah satu penyakit yang banyak menyerang bibit adalah penyakit mati pucuk. Penyakit mati pucuk disebabkan oleh B. theobromae, yang dapat menyebabkan kematian inang. Patogen dapat menyerang secara pasif dan aktif. Setiap tanaman memiliki mekanisme resistensi terhadap serangan patogen, baik struktural maupun biokimia, sebelum dan sesudah serangan patogen. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menguji serangan B. theobromae dengan cara infeksi tanpa maupun dengan pelukaan batang bibit jabon; (2) mempelajari resistensi bibit jabon secara struktural dan biokimia terhadap serangan B. theobromae; (3) mempelajari interaksi antara spesies bibit jabon dan cara infeksi terhadap resistensi bibit jabon; (4) memperoleh spesies bibit jabon yang lebih resisten terhadap serangan B. theobromae. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap faktorial (RALF) dengan mengkombinasikan spesies bibit jabon dan cara infeksi. Resistensi struktural diamati dengan mempelajari kondisi mikroskopis batang bibit jabon yang sehat dan terinfeksi patogen menggunakan scanning electron microscope. Resistensi biokimia dilakukan dengan melihat komponen senyawa kimia bibit jabon menggunakan analisis fitokimia. Kejadian penyakit mati pucuk pada bibit jabon merah dengan cara infeksi tanpa pelukaan batang lebih luas, yaitu sebesar 80% dibandingkan dengan bibit jabon putih sebesar 30%. Keparahan penyakit mati pucuk pada bibit jabon merah dengan cara infeksi tanpa pelukaan batang lebih berat yaitu sebesar 16% dibandingkan dengan bibit jabon putih sebesar 12%. Respon spesies bibit jabon dan cara infeksi tanpa pelukaan batang terhadap keparahan penyakit mati pucuk menunjukkan berat yang sama besar. Kejadian penyakit mati pucuk pada bibit jabon putih dan merah dengan cara infeksi pelukaan batang masing-masing sebesar 100%. Keparahan penyakit mati pucuk pada bibit jabon putih dengan cara infeksi pelukaan batang lebih berat, yaitu sebesar 62% dibandingkan dengan bibit jabon merah sebesar 38%. Respon spesies bibit jabon dan cara infeksi pelukaan batang terhadap kejadian penyakit mati pucuk menunjukkan luas yang sama tinggi, sedangkan keparahan penyakit terberat terjadi pada bibit jabon putih. Kejadian dan keparahan penyakit pada bibit jabon dengan cara infeksi pelukaan batang lebih luas dan berat dibandingkan dengan cara infeksi tanpa pelukaan batang. Bibit jabon putih hanya memiliki resistensi nekrotik sebagai resistensi struktural sesudah serangan patogen. Sebelum dan sesudah serangan patogen pada bibit jabon merah, resistensi struktural berturut-turut ditunjukkan dengan terdapatnya struktur trikoma pada jaringan epidermis dan resistensi nekrotik. Resistensi biokimia sebelum serangan patogen pada bibit jabon merah adalah terdapatnya zat inhibitor dalam sel, yaitu senyawa metabolit sekunder, terutama
triterpenoid dan steroid, sedangkan pada bibit jabon putih hanya terdapat senyawa steroid. Sesudah serangan patogen pada bibit jabon merah, resistensi biokimia ditunjukkan dengan terjadinya peningkatan akumulasi senyawa fenol hidrokuinon, tanin dan kadar yang tetap pada flavanoid, sedangkan bibit jabon putih mengalami peningkatan akumulasi senyawa flavanoid, tanin dan penurunan fenol hidrokuinon. Kata kunci : cara infeksi, kejadian penyakit, keparahan penyakit, resistensi biokimia, resistensi struktural
SUMMARY LOLA ADRES YANTI. Resistency of White and Red Jabon Seedlings (Anthocephalus spp.) to Botryodiplodia theobromae Causing Dieback Disease. Supervised by ACHMAD and NURUL KHUMAIDA. White and red jabon seedlings are very popular to nurserier, because of the benefits and can improve the economic. The main problem in nurseries are insects and diseases attack. One of the diseases is dieback disease. Dieback disease is caused by B. theobromae, that can make the seedlings death. These pathogens can attack passively and actively. Every plant has a mechanism of resistance to pathogen attack, either structural or biochemical, before and after attacked. This research aimed: (1) to test B. theobromae attacked with non wounded and wounded stem infection methods in jabons; (2) to study the structural and biochemical resistance of jabons to B. theobromae attacked; (3) to study the interaction between the species of jabons and stem infection methods in jabons to the resistance of jabon seedlings; (4) to obtain the most resistance species of jabons to B. theobromae attacked. This research used factorial completely randomized design that combined the species of jabons and stem infection methods in seedling. The structural resistance was done with studying the microscopy of infected and non infected jabon used scanning electron microscope. The biochemical resistance was done with studying the chemical compound of Jabons used phytochemistry analysis. The disease incidency of red jabon seedlings with non wounded stem infection methods were 80%, that were wider than white jabon seedlings were 30%. The disease severity of red jabon seedlings with non wounded stem infection methods were 16%, that were worse than white jabon seedlings were 12%. The response of the species of jabons and non wounded stem infection method for the disease severity showed the same severity. The disease incidency of red and white jabon seedlings with wounded stem infection methods were 100%. The disease severity of white jabon seedlings with wounded stem infection methods were 62%, that were worse than red jabon seedlings were 38%. The response of the species of jabons and wounded stem infection method for the disease incidency showed the same width high, but, the disease severity of white jabon seedlings were worse than red jabon seedlings. The incidency and the severity of disease in jabons with wounded stem infection methods were wider and worse than jabons with non wounded stem infection methods. The white jabon seedlings just had the necrotic resistance as the structural resistance after pathogen attacked. Before and after pathogen attacked of red jabon seedlings, structural resistance were showed with found the structure of trychomaes on the epidermis and the necrotic resistance. The biochemical resistance before pathogen attacked of red jabon seedlings were found secondary metabolites, aspecially, triterpenoid and steroid, but, for white jabon seedlings were just found steroid. After pathogen attacked of red jabon seedlings, the biochemical resistance were showed with found the increase in the content of phenol hydroquinon, tannin and the fixed of flavanoid, but, the white jabon
seedlings had the increase in the content of flavanoid, tannin and the decrease of phenol hydroquinon. Key words: biochemical resistance, disease incidency, disease severity, stem infection methods, structural resistance
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
RESISTENSI BIBIT JABON PUTIH DAN MERAH (Anthocephalus spp.) TERHADAP SERANGAN Botryodiplodia theobromae PENYEBAB PENYAKIT MATI PUCUK
LOLA ADRES YANTI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Silvikultur Tropika
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Bonny PW Soekarno, MS
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April sampai Desember 2014 adalah Resistensi Bibit Jabon Putih dan Merah (Anthocephalus spp.) terhadap Serangan Botryodiplodia theobromae Penyebab Penyakit Mati Pucuk. Satu naskah dengan judul Uji Resistensi Bibit Jabon Putih dan Merah (Anthocephalus spp.) terhadap Serangan Botryodiplodia theobromae Penyebab Penyakit Mati Pucuk telah diterima pada Jurnal Silvikultur Tropika dan sedang menunggu proses penerbitan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Achmad, MS dan Dr Ir Nurul Khumaida, MS selaku pembimbing yang telah membimbing penulis untuk menyelesaikan studi. Penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr Ir Bonny PW Soekarno, MS selaku dosen penguji ujian tesis saya dan Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto, MS selaku moderator ujian tesis, yang telah banyak memberikan masukan untuk kesempurnaan penulisan tesis. Terima kasih juga disampaikan kepada Bakrie Center Foundation yang telah memberikan beasiswa studi selama setahun dan membantu pembiayaan kegiatan penelitian hingga akhirnya tesis ini dapat disusun. Tak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada Kepala Laboratorium Patologi Hutan, Laboratorium Kimia Kayu, dan Laboratorium Kimia Analitik IPB, serta Pusat Penelitian Zoologi LIPI Cibinong. Terima kasih kepada Kepala BPDAS Citarum-Ciliwung di Persemaian Permanen Kampus IPB Dramaga yang telah memberikan izin pada penulis untuk melaksanakan kegiatan penelitian di lingkungan kerjanya. Terima kasih pula penulis sampaikan kepada Ibu Ai Rosah Aisah, SHut MSi, Ibu Tutin BScF, Bapak Suprihatin, Bapak Ismail, Ibu Encah, Bapak Eter Cahyadi, SHut, Ibu Nunung, Ibu Yuni dan Ibu Endang LIPI Cibinong, Ibu Illa Anggraeni, Bapak Taufan, dan rekan-rekan mahasiswa Silvikultur Tropika angkatan 2012, serta rekan-rekan mahasiswa S1 dan S2 yang berada di lingkup Laboratorium Patologi Hutan, serta semua pihak yang telah membantu teknis pelaksanaan penelitian ini. Ungkapan terima kasih dan rasa hormat yang mendalam juga penulis sampaikan kepada Ayah, Ibu, dan Adik-adik tersayang, serta keluarga besar yang senantiasa mendukung dan memberikan dorongan moral. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2015
Lola Adres Yanti
x
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xi
DAFTAR GAMBAR
xi
DAFTAR LAMPIRAN
xi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Hipotesis Penelitian Kerangka Pemikiran
1 2 3 3 4 4
2 TINJAUAN PUSTAKA Jabon Putih (Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq.) Jabon Merah (Anthocephalus macrophyllus (Roxb.) Havil.) Perbedaan Jabon Merah dan Jabon Putih Botryodiplodia theobromae Mekanisme Infeksi Patogen terhadap Tanaman Inang Resistensi Inang terhadap Serangan Patogen
6 7 8 10 12 14
3 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Analisis Data
21 21 22 28
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Karakteristik Makroskopis dan Mikroskopis Isolat B. theobromae Resistensi Bibit Jabon terhadap Serangan Patogen Resistensi Struktural Batang Bibit Jabon (Anthocephalus spp.) Resistensi Biokimia Batang Bibit Jabon (Anthocephalus spp.) Pembahasan Umum
28 29 35 37 38
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
48 48
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
xi
DAFTAR TABEL 1 Karakteristik morfologi jabon merah dan putih 2 Kandungan senyawa primer pada daun jabon merah dan putih (%) 3 Kandungan senyawa metabolit sekunder pada daun jabon merah dan putih (A. macrophyllus dan A. cadamba) berumur 7 bulan 4 Nilai numerik kategori serangan dan keparahan penyakit mati pucuk pada bibit jabon 5 Respon spesies bibit jabon dan cara infeksi terhadap kejadian penyakit mati pucuk 6 Respon spesies bibit jabon dan cara infeksi terhadap keparahan penyakit mati pucuk 7 Masa inkubasi bibit jabon putih dan merah terhadap serangan patogen B. theobromae 8 Temperatur dan kelembapan selama 14 hari pengamatan 9 Keragaan fitokimia senyawa metabolit sekunder bibit jabon (Anthocephalus spp.)
9 9 10 25 33 33 34 35 38
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Kerangka pemikiran penelitian Karakteristik mikroskopis Botryodiplodia theobromae Struktur anatomi batang bibit Tilia americana Mekanisme serangan M. graminicola selama 11 hari pengamatan Kondisi mikroskopis penampang batang bibit jambu monyet umur 2 bulan yang terserang L. theobromae Tahapan penelitian resistensi bibit jabon putih dan merah terhadap serangan patogen B. theobromae Nilai numerik kategori serangan dan keparahan penyakit mati pucuk pada bibit jabon Miselium B. theobromae yang berumur 3 hari setelah tanam (HST) Karakteristik mikroskopis B. theobromae Kondisi bibit jabon putih dan merah perlakuan kontrol Kondisi bibit jabon putih selama 14 hari pengamatan Kondisi bibit jabon merah selama 14 hari pengamatan Kondisi mikroskopis penampang melintang batang bibit jabon putih Kondisi mikroskopis penampang melintang batang bibit jabon merah
5 11 12 13 15 22 26 28 29 30 31 32 36 37
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3
Rekapitulasi sidik ragam spesies bibit jabon dan cara infeksi pada kejadian penyakit mati pucuk Rekapitulasi sidik ragam spesies bibit jabon dan cara infeksi pada keparahan penyakit mati pucuk Fitokimia senyawa metabolit sekunder batang bibit jabon umur 5 bulan
57 57 57
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Jabon putih dan merah merupakan tanaman fast growing, yang banyak diminati saat ini. Kedua jenis jabon ini banyak digunakan sebagai pohon peneduh, hiasan tepi jalan, dan dalam kegiatan reboisasi (Orwa et al. 2009). Menurut Soerianegara dan Lemmens (1993), jabon putih dan merah dapat dimanfaatkan untuk kayu lapis, konstruksi ringan, lantai, pulp dan kertas, langit-langit, peti, mainan, ukiran, dan obat tradisional. Jabon merah lebih diminati karena memiliki kayu yang lebih keras dan lebih resisten terhadap hama dan penyakit (Halawane et al. 2011). Dikarenakan manfaat dan keunggulannya, kedua jenis ini banyak dibudidayakan pada level pembibitan. Permasalahan utama yang sering terjadi di pembibitan tanaman kehutanan adalah serangan hama dan penyakit. Penyakit yang banyak menyerang adalah mati pucuk, bercak, dan hawar daun. Penyakit bercak daun pada bibit jabon putih telah diidentifikasi oleh Anggraeni dan Lelana (2011) disebabkan oleh Colletotrichum sp., sedangkan menurut Herliyana et al. (2012) oleh Rhizoctonia sp. Sementara itu, penyakit hawar daun dan mati pucuk pada jabon putih berturutturut disebabkan oleh Fusarium sp. dan Botryodiplodia sp. (Herliyana et al. 2012). Penyakit yang menjadi fokus pada penelitian ini adalah penyakit mati pucuk, yang disebabkan oleh Botryodiplodia sp. Identifikasi secara molekuler oleh Winara (2014), menginformasikan spesies patogen penyebab mati pucuk yaitu, Botryodiplodia theobromae. Menurut Anggraeni dan Lelana (2011), Botryodiplodia sp. dilaporkan menjadi patogen pada beberapa tanaman kehutanan di Indonesia antara lain, menyebabkan bercak daun pada pulai (Alstonia sp.), merbau (Intsia bijuga Kuntze.), bakau (Rhizophora mucronata Lamk.), dan skubung (Macaranga gigantea Muell.), busuk akar pada meranti (Shorea sp.), bledok pada nyamplung (Calophyllum inophyllum Linn.), dan penyakit batang pada gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.). Pernyataan ini juga didukung oleh Begoude et al. (2009) bahwa, Botryosphaeriaceae mempunyai distribusi inang yang sangat luas termasuk monokotiledon, dikotiledon, gymnospermae, dan angiospermae. Patogen ini merupakan patogen lemah yang membutuhkan luka untuk menginfeksi inang, namun dapat menyerang parah (Semangun 2007). Menurut Aisah (2014), bibit jabon putih umur 4 bulan yang tidak dilukai, terdapat gejala infeksi patogen Botryodiplodia spp. Penelitian Arshinta (2013) menunjukkan bahwa, bibit jabon putih dengan umur 3, 4, dan 5 bulan mengalami kejadian penyakit masing-masing sebesar 100% dengan keparahan penyakit berturut-turut adalah 61, 42, dan 54%. Penyakit mati pucuk pada bibit jabon berpotensi menimbulkan kerusakan dan kematian bibit. Menurut Achmad et al. (2012) bahwa, semakin bertambah umur semai pinus, resistensi terhadap patogen penyakit lodoh akan semakin meningkat. Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini menggunakan bibit jabon putih dan merah umur 5 bulan. Beberapa penelitian mengenai Botryodiplodia spp. yang menyerang bibit jabon putih adalah uji patogenisitas Botryodiplodia sp. pada bibit jabon putih oleh Arshinta (2013), virulensi isolat Botryodiplodia sp. pada bibit jabon putih
2
(Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq) oleh Aisah (2014), dan bioaktivitas ekstrak mahoni dan identifikasi jenis isolat Botryodiplodia sp. pada bibit jabon putih oleh Winara (2014). Namun demikian, penelitian mengenai bibit jabon merah masih jarang, terutama penelitian yang membandingkan resistensi bibit jabon putih dan merah. Setiap tanaman memiliki mekanisme resistensi terhadap penyakit. Menurut Agrios (1997), resistensi yang dimiliki oleh tanaman dibedakan menjadi dua yaitu, resistensi struktural dan biokimia, baik sebelum dan sesudah serangan patogen. Emery (1987) bahwa, resistensi tanaman dipengaruhi oleh dua faktor yaitu, faktor genetik dan non genetik. Resistensi tanaman yang dipengaruhi oleh faktor genetik dibedakan menjadi resistensi antar spesies, umur, resistensi dalam spesies (strain), dan kerusakan bawaan. Resistensi non genetik berupa faktor abiotik, seperti temperatur, kelembapan, dan virulensi patogen. Sehingga dipilih dua jenis tanaman dari genus yang sama yaitu Anthocephalus untuk dilihat resistensi antar spesiesnya. Penilaian bibit tanaman kehutanan secara operasional mengacu pada Peraturan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (Perdirjen RLPS) No. P.05/V-Set/2009 tentang Pedoman Sertifikasi Mutu Bibit Tanaman Hutan. Bibit jabon yang bermutu harus memiliki Ø > 7 mm, tinggi > 40 cm, kekompakan media utuh, jumlah daun > 4 pasang, umur 2-3 bulan, berbatang tunggal dan lurus, bibit sehat, dan batang bibit berkayu, diukur dari pangkal batang sampai dengan setinggi 50% dari tinggi bibit. Varietas resisten adalah varietas yang memiliki sifat untuk menghindar atau pulih kembali dari serangan hama dan penyakit, memiliki sifat yang dapat mengurangi kemungkinan hama menggunakan tanaman sebagai inang, atau menghasilkan produk yang lebih banyak dan lebih baik dibandingkan dengan varietas lain pada tingkat populasi hama dan penyakit yang sama. Berdasarkan uraian tersebut, maka penelitian mengenai resistensi bibit jabon (Anthocephalus spp.) terhadap serangan Botryodiplodia theobromae penting dilakukan. Perlakuan cara infeksi penting diketahui untuk mempelajari mekanisme Botryodiplodia theobromae menginfeksi tanpa (bukan pada lentisel) maupun dengan pelukaan batang.
Perumusan Masalah Permasalahan utama yang banyak terjadi di pembibitan tanaman kehutanan adalah serangan hama dan penyakit. Penyakit yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah penyakit mati pucuk, yang disebabkan oleh Botryodiplodia spp. Identifikasi molekuler yang dilakukan oleh Winara (2014), menginformasikan bahwa spesies patogen ini adalah B. theobromae. Kejadian penyakit mati pucuk pada bibit jabon putih umur 3, 4, dan 5 bulan masing-masing sebesar 100% dan keparahan penyakit berturut-turut adalah 61, 42, dan 54%. Keparahan penyakit mati pucuk pada bibit jabon putih umur 5 bulan lebih rendah yaitu sebesar 54% dibandingkan dengan bibit jabon putih umur 4 bulan sebesar 42% (Arshinta 2013). Penelitian Achmad et al. (2012) menunjukkan bahwa, semakin bertambah umur semai pinus, resistensi terhadap patogen penyakit lodoh akan semakin meningkat. Menurut Aisah (2014) bahwa, B. theobromae dapat menyerang bibit jabon putih baik tanpa maupun dengan pelukaan batang.
3
Penelitian mengenai jabon putih telah banyak, namun demikian, tidak ada penelitian yang membandingkan resistensi kedua jenis bibit jabon yang terserang B. theobromae, penyebab mati pucuk. Setiap tanaman memiliki mekanisme resistensi terhadap penyakit. Menurut Agrios (1997), resistensi yang dimiliki oleh tanaman dibedakan menjadi dua yaitu, resistensi struktural dan biokimia, baik sebelum dan sesudah serangan patogen. Resistensi struktural sebelum dan sesudah serangan patogen berturut-turut adalah struktur permukaan tanaman dan resistensi jaringan, sel, sitoplasma, serta nekrotik. Resistensi biokimia sebelum dan sesudah serangan patogen, salah satunya berturut-turut adalah terdapatnya zat inhibitor dalam sel tumbuhan berupa senyawa metabolit sekunder dan peningkatan akumulasi senyawa fenolik. Beberapa senyawa metabolit sekunder merupakan senyawa fenolik seperti, flavanoid, kuinon, dan tanin. Penelitian Wali (2014) menunjukkan bahwa, kandungan senyawa metabolit sekunder, berupa kuinon dan steroid pada daun bibit jabon merah lebih kuat dibandingkan dengan daun bibit jabon putih. Penelitian ini diharapkan menjawab beberapa pertanyaan, antara lain : 1. Apakah patogen B. theobromae dapat menyerang bibit jabon tanpa (bukan pada lentisel) maupun dengan pelukaan batang? 2. Bagaimana resistensi bibit jabon putih dan merah secara struktural dan biokimia terhadap serangan B. theobromae? 3. Bagaimana interaksi antara spesies bibit jabon dengan cara infeksi pada resistensi bibit jabon? 4. Apakah bibit jabon putih atau merah yang lebih resisten terhadap serangan B. theobromae?
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Menguji serangan B. theobromae dengan cara infeksi tanpa maupun dengan pelukaan batang bibit jabon. 2. Mempelajari resistensi bibit jabon secara struktural dan biokimia terhadap serangan B. theobromae. 3. Mempelajari interaksi antara spesies bibit jabon dan cara infeksi terhadap resistensi bibit jabon. 4. Memperoleh spesies bibit jabon yang lebih resisten terhadap serangan B. theobromae.
Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Memberikan informasi bagi ilmu pengetahuan mengenai serangan B. theobromae tanpa maupun dengan pelukaan pada batang bibit jabon. 2. Memberikan informasi bagi ilmu pengetahuan mengenai spesies bibit jabon yang lebih resisten terhadap serangan B. theobromae. 3. Memberikan rekomendasi mengenai spesies bibit jabon yang lebih resisten terhadap serangan B. theobromae.
4
Hipotesis Penelitian
1. 2. 3. 4.
Hipotesis dari penelitian ini adalah : B. theobromae dapat menyerang bibit jabon putih dan merah dengan cara infeksi tanpa (bukan pada lentisel) maupun dengan pelukaan batang. Bibit jabon putih dan merah memiliki perbedaan resistensi secara struktural dan biokimia terhadap serangan B. theobromae. Spesies bibit jabon dan cara infeksi memiliki interaksi pada resistensi bibit jabon terhadap serangan B. theobromae. Bibit jabon merah lebih resisten terhadap serangan patogen B. theobromae dibandingkan dengan bibit jabon putih.
Kerangka Pemikiran Pemanfaatan jabon putih dan merah telah disebutkan pada latar belakang, namun di lapangan, jabon merah lebih diminati dibandingkan dengan jabon putih, karena memiliki kayu yang lebih keras dan lebih resisten terhadap hama dan penyakit (Halawane et al. 2011). Kedua jenis ini banyak dibudidayakan pada pembibitan. Permasalahan utama pada pembibitan tanaman kehutanan adalah serangan hama dan penyakit. Penyakit yang banyak menyerang adalah mati pucuk, bercak, dan hawar daun. Menurut Begoude et al. (2009), kisaran inang B. theobromae, penyebab penyakit mati pucuk, sangat luas dari monokotiledon, dikotiledon, gymnospermae, dan angiospermae. Kejadian penyakit mati pucuk pada bibit jabon putih berumur 3, 4, dan 5 bulan masing-masing sebesar 100%, sedangkan keparahan penyakit berturut-turut adalah 61, 42, dan 54% (Arshinta 2013). Penyakit mati pucuk pada bibit jabon berpotensi menimbulkan kerusakan dan kematian bibit, sehingga menurunkan keuntungan ekonomi. Pohon yang sehat berasal dari bibit yang berkualitas, tidak terserang hama, dan penyakit. B. theobromae merupakan parasit lemah yang menginfeksi inang melalui luka mekanis, seperti luka akibat pemangkasan dan serangga (Semangun 2007). Penelitian Kunz (2007) menunjukkan bahwa, Botryodiplodia spp. membutuhkan luka untuk menyerang tanaman. Menurut Aisah (2014), Botryodiplodia spp. menghasilkan gejala pada bagian batang bibit jabon putih yang dilukai dan tidak dilukai. Kerangka pemikiran penelitian disajikan pada Gambar 1.
5
Jabon putih
Jabon merah
Pohon peneduh, hiasan tepi jalan, dan kegiatan reboisasi (Orwa et al. 2009). Kayu lapis, konstruksi ringan, lantai, pulp dan kertas, serta obat tradisional (Soerianegara dan Lemmens 1993).
Pohon peneduh, hiasan tepi jalan, dan kegiatan reboisasi (Orwa et al. 2009). Konstruksi ringan, furniture, plywood, papan, dan obat tradisional (Halawane et al. 2011). Lebih diminati Kayunya lebih keras dan lebih resisten terhadap hama dan penyakit (Halawane et al. 2011).
Pembibitan Hama dan penyakit
Merugikan secara ekonomi Penyakit mati pucuk Botryodiplodia theobromae
Membutuhkan pelukaan Menyerang parah Kisaran inang luas
Resistensi inang
Resistensi struktural sebelum dan sesudah serangan
Aisah (2014), terjadi gejala pada bagian tidak dilukai
Resistensi biokimia sebelum dan sesudah serangan
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian
6
2 TINJAUAN PUSTAKA Jabon Putih (Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq.) Taksonomi dan Botani Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq. dikenal dengan nama jabon putih. Menurut Martawijaya et al. (1989) bahwa, taksonomi jabon putih adalah sebagai berikut : Kindom : Plantae Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Rubiales Famili : Rubiaceae Genus : Anthocephalus Spesies : Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq. Jabon putih merupakan pohon berukuran besar dengan batang lurus, silindris, dan memiliki tajuk tinggi seperti payung dengan sistem percabangan khas mendatar. Tinggi pohon mencapai 45 m, dengan lingkar batang berkisar 100160 cm, dan kadang-kadang berbanir hingga ketinggian 2 m. Daun menempel pada batang utama, berwarna hijau mengilap, berpasangan, dan berbentuk ovallonjong berukuran 15-50 cm x 8-25 cm (Soerianegara dan Lemmens 1993). Kulit pohon muda berwarna abu-abu dan mulus, sedangkan kulit pohon tua kasar dan beralur. Bunga jabon putih berbentuk kepala terminal bulat tanpa brakteol, bertangkai, berwarna oranye atau kuning. Bunga bersifat biseksual, terdiri dari lima bagian dan kelopak bunga berbentuk corong. Mahkota bunga berbentuk seperti cawan. Benang sari ada lima dan melekat pada tabung mahkota. Buah jabon putih merupakan buah majemuk, berbentuk bulat, dan lunak. Buah jabon memiliki biji sangat kecil, berbentuk kapsul berdaging, dan berisi sekitar 8.000 biji. Biji berbentuk trigonal, tidak teratur, dan tidak bersayap (Soerianegara dan Lemmens 1993). Penyebaran dan Karakteristik Jabon putih tumbuh secara alami di Australia, Cina, India, Indonesia, Malaysia, Papua Nugini, Filipina, Singapura, dan Vietnam. Jabon putih telah disebar ke Kosta Rika, Puerto Riko, Afrika Selatan, Suriname, Taiwan, Venezuela, negara-negara subtropis dan tropis lainnya (Orwa et al. 2009). Jabon putih merupakan tanaman pionir yang tumbuh pada tanah aluvial lembap. Pada habitat alami, suhu maksimum pertumbuhan jabon putih adalah 3242 °C dan suhu minimum adalah 3-15.5 °C. Jabon putih dapat tumbuh pada daerah kering dengan curah hujan tahunan minimum 200 mm (Martawijaya et al. 1989). Kayu jabon putih bertekstur halus sampai kasar, berserat lurus, kurang mengkilat, dan tidak berbau (Krisnawati et al. 2011). Kayu teras berwarna putih kekuningan sampai kuning terang dan warnanya tidak dapat dibedakan dengan kayu gubal (Martawijaya et al. 1989). Kerapatan kayu jabon putih adalah 290-560 kg/m3 pada kadar air 15% (Soerianegara dan Lemmens 1993). Kayu jabon putih termasuk kelas kuat III-IV dan kelas awet V.
7
Kegunaan Jabon putih digunakan sebagai bahan baku kayu lapis, konstruksi ringan, lantai, pulp dan kertas, langit-langit, kotak, peti, mainan, ukiran, korek api, sumpit, dan pensil (Soerianegara dan Lemmens 1993). Pohon jabon berfungsi sebagai pohon peneduh, hiasan tepi jalan, pelindung tanaman lain pada wanatani, dalam kegiatan reboisasi dan penghijauan, serta memperbaiki sifat fisika dan kimia tanah (Orwa et al. 2009). Kayu jabon putih juga digunakan sebagai bahan pembuatan sampan dan perkakas rumah sederhana, lapisan inti atau lapisan permukaan kayu lapis, serta bahan baku papan partikel, papan semen, dan papan blok. Ekstrak daun jabon putih digunakan sebagai obat kumur dan daun segarnya sebagai pakan ternak. Kulit kayu kering digunakan sebagai bahan tonik dan obat menurunkan demam. Pewarna kuning dari kulit akar berfungsi sebagai tanin (Soerianegara dan Lemmens 1993). Hama dan Penyakit Menurut Soerianegara dan Lemmens (1993) bahwa, Gloeosporium anthocephali menyebabkan defoliasi sebagian atau seluruh daun jabon putih. Beberapa jenis serangga menyerang daun jabon putih. Penelitian Ngatiman dan Tangketasik (1987) menunjukkan bahwa, beberapa jenis ulat menyerang jabon putih di Kalimantan Timur. Menurut Suratmo (1987) bahwa, Margaronia sp. (Lepidoptera, Pyralidae) merupakan defoliator jabon putih. Penelitian Arshinta (2013); Aisah (2014); Winara (2014) menunjukkan bahwa, Botryodiplodia spp. merupakan penyebab penyakit mati pucuk pada bibit jabon putih.
Jabon Merah (Anthocephalus macrophyllus (Roxb.) Havil.) Taksonomi dan Botani Jabon merah memiliki nama latin Anthocephalus macrophyllus (Roxb.) Havil. dan termasuk Rubiaceae. Menurut Halawane et al. (2011) bahwa, klasifikasi jabon merah adalah sebagai berikut : Kindom : Plantae Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Rubiales Famili : Rubiaceae Genus : Anthocephalus Spesies : Anthocephalus macrophyllus (Roxb.) Havil. Jabon merah merupakan jenis pohon yang menggugurkan daun (deciduous). Tinggi pohon mencapai 40-45 m, dengan tinggi bebas cabang hingga 30 m, dan lingkar batang mencapai 150 cm (Ø= 40-50 cm). Batang jabon merah berwarna merah kehitaman. Kayu jabon merah berwarna kemerah-merahan seperti, kayu meranti. Tajuk pohon berbentuk payung dan berukuran kecil. Batang dan daun menyebar secara horizontal. Pucuk daun berwarna merah dan permukaan daun berbulu. Jabon merah memiliki daun berbentuk oval dan elips dengan ukuran 15-50 cm x 8-25 cm. Secara fisik, daun jabon merah mirip dengan daun jati (Halawane et al. 2011).
8
Penyebaran dan Karakteristik Jabon merah berasal dari daerah beriklim muson tropika seperti, Indonesia, Malaysia, Vietnam, dan Filipina. Jabon merah juga ditemukan tumbuh di Sri Lanka, Nepal, Laos, Myanmar, Thailand, China, dan Papua New Guinea. Jabon merah disebarkan ke Afrika Selatan, Puertorico, Suriname, Taiwan, dan Negara subtropis lain. Penyebaran alami jabon merah di Indonesia lebih sempit dibandingkan dengan jabon putih yaitu meliputi, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Jabon merah memiliki beberapa nama lokal, seperti Karumama (Sulawesi Utara) dan Samama (Maluku Utara) (Heyne 1978). Jabon merah merupakan tanaman fast growing. Jabon merah memiliki resistensi yang lebih tinggi terhadap serangan hama dan penyakit (Halawane et al. 2011). Jabon merah memiliki tekstur halus dengan arah serat lurus. Kayu jabon merah termasuk kelas kuat II-III, kelas awet IV, dan kelas sedang dalam menyerap bahan pengawet. Pohon jabon merah tumbuh pada ketinggian 10-1000 mdpl. Pemupukan pada bibit jabon merah sangat diperlukan untuk mempercepat pertumbuhan dan meningkatkan kualitas bibit jabon merah (Halawane et al. 2011). Kegunaan Pemanfaatan jabon merah sebagai bahan papan rumah (Heyne 1978). Kayu jabon merah digunakan sebagai bahan bangunan konstruksi ringan, furniture, plywood, papan, peti, korek api, dan lain-lain. Pemanfaatan non kayu pada jabon merah adalah sebagai obat tradisional (Halawane et al. 2011). Hama dan Penyakit Hama yang menyerang tanaman jabon merah pada persemaian dan di lapangan berturut-turut adalah semut, bekicot, ulat, rayap, dan penggerek akar, ulat grayak (Spodoptera sp.), pengisap daun (Helopeltis sp.), ulat pemakan daun, ulat api (Thosea asigna), Achaea sp., belalang (Valanga nigricornis), rayap (Captotermes sp.), serta tikus (Ratus tiomanicus). Penyakit yang menyerang jabon merah pada persemaian dan di lapangan berturut-turut adalah penyakit dumping off dan bercak daun (leaf spot), keriting daun (leaf curl), embun jelaga (black mildew), embun tepung (powdery mildew), busuk akar (root rot), busuk hati (heart rot), serta cacar daun (Halawane et al. 2011).
Perbedaan Jabon Merah dan Jabon Putih Jabon merah melakukan pemangkasan alami seperti jabon putih. Jabon merah memiliki tajuk dengan daun berwarna merah dan kayu yang lebih keras serta lebih resisten terhadap serangan hama penyakit dibandingkan jabon putih. Menurut Kartikaningtyas et al. (2014) bahwa, bibit jabon putih memiliki batang yang halus/licin dengan titik lentisel yang tampak jelas, sedangkan batang bibit jabon merah berbulu dan agak kasar. Secara fisik, bibit jabon putih tidak berbulu, licin, dan berwarna kehijauan, sedangkan bibit jabon merah agak kasar, berbulu halus, dan berwarna kemerahan.
9
Beberapa karakteristik morfologi yang membedakan jabon merah dan jabon putih tersaji pada Tabel 1. Tabel 1 Karakteristik morfologi jabon merah dan putih Karakteristik morfologi Jabon merah Jabon putih Tunas daun muda Berwarna merah Berwarna coklat muda Pangkal daun Runcing Rata Urat daun primer Berwarna merah Berwarna hijau kekuningan Batang muda Berwarna merah Berwarna hijau kecoklatan kehitaman Batang pohon Berwarna kehitaman Berwarna coklat kelabu Warna buah Buah masak fisiologis Buah masak fisiologis berwarna coklat berwarna coklat kuning kemerahan Sumber : Halawane et al. (2011). Sifat kimia kayu jabon berperan terhadap mekanisme resistensi kayu terhadap serangan hama dan penyakit serta membantu menentukan cara pengerjaan dan pengolahan kayu untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Penelitian Wali (2014) menunjukkan bahwa, daun jabon putih mengandung kadar air, serat kasar, ADF, dan lignin yang lebih banyak dibandingkan dengan daun jabon merah, sedangkan daun jabon merah mengandung lebih banyak lemak kasar dan selulosa. Kandungan senyawa primer daun jabon merah dan putih disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Kandungan senyawa primer pada daun jabon merah dan putih (%) Jenis analisis Jabon merah Jabon putih (A. macropyllus) (A. cadamba) Bahan kering 91.81 96.35 Kadar abu 6.95 6.72 Protein kasar 14.78 16.44 Serat kasar 10.77 14.49 Lemak kasar 3.15 2.41 Bahan ekstrak tanpa nitrogen (NFE) 56.16 56.29 Calsium (Ca) 1.84 1.47 Phospor (P) 0.32 0.25 Nitrogen (N) 2.36 2.63 Natrium clorida (NaCl) 0.03 0.03 ADF (Acid Dietary Fiber) 31.40 38.72 Selulosa 10.13 2.39 Lignin 21.19 24.21 Sillika 0.07 0.04 Sumber : Wali (2014).
10
Kandungan senyawa metabolit sekunder daun jabon merah dan putih umur 7 bulan tersaji pada Tabel 3. Tabel 3 Kandungan senyawa metabolit sekunder pada daun jabon merah dan putih (A. macrophyllus dan A. cadamba) berumur 7 bulan Senyawa aktif Jenis daun Jabon merah Jabon putih Alkaloid Flavanoid Kuinon ++ + Tanin Saponin Steroid ++ + Triterpenoid Keterangan: (-) : negatif; (+) : positif tapi lemah; (++) : positif dan kuat. Sumber : Wali (2014). Penelitian Wali (2014) menunjukkan bahwa, daun jabon merah mengandung senyawa kuinon dan steroid yang lebih kuat dibandingkan dengan daun jabon putih. Senyawa antrakuinon dan kuinon berfungsi sebagai antibiotik, penghilang rasa sakit, dan merangsang pertumbuhan sel baru pada kulit manusia maupun hewan (Harborne 1987). Steroid merupakan senyawa metabolit sekunder yang dimanfaatkan sebagai obat. Senyawa steroid yang terdapat pada tumbuhan berfungsi sebagai pelindung dari serangan mikroba penyebab penyakit (Harborne 1987; Robinson 1995). Menurut Emery (1987), resistensi tanaman dipengaruhi oleh dua faktor yaitu, faktor genetik dan non genetik. Resistensi tanaman yang dipengaruhi oleh faktor genetik dibedakan menjadi resistensi antar spesies, umur, resistensi dalam spesies (strain), dan kerusakan bawaan. Resistensi non genetik berupa faktor abiotik, seperti temperatur, kelembapan, dan virulensi patogen.
Botryodiplodia theobromae Taksonomi dan Morfologi Menurut Alexopoulos et al. (1996) bahwa, taksonomi Botryodiplodia sp. adalah sebagai berikut : Kingdom : Fungi Phylum : Deuteromycota Kelas : Deuteromycetes Ordo : Sphaeropsidales Famili : Sphaeropsidaceae Genus : Botryodiplodia Botryodiplodia sp. merupakan Deuteromycetes dan bersifat saprofit. Fungi ini membutuhkan pelukaan untuk menyerang tanaman inang. Pertumbuhan piknidia Botryodiplodia sp. pada media buatan bersifat jarang dan membutuhkan waktu yang lama. Miselium tumbuh cepat dan konstan. Pada awal masa inkubasi,
11
miselium Botryodiplodia sp. berwarna putih, kemudian berubah menjadi hitam setelah 3-4 minggu (Kunz 2007). Penenelitian Gandjar et al. (1999) menunjukkan bahwa, koloni B. theobromae pada media OA (Oatmeal Agar) dan PDA (Potatoes Dextrose Agar), membentuk miselia yang lebat dan berwarna coklat tua dengan piknidia berbentuk bulat, berleher panjang, dan berwarna hitam kehijauan. Konidia tua B. theobromae memiliki dua sel, berukuran 22-28 x 12-15 µm, berbentuk elips, berwarna coklat tua, dan memiliki garis longitudinal. Menurut Punithalingam (1976) bahwa, miselium B. theobromae berbentuk seperti benang halus atau kapas dengan miselium udara yang tebal. Piknidia B. theobromae berbentuk sederhana, bergerombol, beragregat, stromatik, dan ostiolate dengan lebar sampai 5 mm. Konidia muda bersifat uniseluler, hialin, granulosa, subovoid sampai ellipsoid, berdinding tebal, dan memotong seperti sekat, sedangkan konidia tua memiliki sekat dan berwarna coklat dengan ukuran 20-30 μm x 10-15 μm. Berikut adalah gambar karakteristik mikroskopis B. theobromae.
10 µm a
b 40µm
Gambar 2
Karakteristik mikroskopis Botryodiplodia theobromae: (a) konidia muda dan tua; (b) piknidium. Sumber : Sato et al. (2008). Tanda panah menunjukkan konidia muda yang hialin dan tidak bersekat, konidia tua yang berwarna coklat tua dan bersekat, serta piknidium B. theobromae.
Karakteristik dan Inang Patogen B. theobromae memiliki kisaran inang yang luas. Patogen ini merupakan parasit lemah yang menginfeksi melalui luka mekanis, seperti luka akibat pemangkasan atau serangga (Semangun 2007). Penelitian Aisah (2014) menunjukkan bahwa, Botryodiplodia spp. dapat menginfeksi bagian batang bibit jabon putih tanpa dan dengan pelukaan. Menurut Arshinta (2013), kejadian dan keparahan penyakit mati pucuk pada bibit jabon putih umur 3-5 bulan berturutturut sebesar 100% dan 42-61%. Penyakit mati pucuk pada bibit jabon putih berpotensi menimbulkan kerusakan dan kematian bibit. Menurut Begoude et al. (2009), Botryosphaeriaceae mempunyai distribusi inang yang sangat luas, yaitu monokotiledon, dikotiledon, gymnospermae, dan angiospermae. Penelitian Anggraeni dan Lelana (2011) menunjukkan bahwa, Botryodiplodia sp. merupakan patogen yang menyerang beberapa tanaman kehutanan di Indonesia, antara lain menyebabkan bercak daun pada pulai (Alstonia sp.), merbau (Intsia bijuga Kuntze.), bakau (Rhizophora mucronata
12
Lamk.), dan skubung (Macaranga gigantea Muell.), busuk akar pada meranti (Shorea sp.), bledok pada nyamplung (Calophyllum inophyllum Linn.), dan penyakit batang pada gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.).
Mekanisme Infeksi Patogen terhadap Tanaman Inang Jabon putih dan merah merupakan tanaman dikotil. Menurut Semangun (1996) bahwa, struktur anatomi tanaman dikotil, terdiri dari jaringan epidermis, korteks berupa parenkim dan kolenkim, dan stele yang terdiri dari endodermis, perisikel, xilem, kambium, floem, serta empulur. Penelitian Arifin (2009) menunjukkan bahwa, anatomi batang tanaman dikotil terdiri dari, epidermis, korteks, dan stele. Epidermis terdiri dari, selapis sel dan merupakan bagian terluar batang. Epidermis berperan mencegah transpirasi dan melindungi jaringan dalam dari kerusakan mekanis dan penyakit. Daerah di sebelah dalam epidermis adalah jaringan korteks. Korteks terbagi menjadi dua, yaitu kolenkim dan parenkim. Kolenkim menempati posisi di bawah epidermis dan parenkim di sebelah dalam kolenkim. Stele terdiri atas, endodermis, perisikel, berkas vaskuler, dan empulur. Berkas vaskuler tersusun atas, xilem, kambium, dan floem. Bagian tengah batang tanaman dikotil disebut empulur. Berikut adalah gambar struktur anatomi batang Tilia americana, tersaji pada Gambar 3.
Berkas vaskuler
Empulur
Endodermis
Epidermis Kolenkim
200 µm Parenkim
Gambar 3 Struktur anatomi batang bibit Tilia americana. Sumber : Raven et al. (1986). Menurut Semangun (1996) bahwa, fungi merupakan patogen yang menginfeksi tumbuhan melalui luka, lubang alami, atau menembus langsung ke permukaan jaringan tanaman yang utuh. Lubang alami tersebut berupa stomata dan lentisel. Mekanisme infeksi fungi pada lubang alami dan luka adalah sebagai berikut, spora jamur menempel pada permukaan epidermis, berkembang, dan
13
membentuk buluh kecambah. Selanjutnya, buluh kecambah membesar dan membentuk apresorium berupa tabung penetrasi yang akan masuk ke dalam stomata atau luka. Apresorium membengkak, hifa berkembang, membentuk haustorium, dan mengisap makanan sel inang. Mekanisme infeksi fungi pada permukaan jaringan utuh adalah dengan membentuk apresorium dan hifa. Senyawa penyusun kutikula dihancurkan secara biokimia oleh patogen. Selanjutnya, hifa menghancurkan dinding sel epidermis. Selulosa yang merupakan penyusun dinding sel mengalami pembengkakan. Hifa infeksi membentuk saluran kecil dalam bengkakan dan masuk ke dalam sel. Patogen Mycosphaerella spp. juga menyerang inang menggunakan senjata fisik mekanik. Ilustrasi tahapan penyerangan Mycosphaerella spp. tersaji pada Gambar 4.
a
d
b
e
c
f
Gambar 4 Mekanisme serangan M. graminicola selama 11 hari pengamatan : (a) hari 1 : konidia berkecambah, berbentuk seperti pipa, dan masuk ke ruang substomata melalui lubang alami; (b) hari 3: hifa berkolonisasi, menginfeksi ruang substomata, dan menyebar ke samping; (c) hari 5: hifa tumbuh di interselular dan berkembang ke samping; (d) hari 7: hifa yang membentuk percabangan tegak lurus lama kelamaan menjadi percabangan keranjang anyaman di sekeliling ruang substomata. Gejala serangan yang tampak adalah klorosis dan nekrosis pada sel inang; (e) hari 9: hifa yang berbentuk keranjang di ruang substomata berisi piknidia; (f) hari 11: piknidia terlihat langsung dan hifa terus menyebar ke seluruh lamela daun. Sumber : Duncan dan Howard (2000). Tanda panah menunjukkan penyebaran hifa fungi dalam jaringan inang. Pembentukan apresorium diinduksi oleh sinyal kimiawi, seperti ion potassium dan kalsium, gula sederhana, gradien pH, dan perubahan temperatur. Fungi yang mempenetrasi menggunakan apresorium menunjukkan melanisasi
14
pada dinding apresorium, sehingga terbentuk tekanan turgor untuk mempenetrasi dinding sel inang. Selanjutnya, apresorium membentuk hifa penetrasi yang berdinding tipis dan kuat. Mekanisme kerja hifa penetrasi dibantu oleh enzim selulase untuk melunakkan dinding sel inang (Mendgen et al. 1996). Penelitian Aisah (2014) menunjukkan bahwa, Botryodiplodia spp. dapat menimbulkan gejala mati pucuk pada bibit jabon putih, baik tanpa maupun dengan pelukaan batang. Gejala yang muncul pada bagian batang yang tidak dilukai, menunjukkan bahwa, Botryodiplodia spp. dapat melakukan penetrasi langsung pada jaringan inang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa, Botryodiplodia spp. dapat melakukan penetrasi secara pasif dan aktif. Fungi ini mempenetrasi secara aktif menggunakan senjata biokimia seperti, enzim pektinase dan selulase. Botryodiplodia spp. memiliki aktivitas pektinase yang lebih tinggi dibandingkan dengan selulase, yang digunakan untuk mendegradasi pektin pada lamela tengah. Mekanisme penetrasi secara aktif dilakukan melalui kekuatan mekanik atau enzimatik. Menurut Mendgen et al. (1996), beberapa patogen tidak melakukan diferensiasi apresorium, sehingga memerlukan enzim pendegradasi dinding sel untuk mempenetrasi inang.
Resistensi Inang terhadap Serangan Patogen Setiap tanaman memiliki mekanisme resistensi terhadap penyakit. Menurut Agrios (1997), resistensi yang dimiliki oleh tanaman dibedakan menjadi dua yaitu, resistensi struktural dan biokimia, baik sebelum dan sesudah serangan patogen. Resistensi Struktural Sebelum Serangan Patogen : Struktur Trikoma Resistensi struktural sebelum serangan patogen adalah struktur permukaan tanaman. Struktur tersebut meliputi, kualitas lilin dan kutikula yang menutupi sel epidermis, ketebalan dan kekuatan dinding sel epidermis, ukuran stomata dan lentisel, serta jaringan dinding sel yang tebal (Agrios 1997). Trikoma merupakan rambut-rambut halus yang berada di permukaan epidermis. Menurut Nugroho et al. (2006); Issaacson et al. (2009), struktur trikoma berfungsi melindungi tanaman dari serangga pemangsa, spora jamur, dan air hujan. Penelitian Faizah (2010) menunjukkan bahwa, kerapatan trikoma merupakan mekanisme resistensi tanaman cabai terhadap begomovirus penyebab penyakit keriting daun. Menurut Qazniewska et al. (2012), mekanisme trikoma sebagai resistensi adalah dengan menangkap mikroorganisme, termasuk spora fungi dan mencegah spora mencapai permukaan epidermis. Trikoma juga berperan pada kelembapan di daerah epidermis, yang merupakan faktor penting bagi perkembangan fungi. Spora fungi dibawa oleh angin dan menempel pada ujung trikoma, ujung trikoma memiliki kelembapan yang sangat rendah, sedangkan spora fungi membutuhkan air untuk berkembang. Resistensi Struktural Sesudah Serangan Patogen : Resistensi Nekrotik Resistensi struktural sesudah serangan patogen meliputi: resistensi jaringan (pembentukan lapisan gabus, lapisan absisi, tilosa di dalam pembuluh kayu, dan pengendapan getah), resistensi sel (pembengkakan, menebalnya
15
dinding sel, dan terdepositnya kalosa palipa pada bagian dalam dinding sel), resistensi sitoplasma (sitoplasma menjadi granular dan keras), dan resistensi nekrotik (patogen menyerang dan inti sel pecah) (Agrios 1997). Menurut Agrios (1997), salah satu resistensi struktural sesudah serangan patogen adalah resistensi nekrotik melalui reaksi hipersensitifitas. Mekanisme resistensi nekrotik adalah sebagai berikut, patogen melakukan kontak dengan protoplasma sel inang. Selanjutnya inti sel bergerak ke arah serangan patogen, pecah, mengering, dan mengalami nekrosis. Berikut adalah kondisi mikroskopis penampang batang bibit jambu monyet umur 2 bulan yang terserang L. theobromae menggunakan scanning electron microscope, tersaji pada Gambar 5.
a
b
c
d
e
f
Gambar 5 Kondisi mikroskopis penampang batang bibit jambu monyet umur 2 bulan yang terserang L. theobromae : (a) kolonisasi hifa pada jaringan parenkim; (b) xilem yang dikolonisasi oleh fungi; (c) hifa mempenetrasi dinding sel; (d) sel parenkim penuh miselium; (e) jaringan parenkim yang rusak; (f) sel yang terinfeksi patogen. Sumber: Muniza et al. (2011). Tanda panah menunjukkan jaringan yang terserang dan penyebaran hifa. Resistensi Biokimia Sebelum Serangan Patogen : Senyawa Metabolit Sekunder Menurut Agrios (1997) bahwa, resistensi biokimia sebelum serangan patogen adalah terdapatnya zat inhibitor yang dilepaskan tumbuhan ke lingkungannya, resistensi dengan tidak terdapatnya faktor-faktor esensial, kekurangan reseptor dan bagian yang sensitif inang terhadap toksin, tidak terdapatnya hara esensial bagi patogen, dan terdapatnya zat inhibitor dalam sel tumbuhan sebelum infeksi seperti senyawa metabolit sekunder. Metabolit sekunder merupakan senyawa metabolit non-esensial yang berfungsi sebagai mekanisme resistensi diri terhadap kondisi lingkungan seperti,
16
resistensi dari serangan hama, penyakit, dan menarik polinator (Verpoorte dan Alfermann 2000). Beberapa jenis senyawa metabolit sekunder adalah senyawa alkaloid, fenol hidrokuinon, flavanoid, saponin, tanin, dan triterpenoid/steroid. Alkaloid Alkaloid merupakan senyawa nitrogen organik yang banyak ditemukan di alam dan tersebar luas pada berbagai jenis tumbuhan (Tobing dan Rangke 1989). Penelitian Harborne (1987) menunjukkan bahwa, alkaloid adalah substansi dasar yang memiliki satu atau lebih atom nitrogen, bersifat basa, membentuk sistem siklis berupa cincin heterosiklik, tidak berwarna, berbentuk kristal dengan titik lebur tertentu, dan berbentuk amorf atau cairan pada suhu ruang. Alkaloid dapat larut dalam air dan pelarut organik (Sirait 2007). Alkaloid bersifat racun pada manusia, tetapi ada pula yang memiliki aktivitas fisiologis sehingga digunakan dalam pengobatan (Harborne 1987). Senyawa alkaloid dikelompokkan menjadi tiga, yaitu alkaloid, protoalkaloid, dan pseudoalkaloid. Protoalkaloid merupakan senyawa sederhana yang tidak memiliki cincin heterosiklik dan diperoleh dari biosintesis asam amino yang bersifat basa. Pseudoalkaloid bukan merupakan senyawa turunan asam amino dan senyawa ini bersifat basa (Sastrohamidjojo 1996). Senyawa alkaloid berfungsi sebagai inhibitor enzim α-glukosidase (Samson 2010), dalam bidang kesehatan seperti pemicu sistem saraf, menaikkan tekanan darah, mengurangi rasa sakit, antimikroba, obat penenang, dan obat penyakit jantung (Aksara et al. 2013), serta sebagai antioksidan (Yuhernita dan Juniarti 2011; Porto et al. 2009). Senyawa alkaloid juga berfungsi sebagai antibakteri. Menurut Robinson (1991); Lamothe (2009) bahwa, mekanisme kerja alkaloid sebagai antibakteri, yaitu dengan mengganggu komponen peptidoglikan sel bakteri, sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel. Gugus basa nitrogen pada alkaloid bereaksi dengan senyawa asam amino penyusun dinding sel dan DNA bakteri, yang menyebabkan perubahan keseimbangan genetik pada rantai DNA. Selanjutnya, terjadi kerusakan dan lisis pada sel bakteri. Flavanoid Flavonoid merupakan senyawa polifenol terbanyak ditemukan di alam. Flavonoid berbentuk deretan senyawa C6-C3-C6, yang disambungkan dengan rantai alifatik tiga karbon (Robinson 1991). Susunan ini dapat mengahasilkan tiga jenis struktur, yaitu flavanoid, isoflavanoid, dan neoflavanoid (Kristanti et al. 2008). Flavonoid bersifat polar dan terikat sebagai glikosida dan aglikon flavonoid (Markham 1988 dalam Silaban 2010). Menurut Harborne (1987) bahwa, flavonoid dapat dibedakan menjadi 10 kelas, yaitu antosianin, proantosianidin, flavonol, flavon, glikoflavon, biflavonil, khalkon, auron, flavanon, dan isoflavon. Senyawa khalkon dapat diisolasi dari beberapa famili tanaman, yaitu Oxalidaceae, Compositae, Scrophulariaceae, Gesneriaceae, Acanthaceae, dan Liliaceae. Senyawa auron adalah komponen berwarna kuning terang pada famili Compositae dan ditemukan pada bagian batang, kayu, dan daun beberapa tanaman lain. Flavanon banyak terdapat pada tanaman tingkat tinggi. Flavonol banyak terdapat pada tanaman tingkat tinggi, pada bagian bunga atau berasosiasi dengan senyawa lignin kayu dan daun.
17
Flavanol juga merupakan senyawa yang tidak berwarna dan terdapat pada kayu tumbuhan tingkat tinggi. Isoflavanoid ditemukan terutama pada famili Leguminosae (Vickery dan Vickery 1981). Menurut Mariska (2009) bahwa, senyawa flavanoid berfungsi sebagai proteksi terhadap radiasi UV-B, resistensi terhadap serangan patogen, penarik serangga, dan sebagai sinyal inisiasi hubungan simbiosis. Senyawa ini juga berfungsi sebagai antioksidan (Bayu 2009; Hartika 2009; Simamora 2011), antibakteri, dan inhibitor enzim α-glukosidase (Hartika 2009), antimikrobial (Naidu 2000), dan skrining cahaya (Simamora 2011). Penelitian Kumar et al. (2011) menunjukkan bahwa, flavonoid yang terdapat pada daun tumbuhan berperan mengatur fungsi fisiologis sebagai resistensi terhadap serangan hewan pemakan tumbuhan, infeksi bakteri, melindungi dari sinar UV, dan membantu dalam fotosintesis, transfer energi, serta respirasi. Menurut Kristanti et al. (2008), flavanoid juga memiliki fungsi sebagai zat pengatur tumbuh, pengatur fotosintesis, antimikroba, antivirus, antiinseksida, dan sebagai respon yang dihasilkan tanaman terhadap serangan fungi. Vickery dan Vickery (1981) bahwa, senyawa khalkon berkontribusi terhadap warna kuning terang pada pigmen bunga. Antosianin memberikan warna biru, ungu muda, dan merah pada bunga, buah, serta daun. Penelitian Amic et al. (2003) menunjukkan bahwa, potensi antioksidan senyawa flavanoid tergantung pada karakteristik struktur senyawa, seperti jumlah dan pola substitusi gugus hidroksil, serta jumlah gugus hidroksil yang tersubstitusi oleh glikosida. Menurut Kahkonen et al. (2001) bahwa, kadar fenolik pada daun tanaman dipengaruhi oleh faktor umur daun, kondisi tanah, pemberian pupuk, dan stres lingkungan baik secara fisik, biologi, maupun kimiawi. Vickery dan Vickery (1981) bahwa, perbedaan konsentrasi atau tipe senyawa flavanoid bergantung pada umur jaringan, siklus hidup, dan waktu. Menurut Dwidjoseputro (1994) bahwa, mekanisme kerja senyawa flavonoid sebagai antibakteri adalah melalui pembentukan senyawa kompleks protein extraseluler yang mengganggu keutuhan membran sel bakteri dengan mendenaturasi protein sel bakteri dan merusak membran sel. Flavonoid merupakan senyawa fenol dan senyawa fenol bersifat koagulator protein. Menurut Shaul et al. (2001), peningkatan flavonoid berperan dalam mensintesis enzim kitinase dan phenylalanine ammonium lyase. Fenol Hidrokuinon Menurut Harborne (1987) bahwa, fenol merupakan senyawa fenolat yang memiliki struktur aromatik yang berikatan dengan satu atau lebih gugus hidroksil, gugus metil atau glikosil. Senyawa fenol bersifat larut dalam air. Senyawa kuinon merupakan senyawa yang berwarna, mempunyai kromofor pada benzokuinon, dan dapat dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu benzoquinon, naftaquinon, antraquinon, dan isoprenoid quinon. Benzoquinon, naftaquinon, dan antraquinon bersifat fenol, sedangkan isoprenoid quinon digunakan pada respirasi seluler (ubiquinon) dan fotosintesis (plastoquinon). Penelitian Meskin et al. (2002); Kuntorini dan Astuti (2010); Rastuti dan Purwati (2012) menunjukkan bahwa, fenol hidrokuinon memiliki aktivitas antioksidan. Senyawa antrakuinon pada buah mengkudu berperan dalam
18
penghambatan mekanisme pertumbuhan bakteri. Menurut Peoloengan et al. (2006) bahwa, senyawa fenol merupakan senyawa antimikroba. Mekanisme kerja senyawa fenol sebagai antimikroba adalah dengan merusak dinding sel fungi, sehingga mengakibatkan lisis, menghambat proses pembentukan dinding sel, mengubah permeabilitas membran sitoplasma yang menyebabkan kebocoran nutrien dalam sel, mendenaturasi protein sel, dan merusak sistem metabolisme dengan cara menghambat kerja enzim intraseluler (Dwidjoseputro 1994). Tanin Tanin merupakan senyawa dengan rumus struktur C 72 H 52 O 46 . Bentuk kompleks dari senyawa tanin adalah protein, pati, selulosa, dan mineral. Senyawa tanin terkandung pada bagian kulit kayu, batang, daun, dan buah-buahan (Hagerman 2002). Tanin dapat dibedakan menjadi 2 yaitu, tanin terkondensasi dan tanin terhidrolisis. Tanin terkondensasi terdapat pada paku-pakuan, gymnospermae, dan angiospermae terutama pada tumbuhan berkayu. Tanin terhidrolisis hanya terdapat pada tumbuhan berkeping dua (Harborne 1987). Menurut Hagerman (2002) bahwa, beberapa tanaman yang menghasilkan senyawa tanin adalah tanaman pinang, akasia, gabus, bakau, pinus, dan gambir. Tanin disebut juga asam tanat, galotanin, dan asam galotanat. Tanin merupakan senyawa fenolik yang berfungsi sebagai antioksidan biologis (Hagerman 2002). Tanin juga berfungsi sebagai pelindung tumbuhan pada masa pertumbuhan, anti hama (Harborne 1987; Hagerman 2002), antiseptik, dan obat keracunan alkaloid (Hagerman 2002), serta sebagai antioksidan (Zeuthen dan Sorensen 2003). Menurut Vickery dan Vickery (1981) bahwa, senyawa tanin dapat berikatan dengan protein pada kulit tanaman, yang akan menyebabkan tanaman lebih resisten terhadap serangan fungi dan bakteri. Mekanisme kerja tanin sebagai antibakteri adalah dengan mengkerutkan membran sel, sehingga mengganggu permeabilitas sel dan menyebabkan kematian sel, mempresipitasi protein, menginaktivasi enzim, dan destruksi fungsi materi genetik (Masduki 1996; Ajizah 2004). Saponin Saponin merupakan kelompok senyawa triterpenoida glikosida. Hidrolisis senyawa triterpenoida glikosida, akan menghasilkan senyawa aglikon (saponin steroida) dan glikosida (gula) (Harborne 1987). Saponin bersifat seperti sabun dan dideteksi keberadaannya berdasarkan kemampuan membentuk busa. Saponin dapat larut dalam air, namun tidak larut dalam etanol dan metanol pekat yang dingin (Harborne 1984). Menurut Haralampidis et al. (2002) bahwa, kandungan senyawa saponin pada tanaman bergantung pada beberapa faktor, antara lain genetik tanaman, jenis jaringan, umur dan keadaan fisiologis tanaman, serta kondisi lingkungan. Menurut Astawan dan Kasih (2008), saponin berfungsi dalam bidang kesehatan seperti sebagai immunomodulator, anti tumor, anti inflamasi, anti virus, anti jamur, hipoglikemik, dan efek hipokolesterol. Saponin juga digunakan sebagai bahan baku minuman beralkohol, industri pakaian, kosmetik, obat-obatan, dan sebagai obat tradisional. Penelitian Robinson (1991) menunjukkan bahwa,
19
senyawa saponin juga berfungsi sebagai antimikroba. Menurut Vickery dan Vickery (1981) bahwa, saponin berfungsi dalam proses perkecambahan biji dan menghambat pertumbuhan akar. Penelitian Zablotowicz et al. (1996); Cowan (1999); Faure (2002); Hardiningtyas (2009) menunjukkan bahwa, mekanisme kerja saponin sebagai antifungi adalah melalui interaksi saponin dengan sterol membran, sehingga permeabilitas sel meningkat. Saponin bersifat racun bagi hewan berdarah dingin termasuk golongan serangga, namun aman bagi mamalia (Prihatman 2001). Triterpenoid Senyawa terpen merupakan kelas senyawa organik bahan alam terbesar yang meliputi mono, sesqui, di-, tri-, dan senyawa poli-terpen. Rumus molekul senyawa terpen adalah C 10 H 16 . Struktur mirip-terpen yang mengandung selain unsur C dan H disebut terpenoid (Manitto 1992). Senyawa terpenoid berbentuk essential oil atau minyak atsiri (Pridham 1967). Menurut Harborne (1984) bahwa, senyawa terpenoid berasal dari molekul isopren CH 2 =C(CH 3 )-CH=CH 2 dengan kerangka karbon yang dibangun oleh penyambungan dua atau lebih satuan C 5 . Terpenoid terdiri atas, monoterpenoid (C 10 ) dan seskuiterpenoid (C 15 ) yang mudah menguap, diterpenoid (C 20 ) yang lebih sukar menguap, dan senyawa yang tidak menguap, yaitu triterpenoid dan sterol (C 30 ), serta tetraterpen (C 40 ). Penelitian Fessenden and Fessenden (1979) menunjukkan bahwa, terpenoid dikategorikan berdasarkan banyak pasangan satuan isopren yang dikandungnya yaitu, monoterpenoid (dua satuan isopren), seskuiterpenoid (tiga satuan isopren), diterpenoid (empat satuan isopren), triterpenoid (enam satuan isopren), dan tetraterpenoid (delapan satuan isopren). Triterpenoid merupakan kerangka karbon yang tersusun oleh 6 unit isoprene dan dibuat secara biosintesis dari skualen (C 30 hidrokarbon asiklik). Senyawa ini berbentuk siklik dan memiliki gugus alkohol, aldehida, atau asam karboksilat. Triterpenoid dibedakan menjadi, triterpenoid, steroid, saponin, dan glikosida. Senyawa triterpenoid yang terdapat pada tumbuhan tingkat tinggi adalah fitosterol, yang terdiri dari sitosterol, stigmasterol, dan kaempsterol (Harborne 1987). Triterpenoid tidak berwarna, berbentuk kristal, memiliki titik lebur yang tinggi, dan terasa pahit (Harborne 1984). Senyawa monoterpenoid berfungsi untuk menarik serangga penyerbuk dan predator, serta menyerang patogen. Sesquiterpenoid bersifat beracun bagi bakteri, fungi, dan hewan. Diterpenoid penting sebagai zat pengatur tumbuh pada tanaman tingkat tinggi dan asam trisporic, serta modifikasi diterpenoid bersifat mematikan fungi dan racun bagi hewan. Triterpenoid dan steroid saponin berperan sebagai racun pada serangga, bakteri dan fungi, sedangkan alkaloid dan glikosida cardiac merupakan racun bagi hewan (Vickery dan Vickery 1981). Menurut Haralampidis et al. (2002) bahwa, triterpenoid berperan sebagai bahan dasar obat, aktivitas antimikroba, dan sangat penting dalam resistensi tanaman terhadap penyakit. Penelitian Robinson (1995) menunjukkan bahwa, senyawa triterpenoid berfungsi sebagai anti fungus, insektisida, anti bakteri, dan anti virus. Sari (2013) bahwa, triterpenoid berfungsi sebagai bahan dasar wewangian, rempah-rempah, dan cita rasa industri makanan. Senyawa terpenoid juga digunakan dalam pengobatan dan terapi (Goldberg 2003).
20
Mekanisme triterpenoid sebagai antibakteri adalah dengan merusak porin (protein transmembran) pada membran luar dinding sel bakteri, sehingga mengurangi permeabilitas membran sel bakteri, yang mengakibatkan sel bakteri mengalami kekurangan nutrisi (Cowan 1999). Menurut Banwart (1981) bahwa, kerusakan membran sel terjadi saat senyawa aktif antibakteri bereaksi dengan sisi aktif membran atau dengan melarutkan konstituen lipid dan meningkatkan permeabilitas yang menyebabkan senyawa antibakteri masuk ke dalam sel. Selanjutnya, senyawa triterpenoid menlisis membran sel atau mengkoagulasi sitoplasma sel bakteri. Penelitian Cowan (1999); Padmini et al. (2010); Panda (2010); Wink (2013) menunjukkan bahwa mekanisme triterpenoid sebagai antifungi adalah dengan berinteraksi dengan biomembran dan menlisis sel sehingga terjadi kebocoran ion sel fungi. Steroid Menurut Harborne (1987) bahwa, senyawa steroid merupakan turunan senyawa triterpenoid. Steroid berasal dari transformasi kimia triterpena yaitu, lanosterol dan saikloartenol. Senyawa steroid diklasifikasikan menjadi dua, yaitu steroid sederhana (steroid dengan atom karbon tidak lebih dari 21) dan steroid kompleks (steroid dengan atom karbon lebih dari 21) seperti, sterol, sapogenin, alkaloid steroid, dan vitamin D. Penelitian Harborne (1987) menunjukkan bahwa, steroid digunakan sebagai bahan dasar pembuatan obat. Menurut Bayu (2009), steroid berfungsi sebagai antiradang, antiinflamasi, antikarsinogenik, dan pengontrol diabetes. Kristanti et al. (2008) bahwa, senyawa steroid digunakan sebagai racun. Mekanisme steroid sebagai antibakteri adalah dengan mengganggu proses pembentukan membran sel, sehingga tidak terbentuk sempurna. Fenol berinteraksi dengan sel bakteri melalui proses adsorpsi yang melibatkan ikatan hidrogen. Fenol dengan kadar yang rendah, menyebabkan presipitasi dan denaturasi protein. Fenol dengan kadar yang tinggi, menyebabkan koagulasi protein dan lisis pada sel membran (Parwata dan Dewi 2008). Menurut Wink (2013), mekanisme steroid sebagai antifungi adalah melalui interaksi dengan biomembran. Resistensi Biokimia Sesudah Serangan Patogen : Peningkatan Akumulasi Senyawa Fenolik Menurut Agrios (1997) bahwa, sesudah serangan patogen pada tumbuhan, resistensi biokimia ditunjukkan dengan terdapatnya zat inhibitor yang dihasilkan tumbuhan sebagai respon terhadap serangan patogen, resistensi melalui reaksi hipersensitif, peningkatan akumulasi kadar senyawa fenolik berupa fenolik umum dan fitoaleksin, pelepasan fenolik fungitoksis dari fenolik non toksis, terdapatnya enzim polifenoloksidase, peran sintesis enzim terimbas, resistensi melalui pembentukan substrat yang menolak enzim patogen, resistensi melalui inaktivasi enzim patogen, pelepasan sianida fungitoksis dari non toksis, resistensi melalui detoksifikasi toksin patogen, dan resistensi melalui resistensi terimbas. Beberapa senyawa metabolit sekunder merupakan senyawa fenolik seperti, flavanoid, kuinon, dan tanin. Menurut Agrios (1997), peningkatan akumulasi senyawa fenolik terjadi lebih cepat, setelah infeksi patogen pada varietas resisten dibandingkan dengan varietas rentan terinfeksi atau sehat. Resistensi tanaman dapat diinduksi menggunakan mikroba non patogenik dan perlakuan kimia.
21
Resistensi sistemik terinduksi pada tanaman, menunjukkan terjadi peningkatan enzim glukanase, kitinase, glukosidase, sitonase, peroksidase, fenol, dan asam salisilat (Maurhofer et al. 1994). Penelitian Widnyana et al. (2009) menunjukkan bahwa, terjadi peningkatan total fenol pada tanaman tomat yang terinfeksi Fusarium sp. Menurut Achmad (1997); Achmad et al. (2012), semakin bertambah umur semai pinus, resistensi terhadap penyakit lodoh akan semakin meningkat, dikarenakan terjadinya peningkatan senyawa fenolik dan aktivitas enzim oksidatif, serta hilangnya sifat sukulen batang. Menurut Agrios (1997) bahwa, faktor yang mendukung perkembangan penyakit yaitu, inang yang rentan, patogen yang virulen, dan lingkungan yang mendukung. Inang yang mengalami luka, patogen yang virulen dengan jumlah melimpah dan aktif, serta lingkungan yang mendukung seperti, suhu, kelembapan, dan angin. Kejadian pada satu siklus penyakit terdiri dari: inokulasi, penetrasi, infeksi, invasi, kolonisasi, pemencaran, dan daya bertahan hidup patogen tanpa inang.
3 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan mulai bulan April sampai dengan Desember 2014. Tempat penelitian antara lain, Laboratorium Patologi Hutan Fakultas Kehutanan, Rumah Paranet Pembibitan Permanen BPDAS Citarum-Ciliwung, Laboratorium Kimia Analitik Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Kampus IPB Dramaga, dan Pusat Penelitian Zoologi LIPI Cibinong.
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian meliputi: isolat Botryodiplodia theobromae, bibit jabon putih dan merah yang berumur 5 bulan, media potato dextrose agar (PDA), aquades, kapas, aluminium foil, bahan preparasi sampel untuk analisis menggunakan scanning electron microscope seperti, larutan glutaraldehide 2.5%, larutan asam tanat 2%, perekat karbon, logam emas, dan lain-lain, serta bahan untuk analisis fitokimia metode Harborne (1987) seperti, serbuk batang, larutan kloroform, pereaksi Meyer, Wagner, Dragendrof, dan lainlain. Peralatan digunakan dalam penelitian meliputi: autoclave, kabinet laminar air flow, corebore, mikroskop, jarum suntik, paranet intensitas 65%, termometer, lup, scanning electron microscope ( SEM tipe JSM-5310LV), peralatan preparasi sampel untuk SEM seperti freezer, vacuum drier, specimen stub, dan lain-lain, serta peralatan yang digunakan pada analisis fitokimia metode Harborne (1987) seperti, kompor listrik, pelat tetes, shaker, dan lain-lain.
22
Metode Penelitian ini terdiri atas 6 kegiatan yaitu : (1) peremajaan dan perbanyakan isolat B. theobromae; (2) pengamatan karakteristik makroskopis dan mikroskopis isolat B. theobromae; (3) penyediaan bibit jabon (Anthocephalus spp.); (4) rancangan penelitian; (5) uji resistensi inang; (6) analisis resistensi struktural batang bibit jabon (Anthocephalus spp.) menggunakan scanning electron microscope (SEM), dan (7) analisis resistensi biokimia senyawa metabolit sekunder batang bibit jabon (Anthocephalus spp.) menggunakan metode Harborne (1987). Tahapan penelitian disajikan pada Gambar 6. Peremajaan dan Perbanyakan Isolat B. theobromae
Pengamatan Karakteristik Makroskopis dan Mikroskopis Isolat B. theobromae Penyediaan Bibit Jabon (Anthocephalus spp.)
Karakteristik makroskopis dan mikroskopis
Bibit yang seragam (tinggi, diameter, dan jumlah daun), sehat, dan berkondisi baik Spesies bibit jabon
Rancangan Penelitian
RALF Cara infeksi
Uji Resistensi Inang
Kejadian dan keparahan penyakit Temperatur dan kelembapan Resistensi struktural
Analisis Resistensi Inang
Resistensi biokimia
Scanning electron microscope (SEM) Senyawa metabolit sekunder
Gambar 6 Tahapan penelitian resistensi bibit jabon putih dan merah terhadap serangan patogen B. theobromae Peremajaan dan Perbanyakan Isolat B. theobromae Isolat B. theobromae merupakan koleksi Laboratorium Patologi Hutan Fakultas Kehutanan IPB (Aisah 2014). Perbanyakan dilakukan dengan
23
mempurifikasi isolat yang telah ada. Peremajaan dilakukan menurut Michailides (1991) dengan modifikasi. Miselium patogen ditanam pada media PDA menggunakan corebore berdiameter 5 mm, kemudian diinkubasi pada suhu 25 °C di dalam laminar air flow hingga miselium memenuhi cawan. Isolat yang diperoleh selanjutnya digunakan sebagai sumber inokulum. Pengamatan Karakteristik Makroskopis dan Mikroskopis Isolat B. theobromae Pengamatan dilakukan berdasarkan karakteristik morfologi secara makroskopis dan mikroskopis meliputi, warna, tekstur, topografi koloni, dan diameter pertumbuhan, serta ukuran dan bentuk hifa. Identifikasi dilakukan menggunakan buku kunci identifikasi untuk genus imperfect fungi (Barnet dan Hunter 1998). Pengamatan dilakukan sebanyak 5 ulangan. Penyediaan Bibit Jabon (Anthocephalus spp.) Bibit jabon putih dan merah yang digunakan berumur 5 bulan. Bibit berasal dari pembibitan di Kota Bogor dengan asal provenans dari Kota Malang. Hal ini dikarenakan Kota Malang memiliki petani yang membudidayakan pohon jabon putih dan merah skala besar, sehingga memiliki banyak pohon induk. Bibit jabon putih dan merah yang digunakan pada penelitian diasumsikan seragam karena berasal dari pohon induk yang sama tempat tumbuhnya yaitu Kota Malang. Bibit berumur 2 bulan dari benih didistribusikan ke Persemaian kota Bogor. Sehingga bibit yang digunakan pada penelitian ini memiliki waktu aklimatisasi selama 3 bulan sebelum digunakan. Bibit yang dipilih berukuran seragam baik tinggi, diameter dan jumlah daun bibit, sehat (tidak terserang hama dan penyakit), serta berkondisi baik. Penyiraman bibit dilakukan dua kali sehari dengan volume 300 cc per polibag selama penelitian berlangsung. Menurut Jafar et al. (2013), penyiraman terbaik pada bibit jabon merah adalah dua kali sehari dengan volume 300 cc. Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap faktorial (RALF) dengan 10 ulangan. Faktor pertama adalah spesies bibit jabon, yang terdiri atas jabon putih (JbP) dan jabon merah (JbM). Faktor kedua adalah cara infeksi batang, yang terdiri atas dua taraf yaitu, tanpa pelukaan (C0) dan dengan pelukaan (C1). Perlakuan kontrol dilakukan dengan teknik inokulasi tanpa isolat dengan kombinasi faktor spesies bibit jabon dan cara infeksi, yang berfungsi sebagai pembanding. Sampel ditempatkan di dalam rumah paranet dan dilakukan pengacakan sesuai dengan rancangan.
24
Model yang digunakan adalah sebagai berikut: Y ijkl = µ + α i + β j + αβ ij + ε ijk Keterangan: Y ijk = respon dari faktor spesies bibit jabon ke-i, faktor cara infeksi pada batang ke-j, serta ulangan ke-k µ = rataan umum αi = pengaruh faktor spesies bibit jabon (petak utama) ke-i βj = pengaruh faktor cara infeksi pada batang (anak petak) ke-j αβ ij = pengaruh interaksi faktor spesies bibit jabon ke-i dan faktor cara infeksi pada batang (anak petak) ke-j ε ijk = galat dari faktor spesies bibit jabon ke-i, faktor cara infeksi pada batang (anak petak) ke-j serta ulangan ke-l Uji Resistensi Inang Uji resistensi inang menggunakan metode penempelan blok agar berdasarkan Ismail et al. (2012) dengan modifikasi. Batang jabon sehat bagian atas disterilisasi menggunakan etanol 70%. Batang dilukai dengan jarum suntik steril, kemudian potongan agar yang mengandung B. theobromae (diambil menggunakan corebore Ø=5 mm) diinokulasikan pada batang yang telah dilukai dan dilapisi dengan kapas lembab. Potongan agar mengandung patogen yang digunakan adalah kultur berumur 7 hari. Kemudian batang ditutup menggunakan alumunium foil untuk menjamin potongan patogen tidak terlepas selama 14 hari pengamatan. Kelembapan kapas dijaga dengan memberikan beberapa tetes aquades steril setiap hari. Prosedur tersebut juga dilakukan pada batang tanaman dengan cara infeksi tanpa pelukaan. Inokulasi dilakukan pada batang yang tidak dilukai, bukan pada lentisel (dilihat menggunakan lup). Tanaman perlakuan kontrol diinokulasi dengan blok agar tanpa isolat menggunakan kombinasi faktor spesies bibit jabon dan cara infeksi serta prosedur yang sama. Parameter yang diamati adalah kejadian dan keparahan penyakit yang disebabkan oleh B. theobromae pada bibit jabon putih dan merah, serta temperatur dan kelembapan udara dalam rumah paranet. Kejadian penyakit pada bibit jabon putih dan merah dihitung menggunakan rumus sebagai berikut (Achmad et al. 2012) : 𝐾𝑗𝑃 =
Keterangan : KjP = Kejadian Penyakit n = Jumlah bibit yang sakit N = Jumlah bibit yang diamati
n x 100% N
25
Keparahan penyakit diukur menggunakan rumus sebagai berikut (Townsend dan Heurberger 1943 dalam Stević et al. 2010) : ∑ 𝑛𝑉
KpP = 𝑍𝑁 𝑥 100%
Keterangan: KpP = Keparahan Penyakit n = Jumlah tanaman dalam setiap kategori V = Nilai numerik dari kategori serangan Z = Kategori serangan dengan nilai numerik tertinggi N = Jumlah seluruh tanaman yang diamati Nilai numerik kategori serangan dan keparahan penyakit yang digunakan pada penelitian ini disajikan pada Tabel 4 dan Gambar 7. Kegiatan pengukuran temperatur dan kelembapan dilakukan pada pagi (06.00-07.00 WIB), siang (12.00-13.00 WIB), dan malam (19.00-20.00 WIB). Tabel 4 menyajikan nilai numerik kategori serangan dan keparahan penyakit yang digunakan: Tabel 4 Nilai numerik kategori serangan dan keparahan penyakit mati pucuk pada bibit jabon Nilai numerik Keterangan keparahan penyakit kategori serangan 0 sehat (tidak ada gejala infeksi) 1 ≤ 25% bagian tanaman terinfeksi dan membusuk hanya pada jaringan epidermis 2 ≤ 25% bagian tanaman terinfeksi dan membusuk 3 26-50% bagian tanaman mengalami nekrosis 4 > 50% bagian tanaman mengalami nekrosis 5 Tanaman mati Sumber : Townsend dan Heurberger (1943) dalam Stević et al. (2010) dengan modifikasi.
26
Gambar 7 menyajikan nilai numerik kategori serangan dan keparahan penyakit mati pucuk pada bibit jabon yang digunakan dalam penelitian ini :
a
b
c
d
e
f
Gambar 7 Nilai numerik kategori serangan dan keparahan penyakit mati pucuk pada bibit jabon: (a) 0 = tanaman tidak bergejala; (b) 1 = ≤ 25% bagian tanaman mengalami nekrosis dan membusuk hanya pada jaringan epidermis; (c) 2 = ≤ 25% bagian tanaman mengalami nekrosis dan membusuk; (d) 3 = 26-50% bagian tanaman mengalami nekrosis; (e) 4 = > 50% bagian tanaman mengalami nekrosis; (f) 5 = tanaman mati Tanda panah menunjukkan gejala pada bibit jabon. Analisis Resistensi Struktural Batang Bibit Jabon (Anthocephalus spp.) Menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM) Sampel yang digunakan berupa batang bibit jabon putih dan merah yang sehat sebagai perlakuan kontrol, serta bibit jabon yang terinfeksi patogen baik dengan cara infeksi tanpa maupun dengan pelukaan batang. Analisis dilakukan sesuai buku panduan Pusat Penelitian Zoologi LIPI Cibinong. Tahapannya adalah: Prefiksasi. Sampel direndam dalam larutan glutaraldehide 2.5% selama beberapa jam sampai dengan 2 hari pada suhu 4 0C. Fiksasi. Sampel direndam dalam larutan tannic acid 2%, pada suhu 4 0C selama 6 jam sampai dengan beberapa hari. Selanjutnya, sampel dicuci menggunakan larutan cacodylate buffer sebanyak 4 kali, dengan masing-masing tahap berlangsung selama 5 menit pada suhu 4 0C. Dehidrasi. Dehidrasi dilakukan menggunakan larutan seri alkohol 50% sebanyak 4 kali, masing-masing tahapan berlangsung 5 menit pada suhu 4 0C. Selanjutnya, sampel direndam dalam larutan alkohol 70%, dan direndam lagi dalam larutan alkohol 85% masing-masing selama 20 menit pada suhu 4 0C.
27
Sampel dimasukkan ke dalam larutan alkohol 95% selama 20 menit pada suhu kamar. Tahap terakhir adalah perendaman dalam larutan alkohol absolut sebanyak 2 kali, masing-masing tahapan berlangsung selama 10 menit pada suhu kamar. Pengeringan. Sampel direndam dalam larutan tert-butanol sebanyak 2 kali, masing-masing selama 10 menit. Kemudian dibekukan dengan cara disimpan dalam freezer suhu - 20 0C. Setelah sampel membeku, dimasukkan dalam vacuum drier selama 20 menit. Coating. Sampel dilekatkan pada specimen stub menggunakan perekat karbon, selanjutnya disepuh menggunakan logam emas selama 5 menit. Kemudian diamati menggunakan scanning electron microscope (SEM tipe JSM-5310LV). Analisis Resistensi Biokimia Senyawa Metabolit Sekunder Batang Bibit Jabon (Anthocephalus spp.) Menggunakan Metode Harborne (1987) Analisis dilakukan pada bibit jabon putih dan merah yang sehat, sebagai perlakuan kontrol dan bibit yang terinfeksi dengan cara infeksi pelukaan batang. Sampel yang digunakan berbentuk serbuk seberat 500 mg pada tiap pengujian. Tahapan kegiatan sebagai berikut : Uji Alkaloid. Sampel dilarutkan dalam 5 ml kloroform dan dibasakan dengan 5 tetes NH 4 OH. Kemudian larutan dikocok dan disaring. Ekstrak kloroform sebanyak 2 ml ditambahi dengan 10 tetes H 2 SO 4 2 M, lalu dikocok sampai terbentuk dua lapisan. Lapisan asam yang berada di atas diambil, kemudian diteteskan pada pelat tetes dan diuji berturut-turut dengan pereaksi Meyer, pereaksi Wagner, dan pereaksi Dragendrof. Uji positif bila terdapat endapan berturut-turut putih, cokelat, dan merah jingga. Uji Flavonoid. Sampel ditambahkan 10 ml air panas, kemudian dididihkan selama 5 menit dan disaring. Filtrat sebanyak 5 ml ditambahkan 0.5 g serbuk Mg, 1 ml HCl pekat, dan 1 ml amil alkohol, kemudian dikocok dengan kuat. Uji positif ditandai dengan munculnya warna kuning hingga merah tua. Uji Fenol Hidrokuinon. Sampel ditambahkan 10 ml metanol, kemudian dikocok. Selanjutnya dididihkan dalam air panas lalu disaring. Filtrat ditambahi 3 tetes NaOH 10%. Uji positif ditandai dengan munculnya warna kuning hingga merah. Uji Tanin. Sampel ditambahkan 50 ml air panas dan dididihkan selama 15 menit lalu disaring. Filtrat ditambahi 10 ml FeCl 3 1%. Uji positif ditandai dengan munculnya warna hijau hingga kehitaman. Uji Saponin. Sampel dididihkan dengan 10 ml air panas selama 5 menit kemudian disaring. Sebanyak 10 ml fitrat dikocok dalam tabung reaksi tertutup selama 10 detik, kemudian dibiarkan selama 10 menit. Uji positif ditunjukkan dengan terbentuknya buih yang stabil. Uji Triterpenoid dan Steroid. Sampel dimaserasi dengan 25 ml etanol absolut sampai mendidih, kemudian disaring. Residu dipanaskan hingga mengering, selanjutnya ditambahkan dengan eter dan dikocok. Filtrat ditambah 3 tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes asam sulfat pekat secara berurutan. Larutan dikocok perlahan dan dibiarkan beberapa menit. Uji positif ditandai dengan terbentuknya warna merah atau ungu untuk triterpenoid dan warna hijau atau biru untuk steroid.
28
Analisis Data Analisis sidik ragam dilakukan terhadap data kejadian dan keparahan penyakit pada uji resistensi inang. Apabila hasil yang diperoleh berbeda nyata, maka dilanjutkan dengan uji Tukey menggunakan software Minitab. Data resistensi struktural dan biokimia bersifat deskriptif serta disajikan dalam tabel dan gambar.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Karakteristik Makroskopis dan Mikroskopis Isolat B. theobromae Koloni B. theobromae memiliki warna putih pada permukaan atas (Gambar 8a), yang selanjutnya berubah menjadi abu-abu (Gambar 8b), atau hijau kehitaman (Gambar 8c). Warna koloni pada bagian bawah media terlihat abu-abu (Gambar 8d), hijau kehitaman (Gambar 8e), atau hitam. Miselium B. theobromae memiliki tekstur seperti benang halus (fluffy) dengan miselium udara yang tebal dan koloni yang menyebar dari bagian tengah dengan topografi tidak beraturan (rugose) (Gambar 8). Isolat memiliki pertumbuhan radial yang cepat, yaitu dapat memenuhi cawan petri (Ø = 9 cm) setelah 3-4 hari masa inkubasi. Rataan pertumbuhan diameter B. theobromae tergolong cepat, yaitu 1.38 mm/jam. Berikut adalah gambar karakteristik makroskopis B. theobromae.
a
b
d
c
e
Gambar 8 Miselium B. theobromae berumur 3 hari setelah tanam (HST) :(a) ulangan 1;(b) ulangan 2;(c) ulangan 3;(d) ulangan 4;(e) ulangan 5 Tanda panah menunjukkan warna, tekstur, dan topografi miselium.
29
B. theobromae memiliki hifa bersekat, bercabang, hialin saat muda, dan berwarna coklat saat tua, serta berukuran 53-57 x 2-3 µm (Gambar 9a). Penelitian Aisah (2014) menunjukkan bahwa, B. theobromae memiliki konidia hialin dan tidak bersekat, yang kemudian menjadi kecoklatan dan bersekat satu saat tua. Konidia berbentuk ellipsoid atau ovoid berukuran 26-32 x 13-17 μm (Gambar 9b). Berikut adalah gambar hifa tua dan konidia B. theobromae.
a
b
Sumber : Aisah (2014). Gambar 9 Karakteristik mikroskopis B. theobromae : (a) hifa bersekat, tua, dan berwarna coklat ; (b) kondia muda, hialin, dan tidak bersekat ; konidia tua, berwarna coklat dan bersekat Tanda panah menunjukkan sekat pada hifa tua, tidak bersekat pada konidia muda, dan bersekat pada konidia tua. Resistensi Bibit Jabon terhadap Serangan Patogen Kejadian penyakit pada bibit jabon putih dan merah perlakuan kontrol, baik dengan cara infeksi tanpa (Gambar 10a dan b) maupun dengan pelukaan (Gambar 10c dan d) adalah sebesar 0%. Keparahan penyakit pada bibit jabon putih dan merah perlakuan kontrol juga sebesar 0%. Bibit jabon putih dan merah yang tidak diinokulasi patogen (kontrol), tidak menunjukkan adanya gejala mati pucuk. Berikut adalah gambar yang menyajikan tentang kondisi bibit jabon perlakuan kontrol pada hari pengamatan ke-14.
30
Jabon putih
a
Jabon merah
b Tanpa pelukaan batang
Jabon putih
c
Jabon merah
d Pelukaan batang
Gambar 10 Kondisi bibit jabon putih dan jabon merah perlakuan kontrol: (a) bibit jabon putih dengan cara infeksi tanpa pelukaan batang; (b) bibit jabon merah dengan cara infeksi tanpa pelukaan batang; (c) bibit jabon putih dengan cara infeksi pelukaan batang; (d) bibit jabon merah dengan cara infeksi pelukaan batang Tanda panah menunjukkan bagian batang bibit jabon yang diinfeksi patogen B. theobromae. Kejadian penyakit pada bibit jabon putih dengan cara infeksi tanpa dan dengan pelukaan batang, berturut-turut sebesar 30% dan 100%. Keparahan penyakit pada bibit jabon dengan cara infeksi tanpa dan dengan pelukaan batang, berurutan adalah 12% (Gambar 11d) dan 62% (Gambar 11h). Kondisi bibit jabon putih dengan cara infeksi tanpa dan dengan pelukaan batang tersaji pada Gambar 11. Kejadian penyakit pada bibit jabon merah dengan cara infeksi tanpa dan dengan pelukaan batang, berurutan adalah 80% dan 100%. Keparahan penyakit pada bibit jabon merah dengan cara infeksi tanpa dan dengan pelukaan batang, berturut-turut sebesar 16% (Gambar 12d) dan 38% (Gambar 12h). Kondisi bibit jabon merah dengan cara infeksi tanpa dan dengan pelukaan batang tersaji pada Gambar 12. Gejala penyakit yang tampak pada bibit jabon putih adalah terjadinya pembusukan batang yang diinokulasi patogen, daun menjadi layu, mengering, nekrosis pada bagian yang diinfeksi, dan mati pucuk. Gejala penyakit mati pucuk pada bibit jabon merah adalah terjadi pembusukan jaringan epidermis yang diinokulasi patogen, kemudian mengering, dan nekrosis tetapi tidak menyebabkan mati pucuk, sehingga bibit jabon merah dapat recovery kembali.
31
Kontrol
2HSI
7HSI
14HSI
Tanpa pelukaan
a
b
c
d
g
h
Pelukaan
e
f
Gambar 11 Kondisi bibit jabon putih selama 14 hari pengamatan : (a) perlakuan kontrol dengan cara infeksi tanpa pelukaan batang; (b) 2 hari setelah inokulasi (HSI) dengan cara infeksi tanpa pelukaan batang; (c) 7 HSI dengan cara infeksi tanpa pelukaan batang ; (d) 14 HSI dengan cara infeksi tanpa pelukaan batang; (e) perlakuan kontrol dengan cara infeksi pelukaan batang; (f) 2 HSI dengan cara infeksi pelukaan batang; (g) 7 HSI dengan cara infeksi pelukaan batang ; (h) 14 HSI dengan cara infeksi pelukaan batang Tanda panah menunjukkan bagian batang bibit jabon putih yang diinfeksi patogen B. theobromae dan gejalanya.
32
Kontrol
2HSI
7HSI
14HSI
Tanpa pelukaan
a
b
c
d
e
f
g
h
Pelukaan
Gambar 12 Kondisi bibit jabon merah selama 14 hari pengamatan : (a) perlakuan kontrol dengan cara infeksi tanpa pelukaan batang; (b) 2 HSI dengan cara infeksi tanpa pelukaan batang; (c) 7 HSI dengan cara infeksi tanpa pelukaan batang ; (d) 14 HSI dengan cara infeksi tanpa pelukaan batang; (e) perlakuan kontrol dengan cara infeksi pelukaan batang; (f) 2 HSI dengan cara infeksi pelukaan batang; (g) 7 HSI dengan cara infeksi pelukaan batang ; (h) 14 HSI dengan cara infeksi pelukaan batang Tanda panah menunjukkan bagian batang bibit jabon merah yang diinfeksi patogen B. theobromae dan gejalanya. Kejadian penyakit pada bibit jabon merah dengan cara infeksi tanpa pelukaan batang, lebih luas dan cepat, yaitu sebesar 80% dibandingkan dengan bibit jabon putih sebesar 30%. Respon spesies bibit jabon dan cara infeksi terhadap kejadian penyakit mati pucuk menunjukkan bahwa kejadian penyakit pada bibit jabon merah berbeda nyata dibandingkan dengan bibit jabon putih (Tabel 5). Perlakuan bibit jabon putih dengan cara infeksi tanpa pelukaan menunjukkan kejadian penyakit yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan kontrol bibit jabon putih dan merah. Tabel 5 menyajikan respon spesies bibit jabon dan cara infeksi terhadap kejadian penyakit mati pucuk. Keparahan penyakit pada bibit jabon merah dengan cara infeksi tanpa pelukaan batang lebih berat dibandingkan dengan bibit jabon putih yaitu berturutturut 16% dan 12%, namun demikian respon spesies bibit jabon dan cara infeksi pada keparahan penyakit mati pucuk (Tabel 6) bahwa, keparahan penyakit pada bibit jabon merah dengan cara infeksi tanpa pelukaan batang menunjukkan nilai
33
yang tidak berbeda nyata dibandingkan dengan bibit jabon putih, bahkan terhadap perlakuan kontrol bibit jabon putih dan merah. Tabel 5 Respon spesies bibit jabon dan cara infeksi terhadap kejadian penyakit mati pucuk Perlakuan Ulangan Rataan kejadian penyakit (%) Kontrol jabon putih tanpa pelukaan 10 0b Kontrol jabon putih dengan pelukaan 10 0b Jabon putih tanpa pelukaan 10 30b Jabon putih dengan pelukaan 10 100a Kontrol jabon merah tanpa pelukaan 10 0b Kontrol jabon merah dengan pelukaan 10 0b Jabon merah tanpa pelukaan 10 80a Jabon merah dengan pelukaan 10 100a Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang berbeda menyatakan berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% berdasarkan uji Tukey. Kejadian penyakit pada bibit jabon putih dan merah dengan cara infeksi pelukaan batang, masing-masing sebesar 100%. Respon spesies bibit jabon dan cara infeksi pada kejadian penyakit mati pucuk (Tabel 5) bahwa, kejadian penyakit pada bibit jabon putih dan merah tidak berbeda nyata. Keparahan penyakit pada bibit jabon putih lebih berat, yaitu sebesar 62% dibandingkan dengan bibit jabon merah sebesar 38%. Respon spesies bibit jabon dan cara infeksi pada keparahan penyakit mati pucuk (Tabel 6) menunjukkan bahwa, keparahan penyakit pada bibit jabon putih berbeda nyata dengan bibit jabon merah. Tabel 6 menyajikan respon spesies bibit jabon dan cara infeksi terhadap keparahan penyakit mati pucuk. Tabel 6 Respon spesies bibit jabon dan cara infeksi terhadap keparahan penyakit mati pucuk Perlakuan Ulangan Rataan keparahan penyakit (%) Kontrol jabon putih tanpa pelukaan 10 0c Kontrol jabon putih dengan pelukaan 10 0c Jabon putih tanpa pelukaan 10 12c Jabon putih dengan pelukaan 10 62a Kontrol jabon merah tanpa pelukaan 10 0c Kontrol jabon merah dengan pelukaan 10 0c Jabon merah tanpa pelukaan 10 16c Jabon merah dengan pelukaan 10 38b Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang berbeda menyatakan berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% berdasarkan uji Tukey. Masa inkubasi merupakan interval waktu dari inokulasi hingga muncul gejala. Masa inkubasi bibit jabon putih dan merah masing-masing adalah pada
34
hari ke-1 setelah inokulasi. Jumlah bibit jabon yang bergejala selama 14 hari pengamatan adalah tidak ada yang bergejala untuk perlakuan kontrol baik pada bibit jabon putih dan merah, 3 bibit jabon putih dengan cara infeksi tanpa pelukaan batang, 10 bibit jabon putih dengan cara infeksi pelukaan batang, 8 bibit jabon merah dengan cara infeksi tanpa pelukaan batang, dan 10 bibit jabon merah dengan cara infeksi pelukaan batang. Jumlah bibit jabon merah tanpa pelukaan batang yang bergejala lebih banyak yaitu sebanyak 8 bibit dibandingkan dengan bibit jabon putih sebanyak 3 bibit, namun gejala mati pucuk pada hari ke-14 setelah inokulasi, bibit jabon putih lebih berat yaitu skor 2 dibandingkan dengan bibit jabon merah yaitu skor 1. Gejala mati pucuk yang terjadi pada bibit jabon putih dengan pelukaan batang lebih berat dibandingkan dengan bibit jabon merah. Pada hari ke-14 setelah inokulasi, nilai numerik kategori serangan dan keparahan penyakit pada bibit jabon putih dengan cara infeksi pelukaan batang lebih berat yaitu skor 4 dibandingkan dengan bibit jabon merah yaitu skor 1. Masa inkubasi bibit jabon putih dan merah tersaji pada Tabel 7. Tabel 7 Masa inkubasi bibit jabon putih dan merah terhadap serangan patogen B. theobromae Perlakuan Jumlah bibit Masa Nilai yang inkubasi numerik bergejala (hari ke-) tertinggi* Kontrol jabon putih tanpa pelukaan 0 0 0 Kontrol jabon putih dengan pelukaan 0 0 0 Jabon putih tanpa pelukaan 3 1 2 Jabon putih dengan pelukaan 10 1 4 Kontrol jabon merah tanpa pelukaan 0 0 0 Kontrol jabon merah dengan pelukaan 0 0 0 Jabon merah tanpa pelukaan 8 1 1 Jabon merah dengan pelukaan 10 1 3 Keterangan : * = Nilai numerik tertinggi dari 10 ulangan yang tercatat pada hari ke-14 setelah inokulasi. Nilai ini mengacu pada nilai numerik kategori serangan dan keparahan penyakit mati pucuk pada bibit jabon (Gambar 7).
Temperatur dan kelembapan merupakan faktor lingkungan yang sangat penting bagi pertumbuhan patogen dan tanaman inang, yang akan mempengaruhi perkembangan penyakit. Rataan temperatur selama 14 hari pengamatan adalah pagi sebesar 27.53 0C, siang 33.27 0C, dan malam 26.07 0C. Tabel 8 menyajikan temperatur dan kelembapan selama 14 hari pengamatan.
35
Tabel 8 Temperatur dan kelembapan selama 14 hari pengamatan Hari ke- setelah Temperatur ( 0C) Kelembapan (%) inokulasi Pagi Siang Malam Pagi Siang Malam Inokulasi 29 33 25 78 73 92 1 28 29 29 85 78 85 2 29 35 26 78 69 92 3 29 36 25 78 75 92 4 27 32 23 92 73 91 5 29 34 25 78 74 92 6 27 35 25 92 69 92 7 26 33 27 84 73 100 8 30 33 26 85 67 100 9 27 36 25 92 75 92 10 23 31 29 83 86 85 11 29 36 27 85 56 92 12 26 32 27 92 73 92 13 27 31 26 84 73 100 14 27 33 26 84 73 92 Rataan 27.53 33.27 26.07 84.67 72.47 92.60 Resistensi Struktural Batang Bibit Jabon (Anthocephalus spp.) Bibit jabon putih hanya memiliki resistensi nekrotik melalui reaksi hipersensitifitas, yang merupakan resistensi struktural sesudah serangan patogen. Resistensi nekrotik melalui reaksi hipersensitif terjadi dengan menghancurkan semua membran seluler berkontak dengan fungi. Kemudian terjadi pengeringan dan nekrosis jaringan yang terserang. Bibit jabon putih yang sehat (sebagai perlakuan kontrol), tidak terdapat hifa fungi B. theobromae (Gambar 13a dan b). Perlakuan bibit jabon putih dengan cara infeksi tanpa pelukaan batang menunjukkan rusaknya jaringan epidermis, korteks dan kolonisasi hifa di jaringan stele (Gambar 13c dan d). Perlakuan bibit jabon putih dengan cara infeksi pelukaan batang menunjukkan rusaknya jaringan epidermis, korteks, dan stele hingga ke jaringan epidermis dan korteks seberangnya (Gambar 13f). Gambar 13 menyajikan kondisi mikroskopis penampang melintang batang bibit jabon putih menggunakan scanning electron microscope. Resistensi struktural bibit jabon merah adalah terdapatnya struktur trikoma (rambut-rambut halus) pada jaringan epidermis yang tidak dimiliki oleh bibit jabon putih, yang merupakan resistensi struktural sebelum serangan patogen dan resistensi nekrotik melalui hipersensitifitas, sebagai resistensi struktural sesudah serangan patogen. Bibit jabon merah yang sehat, tidak terdapat hifa B. theobromae (Gambar 14a dan b). Bibit jabon merah dengan cara infeksi tanpa pelukaan batang, hifa menembus jaringan epidermis hingga korteks, dan infeksi berhenti pada jaringan korteks (Gambar 14c). Beberapa hifa terlilit pada trikoma bibit jabon merah yang berada pada jaringan epidermis (Gambar 14d). Bibit jabon merah dengan cara infeksi pelukaan batang, hifa tidak terlilit pada trikoma dan langsung masuk ke dalam jaringan epidermis melalui luka buatan, sehingga memudahkan patogen menginfeksi (Gambar 14e dan f). Kondisi mikroskopis penampang melintang batang bibit jabon merah menggunakan scanning electron microscope tersaji pada Gambar 14.
36
a
55 µm
b
73.33 µm
c
11 µm
d
146.67 µm
e
22 µm
f
110 µm
Gambar 13 Kondisi mikroskopis penampang melintang batang bibit jabon putih: (a)jaringan epidermis dan korteks bibit jabon putih sehat (x200); (b)stele bibits jabon putih sehat (x150); (c)korteks yang rusak pada bibit jabon putih dengan cara infeksi tanpa pelukaan (x1000); (d)miselium muda B. theobromae yang menyerang jaringan stele batang bibit jabon putih dengan cara infeksi tanpa pelukaan (x75); (e)hifa B. theobromae (x500); (f) jaringan epidermis, korteks, dan stele yang telah mengering dan dibuang oleh inang, serta jaringan korteks dan epidermis seberang dengan cara infeksi pelukaan batang (x100) Tanda panah menunjukkan jaringan bagian batang bibit jabon putih dan penyebaran hifa B. theobromae.
37
a
11 µm
b
7.33 µm
c
55 µm
d
31.42µm
e
220 µm
f
73.33 µm
Gambar 14 Kondisi mikroskopis penampang melintang batang bibit jabon merah: (a) epidermis bibit jabon merah sehat (x1000); (b) stele bibit jabon merah sehat (x1500); (c) sel epidermis dan korteks yang rusak akibat serangan B. theobromae dengan cara infeksi tanpa pelukaan batang (x200); (d) hifa yang terlilit di trikoma pada epidermis batang bibit jabon merah dengan cara infeksi tanpa pelukaan batang (x350); (e) jaringan korteks yang rusak akibat serangan patogen dengan cara infeksi pelukaan batang (x50); (f) hifa B. theobromae yang merusak epidermis, korteks, dan sedang menuju stele (x150) Tanda panah menunjukkan jaringan bagian batang bibit jabon merah dan penyebaran hifa B. theobromae. Resistensi Biokimia Batang Bibit Jabon (Anthocephalus spp.) Bibit jabon putih sehat mengandung senyawa metabolit sekunder yang lebih kuat dibandingkan dengan bibit jabon merah. Namun demikian, patogen B.
38
theobromae menyerang bibit jabon putih lebih berat dibandingkan dengan bibit jabon merah. Bibit jabon putih mengandung senyawa alkaloid, flavanoid, fenol hidrokuinon, saponin, dan steroid, namun tidak mengandung triterpenoid. Bibit jabon putih yang terinfeksi patogen mengalami peningkatan kandungan senyawa tertentu seperti, flavanoid, tanin, saponin, triterpenoid, dan steroid. Bibit jabon merah, baik sehat maupun yang terinfeksi, mengandung flavanoid, fenol hidrokuinon, tanin, saponin, triterpenoid, dan steroid, namun tidak mengandung alkaloid. Bibit jabon merah yang terinfeksi patogen mengalami peningkatan senyawa tertentu seperti, fenol hidrokuinon, tanin, triterpenoid, dan steroid. Bibit jabon merah perlakuan kontrol mengandung senyawa triterpenoid dan steroid, namun demikian bibit jabon putih perlakuan kontrol hanya mengandung senyawa steroid. Kandungan senyawa triterpenoid dan steroid pada bibit jabon merah lebih kuat dibandingkan dengan bibit jabon putih. Sesudah terjadi infeksi patogen, bibit jabon mengalami peningkatan kandungan senyawa triterpenoid dan steroid. Senyawa triterpenoid dan steroid yang terkandung pada bibit jabon merah merupakan mekanisme resistensi biokimia sebelum serangan patogen. Pada bibit jabon putih, senyawa steroid merupakan mekanisme resistensi biokimia sebelum serangan patogen. Sesudah serangan patogen pada bibit jabon merah resistensi biokimia ditunjukkan dengan peningkatan kandungan senyawa fenol hidrokuinon, tanin, dan kadar yang tetap pada flavanoid, sedangkan pada bibit jabon putih mengalami peningkatan kandungan senyawa flavanoid, tanin dan penurunan kandungan fenol hidrokuinon. Berikut adalah senyawa metabolit sekunder bibit jabon, yang tersaji pada Tabel 9. Tabel 9 Keragaan fitokimia senyawa metabolit sekunder bibit jabon (Anthocephalus spp.) Senyawa aktif Spesies bibit jabon Jabon putih Jabon merah Kontrol Pelukaan batang Kontrol Pelukaan batang Alkaloid ++ + Flavanoid ++ +++ + + Fenol hidrokuinon +++ ++ + ++ Tanin +++ ++++ + ++ Saponin +++ ++++ ++ + Triterpenoid + + +++ Steroid + +++ ++ ++++ Keterangan: (-): negatif, (+): positif tapi lemah, (++): positif agak kuat, (+++): positif kuat, (++++): positif sangat kuat.
Pembahasan Umum Karakteristik Makroskopis dan Mikroskopis Isolat B. theobromae Koloni B. theobromae memiliki warna putih pada permukaan atas (Gambar 8a), yang selanjutnya berubah menjadi abu-abu (Gambar 8b) atau hijau
39
kehitaman (Gambar 8c). Warna koloni pada bagian bawah media terlihat abu-abu (Gambar 8d), hijau kehitaman (Gambar 8e) atau hitam. Miselium B. theobromae memiliki tekstur seperti benang halus (fluffy) dengan miselium udara yang tebal dan koloni menyebar dari bagian tengah dengan topografi tidak beraturan (rugose) (Gambar 8). Isolat memiliki pertumbuhan radial yang cepat, yaitu dapat memenuhi cawan petri (Ø = 9 cm) setelah 3-4 hari masa inkubasi. Rataan pertumbuhan diameter B. theobromae tergolong cepat, yaitu 1.38 mm/jam. Penelitian Aisah (2014) menunjukkan bahwa, Fusarium spp. dapat memenuhi cawan petri setelah 7-10 hari masa inkubasi, sedangkan Colletotrichum sp. selama 6 hari masa inkubasi. Pestalotiopsis sp. dapat memenuhi cawan petri setelah 13 hari masa inkubasi dan Curvularia sp. selama 6 hari masa inkubasi. Menurut Winara (2014), pertumbuhan miselium Botryodiplodia sp. tergolong cepat, dengan rataan pertumbuhan diameter radial sebesar 1.72 mm/jam. Selama 1 bulan masa inkubasi, tidak ditemukan piknidia patogen B. theobromae. Menurut Kunz (2007), perkembangan piknidia Botryodiplodia spp. pada media buatan bersifat jarang dan membutuhkan waktu yang lama. Namun apabila tumbuh, pinhead besar berwarna hitam dan bulat dapat dilihat langsung. Aisah (2014) menyatakan bahwa B. theobromae yang ditumbuhkan pada media PDA dapat membentuk piknidia setelah lebih kurang 21 hari masa inkubasi. Penelitian Shah et al. (2010) menunjukkan bahwa, 13 isolat B. theobromae yang ditumbuhkan pada media PDA dapat membentuk piknidia setelah 20-34 hari masa inkubasi. Miselium B. theobromae memiliki hifa bersekat, bercabang, hialin saat muda, dan berwarna coklat saat tua, serta berukuran 53-57 x 2-3 µm (Gambar 9a). Menurut Aisah (2014), B. theobromae memiliki hifa bersekat, hialin pada hifa muda, dan berwarna coklat pada hifa tua. Konidia muda hialin dan tidak bersekat, kemudian berubah menjadi kecoklatan dan bersekat. Konidia berbentuk ellipsoid atau ovoid dengan ukuran 26-32 x 13-17 μm (Gambar 9b). Penelitian Punithalingam (1976) menunjukkan bahwa, piknidia B. theobromae berbentuk sederhana, bergerombol, beragregat, stromatik, dan ostiolate dengan lebar sampai 5 mm. Konidia muda uniseluler, hialin, granulosa, subovoid sampai ellipsoid, berdinding tebal, memotong seperti sekat, sedangkan konidia tua uniseptate dan berwarna coklat dengan ukuran 20-30 μm x 10-15 μm. Menurut Gandjar et al. (1999), konidia B. theobromae bersel dua saat tua, berukuran 22-28 µm x 12-15 µm, berbentuk elips, berwarna coklat tua, dan memiliki garis-garis longitudinal. Kumar dan Leena (2009) menyatakan bahwa, B. theobromae memiliki miselium hialin, bersekat, bercabang, dan berukuran 50-55 x 3-4 μm. Resistensi Bibit Jabon terhadap Serangan B. theobromae Kejadian dan keparahan penyakit mati pucuk pada bibit jabon perlakuan kontrol. Kejadian penyakit pada bibit jabon putih dan merah perlakuan kontrol, baik dengan cara infeksi tanpa (Gambar 10a dan b) maupun dengan pelukaan (Gambar 10c dan d) adalah sebesar 0%. Keparahan penyakit pada bibit jabon putih dan merah perlakuan kontrol juga sebesar 0%. Bibit jabon putih dan merah yang tidak diinokulasi patogen (perlakuan kontrol), tidak menunjukkan adanya gejala mati pucuk. Menurut Arshinta (2013), bibit jabon putih yang diinokulasi patogen, baik berumur 3, 4, dan 5 bulan, menunjukkan gejala penyakit mati
40
pucuk, namun demikian pada bibit jabon putih tanpa inokulasi patogen (kontrol), tidak menunjukkan gejala penyakit mati pucuk. Kejadian dan keparahan penyakit mati pucuk pada bibit jabon putih. Kejadian penyakit pada bibit jabon putih dengan cara infeksi tanpa dan dengan pelukaan batang, berturut-turut sebesar 30% dan 100%. Patogen B. theobromae dapat menyerang bibit jabon putih dengan cara infeksi tanpa pelukaan batang (bukan pada lentisel). Respon spesies bibit jabon dan cara infeksi terhadap kejadian penyakit mati pucuk menunjukkan bahwa, kejadian penyakit pada bibit jabon putih dengan cara infeksi pelukaan batang berbeda nyata dan lebih luas dibandingkan dengan bibit jabon putih tanpa pelukaan batang (Tabel 5). Penelitian Aisah (2014) menunjukkan bahwa, Botryodiplodia spp. menghasilkan gejala pada bagian batang yang dilukai dan tidak dilukai. Namun demikian, menurut Kunz (2007) bahwa, Botryodiplodia sp. membutuhkan luka untuk menyerang tanaman. Semangun (2007) bahwa, B. theobromae merupakan parasit lemah yang menginfeksi inang melalui luka mekanis seperti akibat pemangkasan atau serangga. Keparahan penyakit pada bibit jabon putih dengan cara infeksi tanpa dan dengan pelukaan batang, berurutan adalah 12% (Gambar 11d) dan 62% (Gambar 11h). Serangan patogen B. theobromae pada bibit jabon putih dengan cara infeksi pelukaan batang lebih berat dibandingkan dengan bibit jabon dengan cara infeksi tanpa pelukaan batang. Respon spesies bibit jabon dan cara infeksi terhadap keparahan penyakit mati pucuk menunjukkan bahwa, keparahan penyakit pada bibit jabon putih dengan cara infeksi pelukaan batang berbeda nyata dan lebih berat dibandingkan dengan bibit jabon putih tanpa pelukaan batang (Tabel 6). Kejadian dan keparahan penyakit mati pucuk pada bibit jabon merah. Kejadian penyakit pada bibit jabon merah dengan cara infeksi tanpa dan dengan pelukaan batang, berurutan adalah 80% dan 100%. Respon spesies bibit jabon dan cara infeksi terhadap kejadian penyakit mati pucuk menunjukkan bahwa, kejadian penyakit pada bibit jabon merah dengan cara infeksi pelukaan batang tidak berbeda nyata dibandingkan dengan bibit jabon merah tanpa pelukaan batang (Tabel 5). Penelitian Aisah (2014) menunjukkan bahwa, Botryodiplodia spp. menghasilkan gejala pada bagian batang yang dilukai dan tidak dilukai. Penyakit mati pucuk berpeluang menyerang bibit jabon merah, namun tidak menyerang terlalu berat dibandingkan dengan bibit jabon putih. Menurut Halawane et al. (2011), jabon merah memiliki kayu yang lebih keras dan lebih resisten terhadap hama dan penyakit. Keparahan penyakit pada bibit jabon merah dengan cara infeksi tanpa dan dengan pelukaan batang, berturut-turut sebesar 16% (Gambar 12d) dan 38% (Gambar 12h). Respon spesies bibit jabon dan cara infeksi terhadap keparahan penyakit mati pucuk menunjukkan bahwa, keparahan penyakit pada bibit jabon merah dengan cara infeksi pelukaan batang berbeda nyata dan lebih berat dibandingkan dengan bibit jabon merah tanpa pelukaan batang (Tabel 6). Patogen B. theobromae menyerang lebih berat pada bibit jabon merah dengan cara infeksi pelukaan dibandingkan dengan bibit jabon merah tanpa pelukaan batang. Kejadian dan keparahan penyakit mati pucuk pada bibit jabon putih dan merah dengan cara infeksi tanpa pelukaan batang. Kejadian penyakit pada bibit jabon merah dengan cara infeksi tanpa pelukaan batang lebih luas dan cepat yaitu sebesar 80% dibandingkan dengan bibit jabon putih sebesar 30%. Respon spesies
41
bibit jabon dan cara infeksi terhadap kejadian penyakit mati pucuk menunjukkan bahwa, kejadian penyakit pada bibit jabon merah berbeda nyata dan lebih luas dibandingkan dengan bibit jabon putih (Tabel 5). Perlakuan bibit jabon putih dengan cara infeksi tanpa pelukaan batang tidak berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan kontrol bibit jabon putih dan merah. Keparahan penyakit pada bibit jabon merah memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan bibit jabon putih, yaitu berturut-turut 16% dan 12%, namun respon spesies bibit jabon dan cara infeksi pada keparahan penyakit mati pucuk (Tabel 6), menunjukkan bahwa, keparahan penyakit pada bibit jabon merah tidak berbeda nyata dibandingkan dengan bibit jabon putih dan terhadap perlakuan kontrol bibit jabon putih serta merah. Menurut Halawane et al. (2011), jabon merah memiliki tingkat resistensi yang lebih tinggi terhadap serangan penyakit dan hama dibandingkan dengan jabon putih. Kayu jabon merah termasuk dalam kayu kelas awet IV dan jabon putih V. Kejadian dan keparahan penyakit mati pucuk pada bibit jabon putih dan merah dengan cara infeksi pelukaan batang. Kejadian penyakit pada bibit jabon putih dan merah dengan cara infeksi pelukaan batang, masing-masing sebesar 100%. Namun demikian, respon spesies bibit jabon dan cara infeksi pada kejadian penyakit mati pucuk (Tabel 5), menunjukkan bahwa, kejadian penyakit pada bibit jabon merah tidak berbeda nyata dibandingkan dengan bibit jabon putih. Keparahan penyakit pada bibit jabon putih lebih berat yaitu sebesar 62% dibandingkan dengan bibit jabon merah sebesar 38%. Respon spesies bibit jabon dan cara infeksi terhadap keparahan penyakit mati pucuk menunjukkan bahwa, keparahan penyakit pada bibit jabon putih berbeda nyata dan lebih berat dibandingkan dengan bibit jabon merah. Resistensi inang dipengaruhi oleh jenis inang. Penelitian Emery (1987) menunjukkan bahwa, faktor yang mempengaruhi resistensi tanaman adalah faktor genetik dan non genetik. Resistensi tanaman yang dipengaruhi oleh faktor genetik dibedakan menjadi resistensi antar spesies, umur, resistensi dalam spesies (strain), dan kerusakaan bawaan. Faktor non genetik, seperti, suhu, kelembapan, dan virulensi patogen. Masa inkubasi bibit jabon putih dan merah. Masa inkubasi bibit jabon putih dan merah masing-masing adalah pada hari ke-1 setelah inokulasi. Jumlah bibit jabon yang bergejala selama 14 hari pengamatan adalah tidak ada yang bergejala untuk perlakuan kontrol baik pada bibit jabon putih dan merah, 3 bibit jabon putih dengan cara infeksi tanpa pelukaan batang, 10 bibit jabon putih dengan cara infeksi pelukaan batang, 8 bibit jabon merah dengan cara infeksi tanpa pelukaan batang, dan 10 bibit jabon merah dengan cara infeksi pelukaan batang (Tabel 7). Jumlah bibit jabon merah tanpa pelukaan batang yang bergejala lebih banyak yaitu sebanyak 8 bibit dibandingkan dengan bibit jabon putih sebanyak 3 bibit, namun gejala mati pucuk pada hari ke-14 setelah inokulasi, bibit jabon putih lebih berat yaitu skor 2 dibandingkan dengan bibit jabon merah yaitu skor 1. Pada hari ke-14 setelah inokulasi, nilai numerik kategori serangan dan keparahan penyakit pada bibit jabon putih dengan cara infeksi pelukaan batang lebih berat yaitu skor 4 dibandingkan dengan bibit jabon merah yaitu skor 1 (Tabel 7). Penelitian yang dilakukan Sato et al. (2008), menggunakan bibit Corchorus olitorius, yang diinokulasi dengan L. theobromae yang berumur 7 hari menunjukkan gejala alami pada 7-10 hari setelah inokulasi. Menurut Barnet dan
42
Hunter (1998), uji patogenisitas yang dilakukan pada bibit Asclepias physocarpa berumur 2 bulan, terjadi nekrosis pada bagian batang dan layu setelah 7 hari inokulasi B. theobromae. Menurut Agrios (1997) bahwa, masa inkubasi adalah interval waktu dari inokulasi hingga muncul gejala pada tanaman. Semakin lama masa inkubasi maka semakin resisten suatu tanaman. Temperatur dan kelembapan selama 14 hari pengamatan. Perkembangan penyakit didukung oleh tiga faktor, yaitu inang yang rentan, patogen yang virulen, dan lingkungan yang mendukung. Kondisi lingkungan merupakan hal yang penting bagi perkembangan penyakit, seperti temperatur dan kelembapan. Rataan temperatur yang tercatat selama 14 hari pengamatan (Tabel 8) adalah, pagi sebesar 27.53 °C, siang 33.27 °C, dan malam 26.07 °C. Rataan kelembapan adalah, pagi sebesar 84.67 %, siang 72.47 %, dan malam 92.60 %. Selama 14 hari pengamatan, bibit jabon putih dan merah berada pada kisaran temperatur optimum, sehingga gejala yang terjadi merupakan akibat faktor biotik, yaitu serangan patogen, bukan faktor abiotik. Menurut Martawijaya et al. (1989) bahwa, temperatur maksimum pertumbuhan jabon berkisar 32-42 °C dan temperatur minimum berkisar 3-15.5 °C. Penelitian Sudrajat et al. (2014) menunjukkan bahwa, jabon putih dari 11 populasi yang tersebar di Sumatera, Jawa, Nusa Kambangan, Kalimantan, Sumbawa, dan Sulawesi dapat tumbuh pada ketinggian di bawah 200–628 mdpl, kondisi tanah asam dengan tingkat kesuburan rendah hingga tinggi. Ukuran dan berat buah yang lebih besar dapat menghasilkan benih lebih banyak dengan kualitas yang lebih baik. Benih yang berkualitas baik akan mempunyai vigor bibit yang baik. Temperatur dan kelembapan tersebut juga merupakan temperatur optimum pertumbuhan patogen B. theobromae. Menurut Sato et al. (2008), bahwa L. theobromae tumbuh optimal pada temperatur 30 °C. Alam et al. (2001); Kausar et al. (2009), menyatakan bahwa 25 ± 2 °C merupakan temperatur yang paling sesuai untuk pertumbuhan miselium L. theobromae dan F. solani. Botryodiplodia theobromae menginfeksi bibit jabon dengan cara infeksi tanpa pelukaan menggunakan senjata fisik mekanik dan biokimia. Senjata fisik mekanik yang digunakan diduga berupa apresorium, yang merupakan modifikasi hifa. Senjata biokimia patogen B. theobromae diduga adalah enzim pektinase dan selulase. Menurut Aisah (2014), Botryodiplodia spp. memiliki aktivitas pektinase yang lebih tinggi dibandingkan selulase. Enzim pektinase digunakan untuk mendegradasi pektin pada lamela tengah. Media tanam bibit jabon putih dan merah yang digunakan dalam penelitian adalah tanah liat yang dicampur dengan sekam padi dan kompos. Menurut Hidayah dan Arif (2012), persentase hidup semai jabon merah pada media dengan kombinasi top soil : arang sekam (1:1) menghasilkan persentase hidup tertinggi. Kisaran tinggi bibit jabon putih yang digunakan adalah 22.0 cm sampai 44.0 cm dengan kisaran diameter 3.1 mm sampai 8.6 mm. Kisaran tinggi bibit jabon merah yang digunakan adalah 20.5 cm sampai 43.5 cm dengan kisaran diameter adalah 5.1 mm sampai 9.6 mm. Menurut Halawane et al. (2011), bibit jabon merah yang memiliki tinggi antara 25 sampai dengan 30 cm merupakan bibit siap tanam di lapangan. Resistensi struktural batang bibit jabon putih. Bibit jabon putih hanya memiliki resistensi nekrotik melalui reaksi hipersensitifitas, yang merupakan resistensi struktural sesudah serangan patogen. Bibit jabon putih dengan cara
43
infeksi tanpa pelukaan batang, pada 14HSI, B. theobromae menyerang jaringan epidermis, korteks, dan sedang berada di jaringan stele (Gambar 13d). Bibit jabon putih dengan cara infeksi pelukaan batang, pada 14HSI, patogen menyerang jaringan epidermis, korteks, stele hingga ke jaringan epidermis bagian seberang (Gambar 13f). Jaringan yang rusak mengalami nekrosis, mengering, dan dibuang oleh inang. Menurut Agrios (1997), salah satu resistensi struktural tanaman sesudah serangan patogen adalah resistensi nekrotik melalui hipersensitifitas. Reaksi hipersensitif menyebabkan hancurnya membran seluler yang berkontak dengan patogen, selanjutnya terjadi pengeringan dan nekrosis pada jaringan tanaman yang terserang. Penelitian Atia et al. (2003) menunjukkan bahwa, pada 7HSI, sel epidermis dan korteks tanaman anggur yang diserang oleh B. theobromae mengalami gejala nekrosis. Pada 21HSI, parenkim mengalami nekrosis. Jaringan epidermis, korteks, floem, dan kambium hancur. Piknidium patogen tertanam pada jaringan epidermis. Menurut Saadon et al. (2012) bahwa, pada 7 HSI, sel epidermis tanaman anggur yang diserang oleh L. theobromae berbentuk tidak teratur. Jaringan korteks dan xilem dikolonisasi oleh hifa. Pada 25HSI, patogen menyebar ke dalam intra dan inter-sel semua jaringan. Sel epidermis dan korteks mengalami plasmolisis dan pada xilem terbentuk gummosis. Pada 30HSI, bibit tanaman anggur menjadi berwarna coklat tua, lembek, layu, dan mati. Mekanisme infeksi patogen B. theobromae terhadap bibit jabon putih adalah, patogen masuk melalui lubang alami, pelukaan buatan, maupun menembus langsung. Patogen menembus langsung permukaan epidermis batang bibit jabon yang utuh diduga menggunakan senjata fisik atau biokimia. Menurut Aisah (2014) bahwa, mekanisme infeksi Botryodiplodia spp. terhadap bibit jabon putih yaitu, enzim pektinase dan selulase yang merupakan enzim pendegradasi dinding sel. Setelah miselium masuk, miselium menghancurkan jaringan epidermis bibit jabon putih, korteks, dan jaringan stele hingga ke bagian epidermis seberang. Penelitian Pascoe dan Cottral (2000) menunjukkan bahwa, resistensi tanaman anggur berumur 2 tahun yang terserang Phaeoacremonium chlamydosporum adalah resistensi jaringan berupa terbentuknya tilosa pada pembuluh xilem dan resistensi nekrotik. Resistensi struktural batang bibit jabon merah. Bibit jabon merah memiliki struktur trikoma pada jaringan epidermis yang tidak dimiliki oleh bibit jabon putih, yang merupakan resistensi struktural sebelum serangan patogen dan resistensi nekrotik melalui reaksi hipersensitifitas, sebagai resistensi struktural sesudah serangan patogen. Bibit jabon merah dengan cara infeksi tanpa pelukaan batang, pada 14HSI, patogen menyerang jaringan epidermis dan sedang berada pada korteks batang bibit jabon merah (Gambar 14c). Bibit jabon merah dengan cara infeksi pelukaan batang, pada 14HSI, patogen menyerang jaringan epidermis, korteks, dan sedang menuju ke jaringan stele (Gambar 14h). Menurut Nugroho et al. (2006); Issaacson et al. (2009), struktur trikoma berfungsi melindungi tanaman dari serangga pemangsa, spora jamur, dan air hujan. Selain itu, kayu jabon merah lebih kuat dibandingkan dengan jabon putih, baik fase bibit maupun pohon, sehingga menyulitkan patogen mempenetrasi dan menginfeksi. Penelitian Faizah (2010) menunjukkan bahwa, kerapatan trikoma yang tinggi merupakan mekanisme resistensi struktural tanaman cabai terhadap kemampuan Bemesia tabaci (kutukebul) untuk menularkan begomovirus penyebab penyakit daun
44
keriting kuning. Menurut Qazniewska et al. (2012), mekanisme struktur trikoma sebagai resistensi adalah dengan menangkap mikroorganisme, termasuk spora fungi dan mencegah spora mencapai permukaan epidermis. Trikoma juga berperan terhadap kelembapan pada epidermis, yang merupakan faktor penting bagi perkembangan fungi. Spora fungi dibawa oleh angin dan menempel pada ujung trikoma, ujung trikoma memiliki kelembapan yang sangat rendah, sedangkan spora fungi membutuhkan air untuk berkembang. Jabon putih dan merah merupakan tanaman dikotil, karena memiliki kambium dalam perkembangan sekunder. Menurut Arifin (2009) bahwa, anatomi batang tanaman dikotil terdiri dari, jaringan epidermis, korteks, dan stele. Korteks terbagi menjadi dua, yaitu, kolenkim dan parenkim. Kolenkim menempati posisi di bawah epidermis dan parenkim di sebelah dalam kolenkim. Stele terdiri atas, endodermis, perisikel, berkas vaskuler, dan empulur. Berkas vaskuler tersusun atas, xilem, kambium, dan floem. Bagian tengah batang tanaman dikotil disebut empulur. Penelitian Kartikaningtyas et al. (2014) menunjukkan bahwa, bibit jabon putih mempunyai batang yang halus/licin dengan titik lentisel yang jelas, sedangkan bibit jabon merah mempunyai batang yang berbulu dan kasar. Mekanisme infeksi patogen B. theobromae terhadap bibit jabon merah adalah, miselium patogen masuk ke jaringan inang, melalui lubang-lubang alami, pelukaan buatan, dan diduga menggunakan senjata fisik maupun biokimia. Pada bibit jabon merah dengan cara infeksi tanpa pelukaan batang, miselium patogen terlilit pada struktur trikoma yang terdapat di jaringan epidermis batang. Miselium masuk ke dalam sel epidermis, merusak sel, sehingga sel mengkerut, dan mati. Selanjutnya, fungi merusak jaringan korteks dan sedang menuju ke jaringan stele. Menurut Qazniewska et al. (2012), mekanisme infeksi patogen M. grisea adalah dengan mempenetrasi inang menggunakan apresorium. Buluh kecambah tumbuh pada permukaan sel epidermis, kemudian hifa membentuk appresorium yang dapat memecah kutikula dan dinding sel. Patogen ini memiliki matriks protein ekstraseluler yang digunakan sebagai senjata biokimia. Beberapa patogen memproduksi enzim penghancur dinding sel untuk masuk ke jaringan inang. Enzim ini terdiri dari, xylanase yang mendegradasi hemiselulosa, exopolygalacturonase dan metilesterase pektin yang mendegradasi polimer pektin, endoglucanase terhadap selulosa, dan polysaccharide deacetylase yang mendegradasi polisakarida. Fusarium moniliforme memiliki polygalacturonase yang menginfeksi jaringan tanaman tomat. Penelitian Agrios (2005) menunjukkan bahwa, patogen mensekresi toksin atau memproduksi enzim untuk merusak jaringan inang. Resistensi biokimia batang bibit jabon. Resistensi biokimia sebelum serangan patogen pada bibit jabon merah adalah terdapatnya zat inhibitor dalam sel inang, seperti senyawa metabolit sekunder, terutama triterpenoid dan steroid, sedangkan pada bibit jabon putih hanya mengandung senyawa steroid. Pada perlakuan kontrol, bibit jabon putih mengandung senyawa metabolit sekunder yang lebih kuat dibandingkan dengan bibit jabon merah (Tabel 9). Namun demikian, respon spesies bibit jabon dan cara infeksi terhadap keparahan penyakit mati pucuk menunjukkan bahwa keparahan penyakit pada bibit jabon putih lebih berat dibandingkan dengan bibit jabon merah (Tabel 6). Hal ini diduga terjadi karena bibit jabon merah mengandung senyawa triterpenoid dan steroid yang lebih kuat dibandingkan dengan bibit jabon putih. Dari beberapa senyawa
45
metabolit sekunder yang diteliti, yang paling berperan terhadap mekanisme resistensi tanaman terhadap patogen adalah triterpenoid dan steroid. Menurut Vickery dan Vickery (1981), triterpenoid dan steroid saponin berperan sebagai racun pada serangga, bakteri dan fungi, sedangkan alkaloid merupakan racun bagi hewan. Penelitian Haralampidis et al. (2002) menunjukkan bahwa, triterpenoid berperan sebagai bahan dasar obat, aktivitas antimikroba, dan sangat penting dalam resistensi tanaman terhadap penyakit. Triterpenoid dihubungkan dengan resistensi terhadap penyakit pada tanaman famili Lanostanaceae, Cucurbitanaceae, dan Oleananaceae (Rios 2010). Penelitian Winara (2014) menunjukkan bahwa ekstrak daun, kulit batang, kulit buah, biji, dan akar mahoni memiliki sifat antifungi terhadap Botryodiplodia sp. secara in vitro dikarenakan mengandung senyawa limonoid yang merupakan turunan dari limonin dan triterpenoid. Ekstrak biji Azadirachta indica mengandung komponen triterpenoid yang sangat efektif digunakan sebagai pengendalian hayati tanaman terinfeksi fungi patogen (Singh et al. 1980; Locke 1995; Coventry dan Allan 1996; Govindachari et al. 1998; Steinhauer 1999). Triterpenoid pada akar tahunan, batang umur 2 tahun, daun, bunga, dan ranting Jatropha curcas berpotensi sebagai antifungi terhadap patogen M. albican dan C. guiliermondii (Lei et al. 2015). Menurut Cowan (1999); Padmini et al. (2010); Panda (2010); Wink (2013), mekanisme triterpenoid sebagai antifungi adalah senyawa triterpenoid berinteraksi dengan biomembran dan menlisis sel sehingga terjadi kebocoran ion sel fungi. Mekanisme steroid sebagai antifungi adalah senyawa ini berinteraksi dengan biomembran sehingga menghambat germinasi spora fungi. Bibit jabon putih mengandung senyawa alkaloid, flavanoid, fenol hidrokuinon, tanin, dan saponin yang lebih kuat dibandingkan dengan bibit jabon merah (Tabel 9). Namun demikian, fungsi senyawa metabolit sekunder bukan hanya sebagai antimikroba. Menurut Yuhernita dan Juniarti (2011); Porto et al. (2009) bahwa, alkaloid berfungsi sebagai antioksidan. Flavanoid sebagai resistensi terhadap serangan patogen (Mariska 2009), antioksidan (Bayu 2009; Hartika 2009; Simamora 2011), antibakteri (Hartika 2009), zat pengatur tumbuh, pengatur fotosintesis (Kristanti et al. 2008), dan pigmentasi pada buah, bunga, dan daun (Vickery dan Vickery 1981). Penelitian Meskin et al. (2002); Kuntorini dan Astuti (2010); Rastuti dan Purwati (2012) menunjukkan bahwa, fenol hidrokuinon memiliki aktivitas antioksidan. Tanin berfungsi sebagai pelindung tanaman pada masa pertumbuhan, anti hama (Harborne 1987; Hagerman 2002), antiseptik, dan obat keracunan alkaloid (Hagerman 2002), serta sebagai antioksidan (Zeuthen dan Sorensen 2003). Menurut Astawan dan Kasih (2008) bahwa, saponin berfungsi sebagai immunomodulator, anti tumor, anti inflamasi, anti virus, anti jamur, hipoglikemik, efek hipokolesterol, bahan minuman beralkohol, industri pakaian, kosmetik, obat-obatan, dan sebagai obat tradisional. Saponin juga berfungsi dalam proses perkecambahan biji dan menghambat pertumbuhan akar (Vickery dan Vickery 1981). Batang bibit jabon putih perlakuan kontrol umur 5 bulan mengandung senyawa alkaloid, flavanoid, fenol hidrokuinon, tanin, saponin, dan steroid. Batang bibit jabon merah perlakuan kontrol umur 5 bulan mengandung senyawa flavanoid, fenol hidrokuinon, tanin, saponin, triterpenoid, dan steroid. Namun berdasarkan penelitian Wali (2014), daun bibit jabon putih dan merah umur 7 bulan hanya mengandung senyawa kuinon dan steroid. Kandungan senyawa
46
saponin dan fenolik seperti flavanoid, fenol hidrokuinon, dan tanin berbeda berdasarkan jenis tanaman, umur, dan bagian tanaman yang dianalisis. Menurut Kahkonen et al. (2001) bahwa, kadar fenolik pada daun tanaman dipengaruhi oleh faktor umur daun, kondisi tanah, pemberian pupuk, dan stres lingkungan baik secara fisik, biologi, maupun kimiawi. Vickery dan Vickery (1981) bahwa, perbedaan konsentrasi atau tipe senyawa flavanoid bergantung pada umur jaringan, siklus hidup, dan waktu. Menurut Haralampidis et al. (2002) bahwa, kandungan senyawa saponin pada tanaman bergantung pada beberapa faktor, antara lain genetik tanaman, jenis jaringan, umur dan keadaan fisiologis tanaman, serta kondisi lingkungan. Resistensi biokimia sesudah serangan patogen pada bibit jabon adalah terjadinya peningkatan akumulasi senyawa fenolik. Beberapa senyawa metabolit sekunder termasuk senyawa fenolik seperti, flavanoid, tanin, dan kuinon. Bibit jabon putih yang diinfeksi patogen mengalami peningkatan kandungan senyawa flavanoid, tanin, saponin, triterpenoid, steroid dan penurunan kadar fenol hidrokuinon. Bibit jabon merah mengalami peningkatan senyawa fenol hidrokuinon, tanin, triterpenoid, steroid, dan tetap pada flavanoid (Tabel 9). Namun demikian, respon spesies bibit jabon dan cara infeksi terhadap keparahan penyakit mati pucuk menunjukkan bahwa keparahan penyakit bibit jabon merah lebih rendah dibandingkan dengan bibit jabon putih (Tabel 6) dikarenakan bibit jabon merah mengalami peningkatan akumulasi senyawa fenol hidrokuinon, tanin, dan kandungan yang tetap pada flavanoid, sedangkan bibit jabon putih hanya mengalami peningkatan kandungan senyawa flavanoid, tanin, dan penurunan pada fenol hidrokuinon. Menurut Agrios (1997), salah satu resistensi biokimia tanaman sesudah serangan patogen adalah peningkatan akumulasi senyawa fenolik. Peningkatan akumulasi senyawa fenolik terjadi lebih cepat setelah infeksi pada varietas resisten. Penelitian Widnyana et al. (2009) menunjukkan bahwa, terjadi peningkatan kandungan total fenol pada tanaman tomat yang terinfeksi Fusarium sp. Menurut Agrios (2005), aktivitas polifenoloksidase lebih tinggi pada varietas resisten yang terinfeksi dibandingkan dengan tanaman rentan atau sehat yang terinfeksi patogen. Cara infeksi dengan pelukaan batang, keparahan penyakit pada bibit jabon putih lebih berat dibandingkan dengan bibit jabon merah, sedangkan cara infeksi tanpa pelukaan batang, kejadian dan keparahan penyakit pada bibit jabon merah lebih luas dan lebih berat dibandingkan dengan bibit jabon putih (Tabel 5 dan 6). Hal ini diduga terjadi karena bibit jabon merah memiliki kayu yang lebih kuat dibandingkan dengan bibit jabon putih, sehingga pada cara infeksi tanpa pelukaan batang, patogen membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mempenetrasi jaringan epidermis utuh bibit jabon merah. Penelitian Wali (2014) menunjukkan bahwa, kandungan selulosa pada daun jabon merah berumur 7 bulan lebih besar yaitu sebesar 10.13 % dibandingkan dengan bibit jabon putih sebesar 2.39 %. Menurut Vickery dan Vickery (1981), selulosa merupakan salah satu komponen penyusun dinding sel tanaman. Patogen dapat menginvasi tanaman dengan mensekresikan enzim yang dapat mendegradasi komponen dinding sel. Semakin tinggi kadar senyawa selulosa pada dinding sel, maka semakin sulit patogen mensekresi dinding sel. Selain itu, bibit jabon merah memiliki resistensi biokimia pra infeksi yaitu terdapatnya zat inhibitor dalam sel berupa senyawa triterpenoid dan steroid, sedangkan bibit jabon putih hanya mengandung senyawa steroid.
47
Resistensi biokimia pasca infeksi bibit jabon merah adalah terjadinya peningkatan akumulasi senyawa fenol hidrokuinon, tanin, triterpenoid, steroid dan tetap pada flavanoid, sedangkan bibit jabon putih mengalami peningkatan akumulasi senyawa flavanoid, tanin, saponin, triterpenoid, steroid, dan penurunan kadar fenol hidrokuinon (Tabel 9). Kejadian penyakit yang lebih luas pada bibit jabon merah dengan cara infeksi tanpa pelukaan batang tidak linier dengan keparahan penyakit yang terjadi. Respon spesies bibit jabon dan cara infeksi terhadap keparahan penyakit mati pucuk menunjukkan bahwa keparahan penyakit pada bibit jabon merah dan putih tidak berbeda nyata bahkan terhadap perlakuan kontrol jabon putih dan merah (Tabel 6). Hal ini diduga terjadi karena menurut Kunz (2007); Semangun (2007) bahwa, patogen B. theobromae merupakan patogen lemah yang hanya dapat menyerang inang melalui luka. Penelitian Agrios (1997) menunjukkan bahwa, kejadian utama yang terjadi dalam satu siklus penyakit adalah inokulasi, penetrasi, infeksi, invasi, kolonisasi, pemencaran dan daya bertahan hidup patogen setelah musim gugur atau musim panas. Kejadian penyakit mati pucuk pada bibit jabon merah dengan cara infeksi tanpa pelukaan batang lebih luas yaitu sebesar 80% dibandingkan dengan bibit jabon putih sebesar 30% (Tabel 5), namun gejala yang terjadi stagnan, sedangkan pada bibit jabon putih, patogen terus menginfeksi ke jaringan lebih dalam (Tabel 7). Bibit jabon putih lebih disukai patogen diduga karena bibit jabon putih mengandung senyawa primer dan asam amino esensial yang lebih tinggi dibandingkan dengan bibit jabon merah. Menurut Wali (2014), daun jabon putih mengandung kadar air, serat kasar, dan ADF dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan daun jabon merah. Penelitian Winarno (1997) menunjukkan bahwa, kandungan air dalam makanan mempengaruhi tekstur, kenampakan, dan cita rasa makanan (pakan). Menurut Vickery dan Vickery (1981), asam amino merupakan bahan dasar protein yang sangat penting bagi organisme hidup. Bernays dan Chapman (1994) bahwa, protein merupakan salah satu zat penting yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan memperbaiki jaringan tubuh yang rusak. Protein juga mempengaruhi kualitas makanan secara keseluruhan, karena berhubungan dengan keseimbangan asam amino esensial dalam protein. Kadar senyawa tanin dan saponin pada bibit jabon putih perlakuan kontrol (sehat) sangat kuat dibandingkan dengan bibit jabon merah. Sehingga untuk meningkatkan resistensi biokimia bibit jabon putih dapat dilakukan salah satunya dengan resistensi terimbas (induced systemic resistance). Resistensi terimbas dapat meningkatkan kandungan senyawa tanin dan saponin pada bibit jabon putih yang akan menyebabkan bibit jabon putih menjadi lebih resisten. Menurut Soesanto dan Rahayuniati (2009) bahwa, resistensi terimbas merupakan resistensi yang berkembang setelah tanaman diinokulasikan lebih awal dengan elisitor biotik (mikroorganisme avirulen, non patogenik, saprofit) dan elisitor abiotik (asam salisilat, asam fusarat, asam kloroetil fosfonat). Mekanisme resistensi terimbas tanaman terhadap infeksi patogen antara lain terjadinya peningkatan kandungan senyawa fenol, enzim peroksidase termasuk kelompok pathogenesis relatedprotein (PR-protein), senyawa metabolit sekunder berupa alkaloid, fenol, flavanoid, glikosida, fitoaleksin dan sebagainya serta terbentuknya lignifikasi. Agrios (1997) bahwa, resistensi terimbas dapat dilakukan dengan agens
48
penginduksi secara fisik (misalnya dengan pelukaan), kimia (asam salisilat, asam fusarat) ataupun biologis (mikroorganisme non patogenik).
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan B. theobromae dapat menyerang bibit jabon dengan cara infeksi tanpa maupun dengan pelukaan batang. Resistensi struktural bibit jabon merah adalah terdapatnya struktur trikoma pada epidermis dan resistensi nekrotik, sedangkan bibit jabon putih hanya memiliki resistensi nekrotik dan resistensi biokimia bibit jabon merah adalah terdapatnya senyawa triterpenoid dan steroid serta terjadinya peningkatan akumulasi senyawa fenol hidrokuinon, tanin, dan kadar yang tetap pada flavanoid, sedangkan pada bibit jabon putih hanya mengandung senyawa steroid dan mengalami peningkatan akumulasi senyawa flavanoid, tanin, dan penurunan kandungan senyawa fenol hidrokuinon. B. theobromae menyerang lebih berat pada bibit jabon putih dan dengan cara infeksi pelukaan batang. Bibit jabon merah lebih resisten dibandingkan dengan bibit jabon putih.
Saran Perlu dilakukan penelitian mengenai resistensi bibit jabon terhadap serangan B. theobromae menggunakan bibit jabon dengan berbagai asal provenans. Dikarenakan asal provenans juga akan mempengaruhi genetik tanaman dan sifat resisten tanaman terhadap serangan patogen.
DAFTAR PUSTAKA Achmad. 1997. Mekanisme serangan patogen dan pertahanan inang serta pengendalian hayati penyakit lodoh pada Pinus merkusii [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Achmad, Hadi S, Harran S, Sa’id EG, Satiawiharja B, Kardin MK. 2012. Mekanisme serangan patogen lodoh pada semai pinus (Pinus merkusii). Journal of Tropical Silviculture Science and Technology. 03(1):57-64 Agrios GN. 1997. Plant Pathology. New York (US): Academic Press. 4rd ed Agrios GN. 2005. Plant Pathology. New York (US): Elsevier Academic Press. 5th ed Aisah AR. 2014. Virulensi isolat cendawan patogen penyebab penyakit mati pucuk pada bibit jabon (Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq) [tesis]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor Ajizah A. 2004. Sensitivitas Salmonella typhimurium terhadap ekstrak daun Psidium guajava. L Bioscientiae. 1(1): 31-38 Aksara R, Weny JAM, La A. 2013. Identifikasi senyawa alkaloid dari ekstrak metanol kulit batang mangga (Mangifera indica L). Jurnal Entropi. 8(1)
49
Alam MS, Most FB, Montaz AS, Muhammad RI, Muhammad SA. 2001. Effect of temperature, light and media on growth, sporulation, formation of pigments and pycnidia of Botryodiplodia theobromae Pat. Pakistan Journal of Biological Sciences. 4(10): 1224-1227 Alexopoulos CJ, Mims CW, Blackwell M. 1996. Introductory Mycology. New York (US): John Willey and Sons Inc. Ed ke-4 Amic D, Davidovic AD, Besˇlo D, Trinajstic N. 2003. Structure radical scavenging activity relationships of flavonoids. Croatia Chemical Acta. 76: 55–61 Anggraeni I, Lelana NI. 2011. Diagnosis Penyakit Tanaman Hutan. Haneda NF, Rahayu S, editor. Bogor (ID): Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan Arifin M. 2009. Analisis mikroskopi dan kandungan mineral semanggi air Marsilea crenata Presl. (Marsileaceae) [skripsi]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor Arshinta P. 2013. Pengaruh pH dan penggoyangan media terhadap pertumbuhan Botryodiplodia sp. dan uji patogenisitas Botryodiplodia sp. pada bibit jabon [skripsi]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor Astawan M, Kasih AL. 2008. Khasiat Warna-Warni Makanan. Jakarta(ID): Gramedia Pustaka Utama Atia MMM, Aly AZ, Tohamy RMA, El-Shimi H, Kamhawy MA. 2003. Histopathological studies on grapevine die-back. Journal of Plant Diseases and Protection [nternet]. [diunduh 2015 Jan 29]; 110(2):131-142: Tersedia pada: www.jpdp-online.com/artikel.dll/2003-02-s131-142-atiahisto_NTc3NJA.PDF Banwart GJ. 1981. Basic Food Microbiology. New York (US): Avi Barnet HL, Hunter BB. 1998. Illustrated Genera of Imperfect Fungi. Minessota (US): APS Press. 4th edition Bayu A. 2009. Hutan mangrove sebagai salah satu sumber produk alam laut. Oseana. 34(2): 15-23 Begoude BAD, Bernard S, Michael JW, Jolanda R. 2009. Botryosphaeriaceae associated with Terminalia cattapa in Cameroon, South Africa and Madagascar. Mycol Progress. 9: 101-123 Bernays EA, Chapman RF. 1994. Host-Plant Selection by Phytophagous Insects. Chapman and Hall. New York (US): International Thompson Publishing Company Coventry E, Allan EJ. 1996. The Effect of Neem Based Products on Bacterial and Fungal Growth. Kleeberg H, Zebitz W, editor. Practice Oriented Results on Use and Production of Neem Ingredients and Phermones. Druckand Graphic Geissen. 237–242 Cowan MM. 1999. Plants products as antimicrobial agents. Clinical Microbiology Reviews. 12(4): 564-582 Duncan KE, Howard RJ. 2000. Cytological analysis of wheat infection by the leaf blotch pathogen Mycosphaerella graminicola. Mycol. Res. 104(9): 10741082 Dwidjoseputro D. 1994. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta(ID): Djambatan Emery DL. 1987. Immunity against anaerobic bacterial infections. Veterinary Immunology and Immunopathology. 15:1-57
50
Faizah R. 2010. Karakterisasi beberapa genotipe cabai (Capsicum spp.) dan mekanisme ketahanan terhadap begomovirus penyebab penyakit daun keriting kuning [tesis]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor Faure D. 2002. The family-3 glycoside hydrolises: from housekeeping function to host-microbe interction. Appled and Environmental Microbiology. 64(4):1485-1490 Fessenden RJ, Fessenden JS. 1979. Organic Chemistry. Boston(ENG): Willard Grant Press Gandjar I, Samson RA, Vermeulen KVDT, Oetari A, Santoso I. 1999. Pengenalan Kapang Tropik Umum. Jakarta (ID): Yayasan Obor Indonesia Goldberg G. 2003. Plants : Diet and Health. New York(US): Blackwell Publishing Company Govindachari TR, Krishna KGN. 1998. Tetranortriterpenoids from Khayasenegalensis. Phytochemistry. 47: 1423–1425 Hagerman AE, Riedl KM, Jones GA, Sovik KN, Ritchard NT, Hartzfeld PW, Riechel TL. 2002. High molecular weight plant polyphenolics (tannins) as biological antioxidants. Journal of Agricultural and Food Chemistry. 46:1887-1892 Halawane JE, Hanif NH, Kinho J. 2011. Prospek Pengembangan Jabon Merah (Anthocephalus macrophyllus (Roxb.) Havil), Solusi Kebutuhan Kayu Masa Depan. Manado (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Haralampidis K, Miranda T, Anne EO. 2002. Biosynthesis of triterpenoid saponins in plants [editorial]. Springer. 75 Harborne JB. 1984. Phytochemical Methods. New York(US): Chapman and Hall. Ed ke-2 Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia. Hlm : 5-15. Padmawinata K, Soediro I, penerjemah. Bandung (ID): ITB Pr. Terjemahan dari: Phytochemistry Methods Hardiningtyas SD. 2009. Aktivitas antibakteri ekstrak karang lunak (Sarcophyton sp.) yang difragmentasi dan tidak difragmentasi di Perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu [skripsi]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor Hartika R. 2009. Aktivitas inhibisi α-glukosidase ekstrak senyawa flavonoid buah mahkota [skripsi]. Jakarta (ID): Universitas Indonesia Herliyana EN, Achmad, Putra A. 2012. Pengaruh pupuk organik cair terhadap pertumbuhan bibit jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) dan ketahanan terhadap penyakit. Jurnal Silvikultur Tropika. 03(03): 168-173 Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid II. Jakarta(ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehutanan Hidayah HN, Arif I. 2012. Kesesuaian Media Sapih terhadap Persentase Hidup Semai Jabon Merah (Anthocephalus macrophyllus (Roxb.) Havil). Manado(ID): Balai Penelitian Kehutanan Manado Isaacson T, Kosma DK, Matas AJ, Buda GJ, He Y, Yu B, Pravitasari A, Batteas JD, Stark RE, Jenks MA, Rose JKC. 2009. Cutin deficiency in tomato fruit cuticle. The Plant Journal. 60(2): 363-366 Ismail AM, Cirvilleri G, Polizzi G, Crous PW. 2012. Lasiodiplodia species associated with dieback disease of mango (Mangifera indica) in Egypt. Australasian Plant Pathol [Internet]. [diunduh 2014 feb 29]; 41:649-660:
51
Tersedia pada: http://www.plantmanagementnetwork.org/pub/php/diagnosticguide/2004/ mango/. DOI: 10.1007/s13313-012-0163-1 Jafar SHI, Alfonsius T, Josephus IK, Martgen TL. 2013. Pengaruh frekuensi pemberian air terhadap pertumbuhan bibit jabon merah (Anthocephalus macrophyllus (Roxb.) Havil) [skripsi]. Manado(ID): Universitas Sam Ratulangi Manado Kahkonen MP, Hopia AI, Heinonen. 2001. Berry phenolics and their antioxidant activity. Journal of Agricultural and Food Chemistry. 49: 4076-4082 Kartikaningtyas D, Widigno. 2014. Identifikasi morfologi jabon putih (Antochepallus Cadamba Miq.) dan jabon merah (Antochepallus Macrophylla Roxb.) pada tingkat semai. Informasi Teknis. 12(2): 51-59 Kausar P, Sobia C, Rashida P. 2009. Physiological studies on Lasiodiplodia theobromae and Fusarium solani: the cause of shesham decline. Mycopath. 7(1): 35-38 Krisnawati H, Kallio M, Kanninen M. 2011. Anthocephalus cadamba Miq.: Ekologi, Silvikultur dan Produktivitas. Krisnawati H, Kallio M, Kanninen M, penerjemah. Bogor (ID): CIFOR. Terjemahan dari: Anthocephalus cadamba Miq.: Ecology, Silviculture and Productivity Kristanti AN, Nanik SA, Mulyadi T, Bambang K. 2008. Buku Ajar Fitokimia. Surabaya(ID): Universitas Airlangga. Cetakan 1 Kumar PS, Leena S. 2009. Lasiodiplodia theobromae is a mycoparasite of a powdery mildew pathogen. Mycobiology. 37(4) : 308-309 Kumar JIN, Sajish PR, George B, Viyol S, Kumar RN. 2011. Nutrient dynamic in an Avicennia marina (Forsk.) Vierh. mangrove forest in Vamleshwar, Near Narmada Estuary, West Coast of Gujarat, India. Global Journal of Enviromental Research. 5(1): 32-38 Kuntorini EM, Astuti MD. 2010. Penentuan aktivitas antioksidan ekstrak etanol bulbus bawang dayak (Eleutherine Americana Merr.). Sains dan Terapan Kimia. 4(1): 15-22 Kunz R. 2007. Control of Post Harvest Disease (Botryodiplodia sp.) of Rambutan and Annona Species by Using a Bio-Control Agent (Trichoderma sp.). Sri Langka(IND): International Centre for Underutilised Crops Lamothe RG. 2009. Plant antimicrobial agents and their effects on plant and human pathogens. Int. J. Mol. Sci. 10: 3400-3419 Lei W, Wei Z, Li Y, Fang Y, Ying Xu, Fang C. 2015. Extraction optimization of total triterpenoids from Jatropha curcas leaves using response surface methodology and evaluations of their antimicrobial and antioxidant capacities. Electronic Journal of Biotechnology. 18: 88–95. doi.org/10.1016/j.ejbt.2014.12.005 Locke JC. 1995. Fungi in the Neem Tree Sources of Unique Natural Products for Integrated Pest Management, Medicine, Industry and Other Purposes. Germany: VCH Weinheim. 118–127 Manitto P. 1992. Biosintesis Produk Alami. Koensoemardiyah, penerjemah. Semarang(ID): IKIP Semarang Press. Terjemahan dari: Biosynthesis of Plants Mariska VP. 2009. Pengujian kandungan fenol total tomat (Lycopersicum esculentum) secara in vitro [skripsi]. Jakarta(ID): UI Pr
52
Martawijaya A, Kartasujana I, Mandang YI, Prawira SA, Kadir K. 1989. Atlas Kayu Indonesia Jilid II. Bogor(ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Bogor Masduki I. 1996. Efek antibakteri ekstrak biji pinang (Areca catechu) terhadap S. aureus dan E. coli. Cermin Dunia Kedokteran. 109: 21-24 Maurhofer M, C Hase, P Meuwly, JP Metraux, G Defago. 1994. Induction of systemic resistance of tobacco to tobacco necrosis virus by the rootcolonizing Pseudomonas fluorescens strain CHA0: influence of the gacA gene and of pyoverdine production. Phytopathology. 84:139-146 Mendgen K, Hahn M, Deising H. 1996. Morphogenesis and mechanisms of penetration by plant pathogen fungi. Ann Rev Phytopathol [Internet]. [diunduh: 2014 Jun 22]; 34:364-386: Tersedia pada: www.annualreviews. org.ezproxylocal.library.nova.edu/doi/pdf/10.1146/annurev.phyto.34.1.367 Meskin MS, WR Bidlack, AJ Davies, ST Omaye. 2002. Phytochemicals in Nutrition and Health. London(ENG): CRC Press Michailides TJ. 1991. Pathogenicity, distribution, sources of inoculum, and infection courts of Botryosphaeria dothidea on pistachio. Phytopathology. 81:566–573 Muniza CR, Freire FCO, Viana FMP, Cardosoa JE, Cooke P, Wood D, Guedes MIF. 2011. Colonization of cashew plants by Lasiodiplodia theobromae: Microscopical features. Micron. 42: 419–428 Naidu AS. 2000. Natural Food Antimicrobial System. New York(US): CRC Press Ngatiman, Tangketasik J. 1987 Some insect pests on trial plantation of PT ITCI Balikpapan, East Kalimantan, Indonesia (dalam bahasa Indonesia). Jurnal Penelitian Hutan Tropika Samarinda. 2: 41–53 Nugroho H, Purnomo MS, Sumardi I. 2006. Struktur dan Perkembangan Tumbuhan. Jakarta(ID): Penebar Swadaya Orwa C, Mutua A, Kindt R, Jamnadass R, Anthony S. 2009. Agroforestry tree database: a tree species reference and selection guide version 4.0. [diunduh 22 Jun 2014]; Tersedia pada: http:// www. Wordagroforestry.org/treedb2/AFTPDFS/Anthocephalus cadamba.pdf Padmini EA, Valarmathi A, Rani MU. 2010. Comparative analysis of chemical composition and antibacterial activities of Mentha spicata and Camellia sinennsis. Asian J. Exp. Biol. Sci. 1(4): 772-781 Panda K, Brahma SS, Dutta KS. 2010. Selective antifungal action of crude extracts of Cassia fistula L. : A pre-elementary study on Candida and Aspergillus spesies. Malaysian Journal of Microbiology. 6(1): 62-68 Parwata IMOA, Dewi PFS. 2008. Isolasi dan uji aktivitas antibakteri minyak atsiri dari rimpang lengkuas (Alpinia Galanga L.). Jurnal Kimia. 2(2): 100-104 Pascoe I, Cottral. 2000. Developments in grapevine trunk diseases research in Australia. Phytopathol. Mediterr. 39: 68-75 Peoloengan M, Chairul, Iyep K, Siti S, Susan MN. 2006. Aktivitas antimikroba dan fitokimia dari beberapa tanaman obat. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner Porto DD, Henriques AT, Fett-Neto AG. 2009. Bioactive alkaloids from South American Psychotria and related species. The Open Bioactive Compounds Journal. 2: 29-36 Pridham JB. 1967. Terpenoids in Plants. London(ENG): Academic Press
53
Prihatman K. 2001. Saponin untuk Pembasmi Hama Udang. Laporan Hasil Penelitian. Bandung(ID): Pusat Penelitian Perkebunan Gambung Pr Punithalingam E. 1976. CMI Descriptions of Pathogenic Fungi and Bacteria. England (GB): Commonwealth Mycological Institute Qazniewska J, Violetta KM, Andrzej KK. 2012. Plant-fungus interface: The role of surface structures in plant resistance and susceptibility to pathogenic fungi. Physiological and Molecular Plant Pathology. 78:24-30 Rastuti U, Purwati. 2012. Uji aktivitas antioksidan ekstrak daun kalba (Albiza falcataria) dengan metode DPPH (1,1-Difenil-2-pikrilhidrazil) dan identifikasi senyawa metabolit sekundernya. Molekul. 7(1): 33-42 Raven PH, Evert RF, Eichhorn SE. 1986. Biology of Plants. New York (US): Worth Publishers INC Rios JL. 2010. Effects of triterpenes on the immune system. Journal of Ethnopharmacology. 128(1): 1-14 Robinson T. 1991. Kandungan Organik Tumbuhan Tingkat Tinggi. Bandung(ID): ITB Robinson T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Bandung (ID): ITB Saadoon AH, Mohanad KMA, Eman MAR. 2012. Histopathology of grapevine inoculated with Lasiodiplodia theobromae. Basrah J. Agric. Sci. 25(1): 112 Samson ZM. 2010. Senyawa golongan alkaloid ekstrak buah mahkota dewa sebagai inhibitor α-glukosidase [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Sari DWS. 2013. Potensi lamun Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii dari perairan Pulau Pramuka Kepulauan Seribu sebagai antioksidan dan aktivitasnya dalam menghambat pembentukan peroksida [tesis]. Bandung(ID): Universitas Padjadjaran Sastrohamidjojo H. 1996. Sintesis Bahan Alam. Yogyakarta(ID): Gadjah Mada University Press Sato T, Yumi I, Keisuke T, Satoshi T, Atsushi O, Kazaku T. 2008. Black band of jew’s marrow caused by Lasiodiplodia theobromae. J Gen Plant Pathol. 74:91–93.doi:10.1007/s10327-007-0056-2 Semangun H. 1996. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press Semangun H. 2007. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Pr. Ed ke-2 Shah MD, Verma KS, Singh K, Kaur R. 2010. Morphological, pathological and molecular variability in Botryodiplodia theobromae (Botryosphaeriaceae) isolates associated with die-back and bark canker of pear trees in Punjab, India. Genet Mol Res [Internet]. [diunduh 2014 feb 29]; 9(2):1217-1228: Tersedia pada: http://www.sumarios.org/sites/default/files/pdfs/gmr812.pdf. DOI: 10.423 8/vol9-2gmr812 Shaul O, David R, Sinvani G, Ginzberg DG, Wininger S, Badani H, Ovdat N, Kapulnik Y. 2001. Plant defence response during arbuscular mycorriza symbiosis: Current advances in mycorrhizae research. The American Phytopathological Society. 61-68
54
Silaban LW. 2009. Skrining fitokimia dan uji aktivitas antibakteri dari kulit buah sentul (Sandoricum Koetjape (Burm. F.) Merr) terhadap beberapa bakteri secara in vitro [skripsi]. Medan(ID): Universitas Sumatera Utara Simamora A. 2011. Flavonoid dalam apel dan aktivitas antioksidannya [tesis]. Jakarta (ID): Universitas Kristen Krida Wacana Singh UP, Singh HB, Singh RB. 1980. The fungicidal effect of neem (Azadrichta indica) extracts on some soilborne pathogens of gram (Cicer arietinum). Mycologia. 72: 1077–1093 Sirait M. 2007. Penuntun Fitokmia dalam Farmasi. Bandung(ID): Penerbit ITB Soerianegara I, Lemmens RHMJ. 1993. Plant Resources of South-East Asia: Timber Trees: Major Commercial Timbers. Belanda: Pudoc Scientific Publishers Soesanto L, Rahayuniati RF. 2009. Pengimbasan ketahanan bibit pisang ambon kuning terhada penyakit Fusarium sp. dengan beberapa jamur antagonis. J HPT Tropika. 9(2): 130-140 Steinhauer B. 1999. Possible ways of using the neem tree to control phytopathogenic fungi. Plant Research and Development. 50: 83–92 Stević M, Pukša P, Elezović I. 2010. Resistance of Venturia inaequalis to demethylation inhibiting (DMI) fungicides. Žemdirbystė=Agriculture [Internet]. [diunduh 2014 Jun 22]; 97(4):65-72: Tersedia pada: http:// www.lzi.lt/tomai/97(4)tomas/97_4_tomas_str7.pdf Sudrajat DJ, Bramasto Y, Siregar IZ, Siregar UJ, Mansur I, Khumaida N. 2014. Karakteristik tapak, benih dan bibit 11 populasi jabon putih (Anthocepalus cadamba Miq.). Jurnal Penelitian Hutan Tanaman. 11(1): 31-44 Suratmo FG. 1987. Current Potentially Dangerous Forest Pests in Indonesia. Guzmann ED, Nuhamara ST, editor. Bogor(ID): Biotrop Special Publication. Terjemahan dari: Forest Pests and Diseases in South East Asia. 91–95 Tobing, Rangke L. 1989. Kimia Bahan Alam. Jakarta (ID): Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Verpoorte R, AW Alfermann. 2000. Metabolic engineering of plant secondary metabolism. Springer. 1-3 Vickery ML, Vickery B. 1981. Secondary Plant Metabolism. London(ENG): The Macmillan Press LTD Wali M. 2014. Moduza procis Cramer (Lepidoptera: Nymphalidae) pada jabon merah dan putih (Anthocephalus spp.) perkembangan dan preferensi makan[tesis]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor Widnyana IK, Ni PP, Ni GEM. 2009. Uji aplikasi bakteri Pseudomonas alcaligenes terhadap kandungan asam salisilat dan total fenol dalam upaya menekan penyakit layu Fusarium pada tanaman tomat [skripsi]. Denpasar(ID): Universitas Mahasaraswati Denpasar Winara A. 2014. Bioaktivitas ekstrak mahoni dan identifikasi jenis isolat Botryodiplodia sp. penyebab mati pucuk pada bibit jabon[tesis]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor Winarno FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta(ID): Gramedia Pustaka Utama
55
Wink M. 2013. Evolution of secondary metabolites in Legumes (Fabaceae). South African Journal of Botany. 89: 164–175. doi.org/10.1016/j.sajb.2013.06.006 Yuhernita, Juniarti. 2011. Analisis senyawa metabolit sekunder dari ekstrak metanol daun surian yang berpotensi sebagai antioksidan. Makara Sains. 15(1) Zablotowitcz RM, RE Hoagland, SC Wagner. 1996. Effect of Saponin on the Growth and Activity of Rizophere Bacteria. New York(US): CRC Press Zeuthen P, LB Sorensen. 2003. Food Preservation Techniques. Cambridge(ENG): CRC Press
56
LAMPIRAN
57
Lampiran 1 Rekapitulasi sidik ragam spesies bibit jabon dan cara infeksi pada kejadian penyakit mati pucuk Sumber DB KT Fhitung Pr > F Perlakuan 7 21839.29 42.50 < 0.0001 Spesies bibit jabon 3 42125.00 81.97 < 0.0001 Cara infeksi 1 10125.00 19.70 < 0.0001 Interaksi 3 5458.33 10.62 < 0.0001 Galat 72 513.89 Total 79 Keterangan : Pr > 0.05 menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Lampiran 2 Rekapitulasi sidik ragam spesies bibit jabon dan cara infeksi pada keparahan penyakit mati pucuk Sumber DB KT Fhitung Pr > F Perlakuan 7 5200.00 36.28 < 0.0001 Spesies bibit jabon 3 7160.00 49.95 < 0.0001 Cara infeksi 1 6480.00 45.21 < 0.0001 Interaksi 3 2813.33 19.63 < 0.0001 Galat 72 143.33 Total 79 Keterangan : Pr > 0.05 menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Lampiran 3 Fitokimia senyawa metabolit sekunder batang bibit jabon umur 5 bulan
a
b
c
d
e
f
Fitokimia senyawa metabolit sekunder: (a) senyawa alkaloid; (b) flavanoid; (c) fenol hidrokuinon; (d) tanin; (e) saponin; (f) triterpenoid dan steroid
58
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Langsa, Nanggroe Aceh Darussalam pada tanggal 29 Januari 1990, sebagai anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan Burhanuddin dan Sri Erlinda. Penulis memiliki tiga saudara, yaitu Taufiq Hidayad (22 tahun), Muhammad Irzal Agung (16 tahun), dan Nanda Satria (13 tahun). Penulis menyelesaikan sekolah tingkat menengah di SMAN 1 Langsa pada tahun 2007 dan melanjutkan ke jenjang S1 di Jurusan Budidaya Hutan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara melalui jalur PMDK dan lulus dengan predikat cumlaude pada tahun 2011. Pada tahun 2012, penulis melanjutkan studi jenjang S2 Sekolah Pascasarjana IPB pada Program Studi Silvikultur Tropika. Penulis juga mendapatkan beasiswa Bakrie Graduate Fellowship 2014 selama 2 semester. Selama ini Penulis berkarir dalam bidang pendidikan. Sejak tahun 2009, Penulis sudah mengajar di Lembaga Pendidikan ASCO Medan (2009-2012) dan BIMA Medan (2011-2012). Sejak tahun 2012 hingga sekarang Penulis mengajar di Lembaga Pendidikan Aurum Private sebagai pengajar tetap.