Respon Bibit Jabon Merah & Jabon Putih Dari Berbagai Asal Sumber Benih Terhadap Kekeringan Dan Genangan (Respons of The Red and White Jabon Seed from Many Sources of Indonesian to Dry and Wet Treatments) Nurul Ainingsih1, Triastinurmiatiningsih2, Yulianti Bramasto3 1,2 Program Studi Biologi FMIPA Universitas Pakuan 3 Ketua Peneliti Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan, Ciheuleut, Bogor Abstrak Jabon hadir di tengah kegelisahan para petani kayu dan pelaku industri yang bergerak di bidang kehutanan. Bencana kekeringan sering terjadi di Indonesia. Jabon merupakan salah satu jenis pohon yang memiliki prospek tinggi untuk dikembangkan dalam pembangunan hutan tanaman industri dan tanaman reboisasi (penghijauan) di Indonesia, karena pertumbuhannya yang cepat, mempunyai kemampuan beradaptasi pada berbagai kondisi tempat tumbuh, relatif bebas dari serangan hama dan penyakit yang serius. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kondisi kekeringan dan genangan terhadap pertumbuhan bibit jabon merah dan jabon putih dari berbagai asal sumber benih. Desain penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap pola faktorial 4 x 3, sebagai faktor adalah asal benih dan kondisi air. Adapun 3 perlakuan kondisi air, yaitu tergenang, disiram setiap hari (kontrol), dan disiram hingga mencapai kapasitas lapang 25%. Asal benih terdiri dari 4 populasi jabon. Setiap perlakuan diulangi sebanyak 15 bibit. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa asal benih dan faktor penyiraman serta interaksi berpengaruh nyata terhadap bibit jabon. Sedangkan rasio pucuk akar, kerapatan stomata menunjukkan tidak berpengaruh nyata. Indeks Sensitivitas (IS) tinggi bibit dan diameter batang tanaman jabon terhadap kekeringan KL 25% dan genangan yang termasuk tanaman jabon paling baik adalah jabon putih asal benih Kediri, dengan mendapat kategori terbanyak sebagai tanaman jabon agak toleran. Kata Kunci : Bibit Jabon, Cekaman, Sumber benih penyakit karat tumor yang disebabkan PENDAHULUAN Industri kehutanan tengah kembali oleh cendawan (Uromycladium bergairah dengan kehadiran jenis kayu tepperianum) (Halawane et al., 2011). cepat tumbuh (fast growing species) yang Jenis ini juga diharapkan menjadi dapat dipanen dalam waktu yang relatif semakin penting bagi industri perkayuan singkat. Jabon merupakan salah satu jenis di masa mendatang, terutama ketika bahan kayu cepat tumbuh yang saat ini lagi trend baku kayu pertukangan dari hutan alam diperbincangkan oleh banyak kalangan diperkirakan akan semakin berkurang. baik pemerintah, pelaku industri, praktisi Hutan tanaman jabon dalam skala besar kehutanan, peneliti, petani kayu sampai dapat dijumpai di Provinsi Sumatera Utara, masyarakat biasa. Jabon hadir di tengah Riau dan Kalimantan Tengah. Pada saat kemelut kegelisahan para petani kayu dan ini jabon juga banyak dibudidayakan oleh pelaku industri yang bergerak di bidang petani, terutama di Kalimantan dan Jawa kehutanan, yang telah menginvestasikan (Krisnawati et al., 2011). sejumlah modalnya untuk bertanam Basu (1994) menyatakan bahwa sengon, yaitu salah satu jenis kayu cepat kondisi lingkungan baik sebelum maupun tumbuh yang bernilai ekonomis, namun sesudah masak fisiologik dapat mempesayangnya sengon sangat rentan terhadap ngaruhi mutu benih. Masak fisiologi benih 1
dicirikan dengan benih memiliki berat kering maksimum serta viabilitas dan vigor yang paling tinggi, viabilitas potensial benih dipengaruhi oleh waktu tanam (Hasanah, 1995). Mutu benih meliputi mutu genetik, fisiologik, dan fisik. Benih unggul adalah benih dengan mutu genetik tertentu yang telah dideskripsikan oleh pemulia tanaman. Mutu fisiologik benih ditentukan oleh viabilitas benih sehingga mampu menghasilkan tanaman yang normal. Viabilitas benih ditentukan oleh kondisi prapanen, antara lain kesuburan tanah, cara dan waktu panen, serta pasca panen yang meliputi pengeringan, perlakuan benih, pengemasan dan penyimpanan. Panen pada masak fisiologis menghasilkan vigor maksimum (Maharani, 2002). Kayu Jabon termasuk ke dalam Kelas Kuat III (Anonim, 1979) sehingga dapat digunakan sebagai bahan baku kayu konstruksi (Dwianto dan Marsoem, 2008), oleh karena itu saat ini jabon banyak dibudidayakan oleh para petani sebagai kayu pengganti jati. Dalam UndangUndang nomor 5 tahun 1990 dinyatakan bahwa konservasi Sumberdaya Alam Hayati adalah pengelolaan Sumberdaya Alam Hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya (Hajar, 2009). Bencana kekeringan sering terjadi di Indonesia. Hasil pengamatan jangka panjang menunjukkan bahwa terjadinya musim kemarau panjang akibat adanya fenomena anomali iklim global El Nino pada umumnya terjadi secara periodik setiap lima tahun sekali (Bey et al., 1992). Pengaruh cekaman kekeringan tidak saja menekan pertumbuhan dan hasil bahkan menjadi penyebab kematian tanaman (Djazuli, 2010), untuk itu perlu dilakukan penelitian mengenai tanaman tahan cekaman.
2
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kondisi kekeringan dan genangan terhadap pertumbuhan bibit jabon merah dan jabon putih dari berbagai asal sumber benih. Manfaat dari penelitian ini adalah diketahuinya populasi jabon putih dan jabon merah yang mempunyai toleransi tinggi pada kondisi cekaman kekeringan dan genangan, sehingga dapat dijadikan alternatif dan sebagai tanaman mengatasi tahan kekeringan dan genangan. Benih yang berasal dari tempat tumbuh yang berbeda mempunyai ketahanan yang berbeda pula terhadap cekaman kekeringan dan genangan. METODE PENELITIAN Persiapan Benih Benih diambil dari beberapa lokasi berbeda yaitu Kediri, Garut, Makassar dan Bolaang Mongondow. Benih dikumpulkan dari 5-10 pohon induk per populasi dengan cara mengunduh buah dari atas pohon, kemudian diekstraksi dengan metode ekstraksi basah. Ekstraksi benih dilakukan untuk memisahkan biji/benih dari daging buah. Kegiatan ekstraksi benih dengan metode basah dapat dilakukan dengan langkah berikut (Pamungkas, 2011) : a. Buah diletakkan di dalam bak, kemudian direndam hingga membusuk. Selama perendaman air dalam bak diganti setiap hari. b. Kemudian buah yang sudah lunak dihancurkan dengan peremasan, lalu disaring dengan saringan berbahan kaos dan dibilas air mengalir. c. Hasil saringan dan bilasan tersebut kemudian diletakkan di tampah berlapis koran dan dijemur di dalam ruangan dengan diangin-anginkan sampai kering. d. Kemudian dihancurkan dengan tangan dan disaring dengan menggunakan mesh (saringan). Kemudian dimasukkan ke dalam
kantong plastik kedap ditimbang dan diberi label.
udara,
Persiapan Media a. Media Semai Komposisi media tanam untuk penaburan semai benih adalah media pasir dan media tanah dengan perbandingan 1 : 1 (v/v), sebelumnya media tanah disaring dahulu dengan menggunakan saringan kawat. b. Media Tanam Media tanam berupa pasir, tanah dan kompos (1 : 1 v/v), kemudian mediamedia tersebut dicampur dan dimasukkan media tanam ke dalam polybag . Penyemaian Benih dari setiap populasi ditaburkan pada media campuran tanah dan pasir halus (1 : 1 v/v) yang telah disterilkan. Penaburan benih dilakukan dengan mencampurkan benih dengan pasir halus sehingga benih merata pada permukaan media. Benih ditimbang sebanyak 0,1 g dengan ulangan 4 kali untuk setiap lokasi asal benih. Selanjutnya dilakukan pengukuran kadar air benih, kecepatan dan daya berkecambah benih dari setiap populasi. Penyiraman dilakukan setiap pagi dan sore hari dengan menggunakan sprayer. Penyapihan Setelah kecambah berukuran 3-5 cm, kecambah dipindahkan ke dalam polybag berukuran diameter 10 cm dan tinggi 15 cm dengan media campur top soil dan kompos (1 : 1 v/v). Penanaman Sejumlah 45 semai dari setiap populasi diambil secara acak dan ditanam dalam polybag, sehingga diperoleh 45 bibit dari setiap populasi. Sebanyak 45 bibit tersebut dipersiapkan untuk diberikan perlakuan (3 perlakuan). Pada awal pertumbuhan, bibit diletakkan di persemaian. Penyiraman dilakukan setiap 3
hari untuk memastikan pertumbuhan pada tingkat bibit optimal. Setelah berumur 1 bulan, polybag-polybag tersebut dipindahkan ke rumah kaca. Perlakuan beragam kondisi air dilakukan setelah bibit berada 2 minggu di rumah kaca. Rancangan Penelitian Desain penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap pola faktorial 4 x 3, sebagai faktor adalah asal benih dan kondisi air (Tabel 1). Adapun 3 perlakuan kondisi air, yaitu tergenang, disiram setiap hari (kontrol), dan disiram hingga mencapai kapasitas lapang 25%. Asal benih terdiri dari 4 populasi jabon. Setiap perlakuan diulangi sebanyak 15 bibit. Parameter uji (respon yang diamati) pada penelitian ini adalah pertumbuhan, kerapatan stomata dan indeks sensitivitas. Tabel 1. Rancangan Perlakuan Perlakuan A1
B1 A1 x B1
B2 A1 x B2
B3 A1 x B3
A2
A2 x B1
A2 x B2
A1 x B3
A3
A3 x B1
A3 x B2
A3 x B3
A4
A4 x B1
A4 x B2
A4 x B3
Keterangan : A1 = Kediri, A2 = Garut, A3 = Makassar, A4 = Bolaang Mongondow, B1 = siram setiap hari (kontrol), B2 = Tergenang, dan B3 = Cekaman Kekeringan KL 25%
Parameter Uji a. Pengukuran Pertumbuhan Pengukuran pertumbuhan dilakukan setiap 2 (dua) minggu sekali selama 8 minggu (2 bulan). Pertumbuhan yang diamati meliputi tinggi tanaman, diameter batang, jumlah daun dan luas daun. Pada akhir penelitian, bibit-bibit tersebut dipanen. Kemudian dihitung diameter batang, tinggi batang dan jumlah daun. Luas daun diukur dengan leaf area meter (modern) atau millimeter book (konvensional). Akar bibit dicuci dengan air dalam saringan (ukuran 0,5 mm mesh) untuk menghilangkan tanahnya. Setiap bibit dibagi ke dalam akar, batang dan daun dan dikeringkan dalam oven selama 48 jam pada suhu 700 C. Produksi berat kering tanaman total dihitung dengan menjumlahkan berat kering akar, batang dan daun. Rasio pucuk akar (RPA) diukur
berdasarkan berat kering akar dibagi berat kering pucuk (Hendromono, 2003). b. Pengukuran Kerapatan Stomata Pengamatan terhadap kerapatan struktur stomata daun dilakukan dengan cara menghitung jumlah stomata per satuan luas bidang pengamatan (mm2). Pengamatan ini dilakukan pada 1 daun per bibit dari setiap populasi diambil 3 bibit. Selain itu, dihitung juga jumlah stomata yang terdapat pada lapisan epidermis atas dan bawah. Metode yang digunakan dengan cara sederhana, yakni dengan cara mencetak permukaan daun menggunakan cat kuku (cutex). Pencetakan permukaan daun dilakukan pada permukaan atas dan permukaan bawah dari daun. Mula-mula cutex dioleskan pada permukaan daun hingga kering, kemudian cetakan tersebut diambil dengan selotip dan diletakkan pada kaca obyektif mikroskop dan ditutup dengan cover glass (Haryani, 2010). Perhitungan dilakukan dengan cara menghitung jumlah stomata per millimeter persegi (mm2) bidang pengamatan (Soeharno et al., 2007). Kemudian dihitung kerapatan stomata per luas lensa pembesaran pada mikroskop, dengan menggunakan rumus (Lestari, 2006) : Kerapatan stomata = Jumlah stomata Satuan luas bidang pandang Analisis Data Data parameter uji pertumbuhan tinggi dan diameter batang bibit diolah dengan persentase dari pertambahan bibit dari minggu pertama hingga minggu terakhir. Data yang didapatakan diolah dengan menggunakan program SAS. Jika dari hasil analisis ragam diketahui bahwa perlakuan menunjukan pengaruh yang berbeda nyata atau berbeda sangat nyata, maka untuk membandingkan perlakuan terbaik dilanjutkan dengan uji Duncan taraf uji 5%. Menurut Lapanjang et al., (2008) untuk menunjukkan ekotipe toleran, agak toleran dan peka terhadap cekaman kekeringan dilakukan pengamatan terhadap indeks sensitivitas (IS). Indeks 4
sensitivitas yang dihitung berdasarkan rumus Fischer dan Maurer (1978) yaitu:
keterangan : - (Y) = nilai rataan peubah tertentu pada suatu ekotipe yang mengalami cekaman kekeringan, - (Yp) = nilai rataan peubah tersebut pada satu ekotipe lingkungan optimum, - (X) = nilai rataan peubah tersebut pada semua ekotipe yang mengalami cekaman kekeringan, dan - (Xp) = nilai rataan peubah tersebut pada semua ekotipe lingkungan optimum. Ekotipe dikatakan toleran terhadap cekaman kekeringan jika mempunyai nilai IS < 0.5, agak toleran jika 0.5 ≤ IS ≤ 1.00, dan peka jika IS > 1.00. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Bibit Tinggi Bibit Parameter pertumbuhan tinggi bibit dilakukan dengan menghitung pertamahan tinggi dari minggu ke- 1 s.d 8, dengan tinggi akhir dikurangi tinggi awal kemudian dikonversikan ke dalam bentuk persentase. Berdasarkan Analysis of Varians (ANOVA) persentase pertambahan tinggi bibit jabon terhadap perlakuan cekaman kekeringan (KL 25%) dan genangan berpengaruh sangat nyata. sedangkan asal benih dan interaksi antara asal benih dengan faktor penyiraman menunjukkan berpengaruh sangat nyata. Pertambahan tinggi bibit dari minggu ke1 s.d 8 dapat dilihat pada Tabel 2.
5.4
7.5
5.42
3.2
5.2
8.4
5.61
KL 25%
2.2
4.4
8.0
4.87
Kontrol
4.0
6.6
9.5
6.71
Tergenang
3.5
5.7
8.9
6.03
KL 25%
3.5
5.8
10.0
6.46
Kontrol
3.3
5.4
7.7
5.44
Tergenang
3.4
6.0
9.6
6.34
KL 25%
1.6
2.7
4.0
2.79
Berdasarkan Tabel 2 terlihat ratarata pertambahan tinggi setiap asal benih yang telah diberi perlakuan menunjukkan perbedaan. Pada kontrol, benih asal Makassar memiliki rata-rata pertambahan tinggi tertinggi 6.71 cm dan benih asal Kediri terendah 4.72 cm. Hal tersebut dapat terjadi karena berdasarkan letak koordinat asal benih, sehingga benih asal Makassar lebih cepat tumbuh dibandingkan dengan benih asal lokasi lainnya. Pengaruh perlakuan asal benih dan penyiraman terhadap rata-rata persentase pertambahan tinggi berbagai bibit dapat dilihat pada Gambar 2 & 3. Pertambahan Tinggi (%)
Rata-rata (%) Rata-rata (%) 31.0 a
40,0 30,0 20,0
22.7 b
16.6 c
17.4 c
Kediri
Garut Makassar Bolaan M Asal Benih
10,0 0,0
Gambar 2. Histogram pengaruh perlakuan asal benih terhadap rata-rata persentase pertambahan tinggi bibit Jabon Putih dan Merah
Berdasarkan Gambar 2 terlihat bahwa rata-rata persentase pertambahan tinggi bibit benih asal Kediri tidak berbeda nyata dengan benih asal Garut dan berbeda nyata dengan bibit asal Makassar dan Bolaang Mongondow. Hal tersebut menunjukkan bahwa rata-rata 5
Rata-rata (%) 25.3 a
30
23.9 a
Rata-rata (%) 16.5 b
20 10 0
Kontrol Tergenang KL 25% Perlakuan Penyiraman
Gambar 3. Histogram pengaruh perlakuan penyiraman terhadap rata-rata persentase pertambahan tinggi bibit jabon putih dan merah
Pada Gambar 3, terlihat bahwa perlakuan penyiraman pada kontrol dan tergenang tidak berbeda nyata terhadap persentase pertambahan tinggi bibit akan tetapi berbeda nyata dengan perlakuan kekeringan KL 25%. Hal tersebut dikarenakan pada konsentrasi atau jumlah air (kapasitas lapang) pada kontrol dan genangan memiliki KL relatif hampir sama ≥ 100%, berbeda dengan perlakuan KL 25% yang memiliki jumlah air terbatas dalam polybag. Interaksi yang terjadi antara asal benih dan penyiraman terhadap persentase pertambahan tinggi bibit dapat dilihat pada Gambar 4. Pertambahan Tinggi (%) a a
bc b-e b 60,0 b-d c-e de b-eb-d 39.5b-e e 40,0 21.114.814.019.621.3 23.420.037.237.2 16.1 11.4 20,0 0,0
Kediri
KL 25%
3.4
Tergenang
Kontrol Tergenang
KL 25%
4.31
Kontrol
4.70
6.4
Tergenang
6.8
3.9
KL 25%
4.7
2.6
Kontrol
Bolaang M.
2.7
KL 25%
Tergenang
Makassar
Tergenang
KL 25%
Garut
4.72
Kontrol
Kediri
Rata-Rata Pertambahan Tinggi (cm)
Kontrol
Kontrol
Pertambahan Tinggi Minggu ke∆1 ∆2 ∆3 2.8 4.7 6.6
Tergenang
Perlakuan
Pertambahan Tinggi (%)
Asal Benih
jabon putih (jabon putih asal Kediri, Garut dan Makassar) mengalami pertambahan tinggi yang lebih kecil dibandingkan dengan jabon merah (Bolaang M.). Benih asal Bolaang Mongondow tertinggi persentase pertambahan tingginya dapat dikarenakan Bolaang merupakan salah satu lokasi benih asal Kabupaten di Sulawesi Utara dengan curah hujan 509 mm/tahun, dan ketinggian 302-410 m dpl yang dapat dikategorikan relatif sedang diantara 3 lokasi asal benih lainnya. Selain itu, dapat dikarenakan benih asal Bolaan Mongondow merupakan bibit jabon merah yang memiliki struktur batang lebih kuat/kokoh dibandingkan jabon putih.
PersentasePertambahan (%)
Tabel 2. Rata-rata pertambahan tinggi minggu ke- 1 s.d 8 (cm)
%…
Asal Benih Garut Makassar Bolaan M
Gambar 4. Histogram persentase pertambahan tinggi bibit jabon putih dan merah dari 4 asal benih dan perlakuan
Jabon putih asal Kediri menunjukkan pertambahan tinggi tertinggi pada kontrol, berbeda nyata dengan perlakuan tergenang dan KL 25%, sedangkan perlakuan tergenang dan KL 25% tidak berbeda nyata. Bibit asal Garut dengan perlakuan tergenang menunjukkan persentase pertambahan tinggi lebih besar daripada kontrol dan KL 25%. Kontrol dan perlakuan KL 25% tidak berbeda nyata, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan tergenang. Benih asal Makassar menunjukkan persentase pertambahan tinggi bibit tertinggi pada cekaman kekeringan KL 25% dibandingkan dengan kontrol dan tergenang, dan antara KL 25% dengan kontrol dan tergenang saling tidak berbeda nyata. Asal benih jabon merah dari Bolaang Mongondow menunjukkan pertambahan tinggi bibit kontrol dan tergenang tidak berbeda jauh persentase pertambahan tingginya dan tidak berbeda nyata, berbeda dengan perlakuan KL 25% menunjukkan hasil rendah dan berbeda nyata. Pada Gambar 4, secara keseluruhan terlihat interaksi antar perlakuan menunjukkan tidak berbeda nyata dan berbeda nyata. Hal tersebut menunjukkan bahwa bibit asal Kediri, Garut dan Bolaang Mongondow dapat bertahan pada kondisi alam yang tergenang, contohnya rawa, sedangkan pada kondisi cekaman kekeringan KL 25% bibit asal Makassar tidak terhambat pertambahan tingginya. Bibit asal benih Kediri, Garut dan Bolaang Mongondow tidak terhambat pertambahan tinggi bibitnya dikarenakan asal benih tersebut memiliki curah hujan dan ketinggian cukup tinggi. Namun, semua jabon putih selama perlakuan dan pengamatan berlangsung tidak mati, hanya saja daunnya layu dan batang serta munculnya akar napas di buku daun yang terendam pada perlakuan tergenang. Berbeda dengan jabon putih, jabon merah pada perlakuan KL 25% ada yang mengalami kematian pada sampel dan layu pada batang. Kematian pada 6
sampel jabon merah dapat terjadi karena jabon secara fisik memerlukan air di atas 25% agar laju transportasi berjalan normal dan pertumbuhan tidak terhambat. Selain itu untuk jabon merah pada perlakuan tergenang mampu beradaptasi dengan baik dengan tidak terhambatnya pertumbuhan bibit. Bentuk adaptasi yang dilakukan jabon putih dan merah merupakan suatu bentuk adaptasi agar dapat bertahan terhadap kondisi (genangan dan kekeringan) di alam nanti. Hal tersebut didukung dengan pendapat Nguyen et al., 1997 dalam Lestari (2006) bahwa mekanisme toleransi pada tanaman adanya cekaman kekeringan dengan memperpendek siklus tumbuh. Dari hasil tersebut nampak bahwa air tanah mutlak diperlukan bagi pertumbuhan anakan Jabon (Anthocephalus cadamba) (Soetrisno, 1996). Leiwakabessy (1998) dalam Soetrisno, (1996) juga menyatakan bahwa pertumbuhan tanaman berbanding lurus dengan jumlah air yang tersedia, sampai suatu batas tertentu. Sehingga persentase pertambahan tinggi jabon berbeda nyata antara genangan dan kekeringan KL 25%. Diameter Batang Berdasarkan ANOVA persentase pertambahan diameter batang, menunjukkan bahwa asal benih tidak berpengaruh nyata, sedangkan faktor penyiraman berpengaruh sangat nyata terhadap pertumbuhan diameter dan interaksi antara asal benih dengan faktor penyiraman berpengaruh nyata. Adapun rata-rata pertambahan diameter batang dari minggu ke-1 hingga minggu ke-8 (mm) beserta persentasenya dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Rata-Rata Pertambahan Diameter Batang Bibit Jabon Putih dan Merah dari Minggu Ke- 1 s.d 8 (mm)
1.04
1.59
2.82
1.82
Garut
Tergenang
1.65
2.39
3.98
2.67
KL 25%
0.62
0.89
1.68
1.07
Kontrol
0.95
1.48
2.51
1.65
Makassar
Tergenang
1.65
2.36
4.49
2.83
KL 25%
0.54
0.88
1.80
1.07
Kontrol
1.04
1.55
2.71
Bolaang M.
1.77
Tergenang
1.78
2.63
4.94
3.12
KL 25%
0.65
0.92
1.63
1.07
Pertambahan Diameter (%)
Berdasarkan Tabel 4, terlihat bahwa secara keseluruhan semua benih (Kediri, Garut, Makassar dan Bolaang Mongondow) menunjukkan pertambahan diameter lebih sedikit/kecil pada perlakuan KL 25% dibandingkan dengan pertambahan diameter batang pada perlakuan tergenang. Diameter batang pada perlakuan tergenang lebih besar dibandingkan dengan perlakuan KL 25% dapat terjadi karena pada perlakuan tergenang kapasitas air berlebih sehingga jaringan meristem pada batang cepat berdiferensiasi menjadi pertumbuhan sekunder pada batang, sedangkan perlakuan KL 25% jaringan meristem berdiferensiasi dengan lambat karena kapasitas air dan hara mineral yang tidak tertransportasi secara normal. Pengaruh perlakuan penyiraman dan interaksi antar dua perlakuan terhadap persentase pertambahan diameter batang bibit dapat terlihat pada Gambar 6. Rata-rata (%) 40,0 20,0
25.2 b
30.1 a 13.1 c
Rata-rata…
0,0 Kontrol Tergenang KL 25% Perlakuan Penyiraman
Gambar 6. Histogram pengaruh perlakuan faktor penyiraman terhadap rata-rata persentase pertambahan diameter batang jabon putih dan merah
Pada Gambar 6, menunjukkan bahwa persentase pertambahan diameter pada perlakuan kontrol, tergenang dan KL 25% 7
Pertambahan Diameter (%)
a
ab
ab
ab
bc 31.5 40,0 33.7 a-c b-d 32.0 c-e 31.0 25.8 de 23.0 30,0 de 20.2 de 23.8 e 20,0 13.7 14.1 13.8 13.1 10,0 0,0
Kediri
Garut Makassar Asal Benih
KL 25%
1.04
Kontrol
Tergenang
2.37
1.53
KL 25%
3.60
0.95
Kontrol
2.16
0.63
Tergenang
1.35
KL 25%
KL 25%
Tergenang
Kontrol
Kediri
Tergenang
3.12
KL 25%
∆3
1.98
Kontrol
∆2
1.33
Perlakuan
saling berbeda nyata. Nilai persentase pertambahan diameter pada perlakuan tergenang kemudian kontrol dan terkecil pada perlakuan KL 25%, hal tersebut dikarenakan pada perlakuan tergenang konsentrasi serta volume air yang relatif lebih dari cukup sehingga sel-sel meristem mulai menghisap air tersebut, sedangkan pada perlakuan KL 25% menunjukkan hasil terendah dikarenakan terhambatnya sistem transport yang terjadi di dalam tubuh tumbuhan bibit jabon. Interaksi antar dua perlakuan (asal benih dan penyiraman) terhadap pertambahan diameter batang bibit jabon dapat dilihat pada Gambar 7. Secara keseluruhan perlakuan genangan menunjukkan nilai pertambahan diameter tertinggi dan terendah pada perlakuan KL 25%, terkecuali benih asal Kediri. Jabon asal Kediri menunjukkan bahwa antara perlakuan genangan dengan kontrol tidak berbeda nyata sedangkan pada perlakuan KL 25% menunjukkan berbeda nyata dengan kontrol dan genangan. Berbeda dengan benih asal Garut, persentase pertambahan diameter batang pada kontrol dengan perlakuan tergenang tidak berbeda nyata, kontrol dengan perlakuan KL 25% tidak berbeda nyata akan tetapi perlakuan tergenang dan KL 25% saling berbeda nyata. Benih asal Makassar mempunyai nilai pada histogram kontrol dan KL 25% saling tidak berbeda nyata tetapi pada perlakuan tergenang berbeda nyata. Pada benih asal Bolaang Mongondow berpengaruh sangat nyata terhadap persentase pertambahan diameter batang pada perlakuan KL 25%.
Kontrol
∆1 Kontrol
Rata-Rata Pertambahan Diameter (mm) 2.15
Pertambahan Diameter Minggu ke-
Tergenang
Asal Benih
Bolaan M
Gambar 7. Histogram persentase pertambahan diameter batang bibit jabon putih dan merah dari berbagai asal sumber benih dan masing-masing perlakuan
%…
Rata-rata Jumlah Daun (Helai)
Jumlah Daun 10
9.1 a
Jumlah Daun 5.6 c
7.2 b
7.2 b
Kediri
Garut Makassar Bolaan M Asal Benih
5 0
Gambar 9. Histogram pengaruh perlakuan asal benih terhadap rata-rata jumlah daun jabon putih dan merah
Berdasarkan Gambar 9, dapat terlihat bahwa jumlah daun benih asal Kediri dengan Garut tidak berbeda nyata, sedangkan jumlah daun benih asal 8
Rata-rata Jumlah Daun (Helai)
Makassar dan berbeda nyata.
Bolaang
Mongondow
Jumlah Daun 8.3 a
10
Jumlah Daun
7.3 b
6.4 c
5 0 Kontrol
Tergenang Penyiraman
KL 25%
Gambar 10. Histogram pengaruh perlakuan penyiraman terhadap rata-rata jumlah daun jabon putih dan merah
Berdasarkan Gambar 10, terlihat bahwa secara keseluruhan perlakuan penyiraman berpengaruh nyata terhadap jumlah daun. Pada kontrol menunjukkan jumlah daun tertinggi kemudian menurun pada perlakuan genangan dan KL 25% serta saling berbeda nyata. Pada Gambar 11 menunjukkan bahwa asal benih Makassar yang mempunyai jumlah daun terbesar dibandingkan dengan 3 (tiga) asal benih lokasi lainnya. Jumlah Daun 15,0 10,0 5,0
Jumla… 7.8 6.8 7.0 8.3 7.0 6.4 10.5 9.3 7.5 6.5 5.9 4.5
Kediri
Garut Makassar Asal Benih
KL 25%
Kontrol
Tergenang
KL 25%
Tergenang
KL 25%
Kontrol
Tergenang
KL 25%
Kontrol
Tergenang
0,0 Kontrol
Jumlah Daun (Helai)
Bentuk adaptasi pada pertambahan diameter yang terjadi dalam perlakuan yaitu untuk perlakuan tergenang bentuk batangnya membesar dan terlihat pada kulit batang bintik-bintik putih di sepanjang batang, sedangkan untuk perlakuan cekaman kekeringan KL 25% bentuk batang tidak kokoh, layu sehingga laju pertumbuhn diameter batang pun terhambat dikarenakan batang yang kurang produktif dalam transportasi air. Pada saat pasokan air tidak mencukupi kebutuhan evapotranspirasi (tanaman mengalami stress air), transpirasi dan asimilasi cenderung mulai menurun Blum (1996) dalam Lapanjang et al., (2008). Soetrisno (1996), juga menyatakan bahwa kandungan air 25% tidak cukup untuk mendorong pertumbuhan tinggi dan diameter anakan Jabon (Anthocephalus cadamba). Hilangnya turgiditas dan suplai air yang kecil sehingga menurunkan metabolisme akar dan pengambilan CO2 oleh daun serta penyerapan hara dan mineral tanah sehingga pertumbuhan pun terhambat. Jumlah Daun Berdasarkan hasil ANOVA, perlakuan asal benih dan faktor penyiraman berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah daun, tetapi interaksi antar kedua faktor perlakuan tersebut tidak berpengaruh nyata. Rata-rata pengaruh faktor perlakuan (asal benih dan penyiraman) terhadap jumlah daun dapat dilihat pula pada Gambar 9 & 10.
Bolaan M
Gambar 11. Histogram jumlah daun bibit jabon putih dan merah dari 4 asal sumber benih beserta dengan perlakuan-perlakuan yang diberikan
Pada Gambar 11, menunjukkan jumlah daun terbesar pada control dan terendah pada perlakuan KL 25%, terkecuali pada benih asal Kediri. Berkurangnya jumlah daun pada perlakuan merupakan suatu bentuk respon untuk mengatur laju transpirasi yang terganggu akibat pasokan air yang berlebih pada perlakuan tergenang ataupun berkurang pada perlakuan KL 25%. Benih asal Garut pun menampilkan jumlah daun yang menurun secara perlahan dari kontrol, tergenang dan KL 25%. Hal itu menunjukkan bahwa jumlah
daun benih asal Garut dapat dipengaruhi oleh kondisi genangan dan kekeringan di alam nanti. Selain itu, pada benih asal Makassar dan Bolaang Mongondow jumlah daun yang serupa dengan benih asal Garut yang menurun secara berkala setiap perlakuannya. Setiap asal benih menampilkan bentuk respon atau adaptasi yang serupa, yaitu saat diberi perlakuan tergenang atau genangan daun akan berubah menjadi hijau kekuningan dan lama-kelamaan berubah menjadi kuning lalu layu dan gugur. Saat diberi perlakuan kekeringan daun berubah menjadi layu dan coklat. Warna daun yang berubah menjadi kekuningan dan kuning tersebut merupakan terjadinya penurunan laju fotosintesis supaya asupan air yang berlebih dapat seimbang, serta menurunnya efisiensi air pada tumbuhan tersebut. Luas Daun Luas daun diukur pada daun kedua dari pucuk dengan menggunakan millimeterbook (manual). Berdasarkan hasil ANOVA luas daun menunjukkan bahwa perlakuan asal benih dan penyiraman tidak berpengaruh nyata terhadap luas daun jabon, begitu pula dengan hubungan interaksi antar kedua perlakuan tersebut terhadap luas daun tidak berpengaruh nyata pula. Histogram luas daun setiap lokasi dan perlakuannya dapat dilihat pada Gambar 14. Luas Daun
Kediri
Garut
KL 25%
Tergenang
KL 25%
Makassar
Kontrol
Tergenang
KL 25%
Kontrol
Kontrol
Tergenang
KL 25%
Kontrol
Tergenang
Luas… 8213 78008997 10000 64407990 7428 5975 5947 8000 4599 492247893531 6000 4000 2000 0
Bolaan M
Asal Benih
Gambar 14. Histogram luas daun bibit jabon putih dan merah dari 4 asal sumber benih beserta dengan perlakuanperlakuan yang diberikan
Berdasarkan gambar 14, dapat terlihat bahwa pada benih asal Kediri 9
memiliki luas daun terbesar pada perlakuan tergenang, kontrol dan kekeringan KL 25%. Berbeda dengan benih asal Garut mrnunjukkan luas daun terbesar pada kontrol, pada perlakuan tergenang dan KL 25% menunjukkan luas daun yang tidak berbeda. Benih asal Makassar menunjukkan hasil serupa dengan benih asal Garut, tetapi berbeda pada luas daun terbesar yang terdapat pada daun yang diberi perlakuan KL 25%. Sedangkan pada luas daun asal Bolaang Mongondow memiliki luas daun terbesar pada kontrol dan terkecil pada tergenang. Mengecilnya ukuran luas daun pada perlakuan tergenang dan KL 25% merupakan respon yang diberikan tanaman supaya tanaman dapat meminimalisir laju transpirasi agar dapat berjalan maksimal. Lapanjang et al., (2008) juga menyatakan bahwa mengecilnya luas daun merupakan bentuk respon tanaman yang mengalami cekaman kekeringan. Levit (1951) dalam Lestari (2006) menyatakan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi ketahanan tanaman terhadap kekeringan termasuk diantaranya kecenderungan untuk memperlambat dehidrasi seperti absorbsi air permukaan secara efisien dan sistem konduksi air, luas permukaan daun dan strukturnya. Rasio Pucuk Akar (RPA) Berdasarkan ANOVA Rasio Pucuk Akar (RPA) bahwa pengaruh perlakuan asal benih dan faktor penyiraman tidak berpengaruh nyata terhadap rasio pucuk akar tanaman jabon serta tidak terjadi interaksi antar kedua perlakuan tersebut. Dede et al., (2011) menjelaskan bahwa rasio pucuk akar dapat dikatakan seimbang atau baik apabila mendekati 1.00 (untuk daerah tropis), sedangkan untuk daerah kering < 1.00. Pada Gambar 16, dapat dilihat bahwa benih asal Kediri memiliki rasio pucuk akar (RPA) hampir serupa nilainya antar sesama perlakuan. Benih asal Garut memiliki nilai rasio pucuk akar terbesar pada perlakuan KL 25% kemudian menurun ke perlakuan
tergenang dan kontrol. Benih asal Makassar, tanaman perlakuan kontrol menunjukkan nilai tertinggi dan diikuti oleh tergenang dan KL 25%. Sedangkan untuk benih asal Bolaang Mongondow, nilai tertinggi pada tanaman yang diberikan perlakuan tergenang diikuti oleh KL 25% dan kontrol.
Kediri
Garut
KL 25%
Tergenang
KL 25%
Kontrol
Tergenang
KL 25%
Kontrol
Tergenang
KL 25%
Kontrol
Kontrol
Tergenang
RPA 2,27 2,50 1,98 1,78 1,57 2,00 1,29 1,22 1,22 1,50 1,13 0,86 0,72 0,66 RPA 1,00 0,45 0,50 0,00
Makassar Bolaan M
Gambar 16. Histogram rasio pucuk akar (RPA) 3 jabon putih (Kediri, Garut dan Makassar) dan 1 jabon merah (Bolaang M) beserta dengan perlakuan-perlakuan yang diberikan.
Pada Gambar 16, secara keseluruhan menunjukkan bahwa benih asal Makassar menunjukkan nilai rasio pucuk akar terbesar pada kontrol dan genangan dengan nilai sekitar 2.30 dan 2.03, sedangkan nilai rasio pucuk akar terendah dimiliki benih asal Kediri pada perlakuan tergenang 0.44 dan kontrol 0.51. Benih asal Kediri menunjukkan nilai rasio pucuk akar di bawah < 1, benih asal Garut menunjukkan nilai rasio pucuk akar pada kontrol 0.56, perlakuan tergenang dan KL 25% >1. Benih asal Makassar menunjukkan nilai RPA pada kontrol dan perlakuan tergenang > 2 sedangkan pada perlakuan KL 25% 0.93. Benih asal Bolaang Mongondow menunjukkan nilai RPA > 1 pada perlakuan tergenang dan KL 25% sedangkan pada kotrol nilai RPA < 1, 0.84. Pertumbuhan bibit akan mencapai adaptasi yang baik dengan daya tahan yang tinggi pada rasio pucuk akar antara 1 dan 3 (Barnett, 1984 dalam Bramasto et al., (2011). Berdasarkan selang rasio pucuk akar tersebut berarti tanaman jabon yang memiliki daya tahan yang tinggi dimiliki pada benih asal Makassar kontrol dan tergenang, benih 10
asal Garut perlakuan KL 25% dan tergenang, dan benih asal Bolaang Mongondow perlakuan tergenang dan KL 25%. Hal tersebut karena benih-benih tersebut berasal dari berbagai lokasi yang berbeda keadaan fisiknya, seperti garis koordinat, ketinggian dan curah hujannya. Bramasto et al., (2011), juga menambahkan rasio besar menunjukkan pertumbuhan akar lebih rendah dari pada pertumbuhan bagian batang dan pucuk. Rasio pucuk akar anakan menentukan keberhasilan tanaman di lapangan (Siagian dan Harahap (1989) dalam Nurhasybi et al., (2008). Kramer dan Kozlowski (1960) menambahkan bahwa rasio pucuk dan akar menunjukkan rasio antara air dan mineral yang diserap dalam proses transpirasi dan fotosintesis. Akar akan menghambat pertumbuhan dengan membatasi suplai air dan mineral ke atas sedangkan pengurangan fotosintat (hasil fotosintesis) akan menghambat pertumbuhan dengan membatasi suplai karbohidrat. Rasio pucuk akar juga menunjukkan kekokohan dan ketahanan tanaman. Knight dalam Suhaendi et al., (1986) menyatakan bahwa bibit yang mempunyai perbandingan pucuk akar terlalu tinggi mempunyai kemampuan hidup pada kondisi lapang kering lebih rendah daripada bibit yang mempunyai perbandingan pucuk akar rendah. Bibit yang mempunyai bagian pucuk/tunas yang terlalu besar, transpirasi yang terjadi semakin besar pula, sedangkan apabila bagian akarnya lebih besar, maka lebih banyak pula air dan hara yang dapat diserap dari tanah. Kerapatan Stomata Permukaan Atas & Bawah Daun Perlakuan asal benih dan faktor penyiraman berdasarkan uji ANOVA kerapatan stomata permukaan atas daun menunjukkan tidak berpengaruh nyata terhadap kerapatan stomata pada permukaan atas daun. Akan tetapi, interaksi antar kedua perlakuan tersebut menunjukkan ber-
KL 25%
Tergenang
KL 25%
Kontrol
Tergenang
KL 25%
Kontrol
Tergenang
KL 25%
Kontrol
Kontrol
Tergenang
Kediri
Garut Makassar Bolaan M Asal Benih
Gambar 17. Histogram kerapatan stomata permukaan atas daun bibit jabon putih dan merah dari 4 asal sumber benih beserta dengan perlakuan-perlakuan yang diberikan.
Berdasarkan Gambar 17, dapat terlihat kerapatan stomata permukaan atas daun benih asal Kediri menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan dan pada perlakuan tergenang memiliki nilai terbesar dibandingkan perlakuan KL 25% dan kontrol. Berbeda dengan benih asal Garut, pada benih asal Garut menunjukkan pada kerapatan stomata permukaan atas daun kontrol memiliki nilai terkecil dan berbeda nyata dengan tergenang dan KL 25%. Benih asal Makassar, memiliki nilai terkecil pada perlakuan tergenang dan terbesar pada kontrol serta kerapatan stomata berbeda nyata pada perlakuan kontrol. Benih asal Bolaang Mongondow menunjukkan perlakuan KL 25% merupakan nilai terkecil dan terbesar pada kontrol serta tidak berbeda nyata. Pada ANOVA kerapatan stomata permukaan bawah daun menunjukkan bahwa perlakuan asal benih dan faktor penyiraman tidak berpengaruh nyata terhadap kerapatan stomata serta tidak terjadinya interaksi antar ke dua perlakuan tersebut terhadap kerapatan stomata permukaan bawah daun jabon. Selain itu pula, benih asal Kediri, Garut, Makassar dan Bolaang Mongondow menunjukkan
11
Kediri
KL 25%
Tergenang
KL 25%
Kontrol
Kontrol
Tergenang
KL 25%
Tergenang
KL 25%
a
927,0 1000,0 Kerapatan… 653,3 800,0 629,7 523,0 522,3 500,7 600,0 410,0 506,7 373,3 450,0 299,7 400,0 123,3 200,0 0,0 Kontrol
a
ab 120,0 a-c 112.3104.7a-c 100,0 a-d86.7 Kerapatan… 78.0 b-d 80,0 60.7 79.0 b-d cd 60,0 d 42.740.0 d d 27.0 40,0 21.0 6.7 18.0 20,0 0,0
Kerapatan Stomata PB
Kontrol
Kerapatan Stomata PA
kerapatan terbesar terdapat pada asal Garut (Gambar 18).
Tergenang
pengaruh nyata terhadap kerapatan stomata permukaan atas daun. Interaksi antar ke dua perlakuan tersebut terhadap kerapatan stomata permukaan atas daun dapat dilihat pula pada Gambar 17.
Garut Makassar Bolaan M Asal Benih
Gambar 18. Histogram kerapatan stomata permukaan bawah daun bibit jabon putih dan merah dari 4 asal sumber benih beserta dengan perlakuan-perlakuan yang diberikan.
Kerapatan stomata pada permukaan atas daun apabila dibandingkan dengan kerapatan stomata pada permukaan bawah daun jelas memiliki perbedaan jumlah stomata, pada permukaan bawah daun memiliki jumlah stomata yang lebih banyak dibandingkan dengan permukaan atas daun. Haryanti (2010), menyatakan bahwa distribusi stomata sangat berhubungan dengan kecepatan dan intensitas transpirasi pada daun, yaitu misalnya letak satu sama lain dengan jarak tertentu. Dalam batas tertentu, maka makin banyak porinya makin cepat penguapan. Jika lubang-lubang itu terlalu berdekatan, maka penguapan dari lubang yang satu akan menghambat penguapan lubang dekatnya. Hal ini karena jalan yang ditempuh molekul-molekul air yang lewat lubang itu tidak lurus melainkan membelok akibat pengaruh sudut-sudut sel-sel penutup. Jumlah stomata pada permukaan atas daun lebih sedikit jika dibandingkan dengan permukaan bawah daun. Ukuran stomata permukaan atas daun lebih besar dibandingkan dengan permukaan bawah daun. Perbedaan ini berhubungan dengan fungsi stomata yaitu untuk mengatur keseimbangan CO2 dalam daun yang dibutuhkan untuk fotosintesis dan mengurangi penguapan sehingga kadar air tetap terjaga (Yulianty, et al., 2011). Keberadaan stomata berkaitan
dengan proses evolusi tumbuhan yang berlangsung akibat ketersediaan air yang terbatas, sehingga tumbuhan akan mengatur kebutuhan air dengan cara membatasi jumlah stomata (Suharno, et al., 2007). Indeks Sensitivitas (IS) Hasil indeks sensitivitas (IS) menunjukkan bahwa tanaman jabon yang termasuk toleran, agak toleran dan peka terhadap cekaman kekeringan (Tabel 5). Tabel 5. Indeks Sensitivitas (IS) Tinggi Batang
Kediri
Nilai IS Kekeringan KL 25% 1.08
Garut
1.10
Asal Benih
Nilai IS Kategori
Genangan
Kategori
Asal Benih
P
0.82
AT
P
0.89
AT
0.79
AT
1.03
P
Makassar 1.25 P Bolaang 0.50 AT M Ket : AT =Agak Toleran; P = Peka
Pada Tabel 5, menunjukkan bahwa pertumbuhan tinggi bibit dari 3 (tiga) jabon putih dikategorikan sebagai tanaman peka terhadap kekeringan KL 25% dan agak toleran terhadap genangan, sedangkan jabon merah Bolaang Mongondow dikategorikan sebagai tana-man agak toleran terhadap kekeringan 25% dan peka terhadap genangan. Peka berarti menunjukkan tingkat sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan agak toleran dan toleran atau dengan kata lain peka dapat diartikan saat tanaman diberikan perlakuan, tanaman memberikan respon (tanggapan) dengan cepat. Contoh respon yang diberikan seperti layu, pertambahan tinggi dengan nilai terkecil. Tanaman yang dikategorikan peka terhadap kekeringan KL 25% yaitu benih asal Kediri, Garut dan Makassar. Hal ini dapat dikarenakan kondisi benih yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia, dengan curah hujan yang relatif cukup tinggi dibandingkan dengan benih asal Bolaang Mongondow. Oleh karena itu, benih asal Bolaang Mongondow dikategorikan sebagai tanaman agak toleran terhadap kekeringan 25%. Pada perlakuan genangan, semua jabon putih dikategorikan sebagai tanaman agak toleran sedangkan pada 12
jabon merah dikategorikan sebagai tanaman peka. Hal tersebut terjadi karena perbedaan asal awal benih dengan curah hujan pada daerah Bolaang Mongondow terkecil dibandingkan dengan yang lain. Hasil Indeks Sensitivitas (IS) diameter batang menunjukkan bahwa tanaman jabon yang toleran, agak toleran dan peka terhadap cekaman kekeringan (Tabel 6). Tabel 6. Indeks Sensitivitas (IS) Diameter Batang Nilai IS
Nilai IS
Kekeringan KL 25%
Kategori
Kategori
Kediri
0.53
AT
0.67
AT
Garut
1.08
P
0.97
AT
Makassar
1.34
P
1.17
P
Bolaang M
1.12
P
1.26
P
Genangan
Ket : AT =Agak Toleran; P = Peka
Berdasarkan Tabel 6, benih asal Kediri dikategorikan sebagai tanaman yang agak toleran terhadap kekeringan dan genangan terhadap pertambahan diameter batang, hal tersebut dapat terjadi karena benih asal Kediri berasal dari KPH Kediri yang terletak pada ketinggian 200 m dpl serta memiliki curah hujan yang relatif rendah, sehingga benih asal Kediri mampu survive saat diberikan perlakuan tersebut. Jabon putih asal Garut dikategorikan sebagai tanaman yang peka terhadap kekeringan dan agak toleran terhadap genangan. Hal ini dikarenakan sifat pembawaan pada benih asal Garut yang sudah terbiasa dengan curah hujan yang relatif tinggi dibandingkan curah hujan asal benih lainnya sehingga benih asal Garut mampu survive saat diberi perlakuan genangan dan tidak mampu bertahan dalam perlakuan kekeringan. Pada benih asal Makassar dan Bolaang Mongondow dalam Tabel 6 dikategorikan sebagai tanaman yang peka terhadap kekeringan dan genangan, hal tersebut dapat terjadi karena berasal dari ketinggian dan curah hujan yang relatif sedang dibandingkan lainnya.
SIMPULAN 1. Asal benih dan penyiraman serta interaksi berpengaruh nyata terhadap bibit jabon. Sedangkan rasio pucuk akar, kerapatan stomata menunjukkan tidak berpengaruh nyata. 2. Indeks Sensitivitas (IS) tinggi bibit dan diameter batang tanaman jabon terhadap kekeringan KL 25% dan genangan yang termasuk tanaman jabon paling baik adalah jabon putih asal benih Kediri, dengan mendapat kategori terbanyak sebagai tanaman jabon agak toleran. DAFTAR PUSTAKA Basu, R. N. 1994. Seed viability In A.S. Basra, (Ed.) Seed Quality. Basic Mechanisms and Agricultural Implications. Food Products Press. New York, 387 p. Bey,
A., H. Pawitan, I. Las, B. Tjasyono,and F. Winarso. 1992. Evaluation of Indonesian climate and anticipation of dry season. Prosiding Seminar Nasional Antisipasi Iklim 1992 dan Dampaknya terhadap Pertanian Tanaman Pangan.PERHIMPI Badan Litbang Pertanian. pp. 23-49
Bramasto, Yulianti, Kurniawati P., Tati S., dan Dina A. 2011. Viabilitas Benih dan Pertumbuhan Semai Merbau (Intsia bijuga O. Kuntze) yang Terinfeksi Cendawan Fusarium sp. dan Penicillium sp. Tekno Hutan Tanaman. Vol. 4 No. 3, 99-104 Djazuli, Muhamad. 2010. Pengaruh Cekaman Kekeringan Terhadap Pertumbuhan dan Beberapa Karakter Morfo-Fisiologis Tanaman Nilam. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, Bogor. Vol. 21, No. 1, 2010, 8-17
13
Dwianto, Wahyu dan Nugroho Marsoem, Sri. 2008. Tinjauan Hasil-Hasil Penelitian Faktor-Faktor Alam yang Mempengaruhi Sifat Fisik dan Mekanik Kayu Indonesia. J. Tropical Wood Science and Technology, Vol. 6, No. 2, Page 84-100 Hajar, Ibnu. 2009. Status Pengetahuan Keanekaragaman Hayati Tumbuhan Pada Masyarakat di Hutan Lindung Sungai Wain Kalimantan Timur. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana IPB Halawane, Jafred E.; Hanif Nurul Hidayah dan J. Kinho. 2011. Prospek Pengembangan Jabon Merah (Anthocephalus macrophyllus (Roxb.) Havil), Solusi Kebutuhan Kayu Masa Depan. Manado : Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Manado Haryanti, Sri. 2010. Jumlah Distribusi Stomata Pada Daun Beberapa Spesies Tanaman Dikotil dan Monokotil. Bulletin Anatomi dan Fisiologi, vol. XVIII, no 2, Oktober 2010, 21-28 Hasanah, M. 1995. Advances in research and technology on sesame seeds. Iondon. Agric. Res. Dev. J. 17 no 1 : 7-12 Hendromono. 2003. Kriteria Penilaian Mutu Bibit dalam Wadah yang Siap Tanam untuk Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Buletin Peneltian dan Pengembangan Kehutanan Badan Litbang Kehutanan, Jakarta. Vol. 4 (1): 11-20 Kramer, P.J. and T.T. Kozlowski. 1960. Physiology of Trees. Mc Graw Hill Book Company. New York. 642 Krisnawati, Haruni; Kalio, Macurit; Kannien, Markku. 2011. Anthocephalus cadamba Miq. Ekologi, Silvikultur dan Produktivitas. CIFOR, Bogor, Indonesia
Lapanjang, Iskandar, Bambang Sapta Purwoko, Hariyadi, Sri Wilarso Budi R dan Maya Melati. 2008. Evaluasi Beberapa Ekotipe Jarak Pagar (Jatropa curcas L.) Untuk Toleransi Cekaman Kekeringan. Bul. Agrom. (36) (3) 263-269 Lestari, Endang Gati. 2006. Hubungan Antara Kerapatan Stomata dengan Ketahanan Kekeringan pada Somaklon Padi Gajahmungkur, Towuti, dan IR 64. Biodiversitas, Volume 7, nomor 1, hal 44-48 Maharani, Hasanah. 2002. Peran Mutu Fisiologik Benih dan Pengembangan Industri Benih Tanaman Industri. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 21 (3), 84-91 Nurhasybi, Dede J. Sudrajat, dan Pipit S. 2008. Penentuan Kriteria Kecambah Normal yang Berkorelasi dengan Vigor Bibit Tusam (Pinus merkusii Jungh et de Vriese). Jurnal Penelitian Hutan Tanaman. Vol. 5 No. 1, 1-11 Pamungkas, Tri Yudohartono. 2011. Karakteristik Benih Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) dari Provenan Ogan Ilir dan Lombok Barat. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Wana Benih. Vol. 12 No. 1, Juli 2011, 11-19
14
Salisbury, F.B. and C.W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Jilid I. Bandung : Penerbit ITB, Bandung. Hal 241 Soetrisno, Kadar. 1996. Pengaruh Kandungan Air Tanah Terhadap Pertumbuhan Anakan Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.). FRONTIR, No. 18, Februari 1996, 99-110 Suhaendi, H., Hendromono, dan Djapilus A. 1986. Pengaruh Pupuk NPK dan Campuran Tanah Latoscl dan Bahan Organik terhadap Pertumbuhan Bibit Pinus merkusii pada Berbagai Ukuran Kantong Plastik. Bulletin Penelitian Hutan. Bogor. (483) 17-29 Suharno, Imam Mawardi, Setiabudi, Nelly Lunga, Soekisman Tjitrosemito. 2007. Efisiensi Penggunaan Nitrogen Pada Tipe Vegetasi yang Berbeda Stasiun Penelitian Cikaniki, Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Jawa Barat. Biodiversitas, Volume 8, Nomor 4, Halaman 287294 Yulianty, Bobby Irawan, Rumyati, L. Lande, Martha. 2011. Karakterisasi Dan Potensi Pisang (Musa spp.) di Bandar Lampung. Bandar Lampung : Seminar Nasional Sains dan Teknologi –IV