PENGARUH PERSEPSI TENTANG LINGKUNGAN KERJA FISIK DAN TIPE KEPRIBADIAN TERHADAP AGRESIVITAS POLISI LALU LINTAS Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Psikologi
Universitas Islam Negeri SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Oleh:
NURMALIA NIM: 106070002281
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H/2010 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi yang berjudul PENGARUH PERSEPSI TENTANG LINGKUNGAN KERJA FISIK DAN TIPE KEPRIBADIAN TERHADAP AGRESIVITAS POLISI LALU-LINTAS telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 07 September 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Fakultas Psikologi. Jakarta, 07 September 2010 Sidang Munaqasyah Dekan/ Ketua Merangkap Anggota
Pembantu Dekan/ Sekretaris Merangkap Anggota
Jahja Umar, Ph.D NIP. 130 885 522
Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si NIP.19561223 198303 2 001
Anggota :
Penguji I
Gazi Salom, M.Si NIP. 19711214 200701 1014
Pembimbing I
Ikhwan Luthfi, M.Psi NIP. 19730710 200501 1006
Penguji II
Ikhwan Luthfi, M.Psi NIP. 19730710 200501 1006
Pembimbing II
Miftahuddin, M.Si NIP. 19730317 200604 1001
PENGARUH PERSEPSI TENTANG LINGKUNGAN KERJA FISIK DAN TIPE KEPRIBADIAN TERHADAP AGRESIVITAS POLISI LALU LINTAS
SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Psikologi
Oleh: NURMALIA NIM: 106070002281
Di bawah bimbingan,
Pembimbing 1
Pembimbing II
Ikhwan Luthfi, M.Psi
Miftahuddin, M.Si
NIP: 197307102005011006
NIP: 197303172006041001
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H/2010 M
HALAMAN PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Nurmalia NIM
: 106070002281
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Pengaruh Persepsi tentang Lingkungan Kerja Fisik dan Tipe Kepribadian terhadap Agresivitas Polisi Lalu lintas” adalah benar karya saya sendiri dan tidak melakukan plagiat. Adapun kutipan-kutipan dalam penyusunan skripsi ini telah saya cantumkan sumber pengutipannya dalam daftar pustaka. Saya bersedia melakukan proses yang semestinya sesuai dengan undang-undang jika ternyata skripsi ini secara prinsip merupakan plagiat atau jiplakan dari karya orang lain. Demikian pernyataan ini saya buat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.
Jakarta, 03 September 2010
Nurmalia
ABSTRAKSI A. Fakultas Psikologi B. September 2010 C. Nurmalia D. Pengaruh Persepsi tentang Lingkungan Kerja Fisik dan Tipe Kepribadian terhadap Agresivitas Polisi Lalu Lintas E. Hal : 102 + lampiran F. Dalam melaksanakan tugasnya, terkadang polisi lalu-lintas (Polantas) tidak terlepas dari perilaku agresif. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya perilaku agresif diantaranya adalah lingkungan kerja fisik yang buruk. Karena bila dilihat dari pentingnya kehadiran Polantas dalam mengatur lalu-lintas, maka tidak dapat dihindari bahwa sebagian besar waktu tugas para Polantas berada di jalan raya dengan lingkungan kerja fisik yang sangat buruk setiap harinya, seperti kadar polusi yang tinggi, suhu tinggi, serta kebisingan, dan bila seseorang berada dalam lingkungan kerja fisik yang buruk setiap harinya, maka kemungkinan akan menimbulkan reaksi-reaksi yang tidak menyenangkan. Namun, seberapa jauh akibat yang akan ditimbulkan oleh kondisi kerja tergantung pada bagaimana cara individu mempersepsikannya.
Kepribadian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kepribadian tipe A dan tipe B. Kepribadian tipe A yang ditandai dengan adanya ketidaksabaran dan perasaan terburu-buru dalam mengerjakan sesuatu, keterlibatan yang tinggi terhadap tugas atau pekerjaan, nafsu bersaing yang berlebihan, mudah tersinggung atau marah, serta agresif. Kepribadian tipe A dianggap memiliki kesamaan dengan ciri para anggota Polantas yang agresif dalam melaksanakan tugas di lapangan dibandingkan dengan kepribadian tipe B yang menunjukkan manifestasi yang sebaliknya, yaitu lebih sabar, santai, tenang, ambisinya rendah, mampu menahan diri, dan pasif.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada pengaruh yang signifikan antara persepsi tentang lingkungan kerja fisik dan tipe kepribadian terhadap agresivitas Polisi lalu lintas, serta ingin mengetahui besarnya sumbangan persepsi tentang lingkungan kerja fisik dan tipe kepribadian terhadap agresivitas Polisi lalu lintas. Pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan kuantitatif. Populasi penelitian ini adalah anggota Sat Patwal Polda Metro Jaya sebanyak 100 orang. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling. Instrument pengumpulan data yang digunakan adalah skala semantic differensial untuk skala persespsi tentang lingkungan kerja fisik, skala model likert untuk skala agresivitas, dan skala dikotomi untuk skala tipe kepribadian. Teknik pengolahan dan analisis dilakukan dengan analisis statistik multiple regression atau analisis regresi berganda.
Jumlah item valid untuk skala persepsi tentang lingkungan kerja fisik adalah 33 item dengan reliabilitas sebesar 0.932, untuk skala tipe kepribadian jumlah item yang valid adalah 27 item dengan reliabilitas sebesar 0.827, sedangkan untuk skala agresivitas jumlah item yang valid 39 item dengan reliabilitas sebesar 0.884. Berdasarkan hasil penelitian menggunakan teknik statistik multiple regression maka dapat disimpulkan terdapat pengaruh yang signifikan antara persepsi tentang lingkungan kerja fisik dan tipe kepribadian terhadap agresivitas Polisi lalu-lintas. Hal ini berarti variabel persepsi tentang lingkungan kerja fisik dan tipe kepribadian secara bersama-sama memberikan kontribusi sebesar 26.1% terhadap agresivitas Polantas. Adapun tipe kepribadian memiliki pengaruh yang signifikan terhadap agresivitas Polisi lalulintas, yakni memiliki kontribusi sebesar 23.4% dalam mempengaruhi agresivitas atau lebih besar dibandingkan persepsi tentang lingkungan kerja fisik terhadap agresivitas Polisi lalu-lintas.
Untuk penelitian selanjutnya, disarankan untuk menambahkan faktor-faktor lain seperti frustasi, provokasi, efek senjata, kekerasan di media, alkohol, obatobatan, kesesakan, hormon, gender, dan harga diri. Karena variabel-variabel tersebut merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi agresivitas individu yang kemungkinan dapat memberikan kontribusi yang lebih besar.
G. Bahan bacaan : 32 Buku, 8 Jurnal, 1 Internet, 3 Artikel.
MOTTO
Jangan katakan pada Allah kamu memiliki masalah besar, tapi katakan pada masalah, bahwa kamu memiliki Allah Maha Besar. Jalani hidup ini dengan keyakinan karena Allah bersama kita selalu. (Mala)
iv
PERSEMBAHAN
Ku persembahkan skripsi ini untuk Ayahanda dan Ibunda Untuk Kakak, Adik Serta untuk orang-orang yang kucintai
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Selama proses penulisan skripsi, penulis menyadari banyak pihak-pihak yang sangat bermurah hati meluangkan waktu membantu kelancaran proses penulisan skripsi. Untuk itu penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Prof. Jahja Umar, P.hD selaku Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta seluruh staf pengajar dan staf administrasi fakultas Psikologi atas segala bimbingan dan fasilitas yang diberikan. 2. Bapak Ikhwan Luthfi, M.Psi dan Bapak Miftahuddin, M.Si selaku pembimbing penulisan skripsi. Terima kasih atas bimbingan, saran, arahan, petunjuk, nasihat, dukungan, serta waktu luang yang telah diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi dari awal hingga akhir. 3. Keluarga besar Bapak Manhal, terutama Ayahanda yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk dapat merasakan pendidikan di Perguruan Tinggi. Kakak-kakakku tercinta: bang Anang, bang Mbad, dan ka Dian, terima kasih atas semangat dan dorongannya, Aldy, dan Fitri terima kasih atas tawa dan canda kalian yang mempu menghilangkan penat di kepala. 4. Mas Fikri terima kasih telah meluangkan waktunya untuk penulis dan juga terima kasih atas motivasinya. 5. Teman-teman Fakultas Psikologi angkatan 2006, khususnya kelas C terima kasih atas kebersamaan yang kita lalui bersama, kini saatnya kita memasuki babak baru yang lebih menantang, SEMANGAT!!!!! 6. Sahabat-sahabatku Nofika Sari, Nur Malasari, dan Marissa yang telah meluangkan waktunya dan memberikan perhatian dan motivasi serta bantuan selama penulis menyelesaikan skripsi ini. 7. Anggota Sat. Patwal Polda Metro Jaya terima kasih telah bersedia menjadi responden dalam penelitian ini. 8. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Akhirnya tiada kata yang dapat penulis sampaikan kecuali rasa terima kasih yang sebesar-besarnya, semoga Allah SWT meridhoi langkah kita.
Jakarta, 03 September 2010
Nurmalia
KATA PENGANTAR Tiada untaian yang pantas untuk diucapkan kecuali ucapan syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT, karena berkat Rahmaan dan RahiimNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat teriring penulis hanturkan kepada junjungan alam, Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya, para sahabatnya dan kepada kita semua sebagai umatnya. Skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Psikologi. Dalam menyusun skripsi ini tidak sedikit hambatan, rintangan, dan tantangan yang penulis temui, tetapi dibalik itu, kesuksesan dalam menyusun skripsi ini tidak lepas dari peranan dan bantuan dari berbagai pihak, sehingga semua hambatan, rintangan dan tantangan tersebut dapat penulis atasi dengan baik. Oleh karena itu dalam pengantar ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada: 1. Dekan Fakultas Psikologi, Bapak Jahja Umar, P.hD dan pembimbing akademik, Ibu Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si yang telah membimbing penulis selama kuliah. 2. Bapak Ikhwan Luthfi, M.Psi selaku pembimbing 1 dan Bapak Miftahuddin, M.Si selaku pembimbing II dalam pembuatan skripsi ini yang telah sabar dan ikhlas meluangkan waktunya untuk memberikan arahan-arahan dan masukanmasukan kepada penulis. 3. Ayahanda dan ibunda yang telah banyak membantu dan memberi motivasi baik berupa moril maupun materil, pengorbanan, perhatian serta doa untuk penulis, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan Skripsi ini. 4. Ibu Padmi selaku kepala urusan operasional Sat. Patwal dan Bapak Edy selaku staf TAUD Subbag Renmin Ditlantas yang dengan ikhlas dan sabar membantu penulis dalam memperoleh data penelitian. 5. Sahabat-sahabat seperjuanganku angkatan 2006, semoga kesuksesan selalu menyertai kita. 6. Semua orang yang telah membantu penulis yang tidak bisa disebutkan satu persatu, namun tidak sedikitpun mengurangi rasa hormat kepada mereka. Penulis berdoa kepada Allah SWT semoga kebaikan mereka semua diterima di sisi-Nya sebagai amal shaleh dan mendapat balasan kebaikan yang berlipat ganda, amin. Akhirnya penulis berharap mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat, baik bagi penulis maupun bagi mahasiswa lain, khususnya mahasiswa Psikologi yang membahas tentang materi yang penulis teliti.
Jakarta, 03 September 2010
Nurmalia
DAFTAR ISI Halaman Judul…………………………………………………………….. i Halaman Persetujuan……………………………………………………… ii Halaman Pengesahan …………………………………. …………………. iii Motto ……………………………………………………………………… iv Persembahan ……………………………………………………………… v Abstraksi ………………………………………………………………….. vi Kata Pengantar…………………………………………………………….. viii Ucapan Terima Kasih……………………………………………………... ix Pernyataan Bukan Plagiat ………………………………………………… x Daftar Isi…………………………………………………………………... xi Daftar Tabel……………………………………………………………….. xiv Daftar Gambar…………………………………………………………….. xvi BAB 1
PENDAHULUAN ………………………………………… 1- 15 1.1. Latar Belakang Penelitian …………………………….. 1 1.2. Pembatasan dan Perumusan Masalah …………………. 11 1.2.1. Pembatasan Masalah …………………………… 11 1.2.2. Perumusan Masalah ……………………………. 12 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………………………. 12 1.3.1. Tujuan Penelitian ……………………………..... 12 1.3.2. Manfaat Penelitian ……………………………... 13 1.4. Sistematika Penulisan ………………………………… 15
BAB 11
KAJIAN TEORI ………………………………………… 16-63 2.1. Agresivitas ……………………………………………. 16 2.1.1. Pengertian Agresivitas …………………………. 16 2.1.2. Teori-teori Agresi ……………………………… 17 2.1.3. Bentuk-bentuk Agresivitas …………………….. 26 2.1.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Agresivitas .. 30 2.2. Persepsi tentang Lingkungan Kerja Fisik…………….. 34 2.2.1. Pengertian Persepsi ……………………………. 34 2.2.2. Perubahan Persepsi ……………………………. 35
xi
2.2.3. Pengertian Lingkungan Kerja Fisik …………… 36 2.2.4. Pengertian Persepsi tentang Lingkungan Kerja Fisik …………………………………… 37 2.2.5. Jenis-Jenis Lingkungan Kerja Fisik …………. 38 2.3. Kepribadian ……………………………………….... 49 2.3.1. Pengertian Kepribadian …………………….... 49 2.3.2. Pola Perilaku Kerpribadian Tipe A & Tipe B .. 50 2.4. Polisi Lalu Lintas ………………………………….. 54 2.4.1. Pengertian Polisi Lalu-lintas (Polantas) …….. 54 2.4.2. Tugas dan Fungsi Polisi Lalu Lintas …………55 2.5. Kerangka Berpikir …………………………….….....57 2.6. Hipotesis ……………………………………..……. .63
BAB 111
METODE PENELITIAN ………..…………………… 64- 80 3.1. Pendekatan Penelitian ……………………………… 64 3.2. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel...64 3.2.1. Populasi Penelitian ………………………......64 3.2.2. Sampel Penelitian ………………………........64 3.2.3. Teknik Pengambilan Sampel ………………...65 3.3. Variabel Penelitian ………………………..………...66 3.3.1. Identifikasi Variabel Penelitian ……………...66 3.3.2 . Definisi Operasional Variabel Penelitian….....66 3.4. Pengumpulan Data…………………………………...68 3.4.1. Teknik Pengumpulan Data …………………..68 3.4.2. Instrumen Penelitian ………………………....69 3.5. Uji Instrumen Penelitian …………………………….73 3.5.1. Uji Validitas ………………………………....73 3.5.2. Uji Reliabilitas ………………………………73 3.6. Hasil Uji Instrumen Penelitian ……………………...74
xi
3.7. Teknik Pengolahan dan Analisa Data ………………77 3.8. Prosedur Penelitian …………………………………. 78 BAB IV
HASIL PENELITIAN …………………………………. 81-93 4.1. Gambaran Umum Responden ………………………. 81 4.1.1. Responden Berdasarkan Usia ………………… 81 4.1.2. Responden Berdasarkan Status Perkawinan …. 82 4.1.3. Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir... 83 4.1.4. Responden Berdasarkan Jabatan/Pangkat ……. 84 4.1.5. Responden Berdasarkan Masa Kerja ……….... 85 4.2. Analisis Deskriptif ………………………………….. 86 4.2.1. Persepsi tentang Lingkungan Kerja Fisik ……. 86 4.2.2. Tipe Kepribadian …………………………….. 87 4.2.3. Agresivitas …………………………………… 88 4.3. Hasil Uji Hipotesis ………………………………….. 89
BAB V
KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN ……………. 94-102 5.1. Kesimpulan ………………………………………… 94 5.2. Diskusi ……………………………………………... 95 5.3. Saran ……………………………………………….. 101 5.3.1. Saran Teoritis ……………………………….. 101 5.3.2. Saran Praktis ………………………………... 101
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
xi
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Blue Print Try Out Skala Persepsi tentang Lingkungan Kerja Fisik …………………………………………. 70 Tabel 3.2. Penilaian Skala Persepsi tentang Lingkungan Kerja Fisik …………………………………………. 71 Tabel 3.3. Blue Print Try Out Skala Tipe Kepribadian ……………………. 71 Tabel 3.4. Blue Print Try Out Skala Agresivitas ………………………….. 72 Tabel 3.5. Penilaian Skala Agresivitas …………………………………….. 73 Tabel 3.6. Kaidah Reliabilitas Guilford ………………………………….... 74 Tabel 3.7. Blue Print Revisi Skala Persepsi tentang Lingkungan Kerja Fisik ………………………………………… 75 Tabel 3.8. Blue Print Revisi Skala Tipe Kepribadian ……………………... 76 Tabel 3.9. Blue Print Revisi Skala Agresivitas ………………………...….. 77 Tabel 4.1. Responden Berdasarkan Usia ………………………………….. 82 Tabel 4.2. Responden Berdasarkan Status Perkawinan …………………… 82 Tabel 4.3. Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir …………………. 83 Tabel 4.4.Responden Berdasarkan Jabatan/ Pangkat ……………………… 84 Tabel 4.5. Responden Berdarkan Masa Kerja ……………………………... 85 Tabel 4.7. Kategorisasi Persepsi tentang Lingkungan Kerja Fisik ………………………………………… 87 Tabel 4.8. Responden Berdasarkan Tipe Kepribadian ……………………. 88 Tabel 4.9. Kategorisasi Agresivitas ……………………………………….. 89 Tabel 4.10. Nilai R Square (Koefisien Determinasi) .................................... 90 Tabel 4.11. Nilai Uji F (tabel lampiran Anova regresi linear ganda) ……… 91
xvi
Tabel 4.12. Coefficients(a) ………………………………………………. 91 Tabel 4.13. Variables Entered/Removed(a) ……………………………... 93 Tabel 4.14. Model Summary (Hasil Stepwise) …………………………... 93
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Proses episodic dari The General Aggression Model (Anderson & Bushman, 2002) ………………………………….. 21 Gambar 2.2. Kerangka Berpikir Pengaruh Persepsi tentang Lingkungan Kerja Fisik dan Tipe Kepribadian terhadap Agresivitas Polisi Lalu-lintas …………………………. 63
xvi
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Penelitian Sejarah panjang kekerasan (tindakan agresi) aparat kepolisian nampaknya tidak kunjung usai. Seringkali atas alasan menjaga keamanan dan ketertiban, Kepolisian menggunakan kekerasan fisik maupun psikis terhadap masyarakat sipil baik dalam penanganan kasus kejahatan maupun kasus non-kejahatan (seperti; demo, sengketa tanah, pelanggaran lalu lintas, dan lain-lain). Polisi sering berlindung di balik Undang-Undang demi melegalkan tindakan semena-mena dan kekerasan, yang pada kenyataannya sebagian besar tindakan tersebut terkesan berlebihan dan dipaksakan. Misalnya, seperti tragedi yang terjadi di kampus UNAS (Universitas Nasional), dapat dilihat bagaimana polisi menggunakan pendekatan represif dalam menghadapi dan menangani aksi demonstrasi mahasiswa yang menolak kebijakan pemerintah yang menaikkan harga BBM. Penggunaan pola pendekatan ini berakhir dengan penyerbuan aparat kepolisian ke dalam kampus, terjadinya kekerasan terhadap mahasiswa, serta pengrusakan sejumlah properti milik kampus (Al Araf, 2008). Begitu pula dengan polisi lalu lintas (Polantas) sebagai bagian dari Polri juga tidak terlepas dari perilaku kekerasan (tindakan agresi). Misalnya, seperti seringkali
polisi
menggunakan
kata-kata
kasar
untuk
memberitahukan
pelanggaran yang dilakukan pengendara, bersikap arogan, bahkan tidak jarang
2
mereka terbawa emosi bila pelanggar mencoba membela diri. Semua itu adalah kepingan peristiwa yang memperkukuh bahwa praktik brutalitas polisi itu terus berlanjut. Hal ini membuktikan bahwa masih kuatnya budaya militeristik di dalam institusi kepolisian (http://citizennews.suaramerdeka.com). Menurut Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), selama tahun 2007 sampai 2008, mencatat ada 180 kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat Kepolisian. Jumlah ini lebih besar daripada tindakan agresi (kekerasan) oleh aparat Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang hanya 18 kasus. Faktanya, tindakan agresi (kekerasan) tidak saja dilakukan antara aparat polisi dengan warga masyarakat yang harusnya dilindungi, namun juga antara aparat polisi dengan aparat keamanan lainnya (TNI) (Yuntho, 2008). Akibat tindakan agresi (kekerasan), tugas utama polisi yang seharusnya melindungi dan mengayomi masyarakat, namun dalam kenyataannya justru sebaliknya membuat masyarakat tidak terlindungi dan tidak nyaman jika bersentuhan langsung dengan aparat kepolisian. Tentunya bukan secara institusional kepolisian yang bersalah, tetapi keberadaan personil yang melakukan tindakan kriminal tersebut mau tidak mau telah mencermarkan nama baik institusi. Dari fenomena di atas, nampaknya perjalanan satu dasawarsa reformasi belum cukup mendorong perubahan dan perbaikan kinerja Polri ke arah yang lebih baik. Keluarnya UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri sebagai bagian dari tahapan reformasi Polri, juga tidak serta merta memperbaiki dan mendorong
3
aparat polisi dapat bekerja dengan baik sesuai fungsi dan tugas yang dinyatakan di dalam UU tersebut. Serta prinsip-prinsip yang seharusnya dijadikan sebagai landasan kerja Kepolisian, seperti asas profesionalitas, Hak Asasi Manusia (HAM), dan pendekatan kerja yang lebih humanis, dalam kenyataannya masih terus diabaikan oleh aparatnya (Mabruri, 2008). Karena itu, menjadi aneh bila polisi yang sudah memiliki Prosedur Tetap (Protap) namun masih terjadi tindakan agresi polisi. Hal ini menjadi pertanyaan apakah Protap yang salah, ataukah ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi agresivitas polisi? Setidaknya terdapat beberapa faktor munculnya perilaku kekerasan (tindakan agresi) yang dilakukan oleh oknum polisi, antara lain: 1) faktor frustasi (Baron & Byrne, 2005), 2) provokasi (Baron & Byrne, 2005), 3) efek senjata (Krahe, 2005), 4) kekerasan di media (Baron & Byrne, 2005), 5) alkohol & obatobatan
(Baron & Byrne, 2005), 6) temperatur (Baron & Byrne, 2005) , 7)
kesesakan (Krahe, 2005), 8) polusi udara (Berkowitz, 1995), 9) kebisingan (Krahe, 2005), 10) kepribadian (Baron & Byrne, 2005) , 11) hormon (Sarwono, 2002),12) gender (Baron & Byrne, 2005), dan 13) harga diri (Sarwono, 2002). Dalam penelitian ini, aspek lingkungan kerja fisik dan pengaruh kepribadian yang menjadi fokus penelitian. Aspek lingkungan kerja fisik penting untuk melihat kinerja Kepolisian. Karena mengingat, selain tingkat ancaman dari lingkungan kerja fisik dan resiko pekerjaan sangat tinggi, polisi bekerja selama 24 jam per hari dan tujuh hari dalam seminggu tanpa mengenal cuaca (Yuntho,
4
2008). Selain itu, hasil studi ilmiah juga membuktikan bahwa kelemahan polisi di dalam memberikan pelayanan terbaiknya kepada masyarakat justru disebabkan karena keterbatasan sarana dan prasarana yang mendukung tugas-tugas Kepolisian (Tongat, 1997). Memang fenomena yang terjadi di lapangan atau di jalan raya tidak mencerminkan kenyamanan kerja yang optimal, dikarenakan lingkungan kerja fisik sangat jauh dari kriteria kenyamanan tersebut, seperti suhu yang terlalu panas, polusi, dan kebisingan. Dari lingkungan kerja fisik yang ada, menurut peneliti hanyalah memenuhi batas minimal dimana seseorang hanya bisa bekerja dengan tanpa kenyamanan yang diinginkan. Bila dilihat dari pentingnya kehadiran Polantas dalam mengatur lalu-lintas, maka tidak dapat dihindari bahwa sebagian besar waktu tugas para Polantas berada di jalan raya dengan lingkungan kerja fisik yang sangat buruk setiap harinya. Seperti kadar polusi yang tinggi, suhu tinggi, serta kebisingan, dan bila seseorang berada dalam lingkungan kerja fisik yang buruk setiap harinya, maka kemungkinan akan menimbulkan reaksi-reaksi yang tidak menyenangkan. Namun, seberapa jauh akibat yang akan ditimbulkan oleh kondisi kerja tergantung pada bagaimana cara individu mempersepsikannya. Oleh karena itu, mengenai nyaman dan ketidaknyamanan karyawan terhadap lingkungan kerja fisiknya merupakan keadaan yang sifatnya subjektif yang merupakan hasil kesimpulan yang didasarkan pada suatu perbandingan mengenai apa yang secara nyata diterima oleh karyawan dari lingkungan kerja fisiknya dengan apa yang diharapkan, diinginkan, dan dipikirkanya sebagai hal yang pantas atau berhak baginya.
5
Kartono (2002) menyatakan bahwa unsur perasaan memang memiliki peranan yang besar sekali dalam menentukan sikap. Misalnya, keluhan para karyawan dalam menanggapi kondisi kerjanya seringkali bukan disebabkan kondisi fisik yang benar-benar buruk dalam perusahaan, tetapi lebih disebabkan oleh perasaan mereka yang beranggapan bahwa kondisi tersebut tidak seharusnya demikian jeleknya, tetapi seharusnya bisa lebih baik, atau kondisi yang buruk tersebut semestinya bisa dihindari. Karena itu, biasanya selain memperhatikan kondisi fisik dan materil yang baik dalam perusahaan, psikologi perusahaan lebih menekankan pada masalah-masalah psikologis, misalnya opini, prasangka, motivasi kerja, emosi, sikap, termasuk persepsi karyawan. Hal senada juga dinyatakan oleh Lazarus (dalam Bell, Greene, Fisher dan Baum, 1978) bahwasanya suatu peristiwa dapat dinilai sebagai ancaman atau tantangan oleh individu tergantung dari persepsi individu. Reaksi terhadap stres sangat tergantung bagaimana individu menafsirkan atau menilai, baik secara sadar atau tidak, arti dari peristiwa yang dialaminya. Hal ini berarti tekanan atau gangguan dari lingkungan, tidak selalu mengakibatkan stres pada setiap individu. Namun, tergantung pada bagaimana individu menilainya. Oleh karena itu, besar kemungkinan bahwa tindak kekerasan Polantas terkait erat dengan persepsi terhadap lingkungan kerja fisiknya yang penuh dengan stres. Salah satu penelitian mengenai persepsi terhadap lingkungan kerja fisik dilakukan oleh Syafrika dan Suyasa (2004), melalui studi korelasi mengenai persepsi terhadap lingkungan fisik kerja dengan dorongan berperilaku agresif pada polisi lalu lintas di Satlantas Kota Besar Jambi. Dari studi tersebut dapat
6
disimpulkan bahwa ada hubungan yang positif antara kebisingan dan polusi dengan dorongan berperilaku agresif. Hal ini menunjukkan bahwa semakin individu mempersepsikan kebisingan dan polusi sebagai sesuatu yang sangat terasa dan tidak nyaman, maka akan semakin tinggi dorongan berperilaku agresif individu tersebut. Sebaliknya semakin individu mempersepsikan kebisingan dan polusi sebagai sesuatu yang tidak terasa dan nyaman, maka semakin rendah dorongan berperilaku agresif individu tersebut. Dengan demikian, lingkungan kerja yang baik, aman, bersih, dan sehat akan membuat individu merasa aman dan nyaman dalam melaksanakan tugastugas yang dibebankan kepadanya. Selain itu, kondisi kerja yang memadai akan menjadi pendorong serta penunjang kegairahan dan efisiensi kerja, sedangkan kondisi kerja yang melebihi toleransi kemampuan manusia untuk menghadapinya akan menjadi sebab malapetaka bagi faktor manusianya. Namun, seberapa jauh akibat yang akan ditimbulkan oleh kondisi kerja tergantung pada bagaimana cara individu mempersepsikannya. Selain faktor persepsi tentang lingkungan kerja fisik, faktor manusia yang dianggap turut berperan dalam perilaku agresif adalah faktor kepribadian, karena kepribadian merupakan salah satu variabel person (variabel masukan) yang dapat menyebabkan terjadinya perilaku agresif. Selain itu, kepribadian ini juga dapat mengaktivasi konsep-konsep yang berhubungan dengan agresi di dalam memori yang
dapat
mempengaruhi
cognition,
affect,
dan
arousal
yang
dapat
mempengaruhi hasil akhir tingkah laku. Variabel person (kepribadian) dapat mempengaruhi kognisi dengan membuat konsep agresi lebih mudah diakses di
7
dalam memori. Di dalam memori tersebut, jaringan asosiatif menghubungkan pikiran, agresi, emosi, dan kecenderungan untuk bertingkah laku (Carnagey & Anderson, 2004). Dengan demikian individu yang memiliki sifat agresif hanya akan membutuhkan sedikit energi untuk mengaktifkan konsep-konsep agresi, sehingga konsep-konsep agresi tersebut menjadi semakin mudah untuk diakses dan lebih siap untuk teraktivasi pada situasi lain, yang dapat membimbing tingkah laku di masa yang akan datang. Dalam teorinya Bushman (dalam Carnagey & Anderson, 2004), menyatakan bahwa terdapat perbedaan individual dalam merespon stimulus agresif dan ambigu yang disebabkan karena adanya perbedaan individu dalam struktur memorinya. Menurut Bushman, hal ini disebabkan karena individu yang memiliki sifat agresif yang tinggi memiliki jaringan asosiatif kognitif tentang agresi yang lebih banyak dan lebih berkembang daripada individu yang memiliki sifat agresif rendah. Perbedaan jaringan asosiatif ini menyebabkan individu dengan sifat agresif tinggi lebih cepat mengakses konsep-konsep agresi, yang dapat dengan mudah teraktivasi dengan hanya adanya sedikit situasi yang tidak menyenangkan. Selain itu juga, individu dengan sifat agresif tinggi dapat menginterpretasi hal-hal yang ambigu menjadi terasosiasi dengan konsep agresi dibandingkan dengan individu yang memiliki sifat agresif rendah. Maksudnya adalah individu dengan sifat agresif tinggi akan mengartikan hal-hal yang belum pasti berhubungan dengan agresi, menjadi terkait dengan konsep-konsep agresi yang dipunyainya.
8
Steven & Mary (2005) mengatakan bahwa kepribadian bersifat stabil sepanjang waktu dan memberikan pola perilaku yang konsisten pada individu. Karena bersifat stabil dan konsisten itulah, individu yang memiliki sifat agresif akan cenderung berperilaku agresif pada setiap situasi. Selain itu, karena sifatnya yang permanen, maka dapat mempengaruhi keadaan temporer seseorang dalam hal ini adalah keadaan psikologis individu yang pada akhirnya turut berperan terhadap kemungkinan terjadi atau tidaknya perilaku agresif. Hal senada juga diungkapkan oleh Houston & Vavak (dalam Sarafino, 1994) yang menyatakan bahwa kepribadian pelaku agresi merupakan kondisi yang stabil. Sehingga ketika individu menampilkan perilaku agresif pada suatu situasi, individu tersebut akan menampilkan perilaku agresif di situasi yang lain. Dari penelitian longitudional yang dilakukan menunjukkan bahwa remaja yang terlibat dalam perilaku agresif cenderung terlibat dalam perilaku antisosial pada saat dewasa (Sarafino, 1994). Karena itu, kepribadian dapat digunakan untuk menggambarkan, menjelaskan, dan dapat digunakan sebagai prediksi efektivitas perilaku yang akan datang yang dapat membedakan antara individu yang satu dengan yang lain (Larsen & Buss, 2005). Dengan demikian, faktor psikologis tersebut dinilai esensial lebih mendasar untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam membuat prediksi dan estimasi efektivitas sikap dan perilaku Polantas saat sekarang dan yang akan datang. Selain itu, bahwa selama ini pembahasan dan penelitian dengan tema permasalahan agresivitas Polantas di jalan raya yang dikaitkan dengan faktor psikologis belum banyak diteliti. Atas dasar inilah penulis dengan segala
9
keterbatasan yang ada mencoba mengungkap hubungan antara kepribadian dengan perilaku agresif. Menurut teori kepribadian, kepribadian seseorang mempengaruhi cara individu dalam bereaksi, berpikir, merasa, berinteraksi dan beradaptasi dengan orang lain, termasuk dalam membentuk perilaku agresif (Larsen & Buss, 2005). Kepribadian itu sendiri didefinisikan sebagai sebuah organisasi dinamis di dalam sistem psikis dan fisik individu yang menentukan karakteristik perilaku dan pikirannya (Allport, 1960). Dalam teori-teori kepribadian, beberapa tokoh seperti Morgan (1986) dan Mischel (2004) menyimpulkan bahwa kepribadian itu terdiri dari struktur, antara lain adalah trait dan tipe (type). Trait adalah konsistensi respon individu dalam situasi yang berbeda-beda. Sedangkan tipe adalah pengelompokkan bermacam-macam trait. Dibandingkan dengan konsep trait, tipe memiliki tingkat regularity dan generality yang lebih besar daripada trait. Contoh dari tipe kepribadian antara lain introvert atau ekstrovert, tipe A atau B, dan lainlain. Dalam perkembangan penelitian perilaku agresif, hasil penelitian Glass (dalam Baron & Byrne, 2005) menyimpulkan bahwa faktor kepribadian berperan penting dalam perilaku agresif. Menurutnya bahwa kecenderungan seseorang untuk berperilaku agresif dapat dilihat dari kepribadiannya. Individu yang memiliki kepribadian tipe A cenderung lebih agresif dalam banyak situasi daripada individu dengan kepribadian tipe B. Kepribadian tipe A digambarkan sebagai individu yang memiliki sifat kompetitif, selalu terburu-buru, mudah tersinggung, dan agresif. Sedangkan kepribadian tipe B digambarkan sebagai
10
individu yang ambisinya tidak tinggi, cenderung tidak terburu-buru, dan tidak mudah kehilangan kendali. Kepribadian tipe A inilah yang kemudian akan menjadi fokus peneliti untuk diteliti, disebabkan karena belum banyak peneliti yang mengkaji pengaruh kepribadian tipe A dengan perilaku agresif. Penelitian terhadap agresivitas pernah dilakukan oleh Agung (2008) melalui penelitian kualitatif mengenai agresi pada anggota TNI-AD yang berdinas di Jakarta. Dari studi tersebut dapat disimpulkan bahwa faktor yang paling dominan yang mempengaruhi anggota prajurit TNI-AD melakukan tindakan agresi adalah provokasi, harga diri, kepribadian, dan proses belajar. Dengan demikian, dari penjelasan di atas maka penulis ingin mencari tahu seberapa besar pengaruh faktor kepribadian terhadap munculnya perilaku agresif pada Polantas. Sehingga penulis memasukkan kepribadian sebagai variabel bebas untuk menunjang variabel bebas lainnya yaitu persepsi tentang lingkungan kerja fisik, sehingga dari keduanya dapat dilihat seberapa besar dan signifikankah pengaruh keduanya terhadap variabel terikat yakni agresivitas Polantas. Dari sinilah penulis tertarik untuk meneliti lebih dalam apakah persepsi tentang lingkungan kerja fisik dan kepribadian tipe A mempengaruhi agresivitas Polantas. Selain itu, penulis juga tertarik untuk mengetahui lebih mendalam mengenai perilaku agresif Polisi lalu-lintas, dan tingkat intensitas perilaku agresif yang dilakukan. Penelitian ini akan dilakukan di kota Jakarta, karena penegakkan hukum yang dilaksanakan oleh satuan lalu-lintas tidak terlepas dari fenomena tindak agresi dari para polantas.
11
1.2. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1.2.1 Pembatasan Masalah Dalam penelitian ini, penulis hanya membatasi pada permasalahan: a) Persepsi tentang lingkungan kerja fisik yaitu hasil interpretasi atau pandangan subjek mengenai segala sesuatu yang ada di sekitar tempat kerja yang dapat mempengaruhi performansi kerja subjek. Dalam penelitian ini, peneliti hanya membatasi pada suhu, kebisingan, vibrasi atau getaran, polusi dan hygiene atau kebersihan. b) Kepribadian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kepribadian tipe A dan tipe B. Kepribadian tipe A ditandai dengan adanya ketidaksabaran dan perasaan terburu-buru dalam mengerjakan sesuatu, keterlibatan yang tinggi terhadap tugas atau pekerjaan, nafsu bersaing yang berlebihan, mudah tersinggung atau marah, dan agresif. Sedangkan kepribadian tipe B menunjukkan manifestasi yang sebaliknya, yaitu lebih sabar, santai, tenang, ambisinya rendah, mampu menahan diri, dan pasif. c) Agresivitas yaitu segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti seseorang baik secara fisik maupun mental dengan atau maksud tertentu (Berkowitz, 1995). Dalam penelitian ini, adapun yang dimaksud perilaku agresif yang dilakukan oleh Polantas yaitu perilaku agresif yang ditujukan kepada pengguna jalan raya. Oleh karena itu, peneliti hanya membatasi pada bentuk agresi fisik, dan agresi verbal yang dilakukan secara langsung. Agresi fisik langsung dapat dilakukan dengan atau tanpa alat terhadap fisik lawan atau
12
obyek sasaran secara langsung (memukul, menendang). Agresi verbal langsung dapat berupa memaki, mengancam, yang dilakukan secara langsung. a) Polantas yaitu badan pemerintah yang bertugas memelihara keamanan dan keselamatan lalu lintas. 1.2.2. Perumusan Masalah 1. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara Persepsi tentang Lingkungan Kerja Fisik dan Tipe Kepribadian secara bersama-sama terhadap Agresivitas Polisi lalu-lintas? 2. Seberapa besar sumbangan yang diberikan Persepsi tentang Lingkungan Kerja Fisik dan Tipe Kepribadian terhadap Agresivitas Polisi lalu-lintas? 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh antara Persepsi tentang Lingkungan Kerja Fisik dan Tipe Kepribadian secara bersama-sama terhadap Agresivitas Polisi Lalu-lintas. 2. Untuk mengetahui seberapa besar sumbangan yang diberikan Persepsi tentang Lingkungan Kerja Fisik dan Tipe Kepribadian terhadap Agresivitas Polisi Lalu-lintas.
13
1.3.2. Manfaat Penelitian 1.3.2.1.
Manfaat teoritis: Dapat memberikan data empiris yang telah teruji secara ilmiah, sehingga
dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu psikologi, terutama psikologi sosial. Serta dapat memberikan informasi dalam usaha meningkatkan SDM guna memperbaiki kinerja Kepolisian Indonesia ke depan. 1.3.2.2.
Manfaat praktis: Diharapkan dapat memberikan penjelasan kepada masyarakat, institusi
kepolisian, dan anggota kepolisian lalu lintas khususnya, mengenai gambaran agresi pada subjek anggota Polantas. Mengetahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan subjek cenderung melakukan agresi. Sehingga kepada masyarakat diharapkan untuk lebih berfikir positif terhadap anggota Polantas, dan menjalin hubungan saling menghormati dan menghargai. Kemudian diharapkan para anggota Polantas dapat mengontrol emosi dan amarahnya agar tidak ada lagi kekerasan yang dilakukan oleh anggota Polantas. Serta kepada institusi kepolisian diharapkan dalam proses perekrutan dan seleksi calon anggota Polantas agar lebih ketat dan selektif lagi, sehingga menghasilkan anggota-anggota yang terbaik sesuai dengan yang diharapkan. Selain itu, diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam menanggulangi permasalahan tindakan agresi pada Polantas, dengan cara menambahkan sarana dan prasarana atau dengan memberikan pelayanan konsultasi kesehatan fisik dan psikis serta dengan mengadakan pelatihan-pelatihan
14
mengenai pengendalian emosi serta pengendalian dan penilaian bahaya dari lingkungan kerja fisik seperti kebisingan, temperatur, polusi udara, sehingga mereka dapat menjalankan tugasnya dengan lebih baik. 1.4. Sistematika Penulisan Skripsi ini terdiri dari 5 bab, yang setiap babnya mempunyai sub-sub tersendiri dengan sistematika penulisan sebagai berikut : BAB I
Merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II
Merupakan kajian teori tentang agresivitas (pengertian agresivitas, teori-teori agresi, bentuk-bentuk agresivitas, dan fakto-faktor yang mempengaruhi agresivitas), persepsi tentang lingkungan kerja fisik (pengertian persepsi, perubahan persepsi, pengertian lingkungan kerja fisik, pengertian persepsi tentang lingkungan kerja fisik, dan jenis-jenis lingkungan kerja fisik), kepribadian (pengertian kepribadian, dan pola perilaku kerpribadian tipe A & tipe B), kerangka berfikir, dan hipotesis penelitian.
BAB III
Metode penelitian, mencakup: pendekatan penelitian, pengambilan sampel (populasi, sampel, serta teknik pengambilan sampel), variabel penelitian (identifikasi variabel penelitian, definisi operasional variabel penelitian), pengumpulan data (teknik pengumpulan data, dan instrumen penelitian), uji instrumen (uji
15
validitas, dan uji reliabilitas), prosedur penelitian, dan teknik analisa data. BAB IV
Hasil penelitian mencakup : gambaran umum subjek penelitian, deskripsi data, dan hasil uji hipotesis.
BAB V
Kesimpulan mencakup: kesimpulan, diskusi, dan saran.
16
BAB II KAJIAN TEORI
2.1. Agresivitas 2.1.1 Pengertian Agresivitas Agresivitas atau agresi merupakan bagian dari keseharian manusia sebagai individu yang normal. Hampir tidak dapat dipungkiri bahwa setiap manusia memilikinya bahkan bayi pun memiliki sifat agresi tersebut. Namun, pertanyaannya di sini apakah agresi yang dimiliki setiap individu itu sama besarnya dan sama intensitas pemunculannya. Berkowitz (1995) mendefinisikan “perilaku agresif sebagai segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti seseorang baik secara fisik maupun mental dengan atau maksud tertentu”. Jadi tindakan agresi adalah tindakan yang memiliki tujuan. Hal senada juga diungkapkan oleh Myers (2005) bahwa yang dimaksud dengan perbuatan agresif adalah perilaku fisik atau lisan yang disengaja dengan maksud untuk menyakiti atau merugikan orang lain. Suatu perilaku agresif harus disertai dengan adanya niat, intensi, motif, atau kesengajaan untuk menyakiti atau merugikan orang lain, dan jika suatu perbuatan dilakukan karena desakan situasi, tidak ada pilihan lain, atau tidak sengaja, maka perbuatan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai perilaku agresif.
17
Sementara Baron dan Byrne (2005) berpendapat “bahwa agresi adalah tingkah laku yang diarahkan kepada tujuan yang menyakiti makhluk hidup lain yang ingin menghindari perlakuan semacam itu”. Dari beberapa penjelasan di atas kiranya dapat disimpulkan mengenai definisi agresi itu sendiri serta istilah-istilah lain yang penggunaannya sering kali bias, sebagai berikut: Agresi adalah perilaku yang dimunculkan seseorang untuk mencapai tujuan tertentu yang sifatnya menyakiti lawannya baik secara fisik maupun psikis sehingga tidak dapat diterima secara sosial (agresi sebagai aksi). Sedangkan agresivitas merupakan kecenderungan internal atau perasaan ketidaknyamanan yang dirasakan oleh pelaku terhadap tujuan tersebut yang kemudian dikeluarkan dalam bentuk agresi. Jadi agresivitas merupakan penyebab dari tingkah laku agresif (agresi sebagai reaksi). Berdasarkan definisi-definisi yang telah diungkapkan di atas, peneliti menyimpulkan bahwa perilaku agresif adalah perilaku seseorang untuk menyakiti, melukai, merugikan, atau merusak obyek tujuannya baik secara fisik maupun psikis yang disertai dengan niat, intensi, motif, atau kesengajaan. 2.1.2 Teori-teori Agresi Untuk menjelaskan mengenai perilaku agresif, peneliti mengemukakan beberapa sudut pandang yang dikemukakan oleh Sarwono (2002), sebagai berikut:
18
1. Teori Bawaan a. Teori Psikoanalisa (Teori Naluri) Teori psikoanalisa dari Sigmund Freud yang menyatakan bahwa dalam diri manusia mempunyai potensi bawah sadar berupa suatu dorongan untuk merusak diri atau thanatos. Dorongan tersebut awalnya ditujukan untuk merusak diri sendiri. Namun, dalam perkembangannya dorongan tersebut ditujukan untuk orang lain. Teori naluri lainnya adalah yang dikemukakan oleh Konrad Lorenz. Ethologist merupakan ilmu yang mempelajari tentang naluri dan perilaku hewan. Teori ini menyatakan bahwa perilaku agresi disebabkan oleh faktor insting, dan perilaku agresi tersebut dilakukan dalam rangka adaptasi secara evolusioner. b. Teori Biologi Teori biologi mencoba menjelaskan perilaku agresif, baik dari proses faal maupun teori genetika. Sebagaimana yang diungkapkan Moyer, bahwa perilaku agresif ditentukan oleh proses tertentu yang terjadi di otak dan susunan syaraf pusat. Teori ini juga beranggapan bahwa perilaku agresi disebabkan oleh meningkatnya hormon testosteron. Hormon testoteron dalam hal ini bukan pemicu langsung dari perilkau agresi, sehingga untuk menimbulkan perilaku agresi perlu adanya pemicu dari luar (Helmi & Soedardjo, 1998). Selain itu, menurut Santrock (1995) bahwa perilaku agresi
19
dan kekerasan juga bisa disebabkan karena abnormalitas, misalnya kerusakan jaringan otak atau abnormalitas kromosom supermale atau XYY. c. Teori Sosio-biologi dari Wilson Teori ini menyatakan bahwa perilaku agresi berkembang karena adanya kompetisi sosial, yaitu kompetisi terhadap sumber daya. Menurut teori ini, perilaku agresi adalah sesuatu yang penting untuk adaptasi dalam kehidupan (Krahe, 2005). 2. Teori Lingkungan a. Teori Frustasi-Agresi Klasik Teori yang dikemukakan oleh Dollard dan Miller ini menjelaskan bahwa frustasi mengakibatkan terangsangnya suatu dorongan yang tujuan utamanya adalah menyakiti beberapa orang atau objek terutama yang dipersepsikan sebagai penyebab frustasi. Frustasi sendiri adalah hambatan terhadap pencapaian suatu tujuan. Dengan demikian, agresi merupakan pelampiasan dari perasaan frustasi. b. Teori Frustasi-Agresi Baru Dalam perkembangannya, kemudian terjadi beberapa modifikasi terhadap teori Frustasi-Agresi Klasik. Teori ini mensinyalir bahwa tidak setiap perilaku agresif disebabkan frustasi, karena masih ada faktor lain yang memicu perilaku agresif. Selain itu, teori ini menyatakan bahwa kekuatan dorongan agresi yang disebabkan oleh frustasi, tergantung besarnya kepuasan yang
20
diharapkan dan tidak dapat diperoleh. Tepatnya jika orang tiba-tiba dihalangi untuk mencapai tujuannya, akan meningkatlah kecenderungannya untuk menyakiti orang lain, tergantung: 1.
Tingkat kepuasan yang diharapkan,
2.
Seberapa jauh gagal memperoleh kepuasan,
3.
Seberapa sering terhalang untuk mencapai tujuan.
3. Teori Belajar Sosial Teori ini berpendapat bahwa perilaku agresif yang dilakukan oleh individu diperoleh sebagai hasil belajar melalui pengamatan atau observasi atas perilaku yang ditampilkan oleh individu-individu yang menjadi model. Teori ini beranggapan bahwa agresi dapat dipelajari melalui observasi atau imitasi, semakin sering mendapatkan penguatan akan semakin besar kemungkinan perilaku agresif dapat terjadi. 4. Teori Kognisi Teori kognisi berintikan pada proses yang terjadi pada kesadaran dalam membuat penggolongan (kategorisasi), pemberian sifat-sifat (atribusi), penilaian, dan pembuatan keputusan (Sarwono, 2002). Banyak tokoh berusaha mendapatkan pemahaman tambahan mengenai faktor-faktor yang memainkan peran dalam kemunculan perilaku agresi. Di antaranya adalah Anderson dan Bushman (dalam Carnagey & Anderson, 2004)
21
yang berusaha menjelaskan melalui salah satu pendekatan General Aggression Model (GAM). GAM merupakan gabungan dari teori-teori agresi terdahulu. GAM mendeskripsikan proses episodik dari agresi yang terdiri dari beberapa tahapan. Berikut ini adalah bagan yang dapat menjelaskan tahapan tersebut :
Inputs
Routes
Person
Situation
Present Internal State: Affect
Social Encounter
Cognition - - - Arousal Outcomes Appraisal & Decision Processes
Thoughtful Action Impulsive Action
Bagan 2.1 Proses episodic dari The General Aggression Model (Anderson & Bushman, 2002) Dari bagan di atas dapat terlihat bahwa terdapat dua variabel input (masukan) yang dapat menyebabkan terjadinya tingkahlaku agresif. Variabel person (orang) adalah semua faktor yang dibawa oleh seseorang ke dalam situasi tertentu (Carnagey & Anderson, 2004), seperti trait yang mendorong individu untuk melakukan agresi, jenis kelamin, sikap dan belief tertentu terhadap kekerasan, dan nilai-nilai yang dimiliki seseorang. Sedangkan variabel situasi meliputi faktor-faktor di dalam lingkungan yang mengelilingi individual,
22
termasuk faktor-faktor di dalam lingkungan yang dapat mempengaruhi tindakan seseorang, seperti aggressive cues, provokasi, frustasi, ataupun suhu udara tinggi yang tidak nyaman. Variabel situasi ini dapat mengaktivasi konsep-konsep yang berhubungan dengan agresi di dalam memori (Carnagey & Anderson, 2004). Kedua macam variabel masukan tersebut dapat mempengaruhi hasil akhir tingkah laku melalui present internal state (keadaan internal saat ini) yang mereka ciptakan. Keadaan internal tersebut adalah cognition, affect, dan arousal. Variabel masukan dapat mempengaruhi kognisi dengan membuat konsep agresi lebih mudah diakses di dalam memori (Carnagey & Anderson, 2004). Sifat pengaksesan konsep agresi ini adalah sementara atau malah menetap. Ketika sebuah konsep diakses secara terus menerus, waktu pengaktifannya akan menurun. Hal ini berarti hanya akan dibutuhkan sedikit energi untuk mengaktifkan konsep-konsep agresi, sehingga konsep-konsep agresi tersebut menjadi semakin mudah untuk diakses di lain waktu. Variabel masukan juga dapat mempengaruhi kognisi dengan mengaktivasi aggressive script (Huesmann, dalam Carnagey & Anderson, 2004). Script didefinisikan sebagai struktur pengetahuan semantik dan episodik yang besar yang terakumulasi di memori dan membimbing interpretasi dan pemahaman tentang pengalaman sehari-hari (Aschraft, 1994). Script agresif akan membuat bias interpretasi dari situasi dan respon yang mungkin dari situasi dengan cara-cara yang dapat menimbulkan agresi (Carnagey & Anderson, 2004). Akses yang berulang-ulang dari script agresif juga dapat membuat script agresif tersebut lebih
23
siap untuk teraktivasi pada situasi lain, yang dapat membimbing tingkah laku di masa yang akan datang. Selain
mempengaruhi
kognisi,
variabel
masukan
juga
dapat
mempengaruhi affect seseorang, seperti aggression-related feelings (perasaan yang berhubungan dengan agresi) tentang anger & hostility (Anderson & Dill, dikutip dalam Carnagey & Anderson, 2004). Contohnya, pada orang yang memiliki sifat sgresif yang tinggi, sedikit situasi yang tidak menyenangkan akan mengakibatkan kemarahan pada orang tersebut. Keadaan internal yang ketiga adalah arousal yang juga dipengaruhi oleh variabel orang dan situasi. Beberapa orang cepat sekali mengalami arousal, dan beberapa faktor situasi dapat secara sementara meningkatkan arousal. Tidak hanya variabel masukan dapat mempengaruhi kognisi, afek, dan arousal, tapi ketiga keadaan internal tersebut juga dapat mempengaruhi satu sama lain dan merupakan aspek yang saling berhubungan (Anderson & Bushman, dikutip dalam Carnagey & Anderson, 2004). Aktivasi pada satu aspek akan cenderung dapat mempengaruhi kedua aspek lainnya. Cognition dan affect dapat dilihat sebagai bagian dari memori yang dapat diaktifkan melalui proses spreading activation, yang jika salah satu terakses, maka akan memudahkan pengaksesan yang lainnya (Anderson & Bushman, dikutip dalam Carnagey & Anderson, 2004). Misalnya hostile cognition dapat membuat hostile feeling lebih mudah untuk diakses, dan juga sebaliknya.
24
Proses selanjutnya, individu akan melakukan appraisal (penilaian) dan kemudian akan memilih tingkah laku yang sesuai sebelum tingkah laku itu muncul. Appraisal bisa dilakukan secara otomatis (automatic appraisal), yaitu evaluasi pada lingkungan dan keadaan internal yang dilakukan secara cepat dengan sedikit kesadaran (Anderson & Dill, dikutip dalam Carnagey & Anderson, 2004). Appraisal yang otomatis ini akan mengakibatkan tindakan yang impulsif. Misalnya, ketika ditampar maka orang akan secara otomatis menilai lingkungan tersebut mengancam dan dapat membuat marah. Appraisal juga bisa dilakukan secara terkontrol (controlled appraisal) yang dilakukan lebih pelan dan lebih membutuhkan sumber kognitif daripada automatic appraisal. Controlled appraisal akan menghasilkan tindakan yang lebih dipikirkan. Kedua tindakan impulsive dan yang dipikirkan bisa menjadi agresif atau tidak agresif. Tingkah laku agresif atau tidak agresif yang dimunculkan oleh seseorang kemudian diikuti oleh reaksi dari lingkungan, dimana biasanya berupa respon orang lain dari tingkah laku tersebut (Carnagey & Anderson, 2004). Social encounter dapat mengubah variabel masukan tergantung dari respon lingkungan. Social encounter juga dapat memodifikasi variabel situasi, orang, atau keduanya, yang kemudian dapat menghasilkan reinforcement ataupun inhibition dari tingkah laku serupa di masa yang akan datang. 2.1.3 Bentuk-bentuk Agresivitas Berdasarkan sifatnya, Berkowitz (1995) membagi agresi ke dalam dua macam, yaitu :
25
1.
Agresi Instrumental Yaitu agresi yang terjadi pada saat seseorang merasa tersinggung dan ia berusaha menyakiti orang lain.
2.
Agresi Emosional Yaitu perilaku agresif yang memiliki tujuan lain selain menyakiti korban, antara lain dimaksudkan sebagai upaya mempertahankan kekuasaan, dominasi atau status sosial seorang individu. Menyakiti korban hanyalah media untuk meraih tujuan-tujuan tersebut. Sedangkan dari jenisnya, Berkowitz membagi agresi menjadi dua macam:
1) Agresi Langsung Agresi langsung, yakni melibatkan aksi yang ditujukan secara langsung kepada target yang memunculkan amarah (baik dalam bentuk agresi fisik maupun verbal), bentuk agresi fisik langsung yaitu seperti; memukul, atau menendang, sedangkan agresi verbal langsung, yaitu pernyataan verbal yang dimaksudkan untuk menyakiti orang yang sedang dievaluasi, seperti; memaki atau mengancam. 2) Agresi Tidak Langsung Agresi tidak langsung, yakni melibatkan aksi tidak langsung yang ditujukan kepada target yang memunculkan amarah, tanpa menyakiti target secara frontal. Misalnya, menceritakan kejelekan target kepada orang lain.
26
Sementara Freedman & Peplau (dalam Sarwono, 2002) membagi agresi menjadi dua macam, yaitu: 1.
Agresi Prososial Agresi prososial adalah tindakan agresi yang sebenarnya diatur atau disetujui oleh norma sosial, seperti polisi memukul penjahat.
2.
Agresi Antisosial Agresi antisosial adalah tindakan melukai orang lain di mana tindakan itu secara
normatif dilarang oleh norma masyarakat, seperti orang yang
punya kekuasaan bertindak sewenang-wenang terhadap warga miskin dan tak berdaya. Senada dengan pendapat Berkowitz, Buss (1973) mengklasifikasikan perilaku agresif secara lebih lengkap, yaitu: perilaku agresif secara fisik atau verbal, secara aktif atau pasif, dan secara langsung atau tidak langsung. Tiga klasifikasi
tersebut
masing-masing
akan
saling
berinteraksi,
sehingga
menghasilkan delapan bentuk perilaku agresif, yaitu : 1. Agresi fisik aktif langsung, seperti menusuk, menembak, memukul orang lain. 2. Agresi fisik aktif tidak langsung, seperti membuat jebakan untuk mencelakakan orang lain. 3. Agresi fisik pasif langsung, seperti tidak mau memberikan jalan kepada orang lain.
27
4. Agresi fisik pasif tidak langsung, seperti menolak untuk melakukan sesuatu, menolak mengerjakan perintah orang lain. 5. Agresi verbal aktif langsung, seperti mencaci maki orang lain. 6. Agresi verbal aktif tidak langsung, seperti menyebarkan gossip tentang orang lain. 7. Agresi verbal pasif langsung, seperti tidak setuju dengan pendapat orang lain, tetapi tidak mau mengatakan, tidak mau menjawab pertanyaan orang lain. 8. Agresi verbal pasif tidak langsung, seperti menolak untuk berbicara dengan orang lain. Dari berbagai bentuk perilaku agresi yang telah diuraikan di atas, maka secara garis besar bentuk perilaku agresif dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bagian, yaitu: a. Berdasarkan Arahnya Berdasarkan arahnya, agresi dibedakan atas agresi aktif dan agresi pasif. Agresi aktif ditujukan pada pihak lain, seperti menyerang orang lain atau merusak barang milik orang lain, sedangkan agresi pasif ditujukan pada diri sendiri seperti melukai atau menyakiti diri sendiri. b. Berdasarkan Caranya Berdasarkan caranya, agresi dibedakan atas agresi langsung dan agresi tidak langsung. Agresi secara langsung berarti perilaku agresif ditujukkan
28
dengan jelas atau dapat diamati dan sebaliknya agresi secara tidak langsung berarti perilaku agresif yang dilakukan secara diam-diam atau tidak tampak. c. Beradasarkan Macamnya Berdasarkan macamnya, agresi dibedakan atas agresi fisik, verbal, dan non-verbal. Agresi fisik dapat dilakukan dengan atau tanpa alat terhadap fisik lawan atau obyek sasaran. Agresi verbal dapat berupa gunjingan, menyebarkan gosip, mencela, memaki, mengucapkan kata-kata kasar, dan lain-lain. Adapun agresi non-verbal adalah bahasa tubuh, seperti mencibir dan merengut. Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas, untuk mengetahui gambaran agresivitas, maka penulis mengelompokkan perilaku agresif ke dalam dua bentuk yaitu : perilaku agresif verbal dan perilaku agresif fisik (non verbal) yang dilakukan secara langsung. Bentuk-bentuk perilaku agresif tersebut akan dijadikan dimensi dalam penyusunan skala agresivitas dalam penelitian ini, antara lain : 1. Perilaku agresif verbal Yaitu segala bentuk perilaku yang dilakukan dengan menggunakan ucapan atau perkataan yang ditujukan secara langsung kepada target yang memunculkan amarah. Secara verbal dapat ditunjukkan melalui bentuk-bentuk seperti : berkata kasar, memaki, menghina, mengancam dengan perkataan, dan membentak.
29
2. Perilaku agresif fisik Yaitu segala bentuk perilaku yang menggunakan aktivitas fisik yang ditujukan secara langsung kepada target yang memunculkan amarah. Bentuk perilaku tersebut antara lain : memukul, menendang, dan meninju. Adapun dampak perilaku agresif menurut Sarwono (2002) antara lain; a. Agresi yang dilakukan berturut-turut dalam jangka lama, dapat mempunyai dampak pada perkembangan kepribadian. b. Agresi dapat berlanjut dari generasi ke generasi. Ibu yang agresif cenderung mempunyai anak yang agresif terhadap anaknya pula. c. Mempunyai harga diri yang rendah. d. Depresi, setiap orang dapat mengalami kemunduran, ketidakpuasan, dan putus asa jika perilaku agresif menimpanya. e. Cacat fisik, perilaku agresif dapat menimbulkan cacat fisik terhadap korban agresi. Cacat fisik dari perilaku agresif ini dapat berlangsung seumur hidup dan sulit untuk disembuhkan. f. Cidera, selain cacat fisik, perilaku agresif juga dapat menimbulkan cidera. Cidera yang dialaminya tidak sampai seumur hidup, hanya bagian-bagian tubuh tertentu saja yang mengalami cidera dan dapat disembuhkan. g. Kematian, perilaku agresif juga bisa mengakibatkan seseorang atau makhluk lainnya langsung meninggal. Kematian dapat terjadi terhadap korban agresi
30
yang sebelumnya mengalami penyiksaan-penyiksaan atau langsung dibunuh oleh pelaku agresi dengan menggunakan alat atau tanpa menggunakan alat. 2.1.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Agresivitas Banyak sekali faktor yang dapat memicu terjadinya perilaku agresif. Untuk lebih memahami tentang faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi seseorang untuk melakukan perilaku agresif. Berikut di bawah ini akan dijelaskan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi agresivitas. Adapun beberapa pandangan dari beberapa tokoh, antara lain: 1. Frustasi Frustasi merupakan situasi dimana individu terhambat atau gagal dalam usaha mencapai tujuan tertentu yang diinginkannya, atau mengalami hambatan untuk bebas bertindak dalam mencapai tujuan tersebut (Baron & Byrne, 2005). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa ahli mengenai frustasi agresi menghasilkan kesimpulan bahwa individu yang memiliki pengaharapan yang tinggi terhadap sesuatu cenderung lebih agresif ketika mengalami kegagalan dalam usahanya mendapatkan apa yang diharapkannya (Myers, 2005). 2.
Provokasi Provokasi adalah perkataan atau tindakan yang dianggap menghina atau mengancam keselamatan individu yang melakukan agresi. Provokasi dapat mencetuskan agresi karena provokasi itu oleh pelaku agresi dilihat sebagai
31
ancaman yang harus dihadapi dengan respon agresif untuk meniadakan bahaya yang diisyaratkan oleh ancaman itu (Baron & Byrne, 2005). 3.
Efek senjata Dalam penelitian Berkowitz dan LePage (dalam Krahe, 2005) yang menguji tentang efek senjata terhadap kecenderungan perilaku agresif pada individu menghasilkan kesimpulan bahwa individu yang berhubungan dengan senjata cenderung menjadi lebih agresif dari pada individu yang tidak berhubungan dengan senjata.
4.
Kekerasan di media Film dan TV dengan kekerasan dapat menimbulkan agresi pada anak-anak atau orang dewasa. Anak-anak yang menonton film dan acara televisi yang mengandung kekerasan, makin tinggi tingkat agresi mereka ketika remaja atau dewasa. Dengan demikian, makin banyak menonton kekerasan dalam acara TV makin besar tingkat agresif mereka terhadap orang lain, makin lama mereka menonton, makin kuat hubungannya tersebut (Baron & Byrne, 2005).
5.
Alkohol dan obat-obatan Percobaan-percobaan di laboratorium juga membuktikan bahwa alkohol merangsang agresivitas. Gustafson (dalam Baron & Byrne, 2005) menyatakan orang yang mengonsumsi alkohol dosis tinggi yang cukup untuk membuat mereka mabuk, ditemukan bertindak lebih agresif, dan merespon provokasi secara lebih kuat, daripada mereka yang tidak mengonsumsi alkohol. Dengan demikian, alkohol dapat melemahkan kendali diri peminumnya, sehingga taraf agresivitas juga tinggi.
32
6. Temperatur Suhu lingkungan yang tinggi memiliki dampak terhadap tingkah laku sosial berupa peningkatan agresivitas. Sebagaimana penelitian yang dihasilkan oleh Anderson (dalam Baron & Byrne, 2005) Suhu udara tinggi cenderung akan meningkatkan agresi. Hal senada juga dinyatakan oleh Grifft (dalam Sarwono, 2002) bahwa udara yang sangat panas lebih cepat memicu kemarahan dan agresi. 7.
Kesesakan (crowding) Kesesakan dapat meningkatkan kemungkinan untuk perilaku agresif terutama bila sering timbul kejengkelan, dan frustasi/ afek negatif karenanya (Krahe, 2005).
8. Polusi udara Polusi udara, bau tidak enak, dan bahkan pemandangan menjijikan ternyata meningkatkan hukuman yang diberikan, atau kekerasan yang ditunjukan terhadap orang lain. Jelaslah, tekanan psikologis juga tidak menyenangkan, dan hal itu pun bisa menyebabkan agresi (Berkowitz, 1995). 9. Kebisingan Kebisingan dilaporkan dapat meningkatkan perilaku agresif. Dalam kapasitasnya sebagai pengintensif perilaku yang sedang berlangsung, kebisingan dapat menguatkan kecenderungan perilaku agresif yang sudah muncul pada si pelaku. Tetapi, tampaknya bukan kebisingan itu sendiri yang memfasilitasi agresi, melainkan kenyataan bahwa kebisingan sering kali merupakan kejadian aversif yang tidak dapat dikontrol. Bila kebisingan itu
33
dipersepsi sebagai dapat dikontrol, maka dampaknya terhadap perilaku agresif akan berkurang secara substansial (Krahe, 2005). 10. Kepribadian Kepribadian seseorang mempengaruhi cara individu dalam bereaksi, berpikir, merasa, berinteraksi dan beradaptasi dengan orang lain, termasuk dalam membentuk perilaku agresif (Larsen & Buss, 2005). Menurut Glass (dalam Baron & Byrne, 2005) bahwa orang-orang dengan kepribadian tipe A (yang bersifat kompetitif, selalu terburu-buru, mudah tersinggung, dan agresif) cenderung lebih agresif daripada orang dengan kepribadian tipe B (ambisinya tidak tinggi, cenderung tidak terburu-buru, dan tidak mudah kehilangan kendali). 11. Penyebab hormon Perilaku agresif juga bisa disebabkan oleh meningkatnya hormon testosteron (Sarwono, 2002). 12. Gender Peran gender atau jenis kelamin yang dikembangkan oleh Harris (dalam Baron & Byrne, 2005) yang menyatakan pria secara umum cenderung lebih banyak melakukan perilaku agresif daripada wanita. 13. Harga diri Baumerster, Smart & Boden (dalam Sarwono, 2002) menjelaskan bahwa harga diri yang tinggi justru memberi peluang lebih besar untuk agresif. Penyebabnya antara lain adalah karena orang dengan harga diri tinggi merasa lebih percaya diri, kalau berkonflik dengan orang lain ia akan berada di pihak
34
yang menang, dan bahwa selaku orang yang nilainya lebih tinggi dari orang lain, ia merasa berhak untuk agresif kepada orang lain. 2.2. Persepsi tentang Lingkungan Kerja Fisik 2.2.1. Pengertian Persepsi Robbins (2001) menjelaskan bahwa persepsi merupakan proses seseorang dalam mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera agar dapat memberi arti terhadap lingkungan sekitarnya. Sedangkan
Rakhmat
(2000)
menyatakan
bahwa
persepsi
adalah
pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi berhubungan dengan pemberian makna pada stimuli inderawi. Di dalam prosesnya, pemberian makna terhadap informasi inderawi tidak hanya melibatkan sensasi, tetapi juga atensi, ekspektasi, motivasi, dan memori. Persepsi merujuk kepada cara kita menyadari benda-benda, manusia, dan peristiwa-peristiwa. Penilaian meliputi semua cara kita menarik kesimpulan mengenai apa yang telah diamati. Ada dua cara mempersepsi yang amat berlainan yakni mengamati melalui indera (sensing) dan mengamati melalui perasaan (intuiting) dan ada dua cara penilaian yang amat berlainan_penilaian melalui pikiran (thinking) dan penilaian melalui perasaan (feeling). Bila orang berbeda secara sistematis dalam cara mereka mempersepsi, masuk akal untuk mempercayai bahwa mereka akan menunjukkan tipe gaya pengoperasian yang berlainan pula.
35
Jadi, berdasarkan penjelasan-penjelasan yang telah dikemukakan, maka dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah hasil dari pengorganisasian dan pengintegrasian terhadap stimulus-stimulus yang diterima oleh panca indera agar dapat memberi arti terhadap lingkungan sekitar. 2.2. 2. Perubahan Persepsi Menurut Sarwono (1992) persepsi itu bukan sesuatu yang statis, melainkan bisa berubah-ubah. Proses perubahan pertama disebabkan oleh proses faal (fisiologik) dari sistem syaraf pada indera-indera manusia. Jika suatu stimulus tidak mengalami perubahan, misalnya, maka akan terjadi adaptasi atau habituasi, yaitu respon terhadap stimulus itu makin lama makin lemah. Habituasi menunjukkan kecenderungan faali dari reseptor yang menjadi kurang peka setelah banyak menerima stimulus. Misalnya, jika seseorang mendekati tempat dimana banyak timbunan sampah, maka mula-mula ia akan mencium bau busuk sampah yang sangat menusuk sehingga reaksinya adalah menutup hidungnya. Akan tetapi, setelah beberapa saat bau itu seolah-olah tidak tercium lagi. Dipihak lain, adaptasi adalah berkurangnya perhatian jika stimulus muncul berkali-kali. Kalau seseorang mendengar ketokan palu di ruang sebelah, mula-mula ia akan terkejut dan merasa bising (di luar batas persepsi optimal). Akan tetapi, kalau ketokan-ketokan itu berlangsung terus berkali-kali untuk jangka waktu lama, orang itu seakan-akan tidak memperhatikannya lagi sehingga suara ketokan itu tidak mengganggunya lagi (masuk dalam batas persepsi optimal karena terjadinya peningkatan ambang toleransi). Dapat ditambahkan di sini, bahwa stimulus yang muncul secara teratur lebih mudah diadaptasi daripada stimulus yang munculnya tidak teratur.
36
Proses perubahan kedua adalah proses psikologik. Proses perubahan persepsi secara psikologik antara lain dijumpai dalam pembentukan dan perubahan sikap. Pada umumnya sikap digambarkan sebagai kesiapan seseorang untuk bereaksi secara tertentu terhadap suatu objek tertentu. Mc Guire menyatakan sikap adalah respon manusia yang menempatkan objek yang dipikirkan ( objects of thought) ke dalam suatu dimensi pertimbangan (dimention of judgements). Objek yang dipikirkan adalah segala sesuatu (benda, orang, hal, isu) yang bisa dinilai oleh manusia. Dimensi pertimbangan adalah semua skala positifnegatif seperti dari baik ke buruk, dari enak ke tidak enak dan seterusnya. 2.2.3. Pengertian Lingkungan Kerja Fisik Banyak faktor yang mempengaruhi manusia dalam bekerja. Salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja seseorang adalah lingkungan kerja fisik. Nitisemito (1988) mendefinisikan lingkungan kerja sebagai segala sesuatu yang ada di sekitar para pekerja dan yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-tugas yang dibebankan, misalnya pewarnaan, kebersihan, pertukaran udara, penerangan, musik, keamanan, dan kebisingan. Hal senada juga diungkapkan oleh Lianto & Kurniawan (dalan Syafrika & Suyasa, 2004) menyatakan bahwa lingkungan kerja adalah semua faktor atau hal di tempat kerja yang bisa menimbulkan akibat kepada tenaga kerja.
37
Sedangkan menurut Munandar (2001), lingkungan kerja adalah keadaan yang memberi kenyamanan atau ketidaknyamanan pada pekerja dalam menyelesaikan pekerjaannya, seperti ruang kerja dengan peralatan tertentu serta fasilitas yang digunakan. Lingkungan kerja fisik merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja seorang karyawan. Seorang karyawan yang bekerja di lingkungan kerja fisik yang mendukung dia untuk bekerja secara optimal akan menghasilkan kinerja yang baik, sebaliknya jika seorang karyawan bekerja dalam lingkungan kerja fisik yang tidak memadai dan mendukung dia untuk bekerja secara optimal akan membuat karyawan yang bersangkutan menjadi malas, cepat lelah sehingga kinerja karyawan tersebut akan rendah (Schultz & Sydney, 2006). Jadi, berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan lingkungan kerja fisik adalah segala sesuatu yang ada di sekitar tempat kerja yang dapat mempengaruhi performansi kerja seseorang. 2.2.4. Pengertian Persepsi tentang Lingkungan Kerja Fisik Persepsi tentang lingkungan kerja fisik merupakan proses psikologi yang kompleks yang berhubungan dengan proses penginderaan, pengorganisasian, dan proses interpretasi serta penilaian terhadap kondisi material. Definisi persepsi tentang lingkungan kerja yang lebih teoritis dan operasional dibuat oleh Gibson (dalam Bell, et.al., 1978) yang menyatakan bahwa persepsi tentang lingkungan kerja adalah serangkaian hal dari lingkungan yang
38
dipersepsikan oleh orang-orang yang bekerja dalam suatu lingkungan organisasi dan memiliki peran yang besar dalam mempengaruhi tingkah laku karyawan. Karena itu, semakin individu mempersepsikan lingkungan kerja fisiknya sebagai sesuatu yang sangat terasa mengganggu dan tidak nyaman, maka semakin tinggi dorongan berperilaku agresif individu tersebut. Sebaliknya semakin individu mempersepsikan lingkungan kerja fisiknya sebagai sesuatu yang tidak terasa dan nyaman, maka menyebabkan gangguan baik pada fisik maupun psikis. Dari pendapat di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa persepsi terhadap lingkungan kerja fisik adalah hasil dari interpretasi atau pandangan subjek mengenai segala sesuatu yang ada disekitar tempat kerja yang dapat mempengaruhi performansi kerja subjek. 2.2.5. Jenis-jenis Lingkungan Kerja Fisik Banyak hal-hal yang tercakup dalam lingkungan kerja fisik. Munandar (2001) menyatakan bahwa lingkungan kerja fisik mencakup setiap hal yang ada di sekitar tempat kerja dari fasilitas parkir di luar gedung perusahaan, lokasi, dan rancangan gedung, suhu sampai jumlah cahaya dan suara yang menimpa meja kerja atau ruang kerja seseorang. Jenis-jenis lingkungan kerja fisik lainnya akan dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut : a. Suhu Manusia menginderakan suhu di alam sekitarnya. Kondisi suhu di lingkungan sekitar manusia atau di atmosfer dinamakan ambient temperature
39
(suhu lingkungan) (Sarwono, 1992). Kelembaban, arus udara, dengan jumlah, ukuran, dan suhu dari obyek dan bahan yang ada di tempat kerja semuanya mempengaruhi reaksi orang terhadap suhu udara. Perbedaan fisiologis masingmasing orang dapat mempunyai pengaruh yang besar terhadap persepsi kenyamanan. Karena begitu banyak variabel yang mempengaruhi persepsi manusia mengenai suhu, maka salah satu bidang penelitian dalam aspek kondisi kerja ini diarahkan untuk mendapatkan cara yang dapat diandalkan untuk mengukur apa yang dinamakan suhu efektif. Suhu efektif adalah suhu yang dirasakan (bukan suhu dari pembacaan termometer) (Jewell & Siegall, 1998). Karena reaksi tubuh sangat dipengaruhi oleh suhu lingkungan. Suhu tubuh harus tetap sekitar 37° C. Jika suhu tubuh lebih rendah dari 25° C atau lebih tinggi dari 55° C, orang akan mati. Karena itu dalam tubuh ada organ tertentu yang bertugas mempertahankan suhu tubuh ini. Organ itu adalah hypothalamus. Kalau suhu lingkungan meningkat, hypothalamus akan merangsang pembesaran poripori kulit, percepatan peredaran darah, pengeluaran keringat, dan reaksi-reaksi tubuh lain yang bertujuan untuk mengurangi panas tubuh yang berlebihan. Kalau upaya reaksi tubuh gagal mempertahankan suhu tubuh, kemungkinan akan terjadi hal-hal sebagai berikut; 1) Heat exhaustion: rasa lelah yang sangat kuat akibat panas disertai dengan rasa mual, mau muntah, sakit kepala, dan gelisah. 2) Heat stroke: delirium (mengigau), koma (tidak sadar), dan akhirnya meninggal dunia akibat otak terserang panas berlebihan.
40
3) Heat aesthenia: jenuh, sakit kepala, gelisah, mudah tersinggung, nafsu makan kurang, dan tidak bisa tidur (insomnia) dengan sebab tidak jelas. 4) Serangan jantung: jantung bekerja terlalu kuat mengedarkan darah ke seluruh tubuh untuk menurunkan suhu (Sarwono, 1992). Senada dengan pendapat Sarwono, Shofwati & Satar (2009) menjelaskan bahwa bekerja pada lingkungan yang panas dapat memberi dampak kepada pekerja baik fisik maupun mentalnya, dampak-dampak tersebut antara lain: 1) Respon mental awal: meningkatnya iritasi, marah, agresi, perubahan suasana hati dan depresi. 2) Respon fisik: meningkatnya aktifitas jantung, berkeringat, ketidakseimbangan kandungan antara cairan dan garam dalam tubuh, dan perubahan aliran darah di kulit. 3) Gabungan respon fisik dan mental: kurangnya efisiensi dalam menjalankan tugas-tugas yang berat, tugas-tugas yang perlu keahlian dilakukan dengan tidak baik, gampang lelah, kurangnya kosentrasi yang mengakibatkan meningkatnya tingkat kesalahan. Bell, Fisher, dan Loomis (1978) menyatakan bahwa efek dari suhu lingkungan yang tinggi terhadap tingkah laku sosial adalah peningkatan agresivitas. Pada tahun 1968 misalnya, US Riot Commision pernah melaporkan bahwa dalam musim-musim panas, rangkaian kerusuhan dan agresivitas massa lebih banyak terjadi di AS daripada musim-musim lain.
41
Selain itu, suhu yang ekstrim di tempat kerja sangat erat hubungannya dengan dua faktor, yaitu sifat kerja yang dilakukan (kerja mental atau kerja kognitif) dan lamanya seseorang mengalami suhu ekstrim tersebut (Jewell & Siegall, 1998). Beberapa penelitian lainnya mencoba menjajagi hubungan antara cuaca panas dengan tingkah laku bermusuhan dan agresif. Baron & Lawton (dalam Anastasi, 1993) menyuguhkan bukti bahwa bila kepada orang-orang ditunjukkan suatu model yang agresif, maka mereka cenderung menampakkan rasa marah dan tingkah laku agresif pada suhu yang panas daripada bila suhu itu sejuk. Baron & Byrne (2005) juga menambahkan bahwa cuaca panas lebih dapat mempengaruhi tingkah laku. Banyak fakta-fakta yang menunjukkan bahwa pada saat suhu meningkat, respon negatif interpersonal meningkat dan respon positif menurun. Sebagai contoh, data penelitian Anderson, dkk tentang mempelajari suhu panas dan agresi; dari laboratorium sampai catatan polisi atas penyerangan fisik. Dimana dalam penelitiannya mereka menghubungkan antara suhu dan agresivitas menunjukkan bahwa kekerasan dan kriminalitas lebih sering terjadi pada saat terjadinya peningkatan suhu. b. Kebisingan Lingkungan di sekitar manusia penuh dengan gelombang-gelombang suara. Selama gelombang-gelombang suara itu tidak dirasakan mengganggu manusia, maka namanya adalah bunyi (voice) atau suara (sound). Jika gelombanggelombang suara itu dirasakan sebagai gangguan, maka namanya adalah bising
42
atau berisik (noise). Dengan demikian, bising dapat didefinisikan secara sederhana, yaitu bunyi yang tidak dikehendaki (Sarwono, 1992). Kebisingan atau suara terdiri dari perubahan tekanan atmosfir yang relatif kecil. Perubahan tersebut dideteksi oleh gendang pendengar dan dibawa ke sel-sel rambut dalam telinga bagian dalam. Sel rambut ini mengkonversikan perubahan tekanan menjadi pulse listrik yang dikirim ke otak. Otak ini kemudian dapat memproses pulse listrik ini menjadi suara yang bermakna. Jumlah kerusakan yang disebabkan oleh kebisingan tergantung pada jumlah energi yang diterima dari waktu ke waktu (Shofwati &Satar, 2009). Bising biasanya dianggap sebagai bunyi atau suara yang tidak diinginkan, yang mengganggu, yang menjengkelkan. Bising dapat dipersepsikan berbeda antara individu yang satu dengan individu yang lain. Suara sangat mengganggu bagi satu orang, mungkin dirasakan tidak mengganggu bagi yang lain. Karena bising itu tidak dikehendaki, sifatnya adalah subjektif dan psikologik. Subjektif karena sangat bergantung pada orang yang bersangkutan. karena sifatnya yang mengganggu itu, secara psikologik, bising adalah penimbul stress (Sarwono, 1992). Satuan dasar untuk mengukur bising adalah desibel (db) yang secara teknis mengukur tingkat tekanan suara. Satu desibel adalah besarnya tekanan suara di tingkat ambang pendengaran (hearing threshold) pada frekuensi 1000 Hertz (= 1000 cycle per detik), yaitu tekanan minimal yang masih dapat kita dengarkan sebagai bisikan lembut (Bell, et.al.,1978).
43
Lianto & Kurniawan (dalam Syafrika & Suyasa, 2004) jenis bising dapat dikategorikan menjadi bising mantap dan bising tidak mantap. Bising mantap dapat berupa; a) Bising mantap tanpa nada diskrit, misalnya suara mesin AC, dan suara air terjun b) Bising mantap dengan nada diskrit, misalnya suara gergaji, mesin poles, dan mesin turbo jet. Bising tidak mantap dapat berupa; a) Bising yang berfluktuasi, misalnya bising lalu-lintas kendaraan bermotor di jalan raya. b) Bising Intermittent, misalnya bising pesawat terbang, atau kereta api, atau mobil yang lewat. Menurut Sarwono (1992) kalau suara bising itu dapat diperkirakan datangnya atau berbunyi secara teratur, kesan gangguan yang ditimbulkannya akan lebih kecil daripada jika suara itu datang tiba-tiba atau tidak teratur. Sependapat dengan Anastasi (1993) yang mengungkapkan bahwa bunyi yang terdengar secara kontinu terasa kurang mengganggu daripada bunyi yang tidak ajek. Ada berbagai macam kombinasi kebisingan. Ada suara keras tetapi bisa diperkirakan dan bisa dikontrol, ada suara tidak keras tetapi tiba-tiba dan tidak bisa dikontrol, dan sebagainya. Akan tetapi, yang paling mengganggu adalah yang
44
keras tiba-tiba atau tak teratur dan tak terkontrol. Tidak adanya kendali pada kebisingan ini menimbulkan stres yang jika berlangsung lama pada akhirnya bisa menimbulkan reaksi learned helplessness (ketidakberdayaan yang dipelajari). Artinya, orang menjadi tidak berdaya dan membiarkan saja bising itu walaupun stresnya bertambah besar (Sarwono, 1992). Ciri-ciri bising yang lain dan memiliki potensi mengganggu ialah kekenalan, nada, dan keharusan adanya bising pada pekerjaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bunyi-bunyi yang tidak dikenal lebih mengganggu daripada bunyi-bunyi yang telah dikenal. Nada yang sangat tinggi dan nada yang sangat rendah lebih mengganggu dan menjengkelkan daripada nada-nada dari rentang tengah. Bunyi menjadi kurang mengganggu jika merupakan bagian dari pekerjaan yang dilakukan. Pekerja yang harus menggunakan gergaji listrik dalam pekerjaannya tidak merasa terganggu oleh suara alat gergajinya dibandingkan dengat para pekerja lain yang bekerja di dekatnya yang melakukan pekerjaan lain (Munandar, 2001). Menurut Munandar (2001) dalam kehidupan sekarang ini bising merupakan keluhan yang banyak didengar. Orang merasa kebisingan oleh banyaknya suara yang ditimbulkan oleh ramainya lalu-lintas, suara mesin, dan sebagainya. Bising dalam lingkungan demikian membuat kita mudah marah, gelisah, tidak bisa tidur, bahkan dapat membuat kita menjadi tuna rungu. Akibatakibat lain dari tingkat bising yang tinggi adalah:
45
a) Timbulnya perubahan fisiologis. Penelitian menunjukkan bahwa pada orangorang yang mendengar bising pada tingkat 95-110 desibel, terjadi penciutan dari pembuluh darah, perubahan detak jantung, dilatasi dari pupil-pupil mata. Penyempitan dari pembuluh darah tetap berlangsung beberapa waktu setelah tidak ada bising lagi dan mengubah persediaan darah untuk seluruh tubuh. Satu paparan (exposure) yang bersinambung terhadap bising yang keras dapat meningkatkan tekanan darah dan dapat mengakibatkan sakit jantung. Bising yang keras juga meningkatkan ketegangan otot. b) Adanya dampak psikologis. Bising dapat mengganggu kesejahteraan emosional. Mereka yang bekerja pada lingkungan yang ekstrim bising lebih agresif, penuh curiga, dan cepat jengkel dibandingkan dengan mereka yang bekerja dalam lingkungan yang lebih sepi. Selain itu, Shofwati & Satar (2009) memaparkan dampak dari kebisingan yang tinggi dan kebisingan yang rendah, antara lain: a) Efek paparan kebisingan tinggi: penurunan kemampuan mendengar, naiknya tekanan darah, peningkatan denyut jantung, stres sehingga lekas marah, sakit kepala, depresi, dan mengurangi konsentrasi, b) Efek paparan kebisingan rendah: stres, lekas marah, sakit kepala, moody, insomnia,
gangguan
reaksi
psikomotorik,
kehilangan
konsentrasi,
terganggunya komunikasi. Hal senada juga diungkapkan oleh Cohen (dalam Bell, et.al., 1978) bahwa paparan kebisingan yang tinggi dapat menyebabkan sakit kepala, menimbulkan
46
rasa muak, ketidakstabilan, kecemasan,dan perubahan mood. Munandar (2001) menambahkan paparan (exposure) terhadap bising berkaitan dengan rasa lelah, sakit kepala, lekas tersinggung, dan ketidakmampuan untuk berkosentrasi. Akibat paparan terhadap bising dalam bentuk perilaku, misalnya penurunan unjuk kerja/produktivitas, terjadinya kecelakaan, penurunan perilaku membantu, bersikap lebih negatif terhadap orang lain, rasa bermusuhan yang lebih terbuka, dan agresi terbuka. Dengan demikian, suara gaduh sangat berpengaruh pada emosi karyawan dan sebagai sumber stres. Sementara Glass & Singer (dalam Bell, et.al., 1978) menyatakan bahwa suara gaduh berpengaruh terhadap efisiensi produksi kerja. Namun, efek dari bunyi terasa mulai mengganggu apabila individu tidak dapat mengendalikan bunyi. c. Vibrasi Shofwati & Satar ( 2009), menyatakan bahwa vibrasi merupakan getaran yang beralih dari benda-benda fisik ke tubuh seseorang yang dapat menyebabkan resiko kesehatan seperti sistem tubuh baik psikomotor, fisiologis, dan psikologis. Hal senada juga diungkapkan oleh Munandar (2001) bahwasanya vibrasi atau getaran yang beralih dari benda-benda fisik ke badan dapat memberi pengaruh yang tidak baik pada unjuk kerja. Dalam penelitian dari Sutherland dan Cooper ditemukan bahwa kondisi kerja yang tidak menyenangkan karena adanya getaran dinilai sebagai pembangkit stres oleh 37% pekerja.
47
Menurut Shofwati & Satar (2009), dengan periode waktu yang singkat terpapar getaran dengan frekuensi antara 2-20 Hz pada 1m/sec2, seseorang dapat merasakan beberapa gejala yaitu antara lain; 1. Abdominal pain 2. Perasaan ketidaknyamanan seperti sakit kepala 3. Dada sakit 4. Nausea 5. Hilangnya keseimbangan 6. Kontraksi otot dengan penurunan kinerja di tempat kerja 7. Sesak nafas 8. Pengaruh pada bicara Dengan demikian, sebagian dari getaran-getaran tersebut sampai ke tubuh dan dapat menimbulkan akibat-akibat yang tidak diinginkan pada tubuh, yaitu dapat mempengaruhi konsentrasi kerja, mempercepat datangnya kelelahan serta gangguan-gangguan pada anggota tubuh seperti mata, syaraf, otot, dan sebagainya. d. Polusi Polusi disebabkan oleh berbagai macam aktivitas manusia, seperti mengendarai mobil, pembakaran batu bara, rokok, dan sebagainya, yang
48
menyebabkan udara mengalami peningkatan jumlah partikel dan gas yang dapat menimbulkan efek negatif bagi manusia. Gas-gas dan uap yang ada di sekitar tubuh akan diserap oleh tubuh lewat pernafasan dan dapat mempengaruhi berbagai fungsi jaringan tubuh, sehingga dapat menyebabkan masalah kesehatan, seperti; gangguan penglihatan, pendengaran, ingatan, Parkinson, epilepsi, sakit kepala, kelelahan, insomnia, depresi, dan gangguan psikotik lainnya. Adapun keadaan tersebut lebih banyak disebabkan oleh tingginya polutan yang berupa CO (Karbon Monoksida) (Bell, et.al., 1978). Selain itu, polusi udara juga dapat mempengaruhi performansi kerja seseorang. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Beard & Wertheim (dalam Bell, et.al., 1978) menjelaskan bahwa seseorang yang terkonsentrasi CO (Karbon Monoksida) pada 50 ppm – 250 ppm akan berpengaruh terhadap performansi kerja mereka. Polusi udara juga dapat mempengaruhi kegiatan sosial dan menimbulkan perilaku agresif. Dengan demikian, dari berbagai penelitian menyatakan bahwa polusi udara seperti karbon monoksida dapat menurunkan tingkat konsentrasi, koordinasi sensorimotor, memori, agresi, dan kemampuan memecahkan masalah. e. Kebersihan (Hygiene) Lianto & Kurniawan (dalam Syafrika dan Suyasa, 2004) mengemukakan bahwa suatu lingkungan kerja yang bersih akan membuat seseorang bekerja dengan senang dan lebih bersemangat.
49
Sementara lingkungan yang kotor dan tidak sehat merupakan pembangkit stres bagi pekerja sehingga dapat mempengaruhi performansi kerja seseorang (Munandar, 2001). 2.3. Kepribadian 2.3.1 Pengertian Kepribadian Banyak faktor yang mempengaruhi manusia dalam bekerja. Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah kepribadian. Allport
(1960)
mengungkapkan
kepribadian
sebagai“the
dynamic
organization within the individual of those psychophysical systems that determine his characteristic behavior and thought”.
Bahwa kepribadian adalah sebuah
organisasi dinamis di dalam sistem psikis dan fisik individu yang menentukan karakteristik perilaku dan pikirannya. Hal senada juga diungkapkan oleh McCurdy (dikutip dalam Sarwono, 2003) kepribadian adalah integrasi interes-interes yang menyebabkan individu yang bersangkutan cenderung untuk bertingkah laku tertentu. Sementara Larsen & Buss (2005) menjelaskan bahwasanya kepribadian merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu dan relatif menetap dan mempengaruhi individu dalam berinteraksi, beradaptasi dengan orang lain dan lingkungan sosialnya baik secara fisik maupun psikis. Sependapat dengan Larsen & Buss, Steven & Mary (2005) menyatakan bahwasanya kepribadian merupakan pola perilaku yang relatif stabil sepanjang
50
waktu dan memberikan pola perilaku yang konsisten pada individu di dalam menjelaskan kecenderungan perilaku seseorang. Jadi, berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa kepribadian adalah suatu kesatuan komponen dalam individu yang khas yang merupakan peramalan dalam menentukan perilaku seseorang ketika mengahadapi medan hidupnya. 2.3.2 Pola Perilaku Kerpribadian Tipe A & Tipe B Pada tahun 1950-an, dua orang dokter peneliti penyakit jantung, Friedman dan Rosenman mengembangkan suatu pendekatan untuk meramalkan munculnya penyakit jantung pada manusia, yaitu dengan cara melihat reaksi-reaksi tingkah laku individu terhadap rangsangan lingkungan. Ditemukan bahwa faktor-faktor beresiko terhadap penyakit jantung koroner seperti kolesterol, tekanan darah, dan keturunan tidak dapat meramalkan terjadinya penyakit jantung koroner. Menurut mereka ada faktor-faktor lain yang mempunyai peran penting dalam penyakit jantung koroner. Dengan mewawancarai dan mengamati para pasien, mereka menemukan suatu ciri-ciri khas atau pola perilaku tertentu. Dengan adanya perbedaan yang signifikan dalam segi perilaku dan emosi pada orang yang menderita penyakit jantung dengan orang yang tidak memiliki penyakit jantung. Mereka mengatakan bahwa individu yang menderita penyakit jantung memperlihatkan suatu gaya perilaku yang disebutnya TABP (Type A Behavior Pattern) dibandingkan dengan orang yang tidak menderita penyakit jantung. Type A Behavior Pattern (TABP) diartikan sebagai :
51
“An action-emotion complex that can be observed in any person who is aggressively involved in a chronic, incessant struggle to achieve and more in less time, and if required to do so, against the opposing efforts of other person ” (Friedman dan Rosenman dalam Rice, 2000). Friedman dan Rosenman (dalam Mischel, 2004) menandai perilaku tipe A menjadi tiga karakteristik. Ketiga karakteristik tersebut adalah sebagai berikut: 1. Competitive Achievment Striving (Dorongan kuat untuk bersaing) Individu dengan kepribadian tipe A memiliki sifat kompetitif atau memiliki orientasi bersaing yang kuat. Individu tipe ini kemungkinan banyak terlibat dalam banyak kegiatan, mempunyai banyak komunitas, dan sangat bertanggung jawab atas tugas mereka sehingga seringkali aspek lain terabaikan (Friedman dan Rosenman, dalam Mischel, 2004). Mereka memiliki kesungguhan usaha dengan dorongan tinggi untuk mengerjakan sesuatu lebih dari apa yang dikerjakan orang lain atau ambisius dan juga memiliki kebutuhan untuk menguasai situasi (Larsen & Buss, 2005) dan merasa khawatir akan statusnya, karena mereka cenderung memiliki self-esteem yang tinggi (Schultz & Sydney, 2006). 2. Exaggerated Sense Time Urgency (Perasaan diburu waktu) Individu dengan kepribadian tipe A memiliki sifat yang tidak sabaran dan mudah jengkel atau marah jika terjadi keterlambatan dan melihat orang lain melakukan sesuatu secara lamban atau terhadap situasi yang dianggap dapat menghambat dirinya (Friedman dan Rosenman, dalam Mischel, 2004). Waktu merupakan sesuatu yang penting sehingga mereka melakukan sesuatu dengan
52
cepat dan mereka cenderung melakukan banyak hal dalam jumlah waktu yang sedikit. Seringkali meraka melakukan dua kegiatan dalam satu waktu atau pada saat yang bersamaan, seperti makan sambil membaca buku (Larsen & Buss, 2005). 3. Aggressiveness and Hostility (Sifat agresif dan perasaan bermusuhan) Individu dengan kepribadian tipe A pada umumnya tidak terlalu agresif daripada orang lain, akan tetapi mereka bisa menjadi lebih agresif ketika mereka berada dalam keadaan yang dapat mengancam kekuasaan atau tugas mereka, seperti, adanya kritikan atau desakan waktu (Friedman dan Rosenman, dalam Mischel, 2004). Mereka juga memiliki hostility yang lebih tinggi dibandingkan individu dengan kepribadian tipe B. Hostility diartikan sebagai kecenderungan untuk merespon frustasi yang dirasakan oleh individu dalam usaha mencapai tujuan dengan kemarahan, agresivitas. Keadaan frustasi ini membuat mereka bertindak tidak ramah atau berbuat jahat (Larsen & Buss, 2005). Friedman dan Rosenman (dalam Rice, 1999) menyebutkan ciri-ciri individu dengan kepribadian tipe A sebagai berikut: a) Senang bekerja keras, terus menerus berusaha dalam berpikir ataupun menyelesaikan tugas sebanyak mungkin dalam waktu sesingkat mungkin, tidak suka menganggur atau bersalah jika santai, serta tidak senang dengan tugas atau sesuatu yang relatif mengulang.
53
b) Agresif, berambisi, dan memiliki daya saing yang kuat. Namun, ambisi mereka seringkali disertai dengan rasa permusuhan. c) Berbicara secara eksplosif atau meledak-ledak, suka menyuruh orang lain untuk dapat menyelesaikan apa yang dikatakannya. d) Tidak sabar menghadapi orang atau situasi yang dianggap menghambat dirinya. e) Selalu berorientasi pada tugas atau kegiatan, selalu menetapkan target atau tujuan serta batasan waktu sehingga terus-menerus merasa dikejar oleh waktu. Fungsi mental dan fisik bekerja dengan cepat sehingga dalam melakukan apapun cenderung tergesa-gesa. f)
Selalu berusaha keras untuk melawan orang, barang, atau kejadian yang menghambatnya atau menentangnya.
g) Memiliki acuan keberhasilan yang tinggi dan akan berusaha mendapatkan penghargaan. h) Seringkali tidak menyangka bahwa perasaan tertekan atau stress yang dialaminya merupakan akibat dari perilakunya sendiri dan bukan akibat dari lingkungan. Pola kepribadian tipe B meliputi orang-orang yang mempunyai gaya perilaku yang berlawanan dengan kepribadian tipe A. Kepribadian tipe B memiliki sifat yang santai (rileks), sabar, tenang, tanpa adanya perasaan bersalah atau khawatir jika tidak melakukan sesuatu, dan tidak merasa tertekan dengan
54
batasan waktu. Individu dengan kepribadian tipe B tidak terburu-buru oleh waktu, tidak mudah marah, berbicara dan bersikap dengan lebih tenang (Smet, 1994). Individu dengan kepribadian tipe B pada umumnya lebih bersifat tidak ingin repot-repot (easy going), kurang kompetitif, tenang, dan jarang merasa terganggu dan mengalami stres (Morgan, 1986). Individu dengan kepribadian tipe B mampu menahan
diri,
pasif,
jarang
bersikap
tidak
sabar,
dan
tidak
mudah
mengembangkan gangguan-gangguan yang berkaitan dengan stres. Individu dengan kepribadian tipe B jarang menciptakan stres bagi dirinya sendiri, hal ini berbeda dengan kepribadian tipe A. hal ini terlihat dari adanya sifat kompetitif yang kuat di dalam kepribadian tipe A dan sifat ini dapat membuat diri mereka di bawah tekanan yang banyak serta adanya ketidakramahan yang dapat memancing banyak konflik dengan orang lain. Smith (dalam Weiten dan Lyod, 1997) mengatakan bahwa individu yang memiliki ketidakramahan yang tinggi akan banyak mendapatkan masalah, kejadian yang negatif, lebih banyak konflik dalam perkawinan mereka, dan lebih besar stres yang mereka rasakan dibandingkan dengan individu yang tingkat hostilenya rendah. 2.4. Polisi Lalu Lintas 2.4.1. Pengertian Polisi Lalu-Lintas (Polantas) Menurut Momo (dalam Gaussyah, 2003) mengemukakan bahwa istilah polisi pada mulanya berasal dari perkataan Yunani “Politeia”, yang berarti seluruh pemerintahan Negara kota. Istilah polisi dipakai untuk menyebut bagian dari
55
pemerintahan dan masih dalam arti yang luas, yang meliputi semua pemeliharaan obyek-obyek kemakmuran dan kesejahteraan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan polisi adalah badan pemerintah yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum atau menangkap orang yang melanggar undang-undang. Jadi, Polisi Lalu Lintas (Polantas) adalah badan pemerintah yang bertugas memelihara keamanan dan keselamatan lalu lintas. 2.4.2. Tugas dan Fungsi Polisi Lalu Lintas Menurut Karyadi (dalam Yungki, 1995) tugas Polisi Lalu Lintas meliputi segala usaha, pekerjaan dan kegiatan mengenai pendidikan, pelaksanaan dan penegakan peraturan di bidang keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas di jalan umum. Di dalam salah satu tugas dan fungsinya, disebutkan bahwa Polri berusaha mencegah serta meniadakan gangguan, hambatan, dan ancaman di bidang lalu lintas agar terjamin keamanan, ketertiban, serta kelancaran lalu-lintas di jalan umum. Adapun tugas Polri Lalu lintas di jalan adalah sebagai berikut; 1. Mengintensifkan dan memantapkan kewaspadaan, kesiapan, serta ketanggapsegeraan operasional dalam menghadapi berbagai bentuk ancaman dibidang Kambticar Lantas guna;
Meningkatkan kadar stabilitas Kamtibcar lantas yang mantap dan dinamis.
56
Mengamankan dan mensukseskan pembangunan nasional di bidang lalu lintas.
Mewujudkan partisipasi masyarakat dalam rangka pembinaan Kamtibcar Lantas.
2. Melaksanakan deteksi dini terhadap setiap kemungkinan timbulnya keresahan masyarakat pemakai jalan yang mengarah kepada gangguan masyarakat pada umumnya. 3. Mengadakan penelitian terhadap faktor korelatif masalah lalu lintas terutama yang bersumber pada masalah manusia, jalan, kendaraan, maupun lingkungan. 4. Menanggulagi setiap bentuk gangguan Kamtibcar terutama yang berhubungan dengan kemacetan, pelanggaran, dan kecelakaan lalu lintas. 5. Melaksanakan koordinasi lintas sektoral di bidang lalu lintas. 6. Memberikan pelayanan kepada masyarakat dibidang pemberian SIM, STNK dan BPKB yang sekaligus sebagai sarana registrasi dan identifikasi bagi Polri dalam menjamin keamanan dan perlindungan dari berbagai bentuk kriminalitas. Dalam menjalankan tugas-tugas tersebut di atas, Polri berfungsi sebagai berikut; 1. Penegakkan Hukum Lalu lintas a. Penegakkan hukum bidang preventif ¾ Pengaturan lalu-lintas ¾ Penjagaan lalu-lintas ¾ Dan patroli lalu lintas
57
b. Penegakkan hukum lalu-lintas bidang represif ¾ Penindakan pelanggaran (tilang) lalu lintas ¾ Penyidikan kecelakaan lalu lintas ¾ Bukti pelanggaran lalu lintas tertentu ¾ Pengadaan fasilitas surat-surat kelengkapan pengendara kendaraan bermotor. 2. Pendidikan Masyarakat tentang Lalu lintas Pendidikan masyarakat tentang lalu lintas adalah segala kegiatan yang meliputi segala usaha untuk menumbuhkan pengertian, dukungan dan pengikut sertaan masyarakat aktif dalam usaha menciptakan Kamtibcar. 3. Police Traffic Engineering Police Trafic Engineering adalah segala kegiatan yang meliputi penyelidikan atau penelitian terhadap faktor penyebab gangguan, hambatan Kamtibcar Lantas serta memberikan sasaran-sasaran berupa langkah-langkah perbaikan, penanggulangan dan pengembangan kepada instansi-instansi yang berhubungan dengan masalah lalu lintas jalan. 4. Registrasi/ identifikasi pengemudi dan kendaraan bermotor. 2.5. Kerangka Berpikir Tindakan agresi polisi bukanlah hal yang baru. Fenomena ini banyak terjadi, namun hal ini kurang mendapatkan perhatian dari institusi Kepolisian dan pemerintah. Tindakan agresi yang dilakukan biasanya dilakukan oleh polisi
58
terhadap masyarakat sipil. Perilaku ini tidak terlepas dari penggabungan Polri dengan TNI di masa lalu. Dimana watak represif-militeristik polisi di masa lalu masih melekat. Padahal sebelumnya, muncul harapan baru dari rakyat bahwa polisi akan berubah menjadi sosok baru, sosok yang humanis ketika dideklarasikan lepas dari ABRI/TNI tahun 2000. Upaya pemisahan Polisi dari ABRI /TNI ini seharusnya membawa konsekuensi di mana polisi bukan lagi institusi militer, melainkan merupakan institusi sipil. Sejalan dengan itu, institusi Polri dan juga aparatnya harus meninggalkan sifat-sifat militeristik yang selama ini dilakukan. Namun, tuntutan ini nampaknya belum disadari betul sebagai satu keharusan dan sekaligus kebutuhan yang menjadi penting untuk dilakukan (Mabruri, 2008). Karena itu, menjadi aneh bila polisi yang sudah memiliki Prosedur Tetap (Protap) namun masih terjadi tindakan agresi polisi. Hal ini menjadi pertanyaan apakah Protap yang salah, ataukah ada faktor lain yang mempengaruhi agresivitas polisi? Pada dasarnya agresivitas dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: 1) frustasi (Baron & Byrne, 2005), 2) provokasi (Baron & Byrne, 2005), 3) efek senjata (Krahe, 2005), 4) kekerasan di media (Baron & Byrne, 2005), 5) alkohol, obat-obatan (Baron & Byrne, 2005), 6) temperatur (Baron & Byrne, 2005) , 7) kesesakan (Krahe, 2005), 8) polusi udara (Berkowitz, 1995), 9) kebisingan (Krahe, 2005), 10) kepribadian (Baron & Byrne, 2005) , 11) hormon (Sarwono, 2002),12) gender (Baron & Byrne, 2005), dan 13) harga diri (Sarwono, 2002).
59
Alasan yang melatarbelakangi tindakan kekerasan yang dilakukan oleh polisi ini pada dasarnya kurang diperhitungkan. Berbagai macam alasan dikemukakan oleh para pelaku kekerasan agar tindakan mereka dapat diterima, sebagaimana yang diungkapkan oleh Jenderal Da'i Bachtiar (dalam Al Araf, 2008) “bahwa masih banyaknya polisi yang menjalankan tugas menggunakan cara-cara militer (militeristik), salah satunya dikarenakan oleh dampak dari penggabungan Polri dengan TNI di masa lalu”, sampai merupakan inti dari pekerjaan kepolisian/budaya kerja kepolisian. Alasan lain dari pelaku kekerasan menurut hasil penelitian Tongat (1997) bahwa kelemahan polisi di dalam memberikan pelayanan terbaiknya kepada masyarakat disebabkan karena keterbatasan sarana dan prasarana yang mendukung tugas-tugas Kepolisian. Kemudian hasil penelitian ini juga diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Yuntho (2008) yang mengemukakan bahwa faktor munculnya perilaku kekerasan (tindakan agresi) yang dilakukan oleh oknum polisi, salah satunya disebabkan karena selain tingkat ancaman dari lingkungan kerja fisik dan resiko pekerjaan sangat tinggi, polisi bekerja selama 24 jam per hari dan tujuh hari dalam seminggu tanpa mengenal cuaca. Dengan demikian, kekerasan yang banyak terjadi dikalangan polisi kemungkinan besar dilakukan karena adanya faktor lingkungan kerja fisik mereka yang buruk. Di mana faktor lingkungan ini merupakan salah satu dari variabel situasi yang dapat mempengaruhi persepsi dan tingkah laku seseorang. Lingkungan kerja yang baik, aman, bersih, dan sehat akan membuat individu merasa aman dan nyaman dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan
60
kepadanya. Seorang karyawan yang bekerja di lingkungan kerja fisik yang mendukung dia untuk bekerja secara optimal akan menghasilkan kinerja yang baik, sebaliknya jika seorang karyawan bekerja dalam lingkungan kerja fisik yang tidak memadai dan mendukung dia untuk bekerja secara optimal akan membuat karyawan yang bersangkutan menjadi malas, cepat lelah sehingga kinerja karyawan tersebut akan rendah. Namun, seberapa jauh akibat yang akan ditimbulkan oleh kondisi kerja tergantung pada bagaimana cara individu mempersepsikannya. Jika karyawan mempersepsikan lingkungan kerja fisiknya sebagai sesuatu yang tidak terasa dan nyaman (persepsi itu berada dalam batas-batas optimal), maka menyebabkan gangguan baik pada fisik maupun psikis, maka karyawan dikatakan dalam keadaan homeostatis, yaitu keadaan yang serba seimbang. Keadaan ini biasanya ingin dipertahankan oleh karyawan karena menimbulkan perasaan-perasaan yang paling menyenangkan. Sebaliknya, jika objek-objek yang di sekitar lingkungan dipersepsikan sebagai di luar batas-batas optimal (terlalu panas, terlalu bising, kurang dingin, dan sebagainya) maka karyawan akan mengalami stres. Bahkan pada suatu titik akan terjadi gangguan mental yang lebih serius, dan ini bisa membuat karyawan yang bersangkutan menjadi malas, cepat lelah, keputusasaan, kebosanan, perasaan tidak berdaya, menurunnya prestasi sampai pada titik terendah, sehingga kinerja karyawan tersebut akan rendah, dan tidak menutup kemungkinan untuk melakukan tindakan agresi. Unsur perasaan memang memiliki peranan yang besar sekali dalam menentukan sikap (Kartono, 2002).
61
Kegelisahan dan rasa ketidaknyamanan dari persepsi tentang lingkungan kerja yang dihasilkan inilah yang mendorong seorang Polantas untuk melakukan tindakan yang tidak berarti (perifer) dan yang tidak dapat diterima secara sosial, maksudnya adalah melakukan tindakan agresi. Dengan demikian, semakin individu mempersepsikan lingkungan kerja fisiknya sebagai sesuatu yang sangat terasa mengganggu dan tidak nyaman, maka semakin tinggi dorongan berperilaku agresif individu tersebut. Sebaliknya semakin individu mempersepsikan lingkungan kerja fisiknya sebagai sesuatu yang tidak terasa mengganggu dan nyaman, maka menyebabkan gangguan baik pada fisik maupun psikis. Kepribadian merupakan salah satu variabel person (variabel masukan) yang dapat menyebabkan terjadinya perilaku agresif. Selain itu, kepribadian ini dapat mengaktivasi konsep-konsep yang berhubungan dengan agresi di dalam memori yang dapat mempengaruhi cognition, affect, dan arousal yang dapat mempengaruhi hasil akhir tingkah laku. Variabel person (kepribadian) dapat mempengaruhi kognisi dengan membuat konsep agresi lebih mudah diakses di dalam memori. Di dalam memori tersebut, jaringan asosiatif menghubungkan pikiran, agresi, emosi, dan kecenderungan untuk bertingkah laku (Carnagey & Anderson, 2004). Dengan demikian individu yang memiliki sifat agresif hanya akan membutuhkan sedikit energi untuk mengaktifkan konsep-konsep agresi, sehingga konsep-konsep agresi tersebut menjadi semakin mudah untuk diakses di lain waktu.
62
Bushman (dalam Carnagey & Anderson, 2004), menyatakan bahwa terdapat perbedaan individual dalam merespon stimulus agresif dan ambigu yang disebabkan karena adanya perbedaan individu dalam struktur memorinya. Menurut Bushman, hal ini disebabkan karena individu yang memiliki sifat agresif yang tinggi memiliki jaringan asosiatif kognitif tentang agresi yang lebih banyak dan lebih berkembang daripada individu yang memiliki sifat agresif rendah. Perbedaan jaringan asosiatif ini menyebabkan individu dengan sifat agresif tinggi lebih cepat mengakses konsep-konsep agresi, yang dapat dengan mudah teraktivasi dengan hanya adanya sedikit situasi yang tidak menyenangkan. Selain itu juga, individu dengan sifat agresif tinggi dapat menginterpretasi hal-hal yang ambigu menjadi terasosiasi dengan konsep agresi dibandingkan dengan individu yang memiliki sifat agresif rendah. Maksudnya adalah individu dengan sifat agresif tinggi akan mengartikan hal-hal yang belum pasti berhubungan dengan agresi, menjadi terkait dengan konsep-konsep agresi yang dipunyainya. Ciri-ciri kepribadian yang dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya perilaku agresif banyak macamnya, salah satunya adalah kepribadian tipe A. Dari beberapa teori tentang kepribadian tipe A didapat bahwa kepribadian tipe A adalah individu yang mempunyai kecenderungan giat bekerja, suka menuntut, agresif, ambisi, orientasi bersaing kuat, berbicara eksploratif, tidak sabar, mudah tersinggung, mudah marah, berjuang keras melawan orang lain (Friedman dan Rosenman dalam Rice, 1999). Kepribadian tipe A tampaknya bila dikaitkan dengan agresivitas Polisi lalu lintas ada pengaruh implikasi yang nyata. Disebabkan kepribadian tipe A lebih
63
tidak tahan terhadap tekanan-tekanan yang muncul. Mereka cenderung lebih mudah tersinggung dan mudah marah, sehingga hal itu bisa memancing mereka untuk melakukan tindakan agresi. Sebaliknya, kepribadian tipe B lebih tahan terhadap tekanan-tekanan yang muncul. Mereka cenderung lebih mampu menahan diri, sabar, dan berbicara secara lembut. Untuk lebih jelasnya, dapat digambarkan melalui kerangka berpikir di bawah ini; Gambar 2.2 Kerangka Berpikir Pengaruh Persepsi tentang Lingkungan Kerja Fisik dan Tipe Kepribadian terhadap Agresivitas Polisi Lalu-lintas Persepsi tentang
Lingkungan Kerja Fisik
Agresivitas
Tipe Kepribadian 2.6. Hipotesis Hipotesis alternatif (Ha): Ha1
: Ada pengaruh yang signifikan antara persepsi tentang lingkungan kerja fisik dan tipe kepribadian secara bersama-sama terhadap agresivitas Polisi lalu-lintas?
Hipotesis nihil (Ho): Ho1
: Tidak ada pengaruh yang signifikan antara persepsi tentang lingkungan kerja fisik dan tipe kepribadian secara bersama-sama terhadap agresivitas Polisi lalu-lintas?
64
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1. Pendekatan Penelitian Pada penelitian ini, yang hendak diteliti adalah apakah ada pengaruh dari masing-masing variabel independen (persepsi tentang lingkungan kerja fsisik dan tipe kepribadian) terhadap Agresivitas. Oleh karena itu, pendekatan yang digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian tersebut adalah pendekatan kuantitatif, dimana temuan penelitian merupakan hasil kesimpulan statistik beserta analisisnya. 3.2. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel 3.2.1. Populasi Penelitian Populasi adalah totalitas dari semua objek atau individu yang memiliki karakteristik tertentu, jelas dan lengkap yang akan diteliti (Sevilla, 1993). Populasi dalam penelitian ini adalah anggota Sat. Patwal (Satuan Patroli dan Wilayah) di Kepolisian Polda Metro Jaya yang berjumlah 350 orang. 3.2.2. Sampel Penelitian Sedangkan sampel adalah himpunan atau elemen yang akan diteliti dan dianggap
dapat
menggambarkan
populasinya
karakteristik sampel yang akan diambil adalah :
(Sevilla,
1993).
Adapun
65
1. Polisi lalu-lintas di Kepolisian Polda Metro Jaya pada bagian Sat. Patwal (Satuan Patroli dan Kawal) dengan alasan karena waktu mereka banyak dihabiskan di lapangan atau di jalan raya. 2. Masih aktif bertugas saat pengambilan sampel berlangsung. Dengan mempertimbangkan pada kenyataan akan besarnya jumlah populasi yang akan diteliti dan adanya berbagai keterbatasan dalam pelaksanaan penelitian, maka dalam menentukan jumlah responden dalam penelitian ini berjumlah 100 orang. Hal ini didasarkan pada pendapat Gay ( Dalam Sevilla, 1993) menawarkan ukuran minimum yang dapat diterima adalah 30 subjek. Semakin besar jumlah sampel maka kemungkinan terpilihnya sampel menyimpang akan lebih kecil. Selain itu, jika jumlah sampel cukup besar, maka distribusi frekuensi akan lebih mendekati normal. 3.2.3. Teknik Pengambilan Sampel Metode pengambilan sampel yang digunakan di dalam penelitian ini adalah non-acak atau non-probability sampling dimana semua anggota atau subyek penelitian tidak memiliki peluang yang sama untuk dipilih sebagai sampel, dimana pengambilan sampel didasarkan pada hal-hal tertentu yang dikenakan ke dalam sub kelompok (Sevilla, 1993). Sedangkan teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel purposive yaitu suatu teknik pengambilan sampel yang digunakan oleh seorang peneliti jika peneliti memiliki pertimbangan-pertimbangan tertentu di dalam pengambilan sampelnya (Sevilla, 1993).
66
3.3. Variabel Penelitian 3.3.1 Identifikasi Variabel Penelitian Menurut Kerlinger (1990) variabel ialah sesuatu yang nilainya berubahubah atau berbeda-beda. Nilai karakteristik suatu elemen merupakan nilai variabel dan biasanya menunjukkan suatu variabel dipergunakan bilangan atau nilai (X, Y, Z). Dalam penelitian ini terdiri dari 3 variabel, yaitu independen variabel atau variabel bebas terdiri dari 2 (variabel) dan dependen variabel atau variabel terikat terdiri dari 1 (variabel). Independent variabel (variabel bebas) : Persepsi lingkungan kerja fisik (X 1). Tipe kepribadian (X2). Dependent variabel : Agresivitas (Y). 3.3.2 Definisi Operasional Variabel Penelitian Variabel bebas (IV) Variabel bebas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah persepsi tentang lingkungan kerja fisik dan tipe kepribadian.
67
b. Definisi Operasional Persepsi tentang Lingkungan Kerja Fisik (X1) Persepsi tentang lingkungan kerja fisik adalah skor yang diperoleh dari skala yang mengungkap persepsi tentang lingkungan kerja fisik, yang diukur melalui 5 komponen, seperti yang diungkapkan Munandar (2001) yaitu: (a) suhu, (b) kebisingan, (c) vibrasi atau getaran, (d) polusi, dan (e) hygiene atau kebersihan. b. Definisi Operasional Tipe Kepribadian (X2) Tipe kepribadian adalah skor yang diperoleh melalui pengembangan instrument, menggunakan skala dikotomi dengan tipe jawaban “Ya” dan “Tidak” yang diukur melalui karakteristik yang diungkapkan oleh Friedman dan Rosenman (dalam Rice, 1999), yaitu kompetitif, ambisius, tanggung jawab, pekerja keras, tergesa-gesa/terburu-buru, tidak sabar, sinisme, kemarahan dan agresi. Variabel Terikat (DV) Variabel terikat adalah objek dari suatu studi atau penelitian, variabel terikat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah agresivitas. a. Definisi Operasional Agresivitas (Y) Agresivitas adalah skor yang diperoleh dari skala yang mengungkap serangkaian perilaku agresif, yang diukur melalui 2 komponen perilaku yang diungkapkan oleh Berkowitz (1995) yaitu agresi yang dilakukan secara langsung baik fisik maupun verbal.
68
3.4. Pengumpulan Data 3.4.1. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah kuesioner atau angket. Sedangkan instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala, dimana skala adalah suatu perangkat simbol atau angka-angka yang ditetapkan menurut aturan individu atau tingkah laku mereka (Kerlinger, dikutip oleh Sevilla, 1993). Di dalam penelitian ini, penulis menggunakan 3 macam skala yaitu Skala Persepsi tentang Lingkungan Kerja Fisik, Skala Tipe Kepribadian, dan Skala Agresivitas Polantas. Seluruh item dalam kuesioner ini berjumlah 161 item, 41 item mewakili persepsi tentang lingkungan kerja fisik dari teori Munandar (2001), 55 item mewakili kepribadian tipe A dari teori Friedman dan Rosenman (1999, 2000), dan 65 item mewakili agresivitas dari teori Berkowitz (1995). Menurut Sevilla (1993) banyak peneliti yang memberikan penekanan pada kecenderungan responden untuk mengamankan dan menempatkan jawaban mereka di tengah sebagai angka netral. Hal ini disebut pengaruh ‘kecenderungan sentra’, individu tersebut selalu menghindari perilaku atau pengungkapan ekstrim. Dengan demikian tidak digunakan jawaban yang bersifat netral atau ragu-ragu guna mendorong responden memutuskan jawaban yang bersifat positif atau negatif. Oleh sebab itu, skala Persepsi tentang Lingkungan Kerja Fisik dan Skala Agresivitas dalam penelitian ini menggunakan enam dan empat alternatif jawaban, dimana meniadakan kategori jawaban di tengah karena dapat
69
menimbulkan kecenderungan untuk menjawab di tengah terutama subjek yang ragu-ragu tersebut. Sementara untuk Skala Tipe Kepribadian, dalam penelitian ini menggunakan skala dikotomi sebagaimana didasarkan pada penelitian terdahulu yang telah dilakukan oleh Friedman dan Rosenman. 3.4.2. Instrumen Penelitian a. Skala Persepsi tentang Lingkungan Kerja Fisik (X1) Pada skala persepsi tentang lingkungan kerja fisik, penulis menggunakan skala yang dibuat oleh Syafrika dan Suyasa dalam jurnalnya yang berjudul Persepsi terhadap Lingkungan Fisik Kerja dan Dorongan Berperilaku Agresif pada Polisi Lalu Lintas, tahun 2004, yang indikatornya didasarkan pada aspekaspek yang diberikan oleh Munandar (2001) yaitu ; a) suhu, (b) kebisingan, (c) vibrasi atau getaran, (d) polusi, dan (e) hygiene atau kebersihan. Skala ini tersusun dari empat puluh satu (41) butir pernyataan-pernyataan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
70
Tabel 3.1 Blue Print Try Out Skala Persepsi tentang Lingkungan Kerja Fisik NO DIMENSI 1 Suhu 2
3
4
5
INDIKATOR Menyebalkan, tidak disukai, buruk, tidak sehat, membuat tegang, panas, dan tidak nyaman. Kebisingan Bising, tidak sehat, menyebalkan, negative, membuat tegang, buruk, tidak disukai, tidak nyaman, dan memiliki intensitas tinggi Vibrasi/getaran Sangat terasa, tidak nyaman, membuat tegang, buruk, menyebalkan,tidak disukai, tidak sehat, dan memiliki intensitas tinggi. Polusi Menyebalkan, tidak sehat, tidak disukai, buruk, membuat tegang, berkabut, memiliki intensitas tinggi, sangat terasa, dan tidak nyaman, membahayakan. Kebersihan Kotor, menyebalkan, tidak disukai, tidak sehat, membuat tegang, buruk, dan tidak nyaman, TOTAL
Item 1, 4, 6, 7, 2, 5, 3 8, 15, 12, 16, 10, 13, 11, 9, 14 17, 21, 20, 22, 19, 18, 24, 23 28, 33, 27, 29, 31, 30, 34, 25, 26, 32 35, 41, 36, 39, 40, 38, 37 41
Total 7 9
8
10
7 41
Skala ini menggunakan skala semantik diferensial dari Osgood. Skala ini juga digunakan untuk mengukur sikap, hanya bentuknya tidak pilihan ganda maupun checklist, tetapi tersusun dalam satu garis kontinu yang jawaban “sangat positifnya” terletak di bagian kanan garis, dan jawaban “sangat negatif” terletak di bagian kiri garis, atau sebaliknya. Adapun tipe jawaban terdiri atas 6 rentangan yang masing-masing kategori memiliki nilai tertentu. Adapun skor untuk masingmasing pilihan adalah sebagai berikut :
71
Tabel 3.2 Tabel Penilaian Skala Persepsi tentang Lingkungan Kerja Fisik UNFAVORABEL 1
2
3
4
5
6
FAVORABEL
6
5
4
3
2
1
UNFAVORABEL
FAVORABEL
b. Skala Tipe Kepribadian (X2) Pada skala tipe kepribadian, penulis menggunakan skala yang dibuat sendiri oleh peneliti dan komponen objeknya didasarkan pada aspek-aspek pengelompokkan yang diungkapkan oleh Friedman dan Rosenman (dalam Rice, 1999). yaitu kompetitif, ambisius, tanggung jawab, pekerja keras, tergesagesa/terburu-buru, tidak sabar, sinisme, kemarahan dan agresi. Skala yang digunakan oleh penulis dalam metode pengumpulan data untuk skala tipe kepribadian menggunakan skala Dikotomi dengan 2 kategori jawaban yaitu “Ya” dan “Tidak”. Dimana jawaban “Ya” diskor untuk kepribadian tipe A dan diberi nilai 1, sedangkan untuk jawaban “Tidak” diskor untuk kepribadian tipe B dan diberi nilai 0. Tabel 3.3. Blue Print Try Out Skala Tipe Kepribadian NO DIMENSI Tipe Kepribadian
INDIKATOR - Kompetitif - Ambisius - Tanggung jawab - Pekerja keras - Tergesa-gesa - Tidak sabar - Sinisme - Kemarahan dan agresi TOTAL
Item 2, 15, 16, 22, 27, 28 9, 13, 25, 30, 39, 44 1, 11, 24, 35, 45, 47 6, 40, 48, 49, 50, 51 7, 8, 10, 17, 20, 21, 26 42,43 3, 5, 19, 23, 29, 52 12, 18, 41, 53, 54, 55 4, 14, 31, 32, 33, 34, 36, 37, 38, 46 55
Total 6 6 6 6 9 6 6 10 55
72
c. Skala Agresivitas (Y) Pada skala agresivitas, penulis mengunakan skala yang dibuat sendiri oleh peneliti dan komponen objeknya didasarkan pada aspek-aspek pengelompokkan jenis-jenis bentuk perilaku agresif dari Berkowitz (1995), yang diukur melalui bentuk agresi secara langsung baik fisik maupun verbal, dimana sebelumnya telah dimodifikasi sesuai dengan apa yang terjadi di lapangan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 3.4. Blue Print Try Out Skala Agresivitas NO
DIMENSI
1 Fisik
2
INDIKATOR -
Verbal -
Memukul Menampar Menendang Meninju Mendorong dengan keras Menghina Memaki Sebutan buruk/ name calling Pemerasan Membentak Mengancam Berteriak Meniup pluit dengan keras TOTAL
Item Fav. 1 , 8, 21,58 2, 40 3, 14, 54 34, 56 4, 28
Item Unfav. 10, 42 9, 18 33, 39 41, 46 32, 35
5, 31 6, 27, 36, 45 13, 23, 44
15, 29 47, 59 37, 52, 64
16, 24, 50 11, 38, 48 19, 43 17, 49, 60 26, 51, 62
12, 63, 65 55, 53, 57 7, 61 22, 25 20, 30
36
29
Total
23
42
65
Skala agresivitas ini menggunakan skala model Likert yang terdiri dari 4 kategori jawaban yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), Sangat Tidak Setuju (STS). Item-item tersebut terdiri dari item favorabel dan unfavorabel. Untuk item favorabel, pilihan jawaban Sangat Setuju (SS) diberi
73
nilai 4, Setuju (S) diberi nilai 3, Tidak Setuju (TS) diberi nilai 2, Sangat Tidak Setuju (STS) diberi nilai 1. Sedangkan untuk item unfavorabel, pilihan jawaban Sangat Setuju (SS) diberi nilai 1, Setuju (S) diberi nilai 2, Tidak Setuju (TS) diberi nilai 3, Sangat Tidak Setuju (STS) diberi nilai 4. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 3.5 Penilaian Skala Agresivitas Pilihan Favorabel Unfavorabel
SS 4 1
S 3 2
TS STS 2 1 3 4
3.5. Uji Instrumen Penelitian 3.5.1. Uji Validitas Untuk mengetahui validitas instrumen (uji validitas) dimana skor tiap item dikorelasikan dengan skor total. Untuk menghitungnya penulis menggunakan program SPSS Versi 13.0. 3.5.2. Uji Reliabilitas Uji reliabilitas menunjukkan sejauhmana suatu hasil pengukuran relatif konsisten apabila pengukuran diulangi 2 kali atau lebih atau dapat dipercaya (apabila dalam beberapa kali pengukuran diperoleh hasil yang relatif sama). Untuk menghitung reliabilitas alat pengumpulan data (uji reliabilitas) digunakan teknik Alpha Cronbach, dengan perhitungan menggunakan program SPSS Versi 13.0.
74
Tinggi atau rendahnya yang dihasilkan dari kaidah reliabilitas Guilford dan pendapat Azwar (2008) yang menyatakan bahwa semakin tinggi koefisien reliabilitas yang mendekati 1,00 berarti semakin baik, sebaliknya koefisien yang semakin rendah mendekati angka 0 berarti semakin rendah reliabilitasnya. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 3.6 Kaidah Reliabilitas Guilford Kriteria Sangat reliabel Reliabel Cukup reliabel Kurang reliabel Tidak reliabel
Koefisien Reliabilitas > 0.9 0.7 – 0.9 0.4 – 0.7 0.2 – 0.4 < 0.2
3.6. Hasil Uji Instrumen Penelitian Setelah item-item skala dibuat, peneliti mengujicobakan skala tersebut. Dalam tahap uji coba peneliti memberikan 161 item yang terdiri dari 41 item pada skala persepsi tentang lingkungan kerja fisik, 55 item pada skala tipe kepribadian, dan 65 item pada skala agresivitas. Berikut ini adalah blue print skala persepsi tentang lingkungan kerja fisik, tipe kepribadian, dan agresivitas pasca try out: Skala Persepsi tentang Lingkungan Kerja Fisik (X1) Hasil uji validitas dan reliabilitas dengan mempergunakan sistem komputerisasi SPSS versi 13.0. Dari perhitungan tersebut diperoleh 33 item yang valid. Adapun nilai reliabilitas yang dihasilkan sebesar 0.932. Berdasarkan
75
Guilford angka tersebut termasuk dalam kategori sangat reliabel. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 3.7 Blue Print Revisi Skala Persepsi tentang Lingkungan Kerja Fisik NO DIMENSI 1 Suhu
INDIKATOR Menyebalkan, tidak disukai, buruk, tidak sehat, membuat tegang, panas, dan tidak nyaman. 2 Kebisingan Bising, tidak sehat, menyebalkan, negatif, membuat tegang, buruk, tidak disukai, tidak nyaman, dan memiliki intensitas tinggi 3 Vibrasi/getaran Sangat terasa, tidak nyaman, membuat tegang, buruk, menyebalkan, tidak disukai, tidak sehat, dan memiliki intensitas tinggi. 4 Polusi Menyebalkan, tidak sehat, tidak disukai, buruk, membuat tegang, berkabut, memiliki intensitas tinggi, sangat terasa, tidak nyaman, dan membahayakan. 5 Kebersihan Kotor, menyebalkan, tidak disukai, tidak sehat, membuat tegang, buruk, dan tidak nyaman. TOTAL Ket : * Item yang valid
Item 1*, 4*, 6*, 7*, 2*, 5*, 3* 8*, 15*, 12*, 16*, 10*, 13*, 11*, 9*, 14 17*, 21, 20, 22*, 19, 18*, 24*, 23 28*, 33*, 27, 29, 31, 30*, 34*, 25*, 26*, 32*
Total 7
8
4
7
35*, 41*, 36*, 39*, 40*, 38*, 37*
7
33
33
Skala Tipe Kepribadian (X2) Hasil uji validitas dan reliabilitas dengan mempergunakan sistem komputerisasi SPSS versi 13.0. Dari perhitungan tersebut diperoleh 27 item yang valid. Adapun nilai reliabilitas yang dihasilkan sebesar 0.827. Berdasarkan
76
Guilford angka tersebut termasuk dalam kategori reliabel. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 3.8 Blue Print Revisi Skala Tipe Kepribadian NO DIMENSI Tipe Kepribadian
INDIKATOR - Kompetitif - Ambisius - Tanggung jawab - Pekerja keras - Tergesa-gesa - Tidak sabar - Sinisme - Kemarahan dan agresi TOTAL
Item 2, 15, 16, 22*, 27, 28 9*, 13, 25*, 30, 39*, 44 1, 11*, 24*, 35*, 45*, 47* 6, 40*, 48*, 49*, 50, 51* 7, 8, 10*, 17, 20, 21, 26, 42*, 43 3*, 5*, 19*, 23*, 29, 52* 12*, 18, 41, 53*, 54*, 55 4, 14*, 31, 32, 33*, 34*, 36, 37*, 38, 46 27
Total 1 3 5 4 2 5 3 4 27
Ket : * Item yang valid Skala Agresivitas (Y) Sama halnya dengan skala persepsi tentang lingkungan kerja fisik dan skala tipe kepribadian, skala agresivitas ini pun juga telah diuji validitas dan reliabilitas dengan mempergunakan sistem komputerisasi SPSS versi 13.0. Dari perhitungan tersebut diperoleh item valid sebanyak 39 item, dengan nilai reliabilitas sebesar 0.884. Berdasarkan Guilford angka tersebut termasuk dalam kategori reliabel. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut:
77
Tabel 3.9 Blue Print Revisi Skala Agresivitas NO DIMENSI 1
INDIKATOR -
Memukul Fisik Menampar Menendang Meninju Mendorong dengan keras 2 - Menghina - Memaki - Sebutan buruk/ name Verbal calling - Pemerasan - Membentak - Mengancam - Berteriak - Meniup pluit dengan keras TOTAL Ket : * Item yang valid
Item Fav. 1 *, 8*, 21*,58* 2, 40 3*, 14*, 54 34*, 56 4*, 28 5*, 31* 6*, 27, 36*, 45 13*, 23*, 44 16*, 24, 50* 11*, 38*, 48* 19, 43 17*, 49*, 60* 26, 51*, 62* 24
Item Unfav. 10*, 42 9, 18 33*, 39 41*, 46* 32*, 35 15, 29* 47*, 59* 37*, 52*, 64
Total
13
26
12*, 63, 65 55, 53, 57* 7*, 61 22*, 25* 20, 30 15
39
3.7. Teknik Pengolahan dan Analisa Data Dalam rangka menjawab pertanyaan penelitian yaitu apakah terdapat pengaruh yang signifikan masing-masing variabel terhadap agresivitas, dan untuk mengetahui seberapa besar sumbangan yang diberikan masing-masing variabel terhadap agresivitas, penulis menggunakan metode statistika karena datanya berupa angka-angka yang merupakan hasil pengukuran atau perhitungan. Dalam hal ini berdasarkan hipotesis yang akan diukur peneliti menggunakan teknik analisis multiple regression atau analisis regresi berganda untuk mengetahui besar dan arah hubungan antara variabel X1 (Persepsi tentang Lingkungan Kerja Fisik) dan X2 (Tipe Kepribadian) dengan variabel Y (Agresivitas). Analisis multi regresi adalah suatu metode untuk mengkaji akibat-akibat dan besarnya akibat dari lebih
78
satu variabel bebas terhadap satu variabel terikat, dengan menggunakan prinsipprinsip korelasi dan regresi (Kerlinger, 1990). Adapun persamaan umum analisis regresi berganda ini adalah :
Y= a+b1X1+b2X2 Keterangan: Y : Nilai yang diprediksi (DV) yang dalam hal ini adalah agresivitas X : Nilai variabel prediktor (IV) a : Koefisien variabel b : Konstanta Dalam analisis multiple regression ini dapat diperoleh beberapa informasi, yaitu : 1. R2 yang menunjukkan proporsi varian (presentase varian) dari dependen variabel (DV) yang bisa diterangkan oleh independen variabel (IV). 2. Uji hipotesis mengenai signifikan atau tidaknya masing-masing koefisien regresi. Koefisien yang signifikan menunjukkan dampak yang signifikan dari independen variabel (IV) yang bersangkutan. 3. Persamaan regresi yang ditemukan bisa digunakan untuk membuat prediksi tentang berapa harga Y jika nilai setiap independen variabel (IV) diketahui. 3.8. Prosedur Penelitian Ada beberapa tahapan yang akan dilakukan oleh penulis dalam menyelesaikan penelitian ini, diantaranya yaitu:
79
1. Tahap persiapan Tahap persiapan dimulai dengan perumusan masalah, menentukan variabel penelitian, melakukan studi kepustakaan untuk mendapatkan gambaran dan landasan teoritis yang tepat, menentukan, menyusun, dan menyiapkan ukur yang akan digunakan dalam penelitian ini, yaitu skala persepsi tentang lingkungan kerja fisik, tipe kepribadian, dan agresivitas Polantas yang kemudian dilakukan pengecekkan oleh pembimbing terlebih dahulu. Setelah skala dikatakan baik, maka penulis melakukan uji coba (try out) instrumen dan langkah selanjutnya ialah mendatangi lokasi untuk penelitian yaitu Polda Metro Jaya serta mengurus surat perizinan penelitian. 2. Pengujian alat ukur (Try Out) Sebelum penelitian ini dilaksanakan, terlebih dahulu dilakukan uji instrumen kepada 40 orang anggota Sat. Patwal Kepolisian Polda Metro Jaya yang kemudian tidak diikutsertakan dalam penelitian yang sesungguhnya. Try out dilaksanakan pada tanggal 03 Agustus 2010. 3. Tahap pelaksanaan penelitian Penelitian ini melibatkan 100 responden dari jumlah populasi sebanyak 350 orang anggota Sat. Patwal Kepolisian Polda Metro Jaya. Pelaksanaan penelitian dilakukan sejak tanggal 09 Agustus 2010 sampai dengan tanggal 10 Agustus 2010.
80
4. Tahap pengolahan data Hasil data yang diperoleh di lapangan dari skala yang telah diisi oleh responden diberi kode. Data tersebut dihitung dan ditabulasikan, sehingga kemudian dibuat dalam bentuk tabel data. Selanjutnya dianalisa secara kuantitatif yaitu menggambarkan data dengan angka-angka yang dipisah-pisahkan menurut kategori tertentu untuk memperoleh kesimpulan dan gambaran secara umum.
81
BAB 4 HASIL PENELITIAN
4.1. Gambaran Umum Responden Berikut ini akan diuraikan gambaran responden berdasarkan usia, status perkawinan, pendidikan terakhir, jabatan dan masa kerja. Pada penelitian ini, penulis menggunakan sampel sebanyak 100 anggota Sat. Patwal (Satuan Patroli dan Kawal) dari populasi sebanyak 350 anggota Sat. Patwal Kepolisian Polda Metro Jaya. 4.1.1 Responden Berdasarkan Usia Dalam
mengelompokkan
responden
berdasarkan
usia,
peneliti
membaginya berdasarkan jarak dari usia termuda sampai usia tertua, dimana usia tertua dikurangi usia termuda. Adapun usia termuda yaitu 22 tahun, sedangkan usia tertua yaitu 48 tahun.sehingga luas sebarannya adalah 26. Dikarenakan dalam penelitian ini skor usia dibagi ke dalam 3 kategori, maka luas sebaran dibagi 3 dan didapat rentangan sebesar 8. Adapun tujuan dari pengelompokkan ini yaitu agar masing-masing kelompok usia memiliki proporsi yang sama. Di bawah ini tabel yang menggambarkan responden berdasarkan usia :
82
Tabel 4.1. Responden Berdasarkan Usia Usia
Jumlah
Persentase {%}
22-29 tahun
57
57%
30-37 tahun
36
36%
Di atas 38 tahun
7
7%
Jumlah
100
100 %
Berdasarkan tabel di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa mayoritas responden dalam penelitian ini yakni berkisar pada usia 22-29 tahun yakni berjumlah 57 orang atau 57%. Kemudian disusul responden dengan usia 3037 tahun berjumlah 36 orang atau 36%, dan responden dengan usia di atas 38 tahun berjumlah 7 orang atau 7%. 4.1.2. Responden Berdasarkan Status Perkawinan Di bawah ini merupakan tabel yang menggambarkan responden berdasarkan status perkawinan. Tabel 4.2. Responden Berdasarkan Status Perkawinan Status Perkawinan Belum Kawin Sudah Kawin Jumlah
Frekuensi
Presentase (%)
44 56 100
44 % 56 % 100 %
Berdasarkan tabel di atas, responden yang belum kawin berjumlah 44 atau 44 %, sedangkan responden yang sudah kawin berjumlah 56 atau 56 %. Ini berarti
83
bahwa mayoritas responden berstatus sudah kawin dengan jumlah perbandingan yang sedikit. 4.1.3. Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir Di bawah ini tabel yang menunjukkan jumlah responden berdasarkan pendidikan terakhir. Tabel 4.3. Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir Jenjang Pendidikan SMU S-1 Jumlah
Frekuensi
Presentase (%)
85 15 100
85 % 15 % 100 %
Berdasarkan tingkat pendidikan pada penelitian ini responden yang pendidikannya SMU atau sederajat lebih banyak dibandingkan dengan responden yang tingkat pendidikannya sarjana. Responden yang berpendidikan SMU yakni sebanyak 85 atau 85 %, sedangkan responden dengan tingkat pendidikan S1berjumlah 15 atau 15 % dari total responden yang ada. Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa responden berdasarkan tingkat pendidikan dalam penelitian ini didominasi oleh responden yang berpendidikan SMU atau sederajat. Hal ini terjadi karena sebagian besar petugas Polantas yang direkrut memang didasarkan pada pendidikan SMU atau sederajat.
84
4.1.4. Responden Berdasarkan Jabatan/ Pangkat Di bawah ini tabel yang menunjukkan jumlah responden berdasarkan jabatan/ pangkat mulai dari pangkat yang terendah sampai dengan pangkat yang tertinggi : Tabel 4.4. Responden Berdasarkan Jabatan/ Pangkat Jabatan/ Pangkat BRIPDA (Brigadir Dua) BRIPTU (Brigadir Satu) BRIGADIR (Brigadir) BRIPKA (Brigadir Kepala) AIPTU (Ajun Inspektur Satu) Jumlah
Frekuensi 15 46 31 6 2 100
Presentase (%) 15 % 46 % 31 % 6% 2% 100 %
Berdasarkan tabel di atas, responden dengan pangkat BRIPDA (Brigadir Dua) berjumlah 15 orang atau 15 %. Responden dengan pangkat BRIPTU (Brigadir Satu) berjumlah 46 orang atau 46 %. Responden dengan pangkat BRIGADIR (Brigadir) berjumlah 31 orang atau 31 %, Responden dengan pangkat BRIPKA (Brigadir Kepala) berjumlah 6 orang atau 6 %. Sedangkan responden dengan pangkat AIPTU (Ajun Inspektur Satu) berjumlah 2 orang atau 2 %. Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa responden dalam penelitian ini mayoritas berpangkat BRIPTU (Brigadir Satu), kemudian disusul oleh subjek yang berpangkat BRIGADIR (Brigadir), BRIPDA (Brigadir Dua), BRIPKA (Brigadir Kepala) dan AIPTU (Ajun Inspektur Satu) dari total keseluruhan responden sebanyak 100 orang.
85
4.1.5. Responden Berdasarkan Masa Kerja Proses kuantifikasi dilakukan dengan mengolah angka-angka data mentah dari
masa
kerja
polantas
dengan
menggunakan
statistik
deskriptif,
menggambarkan nilai rata-rata, median, modus, simpangan baku dan distribusi frekuensi. Banyaknya data masa kerja yang masuk berjumlah 100 buah. Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh nilai rata-rata skor variabel masa kerja = 8.4050, modus = 4, median = 8.000, standar deviasi = 4. 87971, varian = 23.812, minimum = 2, dan maximum = 23. Distribusi frekuensi skor masa kerja yang sudah dikelompokkan terlihat dalam tabel berikut ini : Tabel 4.5. Responden Berdarkan Masa Kerja No. 1 2 3 4 5 6 7
Interval Kelas 2-4 5-7 8-10 11-13 14-16 17-19 Di atas 20 ∑
Frekuensi 33 14 26 15 5 2 5 100
Presentase (%) 33 % 14 % 26 % 15 % 5% 2% 5% 100 %
Berdasarkan data di atas dapat diketahui bahwa kelompok skor masa kerja 8-13 tahun sebagian berada di atas harga rata-rata yakni sebanyak 41 (41 %) responden, kelompok skor masa kerja 2-7 tahun yakni sebanyak 47 (47 %) responden berada di bawah rata-rata, sedangkan kelompok skor masa kerja di atas 14 tahun yakni sebanyak 12 (12%) responden berada di atas kelompok rata-rata.
86
4.2. Analisis Deskriptif Dalam penelitian ini, peneliti bermaksud membuat kategorisasi dari variabel persepsi tantang lingkungan kerja fisik, tipe kepribadian, dan agresivitas berdasarkan tingkatannya. Untuk itu terlebih dahulu peneliti mengetahui skor terendah dan skor tertinggi untuk masing-masing variabel. 4.2.1 Persepsi tentang Lingkungan Kerja Fisik Untuk menentukan tingkat persepsi tentang lingkungan kerja fisik, penulis membuat kategorisasi jenjang, yaitu menempatkan individu ke dalam kelompokkelompok terpisah secara berjenjang menurut suatu kontinum berdasar atribut yang diukur (Azwar, 2008). Skala persepsi tentang lingkungan kerja fisik ini terdiri dari 33 item dengan 6 kategori jawaban (skor 1 sampai dengan 6). Untuk mengetahui jenjang kontinum tersebut penulis menggunakan kategorisasi rentang untuk setiap responden. Rentang dibagi menjadi dua interval dengan kategori positif, dan negatif. Adapun skor minimumnya adalah 33 dan maksimumnya 198, sehingga luas sebarannya adalah 165. dan mean teoritisnya adalah: μ= (33x2) + (33x5)/2 = 66+165/2 =115.5 dibulatkan 116
87
Dari 33 item skala persepsi tentang lingkungan kerja fisik, nilai terendah teoritisnya adalah 33, nilai tengah 116, dan nilai tertingginya adalah 198. Penggunaan cara ini dimaksudkan agar masing-masing kategori memiliki proporsi yang sama, sehingga didapatkan hasil yang adil dan tidak memihak. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 4.7 Tabel Kategorisasi Persepsi tentang Lingkungan Kerja Fisik Kategori Positif Negatif
Nilai ≥ - 116 ≤ - 116 Jumlah
N 35 65 100
% 35% 65% 100 %
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa tingkat persepsi tentang lingkungan kerja fisik responden berada pada kisaran negatif sebanyak 65 orang (65%), dan untuk kategori positif sebanyak 35 orang (35%). Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa, mayoritas responden mempersepsikan lingkungan kerja fisiknya sebagai sesuatu yang negatif. 4.2.2 Tipe Kepribadian Selanjutnya peneliti bermaksud membuat kategorisasi dari variabel tipe kepribadian berdasarkan tingkatannya. Untuk itu terlebih dahulu peneliti membagi responden penelitian menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang memiliki kepribadian tipe A dan tipe B. Responden penelitian yang tergolong ke dalam tipe kepribadian adalah responden yang mendapatkan nilai total 14-25 untuk skala tipe kepribadian.
88
Sedangkan responden penelitian yang tergolong ke dalam kepribadian tipe B adalah responden yang mendapatkan nilai total 1-13 untuk skala tipe kepribadian. Setelah jumlah total untuk skala tipe kepribadian diketahui, maka dapat diketahui jumlah responden yang memiliki kepribadian tipe A dan tipe B. Tabel di bawah ini akan menggolongkan responden berdasarkan tipe kepribadian : Tabel 4.8 Responden Berdasarkan Tipe Kepribadian No 1 2
Kategorisasi Tipe Kepribadian A B Total
Frekuensi
Presentasi
56 44 100
56 % 44 % 100
Berdasarkan data pada tabel hasil penelitian di atas, terlihat bahwa frekuensi responden terbanyak ditemui pada kategori tipe kepribadian A yaitu sebanyak 56 orang (56%) dari total keseluruhan responden sebanyak 100 orang. 4.2.3 Agresivitas Selanjutnya peneliti bermaksud membuat kategorisasi dari variabel agresivitas berdasarkan tingkatannya. Untuk itu terlebih dahulu peneliti mengetahui skor terendah dan skor tertinggi untuk masing-masing variabel. Untuk mengetahui tingkatan agresivitas penulis menggunakan kategorisasi rentang yang dibagi ke dalam dua interval dengan kategori tinggi, dan rendah. Adapun jumlah item pada skala agresivitas adalah sebanyak 39 item pernyataan, dengan 4 kategori jawaban (skor 1 sampai dengna 4). Adapun skor minimumnya
89
adalah 39 dan maksimumnya 156, sehingga luas sebarannya adalah 117. dan mean teoritisnya adalah : μ= (39x2) + (39x3)/2 = 78+117/2 =97.5 dibulatkan 98 Dari 39 item skala agresivitas, nilai terendah teoritisnya adalah 39, nilai tengah 98, dan nilai tertingginya adalah 156. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 4.9 Tabel Kategorisasi Agresivitas Kategori Tinggi Rendah
Nilai ≥ - 98 ≤ - 98 Jumlah
N 52 48 100
% 52 % 48 % 100 %
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa tingkat agresivitas berada pada kisaran tinggi sebanyak 52 orang (52%), sedangkan untuk kategori rendah sebanyak 48 orang (48%). Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa, sampel pada penelitian ini sebagian besar berada pada rentang agresivitas tinggi dengan perbandingan yang sedikit. 4.3. Hasil Uji Hipotesis Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan rumus Regresi berganda yaitu untuk mencari hubungan persepsi tentang lingkungan kerja fisik dan tipe kepribadian secara bersama-sama terhadap agresivitas. Lalu peneliti
90
menggunakan analisis regresi untuk mengetahui lebih jauh hubungan antara variabel dengan cara mencari nilai koefisien determinasi. Koefisien determinasi merupakan suatu nilai yang menggambarkan seberapa besar perubahan antar variasi dari variabel dependen. Untuk penghitungannya dilakukan dengan menggunakan program SPSS versi 13. Adapun hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 4.10. Nilai R Square (Koefisien Determinasi) N 100
R 0.511
R Square 0.261
Berdasarkan data yang diperoleh melalui tabel di atas terlihat koefisien determinasi R Square (R2) menunjukkan nilai sebesar 0.261 atau 26.1%. Hal ini berarti 26.1% variabel agresivitas dapat dijelaskan oleh variasi persepsi tentang lingkungan kerja fisik dan tipe kepribadian. Sedangkan sisanya 73.9% dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak diukur dalam penelitian ini diantaranya yaitu ; frustasi, provokasi, efek senjata, kekerasan di media, alkohol, obat-obatan, kesesakan, hormon, gender, dan harga diri. Dengan kata lain terdapat kemungkinan adanya faktor-faktor lain yang Dengan
memiliki
pengaruh
demikian
dapat
lebih
besar
dikatakan
terhadap
bahwa
independen variabel terhadap dependen variabel.
agresivitas
terdapat
Polantas.
pengaruh
dari
91
Gambar di bawah ini menggambarkan tentang nilai uji F : Tabel 4.11. Nilai Uji F (tabel lampiran Anova regresi linear ganda) N 100
F hitung 17.155
Df 1 2
Df 2 97
Sig. 0.000
Sementara dari uji F, diperoleh F hitung sebesar 17.155 dan signifikansi = 0.000 atau jauh lebih kecil dari alpha = 5%, ini berarti hipotesis nihil (Ho) yang menyatakan tidak ada pengaruh antara persepsi tentang lingkungan kerja fisik dan tipe kepribadian secara bersama-sama terhadap agresivitas Polantas ditolak. Maka, model regresi dapat dipakai untuk memprediksi agresivitas. Atau dapat dikatakan, persepsi tentang lingkungan kerja fisik dan tipe kepribadian secara bersama-sama berpengaruh terhadap agresivitas Polantas atau Ha diterima. Kemudian peneliti melihat koefisien regresi masing-masing variabel dari output SPSS 13, seperti tabel dibawah ini: Tabel 4.12. Coefficients(a) Model
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients t
B 1
(Constant)
Std. Error
80.931
6.588
PLKF
-.089
.047
Kepribadian
1.108
.239
Sig.
Beta 12.284
.000
-.175
-1.899
.060
.428
4.642
.000
a Dependent Variable: Agresivitas
Pada tabel coefficients dapat diperoleh persamaan garis regresi, dimana dapat diketahui koefisien regresi dari masing-masing variabel. Maka persamaan regresinya adalah: Agresivitas (Y) = 80.931+ -0.089 X1 (PLKF) + 1.108 X2 (tipe
92
kepribadian). Dengan model persamaan ini, dapat diperkirakan agresivitas dengan persepsi tentang lingkungan kerja fisik dan tipe kepribadian. Nilai koefisien positif menunjukkan hubungan positif, dan sebaliknya jika nilai koefisien negative maka menunjukkan hubungan negatif. Dengan persamaan ini dapat diprediksi bahwa agresivitas akan berubah sebesar -0.089 untuk setiap unit perubahan yang terjadi pada persepsi tentang lingkungan kerja fisik, dan berubah sebesar 1.108 untuk setiap perubahan yang terjadi pada tipe kepribadian. Sementara itu, dari data tabel pada kolom beta diketahui bahwa nilai probabilitas pada tabel sig. Tipe kepribadian sebesar 0.000 < 0,05 maka Ha diterima yaitu ada sumbangan tipe kepribadian terhadap agresivitas Polantas, sedangkan Ho ditolak. Ini berarti variabel yang paling besar pengaruhnya dan signifikan terhadap agresivitas dari kedua independent variabel yang di uji peneliti dalam mengukur agresivitas Polantas adalah variabel tipe kepribadian. Maka dapat disimpulkan bahwa semakin individu memiliki tipe kepribadian A maka individu tersebut akan cenderung lebih agresif dalam banyak situasi. Selanjutnya melalui perhitungan statistik metode stepwise juga diperoleh informasi bahwa variabel yang paling besar pengaruhnya adalah tipe kepribadian. Berikut ini tabel hasil perhitungan statistik pengaruh variabel persepsi tentang lingkungan kerja fisik dan tipe kepribadian terhadap agresivitas dengan bantuan SPSS versi 13.0:
93
Tabel 4.13. Variables Entered/Removed(a) Model 1
Variables Entered
Variables Removed
Kepribadian
Method
.
Stepwise (Criteria: Probability-of-F-toenter <= .050, Probability-of-F-toremove >= .100).
a Dependent Variable: Agresivitas
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa variabel yang lebih besar mempengaruhi agresivitas Polantas adalah tipe kepribadian, sedangkan persepsi tentang lingkungan kerja fisik terhadap agresivitas Polantas dikeluarkan dari tabel karena hanya memberikan kontribusi yang kecil. Tabel 4.14. Model Summary (Hasil Stepwise) N 100
R 0.484
R Square 0.234
Berdasarkan tabel di atas, dengan menggunakan metode stepwise maka besar sumbangan yang diberikan variabel tipe kepribadian tanpa variabel persepsi tentang lingkungan kerja fisik didapat nilai R Square (R2) sebesar 0.234, ini berarti besarnya sumbangan yang diberikan variabel tipe kepribadian pada agresivitas Polantas yaitu sebesar 23.4% kemudian sisanya sebesar 76.6% disumbangkan oleh faktor-faktor yang tidak terukur yang dapat mempengaruhi agresivitas Polantas. Faktor-faktor tersebut yaitu seperti : frustasi, provokasi, efek senjata, kekerasan di media, alkohol, obat-obatan, kesesakan, hormon, gender, dan harga diri.
94
BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN Bab ini memaparkan tentang kesimpulan hasil penelitian, diskusi tentang penelitian serta saran praktis dan saran untuk penelitian selanjutnya. 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisa data serta pengujian hipotesis yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, maka kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini berdasarkan dari hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut: 1. Terdapat pengaruh yang signifikan antara persepsi tentang lingkungan kerja fisik dan tipe kepribadian secara bersama-sama terhadap agresivitas Polisi lalu-lintas. Dengan demikian semakin negatif persepsi tentang lingkungan kerja fisik maka semakin tinggi pula agresivitas Polantas, dan semakin individu memiliki kepribadian tipe A maka individu tersebut akan cenderung lebih agresif dalam banyak situasi. 2. Berdasarkan penelitian, diketahui bahwa persepsi tentang lingkungan kerja fisik dan tipe kepribadian secara bersama-sama berpengaruh terhadap agresivitas Polantas. Besarnya pengaruh yang dihasilkan adalah sebesar 26.1%, dan sisanya sebesar 73.9% berasal dari variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Dari kedua variabel tersebut diketahui bahwa yang memberikan hubungan positif ialah tipe kepribadian sebesar 23.4%. Jadi,
95
dalam penelitian ini didapatkan bahwa variabel yang memiliki pengaruh yang besar terhadap agresivitas Polantas adalah variabel tipe kepribadian. 5. 2. Diskusi Dari hasil penelitian telah didapat bahwa ada pengaruh yang signifikan antara persepsi tentang lingkungan kerja fisik dan tipe kepribadian secara bersama-sama terhadap agresivitas Polantas. Sementara dari uji F, diperoleh F hitung sebesar 17.155 dan signifikansi = 0.000 atau jauh lebih kecil dari alpha = 5%, ini berarti hipotesis nihil (Ho) yang menyatakan tidak ada pengaruh antara persepsi tentang lingkungan kerja fisik dan tipe kepribadian secara bersama-sama terhadap agresivitas Polisi lalu-lintas ditolak. Maka, model regresi dapat dipakai untuk memprediksi agresivitas. Atau dapat dikatakan, persepsi tentang lingkungan kerja fisik dan tipe kepribadian secara bersama-sama berpengaruh terhadap agresivitas Polisi lalu-lintas. Hasil penelitian ini berarti mendukung asumsi-asumsi dari teori yang telah dikemukakan sebelumnya, yaitu antara lain teori yang dinyatakan oleh Carnagey & Anderson (2004) yaitu teori General Aggression Model (GAM). Teori ini menyatakan bahwa lingkungan kerja fisik sebagai salah satu dari variabel situasi atau variabel masukan yang merupakan salah satu faktor-faktor yang dapat memainkan peranan penting dalam kemunculan perilaku agresi. Variabel situasi ini dapat mengaktivasi konsep-konsep yang berhubungan dengan agresi di dalam memori. Variabel masukan ini juga dapat mempengaruhi hasil akhir tingkah laku melalui keadaan internal saat ini yang mereka ciptakan. Keadaan internal tersebut adalah cognition, affect, dan arousal. Dengan demikian, peristiwa-peristiwa yang
96
tidak menyenangkan akan menstimulasi perasaan negatif. Perasaan negatif akan menstimulasi secara otomatis berbagai fikiran, ingatan, respon fisiologis, dan reaksi motorik yang berasosiasi dengan reaksi melawan atau menyerang. Asosiasi ini menimbulkan perasaan marah dan takut. Semakin buruk lingkungan kerja fisik yang dialami oleh individu, maka semakin tinggi perasaan negatif yang timbul sehingga semakin memicu reaksi melawan atau menyerang, dan menimbulkan perasaan marah bagi individu tersebut. Gibson (dalam Bell, 1978) yang menyatakan bahwa persepsi tentang lingkungan kerja adalah serangkaian hal dari lingkungan yang dipersepsikan oleh orang-orang yang bekerja dalam suatu lingkungan organisasi dan memiliki peran yang besar dalam mempengaruhi tingkah laku karyawan. Karena itu, semakin individu mempersepsikan lingkungan kerja fisiknya sebagai sesuatu yang sangat terasa mengganggu dan tidak nyaman, maka semakin tinggi dorongan berperilaku agresif individu tersebut. Sebaliknya semakin individu mempersepsikan lingkungan kerja fisiknya sebagai sesuatu yang tidak terasa dan nyaman, maka menyebabkan gangguan baik pada fisik maupun psikis. Hal ini mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Syafrika dan Suyasa (2004) mahasiswa fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara melalui studi mengenai persepsi terhadap lingkungan fisik kerja dan dorongan berperilaku agresif pada polisi lalu lintas di Satlantas Kota Besar Jambi. Dari studi tersebut menghasilkan adanya hubungan yang signifikan antara persepsi terhadap lingkungan fisik kerja dan dorongan berperilaku agresif pada Polantas. Hal ini menunjukkan bahwa semakin individu mempersepsikan lingkungan kerjanya
97
sebagai sesuatu yang sangat terasa dan tidak nyaman, maka akan semakin tinggi dorongan berperilaku agresif individu tersebut. Sebaliknya semakin individu mempersepsikan lingkungan kerjanya sebagai sesuatu yang tidak terasa dan nyaman, maka semakin rendah dorongan berperilaku agresif individu tersebut. Sementara itu tipe kepribadian akan meningkatkan agresivitas Polantas sebesar 1.108 dan memiliki kontribusi sebesar 23,4% dalam mempengaruhi agresivitas atau lebih besar dibandingkan persepsi tentang lingkungan kerja fisik terhadap agresivitas Polisi lalu-lintas. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Larsen & Bush (2005) bahwa kepribadian seseorang dapat mempengaruhi cara individu dalam bereaksi, berpikir, merasa, berinteraksi dan beradaptasi dengan orang lain, termasuk dalam membentuk perilaku agresif. Kepribadian bersifat stabil sepanjang waktu dan memberikan pola perilaku yang konsisten pada individu. Karena bersifat stabil dan konsisten itulah, individu yang memiliki sifat agresif akan cenderung berperilaku agresif pada setiap situasi. Selain itu, karena sifatnya yang permanen, maka dapat mempengaruhi keadaan temporer seseorang dalam hal ini adalah keadaan psikologis individu yang pada akhirnya turut berperan terhadap kemungkinan terjadi atau tidaknya perilaku agresif (Steven & Mary, 2005). Carnagey & Anderson (2004) dalam teori General Aggression Model (GAM) berpendapat bahwa kepribadian sebagai salah satu dari variabel person atau variabel masukan dapat mempengaruhi hasil akhir tingkah laku melalui
98
keadaan internal saat ini yang mereka ciptakan. Keadaan internal tersebut adalah cognition, affect, dan arousal. Variabel masukan (kepribadian) ini dapat mempengaruhi kognisi dengan membuat konsep agresi lebih mudah diakses di dalam memori. Di dalam memori tersebut, jaringan asosiatif menghubungkan pikiran, agresi, emosi, dan kecenderungan untuk bertingkah laku. Jaringan asosiatif kognitif menyebabkan adanya hubungan yang berarti antara konsepkonsep dalam memori. Ketika sebuah konsep diakses secara terus-menerus, waktu pengaktifannya akan menurun. Hal ini berarti bahwa hanya akan dibutuhkan sedikit energi untuk mengaktifkan konsep-konsep agresi, sehingga konsep-konsep agresi tersebut manjadi semakin mudah untuk diakses di lain waktu. Semakin sebuah konsep cepat dapat diakses, maka akan semakin sering digunakan untuk memproses dan menginterpretasi informasi sosial. Dengan demikian individu yang memiliki sifat agresif hanya akan membutuhkan sedikit energi untuk mengaktifkan konsep-konsep agresi, sehingga konsep-konsep agresi tersebut menjadi semakin mudah untuk diakses dan lebih siap untuk teraktivasi pada situasi lain, yang dapat membimbing tingkah laku di masa yang akan datang. Contohnya seseorang yang memiliki sifat agresif yang tinggi sedikit situasi yang tidak menyenangkan akan mengakibatkan kemarahan pada orang tersebut. Hal ini mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Bushman (Carnagey & Anderson, 2004) yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan individual dalam merespon stimulus agresif dan ambigu yang disebabkan karena adanya perbedaan individu dalam struktur memorinya. Menurut Bushman, hal ini disebabkan karena individu yang memiliki sifat agresif yang tinggi memiliki
99
jaringan asosiatif kognitif tentang agresi yang lebih banyak dan lebih berkembang daripada individu yang memiliki sifat agresif rendah. Perbedaan jaringan asosiatif ini menyebabkan individu dengan sifat agresif tinggi lebih cepat mengakses konsep-konsep agresi, yang dapat dengan mudah teraktivasi dengan hanya adanya sedikit situasi yang tidak menyenangkan. Selain itu juga, individu dengan sifat agresif tinggi dapat menginterpretasi hal-hal yang ambigu menjadi terasosiasi dengan konsep agresi dibandingkan dengan individu yang memiliki sifat agresif rendah. Maksudnya adalah individu dengan sifat agresif tinggi akan mengartikan hal-hal yang belum pasti berhubungan dengan agresi, menjadi terkait dengan konsep-konsep agresi yang dipunyainya. Hasil penelitian juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Glass (dalam Baron & Byrne, 2005) yang menyimpulkan bahwa faktor kepribadian berperan penting dalam perilaku agresif. Menurutnya bahwa kecenderungan seseorang untuk berperilaku agresif dapat dilihat dari kepribadiannya. Individu yang memiliki kepribadian tipe A cenderung lebih agresif dalam banyak situasi daripada individu dengan kepribadian tipe B. Kepribadian tipe A digambarkan sebagai individu yang memiliki sifat kompetitif, selalu terburu-buru, mudah tersinggung, dan agresif. Sedangkan kepribadian tipe B digambarkan sebagai individu yang ambisinya tidak tinggi, cenderung tidak terburu-buru, dan tidak mudah kehilangan kendali. Selain itu, penelitian terhadap agresivitas pernah dilakukan oleh Agung (2008) pada mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma. Dalam penelitian mengenai agresi pada anggota TNI-AD. Dari studi tersebut didapatkan
100
bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi agresivitas seseorang yang paling dominan mempengaruhi anggota prajurit TNI-AD melakukan tindakan agresi adalah kepribadian. Kemudian dari hasil penelitian diketahui bahwa perilaku agresif Polantas yang paling nyata terlihat lebih ke arah perilaku agresif verbal, seperti memaki, membentak, menghina, berteriak, dan pemerasan, dibandingkan perilaku agresif fisik seperti menampar, memukul, menendang, dan meninju. Hal ini kemungkinan terjadi karena adanya batasan norma dan kode etik kepolisian. Walaupun pada dasarnya prosedur baku pelaksanaan tugas kepolisian mengijinkan adanya tindak kekerasan ketika menjalankan tugas, namun pelaksanaanya harus disesuaikan dengan keadaan yang terjadi sehingga Polantas yang menggunakan tindak kekerasan dalam bentuk agresif fisik sangat kecil jumlahnya. Hal ini juga kemungkinan disebabkan sikap Polantas yang dituntut untuk menjaga wibawa dan kesadaran Polantas bahwa semakin tingginya pengetahuan masyarakat terutama mengenai hukum sehingga Polantas tidak dapat menggunakan kekuasaannya secara sewenang-wenang. 5.3. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan ini, penulis menyadari bahwa secara keseluruhan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Dengan keterbatasan tersebut, penulis mencoba berbagi pengalaman dan memberikan saran sebagai pertimbangan dalam melakukan penelitian yang terkait yaitu saran teoritis dan saran praktis. Berikut uraiannya:
101
5.3.1. Saran Teoritis 1. Peneliti menyadari sekali dalam penelitian ini masih banyak kekurangan terutama dalam proses penelitian, karena tidak dapat mengontrol variabel yang dapat mengganggu atau mengurangi ketepatan hasil penelitian seperti kondisi fisik, atau kesehatan. Selain itu juga, peneliti dalam pengambilan data dalam penelitian ini kurang memperhatikan jadwal kegiatan Polantas, karena mereka adalah orang-orang yang sangat sibuk yang sewaktu-waktu mereka dapat diperintahkan untuk melakukan tugas mendadak. Maka bagi peneliti selajutnya yang berkeinginan untuk melakukan penelitian dengan topik yang sama, disarankan untuk mempertimbangkan hal ini. 2. Sebaiknya dalam responden penelitian ini lebih diperluas klasifikasinya, misalnya dari Polantas pada bagian GATUR (Penjagaan dan Pengaturan). Sehingga responden penelitian dapat mewakili tujuan yang ingin dicapai. 3. Pada penelitian selanjutnya, peneliti menyarankan agar dapat menambahkan variabel bebas lainnya yaitu frustasi, provokasi, efek senjata, kekerasan di media, alkohol, obat-obatan, kesesakan, hormon,
gender, dan harga diri.
Karena variabel-variabel tersebut merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi agresivitas individu yang kemungkinan dapat memberikan kontribusi yang lebih besar. 5.3.2. Saran Praktis Dalam hal praktis, maka penulis memberikan saran sebagai berikut :
102
1. Setiap
Polantas
agar
dapat
melakukan
pencegahan
sehingga
dapat
meminimalisir kemungkinan efek negatif yang dapat timbul akibat kondisi kerja fisik, misalnya dengan menggunakan pelindung mulut (masker), dan pelindung telinga (ear plug). 2. Kepada institusi kepolisian, diharapkan dapat mengerti dan lebih memenuhi kebutuhan yang dibutuhkan oleh Polantas. Upaya untuk meningkatkan kondisi anggota adalah suatu hal yang mutlak diperlukan, misalnya dengan penambahan sarana dan prasarana, atau dengan memberikan pelayanan konsultasi fisik dan psikologis. Selain itu juga penting untuk diadakannya pelatihan-pelatihan mengenai persepsi dan pengendalian emosi (ESQ). Sehingga para Polantas memiliki kepribadian yang baik dan dapat mengontrol emosi dan amarahnya, serta dapat menjalankan tugasnya lebih baik di dalam masyarakat. 3. Sesungguhnya, salah satu hal yang paling baik dilakukan intuk menghindari efek negatif dari pekerjaan Polantas adalah dengan membuat kondisi kerja fisik senyaman mungkin. Namun, hal itu sangat sulit dilakukan tanpa adanya bantuan dari pihak lain terutama masyarakat. Untuk itu kepada masyarakat juga diharapkan kesadarannya baik yang berhubungan dengan penggunaan lalu-lintas, misalnya dengan mentaati peraturan lalu-lintas, dengan mengurangi membuat polusi seperti menggunakan bahan bakar dengan oktan tinggi, dan dengan tidak memodifikasi knalpot yang dapat membuat bising lingkungan.
103
DAFTAR PUSTAKA
Agung W. Andaru. (2008). Agresi pada anggota tentara nasional indonesia angkatan darat (TNI-AD). Jakarta: FPSI Gunadarma.
Al Araf. (2008, Juli-Agustus). Polisi dan penegakan HAM. Analisis dokumentasi HAM: Polisi antara UNAS dan MONAS. Jakarta: ELSAM.
Alex S. Nitisemito. (1988). Manajemen personalia: Manajemen sumber daya manusia. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Allport, Gordon W. (1960). Personality a psychological interpretation. New York: Henry Holt and Company.
Anastasi, Anne. Fields of applied psychology. Bidang-bidang psikologi terapan. Aryatmi Siswohardjono, Paula Hartianta, Ika Pattinasarany, Esther Dharmanta, dan Aloysius Soesilo (terj).1993. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
A.S, Munandar. (2001). Psikologi industry dan organisasi. Jakarta: Penerbit universitas Indonesia.
Avin Fadilla Helmi & Soedardjo. (1998). Beberapa perspektif perilaku agresi. Buletin Psikologi. No. 2, 9-15.
Baron, R.A., & Byrne, D. (2005). Psikologi sosial. Edisi ke sepuluh. Jakarta: Erlangga.
Bell, Paul P.,Fisher, Jeffrrey D., & Loomis, Ross J. (1978). Environmental psychology. Toronto: W B. Saunders Company. Bell, Paul A.,Greene ,Thomas C., Fisher, Jefrey D.,&Baum Andrew. (2001). Enviromental psychology (5th ed). USA: Wadsworth Group/Thomson Learning.
Berkowitz, Leonard. (1995). Agresi 1, sebab dan akibatnya. Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo.
Buss, Arnold. (1973). Psychology man in perspective. Toronto: Wiley International Edition.
Carnagey, N.L., dan Anderson, C.A. (2004). Violent video game exposure and aggression: A literature review. Minerva psichiatr . Vol.45, No.1-18 Emerson Yuntho. (2008, Juli-Agustus). Polisi: Di antara kekerasan dan korupsi. Analisis dokumentasi HAM: Polisi antara UNAS dan MONAS. Jakarta: ELSAM.
Gufron Mabruri. (2008, Juli-Agustus). Melihat peran polri dalam kasus UNAS dan MONAS. Analisis dokumentasi HAM: Polisi antara UNAS dan MONAS. Jakarta: ELSAM.
Ine Syafrika., & P. Tommy Y.S. Suyasa. (2004). Persepsi terhadap lingkungan fisik kerja dan dorongan berperilaku agresi. Insan. Vol. 6, No. 3.
Iting Shofwati., dan Yuli P. Satar. (2009). Hygiene industri. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah.
Jalaluddin Rakhmat. (2000). Psikologi komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Jewell, L.N., dan Siegall, Marc. (1998). Psikologi industri/ organisasi modern: Psikologi terapan untuk memecahkan berbagai masalah di tempat kerja, perusahaan, industri, dan organisasi. Jakarta: Penerbit Arcan.
Kartini Kartono. (2002). Psikologi sosial untuk manajemen perusahaan dan industri. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Kerlinger, Fred N. Foundations of behavioral research. Third edition. Asas-asas penelitian behavioral. Landing R. Simatupang (terj). 1990. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Krahe, Barbara. (2005). Perilaku agresif: Buku panduan psikologi sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Larsen, Randy J., & Buss., David M. (2005). Personality psychology: Domains of knowledge about human nature. Second Edition. New York: McGraw Hill.
Muhammad Gaussyah. (2003). Makna dan Implikasi kedudukan Polisi Sebagai Alat Negara di dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat . Kanun. No. 35. Hal. 64.
McShane, Steven L., & Von Glinow, Mary Ann. (2005). Organizational behavior. Third Edition. New York: Irwin McGraw Hill. Mischel, Walter. (2004). Introduction to personality: Toward an integration (7th ed). Toronto : John Wiley & Sons, Inc. Morgan, Thomas Clifford. (1986). Introduction to psychology; International Edition. Singapore: McGraw Hill. Myers, David G. (2005). Social psychology (8thed). Toronto: McGraw Hill.
Rice, Philip L. (1999). Stress and health. Third edition. California: Brooks/Cole Publishing Company.
Rice, Virginia H. (2000). Type A behavior pattern and cardiovascular health. Dalam Erika Friedmann & sue Ann Thomas (Eds.), Handbook of stress, coping, and health: Implications for nursing research, theory, and practice (h. 395). New Delhi: Sage Publication, Inc. Robbins, Stephen P. (2001). Organizational behavior (9th ed). New Jersey: Prentice Hall. Saifuddin Azwar. (2008). Penyusunan skala psikologi. Yogyakarta; Pustaka Pelajar.
Santrock, John W. Life-span development. Perkembangan masa hidup. Juda Damanik dan Achmad Chusairi (terj). 1995. Edisi ke lima. Jakarta: Erlangga.
Sarafino, Edward P. (1994). Health psychology: Biopsychosocial interactions. Second Edition. New York: John Wiley & Sons, Inc.
Sarlito. W Sarwono. (1992). Psikologi lingkungan. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
________________. (2002). Psikologi sosial: Individu dan teori-teori psikologi sosial. Jakarta: Balai Pustaka.
________________. (2003). Pengantar umum psikologi. Jakarta: Bulan Bintang.
Smet, Bart. (1994). Psikologi kesehatan. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Sevilla, Consuelo G. An introduction to research method. Pengantar metode penelitian. Alimuddin Tuwu (terj). 1993. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Schultz, Duane P., dan Schultz, Sydney E. (2006). Psychology and work today: An introduction to industrial and organizational psychology (9thed). New Jersey: Pearson Education, Inc.
Tongat. (1997). Polisi, penegakan hukum dan permasalahannya. Legality, vol 6.
Weiten, Wayne., Llyod, Margaret A. (1997). Psychology applied to modern life: Adjustmen in the 90s (5th ed). California: Brooks/Cole Publishing Company. Yungki Aldrin. (1995). Perbedaan Skema Mengenai Polisi Lalu Lintas antara Mahasiswa yang Pernah dan Tidak Pernah Melakukan Denda Damai. Jakarta: FPSI UI.
http://citizennews.suaramerdeka.com