PENGARUH PENGGUNAAN VARIETAS UNGGUL TERHADAP EFISIENSI, PENDAPATAN DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN PETANI JAGUNG DI PROVINSI GORONTALO
ANDI YULYANI FADWIWATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Pengaruh Penggunaan Varietas Unggul Terhadap Efisiensi, Pendapatan dan Distribusi Pendapatan Petani Jagung Di Provinsi Gorontalo adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2013 Andi Yulyani Fadwiwati NIM H363080101
RINGKASAN ANDI YULYANI FADWIWATI. Pengaruh Penggunaan Varietas Unggul Terhadap Efisiensi, Pendapatan dan Distribusi Pendapatan Petani Jagung di Provinsi Gorontalo (SRI HARTOYO sebagai Ketua, SRI UTAMI KUNCORO dan I WAYAN RUSASTRA sebagai Anggota Komisi Pembimbing). Penelitian ini bertujuan untuk : (1) menganalisis pengaruh penggunaan varietas unggul terhadap keragaan usahatani, kelayakan teknologi, dan struktur pendapatan, (2) menganalisis pengaruh penggunaan varietas unggul terhadap efisiensi dan faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi petani jagung, (3) menganalisis pengaruh penggunaan varietas unggul terhadap pendapatan rumahtangga petani jagung, (4) menganalisis pengaruh penggunaan varietas unggul terhadap distribusi pendapatan rumahtangga petani jagung. Penelitian dilakukan di Provinsi Gorontalo, yaitu Kabupaten Gorontalo, Kabupaten Boalemo dan Kabupaten Pohuwato. Metode pengambilan sampel dengan metode random sampling, sampel sebanyak 355 rumahtangga petani. Menggunakan analisis R/C ratio, perubahan penggunaan teknologi dapat dievaluasi dengan menggunakan analisis anggaran parsial sederhana, selanjutnya perubahan penggunaan varietas menggunakan fungsi produksi stochastik frontier Cobb-Douglas, dan efisiensi alokatif dan ekonomis dianalisis menggunakan pendekatan dari sisi input. Sedangkan untuk mengetahui distribusi pendapatan rumah petani jagung dengan menggunakan Gini Ratio. Hasil penelitian: (1) perubahan teknologi varietas dengan menggunakan varietas unggul baru menghasilkan tambahan keuntungan bagi petani jagung sehingga layak untuk diintroduksikan, (2) penggunaan varietas unggul baru lebih efisien dibandingkan dengan penggunaan varietas unggul lama. Faktor-faktor yang menjadi penyebab inefisiensi teknis adalah lama pendidikan, keanggotaan dalam kelompok tani, akses kredit dan penyuluhan, (3) penggunaan varietas unggul baru berdampak positif yang nyata terhadap peningkatan pendapatan usahatani jagung, (4) perubahan teknologi dalam hal ini teknologi varietas unggul baru tidak serta merta membuat distribusi pendapatan makin tidak merata, hal ini diakibatkan karena adanya pengalihan kegiatan dalam suatu rumahtangga petani jagung. Implikasi Kebijakan antara lain: (1) peningkatan efisien dapat dilakukan melalui peningkatan manajemen usahatani baik teknis maupun kapabilitas manajerial petani, (2) dibutuhkan ketersediaan dan akses kesempatan kerja dari luar usahatani jagung (khususnya non pertanian) melalui dukungan sarana dan prasarana serta peningkatan kapasitas tenaga kerja dalam rangka akselerasi diversifikasi dan peningkatan pendapatan rumahtangga petani, (3) ketersediaan dan akses lahan atau kapital dalam menunjang adopsi teknologi, serta peningkatan pendapatan usahatani jagung dan rumahtangga petani secara agregat. Ketersediaan dan akses kesempatan kerja dan berusaha di luar usahatani jagung dan non pertanian merupakan instrumen penting dalam peningkatan pendapatan rumahtangga petani. Kata kunci : varietas unggul, efisiensi, pendapatan , distribusi pendapatan
SUMMARY ANDI YULYANI FADWIWATI. The Influence of High Yielding Variety Utilization on Efficiency, Income and Income Distribution of Corn Farmer at Gorontalo Province. (SRI HARTOYO as Chairman, SRI UTAMI KUNCORO and I WAYAN RUSASTRA as members of Counselor Commission). The research aims to: (1) analyze the influence of high yielding variety utilization on farming feasibility, technological feasibility and income structure, (2) analyze the influence of high yielding variety utilization on efficiency and factors influencing corn farmer inefficiency, (3) analyze the influence of high yielding variety utilization on income of corn farmer household, (4) analyze the influence of high yielding variety utilization on income distribution of corn farmer household. The research is conducted in Gorontalo Province, which is in Boalemo and Pohuwato Districts of Gorontalo Regency. Random sampling method is used in the research with 355 samples of farmer household. Using R/C ratio analysis, the change in technology utilization can be evaluated with simple partial budget analysis; whereas losses and gains analysis is used to evaluate the feasibility of changing on variety utilization using Cobb-Douglas’s stochastic frontier. In addition, allocative and economic efficiency are analyzed using input approach, and gini ratio is used to find out the income distribution of corn farmer household. Research results: (1) the change on variety technology by using new high yielding variety has produced additional profit for corn farmers; therefore the farming is feasible to be introduced, (2) the use of new high yielding variety is more efficient than the old variety. Factors causing technical inefficiency are year of education, membership in farmer group, access to credit and agriculture extension, (3) the use of new high yielding variety has significant and positive impact on income improvement of corn farming, (4) the change on technology, in this case, new high yielding variety, does not immediately shock income distribution due to activities shift in corn farmer household. Implication for policy, among others: (1) improvement on efficiency can be done through enhancement of farming management, either technical management or farmer’s managerial capability, (2) the availability of and access to job opportunity outside corn farming (especially non-agriculture) are needed through facilities and infrastructures support, and improvement on worker’s capacity to accelerate diversification and to increase income of small farmer household, (3) the availability of and access to field with supporting capital for the adoption of technology to increase corn farming and income of farmer household in aggregate. The availability of and access to job opportunity outside corn farming and non-agriculture are important instruments to increase farmer household’s income. Keywords: high yielding variety, efficiency, income, income distribution
© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2013 Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENGARUH PENGGUNAAN VARIETAS UNGGUL TERHADAP EFISIENSI, PENDAPATAN DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN PETANI JAGUNG DI PROVINSI GORONTALO
ANDI YULYANI FADWIWATI
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup : 1
Prof Dr Ir Kuntjoro Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor
2
Dr Ir Anna Fariyanti,MS Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor
Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka : 1
Dr Ir Harianto,MS Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor
2 Dr Ir Sumaryanto Staf Peneliti Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSE-KP), Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian
PRAKATA Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan kasih sayang dan rahmat-Nya kepada penulis sehingga penulisan disertasi ini dapat diselesaikan. Disertasi ini disusun sebagai tugas akhir dari tugas belajar di Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Terselesaikannya disertasi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan banyak pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih kepada : 1 Dr Ir Sri Hartoyo, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing, Prof Dr Ir Sri Utami Kuntjoro, MS dan Prof Dr Ir I Wayan Rusastra, APU sebagai Anggota Komisi Pembimbing. 2 Tim penguji sidang tertutup Prof Dr Ir Kuntjoro, Dr Ir Anna Fariyanti,MS, Dr Ir Meti Ekayani, Dr Aceng Hidayat serta tim penguji ujian terbuka Dr Ir Harianto,MS, Dr Ir Sumaryanto, Dr Ir Yusman Syaukat, MEc, Dr Meti Ekayani, SHut, MSc. Seluruh dosen Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian atas segala ilmu yang disampaikan selama masa perkuliahan dan semoga dapat dijadikan bekal penulis untuk mengembangkan ilmu ekonomi pertanian. 3 Kepala Badan Litbang Pertanian, Sekertaris Badan Litbang Pertanian Kementerian Pertanian, Bapak Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, dan Bapak Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Gorontalo. 4 Dr Ir Abdul Gaffar Tahir, MSi yang telah banyak membantu dan berdiskusi dengan membuka wawasan serta memberikan buku yang terkait dengan penelitian. Micha S. Ratu Rihi, MS yang berdiskusi terkait penelitian. 5 Penghargaan kepada keluarga penulis, yaitu kedua orangtua penulis Drs Tadjuddin Rais dan Dr Hj Marwanting Tadjuddin,MS. Kedua mertua penulis Drs H Umar Alie dan Dra Hj Siti Alang. 6 Suami penulis Syamsul Bachri Umar,ST terima kasih atas pengertiannya yang mendalam, doa dan dorongan moril serta kesediaannya memberikan izin dan waktu pada penulis untuk menyelesaikan pendidikan, anak-anakku tersayang Dhiya Afifah Syamsul, Andi Muhammad Nur Fitrah Syamsul, Aulia Ramadhani Syamsul. Kakak penulis Ir Andi Apriany Fatmawati, MP dan adik Andi Ilham Djaya, ST. 7 Teman-teman EPN angkatan 2008 serta sekertariat Program Ilmu Ekonomi Pertanian. Semoga segala bantuan dan dukungan yang telah diberikan mendapat balasan yang lebih baik dari Allah SWT. Harapan penulis semoga disertasi ini bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan dapat menambah referensi bagi yang memerlukannya. Bogor, Agustus 2013 Andi Yulyani Fadwiwati
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN
xii xiii xiv
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Kebaruan Penelitian Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA Program Peningkatan Produksi Jagung Penyebaran Varietas Jagung di Indonesia Varietas lokal Varietas komposit Varietas hibrida Penelitian-Penelitian Tentang Efisiensi Penelitian Tentang Pengaruh Perubahan Teknologi Pertanian Kerangka Pemikiran Efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomi Pendekatan stochastik frontier Pengaruh penggunaan varietas unggul terhadap pendapatan dan distribusi pendapatan Distribusi pendapatan
7 7 10 11 11 12 13 18 22 22 23 25
METODOLOGI PENELITIAN Lokasi, Waktu, dan Tempat Penelitian Jenis dan Sumber Data Metode Pengambilan Contoh Model dan Analisis Data Analisis usahatani dan kelayakan perubahan teknologi Spesifikasi model fungsi produksi stochastik frontier Analisis efisiensi alokatif dan ekonomis Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan rumahtangga petani Distribusi pendapatan rumahtangga petani
29 29 29 29 31 31 31 33 35
KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN DAN GAMBARAN UMUM RUMAHTANGGA PETANI JAGUNG DI PROVINSI GORONTALO Keadaan Umum Daerah Penelitian Kondisi Geografis
37
3
4
1 1 3 5 6 6 6
27
36
37 37
Iklim Tataguna lahan Penduduk dan mata pencaharian Gambaran Umum Rumahtangga Petani Jagung Karakteristik rumahtangga petani jagung Keanggotaan dalam kelompok tani Akses terhadap kredit Pola Tanam dan Diversifikasi Usahatani Jagung Pola tanam lahan kering Diversifikasi usahatani 5
6
7
8
37 38 39 40 40 43 44 45 45 46
ANALISIS USAHATANI, KELAYAKAN TEKNOLOGI DAN STRUKTUR PENDAPATAN RUMAHTANGGA PETANI JAGUNG Keragaan Usahatani Input produksi usahatani jagung Analisis usahatani jagung Analisis usahatani padi Usahatani sayuran Analisis usahatani ternak Kelayakan Perubahan Teknologi Analisis titik impas harga output Struktur Pendapatan Rumahtangga Petani Jagung Struktur pendapatan menurut luas penggunaan lahan
48
ANALISIS PRODUKSI DAN EFISIENSI USAHATANI JAGUNG Pemilihan Model Fungsi Produksi Pendugaan Fungsi Produksi Stochastik Frontier Jagung di Provinsi Gorontalo Efisiensi teknis dan faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi teknis petani jagung di Provinsi Gorontalo Efisiensi alokatif petani jagung di Provinsi Gorontalo Efisiensi ekonomi petani jagung di Provinsi Gorontalo
59 59 61
ANALISIS PENDAPATAN DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN RUMAHTANGGA PETANI JAGUNG DI PROVINSI GORONTALO Faktor Berpengaruh Terhadap Pendapatan Rumahtangga Petani Jagung Distribusi Pendapatan Rumahtangga Petani Jagung
75
SIMPULAN DAN SARAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Simpulan Saran Implikasi Kebijakan
78 78 79
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
48 48 52 53 54 55 56 56 57 57
66 72 73
75 77
80 87
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Penyebaran varietas jagung lokal yang dominan di Indonesia pada MT 2005 dan 2006 Penyebaran varietas jagung komposit di Indonesia pada MT 2005 dan 2006 Penyebaran varietas jagung di Indonesia dalam periode 2002 sampai 2005 dan 2006 Rencana pergeseran penggunaan varietas jagung di Indonesia Pembagian responden menurut lokasi penelitian dan varietas jagung di Provinsi Gorontalo pada tahun 2012 Data iklim di Provinsi Gorontalo Tahun 2010 Tataguna lahan di Provinsi Gorontalo Tahun 2010 Jumlah penduduk menurut jenis kelamin, dan kepadatan penduduk di Provinsi Gorontalo Tahun 2010 Mata pencaharian penduduk usia 15 tahun keatas di Provinsi Gorontalo Tahun 2010 Jumlah petani jagung (responden) berdasarkan umur, pendidikan dan pengalaman usahatani jagung di Provinsi Gorontalo Tahun 2012 Karakteristik anggota rumahtangga petani jagung di Provinsi Gorontalo Tahun 2012 Kepemilikan lahan dan status petani jagung responden di Provinsi Gorontalo Tahun 2012 Keanggotaan dalam kelompok petani jagung di Provinsi Gorontalo Tahun 2012 Akses terhadap penyuluhan petani jagung di Provinsi Gorontalo Tahun 2012 Akses terhadap kredit petani jagung di Provinsi Gorontalo Tahun 2012 Jumlah petani jagung dan penerapan pola tanam lahan kering di Provinsi Gorontalo Tahun 2012 Jumlah rumahtangga petani yang memelihara ternak di Provinsi Gorontalo Tahun 2012 Jumlah petani jagung yang menggunakan input produksi pada usahatani jagung di Provinsi Gorontalo Tahun 2012 Rata-rata penggunaan input dan produksi rata-rata yang dihasilkan oleh petani jagung VUB dan VUL Provinsi Gorontalo Tahun 2012 Rincian harga rata-rata input yang digunakan dan harga rata-rata output dari petani jagung VUB dan petani jagung VUL di Provinsi Gorontalo Tahun 2012 Analisis usahatani jagung dan produksi rata-rata di Provinsi Gorontalo, 2012 Analisis usahatani padi di Provinsi Gorontalo Tahun 2012 Analisis usahatani sayuran di Provinsi Gorontalo Tahun 2012 Analisis usahatani ternak sapi di Provinsi Gorontalo Tahun 2012
11 12 12 13 30 37 38 39 40 41 42 43 44 44 45 45 47 49 50 52
53 54 55 56
25 26 27 28 29 30 31 32 33 34
Struktur pendapatan rumahtangga petani jagung di Provinsi Gorontalo Tahun 2012 Struktur pendapatan rumahtangga petani jagung berdasarkan luas penguasaan lahan di Provinsi Gorontalo Tahun 2012 Hasil pendugaan fungsi produksi jagung varietas unggul baru, varietas unggul lama, gabungan tanpa dummy dan gabungan dengan dummy di Provinsi Gorontalo Tahun 2012 Hasil pendugaan fungsi produksi stochastic frontier pada usahatani jagung dengan menggunakan metode Maximum Likelihood Estimation (MLE) di Provinsi Gorontalo Tahun 2012 Distribusi frekuensi efisiensi teknis petani jagung varietas unggul baru, petani jagung varietas unggul lama dan gabungan responden di Provinsi Gorontalo Tahun 2012 Hasil estimasi parameter model efek inefisiensi teknis produksi Stochastic Frontier jagung varietas unggul baru dan varietas unggul lama di Provinsi Gorontalo Tahun 2012 Distribusi frekuensi efisiensi alokatif petani jagung varietas unggul baru, petani jagung varietas unggul lama dan gabungan responden di Provinsi Gorontalo Tahun 2012 Distribusi frekuensi efisiensi ekonomi petani jagung varietas unggul baru, petani jagung varietas unggul lama dan gabungan responden di Provinsi Gorontalo Tahun 2012 Estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan rumahtangga petani jagung di Provinsi Gorontalo Tahun 2012 Distribusi pendapatan rumahtangga petani jagung di Provinsi Gorontalo Tahun 2012
57 59 61
62
67
69
73
74
76 78
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4
Isokuan, isocost, efisiensi teknis (TE), efisiensi alokatif (AE) dan efisiensi ekonomis (EE) dengan pendekatan input Fungsi Produksi Stochastic Frontier Kurva kemungkinan produksi rumahtangga yang menggunakan dan tidak menggunakan varietas unggul baru Derajat kemerataan dan ketidakmerataan menurut kurva Lorenz
23 24 26 28
DAFTAR LAMPIRAN 1 Konsumsi domestik jagung di Indonesia pada tahun 2007-2011 2 Perkembangan produksi jagung berdasarkan provinsi pada tahun 2008-2012 3 Perkembangan luas panen, produktivitas dan produksi jagung di Indonesia pada tahun 2008 - 2012 4 Perkembangan luas panen, produktivitas dan produksi jagung di Provinsi Gorontalo pada tahun 2008 - 2012 5 Potensi pengembangan jagung di Provinsi Gorontalo pada tahun 2011 6 Diskripsi jagung varietas unggul lama 7 Diskripsi jagung varietas unggul baru 8 Analisis varians untuk pengujian kesamaan koefisien regresi jagung varietas unggul di Provinsi Gorontalo tahun 2012 9 Hasil analisis pendugaan fungsi produksi jagung varietas unggul baru di Provinsi Gorontalo tahun 2012 10 Hasil analisis pendugaan fungsi produksi jagung varietas unggul lama di Provinsi Gorontalo tahun 2012 11 Hasil analisis pendugaan fungsi produksi jagung gabungan tanpa dummy varietas di Provinsi Gorontalo tahun 2012 12 Hasil analisis pendugaan fungsi produksi jagung gabungan dengan dummy varietas di Provinsi Gorontalo tahun 2012 13 Hasil analisis pendugaan fungsi produksi jagung gabungan dengan dummy varietas tanpa retriksi di Provinsi Gorontalo tahun 2012 14 Hasil analisis pendugaan fungsi produksi jagung gabungan dengan dummy varietas terektriksi di Provinsi Gorontalo tahun 2012 15 Hasil estimasi fungsi produksi dan inefisiensi teknis usahatani jagung di Provinsi Gorontalo pada tahun 2012 16 Analisis anggaran parsial sederhana usahatani jagung per hektar di Provinsi Gorontalo pada tahun 2012 17 Analisis kelayakan perubahan teknologi usahatani jagung di Provinsi Gorontalo pada tahun 2012 18 Analisis titik impas harga output usahatani jagung di Provinsi Gorontalo pada tahun 2012 19 Analisis titik impas tambahan produksi usahatani jagung di Provinsi Gorontalo pada tahun 2012 20 Uji statistik rata-rata penggunaan input dan produksi rata-rata yang dihasilkan oleh petani jagung VUB dan VUL di Provinsi Gorontalo tahun 2012 21 Riwayat Hidup
87 87 88 88 88 89 92 95 95 96 97 98 99 100 101 111 112 112 112 113 115
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pertanian masih memegang peran strategis dalam perekonomian nasional. Peran strategis tersebut digambarkan melalui kontribusi yang nyata dalam pembentukan kapital, penyediaan bahan pangan, bahan baku industri, pakan dan bio energi, penyerapan tenaga kerja, sumber devisa negara dan sumber pendapatan. Kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2012 mencapai 15.14 persen meningkat sebesar 0.42 persen dibandingkan pada tahun 2011 yang hanya mencapai 14.72 persen. Salah satu komoditas subsektor pertanian yang sangat berperan dari sisi ekonomi, sosial maupun politik adalah tanaman pangan. Tanaman pangan merupakan salah satu subsektor yang bermanfaat bagi pemenuhan kebutuhan pangan dan sebagai sumber pendapatan bagi petani. Petani tanaman pangan pada umumnya memiliki penguasaan lahan yang sangat sempit dan ketidakberdayaan dalam menentukan harga. Sementara itu, pelaku usaha (petani) tanaman pangan dituntut untuk berpartisipasi dalam membangun kekuatan pangan nasional melalui peningkatan produktivitas maupun peningkatan indeks pertanaman. Tuntutan tersebut sering kali terbentur pada ketidakberdayaan petani dalam menerapkan (mengadopsi) teknologi karena keterbatasan modal usaha. Salah satu tanaman pangan strategis yang bernilai ekonomis tinggi adalah jagung. Jagung (Zea mays) mempunyai peluang untuk dikembangkan karena kedudukannya sebagai sumber utama karbohidrat dan protein setelah beras (Zubachtirodin et al. 2007). Posisi jagung dalam diversifikasi konsumsi pangan berfungsi mengurangi ketergantungan terhadap permintaan beras, selain itu juga mempunyai arti penting dalam pengembangan industri karena merupakan bahan baku industri pangan dan pakan khususnya pakan ternak monogastrik. Penggunaan jagung yang relatif tinggi pada industri pakan disebabkan oleh harga jagung yang murah, mengandung kalori yang tinggi, mempunyai protein dengan kandungan asam amino yang lengkap, mudah diproduksi dan digemari oleh ternak (Tangendjaya et al. 2005). Permintaan jagung Indonesia meningkat dari tahun ke tahun sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk, industri pakan dan pangan. Konsumsi jagung dalam negeri meningkat selama lima tahun terakhir (2007 sampai 2011) sebesar 11 197 776 ton tahun 2007 menjadi 15 492 170 ton tahun 2011 atau meningkat sebesar 35.2 persen per tahun, kebutuhan untuk pakan ternak sebesar 8 892 551 ton tahun 2007 meningkat menjadi 12 929 854 ton tahun 2011 atau meningkat sebesar 38 persen per tahun, kebutuhan untuk pangan sebesar 432 353 ton tahun 2010 meningkat menjadi 445 127 ton tahun 2011 atau meningkat sebesar 0.35 persen (Lampiran 1). Ketersediaan pasokan jagung akan mempengaruhi industri peternakan secara luas. Bila pasokan jagung mengalami kelangkaan akan berakibat pada stagnasi ketersediaan bahan baku bagi industri pakan ternak maupun industri pangan. Sebaliknya dengan adanya kecukupan jagung akan mendorong ketersediaan pakan ternak. Jagung sebagai bahan baku pakan ternak sangat
2
berpengaruh terhadap kinerja pembangunan peternakan dan penyediaan protein hewani yang sangat dibutuhkan dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Sementara itu, perkembangan produksi jagung nasional pada periode 2008 sampai 2012 mengalami peningkatan rata-rata sebesar 3.94 persen per tahun dari 16.32 juta ton pipilan kering pada tahun 2008 menjadi 18.96 juta ton pipilan kering pada tahun 2012, sedangkan laju peningkatan produktivitas mencapai 4.05 persen per tahun dan luas panen rata-rata menurun sebesar 0.14 persen per tahun (Lampiran 2 dan Lampiran 3). Data produksi apabila disandingkan dengan total kebutuhan jagung nasional maka diketahui bahwa produksi jagung masih dibawah total kebutuhan jagung secara nasional. Oleh karena itu, untuk mencukupi kebutuhan konsumsi, bahan baku pakan ternak dan bahan baku industri pangan telah dilakukan impor pada kurun waktu 2007 sampai 2011 dengan kisaran 169 359 ton sampai 2 585 981 ton (Lampiran 1). Selanjutnya kebutuhan jagung tahun 2012 mencapai 22 juta ton sementara produksi nasional hanya sebesar 18.96 juta ton, sedangkan impor jagung sekitar 200 000 ton. Sehingga impor diperlukan untuk menjaga stabilitas produksi secara merata sepanjang tahun. Masih rendahnya kinerja produksi jagung secara umum dalam memenuhi kebutuhan disebabkan oleh rendahnya rata-rata produktivitas jagung nasional yaitu sebesar 4.8 ton per hektar (BPS 2012). Menurut Kasryno et al. (2007) bahwa potensi produktivitas jagung hibrida dapat mencapai 7 ton per hektar. Produktivitas jagung nasional relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan produktivitas jagung negara produsen seperti Amerika Serikat yang telah mencapai 10.34 ton per hektar dan Cina mencapai 5.35 ton per hektar. Rendahnya produktivitas jagung secara rataan nasional sejalan dengan penelitian Bachtiar et al. (2007) yang mengungkapkan bahwa pada beberapa sentra produksi jagung seperti di Sulawesi Selatan, Lampung, Sumatera Utara dan Jawa Timur masih banyak petani yang menggunakan varietas lokal dan varietas unggul lama yang benihnya telah mengalami degradasi secara genetik dan belum dimurnikan. Penggunaan benih jagung hibrida tahun 2009 sampai 2010 sekitar 50 persen dari total pemakaian benih jagung di Indonesia. Disamping itu pemerintah pada tahun yang sama telah mengalokasikan subsidi benih jagung unggul sebanyak 4 266 ton untuk areal tanam seluas 225 534 hektar (Bisnis Indonesia 2010). Permasalahan dalam penyebaran benih unggul dalam hal ini adalah tidak tersedianya benih ditingkat petani pada saat waktu tanam dan harga benih unggul yang cendrung meningkat terutama jagung hibrida. Peningkatan produksi jagung secara nasional pada tahun 2013 dikembangkan suatu program peningkatan produktivitas melalui Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) berbasis kawasan dengan areal tanam seluas 260 ribu ha yang terdiri dari: 1) Kawasan pertumbuhan seluas 54 700 ha (jagung hibrida seluas 9 000 ha yang dialokasikan di 9 kabupaten/kota pada 5 provinsi dan jagung komposit seluas 45 700 ha yang dialokasikan di 60 kabupaten/kota pada 13 provinsi); 2) Kawasan pengembangan seluas 170 300 ha (jagung hibrida seluas 170 300 ha yang dialokasikan di 148 kabupaten/kota pada 23 provinsi); 3) Kawasan pemantapan seluas 35 000 ha yang dialokasikan di 31 kabupaten/kota pada 10 provinsi (Kementerian Pertanian 2013). Melalui upaya
3
ini produksi jagung secara nasional mulai menunjukkan peningkatan, meskipun belum mampu memenuhi permintaan dalam negeri secara keseluruhan. Di Indonesia terdapat beberapa sentra produksi tanaman jagung antara lain Sulawesi Selatan, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Lampung, Jawa Tengah, Sumatera Utara dan Jawa Barat. Provinsi Gorontalo menempatkan pertanian sebagai sektor unggulan serta komoditas andalan jagung yang bertujuan untuk memacu peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat khususnya petani yang sekaligus menjadi penggerak utama pembangunan ekonomi daerah. Pertumbuhan ekonomi tertinggi dialami oleh sektor pertanian yang tumbuh sebesar 11.32 persen. Sektor pertanian mampu menyumbang 3.04 persen terhadap pertumbuhan ekonomi triwulan I tahun 2012 (BPS 2012). Share produksi jagung Gorontalo pada tahun 2012 adalah 3.5 persen dari total produksi jagung nasional sebesar 18 961 645 ton (Lampiran 2). Share produksi jagung Gorontalo masih tergolong rendah apabila dibandingkan dengan wilayah sentra produksi lainnya seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, Sulawesi Selatan dan Sumatera Utara, masing-masing sebesar 31.6 persen, 15.8 persen, 9.2 persen, 7.7 persen dan 7.2 persen. Komoditas jagung di Provinsi Gorontalo merupakan komoditas unggulan, namun terdapat permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan usahatani jagung yaitu penurunan luas panen, produksi dan produktivitas. Dalam lima tahun terakhir (2008 sampai 2012) luas panen jagung menurun sekitar 2.13 persen per tahun, produksi menurun rata-rata 1.68 persen per tahun dan produktivitas menurun sebesar 0.06 persen per tahun (Lampiran 4). Pencapaian produktivitas jagung di Provinsi Gorontalo sebesar 4.5 ton per ha lebih rendah 0.3 ton per hektar dibandingkan produktivitas jagung nasional yang mencapai 4.8 ton per ha. Peningkatan produktivitas jagung dapat dilakukan melalui dua cara yaitu mengembangkan dan mengadopsi teknologi baru serta menggunakan sumber daya yang tersedia secara lebih efisien. Teknologi merupakan bagian dalam pembangunan pertanian untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani karena teknologi merupakan salah satu faktor yang menentukan dalam proses produksi (Jatileksono 1992; Nicholson 1998). Salah satu teknologi baru yang dikembangkan adalah teknologi varietas. Varietas unggul baru (hibrida) pada dasarnya memiliki berbagai kelebihan yaitu mempunyai kemampuan berproduksi lebih tinggi, pertumbuhan tanaman tegak, seragam, tahan rebah, dan tahan terhadap serangan hama dan penyakit. Dengan demikian penggunaan varietas unggul baru merupakan salah satu bentuk teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani. Perubahan pendapatan yang mengarah kepada pemerataan distribusi pendapatan menandakan bahwa pembangunan ekonomi sektor pertanian di daerah tersebut berjalan sesuai dengan tujuan pembangunan, karena apabila tidak maka akan terjadi ketimpangan. Perumusan Masalah Salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas jagung adalah menggunakan varietas unggul yang berdaya hasil tinggi dan adaptif dengan lingkungan setempat. Pengembangan varietas unggul dari jenis hibrida telah berkontribusi nyata terhadap peningkatan produktivitas dan produksi. Peran
4
varietas unggul sangat strategis karena terkait dengan beberapa hal yakni: (a) dapat meningkatkan hasil per satuan luas, (b) tahan terhadap hama dan penyakit, (c) daya adaptasi tinggi, dan (d) merupakan komponen teknologi yang relatif mudah. Pengembangan tanaman jagung di Provinsi Gorontalo pada awalnya banyak menggunakan varietas komposit terutama varietas Lamuru (varietas unggul lama) yang merupakan varietas unggul hasil temuan dari Balai Penelitian Tanaman Serealia (Balitsereal). Namun dalam perjalanannya selama enam tahun terakhir terjadi perubahan penggunaan varietas jagung dari varietas unggul lama ke varietas unggul baru (hibrida). Petani di Provinsi Gorontalo menanam jagung varietas unggul baru (hibrida) karena hasilnya relatif lebih tinggi daripada jagung varietas unggul lama (komposit dan lokal). Hasil penelitian Bahua (2008) di Kecamatan Limboto Kabupaten Gorontalo mengungkapkan bahwa produksi jagung hibrida lebih tinggi dibandingkan jagung komposit masing-masing sebesar 5.4 ton per hektar dan 3.4 ton per hektar. Sedangkan hasil penelitian Antara (2010) mengatakan bahwa produksi jagung hibrida lebih tinggi daripada jagung non hibrida masing-masing sebesar 4 505 kg per hektar pipilan kering dan 2 720 kg per hektar pipilan kering. Varietas unggul baru (hibrida) diperkenalkan sejak tahun 2002, namun tidak semua petani jagung dapat mengadopsi varietas tersebut. Hal ini karena ketersediaan benih pada saat dibutuhkan relatif terbatas. Disamping itu harga benih varietas unggul baru relatif tinggi, sehingga petani memilih untuk menanam benih hasil produksi sebelumnya, walaupun kualitas benihnya telah menurun. Peningkatan produktivitas jagung tidak terlepas dari petani sebagai pelaku utama yang memiliki kemampuan untuk mengaplikasikan teknologi yang dibutuhkan dalam kegiatan usahataninya, termasuk kegiatan pendampingan dan penyuluhan. Untuk mengadopsi teknologi varietas unggul baru peran penyuluh sangat penting dalam mengembangkan kemampuan petani. Kapabilitas manajerial petani akan menentukan rasionalitas petani dalam mengambil keputusan untuk usahataninya. Disamping itu petani juga harus memiliki sifat progressif untuk melakukan perubahan dan inovatif terhadap sesuatu (inovasi baru) serta terampil melaksanakan berbagai kegiatan yang bermanfaat bagi peningkatan produktivitas, pendapatan atau keuntungan, maupun kesejahteraan keluarga. Idiong (2007) membuktikan bahwa pada kondisi tingkat adopsi teknologi yang rendah di Cross River State Nigeria, maka pilihan terbaik untuk meningkatkan produktivitas dalam jangka pendek yaitu melalui peningkatan efisiensi, namun dalam jangka panjang peningkatan produktivitas dapat dilakukan melalui teknologi. Kegiatan pendampingan teknologi sebagai pembelajaran untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani dalam usahatani jagung. Dengan adanya penyuluhan diduga dapat meningkatkan kemampuan manajerial petani yang selanjutnya diduga akan mempengaruhi efisiensi produksi maupun efisiensi alokatif. Dengan adanya adopsi teknologi varietas unggul baru diduga mempunyai efisiensi yang lebih tinggi baik efisiensi teknik maupun efisiensi alokatif dibandingkan dengan petani yang tidak mengadopsi teknologi varietas. Penelitian Fadwiwati et al. (2013) mengungkapkan bahwa penggunaan varietas unggul baru pada petani jagung di Provinsi Gorontalo mempunyai tingkat efisiensi teknis lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat efisiensi varietas unggul
5
lama. Pertanyaannya adalah sampai sejauhmana penggunaan varietas unggul baru mempengaruhi tingkat efisiensi petani jagung ?. Adanya adopsi teknologi varietas unggul baru mengakibatkan produksi serta tingkat efisiensi yang lebih tinggi. Dengan anggapan permintaan jagung tetap maka kenaikan produksi akan berakibat harga jagung menurun. Walaupun harga jagung menurun namun karena kenaikan produksi yang jauh lebih tinggi maka adopsi varietas unggul baru ini masih menyebabkan peningkatan pendapatan. Seperti yang telah disampaikan sebelumnya bahwa disatu sisi masih terdapat petani yang tidak mengadopsi varietas unggul baru yang produktivitasnya relatif tetap, tetapi di sisi lain harganya turun, maka diduga akan berakibat pada pendapatan jagungnya menurun. Pertanyaannya adalah sampai sejauhmana pengaruh penggunaan varietas unggul terhadap pendapatan petani jagung ?. Petani di Provinsi Gorontalo selain menanam jagung juga menanam komoditas lain seperti tanaman padi, sayuran dan perkebunan. Bagi petani yang mengadopsi varietas unggul baru karena pendapatan dari usahatani jagung yang meningkat, akan menyebabkan realokasi sumber daya lahan dan tenaga kerja dari usahatani selain jagung dan non pertanian ke usahatani jagung. Sementara itu, bagi petani yang tidak mengadopsi teknologi varietas unggul baru karena pendapatan yang menurun sebagai akibat dari turunnya harga maka diduga akan merealokasikan sumber daya lahannya dan tenaga kerja dalam keluarga dari usahatani jagung ke usahatani selain jagung dan non pertanian, sehingga di duga pendapatan petani yang tidak mengadopsi varietas unggul baru yang berasal dari tanaman selain jagung dan non pertanian juga akan meningkat. Disatu sisi pendapatan usahatani jagung bagi petani yang mengadopsi varietas unggul baru meningkat, di sisi lain pendapatan petani yang tidak mengadopsi diduga pendapatannya juga meningkat, karena pendapatan yang diperoleh petani berasal dari usahatani non jagung dan non pertanian. Lin (1999) mengungkapkan bahwa teknologi baru memberikan dampak pada pendapatan rumahtangga baik yang mengadopsi maupun yang tidak mengadopsi. Namun apakah tercapainya peningkatan pendapatan juga diikuti dengan tingkat pemerataan distribusi pendapatan terhadap rumahtangga petani. Pertanyaannya adalah sampai sejauhmana penggunaan varietas unggul baru berpengaruh terhadap distribusi pendapatan rumahtangga petani ?. Tujuan Penelitian Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pada rumusan masalah, maka dapat disusun beberapa tujuan penelitian, yaitu : 1 Menganalisis pengaruh penggunaan varietas unggul terhadap keragaan usahatani, kelayakan teknologi dan struktur pendapatan 2 Menganalisis pengaruh penggunaan varietas unggul terhadap efisiensi dan faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi petani jagung. 3 Menganalisis pengaruh penggunaan varietas unggul terhadap pendapatan rumahtangga petani jagung. 4 Menganalisis pengaruh penggunaan varietas unggul terhadap distribusi pendapatan rumahtangga petani jagung.
6
Manfaat Penelitian Secara umum hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan informasi terhadap upaya pemerintah khususnya di Provinsi Gorontalo untuk mengembangkan usahatani jagung dengan menggunakan varietas unggul baru yang berdampak terhadap efisiensi, pendapatan dan distribusi pendapatan rumahtangga petani. Secara khusus hasil penelitian ini diharapkan mampu: 1 Memberi masukan dan informasi bagi pihak pengambil kebijakan khususnya pemerintah daerah dalam merumuskan langkah kebijakan yang berhubungan dengan efisiensi, pendapatan dan distribusi pendapatan rumahtangga petani jagung yang menjadi komoditas unggulan Provinsi Gorontalo. 2 Bagi petani jagung, sebagai pertimbangan untuk menentukan apa yang sebaiknya dilakukan untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi dan pendapatan usahatani. 3 Sumbangan pemikiran bagi penelitian lanjutan. Kebaruan Penelitian Penelitian ini mempertimbangkan varietas unggul lama (VUL) dan varietas unggul baru (VUB), sehingga: (1) Dapat diketahui kelayakan perubahan teknologi; (2) Dapat dikomparasi tingkat efisiensi teknis dan faktor yang berpengaruh; (3) Implikasi kebijakan peningkatan produksi jagung melalui penyebaran varietas unggul baru dapat dirumuskan lebih tegas dan komprehensif. Kebanyakan penelitian tentang dampak dari perubahan teknologi mengarah kepada ketimpangan pendapatan rumahtangga, yaitu penelitian Gotsch (1972), Raju (1976), Suparmoko (1980), Singh (1999), Zuhaida (2000) dan Kusrini et al. (2009). Namun penelitian ini membuktikan bahwa penggunaan varietas unggul baru tidak berdampak terhadap disparitas pendapatan rumahtangga petani jagung, karena dimungkinkan adanya realokasi sumber daya antar kegiatan dalam rumahtangga petani. Analisis dampak penggunaan jagung varietas unggul baru terhadap distribusi pendapatan rumahtangga mempertimbangkan kegiatan usahatani jagung, kegiatan usahatani selain jagung dan non pertanian, sehingga: (1) Dapat diketahui dampak penggunaan varietas unggul terhadap distribusi pendapatan; (2) Dapat diketahui jenis kegiatan yang berkontribusi terhadap penurunan disparitas pendapatan; dan (3) Implikasinya terhadap transformasi struktural ekonomi pertanian pedesaan dapat dirumuskan lebih baik. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Penelitian ini difokuskan pada usahatani jagung di tiga kabupaten sentra produksi yaitu Kabupaten Gorontalo, Kabupaten Boalemo dan Kabupaten Pohuwato. Petani yang dijadikan responden dalam penelitian ini terbatas pada petani jagung yang menanam jagung varietas unggul baru dan varietas unggul lama. Varietas unggul baru adalah jagung varietas hibrida dan varietas unggul lama
7
adalah varietas komposit dan varietas lokal. Varietas unggul baru merupakan varietas yang bersumber dari balai penelitian ataupun perusahaan swasta. Varietas unggul lama bersumber dari balai penelitian ataupun perusahaan swasta maupun dari petani yang benihnya ditanam dua sampai tiga kali musim tanam dengan tingkat produktivitas yang lebih rendah dari varietas unggul baru. Analisis menggunakan data cross section pada tahun 2012, sehingga tidak dapat menangkap fenomena antar waktu. Sumber data dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan melalui metode survei dan wawancara dengan bantuan kuesioner meliputi tingkat produksi jagung, hargaharga input produksi, harga produksi jagung di tingkat petani, jumlah penggunaan tenaga kerja, data sosial ekonomi rumahtangga petani, penggunaan input usahatani dan sumber pendapatan rumahtangga. Data sekunder terkait dengan kondisi wilayah geografis, suhu udara atau iklim, jenis penggunaan lahan serta penduduk dan mata pencahariannya. Data sekunder diperoleh dari berbagai terbitan dari instansi terkait, seperti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Gorontalo, Badan Pusat Statistik (BPS) baik tingkat nasional, provinsi maupun kabupaten, Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Gorontalo, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), Badan Pusat Informasi Jagung (BPIJ), dan instansi lain yang terkait dengan kebutuhan penelitian. Penelitian ini terbatas pada analisis usahatani, analisis anggaran parsial, fungsi produksi stochastic frontier dengan model produksi frontier CobbDouglas. Selanjutnya pendekatan Gini Ratio untuk melihat distribusi pendapatan rumahtangga petani.
2 TINJAUAN PUSTAKA Program Peningkatan Produksi Jagung Jagung diusahakan pada lingkungan yang beragam yaitu dari lahan kering, sawah tadah hujan hingga sawah beririgasi. Areal pertanaman jagung telah mengalami pergeseran pada tahun 1980-an dominan (78 persen) ditanam dilahan kering dan sisanya sebesar 11 persen ditanam di lahan sawah irigasi dan 10 persen ditanam disawah tadah hujan. Namun, saat ini diperkirakan areal pertanaman jagung di lahan sawah irigasi dan tadah hujan meningkat berturut-turut sebesar 10 sampai 15 persen dan 20 sampai 30 persen terutama di daerah produksi jagung komersial (Badan Litbang Pertanian 2005). Menurut Djulin et al. (2005) bahwa hingga kini jagung masih dominan ditanam di lahan kering pada musim hujan, walaupun di sisi lain juga terjadi perluasan jagung di lahan sawah pada musim kemarau. Masih dominannya pertanaman jagung di lahan kering pada musim hujan menyebabkan timbulnya permasalahan yang terkait mutu hasil dan fluktuasi harga yang relatif besar. Kondisi ini juga merupakan sebagai salah satu penyebab lambatnya adopsi teknologi . Hasil penelitian Djulin et al. (2005) menyebutkan bahwa usahatani jagung varietas unggul baru (hibrida) di lahan sawah dan lahan kering memberikan hasil sebesar 6.14 ton per hektar dan 4.62
8
ton per hektar, dengan keuntungan yang diraih masing-masing sebesar 2.9 juta rupiah dan 2.1 juta rupiah per hektar. Pengembangan produksi jagung dapat dilakukan melalui peningkatan produktivitas maupun perluasan areal tanam. Beberapa tantangan dalam pengembangan jagung antara lain; (1) kebutuhan jagung yang terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk yaitu untuk pangan dan bahan baku industri makanan, serta untuk pemenuhan kebutuhan pakan ternak dimana hasil produk peternakan untuk penyediaan protein hewani; (2) produksi jagung yang belum merata sepanjang tahun, dan saat ini masih dominan ditanam dilahan kering (tadah hujan); (3) jagung masih dianggap sebagai tanaman kedua setelah padi (secondary crop); (4) untuk komoditas jagung masih belum terdapat jaminan harga jual seperti halnya komoditas padi yang telah memiliki referensi harga pembelian pemerintah; dan (5) penerapan teknologi yang belum sepenuhnya sesuai anjuran, sementara introduksi teknologi spesifik lokasi cukup intensif disebarkan ke tingkat petani baik pemerintah maupun swasta (Departemen Pertanian 2010). Sementara itu, peningkatan produksi memiliki peluang yang besar melalui; (1) peningkatan produktivitas jagung, dimana produktivitas saat ini masih dibawah produktivitas potensial dengan semakin meningkatnya varietas unggul baru (hibrida); (2) terdapatnya peran swasta yang aktif dalam pengembangan industri benih, teknologi budidaya dan pemasaran hasil; (3) harga jagung yang semakin meningkat; (4) dukungan pemerintah daerah dalam pengembangan jagung; dan (5) masih memungkinnya perluasan areal pertanaman jagung pada lahan-lahan yang belum diusahakan dan yang belum dimanfaatkan. Menurut Rusastra dan Kasryno (2005) bahwa terdapat beberapa kebijakan strategis yang perlu dilakukan dalam pengembangan usahatani jagung terutama pada agroekosistem lahan kering yaitu; (1) introduksi varietas komposit yang berdaya hasil tinggi, berumur genjah, tipe tanaman pendek dan berbatang kokoh; (2) penerapan teknologi usahatani konservasi sistem budidaya lorong (alley cropping); (3) pemanfaatan pupuk kandang untuk meningkatkan bahan organik tanah; (4) penanaman tepat waktu pada awal musim hujan; (5) introduksi teknologi tanpa olah tanah dan hemat tenaga kerja; dan (6) intensifikasi program penyuluhan untuk memperbaiki kemampuan manajemen petani. Peningkatan produksi dapat ditempuh melalui;(1) peningkatan produktivitas terutama melalui penyebaran benih varietas unggul baru (hibrida) dan komposit unggul; (2) perluasan areal tanam yang diarahkan keluar Jawa yang memiliki potensi cukup luas melalui pemanfaatan lahan sawah selama musim kemarau yang tidak ditanami padi serta mengoptimalkan dan menambah luas lahan kering; (3) pengamanan produksi atas gangguan organisme pengganggu tanaman (OPT) jagung, dampak fenomena iklim dan menekan kehilangan hasil saat penanganan panen dan pasca panen yang kurang baik; (4) penguatan kelembagaan agribisnis ditingkat petani, kelembagaan usaha dan pemerintah sesuai perannya masingmasing; dan (5) pembiayaan dalam pengembangan produksi jagung, melalui pola Penguatan Modal Usaha Kelompok (PMUK), pendampingan teknologi, fasilitasi kredit pertanian dan program pengembangan jagung melalui kemitraan usaha (Purwanto 2007). Provinsi Gorontalo merupakan salah satu provinsi penghasil jagung utama di luar pulau Jawa dan Sumatera. Untuk meningkatkan produksi jagung
9
pemerintah telah mencanangkan program pengembangan agropolitan berbasis jagung, sebagai salah satu dari 3 (tiga) program unggulan Provinsi Gorontalo. Keberhasilan ini didukung oleh berbagai program yang telah dijalankan diantaranya pengembangan kawasan jagung Sulawesi atau Celebes Corn Belt (CCB) dan program saat ini adalah peningkatan produksi jagung 2 juta ton. Program CCB dicanangkan oleh Wakil Presiden pada tanggal 6 Agustus 2006, merupakan kegiatan yang diturunkan dan dipertajam dari program nasional yaitu Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) yang dicanangkan oleh Presiden RI pada tanggal 11 Juni 2005. Sedangkan program peningkatan produksi jagung 2 juta ton merupakan kebijakan terbaru dari pemerintah provinsi Gorontalo di Tahun 2008 dalam upaya menjadikan jagung sebagai salah satu komoditas unggulan Provinsi Gorontalo selain beras. Percepatan peningkatan produksi jagung tersebut dapat tercapai dengan penggunaan varietas unggul. Program tersebut menekankan pada usaha intensifikasi (peningkatan intensitas pertanaman, IP) maupun ekstensifikasi. Program lainnya yang ikut mendukung program nasional dalam rangka meningkatkan produksi pertanian khususnya jagung dengan melalui Badan Litbang Pertanian, adalah program Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU), Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP), Program Rintisan Pemasyarakatan Inovasi Pertanian (PRIMATANI), Farmer Empowerment Trought Agricultural Technology and Information (FEATI), dan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT). Program-program tersebut lebih menekankan pada penerapan dan pengembangan teknologi budidaya di tingkat petani dan optimalisasi pembinaan melalui pendampingan dan pengawalan. Terkait dengan penggunaan benih unggul untuk mendukung peningkatan produksi jagung, pemerintah telah memberikan subsidi benih kepada petani jagung. Selain subsidi benih, pemerintah juga memberikan bantuan langsung benih unggul dan bantuan benih dari cadangan benih nasional. Subsidi benih dilakukan sejak tahun 1986 yang bertujuan untuk mendorong peningkatan produksi dan penggunaan benih bermutu, meningkatkan pengamanan produksi pangan, membantu petani dalam meningkatkan kesejahteraan. Selain bantuan benih unggul dari pemerintah, program peningkatan produksi lainnya juga dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Pertanian yang telah menghasilkan berbagai inovasi teknologi yang mampu meningkatkan produktivitas jagung, diantaranya varietas unggul yang sebagian telah dikembangkan oleh petani. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, juga telah menghasilkan dan mengembangkan pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) yang ternyata mampu meningkatkan produktivitas jagung dan efisiensi input produksi. Selain program tersebut, pada tahun 2005 melalui Badan Litbang Pertanian, juga telah melakukan suatu terobosan baru yaitu Program PRIMATANI. Sebagaimana tujuan utamanya adalah mempercepat waktu, meningkatkan kadar dan memperluas pravalensi adopsi teknologi inovatif yang dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian maupun sumber teknologi lainnya, serta untuk memperoleh umpan balik mengenai karakteristik teknologi tepat guna spesifik lokasi dan spesifik pengguna, yang merupakan kebutuhan esensial dalam rangka mewujudkan penelitian dan pengembangan teknologi pertanian berorientasi kebutuhan pengguna.
10
Keberadaan teknologi tersebut juga akan dapat mendorong terwujudnya pengembangan komoditas unggulan yang spesifik lokasi yang pada akhirnya dapat mendorong terciptanya produk unggulan di bidang pertanian yang berwawasan agribisnis kerakyatan (sistem perusahaan pertanian pedesaan). Kondisi saat ini (existing condition), maka dalam upaya pengembangan PTT secara nasional, Kementerian Pertanian meluncurkan program Sekolah Lapang (SL) PTT. Panduan SL-PTT jagung ini dimaksudkan sebagai; (1) acuan dalam pelaksanaan SL-PTT jagung dalam upaya peningkatan produksi nasional; (2) pedoman dalam koordinasi dan keterpaduan pelaksanaan program peningkatan produksi jagung baik di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota; (3) acuan dalam penerapan komponen teknologi PTT jagung oleh petani sehingga dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam mengelola usahataninya sebagai upaya peningkatan produksi; dan (4) pedoman dalam peningkatan produktivitas, produksi, pendapatan, dan kesejahteraan petani jagung. Rusastra et al. (2011) bahwa SL-PTT salah satu program andalan Kementerian Pertanian dalam mendukung peningkatan produksi jagung yang dimulai sejak tahun 2008. SL-PTT jagung pada tahun 2011 mencakup luasan areal pertanaman 206 730 ha, ditujukan untuk peningkatan produktivitas. Cakupan areal secara spasial dan keterlibatan kelompok tani dalam pelaksanaan SL-PTT jagung varietas hibrida seluas 206 730 ha melibatkan 13 780 kelompok tani di 25 provinsi pada 237 kabupaten/kota. Berbagai kebijakan diatas pada intinya adalah agar keuntungan dan pendapatan usahatani jagung dapat lebih meningkat. Upaya peningkatan produksi jagung senantiasa diikuti upaya peningkatan efisiensi. Proses produksi usahatani dikatakan efisien apabila faktor-faktor produksi yang digunakan dalam usahatani tersebut dapat dialokasikan. Penyebaran Varietas Jagung di Indonesia Varietas unggul merupakan salah satu komponen teknologi produksi jagung yang mempunyai peranan penting dalam peningkatan hasil per satuan luas. Varietas unggul terdiri dari varietas unggul hibrida dan unggul komposit, telah banyak varietas unggul yang dilepas baik jenis komposit maupun hibrida. Sampai dengan 2003, Badan Litbang Pertanian telah melepas 28 varietas unggul jagung komposit dan 11 varietas hibrida. Dukungan teknologi untuk peningkatan produksi jagung diarahkan untuk pengembangan jagung hibrida dan jagung komposit. Dari areal panen jagung dewasa ini berkisar 3.5 juta hektar, 24 persen petani menggunakan varietas unggul hibrida, 56 persen varietas komposit dan 20 persen varietas lokal (Suryana 2006). Penerapan inovasi teknologi di tingkat petani cukup beragam, bergantung pada orientasi produksi (subsisten, semikomersial, komersial), kondisi kesuburan tanah, resiko yang dihadapi, dan kemampuan petani membeli atau mengakses sarana produksi. Penggunaan varietas pada tahun 2002 adalah 28 persen hibrida, 47 persen komposit unggul, dan 25 persen komposit lokal. Karena pertimbangan harga dan resiko cukup banyak petani yang menanam benih hibrida turunan (F2) (Badan Litbang Pertanian 2005).
11
Varietas lokal Varietas lokal adalah varietas yang di produksi di daerah setempat dan dikembangkan secara turun temurun. Hingga saat ini masih banyak petani yang menanam varietas lokal yang benihnya belum pernah diperbaharui. Nama sebagian varietas lokal yang ditanam bahkan tidak lagi dikenal. Areal pertanaman varietas lokal lebih dari 200 ribu ha (Tabel 1). Penyebaran varietas lokal yang spesifik, seperti varietas Manado Kuning, hanya di Sulawesi Utara, Kretek dan Genjah Kertas di beberapa daerah di Jawa. Tabel 1 Penyebaran varietas jagung lokal yang dominan di Indonesia pada MT 2005 dan 2006 Varietas Lokal tanpa nama Lain-lain Kretek Genjah Kertas Manado Kuning Jumlah
Luas tanam Ha persentase 135 028 70.35 46 320
21.29
7 009 5 982 5 192 217 531
3.22 2.75 2.39 100
Daerah penyebaran terluas Jatim, NTT, Jateng, Sultra, Gorontalo Lampung, Jabar, Gorontalo, Sulut, Bengkulu Jatim, Jabar Jatim, DIY, Jateng Sulut
Jumlah provinsi 23 10 2 3 1
Sumber: Bachtiar et al. (2007)
Salah satu varietas lokal yang berasal dari Provinsi Gorontalo adalah jagung motor. Jagung tersebut mempunyai sifat antara lain dapat disimpan lebih lama, disamping itu berumur genjah kurang lebih 80 hari, mempunyai butiran padat, serta toleran terhadap kekeringan. Varietas komposit Varietas komposit adalah varietas yang benihnya diambil dari pertanaman sebelumnya, atau dapat dipakai terus-menerus dari setiap pertanamannya dan belum tercampur atau diserbuki oleh varietas lain. Jagung komposit yang dilepas semuanya berasal dari Badan Litbang Pertanian, dengan potensi hasil 7.0 sampai 8.0 ton per hektar. Varietas jagung komposit Lamuru yang dilepas pada tahun 2001 dengan potensi hasil 7.6 ton per hektar mulai dikenal di Kawasan Timur Indonesia yang beriklim kering seperti Gorontalo dan Nusa Tenggara Barat, karena relatif toleran kekeringan, genjah, dan bijinya berwarna kuning kemerahan. Benih jagung komposit seperti Arjuna, Lamuru dan Sukmaraga telah menyebar ke sentra-sentra produksi jagung. Varietas Arjuna menyebar ke 22 provinsi, terluas di Jawa Timur, Lampung, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara. Varietas yang baru dilepas seperti Srikandi Kuning sudah dikembangkan di Jawa Timur sebagai tanaman sela pada areal pertanaman kelapa sawit. Jagung komposit yang paling disenangi petani adalah Arjuna dan Bisma yang telah meluas penyebarannya di Jawa Timur, Lampung, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, dan Kalimantan Barat. Pada MT 2005 dan 2006 luas pertanaman jagung komposit 163 359 hektar. Tujuh varietas yang paling dominan adalah Arjuna, Bisma, Kalingga, Lamuru, Harapan, Kresna, dan Sukmaraga (Tabel 2).
12
Tabel 2 Penyebaran varietas jagung komposit di Indonesia pada MT 2005 dan 2006 Varietas Arjuna Bisma Kalingga Lamuru Harapan Kresna Sukmaraga Gumarang Palakka Lagaligo Srikandi Jumlah
Luas tanam ha persentase 62 756 38.42 57 514 35.21 15 443 9.45 11 067 6.77 6 070 3.72 3 751 2.30 1 641 1.00 107 0.07 45 0.03 44 0.03 32 0.02 163 359 100
Daerah penyebaran terluas Jatim, Lampung, Sulteng, Sulsel, dan Sumut Jatim, Sulteng, Sulut, Sumut, dan Lampung Sulut, Sulteng, NTT, Jateng, dan Riau Gorontalo, Sulsel, Sulteng, Lampung, dan NTT NTT, Jatim, Jabar, Sumbar, dan Sumsel Sulteng, NTT, Sumbar, dan NTB Lampung, Sultra, Gorontalo, Kalsel, dan Jabar NTT dan Kalbar Lampung Sulsel Sumbar dan Maluku
Jumlah provinsi 22 21 11 13 5 4 7 2 1 1 2
Sumber : Bachtiar et al. (2007)
Dampak dari inovasi varietas unggul Bisma, Lamuru, dan Semar-10 selama tahun 2000 sampai 2003 adalah terjadinya peningkatan nilai tambah akibat peningkatan produksi senilai sekitar Rp73.30 milyar (Suryana 2006). Nilai tambah sebagai dampak inovasi varietas akan terus meningkat pada tahun-tahun mendatang seiring dengan semakin meluasnya areal tanam ketiga varietas tersebut. Keuntungan pemakaian varietas komposit adalah benihnya tidak mahal dan dapat diproduksi oleh petani, kendati hasil produksinya lebih rendah dibandingkan varietas hibrida. Varietas hibrida Varietas hibrida merupakan generasi pertama hasil persilangan antara tetua berupa galur inhibrida. Tabel 3 Penyebaran varietas jagung di Indonesia dalam periode 2002 sampai 2005 dan 2006 Musim tanam 2002 2002 dan 2003 2003 2003 dan 2004 2004 2004 dan 2005 2005 2005 dan 2006 Jumlah Proporsi (persentase)
Hibrida 298 318 425 430 377 674 272 441 459 897 635 458 449 072 505 479 3 423 769 427 971 39.85
Luas tanam (ha) Komposit unggul Komposit unggul Baru lama 157 780 5 833 303 629 11 580 217 161 14 979 152 689 14 269 204 520 32 268 279 953 20 500 162 079 21 070 220 240 39 271 1 698 051 159 770 212 256 19 971 19.77 1.86
Lokal 180 219 542 695 430 083 359 178 263 805 790 603 221 751 520 471 3 308 805 413 601 38.52
Sumber: Bachtiar et al. (2007)
Varietas hibrida yang telah dilepas, baik oleh Badan Litbang Pertanian maupun swasta, memiliki potensi hasil 9.0 sampai 14.0 ton per hektar. Varietas hibrida yang banyak ditanam adalah produk perusahaan multinasional antara lain
13
Bisi, Pioneer dan NK. Jagung hibrida varietas Semar 10 dan Bima 1 benihnya diproduksi oleh swasta nasional. Penyebaran varietas jagung di Indonesia dalam periode 2002 sampai 2006 dapat dilihat pada Tabel 3. Peningkatan hasil di areal yang tingkat produktivitasnya masih rendah (< 5.0 ton per hektar), diprogramkan adanya pergeseran penggunaan jagung ke jenis hibrida dan komposit dengan benih berkualitas. Adapun rencana pergeseran penggunaan varietas jagung di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Rencana pergeseran penggunaan varietas jagung di Indonesia Tahun
Hibrida (persentase)
2005 2010 2015 2020 2025
30 50 60 70 75
Unggul benih berkualitas 5 25 25 25 20
Komposit (persentase) Unggul benih Petani 40 10 5 0 0
Lokal benih petani 25 15 10 5 5
Sumber : Suryana et al. (2007)
Upaya peningkatan produksi jagung melalui penggunaan benih bermutu merupakan langkah yang strategis. Pada tahun 2010 penggunaan benih hibrida diharapkan sudah mencapai 50 persen, komposit unggul 25 persen, sisanya komposit turunan dan lokal. Pada umumnya jagung varietas hibrida yang terbaik akan memberikan hasil lebih tinggi dari pada jagung komposit. Namun terdapat beberapa kelemahan dari penggunaan varietas jagung hibrida, sebagai berikut yaitu: (1) untuk mendapatkan hasil yang maksimum, varietas hibrida memerlukan pemupukan yang tinggi dan lingkungan tumbuh yang lebih baik; (2) setiap musim pertanaman, petani harus membeli benih baru (F1) yang harganya relatif mahal; dan (3) produksi benihnya sukar dan mahal. Penelitian-Penelitian Tentang Efisiensi Penelitian tentang efisiensi sudah banyak dilakukan di negara berkembang maupun negara sedang berkembang. Hal ini penting terutama di negara sedang berkembang dimana berpotensi untuk meningkatkan produksi pertanian melalui peningkatan dan pengembangan area serta adopsi teknologi baru yang terbatas. Efisiensi teknis merupakan sebuah ukuran relatif dari kemampuan manajerial petani pada tingkat teknologi yang ada. Efisiensi teknis terjadi karena adanya perbaikan keterampilan teknis dan kemampuan manajerial dari petani. Berkaitan studi dengan menggunakan pendekatan Stochastic Production Frontier telah dilakukan oleh beberapa peneliti antara lain: Aye dan Mungatana (2010); Seyoum et al. (1996); Binam et al. (2004); Ojo (2007); Isaac (2011); Kurniawan (2008); Kibaara (2005); Bravo-Ureta dan Pinheiro (1997); Awudu dan Eberlin (2001); Muslimin (2012); Wakili (2012); Oyewo dan Fabiyi (2008); Mignouna et al. (2012); Essilfie et al. (2011); Kalirajan (1981); Kalirajan (1984); Kalirajan dan Flinn (1983); Kalirajan dan Shand (1989); Msuya et al. (2008); Ajao et al. (2005); dan Kusnadi et al. (2011).
14
Aye dan Mungatana (2010) membandingkan efisiensi teknis pada petani jagung hibrida dan lokal di Benue Nigeria selama tahun 2008 dan 2009, dengan jumlah petani responden 240, menggunakan model Stochastic Input Distance Function (SIDF), Stochastic Frontier Production Function (SFPF) dan Non Parametrik Data Envelopment Approach (DEA). Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata efisiensi teknis jagung hibrida dengan model SIDF, SFPF, DEA VRS dan DEA CRS masing-masing adalah 88.5 persen, 88.7 persen, 87.4 persen dan 82.2 persen, sedangkan untuk jagung lokal dengan model yang sama masingmasing adalah 84.4 persen, 79.4 persen, 78.2 persen dan 72.1 persen. Pendidikan dan penyuluhan nyata berpengaruh positif dalam model (SFPF, SIDF, DEA VRS, DEA CRS). Perbandingan efisiensi dan inefisiensi teknis antara dua kelompok petani jagung skala kecil yang mengikuti proyek Sasakawa Global 2000 (SG 2000) dengan petani jagung yang tidak mengikuti proyek tersebut dibeberapa distrik di Negara Etiopia bagian Timur yang diteliti oleh Seyoum et al. (1996). Penelitian tersebut menggunakan variabel bebas dalam model stochastic frontier adalah jumlah hari kerja petani, jumlah hari kerja ternak (bagi petani SG 2000) dan jumlah hari kerja traktor (bagi petani di luar SG 2000) serta variabel boneka kabupaten. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil batas dari petani SG 2000 antara satu distrik dengan distrik yang lainnya tidak berbeda secara nyata dibandingkan dengan petani diluar SG 2000. Sedangkan dari sisi efek inefisiensi teknis, ditemukan bahwa umur petani mempengaruhi efisiensi teknis petani baik pada petani SG 2000 maupun petani diluarnya. Petani yang lebih muda secara teknis lebih efisien di bandingkan petani yang lebih tua. Sementara itu efek lama pendidikan berpengaruh positif terhadap efisiensi teknis pada petani SG 2000 dan tidak berpengaruh sama sekali pada petani diluarnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi usahatani dilakukan oleh Binam et al. (2004) dengan melakukan penelitian survei intensif lima desa sub distrik Makak, lima desa sub distrik Nkometou dan lima desa di subdistrik Biamo yang mewakili kawasan peladang berpindah di Kamerun. Total sebanyak 500 rumahtangga usahatani dengan sistem yang dipilih untuk analisis adalah monocrop jagung, monocrop intercrop kacang tanah dan jagung/kacang tanah. Hasil pendugaan Maximum Likelihood dari fungsi batas stochastik memperlihatkan bahwa variabel independen yang berpengaruh nyata dari ketiga sistem adalah lahan, tenaga kerja, dan modal. Sedangkan karakteristik sosial ekonomi yang menjelaskan inefisiensi teknis yang berpengaruh adalah indek kesuburan tanah, anggota kelompok tani, dan akses terhadap kredit. Penelitian efisiensi dilakukan Ojo (2007) tentang peningkatan efisiensi dalam produksi pangan untuk ketahanan pangan di Nigeria. Penelitian ini mengkaji faktor-faktor yang menentukan produktivitas dan efisiensi teknis dari produksi yam di negara bagian Ondo, Nigeria. Data primer dikumpulkan dari 160 petani yam di Akure Selatan, Owo, Akoko Timur laut dan Ondo Barat menggunakan teknik sampling multi tahap. Analisis data menggunakan statistika deskriptif, gross margin dan Stochastic Frontier Production Function (SFPF). Hasil penelitian menunjukkan bahwa efisiensi teknis (TE) petani yam bervariasi nyata seperti yang ditunjukkan oleh nilai gamma, = 0.97 mengindikasikan bahwa 97 persen ragam dalam output produksi yam adalah berhubungan dengan perbedaan pada inefisiensi teknis petani. Nilai TE berkisar antara 0.35 dan 0.99
15
dengan rata-rata 0.91. Distribusi frekuensi TE menunjukkan bahwa sekitar 96 persen petani yam memiliki TE > 0.70. Ini berimplikasi bahwa petani yam relatif efisien secara teknis. Produksi yam sangat menguntungkan di wilayah studi meskipun semua variabel teknis dan sosial ekonomi dalam produksi yam adalah dalam tahap alokasi sumber daya yang efisien, level pendidikan petani masih belum efisien. Produktivitas keseluruhan dari produksi yam, return to scale (RTS) adalah zone irasional dalam fungsi produksi, jadi memberikan ruang untuk ekspansi lebih lanjut pada output dan produktivitas. Efisiensi teknis (TE) petani bervariasi nyata dengan ragam 97 persen pada outputnya yang disebabkan perbedaan pada TE petani. Meskipun tipe usahatani cenderung meningkatkan TE, sumber lahan, tipe tenaga kerja dan jarak lahan yam menurunkan TE. Kurniawan (2008) melakukan penelitian tentang analisis efisiensi ekonomi usahatani jagung pada lahan kering di Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan dengan menggunakan model fungsi produksi stochastic frontier. Rata-rata efisiensi teknis, efisiensi ekonomis dan efisiensi alokatif petani di daerah penelitian masing-masing adalah 0.887 (TE); 0.512 (EE); dan 0.581 (EA). Jumlah petani memiliki nilai efisiensi teknis lebih besar dari 0.8 adalah 89.48 persen, sehingga sebagian besar usahatani jagung yang diusahakan telah efisien secara teknis, maka untuk meningkatkan output perlu dilakukan introduksi teknologi baru seperti benih unggul yang lebih sesuai dengan kondisi agroklimat dan mekanisasi pertanian. Faktor umur, pendidikan, pengalaman dan keanggotaan dalam kelompok tani tidak berpengaruh secara nyata terhadap inefisiensi teknis. Kibaara (2005) meneliti tentang efisiensi teknis pada produksi jagung di Kenya dengan kisaran 49 persen, selanjutnya dikatakan bahwa dummy kredit dan pembelian benih hibrida bertanda negatif, mengindikasikan bahwa kredit mengurangi inefisiensi teknis (meningkatkan efisiensi teknis). Hubungan ini nyata pada tingkat kepercayaan satu persen, penggunaan traktor dalam pengolahan lahan mengurangi inefisiensi teknis. Dibandingkan penggunaan tenaga kerja manual, penggunaan traktor memungkinkan dalam pengolahan tanah untuk meningkatkan hasil. Selain itu, penggunaan traktor memastikan persiapan lahan tepat waktu, penanaman dan penyiangan. Penemuan ini sejalan dengan penelitian Bravo-Ureta dan Pinheiro (1997) untuk petani kecil di Paraguay Timur, mereka menemukan bukti bahwa kredit mempunyai dampak positif dalam efisiensi teknis. Awudu dan Eberlin (2001) menggunakan translog stochastic frontier model untuk pendugaan efisiensi teknis jagung dan kacang-kacangan di Nigaragua. Rata-rata efisiensi teknis adalah 69.8 persen dan 74.2 persen untuk jagung dan kacang-kacangan. Pendidikan, akses kredit dan pengalaman usahatani berkontribusi positif terhadap efisiensi produksi, ketika petani partisipasi dalam pekerjaan off-farm cendrung untuk mengurangi efisiensi produksi. Keluarga besar kelihatan lebih efisien daripada keluarga kecil, walaupun ukuran keluarga besar mengurangi pendapatan usahatani yang digunakan untuk pengeluaran makanan dan pakaian, namun dapat menjamin tenaga kerja keluarga dalam kesiapan bekerja yang tepat waktu. Usahatani padi sawah varietas unggul baru (VUB) mempunyai rata-rata efisiensi teknis sebesar 0.84 dan padi sawah varietas unggul lama (VUL) rata-rata efisiensi teknis sebesar 0.68. Hasil pendugaan fungsi produktivitas frontier bahwa
16
benih, ZA, SP-36, insektisida cair, dan tenaga kerja luar keluarga berpengaruh nyata terhadap produktivitas padi sawah VUB, sedangkan pupuk benih, urea, ZA, phonska, tenaga kerja dalam keluarga berpengaruh nyata terhadap produktivitas padi sawah VUL (Muslimin 2012). Selanjutnya sumber-sumber inefisiensi teknis menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan formal, umur dan jumlah anggota keluarga berpengaruh nyata maka akan menurunkan inefisiensi teknis usahatani padi sawah. Efisiensi teknis produksi jagung juga diteliti oleh Isaac (2011) menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi dari usahatani jagung adalah luas lahan usahatani jagung dan jumlah benih nyata pada taraf 10 persen dan 1 persen. Pendugaan parameter gamma () adalah 0.12 yang mengindikasikan bahwa 12 persen dari total variasi output jagung disebabkan oleh inefisiensi teknis. Rata-rata efisiensi teknis adalah 0.961 sedangkan return to scale (RTS) adalah 0.59. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa kesempatan untuk meningkatkan produksi jagung sebasar 0.39 persen dengan teknologi yang ada sekarang. Studi ini mengkonfirmasi bahwa lebih banyak lahan yang terbuka untuk produksi jagung di daerah tersebut dengan tingkat input saat digunakan. Penelitian efisiensi teknis usahatani jagung juga diteliti oleh Wakili (2012) pada petani jagung di daerah Gambi, Adamawa State, Nigeria. Penelitian ini menggunakan 120 contoh petani jagung. Hasil pendugaan menunjukkan bahwa sigma square ( 2 ) dan gamma ( ) berpengaruh nyata pada tanaman jagung dan memperlihatkan 84 persen variasi dari output jagung disebabkan oleh perbedaan efisiensi teknis. Hasil ini menunjukkan bahwa petani tidak sepenuhnya efisien secara teknis, dengan demikian memberikan ruang 15.8 persen untuk meningkatkan produksi dengan menggunakan input produksi dan teknologi yang ada. Selanjutnya dikatakan bahwa efek inefisiensi dipengaruhi oleh umur, pendidikan, dan pengalaman usahatani. Oyewo dan Fabiyi (2008) melakukan penelitian efisiensi teknis usahatani jagung di Surulere Local Government Area Oyo State Nigeria, menemukan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produksi jagung adalah luas lahan dan jumlah benih yang digunakan, sedangkan faktor yang menurunkan inefisiensi adalah lama pendidikan dan pengalaman berusahatani. Rata-rata tingkat efisiensi teknis yang dicapai sebesar 60 persen dan nilai gamma ( ) sebesar 0.56. Mignouna et al. (2012) melakukan penelitian dengan menggunakan Imazapyr Resistant Maize (IRM) yang merupakan teknologi pengendalian gulma. Penelitian dilakukan di daerah rawan Striga sp di Kenya Barat. Penelitian menggunakan teknik multistage random sampling untuk memilih sebanyak 600 rumahtangga dari Nyanza dan Provinsi Barat. Analisis produksi stochastic frontier adalah metode analisis yang digunakan dan hasil penelitian menunjukkan bahwa efisiensi teknis rata-rata di sektor produksi jagung adalah 70 persen menunjukkan beberapa inefisiensi produksi jagung. Efek inefisiensi teknis dipengaruhi oleh ukuran rumahtangga bersama dengan ukuran pertanian. Meningkatkan efisiensi teknis akan meningkatkan laba bersih perusahaan produksi jagung, sehingga meningkatkan mata pencaharian produsen jagung. Essilfie et al. (2011) memperkirakan tingkat efisiensi teknis pada produksi jagung skala kecil di kota Mfantseman Ghana dengan menggunakan pendekatan Stochastic Frontier. Hasil penelitian menunjukkan bahwa efisiensi teknis rata-
17
rata produksi jagung skala kecil adalah 58 persen atau berkisar 17 sampai 99 persen. Selain itu pendidikan formal, usia petani, ukuran rumahtangga dan pendapatan off farm berdampak pada efisiensi teknis. Pendugaan marginal physical products menunjukan bahwa, ceteris paribus, setiap tambahan unit benih jagung meningkatkan output 31 kg (0.31 bags). Pupuk juga meningkatkan output 12 kg (0.12 bags), tenaga kerja meningkatkan output 29 kg (0.29 bags). Pendugaan return to scale adalah 1.49 menunjukkan peningkatan atas skala produksi jagung di daerah penelitian. Kontak dengan pelayanan penyuluhan adalah penting dalam menerangkan inefisiensi teknis. Beberapa studi yang dilakukan oleh Kalirajan (1981), Kalirajan (1984), Kalirajan dan Flinn (1983), Kalirajan dan Shand (1989) menunjukkan bahwa penyuluhan ternyata berhubungan negatif dengan inefisiensi teknis. Selanjutnya menemukan bahwa akses terhadap kredit berhubungan negatif dengan inefisiensi teknis pada petani padi. Msuya et al. (2008) melakukan penelitian yang bertujuan untuk menduga tingkat efisiensi teknis dan inefisiensi dari 233 petani jagung di Tanzania, menggunakan fungsi produksi stochastic frontier. Efisiensi teknis bervariasi antara 1.1 persen sampai 91 persen dengan rata-rata TE sekitar 60.6 persen, nilai gamma sebesar 0.96. Faktor yang mempunyai pengaruh negatif terhadap efisiensi teknis yaitu pendidikan rendah, tidak mengakses kredit, keterbatasan kapital, fragmentasi lahan, ketidaktersediaan input, dan tingginya harga input. Petani yang mempunyai pendapatan diluar usahatani ditemukan lebih efisien, dan petani yang menggunakan pestisida kimia kurang efisien dalam mengusahakan usahataninya. Pengukuran efisiensi dengan membandingkan usahatani yang telah menggunakan mekanisasi dengan yang belum, dilakukan oleh Ajao et al. (2005). Studi yang dilakukan bertujuan untuk membandingkan efisiensi teknis usahatani jagung yang menggunakan mesin dengan usahatani yang tidak menggunakan mesin di Oyo State Nigeria, dengan menggunakan pendekatan frontier stokastik. Hasil analisis menunjukkan bahwa rata-rata efisiensi teknis petani sebesar 0.72 untuk usahatani mekanis dan 0.62 usahatani non mekanis. Berdasarkan observasi, pendapatan yang diperoleh akan lebih baik jika sumber daya digunakan secara efisien dengan menggunakan teknologi yang ada. Sehingga dalam jangka pendek ada potensi sebesar 28 persen untuk menaikkan produksi jagung dengan mengadopsi teknologi yang ada (yang sudah menggunakan teknologi mesin), sementara ada potensi sebesar 38 persen untuk menaikkan produksi jagung pada usahatani yang tidak menggunakan mesin. Dari keseluruhan variabel yang dimasukkan dalam model efisiensi, hanya variabel pupuk yang berpengaruh positif baik pada usahatani yang menggunakan mesin maupun pada usahatani yang tidak menggunakan mesin. Ini berimplikasi bahwa penggunaan pupuk dalam usahatani jagung tidak bisa diabaikan. Hasil penemuan lainnya adalah variabel tenaga kerja dan biaya lain berpengaruh secara nyata terhadap usahatani jagung yang menggunakan mesin. Penelitian tentang efisiensi teknis, alokatif dan ekonomis terhadap 60 petani yang memiliki skala usaha kecil di wilayah Dajabon Republik Dominica telah dilakukan oleh Bravo-Ureta dan Pinheiro (1997). Teknik Maximum Likelihood digunakan untuk menduga fungsi produksi frontier Cobb Douglas, dan kemudian dimanfaatkan untuk menurunkan fungsi dualnya. Kedua frontier tersebut
18
kemudian digunakan sebagai dasar pengukuran tingkat efisiensi. Berdasarkan hasil analisis didapat rata-rata tingkat efisiensi teknis, alokatif dan ekonomis masing-masing sebesar 70 persen, 44 persen, dan 31 persen. Implikasi dari hasil ini adalah penurunan biaya atau peningkatan input masih dapat dicapai dengan memaksimumkan penggunaan teknologi yang ada. Selanjutnya analisis yang kedua dilakukan untuk mengetahui sumbersumber inefisiensi teknis, alokatif dan ekonomis. Hasil analisis menunjukkan bahwa petani yang usianya lebih muda dan tingkat pendidikannya yang lebih tinggi dapat meningkatkan efisiensi teknis. Sedangkan petani yang memiliki kontrak dengan perusahaan agribisnis, usahatani yang berukuran sedang dan reformasi status agraria berpengaruh dalam meningkatkan efisiensi alokatif dan ekonomis. Berdasarkan analisis direkomendasikan beberapa kebijakan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan efisiensi yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan petani; (1) pemerintah memfasilitasi hubungan kerjasama antara petani dengan perusahaan agribisnis; (2) pemerintah membantu perkembangan skala usahatani supaya petani yang skala usahanya kecil menjadi petani yang skala usahanya menengah; dan (3) pemerintah harus membantu petani dalam mengakses informasi tentang usahatani yang baik. Penelitian ini belum memasukkan faktor-faktor lain yang diperkirakan juga mempengaruhi efisiensi diantaranya risiko, ketidaksempurnaan pasar, terbatasnya dana tunai, dan status sosial. Kusnadi et al. (2011) menganalisis tingkat efisiensi teknis produksi padi dibeberapa sentra produksi padi nasional, hasil penelitian menunjukkan bahwa usahatani padi di lima provinsi di Indonesia telah efisien dengan rata-rata efisiensi 91.86 persen, faktor yang berpengaruh nyata terhadap inefisiensi yaitu umur, pendidikan petani, dummy musim, dummy kelompok tani, dummy status kepemilikan lahan, kepemilikan persil, dan dummy lokasi Jawa dan luar Jawa. Peningkatan atau kenaikan dari koefisien penduga faktor-faktor inefisiensi teknis dapat mengurangi inefisiensi teknis usahatani. Dengan kata lain, perbaikan atau peningkatan dari koefisien penduga faktor-faktor inefisiensi teknis diharapkan dapat meningkatkan efisiensi teknis usahatani khususnya usahatani jagung. Penelitian Tentang Pengaruh Perubahan Teknologi Pertanian Beberapa penelitian yang dilakukan untuk mengukur pengaruh perubahan teknologi pertanian antara lain Gotsch (1972); Raju (1976); Grant dan Posada (1978); Suparmoko (1980); Mintoro (1984); Rasahan (1988); Lin (1999); Singh (1999); Zuhaida (2000); Djuwari (2002); Bahua (2008); Antara (2010); Kusrini et al (2009); Mantau (2011); dan Muslimin (2012). Kemajuan teknologi dapat bersumber dari tiga hal yaitu (1) peningkatan produktivitas manusianya seperti peningkatan keterampilan sebagai dampak pendidikan dan pelatihan, (2) mesin yang lebih produktif dan efisien, (3) perbaikan organisasi produksi dan teknik budidaya. Jika dilihat dari adopsi teknologi baru seperti benih unggul dan pupuk buatan, ditemukan bahwa ternyata petani kecil lebih ketinggalan dalam adopsi teknologi baru pada awalnya, namun kemudian dapat menyusul sampai keuntungannya meningkat karena
19
bertambahnya produktivitas (Grant dan Posada 1978). Raju di India (1976) bahwa penggunaan teknologi benih unggul dan pupuk buatan telah meningkatkan pendapatan petani dan juga berdampak pada pengurangan ketimpangan distribusi pendapatan. Pengaruh perubahan teknologi juga diteliti oleh Singh (1999) yang meneliti mengenai perubahan teknologi terhadap distribusi pendapatan fungsional pada skala usahatani yang berbeda di Manipur, India. Singh menggunakan alat analisis yang didasarkan pada Teori Hicksian. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa penggunaan varietas unggul memberikan efek terhadap peningkatan tenaga kerja dan pemupukan serta penghematan pestisida sedangkan lahan netral dan faktor share tetap. Bila dilihat dari semua skala usahatani, technical bias pada pemupukan dan tenaga kerja nampak jelas hanya pada skala usahatani sempit, hal ini mengindikasikan bahwa keuntungan dari penggunaan teknologi baru lebih banyak berdampak pada petani skala sempit. Kajian mengenai perubahan teknologi pertanian juga dilakukan oleh Lin (1999) dengan menggunakan model keseimbangan umum (general equibrium model). Dalam menganalisis perubahan teknologi dan distribusi pendapatan rumahtangga petani pada teknologi padi modern (padi hibrida) dengan menggunakan data survei 500 rumahtangga di pedesaan Provinsi Hunan Cina Selatan yang dilakukan selama Desember 1988 dan Januari 1989. Hasil kajian menunjukkan bahwa jika teknologi baru tersedia, rumahtangga pengadopsi akan merealokasikan sumber dayanya untuk meningkatkan produksi padi dan mereduksi produksi barang lainnya. Sedangkan, rumahtangga non pengadopsi melakukan hal sebaliknya. Jadi pendapatan dari padi menjadi sangat terkonsentrasi pada rumahtangga non pengadopsi. Jika hanya satu sumber pendapatan yang dikaji, penggunaan teknologi padi baru meningkatkan kesenjangan distribusi pendapatan di daerah pedesaan. Tetapi, jika total pendapatan rumahtangga dikaji kesenjangan distribusional akan hilang. Penelitian lain mengenai perubahan teknologi dilakukan oleh Kusrini et al. (2009) bahwa penggunaan varietas unggul dapat memperbaiki distribusi pendapatan usahatani jagung dan rumahtangga petani. Ketimpangan pendapatan total rumahtangga memiliki hubungan yang searah dengan ketimpangan pendapatan dari luar pertanian. Dengan kata lain masuknya aktivitas luar pertanian sebagai sumber pendapatan memberikan bias negatif atau memperburuk distribusi pendapatan total rumahtangga. Hal ini antara lain karena akses rumahtangga pada sektor luar pertanian relatif terbatas. Perubahan teknologi juga diteliti oleh Muslimin (2012) yang mengatakan bahwa dengan penerapan padi VUB maupun yang menerapkan padi VUL tidak berbeda secara statistik. Nilai R/C petani pemilik yang menerapkan padi VUB lebih besar dari petani padi VUL. Demikian juga penerimaan, biaya dan keuntungan yang diperoleh petani penyakap baik yang menerapkan padi VUB maupun yang menerapkan padi VUL tidak berbeda secara statistik. Nilai R/C petani penyakap yang menerapkan padi VUB lebih kecil dari petani padi VUL. Pengukuran efisiensi dengan membandingkan usahatani yang telah menggunakan mekanisasi dengan yang belum, dilakukan oleh Ajao et al. (2005). Studi yang dilakukan bertujuan untuk membandingkan efisiensi teknis usahatani jagung yang memakai mesin dengan usahatani yang tidak memakai mesin di Oyo State Nigeria, dengan menggunakan pendekatan stochastic frontier. Hasil
20
analisis menunjukkan bahwa rata-rata efisiensi teknis petani sebesar 0.72 untuk usahatani mekanis dan 0.62 untuk usahatani non mekanis. Selanjutnya berdasarkan observasi, pendapatan yang diperoleh akan lebih baik jika sumber daya, digunakan secara efisien dengan menggunakan teknologi yang ada. Sehingga dalam jangka pendek ada potensi sebesar 28 persen untuk menaikkan produksi jagung dengan mengadopsi teknologi yang ada (yang sudah menggunakan teknologi mesin), sementara ada potensi sebesar 38 persen untuk menaikkan produksi jagung pada usahatani yang tidak menggunakan mesin. Dari keseluruhan variabel yang dimasukkan dalam model efisiensi, hanya variabel pupuk yang berpengaruh positif baik pada usahatani yang menggunakan mesin maupun pada usahatani yang tidak menggunakan mesin. Ini berimplikasi bahwa penggunaan pupuk dalam usahatani jagung tidak bisa diabaikan. Hasil penemuan lainnya adalah variabel tenaga kerja dan biaya lain berpengaruh secara nyata terhadap usahatani jagung yang menggunakan mesin. Penggunaan alat mekanis seperti traktor, alat panen mekanis dan alat-alat lainnya akan meningkatkan produktivitas tenaga kerja dari satu sisi (yaitu tenaga kerja pengguna mesin tersebut), sedangkan dari sisi lainnya memberi dampak negatif yaitu mengurangi lapangan kerja karena lebih sedikitnya tenaga kerja manusia yang diperlukan disebabkan oleh penggunaan alat mekanis tersebut. Oleh karena itu menurut Gotsch (1976) bahwa introduksi teknologi baru yang berdampak terhadap pemerataan pendapatan, tidak akan mempunyai arti apabila sifat dari teknologi itu tidak dihubungkan dengan sifat sosial dan lembaga politik dari negara yang bersangkutan. Biasanya perubahan teknologi akan menimbulkan konflik antara golongan yang mendapat manfaat dan golongan yang tidak memperoleh pelayanan dari teknologi tersebut. Perubahan teknologi dapat berdampak pada petani kaya menjadi semakin kaya namun petani miskin menjadi semakin miskin karena kehilangan pekerjaan, sebagai substitusi mekanisasi. Dengan demikian, inovasi teknologi baru harus dapat dipahami dan diadopsi secara merata baik oleh petani besar juga petani kecil sehingga semuanya mendapat manfaat, dengan kata lain teknologi tepat guna. Selanjutnya Zuhaida (2000) meneliti tentang dampak pembangunan irigasi terhadap peningkatan usahatani padi dan pendapatan total rumahtangga di lahan irigasi dan non irigasi. Hasil penelitian menunjukkan irigasi dapat memperburuk distribusi pendapatan usahatani dikarenakan ketidakmerataan penguasaan luas lahan, tetapi irigasi tidak memperburuk distribusi pendapatan rumahtangga. Distribusi pendapatan usahatani pada lahan irigasi lebih timpang daripada non irigasi sehingga irigasi menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan usahatani. Dengan kata lain kesenjangan pendapatan usahatani padi atau petani bergolongan pendapatan usahatani rendah dan tinggi menjadi lebih besar dibandingkan pendapatan usahatani padi di non irigasi. Lebih lanjut dilaporkan bahwa faktor luas lahan garapan menentukan distribusi pendapatan dimana semakin luas lahan petani maka peningkatan pendapatan malah akan menyebabkan kesenjangan distribusi pendapatan usahatani padi di lahan irigasi. Kemudian bila dilihat dari distribusi pendapatan usahatani padi dilahan irigasi sangat timpang sedangkan distribusi pendapatan total rumahtangga timpang sedang dikarenakan petani di lahan irigasi yang berlahan sempit menggunakan waktunya untuk bekerja di luar usahatani (off farm dan non farm). Distribusi pendapatan usahatani di lahan non irigasi timpang sedang begitupula distribusi
21
pendapatan total sehingga pekerjaan luar usahatani tidak berpengaruh terhadap distribusi pendapatan rumahtangga tani. Penelitian Suparmoko (1980) tentang dampak rehabilitasi irigasi terhadap distribusi pendapatan di Proyek Irigasi Sampean Jawa Timur. Kesimpulannya adalah bahwa rehabilitasi irigasi memperbesar (memperburuk) distribusi pendapatan antara petani berlahan sempit dan petani berlahan luas. Sejalan dengan hal tersebut Siregar dan Nasution (1984) menyebutkan bahwa teknologi dapat memperburuk distribusi pendapatan karena petani yang berlahan luas, lebih mudah menjangkau sumber pembiayaan dan informasi sehingga lebih banyak memperoleh keuntungan dari penerapan teknologi baru. Mintoro (1984) menyebutkan bahwa tingkat penguasaan lahan petani yang berbeda (tanah luas, sedang, sempit, tidak bertanah) akan memberikan perolehan pendapatan yang berbeda-beda, sehingga faktor utama yang juga dapat menyebabkan ketimpangan pendapatan adalah penguasaan lahan. Namun ketimpangan dalam penguasaan lahan usahatani tidak selalu diikuti ketimpangan distribusi pendapatan. Rasahan (1988) bahwa ketimpangan maupun pemerataan distribusi pendapatan terefleksikan pada ketimpangan maupun pemerataan distribusi penguasaan lahan ataupun penggarapan lahan pertanian. Djuwari (2002) meneliti distribusi pendapatan fungsional petani di Kabupaten Kediri dengan kategori tanah berat, medium dan ringan, menggunakan dua pendekatan; (1) pendekatan faktor shares untuk mengetahui peranan irigasi sumur pompa terhadap perubahan sumbangan faktor-faktor produksi lainnya pada output; (2) pendekatan earner shares untuk mengetahui peranan irigasi sumur pompa terhadap perubahan sumbangan pendapatan yang diterima oleh para penerima pendapatan : pemilik saprodi, buruh tani dan petani. Kedua pendekatan dianalisis dengan menggunakan analisis tabel. Hasil penelitian menunjukkan penggunaan irigasi sumur pompa dapat meningkatkan pendapatan baik pada petani, buruh tani maupun pemilik faktor produksi di tiga kategori tanah, sedangkan sumbangan terbesar kenaikan produktivitas tersebut berasal dari faktor produksi tanah, kedua dari tenaga kerja dan sarana produksi. Sejalan dengan penelitian Mantau (2011) mengenai distribusi pendapatan petani jagung yang dilakukan di lima kecamatan, Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara. Hasil penelitian menunjukkan secara umum distribusi pendapatan antar lima kecamatan (Poigar, Bolaang, Bolaang Timur, Lolayan dan Lolak) dikategorikan merata ditandai dengan nilai gini ratio sebesar 0.109. Selain itu usahatani jagung pada lima kecamatan tersebut dikategorikan layak diusahakan yang ditandai dengan nilai R/C ratio yang lebih besar dari satu. Penelitian Bahua (2008) yang dilakukan di Kecamatan Limboto Kabupaten Gorontalo, menyatakan bahwa dari aspek nilai pendapatan usahatani jagung, ternyata pengembangan usahatani di lahan kering khususnya jagung hibrida berdampak positif, diketahui dari ratio nilai pendapatan antara usahatani jagung hibrida dengan nilai pendapatan usahatani jagung komposit yaitu 2.60 kali, dengan demikian usahatani jagung hibrida mampu meningkatkan pendapatan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan varietas lainnya. Hasil penelitian Antara (2010) di Kecamatan Palolo Kabupaten Sigi Biromaru, bahwa usahatani jagung dengan menggunakan benih hibrida memberikan keuntungan lebih tinggi dibandingkan dengan non hibrida, dimana RC ratio jagung hibrida 2.22 sedangkan non hibrida 1.95.
22
Kerangka Pemikiran Efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomis Konsep efisiensi merupakan suatu ukuran relatif dari input yang digunakan untuk menghasilkan produk tertentu. Farrel (1957) memperkenalkan bahwa efisiensi terdiri dari efisiensi teknis, efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomi. Efisiensi teknis (TE) merupakan kemampuan suatu perusahaan untuk menghasilkan output maksimal dari penggunaan sejumlah input tertentu. Efisiensi teknis berhubungan dengan kemampuan suatu perusahaan untuk berproduksi pada kurva frontier isoquant. Efisiensi alokatif (AE) mengukur kombinasi input pada tingkat biaya minimal dalam menghasilkan output tertentu. Efisiensi alokatif akan tercapai bila ratio produk marginal untuk masing-masing input sama dengan ratio harga dari input tersebut. Setiap kombinasi input pada isokuan seperti pada titik Q atau Q1 merupakan kombinasi yang secara teknis efisien. Sedangkan kombinasi input yang berada diatas isokuan seperti pada titik B merupakan kombinasi yang tidak efisien. Inefisiensi teknis dalam perusahaan dapat digambarkan oleh jarak QB. Hal ini disebabkan pengurangan kombinasi input dari B ke Q dapat dilakukan tanpa harus mengurangi outputnya. Ratio QB/OP menggambarkan persentase input-input yang dapat dikurangi untuk mencapai produksi yang efisien secara teknis. Sehingga efisiensi teknis suatu perusahaan dapat dinyatakan sebagai OQ/OB, dimana nilai ini sama dengan 1- QB/OB (Gambar 1). Untuk mengetahui efisiensi alokatif diperlukan informasi harga-harga input. Jika ratio harga input diketahui maka isocost digambarkan oleh garis lurus AA1. Kombinasi input dikatakan efisien secara alokatif jika isocost bersinggungan dengan isokuan yaitu pada titik Q1. Kombinasi input pada titik Q walaupun secara teknis efisien, tetapi secara alokatif belum efisien karena untuk menghasilkan output pada isokuan tersebut dapat dilakukan dengan mengurangi biaya produksi sampai sebesar isocost yaitu pada kombinasi input pada titik R. QR merupakan biaya yang dapat dikurangi untuk mencapai efisiensi alokatif, sehingga QR dapat menggambarkan inefisiensi alokatif. Berdasarkan hal tersebut maka efisiensi alokatif merupakan ratio antara OR/OB. Kombinasi input dikatakan efisien secara ekonomi, jika secara teknis efisien dan secara alokatif juga efisien. Sehingga efisiensi ekonomi dapat didefinisikan sebagai perkalian antara efisiensi teknis dan efisiensi alokatif (Coelli et al. 1998). EE = TE x AE EE = OQ/OB x OR/OQ EE = OR/OB Efisiensi ekonomi mempunyai nilai berkisar antara 0 dan 1. Angka yang bernilai 1 menunjukkan usahatani secara penuh mencapai efisiensi ekonomi, sedangkan EE < 1 menunjukkan secara ekonomi inefisien.
23
bx2/y
B •
S S
TE=OQ/OB AE=OR/OQ EE=TE*AE=OR/OB
A •
Q
• R •
Q1
0
x1/y
Sumber: Farrel 1957; Coelli et al. 1998; Bravo-Ureta 1997;Taylor et al. 1986 Gambar 1 Isokuan, isocost, efisiensi teknis (TE), efisiensi alokatif (AE) dan efisiensi ekonomis (EE) dengan pendekatan input.
Pendekatan stochastik frontier Coelli et al. (1998) mengatakan bahwa fungsi produksi frontier adalah fungsi produksi yang menggambarkan output maksimum yang dapat dicapai dari setiap tingkat penggunaan input. Jika fungsi produksi frontier diketahui maka dapat diestimasi inefisiensi teknis melalui perbandingan posisi aktual relatif terhadap frontiernya. Aigner et al. (1977) serta Meeusen dan Broeek (1977) dalam Coelli et al. (1998) mengemukakan fungsi stochastic frontier merupakan perluasan dari model asli deterministik untuk mengukur efek-efek yang tidak terduga (stochastic frontier) di dalam frontier produksi. Dalam fungsi produksi ini ditambahkan random error, vi ke dalam variabel acak non negatif (non-negative random variable), u i seperti dinyatakan dalam persamaan berikut ini: Y X i (vi u i ) ; dimana i = 1,2,3………………….……..……...(2.1)
Random error, vi berguna untuk menghitung ukuran kesalahan dan faktor acak lainnya seperti cuaca dan lain-lain, bersama-sama dengan efek kombinasi dari variabel input yang tidak terdefinisi di fungsi produksi. Variabel vi merupakan variabel acak yang bebas dan secara identik terdistribusi normal (independent-identically distributed atau i.i.d) dengan rataan bernilai nol dan 2 2 ragamnya konstan, v atau N (0, v ) dan independent terhadap µ. Variabel µi diasumsikan i.i.d. secara eksponensial atau acak setengah normal (half-normal variables). Variabel u i berfungsi untuk menangkap efek inefisiensi teknis. Model yang dinyatakan dalam persamaan diatas disebut sebagai fungsi produksi
24
stochastic frontier karena nilai output dibatasi oleh variabel acak (stochastic) yaitu nilai harapan dari xiβ+ vi atau exp (xiβ+ vi ). Random error v bisa bernilai positif dan negatif dan begitu bervariasi sekitar bagian tertentu dari model deterministic frontier, juga output stochastic frontier, exp (xiβ). Komponen deterministic dari model frontier, Y = exp (xiβ), digambarkan dengan asumsi memiliki karakteristik skala pengembalian yang menurun (decreasing return to scale). Jika terdapat petani yang menghasilkan output aktual dibawah produksi deterministik frontier, namun output stochastic frontiernya melampaui dari output deterministiknya, maka hal ini dapat terjadi karena aktivitas produksi petani tersebut dipengaruhi oleh kondisi yang menguntungkan (misalnya curah hujan yang cukup, sinar matahari yang memadai, tidak adanya serangan organisme pengganggu tanaman/OPT) dimana variabel vi bernilai positif. Sementara jika terdapat petani yang menghasilkan output aktual dibawah produksi deterministik frontier, dan output stochastik frontiernya juga berada dibawah output deterministiknya. Hal ini dapat terjadi karena aktivitas produksi petani tersebut dipengaruhi oleh kondisi yang tidak menguntungkan dimana v j bernilai negatif (misalnya: curah hujan terlalu tinggi, kekeringan, atau serangan OPT), yaitu v j bernilai negatif.
Frontier output (yi*), Y=f(xi; β)exp(vi) jika vi >0
y
Fungsi produksi y = f(x;β)
A B yj yi
Frontier output(yj*), Y = f(xj;β)exp(vj), jika vj <0
Output Observasi (yj) Output Observasi (yi)
0
xi
xj
x
Sumber : Coelli et al. (1998) Gambar 2 Fungsi produksi stokastik frontier
Gambar 2 menunjukkan aktivitas produksi dua petani diwakili simbol i dan j dengan output aktual sebesar yi dan yj. Petani i menggunakan input sebesar xi dan memperoleh output sebesar yi. Output batas petani i adalah yi*, melampaui nilai batas dari fungsi produksi yaitu f ( xi , ). Hal ini dapat terjadi karena aktivitas produksinya dipengaruhi oleh kondisi yang menguntungkan yaitu
25
variabel vi bernilai positif. Sementara petani j menggunakan input sebesar x j
dan memperoleh hasil sebesar y j , akan tetapi batas petani j adalah y j yang berada dibawah bagian yang pasti dari fungsi produksi. Kondisi ini bias terjadi karena aktivitas produksinya dipengaruhi oleh kondisi yang tidak memungkinkan yaitu vi bernilai negatif. Hasil batas yang tidak dapat diobservasi ini berada disekitar bagian yang pasti dari fungsi produksi yaitu f ( xi , ). Output stochastic frontier tidak dapat diamati karena nilai random error tidak teramati. Bagian deterministik dari model stochastic frontier terlihat di antara output stochastic frontier. Output yang diamati dapat menjadi lebih besar dari bagian deterministic dari frontier apabila random error yang sesuai lebih besar dari efek inefisiensinya (misalnya yi>exp (xiβ) jika vj>ui) (Coelli et al. 1998). Model stochastic frontier juga memiliki kelemahan. Kritikan utama terhadap model ini adalah secara umum tidak ada sebuah pengakuan terhadap bentuk penyebaran yang pasti dari variabel-variabel ui bentuk distribusi setengah normal dan eksponensial adalah bentuk distribusi yang selama ini dipilih. Akan tetapi menurut Coelli et al. (1998) kedua bentuk distribusi cendrung bernilai nol sehingga kemungkinan besar efek efisiensi yang dicapai juga mendekati nol. Pengaruh penggunaan varietas unggul terhadap pendapatan dan distribusi pendapatan Teknologi yang selalu berubah merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam pembangunan pertanian (Mosher 1968). Dalam pertanian teknologi dapat dibedakan menjadi teknologi bio-kimia dan teknologi mekanik. Salah satu teknologi bio-kimia adalah varietas unggul baru. Menurut Gathak dan Ingersent (1984) bahwa perbaikan teknologi dalam bidang pertanian umumnya akan memiliki dua karakteristik, yaitu pertama bahwa pada tingkat input yang jumlahnya tetap, teknologi baru akan memberikan output yang lebih tinggi dari teknologi lama. Kedua, sejumlah output yang sama dengan teknologi baru dapat diperoleh dengan kombinasi input yang lebih sedikit daripada dengan teknologi lama, sehingga teknologi baru dapat menurunkan biaya produksi. Penerapan teknologi baru biasanya akan memerlukan penggunaan inputinput yang lebih banyak dalam proses produksi. Dengan input-input yang lebih banyak menyebabkan biaya produksi dalam penerapan teknologi baru menjadi lebih besar. Petani yang rasional akan berusaha memaksimumkan pendapatan yang diperoleh sehingga dikatakan bahwa petani hanya mau menggunakan teknologi baru apabila teknologi tersebut secara nyata dapat memberikan tambahan pendapatan usahatani. Diantara komponen teknologi produksi jagung, varietas unggul (baik hibrida maupun komposit) mempunyai peranan penting dalam upaya peningkatan produktivitas jagung. Perannya baik dalam potensi peningkatan hasil persatuan luas, maupun sebagai salah satu komponen pengendali hama penyakit. Karakter tanaman yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan varietas jagung unggul adalah kondisi lingkungan (tanah dan iklim), seperti toleran kekeringan dan tanah masam, pola tanam, pola usahatani, hijauan untuk pakan ternak, serta preferensi petani terhadap karakter lainnya seperti umur, warna biji, atau produk biomas.
26
Non Jagung U
Y12 Y112 U1
P*1 P* Y11
Y111
Jagung
Rumahtangga11 Rumahtangga
Non Jagung
Y122 Y22 U1 U
P*1 P*
Y121
Jagung
Y21 Rumahtangga 2
Sumber : Lin (1999) yang telah dilakukan perubahan Gambar 3 Kurva kemungkinan produksi rumahtangga yang menggunakan dan tidak menggunakan varietas unggul baru
Pengaruh perubahan teknologi baru yang dalam hal ini adalah perubahan varietas unggul baru terhadap produksi, pendapatan dan distribusi pendapatan dapat dijelaskan dengan Gambar 3. Diasumsikan terdapat dua rumahtangga
27
yang memiliki endowment yang berbeda yang dapat digunakan untuk menghasilkan 2 komoditas yaitu jagung dan non jagung. Rumahtangga 1 mempunyai endowment yang dapat digunakan untuk menerapkan varietas unggul baru dalam usahatani jagung. Sementara itu rumahtangga 2, endowment yang dimiliki tidak dapat digunakan untuk menerapkan varietas unggul baru. Sebelum rumahtangga 1 menerapkan teknologi varietas unggul baru, dengan asumsi ratio harga jagung terhadap harga non jagung sebesar P* maka penerimaan dari jagung dan non jagung yang maksimum dicapai pada saat kurva isorevenue (P*) menyinggung kurva kemungkinan produksi. Pada saat itu produksi jagung dan non jagung untuk rumahtangga 1 berturut-turut sebesar Y11 dan Y12 sedangkan untuk rumahtangga 2 sebesar Y21 dan Y22. Setelah rumahtangga 1 menerapkan varietas unggul baru maka berakibat kurva kemungkinan produksinya bergeser ke kanan seperti terlihat pada Gambar 3. Dengan produksi jagung yang meningkat sementara itu permintaan jagung tetap maka akan berakibat harga jagung menurun. Dengan asumsi harga non jagung tetap maka kemiringan ratio harga jagung terhadap non jagung berubah dari P* menjadi P*1. Pada ratio harga tersebut, rumahtangga 1 akan merealokasikan sumber daya dari non jagung berubah menjadi jagung sehingga produksi jagung meningkat dari Y11 menjadi Y111, sementara itu produksi non jagung menurun dari Y12 menjadi Y112. Untuk rumahtangga 2 dengan ratio harga yang berubah dari P* menjadi P*1 juga akan menyebabkan realokasi sumber daya dari jagung ke non jagung (Gambar 3). Akibatnya produksi jagung turun dari Y21 menjadi Y121, sedangkan produksi non jagung meningkat dari Y22 menjadi Y122. Pada saat kurva isorevenue sebesar P* tepat menyinggung dengan kurva indifferent U. Setelah terjadi perubahan ratio harga, isorevenue menyinggung dengan kurva indifferent U1. Dari titik pusat, kurva indifferent U1 lebih jauh daripada kurva indifferent U. Kondisi ini terjadi baik, pada rumahtangga 1 maupun rumahtangga 2. Hal ini menunjukkan bahwa, baik rumahtangga 1 maupun rumahtangga 2, perubahan teknologi dapat meningkatkan kesejahteraan kedua rumahtangga tersebut. Dari uraian ini maka dapat diduga bahwa perubahan teknologi tidak akan berakibat terhadap perubahan distribusi pendapatan total rumahtangga 1 dan rumahtangga 2 secara nyata. Distribusi pendapatan Untuk menganalisis distribusi pendapatan perorangan adalah dengan membuat sebuah kurva yang disebut kurva Lorenz. Kurva tersebut menunjukkan hubungan kuantitatif antara persentase penduduk dan persentase pendapatan yang di terima dalam kurun waktu tertentu. Sumbu horizontal menunjukkan jumlah penerima pendapatan yang digambarkan dalam persentase kumulatif. Sumbu vertikal menunjukkan pangsa (share) pendapatan yang diterima oleh masingmasing persentase jumlah penduduk. Jumlah tersebut juga kumulatif sampai 100 persen, dengan demikian kedua sumbu tersebut sama panjangnya dan akhirnya membentuk bujursangkar.
28
100
100 Garis kemiskinan sempurna
Garis kemiskinan
A B Kurva Lorenz
Kurva Lorenz 0
100 Persentase penduduk
a Distribusi yang relatif tidak merata
0
100 Persentase penduduk
b Distribusi yang relatif merata
Sumber : Siburian (2009) Gambar 4 Derajat kemerataan dan ketidakmerataan menurut kurva Lorenz
Sebuah garis diagonal digambarkan melalui titik origin menuju sudut kanan atas dari bujur sangkar tersebut. Setiap titik pada garis diagonal tersebut menunjukkan bahwa persentase pendapatan yang diterima sama dengan persentase penerima pendapatan tersebut. Dengan kata lain, garis diagonal tersebut menunjukkan distribusi pendapatan dalam keadaan kemerataan sempurna (perfect equality). Oleh karena itu garis tersebut biasa juga disebut garis kemerataan sempurna. Jadi semakin jauh kurva Lorenz dari garis diagonal (garis kemerataan sempurna), semakin tinggi derajat ketidakmerataan yang ditunjukkan. Semakin tinggi derajat ketidakmerataan, kurva Lorenz ini akan semakin melengkung (cembung) dan semakin mendekati sumbu horisontal sebelah bawah (Siburian 2009). Belante dan Jackson (1990) metode gambar biasanya menggunakan kurva Lorenz, dan metode angka menggunakan koefisien gini. Kurva Lorenz hanya dapat mengadakan perbandingan antara kemerataan pendapatan di suatu wilayah dengan wilayah lain tanpa mengetahui berapa besar perbedaan tersebut, untuk itu digunakan Gini Ratio (Gini Coefficient). Siburian (2009) bahwa koefisien gini berdasarkan pada kurva Lorenz, yaitu sebuah kurva frekuensi kumulatif yang membandingkan distribusi dari suatu variabel tertentu (misalnya pendapatan) dengan distribusi uniform (seragam) yang mewakili pemerataan. Untuk membentuk koefisien gini, gambar grafik persentase kumulatif pengeluaran (pendapatan) pada sumbu vertikal. Ini menghasilkan kurva Lorenz seperti ditunjukkan pada Gambar 2. Koefisien Gini didefinisikan sebagai A/(A+B). Jika A = 0 koefisien Gini bernilai 0 yang berarti pemerataan sempurna, sedangkan jika B = 0 koefisien Gini akan bernilai 1 yang berarti ketimpangan sempurna.
29
3 METODOLOGI PENELITIAN Lokasi, Waktu, dan Metode Peneltian Pemilihan lokasi penelitian dilaksanakan di Provinsi Gorontalo, yaitu Kabupaten Gorontalo, Kabupaten Boalemo dan Kabupaten Pohuwato. Penentuan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan: (1) masingmasing kabupaten merupakan daerah sentra produksi jagung, (2) usahatani jagung merupakan mata pencaharian pokok bagi masyarakat. Kecamatan contoh yaitu Kecamatan Limboto dan Kecamatan Pulubala sebagai kecamatan contoh di Kabupaten Gorontalo, Kecamatan Paguyaman dan Kecamatan Wonosari sebagai kecamatan contoh di Kabupaten Boalemo, Kecamatan Patilanggio dan Kecamatan Randangan sebagai kecamatan contoh di Kabupaten Pohuwato. Dari setiap kecamatan dipilih desa yang mewakili petani jagung varietas unggul baru dan petani jagung varietas unggul lama. Waktu pengambilan data tahun 2012. Metode penelitian dilakukan melalui survei. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui hasil wawancara terhadap petani terpilih sebagai responden dengan berpedoman pada daftar pertanyaan (kusioner) yang telah disusun sebelumnya. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan melalui metode survei dan wawancara dengan bantuan kusioner meliputi tingkat produksi jagung, harga-harga input produksi, harga produksi jagung di tingkat petani, jumlah penggunaan tenaga kerja, data sosial ekonomi rumahtangga petani, penggunaan input usahatani dan sumber pendapatan rumahtangga serta data lainnya yang sesuai dengan kebutuhan analisis seperti yang tercantum dalam model yang akan digunakan. Data sekunder adalah data pendukung dari instansi terkait. Data sekunder diperoleh dari berbagai terbitan dari instansi terkait, seperti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Gorontalo, Badan Pusat Statistik (BPS) baik tingkat nasional, provinsi maupun kabupaten, Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Gorontalo, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), Badan Pusat Informasi Jagung (BPIJ), dan instansi lain yang terkait dengan kebutuhan penelitian. Metode Pengambilan Contoh Metode pengambilan contoh dilakukan dengan metode simple random sampling. Selanjutnya dari desa terpilih ditentukan petani responden yang akan dijadikan contoh dengan pengelompokan varietas unggul menjadi dua kelompok yaitu: varietas unggul baru (hibrida) dan varietas unggul lama (komposit dan lokal). Jumlah petani yang dijadikan responden yang diambil sebanyak 355 orang
30
yang terbagi menjadi petani yang menanam varietas unggul baru sebanyak 227 orang dan petani yang menanam varietas unggul lama 128 orang. Penentuan kecamatan dan desa digunakan metode purposive sampling dengan pertimbangan (i) merupakan daerah produksi jagung yang terbesar, (ii) jumlah petani yang paling banyak, dan (iii) areal pertanaman yang paling luas, jika dibandingkan dengan kecamatan/desa di daerah lain yang ada di Provinsi Gorontalo. Tabel 5 Pembagian responden menurut lokasi penelitian dan varietas jagung di Provinsi Gorontalo pada tahun 2012 Kabupaten Gorontalo
Lokasi Kecamatan Pulubala Bongomeme Limboto
Boalemo
Wonosari Paguyaman
Pohuwato
Randangan Patilanggio Jumlah total
Jumlah rumah Jumlah responden Lokasi tangga petani VUB VUL desa jagung 4 Bukit Aren 18 Tridarma 587 13 Puncak 62 Dungalio 15 Liyoto 239 12 Momala 8 6 Tenilo Bolihuangga 378 23 Tilihua 11 6 Dimito Harapan 458 21 Jati Mulya 21 10 Balate Jaya Bongo 369 24 Rejonegoro 13 Ayula 19 321 Imbodu 20 8 Dulomo Suka 463 41 Makmur 2.815 227 128
Jumlah contoh (orang) 97 35 40 48 47 39 49 355
Sumber : Potensi desa dan Biro Pusat Statistik Kabupaten Gorontalo, Boalemo, dan Pohuwato, tahun 2012 (diolah)
Jumlah contoh dalam penelitian ini adalah petani jagung yang melakukan intensifikasi usahatani jagung untuk satu varietas terluas yang digarap selama 2 (dua) musim tanam. Jumlah contoh 355 orang dari 2.815 petani jagung pada tujuh kecamatan, yaitu Kecamatan Pulubala, Limboto, dan Bongomeme (Kabupaten Gorontalo), Kecamatan Randangan, dan Patilanggio (Kabupaten Pohuwato), dan Kecamatan Wonosari dan Paguyaman (Kabupaten Boalemo), dengan memilih dua sampai tiga desa untuk setiap kecamatan. Pengambilan contoh petani dilakukan secara simple random sampling, dengan jumlah contoh berjumlah 355 orang. Sedangkan kriteria pemilihan petani contoh adalah (i) petani penggarap (baik sebagai pemilik, bagi hasil, ataupun gadai), dan (ii) melakukan penanaman jagung.
31
Model dan Analisis Data Analisis usahatani dan kelayakan perubahan teknologi Analisis pendapatan usahatani selalu disertai dengan pengukuran efisiensi pendapatan usahatani. Untuk mengetahui efisiensi suatu usahatani terhadap penggunaan satu unit input dapat digambarkan oleh nilai ratio penerimaan dan biaya yang merupakan perbandingan antara penerimaan kotor yang diterima usahatani dari setiap rupiah yang dikeluarkan dalam proses produksi atau yang biasa dikenal dengan analisis imbangan penerimaan dan biaya atau analisis R/C ratio. Perhitungan R/C dapat dirumuskan: R/C = ratio penerimaan atas biaya total = total penerimaan/biaya total = YPy ....................................................................................................(3.1) BT BD keterangan : Y Py BT BD
= total produksi = harga produk = biaya tunai = biaya diperhitungkan
Bila nilai R/C ratio > 1 menunjukkan bahwa pendapatan yang dihasilkan dari usahatani yang diusahakan menguntungkan. Perubahan penggunaan teknologi dapat dievaluasi dengan menggunakan analisis anggaran parsial sederhana, selanjutnya perubahan penggunaan varietas dievaluasi kelayakannya dengan menggunakan analisis Losses dan Gains seperti yang dikemukakan oleh Swastika (2004). Spesifikasi model fungsi produksi stochastic frontier Untuk menduga hubungan variabel terikat dan menganalisis pengaruh varietas unggul dan faktor lainnya terhadap produksi digunakan model fungsi Cobb-Douglas. Analisis produksi stochastic frontier digunakan untuk mengukur efisiensi teknis usahatani jagung. Sedangkan fungsi biaya dual digunakan untuk mengukur efisiensi alokatif dan ekonomis. Fungsi produksi untuk usahatani jagung diasumsikan mempunyai bentuk Cobb-Douglas yang ditransformasikan ke dalam bentuk linier logaritma natural. Bentuk fungsi produksi usahatani jagung adalah:
lnYi 0 1 ln X1 2 ln X 2 3 ln X 3 4 ln X 4 5 ln X 5 6 ln X 6 7 ln X 7 8 D ( v i u i ) ……….……..............................(3.2) keterangan : Yi X1 X2
= produksi jagung adalah banyaknya produksi yang dihasilkan dari lahan garapan petani, diukur dengan pipilan kering panen (kg) = luas lahan garapan adalah luas lahan yang ditanami dengan tanaman jagung oleh petani contoh (ha) = jumlah benih jagung adalah banyaknya benih jagung yang digunakan petani selama musim tanam yang diteliti (kg)
32
X3
= jumlah pupuk urea adalah banyaknya pupuk urea yang digunakan oleh petani selama proses produksi (kg) X4 = jumlah pupuk phonska adalah banyaknya pupuk phonska yang digunakan dalam proses produksi jagung (kg) X5 = jumlah pupuk pelengkap cair (ppc) adalah banyaknya pupuk pelengkap cair yang digunakan dalam proses produksi jagung (liter) = jumlah pestisida adalah banyaknya pestisida yang digunakan X6 dalam proses produksi jagung (kg) X7 = jumlah tenaga kerja adalah jumlah curahan tenaga kerja keluarga dan tenaga kerja luar keluarga petani contoh yang bekerja dalam proses produksi jagung untuk berbagai jenis kegiatan, mulai dari persiapan lahan, penanaman, pemupukan, pembuatan saluran drainase, pengendalian hama, pengendalian penyakit, penyiangan gulma, dan panen. Pengukuran tenaga kerja menggunakan hari kerja setara pria (HKSP) D = Varietas (dummy) D=1 adalah VUB, D=0 adalah VUL vi- ui = error term (efek inefisiensi di dalam model) vit = variabel acak yang berkaitan dengan faktor-faktor eksternal (iklim, hama/penyakit dan kesalahan pemodelan) sebarannya simetris dan menyebar normal (Vij -N(0, v2 )). uit = variabel acak non negatif dan diasumsikan mempengaruhi tingkat inefisiensi teknis dan berkaitan dengan factor-faktor internal dan sebarannya bersifat setengah normal (uit- N(0, v2 ). i = usahatani contoh, i = 1, 2, ..., n αi = parameter yang akan dipendugaan Pendugaan fungsi produksi stochastik frontier diatas diharapkan memberikan nilai parameter dugaan positif. Jika diperoleh parameter dugaan yang bertanda negatif dan merupakan bilangan pecahan, maka fungsi produksi dugaan tidak dapat digunakan untuk menurunkan fungsi biaya dual, sehingga efisiensi alokatif tidak dapat diukur. Nilai parameter koefisien dugaan positif berarti dengan meningkatkan input akan meningkatkan produksi jagung. Langkah selanjutnya adalah menghitung efisiensi teknis (TE) yang diukur dengan:
TEi
yi exp(xi ui ) exp(ui )...............................................(3.3) exp( xi ) exp(xi )
Variabel yang menunjukkan struktur usahatani dan karakteristik manajerial adalah lama pendidikan, keanggotaan dalam kelompok tani, akses terhadap kredit, dan penyuluhan. Secara spesifik efek inefisiensi teknis usahatani jagung varietas unggul lama dan jagung varietas unggul baru pada penelitian ini adalah:
Ui 0 1Z1 2 Z 2 3 Z3 4 Z 4 ......................................................(3.4)
33
keterangan : U Z1
= nilai inefisiensi teknis = lama pendidikan formal kepala keluarga petani adalah jumlah waktu yang digunakan petani untuk memperoleh pendidikan di sekolah (tahun), Z2 = dummy anggota kelompok tani adalah variabel boneka penduga inefisiensi teknis yang membedakan petani yang menjadi anggota kelompk tani dari petani yang tidak menjadi anggota kelompok tani (jika petani menjadi anggota diberi nilai = 1; tidak menjadi anggota kelompok tani= 0), Z3 = dummy akses petani jagung pada kredit adalah variabel boneka penduga inefisiensi teknis yang membedakan petani yang meminjam uang dari bank atau lembaga keuangan resmi lainnya untuk membiayai usahatani jagung yang sedang diusahakan dan petani yang tidak mempunyai akses kredit (petani yang mendapat kredit diberi nilai = 1; lainnya diberi nilai 0). Z4 = dummy kontak dengan penyuluh adalah variabel boneka penduga inefisiensi teknis yang membedakan petani yang mengadakan kontak dengan PPL untuk berdiskusi tentang masalah usahatani jagung dan petani yang tidak melakukannya (jika petani melakukan kontak dengan PPL diberi nilai = 1; lainnya diberi nilai 0). = intersep δ0 δ = parameter yang akan diduga Tanda parameter yang diharapkan adalah: δ1, δ2, δ3, δ4 < 0 Persamaan (3.2) dan (3.4) dianalisis secara simultan menggunakan program Frontier 4.1. (Coelli 1996). Pengujian parameter stochastic frontier dan efek inefisiensi dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama merupakan pendugaan parameter αi dengan menggunakan metode OLS, sedangkan tahap dua dilakukan pengujian menggunakan Maximum Likelihood Estimator (MLE) untuk pendugaan seluruh parameter αi (kecuali α0) dan σi serta varians ui dan vi. Parameter dari nilai varians dapat menduga nilai γ sehingga nilai 0≤γ≤1. Nilai γ merupakan kontribusi efisiensi teknis di dalam efek residual total. Analisis efisiensi alokatif dan ekonomis Efisiensi alokatif dan ekonomis dianalisis menggunakan pendekatan dari sisi input. Untuk mengukur efisiensi alokatif dan ekonomis, terlebih dahulu diturunkan fungsi biaya dual dari fungsi produksi Cobb-Douglas yang homogen (Debertin 1986). Asumsi yang digunakam adalah bentuk fungsi produksi CobbDouglas dengan menggunakan dua input seperti berikut: Y 0 x1 1 x2 2 .............................................................................................(3.5)
Fungsi biayanya adalah:
C p1 x1 p2 x2 .....................................................................................(3.6)
34
Fungsi biaya dual dapat diturunkan melalui minimisasi biaya dengan kendala output Y = Y0. Untuk memperoleh fungsi biaya dual harus diperoleh nilai expansion path (perluasan skala usaha) melalui fungsi Lagrang sebagai berikut: L p1 x1 p2 x2 (Y 0 x1 1 x2 2 )............................................................(3.7)
Untuk memperoleh nilai X1, X2 dapat diturunkan sebagai berikut: First Order Condition (FOC) : L p1 ( 0 1 x1 11 x2 2 ) 0.................................................................(3.8) x1 L p2 ( 0 2 x1 1 x2 21 ) 0.................................................................(3.9) x2 L Y 0 x1 1 x2 2 0..............................................................................(3.10)
Dari persamaan (3.8) dan (3.9), diperoleh : p1 p2 11 2 0 1 x1 x2 0 2 x1 1 x2 21 p1 0 2 x1 1 x2 2 1 p2 0 1 x1 11 x2 2
2 x1 p2 1 x2 p1 x1 1 2
p2 x2 p1
x2 2 1
p2 x1 p2
Substitusikan nilai x2 kedalam persamaan (3.5) sehingga diperoleh persamaan sebagai berikut:
Y x 2 1 1 0 1
2
p1 x1 ....................................................................(3.11) p2
35
2
Y 0 2 1
x1 1 2
2
p1 2 p2 2 x1 1 2 ...............................................................(3.12)
Y 2
0 2 1
2
p1 2 p2 2
...............................................................(3.13)
Dari persamaan (3.13) dapat diperoleh fungsi permintaan input untuk x1* dan x2*: Y x1 2 2 2 2 0 2 1 p1 p2
Y x2 1 1 1 1 0 1 2 p1 p2
1 1 2
...........................................................(3.14)
1 1 2
...........................................................(3.15)
Persamaan (3.14) dan (3.15) kemudian disubstitusikan ke dalam persamaan (3.6) sehingga diperoleh fungsi biaya dual menjadi:
Y C 2 2 2 2 0 2 1 p1 p2
1 1 2
Y p1 1 1 1 1 0 1 2 p1 p2
1 1 2
p2 .....(3.16)
Jondrow et al .(1982) mendefinisikan efisiensi ekonomi sebagai rasio antara biaya total minimum yang diobservasi (C*) dengan biaya total produksi actual (C), sehingga persamaan efisiensi ekonomi menjadi : C .....................................................................................................(3.17) C Dengan demikian persamaan efisiensi alokatif adalah: EE
EA
EE ; dengan0 AE 1.....................................................................(3.18) TE
Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan rumahtangga petani Faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan rumahtangga petani menggunakan regresi antara berbagai variabel terikat dengan berbagai variabel bebas dengan model analisis sebagai berikut:
lnYi 0 1 ln X1 2 ln X 2 3 ln X 3 4 ln X 4 5 ln X 5 6 D u...(3.19)
36
keterangan: Yi
= pendapatan rumahtangga atau pendapatan usahatani jagung, usahatani selain jagung atau pendapatan luar usahatani (Rp), = umur kepala keluarga adalah usia petani pada saat penelitian dilakukan (tahun), = lama pendidikan adalah jumlah waktu yang digunakan petani untuk memperoleh pendidikan di sekolah (tahun), = luas penggunaan lahan adalah luas lahan di miliki oleh petani contoh (ha), = angkatan kerja dalam keluarga adalah jumlah orang yang berumur produktif yang tinggal dalam satu rumah (orang), = modal kerja adalah modal yang terdiri dari biaya saprodi (Rp), = dummy varietas adalah variabel boneka yang membedakan petani yang menggunakan varietas unggul baru dan petani yang yang menggunakan varietas unggul lama (menggunakan varietas unggul baru =1, menggunakan varietas unggul lama=0).
X1 X2 X3 X4 X5 D
Distribusi pendapatan rumahtangga petani Untuk mengetahui distribusi pendapatan rumah petani jagung dengan menggunakan Gini Ratio. Tinggi rendahnya tingkat kemerataan merujuk pada Todaro dan Smith (2003) dengan persamaan : n
GC 1 ( X i X i1 )(Yi Yi1 )...........................................................(3.20) i 1
keterangan : GC n Xi Xi-1 Yi Yi-1
= = = = =
gini ratio banyaknya contoh proporsi kumulatif rumahtangga sampai kelas ke-i proporsi kumulatif rumahtangga sebelumnya proporsi kumulatif pendapatan dari jumlah rumahtangga contoh sampai kelas ke-i = proporsi kumulatif dari jumlah pendapatan sebelumnya
Tinggi rendahnya tingkat ketimpangan distribusi pendapatan menurut Todaro dan Smith (2003) ditentukan dengan indikator, sebagai berikut : (a) ketimpangan rendah bila IG = 0.20-0.35; (b) ketimpangan sedang bila IG = 0.360.49; (c) ketimpangan tinggi bila IG= 0.50-0.70.
37
4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN DAN GAMBARAN UMUM RUMAHTANGGA PETANI JAGUNG DI PROVINSI GORONTALO Keadaan Umum Daerah Penelitian Kondisi geografis Wilayah Provinsi Gorontalo berada diantara 0o19’ dan 1o15’ Lintang Utara dan 121o23’ dan 123o43’ Bujur Timur. Posisi provinsi ini berada di bagian Utara Pulau Sulawesi, yaitu berbatasan langsung dengan Provinsi Sulawesi Utara di sebelah Timur dan Provinsi Sulawesi Tengah di sebelah Barat. Sedangkan di sebelah Utara berhadapan langsung dengan Laut Sulawesi dan di sebelah Selatan dengan Teluk Tomini. Secara keseluruhan Provinsi Gorontalo tercatat memiliki wilayah seluas 12 215.44 km2. Jika dibandingkan terhadap wilayah Indonesia, luas wilayah provinsi ini hanya sebesar 0.64 persen. Provinsi Gorontalo terdiri dari enam kabupaten dan satu kota yaitu: Kabupaten Boalemo, Kabupaten Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara, Kabupaten Pohuwato, Kabupaten Bone Bolango dan Kota Gorontalo. Luas masing-masing kabupaten dan kota adalah Kabupaten Boalemo seluas 2 248.24 km2 (18.4 persen), Kabupaten Gorontalo seluas 3 426.98 km2 (28.05 persen), Kabupaten Pohuwato seluas 4 491.03 km2 (36.77 persen), Kabupaten Bone Bolango seluas 1 984.40 km2 (16.25 persen), Kabupaten Gorontalo Utara seluas 1 230.07 km2 (10.07 persen), Kota Gorontalo seluas 64.79 km2 (0.53 persen). Iklim Suhu udara di suatu tempat antara lain ditentukan oleh tinggi rendahnya tempat tersebut dari permukaan laut dan jaraknya dari pantai. Kondisi wilayah Provinsi Gorontalo yang letaknya di dekat garis khatulistiwa menjadikan daerah ini mempunyai suhu udara yang cukup panas. Tabel 6 Data iklim di Provinsi Gorontalo pada tahun 2010 Keterangan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Rata-rata Sumber : BPS 2011
Suhu udara (0C) Maks 32.0 32.4 33.9 33.5 33.4 32.3 32.0 31.8 32.5 33.1 33.0 32.1 32.7
Min 23.5 23.0 23.6 24.0 24.9 24.1 23.6 23.4 23.7 23.6 23.9 23.8 23.8
Kelembaban (persentase) 81 72 89 82 84 85 86 84 85 85 83 86 83.5
Curah hujan (mm3) 100 45 38 153 378 263 172 277 302 250 84 250 192.7
Hari hujan 14.0 10.0 6.0 15.0 19.0 17.0 22.0 20.0 20.0 20.0 18.0 23.0 17
38
Suhu minimum terjadi di bulan Februari yaitu 23.0oC, sedangkan suhu maksimum terjadi di bulan Maret dengan suhu 33.9oC. Jadi pada tahun 2010, suhu udara rata-rata Provinsi Gorontalo berkisar antara 23.75oC sampai 32.66oC. Provinsi Gorontalo mempunyai kelembaban udara yang relatif tinggi, ratarata kelembaban pada tahun 2010 mencapai 83.5 persen. Sedangkan untuk curah hujan tertinggi terdapat di bulan Mei dengan 378 mm3, tetapi jumlah hari hujan terbanyak ada pada bulan Desember sebanyak 23 hari (Tabel 6). Rata-rata kecepatan angin pada tahun 2010 yang tercatat di stasiun meteorologi umumnya merata untuk setiap bulannya, yaitu berkisar antara 1.00 sampai 3.00 m per detik, dengan kecepatan terbesar rata-rata 1.75 m per detik. Tataguna lahan Jenis penggunaan lahan di Provinsi Gorontalo dapat dilihat pada Tabel 7. Luas lahan tersebut didominasi oleh lahan sawah dan lahan kering, yaitu masingmasing seluas 36 068 hektar (2.85 persen) dan 55 884 hektar (44.03 persen) (Tabel 7). Tabel 7
Tataguna lahan di Provinsi Gorontalo pada tahun 2010
Tata Guna Lahan Lahan sawah Teknis Setengah teknis Sederhana Desa Tadah hujan Pasang surut Lebak dan lainnya Jumlah Lahan kering Pekarangan Tegal/kebun Ladang/huma Padang rumput Perkebunan Sementara Jumlah Tak Diusahakan Hutan rakyat Hutan negara Rawa Tambak Kolam/empang Kampung/pemukiman Industri Pertambangan Lainnya Jumlah
Luas Lahan (ha)
Persentase
13 962 5 746 600 4 364 7 800 1 805 1 791 36 068
38.71 15.93 1.66 12.10 21.63 5.00 4.97 100
59 964 122 497 133 172 56 499 97 182 89 526 55 8840
10.73 21.92 23.83 10.11 17.39 16.02 100
96 187 237 198 9 504 404 1 482 292 537 944 135 35 657 674 048
14,27 35.19 1.41 0.06 0.22 43.40 0.14 0.02 5.29 100
Sumber : BPS 2011
Selain itu terdapat lahan yang tidak diusahakan seperti lahan hutan rakyat, hutan negara, rawa, tambak, kolam, kampung, industri pertambangan dan lainnya. Pembudidayaan tanaman padi dan palawija menyebar pada setiap wilayah kabupaten. Meskipun jagung di Provinsi Gorontalo merupakan komoditas yang mendominasi, namun komoditas padi, kedelai, dan sayuran juga cukup besar produksinya. Hampir semua kabupaten juga memproduksi komoditas tersebut.
39
Sedangkan untuk komoditas perkebunan yang dikembangkan adalah lada, karet, kopi, kakao dan kemiri. Tanaman unggulan di Provinsi Gorontalo adalah jagung (76 persen), padi (15 persen) dan ubi kayu (9 persen). Usahatani padi di Provinsi Gorontalo diusahakan di lahan sawah dan ladang, sedangkan usahatani jagung dilakukan di lahan kering. Penduduk dan mata pencaharian Jumlah penduduk Provinsi Gorontalo pada tahun 2010 sebanyak 1 040 164 jiwa, yang terdiri dari 521 914 jiwa penduduk laki-laki dan 518 250 jiwa penduduk perempuan. Jika dibandingkan dengan tahun 2010, penduduk Provinsi Gorontalo bertambah 1.24 persen. Kepadatan penduduk terbanyak berada di Kota Gorontalo dengan 2 719 jiwa/km2. Sedangkan wilayah dengan kepadatan penduduk terkecil adalah Kabupaten Pohuwato, yaitu hanya 30 jiwa/km2. Pada tahun 2008, jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas yang termasuk angkatan kerja adalah sejumlah 429 384 jiwa, atau sekitar 62.4 persen dari total penduduk usia 15 tahun ke atas. Peranan sektor pertanian, kehutanan, perburuhan dan perikanan masih merupakan mata pencaharian terbesar penduduk Gorontalo dengan persentase 45.45 persen yang berarti sektor ini merupakan mata pencaharian utama penduduk sedangkan yang terkecil adalah sektor keuangan, asuransi, sewa bangunan, tanah dan jasa. Tabel
8
Jumlah penduduk menurut jenis kelamin, penduduk di Provinsi Gorontalo pada tahun 2010
Kabupaten Boalemo Gorontalo Pohuwato Bone Bolango Gorontalo Utara Kota Gorontalo Total
Laki-laki (orang) 65 867 178 088 65 561 71 145 52 970 88 283 521 914
Perempuan (orang) 63 386 177 900 63 187 70 770 51 163 91 844 518 250
Total 129 253 355 988 128 748 141 915 104 133 180 127 1 040 164
dan
kepadatan
Kepadatan Penduduk (jiwa/km2) 74 161 30 75 59 2 719 3 118
Sumber : BPS 2011
Provinsi Gorontalo pada akhir tahun 2010 berjumlah 211 883 jiwa terdiri atas 109 109 (51.5 persen) jiwa laki-laki dan 102 774 (48.5 persen) jiwa perempuan. Sedangkan Provinsi Gorontalo pada akhir tahun 2011 berjumlah 176 895 jiwa terdiri atas 91 835 (51.9 persen) jiwa laki-laki dan 85 060 (48.1 persen) jiwa perempuan. Banyaknya penduduk menurut mata pencaharian di Provinsi Gorontalo dapat dilihat pada Tabel 9. Berdasarkan Tabel 9 diketahui bahwa sebagian besar penduduk Provinsi Gorontalo bekerja di sektor pertanian yaitu mencapai 40.88 persen, diikuti oleh jasa kemasyarakatan dan perdagangan yang mencapai masing-masing 18.78 persen dan 16.46 persen. Secara umum, sektor pertanian masih merupakan sektor utama penopang perekonomian di Provinsi Gorontalo.
40
Tabel 9 Mata pencaharian penduduk usia 15 tahun keatas di Provinsi Gorontalo pada tahun 2010 Jenis Mata Pencaharian Pertanian Pertambangan dan penggalian Industri pengolahan Listrik, gas dan air minum Konstruksi Perdagangan Transportasi dan komunikasi Keuangan dan jasa perusahaan Jasa kemasyarakatan, sosial dan perorangan Jumlah
Jumlah (orang) 176 974 9 196 35 228 679 20 296 71 243 33 351 4 647 81 322 432 936
Persentase 40.88 2.12 8.14 0.16 4.69 16.46 7.70 1.07 18.78 100
Sumber : BPS 2011
Gambaran Umum Rumahtangga Petani Jagung Karakteristik rumahtangga petani jagung Jika dilihat dari sisi usia maka rata-rata usia petani jagung (responden) untuk varietas unggul baru (VUB) lebih muda dari petani jagung varietas unggul lama (VUL). Usia petani jagung varietas unggul baru (VUB) adalah 44 tahun dan petani jagung varietas unggul lama (VUL) 47 tahun. Persentase kisaran usia terbesar berada pada kisaran 41 sampai 50 tahun diikuti dengan kisaran umur 31 sampai 40 tahun pada varietas unggul baru (VUB) dan kisaran umur 51 sampai 60 tahun pada varietas unggul lama (VUL) (Tabel 10). Faktor usia merupakan salah satu indikator bagi keberhasilan suatu usaha, dengan usia yang lebih muda atau umur produktif akan memacu petani berusaha secara optimal untuk mendapatkan hasil dan keuntungan yang lebih tinggi dan lebih mau menerima perubahan. Pendidikan petani diperoleh dari pendidikan formal maupun pendidikan non formal melalui pelatihan, kursus ataupun mengikuti beberapa kegiatan penelitian, namun dalam penelitian ini yang dikaji hanyalah tingkat pendidikan formal yang pernah diikuti oleh petani responden. Sebagian besar pendidikan petani (kepala keluarga) hanya setingkat Sekolah Dasar (SD), yaitu masing-masing pada kelompok petani berpendidikan 4 sampai 6 tahun sebesar 60.3 persen pada VUB dan 68.0 persen pada VUL. Persentase pendidikan terbesar adalah setingkat SD dan terdapat di lokasi penelitian pada petani jagung varietas unggul lama (VUL) sebesar 68.0 persen, dan yang berpendidikan 10 sampai 12 tahun sebesar 11.9 persen pada varietas unggul baru (VUB) dan 8.5 persen pada varietas unggul lama (VUL). Hal ini dikarenakan pada kedua tipe petani responden tersebut merupakan petani pendatang yang berasal dari luar provinsi Gorontalo dengan rata-rata usia petani terbesar berada pada kisaran 41 sampai 50 tahun yang bersekolah hingga SD karena pada saat itu sekolah SD terbatas, sedangkan Sekolah Lanjutan Pertama (SMP) relatif masih baru yaitu pada sekitar tahun 1990-an. Petani yang berusia lebih muda mempunyai tingkat pendidikan yang lebih tinggi, yaitu hingga Perguruan Tinggi (PT) baik D2 (Diploma Dua) maupun S1 (Strata Satu). Hal ini mengindikasikan bahwa petani jagung varietas unggul lama (VUL) masih bisa menyekolahkan anak sebagai generasi muda ke jenjang yang
41
lebih tinggi. Diharapkan dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi bagi petani yang berusia muda bisa memotivasi petani yang berusia lebih tua dengan memperbaiki cara berusahatani dengan menggunakan input seoptimal mungkin, namun yang terjadi dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi peluang untuk bekerja di usahatani semakin kecil dan petani lebih memilih bekerja di luar pertanian dan kegiatan usahatani lebih banyak menggunakan tenaga kerja luar keluarga yang disewa. Tabel 10
Jumlah petani jagung (responden) berdasarkan umur, pendidikan dan pengalaman usahatani jagung di Provinsi Gorontalo pada tahun 2012 Kisaran
Umur Petani (tahun) 20 – 30 31 – 40 41 - 50 51 - 60 > 60 Rata-rata Umur Pendidikan (tahun) 0–3 4–6 7- 9 10 – 12 > 12 Rata-rata Pendidikan Pengalaman Usahatani (tahun) 2 – 10 11 – 20 21 – 30 31 – 40 > 40 Rata-rata Pengalaman
Petani Jagung (VUB) Jumlah Persentase (orang)
Petani Jagung (VUL) Jumlah Persentase (orang)
14 68 89 42 14 227 (44)
6.2 29.9 39.3 18.4 6.2
7 25 53 34 9 128 (47)
5.5 19.4 41.4 26.5 7.2
17 137 46 27 0 227 (6)
7.5 60.3 20.3 11.9 0
16 87 12 11 2 128(6)
12.5 68.0 9.4 8.5 1.6
86 87 46 6 2 227 (12)
37.9 38.4 20.4 2.5 0.8
23 52 43 5 5 128(17)
18.0 41.0 33.0 4.0 4.0
Pengalaman usahatani merupakan guru terbaik untuk belajar, dengan bekal pengalaman yang cukup akan memudahkan petani untuk menerima dan memilih teknologi yang lebih sesuai dan tepat guna. Rata-rata pengalaman usahatani petani jagung (responden) untuk varietas unggul baru (VUB) memiliki pengalaman rata-rata 12 tahun dan 17 tahun pada varietas unggul lama (VUL), serta kisaran pengalaman petani yang terbesar berada pada kisaran 11 sampai 20 tahun yaitu sebesar 38.4 persen pada VUB dan 40.6 persen pada VUL. Pengalaman usahatani jagung varietas unggul lama (VUL) lebih tinggi daripada petani jagung varietas unggul baru (VUB). Selanjutnya pada petani VUB adalah sebagian besar pendatang pada saat program transmigrasi pada awal tahun 1980an yang memulai hidup di daerah baru dengan membuka lahan pertanian dengan menanam jagung, petani jagung varietas unggul lama (VUL) sebagian besar adalah penduduk asli di daerah tersebut dan sekitar 85.5 persen adalah pendatang berikutnya dari luar Provinsi Gorontalo dan 14.5 persen adalah penduduk lokal dimana penduduk lokal memulai usahatani bersama-sama dengan petani pendatang. Pengalaman berusahatani yang relatif baru beberapa tahun atau
42
kurang dari 10 tahun adalah mereka yang terlahir di daerah penelitian dan meneruskan pekerjaan orangtuanya walaupun diantara mereka ada yang lebih memilih bekerja di luar pertanian. Seperti halnya kepala keluarga, pendidikan ibu rumahtangga juga setingkat SD, kecuali pada kelompok petani responden pada jagung VUB yaitu rata-rata tamat SMP bahkan ada yang tamat SMA (5.75 persen), sedangkan pada kelompok petani jagung VUL pendidikan ibu rumahtangga hanya SD tidak tamat. Tabel 11 memperlihatkan karakteristik ibu rumahtangga dan anggota keluarga petani responden. Dilihat dari jumlah anggota rumahtangga yang masih menjadi tanggung jawab kepala keluarga petani bervariasi antara 2 hingga 9 orang dengan rata-rata 4 orang per rumahtangga, sedangkan anggota rumahtangga yang bekerja dan sebagai tulang punggung keluarga rata-rata adalah 1 orang yaitu kepala keluarga, sedangkan ibu rumahtangga jika ikut membantu bekerja untuk mendapatkan upah adalah bekerja sebagai buruh tani pada saat tanam dan panen. Apabila dalam rumahtangga terdapat anak yang sudah dewasa dan belum berumahtangga maka anak juga ikut bekerja sebagai buruh tani maupun buruh di luar pertanian, sebagian pendapatan digunakan untuk keperluan keluarga dan sebagian lainnya digunakan untuk keperluan sendiri. Di sisi lain jumlah anggota keluarga yang bersekolah rata-rata satu sampai tiga orang per rumahtangga. Tabel 11
Karakteristik anggota rumahtangga petani jagung di Provinsi Gorontalo pada tahun 2012 Uraian
Ibu rumahtangga Rata-rata umur (tahun) Rata-rata pendidikan (thn) Anggota rumahtangga Rata-rata jumlah anggota keluarga Rata-rata jumlah yang bekerja Rata-rata jumlah anak sekolah
Petani jagung (VUB) Jumlah Persentase (orang) 227 41 42.8 6 64.5 901 4 41.3 1 14.7 3 37.6
Petani jagung (VUL) Jumlah Persentase (orang) 128 43 45.6 5 71.3 476 4 49.4 2 18.2 2 42.8
Dari sisi penguasaan lahan garapan untuk sahatani jagung sebagian besar lahan adalah milik sendiri dan digarap sendiri (95.15 persen) hanya sedikit petani yang berstatus sebagai penyakap atau penggarap (4.85 persen). Luas kepemilikan lahan bervariasi antara 0.10 sampai 3.0 ha. Sempitnya kepemilikan lahan disebabkan telah terbaginya lahan yang dimiliki ke anggota keluarga lainnya yang telah berumahtangga. Petani responden pada lahan jagung VUB yang memiliki lahan sempit (0.1 ha sampai 0.5 ha) yaitu sebesar 5 persen, sedangkan petani jagung VUL sebesar 3.7 persen dengan rata-rata luas lahan 1.26 hektar (VUB) dan 1.18 hektar (VUL). Gambaran kepemilikan lahan dan status petani disajikan pada Tabel 12. Status petani penggarap lebih banyak pada lahan jagung VUB pada lokasi penelitian. Petani yang berstatus sebagai penggarap disebabkan oleh : (1) tidak mempunyai lahan sendiri, (2) mengerjakan lahan milik orang lain yang telah berusia lanjut sehingga sudah tidak mampu bertani, dan (3) mencari tambahan pendapatan lain dengan mengerjakan lahan orang lain. Bagi petani yang tidak
43
memiliki lahan sendiri dan hanya mengerjakan lahan orang lain semata-mata bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pangan pokok keluarga. Tabel 12 Kepemilikan lahan dan status petani jagung responden di Provinsi Gorontalo pada tahun 2012 Kisaran Luas lahan (ha) 0.10 – 0.50 0.51 – 1.00 1.10 – 1.50 1.51 – 2.00 > 2.00 Jumlah Kepemilikan lahan Pemilik penggarap Penggarap Jumlah
VUB Jumlah Persentase (orang)
VUL Jumlah Persentase (orang)
32 59 85 22 29 227
4.8 18.1 37.0 14.3 25.7 100
14 24 70 11 9 128
3.7 11.4 57.7 12.2 15 100
216 11 227
95.15 4.85 100
124 4 128
96.87 3.13 100
Keanggotaan dalam kelompok tani Dilihat dari keanggotaan kelompok tani, petani varietas unggul baru dan petani varietas unggul lama yang tidak ikut dalam kelompok tani masing-masing sebesar 16.30 persen dan 46.87 persen, sedangkan yang ikut dalam keanggotaan kelompok tani masing-masing sebesar 83.70 persen dan 53.13 persen. Persentase petani jagung yang menjadi anggota kelompok tani lebih banyak dibandingkan petani yang tidak ikut dalam kelompok tani. Beberapa alasan yang dikemukakan petani jagung menjadi anggota kelompok tani adalah; (1) meningkatkan pengetahuan melalui pendidikan non formal, (2) meningkatkan kemampuan manajerialnya, (3) meningkatkan aksesibilitas terhadap teknologi dan inovasi baru, dan (4) meningkatkan aksesibilitas terhadap bantuan kredit dan bantuan lainnya, karena umumnya disalurkan melalui kelompok tani. Namun ada juga petani yang belum merasakan manfaat berkelompok sehingga memutuskan untuk tidak menjadi anggota kelompok tani. Kelompok tani merupakan wadah bagi petani jagung untuk berbagi pengetahuan, pengalaman, keterampilan serta merencanakan aktivitas usahataninya. Idealnya dalam kelompok tani petani memperoleh tambahan pengetahuan baik melalui diskusi diantara mereka maupun melalui transfer teknologi yang diberikan oleh penyuluh pertanian lapangan (PPL). Keberadaan penyuluh menjadi hal yang penting untuk keberlanjutan suatu kelompok tani, disamping sebagai motivator anggota kelompok tani itu sendiri. Penyuluh berperan sebagai agen penyampai teknologi sekaligus sebagai motivator dalam aktivitas usahatani anggota kelompok tani. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani responden, petani jagung varietas unggul baru dan petani jagung varietas unggul lama yang mendapat akses terhadap penyuluhan masing-masing sekitar 77.97 persen dan 71.09 persen. Sedangkan petani jagung varietas unggul baru dan petani jagung varietas unggul lama yang tidak mendapat akses terhadap penyuluhan masing-masing sekitar
44
22.03 persen dan 28.91 persen. Lebih dari 50 persen petani jagung merasakan manfaat yang besar terhadap penyuluhan. Tabel 13
Keanggotaan dalam kelompok petani jagung di Provinsi Gorontalo pada tahun 2012 Uraian
Tidak ikut dalam keanggotaan Ikut dalam keanggotaan Total
Varietas unggul baru Jumlah petani Persentase (orang) 37 16.30 190 83.70 227 100
Varietas unggul lama Jumlah petani Persentase (orang) 60 46.87 68 53.13 128 100
Pada umumnya kelembagaan penyuluhan yang ada di lokasi penelitian sudah terbentuk dengan baik. Namun kelemahan yang ada, selain materi penyuluhan, juga jumlah penyuluh lapangan yang relatif masih kurang. Para penyuluh yang ada biasanya jangkauan wilayah kerjanya cukup luas sehingga sebagian besar petani bertemu dengan penyuluh 2 sampai 3 kali dalam sebulan. Tabel 14
Akses terhadap penyuluhan petani jagung di Provinsi Gorontalo pada tahun 2012 Uraian
Tidak mengakses penyuluhan Mengakses Total
Varietas unggul baru Jumlah petani Persentase (orang) 50 22.03 177 77.97 227 100
Varietas unggul lama Jumlah petani Persentase (orang) 37 28.91 91 71.09 128 100
Akses terhadap kredit Petani mengakses kredit melalui lembaga formal maupun lembaga informal. Kredit formal seperti bank yang memberikan kredit kepada petani adalah bank BRI (Bank Rakyat Indonesia) yang berada dilokasi penelitian. Petani yang mengakses kredit dari bank pada umumnya adalah petani yang membutuhkan modal yang lebih besar untuk menjalankan usahataninya. Untuk mendapatkan kredit dari bank, petani harus memiliki agunan dan cara pengembaliannya adalah angsuran per bulan. Dengan adanya syarat harus ada agunan membuat petani kecil atau petani yang tidak punya lahan tidak dapat mengakses kredit ke perbankan. Kredit informal adalah jenis kredit yang berasal dari lembaga keuangan dimana dalam operasionalnya tidak diawasi oleh pemerintah antara lain tengkulak, para pedagang atau petani kaya dan sistem kontrak pinjaman tidak menggunakan collateral atau agunan sebagai jaminan akan tetapi semata-mata berdasarkan rasa saling percaya (trust). Berdasarkan hasil wawancara dengan petani responden, petani jagung varietas unggul baru dan petani jagung varietas unggul lama yang mendapat akses terhadap kredit masing-masing sebesar 65.64 persen dan 46.09 persen. Sedangkan petani jagung varietas unggul baru dan petani jagung varietas unggul
45
lama yang tidak mendapat akses terhadap kredit masing-masing sekitar 34.36 persen dan 53.91 persen. Tabel 15
Akses terhadap kredit petani jagung di Provinsi Gorontalo pada tahun 2012 Uraian
Tidak mengakses kredit Mengakses Total
Varietas unggul baru Jumlah petani Persentase (orang) 78 34.36 149 65.64 227 100
Varietas unggul lama Jumlah petani Persentase (orang) 69 53.91 59 46.09 128 100
Pola Tanam dan Diversifikasi Usahatani Jagung Pola tanam lahan kering Usahatani jagung merupakan mata pencaharian pokok bagi petani di daerah penelitian baik di lahan sawah tadah hujan maupun lahan kering. Meskipun demikian aktivitas petani pada usahatani tidak hanya terfokus pada satu jenis komoditi saja, melainkan pada beberapa jenis komoditi baik yang diusahakan di lahan sawah maupun pada lahan kering. Hal ini dilakukan sebagai penunjang ekonomi keluarga apabila terjadi kemarau panjang atau adanya serangan hama dan penyakit karena usahatani terutama padi rentan terhadap anomali iklim. Optimalisasi pengelolaan lahan kering sangat ditentukan oleh ketersediaan air. Pada lahan kering yang memiliki sumber air tanah petani bisa mengelola lahan hingga dua kali tanam (IP 200) dengan pola tanam palawija-palawija atau padi gogo-palawija, namun pada lahan kering air merupakan faktor pembatas bagi petani untuk memaksimalkan pengelolaan lahan secara optimal sehingga pola tanam petani lahan kering yang jauh dari sumber air adalah palawija-bera atau palawija-palawija-bera. Ketersediaan (supply) air pada lahan kering di daerah penelitian berasal dari air hujan dan sungai yang berjarak antara 0.2 sampai 2 km. Pada saat MT I/2011 petani menggunakan air hujan untuk mengairi lahan dan pada MT II/2011 menggunakan penampungan air yang relatif tidak mencukupi areal lahan karena curah hujan yang relatif kecil. Oleh karena itu usahatani pada MT II sebagian petani menggunakan air sungai dengan sistem pompanisasi. Tabel 16 Jumlah petani jagung dan penerapan pola tanam lahan kering di Provinsi Gorontalo pada tahun 2012 Jenis pola Tanam Palawija – bera Palawija – padi Padi – palawija Palawija- palawija Jumlah
Lahan kering (tegalan) Jumlah Persentase (orang) 285 80.28 14 3.94 8 2.25 048 13.52 355 100
Lahan sawah tadah hujan Jumlah Persentase (orang) 7 1.97 57 16.06 283 79.72 8 02.25 355 100
46
Dengan adanya perbedaan ketersediaan air dan pilihan komoditi maka petani mempunyai pola tanam yang berbeda pada setiap jenis lahan. Adapun pola tanam yang diterapkan oleh petani di daerah penelitian disajikan pada Tabel 16. Sebagian besar petani responden menerapkan pola tanam dua kali setahun dengan pola tanam palawija-bera pada lahan kering (tegalan). Di sisi lain jika lahan tersebut dekat dari sumber air maka petani menerapkan pola tanam dua kali yaitu palawija-padi dan padi-palawija atau pada saat MT II lahan diberakan karena supply air kurang dan petani tersebut yang mempunyai lahan sawah yang produktif sehingga untuk kebutuhan rumahtangga dapat dipenuhi dari hasil lahan sawah. Petani responden (jagung VUB) lebih banyak mengelola lahan dengan dua kali tanam, yaitu palawija-palawija. Dengan pola tanam yang lebih dari satu kali berarti petani telah berusaha mengoptimalkan lahan sehingga produktivitas tanaman dapat dipertahankan. Pola tanam palawija-palawija/sayuran/bera terutama rotasi tanaman serealia dengan leguminosa dapat memotong siklus hidup hama penyakit dan mempertahankan produktivitas tanaman. Selain itu pola tanam tersebut juga memberikan kesempatan kondisi fisik-kimia tanah (recovery) untuk mencegah kondisi kelelahan tanah (soil fatique) sehingga produktivitas lahan bisa terjaga (Sitorus 2004). Diversifikasi usahatani Menghadapi risiko gagal produksi maka petani tidak hanya terfokus pada satu jenis komoditas saja melainkan juga mengusahakan berbagai komoditas baik pada lahan yang sama maupun pada lahan yang berbeda. Jenis lahan yang dimiliki oleh petani responden selain lahan kering juga lahan sawah. Beberapa komoditas yang diusahakan petani baik di lahan kering maupun lahan sawah adalah beberapa jenis sayuran, ubi kayu, ubi jalar dan beberapa tanaman tahunan seperti lada dan kakao. Diversifikasi usahatani dalam penelitian ini diartikan sebagai sikap atau tindakan petani menanam beberapa komoditas yang berbeda pada lahan yang sama atau lahan yang berbeda dalam waktu yang sama. Diversifikasi usahatani ini sangat dirasakan manfaatnya oleh petani sebagai penopang pendapatan rumahtangga. Secara empiris pendapatan diversifikasi usahatani sangat bervariasi tergantung pada jenis, produktivitas dan pasar komoditas yang bersangkutan. Usahatani sayuran pada lahan sawah dengan menggunakan sistem surjan, yaitu sistem pertanaman kombinasi padi sawah dengan tanaman sayuran dalam satu areal. Pada bagian lahan sawah dibuat gundukan-gundukan untuk menanam sayuran. Diversifikasi usahatani jagung dengan usahatani tanaman sayuran lebih mendominasi usahatani yang dilakukan petani di daerah penelitian. Petani yang memilih komoditas sayuran karena dalam satu tahun bisa menanam dua hingga tiga kali, mudah dalam memasarkan produk dan bisa mengkonsumsinya. Menurut Sumaryanto (2006) pada umumnya petani melakukan diversifikasi usahatani dipengaruhi oleh jumlah tenaga kerja keluarga, permodalan, peranan usahatani dalam ekonomi rumahtangga, dan ketersediaan air. Hasil wawancara dengan petani responden, ketua Gapoktan, dan petugas pertanian lainnya yang ada di wilayah penelitian mengatakan bahwa pilihan komoditas dalam diversifikasi didasarkan atas beberapa alasan sebagai berikut :
47
1
Mengurangi adanya risiko produksi yang dihadapi rumahtangga bila hanya menanam satu komoditas saja (usahatani jagung/padi), artinya untuk menghadapi kemungkinan gagal produksi dari usahatani jagung ataupun padi rumahtangga masih tetap mendapatkan sumber pendapatan dari usahatani yang lain. 2 Beberapa komoditas pilihan tidak memerlukan biaya produksi yang tinggi dan relatif dapat dikerjakan dengan tenaga kerja dalam keluarga seperti beberapa jenis sayuran, cabai, tomat dan kacang tanah. 3 Beberapa komoditas tersebut relatif lebih mudah menanam dan memeliharanya serta tidak memerlukan banyak curahan waktu kerja. 4 Untuk tanaman tahunan memiliki keuntungan tinggi karena tanaman tetap menghasilkan walau tanpa masukan yang memadai. 5 Walau memiliki risiko mudah rusak, namun petani tetap menanam komoditas sayuran karena memiliki nilai guna yang lebih dibandingkan komoditas lainnya. Produksi sayuran selain dapat dijual untuk menambah pendapatan rumahtangga juga bisa untuk konsumsi keluarga sehingga produk sayuran bisa mengurangi pengeluaran rumahtangga. Disamping pengembangan beberapa komoditas berbasis lahan tersebut petani juga mengembangkan komoditas ternak. Ternak bagi petani di daerah penelitian merupakan asset rumahtangga terutama dari jenis ternak ruminansia (sapi bali) atau sebagai tabungan keluarga yang akan digunakan pada saat rumahtangga membutuhkan dana besar untuk pembelian perabot rumahtangga seperti kendaraan roda dua, televisi, lahan atau sebagai biaya perbaikan rumah, sedangkan jenis ternak unggas (ayam dan itik) merupakan salah satu sumber pendapatan dengan menjual ternak serta untuk konsumsi rumahtangga. Tabel 17 Jumlah rumahtangga petani yang memelihara ternak di Gorontalo pada tahun 2012 Uraian Ruminansia Sapi Kambing Unggas Ayam Itik Lainnya
Petani jagung VUB Jumlah Persentase (orang)
Provinsi
Petani jagung VUL Jumlah Persentase (orang)
83 72
36.56 31.72
73 46
57.03 35.94
227 8 21
100.00 3.52 9.25
128 11 14
100.00 8.59 10.94
Kepemilikan ternak ruminansia terutama sapi lebih banyak dimiliki oleh petani jagung varietas unggul baru (VUB), sedangkan petani jagung varietas unggul lama (VUL) kepemilikan ternak lebih banyak dari jenis unggas (ayam) baik ayam kampung maupun itik. Beberapa jenis kepemilikan ternak di tingkat rumahtangga petani ditunjukkan pada Tabel 17.
48
5 ANALISIS USAHATANI, KELAYAKAN TEKNOLOGI DAN STRUKTUR PENDAPATAN RUMAHTANGGA PETANI JAGUNG Keragaan Usahatani Input produksi usahatani jagung Usahatani jagung sudah lama dilakukan oleh petani responden yang dapat dilihat dari rata-rata pengalaman usahatani yaitu selama 12.0 tahun pada petani jagung varietas unggul baru (VUB) dan 17.0 tahun pada petani jagung varietas unggul lama (VUL). Dari sisi teknologi petani sudah lama mengenal teknologi produksi karena teknologi produksi sudah seringkali diintroduksi kepada petani baik melalui penyuluhan, demonstrasi lapangan maupun kegiatan-kegiatan penelitian dari berbagai instansi, namun teknologi sering berubah seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan perubahan serta perbedaan spesifikasi daerah. Walau teknologi sudah dikenal lama oleh petani, namun hal yang paling nyata dalam penerapan teknologi di tingkat petani adalah belum diimplementasikannya teknologi tersebut secara utuh karena kemampuan finansial rumahtangga petani yang berbeda. Gladwin (1979) mengemukakan bahwa keragaman adopsi teknologi di tingkat petani masih cukup besar karena petani cenderung mengadopsi teknologi secara tidak utuh melainkan sebagian demi sebagian. Utama et al. (2007) juga menyatakan bahwa petani di daerah pedesaan merasakan ada risiko untuk mengadopsi teknologi baru yang dinamakan sebagai risiko teknologi sehingga petani lambat menerapkan teknologi tersebut. Penggunaan benih bersertifikasi atau benih bermutu dapat menghemat penggunaan benih di tingkat petani dimana petani biasa menggunakan benih yang berlebih dikarenakan mutu benih yang tidak terkontrol daya tumbuhnya. Jumlah benih berlabel yang dianjurkan untuk ditanam adalah 15 kg per hektar. Penanaman benih berlabel akan tumbuh dan berkembang lebih sempurna, sistem perakaran lebih baik, dan lebih mampu beradaptasi dengan lingkungan. Pada sistem tanam sudah lebih dari 85 persen petani jagung varietas unggul baru (VUB) menggunakan sistem tanam (jarak tanam dan cara tanam) yang direkomendasikan oleh Dinas Pertanian dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP), dan sisanya masih menggunakan sistem tanam sesuai dengan kebiasaan petani. Jarak tanam bervariasi untuk VUB dan VUL yaitu 40 cm x 70 cm, 20 cm x 60 cm dan 40 cm x 80 cm. Dengan mengatur jarak tanam antar barisan secara teratur sehingga terjadi pertumbuhan yang maksimal yang diterapkan petani di daerah penelitian bervariasi pada masing-masing varietas jagung. Keuntungan dari sistem ini adalah: (1) memudahkan petani di dalam mengendalikan gulma, hama dan penyakit tanaman, (2) pemberian pupuk lebih efisien dan berdaya guna, (3) menyediakan ruang kosong untuk pengaturan air, dan (4) intensitas cahaya matahari lebih merata ke seluruh tanaman. Input produksi pada usahatani jagung meliputi pupuk, pestisida dan alokasi waktu tenaga kerja. Dalam menggunakan pupuk terjadi tumpang tindih antara pupuk urea dengan pupuk phonska. Hal ini disebabkan oleh karena: (1) petani belum mengetahui secara pasti kandungan hara dan fungsi dari pupuk phonska,
49
(2) harga pupuk phonska relatif lebih mahal jika dibandingkan dengan harga pupuk lainnya, dan (3) petani lebih mudah memperoleh pupuk urea dibandingkan pupuk phonska. Tabel 18 memperlihatkan jumlah petani di dalam menggunakan pupuk dalam usahatani jagung. Dari Tabel tersebut terlihat bahwa hampir semua petani menggunakan pupuk urea karena harga pupuk urea yang terjangkau dan adanya anggapan petani bahwa apabila tanaman jagung tidak menampakkan warna hijau maka produksi tidak bagus. Tabel 18
Jumlah petani jagung yang menggunakan input produksi pada usahatani jagung di Provinsi Gorontalo pada tahun 2012 Uraian
Urea Phonska Pupuk pelengkap cair Pestisida Tenaga kerja
Petani jagung VUB Jumlah Persentase (orang) 227 100 227 100 168 74.0 124 54.63 227 100
Petani jagung VUL Jumlah Persentase (orang) 128 100 112 87.5 97 75.78 83 64.84 128 100
Selain pupuk, petani di daerah penelitian juga menggunakan input produksi yang lain, yaitu benih dan tenaga kerja. Adapun dosis penggunaan pupuk dan curahan waktu tenaga kerja disajikan pada Tabel 18. Pada tabel tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata dalam menggunakan input produksi antara petani jagung varietas unggul baru (VUB) dan petani jagung varietas unggul lama (VUL). Meskipun pada petani jagung varietas unggul baru (VUB) sudah didampingi dan diberikan inovasi namun untuk menerapkan inovasi tersebut petani belum sepenuhnya melakukannya. Hal ini terkait dengan kemampuan finansial rumahtangga petani dan fenomena ini hampir terjadi pada semua rumahtangga petani tanaman pangan. Utama et al. (2007) juga melaporkan bahwa petani di Bengkulu juga tidak sepenuhnya menerapkan paket teknologi karena kemampuan ekonomi namun jika paket teknologi tersebut tidak memerlukan tambahan biaya dan memberikan nilai tambah akan cepat diadopsi oleh petani. Rincian penggunaan input dalam usahatani jagung petani VUB maupun petani VUL diuraikan dalam Tabel 19. Luas lahan yang ditanami jagung oleh petani VUB berkisar antara 0.20 sampai 3.50 ha dengan rata-rata sebesar 1.26 ha. Luas lahan yang ditanami jagung oleh petani VUL berkisar antara 0.25 sampai 3.30 dengan rata-rata sebesar 1.18 ha. Rata-rata luas lahan petani jagung VUB lebih tinggi 0.08 ha atau 6.35 persen daripada rata-rata petani jagung VUL. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah petani VUB mempunyai lahan relatif lebih luas dibandingkan dengan petani VUL. Penggunaan benih tertinggi diperoleh pada petani jagung varietas unggul lama (VUL) yaitu rata-rata 22.07 kg per hektar, sedangkan pada kelompok petani jagung varietas unggul baru (VUB) menggunakan benih dengan jumlah yang relatif lebih rendah, yaitu rata-rata 15.26 kg per hektar. Lebih tingginya jumlah benih yang digunakan petani jagung varietas unggul lama (VUL) di lokasi
50
penelitian karena petani belum mengetahui secara pasti daya tumbuh benih varietas unggul lama (VUL) yang digunakannya. Tabel 19 Rata-rata penggunaan input dan produksi rata-rata yang dihasilkan oleh petani jagung VUB dan VUL Provinsi Gorontalo pada tahun 2012 Uraian
Satuan
Rata-rata luas lahan Benih Pupuk urea Pupuk phonska Pupuk pelengkap cair Pestisida Tenaga kerja Produksi
(ha) (kg/ha) (kg/ ha) (kg/ ha) (l/ha) (l/ha) (HKSP/ha) (kg/ha)
Petani jagung VUB 1.26 15.26 201.47 141.97 2.36 3.98 66.42 5 203
Penggunaaan input produksi Petani t-test jagung VUL 1.18 1.30 22.07 -6.57*** 185.70 3.09*** 133.19 2.52** 2.08 2.71*** 2.77 8.48*** 51.79 7.44*** 3 281 10.15***
Sig. (2-tailed) 0.196 0.00 0.00 0.01 0.01 0.00 0.00 0.00
Keterangan : *** berbeda nyata pada taraf 1 persen; ** berbeda nyata pada taraf 5 persen
Terdapat 2 kategori pupuk yang digunakan yaitu pupuk cair dan padat, dosis yang digunakan petani masih beragam. Penyebab dari beragamnya dosis pemupukan, diantaranya adalah tingkat kesuburan tanah yang berbeda atau karena kendala keuangan rumahtangga sehingga tidak bisa mengalokasikan biaya untuk melakukan pemupukan berimbang. Dosis rata-rata pupuk urea yang digunakan petani jagung VUB adalah lebih tinggi 15.77 kg atau 7.8 persen daripada dosis rata-rata pupuk urea yang digunakan petani jagung VUL. Uji statistik menunjukkan rata-rata dosis pupuk urea yang digunakan petani jagung VUB dan petani jagung VUL berbeda secara nyata pada taraf 1 persen (Tabel 19). Sama halnya dengan dosis rata-rata pupuk phonska yang digunakan petani jagung VUB adalah lebih tinggi 8.78 kg atau 6.18 persen daripada dosis rata-rata pupuk phonska yang digunakan petani jagung VUL. Uji statistik menunjukkan rata-rata dosis pupuk urea dan pupuk phonska yang digunakan petani jagung VUB dan petani jagung VUL berbeda secara nyata pada taraf 1 persen dan pada taraf 5 persen (Tabel 19). Dosis rata-rata pestisida yang digunakan petani jagung VUB lebih tinggi 1.21 liter atau 30.40 persen daripada dosis rata-rata pestisida yang digunakan petani jagung VUL. Hal ini terjadi diduga karena penyemprotan pestisida pada jagung VUB lebih tinggi dari pada petani jagung VUL. Intensitas penyemprotan yang tinggi biasanya terjadi apabila tanaman terserang penyakit. Uji statistik menunjukkan rata-rata pestisida yang digunakan petani jagung VUB dan petani jagung VUL berbeda secara nyata pada taraf 1 persen. Tenaga kerja yang digunakan pada usahatani jagung mencakup tenaga kerja dalam keluarga dan tenaga kerja luar keluarga baik pria maupun wanita. Curahan waktu kerja selama proses produksi diawali dari persiapan lahan hingga panen dan memipil jagung. Pada tahap pekerjaan tertentu, tenaga kerja wanita lebih dominan daripada tenaga kerja pria, terutama pada saat tanam dan panen, sedangkan tenaga kerja pria lebih dominan pada kegiatan pengolahan tanah, memupuk, menyemprot dan pengangkutan hasil panen. Pada kegiatan penanaman dan memipil jagung lebih banyak dikerjakan dengan menggunakan tenaga kerja dalam keluarga. Hal ini berarti terjadi
51
substitusi antara tenaga kerja dalam keluarga dengan tenaga kerja luar keluarga. Setiap tahap pekerjaan mempunyai upah yang berbeda sehingga dalam perhitungan rata-rata upah dengan menjumlahkan semua upah dari tiap tahap pekerjaan dan kemudian membaginya dengan jam kerja setara pria (HKSP). Satu HKSP adalah setara dengan 7 jam kerja pria (7 HKP). Satu hari kerja wanita dihitung selama 7 jam atau setara dengan 0.7 HKP (Hernanto 1988). Curahan waktu tenaga kerja pada usahatani jagung pada jagung varietas unggul lama (VUL) lebih sedikit jika dibandingkan dengan curahan waktu tenaga kerja pada petani jagung varietas unggul baru (VUB). Secara keseluruhan persentase penggunaan tenaga kerja pria lebih tinggi jika dibandingkan dengan tenaga kerja wanita, yaitu antara 50-60 persen. Tenaga kerja wanita luar keluarga pada umumnya dominan pada saat tanam dan panen daripada tenaga kerja pria dan dilakukan secara borongan dengan bentuk upah natura (sistem bawon) yaitu 7 : 1 artinya dari tujuh unit hasil milik petani dikeluarkan satu unit sebagai upah tenaga kerja yang melakukan pekerjaan panen dan memipil jagung. Rata-rata curahan waktu tenaga kerja yang digunakan dalam usahatani jagung petani VUB lebih tinggi 14.63 HKSP atau 22.02 persen daripada rata-rata curahan waktu tenaga kerja petani jagung VUL. Uji statistik menunjukkan rata-rata curahan waktu tenaga kerja yang digunakan petani jagung VUB dan petani jagung VUL berbeda secara nyata pada taraf 1 persen. Rata-rata produksi jagung yang dihasilkan petani jagung VUB lebih tinggi 1 922 kg atau 36.94 persen daripada rata-rata produksi jagung yang dihasilkan petani VUL. Hasil ini meningkat jika dibandingkan pada tahun 2009 yang hanya mencapai 2.24 ton/ha karena serangan hama dan kekeringan. Fenomena ini dapat menggambarkan bahwa dengan pendampingan dan inovasi teknologi varietas, produksi jagung dapat ditingkatkan kembali. Uji statistik menunjukkan rata-rata produksi jagung yang dihasilkan petani jagung VUB dan petani jagung VUL berbeda secara nyata pada taraf 1 persen. Menurut Gathak dan Ingersent (1984) bahwa pada tingkat pemakaian faktor produksi yang rendah, output yang dihasilkan teknologi baru memang lebih rendah, tetapi pada tingkat pemakaian faktor produksi yang lebih tinggi output yang dihasilkan teknologi baru akan lebih tinggi dari teknologi lama. Penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Muslimin (2012) pada komoditas padi bahwa penerapan padi varietas unggul baru tidak berpengaruh terhadap peningkatan produksi padi sawah, hal ini disebabkan karena penggunaan faktor produksi baik pada padi varietas unggul baru maupun pada padi varietas unggul lama tidak berbeda, kecuali penggunaan benih, phonska dan insektisida padat. Berdasarkan informasi dilapangan bahwa para petani yang mengusahakan varietas unggul baru (VUB) relatif lebih banyak menggunakan pupuk baik urea, phonska maupun ppc sehingga dapat dikatakan bahwa petani jagung di Provinsi Gorontalo umumnya berbeda dalam penggunaan input berdasarkan varietas yang ditanam. Harga rata-rata sumber daya lahan yang ditanggung petani jagung VUB adalah lebih tinggi Rp72 879 atau 30.38 persen daripada harga rata-rata sumber daya lahan yang ditanggung petani jagung VUL. Hal ini dapat terjadi karena lahan yang digunakan oleh petani VUB lebih produktif untuk pertanaman jagung serta beberapa jenis komoditas lainnya dibandingkan dengan lahan petani VUL, selain itu juga didukung dengan ketersediaan akses yang lebih baik berupa sumber air irigasi sehingga kekurangan air pada saat musim kemarau dapat tercukupi.
52
Harga rata-rata benih yang digunakan oleh petani jagung VUB adalah lebih tinggi Rp29 234 atau 67.14 persen daripada harga rata-rata benih yang digunakan petani jagung VUL. Hal ini disebabkan karena kualitas benih VUB lebih baik dibandingkan kualitas benih VUL. Harga rata-rata pupuk urea yang digunakan oleh petani jagung VUB adalah lebih rendah Rp128 atau 7.12 persen daripada harga rata-rata pupuk urea yang digunakan petani jagung VUL. Harga rata-rata pupuk phonska yang digunakan oleh petani jagung VUB adalah lebih rendah Rp95 atau 4.04 persen daripada harga rata-rata pupuk phonska yang digunakan petani jagung VUL. Harga ratarata pupuk pelengkap cair yang digunakan oleh petani jagung VUB adalah lebih tinggi Rp1 773 atau 4.45 persen daripada harga rata-rata pupuk pelengkap cair yang digunakan petani jagung VUL (Tabel 20). Harga rata-rata pestisida yang digunakan oleh petani jagung VUB adalah lebih tinggi Rp9 931 atau 17.76 persen daripada harga rata-rata pestisida yang digunakan petani jagung VUL. Upah rata-rata tenaga kerja yang digunakan oleh petani jagung VUB adalah lebih rendah Rp7 273 atau 19.50 persen daripada upah rata-rata tenaga kerja yang digunakan petani jagung VUL (Tabel 20). Tabel 20
Rincian harga rata-rata input yang digunakan dan harga rata-rata output dari petani jagung VUB dan petani jagung VUL di Provinsi Gorontalo pada tahun 2012
Harga Sumber daya lahan Benih Pupuk urea Pupuk phonska Pupuk pelengkap cair Pestisida Tenaga kerja Output
Satuan (Rp/ha) (Rp/kg) (Rp/kg) (Rp/kg) (Rp/l) (Rp/kg) (Rp/HKSP) (Rp/kg)
Jagung VUB 239 871 43 541 1 669 2 255 38 101 55 899 30 019 1 993
Jagung VUL 166 992 14 307 1 797 2 350 39 874 45 968 37 292 1 973
Analisis usahatani jagung Produksi jagung merupakan hasil proses produksi dengan menggunakan berbagai input yang dipengaruhi oleh kondisi fisik dan agroekosistem wilayah. Analisis usahatani jagung disajikan pada Tabel 21. Komponen rata-rata biaya terbesar pada usahatani jagung adalah biaya tenaga kerja yang mencapai rata-rata 52.99 persen dari total biaya pada VUB dan 58.87 persen dari total biaya untuk VUL terutama pada tenaga kerja pria. Hal ini disebabkan usahatani jagung lebih banyak menggunakan tenaga kerja pria terutama untuk kegiatan pengolahan lahan (operator traktor) dan pemeliharaan. Komponen upah tenaga kerja terbesar juga ditemukan pada penelitian Andriati dan Sudana (2007) dimana biaya tenaga kerja di Kabupaten Karawang mencapai lebih dari 75 persen. Sedangkan komponen upah pada usahatani jagung lahan kering sebesar 52.36 persen (Krismawati 2007). Dengan tingginya komposisi upah maka dapat dikatakan bahwa pengelolaan usahatani jagung memerlukan tenaga kerja relatif lebih banyak (intensive labor) dimulai dari persiapan lahan hingga memipil jagung.
53
Tabel 21 Analisis usahatani jagung dan produksi rata-rata di Provinsi Gorontalo pada tahun 2012 Uraian Produksi Sumber daya lahan Benih Pupuk: Urea Phonska Pupuk pelengkap cair Pestisida Tenaga kerja Total biaya Penerimaan Keuntungan R/C
Satuan
Jagung VUB
Jagung VUL
(kg/ha) (Rp/ha) (Rp/ha)
5202 2391) 664
3281 166 315
336 320 89 222 1 993 3 867 10 369 6 502 2.68
333 312 83 127 1 931 3 270 6 473 3 202 1.98
(Rp/ha) (Rp/ha) (Rp/l) (Rp/ha) (Rp/HKSP) (Rp/ha) (Rp/ha)
Keterangan : Angka 1) pada kolom yang sama masing-masing dikalikan 1000
Komponen upah tenaga kerja pria terbesar diperoleh pada upah pengolahan tanah dan pengangkutan hasil panen yang dibayar tunai. Sedangkan upah tenaga wanita luar keluarga sistem bawon yang berlaku di daerah penelitian adalah 7:1, artinya setiap tujuh bagian produksi dikeluarkan satu bagian sebagai upah tenaga kerja. Hasil konversi upah bawon ke nilai rupiah menunjukkan bahwa upah sistem bawon lebih besar dari upah yang berlaku di pasar, dengan demikian berimplikasi terhadap struktur biaya tenaga kerja dengan proporsi lebih besar. Penggunaan input terbesar kedua adalah biaya pupuk 9.87 persen (VUL) dan 12.64 persen (VUB). Kontribusi ketiga adalah biaya benih, biaya pestisida dan biaya lainnya relatif lebih kecil, yaitu kurang dari 10 persen. Dilihat dari produksi jagung petani varietas unggul baru (VUB) lebih tinggi dari produksi jagung petani varietas unggul lama (VUL), demikian juga dari nilai R/C maka nilai R/C petani jagung varietas unggul baru (VUB) lebih tinggi dari nilai R/C petani jagung varietas unggul lama (VUL). Hal ini disebabkan oleh biaya produksi yang lebih tinggi karena petani jagung varietas unggul baru (VUB) lebih banyak menggunakan pupuk. Dengan melihat ratio antara penerimaan dan biaya maka R/C petani jagung varietas unggul lama (VUL) menjadi lebih kecil. Salah satu faktor pendukung tercapainya produksi yang lebih tinggi adalah adanya bimbingan dan perbaikan teknologi. Bila metode ini dapat dilaksanakan maka permasalahan rendahnya produktivitas jagung dapat diatasi dengan pendampingan dan adopsi teknologi spesifik lokasi. Sirappa et al. (2007) mengemukakan bahwa peran inovasi teknologi sangat nyata dalam usaha meningkatkan produktivitas tanaman pangan. Dengan pendampingan dan penerapan teknologi dapat memberikan kontribusi yang dominan terhadap peningkatan produktivitas tanaman pangan (Las 2003). Implikasi penting dari hasil ini adalah masih diperlukannya penelitian dan pengembangan teknologi spesifik lokasi dengan pendampingan teknologi dengan mengintensifkan peran penyuluh pertanian di pedesaan. Analisis usahatani padi Berbeda dengan usahatani jagung maka usahatani padi lebih banyak menggunakan tenaga kerja luar keluarga baik laki-laki maupun wanita. Tenaga
54
kerja wanita luar keluarga lebih banyak digunakan sedangkan tenaga kerja pria luar keluarga hanya digunakan untuk persiapan lahan dalam hal ini adalah pengolahan tanah dan pengangkutan hasil panen dan rontok. Analisis usahatani padi disajikan pada Tabel 22. Pada usahatani padi komponen biaya terbesar adalah biaya tenaga kerja selain biaya lain-lain yang mencapai 22.09 sampai 23.10 persen dari total biaya usahatani. Dengan tingginya komposisi upah maka dapat dikatakan bahwa pengelolaan usahatani padi memerlukan tenaga kerja relatif banyak (intensive labor) dimulai dari persiapan lahan hingga pasca panen. Tabel 22 Analisis usahatani padi di Provinsi Gorontalo pada tahun 2012 Uraian Produksi Biaya : Benih Pupuk : Urea Phonska Pupuk pelengkap cair Pestisida Tenaga kerja Biaya lain-lain Total biaya Penerimaan Keuntungan R/C
Satuan (kg/ha)
Petani Jagung VUB 5 650
Petani Jagung VUL 4 730
(Rp/ha)
9751)
625 1)
(Rp/ha) (Rp/ha) (Rp/l) (Rp/ha) (Rp/ha) (Rp/ha) (Rp/ha) (Rp/ha)
445 360 185 167 1 300 2 500 5 932 12 317 6 384 2.08
330 247 152 150 1 050 2 000 4 581 10 806 6 224 2.36
Keterangan : Angka 1) pada kolom yang sama masing-masing dikali 1000
Penggunaan input terbesar kedua adalah pupuk dengan kontribusi biaya sekitar 15.84 sampai 16.15 persen, sedangkan komponen biaya benih, pestisida dan biaya lainnya relatif lebih kecil, yaitu kurang dari 15 persen. Usahatani sayuran Berbeda dengan usahatani jagung dan padi maka usahatani sayuran lebih banyak menggunakan tenaga kerja keluarga baik laki-laki maupun wanita. Tenaga kerja wanita lebih banyak digunakan sedangkan tenaga kerja pria hanya digunakan untuk persiapan lahan dengan membuat bedengan dan menyemprot. Beberapa jenis sayuran yang diusahakan petani adalah kacang panjang, bayam, kubis, cabai dan tomat. Alasan petani mengusahakan sayuran: (1) memanfaatkan lahan kering dan sebagian lahan sawah, (2) relatif mudah dikerjakan dengan tenaga kerja keluarga, (3) memanfaatkan waktu luang setelah tanam padi dan jagung, (4) mudah menjual hasil panen, dan (5) dapat digunakan untuk konsumsi rumahtangga. Produksi usahatani sayuran antar kelompok petani sangat bervariasi, dan hal ini dapat dilihat dari nilai R/C maka petani jagung varietas unggul lama (VUL) memiliki nilai R/C yang lebih besar dari petani jagung varietas unggul baru (VUB) (Tabel 23). Hal ini mengindikasikan bahwa dengan mengikuti perbaikan teknologi petani dapat meningkatkan produksi sayuran sehingga dapat meningkatkan pendapatan rumahtangga petani.
55
Sebagaimana usahatani padi maka pada usahatani sayuran komponen biaya tertinggi pada upah tenaga kerja yang mencapai lebih dari 30 persen dari biaya usahatani. Dalam luasan usaha yang kecil, tenaga kerja untuk usahatani sayur menggunakan tenaga kerja keluarga, namun jika luasan usaha diperluas maka yang harus diperhitungkan dalam pengembangan usahatani sayuran adalah ketersediaan tenaga kerja. Tabel 23 Analisis usahatani sayuran di Provinsi Gorontalo pada tahun 2012 Uraian Biaya : Benih Pupuk : Urea Phonska Pupuk pelengkap cair Pestisida Tenaga kerja : Biaya lain-lain Total biaya Penerimaan Keuntungan R/C
Satuan (Rp/ha) (Rp/ha) (Rp/ha) (Rp/ha) (Rp/ha) (Rp/ha) (Rp/ha) (Rp/ha) (Rp/ha) (Rp/ha)
Petani Jagung VUB
Petani Jagung VUL
501)
501)
60 50 50 75 250 150 685 1 761 1 076 2.57
40 50 40 50 200 200 630 1 865 1 235 2.96
Keterangan : Angka 1) pada kolom yang sama masing-masing dikali 1000
Analisis usaha ternak Komponen biaya terbesar pada usahatani ternak adalah biaya tenaga kerja terutama tenaga pria (selain bibit) yang mencapai Rp650 000 sampai Rp750 000 (11.03 dan 11.11 persen) dari total biaya. Hal ini disebabkan usahatani ternak lebih banyak menggunakan tenaga kerja pria terutama untuk kegiatan pemberian pakan dan pembersihan kandang. Dengan tingginya komposisi upah maka dapat dikatakan bahwa pengelolaan usahatani ternak memerlukan tenaga kerja relatif banyak (intensive labor) dimulai dari persiapan kandang hingga pemeliharaan. Analisis usahatani ternak disajikan pada Tabel 24. Namun jika dilihat dari nilai R/C maka nilai R/C peternak pada petani jagung varietas unggul baru (VUB) lebih tinggi dari nilai R/C peternak pada petani jagung varietas unggul lama (VUL), namun tidak jauh berbeda. Hal ini disebabkan oleh bibit ternak yang digunakan juga tidak berbeda pada petani jagung varietas unggul lama (VUL) maupun petani jagung varietas unggul baru (VUB). Dengan melihat ratio antara penerimaan dan biaya maka R/C ternak pada petani jagung varietas unggul baru (VUB) menjadi lebih besar. Salah satu faktor pendukung tercapainya produktivitas ternak yang lebih tinggi adalah adanya bimbingan teknologi pemeliharaan ternak yang dilakukan oleh penyuluh peternakan dari Dinas Peternakan Kabupaten setempat. Bila metode ini terus digalakkan maka permasalahan rendahnya produktivitas ternak dapat diatasi dengan pendampingan dan adopsi teknologi spesifik lokasi.
56
Tabel 24 Analisis usahatani ternak sapi di Provinsi Gorontalo pada tahun 2012 Uraian Bibit Biaya : Pakan ternak Obat-obatan Tenaga kerja Biaya lain-lain Total biaya Penerimaan Keuntungan R/C
Satuan (Rp/ekor) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp)
Petani Jagung VUB 2 400
1)
1 650 500 1 800 2 000 8 350 12 654 4 304 1.52
Petani Jagung VUL 2 3501) 1 480 450 1 520 1 500 7 300 11 000 3 700 1.51
Keterangan : Angka 1) pada kolom yang sama masing-masing dikali 1000
Kelayakan Perubahan Teknologi Kelayakan perubahan teknologi usahatani jagung dapat dijelaskan dengan uraian analisis anggaran parsial sederhana usahatani jagung (Lampiran 16). Untuk melihat kerugian dan keuntungan dari perubahan teknologi varietas di jelaskan pada Lampiran 17. Jadi perubahan teknologi dengan penggunaan benih VUL menjadi penggunaan benih VUB menghasilkan tambahan keuntungan sebesar Rp3 307 162/ha/mt. Marginal B/C dari perubahan teknologi tersebut adalah 7.3 yang berarti bahwa penambahan biaya Rp 1 menghasilkan tambahan keuntungan sebesar Rp 7.3. Analisis titik impas harga output Analisis titik impas (break even point) harga dapat digunakan untuk mengevaluasi sampai tingkat harga output berapa teknologi varietas unggul baru (VUB) di atas dapat direkomendasikan. Analisis titik impas harga output pada kondisi total losses sama dengan total gains, dengan variabel harga output pada titik impas (Py) dapat dilihat pada Lampiran 18. Titik impas tercapai pada saat tambahan keuntungan (extra profit) sama dengan nol, atau marginal B/C sama dengan satu. Jadi selama harga output (jagung) lebih tinggi dari Rp272.3 per kg teknologi kombinasi penyiangan, penggunaan herbisida, cara tanam dan penggunaan varietas unggul baru layak untuk diintroduksikan atau sampai pada tingkat penurunan harga output sebesar 86.3 persen (dari Rp1993 menjadi Rp272.3) usahatani VUB jagung masih mendapatkan keuntungan normal (BEP). Titik impas tambahan produksi usahatani jagung dengan tambahan penerimaan sebesar 262.6 (Lampiran 19). Break even point (BEP) tambahan produksi juga menunjukkan bahwa pada kondisi harga output tetap (Rp1 993 per kg), penerimaan tambahan produksi 86.3 persen (dari 1922 kg per hektar menjadi 262.6 kg per hektar). Usahatani jagung VUB masih mendapatkan keuntungan normal (BEP). Kesimpulan dari analisis ini ialah bahwa teknologi baru ini akan memberi manfaat bagi petani jagung jika penurunan tambahan produksi atau harga output tidak lebih besar dari 86.3 persen. Nampak bahwa penggunaan usahatani VUB
57
jagung ini relatif sangat stabil dan akan tetap memberikan keuntungan bila terjadi gejolak harga dengan penurunan produktivitas. Struktur Pendapatan Rumahtangga Petani Jagung Pendapatan rumahtangga merupakan sumber daya ekonomi yang sangat penting, yang memungkinkan setiap anggota rumahtangga mempunyai akses ekonomi untuk memperoleh segala kebutuhan rumahtangga termasuk kebutuhan pangan. Pendapatan berasal dari kegiatan usahatani jagung, kegiatan usahatani selain jagung (usahatani padi, sayuran, perkebunan dan ternak) dan kegiatan diluar usahatani (industri penggilingan padi, pedagang hasil bumi, berburu tani, penyewaan asset pertanian, jasa angkutan, buruh non pertanian, pertukangan kayu/batu, PNS/ABRI dan transfer dari keluarga) serta pendapatan lainnya seperti transfer dari anak dan bantuan langsung tunai (BLT). Adapun sumber pendapatan rumahtangga petani disajikan pada Tabel 25. Sumber pendapatan terbesar dari usahatani jagung diperoleh pada rumahtangga petani jagung varietas unggul baru sebesar Rp8 191 384 karena benih yang digunakan adalah varietas unggul baru dengan pemeliharaan yang lebih intensif dibandingkan dengan petani jagung varietas unggul lama (VUL), sedangkan pada petani jagung varietas unggul lama (VUL) pendapatan usahatani tertinggi diperoleh pada kegiatan usahatani selain jagung sebesar Rp6 781 466. Tabel 25
Struktur pendapatan rumahtangga petani jagung di Provinsi Gorontalo pada tahun 2012
Sumber pendapatan Usahatani jagung (persentase) Usahatani selain jagung (persentase) Luar usahatani (persentase) Rumahtangga (Rp/tahun)
Petani jagung VUB 55.0 33.7 11.3 14 8711)
Petani jagung VUL 28.3 51.0 20.7 13 288
Gabungan responden 45.9 39.4 14.7 14 364
Keterangan : Angka 1) pada baris yang sama masing-masing dikalikan 1000
Pendapatan dengan sumbangan terbesar pada petani jagung varietas unggul lama (VUL) berasal dari kegiatan usahatani selain jagung dan dari luar pertanian (non farm). Hal ini disebabkan oleh luasan lahan yang lebih sempit dan tingkat kesuburan lahan relatif lebih rendah serta keterbatasan sumber air. Untuk mencukupi kebutuhan rumahtangga maka petani mengalokasikan tenaga kerja keluarga di luar sektor pertanian. Struktur pendapatan menurut luas penggunaan lahan Analisis struktur pendapatan pada Tabel 26 memberikan beberapa informasi menarik tentang: (1) Pada petani VUL dan petani VUB peningkatan luas lahan garapan diikuti oleh peningkatan nominal nilai pendapatan yang meningkat masing-masing dari Rp7 316 962 menjadi Rp14 445 038 (VUL) dan Rp4 113 129 menjadi Rp17 129 790 (VUB). Secara agregat peningkatan luas lahan garapan diikuti oleh peningkatan nominal nilai pendapatan yang meningkat dari Rp5 715 045 menjadi Rp16 167 513; (2) Pada petani VUL peningkatan luas lahan garapan diikuti peningkatan kontribusi pendapatan dari usahatani jagung
58
yang meningkat dari 23 persen menjadi 29 persen, namun sebaliknya tidak konsisten terhadap pendapatan luar usahatani (non pertanian) dari 40 persen menjadi 19 persen, pada petani VUB peningkatan luas lahan garapan diikuti oleh peningkatan kontribusi pendapatan dari usahatani jagung yang meningkat secara konsisten dari 34 persen menjadi 56 persen. Secara agregat peningkatan luas lahan garapan diikuti oleh peningkatan kontribusi pendapatan dari usahatani jagung yang meningkat secara konsisten dari 26 persen menjadi 48 persen; (3) Secara agregat petani dengan luas lahan garapan sempit memiliki tingkat diversifikasi sumber pendapatan yang lebih baik dibandingkan petani dengan luas lahan garapan yang lebih besar; (4) Petani VUL dengan luas lahan garapan rendah (<0.5) struktur pendapatannya didiversifikasi oleh pendapatan dari luar usahatani (40 persen), sedangkan petani dengan luas lahan garapan tinggi (>=1.0) struktur pendapatannya didiversifikasi dari usahatani selain jagung (52 persen), sedangkan petani VUB dengan luas lahan garapan sedang (0.5-<1.0) struktur pendapatannya didiversifikasi oleh pendapatan dari usahatani jagung (42 persen), sedangkan petani dengan luas lahan garapan tinggi (>=1.0) struktur pendapatannya didiversifikasi dari usahatani jagung (56 persen). Secara agregat petani dengan luas lahan garapan sedang (0.5-<1.0) struktur pendapatannya didiversifikasi oleh pendapatan dari usahatani selain jagung (37 persen), sedangkan petani dengan luas lahan garapan tinggi (>=1.0) struktur pendapatannya didiversifikasi dari usahatani jagung (48 persen). Hal ini membuktikan bahwa secara agregat pendapatan rumahtangga yang memiliki lahan <0.5 ha sangat tergantung pada sumber pendapatan dari luar usahatani yaitu proporsinya 39 persen. Dimana semakin sempit lahan yang dimiliki petani, maka akan semakin beragam sumber pendapatan yang dimiliki oleh rumahtangga tersebut. Jadi dapat dikatakan bahwa sumber pendapatan luar usahatani sangat potensial sebagai sumber pendapatan rumahtangga dan sekaligus dapat menciptakan kesempatan kerja di pedesaan. Menurut Rasahan (1988) bahwa spesifikasi petani disesuaikan dengan penggolongan unit ekonomi rumahtangga, dimana rumahtangga berlahan marginal aktivitasnya relatif sedikit, sehingga mereka akan menyediakan tenaga kerjanya sebagai buruh, baik di sektor pertanian maupun non pertanian. Lebih lanjut dikatakan bahwa terjadinya perubahan lingkungan perekonomian disekitar mereka, maka mereka akan memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya dalam rangka memaksimumkan pendapatannya. Tabel 26 juga menunjukkan bahwa tingkat diversifikasi pendapatan rumahtangga cukup tinggi. Dengan kata lain bahwa secara umum rata-rata rumahtangga di lokasi penelitian tidak tergantung pada satu sumber pendapatan. Beberapa alasan rumahtangga petani melakukan diversifikasi kegiatan untuk memperoleh pendapatan, yaitu dengan (1) sumber pendapatan tidak dapat memenuhi semua kebutuhan yang diperlukan dan (2) mengurangi resiko kegagalan, artinya apabila salah satu sumber pendapatan tidak berhasil masih ada sumber pendapatan lain yang dapat diharapkan.
59
Tabel 26 Struktur pendapatan rumahtangga petani jagung berdasarkan penguasaan lahan di Provinsi Gorontalo pada tahun 2012 Sumber Pendapatan
< 0.5
Luas Lahan Garapan (ha) 0.50-<1.0
luas >=1.0
Varietas Unggul Lama (VUL)
Usahatani jagung (persentase) Usahatani selain jagung (persentase) Luar usahatani (persentase) Total pendapatan rata-rata (Rp)
23 37 40 7 3161)
23 47 30 9 660
29 52 19 14 445
34 28 38 4 1131)
42 29 29 7 326
56 34 10 17 129
26 34 40 5 7151)
34 37 29 8 128
48 39 13 16 167
Varietas Unggul Baru (VUB)
Usahatani jagung (persentase) Usahatani selain jagung (persentase) Luar usahatani (persentase) Total pendapatan rata-rata (Rp) Gabungan (VUL-VUB)
Usahatani jagung (persentase) Usahatani selain jagung (persentase) Luar usahatani (persentase) Total pendapatan rata-rata (Rp)
Keterangan : Angka 1) pada baris yang sama masing-masing dikalikan 1000
Pentingnya peranan kegiatan di luar usahatani dalam menunjang pendapatan rumahtangga di pedesaan, dapat dilihat dari banyaknya rumahtangga di pedesaan yang dulunya identik dengan pendapatan yang sebagian besar berasal dari sektor pertanian, tapi kini juga pada kegiatan di luar usahataninya, misalnya sebagai buruh tani, pedagang, pegawai, industri rumahtangga dan sebagainya. Adanya peluang bekerja di luar usahatani mendorong rumahtangga pedesaan membuat keputusan untuk mengalokasikan tenaga kerja yang tersedia menjadi lebih efisien, sehingga bisa diasumsikan bahwa dengan tingkat pendapatan usahatani yang rendah, rumahtangga akan berusaha untuk memaksimalkan pendapatan dengan mengkombinasikan kegiatannya.
6 ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI USAHATANI JAGUNG Pemilihan Model Fungsi Produksi Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan koefisien fungsi produksi antara fungsi produksi VUB dan fungsi produksi VUL digunakan model fungsi produksi Cobb-Douglas. Model ini juga digunakan untuk menduga return to scale. Koefisien fungsi produksi diduga dengan metode OLS (Ordinary Least Square). Dalam pendugaan fungsi produksi dilakukan dengan 4 model yaitu model fungsi produksi VUB (model I), model fungsi produksi VUL (model II), model fungsi produksi gabungan tanpa dummy varietas (model III) dan model fungsi produksi gabungan dengan dummy varietas (model IV). Hasil pendugaan disajikan pada Tabel 27. Dari Tabel 27 dapat diketahui bahwa koefisien determinasi berkisar antara 0.71 sampai dengan 0.90. Hal ini menunjukkan
60
bahwa besarnya variasi produksi jagung yang dapat dijelaskan oleh variasi inputinput yang masuk dalam model berkisar antara 71 persen sampai 90 persen. Untuk menentukan sifat pergeseran fungsi produksi jagung dari VUL ke VUB dilakukan dengan membandingkan model I, model II dengan model III dan model IV. Dari analisis varians (Lampiran 8) diperoleh nilai F ratio sebesar 2.36 yang lebih kecil dari nilai F pada taraf 1 persen dengan derajad bebas 7 dan 339 (nilai F tabel 2.64) sehingga hipotesis kesamaan elastisitas produksi dari berbagai input antara VUL dan VUB diterima. Dengan membandingkan regresi pada model III dan model IV diperoleh nilai F ratio sebesar 126.08 yang lebih besar dari nilai F pada taraf 1 persen dengan derajad bebas 1 dan 346 (nilai F tabel 6.63). Ini berarti terdapat perbedaan yang sangat nyata antara model III dan model IV. Kemudian perbedaan model tersebut disebabkan oleh adanya variabel dummy pada model IV, yang berarti bahwa terdapat perbedaan intersep antara kedua model tersebut. Berdasarkan analisis kesamaan elastisitas dan kesamaan intersep maka dapat disimpulkan bahwa perubahan teknologi dari VUL ke VUB bersifat netral. Sehingga perubahan teknologi tersebut tidak mempunyai efek terhadap perubahan ratio penggunaan kapital terhadap tenaga kerja. Berdasarkan pengujian kesamaan koefisien regresi diatas maka model analisis yang selanjutnya digunakan adalah model fungsi produksi gabungan dengan dummy variabel (model IV). Pengujian selanjutnya adalah untuk mengetahui return to scale dari fungsi produksi yang dianalisis. Dengan memasukkan pembatasan (retriksi) elastisitas fungsi produksi sama dengan satu pada model IV. Hasil pendugaan disajikan pada Lampiran 14. Dari hasil pendugaan diperoleh retriksinya nyata pada taraf 1 persen yang berarti bahwa hipotesis nol yang menyatakan bahwa jumlah koefisien fungsi produksi atau elastisitas sama dengan satu ditolak, yang berarti bahwa fungsi produksi tersebut tidak constant return to scale. Oleh karena itu untuk analisis selanjutnya tetap digunakan model IV. Dalam model IV diperoleh jumlah koefisien fungsi produksi (elastisitas) sebesar 1.05 yang berarti bahwa fungsi produksinya increasing return to scale. Jika semua input masing-masing ditingkatkan 10 persen maka produksinya akan meningkat sebesar 10.5 persen. Pengujian asumsi multikollinearity digunakan Variance Inflation Factor (VIF) semua variabel yang dimasukkan dalam model mempunyai nilai VIF yang kurang dari 10 yang berarti bahwa tidak terdapat multikollinearity yang serius diantara variabel-variabel yang masuk dalam model sehingga model IV dapat digunakan untuk analisis selanjutnya. Menurut Sitepu dan Sinaga (2006) jika nilai VIF≥10 diyakini terdapat masalah multikolinearitas antara variabel-variabel yang mempunyai nilai VIF tersebut. Model IV diperoleh bahwa koefisien determinasi model IV adalah sebesar 0.87 yang berarti bahwa variasi luas lahan, benih, urea, phonska, pupuk pelengkap cair, pestisida dan variabel dummy varietas dapat menjelaskan variasi produksi sebesar 87 persen (Lampiran 12). Dari hasil tersebut juga diperoleh F ratio sebesar 288.78 yang sangat nyata pada taraf kurang dari 1 persen. F ratio sebesar itu menunjukkan bahwa variabel-variabel yang masuk dalam model secara bersamasama mempunyai pengaruh yang sangat nyata terhadap produksi. Koefisien dari variabel-variabel yang masuk dalam model mempunyai tanda positif yang nyata pada taraf 9 persen atau kurang. Koefisien fungsi produksi Cobb-Douglas juga menunjukkan elastisitas produksinya. Elastisitas produksi untuk input lahan,
61
input benih, input pupuk urea, input pupuk phonska, input pupuk pelengkap cair, input pestisida, input tenaga kerja dan dummy varietas berturut-turut sebesar 0.49, 0.08, 0.15, 0.05, 0.3, 0.13, 0.13 dan 0.37. Sebagai contoh elastisitas lahan sebesar 0.49, berarti jika luas lahan meningkat sebesar sepuluh persen dengan asumsi faktor-faktor lainnya tetap, maka produksi jagung akan meningkat sebesar 4.9 persen. Tabel 27 Hasil pendugaan fungsi produksi jagung varietas unggul baru, varietas unggul lama, gabungan tanpa dummy, dan gabungan dengan dummy di Provinsi Gorontalo pada tahun 2012 Variabel Konstanta Luas Lahan Benih Urea Phonska PPC Pestisida Tenaga Kerja Dummy Varietas DF R-Square (R2) Adj R-Sq MSE SEE F ratio
Varietas unggul baru Koefisien Pr> |t| 7.07 <.00 0.59 <.00 0.12 0.001) 0.06 0.07 0.03 0.24 0.03 0.12 0.14 <.00 0.12 0.04
Varietas unggul lama Koefisien Pr > |t| 5.61 <.00 0.36 0.001) 0.09 0.25 0.27 0.00 0.07 0.13 0.06 0.15 0.08 0.11 0.09 0.10
Gabungan tanpa dummy Koefisien Pr > |t| 6.02 <.00 0.51 <.00 -0.26 <.00 0.19 <.00 0.08 0.021) 0.03 0.13 0.20 <.00 0.34 <.00
219 0.90 0.90 0.03 6.26 283.51
120 0.71 0.69 0.07 6.92 41.71
347 0.82 0.82 0.05 18.86 229.35
Gabungan dengan dummy Koefisien Pr > |t| 6.15 <.00 0.49 <.00 0.08 0.061) 0.15 0.00 0.05 0.06 0.03 0.09 0.13 <.00 0.13 0.00 0.37 <.00 346 0.87 0.87 13.82 0.04 288.78
Keterangan : Angka 1) adalah nilai yang dibagi dua atau dari satu sisi (bantil) pada masing-masing kolom yang sama
Pendugaan Fungsi Produksi Stochastik Frontier Jagung di Provinsi Gorontalo Berdasarkan pemilihan model yang telah diuraikan diatas maka untuk menduga efisiensi teknis, efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomis digunakan model fungsi produksi gabungan dengan dummy variabel (dummy varietas). Model fungsi produksi Cobb-Douglas gabungan dengan dummy variabel diduga dengan metode Maximum Likelihood Estimator (MLE). Oleh karena dalam pendugaan model juga ingin diketahui faktor-faktor inefisiensi teknis maka dalam pendugaan dengan metode MLE dilakukan secara simultan dengan menggunakan program frontier 4.1. Hasil pendugaan disajikan pada Tabel 28. Nilai gamma merupakan kontribusi dari efisiensi teknis didalam efek residual total. Nilai yang mendekati 1 yaitu 0.81 keduanya tidak berbeda nyata dengan nol atau nyata berpengaruh pada taraf 1 persen (Lampiran 15). Angka ini menunjukkan bahwa 81 persen dari variasi hasil diantara petani contoh disebabkan oleh perbedaan efisiensi teknis dan sisanya sebesar 19 persen disebabkan oleh efek-efek stochastic seperti pengaruh iklim, serangan hama penyakit, dan kesalahan dalam pemodelan. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh inefisiensi teknis merupakan faktor yang berpengaruh nyata di dalam variabilitas output.
62
Nilai gamma ( ) dalam penelitian ini lebih rendah daripada gamma ( ) yang ditemukan oleh Kurniawan (2008) pada petani jagung di Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan sebesar 0.86; Msuya et al. (2008) pada petani jagung di Tanzania sebesar 0.96. Namun nilai gamma ( ) dalam penelitian ini lebih tinggi daripada nilai gamma ( ) yang ditemukan oleh Oyewo dan Fabiyi (2008) pada petani jagung di Surulere Local Goverment Area Oyo State, Nigeria sebesar 0.56; Bravo, Ureta-Pinheiro (1997) pada petani jagung di Dominican Republic sebesar 0.52; Kibaara (2005) pada petani jagung di Kenya sebesar 0.79. Nilai ratio generalised-likelihood (LR) dari usahatani jagung lebih besar dari nilai tabel artinya secara statistik nyata pada taraf 5 persen (diperoleh dari tabel distribusi X Chi Square). Hal ini mempunyai arti nilai LR test secara kuat menolak hipotesis bahwa tidak ada efek inefisiensi. Artinya hampir semua variasi dalam keluaran dari fungsi produksi frontier dapat dianggap sebagai pencapaian efisiensi teknis berkaitan dengan persoalan manajerial dalam pengelolaan usahatani jagung. Parameter dugaan pada fungsi produksi stochastic frontier menunjukkkan nilai elastisitas produksi batas (frontier) dari input-input yang digunakan. Tabel 28
Hasil pendugaan fungsi produksi stochastic frontier pada usahatani jagung dengan menggunakan metode Maximum Likelihood Estimation (MLE) di Provinsi Gorontalo pada tahun 2012
Variabel Konstanta Lahan (X1) Benih (X2) Urea (X3) Phonska (X4) Pupuk pelengkap cair (X5) Pestisida (X6) Tenaga kerja (X7) Dummy varietas (D) Sigma-squared (σ2) Gamma (γ) L-R test
Koefisien 6.24 0.42*** 0.13*** 0.15*** 0.07** 0.04** 0.12*** 0.11*** 0.35*** 0.07*** 0.81***
Standar -error
t-ratio
0.26 0.04 0.05 0.03 0.03 0.02 0.02 0.04 0.03 0.02 0.06
23.89 9.62 2.67 4.36 2.19 1.94 5.16 2.57 11.27 3.63 12.55 45.82
Keterangan : *** = nyata pada taraf 1 persen; ** = nyata pada taraf 5 persen; * = nyata pada taraf 10 persen
Variabel lahan nyata terhadap produksi jagung pada taraf 1 persen. Parameter dugaan variabel lahan pada petani paling besar 0.42 dibandingkan dengan variabel lain yang artinya jika lahan diperluas satu persen maka produksi akan meningkat. Dengan kata lain apabila luas lahan bertambah 1 persen dengan input lainnya tetap maka produksi jagung meningkat dengan tambahan produksi 0.42 (Lampiran 15). Angka ini menunjukkan bahwa produksi jagung sangat responsif terhadap luas lahan, atau dengan kata lain lahan merupakan faktor dominan dari produksi jagung di Gorontalo. Hasil penelitian ini konsisten dengan hasil penelitian Anupama (2005), Oyewo dan Fabiyi (2008), Mignouna et al. (2012), Isaac (2011), Bravo-Ureta dan Pinheiro (1997), Aye dan Mungatana
63
(2010), Msuya et al. (2008), Antara (2010) yang melaporkan lahan berpengaruh positif dan nyata terhadap produksi jagung. Namun terjadi kontradiktif dengan hasil penelitian Olawa dan Olawa (2010) bahwa tidak ada pengaruh yang nyata luas lahan terhadap produksi. Kondisi dilapangan menunjukkan bahwa luas penguasaan lahan untuk usahatani jagung VUB yaitu 1.26 hektar lebih luas dibandingkan dengan penguasaan lahan pada petani jagung VUL yaitu 1.18 hektar. Hal ini menunjukkan bahwa jagung VUB lebih banyak dibudidayakan oleh petani, karena pembudidayaan jagung VUB memberikan produksi yang lebih tinggi walaupun input teknologi cukup tinggi dan modal yang besar. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa usahatani jagung masih dapat di tambah luas lahannya dengan memanfaatkan lahan yang selama ini belum dimanfaatkan di Provinsi Gorontalo. Potensi lahan kering di Provinsi Gorontalo 447 948 hektar, untuk pengembangan jagung 220 406 hektar, yang sudah dimanfaatkan 99 176 hektar (45 persen) sedangkan yang belum dimanfaatkan 121 230 hektar (55 persen) (Lampiran 5). Implikasinya adalah perlu memanfaatkan lahan yang selama ini belum dimanfaatkan dan optimalisasi lahan melalui peningkatan intensitas pertanaman. Variabel benih nyata terhadap produksi jagung pada taraf 1 persen, benih mempunyai nilai koefisien dugaan bertanda positif dan berpengaruh nyata serta mempunyai elastisitas produksi sebesar 0.13. Angka ini menunjukkan bahwa penambahan jumlah benih sebesar satu persen dengan input lainnya tetap, masih dapat meningkatkan produksi jagung dengan penambahan produksi sebesar 0.13 persen di daerah penelitian. Produksi jagung dilokasi penelitian dipengaruhi oleh banyaknya jumlah benih yang digunakan. Hal ini mengindikasikan bahwa produksi responsif terhadap benih. Berdasarkan pengamatan dilapangan bahwa rata-rata benih jagung yang digunakan oleh petani responden sebanyak 17.61 kg per hektar. Penggunaan benih VUB sebanyak 15.26 kg per hektar lebih rendah dibandingkan dengan penggunaan benih VUL yaitu sebanyak 22.07 kg per hektar. Penggunaan benih yang tinggi oleh petani karena kualitas benih yang digunakan oleh petani tergolong rendah sehingga daya tumbuhnya juga rendah. Petani menggunakan benih berlebih untuk mengantisipasi daya tumbuh benih yang rendah. Selain itu ketersediaan benih pada saat musim tanam tiba dalam jumlah yang dibutuhkan belum tersedia tepat waktu, disamping itu harga benih jagung (VUB) relatif lebih mahal. Antisipasi kekurangan benih pada saat musim tanam tiba sebagian besar petani jagung menggunakan benih hasil produksi sebelumnya atau membeli benih jagung yang tidak bersertifikat kepada petani lain. Ketersediaan benih bersertifikat dalam jumlah yang cukup belum tersedia. Dengan demikian ketersedian benih dan distribusi benih varietas unggul sangat penting difasilitasi oleh pemerintah karena petani masih menghadapi permasalahan baik ketersediaan maupun kualitas benih. Pendapat Rusastra et al. (2011) bahwa difusi teknologi tidak berjalan sesuai harapan adalah, karena akibat pengadaan benih yang bersifat sentralistik khususnya di daerah dimana akses petani terhadap benih telah berjalan bagus, baik yang bersumber dari kios saprodi terdekat atau yang berasal dari penangkar benih lokal. Implikasinya adalah perbaikan produksi dan distribusi benih di lokasi,
64
peningkatan penangkar benih di lokasi serta dukungan benih unggul dengan harga yang terjangkau. Hasil penelitian ini konsisten dengan hasil penelitian Kibaara (2005) bahwa benih berpengaruh nyata terhadap produksi tanaman jagung di Kenya; Essilfie et al. (2011) benih berpengaruh nyata terhadap produksi tanaman jagung di Ghana; Isaac (2011) benih berpengaruh nyata terhadap produksi tanaman jagung di Oyo Nigeria dan Kurniawan (2007) benih nyata pada tanaman jagung di Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan. Namun terjadi kontradiktif dengan hasil penelitian Olawa dan Olawa (2010) benih tidak berpengaruh nyata terhadap produksi tanaman jagung di Nigeria. Variabel pupuk urea berpengaruh nyata terhadap produksi jagung pada taraf 1 persen. Parameter dugaan variabel pupuk urea 0.15. Angka ini menunjukkan bahwa penambahan jumlah pupuk urea sebesar satu persen dengan input lainnya tetap, masih dapat meningkatkan produksi jagung dengan penambahan produksi sebesar 0.15 persen di daerah penelitian. Didaerah penelitian penggunaan pupuk urea ditingkat petani rata-rata sebesar 196.03 kg per hektar. Penggunaan pupuk urea pada petani jagung VUB rata-rata sebesar 201.47 kg per hektar, sedangkan VUL penggunaan pupuk urea ditingkat petani rata-rata 185.70 kg per hektar. Rekomendasi untuk jagung VUB adalah 250 kg per hektar sampai 320 kg per hektar. Rendahnya penggunaan pupuk urea disebabkan oleh harga pupuk urea yang tinggi ditingkat petani. Pemupukan bertujuan untuk mencukupi unsur hara selama proses pertumbuhan tanaman jagung. Penggunaan pupuk urea berfungsi meningkatkan kadar protein sehingga dapat menambah hasil dan kualitas, untuk pertumbuhan daun, batang dan akar sehingga dapat mengurangi kerebahan. Hasil ini konsisten dengan yang dilaporkan oleh Mignouna et al. (2012), Kusnadi et al. (2011) dan Muslimin (2012) bahwa penggunaan pupuk urea dapat meningkatkan produksi. Namun kontradiktif hasil penelitian ini dengan hasil yang dilaporkan oleh Isaac (2011) bahwa penggunaan pupuk tidak berpengaruh pada produksi jagung. Selanjutnya menurut Tisdale et al. (1990) dan Engelstad (1985) pemakaian pupuk khususnya N (urea) dalam jumlah yang semakin tinggi mengindikasikan tingkat kesuburan lahan yang rendah karena lahan telah mengalami perubahan sifat kimia yang mengarah pada meningkatnya derajat keasaman tanah. Nitrogen merupakan salah satu unsur hara penting yang sangat mempengaruhi secara nyata pertumbuhan tanaman dan produksi jagung. Variabel pupuk phonska nyata terhadap produksi jagung. Parameter dugaan variabel pupuk phonska yang merupakan elastisitas produksi 0.07. Hasil ini konsisten dengan penelitian Suwulan et al. ( 2004) bahwa respon tanaman terhadap pemberian pupuk akan meningkat apabila pupuk yang digunakan tepat jenis, tepat dosis, tepat waktu dan cara pemberian. Didaerah penelitian penggunaan rata-rata pupuk phonska ditingkat petani masih rendah rata-rata 138.94 kg per hektar, sedangkan rekomendasi adalah 185 kg per hektar sampai 350 kg per hektar. Pendapat lain dari penelitian Triastono (2006) bahwa penggunaan pupuk SP-36 tidak berpengaruh terhadap produktivitas jagung. Hal ini karena unsur P merupakan unsur hara yang sulit terserap oleh tanaman sehingga hara tersebut masih tersedia dalam tanah sebagai residu dari pemupukan musim tanam pada periode sebelumnya.
65
Penggunaan pupuk pelengkap cair (ppc) mempunyai nilai koefisien dugaan bertanda positif dan berpengaruh nyata terhadap produksi. Parameter dugaan variabel pupuk pelengkap cair yang merupakan elastisitas produksi 0.04 (Lampiran 15). Angka ini menunjukkan bahwa penambahan jumlah pupuk pelengkap cair sebesar satu persen dengan input lainnya tetap, masih dapat meningkatkan produksi jagung varietas dengan penambahan produksi sebesar 0.04 persen. Penggunaan pupuk baik pupuk organik maupun pupuk anorganik dilokasi penelitian masih beragam. Penyebab dari beragamnya dosis pemupukan, diantaranya adalah tingkat kesuburan tanah yang berbeda atau karena kendala keuangan rumahtangga petani sehingga tidak bisa mengalokasikan biaya untuk melakukan pemupukan berimbang. Lahan budidaya jagung dilokasi penelitian sebagian merupakan lahan bukaan baru sekitar 5-6 tahun terakhir, sehingga sangat membutuhkan pupuk pelengkap cair untuk meningkatkan produksi jagung. Selain itu rata-rata dosis pupuk urea dan phonska yang digunakan untuk usahatani tanaman jagung di lokasi penelitian lebih rendah dari rekomendasi untuk tanaman tersebut sehingga usaha peningkatan penggunaan pupuk penting untuk dilakukan bagi petani yang berusahatani jagung varietas unggul baru. Dengan demikian penggunaan pupuk pelengkap cair masih dapat ditingkatkan karena masih dapat meningkatkan produksi. Kondisi ini disebabkan kebutuhan tanaman akan unsur hara berupa unsur N, P dan K dapat terpenuhi. Pestisida mempunyai nilai koefisien dugaan bertanda positif dan berpengaruh nyata terhadap produksi jagung pada taraf 1 persen serta mempunyai nilai elastisitas produksi sebesar 0.12 (Lampiran 15). Peranan pestisida terhadap produksi jagung berbeda dengan input lainnya. Pestisida tidak meningkatkan produksi tetapi menyelamatkan produksi dari serangan hama dan penyakit. Penggunaan pestisida oleh petani jagung dilokasi penelitian rata-rata 3.56 kg per hektar. Adapun hubungannya dengan peningkatan produksi terjadi karena tanaman yang sehat akan lebih responsif terhadap penyerapan unsur hara sehingga produksi jagung meningkat. Penggunaan pestisida dimaksudkan untuk mengendalikan hama dan penyakit tanaman selama proses pertumbuhan tanaman. Petani dilokasi penelitian sudah mengantisipasi pertanaman dengan cara menggunakan benih yang telah diberi metalaksis untuk mencegah penyakit bulai pada tanaman jagung yang biasanya menyerang pada umur muda. Selain itu penggunaan pestisida berkaitan dengan anjuran teknologi tepat guna yaitu tepat waktu, tepat jumlah, tepat jenis, tepat harga, tepat mutu dan penggunaan, sehingga pengendalian OPT, penyampaian informasi dan rekomendasi pengendalian OPT, pelaksanaan pengendalian OPT dan penyediaan sarana pengendalian sudah efektif. Hasil penelitian ini kontradiktif dengan hasil penelitian Essilfie et al. (2011) pada tanaman jagung bahwa pestisida tidak berpengaruh terhadap produksi. Tenaga kerja bertanda positif dan berpengaruh nyata terhadap produksi jagung pada taraf 1 persen serta mempunyai nilai elastisitas produksi sebesar 0.11 (Lampiran 15). Rata-rata penggunaan tenaga kerja pada petani jagung adalah 61 HKSP per hektar. Hasil ini konsisten dengan hasil penelitian Muslimin (2012) pada tanaman padi varietas unggul baru bahwa penambahan penggunaan tenaga kerja luar keluarga dapat meningkatkan produktivitas, selain itu berpengaruh positif terkait dengan keterampilan yang dimiliki. Biasanya tenaga kerja luar
66
keluarga mempunyai keterampilan teknis lebih baik karena mereka menawarkan jasanya. Penggunaan tenaga kerja luar keluarga mempunyai komitmen finansial sehingga akan bekerja lebih produktif. Namun penelitian ini kontradiktif dengan penelitian Isaac (2011) pada tanaman jagung bahwa tenaga kerja bertanda negatif dan tidak berpengaruh nyata terhadap produksi, Msuya et al. (2008) tenaga kerja luar keluarga berpengaruh nyata terhadap produksi jagung namun tenaga kerja dalam keluarga tidak berpengaruh terhadap produksi jagung di wilayah Tanzania. Variabel dummy varietas mempunyai nilai koefisien dugaan bertanda positif dan berpengaruh nyata terhadap produksi jagung artinya bahwa peluang produksi lebih tinggi dengan menggunakan varietas unggul baru daripada menggunakan varietas unggul lama (Lampiran 15). Hal ini mengindikasikan bahwa produksi jagung dilokasi penelitian dipengaruhi oleh penggunaan varietas unggul baru. Varietas yang banyak digunakan oleh petani jagung di Provinsi Gorontalo adalah varietas hibrida Bisi 2 yang mempunyai beberapa keunggulan antara lain mempunyai potensi hasil sebesar 13 ton per hektar pipilan kering dengan rata-rata hasil 8.9 ton per hektar pipilan kering, selain itu toleran terhadap penyakit bulai dan karat daun (Lampiran 2). Secara genetis varietas unggul baru memiliki potensi produktivitas yang jauh lebih tinggi dibandingkan benih varietas unggul lama. Hasil ini konsisten dengan yang dilaporkan oleh Antara (2010) bahwa benih jagung hibrida di Kecamatan Palolo Kabupaten Sigi berproduksi lebih tinggi sebesar 4 505 kg per hektar pipilan kering dibandingkan dengan jagung nonhibrida sebesar 2 720 kg per hektar pipilan kering. Produksi jagung dilokasi penelitian dipengaruhi oleh penggunaan varietas unggul baru (VUB). Dari pengusahaan varietas, diketahui dilokasi penelitian terdapat kecendrungan bahwa produksi jagung varietas unggul baru (VUB) lebih tinggi daripada petani yang mengusahakan varietas unggul lama (VUL). Ratarata produksi jagung varietas unggul baru dilokasi penelitian adalah sekitar 5 202 kg per ha, sedangkan untuk varietas unggul lama sekitar 3 281 kg per ha. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat produksi jagung lebih tinggi dengan menggunakan VUB dibandingkan VUL. Secara empiris terjadi pergeseran penggunaan benih dari benih VUL ke penggunaan benih VUB pada usahatani jagung. Pergeseran penggunaan benih dari VUL menjadi VUB terkait dengan adanya kebijakan pemerintah daerah untuk menjadikan jagung sebagai komoditas unggulan didaerah. Berdasarkan hasil pendugaan parameter diatas bahwa lahan, benih, pupuk, pestisida, tenaga kerja dan dummy varietas mempunyai pengaruh terhadap produksi jagung. Hal ini dapat dikatakan bahwa lahan, benih, pupuk dan tenaga kerja merupakan input produksi penggeser fungsi produksi kearah frontiernya. Implikasinya adalah diperlukan pemanfaatan lahan kering yang optimal untuk pertanaman jagung supaya mendorong produksi lebih tinggi. Penggunaan benih varietas unggul baru yang berdaya hasil tinggi serta spesifik lokasi. Selanjutnya aplikasi penggunaan pupuk agar lebih memperhatikan rekomendasi pemupukan spesifik lokasi agar memperoleh produksi yang lebih tinggi. Efisiensi teknis dan faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi teknis petani jagung di Provinsi Gorontalo Efisiensi teknis dihitung dengan menggunakan software frontier 4.1. Distribusi frekuensi efisiensi teknis dapat dilihat pada Tabel 29. Rata-rata efisiensi
67
usahatani jagung varietas unggul baru (VUB) lebih tinggi dari jagung varietas unggul lama (VUL). Pada usahatani jagung varietas unggul baru rata-rata efisiensi teknis adalah 82 persen, nilai efisiensi teknis terendah 54 persen dan nilai efisiensi teknis tertinggi adalah 97 persen. Sedangkan pada varietas unggul lama rata-rata efisiensi teknis adalah 78 persen, nilai efisiensi teknis terendah 41 persen dan nilai efisiensi teknis tertinggi adalah 95 persen. Suatu usahatani dikategorikan cukup efisien jika nilai indeks efisiensinya lebih besar 0.70 (Kumbakar (2001); Bakhsh dan Ahmad (2006)). Berdasarkan hasil penelitian, Tabel 29 bahwa petani varietas unggul baru sebanyak 196 petani ( 86.35 persen) mencapai tingkat efisiensi teknis diatas 0.70, dan sebanyak 31 petani (13.65 persen) masih berada pada kondisi tidak efisien atau masih mengalami inefisiensi teknis dalam usahataninya. Hal ini menunjukkan bahwa umumnya petani varietas unggul baru dalam prakteknya berhasil mewujudkan prestasi terbaik melalui pencapaian produksi yang mendekati potensi maksimum dengan penerapan teknologi varietas unggul baru. Tabel 29
Tingkat Efisiensi (persentase) 0-10 11-20 21-30 31-40 41-50 51-60 61-70 71-80 81-90 91-100 Jumlah Maksimum Minimum Rata-rata
Distribusi frekuensi efisiensi teknis petani jagung varietas unggul baru, petani jagung varietas unggul lama dan gabungan responden di Provinsi Gorontalo pada tahun 2012 Varietas Unggul Baru Jumlah Persentase Petani 0 0 0 0 0 6 25 47 107 42 227
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2.64 11.01 20.70 47.15 18.50 100 97 54 82
Varietas unggul lama Jumlah Persentase petani 0 0 0 0 2 11 18 31 42 24 128 95 41 78
0.00 0.00 0.00 0.00 1.56 8.60 14.10 24.22 32.81 18.71 100
Gabungan responden Jumlah Persentase petani 0 0 0 0 2 17 43 78 149 66 355 97 41 81
0.00 0.00 0.00 0.00 0.56 4.79 12.11 21.97 41.97 18.6 100
Pada petani varietas unggul lama sebanyak 97 petani (75.74 persen) mencapai tingkat efisiensi teknis diatas 0.70, dan sebanyak 31 petani (24.26 persen) masih berada pada kondisi tidak efisien atau masih mengalami inefisiensi teknis dalam usahataninya. Hal ini menunjukkan bahwa setengah dari petani varietas unggul lama dalam prakteknya berhasil mewujudkan prestasi terbaik melalui pencapaian produksi yang mendekati potensi maksimum dengan penerapan teknologi varietas unggul lama dan sebagian lagi dalam prakteknya belum berhasil mewujudkan prestasi terbaik melalui pencapaian produksi yang mendekati potensi maksimum. Besaran efisiensi teknis yang ada pada jagung varietas unggul lama berimplikasi pada strategi penyuluhan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kapabilitas manajerial usahatani jagung.
68
Pada jagung varietas unggul lama sebanyak 24.26 persen petani yang mempunyai efisiensi teknis dibawah 0.70 dapat dijadikan sebagai sasaran utama program penyuluhan berupa pelatihan atau training untuk meningkatkan efisiensi teknisnya. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan rata-rata efisiensi teknis untuk jagung varietas unggul baru adalah 82 persen, petani yang mencapai efisiensi teknis lebih besar 80 persen sekitar 65.65 persen. Sedangkan rata-rata efisiensi teknis untuk jagung varietas unggul lama adalah 78 persen, petani yang mencapai efisiensi teknis lebih besar 80 persen sekitar 51.52 persen. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada tingkat input dan teknologi yang ada, output atau produksi jagung varietas unggul baru dapat ditingkatkan sebesar (97-82) persen atau 15 persen, sedangkan pada tingkat input dan teknologi yang ada, output atau produksi jagung varietas unggul lama dapat ditingkatkan sebesar (95-78) persen atau 17 persen. Selanjutnya pada tingkat input dan teknologi yang ada, output atau produksi jagung dapat ditingkatkan sebesar (9781) persen atau 16 persen. Perbedaan tingkat efisiensi teknis yang dicapai petani di lokasi penelitian mengindikasikan tingkat penguasaan dan aplikasi teknologi yang berbeda-beda. Hal ini sejalan dengan pendapat Prayoga (2010) bahwa perbedaan tingkat penguasaan teknologi dapat disebabkan oleh atribut yang melekat pada diri petani seperti pengalaman berusahatani, umur, dan pendidikan juga dapat disebabkan oleh faktor eksternal seperti penyuluhan. Perbedaan dalam aplikasi teknologi yaitu dalam hal penggunaan input produksi disamping disebabkan oleh tingkat penguasaan teknologi, juga disebabkan oleh kemampuan petani untuk mendapatkan input produksi, jumlah anggota keluarga usia produktif berperan bagi petani dalam hal penggunaan input tenaga kerja. Rata-rata efisiensi teknis petani responden dalam penelitian ini lebih rendah daripada rata-rata efisiensi teknis yang ditemukan oleh Aye dan Mungatana (2010) pada petani jagung hibrida (0.88) dengan metode SFPF dan petani jagung tradisional (0.79) dengan metode SIDF di Benue State Nigeria. Namun rata-rata efisiensi teknis petani responden lebih tinggi daripada yang ditemukan oleh Bravo-Ureta dan Pinheiro (1997) untuk petani jagung (0.7) di Republik Dominica; Msuya et al. (2008) untuk petani jagung (0.66) di Tanzania; Kurniawan (2008) rata-rata tingkat efisiensi teknisnya (0.8) di Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan; Kibaara (2005) rata-rata tingkat efisiensi teknisnya (0.49) di Kenya; Essilfie et al. (2011) rata-rata tingkat efisiensi teknisnya (0.58); dan Anupama et al. (2005) rata-rata tingkat efisiensi teknisnya (0.77). Faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi usahatani jagung ditampilkan pada Tabel 30. Sumber inefisiensi juga diduga dari model Cobb-Douglas secara simultan. Fungsi produksi batas atau stochastic frontier dengan menggunakan MLE melihat pengaruh faktor-faktor penduga inefisiensi teknis bersama-sama dengan variabel input produksi lainnya terhadap produksi jagung. Faktor-faktor penduga inefisiensi selain mempengaruhi produksi jagung juga menentukan ratarata inefisiensi teknis petani jagung. Tanda negatif pada parameter inefisiensi menunjukkan bahwa variabel tersebut menurunkan inefisiensi teknis atau meningkatkan efisiensi teknis dan sebaliknya tanda positif menunjukkan bahwa peningkatan variabel tersebut akan meningkatkan inefisiensi teknis atau menurunkan efisiensi teknis.
69
Terdapat perbedaan dalam efisiensi dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang berbeda diantara petani jagung. Beberapa faktor tersebut antara lain faktor sosial ekonomi, infrastruktur dan faktor lingkungan dapat mempengaruhi efisiensi. Terdapat empat variabel yang dihipotesakan menjadi sumber inefisiensi jagung. Variabel tersebut antara lain adalah lama pendidikan (z1), dummy keanggotaan dalam kelompok tani (z2), dummy akses kredit (z3) dan dummy penyuluhan (z4). Hasil pendugaan faktor yang mempengaruhi inefisiensi teknis dapat dilihat pada Tabel 30. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel lama pendidikan, keanggotaan dalam kelompok tani dan dummy penyuluhan bertanda negatif. Tanda ini sesuai dengan harapan yang artinya dapat mengurangi inefisiensi teknis atau meningkatkan efisiensi teknis. Berdasarkan hasil penelitian dan kriteria statistik, bahwa keanggotaan dalam kelompok tani, dummy akses kredit dan penyuluhan berpengaruh nyata pada taraf 5 persen, taraf 10 persen dan taraf 1 persen. Hal ini menunjukkan variabel tersebut merupakan faktor penentu ketidakefisienan dalam berusahatani jagung. Sedangkan variabel pendidikan secara statistik tidak berpengaruh nyata dan pengaruhnya negatif. Tabel 30
Hasil pendugaan parameter model efek inefisiensi teknis produksi stochastic frontier petani jagung di Provinsi Gorontalo pada tahun 2012
Variabel Konstanta Lama pendidikan (Z1) Dummy keanggotaan dalam kelompok tani (Z2) Dummy akses kredit (Z3) Dummy penyuluhan(Z4)
Koefisien 0.37 -0.00 -0.14** -0.08* -0.18***
Standard-error 0.09 0.00 0.07 0.06 0.07
t- ratio 4.19 -0.58 -2.03 -1.44 -2.67
Keterangan : *** = nyata pada taraf 1 persen; ** = nyata pada taraf 5 persen; * = nyata pada taraf 10 persen
Pendidikan tidak berpengaruh terhadap inefisiensi, namun pendidikan parameter dugaannya negatif (-0.00) atau sesuai harapan. Pendidikan adalah faktor penting yang mempertajam kemampuan manajerial petani, sehingga membantu petani dalam membuat suatu keputusan pada waktu yang tepat. Pendidikan petani dapat memungkinkan mereka untuk memanfaatkan informasi yang baik tentang produksi masukan, sehingga meningkatkan efisiensi penggunaan input. Pendidikan kepala keluarga (KK) rumahtangga petani mempunyai tanda negatif terhadap inefisiensi teknis. Hal ini menyatakan bahwa pendidikan pada petani jagung merupakan variabel penting yang dapat meningkatkan efisiensi. Artinya semakin lama KK menempuh pendidikan maka petani dapat menurunkan inefisiensi teknisnya dalam mengelola usahataninya atau dengan kata lain lebih efisien. Kondisi dilapangan membuktikan bahwa pendidikan petani masih rendah rata-rata setingkat SD sehingga menjadi masalah dalam efisiensi dan hal ini dapat menjadi landasan bagi kebijakan pemerintah untuk meningkatkan pendidikan dan keterampilan manajerial petani. Petani dengan pendidikan yang lebih tinggi, akan lebih terbuka dalam menerima informasi dan lebih mudah mengadopsi atau menerima perubahan teknologi sehingga hal ini akan meningkatkan efisiensi.
70
Pendidikan petani dapat merupakan kombinasi antara pendidikan formal dan informal seperti keterampilan teknis atau peningkatan softskill melalui pelatihan atau training. Hasil penelitian ini mendukung pernyataan bahwa peningkatan human capital dirumahtangga perdesaan dapat meningkatkan pengelolaan usahatani dan akhirnya dapat mencapai produktivitas yang tinggi. Pendidikan merupakan investasi, sebagai sebuah strategi untuk meningkatkan produktivitas pertanian melalui hubungan komplementer dengan penggunaan input produksi. Hasil ini konsisten dengan penelitian Nahraeni (2012) bahwa pendidikan dapat mengurangi inefisiensi teknis pada tanaman kentang dan tanaman kubis di Jawa Barat, Muslimin (2012) pendidikan formal dapat mengurangi inefisiensi teknis produktivitas padi sawah, hal ini disebabkan petani yang mempunyai pendidikan formal yang tinggi wawasannya lebih luas dan akan mempengaruhi manajemen pengelolaan usahatani yang lebih baik, Tinaprilla (2012) pendidikan dapat mengurangi inefisiensi pada tanaman padi sawah di Sumatera Utara, Jawa Barat dan Jawa Tengah, Msuya et al. (2008) pendidikan formal dapat mengurangi inefisiensi teknis pada tanaman jagung di Tanzania; Essilfie et al. (2011) pendidikan dapat mengurangi inefisiensi teknis pada tanaman jagung di Western Kenya; Isaac (2011) pendidikan dapat mengurangi inefisiensi teknis pada tanaman jagung di Oyo Nigeria; Kurniawan (2007) pendidikan dapat mengurangi inefisiensi teknis pada tanaman jagung di Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan, karena variabel ini dianggap sebagai proxy dari kemampuan manajerial petani, selanjutnya dikatakan pula bahwa semakin lama pendidikan petani diduga semakin mendorong petani untuk efisien dalam proses produksi dan penggunaan input-input produksi; Paudel dan Matsuoka (2009) pendidikan dapat mengurangi inefisiensi teknis pada tanaman jagung di Chitwan District Nepal; Kalirajan (1981) pendidikan dapat mengurangi inefisiensi teknis namun tidak nyata pada tanaman padi di Tamildu India. Namun hasil penelitian ini kontradiktif dengan temuan Nyagaka et al. (2010) bahwa pendidikan dapat meningkatkan inefisiensi teknis pada tanaman kentang di Kenya dan Bakhsh et al. (2006) pendidikan dapat meningkatkan inefisiensi teknis pada tanaman kentang di Pakistan. Keanggotaan dalam kelompok tani nyata berpengaruh terhadap inefisiensi teknis pada petani jagung dengan taraf 5 persen serta parameter dugaan negatif (-0.14). Petani yang menjadi anggota kelompok tani akan dapat; (1) meningkatkan pengetahuan melalui pendidikan non formal, (2) meningkatkan kemampuan manajerialnya, (3) meningkatkan aksesibilitas terhadap teknologi dan inovasi baru, dan (4) meningkatkan aksesibilitas terhadap bantuan kredit dan bantuan lainnya, karena umumnya disalurkan melalui kelompok tani. Adanya manfaatmanfaat keanggotaan petani tersebut menyebabkan petani jagung di daerah penelitian yang menjadi anggota kelompok tani cendrung lebih efisien secara teknis. Hasil penelitian menunjukkan variabel keanggotaan bertanda negatif dan berpengaruh nyata, artinya petani yang ikut dalam kelompok tani dapat mengelola usahataninya lebih efisien, hal ini sesuai dengan harapan. Dilihat dari keanggotaan kelompok tani, petani varietas unggul baru dan petani varietas unggul lama yang tidak ikut dalam kelompok tani masing-masing sebesar 16.30 persen dan 46.87 persen, sedangkan yang ikut dalam keanggotaan kelompok tani masing-masing sebesar 83.70 persen dan 53.13 persen. Persentase petani jagung yang menjadi anggota kelompok tani lebih banyak dibandingkan
71
petani yang tidak ikut dalam kelompok tani. Namun ada juga petani yang yang belum merasakan manfaat berkelompok sehingga memutuskan untuk tidak menjadi anggota kelompok tani. Hasil ini konsisten dengan temuan Msuya et al. (2008) keanggotaan dalam kelompok tani nyata berpengaruh terhadap inefisiensi teknis pada tanaman jagung di Tanzania; Olawa dan Olawa (2010) bahwa keanggotaan dalam kelompok tani nyata berpengaruh terhadap inefisiensi teknis, artinya keanggotaan dalam kelompok tani dapat meningkatkan efisiensi teknis pada tanaman jagung di Osun Nigeria. Keanggotaan dalam kelompok tani akan meningkatkan efisiensi penggunaan inputnya, Kurniawan (2007) keanggotaan dalam kelompok tani menurunkan inefisiensi teknis namun tidak nyata berpengaruh terhadap tanaman jagung; Nyagaka et al. (2010) keanggotaan dalam kelompok tani nyata berpengaruh terhadap inefisiensi teknis, artinya keanggotaan dalam kelompok tani dapat meningkatkan efisiensi teknis pada tanaman kentang di Kenya. Hasil penelitian ini kontradikif dengan temuan Tinaprilla (2012) pada tanaman padi di Jawa Timur. Akses terhadap kredit berpengaruh nyata terhadap inefisiensi teknis pada petani jagung dengan parameter dugaan negatif (-0.08). Akses kredit menurunkan inefisiensi pada petani jagung, hasil ini sesuai dengan hipotesis sebelumnya. Akses kredit memainkan peran penting agar usahatani lebih produktif dan efisien. Kekurangan ketersediaan kredit atau keterbatasan kapital yang dihadapi oleh petani merupakan salah satu masalah penting dalam perbaikan efisiensi. Peningkatan efisiensi produksi jagung dapat mengikutkan kebijakan program untuk meningkatkan kemampuan petani agar mampu dalam mengakses fasilitas kredit. Fakta dilapangan membuktikan bahwa pada petani varietas unggul baru dan petani varietas unggul lama rata-rata persentase yang mengakses kredit masingmasing adalah 65.64 persen dan 46.09 persen, banyak petani meminjam saprodi pada saat mulai pertanaman, selain itu petani juga meminjam dalam bentuk tunai untuk keperluan rumahtangganya. Pembayaran biasanya dilakukan setelah panen. Peminjaman dilakukan baik kredit lembaga formal maupun kelembagaan kios sarana produksi. Ketergantungan ini berdampak pada meningkatnya inefisiensi teknis usahatani jagung. Ini mengindikasikan pentingnya kelembagaan keuangan mikro pada daerah sentra produksi jagung. Hasil penelitian ini konsisten dengan temuan Nyagaka et al.(2010) bahwa akses kredit berpengaruh nyata meningkatkan inefisiensi teknis pada tanaman kentang di Kenya; Tinaprilla (2012) akses kredit berpengaruh nyata meningkatkan inefisiensi teknis pada tanaman padi di Jawa Barat dan Jawa Tengah; Nahraeni (2012) akses kredit berpengaruh nyata meningkatkan inefisiensi teknis pada tanaman kentang. Hasil penelitian ini kontradiktif dengan temuan Msuya et al. (2008) akses kredit berpengaruh nyata mengurangi inefisiensi teknis pada tanaman jagung di Tanzania. Kontak dengan penyuluh nyata terhadap inefisiensi teknis pada petani jagung dengan parameter dugaan negatif (-0.18) (Lampiran 15). Petani yang mempunyai akses terhadap penyuluhan mempunyai posisi yang lebih baik menggunakan sumber daya yang tersedia dengan menggunakan pengetahuan mereka. Hasil ini membuktikan bahwa ketersediaan informasi berkontribusi terhadap peningkatan efisiensi teknis.
72
Penyuluhan dapat meningkatkan efisiensi melalui perubahan teknik budidaya, mekanisasi, penggunaan input baru dan unggul, jumlah input yang optimal dan peningkatan teknologi. Prayoga (2010) berpendapat bahwa perbedaan tingkat penguasaan teknologi dapat disebabkan oleh atribut yang melekat pada diri petani seperti pengalaman berusahatani, umur, dan pendidikan juga dapat disebabkan oleh faktor eksternal seperti penyuluhan. Selanjutnya dikatakan perbedaan dalam aplikasi teknologi yaitu dalam hal penggunaan input produksi disamping disebabkan oleh tingkat penguasaan teknologi, juga disebabkan oleh kemampuan petani untuk mendapatkan input produksi, jumlah anggota keluarga usia produktif berperan bagi petani dalam hal penggunaan input tenaga kerja. Fakta dilapangan menunjukkan bahwa penyuluhan sebagian besar dilakukan apabila ada pertemuan kelompok tani. Penyuluh biasanya berasal dari dinas pertanian kabupaten, provinsi dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Gorontalo, namun ada juga penyuluh swadaya. Penyuluh lapangan adalah agen diseminasi informasi dan teknologi. Penyuluhan merupakan proses dimana penyuluh mencoba untuk memotivasi petani dengan memberi masukan kemampuan untuk memecahkan masalah. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani responden, petani jagung varietas unggul baru dan petani jagung varietas unggul lama yang mendapat akses terhadap penyuluhan masing-masing sekitar 77.97 persen dan 71.09 persen. Sedangkan petani jagung varietas unggul baru dan petani jagung varietas unggul lama yang tidak mendapat akses terhadap penyuluhan masing-masing sekitar 22.03 persen dan 28.91 persen. Hasil penelitian ini konsisten dengan temuan Nahraeni (2012) frekuensi penyuluhan bertanda negatif dan berpengaruh nyata artinya petani yang menerima kunjungan penyuluhan lebih banyak dapat mengelola usahataninya lebih efisien, Bakhsh et al. (2006) kontak dengan penyuluh bertanda negatif dan berpengaruh nyata artinya petani yang kontak dengan penyuluh mengelola usahataninya lebih efisien pada usahatani kentang. Hasil penelitian ini kontradiktif dengan temuan Msuya et al. (2008) kontak dengan penyuluh berpengaruh menaikkan inefisiensi dengan parameter bertanda positif artinya petani yang kontak dengan penyuluh dapat mengurangi efisiensi pada tanaman jagung, Olawa dan Olawa (2010) akses terhadap penyuluhan bertanda positif artinya petani yang mendapat penyuluhan dapat meningkatkan inefisiensi pada tanaman jagung, namun pengaruhnya tidak nyata. Efisiensi alokatif petani jagung di Provinsi Gorontalo Tabel 31 menunjukkan petani jagung VUB dan petani jagung VUL belum efisien secara alokatif, namun tingkat efisiensi alokatif dari setiap petani berbedabeda. Tingkat efisiensi alokatif petani jagung VUB berkisar antara 34 persen sampai 76 persen dengan rata-rata sebesar 34 persen, sedangkan tingkat efisiensi alokatif petani jagung VUL berkisar antara 27 persen sampai 66 persen dengan rata-rata sebesar 46 persen. Secara total tingkat efisiensi alokatif petani jagung berkisar antara 27 persen sampai 76 persen dengan rata-rata sebesar 50 persen. Hal ini menunjukkan bahwa petani jagung di Provinsi Gorontalo sebanyak 99.44 persen atau 353 orang petani belum efisien secara alokatif dan hanya dua orang (0.56 persen) petani yang sudah efisien. Hal ini berarti jika rata-rata petani berkeinginan untuk mencapai tingkat efisiensi alokatif yang paling tinggi maka petani harus menghemat biaya sebesar 1-(0.50/0.76) atau 34 persen, sedangkan
73
petani yang tingkat efisiensi alokatifnya paling kecil harus menghemat biaya 1-(0.27/0.76) atau 64 persen. Ini menjadi dasar untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani jagung. Tabel 31
Tingkat efisiensi (persen) 0-10 11-20 21-30 31-40 41-50 51-60 61-70 71-80 81-90 91-100 Jumlah Maksimum Minimum Rata-rata
Distribusi frekuensi efisiensi alokatif petani jagung varietas unggul baru, petani jagung varietas unggul lama dan gabungan responden di Provinsi Gorontalo pada tahun 2012 Varietas unggul baru Jumlah Persentase petani 0 0 0 14 69 119 23 2 0 0 227
0.00 0.00 0.00 6.17 30.40 52.4 10.13 0.90 0.00 0.00 100 76 34 53
Varietas unggul Lama Jumlah Persentase petani 0 0 2 45 36 30 15 0 0 0 128 66 27 46
0.00 0.00 1.56 35.16 28.13 23.44 11.71 0.00 0.00 0.00 100
Gabungan responden Jumlah Persentase ptani 0 0 3 63 101 149 37 2 0 0 355 76 27 50
0.00 0.00 0.84 17.75 28.45 41.97 10.42 0.57 0.00 0.00 100
Hasil penelitian ini lebih rendah dari hasil penelitian Kurniawan (2008) di Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan yang menunjukkan tingkat efisiensi alokatif petani jagung rata-rata 58 persen lebih tinggi dari hasil penelitian yang dilakukan di Provinsi Gorontalo dengan tingkat efisiensi alokatif sebesar 50 persen. Namun studi Bravo-Ureta dan Pinheiro (1997) di Negara Dominica menemukan rata-rata efisiensi alokatif 41 persen atau berada pada kisaran 9.5 persen sampai 84 persen. Efisiensi ekonomi petani jagung di Provinsi Gorontalo Tabel 32 menunjukkan efek kombinasi efisiensi teknis dan efisiensi alokatif varietas unggul baru mempunyai rata-rata 44 persen dengan kisaran 20-74 persen. Hal ini menunjukkan bila petani rata-rata dalam contoh dapat mencapai efisiensi ekonomi maksimum maka petani VUB dapat merealisasikannya dengan penghematan biaya sebesar 40.5 persen (1-44/74) sedangkan pada petani yang tidak efisien mereka dapat menghemat biaya sebesar 72.9 persen (1-20/74). Efek kombinasi efisiensi teknis dan efisiensi alokatif varietas unggul lama mempunyai rata-rata 36 persen dengan kisaran 21-59 persen. Hal ini menunjukkan bila petani rata-rata dalam contoh dapat mencapai efisiensi ekonomi maksimum maka petani VUL dapat merealisasikannya dengan penghematan biaya sebesar 38.9 persen (1-36/59) sedangkan pada petani yang tidak efisien mereka dapat menghemat biaya sebesar 64.4 persen (1-21/59). Selanjutnya efek kombinasi efisiensi teknis dan efisiensi alokatif petani jagung secara total mempunyai rata-rata 41 persen dengan kisaran 21-73 persen.
74
Hal ini menunjukkan bila petani rata-rata dalam contoh dapat mencapai efisiensi ekonomi maksimum maka petani dapat merealisasikannya dengan penghematan biaya sebesar 43.8 persen (1-41/73) sedangkan pada petani yang tidak efisien mereka dapat menghemat biaya sebesar 71.2 persen (1-21/73). Tingkat efisiensi ekonomi pada penelitian ini lebih rendah daripada hasil penelitian Kurniawan (2008) dengan tingkat efisiensi ekonomi rata-rata sebesar 51 persen. Berdasarkan temuan diatas maka efisiensi ekonomi masih dapat ditingkatkan, dan inefisiensi alokatif merupakan masalah yang serius dibandingkan dengan inefisiensi teknik dalam upaya pencapaian tingkat efisiensi ekonomi yang lebih tinggi, karena secara teknis kondisi petani dikatakan efisien (indeks efisiensi teknis >0.8) dengan ruang peningkatan efisiensi yang lebih kecil sementara penghematan biaya sebagai dampak pencapaian efisiensi alokatif adalah cukup besar. Upaya yang dapat dilakukan dalam rangka peningkatan efisiensi alokatif pada kondisi petani memperhatikan harga input yaitu penambahan input yang kurang atau pengurangan input yang berlebihan sehingga dicapai biaya minimum. Penelitian Sianipar (2001) melaporkan bahwa kelompok petani jagung yang menggunakan varietas unggul baru (hibrida) lebih efisien dalam penggunaan input. Tabel 32 Distribusi frekuensi efisiensi ekonomi petani jagung varietas unggul baru, petani jagung varietas unggul lama dan gabungan responden di Provinsi Gorontalo pada tahun 2012 Tingkat fisiensi (persentse) 0-10 11-20 21-30 31-40 41-50 51-60 61-70 71-80 81-90 91-100 Jumlah Maksimum Minimum Rata-rata
Varietas unggul Baru Jumlah Persentase petani 0 1 21 56 101 38 9 1 0 0 227
0.00 0.44 9.25 24.67 44.49 16.74 3.96 0.45 0.00 0.00 100 74 20 44
Varietas unggul lama Jumlah Persentase petani 0 0 37 60 21 10 0 0 0 0 128 59 21 36
0.00 0.00 28.91 46.88 16.41 7.80 0.00 0.00 0.00 0.00 100
Gabungan responden Jumlah Persentase petani 0 2 61 113 124 46 9 1 0 0 355 73 21 41
0.00 0.56 17.18 31.83 34.92 12.95 2.53 0.28 0.00 0.00 100
75
7 ANALISIS PENDAPATAN DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN RUMAHTANGGA PETANI JAGUNG DI PROVINSI GORONTALO Faktor Berpengaruh Terhadap Pendapatan Rumahtangga Petani Jagung Tabel 33 menunjukkan bahwa lama pendidikan tidak berpengaruh terhadap pendapatan rumahtangga petani. Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Agustin dan Budisusetyo (2010) bahwa tidak terbukti secara nyata pendidikan mempengaruhi pendapatan usahatani jagung yang diterima petani. Pendapat ini berbeda dengan Andriwardana et al. (2009) bahwa lama pendidikan berpengaruh terhadap pendapatan rumahtangga di pedesaan. Variabel umur berpengaruh negatif dan nyata pada taraf 10 persen terhadap pendapatan total rumahtangga petani dengan nilai koefisien -0.09. Hal ini berarti seiring dengan bertambahnya usia petani kemampuan bekerja yang dimiliki, daya juang dalam berusaha, keinginan menanggung resiko dan keinginan untuk menerapkan inovasi baru juga semakin berkurang, sehingga berdampak terhadap penurunan pendapatan rumahtangga petani. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Agustin dan Budisusetyo (2010) yang dilakukan pada usahatani jagung di lahan kering Kecamatan Waringin Kabupaten Bondowoso, hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa tidak ada pengaruh usia terhadap pendapatan usahatani jagung atau dengan kata lain tidak ada pengaruh nyata dari usia petani terhadap pendapatan yang diterima petani. Pendapat Andriwardana et al. (2009) melihat dari sisi yang berbeda bahwa pada kepala keluarga yang berumur lebih muda lebih cendrung untuk bekerja pada sektor diluar pertanian sedangkan pada kepala keluarga yang lebih tua cendrung tetap bekerja pada sektor pertanian Variabel luas penggunaan lahan berpengaruh positif dan nyata pada taraf 1 persen terhadap pendapatan usahatani jagung, usahatani selain jagung dan total rumahtangga. Hasil penelitian ini berbeda dengan temuan Agustin dan Budisusetyo (2010) bahwa luas penggunaan lahan tidak mempengaruhi pendapatan yang diterima petani. Namun pengaruhnya negatif dan nyata pada taraf 1 persen terhadap pendapatan luar usahatani. Variabel luas penggunaan lahan dari usahatani jagung mempunyai nilai koefisien 0.98, hal ini berarti bahwa peningkatan luas lahan satu persen akan meningkatkan pendapatan rumahtangga dari produksi usahatani jagung sebesar 0.98 persen. Variabel luas penggunaan lahan berpengaruh negatif terhadap pendapatan dari luar usahatani dengan nilai koefisien -0.51, hal ini berarti bahwa peningkatan luas lahan satu persen akan menurunkan pendapatan rumahtangga sebesar 0.51 persen. Koefisien lahan dari total rumahtangga adalah 0.68, hal ini menunjukkan bahwa peningkatan jumlah lahan sebesar satu persen akan meningkatkan pendapatan dari seluruh rumahtangga sebesar 0.68 persen. Kondisi ini merefleksikan bahwa keterbatasan atau peningkatan luas lahan garapan akan mendorong petani untuk memberikan prioritas pada usaha pertanian (khususnya usahatani jagung) dalam upaya peningkatan pendapatan rumahtangga petani. Hasil analisis ini memperkuat hasil analisis keterkaitan hubungan antar luas lahan garapan dan struktur pendapatan. Peningkatan luas lahan garapan akan
76
meningkatkan usahatani jagung (khususnya jagung VUB) dengan kontribusi pendapatan yang lebih besar. Angkatan kerja dalam keluarga dan modal kerja berpengaruh terhadap pendapatan dari usahatani selain jagung, luar usahatani dan total rumahtangga. Namun angkatan kerja dalam keluarga tidak berpengaruh terhadap pendapatan dari usahatani jagung. Kondisi ini menunjukkan bahwa terdapat peningkatan tenaga kerja pada sektor luar usahatani (non pertanian). Peluang bekerja di luar usahatani mendorong rumahtangga di pedesaan membuat keputusan untuk mengalokasikan tenaga kerja yang tersedia menjadi lebih efisien, sehingga bisa diasumsikan bahwa dengan tingkat pendapatan usahatani yang rendah, rumahtangga akan berusaha untuk memaksimalkan pendapatannya dengan mengkombinasikan kegiatannya. Modal kerja berpengaruh positif dan nyata terhadap pendapatan rumahtangga. Variabel dummy varietas berpengaruh positif dan nyata pada taraf 1 persen terhadap pendapatan usahatani jagung dengan nilai koefisien sebesar 0.63. Hal ini berarti jika petani menggunakan varietas unggul baru maka pendapatan rumahtangga petani akan meningkat sebesar 0.63 persen. Pendapat ini sejalan dengan hasil penelitian Lin (1999) pada tanaman padi varietas unggul bahwa petani yang mengadopsi teknologi varietas unggul (padi hibrida) berpengaruh positif dan nyata terhadap pendapatan usahatani padi. Dalam konteks ini dapat juga dinyatakan bahwa perluasan adopsi varietas unggul baru dengan sasaran peningkatan pendapatan rumahtangga petani dibutuhkan adanya ketersediaan dan akses permodalan. Pemberdayaan tenaga kerja dalam mendorong partisipasi kesempatan kerja di luar usahatani juga dibutuhkan dukungan modal kerja. Hal yang sama juga berlaku dalam upaya peningkatan pendapatan rumahtangga petani jagung secara keseluruhan. Tabel 33 Pendugaan faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan rumahtangga petani jagung di Provinsi Gorontalo pada tahun 2012 Uraian Koefisien Umur kepala keluarga Lama pendidikan Luas penggunan lahan Angkatan kerja dalam keluarga Modal kerja Dummy varietas
Usahatani jagung 14.69*** (22.53) -0.09 (1.01)1) 0.001 (0.09) 0.98*** (21.39) -0.08 (0.99) 0.03 (0.87) 0.63*** (15.14)
Pendapatan petani jagung Usahatani Luar usahatani selain jagung (non pertanian) 24.03*** 8.15*** (4.39) (6.85) 0.64 -0.08 (0.87) (0.49) -0.02 0.002 (0.44) (0.23) 1.39*** -0.51*** (3.64) (6.09) 2.27*** 0.31*** (3.53) (2.20) -0.83*** 0.42*** (2.69) (6.23) -0.69** -0.49*** (1.98) (6.57)
Rumahtangga 14.74*** (32.59) -0.08 (1.39) -0.002 (0.50) 0.68*** (21.52) 0.11*** (2.02) 0.10*** (4.11) 0.03 (1.08)
Keterangan: 1) Angka dalam kurung menunjukkan uji statistik. *** = nyata pada taraf 1 persen; ** = nyata pada taraf 5 persen;* = nyata pada taraf 10 persen
77
Distribusi Pendapatan Rumahtangga Petani Jagung Secara agregat, rataan pendapatan rumahtangga petani jagung mencapai Rp14 364 924 juta/tahun dengan tingkat ketidakmerataan rendah (gini ratio 0.23) secara relative sumber ketidakmerataan itu bersumber dari usahatani jagung (gini ratio 0.36) dan dari usaha non pertanian (gini ratio 0.37). Sumber utama ketimpangan pendapatan usahatani jagung, terutama diakibatkan oleh adanya peningkatan pendapatan usahatani jagung dengan pemanfaatan varietas unggul baru yang mengalami juga peningkatan 117 persen dari Rp3 770 123 juta per tahun menjadi Rp8 191 384 juta per tahun. Berbeda dengan pendapat Mantau (2011) yang melihat tingkat kemerataan distribusi pendapatan antar lima kecamatan di Kabupaten Bolaang Mongondow yang memperoleh hasil gini ratio sebesar 0.109, hasil ini menunjukkan bahwa adanya kemerataan pendapatan antar kecamatan khususnya jika dilihat berdasarkan hasil pendapatan dari sektor usahatani jagung. Hal ini dikuatkan dengan gambaran kurva lorenz yang menunjukkan hampir berimpitnya garis lorenz dan garis equality yang artinya terdapat distribusi pendapatan khususnya dari usahatani jagung yang merata antar lima kecamatan. Hal tersebut dimungkinkan karena karakteristik pendapatan usahatani jagung pada kelima kecamatan tersebut hampir sama, yaitu berasal dari usahatani jagung (on farm dan off farm). Tingkat disparitas pendapatan rumahtangga petani yang mengadopsi varietas unggul baru, secara agregat juga berubah pada posisi rendah dengan gini ratio 0.25. Pendapatan dari luar usahatani dan dari usahatani jagung menjadi sumber utama ketimpangan pendapatan, masing-masing dengan gini ratio 0.41 dan 0.32. Karena adanya peluang sumber pendapatan dari usahatani jagung dengan rataan pendapatan Rp5 019 187 juta per tahun dengan tingkat kemerataan tinggi (gini ratio 0.28) berdampak positif terhadap perbaikan distribusi pendapatan rumahtangga petani. Secara agregat rumahtangga petani jagung VUL dengan tingkat pendapatan Rp13 288 620 juta per tahun memiliki disparitas pendapatan paling rendah dengan gini ratio 0.20. Sumber utama ketidakmerataan ini bersumber dari usahatani jagung (dengan gini ratio 0.26), namun dengan adanya peluang sumber pendapatan dari non pertanian dan khususnya dari usahatani selain jagung (dengan gini ratio 0.22) berdampak positif terhadap perbaikan distribusi pendapatan dari rumahtangga ini. Namun berbeda pendapat Lian (1987) bahwa penggunaan teknologi maju menambah ketimpangan distribusi pendapatan karena meningkatkan produksi padi, tetapi efek samping dari teknologi itu (perluasan lapangan kerja) menahan sebagian besar laju ketimpangan itu. Selanjutnya dikatakan, sekiranya efek samping ini tidak ada maka penggunaan teknologi maju dibidang pertanian akan menyebabkan yang kaya (berlahan luas) akan semakin kaya dan yang miskin akan semakin miskin. Secara umum dapat dikatakan bahwa, walaupun usahatani jagung (khususnya VUB) menjadi sumber ketimpangan distribusi pendapatan, namun dengan adanya peluang sumber pendapatan dari usahatani selain jagung, maka distribusi pendapatan rumahtangga petani secara agregat menjadi lebih baik. Jadi introduksi dan adopsi teknologi varietas jagung unggul baru tidak berdampak terhadap disparitas pendapatan rumahtangga petani.
78
Tabel 34
Distribusi pendapatan rumahtangga petani jagung di Provinsi Gorontalo pada tahun 2012
Variabel kriteria Varietas unggul lama Rata-rata (Rp/thn) Gini ratio Pangsa (persentase) Varietas unggul baru Rata-rata (Rp/thn) Gini ratio Pangsa (persentase) Gabungan responden Rata-rata (Rp/thn) Gini ratio Pangsa (persentase)
Usahatani jagung
Usahatani selain jagung
Luar usahatani (non pertanian)
Rumahtangga
3 7701) 0.26 22
6 781 0.22 25
2 737 0.25 24
13 288 0.20 28
8 1911) 0.32 19
5 019 0.28 19
1 761 0.41 14
14 971 0.25 23
6 5971) 0.36 17
5 654 0.26 21
2 113 0.37 15
14 364 0.23 25
Keterangan : Angka 1) pada baris yang sama masing-masing dikalikan 1000
Berbeda dengan pendapat Kusrini (2009) bahwa penggunaan varietas unggul dapat memperbaiki distribusi pendapatan usahatani jagung dan rumahtangga petani. Ketimpangan pendapatan total rumahtangga memiliki hubungan yang searah dengan ketimpangan pendapatan dari luar pertanian. Dengan kata lain masuknya aktivitas luar pertanian sebagai sumber pendapatan memberikan bias negatif atau memperburuk distribusi pendapatan total rumahtangga. Hal ini antara lain karena akses rumahtangga pada sektor luar pertanian relatif terbatas. Penelitian Suharyanto et al. (2004) pada tanaman perkebunan berbasis kelapa di Kabupaten Tabanan melihat dari sisi yang berbeda bahwa sumber ketimpangan diduga berasal dari perbedaan luas kepemilikan lahan dan juga pada pola yang terdapat tanaman cengkeh, karena harga produksi cengkeh yang jauh lebih tinggi di bandingkan dengan dua komoditas tanaman lainnya (kelapa dan kakao).
8 SIMPULAN DAN SARAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Simpulan 1
Perubahan teknologi varietas dengan menggunakan varietas unggul baru layak untuk diintroduksikan. Sumber pendapatan rumahtangga terbesar berasal dari usahatani jagung yang menggunakan varietas unggul baru dibandingkan dengan petani yang menggunakan varietas unggul lama. Namun pendapatan dengan sumbangan terbesar pada petani jagung varietas unggul lama berasal dari kegiatan usahatani selain jagung dan luar pertanian
79
2
3
4
Penggunaan varietas unggul baru lebih efisien dibandingkan dengan penggunaan varietas unggul lama. Secara umum efisiensi teknis cukup tinggi, namun demikian masih terdapat peluang untuk meningkatkan efisiensi teknis pada tingkat teknologi sekarang untuk mencapai produksi optimal. Faktorfaktor yang menjadi penyebab inefisiensi teknis adalah lama pendidikan, keanggotaan dalam kelompok tani, akses kredit dan penyuluhan. Penggunaan varietas unggul baru berdampak positif yang nyata terhadap peningkatan pendapatan usahatani jagung. Peningkatan pendapatan ini membutuhkan dukungan lahan usahatani dan modal usaha. Peningkatan luas lahan garapan juga berdampak positif terhadap pendapatan usahatani selain jagung, modal kerja terhadap pendapatan non pertanian, dan akhirnya terhadap pendapatan agregat lahannya. Angkatan kerja dalam keluarga berdampak positif terhadap seluruh kategori sumber pendapatan, kecuali usahatani jagung. Perubahan teknologi dalam hal ini teknologi varietas unggul baru tidak serta merta membuat distribusi pendapatan makin tidak merata. Hal ini diakibatkan karena adanya pengalihan kegiatan dalam suatu rumahtangga petani jagung. Pengalihan kegiatan dari usahatani jagung ke usahatani selain jagung maupun kegiatan luar usahatani (non pertanian) menjadikan distribusi pendapatan merata pada rumahtangga petani jagung di Gorontalo. Jadi introduksi dan adopsi teknologi varietas jagung unggul baru tidak berdampak terhadap disparitas pendapatan rumahtangga petani. Saran Implikasi Kebijakan
1
2
3
Masih terdapat peluang untuk meningkatkan efisiensi baik pada usahatani varietas unggul baru maupun pada varietas unggul lama untuk mencapai efisiensi usahatani maksimum. Peningkatan efisien dapat dilakukan melalui peningkatan manajemen usahatani baik teknis maupun kapabilitas manajerial petani. Dibutuhkan ketersediaan dan akses kesempatan kerja dari luar usahatani jagung (khususnya non pertanian) melalui dukungan sarana dan prasarana, peningkatan kapasitas tenaga kerja dalam rangka akselerasi diversifikasi dan peningkatan pendapatan rumahtangga petani berlahan sempit. Ketersediaan dan akses lahan serta kapital dalam menunjang peranan penting adopsi teknologi dan peningkatan pendapatan usahatani jagung dan pendapatan rumahtangga petani secara agregat. Ketersediaan dan akses kesempatan kerja serta berusaha di luar usahatani jagung dan non pertanian merupakan instrumen penting dalam peningkatan pendapatan rumahtangga petani.
80
DAFTAR PUSTAKA Agustin D, Budisusetyo A. 2010. Analisis Pendapatan Usaha Jagung Pada Lahan Kering, Studi Kasus di Kecamatan Wringin Kabupaten Bondowoso. Agritrop Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian. 8(1):59-71. Aigner D, CAK Lovell, P Schmidt. 1977. Formulation and Estimation of Stochastic Frontier Production Function Models. Journal of Econometrics. 6:21-37. ________ dan SF Chu. 1968. On Estimation The Industry Production Function. American Economics Review.58 (4):826-839. Ajao AO, Ajetomobi, Olarinde IO. 2005. Comparative Efficiency of Mechanized and Non-Mechanized Farms in Oyo State of Nigeria: A Stochastic Frontier Approach. J. Hum. Ecol. 18(1):27-30. Andriati, Sudana. 2007. Karakteristik Rumahtangga Tani di Lima Agroekosistem Wilayah Pengembangan Sut (Teknologi System Usahatani) di Jawa Timur. Jurnal Penelitian Dan Pengkajian Teknologi Pertanian (JPPTP). 5(2):83-96. Andriwardhana AH, Salladien, Ismail M. 2009. Analisis Distribusi Pendapatan Rumahtangga di Pedesaan. Jurnal Agritek. 17(3):465-481. Antara M. 2010. Analisis Produksi dan Komparatif Antara Usahatani Jagung Hibrida Dengan Non Hibrida di Kecamatan Palolo Kabupaten Sigi. Jurnal Agroland. 17(1):56-62. Anupama J, RP Singh, R Kumar. 2005. Technical Efficiency in Maize Production in Madhya Pradesh: Estimation and Implications. Agricultural Economics Research Review. 18:305-315. Awudu, R Eberlin. 2001. Technical Efficiency during Economic Reform in Nicaragua: Evidence From Farm Household Survey Data. Economic Systems. 25:113-125. Aye G, Mungatana E. 2010. Technical Efficiency of Tradisional and Hybrid Maize Farmers in Nigeria:Comparison of Alternative Approaches. African Journal of Agricultural Research. 5(21):2909-2917. Bachtiar, S Pakki, Zubachtirodin. 2007. Sistem Perbenihan Jagung. Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan:. Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor (ID): Badan Litbang Pertanian. 177-191 Badan Litbang Pertanian. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Komoditas Jagung di Indonesia. Jakarta (ID): Badan Libang Pertanian. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Gorontalo dalam Angka. Gorontalo (ID): Badan Pusat Statistik. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Berita Resmi Statistik. Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik. Bahua I. 2008. Analisis Usahatani Jagung Pada Lahan Kering di Kecamatan Limboto Kabupaten Gorontalo. Jurnal Penyuluhan. 4(1):47-53. Bakhsh KA, B Ahmad. 2006. Technical Efficiency and Its Determinant in Potato Production, Evidence from Punjab, Pakistan. The Lahor Journal of Economics. 11(2):1-22.
81
Battese GE and Coelli T. 1995. A model for technical inefficiency effects in a stochastic frontier production function for panel data. Empirical Economics. 20: 325-332. Beattie B R, Taylor C R. 1985. The Economics of Production. New York (US): Wiley. Bellante D, Jackson M. 1990. Ekonomi Ketenagakerjaan. Jakarta (ID): LPFE Universitas Indonesia. Binam JN, J Tonye, N Wanji, G Nyambi, M Akoa. 2004. Factors Affecting the Technical Efficiency among Smallholder Farmers in the Slash and Burn Agriculture Zone of Cameroon. Journal Food Policy ELSEVIER. 431-545; (di unduh 2011 Januari 20): www.elsevier.com/locate/foodpol Bisnis Indonesia. 2010. Penggunaan Benih Jagung Hibrida Meningkat. Jakarta (ID). Bisnis Indonesia. Bravo-Ureta BE, AE Pinheiro. 1997. Technical, Economic, and Allocative Efficiency in Peasant Farming: Evidence from the Dominican Republic. The Developing Economies. 35(1):48-67. Coelli TJ. 1996. A Guide to FRONTIER Version 4.1. A Computer Program for Stochastic Frontier Production Function and Cot Function Estimation Centre for Efficiency and Productivity. Armidale (AU): University of New England. ________ DSP, Rao, GE Battese. 1998. An Introduction to Efficiency and Productivity Analysis. Boston (US): Kluwer-Nijhoff. Debertin DL. 1986. Agricultural Production Economics. Second Edition. New York (US): Mc.Graw Hill Inc. Departemen Pertanian. 2010. Road Map Swasembada Jagung 2010-2014. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. Djulin AM, N. Syafaat, Kasryno. 2005. Perkembangan Sistem Usahatani Jagung. Dalam Kasryno et al. (Editor). Ekonomi Jagung Indonesia. Jakarta (ID): Badan Litbang Pertanian. 73-99. Djuwari. 2002. Produksi, Pendapatan Dan Distribusi Pendapatan Pada Usahatani Lahan Sawah Irigasi Sumur Pompa Dan Sawah Tadah hujan di Daerah Kabupaten Kediri (disertasi). Yogyakarta (ID): Universitas Gadjah Mada. Doll JP, F. Orazem. 1984. Production Economics, Theory With Aplication. Second Edition. New York (US): John Willey Sons. Engelstad, O.P., 1985. Fertilizer technology and Usei. America (US): Soil Science Society of America. Essilfie FL, Asiamah MT, Nimoh F. 2011. Estimation of Farm Level Technical Efficiency in Small Scale Maize Production in the Mfantseman Municipality in the Central Region of Ghana: A stochastic Frontier Approach. Journal of Development and Agricultural Economics. 3(14): 645-654 Food and Agriculture Organization [FAO]. 1993. Guidelines for the conduct of trainning course in the farming Systems Development. Rome (Italy): Food and Agriculture Organization. Fadwiwati AY, Hartoyo S, Kuncoro SU, Rusastra IW. 2013. Analisis Efisiensi Teknis, Efisiensi Alokatif dan Efisiensi Ekonomi Usahatani Jagung Berdasarkan Varietas di Provinsi Gorontalo. Jurnal Agro Ekonomi.Siap terbit. Farrel MJ. 1957. The Measurement of Productive Efficiency. Journal of The Royal Statistikal Society, Series A. 120:253-290.
82
Gathak S, K Ingersent. 1984. Agricultural and Economic Development. Wheatsheaf Book Ltd. The Harvester Press Publishing Group. Gladwin CH. 1979. Cogaitive Strategies and Adoption Precisions a Can Study of Non Adoption of Agronomic Recommendation. Economic Development and Cultivation Change. 28(1):155-174. Gotsch C.H. 1972. Technological Change and The Distribution of Income in Rural Areas. American Journal of Agricultural Economics. 54(2): 326-341. Grant M.S and R Posada T. 1978. The Impact of Technical Change on Income Distribution:The Case of Rice in Colombia. American Journal of Agricultural Economics. 60(1): 85-92. Haryono 2012. Maize For Food, Feed and Fuel in Indonesia. Challenges and Opportunity. Makalah disampaikan pada Seminar National Gorontalo 22 November 2012. Hassan S. 2004. An Analysis of Technical Efficiency of Wheat Farmers in The Mixed Farming System of The Punjab (dissertation). Pakistan. Departement of Farm Management. University of Agriculture. Faisalabad. Hernanto F. 1988. Ilmu Usahatani. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Idiong IC. 2007. Estimation of Farm Level Technical Efficiency in Small Scale Swamp Rice Production In Cross River State of Nigeria: A Stochastic Frontier Approach. World Journal of Agricultural Sciences. 3(5):653-658. Isaac O. 2011. Technical Efficiency of Maize Production in Oyo State. Journal of Economics and Internasional Finance. 3(4):211-216. Jatileksono T. 1992. Ketimpangan Pendapatan Di Pedesaan Kasus Daerah Padi Dilampung. Jakarta (ID): Makalah Disampaikan Pada Seminar di Center For Policy And Implementation Studies. Jondrow J, CA Lovell, IS Materov, Schmidt. 1982. On The Estimation of Technical Inefficiency in The Stochastic Frontier Production Function Model. Journal of Econometrics. North Holland Publishing Company. 19: 233-238. Kalirajan KP. 1981. An Econometric of Anaysis of Yield Variability in Paddy Production. Canadian Journal of Agricultural Economics. 29(3):283-294. __________, JC Flinn. 1983. The Measurement of Farm-Specific Technical Efficiency. Pakistan Journal of Applied Economics. 2:167-180 __________. 1984. Farm-Spesific Technical Efficiency and Development Policies. Journal of Econometric Studies. 11(1):3-13. __________. RT Shand. 1989. A Generalized Measure of Technical Efficiency Pakistan Journal of Applied Economics. 21(1):25-34. Kasryno F, E Pasandaran, Suyamto, MO. Adnyana. 2007. Gambaran Umum Ekonomi Jagung Indonesia. Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan. Bogor (ID): Puslitbang Tanaman Pangan. Kementerian Pertanian. 2013. Pedoman Teknis Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi dan Jagung Tahun 2013. Bogor (ID): Direktorat Jenderal TanamanPangan. Kibaara BW. 2005. Technical Efficiency in Kenyan’s Maize Production: An Application Of The Stochastic Frontier Approach (thesis). Colorado (US): Colorado State University Fort Collins. Krismawati A. 2007. Kajian Teknologi Usahatani Padi di Lahan Kering Kalimantan Tengah. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 10(2):85-95.
83
Kumbhakar SC, CAK Lovell. 2000. Stochastic Frontier Analysis. Cambridge University Press. Kurniawan AY. 2008. Analisis Efisiensi Ekonomi dan Daya Saing Usahatani Jagung Pada Lahan Kering di Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan (tesis). Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Kusnadi N, Tinaprilla N, Susilowati SH, Purwoto A. 2011. Analisis Efisiensi Usahatani Padi di Beberapa Sentra Produksi Padi di Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi. 29(1):1-24. Kusrini N, Irham, Dwidjono, Jamhari. 2009. Dampak Penggunaan Varietas Unggul Terhadap Distribusi Pendapatan Rumahtangga Petani Jagung Di Kalimantan Barat. Jurnal Aplikasi Manajemen. 17:11-20. Laporan Tahunan Dinas Pertanian Provinsi Gorontalo. 2012. Gorontalo (ID): Dinas Pertanian Provinsi Gorontalo. Las I. 2003. Peta Perkembangan dan Pemanfaatan Varietas Unggul Padi. Dokumen, Okt. 2003. Lian M. 1987. Pengaruh Teknologi Terhadap Efisiensi Ekonomi dan Distribusi Pendapatan Petani Padi di Kabupaten Subang Jawa Barat. Studi Kasus Desa Citra Jaya dan Desa Tanjung sari Kecamatan Binong (tesis). Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Lin JY. 1999. Technological Change and Agricultural Household Income Distribution: Theory and Evidence From China. Australian Journal of Agricultural and Resource Economics. 43(2):179-194. Mantau Z. 2011. Kajian Distribusi Pendapatan Petani Jagung di Lima Kecamatan Kabupaten Bolaang Mongondow Provinsi Sulawesi Utara. Seminar Nasional Petani dan Pembangunan Pertanian. Bogor (ID): Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian. Meeusen W, JVD Broek. 1977. Efficiency Estimation from Cobb-Douglas Production Function with Composed Error. International Economic Review. 18(June 1977):435-444. Mignouna DB, Manyong VM, Mutabazi KDS, Senkondo EM, Oleke JM. 2012. Assessing The Technical Efficiency of Maize Producers With ImazapyrResistent Maize for Striga Control In Western Kenya. Journal of Development and Agricultural Economics. 4(8):245-251. Mintoro A. 1984. Distribusi Pendapatan. Jakarta (ID): Prospek Pembangunan Ekonomi Pedesaan Indonesia. Mosher AT. 1968. Menggerakkan dan Membangun Pertanian. Disadur oleh Krisnadhi dan B Samad. Jakarta (ID): Yasaguna. Msuya EE, Hisano S, Nariu T. 2008. Explaining Productivity Variation Among Smallholder Maize Farmers in Tanzania. MPRA Paper No. 14626, posted 17. April 2009 / 15:03. http// mpra.ub.uni-muenchen.de. Muslimin. 2012. Pengaruh Penerapan Teknologi dan Kelembagaan Terhadap Efisiensi dan Pendapatan Usahatani Padi di Provinsi Sulawesi Selatan (disertasi). Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Nahraeni W. 2012. Efisiensi dan Nilai Keberlanjutan Usahatani Sayuran Dataran Tinggi di Provinsi Jawa Barat (disertasi). Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Nicholson W. 1998. Microeconomic Theory. Basic Principles And Extentions. Seventh Edition. The Dryden Press Foft Worth.
84
Nyagaka DO, Gideon A, Obare, John M. Omiti, W Nguyo. 2010. Technical Efficiency in Resource Use: Evidence from Smallholder Irish Potato Farmers in Nyandarua North District, Kenya. African Journal of Agricultural Research (AJAR). 5(11) :1179-1186. Ojo S. 2007. Improving Efficiency in Food Crop Production For food Security in Nigeria. Agricultural Journal. 2(1): 9-11. Olawa OW, Olawa OA. 2010. Sources of Tecknical Efficiency among Smallholder Maize Farmer in Osun State of Nigeria. Research Journal of Applied Sciences. 5(2):115-122. Oyewo IO, YL Fabiyi. 2008. Productivity of Maize Farmers in Sulurele Local Government Area of Oyo State. International Journal of Agricultural Economics and Rural Development. 1(2):25-32. Paudel P, A Matsuoka. 2009. Cost Efficiency Estimates for Maize Production in Nepal: A Case Study of The Chitwan District. Agric. Econ- Czech.55 (3):139148. Prayoga A. 2010. Produktivitas dab Efisiensi Teknis Usahatani Padi Organik Lahan Sawah. Jurnal Agro Ekonomi. 28(1): 1-19. Purwanto S. 2007. Perkembangan Produksi dan Kebijakan dalam Peningkatan Produksi Jagung. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Raju VT. 1976. Impact of New Agricultural Technology on Farm Income Distribution in West Godafari District India. American Journal of Agriculture Economic. May 1976. Rasahan C. 1988 Perspektif Struktur Pendapatan Masyarakat Pedesaan dalam Hubungannya dengan Kebijaksanaan Pembangunan Pertanian. Proseding Patanas Perubahan Ekonomi Pedesaan. Bogor (ID): Pusat Penelitian Agro Ekonomi. Rusastra IW, F Kasryno. 2005. Analisis Kebijakan Ekonomi Jagung Nasional. Ekonomi Jagung Indonesia: 256-288. Jakarta (ID): Badan Litbang Pertanian. Rusastra IW, Sudana W, Sumarno, Zaini Z, Kariyasa K, Baehaki, Sarlan. 2011. Evaluasi Kebijakan dan Politik Anggaran SL-PTT tanaman pangan. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Seyoum ET, GE Battese, EM Fleming. 1996. Technical Efficiency and Productivity of Maize Produsers in Eastern Ethiopia: A Study of Farmers Within and Outside The Sasakawa-Global 2000 Project. CEPA Working Paper, No.06/96 University of New England, Armidale. (diunduh 2011 Desember 10). Tersedia pada: http://www.une.edu.au/econometrics/ cepawp.htm. Sianipar JE. 2001. Efisiensi Produksi Pada Sistem Usaha Pertanian Jagung di Desa Randuacir Kota Salatiga (tesis). Yogyakarta (ID): Universitas Gadjah Mada. Siburian C. 2009. Analisis Gini Ratio Kota Manado Tahun 2009. Manado (ID): Bapeda Kota Manado. Singh WK. 1999. Technological Change and Functional Income Distribution in Manipur Agruculture. Indian Journal of Agricultural Economics. 54(2):134159.
85
Sirappa MP, AJ Rieuwpassa, ED Wass. 2007. Kajian Pemberian Pupuk NPK pada Beberapa Varietas Unggul Padi Sawah di Seram Utara. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 10(1):48-56. Siregar M, A Nasution. 1984. Perkembangan Teknologi Mekanisme di Jawa. Prospek Pembangunan Ekonomi Pedesaan Indonesia. Jakarta (ID): 133-152. Sitepu RK, Sinaga BM. 2006. Aplikasi Model Ekonometrika. Pendugaan, Simulasi dan Peramalan Menggunakan Program SAS. Bogor (ID): Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian. Sitorus SRP. 2004. Evaluasi Sumber Daya Lahan. Bandung (ID): Tarsito. Soekartawi. 2003. Teori Ekonomi Produksi. Jakarta (ID): Raja Grafindo Persada. Suharyanto, Suprapto, Rubiyo. (2004). Analisis Pendapatan dan Distribusi Pendapatan Usahatani Tanaman Perkebunan Berbasis Kelapa Di Kabupaten Tabanan. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 7(2): 146-154. Sumaryanto. 2006. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Petani Menerapkan Pola Tanam Diversifikasi: Kasus di Wilayah Persawahan Irigasi Teknis DAS Brantas. Diversifikasi Usahatani dan Konsumsi: Suatu Alternatif Peningkatan Kesejahteraan Rumahtangga Petani. Bogor (ID): Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Suparmoko. 1980. The Impact Of Irrigation Rehabilitation On Cropping Patterns Labour Use And Income Distribution In The Pekalen Sampean System of East Java (thesis). The University Of Hawai. Suryana A. 2006, Strategi Kebijakan penelitian dan Pengembangan Palawija, dalam Pengembangan Agribisnis Palawija di Indonesia. Perannya dalam peningkatan Ketahanan Pangan dan Pengentasan kemiskinan. Prosiding Seminar Nasional. 13 Juli 2006; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): 38-39 _________, Suyamto, Adnyana MO, Zubachtirodin, Kariyasa K, Saenong S, Subandi, Pabbage MS. 2007. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Jagung.Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. hal 16. Suwalan S, Nana S, Bambang S, R Kusmawa, D Ardi. 2004. Penggunaan Pupuk Alternatif pada Tanaman Padi Sawah di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Kebijakan Perberasan dan Inovasi Teknologi Padi. Bogor (ID). Puslitbang Tanaman Pangan. Swastika DKS. 2004. Beberapa Teknik Analisis Dalam Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertania. 7(1):90-103. Tangendjaya B, Y Yusdja, N Ilham. 2005. Analisis Ekonomi Permintaan Jagung Untuk Pakan. Ekonomi Jagung Indonesia. Jakarta (ID). Badan Litbang Pertanian. 229-255. Taylor TG, HE Drummond, Aloisio T. Gomes. 1986. Agricultural Credit Programs and Production Efficiency: An Analysis of Traditional Farming in Southestern Minas Gerais, Bazil. American Agricultural Economics Association. 110-119. Tinaprilla N. 2012. Efisiensi Usahatani Padi Antar Wilayah Sentra Produksi di Indonesia (disertasi). Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Tisdale SL, Nelson WL, Beaton JD. 1990. Soil Fertilizer and Fertilizers. New York (US): McMillan Publishing Company.
86
Triastono J. 2006. Pengaruh Penerapan Teknologi Konservasi C r o p Li v e s t o c k S ys t e m (CLS) Terhadap Usahatani Tanaman Pangan Di Das Serang Hulu Kabupaten Boyolali (disertasi). Yogyakarta (ID): Universitas Gadjah Mada. Todaro MP, SC Smith. 2003. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Edisi Kedelapan. Jakarta (ID): Erlangga. Upton M. 1979. The Unproductive Production Function. Journal of Agricultural Economics. May 1979. 30(2):179-194. Utama SP, P Badrudin, Nusril. 2007. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Adopsi Petani pada Teknologi Budidaya Padi Sawah Sistem Legowo. Jurnal IlmuIlmu Pertanian Indonesia. 3:300-306. Wadud MDA, White B. 2000. Farm Household Efficiency in Bangladesh. A Comparison of Stochastic Frontier and DEA Methods. Appl Econ . 32:16651673. Wakili AM. 2012. Technical Efficiency of Maize Farmers in Gombi Local Government of Adamawa State, Nigeria. Agricultural Journal: 7(1): 1-4. Zubachtirodin M, S. Pabbage, Subandi. 2007. Wilayah Produksi dan Potensi Pengembangan Jagung. Sumarno et.al. (Editor). Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan: Bogor (ID): Puslitbang Tanaman Pangan. Badan Litbang Pertanian. 464-473. Zuhaida I. 2000. Kajian Produktivitas Usahatani Padi Dan Distribusi Pendapatan Di Area Irigasi Riam Kanan Kalimantan Selatan (tesis). Yogyakarta (ID): Universitas Gadjah Mada.
87
Lampiran 1 Konsumsi domestik jagung di Indonesia pada tahun 2007-2011 Tahun
Produksi (ton)
2007 2008 2009 2010 2011
13 287 527 16 317 251 17 629 748 18 327 636 17 643 250
Konsumsi (ton) 11 197 776 13 921 249 14 813 155 15 236 407 15 492 170
Kebutuhan (ton) Bahan Industri pakan pangan (ton) (ton) 8 892 551 710 722 11 435 291 527 888 12 276 492 421 093 12 604 741 432 353 12 929 854 445 127
Impor (ton)
Total 20 801 049 25 884 428 27 510 740 28 273 501 28 867 151
476 162 169 359 293 280 1 552 508 2 585 981
Sumber: Haryono 2012 dan BPS 2012
Lampiran 2 Perkembangan produksi jagung berdasarkan provinsi pada tahun 2008-2012 Provinsi Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Kepulauan Riau Jambi Sumatera Selatan Kepulauan Bangka Belitung Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Sulawesi Tenggara Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat Indonesia Sumber : BPS 2012
2008 (ton) 112 894 1 098 969 351 843 47 959 1 125 34 616 101 439 1 193 111 826 1 809 886 39 639 822 20 169 2 679 914 285 372 5 053 107 77 619 196 263 673 112 181 407 5 982 95 064 12 795 466 041 753 598 136 907 1 195 691 40 252 93 064 18 924 11 493 7 155 1 711 16 317 251
2009 (ton) 137 753 1 166 548 404 795 56 521 1 064 38 169 113 167 1 403 93 798 2 067 710 32 787 599 27 083 3 057 845 314 937 5 266 720 92 998 308 863 638 899 166 833 8 048 113 885 12 520 450 989 569 110 164 282 1 395 742 58 320 71 655 15 859 18 229 6 787 1 585 17 629 748
2010 (ton) 167 090 1 377 718 354 262 41 862 961 30 691 125 796 1 055 74 331 2 126 571 31 923 962 28 557 3 058 710 345 576 5 587 318 66 355 249 005 653 620 168 273 9 345 116 449 11 993 446 144 679 167 162 306 1 343 044 58 020 74 840 15 273 20 546 6 834 1 931 18 327 636
2011 (ton) 168 861 1 294 645 471 849 33 197 923 25 521 125 688 850 87 362 1 817 906 23 945 104 13 863 2 772 575 291 596 5 443 705 64 606 456 915 524 638 160 819 9 208 99 779 7 341 438 504 605 782 161 810 1 420 154 82 995 67 997 13 875 26 149 6 885 2 125 17 643 250
2012 (ton) 158 673 1 369 090 481 024 31 735 881 28 044 112 291 1 209 105 533 1 750 902 11 1 019 455 9 722 2 990 600 333 952 5 995 001 64 242 641 489 617 353 160 226 9 357 111 478 8 904 439 836 661 250 147 236 1 457 879 119 182 79 308 19 419 27 710 6 479 2 174 18 961 645
Pertumbuhan (persentase) -6 03 5 75 1 94 -4.40 -4.55 9 89 -10 66 42 24 20.80 -3.69 -52.17 7.87 -29 97 7.86 14.53 10.13 -0.56 40.40 17.67 -0.37 1.62 11.72 21.29 0.50 9.16 -9.01 2.66 43.60 16.63 39.96 5.97 -5.90 2.31 7.47
88
Lampiran 3 Perkembangan luas panen, produktivitas dan produksi jagung di Indonesia pada tahun 2008-2012 Tahun
Luas panen (ha) 2008 4 001 724 2009 4 160 659 2010 4 131 676 2011 3 864 692 2012 3 966 579 Rata-rata
Persentase
3.97 (0.70) (6.46) 2.64 -0.14
Produktivitas (ku/ha)
Persentase
40.78 42.37 44.36 45.65 47.80
3.90 4.70 2.91 4.71 4.05
Produksi (ton)
Persentase
16 317 252 17 629 748 18 327 636 17 643 250 18 961 645
8.04 3.96 (3.73) 7.47 3.94
Sumber : BPS 2012
Lampiran 4 Perkembangan luas panen, produktivitas dan produksi jagung di Provinsi Gorontalo pada tahun 2008-2012 Tahun
Luas panen (ha) 2008 156 436 2009 124 798 2010 143 833 2011 135 754 2012 138 563 Rata-rata
Persentase
(20.22) 15.25 (5.62) 2.07 -8.52
Produktivitas (ku/ha)
Persentase
48.17 45.60 47.22 44.62 47.80
(5.34) 3.55 (5.51) 7.13 -0.17
Produksi (ton) 753 598 569 110 679 167 605 782 661 250
Persentase
(24.48) 19.34 (10.81) 9.16 -6.79
Sumber : BPS (2012)
Lampiran 5 Potensi pengembangan jagung di Provinsi Gorontalo pada tahun 2011 Kabupaten / Kota Boalemo Gorontalo Pohuwato Bone Bolango Gorontalo Utara Kota Gorontalo Prov. Gorontalo
Potensi (ha) 64 127 55 545 63 155 15 122 22 032 425 220 406
Sudah dimanfaatkan (ha) 27 500 27 526 31 000 2 000 10 918 232 99 176
Sumber : Dinas Pertanian dan KP Provinsi Gorontalo (2011)
Belum dimanfaatkan (ha) 36 627 28 019 32 155 13 122 11 114 193 121 230
89
Lampiran 6 Diskripsi jagung varietas unggul lama a Komposit Kalingga Tahun dilepas: Asal:
: :
Umur Panen Batang Daun Warna daun Perakaran Kerebahan Tongkol Kedudukan tongkol Kelobot Tipe biji Warna biji
: : : : : : : : : : : :
Baris biji Lampiran 6 Lanjutan
:
Jumlah baris / tongkol Bobot 1000 biji Rata-rata hasil Potensi hasil Ketahanan
: : : : :
Keterangan
:
1986 Generasi kedelapan dari Pool 4. Dibentuk dari 34 populasi berasal dari bahan dalam dan luar negeri pada awal 1980 dan dikembangkan dengan seleksi half-sib 50 persen keluar rambut : + 57 hari + 96 hari Tinggi dan tegap Panjang, sedang sampai lebar Hijau agak tua Baik Sedang Besar, panjang, dan cukup silindris Rata-rata di tengah batang Menutup tongkol dengan cukup baik Setengah mutiara (semi flint) Kuning sampai kuning kemerahan, kadang ada yang warna putih Cukup lurus dan rapat Kebanyakan 12 - 18 baris + 302 g 5.4 t/ha pipilan kering 7.0 t/ha pipilan kering Cukup tahan penyakit bulai (Peronosclerospora maydis) Baik untuk dataran rendah sampai dataran tinggi
90
Lampiran 6 Lanjutan b Komposit Bisma Tanggal dilepas Asal
: :
Umur Panen Batang Daun Warna daun Perakaran Kerebahan Tongkol Kedudukan tongkol Kelobot Tipe biji Warna biji Baris biji Jumlah baris/tongkol Bobot 1000 biji Warna janggel Rata-rata hasil Potensi hasil Ketahanan Keterangan
: : : : : : : : : : : : : : : : : : : :
Pemulia
:
4 September 1995 Persilangan Pool 4 dengan bahan introduksi disertai seleksi massa selama 5 generasi 50persen keluar rambut : + 60 hari + 96 hari Tegap, tinggi sedang (+ 190 cm) Panjang dan lebar Hijau tua Baik Tahan rebah Besar dan silindris Kurang lebih di tengah-tengah batang Menutup tongkol dengan cukup baik (+ 95persen) Semi mutiara (semi flint) Kuning Lurus dan rapat 12 - 18 baris + 307 g Kebanyakan putih (+ 98 cm) + 5.7 t/ha pipilan kering 7.0 – 7.5 t/ha pipilan kering Tahan penyakit karat dan bercak daun Baik untuk dataran rendah sampai ketinggian 500 m dpl. Subandi, Rudy Setyono, A. Sudjana, dan Hadiatmi
91
Lampiran 6 Lanjutan c Komposit Lamuru Tanggal dilepas Asal
: :
Umur Panen Batang Warna batang Daun Warna daun Keragaman tanaman Perakaran Malai Warna anther Daun: Warna daun: Tinggi tanaman Warna rambut Tongkol Tinggi letak tongkol Kelobot Tipe biji Warna biji Baris biji Jumlah baris/tongkol Bobot 1000 biji Rata-rata hasil Potensi hasil Tinggi tanaman Ketahanan
: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :
Daerah sebaran Pemulia
: :
25 Februari 2000 Dibentuk dari 3 galur GK, 5 galur SW1, GM4, GM12, GM15, GM11, dan galur SW3 50 persen keluar rambut : 55 hari 90 - 95 hari Tegap Hijau Panjang Hijau Agak seragam Baik Semi kompak Coklat muda (80persen) Panjang Hijau + 190 cm (160 - 210 cm) Coklat keunguan (75persen) Panjang dan silindris + 90 cm (85 - 110 cm) Tertutup dengan baik (75persen) Mutiara (flint) Kuning Lurus 12 - 16 baris + 275 g 5.6 t/ha 7.6 t/ha + 190 cm (160 - 210 cm) Cukup tahan terhadap penyakit bulai (Penonosclerospora maydis) dan karat Dataran rendah sampai 600 m dpl Mustari Basir, Marsum Dahlan, Made J. Mejaya, Arbi Mappe, dan Firdaus Kasim
92
Lampiran 7 Diskripsi jagung varietas unggul baru a Hibrida NT 10 Asal
:
Tipe hibrida Umur
: :
Masak Fisiologis
:
Tinggi tanaman Keseragaman Batang Warna batang Kerebahan Warna daun Bentuk malai Warna malai Warna sekam Warna rambut Perakaran Bentuk tongkol Kedudukan tongkol Kelobot Baris Jumlah baris Tipe biji Warna biji Bobot 1000 butir Rata-rata hasil Potensi hasil Ketahanan penyakit
: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :
Keterangan
:
Pengusul
:
Penguji
:
Peneliti
:
Persilangan antara galur murni FIL2603 dengan galur murni MIL0277 (FIL 2603 x MIL 0277) Hibrida silang tunggal (single cross) Berumur agak dalam 50 persen keluar polen : 53 – 63 HST 50 persen keluar rambut : 56 – 64 HST ± 99 HST (dataran rendah) ± 114 HST (dataran tinggi) ± 203 cm Seragam Besar dan kuat Hijau Tahan Hijau Besar dan terbuka Putih kemerahan Putih kemerahan Merah Sangat baik Panjang dan silindris Di pertengahan tinggi tanaman Menutup tongkol dengan baik Lurus dan rapat 14 – 16 Mutiara Oranye 309 gram 10.795 ton / ha pipilan kering pada kadar air 14 persen 12.808 ton / ha pipilan kering pada kadar air 14 persen Tahan terhadap bulai (P. maydis), hawar daun (H. Turcicum) dan busuk tongkol (D. Maydis). Beradaptasi dengan baik dari dataran rendah hingga ketinggian 1050 m dpl Kerapatan tanam dianjurkan ditanam dengan Muhamad Azrai, H. Syukuri S, Muh Yasin HG dan Made Jana Mejaya Khoirul Mu’minin, Alizar, Hadi Santoso, Reflinur dan Andri Marant. PT. CITRA NUSANTARA MANDIRI
93
Lampiran 7 Lanjutan b Hibrida Bisi 2 Tahun dilepas : Asal :
: :
Umur : Panen : Batang : Warna batang : Tinggi tanaman : Daun : Warna daun : Keragaman tanaman : Perakaran : Kerebahan : Tongkol : Kedudukan tongkol : Kelobot : Tipe biji : Warna biji : Jumlah baris/tongkol : Bobot 1000 biji : Rata-rata hasil : Potensi hasil : Ketahanan :
: : : : : : : : : : : : : : : : : : : :
Keterangan :
:
1995 F1 dari silang tunggal antara FS 4 dengan FS 9. FS 4 dan FS 9 merupakan tropical inbred yang dikembangkan oleh Charoen Seed Co., Ltd. Thailand dan Dekalb Plant Genetic, USA. 50persen keluar rambut : + 56 hari + 103 hari Tinggi dan tegap Hijau + 232 cm Panjang, lebar, dan terkulai Hijau cerah Seragam Baik Tahan Sedang, silindris, dan seragam Di tengah-tengah batang Menutup tongkol dengan baik Setengah mutiara (semi flint) Kuning oranye 12 - 14 baris + 265 g 8.9 t/ha pipilan kering 13 t/ha pipilan kering Toleran terhadap penyakit bulai dan karat daun Baik ditanam di dataran rendah sampai ketinggian 1000 m dpl.
94
Lampiran 7 Lanjutan c Hibrida Jaya 1 Tanggal dilepas Asal
: :
Umur 50persen polinasi 50persen keluar rambut Batang Warna batang Tinggi tanaman Warna daun Keragaman tanaman Perakaran Kerebahan Bentuk malai Warna sekam Warna anthera Warna rambut Tongkol Kedudukan tongkol Kelobot Tipe biji Jumlah baris/tongkol Bobot 1000 biji Rata-rata hasil Potensi hasil Ketahanan Daerah pengembangan
: : :
Pengusul
:
: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :
25 April 2002 F1 dari silang tiga jalur (three way cross) antara silang tunggal TSG 81 F dengan galur murni TSG 81 M, yang dikembangkan oleh PT. Asian Hybrid Seed Technologies, di Filipina Berumur dalam + 59 hari + 60 hari Besar dan kokoh Hijau 242 cm Hijau tua Seragam Sangat baik Tahan rebah Besar dan terbuka Krem Krem muda Merah muda Silindris dan panjang Di tengah-tengah tinggi tanaman Menutup tongkol sangat baik Semi mutiara 16 - 18 baris + 300 gram 9 t/ha pipilan kering 15.5 t/ha pipilan kering Tahan terhadap penyakit bulai Beradaptasi baik pada dataran rendah sampai ketinggian1200 m dpl P.T. Asian Hybrid Seed Technologies
95
Lampiran 8 Analisis varians untuk pengujian kesamaan koefisien regresi jagung varietas unggul di Provinsi Gorontalo tahun 2012 Sumber Regresi yang dipisahkan berdasarkan varietas Perbedaan slope Gabungan Perbedaan intersep Gabungan
SS 13.179371)
DB 3392)
MS 0.0388773)
F ratio
0.642414) 13.82178 5.036618) 18.85839
7 346 1 347
0.0917735) 0.0399477) 5.03661
2.3605836)ns 126.08129)s
Keterangan : Angka 1) adalah penjumlahan 6.26286 (SS VUB) dengan 6.91651 (SS VUL); angka 2) adalah penjumlahan 219 (DB VUB) dengan 120 (DB VUL); angka 3) adalah hasil pembagian 13.17937 (SS) dengan 339 (DB); angka 4) adalah hasil pengurangan 13.82178 dengan 13.17937; angka 5) adalah hasil pembagian 0.64241 dengan 7; angka 6) adalah hasil pembagian 0.091773 dengan 0.038877; angka 7) adalah hasil pembagian 13.82178 dengan 346; angka 8) adalah hasil pengurangan 18.85839 dengan 13.82178; angka 9) adalah pembagian 5.03661 dengan 0.039947
Lampiran 9 Hasil analisis pendugaan fungsi produksi jagung varietas unggul baru di Provinsi Gorontalo tahun 2012 The SAS System The REG Procedure Model: MODEL1 Dependent Variable: lnY Number of Observations Read Number of Observations Used
227 227
Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
7 219 226
56.75389 6.26286 63.01675
8.10770 0.02860
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
0.16911 8.65652 1.95353
R-Square Adj R-Sq
F Value
Pr > F
283.51
<.0001
0.9006 0.8974
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Intercept lnX1 lnX2 lnX3 lnX4 lnX5 lnX6 lnX7
1 1 1 1 1 1 1 1
7.06524 0.59749 0.11519 0.06037 0.02667 0.02519 0.13549 0.11936
Standard Error 0.35943 0.05276 0.04849 0.04072 0.03794 0.02115 0.02725 0.06707
t Value
Pr > |t|
Variance Inflation
19.66 11.33 2.38 1.48 0.70 1.19 4.97 1.78
<.0001 <.0001 0.0184 0.1396 0.4829 0.2350 <.0001 0.0765
0 6.54780 2.99315 3.05666 2.21487 1.59131 1.93384 5.05748
96
Lampiran 10 Hasil analisis pendugaan fungsi produksi jagung varietas unggul lama di Provinsi Gorontalo tahun 2012 The SAS System
The REG Procedure Model: MODEL1 Dependent Variable: lnY Number of Observations Read Number of Observations Used
128 128
Analysis of Variance
Source Model Error Corrected Total
DF
Sum of Squares
Mean Square
7 120 127
16.82868 6.91651 23.74519
2.40410 0.05764
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
0.24008 8.17031 2.93842
R-Square Adj R-Sq
F Value
Pr > F
41.71
<.0001
0.7087 0.6917
Parameter Estimates
Variable
DF
Intercept lnX1 lnX2 lnX3 lnX4 lnX5 lnX6 lnX7
1 1 1 1 1 1 1 1
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Variance Inflation
5.61065 0.35837 0.09177 0.26583 0.06550 0.05520 0.08062 0.09422
0.53489 0.09874 0.13792 0.07612 0.05834 0.05374 0.06586 0.07341
10.49 3.63 0.67 3.49 1.12 1.03 1.22 1.28
<.0001 0.0004 0.5071 0.0007 0.2639 0.3064 0.2233 0.2018
0 5.21988 5.83164 1.96187 1.81431 1.73820 1.30718 1.75466
97
Lampiran 11 Hasil analisis pendugaan fungsi produksi jagung gabungan tanpa dummy varietas di Provinsi Gorontalo tahun 2012
The SAS System The REG Procedure Model: MODEL1 Dependent Variable: lnY Number of Observations Read Number of Observations Used
355 355
Analysis of Variance
Source
DF
Model Error Corrected Total
7 347 354
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Sum of Squares
Mean Square
87.25219 18.85839 106.11058
12.46460 0.05435
0.23312 8.48121 2.74871
R-Square Adj R-Sq
F Value
Pr > F
229.35
<.0001
0.8223 0.8187
Parameter Estimates
Variable
DF
Intercept lnX1 lnX2 lnX3 lnX4 lnX5 lnX6 lnX7
1 1 1 1 1 1 1 1
Parameter Estimate 6.02040 0.50762 -0.25831 0.19315 0.08161 0.02883 0.19832 0.34196
Standard Error t Value 0.32486 0.05116 0.04662 0.04380 0.03746 0.02522 0.03076 0.05078
18.53 9.92 -5.54 4.41 2.18 1.14 6.45 6.73
Pr > |t|
Variance Inflation
<.0001 <.0001 <.0001 <.0001 0.0300 0.2537 <.0001 <.0001
0 4.73255 2.49277 2.58766 1.97964 1.60492 1.77236 2.83399
98
Lampiran 12 Hasil analisis pendugaan fungsi produksi jagung gabungan dengan dummy varietas di Provinsi Gorontalo tahun 2012 The SAS System The REG Procedure Model: MODEL1 Dependent Variable: lnY Number of Observations Read Number of Observations Used
355 355
Analysis of Variance
Source
DF
Model Error Corrected Total
8 346 354
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Sum of Squares
Mean Square
92.28880 13.82178 106.11058
11.53610 0.03995
0.19987 8.48121 2.35660
R-Square Adj R-Sq
F Value
Pr > F
288.78
<.0001
0.8697 0.8667
Parameter Estimates
Variable
DF
Parameter Estimate
Intercept lnX1 lnX2 lnX3 lnX4 lnX5 lnX6 lnX7 D
1 1 1 1 1 1 1 1 1
6.15348 0.49732 0.07628 0.14736 0.04995 0.02936 0.13535 0.13473 0.37211
Standard Error 0.27877 0.04387 0.04985 0.03777 0.03224 0.02162 0.02696 0.04728 0.03314
t Value
Pr > |t|
Variance Inflation
22.07 11.34 1.53 3.90 1.55 1.36 5.02 2.85 11.23
<.0001 <.0001 0.1269 0.0001 0.1222 0.1754 <.0001 0.0046 <.0001
0 4.73462 3.87837 2.61818 1.99490 1.60493 1.85251 3.34336 2.25017
99
Lampiran 13 Hasil analisis pendugaan fungsi produksi jagung gabungan dengan dummy varietas tanpa retriksi di Provinsi Gorontalo tahun 2012 The SAS System The REG Procedure Model: MODEL1 Dependent Variable: ly Number of Observations Read Number of Observations Used
355 355
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Model Error Corrected Total
8 346 354
92.26697 13.79162 106.05859
11.53337 0.03986
0.19965 8.48096 2.35410
R-Square Adj R-Sq
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Mean Square
F Value
Pr > F
289.35
<.0001
0.8700 0.8670
Parameter Estimates
Variable
DF
Intercept lx1 lx2 lx3 lx4 lx5 lx6 lx7 d
1 1 1 1 1 1 1 1 1
Parameter Estimate 6.16262 0.49872 0.07551 0.14784 0.04887 0.02885 0.13613 0.13365 0.37196
Standard Error
t Value
Pr > |t|
0.27803 0.04377 0.04990 0.03767 0.03218 0.02161 0.02694 0.04722 0.03313
22.17 11.39 1.51 3.92 1.52 1.33 5.05 2.83 11.23
<.0001 <.0001 0.1312 0.0001 0.1298 0.1828 <.0001 0.0049 <.0001
100
Lampiran 14 Hasil analisis pendugaan fungsi produksi jagung gabungan dengan dummy varietas terektriksi di Provinsi Gorontalo tahun 2012 The SAS System The REG Procedure Model: MODEL1 Dependent Variable: ly NOTE: Restrictions have been applied to parameter estimates.
Number of Observations Read Number of Observations Used
355 355
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Model Error Corrected Total
7 347 354
92.09642 13.96217 106.05859
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
0.20059 8.48096 2.36519
Mean Square 13.15663 0.04024
R-Square Adj R-Sq
F Value
Pr > F
326.98
<.0001
0.8684 0.8657
Parameter Estimates
Variable
DF
Parameter Estimate
Intercept lx1 lx2 lx3 lx4 lx5 lx6 lx7 d RESTRICT
1 1 1 1 1 1 1 1 1 -1
6.56563 0.53680 0.03607 0.14010 0.03357 0.02809 0.13032 0.09506 0.37598 2.45146
Standard Error 0.19928 0.03990 0.04633 0.03766 0.03147 0.02171 0.02692 0.04358 0.03323 1.19071
t Value
Pr > |t|
32.95 13.45 0.78 3.72 1.07 1.29 4.84 2.18 11.32 2.06
<.0001 <.0001 0.4369 0.0002 0.2868 0.1966 <.0001 0.0299 <.0001 0.0393*
* Probability computed using beta distribution.
101
Lampiran 15 Hasil pendugaan fungsi produksi dan inefisiensi teknis usahatani jagung di Provinsi Gorontalo pada tahun 2012 Output from the program FRONTIER (Version 4.1c) instruction file = terminal data file = Gab.dta Tech. Eff. Effects Frontier (see B&C 1993) The model is a production function The dependent variable is logged the ols estimates are :
beta 0 beta 1 beta 2 beta 3 beta 4 beta 5 beta 6 beta 7 beta 8 sigma-squared
coefficient
standard-error
t-ratio
0.61534764E+01 0.49732039E+00 0.76283003E-01 0.14736136E+00 0.49947004E-01 0.29359253E-01 0.13535378E+00 0.13472566E+00 0.37211116E+00 0.39947333E-01
0.27877167E+00 0.43873199E-01 0.49853633E-01 0.37770096E-01 0.32239808E-01 0.21622703E-01 0.26959056E-01 0.47282737E-01 0.33139612E-01
0.22073535E+02 0.11335403E+02 0.15301393E+01 0.39015352E+01 0.15492339E+01 0.13577975E+01 0.50207166E+01 0.28493626E+01 0.11228591E+02
log likelihood function = 0.72419175E+02 the estimates after the grid search were : beta 0 0.63519544E+01 beta 1 0.49732039E+00 beta 2 0.76283003E-01 beta 3 0.14736136E+00 beta 4 0.49947004E-01 beta 5 0.29359253E-01 beta 6 0.13535378E+00 beta 7 0.13472566E+00 beta 8 0.37211116E+00 delta 0 0.00000000E+00 delta 1 0.00000000E+00 delta 2 0.00000000E+00 delta 3 0.00000000E+00 delta 4 0.00000000E+00 sigma-squared 0.78328115E-01 gamma 0.79000000E+00 iteration = 0 func evals = 20 llf = 0.79282147E+02 0.63519544E+01 0.49732039E+00 0.76283003E-01 0.14736136E+00 0.49947004E-01 0.29359253E-01 0.13535378E+00 0.13472566E+00 0.37211116E+00 0.00000000E+00 0.00000000E+00 0.00000000E+00 0.00000000E+00 0.00000000E+00 0.78328115E-01 0.79000000E+00
102
Lampiran 15 Lanjutan gradient step iteration = 5 func evals = 40 llf = 0.88774850E+02 0.63508955E+01 0.48130826E+00 0.95915662E-01 0.13902783E+00 0.63836400E-01 0.24394972E-01 0.11922591E+00 0.12307360E+00 0.33334848E+00 0.13790770E-01 0.14130381E-01-0.11205819E+00-0.78243455E-01-0.10468016E+00 0.84388809E-01 0.82409538E+00 iteration = 10 func evals = 55 llf = 0.91659665E+02 0.63362835E+01 0.45749708E+00 0.12605113E+00 0.13623430E+00 0.64634092E-01 0.38479706E-01 0.12582635E+00 0.10700203E+00 0.35059425E+00 0.16602414E+00 0.15466657E-01-0.15740140E+00-0.79844803E-01-0.16522968E+00 0.79232991E-01 0.85732058E+00 iteration = 15 func evals = 73 llf = 0.93219426E+02 0.59571669E+01 0.40550320E+00 0.14762753E+00 0.16245343E+00 0.82470389E-01 0.34148494E-01 0.11462349E+00 0.13367237E+00 0.34982075E+00 0.25597399E+00 0.72041091E-02-0.15353094E+00-0.74174802E-01-0.19705352E+00 0.77475570E-01 0.85529464E+00 iteration = 20 func evals = 142 llf = 0.95310083E+02 0.62265594E+01 0.42221439E+00 0.13203590E+00 0.14906512E+00 0.67198401E-01 0.37316871E-01 0.11852863E+00 0.11412869E+00 0.35240002E+00 0.36711350E+00 -0.55569416E-02-0.14741315E+00-0.84355665E-01-0.18666572E+00 0.70089546E-01 0.82081600E+00 iteration = 25 func evals = 242 llf = 0.95331553E+02 0.62362465E+01 0.42166951E+00 0.13223225E+00 0.14906654E+00 0.67500639E-01 0.36872899E-01 0.11825426E+00 0.11255680E+00 0.35183221E+00 0.37112127E+00 -0.48197013E-02-0.14124787E+00-0.83147972E-01-0.17905163E+00 0.67453247E-01 0.81477049E+00 iteration = 28 func evals = 285 llf = 0.95331553E+02 0.62362518E+01 0.42167211E+00 0.13223064E+00 0.14906545E+00 0.67500663E-01 0.36873086E-01 0.11825418E+00 0.11255706E+00 0.35183131E+00 0.37112290E+00 -0.48202512E-02-0.14124868E+00-0.83145119E-01-0.17905532E+00 0.67453025E-01 0.81475824E+00
the final mle estimates are :
beta 0 beta 1 beta 2 beta 3 beta 4 beta 5 beta 6 beta 7 beta 8 delta 0 delta 1 delta 2 delta 3 delta 4 sigma-squared gamma
coefficient
standard-error
t-ratio
0.62362518E+01 0.42167211E+00 0.13223064E+00 0.14906545E+00 0.67500663E-01 0.36873086E-01 0.11825418E+00 0.11255706E+00 0.35183131E+00 0.37112290E+00 -0.48202512E-02 -0.14124868E+00 -0.83145119E-01 -0.17905532E+00 0.67453025E-01 0.81475824E+00
0.26105012E+00 0.43832342E-01 0.49520006E-01 0.34150722E-01 0.30803848E-01 0.18971166E-01 0.22932864E-01 0.43740774E-01 0.31206586E-01 0.88470889E-01 0.83370986E-02 0.69717891E-01 0.57884682E-01 0.67148402E-01 0.18560755E-01 0.64919914E-01
0.23889098E+02 0.96201138E+01 0.26702469E+01 0.43649282E+01 0.21913062E+01 0.19436384E+01 0.51565380E+01 0.25732753E+01 0.11274265E+02 0.41948590E+01 -0.57816891E+00 -0.20260034E+01 -0.14363924E+01 -0.26665612E+01 0.36341746E+01 0.12550205E+02
103
Lampiran 15 Lanjutan log likelihood function = 0.95331553E+02 LR test of the one-sided error = 0.45824755E+02 with number of restrictions = 6 [note that this statistik has a mixed chi-square distribution] number of iterations = 28 (maximum number of iterations set at : 100) number of cross-sections = 355 number of time periods = 1 total number of observations = 355 thus there are: 0 obsns not in the panel covariance matrix : 0.68147164E-01 0.83154475E-02 -0.40143441E-02 -0.37538087E-02 -0.34157472E-02 0.88058845E-03 0.15418480E-02 -0.52209344E-02 -0.19830339E-03 -0.10394633E-03 0.73999868E-04 -0.11105311E-03 -0.12653509E-02 0.21448153E-02 -0.27512568E-03 -0.16822639E-02 0.83154475E-02 0.19212742E-02 -0.99720975E-03 -0.33670677E-03 -0.34408445E-03 -0.60296298E-04 0.74314399E-04 -0.51185252E-03 -0.23178231E-03 -0.97908385E-03 -0.20544412E-04 -0.30840528E-03 -0.11490358E-03 0.35239345E-03 0.12446416E-03 0.27057663E-04 -0.40143441E-02 -0.99720975E-03 0.24522310E-02 -0.39282882E-03 -0.78033255E-04 -0.77364075E-04 -0.21000973E-03 -0.17901972E-03 0.96220921E-03 0.22284540E-03 0.34092115E-04 -0.22185067E-03 0.13115671E-03 -0.18376568E-03 0.47313865E-04 0.64252919E-03 -0.37538087E-02 -0.33670677E-03 -0.39282882E-03 0.11662718E-02 -0.39602707E-04 -0.51108451E-04 -0.10259514E-03 -0.19849800E-03 -0.94663078E-04 0.27347947E-03 -0.13861916E-04 -0.28185286E-04 0.79532893E-04 0.13401494E-03 -0.50078083E-04 -0.17769956E-03 -0.34157472E-02 -0.34408445E-03 -0.78033255E-04 -0.39602707E-04 0.94887704E-03 -0.81660870E-04 -0.54410199E-04 -0.14118957E-03 -0.56120806E-04 0.21430971E-03 -0.55102254E-05 0.16396352E-03 0.12786907E-03 -0.14650671E-03 -0.11348401E-04 0.16891117E-03 0.88058845E-03 -0.60296298E-04 -0.77364075E-04 -0.51108451E-04 -0.81660870E-04 0.35990512E-03 -0.48191687E-04 -0.63554577E-04 0.46251271E-05 -0.12766279E-03 0.45358345E-06 -0.12519742E-03 -0.12823793E-03 -0.52013958E-04 0.37304224E-04 0.20687831E-04 0.15418480E-02 0.74314399E-04 -0.21000973E-03 -0.10259514E-03 -0.54410199E-04 -0.48191687E-04 0.52591623E-03 -0.17051908E-03 -0.15796079E-03 -0.13298585E-03 0.35377082E-05 0.42122340E-04 -0.30748173E-04 0.23530179E-04 -0.11011980E-04 -0.17108106E-03 -0.52209344E-02 -0.51185252E-03 -0.17901972E-03 -0.19849800E-03 -0.14118957E-03 -0.63554577E-04 -0.17051908E-03 0.19132553E-02 -0.52722571E-03 -0.26718872E-03 -0.19185159E-04 0.23189599E-03 0.47356008E-04 -0.16283520E-03 0.41271541E-04 0.80803727E-04 -0.19830339E-03 -0.23178231E-03 0.96220921E-03 -0.94663078E-04 -0.56120806E-04 0.46251271E-05 -0.15796079E-03 -0.52722571E-03 0.97385099E-03 -0.27575136E-04 0.31896132E-04 0.95111640E-04 0.17796404E-03 -0.10380363E-03 -0.40685626E-04 -0.94084326E-04 -0.10394633E-03 -0.97908385E-03 0.22284540E-03 0.27347947E-03 0.21430971E-03 -0.12766279E-03 -0.13298585E-03 -0.26718872E-03 -0.27575136E-04 0.78270982E-02 -0.36059284E-03 0.11545352E-02 0.23255742E-04 0.56835242E-03 -0.77567279E-03 -0.85015595E-03 0.73999868E-04 -0.20544412E-04 0.34092115E-04 -0.13861916E-04 -0.55102254E-05 0.45358345E-06 0.35377082E-05 -0.19185159E-04 0.31896132E-04 -0.36059284E-03
104
Lampiran 15 Lanjutan 0.69507213E-04 0.30507840E-05 0.25443991E-04 0.33295407E-04 -0.19789423E-04 -0.45353480E-04 -0.11105311E-03 -0.30840528E-03 -0.22185067E-03 -0.28185286E-04 0.16396352E-03 -0.12519742E-03 0.42122340E-04 0.23189599E-03 0.95111640E-04 0.11545352E-02 0.30507840E-05 0.48605844E-02 -0.92351993E-04 0.50022816E-03 -0.70144419E-03 -0.14065838E-02 -0.12653509E-02 -0.11490358E-03 0.13115671E-03 0.79532893E-04 0.12786907E-03 -0.12823793E-03 -0.30748173E-04 0.47356008E-04 0.17796404E-03 0.23255742E-04 0.25443991E-04 -0.92351993E-04 0.33506364E-02 0.44941748E-03 -0.35775609E-03 -0.70391162E-03 0.21448153E-02 0.35239345E-03 -0.18376568E-03 0.13401494E-03 -0.14650671E-03 -0.52013958E-04 0.23530179E-04 -0.16283520E-03 -0.10380363E-03 0.56835242E-03 0.33295407E-04 0.50022816E-03 0.44941748E-03 0.45089079E-02 -0.62827084E-03 -0.11832386E-02 -0.27512568E-03 0.12446416E-03 0.47313865E-04 -0.50078083E-04 -0.11348401E-04 0.37304224E-04 -0.11011980E-04 0.41271541E-04 -0.40685626E-04 -0.77567279E-03 -0.19789423E-04 -0.70144419E-03 -0.35775609E-03 -0.62827084E-03 0.34450163E-03 0.84076595E-03 -0.16822639E-02 0.27057663E-04 0.64252919E-03 -0.17769956E-03 0.16891117E-03 0.20687831E-04 -0.17108106E-03 0.80803727E-04 -0.94084326E-04 -0.85015595E-03 -0.45353480E-04 -0.14065838E-02 -0.70391162E-03 -0.11832386E-02 0.84076595E-03 0.42145952E-02
technical efficiency estimates : firm year 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
eff.-est. 0.78204224E+00 0.76659774E+00 0.90420893E+00 0.81827509E+00 0.75381814E+00 0.87465591E+00 0.89642660E+00 0.62717599E+00 0.63485678E+00 0.70782572E+00 0.61430268E+00 0.83904812E+00 0.75174442E+00 0.74030424E+00 0.63432432E+00 0.66899869E+00 0.65326747E+00 0.54082091E+00 0.76518080E+00 0.90015782E+00 0.85042096E+00 0.85379471E+00 0.64085323E+00 0.78359115E+00 0.89927148E+00 0.91754400E+00 0.91709620E+00
105
Lampiran 15 Lanjutan 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
0.86257222E+00 0.79562047E+00 0.62940963E+00 0.83650855E+00 0.72369996E+00 0.89589204E+00 0.89069579E+00 0.77605988E+00 0.80301420E+00 0.89936218E+00 0.84421917E+00 0.89100162E+00 0.88187573E+00 0.74883807E+00 0.77505793E+00 0.86170162E+00 0.87927487E+00 0.71859860E+00 0.83939068E+00 0.83149921E+00 0.68736148E+00 0.75510121E+00 0.79363525E+00 0.83031971E+00 0.82234580E+00 0.86013957E+00 0.88669140E+00 0.82443590E+00 0.92759356E+00 0.93492922E+00 0.87220126E+00 0.86256574E+00 0.87400009E+00 0.83832996E+00 0.73642729E+00 0.89602295E+00 0.89872300E+00 0.87161702E+00 0.94195283E+00 0.88484014E+00 0.84755490E+00 0.88699472E+00 0.93492922E+00 0.90690011E+00 0.90009857E+00 0.85645627E+00 0.89684771E+00 0.91830984E+00 0.92886098E+00 0.88848968E+00 0.97152718E+00 0.91855631E+00 0.92355519E+00 0.94421623E+00 0.93797385E+00 0.85136344E+00
106
Lampiran 15 Lanjutan 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
0.84991141E+00 0.87305878E+00 0.92886098E+00 0.86861582E+00 0.84924838E+00 0.82542109E+00 0.68782996E+00 0.59231662E+00 0.61464861E+00 0.87997584E+00 0.73351043E+00 0.88646966E+00 0.81782910E+00 0.92992262E+00 0.87718538E+00 0.70439145E+00 0.94362310E+00 0.78921207E+00 0.67782095E+00 0.83605132E+00 0.73500790E+00 0.91141884E+00 0.81387940E+00 0.94339094E+00 0.72751874E+00 0.68289280E+00 0.71949314E+00 0.88281327E+00 0.72345651E+00 0.76108164E+00 0.79356008E+00 0.94690488E+00 0.84114575E+00 0.68626385E+00 0.92557907E+00 0.81936260E+00 0.80200236E+00 0.65106414E+00 0.91786819E+00 0.80977444E+00 0.68322519E+00 0.86180990E+00 0.75913889E+00 0.90634686E+00 0.81945441E+00 0.83559583E+00 0.91009817E+00 0.91341925E+00 0.90861189E+00 0.90593764E+00 0.89772449E+00 0.88694338E+00 0.75179827E+00 0.94402581E+00 0.76059506E+00 0.90334857E+00
107
Lampiran 15 Lanjutan 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163 164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177 178 179 180 181 182 183 184 185 186 187 188 189 190 191 192 193 194 195
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
0.87168294E+00 0.60514526E+00 0.71449471E+00 0.78308481E+00 0.84980333E+00 0.91648249E+00 0.90562731E+00 0.93673602E+00 0.92092348E+00 0.91346456E+00 0.90443235E+00 0.90281647E+00 0.90146023E+00 0.84590034E+00 0.87345071E+00 0.90173992E+00 0.70323796E+00 0.88970035E+00 0.88448872E+00 0.92425945E+00 0.69079118E+00 0.67696745E+00 0.67625475E+00 0.91345656E+00 0.85768421E+00 0.80939490E+00 0.78116314E+00 0.73331521E+00 0.64563037E+00 0.88093196E+00 0.76424646E+00 0.88851828E+00 0.80009455E+00 0.89206183E+00 0.93098109E+00 0.86285398E+00 0.87969904E+00 0.89558671E+00 0.80214925E+00 0.81666306E+00 0.89303422E+00 0.87173615E+00 0.83915051E+00 0.72481349E+00 0.95736893E+00 0.94257798E+00 0.91807421E+00 0.90672127E+00 0.94807405E+00 0.95829739E+00 0.89232603E+00 0.92814328E+00 0.88481545E+00 0.88129470E+00 0.94596921E+00 0.92935629E+00
108
Lampiran 15 Lanjutan 196 197 198 199 200 201 202 203 204 205 206 207 208 209 210 211 212 213 214 215 216 217 218 219 220 221 222 223 224 225 226 227 228 229 230 231 232 233 234 235 236 237 238 239 240 241 242 243 244 245 246 247 248 249 250 251
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
0.82321513E+00 0.79543573E+00 0.72645396E+00 0.82717834E+00 0.84247118E+00 0.78625200E+00 0.85584386E+00 0.59727989E+00 0.89413865E+00 0.86697360E+00 0.94577519E+00 0.92169973E+00 0.89507529E+00 0.58233441E+00 0.90223847E+00 0.83319920E+00 0.71833606E+00 0.72757327E+00 0.86346046E+00 0.85521697E+00 0.86303456E+00 0.88111063E+00 0.61197867E+00 0.91144921E+00 0.88632455E+00 0.61719955E+00 0.59746295E+00 0.82403984E+00 0.79592948E+00 0.76322283E+00 0.87100154E+00 0.80375582E+00 0.92872825E+00 0.92751342E+00 0.63236664E+00 0.80560847E+00 0.75874983E+00 0.59638168E+00 0.84538863E+00 0.82362001E+00 0.65535502E+00 0.71560521E+00 0.78160840E+00 0.84614168E+00 0.82201115E+00 0.89309760E+00 0.78028925E+00 0.81371557E+00 0.92247653E+00 0.93437421E+00 0.75136063E+00 0.75333193E+00 0.93659636E+00 0.88445909E+00 0.59957962E+00 0.90824930E+00
109
Lampiran 15 Lanjutan 252 253 254 255 256 257 258 259 260 261 262 263 264 265 266 267 268 269 270 271 272 273 274 275 276 277 278 279 280 281 282 283 284 285 286 287 288 289 290 291 292 293 294 295 296 297 298 299 300 301 302 303 304 305 306 307
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
0.92144306E+00 0.61437457E+00 0.89282960E+00 0.91354595E+00 0.87906349E+00 0.86458326E+00 0.85773951E+00 0.69737541E+00 0.88448437E+00 0.89685201E+00 0.89314661E+00 0.74995897E+00 0.92383080E+00 0.92299177E+00 0.90005992E+00 0.90556142E+00 0.89629509E+00 0.88646173E+00 0.92564065E+00 0.93525850E+00 0.83447340E+00 0.89177081E+00 0.89950454E+00 0.91995819E+00 0.83410615E+00 0.78797949E+00 0.92476020E+00 0.89043666E+00 0.94778792E+00 0.88374225E+00 0.91236987E+00 0.95240933E+00 0.94318213E+00 0.95614095E+00 0.88192426E+00 0.92901430E+00 0.85606971E+00 0.86583071E+00 0.83604569E+00 0.95118248E+00 0.91477558E+00 0.91672607E+00 0.50220921E+00 0.41915182E+00 0.71138711E+00 0.52283492E+00 0.60844344E+00 0.75393349E+00 0.67257511E+00 0.59187985E+00 0.84376908E+00 0.62004215E+00 0.66957964E+00 0.67939554E+00 0.77196284E+00 0.73966979E+00
110
Lampiran 15 Lanjutan 308 309 310 311 312 313 314 315 316 317 318 319 320 321 322 323 324 325 326 327 328 329 330 331 332 333 334 335 336 337 338 339 340 341 342 343 344 345 346 347 348 349 350 351 352 353 354 355
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
0.87923304E+00 0.66143160E+00 0.73262572E+00 0.71647148E+00 0.53849835E+00 0.58793122E+00 0.66514008E+00 0.65597427E+00 0.58336761E+00 0.90817525E+00 0.82187594E+00 0.66286941E+00 0.56649372E+00 0.57790351E+00 0.88491194E+00 0.75234026E+00 0.82878484E+00 0.85719403E+00 0.53980229E+00 0.66324708E+00 0.86495098E+00 0.80086913E+00 0.62078292E+00 0.92664520E+00 0.77386564E+00 0.84430489E+00 0.95086036E+00 0.72636782E+00 0.76640968E+00 0.80533813E+00 0.62842566E+00 0.66641654E+00 0.83809546E+00 0.77065611E+00 0.85615945E+00 0.76487347E+00 0.84368934E+00 0.80088376E+00 0.73139622E+00 0.76720065E+00 0.80449914E+00 0.80574021E+00 0.66774152E+00 0.77890656E+00 0.78888063E+00 0.85923057E+00 0.62761387E+00 0.71695833E+00
mean efficiency = 0.81519485E+00
111
Lampiran 16
Analisis anggaran parsial sederhana usahatani jagung per hektar di Provinsi Gorontalo pada tahun 2012
(Teknologi Baru = Penggunaan Varietas Unggul Baru) Komponen Biaya dan Pendapatan A Komponen Biaya (Rp/ha/musim tanam) 1 Sewa lahan 2 Biaya tenaga Kerja (66.42 HKSP/ha @Rp 30 020) 3 Bahan Benih (15 26 kg/ha @Rp 43 551) Pupuk urea (201.47 kg/ha @Rp 1 669) Pupuk phonska (141.97 kg/ha @Rp 2 255)
Rp 239 871 1 993 945 664 585 336 229 320 102
Pupuk Pelngkap Cair (PPC) (2.36 l/ha @Rp 38 098) Pestisida (3 98 l/ha @Rp 55 889) B C D
Total biaya Komponen pendapatan (Rp/ha/musim tanam) Penerimaan (5 203 kg/ha @Rp 1 993) Keuntungan finansial usahatani R/C = 2.68 Net B/C (6 502 008)/(3 867 082) = 1.68
89 912 222 438 3 867 082 10 369 400 6 502 008
(Teknologi Lama = Penggunaan Varietas Unggul Lama) Komponen Biaya dan Pendapatan A Komponen Biaya (Rp/ha/musim tanam) 1 Sewa lahan 2 Biaya tenaga Kerja (51.79 HKSP/ha @Rp 37 290) 3 Bahan Benih (22.07 kg/ha @Rp 14 306) Pupuk urea (185.70 kg/ha @Rp 1 797) Pupuk phonska (133.19 kg/ha @Rp 2 350) Pupuk pelengkap cair (PPC) (2.08 l/ha @Rp 39 909) Pestisida (2.77 l/ha @Rp 45 913) B C D
Total biaya Komponen pendapatan (Rp/ha/musim tanam) Penerimaan (3 281 kg/ha @Rp 1 973) Keuntungan finansial usahatani R/C = 1.98
Rp 166 992 1 931 263 315 725 333 710 312 941 83 010 127 178 3 270 819 6 473 413 3 202 594
112
Lampiran 17
Analisis kelayakan perubahan teknologi usahatani jagung di Provinsi Gorontalo pada tahun 2012
Losses (kerugian) Tambahan biaya (Rp) Benih Urea
Gains (keuntungan) Penghematan biaya (Rp) Tambahan penerimaan (5 203-3 281) x Rp 1 993 Rp 3 830 546
= 348 860 = 2 519
Ponska PPC Pestisida Tenaga Kerja Total Losses (Rp.) Tambahan Keuntungan
= 7 161 = 6 902 = 95 260 = 62 682 = 523 384 Total Gains (Rp) = Rp 3 830 546 = ( Rp 3 830 546 – Rp 523 384) = Rp 3 307 162
=
Lampiran 18
Analisis titik impas harga output usahatani jagung di Provinsi Gorontalo pada tahun 2012 Losses (kerugian) Gains (keuntungan) Tambahan biaya (Rp) Penghematan biaya (Rp) Benih = 348 860 Tambahan penerimaan 1 922 Py Pupuk = 16 582 Pestisida = 95 260 Total Losses = 523 384 Total gains : 1 922 Py Titik impas tercapai pada saat tambahan keuntungan (extra profit) sama dengan nol, atau marginal B/C = 1 Jadi : 1 922 Py = 523 384 Py = Rp 272.3
Lampiran 19 Analisis titik impas tambahan produksi usahatani jagung di Provinsi Gorontalo pada tahun 2012 Losses (kerugian) Gains (keuntungan) Tambahan biaya (Rp) Penghematan biaya (Rp) Benih = 348 860 Tambahan penerimaan 1 993 (Δy) Pupuk = 16 582 Pestisida = 95 260 Tenaga kerja = 62 682 Total losses = 523 384 Jadi : 1 993 Δy = 523 384 Δy = 262.6
Total gains : 1 993 Δy
113
Lampiran 20 Uji statistik rata-rata penggunaan input dan produksi rata-rata yang dihasilkan oleh petani jagung VUB dan VUL di Provinsi Gorontalo tahun 2012 Group Statistics Jagung Produksi Luas_lahan Benih Urea Phonska PPC Pestisida TK
VUB VUL VUB VUL VUB VUL VUB VUL VUB VUL VUB VUL VUB VUL VUB VUL
N
Mean 227 128 227 128 227 128 227 128 227 128 227 128 227 128 227 128
6554.7437 3862.5313 1.2598 1.1772 19.2291 25.9777 253.8141 218.6016 178.8546 156.7891 2.9730 2.4506 5.0132 3.2568 83.6804 60.9609
Std. Deviation 3372.20429 1611.95060 .65527 .52817 8.80243 10.11927 122.27698 90.28000 80.15478 77.87600 2.31754 1.31546 2.67152 1.20885 28.64680 25.71755
Std. Error Mean 223.82106 142.47765 .04349 .04668 .58424 .89443 8.11581 7.97970 5.32006 6.88333 .15382 .11627 .17731 .10685 1.90135 2.27313
114
Lampiran 20 Lanjutan Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
Uraian
t-test for Equality of Means 95persen Confidence Interval of the Difference
F Produksi
Equal variances assumed
39.140
Sig. .000
Equal variances not assumed Luas_lahan
Equal variances assumed
6.861
.009
Equal variances not assumed Benih
Equal variances assumed
.546
.460
Equal variances not assumed Urea
Equal variances assumed
12.532
.000
Equal variances not assumed Phonska
Equal variances assumed
.135
.713
Equal variances not assumed PPC
Equal variances assumed
11.617
.001
Equal variances not assumed Pestisida
Equal variances assumed
39.836
.000
Equal variances not assumed TK
Equal variances assumed Equal variances not assumed
2.329
.128
t
Sig. (2tailed)
df
Mean Difference
Std. Error Difference
Lower
Upper
8.498
353
.000 2692.21245
316.8173
2069.126 3315.299
10.147
345.355
.000 2692.21245
265.3219
2170.362 3214.062
1.220
353
.223
.08264
.06771
-.051
.21580
1.295
311.330
.196
.08264
.06380
-.043
.20818
-6.567
353
.000
-6.74866
1.02771
-8.770 -4.72745
-6.317
234.504
.000
-6.74866
1.06833
-8.853 -4.64391
2.849
353
.005
35.21253
12.36045
10.903
59.521
3.094
328.255
.002
35.21253
11.38165
12.822
57.603
2.516
353
.012
22.06556
8.77005
4.817
39.314
2.536
269.922
.012
22.06556
8.69961
4.938
39.193
2.345
353
.020
.52233
.22275
.084
.960
2.709
352.977
.007
.52233
.19282
.143
.902
7.040
353
.000
1.75642
.24950
1.266
2.247
8.484
340.122
.000
1.75642
.20702
1.349
2.164
7.439
353
.000
22.71946
3.05392
16.713
28.726
7.666
287.729
.000
22.71946
2.96349
16.887
28.552
115
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Makassar, Sulawesi Selatan pada tanggal 3 Juli 1970, sebagai anak kedua dari 3 bersaudara dari pasangan Bapak Drs.Tadjuddin Rais dan Ibu Dr. Hj. Marwanting Tadjuddin, MS. Penulis menyelesaikan pendidikan dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas di Kota Makassar, yaitu pada SD Mangkura Makassar, SMP Negeri III Makassar dan SMA Negeri 2 Makassar. Selanjutnya pendidikan sarjana (S1) penulis selesaikan pada tahun 1994 di Fakultas Peternakan Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Universitas Hasanuddin Makassar. Selama studi penulis memperoleh beasiswa dari Yayasan SUPERSEMAR. Pada tahun 1995 penulis melanjutkan pendidikan Pascasarjana (S2) di Program Studi Agribisnis Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1998. Pada tahun 1997 penulis menikah dengan Ir. Syamsul Bachri Umar yang merupakan anak pertama dari 4 bersaudara pasangan Bapak Drs.H. Umar Alie dan Ibu Dra.Hj. Siti Alang. Penulis mempunyai 3 orang anak yaitu Dhiya Afifah Syamsul, Andi Muhammad Nur Fitrah Syamsul dan Aulia Ramadhani Syamsul. Pada tahun 2002 penulis diterima bekerja di Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian dan pada tahun yang sama kemudian bertugas pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Gorontalo Badan Litbang Pertanian Kementerian Pertanian. Kemudian tahun 2008 penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke Program Pascasarjana (S3) di Institut Pertanian Bogor pada Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian dengan beasiswa dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Jenjang karier penulis dimulai pada tahun 2002 sebagai tenaga fungsional peneliti hingga sekarang pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Gorontalo.