Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
PENGARUH PEMUPUKAN N DAN PUPUK KANDANG TERHADAP HASIL BIOMAS DAN DAYA DUKUNG TERNAK PADA DYSTRUDEPT DI SUBANG (The Effect of N ad Cattle Dung Fertilizers to Biomas Production and Carrying Capacity on Subang District) JOKO PURNOMO1, ENGGIS TUHERKIH1 dan NURHAYATI2 1
Balai Penelitian Tanah, Jl. Ir. H. Juanda No. 98, Bogor 2 Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002
ABSTRACT Ninthy percent of national cow meat production depending on traditional husbandry mainly consumed native forage which was low in quality and quantity was not same distributed lengthen of a year. One action for increasing quality and quantity of forage is improving soil fertility and introducing high yielding of forage. The research activity was located at Typic Dystrudept in Station Research Wera, Subang District that has low content in C-organic, N-total, P-Bray I, Mg, but high of Al saturation. The purpose of study was to improve soil organic matter, to increase efficiency of N fertilization for forage production. Treatments were arranged with randomized block design with three replications. The experiment consisted of 10 incomplete combinations of four factors. The four factors were: (a) three forage patterns: (Panicum maximum monoculture; Arachis pintoi and D. Rensonii with land area ratio 66%: 34%; P. maximum, A. pintoi and D. Rensonii = 55%: 25%: 20%); (b) four rates of urea (0, 100, 200 and 300 kg/ha); (c) four rates of cattle dung (0, 2.5, 5 and 10 t/ha), and (d) two application of bio-fertilizers (with and with out bio-fertilizer). The study showed that application of urea and dung significantly increased biomass of forages and optimum rate for urea was 200 kg/ha and 5 t/ha for dung yielded biomass cutting of P. maximum, A. pintoi and D. Rensonii were 11.35, 0.9, and 4.03 t biomass/ha/6 weeks, respectively. However, Application of urea and dung significantly increased carrying capacity for cows from 5.7-cow unit/ha to 8.0 animal unit/ha. Key Word: Forage Crop, Fertilizers, Carrying Capacity ABSTRAK Sembilan puluh persen produksi daging sapi nasional bersumber dari peternakan rakyat yang terutama mengkonsumsi pakan alami dengan kualitas rendah dan kuantitas pakan yang tidak merata sepanjang tahun. Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pakan adalah melalui peningkatan kesuburan tanah dan introduksi pakan unggul. Penelitian ditempatkan pada Typic Dystrudept di Kebun Percobaan Wera Kabupaten Subang yang berkadar C-organik, N-total, P-Bray I, dan Mg rendah, serta kejenuhan Al tinggi. Tujuan penelitian adalah untuk memperbaiki kadar bahan organik, meningkatkan efisiensi pemupukan N, dan produksi tanaman pakan ternak (TPT). Penelitian disusun berdasarkan rancangan acak kelompok dengan tiga ulangan. Penelitian pertama terdiri dari 10 perlakuan dengan kombinasi tidak lengkap dari empat faktor. Keempat faktor tersebut adalah: (a) tiga tata botani pakan (Panicum maximum tanaman tunggal; Arachis pintoi : Desmodium Rensonii dengan perbandingan luas 66% : 34%; dan P. maximum : A. pintoi : D. Rensonii = 55% : 25% : 20%), (b) empat takaran pupuk urea (0, 100, 200, dan 300 kg/ha), (c) empat takaran pupuk kandang (pukan) (0, 2,5, 5, dan 10 t/ha), dan (d) dua perlakuan pupuk bio (tanpa dan dengan pupuk bio). Hasil penelitian pertama menunjukkan bahwa pemberian pupuk urea dan pupuk kandang nyata meningkatkan hasil pangkasan TPT dan takaran optimumnya adalah 200 kg urea/ha dan 5 t pukan/ha yang menghasilkan pangkasan P. maximum, A. Pintoi, dan D. Rensonii masing-masing sebesar 11,35; 0,9; dan 4,03 t/ha/6 minggu. Selain itu, pemberian 200 kg urea/ha dan 5 t pukan/ha meningkatkan daya dukung ternak sapi secara nyata dari 5,7 satuan ternak sapi (ST)/ha menjadi 8,0 ST/ha. Kata Kunci: Tanaman Pakan Ternak, Pemupukan, Daya Dukung Ternak
851
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
PENDAHULUAN Potensi lahan dan peluang pengembangan peternakan ruminansia di Indonesia masih sangat besar. Evaluasi kesesuaian lahan untuk peternakan pada 11 propinsi menunjukkan bahwa terdapat sekitar 21,5 juta ha lahan yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai lahan peternakan dimana seluas 14,5 juta ha berpotensi tinggi. Data ini menggambarkan potensi bahwa lahan untuk pengembangan peternakan masih sangat besar dan dapat diusahakan berdampingan dengan lahan pertanian tanaman pangan, perkebunan, atau pada padang penggembalaan (SURATMAN, 2003). Pengelolaan lahan memegang peranan penting dalam meningkatkan produksi dan kualitas pakan. Sebagai contoh, program pengembangan ternak sapi yang terkait dengan transmigrasi di Jambi, pada awalnya (tahun 1980an) kematian ternak sangat tinggi yang disebabkan tanah kahat hara makro dan mikro, hingga bertahun-tahun petani enggan memelihara sapi, tetapi saat ini dengan mulai meningkatnya kesuburan tanah kematian ternak sapi makin jarang ditemui (komunikasi pribadi dengan peternak sapi di Desa Tanjung Benuang, Kab. Merangin pada Agustus 2003). TUHERKIH dan NURJAYA (2003) mengemukakan bahwa kandungan hara pada tanaman pakan ternak (TPT) alami sangat tergantung pada tingkat perkembangan tanah. Perkembangan tanah yang semakin lanjut mengakibatkan kadar Ca dan Mg pada pakan alami di empat kabupaten di Jambi cenderung semakin menurun. Faktor penghambat perkembangan peternakan ruminansia diantaranya adalah rendahnya mutu pakan dan manajemen. Pengembangan ternak ruminasia besar secara tidak langsung dipengaruhi oleh kualitas atau tingkat kesuburan tanah. Sekitar 70–80% komposisi pakan ternak ruminansia besar adalah TPT. Seperti halnya tanaman yang lain, kuantitas dan kualitas TPT sangat ditentukan oleh kemampuan tanah untuk menyediakan hara. Apabila TPT tersebut tumbuh pada tanah yang kahat hara, maka pertumbuhan ternak menjadi kurang baik. Peningkatan kesuburan tanah untuk memproduksi pakan sangat besar peranannya dalam penyediaan pakan. Perkembangan ternak dengan konsep agribisnis
852
akan menempatkan TPT sebagai salah satu penggerak industri peternakan ruminansia. Kombinasi penanaman rumput dan legum unggul sangat dianjurkan untuk meningkatkan kesuburan tanah (DIR. BINPROD. PETERNAKAN, 1999). Hal ini berkaitan dengan semakin sedikitnya pupuk buatan yang diberikan, akar rumput dan legum yang tersebar di lapisan atas tanah dapat menekan erosi dan aliran permukaan, sementara akar legum yang mempunyai perakaran lebih dalam dapat menarik air dan hara tanah ke permukaan mampu mengikat N yang bersimbiose dengan rizhobium. Pengalaman menunjukkan bahwa terdapat respon pemupukan terhadap produksi dan mutu pakan ternak. Sorgum pakan yang ditanam pada Ultisol di Jambi respon terhadap pemberian pupuk N, P, dan K. MARYAM et al. (2000) mengemukakan bahwa pemberian 135 kg N/ha menghasilkan pangkasan 3 t/ha atau meningkat dua kali lipat dibandingkan tanpa N, sedangkan pemberian 90 kg P/ha menghasilkan pangkasan 3,4 t/ha atau meningkat lima kali lebih banyak dibandingkan tanpa P. Pemberian 120 kg K/ha meningkatkan hasil pangkasan sorgum 3 t/ha atau meningkat 3 kali lebih besar dibandingkan dengan tanpa K Selain itu, pemberian pupuk NPK meningkatkan kadar N, P, dan K dan tanah dan serapan N, P, dan K oleh sorgum. TUHERKIH et al. (1999) mengemukakan bahwa pemberian 30 kg S/ha meningkatkan kadar S tanah; dan kadar S, protein kasar, dan serat kasar dari hijauan pakan Paspalum sp. dan Arachis glabrata. Pemupukan S pada hijauan pakan pada padang penggembalaan di Sulawesi Selatan dapat meningkatkan bobot ternak 15%/tahun (BLAIR dan TILL, 1981). Tujuan penelitian adalah untuk meningkatkan efisiensi pemupukan N melalui pemberian pukan untuk meningkatkan kesuburan tanah dan produksi tanaman pakan ternak. MATERI DAN METODE Tanah di lokasi penelitian berkembang dari bahan batuan volkan masam dan intermedier, sedangkan fisiografi lahan tergolong volkan. Berdasarkan peta tanah tinjau skala 1 : 250.000 (LPT, 1965; PUSLITTANAK, 1990) daerah
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
sedangkan bila dikombinasikan dengan legum menggunakan jarak tanam 1,2 m x 40 cm. Perbandingan luas legum : rumput = 50 : 50. Legum Arachis pintoi dan Desmodium rensonii ditanam berselang-seling dengan jarak tanam 30 cm x 20 cm dan 60 cm x 40 cm Untuk keseragaman dan menghindari kematian, P. maximum dan A. pintoi disemai terlebih dahulu pada polibag dengan menggunakan stek, sedangkan untuk Desmodium rensonii ditanam menggunakan biji. Penanaman ke petak percobaan dilakukan pada umur enam minggu. Aplikasi pupuk bio dilakukan 3 minggu setelah tanam pada polibag. Pupuk dasar yang diberikan adalah kalsit (CaCO3) setara dengan 1/2 x Aldd, 200 kg SP 36 ha-1tahun-1, sedangkan takaran KCl adalah 150 kg ha-1 hingga pemangkasan pertama. Pemberian KCl berikutnya diberikan 1/3 dosis setiap habis pemangkasan. Semua takaran SP36, kapur, bahan dan organik (sesuai perlakuan) diinkubasi selama satu minggu. Ketiga bahan pupuk tersebut diberikan dengan cara disebar dan diaduk merata di seluruh petakan. Urea (sesuai perlakuan) dan KCl diberikan 2 kali masing-masing setengah takaran pada saat tanam dan 4 minggu setelah tanam (MST). Pemupukan pemeliharaan dilakukan setiap habis pemangkasan dengan 1/3 takaran (Tabel 1).
tersebut tergolong pada Dystropept. Kelas kesesuaian lahan untuk palawija jagung, ubikayu/ubijalar, dan kacang-kacangan adalah S3 (sesuai bersyarat) dengan kendala media perakaran, ketersediaan hara rendah (N, P, K), dan retensi hara yang tinggi. Untuk meningkatkan produktivitas tanah maka diperlukan pengapuran untuk jenis tanaman peka kemasaman, perbaikan media perakaran, mengurangi besarnya retensi hara, dan pemupukan serta pemberian bahan organik. Rancangan percobaan yang digunakan adalah acak kelompok dengan 10 perlakuan dan diulang 3 kali. Kombinasi perlakuan terdiri dari pemberian urea dan pupuk kandang, serta introduksi tata botani pakan (Tabel 1). Luas petakan yang digunakan adalah 7,5 m x 5 m. Tanaman indikator yang digunakan adalah Panicum maximum (rumput Benggala) dan legum Desmodium rensonii, dan Arachis pintoi. Tata botani yang dimaksud adalah pengaturan tanam yaitu ketiga TPT ditanam secara tunggal (perlakuan 1), campuran antar legum (perlakuan 2), dan campuran rumput dan legum (perlakuan 3-10). Perbandingan luas tanam pada perlakuan satu adalah 100 % ditanami P. maximum, pada perlakuan 2 yaitu D. Rensonii : A. pintoi = 66 : 34, kombinasi P. maximum : A. pintoi : D. Rensonii adalah 55 : 25 : 20. Rumput P. maximum (pertanaman tunggal) ditanam pada jarak tanam 40 x 40 cm;
Tabel 1. Kombinasi perlakuan tata botani, urea, pukan, dan pupuk bio di Kabupaten Subang No
Tata botani
Urea
Pukan
T-1
P. maximum
T-2
A. pintoi + D. rensonii (LM)
T-3
P. maximum + LM
T-4
Pupuk Bio
(kg/ha)
(t/ha)
200
5
0
200
5
0
0
0
0
P. maximum + LM
200
0
0
T-5
P. maximum + LM
200
5
0
T-6
P. maximum + LM
200
5
*
T-7
P. maximum + LM
100
5
*
T-8
P. maximum + LM
300
5
*
T-9
P. maximum + LM
200
2,5
*
T-10
P. maximum + LM
200
10
*
* Diaplikasikan pupuk hayati
853
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat kimia tanah sebelum percobaan Tekstur tanah Dystrudept lapisan atas (0−15 cm) adalah lempung berliat dengan tingkat kesuburan termasuk rendah. Kendala kesuburan tanah antara lain: tanahnya masam, kadar Corganik dan N-total rendah, kadar P tersedia rendah (P-Bray I) walaupun kadar Ppotensialnya tinggi, kadar K-HCl 25% dan Kdd tergolong rendah, selain itu kadar kation tukar Ca dan Mg juga rendah, sedangkan KTK tanah tergolong sedang (Tabel 2).
Kadar C-organik di lokasi penelitian sekitar 1,0–1,5% dan tergolong rendah. Bahan organik mempunyai fungsi yang sangat penting untuk pembaik tanah baik sifat kimia, fisik, dan biologi tanah. Upaya untuk meningkatkan produktivitas tanah salah satunya dilakukan dengan usaha mempertahankan kadar bahan organik tanah. Sumber bahan organik yang dapat diberikan adalah pupuk kandang, sisa panen, kompos, dan tanaman penutup tanah. Rendahnya kadar N-total sejalan dengan kadar bahan organiknya yang rendah.
Tabel 2. Sifat fisik dan kimia tanah Dystrudept yang diambil secara komposit, kedalaman 0-15 cm di lokasi percobaan Jenis penetapan Tekstur
Nilai analisis Contoh 1
Contoh 2
Contoh 3
Lempung berliat
Lempung berliat
Lempung berliat
Pasir (%)
7
7
8
Debu (%)
29
33
26
Liat (%)
64
60
66
pH (1: 5)–H2O
4,4
4,4
4,5
pH (1: 5)–KCl
3,9
3,9
3,9
Bahan organik C-organik (%)
1,06
1,54
1,44
N-total (%)
0,14
0,19
0,17
8
8
8
P–HCl 25% (mg P2O5/100 g)
C/N
62
72
73
K–HCL 25% (mg K2O/100 g)
23
21
32
P-Bray-1 (ppm P2O5)
3,6
5,5
7,2
Nilai Tukar Kation Ca-dd (me/ 100 g)
1,47
2,50
2,82
Mg-dd (me/ 100 g)
1,70
1,05
1,47
K-dd (me/ 100 g)
0,36
0,32
0,47
Na-dd (me/ 100 g)
0,18
0,12
0,31
3,71
3,99
5,07
17,59
18,65
18,76
KCl 1 N–Al3+ (me/ 100 g)
2,94
2,94
3,36
KCl 1 N–H+ (me/ 100 g)
0,34
0,36
0,43
55
57
40
Jumlah kation KTK (me/100 g)
Kejenuhan Al (%)
854
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
Rendahnya kadar P-tersedia berhubungan erat dengan tingginya kadar Al-dd dalam tanah, karena Al+3 mampu mengikat P menjadi bentuk yang tidak tersedia bagi tanaman. Hal ini ditunjukkan bahwa kadar P-potensial (HCl 25%) sangat tinggi ( lebih dari 60 mg P2O5/100 gram tanah), sedangkan kadar P-tersedia (Bray I) sangat rendah yaitu sekitar 3,6–7,2 ppm P2O5. Usaha untuk meningkatkan kadar Ptersedia dapat dilakukan dengan pemberian pupuk P ataupun bahan pembaik tanah, seperti kapur dan bahan organik. Salah satu kendala pertumbuhan tanaman pangan terutama kacang-kacangan dan seralia pada lahan masam adalah tanahnya bereaksi masam dan kejenuhan Al yang tinggi. Kadar Al+3 sekitar 2,94–3,36 me/100 g dengan kejenuhan Al adalah 40–55% dan tergolong tinggi (Tabel 2). Untuk mengatasi kejenuhan Al dan untuk meningkatkan pH tanah digunakan kapur. Selain itu, pengapuran bertujuan untuk memperbaiki sifat kimia tanah dalam hubungannya dengan ketersediaan hara tanaman dan menekan keracunan, meningkatkan kadar Ca. Pemberian kapur hanya diberikan sampai ambang batas toleransi
kejenuhan Al masing-masing tanaman, sehingga tidak semua Al-dd harus dinetralkan. Pada penelitian ini kapur diberikan sebanyak 1/2 x Al-dd; atau setara dengan 1,5 t kapur/ha. Pemupukan N dan bahan organik Penanaman Desmodium rensonii, Panicum maximum, dan Arachis pintoi telah dilaksanakan tanggal pada 9-10 Nopember 2004. Keterlambatan tanam lebih dari satu bulan disebabkan datangnya musim hujan yang terlambat dari biasanya yang jatuh pada awal Oktober. Pada pengamatan 5 MST menunjukkan bahwa tanpa pemberian pupuk kandang dan urea (perlakuan T-3) menghasilkan tinggi tanaman dan jumlah anakan dan biomas P. maximum yang paling rendah dibandingkan perlakuan lainnya (Tabel 3). Hal ini disebabkan tanah di lokasi penelitian kahat N dan berkadar bahan organik rendah, sehingga pemberian ke dua bahan tersebut dapat memperbaiki kesuburan tanah yang selanjutnya berdampak pada hasil tanaman.
Tabel 3. Pengaruh perlakuan terhadap jumlah anakan dan tinggi P. Maximum, dan jumlah bintil dan tinggi D. Rensonii, serta penutupan tanah oleh TPT pada 5 MST di Dystrudept, Subang* No
Tata botani***
Pukan
Urea
P. Maximum Tinggi
Anakan
D. Rensonii
Penutupan TPT
Tinggi Bintil
t/ha
kg/ha
cm
anak
cm
buah
%
5
200
186a**
20 b
-
-
100a
pintoi + D. rensonii (LM)
5
200
-
-
57b
46
63c
P. maximum + LM
0
0
153b
20b
57b
8
83b
P. maximum + LM
0
200
165ab
23ab
66b
21
93a
T1
P. maximum
T2 T3 T4 T5
P. maximum + LM
5
200
169ab
28a
72ab
64
93a
T6
P. maximum + LM
5
200
180a
23ab
79a
26
93a
T7
P. maximum + LM
5
100
172ab
22ab
70ab
21
93a
T8
P. maximum + LM
5
300
163ab
23ab
77a
10
93a
T9
P. maximum + LM
2,5
200
162ab
22ab
71ab
21
93a
T10
P. maximum + LM
10
200
175ab
21b
80a
25
93a
*TPT = P. maximum, D. Rensonii, dan A. Pintoi **Angka dalam kolom sama dan didampingi huruf sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan’s 5% ***Perlakuan T-6 sampai T10 diaplikasikan pupuk bio
855
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
Sebagaimana halnya dengan P. maximum, D. Rensonii juga memberikan respon terhadap pemupukan urea dan pupuk kandang yang diberikan (Tabel 3). Hal ini tercermin dengan meningkatkan tinggi tanaman yang disebabkan oleh pemberian ke dua pupuk tersebut. Tanpa urea dan pupuk kandang tinggi tanaman D. Rensonii sekitar 57 cm, meningkat menjadi 72 cm dan 77 cm dengan pemberian 200 dan 300 kg urea/ha. Pemberian pupuk kandang 10 t/ha menghasilkan tinggi tanaman 80 cm, sedangkan tanpa pupuk kandang adalah 57 cm.
Biomas P. maximum (t/ha)
Biomas P maximum (t/ha)
40 30 20 y = 16,4 + 0,098 x -0,0002x 2 R2 = 0,99
10 0 0
100
200
Panicum maximum relatif cepat menutup tanah, hal ini ditunjukkan oleh hasil penutupan tanah 100% pada 5 MST, sedangkan kacangkacangan (T-2) baru menutup 63%, sedangkan pada perlakuan dengan leguminosa (T3−T10) menutup sekitar 93% (Tabel 3). Pemberian pupuk urea dan pupuk kandang nyata meningkatkan biomas P. maximum dan takaran optimum untuk urea adalah 200 kg SP 36/ha, sedangkan untuk pupuk kandang adalah 5 t/ha (Gambar 1). Hal ini menunjukkan bahwa tanaman memberikan respon terhadap bahan pupuk yang diberikan.
40 30 20 10
y = 15,9 + 3,50 - 0,2069x 2 R2 = 0,96
0 0
300
2.5
5
7.5
10
Pupuk kandang (t/ha)
Urea (kg/ha)
Gambar 1. Hubungan antara pemupukan urea dan pupuk kandang terhadap biomas basah P. maximum di Subang pada 5 MST
Tabel 4. Pengaruh perlakuan terhadap biomas basah dan daya dukung P. Maximum pangkasan pertama (5 MST) pada Dystrudept, Subang* No
Tata botani1)
Pukan
Urea
Biomas
Daya dukung
t/ha
kg/ha
t/ha
ST/ha2) 8.1
T1
P. maximum
5
200
39,0 a3)
T2
A. pintoi + D. rensonii (LM)
5
200
-
-
T3
P. maximum + LM
0
0
16,8 d
3.5
T4
P. maximum + LM
0
200
25,4 bc
5.3
T5
P. maximum + LM
5
200
29,6 b
6.2 6.5
T6
P. maximum + LM
5
200
30,9 b
T7
P. maximum + LM
5
100
25,4 bc
5.3
T8
P. maximum + LM
5
300
30,3 b
6.3
T9
P. maximum + LM
2.5
200
22,9 cd
4.8
T10
P. maximum + LM
10
200
30,1 b
6.3
1)
Perlakuan T6 sampai T10 diaplikasikan pupuk bio ST = Satuan ternak 3) Angka dalam kolom sama dan didampingi huruf sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan’s 5% 2)
856
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
Pada pemangkasan pertama daya dukung ternak dari Panicum maximum yang baru dapat diketahui, karena tanaman legum belum dapat dipanen. Panicum maximum tanaman tunggal (T-1) menghasilkan biomas P. maximum lebih banyak dibandingkan kombinasi antar ketiganya (T-3 sampai T-10). Daya dukung ternak pada perlakuan tanpa urea dan pupuk kandang hanya sekitar 3,5 ST/ha dapat ditingkatkan dengan pemberian urea 200 kg/ha atau pupuk kandang 5 t/ha menjadi sebesar 6,3 ST/ha/tahun (Tabel 4). Jadi dengan pemupukan urea dan pupuk kandang daya dukung ternak sapi dapat ditingkatkan 2 kali lebih banyak. Pertanaman tunggal P. maximum (T-1) menghasilkan daya dukung ternak paling tinggi yaitu 8,1 ST/ha, sedangkan kombinasi dengan leguminosa (T-5) hanya menghasilkan 6,2 ST/tahun/ha. Hal ini disebabkan pada pertanaman tunggal semua areal ditanami P. maximum (100%), sedangkan pada kombinasi 3 tanaman areal ditanami P. maximum hanya menempati 55%. Kombinasi dengan legum dan rumput bertujuan untuk meningkatkan kualitas hijauan pakan terutama dalam hal peningkatan kadar protein dan produksi pakannya. Pada pemangkasan kedua, pemberian pupuk kandang, urea, serta tata botani pakan tidak menghasilkan beda nyata biomas P. maximum antar perlakuan (Tabel 5). Biomas A. Pintoi dan D. Rensonii tertinggi dicapai pada perlakuan T-2 masing-masing sebesar 6,60 t dan 6,92 t/ha dan hasil ini berbeda nyata dibandingkan perlakuan yang lain. Perbedaan
hasil biomas A. Pintoi dan D. Rensonii disebabkan pada perlakuan T-2 luas tanamnya masing-masing 55% dan 45%, sedangkan pada perlakuan yang lain (T3 sampai T10) luas tanamnya 25 dan 20%. Pada tata botani yang sama yaitu pada perlakuan T-3 hingga T-10, pengaruh bahan organik dan urea tidak nyata meningkatkan hasil pangkasan A. Pintoi dan D. Rensonii. Daya dukung ternak dihitung dengan menjumlahkan semua TPT pada petakan yang sama. Daya dukung ternak tertinggi sebesar 8,0 ST/ha dicapai pada perlakuan T-8 (5 t pukan/ha dan 300 urea/ha) dan berbeda nyata dengan perlakuan T3 (tanpa pukan dan urea) sebesar 5,7 t/ha. Hasil ini mengindikasikan bahwa untuk menghasilkan biomas dan daya dukung ternak yang tinggi pada Dystrudept di Subang perlu pemberian bahan organik dan pupuk N. KESIMPULAN Pemberian pupuk kandang (pukan) dan urea nyata meningkatkan pangkasan biomas Panicum maximum dengan takaran optimum 5 t pukan/ha dan 200 kg urea/ha dan meningkatkan daya dukung menjadi 6,5 satuan ternak sapi/ha dari 3,5 satua ternak/ha dibandingkan tanpa pukan dan urea. Kombinasi ketiga tanaman pakan tersebut juga tidak berbeda nyata dibandingkan dengan pertanaman tunggal P. Maximum.
Tabel 5. Hasil biomas P. maximum, A. pintoi, dan D. rensonii pangkasan ke dua (11 MST) pada Dystrudept, Subang No
Tata botani
T-1 T-2 T-3 T-4 T-5 T-6 T-7 T-8 T-9 T-10
P. maximum pintoi + D. rensonii (LM) P. maximum + LM P. maximum + LM P. maximum + LM P. maximum + LM P. maximum + LM P. maximum + LM P. maximum + LM P. maximum + LM
Pukan
Urea
P. Maximum
A. Pintoi
D. rensonii
Daya dukung
t/ha 5 5 0 0 5 5 5 5 2,5 10
kg/ha 200 200 0 200 200 200 100 300 200 200
t/ha 13,67a 9,36a 13,21a 7,95a 10,65a 11,35a 13,10a 10,17a 7,72a
ton /ha 6,60a 0,83bc 0,74c 0,69c 0,83bc 0,90bc 0,76bc 1,04b 0,97bc
t/ha 6,92a 1,56b 2,09b 3,74b 3,16b 4,03b 2,46b 3,16b 3,86b
ST/ha 7,0ab 6,7ab 5,7b 6,3ab 6,3ab 7,3ab 8,0a 8,3a 7,3ab 6,3ab
857
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
DAFTAR PUSTAKA BLAIR, G.J. and A.R. TILL. 1981. Sulphur in Southeast Asia. Sulphur in Agric. 5: 5−11. DIR.
BUD. PETERNAKAN. 2002. Model pengembangan sapi Hissar di Indonesia. Direktorat Budidaya-Dirjen Bina Produksi Peternakan.
LPT (Lembaga Penelitian Tanah). 1965. Peta Tanah Tinjau Kabupaten Subang Skala 1 : 250.000. MARYAM, E. TUHERKIH dan J. PURNOMO. 2000. Respon pemupukan N, P, dan K terhadap produksi hijauan sorgum pakan pada Tanah Ultisol, Jambi. Pros. Seminar Nasional Sumberdaya Tanah, Iklim, dan Pupuk. Lido, 6-8 Des ember 1999. hlm. 159−177.
SURATMAN. 2003. Lahan potensial untuk pengembangan peternakan ruminansia di Indonesia. Berita HITI. Vol. 9 No 24. Januari 2003. hlm. 29−31 TUHERKIH, E. dan NURYAJA. 2003. Identifikasi status hara Ca, Mg, dan K dalam tanah dan pakan ternak pada lahan penggembalaan di Propinsi Jambi. Makalah diseminarkan pada tanggal 21−23 Juli 2003 di Konggres HITI VIII Padang. TUHERKIH, E., J. PURNOMO dan D. SANTOSO. 2000. Pengelolaan hara Ca, Mg, K pada tanah Ultisol untuk meningkatkan produktivitas tanaman pakan ternak. Pros. Seminar Nasional Sumberdaya Lahan. Cisarua, 9–11 Februari 2000. hlm. 425–444
PUSLITTANAK. 1990. Peta tanah tinjau Pantura Bagian Timur Propinsi Jawa Barat Skala 1 : 250.000.
DISKUSI Pertanyaan: Penggunaan urea pada HMT berkompetisi dengan penggunaan urea untuk tanaman pangan dan perkebunan, mengapa tidak memanfaatkan pupuk organik feses ternak ruminansia? Jawaban: Untuk mendapatkan biomasa tinggi dari HMT yang ditanam pada tanah yang kurang subur adalah pupuk. Pemberian urea dan pupuk kandang di daerah pengamatan menunjukkan hasil yang memuaskan. Kompetisi penggunaan pupuk urea untuk HMT atau pangan, tidak masalah dan sangat tergantung pada pilihan petani.
858