PENGARUH PEMBERIAN SERASAH HASIL PANGKASAN SENGON (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) TERHADAP PRODUKTIVITAS KACANG TANAH (Arachis hypogaea L.) DALAM SISTEM AGROFORESTRY (The Influence of Litter of Paraserianthes Falcataria (L.) Nielsen’s Prunning on Arachis Hypogaea L’s Productivity in Agroforestry System) Oleh/by: Ary Widiyanto dan/and Aris Sudomo
ABSTRACT Agroforestry has been applied in private forest as an effort in improving land productivity. In supporting the sustainability of land productivity, a study on how the litter of Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen prunning renews the soil nutrient for plants’ grow, is required. The objectives of the research are to find out (1) the influence of litter of Paraserianthes Falcataria (L) Nielsen’s prunning on Arachis Hypogaea L’s productivity in agroforestry system and (2) the influence of Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen based agroforestry on Arachis hypogaea L.’s productivity. The Split Plot Design was used with two planting patterns (i.e. agroforestry of Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen + Arachis hypogaea L. and monoculture of Arachis hypogaea L.) as the main plot. The subplots were (1) 0,42 kg/plots of litter of Paraserianthes falcataria (L) Nielsen and (2) control (no treatment). The research showed that the first subplot showed insignificant result on the growing of height and diameter of Paraserianthes falcataria (L) Nielsen for 4 months. The planting pattern and litter of Paraserianthes falcataria (L) Nielsen’s prunning showed a significant result on Arachis hypogaea L’s productivity, but the interaction between both of it showed insignificant result on Arachis hypogaea L’s productivity. The Arachis hypogaea L’s productivity on monocultur system was 36,2% higher than the agroforestry sistem. The litter of Paraserianthes Falcataria (L) Nielsen’s Prunning were able to raise 7,8% of Arachis Hypogaea L’s Productivity. Keywords: Agroforestry, Arachis hypogaea L., litter, Private Forest and Paraserianthes falcataria (L) Nielsen. Serasah ABSTRAK Agroforestry banyak diaplikasikan masyarakat pada hutan rakyat sebagai upaya peningkatan produktivitas lahan.Untuk mendukung keberlanjutan produktivitas tersebut diperlukan kajian tentang pengaruh pemberian serasah pangkasan sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) dalam pengembalian unsur hara untuk pertumbuhan tanaman penyusun. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui (1) pengaruh pemberian serasah hasil pangkasan sengon terhadap pertumbuhan sengon dan produksi kacang tanah (Arachis hypogaea L.) dalam sistem agroforestry dan (2) pengaruh agroforestry berbasis sengon terhadap produksi kacang tanah. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Split-Plot Design dengan main plot dua pola tanam (agroforestry sengon+kacang tanah dan monokultur kacang tanah) dan sub plot dua pemberian serasah pangkasan sengon (pemberian serasah sengon 0,42 kg/plot dan kontrol (tanpa pemberian 1
serasah). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian serasah hasil pangkasan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter sengon sampai selama 4 bulan. Pola tanam dan pemberian serasah hasil pangkasan berpengaruh nyata terhadap produksi kacang tanah, tetapi interaksi antara pola tanam dan pemberian serasah hasil pangkasan tidak berpengaruh terhadap produksi kacang tanah.Hasil produksi kacang tanah pada pola monokultur lebih tinggi 36,2 % dibandingkan pada sistim agroforestry. Pemberian serasah sengon mampu meningkatan produksi kacang tanah sebesar 7,8%. Kata Kunci : Agroforestry, Arachis hypogaea L., Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen, serasah I.
PENDAHULUAN
Aplikasi agroforestry oleh masyarakat pada hutan rakyat bertujuan untuk meningkatkan produktivitas lahan sehingga berkontribusi bagi peningkatan pendapatan. Karakteristik pengelolaan hutan rakyat agroforestry cenderung low input dengan pengambilan biomassa secara terus menerus dan tanpa memperhatikan aspek konservasi tanah sehingga kesuburan tanah semakin berkurang. Menurut Napitupulu, (1998) penurunan unsur hara dapat terjadi melalui pencucian hara dan pengambilan biomassa (pemanenan). Oleh karena itu upaya untuk meningkatkan atau mempertahankan kesuburan tanah secara organik menjadi penting agar daya dukung lahan menjadi lestari/berkelanjutan. Kebutuhan lahan terhadap input bahan organik untuk peningkatan daya dukung lahan relatif besar yaitu sekitar 20-30 ton/ha. Hal ini dapat dilakukan dengan optimalisasi fungsi serasah pohon untuk perbaikan kualitas tanah agar produktivitas tanaman tetap terjaga. Praktik silvikultur agroforestry berbeda dengan intensifikasi pertanian. Didalam sistem agroforestry selain aspek produksi juga lebih diperhatikan aspek lingkungan. Silvikultur agroforestry berusaha memanfaatkan bahan organik pohon dan low input anorganik sebagai input produksi untuk menjaga daya dukung lahan. Penelitian Salim, (2013) menyebutkan bahwa kandungan C-organik akibat serasah pada lahan hutan lebih besar daripada tegalan dan pekarangan. Lain halnya dengan intensifikasi pertanian yang lebih memerlukan banyak input produksi terutama pupuk anorganik sehingga dapat berakibat pada pemadatan tanah. Penerapan teknologi dan energi yang terus ditingkatkan pada tanah mineral masam tanpa memperhatikan karakteristik tanah mengakibatkan produksi pertanian akan mencapai pelandaian (levelling off) dan suatu waktu akan mencapai titik balik (Barchia, 2009). 2
Keberadaan pohon dalam pola tanam agroforestry selain berpengaruh terhadap produktivitas tanaman bawah, memberikan kontribusi penting dalam konservasi tanah yaitu jatuhan serasah dapat meningkatkan bahan organik, mengurangi erosi dan menjaga ekosistem secara keseluruhan. Pengembalian serasah bekas pangkasan tanaman kayu, daun dan batang sisa panen tanaman bawah dapat dikembalikan ke tanah agar terdekomposisi menjadi humus untuk memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah. Pemilihan tanaman pokok jenis legum mampu mengikat nitrogen bebas menjadi alternatif untuk peningkatan kesuburan tanah. Pucuk tanaman Leguminosae biasanya mengandung N lebih tinggi, demikian pula P, K dan elemen mikro yang membuatnya cocok untuk kompos dan serasah (Yulipriyanto, 2010). Jenis sengon Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) merupakan komoditi primadona masyarakat dalam pembangunan hutan rakyat. Sengon sebagai tanaman legum dengan daur panen relatif pendek (5-7 tahun), pemasarannya mudah dan mempunyai kemampuan tumbuh baik di berbagai kondisi lahan. Kacang tanah merupakan komoditi tanaman yang bernilai ekonomi tinggi dan dapat tumbuh di lahan kering. Kebutuhan kacang tanah di Indonesia yang diproduksi dari dalam negeri hanya 83,73% sedangkan sisanya sebesar 16,27 % harus diimport dari luar negeri (Badan Ketahanan Pangan Nasional,
2008). Kacang tanah mempunyai
kemampuan berasosiasi dengan
mikroorganisme tanah membentuk bintil-bintil akar untuk mengikat Nitrogen bebas dari udara yang dapat meningkatkan kesuburan tanah. Penggunaan kacang-kacangan sebagai pupuk hijau banyak dilakukan di dalam sistem pertanian modern disebabkan oleh kemampuan menambat nitrogen, jatuhan daun dan batang mempertahankan sifat fisik tanah, Rhizobium tertentu dapat mengurangi residu pestisida, daun untuk pakan ternak, dan buah kacang tertentu sebagai sumber protein (Yulipriyanto, 2010). Pola tanam agroforestry sengon menjadi pilihan masyarakat karena selain mendapatkan hasil jangka panjang berupa kayu, masyarakat dapat memperoleh hasil panen jangka pendek berupa tanaman semusim. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui: (1) pengaruh pemberian serasah hasil pangkasan sengon terhadap pertumbuhan sengon dan produksi kacang tanah dalam sistem agroforestry dan (2) pengaruh agroforestry berbasis sengon terhadap produksi kacang tanah. Diharapkan informasi ini bermanfaat dalam pengembangan hutan rakyat berkelanjutan dengan pola tanam agroforestry berbasis sengon. 3
II. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat penelitian Penelitian dilakukan selama 1 tahun dari bulan Januari-Desember 2013. Lokasi penelitian di Desa Raksabaya, Kecamatan Cimaragas, Ciamis. Secara geografis areal ini terletak pada 7o23o05,2” LS dan 108o28o01,0” BT dengan ketinggian 145 m dari permukaan laut. Curah hujan rata-rata adalah 1550-2195 mm, dengan 7 bulan basah dan 5 bulan kering. Jenis tanahnya adalah Andosol.
B. Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah tegakan sengon umur 2 tahun dan benih kacang tanah. Alat yang diperlukan dalam penelitian ini adalah cangkul, sabit, parang, tambang, meteran, ember, kaliper, timbangan, kamera, termohigrometer dan alat tulis.
C. Prosedur Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah split plot design. Sebagai plot utama adalah 2 pola tanam kacang tanah (agroforestry sengon+kacang tanah dan monokultur kacang tanah) dengan sub-plot 2 perlakuan pemberian serasah sengon (pemberian serasah hasil pangkasan daun dan ranting pohon sengon secara berkala di permukaan tanah seberat 0.42 kg dan tanpa pemberian serasah (kontrol). Serasah daun dan ranting sengon tersebut disebar merata pada setiap plot percobaan (3m x 2m). Dosis pemberian bahan organik/serasah sengon disesuaikan dengan jumlah rata-rata bahan organik sengon yang dapat dipangkas per pohon, yaitu sekitar 0,42 kg (berat kering). Pemberian serasah diberikan pada saat penanaman kacang tanah. Setiap perlakuan diulang 2 kali, sehingga total plot yang digunakan adalah 2 pola tanam x 2 jenis pemberian serasah x 2 ulangan = 8 plot. Perlakuan tersebut di atas ditempatkan pada petak-petak yang ditanami dengan agroforestry tanaman sengon dan kacang tanah dan monokultur kacang tanah. Pohon sengon pada pola tanam agroforestry telah berumur 2 tahun ditanam dengan jarak tanam 3 m x 2 m. Dibawah tegakan sengon ditanami kacang tanah dengan jarak tanam 0,20 m 4
x 0,25 m. Seluruh petak (8) terletak tersebar pada lahan seluas 0,9 ha, dengan ukuran setiap petak pengamatan adalah 3 m x 2 m.
D. Analisis Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data biofisik (sifat fisik dan kimia tanah, temperatur, kelembaban dan ketinggian tempat). Contoh tanah dianalisis di Laboratorium tanah untuk mengetahui sifat fisik tanah dan tingkat kesuburan tanah. Parameter pertumbuhan sengon (diameter dan tinggi) dan produksi kacang tanah (berat polong kacang tanah hasil panen). Pengukuran petumbuhan tanaman sengon dilakukan dengan mengukur diameter batang setinggi 1.3 m dari permukaan tanah (DBH) dan tinggi dari permukaan tanah hingga pucuk/ujung tanaman dan pengukuran dilakukan dua kali yaitu pada awal perlakuan dan akhir perlakuan (setelah panen kacang). Produksi tanaman kacang tanah dilakukan dengan menimbang hasil panen kacang tanah (4 bulan sejak penanaman). Data yang diperoleh dianalisis secara statistik (analysis of variance/ ANOVA), dengan variabel bebas (dua pola tanam dan dua macam pemberian serasah) serta variabel tidak bebas meliputi pertumbuhan dan produksi kacang tanah. Jika hasil sidik ragam menunjukan hasil berbeda nyata, maka dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan taraf uji 95% (Sastrosupadi, 2000)
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Pemberian Serasah Terhadap Perubahan Karakteristik Tanah Tanah pada lokasi penelitian termasuk dalam jenis Andosol dengan tekstur lempung berliat (kedalaman 0-10 cm) dan semakin ke bawah persentase liat menjadi semakin besar sehingga tekstur menjadi liat (Tabel 1). Kandungan lempung pada tanah menyebabkan mudah mengalami pemadatan akibat pengolahan tanah yang kurang tepat. Faktor-faktor tindakan silvikultur seperti pengelolaan tanah dapat merubah kepadatan tanah. Dengan pengelolaan tanah maka porositas tanah dapat diperbaiki untuk memudahkan akar menyerap unsur hara.
5
Hasil analisa kimia tanah menunjukkan bahwa kandungan hara tanah di lokasi percobaan relatif rendah dengan kadar C, N dan P dari rendah sampai sangat rendah (Tabel 1).Tanah di daerah tropika dengan kandungan C dan N <2 % dikategorikan sebagai tanah yang tidak subur (Hairiah et al., 2002). Tingkat keasaman tanah merupakan kondisi yang memungkinkan unsur hara mineral dapat diserap oleh akar tanaman. Hal tersebut dikarenakan ketersediaan unsur hara tinggi tetapi karena pH terlalu asam maka tidak dapat diserap oleh tanaman atau menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Nilai pH yang optimal bagi pertumbuhan tanaman adalah 6,5 sampai 7. Nilai pH pada lokasi penelitian termasuk agak masam (pH 5,85-6,5). Keterangan yang lebih lengkap dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel (Table) 1. Karakteristik tanah sebelum dan sesudah pemberian serasah sengon. (Before and After the Giving of Sengon’s Litter of the Soil’s characteristics)
Keterangan (Remark) :am(sm)=agak masam (slightly acid),(n)=netral sr (vl)=sangat rendah (very low), r (l) = rendah (low), s(m)= sedang (medium), t (h)=tinggi (height), st (vh)=sangat tinggi (very height).
Kandungan C-organik pada kedalaman tanah 0-10 cm mengalami peningkatan setelah pemberian serasah pada pola agroforestry (dari 0,65 menjadi 0,75). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian serasah menyebabkan peningkatan bahan organik di bawah tegakan. Meskipun demikian penggunaan unsur hara N dan P untuk pertumbuhan kacang tanah (4 bulan) menyebabkan kandungan unsur hara tersebut berkurang. Kacang tanah sebagai tanaman legume mempunyai kemampuan mengikat N bebas dari udara yang diperlukan dalam pertumbuhannya. Perlakuan pemberian serasah
sengon
menghasilkan jumlah N yang tinggi, hal ini sesuai dengan pendapat Hakim et.al., (1986) 6
bahwa dengan pemberian pupuk hijau berarti menambah bahan organik tanah. Bahan organik merupakan media bagi kehidupan jasad renik yang kemudian mengadakan reaksi biokimia. Hal ini terjadi karena bahan dasar dari serasah sengon ini berasal dari jenis tanaman legum yang mempunyai kandungan N yang relatif tinggi dibandingkan dengan serasah tanaman lainnya. Perlakuan serasah sengon berpengaruh positif terhadap kenaikan pH, C-organik, N-total, menurunkan nilai C/N rasio, dan kandungan Al3+ (Palupi, 1995). Pemberian serasah sengon pada tanah akan meningkatkan ketersediaan hara bagi pertumbuhan tanaman bawah. Pemakaian hara tersebut untuk pertumbuhan tanaman menyebabkan ketersediaan hara berkurang dalam tanah dan begitu seterusnya. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian serasah sengon hanya merupakan siklus hara sehingga relatif tidak meningkatkan kesuburan tanah. Pengambilan biomassa keluar dari sistem akan mengurangi hara tanah. Oleh karena itu dalam sistem pengelolaan pola agroforestry, diusahakan untuk tetap mengembalikan biomassa dalam sistem untuk menjaga kesuburan tanah. Pada hutan alam hara tidak tersimpan di dalam tanah melainkan di dalam batang tumbuhan yang masih hidup dan bila terdekomposisi akan melepaskan hasilnya ke dalam tanah (Lisnawati, 2012).
Gambar (Figure) 1. Plot penelitian: agroforestry Sengon-Kacang Tanah dan monokultur Kacang Tanah (Trial Plot: agroforestry sengon+ Arachis hypogaea L. and monoculture)
7
Menurut Ong dan Huxley, (2005) akumulasi hara merupakan hasil dari proses panjang dengan pengendapan serasah yang kaya nutrisi atau tegakan pohon dapat berkontribusi bagi kesuburan tanah setelah pohon tersebut mencapai ukuran yang besar dengan pertumbuhan sangat lambat hingga (5-10 tahun). Pengembalian kesuburan tanah melalui dekomposisi serasah menjadi humus memerlukan waktu puluhan tahun sehingga dengan umur 4 bulan belum berpengaruh besar terhadap perbaikan kesuburan tanah. Bahkan sebaliknya kebutuhan unsur dasar N untuk dekomposisi serasah dan pertumbuhan kacang tanah mengurangi pengembalian ke tanah untuk peningkatan kesuburan tanah. Dengan perbandingan pada perubahan sifat tanah di bawah tegakan pinus menunjukkan bahwa semakin tua kelas umur tegakan maka unsur dasar N hanya lebih berperan dalam perbaikan sifat fisik tanah dengan peningkatan kapasitas infiltrasi (Octavia dan Supangat, 2007). Sedangkan untuk peningkatan kesuburan tanah belum terjadi karena bahan organik dari jenis pinus sulit dihancurkan (Hardjowigeno, 2010). Sejalan dengan perubahan sifat tanah di bawah tegakan Acacia mangium menunjukkan bahwa belum terjadi peningkatan unsur hara N, P, K dan C-organik secara signifikan dari mulai umur tanam (0 tahun) sampai umur 12 tahun (Pamoengkas dan Murti, 2011). Hal ini sesuai dengan penelitian Mindawati et al., (2010) bahwa tanah yang ditanami jenis cepat tumbuh seperti Eucalyptus urograndis, pada umur 2 dan 3 tahun cenderung menyebabkan turunnya N–total tanah untuk keperluan sintesa protein, enzim, klorofil dan senyawa lainnya. Pada tegakan campuran, pertumbuhan lebih lambat dan hal ini sebanding dengan penyerapan N yang lebih lambat dan bahan organik lebih banyak, sehingga kandungan N tanah lebih banyak. Penanaman jenis cepat tumbuh seperti E. grandis sampai umur 3 tahun menyebabkan terjadinya penurunan hara yaitu N, K, Ca masing-masing sebesar 52,5% N, 49,7% K, dan 2,8% Ca pada lapisan atas dan sebesar 15% N dan 30% K pada lapisan bawah (Lisnawati, 2102). Kesuburan tanah pada tapak agroforestry dengan campuran berbagai jenis pohon di Gunung Walat cenderung rendah sampai sedang (Wilarso, et.al, 2003) Menurut Napitupulu, (1998) peningkatan unsur hara N dan K adalah hasil mineralisasi dan dekomposisi serasah. Hal ini ditunjukkan oleh perubahan penggunaan lahan dari alang-alang ke jabon dan A. mangium menyebabkan peningkatan unsur hara tanah N, P dan K masing-masing +0,04%N/ +0,03%N, +2,21 ppm P/ +1,99 ppm P dan +0,12 me/100 gram K/+0,11 me/100 gr K. Meskipun demikian dalam sistem terbuka 8
(agroforestry) potensi menurunnya kesuburan tanah semakin besar dengan adanya pemanenan (pengambilan biomassa). Hara yang hilang akibat pemanenan kayu jabon (Anthocephalus chinensis) setara dengan 111,91 kg/ha urea (46% N), 31,86 kg/ha TSP (48% P2O5) dan 177, 22 Kg/Ha Kcl (60% K2O) (Napitupulu, 1998). Hara yang hilang akibat pencucian hara dengan vegetasi E. urophylla setara dengan urea 44,05 Kg/Ha (46% N), 52,89 Kg/Ha TSP (48% P2O5) dan 45,36 Kg/Ha KCL (60% K2O) (Napitupulu, 1998).
B. Pengaruh Pola Tanam dan Pemberian Serasah Sengon Terhadap Produksi Kacang Tanah Berdasarkan hasil analisis varians terlihat bahwa pengaruh pola tanam dan pemberian serasah sengon signifikan dan interaksi keduanya tidak signifikan terhadap produksi kacang tanah. Selanjutnya, untuk mengetahui perlakuan terbaik pada setiap pola tanam dan pemberian serasah maka dilakukan perhitungan rata-rata sebagaimana disajikan pada Gambar 2. Produksi kacang tanah pada sistem monokultur (1400 kg ha-1) secara nyata lebih tinggi (36,2%) dari pada di sistim agroforestry (893kg ha-1). Hal ini disebabkan adanya naungan sengon dan terjadi kompetisi dengan sengon dalam hal menyerap air dan hara. Berdasarkan pengamatan terhadap perakaran dan lebar tajuk sengon di lokasi penelitian menunjukkan bahwa kedalaman akar sengon berkisar 40-90 cm. Pada saat pengukuran pertama (sebelum perlakuan) rata-rata lebar tajuk sengon untuk perlakuan pemberian serasah sengon dan tanpa pemberian serasah (kontrol) berturut-turut adalah 2,5 m dan 2,75 m. Sedangkan pada pengukuran kedua (sekitar satu bulan setelah panen kacang tanah) diketahui bahwa rata-rata lebar tajuk untuk pemberian serasah sengon dan tanpa pemberian serasah (kontrol) berturut-turut adalah 3,76 m dan 4,05 m. Menurut Sudomo dan Handayani, (2013) intensitas cahaya dibawah tegakan sengon umur 3 tahun dengan jarak tanam 2m x 3m tinggal 82,37% (naungan 17,63%).
9
1800.0 1600.0
Produksi (kg/ha)
1400.0
1400.6
1298.2
1200.0 1000.0
893.0
800.0
829.0
600.0
Agroforestry Non agroforestry (monokultur kacang tanah)
400.0 200.0 0.0
Pangkasan sengon
Kontrol
Gambar (Figure ) 2. Produksi kacang tanah pada pola agroforestry dan monokultur (Arachis hypogea L Production in agroforestry and monoculture systems) Untuk pertumbuhan yang optimal kacang tanah memerlukan tempat terbuka. Hasil penelitian lain yang dilaporkan oleh Haryanto dan Dwiriyanto (1998), menunjukkan bahwa kacang tanah yang ditanam secara tumpangsari dengan Acacia mangium dan Eucalyptus deglupta pertumbuhannya terhambat karena besarnya naungan dan melebarnya perakaran tanaman pokok. Demikian juga halnya kacang tanah yang ditanam di bawah tegakan jati, juga mengalami penurunan pertumbuhan (Setyonining, 2003). Faktor cahaya nampaknya merupakan faktor utama yang membatasi pertumbuhan kacang tanah setelah ketersediaan air dan hara yang relatif berkurang dibandingkan monokultur. Hasil penelitian menunjukkan penambahan bahan organik serasah sengon berpengaruh terhadap peningkatan produksi kacang tanah sebesar 7,8% dibandingkan kontrol (perlakuan serasah sengon (1146,8 kg ha-1 ) dan kontrol (1063,6 kg ha-1). Hal ini sejalan dengan penelitian Kurniawan, (2004) bahwa pemberian bahan organik pangkasan tajuk pinus dapat meningkatkan hasil tanaman kedelai sebesar 10%. Hal ini disebabkan oleh dekomposisi sebagian serasah sengon dalam durasi 4 bulan telah meningkatkan 10
unsur hara tanah. Serasah sengon dapat terdekomposisi 95% dalam waktu 6 bulan, dengan hasil jumlah bahan organik dan unsur N pada lapisan topsoil termasuk nilai sedang (Pujiharta, (1995). Pertumbuhan jagung dapat meningkat dalam agroforestry (hedgerow intercropping) dengan perlakuan pruning Leucaena leucocephala sebagai pupuk hijau dan kotoran sapi selama 5 tahun awal percobaan tetapi kemudian menurun akibat persaingan mendapatkan air (Mathuva et. Al., 2009). Keberadaan tanaman bawah dalam agroforestry meningkatkan kebutuhan air dan unsur hara dibanding monokultur. Oleh karena itu pemberian bahan organik hasil pemangkasan daun tanaman legume menjadi penting untuk tetap menjaga atau meningkatkan kesuburan tanah. Disamping itu usaha meminimalisir biomassa keluar dari sistem atau menggantikannya dengan input pemupukan menjadi penting agar kesuburan tanah tetap terjaga.
C. Pengaruh Perlakuan Pemberian Serasah Sengon Terhadap Pertumbuhan Tegakan Sengon Berdasarkan hasil analisis varians menunjukkan bahwa perbedaan perlakuan pemberian serasah tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan diameter dan tinggi sengon. Meskipun demikian delta pertumbuhan tinggi dan diemeter sengon selama 4 bulan akibat pemberian serasah (1,05 cm/1,13 m) sedikit lebih besar dibanding kontrol (0,86 cm/0,34 m). Keterangan yang lebih lengkap disajikan pada Tabel 2 dan Tabel 3. Tabel (Table) 2. Pengaruh pemberian serasah sengon terhadap Pertumbuhan Diameter sengon selama 4 bulan (The influence of sengon’s litter on sengon diameter for 4 months) Perlakuan(Treatment)
Serasah sengon (Sengon’s Litter) Kontrol(Control)
Pertambahan Diameter selama 4 bulan (cm) /The Growth Of Diameter For 4 Months (cm) Sebelum Setelah Perlakuan(Before perlakuan(After ∆ Diameter Persentase pertumbuhan Treatment) Treatment) (cm) (Growth Percentage) (%) 6.01 7.07 1.05 17.55 5.53
6.39
0.86
15.47
Tabel (Table) 3. Pengaruh pemberian serasah sengon terhadap Pertumbuhan Tinggi sengon selama 4 bulan (The influence of sengon’s litter on sengon’s height for 4 months) 11
Perlakuan/Treatment
Serasah sengon (Sengon’s Litter) Kontrol(Control)
Pertambahan Tinggi selama 4 bulan (Height for 4 Months) Persentase Sebelum Setelah ∆ Tinggi pertumbuhan (Height) (Growth Perlakuan(Before perlakuan(After Treatment) Treatment) (cm) Percentage) ( %) 4.75 5.88 1.13 23.68 5.53
5.88
0.34
6.17
Bahan organik yang masih segar perlu dirombak menjadi unsur hara yang lebih mudah diserap tanaman. Peningkatan kesuburan tanah terjadi setelah serasah sengon terdekomposisi menjadi unsur hara/nutrisi. Dekomposisi 95% serasah sengon memerlukan waktu minimal 6 bulan terjadi di lapisan bagian atas tanah. Sedangkan akar sengon relatif di bawah top soil sehingga relatif sedikit menjangkau bagian permukaan tanah. Hasil dekomposisi serasah yang di lapisan atas tanah akan dijangkau oleh tanaman kacang tanah yang relatif dangkal. Sengon sebagai jenis legum mampu mengikat nitrogen dan termasuk jenis yang serasahnya mudah terdekomposisi. Meskipun demikian dengan durasi 4 bulan maka serasah belum terdekomposisi semuanya sehingga relatif hanya sedikit berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman kacang tanah yang akarnya terletak di bagian atas. Serasah sengon dapat terdekomposisi 95% dalam waktu 6 bulan, dengan hasil jumlah bahan organik dan unsur N pada lapisan topsoil termasuk nilai sedang (Pujiharta, 1995) Pohon dengan akar dalam dapat meningkatkan input hara dalam tanah dan memperbaiki lingkungan (Sanchez et al., 1976 dalam Hardjowigeno, 2010). Semakin mudah bahan serasah terdekomposisi dan termineralisasi maka semakin cepat unsur hara tersebut terlepaskan untuk diserap tanaman. Faktor yang mempengaruhi proses dekomposisi atau mineralisasi adalah kualitas bahan organik, frekuensi penambahan bahan organik, ukuran partikel bahan, kekeringan bahan dan cara penggunaannya (dicampur atau disebar) (Atmojo, 2003, Suryani, 2007). Menurut Constantinides dan Fownes (1994), bahwa salah satu faktor yang mengontrol laju dekomposisi dan pola pelepasan unsur hara dari serasah tanaman adalah kualitasnya sebagai substrat mikroba, yang ditentukan melalui kandungan unsur hara awal dan tersedia bagi dekomposer. Unsur hara awal pada lokasi penelitian termasuk rendah dengan kandungan NPK dari sedang sampai sangat rendah dan C-organik 12
termasuk rendah. Hal ini menjadi faktor pembatas dalam dekomposisi serasah sengon. Salah satu faktor yang mempengaruhi perombakan adalah suhu yang efektif yaitu pada kisaran 25o– 40oC, yang dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari yang masuk sampai permukaan tanah. Kecepatan dekomposisi serasah dipengaruhi juga oleh jenis produksi bahan organik atau serasahnya. Bahan organik yang telah terdekomposisi akan terlihat dari nilai rasio C/N yaitu nilai rasio C/N rendah menunjukkan tersedia bahan organik halus dan kandungan unsur N tinggi, sebaliknya nilai rasio C/N tinggi tersedia bahan organik kasar dan N rendah. Dengan demikian kandungan unsur hara yang tersedia dari bahan organik terutama unsur N, akan mudah diserap tanaman untuk pertumbuhannya tetapi menyebabkan kehilangan N juga semakin cepat. Hal ini menjadikan unsur N berkurang bagi pertumbuhan tanaman sengon. Menurut Palm dan Sanchez, (1991) serasah berkualitas tinggi apabila mempunyai nisbah C/N <25, kandungan lignin <15% dan polifenol <3% sehingga cepat terdekomposisi. Serasah sengon termasuk berkualitas tinggi karena mempunyai C/N 7 (C/N < 25) dan L+P/N 9 (L+P/N < 10) sehingga serasah ini mudah terdekomposisi (Anggraini, 2009). Sistem pupuk hijau hasil pruning Leucaena leucocephala membuat keseimbangan N positif, dengan penurunan P untuk pakan ternak dan tidak terdeteksi perubahan bahan organik tanah/C-organik (Mathuva et. al., 2009). Pengelolaan sistem agroforestry dilakukan dengan mengembalikan pangkasan serasah pohon untuk mengembalikan unsur hara ke dalam tanah. Unsur-unsur hara di dalam tanah tersebut diserap tanaman kembali untuk penyusunan bagian-bagian tubuh tanaman begitu seterusnya. Perpindahan nutrisi dalam sistem berpengaruh bagi tanah bagian atas dan untuk terinfiltrasi ke bagian bawah tanah memerlukan waktu lebih lama. Hal ini menjadikan tanaman dengan perakaran dangkal akan menyerap terlebih dahulu unsur hara hasil dekomposisi dan sisanya akan tersaring oleh akar pohon. Pengayaan unsur hara terjadi di lapisan atas/serasah yaitu hasil pencucian tanaman dan sebagian dari hasil mineralisasi bahan organik (Charley dan Richard, 1983). Hal ini sebenarnya merupakan siklus unsur hara/perpindahan unsur hara sehingga usaha untuk mempertahankan sistem menjadi penting. Dalam budidaya agroforestry tetap terdapat biomassa keluar dari sistem akibat pemanenan sehingga kesuburan tanah berkurang. Oleh karena itu tindakan silvikultur seperti pruning, thinning, penyiangan dan pemupukan diperlukan untuk meningkatkan produktivitas tanaman penyusun. 13
IV.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 1. Perlakuan pemberian serasah pangkasan sengon tidak memberikan pengaruh nyata terhadap pertambahan tinggi dan pertambahan diameter pohon sengon selama empat bulan. 2. Produksi kacang tanah pada pola tanam agroforestry dengan sengon (861 kg/ha) atau lebih kecil 36,2% dibandingkan pada monokultur kacang tanah (1.349,4 kg/ha) 3. Produksi kacang tanah pada perlakuan pemberian serasah pangkasan sengon (1146,8 kg/ha) atau lebih besar 7,8% dibandingkan kontrol/tanpa pemberian serasah sengon (1063,6 kg/ha). 4. Jatuhan serasah hanya merupakan siklus hara (perpindahan nutrisi) sehingga peningkatan kesuburan tanah oleh serasah tegakan memerlukan proses panjang sampai tegakan mencapai ukuran besar dan pertumbuhan yang mulai melambat dengan siklus tertutup.
B. Saran 1. Sistim agroforestry mengakibatkan pertumbuhan produksi kacang tanah menurun tetapi tetap mampu menghasilkan produk jangka pendek (kacang tanah) dan jangka panjang (sengon) yang secara akumulatif mampu menjaga kandungan hara tanah lebih baik melalui serasah jatuh dibandingkan sistim monokultur. Oleh karena itu sistem ini perlu dilestarikan 2. Dalam suatu sistem terbuka dan meningkatan kesuburan tanah diperlukan waktu panjang sehingga tindakan silvikultur yang lebih intensif untuk mengoptimalkan perolehan sumber daya di atas tanah (sinar matahari) dan di bawah tanah (air dan unsur hara) sangat diperlukan
14
DAFTAR PUSTAKA Anggraini, N. 2009. Dinamika N-Nh4 +, N-No3- Dan Potensial Nitrifikasi Tanah Di Alfisols, Jumantono Dengan Berbagai Perlakuan Kualitas Serasah (Albisia Falcataria (Sengon Laut) dan Swietenia mahogani (Mahoni)). Skripsi Tidak Dipublikasikan. Univeristas Negeri Sebelas Maret. Surakarta. Atmojo, S. W. 2003. Peranan Bahan Organik terhadap Kesuburan Tanah dan Upaya
Pengelolaannya.
Pidato
Pengukuhan
Guru
Besar
Ilmu
Kesuburan
Tanah.Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret. Diucapkan di Muka Sidang Senat Terbuka Universitas Sebelas Maret Surakarta pada tanggal. 4 Januari 2003. Badan Ketahanan Pangan Nasional. 2008. Slide Power Point. Materi Dipresentasikan di Balai Penelitian Teknologi Agroforestri.Ciamis. Barchia, M.F. 2009. Agrofro ekosistem Tanah Mineral Masam. Gadjah Mada University Press. P.O.BOX 14. Yogyakarta. Charley, J.L. & Richards, B.N. 1983. Nutrient allocation in plant communities: Mineral cycling in terrestrial ecosystems. In: Physiological plant ecology IV, edited by O.L. Lange, P.S. Nobel, C.B. Osmond & H. Zieger, 5-45. Berlin: Springer. Constantinides M. and J.H. Fownes 1994. Nitrogen mineralisation from leaves and litter of tropical plants: relationships to nitrogen, lignin, and soluble polyphenol concentrations. Soil Biology and Biochemistry 26, 49–55. Hairiah. K., S. R. Utami, B. Lusiana dan M. V. Noordwijk. 2002. Neraca Hara Dan Karbon Dalam Sistem Agroforestri. ICRAF. Bogor Hakim, N, Y, Nyakpa,A.M. Lubis,S.G., Nugroho,M.R. Saul, M.A. Dhio, G.d. Hong dan H.H.Bailey. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung, Lampung. Hardjowigeno, S. 2010. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta. Haryanto, Y dan H. Dwiriyanto. 1988. Uji Coba Pengembangan Tanaman Pangan AF. BTR Benakat. Palembang. Kurniawan. 2004. Fungsi Agronomi Sistem Agroforestri Pinus (Pinus mercusii) Dan Kedelai (Glycine max L) Dengan Pemangkasan Pohon Dan Pemberian Bahan 15
Organik. Kompilasi Abstrak Agroforestri di Indonesia. Editor Dr Hadi Susilo Arifin, Dr Mamum Sarma, Dr Nurheni Wijayanto. IPB. INAFE. SEANAFE. ICRAFT. Bogor. Lisnawati.Y.
2012.
Perubahan
Hutan
Alam
Menjadi
Hutan
TanamanDan
Pengaruhnyaterhadap Siklus Hara Dan Air (Conversion of Natural Forest to Plantation Forest and Its implication to Nutrient and Water Cycles).Tekno Hutan TanamanVol.5 No.2, Agustus 2012, 61 – 71. Bogor. Mathuva. M.N. Rao M.R., Smithson P.C., and Coe R. 2009. Improving Maize (Zea Mays) Yields In Semiarid Highlands Of Kenya: Agroforestry Or Inorganic Fertilizers?http://dx.doi.org/10.1016/S0378-4290(97)00067-1Get
rights
and
content. Tanggal Akses 29 April 2014. Mindawati, N., A. Indrawan, I. Irdika dan O. Rusdiana, 2010. Analisis Sifat-Sifat Tanah di bawah Tegakan Eucalyptus urograndis. Tekno Hutan Tanaman Vol 3 No 1 . Pusprohut. Bogor. Napitupulu, B. 1998. Perubahan Dan Prediksi Kehilangan Hara Dengan Adanya HTI. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Pematang Siantar. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Departemen Kehutanan. Aek Nauli, 1998. Medan. Octavia, D. dan A. B. Supangat, 2007. Kapasitas Infiltrasi Tanah pada Berbagai Kelas Umur Pinus. Info Hutan Vol IV No 4: 371-378. P3HKA. Bogor. Ong, C.K. dan P. Huxley. 2005 Tree-Crop Interactions A Physiologycal Approach. CAB Internasional In Assosiation with the ICRAF. Niarobi, Kenya. UK at the University Press, Cambridge. Palm C. A. and Sanchez P. A. 1991. Nitrogen release from the leaves of some tropical legumes as a€ected by their lignin and polyphenolic contents. Soil Biology & Biochemistry 23, 83±88.Pamoengkas.P dan Murti.A.P. 2011. Kualitas Tanah Pada Areal Tebang Pilih Tanam Jalur di IUPHHK/HA PT.Sari Bumi Kusuma Provinsi Kalimantan Tengah. Jurnal Silvikultur Tropika. Vol 03 No 01 Agustus 2011. Hal 66-70 .ISSN: 2086-8227. Palupi.N.P. (1995). Pemanfaatan Lahan Bekas Tambang Sebagai Media Tumbuh Tanaman Budidaya Dengan Aplikasi Dolomit Dan Serasah Tanaman Dengan
16
Tanaman
Uji
Kailan.
Diakses
Tanggal
14
Maret
2014.
ejurnal.untagsmd.ac.id/index.php/AG/article/.../178. Pamoengkas, Prijanto Murti, Adytia Pradnya, 2011. Kualitas Tanah pada Areal Tebang Pilih Tanam Jalur di IUPHHK/HA PT. Sari Bumi Kusuma Provinsi Kalimantan Tengah. Jurnal Silvikultur Tropika . Institut Pertanian Bogor. Bogor Pujiharta. 1995. Beberapa Indikator Fisik Untuk Menentukan Kebijaksanaan Pendahuluan Dalam Pengelolaan DAS. Prosiding Lokakarya Pengelolaan Terpadu Daerah Aliran Sungai, Jakarta.
Salim.A.G. 2013. Kandungan C-Organik dan N-Total Tanah dan Serasah Pada Beberapa Pola Hutan Rakyat di Nglanggeran, Gunung Kidul.Prosiding Semnas Agroforestry 2013. Tanggal 21 Mei 2013 di Malang. BPTA UNIBRAW dan ICRAFT dan MAFI. Ciamis. Sastrosupadi, A. 2000. Rancangan Percobaan Praktis Bidang Pertanian. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Setyonining, A.R. 2003. Potensi Produksi Tanaman Kacang Tanah (Arachis hypogaenae L) yang Ditanam dengan Pohon Jati (Tectona grandis L) pada Sistem Agroforestri di Kalipare, Malang.Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang. (tidak diterbitkan). Soetedjo dan Rachmawati. 2013. Potensi Tanaman Lokal Sebagai Pupuk Organik Cair dan Rumput Pakan Dalam Memperbaiki Produktivitas Lahan dan Pakan Pada Praktik Agroforestry.Prosiding Semnas Agroforestry 2013.Tanggal 21 Mei 2013 di Malang.BPTA UNIBRAW dan ICRAFT dan MAFI. Ciamis Sudomo dan Handayani. 2013. Karakteristik Tanah Di Bawah Empat Jenis Tegakan Penyusun Agroforstry Berbasis Kapulaga. Jurnal Agroforestry. Vol 1 No 1. 2013. Balai Penelitian Teknologi Agroforestry. Ciamis. Suryani, A. 2007. Pendahuluan (on line). (www.damandiri.or.id/file/anisuryanii pb bab2.pdf, diakses 20 Juni 2014). Wilarso, S., Mansur,Sukendro, I.Z. Siregar, E.A. Husaeni Dan Suprianto. 2003. Diversity OF Arbuscular Mycorrhizal Fungi and Mycorrhizal Plant Status at 17
Agroforestry Sites of Gunung Walat Educational Forest. Proceding of National Workshop Forest Rehabilitation Throught Agroforestry. Gunung Walat Educational Forest IPB. Sukabumi, West Java. Indonesia. 13 Januari 2003. Laboratory of Forestry Socio Economics and Policy & Laboratory of Silviculture Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University. ASEANKorea Enviroment Cooperation Unit. Yulipriyanto. H. 2010. Biologi Tanah dan Strategi Pengelolaanya. Graha Ilmu. Edisi Pertama. Yogyakarta.
18