PENGARUH PEMBERIAN AIR SUSU IBU (ASI), KONSUMSI ZAT GIZI, DAN KELENGKAPAN KARTU MENUJU SEHAT (KMS) TERHADAP STATUS GIZI BAYI
Oleh : SUCI PUJIYANTI A54104040
PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
ABSTRAK Suci Pujiyanti. PENGARUH PEMBERIAN AIR SUSU IBU (ASI), KONSUMSI ZAT GIZI, DAN KELENGKAPAN KARTU MENUJU SEHAT (KMS) TERHADAP STATUS GIZI BAYI. Dibawah bimbingan ALI KHOMSAN. Pemberian air susu ibu (ASI), konsumsi zat gizi, dan kelengkapan kartu menuju sehat (KMS) sangat penting untuk mendukung pertumbuhan anak. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis pengaruh pemberian Air Susu Ibu (ASI), konsumsi zat gizi, dan kelengkapan Kartu Menuju Sehat (KMS) terhadap status gizi bayi. Desain penelitian ini adalah cross sectional study. Contoh adalah bayi berusia 4-12 bulan sebanyak 50 contoh yang diberikan ASI dan memiliki KMS. Penarikan contoh dengan cara simple random sampling. Uji statistik yang digunakan adalah uji korelasi Pearson, uji korelasi Spearman dan uji regresi linier metode backward. Uji regresi linier menunjukkan bahwa lama pemberian ASI saja (p<0,01) dan tingkat kecukupan protein (p<0,01) berpengaruh terhadap status gizi contoh. Tingkat kecukupan energi contoh tidak berpengaruh (p>0,05) terhadap status gizi contoh. Uji regresi linier menunjukkan bahwa kelengkapan penimbangan, kelengkapan imunisasi (imunisasi hepatitis B, imunisasi DPT, dan imunisasi campak), dan pemberian vitamin A berpengaruh terhadap status gizi contoh. Keyword: breastfeeding, nutrient consumption, road to health card
ABSTRACT Suci Pujiyanti: The effect of breastfeeding, nutrition consumption, and completeness of healthy card on infant nutrition status. Under supervision of ALI KHOMSAN. Breastfeeding, nutrition consumption, and completeness of healthy card (KMS) are very crucial to support infant development. The objective of this research is to analyze the effect of breastfeeding, nutrition consumption, and completeness of healthy card to the nutritional status. Sample of babies who breastfed and having KMS were taken from 50 babies whose age around 4-12 months using a simple random sampling method. Pearson corelation, Spearman corelation, and backward linear regression were used to analyze data. Linear regression analysis between the length of breastfeeding (p<0.01) and sufficiency of protein level (p<0.01) showed impact significantly to the infant nutritional status. The level energy sufficiency did not affect (p>0.05) the infant nutritional status. The analysis also showed effect of the weighing, immunisation, and giving vitamin A to infant nutritional status. Keyword: breastfeeding, nutrient consumption, healthy card
PENGARUH PEMBERIAN AIR SUSU IBU (ASI), KONSUMSI ZAT GIZI, DAN KELENGKAPAN KARTU MENUJU SEHAT (KMS) TERHADAP STATUS GIZI BAYI
Skripsi Sebagai syarat untuk menjadi Sarjana (S1) pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : SUCI PUJIYANTI A54104040
PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Judul
:
Nama Mahasiswa : Nomor Pokok :
PENGARUH PEMBERIAN AIR SUSU IBU (ASI), KONSUMSI ZAT GIZI, DAN KELENGKAPAN KARTU MENUJU SEHAT (KMS) TERHADAP STATUS GIZI BAYI Suci Pujiyanti A54104040
Menyetujui : Dosen Pembimbing,
Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS NIP 131 404 218
Mengetahui : Dekan Fakultas Pertanian,
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP 131 124 019
Tanggal lulus :
RINGKASAN Suci Pujiyanti (A54104040). Pengaruh Pemberian Air Susu Ibu (ASI), Konsumsi Zat Gizi, dan Kelengkapan Kartu Menuju Sehat (KMS) terhadap Status Gizi Bayi (di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, M.S.). Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis pengaruh pemberian Air Susu Ibu (ASI), konsumsi zat gizi, dan kelengkapan Kartu Menuju Sehat (KMS) terhadap status gizi bayi. Tujuan khususnya adalah (1) mengidentifikasi karakteristik ibu, karakteristik bayi, pengetahuan gizi ibu, pola asuh kesehatan (pemberian ASI, konsumsi zat gizi, dan kelengkapan KMS (kelengkapan penimbangan, imunisasi, dan pemberian vitamin A)) dan status gizi bayi, (2) menganalisis hubungan karakteristik ibu dan bayi, pengetahuan gizi ibu, dengan pola asuh kesehatan (lama pemberian ASI saja, konsumsi zat gizi, dan kelengkapan penimbangan), (3) menganalisis pengaruh lama pemberian ASI saja dan konsumsi zat gizi terhadap status gizi bayi, dan (4) menganalisis pengaruh kelengkapan KMS terhadap status gizi bayi. Desain penelitian ini adalah cross sectional study. Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Kencana Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor dari bulan September 2007 sampai dengan Januari 2008. Contoh adalah bayi berusia 4-12 bulan sebanyak 50 contoh yang diberikan ASI dan memiliki KMS. Penarikan contoh dengan cara simple random sampling. Data primer terdiri dari (1) karakteristik ibu, (2) karakteristik bayi, (3) status gizi bayi, (4) pengetahuan gizi ibu, dan (5) lama pemberian ASI saja (6) konsumsi zat gizi. Data primer diperoleh dari pengisian kuesioner oleh responden (ibu dari contoh) dan melalui wawancara oleh peneliti. Data sekunder terdiri dari kelengkapan KMS dan data orang tua serta data bayi di posyandu. Data yang diperoleh kemudian diolah dan dianalisis secara deskriptif dan inferensia dengan bantuan software Microsoft Excell 2003 dan program SPSS for windows versi 13.0. Uji statistik yang digunakan adalah uji korelasi Pearson, uji korelasi Spearman dan uji regresi linier metode backward. Hasil penelitian menunjukkan bahwa usia responden berkisar antara 18 tahun sampai dengan 40 tahun dengan rata-rata 27 tahun. Sejumlah 58% keluarga memiliki jumlah anggota > 4 orang (keluarga besar). Sebesar 40% pendidikan responden tergolong tinggi. Sebagian besar (90%) pekerjaan responden adalah ibu rumah tangga dan lainnya sebagai pegawai negeri sipil (6%), buruh (2%), dan wiraswasta (2%). Sebesar 72% keluarga contoh memiliki tingkat ekonomi yang tergolong miskin (kategori Bank Dunia 2002) dan berdasarkan kategori BPS kota Bogor (2006) menunjukkan bahwa 34% keluarga contoh termasuk kategori miskin. Sebesar 8% responden memiliki pengetahuan gizi yang baik, sedangkan yang memiliki pengetahuan gizi cukup dan kurang masing-masing sebesar 46%. Contoh terdiri dari kelompok usia ≤ 6 bulan (laki-laki 48% dan perempuan 52%), dan kelompok usia > 6 bulan (laki-laki 67%, perempuan 33%). Contoh sebagian besar (43% perempuan dan 57% laki-laki) memiliki status gizi (BB/U) yang baik. Data riwayat kelahiran menunjukkan bahwa 76% contoh lahir cukup bulan (9 bulan), berat lahir contoh sebagian besar (96%) normal (≥ 2,5 kg). Sebesar 46% contoh dilahirkan di petugas kesehatan dan paling banyak (52%) menggunakan jasa bidan untuk membantu kelahirannya. Pemberian ASI eksklusif (6 bulan ASI saja) hanya dilakukan pada 34% contoh. Sebagian besar contoh (98%) memiliki tingkat kecukupan energi > 70% dan 76% contoh memiliki tingkat kecukupan protein (TKP) > 70%.
Kelengkapan KMS terdiri dari kelengkapan penimbangan (dilihat dari frekuensinya penimbangan), kelengkapan imunisasi (dilihat dari frekuensi imunisasinya) dan pemberian vitamin A (dilihat dari frekuensi pemberiannya). Kelompok contoh usia ≤ 6 bulan frekuensi penimbangannya lebih lengkap dibandingkan dengan kelompok contoh usia > 6 bulan (berturut-turut sebanyak 52% dan 48% contoh yang penimbangannya kontinyu berdasarkan kelompok usia). Sebanyak 100% contoh telah diimunisasi BCG dengan lengkap. Sebanyak 87% contoh usia ≤ 6 bulan dan 81% contoh usia > 6 bulan telah diimunisasi hepatitis B dengan lengkap. Sebanyak 52% contoh usia ≤ 6 bulan dan sebanyak 59% contoh usia > 6 bulan telah mendapatkan imunisasi polio sebanyak 4 kali. Sebanyak 57% contoh usia ≤ 6 bulan dan sebanyak 63% contoh > 6 bulan telah mendapatkan imunisasi DPT sebanyak 3 kali. Sebanyak 26% contoh usia > 6 bulan telah mendapatkan 1 kali imunisasi campak. Pemberian vitamin A pada contoh yang > 6 bulan baru sebanyak 44%. Uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa usia, pendidikan, pengetahuan gizi, dan pendapatan perkapita perbulan responden tidak berhubungan (p>0,05) dengan lama pemberian ASI saja dan kelengkapan penimbangan. Uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa usia, pendidikan, pengetahuan gizi responden tidak berhubungan (p>0,05) dengan tingkat kecukupan energi dan protein contoh. Pendapatan perkapita perbulan responden berhubungan positif dengan tingkat kecukupan energi (p<0,05) dan protein (p<0,05) contoh. Uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa pekerjaan responden tidak berhubungan (p>0,05) dengan lama pemberian ASI saja dan kelengkapan penimbangan. Pekerjaan responden berhubungan positif dengan tingkat kecukupan energi (p<0,05) dan tidak berhubungan dengan tingkat kecukupan protein (p>0,05) contoh. Uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa usia contoh tidak berhubungan (p>0,05) dengan lama pemberian ASI saja dan kelengkapan penimbangan. Uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa usia contoh berhubungan positif dengan tingkat kecukupan protein (p<0,05), tetapi tidak berhubungan dengan tingkat kecukupan energi (p>0,05). Uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa kelahiran cukup bulan, tempat, dan pembantu kelahiran contoh tidak berhubungan (p>0,05) dengan lama pemberian ASI saja, kelengkapan penimbangan, dan tingkat kecukupan protein dan energi. Uji regresi linier menunjukkan bahwa lama pemberian ASI saja (p<0,01) dan tingkat kecukupan protein (p<0,01) berpengaruh terhadap status gizi contoh. Tingkat kecukupan energi contoh tidak berpengaruh (p>0,05) terhadap status gizi contoh. Uji regresi linier menunjukkan bahwa kelengkapan penimbangan, kelengkapan imunisasi (imunisasi hepatitis B, imunisasi DPT, dan imunisasi campak), dan pemberian vitamin A berpengaruh terhadap status gizi contoh. Saran dari penelitian ini adalah agar penelitian yang akan datang menyertakan variabel infeksi, sanitasi, kehigienisan dan aktifitas sebagai faktorfaktor yang mempengaruhi status gizi dan memperbesar rentang usia contoh hingga usia lima tahun agar kelengkapan KMS dapat terlihat dengan jelas. Kader dan petugas kesehatan diharapkan mengoptimalkan fungsi KMS untuk menjadi alat penyuluhan dan sumber informasi bagi ibu balita. Kader juga diharapkan dapat meningkatkan kesadaran ibu untuk membawa bayinya ke posyandu hingga genap lima tahun dan mengikuti setiap kegiatan posyandu. Pemberian pralaktal sebaiknya dihindari, bayi yang baru lahir hendaknya diberikan kolostrum. Pemberian ASI saja tetap diberikan hingga bayi berusia 6 bulan, MPASI setelah usia bayi 6 bulan sampai dengan 24 bulan, dan PASI sejak bayi disapih (24 bulan).
KATA PENGANTAR Syukur alhamdulilah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan kekuatan dan petunjuk sepanjang perjalanan hidup ini, menerangi setiap kegelapan dengan cahaya-Nya dan menghapus dahaga dengan kesejukan-Nya. Kasih sayang-Nya yang tiada batas selalu memberikan jalan kebahagiaan dalam setiap detik kehidupan. Hingga saat ini karena-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang berjudul Pengaruh Pemberian Air Susu Ibu (ASI), Konsumsi Zat Gizi, dan Kelengkapan Kartu Menuju Sehat (KMS) terhadap Status Gizi Bayi disusun sebagai salah satu persyaratan untuk meraih gelar Sarjana (S1) pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak baik langsung maupun tidak langsung.
Dengan rasa hormat penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS. selaku dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan nasihat kepada penulis dari awal hingga akhir penulisan skripsi ini dengan penuh kesabaran. Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam kepada: 1. Ketua Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Dr.
Ir.
Evy Damayanthi beserta para dosen pengajar yang telah
memberikan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi penulis. 2. Prof. Dr. Ir. Faisal Anwar, MS. sebagai dosen penguji, Katrin Roosita, SP. Msi sebagai dosen pemandu dan para pembahas (Angelica Gabriel, Arina Rizkiana, Henny Rochany, Novita Nining) yang telah ikut serta mencurahkan ide dan saran untuk perbaikan penulisan hasil penelitian. 3. Dr. Ir. Dadang Sukandar, MSC dan Dr. Ir. Ikeu Ekayanti, M.Kes yang telah membantu di dalam mengarahkan pengolahan data. 4. Khairunnisa, SP, seluruh staf Tata Usaha, Ibu Popon, Bapak Rena, Bapak Ugan, Bapak Gandhi. 5. Seluruh staf Kelurahan Kencana, Ibu Nina, dan Bapak Ias yang membukakan jalan untuk penulis turun lapang. 6. Kader-kader posyandu yang selalu membantu selama penulis turun lapang (Ibu Maesaroh, Ibu Maman, Ibu Utu, dan Ibu Kumbang).
7. Keluargaku, kedua orangtuaku yang memberikan doa sepanjang sujudnya, memberikan dukungan finansial dan spiritual bagi penulis. Terima kasih untuk adikku yang menginspirasi penulis untuk selalu optimis. 8. Sahabat-sahabatku (Rena, Kiki, Lia R, Prita, Devi R, Mba Rima dan Mba Atit Censi). 9. Teman-teman Gamasakers 41, kakak kelas GMSK 39 dan 40, Kakak Kuswan 40, Ipan PMGC, seluruh Ponytailers, dan Censi 10. Dede Abdulrachman, SSi. yang senantiasa memberikan semangat perjuangannya. Tanpa mengurangi rasa hormat, penulis juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga amal ibadahnya mendapatkan kebaikan dari Allah SWT. Amin. Penulis juga berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat dan dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan maupun penambah wawasan
bagi
semua pembaca.
Bogor, Mei 2008
Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sumedang pada tanggal 19 Oktober 1986. Penulis adalah anak pertama dari pasangan Bapak Abdurochim, S.P dan Ibu Isah Aisah dan memiliki satu saudara kandung perempuan bernama Ashri Pujiastuti. Pendidikan Sekolah Dasar Negeri Pasirpeuteuy Ciamis ditempuh pada tahun 1993-1998.
Setelah itu penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah
Pertama Negeri 1 Ciamis pada tahun 1998-2001, kemudian penulis melanjutkan studi ke Sekolah Menengah Umum Negeri 1 Ciamis pada tahun 2001- 2004. Pada tahun 2004 penulis melanjutkan sekolah program sarjana melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI) dan diterima pada program studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Selama perkuliahan, penulis aktif mengikuti kegiatan Badan Konsultasi Gizi (BKG) sebagai seksi informasi dan komunikasi (INFOKOM) pada periode 2006-2008. Penulis juga ikut serta dalam Paguyuban Mahasiswa Galuh Ciamis (PMGC) sebagai bendahara periode 2006- 2007.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL........................................................................................
i
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................
ii
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................
iii
PENDAHULUAN Latar Belakang .................................................................................. Tujuan Penelitian .............................................................................. Hipotesis ........................................................................................... Kegunaan Penelitian .........................................................................
1 3 4 4
TINJAUAN PUSTAKA Tumbuh Kembang Bayi..................................................................... Pralaktal ............................................................................................ Air Susu Ibu (ASI) ............................................................................. Cara Pemberian ASI ......................................................................... Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemberian ASI........................... Macam-macam ASI berdasarkan Waktu Keluarnya ......................... Makanan Pendamping ASI (MPASI)................................................. Pengganti ASI (PASI)........................................................................ Konsumsi .......................................................................................... KMS .................................................................................................. Status Gizi......................................................................................... Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh Kesehatan ................
5 5 6 8 8 9 10 11 11 13 15 16
KERANGKA PEMIKIRAN..........................................................................
18
METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu.............................................................. Penarikan Contoh ............................................................................. Jenis dan Cara Pengumpulan Data .................................................. Pengolahan dan Analisis Data .......................................................... Definisi Operasional ..........................................................................
20 20 20 20 23
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Tempat Penelitian .................................................. Karakteristik Keluarga Contoh .......................................................... Karakteristik Contoh.......................................................................... Pola Asuh Kesehatan........................................................................ Pelayanan Kesehatan ....................................................................... Kelengkapan Kartu Menuju Sehat (KMS) ......................................... Hubungan Berbagai Variabel dengan Pola Asuh Kesehatan ........... Hubungan Karakteristik Responden dengan Pola Asuh Kesehatan.............................................................................. Hubungan Karakteristik Contoh dengan Pola Asuh Kesehatan.............................................................................. Pengaruh Pemberian Air Susu Ibu (ASI) dan Konsumsi Zat Gizi terhadap Status Gizi Contoh ............................................................. Pengaruh Kelengkapan Kartu Menuju Sehat (KMS) terhadap Status Gizi ....................................................................................................
24 25 30 32 44 56 65 65 67 69 69
KESIMPULAN dan SARAN Kesimpulan ....................................................................................... Saran ................................................................................................
71 73
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
74
LAMPIRAN ................................................................................................
78
DAFTAR TABEL Halaman 1. Komposisi Air Susu Ibu (ASI) ................................................................
7
2. Pola pemberian ASI dan MPASI menurut golongan usia.....................
10
3. Jadwal pemberian MPASI menurut usia bayi, jenis makanan, dan frekuensi pemberian..............................................................................
17
4. Pembagian kategori dan kriteria variabel-variabel dalam penelitian .....
21
5. Sebaran contoh berdasarkan usia orang tua ........................................
25
6. Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga .......................................
26
7. Sebaran orang tua berdasarkan pendidikan .........................................
27
8. Sebaran orang tua berdasarkan jenis pekerjaan...................................
28
9. Sebaran keluarga berdasarkan tingkat ekonomi ...................................
29
10. Sebaran responden berdasarkan tingkat pengetahuan gizi ..................
30
11. Sebaran contoh berdasarkan usia dan jenis kelaminnya ......................
31
12. Sebaran contoh berdasarkan status gizinya .........................................
31
13. Sebaran contoh berdasarkan riwayat kelahirannya ..............................
32
14. Sebaran contoh berdasarkan pemberian pralaktal................................
33
15. Sebaran contoh berdasarkan pemberian kolostrum..............................
34
16. Sebaran contoh berdasarkan pemberian ASI .......................................
35
17. Sebaran contoh berdasarkan rencana responden untuk menyusui ......
36
18. Sebaran contoh berdasarkan pemberian MPASI ..................................
37
19. Sebaran contoh berdasarkan penyajian MPASI....................................
38
20. Sebaran contoh berdasarkan konsumsi MPASI ...................................
40
21. Sebaran contoh berdasarkan pemberian PASI .....................................
41
22. Sebaran contoh berdasarkan pemberian jenis PASI.............................
42
23. Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan energi dan proteinnya..............................................................................................
43
24. Sebaran contoh berdasarkan masalah makannya (untuk MPASI dan PASI) ..............................................................................................
43
25. Sebaran responden berdasarkan kunjungannya ke PUSKESMAS ......
45
26. Sebaran responden berdasarkan opini mengenai kualitas pelayanan di PUSKESMAS...................................................................
46
27. Sebaran responden berdasarkan opini mengenai jadwal jam buka PUSKESMAS ........................................................................................
47
28. Sebaran responden berdasarkan opini mengenai antrian di PUSKESMAS ........................................................................................
48
29. Sebaran responden berdasarkan biaya pelayanan di PUSKESMAS....
49
30. Sebaran contoh berdasarkan kunjungan ke POSYANDU.....................
50
31. Sebaran niat responden membawa contoh ke POSYANDU sampai lima tahun berdasarkan pendapatnya tentang peran POSYANDU.......
51
32. Sebaran responden berdasarkan opini mengenai ketersediaan timbangan balita di POSYANDU ...........................................................
52
33. Sebaran responden berdasarkan opini mengenai penyelenggaraan penyuluhan di POSYANDU ..................................................................
54
34. Sebaran responden berdasarkan opini mengenai pemberian makanan tambahan di POSYANDU......................................................
55
35. Sebaran responden berdasarkan opini mengenai kecukupan jumlah kader di POSYANDU.................................................................
55
36. Sebaran responden berdasarkan biaya pelayanan di POSYANDU......
56
37. Sebaran contoh berdasarkan kelengkapan penimbangannya ..............
57
38. Sebaran contoh berdasarkan frekuensi imunisasi hepatitis B...............
59
39. Sebaran contoh berdasarkan frekuensi imunisasi polio ........................
60
40. Sebaran contoh berdasarkan frekuensi imunisasi DPT ........................
61
41. Sebaran contoh berdasarkan frekuensi imunisasi campak ...................
63
42. Sebaran contoh berdasarkan frekuensi pemberian vitamin A...............
64
43. Analisis korelasi antara karakteristik responden dengan pola asuh kesehatan..............................................................................................
67
44. Analisis korelasi antara karakteristik contoh dengan pola asuh kesehatan..............................................................................................
68
45. Analisis regresi linier antara variabel pola asuh kesehatan dengan status gizi contoh......................................................................
70
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Pengaruh pola asuh kesehatan terhadap status gizi bayi .......................
19
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Kuesioner penelitian................................................................................
78
PENDAHULUAN Latar Belakang Sebuah keluarga yang lengkap adalah keluarga yang terdiri dari suami, istri, dan anak sebagai buah hati dari sebuah pernikahan. Kelahiran seorang bayi merupakan anugerah sekaligus amanah bagi sepasang suami istri. Anak sebagai amanah tentunya harus dijaga, dirawat, dan dididik dengan sebaikbaiknya. Hal tersebut sangat penting agar anak tumbuh sehat jasmani rohani, cerdas, berguna bagi agama, bangsa, dan negaranya. Berkaitan dengan hal tersebut seorang ibu harus selalu siap siaga baik itu ketika hamil, saat hamil, mendekati masa persalinan, setelah persalinan, dan saat menyusui. Ibu yang mendisiplinkan diri mengonsumsi makanan yang bergizi seimbang dan rajin memeriksakan kehamilan dapat mendukung kesempurnaan pertumbuhan dan perkembangan bayi. Kesiapan seorang ibu tentunya memerlukan dukungan dari orang-orang di sekelilingnya terutama suami. Zat gizi memiliki peranan yang sangat penting bagi kelangsungan tumbuh kembang anak dan kesehatannya.
Zat gizi yang terbaik dan paling lengkap
untuk bayi di kehidupan pertamanya adalah Air Susu Ibu (ASI). Komposisi ASI terdiri dari zat-zat gizi yang struktur dan kualitasnya sangat cocok untuk bayi dan mudah diserap oleh bayi.
ASI juga mengandung zat antibodi yang berguna
untuk melindungi bayi dari infeksi. Zat antibodi tersebut dinamakan kolostrum. Kolostrum adalah air susu ibu yang pertama kali dikeluarkan yang warnanya putih kekuningan (Ramaiah 2006). Selain itu, ASI juga mengandung faktor yang membantu pertumbuhan, menolong perkembangan normal, dan pematangan saluran pencernaan. ASI sebagai makanan yang terbaik bagi bayi tidak perlu diragukan lagi, namun akhir-akhir ini sangat disayangkan banyak ibu-ibu menyusui melupakan keuntungan ASI. Mereka membiarkan bayinya menyusu dari alat pengganti dan membiarkan bayinya mengonsumsi susu formula sebelum 6 bulan. Apabila hal yang demikian terus berlangsung, tentunya akan menjadi ancaman yang serius terhadap upaya pelestarian dan peningkatan penggunaan ASI serta mengancam kualitas generasi yang akan datang dari bahaya penyakit (Siregar 2004). Begitu pentingnya ASI pada awal kehidupan seorang anak, maka pemerintah menggalakan program pemberian ASI eksklusif.
Program ini
menganjurkan seorang ibu memberikan air susunya saja kepada bayi usia 0-6 bulan tanpa memberikan MPASI (Makanan Pendamping Air Susu Ibu) apalagi
memberikan PASI (Pengganti Air Susu Ibu). MPASI misalnya makanan atau minuman yang diberikan bersamaan dengan ASI, sedangkan PASI adalah pengganti ASI yang berperan menggantikan sebagian atau seluruh ASI. Usia bayi yang lebih dari 6 bulan dapat diberikan MPASI secara bertahap mulai dari makanan yang lumat halus, lumat, lunak sampai dengan makanan padat. Saat disapih (usia 24 bulan) anak tersebut benar-benar bisa lepas dari konsumsi air susu ibunya dan digantikan dengan mengonsumsi makanan dan minuman yang gizinya seimbang untuk persiapan tumbuh kembang selanjutnya. Konsumsi yang seimbang terdiri dari makanan dan minuman yang di dalamnya mengandung karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, serta jumlahnya mencukupi kebutuhan tubuh individu. Karbohidrat menurut Muchtadi (2002) akan menghasilkan sebagian besar energi yang dibutuhkan. Apabila konsumsi energi berlebih pada bayi maka akan menimbulkan resiko tinggi menderita obesitas di masa kanak-kanak, remaja, atau dewasa. Begitu juga dengan kelebihan protein dan lemak. Sumber karbohidrat dapat diperoleh dari berbagai jenis makanan pokok, misalnya nasi, jagung, kentang, singkong, roti, dan sagu. Sumber protein dan lemak dapat diperoleh dari nabati dan hewani. misalnya, tahu, tempe, dan susu kedelai.
Protein dan lemak nabati,
Protein dan lemak hewani dapat
diperoleh dari ikan, daging sapi, daging ayam, dan telur. Menurut Hardinsyah dan Martianto (1992) vitamin berdasarkan sifat kelarutannya dibedakan menjadi dua kelompok yaitu vitamin larut lemak dan vitamin larut air. Selain vitamin, tubuh juga memerlukan mineral yang peran utamanya sebagai zat pengatur melalui komponen pembentukkan enzim dan antibodi, juga sebagai zat pembangun (pembentukkan tulang dan hormon). Mineral dibagi dua kelompok yaitu mineral makro dan mineral mikro. ASI eksklusif, makanan serta minuman lain dengan gizi seimbang yang dikonsumsi oleh seseorang memegang peranan penting dalam pembangunan generasi mendatang yang sehat. Akan tetapi peran Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu) tidak kalah pentingnya. Menurut Sembiring (2004), posyandu adalah suatu wadah komunikasi alih teknologi dalam pelayanan kesehatan masyarakat dan KB (Keluarga Berencana) dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat. Pelayanan posyandu dibantu secara teknis oleh petugas kesehatan yang memiliki nilai strategis untuk pengembangan sumberdaya manusia sejak dini.
Posyandu melakukan pemantauan pertumbuhan dan perkembangan anak melalui grafik berat badan dan mencatatnya pada KMS (Kartu Menuju Sehat). KMS juga berfungsi sebagai alat penyuluhan gizi kepada ibu-ibu yang memiliki anak balita (bawah lima tahun).
KMS sebagai alat penyuluhan gizi
menurut Mudjianto (2001) belum efektif. Ketidakefektifan ini terjadi karena masih rendahnya pemahaman kader posyandu dan ibu balita terhadap arti dari grafik pertumbuhan anak. Rendahnya pengetahuan kader untuk memberikan nasihat gizi kepada ibu balita ikut berpengaruh juga terhadap kekurangefektifan KMS. Selain itu, pesan-pesan gizi yang ada di dalam KMS seringkali tidak dimanfaatkan oleh ibu balita karena seringkali KMS disimpan pada kader dengan alasan takut hilang. KMS yang diisi lengkap oleh kader bisa dijadikan indikator bahwa anak rajin dibawa ke posyandu.
Semakin rajin anak dibawa ke posyandu maka
keadaan tumbuh kembangnya semakin terkontrol dan lebih cepat dilakukan penanggulangan apabila tumbuh kembang anak terhambat. Beberapa hal yang dapat menghambat tumbuh kembang anak di antaranya dikarenakan kurang gizi atau penyakit tertentu pada anak. Berdasarkan hal-hal di atas, maka penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian tentang bagaimana pengaruh pemberian Air Susu Ibu (ASI), konsumsi zat gizi, dan kelengkapan Kartu Menuju Sehat (KMS) terhadap status gizi bayi. Tujuan Penelitian Tujuan Umum Menganalisis pengaruh pemberian Air Susu Ibu (ASI), konsumsi zat gizi, dan kelengkapan Kartu Menuju Sehat (KMS) terhadap status gizi bayi. Tujuan Khusus 1. Mengidentifikasi karakteristik ibu, karakteristik bayi, pengetahuan gizi ibu, pola asuh kesehatan (pemberian ASI, konsumsi zat gizi, dan kelengkapan KMS (kelengkapan penimbangan, imunisasi, dan pemberian vitamin A)) dan status gizi bayi. 2. Menganalisis hubungan karakteristik ibu dan bayi, pengetahuan gizi ibu, dengan pola asuh kesehatan (lama pemberian ASI saja, konsumsi zat gizi, dan kelengkapan penimbangan).
3. Menganalisis pengaruh lama pemberian ASI saja dan konsumsi zat gizi terhadap status gizi bayi. 4. Menganalisis pengaruh kelengkapan KMS terhadap status gizi bayi. Hipotesis 1. Karakteristik ibu dan bayi, pengetahuan gizi ibu, tidak berhubungan dengan pola asuh kesehatan (lama pemberian ASI saja, konsumsi zat gizi, dan kelengkapan KMS). 2. Status gizi bayi yang diberikan ASI eksklusif sama dengan bayi yang tidak diberikan ASI eksklusif. 3. Lama pemberian ASI saja dan konsumsi zat gizi tidak berpengaruh terhadap status gizi bayi. 4. Kelengkapan KMS tidak berpengaruh terhadap status gizi bayi. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan salah satu informasi tentang pengaruh pemberian ASI, konsumsi zat gizi, dan kelengkapan KMS terhadap status gizi bayi.
Selain itu, hasil penelitian ini dapat menjadikan
orangtua mengetahui apa yang penting dan perlu diberikan serta perlu dilakukan sejak dini untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan anaknya di masa yang akan datang.
TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Bayi Menurut Hardinsyah dan Martianto (1992) pertumbuhan bayi pada masa 0-1 tahun berlangsung sangat cepat.
Pertumbuhan anak meliputi tahap
hiperplasia (peningkatan jumlah sel), hiperplasia dan hipertrofi (meningkatnya jumlah, besar, dan kematangan sel), dan hipertrofi (sel mengalami pematangan dan pembesaran lebih lanjut). Menurut Widjaja (2001), kekurangan gizi pada usia 0-1 tahun akan mengganggu pertumbuhan saraf-saraf pada otak, anak yang terganggu sistem sarafnya akan mengalami keterlambatan perkembangan otak dengan gejala gagap dan bingung, sering sakit kepala, bahkan kejang-kejang. Selain itu, jika makanan yang diberikan tidak memenuhi standar gizi, anak mudah terserang penyakit infeksi (diare atau cacingan). Jika terserang penyakit ini anak akan menjadi kurus, kurang bersemangat, cengeng, cenderung lamban, dan bodoh. Supaya hal-hal tersebut dapat dihindari, maka pemenuhan kebutuhan gizi anak harus semakin besar sejalan dengan perkembangan fisiknya. sedapat
mungkin
bervariasi
dan
lengkap,
yang
Penyajiannya
memenuhi
kebutuhan
karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral. Pralaktal Pralaktal adalah makanan atau minuman selain Air Susu Ibu (ASI) yang diberikan kepada bayi yang baru lahir. Alasan untuk memberi pralaktal kepada bayi berbeda sesuai nilai budaya masyarakatnya masing-masing. Alasan yang paling sering dikemukakan adalah diperlukan untuk hidup, menghilangkan rasa haus, menghilangkan rasa sakit (dari sakit perut atau sakit telinga), mencegah dan mengobati pilek dan sembelit, menenangkan bayi atau membuat bayi tidak rewel (Linkages 2002). Pemberian pralaktal ketika bayi baru lahir di Rumah Sakit dapat dicegah dengan adanya rawat inap gabung antara ibu dan bayi.
Hal ini akan
memudahkan ibu memberikan respon yang segera kepada bayi ketika menangis karena lapar. Pralaktal yang diberikan kepada bayi walaupun dalam jumlah yang sedikit akan mudah mengenyangkan bayi sehingga konsumsi ASI pada bayi berkurang (Sentra Laktasi indonesia 2008).
Air Susu Ibu (ASI) Menurut Muchtadi (2002) ASI harus merupakan makanan satu-satunya yang eksklusif bagi bayi di tahun pertama kehidupannya. ASI eksklusif terutama diberikan selama enam bulan pertama karena pada masa-masa ini bayi dalam kondisi kritis.
Pertumbuhan, pembentukan psikomotor, dan akulturasi terjadi
sangat cepat pada masa enam bulan pertama, sehingga pemberian ASI eksklusif akan sangat mendukung. ASI yang sangat mudah dicerna dan diserap oleh bayi akan membantu mengoptimalkan tumbuh kembangnya.
Sebisa mungkin ASI diberikan paling
lambat 20-30 menit dari waktu lahir. Hal tersebut dianjurkan karena refleks isap bayi mencapai puncak pada saat 20-30 menit pertama, bila terlambat maka refleks isapnya berkurang dan tidak akan kuat lagi sampai beberapa jam berikutnya (Roesli 2001). ASI memiliki banyak keuntungan bagi bayi, seperti yang disebutkan oleh Ramaiah (2006) bahwa di dalam ASI terdapat zat gizi yang dibutuhkan oleh bayi sehingga mengurangi resiko berbagai jenis kekurangan zat gizi. Selain steril dan mudah diberikan, ASI juga selalu berada pada suhu yang paling cocok bagi bayi karenanya tidak memerlukan persiapan apapun bila dibutuhkan segera oleh bayi. ASI memiliki faktor pematangan usus yang melapisi bagian dalam saluran pencernaan dan mencegah kuman penyakit serta protein berat untuk terserap ke dalam tubuh. ASI juga menolong pertumbuhan bakteri sehat dalam usus yang disebut Lactobacillus bifidus yang dapat mencegah bakteri penyakit lainnya sehingga mencegah diare. Laktoferin yang dikombinasikan dengan zat besi di dalam ASI dapat mencegah pertumbuhan kuman penyakit. Penelitian Chantry, Howard, dan Auinger (2006) menyebutkan juga bahwa bayi yang diberi ASI eksklusif selama enam bulan penuh memiliki resiko lebih kecil terkena penyakit pnemonia dibandingkan bayi yang diberi ASI kurang dari enam bulan. Menurut penelitian Jakobsen, Sodemann, Nyle´n, Bale, Nielsen, Lisse, dan Aaby (2003) pada bayi usia 9-35 bulan di Guinea-Bissau, menunjukkan bahwa bayi yang telah disapih mengalami enam kali lebih tinggi angka kematiannya selama tiga bulan pertama perang disana daripada bayi yang masih disusui. Hal ini membuktikan bahwa efek perlindungan ASI merupakan hal yang utama melawan infeksi dalam keadaan darurat. Disebutkan pula oleh Ramaiah (2006) pemberian ASI (menyusui) bermanfaat bagi ibu bayi untuk menolong rahim mengerut lebih cepat mencapai
ukuran normalnya dalam waktu singkat.
Selain mengurangi banyaknya
perdarahan setelah persalinan sehingga mencegah anemia, menyusui juga mengurangi
resiko
kehamilan
sampai
enam
bulan
setelah
persalinan.
Diungkapkan juga pada penelitian Kendall dan Tackett (2007) bahwa ibu yang menyusui bayinya akan terhindar dari resiko stres tinggi setelah melahirkan. Hal ini karena menyusui dapat menurunkan proinflammantory cytokines pada ibu yang merupakan pemicu stres atau depresi setelah melahirkan. Komposisi ASI di berbagai negara biasanya tidak jauh berbeda. Meskipun ibu yang menyusui tersebut kurang gizi, akan tetapi ASI yang dihasilkan cukup baik. Hal ini menunjukkan bahwa ASI yang dikeluarkan oleh ibu masih dapat dijaga standar komposisinya meskipun harus mengorbankan badan ibu sendiri (Winarno 1995). Tabel 1 Komposisi Air Susu Ibu (ASI) Komposisi ASI Total lemak (%) Energy (Kilokalori) Protein (%) Lemak (%) Karbohidrat (%) Abu (%) Kalsium (mg) Besi (mg) Magnesium (mg) Fosfor (mg) Potasium (mg) Sodium (mg) Seng (mg) Asam askorbat (mg) Tiamin (mg) Riboflavin (mg) Niasin (mg) Asam pantotenat(mg) Vitamin B6 (mg) Folat (mg) Vitamin B12 (mg) Vitamin A (mg) Vitamin D (mg) Vitamin E (mg) Vitamin C (mg) Sumber: www.DairyforAll.com (2007)
Jumlah 12,50 70 1,03 4,38 6,89 0,20 32 0,03 3 14 51 17 0,17 5 20 0,036 0,177 0,223 10 5 0,045 58 0,04 0,34 4
Cara Pemberian ASI Menyusui adalah sesuatu yang alamiah yang diberikan kepada bayi di awal masa hidupnya dan biasanya berlangsung hingga berusia dua tahun (Roesli 2000). Menurut Ramaiah (2006) pelaksanaan menyusui ada beberapa macam yaitu menyusui secara eksklusif, menyusui secara dominan, menyusui secara parsial, dan menyusui kadang kala. Menyusui secara eksklusif adalah pemberian ASI saja tanpa tambahan makanan atau minuman apapun termasuk empeng (Ramaiah 2006). Menyusui secara eksklusif telah dianjurkan oleh pemerintah untuk dilakukan selama enam bulan dari kehidupan awal bayi (Roesli 2000) sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan
RI
No.
450/Menkes/SK/IV/2004
(Kurniadi
2006).
Sedangkan
menyusui secara dominan adalah pemberian ASI kepada bayi dengan porsi terbesar dan masih diberikan MPASI dalam jumlah sedikit.
Ada juga cara
pemberian makanan dan minuman selain ASI yang porsinya hampir sama dengan pemberian ASI kepada bayi secara teratur sesuai jadwal, ini dinamakan menyusui secara parsial dan biasanya dilakukan pada bayi yang akan disapih. Menyusui
kadang kala adalah pemberian ASI tidak diutamakan, bayi
diprioritaskan untuk mengonsumsi makanan padat dan minuman selain ASI (Ramaiah 2006). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemberian ASI Penelitian menurut Arora, McJunkin, Wehrer, dan Kuhn (2000) faktorfaktor yang mempengaruhi ibu untuk menyusui bayinya bisa datang dari luar maupun dari dalam. Faktor yang datang dari luar bisa berasal dari suami atau orang-orang terdekat seperti orang tua maupun mertua. Selain itu, informasi dari kelas pra-melahirkan, televisi, majalah, buku, dan media komunikasi lainnya dapat mempengaruhi keputusan untuk menyusui. Selanjutnya dinyatakan pula dalam penelitian menurut Arora et al (2000), di Pennsylvania keputusan untuk memberikan ASI atau susu botol seringkali dibuat sebelum masa kehamilan atau trimester pertama kehamilan. Alasan yang paling banyak diambil untuk memutuskan memberi ASI di antaranya adalah banyaknya keuntungan ASI untuk kesehatan bayi, sifat alami ASI, dan emotional bonding ibu dan bayi.
Sedangkan alasan untuk memberikan susu botol di
antaranya karena persepsi ibu terhadap sikap ayah (payudara ibu tidak kencang
lagi sehingga takut ayah tidak suka), ragu kuantitas ASI tidak mengenyangkan bayinya, dan ibu kembali bekerja sehingga kekurangan waktu untuk menyusui. Berdasarkan penelitian Forster, McLachlan, dan Lumley (2006) pada para ibu di Australia, cara pemberian ASI eksklusif selama enam bulan dipengaruhi oleh beberapa faktor positif dan faktor negatif. Faktor positif tersebut di antaranya adalah keinginan yang kuat untuk menyusui, kebiasaan menyusui bayi yang turun temurun, ibu menyusui yang berasal dari negara-negara di benua Asia, dan ibu menyusui yang usianya sudah tua. Sedangkan faktor-faktor negatifnya adalah ibu tidak berniat untuk menyusui, bayi diberi susu formula di rumah sakit, merokok dua puluh batang atau lebih perhari sebelum masa kehamilan, tidak memperhatikan pendidikan perawatan bayi baru lahir, ibu kegemukan, dan ibu yang menderita depresi. Macam-macam ASI Berdasarkan Waktu Keluarnya Menurut Ramaiah (2006) macam-macam ASI berdasarkan waktu keluarnya adalah kolostrum, ASI transisi, ASI matang , ASI prematur, dan ASI purnawaktu. Kolostrum Kolostrum adalah susu yang pertama kali dikeluarkan oleh ibu setelah melahirkan hingga kurang lebih satu minggu (Hardinsyah dan Martianto, 1992). Kolostrum ini mengandung sejumlah antibodi yang dapat membentuk daya tahan tubuh bayi untuk melindunginya dari serangan infeksi. Vitamin A dan K pada kolostrum lebih tinggi dibandingkan susu yang dikeluarkan setelahnya, dan dapat sebagai pencahar ringan yang merangsang dikeluarkannya tinja pertama yang berwarna gelap (mekonium) dari tubuh bayi (Ramaiah 2006). ASI Transisi ASI transisi merupakan susu yang keluarnya selama kurang lebih dua minggu setelah kolostrum habis (Ramaiah 2006). Kadar protein dan antibodinya sudah menurun dari kadar semula, akan tetapi volume ASI, kadar lemak dan gulanya meningkat (Roesli 2000). ASI Matang ASI matang adalah susu yang dikeluarkan sekitar dua minggu pertama dan seterusnya (Roesli 2000). Menurut Ramaiah (2006) teksturnya lebih cair, mengandung semua nutrisi yang dibutuhkan bayi, komposisinya bisa berubah
dari fore milk menjadi hind milk dalam suatu proses menyusui.
Fore milk
dikeluarkan di awal menyusui, sangat encer, berwarna kebiru-biruan, kaya vitamin, laktosa, protein, mineral, dan air.
Hind milk keluar menjelang akhir
menyusui, encer, putih, dan kaya lemak. Perubahan fore milk ke hind milk tidak secara tiba-tiba tapi secara bertahap. ASI Prematur dan ASI Purnawaktu ASI prematur menurut Ramaiah (2006) adalah susu yang dikeluarkan oleh ibu yang melahirkan bayi prematur.
ASI purnawaktu adalah susu yang
dikeluarkan oleh ibu yang melahirkan bayi setelah sembilan bulan di dalam kandungan. Makanan Pendamping ASI (MPASI) MPASI adalah makanan tambahan yang diberikan kepada bayi setelah pemberian ASI eksklusif (4-6 bulan, diutamakan sampai usia 6 bulan) sampai bayi berusia 24 bulan. Sebagian bayi dapat tumbuh memuaskan sampai usia enam bulan dengan hanya diberi ASI saja.
Sebagian lagi ada yang lebih
memerlukan energi dan zat-zat gizi lain daripada yang terdapat dalam ASI, dengan memberikan tanda kelaparan atau pertambahan berat badan yang lambat pada usia enam bulan atau kurang. Akan tetapi bagaimanapun harus diusahakan agar makanan tambahan (pendamping ASI) diberikan setelah bayi berusia enam bulan (Muchtadi 2002). Disebutkan juga bahwa pemberian MPASI ini sebagai komplemen terhadap ASI agar anak memperoleh cukup energi, protein, dan zat-zat gizi lainnya (vitamin dan mineral) untuk tumbuh kembang anak secara normal. Pemberian ASI dan MPASI yang dianjurkan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Pola pemberian ASI dan MPASI menurut golongan usia Usia (bulan)
ASI
Pola Pemberian ASI / MPASI Makanan Makanan Makanan Lumat Halus Lumat Lunak
0-4 √ 4-6 √ √ 6-9 √ 9-12 √ 12-24 √ Sumber : Depkes dan Kessos RI (2000)
Makanan Biasa
√ √ √
Keterangan :
Makanan lumat halus adalah makanan yang terbuat dari tepung dan dihancurkan sampai homogen. Misalnya, bubur susu, bubur sumsum, biskuit yang ditambah air, pepaya saring, pisang saring, dan sebagainya. Makanan lumat adalah makanan yang dihancurkan atau disaring tetapi tidak sampai homogen. Misalnya, pepaya dihaluskan dengan sendok, pisang dikerik sendok, nasi tim saring, bubur kacang hijau saring, dan kentang pure. Makanan lunak adalah makanan yang dimasak dengan banyak air. Misalnya, bubur nasi, bubur ayam, dan bubur kacang hijau. Makanan padat adalah makanan lunak akan tetapi tidak berair. Misalnya, lontong, nasi tim, kentang rebus, dan biskuit. Pengganti ASI (PASI) PASI menurut WHO diacu dalam Departemen Kesehatan (1994) adalah
susu formula, produk lain dari susu, makanan dan minuman lainnya, termasuk makanan pelengkap yang diberikan dengan botol, yang dipasarkan untuk mengganti sebagian atau seluruh ASI. Pemakaian susu formula yang tidak tepat pada akhirnya akan menimbulkan ancaman bagi kesehatan bahkan kematian. Masalah kesehatan dapat timbul apabila orang tua tidak membaca petunjuk yang tertulis pada kemasan, misalnya agar susu kaleng lebih irit, maka diberikannya sedikit. Hal ini akan menyebabkan susu yang dibuat lebih encer dan bayi memiliki resiko kekurangan gizi, namun jika pemberiannya berlebihan maka akan menyebabkan obesitas serta beban bagi kerja ginjal dan pencernaan (Departemen Kesehatan 1994). Konsumsi Konsumsi yang seimbang adalah konsumsi yang memenuhi kriteria empat sehat lima sempurna, yaitu karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral. Selain itu, makanan yang dikonsumsi dapat memenuhi kriteria 3B yaitu bergizi, berimbang, dan beragam.
Konsumsi yang memenuhi kriteria empat
sehat lima sempurna dan 3B dapat meningkatkan kesehatan setiap individu karena zat gizi yang diperlukan tubuh dapat terpenuhi. Kebiasaan mengonsumsi makanan yang memenuhi kriteria empat sehat lima sempurna dan 3B ini harus diterapkan sejak dini, yaitu sejak anak menginjak usia 6 bulan (tepatnya setelah mengonsumsi ASI eksklusif). Agar penerapan konsumsi makanan sesuai dengan kriteria yang diharapkan dan zat-zat gizi makanan terserap optimal ke dalam tubuh, maka kebersihan makanan menjadi unsur penting ketika mengonsumsi makanan.
Karbohidrat Sumber karbohidrat dapat diperoleh dari berbagai jenis makanan pokok, misalnya, nasi, jagung, kentang, singkong, roti, dan sagu. Karbohidrat menurut Muchtadi (2002) akan menghasilkan sebagian besar energi yang dibutuhkan. Kebutuhan energi berbeda-beda, bayi yang pendiam hanya membutuhkan energi 71 kkal/kg berat badan, sedangkan bayi yang aktif membutuhkan sampai 133 kkal/kg berat badan. Apabila konsumsi energi berlebih, maka kecepatan naiknya berat badan meningkat, hal ini tidak diinginkan pada bayi karena bayi yang kelebihan berat badan akan beresiko tinggi menderita obesitas di masa kanakkanak, remaja, atau dewasanya. Protein dan Lemak Sumber protein dan lemak dapat diperoleh dari nabati dan hewani. Protein dan lemak nabati, misalnya, tahu, tempe, dan susu kedelai. Protein dan lemak hewani dapat diperoleh dari ikan, daging sapi, daging ayam, dan telur. Kelebihan protein maupun lemak yang pada akhirnya akan diubah menjadi energi dapat menimbulkan obesitas (Muchtadi 2002). Vitamin Menurut Hardinsyah dan Martianto (1992) vitamin berdasarkan sifat kelarutannya dibedakan menjadi dua kelompok yaitu vitamin larut lemak dan vitamin larut air.
Vitamin yang larut lemak adalah vitamin A (retinol), D
(kalsiferol), E, dan K (anti dikumarol atau menadion).
Vitamin yang larut air
adalah vitamin C (askorbat), B1 (thiamin), B2 (riboflavin), B6 (pirodoksin), B12 (sianokobalamin), niasin, asam folat, asam pantotenat, dan vitamin H (biotin). Mineral Menurut Hardinsyah dan Martianto (1992), mineral memiliki peranan utama sebagai zat pengatur melalui komponen pembentukkan enzim dan antibodi, juga sebagai zat pembangun (pembentukkan tulang dan hormon). Mineral dibagi dua kelompok yaitu mineral makro dan mineral mikro. Mineral makro meliputi Kalsium (Ca), Posfor (P), Magnesium (Mg), Natrium atau Sodium (Na), dan Kalsium atau Potassium (K). Mineral mikro meliputi Besi (Fe), Seng (Zn), Iodium (I), Tembaga (Cu), Mangan (Mn), Flour (F), Kobalt (Co), Silikon (Si), Chlor (Cl), Arsen (As), Nikel (Ni), Selenium (Se), dan Molybdenum (Mo).
Penilaian Konsumsi Pangan Menurut Riyadi (2001), penilaian terhadap konsumsi pangan dapat dilakukan untuk mengetahui kecukupan pangan yang dikonsumsi. Pengukuran kecukupan konsumsi pangan dapat dilakukan dengan beberapa metode. Metode-metode untuk mengetahui konsumsi pangan secara kuantitatif pada dasarnya ada empat yaitu metode inventaris, metode pendaftaran, metode mengingat-ingat, dan metode penimbangan. Menurut Riyadi (2001), metode inventaris dilakukan dengan cara mencatat semua perolehan dan perubahan pangan yang ada di rumah tangga, minimal dilakukan selama tujuh hari. Metode pendaftaran hampir sama dengan metode inventaris tetapi tidak dilakukan penimbangan langsung oleh pengukur. Metode mengingat-ingat (metode recall) dilakukan dengan cara mencatat pangan yang dikonsumsi baik jumlah maupun jenisnya pada waktu yang lalu (biasanya 2 X 24 jam). Metode penimbangan dilakukan dengan menghitung mentah, masak, dan sisa makanan yang tidak terkonsumsi. Metode yang paling murah dan tidak memerlukan banyak waktu adalah metode recall. Kartu Menuju Sehat (KMS) Kesehatan seorang anak dapat dilihat dari beberapa hal, khususnya untuk anak usia 0-5 tahun kesehatannya dapat dilihat dari berat badan setiap bulan melalui KMS (Kartu Menuju Sehat). Menurut Suhardjo (1992), KMS adalah alat yang digunakan untuk mencatat dan mengamati kesehatan anak melalui berat badannya dari bulan ke bulan khususnya anak usia 0-5 tahun.
Selain itu,
di dalamnya berisi juga penyuluhan tentang penggunaan oralit sebagai pertolongan pertama pada anak yang menderita mencret-mencret atau diare, berisi makanan anak sesuai usianya, pemberian kapsul vitamin A, dan imunisasi. Menurut Depatemen Kesehatan (2000), KMS adalah alat yang sederhana dan murah yang dapat digunakan untuk memantau kesehatan dan pertumbuhan anak.
Istilah KMS adalah pengganti istilah Kartu Jalan Kesehatan yang
dianjurkan pada tahun 1975 oleh seminar antropometri. Tujuan utama dibuatnya KMS di antaranya: 1. Sebagai media untuk mencatat dan memantau riwayat kesehatan balita
secara
lengkap
meliputi
pertumbuhan,
perkembangan,
pelaksanaan imunisasi, penanggulangan diare, pemberian kapsul vitamin A, kondisi kesehatan, pemberian ASI eksklusif, dan makanan pendamping ASI.
2. Sebagai media edukasi bagi orang tua balita tentang kesehatan anak. 3. Sebagai sarana komunikasi yang dapat digunakan oleh petugas kesehatan untuk menentukan penyuluhan dan tindakan pelayanan kesehatan dan gizi. Kurva yang ada di dalam KMS ditetapkan berdasarkan berat badan menurut usia. Hal ini dikarenakan berat badan merupakan indikator yang sensitif terhadap pengaruh infeksi dibandingkan dengan ukuran-ukuran antropometri lainnya. Anak yang sehat dan dikatakan normal akan menunjukkan kenaikan berat badan seiring dengan kenaikan usianya (Suhardjo 1992). KMS sebagai alat penyuluhan gizi menurut Mudjianto (2001) belum efektif. Ketidakefektifan ini terjadi karena masih rendahnya pemahaman kader Posyandu dan ibu balita terhadap arti dari grafik pertumbuhan anak. Rendahnya pengetahuan kader untuk memberikan nasihat gizi kepada ibu balita ikut berpengaruh juga terhadap kekurangefektifan KMS. Selain itu, pesan-pesan gizi yang ada di dalam KMS seringkali tidak dimanfaatkan oleh ibu balita karena seringkali KMS disimpan pada kader dengan alasan takut hilang. Menurut hasil penelitian Tarwa dan De Villiers (2007) pada tiga klinik kesehatan di Limpopo (soshanguve III clinic, jubilee hospital, ga-rankuwa hospital) bahwa sejumlah besar ibu (53%, 20%, 33% berturut-turut pada tiga klinik kesehatan) menganggap road to health card (RTHC) tidak penting untuk dibawa ketika akan konsultasi pada klinik masing-masing, mereka hanya menganggap bahwa RTHC digunakan ketika anak akan diimunisasi dan ditimbang berat badannya. Selain alasan diatas, beberapa bagian kecil memiliki alasan lain untuk tidak membawa RTHC ke klinik yaitu karena hilang, lupa, tidak mengetahui adanya RTHC, tidak memiliki, terbakar, dan karena tidak ada keharusan membawa RTHC ketika berkunjung ke klinik tersebut. KMS yang diisi lengkap oleh kader bisa dijadikan indikator bahwa anak rajin dibawa ke posyandu.
Semakin rajin anak dibawa ke posyandu maka
keadaan tumbuh kembangnya semakin terkontrol dan lebih cepat dilakukan penanggulangan apabila tumbuh kembang anak terhambat. Beberapa hal yang dapat menghambat tumbuh kembang anak di antaranya dikarenakan kurang gizi atau penyakit tertentu pada anak.
Status Gizi Status sekelompok
gizi orang
menggambarkan sebagai
dampak
kesehatan dari
tubuh
konsumsi,
penggunaan zat-zat gizi makanan (Riyadi 2001).
seseorang
atau
penyerapan,
dan
Menurut Departemen
Kesehatan (2000) pengertian dari status gizi adalah ukuran keberhasilan dalam pemenuhan kebutuhan zat-zat gizi untuk seseorang yang diindikasikan oleh berat badan dan tinggi badannya, juga merupakan status kesehatan yang dihasilkan oleh keseimbangan antara kebutuhan dan asupan zat-zat gizi. Variabel-variabel yang digunakan untuk mengukur status gizi menurut Riyadi (2001) misalnya tinggi badan, berat badan, dan usia.
Penggunaan
variabel-variabel tersebut dikombinasikan menjadi pengukuran menurut tinggi badan menurut usia (TB/U), berat badan menurut usia (BB/U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Indeks antropometri yang sering digunakan untuk menilai status gizi anak adalah berat badan menurut usia (BB/U). Selanjutnya disebutkan pula oleh Riyadi (2001) bahwa BB/U digunakan untuk mengetahui status gizi masa sekarang karena berat badan sangat labil terhadap perubahan keadaan mendadak (sakit atau kurang nafsu makan). Hal yang sama diungkapkan pula oleh Piwoz, Romania, Kanashiro, Black, dan Brown (1994) bahwa kenaikan berat badan yang rendah bisa terjadi pada anak yang diberikan non ASI sebelum empat bulan dan kurang nafsu makan pada usia tiga sampai dua belas bulan, sehingga akibatnya anak pada usia satu tahun mengalami status gizi yang rendah (underweight).
Pengukuran BB/U sensitif
terhadap perubahan status gizi jangka pendek, dapat mendeteksi overweight atau underweight, pengukurannya bersifat objektif, mudah, teliti, dan hemat waktu. Perbandingan antara data status gizi aktual dengan status gizi standar adalah cara untuk melakukan penilaian status gizi, misalnya standar Harvard atau standar WHO-NCHS. Penilaian yang dilakukan ada dua cara yaitu bisa dengan persen median atau z-score.
Status gizi ditentukan berdasarkan
ketentuan yang telah disepakati (Riyadi 2001). Menurut Alvarado, Zunzunegui, Delisle, dan Osorno (2005) pemberian ASI dan kesehatan pada bayi mempengaruhi pertumbuhannya (pertambahan berat dan tinggi) yang merupakan bagian dari pengukuran status gizi. Disebutkan bahwa anak yang diberikan ASI, memiliki angka pertumbuhan yang lebih tinggi daripada yang tidak diberikan ASI. Tingginya angka berat badan
berhubungan positif dengan pemberian ASI dan jumlah hari sehat pada anak dan berhubungan negatif dengan kejadian demam dan batuk pada anak (kondisi sakit pada anak).
Sedangkan untuk bayi yang tidak diberikan ASI akan tetapi
diberikan makanan yang lengkap dan beranekaragam memiliki efek positif juga pada kenaikan berat badan walaupun kenaikannya lebih rendah daripada yang diberikan ASI. Anak juga mengalami perkembangan di dalam hidupnya yang erat kaitannya dengan pertumbuhan dan status gizi, salah satunya ditentukan oleh konsumsi makanan dan minuman. Berdasarkan penelitian Bouwstra, Boersma, Boehm, Brower, Muskiet, dan Algra (2003) kualitas pergerakan yang umum dan berkaitan dengan peningkatan fungsi neurologi pada sampel bayi usia tiga bulan berhubungan positif dengan lamanya pemberian ASI. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh Kesehatan Karakteristik Ibu Usia ibu. Berdasarkan penelitian Pascale, Laure, dan Enyong (2007) yang dilakukan terhadap para ibu (variasi usia ibu 17-42 tahun) yang memiliki bayi, menunjukkan bahwa terjadinya malnutrisi ringan (9,09%) terjadi pada bayi yang ibunya berusia antara 35-45 tahun.
Sedangkan bayi yang mengalami
malnutrisi sedang (28,57%) terjadi pada bayi yang ibunya berusia 15-25 tahun. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa bayi yang mengalami malnutrisi lebih banyak dan lebih berat adalah bayi yang ibunya berusia lebih muda dibandingkan dengan usia ibu lainnya yang lebih tua. Pendidikan ibu. mengubah perilaku.
Pendidikan adalah suatu cara atau usaha untuk
Pengetahuan dan pendidikan formal serta keikutsertaan
dalam pendidikan non formal dari orang tua dan anak-anak sangat penting menentukan status kesehatan, fertilitas, dan status gizi keluarga seperti halnya pelayanan kesehatan dan program Keluarga Berencana (KB) (Sukarni 1989). Pekerjaan ibu. Wanita khususnya ibu yang bekerja di luar rumah, di luar bidang pertanian, dan aktifitas di luar keluarga, akan meningkatkan nilai sosialnya dan menurunkan beban biaya anak. Pada saat yang sama, seorang ibu yang bekerja, lebih sedikit memiliki waktu di rumah mengasuh anak-anaknya sehingga lebih besar kemungkinan menurunnya kesehatan dan status gizi anak apalagi dengan tidak adanya tempat penitipan anak yang layak (Sukarni 1989).
Cara pemberian makanan pada bayi. Menurut Pascale et al (2007) dalam penelitiannya terhadap bayi usia 0-1 tahun sebanyak 171 bayi, menunjukkan bahwa bayi yang diberikan makanan campuran lebih sering daripada ASI mengalami malnutrisi sebesar 18,52%. Sebaliknya, malnutrisi yang terjadi pada bayi yang diberikan ASI lebih banyak daripada makanan campuran sebesar 14,61%.
Perbedaan cara pemberian makan dengan porsi berbeda
antara makanan campuran dan ASI berhubungan dengan pengetahuan gizi ibu. Ibu yang tingkat pengetahuan gizinya tinggi memberikan bayinya ASI selama 4-6 bulan sehingga bayinya lebih memiliki status gizi yang baik daripada ibu yang pengetahuan gizinya rendah (Pascale et al 2007). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian ASI dan MPASI harus seimbang, adapun jadwal pemberian antara keduanya menurut Krisnatuti dan Yenrina (2000) yaitu: Tabel 3 Jadwal pemberian MPASI menurut usia bayi, jenis makanan, dan frekuensi pemberian Usia Bayi 0-4/6 bulan
Jenis Makanan
Frekuensi Pemberian - 10-12 kali sehari
- ASI
± 6 bulan
- ASI - Buah lunak/sari buah - Bubur tepung beras merah
- Kapan diminta - 1-2 kali sehari
± 7 bulan
- ASI - Buah-buahan - Hati ayam/kacang-kacangan - Beras merah/ubi
- Kapan diminta - 3-4 kali sehari
± 9 bulan
- ASI - Buah-buahan - Bubur/roti/beras merah/kentang/jagung - Daging/kacang-kacangan/ayam/ikan - Minyak/santan/alpukat - Sari buah tanpa gula
- Kapan diminta - 4-6 kali sehari
≥ 12 bulan
- ASI - Makanan dewasa
- Kapan diminta - 4-6 kali sehari
Pengetahuan Gizi Ibu Pengetahuan
ibu
terhadap
gizi
dan
permasalahannya
sangat
mempengaruhi keadaan gizi keluarga (Suhardjo 1996). Pengetahuan gizi bisa diukur dengan memberikan pertanyaan berganda (multiple choice).
Bentuk
pertanyaan ini dapat mengukur pengetahuan gizi secara signifikan karena dapat mengurangi penebakan di dalam menjawabnya.
Penyajiannya dalam bentuk
pertanyaan atau melanjutkan pernyataan yang belum selesai (Khomsan 2000).
KERANGKA PEMIKIRAN Status gizi bayi ditentukan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut ada yang bersifat langsung dan tidak langsung. Faktor yang sifatnya langsung di antaranya adalah faktor konsumsi, kesehatan, aktifitas, higienis dan sanitasi lingkungan serta pola asuh. Faktor yang sifatnya tidak langsung terhadap status gizi dan bersifat mempengaruhi langsung pada pola asuh di antaranya karakteristik ibu, karakteristik bayi, dan pengetahuan gizi ibu. Konsumsi bayi akan mempengaruhi tingkat kesukaannya pada makanan dan metabolisme di dalam tubuhnya.
Konsumsi makanan yang semakin
beragam dan seimbang sesuai dengan kebutuhan bayi akan memperlancar tumbuh kembangnya. Konsumsi pada bayi harus ditingkatkan seiring dengan pertambahan usianya karena semakin bertambah usianya, semakin besar kebutuhan terhadap asupan zat gizi. Zat-zat gizi yang masuk ke dalam tubuh merupakan salah satu hal penting yang dapat menentukan keadaan status gizi. Kesehatan bayi juga tidak kalah pentingnya dalam menentukan status gizi. Bayi yang sehat akan dapat mencerna dan menyerap zat-zat gizi yang masuk ke tubuhnya dan memanfaatkan zat gizi tersebut secara optimal, sehingga berguna bagi tubuhnya. Selain itu, pola asuh orang tua akan sangat mendukung terhadap kesehatan dan asupan gizi pada bayi. Pola asuh sesuai kondisi bayi, dalam hal ini pemberian ASI, konsumsi gizi serta keberhasilan ibu mengefektifkan daya guna Kartu Menuju Sehat (KMS) akan menjadi dukungan terhadap keadaaan status gizi bayi. Tingkat pendidikan formal ibu diduga memiliki peranan besar dalam menentukan pola asuh terhadap bayinya.
Hal itu disebabkan karena tingkat
pendidikan mempengaruhi pengetahuan ibu tentang gizi dan kesehatan. Pengetahuan gizi ibu di antaranya adalah makanan dan gizi, makanan bayi, pertumbuhan bayi, dan kesehatan bayi. Selain pendidikan, faktor pekerjaan juga berpengaruh terhadap alokasi waktu ibu untuk melakukan pola asuhnya. Caracara pelaksanaan pola asuh harus disesuaikan dengan kondisi atau karakteristik bayi agar penanganan terhadap bayi lebih mudah.
Karakteristik Ibu -
Karakteristik Bayi
Usia Pendidikan Pekerjaan Pendapatan
-
Usia Jenis kelamin Urutan bayi Riwayat kelahiran
Pola Asuh Kesehatan - Konsumsi gizi (ASI, MPASI, PASI) - Kelengkapan KMS Pola Asuh Lain - Pendidikan - Keterampilan Pengetahuan Gizi Ibu
Higiene dan sanitasi lingkungan
Riwayat Kesehatan dan Aktifitas Bayi
Status Gizi bayi Z-Skor (BB/U)
Keterangan: : variabel yang diteliti : variabel yang tidak diteliti : hubungan atau pengaruh yang diteliti : hubungan atau pengaruh yang tidak diteliti Gambar 1 Pengaruh pola asuh kesehatan terhadap status gizi bayi.
METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Desain penelitian ini adalah cross sectional study (sebab akibat diteliti dalam satu waktu).
Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Kencana
Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor. Waktu penelitian (pengumpulan informasi dan data dari tempat penelitian) berlangsung selama 4 bulan dari bulan September 2007 sampai dengan Desember 2007.
Sedangkan waktu
keseluruhan penelitian berlangsung selama 5 bulan dari bulan September 2007 sampai dengan Januari 2008. Penarikan Contoh Penarikan contoh didasarkan pada usia bayi 4-12 bulan sebanyak 50 contoh yang diberikan ASI dan memiliki KMS di Kelurahan Kencana Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor. Penarikan contoh dengan cara simple random sampling (semua anggota populasi memiliki peluang yang sama untuk terpilih menjadi sampel). Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang digunakan di dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder.
Data primer meliputi 1) karakteristik responden, 2) karakteristik
contoh, 3) status gizi contoh, 4) pengetahuan gizi responden, 5) lama pemberian ASI saja, dan 6) konsumsi contoh dari Makanan Pendamping ASI (MPASI) dan Pengganti ASI (PASI).
Data primer diperoleh dari pengisian kuesioner oleh
responden (ibu dari contoh) dan melalui wawancara oleh peneliti. Data sekunder meliputi kelengkapan KMS dan data orang tua serta data contoh di Posyandu. Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan dan analisis data dilakukan secara deskriptif dan inferensia dengan bantuan program Microsoft Excell dan SPSS for windows versi 13.0. Uji statistik yang digunakan adalah uji statistik korelasi Pearson, uji statistik korelasi Spearman, dan uji statistik regresi linier metode backward (Wahana Komputer 2006). Uji statistik Pearson untuk melihat ada atau tidaknya hubungan yang erat antara usia, pendidikan, pendapatan, pengetahuan gizi responden, dan usia contoh, dengan pola asuh kesehatan (lama pemberian ASI saja, konsumsi zat gizi, dan kelengkapan penimbangan).
Uji statistik korelasi Spearman untuk
melihat ada atau tidaknya hubungan antara pekerjaan responden, riwayat
kelahiran contoh (lahir cukup bulan, tempat dan pembantu kelahiran) dengan pola asuh kesehatan (lama pemberian ASI saja, konsumsi zat gizi, dan kelengkapan penimbangan).
Uji statistik regresi linier metode backward
digunakan untuk melihat pengaruh lama pemberian ASI saja, konsumsi zat gizi contoh (dilihat dari tingkat kecukupan energi dan protein), dan kelengkapan KMS (dilihat dari kelengkapan penimbangan, kelengkapan imunisasi, dan pemberian vitamin A) terhadap status gizi contoh. Tabel 4 Pembagian kategori dan kriteria variabel-variabel dalam penelitian. No 1.
Variabel Pendidikan responden
Kategori 1. Rendah 2. Tinggi
Kriteria
2.
Pengetahuan gizi responden
1. Baik 2. Cukup 3. Kurang
> 80% jawaban benar 60-80% jawaban benar < 60% jawaban benar (Khomsan 2000)
3.
Pendapatan perkapita per bulan (tingkat ekonomi)
1. Miskin 2. Tidak miskin
≤ US $ 30 perkapita/bulan > US $ 30 perkapita/bulan (Bank Dunia 2002)
1. Miskin 2. Tidak miskin
Rp. 183.067,00 perkapita/bulan Rp. 183.067,00 perkapita/bulan (BPS kota Bogor 2006)
≤ 9 tahun > 9 tahun
4.
Usia responden
-
1. 15-25 tahun 2. 25-35 tahun 3. 35-45 tahun (Pascale et all 2007)
5.
Kategori keluarga
1. Kecil 2. Besar
≤ 4 orang anggota keluarga > 4 orang anggota keluarga (BKKBN, 1997)
6.
Usia contoh
-
1. ≤ 6 bulan 2. > 6 bulan
7.
Status gizi contoh (BB/U)
1. Normal 2. Underweight 3. Underweight berat
z-score ≥ -2,0 SD z-score < -2,0 SD z-score < -3,0 SD (Riyadi 2001)
8.
Pemberian ASI
1. Eksklusif
≤ 6 bulan masih diberikan ASI saja ≤ 6 bulan sudah diberikan makanan, minuman selain ASI
2. Non eksklusif 9.
Tingkat Kecukupan Energi
1. Baik 2. Kurang
≤ 70% > 70% (Latief, 2002)
10.
Tingkat Kecukupan Protein
1. Baik 2. Kurang
≤ 70% > 70% (Latief, 2002)
Soal pengetahuan gizi diberikan dalam bentuk pertanyaan correct answer multiple choice (Khomsan 2000) sebanyak 19 pertanyaan, setiap pertanyaan bernilai 1 jika benar dan 0 jika salah atau tidak tahu. Nilai yang benar ditotalkan kemudian dibagi dengan angka 19, dikalikan 100% selanjutnya dikelompokkan ke dalam masing-masing kategori tingkat pengetahuan gizinya (Tabel 4). Status gizi contoh diukur dengan menggunakan indeks BB/U dengan cara z-score dan diperoleh dua interpretasi (Tabel 4). Konsumsi anak melalui recall (Riyadi 2001) 2 X 24 jam meliputi jenis makanan, jumlah makanan yang dikonsumsi dalam Ukuran Rumah Tangga (URT) atau dalam satuan gram (disamakan dalam satuan gram).
Jumlah
konsumsi pangan dihitung kandungan gizinya menggunakan Daftar Konsumsi Bahan Makanan (DKBM) dan label makanan bersangkutan (untuk makanan yang belum ada di DKBM). Data konsumsi dari recall 2 x 24 jam diolah dengan menggunakan rumus yang terdapat dalam Daftar Konsumsi Bahan Makanan (DKBM), yaitu : Kgij=∑(Bj/100) x Gij x (BDDj/100) atau untuk menghitung gizi makanan jajanan (DKGJ) menggunakan rumus: Kgij=∑(Bj/Bs) x Gij Keterangan: Kgij
= Penjumlahan zat gizi i dari setiap bahan makanan atau pangan j yang dikonsumsi.
Bj
= Berat bahan makanan j (gram)
Bs
= Berat bahan makanan standar (gram)
Gij
= Kandungan zat gizi i dari bahan makanan j
BDDj
= Persen bahan makanan j yang dapat dimakan
Rumus di atas digunakan untuk mengetahui total zat gizi yang dikonsumsi. Angka kecukupan gizi anak dapat dihitung dengan menggunakan rumus: AKGJ=(Ba/Bs) x AKGi Keterangan: AKGJ
= Angka kecukupan energi atau protein
Ba
= Berat badan aktual (kg)
Bs
= Berat badan rata-rata (kg)
AKGi
= Kecukupan energi atau protein yang dianjurkan
Hasil yang didapat dari perhitungan tersebut kemudian dibandingkan dengan konsumsi gizi aktual (AKGaktual / AKGJ * 100 %), kemudian hasilnya
dikategorikan menjadi tingkat kecukupan gizi (energi dan protein) baik dan kurang seperti yang terlihat pada Tabel 4. Kelengkapan KMS dilihat dari kurva berat badan (penimbangan contoh), kelengkapan imunisasi, dan pemberian kapsul vitamin A.
Kelengkapan
penimbangan dilihat dari frekuensi contoh ditimbang dibandingkan dengan usianya.
Kelengkapan imunisasi dilihat dari masing-masing imunisasi yang
dianjurkan dibandingkan dengan usianya.
Sedangkan pemberian vitamin A
dilihat dari ketepatan pemberiannya sesuai dengan usia contoh. Definisi Operasional Contoh: bayi usia 4-12 bulan yang diberikan ASI dan memiliki KMS. Karateristik contoh: ciri-ciri yang dimiliki oleh contoh seperti usia, jenis kelamin, urutan anak, dan riwayat kelahiran. Responden: ibu dari contoh. Karakteristik responden: ciri-ciri yang dimiliki oleh responden seperti usia, pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan. Pendidikan responden: pendidikan formal yang telah diikuti oleh responden berdasarkan lamanya menempuh pendidikan. Pengetahuan gizi responden: sejumlah fakta yang diketahui dan dipahami oleh responden terutama tentang pola asuh kesehatan. Pola asuh kesehatan: kebiasaan atau cara-cara praktek perawatan terhadap contoh termasuk pemberian Air Susu Ibu (ASI), konsumsi zat gizi, dan kelengkapan Kartu Menuju Sehat (KMS). Pralaktal: makanan atau minuman yang pertama kali dioleskan ke bibir contoh ketika baru lahir dan contoh belum diberikan apapun. Konsumsi zat gizi contoh: makanan dan minuman yang dikonsumsi contoh dalam bentuk MPASI maupun PASI (dilihat dari persentase tingkat kecukupan energi dan protein). Kelengkapan Kartu Menuju Sehat (KMS): kelengkapan isi dari atribut-atribut Kartu Menuju Sehat (KMS), dalam penelitian ini dilihat dari kelengkapan penimbangan
(dilihat
dari
frekuensi
penimbangan),
kelengkapan
imunisasi (dilihat dari frekuensi imunisasi), dan pemberian kapsul vitamin A (dilihat dari frekuensi pemberian vitamin A). Status gizi: keadaan kesehatan tubuh yang diakibatkan oleh pola asuh kesehatan (dilihat dari BB/U).
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Tempat Penelitian Letak Geografis Luas wilayah Kota Bogor sebesar 11.850 hektar. Secara administratif Kota Bogor terdiri dari 6 wilayah kecamatan, 31 kelurahan dan 37 desa (lima di antaranya
termasuk
desa
tertinggal
yaitu
desa
Pamoyanan,
Genteng,
Balungbangjaya, Mekarwangi dan Sindangrasa), 210 dusun, 623 RW, dan 2.712 RT. Batas wilayah administratifnya adalah: •
Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Kemang, Bojong Gede, dan Kecamatan Sukaraja Kabupaten Bogor.
•
Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Sukaraja dan Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor.
•
Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Darmaga dan Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor.
•
Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Cijeruk dan Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor. Ketinggian wilayah Kota Bogor minimum 190 m dan maksimum 330 m
dari permukaan laut.
Suhu rata-rata tiap bulan 260C dengan suhu terendah
21,80C dan suhu tertinggi 30,40C. Kelembaban udaranya mencapai 70% dengan curah hujan rata-rata setiap tahun sekitar 3.500-4.000 mm/tahun dengan curah hujan terbesar pada bulan Desember dan Januari. Tempat penelitian yang dipilih oleh penulis adalah Kecamatan Tanah Sareal Kelurahan Kencana Kota Bogor. Secara geografis Kelurahan Kencana dibatasi oleh Desa Waringin Jaya sebelah utara, Kelurahan Suka Damai sebelah selatan, Kelurahan Mekarwangi sebelah barat, dan Desa Cilebut Barat sebelah timur. Luas wilayahnya 227,727 hektar, terdiri dari 9 Rukun Warga (RW) dan 44 Rukun Tetangga (RT).
Kondisi wilayah Kelurahan Kencana datar dan
berbukit dengan ketinggian 350 m di atas permukaan laut dan suhu rata-rata 210C-320C serta curah hujan rata-rata 3.500-4.000 mm/tahun. Keadaan Demografi Jumlah penduduk Kota Bogor tahun 2006 sebanyak 750.250 jiwa dengan proporsi laki-laki 379.446 jiwa dan perempuan 370.804 jiwa.
Penduduk di
Kelurahan Kencana terdiri dari 2.312 kepala keluarga dengan jumlah penduduk seluruhnya 10.576 jiwa dengan proporsi 5.524 jiwa laki-laki dan 5.024 jiwa
perempuan.
Jumlah penduduk paling banyak, tersebar pada kelompok usia
antara 30-34 tahun yaitu sebanyak 18%, kedua pada kelompok usia 0-4 tahun sebanyak 15%, dan ketiga pada kelompok usia 5-9 tahun sebanyak 11%. Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana yang terdapat di Kelurahan Kencana antara lain sarana
dan
prasarana
di
bidang
kesehatan,
pendidikan,
peribadatan,
perhubungan, dan perekonomian. Sarana kesehatan terdiri dari satu posbindu, satu puskesmas, dan 9 posyandu. Posyandu yang diteliti terdiri dari 3 posyandu yaitu Posyandu Palem RT 04 RW 01, Posyandu Mahoni RT 01 RW 03, dan Posyandu Kenanga RT 04 RW 07. Karakteristik Keluarga Contoh Usia Orang tua Usia ayah contoh berkisar antara 21 tahun sampai dengan 40 tahun dengan rata-rata 32 tahun, sedangkan usia ibu berkisar antara 18 tahun sampai dengan 40 tahun dengan rata-rata 27 tahun.
Menurut kelompok usianya
(Tabel 5), usia ayah sebanyak 59% berada pada kelompok usia antara 25-35 tahun, 31% pada kelompok usia 35-45 tahun, dan sisanya (10%) pada kelompok usia 15-25 tahun. Kelompok usia ibu yang terbesar (50%) pada kelompok usia antara 25-35 tahun, 42% pada kelompok usia antara 15-25 tahun, dan 8% pada kelompok usia 35-40 tahun. Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan usia orang tua Kategori usia (tahun)
Ayah
Ibu
n
%
n
%
15-25
6
12
21
42
25-35
29
58
25
50
35-45
15
30
4
8
Total
50
100
50
100
Dilihat dari keduanya, maka persentase terbesar ayah dan ibu menurut kelompok usianya termasuk ke dalam kelompok usia dewasa awal (21-40 tahun) yaitu kelompok usia yang masih produktif (Hurlock 2000).
Menurut Amelia
(2004), pada umumnya usia ibu yang lebih muda memiliki pengetahuan gizi yang masih kurang, apalagi jika dilihat dari pengalamannya dalam mengasuh anak
(bisa dikatakan sedang menghadapi hal-hal yang baru di dalam hidupnya). Ibuibu muda ini biasanya menerapkan cara pengasuhan kepada anaknya sesuai dengan yang diajarkan orang tuanya.
Pengajaran yang didapat tersebut
sebenarnya belum tentu sesuai dengan yang dibutuhkan anaknya. Maka dari itu dibutuhkan eksplorasi lebih jauh tentang pengasuhan anak jika ingin menjadi orang tua yang berhasil mendukung pertumbuhan dan perkembangan anaknya dengan baik. Besar Keluarga Besar keluarga dapat dikategorikan menjadi keluarga kecil (anggotanya kurang dari atau sama dengan 4 orang) dan keluarga besar (anggotanya lebih dari 4 orang) (BKKBN 1997). Sebanyak 58% keluarga contoh adalah keluarga besar (Tabel 6). Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga Kategori besar keluarga
n
%
Keluarga Kecil
21
42
Keluarga Besar
29
58
Total
50
100
Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat, akan tetapi merupakan satu kesatuan yang memiliki potensi besar bagi pembangunan bangsa dan negara yang salah satunya adalah pembangunan di bidang gizi. Keluarga yang sejahtera akan mewujudkan negara yang sejahtera, untuk mewujudkan hal tersebut pemerintah telah mencanangkan program Keluarga Berencana (KB) yang menghimbau kepada masyarakat untuk menggalakan keluarga kecil bahagia dan sejahtera melalui slogan ”Dua Anak Lebih Baik”.
Tujuan dari
Keluarga Berencana (KB) adalah menekan angka laju pertumbuhan penduduk dan
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat,
salah
satunya
adalah
kesejahteraan di bidang gizi yang didukung oleh perekonomian yang stabil. Menurut Sukarni (1989), besar keluarga mempengaruhi kesehatan seseorang atau keluarga. Konsumsi keluarga juga dapat dipengaruhi oleh besar keluarga. Misalnya, jarak antara anak pertama dengan anak kedua sangat dekat, secara otomatis perhatian ibu akan tertumpah kepada anak yang baru lahir sedangkan perhatian untuk anak pertamanya menjadi berkurang.
Tingkat Pendidikan Orang tua Identifikasi pendidikan orang tua contoh yang dilakukan di dalam penelitian ini adalah pendidikan orang tua yang bersifat formal yang dikelompokkan menjadi pendidikan rendah (< 9 tahun) dan pendidikan tinggi (> 9 tahun).
Berdasarkan data yang didapat (Tabel 7), ayah lebih banyak (52%)
berada pada kelompok yang pendidikannya tinggi dibandingkan dengan ibu (40%). Lamanya pendidikan yang dikategorikan tinggi adalah pendidikan yang ditempuh hingga setara kelas 1 SLTA atau lebih tinggi, sedangkan kategori pendidikan rendah setara dengan lulusan kelas 3 SLTP atau lebih rendah. Kategori pendidikan yang rendah sesuai dengan anjuran wajib belajar pemerintah. Tabel 7 Sebaran orang tua berdasarkan pendidikan Tingkat Pendidikan Ayah Rendah Tinggi Total Ibu Rendah Tinggi Total
n
%
24 26 50
48 52 100
30 20 50
60 40 100
Pendidikan adalah salah satu hal yang sangat berpengaruh pada kehidupan setiap individu dalam pembentukan menjadi manusia seutuhnya. Seutuhnya dalam hal mental, emosional, sosial, dan etika.
Secara harfiah
dijelaskan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005) mengenai arti dari istilah pendidikan yaitu suatu proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam rangka mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Pendidikan dibagi menjadi tiga jenis yaitu pendidikan informal, nonformal, dan pendidikan formal. Pendidikan informal dan nonformal lebih banyak bersifat praktis, dapat dilakukan di luar atau di dalam sekolah, dan tidak mengenal persyaratan akademis maupun dasar usia di dalam penerimaannya. Sebaliknya, pendidikan formal yang sebagian besar bersifat teoritis, dilakukan di sekolah, dan mengenal persyaratan tertentu untuk bergabung di dalamnya.
Pekerjaan Orang tua Tabel 8 menunjukkan bahwa pekerjaan ayah yang paling banyak (38%) adalah sebagai pekerja swasta, kedua adalah buruh (36%), dan lainnya bekerja pada bidang wiraswasta (22%), pegawai negeri sipil (2%), dan belum bekerja (2%). Ibu sebagian besar (90%) bekerja sebagai ibu rumah tangga dan lainnya sebagai pegawai negeri sipil (6%), buruh (2%), dan wiraswasta (2%). Berdasarkan hal di atas bisa diperkirakan bahwa porsi terbesar pendapatan diperoleh dari ayah untuk menghidupi keluarga. Tabel 8 Sebaran orang tua berdasarkan jenis pekerjaan Jenis pekerjaan Ayah Swasta Buruh Lainnya Total Ibu Ibu rumah tangga Lainnya Total
n
%
19 18 13 50
38 36 26 100
45 5 50
90 10 100
Pekerjaan adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan suatu penghargaan berupa materi maupun penghargaan yang lebih dari materi saja.
Umumnya pekerjaan dilakukan untuk mendapatkan suatu penghasilan
yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan sebagai individu dan memenuhi kebutuhan keluarga.
Pekerjaan ada yang tetap dan ada yang tidak tetap,
pekerjaan yang tetap pendapatannya bisa diketahui dengan pasti, sebaliknya pekerjaan yang tidak tetap pendapatannya tidak bisa diketahui dengan pasti. Pekerjaan sangat berhubungan dengan faktor kesehatan dan gizi keluarga, hal ini disebabkan karena pekerjaan ada hubungannya dengan pendidikan dan pendapatan (Sukarni 1989). Berdasarkan uji korelasi Spearman terdapat hubungan positif antara pekerjaan dengan pendidikan (rs=0,324*, p=0,022), artinya semakin tinggi pendidikan seseorang maka pekerjaan yang didapatkan lebih baik. Terdapat hubungan yang positif antara pekerjaan dengan pendapatan (rs=0,433**, p=0,002), artinya semakin baik pekerjaan yang didapat maka lebih baik pula pendapatannya. Tingkat Ekonomi Keluarga Pendapatan perkapita perbulan adalah jumlah seluruh pendapatan keluarga selama satu bulan dibagi dengan jumlah anggota keluarga yang
menjadi tanggungan dari pendapatan tersebut. Tingkat ekonomi keluarga contoh yang dikategorikan berdasarkan Bank Dunia (2002) menunjukkan bahwa 72% keluarga termasuk ke dalam tingkat ekonomi kategori miskin dan berdasarkan kategori BPS kota Bogor (2006) menunjukkan bahwa 34% keluarga contoh termasuk kategori miskin (Tabel 9). Tingkat ekonomi keluarga dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain pendidikan, pekerjaan, dan besar keluarga (Sukarni 1989). Tabel 9 Sebaran keluarga berdasarkan tingkat ekonomi Tingkat ekonomi
Kategori
Kategori
Bank Dunia
BPS
n
%
Miskin
36
Tidak miskin Total
72
n 17
% 34
14
28
33
66
50
100
50
100
Menurut Sukarni (1989), pendapatan keluarga hanya menggambarkan sebagian dari sumberdaya yang ada di dalam keluarga untuk mengukur tingkat ekonomi keluarga dengan lebih spesifik.
Uji korelasi Pearson menunjukkan
hubungan yang negatif antara jumlah anggota keluarga dengan tingkat ekonomi keluarga yang dilihat dari besarnya pendapatan perkapita perbulan (rp=-0,312*, p=0,028), artinya semakin banyak jumlah anggota keluarga maka pendapatan perkapita perbulan (tingkat ekonominya) semakin rendah dan sebaliknya semakin sedikit jumlah anggota keluarga maka pendapatan perkapita perbulan (tingkat ekonominya) semakin tinggi.
Hal ini diduga karena semakin banyak
anggota keluarga maka pendapatan tiap anggota porsinya semakin kecil karena tanggungannya semakin banyak. Pengetahuan Gizi Responden Pengetahuan gizi responden yang dinilai meliputi pengetahuan tentang pemberian Air Susu Ibu (ASI), Makanan Pendamping ASI (MPASI), Pengganti ASI (PASI), mengenai kegunaan Kartu Menuju Sehat (KMS) dan hal-hal yang terdapat di dalamnya, dan mengenai zat-zat gizi makanan.
Tabel 10
menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan gizi responden kategori cukup dan kurang memiliki persentase yang sama yaitu 46%, sedangkan tingkat pengetahuan gizi responden kategori baik hanya 8%.
Berdasarkan uji korelasi Pearson terdapat hubungan positif antara pengetahuan gizi responden dengan usianya (rp=0,312*, p=0,027). Semakin tua usia
responden,
pengalamannya.
semakin
banyak
informasi
gizi
yang
didapat
dari
Selain itu, ada hubungan positif antara pengetahuan gizi
responden dengan pendidikan responden (rp=0,426**, p=0,002). Semakin tinggi pendidikannya maka semakin tinggi pula pengetahuan gizi yang dimilikinya. Tabel 10 Sebaran responden berdasarkan tingkat pengetahuan gizi Tingkat pengetahuan gizi responden
n
%
Baik (> 80% jawaban benar)
4
8
Cukup (60-80% jawaban benar)
23
46
Kurang (< 60% jawaban benar)
23
46
Total
50
100
Pengetahuan gizi yang tinggi didukung oleh pendidikan formal yang tinggi, maka dari itu semakin tinggi pendidikan formalnya akan semakin tinggi pula pengetahuan gizinya (Sukarni 1989). Pengetahuan gizi ibu yang rendah akan menyulitkan pemilihan, pengolahan, dan penyajian makanan yang baik. Jika hal tersebut terjadi, maka makanan yang dikonsumsi akan sia-sia karena sebaik apapun kandungan gizi di dalam makanan, bila pengolahannya tidak sesuai, kemungkinan zat gizi tersebut akan rusak dan tidak bisa dimanfaatkan oleh tubuh. Sebenarnya,
pendidikan
formal
meningkatkan pengetahuan tentang gizi.
bukan
satu-satunya
cara
untuk
Cara lain yang ditempuh untuk
meningkatkan pengetahuan gizi di antaranya adalah dengan cara diadakannya penyuluhan gizi. Dengan adanya penyuluhan gizi diharapkan para ibu dapat memahami pentingnya peranan gizi dan dapat mengaplikasikannya di dalam keluarga (Pranadji, Retnaningsih, dan Ruwiyah, 2001). Karakteristik Contoh Usia dan Jenis Kelamin Contoh pada penelitian ini proporsinya hampir sama diantara yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan yaitu 58% dan 42% berturut-turut (jumlah contoh laki-laki sebanyak 29 orang dan perempuan sebanyak 21 orang). Usia contoh yang ≤ 6 bulan seimbang antara dua jenis kelamin tersebut (laki-laki=11 orang dan perempuan=12 orang), sedangkan jumlah contoh yang
usianya > 6 bulan, jumlah contoh laki-laki sebanyak dua kali lipat dari jumlah contoh perempuan (laki-laki=18 orang dan perempuan=9 orang) (Tabel 11). Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan usianya Kategori usia (bulan)
Laki-laki
Perempuan
n
%
n
%
≤6
11
48
12
52
>6
18
67
9
33
Status Gizi Berdasarkan penelitian ini (Tabel 12), sebanyak 93% contoh yang berjenis kelamin laki-laki dan 95% contoh berjenis kelamin perempuan memiliki status gizi baik. Status gizi seseorang dipengaruhi oleh jumlah dan mutu pangan yang dikonsumsi serta keadaan tubuh seseorang yang dapat menyebabkan gangguan penyerapan gizi atau terinfeksi penyakit parasit (Muchtadi 2002). Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan status gizinya Status Gizi
Laki-laki
Perempuan
n
%
n
%
Underweight
2
67
1
33
Normal
27
57
20
43
Variabel-variabel yang berhubungan dengan pertumbuhan sering dipakai sebagai indeks keadaan status gizi anak-anak.
Berat badan menurut Riyadi
(2001), merupakan ukuran ekonomis dan paling peka untuk digunakan karena berat badan sangat dipengaruhi oleh perubahan-perubahan yang terjadi pada kejadian gizi, sehingga berat badan akan turun dengan turunnya keadaan gizi. Riwayat Kelahiran Data yang diperoleh menunjukkan sebanyak 76% contoh dilahirkan cukup bulan (Tabel 13). Contoh yang dilahirkan cukup bulan adalah bayi yang lahir setelah usia kandungan ibunya 9 bulan dan contoh yang dilahirkan tidak cukup bulan terdiri dari contoh yang dilahirkan ketika usia kandungan ibunya kurang dari atau lebih dari 9 bulan (Hurlock 2000). Sebanyak 96% contoh dilahirkan dengan berat badan normal (≥ 2,5 kilogram) dan 4% contoh lahir dengan berat badan < 2,5 kilogram (Tabel 13).
Sebanyak 46% contoh dilahirkan di tempat petugas kesehatan dan dibantu oleh bidan, 38% contoh dilahirkan di rumah sendiri dengan bantuan bidan dan dukun atau paraji, dan 16% contoh dilahirkan di rumah sakit dengan bantuan dokter (Tabel 13).
Besarnya persentase bidan sebagai pembantu
kelahiran, menunjukkan bahwa bidan lebih mendapat kepercayaan dari ibu-ibu untuk memperlancar persalinannya. Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan riwayat kelahirannya Kelahiran cukup bulan Ya Tidak Total Berat badan lahir < 2,5 kilogram ≥ 2,5 kilogram Total Tempat kelahiran Rumah sendiri Petugas kesehatan Rumah Sakit Total Pembantu kelahiran Dukun/Paraji Bidan Dokter Total
n 38 12 50 n 2 48 50 n 19 23 8 50 n 16 26 8 50
% 76 24 100 % 4 96 100 % 38 46 16 100 % 32 52 16 100
Dilihat dari banyaknya contoh yang lahir cukup bulan dan berat badan lahirnya normal dapat dikatakan kesehatan contoh cukup baik. Hal ini berkaitan dengan bagaimana seorang ibu menjaga dan memelihara calon bayinya sejak di dalam kandungan.
Kemudahan akses untuk menjangkau fasilitas kesehatan
juga mendukung di dalam mewujudkan kesehatan ibu dan bayi, sehingga angka kematian ibu dan bayi dapat diturunkan. Pola Asuh Kesehatan Pemberian Pralaktal Tabel 14 menunjukkan bahwa sebanyak 42% contoh diberi pralaktal. Pralaktal yang diberikan biasanya berupa madu, air putih, gula, dan kopi. Sebagian besar (95%) pralaktal yang diberikan adalah madu (Tabel 14). Pemberian pralaktal pada contoh memiliki berbagai alasan, sebanyak 33% responden menganggap pemberian pralaktal adalah suatu kebiasaan, 19% responden memberikan pralaktal supaya bibir contoh tidak pecah-pecah atau
kering, 19% beralasan supaya kotoran contoh (mekonium) cepat keluar, dan 29% memiliki alasan lainnya (ASI belum keluar, ibu tidak sadarkan diri, dan untuk merangsang menyusu pada ibu) (Tabel 14). Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan pemberian pralaktal Pemberian pralaktal Ya Tidak Total Jenis pralaktal Madu Air putih Total Alasan pemberian pralaktal Kebiasaan Tidak kering bibir Supaya keluar kotoran Lainnya Total
n 21 29 50 n 20 1 21 n 7 4 4 6 21
% 42 58 100 % 95 5 100 % 33 19 19 29 100
Pralaktal adalah makanan atau minuman selain ASI yang diberikan kepada bayi yang baru lahir, biasanya makanan pralaktal ini diberikan dengan cara dioleskan di bibir bayi atau diteteskan sedikit-sedikit pada mulut bayi. Pemberian pralaktal yang lebih awal daripada pemberian kolostrum sebagai asupan makanan untuk bayi berakibat bayi lebih mungkin terkena infeksi seperti diare, septikemia dan meningitis.
Bayi juga lebih mungkin mengembangkan
ketidaktoleranan terhadap protein yang ada pada susu formula (Sentra Laktasi Indonesia 2008). Pemberian pralaktal sebenarnya akan membuat bayi tidak mau menyusui kepada ibunya karena bayi sudah merasa kenyang. Seharusnya sebisa mungkin ASI diberikan paling lambat 20-30 menit dari waktu lahir dan selama ASI belum diberikan tidak perlu diberi makanan pralaktal. Hal tersebut dianjurkan karena refleks isap bayi mencapai puncak pada saat 20-30 menit pertama, bila terlambat maka refleks isapnya berkurang dan tidak akan kuat lagi sampai beberapa jam berikutnya (Roesli 2001). Pemberian Kolostrum Berdasarkan Tabel 15 sebagian besar contoh (90%) telah diberikan kolostrum, akan tetapi 5% responden yang tidak mengetahui adanya manfaat besar dari kolostrum, tidak memberikan kolostrum kepada contoh ketika baru lahir, mereka memiliki berbagai alasan untuk tidak memberikan kolostrum
tersebut. Alasan-alasan itu di antaranya adalah warna cairan tersebut keruh, ada yang melarang pemberiannya, dan ada yang beralasan bahwa ketika bayinya lahir ibu tidak sadarkan diri. Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan pemberian kolostrum Pemberian kolostrum
n
%
Tidak diberikan
5
10
Ya diberikan
45
90
Total
50
100
ASI pertama yang berwarna putih kekuningan
harus menjadi “rasa”
pertama bagi bayi baru lahir. Sebelum menyusui, jangan berikan bayi makanan lain apapun seperti air putih, cairan lain, atau makanan umum lainnya. Hal ini akan menghambat pemberian kolostrum, uji korelasi Spearman menunjukkan adanya hubungan negatif antara pemberian pralaktal dengan pemberian kolostrum (rp=-0,392**, p=0,005).
Hasil ini menunjukkan bahwa contoh yang
diberikan pralaktal, tidak diberikan kolostrum. Kolostrum mengandung antibodi dalam kadar tinggi, vitamin A, dan zat-zat pelindung lainnya, sehingga kolostrum seringkali disebut sebagai imunisasi pertama bayi.
Kolostrum baik untuk
diberikan kepada bayi pada awal kelahirannya karena di dalamnya mengandung lebih banyak protein, lebih banyak imunoglobulin A dan laktoferin dan juga sel-sel darah putih yang berperan penting dalam mencegah timbulnya infeksi penyakit (Roesli 2000). Pemberian ASI Berdasarkan Tabel 16, sebanyak 88% contoh masih diberikan ASI (ASI saja dan ASI yang didampingi MPASI). Dari 88% contoh yang masih diberikan ASI, hanya sebanyak 34% yang mendapatkan ASI eksklusif. Sebanyak 12% contoh sudah tidak diberikan ASI melainkan diberikan PASI (makanan atau minuman pengganti ASI) (Tabel 16). Jadwal pemberian ASI berbeda-beda pada setiap responden, 73% responden memberikan ASI jika anak menangis, 20% responden memberikan ASI jika anak meminta, dan 7% responden memberikan ASI setiap saat (Tabel 16). Lama waktu satu kali menyusu contoh berkisar antara satu menit sampai dengan satu jam dengan rata-rata menyusui 15-16 menit. Berdasarkan Tabel 16
sebanyak 73% contoh menyusu selama ≤ 15 menit, dan sebanyak 27% contoh menyusu selama > 15 menit. Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan pemberian ASI Pemberian ASI Tidak diberikan lagi Ya, masih diberikan Total Jadwal pemberian ASI Tiap menangis Tiap meminta Tiap saat Total Lama waktu menyusui ≤ 15 menit/satu kali menyusu > 15 menit/satu kali menyusu Total
n 6 44 50 n 32 9 3 44 n 32 12 44
% 12 88 100 % 73 20 7 100 % 73 27 100
Pedoman internasional yang menganjurkan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama didasarkan pada bukti ilmiah tentang manfaat ASI bagi daya tahan hidup bayi, pertumbuhan, dan perkembangannya. ASI memberi semua energi dan gizi (nutrisi) yang dibutuhkan bayi selama 6 bulan pertama hidupnya. Pemberian ASI eksklusif mengurangi tingkat kematian bayi yang disebabkan berbagai penyakit yang umum menimpa anak-anak seperti diare dan radang paru, serta mempercepat pemulihan bila sakit dan membantu menjarangkan kelahiran (Linkages 2002). ASI adalah sumber kehidupan bayi yang menyediakan zat-zat gizi sesuai dengan kemampuan pencernaan bayi. Selain itu, menurut Soetjiningsih (1997), ASI memiliki banyak keuntungan yaitu steril (aman dari pencemaran kuman), tersedia dengan suhu optimal (sesuai dengan suhu yang dibutuhkan bayi untuk menyesuaikan suhunya dengan lingkungan, misalnya lingkungan dingin maka ASI nya menyediakan banyak kandungan lemak), dan tidak ada bahaya alergi. Menurut Amelia (2004), cara pemberian ASI yang baik adalah bayi disusui dengan segera ketika menangis dan ASI diberikan sampai bayi merasa tenang dan puas (kenyang). Akan lebih baik lagi jika pemberian ASI terjadwal, hal ini dimaksudkan agar bayi terbiasa makan secara teratur. Lamanya menyusu pada hari-hari pertama bayi baru lahir biasanya selama 4-5 menit karena ASI belum banyak yang keluar.
Menyusu pada hari-hari pertama kelahiran
dimaksudkan untuk merangsang produksi ASI dan membiasakan puting susu dihisap oleh bayi. Bayi boleh disusukan selama 10 menit setelah bayi berusia
4-5 hari, dan setelah ASI yang diproduksi banyak, bayi dapat disusukan selama 15 menit (Soetjiningsih 1997). Salah satu faktor keberhasilan menyusui adalah keinginan ibu yang kuat dan rasa percaya diri ibu yang tinggi untuk bisa menyusui anaknya. Maka dari itu perencanaan untuk menyusui anaknya perlu dipikirkan jauh hari sebelum melahirkan, supaya ibu memiliki kesiapan mental untuk menyusui. Berdasarkan hasil penelitian ini, sebanyak 75% responden akan menyusui contoh hingga berusia 24 bulan dan 16% responden akan menyusui sampai usia contoh 12 bulan (Tabel 17). Besarnya persentase rencana responden yang akan menyusui sampai usia 24 bulan, menunjukkan bahwa pada umumnya ibu sudah mengetahui cara penyusuan yang baik sesuai dengan agama maupun kesehatan yang dianjurkan (tentang usia penyapihan sampai dengan usia dua tahun). Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan rencana responden untuk menyusui Rencana responden menyusui
n
%
12 bulan
7
16
13 bulan
1
2
18 bulan
3
7
24 bulan
33
75
Total
44
100
Pemberian MPASI Sebanyak 38 orang (86%) contoh sudah diberikan MPASI dan 6 orang (14%) contoh diberikan ASI saja (Tabel 18). Pemberian ASI saja dilakukan pada contoh yang usianya ≤ 6 bulan, sedangkan yang diberikan MPASI sebagian besar (24 orang) dari kelompok usia > 6 bulan dan sebanyak 14 orang dari kelompok usia ≤ 6 bulan. Angka pemberian MPASI pada kelompok usia ≤ 6 bulan menunjukkan rendahnya kesadaran responden untuk memberikan ASI eksklusif. Pemberian MPASI sebelum waktunya dilakukan responden karena berbagai alasan, di antaranya adalah karena responden merasa ASI saja tidak cukup memenuhi kebutuhan gizi contoh sehingga MPASI diberikan dengan alasan untuk tambahan gizi (39%). Responden juga memberikan MPASI karena tidak tega melihat contoh menginginkan suatu makanan (11%), padahal mungkin contoh
hanya
tertarik
pada
bentuk
makanan
tersebut
bukan
ingin
mengonsumsinya. Kekhawatiran responden yang merasa contoh takut masih lapar (21%) jika diberikan ASI saja juga termasuk alasan pemberian MPASI dan alasan-alasan lainnya (29%) adalah produksi ASI responden kurang, anjuran dokter atau bidan yang membantu kelahiran, membiasakan contoh makan makanan padat, responden merasa sudah waktunya memberikan MPASI kepada contoh, contoh sering ditinggal bekerja, dan supaya contoh gemuk (berat badannya bertambah) (Tabel 18). Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan pemberian MPASI Pemberian MPASI Tidak Ya Total Alasan tidak atau belum diberikan MPASI Belum waktunya Sudah dicoba, contoh tak mau Total Alasan pemberian MPASI Tambahan Contoh ingin Takut lapar Lainnya Total
n 6 38 44 n 2 4 6 n 15 4 8 11 38
% 14 86 100 % 33 67 100 % 39 11 21 29 100
Setelah usia 6 bulan, bayi umumnya tidak lagi mendapat cukup energi dan zat gizi dari ASI saja sedangkan bayi harus bertumbuh sampai dua kali atau lebih dari waktu lahir dan tetap bertumbuh cepat serta lebih aktif. Oleh sebab itu, bayi membutuhkan makanan lain sebagai tambahan ASI pada usia 6 bulan karena saluran cerna bayi sudah dapat mencerna sebagian makanan keluarga seperti tepung, dan setelah usia 9 bulan bayi umumnya tidak mau mencoba rasa baru atau makanan baru (Albar 2004). Bayi yang tidak dilatih makan pada usia 6 bulan biasanya tidak mau makanan lain selain ASI, susu formula, atau minuman cair sesudah berusia satu tahun (Albar 2004).
Keadaan ini akan menyebabkan bayi kekurangan gizi.
Tujuan pengenalan MPASI bukan hanya untuk menjamin kebutuhan gizi bayi setelah 6 bulan tapi juga untuk memperkenalkan pola makan keluarga kepada bayi secara bertahap.
Bayi mulai diberi MPASI pada usia 6 bulan secara
bertahap berdasarkan jenis, konsistensi, dan tekstur makanannya. MPASI diberikan sampai bayi berusia 2 tahun (sampai anak mampu makan makanan
keluarga dan sampai dapat menggantikan secara lengkap fungsi ASI sebagai sumber gizinya), kemudian dilanjutkan dengan pengganti ASI (PASI). Menurut Albar (2004), jika MPASI diberikan terlalu dini, bayi akan menderita diare karena makanan terkontaminasi lingkungan luar, kurang mengisap payudara sehingga produksi ASI berkurang dan ibu lebih mudah subur lagi (risiko hamil kembali sebelum siap). Jika MPASI dimulai terlalu lambat akan menjadikan berat badan bayi tidak bertambah, malah menjadi kurang gizi dan bayi akan lebih sulit dibujuk untuk memulai makan makanan padat pada usia lebih tua. Berdasarkan hal itu, maka pemberian MPASI yang tepat adalah sejak bayi berusia 6 bulan. Merangsang makan anak salah satunya adalah dengan cara menyajikan makanan semenarik mungkin sesuai kreasi ibu. Berdasarkan hasil penelitian didapat beberapa cara penyajian MPASI (Tabel 19) yaitu menyajikan makanan yang setiap harinya berganti-ganti (42%) dengan tujuan agar contoh mengenal dan menyukai beragam makanan.
Responden ada juga yang mengganti
makanan jika contoh sudah bosan (18%), hal ini dilakukan responden asalkan tidak ada masalah sulit makan, dan dampak negatifnya responden kurang memperhatikan makanan yang diberikan itu beragam atau tidak. Sebanyak 39% responden memberikan makanan yang tetap sampai makanan tersebut disukai contoh, dengan cara ini mungkin lama kelamaan akan timbul rasa suka terhadap makanan tersebut, tetapi ada kemungkinan rasa suka itu berubah menjadi rasa tidak suka karena bosan. Tabel 19 Sebaran contoh berdasarkan penyajian MPASI Cara penyajian MPASI
n
%
Berganti setiap hari
16
42
Kadang ganti jika contoh bosan
7
18
Tidak diganti sampai anak suka (tetap)
15
39
Total
38
100
MPASI yang dikonsumsi bisa dalam berbagai jenis bahan pangan, akan tetapi disesuaikan dengan usia bayi di dalam penyajiannya, dengan tekstur lumat, lunak, atau agak lunak.
Pengolahan MPASI juga harus diperhatikan
kebersihannya (harus bebas dari kotoran) dan sanitasinya (bebas dari mikroba penyebab penyakit). Bahan makanan yang digunakan untuk membuatnya juga harus segar dan jangan lupa harus diperhatikan cara mengolah bahan makanan
tersebut agar zat-zat gizinya tidak hilang di dalam proses pengolahan, sehingga dapat dimanfaatkan oleh tubuh bayi.
Menurut Krisnatuti (2000), pengolahan
bahan makanan dengan cara pengukusan lebih baik daripada perebusan, dan penyaringan lebih baik daripada penggorengan. Apabila ada, microwave bisa dijadikan alat untuk menyiapkan makanan paling baik terutama untuk penyiapan sayur-sayuran karena air yang dibutuhkan tidak terlalu banyak.
Jenis-jenis
MPASI yang dapat diberikan di antaranya adalah MPASI buah atau sari buah, bubur tepung, nasi tim, susu formula, dan lain-lain. Buah atau sari buah mengandung berbagai jenis vitamin dan mineral di dalamnya yang merupakan salah satu asupan gizi penting bagi bayi dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya.
Buah menurut kamus besar bahasa
indonesia (2005) adalah bagian tumbuhan yang berasal dari bunga atau putik (biasanya berbiji), sedangkan sari buah adalah cairan yang terkandung di dalam buah-buahan yang dapat diperoleh dengan cara diperas atau dihancurkan atau dibuat jus buah. Sari buah biasanya diberikan pada awal bayi mengonsumsi MPASI karena sari buah termasuk MPASI yang teksturnya lumat halus, sedangkan buah-buahan lebih sesuai jika bayi telah siap mengonsumsi makanan yang teksturnya lumat (dilumatkan dengan cara dikerok).
Menurut Krisnatuti
(2000), pisang merupakan makanan yang paling baik diberikan pertama kali sebagai MPASI untuk anak. Jenis-jenis MPASI Tabel 20 menunjukkan bahwa 13% contoh mengonsumsi MPASI buah atau sari buah. Sebanyak 8% contoh mengonsumsi buah atau sari buah 2 kali dalam satu hari. Buah atau sari buah yang biasanya dikonsumsi oleh contoh di antaranya pisang, jeruk, dan ada juga yang mengonsumsi apel. Selain buah atau sari buah, nasi tim bisa dijadikan sebagai MPASI. Contoh yang mengonsumsi MPASI nasi tim berjumlah 32% dengan frekuensi konsumsi umumnya sebanyak 3 kali sehari (Tabel 20). Nasi tim sebagai MPASI dapat disajikan dengan berbagai campuran bahan makanan lainnya, di antaranya bisa dicampur dengan telur orak arik atau daging sapi, daging ayam yang diiris kecil-kecil, ikan, tempe, atau bisa juga tahu sebagai tambahan proteinnya.
Tambahan vitamin dan mineral yang bisa dicampur di nasi tim
misalnya sayuran berwarna hijau yang dihancurkan. Sayuran hijau yang paling disukai anak untuk bahan campuran dengan makanan pokoknya adalah bayam, kangkung, dan wortel (Krisdinamurtirin 1976, diacu dalam Krisnatuti 2000).
Sebagai pelengkap, susu formula bisa menjadi tambahan sesuai dengan kebutuhan porsi anak (6-24 bulan ASI masih tetap diutamakan daripada susu formula). MPASI yang paling banyak (76%) dikonsumsi contoh adalah bubur tepung dengan frekuensi sebanyak 2 kali sehari (39%) (Tabel 20).
Pada
umumnya bubur tepung yang dikonsumsi adalah bubur tepung instan. Hal ini diduga karena bubur tepung instan rasanya lebih beranekaragam dan penyajiannya lebih praktis, sehingga ibu mudah dalam mengolahnya sampai siap dikonsumsi. Tabel 20 Sebaran contoh berdasarkan konsumsi MPASI Frekuensi konsumsi MPASI Buah atau sari buah 1 kali/hari 2 kali/hari Tidak Total Nasi tim 1 kali/hari 2 kali/hari 3 kali/hari Tidak Total Bubur tepung 1 kali/hari 2 kali/hari 3 kali/hari Tidak Total
n
%
2 3 33 38
5 8 87 100
1 2 9 26 38
3 5 24 68 100
5 15 9 9 38
13 39 24 24 100
Pemberian Pengganti ASI (PASI) Tabel 21 menunjukkan bahwa 50% responden memberikan PASI dengan alasan sedikitnya ASI yang keluar yang lama kelamaan tidak keluar lagi, 29% karena ingin memberikan tambahan zat gizi, dan 21% karena anak ingin setelah dicoba
diberikan.
Sebenarnya
permasalahan
tersebut
masih
bisa
dikonsultasikan dengan dokter atau petugas kesehatan lain atau langsung datang ke klinik laktasi untuk mencari solusinya. Apabila ibu memiliki niat dan semangat tinggi, usaha untuk mengeluarkan ASI menjadi lebih mudah. PASI sebaiknya diberikan setelah bayi berusia 4-6 bulan, akan tetapi dalam keadaan yang benar-benar sudah tidak bisa diusahakan untuk keluarnya ASI, maka PASI menjadi solusi terakhir. Tabel 21 menunjukkan bahwa dari 14
contoh yang diberikan PASI, persentase terbesar (36%) contoh diberi PASI usia satu hari setelah lahir. Tabel 21 Sebaran contoh berdasarkan pemberian PASI Usia mulai diberikan PASI 1 hari setelah lahir 3 hari setelah lahir 1 bulan setelah lahir 3 bulan setelah lahir 4 bulan setelah lahir 6 bulan setelah lahir Total Alasan pemberian PASI ASI keluar sedikit sampai tidak keluar lagi Tambahan Anak ingin setelah dicoba Total
n 5 2 4 1 1 1 14 n 7 4 3 14
% 36 14 29 7 7 7 100 % 50 29 21 100
PASI adalah makanan atau minuman yang diberikan sebagai pengganti ASI, dengan kata lain jika PASI diberikan untuk mengganti sebagian atau seluruh ASI. Jenis PASI yang biasanya diberikan adalah berupa susu formula. Pada umumnya susu formula untuk bayi terbuat dari susu sapi yang susunan zat gizinya telah dimodifikasi sedemikian rupa (Krisnatuti 2000).
Modifikasi ini
dilakukan agar komposisi susu sapi mendekati komposisi ASI sebagai makanan bayi yang terbaik, karena bagaimanapun susunan zat gizi susu sapi hanya cocok untuk anak sapi. Menurut Krisnatuti (2000), tidak semua ibu memberikan ASI kepada anaknya, keadaan ini disebabkan oleh berbagai faktor selain faktor dukungan sosial yang telah dijelaskan sebelumnya yaitu jumlah dan mutu ASI kurang memadai, faktor kesehatan ibu, dan kekhawatiran ibu akan keindahan tubuhnya (ibu berpikir jika menyusui maka keindahan tubuhnya akan rusak dan tidak memuaskan suami lagi). Hal-hal tersebut menyebabkan ibu harus memberikan anaknya PASI. Susu formula yang diberikan oleh responden kepada contoh adalah susu formula SGM dan susu Lactogen.
Sebanyak 79% responden menyatakan
bahwa susu formula SGM dikonsumsi contoh sejak pemberian PASI pertama dan tidak pernah diganti (tetap) (Tabel 22).
Alasan para responden untuk
memilih produk susu SGM ini karena rasanya paling disukai contoh, sehingga untuk pemberiannya tidak ada kesulitan (sekali saja diberikan, contoh langsung menyukainya). Alasan lainnya karena produk susu ini memang banyak dijual di
warung-warung dekat rumah, sehingga jika kehabisan mendadak, mudah untuk membelinya.
Berdasarkan hal tersebut, banyak juga responden yang
memberikan susu ini sebagai MPASI untuk contoh. Tabel 22 Sebaran contoh berdasarkan pemberian jenis PASI Pemberian PASI pada contoh
n
%
Susu SGM Tetap
11
79
Sudah berganti-ganti
2
14
1
7
14
100
Susu Lactogen Tetap Total Konsumsi gizi Konsumsi gizi pada contoh dihitung berdasarkan tingkat kecukupan energi (TKE) dan protein (TKP). Apabila tingkat kecukupan konsumsi energi atau protein contoh < 70% maka dikatakan TKE dan TKP nya kurang, dan sebaliknya.
Hasil penelitian (Tabel 23) menunjukkan bahwa sebagian besar
(98%) TKE contoh dan sebanyak 76% TKP contoh termasuk kategori cukup. Akan tetapi masih adapula yang TKE (2%) dan TKP (24%) nya masih < 70%. Walaupun jumlahnya lebih sedikit dari contoh yang termasuk kategori cukup TKE dan TKP nya, jika hal ini dibiarkan terus menerus akan terjadi keterlambatan pertumbuhan terutama berat badan dan tinggi badan, serta mempengaruhi tingkat kecerdasan (Amelia 2004). Zat gizi (energi dan protein) yang dibutuhkan seseorang bergantung kepada aktifitas dan tingkat kesehatannya. Semakin banyak aktifitas seseorang maka dibutuhkan energi yang lebih tinggi. Begitupun dengan orang yang sedang di dalam masa penyembuhan membutuhkan lebih banyak zat gizi untuk mempercepat proses penyembuhannya. Maka dari itu asupan konsumsi yang baik harus didukung pula oleh keadaan tubuh yang sehat (bebas dari infeksi dan penyakit lainnya) agar penyerapan zat gizi di dalam tubuh optimal. Uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tingkat kecukupan energi (rs=-0,359*, p=0,011) dan protein (rs=-0,517**, p=0,000) berhubungan negatif dengan masih atau tidaknya ASI diberikan. Hal ini menunjukkan bahwa contoh yang sudah tidak diberikan ASI tingkat kecukupan energi dan proteinnya lebih tinggi daripada yang masih diberikan ASI. Keadaan ini bisa terjadi karena contoh
yang sudah tidak diberikan ASI lebih banyak mengonsumsi susu formula yang energinya lebih tinggi dari ASI per 100 gramnya. Tabel 23 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan energi dan proteinnya Tingkat kecukupan zat gizi Energi: < 70% 70%-80% 80%-90% 90%-100% Total Protein: < 70% 70%-80% 80%-90% 90%-100% Total
n
%
1 5 16 28 50
2 10 32 56 100
12 11 7 20 50
24 22 14 40 100
Masalah Makan pada Anak Masalah makan pada contoh (Tabel 24) bermacam-macam, di antaranya adalah sebanyak 91% contoh tidak mau makan dan sebanyak 9% contoh makan banyak tapi dipilih-pilih. Selain itu, ada juga yang makannya tidak dipilih-pilih tapi makannya sedikit dan lebih parah lagi ada yang makannya sedikit dan dipilih-pilih.
Tabel 24 Sebaran contoh berdasarkan masalah makannya (untuk MPASI dan PASI) Masalah makan
n
%
Tidak mau makan
10
91
Makan banyak dan pilih-pilih
1
9
Total
11
100
Anak akan makan bila mempunyai selera makan, keterampilan motorik dan sensorik mulut, keterampilan isap kunyah telan, fungsi kendali tubuh, saluran pernapasan, saluran pencernaan, dan kesehatan umum yang normal. Bila salah satu proses tersebut terganggu akan menyebabkan masalah makan pada anak.
Masalah makan pada anak diartikan sebagai
ketidakmampuan anak untuk makan atau anak menolak makan karena terdapat kelainan neuromotorik, sumbatan mekanik atau faktor psikososial. Jadi masalah makan merupakan suatu gejala klinik dan bukan suatu penyakit (Albar 2004). Penyebab masalah makan pada anak meliputi faktor organik antara lain sariawan, diare, kecacingan, infeksi saluran pernapasan akut, tuberkulosis, kelumpuhan otak, leukemia, kanker, diabetes mellitus. Faktor gizi juga bisa menjadi penyebab masalah makan pada anak, misalnya kekurangan gizi atau kekurangan seng (Zn) akan mengurangi selera makan. Selain itu, penyebab
masalah makan pada anak adalah faktor psikologik, misalnya anak harus mengikuti aturan makanan yang ketat atau ibu memaksa anak makan (Albar 2004). Masalah makan pada anak tidak bisa dibiarkan begitu saja karena akan mempengaruhi pemenuhan kecukupan zat gizinya. Maka dari itu, perlu penanggulangan segera sebelum hal ini terjadi dalam waktu yang lama. Penanggulangan masalah makan pada contoh disiasati oleh responden dengan berbagai cara yaitu dengan cara dipaksa sedikit demi sedikit sampai habis (contoh dibawa berjalan-jalan sambil disuapi), atau ditunggu sampai mau kemudian dilanjutkan lagi sampai makanan tersebut habis. Kedua cara itu memerlukan kesabaran ibu, jangan sampai makanan yang tidak habis dibuang atau dibiarkan saja jika tidak mau makan. Ibu juga harus tahu cara penyajian yang bervariasi dan menarik untuk makanan yang tidak disukai anak namun gizinya sangat diperlukan. Hal ini perlu karena bentuk, warna, dan rasa dari makanan akan mempengaruhi mau atau tidaknya anak mengonsumsi makanan tersebut. Pelayanan Kesehatan Pusat Kesehatan Masyarakat (PUSKESMAS) Tabel 25 menunjukkan bahwa sebagian besar responden (88%) menyatakan dalam 6 bulan terakhir (Juni-November 2007) menggunakan puskesmas sebagai tempat untuk pengobatan keluarganya. Sebanyak 12% responden menyatakan tidak pernah mengunjungi puskesmas dalam 6 bulan terakhir (Juni-November 2007), alasannya tidak ada keluarga yang sakit dalam bulan-bulan tersebut dan ada juga yang menyatakan menggunakan fasilitas kesehatan lainnya (praktek dokter umum terdekat atau praktek bidan terdekat untuk pemeriksaan kehamilan dan kontrasepsi).
Tabel 25 Sebaran responden berdasarkan kunjungannya ke PUSKESMAS Kunjungan ke Puskesmas
n
%
Tidak pernah
6
12
Ya, pernah
44
88
Total
50
100
Masyarakat yang sehat akan terwujud dari keluarga yang sehat. Mewujudkan keluarga yang sehat dibutuhkan beberapa dukungan dari pemerintah sebagai suatu sistem yang salah satunya diperlukan untuk memfasilitasi segala keperluan yang berkaitan dengan perawatan kesehatan dari sejak bayi di kandungan sampai dengan usia lanjut dan meninggal dunia. Telah banyak disinggung dimana-mana bahwa kesehatan itu lebih baik dijaga daripada harus berobat
untuk sehat karena pencegahan suatu penyakit lebih mudah dan lebih murah dibandingkan suatu pengobatan. Misalkan, untuk sehat diperlukan pendisiplinan diri dalam hal makan-makanan yang bergizi, berimbang, dan beragam, berolahraga teratur, dan selalu berpikiran positif untuk menghindari stres. Pemerintah telah mendirikan beberapa lembaga kesehatan untuk masyarakat dengan berbagai pelayanannya. Pelayanan kesehatan ini diperuntukkan bagi semua masyarakat yang membutuhkan secara umum. Beberapa lembaga kesehatan yang telah didirikan oleh pemerintah di antaranya adalah Pusat Kesehatan Masyarakat (PUSKESMAS), Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) sampai dengan Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Puskesmas adalah salah satu pelayanan kesehatan yang paling banyak dibangun di daerah-daerah. Lembaga kesehatan inilah yang biasanya langsung menangani masalah kesehatan di dalam masyarakat dan melaporkan keadaan kesehatan masyarakat setiap tahunnya melalui laporan tahunan kepada dinas terkait untuk ditindaklanjuti jika ada masalah. Selain itu, puskesmas juga memantau jalannya kegiatan kesehatan di masyarakat seperti pemantauan kegiatan posyandu, pemantauan keadaan lingkungan masyarakat, dan pemantauan penyakit-penyakit yang sifatnya mewabah di masyarakat.
Begitu dekatnya fungsi puskesmas dengan masyarakat sehingga
puskesmas menjadi salah satu alternatif pertama untuk masyarakat jika ingin melakukan pengobatan. Suatu lembaga kesehatan memiliki suatu produk yang dapat menjadikan penggunanya merasa puas ataupun tidak. Produk yang dihasilkan adalah berupa pelayanan (berupa produk jasa) yang diberikan oleh dokter dan para petugas kesehatan. Penilaian kualitas pelayanan puskesmas oleh penggunanya bisa dilakukan melalui komponen-komponen yang ada (jam buka puskesmas, masalah antrian untuk mendapatkan pelayanan puskesmas, dan biaya yang harus dikeluarkan setelah mendapat pelayanan dari puskesmas) dan orang-orang yang terlibat di dalam kegiatan di puskesmas yaitu dokter dan petugas kesehatan. Secara umum, sebanyak 57% responden
menyatakan bahwa kualitas pelayanan puskesmas baik dan 43% responden menyatakan penilaian cukup (Tabel 26). Tabel 26 Sebaran responden berdasarkan opini mengenai kualitas pelayanan di PUSKESMAS Kualitas pelayanan PUSKESMAS Cukup Baik Total Kualitas pelayanan dokter Biasa Tidak pernah memeriksa Lainnya Total Kualitas pelayanan petugas kesehatan Baik Biasa
n 19 25 44 n 24 11 9 44 n 15 25
% 43 57 100 % 55 25 20 100 % 34 57
Lainnya Total
4 44
9 100
Dokter adalah salah satu komponen penting di puskesmas karena keberadaannya berperan sebagai orang yang pertama mendiagnosis suatu penyakit. Selain itu, biasanya dokter akan memberikan resep yang dibutuhkan untuk orang yang sakit dan memberi rujukan ke rumah sakit jika dianggap penyakit tersebut sudah harus berada pada tahap perawatan yang lebih lanjut. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya dokter terkadang digantikan oleh petugas kesehatan lain seperti misalnya perawat yang sudah dipercaya untuk menerima delegasi dari dokter. Berdasarkan
Tabel
27
menunjukkan
sebanyak
55%
responden
berpendapat bahwa kualitas pelayanan dokter puskesmas pada daerah tempat penelitian biasa saja, biasa disini menurut keterangan responden adalah terkadang pelayanannya memuaskan dan ramah tapi terkadang terburu-buru, dialihkan pemeriksaannya kepada perawat.
Sebanyak 25% responden
menyatakan bahwa dokter tidak pernah memeriksa apabila mereka berobat dan sering diperiksa oleh perawat, apalagi untuk penyakit-penyakit yang ringan. Lainnya berpendapat bahwa pelayanan dokter baik (11%), jarang memeriksa (7%), dan buruk (2%). Selain pelayanan pemeriksaan dan konsultasi kesehatan, di puskesmas juga terdapat pelayanan obat dan prosedur pendaftaran sebelum menerima berbagai pelayanan kesehatan. kesehatan selain dokter.
Tugas tersebut dilakukan oleh petugas
Fasilitas pendaftaran biasanya dibagi menjadi
beberapa bagian yaitu pendaftaran dengan menggunakan asuransi kesehatan dan non asuransi kesehatan.
Bagian pendaftaran merupakan pemandangan
terdepan dan yang pertama memberi kesan baik atau sebaliknya di suatu puskesmas dan pelayanan obat merupakan bagian akhir yang tak kalah pentingnya yang sering menjadi penilaian kualitas pelayanan puskesmas. Kualitas pelayanan petugas kesehatan di puskesmas berdasarkan Tabel 30, sebanyak 57% responden menyatakan biasa saja, 34% menyatakan baik, dan lainnya menyatakan petugas kesehatan bersikap sangat teliti dalam pemberian obat (5%), dan 4% berpendapat pelayanan petugas kesehatan buruk. Ketepatan waktu dalam pelayanan puskesmas menjadi hal yang sangat penting karena pengunjungnya merupakan orang-orang yang benar-benar membutuhkan pertolongan. Terutama dalam hal jam buka, jangan sampai orang
sakit menunggu lama dari jam buka puskesmas yang telah ditentukan sebelumnya.
Hal ini yang mendorong peneliti untuk mengumpulkan opini
mengenai jadwal jam buka puskesmas. Hasilnya menunjukkan, sebagian besar (95%) responden menyatakan jam buka puskesmas cukup, maksudnya tidak terlalu telat dan kadang buka hingga melebihi jadwal jam bukanya.
Lainnya
menyatakan jam buka terlalu pendek (2%) dan terkadang suka telat dari jadwal buka (2%) (Tabel 27). Tabel 27 Sebaran responden berdasarkan opini mengenai jadwal jam buka PUSKESMAS Jadwal jam buka PUSKESMAS
n
%
Cukup
42
95
Lainnya
2
4
Total
44
100
Antrian di puskesmas sudah menjadi pemandangan biasa karena umumnya loket yang tersedia jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan pasien yang datang ke puskesmas.
Biasanya puskesmas menyiasati antrian
tersebut dengan pemakaian nomor urut.
Tujuan pemakaian nomor urut ini
adalah agar pasien dapat menunggu sambil duduk dan tinggal menunggu giliran nomornya disebutkan, sehingga tidak ada kejadian berdesak-desakan di dalam mengantri.
Sebanyak 77% responden menyatakan bahwa antrian dengan
menggunakan nomor urut sudah cukup adil dan 23% responden menyatakan bahwa antrian terlalu panjang dan mengusulkan untuk penambahan loket pelayanan pendaftaran di puskesmas (Tabel 28). Tabel 28 Sebaran responden berdasarkan opini mengenai antrian di PUSKESMAS Opini antrian di PUSKESMAS
Jumlah n
%
Adil pakai nomor
34
77
Terlalu panjang
10
23
Total
44
100
Penggunaan pelayanan di puskesmas tidak terlepas dari biaya yang harus dibayar setelah pelayanan diberikan. Biasanya biaya di puskesmas lebih rendah daripada biaya di pelayanan kesehatan lainnya (rumah sakit umum
maupun swasta), akan tetapi bagi sebagian besar masyarakat hal itu masih menjadi suatu beban yang berat, terutama bagi masyarakat pada kalangan ekonomi bawah.
Masalah biaya tersebut terkadang menjadi benturan
masyarakat yang tidak mampu untuk berobat ke pelayanan kesehatan yang telah disediakan pemerintah.
Akhirnya, cara tradisional atau obat warung yang
menjadi pengobatan alternatif mereka. Maka dari itu untuk mengoptimalkan pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh masyarakat secara keseluruhan, pemerintah menyediakan jaminan program pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat miskin.
Jaminan tersebut berupa asuransi kesehatan untuk
masyarakat miskin (ASKESKIN) yang bisa digunakan pada setiap lembaga pelayanan kesehatan pemerintah dan beberapa pelayanan kesehatan swasta. Menurut Suryati dan Indriasih (2007), sejak tahun 1994 pemerintah mulai memberikan kartu tanda pengenal bagi keluarga miskin dalam bentuk kartu sehat.
Sesuai dengan KepMenkes No. 1122/Menkes/SK/XI/1994 kartu tanda
pengenal yang diberikan kepada keluarga tidak mampu atau miskin adalah kartu sehat yang digunakan untuk berobat ke puskesmas dan jaringannya (puskesmas pembantu,
polindes),
imunisasi,
pemeriksaan
laboratorium,
pemeriksaan
kehamilan, persalinan, keluarga berencana, pemeriksaan gigi, pelayanan bedah tertentu, dan pertolongan gawat darurat. Sampai dengan tahun 2005, pelaksanaan jaminan program pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat miskin tersebut belum sepenuhnya terlaksana sesuai dengan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan. Hal tersebut disebabkan karena adanya perbedaan data jumlah penduduk miskin antara pusat dan daerah, terbatasnya anggaran pelayanan untuk puskesmas yang berdampak pada upaya pemeliharaan
kesehatan
masyarakat,
dan
masih
pemerintah daerah (Suryati dan Indriasih 2007). miskin
di
pusat
dan
daerah
dapat
kurangnya
dukungan
Perbedaan data penduduk
berakibat
adanya
ketidaktepatan
pendistribusian kartu tanda pengenal jaminan kesehatan keluarga miskin di masyarakat. Dapat dilihat pada Tabel 29 menunjukkan sebanyak 48% responden menyatakan bebas biaya (gratis) setelah menggunakan pelayanan puskesmas, kemudian
sebanyak
45%
menyatakan
bayar
pendaftaran
saja
ketika
menggunakan pelayanan puskesmas (biaya pendaftaran sebesar Rp. 3000,00). Lainnya menyatakan membayar penuh (4%) dan membayar obat saja karena obat tersebut komersial atau di luar asuransi (2%).
Tabel 29 Sebaran responden berdasarkan biaya pelayanan di PUSKESMAS Biaya pelayanan di PUSKESMAS
n
%
Bayar daftar saja
20
45
Bebas biaya
21
48
Lainnya
3
6
Total
44
100
Pos Pelayanan Terpadu (POSYANDU) Hasil penelitian (Tabel 30) menunjukkan sebanyak 58% responden rutin membawa contoh ke posyandu dan 42% tidak rutin membawa contoh ke posyandu.
Ketidakrutinan tersebut dikarenakan berbagai alasan yaitu karena
pulang kampung (29%), pergi (14%), dan alasan lainnya (masing-masing 10% menyatakan jarak posyandu jauh, menggunakan pelayanan kesehatan lainnya, anak takut untuk ditimbang, dan anak sakit, kemudian sebanyak 5% responden masing-masing beralasan baru pindah rumah, lupa jadwal, suami sakit, dan tidak tahu jadwal). Tabel 30 Sebaran contoh berdasarkan kunjungan ke POSYANDU Kunjungan ke POSYANDU
n
%
Ya, rutin
29
58
Tidak rutin
21
42
Total
50
100
n
%
Pergi
3
14
Pulang kampung
6
29
Lainnya
12
57
Total
21
100
Alasan tidak ke POSYANDU
Posyandu adalah suatu forum komunikasi alih teknologi dan pelayanan kesehatan masyarakat, yang memiliki nilai strategis untuk pengembangan sumberdaya manusia. Pelayanan dalam posyandu meliputi layanan keluarga berencana,
kesehatan
ibu
dan
penanggulangan diare (muntaber).
anak,
perbaikan
gizi,
imunisasi,
dan
Pada awalnya, posyandu adalah pusat
kegiatan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan keluarga berencana dan kesehatan sekaligus, namun di dalam perkembangannya posyandu dibina menjadi suatu forum komunikasi dan pelayanan masyarakat lintas sektoral yang
memadukan kegiatan masyarakat dalam memecahkan masalah melalui alih teknologi dari berbagai sektor pembangunan yang terkait (Sulamto 1993). Tujuan diselenggarakannya posyandu di antaranya adalah mempercepat turunnya angka kematian bayi, balita, dan angka kelahiran. Selain itu, posyandu diharapkan dapat mempercepat diterimanya Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS) oleh masyarakat. meningkatkan
kemampuan
Adanya posyandu juga diharapkan
masyarakat
untuk
mengembangkan
kegiatan
kesehatan dan kegiatan lainnya yang menunjang sesuai dengan kebutuhan kesehatan masyarakat (Sulamto 1993). Penyelengaraan posyandu tidak akan berjalan lancar jika tidak ada partisipasi aktif dari masyarakatnya. Maka dari itu, sangat penting sekali mengajak masyarakat untuk mengoptimalkan peran dan fungsi posyandu sebagai salah satu pelayanan kesehatan masyarakat. Berdasarkan Tabel 31, sebagian besar (94%) responden telah memiliki kesadaran akan pentingnya posyandu, akan tetapi dalam hal pelaksanaannya untuk mengoptimalkan peran dan fungsi posyandu masih kurang.
Sebanyak
78% responden berpendapat bahwa posyandu itu penting dan berniat untuk membawa contoh ke posyandu sampai dengan usia lima tahun, sedangkan 12% responden berpendapat bahwa posyandu itu penting, akan tetapi masih ragu membawa contoh sampai usia lima tahun ke posyandu, dan 4% responden yang tidak akan membawa contoh ke posyandu sampai lima tahun walaupun menganggap posyandu penting (Tabel 31). Hal tersebut diakibatkan karena ibu hanya menganggap posyandu penting hingga imunisasi selesai. Adapun, 6% responden yang menganggap peran posyandu kurang penting untuk mendukung kesehatan sehingga 4% responden merasa ragu dan bahkan 2% responden tidak akan membawa contoh ke posyandu sampai usia lima tahun (Tabel 31). Ini disebabkan ibu khawatir jika anaknya selalu menangis ketika dibawa ke posyandu walaupun hanya untuk tujuan penimbangan dan beranggapan bahwa orang-orang dulu bisa sehat tanpa adanya posyandu. Hal-hal seperti inilah yang sebetulnya harus diberikan pengertian kepada masyarakat secara jelas, agar masyarakat mengetahui dengan pasti manfaat adanya kegiatan posyandu. Tabel 31 Sebaran niat responden membawa contoh ke POSYANDU sampai lima tahun berdasarkan pendapatnya tentang peran POSYANDU Niat Responden Tidak
Kurang Penting
Penting
n
%
n
%
1
33
2
4
Ragu-ragu
2
67
6
13
Ya
-
-
39
83
Total
3
100
47
100
Partisipasi masyarakat di dalam posyandu bisa ditingkatkan dengan cara menggandeng tokoh masyarakat untuk bekerjasama membangkitkan kesadaran setiap orang akan pentingnya kesehatan. Kesadaran yang timbul sendiri dalam diri seseorang akan menimbulkan niat yang kuat dan akhirnya sesuatu yang tadinya menjadi kewajiban untuk menjaga kesehatan masyarakat akan menjadi suatu kebutuhan bagi masyarakat tersebut. Peran posyandu dalam pelayanan dasar bagi bayi, anak balita, dan ibu hamil, dilaksanakan dengan pola lima meja. Pola lima meja tersebut adalah: 1. Meja 1: pendaftaran anak balita dan ibu hamil. 2. Meja 2: penimbangan anak balita. 3. Meja 3: pencatatan atau pengisian Kartu Menuju Sehat (KMS). 4. Meja 4: penyuluhan berdasar hasil penimbangan, sekaligus pelayanan gizi berupa pemberian kapsul vitamin A, tablet zat besi, dan pemberian makanan tambahan. 5. Meja 5: pelayanan kesehatan dan keluarga berencana oleh tenaga kesehatan (pemberian imunisasi, pelayanan kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, dan pemberian bubuk oralit beserta petunjuknya). Kegiatan penimbangan anak balita di posyandu bertujuan untuk memantau berat badan anak (turun, naik, atau tetap) setiap bulannya. Hasil ini kemudian dibandingkan dari bulan ke bulan, jika ada anak yang beratnya tetap atau turun terus atau turun naik kemudian turun lagi dalam waktu tiga bulan berturut-turut, hal itu menjadi pertanda bahwa status gizi anak buruk. Tindaklanjutnya adalah dirujuk ke puskesmas untuk diberikan pengobatan atau untuk diberikan makanan tambahan pemulihan setiap bulannya hingga membaik. Fasilitas yang digunakan untuk penimbangan balita bisa berupa dacin dan timbangan tidur. Jumlah tempat penimbangan tentunya harus disesuaikan dengan jumlah balita yang akan ditimbang. Maksudnya, supaya balita yang akan ditimbang tidak menunggu terlalu lama, menimbulkan kekesalan, menangis, akhirnya pulang tidak jadi ditimbang.
Tabel 32 memperlihatkan bahwa 96%
responden menyatakan bahwa jumlah fasilitas penimbangan di posyandu tempat penelitian sudah cukup.
Menurut kader, ibu yang akan menimbang anaknya
datang bergantian tidak sekaligus, sehingga tidak menimbulkan antrian yang panjang. Tabel 32 Sebaran responden berdasarkan opini mengenai ketersediaan timbangan balita di POSYANDU Ketersediaan penimbangan balita
n
%
Cukup
48
96
Kurang
2
4
Total
50
100
di POSYANDU
Penimbangan yang telah dilakukan dicatat di dalam Kartu Menuju Sehat (KMS) agar terlihat jelas pertumbuhan berat badan sesuai dengan usianya. KMS biasanya dibagikan oleh kader kepada ibu-ibu yang punya anak balita ketika mereka berkunjung ke posyandu. Menurut Heriyanto (2001), besarnya perhatian ibu untuk berusaha merawat anaknya dengan seoptimal mungkin memanfaatkan pelayanan kesehatan yang tersedia di posyandu salah satunya dapat dilihat dari kepemilikan KMS.
Berdasarkan hasil penelitian, contoh seluruhnya (100%)
memiliki KMS, hal ini menandakan bahwa responden suka membawa anaknya ke posyandu. Salah satu kelemahan penggunaan KMS yaitu seringnya KMS yang disimpan di kader dan tidak dikembalikan kepada ibu balita sehingga ibu tidak bisa memanfaatkan secara optimal informasi yang ada di dalam KMS dan ibu seringkali tidak mengetahui bagaimana cara membaca KMS. Ketidaktahuan pembacaan KMS yang sering terjadi pada ibu misalnya pertumbuhan anak yang baik selalu mengikuti salah satu pita atau berpindah ke pita warna yang lebih tua. Apabila badan anak tidak bertambah berat, atau bertambah tetapi pindah ke pita warna lebih muda berarti anak tidak sehat. Anak yang tidak sehat harus lebih diperhatikan perawatannya, terutama dalam hal makanannya.
Anak yang
mempunyai berat badan di bawah garis merah berarti memerlukan penanganan lebih lanjut. Hal ini juga berlaku bagi anak yang tiga bulan berturut-turut tidak naik berat badannya. Selain penimbangan dan pencatatan KMS, penyuluhan juga termasuk salah satu kegiatan di posyandu. Penyuluhan terdiri dari penyuluhan kesehatan pada umumnya dan penyuluhan gizi yang akan mendukung kesehatan. Penyuluhan gizi adalah suatu kegiatan memberikan pengetahuan mengenai manfaat makanan bergizi untuk meningkatkan derajat kesehatan keluarga.
Penyuluhan gizi di tingkat kecamatan dan desa atau kelurahan menjadi tanggung jawab tenaga gizi di puskesmas. Tujuan dari penyuluhan gizi di antaranya adalah meningkatkan kesadaran gizi dan pengetahuan ibu rumah tangga dan keluarga, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan peningkatan gizi, dan dalam rangka menggerakkan seluruh komponen masyarakat agar memanfaatkan makanan setempat untuk perbaikan gizi dan memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada. Penyuluhan gizi ini dapat dilakukan dengan cara ceramah, diskusi, demonstrasi, pameran, dan cara-cara lainnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Medianya juga bermacam-macam yaitu dapat berupa poster, makanan segar, model makanan, lembar KMS, dan simulasi. Menurut Khomsan, Anwar, Sukandar, Riyadi, dan Mudjajanto (2007), pelayanan gizi di posyandu lebih menonjol dibandingkan pelayanan kesehatan, begitu pula mengenai materi penyuluhannya.
Materi penyuluhan gizi dan
makanan lebih sering diberikan dibandingkan materi mengenai sanitasi, higiene, penyakit infeksi, dan imunisasi. Pengadaan penyuluhan di posyandu menurut 38% responden memang sudah diadakan, akan tetapi 32% responden menyatakan
bahwa
pelaksanaannya
masih
jarang
dan
sebanyak
menyatakan penyuluhan dilakukan kadang-kadang saja (Tabel 33).
30%
Hal ini
menunjukkan kurangnya implementasi dari perencanaan program penyuluhan di posyandu oleh petugas penyuluh lapangan. Tabel 33 Sebaran responden berdasarkan opini mengenai penyelenggaraan penyuluhan di POSYANDU Penyelenggaraan penyuluhan
n
%
Ada
19
38
Jarang
16
32
Kadang-kadang
15
30
Total
50
100
di POSYANDU
Posyandu juga mengadakan pemberian makanan tambahan untuk balita yang berkunjung ke posyandu. Pemberian makanan tambahan bertujuan untuk pemulihan dan penyuluhan. Pemberian makanan tambahan untuk pemulihan biasanya diberikan dari puskesmas yang dibagikan kepada kader-kader sesuai jumlah balita yang membutuhkannya, pembagian dilakukan pada saat para kader
mengikuti lokakarya mini di puskesmas.
Pemberian makanan tambahan
pemulihan hanya diperuntukkan kepada balita yang mengalami gizi buruk untuk mempercepat penyembuhannya. Lainnya adalah pemberian makanan tambahan dengan tujuan penyuluhan.
Makanan tambahan penyuluhan biasanya setiap
bulan berganti-ganti dan dibagikan kepada setiap balita yang berkunjung ke posyandu dan usianya sudah lebih dari 6 bulan. Pemberian makanan tambahan penyuluhan adalah salah satu cara agar ibu-ibu balita mengetahui makanan apa saja yang ada di sekitarnya yang bergizi dan bisa diberikan kepada anaknya setelah usia enam bulan.
Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya gizi
kurang atau gizi buruk pada balita.
Tabel 34 menunjukkan bahwa 74%
responden menyatakan bahwa ketersediaan makanan tambahan di posyandu tempat penelitian ada akan tetapi 20% responden menyatakan pengadaannya kadang-kadang, dan 6% responden menyatakan terkadang tidak ada makanan tambahan sama sekali saat pelaksanaan posyandu. Tabel 34 Sebaran responden berdasarkan opini mengenai pemberian makanan tambahan di POSYANDU Pemberian makanan tambahan
n
%
Ada
37
74
Kadang-kadang
10
20
Tidak ada
3
6
Total
50
100
Persiapan dan pelaksanaan kegiatan posyandu didominasi oleh para kader, hal ini karena pola lima meja di dalam posyandu, empat meja di antaranya adalah tanggung jawab kader. Meja terakhir adalah tanggung jawab petugas kesehatan (biasanya bidan desa). Berdasarkan indikator penilaian berbagai jenis tingkatan posyandu, posyandu itu sudah dikatakan baik setidaknya sudah memiliki 5 kader yang aktif. Pada hasil penelitian (Tabel 35), sebagian besar (94%) responden menyatakan jumlah kader yang ada sudah cukup. Tabel 35 Sebaran responden berdasarkan opini mengenai kecukupan jumlah kader POSYANDU Jumlah kader di POSYANDU
n
%
Cukup
47
94
Sedikit
3
6
Total
50
100
Kader posyandu adalah kader kesehatan yang sudah diberi pembekalan mengenai kesehatan, keluarga berencana, dan cara pengelolaan posyandu. Biasanya kader itu sifatnya sukarela dan semiformal (Sulamto 1993), akan tetapi untuk menjadi seorang kader harus memenuhi beberapa kriteria yaitu: 1. Merupakan penduduk desa dimana kegiatan akan dilaksanakan. 2. Dipilih dan diterima oleh masyarakat setempat. 3. Dapat membaca dan menulis huruf latin. 4. Bersedia dan sanggup menjadi kader sukarela. 5. Diutamakan anggota PKK atau dasawisma. 6. Memiliki penghasilan tetap. 7. Mampu menggerakkan masyarakat. Pelayanan di posyandu sebenarnya tidak dipungut biaya, akan tetapi masih ada beberapa biaya pungutan, di antaranya biaya imunisasi dan biayabiaya selain imunisasi. Tabel 39 menunjukkan bahwa 54% responden bebas biaya dalam menerima pelayanan posyandu selain imunisasi dan 52% responden bebas biaya imunisasi.
Sedangkan yang membayar penuh dan
membayar sebagian untuk beberapa pelayanan jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan yang bebas biaya. Hal ini disebabkan karena di posyanduposyandu tempat penelitian menerapkan sistem subsidi silang dengan memberdayakan masyarakat yang dianggap mampu untuk membayar biaya posyandu, nantinya uang tersebut akan kembali kepada masyarakat dalam bentuk pemberian makanan tambahan penyuluhan dan untuk meringankan masyarakat lain yang membutuhkan (dana melayat, dana kesakitan, dana penyemprotan nyamuk demam berdarah dan lainnya). Tabel 36 Sebaran responden berdasarkan opini biaya pelayanan di POSYANDU Biaya pelayanan selain imunisasi Bayar Bebas biaya Sebagian bayar Sumbangan Total Biaya pelayanan imunisasi Beberapa suntik bayar Bayar suntik hepatitis Bebas biaya Lainnya Total
n 6 27 13 4 50 n
% 12 54 26 8 100 %
8 12 26 4 50
16 24 52 8 100
Kelengkapan Kartu Menuju Sehat (KMS) Isi yang terdapat di dalam Kartu Menuju Sehat (KMS) adalah pencatatan hasil penimbangan anak balita setiap bulan, standar perkembangan anak sesuai dengan usianya, pencatatan imunisasi anak, jadwal pemberian vitamin A, dan berbagai informasi mengenai makanan dan penanggulangan diare secara cepat dengan oralit. Semua informasi tersebut dapat dimanfaatkan oleh kader untuk penyuluhan kepada ibu balita. Selain itu dapat dimanfaatkan juga oleh ibu balita untuk petunjuk pemberian makanan yang sesuai dengan usia anaknya dan sekaligus memantau pertumbuhan dan perkembangan anak. Penimbangan Lengkap tidaknya penimbangan balita dapat dibandingkan dengan usianya (dalam bulan), jika frekuensi penimbangan balita sama atau lebih jumlahnya dari usia balita maka penimbangan balita dapat dikatakan lengkap. Berdasarkan Tabel 37 sebanyak 52% contoh kelompok usia ≤ 6 bulan memiliki kelengkapan penimbangan yang lebih lengkap dibandingkan dengan contoh kelompok usia > 6 bulan.
Sebanyak 62% contoh kelompok usia > 6 bulan
memiliki kelengkapan penimbangan yang termasuk kategori tidak lengkap. Tabel 37 Sebaran contoh berdasarkan kelengkapan penimbangannya Kelengkapan penimbangan Lengkap Tidak lengkap
≤ 6 bulan n % 15 52 8 38
> 6 bulan n % 14 48 13 62
Hal-hal di atas diduga karena ibu atau pengasuh lebih mengkhawatirkan bayi yang baru lahir, dan semangatnya masih tinggi untuk berdisiplin mengikuti posyandu. Semangat dan niat yang kurang, biasanya tidak dapat memotivasi dengan optimal suatu tindakan yang sebenarnya sangat perlu dilakukan apalagi di dalam pelaksanaannya mengalami banyak hambatan. Sebagai contoh, ibu yang kurang semangat, niat, apalagi kurang kesadaran terhadap pentingnya pemantauan tumbuh kembang anak akan lebih memilih pergi berlibur atau pergi kemana saja daripada membawa anaknya ke posyandu. Hal itu sungguh tidak bisa dibiarkan karena walaupun hal tersebut terlihat sepele, akan tetapi membawa anak ke posyandu adalah hak seorang anak yang harus dipenuhi, jika tidak maka seorang ibu sudah melanggar hak anaknya. Imunisasi
Imunisasi adalah memasukkan vaksin ke dalam tubuh dengan tujuan untuk membentuk suatu kekebalan. Istilah vaksin atau vaksinasi pertama kali diperkenalkan oleh Louis Pasteur. Menurut Achmadi (2006), vaksin yaitu bahan yang berasal dari kuman atau virus yang menjadi penyebab penyakit yang bersangkutan, yang telah dilemahkan atau dimatikan, atau diambil sebagian, atau mungkin tiruan dari kuman penyebab penyakit, yang secara sengaja dimasukkan ke dalam tubuh seseorang atau kelompok orang, yang bertujuan merangsang timbulnya zat anti penyakit tertentu pada orang-orang tersebut. Sebagai akibatnya, maka orang yang diberi vaksin akan memiliki kekebalan terhadap penyakit yang bersangkutan. Proses vaksinasi pada dasarnya adalah memasukan antigen untuk mendapat respon imun.
Achmadi (2006), imunisasi adalah mengharapkan
respon imun dengan cepat dan segera. Semakin sering menghadapi kuman atau virus yang dilemahkan tadi, maka akan semakin meningkat antibodi atau zat anti terhadap kuman atau virus bersangkutan. Oleh karena itu, pada umumnya imunisasi yang lebih dari satu kali akan menimbulkan kekebalan yang tinggi. Imunisasi dapat diberikan dengan cara tunggal (satu jenis imunisasi saja pada satu kali pemberian) atau dengan cara combo atau kombinasi (beberapa jenis imunisasi pada satu kali pemberian).
Akan tetapi pemberian imunisasi
secara combo harus diperhatikan secara tepat agar tidak mengganggu efektifitas satu sama lain diantara imunisasi tersebut (tidak ada kompetisi antara antigen). Imunisasi combo juga kualitasnya harus lebih baik daripada imunisasi tunggal, daya kekebalan yang ditimbulkan harus lebih baik dan lebih lama atau minimal sama, efektifitasnya lebih tinggi dibandingkan jika imunisasi diberikan secara tunggal, keamanan harus lebih baik, dan pemberian disesuaikan dengan jadwal. Jenis-jenis imunisasi ada banyak di antaranya yaitu imunisasi BCG, hepatitis B, polio, DPT, campak, HIB, pneumokokus (PCV), influenza, MMR, tifoid, hepatitis A, dan varisela (cacar air). Sekian banyak jenis imunisasi ada yang diwajibkan dan ada yang hanya dianjurkan untuk diberikan. Jenis imunisasi yang diwajibkan di Indonesia sementara ini adalah imunisasi BCG, hepatitis B, polio, DPT, campak, dan lainnya adalah imunisasi yang dianjurkan. Pemberian imunisasi hendaknya dilakukan ketika anak sehat (tidak sakit). Imunisasi BCG Berdasarkan penelitian, 100% contoh telah mendapatkan imunisasi BCG dengan lengkap.
Imunisasi BCG (Bacille Calmette Geurin) adalah imunisasi
untuk mencegah penyakit tuberkolosis atau lebih dikenal dengan penyakit TBC. Penyakit TBC disebabkan oleh sejenis bakteri yang berbentuk batang Mycobacterium tubercolosis atau Basil Tahan Asam (BTA). Secara teori bakteri ini bisa menyerang tulang, selaput otak, usus, dan kelenjar getah bening (Achmadi 2006). Penyakit TBC adalah penyakit yang menular yang harus segera diberantas. Berbagai studi memberikan kesimpulan bahwa apabila seseorang tinggal bersama penderita TBC paru aktif untuk beberapa waktu lamanya, kemungkinan akan terinfeksi atau tertular sebesar 25-50%. Kuman TBC yang dikeluarkan bersama batuk akan berada di lingkungan rumah selama beberapa minggu sampai beberapa bulan. Kelembaban yang tinggi dan sirkulasi udara yang buruk di dalam kamar atau bangunan akan menyebabkan kuman TBC bertahan lebih lama dan siap menginfeksi orang-orang serumah terutama anakanak (Achmadi 2006). Imunisasi BCG adalah vaksin tertua yang mulai dikembangkan tahun 1921 dan kini digunakan oleh hampir semua negara, kecuali Amerika Serikat dan Belanda.
Tahun 1984 diadakan kongres internasional BCG yang pertama di
Paris. Peserta kongres yang terdiri dari berbagai ahli pengambil keputusan di mancanegara, mengambil kesimpulan dan sekaligus menyatakan bahwa imunisasi BCG aman dan efektif.
Sejak saat itu WHO dan UNICEF
berkampanye besar-besaran tentang BCG (Andriyanto 1992). Jadwal imunisasi BCG menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (2007), adalah usia 0-2 bulan sebanyak satu kali pemberian. Imunisasi Hepatitis B Berdasarkan penelitian (Tabel 38), sebanyak 87% contoh kelompok usia ≤ 6 bulan dan 81% contoh kelompok usia > 6 bulan telah mendapatkan imunisasi hepatitis B dengan lengkap. Pada Tabel 38 masih terlihat kelompok usia > 6 bulan yang belum lengkap menerima imunisasi hepatitis B (19%), padahal di dalam anjuran menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (2007), pemberian imunisasi hepatitis B adalah sebanyak 3 kali. Imunisasi pertama diberikan pada usia 0 bulan (dianjurkan < 24 jam setelah lahir), imunisasi kedua pada usia 1 bulan, dan imunisasi ketiga diberikan sekitar usia 3-6 bulan. Selain itu, imunisasi ini direkomendasikan untuk diberikan pada orang dewasa dengan 3 kali pemberian.
Tabel 38 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi imunisasi hepatitis B Usia contoh Frekuensi imunisasi
≤ 6 bulan
> 6 bulan
n
%
n
%
Belum
1
4
-
-
2 kali
2
9
5
19
3 kali (Lengkap)
20
87
22
81
Total
23
100
27
100
Imunisasi hepatitis B diberikan untuk mencegah penyakit hepatitis B. Hepatitis B adalah peradangan hati atau liver kronik hingga akut. Pada keadaan yang parah dapat menimbulkan kanker dan pengerasan hati.
Penyakit ini
disebabkan oleh virus yang dapat ditularkan dari ibu kepada bayi di dalam kandungannya melalui plasenta atau melalui simbahan darah ketika melahirkan, menular melalui luka kulit, dan melalui hubungan seksual. Selain itu penyakit ini sering dikaitkan dengan perilaku hidup tidak sehat dan sanitasi yang buruk (Andriyanto 1992). Imunisasi ini diberikan secara intramuskular yaitu pada otot paha.
Tidak perlu ada kekhawatiran untuk memberikan imunisasi ini karena
sudah dikenal aman dan efektif sejak tahun 1982 (Achmadi 2006). Imunisasi Polio Berdasarkan penelitian (Tabel 39), sebanyak 52% contoh kelompok usia ≤ 6 bulan dan sebanyak 59% contoh kelompok usia > 6 bulan telah mendapatkan imunisasi polio sebanyak 4 kali. Jadwal imunisasi polio anjuran Ikatan Dokter Anak Indonesia (2007) adalah sebanyak 6 kali.
Imunisasi pertama diberikan
sejak lahir, kedua usia 2 bulan, ketiga usia 4 bulan, keempat usia 6 bulan, kelima usia 18 bulan, dan imunisasi keenam diberikan pada usia 5 tahun. Oleh karena contoh belum ada yang melakukan imunisasi polio sampai imunisasi keenam, jadi kelengkapan imunisasinya belum lengkap semuanya. Hal ini dikarenakan usia contoh belum mencapai ketentuan anjuran imunisasi polio selanjutnya. Tabel 39 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi imunisasi polio Usia contoh Frekuensi imunisasi
≤ 6 bulan n
%
> 6 bulan n
%
Belum
1
4
-
-
1 kali
1
4
1
4
2 kali
2
9
2
7
3 kali
7
30
8
30
4 kali
12
52
16
59
Total
23
100
27
100
Imunisasi polio diberikan untuk mencegah penyakit polio karena virus yang menyebabkan kelumpuhan kaki (kelumpuhan tanpa kehilangan alat perasa). Virus polio masuk ke dalam tubuh melalui pencernaan. Penularannya melalui fecal oral, mula-mula dari tinja atau kotoran anak yang memiliki virus polio di dalam ususnya dan dibuang tidak pada tempatnya (misal, di sungai atau di halaman) kemudian datang lalat atau melalui udara dan mengkontaminasi makanan atau minuman yang dikonsumsi, masuk dan menempel di dinding usus halus, berkembangbiak di dalamnya, masuk menuju sistem saraf menimbulkan kelumpuhan dan seterusnya (Achmadi 2006). Imunisasi polio ada dua macam berdasarkan cara pemberiannya (Achmadi 2006) yaitu: 1. Penyuntikkan Cara ini membutuhkan biaya yang mahal karena harus menggunakan alat suntik dan tidak dapat menimbulkan kekebalan dinding usus untuk menolak virus polio dengan segera. Cara ini efektif untuk mencegah polio melalui
kekebalan
umum
untuk
jangka
panjang
(pembentukan
kekebalannya lambat, tapi untuk jangka panjang). 2. Diteteskan Cara ini lebih murah daripada penyuntikkan.
Mampu dengan cepat
membentuk kekebalan untuk melindungi dinding usus dari virus polio. Apabila diberikan sesuai aturan dapat memberikan perlindungan seumur hidup. Kelemahannya yaitu dikhawatirkan sisa vaksin (virus yang sudah dilemahkan) yang tercecer di lingkungan kembali menjadi virus aktif penyebab polio. Imunisasi DPT Berdasarkan penelitian (Tabel 40), sebanyak 57% contoh kelompok usia ≤ 6 bulan dan sebanyak 63% contoh kelompok usia > 6 bulan telah mendapatkan imunisasi DPT sebanyak 3 kali. Imunisasi ini termasuk imunisasi combo yang
jadwal imunisasinya menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (2007), dilakukan sebanyak 6 kali. Imunisasi pertama dilakukan pada usia 2 bulan, kedua usia 4 bulan, ketiga usia 6 bulan, keempat usia 18 bulan, kelima usia 5 tahun, dan imunisasi keenam diberikan pada usia 12 tahun. Tabel 40 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi imunisasi DPT Usia contoh Frekuensi imunisasi
≤ 6 bulan
> 6 bulan
n
%
n
%
Belum
1
4
-
-
1 kali
1
4
7
26
2 kali
8
35
3
11
3 kali
13
57
17
63
Total
23
100
27
100
Penyakit difteri adalah penyakit akut saluran pernapasan bagian atas yang sangat mudah menular. Penularannya melalui droplet (percikan ludah atau cairan dari wilayah mulut dan hidung) yang melayang di udara dalam sebuah ruangan dengan penderita atau melalui kontak memegang benda yang terkontaminasi
oleh
kuman
Corynebacterium diphteriae.
difteria.
Penyebab
penyakit
ini
adalah
Kuman yang tidak bergerak ini tahan dalam
beberapa minggu di air, suhu dingin (es), susu, dan lendir yang mengering. Gejalanya seperti pilek, napas sesak dan napasnya berbunyi (stridor) (Achmadi 2006). Penyakit pertusis adalah penyakit batuk rejan, menyerang bronkus bagian atas.
Penyebabnya adalah sejenis kuman yang disebut Bordetella pertusis.
Kuman ini sama dengan kuman difteri karena tidak dapat bergerak. Gejala awal penyakit pertusis berupa batuk-batuk ringan pada siang hari.
Semakin hari
batuknya semakin berat terus menerus tanpa henti diakhiri dengan napas panjang yang berbunyi melengking (Achmadi 2006). Penyakit tetanus adalah penyakit yang menular seperti halnya difteri, akan tetapi penularannya tersebut tidak langsung dari manusia ke manusia. Penyebabnya adalah sejenis kuman yang dinamakan Clostridium tetani. Kuman ini terutama spora atau “bijinya” banyak terdapat di lingkungan, tersebar luas di tanah dalam bentuk spora (biji siap tumbuh). Kuda dan kerbau dijadikan sebagai persinggahan sementara kuman ini yang membutuhkan suasana anaerob untuk
tumbuh. Gejala penyakit ini ada tiga tipe, tipe pertama: terjadi kontraksi otot-otot lokal dan tidak terjadi rhisus sardonikus (suatu keadaan berupa kekejangan atau spasme otot wajah dengan alis tertarik ke atas, sudut mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir juga tertekan kuat pada gigi), tipe kedua: umumnya sebanyak 30% penderita tetanus mengalami rhisus sardonikus, tipe ketiga: kekejangan yang menyerang saraf-saraf pusat dan jarang terjadi pada penderita (Achmadi 2006). Ketiga penyakit diatas dapat dicegah dengan imunisasi DPT (Difteri, Pertusis, dan Tetanus). Imunisasi Campak Pemberian imunisasi campak yang dianjurkan Ikatan Dokter Anak Indonesia (2007) adalah sebanyak 2 kali. Imunisasi pertama diberikan pada usia 9 bulan dan imunisasi kedua pada usia 6 tahun. Imunisasi campak bertahan 810 tahun, setelah itu kekebalan turun lagi, oleh karena itu kelas satu sekolah dasar imunisasi campak dianjurkan untuk diberikan kembali. Berdasarkan Tabel 41, ditemukan adanya pemberian imunisasi campak pada 9% contoh usia ≤ 6 bulan, hal itu menurut keterangan bidan tidak apa-apa, asalkan imunisasi sebelumnya sudah diberikan walaupun beberapa imunisasi belum lengkap, akan tetapi jika dibandingkan dengan anjuran di atas tentu tidak sesuai. Selain itu, hanya 26% contoh kelompok usia > 6 bulan telah mendapatkan 1 kali imunisasi campak. Tabel 41 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi imunisasi campak Usia contoh Frekuensi imunisasi
≤ 6 bulan
> 6 bulan
n
%
n
%
Belum
21
91
20
74
1 kali
2
9
7
26
Total
23
100
27
100
Campak adalah suatu penyakit yang menimbulkan bintik-bintik merah di seluruh badan, bahasa latinnya adalah Rubeola dan Morbilli dari kata Morbus (penyakit).
Penyebab campak adalah virus yang bergenus Morbilivirus dan
keluarga Paramycoviridae.
Penyakit ini adalah penyakit yang menular lewat
udara melalui sistem pernapasan, terutama percikan ludah (cairan yang keluar ketika seseorang bersin atau batuk atau berbicara) penderita.
Gejala awal
campak biasanya adalah demam, lemah, kemerahan pada mata, dan radang trakea.
Imunisasi campak mulai dikembangkan sejak tahun 1960 dengan
menggunakan virus yang dilemahkan. Mula-mula digunakan Strain edmoniton beta, namun karena sering menimbulkan panas tinggi, maka dunia beralih ke Strain schwartz (Achmadi 2006). Pemberian Suplemen Vitamin A Pemberian vitamin A pada contoh yang > 6 bulan baru sebanyak 44%, hal ini dikarenakan contoh yang lainnya yang belum mendapat vitamin A pada kelompok usia > 6 bulan (56%) belum genap berusia 6 bulan disaat bulan vitamin A. Sedangkan sebanyak 4% contoh kelompok usia ≤ 6 bulan ada yang telah mendapatkan vitamin A, karena usianya genap 6 bulan bertepatan dengan pemberian vitamin A di posyandu (Tabel 42).
Tabel 42 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi pemberian vitamin A Frekuensi pemberian
Usia contoh ≤ 6 bulan
> 6 bulan
n
%
n
%
Belum
22
96
15
56
Sudah 1 kali
1
4
12
44
Total
23
100
27
100
vitamin A
Vitamin A adalah salah satu zat gizi penting untuk kesehatan. Zat gizi ini tidak dapat dibuat oleh tubuh sehingga harus dipenuhi dari luar (esensial), terutama dari makanan sehari-hari.
Vitamin A penting untuk pertumbuhan,
kesehatan, dan penglihatan yang baik. Selain itu vitamin A berperan di dalam peningkatan daya tahan tubuh terhadap penyakit infeksi. Kekurangan vitamin A (KVA) berat dapat menimbulkan kebutaan. Kekurangan vitamin A selain tidak cukup makan bahan makanan sumber vitamin A, juga karena penyerapan di dalam tubuh tidak baik. Bayi dan anak-anak usia 6 bulan sampai dengan 5 tahun, ibu hamil, dan ibu menyusui merupakan golongan yang mudah menderita KVA. Bayi di bawah usia 6 bulan yang tidak disusui ASI juga sangat mudah menderita KVA (Departemen Kesehatan 1995).
Mencegah KVA adalah mengusahakan agar tiap orang dapat menjamin dirinya memperoleh cukup bahan makanan yang mengandung vitamin A tiap hari. Apabila bahan pangannya sukar dicari maka perlu dikembangkan usaha pemanfaatan pekarangan rumah sebagai sumber yang dapat menghasilkan berbagai bahan makanan kaya vitamin A. Selain itu, kapsul vitamin A dosis tinggi dapat diberikan kepada mereka yang sangat mudah menderita KVA. Pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi ini ditujukan untuk balita usia 6-11 bulan dengan dosis 100000 SI dan balita usia 1-5 tahun dengan dosis 200000 SI, diberikan setiap 6 bulan sekali.
Kapsul dosis tinggi ini dapat diperoleh di
posyandu pada bulan Februari dan Agustus (Departemen Kesehatan 1995). Selain kapsul vitamin A dosis tinggi terdapat beberapa bahan makanan yang tinggi vitamin A yang dapat dikonsumsi sebagai MPASI yaitu daun singkong, daun pepaya, tomat, dan sayur-sayuran, buah-buahan lainnya. Agar vitamin A yang ada di dalam bahan makanan dapat dimanfaatkan secara optimal, pengolahannya bisa ditambahkan dengan minyak goreng atau santan. Lemak (minyak goreng atau santan) dapat mempermudah penyerapan vitamin A di dalam tubuh, selain untuk menambah energi yang diperlukan anak. Hubungan Berbagai Variabel dengan Pola Asuh Kesehatan Hubungan Karakteristik Responden dengan Pola Asuh Kesehatan Usia Responden. Hasil uji korelasi Pearson (Tabel 43) menunjukkan bahwa usia responden tidak berhubungan (p>0,05) dengan lama pemberian ASI saja. Hal ini diduga karena berapa pun usia responden, ia dapat lebih tinggi atau lebih rendah kesadarannya untuk memberikan ASI secara tepat kepada contoh. Usia responden dengan tingkat kecukupan energi dan protein tidak memiliki hubungan (p>0,05). Hal ini diduga karena berapa pun usia responden, ia selalu berusaha memberikan konsumsi terbaik pada contoh sesuai dengan kemampuan pemahamannya terhadap pentingnya praktek pemenuhan gizi. Usia responden tidak berhubungan (p>0,05) dengan kelengkapan penimbangan. Hal ini diduga karena berapa pun usia responden, keikutsertaan atau tidaknya untuk rajin membawa contoh ke posyandu tergantung pada kesadaran dan persepsi penting tidaknya memperhatikan tumbuh kembang contoh secara kontinyu di posyandu. Pendidikan Responden.
Hasil uji korelasi Pearson (Tabel 43)
menunjukkan tidak ada hubungan (p>0,05) antara lama pendidikan responden
dengan lama pemberian ASI saja, tingkat kecukupan energi dan protein, serta kelengkapan KMS. Hal ini diduga karena walaupun pendidikan dan pengetahuan gizi responden tinggi tidak menjamin seseorang untuk bisa mengaplikasikan cara pola asuh kesehatan yang baik.
Selain dari pendidikan formal pembelajaran
mengenai pola asuh kesehatan yang baik dapat diakses melalui informasiinformasi dari media cetak maupun elektronik, media penyuluhan, dan mediamedia lainnya yang tersedia untuk umum (Suhardjo 1996). Pengetahuan Gizi Responden. Hasil uji korelasi Pearson (Tabel 43) menunjukkan bahwa pengetahuan gizi responden tidak memiliki hubungan (p>0,05) dengan lama pemberian ASI saja, tingkat kecukupan energi dan protein, serta kelengkapan penimbangan.
Hal ini diduga karena tinggi rendahnya
pengetahuan gizi responden tidak akan ada artinya jika tidak disertai dengan aplikasi di dalam kehidupan sehari-hari. Bisa saja responden yang pengetahuan gizinya lebih tinggi kurang mengaplikasikan pengetahuannya tersebut, sehingga pola asuh kesehatan terhadap contoh sama saja dengan yang pengetahuan gizinya rendah.
Kemudian, mungkin ada juga responden yang pengetahuan
gizinya rendah tapi ia memiliki pola asuh kesehatan yang tepat karena ia mengikuti orang tuanya dulu, tetapi tidak tahu dasarnya mengapa hal tersebut harus dilakukan. Pekerjaan Responden. Berdasarkan uji korelasi Spearman (Tabel 43) tidak ada hubungan (p>0,05) antara pekerjaan responden dengan lama pemberian ASI saja.
Ini menunjukkan bahwa apa saja pekerjaan responden
(baik itu banyak di luar rumah atau di dalam rumah) ada saja kemungkinan untuk memberikan atau tidak memberikan ASI secara tepat. Hal ini diduga karena pemberian ASI secara tepat diperlukan kemampuan, kesadaran, dan keinginan yang kuat untuk melakukannya dan mengorbankan waktu, sehingga apa pun pekerjaan ibu, alokasi waktu untuk menyusui perlu dipikirkan. Berdasarkan uji korelasi Spearman dapat diketahui bahwa terdapat hubungan positif antara pekerjaan responden dengan tingkat kecukupan energi (rs=0,338*, p=0,017) dan tidak ada hubungan dengan tingkat kecukupan protein (p>0,05).
Hal ini
menunjukkan bahwa semakin sering responden bekerja di luar rumah maka semakin tinggi terpenuhinya kebutuhan energi contoh.
Hal ini diduga karena
waktu responden yang dialokasikan untuk menyusui tidak cukup sehingga responden memberikan makanan tambahan bagi contoh walaupun usia contoh
belum waktunya (Ramaiah 2006). Uji korelasi Spearman menunjukkan tidak ada hubungan
(p>0,05)
penimbangan.
antara
pekerjaan
responden
dengan
kelengkapan
Hal ini diduga karena kurangnya kesadaran responden untuk
membawa contoh ke Posyandu dan melakukan penimbangan. Pendapatan Perkapita Perbulan Responden. Hasil uji korelasi Pearson (Tabel 43) menunjukkan bahwa pendapatan perkapita perbulan responden tidak memiliki hubungan (p>0,05) dengan lama pemberian ASI saja kepada contoh. Berdasarkan uji korelasi Pearson dapat diketahui bahwa terdapat hubungan positif antara pendapatan perkapita perbulan responden dengan tingkat kecukupan energi contoh (rp=0,279*, p=0,050) dan dengan tingkat kecukupan protein contoh (rp=0,287*, p=0,043).
Ini menunjukkan bahwa semakin tinggi
tingkat pendapatan perkapita perbulan responden, maka akan semakin tinggi tingkat pemenuhan kecukupan energi dan protein contoh.
Hal ini bisa
mengasumsikan bahwa pendapatan perkapita perbulan responden yang semakin tinggi sebagian besar dialokasikan untuk pembelian kebutuhan pangan, sehingga distribusi makanan diantara anggota keluarga lebih merata dan akhirnya akan terpenuhi kecukupan zat gizinya (Sukarni 1989).
Uji korelasi Pearson
menunjukkan tidak ada hubungan (p>0,05) antara pendapatan perkapita perbulan dengan kelengkapan penimbangan. Tabel 43 Analisis korelasi antara karakteristik responden dengan pola asuh kesehatan Karakteristik responden Usia## Pendidikan## Pengetahuan gizi ## Pendapatan## Pekerjaan#
Keterangan:
r p
##
#
** *
Lama Pemberian ASI r p -0,052 0,726 0,145 0,326 0,024 0,870 0,020 0,891 0,212 0,149
TKE r -0,110 0,078 0,039 0,279* 0,338*
p 0,449 0,592 0,786 0,050 0,017
TKP r -0,005 -0,029 0,050 0,287* 0,169
p 0,971 0,840 0,729 0,043 0,240
Kelengkapan Penimbangan r -0,046 0,103 0,018 -0,003 0,200
= koefisien korelasi = nilai signifikansi = uji korelasi Pearson = uji korelasi Spearman = nilai signifikansi < 0,01 = nilai signifikansi < 0,05
Hubungan Karakteristik Contoh dengan Pola Asuh Kesehatan
p 0,753 0,478 0,899 0,982 0,162
Usia contoh. Uji korelasi Pearson (Tabel 44) menunjukkan tidak ada hubungan (p>0,05) antara usia contoh dengan lama pemberian ASI saja dan kelengkapan KMS.
Uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa ada hubungan
positif antara usia contoh dengan tingkat kecukupan protein (rp=0,299*, p=0,035). Dapat diartikan bahwa semakin besar usia contoh semakin tinggi tingkat kecukupan protein yang terpenuhi.
Hal ini karena semakin bertambah usia
contoh, semakin banyak makanan yang diketahui dan disukai untuk dikonsumsi, sehingga tidak hanya kecukupan energi yang terpenuhi tapi juga kecukupan proteinnya.
Uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat
kecukupan energi terpenuhi maka akan terpenuhi juga tingkat kecukupan protein, dan begitu juga sebaliknya (rp=0,755**, p=0,000). Kelahiran Cukup Bulan pada Contoh. Pemberian kolostrum dengan kelahiran cukup bulan pada contoh memiliki hubungan yang positif (rs=0,281*, p=0,048).
Artinya contoh yang lahirnya cukup bulan akan lebih tinggi
kemungkinannya mendapatkan kolostrum di awal kelahiran.
Hal ini dapat
disebabkan karena responden yang melahirkan tepat waktu biasanya memiliki kesiapan fisik dan mental untuk mempersiapkan peralihan tugasnya yang semula sebagai ibu hamil menjadi ibu menyusui (Ramaiah 2006).
Bekal kesiapan
tersebut dapat membuat ibu lebih tenang, sehingga lebih lancar untuk segera mengeluarkan ASI nya, terutama kolostrum sebagai ASI pertama. Kolostrum sebagai imunisasi pertama bayi tidak dapat digantikan oleh pralaktal karena bayi yang diberikan pralaktal ketika lahir memungkinkan bayi tersebut tidak mau mengonsumsi kolostrum (uji korelasi Spearman, rs=-0,392**, p=0,005).
Lama
pemberian ASI saja, tingkat kecukupan energi dan protein, serta kelengkapan penimbangan tidak memiliki hubungan (p>0,05) dengan kelahiran cukup bulan pada contoh (Tabel 44). Tempat dan Pembantu Kelahiran Contoh.
Uji korelasi Spearman
(Tabel 44) menunjukkan tidak ada hubungan (p>0,05) antara tempat dan pembantu kelahiran contoh dengan lama pemberian ASI saja, tingkat kecukupan energi dan protein, serta kelengkapan penimbangan.
Hal ini menunjukkan
adanya kecenderungan bahwa tidak selamanaya tempat dan pembantu kelahiran contoh di tempat pelayanan kesehatan dan dengan petugas kesehatan yang handal menjamin contoh mendapatkan pola asuh kesehatan yang baik. Tidak semua petugas kesehatan menyadari dengan sepenuh hati bahwa pemberian
ASI yang tepat amatlah penting dan tidak semua petugas kesehatan memberikan penyuluhan serta himbauan kepada keluarga dan ibu yang baru melahirkan untuk memberikan pola asuh kesehatan yang baik (Kurniadi 2006). Akhirnya, segala macam hal yang berkaitan dengan pola asuh kesehatan bayi setelah lahir menjadi masalah bagi keluarga dan ibu yang baru melahirkan. Tabel 44 Analisis korelasi antara karakteristik contoh dengan pola asuh kesehatan Karakteristik contoh ##
Usia Lahir cukup bulan# Tempat kelahiran# Pembantu kelahiran# Keterangan: r p ## #
** *
Lama TKE Pemberian ASI r p r p -0,091 0,541 0,266 0,062 0,074 0,618 -0,117 0,419 0,135 0,362 0,199 0,166 0,103 0,484 0,178 0,215 = koefisien korelasi = nilai signifikansi = uji korelasi Pearson = uji korelasi Spearman = nilai signifikansi < 0,01 = nilai signifikansi < 0,05
TKP r 0,299* -0,073 0,057 0,013
p 0,035 0,614 0,695 0,929
Kelengkapan Penimbangan r -0,060 0,049 0,139 0,108
p 0,680 0,735 0,336 0,457
Pengaruh Pemberian Air Susu Ibu (ASI) dan Konsumsi Zat Gizi Terhadap Status Gizi Contoh Berdasarkan uji regresi linier (Tabel 45), lama pemberian ASI saja berpengaruh (p=0,000) terhadap status gizi contoh. Hal ini menunjukkan bahwa contoh yang diberikan ASI secara eksklusif memiliki status gizi yang lebih baik daripada yang tidak diberikan ASI eksklusif. Menurut Roesli (2000), tidak hanya status gizinya saja yang lebih baik, akan tetapi kecerdasan, kesehatan, dan perkembangan bayi yang diberikan ASI eksklusif akan lebih baik daripada yang tidak diberikan ASI eksklusif. Berdasarkan uji regresi linier (Tabel 45), tingkat kecukupan protein contoh berpengaruh (p=0,000) terhadap status gizi.
Protein berfungsi di dalam
pertumbuhan dan perbaikan sel-sel yang rusak. Tingkat kecukupan protein akan mendukung lebih baiknya proses pertumbuhan pada anak sampai mereka dewasa.
Sebaliknya, jika anak kekurangan protein, pertumbuhannya akan
terhambat, sehingga berpengaruh terhadap kondisi status gizinya (Hardinsyah dan Martianto 1992). Pengaruh Kelengkapan Kartu Menuju Sehat (KMS) Terhadap Status Gizi
Kelengkapan Penimbangan. Kelengkapan penimbangan pada contoh dapat dijadikan indikator bahwa responden rajin membawa contoh ke posyandu untuk memantau status gizinya.
Berdasarkan uji regresi linier (Tabel 45)
kelengkapan penimbangan berpengaruh (p=0,007) terhadap status gizi contoh. Jadi semakin lengkap penimbangan yang dilakukan responden terhadap contoh, maka semakin sering responden ke posyandu untuk memantau pertumbuhan dan perkembangan contoh, sehingga jika terjadi hal yang tidak diinginkan yang mempengaruhi status gizi contoh, dapat segera ditanggulangi (Sembiring 2004). Kelengkapan Imunisasi.
Kelengkapan imunisasi contoh terutama
imunisasi hepatitis B, imunisasi DPT, dan imunisasi campak berpengaruh (berturut-turut p=0,003, p=0,008, dan p=0,000) terhadap status gizi (Tabel 45). Menurut Achmadi (2006), kelengkapan imunisasi akan menyebabkan tubuh memiliki kekebalan untuk bertahan dari berbagai penyakit. Apabila tubuh bebas dari penyakit maka metabolisme zat gizi di dalam tubuh tidak akan terhambat, sehingga proses penyerapan zat gizi berjalan lancar. Pemberian vitamin A juga berdasarkan uji regresi linier berpengaruh (p=0,000) terhadap status gizi contoh (Tabel 45). Tabel 45 Analisis regresi linier antara variabel pola asuh kesehatan dengan status gizi contoh Variabel bebas Constant Lama pemberian ASI saja TKP Kelengkapan penimbangan Kelengkapan imunisasi hepatitis B Kelengkapan imunisasi DPT Kelengkapan imunisasi campak Pemberian vitamin A R2 = koefisien determinasi Variabel terikat: status gizi contoh
Koefisien 7,663 0,956 0,012 0,083 0,400 1,106 0,781 1,103 0,981
p 0,000 0,000 0,000 0,007 0,003 0,008 0,000 0,000
KESIMPULAN dan SARAN Kesimpulan 1. a. Usia ibu (responden) dari contoh berkisar antara 18 tahun sampai dengan 40 tahun dengan rata-rata 27 tahun. Sebanyak 40% ibu memiliki pendidikan yang tergolong tinggi dan 60% tergolong rendah. Sebagian besar (90%) ibu bekerja sebagai ibu rumah tangga dan lainnya sebanyak 6% pegawai negeri sipil, 2% buruh, dan 2% wiraswasta. Sebesar 72% keluarga contoh memiliki tingkat ekonomi yang tergolong miskin (kategori Bank Dunia 2002) dan berdasarkan kategori BPS kota Bogor (2006) menunjukkan bahwa 34% keluarga contoh termasuk kategori miskin.
Sebanyak 58% keluarga
termasuk kategori keluarga besar. b. Contoh terdiri dari kelompok usia ≤ 6 bulan (laki-laki 48% dan perempuan 52%), dan kelompok usia > 6 bulan (laki-laki 67%, perempuan 33%). Data riwayat kelahiran menunjukkan bahwa 76% contoh lahir cukup bulan (9 bulan), berat lahir contoh sebagian besar (96%) normal (≥ 2,5 kg). Sebesar 46% contoh dilahirkan di petugas kesehatan dan paling banyak (52%) menggunakan jasa bidan untuk membantu kelahirannya. c. Sebanyak 8% ibu memiliki pengetahuan gizi yang tergolong baik, dan yang tergolong cukup dan kurang masing-masing sebanyak 46%. d. Sebanyak 34% contoh diberikan ASI eksklusif dan sisanya 66% contoh tidak mendapatkan ASI eksklusif. e. Sebagian besar (98%) contoh memiliki tingkat kecukupan energi (TKE) >70% dan 76% contoh memiliki tingkat kecukupan protein (TKP) > 70%. f. Kelengkapan KMS terdiri dari kelengkapan penimbangan (dilihat dari frekuensinya penimbangan), kelengkapan imunisasi (dilihat dari frekuensi imunisasinya) dan pemberian vitamin A (dilihat dari frekuensi pemberiannya). Kelompok contoh usia ≤ 6 bulan frekuensi penimbangannya lebih lengkap dibandingkan dengan kelompok contoh usia > 6 bulan (berturut-turut sebanyak 52% dan 48% contoh yang penimbangannya kontinyu berdasarkan kelompok usia). Sebanyak 100% contoh telah diimunisasi BCG dengan lengkap. Sebanyak 87% contoh usia ≤ 6 bulan dan 81% contoh usia > 6 bulan telah diimunisasi hepatitis B dengan lengkap. Sebanyak 52% contoh
usia ≤ 6 bulan dan sebanyak 59% contoh usia > 6 bulan telah mendapatkan imunisasi polio sebanyak 4 kali. Sebanyak 57% contoh usia ≤ 6 bulan dan sebanyak 63% contoh > 6 bulan telah mendapatkan imunisasi DPT sebanyak 3 kali.
Sebanyak 26% contoh usia > 6 bulan telah mendapatkan 1 kali
imunisasi campak. Pemberian vitamin A pada contoh yang > 6 bulan baru sebanyak 44%. g. Contoh sebagian besar (43% perempuan dan 57% laki-laki) memiliki status gizi (BB/U) yang baik. Status gizi contoh yang baik, pada umumnya memiliki nilai z-score diantara -2 sampai dengan -1, ini artinya contoh yang berstatus gizi baik rentan mengalami status gizi kurang. 2. a. Uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa usia, pendidikan, pengetahuan gizi, dan pendapatan perkapita perbulan responden tidak berhubungan (p>0,05) dengan lama pemberian ASI saja dan kelengkapan penimbangan. Uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa usia, pendidikan, pengetahuan gizi responden tidak berhubungan (p>0,05) dengan tingkat kecukupan energi dan protein contoh. Pendapatan perkapita per bulan responden, berhubungan positif dengan tingkat kecukupan energi (p<0,05) dan protein (p<0,05) contoh. b. Uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa pekerjaan responden tidak berhubungan (p>0,05) dengan lama pemberian ASI saja dan kelengkapan penimbangan.
Pekerjaan responden berhubungan positif dengan tingkat
kecukupan energi (p<0,05) dan tidak berhubungan dengan tingkat kecukupan protein (p>0,05). c. Uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa usia contoh tidak berhubungan (p>0,05) dengan lama pemberian ASI saja dan kelengkapan penimbangan. Uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa usia contoh berhubungan positif dengan tingkat kecukupan protein (p<0,05), tetapi tidak berhubungan dengan tingkat kecukupan energi (p>0,05). d. Uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa kelahiran cukup bulan, tempat, dan pembantu kelahiran contoh tidak berhubungan (p>0,05) dengan lama pemberian ASI saja, kelengkapan penimbangan, tingkat kecukupan protein dan energi pada contoh.
3. Uji regresi linier menunjukkan bahwa lama pemberian ASI saja (p<0,01) dan tingkat kecukupan protein (p<0,01) berpengaruh terhadap status gizi contoh. Tingkat kecukupan energi contoh tidak berpengaruh (p>0,05) terhadap status gizi contoh. 4. Uji
regresi
linier
menunjukkan
bahwa
kelengkapan
penimbangan
berpengaruh (p<0,01) terhadap status gizi contoh. Kelengkapan imunisasi contoh terutama imunisasi hepatitis B, imunisasi DPT, dan imunisasi campak berpengaruh (p<0,01) terhadap status gizi contoh. Saran 1. Penelitian yang akan datang diharapkan untuk menyertakan variabel infeksi, aktifitas, kehiegenisan dan sanitasi lingkungan sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi dan memperbesar rentang usia contoh hingga usia 5 tahun agar kelengkapan KMS dapat terlihat dengan jelas. 2. Kader dan petugas kesehatan diharapkan mengoptimalkan fungsi KMS untuk menjadi alat penyuluhan dan sumber informasi bagi ibu balita. 3. Kader diharapkan meningkatkan kesadaran ibu untuk membawa bayinya ke posyandu hingga genap lima tahun dan mengikuti setiap kegiatan di posyandu. 4. Pemberian pralaktal sebaiknya dihindari, bayi yang baru lahir hendaknya diberikan kolostrum. 5. Pemberian ASI saja tetap diberikan hingga bayi berusia 6 bulan, MPASI setelah usia bayi 6 bulan sampai dengan 24 bulan, dan PASI sejak bayi disapih (24 bulan).
DAFTAR PUSTAKA Achmadi UF. 2006. Imunisasi Mengapa Perlu. Jakarta: Buku Kompas. Albar H. 2004. Makanan pendamping ASI. Cermin Dunia Kedokteran 145: 5255. Alvarado BE, Zunzunegui MV, Delisle H, Osorno J. 2005. Growth trajectories are influenced by breastfeeding and infant health in Afro-Colombian community. The Journal of Nutrition 135 (9): 2171-2178. Amelia I. 2004. Pola Pemberian Makan dan Status Gizi Anak di Bawah Dua Tahun (BADUTA) di Pedesaan dan Perkotaan Kabupaten Kuningan Propinsi Jawa Barat [skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Andrianto P. 1992. Imunisasi dalam Praktik. Jakarta: Hipokrates. Anonim. 2007. Composition of Breastmilk. www.DairyforAll.com [1 Maret 2008]. Arora S, McJunkin C, Wehrer J, Kuhn P. 2000. Major factors influencing breastfeeding rates: mother’s perception of father’s attitude and milk supply. Official Journal of The American Academy of Pediatrics 106 (5): 1-5. www.pediatrics.org [16 Agustus 2007]. Bouwstra H et al. 2003. Exclusive breastfeeding of healthy term infant for at least 6 weeks improves neurological condition. The Journal of Nutrition 133 (12): 4243-4245. [BPS] Badan Pusat Statistika. 2007. Data dan Informasi Kemiskinan 2005-2006, Buku 2:Kabupaten. Jakarta: Badan Pusat Statistika. Chantry CJ, Howard CR, Auinger P. 2006. Full breastfeeding duration and associated decrease in respiratory tract infection in US children. Official Journal of The American Academy of Pediatrics 117 (2): 425-432. www.pediatrics.org [16 Agustus 2007]. [Depdiknas] Departemen Pendidikan Nasional. Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. [Depkes] Departemen Kesehatan. 1994. Jakarta: Departemen Kesehatan.
2005.
Kamus Besar Bahasa
Hasil Pentaloka ASI Eksklusif.
[Depkes] Departemen Kesehatan, Hellen Keller Internasional. 1995. Vitamin. Jakarta: Departemen Kesehatan. [Depkes, Kessos] Departemen Kesehatan, Kesejahteraan Sosial. 2000. Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MPASI). Jakarta: Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial.
Forster DA, McLachlan HL, Lumley J. 2006. Factors associated with breastfeeding at six months postpartum in a group of Australian women. Internasional Breastfeeding Journal 1 (18): 1-12. www.internationalbreastfeedingjournal.com [13 Agustus 2007]. Gunawan AW, Achmadi SS, Arianti L. 2007. Pedoman Penyajian Karya Ilmiah. Bogor: IPB Press. Hardinsyah, Martianto D. 1992. Gizi Terapan. Institut Pertanian Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Heriyanto W. 2001. Hubungan Keadaan Lingkungan, Pola Asuh dan Konsumsi Pangan Anak dengan Status Gizi Anak Baduta pada Keluarga Miskin dan Tidak Miskin [skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hurlock EB. 2000. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Istiwidayanti, penerjemah. Jakarta: Erlangga. [IDAI] Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2007. Jadwal Imunisasi Penting Diikuti. www.anakku.net [1 Maret 2008]. Jakobsen M et al. 2003. Breastfeeding status as a predictor of mortality among refugee children in an emergency situation in Guinea-Bissau. Tropical Medicine and International Health 8 (11): 992–996. Khomsan A. 2000. Teknik Pengukuran Pengetahuan Gizi. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Khomsan A. Anwar F, Sukandar D, Riyadi H, Mudjajanto ES. 2007. Studi Implementasi Program Gizi: Pemanfaatan, Cakupan, Keefektifan, dan Dampak Terhadap Status Gizi. Departemen Gizi Masyarakat, Institut Pertanian Bogor. Krisnatuti D, Yenrina R. 2000. Menyiapkan Makanan Pendamping ASI. Jakarta: Puspa Swara. Kurniadi R. Agustus 2006. Kebijakan ASI eksklusif dan permasalahannya. Warta Progizi 2 (2): 10-14. Latief D, Atmarita, Minarto, Jahari AB, Tilden R. 2002. Konsumsi Pangan Tingkat Rumah Tangga Sebelum dan Selama Krisis Ekonomi. Prosiding Widiakarya Pangan dan Gizi VII. Jakarta: PPT-UPI. Linkages. 2002. Pemberian ASI Eksklusif atau ASI saja : Satu-Satunya Sumber Cairan yang Dibutuhkan Bayi Usia Dini. www.linkagesproject.org [10 Maret 2002].
Muchtadi D. 2002. Gizi untuk Bayi (ASI, Susu Formula, dan Makanan Tambahan). Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Mudjianto T. 2001. Efektifitas Kartu Menuju Sehat (KMS) Anak Balita Sebagai Sarana Penyuluhan Gizi di Posyandu. Laporan Penelitian Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan, Bogor. Pascale KNA, Laure NJ, Enyong OJ. 2007. Factors associated with breastfeeding as well as the nutritional status of infants (0-12) months: an epidemiological study in Yaounde, Cameroon. Pakistan Journal of Nutrition 6 (3): 259-263. Piwoz EG, Romania GL, Kanashiro HC, Black RE, Brown KH. 1994. Indicators for monitoring the growth of Peruvian infants: weight and length gain vs attained weight and length. American Journal of Public Health 84 (7): 1132-1138. Pranadji D. Retnaningsih K, Ruwiyah. 2001. Analisis faktor yang berhubungan dengan status gizi kurang pada Balita. Media Gizi dan Keluarga 25(1): 96-104. Ramaiah S. 2006. ASI dan Menyusui. Jakarta: Buana Ilmu Populer. Riyadi H. 2001. Metode Penilaian Status Gizi Secara Antropometri. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Roesli U. 2000. Mengenal ASI Eksklusif. Jakarta: Trubus Agriwidya. _______. 2001. Bayi Sehat Berkat ASI Eksklusif. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Sembiring N. 2004. Posyandu Sebagai Sarana Peran Serta Masyarakat Dalam Usaha Peningkatan Kesehatan Masyarakat. Laporan Penelitian Universitas Sumatera Utara Library. www.usu-library.ac.id [16 Mei 2007]. [Selasi] Sentra Laktasi Indonesia. 2008. Bekal Ibu Hamil. www.selasi.com [10 Maret 2008]. Siregar
A. 2004. Pemberian ASI Eklusif Dan Faktor-faktor Yang Mempengaruhinya. Laporan Penelitian Universitas Sumatera Utara Library. www.usu-library.ac.id [16 Mei 2007].
Soetjiningsih. 1997. ASI: Petunjuk untuk Tenaga Kesehatan. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Suhardjo. 1992. Kanisius.
Pemberian Makanan Pada Bayi dan Anak.
Yogyakarta
_______. 1996. Berbagai Cara Pendidikan Gizi. Institut Pertanian Bogor: Kerjasama Bumi Aksara dan Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Sukarni M. 1989. Kesehatan Keluarga dan Lingkungan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Sulamto. 1993. Partisipasi Masyarakat Desa dalam Peningkatan Kegiatan Pos Pelayanan Terpadu (POSYANDU) (Kasus di Desa-Desa Kabupaten Semarang). Tesis Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Suryati T, Indriasih E. April 2007. Tinjauan implementasi kartu berobat yang dijamin pemerintah di PUSKESMAS tahun 2005 (dalam program jaminan kesehatan masyarakat miskin). Buletin Penelitian Sistem Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia 2 (10): 93-180. Tackett, Kendall K. 2007. A new paradigm for depression in new mothers: the central role of inflammation and how breastfeeding and anti-inflammatory treatments protect maternal mental health. Internasional Breastfeeding Journal 2 (6): 1-14. www.internationalbreastfeedingjournal.com Tarwa, De Villiers. 2007. The use of the road to health card in monitoring child health. SA Farm Fact 49 (1): 15. www.safpj.co.za. Wahana Komputer. 2006. Pengolahan Data Statistik dengan SPSS 14. Jakarta: Salemba Infotek. Widjaja MC. 2001. Gizi Tepat untuk Perkembangan Otak dan Kesehatan Balita. Jakarta: Kawan Pustaka. Winarno FG. 1995. Gizi dan Makanan Bagi Bayi dan Anak Sapihan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. [WB] World Bank. 2002. World Development Indicator. Washington DC: World Bank.
Lampiran 1 Kode:.................... Kuesioner Penelitian
PENGARUH PEMBERIAN AIR SUSU IBU (ASI), KONSUMSI GIZI, DAN KELENGKAPAN KARTU MENUJU SEHAT (KMS) TERHADAP STATUS GIZI BAYI
Nama responden
: ..................................................................................
Nomor contoh
: ..................................................................................
Nama contoh
: ..................................................................................
Alamat
: ..................................................................................
Nomor yang bisa dihubungi :................................................................................... Posyandu
: ..................................................................................
Tanggal wawancara
: ..................................................................................
Tanggal pemeriksaan
: ...................................................................................
PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
A. Karakteristik keluarga No. Nama Status L/P* 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. * = Laki-laki/Perempuan
Usia
Pendidikan
Pekerjaan
Pendapatan
B. Karakteristik anak usia 4-12 bulan 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Nama anak Anak ke berapa Tempat, tanggal lahir Umur Jenis kelamin# Apakah lahir cukup bulan# 7. Anak dilahirkan di#
: : : : a. Laki-laki a. Ya
b. Perempuan b. Tidak, .......... bulan
a. Rumah sendiri b. Rumah petugas kesehatan/klinik bersalin c. Rumah sakit d. Lainnya (sebutkan)................. 8. Kelahiran dibantu a. Dukun bayi/paraji oleh# b. Bidan c. Dokter d. Lainnya (sebutkan)................ 8. Berat badan lahir : ..............kilogram 9. Berat badan sekarang : ..............kilogram Keterangan : # = lingkari yang sesuai C. Pola asuh kesehatan Pralaktal (makanan atau minuman yang pertama kali sekali dioleskan ke bibir bayi ketika baru lahir dan bayi belum diberikan apapun) 1.
Apakah bayi ibu diberikan pralaktal ? #
2.
Jika YA, apa pralaktal yang diberikan ? #
3.
a. b. a. b. c. d.
Ya Tidak Madu Gula Kopi Lainnya (sebutkan)...........
Mengapa ibu memberikan pralaktal ? ...................................................................................................................... Keterangan : # = lingkari yang sesuai
Pemberian ASI (Air Susu Ibu) 1. 2.
Apakah ASI yang keluar pertama kali (kolostrum) diberikan pada anak ? # Jika TIDAK, mengapa ? #
3.
Apakah sampai saat ini ASI masih diberikan ? #
4.
Jika YA, bagaimana jadwal pemberian ASI ? #
5. 6.
Lama waktu menyusui ? Sampai usia berapa ibu berniat menyusui bayinya ? Keterangan : # = lingkari yang sesuai
a. b. a. b. c. d.
Ya Tidak Encer dan keruh Ada yang melarang Bau amis Lainnya (sebutkan) ................. a. Ya b. Tidak (lanjutkan ke Pemberian PASI) a. Setiap kali menangis b. Setiap 3 jam sekali c. Lainnya (sebutkan)................. : ....................menit Usia...............bulan
Pemberian MPASI (Makanan Pendamping ASI) 1.
Apakah anak diberikan makanan atau minuman selain ASI ? # Jika YA, mengapa ? #
a. Ya b. Tidak, lanjutkan ke nomor 9 2. a. ASI kurang b. Anjuran dokter atau bidan c. Membiasakan anak d. Lainnya (sebutkan)................. 3. Sejak kapan anak diberi makanan atau Sejak...............bulan minuman selain ASI ? sampai.............bulan/sekarang 4. Makanan atau minuman lain apa yang diberikan selain ASI ? JADWAL PEMBERIAN No. JENIS MPASI (berapa kali sehari) 1 Buah/sari buah* 2 Bubur tepung 3 Nasi tim 4 Lainnya (sebutkan)................................................................ * = coret yang tidak perlu 5. Bagaimana ibu menyajikan makanan a.Berganti-ganti setiap hari tersebut?# b.Kadang-kadang ganti bila anak sudah bosan c. Tidak pernah berganti-ganti sampai anak suka makanan tersebut d.Lainnya (sebutkan)........................ 6. Apakah anak mempunyai masalah a.Ya b.Tidak dalam hal makan ? # 7. Jika YA, masalah apa yang dihadapi a.Tidak mau makan # b.Makan banyak tapi makanan anak ? dipilih-pilih c. Tidak pilih-pilih makanan tapi makannya sedikit d.Memilih-milih makanan dan makannya sedikit e.Lainnya (sebutkan)....................... 8. Bagaimana ibu menghadapi masalah a.Ditunggu sampai mau makan, makan anak ? # kalau tidak mau dilanjutkan nanti saja b.Dipaksa sedikit-sedikit sampai habis c. Lainnya (sebutkan).................. 9. Jika TIDAK, mengapa ? # a.Belum waktunya b.Sudah waktunya tapi belum dicoba c. Sudah dicoba, anak tidak suka d.Lainnya (sebutkan)............ Keterangan : # = lingkari yang sesuai
Pemberian PASI (Pengganti ASI) 1. Jika TIDAK, sejak kapan Usia...............bulan anak berhenti atau tidak sama sekali meminum ASI ? 2. Mengapa anak berhenti a. ASI tidak keluar atau tidak sama sekali b. Anak tidak mau menyusu meminum ASI ? # c. Payudara sakit d. Khawatir merusak penampilan ibu e. Lainnya (sebutkan)........................ 3. Makanan atau minuman apa yang diberikan sebagai PASI (sebutkan) ? ............................................................................................................................ ............................................................................................................................ 4. Apakah PASI yang a. Tetap, lanjutkan ke nomor 7 b. Sudah berganti-ganti diberikan tetap atau sudah berganti-ganti sampai sekarang ? # 5. Berapa jenis PASI yang sudah diganti-ganti sampai sekarang (sebutkan)? ............................................................................................................................ 6. Mengapa PASI tersebut harus diganti ? ........................................................................................................................... 7. Apakah anak mempunyai a. Ya masalah dalam hal makan b. Tidak ?# 8. Jika YA, masalah apa yang a. Tidak mau makan b. Makan banyak tapi makanan dipilih-pilih dihadapi anak ? # c. Tidak pilih-pilih makanan tapi makannya sedikit d. Memilih-milih makanan dan makannya sedikit e. Lainnya (sebutkan)..................... 9. Bagaimana ibu a. Ditunggu sampai mau makan, kalau menghadapi masalah tidak mau dilanjutkan nanti saja makan anak ? # b. Dipaksa sedikit-sedikit sampai habis c. Lainnya (sebutkan)..................... Keterangan : # = lingkari yang sesuai D. Pelayanan kesehatan PUSKESMAS 1. Apakah ibu pernah ke Puskesmas ? a. Ya b. Tidak 2. Jika YA, apakah ada anggota keluarga ibu dalam enam bulan terakhir (JuniNovember 2007) dibawa ke Puskesmas ? a. Ya b. Tidak 3. Menurut ibu, bagaimana pelayanan Puskesmas ? a. Baik b. Cukup c. Tidak baik 4. Hal-hal yang harus diperbaiki dalam pelayanan Puskesmas a. Dokter ..................................................................................... b. Petugas kesehatan ..................................................................................... c. Jam buka .................................................................................... d. Antrian ..................................................................................... e. Biaya pengobatan .....................................................................................
POSYANDU 1. Apakah ibu pernah mendengar Posyandu ? a. Ya b. Tidak 2. Apakah bayi ibu pernah dibawa ke Posyandu ? a. Ya b. Tidak, lanjutkan ke nomor 5 3. Jika YA, apakah bayi ibu dibawa ke Posyandu tiap bulan (rutin) dalam enam bulan terakhir (Juni-November 2007) ? a. Ya b. Tidak 4. Bila TIDAK rutin, kenapa ? a. Jarak Posyandu terlalu jauh f. Anak takut ditimbang b. Posyandu tidak aktif g. Imunisasi sudah lengkap c. Baru pindah h. Tidak ada vitamin A d. Anak ditimbang di rumah i. Tidak ada PMT A e. Anak dibawa ke pelayanan j. Lainnya (sebutkan) kesehatan lainnya ........................................ 5. Apakah ibu akan terus mengikuti Posyandu sampai anak ibu berusia 5 tahun ? a. Ya, lanjutkan ke nomor 8 b. Tidak c. Ragu-ragu 6. Jika TIDAK atau RAGU-RAGU, mengapa ? ................................................................................................................................. 7. Menurut ibu, bagaimanakah peranan Posyandu ? a. Penting b. Kurang penting c. Tidak penting 8. Apakah Posyandu di tempat ibu tinggal diselenggarakan setiap bulan ? a. Ya b. Tidak 9. Menurut ibu, apakah Posyandu yang dilaksanakan sebulan sekali sudah cukup ? a. Cukup b. Tidak cukup 10. Hal-hal yang harus diperbaiki dalam pelayanan Posyandu a. Penyuluhan ............................................................................ b. Ketersediaan KMS ............................................................................ c. Ketersediaan PMT ............................................................................ d. Tempat penimbangan ............................................................................ e. Jumlah kader ............................................................................ f. Biaya ............................................................................ g. Imunisasi/vaksinasi ............................................................................
E. Kelengkapan KMS (tidak boleh diisi, akan diisi oleh peneliti) 1. Apakah bayi ibu memiliki KMS ? a. Ya b. Tidak 2. Kegiatan yang sudah dilakukan ibu kepada bayinya sesuai KMS : a. Penimbangan Penimbangan bayi
Sampai dengan umur (sekarang)
Frekuensi (berapa kali) 1X
2X
3X
4x
..........
b. Imunisasi No.
Jenis Imunisasi
1. Hepatitis B 2. BCG 3. DPT Combo 1 4. DPT Combo 2 5. DPT Combo 3 6. Campak 7. Polio * = D = Diberikan
Isi dengan pilihan*
Waktu Pemberian
B = Belum diberikan
T = Tidak diberikan
c. Pemberian kapsul vitamin A Pemberian kapsul vitamin A
Frekuensi (berapa kali)
Kapsul vitamin A biru (untuk anak 6-11 bulan) Kapsul vitamin A merah (untuk anak 1-5 tahun) F. Pengetahuan gizi ibu Lingkarilah jawaban yang dianggap paling benar 1. Pemberian ASI sebaiknya pada usia : b. Mulai ketika lahir c. 3 hari d. 7 hari e. Tidak tahu 2. Sampai umur berapa sebaiknya bayi diberi ASI saja ? a. 2 bulan b. 4 bulan c. 8 bulan d. Tidak tahu 3. Sebaiknya ASI tetap diberikan kepada anak hingga umur : a. 1 tahun b. 2 tahun c. 4 tahun d. Tidak tahu
Sampai dengan umur (sekarang)
4. ASI kaya akan kandungan asam lemak esensialnya yaitu asam lemak essensial jenis : a. Asam linoleat b. Asam arakhidonat c. Asam linolenat d. Tidak tahu 5. Untuk mendukung pertumbuhan anak sebaiknya makanan tambahan selain ASI diberikan setelah usia : a. 4 bulan b. 1 tahun c. 8 bulan d. Tidak tahu 6. Dalam pemberian susu formula pada bayi/anak sebaiknya botol susu harus : a. Dicuci dengan air biasa b. Dicuci bersih, kemudian dibilas dengan air panas c. Langsung cuci dengan air panas d. Tidak tahu 7. Berapa minimal berat badan bayi baru lahir yang dikatakan sehat ? a. 3,5 kg b. 2,5 kg c. 3 kg d. Tidak tahu 8. Kekurangan gizi pada anak balita bisa diketahui dengan melihat : a. Berat badan menurut umur b. Anak rewel terus c. Anak tidak selera makan d. Tidak tahu 9. Bayi yang keadaan gizinya buruk, berat badan menurut umur pada KMSnya berwarna : a. Merah b. Kuning c. Hijau d. Tidak tahu 10. Bila menderita diare, sebelum ke Puskesmas sebaiknya minum : a. Air putih b. Larutan gula c. Larutan gula garam d. Tidak tahu 11. Apa manfaat larutan oralit atau larutan gula garam ? a. Untuk menambah nafsu makan b. Minuman yang sehat untuk anak c. Mengganti cairan tubuh d. Tidak tahu 12. Kegunaan imunisasi adalah : a. Menyembuhkan penyakit b. Memberi vitamin c. Menjaga kekebalan terhadap penyakit tertentu d. Tidak tahu 13. Imunisasi yang pertama kali diberikan kepada bayi adalah : a. BCG b. DPT c. Polio d. Tidak tahu
14. Kegunaan imunisasi BCG adalah untuk mencegah penyakit : a. TBC b. diare c. dipteri d. Tidak tahu 15. Zat-zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh terdiri dari : a. Karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral b. Karbohidrat dan protein c. Vitamin d. Tidak tahu 16. Pangan yang termasuk sumber karbohidrat adalah : a. Nasi b. Ikan c. Sayuran d. Tidak tahu 17. Pangan yang termasuk sumber protein : a. Singkong b. Bayam c. Telur d. Tidak tahu 18. Fungsi utama protein adalah : a. Sumber energi b. Mencegah penyakit gondok c. Memperbaiki sel-sel yang aus dan untuk pertumbuhan d. Tidak tahu 19. Buah-buahan yang paling banyak mengandung vitamin C adalah : a. Pepaya b. Apel c. Jambu biji d. Tidak tahu G. Jenis dan jumlah konsumsi pangan anak (Recall 2 x 24 jam) HARI 1 Jumlah Jumlah Jumlah Jenis Jenis Makanan Bahan yang Waktu Makanan Bahan Matang Pangan Dikonsumsi Matang Pangan URT gram URT gram gram Pagi Selingan Siang Selingan Malam
HARI 2 Waktu
Pagi Selingan Siang Selingan Malam
Jenis Makanan Matang
Jenis Bahan Pangan
Jumlah Makanan Matang URT gram
Jumlah Bahan Pangan URT gram
Jumlah yang Dikonsumsi gram