Pengaruh Pemakaian Gadged dan Perilaku Anak, terhadap kemampuan anak Taman Kanak-kanak Happy Holy Kids Jakarta Oleh Jarot Wijanarko
Gadget telah menjadi sahabat yang lekat bagi anak, dan mengurangi minat untuk bermain dan belajar. Gadget memang ada positifnya bagi anak, media pembelajaran yang menarik, balajar bahasa Inggris lebih mudah, meningkatkan logika lewat game interaktif yang edukatif, namun penggunaan gadget yang berlebihan, apalagi untuk konten yang tidak baik, seperti kekerasan (game dan film) serta pornografi, dipercaya mempengaruhi secara negatif baik perilaku anak dan kemampuan anak. Ketika anak berada pada the golden age tersebut, mereka menjadi peniru yang handal. Mereka lebih smart dari yang kita pikir, lebih cerdas dari yang terlihat, sehingga jangan meremehkan anak pada usia tersebut. Jika Anak di usia dini sudah diberikan gadget sebagai mainan, maka itu akan berpengaruh terhadap proses pemerolehan bahasanya dan yang lebih mengkhawatirkan adalah gangguan pada perkembangan emosi sang anak.1 Gadget telah mengubah pola pengasuhan anak. Bagaimana tidak, di zaman sekarang, segala aktivitas berhubungan dengan gadget, bahkan anak balita, sekarang ini sudah mengenal gadget. Lebih dari 50% orangtua di Amerika Serikat mengakui, mereka menggunakan gadget untuk “mengasuh” anak ketika mereka sedang sibuk bekerja.2 Sebuah studi terbaru menemukan bahwa hampir sepertiga anak-anak merasa tidak dibutuhkan dan tidak penting ketika orangtua mereka sibuk dengan gadget. Studi yang dilakukan bulan Juni 2015 digelar oleh AVG Technologies. Lebih dari 6.000 anakanak berusia 8 hingga 13 tahun dari Brazil, Australia, Kanada, Perancis, Inggris, Jerman, Republik Ceko dan Amerika Serikat diminta pendapatnya melalui metode survei. Hasilnya, 32 % anak merasa tidak penting ketika ayah dan ibu mereka terdistraksi oleh gadget. Selain itu, anak pun merasa harus bertarung dengan teknologi untuk memperoleh perhatian orangtua. Sebanyak 28 % orangtua pun setuju dengan observasi ini. Sebanyak 54 % anak pun memandang orangtua mereka menghabiskan terlalu banyak waktu untuk gadget.3 Pengamatan Dr. Jenny S.Radesky, dokter anak di Boston dan timnya melakukan pengamatan pada 55 kelompok orangtua dan anaknya saat berada di restoran. Ternyata 1
“Anak dan Gadget” www.SelasarGayaHidup.com 30 November 2015 (akses 15 Februari 2016) 2 “Gadget dan Pengasuhan, di Amerika” www.kompas.com/health, Artikel tertanggal Sabtu, 29 Juni 2013, (diakses 23 April 2016, jam 09.20) 3 Sakina Rakhma Diah Setiawan, “Orang Tua Sibuk dengan gadget, Anak Merasa Tidak Dibutuhkan” www.kompas.com/health, Artikel tertanggal 3 Juli 2015 (akses 14 Maret 2016)
1
sekitar 40 orangtua langsung mengecek ponsel mereka begitu duduk di restoran dan sibuk menggunakan ponsel sepanjang waktu makan. Hanya sedikit perhatian yang diberikan untuk anak. Fenomena serupa juga mungkin sering kita lihat di sekitar kita. Padahal, saat orangtua mereka "sibuk", anak-anak cenderung lebih bertingkah (masalah perilaku) untuk menarik perhatian orangtuanya. Di Indonesia tidak jauh berbeda, menurut salah satu pakar teknologi informasi dari Institut Teknologi Bandung ITB, Dimitri Mahayana, sekitar 5-10 % gadget mania atau pecandu gadget terbiasa menyentuh gadgetnya sebanyak 100-200 kali dalam sehari. Jika waktu efektif manusia beraktifitas 16 jamatau 960 menit sehari, dengan demikian orang yang kecanduan gadget akan menyentuh perangkatnya itu 4,8 menit sekali. Di Indonesia, demam perangkat ini berlangsung sejak 2008, tepat ketika Facebook naik daun dan penetrasi telefon seluler di negeri ini melewati angka 50 %. Kesibukan orang tua merusak kelekatan hubungan orang tua anak, yang penting dalam pengasuhan. Ini artinya ada masalah penggunaan gadget yang berlebihan dan telah mengurangi waktu produktif, baik untuk bekerja atau untuk belajar.4 Indonesia kini bahkan telah menjadi salah satu negara dengan pengguna Facebook dan Twitter terbesar didunia, yang penggunanya masing-masing mencapai 51 juta dan 19.5 juta orang. Ini adalah kenikmatan penduduk dunia abad ke-21. Jarak dan waktu bagaikan terbunuh oleh kemajuan teknologi informasi semacam ini. Di Indonesia, bila di tahun 2012 hanya 27 % anak di usia balita yang menggunakan gadget, di tahun 2014, jumlahnya meningkat hingga 73 %. Dan 29 % di antaranya, sudah memiliki tablet pribadi pemberian orang tua. Gadget telah mengubah pola pengasuhan anak dan mengubah perilaku anak. Banyak perilaku yang menyimpang atau mengalami peningkatan, dan dilaporkan bahwa itu ada hubungannya dengan pemakaian gadget. Dr Jenny Radesky yang menemukan bahwa anak-anak di bawah usia 30 bulan, tidak bisa belajar dari televisi, video, ataupun dunia maya sebaik interaksi mereka dengan kehidupan nyata dan lingkungan sekitarnya. Bayi dan balita sesungguhnya belajar banyak melalui sentuhan dan pengalaman yang mereka jumpai setiap harinya. Dr Jenny Radesky dari Boston University School of Medicine mengatakan, penggunaan gadget pada balita saat ini semakin intensif akan memberikan dampak pada perkembangan perilaku anak. "Kita belum tahu dengan baik apakah ada efek dari gadget pada tumbuh kembang anak. Penggunaan gadget juga telah mengurangi dan
4
Ayunda Pininta, “Membelikan Gadget untuk Anak Balita? Pahami Dulu Risikonya” www.kompas.com/health, Artikel Selasa , 22 September 2015 (akses 14 Maret 2016)
2
menggantikan jumlah waktu tatap muka langsung antar manusia, dan mengubah perilaku anak" Hal-hal yang dapat diungkap terkait dengan dan perilaku anak sebagai berikut; 5 Pertama, Bunda Kireina, yang menyatakan dampak gadget pada anak yang terasa paling nyata adalah penurunan dalam kemampuan bersosialisasi. Anak yang terlalu asyik bermain dengan gadget menjadi tidak peduli dengan lingkungan sekitar, sehingga tidak memahami etika bersosialisasi. Jika bagi kebanyakan anak, bermain, bergaul adalah mengasyikkan, namun tidak demikian bagi sebagian anak-anak dalam pengamatan kami, atau dari masalah-masalah yang diceritakan orang tua dalam konseling kepada kami. Anak-anak sekarang seolaholah sangat asyik dan menikmati kesendirian (tentunya bersama gadget) dan tidak peduli teman dan tidak ada keinginan atau kebutuhan untuk bergaul dengan sesama. Kedua, Anak dianggap sudah kebablasan bermain gadget jika sehari bermain dengan gadget lebih dari dua jam, dan jika gadget-nya diambil si anak akan marah sekali, bahkan tantrum. Perhatian seorang pecandu gadget hanya akan tertuju kepada dunia maya, dan jika dia dipisahkan dengan gadget, maka akan muncul perasaan gelisah. Bahkan diperkirakan 80 % pengguna gadget di Indonesia memiliki perilaku seperti itu. Mereka tidak tahan jika harus berlama-lama berpisah dengan gadgetnya. Anak terbiasa menggunakan gadget, untuk mengisi kegiatan, sumber penghiburan, informasi, kegiatan bahkan sebagai teman setia yang intim, maka tanpa ada gadget, menjadikan ada yang kurang dalam hidupnya. Anak sekarang bukan takut setan, tetapi takut tidak ada wifi, takut lowbat atau blank area.6 Linda Blair, psikologis klinikal, menyatakan menatap layar komputer dan handphone sebenarnya memberikan imbas yang buruk pada anak. Layar gadget menurunkan level melantonin, zat alami yang diproduksi tubuh untuk beristirahat atau tidur. Tak hanya itu, layar gadget juga disinyalir dapat meningkatkan tingkat hormon cortisol yang memicu timbulnya stres dan berimbas hingga sulit mengumpulkan konsentrasi bagi anak. Anak zaman sekarang cerdas-cerdas, karena memang kecerdasan selain faktor genetik, juga dipengaruhi oleh gizi, lingkungan dan terapi yang memang semakin baik. Namun, walapun secara IQ cerdas, muncul perilaku emosi-sosial seperti; sulit konsentrasi, berubah-ubah ide, tidak bisa fokus, berganti topik pembicaraan, tidak memperhatikan apa yang diajarkan atau dibicarakan (sulit komunikasi), memiliki topik
5
Monica Erisanti, “Jangan Tenangkan Anak Rewel dengan "Gadget", www.kompas.com/health, Artikel tertanggal Selasa, 3 Februari 2015 (akses 14 Maret 2016) 6 Lusia Kus Anna, “Agar Anak tak Menjadi gadget Freak”, www.kompas.com/health, Artikel tertanggal 21 Maret 2014 (akses 14 Maret 2016)
3
atau perhatiannya sendiri bahkan perhatian atau ide sendiripun berubah-ubah dalam hitungan menit.7 Ketiga, Perilaku yang terpengaruh dari dampak pemakaian gadget berlebihan adalah pola tidur dan pola belajar. Dalam sebuah survei yang dilakukan The National Sleep Foundation (NSF) terhadap 1.100 orangtua yang memiliki anak berusia 6-17 tahun terungkap bahwa waktu tidur anak-anak lebih sedikit daripada yang direkomendasikan. Bukan hanya itu, 72 % anak-anak juga tidur dengan sedikitnya satu peralatan elektronik di kamar tidur mereka. Anak remaja yang masih membawa gadget sampai di tempat tidurnya memiliki waktu tidur berkurang, merubah pola belajar, mengantuk di kelas, sulit konsentrasi dan tentunya berpengaruh pada kemampuan anak.8 Penelitian penggunaan gadget di dalam kamar anak, selain meningkatkan kemungkinan anak untuk mengakses situs yang membahayakan, sebuah studi yang dikeluarkan oleh The Seattle Children’s Institute di Amerika menyatakan, menonton acara apapun di tablet atau televisi lewat dari jam 7 malam, bisa menyebabkan anak usia 3-5 tahun sulit tidur, mimpi buruk, dan kelelahan saat bangun. Sedikit banyak, ini akan mengganggu pola belajar dan aktivitas sekolah mereka. Penelitian ini melibatkan 2.050 anak ini menanyakan tentang perangkat elektronik di kamar tidur, jam berapa anak-anak pergi tidur, jam berapa mereka bangun, dan berapa banyak selama seminggu mereka membutuhkan waktu untuk lebih banyak tidur. Seolah-olah anak-anak zaman ini, tidur makin larut malam, bangun makin siang dibandingkan generasi sebelumnya.9 Keempat, Pengaruh gadget pada peningkatan tindak kekerasan terhadap anak paling banyak dialami justru oleh anak laki-laki. Kenapa anak laki-laki? Karena mereka lebih agresif dan tingkat emosinya belum terkendali. Sehingga sesama anak laki-laki kerap terjadi pertengkaran. Anak-anak zaman sekarang bukan kurang pandai, namun kurang bisa menguasai emosinya. Terbiasa bermain game di dalam gadget yang hanya bervariasi seputar angka, logika, kecepatan namun tanpa memperdulikan akibat atau pengaruh terhadap teman, karena lawan bermainnya adalah alat. Kebiasaan orang tua yang sibuk dan memberikan apa saja kemauan anak daripada anak merepotkan, membuat anak-anak tumbuh bahwa
7
“Gadget membuat anak tidak bisa fokus” www.kompas.com/health, 13 Juni 2015, diunduh 14 Maret 2016, jam 09.30 8 Lusia Kus Anna, “Gadget Jadi Penyebab Anak Sulit Tidur” www.kompas.com/female, Artikel tertanggal Selasa, 4 Maret 2014 (akses 14 Maret 2016) 9 “Gadget dan Pola Tidur Anak”, www.kompas.com/health, Artikel Selasa, 4 Maret 2014 (diakses 14 Maret 2016, jam 09.15)
4
apa saja yang diinginkan harus dituruti. Ini adalah masalah kemampuan emosi (ESQ), yang akan turut memicu perilaku kekerasan.10 Keenam, Gadget adalah orang tua bagi anak, guru bagi anak dan teman sejati bagi anak, yang tanpanya anak-anak akan merasa ada yang kurang dalam hidupnya. Penggunaan gadget yang berlebihan diketahui bisa meningkatkan risiko obesitas. Anakanak yang diperbolehkan menggunakan gadget di kamarnya mengalami peningkatan risiko obesitas sebanyak 30 %. Padahal, diketahui bahwa obesitas pada anak meningkatkan risiko stroke dan penyakit jantung sehingga menurunkan angka harapan hidup.11 Fenomena itu terjadi, karena kini orang tua lebih senang anaknya bermain gadget ketimbang bermain di luar. Aplikasi edukasi di gadget dianggap bisa membantu anakanak menjadi lebih pintar, tetapi banyak orang tua tidak sadar kebiasaan main gadget malah menghambat perkembangan fisik anak. Kompas melaporkan Meski gadget bisa menjadi alat pembelajaran yang baik untuk anak-anak di atas usia lima tahun, namun penggunaannya tetap perlu dibatasi. Sayangnya, bila sudah memegang peralatan canggih ini, biasanya mereka sulit diminta berhenti, mereka akan emosional. Padahal menggunakan gadget terlalu lama dapat merusak kemampuan koginitif, konsentrasinya, fisik-motorik, verbal-bahasa dan emosisosialnya.12 1. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah, dan pembatasan masalah yang telah diuraikan di atas, maka dibuatlah perumusan masalah. Rumusan masalah atau yang juga biasa dikenal dengan sebutan problem statement merupakan titik start penelitian yang sangat menentukan. Karena itu, sesuai dengan pembatasan masalah di atas, maka rumusan masalah penelitian adalah: 1)
Seberapa besar pengaruh pemakaian gadget pada perilaku anak.
2)
Seberapa besar pengaruh pemakaian gadget pada kemampuan anak.
3)
Seberapa besar pengaruh perilaku anak, pada kemampuan anak.
4)
Seberapa besar pengaruh pemakaian gadget dan perilaku anak, pada kemampuan anak.
10
Silvita Agmasari, “Ini Akibat Anak Terlalu Berinteraksi dengan Layar Gadget", www.kompas.com/health, Artikel tertanggal Senin, 14 Maret 2016 (akses 14 Maret 2016) 11 “Gadget dan Obesitas” www.kompas.com/health, diunduh tanggal, diunduh 24 Febuari 2016, jam 16.30 12 Unoviana Kartika, “Agar Anak Mudah Lepas dari Gadget" www.kompas.com/health , Jumat, 18 Juli 2014 (akses 14 Maret 2016)
5
2 Tujuan Penelitian Setiap penelitian yang dilakukan tentu memiliki tujuan tertentu. Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah: 1)
Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh pemakaian gadget pada perilaku anak.
2)
Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh pemakaian gadget pada kemampuan anak.
3)
Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh perilaku anak, pada kemampuan anak.
4)
Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh pemakaian gadget dan perilaku anak, secara bersama pada kemampuan anak.
3 Manfaat Penelitian Penulis berharap, penelitian yang penulis lakukan, bukan sekedar karena tugas pembuatan karya ilmiah sebagai syarat kelulusan, tetapi keinginan kuat untuk ikut serta mengurai dan memberikan solusi bijak, atas permasalahan perilaku anak di sekolah, kaitannya dengan perubahan lingkungan sosial anak dan pemakaian gadget oleh anakanak. Penulis berharap penelitan ini memberikan manfaat sebagai berikut: a.
Manfaat Praktis 1) Memberikan kontribusi dalam kepentingan praktis bagi orang tua murid untuk lebih bijaksana dalam pemberian gadget dan pengelolaan pemakaian gadget terhadak anak-anaknya. 2) Memberikan pemahaman mengenai pengaruh gadget pada perilaku dan perkembangan anak, dan jika muncul penyimpangan perilaku,bisa menyikapi dengan bijak. 3) Memberikan pemahaman kepada para guru, mengenai tumbuh kembang anak dan bisa lebih bijaksana dalam memahami, menyingkapi perilaku dan menangani murid. 4) Memberikan masukan bagi orang tua, untuk memberikan lingkungan sosial terbaik, yang aman dan penting bagi tumbuh kembang anak. 5) Memberikan masukan bagi orang tua, untuk lebih bijaksana mendidik anak di era digital ini. 6) Memberikan pemahaman yang menyeluruh kepada guru dan orang tua murid, bahwa kemampuan anak, bukan hanya genetik, tetapi juga dipengaruhi secara keseluruhan oleh pola asuh, terapi dan lingkungan.
6
b.
Manfaat Teoritis 1) Memberikan kontribusi untuk pengembangan ilmu pendidikan mengenai pengaruh gadget dalam perkembangan kemampuan dan perilaku anak. 2) Memberikan kontribusi untuk ilmu perilaku anak (behaviour science), kaitannya dengan lingkungan sosial yang positif di sekolah dan dalam keluarga. 3) Memberikan kontribusi untuk pengembangan pola pendidikan anak dan kurikulum serta perhatain terhadap anak didik, dan khususnya di sekolah Play Group dan Taman Kanak-kanak. 4) Memberikan acuan bagi penelitian selanjutnya, mengenai pengaruh gadget terhadap perilaku dan kemampuan anak.
4
Kajian teoritis Landasan teori dalam penelitian ini, akan meliputi pemakaian gadget terutama
pada jenis konten yang dipakai oleh anak usia dini, perilaku dan kemampuan anak usia dini, dimana pada rentang usia tersebutlah obyek penelitian ini. Konten gadget sperti sosial media, baik itu istagram, facebook, twitter bukan menjadi hal utama dalam kajian ini, karena pemakaian gadget untuk hal-hal tersebut belum digunakan anak usia dini. Anak usia dini lebih banyak memakai untuk game, mendengar lagu dan melihat film. a. Gadget Gadget atau dalam bahasa Indonesia gawai adalah suatu peranti atau instrumen yang memiliki tujuan dan fungsi praktis yang secara spesifik dirancang lebih canggih dibandingkan dengan teknologi yang diciptakan sebelumnya. Gadget baik laptop, ipad, tablet atau smartphone adalah alat tekonologi yang berisi aneka aplikasi dan informasi mengenai semua hal yang ada di dunia ini. 13 Gadget berguna dalam banyak hal seperti; mengurus tiket, hotel, email, jadwal kuliah, berkomunikasi, melihat film, mencari alamat (peta), memesan makanan, membeli barang, memonitor keadaan rumah ataupun perusahaan, mencari informasi dan berbagai keperluan lainnya. Untuk anak-anak, mereka bisa belajar aneka pelajaran, maupun game edukatif melalui gadget. Bagaimanapun juga gadget diperlukan dan berpengaruh positif untuk umat manusia. Menurut Noegroho dan Agoeng (2010)14 kita ini hidup selalu membutuhkan teknologi, untuk mempermudah kehidupan ini. Datangnya teknologi komunikasi baru, ditandai dengan meningkatnya jumlah gadget yang berbasis teknologi elektronika. Melalui gadget, komunikasi menjadi
13 14
Wikipedia, “Gadget” http://id.wikipedia.org/wiki/Gadget, (diakses 19 Feb 2016) Agoeng Noegroho, Teknologi Komunikasi. (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010)
7
mudah dan murah serta yang lebih penting adalah bagaimana media baru tersebut berfungsi dan terjadi pertukaran informasi dan mempengaruhi perilaku sosial masyarakat. b. Gadget dan Iman Kristen Bagaimana sudut pandang iman Kristen terhadap tekonologi seperti internet dan gadget yang tidak dipungkiri segala fungsi positifnya, terkandung dampak negatif, kecanduan gadget karena game, sosmed (sosial media) dan ataupun pornografi? Roberts & Talbot (1977)15 menyatakan kecanduan kuno adalah anggur (Amsal 23:29-35) Robert mendefinisikan kecanduan (modern) sebagai kelekatan yang kompleks, progresif, berbahaya, dan sering juga melumpuhkan terhadap zat psikoaktif (alkohol, heroin, zat adiktif lainnya) atau perilaku (seks, kerja, judi) yang dengannya individu secara kompulsif mencari perubahan perasaan. Akhir-akhir ini daftar mengenai kecanduan juga semakin bertambah panjang, mencakup kecanduan cinta dan roman, belanja, agama, olah raga, games (gadget) dan uang. Definisi ini memberi indikasi bahwa kecanduan terhadap berbagai hal memiliki kemiripan gejala, hanya berbeda dalam hal objek kecanduan. Karena itu, pola kecanduan internet dan gadget nampak mirip dengan gejala kecanduan pada zat psikoaktif. Kecanduan pada internet (gadget, sosmed) juga memberi dampak negatif yang besar pada sisi spiritual. Pertama, menjadi pecandu internet (gadget) berarti menyerahkan hidup kepada internet untuk mengontrol diri kita. Ini berarti bahwa kita telah menjadi hamba dari internet. Padahal kita diminta untuk mempersembahkan tubuh sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah. (Roma 12:1) Dengan kata lain, mempersembahkan tubuh kepada sesuatu di luar Allah berarti menyerahkan diri dengan sukarela kepada dosa dan hawa nafsu. (Roma 6:6) Akibat kecanduan internet adalah kerusakan pada diri dan hubungan dengan Tuhan. Keinginan untuk berinternet (gadget, sosmed) menyebabkan orang mengesampingkan perhatian kepada diri secara sehat dan mengalihkan perhatian sehingga menjauh dari hal-hal rohani. Kecanduan dapat membuat seseorang mengembangkan sifat buruk, misalnya kemalasan, kebiasaan menghindar dari masalah, berfantasi, tidak peduli dan kurang bertanggung jawab. Kepribadian bisa bertambah buruk karena kecanduan internet (gadget, sosmed). Relasi dengan Tuhan pun semakin terhambat. Meskipun internet (gadget, sosmed) belum tersedia di zaman Alkitab, gejala kecanduan internet sangatlah mirip dengan kecanduan alkohol dalam kitab Amsal 23:2935. Dalam Perjanjian Baru misalnya, kemabukan disejajarkan dengan imoralitas seksual, 15
Robert C. Roberts dan Mark R. Talbot, “Sin and Addiction” (Limning the Psyche: Explorations in Christian Psychology 1977), 249.
8
pencurian, ketamakan, dan ambisi demi kepentingan diri. (1 Korintus 5:11, 6:9-10, Galatia 5:19-21) Hal ini menunjukkan bahwa kecanduan internet merupakan hal yang dibenci Tuhan, apalagi bila hal itu melibatkan pornografi, judi online, pemuasan nafsu amarahdan kebencian (game kekerasan), serta pengejaran popularitas dan kepentingan diri semata. Edward T. Welch (20017)16 menyatakan internet dan gadget merupakan media buat pecandu untuk mengobarkan fantasi yang tunduk kepada hawa nafsu kedagingan dan pemujaan diri sendiri. Beberapa orang sulit menahan diri dari keterlibatan berdosa dengan permainan di internet, pornografi hingga dampaknya pada perselingkuhan ataupun kenajisan dan percabulan. Beberapa lainnya terobsesi terhadap dirinya sendiri sehingga menjadikan internet sebagai menara Babel bagi dirinya. Kecanduan pada internet (gadget, sosmed) bertentangan dengan aspek buah Roh, yakni pengendalian diri. (Galatia 5:19-21) Pada pecandu, kendali diri seolah tidak lagi berada di tangannya sendiri. Betapapun kuatnya ia berusaha, siklus kegagalan dan keberhasilan mengontrol diri menjadi rutin dengan tingkat kekambuhan yang tinggi. Pemakaian gadget telah membuat banyak orang kehilangan waktu produktif. Kecanduan membuat relasi pecandu dengan orang lain menjadi buruk. Perhatian pecandu yang semata-mata tertuju pada kesenangan diri dan internet membuatnya kurang peduli dengan kebutuhan orang lain. Ia cenderung asyik dengan dunianya sendiri. Menurut Edward T. Welch, salah satu ciri utama pecandu adalah menyalahkan orang lain. Sudah pasti pecandu tidak dapat memenuhi perintah untuk mengasihi karena kecanduannya. Dari sisi bahasan ini, gadget menjadi hal yang tidak baik, saat sudah mencapai level kecanduan. c. Pemakaian Gadget Gadget telah menjadi lingkungan terdekat dan terlekat bagi anak. Montolalu (2008) menyatakan bahwa: ”Bermain bagi anak-anak mempunyai arti yang sangat 17
penting karena melalui bermain anak dapat menyalurkan segala keinginan dan kepuasan, kreativitas, dan imajinasinya”. Namun sayang, sekarang lingkungan bermain anak, telah digantikan menjadi lingkungan media, dan dalam hal ini adalah gadget. Ada apa di dalam gadget sehingga bisa mempengaruhi anak sedemikian hebat? Maka bisa dikatakan ada semuanya, seluruh dunia ada di dalam gadget, baik informasi, hiburan, pertemanan, bisnis, pelajaran dan game edukasi serta agama (positif) hingga 16
Edward T. Welch, Kecanduan: Sebuah Pesta dalam Kubur, terj Fenny Veronica. (Surabaya: Momentum. 2007), 26- 27. 17 Montolalu. Materi Pokok Bermain dan Permainan Anak. (Jakarta: UniversitasTerbuka. 2008), 1:18
9
yang perlu hati-hati yaitu game dan kekerasan serta pornografi yang bisa berdampak negatif. Gadget tidak hanya beredar di kalangan usia dewasa, tetapi juga beredar di kalangan anak usia dini (2-6 tahun). Penggunaan gadget oleh anak usia dini (2-6 tahun), belumlah seperti orang dewasa untuk googling informasi di web, blog, bermain saham atau untuk jejaring sosial seperti facebook, istagram, twitter, line, whastup, atau aneka aplikasi seperti GoJeck, GoFood, tetapi lebih banyak untuk bermain game, mendengar lagu atau melihat film.18 a. Gadget Konten Edukasi Tujuan desain game (aplikasi), lagu dan film edukasi adalah untuk mendukung isi pembelajaran di lingkungan permainan. Rothschild (di dalam Chris Crawford (1982)19 menyatakan game edukasi adalah permainan disertai pembelajaran. Game (aplikasi) edukasi digunakan untuk menjadikan proses belajar mengajar menjadi lebih mengasyikkan dan tidak menjenuhkan, termasuk di dalamnya lagu (aplikasi) dan film edukasi. Chris Crawford membagi permainan menjadi; permainan papan, permainan kartu, atletik game, permainan anak-anak dan permainan komputer atau gadget lainnya. Dalam batas-batas ini, maka gadget masih memberikan manfaat positif bagi anak. Menurut Dr. Larry Rosen dari California State University D. Hills, menggunakan gadget seperti smartphone dan tablet punya dampak positif bagi anak-anak. Latar sentuh dapat berperan sebagai media pembelajaran sentuh-menyentuh, aplikasi dan games bahkan bisa membantu kemampuan komunikasi non-verbal anak-anak berkembang cepat. Bukan cuma buat anak-anak normal, bagi yang menderita metal disorder pun dapat bermanfaat. Meski begitu Dr. Rosen mengingatkan agar para ortu tak membiarkan anaknya bermain gadget sendiri, selain itu penggunaan gadget jangan sampai menjauhkan anakanak dari bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. Penggunaan aplikasi yang tempat untuk pendidikan anak juga sangat diajurkan, jangan sampai salah pilih aplikasi. Untuk lebih amannya, batasi penggunaan gadget jangan lebih dari 30 menit per satu kali bermain, jeda sebentar dengan berjalan, bergerak, ke toilet, menggerakan tubuh atau memandang kearah jauh untuk relaxasi mata. b. Gadget Kontens Non-Edukasi Pemakaian gadget dengan aneka games menurut Funk (2002)20 18
ibid. Chris Craford. The Art of Computer Game Design. (1982) https://sakai.rutgers.edu (Diakses 16 Februari 2016) 20 J.B. Funk, “Electronic games”. Vol V. Eds. Strasburger and B. Wilson, 19
10
bukan hanya edukasi namun ada yang sekedar hiburan, lucu (fun) bahkan kekerasan maupun unsur pornografi. Melihat pada kesenangan anak-anak bermain game, terlihat bahwa anak pada semua tingkatan umur lebih menyukai permainan bukan yang edukasi, namun yang bersifat ganas atau kekerasan. Menurut Januar 21 ada enam faktor yang membuat seseorang bermain game: adanya tawaran kebebasan, keberagaman pilihan, daya tarik elemen-elemen game, antarmuka (interface), tantangan dan aksesibilitasnya. Pengaruh negatif pada permainan elektronik (game) sering dikaitkan dengan jenis permainan dan nilai kekerasan yang terdapat dalam permainan tersebut, juga dikemukakan oleh Wardhani dan Fahrudin 22 bahwa lebih banyak nilai kekerasan yang terdapat dalam suatu permainan itu, maka ia mempunyai potensi yang tinggi untuk menghasilkan pengaruh yang negatif seperti tingkah laku agresif pada pemainnya. c. Gadget Kontren Pornografi Pornografi, sebenarnya termasuk di dalam kategori ‘konten non edukasi’, namun karena sifatnya yang unik, lebih adiktif, pemakaiannya meluas, jenisnya banyak, mulai dari gambar, berita, film, hingga game bermuatan pornografi, maka pornografi dibahas tersendiri. Luasnya penyebaran pornografi dan jenis-jenis medianya, membuat Majelis Ulama Indinesia (MUI) membuat pernyataan resmi dalam fatwanya Nomor: U 287 tahun 2001 tentang pornografi dan pornoaksi. MUI menyatakan “Pornografi menggambarkan, secara langsung atau tidak, tingkah laku secara erotis, baik dengan lukisan, gambar, tulisan, suara, reklame, iklan, ucapan, maupun melalui media cetak maupun elektronik yang dapat membangkitkan nafsu birahi.” 23 Pornografi menyebabkan kecanduan atau adiksi, yaitu perilaku berulang untuk melihat hal-hal yang merangsang nafsu seksual sehingga dapat merusak pola pikir seseorang karena tidak sanggup menghentikannya. Akibat kecanduan pornografi, dampak negatifnya lebih jelek daripada kecanduan narkoba, dengan akses yang lebih mudah. Pornografi harus dicarikan solusinya. Pemakaian gadget oleh anak, terlepas dari sifat-sifat kontensnya baik atau tidak baik, kekerasan, pornografi, agamis atau sekuler, maka berdasarkan jenisnya, anak usia dini menggunakan gadget yang paling sering untuk: 1. Game atau permainan 2. Mendengar lagu dan 3. Melihat film.24 Children, adolescents, and the media (Thousand Oaks, CA: Sage. 2002) 117-144 21 Iwan Januar, Game Mania (Jakarta: Gema Insani. 2006) 22 Wardhani D.T., Fahrudin A., “Pengaruh Video Game Terhadap Anak dan Peranan Pekerja Sosial,” Jurnal Ilmiah Pekerjaan Sosial. (Jakarta: PEKSOS, 2009) 23 A. Soebagijo, Pornografi Dilarang Tapi Dicari. (Jakarta: Gema Insani, 2008) 24 Montolalu, op.cit.
11
d.
Perilaku Anak
Perilaku (behavior) adalah aktivitas, respon, kinerja, dan reaksi seseorang, yang terbentuk menjadi kebiasaan. Fuxie (2012)25, menyatakan, bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh gambar dirinya, yaitu bagaimana seseorang (anak) memandang dirinya. Cara pandang anak-anak sering dipengaruhi oleh apa kata orang, lingkungan termasuk media mengenai ‘personal image’. Karena itu penting sekali, anak menilai dirinya sebagaimana Tuhan melihat dia bahwa ia berharga dan mulia bahkan bait Roh Kudus (1 Korintus 6:19-20). Untuk memiliki perilaku yang baik, maka seseorang harus sadar, bahwa dirinya adalah anak Allah (1 Yohanes 3:1) dan bahwa Roh Tuhan ada di dalam dirinya (Yesaya 61:1). Orang tua atau lingkungan anak, jangan sampai memberi label negatif kepada anak (“Kamu anak bodoh”), sebaliknya anak bisa dilatih untuk mengucapkan Firman tentang dirinya, sebagai pengakuan dan untuk membangun gambar diri yang baik. Ada banyak ayat dalam Firman Tuhan yang bisa menanam gambar diri yang baik, misalnya mengucapkan Yesaya 61:1 ini. Perilaku (behavior) menurut W.Stanley Heath, (2006)26, Rektor STT Tiranus Bandung, dalam bukunya ‘Teologi Pendidikan Dasar Pelayanan Kepada Anak’, menyoroti dari sisi pendidikan dalam keluarga dan mengemukakan bagaimana seorang anak amat bergantung kepada orang tuanya. Di tangan orang tualah terletak masa depan anak-anak itu dan orang tua hendaknya dapat mengerahkan segenap tenaganya untuk anak-anak supaya mereka beriman di dalam Allah. Masa yang paling ideal untuk mendidik anak, adalah di bawah usia 6 tahun. Pada saat itu sudah sepantasnya mereka dibentengi dengan Firman Allah. Allah telah menempatkan lembaga keluarga sebagai tempat pendidikan kehendak-Nya sedini mungkin. Tujuan pendidikan kristiani ialah menciptakan kebahagiaan hidup yang sejati, dan keluarga menjadi sarana untuk menciptakannya. Karena itu, orang tua harus partisipatif dengan menyediakan waktu untuk bermain dan bergaul dengan mereka. Jika orang tua menginginkan anaknya membentuk sikap yang baik (perilaku), orang tua harus terlebih dahulu mengubah sikap sehingga anak itu mencontoh sikap orang tuanya yang berubah. Dengan gamblang penulis berkata, "Bahwa anak tidak terlalu menghiraukan nasihat, tetapi yang diikutinya adalah teladan". Stanley Heath menekankan, bahwa pendikan dalam keluarga, interaksi antara orang tua dan anak akan mempengaruhi perkembangan intelektual anak (kemampuan) dan pengembangan kepribadiannya (perlakuan). 25
Fuxie, Pemulihan Gambar Diri, (Jakarta: Suara Pemulihan, 2012) W. Stanley Heath, Teologi Pendidikan Dasar Pelayanan Kepada Anak (Bandung: Yayasan Kalam Hidup. 2006) 26
12
Sejalan dengan pelajaran Heath, Wijanarko27 menjelajahi anak-anak yang luar biasa di Alkitab, dalam kaitannya dengan orang tuanya ataupun pengasuhnya, yang membuktikan bahwa perilaku anak bisa dibentuk, dilatih. Perilaku Samuel bertumbuh dengan baik, dengan seimbang, dikasihi Tuhan dan manusia. Pertumbuhan perilaku semacam ini yang kita perlukan di dalam keluarga dan masyarakat. Perilaku Samuel tumbuh secara baik, karena dia tinggal bersama-sama dan dibina Imam Eli dan bersamasama melayani, sekalipun ia masih kecil (usia dini). Bahkan Samuel menjadi begitu peka dan bisa mendengar ‘suara Tuhan’ bahkan bertemu dengan Tuhan (1 Samuel 3: 1-14). Selain peran Imam Eli, peran orang tua juga sangat dominan terhadap Samuel, karena sejak kelahirannya dilatar belakangi oleh doa Hanna, doa yang sungguh-sungguh (1 Samuel 1:9-13) doa kedua orang tua (1 Samuel 1: 19-20) dan sejak kecil sekali Samuel dibawa ke Bait Allah dan akhirnya diserahkan ke Tuhan sejak kecilnya. (1 Samuel 1:18,19,24). Pengasuhan orang tua yang tepat, menumbuhkan karakter dan perilaku yang baik. mDari ayat-ayat diatas terlihat Hana, ibu Samuel, adalah pendoa syafaat yang sungguh-sungguh, berdoa dengan hati nurani dengan ‘keluhan yang tidak terucapkan’ dan ‘terus menerus’. Hana ibu yang mengenakan baju efod (pakaian imam) kepada Samuel sejak kecil, pakaian yang juga bisa membangun gambar diri anak-anak. Ibu semacam inilah yang merwarnai perilaku Samuel. Samuel menjadi ‘pelayan’, bukan dilayani. Jadi Samuel mulai melayani sejak kanak-kanak. Hal itu terjadi karena orang tuanya mendorong ke arah itu. Secara sadar ibunya membawa Samuel, memfasilitasi, mengarahkan, memberi citra diri melalui bajunya dan akhirnya memberi kesempatan melayani untuk bertindak sebagai pelayan. Secara sadar kita harus mempersiapkan membangun generasi baru, yang melayani sejak dini, dengan mendidiknya sesuai Firman. Anak menjadi dewasa jika diberi kesempatan. Bagaimana melatih anak menjadi bertanggung jawab? Berilah kesempatan, berilah tanggung jawab. Saya menjumpai anakanak yang dirumah tidak mau merapikan kamar, tetapi di sekolah atau di gereja rajin sekali? Kenapa? Karena disekolah atau digereja dia ‘dipercaya’ menjadi pengurus. Perilaku anak, adalah reaksi atas perlakuan yang diterimanya. 28 Perilaku (behavior) menurut Julianto Simanjuntak, seorang hamba Tuhan, dan pakar keluarga yang bergerak dalam lembaga pelayanan konseling, dalam bukunya ‘Mengenali Monster Pribadi’, menyatakan bahwa perilaku seseorang, dipengaruhi oleh ‘monster’ dalam pribadi seseorang. Julianto Simanjuntak menjelaskan ‘monster’ pribadi
27 28
Jarot Wijanarko, Mencetak Anak Juara Kehidupan (Jakarta: Suara Pemulihan, 2016) Jarot Wijanarko, Op.Cit., 24-26.
13
adalah area sensitif yang ke dalamnya kita mudah jatuh atau terganggu dengan situasi tertentu. ‘Monster’ ini terbentuk sejak kecil, yang disebabkan adanya pengalaman yang tidak menyenangkan, kepahitan, tawar hati, minder, traumatis, atau kejadian yang sangat memalukan.29 Supratiknya, mengungkapkan ciri-ciri perilaku antisosial pada masa kanak-kanak (usia 4-6 tahun) adalah sebagai berikut: sulit diatur, suka berkelahi, menunjukkan sikap bermusuhan, tidak patuh, agresif baik secara verbal maupun behavioral, senang membalas dendam, senang merusak (perilaku kekerasan - vandalisme), suka berdusta, mencuri, temper-tantrums atau mengamuk.30 Hal ini serupa dengan pendapat Wiramihardja, perilaku agresif dan kekerasan terbuka ini bisa dalam bentuk memukul, menendang, jahil, usil, meledek hingga menyerang. Perilaku agresi tertutup adalah perilaku yang gerak-geriknya tidak langsung menyatakan maksudnya seperti malu atau marah yang diperlihatkan dengan muka merah serta rasa takut dengan wujud muka pucat, ada yang menyebutnya sebagai perilaku agresi emosi non fisik. 31
Menurut Gunarsa, perilaku anak terbentuk karena interaksinya dengan lingkungan sosial. Lingkungan yang positif, bisa disebut ‘dukungan’ istilah yang digunakan untuk menerangkan bagaimana hubungan sosial dan perilaku menyumbang manfaat bagi kemampuan mental atau kesehatan fisik individu yang akan ikut membangun perilaku anak. Perilaku anak adalah adalah aktivitas, respon, kinerja, dan reaksi yang bisa terlihat dilakukan oleh anak, yang sebenarnya merupakan ungkapan apa yang tidak terlihat, yang ada di hati dan pikiran anak atau gambar diri anak. 32 Buss dan Durkee, dalam Garcia-Leon et. al., menyatakan agresivitas anak usia dini memiliki bentuk seperti penyerangan, agresi tidak langsung, irritability (kesiapan untuk marah, temper yang cepat dan kekasaran), negativisme (sikap menantang, menolak bekerjasama, tidak patuh, dan membangkang), resentment (iri dan benci), kecurigaan pada pihak lain, dan agresi verbal (berdebat, berteriak, dan mengancam). 33 Menurut Karl Buhler dan Schenk Danziger, dalam Nurani & Sujiono, perilaku anak itu saling kait mengkait atau saling mempengaruhi. Misalnya perilaku bermain adalah kegiatan yang menimbulkan kenikmatan, dan kenikmatan itulah yang akan 29
Julianto Simanjuntak, Mengenali Monster Pribadi -- Seni Pemulihan Diri Sendiri dari Trauma, Emosi Negatif, dan Kebiasaan Buruk (Jakarta: Yayasan PELIKAN Indonesia, 2013) 30 Supratiknya, Mengenal Perilaku Abnormal (Yogyakarta: KANISIUS, 2012), 86 31 Wiramihardja, S. A., Pengantar Psikologi Klinis (Bandung: PT Refika Aditama, 2012) 32 Gunarsa, Singgih. D., Dasar dan Teori, Perkembangan Anak (Jakarta: Libri, 2014) 33 Buss, Durkee, seperti dikutip oleh Garcia-Leon, A., et al. “The aggression questionnaire: A validation study in student samples” Jurnal Psikologi Spanyol No.5, (2002), 4553.
14
menjadi stimulus bagi perilaku lainnya, misalnya perilaku sosialnya. Maka perilaku anak dipengaruhi oleh lingkungan, baik itu keluarga, teman, sekolah, media (gadget) yang merubah kebiasaan, pemikiran dan membentuk perilaku anak. 34 Begitu luas dan kompleksnya perilaku anak, namun dari teori-teori yang ada, yang sudah disampaikan diatas, bisa dijabarkan, perilaku anak meliputi hal-hal sebagai berikut: i.
Perilaku sosial
ii.
Perilaku emosional
iii.
Perilaku tidur
iv.
Perilaku belajar
v.
Perilaku agresif
vi.
Perilaku makan
vii.
Perilaku merusak
5. Kemampuan Anak Menurut Jack Fennema, kemampuan anak adalah apa yang bisa, cakap atau sanggup dilakukan oleh seorang anak, secara mandiri tanpa bantuan orang lain. 35 Kemampuan anak, diperoleh pada awalnya dengan cara sederhana, yaitu menirukan. Orang dewasa bisa menjadi model bagi anak-anak untuk ditiru kepribadiannya. Anak dengan fungsi persepsinya, menerima, mengenal, dan menirunya untuk diperlihatkan sebagai bagian kepribadiannya. Gagne di dalam Gunarsa, mengemukakan bahwa perkembangan dan kemampuan anak adalah hasil proses mempelajari sesuatu yang diperoleh dari luar dan dapat dipengaruhi pertama faktor internal; kemampuan intelektual atau kecerdasan (intelegensi), minat, bakat khusus, motivasi untuk berprestasi, sikap, kondisi fisik dan mental serta kemandirian. Kedua faktor eksternal; yaitu lingkungan sekolah, keluarga, dan faktor situasional (terapi khusus). Jika mengingat keadaan akhir-akhir ini, maka lingkungan terdekat dan terlekat anak, selain keluarga, sekolah dan teman adalah media dan gadget. 36 a.
Kemampuan dari Sisi Iman Kristen. Semua orang tua ingin anaknya hebat, namun anak hebat, anak cerdas, anak baik
tidak turun dari langit, namun dididik dan dipengaruhi oleh lingkungan dan terapi, 34
Karl Buhler, Schenk Danziger, seperti dukutip oleh Nuraini, Y., Sujiono, Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. (Jakarta: Fakultas Negeri Jakarta, 2007), 178 35 Fennema, Jack. Nurturing Children in the Lord, (Presbyterian and Reformed Publishing, Phillipsburg, NJ, 1978), 126. 36 Gagne, seperti dikutip oleh Gunarsa, S.D. & Gunarsa, Y.S., Psikologi Anak. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000)
15
demikian Jarot Wijanarko, dalam bukunya ‘Mencetak Anak Juara’. Kemampuan, atau kecerdasan anak, bukan hanya faktor genetik, tetapi juga pengasuhan, lingkungan dan terapi.37 Namun hal terpenting yang akan mempengaruhi kemampuan anak adalah takut akan Tuhan. Kisah-kisah orang hebat di Alkitab seperti Yusuf, Daniel, Sadrakh, Mesakh dan Abednego di Alkitab adalah contoh-contoh bagaimana ‘takut akan Tuhan’, membuat seseorang mencapai pencapaian yang luar biasa dalam hidupnya. Daniel, Sadrakh, Mesah dan Abednego bahkan diceritakan memiliki kecakapan 10 kali lipat dari yang lain, karena ‘Tuhan memberikan kepandaian kepada mereka’. Wijanarko memberikan tips, bagaimana supaya anak kemampuannya bisa melesit, tumbuh seperti anak-anak panah di tangan pahlawan: i.
Pastikan anak lahir baru
ii.
Hubungan pribadi anak dengan Tuhan
iii.
Anak takut akan Tuhan dan komitmen untuk kudus
iv.
Anak memiliki ‘good attitue’
Sementara itu, untuk orang tua, khususnya ayah, harus berperan aktif dalam pendidikan anak (Maleakhi 4:6, Kolose 3:21 dan Efesus 6:4)38 karena figur ayah sangat diperlukan dalam perkembangan kemampuan anak. Anak-anak bermasalah, tidak berprestasi, hamil diluar nikah, kebanyakan dari anak-anak tanpa figure ayan. Jack Fennema,
mengatakan Tuhan memberi otoritas ini ke ayah, dan ayah akhirnya harus
dipertanggungjawabkan ke Tuhan baik tanggung jawab untuk disiplin dan untuk cara dan metoda disiplin. Fakta ini jelas dalam Efesus 6:4. 39 Efesus 6:4 mempunyai dua kata yaitu disiplin ( Nasb) atau pelatihan (Niv) Yunaninya paideia, menurut penggunaan kata ini ada dua gagasan mengenai disiplin Alkitab: ( a) instruksi atau pendidikan dan ( b) koreksi atau disiplin. Instruksi Yunaninya nouqesia dari nous, pikiran dan tiqhmi, untuk menaruh, menempatkan. Menurut penggunaan kata ini, melibatkan gagasan untuk pemikiran, nasehat, peringatan, dan teguran ramah atau lembut. Pelatihan mengandung makna bahwa anak-anak perlu dilatih, supaya mencapai taraf tertentu, atau anak-anak yang dididik dengan baik, meningkat kemampuannya. Menurut J. Verkuyl, peran seorang ayah pada tahun-tahun pertama dalam kehidupan anak adalah membantu ibu memberikan perawatan. Namun setelah itu ayah menjadi kepala keluarga yang berwibawa dan mempertahankan serta melindungi kehidupan keluarga, dan dalam figur ayah yang demikian anak akan tumbuh dengan 37
Jarot Wijanarko, Op.Cit. 5 Alkitab Terjemahan Baru, Op.Cit. 39 Jack Fennema, Op.Cit.,126. 38
16
baik.40 Richard C. Halverson, berpendapat bahwa ayah bertanggung jawab atas tiga tugas utama dan yang pertama dan utama ayah haruslah mengajar anaknya tentang Tuhan (Ulangan 6) dan mendidik anaknya dalam ajaran dan nasehat Tuhan (Efesus 6:4). 41 b. Kemampuan dari Sisi Psikologis Awalnya orang mengatakan jika seseorang pandai disekolah ia ‘cerdas’, jika seseorang pandai sepakbola, orang mengatakan ia punya ‘kemampuan’ bermain sepakbola. Namun dengan perkembangan ilmu, orang bisa menyebut ‘cerdas’ kinesthetic bagi orang yang memiliki ‘kemampuan’ berolah raga. Alfred Binet, di dalam Armstrong, seorang psikolog Perancis, mengembangkan suatu alat untuk menentukan siswa yang beresiko mengalami kegagalan sehingga perlu mendapatkan perhatian khusus. 42 Menurut Gardner, kecerdasan lebih berkaitan dengan kapasitas memecahkan masalah dan menciptakan produk di lingkungan yang kondusif dan alamiah. Berikut ini adalah delapan kecerdasan dasar yang dikemukakan oleh Howard Gardner, yaitu linguistik, matematis-logis, spasial, kinestetik-jasmani, musical, naturalis, interpersonal dan intrapersonal.43 6. Kemampuan Anak Usia Dini Belum semua jenis kecerdasan berkembang diusia dini, karena masih dalam tahap awal perkembangan dan karenanya belum semua dimensi kemamuan anak bisa diukur dengan tepat, misalnya kemampuan matematis-logis mulai berkembang dengan baik mulai usia 6-7 tahun. Usia dini adalah usia emas pendidikan yang mengutamakan peningkatkan kecerdasan motorik, kecerdasan berpikir atau kognitif, kecerdasan emosi dan bahasa (verbal), yang harus di perhatikan dalam setiap tahap masa perkembangannya. Ulfiani Rahman, lebih lanjut Ulfiani Rahman,
menjelaskan tentang teori
karakteristik perkembangan kemampuan anak usia dini secara rinci dalam empat bidang saja, yaitu fisik-motorik, kognitif, sosio-emosional dan verbal-bahasa. 44
40 41
102-104.
J. Verkuyl, Etika Kristen: Seksuil, (Jakarta: Gunung Mulia, 1982) 171-172.
Richard C. Halverson, “What God Expects from Fathers” dalam Parents & Children
Alfred Binet, (1904) seperti dikutip Armstrong, Thomas, “Sekolah Para Juara – Menerapkan Multiple Intelligence”, Dalam Dunia Pendidikan terj. oleh Yudhi Murtanto, (Bandung: Kaifa. 2004) 43 Howard Gardner, (1983) seperti dikutip Armstrong, Thomas, “Sekolah Para Juara – Menerapkan Multiple Intelligence”, Dalam Dunia Pendidikan terj. oleh Yudhi Murtanto, (Bandung: Kaifa. 2004): 2-4 44 Ulfiani Rachman, “Karakteristik Perkembangan Anak Usia Dini” Jurnal Lentera Pendidikan Vol.12, No.1, (Juni, 2009), 46-57. 42
17
a. Perkembangan Fisik-Motorik Anak usia dini dalam masa perkembangan motorik kasar berupa melakukan berbagai gerakan sederhana berupa berjalan, berlari,
berjingkrak dan melompat.
Sedangkan dalam perkembangan motorik halus, anak usia dini misalnya meremas, meronce, menyusun, menempatkan, memegang pencil, mewarnai bidang dengan rapi, dan kemampuan sejenis. Perkembangan area sensoris dan motorik pada korteks selebral memberikan gambaran lebih jelas tentang koordinasi antara apa yang anak ingin lakukan dan apa yang bisa mereka lakukan. Pada umumnya anak usia 2 tahun suka mencoret-coret tidak secara acak, tapi dalam bentuk sepertti misalnya garis-gariis vertikal dan zigzag. Di usia 3 tahun, anak menggambar bentuk atu lingkaran, persegi, persegi empat, segi tiga, tanda X dan kemudian mulai mengkombinasikan ke dalam bentuk-bentuk rancangan yang lebih komplek. Tahap penggambaran biasanya dimulai di usia antara 4 dan 5 tahun. Tindakan ini mencerminkan perkembangan kognitif dari kemampuan. b. Perkembangan Kognitif Kemampuan kejiwaan yang berpusat di otak dan berhubungan dengan gerak kehendak serta perasaan. Kemampuan untuk memahami, bisa fokus, konsentrasi merupakan indicator sederhana yang mudah diukur. menyatakan
kemampuan
kognitif
adalah
Ulfiani Rahman, Piaget dalam Mar’at, bagaimana
anak
beradaptasi
dan
menginterpretasikan objek, mempelajarai ciri-ciri dan fungsi dari objek-objek, dan kejadian-kejadian di sekitarnya. 45 Bagaimana
cara anak mengelompokkan objek-objek untuk mengetahui
persamaan-persamaan
dan
perbedaan-perbedaannya,
untuk
memahami
penyebab
terjadinya perubahan dalam objek-objek atau peristiwa-peristiwa, dan untuk membentuk perkiraan tentang objek dan peristiwa tersebut. Kemampuan perkembangan kognitif antara lain mengelompokkan benda yang memiliki persamaan warna, bentuk, dan ukuran, mencocokkan lingkaran, segitiga, dan segiempat serta mengenali dan menghitung angka 1 sampai 20.
c. Kemampuan Sosio-Emosional Perilaku anak yang berupa sikap empati dan kepribadian dibentuk oleh kombinasi antara bawaan jiwa dan pola asuh anak tersebut. Sikap yang ditonjolkan biasanya berupa bermain atau berinteraksi dengan teman sebayanya.
45
Mar’at, S., Psikologi Perkembangan (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007)
18
Melengkapi pandangan Ulfiani Rahman, Wiyani, menyatakan kemampuan sosial emosional sebagai perbuatan yang disertai dengan perasan-perasaan tertentu yang melingkupi individu di saat berhubungan dengan orang lain. Sosial dan emosional saling berkaitan satu dengan yang lain, sehingga antara sosial dan emosional dapat dikaitkan. 46 7. Pemakaian Gadget dan Perilaku Anak Welch, menyatakan soal pemakaian gadget
ada efek kecanduan. Gambaran
untuk gejala kecanduan juga dapat dikenal sejak zaman Alkitab melalui gambaran mengenai kemabukan. (Amsal 23:29-35). Dalam Perjanjian Baru misalnya, kemabukan disejajarkan dengan imoralitas seksual, pencurian, ketamakan, dan ambisi demi kepentingan diri. (1 Korintus 5:11, 6:9-10, Galatia 5:19-21). 47 Secara khusus, sejumlah gejala pola perilaku telah dicantumkan oleh Kimberley Young, seorang peneliti tentang kecanduan internet (gadget), untuk menentukan apakah seseorang sudah digolongkan sebagai pecandu. 48 Simtom itu adalah sebagai berikut: a. Pikiran pecandu internet (gadget) terus-menerus tertuju pada aktivitas berinternet dan sulit untuk dibelokkan ke arah lain
b. Adanya kecenderungan penggunaan waktu berinternet (gadget) yang terus bertambah demi meraih tingkat kepuasan yang sama dengan yang pernah dirasakan sebelumnya c. Kejadian yang bersangkutan secara berulang gagal untuk mengontrol atau menghentikan penggunaan internet
(gadget) d. Adanya perasaan tidak nyaman, murung, atau cepat tersinggung ketika yang bersangkutan berusaha menghentikan penggunaan internet (gadget) e. Adanya kecenderungan untuk tetap on-line melebihi dari waktu yang ditargetkan.
Lebih lanjut Kimberley Young, menyatakan, orang yang kecanduan internet (gadget), akan mengalami beberapa perilaku menyimpang sebagai berikut: pecandu internet sering mengawali proses kecanduan dan menggulirkan kecanduannya itu dengan kebohongan. Dari data yang bisa diperoleh, terlihat bahwa kira-kira 50% orang berbohong mengenai usianya, bobot tubuhnya, pekerjaannya, status pernikahannya, dan juga jenis kelaminnya. Ketika menjadi pecandu, kemungkinan berbohong semakin meluas karena mereka harus menyembunyikan kegagalan menyelesaikan tugas dan kewajibannya akibat berinternet. Selain membohongi orang lain, pecandu juga kerap
46
Wiyani, N., Psikologi Perkembangan Anak Usia Dini. (Yogyakarta: Gava Media.
2014), 123 47
Edward T. Welch, Kecanduan: Sebuah Pesta dalam Kubur, terj. Fenny Veronica. (Surabaya: Momentum. 2007) 26- 27. 48 Kimberly S. Young dan Robert C. Rodgers, Psikologi Timur (Eastern Psychological Association, 1998)
19
mendustai diri dengan mengatakan bahwa internet tidak berbahaya, dan apa yang dilakukannya tidak mencederai siapa pun. Langkah selanjutnya adalah bereksperimen dan mencoba melemahkan akibat yang mungkin terjadi oleh kecanduan itu, misalnya bahwa kecanduan menyebabkan merosotnya nilai studi dan rusaknya relasi dengan keluarga atau teman dekat. Pada tahapan ini, semuanya dianggap masih berada dalam kendali, perasaan bahwa saya bisa mengatasinya. Pada tahap ini ada upaya yang kuat untuk menyembunyikan aktivitas yang mulai menjadi kebiasaan ini dengan berbohong kepada orang-orang dekat. Ketika akhirnya sang pecandu tidak lagi mampu mengendalikan kebiasaannya, ia menjadi marah terhadap keadaan, kepada Tuhan, dan menyalahkan semua orang yang dekat dengan dirinya. Ia pun terlibat terus dengan pikiran dan fantasi yang terus berulang. Kadang-kadang muncul komitmen, seolah ini kali terakhir baginya untuk bermain internet atau membuka situs pornografi. Padahal ini merupakan kejatuhan yang justru semakin dalam, karena tidak lama kemudian komitmen itu dilanggar dan pecandu internet semakin tidak dapat mengendalikan penggunaan internetnya. Ada dua gejala yang senantiasa muncul dalam diri pecandu, yakni tolerance effect dan withdrawal syndrome. Yang dimaksud dengan tolerance effect adalah kecenderungan
semakin
bertambahnya
waktu
akses
internet
maupun
semakin
meningkatnya derajat konten porno, misalnya, agar pecandu memeroleh efek kenikmatan dan keterangsangan yang sama dengan sebelumnya. Sedangkan withdrawal syndrome adalah perasaan ketidaknyamanan dan kegelisahan yang sangat ketika pecandu tidak bisa atau mengalami hambatan berinternet. Kedua gejala ini menjelaskan mengapa pecandu sering tidak menjadi lebih baik, malah semakin terbelenggu oleh kecanduan yang semakin dalam dari waktu ke waktu. Dengan sangat jelas, bahwa internet (gadget), membuat seseorang kecanduan, dan kecanduan itulah yang membuat perilakunya menyimpang. Muniarto mengatakan saat ini informasi menjadi sangat penting dan dibutuhkan oleh masyarakat modern, dan ini semua melalui gadget. Namun di dalam teknologi internet (dan gadget) yang mempunyai daya rangsang tinggi adalah film, televisi, telematika, komputer, dan alat-alat komunikasi (termasuk gadget). Tetapi yang jelas apapun bentuk dan jenisnya, informasi memiliki kekuatan mengubah sikap, pendapat, keyakinan, dan perilaku individu. 49
49
Murniatno, Dampak globalisasi informasi terhadap kehidupan sosial budaya masyarakat. (Yogyakarta: Mega Mulya, 1997)
20
Namun pemakaian gadget telah memicu beberapa perilaku mengalami ekskalasi. “Kasus-kasus kekerasan ini sebagian besar terjadi di perkotaan di mana penggunaan gadget sangat tinggi. Trennya di perkotaan. Salah satu pemicunya adanya kemajuan teknologi, seperti penggunaan gadget tanpa pengawasan dan maraknya medsos seperti Facebook dan BBM," kata Astuty, Kabid Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Badan Keluarga Bencana dan Pemberdayaan Perempuan (KBPP). Aneka perilaku menyimpang atau terpengaruh secara nyata karena pemakaian gadget, peneliti membuat daftar yang diambil dari berbagai sumber dan teori menjadi sebagai berikut ini:
a. Perilaku Tidur Menurut dokter anak asal Amerika Serikat Cris Rowan, yang dimuat The Huffington Post, dan dikutip oleh Unoviana Kartika50. Tidak semua orangtua mengawasi anaknya saat menggunakan gadget sehingga kebanyakan anak pun mengoperasikan gadget di kamar tidurnya. Sebuah studi menemukan, 75 % anak-anak menggunakan gadget di kamar tidur mengalami gangguan tidur yang berdampak pada penurunan prestasi belajar mereka. Ini sejalan dengan hasil studi Orfeu Buxton, Journal Pediatrics 2014 yang dikutip oleh Sakhina Rakhma Diah Setiawan, menyebutkan bahwa bayi yang rewel biasanya lebih banyak menonton televisi. Menurut para peneliti, perilaku bayi ini diyakini lantaran perangkat elektronik mengganggu pola tidur anak. Studi lain menunjukkan bahwa seringnya waktu yang dihabiskan di depan layar kaca saat bayi akan berkorelasi dengan masalah-masalah perilaku. Solusinya, sering-seringlah menghabiskan waktu dengan bermain bersama anak. 51 Para ahli sebenarnya sudah merekomendasikan agar semua perangkat elektronik dinonaktifkan minimal sejam sebelum waktu tidur. Gadget yang masih menyala akan merangsang otak dan menekan pelepasan hormon melatonin yang memicu kantuk. "Untuk mendapatkan tidur malam yang nyenyak bagi anak-anak, orangtua seharusnya membatasi penggunaan teknologi di kamar anak, terutama mendekati waktu tidur," kata Orfeu Buxton, PhD, salah satu peneliti.52 Selain membatasi penggunaan gadget, orangtua juga bisa meningkatkan kualitas tidur anak dengan membatasi anak menonton televisi. Tetapi, orangtua seharusnya tidak 50
Cris Rowan , yang dimuat The Huffington Post, dikutip oleh Unoviana Kartika, www.kompas.com/health, 12 Mei 2014, (diakses14 Maret 2016) 51 Orfeu Buxton, Journal Pediatrics 2014 yang dikutip oleh Sakhina Rakhma Diah Setiawan, www.kompas.com, 29 Mei 2015, (diakses14 Maret 2016) 52 Orfeu Buxton, Journal Pediatrics 2014 yang dikutip oleh Sakhina Rakhma Diah Setiawan, www.kompas.com, 29 Mei 2015, (diakses14 Maret 2016)
21
cuma menerapkan aturan, namun juga memberi teladan pembatasan penggunaan gadget. Apalagi menurut survei, anak-anak yang memiliki video games, laptop, atau smartphone di kamar mereka adalah mereka yang orangtuanya juga sering bermain gadget di kamarnya. b. Perilaku Emosional Menurut Elizabeth T. Santosa, Psikolog Pendidikan dan Anak, ada tiga tanda anak adiksi gadget, yaitu tantrum saat diminta berhenti bermain gadget, tidak merespon panggilan saat sedang bermain gadget, dan jika sudah sekolah, nilai akademisnya menurun. “Orangtua harus punya power ketika anak sudah menunjukkan gejala adiksi. Salah satunya dengan menentukan aturan baru. Jangan takut anak tantrum dan sebagainya. Justru orangtua yang harus berani mengendalikannya,” ungkap psikolog yang akrab disapa Lizie.53 c. Perilaku Fisik Motorik Journal Infant Behavior and Development, yang dikutip oleh Sakhina Rakhma Diah Setiawan,
54
menyatakan
bahwa
menonton
televisi
akan
meningkatkan
risiko
keterlambatan perkembangan kognitif, motorik, dan bahasa pada anak usia di bawah usia dua tahun. Semakin panjang durasi interaksi anak dengan perangkat elektronik, maka semakin parah gangguan yang dialaminya. Anak akan cenderung pasif atau malas, malas makan (mengakibatkan obesitas), malas bergerak, malas bermain, malas olah raga, malas keluar rumah (bermain di luar) dan bentuk-bentuk pasif lainnya. d. Perilaku Sosial "Teknologi tak akan bisa menggantikan interaksi orangtua dengan anak-anaknya. Mengajak anak ngobrol adalah cara terbaik untuk mengajarinya hal baru," kata Dr. Ruth Milanaik, dari Cohen Children's Medical Center of New York, yang dikutip oleh Lusia Kus Anna.55 Para peneliti pun meyakini bahwa apabila anak semakin tergantung pada alat elektronik, maka hubungannya dengan orangtua pun akan merenggang (pasif) dan dapat menyebabkan keterlambatan perkembangan tersebut. Anak butuh berinteraksi sosial, dimulai dengan keluarga, sebagai lingkungan pertama anak. Anak-anak yang berinteraksi dengan baik di dalam keluarga, akan berinteraksi dengan baik pula di lingkungan temantemannya. Oleh sebab itu, penting bagi orang tua untuk tetap berinteraksi dengan anak. 53
Elizabeth T. Santosa, seperti dikutip oleh Bestari Kumala Dewi, “3 Tanda Anak Adiksi Gadget", www.kompas.com/health tertangal 16 February 2016 (akses 14 Maret 2016) 54 Journal Infant Behavior and Development, yang dikutip oleh Sakhina Rakhma Diah Setiawan, www.kompas.com, artikel 29 Mei 2015, (diakses14 Maret 2016) 55 Ruth Milanaik, dari Cohen Children's Medical Center of New York, yang dikutip oleh
Lusia Kus Anna, www.kompas.com/health, Kamis 8 Mei 2014, (diakses14 Maret 2016)
22
Lakukan obrolan ringan atau bacakan dongeng sebelum tidur agar anak bisa berinteraksi dengan Anda. e. Perilaku Agresif Jika dalam hal fisik-motorik muncul perilaku pasif akibat pemakaian gadget, sebaliknya perilaku agresif yang dipicu emosi-sosial justru menunjukan gelaja agresif bahkan kekerasan. Rich dalam Funk, J. B, telah merumuskan beberapa fakta yang berkaitan dengan permainan elektronik dan lingkungan sosial serta pengaruhnya pada perilaku anak56; 8. Pemakaian Gadget dan Kemampuan Anak Menurut Rich dalam Funk, J. B57 menjelaskan bahwa dengan pengelolaan waktu pemakaian gadget, game juga berpengaruh positif pada anak. Anak-anak yang bermain game terutama permainan yang berkonsep manajemen, strategi ataupun teka-teki dapat memberikan pengaruh yang baik terhadap perkembangan otak. Penggunaan gadget bisa saja membuat seorang anak cerdas secara logika, namun belum tentu cerdas secara emosi. The American Academy and Pediatrics (AAP) menyebutkan bahwa gadget memiliki manfaat positif dan prososial pada anak. Tetapi, gadget tidak direkomendasikan diberikan pada anak berusia kurang dari 3 tahun. Bayi juga memiliki rentang konsentrasi yang pendek sehingga mereka mudah bosan pada stimulasi yang berlebihan. Tidur yang cukup dan berkualitas justru berdampak besar pada perkembangan otaknya. Stimulasi berlebihan dari televisi atau gadget juga bisa membuat anak mengalami gangguan konsentrasi dan merusak kemampuan anak mengontrol diri (emosi-sosial). Teori ini ditunjang oleh Dr Jenny Radesky dari Boston University School of Medicine, yang dikutip oleh Lusia Kus Anna, 58 mengatakan penggunaan gadget pada balita saat ini semakin intensif akan memberikan dampak pada perkembangan perilaku anak. "Kita belum tahu dengan baik apakah ada efek dari gadget pada tumbuh kembang anak. Penggunaan gadget juga telah mengurangi dan menggantikan jumlah waktu tatap muka langsung antar manusia," katanya. Telah dipelajari dengan baik bahwa kebiasaan menonton televisi, pengunaan komputer dan gadget dalam waktu yang lama akan menurunkan perkembangan anak, baik secara keterampilan bahasa maupun keterampilan sosialnya.
56
Rich seperti dikutip Funk, J. B., “Electronic games”: In V. eds. Strasburger, B. Wilson, Children, Adolescents, and The Media. (Thousand Oaks, CA: Sage, 2002), 117-144 57 ibid 58 Jenny Radesky, Boston University School of Medicine, yang dikutip oleh Lusia Kus Anna www.kompas.com/HealthTopics, Februari 2015, (diakses14 Maret 2016)
23
Penggunaan gadget yang berlebihan di usia dini, menurut Dr Jenny Radesky bisa mengganggu perkembangan keterampilan berempati, sosial dan pemecahan masalah yang biasanya diperoleh anak dengan menjelajahi, bermain dan berinteraksi dengan teman sebaya. Gadget yang beredar saat ini juga telah menggantikan peran anggota tubuh dalam melakukan fungsinya, terutama dalam pengembangan sensori dan visual motorik. Padahal keduanya penting untuk menunjang proses pembelajaran dalam mengembangkan ilmu. 59 Sejalan dengan hal tersebut, Chris Crawford, mendefinisikan game edukasi sebagai sebuah game yang bertujuan menyelesaikan permainan dan mencapai proses pembelajaran. Tujuan desain game edukasi adalah untuk mendukung isi pembelajaran di lingkungan permainan. Chris Crawford membagi permainan menjadi lima wilayah utama, yaitu permainan papan, permainan kartu, atletik game, permainan anak-anak dan permainan komputer atau gadget lainnya. Dalam batas-batas ini, maka gadget masih Munandar, menjelaskan bahwa: Bermain yang mampu melatih kreativitas anak adalah bermain dengan cara membangun atau menyusun. Sedangkan permainan melalui gadget, minim akan hal ini. Seandainya ada, maka hanya melalui gambar (menyusun puzzle, warna, matching dll), bukan membangun atau menyusun secara tiga dimensi seperti balokbalok, lego dll. Yang paling nyata adalah dengan menggunakan gadget selama 3-5 jam perhari, maka anak-anak kehilangan waktu dan semangat untuk bermain, padahal bermain adalah cara dan media anak untuk membangun kecerdasannya.60 Karena itu pemakaian gadget berlebihan bisa menggurangi kegiatan yang seharusnya dilakukan anak-anak yaitu bermain bersama teman, untuk membangun kemampuan emosi-sosialnya. Terlalu sering bermain gadget dapat menghambat stimulus fisik atau motorik anak, menghambat perkembangan kognitif, sosial, dan emosional anak. Banyak anak sekarang kesulitan menggenggam sesuatu, seperti pegang pensil. Ketika main gadget, motorik halus dan kasar tidak terstimulus dengan baik. Ketika sudah memegang gadget, biasanya anak akan fokus pada gadget dan menjadi kurang bergerak. Pemakaian gadget yang cukup dengan sentuhan juga bisa membuat motorik halus anak tidak bekerja dengan baik, seperti kemampuannya menggenggam atau mencengkram, misalnya sulit memegang pensil. Menurut beberapa ahli yang memberikan pendapatnya tentang keterampilan sosial antara lain Roger dan Ros dalam Yuliani, mendefinisikan keterampilan sosial yaitu : Kemampuan menilai apa yang sedang terjadi dalam suatu sosial, keterampilan untuk merasa dan tepat menginterprestasikan tindakan dan kebutuhan dari anak-anak 59
ibid Munandar, U., Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. 2012), 40 60
24
dikelompok bermainnya, kemampuan untuk membayangkan bermacam-macam tindakan yang memungkinkan dan memilih salah satunya yang paling sesuai. Kemampuan sosial ini bisa hilang pada anak-anak yang suka menyendiri, mengurung di kamar dan hari-hari ini, itu disebabkan karena asyik bermain game pada komputer, laptop atau smartphone.61 Menurut Menurut Bob Drew, kepala sekolah di Inggris, yang dikutip oleh Lusia Kus Anna, dari Dailymail,
62
menyatakan bawa ia sering melihat anak berusia 4 tahun
yang masuk sekolah dengan bagian tubuh atas yang lemah karena jarang beraktivitas fisik. "Tangan anak-anak menjadi lemah sehingga tidak bisa menggunakan pensil. Tulisan tangan mereka pun sangat buruk. Hal ini diakibatkan karena terlalu banyak menggunakan perangkat digital," kata Drew yang telah menjadi kepala sekolah selama 20 tahun. Drew mengatakan, bahwa permainan fisik, seperti petak umpet, memanjat pohon atau bermain bola, serta berbagai permainan tradisional kini mulai ditinggalkan anak lakilaki. Sementara itu, anak perempuan juga semakin jarang bermain dengan benda-benda kerajinan, seperti manik-manik atau menguncir rambut. Dampak dari akrabnya anak-anak dengan gadget sejak bayi adalah kemampuan berbahasa yang kurang lancar atau cadel. (kemampuan verbal). Sebaliknya anak-anak yang terlambat berbicara, begitu digabungkan bermain, bergaul dengan anak-anak seusianya yang sudah berbicara, menjadi cepat menirukan dan mampu berbicara. Pemakaian gadget, mengurangi waktu bermain yang sebenarnya diperlukan bagi perkembangan anak. Jika pemakaian gadget adalah untuk pornografi, maka pengaruh negatif terhadap kemampuan akan sangat kuat, bahkan diberi istilah ‘merusak otak’. Elly Risman, Psikolog dari Yayasan dan Buah Hati Jakarta menjelasakan bahwa; ”Kerusakan otak akibat pengaruh pornografi di mesin Magnetic Resonance Imaging (MRI), hasilnya sama dengan kerusakan pada mobil saat tabrakan keras.” Pree Frontal Cortex (PFC) akan rusak ketika anak melihat pornografi. Padahal PFC adalah pusat nilai, moral, tempat di mana merencanakan masa depan dan tempat mengatur manajemen diri. Bagian otak alis kanan atas inilah yang menentukan jadi apa seorang anak nantinya. Karena itulah PFC juga disebut direktur yang mengarahkan kita. Proses melihat pornografi, membuat hormon dopamin yang berproduksi dan hormon norepinephrine juga akan keluar, dan
61
Yuliani, Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. (Jakarta: PT Indek. 2013), 73 Bob Drew, Dailymail, seperti dikutip oleh Lusia Kus Anna www.kompas.com/helath, 8 Desember 2015, (diakses14 Maret 2016, jam 09.30) 62
25
memenuhi otak. Hormon norepinephrine berfungsi sebagai pembeku memori kenangan yang detail.63 9. Perilaku dan Kemampuan Anak Apakah perilaku dan kemampuan anak berhubungan? Menurut Golleman, di dalam Jarot Wijanarko, bahwa kemampuan anak, yang paling mempengaruhi keberhasilannya dikemudian hari, adalah kemampuan atau kecerdasan emosi (EQ _ Emotional Quotient) dan kemampuan atau kecerdasan spiritual (SQ –Spiritual Quotient). 64
Wijanarko menghubungkan hal ini dengan pernyataan Raja Daud dalam Mazmur 1:1-3.
Ayat 1-2 adalah perilaku dan akhir dari ayat 3 adalah kemampuan. Perilaku anak yang menonjol adalah bermain, melalui bermain anak belajar dan berkembang kemampuannya, karena menurut Piaget di dalam Sujiono, bermain adalah suatu kegiatan yang dilakukan berulang ulang dan menimbulkan kesenangan dan kepuasan bagi diri seseorang.
65
Bermain merupakan kebutuhan setiap anak, melaui
bermain anak akan memperoleh pengetahuannya sendiri dan membangun kemampuan kognitifnya.
Sebaliknya anak-anak yang menyendiri, bisa saja ia pandai, atau cerdas
secara akademik, namun perkembangan sosial emosinya tidaklah sepesat perkembangannya dengan anak-anak yang banyak bermain. Dengan bermain, anak membangkitkan rasa ingin tahu dan menemukan hal- hal yang baru. Bermain merupakan tuntutan dan kebutuhan yang dapat mengoptimalkan seluruh aspek perkembangan anak. Sejalan dengan pendapat diatas menurut Harlock, di dalam Mutiah, mengatakan bahwa
bermain akan memberi kesempatan kepada anak untuk menjadi lebih kreatif.66 Dari teori yang dikemukakan Harlock Melalui proses pembelajaran yang lebih menarik dan menyenangkan anak akan mengeksplorasi kemampuan mereka dan perkembangan anak akan lebih optimal. Perilaku bisa mempengaruhi kemampuan, misalnya kebiasaan perilaku amarah, kekerasan membuat orang sulit konsentrasi dalam belajar. Inilah yang dikatakan Menurut Gutrie dalam Mahendra, bahwa belajar adalah latihan penting yang menyebabkan lebih banyak terjadinya rangsangan yang menghasilkan perilaku yang diinginkan, karena setiap pengalaman sifatnya unik, maka anak harus mempelajarinya berulang-ulang. Pelajaran,
63
Elly, Risman. “Kerusakan Otak Akibat Pornografi”. Rubrik Parenting. www.wmmi.com, artikel 2 Februari 2015. (diakses Sabtu 6 Juni 2016. Jam 18.03) 64 Jarot Wijanarko, Op.Cit.,1 65 Sujiono, Y N., Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini: (Jakarta: Universitas Negeri Jakarta. 2007) 66 Mutiah, D. 2010. Psikologi Bermain Anak Usia Dini. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), 180
26
pemahaman akan menghasilkan perilaku. pencapaian masa depan.
Perilaku dari masa kecil, mempengaruhi
67
Hal ini sesuai dengan pendapat Sigmud Freud dalam Mutiah,
dengan teori
psikoanalisisnya memandang bahwa bermain pada anak sebagai alat yang penting bagi pelepasan emosinya, serta untuk mengembangkan rasa harga diri (self image – intra personal intelligence) ketika anak dapat menguasai tubuhnya, benda-benda serta sejumlah keterampilan sosial.68 Kemudian dipertegas oleh Docker dan Fleer dalam Yuliani, berpendapat bahwa bermain, dimana anak mendapat teman, sahabat, berperilaku baik merupakan kebutuhan bagi anak karena melalui bermain, bukan hanya mendapat teman, tetapi anak akan memperoleh pengetahuan yang dapat mengembangkan kemampuan diriya. Pengetahuan yang dengan mudah ditangkap, dan diterima dari sesamanya. Bermain merupakan suatu aktivitas yang khas dan berbeda dengan aktivitas lain seperti belajar dan berkerja yang selalu dilakukan dalam rangka mencapai suatu tujuan akhir. 69 10. Pemakaian Gadget, Perilaku dan Kemampuan Anak Manusia adalah makhluk yang kompleks, dimana banyak hal saling mempengaruhi. Skinner dalam Budiningsih, menyatakan hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dalam lingkungannya, yang kemudian akan menimbulkan perubahan tingkah laku.
70
, Lingkungan yang paling dekat atau lekat akan lebih mempengaruhi
perilaku. Untuk anak-anak itu bisa berupa keluarga, teman sekolah, teman bermain dan gadget yang senantiasa melekat dengan anak zaman sekarang. Menurut Elizabeth T. Santosa, psikolog pendidikan dan anak, dalam bukunya “Raising Children in Digital Era”, ada tiga tanda anak adiksi gadget, yaitu tantrum saat diminta berhenti bermain gadget, tidak merespon panggilan saat sedang bermain gadget, dan jika sudah sekolah, nilai akademisnya menurun. 71 Kenapa kemampuan akademis bisa turun? Karena kalau sudah kecanduan gadget, anak tidak tertarik lagi menulis membaca yang tidak seasyik bermain gadget. Kecaduan gadget membuat anak selalu memikirkan game, film, whastup atau apapun yang dia nikmati, hingga melekat ke hatinya, membuat anak sulit untuk fokus.
67
Mahendra, A. 1998. Teori Belajar dan Pembelajaran Motorik. (Bandung: CVAndira Bandung, 1998), 110 68 Mutiah, D., Psikologi Bermain Anak Usia Dini. (Jakarta: Kencana Prenada, 2012), 100 69 Yuliani, N., et.al., Bermain Kreatif Berbasis Kecerdasan Jamak. (Jakarta: PTIndeks, 2010), 34 70 Budiningsih, A. Belajar dan Pembelajaran. (Jakarta: Rineka Cipta. 2012), 23 71 Elizabeth T. Santosa, Raising Children in Digital Era (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2015)
27
Lizzie
menjabarkan
bahwa
perkembangan
teknologi
mempengaruhi
perkembangan motorik, fisik, neurologi, kognitif, moral, bahasa, dan sosial anak dalam kurun usia 2,5 tahun sampai 13 tahun. Aspek-aspek tersebut berperan penting dalam masa tumbuh kembang anak baik dalam diri mereka mau pun dengan lingkungan. “Seringkali anak terperangkap dalam keasyikan media dan gadget, sehingga lupa melakukan interaksi dengan orang-orang di sekelilingnya,” katanya. Dari segi fisik, ada anak yang mengalami obesitas bahkan malnutrisi akibat terlalu asyik bermain gadget sehingga kurang melakukan aktivitas fisik. Meski demikian, perkembangan neurologi dan kognitif secara positif pun bisa diraih melalui gadget apabila orangtua mampu menambah wawasan, terlibat aktif, dan beradaptasi dengan perkembangan teknologi. “Saat ini sudah masuk di era digital, jadi sudah saatnya anak memang belajar. Orangtua pun dapat menggunakan media teknologi sebagai alat untuk memperkenalkan informasi baru pada anak,” ujarnya. Selain membahas soal gadget, Lizzie juga memaparkan bagaimana menerapkan pola asuh pada anak yang sudah mengenal internet dan video game. Ada juga contoh-contoh kasus adiksi teknologi pada anak yang pernah ia temui, serta tips bagi orangtua yang menghadapi masalah tersebut. Penjelasan terlengkap dan menyeluruh mengenai hubungan gadget, perilaku dan kemampuan anak, dijelaskan oleh Nirmala Karuppiah dan team,
dari National Institute of Education (NIE) di Sigapura
untuk anak usia dini dan pendidikan khusus yang diyakini sebagai studi pertama yang melihat bagaimana balita di Singapura menggunakan gadget seperti komputer, tablet dan smartphone.72 Menurut Dr. Karuppiah, banyak yang tidak menyadari risiko yang terlibat dalam penyalahgunaan dan penggunaan berlebihan dari perangkat tersebut. a. Masa Bermain di Dunia Nyata Menjadi Berkurang Apabila anak Anda sudah terlalu asyik dengan gadget maka anak akan enggan lagi untuk bermain main di dunia nyata. Bermain di gadget, lebih nyaman dan aman, tidak akan diledek, dihina teman, membuat anak-anak dengan mudah lari dari kenyataan. Bermain di dunia nyata memang bisa saja mengalami hal tersebut, namun memunculkan reaksi penyesuaian, kemampuan membangun relasi, yang akhirnya mendewasakan kepribadian anak. Padahal bermain di dunia nyata, baik di alam terbuka atau bersama
72
Nirmala Karuppiah, et.al., Childcare Workers and Centre Directors Beliefs about Infant Childcare Quality and Professional Training, (Singapura: Early Child Development and Care, 2009), 179: 4, 453- 475
28
teman-teman, memiliki potensi yang lebih baik dalam membentuk pertumbuhan dan perkembangan anak apabila dibandingkan dengan menyendiri bermain gadget. b. Cenderung Menjadi Pemalas Pemakaian gadget membentu kbiasaan yang cenderung hanya mengandalkan menyimak (apalagi sambil duduk atau tidur-tiduran) tanpa ada tindakan fisik secara nyata dapat memicu terjadinya sifat malas dalam diri anak. Awalnya malas bergerak, lama-lama menjadi malas dalam banyak hal, seperti malas makan, malas mandi, malas belajar, malas bermain, malas keluar rumah, malas bermain bersama teman, malas bermain di udara terbuka dan sebagainya. Sehingga setiap anak yang sudah kecanduan akan gadget pasti tidak menyukai permainan yang banyak menggunakan fisik dalam bermain. Padahal melalui bermainlah anak-anak bertumbuh kemampuan berbahasa, berkomunikasi dan terlebih lagi kecerdasan atau kemampuan emosi – sosialnya. c. Komunikasi dengan Orang Tua Semakin Jauh Kurangnya komunikasi antara anak dan orang tua menyebabkan hubungan antara keduanya akan semakin renggang sehingga dapat memicu terbentuknya keluarga yang tidak harmonis. Padahal menurut Gunarsa, pengaruh orangtua terhadap kehidupan psikis anak pada tahun-tahun pertama setelah kelahiran sangat besar dan sangat menentukan terhadap perkembangan anak selanjutnya. Orangtua mempunyai pengaruh yang sangat besar perkembangan moral, karena anak memandang orangtua sebagai sosok model yang paling sempurna untuk ditiru. Anak akan meniru apapun yang dilakukan oleh orangtuanya, segala perilaku yang dilakukan oleh orangtua, biasanya akan ditiru oleh anak. Pola asuh orang tua menurut Singgih D Gunarsa merupakan perlakuan orang tua dalam interaksi yang meliputi orang tua menunjukkan kekuasaan dan cara orang tua memperhatikan keinginan anak. Pada dasarnya pola asuh adalah sikap, cara dan kebiasaan orang tua yang diterapkan untuk mengasuh, memelihara dan membesarkan anak dilingkungan keluarga. Karena itu selain pola asuh, penting juga bagaimana orang tua dan anak berinteraksi.73 Menurut Ice, Hoover-Dempsey keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak dikenal dengan konsep parental involvement. Keterlibatan orang tua secara umum dapat
73
Singgih D Gunarso dan Ny Singgih D Gunarso, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja (Jakarta Pusat: Gunung Mulia. 2010), 55
29
dideskripsikan sebagai investasi orang tua dalam pendidikan anak dari berbagai sumber. 74
Greenwood & Hickman
didalam Gurbuzturk & Sad, menyebutkan bahwa
keterlibatan orang tua memberikan kontribusi yang positif yaitu yaitu prestasi akademis yang tinggi, kehadiran anak yang tinggi di sekolah, iklim sekolah dan persepsi orang tua dan anak tentang kelas, sikap dan perilaku positif anak, dan kesiapan anak untuk mengerjakan PR.75 Pendidikan anak usia dini membutuhkan adanya kerjasama antara orang tua dengan guru. Siswa dapat berperilaku dan menunjukkan prestasi yang lebih baik di sekolah ketika orang tua dan sekolah berkolaborasi secara efektif .76 d. Kurang Dapat Bersosialisasi Waktu anak untuk bersosialisasi akan hilang apabila anak larut dengan gadget, yang sama saja mengisolasi diri dengan lingkungan disekitarnya sehingga dapat mempengaruhi proses bersosialisasinya. Selain itu bermain game di gadget, tidak mengembangkan dampak permainan atau pilihan yang diambil dalam permainan tersebut terhadap teman atau perasaan orang lain. Kepekaan terhadap lingkungan sekitar baik dengan tetangga dekat, teman dan kenalan semakin pudar apabila dalam kesehariannya anak Anda hanya asyik mengoperasikan gadget. Menghabiskan terlalu banyak waktu bermain video game dapat meningkatkan kemungkinan depresi, kata Douglas A. Gentile, profesor psikologi Iowa State University, yang meneliti hubungan antara video game dengan kasus-kasus depresi pada anak dan remaja. Ketika anak punya masalah, pelarian termudah adalah dengan bermain video game. Tanpa sadar, hal itu menimbulkan ketergantungan, menyebabkan mereka makin terisolasi dari kehidupan sosial dan akhirnya berujung depresi ketika mereka 'dipaksa' keadaan berhadapan dengan dunia nyata. e. Menjadi Gelisah Apabila Anak Tidak Pegang Gadget. Suatu kebiasaan yang sudah menyatu dalam jiwa adalah sulit untuk dihilangkan, demikian halnya dengan kebiasaan selalu memegang gadget. 74
Ice, Christa L., Hoover-Dempsey, Kathleen, V., “Linking Parental Motivatons for Involvement and Student Proximal Achievement Outcomes in Homeschooling and Public Schooling Setting” jurnal (Education and Urban Society, 2011), 43 (3) 339-369
75 Gurbuzturk, O., Şad, S. N., Turkish parental involvement scale: validity and realibility studiesl. (Procedia Social and Behaviooral Sciences, 2010), 2, 487-491
76 Izzo, C. V., et.al., “A Longitudinal Assessment of Teacher Perceptions of Parental Involvement In Children’s Education and School Performance”. American Journal of Community Psychology, 27(6), (Usa: 1999), 817-838
30
Dari semua uraian diatas, bisa diringkas bahwa lingkungan sosial anak yang utama, yaitu keluarga, media dan sekolah, serta pemakaian gadget yang berlebihan, mempengaruhi perkembangan perilaku dan kemampuan anak.
Kemampuan yang dimaksud adalah
kemampuan fisik-motorik, kognitif, sosio-emosional dan kemampuan berbahasa.
11 Metode Penelitian Menurut Sugiyono, Dalam penelitian dikenal dengan sejumlah metode. Penelitian berdasarkan metode yang digunakan dapat dikelompokkan menjadi delapan kelompok, yakni: penelitian survei, ex post facto, eksperimen, naturalistik, policy research, action research, evaluasi dan sejarah.77 Mengacuh pada tipe-tipe tersebut, maka penelitian ini menggunakan tipe penelitian survei, menurut teori Fred, yaitu penelitian yang digunakan pada populasi besar maupun kecil, tetapi data yang dipelajari adalah data dari sampel yang diambil dari populasi tersebut, sehingga ditemukan kejadian-kejadian relatif, distribusi dan pengaruh dan hubungan-hubungan antar variabel. 78 Sasmoko menjelaskan bahwa tujuan survei adalah mengumpulkan informasi tentang variabel dan bukan informasi tentang individu.Variabel-variabel yang diukur dinyatakan dengan variabel bebas dan variabel terikat. 79 Berdasarkan kerangka berpikir, hipotesis yang sudah disusun, dan metode penelitian ini, maka dibuatlah rincian variabel dan dimensinya, serta pola hubungan antar variabel sebagai berikut:
77
Sugiyono, Statistika untuk Penelitian (Bandung: Alfabeta, 1999), 7. Fred N. dan Howard B. Lee, Foundations of Behavioral Research (Forth Worth: Harcout College Publisher, 2000), 599. 79 Eliezer Sasmoko, Metode Penelitian, Pengukuran dan Analisis Data Tangerang: Harvest Internasional Theological Seminary, 2005), 147. 78
31
Gambar Pola Hubungan antar Variabel (Hubungan Utama) Catatan: Garis Panah tebal bungungan KUAT dan tipis: Sedang. Garis tanpa tanda panah, hanya keterangan jumlah dimensi dalam Variabel
Pola hubungan X1 mempengaruhi X2, X1 memperngaruhi Y, X2 saling mempengaruhi dengan Y, dan X1 bersama-sama X2 mempengaruhi Y. Keterangan: X1.1 dan X1.2 sebagai dimensi dari variabel
bebas (Independent Variable) dari X1, kemudian X2.1, X2.2, X2.3, X2.4. X2.5, X2.6 dan X2.7 adalah dimensi dari variabel bebas (Independent Variable) dari X2. Sedangkan Y1, Y2, Y3 dan Y4 sebagai dimensi dari variabel terikat (Dependent Variable) dari Y. Karena terlalu rumit untuk membuat semua pola hubungan dalam satu buah diagram, untuk menggambarkan semua pola hubungan, maka kami buat sub diagram ini:
32
Gambar Pola Hubungan Antar Dimensi Pemakaian Gadget dengan Perilaku Anak
Gambar Pola Hubungan Antar Dimensi Pemakaian Gadget dengan Kemampuan Anak
33
Gambar Pola Hubungan antar Dimensi Perilaku Anak dengan Kemampuan Anak
Gambar Pola Hubungan antara Pemakaian Gadget dan Perilaku Anak dengan setiap dimensi Kemampuan Anak
34
Keterangan Gambar X1: Pemakaian Gadget X1.1 Konten Edukasi (Game, film dan lagu) X1.2 Konten Non – Edukasi (Game, film dan lagu) X2: Perilaku Anak X2.1 Perilaku Sosial X2.2 Perilaku Emosional X2.3 Perilaku Tidur X2.4 Perilaku Belajar X2.5 Perilaku Agresif X2.6 Perilaku Makan X2.7 Perilaku Merusak Y : Kemampuan Anak Y1. Kemampuan Kognitif Y2. Kemampuan Fisik – Motorik Y3. Kemampuan Emosi - Sosial Y4. Kemampuan Verbal – Bahasa
Garis Panah: Arah panah menujukkan arah pengaruh, ketebalan garis menunjukkan tingkat kuatnya pengaruh, makin tebal garis makin kuat pengaruhnya, hingga palig rendah garis putus-putus; Sangat Rendah, rendang, Sedang, Kuat dan Sangat Kuat). Keterangan ini akan berlaku dalam seluruh tesis ini.
12 Hasil Penelitian dan Kesimpulan Setelah melakukan, maka dapat dikemukakan hasil penelitian sebagai berikut: a)
Pemakaian Gadget terhadap Perilaku Anak Ada hubungan antara Pemakaian Gadget dan Perilaku Anak, dan pengaruhnya
adalah rendah sebesar 11.2%. Nilai konstanta regresi 33.515, artinya jika Pemakaian Gadget nol, maka nilai Perilaku Anak adalah 33.515, dengan pengaruh yang ditunjukkan
35
oleh besarnya koefisien regresi sebesar 1.075, artinya setiap kenaikan Pemakaian Gadget 1 satuan, Perilaku Anak mengalami kenaikan 1.075 satuan. b)
Pemakaian Gadget terhadap Kemampuan Anak Hubungan antara Pemakaian Gadget dan Kemampuan Anak tersebut adalah rendah
sebesar 9.5%. Nilai konstanta regresi 109.087 artinya jika Pemakaian Gadget nol, maka nilai Kemampuan Anak adalah 109.087 dan pengaruh Pemakaian Gadget terhadap Kemampuan Anak, ditunjukkan, dengan koefisien regresi 0.622, artinya setiap kenaikan pemakaian gadget 1 satuan, perilaku anak mengalami kenaikan 0.622 satuan. c)
Perilaku terhadap Kemampuan Anak Ada hubungan antara Perilaku Anak dan Kemampuan Anak tersebut adalah kuat
sebesar 53.6%. Besarnya nilai konstanta regresi 33.515 artinya jika Perilaku Anak nol, maka nilai Kemampuan Anak adalah 33.515 dan pengaruh ditunjukkan oleh besarnya koefisien regresi sebesar 1.075, artinya setiap kenaikan pemakaian gadget 1 satuan, kemampuan anak mengalami kenaikan 1.075 satuan. d)
Pemakaian Gadget dan Perilaku Anak, bersama-sama terhadap Kemampuan Anak Dari analisa linear berganda terbukti ada pengaruh Pemakaian Gadget (X1) dan
Perilaku Anak (X2) secara bersama-sama terhadap Kemampuan Anak (Y) secara kuat sebesar 54%. Dari hasil uji koefisien bisa terlihat nilai kontanta 27.961 artinya jika nilai Pemakaian Gadget dan Perilaku Anak pada titik nol, maka Kemampuan Anak ada di nilai 27.961 dan setiap kenaikan 1 poin Perilaku Anak bersama-sama Pemakaian Gadget, Kemampuan Anak akan naik 1.04 poin. 13. Saran Implikasi praktis penelitian ini adalah: a.
Untuk Orang Tua Berdasarkan Hasil penelitian bahwa Pemakaian Gadget pengaruhnya rendah, baik
terhadap Perilaku Anak maupun Kemampuan Anak. Karena itu sebenarnya orang tua tidak perlu, galau, resah berlebihan lalu bertindak ekstrim atau radikal melarang anaknya menggunakan gadget. Gadget masih bermanfaat positif sejauh dalam pengelolaan yang baik, karena itu gadget bisa diberikan kepada anak, tetapi harus diimbangi dengan interaksi yang baik dengan anak-anak, memberikan teladan dan mendidik dengan benar dan bijak. Sebaliknya Perilaku Anak berpengaruh kuat terhadap Kemampuan Anak, karena itu orang tua harus lebih fokus pada pendidikan karakter anak, yang akan membentuk perilaku positif anak. Untuk membentuk perilaku anak dalam usia dini, yang terpenting
36
adalah mengenalkan anak kepada Tuhan, dan menjadi teladan bagi anak, apalagi dalam pendidikan anak usia dini, dimana hal ini memang merupakan hal terpenting.
b.
Untuk Sekolah Anak Usia Dini Pemakaian Gadget dengan benar untuk hal-hal baik, berpengaruh positif (walau
rendah) terhadap perilaku dan kemampuan anak, maka penggunaan komputer, laptop, tablet dan gagdet lainnya sebagai sara pendidikan, yang sempat menjadi pro dan kontra, seiiring issue pengaruh negatif gadget, sebenarnya masih bisa diberikan, karena pemakaian di sekolah masih dalam kategori untuk edukasi dan dibawah pengawasan. Pengaruh perilaku anak yang kuat terhadap kemampuan anak, berimplikasi bahwa untuk anak usia dini, maka pendidikan karakter adalah lebih penting dari pendidikan akan pengetahuan umum, ketrampilan menggunakan gadget ataupun pendidikan menulis dan berhitung (yang sekarang sudah dilarang oleh pemerintah). Daftar Pustaka “Anak dan Gadget” 2015 www.SelasarGayaHidup.com 30 November 2015. Diakses 15 Februari 2016. “Gadget dan Pengasuhan, di Amerika” 2013 www.kompas.com/health, Artikel tertanggal Sabtu, 29 Juni 2013. diakses 23 April 2016, jam 09.20. Agmasari, Silvita 2016 “Ini Akibat Anak Terlalu Berinteraksi dengan Layar Gadget", www.kompas.com/health, Artikel tertanggal Senin, 14 Maret 2016 (akses 14 Maret 2016) Anna, Lusia K. 2014 “Agar Anak tak Menjadi gadget Freak”, www.kompas.com/health, Artikel tertanggal 21 Maret 2014 (akses 14 Maret 2016) 2014 “Gadget Jadi Penyebab Anak Sulit Tidur” www.kompas.com/female, Artikel tertanggal Selasa, 4 Maret 2014 (akses 14 Maret 2016) 2014 “Aplikasi Edukasi di "Gadget" Cerdaskan Anak?” www.kompas.com/health artikel tertanggal Kamis, 8 Mei 2014 (akses 14 Maret 2016) 2015 “Bagaimana Mengurangi Waktu Anak Bermain Gadget? Mulailah dari Orangtua”, www.kompas.com/health , Artikel tertanggal Kamis, 16 Juli 2015 (akses 14 Maret 2016) Armstrong, Thomas 2004 Sekolah Para Juara – Menerapkan Multiple Intelligence Dalam Dunia Pendidikan / Terjemahan oleh Yudhi Murtanto, Bandung: Kaifa. Erisanti, Monica 2015 “Jangan Tenangkan Anak Rewel dengan "Gadget", www.kompas.com/health, Artikel tertanggal Selasa, 3 Februari 2015 (akses 14 Maret 2016) Istiqomah, U. 2005 Panduan praktis berdasarkan penelitian selama 6 tahun:
37
Merawat dan mendidik anak. Surakarta: Widya Duta Grafika. Izzaty, R. E 2005
Mengenali Permasalahan Perkembangan Anak Usia TK. Jakarta: Direktur Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Perguruan Tinggi. Izzo, C. V., et.al. 1999 A Longitudinal Assessment of Teacher Perceptions of Parental Involvement In Children’s Education and School Performance. American Journal of Community Psychology, 27 (6), 817-838 Kartika, Unoviana. 2014 “10 Alasan Anak Perlu Lepas dari Gadget" www.kompas.com/health, Artikel tertanggal Senin, 12 Mei 2014 (akses 14 Maret 2016) 2014 “Agar Anak Mudah Lepas dari Gadget" www.kompas.com/health, Jumat, 18 Juli 2014 (akses 14 Maret 2016) Karuppiah, Nirmala, et.al. 2009 'Childcare workers' and centre directors' beliefs about infant childcare quality and professional training', Early Child Development and Care, 179: 4, 453- 475 Kibtiyah, M. 2006 Efektivitas Cooperatif Games dalam Meningkatkan Keterampilan Sosial Anak Taman Kanak-Kanak (Jurnal). Jogyakarta: Universitas Gajah Mada. Bunda Kireina, Bunda. 2013 “Dampak Gadget Pada Perkembangan Anak” www.artikelDuniaWanita.com/parenting/tumbuhkembanganak, Artikel tertanggal 18 Maret 2013 (akses 14 Maret 2016) Maharani, Dian. 2015 “Ini Akibatnya Jika Anak Sering Gunakan Gadget di Tempat Tidur” www.kompas.com/health Artikel tertanggal Selasa, 6 Januari 2015 (akses 14 Maret 2016) 2015 “Terlalu Sering Main "Gadget", Banyak Anak Alami Masalah Tulang Belakang” www.kompas.com/health, Artikel Minggu, 23 Agustus 2015 (akses 14 Maret 2016) 2015 “Bermain "Gadget" Hambat Perkembangan Balita” www.kompas.com/health , Artikel tertanggal Kamis, 17 September 2015 (akses 14 Maret 2016) Munir, Syahrul. 2016 "Gadget dan Medsos Picu Tingginya Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak”, www.kompas.com/health, Artikel tertanggal Kamis 7 Januari, 2016 (akses 14 Maret 2016) Mutiah, D 2010 Psikologi Bermain Anak Usia Dini. Jakarta: Kencana Prenada Media Group Noviyanti, Sri 2015 “Asah Daya Ingat Anak Lewat Kemampuan Menulisnya” www.kompas.com/edukasi, Artikel tertanggal Selasa 8 September 2015 (akses 14 Maret 2016) 2016 “Batasi Waktu Anak Bermain gadget” www.kompas.com/news, Artikel tertanggal Minggu, 14 Februari 2016 (akses 14 Maret 2016) Nuraini, Y & Sujiono 2007 Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta. Fakultas Negeri Jakarta.
38
Pininta, Aunda 2015 “Membelikan Gadget untuk Anak Balita? Pahami Dulu Risikonya” www.kompas.com/health, Artikel Selasa , 22 September 2015 (akses 14 Maret 2016) Pratiwi, Purwandini S. 2015 “Bila Anak Terlalu Sering Diasuh Gadget” www.kompas.com/health artikel tertanggal Jumat 27 Maret 2015 (akses 14 Maret 2016) Rahman, Ulfiani 2009 “Karakteristik Perkembangan Anak Usia Dini”, Jurnal Lentera Pendidikan Vol.12, No.1, Juni, hal. 46-57. Sakina Rakhma Diah Setiawan 2015 “Orang Tua Sibuk dengan gadget, Anak Merasa Tidak Dibutuhkan” www.kompas.com/health, Artikel tertanggal 3 Juli 2015. Diakses 14 Maret 2016. Santrock, J. W. 2002 Life-Span Development: Perkembangan Masa hidup. Terj.Achmad Chusairi, dkk. 2002. Jakarta: Erlangga. Seefeldt Carol, Barbara A. Wasik 2007 Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Pt Indeks. Sujiono, Y N. 2007 Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini: Universitas Negeri Jakarta. Suyanto, Slamet 2005 Dasar-dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Yogyakarta: Hikayat Publishing. Utami, Wahyu K. 2013 “Banyak Orang Tua Andalkan Gadget untuk Mengasuh Anak” www.kompas.com/health, Artikel tertanggal 29 Juni 2013 (akses 14 Maret 2016) Wardhani D.T. dan Fahrudin A. 2009 Pengaruh Video Game Terhadap Anak dan Peranan Pekerja Sosial. Jurnal Ilmiah Pekerjaan Sosial. PEKSOS. Widiasmara, N., Kurniawan, I. N. 2007 Keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak ditinjau dari motivational belief, persepsi pada invitation for involvement dan life context. Skripsi. Program Studi Psikologi Fakultas Psikologi dan llmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia. Rosmha Widiyani. 2013 “Gadget, "Bom Waktu" Kesehatan Anak”, www.kompas.com/health , Artikel tertanggal Sabtu, 16 November 2013 (akses 14 Maret 2016) Wijanarko, Jarot 2012 Mendidik Anak dengan Hati. Jakarta: Happy Holy Kids 2012 Anak Cerdas, Multiple Intelligences. Jakarta: Pt.Happy Holy Kids. 2016 Hati yang Indah. Jogyakarta: Andy Offset. 2016 Mencetak Anak Juara Kehidupan. Jakarta: Suara Pemulihan. Wikipedia. 2016 “Gadget” diunduh dari (http://id.wikipedia.org/wiki/Gadget), diakses, 19 Februari 2016. Welch, Edward T. 2007 Kecanduan: Sebuah Pesta dalam Kubur. Terj. Fenny Veronica. Surabaya: Momentum. 2007) 26- 27. Yuliani, N, et al.
39
2010
Bermain Kreatif Berbasis Kecerdasan Jamak. Jakarta: PT. Indeks
2013
Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: PT Indek.
Yuliani
40