Pengaruh Minum Kopi Terhadap Interaksi dan Privasi dalam Ruang Third Place Vera Rinjayani Arafani Irawan Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia Kampus Baru UI Depok 16424
Abstrak Kebutuhan kaum dewasa perkotaan Jakarta dalam memenuhi kebutuhan psikologisnya mendorong pembentukan sebuah third place di ruang kota sebagai ruang ‘escape’. Kehadiran third place tersebut tidak lepas dari peran makanan dan minuman yang meningkatkan produktivitas sebuah ruang, khususnya third place. Skripsi ini membahas bagaimana pengaruh makanan dan minuman, khususnya kopi dalam pembentukan interaksi dan privasi di beberapa jenis tempat minum kopi yang berbeda, yaitu warung kopi dan kedai kopi franchise. Dari pengamatan yang dilakukan di masing-masing tempat didapatkan bahwa di kedua tempat tersebut menawarkan kualitas ruang third place sehingga mendorong terciptanya interaksi dan privasi yang menghasilkan sociopetal spacing dan sociofugal spacing dengan komposisi yang berbeda. Komposisi ruang sociopetal dan sociofugal tersebut merupakan hal yang potensial dalam menjawab kebutuhan akan ruang ‘escape’. Kata Kunci: third place, minum kopi, interaksi, privasi
The Effect of Drinking Coffee Towards Interaction and Privacy in Third Place Abstract The needs of Jakarta’s adults to fulfill their psychological needs have encouraged the formation of third place in urban space as an escaping place. The presence of third place is strictly related to the role of food and beverage which increase the productivity of a space, especially in third place. This research discusses how the influence of food and beverage, especially coffee, in creating interaction and privacy in some types of different coffee places, such as warung kopi and franchise coffee shop. According to the surveys done in each places, both places provide the quality of third place which create interaction and privacy which also produce the sociopetal spacing and sociofugal spacing in different compositions. Those compositions are the potential things in answering the needs of escaping place. Keywords: third place, drinking coffee, interaction, privacy
Pengaruh Minum..., Vera Rinjayani Arafani Irawan, FT UI, 2014
1.
Pendahuluan Kopi merupakan salah satu minuman terlaris dan paling sering dikonsumsi oleh
masyarakat global, begitu juga dengan masyarakat Indonesia. Sebagai minuman populer di dunia, kopi memiliki citra sebagai minuman yang dapat meningkatkan gengsi seseorang. Dengan citra tersebut, kopi telah menjadi konsumsi di berbagai kalangan umur, lapis sosial masyarakat, serta jenis kelamin. Seiring meningkatnya tingkat popularitas kopi disertai beredarnya produk-produk internasional akibat globalisasi, muncul pula tempat-tempat dimana masyarakat Indonesia dapat menikmati racikan minuman kopi khas Indonesia maupun negara lain. Sebagai salah satu negara penghasil kopi terbesar di dunia, Indonesia tentunya sudah tidak asing lagi dengan budaya minum kopi. Namun ternyata, di Indonesia, tempat minum kopi bukan lagi sekedar tempat untuk menikmati kopi. Tempat minum kopi telah berubah menjadi sebuah tempat favorit tempat menghabiskan waktu (leisure) bagi para pengunjungnya, khususnya kaum dewasa Indonesia. Kehadiran tempat minum kopi di Indonesia, khususnya Jakarta, ternyata merupakan bentuk dari kehadiran akan ruang ‘escape’ atau kabur dari runitas wajib mereka sehari-hari. Jika dianalogikan, manusia, khususnya masyarakat Indonesia, memiliki dua tempat utama, yaitu rumah sebagai tempat pertama dan tempat kerja sebagai tempat kedua. Dua tempat tersebut merupakan tempat wajib dalam memenuhi kebutuhan akan melangsungkan hidup mereka. Tempat minum kopi muncul sebagai tempat ketiga atau third place yang memiliki unsur pengisi waktu luang (leisure) sehingga membantu memenuhi kebutuhan kaum dewasa perkotaan Jakarta, khususnya kebutuhan mereka akan ruang ‘escape’. Fenomena akan tempat minum kopi sebagai third place tersebut menjadi hal yang menarik untuk diamati karena kehadiran third place yang merupakan ruang publik ternyata tidak lepas dari peran makanan dan minuman. Makanan dan minuman memiliki peran besar dalam perkembangan sebuah tempat
serta tingkat keproduktivitasan tempat tersebut.
Kehadiran makanan dan minuman dalam sebuah third place berperan penting dalam membentuk interaksi-interaksi di dalamnya yang kemudian mendukung produktivitas third place tersebut. Secara tidak langsung, kehadiran third place dalam ruang kota dapat meningkatkan kinerja penduduknya. Hal tersebut dapat dilihat dari sisi psikologis yang dimiliki third place sebagai tempat penghilang penat, bosan dan jenuh. Dari penjelasan dan fenomena yang ada, ditemukan hal penting yang sangat menarik dan patut untuk diteliti lebih dalam, seperti mengetahui apa pengaruh minum kopi terhadap interaksi dan privasi dalam ruang third place serta mengetahui apakah terdapat perbedaan
Pengaruh Minum..., Vera Rinjayani Arafani Irawan, FT UI, 2014
yang terjadi terhadap dua komponen, interaksi dan privasi, dalam dua jenis third placeyang berbeda. Dengan mengetahui hal-hal tersebut, penulisan ini diharapkan dapat memberi kontribusi terhadap perancangan ruang publik, khususnya third place, dengan menggunakan indikator-indikator penelitian sebagai indikator dalam perancangan. 2.
Landasan Teori
2.1.
Gaya Hidup dan Kebutuhan Manusia Dewasa Perkotaan Menurut Oxford Dictionary of English (2010) gaya hidup dapat didefinisikan sebagai
cara hidup seseorang, sementara Chaney (1996) mengartikan gaya hidup sebagai pola tindakan-tindakan yang membedakan setiap individu dalam masyarakat dan untuk mengukur atau mengidentifikasi gaya hidup dapat dimulai dari tiga aspek yang ada pada individu ataupun masyarakat, seperti sikap mereka dalam kehidupan, nilai mereka dalam hidupan, dan selera mereka dalam menentukan sesuatu. Faktor-faktor yang mempengaruhi gaya hidup adalah selera, pendapatan, posisi sosial, dan globalisasi. Ketika globalisasi dan moderenisasi memberi dampak pada hasrat manusia untuk mengejar suatu posisi sosial dan pendapatan tertentu untuk memenuhi kebutuhan sosial mereka, maka selera mereka pun terpengaruh yang secara tidak langsung dapat menggambarkan identitas mereka di kehidupan publik (Chaney, 2006). Manusia pada tahap dewasa, khususnya pada rentang usia 20 tahun hingga 40 tahun, berada pada sebuah titip esteem needs, ketika mereka berada pada titik pemenuhan kebutuhan akan harga diri (Maslow, 1987). Berada pada tahap tersebut, kaum dewasa perkotaan berupaya untuk memenuhi kebutuhan akan penghargaan dirinya, baik dari diri mereka sendiri maupun dari orang lain. Penghargaan diri tersebut dinyatakan dalam sebuah gaya hidup tertentu yang pada kasus ini, kaum dewasa perkotaan Jakarta menjadikan budaya minum kopi sebagai salah satu media untuk mencapai gaya hidup tesebut. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan budaya minum kopi, yaitu media (Tucker, 2011) dan citra kopi di mata masyarakat yang memiliki kecenderungan untuk mengikuti pola tingkah laku orang lain, seperti halnya budaya meminum kopi yang menyebar luas di kalangan masyarakat (Strauss, 1983, dalam Tucker, 2011). Merujuk pada Strauss (1983) dan Tucker (2011), meminum kopi telah menjadi sebuah tradisi yang dapat meningkatkan gaya hidup seseorang dikarenakan nilai yang ada pada kopi tersebut. Keinginan dalam memenuhi kebutuhan sosial tersebut dilakukan dengan perantara kopi, karena kopi dipercaya dapat meningkatkan kualitas hidup sosial (Tucker, 2011).
Pengaruh Minum..., Vera Rinjayani Arafani Irawan, FT UI, 2014
Indonesia sebagai salah satu negara penghasil kopi di dunia mengenal budaya minum kopi sejak lama. Beberapa jenis kopi Indonesia yang sudah beredar di mancanegara adalah Kopi Gayo Aceh, Kopi Mandheling, Kopi Jawa, Kopi Toraja, Kopi Kintamani Bali, Kopi Flores, Kopi Prianger, dan Kopi Papua (Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia, 2013). Okiriswandani (2012) menjelaskan bahwa masyarakat Indonesia telah menjadi penikmat kopi sejati sejak masuknya Belanda menjajah Indonesia dan budaya minum kopi saat ini telah menjadi populer dan bagian dari gaya hidup. Hal ini terlihat dari berjamurnya berbagai tempat minum kopi moderen dengan berbagai fasilitas menarik dan nyaman. Berdasarkan data yang didapat dari Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI), penelitian yang dilakukan tahun 2012 menunjukkan bahwa, tingkat konsumsi kopi di Indonesia sejak tahun 1989 menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Hal ini menunjukkan bahwa mengkonsumsi kopi bukan hal baru dan cukup penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia dengan kecenderungan yang semakin meningkat. Berdasarkan teori serta data yang dikemukakan sebelumnya, kopi bukan hanya sebagai pemenuh kebutuhan primer, tetapi juga kebutuhan sosial, sekunder bahkan tersier masyarakat Indonesia. Kopi telah menjadi komoditi yang spesial di dunia serta di Indonesia. Ketenaran kopi sebagai komoditi yang spesial menjadikan kopi ekslusif dan kegiatan meminum kopi menjadi gaya hidup dan kebiasan yang spesial dan bahkan bagian dari masyarakat di dunia dan tentunya di Indonesia. 2.2.
Makanan dan Minuman dalam Third Place di Ruang Kota Dalam mempersepsikan ruang, faktor umur dan tahap hidup manusia sangatlah
mempengaruhi, seperti halnya manusia dewasa mempersepsikan sebuah ruang berdasarkan pengalamannya selama hidup, saat ruang akan menjadi bermakna ketika terdapat pengalaman atau kejadian tertentu pada ruang tersebut yang akhirnya akan merubah space menjadi sebuah place. (Tuan, 2001). Dihadapkan pada harapan tinggi akan sebuah gaya hidup, masyarakat dewasa perkotaan akan mulai berkompetisi dengan dirinya sendiri untuk memenuhi gaya hidup tersebut guna mendapatkan status sosial di sekitarnya (Maslow, 1987). Dengan tingginya harapan tersebut mereka pun berada dalam kehidupan yang terasa serba menuntut. Mereka pun terkadang menjadi tertekan akan rutinitas wajib mereka demi pemenuhan kebutuhan tersebut. Oldenburg (1999) menjelaskan dua tempat wajib yang sudah merupakan bagian hidup manusia, yaitu rumah dan tempat kerja. Dua tempat tersebut, menurut Oldenburg (1999), merupakan tempat inti yang menunjang kehidupan manusia karena rumah merupakan
Pengaruh Minum..., Vera Rinjayani Arafani Irawan, FT UI, 2014
tempat beristirahat setelah seharian bekerja, sedangkan tempat kerja adalah tempat manusia memeras keringat untuk berjuang hidup. Ketika dihadapkan pada mobilitas tinggi guna memenuhi kebutuhan sosialnya, manusia tanpa terasa kehilangan kehidupan informal mereka yang dapat melepaskan mereka dari penat serta kebosanan. Maka istilah tempat ketiga atau third place diberikan untuk tempat setelah rumah dan tempat kerja tersebut (Oldenburg, 1999). Ia berpendapat bahwa dengan adanya third place tersebut, kehidupan manusia akan menjadi lebih santai untuk dijalani dan lebih lengkap. Berpedoman pada apa yang diungkapkan oleh Maslow (1987) dan Oldenburg (1999), bahwa manusia membutuhkan kehidupan sosial lainnya yang harus dipenuhi diluar rutinitas rumah dan tempat kerja, maka tempat dengan istilah third place tersebut haruslah bersifat menghibur, santai, dan dapat mengisi waktu luang (leisure). Hadirnya third place mengindikasikan fungsi sosial sebuah ruang yang mendorong terjadinya interaksi dan tingkat privasi tertentu. Untuk mendapatkan hasil optimal dari fungsi ruang sebagai ruang sosial, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi (Whyte, 2001), seperti: •
Lokasi. Lokasi yang strategis akan memberikan dampak positif terhadap kegiatan dan interaksi yang terjadi pada ruang publik.
•
Organisasi ruang yang mencakup ruang/tempat untuk duduk.
•
Kemungkinan-kemungkinan dalam merubah organisasi ruang, seperti tempat duduk yang dapat diubah-ubah.
•
Bentuk dan luasan ruang.
Gambar 1.1 Ilustrasi Ukuran Tempat Duduk Pada Ruang Tempat Makan (Sumber: Chiara, et al., 1991)
Gambar 1.2 Kategori Ukuran Tempat Duduk Pada Ruang Tempat Makan (Sumber: Chiara, et al., 1991)
Pengaruh Minum..., Vera Rinjayani Arafani Irawan, FT UI, 2014
Pada Gambar 1.1 dan Gambar 1.2 menunjukkan bahwa terdapat tiga jenis ukuran dari tempat duduk yang berpengaruh pada organisasi ruang di dalam ruang tempat makan, yaitu luxurious, intermediate, dan economical. Pada ruang tempat makan yang tergolong luxurious, ukuran dari tempat duduknya lebih luas dan besar dibandingkan dua kategori lainnya. Seperti yang dijelaskan oleh Whyte (2001) bahwa bentuk dan luasan sebuah ruang akan saling mempengaruhi organisasi ruang tersebut yang mencakup ruang/tempat duduknya yang kemudian akan mempengaruhi kemungkinan-kemungkinan (affordance) dari sebuah ruang tersebut. Tabel 1.1 Tipe Karakter Hubungan, Kegiatan, dan Kualitas Sensori Interpersonal
Appropriate Relationships and Actions Intimate distance ( 0 to ½ feet)
Intimate contacts (physical contacts)
Personal Distance Contacts between (1½ to 4 feet) close friends
Social Distance (4 to 12 feet)
Impersonal and businesslike contacts
Public Distance (more than 12 feet)
Formal contacts between an individual and the public
Sensory Qualities Intense awareness of sensory inputs from other person; touch overtakes vocalization as primary mode of communication Less awareness of sensory inputs than intimate distance; vision is normal and provides detailed feedback Sensory inputs minimal; information provided by visual channels less detailed than in personal distance; normal voice level maintained; touch not possible No sensory inputs; no detailed visual input; eaggerated nonverbal behaviors employed to supplement verbal communication
(Sumber: Bell, et al., 2005)
Tabel 1.1 menjelaskan jenis hubungan dan jarak interpersonalnya serta jenis kegiatan dan kualitas sensorinya yang menjelaskan bahwa semakin dekat jarak antar individu, maka semakin intim pula interaksi yang akan tercipta, dan sebaliknya. Interaksi yang dapat terjadi di ruang publik terbagi menjadi dua jenis, yaitu unfocused interaction dan focused interaction. Unfocused interaction merupakan jenis interaksi yang terjadi tanpa adanya percakapan, melainkan kontak mata atau sekedar menyadari kehadiran orang lain dalam suatu ruang publik, sedangkan focused interaction merupakan jenis interaksi
Pengaruh Minum..., Vera Rinjayani Arafani Irawan, FT UI, 2014
yang melibatkan dua orang atau lebih dalam sebuah percakapan serta tatap muka secara langsung (Goffman, 1966). Kemudian, menurut Westin (1970) dalam Altman (1981), terdapat empat tingkatan privasi yang terjadi dalam sebuah ruang sosial, yaitu solitude, ketika seseorang benar-benar memblok dirinya sendiri dengan orang lain, sehingga tidak dapat dilihat, dinilai, atau diganggu orang lain. Tahap privasi ini merupakan tahap paling ekstrim dalam tingkatan sebuah privasi. Intimacy, ketika seseorang dengan orang lain atau sebuah grup ingin memisahkan diri dengan grup lainnya. Anonymity, ketika seseorang secara tidak langsung didorong oleh sebuah keadaan untuk berada dalam posisi ‘lost in crowd’, berada dalam sebuah ruang privat di sebuah kehidupan publik. Reserve, ketika seseorang yang berada dalam sebuah ruang publik dengan sengaja membentuk batasan ruang dirinya dengan kehidupan publik di sekitarnya. Ketika interaksi dan privasi tersebut tercipta, terdapat indikasi adanya ruang-ruang sosial seperti sociopetal spacing dan sociofugal spacing (Bell, et al., 2005). Sociopetal spacing merupakan ruang sosial dengan organisasi yang mendorong orang yang ada di dalamnya untuk berinteraksi dan berkegiatan bersama. Sebaliknya, sociofugal spacing merupakan ruang sosial dengan organisasi yang mendorong orang yang ada di dalamnya cenderung tidak berinteraksi dengan satu sama lain. Hadirnya kegiatan minum kopi menunjukkan peranan dari sebuah minuman terhadap suatu ruang. Fungsi utama makanan dan minuman dalam kehidupan makhluk hidup adalah sebagai pemenuh kebutuhan utama untuk dapat bertahan hidup (Telfer, 1996). Menurut Telfer (1996) makanan tak hanya menjadi penghilang rasa lapar semata, makanan memiliki peran sebagai kesenangan, simbol dari keramahan dan sebagai seni. Selain itu, makanan dan minuman dapat menentukan sebuah produktivitas suatu ruang, yaitu melalui kegiatan transaksi ekonomi serta dapat meningkatkan sebuah interaksi sosial dalam ruang publik (Whyte, 2001). Berdasarkan teori Whyte (2001) kopi menawarkan sesuatu yang lebih dari sekedar rasa dan aroma biji kopi yang telah dihaluskan dan disajikan, yaitu sebagai media dalam interaksi sosial antar individu di sebuah tempat. Tak hanya berfungsi sebagai tempat kegiatan ekonomi, kehadiran third place di sebuah kawasan dalam sebuah ruang kota memiliki peran sebagai tempat bertemunya berbagai individu dengan latar belakang serta kebutuhan berbeda (Jacobs, 1961) yang menawarkan kebebasan tertentu (Lefebvre, 1991) serta sebagai tempat terjadinya pertukaran yang berguna dalam kehidupan sosial seseorang (Cowan, 2005).
Pengaruh Minum..., Vera Rinjayani Arafani Irawan, FT UI, 2014
3.
Metode Metode penulisan yang digunakan merupakan metode deskriptif dengan sumber data
primer, yaitu observasi lapangan dan wawancara, dan sumber data sekunder yang berdasarkan literature dan internet. Adapun hal yang akan dibahas sebagai batasan penulisan ini adalah tempat minum kopi sebagai third place dengan teori yang membahas peran makanan dan minuman, khususnya kopi, dalam ruang arsitektur, teori third place beserta kualitas ruangnya, serta teori gaya hidup dan kebutuhan masyarakat Indonesia khususnya Jakarta. Penulisan ini lebih menekankan pada bentuk interaksi sosial, tingkat privasi yang tercipta, dan kualitas ruang lainnya yang ditawarkan oleh tempat minum kopi tersebut. Metode analisis yang digunakan merupakan metode kualitatif untuk menganalisis interaksi dan tingkat privasi yang tercipta serta metode kuantitatif sebagai pendukung dalam menganalisis aspek kualitatif dalam pengamatan. Studi kasus dalam penulisan ini terbatas pada kedai kopi franchise sebagai tempat minum kopi dengan skala usaha besar dan warung kopi sebagai tempat minum kopi dengan skala usaha kecil. Berdasarkan skala usahanya, tempat kegiatan minum kopi tersebut mempengaruhi luasan ruang dan bentukannya yang kemudian mempengaruhi kategori dari luasan ruang tempat tersebut, luxurious, intermediate, atau economical (Chiara, et al., 1991). Dengan kategori luasan ruang tersebut, maka organisasi serta pemilihan ukuran perabotan seperti meja dan kursi pun disesuaikan yang juga akan berpengaruh pada kualitas ruangnya. Warung kopi dan kedai kopi franchise merupakan tempat yang dapat dikategorikan sebuah third place untuk para pengunjungnya. Namun, dengan perbedaan skala, luasan, serta kualitas ruang yang berbeda, kedua tempat tersebut menghadirkan komposisi yang berbeda pula dalam hal interaksi dan privasi. 4.
Hasil Penelitian
4.1.
Warung Kopi Warung Kopi ini merupakan salah satu jenis usaha mikro yang berada di sebuah
perumahan di Jakarta Pusat. Lingkungan perumahan tersebut dikelilingi akses dan merupakan salah satu jalur yang ramai, sering diakses dan dikunjungi oleh tukang ojek, sopir bajaj, kuli bangunan, dan beberapa pembantu rumah tangga yang sekedar membeli kebutuhan rumah tangga. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, didapatkan bahwa pada hari kerja warung kopi ini didominasi oleh pengunjung yang berada pada kelompok usia 26-35 tahun dan 36-45 tahun dengan persentase 33% dan 25% dari 81 pengunjung. Hal tersebut karena terdapat beberapa pengunjung pada kelompok usia 26-35 tahun yang bekerja di sekitar warung kopi
Pengaruh Minum..., Vera Rinjayani Arafani Irawan, FT UI, 2014
tersebut sebagai kuli bangunan atau tukang ojek. Pengunjung yang berada pada kelompok usia 36-45 tahun umumnya berprofesi sebagai tukang angkot atau tukang bajaj. Sedangkan pada hari libur, pengunjung dalam kelompok usia 26-35 tahun dan 36-45 tahun memiliki persentase 29% dan 31% dari 86 pengunjung. Kegiatan yang dilakukan oleh penjual di warung kopi ini meliputi menjual kopi, menjual minuman rasa dalam kemasan, dan menjual makanan ringan. Sedangkan kegiatan yang dilakukan oleh pengunjung warung kopi ini meliputi belanja (datang dan pergi), makan dan minum, menonton televisi, dan bersosialisasi (mengobrol atau nongkrong). Berdasarkan pengamatan, didapatkan bahwa terdapat dominasi penjualan minuman kopi yang menunjukkan sebagian besar dari pengunjung warung kopi membeli minuman kopi karena mereka merasa dengan meminum kopi, acara nongkrong bersama kerabat mereka akan menjadi lebih menyenangkan jika dibandngkan dengan meminum minuman lain. Selain itu, citra minuman kopi sebagai minuman utama di warung tersebut juga menjadi alasan mengapa mereka lebih memilih minum kopi. Hal tersebut menjelaskan bahwa kehadiran minuman kopi di sebuah ruang interaksi antar pengunjung warung kopi memiliki nilai tersendiri yang mendatangkan efek positif terhadap psikologis mereka. Sebanyak 25% pengunjung yang datang pada satu hari kerja mengunjungi warung kopi untuk memenuhi kebutuhan psikologis mereka, sebagaimana yang mereka sebut rutinitas wajib untuk mengunjungi tempat tersebut untuk bertemu teman dan melepas penat setelah bekerja. Sebagian besar dari pengunjung tetap warung kopi ini berada pada kelompok usia 3645 tahun yang merupakan pengunjung tetap warung kopi ini adalah penghuni lama perumahan tempat warung tersebut berada. Sementara pembeli pada kelompok usia 26-35 tahun merupakan pendatang di perumahan tersebut yang menyebabkan kurangnya pengetahuan terhadap sesama pengunjung warung kopi atau penduduk sekitar. Perbedaan durasi tinggal di sebuah lingkungan kemungkinan besar mempengaruhi bagaimana seseorang mempersepsikan sebuah tempat di lingkungan tersebut. Pembeli dalam kelompok usia 26-35 tahun yang baru berdomisili di lingkungan tersebut menganggap dirinya sebagai orang luar atau outsider sehingga membuatnya merasa tidak dapat nyaman untuk bergabung dengan kelompok yang sudah menjadi pengunjung tetap di warung kopi tersebut. Selain itu, perbedaan usia antara mereka menjadi alasan terhambatnya interaksi di antara mereka.
Pengaruh Minum..., Vera Rinjayani Arafani Irawan, FT UI, 2014
4.2.
Kedai Kopi Franchise Kedai kopi franchise ini terletak di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat. Berada di
kawasan tengah keramaian kota Jakarta, khususnya perkantoran, memberikan keuntungan serta identitas tersendiri bagi kedai kopi ini. Pengunjung kedai kopi ini pun cukup beragam, namun secara keseluruhan pengunjung kedai kopi ini lebih didominasi oleh masyarakat dewasa yang bekerja dan berkegiatan di daerah tersebut. Berdasarkan pengamatan,
pengunjung kedai kopi franchise ini lebih ramai dibandingkan
hari libur, hal tersebut dikarenakan lokasi kedai kopi ini berada di pusat kota, tepatnya di tengah-tengah perkantoran kota Jakarta. Berada di kawasan Thamrin yang sarat akan aktivitas bisnis dan perkantoran, menyebabkan kedai kopi ini terlihat lebih banyak dikunjungi oleh para pekerja yang bekerja di kawasan sekitar. Pengamatan yang telah dilakukan menunjukkan dominasi pekerja muda pada kelompok usia 26-35 tahun di hari kerja dengan persentase 48% dari 200 jumlah pengunjung, sedangkan pengunjung pada kelompok usia yang sama menurun di hari libur. Pada hari kerja, terlihat bahwa sebagian besar pengunjung yang merupakan dewasa (26-45 tahun) melakukan kegiatan makan dan minum saja. Sebaliknya terjadi pada hari libur, bahwa kegiatan bersosialisasi yang dilakukan oleh kaum dewasa seperti reuni, arisan, dan sejenisnya meningkat lebih jauh dibandingkan makan dan minum saja. Sebagian besar dari mereka mengaku mengunjungi kedai kopi ini untuk berkumpul bersama kerabat mereka, untuk melepas penat dan mengembalikan energi mereka kembali setelah seminggu bekerja. Selain makan dan minum, kegiatan yang kerap ditemukan di hari kerja adalah meeting atau bertemu dengan orang lain untuk membicarakan pekerjaan. Kedai kopi ini dipilih dibandingkan lokasi lainnya karena namanya yang sudah dikenal orang sehingga mudah untuk ditemukan. Selain itu, faktor jenis makanan dan minuman yang sudah mereka ketahui menentukan tempat ini sebagai tempat pilihan. Setelah melakukan pengamatan dan wawancara terhadap beberapa pengunjung kedai kopi ini, disimpulkan bahwa kaum dewasa yang mengunjungi kedai kopi ini menjadikan kedai kopi franchise menjadi salah satu tempat untuk bersosialisasi dengan kerabat mereka, khususnya di saat hari libur. Kehadiran kopi menambah nilai tambah terhadap kebutuhan psikologis yang berusaha mereka penuhi.
Pengaruh Minum..., Vera Rinjayani Arafani Irawan, FT UI, 2014
5.
Pembahasan Berikut disertakan tabel sintesis dari penelitian terhadap dua studi kasus yang telah
dilakukan.
No.
Komponen
1
Lokasi
2
Pengunjung
3
Kegiatan
4
Makanan / Minuman yang Dijual
5
Kategori Luasan Ruang
6
7 8
Tabel 5.1 Tabel Sintesis Studi Kasus Warung Kopi Kedai Kopi Franchise Perumahan Pekerja paruh baya (sopir bajaj, tukang ojek) Nongkrong, bersosialisasi, nonton TV, makan & minum, berbelanja Kopi, teh, minuman botol (minuman buah, teh kemasan, minuman soda, air mineral), makanan (mie rebus, gorengan, makanan ringan), rokok
Kawasan Perkantoran Thamrin
Economical
Intermediate-Luxurious
Unfocused interaction, focused interaction (pembeli-penjual, antar pengunjung yang saling mengenal, pengunjung-orang lewat)
Unfocused interaction, focused interaction (pembeli-penjual, antar pengunjung yang saling mengenal, antar pengunjung yang tidak mengenal)
Intimacy, anonymity
Intimacy, anonymity, reserve
Sociopetal spacing
Sociofugal spacing dan sociopetal spacing
Remaja, pekerja muda, keluarga Berbelanja, makan & minum, nongkrong, bersosialisasi, bekerja (sendiri), meeting Kopi, teh, juice, air mineral, makanan (roti, pasta, kue)
Interaksi yang Dapat Terjadi
Tingkat Privasi yang Dapat Dicapai Ruang Sosial yang Dapat Terbentuk
(Sumber: Dokumen Pribadi, 2014)
Pada Tabel 5.1 ditunjukkan bahwa lokasi, pengunjung, serta kategori luasan ruang dari kedua tempat minum kopi tersebut memiliki perbedaan. Namun, dari perbedaan tersebut, didapatkan beberapa jenis interaksi, tingkat privasi, serta organisasi ruang sosial yang sama sehingga mengindikasikan peran yang sama dari makanan dan minuman yang dijual.
Pengaruh Minum..., Vera Rinjayani Arafani Irawan, FT UI, 2014
5.1.
Warung Kopi
5.1.1. Interaksi Antara Pembeli dan Penjual
` Gambar 5.1 Interaksi Yang Tercipta Antara Penjual dan Pengunjung (Sumber: Dokumen Pribadi, 2014)
Pada Gambar 5.1 terlihat bahwa interaksi yang tercipta antara penjual dan pengunjung di warung kopi. Interaksi yang tercipta yaitu terlibatnya percakapan antara penjual dan pengunjung dan oleh karena itu interaksi tersebut merupakan kategori focused interaction, karena terjadi percakapan tatap muka antar individu tersebut (Goffman, 1966). 5.1.2. Interaksi Antar Pengunjung
Gambar 5.2 Denah Warung Kopi (Sumber: Dokumen Pribadi, 2014)
Denah warung kopi yang diperlihatkan pada Gambar 5.2 di atas menunjukkan bahwa luasan beserta organisasi ruang dan perabotan warung kopi tersebut tergolong pada kategori economical furniture spacing (Chiara, et al., 1991). Dengan jarak-jarak yang dimiliki oleh warung kopi tersebut mengantarkan warung kopi untuk memiliki potensi terjadinya percakapan-percakapan ataupun kegiatan-kegiatan yang melibatkan keseluruhan pengunjung warung kopi tersebut. Dengan dimensi luasan ruang warung kopi tersebut, interaksi yang dapat terjadi antar pengunjung terbagi menjadi dua, yaitu focused interaction dan unfocused interaction.
Pengaruh Minum..., Vera Rinjayani Arafani Irawan, FT UI, 2014
Interaksi yang dapat dikategorikan dalam focused interaction yaitu interaksi yang terjadi dalam suatu kelompok antar pengunjung, interaksi antara pengunjung dengan orang yang ia kenali melintas di depan warung kopi, serta interaksi antara kelompok pengunjung warung kopi tersebut. Luasan serta pengaturan perabot di warung kopi tersebut mempengaruhi kualitas ruang yang dimiliki ruang tempat minum kopi ini. Dengan luasan ruang yang cenderung kecil yang memiliki dua tempat ruang utama untuk berkegiatan, warung kopi ini hanya mampu menampung sekitar 12 pengunjung yang dapat duduk di tempat duduk yang ada dan dapat menampung lebih jika tidak perlu adanya tempat duduk. Dengan kecilnya ukuran ruang warung kopi, hal tersebut mendorong para pengunjungnya yang berjumlah sedikit tersebut untuk berinteraksi dan berkegiatan bersama sehingga meningkatkan intimasi di antara mereka dan mengarah pada sociopetal spacing (Bell, et al., 2005). Dengan luasan yang dimiliki warung kopi ini, tingkat privasi yang mungkin tercipta adalah intimacy, ketika dua orang atau lebih berada pada ruang sosial yang sama yang dibentuk oleh kegiatan bersama. Hal tersebut sesuai dengan teori mengenai jarak ruang personal seseorang bahwa semakin kecil jarak personal seseorang yang berusaha diatur dengan ruang personal orang lain dalam ruang publik, maka semakin intim pula interaksi dan privasi yang dapat tercipta (Bell, et al., 2005). Dengan tata letak perabotan pada warung kopi ini, organisasi ruang tersebut tergolong sociopetal spacing yang mengantarkan pengunjung warung kopi untuk berinteraksi dan berkegiatan bersama. 5.1.3. Pengaruh Minum Kopi Terhadap Ruang Warung Kopi Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan, minuman kopi merupakan media yang menahan pengunjung untuk berinteraksi antar sesama pengunjung ataupun penjual. Hal tersebut didapatkan ketika melihat saat seseorang membeli makanan kecil seperti gorengan atau bahkan mie rebus, orang tersebut akan fokus pada kegiatannya untuk memakan dan menghabiskan makanan tersebut sehingga akan membatasi intensitas interaksinya dengan orang lain. Hal ini pula yang menjadi alasan pengunjung untuk memilih meminum kopi sebagai kegiatan saat mengunjungi warung kopi ini. Ketika kegiatan minum kopi terjadi dalam suatu luasan ruang tertentu, maka akan mempengaruhi tingkat privasi yang akan terjadi dalam kasus ini yaitu intimacy, sehingga akan meningkatkan durasi tinggal pengunjungnya. Saat durasi tinggal semakin tinggi, maka interaksi yang dapat terjadi di warung kopi pun semakin intens dan hal tersebut mengindikasikan meningkatnya produktivitas sebuah ruang.
Pengaruh Minum..., Vera Rinjayani Arafani Irawan, FT UI, 2014
5.2.
Kedai Kopi Franchise
5.2.1. Interaksi Antara Penjual dan Pembeli
Gambar 5.4 Ruang Interaksi Antara Penjual dan Pembeli (Sumber: Dokumen Pribadi, 2014)
Seperti yang terjadi di warung kopi, interaksi yang terjadi di kedai kopi pun ada dua macam, unfocused interaction dan focused interaction. Unfocused interaction di kedai kopi memiliki kesamaan pada interaksi di warung kopi, yaitu ketika interaksi tersebut melibatkan dua orang atau lebih yang tidak saling mengenal sehingga tidak ada percakapan yang terjadi melainkan hanya dengan menyadari kehadiran orang lain atau sekedar memperhatikan orang lain di sekitar mereka. Focused interaction yang terjadi tentunya interaksi yang melibatkan percakapan serta tatap muka antar individu yang terlibat. Gambar 5.4 menunjukkan interaksi antara pengunjung dengan penjual beserta ruang interaksi yang tercipta.
5.2.2. Interaksi Antara Pengunjung
Gambar 5.5 Denah Tata Letak Perabot Kedai Kopi Franchise (Sumber: Dokumen Pribadi, 2014)
Pengaruh Minum..., Vera Rinjayani Arafani Irawan, FT UI, 2014
Gambar 5.5 menunjukkan pengaturan tata letak tempat duduk di kedai kopi franchise ini tergolong pada luxurious furniture spacing (Chiara, et al., 1991). Dengan jarak-jarak yang dimiliki oleh kedai kopi tersebut, mengantarkan kedai kopi untuk memiliki potensi terjadinya percakapan-percakapan ataupun kegiatan-kegiatan yang hanya terjadi pada ruang-ruang tertentu yang tercipta sesuai dengan tata letak tempat duduknya. Dengan dimensi luasan ruang tersebut, interaksi yang dapat terjadi antar pengunjung di kedai kopi ini terbagi menjadi dua, yaitu unfocused interaction, ketika pengunjung tersebut tidak saling mengenal. Interaksi yang tergolong focused interaction seperti interaksi dalam suatu kelompok pengunjung, interaksi antar pengunjung lain dengan tujuan tertentu, seperti meminjam kursi, dan sebagainya. Selain interaksi, tingkat privasi yang dapat tercipta yaitu intimacy, anonymity, dan reserve. Tingkat privasi anonymity yaitu ketika seseorang menikmati makanan dan minumannya yang secara tidak sadar berada pada ‘get in lost’ dalam ruang publik. Sedangkan tingkat privasi reserve yaitu ketika seseorang melakukan kegiatan tertentu untuk menyatakan ruang personalnya, seperti bekerja atau mendengarkan musik dengan headset. Dengan tata letak perabotan pada kedai kopi franchise ini, ruang sosialnya tergolong menjadi dua, yaitu sociopetal spacing dan sociofugal spacing. Sociofugal spacing terjadi antar kelompok pengunjung yang tidak saling mengenal, sehingga tidak terjadi interaksi yang melibatkan percakapan atau interaksi langsung di antara mereka. 5.2.3. Pengaruh Kegiatan Minum Kopi Terhadap Ruang Kedai Kopi Franchise Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan, minuman kopi merupakan media yang menahan pengunjung untuk berinteraksi antar sesama pengunjung ataupun penjual. Hal tersebut didapatkan ketika melihat saat seseorang membeli makanan sejenis pasta, orang tersebut akan fokus pada kegiatannya untuk memakan dan menghabiskan makanan tersebut sehingga akan membatasi intensitas interaksinya dengan orang lain. Hal ini pula yang menjadi alasan pengunjung untuk memilih meminum kopi sebagai kegiatan saat mengunjungi kedai kopi ini. Ketika kegiatan minum kopi terjadi dalam suatu luasan ruang tertentu, maka akan mempengaruhi tingkat privasi yang akan terjadi dalam kasus ini yaitu intimacy, sehingga akan meningkatkan durasi tinggal pengunjungnya. Saat durasi tinggal semakin tinggi, maka interaksi yang dapat terjadi di warung kopi pun semakin intens dan hal tersebut mengindikasikan meningkatnya produktivitas sebuah ruang.
Pengaruh Minum..., Vera Rinjayani Arafani Irawan, FT UI, 2014
6.
Kesimpulan Dari penulisan ini didapatkan bahwa minum kopi telah menjadi bagian dari gaya hidup
kaum dewasa perkotaan Indonesia, khususnya Jakarta. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh globalisasi dan moderenisasi yang menyebabkan perkembangan makna akan sebuah gaya hidup tertentu. Seiring dengan berkembangnya makna gaya hidup bagi kaum dewasa perkotaan Jakarta, tempat minum kopi telah menjadi tempat yang wajib dikunjungi oleh kaum dewasa perkotaan tersebut untuk mengisi waktu luang (leisure) dan menghilangkan penat setelah menjalani kewajiban dan rutinitas mereka sehari-hari. Secara tidak langsung, tempat minum kopi menjadi ruang ‘escape’ bagi para kaum dewasa perkotaan Jakarta. Melalui penulisan ini, ditemukan bahwa makanan dan minuman ternyata berperan penting dalam produktivitas sebuah third place sebagai tempat masyarakat dewasa muda mencari ‘pelarian’. Kehadiran kopi dalam ruang third place dapat meningkatkan interaksi yang juga mempengaruhi terciptanya tingkat privasi tertentu. Keberagaman interaksi dan tingkat privasi yang didapatkan dari organisasi ruang dan tata letak perabotan di setiap jenis third place tersebut menghasilkan dua jenis ruang sosial, yaitu sociofugal spacing dan sociopetal spacing. Kedua ruang sosial tersebut yang kemudian juga mempengaruhi terjadinya interaksi dan tingkat privasi tertentu. Dari dua jenis ruang sosial yang terbentuk tersebut dapat dihasilkan kembali beragam interaksi-interaksi serta tingkat privasi di dalam ruang third place yang mana akan meningkatkan produktivitas ruang. Terlihat bahwa terjadi sebuah siklus dalam peningkatan produktivitas ruang tersebut, yaitu saat makanan dan minuman memunculkan interaksi dan privasi tertentu, maka akan muncul perasaan akan sebuah kehangatan dalam sebuah ruang yang akan memperpanjang waktu tinggal dalam ruang tersebut. Ketika waktu tinggal dalam sebuah ruang semakin lama, maka interaksi yang muncul akan semakin tinggi baik sesama pengunjung atau antara pengunjung dan penjual. Hal tersebut yang terus meningkatkan intensitas kegiatan di ruang publik khususnya third place. Dengan ditemukannya fakta bahwa makanan dan minuman meningkatkan produktivitas sebuah ruang publik khususnya third place, didapatkan pula sebuah kesimpulan bahwa meningkatnya produktivitas suatu ruang publik dalam sebuah ruang kota akan berpengaruh pada perkembangangan ruang kota tersebut beserta penduduknya. Secara tidak langsung, hal tersebut meningkatkan kinerja penduduknya akibat adanya dampak positif secara psikologis dari hal tersebut.
Pengaruh Minum..., Vera Rinjayani Arafani Irawan, FT UI, 2014
Gambar 6.1 Diagram Kesimpulan (Sumber: Dokumen Pribadi, 2014)
Perbedaan pada dua jenis third place secara luasan ruang menghasilkan komposisi interaksi serta tingkat privasi yang berbeda. Komposisi-komposisi yang berbeda tersebut kemudian mengantarkan berbagai proses yang mengantarkan pada konsep ruang sosial sociopetal spacing dan sociofugal spacing. Seperti yang terjadi pada warung kopi, ruang sociopetal spacing terbentuk melalui proses kegiatan minum kopi dan interaksi yang membentuk tingkat privasi intimacy yang tergolong sociopetal spacing. Sedangkan pada kedai kopi franchise, sociopetal spacing yang terbentuk dalam masing-masing ruang sesuai tata letak perabotan di dalamnya menghasilkan beberapa sociofugal spacing dalam kedai kopi tersebut. Namun, walaupun hasil akhir secara keseluruhan dalam kedai kopi franchise dan warung kopi dalam hal ruang sosial yang terbentuk berbeda, tetapi masing-masing third place tersebut sama-sama meningkatkan durasi tinggal dan interaksi di dalamnya. Ketika kedua hal tersebut terjadi maka diindikasikan peningkatan produktivitas dalam sebuah ruang third place.
Pengaruh Minum..., Vera Rinjayani Arafani Irawan, FT UI, 2014
DAFTAR PUSTAKA Altman, I. (1981). The Environment and Social Behaviour (Irving Edition ed.). New York: Irving Publishers, Inc. Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia. (2013). Retrieved Mei 5, 2014, from http://www.aeki-aice.org Bell, P. A., Greene, T. C., Fisher, J. D., & Baum, A. (2005). Environmental Psychology (5th Edition ed.). London: Taylor & Francis Inc. Chaney, D. (2006). Lifestyles. London: Routledge. Chiara, J. D., Panero, J., & Zelnik, M. (1991). Time-Saver Standards for Interior Design and Space Planning (2nd Edition ed.). New York: McGraw-Hill Companies. Cowan, B. (2005). The Social Life of Coffee: The Emergence of British Coffeehouse. London: Yale University Press. Erikson, E. H. (1982). The Life Cycle Completed. New York: W. W. Norton & Company. Goffman, E. (1966). Behaviour in Public Places (Free Press Paperback Edition ed.). (A. Giddens, Ed.) New York: The Free Press. Jacobs, J. (1961). The Death and Life of Great American Cities. New York: Random House. Knapp, M. L., & Vangelisti, A. L. (1995). Interpersonal Communication and Human Relationships (3rd Edition ed.). Massachussets: Simon & Schuster Company. Konstam, V. (2008). Emerging and Young Adulthood: Multiple Perspectives, Diverse Narratives. New York: Springer. Lefebvre, H. (1991). The Production of Space. (D. Nicholson-Smith, Trans.) Oxford: Basil Blackwell, Ltd. Maslow, A. (1987). Motivation and Personality (3rd Edition ed.). (R. Frager, Ed.) New York: Harper and Row. Nasution, A. D., & Zahrah, W. (2012). Public Open Space Privatization and Quality of Life, Case Study Merdeka Square Medan. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 466475. Okiriswandani, F. (2012). Gaya Hidup Santai Mahasiswa (Studi pada Mahasiswa Universitas Negeri Penikmat Coffee Shop di Starbuks Coffee). Jurnal Sosial dan Politik. Oldenburg, R. (1999). The Great Good Place: Cafes, Coffee Shops, Bookstores, Bars, Hair Salons, and Other Hangouts at The Heart of A Community. California: Marlowe. Oxford University. (2010). Oxford Dictionary of English. (A. Stevenson, Ed.) Oxford: Oxford University Press.
Pengaruh Minum..., Vera Rinjayani Arafani Irawan, FT UI, 2014
Roberts, K. (1978). Contemporary Society and The Growth of Leisure. Michigan: Longman. Sennet, R. (1974). The Fall of Public Man. Cambridge: Cambridge University Press. Stevens, Q. (2007). The Ludic City: Exploring The Potential of Public Space. Oxford: Routledge. Stevens, Q. (2007). The Ludic City: Exploring The Potential of Public Spaces. Oxon: Routledge. Susanto, B. (2005). Penghibur(an): Masa Lalu dan Budaya Hidup Masa Kini Indonesia. Yogyakarta: Kanisius. Telfer, E. (1996). Food for Thought: Philoshophy and Food. Oxford: Psychology Press. Tuan, Y. F. (2001). Space and Place. Minneapolis: University of Minnesota Press. Tucker, C. M. (2011). Coffee Culture: Local Experiences, Global Connections. New York: Routledge. Whyte, W. H. (2001). The Social Life of Urban Small Spaces. New York: Project for Public Space Inc.
Pengaruh Minum..., Vera Rinjayani Arafani Irawan, FT UI, 2014