TINGKAT PRIVASI DAN BENTUK INTERAKSI PENGUNJUNG PADA RUANG TUNGGU PUSKESMAS Marhamah Zahara*1), Rini Suryantini*2) 1)
Program Studi Arsitektur Interior, Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia. 2) Departemen Arsitektur, Gedung C Lt.2 Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia. *
[email protected]/
[email protected]
ABSTRAK Kegiatan pengunjung Puskesmas yang menghabiskan waktu paling lama adalah menunggu. Sering terjadi ketidaknyamanan pengunjung Puskesmas ketika menunggu karena ada bagian pada ruang tunggu yang selalu ramai dan bagian lainnya selalu sepi sehingga terjadi penggunaan ruang yang kurang optimal. Hal ini disebabkan oleh adanya hubungan dengan ruang yang akan dituju dan ketidakmerataan pembagian tempat duduk. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan penjelasan secara rinci mengenai hubungan antar pengunjung yang terbagi menjadi dua yaitu, manusia sakit dan manusia sehat terkait sistem sensorik tubuh mereka yang mana sistem sensorik manusia sakit berbeda dengan manusia sehat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui studi literatur mengenai privasi yang merupakan salah satu aspek pembentuk interaksi. Studi kasus dilakukan pada dua Puskesmas untuk memperlihatkan bagaimana kualitas ruang tunggu pada Puskesmas dilihat dari tingkat privasi, pengalaman ruang dan bentuk interaksi antar pengunjung. Dari studi literatur dan studi kasus tersebut dapat disimpulkan bahwa ruang tunggu Puskesmas kurang memenuhi kriteria ruang tunggu pada umumnya, khususnya pada fasilitas kesehatan. Privasi antar pengunjung selalu meningkat dalam keadaan ramai dan bentuk interaksi yang dominan terjadi adalah bentuk penolakan untuk melakukan hubungan. Hal ini terjadi karena sebagian besar pengunjung adalah manusia sakit yang mempunyai tingkat sensitif lebih tinggi. Kata Kunci: Bentuk Interaksi; Privasi; Puskesmas; Ruang Tunggu ABSTRACT Most of the time spent when visiting Puskesmas is for queing and waiting activity. The visitors, either as a patient or companion, often experience discomfort and crowding due to high density of people and limited seating arrangements, especially in peak time at particular waiting areas. On the other hand, there are also other waiting areas, which are seldom occupied. This phenomena shows that there are unequal distribution of waiting areas and seating arrangements in Puskemas, that may affect to the image of the center and affect the healing process of the patients. The purpose is to illuminate the spatial need of waiting activity, related to the condition of the visitors – healthy and ill, through literature study and participative observation in two Puskesmas. The findings from the observation of the waiting activity in Puskesmas are then related to the need of certain form of privacy as well as intimacy, to identify the interaction pattern between the visitors while waiting, so better design of waiting room can be achieved. As a result, the waiting activity in Puskemas has not
Tingkat privasi…, Marhamah Zahara, FT UI, 2013
been catered well and the waiting areas haven’t met yet the criteria of waiting room in general and health care facilities in particular. The crowded situation can be avoided by regulate the circulation in the Puskesmas. The patients (sick condition) show not only higher sensitivity, but also higher need for privacy as well as intimacy, lesser interest for interaction even in form of refusal, which should be considered in the design of waiting rooms in Puskesmas as part of the healing process. Keywords: form of interaction; privacy level; Puskesmas; waiting room PENDAHULUAN Dalam merancang sebuah ruang, manusia menjadi objek utama yang berperan penting sebagai pengguna. Semua aspek yang berhubungan dengan manusia menjadi penting untuk dipertimbangkan. Bagaimana pemahaman manusia terhadap ruang tersebut, bagaimana manusia beraktifitas dan berhubungan sosial di dalamnya, dan lain-lain. Namun seringkali perancang kurang memperhatikan aspek kebutuhan pengguna sehingga terjadi penggunaan ruang yang kurang optimal terhadap fungsinya, misalnya ruang tunggu pada Puskesmas. Sering timbul ketidaknyamanan pengunjung karena ada bagian pada ruang ini yang selalu ramai dan bagian lainnya selalu sepi. Hal ini disebabkan oleh adanya hubungan dengan ruang yang akan dituju setelah itu dan ketidakmerataan pembagian tempat duduk. Ruang tunggu dapat menjadi ruang transisi karena mempunyai fungsi yang sama yaitu digunakan dalam waktu yang tidak lama. Namun jika penggunaannya dalam waktu yang tidak sebentar, dengan kondisi pengunjung yang sebagian besar adalah manusia sakit, hal ini akan menurunkan nilai guna pada ruang karena tidak terkonfigurasi dengan baik. Dalam kasus ini, kesehatan merupakan alasan utama pengunjung untuk datang. Naiknya tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan, membuat masyarakat berbondongbondong untuk mengoptimalkan program tersebut, khususnya untuk masyarakat dengan ekonomi rendah. Hal ini membuat perubahan pada sarana dan prasarana yang telah disediakan, dibuat lebih besar dan lebih baik daripada sebelumnya. Bahkan kualitas dan pelayannya sudah cukup baik. Dengan bertambahnya fasilitas dan ruang-ruang dalam Puskesmas, pengunjung juga semakin bertambah. Hasilnya, Puskesmas sampai saat ini sangat jarang sepi terutama dipagi hari sehingga pengunjung cenderung menunggu dengan waktu yang cukup lama. Tidak jarang dari mereka membawa pengantar yang juga ikut menunggu sehingga ruang tunggu menjadi penuh dan ramai. Mereka membutuhkan ruang yang nyaman untuk menunggu namun pada umumnya ruang tunggu Puskesmas kurang disesuaikan dengan jumlah pengunjung yang akan datang sehingga memungkinkan mereka berada sangat dekat
Tingkat privasi…, Marhamah Zahara, FT UI, 2013
dengan orang yang tidak mereka kenal (asing) dan keadaan ini kemungkinan besar menyebabkan privasi pengunjung meningkat. Ketika dihadapkan dengan keramaian oleh orang asing, sangat sulit untuk mendapatkan kenyamanan sehingga sebagian besar pengunjung lebih menjaga privasi mereka dengan cara verbal maupun non verbal. Bagaimana jika mereka dalam keadaan butuh privasi dan tidak mendapatkan keintiman dengan orangorang yang berada disekitarnya? Oleh karena itu, tingkat privasi tergantung pada hubungan antar individu dan keadaan individu itu sendiri. Sehingga permasalahan muncul dari adanya ruang tunggu Puskesmas yang tidak memenuhi kebutuhan pengunjung seperti kebutuhan privasi dan intimacy maka aktivitas menunggu menjadi tidak nyaman. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan secara rinci hubungan antar pengunjung Puskesmas yang dilihat dari privasi dan bentuk interaksi terkait dengan sistem sensorik mereka dan penyusunan kursi pada ruang tunggu. Selain itu, disini akan digambarkan bagaimana mereka berinteraksi satu sama lain sehingga akan diketahui tingkat privasi dan kemungkinan adanya intimacy yang dibutuhkan oleh pengunjung terkait dengan tipe pengunjung Puskesmas yaitu manusia sakit dan sehat yang sebagian besar merupakan manusia sakit dan butuh pertolongan.
TINJAUAN TEORITIS Kesehatan adalah pelayanan yang sifatnya mutlak dan berkaitan dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Dalam hal yang bersifat mutlak, pemerintah berkewajiban untuk menyediakan layanan yang berkualitas dan mudah dijangkau oleh masyarakat luas. Salah satu program yang sudah terwujud adalah penyediaan Unit Pelaksana Teknis (UPT) di bidang kesehatan yaitu Puskesmas. Puskesmas merupakan salah satu program pemerintah yang ditujukan untuk meningkatkan nilai kesehatan pada suatu region. Puskesmas dapat dikatakan sebagai ujung tombak peran pemerintah dalam bidang kesehatan bagi masyarakat dan mampu memberikan pertolongan pertama dengan standar pelayanan kesehatan dalam mewujudkan kesehatan nasional secara komprehensif (menyeluruh), tidak hanya sebatas aspek kuratif (pengobatan), preventif (upaya pencegahan), promotif (peningkatan kesehatan) dan rehabilitatif (pemulihan kesehatan). Setiap puskesmas harus berstandar pelayanan kesehatan untuk dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada wilayah kerjanya. Pelayanan Puskesmas merupakan pelayanan publik yang dapat menanggulangi masalah kesehatan dalam masyarakat. Sehingga prinsip dan standar pelayanan publik harus diterapkan pada pelayanan Puskesmas. Fasilitas pada Puskesmas merupakan sarana yang disediakan bagi
Tingkat privasi…, Marhamah Zahara, FT UI, 2013
pengguna Puskesmas guna menunjang kegiatan berobat bagi pasien beserta staf dan dokter selaku pengguna yang memberikan pelayanan kesehatan. Berdasarkan Standar Operational Posedur (SOP), ruang-ruang pada Puskesmas terbagi berdasarkan jenis penyakit yang diderita dan sebagian besar letaknya berdekatan satu sama lain sehingga pengaturan ruang-ruang tunggu yang akan digunakan oleh pasien menjadi penting untuk dipertimbangkan. Dalam merancang sebuah ruang, perlu diperhatikan dari aspek pengguna. Disamping mempunyai fungsi tertentu ruang juga harus memberikan kenyamanan bagi pengguna. (F. Bollerey dalam Nicole, 1993). Ruang tunggu merupakan tempat dimana orang-orang duduk atau berdiri sampai kegiatan utama mereka dimulai. Secara umum, terdapat dua tipe ruang tunggu berdasarkan kegiatan setelah menunggu. Pertama, yang mana tiap orang meninggalkan ruang tersebut satu per satu, seperti rumah sakit atau wawancara dalam sebuah instansi. Tipe kedua yang mana orang-orang meninggalkan ruang tersebut secara massal, seperti bandara, stasiun kereta, stasiun bus. Hal utama yang membedakan dua tipe itu adalah persetujuan (penerimaan), dimana tipe pertama membutuhkan persetujuan yang sifatnya lebih tertutup (private waiting rooms), sedangkan yang kedua tidak membutuhkan dan sifatnya lebih terbuka (public waiting rooms). Ruang tunggu mempunyai kemiripan secara fungsi dan kegiatan dengan ruang transisi di mana ruang ini tidak menjadi tujuan utama, tetapi merupakan ruang pengantar menuju ruang utama dan sifatnya penting, namun tidak mendesak. Secara fisik, objek ruang tunggu yang tidak terlepas yaitu pengguna yang melakukan aktivitas di ruang tersebut. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pengguna ruang ini berhubungan dengan ada atau tidaknya tahap penerimaan untuk masuk. Deasy & Thomas (1985) dalam buku “Designing Places for People”, mengasumsikan bahwa ruang tunggu memang didesain untuk para pelanggan yang kegiatannya hanya menunggu dan kegiatan menunggu ini tidak dapat dikatakan sebagai membuang waktu. Deasy & Thomas (1985) juga menambahkan fungsi ruang tunggu sebagai ruang informasi perusahaan/instansi yang bersangkutan. Membuat ruang tunggu sebagai image dari instansi tersebut dan meletakkan beberapa informasi seperti koran, majalah, katalog dan lain sebagainya. Dalam hal ini, objek penelitian utama adalah ruang tunggu pada Puskesmas. Berikut ini merupakan beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam mendesain sebuah ruang tunggu pada fasilitas kesehatan dalam hal ini Puskesmas yang dirangkum dari beberapa sumber. Tabel 1. Kriteria Ruang Tunggu pada Puskesmas.
Tingkat privasi…, Marhamah Zahara, FT UI, 2013
Kriteria
Aspek
Penting
Keterangan
Fisik
Sirkulasi
Tidak membuat crowding dan
Pasien
overcrowding.
penyembuhan sehingga
dalam
proses (recovery)
dibutuhkan
kondisi
yang tenang. Alur
Memisahkan alur datang dan
Tidak
pulang pasien
perpotongan
terjadi
banyak
alur
pergerakan
pengunjung Letak
Berdekatan
dengan
pusat
informasi (ruang berobat).
Alasan audio-visual yang harus menerima
informasi
dengan
baik. Dekat dengan toilet/WC. Jenis kursi
Single
chair,
mempunyai
Pengguna
kursi
batasan
Waktu menunggu yang lama. yang untuk
Lebih menjaga ruang personal pengunjung
dibanding
long
individu, ada jarak antar bahu.
chair.
Kapasitas
Disesuaikan dengan jumlah
Pasien banyak yang tidak kuat
tempat duduk
pengunjung.
untuk berdiri.
Pasien
Privasi
dan
kemungkinan
kebutuhan intimacy Pengantar/
Disediakan
Pendamping
aspek ini.
tempat
Pengaturan tempat duduk dan jenis kursi.
untuk
Pengantar
memberikan
dukungan dan rasa aman pada pasien.
Dalam kriteria diatas semua aspek ruang tunggu pada fasilitas kesehatan menjadi penting untuk mendukung image terkait mutu dan pelayanan pada Puskesmas tersebut. Berdasarkan observasi, umumnya pengguna ruang tunggu pada Puskesmas adalah pengunjung, termasuk di dalamnya pasien dan pengantar. Sedangkan dokter dan perawat lebih sering berada di ruangan dokter sehingga jarang bahkan hampir tidak pernah menggunakan ruang tunggu. Pada dasarnya, pengunjung yang datang mempunyai masalah yang tidak dapat diselesaikan di rumah. Lembaga dituntut dapat melayani dari awal kedatangan pasien apapun kondisinya dan menciptakan kesan yang ramah dan peduli untuk menanamkan kepercayaan pasien terhadap lembaga. Terdapat dua jenis pengguna dalam
Tingkat privasi…, Marhamah Zahara, FT UI, 2013
ruang tunggu Puskesmas yang erat kaitannya dengan kondisi tubuh dan pikiran, yaitu manusia sakit dan manusia sehat yang mana manusia sakit merupakan objek utama dalam pembahasan ini. Manusia sehat yang menjadi pendamping manusia sakit juga menjadi objek sehingga perlu dipertimbangkan kehadirannya. Manusia sakit mempunyai sistem sensorik tubuh yang berbeda dengan manusia sehat. Mereka cenderung mengalami penurunan sistem sensorik pada tubuh. Perbedaan kondisi tubuh manusia tidak hanya dapat mempengaruhi interaksi yang dapat terjadi, tetapi juga pengalaman ruang karena berhubungan dengan sistem sensorik mereka. Juhani Pallasmaa (1994) mengatakan bahwa semua sistem sensorik tubuh manusia berperan aktif dalam proses mengalami ruang. Setiap sistem sensor mempunyai respon dan persepsi yang berbeda-beda dan semua saling berkaitan satu sama lain sampai membuat sebuah persepsi. “The eye is the sense of separation and distance, whereas touch is the sense of nearness, intimacy and affection” (Juhani Pallasmaa, 2011). Dalam konteks ini, sistem sensorik tubuh yang paling sering digunakan dalam mengalami ruang adalah sistem sensorik yang paling mempengaruhi persepsi otak yaitu, sight, touch and hearing. Di mana ketiganya mempunyai sistem yang lebih konsisten ketika digunakan dibanding dengan smell dan taste. Pada sistem penglihatan, kita hanya melihat apa yang otak kita ingin lihat dan hal itu terjadi karena fokus pandangan terpengaruh pada sesuatu yang menjadi penting menurut otak atau menarik perhatian. Sistem sensor mata kita seringkali salah karena banyak penghalang dan intervensi. Ruang menjadi sempit jika penghalang sangat dekat dengan mata dan bagi manusia sakit jarak pandang menjadi lebih sempit karena berkurangnya rasa ketertarikan pada sesuatu. Jika dihubungkan pada ruang tunggu puskesmas yang fungsinya tidak hanya sebagai tempat menunggu, tetapi juga mempunyai fungsi sebagai ruang transisi sehingga akan banyak intervensi orang berlalu lalang dan jarak pandang menjadi lebih sempit. Selain itu touch juga dipengaruhi oleh otak yang berhubungan erat dengan hearing, yang mana suara yang didengar akan direspon oleh otak dan menghasilkan sensasi pada kulit. Saya mengasumsikan bahwa manusia sakit cenderung mengalami penurunan semua sistem sensorik tubuhnya karena penyakit yang dideritanya. Jika sistem penglihatan mengalami penurunan, mereka cenderung tidak digunakan secara maksimal sehingga hearing menjadi sistem sensorik yang akan selalu digunakan secara konsisten (kecuali pada penderita tuna runggu) karena sistem pendengaran akan selalu bekerja walaupun dalam keadaan tidur dan sejalan dengan touch yang mana juga dapat diandalkan sebagai sensor peraba yang menunjukkan jarak kedekatan dengan sekelilingnya. Juga menunjukkan keintiman dan emosi
Tingkat privasi…, Marhamah Zahara, FT UI, 2013
terhadap orang yang berkontak fisik dengannya yang mana setiap pasien menjadi lebih sensitif dan membutuhkan ruang intim bersama pengantarnya. Hal inilah yang harus diperhatikan karena selain kebutuhan akan duduk, pasien yang merupakan manusia sakit juga membutuhkan privasi dan ruang intim karena menurunnya sistem sensor pada tubuhnya. Privasi merupakan suatu kemampuan untuk mengontrol interaksi dan kemampuan memilih untuk mencapai interaksi seperti yang diinginkan (Rapoport dalam Soesilo, 1988). Privasi dapat mengatur orang lain untuk mendekat atau menjauh dan tidak ingin bersosialisasi. Pilihan untuk menghindari diri dari keterlibatan dengan orang dan lingkungan sosial. (Marshall dalam Wrightman & Deaux. dkk, 1981). Privasi dapat dipengaruhi oleh faktor internal maupun eksternal. Faktor personal merupakan faktor utama untuk menentukan tinggi rendahnya privasi. Marshall (dalam Gifford, 1987) mengatakan bahwa perbedaan dalam latar belakang pribadi akan berhubungan dengan kebutuhan akan privasi termasuk jenis kelamin, usia dan budaya. Faktor eksternal yang berpengaruh misalnya faktor situasional di mana tingkat privasi di dalam rumah lebih rendah daripada di tempat umum. Pada dasarnya privasi dapat dikontrol oleh masing-masing individu dengan perilaku verbal maupun non verbal baik sengaja maupun tidak sengaja (Altman dalam Prabowo, 1998). Schofield (dalam Barak, 2008) menjelaskan tentang dimensi privasi antara lain: a. Informational (psychological) privacy. Sejauh mana informasi mengenai diri suatu individu akan dirilis secara benar kepada orang lain atau organisasi (Westin, 1967). b. Accessibility (physical) privacy. Sejauh mana fisik seseorang dapat diakses oleh orang lain. Individu mengendalikan keputusan tentang siapa yang memiliki akses fisik melalui akal persepsi, pengamatan, atau kontak tubuh (DeCew, 1997, hal 76-77) c. Expressive (interactional) privacy. Perlindungan mengekspresikan identitas diri atau kepribadian melalui pembicaraan atau kegiatan. Kemudian Sarwono (1992) mengemukakan enam jenis orientasi tentang privasi yang dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu: a. Perilaku menarik diri o Solitude, keinginan untuk menyendiri, tidak ada interaksi ataupun kontak fisik dengan orang lain. Misalnya pergi merenung ke suatu tempat sepi karena sedang patah hati atau kecewa. o Seclusion, keinginan untuk menjauh dari pandangan dan gangguan suara bising dari orang-orang yang berada didekatnya.
Tingkat privasi…, Marhamah Zahara, FT UI, 2013
o Intimacy, keinginan untuk dekat hanya dengan orang yang dikehendaki tetapi jauh dari orang-orang yang tidak dikehendaki. Misalnya menjauh dengan orang-orang dan pergi berlibur bersama keluarga atau teman dekat. b. Perilaku mengontrol informasi o Anonimity, keinginan untuk merahasiakan identitas diri, membebaskan diri dan tidak ingin diamati pada suatu keramaian. Biasanya penyembunyian identitas itu dilakukan secara sengaja. o Reverse, keinginan untuk tidak mengungkapkan diri terlalu banyak terhadap orang lain. Ini lebih sedikit terbuka daripada anonimity karena dapat mengungkapkan kepada orang yang berkepentingan walaupun baru dikenal. o Not-neighboring, keinginan untuk tidak terlibat bertetangga atau berinteraksi dengan orang di dekatnya. Hall (1959, 1966) memperkenalkan tentang proxemics yang menjelaskan bagaimana ruang
hadir
ketika
berinteraksi
berdasarkan
budaya.
Lebih
lanjut
Hall
(1966)
mengidentifikasikan 4 zona dalam berinteraksi berdasarkan jaraknya: intimate distance (0–45 cm.), personal distance (45 cm–76 cm), social distance (76 cm–120 cm), dan public distance (360 cm– 760 cm). Dari hasil observasi awal pada ruang tunggu Puskesmas, intimate distance dan personal space lebih sering muncul pada bentuk interaksi antar pengunjung yang berkaitan dengan ruang intim antara pasien dan pengantar. Dalam ruang intim, jarak yang terbentuk adalah intimate distance yang mana bentuk kehadiran orang lain menjadi sangat jelas (Hall, 1966). Kontak fisik lebih diutamakan karena jaraknya yang sangat dekat sehingga bahasa verbal jarang digunakan dan lebih sering dengan cara berbisik. Intimate distance terbagi menjadi dua, yaitu close phase (0-15 cm) dan far phase (15–45 cm). Tingkat penglihatan meningkat pada wajah sehingga terlihat lebih detail dari hidung, bibir, gigi. Namun, pada jarak ini daya lihat cenderung menjadi distorsi dan tidak semua anggota tubuh dapat terlihat. Bau dan panas dari suhu tubuh dan nafas orang lain sangat jelas sehingga jika tidak mempunyai intimasi dengan orang pada jarak tersebut, perasaan akan menjadi tidak nyaman dan privasi menjadi tinggi. Sedangkan dalam personal distance, bau dan panas dari suhu tubuh dan nafas orang lain hanya kadang-kadang terjadi. Distorsi juga berkurang, hidung, telinga, bulu mata lebih jelas bentuknya. Pada jarak ini kontak fisik jarang terjadi karena berada pada jarak satu rentangan tangan. Personal distance terbagi menjadi dua juga seperti intimate distance, yaitu close phase (46-76 cm) dan far phase (76–122 cm). Bentuk interaksi manusia yang saling mempengaruhi satu sama lainnya, baik sengaja
Tingkat privasi…, Marhamah Zahara, FT UI, 2013
atau tidak sengaja, tidak hanya terbatas pada bentuk komunikasi menggunakan bahasa verbal, tetapi juga dalam hal ekspresi muka, lukisan, seni, dan teknologi (Shannon & Weaver, 1949). Komunikasi terbagi menjadi dua jenis, yaitu komunikasi verbal dan non verbal. Komunikasi non-verbal dapat berupa pesan-pesan yang diekspresikan secara sengaja atau tidak sengaja melalui tindakan atau perilaku (Sasa Djuarsa Sendjaja, 2008). Salah satu bentuk dari komunikasi non verbal adalah menggunakan bahasa tubuh. Terdapat tiga tipe umum dari bahasa tubuh menurut Beliak dan Baker (1981), yaitu kontak mata, ekspresi wajah dan gerakan tubuh (gesture). o
Kontak mata dilakukan secara langsung antar individu yang saling berinteraksi. Kontak mata dapat memberikan suatu pesan sehingga lawan bicara akan memperhatikan pesan yang dimaksud melalui tatapan. Perasaan suatu individu dapat tergambarkan melalui hal ini, misalnya pandangan sedih, cemas, takut, terharu, senang atau ceria. Sejak kontak mata dilakukan, tiap individu dapat langsung membatasi dan mengatur sejauh mana ia harus melakukan komunikasi.
o
Ekspresi wajah merupakan reaksi secara emosional terhadap suatu pesan. Ekspresi wajah meliputi raut wajah yang digunakan untuk menyatakan hati dan perasaan. Sebuah ekspresi wajah yang nampak pada suatu individu dapat menjadi cerminan isi hati dan pikiran baik senang maupun tidak senang yang mungkin tidak terungkapkan melalui komunikasi verbal sehingga ekspresi wajah merupakan pesan yang lebih diterima dan dipercaya oleh sebagian besar individu.
o
Gesture meliputi gerakan tangan, bahu, jari-jari, kaki dan gerakan tubuh lainnya. Baik secara sadar maupun tidak, tiap individu dapat melakukan gerakan tubuh untuk menekankan pesan yang ingin disampaikan. Misalnya ketika gugup, bahasa tubuh yang dapat terjadi baik secara sadar maupun tidak adalah mengerak-gerakkan kaki atau tangan gemetar. Bahasa tubuh ini merupakan bentuk interaksi secara non-verbal yang dapat digunakan
secara bersamaan atau menggantikan komunikasi verbal untuk menyampaikan isi pesan yang lebih konsisten. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi literatur tentang ruang tunggu pada fasilitas kesehatan, menjelaskan kajian teori mengenai sistem sensor manusia terkait manusia sehat dan manusia sakit, privasi, kemudian mencoba mengaitkan teori-teori tersebut
Tingkat privasi…, Marhamah Zahara, FT UI, 2013
untuk menjelaskan tingkat privasi dan bentuk interaksi terkait dengan bagaimana sistem sensorik manusia, khususnya manusia sehat dan manusia sakit pada sebuah ruang. Melakukan studi kasus pada dua Puskesmas tingkat kecamatan di Jakarta yaitu Puskesmas Kecamatan Kembangan dan Puskesmas Kecamatan Cengkareng untuk mendapatkan informasi dari pengamatan langsung terhadap ruang tunggu dan pengunjung. Pengamatan dilakukan pada ruang tunggu yang paling ramai, yaitu ruang tunggu berobat poli umum pada Puskesmas Kembangan dan ruang tunggu registrasi pada Puskesmas Cengkareng. Bagaimana bentuk interaksi dan tingkat privasi antar pengunjung yang terlihat dari sikap tubuh dan pergerakan pengunjung pada waktu ramai, yaitu pagi hari. Dari hasil ini akan didapatkan bagaimana cara mereka berinteraksi dengan ruang dan pengunjung lain untuk mendapatkan privasi dan kemungkinan kebutuhan akan intimacy dikaitkan dengan penyusunan tempat duduk pada Puskesmas. Selain itu juga dilakukan wawancara pengunjung untuk mendapatkan informasi pengalaman ruang yang mereka rasakan pada ruang tersebut serta alasan pemilihan tempat duduk terkait kondisi tubuh mereka dan faktor yang lebih akurat seperti usia dan jenis kelamin. HASIL PENELITIAN
Gambar 1. Layout lantai 1 (kiri) dan 2 (kanan) Puskesmas Kecamatan Kembangan. (Sumber: Ilustrasi pribadi)
Hasil penelitian menunjukkan Puskesmas Kembangan memisahan alur masuk dan keluar pengunjung juga memisahkan tempat menunggu untuk registrasi dan apotek sehingga pada tempat registrasi yang sekaligus sebagai pusat informasi tidak menjadi ramai dan bising. Ruang tunggu yang disediakan sudah cukup optimal dalam penggunaannya dengan pembagian tempat duduk yang sudah merata pada tiap area menunggu dengan mempertimbangkan jumlah pengunjung yang datang. Ruang tunggu yang paling ramai dan waktu menunggu yang paling lama yaitu ruang tunggu berobat poli umum. Pada ruang tunggu
Tingkat privasi…, Marhamah Zahara, FT UI, 2013
ini disediakan beberapa gang chair, kursi yang mempunyai batasan antar individu dan armrest pada kedua sisinya, sehingga kegiatan menunggu menjadi lebih nyaman karena kursi tersebut dapat lebih menjaga privasi dengan adanya batasan area duduk untuk tiap individu. Sebagian besar penyusunan kursi dilakukan secara memanjang dan ada beberapa yang disusun berbaris kebelakang seperti ruang tunggu untuk registrasi dan apotek sehingga ruang tunggu ini dapat menimbulkan kerumunan jika ramai pengunjung.
Gambar 2. Layout lantai 2 Puskesmas Kecamatan Cengkareng. (Sumber: Ilustrasi pribadi)
Sementara itu, pada Puskesmas Cengkareng yang sebagian besar pada ruang tunggunya menggunakan long chair, kursi panjang yang tidak mempunyai batasan area duduk utuk tiap individu, penggunaan ruang tunggu menjadi kurang optimal karena pembagian tempat duduk yang kurang merata yang menyebabkan banyak ruang tunggu yang selalu sepi dan ruang tunggu yang selalu ramai. Ruang tunggu yang mempunyai potensi keramaian cukup tinggi yaitu ruang tunggu registrasi, berobat poli umum dan apotek diletakkan secara berdekatan sehingga sering terjadi kerumunan pengunjung pada area tersebut. Kebisingan pada Puskesmas Cengkareng menjadi lebih tinggi karena suara dari ketiga sumber informasi yang menggunakan pengeras suara menjadi bercampur dan pesan yang disampaikan menjadi kurang jelas. Sama dengan Puskesmas Kembangan, penyusunan kursi pada Puskesmas ini juga memanjang dan berbaris. Pada ruang tunggu yang paling ramai yaitu ruang tunggu registrasi, penyusunan kursi dilakukan dengan berbaris sehingga banyak terjadinya kerumunan pada area ini. Pada kedua kasus ini privasi pengunjung pada ruang tunggu Puksesmas cenderung menjadi tinggi karena beberapa faktor seperti, tipe dan penyusunan kursi pada ruang tunggu serta kondisi tubuh pengunjung. Tingkat privasi ini akan mempengaruhi bentuk interaksi yang
Tingkat privasi…, Marhamah Zahara, FT UI, 2013
akan terjadi dimana jika privasi rendah, interaksi yang terjadi akan lebih bebas dan lebih terbuka terhadap pengunjung lain. Sebaliknya jika privasi tinggi, pengunjung akan cenderung mengindar untuk berhubungan dengan pengunjung lain. Interaksi menjadi lebih tertutup dengan menghindari kontak mata, menjaga sikap tubuh, cenderung diam dan menggunakan ekspresi wajah tidak senang. PEMBAHASAN Dalam penelitian terdapat beberapa hal yang menjadi selama pengamatan berlangsung, diantaranya data fisik studi kasus dan narasumber. Studi kasus dilakukan pada Puskesmas yang terletak dekat dengan tempat pengolahan data yang merupakan interpretasi wilayah kerjanya, yaitu Puskesmas tingkat kecamatan. Data yang diterima adalah hasil dari pengamatan langsung, sehingga hasilnya lebih akurat. Narasumber dalam penelitian ini adalah pengunjung yang terbagi menjadi dua yaitu pasien (manusia sakit) dan pengantar (manusia sehat) yang mana penilaiannya subjektif karena berasal dari pengalaman ruang tiap individu. Pada manusia sakit ada kemungkinan penurunan daya sistem sensorik sehingga penggunaannya menjadi lebih sensitif terhadap apa yang hadir disekitarnya. Dari hasil penelitian didapatkan faktor internal yang mempengaruhi tingkat privasi pengunjung pada kedua Puskesmas, yaitu: −
Kondisi kesehatan tubuh pasien yang mana pasien dengan penyakit yang cukup parah mempunyai perasaan yang lebih sensitif dibanding dengan pasien dengan penyakit tidak parah. Hal ini menyebabkan privasi mereka menjadi lebih tinggi karena berhubungan dengan sistem sensorik tubuh mereka yang menurun.
−
Jenis pengunjung sebagai pengantar atau pasien. Hal ini juga berhubungan dengan sistem sensorik tubuh mereka.
−
Kenal atau tidaknya hubungan antar pengunjung. Mana yang merupakan teman, mana yang merupakan lawan sehingga ada kemungkinan kebutuhan intimacy. Jika pengunjung dapat memperoleh keintiman dengan pengunjung lain yang berada disekitarnya, maka privasi pengunjung tersebut akan menurun. Namun, jika pengunjung tidak dapat memperoleh keintiman dengan pengunjung lain yang berada disekitarnya, maka privasi akan meningkat.
−
Perbedaan usia dan jenis kelamin yang mana walaupun dalam keadaan yang dipaksakan pengunjung wanita lebih menerima kehadiran sesama jenisnya dibanding pengunjung pria sehingga sering terjadinya over kapasitas dalam sebuah kursi. Usia juga
Tingkat privasi…, Marhamah Zahara, FT UI, 2013
mempengaruhi tingkat privasi seperti hubungan antar remaja dengan orangtua akan mempunyai privasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan hubungan antar orangtua. Tingkat privasi akan mempengaruhi bentuk interaksi yang dapat terjadi antar pengunjung. Bentuk interaksi dapat terjadi baik melalui komunikasi verbal maupun nonverbal. Salah satu contoh komunikasi non-verbal adalah bahasa tubuh sepeti kontak mata, ekspresi wajah dan gerakan tubuh. Kedua komunikasi dapat digunakan secara bersamaan untuk menekankan isi pesan yang disampaikan. Pada sebagian besar pengunjung Puskesmas kedua jenis komunikasi sering digunakan secara bersamaan. Hal ini terjadi karena kondisi ruang tunggu ramai dan bising sehingga penggunaan komunikasi non-verbal lebih konsisten supaya isi pesan dapat tersampaikan lebih jelas. Selain itu bentuk interaksi yang sering muncul adalah penolakan atau cenderung menghindari hubungan dengan pengunjung lain sehingga penggunaan kedua komunikasi ini menjadi minim. Misalnya menghindari kontak mata, cenderung diam, menjaga sikap tubuh atau menggunakan ekspresi wajah tidak senang seperti bosan, jenuh dan sebagainya. KESIMPULAN Pada penelitian ini dapat diperoleh beberapa kesimpulan berdasarkan studi yang telah dilakukan. Pada studi literatur didapatkan bahwa umumnya ruang yang berkaitan dengan fasilitas kesehatan harus mempunyai unsur recovery sehingga proses pemulihan pasien dapat berjalan lancar. Khususnya pada ruang tunggu harus memenuhi kriteria yang sudah disebutkan, tidak hanya lingkungan fisik tetapi juga non fisik. Hal ini menjadi penting untuk mendukung image terkait mutu dan pelayanan pada Puskesmas tersebut. Sehingga pengguna menjadi objek utama yang penting dalam mendesain sebuah ruang tunggu pada Puskesmas. Pada studi kasus, ruang tunggu Puskesmas Kembangan sudah cukup baik dengan alasan berikut: memisahan alur masuk dan keluar pengunjung juga memisahkan tempat menunggu untuk registrasi dan apotek sehingga pada tempat registrasi yang sekaligus sebagai pusat informasi tidak menjadi ramai dan bising. Pembagian tempat duduk yang sudah cukup merata pada tiap area menunggu dengan mempertimbangkan jumlah pengunjung yang datang. Menyediakan beberapa gang chair, sehingga kegiatan menunggu menjadi lebih nyaman karena dapat menjaga privasi tiap pengunjung dengan adanya batasan area duduk. Sementara itu, penggunaan ruang tunggu pada Puskesmas Cengkareng menjadi kurang optimal karena ada ruang tunggu yang selalu sepi dan ruang tunggu yang selalu ramai. Juga adanya penggabungan ruang tunggu yang mempunyai potensi keramaian cukup tinggi sehingga
Tingkat privasi…, Marhamah Zahara, FT UI, 2013
kerumunan pengunjung meningkat pada area tersebut. Kebisingan pada Puskesmas Cengkareng menjadi lebih tinggi karena suara dari ketiga sumber informasi yang menggunakan pengeras suara menjadi bercampur dan pesan yang disampaikan menjadi kurang jelas. Hampir semua kursi yang digunakan adalah long chair sehingga kurang dapat menjaga privasi tiap pengunjung. Tingkat privasi pengunjung pada ruang tunggu kedua Puskesmas cenderung berbedabeda tergantung dari beberapa faktor yang telah disebutkan. Tingkat privasi juga dapat dilihat dari bentuk interaksi antar pengunjung dan sikap tubuh yang ditunjukkan yang mana sikap tubuh penolakan lebih sering terjadi pada kedua studi kasus seperti menjaga sikap duduk atau duduk membelakangi pengunjung lain. Sebagian besar pengunjung lebih menjaga privasi mereka ketika dihadapkan dalam keadaan terpaksa harus berdekatan dengan pengunjung lain yang tidak dikenal karena sangat jarang mendapatkan intimacy dengan mereka. Berdasarkan hasil penelitian mengenai ruang tunggu pada Puskesmas didapatkan kesimpulan bahwa bentuk interaksi yang terjadi antar pengunjung dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal berupa lingkungan fisik dari ruang tunggu tersebut seperti peletakan ruang tunggu, sirkulasi dan alur pergerakan pengunjung, pengaturan tempat duduk, jenis kursi yang digunakan dan kapasitas tempat duduk yang tersedia. Sedangkan faktor internal berasal dari dalam diri pengunjung berupa privasi, dan sistem sensorik tubuh terkait dengan dua jenis pengunjung, yaitu manusia sakit dan manusia sehat. Dari penjabaran diatas dapat disimpulkan bahwa pada kenyataannya ruang tunggu Puskesmas saat ini kurang memperhatikan kriteria ruang tunggu pada umumnya. Khususnya pada fasilitas kesehatan yang seharusnya dapat me-recovery kondisi pasien secara menyeluruh baik dari segi fisik maupun non fisik. SARAN Dalam penelitian ini, ada beberapa saran yang dapat diberikan kepada pihak Puskesmas untuk meningkatkan mutu dan pelayanan terhadap pasien, yaitu: o Sebaiknya jenis kursi yang digunakan mempunyai batasan area duduk untuk tiap individu. Hal ini berhubungan dengan privasi pengunjung supaya lebih terjaga sehingga proses menunggu yang berlangsung lama akan terasa lebih nyaman. Sulitnya mendapatkan intimacy dengan orang asing membuat privasi pengunjung tinggi sehingga jenis kursi seperti ini sesuai untuk ruang tunggu Puskesmas.
Tingkat privasi…, Marhamah Zahara, FT UI, 2013
o Untuk penyusunan tempat duduk sebaiknya tidak disusun berbaris kebelakang seperti pada Puskesmas Cengkareng karena hanya akan menyebabkan tidak optimalnya penggunaan tempat duduk secara maksimal. Alternatif lain adalah dengan memberikan jarak yang lebih lebar antar kursi sehingga tidak memungkinkan pengunjung yang duduk di area pinggir kursi untuk menutup jalan menuju area tengah kursi. Ada beberapa cara penyusunan kursi yang dapat mengotimalkan fungsinya menurut saya setelah melihat kondisi kedua Puskesmas, yaitu berbaris kesamping, menyiku pada sudut ruangan, dan bertolak belakang antar kursi. o Jika memungkinkan, sebaiknya alur masuk dan alur keluar pengunjung dipisahkan seperti pada Puskesmas Kembangan untuk mengurangi tingkat keramaian dan kebisingan yang selalu terjadi pada ruang tunggu Puskesmas.
DAFTAR REFERENSI Bechtel, R. B., & Churchman, A. (2002). Handbook Of Environmental Psychology. New York: John Wiley & Sons. Deasy, C. M., & Lasswell, T. E. (1985). Designing Places For People. New York: WatsonGuprill. Efendi, F., & Makhfudli. (2009). Keperawatan Kesehatan Komunitas-Teori Dan Praktik Dalam Keperawatan. Salemba Medika , 275. Effendy, N. (1997). Dasar-Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Penerbit Kedokteran EGC. Gifford, R. (1987). Environmental Psychology: Principles and Practice. Boston: Allyn and Bacon Inc. Hall, E. T. (1966). The Hidden Dimension. New York: Doubleday. Hall, E. T. (1959). The Silent Language. New York: Doubleday. Harle', N. E. (1993). Roles and Meanings of Transitional Spaces: Some Aspects for Consideration. Rue Ribevald 78 , p. 417 - 423. Holahan, C. (1982). Environmental Psychology. New York: Random House. Juliansyah, E. (2013). Efektivitas Pelayanan Kesehatan di Puskesmas. STIKES. Lang, J. (1987). Creating Architectural Theory. New York: Van Nostrand Reindhold Co. Lang, J., dkk (1971). Designing for Human Behavior: Architecture & The Behavioral Science. Strodsburg, Pennsylvania: Dowden, Hutchingson and Ross Inc.1971.
Tingkat privasi…, Marhamah Zahara, FT UI, 2013
Pallasmaa, J. (1994). An Architecture of the Seven Senses. United Kingdom: John Wiley & Sons. Pallasmaa, J. (2012). The Eyes Of The Skin: Architecture And The Sense. United Kingdom: John Wiley & Sons. Prabowo,
H.
(1998).
Arsitektur,
Psikologi
dan
Masyarakat.
(http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/peng_psikologi_lingkungan/bab6privasi.pdf, diunduh pada tanggal 20 April 2013) Sakyi, E. K., & Bawole, J. N. (2009). An Assessment Of The Impediments To The Implementation Of Code Of Conduct Within In Public Sector In Anglophone West African Countries: The Importance Of Leadership. Electric Journal (http://www.ipmr.net) , 4. Sarwono, S. W. (1992). Psikologi Lingkungan. Jakarta: PT. Gramedia. Sendjaja, S. D. (2008). Manusia Komunikasi, Komunikasi Manusia. Jakarta: Kompas. Soesilo. (1988). Perilaku Manusia Pada Penghunian Asrama. Bandung: Fakultas Pasca Sarjana ITB. Ven, C. V. (1991). Ruang Dalam Arsitektur Edisi Ketiga Revisi. Gramedia. Wrightsman, L., & Deaux, K. (1981). Social Psychology in The 80's. Illionis: Scott, Foresmen and Co.
Tingkat privasi…, Marhamah Zahara, FT UI, 2013