Pengaruh Beberapa Dosis Pupuk Fosfor (P) Terhadap Mutu Benih Berbagai Kultivar Kedelai (Glycine max L. Merril) Selama Pengisian dan Pemasakan Biji The Effect of Phosphorus Fertilizer on Seed Quality During Seed Development And Maturation of several Soybean Cultivars Jansen Lea Perdana, Aslim Rasyad, Elza Zuhry. Fakultas Pertanian Universitas Riau Email :
[email protected] ABSTRACT An experiment has been designed to investigate the impact of Phosphorous (P) fertilizer on seed quaaliti during seed development of several Soybean (Glycine max L. Merrill) cultivars. The field experiment was carried at University of Riau Agriculture Experiment Station using a complete randomized block design with three replicates. Soybean cultivars such as Willis, Malabar, Kipas Putih and line KM-19-BE were planted in three rates of P fertilizer; ie P0 = 0 kg P2O5 as a control, P1 = 25 kg P2O5, and P2 = 50 kg P2O5 per hektare. Seed quality including seed viability and seed vigor was observed at 10 days interval from 20 to 50 days after anthesis (DAA). It was found that seed quality was very low at early stage of seed development and tent to reach its maximum value as seed matured. Addition of P fertilizer to the plant increased some components of seed quality at early stage of seed development until 40 DAA. The values of seed viability and seed vigor were higher in seed harvested from plant fertilized by P than control, mainly for seed obtained at early seed development. This results indicated that P fertilizer application would improve seed quality especially of seed harvested at early seed development of some soybean cultivars. Keyword : seed viability, seed vigor, seed development, P fertilizer, soybean PENDAHULUAN Kedelai (Glycine max. L. Merril) digunakan untuk beragam kebutuhan manusia. Tanaman ini digunakan terutama untuk pangan karena bijinya mengandung gizi yang tinggi. Itulah sebabnya kebutuhan kedelai di Indonesia mengalami peningkatatan setiap tahunnya seiring dengan pertambahan penduduk. Produksi kedelai dalam negeri hanya dapat memenuhi sekitar 40% dari kebutuhan nasional tersebut. Sementara sisanya harus diimpor dari berbagai negara penghasil kedelai. Terlepas dari besarnya impor, produktivitas kedelai nasional memang masih sangat rendah. Hal ini disebabkan berbagai faktor yang salah satunya adalah ketersediaan benih bermutu yang masih terbatas. Penyedian benih bermutu merupakan salah satu permasalahan yang dihadapi dalam budidaya kedelai, karena daya kecambah benih kedelai cepat menurun, sehingga waktu simpannya sangat pendek. Kualitas benih ditentukan oleh kondisi lingkungan dan teknik budidaya menjelang biji dipanen sampai benih di dalam penyimpanan. Apabila kualitas benih saat panen berada dalam keadaan optimal maka penyimpanan dapat dilakukan dalam waktu yang lebih lama. Faktor lingkungan selama biji berkembang di tanaman mempengaruhi kualitas benih yang dipanen apalagi setelah melewati masak fisiologis. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian pupuk posfor terhadap mutu benih beberapa kultivar kedelai selama perkembangan biji sampai saat panen. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di kebun percobaan dan Laboratorium Pemuliaan Tanaman, Fakultas Pertanian Universitas Riau, dari bulan Juni sampai Oktober 2012. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih kedelai yang merupakan koleksi Laboratorium Pemuliaan
2 Tanaman, Fakultas Pertanian Universitas Riau yang terdiri dari Varietas Malabar, Kipas Putih, Wilis, dan Galur KM 19 BE.. Peralatan yang digunakan untuk pengujian mutu benih adalah timbangan digital, germinator datar dan germinator miring, seedbed, baker glass, pinset, pena, pelubang kertas, pisau dan parang. Percobaan di lapangan dilakukan secara eksperimen menggunakan rancangan acak kelompok lengkap dengan tiga ulangan. Faktor pertama adalah empat kultivar kedelai yang terdiri dari (K1= Varietas Wilis, K2= Varietas Malabar, K3= Galur KM 19 BE, K4= Kipas Putih) dan faktor kedua adalah tiga dosis pupuk fosfat (P) yaitu P0 = 0 KG P2O5/ha, P1 = 25 kg P2O5/ha, dan P2 = 50 kg P2O5/ha. Parameter yang diamati pada penelitian ini antara lain daya kecambah (DK), kecepatan berkecambah (KB), berat kering kecambah dan berat 100 biji. Data dianalisis menggunakan sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil pada taraf 5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Daya Kecambah Benih Uji kecambah baku merupakan indikator daya kecambah pada suatu populasi benih yang akan dijadikan sebagai pedoman penentuan mutu benih. Daya kecambah benih yang dipanen pada berbagai fase perkembangan biji dari masing varietas yang diteliti disajikan pada Gambar 1, 2, 3 dan 4. Secara umum terjadi peningkatan daya kecambah dari waktu ke waktu sampai saat panen pada semua genotipe yang diuji.
100
94.66 90.66
86
90
84.66
80 71.33
89.66
79.33
70 62 60 52.66
%
50 40
P0
48 45
P1
46.66
P2 30 20 10 0 20
30
40
50
Hari setelah berbunga Gambar 1. Daya kecambah benih varietas Wilis yang diberi tiga dosis pupuk P dan diamati pada berbagai fase perkembangan biji.
3 97.33
100
93.66
90
90 72.66
72 70
76 74.66
72.66 60
%
50
91.66
81.33
80
64 58.66 P0 P1
40
P2
30 20 10 0 20
30
40
50
Hari setelah berbunga
Gambar 2. Daya kecambah benih varietas Malabar yang diberi tiga dosis pupuk P dan diamati pada berbagai fase perkembangan biji.
99.33 100
79.33 80
94.66
88
90 74.66
92.66 79.33 76.33
70
62.66 58.66
60
%
54.66
50 40
P0 P1
45.33
P2 30 20 10 0 20
30
40
50
Hari setelah berbunga Gambar 3. Daya kecambah benih varietas KM19BE yang diberi tiga dosis pupuk P yang diamati pada berbagai tingkat perkembangan biji.
4 100
96
96.66 96
90
85.33
80
80.66 68.66
70
76.66 68.66
60
%
54.66 55.33
50 48.66 40
P0
46.66
P1 P2
30 20 10 0 20
30
40
50
Hari setelah berbunga
Gambar 4. Daya kecambah benih varietas Kipas Putih yang diberi tiga dosis pupuk P yang diamati pada berbagai tingkat perkembangan biji.
Gambar 1, 2, 3 dan 4 menunjukkan bahwa daya kecambah pada benih yang dipanen 20 hari setelah penyerbukan sudah lebih dari 50% pada varietas tertentu terutama pada tanaman yang diberi tambahan pupuk P. Selanjutnya pada biji yang dipanen 30 HSP, daya kecambah sudah mencapai lebih dari 50% sampai 79,33% pada semua kultivar, sedangkan pada biji yang dipanen setelah 40 HSP, daya kecambah meningkat dengan sigifikan sampai diatas 70%. Sementara pada biji saat panen, dimana biji sudah dalam keadaan masak fisiologis, daya kecambahnya sudah berada dalam jumlah yang maksimum pula dengan nilai diatas 90%. Rendahnya daya kecambah pada awal perkembangan biji disebabkan oleh masih tingginya kadar air dan terbatasnya jumlah asimilate pada biji tersebut serta masih banyaknya bahan-bahan yang dapat menghambat biji untuk berkecambah. Biji yang masih muda sulit untuk berkecambah karena konsentrasi asam phenolat dan sterol yang relatife tinggi yang dapat menghambat proses perkecambahan (Smith, 1984). Menurut Mugnisjah (1995) benih yang masih muda walaupun dapat berkecambah tetapi vigornya rendah dan kecambah yang dihasilkan lebih kecil dan lemah dari pada benih yang dipanen setelah mencapai masak fisiologis. Gambar-gambar di atas dapat dilihat bahwa persentase perkecambahan biji hari ke 50 HSB lebih besar dibandingkan dengan hari ke 20, 30 dan 40. Hal ini dapat diartikan bahwa telah terjadi peningkatan asimilat pada setiap fase perkembangan tersebut sehingga ketersediaan asimilat untuk menunjang perkecambahan semakin lengkap. Gambar 1, 2, 3 dan 4 juga mengindikasikan bahwa daya kecambah biji meningkat dengan adanya pemberian pupuk fosfor terutama pada biji-biji yang diperoleh pada awal perkembangan biji. Nilai DK benih yang dipanen 20 dan 30 HSB dan diberi pupuk P lebih tinggi dibanding nilai DK benih dari tanaman yang tidak dipupuk dengan P. Daya kecambah benih yang dipanen 40 dan 50 HSB sudah dikategorikan tinggi semua genotipe dimana nilai DK sudah berada diatas 80% bahkan pada tanaman yang tidak diberi pupuk P.
5 Hal ini dapat memberikan indikasi bahwa pupuk P yang diberikan mempercepat laju transportasi asimilat ke biji yang muda dan akan mempercepat waktu pemasakan biji dengan kata lain biji lebih cepat mencapai masak fisiologis. Hardjowigeno (1995) mengatakan bahwa fosfor di dalam tanaman berfungsi meningkatkan pembelahan sel, mempercepat pembentukan biji, mempercepat pematangan biji, dan memperbaiki kualitas produksi. Menurut Sutopo (1988), benih yang telah mencapai masak fisiologis memiliki cadangan makanan yang cukup untuk berkecambah dan benih yang demikian dapat berkecambah maksimal pada kondisi normal. Kecepatan Berkecambah Kecepatan kecambah adalah suatu parameter yang digunakan sebagai ukuran vigor atau kekuatan perkecambahan benih. Kecepatan kecambah benih yang dipanen pada berbagai fase perkembangan biji dari masing varietas yang diteliti disajikan pada Gambar 5, 6, 7 dan 8. Hasil pengamatan menunjukkan adanya peningkatan kekuatan kecambah dari waktu ke waktu sampai saat panen pada semua genotipe yang diuji.
16
14.85 13.61
14
13.14 11.46
12
11.45 10.83
10 9.59 8
P0
7.14
P1
6.74 6
5.03
P2 6.18
4 3.12 2 0 20
30
40
50
Hari setelah berbunga Gambar 5. Kecepatan berkecambah benih varietas Wilis yang diberi tiga dosis pupuk P dan diamati pada berbagai fase perkembangan biji.
.
6
16 14.91 14
13.56 13.44
12 12.04 9.38
10
10.65
8.55
9.65 9.09
8
P0 6
7.31
7.16
P1 P2
4
5.24
2 0 20
30
40
50
Hari setelah berbunga
Gambar 6. Kecepatan berkecambah benih varietas Malabar yang diberi tiga dosis pupuk P dan diamati pada berbagai fase perkembangan biji.
. 16
14.6
14
13.34 12.79
12 11.57
10.57
9.46
10 8
8.52
8.7
P0
6.41
P1
6.68
6 5.87 4
P2
4.2
2 0 20
30
40
50
Hari setelah berbunga Gambar 7. Kecepatan berkecambah benih galur KM 19 BE yang diberi tiga dosis pupuk P dan diamati pada berbagai fase perkembangan biji.
7 .
16 15.05 14.11 14 13.05 12.16
12
10.83 10.76
10
8
7.41
6
5.38
P0 P1 P2
4.98 4
2
3.56
4.97
2.71
0 20
30
40
50
Hari setelah berbunga Gambar 8. Kecepatan berkecambah benih varietas Kipas Putih yang diberi tiga dosis pupuk P dan diamati pada berbagai fase perkembangan biji.
Nilai kecepatan berkecambah biji yang dipanen 20 dan 30 HSB masih relatife rendah yang menandakan biji masih muda dan translokasi zat hara ke biji masih rendah. Biji muda dengan ukuran yang masih terbatas, mempunyai cadangan nutrisi yang terbatas untuk perkecambahan sehingga tidak optimal mengangkut makanan yang telah dirombak kejaringan titik tumbuh. Menurut Kamil (1996), bibit yang berasal dari biji yang muda ini lemah karena berat kering biji rendah. Biji masih kecil dan secara fisiologis biji belum masak dan jaringan penunjang belum tumbuh dengan baik. Nilai kecepatan berkecambah biji yang dipanen 40 dan 50 HSB, kecepatan kecambahnya sudah optimal apalagi pada tanaman yang diberi pupuk P. Data pada gambar-gambar diatas ada yang menarik, yaitu dengan pemberian pupuk P cenderung meningkatkan kekuatan kecambah pada biji yang dipanen 20 dan 30 HSB. Hal ini dapat berimplikasi bahwa terjadinya percepatan perkembangan biji pada tanaman yang diberi pupuk tersebut. Ada kemungkinan bahwa pada tanaman yang diberi pupuk P terjadi proses translokasi asimilat yang lebih cepat dari sumber asimilat seperti daun ke biji, sehingga cadangan makanan untuk berkecambah jumlahnya menjadi lebih banyak. Hal ini sesuai dengan berbagai argumentasi antara lain oleh Gunarto et al. (1998) yang menyatakan bahwa secara teknis hara fosfor merupakan kunci dari berbagai proses biosintesis dalam sel dan organ tanaman, serta terlibat pada seluruh proses metabolisme tanaman dan ikut membentuk senyawa-senyawa struktural seperti asam nukleat untuk keperluan reproduksi dan konversi transfer energi yang tinggi. Unsur fosfor ini dapat mempercepat pengisisan buah dan biji. Fosfor merupakan komponen penyusun beberapa enzim, protein, ATP, RNA dan DNA. ATP penting untuk proses transfer energi, sedangkan RNA dan DNA menentukan sifat genetik tanaman. Menurut Lamina (1989), umur panen
8 yang optimum akan menghasilkan jumlah dan produksi yag cukup tinggi. Secara ideal semua benih harus memiliki kekuatan dan daya tumbuh yang tinggi, sehingga bila ditanam pada kondisi lapangan yang beranekaragam akan tetap tumbuh sehat dan kuat serta berproduksi tinggi dengan kualitas yang baik (Sutopo, 1988). Berat Kering Kecambah Salah satu ukuran yang sering digunakan untuk menetapkan vigor benih adalah berat kering kecambah. Berat kering kecambahan mencerminkan kondisi fisiologis dari benih tersebut, sebab benih dengan mutu fisiologis tinggi maka akan menghasilkan vigor yang tinggi pula. Berat kering kecambah yang dipanen pada berbagai fase perkembangan biji dari masing varietas yang diteliti disajikan pada Gambar 9, 10, 11 dan 12. Secara umum terjadi peningkatan berat kering kecambah dari waktu ke waktu sampai saat panen pada semua genotipe yang diuji.
1.4 1.29
1.3 1.2
1.09
mg/kecambah
1.1 1 0.9 0.8
0.72
0.73
0.7 0.61
P0
0.69
0.6
P1
0.5
0.54
P2
0.4 0.3 0.2 0.1
0.32
0.39
0.43
0.28 0.22
0 20
30
40
50
Hari setelah berbunga Gambar 9. Berat kering kecambah benih varietas Wilis yang diberi tiga dosis pupuk P dan diamati pada berbagai fase perkembangan biji.
9 1.4 1.3 1.2
1.15
mg/kecambah
1.1 1.01
1
0.9
0.9 0.8 0.65
0.7
0.75
0.8 P0
0.6
P1
0.5
P2
0.52
0.4 0.32 0.3 0.2
0.37
0.3
0.27
0.1
0.15
0 20
30
40
50
Hari setelah berbunga
Gambar 10. Berat kering kecambah benih varietas Malabar yang diberi tiga dosis pupuk P dan diamati pada berbagai fase perkembangan biji.
1.4 1.3
1.19
1.2 1.1
mg/kecambah
1 0.88
0.9
0.82
0.8 0.7 0.6
0.86
0.67 0.62
P0
0.51
P1
0.58
0.5
P2 0.49
0.4 0.39
0.3
0.42
0.2 0.1 0.08
0 20
30
40
50
Hari setelah berbunga Gambar 11. Berat kering kecambah benih galur KM 19 BE yang diberi tiga dosis pupuk P dan fase perkembangan biji.
diamati pada berbagai
10
1.4 1.3 1.2
mg/kecambah
1.1
0.95
1 0.9
0.88
0.75
0.8
0.68
0.7
0.73
0.74
0.6 0.5 0.4 0.3
P1 0.42
0.4
0
P2 0.43
0.26
0.2 0.1
P0
0.24 0.1 20
30
40
50
Hari setelah berbunga Gambar 12. Berat kering kecambah benih varietas Kipas Putih yang diberi tiga dosis pupuk P dan diamati pada berbagai fase perkembangan biji.
Gambar 9, 10, 11 dan 12 memperlihatkan bahwa pemberian pupuk P meningkatkan berat kering kecambah hari ke 20 HSB sampai saat panen. Berat kering kecambah naik secara perlahanlahan ketika tanaman mulai melakukan remobilisasi bahan kering dari sumber asimilat menuju biji. Menurut Egli (1981), fase awal perkembangan biji belum mampu menerima asimilat dalam jumlah yang besar, karena pada fase ini terjadi pembesaran sel yang sangat aktif sehingga bahan kering biji lebih sedikit dibandingkan dengan air. Berat kering kecambah 40 HSB dan 50 nilainya sudah cukup tinggi yang menandakan telah tercapainya masak fisiologis dan penumpukan bahan keringnya sudah berada dalam keadaan yang maksimim sehingga berat kering kecambah yang dihasilkan juga tinggi. Menurut Gardner et al. (1991), pada beberapa spesies tanaman terdapat hubungan yang erat antara pupuk P dengan proses pematangan benih, karena kelebihan pupuk P dapat mempercepat pematangan. Vigor suatu benih akan tinggi apabila memiliki berat kering kecambah yang maksimum dan bila vigor tinggi maka kualitas mutu benih akan tinggi. Berat kering kecambah dapat menentukan mutu dari benih tersebut, apabila benih memiliki berat kering kecambah yang besar, itu menandakan bahwa benih tersebut memiliki mutu yang baik. Menurut Kamil (1996), tinggi rendahnya berat biji tergantung pada banyak atau sedikitnya bahan kering yang terdapat di dalam biji, bentuk biji dan ukuran biji. Kemasakan benih merupakan saat dimana bobot kering maksimum benih tercapai (Justice dan Louis, 1994). Berat 100 Biji (g) Berat 100 biji merupakan salah satu komponen mutu benih. Benih yang telah mengalami kemunduran akan memiliki bobot lebih rendah dibanding benih bobotnya lebih tinggi. Benih yang berukuran besar biasanya akan menjadi benih yang bermutu baik. Berat 100 biji dari benih berbagai genotipe kedelai yang diberi tiga dosis pupuk P disajikan pada Gambar 13.
11 20 18 16
gram
14 12 P0
10
P1 8
P2
6 4 2 0 WILIS
MALABAR
KM 19BE
KIPAS PUTIH
Gambar 13. Berat 100 biji kultivar yang diberi tiga dosis pupuk P dan diamati pada berbagai fase perkembangan biji.
Gambar 13 memperlihatkan bahwa pemberian pupuk P meningkatkan berat 100 biji hanya pada varietas Wilis dan galur KM 19 BE namun tidak berpengaruh pada varietas Malabar dan Kipas Putih. Galur KM 19 BE dan Wilis, peningkatan berat 100 biji hanya terjadi pada pemberian 50 kg P2O5/per ha. Yuda (2010) melaporkan bahwa terjadi perbedaan berat biji yang dihasilkan antara hasil biji pada tanaman yang diberi pupuk fosfor dengan yang tidak diberi pupuk fosfor sehingga disimpulkan bahwa pupuk fosfor mempengaruhi ukuran biji. Menurut Suprapto (2007), berat 100 biji tergolong kedalam sifat yang memiliki variasi yang rendah dan sangat ditentukan oleh genetic tanaman.
KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN 1. Benih kedelai yang dipanen 20 HSB sudah mampu berkecambah walaupun belum optimum. Namun terjadi perubahan daya kecambah dan kekuatan kecambah pada benih yang dipanen mulai 20 HSB sampai saat panen. 2. Pemberian pupuk fosfor meningkatkan daya kecambah dan kekuatan kecambah pada benih yang dipanen pada berbagai tingkat perkembangan biji yang menandakan bahwa pupuk fosfor mempercepat proses pemasakan biji pada berbagai varietas kedelai. 3. Masak fisiologis tercapainya setelah biji berada pada umur 40 hari setelah berbunga yang ditandai dengan nilai daya kecambah dan kekuatan kecambah yang maksimum. SARAN 1. Panen kedelai sebaiknya dilakukan tidak terlalu lama setelah biji berumur 40 HSP jika biji akan digunakan untuk keperluan benih. 2. Pemberian pupuk P dengan dosis 50 Kg /ha dapat disarankan pada budidaya kedelai yang hasilnya ditujukan untuk memproduksi benih.
12 DAFTAR PUSTAKA Egli, D. B. 1981. Species Differences In Seed Characteristic Field Crop, Res. 4 : 1-12. Gardner, F.P., Robert, B.P., dan Roger L.M. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Terjemahan dari: Physiology of Crop Plants. Penerjemah: Herawati Susilo. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Gunarto, L., A. Taher, M. Rauf, A. K. Makarim, A. A. Daradjat, Suyatno.1998. Pemupukan pada sawah status, efisiensi dan strategi pengelolaan fosfor. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. XVII (4): 138-147. Hardjowigeno, S. 1995. Ilmu Tanah. Jurusan tanah. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Justice, L. dan L. N. Bass. 1994. Prinsip dan Praktek Penyimpanan Benih. Rajawali Press. Jakarta. 446 hal. Terjemahan. Kamil. J. 1996. Teknologi Benih. Angkasa Raya Padang. Lamina. 1989. Kedelai dan Pengembangannya. CV simplek. Jakarta Mugnisjah. W. Q. 1995. Panduan Praktikum dan Penelitian Bidang Ilmu dan Teknologi Benih. Raja Grafindo Persada. Jakarta Smith. L. H. 1984. Seed Development, Metabolisme and Composition. Dalam Tesar. M. B. (Editor physilogikal Basis of Crop Growth and Depelovment). American Society of Agronomi, Madison. Wincosin. 13-52. Suprapto, H. S. 2007. Bertanam Kedelai. Penebar Swadaya. Jakarta. Sutopo, L. 1988. Teknologi Benih. Rajawali Pers. Jakarta Yuda, B. G. 2010. Komponen keragaman dan heritabilitas sifat kedelai yang ditanam pada dua perbedaan suplai pupuk fosfor (P). Skiripsi Fakultas Pertanian Universitas Riau, Pekanbaru. (Tidak dipublikasikan).