PENGARUH PEMBERIAN BIOAKTIVATOR Gliocladium sp DALAM BERBAGAI DOSIS TERHADAP PERTUMBUHAN VEGETATIF TANAMAN KEDELAI (Glycine max L.) Yuliani, S.P, M.Si* dan Cut Marlina, S.P.**
RINGKASAN
Kedelai (Glycine max (L) Merrl) merupakan komoditas yang bernilai ekonomis tinggi. Produksi kedelai nasional belum dapat memenuhi kebutuhan karena luas panen actual masih belum memadai dan produktifitas masih rendah. Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian bioaktivator Gliocladium sp dalam berbagai dosis terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman kedelai serta dosis bioaktivator Gliocladium sp yang tepat untuk pertumbuhan vegetative kedelai.. Rancangan perlakuan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan enam perlakuan dan empat ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian bioaktivator sebanyak 25 gram/tanaman merupakan dosis terbaik untuk pertumbuhan tinggi, jumlah daun, berat basah dan berat kering tanaman kedelai. Sedangkan untuk panjang akar terbaik diperoleh dengan pemberian bioaktivator sebanyak 20 gr/tanaman. Kata kunci : bioaktivator, Gliocladium sp.
ABSTRACT
Soybean (Glycine max (L) Merrl) is a valuable economic commodity. Soybean national production has not yet affort to full fill the domestic necessities because actual harvest is not capable yet and low at productivity. The research was`carried out to determine the Influence of Gliocladium sp Bioactivator on vegetative growth of soybean plant. Research using Completely Randomized Design (CRD) with six treatments and four replicates. The result showed that the given of 25 grams of the bioactivator dose per plant was the best dose for the growth of height, number of leaves, wet weight and dry weight of soybean plants. And for the best root length, it was obtained by the given of 20 gram bioactivator per plant. Key words : bioactivator, Gliocladium sp. * Dosen Faperta UNSUR ** Alumni Faperta UNSUR
PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Kedelai (Glycine max L.) merupakan komoditas yang bernilai ekonomi tinggi dan banyak memberi manfaat tidak saja digunakan sebagai bahan pangan tetapi juga sebagai bahan baku industri dan pakan ternak
Produksi kedelai tidak mampu memenuhi permintaan dalam negeri sehingga diperlukan impor yang cukup besar. Produksi kedelai nasional belum dapat memenuhi kebutuhan, karena luas panen aktual masih belum memadai dan produktivitas masih rendah. Produktivitas pada tingkat petani rata-rata 1,3 ton/ha, sedangkan
Pengaruh Pemberian Bioaktivator gliocladium sp dalam Berbagai Dosis Terhadap Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Kedelai (glycine max l.), Yuliani, SP, M.Si dan Cut Marlina, SP
1
potensi produksi mencapai 2,0 – 2,5 ton/ha. (http://distan.kalselprov.go.id.02/11/ 2009). Upaya peningkatan hasil produksi tanaman kedelai dapat dilakukan antara lain dengan meningkatkan kesediaan unsur hara yang sesuai dengan kebutuhan tanaman serta mengendalikan hama dan penyakit pada tanaman yang dapat mengurangi hasil produksi. Untuk meningkatkan kesediaan unsur hara dapat dilakukan dengan cara memberi tambahan pupuk pada tanah. Pemberian pupuk pada tanah adakalanya kurang efisien, hal ini dikarenakan unsur hara yang diberikan dapat mempengaruhi pengerasan atau pemadatan tanah. Selain itu, tanaman kedelai juga memiliki bintil akar yang bersimbiosis dengan bakteri Rhizobium dan dapat melakukan kegiatan fiksasi nitrogen bebas dari udara sehingga penambahan pupuk pada tanah dapat diperkecil. Sedangkan untuk mengendalikan hama dan penyakit pada tanaman kedelai dapat dilakukan dengan pemberian pestisida, namun hal ini beresiko tinggi karena dapat merusak lingkungan dan keseimbangan ekosistem. Karena itu, penggunaan biopestisida (agen hayati) dalam pengendalian hama lebih aman jika dibandingkan dengan penggunaan pestisida sintetis (kimia). Selain itu, salah satu bahan yang dapat mempercepat proses penyuburan tanah adalah bioaktivator Gliocladium sp. Menurut Nurwadani (1996), bioaktivator Gliocladium sp dapat mempercepat proses penguraian bahan organik, (C/N rasio) akan cepat menurun.
1.2
Tujuan Penelitian Uuntuk mengetahui pengaruh bioaktivator Gliocladium sp terhadap pertumbuhan vegetatif kedelai dan menemukan dosis bioaktivator Gliocladium sp yang tepat untuk pertumbuhan vegetative kedelai. METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Net house Fakultas pertanian, Universitas Suryakancana Cianjur. Alat dan Bahan Alat yang digunakan yaitu : meteran, timbangan digital, baskom, ayakan, karung goni, cangkul, sabit, sekop, tali rafia, tugal, papan nama dan alat tulis serta kamera. Adapun bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih kedelai varietas Davros, bioaktivator Gliocladium sp, tanah, arang sekam dan pupuk kandang. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak lengkap (RAL ) yang terdiri dari enam (6) perlakuan dan empat (4) ulangan yaitu : A = dosis bioaktivator 10 gr / tanaman B = dosis bioaktivator 15 gr / tanaman C = dosis bioaktivator 20 gr / tanaman D = dosis bioaktivator 25 gr / tanaman E = dosis bioaktivator 30 gr / tanaman F = Kontrol (tanpa pemberian bioaktivator Gliocladium sp) Setiap perlakuan terdiri dari 3 unit percobaan. Adapun tata letak adalah sebagai berikut:
Pengaruh Pemberian Bioaktivator gliocladium sp dalam Berbagai Dosis Terhadap Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Kedelai (glycine max l.), Yuliani, SP, M.Si dan Cut Marlina, SP
2
A2
Tabel 1. Denah Tata Letak Unit Percobaan C3 D4 E4
D1
B4
F1
A3
B2 E1 C1 D3
F2 D2 A4 F4
C2 A1 E2 C4
B3 E3 F3 B1
Adapun parameter pengamatan meliputi: 1. Tinggi tanaman kedelai Pengukuran tinggi tanaman dilakukan setiap 5 hari sekali dengan menggunakan mistar. Tanaman diukur dari permukaan tanah sampai pucuk tanaman paling atas. 2. Jumlah daun tanaman kedelai Untuk mendapat hasil jumlah daun maka dilakukan perhitungan terhadap semua jumlah daun yang tumbuh (per tangkai daun) setiap 5 hari sekali. Perhitungan jumlah daun tidak dilakukan per helai karena daun kacang kedelai memiliki 3 helai daun dalam setiap tangkainya (trifoliate leaves) (http://pustaka.unpad.ac.id.02 /11/2009). 3. Panjang akar tanaman kedelai. Panjang akar dihitung pada akhir penelitian. Perhitungan
panjang akar dilakukan dengan cara mengeluarkan tanaman terlebih dahulu dari dalam polybag, kemudian dibersihkan dan diukur. 4. Berat basah tanaman kedelai Berat basah dihitung dengan cara mencabut tanaman dari polybag, kemudian membersihkannya. Setelah itu tanaman ditimbang dengan menggunakan timbangan digital. 5. Berat kering tanaman kedelai Berat kering dihitung dengan cara mengeringkan tanaman dengan menggunakan oven selama 8 jam dengan suhu 1200C, setelah itu ditimbang dengan menggunakan timbangan digital. Berat kering didapat setelah dilakukan 3 kali penimbangan dengan hasil yang konstan (tetap). Pengamatan dilakukan 5 hari sekali selama 1 bulan. HASIL DAN PEMBAHASAN
Teknik Analisis Data Data yang diperoleh di analisis, untuk mendapatkan sidik ragam percobaan menggunakan tabel ANOVA dan Uji Tukey pada taraf 5%. Adapun aplikasi yang digunakan meliputi Ms. Excel dan Minitab dengan output berupa data, tabel dan grafik.
1.
Pengaruh Pemberian Dosis Bioaktivator Gliocladium sp terhadap Tinggi Tanaman Kedelai Salah satu parameter yang diamati pada penelitian ini adalah pengaruh bioaktivator Gliocladium sp terhadap tinggi tanaman. Tabel 2
Pengaruh Pemberian Bioaktivator gliocladium sp dalam Berbagai Dosis Terhadap Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Kedelai (glycine max l.), Yuliani, SP, M.Si dan Cut Marlina, SP
3
menyajikan data tinggi tanaman kedelai hasil perataan. Tabel 2. Pengaruh Dosis Bioaktivator Gliocladium sp terhadap Tinggi Tanaman Kedelai Tinggi Tanaman (cm) Hari ke: Perlakuan 5 10 15 20 25 A ( 10 gram ) 6.8500 bc 15.408 a 22.875 ab 34.392a 46.933 a B ( 15 gram ) 6.6500 b 15.392 a 23.000 ab 34.792 a 46.442 a C ( 20 gram ) 6.9667 bc 16.117 ab 24.442 b 37.083 b 47.975 a D ( 25 gram ) 7.9750 c 17.067 b 27.433 c 38.775 b 53.683 b E ( 30 gram ) 6.4083 b 15.567 ab 23.292 ab 34.542 a 45.775 a F ( kontrol ) 3.6083 a 14.675 a 22.242 a 34.342 a 46.092 a Keterangan: Nilai pada tabel yang diikuti huruf yang sama pada satu kolom, tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji Tukey.
Gambar 1. Grafik Pengaruh Dosis Bioaktivator Gliocladium sp terhadap Tinggi Tanaman Kedelai
Dari tabel 2 diatas dapat dilihat bahwa pemberian bioaktivator Gliocladium sp berpengaruh terhadap tinggi tanaman kedelai. Pada hari kelima, perlakuan D (25 gram) merupakan perlakuan yang memiliki ukuran paling tinggi dengan nilai rata-rata sebesar 7.9750 cm yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan A (10 gram) dan C (20 gram), namun berbeda nyata dengan perlakuan B (15 gram) dan E (30 gram) serta sangat berbeda nyata dengan perlakuan F (tanpa bioaktivator Gliocladium sp).
Pada hari ke 10, perlakuan D (25 gram) juga merupakan perlakuan yang memiliki ukuran paling tinggi dengan nilai rata-rata sebesar 17.067 cm yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan C (20 gram) dan E (30 gram), namun berbeda nyata dengan perlakuan A (10 gram), B (15 gram) dan F (tanpa bioaktivator Gliocladium sp). Begitu juga pada hari ke 15, perlakuan D (25 gram) merupakan perlakuan yang memiliki ukuran paling tinggi dengan nilai rata-rata sebesar 27.433 cm yang berbeda nyata dengan perlakuan A (10 gram), B (15 gram), C (20 gram) dan E (30 gram) serta sangat
Pengaruh Pemberian Bioaktivator gliocladium sp dalam Berbagai Dosis Terhadap Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Kedelai (glycine max l.), Yuliani, SP, M.Si dan Cut Marlina, SP
4
berbeda nyata dengan pelakuan F (tanpa bioaktivator Gliocladium sp). Pada hari ke 20, perlakuan D (25 gram) merupakan perlakuan yang memiliki ukuran paling tinggi dengan nilai rata-rata sebesar 38.775 cm yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan C (20 gram), namun berbeda nyata dengan perlakuan A (10 gram), B (15 gram), E (30 gram) dan F (tanpa bioaktivator Gliocladium sp). Pada hari ke 25, perlakuan D (25 gram) juga merupakan perlakuan yang memiliki tinggi tanaman terbesar yakni dengan nilai rata-rata sebesar 53.683 cm yang berbeda nyata dengan perlakuan A (10 gram), B (15 gram), C (20 gram), E (30 gram) dan F (tanpa bioaktivator Gliocladium sp). Secara keseluruhan, pemberian bioaktivator Gliocladium sp berpengaruh positif terhadap tinggi tanaman karena dapat meningkatkan tinggi tanaman kedelai. Hasil analisis ragam pada tabel 2 menunjukkan bahwa pemberian bioaktivator Gliocladium sp terbukti berpengaruh positif terhadap peningkatan tinggi tanaman kedelai. Hasil perhitungan P value tinggi tanaman pada saat tanaman berumur 5 hari setelah tanam (0.000), 10 hari setelah tanam (0.008), 15 hari setelah tanam (0.000), 20 hari setelah tanam (0.00), dan 25 hari setelah tanam (0.000), memiliki nilai analisis ragam lebih kecil dibandingkan dengan alpha (0.05) hal ini berarti bahwa pemberian bioaktivator Gliocladium sp berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman kedelai. Gambar 1 menunjukkan grafik pengaruh dosis bioaktivator Gliocladium sp terhadap tinggi tanaman kedelai.
Grafik diatas memberikan informasi bahwa pemberian bioaktivator Gliocladium sp dapat memacu pertumbuhan tanaman kacang kedelai khususnya untuk meningkatkan pertumbuhan tinggi tanaman. Hal ini diduga karena dalam fase vegetatif, tanaman memerlukan unsur hara yang cukup untuk pertumbuhannya. Kondisi ini sesuai dengan pendapat Bilman et. al, (2002) dalam Toha (2008) yang menyatakan bahwa tanaman memerlukan unsur hara untuk pertumbuhannya. Pendapat tersebut diperkuat oleh Rosmahani, (2001) dalam Nurdin, (2008) yang menyatakan bahwa salah satu unsur hara yang dapat mempercepat proses penyuburan tanah adalah bioaktivator Gliocladium sp yang berbahan aktif Gliocladium sp. Bahan aktif tersebut dapat memecahkan rantai C organik menjadi rantai-rantai pendek (rantai C sederhana) yang mudah dimanfaatkan oleh tanaman, sehingga tanaman dapat tumbuh dengan subur. Demikian juga menurut Nurwadani (1996), bahwa bioaktivator Gliocladium sp dapat menurunkan C/N rasio bahan organik dari 50 menjadi 20, meningkatkan pertumbuhan dan vigor tanaman di lapangan dan mendegradasi bahan organik didalam tanah. 2.
Pengaruh Pemberian Dosis Bioaktivator Gliocladium sp terhadap Jumlah Daun Tanaman Kedelai Parameter kedua yang diamati pada penelitian ini adalah pengaruh bioaktivator Gliocladium sp terhadap jumlah daun tanaman kedelai.
Pengaruh Pemberian Bioaktivator gliocladium sp dalam Berbagai Dosis Terhadap Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Kedelai (glycine max l.), Yuliani, SP, M.Si dan Cut Marlina, SP
5
Tabel 3. Pengaruh Dosis Bioaktivator Gliocladium sp terhadap Jumlah Daun Kedelai Jumlah Daun (Tangkai Daun) Hari ke
Perlakuan 10
15
20
25
A ( 10 gram )
2.5000 ab
4.0000 b
5.0000 b
6.0000 b
B ( 15 gram )
2.4167 a
4.0000 b
5.0000 b
6.0000 b
C ( 20 gram )
2.5000 ab
4.0000 b
5.0000 b
6.0000 b
D ( 25 gram )
3.0000 b
4.0000 b
5.0000 b
6.0000 b
E ( 30 gram )
2.2500 a
4.0000 b
5.0000 b
6.0000 b
F ( kontrol ) 2.0000 a 3.1667 a 4.5000 a 5.5000 a Keterangan: Nilai pada tabel yang diikuti huruf yang sama pada satu kolom, tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji Tukey.
Gambar 2. Grafik Pengaruh Dosis Bioaktivator Gliocladium sp terhadap Jumlah Daun Tanaman Kedelai
Dari tabel 3 dapat dilihat bahwa pemberian bioaktivator Gliocladium sp sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan daun. Pada hari ke 10, perlakuan D (25 gram) merupakan perlakuan yang memiliki jumlah daun terbesar yakni dengan nilai rata-rata sebesar 3.000 yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan A (10 gram) dan C (20 gram), namun berbeda nyata
dengan perlakuan B (15 gram), E (30 gram) dan F (kontrol/tanpa bioaktivator Gliocladium sp). Pada hari ke 15 hingga ke 25, jumlah daun tanaman kedelai yang diberi bioaktivator Gliocladium sp berbeda nyata jika dibandingkan dengan jumlah daun tanaman yang tidak diberi bioaktivator Gliocladium sp (kontrol).
Pengaruh Pemberian Bioaktivator gliocladium sp dalam Berbagai Dosis Terhadap Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Kedelai (glycine max l.), Yuliani, SP, M.Si dan Cut Marlina, SP
6
Hasil perhitungan P value jumlah daun saat tanaman berumur 10 hari setelah tanam (0.002), 15 hari setelah tanam (0.000), 20 hari setelah tanam (0.000) dan 25 hari setelah tanam (0.000) memiliki nilai yang lebih kecil dibandingkan dengan alpha (0.05). Hal ini berarti bahwa terdapat pengaruh pemberian bioaktivator Gliocladium sp terhadap jumlah daun tanaman kedelai. Grafik pada gambar 2 menunjukkan bahwa tanaman kacang kedelai yang diberikan bioaktivator Gliocladium sp memiliki daun lebih banyak dibanding tanaman kontrol. Kondisi ini diduga karena unsur hara di dalam media tanam cukup banyak akibat aktifitas dari Gliocladium sp hal ini sesuai dengan pernyataan Rosmahani, (2001) dalam Toha, (2008) yang menyatakan ketersediaan unsur hara di dalam media tanam cukup banyak akibat aktifitas dari Gliocladium sp. yang dapat memecah rantai C organik menjadi rantai-rantai pendek (rantai C sederhana) yang mudah dimanfaatkan oleh tanaman, sehingga tanaman dapat tumbuh dengan subur. Pernyataan diatas diperkuat oleh Nurwardani (1996), yang menyatakan bahwa bioaktivator Gliocladium sp berfungsi sebagai dekomposer bahan organik yang dapat mendegradasi C/N rasio dari 50 menjadi 20. Bahan
organik yang terdapat dalam media tanam berupa campuran pupuk kandang, arang sekam dan tanah dipecah menjadi unsur hara yang tersedia bagi tanaman. Banyaknya unsur hara yang tersedia pada media tanam, memungkinkan pertumbuhan daun semakin baik dan banyak. Oleh karena itu, tanaman kedelai yang diberikan bioaktivator Gliocladium sp memiliki pertumbuhan jumlah daun yang lebih banyak jika dibandingkan dengan tanaman kedelai yang tidak diberi bioaktivator Gliocladium sp (kontrol). 3. Pengaruh Pemberian Dosis Bioaktivator Gliocladium sp terhadap Panjang Akar Tanaman Kedelai Panjang akar diukur pada hari ke 25, dari hasil perhitungan pada tabel 4 diatas dapat dilihat bahwa pemberian bioaktivator Gliocladium sp berpengaruh positif terhadap panjang akar tanaman kedelai. Perlakuan C (20 gram) merupakan perlakuan yang memiliki panjang akar terbesar yakni dengan nilai rata-rata sebesar 21.708 cm yang berbeda nyata dengan perlakuan A (10 gram), B (15 gram), D (25 gram) dan E (20 gram) serta berbeda sangat nyata dengan perlakuan F (kontrol/tanpa bioaktivator Gliocladium sp).
Tabel 4. Pengaruh Dosis Bioaktivator Gliocladium sp terhadap Panjang Akar Tanaman Kedelai Perlakuan
Panjang Akar (cm)
A ( 10 gram ) 18.075 b B ( 15 gram ) 18.300 b C ( 20 gram ) 21.708 c D ( 25 gram ) 18.483 b E ( 30 gram ) 18.700 b F ( kontrol ) 15.817 a Keterangan: Nilai pada tabel yang diikuti huruf yang sama pada satu kolom, tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji Tukey.
Pengaruh Pemberian Bioaktivator gliocladium sp dalam Berbagai Dosis Terhadap Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Kedelai (glycine max l.), Yuliani, SP, M.Si dan Cut Marlina, SP
7
Hasil perhitungan P value terhadap panjang akar adalah 0.000, nilai ini lebih kecil jika dibandingkan dengan alpha yang mempunyai nilai sebesar 0.05. Hal ini berarti bahwa terdapat pengaruh pemberian bioaktivator Gliocladium sp terhadap panjang akar tanaman kedelai. Meningkatnya pertumbuhan akar kacang kedelai diduga karena adanya aktifitas dari bahan aktif bioaktivator Gliocladium sp yang bersifat sebagai anti-fungi alami, merangsang aktifitas enzim ketahanan tanaman, mendorong pertumbuhan tanaman, memperbaiki vigor tanaman, meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekeringan dan ramah lingkungan. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Nurwardani (1996), yang menyatakan bahwa Gliocladium sp. yang merupakan bahan aktif bioaktivator Gliocladium sp dapat mempertahankan perkembangan dan pertumbuhan akar pada tanaman melon karena mengeluarkan beberapa enzim pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Pemberian bioaktivator Gliocladium sp lebih dari 20 gram diduga dapat menyebabkan efek buruk terhadap akar. Hal ini terbukti dengan pemberian bioaktivator Gliocladium sp sebanyak 25 gram dan 30 gram justru mendapatkan hasil panjang akar yang lebih kecil jika dibandingkan dengan pemberian bioaktivator Gliocladium sp sebanyak 20 gram. Menurut Nurwardani, (1996) salah satu kemungkinan yaitu bahwa Gliocladium sp menghasilkan toksin/antibiotik yang
berpengaruh terhadap perkembangan akar tanaman dan diperkuat oleh pendapat Baker dan Cook (1982) dalam Rabil (2008) yang menyatakan bahwa beberapa spesies Gliocladium sp. bersifat antagonis yang menyebabkan kematian dan menghancurkan hifa inangnya dengan sekresi satu atau lebih antibiotik, dengan sifat hiperparasit dan persaingan hara maupun ruang. Antibiotik yang dihasilkan Gliocladium sp. adalah gliotoksin. 4.
Pengaruh Pemberian Dosis Bioaktivator Gliocladium sp terhadap Berat Basah dan Berat Kering Tanaman Kedelai Berat basah ditimbang pada hari ke 25, dari hasil perhitungan pada tabel 5 terlihat jelas bahwa pemberian bioaktivator Gliocladium sp pada tanaman kedelai mempengaruhi berat basah tanaman tersebut. Perlakuan D (25 gram) merupakan perlakuan yang memiliki berat basah terbesar yakni dengan nilai rata-rata sebesar 9.362 gram yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan C (20 gram), namun berbeda nyata dengan perlakuan A (10 gram), B (15 gram) dan E (30 gram) serta berbeda sangat nyata dengan perlakuan F (kontrol/tanpa bioaktivator Gliocladium sp). Hasil perhitungan P value berat basah tanaman adalah sebesar 0.000, nilai ini lebih kecil dibandingkan dengan alpha (0.05). Hal ini berarti bahwa terdapat pengaruh pemberian bioaktivator Gliocladium sp terhadap berat basah tanaman kedelai.
Pengaruh Pemberian Bioaktivator gliocladium sp dalam Berbagai Dosis Terhadap Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Kedelai (glycine max l.), Yuliani, SP, M.Si dan Cut Marlina, SP
8
Tabel 5. Pengaruh Dosis Bioaktivator Gliocladium sp terhadap Berat Basah Tanaman Kedelai Perlakuan
Berat Basah (gram)
A ( 10 gram ) 7.926 ab B ( 15 gram ) 7.857 ab C ( 20 gram ) 8.741 b D ( 25 gram ) 9.362 b E ( 30 gram ) 7.316 ab F ( kontrol ) 6.647 a Keterangan: Nilai pada tabel yang diikuti huruf yang sama pada satu kolom, tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji Tukey.
Dari tabel. 6 terlihat jelas bahwa pemberian bioaktivator Gliocladium sp pada tanaman kedelai mempengaruhi berat kering tanaman tersebut. Perlakuan D (25 gram) merupakan perlakuan yang memiliki berat kering tanaman terbesar yakni dengan nilai rata-rata sebesar 1.2952 gram yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan A (10 gram), B (15 gram), C (20 gram) dan E (30 gram), namun berbeda nyata
dengan perlakuan F (kontrol/tanpa bioaktivator Gliocladium sp). Hasil perhitungan P value berat kering tanaman adalah sebesar 0.002, nilai ini lebih kecil dibandingkan dengan alpha (0.05) sebagaimana yang tercantum pada lampiran. 1. Hal ini berarti bahwa terdapat pengaruh pemberian bioaktivator Gliocladium sp terhadap berat kering tanaman kedelai.
Tabel 6. Pengaruh Dosis Bioaktivator Gliocladium sp terhadap Berat Kering Tanaman Kedelai Perlakuan
Berat Kering (gram)
A ( 10 gram ) 1.1629 ab B ( 15 gram ) 1.1798 ab C ( 20 gram ) 1.2063 ab D ( 25 gram ) 1.2952 b E ( 30 gram ) 1.1249 ab F ( kontrol ) 0.9243 a Keterangan: Nilai pada tabel yang diikuti huruf yang sama pada satu kolom, tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji Tukey.
.
Pengaruh Pemberian Bioaktivator gliocladium sp dalam Berbagai Dosis Terhadap Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Kedelai (glycine max l.), Yuliani, SP, M.Si dan Cut Marlina, SP
9
Pengaruh bioaktivator Gliocladium sp terhadap berat basah dan kering tanaman diduga karena bertambahnya umur tanaman akan menyebabkan semakin besarnya kemampuan tanaman menyerap hara dari dalam tanah untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Begitu juga dengan bertambahnya umur tanaman juga akan menyebabkan proses fotosintesis semakin besar sehingga pembentukan karbohidrat juga semakin banyak. Sebagian besar karbohidrat tersebut akan diuraikan melalui respirasi dan sebagian lainnya untuk pembentukan berat basah dan kering (Bilmat et. al, 2002). Peranan Gliocladium sp. dapat menyediakan unsur hara yang cukup untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Gliocladium sp. yang merupakan bahan aktif bioaktivator Gliocladium sp dapat menurunkan C/N rasio bahan organik dari 50 menjadi 20, meningkatkan pertumbuhan dan vigor tanaman di lapangan dan mendegradasi bahan organik didalam tanah (Nurwadani, 1996). Dengan demikian kebutuhan tanaman akan unsur hara dapat terpenuhi sehingga tanaman dapat tumbuh dengan baik. Pertumbuhan dapat didefinisikan sebagai pembelahan sel dan pembesaran sel, tetapi yang paling umum dipakai adalah pertambahan berat basah dan berat kering yang meliputi diferensiasi sel. (Kristanto, 2006). KESIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian bioaktivator Gliocladium sp memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman kedelai baik dilihat dari tinggi
tanaman, jumlah daun, panjang akar, berat basah maupun berat kering tanaman. Pada penelitian ini dosis bioaktivator Gliocladium sp yang terbaik untuk pertumbuhan tinggi, jumlah daun, berat basah dan berat kering tanaman kedelai adalah 25 gram per tanaman. Nilai rata-rata pada pengamatan terakhir yakni hari ke 25 yaitu : tinggi tanaman sebesar 53.683 cm, jumlah daun sebesar 6.000 serta berat basah dan berat kering tanaman masing-masing sebesar 9.362 gram dan 1.2952 gram. Sedangkan panjang akar terbaik diperoleh dari tanaman yang diberikan bioaktivator Gliocladium sp dengan dosis 20 gram per tanaman dengan nilai ratarata sebesar 21.708 cm.
DAFTAR PUSTAKA Bilman, W., Simanuhuruk, Abimanyu, D. Nusantara dan Faradilla F. 2002. Peran Em4 dan Pupuk NPK Dalam Meningkatkan Pertumbuhan dan Hasil Jagung Manis Pada Lahan Alang-Alang, Jurnal Ilmu Pertanian volumen 4. http://distan.kalselprov.go.id.05/11/ 2009. http://pustaka.unpad.ac.id.02/11/ 2009. Kristanto Heri, 2006. Pengaruh khitosan, Gliocladium sp Serta Kombinasi Gliocladium sp dan Khitosan Terhadap Perkecambahan dan Pembibitan Padi var. Pandanwangi, Skripsi.
Pengaruh Pemberian Bioaktivator gliocladium sp dalam Berbagai Dosis Terhadap Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Kedelai (glycine max l.), Yuliani, SP, M.Si dan Cut Marlina, SP
10
Nurdin. 2007. Proses Biakan Massal Gliocladium sp. Laporan Praktek Kompetensi Dasar. Universitas Suryakancana. Cianjur. Nurdin. 2008. Pengaruh Biokomplek Terhadap Pertumbuhan Bibit Padi Varietas Pandanwangi (Oriza sativa L.) Pada Persemaian System Of Rice Intensification (SRI). Skripsi. Universitas Suryakancana. Cianjur. Nurwadani. 1996. Pengendalian Hayati Penyakit Layu Fusarium (Fusarium oxysporum f.s.p melonis) pada Melon (Cucumis melo cv. Casntralupensisi NAUD) dan Perbanyakan Masal Gen Pengendali Hayati (Gliocladium s.p.), Tesis
tanah pada tanaman hias. Makalah Kursus Peningkatan Ketrampilan Petugas dalam Penerapan Teknologi Pengendalian OPT. Cipanas. 1-7 Oktober 2000. 1-6. Rabil, Nur. 2008. Pengaruh Dosis dan Waktu Aplikasi Biokomplek Terhadap Pertumbuhan Vegetatif Bibit Cabai Keriting Varietas TM 999 (Capsicum annum var. longum). Skripsi. Universitas Suryakancana Cianjur. Toha, Khalimi. 2008. Pengaruh Waktu Aplikasi Pemberian Biokomplek terhadap Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Jagung Manis (Zea Mays var. Saccharata). Skripsi. Universitas Suryakancana. Cianjur.
Nuryani. W. 2000. Aplikasi agens hayati dalam pengendalian penyakit tular
Pengaruh Pemberian Bioaktivator gliocladium sp dalam Berbagai Dosis Terhadap Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Kedelai (glycine max l.), Yuliani, SP, M.Si dan Cut Marlina, SP
11
DAMPAK PEMEKARAN TERHADAP PEMBANGUNAN PERTANIAN KOTA CIMAHI Oleh Rosda Malia SP M.Si *
RINGKASAN
Semenjak menjadi kota otonom Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Cimahi mengalami kenaikan. Dari sisi sektoral, laju pertumbuhan tiap sektor masih diatas empat persen kecuali sektor : pertanian, konstruksi, pengangkutan dan komunikasi. Penelitian ini bertujuan mengetahui dampak pemekaran terhadap pembangunan pertanian Kota Cimahi. Metode analisis yang digunakan yakni statistik deskriptif dan analisis partisipatif. Hasil penelitian menunjukan : pertumbuhan sektor pertanian mengalami penurunan, kontribusi sektor pertanian dalam PDRB Kota Cimahi semakin kecil, terjadi alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian serta kesejahteraan masyarakat desa yang belum berubah.
ABSTRACT
From the autonomous town of regional gross domestic product (GDP) Cimahi grew. On each sektor sektoral growth rate is still over four per cent, except : agriculture, construction, transport and communications. This study aims to determine the impact of the expansion of the Cimahi agricultural development. The method of analysis used are descriptive analysis and participative analysis. The results showed that the growth of the agricultural sektor has declined, the contribution of the agricultural sektor in GDP Cimahi increasingly smaller, passing the role of agricultural land to non-agricultural activities, as well as the well-being of rural communities that have not changed. Key words: regional expansion, agriculture development * Dosen Faperta UNSUR I. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Pembangunan selama ini yang perencanaannya dominan menggunakan pendekatan top down, telah banyak menimbulkan kegagalan. Keadaan ini menimbulkan berbagai tuntutan dari daerah, mulai dari keinginan untuk merdeka ataupun melepaskan diri dari ikatan administrasi wilayah di atasnya ( isu pemekaran). Tuntutan umumnya berasal dari daerah yang merasa kaya potensi sumberdaya namun hasilnya kurang dapat dirasakan. Praktek pengurasan sumberdaya untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi di pusat yang
kurang memberi pengaruh balik pada pertumbuhan daerah asal sumberdaya, menjadi semakin tegas fenomena kesenjangannya (Agusniar, 2006). Undang-Undang No. 22 tahun 1999 yang disempurnakan dengan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah membuka peluang adanya pemekaran, penghapusan dan penggabungan daerah. Kota Cimahi merupakan kota hasil pemekaran yang berada di Propinsi Jawa Barat. Terletak di sebelah barat Kota Bandung, dahulu Cimahi merupakan bagian dari
Dampak Pemekaran Terhadap Pembangunan Pertanian Kota Cimahi, Rosda Malia., SP., M.Si
12
Kabupaten Bandung. Cimahi ditetapkan sebagai kota otonom berdasarkan Undang – Undang Nomor 9 Tahun 2001 pada tanggal 21 Juni 2001. Semenjak menjadi kota otonom Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Cimahi mengalami kenaikan. Nilai PDRB Kota Cimahi atas dasar harga konstan Tahun 2000 - 2006 cenderung bertambah, hanya laju peningkatannya berbeda setiap tahun. Begitupula dengan nilai PDRB Kota Cimahi atas dasar harga berlaku Tahun 2000 – 2006 cenderung meningkat. Dari sisi sektoral, laju pertumbuhan sektor – sektor masih diatas empat persen kecuali sektor pertanian, konstruksi serta pengangkutan dan komunikasi. 1.2
Tujuan Penelitian Penelitian bertujuan untuk mengetahui dampak pemekaran terhadap pembangunan pertanian Kota Cimahi. II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pemekaran Wilayah Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal mulai dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001 melalui pemberlakuan UU No. 22 Tahun 1999 sebagaimana direvisi dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pelaksanaan otonomi daerah tersebut memberikan kewenangan yang luas kepada daerah sehingga memberikan implikasi dan peluang kepada daerah-daerah tertentu untuk memekarkan wilayahnya sebagai daerah otonom. Pada prinsipnya dengan pemekaran/penataan daerah menjadi daerah otonom diharapkan terjadi efisiensi dan efektifitas
pelayanan publik, peningkatan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah, serta terjadinya peningkatan kesejahteraan masyarakat. 2.2 Pembangunan Daerah Salah satu aspek yang perlu mendapat perhatian dalam pelaksanaan pembangunan daerah adalah aspek ekonomi. Menurut Arsyad (1999) pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumber-sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam wilayah tersebut. Dalam kebijakan pembangunan ekonomi daerah penekanannya didasarkan pada kekhasan daerah yang bersangkutan (endogenous development ) dengan menggunakan potensi sumber daya manusia dan sumber fisik secara lokal. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dapat dikatakan sebagai ukuran produktifitas wilayah yang paling umum diterima secara luas sebagai standar ukuran pembangunan dalam skala wilayah. Oleh karenanya, walaupun memiliki berbagai kelemahan, PDRB dinilai sebagai tolak ukur pembangunan yang paling operasional dalam skala negara di dunia (Rustiadi. 2004). 2.3
Pembangunan Pertanian Pembangunan ekonomi sektor pertanian bertujuan untuk meningkatkan produksi pertanian agar dapat meningkatkan pendapatan petani dan pemerataan pembangunan pedesaan.
Dampak Pemekaran Terhadap Pembangunan Pertanian Kota Cimahi, Rosda Malia., SP., M.Si
13
III. METODE PENELITIAN 3.1
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Cimahi Propinsi Jawa Barat sebagai hasil dari pemekaran Kabupaten Bandung, dari Bulan Januari – Juni 2009. 3.2 Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan dua jenis data yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan cara mengambil langsung di lapangan melalui wawancara dengan responden yang dipilih secara sengaja (purposive sampling) . Responden yang diwawancara sebanyak 48 orang dengan latar belakang jenis kelamin, pendidikan, usia dan pekerjaan yang berbeda-beda . Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari instansi dan dinas-dinas yang terkait dengan penelitian, BPS dan hasil penelitian terdahulu. Data yang digunakan setelah pemekaran mulai tahun 20012006. 3.3
Metode Analisis Metode analisis yang digunakan meliputi statistika deskriptif dan analisis partisipatif. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1
Karakteristik Wilayah Penelitian Kota Cimahi berada antara 107˚ 30’ 30” BT – 107˚ 34’ 30” BT dan 6˚ 50’ 00” - 6˚ 56’ 00” Lintang selatan dengan batas – batas sebagai berikut : batas utara dengan Kabupaten Bandung, batas selatan dengan Kabupaten Bandung, batas timur dengan Kota Bandung dan batas barat dengan Kabupaten Bandung. Kota Cimahi termasuk wilayah Propinsi Jawa
Barat, meliputi tiga kecamatan dan 15 kelurahan. Areal pertanian terletak di Cimahi Utara. Luas Kota Cimahi secara keseluruhan mencapai 40,25 Ha dengan penggunaan lahan diperuntukan, pemukiman mencapai 1,609 Ha (39,21%), lahan militer 375 Ha (9,14%), Industri 700 Ha (17,06%), Pesawahan 326 Ha (7,94%), Tegalan 382 Ha (9,31%), Kebun Campuran 367 Ha (8,94%), Pusat Perdagangan 140 Ha (3,41%) dan lahan yang dipergunakan untuk lain-lain mencapai 204.73 Ha (4,99%). 4.2
Karakteristik Responden Penelitian Kelompok responden berpendidikan SD berusia antara 43 50 tahun. Responden wanita umumnya bekerja sebagai ibu rumah tangga. Usia lanjut menyulitkan responden wanita dalam memperoleh pekerjaan. Sementara responden pria umumnya bekerja sebagai buruh. Buruh pabrik atau bangunan. Kelompok responden berpendidikan SMP berusia antara 29 – 48 tahun, umumnya di atas 40 tahun. Responden wanita bekerja sebagai buruh, ibu rumah tangga dan wirausaha. Responden pria bekerja sebagai pegawai swasta, buruh dan wirausaha. Jenis pekerjaan responden kelompok ini, hampir sama dengan pekerjaan kelompok responden berpendidikan SD. Kelompok responden berpendidikan SMA berusia antara 20 – 34 tahun, tergolong usia produktif. Tidak terdapat perbedaan pekerjaan antara responden pria dan wanita. Pekerjaan responden kelompok ini lebih bervariasi yaitu sebagai pegawai swasta, PNS atau wirausaha. Sebagian besar responden bekerja sebagai PNS.
Dampak Pemekaran Terhadap Pembangunan Pertanian Kota Cimahi, Rosda Malia., SP., M.Si
14
Kelompok responden berpendidikan Perguruan Tinggi berusia antara 27 – 40 tahun, umumnya di atas usia 30 tahun. Usia yang masih produktif. Tidak terdapat perbedaan antara pekerjaan responden wanita dan pria. Responden kelompok ini bekerja sebagai PNS, pegawai swasta dan wirausaha. Sebagian besar bekerja sebagai PNS. 4.3 Dampak Pemekaran terhadap Pembangunan Pertanian Kota Cimahi 4.4 a. Pertumbuhan Sektor Pertanian Mengalami Penurunan Pada saat pemekaran (Tahun 2001), laju pertumbuhan sebesar 4.254 persen. Setahun setelah pemekaran laju mengalami penurunan menjadi sebesar 4.033 persen. Penurunan terjadi karena proses adaptasi pemekaran. Tahun berikutnya pertumbuhan
ekonomi naik menjadi 4.171 persen, sekalipun mengalami peningkatan namun laju belum sebesar sebelum pemekaran. Tahun 2004 laju mengalami meningkat menjadi 4,353 persen dan terus mengalami peningkatan menjadi sebesar 4.56 persen dan 4.804 persen di tahun – tahun berikutnya. Berarti pada Tahun 2004 – 2006 laju pertumbuhan sudah melebihi sebelum pemekaran. Kalau dibandingkan, laju pertumbuhan ekonomi daerah otonom baru di bawah daerah induk. Artinya kinerja daerah otonom baru belum seperti daerah induknya. Proporsi setiap sektor sebelum maupun setelah pemekaran relatif sama. Industri pengolahan memberikan kontribusi terbesar sementara kontribusi kedua disumbang sektor perdagangan.
Gambar 1 Laju Pertumbuhan PDRB Kota Cimahi LAJU PERTUMBUHAN PDRB KOTA CIMAHI TAHUN 2000-2006
1. Pertanian 2. Pertambangan Dan Penggalian
16.00 3. Industri Pengolahan
14.00
PERSEN
12.00
4. Listrik, Gas, Dan Air Bersih
10.00
5. Banguna/konstruksi
8.00 6.00
6. Perdagangan, Hotel Dan Restoran
4.00
7. Pengangkutan Dan Komunikasi
2.00 8. Keuangan Dan Jasa Perusahaan
0.00 2001
2002
2003
2004
2005
2006
TAHUN
Sumber data : BPS Kota Cimahi (Tahun 2002 - 2007)
9. Jasa-Jasa PDRB
Kalau membandingkan laju pertumbuhan tahun 2001 dan 2006
Dampak Pemekaran Terhadap Pembangunan Pertanian Kota Cimahi, Rosda Malia., SP., M.Si
15
(gambar 1) terlihat bahwa enam sektor mengalami penurunan. Sektor yang mengalami penurunan yakni sektor pertanian, industri, pertambangan, lisrik, keuangan dan jasa. Penurunan terbesar dialami sektor pertambangan dan penggalian. Sektor yang mengalami peningkatan yakni sektor bangunan, perdagangan dan pengangkutan. Kenaikan terbesar dialami sektor perdagangan.
b.
Kontribusi Sektor Pertanian dalam PDRB Kota Cimahi semakin kecil Sektor ini merupakan gabungan dari sub sektor tanaman pangan, perkebunan, peternakan, kehutanan dan perikanan. Besarnya PDRB sektor pertanian Tahun 2000 – 2006 dapat dilihat pada gambar 2.
Gambar 2. PDRB Sektor Pertanian Kota Cimahi Tahun 2000 - 2006
PDRB SEKTOR PERTANIAN KOTA CIMAHI TAHUN 2000 - 2006
9,500.00 2000
9,000.00
2001 8,500.00
2002
8,000.00
2003 2004
7,500.00
2005 7,000.00
2006
6,500.00 1
Sumber data : BPS Kota Cimahi (Tahun 2002 – 2007
Sekalipun nilai PDRB sektor pertanian meningkat terus, namun kontribusinya dalam PDRB Kota Cimahi semakin kecil, yakni sekitar 0,2 persen. Tahun 2000 sub sektor tanaman pangan memiliki kontribusi terbesar dalam sektor pertanian yakni sebesar 53 persen. Kontribusi terkecil berasal dari sub sektor perkebunan yakni sebesar 1,3 persen. Tahun 2006 kontribusi terbesar tetap berasal dari sub sektor tanaman pangan yakni sebesar 52,4 persen. Sub sektor perkebunan tetap sebagai penyumbang terkecil yakni sebesar 1,1 persen. Berarti sebelum dan setelah pemekaran
tidak terdapat perubahan dalam proporsi sub – sub sektor pertanian. c. Alih Fungsi Lahan Pertanian ke non Pertanian Setelah pemekaran terjadi alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian. Data BPS (2006) menunjukan 221 ha lahan pertanian telah beralih fungsi. Lahan tersebut merupakan lahan : beririgasi teknis (183 ha), irigasi setengah teknis (8 ha), tadah hujan (7ha) dan irigasi bukan PU (23 ha). Lahan pertanian yang beralih fungsi umumnya terletak di Kecamatan Cimahi tengah dan selatan. Sebelum beralih fungsi, lahan tersebut ditanami : padi sawah (69 ha),
Dampak Pemekaran Terhadap Pembangunan Pertanian Kota Cimahi, Rosda Malia., SP., M.Si
16
jagung (25 ha), ubi kayu (3 ha), ubi jalar (8 ha) dan tomat (16 ha). Tidak ditemukan data produksi tanaman lainnya. d. Kesejahteraan Masyarakat Desa Belum Berubah Salah satu tujuan pemekaran adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pengukuran tingkat kesejahteraan umumnya dilakukan berdasarkan data sekunder. Angka – angka statistika terkadang memberikan informasi yang menyimpulkan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat semakin lebih baik, namun belum tentu dirasakan secara langsung oleh masyarakat. Untuk melengkapi pengukuran tingkat kesejahteraan, perlu dilakukan berdasarkan persepsi masyarakat (responden) Dalam penelitian ini kesejahteraan didekati melalui empat hal yaitu dampak pemekaran terhadap bidang ekonomi, pelayanan pemerintah, partisipasi masyarakat dan fasilitas umum. 1).
Bidang ekonomi
Pengukuran dampak pemekaran terhadap bidang ekonomi didekati melalui tiga hal, yaitu pengaruhnya terhadap pendapatan, lowongan kerja dan kesempatan berusaha. Secara umum responden berpendapat pemekaran memiliki pengaruh positif terhadap perekonomian dengan meningkatnya pendapatan, bertambahnya lowongan kerja dan meningkatnya kesempatan berusaha. Namun perubahan tersebut baru dinikmati responden berpendidikan SMA dan perguruan tinggi terutama yang tinggal di Cimahi Tengah dan Cimahi Selatan. Sebanyak 24 orang (50%) menjawab mengalami peningkatan pendapatan, 12 orang responden tidak mengalami perubahan (25%) pendapatan dan sisanya mengalami penurunan pendapatan. Yang mengalami kenaikan pendapatan umumnya responden berpendidikan SMA dan Perguruan Tinggi. Sebagian besar tinggal di Kecamatan Cimahi Tengah dan Cimahi Selatan. Tanggapan responden terhadap perubahan pendapatan dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Tanggapan Responden terhadap Perubahan Pendapatan Jumlah Kecamatan Cimahi Responden Jawaban Utara Tengah Selatan (org) Turun 4 4 4 12 Tetap 6 2 4 12 Naik 6 10 8 24 Jumlah Responden 16 16 16 48 Sumber data : data primer (Tahun 2009)
Sebagian besar responden berpendapat terdapat peningkatan lowongan kerja. Namun bagi responden yang berpendidikan SD, mereka menilai pemekaran justru menurunkan tingkat lowongan kerja.
% 25 25 50 100
Responden berpendidikan SMP menilai belum terdapat perubahan dalam lowongan kerja. Tanggapan responden terhadap perubahan lowongan kerja dapat dilihat pada tabel 2.
Dampak Pemekaran Terhadap Pembangunan Pertanian Kota Cimahi, Rosda Malia., SP., M.Si
17
Tabel 2. Tanggapan Responden terhadap Perubahan Lowongan Kerja Kecamatan Cimahi Jumlah Responden Jawaban Utara Tengah Selatan (org) Turun 4 4 4 12 Tetap 6 2 4 12 Naik 6 10 8 24 Jumlah Responden 16 16 16 48 Sumber data : data primer (Tahun 2009)
Sebagian besar responden (20 orang ) berpendapat terdapat peningkatan kesempatan berusaha, 16 orang menilai tidak terdapat perubahan. Yang menjawab terdapat peningkatan kesempatan berusaha
% 25 25 50 100
adalah responden yang tinggal di Kecamatan Cimahi Tengah dan berpendidikan SMA dan Perguruan tinggi. Tanggapan responden terhadap perubahan kesempatan berusaha dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3 Tanggapan Responden terhadap Perubahan Kesempatan Berusaha Kecamatan Cimahi Jumlah Responden Jawaban Utara Tengah Selatan (org) % Turun 4 4 4 12 25.00 Tetap 8 2 6 16 33.33 Naik 4 10 6 20 41.67 Jumlah responden 16 16 16 48 100 Sumber data : data primer (Tahun 2009)
2).
Pelayanan Pemerintah Indikator pelayanan pemerintah didekati dari layanan administrasi kependudukan (KTP, KK, IMB dll) dan administrasi usaha (terkait izin pendirian usaha). Umumnya responden berpendapat pemekaran telah meningkatan pelayanan pemerintah. Sebagian besar responden (39 orang ) menjawab pelayanan pemerintah dalam administrasi
kependudukan semakin baik dan sisanya menjawab belum ada perubahan. Tidak ada respoden yang berpendapat pelayanan pemerintah semakin menurun. Yang menjawab tidak terdapat perubahan adalah responden berpendidikan SD dan tinggal di Kecamatan Cimahi selatan dan utara. Tanggapan responden terhadap perubahan pelayanan administrasi kependudukan dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4 . Tanggapan Responden terhadap Perubahan Pelayanan Adm Kependudukan Kecamatan Cimahi Jumlah Responden Jawaban Utara Tengah Selatan (org) % Turun 0 0 0 0 0.00 Tetap 5 0 4 9 18.75 Naik 11 16 12 39 81.25 Jumlah 16 16 16 48 100 Sumber data : data primer (Tahun 2009)
Dampak Pemekaran Terhadap Pembangunan Pertanian Kota Cimahi, Rosda Malia., SP., M.Si
18
Tiga puluh orang responden menjawab ada peningkatan dalam pelayanan izin usaha dan sisanya menjawab tidak terdapat perubahan. Yang menjawab terdapat peningkatan pelayanan izin usaha adalah responden berpendidikan SMA dan perguruan tinggi. Responden
yang berwirausaha dan berpendidikan SMP, umumnya tidak mengurus izin usaha. Sehingga mereka berpendapat tidak terdapat perubahan. Tanggapan responden terhadap perubahan pelayanan administrasi usaha terdapat dalam tabel 5.
Tabel 5. Tanggapan Responden terhadap Perubahan Pelayanan Administrasi Usaha Kecamatan Cimahi Jumlah Responden Jawaban Utara Tengah Selatan (org) % Turun 0 0 0 0 0.00 Tetap 5 5 8 18 37.50 Naik 11 11 8 30 62.50 Jumlah responden 16 16 16 48 100 Sumber data : data primer (Tahun 2009)
3).
Partisipasi Masyarakat Dampak pemekaran terhadap partisipasi masyarakat didekati melalui realisasi usulan program dari masyarakat, kesempatan mengkritik pemerintah, keterlibatan dalam program pendidikan, kesehatan dan pengentasan kemiskinan. Sebagian besar responden berpendapat belum terdapat perubahan dalam partisipasi masyarakat.
Lima puluh delapan persen lebih respoden berpendapat terdapat peningkatan dalam realisasi usulan program dari masyarakat. Namun masih terbatas pada realisasi pembangunan kelurahan. Responden yang berpendapat demikian berpendidikan SMA dan perguruan tinggi. Tanggapan responden terhadap perubahan realisasi usulan program dari masyarakat terdapat dalam tabel 6.
Tabel 6. Tanggapan Responden terhadap Perubahan Realisasi Usulan Prog Dari Masyarakat Kecamatan Cimahi Jawaban Utara Tengah Selatan Turun 0 0 0 Tetap 10 8 10 Naik 6 8 6 Jumlah 16 16 16 Sumber data : data primer (Tahun 2009)
Sebagian besar responden (36 orang) menilai belum ada perubahan dalam partisipasi mengkritisi kinerja pemda. Sebagian lagi (12 orang) menjawab terdapat peningkatan kesempatan, yang menjawab demikian
Jumlah responden (org) 0 28 20 48
% 0.00 58.33 41.67 100
adalah responden berpendidikan perguruan tinggi. Tanggapan terhadap perubahan partisipasi mengkritisi kinerja pemda dapat dilihat pada tabel 7.
Dampak Pemekaran Terhadap Pembangunan Pertanian Kota Cimahi, Rosda Malia., SP., M.Si
19
Tabel 7. Tanggapan Responden terhadap Perubahan Partisipasi Mengkritisi Kinerja Pemda Kecamatan Cimahi Jumlah Responden Jawaban Utara Tengah Selatan (org) % Turun 0 0 0 0 0.00 Tetap 12 12 12 36 75.00 Naik 4 4 4 12 25.00 Jumlah 16 16 16 48 100 Sumber data : data primer (Tahun 2009)
Dua puluh tujuh responden menjawab belum terdapat perubahan dalam program pendidikan, kalaupun ada baru dinikmati 9 responden. Sisanya menjawab terdapat penurunan
dalam program pendidikan. Yang menjawab demikian adalah responden berpendidikan SD karena mahalnya biaya pendidikan.
Tabel 8.
Tanggapan Responden terhadap Perubahan Partisipasi Program Pendidikan Kecamatan Cimahi Jumlah Responden Jawaban Utara Tengah Selatan (org) % Turun 4 4 4 12 25.00 Tetap 10 8 9 27 56.25 Naik 2 4 3 9 18.75 Jumlah responden 16 16 16 48 100 Sumber data : data primer (Tahun 2009)
Lima puluh persen responden menjawab belum terdapat peningkatan dalam program kesehatan. Sisanya menjawab terjadi penurunan program kesehatan. Mahalnya biaya kesehatan
menjadi alasan penilaian tersebut. Tanggapan responden terhadap perubahan partisipasi program kesehatan dapat dilihat pada tabel 9.
Tabel 9. Tanggapan Responden terhadap Perubahan Partisipasi Program Kesehatan Kecamatan Cimahi Jumlah Responden Jawaban Utara Tengah Selatan (org) % Turun 8 8 8 24 50.00 Tetap 8 8 8 24 50.00 Naik 0 0 0 0 0.00 Jumlah responden 16 16 16 48 100 Sumber data : data primer (Tahun 2009)
Sebagian besar responden (32 orang) menjawab belum terdapat perubahan dalam program pengentasan kemiskinan. Delapan orang menjawab terjadi peningkatan dan sisanya menjawab terjadi penurunan. Yang menjawab terjadi peningkatan adalah
responden berpendidikan perguruan tinggi. Sementara responden berpendidikan SD umumnya menjawab terjadi penurunan program kemiskinan. Tanggapan responden terhadap perubahan partisipasi
Dampak Pemekaran Terhadap Pembangunan Pertanian Kota Cimahi, Rosda Malia., SP., M.Si
20
program
pengentasan
kemiskinan
dapat dilihat pada tabel 10.
Tabel 10. Tanggapan Responden thdp Perubahan Partisipasi Prog Pengentasan Kemiskinan Kecamatan Cimahi Jumlah Responden Jawaban Utara Tengah Selatan (org) % Turun 4 2 2 8 16.67 Tetap 9 9 14 32 66.67 Naik 3 5 0 8 16.67 Jumlah responden 16 16 16 48 100 Sumber data : data primer (Tahun 2009)
4.)
Fasilitas Umum Pemekaran diharapan dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas fasilitas umum. Fasilitas umum yang dimaksud yakni jalan, air bersih, listrik, irigasi, sekolah, fasilitas kesehatan,
transportasi, terminal dan pasar. Terdapat peningkatan pada fasilitas umum, sehingga sebagian besar responden menilai sejak pemekaran Kota Cimahi semakin bagus kondisinya.
Tabel 11. Tanggapan Responden terhadap Perubahan Infrastruktur setelah pemekaran Kecamatan Cimahi Jumlah Responden Jawaban Utara Tengah Selatan (org) % Turun 4 1 2 7 14.58 Tetap 4 5 7 16 33.33 Naik 8 10 7 25 52.08 Jumlah 16 16 16 48 100 Sumber data :data primer (Tahun 2009)
4.4
Pembahasan Pemekaran wilayah telah memberikan dampak yang positif terhadap pertumbuhan dan perkembangan struktur ekonomi. Setelah pemekaran, pertumbuhan ekonomi menjadi lebih baik. Selain jumlah PDRB setiap tahunnya meningkat, laju pertumbuhannya pun cenderung meningkat. Namun nilai PDRB Kota Cimahi masih jauh di bawah nilai PDRB Kab. Bandung. Laju pertumbuhan PDRB Kota Cimahi juga di bawah laju pertumbuhan PDRB Kab. Bandung. Kontribusi terbesar dalam PDRB berasal dari sektor industri pengolahan, yakni sebesar 61 persen. Ini menunjukan bahwa Kota Cimahi merupakan kota industri. Strategi ini
sudah dicanangkan sebelum pemekaran dan masih dilakukan sampai kini. Karena itu sektor industri tetap memimpin perekonomian sampai sekarang. Setelah pemekaran lima sektor mengalami penurunan laju pertumbuhan, yaitu sektor pertanian, sektor pertambangan dan penggalian, sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih serta sektor keuangan. Bahkan kontribusi sektor pertambangan dan penggalian hanya sampai Tahun 2002. Penurunan laju pertumbuhan sektor pertanian diakibatkan berkurangnya lahan pertanian. Pemekaran membutuhkan sejumlah lahan pertanian untuk dijadikan perkantoran, perumahan, pertokoan dan kebutuhan lainnya.
Dampak Pemekaran Terhadap Pembangunan Pertanian Kota Cimahi, Rosda Malia., SP., M.Si
21
Krisis ekonomi yang berkepanjangan telah menurunkan daya beli masyarakat. Ini menyebabkan penurunan laju pertumbuhan sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih serta sektor keuangan. Sementara hilangkan kontribusi sektor pertambangan dan penggalian karena sudah habisnya sumberdaya alam yang dimiliki Kota Cimahi. Terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian pada dasarnya merupakan respon perubahan kebijakan ekonomi. Konversi lahan pertanian pada hakekatnya tidak hanya menyangkut hilangnya peluang memproduksi pangan tetapi menyangkut substansi permasalahan kesempatan usaha dan berusaha, pendapatan petani dan keadilan sosial. Disinilah sumber permasalahan yang patut mendapat perhatian dengan seksama (Sumaryanto, Hermanto, E. Pasandaran, 1995) Meningkatnya aktifitas pemerintah dan perekonomian telah meningkatkan pendapatan, kesempatan kerja dan berusaha sebagian masyarakat. Hanya masyarakat berpendidikan baik yang mampu menangkap peluang tersebut. Harus ada perubahan, agar pemekaran dapat dinikmati semua lapisan masyarakat. Pemekaran telah mendekatkan pemerintah kepada masyarakat, hal ini dilihat dari meningkatnya pelayanan kepada masyarakat dan mulai terbukanya kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Pelayanan administrasi kependudukan dan perizinan usaha menjadi lebih mudah. Selain letak kantor pemda yang lebih dekat, pemda juga berusaha meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Kesempatan berpartisipasi baru terealisasi dalam usulan pembangunan kelurahan.
Pemekaran yang baru berusia tujuh tahun, masih sibuk berbenah dalam pembangunan sarana dan prasarana. Sehingga program pendidikan, kesehatan dan pengentasan kemiskinan belum banyak dilakukan. Pembangunan sarana dan prasarana telah membuat kondisi Kota Cimahi lebih baik setelah pemekaran. Beberapa fasilitas umum dinilai lebih baik setelah pemekaran. Fasiltas tersebut yaitu jalan, listrik, sekolah (SD) dan pasar. Hal ini karena alokasi dana sarana pelayanan umum untuk bidang pendidikan dan infra struktur cukup besar. V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1
Kesimpulan Dampak pemekaran terhadap pembangunan pertanian Kota Cimahi berupa : a. Pertumbuhan sektor pertanian mengalami penurunan. b. Kontribusi sektor pertanian dalam PDRB Kota Cimahi semakin kecil. c. Terjadi alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian yang menyebabkan produksi hasil pertanian mengalami penurunan dan hilangnya sebagian fasilitas irigasi. d. Kesejahteraan masyarakat desa belum mengalami perubahan. 5.2 Saran 1. Pembangunan pertanian harus lebih ditingkatkan. Alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian harus dihindari, mengingat pentingnya fungsi lahan pertanian. 2. Manfaat pemekaran harus dapat dirasakan oleh semua lapisan masyarakat, program pendidikan,
Dampak Pemekaran Terhadap Pembangunan Pertanian Kota Cimahi, Rosda Malia., SP., M.Si
22
kesehatan dan kemiskinan harus ditingkatkan.
mengentasan lebih
3. Kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi lebih ditingkatkan, agar pembangunan sesuai dengan keinginan masyarakat dan dapat memenuhi kebutuhan mereka. DAFTAR PUSTAKA Agusniar, A. 2006. Analisis Dampak Pemekaran Wilayah terhadap Perekonomian Wilayah dan Kesejahteraan Masyarakat (Tesis). Bogor : Pascasarjana IPB. Anonymous, Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. _______. Undang – undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. _______. Undang – undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Arsyad, L. 1999. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah. Jogjakarta : PT. BPFE. BPS. 2006. Profil Pemerintah Kota Cimahi. _______. 2002. 2006. Kota Cimahi dalam Angka. Rustiadi, E, S. Saefulhakim dan D.R. Panuju. 2004. Diktat Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Bogor : Fakultas Pertanian IPB. Sumaryanto, Hermanto, E. Pasandaran. 1995. Dampak Alih Fungsi Lahan Sawah terhadap Pelestarian Swasembada Beras dan Sosial Ekonomi Pertanian. Makalah Lokakarya Persaingan dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air : Dampaknya Terhadap Keberlanjutan Swasembada Pangan. Bogor
Dampak Pemekaran Terhadap Pembangunan Pertanian Kota Cimahi, Rosda Malia., SP., M.Si
23
Biologi Reproduksi dan Kebiasaan Makanan Ikan Lampam (Barbonymus schwanenfeldii) Di Sungai Musi, Sumatera Selatan Budi Setiawan, S.Pi dan R. Selfi Nendris Sulistiawan, S.Pi
RINGKASAN Ikan lampam yang tertangkap selama penelitian berjumlah 425 ekor terdiri atas 238 ekor (56%) ikan jantan dan 187 ekor (44%) ikan betina, panjang total berkisar antara 51-280 mm. Nisbah kelamin ikan jantan dan ikan betina 1,27:1. Pola pertumbuhan ikan lampam jantan dan betina adalah allometrik positif. Nilai kisaran faktor kondisi ikan lampam jantan (0,98–1,07) lebih besar daripada ikan betina (0,95–1,01). Ikan lampam jantan dan betina pertama kali matang gonad berada pada selang ukuran panjang 97–119 mm. Kisaran nilai IKG ikan betina lebih besar (0,863%-9,347%) daripada ikan jantan (0,506%-2,826%). Fekunditas ikan lampam berkisar antara 1.393-7.826 butir dan rata-rata fekunditas per ekor ikan 5.096 butir telur. Sebaran diameter telur ikan lampam membentuk satu puncak pada TKG III dan IV, dapat diduga bahwa pola pemijahannya bersifat total spawner.
ABSTRACT Lampam fish caught during the study amounted to 425 tail consisting of 238 individuals (56%) male and 187 fish tail (44%) female fish, total length ranges from 51-280 mm. Sex ratio of male fish and female fish 1,27:1. Lampam growth patterns of male and female fish were positive allometrik. Value range lampam male fish condition factor (0.98 to 1.07) greater than female fish (0.95 to 1.01). Fish lampam first male and female gonads are mature at a length of 97-119 mm hose. The range of values IKG larger female fish (0.863% -9.347%) than male fish (0.506% -2.826%). Lampam fish fecundity ranged between 1393-7826 points and the average fecundity per fish eggs5096. Diameter distribution of fish eggs lampam form a single peak at TKG III and IV,can be presumed that the spawning pattern is total spawner.
PENDAHULUAN Latar Belakang Sungai Musi terletak di Pulau Sumatera. Daerah aliran Sungai Musi terletak diantara 1˚40’ sampai 5˚ Lintang Selatan (LS) 102˚7’ sampai
108˚ Bujur Timur (BT). Daerah Aliran Sungai Musi bagian tengah yang sebagian besar merupakan daerah rawa banjiran adalah daerah produksi ikan utama di propinsi Sumatera Selatan dengan potensi perikanannya sebesar 50 kg/ha/th. Ikan Lampam (B. schwanenfeldii) termasuk salah satu hasil
Biologi Reproduksi dan Kebiasaan Makanan Ikan Lampam (Barbonymus schwanenfeldii) Di Sungai Musi, Sumatera Selatan, Budi Setiawan, S.Pi dan R. Selfi Nendris Sulistiawan, S.Pi
24
perikanan yang ditemukan di perairan tersebut. Permasalahan yang timbul dewasa ini adalah punahnya berbagai jenis ikan di Sungai Musi. Kecenderungan penangkapan ikan yang dilakukan nelayan kurang memperhatikan kelestarian sumberdayanya seperti penangkapan dengan aliran listrik (strum) dan penggunaan racun (obat potas), sehingga dapat menyebabkan penurunan hasil tangkapan dan hal ini dikhawatirkan dapat terjadinya penurunan populasi. Salah satu upaya pencegahan penurunan populasi maka dibutuhkan suatu informasi biologi reproduksi dan kebisaan makanan yang dapat menunjang pengelolaan dan pengembangan ikan lampam termasuk upaya ke arah domestikasi. Perumusan Masalah Kepunahan berbagai jenis ikan di Sungai Musi mengancam keberadaan serta kelestarian ikan yang hidup di perairan tersebut. Kepunahan dapat terjadi akibat dari alat tangkap yang tidak ramah lingkungan dan tidak selektf serta penangkapan yang dilakukan secara terus menerus. Selain itu, belum adanya budidaya ikan lampam. Oleh karenanya diperlukan pengelolaan sumberdaya perikanan ikan lampam. Aspek biologi reproduksi dan studi kebiasaan makanan merupakan informasi mendasar bagi upaya pengelolaan dan pengembangan ikan tersebut. Sehingga dapat mencegah terjadinya kepunahan ikan tersebut.
Tujuan dan Manfaat Penelitian ini bertujuan mengetahui aspek reproduksi ikan lampam (B. schwanenfeldii) mencakup faktor nisbah kelamin, tingkat kematangan gonad, indeks kematangan gonad, fekunditas, diameter telur dan pola pemijahan serta mengetahui jenisjenis organisme yang menjadi makanan dan kebiasaan makan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu dasar dalam pengelolaan, baik untuk kepentingan budidaya maupun untuk perikanan tangkap yang optimal dan lestari. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di perairan Sungai Musi yang terletak di Propinsi Sumatera Selatan dengan pengambilan stasiun sebanyak 62 titik. Pengambilan ikan contoh dilakukan sebanyak 3 kali yaitu pada bulan Januari 2011, Maret 2011 dan Mei 2011. Analisis terhadap ikan contoh dilakukan di Laboratorium Biologi Ikan Fakultas Pertanian Universitas Suryakancana Cianjur. Prosedur Kerja Ikan contoh yang telah diawetkan di dalam larutan formalin 10% dibedah dengan menggunakan gunting bedah, dimulai dari anus menuju bagian atas perut di bawah garis linea lateralis dan menyusuri garis linea lateralis sampai ke bagian belakang operculum kemudian ke arah central hingga ke dasar perut. Otot dibuka sehingga organ dalam ikan dapat terlihat dan jenis kelamin dapat
Biologi Reproduksi dan Kebiasaan Makanan Ikan Lampam (Barbonymus schwanenfeldii) Di Sungai Musi, Sumatera Selatan, Budi Setiawan, S.Pi dan R. Selfi Nendris Sulistiawan, S.Pi
25
ditentukan dengan melihat morfologi gonad menggunakan metode menurut Siregar (1991) in Yustina dan Arnentis, 2002. Gonad dan saluran pencernaan dipisahkan dari organ dalam lainnya lalu diawetkan dengan larutan formalin 4%. Saluran pencernaan dikeringkan dari larutan pengawet (formalin), isi usus dipisahkan dari daging usus melalui pengerikan dan ditimbang berat makanan yang telah dikeluarkan dari saluran pencernaan, kemudian diencerkan dengan akuades sebanyak 10 ml. Analisis makanan meliputi jenis dan jumlah makanan dilakukan dengan mengambil 1 ml dari usus yang telah diencerkan diletakkan pada SRC, lalu diamati dan volume jenis-jenis organisme makanan yang ada. Pengamatan dilakukan di bawah mikroskop dengan perbesaran 10x10, menggunakan metode sensus dengan tanpa ulangan dan organisme makanan diidentifikasi. Analisis Data Hubungan Panjang-Berat Hubungan panjang dan berat menggunakan rumus Hile (1963) in Effendie (1979) yaitu sebagai berikut : W = aLb Keterangan : W
= Berat tubuh ikan (gram)
L
= Panjang tubuh ikan
tersebut. Jika didapatkan nilai b=3, berarti pertumbuhan ikan seimbang antara pertumbuhan panjang dengan pertumbuhan beratnya (isometrik). Akan tetapi, jika nilai b<3 berarti pertambahan panjangnya lebih dominan dari pada pertambahan beratnya (alometrik negatif) dan jika b>3, maka pertambahan beratnya lebih dominan dari pertambahan panjangnya (alometrik positif). Faktor Kondisi Faktor kondisi (K) berdasarkan pada panjang dan berat ikan contoh. Ikan memiliki pertumbuhan yang bersifat isometrik apabila nilai b=3, maka faktor kondisi menggunakan rumus dengan persamaan (Effendi 1979) :
K Keterangan : K(TI) = faktor kondisi W
= berat rata-rata ikan dalam satu kelas (gram)
L = panjang rata-rata ikan dalam satu kelas (mm) Ikan yang mempunyai pertumbuhan yang bersifat allometrik apabila b≠3, maka persamaan yang digunakan adalah :
K
a dan b = Konstanta Dari persamaan tersebut dapat diketahui pola pertumbuhan panjang dan berat ikan
W 10 5 L3
W aLb
Keterangan : K
= faktor kondisi
Biologi Reproduksi dan Kebiasaan Makanan Ikan Lampam (Barbonymus schwanenfeldii) Di Sungai Musi, Sumatera Selatan, Budi Setiawan, S.Pi dan R. Selfi Nendris Sulistiawan, S.Pi
26
W
= berat rata-rata ikan satu kelas (gram)
L
= panjang total rata-rata satu kelas (mm)
a dan b = konstanta dari regresi Aspek Reproduksi Nisbah Kelamin Nisbah kelamin dihitung dengan cara membandingkan jumlah ikan jantan dan ikan betina.
Rk
M F
( pi * qi ) anti log m 1,96 X * 2 * (ni 1) Keterangan : m = log panjang ikan pada kematangan gonad pertama xk = log nilai tengah kelas panjang yang terakhir ikan telah matang gonad x
= log pertambahan panjang pada nilai tengah
pi
= proporsi ikan matang gonad pada kelas panjang ke-i dengan jumlah ikan pada selang panjang ke-i
Keterangan : Rk = rasio kelamin M = jumlah ikan jantan (ekor)
ni = jumlah ikan pada kelas panjang ke-i
F = jumlah ikan betina (ekor)
qi =
Tingkat Kematangan Gonad (TKG)
M = panjang ikan pertama kali matang gonad sebesar antilog m,
Tingkat kematangan gonad ditentukan dengan menggunakan standar tingkat kematangan gonad secara morfologi dari ikan kapiek (Puntius schwanefeldi, Bleeker) modifikasi dari Siregar (1991) in Yustina dan Arnentis (2002) dan secara histology. Metode yang digunakan untuk menduga ukuran rata-rata ikan lampam pertama kali matang gonad yaitu metode Spearman-Karber (Udupa in Yulianti, 2003):
x m xk x pi 2
1 – pi
Indeks Kematangan Gonad (IKG) Nilai indeks kematangan gonad (IKG) dapat diketahui dengan menggunakan rumus menurut Effendi (1979) :
IKG
Bg 100% W
Keterangan : IKG = indeks kematangan gonad Bg
= berat gonad (gram)
W
= berat tubuh total (gram)
Biologi Reproduksi dan Kebiasaan Makanan Ikan Lampam (Barbonymus schwanenfeldii) Di Sungai Musi, Sumatera Selatan, Budi Setiawan, S.Pi dan R. Selfi Nendris Sulistiawan, S.Pi
27
Fekunditas
BW = berat individu ikan (gr)
Fekunditas dihitung dengan menggunakan metode gravimetrik dan rumus yang dipakai menurut Effendi (1979) adalah :
Indeks Bagian Terbesar (Index of Preponderance)
F
GxVxX Q
Keterangan :
Menurut Natarajan dan Jhingran (1961) in Effendie (1979), Index of Preponderance (Indeks Bagian Terbesar) merupakan gabungan dari metode frekuensi kejadian dengan metode volumetrik dengan perumusan sebagai berikut :
F = fekunditas (butir)
Ii
G = berat gonad (gram) V = volume pengenceran (ml)
Keterangan :
X = berat telur contoh (gram)
Vi
= persentase volume satu macam makanan
Oi
= persentase frekuensi keadaan satu macam makanan
Q = jumlah telur (butir) Aspek Kebiasaan Makanan Indeks Kepenuhan Lambung (Index of Stomach Content) Konsumsi pakan ikan (ISC) dapat mendeskripsikan aktivitas makanan ikan dengan mengetahui keadaan isi lambung. Indeks isi lambung bertujuan untuk mengetahui persentase konsumsi pakan ikan contoh yang dievaluasi dengan menggunakan rumus perhitungan menurut Sphatura dan Gophen, 1982 in Sulistiono, 1998 yaitu :
Ii
=
Index of Preponderance
Untuk menganalisis kebiasaan makanan pada ikan, maka urutan makanan dibedakan dalam tiga kategori berdasarkan persentase Index of Preponderance (IP), yaitu : IP > 40 %
IP < 4 %
: Makanan utama
: Makanan tambahan
Luas Relung Makanan
Keterangan :
SCW = berat isi lambung (gr)
ΣvixOi = jumlah VixOi dari semua macam makanan
4%≤ IP≤40% : Makanan pelengkap
SCW ISC(%) X 100 BW
ISC = persentase konsumsi relatif (%)
Vi Oi 100 Vi Oi
pakan
Luas relung makanan ini bertujuan untuk mengetahui tingkat selektivitas kelompok ukuran ikan antara spesies yang sejenis. Nilai tumpang tindih relung makanan
Biologi Reproduksi dan Kebiasaan Makanan Ikan Lampam (Barbonymus schwanenfeldii) Di Sungai Musi, Sumatera Selatan, Budi Setiawan, S.Pi dan R. Selfi Nendris Sulistiawan, S.Pi
28
menunjukkan adanya kesamaan jenis makanan yang dimanfaatkan oleh beberapa kelompok ikan. Perhitungan luas relung makanan dilakukan dengan menggunakan metode “Levin’s Measure” (Krebs, 1989) yaitu :
Bij
1 n
m
Pij ^2 i 1 j 1
Tumpang Tindih Relung Makanan Nilai tumpang tindih relung makanan menunjukkan adanya kesamaan jenis makanan yang dimanfaatkan oleh beberapa kelompok ikan. Perhitungan tumpang tindih relung makanan menggunakan “Simplified Morisita Index” (Horn, 1966 in Krebs, 1989), yaitu: n
Bij = luas relung kelompok ukuran ikan ke-i terhadap sumberdaya makanan ke-j Pij = proporsi dari kelompok ukuran ikan ke-i yang berhubungan dengan sumberdaya makanan ke-j n = jumlah kelompok ukuran ikan (i = 1,2,3,…….n)
Ch
BA
B 1 N 1
Keterangan :
n
m
l
i1 j1 k 1 n 2
Pij i1 j1
l
Pik
2
i1 k 1
Keterangan: Ch
= Indeks Morisita yang disederhanakan
Pij,Pik
= Proporsi jenis organisme makanan ke-i yang digunakan oleh 2 kelompok ukuran ikan ke-j dan kelompok ukuran ikan ke-k
n
= Jumlah makanan
m,l
= Jumlah kelompok ukuran ikan
m =jumlah sumberdaya makanan ikan (j = 1,2,3,……m) Standarisasi nilai luas relung makanan agar bernilai antara 0-1, menggunakan rumus yang dikemukakan Hulbert (1978) in Krebs (1989) yaitu
m
2 PijPik
Keterangan :
organisme
Indeks ini digunakan untuk menghitung kesamaan makanan antara ikan jantan dan betina serta antar kelompok ukuran ikan.
BA = Standarisasi luas relung Levin’s (kisaran 0-1) B
=
luas relung Levin’s
N
=
jumlah seluruh sumberdaya yang dimanfaatkan
Biologi Reproduksi dan Kebiasaan Makanan Ikan Lampam (Barbonymus schwanenfeldii) Di Sungai Musi, Sumatera Selatan, Budi Setiawan, S.Pi dan R. Selfi Nendris Sulistiawan, S.Pi
29
Hubungan Panjang–Berat Ikan Lampam (B. schwanenfeldii) Dari hasil regresi hubungan panjang dan berat ikan lampam jantan dan betina, masing-masing diperoleh nilai b sebesar 3,263 dan 3,225 (Gambar 1). Hal ini menunjukkan bahwa nilai b yang diperoleh lebih besar dari 3, sehingga dapat diduga pola pertumbuhan ikan lampam bersifat alometrik positif. Artinya pertumbuhan bobot tubuh ikan lampam lebih dominan dibandingkan dengan pertumbuhan panjang tubuh atau ikan dalam kondisi gemuk.
pertumbuhannya. Berdasarkan tingkat kematangan gonad, nilai faktor kondisi ikan lampam semakin meningkat dengan meningkatnya TKG. Menurut Effendie, 1997 peningkatan nilai faktor kondisi ikan terjadi pada saat ikan mengisi gonadnya dengan sel kelamin dan akan mencapai puncaknya sebelum terjadi pemijahan.
Jantan 1,4
1,2
1,0
0,8
Faktor Kondisi
HASIL DAN PEMBAHASAN
0,6 I
II
III
IV
Betina 1,4
1,2
1,0
0,8
0,6 I
II
III
IV
V
TKG
Gambar 2. Faktor kondisi ikan lampam (B. schwanenfeldii) jantan dan betina berdasarkan TKG
Aspek Reproduksi
Gambar 1. Grafik hubungan panjang dengan berat ikan lampam (B. schwanenfeldii) jantan dan betina
Aspek reproduksi yang dianalisis meliputi nisbah kelamin, tingkat kematangan gonad, indeks kematangan gonad, fekunditas dan diameter telur.
Faktor Kondisi
Nisbah Kelamin
Berdasarkan hubungan panjang dan berat tubuh ikan lampam, maka dapat ditentukan faktor kondisi ikan tersebut sesuai dengan pola
Ikan lampam yang diperoleh selama penelitian berjumlah 425 ekor, terdiri atas 187 ikan betina dan 238 ikan jantan dengan nisbah kelamin
Biologi Reproduksi dan Kebiasaan Makanan Ikan Lampam (Barbonymus schwanenfeldii) Di Sungai Musi, Sumatera Selatan, Budi Setiawan, S.Pi dan R. Selfi Nendris Sulistiawan, S.Pi
30
1:1,27 atau 44% ikan betina dan 56% ikan jantan. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Pengamatan gonad secara makroskopis dapat dibedakan dengan jelas antara jantan dan betina. Pada ikan jantan dipakai tanda-tanda seperti bentuk testes, besar kecilnya testes, dan warna testes. Sedangkan pada ikan betina didasarkan pada bentuk ovarium, halus tidaknya permukaan ovarium serta ukuran telur di dalam ovarium (Effendi, 1979). Karakteristik makroskopis gonad ikan lampam jantan dan betina (B. schwanenfeldii) dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4. .
gonad lebih besar lagi dibandingkan tahap dua dan telah mengisi 1/3 dari rongga perut serta memiliki warna putih susu. Tahap keempat ukuran gonad lebih besar, telah mengisi 1/2 dari rongga perut dan gonad hasil awetan ini mudah rusak atau rapuh. Sedangkan tahap setelah ikan lampam memijah tidak ditemukan sampel sehingga tidak dideskripsikan. TKG I
TKG II
TKG III
TKG IV
TKG II
TKG I
TKG V
TKG III
TKG IV
Gambar
Gambar. 3. Gonad schwanenfeldii) jantan
ikan
lampam
(B.
Perkembangan gonad ikan lampam jantan dari hasil pengamatan secara makroskopis diperoleh tingkat kematangan gonad I, II, III, dan IV. Pada tahap perkembangan pertama, gonad ikan lampam berbentuk seperti lembaran benang dengan panjang kurang lebih setengah dari rongga perut. Ukuran gonad bertambah besar pada tahap kedua dengan warna gonad agak putih dan gonad dilapisi oleh lemak. Pada tahap ketiga ukuran
4.
Gonad ikan lampam schwanenfeldii) betina
(B.
Pada gonad ikan lampam betina ditemukan lengkap dari fase sebelum menijah, sedang memijah, dan setelah memijah. Pada tahap pertama bentuk dan ukuran gonad seperti sepasang benang dan lebih panjang ukurannya ketika didalam rongga perut dibandingkan jantan. Gonad mulai membesar pada tahap kedua dengan warna kekuning-kuningan dan telur masih belum terlihat oleh mata. Pada tahap ketiga butir telur sudah terlihat jelas dengan warna kuning dan memiliki ukuran gonad yang lebih besar dibandingkan tahap kedua serta gonad telah mengisi 1/2 dari rongga
Biologi Reproduksi dan Kebiasaan Makanan Ikan Lampam (Barbonymus schwanenfeldii) Di Sungai Musi, Sumatera Selatan, Budi Setiawan, S.Pi dan R. Selfi Nendris Sulistiawan, S.Pi
31
perut dan dmemiliki selaput tipis yang membungkus gonad. Ukuran gonad semakin membesar pada tahap empat, dimana gonad berwarna kuning tua dan butir-butir telur lebih banyak dan lebih besar serta telur siap dipijahkan. Pada tahap kelima yaitu tahap setelah ikan lampam memijah dimana kondisi gonad sudah kempis dan terdapat sedikit sisa-sisa telur. Berdasarkan kelompok ukuran panjang, ikan lampam baik jantan maupun betina di Sungai Musi diduga ukuran pertama kali matang gonad pada kelompok ukuran 97–119 mm, karena ikan lampam jantan yang telah matang gonad ditemukan pada kelas ukuran 97–119 mm (1 ekor dengan TKG III) begitu juga dengan ikan betina (3 ekor dengan TKG III). Berdasarkan metode Spearmar–Karber ukuran pertama kali ikan lampam jantan matang gonad adalah 182 mm dan ikan betina 156 mm (Lampiran 10). Menurut penelitian Ariyanto (1993) di Danau Mudung, Jambi ikan lampam pertama kali matang gonad pada ukuran 139 mm. Ukuran pertama kali matang gonad berbeda untuk setiap spesies ikan, bahkan pada spesies yang sama dengan habitat yang berbeda (posisi lintang dan bujurnya) dapat matang gonad pada ukuran berbeda (Effendie, 1997). Menurut Lagler (1977) perbedaan ukuran pertama kali ikan matang gonad dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam meliputi perbedaan spesies, umur, ukuran, serta fungsi fisiologis individu. Sedangkan faktor luar terdiri dari suhu, arus dan adanya organisme yang berbeda jenis kelamin di tempat berpijah yang sama.
Gambar 5. Tingkat kematangan gonad ikan lampam (B. schwanenfeldii) jantan dan betina berdasarkan selang panjang
Indeks Kematangan Gonad (IKG) Berdasarkan nilai rata-rata indeks kematangan gonad ikan lampam terlihat bahwa semakin tinggi tingkat kematangan gonad maka nilai IKG akan meningkat pula. Nilai indeks kematangan gonad rata-rata ikan lampam betina lebih besar dibandingkan dengan ikan jantan, hal ini diduga karena ikan betina lebih memacu pertumbuhan pada perkembangan gonad akibatnya berat gonad ikan betina lebih besar dibandingkan dengan berat gonad ikan jantan.
Biologi Reproduksi dan Kebiasaan Makanan Ikan Lampam (Barbonymus schwanenfeldii) Di Sungai Musi, Sumatera Selatan, Budi Setiawan, S.Pi dan R. Selfi Nendris Sulistiawan, S.Pi
32
terdapat hubungan yang kurang erat antara fekunditas dengan panjang tubuh.
Jantan 10
8
6
4
2
0
IKG (%)
-2 II
III
IV
Betina 10
8
6
4
2
0
-2 II
III
IV
V
TKG
Gambar 6. Indeks kematangan gonad rata-rata ikan lampam (B. schwanenfeldii) jantan dan betina
Fekunditas Fekunditas ikan lampam diperoleh dari gonad TKG III (5 gonad) dan IV (5 gonad). Jumlah telur yang diperoleh dari hasil pengamatan berkisar antara 1.393–7.825 butir telur (Lampiran 12). Rata-rata fekunditas per ekor ikan lampam sebesar 5.096 butir telur. Jumlah telur minimum ikan lampam ditemui pada TKG III sebanyak 1.393 butir telur dengan panjang tubuh 105 mm. Sedangkan jumlah telur maksimum ditemukan pada TKG IV sebanyak 7.825 butir telur dengan panjang total 228 mm. Berdasarkan hasil regresi fekunditas dengan panjang tubuh diperoleh koefisien determinasi sebesar 0,123, menunjukan bahwa hanya 10,55% dari keragaman nilai fekunditas ikan lampam dapat dijelaskan oleh panjang tubuh total. Dan didapat nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0,350, nilai tersebut termasuk rendah, sehingga dapat disimpulkan bahwa
Gambar 7. Hubungan fekunditas TKG III dan IV dengan panjang total ikan lampam (B. schwanenfeldii)
Diameter Telur Sebaran diameter telur diamati pada ikan betina TKG III dan IV masing-masing adalah 500 butir. Sebaran diameter telur ikan lampam yang diamati bervariasi antara 0,3–0,68 mm, setelah dibuat selang kelas diperoleh sejumlah 11 kelas. Ikan berTKG III yang diamati berjumlah 5 ekor dengan diameter berkisar 0,3–0,61 mm, diameter telur TKG IV yang diamati dari 5 ekor ikan berkisar antara 0,3–0,68 mm. Pola pemijahan ikan lampam berdasarkan sebaran diameter telur diduga adalah total spawner (Gambar 8). Artinya pemijahan ikan lampam dilakukan dengan mengeluarkan telur masak dalam ovarium secara keseluruhan pada satu waktu pemijahan (siklus reproduksi) dan akan melakukan pemijahan kembali pada musim pemijahan berikutnya. Hal ini terlihat dari sebaran diameter telur TKG III dan IV membentuk satu puncak (seragam).
Biologi Reproduksi dan Kebiasaan Makanan Ikan Lampam (Barbonymus schwanenfeldii) Di Sungai Musi, Sumatera Selatan, Budi Setiawan, S.Pi dan R. Selfi Nendris Sulistiawan, S.Pi
33
TKG III 140 120 100 80 60 40 20
TKG IV 140 120 100 80 60 40 20 0 0. 30. 33 0. 4 33 50. 36 9 0. 37 -0 .4 0. 04 40 50. 43 0. 9 44 -0 .4 0. 74 47 50. 50 9 0. 51 -0 . 5 0. 44 54 50. 57 9 0. 58 -0 .6 0. 14 61 50. 64 0. 9 65 -0 .6 84
Frekuensi
0
Kelas ukuran (mm)
Gambar 8. Sebaran diameter telur ikan lampam (B. Schwanenfeldii)
Aspek Kebiasaan Makanan Kebiasaan makan ikan lampam dianalisis dari bagian usus yang membesar sampai pangkal anus. Analisis dilakukan pada 425 usus ikan dengan hasil 285 usus berisi dan 140 usus kosong. Kebiasaan makan yang dianalisis meliputi komposisi dan jenis organisme makanan, indeks kepenuhan lambung dan relung makanan. Indeks Kepenuhan Lambung (Index of Stomach Content) Indeks Kepenuhan lambung merupakan indikasi untuk mengetahui tingkat konsumsi pakan relatif ikan. Jumlah usus ikan yang teramati 285 usus berisi dan 140 usus kosong. Tingkat kepenuhan lambung ikan lampam, baik jantan maupun betina memperlihatkan sebagian besar lambungnya terisi oleh makanan di setiap bulan pengamatan. Komposisi Jenis dan Makanan Ikan Lampam (B. schwanenfeldii) Berdasarkan Jenis Kelamin
Berdasarkan nilai indeks bagian terbesar (index of prponderance) dari jumlah ikan yang tertangkap dengan usus ikan lampam yang berisi sejumlah 285 dan usus kosong 140 ditentukan makanan utama, makanan pelengkap, dan makanan tambahan. Kelompok makanan yang ditemukan dari saluran pencernaan ikan lampam jantan tidak banyak berbeda dengan ikan betina. Kelompok makanan tersebut terdiri dari detritus, cacing, tumbuhan air, chlorophyceae, diatom, Cyanophyceae, desmidiaceae, insecta, crustacea, protozoa, rotifera, dan tak teridentifikasi (Gambar 9) Proporsi IP terbesar pada ikan jantan dan betina ditempati oleh detritus (47% dan 53%). Sehingga diduga detritus merupakan makanan utama (IP ≥ 40%) bagi ikan lampam di Sungai Musi. Untuk chlorophyceae (20%), cacing (10%), tumbuhan air (9%), insecta (7%), dan diatom (4%) ditemukan dalam jumlah yang lebih sedikit dan diduga sebagai makanan pelengkap (4%≤IP≤40%) ikan lampam jantan. Sedangkan makanan pelengkap ikan betina terdiri dari chlorophyceae (15%), cacing (13%), tumbuhan air (8%), dan diatom (5%). Makanan yang ditemukan dalam jumlah sangat sedikit dan diduga sebagai makanan tambahan (IP<4%) ikan lampam jantan adalah cyanophyceae (1%), rotifera (1%), crustacea (1%), protozoa (0,023%), desmidiaceae (0001%), dan tak teridentifikasi (1%). Pada ikan betina insecta (7%), cyanophyceae (1%), crustacea (1%), desmidiaceae (0.001%), protozoa (0,023%), dan tak teridentifikasi (1%).
Biologi Reproduksi dan Kebiasaan Makanan Ikan Lampam (Barbonymus schwanenfeldii) Di Sungai Musi, Sumatera Selatan, Budi Setiawan, S.Pi dan R. Selfi Nendris Sulistiawan, S.Pi
34
Kesamaan memanfaatkan organisme makanan antara jantan dan betina diduga karena ikan memiliki kesukaan jenis makanan yang sama dan habitat yang sama serta adanya ketersediaan makanan yang sama di perairan tersebut.
Dari Tabel 1, terlihat bahwa niai luas relung ikan lampam jantan berdasarkan kelompok ukuran panjang berkisar antara 1,7318–3,9544. Nilai luas relung terbesar terdapat pada kelas ukuran 74–96 mm dan luas relung terkecil terdapat pada kelas ukuran 189–211 mm. Sedangkan kisaran pada ikan lampam betina adalah 1,8047– 4,4029 mm dengan nilai luas relung terbesar terdapat pada kelas ukuran 74–96 mm dan terkecil pada kelas ukuran 212–234 mm.
Kelompok ikan dengan luas relung makanan terbesar memiliki jenis makanan yang lebih beragam Chl = Chlorophyceae Dtm = Diatom Cyn = Cyanophyceae Des = Desmidiaceae dibandingkan dengan kelompok yang memiliki luas relung terkecil. Rtf = Rotifera Ptz = Protozoa Ccg = Cacing Crs = Crustacea Dts = Detritus Ins = Insecta Ttd = Tak teridentifikasi Ta = Tumbuhan air Ikan lampam jantan berdasarkan kelas ukuran panjang makin meningkat Gambar 9. Spektrum jenis dan nilai IP (%) organisme makanan ikan lampam dan turun kembali, begitu pula pada (B. schwanenfeldii) jantan dan betina ikan betina. Hal ini menyatakan bahwa ikan lampam pada ukuran kecil Luas Relung Makanan Ikan makanannya kurang beragam dan Lampam (B. schwanenfeldii) semakin beragam menuju dewasa lalu Berdasarkan Selang Kelas Ukuran setelah itu kurang beragam lagi. Panjang Tabel 1. Luas relung makanan ikan lampam (B. schwanenfeldii) berdasarkan selang kelas ukuran panjang
Terjadinya perubahan diduga karena adanya perbedaan ukuran panjang ikan dan pada tahap menuju dewasa ikan diduga cenderung lebih dinamis dalam mencoba berbagai jenis makanan yang tersedia di alam. Ikan dengan luas relung terkecil diduga telah selektif dalam memilih makanan. Hal ini berkaitan dengan ketersediaan makanan di perairan dan kemampuan ikan dalam memanfaatkan makanan yang tersedia. Dari Tabel 1 dapat dikatakan bahwa kecenderungan semakin besar ukuran ikan maka akan semakin lebih selektif dalam memilih makanannya.
Biologi Reproduksi dan Kebiasaan Makanan Ikan Lampam (Barbonymus schwanenfeldii) Di Sungai Musi, Sumatera Selatan, Budi Setiawan, S.Pi dan R. Selfi Nendris Sulistiawan, S.Pi
35
Tumpang Tindih Relung Makanan Ikan Lampam (B. schwanenfeldii) Kesamaan jenis makanan yang dikonsumsi ikan pada berbagai kelompok ukuran memungkinkan terjadinya tumpang tindih relung makanan. Pada ikan lampam jantan nilai tumpang tindih relung makanan tertinggi adalah pada selang kelas ukuran panjang 120-142 mm dengan 143-165 mm sebesar 0,951 (Tabel 2). Besarnya nilai tumpang tindih relung makanan menunjukkan bahwa terjadi persaingan atau peluang kompetisi yang sangat tinggi antar kelas ukuran tersebut dalam mendapatkan makanan. Hal ini diduga karena ikan pada kelas ukuran tersebut menyukai makanan yang sama. Sedangkan nilai tumpang tindih terkecil terdapat pada selang ukuran 51-73 mm dengan 189– 211 mm. Kecilnya nilai tumpang tindih yang terjadi disebabkan karena adanya perbedaan makanan utama pada kelompok ukuran tersebut sehingga akan mengurangi persaingan antar kelompok ukuran dalam memanfaatkan sumberdaya makanan yang ada.
Pada ikan lampam betina nilai tumpang tindih relung makanan tertinggi adalah pada selang kelas ukuran panjang 143-165 mm dengan 166–188 mm sebesar 0,989 (Tabel 3), sehingga terjadinya persaingan atau peluang kompetisi yang sangat tinggi antar kelas ukuran tersebut dalam mendapatkan makanan. Hal ini diduga karena ikan pada kelas ukuran tersebut menyukai makanan yang sama. Sedangkan nilai tumpang tindih terkecil terdapat pada selang ukuran 51-73 mm dengan 189–211 mm. Kecilnya nilai tumpang tindih yang terjadi disebabkan karena adanya perbedaan makanan utama pada kelompok ukuran tersebut sehingga akan mengurangi persaingan antar kelompok ukuran dalam memanfaatkan sumberdaya makanan yang ada. Tabel 3. Tumpang tindih relung makanan ikan lampam (B. schwanenfeldii) betina setiap selang kelas ukuran panjang
Tabel 2. Tumpang tindih relung makanan ikan lampam (B. schwanenfeldii) jantan setiap selang kelas ukuran panjang
Pengelolaan Pengelolaan sumber daya hayati ikan diarahkan pada upaya-upaya yang menjamin kelestarian stok ikan di alam. Aspek reproduksi dan kebiasaan makanan ikan sangat berkaitan dengan Biologi Reproduksi dan Kebiasaan Makanan Ikan Lampam (Barbonymus schwanenfeldii) Di Sungai Musi, Sumatera Selatan, Budi Setiawan, S.Pi dan R. Selfi Nendris Sulistiawan, S.Pi
36
ketersediaan stok ikan. Ikan lampam memiliki potensi yang tinggi dalam bidang perikanan. Ikan ini memiliki pola pertumbuhan alometrik positif dengan pertumbuhan berat lebih dominan dan dari faktor kondisi ikan lampam merupakan ikan yang memiliki tubuh montok sehingga memiliki kualitas daging yang cukup baik. Pola pemijahan yang bersifat total spawner akan memungkinkan ikan lampam mencapai siklus reproduksi berikutnya dalam waktu dekat. Sehingga dapat memberikan ketersediaan individu baru yang lebih banyak. Ikan lampam memiliki jenis makanan alami yang beragam dan nilai luas relung makanan yang cukup besar sehingga ikan ini hidupnya lebih survival. Pengelolaan terhadap sumberdaya ikan lampam (B. schwanenfeldii) yang ada di Sungai Musi perlu dilakukan mengingat faktorfaktor di atas dan banyaknya ikan yang ditangkap untuk dijual sebagai ikan hias, ikan konsumsi ataupun untuk hobi serta belum adanya budidaya terhadap ikan tersebut. Beberapa usaha yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut : Pengaturan Waktu Penangkapan dan Alat Tangkap yang Digunakan Upaya pengelolaan dapat berupa pengawasan terhadap cara-cara penangkapan yang didasarkan pada pembatasan waktu dan pembatasan alat tangkap yang digunakan. Pembatasan waktu menyangkut pelarangan penangkapan pada musim penghujan (saat ikan memijah). Pembatasan alat tangkap menyangkut pembatasan ukuran mata jaring terutama jaring
dengan ukuran mata jaring kecil. Ikan lampam di Sungai Musi ditangkap dengan menggunakan alat tangkap jala dan jaring dengan ukuran mata jaring 0,5 inci, 1 inci, 1,5 inci, dan 2 inci. Ikan lampam ukuran pertama kali mulai matang gonad pada ukuran 97– 115 mm, dengan demikian ikan yang sedang matang gonad ikut tertangkap apabila menggunakan alat tangkap dengan ukuran mata jaring tersebut. Usaha pengelolaan yang dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah menggunakan alat tangkap yang dapat meloloskan ikan-ikan yang masih kecil/belum layak ditangkap atau dalam keadaan matang gonad. Alat tangkap yang digunakan oleh masyarakat sekitar sangat beragam mulai dari tombak, pancing, bubu, jala, gillnet sampai ada juga yang menggunakan racun dan electrofishing (strum). Domestikasi Ikan Lampam (B. Schwanenfeldii) Ikan lampam merupakan salah satu ikan Sungai Musi yang belum banyak dilakukan upaya budidaya, sehingga perlu dilakukan domestikasi terlebih dahulu. Domestikasi merupakan suatu upaya untuk menjinakan ikan liar agar dapat tumbuh dan berkembang dalam kondisi terkontrol sesuai dengan tujuannya. Proses domestikasi dapat dimulai dari pemeliharaan ikan lampam ukuran kecil atau besar yang ditangkap dari alam edalam wadah budidaya. Ikan dipelihara dengan baik agar dapat bertelur dan dipijahkan sehingga berkembang biak. Penerapan Budidaya
Kegiatan
Biologi Reproduksi dan Kebiasaan Makanan Ikan Lampam (Barbonymus schwanenfeldii) Di Sungai Musi, Sumatera Selatan, Budi Setiawan, S.Pi dan R. Selfi Nendris Sulistiawan, S.Pi
untuk
37
Melalui pembudidayaan ikan diharapkan dapat meningkatkan populasi dan produksi lebih cepat dicapai serta keberadaan sumberdaya perikanan akan tetap lestari. Dalam proses pembudidayaan, hal utama yang perlu diketahui adalah jenis makanan yang dikonsumsinya. Dari hasil analisis kebiasaan makanan ikan lampam diketahui ikan ini merupakan spesies omivora yang mengkonsumsi beragam jenis makanan. Makanan alami ikan lampam dapat berupa detritus, cacing, tanaman air, crustacea, insecta, chlorophyceae, diatom, desmidiaceae, dan cyanophyceae. Beranekaragamnya jenis makanan yang dikonsumsi oleh ikan lampam sehingga memudahkan dalam proses budidaya. Selain itu dengan mengetahui aspek reproduksi ikan tersebut maka akan dapat diketahui waktu ikan tersebut bisa untuk dipijahkan. Untuk itu budidaya dapat dijadikan sebagai salah satu cara dalam pengelolaan ikan lampam untuk mempertahankan kelestariannya KESIMPULAN Nisbah kelamin ikan lampam berada dalam kondisi seimbang pada saat penelitian. Ukuran pertama kali ikan lampam jantan matang gonad adalah 182 mm dan ikan betina 156 mm. Nilai indeks kematangan gonad rata-rata ikan lampam betina lebih besar dibandingkan dengan ikan jantan. Fekunditas ikan lampam berkisar antara 1393–7825 butir telur dan diduga pola pemijahannya bersifat total spawner.
organisme. Makanan utamanya berupa detritus sedangkan chlorophyceae, cacing, tananman air, insecta dan diatom sebagai makanan pelengkap dan cyanophyceae, crustacea, protozoa, rotifera, desmidiaceae dan tak teridentifikasi adalah sebagai makanan tambahan. Ikan lampam lebih aktif mencari makan pada bulan Januari. Interpesies ikan lampam memiliki kesamaan makanan, sehingga terjadi persaingan dalam memanfaatkan sumberdaya makanan yang ada. DAFTAR PUSTAKA Affandi, R, D. S. Sjafei, M.F. Rahardjo, dan Sulistiono. 2005. Fisiologi Ikan (Pencernaan dan Penyerapan makanan). IPB. Bogor. 215 hal.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Konisius. Yogyakarta. 258 hal.
Effendie, M. I. 1979. Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. Yogyakarta. 112 hal.
Effendie, M. I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta. 163 hal.
Gafar, A. K. dan A. D. Utomo. Edisi Juli 2006. Ikan Lampam (Barbodes schwanefeldi) Balai Riset Perikanan Perairan Umum.
Makanan ikan lampam di Sungai Musi terdiri dari 12 kelompok Biologi Reproduksi dan Kebiasaan Makanan Ikan Lampam (Barbonymus schwanenfeldii) Di Sungai Musi, Sumatera Selatan, Budi Setiawan, S.Pi dan R. Selfi Nendris Sulistiawan, S.Pi
38
Kottelat, M, A. J. Whitten, S. N. Kartika, dan S. Wirjoatmodjo. 1993. FreshwaterFishes of Western Indonesia and Sulawesi (Ikan Air Tawar Indonesia Bagian Barat dan Sulawesi). Periplus Edition (HK) Ltd. Jakarta. 293 hal.
Krebs, C.J. 1989. Ecological Methodology. Harper and Row Publisher. New York. 625 p.
Needham, J.G. dan Paul R. 1962. A guide to The Study of Fresh Water Biology. Holden. Day. Inc. San Fransisco. 65p.
Nikolsky, G. V. 1963. The Ecology of Fishes. Academic Press (translated from the Russian by L. Birkett). London and New York. 352 p.
Royce, W. F. 1972. Introduction to the Fishery Sciences. Academic Press. Inc. New York. 315 hal.
Saanin, H. 1968. Taksonomi dan Kunci Identifikasi. Jilid I. Penerbit Binatjipta. Bandung. 256p.
Walpole, R.E. 1995. Pengantar Statistika edisi Ke-3 alih Bahasa oleh Sumantri, B. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 515 hal.
Yustina dan Arnentis. 2002. Aspek Reproduksi Ikan Kapiek (Puntius schwanefeldi Bleeker) di Sungai Rangau–Riau, Sumatera. www.fmipa.itb.ac.id. 13 Februari 2007.
Biologi Reproduksi dan Kebiasaan Makanan Ikan Lampam (Barbonymus schwanenfeldii) Di Sungai Musi, Sumatera Selatan, Budi Setiawan, S.Pi dan R. Selfi Nendris Sulistiawan, S.Pi
39
APLIKASI MODEL BIOEKONOMI GORDON-SCHAEFER UNTUK ANALISIS KELAYAKAN EKONOMI PERIKANAN JARING MILENIUM (DRIFT-GILLNET) DI KABUPATEN INDRAMAYU JAWA BARAT Mohamad Erwin Wiguna1 Rufina Agustin Yuarsa2
RINGKASAN PEnelitian ini mengkaji tingkat kelayakan ekonomi perikanan jaring milenium (drift-gillnet) di kabupaten Indramayu selama tahun 2004-2008 ditinjau dari analisis penangkapan dan ekonomi. Penelitian ini bertujuan untuk 1) menentukan tingkat pertumbuhan sumberdaya ikan yang menjadi target penangkapan jaring milenium di Indramayu; 2) mengestimasi potensi lestari pada tingkat MSY (Maximum Sustainable Yield); 3) mengestimasi keuntungan maksimum pada tingkat MEY (Maximum Economic Yield) sumberdaya perikanan yang menjadi target penangkapan jaring milenium di perairan kabupaten Indramayu dan sekitarnya. Data variabel dianalisis dengan menggunakan model bioekonomi Gordon-Schaefer. Dengan pendekatan analisis penangkapan, tingkat pemanfaatan pada kondisi rata-rata aktual hampir melewati titik maksimum lestari atau MSY. Pada kondisi aktual, tingkat produksi mencapai 4.159,56 ton/tahun dan upaya sebesar 10.795,60 trip/tahun, sedangkan kondisi MSY diperoleh pada produksi sebesar 4.173,08 ton/tahun dengan tingkat upaya sebesar 2.367 trip/tahun. Artinya hanya ada peluang pemanfaatan sebesar 13,52 ton/tahun atau 0,03 % dari potensi lestari sementara upaya telah berlebih sebesar 8.428,6 trip/tahun. Dengan pendekatan analisis ekonomi, diperoleh hasil bahwa tingkat produksi dan upaya pada kondisi rata-rata aktual telah melewati titik optimum MEY. Pada kondisi MEY diperoleh pada produksi sebesar 2.225,57 ton/tahun dengan tingkat upaya sebesar 750 trip/tahun. Artinya tingkat produksi sudah tereksploitasi sebesar 1.933,99 ton/tahun dan upaya yang lebih sebesar 10.045,60 trip/tahun. Rente ekonomi yang diperoleh pada kondisi optimum MEY sebesar Rp. 36.710.496 per tahun, sedangkan pada kondisi aktual sebesar Rp. 36.115,83 juta/tahun. Kondisi ekonomi perikanan jaring milenium di kabupaten Indramayu sudah tidak efisien, terlihat pada kondisi aktual yang telah melampaui kondisi optimum dan keadaan keseimbangan open access yang berada pada kondisi sebelum MSY. Oleh karena itu rente ekonomi maksimum terjadi pada kondisi MEY, sedangkan pada kondisi aktual keseimbangan ekonomi dicapai pada keadaan dimana marginal penerimaan (MR) adalah sama dengan marginal biaya (MC). Kata kunci: Bioekonomi, jaring milenium (drift-gillnet), MSY, MEY, open access, kabupaten Indramayu.
ABSTRACT This research studies level of economic feasibility of jaring milenium (drift-gillnet) fishery in Indramayu regency from 2004 to 2008 evaluated from fishing and economic analysis. The objectives 1
Mohamad Erwin Wiguna, S.Pi, M.M, dosen dan Kepala Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Pertanian, Universitas Suryakancana. 2 Rufina Agustin Yuarsa, S.Pi, alumni Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Pertanian, Universitas Suryakancana Aplikasi Model Bioekonomi Gordon-Schaefer Untuk Analisis Kelayakan Ekonomi Perikanan Jaring Milenium (Drift-Gillnet) di Kabupaten Indramayu Jawa Barat, Mohamad Erwin Wiguna . S.Pi.,MM dan Rufina Agustin Yuarsa,S.Pi
40
of the research are 1) to determine the growth rate of jaring milenium fishery resources; 2) to estimate the potency of fishery resources at MSY (Maximum Sustainable Yield) level; 3) to estimate the maximum economic rent of fishery resources at MEY (Maximum Economic Yield) level around Indramayu regency waters which becoming fishing target of jaring milenium in Indramayu regency. The methodology of the research is survey method and secondary data. Research variable were analyzed by using Gordon-Schaefer’s bioeconomic model. With approach of fishing analysis, exploiting at condition of actual average almost passed point of MSY level. At actual condition, production rate reached 4.159,56 tons/year and effort 10.795,0 trips/year, while condition of MSY obtained at production 4.173,08 tons/year with level of effort 2.367 trips/year. It means there is only exploiting opportunity 13,52 tons/year or 0,03 % of sustainable level, while effort has excessived over 8.428,6 trips/year. With approach of economic analysis, production rate and efforts at condition of actual average has passed point of optimum MEY. Condition of MEY obtained at production 2.225,57 tons/year with level of effort 750 trips/year. It means that production rate have been exploited 1.933,99 tons/year and effort which more 10.045,60 trips/year. The economic rent obtained at optimum condition of MEY is Rp. 36.710.496 per year, while the economic rent at actual condition is Rp. 36.115,83 millions/year. Economic condition of jaring milenium fishery in Indramayu regency have been inefficient where the actual condition has passed the optimum condition, seen in the situation of equilibrium of open access was positioned before MSY point. Therefore the maximum economic rent will be reach at condition of MEY, while at actual condition the economic equilibrium reached when marginal revenue (MR) be equal to marginal cost (MC). Keywords:
Bioeconomic, jaring milenium (drift-gillnet), MSY, MEY, open access, Indramayu regency.
PENDAHULUAN Kabupaten Indramayu merupakan salah satu daerah di Jawa Barat yang memiliki potensi perikanan. Secara geografis, kabupaten Indramayu terletak pada 6º15’-6040’ Lintang Selatan dan 107º52’-108036’ Bujur Timur serta memiliki luas wilayah 2.040.110 km2 yang memanjang dari timur ke barat dengan panjang garis pantai 114,1 km. Kabupaten ini terletak di pesisir utara pulau Jawa, yakni pada lokasi strategis yang menjadi simpul pergerakan transportasi antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Dari data statistik perikanan kabupaten Indramayu selama tahun 2006-2007, diperoleh data rata-rata produksi ikan yang didaratkan di TPI
Karangsong Indramayu adalah 80.685 ton dengan nilai produksi Rp. 973.689.900.200. per tahun. Pemanfaatan ikan di daerah ini dilakukan dengan berbagai alat tangkap, salah satunya adalah jaring insang hanyut (drift-gillnet)yang lebih dikenal dengan istilah “jaring milenium” dan umumnya bersifat skala rakyat (Dinas Kelautan dan Perikanan Indramayu 2007). Penelitian yang dilakukan untuk mengkaji pemanfaatan dan potensi perikanan jaring milenium secara biologi dan ekonomi di kabupaten Indramayu masih minim. Oleh karena itu, diperlukan penelitian pemanfaatan potensi perikanan di Indramayu secara menyeluruh untuk mengkaji apakah usaha yang dijalankan masih meng-
Aplikasi Model Bioekonomi Gordon-Schaefer Untuk Analisis Kelayakan Ekonomi Perikanan Jaring Milenium (Drift-Gillnet) di Kabupaten Indramayu Jawa Barat, Mohamad Erwin Wiguna . S.Pi.,MM dan Rufina Agustin Yuarsa,S.Pi
41
hasilkan keuntungan secara ekonomi bagi nelayan dan berkelanjutan (sustainable) bagi sumberdaya perikanan? ataukah diperlukan pengaturan kembali mengenai pengelolaan usaha penangkapan tersebut. Penelitian tentang “aplikasi model bioekonomi Gordon-Schaefer untuk kelayakan ekonomi perikanan jaring milenium”ini bertujuan untuk: 1) Menentukan tingkat “pertumbuhan populasi ikan yang menjadi target tangkapan jaring milenium di perairan Indramayu” dengan menggunakan koefisien daya dukung lingkungan (K) dan laju pertumbuhan intrinsik (). 2) Menentukan tingkat “Maximum Suistainable Yield (MSY) sumberdaya ikan yang menjadi target penangkapan jaring milenium di kabupaten Indramayu” dengan menggunakan koefisien daya dukung lingkungan (K), laju pertumbuhan intrinsik () dan koefisien kemampuan tangkap (q). 3) Menentukan tingkat “Maximum Economic Yield (MEY)perikanan jaring milenium di kabupaten Indramayu” dengan menggunakan
data biaya operasional (c) dan data harga jual ikan hasil tangkapan (p). 4) Menentukan tingkat kelayakan ekonomi jaring milenium dengan menggunakan data biaya total (TC), pendapatan total (TR) dan keuntungan (π) dari aktivitas penangkapan yang dilakukan oleh nelayan jaring milenium di kabupaten Indramayu. Alur pemikiran penelitian ini disajikan pada Gambar 1. METODE PENELITIAN Penelitian ”analisis kelayakan ekonomi jaring milenium (drift-gillnet)” dilaksanakan di Desa Karangsong Kecamatan Indramayu Kabupaten Indramayu. Penelitian ini dilakukan selama enam bulan, pengambilan data dilakukan selama satu bulan pada Januari 2009 dengan pusat kegiatan di TPI Karangsong dan KPL (Koperasi Perikanan Laut) Mina Sumitra kabupaten Indramayu. Jenis penelitian ini adalah deskriptif. Keterlibatan peneliti hanya mempelajari kejadian sebagaimana adanya. Variebel penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1.Kerangka konseptual
Gambar 1. Kerangka pemikiran analisis kelayakan ekonomi perikanan jaring milenium (drift-gillnet)di kabupaten Indramayu. Aplikasi Model Bioekonomi Gordon-Schaefer Untuk Analisis Kelayakan Ekonomi Perikanan Jaring Milenium (Drift-Gillnet) di Kabupaten Indramayu Jawa Barat, Mohamad Erwin Wiguna . S.Pi.,MM dan Rufina Agustin Yuarsa,S.Pi
42
dapat dilihat pada Gambar 2. Parameter penangkapan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: koefisien kemampuan tangkap (q), daya dukung lingkungan (K)dan laju pertumbuhan intrinsik(). Model biologi yang digunakan adalah model pertumbuhan logistik, berdasarkan Schaefer (1957). Selain model pertumbuhan logistik, digunakan juga fungsi pertumbuhan bentuk eksponensial atau dikenal dengan istilah model pertumbuhan Gompertz. Fungsi pertumbuhan eksponensial ini merupakan basis model yang digunakan oleh Clark, Yoshimoto dan Pooley (CYP, 1992). Kelayakan ekonomi perikanan jaring milenium di kabupaten Indramayu dianalisis menggunakan model bioekonomi Gordon-Schaefer (1957) yang merupakan penggabungan dari model biologi Schaefer (1957) dan model ekonomi Gordon (1954).
Model biologi digunakan untuk menganalisis tingkat pertumbuhan dan tingkat potensi lestari (MSY), data yang dibutuhkan adalah data produksi penangkapan (catch) dan upaya penangkapan (effort) selama lima tahun terakhir (2004-2008). Model ekonomi digunakan untuk menganalisis tingkat optimasi pemanfaatan sumberdaya ikan di kabupaten Indramayu, dan data yang dibutuhkan adalah data biaya (cost) dan data pendapatan (revenue). Pada akhirnya, secara keseluruhan akan diketahui tingkat kelayakan ekonomi perikanan jaring milenium di kabupaten Indramayu. Apakah pendapatan total (TR) lebih besar dari biaya total (TC)? Jika TR>TC maka usaha perikanan tersebut dapat dikatakan layak secara ekonomi. Selanjutnya pada kondisi aktual, tingkat produksi berapakah yang menunjukkan pendapatan marginal (MR) sama dengan biaya marginal (MC)? karena pada kondisi MR=MC akan diperoleh keuntungan yang maksimum (keseimbangan ekonomi).
Gambar 2. Kerangka Konseptual Aplikasi Model Bioekonomi Gordon-Schaefer Untuk Analisis Kelayakan Ekonomi Perikanan Jaring Milenium (Drift-Gillnet) di Kabupaten Indramayu Jawa Barat, Mohamad Erwin Wiguna . S.Pi.,MM dan Rufina Agustin Yuarsa,S.Pi
43
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey. Metode survey bertujuan untuk mengumpulkan data dari sejumlah variabel pada suatu kelompok masyarakat nelayan melalui wawancara langsung dan berpedoman pada daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya. Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. HASIL PENELITIAN PEMBAHASAN
DAN
Kabupaten Indramayu terletak pada 6015’–6040’ Lintang Selatan dan 107052’–108036’ Bujur Timur. Kabupaten ini terletak di pesisir utara Pulau Jawa yang berbatasan langsung dengan laut dengan panjang garis pantai 114,1 km dan merupakan daerah yang cukup menguntungkan secara ekonomis karena dilewati oleh jalur lintas utara pulau jawa (Pantura). Letak kabupaten Indramayu yang membentang di sepanjang pesisir pantai utara Pulau Jawa membuat suhu udara di kabupaten ini cukup tinggi, yaitu berkisar antara 22,90 – 300 Celcius. Sementara rata-rata curah hujan sepanjang tahun 2007 adalah sebesar 1.590 mm dengan jumlah hari hujan 81 hari. Jaring milenium digolongkan kedalam Jaring Insang (gillnet). Di kabupaten Indramayu jaring insang hanyut dikenal dengan nama ”jaring milenium”. Ukuran alat tangkap jaring milenium yang dioperasikan di kabupaten Indramayu adalah 75 x 5.7 m (panjang total jaring x tinggi jaring), dengan ukuran mata jaring (mesh size)98,5 mm atau 3,8 inchi yang terbuat dari bahan sintetis polyamide monofilament 10 ply. Pelampung utama terbuat dari plastik polyurethane, berbentuk elips tipe Y8, diameter tebal 3,8 cm, panjang
13,9 cm, diameter lubang 1 cm dan jarak antar pelampung 3 m dengan keseluruhan jumlah pelampung sebanyak 25 buah. Pemberat digunakan timah. Namun, karena alat tangkap bersifat hanyut, pemberat hanya sedikit digunakan dan biasanya pada saat terjadi arus kuat. Tali temali yang dipergunakan adalah tali pelampung, tali ris atas, tali penguat atas, dan tali tambahan lainnya. Di kabupaten Indramayu, unit penangkapan jaring milenium banyak terdapat di Desa Karangsong Kecamatan Indramayu. Tiap unit armada penangkapan biasanya membawa 30-40 pis jaring. Alat bantu yang dipergunakan dalam operasi penangkapan jaring milenium adalah rumpon, biasanya terbuat dari bambu dan dedaunan kelapa yang diatasnya diberi pelampung tanda. Daerah penangkapan (fishing ground) alat tangkap jaring milenium di kabupaten Indramayu adalah sekitar perairan Indramayu dan sekitarnya dengan jarak tempuh 2–3 mil laut. Jarak tempuh dari pangkalan (fishing base)di Desa Karangsong ke fishing ground adalah± 1-2 jam. Penentuan daerah penangkapan ini didasarkan pada pengalaman nelayan yang sudah banyak mendapatkan hasil tangkapan. Musim penangkapan yang dikenal nelayan setempat didasarkan pada keadaan cuaca dan jumlah hasil tangkapan yang diperoleh selama waktu tertentu. Musim timur atau dikenal juga dengan musim puncak berlangsung selama 3 bulan (September-November).Musim biasa berlangsung selama 6 bulan (MaretAgustus).Musim barat dikenal juga dengan musim paceklik berlangsung selama 3 bulan (Desember-Maret). Pada musim ini cuaca buruk, biasanya angin kencang dan gelombang besar
Aplikasi Model Bioekonomi Gordon-Schaefer Untuk Analisis Kelayakan Ekonomi Perikanan Jaring Milenium (Drift-Gillnet) di Kabupaten Indramayu Jawa Barat, Mohamad Erwin Wiguna . S.Pi.,MM dan Rufina Agustin Yuarsa,S.Pi
44
terjadi di laut, sehingga banyak nelayan yang mengistirahatkan operasi penangkapannya karena tidak mau mengambil resiko yang cukup besar. Pada saat demikian, pemilik kapal juga melakukan pemeliharaan dan perbaikan terhadap unit penangkapannya. Ikan-ikan yang tertangkap dengan jaring milenium ini diantaranya adalah: (a) Tenggiri (Scomberomorus commersoni), (b) Tongkol abu-abu (Auxis thazard), (c) Kakap merah (Lutjanus sanguineus), (d) Manyung (Arius thalassinus), (e) Layaran (Isthioporus oriental), (f) Cucut martil (Sphyrna blochii), (g) Remang/Cunang (Congresox talabon) dan (h) Bawal hitam (Formio niger). Parameter penangkapan diestimasi dengan menggunakan model estimator CYP (Clark, Yoshimoto, dan Pooley, 1992). Adapun parameter yang diestimasi dalam hal ini meliputi: tingkat pertumbuhan intrinsik (), koefisien kemampuan tangkap (q), dan daya dukung lingkungan (K). Hasil estimasi ketiga parameter penangkapan ini akan digunakan dalam menentukan tingkat produksi lestari (MSY)dan tingkat optimum ekonomi (MEY). Tabel 1 menyajikan hasil variabel regresi untuk mengestimasi parameter penangkapan dengan menggunakan estimator CYP.
Tabel 2. Hasil estimasi parameter penangkapan jaring milenium di kabupaten Indramayu
Sumber: Data sekunder, diolah
Hasil estimasi parameter penangkapan (, q dan K) digunakan untuk menentukan tingkat pertumbuhan populasi dengan menggunakan persamaan (1). Sehingga didapat bentuk kurva pertumbuhan logistik perikanan jaring milenium (drift-gillnet) di Indramayu seperti pada Gambar 3.
Tabel 1. Hasil Regresi Model CYP
Gambar 3.Kurva pertumbuhan logistik perikanan jaring milenium di kabupaten Indramayu.
Data tersebut kemudian diolah dengan model estimator CYP (1992) untuk mengestimasi parameter penangkapan sumberdaya perikanan jaring milenium di kabupaten Indramayu.
Dalam kondisi keseimbangan (equilibrium) di mana laju pertumbuhan sama dengan nol (x/ t=0), maka tingkat populasi (x) akan sama dengan carrying capacity (K = 3.526,05). Sedangkan maksimum pertumbuhan akan terjadi pada kondisi setengah dari carrying capacity tersebut (K/2= 1.763,025). Kondisi ini juga disebut sebagai keadaan maksimum potensi
Aplikasi Model Bioekonomi Gordon-Schaefer Untuk Analisis Kelayakan Ekonomi Perikanan Jaring Milenium (Drift-Gillnet) di Kabupaten Indramayu Jawa Barat, Mohamad Erwin Wiguna . S.Pi.,MM dan Rufina Agustin Yuarsa,S.Pi
45
lestari (Maximum Sustainable Yield)atau MSY. Produksi perikanan jaring milenium (drift-gillnet) di kabupaten Indramayu dipengaruhi oleh besarnya tingkat upaya pemanfaatan terhadap target produksi itu sendiri.Semakin besar target produksi tersebut, maka tingkat pengupayaan terhadap target juga diintensifkan. Dalam perikanan, hal seperti ini tidak selalu memberikan hasil positif karena banyaknya faktor yang mempengaruhinya, terutama keberadaan sumberdaya perikanan itu sendiri, kemampuan armada penangkapan dan kondisi oseanografis.
Tabel 3. Total Produksi, Upaya Penangkapan dan CPUE perikanan jaring milenium (drift-gillnet)di kabupaten Indramayu Tahun 2004-2008
Sumber: KPL Mina Sumitra, TPI Karangsong Indramayu
Dalam kurun waktu 2004-2008, produksi cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Peningkatan produksi yang signifikan pada tahun 2005-2006, yaitu dari 3.537,225 ton di tahun 2005 menjadi 4.346,548 ton di tahun 2006. Hal ini diduga disebabkan bertambahnya jumlah armada penangkapan jaring milenium yang beroperasi di perairan Indramayu dan sekitarnya.Meningkatnya jumlah armada jaring milenium disebabkan oleh animo masyarakat nelayan yang ingin beralih usaha dari mini purse seinedan pancing menjadi jaring milenium karena keberhasilan usaha yang sudah didapat dari nelayannelayan jaring milenium sebelumnya. Selain itu juga, karena dilatar belakangi
oleh kepribadian masyarakat nelayan Indramayu yang memiliki sifat pekerja keras, walaupun cuaca di laut tidak baik mereka tetap melakukan aktivitas melaut.
` Gambar 4.Perkembangan hasil tangkapan (ton) jaring milenium di kabupaten Indramayu Tahun 2004-2008
Berbeda dengan hasil produksi, upaya dan CPUEperikanan jaring milenium di kabupaten Indramayu mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun dengan kecenderungan menurun.
Gambar 5. Perkembangan jumlah upaya penangkapan (trip) jaring milenium di kabupaten Indramayu Tahun 2004-2008
Aplikasi Model Bioekonomi Gordon-Schaefer Untuk Analisis Kelayakan Ekonomi Perikanan Jaring Milenium (Drift-Gillnet) di Kabupaten Indramayu Jawa Barat, Mohamad Erwin Wiguna. S.Pi.,MM dan Rufina Agustin Yuarsa,S.Pi
46
Penambahan effort tidak menunjukkan korelasi positif yang begitu berartisebagaimana terjadi pada tahun 2007-2008, dimana produksi pada tahun 2007 mengalami peningkatan dari 4.669,624 ton menjadi 4.873,866 ton/tahun di tahun 2008, sedangkan effort bertambah dari 8.102 trip di tahun 2007 menjadi 12.591 trip di tahun 2008. Artinya, dengan bertambahnya effort sebesar 4.489 trip/tahun, ternyata produksi meningkat hanya sebesar 204,242 ton/tahun. Berdasarkan hal ini, bahwa pada batas-batas tertentu, dengan peningkatan effort akan menurunkan produksi hasil tangkapan. Hal ini disebabkan oleh kondisi potensi sumberdaya alam yang telah dimanfaatkan secara intensif. Secara umum dapat digambarkan bahwa dengan peningkatan effort, maka produksi akan menurun. Hal ini menjadi salah satu indikasi kondisi overfishing (tangkap lebih) terhadap ikanikan hasil tangkapan jaring milenium yang ada di perairan Indramayu. Dari data produksi dan upaya yang terjadi selama periode 2004-2008, maka perkembangan produksi, effort dan CPUE perikanan jaring milenium di Indramayu dapat dilihat pada Gambar 6dan Gambar 7.
Gambar 6. Perkembangan produksi dan upaya perikanan jaring milenium di kabupaten Indramayu tahun 2004-2008
Gambar 7. Perkembangan CPUE perikanan jaring milenium di kabupaten Indramayu tahun 2004-2008
Hasil tangkapan per upaya penangkapan atau catch per unit of effort (CPUE) sepanjang tahun 2004-2008 juga menunjukkanfluktuasi dengan kecenderungan meningkat. Nilai CPUE digunakan untuk mengetahui kecenderungan produktivitas suatu alat tangkap dalam kurun waktu tertentu. CPUE dipengaruhi oleh tingkat pemanfaatan (produksi) dan tingkat upaya yang digunakan. Grafik yang diperlihatkan pada Gambar 8menunjukkan korelasi negatif antara CPUE dengan effort dengan perumusanCPUE=0,953-5,13e-05 E. Hal ini mengindikasikan bahwa dengan bertambahnya effort, maka produktivitas alat tangkap juga akan menurun dimana setiap penambahan effort sebesar satuan E akan menurunkan CPUE sebesar 5,13e-05ton kali satuan E.
Gambar 8. Hubungan CPUE dengan effort perikanan jaring milenium di kabupaten Indramayu tahun 2004-2008
Aplikasi Model Bioekonomi Gordon-Schaefer Untuk Analisis Kelayakan Ekonomi Perikanan Jaring Milenium (Drift-Gillnet) di Kabupaten Indramayu Jawa Barat, Mohamad Erwin Wiguna . S.Pi.,MM dan Rufina Agustin Yuarsa,S.Pi
47
Gambar 8 memperlihatkan bahwa pada kondisi aktual, produksi pada tahun 2004, 2005 dan 2006 masih berada pada kondisi optimum, sementara produksi tahun 2007 dan 2008 sudah melewati produksi yang optimum. Namun, model pengelolaan dengan pendekatan MSY seperti ini masih memiliki kelemahan karena didasarkan pada faktor biologis semata. Clark (1992) menyatakan beberapa kelemahan pendekatan MSY ini antara lain: (1) tidak bersifat stabil, karena perkiraan yang sedikit saja bisa mengarah ke pengurasan stok (stock depletion), (2) tidak mempertimbangkan aspek sosial ekonomi pengelolaan sumberdaya, dan (3) sulit diterapkan pada kondisi dimana perikanan memiliki keragaman jenis (multispecies). Menyadari kelemahan ini, pendekatan ekonomi pengelolaan sumberdaya ikan mulai dikembangkan pada awal tahun 1950-an.
Gambar 9.Produksi dan upaya aktual perikanan jaring milenium Indramayu Tahun 2004-2008
Fungsi produksi lestari merupakan hubungan antara produksi yang dihasilkan secara optimum tanpa mengganggu kelestarian sumberdaya akibat adanya sejumlah effort yang digunakan, yang menghasilkan nilai produksi lestari hMSYsebesar 4.173,08 ton dan EMSY sebesar 2.367 trip/tahun. Hubungan tangkapan lestari
antara dengan
hasil upaya
penangkapan lestari dengan parameter penangkapan: = 4,734; q = 0,0010; dan K = 3.526,05, untuk perikanan jaring milenium di kabupaten Indramayu disajikan pada Gambar 10.
Gambar 10. Hubungan antara hasil tangkapan lestari dengan upaya penangkapan lestari perikanan jaring milenium di kabupaten Indramayu dengan parameter penangkapan: = 4,734; q = 0,0010; dan K = 3.526,05.
Produksi hasil tangkapan yang diperoleh dan upaya penangkapan yang dilakukan sepanjang tahun 2004-2008 telah melampaui batasan maksimum penangkapan lestari.Prinsip kehatihatian dalam pemanfaatan sumberdaya ikan yang ada di perairan Indramayu sudah seharusnya diterapkan karena jika tidak dilakukan pengelolaan yang bijaksana, maka sumberdaya perikanan yang ada akan tereksploitasi.Bentuk pengelolaan tersebut dapat berupa pengendalian effort. Gambar 10 di atas juga memperlihatkan hubungan antara upaya penangkapan jaring milenium dan hasil tangkapan lestari yang berbentuk parabola (fungsi kuadratik). Ketika tidak dilakukan aktivitas penangkapan (effort = 0), produksi juga akan nol. Ketika upaya terus dinaikkan hingga mencapai titik EMSY akan diperoleh produksi yang maksimum (hMSY). Produksi pada titik ini merupakan Maximum Sustainable Yield(MSY). Karena hubungannya membentuk kurva kuadratik, maka
Aplikasi Model Bioekonomi Gordon-Schaefer Untuk Analisis Kelayakan Ekonomi Perikanan Jaring Milenium (Drift-Gillnet) di Kabupaten Indramayu Jawa Barat, Mohamad Erwin Wiguna . S.Pi.,MM dan Rufina Agustin Yuarsa,S.Pi
48
setiap penambahan tingkat upaya penangkapan (E) akan meningkatkan hasil tangkapan (h) sampai mencapai produksi maksimum (hMSY), kemudian akan terjadi penurunan hasil tangkapan untuk tiap peningkatan intensitas penangkapan terhadap sumberdaya perikanan yang ada, bahkan mencapai produksi nol pada tingkat upaya maksimum (Emax) dan hal ini akan berpengaruh negatif terhadap pendapatan nelayan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan.
Gambar 11.Pengaruh tangkap terhadap stok (biomas) pada perikanan jaring milenium di kabupaten Indramayu
Pengaruh introduksi penangkapan ikan terhadap fungsi pertumbuhan terlihat pada Gambar 11. Dari grafik tersebut terlihat beberapa hal yang menyangkut aktivitas penangkapan terhadap stok. Pertama, pada saat tingkat upaya sebesar E1diberlakukan, maka akan diperoleh jumlah tangkapan sebesar h1, (garis vertikal). Kemudian jika upaya dinaikkan sebesar E2, dimana E2>E1, hasil tangkapan akan meningkat sebesar h2, (h2>h1). Namun, kita lihat selanjutnya bahwa jika upaya terus dinaikkan sebesar E3(E3>E2>E1), akan terlihat bahwa untuk tingkat upaya dimana E3>E2 ternyata tidak menghasilkan tangkapan yang lebih besar (dalam hal ini h3
Konsekuensi dari keadaan ini akan dijelaskan lebih terperinci pada aspek ekonomi akses terbuka (open access)dan dimiliki (sole owner). Analisis bioekonomi merupakan salah satu alternatif pengelolaan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan dengan pertimbangan penangkapan dan ekonomi. Dalam pendekatan bioekonomi, tujuan utama adalah aspek ekonomi dengan kendala aspek penangkapan/eksploitasi sumberdaya perikananmengikuti Model Gordon-Schaefer. Biaya penangkapan per unit upaya dihitung dengan pemakaian ratarata biaya penangkapan dari 30 responden nelayan jaring milenium di kabupaten Indramayu. Biaya pengoperasian jaring mileniumdibagi dalam biaya tetap (fixed cost)dan biaya variabel (variable cost). Biaya tetap berupa biaya penyusutan tidak dimasukkan ke dalam perhitungan karena nilainya yang terlalu kecil. Sedangkan biaya variabel adalah seluruh biaya yang dikeluarkan dalam jumlah yang tidak tetap untuk setiap melakukan operasi penangkapan dengan jaring milenium. Biaya ini terdiri atas biaya perawatan, retribusi dan upah ABK. Upah ABK bersifat tidak tetap dalam jumlah tetapi bersifat tetap dalam sistem bagi hasil seperti yang telah dijelaskan pada sistem bagi hasil. Pada analisis ekonomi, yang diperhitungkan adalah faktor harga dan biaya. Beberapa asumsi dalam model Gordon-Schaefer menurut Fauzi (2004) adalah biaya per satuan upaya (c) dan harga per satuan output (p) adalah konstan dan hanya faktor penangkapan (q) yang diperhitungkan. Ketiga asumsi tersebut dipergunakan dalam penelitian analisis kelayakan ekonomi perikanan jaring milenium ini.Berdasarkan asumsi tersebut, maka biaya penangkapan yang dimaksudkan dalam penelitian ini
Aplikasi Model Bioekonomi Gordon-Schaefer Untuk Analisis Kelayakan Ekonomi Perikanan Jaring Milenium (Drift-Gillnet) di Kabupaten Indramayu Jawa Barat, Mohamad Erwin Wiguna . S.Pi.,MM dan Rufina Agustin Yuarsa,S.Pi
49
adalah pengeluaran total rata-rata unit penangkapan ikan untuk melakukan satu kali operasi penangkapan(biaya operasional). Biaya rata-rata penangkapan per trip (c) alat tangkap jaring milenium di kabupaten Indramayu selama kurun waktu 5 tahun (2004-2008) adalah Rp. 217.100. Komponen biaya penangkapan tersebut dapat dilihat pada Tabel 4. berikut ini:
Tabel 4. Pengeluaran rata-rata per trip unit penangkapan jaring mileniumyang dioperasikan di kabupaten Indramayu Tahun 2004-2008 No
Komponen Biaya
Rata-rata 5 tahun (Rp)
Persentase (%)
1
Solar 25 liter
98.500
2
Es balok
13.600
6,26
3
Ransum 5 ABK
90.000
41,46
4
Oli (1 liter)
15.000
6,91
217.100
100
Biaya total/ trip
45,37
Sumber: Nelayan jaring milenium anggota KPL Mina Sumitra Indramayu
Biaya penyusutan dianggap tidak ada karena nilainya sangat kecil, sehingga tidak berpengaruh terhadap pembiayaan. Pengeluaran terbesar adalah pada pembelian solar yakni Rp. 98.500 per trip dengan persentase 45,37 %. Hal ini disebabkan oleh kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang mencapai hampir 75% (harga solar sebelum kenaikan harga BBM adalah Rp. 2.800 per liter dan harga setelah kenaikan harga BBM adalah Rp. 4.300 hingga 5.500 per liter) sehingga alokasi biaya pengoperasian lebih banyak terpakai untuk solar sebagai bahan bakar utama yang dipakai untuk mengoperasikan jaring milenium di kabupaten Indramayu. Hal ini mendorong nelayan di lokasi penelitian untuk menaikkan harga jual hasil tangkapan untuk mengimbangi biaya operasional yang meningkat.
Harga ikan dalam penelitian ini merupakan harga rata-rata penjualanikan dari dua musim penangkapan yang berbeda, yaitu musim puncak dan musim biasa. Harga ini dipengaruhi oleh jumlah produksi pada musim tertentu, jenis ikan dan selerakonsumen. Pada saat musim puncak, ikan hasil tangkapan lebih banyak dibandingkanmusim biasa sehingga penawaran menjadi rendah, sedangkan pada saat musim biasapermintaan dan penawaran terhadap hasil tangkapan tinggi tetapi produksinya lebihsedikit. Hasil tangkapan jaring milenium di kabupaten Indramayu adalah ikan bawal hitam, tongkol abu-abu, layaran, tenggiri, remang, manyung, cucut/hiu, kakap merah dan ikan campur. Ikan tenggiri dan kakap merah memiliki nilai jual yang lebih tinggi dibandingkan jenis lainnya. Harga ini juga dipengaruhi oleh selera masyarakat terhadapproduk perikanan dimana untuk jenis ikan yang disenangi masyarakat akan memilikinilai jual lebih tinggi.
Gambar 12. Harga rata-rata hasil tangkapan (harga jual yang diterima nelayan jaring milenium berdasarkan hasil lelang di TPI Karangsong Indramayu) periode 2004-2008.
Harga jual ikan hasil tangkapan ditentukan oleh TPI Karangsong sebagai tempat pelelangan yang oleh koperasi perikanan laut (KPL) Mina
Aplikasi Model Bioekonomi Gordon-Schaefer Untuk Analisis Kelayakan Ekonomi Perikanan Jaring Milenium (Drift-Gillnet) di Kabupaten Indramayu Jawa Barat, Mohamad Erwin Wiguna . S.Pi.,MM dan Rufina Agustin Yuarsa,S.Pi
50
Sumitra diberi tugas untuk menampung hasil tangkapan yang diperoleh nelayan, sedangkan TPI karangsong menentukan harga berdasarkan harga pasar yang berlaku di pasar ikan Jakarta seperti Muara Baru dan Muara Angke. Perkembangan harga jual masingmasing ikan hasil tangkapan jaring milenium selama periode tahun 20042008 dapat dilihat pada Lampiran 10. Nilai parameter ekonomi yang akan dipergunakan dalam analisis bioekonomi adalah biaya penangkapan rata-rata per unit upaya tangkap seperti yang disajikan pada Tabel 5 dan harga rata-rata hasil tangkapan selama periode 2004-2008. Nilai parameter ekonomi selengkapnya disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Nilai parameter ekonomi untuk analisis kelayakan ekonomi jaring mileniumyang dioperasikan di kabupaten Indramayu Tahun 2004-2008 No
Parameter Ekonomi
Variabel
Nilai
1
Biaya penangkapan per upaya penangkapan (cost)
c
Rp. 217.100/ trip
2
Harga per spesies hasil tangkapan (price) a. Bawal Hitam b. Tongkol c. Layaran d. Tenggiri e. Manyung f. Remang g. Cucut/ hiu h. Kakap Merah i. Campuran
p Rp. Rp. Rp. Rp. Rp. Rp. Rp Rp. Rp.
15.279 7.098 5.420 16.444 7.278 9.553 7.223 18.814 2.943
/ kg / kg / kg / kg / kg / kg / kg / kg / kg
Keseimbangan bioekonomi merupakan konsep pengelolaan yang diperlukan untuk memanfaatkan sumberdaya perikanan dengan menggunakan jaring milenium (driftgillnet)di perairan Indramayu dan sekitarnya. Konsep bioekonomi dikembangkan karena adanya kekhawatiran terjadinya ”the tragedy of common”atau ”tragedi kebersamaan” pada sumberdaya perikanan. Apabila suatu sumberdaya menjadi ”milik bersama” atau tidak jelas kepemilikannya, dimana setiap pihak secara bebas dapat mengaksesnya, maka eksploitasi terhadap sumberdaya
tersebut dikhawatirkan akan terlalu berlebihan. Dengan penerapan model bioekonomi ini, maka sumberdaya perikanan dapat tetap terjaga kelestariannya dan masyarakat, khususnya nelayan jaring milenium tetap mendapatkan keuntungan secara ekonomi dari penjualan hasil tangkapannya. Pengelolaan sumberdaya perikanan diharapkan dapat memberikan manfaat ekonomi dalam bentuk rente ekonomi. Rente ekonomi merupakan selisih dari penerimaan yang diperoleh dari hasil tangkapan dengan biaya yang dikeluarkan. Hasil tangkapan menunjukkan produksi jaring milenium yang dihasilkan dari tingkat upaya tertentu. Pada tingkat upaya yang rendah, penerimaan dari hasil tangkapan akan lebih besar dari biaya yang dikeluarkan sehingga mendorong nelayan untuk menangkap lebih banyak (meningkatkan upaya penangkapannya) sehingga mencapai keseimbangan ekonomi. Dengan meningkatnya upaya penangkapan, maka biaya operasional yang dikeluarkan juga semakin bertambah besar sehingga mempengaruhi penerimaan. Penerimaan total diperoleh dengan mengalikan jumlah hasil tangkapan dengan harga ikan persatuan berat, sedangkan biaya total operasional penangkapan diperoleh dari total pengeluaran per trip per unit penangkapan. Jadi, rente ekonomi adalah selisih antara penerimaan total dengan biaya total operasional penangkapan pada setiap kondisi pengelolaan (rata-rata aktual, MSY, MEY, dan open access).
Aplikasi Model Bioekonomi Gordon-Schaefer Untuk Analisis Kelayakan Ekonomi Perikanan Jaring Milenium (Drift-Gillnet) di Kabupaten Indramayu Jawa Barat, Mohamad Erwin Wiguna . S.Pi.,MM dan Rufina Agustin Yuarsa,S.Pi
51
Tabel 6 Hasil analisis bioekonomi pemanfaatan sumberdaya perikanan jaring milenium dalam berbagai kondisi pengelolaan di kabupaten Indramayu, periode 2004-2008
Kondisi Pengelolaan
Effort (Trip/ Tahun)
Produksi (Ton/ Tahun)
Total Total Biaya Pendapatan (Rp.juta / Tahun) (Rp.juta / Tahun)
Rente Ekonomi (Rp.juta/ Tahun)
Aktual
10.795,60
4.159,56
38.446,142
2.330,309
36.115,83
Model MSY
2.367,00
4.173,08
374,142
513,876
-139,73
Model MEY
750
2.225,57
199,535
162,83
36,71
Model Open Access
1.482,98
3.592,00
346,41
346,41
0,00
Untuk lebih memperjelas hasil analisis bioekonomi dalam Tabel 6 di atas, maka data hasil analisis bioekonomi tersebut juga disajikan dalam bentuk grafik seperti berikut ini:
terkendali) sehingga eksploitasi sumberdaya yang berlebihan telah menurunkan stok yang dapat ditangkap. Tingkat upaya penangkapan pada kondisi aktual sebesar 10.795,60 trip/tahun sangat jauh dari tingkat upaya pada kondisi MEY sebesar 750 trip/tahun, begitu juga terhadap kondisi MSY, sudah melebihi tingkat upaya yang seharusnya cukup sebesar 2.367 trip/tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa secara biologi dan ekonomi, upaya penangkapan yang telah dilakukan telah melewati tingkat optimum, sehingga diperlukan pengendalian effort agar nelayan tetap bisa memperoleh manfaat yang optimum dari hasil tangkapnnya dan sumberdaya perikanan di Indramayu tetap lestari.
Gambar 13. Perbandingan hasil tangkapan perikanan jaring milenium di perairan Indramayu dan sekitarnya pada berbagai setiap kondisi pengelolaan periode 2004-2008
Dengan pendekatan ekonomi, maka produksi hasil tangkapan pada kondisi aktual sebesar 4.159,56 sudah melewati batasan produksi pada kondisi MEY sebesar 2.225,57 ton/tahun, artinya sudah tereksploitasi sebesar 1.933,99 ton/tahun sehingga kondisi pemanfaatan terhadap sumberdaya sudah berlebih tangkap (overfishing). Pada kondisi pengelolaan MSY, produksi yang diperoleh sebesar 4.173,08 ton/tahun, sedangkan pada kondisi open access produksi nya menurun menjadi 3.592,00 ton/tahun. Produksi pada kondisi open access dipengaruhi oleh peningkatan jumlah upaya penangkapan(effort yang tidak
Gambar 14. Perbandingan tingkat upaya penangkapan perikanan jaring milenium di perairan Indramayu dan sekitarnya pada berbagai setiap kondisi pengelolaan periode 2004-2008
Pada kondisi open access tingkat upaya penangkapan terjadi sebesar 1.482,98 trip/tahun. Hal ini menunjukkan bahwa prinsip dari pengelolaan yang open access yang bersifat terbuka sehingga memudahkan pelaku perikanan khususnya nelayan untuk memanfaatkan sumberdaya yang ada secara bebas/ tidak terkendali (entry)dan secara tidak langsung akan meningkatkan upaya penangkapannya
Aplikasi Model Bioekonomi Gordon-Schaefer Untuk Analisis Kelayakan Ekonomi Perikanan Jaring Milenium (Drift-Gillnet) di Kabupaten Indramayu Jawa Barat, Mohamad Erwin Wiguna . S.Pi.,MM dan Rufina Agustin Yuarsa,S.Pi
52
untuk bersaing mendapatkan produksi maksimal dengan nelayan lainnya.
maksimum secara ekonomi dan tingkat upaya yang optimal secara sosial.
Rente ekonomi (π) terbesar terjadi pada kondisi MEY yakni sebesar Rp. 36.710.496 per tahun. Rente ekonomi yang diperoleh dipengaruhi oleh total penerimaan dan total biaya yang dikeluarkan setiap unit penangkapan. Penerimaan pada kondisi MEY merupakan penerimaan yang maksimal secara ekonomi karena untuk mendapatkan total penerimaan yang besar, biaya pengeluaran lebih sedikit dibandingkan dengan kondisi lainnya.
Manfaat ekonomi pada kondisi open access tidak akan diperoleh karena total penerimaan sama dengan total pengeluaran (π=0). Dalam penelitian ini, kondisi open access terjadi ketika belum mencapai MSY, sehingga keuntungan yang dicapai pada kondisi MSY adalah negatif sebesar Rp. 101.862,02 juta. Pada tingkat upaya yang lebih tinggi dari kondisi open access maka biaya total akan melebihi penerimaan total sehingga pada kondisi MSY keuntungan yang dicapai tidak ada, bahkan nelayan mengalami kerugian yang sangat besar. Ini adalah akibat dari effort yang tidak terkendali hingga pada akhirnya nelayan akan keluar (exit)dari kegiatan penangkapan tersebut dan artinya tingkat upaya semakin berkurang (menurun).
Gambar 15. Perbandingan rente ekonomi pemanfaatan sumberdaya perikanan di perairan Indramayu dan sekitarnya pada berbagai setiap kondisi pengelolaan periode 2004-2008
Jumlah effort yang digunakan pada kondisi MEY lebih sedikit dibandingkan pada kondisi MSY dan open access, tetapi produksinya relatif tinggi. Gordon (1954 diacu dalam Fauzi dan Anna, 2006) menyatakan bahwa jika input E dikendalikan pada tingkat upaya MEY (EMEY), manfaat ekonomi akan diperoleh secara maksimum. Hal ini akan terjadi jika sumberdaya ikan dikelola dengan baik sehingga nelayan akan berusaha memaksimalkan manfaat ekonomi yang diperoleh. Kondisi MEY merupakan keseimbangan bioekonomi dimana pemanfaatan sumberdaya menghasilkan produksi yang
Gambar 16. Keseimbangan bioekonomi Gordon-Schaefer untuk pengelolaan perikanan di kabupaten Indramayu.
Dengan demikian akan terbentuk titik keseimbangan open access pada saat penerimaan total sama dengan biaya total penangkapan atau rente ekonomi sama dengan nol. Tingkat effort pada titik open access (EMSY)oleh Gordon disebut “bioeconomic equilibrium of open access fishery”. Keseimbangan open access menimbulkan
Aplikasi Model Bioekonomi Gordon-Schaefer Untuk Analisis Kelayakan Ekonomi Perikanan Jaring Milenium (Drift-Gillnet) di Kabupaten Indramayu Jawa Barat, Mohamad Erwin Wiguna . S.Pi.,MM dan Rufina Agustin Yuarsa,S.Pi
53
terjadinya alokasi sumberdaya alam yang tidak tepat (missallocation) karena kelebihan faktor produksi (misalnya tenaga kerja dan modal), yang sebaiknya dialokasikan saja untuk kegiatan ekonomi lainnya yang lebih produktif. Perikanan yang open access akan menimbulkan kondisi economic overfishing (Fauzi dan Anna, 2002).
oleh nelayan adalah lebih tinggi dibandingkan hasil olahan data dengan pendekatan bioekonomi.
Gambar 18.Rente ekonomi yang diperoleh dengan kondisi optimum perikanan jaring milenium di perairan Indramayu dan sekitarnya (c= Rp. 217.100; p = harga rata-rata dari masing-masing ikan hasil tangkapan yang berhasil terjual).
Gambar 17. Keseimbangan Gordon-Schaefer dalam biomas
Kurva keseimbangan GordonSchaefer pada Gambar 17 hanya berlaku untuk kurva pertumbuhan logistik dengan asumsi struktur pasar kompetitif dan biaya yang linear. Hingga pada akhirnya terlihat konsistensi teori Gordon bahwa keseimbangan open access dicirikan oleh terlalu banyak input dengan sedikit biomas (dikenal dengan istilah “too many boat chasing too few fish”). Hal ini terjadi karena sifat akses yang terbuka, menjadikan stok sumberdaya (x)akan diekstraksi mencapai titik yang terendah. Sebaliknya, pada tingkat MEY, input yang dibutuhkan tidak terlalu banyak, namun keseimbangan biomas diperoleh pada tingkat yang lebih tinggi. Gambar 18 menunjukkan bahwa pada kondisi aktual penerimaan total rata-rata per tahun yang didapatkan
Biaya total rata-rata pada kondisi aktual perikanan jaring milenium (driftgillnet) di kabupaten Indramayu adalah sebesar Rp. 2.330,309 juta/tahun, sedangkan pendapatan total yang diterima adalah Rp. 38.446,142 juta/tahun sehingga rente ekonomi yang diperoleh adalah sebesar Rp.36.115,83 juta/tahun. Sedangkan dari model bioekonomi Gordon-Schaefer, diperoleh hasil bahwa biaya total (TC) yang dikeluarkan pada kondisi optimum bioekonomi perikanan jaring milenium di Indramayu adalah Rp. 162.825.000 per tahun yang menghasilkan penerimaan total (TR) sebesar Rp. 199.535.496 per tahun, sehingga rente ekonomi (π) yang diperoleh adalah sebesar Rp. 36.710.496 per tahun. Artinya, pada kondisi aktual telah terjadi economic overfishing, dimana dengan adanya peningkatan upaya (biaya semakin besar) namun tidak terjadi peningkatan produksi. Dengan asumsi harga dan biaya yang konstan, maka terjadi
Aplikasi Model Bioekonomi Gordon-Schaefer Untuk Analisis Kelayakan Ekonomi Perikanan Jaring Milenium (Drift-Gillnet) di Kabupaten Indramayu Jawa Barat, Mohamad Erwin Wiguna . S.Pi.,MM dan Rufina Agustin Yuarsa,S.Pi
54
perubahan rente ekonomi yang pada awalnya menguntungkan akan mencapai titik seimbang pada kondisi open access (TR=TC) atau dikenal dengan istilah BEP (Break Even Point), dimana kalau terus dipaksakan maka justru menyebabkan kegiatan penangkapan berada pada kondisi merugikan (TR
Gambar 19 Analisis biaya dan pendapatan untuk menentukan keuntungan maksimum perikanan jaring milenium di kabupaten Indramayu pada kondisi aktual periode 20042008.
Gambar 19 menunjukkan bahwa secara mikro (aggregate), maka rente ekonomi yang diperoleh nelayan jaring milenium di kabupaten Indramayu masih cukup besar (share per individu). Tingkat keuntungan maksimum diperoleh dengan cara menentukan titik keseimbangan antara pendapatan marginal dengan biaya marginal (MR=MC), yakni sebesar Rp. 3.525.743.500 pada tingkat produksi sebesar 349.929 kg dan upaya sebanyak 1.029 trip. Kegiatan produksi pada tingkat dibawah garis MR=MC adalah kegiatan produksi yang masih efisien secara ekonomi karena kenaikan pendapatan masih lebih besar dari pada kenaikan biaya. Sedangkan untuk produksi di atas garis MR=MC sudah tidak efisien secara ekonomi, karena kenaikan biaya lebih besar dari kenaikan pendapatan. Jadi, dari sudut pandang ekonomi, kegiatan usaha perikanan jaring milenium di kabupaten Indramayu akan menghasilkan keuntungan maksimum pada produksi sebesar 349.929 kg/bulan atau 4.199,15 ton/tahun dengan jumlah upaya sebesar 1.029 trip/ bulan atau 12.348 trip/tahun.
Aplikasi Model Bioekonomi Gordon-Schaefer Untuk Analisis Kelayakan Ekonomi Perikanan Jaring Milenium (Drift-Gillnet) di Kabupaten Indramayu Jawa Barat, Mohamad Erwin Wiguna . S.Pi.,MM dan Rufina Agustin Yuarsa,S.Pi
55
Model bioekonomi GordonSchaefer dan model ekonomi memiliki persamaan prinsip dasar dalam menyatakan suatu kondisi optimum, yakni sama-sama menggunakan prinsip rente ekonomi (keuntungan) maksimum. Model Bioekonomi Gordon-Schaefer menunjukkan bahwa kondisi optimum perikanan jaring milenium (drift-gillnet) berada pada tingkat produksi sebesar 2.225,57 ton/tahun dengan upaya 750 trip/tahun. Sedangkan model ekonomi menunjukkan kondisi keseimbangan terdapat pada tingkat produksi sebesar 349.929 kg/bulan atau 4.199,15 ton/tahun dengan upaya sebesar 1.029 trip/bulan atau 12.348 trip/tahun. Untuk lebih jelas data disajikan dalam Gambar 19.
6.174 trip/tahun terlalu tinggi hingga mencapai delapan kali lebih banyak dari tingkat upaya pada kondisi model bioekonomi yang optimum pada 750 trip/tahun, sementara hasil produksi yang bisa diperoleh sama-sama mencapai sekitar 2.100-2.225 ton/tahun. Hal ini membuktikan kebenaran model bioekonomi Gordon-Schaefer yang menegaskan bahwa: “tidak perlu terlalu banyak mengalokasikan upaya yang terlalu tinggi jika hasil produksi yang diperoleh tidak diikuti dengan peningkatan produksi yang tinggi juga”. Oleh karena itu, sebaiknya modal (biaya operasional) dan tenaga kerja yang ada dialokasikan untuk kegiatan usaha lain yang lebih menguntungkan. Hingga pada akhirnya, nelayan yang melakukan kegiatan penangkapan ikan dengan jaring milenium akan tetap memperoleh keuntungan secara ekonomi, dan secara biologi (tingkat eksploitasi) sumberdaya ikan di perairan Indramayu dan sekitarnya akan tetap terjaga kelestariannya. KESIMPULAN
Gambar 20 Perbandingan pencapaian hasil lestari antara model bioekonomi dan model ekonomi perikanan jaring milenium di kabupaten Indramayu periode 2004-2008.
Berdasarkan Gambar 20 di atas, dapat disimpulkan bahwa dari model ekonomi, usaha perikanan jaring milenium di kabupaten Indramayu sudah tidak efisien, artinya telah terjadi (misallocation) alokasi faktor produksi yang tidak tepat (dalam hal ini modal dan upaya). Dimana jika diproyeksikan hasil “produksi pada kondisi model ekonomi” mendekati ke hasil “produksi pada kondisi model bioekonomi” maka akan terlihat tingkat upaya yang jauh berbeda. Upaya pada tingkat model ekonomi
Dari penelitian tentang aplikasi model bioekonomi Gordon-Schaefer yang telah dilakukan pada perikanan jaring milenium (drift-gillnet)di Kabupaten Indramayu, dapat disimpulkan bahwa hasil estimasi parameter penangkapan untuk tingkat pertumbuhan intrinsik () sebesar 4,734, koefisien kemampuan tangkap (q) sebesar 0,0010 dan daya dukung lingkungan (K) sebesar 3.526,05. Dalam kondisi keseimbangan (equilibrium) dimana laju pertumbuhan sama dengan nol (x/ t=0), maka tingkat populasi akan sama dengan carrying capacity (K = 3.526,05), sedangkan maksimum pertumbuhan akan terjadi pada kondisi setengah dari
Aplikasi Model Bioekonomi Gordon-Schaefer Untuk Analisis Kelayakan Ekonomi Perikanan Jaring Milenium (Drift-Gillnet) di Kabupaten Indramayu Jawa Barat, Mohamad Erwin Wiguna . S.Pi.,MM dan Rufina Agustin Yuarsa,S.Pi
56
carrying capacity 1.763,025).
tersebut
(K/2=
Selanjutnya, pemanfaatan sumberdaya perikanan dengan jaring milenium di Indramayu sudah mendekati overfishing. Hal ini dapat dilihat dari data pada kondisi aktual dan pada kondisi potensi lestari (MSY). Pada kondisi aktual, rata-rata hasil tangkapan adalah sebesar 4.159,56 ton/tahun sedangkan pada kondisi MSY hasil tangkapan adalah sebesar 4.173 ton/tahun. Untuk upaya penangkapan pada kondisi aktual adalah sebesar 10.795,60 trip/tahun, sedangkan pada kondisi MSY adalah sebesar 2.367 trip/tahun. Dari aspek ekonomi, perikanan jaring milenium dikategorikan usaha yang masih bisa menutupi total pengeluaran dengan keuntungan yang diperoleh. Pada kondisi aktual, pendapatan total adalah Rp. 38.446,142 juta/tahun dan pengeluaran total adalah Rp. 2.330,309 juta /tahun. Pada kondisi ini diperoleh rente ekonomi sebesar Rp.36.115,83 juta/tahun. Namun, dari sudut pandang mikro (aggregate), rente ekonomi yang diperoleh nelayan jaring milenium di kabupaten Indramayu masih cukup besar (share per individu). Tingkat keseimbangan ekonomi (MR=MC) pada kondisi aktual terjadi pada tingkat produksi sebesar 349.929 kg/bulan dan upaya sebanyak 1.029 trip/bulan. Selanjutnya, jika dikaji dari hasil analisis model bioekonomi Gordon-Schaefer, atau dengan kata lain dari sudut pandang lingkungan industri (makro), maka rente ekonomi yang diperoleh jauh lebih kecil dibandingkan dengan sudut pandang mikro. Hal ini berarti bahwa kondisi ekonomi seperti ini sudah tidak efisien, dimana titik kondisi open access berada pada titik sebelum MSY keuntungan sudah tidak lagi diperoleh sebelum kegiatan
produksi mencapai kondisi MSY. Oleh karena itu rente ekonomi maksimum terdapat pada kondisi dibawah MSY dan open access, yakni pada kondisi maksimum secara ekonomi (MEY). SARAN Beberapa rekomendasi berikut diharapkan dapat dilakukan Pemerintah Kabupaten Indramayu melalui Dinas Perikanan dan Kelautan: 1) Melakukan pengawasan terhadap kegiatan operasi penangkapan di perairan Indramayu dan sekitarnya agar produksi aktual tidak melebihi level lestari, yakni sebesar 4.173 ton/tahun. Hal ini bisa dilakukan dengan membatasi hasil tangkapan per trip yang diperbolehkan. Penerapan ini juga harus bersamaan dengan pembatasan upaya pada tingkat optimal. 2) Membuat kebijakan untuk pengelolaan perikanan tangkap agar menjaga tingkat upaya penangkapan berada pada level optimal sebanyak 750 trip/tahun dengan harapan nelayan akan memperoleh keuntungan yang maksimum. Hal ini bisa dilakukan dengan cara menghentikan sementara penerbitan izin penambahan armada penangkapan jaring milenium. 3) Menerapkan sistem monitoring dan pendataan yang baik dan sistematis untuk mengantisipasi tidak tercatatnya produksi, baik produksi yang bernilai jual maupun yang terbuang. 4) Membuat program baru dalam hal peningkatan kesejahteraan nelayan dan pembatasan effort, misalnya dengan menaikkan harga jual dengan peningkatan kualitas mutu ikan hasil tangkapan (baik dalam bentuk ikan segar maupun produk olahan). Hal ini bisa dilakukan dengan mengadakan program-
Aplikasi Model Bioekonomi Gordon-Schaefer Untuk Analisis Kelayakan Ekonomi Perikanan Jaring Milenium (Drift-Gillnet) di Kabupaten Indramayu Jawa Barat, Mohamad Erwin Wiguna . S.Pi.,MM dan Rufina Agustin Yuarsa,S.Pi
57
program pembinaan khusus tentang peningkatan mutu hasil tangkapan kepada nelayan di TPI Karangsong kabupaten Indramayu, dengan begitu sebagian nelayan akan beralih ke usaha pengolahan ikan hasil tangkapan dan tingkat effort akan berkurang. Diharapkan ada penelitian lanjutan dari penelitian ini untuk terus memantau perkembangan biologi dan ekonomi sumberdaya perikanan di perairan Indramayu dan sekitarnya. DAFTAR PUSTAKA Ayodhyoa A.U. 1981. Metode Penangkapan Ikan. Bogor: Yayasan Dewi Sri.97 hlm. Clark R.P, Yoshimoto SS, dan Pooley SG. 1992. A Bionomic Analysis of the North-Western Hawaiian Island Lobster Fishery. Marine Resource Economics 7(2): 65-82. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu. 2005. Laporan Kegiatan Penyusunan Basis Data (Database) Sarana Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) III: Perairan Laut Jawa (Kabupaten Cirebon, Kota Cirebon dan Kabupaten Indramayu). Departemen Perikanan dan Kelautan: Jakarta. _______.2007. Indramayu dalam Angka 2007. Kabupaten Indramayu Douglas E.J. 1992. Managerial Economics. Analysis and Strategy. Fourth Edition.. New Jersey: Prentice-Hall International Editions Fauzi A. 2006. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Teori dan Aplikasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Cetakan kedua. 257 hlm. Fauzi A, dan Anna S. 2002.Penilaian Depresiasi Sumberdaya Perikanan
sebagai bahan Pertimbangan Penentuan Kebijakan Pembangunan Perikanan. Jurnal Pesisir dan lautan Vol 4 (2) :36-49 Ghaffar M.A. 2006. Optimasi Pengembangan Usaha Perikanan Mini Purse Seine di Kabupaten Joneponto Provinsi Sulawesi Selatan. (Tesis). Bogor: Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan, Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Gordon H.S. 1954. The Economic Theory of a Common Property Resource: The Fishery. Jurnal of Polytical Economy 62:124-142. Koperasi Perikanan Laut Mina Sumitra.2008. Laporan Tahunan 2004-2008. Kabupaten Indramayu Nomura M., Yamazaki T. 1978. Fishing Technique I. Tokyo: Japan International Cooperation Agency. 206 pages. Rukka A.H. 2006. Teknologi Penangkapan Pilihan untuk Ikan Cakalang di Perairan Selayar Provinsi Sulawesi Selatan. (Tesis). Bogor: Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan, Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Schaefer M. 1954. Some Aspects of the Dynamics of Populations important to the Management of Commercial Marine Fisheries. Bull. Inter-Am. Trop.Comm 1:27:56. Sukirno S.1997. Pengantar Teori Ekonomi Mikro – Edisi Kedua. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Wahyudin Y, Kusumatanto T, dan Sobari M. 2006. Alokasi Optimum Sumberdaya Perikanan di perairan teluk Palabuhan Ratu: Sumberdaya Ikan
Aplikasi Model Bioekonomi Gordon-Schaefer Untuk Analisis Kelayakan Ekonomi Perikanan Jaring Milenium (Drift-Gillnet) di Kabupaten Indramayu Jawa Barat, Mohamad Erwin Wiguna . S.Pi.,MM dan Rufina Agustin Yuarsa,S.Pi
58
Demersal. (Paper). Bogor: Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan, Program Ekonomi Kelautan Sumberdaya Tropika. Wijayanto D. 2008. Teori Bioekonomi Perikanan (Bioeconomic Fishery). http://bioeconomic.blogspot.com. Semarang: diakses pada Mei 2009.
Aplikasi Model Bioekonomi Gordon-Schaefer Untuk Analisis Kelayakan Ekonomi Perikanan Jaring Milenium (Drift-Gillnet) di Kabupaten Indramayu Jawa Barat, Mohamad Erwin Wiguna . S.Pi.,MM dan Rufina Agustin Yuarsa,S.Pi
59
Lampiran 1. Variabel Penelitian
No
1
2
Parameter Produksi (Catch)
Upaya (Effort)
Variabel h
E
3
CPUE (Catch per Unit of Effort)
U
4
Harga Jual Ikan (Price)
p
5
Biaya Operasional (cost)
c
6
Laju pertumbuh -an intrinsik (intrinsic growth rate)
Konsep Variabel Kegiatan penangkapan ikan di suatu perairan dengan menggunakan sejumlah upaya. (Fauzi, 2006)
Sarana yang dipergunakan untuk mengeksploitasi (menangkap) ikan di suatu perairan tertentu. (Fauzi, 2006)
Nilai yang digunakan untuk mengetahui kecenderungan produktivitas suatu alat tangkap dalam kurun waktu tertentu. (Schaefer, 1957) Harga dasar dari ikan hasil tangkapan yang digunakan untuk menentukan nilai produksi. (Fauzi, 2006) Semua biaya yang dikeluarkan untuk melakukan satuan upaya tertentu (Gordon, 1954) Parameter untuk menentukan laju pertumbuhan dari suatu populasi ikan (Clark, 1987)
Indikator Hasil tangkapan yang didaratkan yang diperoleh dalam sejumlah upaya tertentu. Data yang di ambil adalah data hasil tangkapan bulanan selama periode 5 tahun terakhir (20042008) Jumlah trip yang dilakukan setiap unit upaya penangkapan, dalam hal ini kapal dan alat tangkap jaring milenium. Data yang di ambil adalah data jumlah trip bulanan selama periode 5 tahun terakhir (2004-2008) Perbandingan antara jumlah produksi dengan jumlah upaya yang dilakukan selama 5 tahun terakhir (2004-2008)
Ukuran Kg ton
Skala
atau
Interval
Trip per hari (one day fishing)
Interval
Kg/trip atau ton/trip
Ratio
Harga ditentukan oleh TPI mengikuti harga pasar yang berlaku di PPI Muara Baru, Jakarta.
Rp./kg
Nominal
Biaya dihitung dari setiap jumlah trip yang dilakukan. Untuk periode selama 5 tahun (2004-2008), berfluktuasi mengikuti perubahan harga BBM Diperoleh dari regresi model CYP
Rp./trip
Nominal
Konstanta
Nominal
Aplikasi Model Bioekonomi Gordon-Schaefer Untuk Analisis Kelayakan Ekonomi Perikanan Jaring Milenium (Drift-Gillnet) di Kabupaten Indramayu Jawa Barat, Mohamad Erwin Wiguna . S.Pi.,MM dan Rufina Agustin Yuarsa,S.Pi
60
ANALISIS USAHA TANI CABE RAWIT MERAH MELALUI POLA KEMITRAAN (Studi Kasus Kemitraan PT Indofood Sukses Makmur dengan Kelompok Tani “Sari Tani” Ciherang Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur) Johan Arifin, S.Pt., MM* dan Neni Setiyowati, SP** Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Suryakancana
RINGKASAN Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kinerja usaha tani cabai rawit merah melalui pola kemitraan kelompok tani dengan PT Indofood Sukses Makmur Tbk. Penelitian ini dilaksanakan di kelompok tani Sari Tani Ciherang Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur pada bulan Juli 2009. Sampel diambil secara sensus pada seluruh anggota kelompok tani Tani Sari. Hasil penelitian menunjukkan kinerja usaha tani cabai rawit di kelompok tani “Sari Tani” Ciherang Pacet Cianjur mendapat hasil produksi rata-rata dalam 1 ha 13.500 kg dan harga Rp.5.375/kg mendapatkan penerimaan rata-rata Rp. 72.500.000. Keuntungan yang diperoleh rata-rata pertahun adalah Rp. 36.059.496. pengembangan usaha tani cabai rawit merah layak untuk diusahakan dan cukup menguntungkan, hal ini terlihat dari nilai R/C ratio sebesar 1,99, Nilai NPV sebesar Rp. 469.420.284,00 dan IRR positif pada suku bunga 19%. Dan IRR negatif pada suku bunga 20%.
ABSTRACT This study aims to analyze the performance of red chili pepper farming through a partnership with farmers' groups of PT Indofood Sukses Makmur Tbk. The research was conducted in farmers' groups Sari Tani Ciherang Pacet Cianjur district in July 2009. Samples taken in a census on all members of farmer groups Sari Tani. The Result shows the performance of red chili pepper farming in farmers' “Sari Tani” Ciherang Pacet Cianjur got an average 13 500 kg/ha and prices Rp.5.375/kg get an average of Rp. 72.5 million. Profits earned on average per year is Rp. 36,059,496. development of farming of red chili sauce worthy of the effort and quite profitable, it is seen from the R / C ratio of 1.99, NPV of Rp. 469,420,284.00 and a positive IRR at 19% interest rate. And negative IRR on interest rates of 20%. Key word: Farmbusiness, Revenue, Profit, Return-Cost-Ratio, NPV, IRR *Dosen Fakultas Pertanian UNSUR **Alumni Fakultas Pertanian UNSUR
Analisis Usaha Tani Cabe Rawit Merah Melalui Pola Kemitraan (Studi Kasus Kemitraan PT. Indofood Sukses Makmur dengan Kelompok Tani “Sari Tani” Ciherang Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur), Johan Arifin, S.Pt., MM dan Neni Setiyowati, SP
61
PENDAHULUAN Pembangunan pertanian diarahkan untuk mencapai tujuan antara lain swasembada karbohidrat dan meningkatkan gizi masyarkat melalui penyediaan protein, lemak, vitamin dan mineral. Tanaman hortikultura merupakan salah satu tanaman yang menunjang pemenuhan gizi masyarakat sebagai sumber vitamin, mineral, protein dan karbohidrat. Bagi penduduk Indonesia, sesudah pelita, pola umum konsumsi hortikultura juga mengalami peningkatan. Hal ini dapat dilihat dengan membanjirnya produk sayursayuran dan buah-buahan dari luar negeri ke toko-toko tua yang dikunjungi konsumen golongan menengah ke atas, kegemaran produk import dikalangan pihak akan menghambat pengembangan hortikultura karena lemahnya gairah petani untuk meningkatkan produksi, dipihak lain dapat memacu peningkatan produksi ditinjau dari sudut kualitas agar dapat bersaing dengan produk impor. Salah satu komoditas hortikultura adalah cabai. Tanaman cabai memiliki nilai sosial ekonomi yang cukup tinggi bagi masyarakat Indonesia, karena mengandung vitamin A dan C, serta dapat dikonsumsi baik dalam bentuk maupun sebagai bahan baku industri makanan. Disamping itu tanaman cabai mudah diusahakan di lahan tegalan, pekarangan maupun sawah tadah hujan. Peningkatan produksi cabai guna memenuhi permintaan konsumen dan kenaikan
pendapatan petani (produsen) tidak lepas dari cara budidaya cabai. Salah satu daerah di Jawa Barat yang menghasilkan produk hortikultura adalah kabupaten Cianjur. Kabupaten beriklim tropis dengan curah hujan dengan rata-rata 1.000 sampai 4.000 mm dan jumlah hari rata-rata 150 per tahun. Dengan kondisi tersebut menjadikan alam Cianjur subur dan mengandung keanekaragaman kekayaan sumber daya alam yang potensial sebagai modal dasar pembangunan dan potensi investasi yang menjanjikan. Di Pacet, selain dikenal sebagai kawasan wisata pegunungan juga merupakan daerah penghasil sayuran. Kawasan sayuran ini kini dikembangkan menjadi kawasan agropolitan hortikultura. Kontribusi sayuran di kawasan ini mendominasi total produksi sayuran di kabupaten Cianjur. Hasil produksi sayuran di Cianjur, mudah dipasarkan. Hal ini selain karena produksi pertanian merupakan kebutuhan rutin sehari-hari, juga didukung oleh kemudahan-kemudahan pemasaran mengingat lokasi Cianjur berada di lintasan jalur ekonomi regional Jawa Barat. Peranan lembaga pemasaran dan distribusinya menjadi tolok ukur keberhasilan pengembangan agribisnis sayuran. Hal ini dapat dijelaskan karena fungsinya sebagai fasilitator yang menghubungkan antara defisit unit (konsumen) dan surplus unit (produsen). Pembinaan terhadap lembaga tersebut sangat diperlukan karena serangkaian
Analisis Usaha Tani Cabe Rawit Merah Melalui Pola Kemitraan (Studi Kasus Kemitraan PT. Indofood Sukses Makmur dengan Kelompok Tani “Sari Tani” Ciherang Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur), Johan Arifin, S.Pt., MM dan Neni Setiyowati, SP
62
aktivitasnya menjadi penentu besarnya margin antara harga ditingkat petani dan konsumen, namun tidaklah berarti lembaga pemasaran itu tidak memperoleh untung (Gumbira, 2001 dalam Sarjana, 2007). Tetapi keuntungan yang diperoleh petani cabai rawit merah harus diputar kembali untuk menutupi kerugian ketika harga cabai sedang anjlok. Berturut-turut cabai sering telat sampai dipasar tujuan, sehingga sebagian cabai membusuk, sementara orangorang yang membeli cabai sudah meninggalkan pasar, keterlambatan mencapai pasar adalah musibah bagi pedagang cabai. Pola kemitraan dengan industri pengolahan seperti dengan PT indofood Sukses Makmur Tbk merupakan salah satu cara untuk mengurangi resiko kerugian akibat anjloknya harga cabai.
masalah yaitu bagaimana kinerja usaha tani cabai rawit melalui pola kemitraan dengan PT Indofood Sukses Makmur Tbk di kelompok tani “Sari Tani” Ciherang Pacet Cianjur. METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksankan di desa Ciherang. Lokasi penelitian dilakukan di kelompok tani ”Sari Tani” Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur. Pengambilan data dari responden dilakukan pada bulan Juli 2009.
Metode Pengumpulan Data
Pola kemitraan ini menjadikan harga cabai dipatok di awal perjanjian dengan kesepakatan jumlah produksi dan waktu yang ditentukan. Harga cabai yang ditetapkan di awal produksi menguntungkan petani bila terjadi anjloknya harga cabai, namun merugikan petani bila harga cabai kemudian melambung tinggi sebagaimana yang terjadi dalam waktu-waktu tertentu.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan cara melakukan wawancara menggunakan kuesioner dan observasi. Wawancara dilakukan secara sensus kepada 31 orang anggota kelompok tani ”Sari Tani” di Ciherang Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur. Data sekunder adalah data pendukung yang diperoleh melalui cara penelusuran literatur, buku laporan tahunan kelompok tani, data dari Dinas Pertanian, dan sumber lain yang mendukung.
Perumusan Masalah
Metode Analisis Data
atas,
Berdasarkan uraian tersebut di maka ditentukan identifikasi
Metode analisis data menggunakan analisis efesiensi serta
Analisis Usaha Tani Cabe Rawit Merah Melalui Pola Kemitraan (Studi Kasus Kemitraan PT. Indofood Sukses Makmur dengan Kelompok Tani “Sari Tani” Ciherang Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur), Johan Arifin, S.Pt., MM dan Neni Setiyowati, SP
63
efektifitas usaha tani cabai rawit merah di kelompok ”Sari Tani” Ciherang Pacet. Untuk menghitung kinerja usaha tani cabai rawit ini digunakan analisis finansial berupa R/C ratio, Break Even Point (BEP), Payback Period, Net Present Value (NPV) dan Internal Rate of Return (IRR).
berarti rugi, biaya total yang dikeluarkan lebih besar dari manfaat yang diperoleh. Secara matematis NPV dirumuskan sebagai berikut :
NPV
n
Bt Ct
1 i
t
t 1
Bt = Benefit pada tahun ke-t Analsis Kinerja Usaha Tani
Ct = Biaya pada tahun ke-t
Analisis Finansial Dari data produktifitas pada kelompok tani ” Sari Tani” akan dilakukan analisis sebagai berikut : 1
π = TP – TC Dimana : π = keuntungan TP = total pendapatan TC = total pengeluaran
2
Perhitungan NPV dalam suatu penilaian investasi merupakan cara yang praktis untuk mengetahui apakah proyek menguntungkan atau tidak. NPV adalah selisih antara Present Value dari arus Benefit dikurangi Present Value PV dari arus biaya (Soekartawi, 1996 dalam I Dewa Gede Agung et. al, 2007). Proyek yang memberikan keuntungan adalah proyek yang memberikan nilai positif atau NPV > 0, artinya manfaat yang diterima proyek lebih besar dari semua biaya total yang dikeluarkan. Jika NPV = 0, berarti manfaat yang diperoleh hanya cukup untuk menutupi biaya total yang dikeluarkan. NPV < 0,
3
t
= lamanya waktu investasi
i
= tingkat bunga
Analisis IRR untuk mengetahui sejauh mana proyek memberikan keuntungan. IRR dinyatakan dengan persen (%) yang merupakan tolok ukur dari keberhasilan proyek (Soekartawi, 1996 dalam I Dewa Gede Agung et. al, 2007). Penggunaan investasi akan layak jika diperoleh IRR yang persentasenya lebih besar dari tingkat suku bunga bank yang ditentukan, karena proyek berada dalam keadaan yang menguntungkan, demikian juga sebaliknya jika IRR lebih kecil dari tingkat suku bunga bank yang ditentukan, berarti proyek merugi dan tidak layak untuk dilaksanakan. Secara matematis NPV dirumuskan sebagai berikut : IRR i1
NPV NPV i i
NPV
1
2
1
1
2
Analisis Usaha Tani Cabe Rawit Merah Melalui Pola Kemitraan (Studi Kasus Kemitraan PT. Indofood Sukses Makmur dengan Kelompok Tani “Sari Tani” Ciherang Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur), Johan Arifin, S.Pt., MM dan Neni Setiyowati, SP
64
NPV1
=
Perhitungan NPV positif mendekati nol dengan bunga modal sebesar i1 persen.
tingkat pengembalian investasi maka proyek layak untuk diusahakan dan sebaliknya semakin lambat investasi yang digunakan itu dikembalikan maka proyek tidak layak untuk diusahakan. n
NPV2
i1
i2
4
=
=
=
Perhitungan NPV negatif mendekati nol dengan bunga modal sebesar i2 persen.
PBP T
Discount factor (DF) pertama, tingkat bunga yang menghasilkan NPV positif. Discount factor (DF) kedua, tingkat bunga yang menghasilkan NPV negatif
PBP/Payback Period atau tingkat pengembalian investasi diartikan sebagai jangka waktu kembalinya investasi yang dikeluarkan melalui keuntungan yang diperoleh dari suatu proyek. Menghitung Payback Period tidak perlu memperhitungkan tingkat bunga dan Present Value dengan menggunakan discount factor. Penghitungan Payback Period hendaknya dilakukan setelah menghitung IRR dan kriteria investasi lainnya. Semakin cepat
p 1
I i 1
n
i
Bicp 1 i 1
BP
PBP
= Payback Period
T p-1
= Jumlah benefit yang telah di-discount
B icp-1 = Jumlah benefit yang telah di-discount sebelum Payback Period BP
= Jumlah benefit pada Payback Period berada
5.
Break Event Point (BEP), Analisis Break Event Point adalah suatu teknik analisis untuk mempelajari hubungan antara biaya tetap, biaya variabel, keuntungan dan volume kegiatan (Riyanto, 1997 dalam I Dewa Gede Agung et. al, 2007). Analisis Break Event Point dalam perencanaan keuntungan merupakan suatu pendekatan perencanaan keuntungan yang mendasarkan pada hubungan antara cost (biaya) dengan
Analisis Usaha Tani Cabe Rawit Merah Melalui Pola Kemitraan (Studi Kasus Kemitraan PT. Indofood Sukses Makmur dengan Kelompok Tani “Sari Tani” Ciherang Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur), Johan Arifin, S.Pt., MM dan Neni Setiyowati, SP
65
revenu (penghasilan penjualan). Salah satu syarat perhitungan analisis Break Event Point adalah bahwa semua biaya yang terkait dengan proses produksi mulai dari setiap jenis produk atau jasa yang dihasilkan terdiri dari dua jenis biaya yaitu biaya tetap dan biaya variabel. Asumsi-asumsi yang digunakan dalam analisis Break Event Point adalah
Biaya perusahaan dibagi dalam golongan biaya variabel dan biaya tetap. Besarnya biaya variabel secara total berubahubah secara proporsional dengan volume produksi atau penjualan. Ini berarti biaya variabel per unitnya adalah tetap sama. Besarnya biaya tetap secara totalitas adalah tidak berubah meskipun ada perubahan volume produksi atau penjualan. Ini berarti bahwa biaya tetap per unitnya berubah-ubah kareana adanya perubahan volume produksi. Harga jual per unit tidak berubah selama periode yang dianalisis. Perusahaan hanya memproduksi satu macam produk, apabila diproduksi lebih dari satu macam produk pertimbangan
penghasilan penjualan antara masing-masing produk adalah tetap konstan. Menurut Riyanto (1997) dalam Agustian dan Setiaji, 2008), BEP dapat dihitung dengan dua cara yaitu: a. Atas dasar penjualan dalam unit
BEP
FC P V
FC = Biaya tetap P
= Harga jual per unit
VC = Biaya variabel per unit
b. Atas dasar penjualan dalam rupiah
BEP
FC VC 1 P
FC = Biaya tetap VC = Biaya variabel per unit P
= Penjualan
6) Analisis data yang digunakan adalah R/C rasio. R/C rasio usahatani menunjukkan perbandingan antara nilai produksi (penerimaan) dengan total biaya usahatani (Soekartawi, 2005 dalam I Dewa
Analisis Usaha Tani Cabe Rawit Merah Melalui Pola Kemitraan (Studi Kasus Kemitraan PT. Indofood Sukses Makmur dengan Kelompok Tani “Sari Tani” Ciherang Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur), Johan Arifin, S.Pt., MM dan Neni Setiyowati, SP
66
Gede Agung et. al, 2007). Penghasilan petani tergantung pada dua faktor utama: harga jual dan biaya usahatani. Adapun rumus R/C rasio adalah sebagai berikut :
Dimana TR adalah Total penerimaan, TC adalah total biaya, NT adalah biaya tetap, NTT adalah biaya tidak tetap. Total penerimaan kegiatan usaha yang diperoleh dari total produksi fisik dialikan dengan harga produksi. Implikasi R/C rasio yang didapatkan ada 3 kemungkinan, yaitu :
Jika R/C rasio > 1, maka kegiatan usaha tani adalah menguntungkan. Jika R/C rasio = 1, maka kegiatan usaha tani adalah impas. Jika R/C rasio < 1, maka kegiatan usaha tani adalah rugi (Soekartawi, 2005 dalam Amik Krismawati dan Andy Bhermana, 2005).
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Kelompok tani “Sari Tani” berdiri pada tahun 2005. alamat kelompok tani jalan Raya Ciherang Green Hill Segunung Kp. Buniaga Sawah Lega RT 02/RW 07 Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur tlp (0263) 516914. Jumlah anggota kelompok tani “Sari Tani” sebanyak 31 petani. Total lahan yang dimiliki seluas 22 ha. Kelompok tani bergerak dalam bidang suplier sayur-sayuran dan budidaya sayur-sayuran. Pola-pola kelembagaan kemitraan usaha komoditas cabai rawit merah yang eksis di kelompok tani “Sari Tani” adalah : Pola kemitraan Pembinaan dan Kredit Bibit antara Perusahaan Indofood Sukses Makmur dengan Petani baik secara individu maupun kelompok dalam budidaya cabai rawit merah. Secara aktual pelaku yang terlibat dalam kelembagaan kemitraan Pola kemitraan Pembinaan dan penyediaan dana untuk budidaya komoditas cabai rawit merah yang dikaji di kelompok tani melibatkan petani, pelaku tataniaga pada berbagai tingkatan, jasa angkutan, lembaga keuangan formal dan informal, dan instansi pemerintah. Petani merupakan pelaku yang memiliki peranan sentral terutama terkait dengan posisi dan perannya dalam memproduksi produk cabai rawit merah namun lemah dalam posisi tawarnya. Pola kemitraan usaha pembinaan dan kredit bibit kentang antara PT. Indofood Sukses Makmur tbk (PT. ISM) dengan
Analisis Usaha Tani Cabe Rawit Merah Melalui Pola Kemitraan (Studi Kasus Kemitraan PT. Indofood Sukses Makmur dengan Kelompok Tani “Sari Tani” Ciherang Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur), Johan Arifin, S.Pt., MM dan Neni Setiyowati, SP
67
petani dikembangkan di kelompok tani ”Sari Tani” Ciherang Pacet, Jawa Barat; Pola kerjasama ini merupakan pola kerjasama tertutup antara petani dengan PT. ISM, artinya hanya petani yang menerima pinjaman kredit sebesar Rp. 82.000.000,00 dari perusahaan tersebut yang di tampung hasilnya dengan harga kontrak saat penanaman sebesar Rp 11.000,-/kg. Kemitraan usaha ini melibatkan sekitar 31 petani di kelompok tani ”Sari Tani” Ciherang Pacet. Beberapa kewajiban PT. Indofood Sukses Makmur tbk. adalah : (1) Menyediakan dana maksimum Rp. 82.000.000,00. (2) Melakukan pembinaan teknis budidaya dengan pendampingan seorang Agro-Supervisor; dan (3) Menampung hasil dari petani dengan harga dan spesifikasi produk yang telah disepakati. Sementara itu, petani atau kelompok tani berkewajiban : (1) Memperoleh dana dari Perusahaan Indofood Sukses Makmur tbk; (2) Melakukan budidaya cabai rawit merah sesuai anjuran; dan (3) Menjual hasil kepada Perusahaan Indofood Sukses Makmur tbk, serta (4) Membayar kredit bibit dengan sistem bayar setelah panen dengan cara dipotong pada saat penyerahan barang. Hak Perusahaan Mitra adalah mendapatkan jaminan produksi atau bahan baku baik dari segi jumlah, kualitas, dan kontinuitas
berdasarkan kesepakatan, di mana harga ditetapkan sebelum menanam yaitu sebesar Rp. 11.000,-/kg franko pabrik. Sementara itu, Petani Mitra memiliki hak atas jaminan harga dan pasar sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Terdapat sangsi (punishment) jika terjadi pelanggaran atas kesepakatan, misalnya ditemukan penjualan hasil ke luar, maka petani tersebut akan dikeluarkan dari keanggotaan dalam kemitraan usaha. Pola interaksi dilakukan secara tatap muka terutama pada saat sosialisasi, perencanaan dan melakukan kesepakatan-kesepakatan. Secara teknis dalam perencanaan dan pelaksanaan di lapang peran mediasi agro-supervisor yang ada disetiap lokasi sangat dominan. Komunikasi antar petani ke kelompok serta ke agro-supervisor terutama menyangkut kapan panen, volume produksi, serta harga dilakukan secara intensif melalui media telepon atau handphone. Sistem transaksi dapat dilakukan melalui transfer bank maupun melalui mediasi agro-supervisor, setelah petani melakukan kewajiban membayar kredit. Analisis Kinerja Usaha Tani Produktifitas Produktifitas usaha tani cabai rawit merah dalam kurun 5 tahun akan d pada kelompok tani “Sari Tani” di Ciherang Pacet Kabupaten Cianjur adalah sebagai berikut
Analisis Usaha Tani Cabe Rawit Merah Melalui Pola Kemitraan (Studi Kasus Kemitraan PT. Indofood Sukses Makmur dengan Kelompok Tani “Sari Tani” Ciherang Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur), Johan Arifin, S.Pt., MM dan Neni Setiyowati, SP
68
Tabel 1. Produktifitas lahan usaha tani cabai rawit di kelompok tani “Sari Tani”
Luas Lahan
Produksi
(ha)
(kg)
2005
21,15
287.640
13.600
2006
21,15
283.410
13.400
2007
21,15
289.755
13.700
2008
21,15
281.295
13.300
85
1.142.100
54.000
21,15
285.525
13.500
Tahun
Total rata-rata
Produksi lahan (kg/ha)
Sumber : kelompok tani “Sari Tani”
Dari tabel diatas diketahui bahwa luas lahan yang digunakan untuk usaha tani di kelompok tani “Sari Tani” dari tahun 2005-2008 adalah 21,15 ha. Produktifitas lahan rata-rata per tahun 285.525 kg. Produksitifitas terendah
pada tahun 2008 yaitu 281.295 kg dan yang tertinggi adalah pada tahun 2007 yaitu 289.755 kg. Dalam produksi per ha rata-rata adalah 13.500 kg. Produksi tertinggi pada tahun 2007 yaitu 13.700 kg/ha dan terendah pada tahun 2008
Tabel 2. Data produksi (per ha) dan harga cabai rawit merah di kelompok tani “Sari Tani” Harga Tahun
Produksi (per ha) Terendah
Tertinggi
Rata-rata
2005
13.600
3.500
5.500
4.500
2006
13.400
4.000
6.000
5.000
2007
13.700
4.500
6.500
5.500
2008
13.300
5.500
7.500
6.500
4.375
6.375
5.375
Total
54.000
rata-rata
13.500
Sumber : Wawancara petani di kelompok tani “Sari Tani”
Analisis Usaha Tani Cabe Rawit Merah Melalui Pola Kemitraan (Studi Kasus Kemitraan PT. Indofood Sukses Makmur dengan Kelompok Tani “Sari Tani” Ciherang Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur), Johan Arifin, S.Pt., MM dan Neni Setiyowati, SP
69
Dari data tabel diatas diketahui bahwa hasil produksi rata-rata cabai rawit merah dari tahun 2005 – 2009 dalam 1 ha 13.500 kg. Harga terendah Rp. 4.700/kg serta harga tertinggi Rp. 6.700/kg. Harga rata-rata terendah adalah Rp. 4.500,00/kg pada tahun
2005. Harga rata-rata tertinggi adalah Rp. 6.500,00/kg pada tahun 2008. Trend perubahan harga seperti yang ditujukan pada tabel data diatas juga menunjukan bahwa harga cabai rawit merah di kelompok tani suatu saat terus meningkat setiap tahunnya.
Tabel 3. Biaya dan Penerimaan usaha tani cabe rawit merah di kelompok tani “Sari Tani” untuk pemasaran PT. Indofood Sukses Makmur tbk.
Biaya Tahun
Harga (dalam 21,15 ha)
Produksi (kg)
Penerimaan
2005
653.506.765
4.500,00
287.640
1.294.380.000,00
2006
726.118.628
5.000,00
283.410
1.417.050.000,00
2007
806.798.475
5.500,00
289.755
1.593.652.500,00
2008
896.442.750
6.500,00
281.295
1.828.417.500,00
3.082.866.617
21.500
1.142.100
6.133.500.000,00
770.716.654,31
5.375,00
285.525,00
1.533.375.000,00
Total rata-rata
Sumber : Wawancara kelompok tani “Sari Tani”
Berdasarkan tabel 3 rata-rata biaya usaha tani dalam 21,15 ha adalah Rp. 770.761.654,31. Harga rata-rata Rp. 5.375/kg. Produksi rata-rata per tahun adalah 285.525 kg. Peneriamaan petani rata-rata per tahun Rp. 1.533.375.000. Biaya rata-rata cabai rawit merah dari tahun 2005 – 2008 Rp. 770.761.654,31. Biaya terendah Rp. 653.506.765 pada tahun 2005. Biaya tertinggi Rp. 896.442.750 pada tahun 2008. Trend perubahan biaya seperti yang ditujukan pada tabel data diatas
juga menunjukan bahwa biaya cabai rawit merah di kelompok tani suatu saat terus meningkat setiap tahunnya. Tetapi penerimaan rata-rata cabai rawit merah dari tahun 2005 – 2008 Rp. 1.533.375.000,00. Penerimaan terendah Rp. 1.294.380.000,00 pada tahun 2005. Penerimaan tertinggi Rp. 1.828.417.500,00 pada tahun 2008. Trend perubahan peneriamaan seperti yang ditujukan pada tabel data diatas juga menunjukan bahwa penerimaan cabai rawit merah di kelompok tani
Analisis Usaha Tani Cabe Rawit Merah Melalui Pola Kemitraan (Studi Kasus Kemitraan PT. Indofood Sukses Makmur dengan Kelompok Tani “Sari Tani” Ciherang Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur), Johan Arifin, S.Pt., MM dan Neni Setiyowati, SP
70
suatu saat terus meningkat setiap tahunnya. Dari tabel diatas diketahu bahwa biaya rata-rata pertahun naik
tetapi juga diikuti dengan penerimaan rata-rata per tahun .
Analisis Finansial
Tabel 4. Analsis Kelayakan Usaha Tani Cabai Rawit Merah
Investasi
DF (15%)
Procceeds
2005
653.506.765
0,87
1.294.380.000
1.124.816.220
2006
726.118.628
0,75
1.417.050.000
1.067.038.650
2007
806.798.475
0,64
1.593.652.500
1.019.937.600
2008
896.442.750
0,57
1.828.417.500
1.044.026.393
3.082.866.617
2,83
6.133.500.000
4.255.818.863
PV dari Proceeds
4.255.818.862,50
PV dari Outlays
6.133.500.000,00
NPV
469.420.284
PBP
1,5
PV 19%
644.017.500
PV 20%
187.768.114
IRR (19%)
174.597.216
IRR (20%)
-281.652.171
R/C
1,99
B/C
0,99
Discount rate
19,5
Tahun
Jumlah
Keuntungan Panen merupakan saat yang dinantikan petani sebagai perwujudan
PV Proceeds
keberhasilan dalam melakukan budidaya cabai rawit merah. Pada tanaman cabai rawit merah yang sehat dan tumbuh subur, produksi cabai rawit merah
Analisis Usaha Tani Cabe Rawit Merah Melalui Pola Kemitraan (Studi Kasus Kemitraan PT. Indofood Sukses Makmur dengan Kelompok Tani “Sari Tani” Ciherang Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur), Johan Arifin, S.Pt., MM dan Neni Setiyowati, SP
71
berkisar antara 10.000 sampai 15.000 kg/ha (Semadi,1997 dalam I Dewa Gede Agung et. al, 2007). Dari hasil penelitian didapatkan rata-rata produksi cabai rawit merah yang dihasilkan petani selama 4,5 bulan mencapai 13.500 kg/ha/musim. Sementara harga cabai rawit merah pada saat penelitian rata-rata Rp 7000,00/kg dengan kisaran harga Rp 6.000,00 sampai Rp 8.000,00/kg. Dengan demikian besarnya rata-rata penerimaan rata-rata cabai rawit merah dari tahun 2005 – 2008 Rp. 1.533.375.000,00. Penerimaan terendah Rp. 1.294.380.000,00 pada tahun 2005. Penerimaan tertinggi Rp. 1.828.417.500,00 pada tahun 2008. Secara umum tujuan usaha tani cabai merah pada akhirnya untuk memperoleh pendapatan dan tingkat keuntungan yang layak dari usahataninya. Kegairahan petani untuk meningkatkan kualitas produksinya akan terjadi selama harga produk berada di atas biaya produksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan total usahatani cabai rawit merah sebesar Rp 76.900.00,00/ha/musim sedangkan keuntungan petani dalam berusahatani cabai rawit rawit merah sebesar Rp 38.571.292,00/usahatani/musim. NPV Dengan discount factor sebesar 15%. NPV (Net Present Value) adalah sebesar Rp. 469.420.284. NPV positif
menunjukan usaha tani cabai rawit merah ini layak untuk diusahakan karena memberikan keuntungan atas investasi yang ditanamkan. IRR (Internal Rate of Return) Nilai IRR positif pada usaha tani cabai rawit merah di Kelompok Tani “Sari Tani” Ciherang Pacet Cianjur diperoleh pada dicount faktor 19% dengan nilai IRR Rp. 174.597.216,00. Nilai IRR negatif pada usaha tani cabai rawit merah di Kelompok Tani “Sari Tani” Ciherang Pacet Cianjur diperoleh pada dicount faktor 20% dengan nilai IRR Rp. -281.652.171,00. Dengan kata lain usaha tani cabai rawit merah layak diusahakan jika tingkat suku bunga (discount rate) kurang dari 19,5%. PBP Payback Period pada usaha tani cabai rawit dalam kurun waktu 4 tahun didapatkan nilai Payback Period 1,5 tahun. R/C Ratio Rata-rata nilai R/C ratio selama 4 tahun usaha tani cabai merah/usahatani/musim sebesar 1,99. Ini berarti setiap Rp 1,00 modal yang diinvestasikan untuk usahatani cabai rawit merah akan memberikan penerimaan sebesar Rp 1,99 sehingga dapat dijelaskan bahwa usahatani cabai rawit merah layak diusahakan. Menurut Soekartawi (1995) apabila nilai R/C ratio > 1 maka usahatani tersebut layak diusahakan. Oleh karena itu keputusan yang diambil oleh petani tepat dan
Analisis Usaha Tani Cabe Rawit Merah Melalui Pola Kemitraan (Studi Kasus Kemitraan PT. Indofood Sukses Makmur dengan Kelompok Tani “Sari Tani” Ciherang Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur), Johan Arifin, S.Pt., MM dan Neni Setiyowati, SP
72
usahatani cabai rawit merah tetap diusahakan. usahatani cabai rawit merah memberikan pendapatan yang cukup besar. Tingginya pendapatan petani di kelompok tani “ Sari Tani” disebabkan
pada saat penelitian dilakukan produksinya cukup baik, serta didukung oleh harga cabai rawit merah yang tinggi. Sedangkan B/C rasio 0,99. BEP
Tabel 5. Perhitungan BEP kg dan Rp dalam waktu 4 tahun
BEP Tahun Kg
Rp
2005
145.223,73
2.271,96
2006
145.223,73
2.562,08
2007
146.690,63
2.784,42
2008
137.914,27
3.186,84
143.763,09
2.701,32
rata-rata
Berdasarkan tabel 5, BEP Kg dan Rp rata-rata dalam kurun waktu 4 tahun adalah 143.763,09 kg dan Rp 2.701,32. BEP kg tertinggi yaitu tahun
2007 adalah 146.690,63 kg dan BEP Rp tertinggi adalah pada tahun 2009 yaitu Rp. 3.184,48. BEP Rp terrendah pada tahun 2005 yaitu Rp. 2.721,96.
Tabel 6. Biaya pendapatan usaha tani cabai rawit merah dalam kurun 4 tahun
Tahun
Pengeluaran /Cost
R/C
Penerimaan Produksi
Harga
Keuntungan (Benefit)
Rasi o
2005
30.898.665
13.600
4.500
61.200.000
30.301.335
1,98
2006
34.331.850
13.400
5.000
67.000.000
32.668.150
1,95
2007
38.146.500
13.700
5.500
75.350.000
37.203.500
1,98
Analisis Usaha Tani Cabe Rawit Merah Melalui Pola Kemitraan (Studi Kasus Kemitraan PT. Indofood Sukses Makmur dengan Kelompok Tani “Sari Tani” Ciherang Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur), Johan Arifin, S.Pt., MM dan Neni Setiyowati, SP
73
2008
42.385.000
Total
145.762.015
rata-rata
36.440.504
13.300
6.500
86.450.000
44.065.000
54.000
21.500
290.000.000
144.237.985
13.500
5.375
72.500.000
36.059.496
2,04
1,99
Sumber : Wawancara petani di kelompok tani “Sari Tani”
Dari data tabel 6, diketahui bahwa rata-rata biaya usaha tani cabai rawit merah dengan luasan 1 ha adalah Rp. 36.440.504,00. Produksi cabai rawit merah dalam 1 ha 13.500 kg. Rata-rata harga jual yang telah ditentukan adalah Rp. 5.375,00. jadi pendapatannya adalah
Rp. 72.500.000,00. Keuntungan kotor yang diperoleh dari usaha tani cabai rawit merah sebesar Rp. 36.059.496,00. Jika dalam 1 tahun bunga bank 15% maka keuntungan bersihnya adalah Rp. 30.650.572
Tabel 7. Rata-rata biaya produksi usaha tani dalam kurun 4 tahun No
Uraian
1
Sewa lahan
2
Biaya
Prosentase (%)
9.642.823
7,98%
Benih
10.669.361
8,83%
3
Pupuk Kandang
12.311.084
10,19%
4
Pupuk Anorganik
16.238.831
13,44%
5
Pestisida
19.899.952
16,47%
6
Sarana produksi lain-lain
23.724.433
19,63%
7
Tenaga kerja
28.374.629
23,48%
Total Biaya
120.861.112
100%
Sumber : Wawancara petani di kelompok tani “Sari Tani”
Dari tabel 6 diketahui bahwa prosentase yang paling tinggi adalah tenaga kerja sebesar 23,48%. Sewa lahan sebesar 7,98%, benih sebesar 8,83%, pupuk kandang sebesar 10,19%, pupuk anorganik dan pestisida sebesar 13,44% dan 16,47%.
Sedangkan untuk sarana produksi yang lainnya sebesar 19,63%.
Analisis Usaha Tani Cabe Rawit Merah Melalui Pola Kemitraan (Studi Kasus Kemitraan PT. Indofood Sukses Makmur dengan Kelompok Tani “Sari Tani” Ciherang Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur), Johan Arifin, S.Pt., MM dan Neni Setiyowati, SP
74
KESIMPULAN Berdasarkan hasil pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa: Kinerja usaha tani cabai rawit di kelompok tani “Sari Tani” Ciherang Pacet Cianjur dengan kriteria produktifitas mendapat dengan hasil produksi rata-rata dalam 1 ha 13.500 kg dan harga Rp.5.375/kg mendapatkan penerimaan rata-rata Rp. 72.500.000. Keuntungan yang diperoleh rata-rata pertahun adalah Rp. 36.059.496,00 pengembangan usaha tani cabai rawit merah layak untuk diusahakan dan cukup menguntungkan, hal ini terlihat dari nilai R/C ratio sebesar 1,99, Nilai NPV sebesar Rp. 469.420.284,00 dan IRR positif pada suku bunga 19%. Dan IRR negatif pada suku bungan 20%. SARAN Usaha tani yang dilakukan oleh kelompok tani ”Sari Tani” Ciherang kecamatan Pacet kabupaten Cianjur cukup menguntungkan dengan kinerja yang baik ditengah harga komoditas hortikultura yang berfluktuasi, sehingga pola kemitraan seperti ini patut dicontoh oleh perusahan besar lainnya. Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai pola kemitraan antara petani dengan perusahaan inti sehingga dapat diterapkan secara lebih
luas dan masing-masing pihak tidak ada yang merasa dirugikan. DAFTAR PUSTAKA Agustian dan Setiaji, 2008. Analisis Perkembangan Harga dan Rantai pemsaran komoditas cabai merah di Propinsi Jawa Barat. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Seminar Nasional.
Amik
Krismawati dan Andy Bhermana, 2005. Kajian Penerapan Teknologi Usahatani Nilam (Pogostemon Cablin Benth) Di Lahan Kering Kalimantan Tengah. Jurnal Penelitian.
Bambang Sumantri, Banyu Sigit Priyono, dan Mira Isronita, 2004. Analisis Kelayakan Finansial Usahatani Lada (Piper Nigrum L) di Desa Kenduran Kecamatan Ulu Musi Kabupaten Lahat Sumatera Selatan, Jurnal Penelilitan, Volume 6, No 1. 2004 Hal 32-42.
Kotler Philip, 1987. Dasar-dasar Pemasaran, PT Prenhalindo, Jakarta. Gumbira Sa’id, dan Abdul Harizt. 2001. Manajemen Agribisnis. PT.
Analisis Usaha Tani Cabe Rawit Merah Melalui Pola Kemitraan (Studi Kasus Kemitraan PT. Indofood Sukses Makmur dengan Kelompok Tani “Sari Tani” Ciherang Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur), Johan Arifin, S.Pt., MM dan Neni Setiyowati, SP
75
Ghalia Indonesia. MMA-IPB Bogor.
Handewi P.S.Rachman dan Supriyati, 2007. Peningkatan Pendapatan Rumah Tangga Pedesaan Melalui Pegembangan Komoditas Bernilai Tinggi. Jurnal Penelitian.
I Dewa Gede Agung, Ni Wayan Putu Artini Dan Nyoman Ratna Dewi, 2007. Analisis Usahatani Cabai rawit merah (Capsicum annum l) Di Desa Perean Tengah, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan. Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Udayana.
Nawangsih et. Al, 2003. Cabai Hot Beauty, edisi revisi XI, Penebar Swadaya. Roni
Akta Agrosia Vol 6 No 1 hlm 30-34 Jan-Jun 2003 Prajnanta. F, 2002, Agribisnis Cabai Hibrida, Penebar Swadaya.
Winardi .1986. Pengantar Tentang Teori Sistem dan Analisis Sistem. Alumni, Bandung. Wiryanto, 2006. Bertanam Cabai Pada Musim Hujan, Agromedia Pustaka, Jakarta.
Alamat website: www.tanindo.com. Budidaya cabai cabai hibrida, 22-04-2009
http://agribisnis.net, Perkembangan Produksi Dan Harga Cabai Bulan Mei 2006
kastaman, 2005. Upaya Peningkatan Pendapatan Petani yang Maksimal Melalui Pengaturan Pola Pemilihan Komoditas Model Sinergi (Studi Kasus di Kecamatan Cibiru Kota Bandung), jurusan teknik dan manajemen industri pertanian fakultas teknologi industri pertanian – universitas padjadjaran.
Sri Sugiarti, 2003. Usahatani Dan Pemasaran Cabai Merah Di Kabupaten Rejang Lebong, Jurnal
Analisis Usaha Tani Cabe Rawit Merah Melalui Pola Kemitraan (Studi Kasus Kemitraan PT. Indofood Sukses Makmur dengan Kelompok Tani “Sari Tani” Ciherang Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur), Johan Arifin, S.Pt., MM dan Neni Setiyowati, SP
76
ANALISIS POLA PITA PROTEIN Cymbidium mosaic virus PADA Protocorm likes bodies ANGGREK DENDROBIUM JAYAKARTA DAN TANAMAN ANGGREK DENDROBIUM MENGGUNAKAN METODE ELEKTROFORESIS GEL KOMPOSIT Melissa Syamsiah, S.Pd*
RINGKASAN
Cymbidium mosaic virus (CyMV) merupakan salah satu virus patogen yang dominan menginfeksi tanaman anggrek di Dunia. Deteksi infeksi CyMV dapat dilakukan dengan metode DAS-ELISA (Double Antibody Sandwich - Enzyme Linked Immunosorbent Assay). Untuk lebih memastikan lagi bahwa virus yang menginfeksi tanaman anggrek tersebut adalah CyMV, maka dapat dilakukan pembedaan pola pita protein menggunakan metode Elektroforesis Gel Komposit. Penelitian ini bertujuan untuk membedakan pola pita protein tanaman anggrek Dendrobium yang sehat atau bebas CyMV dengan pola pita tanaman yang sakit (terinfeksi CyMV). Hasil penelitian menunjukan bahwa analisis dengan teknik Elektroforesis Gel Komposit dapat digunakan untuk membedakan pita protein CyMV pada tanaman dan plbs anggrek Dendrobium yang sakit atau positif terinfeksi CyMV dengan tanaman atau plbs anggrek Dendrobium yang sehat maupun plbs anggrek D. Jayakarta yang telah bebas CyMV dengan hasil analisis bobot molekul protein CyMV berukuran sekitar 28 kDa.
ABSTRACT Cymbidium mosaic virus (CyMV) is the one of the dominant pathogen infecting orchid plant in the world. Detection of CyMV infection can be performed by DAS-ELISA (Double Antibody Sandwich - Enzyme Linked Immunosorbent Assay) method. To further confirm, it can be distinguished the pattern of CyMV protein bands by using composite gel electrophoresis method. The aims of this study to distinguish the CyMV protein banding pattern by using composite gel electrophoresis method. The results of this study showed that CyMV protein banding pattern analysis by composite gel electrophoresis method an be used to distinguish the patterns of protein bands of healthy Dendrobium plants or CyMV free - D. Jayakarta plbs and the infected ones with molecular weight approximately 28 kDa. Keyword: Cymbidium mosaic virus, Dendrobium, Composite Gel Electrophoresis *Dosen Fakultas Pertanian UNSUR PENDAHULUAN Tanaman hias ataupun tanaman tahunan dan tanaman yang diperbanyak secara vegetatif jika terserang virus akan menyebabkan bibitnya menjadi tidak vigor (Pearson&Cole 1991). Anggrek merupakan komoditas hortikultura yang banyak diminati masyarakat
karena memiliki variasi warna dan bentuk bunga yang indah dan relatif tahan lama dibandingkan tanaman hias yang lain. Pada saat ini anggrek yang dominan diminati masyarakat adalah jenis Dendrobium (34%), Oncidium Golden Shower (26%), Cattleya (20%) dan Vanda (17%) serta anggrek lainnya (3%) (BPTP 2005). Cymbidium mosaic virus (CyMV) merupakan virus yang banyak
Analisis Pola Pita Protein Cymbidium mosaic virus pada protocorm likes bodies Anggrek Dendrobium Jayakarta dan Tanaman Anggrek Dendrobium Menggunakan Metode Elektroforesis Gel Komposit, Melissa Syamsiah, S.Pd
77
menginfeksi tanaman anggrek, Hasil penelitian Tanaka et al. (1997) menunjukan bahwa beberapa kultivar anggrek banyak terinfeksi Cymbidium mosaic virus (CyMV) yaitu pada anggrek Denrobium (65.7%), Cattleya (45.5%), Oncidium (35%), Phalaenopsis (25%) dan Vanda (51%). Deteksi dan identifikasi secara serologi sudah umum diaplikasikan untuk berbagai virus. Salah satu uji serologi adalah Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) yang pertama kali dikembangkan oleh Clark dan Adam (1977). Metode ini berdasarkan pada reaksi antara antigen antibodi. Diagnosis CyMV yang dilakukan oleh Miin (2005); Hu el al. (1993); Navalinskiene et al (2005) dan Sherpa et al. (2007) dengan menggunakan metode serologi yaitu Double Antibody Sandwich (DAS) ELISA pada tanaman anggrek jenis Arachnis, Aranda, Asocentrum, Cattleya, Cymbidium, Dendrobium, Laelia, Oncidium, Paphiopedium, Phalaenopsis, Renanthera dan Vanda berhasil dengan baik. Metode serologi ini menggunakan antiserum monoklonal yang bereaksi secara spesifik dengan protein selubung CyMV (Navalinskiene et al 2005). Selain dengan menggunakan metode serologi, deteksi dan identifikasi virus tanaman dapat juga dilakukan melalui teknik molekuler misalnya dengan reverse transcriptasepolimerase chain reaction (RT-PCR) (Sherpa et al. 2007). Hsu et al. (1992) melakukan deteksi CyMV pada anggrek dengan metode Immunosorbent Electron Microscopy (ISEM). Metode ini diketahui lebih sensitif dibandingkan dengan metode ELISA. Namun demikian, metode ISEM memerlukan biaya dan peralatan yang lebih mahal
dibandingkan dengan metode DASELISA. Untuk lebih memastikan lagi bahwa virus yang menginfeksi tanaman anggrek tersebut adalah CyMV, maka dapat dilakukan pembedaan pola pita protein menggunakan metoda Elektroforesis Gel Komposit. Metode ini tidak termasuk metode modern seperti RT-PCR dan ISEM. Akan tetapi metode ini dapat digunakan dapat digunakan untuk menganalisis virus tanaman dengan melakukan perlakuan yang berbeda terhadap gel sebagai media pemisahan proteinnya. Metoda ini dilakukan Wolf dan Casper (1971) untuk memisahkan Tobacco mosaic virus (TMV) dan Turniv yellow mosaic virus (TYMV), yang juga diketahui bahwa kedua virus ini dapat menginfeksi tanaman anggrek. Dari hasil elektroforesis ini dapat dilihat perbedaan pola pita proteinnya, serta dapat ditentukan juga bobot molekul (BM) dari CyMV tersebut. Penelitian ini bertujuan membedakan pola pita protein tanaman anggrek Dendrobium yang sehat dan protocorm like bodies (plbs) bebas CyMV dengan tanaman dan plbs yang sakit (terinfeksi CyMV) menggunakan metode elektroforesis gel komposit. TINJAUAN PUSTAKA
Cymbidium mosaic virus (CyMV)
Tanaman anggrek yang baik adalah tanaman anggrek yang sehat dari faktor – faktor yang mempengaruhinya seperti faktor lingkungan seperti media tumbuh, cahaya matahari, suhu, kelembaban udara dan faktor infeksi patogen. Patogen yang sering menimbulkan kerugian pada anggrek adalah virus.
Analisis Pola Pita Protein Cymbidium mosaic virus pada protocorm likes bodies Anggrek Dendrobium Jayakarta dan Tanaman Anggrek Dendrobium Menggunakan Metode Elektroforesis Gel Komposit, Melissa Syamsiah, S.Pd
78
Beberapa virus yang dapat menginfeksi tanaman anggrek diantaranya : Cymbidium mosaic virus CyMV, Odontoglossum ringspot virus (ORSV), Cymbidium ringspot virus (CRSV), Cucumber mosaic virus (CMV), Orchid fleck virus (OFV) (Kondo et al. 2006). Diketahui CyMV merupakan virus yang paling banyak menimbulkan kerugian secara ekonomi pada tanaman anggrek. Penyakit tanaman anggrek yang disebabkan CyMV pertama kali diidentifikasi pada tahun 1950 oleh Jensen di California (ICTVdB 2002). Secara etiologi agen diidentifikasi sebagai virus yang dinamai CyMV. Sejak itu CyMV dilaporkan keberadaannya di beberapa Negara penghasil bunga potong di Eropa, Aurstralia, Amerika, Afrika dan Asia. CyMV merupakan virus yang termasuk family Flexiviridae dan genus Potexvirus. Gejala yang ditimbulkan oleh CyMV pada tanaman anggrek adalah terjadinya nekrosis (bintik-bintik, garisgaris atau lingkaran-lingkaran) pada tanaman. Virus tersebut umum ditemukan pada tanaman anggrek yang dibudidayakan, hal ini disebabkan virus tersebut dapat ditularkan melalui alatalat pertanian, seperti gunting dan pot yang terkontaminasi dan tidak ditularkan oleh serangga ataupun biji (Wisler 1989). Studi mikroskop elektron menunjukan bahwa virion-virion CyMV berbentuk filamentous dengan diameter 480 x 13 nm yang tidak dibungkus oleh envelope dan mempunyai titik inaktivasi 60-70 oC selama 10 menit serta dapat bertahan pada cairan perasan tanaman selama 25 hari pada suhu ruang dalam kondisi in vitro. Genom CyMV merupakan ssRNA linear dan berukuran 8,1 kb. Genom CyMV pertama kali diisolasi
oleh Frowd dan Tremaine (1977) dan mempunyai komposisi basa G 21.1%, A 28.9%, C24,4% dan U 25,6%. Deteksi CyMV dengan Enzyme
Linked
Immunosorbent
Assay
(ELISA) ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay) adalah suatu teknik deteksi dengan metode serologis yang berdasarkan atas reaksi spesifik antara antigen dan antibodi, mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dengan menggunakan enzim sebagai indikator. Prinsip dasar ELISA (Burgess 1995) adalah analisis interaksi antara antigen dan antibodi yang teradsorpsi secara pasif pada permukaan fase padat dengan menggunakan konjugat antibodi atau antigen yang dilabel enzim. Enzim ini akan bereaksi dengan substrat dan menghasilkan warna. Warna yang timbul dapat ditentukan secara kualitatif dengan pandangan mata atau kuantitatif dengan pembacaan nilai absorbansi pada ELISA plate reader. Jenis teknik ELISA yang banyak digunakan adalah Double Antibody Sandwich - Enzyme Linked Immunosorbent Assay (DAS-ELISA). Prinsip pengujian virus dengan teknik ini adalah antibodi (protein) virus yang spesifik teradsorpsi pada permukaan lubang “polystyrene microtiter plate”. Antibodi tersebut akan menangkap antigen (virus yang terdapat pada sampel). Selanjutnya virus tersebut akan bereaksi dengan spesifik antibodi yang telah dilabel dengan alkalin fosfatase. Ada tidaknya virus dalam sampel ditandai dengan berubahnya warna menjadi kuning setelah diberi penyangga substrat yang mengandung 4-nitrofenilfosfat. Perubahan warna terjadi karena 4nitrofenil dirubah menjadi 4-nitrofenol yang intensitas warna kuningnya
Analisis Pola Pita Protein Cymbidium mosaic virus pada protocorm likes bodies Anggrek Dendrobium Jayakarta dan Tanaman Anggrek Dendrobium Menggunakan Metode Elektroforesis Gel Komposit, Melissa Syamsiah, S.Pd
79
sebanding dengan banyaknya antigen yang tertangkap oleh antibodi (Clark &
Adam 1977; BALITHI 2003).
IgG AP-CyMV
IgG-CyMV
4-Nitrofenilposfat
CyMV
Gambar 1 Prinsip dasar DAS - ELISA
Elektroforesis Gel Komposit Teknik elektroforesis adalah teknik pemisahan senyawa berdasarkan kecepatan migrasi dari senyawa yang bermuatan listrik di bawah pengaruh medan listrik. Elektroforesis gel merupakan salah satu teknik utama dalam biologi molekuler dan merupakan metoda standar untuk pemisahan, identifikasi dan pemurnian fragmen DNA. Prinsip dasar teknik ini adalah DNA, RNA atau protein dapat dipisahkan oleh medan listrik, dalam
hal ini molekul-molekul tersebut dipisahkan berdasarkan laju perpindahannya oleh gaya gerak listrik di dalam matriks gel (Suryani dan Ambarsari 2010). Gel yang biasa digunakan merupakan gel poliakrilamid untuk pemisahan protein atau asam nukleat berukuran kecil, sedangkan gel agarosa digunakan untuk memisahkan asam nukleat yang lebih besar (lebih besar dari beberapa ratus basa) (Suryani dan Ambarsari 2010).
Analisis Pola Pita Protein Cymbidium mosaic virus pada protocorm likes bodies Anggrek Dendrobium Jayakarta dan Tanaman Anggrek Dendrobium Menggunakan Metode Elektroforesis Gel Komposit, Melissa Syamsiah, S.Pd
80
Gambar 2 Prinsip dasar Elektroforesis
Elektroforesis gel poliakrilamid dapat digunakan untuk meneliti protein virus (Wolf dan Casper 1971, Khalimi 2008), akan tetapi jarang digunakan untuk memisahkan seluruh virus. Tiselius, et al. (1965) pertama kali memisahkan virus tanaman Turniv yellow misaic virus (TYMV) dengan elektroforesis gel poliakrilamid, Semancik (1966) menggunakan metode ini untuk memisahkan dan mengkarakterisasi komponen virus tanaman yang dimurnikan, akan tetapi pemisahan menggunakan gel poliakrilamid tidak memungkinkan untuk virus dengan partikel seperti Tobacco mosaic virus (TMV) atau Tobacco rattle virus. Wolf dan Casper (1971) telah melakukan penelitian tentang elektroforesis untuk virus dengan menggunakan gel akrilamid-agaros dalam konsentrasi poliakrilamid rendah. Hasil penelitiannya menunjukan bahwa Turniv yellow mosaic
METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Maret hingga Mei 2011. Tempat pelaksanaannya di Laboratorium Virologi, Balai Penelitian Tanaman Hias Segunung – Cianjur. Bahan dan Alat Bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah tanaman anggrek Dendrobium dan plbs (protocorm likes bodies) anggrek Dendrobium Jayakarta yang sudah diketahui bebas CyMV hasil perlakuan zat antiviral Ribavirin 30 ppm (Syamsiah 2011), plbs anggrek D. Jayakarta dan tanaman
virus (TYMV) dan Tobacco mosaic virus (TMV) dapat dipisahkan satu sama lain dan dari protein tanaman dengan jelas menggunakan metode elektroforesis akrilamid-agaros. Metode ini telah digunakan sebelumnya untuk memisahkan asam nukleat dan ribosom (Peacock dan Dingman 1968, 1969) serta untuk menganalisis bean yellow mosaic virus (Makkock, et al. 1987). Prosedur yang digunakan dalam Elektroforesis Gel Komposit atau campuran akrilamid dan agaros ini hampir sama dengan metode elektroforesis pada umumnya yaitu terdiri atas preparasi sampel, preparasi gel, running, visualisasi dan penentuan ukuran molekul. Metode Elektroforesis Gel Komposit yang digunakan pada penelitian ini mengacu pada metode yang dilakukan Wolf dan Casper (1971) dengan komposisi campuran gel akrilamid 2% dan agaros 0,5%. anggrek Dendrobium yang positif terinfeksi CyMV, poliakrilamid, akrilamid, agarosa, TEMED (Tetra Metil Etilen Diamin), APS (Amonium persulfat), Amidoblack, Asam asetat, Penanda protein atau Marker (Protein Molecular Weight Marker) produk Fermentas (2004-2005) yang mengandung : β-galactosidase (116 kDa), Bovine serum albumin (66.2 kDa), Ovalbumin (45 kDa), Lactate dehydrogenase (35 kDa), REase Bsp 981 (25 kDa), βLactoglobulin (18.4 kDa), Lysozyme (14.4 kDa); dll. Sedangkan alat yang digunakan pada penelitian ini adalah Beaker glass, gelas ukur, water bath, termometer, microwave, perangkat elektroforesis dan alat lainnya sebagai penunjang.
Analisis Pola Pita Protein Cymbidium mosaic virus pada protocorm likes bodies Anggrek Dendrobium Jayakarta dan Tanaman Anggrek Dendrobium Menggunakan Metode Elektroforesis Gel Komposit, Melissa Syamsiah, S.Pd
81
Metode Penelitian Pembuatan gel: Campuran agaros dan aquades dalam wadah I dipanaskan dalam microwave, sementara itu campuran acrylamid:bis dan TBE 3x dalam wadah II dipanaskan dalam inkubator (water bath) 100oC selama 20 detik. Lalu ditambahkan 200 µl APS 10% ke wadah I dan 30 µl TEMED ke wadah II. Setelah hangat kuku, dicampurkan kedua larutan tersebut, diaduk sebentar, kemudian dicetak dalam casting (pencetak gel). Prosedur : 1 g daun/plbs digerus dalam 1 ml buffer ekstraksi menggunakan mortar lalu diinkubasi 10 menit pada suhu 50 oC (water bath). Selanjutnya disentrifus 12.000 rpm selama 10 menit. Supernatan digunakan untuk elektroforesis. Sebelum dipakai disimpan di suhu 4 oC. 100 µl supernatan tiap sampel yang sudah dicampur dengan 20 µl loading buffer serta Marker dipanaskan pada suhu 95oC selama 5 menit lalu didinginkan selama 15 detik dan dimasukan ke dalam sumur gel. Running dilakukan selama ± 3,5 jam pada voltase 50 volt. Untuk visualisasi dilakukan menggunakan pewarnaan dengan Amidoblack (0,1 g amidoblack dalam 100 ml 7% asam asetat). Kemudian ditentukan nilai Bobot molekul (BM) CyMV sesuai Marker yang digunakan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis pita protein CyMV pada anggrek Dendrobium Jayakarta dengan metoda Elektroforesis Gel Komposit menunjukkan adanya pita yang jelas untuk tanaman anggrek Dendrobium dan plbs anggrek D. Jayakarta yang sakit atau terinfeksi CyMV. Pita tersebut menunjukan adanya kandungan CyMV pada sampel Tanaman dan plbs yang positif terinfeksi CyMV (Gambar 3). Tebal tipisnya pita yang terbentuk berhubungan erat dengan kandungan virusnya. Hal ini dapat dilihat dari hasil elektroforesis, pita pada lajur no. 1 yang berasal dari sampel tanaman anggrek Dendrobium positif terinfeksi CyMV lebih jelas dibandingkan pita pada lajur no. 3 yang berasal dari plbs anggrek D. Jayakarta positif terinfeksi CyMV. Sedangkan untuk tanaman anggrek yang sehat atau tidak terinfeksi CyMV dan plbs hasil perlakuan zat antiviral Ribavirin 30 ppm menunjukkan tidak terbentuknya pita protein virus, hal ini berarti tanaman tersebut benar benar tidak terinfeksi CyMV dan plbs hasil perlakuan zat antiviral Ribavirin 30 ppm tersebut terbukti sudah terbebas dari CyMV. Hasil ini sesuai dengan eliminasi CyMV pada konsentrasi Ribavirin 30 ppm dengan uji DASELISA menunjukkan persen bebas sebesar 100%. Hasil elektroforesis ini dapat dilihat pada Gambar 3.
Analisis Pola Pita Protein Cymbidium mosaic virus pada protocorm likes bodies Anggrek Dendrobium Jayakarta dan Tanaman Anggrek Dendrobium Menggunakan Metode Elektroforesis Gel Komposit, Melissa Syamsiah, S.Pd
82
M
1
2
3
4
45 kDa
14,4 kDa
Gambar 3 Hasil analisis pita protein CyMV dengan Elektroforesis Gel Komposit M = Marker; (1) Tanaman anggrek Dendrobium positif terinfeksi CyMV; (2) Tanaman anggrek Dendrobium negatif terinfeksi CyMV; (3) Plbs anggrek D. Jayakarta positif terinfeksi CyMVdan (4) Plbs anggrek D. Jayakarta negatif/ bebas CyMV (hasil perlakuan zat antiviral Ribavirin 30 ppm)
Hasil analisis bobot molekul (BM) dari data yang diperoleh pada penelitian dengan metoda Elektroforesis Gel Komposit menunjukkan bahwa bobot molekul protein CyMV pada tanaman anggrek Dendrobium positif terinfeksi CyMV adalah sekitar 28.85 kDa, sedangkan pada plbs anggrek D. Jayakarta positif terinfeksi CyMV yang dipakai untuk perlakuan antiviral Ribavirin adalah sekitar 27.82 kDa (Tabel 1). Bobot molekul tersebut diperoleh dari hasil estimasi kurva Log BM Marker dengan Rm (Relative mobility) (Anderson et al 1974, Plikaytis et al 1986) dimana nilai Rm diperoleh dari hasil bagi jarak pergerakan protein dari tempat awal dengan jarak
pergerakan warna dari tempat awal (Boyer 2000). Hasil analisis BM CyMV dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2 serta kurva estimasinya pada Gambar 4. Berdasarkan hasil elektroforesis diketahui pada kolom Marker terdapat lima pita potein yang tampak. Kelima pita Marker yang tampak memiliki bobot molekul 45 kDa, 35 kDa, 25 kDa, 18.4 kDa dan 14.4 kDa (Tabel 1). Nilai bobot molekul Marker yang dipakai berasal dari protein Ovalbumin (Chicken egg white), Lactate dehydrogenase (porcine muscle), REase Bsp981 (E. Coli), β - Lactoglobulin (Bovine milk), Lysozyme (Chicken egg white) (Fermentas 2004, 2005).
Tabel 1 Nilai Rm (x) dan Log BM Marker hasil elektroforesis BM Marker
Log BM
Jarak Pita pada Gel (mm)
Panjang gel (mm)
Rm
45
1.6532125
56
85
0.66
35 25
1.544068
60
85
1.39794
63
85
0.71 0.74
Analisis Pola Pita Protein Cymbidium mosaic virus pada protocorm likes bodies Anggrek Dendrobium Jayakarta dan Tanaman Anggrek Dendrobium Menggunakan Metode Elektroforesis Gel Komposit, Melissa Syamsiah, S.Pd
83
18.4
1.2648178
68
85
0.80
14.4 1.1583625 Sumber: Data primer (olahan), 2011
72
85
0.85
Hasil analisis dengan Elektroforesis Gel Komposit menunjukan bahwa bobot molekul CyMV dari tanaman anggrek Dendrobium dan plbs anggrek D. Jayakarta yang positif terinfeksi CyMV diestimasi sekitar 28 kDa (Tabel 2). Hasil ini dapat diartikan bahwa pita protein yang tampak diduga sebagai bobot molekul protein Cymbidium mosaic virus.
Berdasarkan kriteria International Committee on Taxonomy of Viruses (ICTV), virus tersebut termasuk CyMV dilihat dari bobot molekulnya. Hasil ini bersesuaian dengan penelitian Moreira, et al. (1998) yang melaporkan bahwa bobot molekul CyMV yang menginfeksi tanaman anggrek Phaius tankerville diestimasi sekitar 28 kDa dengan metoda SDS-PAGE.
Log BM
Gambar 4 Kurva estimasi Rm dengan Log BM Marker
Begitu pula dengan yang dilaporkan Khalimi (2008) dimana bobot molekul CyMV yang menginfeksi daun tanaman N. benthamiana dengan metoda SDSPAGE juga menunjukan hasil sekitar 28 kDa. Sedangkan hasil penelitian
yang lain, seperti yang dilaporkan Miin (2005) dan Han et al. (1999) bahwa Rm bobot molekul CyMV yang menginfeksi tanaman anggrek di Malaysia dan Korea diestimasi sekitar 27.64 kDa.
Tabel 2 Hasil analisis pita protein positif terinfeksi CyMV pada sampel tanaman dan plbs anggrek Dendrobium Sampel
Jarak pita pada gel (mm)
Panjang gel (mm)
Rm
Log BM
Tanaman anggrek (+) terinfeksi CyMV
BM 28.85
62
85
0.73
1.46
Analisis Pola Pita Protein Cymbidium mosaic virus pada protocorm likes bodies Anggrek Dendrobium Jayakarta dan Tanaman Anggrek Dendrobium Menggunakan Metode Elektroforesis Gel Komposit, Melissa Syamsiah, S.Pd
84
Plbs anggrek (+) terinfeksi CyMV
62.5
85
0.74
1.44
27.82
Sumber: Data primer (olahan), 2011
SIMPULAN Analisis pita protein CyMV pada tanaman anggrek Dendrobium dan plbs anggrek D. Jayakarta dapat dilakukan dengan menggunakan teknik Elektroforesis Gel Komposit. Tanaman anggrek Dendrobium dan plbs anggrek D. Jayakarta yang sakit atau positif terinfeksi CyMV memiliki pita protein dengan ukuran BM sekitar 28 kDa. Tanaman anggrek Dendrobium yang sehat maupun plbs anggrek D. Jayakarta yang telah bebas CyMV hasil perlakuan zat antiviral Ribavirin 30 ppm tidak memiliki pita protein dengan ukuran BM sekitar 28 kDa.
Boyer R. 2000. Modern Experimental Biochemistry. San Fransisco: Adison Wesley Longman Inc.
SARAN Analisis protein Cymbidium mosaic virus pada tanaman anggrek Dendrobium maupun protocorm likes bodies anggrek Dendrobium Jayakarta dapat dilakukan dengan menggunakan metode Elektroforesis Gel Komposit.
Clark MF and Adam AN. 1977. Characteristics of the Microplate of enzyme linked imunosorbent assay for the detection of plant viruses. J. Gen. Virol 34: 475 – 483.
DAFTAR PUSTAKA Anderson M, Cawston T and Cheeseman. 1974. Molecular weight estimates of milk fatglobule-membrane protein-sodium dodecyl sulphate complexes by electrophoresis in gradient acrylamide gels. Biochem J. 139: 653-660. BALITHI. 2003. Budidaya anggrek. Cianjur : BALITHI
BPTP [Balai Pengkajian Teknologi Pertanian]. 2005. Prospek dan arah pengembangan agribisnis anggrek. Jakarta: Departemen Pertanian. Burgess GW. 1995. Prinsip dasar ELISA dan variasi konfigurasinya, teknologi ELISA dalam diagnosis dan penelitian GW. Burgess (Ed) Wayan T. Ariana (terjemahan). Gajahmada University Press. Yogyakarta.
Han JH, Joon LY, Ho LC. 1999. Use of triton X-100 and sephacryl S500 HR for the purification of Cymbidium mosaic virus from Orchid plant. Plant Pathology Journal 15:3437. Hu JS, Ferreira S, Wang M, Xu MQ. 1993. Detection of cymbidium mosaic virus, odontoglossum ringspot virus, tomato spoted wilt virus, and potyviruses infecting orchids in Hawaii. Plant disease 77: 464-468. [ICTVdB] International Committee on Taxonomy of Viruses database Description. 2002.
Analisis Pola Pita Protein Cymbidium mosaic virus pada protocorm likes bodies Anggrek Dendrobium Jayakarta dan Tanaman Anggrek Dendrobium Menggunakan Metode Elektroforesis Gel Komposit, Melissa Syamsiah, S.Pd
85
00.056.0.01.007. Cymbidium mosaic virus. http: www. Ncbi.nlm.nih.gov/ICTVdb/ICTV dB/index.htm Kondo H, Maeda T, Shirako Y, Tamada T. 2006. Orchid fleck virus is a rhabdovirus with an annual bipartite genom. Journal of general virology. 87: 2413-2421 Khalimi K. 2008. Deteksi dan identifikasi Cymbidium mosaic virus. [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Makkock KM, Katul L, Rizkallah A. 1987. A simple procedure for purification and antiserum production of bean yellow mosaic virus. J. Phytophatology 122 : 89-93. Miin DOJ. 2005. Screening of a random peptide library with CyMV for potesial development of diagnostic kits. Malaysia: Malaysia University of Science and Technology. Moreira L, Villalobos W. 1998. First report of the Cymbidium mosaic Potexvirus (CymMV) infecting the terrestrial orchid Phalus tankervilliae in Costa Rica. The American Phytopathological Society 82:1171 Navalinskiene M, Raugalas J, Samuitiene M. 2005. Viral diseases of flower plant 16. Identification of viruses affecting orchid Cymbidium Sw. Biologyja 2: 29-34 Peacock, A. C. and C. W. Dingman. 1968. Molecular weight estimation and separation of RNA by electrophoresis in agarose-
acrylamide composite Biochemistry 7 : 668-674)
gel.
Pearson MN and Cole JS. 1991. Futher observation on the effect of Cymbidium mosaic virus on the growth of Cymbidium orchid. J Phtopathology 42: 178-182. Plikaytis BD, Carlone GM, Edmons P and Mayer LW. 1986. Robust estimation of standard curves for protein molecular weight and liniear duplex DNA base pair number after gel electrophoresis. Analytical Biochemistry. 152 : 346364 Semancik, JS. 1966. Studies on electrophoretic heterogeneity in isometric plant viruses. J. Virology 30 : 698. Sherpa AR, Hallan V, Pathak P, Zaidi AA. 2007. Complete nucleotide sequence analysis of Cymbidium mosaic virus Indian isolate: futher evidence for natural recombination among potexviruses. Journal Bioscience 32 : 663-669 Suryani and Ambarsari L. 2010. Teknik Penelitian Biokimia. Penuntun Praktikum. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Syamsiah M. 2011. Eliminasi Cymbidium mosaic virus pada protocorm like bodies anggrek Dendrobium menggunakan zat antiviral Ribavirin. Tanaka S, Nishii H, Ito S, Iwaki MK. 1997. Detection of Cymbidium mosaic virus and odontoglossum ringspot
Analisis Pola Pita Protein Cymbidium mosaic virus pada protocorm likes bodies Anggrek Dendrobium Jayakarta dan Tanaman Anggrek Dendrobium Menggunakan Metode Elektroforesis Gel Komposit, Melissa Syamsiah, S.Pd
86
tobamovirus from Thai orchids by rapid Immunofilter Paper Assay. Plant disease 81: 167-170 Wisler GC. 1989. How to control orchid viruses : the complete guide book. USA: Maupin House Publisher.
Wolf G. and Casper R. 1971. Disc electrophoretic separation of elongated plant virus in polyacrylamide-agarose gels. J. Virology 12 : 325 -329.
Analisis Pola Pita Protein Cymbidium mosaic virus pada protocorm likes bodies Anggrek Dendrobium Jayakarta dan Tanaman Anggrek Dendrobium Menggunakan Metode Elektroforesis Gel Komposit, Melissa Syamsiah, S.Pd
87
PENGARUH PERENDAMAN GIBBERELLIN, AUKSIN, DAN KHITOSAN TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN BIBIT KUBIS BUNGA (Brassica oleracea var. botrytis L.) Oleh Asep Saepul Alam, SP*
RINGKASAN Auxin adalah senyawa yang dicirikan oleh kemampuannya dalam mendukung terjadinya perpanjangan sel (cell elongation) pada pucuk, Gibberellin adalah senyawa yang mengandung Gibban skeleton, menstimulasi pembelahan sel (cell division), pemanjangan sel atau keduanya. Selain ZPT, terdapat suatu bahan yang berfungsi sebagai elisitor yaitu khitosan yang bila ditambahkan ke dalam sel hidup pada konsentrasi rendah dapat menginduksi atau meningkatkan biosintesis senyawa spesifik. Berdasarkan referensi-referensi diatas laju pertumbuhan bibit kubis bunga diduga dapat meningkat jika diperlakukan dengan ZPT atau Khitosan. Tujuan dari penelitian ini adalah Mengetahui pengaruh ZPT Auxin, Gibberellin, dan Khitosan terhadap tinggi bibit, berat basah dan berat kering tanaman kubis bunga putih. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 10 perlakuan dan 3 kali ulangan. Hasil penelitian menunjukkan perendaman benih kubis bunga dengan menggunakan perlakuan Khitosan dengan konsentrasi 100 ppm (C2) memberikan pengaruh yang terbaik terhadap tinggi bibit pada usia bibit tiga puluh dua hari. Sebesar 8,921 cm.
ABSTRACT Auxin is a compound which is characterized by its ability to support the extension of the cell ( cell elongation ) in shoots, Gibberellin is a compound containing Gibban skeleton , stimulating cell division ( cell division ) , cell elongation or both . ZPT addition , there is a material that serves as the khitosan elisitor which when added to living cells at low concentrations can induce or enhance the biosynthesis of specific compounds . Based on references above the rate of growth of cabbage seedlings could be expected to increase interest rates if treated with ZPT or Khitosan. The purpose of this study is Knowing the influence of auxin ZPT , Gibberellin , and Khitosan against high seeds , wet weight and dry weight of cabbage plants with white flowers . This study uses the method in the form of Completely Randomized Design ( CRD ) consisting of 10 treatments and 3 replications. The research results soaking the seeds of cabbage flowers using Khitosan treatment with concentrations of 100 ppm ( C2 ) gives the best effect on the height of seedlings at the age of thirtytwo -day seedlings . Amounting to 8.921 cm . *Dosen Fakultas Pertanian UNSUR
Pengaruh Perendaman Gibberellin, Auksin, dan Khitosan Terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Bibit Kubis Bunga (Brassica Oleracea var. botrytis l.), Asep Saepul Alam, SP
88
PENDAHULUAN Benih merupakan inti dari kehidupan di alam semesta yang paling penting untuk digunakan sebagai penyambung dari kehidupan tanaman. Mutu benih dapat dilihat dari varietas, kemurnian benih, daya hidup (daya kecambah dan kekuatan tumbuh) serta bebas dari hama penyakit benih, penyerapan air, ketersediaan nutrisi pada benih, kandungan udara (CO2 dan O2) suhu media semai, cahaya dan ZPT (Sutopo, 2002). Yandianto (1990) juga mengatakan dalam usaha bercocok tanaman, bibit tanaman merupakan salah satu faktor yang paling menentukan. Berhasil tidaknya suatu tanaman banyak bergantung pada bibit yang ditanam. Bibit yang berkualitas akan menghasilkan panenan yang baik, sedangkan bibit yang jelek akan menghasilkan panenan yang jelek pula. Tanaman Kubis Bunga merupakan tanaman sayuran dari keluarga kubiskubisan (Cruciferae) yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Rukmana (1994) mengatakan bahwa prospek pengembangan budidaya kubis bunga dan broccoli cukup cerah. Daya tarik kedua komoditas ini, selain dapat dikembangkan di daerah tropis Indonesia, juga mempunyai nilai ekonomi dan sosial yang tinggi. Permintaan terhadap sayuran kubis bunga dan broccoli semakin meningkat, baik di dalam negeri maupun di pasaran ekspor. Akan tetapi produksi kubis bunga belum sesuai dengan keadaan optimal produksinya yaitu 377,50 Kw/Ha atau 37,35 Ton (Subdin Bina
Program, 2004) sedangkan kondisi idealnya menurut Warsito DP, Soedijakto (1982) mengatakan bahwa 1 Ha tanaman yang tumbuhnya baik, hasilnya dapat mencapai 100-400 kwintal bunga kubis Proses budidaya kubis bunga dimulai dari persemaian, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, panen dan pasca panen. Proses persemaian, benih kubis memilki morfologi kulit biji luar yang keras. Untuk mempercepat perkecambahan benih, para petani memberikan perlakuan perendaman dengan menggunakan air saja. Teknik tersebut diharapkan dapat mempercepat perkecambahan benih dan meningkatkan laju pertumbuhan dan perkembangan bibit kubis bunga. ZPT adalah senyawa organik yang bukan nutrisi tanaman yang dalam jumlah yang kecil atau konsentrasi rendah akan merangsang dan mengadakan modifikasi secara kualitatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Tjioneris dalam Abidin, 1990). ZPT di dalam tanaman terdiri dari lima kelompok yaitu: Auxin, Gibberellin, cytokinin, ethylene dan inhibitor dengan ciri khas dan pengaruh yang berlainan terhadap proses fisiologis. Auxin adalah senyawa yang dicirikan oleh kemampuannya dalam mendukung terjadinya perpanjangan sel (cell elongation) pada pucuk, dengan struktur kimia dicirikan oleh adanya Indole ring. Auxin berfungsi sebagai pemanjangan akar Luckwil (1956) telah melakukan suatu eksperimen dengan menggunakan NAA ( Napthalene acetic acid), IAA (Indole acetic acid) dan IAN (Indole-3-acetonitrile) yang di treatment
Pengaruh Perendaman Gibberellin, Auksin, dan Khitosan Terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Bibit Kubis Bunga (Brassica Oleracea var. botrytis l.), Asep Saepul Alam, SP
89
pada kecambah kacang, haslnya yaitu ketiga jenis auxin ini mendorong pertumbuhan primordia akar. Sedangkan yang dimaksud Gibberellin adalah senyawa yang mengandung Gibban skeleton, menstimulasi pembelahan sel (cell division), pemanjangan sel atau keduanya. Hasil penelitian Badr et al (1970) dalam Weaver (1972) dalam Abidin menunjukkan bahwa aplikasi GA3 dengan konsentrasi 100, 250, dan 500 ppm mendukung differensiasi xylem pada pucuk olive. Selain ZPT, terdapat suatu bahan yang berfungsi sebagai elisitor yaitu khitosan yang bila ditambahkan ke dalam sel hidup pada konsentrasi rendah dapat menginduksi atau meningkatkan biosintesis senyawa spesifik. Khitosan merupakan elisator abiotik atau elisator oligosakarida (Nurwardani, 2002). Khitosan berpengaruh pada permeabilitas membran, mengelisitasi fitoaleksin dan produksi metabolit sekunder dalam tanaman Nicotiana tabcum, Eschscholtzia california dan Brugmansia candida (Nurwardani, 2002) Berdasarkan referensi-referensi diatas laju pertumbuhan bibit kubis bunga diduga dapat meningkat jika diperlakukan dengan ZPT atau Khitosan. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah Mengetahui pengaruh ZPT Auxin, Gibberellin, dan Khitosan terhadap tinggi bibit, berat basah dan berat kering tanaman kubis bunga putih.
Hipotesis Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut di atas dapat diambil hipotesis sebagai berikut : H0 = ZPT Auxin, Gibberellin, dan Khitosan diduga tidak berpengaruh terhadap tinggi, berat basah dan berat kering tanaman kubis bunga putih. H1 = Terdapat pengaruh ZPT Auxin, Gibberellin, dan Khitosan terhadap tinggi , berat basah dan berat kering tanaman kubis bunga putih. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fakultas Pertanian Universitas Suryakancana Cianjur dan Green House My Flower Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai bulan Juni 2008 Penelitian ini menggunakan metode dalam bentuk Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 10 perlakuan dan 3 kali ulangan. Terdiri dari perlakuan sabagai berikut: K = Kontrol (Air), A1 = Auxin 20 ppm, A2 = Auxin 10 ppm, A3 = Auxin 5 ppm, G1 = Gibberelin 20 ppm, G2 = Gibberelin 10 ppm, G3 = Gibberelin 5 ppm, C1 = Khitosan 500 ppm, C2 = Khitosan 100 ppm, C3 = Khitosan 50 ppm. Pengujian hipotesis dilakukan dengan sidik ragam dengan taraf kepercayaan 95%
Pengaruh Perendaman Gibberellin, Auksin, dan Khitosan Terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Bibit Kubis Bunga (Brassica Oleracea var. botrytis l.), Asep Saepul Alam, SP
90
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Gibberellin, Auksin dan Khitosan Terhadap Tinggi Bibit Kubis Bunga Pada pengamatan tinggi bibit kubis bunga hari ke-8 perlakuan terbaik untuk tinggi bibit pada hari ke-8 yaitu 91 perlakuan A1 (Auksin 50 ppm) dengan nilai rata-rata 3.958 cm, berbeda nyata terhadap K (Kontrol), A2 (Auksin 10 ppm) A3 (Auksin 5 ppm), G1 (Gibberellin 50 ppm), G2 (Gibberellin 10 ppm), G3 (Gibberellin 5 ppm) C3 (Khitosan 50 ppm) dengan nilai rata-rata beturut-turut adalah 3.729 cm, 3.467 cm, 3.567 cm, 3.546 cm, 3.238 cm, 3.325 cm, 3.556 cm, tetapi tidak berbeda nyata dengan C1 (khitosan 500 ppm) dan C2 (khitosan 100 ppm) dengan nilai rata-rata berturut-turut adalah 3.754 cm, 3.725 cm. Pada pengamatan tinggi bibit kubis bunga hari ke-11 perlakuan terbaik untuk tinggi bibit pada hari ke-11 yaitu perlakuan A1 (Auksin 50 ppm) dengan nilai rata-rata 4317 cm berbeda nyata terhadap K (Kontrol), A2 (Auksin 10 ppm), A3 (Auksin 5 ppm), G1 (Gibberellin 50 ppm), G2 (Gibberellin 10 ppm), G3 (Gibberellin 5 ppm) dengan nilai rata-rata beturut-turut adalah 3.650 cm, 3.833 cm, 3.933 cm, 3.933 cm, 3.671 cm, 3.683 cm, tetapi tidak berbeda nyata dengan C1 (khitosan 500 ppm),
Pada pengamatan tinggi bibit kubis bunga hari ke-15 perlakuan terbaik untuk tinggi bibit pada hari ke-15 yaitu perlakuan A1 (Auksin 50 ppm), dengan nilai rata-rata 4.658 cm berbeda nyata terhadap K (Kontrol), A2 (Auksin 10 ppm), A3 (Auksin 5 ppm), G2 (Gibberellin 10 ppm), G3 (Gibberellin 5 ppm) dengan nilai rata-rata beturut-turut adalah 3.808 cm, 4.154 cm, 4.138 cm, 3.971 cm, 4.000 cm, tetapi tidak berbeda nyata dengan G1 (Gibberellin 50 ppm), C1 (khitosan 500 ppm), C2 (khitosan 100 ppm), C3 (Khitosan 50 ppm) dengan nilai rata-rata berturut-turut adalah 4.388 cm, 4.558 cm, 4.596 cm, 4.646 cm. Pada pengamatan tinggi bibit kubis bunga hari ke-18 perlakuan terbaik untuk tinggi bibit pada hari ke-18 yaitu perlakuan A1 (Auksin 50 ppm), dengan nilai rata-rata 5.625 berbeda nyata terhadap K (Kontrol) A2 (Auksin 10 ppm) A3 (Auksin 5 ppm), G1 (Gibberellin 50 ppm), G2 (Gibberellin 10 ppm), G3 (Gibberellin 5 ppm) dengan nilai rata-rata beturut-turut adalah 4.721 cm, 4.821 cm, 4.950 cm, 5.096 cm, 4.663 cm, 4.758 cm tetapi tidak berbeda nyata dengan C1 (khitosan 500 ppm), C2 (khitosan 100 ppm), C3 (Khitosan 50 ppm) dengan nilai rata-rata berturut-turut adalah 5.321 cm, 5.350 cm, 5.383 cm.
C2 (khitosan 100 ppm), C3 (Khitosan 50 ppm) dengan nilai rata-rata berturut-turut adalah 4.175 cm, 4.129 cm, 4.046 cm.
Pengaruh Perendaman Gibberellin, Auksin, dan Khitosan Terhadap Pertumbuhan dan Perke mbangan Bibit Kubis Bunga (Brassica Oleracea var. botrytis l.), Asep Saepul Alam, SP
91
Tabel 1. Pengaruh Gibberellin, Auksin dan Khitosan Terhadap Tinggi Bibit Kubis Bunga Umum Tinggi Bibit Kubis Bunga ……Hari Setelah Semai (Cm) Rata-rata T 8 hss 11 hss 15 hss 18 hss 22 hss 25 hss 29 hss 32 hss K 3,279 ab 3,650 a 3,808 a 4,721 a 5,558 ab 5,963 a 6,858 a 7,417 a A1 3,958 c 4,317 b 4,658 b 5,625 b 6,421 b 6,892 b 7,554 b 8,138 b A2 3,467 ab 3,833 ab 4,154 ab 4,821 a 5,742 ab 6,271 ab 7,271 ab 8,008 ab A3 3,567 b 3,933 b 4,138 ab 4,950 ab 5,883 ab 6,563 b 7,633 bc 8,371 bc G1 3,546 ab 3,933 ab 4,388 b 5,096 ab 6,042 b 6,642 b 7,675 bc 8,417 bc G2 3,238 a 3,671 ab 3,971 a 4,663 a 5,450 a 5,988 a 7,088 a 7,742 ab G3 3,325 ab 3,683 ab 4,000 ab 4,758 a 5,846 ab 6,383 ab 7,483 bc 8,346 bc C1 3,754 bc 4,175 b 4,558 b 5,321 b 6,158 b 6,842 b 7,796 bc 8,500 bc C2 3,725 bc 4,129 b 4,596 b 5,350 b 6,221 b 7,050 b 8,213 c 8,921 c C3 3,556 ab 4,046 b 4,646 b 5,383 b 6,267 b 7,000 b 7,929 bc 8,583 bc
Pada pengamatan tinggi bibit kubis bunga hari ke-22 perlakuan terbaik untuk tinggi bibit pada hari ke-22 yaitu perlakuan A1 (Auksin 50 ppm), dengan nilai rata-rata 6.421 cm berbeda nyata terhadap K (Kontrol) A2 (Auksin 10 ppm) A3 (Auksin 5 ppm), G2 (Gibberellin 10 ppm), G3 (Gibberellin 5 ppm) dengan nilai rata-rata beturut-turut adalah 5.558 cm, 5.742 cm, 5.883 cm, 5.450 cm, 5.846 cm, tetapi tidak berbeda nyata dengan G1 (Gibberellin 50 ppm), C1 (khitosan 500 ppm), C2 (khitosan 100 ppm), C3 (Khitosan 50 ppm) dengan nilai rata-rata berturut-turut adalah 6.042 cm, 6.158 cm, 6.221 cm, 6.267 cm.. Pada pengamatan tinggi bibit kubis bunga hari ke-8, 11, 15, 18, dan 22 perlakuan terbaik yaitu perlakuan A1 (Auksin 50 ppm), Hal ini diduga karena auksin bekerja karena adanya respon dari suatu sel dalam tanaman. Salisbury and Ross, C.W (1995) mengatakan bahwa sel epidermislah yang memberikan respon terhadap penambahan hormon auksin dalam pemanjangan batang dikotil dan potongan koleoptil biasanya lapisan subepidermis misalnya hipodermis (jika ada), korteks, dan empulur yang
mengandung sel yang berada di bawah tekanan dan mudah memanjang, akan tetapi pemanjangan terbatas yaitu lapisan subepidermis memanjang sampai cukup untuk menjadikan dinding sel epidermis yang tumbuh lambat itu agak tegang Pada pengamatan tinggi bibit kubis bunga hari ke-25 perlakuan terbaik untuk tinggi bibit pada hari ke-25 yaitu perlakuan A1 (Auksin 50 ppm), dengan nilai rata-rata 6.892 cm berbeda nyata terhadap A2 (Auksin 10 ppm) G2 (Gibberellin 10 ppm), C1 (khitosan 500 ppm), dengan nilai rata-rata berturutturut adalah 6.271 cm, 5.988 cm, 6.842 cm, tetapi tidak berbeda nyata dengan A3 (Auksin 5 ppm), G1 (Gibberellin 50 ppm), G3 (Gibberellin 5 ppm) C1 (khitosan 500 ppm), C2 (khitosan 100 ppm), C3 (Khitosan 50 ppm) dengan nilai rata-rata berturut-turut adalah 6.563 cm, 6.642 cm, 6.383 cm, 6.842 cm, 7.050 cm, 7.000 cm. Pada pengamatan tinggi bibit kubis bunga hari ke-29 perlakuan terbaik untuk tinggi bibit pada hari ke-29 yaitu perlakuan C2 (khitosan 100 ppm), dengan nilai rata-rata 8.213 cm berbeda nyata terhadap K (Kontrol) A1 (Auksin
Pengaruh Perendaman Gibberellin, Auksin, dan Khitosan Terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Bibit Kubis Bunga (Brassica Oleracea var. botrytis l.), Asep Saepul Alam, SP
92
senyawa spesifik. (Nurwardani, 2006). Nurwardani (2006) mengatakan bahwa khitosan berpengaruh terhadap pertumbuhan, morfologi dan ultrastruktural sel tanaman. Nurwardani 2006 mengatakatak bahwa Khitosan berpengaruh pada permeabilitas membrane, mengelisitasi fitoelektin dan produksi metabolit sekunder dalam tanaman Nicotiana tabacum, Eschscholtzia California dan Brugmansia candida.
10.000 9.000 Rataan Umum Tinggi Bibit
50 ppm), A2 (Auksin 10 ppm) G2 (Gibberellin 10 ppm), G3 (Gibberellin 5 ppm) dengan nilai rata-rata beturut-turut adalah 6.858 cm, 7.554 cm, 7.271 cm, 7.088 cm, 7483 cm, tetapi tidak berbeda nyata dengan A3 (Auksin 5 ppm), G1 (Gibberellin 50 ppm), C1 (khitosan 500 ppm), C3 (Khitosan 50 ppm) dengan nilai rata-rata berturut-turut adalah 7.633 cm, 7.675 cm, 7.796 cm, 7.929 cm. Pada pengamatan tinggi bibit kubis bunga hari ke-32 perlakuan terbaik untuk tinggi bibit pada hari ke-32 yaitu perlakuan C2 (khitosan 100 ppm), dengan nilai rata-rata 8.921 cm berbeda nyata terhadap K (Kontrol) A1 (Auksin 50 ppm), A2 (Auksin 10 ppm) G2 (Gibberellin 10 ppm), dengan nilai ratarata beturut-turut adalah 7.417 cm, 8.138 cm, 8.008 cm, 7.742 cm tetapi tidak berbeda nyata dengan A3 (Auksin 5 ppm), G1 (Gibberellin 50 ppm), G3 (Gibberellin 5 ppm) C1 (khitosan 500 ppm), C3 (Khitosan 50 ppm) dengan nilai rata-rata berturut-turut adalah 8.371 cm, 8.417 cm, 8.346 cm, 8.500 cm, 8583 cm. Pada pengamatan tinggi bibit kubis bunga hari ke-25, 29, dan 32 perlakuan terbaik yaitu perlakuan C2 (khitosan 100 ppm), hal ini diduga karena khitosan berbentuk spesifik dan mengandung gugus amino dalam rantai karbonnya sehingga menyebabkan adanya muatan positif yang berlawanan dengan polisakarida lainnya (Nurwardani 2006), karena khitosan bisa sebagai elisitor yaitu suatu subtansi yang bila ditambahkan pada sel hidup dalam konsentrasi rendah dapat menginduksi atau meningkatkan suatu biosintesis
K
8.000
A1
7.000
A2
6.000
A3 G1
5.000
G2
4.000
G3
3.000
C1
2.000
C2 C3
1.000 0.000 1
2
3
4
5
6
7
8
Pengamatan
Gambar 1. Grafik pengaruh Gibberellin, Auksin dan Khitosan Terhadap Tinggi Bibit Kubis Bunga
Untuk tinggi bibit kubis bunga dalam pengolahan data dengan menggunakan ANOVA dari pengamatan hari ke-8 sampai pengamatan hari ke-32 perbedaan perlakuannya berbeda sangat nyata, hal ini dikarenakan nilai F-hitung lebih besar dari nilai F-tabel yaitu sebesar 1,92 untuk taraf 5% dan 2,50 untuk taraf 1%. Dengan demikian H1 dengan hipotesis bahwa terdapat pengaruh perendaman gibberellin, auksin, dan khitosan terhadap tinggi bibit kubis bunga diterima, dengan menggunakan
Pengaruh Perendaman Gibberellin, Auksin, dan Khitosan Terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Bibit Kubis Bunga (Brassica Oleracea var. botrytis l.), Asep Saepul Alam, SP
93
perendaman terbaik khitosan 100 ppm (C2). Pengaruh Gibberellin, Auksin dan Khitosan Terhadap Berat Basah Bibit Kubis Bunga Tabel 2. Pengaruh Gibberellin, Auksin dan Khitosan Terhadap Berat Basah Tanaman Kubis Bunga Perlakuan
Berat Basah Tanaman
K A1 A2 A3 G1 G2 G3 C1 C2 C3
1,2079 a 1,1813 a 1,2232 ab 1,4150 ab 1,3299 ab 1,3975 ab 1,5645 b 1,2101 a 1,4792 b 1,6948 b
Pada pengamatan Berat Basah Tanaman kubis bunga hari ke-32 yang memberikan perlakuan terbaik pada hari ke-32 yaitu perlakuan C3 (Khitosan 50 ppm) dengan nilai rata-rata 1.6948 gram berbeda nyata terhadap K (Kontrol) A1 (Auksin 50 ppm), A2 (Auksin 10 ppm) A3 (Auksin 5 ppm), G1 (Gibberellin 50 ppm), G2 (Gibberellin 10 ppm), C1 (khitosan 500 ppm),dengan nilai rata-rata beturut-turut adalah 1.2079 gram, 1.1813 gram, 1.2232 gram, 1.4150 gram, 1.3975 gram, 1.5645 gram, 1.2101 gram, tetapi tidak berbeda nyata dengan G3 (Gibberellin 5 ppm) C2 (khitosan 100 ppm), dengan nilai rata-rata berturutturut adalah 1.5645 gram, 1.4792 gram. Hal ini diduga karena khitosan mengandung bahan-bahan yang
bermuatan negatif seperti protein, anion, polisakarida, asam nukleat yang membentuk ion netral, sehingga dapat masuk kedalam jaringan dinding sel yang dapat menginduksi perubahan ultrastruktural danlam sel atau jaringan tanaman dengan memperbesar aktifitas enzim (Suhendi, 2005).El Ghaouth et al., 1991 dalam Nurwardani 2005 mengatakan bahwa mekanisme khitosan berkaitan dengan morfologis dan ultrastruktural, deposisi dari material dinding sel, dan memperbesar aktivitas enzim.
Gambar 2. Grafik pengaruh Gibberellin, Auksin dan Khitosan Terhadap Berat Basah Tanaman Kubis Bunga
Berdasarkan analysis of variance untuk bobot basah sangat berbeda nyata karena F-tabel lebih besar dari F-hitung dalam taraf 1% sehingga dikatakan sangat berbeda nyata. Sehingga H1 diterima yaitu terdapat pengaruh perendaman gibberellin, auksin, dan khitosan terhadap bobot basah, dengan menggunakan perendaman terbaik khitosan 50 ppm (C3).
Pengaruh Perendaman Gibberellin, Auksin, dan Khitosan Terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Bibit Kubis Bunga (Brassica Oleracea var. botrytis l.), Asep Saepul Alam, SP
94
Pengaruh Gibberellin, Auksin dan Khitosan Terhadap Berat Kering Bibit Kubis Bunga Tabel 3. Pengaruh Gibberellin, Auksin dan Khitosan Terhadap Berat Basah dan Berat Kering Bibit Kubis Bunga Perlakuan
Berat Kering Tanaman
K A1 A2 A3 G1 G2 G3 C1 C2 C3
0,1178 ab 0,1029 a 0,1231 ab 0,1342 ab 0,1385 ab 0,1264 ab 0,1541 b 0,1192 ab 0,1673 b 0,1907 b
Pada pengamatan Berat basah akar bibit kubis bunga hari ke-32 yang memberikan perlakuan terbaik pada hari ke-32 yaitu perlakuan C3 (Khitosan 50 ppm) dengan nilai rata-rata 0.1907 gram berbeda nyata terhadap K (Kontrol) A1 (Auksin 50 ppm), A2 (Auksin 10 ppm) A3 (Auksin 5 ppm), G1 (Gibberellin 50 ppm), G2 (Gibberellin 10 ppm), C1 (khitosan 500 ppm), dengan nilai ratarata beturut-turut adalah 0.1178 gram, 0.1029 gram , 0.1231 gram, 0.1342 gram, 0.1385 gram, 0.1264 gram, 0.1192 gram tetapi tidak berbeda nyata dengan, G3 (Gibberellin 5 ppm) dan C2 (khitosan 100 ppm) dengan nilai rata-rata berturutturut adalah 0.1541 gram, dan 0.1673 gram, Hal ini diduga karena khitosan mengandung bahan-bahan yang bermuatan negatif seperti protein, anion, polisakarida, asam nukleat yang membentuk ion netral, sehingga dapat masuk kedalam jaringan dinding sel yang
dapat menginduksi perubahan ultrastruktural dalam sel atau jaringan tanaman dengan memperbesar aktifitas enzim (Suhendi, 2005).El Ghaouth et al., 1991 dalam Nurwardani 2005 mengatakan bahwa mekanisme khitosan berkaitan dengan morfologis dan ultrastruktural, deposisi dari material dinding sel, dan memperbesar aktivitas enzim.
Gambar 3. Grafik pengaruh Gibberellin, Auksin dan Khitosan Terhadap Berat Kering Tanaman Kubis Bunga
Berdasarkan analysis of variance untuk bobot kering sangat berbeda nyata karena F-tabel lebih besar dari F-hitung dalam taraf 1%. Sehingga H1 diterima yaitu terdapat pengaruh perendaman gibberellin, auksin, dan khitosan terhadap bobot kering, dengan menggunakan perendaman terbaik khitosan 50 ppm (C3). KESIMPULAN Hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut, bahwa : H1 = Terdapat pengaruh ZPT Auxin, Gibberellin, dan Khitosan terhadap tinggi , berat basah dan berat kering tanaman kubis bunga putih.
Pengaruh Perendaman Gibberellin, Auksin, dan Khitosan Terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Bibit Kubis Bunga (Brassica Oleracea var. botrytis l.), Asep Saepul Alam, SP
95
DAFTAR PUSTAKA Abidin, Zainal. 1983. Dasar-Dasar Pengetahuan Tentang Zat Pengatur Tumbuh. Angkasa. Bandung Gomez, A. G. 1995. Prosedur Statistik Untuk Penelitian Pertanian Edisi Kedua, terjemahan oleh Sjamsuddin Endang dan Baharsjah, J.S. Universitas Indonesia. Jakarta. Nurwardani, Paristiyanti. 2006. Khitosan Bahan Pengendali Colletotrichum Capsisi Penyebab Penyakit Antraknos Pada Buah Cabai Pasca Panen. Disertasi. Universitas Brawijaya. Malang Hal 15-19. Suhendi, Hendi. 2006. Pengaruh Perendaman ZPT (Zat Pengatur
Tumbuh) Gibberellin, Auxin Dan Khitosan Terhadap Perkecambahan Dan Pembibitan Padi Varietas Pandan Wangi. Skripsi. Universitas Suryakancana. Cianjur. Salisbury, F.B. and C.W. Ross. 1992. Fisologi Tanaman jilid 3, terjemahan oleh Lukman, D.R dan Sumaryono. ITB. Bandung. Sutopo, Lita. 2002. Teknologi Benih. PT. Raja Grafindo Jakarta Persada. Bandung Tjioneris, Menas. 2005. Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) sebagai Herbisida. http//www.google.com (3) 1 hal 3 Yandianto. 1990. Bercocok Tanam Hortikultura. M2S. Bandung.
Pengaruh Perendaman Gibberellin, Auksin, dan Khitosan Terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Bibit Kubis Bunga (Brassica Oleracea var. botrytis l.), Asep Saepul Alam, SP
96
PENGARUH APLIKASI PERENDAMAN GIBBERELIN TERHADAP AKSELERASI PERKECAMBAHAN DAN PEMECAHAN DORMANSI BENIH ALBASIA (Albizia falcataria L.) Robby Falentino* Dan Dr. Ir. Paristiyanti Nurwardani, M.P.**
RINGKASAN Proses pembibitan albasia sering terbentur berbagai masalah, yang salah satunya adalah daya perkecambahan benih albasia yang relatif rendah, karena kulit biji albasia memiliki tekstur yang liat, padat dan kuat sehingga menyulitkan proses imbibisi untuk pemecahan masa dormansi benih yang berkaitan erat dengan proses inisiasi perkecambahan. Hal ini menyebabkan daya kecambah benih Albasia kurang dari 50%. Implikasi masalah ini adalah benih tersebut mati dan harus diganti dengan menyemai benih baru sehingga mengakibatkan pemborosan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh aplikasi perendaman Gibberelin terhadap aksellerasi perkecambahan dan pemecahan dormansi albasia dengan menggunakan rancangan percobaan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan enam perlakuan dan empat ulangan. Konsentrasi Gibberelin yang diberikan pada pembibitan adalah sebagai berikut: A = 0 ppm B = 200 ppm C = 250 ppm D = 300 ppm E = 350 ppm F = 400 ppm. Hasil menunjukan bahwa pengaruh perendaman ZPT Giberelin berpengaruh nyata dalam memecahkan masa dormansi, mempercepat perkecambahan, inisiasi kemunculan daun dan tinggi bibit. Konsentrasi 300 ppm larutan giberelin memberikan hasil optimal dalam mematahkan masa dormansi, mempercepat inisiasi kemunculan organ-organ penting dan pertumbuhan vegetatif. Kata kunci: Giberelin, Albasia.
ABSTRACT Albizia breeding process by farmers often hit various problems, one of which is the albizia seed germination are relatively low, because the seed coat albizia has a clay texture, dense and strong that complicate the process for solving imbibisi seed dormancy period which is closely related to the initiation germination. This leads to germination of seeds Albasia less than 50%. This experiment were made using Complete Random Formula (RAL) with six parameter and six replication. The concentration
Pengaruh Aplikasi Perendaman Gibberelin Terhadap Akselerasi Perkecambahan dan Pemecahan Dormansi Benih Albasia (Albizia falcataria l.), Robby Falentino, SP dan Dr.Ir. Paristiyanti Nurwardani, MP
97
of Gibberelic acid applied into the seedling is as follow: A = 0 ppm, B = 200 ppm, C = 250 ppm, D = 300 ppm, E = 350 ppm, F = 400 ppm The results shows that the interactions of Gibberelic acid immersion were significantly increasing breaking dormant period rate of Albazia, seedling acceleration, leaf sprouting rate, height and fresh weight. The 300 ppm of Gibberelic Acid concentration were gives the best results in breaking the dormant period, increasing the initial seedling and various organs in vegetative phase. Key word : Giberelic Acid, Albazia. PENDAHULUAN Pohon Albasia merupakan pohon yang serba guna. Dari mulai daun hingga akarnya dapat dimanfaatkan untuk beragam keperluan. Kayu albasia digunakan sebagai bahan baku pembuatan peti, papan penyekat, pengecoran semen dalam kontruksi, industri korek api, pensil, papan partikel, bahan baku industri pulp kertas dan lain sebagainya. Daun Albasia, merupakan pakan ternak yang sangat baik dan mengandung protein tinggi. Jenis ternak seperti sapi, kerbau, dan kambing menyukai daun Albasia tersebut (Lablink.or.id, 2008). Proses pembibitan albasia oleh para petani sering terbentur berbagai masalah, yang salah satunya adalah daya perkecambahan benih albasia yang relatif rendah, karena kulit biji albasia memiliki tekstur yang liat, padat dan kuat sehingga menyulitkan proses imbibisi untuk pemecahan masa dormansi benih yang berkaitan erat dengan proses inisiasi perkecambahan. Hal ini menyebabkan daya kecambah benih Albasia kurang dari 50%. Implikasi masalah ini adalah benih tersebut mati dan harus diganti dengan
menyemai benih baru sehingga mengakibatkan pemborosan. Usaha yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan perkecambahan dan dormansi albasia pada umumnya adalah benih diperlakukan dengan asam kuat seperti asam sulfat, asam nitrat dengan konsentrasi pekat sehingga membuat kulit biji menjadi lebih lunak dan dapat dilalui oleh air dengan mudah. Bahan kimia lain yang sering digunakan adalah potassium hidroxide, asam hidrochlorit, potassium nitrat dan Thiourea. Selain itu dapat juga digunakan hormon tumbuh antara lain: sitokinin, gibberelin.. Menurut Wuryani (2008), Gibberelin mempercepat munculnya akar pada tanaman anggrek. Menurut Wattimena (1988), Auxin Endogen mendorong pembentukan akar dan stek tanaman. Berdasarkan referensi tersebut diatas, salahsatu solusi untuk meningkatkan produktifitas pembenihan albasia adalah memberi perlakuan pada benih dengan asam kuat atau hormon tumbuh. Tetapi sampai dengan saat ini belum ada formulasi yang tepat sehingga dapat dijadikan rekomendasi. Oleh karena itu akan dilakukan penelitian tentang
Pengaruh Aplikasi Perendaman Gibberelin Terhadap Akselerasi Perkecambahan dan Pemecahan Dormansi Benih Albasia (Albizia falcataria l.), Robby Falentino, SP dan Dr.Ir. Paristiyanti Nurwardani, MP
98
pengaruh Gibberelin terhadap akselerasi perkecambahan dan pemecahan dormansi benih albasia (Albizia falcataria L.)
Tujuan Penelitian
Dari penelitian ini ada beberapa hal yang ingin diketahui: 1) Pengaruh perendaman benih dengan Gibberelin terhadap persentase akselerasi perkecambahan bibit albasia. 2) Pengaruh perendaman benih menggunakan Gibberelin terhadap tinggi bibit. 3) Pengaruh perendaman benih menggunakan Gibberelin terhadap persentase kemunculan daun dalam satu periode. 4) Pengaruh perendaman benih dengan Gibberelin terhadap bobot segar bibit albasia. 5) Pendugaan model matematis konsentrasi Gibberelin optimal terhadap pemecahan dormansi dan perkecambahan.
Rancangan Percobaan
Penelitian menggunakan rancangan percobaan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan enam perlakuan dan empat ulangan. Konsentrasi Gibberelin yang diberikan pada pembibitan adalah sebagai berikut: 1) 2) 3) 4) 5) 6)
A = 0 ppm B = 200 ppm C = 250 ppm D = 300 ppm E = 350 ppm F = 400 ppm
Dengan 6 perlakuan dan 4 ulangan, terdapat 24 kombinasi. Setiap ulangan terdiri dari satu liter air dengan satu konsentrasi larutan Gibberelin dan 10 polybag benih albasia. Sehingga jumlah benih yang digunakan untuk pembibitan sebanyak 240 unit polybag.
BAHAN DAN METODE
Alat dan Bahan
Dalam pelaksanaan penelitian alat yang digunakan antara lain adalah cangkul, ember, karung plastik, kertas label, penggaris, gembor, polybag, gelas ukur, alat tulis, timbangan digital, open, kamera digital dan lain-lain. Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah benih albasia varietas lokal dari daerah kabupaten Cianjur yang umum digunakan dan tersedia dengan mudah di toko pertanian dan penyuplai pupuk. Gibberelin tablet, tanah, furadan, dan sekam bakar.
Gambar 1. Larutan Gibberelin
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil secara umum menunjukan bahwa perlakuan perendaman benih albasia memberikan pengaruh yang signifikan dalam
Pengaruh Aplikasi Perendaman Gibberelin Terhadap Akselerasi Perkecambahan dan Pemecahan Dormansi Benih Albasia (Albizia falcataria l.), Robby Falentino, SP dan Dr.Ir. Paristiyanti Nurwardani, MP
99
konsentrasi tertentu yakni 300 ppm. Hal ini juga mengindikasikan bahwa konsentrasi yang lain memiliki sifat yang dis-responsif terhadap pertumbuhan bibit albasia, dimana terlalu sedikit konsentrasi giberelin (kontrol) mengakibatkan kurangnya tingkat akselerasi pertumbuhan dan apabila terlalu berlebihan (400 ppm) mengakibatkan pertumbuhan cenderung menurun. Tabel 1. Tabel persentase kemunculan kecambah
*Sumber : Data Primer (2009)
Pengaruh perendaman Gibberelin terhadap akselerasi perkecambahan dan pemecahan dormansi pada hari pertama masih belum terlihat adanya sesuatu yang signifikan. Hal ini dikarenakan kriteria pengambilan data adalah kecambah yang muncul kepermukaan. Akan tetapi pada periode ini sebetulnya benih albasia sudah ada yang mulai berkecambah seperti terlihat dari benih kecambah yang tersebar pada tanah persemaian.
Gambar 2. Kemunculan Kecambah Hari Pertama
Perendaman Gibberelin berpengaruh sangat nyata terhadap akselerasi perkecambahan dan pemecahan dormansi pada hari kedua. Dalam hasil pengamatan dapat dilihat bahwa perlakuan Gibberelin dengan konsentrasi 300 ppm memberikan pengaruh nyata terhadap akselerasi perkecambahan. Perlakuan Giberelin dengan konsentrasi 300 ppm memberikan pengaruh yang optimal dalam mempercepat proses perkecambahan. Hasil ini berbeda nyata dengan kontrol dan konsentrasi maksimum 400 ppm yang kurang memberikan pengaruh yang signifikan terhadap akselerasi perkecambahan. Perlakuan 300 ppm ini berpengaruh sangat nyata dibandingkan perlakuan lainya dengan nilai F 12.97 dan nilai P (P.Value) 0.000 (dibawah 0.05). Kusnandar (2004), mengemukakan bahwa setiap koefisisen dengan nilai lebih kecil dari 0.05 angka ini dinyatakan berbeda nyata atau signifikan. Diduga peranan gibberelin secara eksogen dapat
Pengaruh Aplikasi Perendaman Gibberelin Terhadap Akselerasi Perkecambahan dan Pemecahan Dormansi Benih Albasia (Albizia falcataria l.), Robby Falentino, SP dan Dr.Ir. Paristiyanti Nurwardani, MP
100
Persentase Kemunculan Kecambah 120 100 Persentase
membantu memecahkan dormansi dan memacu perkecambahan benih albasia. Menurut BIOMA (2008) Efek giberelin tidak hanya mendorong perpanjangan batang, tetapi juga terlibat dalam proses regulasi perkembangan tumbuhan seperti halnya auksin. Pada beberapa tanaman pemberian GA bisa memacu pembungaan dan mematahkan dormansi tunas-tunas serta biji.
80
Hari Ke-2
60
Hari Ke-3 Hari Ke-4
40 20 0 0
200
250
300
350
400
Konsentrasi
Gambar 2. Grafik Pengaruh Giberelin Terhadap Persentase Kemunculan Kecambah
Tinggi Bibit Albasia
Pengaruh perendaman gibberelin pada parameter tinggi bibit memberikan pengaruh nyata seperti yang tersaji pada Tabel 2. Tabel 2. Pengaruh Giberelin Terhadap Tinggi Bibit Albasia
Gambar 3. Kemunculan kecambah hari ke-2
Pada Hari ke-3 pengaruh perendaman larutan gibberelin memberikan pengaruh nyata pada hari ke tiga, hal ini didasari karena persentase kemunculan kecambah pada periode ini masih sangat tinggi pada benih yang diberikan perlakuan gibberelin. Seperti hari sebelumnya perlakuan D 300 ppm memberikan pengaruh palig nyata.
*Sumber : Data Primer (2009)
Tabel diatas menunjukan bahwa respon perendaman Giberelin terhadap benih albasia dengan konsentrasi 300 ppm memberikan hasil optimum dan dapat meningkatkan tinggi bibit albasia. Perlakuan 300 ppm ini berpengaruh sangat nyata dibandingkan perlakuan lainya dengan nilai F 40,06 dan nilai koefisien P
Pengaruh Aplikasi Perendaman Gibberelin Terhadap Akselerasi Perkecambahan dan Pemecahan Dormansi Benih Albasia (Albizia falcataria l.), Robby Falentino, SP dan Dr.Ir. Paristiyanti Nurwardani, MP
101
(P.Value) 0.000 (dibawah 0.05). Diduga peranan gibberelin secara eksogen dapat membantu memacu pertumbuhan albasia pada kadar rendah. Hal ini disebabkan pertumbuhan dan perkembangan batang atau tanaman tergantung pada tingkat tersedianya meristem, hasil asimilasi, hormon dan substansi pertumbuhan lainnya, serta lingkungan yang mendukung.
tanaman dalam jumlah terbatas. Pemberian senyawa-senyawa sintetik tersebut akan mengubah keseimbangan hormon dalam tanaman sehingga menimbulkan sesuatu respon tertentu (tinggi tanaman). ZPT dengan konsentrasi yang tepat akan meningkatkan perbanyakan sel tanaman.
Pengaruh Perendaman Gibberelin Terhadap Tinggi Bibit Albasia 7 Tinggi (cm)
6 5
Hari ke-4
4
Hari ke-8
3
Hari ke-12
2 1 0 0
200
250
300
350
400
Konsentrasi (ppm)
Gambar 3. Grafik Respon Pengaruh Giberelin Terhadap Tinggi Bibit.
Grafik di atas menunjukan bahwa perlakuan giberelin pada benih albasia memberikan pengaruh secara eksogen dalam meningkatkan tinggi bibit hingga mencapai 6,64 cm pada respon perlakuan 300 ppm giberelin dalam hari ke 14 bibit setelah tanam. Sementara kontrol kurang memberikan pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan dimana hanya mencapai 4,27 cm pada hari ke tiga. Manurung (1985), mengemukakan bahwa pertumbuhan tanaman secara alami dikendalikan oleh hormon endogen yang tersedia dalam
Gambar 6. Perbandingan Respon Perlakuan Gibberelin
Bobot Segar
Hasil penelitian menunjukan bahwa rata-rata bobot segar keseluruhan bibit albasia pada setiap perlakuan berkisar antara 0,54 gram sampai dengan 0,65 gram, sedangkan total rata-rata adalah 0,62 gram (Lampiran). Hasil uji statistik rata-rata bobot segar antara perlakuan, menunjukan bahwa terdapat perbedaan signifikan pada perlakuan E (350 ppm) dengan nilai F 28,67 pada taraf 0,00 (dibawah 0,05). Tabel 7 menyajikan data pengaruh Giberelin yang terdapat pada bibit albasia.
Pengaruh Aplikasi Perendaman Gibberelin Terhadap Akselerasi Perkecambahan dan Pemecahan Dormansi Benih Albasia (Albizia falcataria l.), Robby Falentino, SP dan Dr.Ir. Paristiyanti Nurwardani, MP
102
Tabel 3. Pengaruh Giberelin Terhadap Bobot Segar Bibit Albasia
Bobot Segar (mg)
Pengaruh perendaman Giberelin terhadap Bobot Segar Albasia 0,07 0,06 0,05 0,04 0,03 0,02 0,01 0 0
200
250
300
350
400
Konsentrasi
*Sumber : Data Primer (2009)
Dari tabel 3 diatas, ternyata hasil analisis statistik pada parameter bobot segar bibit albasia dinyatakan bahwa perlakuan E (350 ppm) dan A (0 ppm) mendapatkan respon signifikan dari perlakuan lainya. Bobot segar pada bibit albasia diduga karena ZPT berpengaruh terhadap peningkatan tinggi bibit, pada saat yang sama biomasa bibit juga bertambah, dengan demikian akan mendorong peningkatan bobot segar bibit albasia. Salisbury dan Ross (1995), mengemukakan bahwa ZPT berperan dalam memacu pembesaran sel maka ukuran vakuola-vakuola menjadi besar dan menyebabkan terjadinya penyerapan air dalam jumlah besar oleh sel. Peningkatan volume sel akan meningkatkan bobot segar tanaman.
Gambar 4. Grafik pengaruh Giberelin terhadap bobot segar bibit albasia
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Hasil observasi subjek di lapangan maupun hasil analisis statistik menunjukan bahwa pengaruh perendaman ZPT Giberelin berpengaruh nyata dalam memecahkan masa dormansi, mempercepat perkecambahan, inisiasi kemunculan daun dan tinggi bibit. Konsentrasi 300 ppm larutan giberelin memberikan hasil optimal dalam mematahkan masa dormansi, mempercepat inisiasi kemunculan organ-organ penting dan pertumbuhan vegetatif. Akan tetapi konsentrasi yang berlebih akan memberikan pengaruh yang negatif terhadap pertumbuhan bibit albasia karena berdasarkan hasil perhitungan statistik konsentrasi 400 ppm memberikan penurunan dalam proses pertumbuhan bibit albasia. Sedangkan untuk parameter bobot segar bibit tanaman albasia menunjukan pengaruh negatif.
Pengaruh Aplikasi Perendaman Gibberelin Terhadap Akselerasi Perkecambahan dan Pemecahan Dormansi Benih Albasia (Albizia falcataria l.), Robby Falentino, SP dan Dr.Ir. Paristiyanti Nurwardani, MP
103
Saran-saran Untuk hasil yang optimal dan seimbang antara tinggi, berat bibit dan mempercepat masa penyemaian bibit di lapangan maka perlu memperhatikan ketersediaan unsur hara yang tersedia dalam tanah. Hal ini dikarenakan perpanjangan sel yang dipengaruhi oleh giberelin akan berbanding terbalik dengan berat bibit, oleh karena itu untuk menaggulangi hal ini maka ketersediaan hara yang cuup dibutuhkan sebagai penyeimbang. 104 DAFTAR PUSTAKA Annonymous. (2008). Rawa. http.//www.lablink.or.id. accesed 7 Juli 2008. Bioma, 2008. peran Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) dalam Pertambahan dan Perkembangan Tumbuhan. UNDIP Manurung, S.O. 1985. Penggunaan Hormon dan Zat Pengatur Tumbuh pada Kedelai. Hal 231-242. dalam S. Somaatmadja, M.
Ismainudji, Sumarmo et al. Kedelai. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor Santosa, Sujarwati. 2003. Perkecambahan Pada Palem Jepang Akibat Perendaman. Universitas Gajah Mada. Sutopo.a A. 1985. Katalog Dormansi. PT. Gramedia. Jakarta Sutopo,b Lita. 2002 Teknologi Benih. PT. Raja Grafindo Jakarta Persada, Jakarta. Jakarta. P.1-52 Wuriyani,a. 2008. Pengaruh batang utama dan Giberelin terhadap per tumbuhan dan hasil Mawar Cherrly Brandy. Wuryan’s weblog. Html. Wuriyani,b. 2008. Peran Giberelin, pupuk, dan Paklobutrazol pada pembesaran subang Gladiol Asal biji. Wuryan’S weblog.htm
Pengaruh Aplikasi Perendaman Gibberelin Terhadap Akselerasi Perkecambahan dan Pemecahan Dormansi Benih Albasia (Albizia falcataria l.), Robby Falentino, SP dan Dr.Ir. Paristiyanti Nurwardani, MP
104
ELIMINASI Cymbidium mosaic virus PADA Protocorm likes bodies ANGGREK DENDROBIUM MENGGUNAKAN ZAT ANTIVIRAL RIBAVIRIN Melissa Syamsiah, S.Pd*
RINGKASAN
Anggrek merupakan tanaman hias yang memiliki tingkat permintaan yang cukup tinggi dan menduduki peringkat pertama dibandingkan tanaman hias lainnya. Keindahan tanaman anggrek pun dapat berkurang apabila tanaman tersebut terinfeksi virus patogen. Diantara patogen tersebut yang paling banyak menimbulkan kerugian adalah Cymbidium mosaic virus (CyMV) Virus tersebut merupakan salah satu patogen yang dominan menginfeksi tanaman anggrek di dunia. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan konsentrasi optimum zat antiviral Ribavirin dalam eliminasi Cymbidium mosaic virus pada protocorm-like bodies (plbs) anggrek Dendrobium. Tahapan penelitian meliputi deteksi CyMV pada plbs anggrek Dendrobium, perbanyakan plbs yang terinfeksi pada media Vacin and Went cair, eliminasi CyMV dengan perlakuan antiviral Ribavirin pada taraf konsentrasi 0, 10, 20, 30, 40 dan 50 ppm yang disusun menggunakan Rancangan Percobaan Acak Lengkap dengan banyaknya ulangan sebanyak tiga kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa plbs anggrek Dendrobium yang dipakai untuk perlakuan zat antiviral Ribavirin adalah plbs anggrek Dendrobium Jayakarta. CyMV mampu dibebaskan dengan antiviral Ribavirin pada plbs anggrek Dendrobium Jayakarta. Konsentrasi optimum antiviral Ribavirin 30 ppm dapat membebaskan CyMV pada plbs anggrek tersebut 100% tanpa mengganggu pertumbuhannya.
ABSTRACT
Orchid is an ornamental plant that has a fairly high level of demand and ranked first compared to other ornamental plants. The beauty of orchid plants can be reduced if infected by pathogenic virus like Cymbidium mosaic virus (CyMV). CyMV is the one of the dominant pathogen infecting orchid plant in the world. The aims of this study to determine the optimum concentration of Ribavirin antiviral agent on CyMV elimination in Dendrobium Jayakarta protocorm-like bodies (plbs). Stages of this study included to detect CyMV in Dendrobium plbs, infected plbs propagation in Vacin and Went liquid media, to eliminate CyMV by Ribavirin antiviral treatments in six concentrations (0, 10, 20, 30, 40 and 50 ppm) arranged in Randomized Completely Design with three replications. The results of this study showed that CyMV was eliminated by Ribavirin in D. Jayakarta plbs. The optimum concentration of Ribavirin to eliminate 100% CyMV without growth inhibition of the plbs was 30 ppm. Keyword: Cymbidium mosaic virus elimination, Dendrobium, Ribavirin *Dosen Fakultas Pertanian UNSUR
Eliminasi Cymbidium mosaic virus Pada Protocorm likes bodies Anggrek Dendrobium Menggunakan Zat Antiviral Ribavirin, Melissa Syamsiah, S.Pd
105
PENDAHULUAN Tanaman tahunan atau tanaman yang diperbanyak secara vegetatif seperti kentang, strawberry dan tanaman hias selama pertumbuhan dan perkembangannya di lapangan tidak terlepas dari organisme pengganggu tanaman baik hama maupun penyakit, termasuk penyakit yang disebabkan oleh virus. Menurut Bos 1983 dalam Muis 2002, virus mempunyai pengaruh yang bermacam-macam terhadap tanaman, karena virus mempunyai daya tular yang tinggi sehingga infeksinya pada tanaman budidaya berlangsung cepat dan dapat mencapai tingkat epidemi. Salah satu tanaman hias yang banyak terserang virus adalah tanaman anggrek. Anggrek merupakan komoditas hortikultura yang banyak diminati masyarakat karena memiliki variasi warna dan bentuk bunga yang indah. Daerah sentra produksi anggrek di Indonesia adalah Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Permintaan anggrek banyak digunakan untuk berbagai keperluan seperti upacara keagamaan, hiasan dekorasi ruangan, ucapan selamatan serta ungkapan duka cita (Pranata 2007). Pada saat ini anggrek yang dominan diminati masyarakat adalah jenis Dendrobium (34%), Oncidium Golden Shower (26%), Cattleya (20%) dan Vanda (17%) serta anggrek lainnya (3%) (BPTP 2005). Ketersediaan benih tanaman anggrek berasal dari produksi dalam negeri dan impor. Untuk benih anggrek diimpor dari luar negeri pada tahun 2005 sebesar 4,7 juta benih kemudian menurun pada tahun 2006 menjadi 2,9 juta dan tahun 2007 menjadi 2,7 juta benih. Menurunnya impor benih anggrek disebabkan
karena adanya peningkatan produksi benih anggrek di dalam negeri yaitu pada tahun 2005 dari 2,2 juta benih menjadi 10,2 juta benih pada tahun 2006, dan di tahun 2007 menjadi 11,2 juta benih (Dirjen Hortikultura 2008). Selain untuk memenuhi kebutuhan anggrek dalam negeri, Indonesia juga mengekspor tanaman anggrek ke beberapa Negara seperti Jepang, Belanda dan Amerika (Dirjen Hortikultura 2008). Pada perdagangan internasional sebenarnya tidak ada aturan baku mengenai standar mutu, akan tetapi lebih tergantung pada perusahaan pengimpor dari Negara tujuan ekspor. Negara-negara tujuan ekspor memberikan syarat harus bebas dari organisme pengganggu tanaman (OPT) baik berupa hama, penyakit, maupun gulma, sedangkan perusahaan pengimpor menghendaki standar mutu yang lebih dikaitkan dengan harga. Rendahnya standar mutu yang berorientasi harga tanpa mempertimbangkan standar mutu yang berorientasi bebas dari OPT akan memberikan dampak negatif bagi plasma nuftah Indonesia. Keindahan tanaman anggrek dapat berkurang apabila tanaman tersebut terinfeksi virus patogen. Diantara patogen tersebut yang paling banyak menimbulkan kerugian adalah Cymbidium mosaic virus (CyMV) dan Odontoglosum ringspot virus (ORSV), disebutkan pula bahwa infeksi CyMV memberikan pengaruh yang lebih berat dibandingkan dengan infeksi ORSV (Pearson&Cole 2008). Hasil penelitian Tanaka et al. (1997) menunjukan bahwa beberapa kultivar anggrek di Thailand terinfeksi Cymbidium mosaic virus (CyMV) yaitu pada anggrek Denrobium (65.7%), Cattleya (45.5%), Oncidium (35%), Phalaenopsis (25%) dan Vanda (51%).
Eliminasi Cymbidium mosaic virus Pada Protocorm likes bodies Anggrek Dendrobium Menggunakan Zat Antiviral Ribavirin, Melissa Syamsiah, S.Pd
106
Penyakit tanaman anggrek yang disebabkan CyMV pertama kali diidentifikasi pada tahun 1950 oleh Jensen di California (ICTVdB 2002). Secara etiologi agen diidentifikasi sebagai virus yang dinamai CyMV. Sejak itu CyMV dilaporkan keberadaannya di beberapa Negara penghasil bunga potong di Eropa, Aurstralia, Amerika, Afrika dan Asia. CyMV merupakan virus yang termasuk family Flexiviridae dan genus Potexvirus (Gara et al 1996). Gejala yang ditimbulkan oleh CyMV pada tanaman anggrek adalah terjadinya nekrosis (bintik-bintik, garis-garis atau lingkaran-lingkaran) pada bunga, virus tersebut umum ditemukan pada tanaman anggrek yang dibudidayakan, hal ini disebabkan virus tersebut dapat ditularkan melalui alat-alat pertanian, seperti gunting dan pot yang terkontaminasi dan tidak ditularkan oleh serangga ataupun biji (Wisler 1989). Studi mikroskop elektron menunjukan bahwa virion-virion CyMV berbentuk filamentous dengan diameter 480 x 13 nm yang tidak dibungkus oleh envelope dan mempunyai titik inaktivasi 60-70 oC selama 10 menit serta dapat bertahan pada cairan perasan tanaman selama 25 hari pada suhu ruang dalam kondisi in vitro. Genom CyMV merupakan ssRNA linear dan berukuran 8,1 kb. Genom CyMV pertama kali diisolasi oleh Frowd dan Tremaine (1977) dan mempunyai komposisi basa G 21.1%, A 28.9%, C24,4% dan U 25,6%. Ribavirin merupakan zat kimia antiviral yang mempunyai rumus kimia 1,2,4-triazole-3-carboxamide dan memiliki nama lain Virazole dengan rumus molekul C8H12N4O5 dan massa molekul 244.206. Ribavirin merupakan analog guanosin dan adenosin yang
dimetabolisme menyerupai nukleotida RNA purin. Dimana mekanisme kerjanya adalah menghambat kerja RNA polimerase (Wu, et al 2003). Wu (2003) menyebutkan bahwa RNA virus akan berkompetisi dengan Ribavirin yang merupakan analog basa purin RNA untuk berikatan dengan RNA polimerase. Ikatan dengan Ribavirin lebih kuat yang menyebabkan virus tidak bisa melakukan replikasi karena kerja RNA polimerase untuk berikatan dengan RNA virus terhambat. Selain itu disebutkan pula bahwa Ribavirin (VIRAZOLE®), suatu analog nukleosida purin, mekanisme tindakannya dapat dilakukan dengan penghambatan inosin monofosfat dehidrogenase (IMPDH), sebuah enzim dalam jalur sintesis purin de novo. Ribavirin menghambat IMPDH melalui metabolit 5'-Ribavirin monofosfat (RMP) Pembebasan CyMV pernah dilakukan menggunakan Ribavirin pada konsentrasi 5 – 25 ppm, akan tetapi Ribavirin pada kisaran konsentrasi tersebut belum mampu membebaskan CyMV pada anggrek Dendrobium (Widiastoety&Muharam 1988). Chang et al. (2004) melaporkan bahwa perlakuan Ribavirin pada konsentrasi 0-30 ppm dapat membebaskan CyMV sekitar 5-17% pada anggrek Oncidium dengan media dasar Murashige and Skooge. Pembebasan CyMV juga berhasil melalui kombinasi perlakuan Ribavirin dengan kultur meristem, dengan ukuran jaringan meristem 0,1 mm – 1.0 mm (Lim, et al. 2008) dengan lama perlakuan satu bulan. Hasil penelitian Wannakrairoj, et al. (2001) menyebutkan pemberantasan CyMV, virus yang paling umum di anggrek Dendrobium, dilakukan dengan menggunakan dithiouracil (DTU) dan Ribavirin pada protocorm likes bodies
Eliminasi Cymbidium mosaic virus Pada Protocorm likes bodies Anggrek Dendrobium Menggunakan Zat Antiviral Ribavirin, Melissa Syamsiah, S.Pd
107
(plbs) dari klon dari cutflower anggrek, Dendrobium Sonia BOM 17. Ditemukan bahwa konsentrasi DTU 0,1; 0,15 dan 0,2 mM mengurangi laju pertumbuhan plbs, tetapi tidak mampu menghilangkan virus setelah 7 minggu di kultur cair. Sementara Ribavirin 0,1; 0,15 dan 0,2 mM dalam media cair menyebabkan Plbs mulai mati setelah 2 minggu. Penerapan Ribavirin 0,2 mM dalam media padat selama 1 minggu dan 0,2 mM dalam media padat selama 12 minggu menyebabkan produksi 19,4 % plbs bebas CyMV. Ribavirin telah diketahui dapat menghilangkan atau mengeliminasi Cymbidium mosaic virus (CyMV) pada anggrek dengan perlakuan konsentrasi tertentu. Namun sampai saat ini, hasil penelitian mengenai kajian eliminasi CyMV pada anggrek Dendrobium menggunakan zat antiviral Ribavirin belum banyak dilakukan dan belum mendapatkan hasil eliminasi yang cukup besar. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menentukan konsentrasi optimum zat antiviral Ribavirin dalam eliminasi CyMV pada protocorm like bodies (plbs) anggrek Dendrobium. METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Desember 2010 hingga April 2011. Tempat pelaksanaannya di Laboratorium Virologi, Balai Penelitian Tanaman Hias Segunung – Cianjur. Bahan dan Alat Bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah plbs (protocorm likes bodies) anggrek Dendrobium yang sudah diketahui terinfeksi CyMV melalui deteksi dengan DAS-ELISA (Double Antybody
Sandwich- Enzyme Linked Immunosorbent Assay), tanaman anggrek Dendrobium yang positif terinfeksi CyMV dan tanaman anggrek Dendrobium yang negatif atau tidak terinfeksi CyMV. Bahan kimia lain yang digunakan IgG CyMV (Immunoglobulin G Cymbidium mosaic virus), IgG-AP CyMV (IgGAlkalin posfatase CyMV), KH2PO4, diethanolamine, H3BO3, Alkohol 96%, Spiritus, Ribavirin, Sukrosa, agar, dll. Sedangkan alat yang digunakan pada penelitian eliminasi CyMV pada anggrek Dendrobium dengan menggunakan antiviral Ribavirin adalah plate ELISA, ELISA Reader, Beaker glass, gelas ukur, Bunsen, alumunium foil, pinset, petri dish, mikrotiter dan alat lainnya sebagai penunjang. Metode Penelitian Deteksi CyMV pada plbs anggrek Dendrobium (Clark and Adam 1977) Untuk mendapatkan plbs tanaman anggrek yang terinfeksi CyMV dilakukan deteksi terhadap plbs yang sudah tersedia di Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Hias Segunung – Cianjur melalui teknik DAS ELISA. Plbs yang tidak terinfeksi CyMV digunakan sebagai kontrol negatif, sedangkan plbs yang terinfeksi digunakan sebagai kontrol positif dan sebagai materi yang akan diberi perlakuan. Perbanyakan plbs yang Terinfeksi CyMV pada Media VW (Vacin and Went) Cair (Diningsih et al 2009) Perbanyakan plbs terinfeksi maupun yang tidak terinfeksi CyMV dilakukan pada media VW Cair. Kultur plbs diinkubasikan selama dua bulan dalam ruangan kultur (18oC) dengan intensitas cahaya 1000 lux sambil digoyang sehingga siap untuk diberi perlakuan.
Eliminasi Cymbidium mosaic virus Pada Protocorm likes bodies Anggrek Dendrobium Menggunakan Zat Antiviral Ribavirin, Melissa Syamsiah, S.Pd
108
Eliminasi CyMV dengan Perlakuan Antiviral Ribavirin (Widiastoeti & Muharam 1988; Lim et al 2008) Plbs yang akan diberi perlakuan berukuran sekitar 5 mm kemudian ditanam pada media dasar Vacin and Went padat yang mengandung Ribavirin dengan 6 taraf perlakuan yaitu 0, 10, 20, 30, 40 dan 50 ppm. Ribavirin dicampurkan ke dalam medium steril dengan cara difilter menggunakan saringan bakteri / milifore (Gelman science 0.22 µm). Botol kultur disimpan pada ruang kultur (18oC) dengan intensitas cahaya 1000 lux. Perlakuan dilakukan dengan 3 kali subkultur pada media yang sama masing-masing selama 18 hari dan pada akhir masa perlakuan sub kultur dilakukan kembali deteksi keberadaan CyMV dengan DAS ELISA. Analisis Statistika Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan percobaan acak lengkap (RAL) satu faktor dengan enam perlakuan (konsentrasi Ribavirin 0, 10, 20, 30, 40 dan 50 ppm) dengan banyaknya ulangan tiga kali. Masingmasing botol perlakuan berisi lima buah plbs. Parameter yang diamati adalah % Hidup, dan %Bebas CyMV. Data yang diperoleh dianalisis dengan Analysis of Variance (ANOVA) pada tingkat kepercayaan 95% dan taraf 0.05 serta uji beda nyata dengan uji Duncan. HASIL DAN PEMBAHASAN Deteksi CyMV pada plbs Anggrek
Dendrobium
Untuk mendapatkan plbs anggrek Dendrobium yang digunakan selanjutnya untuk perlakuan dengan antiviral Ribavirin, telah dilakukan
pengujian atau deteksi CyMV pada tiga jenis plbs yang terdapat di Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Hias Cianjur. Plbs anggrek yang diuji adalah jenis Dendrobium Jayakarta (D. Jayakarta), D. Polisema dan D. Sonia. Berdasarkan hasil uji DAS-ELISA terhadap CyMV pada ketiga jenis plbs, diketahui bahwa plbs D. Jayakarta menunjukkan reaksi positif terhadap antiserum CyMV, artinya mengandung partikel CyMV, sedangkan plbs D. Polisema dan D. Sonia bereaksi negatif. Dengan demikian, plbs anggrek D. Jayakarta digunakan selanjutnya untuk perlakuan dengan antiviral Ribavirin. ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay) adalah suatu teknik deteksi dengan metode serologis yang berdasarkan atas reaksi spesifik antara antigen dan antibodi, mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dengan menggunakan enzim sebagai indikator. Prinsip dasar ELISA (Burgess 1995) adalah analisis interaksi antara antigen dan antibodi yang teradsorpsi secara pasif pada permukaan fase padat dengan menggunakan konjugat antibodi atau antigen yang dilabel enzim. Enzim ini akan bereaksi dengan substrat dan menghasilkan warna. Warna yang timbul dapat ditentukan secara kualitatif dengan pandangan mata atau kuantitatif dengan pembacaan nilai absorbansi pada ELISA plate reader. Prinsip pengujian virus dengan metode ELISA adalah antibodi (protein) virus yang spesifik teradsorpsi pada permukaan lubang “polystyrene microtiter plate”. Antibodi tersebut akan menangkap antigen (virus yang terdapat pada sampel). Selanjutnya virus tersebut akan bereaksi dengan spesifik antibodi yang telah dilabel
Eliminasi Cymbidium mosaic virus Pada Protocorm likes bodies Anggrek Dendrobium Menggunakan Zat Antiviral Ribavirin, Melissa Syamsiah, S.Pd
109
dengan alkalin fosfatase. Ada tidaknya virus dalam sampel ditandai dengan berubahnya warna menjadi kuning setelah diberi penyangga substrat yang mengandung 4-nitrofenilfosfat. Perubahan warna terjadi karena 4nitrofenil dirubah menjadi 4-nitrofenol yang intensitas warna kuningnya sebanding dengan banyaknya antigen yang tertangkap oleh antibodi (Clark & Adam 1977; BALITHI 2003). Pengaruh Perlakuan Zat Antiviral Ribavirin Terhadap Keberadaan Cymbidium mosaic virus (CyMV) dalam plbs Anggrek Dendrobium Jayakarta Pada perlakuan tanpa zat antiviral Ribavirin (0 ppm) baik pada subkultur pertama, kedua maupun ketiga (18–54 hari setelah tanam), keberadaan CyMV masih terdeteksi (Tabel 1). Pada subkultur pertama dan kedua tampak bahwa setiap perlakuan zat antiviral Ribavirin belum menunjukan perlakuan yang dapat membebaskan CyMV dalam plbs anggrek D. Jayakarta. Dengan demikian pada subkultur pertama dan kedua pada setiap perlakuan menunjukan bahwa plbs terdeteksi masih mengandung atau terinfeksi CyMV. Penambahan zat antiviral Ribavirin tampak berpengaruh pada subkultur ketiga yaitu setelah 3 x 18 hari atau 54 hari setelah tanam.
Tabel 1 Persen Bebas CyMV dalam plbs anggrek D. Jayakarta pada setiap subkultur
Keterangan : Subkultur 1 = 18 hari setelah tanam; subkultur 2 = 36 hari setelah tanam dan subkultur 3 = 54 hari setelah tanam Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf uji Duncan 5%
Pada subkultur ketiga perlakuan zat antiviral Ribavirin 10 ppm dan 20 ppm belum dapat mengeliminasi CyMV dengan sempurna. Hal ini tampak pada perlakuan tersebut dapat membebaskan CyMV pada plbs anggrek D. Jayakarta sebesar 33.33% (Tabel 1). Hasil ini menunjukkan eliminasi yang baik bila dibandingkan hasil penelitian sebelumnya yaitu Diningsih, et al. (2010), dimana perlakuan 10 ppm dan 20 ppm zat antiviral Ribavirin terhadap anggrek D. Burana stripe hanya dapat mengeliminasi CyMV sebesar 20%. Bahkan pada konsentrasi perlakuan 40 ppm juga belum dapat mengeliminasi sempurna CyMV dengan persen bebas virus 20%. Eliminasi sempurna CyMV pada plbs anggrek D. Jayakarta tampak pada subkultur ketiga dengan perlakuan konsentrasi zat antiviral Ribavirin 30, 40 dan 50 ppm. Persen bebas CyMV menunjukan hasil 100% pada ketiga perlakuan tersebut. Pada konsentrasi tersebut dapat dikatakan bahwa zat antiviral Ribavirin telah mampu
Eliminasi Cymbidium mosaic virus Pada Protocorm likes bodies Anggrek Dendrobium Menggunakan Zat Antiviral Ribavirin, Melissa Syamsiah, S.Pd
110
mengeliminasi CyMV pada plbs anggrek D. Jayakarta dengan sempurna. Dari ketiga subkultur, eliminasi CyMV pada plbs anggrek D. Jayakarta yang paling baik terdapat pada subkultur ketiga, pada konsentrasi zat antiviral Ribavirin 10 dan 20 ppm menghasilkan persen bebas sebesar 33.33% selanjutnya pada konsentrasi 30, 40 dan 50 ppm menghasilkan persen bebas sebesar 100%. Setelah dilakukan dengan uji ANOVA yang menunjukan P value < 0.05 yang artinya perlakuan Ribavirin dapat membebaskan CyMV. Setelah dilakukan uji lanjut Duncan (α=0.05) variasi tersebut hanya berbeda nyata terhadap konsentrasi perlakuan zat antiviral Ribavirin 0 ppm dengan persen bebas CyMV pada anggrek D. Jayakarta sebesar 0% (Tabel 1). Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa zat antiviral Ribavirin pada taraf konsentrasi yang diuji memiliki aktivitas antiviral terhadap CyMV dengan kemampuan eliminasi berkisar antara 33.33 - 100%. Berdasarkan hal tersebut maka untuk mendapatkan tanaman anggrek yang bebas CyMV dengan jumlah yang memadai, dapat dilakukan perbanyakan dengan menggunakan plbs yang sudah bebas dari infeksi virus tersebut. Hsu et al. (1992) mengemukakan bahwa disamping penggunaan zat antiviral, pengendalian infeksi virus dalam tanaman anggrek akan tergantung pada seleksi dan perbanyakan tanaman bebas virus serta eradikasi spesimen yang terinfeksi penyakit. Penggunaan zat antiviral Ribavirin dalam eliminasi virus juga dilaporkan oleh Albouy et al. (1996), bahwa penggunaan Virazole (nama dagang yang mengandung zat antiviral Ribavirin) pada konsentrasi 25 ppm menunjukan 95% planlet tanaman
anggrek bebas virus dapat diperoleh setelah melakukan subkultur sebanyak lima kali ke dalam media padat yang sama yang mengandung Virazole 25 ppm, dan subkultur dilakukan setiap 18 hari. Sedangkan hasil penelitian ini pada konsentrasi Ribavirin 20 ppm dapat membebaskan CyMV pada plbs anggrek D. Jayakarta 33.33% dan pada konsentrasi 30 ppm sebesar 100% hanya dengan 3 kali subkultur, dan perlakuan subkultur yang sama yaitu setiap 18 hari. Sehingga hasil penelitian ini menunjukan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan yang dilaporkan Albouy (1996). Selain penggunaan zat antiviral Ribavirin, Diningsih, et al. (2010) melakukan penelitian eliminasi CyMV pada anggrek D. Burana Stipe dengan Ribavirin. Hasil penelitiannya menunjukan pada konsentrasi Ribavirin 40 ppm, plbs yang bebas virus sebesar 20% setelah kultur selama 2 bulan. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini, dimana pada konsentrasi Ribavirin 40 ppm ternyata plbs yang bebas CyMV adalah eliminasi yang sempurna sebesar 100% setelah dilakukan subkultur sebanyak 3 kali pada media padat yang sama dengan subkultur dilakukan setiap 18 hari, bahkan dengan pada perlakuan konsentrasi Ribavirin 20 ppm saja sudah dapat menghasilkan plbs anggrek D. Jayakarta sebanyak 33.33% bebas CyMV. Perbedaan hasil ini bisa disebabkan karena suplai nutrisi bagi pertumbuhan plbs juga mempengaruhi. Pada penelitian yang dilakukan Diningsih, et.al (2010) tidak dilakukan subkultur tetapi langsung proses kultur selama 2 bulan, dimana dimungkinkan tidak ada pembaruan pemberian nutrisi pada media yang menyebabkan absorpsi zat antiviral menjadi terhambat dan tidak merata.
Eliminasi Cymbidium mosaic virus Pada Protocorm likes bodies Anggrek Dendrobium Menggunakan Zat Antiviral Ribavirin, Melissa Syamsiah, S.Pd
111
Pengaruh Terhadap Anggrek
Antiviral Ribavirin Pertumbuhan plbs D. Jayakarta
Pengaruh perlakuan antiviral Ribavirin terhadap persen hidup plbs anggrek D. Jayakarta pada masingmasing subkultur dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan tabel tersebut dapat dikatakan bahwa perlakuan Ribavirin terlihat memberikan pengaruh sangat kecil jika dilihat dari persen hidupnya yang tidak 100% pada beberapa perlakuan, akan tetapi setelah dilakukan uji ANOVA menunjukan P value > 0.05 yang berarti perlakuan konsentrasi Ribavirin tidak mempengaruhi pertumbuhan plbs anggrek D. Jayakarta. Dan setelah dilakukan pengujian dengan uji Duncan membuktikan bahwa ternyata hasil % hidup tidak berbeda nyata untuk setiap perlakuan pada setiap subkultur yang artinya pemberian zat antiviral Ribavirin tidak mempengaruhi pertumbuhan plbs anggrek D. Jayakarta.
Gambar 1 Plbs yang tumbuh dengan baik saat perlakuan Ribavirin 30 ppm pada subkultur ke 2
Gambar 2 Plbs yang mengalami perubahan warna saat perlakuan Ribavirin 30 ppm pada subkultur ke 3
Hal ini disebabkan karena Ribavirin akan bekerja terhadap CyMV yang terdapat dalam plbs tanpa mengganggu pertumbuhannya. Dimana mekanisme kerjanya adalah dengan menghambat kerja RNA polymerase pada virus sehingga sintesis RNA menjadi terhambat pula (Wu, et al. 2003). Walaupun dari hasil penelitian tampak ada sebagian kecil ulangan perlakuan Ribavirin pada plbs anggrek D. Jayakarta yang menunjukan penurunan persen hidup menjadi 83.33 – 89.89% (Tabel 2), akan tetapi tetap masih menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan yang lainnya. Hal ini terjadi dimungkinkan karena ada beberapa plbs anggrek D. Jayakarta yang daya tahannya menurun dan tidak mampu beradaptasi dengan media yang mengandung Ribavirin, sehingga memperlihatkan efek fitotoksiknya. Menurut McEvoy (2005) menyebutkan Ribavirin bersifat fitotoksik pada konsentrasi 100 ppm.
Eliminasi Cymbidium mosaic virus Pada Protocorm likes bodies Anggrek Dendrobium Menggunakan Zat Antiviral Ribavirin, Melissa Syamsiah, S.Pd
112
Tabel 2 Persen Hidup plbs anggrek D. Jayakarta pada setiap subkultur
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf uji Duncan 5%
Berdasarkan hasil penelitian ini plbs yang ditanam dalam media yang mengandung Ribavirin diketahui tidak terganggu pertumbuhannya. Sebelum perlakuan Ribavirin, subkultur pertama
dan kedua deteksi dengan DAS-ELISA menunjukan CyMV masih menginfeksi plbs anggrek D. Jayakarta. Sedangkan pada subkultur ketiga yaitu setelah 3 x 18 hari diketahui plbs bebas CyMV 33.33 -100%. Menurut Lehninger (2007) protein virus tidak terdeteksi atau tidak reaktif lagi dengan antibodi yang digunakan dalam DAS-ELISA, hal ini disebabkan CyMV tidak dapat melakukan perbanyakan virusnya karena proses replikasi dan sintesis RNA-nya terhambat, yang menyebabkan lama kelamaan virus tersebut mati dan tidak aktif lagi. Protein virus tersebut akan didegradasi menjadi asam-asam amino pembentuknya dan akan menjadi bahan untuk pertumbuhan perkembangan plbs.
Gambar 3 Mekanisme kerja agen antiviral
Target dari penggunaan Ribavirin adalah RNA CyMV, dimana pada batas konsentrasi tertentu dapat mengeliminasi CyMV secara optimum tanpa mengganggu pertumbuhan plbs anggrek Dendrobium sebagai inangnya. Ribavirin merupakan analog guanosin dan adenosin yang dimetabolisme menyerupai nukleotida RNA purin. Dimana mekanisme kerjanya adalah menghambat kerja RNA polimerase
(Wu, et al 2003). Wu (2003) menyebutkan bahwa RNA virus akan berkompetisi dengan Ribavirin yang merupakan analog basa purin RNA untuk berikatan dengan RNA polimerase. Ikatan dengan Ribavirin lebih kuat yang menyebabkan virus tidak bisa melakukan replikasi karena kerja RNA polimerase untuk berikatan dengan RNA virus terhambat. Selain itu disebutkan pula bahwa Ribavirin (VIRAZOLE ®), suatu analog
Eliminasi Cymbidium mosaic virus Pada Protocorm likes bodies Anggrek Dendrobium Menggunakan Zat Antiviral Ribavirin, Melissa Syamsiah, S.Pd
113
nukleosida purin, mekanisme tindakannya dapat dilakukan dengan penghambatan inosin monofosfat dehidrogenase (IMPDH), sebuah enzim dalam jalur sintesis purin de novo. Ribavirin menghambat IMPDH melalui metabolit 5'-Ribavirin monofosfat (RMP) (Gambar 3). SIMPULAN Protocorm like bodies (plbs) anggrek Dendrobium Jayakarta yang digunakan untuk perlakuan eliminasi Cymbidium mosaic virus menggunakan zat antiviral Ribavirin positif terinfeksi CyMV. Konsentrasi optimum Ribavirin paling baik untuk eliminasi CyMV pada plbs anggrek D. Jayakarta sebesar 30 ppm setelah dilakukan tiga kali subkultur (masing-masing subkultur dilakukan selama 18 hari) dengan plbs bebas CyMV 100%. Konsentrasi optimum Ribavirin 30 ppm tidak mengganggu pertumbuhan plbs anggrek D. Jayakarta. SARAN Eliminasi CyMV pada plbs anggrek Dendrobium dapat menggunakan zat antiviral Ribavirin 30 ppm. Plbs anggrek D. Jayakarta yang telah bebas CyMV dapat diperbanyak untuk penyediaan benih anggrek Dendrobium Jayakarta bebas CyMV. DAFTAR PUSTAKA Albouy J, Flouzat C, Kusiak C, Tronchet M. 1996. Eradication of orchid viruses by chemotherapy from in vitro cultures of Cymbidium. ISHS Acta Hortikulturae 234. 1988 : VII International symposium on virus diseases of ornamental plants.
BALITHI. 2003. Instruksi kerja metode uji virus. Laboratorium pengujian BALITHI. BALITHI. 2003. Budidaya anggrek. Cianjur : BALITHI Bos L. 1983. Introduction to plant virology. PUDOC, Wageningen, the Netherlands. hlm 226
BPTP [Balai Pengkajian Teknologi Pertanian]. 2005. Prospek dan arah pengembangan agribisnis anggrek. Jakarta: Departemen Pertanian. Burgess GW. 1995. Prinsip dasar ELISA dan variasi konfigurasinya, teknologi ELISA dalam diagnosis dan penelitian GW. Burgess (Ed) Wayan T. Ariana (terjemahan). Gajahmada University Press. Yogyakarta Chang CA, Lin MC, and Chen CC. 2004. Improvement of virus indexing ang elimination techniques for the certification of Oncidium seedlings. Dept. of plant pathology, Taiwan Agricultural Research Institute. Taiwan Clark MF and Adam AN. 1977. Characteristics of the Microplate of enzyme linked imunosorbent assay for the detection of plant viruses. J. Gen. Virol 34 : 475 – 483. Diningsih E, Sulyo Y, Muharam A, Widiastoety D. 2009. Eliminasi Cymbidium mosaic virus dan Odontoglossum ringspot virus pada anggrek Dendrobium dengan Pemanasan dan antiviral amantadine. BALITHI.
Eliminasi Cymbidium mosaic virus Pada Protocorm likes bodies Anggrek Dendrobium Menggunakan Zat Antiviral Ribavirin, Melissa Syamsiah, S.Pd
114
Diningsih E, Muharam A, Sulyo Y, Raharjo IB, Widiastoety D. 2010. Eliminasi Cymbidium mosaic virus (CYMV) pada anggrek Dedrobium dengan senyawa antiviral Amantadin dan Ribavirin. BALITHI Dirjen Hortikultura. 2008. Upaya perbaikan benih hortikultura untuk mengurangi impor benih serta pengembangan sentra produksi hortikultura. http: www.deptan.go.id (15 Mei 2008). Frowd, JA and Tremaine, JH. 1977. Cymbidium mosaic virus genomic RNA. Phytopathology 67:43. Gara IW, Kondo H, Maeda T, Mitsuhata K and Inouye N. 1996. Futher characterization of Cymbidium mosaic virus from Vanda orchid. Research Institute for Bioresources. Okayama University. Hsu, H. T., D. Vongsasitorn, and R. H. Lawson. 1992. An improved method for serological detection of cymbidium mosaic potexvirus infection in orchids. Tecniques 82(4):491-495. [ICTVdB] International Committee on Taxonomy of Viruses database Description. 2002. 00.056.0.01.007. Cymbidium mosaic virus. http: www. Ncbi.nlm.nih.gov/ICTVdb/ICTV dB/index.htm Lehninger AL. 2004. Principles of Biochemistry. Amhrest: Elsevier Science. Lim ST, Wong SM, Goh CJ. 2008. Elimination of Cymbidium misaic
virus and Odontoglossum ringspot virus orchids by meristem culture and thin section culture with chemotherapy. Annal of applied biology 122 (2) : 289 – 297. McEvoy, G.K. (Ed.). American Hospital Service-information of drug formulation. Bethesda, MD: American Society of Health-Sistem Apoteker, Inc 2005 (Plus Suplemen), hal. 809] Muis A. 2002. Sugarcane mosaic virus (SCMV) penyebab penyakit mosaik pada tanaman jagung di Sulawesi. Jurnal Litbang Pertanian, 21(2). Pranata A. 2007. Panduan budidaya dan perawatan anggrek. Jakarta: agromedia Pustaka. Pearson and Cole. 2008. The effects of Cymbidium mosaic virus and Odontoglossum ringspot virus on the growth oh Cymbidium orchids. J Phtopathology 119 (3) : 193 – 197. Sutula CL, Gillet GM, Morrisey SM and Ramsdell DC. 1986. Interpreting ELISA Data and Establishing The Positive-Negative Threshold. Plant Disease. Journal of the American Phytopathological Society. Volume 70, Number 8 : 722-726. Tanaka S, Nishii H, Ito S, Iwaki MK. 1997. Detection of Cymbidium mosaic virus and odontoglossum ringspot tobamovirus from Thai orchids by rapid Immunofilter Paper Assay. Plant disease 81: 167-170 Wannakrairoj S. and Gladpan S. 2001. Eradication of Cymbidium Mosaic Virus in Dendrobium Sonia BOM 17
Eliminasi Cymbidium mosaic virus Pada Protocorm likes bodies Anggrek Dendrobium Menggunakan Zat Antiviral Ribavirin, Melissa Syamsiah, S.Pd
115
by in vitro chemotherapy. Agricultural Science Journal (Jan-Aug 2001) Widiastoety and Muharam. 1988. Teknik perbanyakan benih anggrek Dendrobium bebas virus. Kumpulan laporan hasil penelitian tanaman hias. Wisler GC. 1989. How to control orchid viruses : the complete guide book. USA: Maupin House Publisher. Wu JZ., Lin CC, Hing Z. 2003. Ribavirin, viramidine and adenosine-deaminase-catalysed drug activation: implication for nucleoside prodrug design. Journal of Antimicrobial Chemotherapy (2003) 52,543-546.
Eliminasi Cymbidium mosaic virus Pada Protocorm likes bodies Anggrek Dendrobium Menggunakan Zat Antiviral Ribavirin, Melissa Syamsiah, S.Pd
116