MAKALAH SEMINAR UMUM KAJIAN SUHU DAN KADAR AIR TERHADAP KUALITAS BENIH KEDELAI (Glycine max (L.) Merril) SELAMA PENYIMPANAN
DISUSUN OLEH: SEPTIN KRISTIANI 09/283582/PN/11696 PEMULIAAN TANAMAN BUDIDAYA PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2012
MAKALAH SEMINAR UMUM SEMESTER I TAHUN AKADEMIK 2012/2013
KAJIAN SUHU DAN KADAR AIR TERHADAP KUALITAS BENIH KEDELAI (Glycine max (L.) Merril) SELAMA PENYIMPANAN
DISUSUN OLEH: SEPTIN KRISTIANI 09/283582/PN/11696 PEMULIAAN TANAMAN BUDIDAYA PERTANIAN Makalah ini telah disetujui, disahkan, dan dilaksanakan sebagai kelengkapan Mata Kuliah Seminar Umum Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Dosen Pembimbing
Tanda tangan
Tanggal
Tanda tangan
Tanggal
Tanda tangan
Tanggal
Ir. Setyastuti Purwanti, M.S. Koordinator Seminar Umum
Dr. Rudi Hari Murti, S.P., M. P.
Ketua Jurusan Budidaya Pertanian
Dr. Ir. Taryono, M.Sc.
INTISARI Kemunduran benih selama penyimpanan merupakan salah satu faktor pembatas produksi kedelai di wilayah tropis sehingga mengurangi ketersediaan benih berkualitas tinggi. Pengadaan benih kedelai dalam jumlah yang memadai dan tepat pada waktunya sering menjadi kendala karena daya simpan yang rendah. Faktor penting yang mempengaruhi viabilitas benih selama penyimpanan adalah suhu dan kadar air benih. Dengan demikian, melalui makalah ini akan dijelaskan bagaimana faktor suhu penyimpanan dan kadar air benih mempengaruhi kualitas benih kedelai selama penyimpanan. Hasil kajian dari berbagai penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa suhu dan kadar air benih dapat mempengaruhi kualitas benih yang ditunjukkan oleh daya hidup atau viabilitas benih. Suhu yang rendah dapat menekan aktivitas enzim sehingga respirasi dapat dihambat dan viabilitas dapat dipertahankan. Kemunduran benih meningkat sejalan dengan peningkatan kadar air benih. Oleh karena itu, untuk mempertahankan viabilitas, kadar air awal benih harus dipastikan lebih rendah dari 11%. Namun, kadar air benih sangat dipengaruhi oleh kelembapan relatif (Rh) ruang penyimpanan. Kata kunci: kemunduran benih, penyimpanan benih, viabilitas, benih kedelai, kadar air
KAJIAN SUHU DAN KADAR AIR TERHADAP KUALITAS BENIH KEDELAI (Glycine max (L.) Merril) SELAMA PENYIMPANAN A. Pendahuluan Kedelai merupakan salah satu tanaman palawija yang penting di Indonesia, terutama sebagai sumber protein nabati. Kadar protein kedelai adalah sekitar 40%, cukup tinggi dibandingkan dengan kacang tanah, beras dan jagung (Rinaldi, 2002). Sebagai sumber protein yang murah, konsumsi kedelai akan semakin meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Konsumsi kedelai tahun 2005 rata-rata sekitar 8,97 kg/kapita/tahun, dan kebutuhan kedelai dalam negeri saat itu sekitar 1,95 juta ton. Selama periode 1988-1998, rata-rata impor kedelai Indonesia sekitar 300.000-700.000 ton per tahun, namun sejak tahun 1999 hingga 2005, mengalami peningkatan hingga mencapai 1,1 juta - 1,3 juta ton per tahun. Kalau pada tahun 2004 produksi dalam negeri hanya sebesar 723 ribu ton, maka masih diperlukan impor kedelai sebesar 1,15 juta ton (Anonima, 2005). Kebutuhan kedelai dalam negeri yang cukup besar tersebut tidak diimbangi oleh produksi dalam negeri, sehingga untuk memenuhinya harus diimpor dari luar negeri. Rendahnya produksi nasional tersebut diakibatkan oleh berkurangnya luas areal panen dan produktivitas per hektar yang rendah, yaitu rata-rata kurang dari 1 ton/ha, sedangkan di USA produktivitas kedelai sudah mencapai lebih dari 2 ton/ha (Soeprapto, 1985). Dari gambaran tersebut jelas, bahwa budidaya kedelai di dalam negeri perlu dikembangkan, baik untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat maupun untuk industri makanan ternak. Pengembangan tanaman kedelai ini menuntut tersedianya benih yang cukup dan bermutu tinggi setiap saat (Rinaldi, 2002). Benih bermutu varietas unggul merupakan salah satu sarana produksi yang menentukan produktivitas kedelai. Dalam penyediaan benih kedelai bermutu, industri benih memegang peranan penting. Kenyataannya, produsen benih nasional maupun penangkar lokal belum banyak berperan. Berbeda dengan komoditas padi dan jagung, usaha perbenihan kedelai masih tertinggal, petani lebih banyak memakai benih dari hasil panen pada pertanaman sebelumnya. Dari total areal pertanaman kedelai, penggunaan benih bersertifikat kurang dari 10% . Hal ini merupakan salah satu penyebab rendahnya produktivitas kedelai nasional (Danapriatna, 2007). Salah satu faktor pembatas produksi kedelai di daerah tropis adalah cepatnya kemunduran benih selama penyimpanan hingga mengurangi penyediaan benih berkualitas tinggi. Pengadaan benih sering dilakukan beberapa waktu sebelum musim tanam sehingga
benih harus disimpan dengan baik agar mempunyai daya tumbuh yang tinggi saat ditanam kembali. Menurut Agrawal (1980), daerah tropis mempunyai kelembaban relatif sekitar 65100%, fluktuasi ini akan memberikan pengaruh negatif terhadap viabilitas benih pada periode penyimpanan. Kedelai biasanya ditanam pada awal sampai pertengahan musim kemarau atau akhir musim hujan setelah tanaman padi karena saat panen kedelai yang jatuh pada musim kemarau akan lebih baik dari pada musim hujan. Hal tersebut berpengaruh terhadap waktu pemasakan biji dan pengeringan hasil (Anonimb, 2012; Mashudi, 2007). Dengan demikian, kedelai yang digunakan sebagai benih harus disimpan sebelum digunakan sebagai bahan tanam di musim selanjutnya. Menurut Rinaldi (2002) penyimpanan benih untuk menunggu musim tanam berikutnya akan menyebabkan turunnya viabilitas dan vigor. Penyimpanan benih merupakan salah satu penanganan pascapanen kedelai yang penting dari keseluruhan teknologi benih dalam memelihara kualitas atau mutu. Menurut Harnowo et. al. (1992) benih kedelai relatif tidak tahan disimpan lama sehingga penyimpanan berpengaruh terhadap mutu fisiologis dari benih kedelai. Kemunduran benih kedelai selama penyimpanan lebih cepat berlangsung dibandingkan dengan benih tanaman lain dengan kehilangan vigor benih yang cepat yang menyebabkan penurunan perkecambahan benih. Benih yang mempunyai vigor rendah menyebabkan pemunculan bibit di lapangan rendah, terutama dalam kondisi tanah yang kurang ideal. Oleh karena itu, benih kedelai yang akan ditanam harus disimpan dalam lingkungan yang menguntungkan (suhu rendah) agar kualitas benih masih tinggi sampai akhir penyimpanan (Viera et. al., 2001). Penurunan mutu dan kerusakan benih selama penyimpanan tidak dapat dihentikan, akan tetapi dapat diperlambat dengan mengatur kondisi penyimpanan. Kadar air benih merupakan faktor utama yang menentukan daya simpan benih. Kerusakan benih selama penyimpanan sebagian besar dipengaruhi oleh kandungan air di dalam benih (Justice dan Bass, 1990). Kadar air benih yang terlalu tinggi mendorong terciptanya kondisi yang mempercepat laju kerusakan benih, akibat terjadinya proses metabolisme dan respirasi. Laju respirasi yang tinggi dapat mempercepat hilangnya viabilitas benih. Roberts (1972) menyebutkan bahwa hilangnya viabilitas benih adalah karena berkurangnya bahan cadangan makanan melalui respirasi. Disamping itu, pada kadar air yang tinggi mikroorganisme akan tumbuh aktif dan berkembang dan merusak embrio. Penyimpanan benih dengan kadar air tinggi sangat berbahaya bagi kehidupan benih, karena cepat mengalami kerusakan. Sedangkan pada kadar air benih yang terlalu rendah, menurut Harrington (1973) berpengaruh negatif bila dihubungkan dengan proses autooksidasi
lemak. Sebagai contoh, pada kadar air tinggi yaitu 10% (untuk benih berlemak), atau 13-18% (benih berpati) cendawan penyimpanan tumbuh dan aktif merusak embrio (Harrington, 1994). Selanjutnya, dikatakan oleh Agrawal (1980) untuk benih ortodoks pada kadar air 1214% viabilitas benih menurun dengan cepat, di samping itu cendawan juga tumbuh dan berkembang serta merusak benih dengan pesat. Faktor-faktor yang mempengaruhi viabilitas benih selama penyimpanan dibagi menjadi faktor internal dan eksternal. Faktor internal mencakup sifat genetik, daya tumbuh dan vigor, kondisi kulit, dan kadar air benih awal. Faktor eksternal antara lain kemasan benih, komposisi gas, suhu, dan kelembaban ruang simpan (Copeland and Donald, l985). Makalah ini disusun dengan tujuan untuk menguraikan pengaruh suhu sebagai salah satu faktor eksternal dan kadar air benih sebagai salah satu faktor internal yang berpengaruh terhadap kualitas atau viabilitas benih kedelai selama penyimpanan. B. Pengaruh Suhu dan Kadar Air terhadap Viabilitas Benih Kedelai Tujuan utama penyimpanan benih adalah untuk mempertahankan viabilitas benih dalam periode simpan yang sepanjang mungkin. Yang dipertahankan adalah viabilitas maksimum benih yang tercapai pada saat benih masak fisiologis atau berada pada stadium II dalam konsep Steinbaurer. Kemasakan fisiologis diartikan sebagai suatu keadaan yang harus dicapai oleh benih sebelum keadaan optimum untuk panen dapat dimulai.
Gambar 1. Hubungan antara kekuatan tumbuh, viabilitas benih, dan daya kecambah benih pada berbagai laju kemunduran benih menurut Kaidah Steinbauer (Sadjad, 1994). Benih kedelai merupakan salah satu spesies yang agak sukar mempertahankan viabilitasnya selama penyimpanan, terutama pada kondisi di daerah tropis (Sutopo, 2004).
Daerah tropis mempunyai kelembaban relatif sekitar 65-100%, fluktuasi ini akan memberikan pengaruh negatif terhadap viabilitas benih pada periode penyimpanan (Agrawal, 1980). Suhu ruang simpan berperan dalam mempertahankan viabilitas benih selama penyimpanan, yang dipengaruhi oleh kadar air benih, suhu dan kelembaban nisbi ruangan. Pada suhu rendah, respirasi berjalan lambat dibanding suhu tinggi. Dalam kondisi tersebut, viabilitas benih dapat dipertahankan lebih lama (Danapriatna, 2007). Perkecambahan benih menurun seiring dengan peningkatan kelembapan dan lama penyimpanan. Kecuali penurunan perkecambahan benih menunjukkan kerusakan kulit benih yang parah pada suhu ruang (Singh and Setia, 1974). Gupta (1976) melaporkan bahwa benih kedelai merupakan benih berumur pendek dibandingkan jagung, padi, gandum, dsb. Hanya benih yang memiliki daya kecambah tinggi (> 80-90%) yang terekomendasi untuk satu musim simpan. Penyimpanan benih kedelai hingga musim tanam pertama pada suhu ruang tidak akan berhasil meskipun kelembapan rendah. Benih kedelai dapat disimpan dengan aman hingga musim tanam kedua pada suhu rendah (suhu 4-5o C dan RH 50-60%). Ia menyatakan bahwa belum ada laporan dari India mengenai penyimpanan benih kedelai hingga musim tanam kedua. Hukum-hukum Harrington yang menggambarkan hubungan antara kadar air dan suhu ruang penyimpanan terhadap umur simpan benih yaitu setiap penurunan suhu ruang simpan sebesar 5°C, umur simpan benih akan bertambah menjadi dua kali lipat. Setiap penurunan kadar air benih 1%, umur simpan benih akan bertambah menjadi dua kali lipat. Hukum ini berlaku apabila kelembaban relatif ruang penyimpanan berkisar antara 15%-70%, dengan suhu antara 0°C-30°C, dan kadar air benih antara 4%-14% (Kuswanto, 2003). Berikut merupakan tabel hasil penelitian yang dilakukan oleh Zahrok (2007) tentang pengaruh kadar air awal dan suhu penyimpanan terhadap mutu fisiologis benih kedelai (Glycine max (L.) Merill). Tabel di bawah menjelaskan pengaruh suhu penyimpanan benih kedelai terhadap daya berkecambah dan vigor yang merupakan parameter viabilitas atau mutu fisiologis benih. Tabel 1. Pengaruh suhu penyimpanan terhadap daya berkecambah dan indeks vigor benih kedelai (Glycine max (L.) Merril) (Zahrok, 2007). Suhu penyimpanan (oC) -20 5 28 Rerata Daya Berkecambah (%) 97.4 a 97.4 a 97.7 a Indeks Vigor (%) 98.9 b 97.6 ab 96.2 a Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT 5%
Proses metabolisme dalam benih terdiri atas proses katabolisme dan anabolisme. Proses katabolisme adalah perombakan bahan cadangan energi dan bahan kimiawi dalam benih menjadi energi atau menjadi senyawa kimiawi yang kurang kompleks, sedangkan anabolisme merupakan proses pembangunan struktur tumbuh dalam benih dan pembentukan bahan-bahan kimiawi benih dari bentuk yang lebih kompleks (Sadjad, 1994). Proses dari katabolisme adalah respirasi, merupakan suatu proses oksidasi-reduksi yang dijumpai pada semua sel hidup yang menghasilkan senyawa-senyawa dan melepaskan energi yang sebagian digunakan untuk berbagai proses kehidupan (Zahrok, 2007). Proses respirasi menimbulkan peningkatan suhu yang berlangsung secara perlahanlahan. Pada kondisi penyimpanan yang baik, panas hasil respirasi sedikit mempengaruhi kondisi benih di penyimpanan. Pada kondisi yang lembab, peningkatan panas hasil respirasi dapat menimbulkan banyak kerusakan pada benih yang disimpan (Justice dan Bass, 2002). Karena respirasi merupakan proses oksidasi, maka harus ada suatu substrat. Dalam hal ini benihnya sendiri yang dapat bergabung dengan oksigen. Respirasi bisa terjadi bila terdapat enzim-enzim, baik yang memiliki fungsi sangat khusus maupun yang bersifat lebih umum. Menurut Salisbury dan Ross (1995), enzim-enzim tersebut yaitu alfa amilase (ά-amilase), beta amilase (β-amilase), dan pati fosforilase. Semakin lama proses respirasi berlangsung, semakin banyak pula cadangan makanan benih yang digunakan (Justice dan Bass, 2002). Pada suhu rendah, aktivitas enzim dapat ditekan sehingga respirasi akan diperlambat. Sebaliknya pada suhu tinggi, aktivitas enzim berlangsung lebih aktif sehingga respirasi lebih cepat, yang mengakibatkan perombakan cadangan makanan secara cepat. Perombakan cadangan makanan
yang berlangsung
terus
menerus selama
penyimpanan
akan
mengakibatkan habisnya cadangan makanan pada jaringan meristem (Harrington, 1994), sedangkan translokasi dari jaringan lain tidak memungkinkan sehingga terjadi kelaparan lokal pada embrio (Krisnawati et. al., 2003). Hal inilah yang menyebabkan keserempakan tumbuh atau vigor benih kedelai menurun. Hasil penelitian Purwanti (2004) menunjukkan bahwa benih kedelai kuning yang disimpan pada suhu rendah dalam kantong plastik maupun kaleng selama enam bulan, daya tumbuh dan vigor benihnya masih tinggi (> 80%). Pada suhu tinggi, daya tumbuhnya mulai menurun setelah disimpan 2 bulan dan pada akhir penyimpanan yaitu 6 bulan, daya tumbuh turun sampai 41%. Hal tersebut disebabkan oleh adanya perubahan kadar air benih yang telah naik sekitar 1% dari kadar air awal mulai bulan keempat penyimpanan, perbedaan ini sangat berpengaruh terhadap kualitas benih.
Suhu penyimpanan benih akan mempengaruhi kenaikan kadar air benih dan akan berpengaruh terhadap peningkatan laju respirasi benih. Suhu penyimpanan yang rendah cenderung akan meningkatkan kelembapan relatif (Rh) ruang penyimpanan. Hal tersebut terjadi terutama pada penyimpanan benih terbuka atau tanpa kemasan kedap udara. Kondisi tersebut disebabkan oleh sifat benih yang higroskopis dan selalu ingin mencapai keseimbangan dengan kondisi lingkungan. Apabila disimpan pada kelembaban yang tinggi, benih akan menyerap uap air sampai kadar air benih seimbang dengan kelembaban ruang simpan. Sebaliknya bila benih disimpan pada kelembaban yang rendah, benih akan mengeluarkan uap air sampai antara benih dengan kelembaban di sekitarnya tercapai keseimbangan.
Pengaruh
kelembaban
secara
tidak
langsung
dapat
menyebabkan
meningkatnya aktivitas mikroorganisme. Aktivitas mikroorganisme akan meningkat seiring dengan meningkatnya kelembaban ruang simpan. Di sisi lain, benih yang mempunyai kadar air tinggi akan melakukan respirasi dengan aktif sehingga menyebabkan vigor benih dalam penyimpanan menurun (Kartono, 2004; Soemardi dan Karama, 1996). Meskipun kadar air awal penyimpanan rendah, penyimpanan terbuka menyebabkan kerusakan benih yang tinggi, menurunkan daya kecambah, dan daya simpan benih tidak bisa lama. Penyimpanan benih terbuka hanya dapat dilakukan untuk benih yang segera akan digunakan. Penyimpanan kedap udara selain menghambat kegiatan biologis benih, juga berfungsi menekan pengaruh kondisi lingkungan seperti suhu dan kelembapan, serta mengurangi tersedianya oksigen, kontaminasi hama, kutu, jamur, bakteri, dan kotoran. Oleh karena itu, kadar air awal dan bahan kemasan (pembungkus) sangat berpengaruh dalam mempertahankan kadar air benih selama penyimpanan yaitu kurang dari 11% karena semakin tinggi kadar air benih semakin tinggi pula laju deteriorasi benih (Kartono, 2004; Kuswanto, 2003). Berikut merupakan tabel hasil penelitian yang dilakukan Tatipata (2008) mengenai pengaruh kadar air awal, kemasan, dan lama simpan terhadap protein membran dalam mitokondria benih kedelai. Tabel di bawah menjelaskan pengaruh kadar air benih terhadap daya berkecambah yang merupakan salah satu parameter viabilitas atau mutu fisiologis benih.
Tabel 2. Pengaruh kadar air awal dan lama simpan terhadap daya berkecambah benih kedelai (Glycine max (L.) Merril) yang disimpan dalam plastik polietilen (Tatipata, 2008). Kadar Air (%) 8 10 12
Daya Kecambah (%) pada Lama Simpan (Bulan) 0 1 2 3 4 5 100.00 98.00 97.75 97.75 97.00 95.50 100.00 97.75 97.50 95.50 95.50 95.38 100.00 95.75 95.50 94.50 94.25 94.00
6 95.50 95.00 89.50
Menurut Chai et al. (2002), perkecambahan benih kedelai akan menurun dari perkecambahan awal yaitu diatas 90% menjadi 0% tergantung spesies dan kadar air benih selama penyimpanan. Di lain pihak, Yaya et al. (2003) menyatakan bahwa benih kedelai yang disimpan dengan kadar air 6% dan 8% selama 4 bulan pada suhu 15O C memiliki persentase perkecambahan di atas 70%. Kartono (2004) menyatakan bahwa ruang berpendingin (suhu 18-20o C, Rh 50-60%) dapat mempertahankan daya kecambah benih > 85% selama 1 tahun. Pada suhu ruangan 15o C, benih kedelai dengan kadar air 12% dapat dipertahankan daya kecambahnya > 85% selama 2 tahun. Apabila benih kedelai disimpan pada suhu ruangan 10o C, maka daya kecambahnya dapat dipertahankan di atas 85% selama 3 tahun, sedangkan pada suhu ruangan 5o C daya kecambahnya dapat dipertahankan > 85% selama 5 tahun. Penyimpanan benih dengan kadar air rendah (daerah yang berada pada dan dibawah kadar air berkeseimbangan dengan RH 65%) sangat baik untuk penyimpanan benih, karena reaksi-reaksi metabolisme dan aktivitas enzim-enzim di dalam benih berjalan sangat lambat (Roberts, 1972), begitu juga respirasi berjalan sangat lambat sehingga lajunya hampir tidak terukur (Justice dan Bass, 1990), tetapi proses tersebut akan berhenti kalau benih sudah mati sama sekali (Copeland and Donald, 1985). Ini berarti kadar air rendah merupakan faktor yang sangat penting dalam inaktivasi benih. Kadar air benih yang disimpan setelah panen sangat dipengaruhi oleh kelembaban relatif ruang simpan karena kelembaban relatif akan berpengaruh langsung terhadap kadar air benih. Kadar air benih akan meningkat atau menurun dengan meningkat atau menurunnya kelembaban relatif. Perubahan kadar air benih akan terus berlangsung sampai tercapainya keseimbangan (Delouche dan Rodda, 1976). Daerah tropis mempunyai kelembaban relatif sekitar 65-100%, fluktuasi ini akan memberikan pengaruh negatif terhadap viabilitas benih pada periode penyimpanan. Di samping itu kelembaban relatif secara tidak langsung juga mempengaruhi mutu benih karena kelembaban relatif dapat mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan cendawan penyimpanan yang merupakan penyebab terbesar dalam penurunan mutu benih. Cendawan penyimpanan tidak dapat tumbuh dan berkembang dalam benih yang berkeseimbangan dengan kelembaban relatif kurang dari 70% sehingga mempertahankan benih pada kadar air yang seimbang dengan kelembaban relatif kurang dari 70% dapat mengurangi masalah kerusakan benih oleh cendawan selama penyimpanan. Dengan demikian, kelembaban relatif maksimum ruang simpan yang dianggap aman untuk penyimpanan benih adalah 70%, maka kadar air maksimum benih tersebut agar tidak terserang jamur/cendawan haruslah yang berkeseimbangan dengan kelembaban relatif maksimum 70% (Agrawal, 1980).
PENUTUP A. Kesimpulan 1. Suhu penyimpanan yang tinggi (suhu ruang > 20o) akan menurunkan viabilitas yang ditandai dengan penurunan daya kecambah dan vigor benih kedelai, sedangkan suhu penyimpanan yang rendah (suhu < 20o) mampu mempertahankan viabilitas hingga 5 tahun tergantung pada kadar air benih dan kelembapan relatif (Rh). 2. Kadar air benih yang rendah merupakan faktor penting dalam inaktivasi benih kedelai selama penyimpanan karena kadar air benih yang rendah < 11% mampu menekan terjadinya respirasi yang menyebabkan kemunduran benih. B. Saran Selain pengaruh suhu, kadar air, kelembapan, dan kemasan, dalam penyimpanan benih kedelai sebaiknya perlu memperhatikan faktor yang lain pula seperti sifat genetik, kondisi kulit benih, dan komposisi gas yang belum banyak diteliti sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA Agrawal, R. L. 1980. Seed Technology. Oxford and IBH Publishing Co., New Delhi – Bombay – Calcuta. Anonima. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kedelai. Balibangtan, Departemen Pertanian Republik Indonesia. Anonimb. 2012. Budidaya Pertanian: Kedelai (Glycine max L.).
. Diakses 14 Januari 2013. Chai, J., R Ma, L. Li, Y. Du. 2002. Optimum Moisture Contents of Seed Agricultural Physics, Physiological, and Biochemical. Institut Hebey Academy of Agricultural and Forestry Sciences, Shijiazhuang, China. Copeland. L.O. and M.B. Mc. Donald. 1985. Principles of Seed Science and Technology. Burgess Publishing Company, New York. Danapriatna, Nana. 2007. Pengaruh penyimpanan terhadap viabilitas benih kedelai. Paradigma 8: 178-187. Delouche, J. C. And E. D. Rodda. 1976. Seed Quality Storage of Soybeans. in R. M. Goodman (ed.) Expanding the Use of Soybean. Proc. Conf. For Asia and Oceania. University of Illinois, Urbana Ernawati, Ambar. 2012. Pengaruh Suhu dan Lama Penyimpanan terhadap Viabilitas Benih Kedelai (Glycine max (L.) Merril). Universitas Islam Negeri, Malang. Gupta, P.C. 1976. Viability of stored soybean seeds in India. Seed Research 4: 32-39. Harnowo, D., Fathan Muhajir, M. Muchlis Adie, dan Soleh Solahudin. 1992. Pengaruh Cekaman Kekeringan Terhadap Hasil dan Mutu Kedelai. Risalah Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan, Balittan Malang. Harrington, J. F. 1973. Biochemical basis of seed longevity. Seed Science and Technology 1: 453 – 461. _____________. 1994. Seed Storage and Longevity. In T.T. Kozlowski (ed.). Seed Biology Vol. III. Acad Press, New York. Justice, O. L. And L. N. Bass. 1990. Prinsip dan Praktek Penyimpanan Benih. Terjemahan Renie-Rusly. CV. Rajawali, Jakarta. _________________________. 2002. Prinsip dan Praktek Penyimpanan Benih. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Kartono. 2004. Teknik penyimpanan benih kedelai varietas wilis pada kadar air dan suhu penyimpanan yang berbeda. Buletin Teknik Pertanian 9: 79-82.
Krisnawati, A., S. Purwanti, dan R. Rabaniyah, 2003. Pengaruh Suhu Ruang Simpan terhadap Viabilitas Benih Kedelai Hitam dan Kuning : Peningkatan Produksi Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Mendukung Kemandirian Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Kuswanto, H. 2003. Teknologi Pemrosesan, Pengemasan, dan Penyimpanan Benih. Kanisius, Yogyakarta. Mashudi. 2007. Bercocok Tanam Palawija. Ganeca Exact, Jakarta. Rinaldi. 2002. Pengaruh metoda penyimpanan terhadap viabilitas dan vigor benih kedelai. Jurnal Agronomi 8: 95-98. Roberts, E. H. 1972. Storage and Environment and the Control Viability. In E. H. Robert. (ed.) Viability of Seed. Chapman and Hall, Ltd., London. Sadjad, S. 1994. Kuantifikasi Metabolisme Benih. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta. Salisbury, F. B. dan Ross, C. W., 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 2. ITB, Bandung.
Singh, J.N. and Setia, R.K. 1974. The germination of different qualities of soybean seeds under varying storage conditions. Bulletin of Grain Technology 12: 3-10. Soemardi dan A. S. Karama. 1996. Paket Teknologi Produksi Benih Kedelai. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Soeprapto, H. 1985. Bertanam Kedelai. PT. Penebar Swadaya, Jakarta. Tatipata, Aurellia. 2008. Pengaruh kadar air awal, kemasan, dan lama simpan terhadap protein membrane dalam mitokondria benih kedelai. Buletin Agronomi 36: 8-16. Viera, R.D., D.M. Tekrony, D.B. Egli, and M. Rucker. 2001. Electrical conductivity of soybean seeds after storage in several environments. Seed Science and Technology 29: 599-608. Yaya, Y., S. Vearasilp, S. Phosupongi, E. Tpoweezik. 2003. Prediction of Soybean Seed Viability and Quality in Relation to Seed Moisture Contents and Storage Temperature. Development of Agronomy, Chaengmay University, Thailand. Zahrok, Siti. 2007. Pengaruh Kadar Air Awal dan Suhu Penyimpanan terhadap Mutu Fisiologis Benih Kedelai (Glycine max (L.) Merill). Universitas Islam Negeri, Malang.