DARI redaksi Pelindung: Kepala BPKP Pembina/Pengarah: Sekretaris Utama Penasehat: Para Deputi Kepala BPKP Penanggung Jawab: Kepala Biro Hukum dan Humas Kontributor Ahli: Ardan Adiperdana, Bambang Utoyo, Para Kepala Pusat, Kepala Biro Perencanaan
Kado di Bulan Mei Para Pembaca Setia, Surprise, adalah kata pertama yang terucap saat redaksi menerima surat bertanggal 9 Mei 2011 dari kantor Library of Congress (LOC) Jakarta yang menyampaikan bahwa "Warta pengawasan" dari BPKP sudah masuk dalam koleksi Library of Congress di Washington DC Amerika Serikat. LOC yang dibuka di
dengan semakin minimnya jumlah staf redaksi. Selain melakukan peliputan, redaksi juga mendapat amanah untuk mengadakan lomba foto, pameran, serta pembuatan testimoni para pejabat publik atas kinerja BPKP selama ini. Keadaan ini membuat redaksi cukup kewalahan dan pontang- panting. Para Pembaca Setia,
Pemimpin Umum: Kepala Bagian Humas dan Hubungan Antar Lembaga Pemimpin Redaksi: Tri Wibowo Pemimpin Administrasi: Suhadril Redaktur Pelaksana: Nani Ulina Kartika Nasution
1
Staf Redaksi: M.Hartadi, Harry Jumpono Kurniawan, Alexander Marwata Staf Administrasi Ajat Sudrajat, Yustinus Santo Nugroho, Idiya Zikra Para kontributor ahli membahas draft naskah Warta Pengawasan yang akan naik cetak
Staf Sirkulasi/Distribusi: Edi Purwanto, Adi Sasongko
Redaksi menerima tulisan (laporan, reportase, feature, dan saduran), yang berkaitan dengan masalah pengawasan. Tulisan yang masuk menjadi milik redaksi, tulisan hendaknya diketik dengan spasi satu setengah. Maksimal 4 halaman A4. Isi Warta Pengawasan belum tentu mencerminkan kebijakan, pendapat, dan sikap penerbit (BPKP).
Jakarta sejak tahun 1964, memang memiliki misi utama untuk menghimpun materi hasil penerbitan, baik dari instansi pemerintah, swasta, universitas, atau penerbitan komersial. Dengan kondisi ini, redaksi berharap agar ke depan dapat menyajikan lebih banyak informasi yang lebih berkualitas dan dibutuhkan. Para Pembaca Setia Penerbitan WP kali ini berdekatan dengan peringatan HUT BPKP ke-28. Berkaitan dengan ini, redaksi majalah WP mendapat tugas yang tidak ringan terlebih
WARTA WARTAPENGAWASAN PENGAWASANVOL. VOL.XVIII/NO. XVIII/NO.1/MARET 2/JUNI 2011 2011
Di tengah kesibukan tersebut, untuk edisi kali ini, redaksi mencoba menyajikan informasi seputar reformasi birokrasi dan bagaimana membangun kapabilitas APIP yang merupakan unsur penting dari suatu proses reformasi birokrasi yang masih terus berlangsung. Di samping itu, redaksi juga mencoba menyajikan informasi lain seputar dunia pengawasan di Indonesia. Untuk itu, segenap redaksi berharap agar informasi yang kami sajikan mampu memenuhi kebutuhan para pembaca setia WP.
Salam Redaksi
DAFTAR isi
21
2
1 Dari Redaksi 2 Daftar Isi 3 Kontak Pembaca 4 Editorial Round Up 5 Mewujudkan Pemerintahan Kelas Dunia melalui Pengawasan Intern yang Kapabel Warta Utama 8 Perjalanan Reformasi Birokrasi di Indonesia 12 8 Area Menuju Perubahan Menuju Birokrasi yang Diharapkan 21 Fadel Muhammad : Evaluasi 360 Derajat untuk Hadirkan Pemimpin Dipercaya 22 Wakapolri, Nanan Sukarnan : Pemimpin Harus Siap Menjadi Teladan dan Pelayan 24 Wakil Gubernur Sulawesi Utara, Drs Djauhari Kansil, M. Pd.: Komitmen dan Konsistensi Pimpinan sebagai Kunci Keberhasilan RB Liputan Khusus 26 Membangun Kapabilitas Pengawas Intern dengan Metode IACM 29 6 Unsur Pengembangan Kapabilitas APIP 42 Kata Mereka dalam Membangun Kapabilitas APIP 48 Senior Director, Assurance and Risk Advisory Service Quensland Health, Bob Mc Donald, OAM: Makna dibalik Keberadaan
43
22 Pengawas Intern Pemerintah 49 President at Insight Consulting, Phil Lieferman: Being Private Consulting to Government Sector Tokoh 50 Prof. Anies Baswedan Ph.D: Kita Harus Siap Menjadi Warga Dunia Nasional 55 Seminar Nasional Internal Audit 2011: Internal Auditing, Jembatan Emas Menuju Good Governance 57 Yashwant Lal, Internal Audit Manager Tarong Energy Corporation: Added Value IA melalui Quality Assessment 58 The 5th IFRS Regional Policy Forum 2011 Menuju Penerapan IFRS sebagai Satu Standar Global Warta Pusat 61 Ultah BPKP ke 28: Birokrasi Harus Memiliki Three in One 64 Percepatan Peningkatan Kualitas Akuntabilitas Kinerja dan Keuangan BUMN/BUMD/BUL
66 Humas Pemerintah di Tengah Dua Tantangan Resensi Buku 69 Benchmarkong in The Public and Nonprofit Sector: Best Practices for Achieving Performance Breakthroughs Akuntansi 71 Perkembangan Konvergensi IFRS di Berbagai Negara Kolom 73 Paperless Working Papers 74 Peningkatan Kapasitas APIP Mengantisipasi Kebutuhan Organisasi 76 Soul of SPIP and The Spirit of Bureaucratic Reformation 78 Hambatan Membangun Kapasitas APIP Daerah Hukum 80 Instruksi Presiden dalam Perspektif Hukum Tata Pemerintahan GCG 82 Tentang Penguatan GCG di BUMN Apa Siapa 84 Sekda Provinsi Sulawesi Utara, Ir. Siswa Rachmat Mokodongan: “Setiap Hari Jumat Bete” 85 Agustin Teras Narang, Gubernur Provinsi Kalimantan Tengah: Inspeksi ala Putera Dayak Seputar Kita 86 Purnabhakti yang Sederhana 88 Sebuah Karya Keindahan Warta Daerah 90 BPKP Jambi Memberikan Pelatihan SPIP kepada BPK Jambi 91 Membangun Image Positif Masyarakat Atas Birokrat Ala Kabupaten Minahasa MoU 92 Perkuat Tata Kelola dengan MoU Sekilas Info 94 Kantor Penghubung Batam diresmikan 95 Exit Meeting Audit PPIP 2010 96 Kinerja Deputi Investigasi sebagai Pendukung tercapainya Clean Government
Alamat Redaksi/Tata Usaha: Gedung BPKP Pusat Lantai 1 Jl. Pramuka No. 33 Jakarta Timur 13120 Tel/Fax. 62-021-85910031, pes 0102 dan 0103, Diterbitkan Oleh: Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Berdasarkan: Keputusan Kepala BPKP Nomor: Kep-73/K/SU/2010 Tanggal 28 Januari 2011 STT Nomor: 958/SK/Ditjen PPG/STT/1982 Tanggal 20 April 1982 ISSN 0854-0519 Home-page: http://www.bpkp.go.id. e-Mail:
[email protected]. Dilarang mengutip atau memproduksi seluruh atau sebagian isi majalah tanpa seijin redaksi.
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO.2/JUNI 2011
KONTAK pembaca
Drs. Maman Supriatman, M. Si
Yth. Pemimpin Redaksi Warta Pengawasan Pada terbitan Majalah Triwulan “Warta Pengawasan” Edisi No. 1 Maret 2011 Vol XVIII, pada Rubrik Warta Utama halaman 37 terdapat kesalahan tulis pada nama pejabat dan keterangan foto. Pada Kolom 3 alinea ke dua baris kelima tertulis Inspektur Jenderal Kementerian Sosial, R. Azis Hidayat, MM. begitu pula keterangan fotonya. Dari foto yang di tampilkan pejabat tersebut adalah bapak Drs. Maman Supriatman, M. Si pada waktu masih menjabat Inspektur Jenderal Kementerian Sosial. Untuk itu mohon kiranya redaksi dapat meralat dan
mengkoreksi demi kebenaran dan keberimbangan berita. Demikian atas perhatian dan kerjasamanya disampaikan terima kasih Biro Humas Kemensos Agung Wuryanto Kami dari redaksi Warta Pengawasan mengucapkan mohon maaf atas kesalahan tersebut, dengan ini kami ralat Dengan hormat, Kantor Library of Congress (LOC) Jakarta, dibuka di Jakarta sejak tahun 1964, dengan misi utama menghimpun materi hasil penerbitan, baik dari instansi pemerintah, swasta, universitas, atau penerbitan komersial yang bersifat umum dan terbuka. Bahan-bahan ini selanjutnya akan disimpan sebagai koleksi di Library of Congress, Washington D.C., Amerika Serikat untuk menambah khazanah informasi tentang Indonesia dan ASEAN bagi anggota Kongres Ame-
rika, dan bagi kepentingan Indonesia sendiri. Memenuhi tugas menghimpun hasil publikasi di atas, Kantor Library of Congress Jakarrta dengan ini mengajukan permohonan untuk mendapatkan publikasi Badan Pengawasan Keuangan dan Pengembangan (BPKP) berupa “Warta Pengawasan” masing-m asing 1 eksemplar dari tahun 2004-2011. Selanjutnya publikasi tersebut akan kami kirimkan ke Cornel University Amerika Serikat. Besar harapan kami untuk dapat terpenuhinya permohonan ini. Atas segala bantuan yang telah diberikan, sekali lagi kami ucapkan terima kasih. Field Director Library of Congress USA Willam P. Tuchrello Permintaan tersebut telah dipenuhi dan majalah terbitan WP telah diambil secara langsung oleh pihak perpustakaan Congress USAke Bagian Humas dan HAL BPKP
3
WARTA WARTAPENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
EDITORIAL
Ketika Pedang harus Melawan Peluru
4
"Surat permintaan cekal baru kami terima tanggal dua puluh empat. Tanggal dua puluh tiga dia sudah berada di Singapura…" Demikian jawaban seorang pejabat ketika ditanya mengapa terduga koruptor itu bisa terlebih dahulu lolos ke Luar Negeri sebelum dilakukan penyelidikan. Kondisi ini seperti sudah menjadi sebuah klise dan entah sudah berapa kali terulang kembali. Hampir setiap kali seseorang dinyatakan 'diduga kuat terlibat kasus korupsi', dalam waktu sekejap, ia sudah berada di negara antah berantah, seolah-olah mereka memiliki indra keenam yang kuat. Kondisi di atas merupakan salah satu contoh kasus dimana sistem pengendalian intern belum berjalan secara efektif. Keterlambatan penerbitan surat cekal tersebut merupakan salah satu bentuk kegagalan sistem pengendalian intern dalam penanganan kasus korupsi. Kegagalan tersebut antara lain disebabkan oleh kurangnya antisipasi instansi yang berwenang dalam menghadapi risiko-risiko yang dihadapi, termasuk risiko akibat perubahan teknologi. Pada era teknologi informasi yang sudah berkembang demikian pesat, seseorang dapat melakukan kejahatan atau memantau kasusnya dengan menggunakan teknologi yang canggih. Lolosnya para terduga koruptor ke luar negeri, besar kemungkinan terjadi disebabkan sistem pengendalian yang ada belum mampu mengantisipasi risiko yang timbul akibat penggunaan teknologi canggih oleh para pelaku. Para terduga koruptor dapat memantau perkembangan kasus yang dihadapi, memesan tiket untuk pergi ke luar negeri, atau mempersiapkan segala sesuatu terkait pelariannya cukup dengan menggunakan handphone yang selalu ada di genggamannya. Sementara itu, instansi yang berkewajiban mencekalnya masih menunggu surat permintaan cekal secara manual. Dalam konsep manajemen modern, pengelolaan risiko sudah menjadi sebuah kewajiban. Setiap risiko yang mungkin timbul harus diidentifikasi dan diantisipasi dengan kegiatan pengendalian yang efektif. Dalam kasus-kasus 'white collar crime', akan selalu timbul berbagai risiko yang lebih kompleks jika dibandingkan kasus-kasus kriminal biasa. Pada kasus 'white collar crime'
selalu melibatkan orang-orang berkuasa dan berduit yang mampu berbuat apa saja dengan kekuasaan dan kekayaannya, termasuk menggunakan teknologi yang canggih. Menghadapi hal demikian, setiap instansi pemerintah yang berkewajiban menegakkan hukum dan aturan, tidak mungkin menghadapinya dengan sistem pengendalian yang konvensional. Berbagai risiko akibat perubahan teknologi harus diantisipasi secara tepat agar kejahatan-kejahatan secanggih apapun dapat dicegah, atau setidaknya dideteksi secara dini. Kondisi di atas dapat terjadi pada semua aktivitas pemerintahan dan pembangunan. Berbagai kecurangan (fraud), pelanggaran hukum (irregularities), ataupun penyimpangan dapat dilakukan oleh seseorang dengan menggunakan berbagai alat atau metode yang canggih. Pada saat ini, kasus penggelapan pajak, illegal logging, illegal fishing, atau kejahatan lainnya pasti dilakukan dengan menggunakan berbagai alat atau metode yang modern. Tentunya, hal ini harus diantisipasi secar tepat. Setiap instansi pemerintah harus mengantisipasinya dengan melaku-kan identifikasi risikorisiko dan membangun kegiatan pengendalian yang tidak kalah canggihnya. Sistem dan prosedur yang masih konvensional perlu dikaji ulang dan selanjutnya dibangun sistem pengendalian intern yang lebih efektif dan efisien. Kemajuan teknologi memang membawa dampak positif, yaitu kegiatan dapat dilakukan dengan semakin cepat, akurat dan efisien. Namun hal ini dapat diikuti dengan konsekuensi yang bersifat negatif, yaitu semakin canggihnya metode tindakan kejahatan atau penyimpangan yang terjadi. Untuk itu setiap instansi harus melakukan evaluasi terhadap efektivitas sistem pengendalian yang dimilikinya secara periodik. Selain itu setiap SDM aparatur negara harus selalu mengembangkan kapasitas diri dalam mengantisipasi segala perubahan yang terjadi, termasuk perubahan teknologi. Jangan sampai aparatur negara bekerja bagaikan pejuang dengan senjata pedang yang harus bertempur melawan musuh yang menggunakan senapan otomatis atau peluru kendali.. Jika tidak, kita akan terus menerus jadi bulan-bulanan para pelanggar hukum! triwib
WARTA WARTAPENGAWASAN PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011 2011
ROUND up
5
"Terwujudnya Pemerintahan Kelas Dunia pada tahun 2025". Sebuah Pemerintahan yang profesional dan berintegritas tinggi yang mampu menyelenggarakan pelayanan prima kepada masyarakat dan manajemen pemerintahan yang demokratis agar mampu menghadapi tantangan pada abad ke - 21. Inilah salah satu cita-cita bangsa Indonesia yang membutuhkan peran seluruh komponen bangsa untuk mewujudkannya, tak terkecuali peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah.
C
ita-cita tersebut merupakan visi dari program Reformasi Birokrasi di Indonesia. Hal tersebut ditandai dengan kondisi tidak adanya korupsi (zero corruption), tidak adanya pelanggaran, APBN dan APBD yang mendukung pencapaian program-program pemerintah secara efektif, kecepatan dan ketepatan proses perizinan, terbangunnya komunikasi yang efektif dengan publik, efektifitas dan produktifitas jam kerja aparatur, konsistensi dan keberlanjutan penerapan reward and punishment, dan terakhir adalah hasil nyata dari pembangunan, berupa pro pertumbuhan, pro lapangan kerja, dan pro pengurangan kemiskinan. Sebuah pemerintahan yang amanah dan mampu menerapkan prinsip-prinsip Good Public Governance dan Good Corporate Governance hingga pada akhirnya mampu mengantar bangsa Indonesia pada Visi Nasional yaitu “Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, berkeadilan dan Demokratis”.
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
ROUND up
6
Terwujudnya hal tersebut te- laupun reformasi birokrasi sudah dibutuhkan peran Pengawas Inlah menjadi komitmen dari Peme- dilakukan sejak era Presiden Soe- tern yang kapabel. rintah Indonesia yang tercermin karno dan Soeharto, reformasi Pengertian dari Pengawasan dari terpilihnya hal tersebut seba- birokrasi mulai intens dilakukan Internal sendiri menurut Standards gai salah satu Prioritas Pemba- sejak tahun 2004. Pada awalnya for the Professional Practice of Internal ngunan Nasional tahun 2009 - masih bersifat instansional dengan Auditing adalah aktivitas pemberian 2014, yaitu Reformasi Birokrasi tiga area perubahan yaitu Tatalak- keyakinan yang independen dan dan Tata Kelola. Sedemikian pen- sana, organisasi dan SDM , saat ini aktivitas konsultansi yang dilakukan tingnya program tersebut, hing- sudah berkembang menjadi ber- untuk memberikan nilai tambah dan ga Wakil Presiden, Boediono sifat nasional dengan delapan area meningkatkan kinerja operasi orgadalam berbagai kesempatan perubahan, meliputi pola pikir dan nisasi. Aktivitas ini membantu orgaselalu mengatakan bahwa refor- budaya kerja, penataan peraturan nisasi mencapai tujuannya dengan masi birokrasi harus berorientasi perundang-undangan, penataan melaksanakan pendekatan yang sistepada kepuasan masyarakat atas dan penguatan organisasi, penata- matis dan berdisiplin untuk mengevapelayanan, menghindarkan pe- an tatalaksana, penataan sistem luasi dan meningkatkan efektivitas nyalahgunaan wewenang, ke- SDM Aparatur, penguatan penga- manajemen risiko, kecukupan pengenbijakan berkualitas yang mendu- wasan, penguatan akuntabilitas dalian dan proses tata kelola. Sedangkung tingkat keputusan untuk kinerja dan peningkatan kualitas kan pada Peraturan Pemerintah kinerja instansi pusat atau dae- pelayanan publik. Nomor 60 Tahun 2008, definisi rah, serta efisiensi dan efektivitas Pada RPJMN tahun 2009 – 2014, Pengawasan Intern adalah seluruh penyelenggaraan negara. Keem- target sasaran secara terukur proses kegiatan audit, reviu, evaluasi, pat kondisi tersebut bukan hanya diuraikan pada tabel Sasaran Re- pemantauan, dan kegiatan pengamerupakan keinginan dari se- formasi Birokrasi di bawah ini: wasan lain terhadap penyelenggaraan orang Wakil Presiden sebagai Ketua Komite Pengarah ReforTabel Sasaran Reformasi Birokrasi masi Birokrasi Indonesia, tetapi juga didambakan oleh seluruh masyarakat Indonesia hingga menghadirkan trust dari masyarakat. Trust atau kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi adalah tujuan akhir dari sebuah proses reformasi birokrasi. Tanpa trust dari masyarakat, pemerintahan akan berjalan tanpa makna. Saat masyarakat merasakan hak-haknya sebagai warga negara terpenuhi secara otomatis masyarakat akan secara ikhlas memenuhi Sumber: RPJMN 2009 - 2014 kewajibannya sebagai warga negara. Melalui visi tersebut di Tata Kelola yang Baik atau Go- tugas dan fungsi organisasi dalam atas, Pemerintah mencoba mem- vernance, inilah kata kunci yang rangka memberikan keyakinan yang bawa semangat perubahan cara menghubungkan antara cita-cita memadai bahwa kegiatan telah dilakpandang para aparatur dan ma- bangsa tersebut di atas dengan sanakan sesuai dengan tolok ukur syarakat menjadi positif terhadap peran Pengawas Intern Peme- yang telah ditetapkan secara efisien birokrasi. rintah. Untuk mewujudkan “Indo- dan efektif untuk kepentingan pimProgram Reformasi Birokrasi nesia yang Sejahtera, Berkeadilan pinan dalam mewujudkan tata kepesendiri telah mengalami perja- dan Demokratis” yang didukung merintahan yang baik. lanan yang cukup panjang. Wa- oleh “Pemerintahan Kelas Dunia”, Pengawasan intern dilakukan
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
ROUND up oleh tenaga profesional yang memiliki pemahaman yang memadai tentang sistem, proses bisnis dan budaya kerja . Intern bekerja didasarkan pada standar dan kode etik untuk menjaga mutu hasil kerja dan kepercayaan dari stakeholder. Untuk dapat memberi nilai tambah, kegiatan pengawas intern harus selaras dengan kebutuhan dan prioritas dari stakeholders, termasuk eksekutif, komite audit, dan pengawas eksternal. Kegiatan pengawas intern harus berkolaborasi dengan manajemen untuk memberi jaminan bahwa proses tata kelola berjalan secara efisien dan efektif, pengendalian intern cukup untuk membawa risiko organisasi pada tingkat yang dapat diterima, dan tercapainya sasaran dan tujuan organisasi. Pengawasan Intern di Indonesia dilaksanakan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat Kementerian/Lembaga dan Inspektorat Provinsi/Kabupaten/Kota. Semua unit tersebut bertanggung jawab untuk menjamin bahwa internal control berjalan secara efektif, ter bangunnya tata kelola yang baik, dan tercapainya tujuan nasional secara efisien dan efektif. Pengawasan Intern memiliki peran yang cukup signifikan pada pembangunan di Indonesia. Dari hasil evaluasi ( Evaluasi Lima Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004 – 2009, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional /BAPPENAS) diungkapkan bahwa pengawasan intern memiliki peran dalam penciptaan tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Prioritas ini
memiliki sasaran yaitu terciptanya tata pemerintahan yang baik, bersih, berwibawa, profesional, dan bertanggung jawab yang diwujudkan dengan sosok dan perilaku birokrasi yang efisien dan efektif serta dapat memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakat. Pencapaian kinerja tercermin pada beberapa indikator meliputi : • Meningkatnya Indeks Persepsi Korupsi Indonesia dari 2,2 (2005), 2,4 (2006), 2,3 (2007), 2,6 (2008) dan menjadi 2,8 (2009). • Meningkatnya persentase Laporan Keuangan pemerintah pusat yang mendapat opini WTP dari 8,75 % (2006), 19,75 % (2007), dan menjadi 42,17 % (2008). • Meningkatnya skor efektivitas Pemerintahan di Indonesia dari -0,46 (2005), -0,37 (2006), -0,39 (2007) dan menjadi – 0,29 (2008). • Meningkatnya skor integritas pelayanan publik pada instansi pemerintah pusat dari 5,53 (2007), 6,84 (2008) dan menjadi
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
6,64 (2009). Untuk mencapai sasaran dari Program Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola tersebut di atas, dibutuhkan sebuah unit Pengawas Intern yang kapabel di semua tingkatan pemerintahan. Pada setiap Kementerian, Lembaga, Badan, BUMN, BUMD dan instansi Pemerintah Daerah serta tingkat nasional atau lintas Kementerian, unit pengawas intern harus mengawal pencapaian sasaran tersebut dan menjaga sistem pengendalian berjalan dengan efektif, risiko tetap berada pada tingkatan yang dapat diterima, dan terbangunnya tata kelola kepemerintahan yang baik. Tanpa pengawas intern yang kapabel, tidak ada unit kerja yang memberikan early warning system jika terjadi penyimpangan dalam pencapaian tujuan nasional. Hal ini tentunya menjadi ancaman yang tidak dapat disepelekan! (Triwib/NST)
7
8
B
angsa Indonesia tentu tidak akan pernah melupakan krisis ekonomi tahun 1998 yang melanda hampir seluruh negara dan ber dampak pada munculnya krisis multidimensi. Kondisi tersebut menjadikan momentum perubahan yang sangat besar bagi bangsa Indonesia dengan jatuhnya pemerintahan era orde baru. Bangsa Indonesia memanfaatkan momentum ini untuk melakukan perubahan besar yang sangat mendasar pada bidang politik, sosial, hukum, dan ekonomi. Amandemen UUD 1945 yang semula hanya berjumlah 16 bab, 37 pasal, dan 4 peraturan peralihan menjadi 21 bab, 73 pasal, 170 ayat, 3 pasal aturan peralihan dan 2 pasal aturan berdampak pada lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan dan perubahan mendasar pada sistem politik dan sistem kepemerintahan. Namun, sayangnya perubahan tersebut belum berdampak positif bagi masyarakat Indonesia. Kondisi masyarakat Indonesia masih belum menunjukkan kondisi yang lebih baik dari sebelum reformasi. Hal ini disebabkan perubahan mendasar tersebut belum diikuti dengan pembenahan kondisi dari birokrasi. Birokrasi belum mampu dan siap menjawab segala
tuntutan perubahan. Padahal kunci dari keberhasilan suatu pemerintahan sangat tergantung pada kualitas birokratnya. Untuk itulah, agenda reformasi birokrasi merupakan prasyarat utama untuk menuju Indonesia yang lebih baik. Meneg PAN dan RB, EE Mangindaan dalam kata sambutan acara HUT BPKP ke-28 menyebutkan bahwa reformasi birokrasi adalah prioritas pembangunan. "Tanpa keberhasilan reformasi birokrasi, prioritas berikutnya pasti ada ganjalan."tegasnya. Komitmen pemerintah untuk mengagendakan program reformasi birokrasi sebenarnya telah dimulai sejak tahun 2008 dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri PAN no. PER/15/M.PAN/7/2008 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi yang salah satunya mengatur tentang tiga area perubahan yang harus dilakukan dalam proses reformasi birokrasi yaitu aspek kelembagaan (organisasi), aspek ketatalaksanaan (business process), dan manajemen sumber daya manusia. Semangat reformasi birokrasi sepertinya terus ditumbuhkan dengan lahirnya peraturan Presiden No. 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 yang merupakan rancangan induk
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
Perjalanan Reformasi Birokrasi di Indonesia
berisi arah kebijakan pelaksanaan reformasi birokrasi nasional untuk kurun waktu 2010-2025. Langkah ini diikuti juga dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Negara PAN dan RB No.20 Tahun 2010 tentang Road Map reformasi Birokrasi 2010-2014 dan sembilan pedoman pelaksanaan reformasi birokrasi yang diharapkan dapat menjadi acuan perjalanan reformasi birokrasi pada K/L/Pemerintah Daerah. Untuk efektifitas dalam pelaksanaannya, pemerintah telah menetapkan pengorganisasian pelaksana RBN yang diketuai langsung oleh Wakil Presiden. Pelaksanaan reformasi birokrasi nasional dibagi dalam tiga tingkat pelaksanaan yaitu tingkat makro yang terdiri dari Komite Pengarah Reformasi Birokrasi dan Tim Reformasi Birokrasi, tingkat meso yang terdiri atas Unit Pengelola Reformasi Birokrasi Nasional (UPRBN), Tim Quality Assurance, dan Tim Independen, serta tingkat mikro oleh Tim Reformasi Birokrasi pada masingmasing kementerian/lembaga/pemerintah daerah sebagaimana disajikan dalam gambar 1 di bawah. Pada tingkat makro, Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional (KPRBN) dipimpin langsung oleh Wakil Presiden yang beranggotakan Menko Perekonomian, Menko Polhukam, Menko Kesra, Meneg PAN
WARTA utama
dan RB, Menkeu, Mendagri, Kepala UKP-PPP, dan Prof. Ryas Rasyid yang berperan melakukan penyempurnaan regulasi nasional terkait upaya pelaksanaan reformasi birokrasi. Penyempurnaan regulasi nasional tersebut meliputi enam area perubahan yaitu penataan organisasi, penataan tatalaksana, penataan sistem manajemen SDM aparatur, penguatan pengawasan, penguatan akuntabilitas kinerja, dan peningkatan pelayanan publik. Pada tingkat meso, baik UPRBN, Tim Independen ( TI), maupun Tim Quality Assurance menjalankan kebijakan manajerial, yakni menerjemahkan kebijakan makro dan mengkoordinir (mendorong dan mengawal) pelaksanaan reformasi birokrasi di tingkat K/L. Pada level ini, program reformasi birokrasi yang dijalankan meliputi manajemen perubahan, konsultasi dan asistensi, monitoring, Evaluasi, dan pelaporan, serta knowledge management. Pelaksanaan 4 program tersebut diharapkan dapat melahirkan komitmen dari setiap K/L/Pemda untuk melakukan reformasi birokrasi, perubahan pola pikir dan budaya kerja, meminimalisir risiko resistensi, serta melahirkan pemahaman yang berdampak pada efisiensi dan efektifitas pelaksanaan reformasi birokrasi.
Gambar 1.
Sumber:GDRBN 2010-2025
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
9
WARTA utama Saat ini, pada tingkat meso, Tim UPRBN yang dalam hal ini Kementerian PAN dan RB telah menerbitkan 9 pedoman reformasi birokrasi nasional yang meliputi: 1. Pedoman Pengajuan Dokumen Usulan Reformasi Birokrasi Kementerian/Lembaga 2. Pedoman Penilaian Dokumen Usulan dan Road Map Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Kementerian/ Lembaga 3. Pedoman penyusunan Road Map Reformasi Birokrasi Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah 4. Pedoman Pelaksanaan Program Manajemen Perubahan 5. Kriteria dan Ukuran Keberhasilan Reformasi Birokrasi
6. Pedoman Penataan tatalaksana (Business Process) 7. Pedoman Pelaksanaan Quick Wins 8. Pedoman Pelaksanaan Program Manajemen Pengetahuan (Knowledge Management) 9. Mekanisme Persetujuan Pelaksanaan Reformasi Birokrasi dan Tunjangan Kinerja bagi Kementerian/ Lembaga Saat ini, Tim Quality Assurance yang beranggotakan 6 orang dengan ketua Prof. Mardiasmo ex officio Kepala BPKP dan Tim Independen yang juga beranggotakan 6 orang akan melaksanakan monitoring dan evaluasi serta penjaminan kualitas dibantu Satgas Tim Reformasi Birokrasi Nasional BPKP pada kementerian/lemba-
Gambar 2
10
Perjalanan Reformasi Birokrasi di Indonesia
ga yang telah mengikuti program reformasi birokrasi. Melalui kegiatan monev dan quality assurance, diharapkan pelaksanaan reformasi birokrasi akan menjadi terarah dan tidak menyimpang dari grand design dan road map yang telah ditetapkan. Pada tingkat mikro, reformasi birokrasi dilaksanakan oleh masing-masing Tim RB pada masing-masing K/L/Pemda yang dibentuk oleh pimpinan K/L/Pemerintah Daerah. Tim inilah yang diharapkan berperan sebagai penggerak, pelaksana, dan pengawal pelaksanaan reformasi birokrasi pada level K/L/Pemerintah Daerah. Pada tingkat mikro, reformasi birokrasi diarahkan pada perubahan 8 area yang semula hanya 3 area meliputi program perubahan pola pikir dan budaya kerja, penataan peraturan perundang-undangan, penataan dan penguatan organisasi, penataan tata laksana, penataan sistem manajemen SDM aparatur, penguatan pengawasan, penguatan akuntabilitas kinerja, dan peningkatan kualitas pelayanan publik. Perubahan terhadap delapan area tersebut, jika berjalan secara tepat dan konsisten diharapkan dapat menjadi solusi atas permasalahan seputar birokrasi yang melanda Indonesia. Pembagian tugas untuk masing-masing tingkat pelaksana reformasi birokrasi dapat dilihat pada gambar 2. Sementara itu, pengembangan area perubahan dari tiga area menurut Peraturan Menteri PAN no. PER/ 15/M.PAN/7/2008 menjadi delapan area pada Peraturan Presiden No 81 tahun 2010 seperti digambarkan pada gambar 3:
WARTA utama
Dalam pelaksanaannya, baik dalam tatanan makro, meso, maupun mikro harus merupakan satu kesatuan yang saling mendukung. Reformasi birokrasi pada tatanan Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah seyogyanya sangat bergantung pada hasil kerja tatanan makro dan messo. Sebagai ilustrasi, terkait area perubahan 5 yaitu penataan sistem SDM Aparatur. Pada tingkat makro, area perubahan penataan sistem manajemen SDM Aparatur meliputi 21 program yang menghasilkan salah satunya adalah pedoman standar kompetensi jabatan. Kasus jual beli jabatan yang telah menjadi isu nasional kiranya menjadi salah satu dampak dari belum adanya pedoman standar kompetensi jabatan. Pada tatanan meso, baik UPRBN, Tim Independen, bahkan Tim QA harus memastikan bahwa apa yang menjadi kebijakan nasional berupa pedoman standar kompetensi jabatan dapat dijabarkan dan dilaksanakan pada tatanan mikro. Sedangkan pada tatanan mikro, Tim RBN K/L dan Pemda harus mengimplemetasikan kebijakan dalam tatanan makro tersebut, mulai dari penataan sistem rekruitmen pegawai, analisis jabatan, evaluasi jabatan, penyusunan standar kompetensi jabatan, assessmen individu berdasarkan kompetensi, penerapan sistem penilaian kinerja, pembangunan dan pengembangan database pegawai, serta pengembangan pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi. Tanpa sinergitas ketiga tingkat pelaksana tersebut, program reformasi birokrasi tidak akan pernah menghasilkan birokrat yang diharapkan.
Gambar 3
Sumber: GDRBN 2010-2025
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 1/MARET 2011
11
12
Reformasi birokrasi adalah langkah strategis untuk membangun aparatur negara agar lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam mengemban tugas umum pemerintah dan pembangunan nasional. Reformasi birokrasi pada hakikatnya merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan. Grand design reformasi birokrasi nasional 2010-2025 telah menetapkan 8 area yang menjadi fokus program reformasi birokrasi nasional. Motivasi reformasi birokrasi yang dijalankan di sejumlah instansi pemerintah ternyata belum berjalan sesuai yang diharapkan. Sejak adanya program remunerasi, instansi pemerintah kemudian menjadikannya sebagai motivasi reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi memang butuh remunerasi yang baik sebagai salah satu upaya untuk menekan penyimpangan oleh aparatur negara. Sejumlah lembaga dan kementerian yang sudah melaksanakan remunerasi terbukti belum selalu berjalan lurus dengan kinerja yang dihasilkan. Reformasi birokrasi yang dicanangkan pemerintah bukan identik dengan remunerasi. Pencapaian sasaran pembenahan pada aspek kelembagaan, tata laksana, manajemen sumber daya aparatur, akuntabilitas, pengawasan, pelayanan publik, serta perubahan mindset dan culture set belum berjalan maksimal. Reformasi birokrasi juga menyangkut perubahan mindset dan cultural set, dari penguasa menjadi pelayan, dari wewenang menjadi peranan, dari jabatan menjadi amanah, dari ego sektoral menjadi ego nasional, dan dari output menjadi outcome.
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
Manajemen Perubahan (Change Management)
P
ola pikir (mindset) dan budaya kerja birokrat harus diakui belum mendukung birokrasi yang efisien, efektif, produktif, profesional, terlebih lagi pola pikir untuk melayani. Kondisi ini menjadi perhatian serius dari pemerintah karena memang bukanlah pekerjaan mudah merubah pola pikir dan budaya kerja, tetapi harus dilakukan, jika tujuan akhir dari reformasi birokrasi berupa pelayanan publik yang berkualitas hendak dicapai. Untuk itulah, pemerintah mencanangkan suatu program menajemen perubahan yang diharapkan dapat mengubah secara sistematis dan konsisten sistem dan mekanisme organisasi serta pola pikir dan budaya kerja individu atau unit kerja menjadi lebih baik. Manajemen perubahan sesungguhnya merupakan suatu proses yang sistematis dengan menerapkan pengetahuan, sarana, dan sumber daya yang diperlukan untuk menggeser kondisi sekarang menuju kondisi yang diinginkan. Kondisi yang diinginkan tentu saja kepuasan masyarakat terhadap kinerja PNS yang tercermin dalam prilaku para birokrat. Hal yang paling penting dari sebuah manajemen perubahan adalah adanya agen perubahan atau agent of change yang berperan sebagai role model. Tidak dapat dipungkiri jika pimpinanlah yang harus memegang peran tersebut. Tanpa keteladanan seorang pemimpin, mustahil untuk melakukan perubahan terhadap pola pikir dan mindset dari aparatur. Bahkan Wakil Presiden Boediono, saat membuka acara Rakorpanas KemenPAN dan RB akhir tahun 2010 lalu pernah mengatakan bahwa kunci keberhasilan reformasi birokrasi terletak pada para pemimpin K/L dan Pemerintah Daerah. Pedoman Pelaksanaan Manajemen perubahan yang dikeluarkan KemenPAN dan RB bahkan telah menyaratkan sembilan prinsip yang harus dipenuhi
WARTA utama
dalam proses manajemen perubahan. Pertama, kejelasan tujuan atau hasil yang ingin dicapai dari proses perubahan. Kedua, kesadaran akan proses perubahan bahwa perubahan menuju kondisi yang lebih baik. Ketiga, membangun kepercayaan. Role model adalah kunci dalam membangun kepercayaan. Model positif dari seluruh pimpinan adalah sebuah keharusan untuk membangun kepercayaan. Keempat, dimulai dari tingkatan paling atas karena perubahan tidak akan berhasil tanpa keterlibatan pimpinan tertinggi. Kelima, besarnya partisipasi aktif dari seluruh level dalam organisasi. Keenam, tumbuhnya rasa memiliki untuk mempertahankan momentum perubahan. Ketujuh, ketersediaan sumber daya baik berupa dana, personil, waktu, serta sarana dan prasarana. Kedelapan, keteraturan atau ketersediaan rencana yang terstruktur. Kesembilan, keberlanjutan komunikasi. Proses penyampaian informasi yang secara berulang melalui jalur media yang berbeda-beda dengan tingkat kedalaman yang semakin meningkat akan membangun pengetahuan, pemahanan, keterampilan, dan keyakinan akan suatu proses perubahan. Oleh karena itu, dalam menghasilkan suatu pola pikir dan budaya kerja sebagai proses dari manajemen perubahan, ke-9 prinsip dasar tersebut harus menjadi acuan baik pada tingkat makro, meso, bahkan tingkat mikro. Pada tingkat meso maupun tingkat mikro, hasil yang diharapkan dari sebuah manajemen perubahan tidak lain adalah meningkatnya komitmen K/L dan Pemda dalam melakukan reformasi birokrasi, terjadinya perubahan pola pikir dan budaya kerja, serta menurunnya risiko kegagalan yang disebabkan antara lain berupa resistensi atas perubahan !
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
(nst)
13
WARTA utama
T 14
Penataan Peraturan Perundang-undangan
umpang tindih peraturan perundang-undangan baik tingkat pusat maupun daerah sudah bukan merupakan rahasia umum lagi. Bahkan Kementerian Dalam Negeri telah menemukan adanya 11 undang-undang (UU) yang berbenturan dan saling tumpang tindih dengan pemberlakuan otonomi daerah yang sangat luas (Okezone.com,29/07/10). Masih banyaknya peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih, inkonsistensi, tidak jelas, multi tafsir, pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan lainnya, baik sederajat maupun antara peraturan yang lebih tinggi dengan peraturan dibawahnya atau antara peraturan pemerintah pusat dengan daerah, serta belum disesuaikan dengan dinamika perubahan penyelenggaraan pemerintahan dan tuntutan masyarakat merupakan tantangan tersendiri bagi proses reformasi birokrasi. Ketua UKP4, Kuntoro Mangkusubroto dalam sebuah media bahkan menyatakan bahwa salah satu yang menjadi faktor penghambat pembangunan adalah tumpang tindihnya peraturan perundang-undangan. Untuk menggambarkan sangat berlimpahnya jumlah peraturan di Indonesia, Kuntoro bahkan menyebut Indonesia sebagai negeri yang tercekik oleh peraturan-peraturannya sendiri. (antaranews.com -27/8/2010). Kondisi ini juga dipertegas melalui pernyataan Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar bahwa peraturan perundangan-undangan yang ada sekarang masih ada yang tumpang tindih, bahkan ada yang bertentangan dan tidak sejalan dengan peraturan lainnya. (Antara News). Hal ini merupakan hal yang aneh dan perlu menjadi pelajaran besar. Undang-undang adalah pedoman bagi bangsanya sendiri dan bagi bangsa asing terutama jika dikaitkan dengan upaya kerja sama melalui investasi. Untuk harmonisasi peraturan perundang-undangan, menurutnya memang merupakan tanggung jawab Kemenkumham, semua kementerian harus mendukung harmonisasi, karena
rancangan undang-undang pemerintah berasal dari kementerian/lembaga/pemerintah daerah. Hal ini antara lain disebabkan karena lemahnya proses penyusunan peraturan perundang-undangan, lemahnya koordinasi antar pihak dan check and balance, serta politisasi dan interest pribadi atau golongan juga turut mewarnai proses penyusunannya yang mengabaikan azas keadilan. Disamping itu, penafsiran peraturan perundang-undangan seringkali hanya ditinjau dari satu sektor saja, tidak melihat hubungan antara sektor yang satu dengan sektor yang lainnya, sehingga tidak tampak hubungan antara peraturan perundangundangan pada sektor yang satu dengan sektor yang lain, maupun peraturan perundang-undangan nasional dan daerah, bahkan tidak memperhatikan kesatuan masa lalu, masa kini dan masa mendatang. Untuk itu, secara nasional, pemerintah, baik pusat maupun daerah bersama pihak legislatif perlu duduk bersama melakukan kajian terhadap peraturan perundang-undangan yang telah terbit untuk mengetahui peraturan perundangundangan yang saling tumpang tindih, berbenturan, tidak efektif dan relevan. Upaya penataan peraturan perundangundangan secara nasional diharapkan dapat meminimalisir hadirnya peraturan perundang-undangan yang membuka peluang para birokrat untuk melakukan pungli dan suap terutama yang saling melemahkan. Kondisi inilah yang melatarbelakangi perlunya dilakukan penataan terhadap peraturan perundang-undangan. Pemerintah, melalui road map reformasi birokrasi nasional 2010-2014 telah menetapkan penataan peraturan perundang-undangan sebagai area perubahan yang dilaksanakan pada tingkat mikro oleh tim reformasi birokrasi K/L/Pemda dengan hasil yang diharapkan berupa hasil identifikasi peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan/diterbitkan oleh K/L dan Pemda. Hasil kajian tersebutlah yang akan dipergunakan sebagai dasar melakukan regulasi dan deregulasi peraturan perundang-undangan! (nst)
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
Penataan dan Penguatan Organisasi
S
uatu organisasi dapat dikatakan efektif dapat dilihat dari sejauh mana organisasi tersebut mampu mewujudkan tujuan-tujuannya berupa keberlangsungan hidup. (Teori Organisasi: Edisi 3, Stephen P. Robbins). Namun, efektivitas dari suatu organisasi harus dikaitkan dengan efisiensi dari keberadaanya. Organisasi yang kaya struktur dan miskin fungsi, cenderung akan menimbulkan inefisiensi dan ketidakefektifan pencapaian tujuan organisasi. Hal inilah yang terjadi pada kondisi birokrasi Indonesia. Tumpang tindih fungsi organisasi pemerintahan pastinya akan berdampak pada tingginya biaya aparatur yang harus menjadi beban APBN. Untuk itu, pemerintah memandang perlu melakukan penataan dan penguatan organisasi pemerintah melalui right sizing organisasi kepemerintahan sehingga birokrasi dapat berjalan secara efisien dan efektif dalam melakukan peran pelayanan. Langkah awal yang harus dilakukan adalah menyusun pedoman struktur organisasi pemerintahan yang ideal, efisien, dan efektif, melakukan evaluasi atas struktur organisasi kepemerintahan yang ada saat ini, juga melakukan penataan dan penguatan melalui right sizing organisasi. Pemerintah harus berani untuk melakukan penggabungan kementerian/lembaga sejenis, mengoptimalkan peran kementerian/lembaga yang ada untuk meminimalisir pembentukan komisi-komisi meskipun akan berdampak pada pengurangan pegawai yang tidak berkontribusi dalam pemerintahan maupun pengurangan eselonisasi. Untuk itu, hal pokok yang harus dilakukan adalah menghilangkan faktor interest
WARTA utama
pribadi, golongan, bahkan organisasi sepanjang kebijakan right sizing untuk tujuan peningkatan kualitas pelayanan publik. Melalui perubahan pada area ini, pemerintah berharap dapat menurunkan tumpang tindih tugas pokok dan fungsi internal K/L dan Pemda serta meningkatkan kapasitas K/L dan Pemda dalam melaksanakan tupoksinya. Penataan dan penguatan organisasi dalam pelaksanaannya dilakukan pada tingkat makro oleh Komite Pengarah RBN dan Tim RBN sedangkan pada tatanan mikro dilakukan oleh Tim RBN K/L/Pemda. Pada tingkat makro, Road Map RBN 2010-2014 telah menetapkan enam belas program dan kegiatan yang diharapkan menghasilkan PermenPAN dan RB tentang Pedoman Umum sistem kelembagaan pemerintah, evaluasi kelembagaan pemerintah, SOP penataan kelembagaan pemerintah, Hasil pemantauan dan Evaluasi organisasi kementerian, Pedoman Umum Kelembagaan UPT, Hasil pemantauan dan evaluasi kelembagaan UPT, Perpres tentang Penyusunan Pedoman Umum Kelembagaan LPNK dan pedoman umum kelembagaan instansi vertikal, dan sebagainya. Sementara pada tatanan mikro, K/L/Pemda harus mampu menghasilkan peta tugas dan fungsi unit kerja pada K/L dan Pemda yang tepat fungsi dan ukuran (right sizing) dan kapabilitas dari semua unit organisasi, diantaranya dengan adanya unit kerja organisasi, tata laksana, kepegawaian, dan diklat yang mampu mendukung tercapainya tujuan RB! (nst)
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
15
WARTA utama
T
16
Penataan Tatalaksana Reformasi Pengawasan
atalaksana (business process) pada dasarnya merupakan sekumpulan aktivitas kerja ter struktur dan saling terkait untuk menghasilkan keluaran yang sesuai dengan kebutuhan pengguna. Dalam pendekatan manajemen tatalaksana (business process management), tatalaksana merupakan suatu siklus mulai dari aktivitas analisis kebutuhan yang kemudian dilanjutkan dengan aktivitas perancangan, aktivitas implementasi, aktivitas pemberlakuan, dan aktivitas evaluasi dan monitoring sebagai feed back perbaikan untuk selanjutnya kembali ke siklus aktivitas perancangan. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penataan tata laksana merupakan never ending process yang akan terus dikembangkan sesuai kebutuhan organisasi. Upaya standarisasi dan simplifikasi proses bisnis yang sehat dari organisasi pemerintahan mutlak harus dilakukan untuk menghindari biaya yang tinggi dari setiap proses bisnis organisasi, diantaranya melalui penyusunan SOP(Standard Operating Procedur) penyelenggaraan tugas dan fungsi serta pembangunan dan pengembangan e-government yang tepat sasaran. Maka dari itu, upaya awal yang harus dilakukan oleh pemerintah, diantaranya adalah dengan melahirkan pedoman analisis proses bisnis yang sehat pada K/L/ Pemda sebagai acuan bagi K/L/Pemda dalam penyusunan SOP yang sederhana dengan menggunakan sumber daya manusia seminimal mungkin. Upaya lain adalah melalui penerapan e-government dalam setiap proses bisnis organisasi pemerintah. Manfaat e-government telah sangat dirasakan oleh beberapa negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris, diantaranya memperbaiki kualitas pelayanan pemerintah kepada para stakeholders-nya (masyarakat, kalangan bisnis, dan industri), meningkatkan transparansi, kontrol, dan akuntabilitas penyelenggaraan pe-
merintahan dalam rangka penerapan konsep Good Corporate Governance, mengurangi secara signifikan total biaya administrasi, relasi, dan interaksi yang dikeluarkan pemerintah maupun stakeholdersnya untuk keperluan aktivitas sehari-hari, serta menciptakan suatu lingkungan masyarakat baru yang dapat secara cepat dan tepat menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi sejalan dengan berbagai perubahan global dan trend yang ada, serta memberdayakan masyarakat dan pihak-pihak lain sebagai mitra pemerintah dalam proses pengambilan berbagai kebijakan publik secara merata dan demokratis. Implementasi e-Government yang tepat akan secara signifikan memperbaiki kualitas kehidupan masyarakat di suatu negara secara khusus, dan masyarakat dunia secara umum. Oleh karena itu, implementasinya di suatu negara selain tidak dapat ditunda-tunda, harus pula dilaksanakan secara serius, dibawah suatu kepemimpinan dan kerangka pengembangan yang holistik, yang pada akhirnya akan memberikan/ mendatangkan keunggulan kompetitif secara nasional Komitmen pemerintah untuk menerapkan e-government sebenarnya sudah cukup menggembirakan. Namun, perlu upaya lebih keras untuk memotivasi seluruh K/L/Pemda untuk penerapan e-government secara tepat agar setiap proses bisnis dapat berjalan secara efisien sehingga proses pelayanan publik dapat lebih cepat, murah, terjangkau, dan aman. Pada tatanan makro, hasil yang diharapkan dari proses ini adalah terbitnya RUU Administrasi Pemerintahan, RUU Etika Penyelenggaraan Negara, dan PermenPAN dan RB tentang Pedoman analisis proses bisnis pada K/L dan Pemda sedangkan pada tatanan mikro, berupa dokumen SOP penyelenggaraan tugas dan fungsi dan tersedianya e-government pada masingmasing K/L dan Pemda! (nst)
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
Penataan Sistem Manajemen SDM Aparatur
S
aat ini, data Badan Kepegawaian Nasional (BKN) per Mei 2010, menunjukkan jumlah pegawai negeri sipil di Indonesia mencapai angka 4.732.472 orang dan jumlah ini sepertinya akan terus meningkat. Permasalahan utama sumber daya manusia aparatur sebenarnya terletak pada alokasi dalam hal kualitas, kuantitas, dan distribusi yang menurut teritorial (daerah) tidak seimbang. Kondisi ini diperburuk dengan tingkat produktivitasnya yang juga rendah. Permasalahan ini tentu saja muncul sebagai akumulasi dari ketidaktepatan manajemen SDM aparatur dari era pemerintahan sebelumnya yang sayangnya masih terus berlangsung hingga kini, mulai dari pola rekrutmen yang belum berdasarkan kebutuhan baik dari segi kuantitas maupun kualitas, sistem penggajian yang sangat minim, pola promosi yang sarat akan KKN daripada kompetensi, dan lain sebagainya. Tanpa sumber daya manusia aparatur yang berkualitas, perjalanan reformasi birokrasi akan menuai banyak kendala. Untuk itu, dalam mengatasi persoalan seputar SDM aparatur, perlu langkah-langkah strategis dan berani sebagaimana diusulkan oleh Erry Riyana Hardjapamekas selaku ketua Tim Independen Reformasi Birokrasi Nasional pada media Republika (28/6) agar pemerintah menghentikan sementara (moratorium) penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) selama enam bulan ke depan dan penawaran pensiun dini bagi PNS berusia 50-55 tahun. Menurut Erry, moratorium penerimaan CPNS diperlukan agar pemerintah beban anggaran pemerintah untuk belanja pegawai tidak terus bertambah yang justru mengganggu upaya peningkatan kualitas pelayanan publik. Upaya penataan sistem manajemen SDM aparatur, sebagaimana yang menjadi concern pemerintah dalam program reformasi birokrasi, setidaknya harus memperhatikan 6 pendekatan yaitu pendekatan politik, ekonomi, hukum, sosio-kultural, administratif, dan teknologikal. Untuk itu, jika pemerintah hendak melakukan penataan sistem manajemen sdm aparatur, setidaknya pemerintah harus
WARTA utama
mempertimbangkan ke 6 pendekatan tersebut sebagai dasar untuk melakukan tahapan manajemen SDM aparatur yang meliputi perencanaan SDM, analisis dan rancang bangun pekerjaan, rekrutmen, seleksi, penempatan pegawai, pengembangan SDM, perencanaan karir, penilaian prestasi kerja, sistem imbalan, pemeliharaan hubungan kerja, dan audit kepegawaian (Manajemen Sumber Daya Manusia: Prof. Dr. Sondang P Siagian, MPA). Hal ini pula yang mendasari pemerintah Indonesia, dalam melakukan penataan sistem manajemen SDM aparatur dengan tujuan akhir meningkatkan profesionalisme SDM aparatur pada masing-masing K/L dan Pemda. Upaya penataan sistem SDM aparatur dilaksanakan pada tingkat makro (Komite Pengarah RBN dan Tim RBN) dan Tingkat mikro (tim RBN K/L/Pemda). Pada tingkat makro, grand design RBN 2010-2025 telah menetapkan 21 program atau kegiatan yang diharapkan dapat menghasilkan 21 strategi atau kebijakan seputar SDM aparatur, diantaranya, pedoman standar kompetensi, pedoman penyusunan perencanaan pegawai secara nasional, pedoman assessment kompetensi individu pegawai, PP tentang analisis kebutuhan dan pengembangan sistem diklat, pedoman penataan sistem tunjangan kinerja, dan pedoman pengembangan sistem diklat. Sementara pada tatanan mikro perubahan pada area ini diharapkan dapat menghasilkan sistem rekrutmen yang terbuka, transparan, dan akuntabel, dokumen peta dan uraian jabatan, peringkat jabatan dan harga jabatan, dokumen kualifikasi jabatan, peta profil kompetensi individu, kinerja individu yang terukur, ketersediaan data pegawai yang mutakhir dan akurat, serta diklat berbasis kompetensi. Melalui penataan sistem sumber daya manusia aparatur yang saling melengkapi baik dari tatanan makro, meso, sampai mikro secara berkelanjutan, diharapkan program reformasi birokrasi dapat menghasilkan SDM aparatur yang produktif, profesional, dan dapat dipercaya!
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
(nst)
17
WARTA utama
P 18
Penguatan Pengawasan Reformasi Pengawasan
engawasan adalah salah satu fungsi organik manajemen, yang merupakan proses kegiatan pimpinan untuk memastikan dan menjamin bahwa tujuan dan sasaran serta tugas -tugas organisasi akan dan telah terlaksana dengan baik sesuai dengan rencana, kebijakan, instruksi, dan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dan yang berlaku. Pengawasan sebagai fungsi manajemen sepenuhnya adalah tanggung jawab setiap pimpinan pada tingkat mana pun. Hakikat pengawasan adalah untuk mencegah sedini mungkin terjadinya penyimpangan, pemborosan, penyelewengan, hambatan, kesalahan dan kegagalan dalam pencapaian tujuan dan sasaran serta pelaksanaan tugas - tugas organisasi.(Lembaga Administrasi Negara (1996:159). Definisi diatas menggambarkan betapa pentingnya pengawasan sebagai salah satu aspek penting dari fungsi manajerial. Maraknya kasus penyimpangan keuangan negara, inefisiensi, dan ketidakefektifan pengelolaan keuangan negara mengindikasikan masih lemahnya peran pengawasan. Bahkan, mencuatnya berbagai kasus korupsi belum mampu memberikan efek jera dan justru tidak sedikit pihak berikutnya yang melakukan hal serupa demi keuntungan pribadi dan pihak tertentu. Prilaku ini tentu saja sangat merugikan keuangan negara. Sepertinya, Indonesia memang sudah terbiasa dengan kasus korupsi. Seperti kisah Kasus korupsi Bank BLBI, Gayus Tambunan sang mafia pajak, dan kini kasus Muhammad Nazaruddin yang diduga terlibat kasus suap wisma atlet Sea Games turut menambah porsi pelanggaran hukum yang berujung pada kerugian negara. Bahkan kondisi diatas diperkuat dengan perolehan angka Indeks Persepsi Korupsi (IPK) atau Corruption Perception Index (CPI) 2010 di Indonesia yang tidak berubah dari tahun lalu, yaitu 2,8. Pencapaian ini berada
di bawah beberapa negeri tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand. Capaian tersebut, cukup mengindikasikan bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia tidak ada kemajuan, jalan di tempat, dan stagnan. Penguatan pengawasan mutlak untuk dilakukan untuk memastikan bahwa seluruh sumber daya yang dimiliki telah digunakan secara efisien dan efektif untuk meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN. Melalui program penguatan pengawasan, diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan dan efektivitas pengelolaan keuangan negara, meningkatnya status opini BPK, dan menurunnya tingkat penyalahgunaan wewenang. Program penguatan pengawasan dilaksanakan pada tingkat makro yang dalam hal ini Komite Pengarah RBN dan Tim REB sementara pada tingkat mikro dilaksanakan oleh tim RBN K/L/Pemda. Pada tatanan makro, perubahan area penguatan pengawasan, diharapkan menghasilkan RUU Pengendalian Penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan (PPAP), berupa kebijakan pembinaan SPIP, kebijakan tentang pengawasan intern, kebijakan tentang TLHP, kebijakan tentang pengawasan masyarakat, dan kebijakan percepatan pemberantasan korupsi. Di samping itu, area perubahan ini juga harus menghasilkan laporan monitoring pelaksanaan kebijakan pengawasan intern, laporan monitoring TLHP instansi, laporan penyaluran dan pemantauan pengaduan masyarakat, dan laporan kormonev. Sementara pada tatanan mikro, upaya penguatan pengawasan diharapkan dapat menghasilkan peningkatan ketaatan, efisiensi dan efektifitas pelaksanaan tupoksi melalui penerapan SPIP dan peningkatan kualitas pertanggungjawaban pengelolaan keuangan negara melalui peningkatan peran APIP sebagai Quality Assurance dan (nst) consulting!
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
Penguatan Akuntabilitas Kinerja
A
kuntabilitas dalam pengelolaan negara seyogyanya mampu menghasilkan kepercayaan dari masyarakat atas kinerja yang dihasilkan oleh birokrasi. Akuntabilitas merupakan kewajiban dari individu atau penguasa yang dipercaya untuk mengelola sumber daya publik dan yang bersangkutan dengannya, untuk dapat menjawab hal-hal yang menyangkut pertanggungjawaban fiskal, manajerial, dan program (Deklarasi Tokyo, 1985). Terdapat beberapa jenis akuntabilitas. Ada yang membagi akuntabilitas dalam dua kategori yaitu vertikal dan horizontal. Ada juga yang membagi akuntabilitas politik dan akuntabilitas manajerial. Dalam konteks pembangunan nasional, akuntabilitas yang dibangun adalah akuntabilitas manajerial, yaitu pertanggungjawaban seorang pejabat publik kepada yang memberi amanah yaitu rakyat atas pengelolaan (management) sumber daya yang dikuasainya, termasuk pengelolaan keuangan negara. Sementara akuntabilitas kinerja adalah pertanggungjawaban seorang pejabat publik atas kinerja kepada rakyat selaku pemberi amanah. Beberapa indikator, seperti hasil penilaian terhadap Laporan akuntabilitas kinerja pemerintah (LAKIP), pada tahun 2009 yang menunjukkan bahwa jumlah instansi pemerintah yang dinilai akuntabel baru mencapai 24% begitu pula kasuskasus pe langgaran lainnya menunjukkan bahwa instansi pemerintahan masih belum akuntabel dan transparan dalam mempertanggungjawabkan pelaksanaan program/kegiatan kerja mereka. Saat ini, akuntabilitas kinerja merupakan
WARTA utama
sesuatu yang sulit untuk diwujudkan. Padahal, akuntabilitas kinerja merupakan salah satu pilar terwujudnya good public governance, di samping transparansi dan partisipasi masyarakat. Mengingat kondisi akuntabilitas kinerja pada tatanan birokrasi dan pen tingnya suatu akuntabilitas kinerja, grand design reformasi birokrasi nasional 2010-2025 menempatkan penguatan akuntabilitas kinerja sebagai area yang harus dibenahi. Penguatan akuntabilitas kinerja dilakukan pada tingkat makro yang dalam hal ini Komite Pengarah UPRBN dan Tim RBN sedangkan tingkat mikro dilaksanakan oleh Tim RBN K/L dan Pemda. Pada tatanan makro, perubahan pada area penguatan akuntabilitas kinerja diharapkan menghasilkan RUU dan peraturan pelaksanaan akuntabilitas kinerja penyelenggaraan negara, laporan pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi akuntabilitas kinerja, sistem manajemen kinerja, dan modul penyusunan IKU. Sementara pada tatanan mikro, diharapkan dapat menghasilkan peningkatan kualitas laporan keuangan yang ditandai dengan opini dari BPK RI, terciptanya sistem yang mampu mendorong tercapainya kinerja yang terukur, dan tersusunnya IKU. Melalui penguatan akuntabilitas kinerja sebagai bagian dari agenda reformasi birokrasi seyogyanya dapat menghasilkan pengeluaran atau belanja yang berdampak secara signifikan bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat!
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
(nst)
19
WARTA utama
P 20
Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik
ada kehidupan bernegara di abad moderen ini, komitmen suatu negara untuk mem berikan pelayanan publik yang memadai merupakan sesuatu yang mutlak harus diberikan pemerintah kepada warga negaranya. Bahkan media online bhirawa (7/6-2010) menyebutkan bahwa pemenuhan kebutuhan publik tersebut sebagai hak-hak azasi manusia. Oleh karena itu, ketika suatu instansi pemerintah memberikan layanan publik yang buruk, hal tersebut dianggap melanggar konvensi internasional tentang hak azasi manusia. Sebagai contoh, di saat warga negara kesulitan mendapatkan layanan kesehatan yang baik, bermutu, dan mudah dijangkau, maka sesungguhnya pemerintah telah lalai dalam memenuhi apa yang menjadi hak azasi warganya. Hal ini juga berlaku di setiap lembaga penyedia layanan publik baik sektor swasta maupun publik. Saat ini, dibandingkan dengan pihak pemerintah, sistem pelayanan publik pihak swasta umumnya tergolong lebih baik. Hal ini terutama disebabkan oleh tingginya persaingan antar pemberi layanan publik. Kondisi yang berbeda justru terjadi pada lembagalembaga pemerintah penyedia pelayanan publik . Berbagai faktor menjadi penyebab buruknya kualitas pelayanan publik. Namun, faktor utama yang menjadi penghambat dalam pelayanan publik yang baik, yakni buruknya birokrasi dan ketiadaan standar pelayanan publik. Oleh karena itu, perbaikan dalam kualitas pelayanan publik sangat terkait dengan 7 area perubahan sebelumnya. Kegagalan pada salah satu area perubahan akan menjadi penghambat dalam peningkatan kualitas pelayanan publik. Di samping kualitas birokrasinya, ketiadaan standar pelayanan harus menjadi perhatian serius semua
pihak. Padahal standarisasi pelayanan publik sangat penting agar pemerintah dapat menghasilkan kualitas pelayanan publik yang sama antara kementerian dengan lembaga negara lainnya serta antar daerah yang satu dengan daerah yang lain. Program peningkatan kualitas pelayanan publik dilaksanakan pada tingkat makro yaitu Komite Pengarah RBN dan Tim Reformasi Birokrasi Nasional melalui 4 program/kegiatan. Hasil kerja pada tingkat makro tersebut diharapkan menghasilkan angka capaian IKM pada pemerintah Kab/Kota yang merepresentasikan kinerja provinsi, Peraturan pemerintah tentang Pedoman Standar Pelayanan sesuai UU No 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dan Permenpan tentang Pedoman Teknis Penyusunan Standar Pelayanan, setiap K/L dan Pemda mempunyai unit pelayanan yang berstandar internasional sebagai model, dan peningkatan jumlah unit layanan yang secara sukarela menerapkan sistem manajemen mutu yang diakui secara internasional. Sementara pada tingkat K/L/Pemda, upaya peningkatan kualitas pelayanan publik dapat dicapai melalui pelaksanaan 3 program yaitu penerapan standar pelayanan pada masing-masing K/L/Pemda, penerapan SPM pada Kab/Kota, dan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Perubahan pada delapan area tersebut, akan berdampak efektif bagi perubahan ke arah birokrasi yang dicita-citakan. Melalui langkah ini, pemerintah berharap pelaksanaan reformasi birokrasi melalui upaya pembenahan pada 8 area perubahan tersebut dapat berjalan secara komprehensif, efektif, efisien, terukur, konsisten, terintegrasi, melembaga dan berkelanjutan!
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
(nst)
WARTA utama Fadel Muhammad, Menteri Kelautan dan Perikanan
Evaluasi 360 Derajat untuk Hadirkan Pemimpin Dipercaya
D
itemui diruang kerjanya, Menteri Kelautan dan Perikanan, Fadel Muhammad, sangat memaknai pentingnya arti sebuah keper cayaan (trust) dari masyarakat. Bagi Fadel, trust akan muncul dari suatu leadership yang kuat. "Leadership yang kuat merupakan kunci keberhasilan dari suatu perubahan", jelas Fadel. Kepada Warta Pengawasan ia menyampaikan 3 kiat leadership yang telah membawanya sukses meniti karir di pemerintahan, pertama pemimpin tidak perlu khawatir dengan pandangan orang atas kebijakan yang diambil sepanjang konsisten dan telah sesuai dengan norma yang ada, kedua, pemimpin harus mampu menjadi teladan bagi lingkungannya, ketiga, pemimpin harus memiliki komitmen yang kuat untuk membawa suatu perubahan kearah yang lebih baik yang disebutnya political will. "Tanpa adanya political will dari pemimpin, jangan harap ada perubahan", ujarnya. Terkait reformasi birokrasi, mantan Gubernur Provinsi Gorontalo ini memandangnya sebagai sesuatu yang sangat positif tetapi butuh komitmen dari semua pihak. Untuk melakukan reformasi birokrasi, harus dimulai dari pemimpin serta keberanian pemimpin untuk melakukan revolusi terutama terhadap perubahan pola pikir yang disebutnya revolusi putih. Revolusi putih yang dimaksud Fadel adalah perubahan pola pikir disertai guidance yang jelas akan pemerintahan yang bersih dengan ukuran-ukuran dan persyaratan tertentu, yaitu dengan mendapatkan sumber daya manusia aparatur yang bagus, memperbaiki sistem kerja, dan insentif. "Remunerasi harus
dipandang sebagai hasil dari sebuah kinerja", ungkapnya. Melalui guidance ini, SDM aparatur akan mendapatkan peningkatan penghasilan atau insentif dari keberhasilannya menciptakan manfaat bagi masyarakat. Tiada perubahan tanpa komitmen. Hal inilah yang disadari pria berdarah Timur Tengah ini. Untuk menumbuhkan komitmen dari jajarannya, ia membuat kebijakan agar seluruh unit eselon 1 menandatangai "Kontrak Kerja" sedangkan untuk individu harus menandatangani "Kontrak Kinerja". Upayanya untuk memperoleh pemimpin-pemimpin yang dipercaya dilakukannya dengan menerapkan evaluasi atas kinerja yang disebutnya pola evaluasi 360 derajat dan pola evaluasi 180 derajat. Pola evaluasi 360 derajat, merupakan evaluasi kinerja para pejabat eselon 1 yang dilakukan oleh atasan langsung yaitu Menteri KKP, sesama pejabat Eselon 1 Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan mitra kerja diluar KKP sesuai corenya. Sementara penilaian dari bawahan untuk saat ini masih dilakukan oleh Inspektur Jenderal. Untuk pola 180 derajat, dilakukan untuk penilaian pejabat eselon 2, 3 dan 4. Ia menambahkan bahwa pola evaluasi seperti ini sangat besar pengaruhnya terutama terhadap pola promosi dan karir SDM aparatur di Kementerian Kelautan dan Perikanan. Di samping berbagai upaya tersebut, untuk percepatan proses reformasi birokrasi di kementeriannya, Fadel telah menetapkan Itjen KKP sebagai piloting percepatan proses Reformasi Birokrasi tersebut. Itjen, untuk tahap awal akan melakukan assessment baik terhadap struktur organisasi, pola perencanaan, kepegawaian, budaya kerja, dan indikator pengukurannya untuk mengetahui perubahanperubahan apa yang harus dilakukan serta sebagai bahan evaluasi dalam tatanan pelaksanaan. Melalui reformasi birokrasi yang berkelanjutan, ia berharap akan terwujud pemerintahan yang bersih, akuntabel, dan terpercaya! (nans)
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
21
22
Sekelumit cerita tentang Nanan Sukarna yang saat ini dipercaya menempati posisi Wakil Kepala Kepolisian RI menyadarkan kita bahwa negeri ini masih memiliki sosok pria yang sangat concern memperbaiki kondisi birokrasi yang semakin memprihatinkan. Meskipun berseragam lengkap sebagai perwira Polisi, ia menampilkan keramahan yang dahulu sangat jauh dari citra polisi. Sikap melayani sebagai atasan kepada bawahan dan sebagai aparatur kepada masyarakat menjadi keinginan dari seorang Nanan Sukarna.
S
aat ditemui Warta Pengawasan (WP) di ruang kerjanya di kawasan Markas Besar Kepolisian RI, yang terletak di bilangan Jakarta Selatan, ia menceritakan secara panjang lebar perjalanan reformasi birokrasi ditubuh Kepolisian RI. Cerminan reformasi birokrasi di tubuh Kepolisian yang telah dimulai sejak tahun 2003 sepertinya ada pada sosok Nanan Sukarna. Kepada WP, Nanan mencoba menceritakan bagaimana ia memaknai sebuah proses dari reformasi birokrasi yang saat ini ramai dibicarakan. Warta Pengawasan (WP): Bagaimana Bapak memaknai agenda Reformasi Birokrasi yang dicanangkan oleh Pemerintah? Nanan Sukarna(NS): Yang terpenting dari sebuah proses reformasi birokrasi adalah sejauh mana reformasi birokrasi dapat merubah ‘mindset’ baik aparatur terhadap masyarakat maupun masyarakat terhadap aparaturnya. Penindakan dan penangkapan terhadap birokrat atau masyarakat yang menyimpang sebenarnya bagus tetapi kurang efektif. Yang paling penting adalah upaya pencegahan. Untuk itu, setiap pimpinan di semua level harus menjadi tauladan, menjadi penjamin kualitas (‘Quality
Assurance’), konsultan, serta bertanggung jawab terhadap kinerjanya. Pimpinan jangan hanya menindak kesalahan saja tetapi melakukan langkah-langkah pencegahan. Saat ini Kepolisian RI sedang mencoba menerapkan dua program. Pertama, tidak boleh ada hak prerogatif pimpinan. Kedua, keberanian bawahan mengawasi atasannya, menolak dan menggugat perintah atasannya jika keluar dari rel dan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan ataupun kode etik profesi. Jangan menyalahartikan kata “loyal”. Loyal harus kepada negara bukan kepada atasan atau golongan. Bawahan baru dapat dikatakan loyal jika berani mengingatkan atasan yang salah/keliru dalam mengambil keputusan. Banyak kasus korupsi terjadi karena bawahan tidak memberikan informasi yang tepat dan tidak berani melawan perintah atasan. Di samping itu, pimpinan juga dituntut untuk mau mendengarkan masukan dari bawahan. Perlu kebesaran hati atasan. Saat ini, kedua hal tersebutlah yang paling sulit dilakukan. WP:Sejauh ini, apakah kedua program tersebut dapat berjalan efektif di Kepolisian RI? NS:Saya pribadi, sudah saya melaksanakannya. Semua
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
Pemimpin Harus Siap Menjadi Teladan dan Pelayan
keputusan yang saya ambil adalah kemauan institusi berdasarkan forum bukan kemauan pribadi. Tidak ada hak prerogatif. Jika saya salah dalam mengambil keputusan dan bertindak, silahkan gugat saya. Saya nyatakan itu di depan seluruh anggota. Anda dapat menuntut keputusan saya, asal melalui sidang komisi kode etik yang dimiliki Kepolisian RI. Kepolisian RI memiliki sidang komisi kode etik yang selalu menyidang anggota/bawahan. Sekali-kali bawahan bisa menuntut atasan dan atasan menjadi yang terperiksa. Ini luar biasa. Jika salah, siap dihukum. Itulah resiko memimpin. Kita butuh ‘leader’ yang seperti ini. Jangan jika salah, menyalahkan anggota. Jika salah, berarti pimpinan salah dalam mengambil keputusan. Sejak diangkat sebagai Wakapolri, setiap apel pagi, saya selalu hadir lebih dahulu dan mendatangi anggota sekedar menanyakan kabarnya. Bagi bawahan, merupakan suatu kehormatan besar jika disapa oleh atasannya. Setelah apel selesai, sesekali diisi acara pemberian motivasi oleh motivator-motivator yang cukup dikenal di Indonesia. Di samping itu, pengawalan-pengawalan atau yang dikenal dengan ‘voorijder’ sudah ditinggalkan. Jika kondisi mengharuskan, saya akan suruh petugas ‘voorijder’ tersebut untuk berada pada posisi belakang. Jika lampu merah tetap harus berhenti. Kalau tidak mau terlambat, datanglah lebih awal untuk menghindari kemacetan. WP: Menurut Bapak, bagaimana seharusnya sikap seorang pemimpin? NS:Pemimpin harus menjadi tauladan bagi bawahan dan siap melayani bawahan. Bawahan juga harus siap menjadi quality assurance dan konsultan bagi atasan. WP:Disamping kedua hal diatas, upaya apa lagi yang telah dilakukan Kepolisian RI terutama dalam
merubah pola pikir birokrasi di Kepolisian RI? NS: Kepolisian RI telah menerapkan sanksi yang tegas terhadap perwira yang melakukan kesalahan. Setiap tahunnya, Kepolisian telah memberhentikan sebanyak 150 s.d 400 orang. Di samping itu, program Emotional Question atau yang dikenal dengan ESQ juga diberikan sebagai pelatihan integritas dan moral disamping pendidikan dan pelatihan yang hanya bersifat kognitif (berpikir-red) saja. Di samping itu, perlu penguatan APIP. Jika hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh APIP tidak ditemukan permasalahan, itu bahaya. APIP harus berperan sebagai ‘early warning system’ yang harus mengedepankan upaya pencegahan. Satu hal lagi yang tidak kalah penting adalah transparansi. Dokumen DIPA jangan dianggap sebagai dokumen rahasia. Masyarakat berhak mengetahui program-program dan alokasi anggaran. Biarkan masyarakat ikut mengawasi sehingga tidak ada pihak manapun dari organisasi yang berani macam-macam. Tanpa kejujuran, reformasi birokrasi “non sense” akan tercapai. Sosok Nanan cukup menginspirasi bagaimana pentingnya seorang agen perubahan (‘agent of change’) dari sebuah proses reformasi birokrasi. Tanpa itu, reformasi birokrasi yang menghabiskan triliunan rupiah tidak akan mampu menghasilkan perubahan performance dari birokrasi. (nans)
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. WARTA 2/JUNIPENGAWASAN 2011 VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
WARTA utama
23
WARTA utama
Mengawali karirnya sebagai seorang birokrat, menjadikannya memahami benar permasalahan yang selalu lekat dengan para birokrasi. Pengalaman ini pula yang menjadi bekal pria yang akrab disapa Djauhari dalam menjalankan peran barunya sebagai Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi Utara sejak tahun 2005 lalu. Good Public Governance (GPG) dan pelayanan publik, ditegaskannya sebagai target yang harus dicapai.
S 24
ebagai birokrat, ia menyadari, tidaklah mudah mencapai GPG dan pelayanan prima. “Diperlukan komitmen dan konsistensi terhadap komitmen terutama dari pimpinan. Itulah yang merupakan kunci keberhasilan reformasi birokrasi.” ungkapnya. Komitmen yang dimaksudkannya tentu saja komitmen pimpinan untuk menjalankan pemerintahan yang memuaskan masyarakat. Baginya, implementasi dari perbaikan birokrasilah yang dinanti masyarakat bukan hanya sekedar lips service. Langkah pertama yang dilakukannya adalah melakukan perubahan atas mindset dan cultural set dari para birokrat di Provinsi Sulut. “Harus terbentuk mindset melayani bukannya dilayani.” tegasnya. Untuk melakukan perubahan tersebut, ia menekankan perlunya kedisiplinan dari seluruh pegawai bukan hanya kehadiran, tetapi juga ketepatan waktu dalam penyelesaian pekerjaan, dan ketaatan atas peraturan yang mendasari pekerjaannya. Ia selalu menegaskan kepada stafnya agar tidak melakukan pekerjaan yang menyimpang dari payung hukum. “Jika menyimpang, dampaknya akan kembali tidak hanya ke pribadi tetapi institusi secara keseluruhan yaitu pemerintah” ungkapnya. Langkah kedua, membangun koordinasi, konsultasi, dan komunikasi baik kepada atasan, bawahan, atau rekan sekerja. “Koordinasi memang gampang tetapi sangat sulit dalam tatanan pelaksanaan, padahal, tanpa koordinasi program tidak akan dapat berjalan secara baik,”ungkapnya. Koordinasi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Sulut, pemprov sulut membuat forum-forum seperti forum Sekretarist Daerah, forum Inspektur Daerah, forum Wakil Bupati/Walikota, dan Forum kepala Bappeda. Tetapi semuanya kembali pada komitmen dan konsistensi pimpinan yang dalam hal ini Bupati dan Walikota.Tanpa itu, cara kerja birokrasi akan kembali pada pola lama. Langkah ketiga, meningkatkan kompetensi sumber daya manusia, diantaranya melalui pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi baik
WARTA WARTA PENGAWASAN PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. VOL. XVIII/NO. 2/JUNI2/JUNI 2011 2011
Komitmen dan Konsistensi Pimpinan sebagai Kunci Keberhasilan RB
dalam memahami segala peraturan maupun culture melayani dengan baik. “Meskipun kemampuan yang dimiliki luar biasa, tetapi jika masyarakat tidak dilayani dengan baik, maka pelayanan publik tidak akan berhasil.”kata Djauhari. Di samping itu, untuk mengoptimalkan peran pelayanan publik, ia juga selalu menegaskan kepada stafnya bahwa yang paling penting dalam pelayanan masyarakat adalah etika dan estetika “Petugas layanan seharusnya mencontoh recepsionis di hotel atau bank yang selalu senyum dan sopan menyapa.”tambahnya. Penandatanganan fakta integritas sebagai kontrak kerja juga dijadikannya sebagai alat untuk membangun komitmen. Di samping peningkatan kompetensi, Pemprov Sulut juga menerapkan Tunjangan Kinerja Daerah (TKD) sebagai dasar penetapan penghasilan pegawai. Melalui pemberian TKD, Pemprov Sulut berharap dapat member dampak pada peningkatan kinerja pegawai. Langkah keempat, mengoptimalkan fungsi kontrol dari pimpinan kepada staf. “Pimpinan jangan hanya duduk dibelakang meja” tegasnya. Salah satu bentuk pengawasan oleh pimpinan menurutnya adalah dengan mengunjungi staf sebagai media komunikasi apa yang sedang dikerjakan bawahan dan menanyakan permasalahan yang mungkin menghambat pelaksanaan pekerjaannya. Hal inilah menurut bapak dua putra/putrid ini selalu konsisten diterapkannya. “Sapaan pimpinan dapat merefleksikan perhatian dari atasan terhadap bawahan. Bawahan akan sangat bangga jika disapa pimpinan.”tegasnya. Menurutnya, atasan seringkali menganggap staf sebagai bawahan, padahal jika itu terjadi, staf akan bekerja sesuai instruksi. Tetapi jika pimpinan menganggap staf sebagai mitra kerja, maka staf akan memberikan kemampuan terbaik yang dimilikinya. Di samping itu, setiap minggu di hari jum’at , ia selalu mengadakan pertemuan dengan pimpinan SKPD yang disebutnya “jumpabete” atau jum’at pagi bersih temuan. Temuan dari BPK, BPKP, Inspektorat, bahkan isu-isu strategis yang sedang berkembang di masyarakat, menurutnya segera diselesaikan bersama melalui sharing. Ia bahkan sabar menunggu penyelesaian temuan pada hari itu juga. “Saya selalu mengatakan tidak ada dusta di antara kita. Jika ada permasalahan harus dikomunikasikan. Perlu shock teraphy kepada seluruh staf.” tegasnya Langkah kelima, penerapan e-government dalam
WARTA utama
proses bisnisnya yang direncanakan dimulai tahun 2011 bahkan untuk pengadaan barang dan jasa, Pemprov Sulut telah menerapkan e-procurement. “Pelaksanaan tugas kedepan akan online ke database pimpinan baik instruksi maupun informasi, sehingga pimpinan mengetahui semua permasalahan, ”ungkapnya. Pada akhir tahun 2012, masyarakat dapat langsung mengakses informasi apa saja terkait Provinsi Sulut melalui Teknologi Informasi yang akan diletakkan di lobby kantor-kantor pemerintah. Langkah kelima adalah penguatan pengawasan. Penguatan melibatkan peran Inspektorat Provinsi Sulut dalam pengawalan program-program pemerintah. Inspektorat wilayah dari awal proses penganggaran mulai tahap perencanaan. Untuk peningkatan SDM APIP, BPKP selalu menjadi partner kerja. “Inspektorat selalu saya ajak turun kelapangan untuk melihat langsung pelaksanaan program. Laporan hasil pengawasan selalu bagus. Saya tidak percayakan begitu saja. Saya selalu melakukan evaluasi awal bulan atas laporan hasil pengawasan baik inspektorat, BPKP, dan BPK.”ungkapnya Langkah keenam adalah meningkatkan kualitas pelayanan publik. Saat ini, ia menegaskan bahwa pemerintah daerah Provinsi Sulut telah menyiapkan satu unit kerja untuk menjadi percontohan ISO yaitu Dinas Pendapatan. Untuk evaluasi proses layanan publik, iapun pernah menyamar sebagai pemohon layanan untuk mengetahui kualitas pelayanan publik yang sebenarnya beserta permasalahannya dan segera mencari solusi penyelesaiannya. “Maklumatmaklumat seperti itu penting terutama untuk kantorkantor yang melayani masyarakat. Di samping itu, harus ada penetapan standar biaya pelayanan untuk meminimalisir peluang korupsi,” tegasnya. Terlepas dari semua tahapan yang telah dan akan dilakukan tersebut, ia selalu memanfaatkan masukan-masukan dari staf seperti inspektorat atau dari pihak lain seperti BPKP yang memang memahami.”Pimpinan tidak boleh memberi instruksi yang menyimpang dari aturan apalagi jika sudah ada pemberitahuan dari stafnya.”kata Djauhari. Semua keberhasilan reformasi birokrasi, ditegaskan suami dari Mieke Tatengkeng, kembali ke manusianya. Iapun tidak menampik sulitnya merubah mindset dari para birokrat. Tetapi seberat apapun tantangan yang dihadapi, sosok pria yang pernah berprofesi sebagai pendidik ini tidak akan melunturkan tekadnya untuk melahirkan birokrat-birokrat yang siap melayani. (Tim WP)
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
25
LIPUTAN Khusus
26
S
ebagaimana telah diungkapkan sebelumnya (halaman 6), Aparat Pengawasan Intern Pemerintah yang kapabel sangat dibutuhkan untuk menunjang terwujudnya tata kelola kepemerintahan yang baik dalam mencapai tujuan nasional. Dengan adanya APIP yang kapabel, pembangunan nasional akan terkawal dengan baik melalui sistem pengendalian yang efektif, pengelolaan risiko yang terkendali, dan terbangunnya tata kelola kepemerintahan yang baik. Dengan hal itu, akan terbangun sebuah early warning system dalam proses pembangunan hingga setiap potensi penyimpangan dan kegagalan dapat dicegah sedini mungkin. Pada jajaran pemerintahan di Indonesia saat ini, terdapat 61 unit APIP di tingkat Pemerintah Pusat dan 522 unit APIP di tingkat Pemerintah Daerah. Unit APIP di instansi pemerintah pusat berupa unit Inspektorat pada berbagai Kementerian/Lembaga/Badan. Sedangkan pada pemerintah daerah berupa satuan kerja pemerintah daerah bernama Inspektorat Provinsi / Kabupaten/ Kota. Total jumlah aparat pemerintah yang bekerja sebagai aparat pengawas
internal pemerintah sekitar 20.000 pegawai, namun demikian yang memiliki sertifikasi auditor sebagai pejabat fungsional auditor sebanyak 7.816 orang dengan sebaran di BPKP sebanyak 3.505 orang ( 44,84 %), APIP Pusat sebanyak 1.749 orang ( 22,38 %), dan APIP daerah sebanyak 2.562 orang (32,78%) . Membangun sebuah unit pengawas intern pemerintah yang handal bukanlah perkara mudah. Banyak faktor yang mempengaruhinya. Berbagai kondisi harus dipenuhi untuk memenuhi standar yang dibutuhkan. Bukan hanya terkait kondisi internal unit kerja, namun lingkungan eksternal juga memberi pengaruh serta terbangunnya komunikasi yang baik antar komponen-komponen yang ada . Pada saat ini, salah satu pendekatan yang dapat digunakan dalam membangun APIP yang kapabel adalah Internal Audit Capability Model (IA-CM). IA-CM adalah suatu kerangka kerja yang mengidentifikasi hal-hal mendasar yang dibutuhkan untuk audit internal yang efektif di sektor publik. Model ini menggambarkan jalur evolusi bagi organisasi sektor publik dalam mengembangkan audit internal yang
WARTA WARTAPENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
Membangun Kapabilitas Aparat Pengawas Intern Pemerintah dengan Metode IACM
efektif untuk memenuhi kebutuhan tata kelola organisasi dan harapan profesional. IA-CM menunjukkan langkah-langkah progesif dari APIP yang lemah menuju APIP yang kuat, efektif, kemampuan audit internal umumnya terkait dengan organisasi yang lebih matang dan kompleks. IA-CM ini dimaksudkan sebagai model universal dengan perbandingan sekitar prinsip, praktik, dan proses yang dapat diterapkan secara global untuk meningkatkan efektivitas audit internal. Manfaat dari IA-CM : 1. Sebagai sarana komunikasi dan advokasi (a communication vehicle). IA-CM menjadi dasar bagi pimpinan APIP untuk mengkomunikasikan apa yang dimaksud dengan audit internal yang efektif dan bagaimana melayani organisasi dan para pemangku kepentingan, dan untuk advokasi pentingnya audit internal untuk pengambil keputusan. 2. Sebagai kerangka kerja untuk penilaian (a framework for assessment). IA-CM digunakan sebagai kerangka kerja untuk menilai kemampuan APIP terhadap standar profesional internal audit dan praktek, baik sebagai penilaian-diri atau penilaian eksternal. 3. Sebagai peta jalan untuk peningkatan (a road map for orderly improvement) . IA-CM dapat digunakan sebagai peta jalan untuk membangun kapabilitas dimana APIP dapat ,mengikuti langkah-langkah dalam model untuk membangun dan memperkuat kegiatan pengawasan intern. Salah satu prinsip yang paling penting dalam mengimplementasikan model ini adalah peran pimpinan APIP (Chief Audit Executive) dalam menetapkan proses
dan praktek-praktek yang diperlukan untuk mencapai dan mempertahankan kapabilitas APIP dan tindakan yang diambil oleh manajemen organisasi untuk menciptakan lingkungan yang mendukung fungsi pengawasan intern. Aktivitas pengawasan intern merupakan aktivitas yang kompleks dan banyak persyaratan yang harus dipenuhi misalnya terkait standar audit dan kode etik. Pimpinan APIP sebagai penanggung jawab dalam melaksanakan fungsi pengawasan intern akan memberi warna pada proses dan praktek dalam penyelenggaraan pengawasan intern. Dalam model IA-CM ini, kemampuan seorang Pimpinan APIP dalam mengelola unit kerjanya cukup berpengaruh pada tingkat kapabilitas. IA-CM merupakan kerangka kerja untuk memperkuat peran Internal Audit melalui beberapa langkah perubahan yang diorganisasikan dalam lima level kapabilitas yang progesif, yaitu Initial, Infrastructure, Integrated, Managed dan Optimizing. Masing-masing tingkat menggambarkan karakteristik dan kemampuan dari suatu kegiatan audit pada tingkat itu. Peningkatan proses dan praktek pada tiap tingkatan akan menjadi dasar untuk meingkat ke level selanjutnya. Premis dasar yang mendasari IA-CM adalah proses atau praktek tidak dapat ditiingkatkan apabila tidak dapat diulang. Kelima level tersebut adalah: Level 1 (Initial). Tidak berkelanjutan, tidak memiliki pedoman (SOP) penyelenggaraan pengawasan intern, kemampuan APIP tergantung pada individu-individu. Level 2 (Infrastructure). Berkelanjutan, telah memiliki SOP dalam penyelenggaraan pengawasan intern.
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
LIPUTAN Khusus
Level 3 (Integrated). Penyelenggaraan pengawasan intern telah mengacu pada best practice dan diterapkan secara seragam, berpedoman audit internal, dan praktek profesional seragam diterapkan. Level 4 (Managed). APIP mengintegrasikan informasi untuk meningkatkan tata kelola dan manajemen risiko. Level 5 (Optimizing). APIP merupakan organisasi pembelajar untuk melakukan perbaikan berkelanjutan. IA-CM juga mengidentifikasi enam unsur penting untuk pengawasan intern yaitu : 1. Peran dan Layanan, terdapat 5 Area Proses Kunci 2. Pengelolaan SDM, terdapat 10 Area Proses Kunci 3. Penyelenggaraan Pengawasan Pemerintah, terdapat 7 Area Proses Kunci 4. Manajemen dan Akuntabilitas Kinerja, terdapat 7 Area Proses Kunci 5. Hubungan dan Budaya Organisasi, terdapat 5 Area Proses Kunci 6. Struktur Tata Kelola Jasa, terdapat 7 Area Proses Kunci Model ini telah mengidentifikasi 41 (empat puluh satu) Area Proses Kunci (KPA) yang terkait dengan masing-masing dari enam elemen tersebut pada setiap level kapabilitas. Terpenuhinya Area Proses Kunci akan menentukan level kapabilitas yang dicapai oleh APIP. Area proses kunci tersebut diuraikan pada tabel di bawah ini. Mencermati kondisi APIP di Indonesia saat ini, tampaknya model IA-CM di atas dapat dijadikan alternatif yang tepat dalam pengembangan kapabilitas. Saat ini kualitas unit pengawas intern pemerintah di Indonesia masih belum
27
LIPUTAN WARTA utama Khusus
Perpres 54/2010 dan Keppres 80/2003 apa bedanya? Membangun Kapabilitas Aparat Pengawas Intern Pemerintah dengan Metode IACM
sepenuhnya mampu menjalankan peran dan fungsi sesuai ‘best practice’ yang ada di dunia. Berbagai kendala dan keterbatasan masih melekat hingga fungsi tersebut belum dapat dipenuhi sebagai mana yang diharapkan. Pada umumnya APIP di Indonesia masih menjalankan fungsi untuk menjaga ketaatan pegawai dalam menjalankan peraturan yang berlaku (compliance), belum dapat sepenuhnya menjalankan peran sebagai penjamin dan konsultan, apalagi sebagai key agent of change.
Kondisi tersebut merupakan satu hal yang dapat dimengerti. Harapan agar unit kerja pengawas intern dapat berperan sebagai key agent of change, bukan hanya dipengaruhi oleh faktor-faktor internal unit kerja APIP itu sendiri, namun juga berbagai faktor eksternal. Persepsi pimpinan dan stakeholder sangat mempengaruhi keberhasilan peran tersebut. Namun demikian bagi unit kerja APIP, pengembangan berkelanjutan tetaplah harus dilakukan. Sebagaimana diungkapkan oleh Bob Mc
28
Sumber : Internal Audit Capability Model (IA-CM) for the Public Sector WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
Donald, Senior Director, Assurance and Risk Advisory Service Queensland Health, “Internal Auditor harus membuktikan bahwa keberadaannya memang dibutuhkan”. Jadi, untuk menuju unit kerja APIP sebagai key agent of change, ia harus tetap melakukan pengembangan berkelanjutan dalam memberi nilai tambah bagi organisasi hingga terbangun persepsi yang positif dan kepercayaan yang tinggi dari pimpinan dan stakeholder kepada unit kerja APIP. Hal inilah yang menjadi tantangan bagi para APIP saat ini !
29
Melihat konsep IA-CM, terdapat 6 unsur yang harus dikembangkan pada unit kerja pengawas intern pemerintah, yaitu Peran dan Layanan, Pengelolaan SDM, Penyelenggaraan Pengawasan Pemerintah, Manajemen dan Akuntabilitas Kinerja, Hubungan dan Budaya Organisasi, dan Struktur Tata Kelola Jasa. Keenam unsur ini dijabarkan lebih lanjut pada 41 area proses kunci. Apa dan bagaimana masing-masing unsur tersebut, serta bagaimana gambaran sekilas kondisi di Indonesia akan diuraikan lebih lanjut pada artikel-artikel berikut ini WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
M
S
esuai definisi Internal Auditing, peran dari pengawas intern adalah memberikan penilaian yang independen dan objektif dalam membantu organisasi mencapai tujuan-tujuannya dan memperbaiki aktivitas operasi organisasi. Untuk menjalankan itu, beberapa jenis layanan yang bisa dilakukan oleh Pengawas Intern meliputi jasa assurrance, konsultasi, dan dapat terdiri dari audit atas transaksi, audit ketaatan, audit atas sistem, audit kinerja, audit atas IT, dan audit atas laporan keuangan, atau bentuk lainnya. Elemen Layanan dan Peran Audit Internal memiliki beberapa Key Proses Area (KPA) yang harus dipenuhi oleh internal audit pada tiap level agar tetap pada levelnya. Adapun KPA-KPA tersebut adalah seperti gambar berikut:
30
sumber : Buku Internal Audit Capability Model (IA-CM)
Pada level 2 (Infrastructure), Layanan dan peran Pengawas Intern baru pada taraf melakukan audit atas persesuaian atau ketaatan (compliance audit) unit organisasi atas peraturan atau kebijakan, kontrak, dan prosedur. Adapun beberapa aktivitas yang menandai pada level ini adalah Pengawas Intern telah memasukkan layanan auditnya dalam Piagam Internal Auditnya, merancang penugasan audit, melakukan penugasan audit, dan mengomunikasikan hasil penugasan audit kepada auditee. Dalam melakukan penugasan audit, auditor telah menerapkan prosedur audit, telah mendokumentasikan prosedur yang dikerjakannya dan hasilnya (audit program, internal control questionnaires, kertas kerja), mengevaluasi informasi yang telah didapatkan, membuat kesimpulan dan rekomendasi. Dari aktivitas-aktivitas tersebut pengawas intern telah dapat memberikan keyakinan bahwa sistem telah sesuai kriteria yang ada. Selain itu
WARTA WARTAPENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
Membangun Pengawasan Pelayanan Prima dengan Membentuk Badan Komplain Bagian Terpenting dari Reformasi Birokrasi Peran dan Layanan Audit Pengawas Intern
pengawas intern telah dapat mencegah, menghalangi, mendeteksi aktivitas ilegal yang dapat merusak kebijakan atau prosedur yang ada, termasuk korupsi. Meningkat ke level 3 (Integrated), pada tahapan ini pengawas intern telah melakukan penilaian kinerja dan melaporkan segi efisiensi, efektivitas, ekonomisnya kegiatan atau program. Penilaian kinerja dilakukan atas keseluruhan kegiatan atau program dalam proses bisnis. Di samping itu, pengawas intern juga melakukan analisa dan memberikan advice atau konsultasi kepada manajemen. Outcome yang dihasilkan pada level 3 ini adalah adanya perbaikan dari sisi governance, manajemen risiko, dan memberikan pengaruh perubahan kepada organisasi untuk lebih efisien dan efektif, serta mempunyai performa yang tinggi pada setiap aktivitasnya. Level 4 (Managed) mensyaratkan internal audit untuk memberikan jaminan yang cukup memadai bahwa tata kelola organisasi, manajemen risiko, dan pengawasan atas proses/control proses telah dijalankan dengan efektif. Level ini akan diisi oleh internal audit dengan aktivitas seperti: melakukan audit tata kelola setahun sekali (governance audit); melakukan audit enterprise-wide risk management (ERM audit) sekali setahun; menilai/mereview kecukupan dan hasil monitoring terhadap manajemen; menilai transparansi, kewajaran, dan konsistensi manajemen atas hasil yang dicapai; memastikan bahwa scope audit telah melingkupi keseluruhan tata kelola organisasi, manajemen risiko, dan proses control. Dengan dilakukannya aktivitas-aktivitas tersebut di atas, atasan dan pihak-pihak yang berkepentingan merasa yakin bahwa tata kelola organisasi, manajemen risiko, dan pengawasan atas proses/control proses telah cukup dan berfungsi dengan baik dalam mencapai tujuan organisasi. Level terakhir yakni level 5 (Optimizing), Layanan dan Peran Pengawas Intern telah mencapai tingkatan tertingginya yakni diakui sebagai kunci agen perubahan (key agent of change). Pada level ini internal audit telah cukup memenuhi serta mengembangkan kapasitas kepemimpinan dan profesionalismenya atas semua aktivitasnya dalam rangka menjadi katalis untuk mencapai perubahan yang positif dalam organisasi. Pada level ini, Pengawas Intern memfokuskan aktivitas strategi pada pelayanan pengguna jasa secara kontinyu; terus meningkatkan pengetahuan profesional /skill para personilnya; terus memonitor perubahan dalam lingkungan bisnis dan dampaknya pada organisasi terkait tata kelola, manajemen risiko, dan proses control; memfasilitasi pembelajaran
LIPUTAN Khusus khusus
organisasi yang berpengaruh/berdampak pada perubahan lingkungan organisasi; dan berkontribusi dalam pengimplementasian strategi ERM organisasi. Di Indonesia, jenis layanan APIP dilaksanakan berdasarkan ketentuan yang berlaku. Jenis layanan yang diberikan Inspektorat Provinsi/Kota/Kabupaten dilakukan berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 79 tahun 2005 tentang Pembinaan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 23 tahun 2007 tentang Pedoman tata cara Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Dalam ketentuan tersebut, jenis layanan Inspektorat Provinsi/Kota/ Kabupaten berupa pemeriksaan, pemeriksaan dugaan KKN, pemeriksaan tujuan tertentu, monitoring, dan evaluasi. Selain itu berdasarkan Permendagri, jenis layanan terbagi tiga jenis yaitu Pemeriksaan Reguler, Pemeriksaan Akhir Masa Jabatan dan Pemeriksaan atas pengaduan Masyarakat. Sedangkan untuk APIP pusat, jenis layanan diatur pada Peraturan Pemerintah nomor 60 tahun 2008, dimana jenis pengawasan terdiri dari audit, evaluasi, pemantauan, reviu, dan pengawasan lainnya. Inspektorat Kementerian/Lembaga selain melakukan audit secara reguler, juga terkadang melakukan evaluasi terhadap kebijakan yang diambil pimpinan, dan reviu terhadap laporan keuangan. Sedangkan BPKP, pada umumnya melakukan tugas audit, evaluasi, pemantauan, ataupun reviu berdasarkan permintaan dari Presiden, Wakil Presiden atau Menteri/Pimpinan Lembaga. Selain itu BPKP juga melakukan pengawasan intern atas kegiatan yang bersifat lintas sektoral dan kegiatan kebendaharaan umum negara. Sedangkan peran yang diberikan, secara normatif sudah didukung oleh peraturan yang ada untuk dapat berperan hingga menjadi key agent of change. Namun demikian dalam realitanya di lapangan sangat tergantung oleh tingkat kepercayaan yang melekat pada APIP itu sendiri di mata pimpinan dan stakeholder. Dengan demikian peran APIP memiliki tingkatan yang berbeda-beda pada satu instansi dengan instansi lainnya. Oleh karenanya hal yang harus didorong adalah komitmen dari para pejabat pengambil keputusan pada pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan legislatif pusat/daerah untuk lebih menyadari bahwa pengawasan intern ini begitu pentingnya bagi pencapaian tujuan. Dengan komitmen itu pula maka tingkat independensi, transparansi, dan akuntabilitas dari pengawas intern dapat diperbaiki sehingga peran pengawas intern dapat meningkat seiring juga dengan meningkatnya layanannya!
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
31
M
P
eople Management adalah suatu proses menciptakan suatu lingkungan kerja yang membuat pegawai dapat mempersem bahkan kemampuan kinerja terbaiknya. Kegiatan people management termasuk membuat uraian tugas yang jelas bagi pengawas intern untuk tiap tingkatan dalam organisasi; melaksanakan orientasi yang efektif, pendidikan berkelanjutan, peningkatan profesionalisme, dan training; melaksanakan diskusi secara reguler untuk meningkatkan kinerja pegawai; mendesign kompensasi yang efektif untuk pemberian reward kepada pegawai berdasarkan kontribusinya pada organisasi; dan memberikan promosi dan kesempatan pengembangan karir yang sesuai kepada pegawai yang berkinerja baik buat organisasi. Elemen People Management memiliki beberapa Key Proses Area (KPA) yang harus dipenuhi oleh Pengawas intern pada tiap level agar tetap pada levelnya. Adapun KPA-KPA tersebut adalah sebagai berikut:
32 32
sumber : Buku Internal Audit Capability Model (IA-CM)
Pada level 2 (Infrastructure), tujuan People Management adalah melakukan identifikasi dan menarik pegawai yang memenuhi kompetensi dan skill untuk melakukan pekerjaan Pengawas intern. Perekrutan Pengawas intern yang memiliki kualifikasi tersebut dimaksudkan untuk menjaga kredibilitas hasil Pengawas intern. Disamping itu juga, institusi Pengawas intern harus memastikan bahwa institusinya secara terus menerus mempertahankan dan meningkatkan kapabilitas profesionalnya.
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
Membangun Pengawasan Pelayanan Prima dengan Membentuk Badan Bagian Terpenting dari Reformasi Birokrasi (Sumber Daya Manusia PeopleKomplain Management
Output yang dicapai pada level ini adalah posisiposisi jabatan yang ada di Pengawas intern diisi oleh orang dengan kualifikasi yang tepat, dan ada laporan secara periodik tentang jenis dan banyaknya training yang telah dicapai oleh tiap pegawai/Pengawas intern. Sedangkan outcome yang dicapai adalah pekerjaan audit telah dilakukan dengan “due professional care” atau mengindahkan norma / standar profesional yang ada; observasi, kesimpulan, dan rekomendasi audit telah kredibel; adanya komitmen individual untuk belajar secara terus-menerus; serta adanya jaminan bahwa seluruh auditor melakukan fungsi Pengawas intern telah memenuhi level minimal dari pembelajaran berkelanjutan yang dipersyaratkan oleh standar audit, sertifikasi profesional, dan kebijakan organisasi. Sedangkan pada level 3 (Integrated), Pengawas intern mengangkat pegawai-pegawai yang secara profesional memiliki kualifikasi dan mempertahankan pegawai-pegawai yang telah menunjukkan kompetensinya. Tidak hanya itu, pada level ini Pengawas intern membentuk para pegawai yang dapat berfungsi secara efektif pada sebuah tim yang solid, disini kompetensi tim diperlukan. Output dari level 3 ini adalah adanya kepastian bahwa seluruh posisi dalam organisasi diisi atau dijabat oleh orang-orang yang punya kualifikasi dan berpengalaman baik yang internal maupun dari outsourcing. Kemudian audit dan pekerjaan lainnya dikerjakan oleh orang atau sekelompok orang yang dapat bekerja bersama-sama secara produktif. Meningkat ke level 4 (Managed), Pengawas intern membentuk kepemimpinan dan kesempatan untuk pengembangan profesional pegawai Pengawas intern dengan cara memberikan dukungan akan keterlibatan/partisipasi mereka pada badan profesi yang ada. IA juga mengintegrasikan pengembangan para manajer organisasi dengan training dan pengalaman kegiatan Pengawas intern. Pengawas intern juga mengejar/mencari strategi agar pegawai terdorong dengan pemahaman tata kelola yang baik untuk berkontribusi kepada organisasi. Pada Level 5 (Optimizing), Pengawas intern bertujuan memfasilitasi dan mendukung para pemimpinnya untuk menjadi pemimpin kunci dalam badan profesi terkait. Pegawai Pengawas intern memegang peran/jabatan penting dalam badan profesi terkait dan mempengaruhi perkembangan dan evolusi badan profesi tersebut. Keikutsertaan dalam kepemimpinan dan administrasi badan profesi membantu auditor mempelajari dan mempraktekkan skill tingkat
LIPUTAN Khusus khusus
tinggi. Pengelolaan SDM APIP di Indonesia dari tahun ke tahun semakin baik. Jika dahulu inspektorat terkesan sebagai tempatnya pegawai ‘buangan’, namun saat ini persepsi tersebut sudah tidak berlaku lagi. Saat ini unit inspektorat, khususnya pada instansi pemerintah pusat, sudah diisi pegawai yang memiliki latar belakang ilmu pengetahuan terkait pengawasan dan telah dididik sebagai auditor. Sebagian dari APIP (sekitar 35 %) sudah bersertifikat sebagai Pejabat Fungsional Auditor (PFA) dengan berbagai tingkatan. Pengiriman auditor ke seminar, forum dan berbagai pelatihan juga rutin dilaksanakan, hingga kompetensinya dapat terjaga dengan baik. Kondisi agak berbeda dialami oleh APIP di beberapa daerah yang belum maju. Pengangkatan dan mutasi pegawai APIP tanpa latar belakang pengawasan masih sering terjadi. Penunjukan pimpinan APIP terkadang masih belum mempertimbangkan profesionalisme. Berdasarkan pengamatan, tampaknya pengelolaan SDM pada sebagian APIP di Indonesia sudah mulai berada pada level 2 dimana APIP sudah dapat mempraktekkan standar professional yang ada. Sementara sebagian lainnya, khususnya pada instansi pemerintah daerah yang belum maju, masih menggunakan SDM ‘ala kadar’nya sehingga dapat dikatakan berada pada level 1. Namun demikian untuk meningkat ke level di atasnya tampaknya masih membutuhkan waktu yang cukup panjang. Untuk mendapatkan kondisi dimana setiap posisi diisi oleh orang yang berkualifikasi dan berpengalaman di bidangnya serta terbangunnya kerja sama tim yang kuat nampaknya membutuhkan komitmen yang tinggi dari pimpinan instansi untuk membangun APIP yang handal. Pola karir di APIP saat ini belum mendukung terbentuknya spesialisasi auditor pada bidang tertentu yang akan meningkatkan efektivitas pelaksanaan tugas pengawasan intern. Agar terjadi peningkatan level, maka metode perkrutan pegawai pengawas intern, baik di pusat maupun di daerah haruslah terus menerus diperbaiki sehingga pengawas intern diisi oleh pegawai-pegawai yang memang memiliki kompetensi, kapabilitas, dan integritas yang tinggi sesuai dengan yang dipersyaratkan oleh standar yang ada. Selain itu, remunerasi dan pola karir juga harus selalu diperbaiki untuk menunjang kinerja/produktivitas pegawai pengawas intern. Pemberlakuan mekanisme reward and punishment kepada para pegawai juga akan membuat suasana kerja dirasakan menjadi fair!
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
33
M
34
Professional Practices merefleksikan keseluruhan kebijakan, proses, dan praktek yang membuat aktivitas Internal Auditor (IA) bisa dilakukan secara efektif dan dengan kecukupan serta mengindahkan norma-norma profesional yang ada (due professional care). Elemen Professional Practices memiliki beberapa Key Proses Area (KPA) yang harus dipenuhi oleh internal audit pada tiap level agar tetap pada levelnya. Adapun KPA-KPA tersebut dapat diliat pada tabel Elemen Profesional Practises dibawah. Pada Level 2 (Infrastructure), IA telah membuat rencana periodik baik tahunan maupun beberapa tahun (annual atau multiyear) untuk melaksanakan audit atau jasa lainnya, berdasarkan prioritas yang ditentukan oleh manajemen senior organisasi dan juga konsultasi dengan manajemen atau pihakpihak terkait (stakeholders). IA juga membantu memfasilitasi kinerja penugasan audit dengan keindependensian, keobyektifan, serta kecakapan, due professional care, kode etik dan standar. Praktek profesional dan kerangka kerja proses meliputi kebijakan, proses, dan prosedur yang menuntun aktivitas Internal audit dalam mengatur operasinya, mengembangkan program kerja internal audit, perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan hasil internal audit. Di level 3 (Integrated), IA secara sistematis telah menilai risiko dan fokus pada rencana prioritas aktivitas IA baik audit maupun jasa layanan lainnya pada seluruhan organisasi. Selain itu, Internal Audit juga mengembangkan dan me-maintain proses yang secara terus menerus memonitor, menilai, dan memperbaiki efektivitas dari aktivitas internal audit. Meningkat ke Level 4 (Managed), disini Internal Audit menghubungkan (link) rencana aktivitas audit dan layanan lainnya yang dilakukan secara periodik dengan strategi Enterprise Risk Management (ERM) organisasi dan prakteknya, hal ini tentunya memerlukan dukungan dari senior manajemen untuk melaksanakannya. Untuk dapat mengerti strategi ERM dan prakteknya tentulah internal audit harus banyak melakukan konsultasi dengan manajemen yang ada pada tubuh organisasi dan juga dengan para stakeholders kunci serta stakeholder terkait.
WARTA PENGAWASAN PENGAWASAN VOL. VOL. XVIII/NO. XVIII/NO.2/JUNI WARTA 2/JUNI 2011 2011
Membangun Pelayanan Prima dengan Membentuk Badan Komplain
Profesional Pratises
LIPUTAN Khusus khusus
Tabel Elemen Profesional Practises
sumber : Buku Internal Audit Capability Model (IA-CM)
Pada level terakhir, Level 5 (Optimizing), Internal audit harus dapat memahami arah strategis organisasi dan issue terbaru yang muncul, serta risiko-risiko terkini yang dihadapi organisasi. Dengan pemahaman tersebut internal audit dapat merubah/mengarahkan aktivitas internal audit (audit dan layanan) untuk dapat memenuhi kebutuhan potensial organisasi di masa yang akan datang. Pada tingkatan ini juga Internal Audit mengintegrasikan data kinerja, praktek terdepan yang telah mengglobal, masukan dari program perbaikan dan penjaminan kualitas (Quality Assurance and Improvement Program / QA-IP) untuk secara terus-menerus memperkuat kapasitas kegiatan internal audit sehingga menjadi Internal Audit yang berkelas dunia. Oleh karenanya kerap dilakukan sharing season antara manajer internal audit dengan manajer-manajer senior di dalam organisasi terkait dengan praktek terdepan (leading practices), perbaikan kinerja, dan issue global terbaru yang muncul untuk dapat memperbaiki aktivitas internal audit secara terusmenerus. Di Indonesia, APIP pada umumnya sudah bekerja sesuai standar, pedoman dan peraturan yang berlaku. Dari segi perilaku, APIP di Indonesia telah mengacu pada Peraturan
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/04/MENPAN/3/2008 tentang Kode Etik APIP. Dari segi pelaksanaan audit, APIP di daerah mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 23 tahun 2007 yang telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 tahun 2009 tentang Pedoman Tata Cara Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Sedangkan APIP pusat, pada umumnya menggunakan pedoman teknik pengawasan yang disusun secara spesifik sesuai tujuan audit. Inspektorat Kementerian/Lembaga biasanya bekerjasama dengan BPKP dalam menyusun Pedoman Pelaksanaan Pengawasan. Sedangkan dalam hal penerapan Risk Based Audit, pada umumnya hal ini belum dilaksanakan oleh APIP di Indonesia. Beberapa unit telah mencoba menerapkannya seperti Inspektorat Kementerian Pekerjaan Umum. Masih banyak hal yang harus dilakukan untuk mencapai level yang lebih tinggi. Oleh karenanya, perbaikan dari segala aspek secara terus-menerus harus dilakukan tanpa henti, seperti penerapan Risk-based Audit Plans dan perbaikan praktek-praktek profesional yang mengacu kepada praktek terdepan yang sedang mengglobal.
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
35
M
E
36 36
lemen manajemen kinerja dan akuntabilitas menekankan pada pengelolaan sistem informasi oleh pengawas intern sebagai sarana pengambilan keputusan. Data dari sistem informasi tersebut baik kuantitatif maupun kualitatif juga digunakan sebagai dasar pengukuran kinerja dan pembuatan laporan kepada stakeholders. Elemen manajemen kinerja dan akuntabilitas mencakup delapan KPA mulai level 2 hingga level 5, dapat dilihat pada tabel manajemen kinerja dan akuntabilitas dibawah. Pada level 2, ditandai dengan dimilikinya rencana aktifitas pengawas intern ke depan yang meliputi rencana audit, konsultasi, dan assurance kepada manajemen. Dalam rencana tersebut tercakup juga rencana penggunaan sumber daya yang dimiliki di antaranya SDM dan keuangan. Guna membiayai aktifitas tersebut, pengawas intern juga memiliki anggaran tersendiri yang bebas dari campur tangan manajemen. Meningkat ke level 3, laporan intern telah disusun secara periodik yang menggambarkan seluruh kegiatan pengawas intern sebagai bahan masukan bagi pimpinan dalam pengambilan keputusan. Dalam laporan tersebut, disajikan pula informasi biaya (cost information) yang berisi analisis realisasi biaya kegiatan dibandingkan dengan anggaran yang ada dan target kegiatan sehingga diperoleh ukuran ekonomis dan efisiennya. Di samping itu, di level 3, pengawas intern telah memiliki pengukuran kinerja sebagai alat untuk mengukur kinerja yang dicapai dan memonitor progress kegiatan dibandingkan target ditetapkan. Pengukuran kinerja tidak hanya menggunakan perbandingan input, output, dan outcome namun juga analisis balance scorecard. Baik laporan intern maupun pengukuran kinerja disusun berdasarkan data-data yang terintegrasi dalam sistem informasi manajemen pada pengawas intern. Keseluruhan data tersebut harus dapat tersaji setiap saat jika diperlukan. Sedangkan di level 4, pengawas intern telah memiliki pengukuran kinerja baik kualitatif maupun
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
Membangun Pelayanan Prima dengan Membentuk Badan Komplain Manajemen Kinerja dan Akuntabilitas
LIPUTAN Khusus
Tabel Elemen Manajemen Kinerja dan Akuntabilitas
sumber : Buku Internal Audit Capability Model (IA-CM)
kuantitatif yang terintegrasi. Di sini pengukuran tidak hanya berdasarkan data-data kuantitatif seperti data keuangan dan kemajuan kegiatan namun juga data kualitatif seperti tingkat kepuasan stakeholders atas layanan dari pengawas intern dan seberapa jauh rekomendasi pengawas intern dipakai untuk meningkatkan nilai tambah bagi organisasi. Di level puncak (level 5), telah disusun laporan kepada stakeholders dan publik sebagai alat untuk menggambarkan transparansi dan akuntabilitas kinerja dari pengawas intern. Laporan tersebut berisi capaian efektifitas kinerja, penggunaan sumber daya yang dimiliki, dan nilai tambah yang diberikan pengawas intern bagi organisasi seperti mitigasi risiko, penghematan anggaran, dan perwujudan tata kelola yang baik. Pengawas intern juga menggunakan feed back dari laporan tersebut guna peningkatan kinerjanya. Di Indonesia, pada umumnya APIP sudah memiliki perencanaan kegiatan (P2KPT) dan pengganggaran yang memadai baik di instansi pemerintah pusat maupun daerah. Pada APIP pusat, pelaporan kegiatan juga telah dilaksanakan secara rutin dan memadai. Pelaporan bukan hanya mengenai pelaksanaan kegiatan, namun hingga pengelolaan hasil pengawasan dan tindak lanjutnya. Pada APIP di daerah, kondisinya lebih beragam. Terdapat beberapa APIP yang manajemen kinerjanya sudah mulai berjalan baik sebagai-
mana pada instansi pusat, namun terdapat beberapa APIP di daerah yang belum mengelola hasil pengawasannya secara memadai. Dengan melihat kondisi yang ada, dapat dikatakan manajemen kinerja APIP di Indonesia sudah mencapai level 2, walau beberapa masih pada level 1. Sedangkan untuk melangkah ke level 3 tampaknya masih membutuhkan upaya yang cukup keras. Untuk mencapai hal tersebut dibutuhkan dukungan sistem pengukuran kinerja dan sistem informasi manajemen yang memadai. Untuk mengukur capaian tingkat input, output, outcome dan penggunaan balance scorecard masih membutuhkan pengembangan sistem yang tidak sederhana. Selain itu, pada umumnya APIP di Indonesia belum didukung oleh sistem informasi manajemen yang terintegrasi. Akuntabilitas APIP dilakukan dengan memberikan pelaporan pada atasan langsungnya. Inspektorat Kementerian/Lembaga memberikan laporan kegiatan tahunan pada Menteri/ Pimpinan Lembaga. Inspektorat Provinsi/ Kabupaten/kota menyampaikan laporan baik dalam bentuk LAKIP ataupun laporan kegiatan pada Gubernur/Bupati/Walikota. Sedangkan BPKP menyampaikan laporan hasil pengawasan kepada Presiden setiap tahunnya. Ini merupakan bentuk pertanggungjawaban APIP dalam melaksanakan kewenangan yang dimiliki!
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
37
M
E
38
lemen hubungan dan budaya organisasi mengacu kepada posisi pengawas intern dalam struktur organisasi, hubungan antar unit di internal organisasi, dan lingkungan kerja organisasi termasuk bagaimana peran pengawas intern dalam turut membangun budaya kerja organisasi. Elemen ini juga mencakup hubungan antara pengawas intern dengan penyedia jasa layanan penjaminan dan konsultasi yang lain serta dengan eksternal auditor. Elemen hubungan dan budaya organisasi dapat dilihat pada tabel Elemen hubungan dan budaya organisasi dibawah. Di level 2, elemen hubungan dan budaya organisasi ditandai dengan adanya struktur organisasi yang menempatkan pengawas intern pada posisi yang tepat sehingga dapat memberi nilai tambah bagi organisasi. Pada posisi tersebut, pengawas intern telah didukung dengan SDM, anggaran, dan prasarana yang memadai. Dalam kegiatannya termasuk audit, pengawas intern juga telah memanfaatkan kehadiran teknologi informasi. Sedangkan di level 3, pengawas intern dilibatkan sebagai salah satu bagian dari tim manajemen serta diikutkan dalam setiap forum dan pembahasan permasalahan strategis. Di posisi ini, pengawas intern memiliki saluran komunikasi langsung dengan pimpinan organisasi sehingga dapat memberi masukan terhadap kebijakan manajemen dan mengantisipasi risiko atas isu-isu serta perubahan global yang terjadi. Pada level 3, pengawas intern telah melakukan koordinasi dengan penyedia jasa layanan penjaminan dan konsultasi yang lain guna menghindari duplikasi tugas. Koordinasi juga dilakukan dengan saling tukar menukar informasi dan membahas perkembangan isuisu yang berdampak bagi organisasi. Di samping itu, hubungan baik dengan eksternal auditor juga terus dijalin dengan menindaklanjuti rekomendasi yang diberikan dan meminta dukungan atas rencana aktiftas pengawas intern ke depan.
WARTA WARTAPENGAWASAN PENGAWASANVOL. VOL.XVIII/NO. XVIII/NO.1/MARET 2/JUNI 2011 2011
Membangun Pengawasan Pelayanan Prima dengan Membentuk Badan Komplain Bagian Terpenting dari Reformasi Birokrasi Hubungan dan Budaya Organisasi
LIPUTAN Khusus khusus
Tabel Elemen Hubungan Budaya dan Organisasi
sumber : Buku Internal Audit Capability Model (IA-CM)
Sedangkan di level 4, pengaruh dan nasihat dari pimpinan pengawas intern telah diterima sebagai masukan yang berharga bagi pimpinan tertinggi organisasi dalam setiap pengambilan kebijakan. Pimpinan pengawas intern juga terus memelihara kolaborasi dan kepercayaan antara pengawas intern dengan manajemen melalui pemberian masukan secara rutin kepada pimpinan unit lain mengenai rencana bisnis dan kegiatan operasional yang berjalan. Di level puncak (level 5), manajemen dan stakeholders telah menempatkan pengawas intern sebagai partner bisnis yang kredibel dalam organisasi. Di posisi ini, pengawas intern secara proaktif memberi saran dan masukan atas kebijakan strategis organisasi kepada manajemen dan stakeholders. Pengawas intern juga telah memfasilitasi pembelajaran organisasi terkait perubahan dalam lingkungan bisnis global yang berdampak bagi organisasi. Hubungan antara pengawas intern dengan lingkungan organisasi juga berjalan dengan baik dan terus berkelanjutan. Di Indonesia, struktur organisasi APIP memiliki kondisi yang relatif seragam. Pada APIP di daerah, SOTK Inspektorat Provinsi/ Kabupaten/ Kota diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Perangkat Daerah. Pada ketentuan tersebut Inspektorat Provinsi/ Kabupaten/ Kota berada setingkat eselon 2 di bawah koordinasi Sekretaris Daerah. Inspektorat dipimpin oleh seorang Inspektur dan dibantu oleh seorang
Sekretaris dan 4 Irban. Pada APIP Pusat, kondisinya lebih beragam. Pada umumnya Inspektorat Kementerian/Lembaga setingkat eselon 1 hingga memiliki akses yang lebih mudah pada pimpinan, namun terdapat juga beberapa yang setingkat eselon 2. Posisi Inspektorat pada organisasi sangat mempengaruhi terbangunnya hubungan komunikasi yang baik dengan decision maker, hingga mempengaruhi efektivitas hasil pengawasan. Posisi unit pengawas intern yang terlalu rendah dapat mengakibatkan lemahnya independensi pengawas intern. Selain itu, dalam membangun komunikasi dan kolaborasi dengan stakeholders, hal ini juga memiliki peran yang cukup signifikan. Sebagai bagian dari tim manajemen, sebagian besar APIP di Indonesia juga baru dilibatkan jika terjadi permasalahan yang membutuhkan penanganan yang serius. APIP belum memberi masukan secara rutin kepada decision maker terkait implikasi dari kebijakan yang diambil, efisiensi dan efektifitas kegiatan, juga peningkatan tata kelola pemerintahan. Sedangkan, koordinasi antara APIP dengan pengawas ekstern (BPK) relatif sebatas penanganan tindak lanjut atas temuan-temuan hasil audit BPK. APIP terutama di daerah, belum mengkomunikasikan dan meminta dukungan BPK atas rencana kerjanya ke depan. Sinergi pengawasan antara APIP dengan BPK juga belum tercipta dengan baik karena masih mengedepankan kewenangannya masingmasing terutama dalam bidang audit!
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
39
M
E
40
lemen struktur tata kelola secara umum meng gambarkan kombinasi dari proses dan struktur organisasi dalam mengatur dan memonitor aktifitas organisasi guna pencapaian tujuan. Struktur tata kelola mencakup hubungan secara administrasi dan fungsional antara pengawas intern dengan manajemen. Termasuk juga kebijakan yang mendukung kewenangan dan penggunaan sumber daya atas setiap kegiatan pengawas intern. Pada elemen ini terdapat 7 KPA dari level 2 hingga level 5 yang dapat dilihat pada tabel elemen struktur kelola dibawah. Di level 2, struktur tata kelola ditandai dengan telah dibuatnya visi, misi, dan pedoman tata kelola pengawas intern yang disetujui oleh pimpinan organisasi. Visi dan misi yang ditetapkan telah dijadikan pedoman bagi pengawas intern dalam setiap kegiatannya. Berdasarkan kegiatan tersebut, disusun laporan secara fungsional dan administrasi yang ditujukan kepada pimpinan pengawas intern. Laporan fungsional menggambarkan pelaksanaan tugas dan fungsi serta pencapaian visi dan misi dari pengawas intern. Sedangkan laporan administrasi berisi laporan perkembangan (progress) penugasan pengawas intern. Masih di level 2, dalam menjalankan tugasnya, pengawas intern memiliki akses penuh atas seluruh informasi yang dimiliki organisasi termasuk data aset dan SDM. Akses penuh tersebut juga telah didukung melalui kebijakan tertulis yang disetujui oleh pimpinan organisasi. Dengan akses tersebut, diharapkan pelaksanaan tugas pengawas intern lebih independen, tanpa pembatasan ruang lingkup, dan intervensi manajemen. Meningkat ke level 3, pengawas intern telah memiliki anggaran tersendiri sebagai pendanaan kegiatannya termasuk untuk audit, penjaminan, dan konsultasi. Mekanisme penyusunan dan penggunaan anggaran dari pengawas intern telah terstruktur dan memperhitungkan faktor risiko yang bakal terjadi. Dengan anggaran tersendiri, diharapkan kinerja pengawas intern lebih independen dan bebas dari intervensi manajemen. Di samping itu, mekanisme penjaminan mutu atas hasil kerja pengawas intern juga telah dibangun
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
Membangun Pengawasan Pelayanan Prima dengan Membentuk Badan Komplain Bagian Terpenting dari Reformasi Birokrasi
Struktur Tata Kelola
LIPUTAN Khusus
Tabel elemen struktur kelola
sumber : Buku Internal Audit Capability Model (IA-CM)
sebagai sarana memperkuat keindependensian dan memastikan kualitas kerja pengawas intern. Mekanisme tersebut mencakup pengawasan atas pelaksanaan tugas pengawas intern, pemberian masukan dan saran atas kegiatan pengawas intern, serta dilakukannya reviu berkala atas hasil kerja pengawas intern. Mekanisme penjaminan mutu melibatkan pimpinan organisasi dan pimpinan unit lain termasuk para stakeholders. Sedangkan di level 4, ditandai dengan adanya laporan secara fungsional dari pimpinan pengawas intern kepada pemegang otoritas tertinggi yakni pimpinan organisasi. Di samping itu, pimpinan pengawas intern juga secara rutin menjalin komunikasi dengan pimpinan organisasi dan manajer lainnya sebagai stakeholders dalam bentuk pemberian masukan yang berguna bagi peningkatan nilai tambah organisasi. Di level 4 juga ditandai dengan dibentuknya tim pengawas independen atas kegiatan yang dilakukan pengawas intern. Keanggotaan tim berasal dari orang-orang yang independen dari pengaruh manajemen. Tim ini berfungsi sebagai pendukung keindependensian dan meningkatkan peran dari pengawas intern serta membantu menguatkan akuntabilitas organisasi. Di level paling atas (level 5), keindependensian, kekuasaan, dan kewenangan dalam menjalankan tugas telah dimiliki secara penuh
oleh pengawas intern. Di samping itu, pimpinan tertinggi, manajemen, dan stakeholders telah menerima penuh dan memberikan dukungan atas aktifitas pengawas intern. Untuk menguatkan tata kelola, pengawas intern juga membantu mengaplikasikan praktek-praktek yang berguna bagi organisasi seperti pengendalian intern dan manajemen risiko. Di Indonesia, pada umumnya unit pengawas intern sudah memiliki dokumen Perencanaan Strategis yang menjadi bagian dari Perencanaan Strategis Instansi. Inspektorat telah menyusun visi dan misi serta strategi ke depan. Namun demikian kadang kala dokumen tersebut tidak digunakan pada saat proses penganggaran dan penetapan kegiatannya, sehingga kegiatan yang dilakukan belum sepenuhnya mengarah pada pencapaian visi dan misi yang ditetapkan. Pelaporan ke atasan pada umumnya juga telah dilakukan, baik secara tahunan maupun interim. Namun demikian unit pengawas intern di Indonesia pada umumnya belum memiliki ‘quality control’ yang memadai. Tidak ada tim pengawas independen yang mendukung keindependensian dan meningkatkan peran pengawas intern. Jika di korporasi terdapat komite Audit, tidak demikian halnya dengan di sektor pemerintahan. Pada struktur pemerintahan sekarang belum ada unit kerja sejenis komite audit tersebut, sehingga pelaksanaan tugas pengawas intern tidak ada yang menjaga kualitasnya.
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
41
LIPUTAN Khusus
Kata Mereka dalam Membangun Kapabilitas APIP Membangun kapabilitas unit pengawas intern di sektor Pemerintahan menjadi kebutuhan dan tantangan tersendiri bagi setiap komponen dalam organisasi. Hal tersebut tidak hanya dibutuhkan oleh kalangan internal unit pengawas intern, namun juga kalangan stakeholders, termasuk pimpinan organisasi selaku user utama dari Unit Pengawas intern. Hal ini diungkapkan oleh beberapa pihak kepada Warta Pengawasan beberapa waktu lalu.
42
Sekretaris Daerah Kota Singkawang, Libertus
Inspektorat harus Melihat hingga Outcome Ungkapan pertama disampaikan oleh Sekretaris Daerah Kota Singkawang, Libertus ,”Saat ini unit pengawas intern di kota Singkawang sudah berubah. Sekarang kewenangannya sudah lebih luas dan hasilnyapun sudah mulai tampak. Dari segi aparat, sudah ada pejabat fungsional auditornya. Perannyapun semakin banyak seperti membantu walikota dalam meningkatkan kinerjanya, reviu penyusunan laporan keuangan, pengelolaan laporan pertanggung-
jawaban, dan membangun akuntabilitasnya. Karena itu, di kota Singkawang, inpektorat sering dianggap sebagai ‘kakak tertua’ oleh SKPD lainnya. Maksudnya yaitu inspektorat sudah menjadi tempat bertanya bagi SKPD lain sebelum nanti diaudit oleh BPK-RI. Setiap ada hambatan atau ketidakpahaman, SKPD sering berkonsultasi pada Inspektorat. “Namun demikian, ke depan saya harapkan inspektorat tidak berhenti sampai di situ. Saya mengharapkan inspektorat kalau melakukan pemeriksaan, tidak hanya melihat sampai tingkat input dan output saja, namun juga melihat outcome, benefit dan impact dari kegiatan yang diperiksa,” tambahnya. Selain itu ia juga mengharapkan hasil pengawasan oleh inspektorat dapat menjadi pencegah penyimpangan hingga tidak sampai diselesaikan oleh hirarki pengawasan yang lebih tinggi seperti BPK-RI atau KPK. Hal lain yang terungkap adalah mengenai pentingnya Unit Pengawas Intern dalam mencapai tujuan organisasi yang harus berkembang secara berkelanjutan. Hal ini disampaikan oleh Sekretaris Daerah Provinsi Kalimantan Barat, Drs M Zeet Hamdy Assovie. Ia mengungkapkan, “Kita harus jujur
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO.2/JUNI 2011
Sekretaris Daerah Provinsi Kalimantan Barat, Drs M Zeet Hamdy Assovie
mengatakan bahwa jika goal yang kita susun pada RPJMN hingga RPJMD hanya dapat dicapai jika seluruh unit kerja bekerja dengan baik, khususnya aparat pengawas intern (Inspektorat). Inspektorat harus bekerja maksimal secara baik dan teratur. Melihat tuntutan tadi, saya lihat inspektorat sudah berusaha untuk mencapainya. Mereka sudah ‘in process’, pada hari ini tatanannya sudah lebih baik, dan performance-nya juga sudah semakin baik. Mereka berkembang terus dan saya percaya tahun 2012, inspektorat sudah pada posisi yang
Kata Mereka dalam Membangun Kapabilitas APIP
baik sekali dalam mengawasi seluruh roda pemerintahan di sini.” Sebagai user dari Pengawas Intern, Sekdaprov sudah merasakan manfaat yang cukup baik dari keberadaan Inspektorat. “Saya rasakan betul keberadaan inspektorat, khususnya ketika menghadapi temuan-temuan dari BPK. Mereka hadir untuk membantu saya menginventarisir permasalahan, mengidentifikasikan secara lebih jelas, untuk kemudian menyelesaikannya seperti membuat SKTM,” ungkapnya. Namun ia juga mengharapkan inspektorat meningkatkan kapabilitasnya untuk menghadapi tantangan di masa mendatang. “Penguasaan aparat pengawas intern terhadap regulasi sangat penting. Apalagi saat ini bagi kami di daerah, banyak aturan dari pusat yang datang serta merta dan sulit diterapkan, ini perlu peran pengawas intern untuk mencari solusi.”
lehan dana insentif daerah selama 2 tahun berturut-turut dan perolehan opini WDP selama 5 tahun berturut-turut, cukup mengindikasikan peran Inspektorat Wilayah Provinsi Sulawesi Utara. Sekretaris Daerah Provinsi Sulawesi Utara, Ir. Siswa Rachmat Mokodongan menyikapi sudah cukup baiknya peran APIP, namun, sebagai users, secara gamblang ia menyatakan belum cukup puas. “Perlu ada terobosan baru dari inspektorat wilayah Prov Sulut agar bisa menjawab setiap kebutuhan pemerintah.”
Bupati Minahasa, Stevanus Vreeke Runtu
Pengawasan itu = PC + OC + AC Dengan sejumlah prestasi yang pernah dicapai, diantaranya pero-
Kepala Perwakilan BPKP Provinsi Kalimantan Barat, Bambang Wahyudi.
Sekretaris Daerah Provinsi Sulawesi Utara, Ir. Siswa Rachmat Mokodongan
LIPUTAN Khusus
ungkap pria kelahiran Denpasar ini. Saat ini, APIP sudah mulai dilibatkan sejak awal perencanaan programprogram pemerintah termasuk melakukan sinkronikasi penjabaran program pada level pusat ke program tingkat daerah. Upaya untuk meningkatkan kapabilitas APIP telah dilakukannya melalui pendidikan dan pelatihan yang melibatkan BPKP, Perguruan Tinggi, dan Lembaga laim. Di samping itu, Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara juga melakukan rekrutmen tenaga
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
akuntan dan mendidik pegawai menjadi akuntan untuk melakukan peran auditor. Sebuah pandangan menarik disampaikan oleh Kepala Perwakilan BPKP Provinsi Kalimantan Barat, Bambang Wahyudi. Ia berpendapat bahwa jika ingin membangun pengawasan yang efektif, fungsi control harus diterapkan sejak tahap Planning, Organising dan Actuating. Pada konsep ini peran pengawas intern menjadi sangat penting. “Konsep management itu Planning, Organizing, Actuating, dan Controlling pada tempat yang paling akhir. Artinya, menurut konsep tersebut, controlling dilakukan setelah P,O dan A dilaksanakan. Menurut saya, agar pencapain tujuan organisasi tercapai secara efisien dan efektif melalui pengawasan yang efektif, rumus itu menjadi PC + OC + AC = Pengawasan. Artinya, harus ada fungsi control sejak proses perencanaan, penganggaran, pelaksanaan hingga pelaporan dan pertanggungjawaban. Pada tataran itulah fungsi pengawas intern pemerintah bekerja. Hal ini berbeda dengan yang dilakukan oleh ekster-
43
LIPUTAN Khusus
Sekretaris Inspektorat Provinsi Kalimantan Barat, Drs Iskandar, M AP.
44
nal auditor,” ungkapnya. Sementara itu, Bupati Minahasa, Stevanus Vreeke Runtu, juga menyikapi positif keberadaan APIP dalam membantu tugas-tugasnya terutama terkait pengelolaan keuangan negara. Menurutnya, peran APIP sangat penting untuk memberikan masukan dalam pengambilan keputusan. Ia menyadari, kondisi APIP masih belum sesuai dengan yang diharapkan tetapi sebagai kepala daerah, ia terus memotivasi APIP untuk terus meningkatkan kompetensinya. ”Kedepan APIP harus mampu berperan selain sebagai quality assurance tetapi juga peran consultative. Kolaborasi dan Komunikasi Penting dalam Pengawasan Intern Satu hal lain yang menarik disampaikan oleh Sekretaris Inspektorat Provinsi Kalimantan Barat, Drs Iskandar, M AP. Ia mengungkapkan bahwa di Kalimantan Barat, masalah geografis menjadi tantangan tersendiri dalam membangun pengawasan intern yang efektif. Kondisi geografis di Kalimantan Barat,
dimana cakupan wilayahnya yang luas dan kondisi transportasi yang sulit menjadi hambatan tersendiri dalam melakukan tugas pengawasan. Selain membutuhkan waktu yang lebih lama, biaya pengawasanpun menjadi sangat tinggi. “Ini menjadi tantangan tersendiri di sini”, ungkapnya. Sedangkan Sekretaris Inspektorat Kota Singkawang, Mardalini Oemar, SSos mengungkapkan bahwa hal yang perlu dibangun adalah komunikasi dan kolaborasi antara inspektorat dengan SKPD lainnya. Hal ini untuk dapat mengidentifikasikan setiap permasalahan yang muncul sebelum berkembang menjadi penyimpangan. “Di Singkawang ini, inspektorat sering menjadi tempat bertanya bagi SKPD lain. Mereka bertanya pada kami sebelum berbuat kesalahan. Memang disadari bahwa komunikasi dan kolaborasi antara Inspektorat dan SKPD lain sangatlah penting untuk mengefektifkan pelaksanaan tugas inspektorat. “ Peran APIP harus Dioptimalkan
Bupati Sleman, Sri Purnomo
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO.2/JUNI 2011
Sementara itu Bupati Sleman, Sri Purnomo mengungkapkan Inspektorat Kabupaten Sleman telah memainkan peran yang strategis dalam membantu pengawalan program-program Pemerintah Daerah. Selain melalui audit, Inspektorat juga memberi masukan terkait kebijakan Pemerintah Daerah. Dicontohkannya, saat terjadi bencana Merapi, inspektorat juga turut andil dalam memberi masukan kepada Pemerintah Daerah terkait kebijakan penanganan bencana. SKPD yang ada di Kabupaten Sleman selalu berkonsultasi dengan Inspektorat jika terjadi keraguan dalam pengelolaan kegiatan dan keuangan. Tidak hanya itu, jika ada pengaduan dari masyarakat terkait kinerja aparat Pemerintah Daerah, Bupati selalu meminta Inspektorat untuk menindaklanjutinya. “Inspektorat selalu saya libatkan dalam mengawal kebijakan Pemerintah Daerah,” kata Bupati. Bupati Sleman berusaha menempatkan SDM yang kapabel untuk duduk di Inspektorat. SDM yang telah berstatus fungsional auditor juga tidak akan dipindah ke SKPD lain. Profesionalisme dan independensi pun selalu ditekankan Bupati kepada Inspektorat dalam menjalankan tugasnya. Terkait keinginan Pemkab Sleman untuk meraih opini WTP di tahun 2012, Bupati juga meminta Inspektorat membenahi permasalahan-permasalahan yang menghambat diraihnya opini tersebut. Temuan hasil audit BPK terutama masalah aset, kini tengah ditindaklanjuti SKPD terkait dengan dibantu Inspektorat. Namun, Bupati menegaskan bahwa untuk meraih opini WTP perlu kerja keras dan dukungan semua pihak. “Kami harapkan BPKP dapat membantu terwujudnya opini WTP melalui pendam-
Kata Mereka dalam Membangun Kapabilitas APIP
pingan ke Pemkab Sleman,” ungkap Sri Purnomo. Bupati Sleman juga berharap adanya sinergi antara APIP Pusat dan Daerah dalam meningkatkan kapabilitas APIP. Di antaranya, sharing knowledge melalui pendidikan dan pelatihan pengawasan dari APIP Pusat terutama BPKP kepada APIP Daerah dan adanya forum bersama yang membahas permasalahan strategis guna pemberian masukan kepada pemerintah. Di samping itu, peran APIP juga perlu didukung melalui kebijakan dan aturan baik dari Pemerintah Pusat maupun Daerah yang memperkuat peran tersebut. APIP Harus Proaktif Banyaknya kepala daerah yang terjerat masalah korupsi menjadi potret buram kegagalan aparat pengawasan intern pemerintah (APIP) dalam melaksanakan tugasnya. Kegagalan ini tentu menjadi keprihatinan banyak pihak, tidak terkecuali BPKP. Menurut Kepala Perwakilan (Kaper) BPKP Prov. DIY,
Kepala Perwakilan (Kaper) BPKP Prov. DIY, Bambang Setiawan
Bambang Setiawan, saat ini peran APIP tidak semata-mata sebagai pengawas atau watchdog, tetapi lebih dikedepankan pada peran quality assurance dan konsultasi. Perubahan paradigma ini belum sepenuhnya dipahami oleh APIP di daerah. Mereka masih terpaku pada peran sebagai pengawas yang sering terlambat dalam mengantisipasi permasalahan. Upaya-upaya mencegah terjadinya penyimpangan dengan memberikan pendampingan dan konsultasi masih belum berjalan di kebanyakan APIP daerah. Menurut Bambang masih diperlukan pembinaan terus-menerus sehingga APIP di daerah dapat berperan sebagai quality assurance dan konsultan bagi satuan kerja yang diawasinya. Sejauh ini BPKP telah memberikan berbagai pelatihan dan pendampingan kepada APIP di daerah untuk meningkatkan kapasitas dan kompetensi SDMnya. Pemberian pelatihan dan pendampingan ini bagi BPKP sendiri merupakan bentuk dari transformasi peran BPKP sebagai quality assurance dan konsultan. Banyak hal yang sudah dilakukan oleh BPKP, khususnya Perwakilan BPKP Prov. DIY, terkait dengan perannya sebagai quality assurance dan konsultan. Dalam pengelolaan keuangan daerah, misalnya, Perwakilan BPKP Prov. DIY berupaya agar seluruh laporan keuangan pemerintah daerah di DIY memeroleh opini wajar tanpa pengecualian (WTP). Saat ini baru pemerintahan provinsi dan Pemkot Yogyakarta yang mendapat opini WTP dari BPK. Sedangkan 4 daerah lainnya, yaitu Bantul, Gunung Kidul, Sleman dan Kulon Progo opini atas laporan keuangannya masih wajar dengan pengecualian (WDP). Dengan dukungan jumlah serta kompetensi SDM BPKP yang lebih dari
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
LIPUTAN Khusus
cukup, diharapkan BPKP dapat membantu mewujudkan seluruh pemda di DIY memeroleh opini WTP pada tahun anggaran 2011. Peran sebagai quality assurance dan konsultatif hanya dapat berjalan jika APIP bertindak proaktif. “Jangan diam saja kalau mengetahui ada permasalahan,” ujar Bambang. Menurut Bambang APIP harus mampu menjadi mata dan telinga pimpinan yang memberi peringatan dini (early warning system) jika ada indikasi terjadi penyimpangan. APIP harus segera meluruskan dan memperbaiki sebelum penyimpangan menimbulkan kerugian yang lebih besar. Demikian juga kalau terjadi keragu-raguan atau kebuntuan dalam pengambilan keputusan, APIP diharapkan dapat memberi jawaban pemecahannya. APIP harus menjadi bagian dari pemecahan masalah. Kebersamaan APIP juga menjadi perhatian mantan Kaper BPKP Prov. Kalimantan Timur sebelum bertugas di Yogya. Untuk itu Bambang berusaha menggalang dan merangkul jajaran APIP di wilayah DIY.
Kepala Perwakilan Provinsi Sulawesi Utara, Condro Imantoro
45
LIPUTAN Khusus
46
Forum bersama APIP menjadi sarana berkomunikasi dan berbagi informasi tentang pengawasan. Melalui forum itu Bambang juga berusaha lebih mendekatkan BPKP kepada mitra kerjanya. Sementara itu Kepala Perwakilan Provinsi Sulawesi Utara, Condro Imantoro, sebagai perpanjangan tangan BPKP di Provinsi Sulut, memulai langkah kerjanya dengan membangun komitmen. Tanpa komitmen dari Kepala Daerah maka upaya untuk meningkatkan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah akan banyak mengalami kendala.”ungkapnya. Ia memulainya dengan penandatangan MoU dengan seluruh Kepala Daerah yng ada di Provinsi Sulut yang berlangsung serentak pada tanggal 30 November 2010 yang selanjutnya dijabarkan dalam rencana aksi. Lingkup MoU mencakup pengelolaan keuangan negara mulai dari perencanaan penatausahaan danpertanggungjawaban, termasuk sistem akuntansinya, sistem Akuntansi Keuangan Daerah atau Simda, sakip, peningkatan Kompetensi APIP, sampai penerapan fraud control plan. Provinsi Sulut menurut Condro termasuk yang terbesar menerapkan SIMDA karena dari 23 Pemda semua sudah menerapkan SIMDA meskipun dengan intensitasnya yang berbeda. Dengan penerapan SIMDA diharapkan dapat mendukung peningkatan opini dari BPK RI. “Pengggunaan SIMDA akan memudahkan audit yang dilakukan oleh BPK daripada manual” tegasnya. Dengan keterbatasan SDM yang dimiliki, BPKP Provinsi Sulut juga harus memberikan pelayanan purna jual, jasa after sales, bahkan after penerapan. Melalui komitmen kepala daerah, ia yakin target opini WTP di tahun 2014 sebesar 60% akan tercapai.
Dari sisi APIP, BPKP Provinsi Sulut mencoba membangun mindset APIP yang mengarah kepada peran konsultan dan QA yang dulunya watch dog. Kita punya kerjasama dengan inspektorat provinsi Sulut melalui forum inspektorat se Provinsi Sulut. Menurutnya, BPKP selalu diminta sebagai narasumber pada acara tersebut dan disitulah BPKP mencoba memaparkan peran APIP yang efektif menurut PP 60. “BPKP Prov Sulut coba memberikan pemahaman bagaimana merubah mindset dari dulunya hanya Pencari kesalahan menjadi intitusi tempat bertanya yang memberikan saran, dan memberikan early warning. Saat ini, APIP Prov Sulut bahkan sudah dilibatkan mulai tahap perencanaan dalam rangka untuk pencegahan. Dari reviu perencananaan diharapkan sudah mulai dibangun sistem pencegahan dengan penerapan manajemen berbasis resiko. Khusus permasalahan aset yang merupakan faktor utama penyebab sulitnya diperoleh opini WTP, ia menyarankan agar diangkat ke tingkat nasional dengan melibatkan DJKN dan BPN disamping Pemda, Depdagri, Kemenkeu, BPN dan BPKP. Melalui langkah ini, ia yakin permasalahan aset dapat segera diselesaikan untuk memenuhi pencapaian target perolehan opini WTP 2014.
global mau tidak mau harus dihadapi jika BUMN di Indonesia tidak mau tergilas. Regulasi yang seringkali menghambat perkembangannya, tuntutan dari para pemangku kepentingan seperti para dewan komisaris, pemerintah, DPR, bahkan masyarakat. Bagaimana BUMN dapat mengatasi semua persoalan secara tepat, kelihatannya butuh satuan pengawas intern (SPI) yang kuat. Direktur Keuangan, PT Pertamina, berharap SPI jangan hanya menyalahkan tetapi harus mampu memberi solusi terhadap persoalan yang dihadapi. “SPI harus memahami, mendukung, dan mengawal pencapaian visi dan misi PT Pertamina sebagai Perusahaan Kelas
Keberadaan VS Harapan atas Internal Audit Wajah perusahaan plat merah atau Badan Usaha Milik Negara sebagai sokoguru perekonomian nasional seringkali terkesan sulit bersaing dengan perusahaan sejenis milik swasta. Pertamina saja sebagai perusahaan plat merah terbesar di Indonesia sulit bersaing dengan perusahaan sejenis seperti Petronas yang berasal dari negara tetangga Malaysia. Persaingan
Direktur Keuangan, PT Pertamina, M. Afdal Bahaudin
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO.2/JUNI 2011
Dunia” ungkapnya. Untuk itu, SPI harus terdiri dari orang-orang yang profesional dan terpercaya. Saat ini, yang dituntut dari jajaran direksi atas SPI adalah pengawasan melalui kegiatan assurance dan consulting yang berstandar internasional.” Tidak mungkin menjadi perusahaan internasional, tetapi SPI nya hanya berwawasan dari Sabang
Kata Mereka dalam Membangun Kapabilitas APIP
sampai Merauke. SPI harus mendapat sertifikasi internasional.” tegasnya. Ia menyadari bahwa ekspektasi terhadap SPI semakin bertambah dari waktu ke waktu. Saat ini, SPI PT Pertamina sudah melakukan preaudit, current audit, dan mengawasi. Ini merupakan langkah berani dari internal audit di Pertamina meski masih perlu banyak perbaikan. Untuk itu, SPI harus meiliki pengetahuan yang berimbang dengan ekspektasi para pemangku kepentingan yang juga terus berkembang. Dahulu, ia menuturkan bahwa direksi PT Pertamina memandang SPI atau internal audit sebagai
Direktur SDM dan Umum PT KAI, Joko Margono
institusi yang selalu mencari kesalahan (watch dog), terlalu fokus, lamban/kurang responsif, terlalu banyak menghitung, kurang memahami bussiness process dan isu terkini, temuan audit lebih ke persoalan administatif serta terlalu rule base bukan principal base. SPI ke depan harus berpikiran strategis, fokus pada resiko utama perusahaan,
meningkatkan peranan sebagai assurance dan consulting, proaktif, update informasi terkini, berikan solusi yang dapat mengatasi akar permasalahan, memiliki kredibilitas dan berwibawa serta selalu menjaga reputasi. “Direksi tidak mungkin mengawasi sekain detail operasi/variasi produksi Pertamina, tetapi kami mendukung internal audit untuk memberikan assurance dan advise kepada direksi dan juga kepada stakeholder. “tegasnya. Sementara itu, Direktur SDM dan Umum PT Kereta Api Indonesia, Joko Margono berharap agar internal auditor dapat berperan sebagai early warning system yang mampu menginformasikan hasil auditnya kepada manajemen sebelum isu mencuat ke permukaan. Untuk itu, Internal Auditor, menurutnya harus fokus pada core bisnis dan risiko yang mungkin dapat menghambat PT KAI dalam mencapai tujuan organisasi. Untuk menjalankan peran yang tidak ringan tersebut, PT KAI memerlukan internal auditor dengan kompetensi dan kualifikasi yang mampu menjawab semua kebutuhan dari para stakeholders. Saat ini, mau tidak mau, PT KAI, meminta bantuan kepada KPK, BPKP, dan Kejaksaan untuk mendampingi Internal Auditornya. Di lain pihak, Direktur Keuangan PT. Telekomunikasi Indonesia, Sudiro Asno menyadari bahwa internal auditor PT Telekomunikasi Indonesia di bawah tahun 1995 masih jauh dari harapan.”Internal auditor belum mampu menjawab kebutuhan pemangku kepentingan, posisinya masih sangat power less, dan hanya diisi oleh orang-orang buangan”tegasnya. Sejak 2006, PT Telkom telah melakukan transformasi dan bagaimana design icover dilakukan sekaligus Internal Auditnya. PT. Telkom, saat ini, telah menawarkan diri menjadi fast mo-
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
LIPUTAN Khusus
ver untuk implementasi IFRS 2011 bahkan full adoption IFRS. Untuk itu, PT Telkom membutuhkan Internal Audit yang modern, memahami proses bisnis, serta memahami dan mengerti IFRS. Internal Audit juga harus didukung oeh tekhnologi informasi yang canggih. Internal Audit harus mampu memastikan risk dikelola dengan baik, memastikan sistem internal kontrol berjalan secara efektif, serta memastikan proses bisnis sudah berjalan secara efisien dan efektif. Oleh karena itu, langkah yang telah dilakukan oleh PT Telkom adalah, pertama, Internal Audit diisi orangorang yang berkualifikasi tinggi. Internal Audit yang diharapkan
47
Direktur Keuangan PT. Telekomunikasi Indonesia, Sudiro Asno
adalah Internal Audit yang profesional, objektif, dan independen. Bukan Internal Audit yang tendensius dalam memberikan opini tetapi lebih memberikan rekomendasi yang konstruktif. Kedua, transformasi peran Internal Audit yang dulu hanya fokus ke general atau finansial audit ke proses pengendalian internal!
B
48
agaimana menjadi tetap relevan dan diperlukan organisasi adalah tan tangan terbesar dari Pengawas Intern Pemerintah. Krisis ekonomi yang akan terus menjadi ancaman, ditambah tuntutan tata kelola atau governance yang semakin meningkat juga memperkuat tantangan dan ekspektasi stakeholders terhadap peran Internal Auditor baik di sektor privat maupun sektor publik. Namun harus diakui, untuk memenuhi tuntutan itu, bukanlah sesuatu yang mudah. Hal ini juga disampaikan oleh Senior Director, Assurance and Risk Advisory Service Quesland Health, Bob Mc Donald, kepada Warta Pengawasan di sela acara Seminar Nasional Internal Auditor tahun 2011 lalu yang berlangsung di Batam. Kepada WP, Bob Mc Donald, mengatakan bahwa untuk menjawab tantangan tersebut, dibutuhkan komitmen semua pihak dalam organisasi untuk menempatkan posisi pengawas intern pemerintah agar dapat memberi nilai bagi organisasi, diantaranya
dengan menempatkan orangorang yang profesional dan berintegritas pada semua level bahkan sampai level pimpinan. “Tanpa itu akan sulit memberikan added value bagi organisasi” ungkap Bob. Pengawas Intern pemerintah ke depan harus mampu menjadi mitra dan tempat sharing atau konsultasi bagi seluruh level dalam organisasi bahkan dapat membantu pimpinan dalam setiap pengambilan keputusan. Bob bahkan menuturkan bahwa kondisi Pengawas Intern Pemerintah di negaranya, 10 tahun silam, tidak berbeda jauh dengan Indonesia saat ini. “Penolakan atas audit yang dilakukan oleh internal audit juga terjadi”ungkap Bob. Menurutnya banyak pihak hanya concern pada penyajian laporan keuangan dibandingkan audit yang dilakukan oleh pengawas intern. Hal ini terjadi menurutnya karena pengawas intern belum mampu memberi makna bagi organisasi. Pengawas Intern di masa mendatang harus memahami makna keberadaannya, memahami tujuan organisasi, dan membantu organisasi untuk mencapai tujuannya. “Pengawas Intern harus membuktikan bahwa keberadaannya memang dibutuhkan” ungkap Bob. Untuk itu, pengawas intern harus siap menjalin networking secara luas sehingga dapat memberi solusi terhadap seluruh persoalan yang dihadapi organisasi dan meminimalisir risiko kegagalan pencapaian tujuan organisasi.
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO.2/JUNI 2011
Pengalamannya sebagai pengawas intern Pemerintah di Australia dapat menjadi inspirasi, bagaimana negaranya saat ini telah mampu menempatkan unit pengawas intern sebagai bagian penting dari suatu organisasi. Perlu upaya keras untuk memperbaiki diri terutama dari pengawas intern pemerintah itu sendiri dan semua pihak. Saat ini, pengawas intern pemerintah di negaranya menjadi sangat dibutuhkan dan bernilai oleh para pemangku kepentingan. “Dibutuhkan atau tidaknya tergantung pada pengawas intern itu sendiri,” tegas Bob. Jika pengawas intern pemerintah hanya puas dengan kondisi saat ini, maka pengawas intern pemerintah hanya sebatas keberadaan saja tanpa dapat memberi makna bagi organisasi tempatnya bekerja. Untuk itu, Pengawas Intern Pemerintah sebagaimana dituturkan Bob harus terus belajar dan mengasah kemampuannya sehingga dapat memberi nilai tambah (added value) bagi organisasi. Hal yang tidak kalah penting dalam membangun kapabilitas pengawas intern pemerintah, ungkap Bob, adalah pemahaman yang utuh atas proses bisnis dari organisasi tempatnya bekerja serta konsistensi penerapan standar yang berlaku. Dengan demikian, pengawas intern pemerintah dapat terus meningkatkan kualitasnya menuju ke level yang lebih tinggi. (nans)
LIPUTAN Khusus
P
hil Lieferman, saat mengawali wawancara dengan Warta Pengawasan menyadari semakin besarnya tuntutan manajemen terhadap pengawas intern dalam suatu organisasi. Bagi Phil, saat ini, bagian terpenting yang harus dimiliki oleh pengawas intern adalah komunikasi dan kolaborasi. “Komunikasi yang tepat dan bijaksana sangat dibutuhkan oleh pengawas intern dalam melaksanakan peran yang semula bersifat wacth dog menjadi konsultan dalam suatu organisasi. “tegas Phil. Sebagian besar pengawas intern, menurut Phil, sudah mulai menggunakan pendekatan personal dalam menjalankan perannya. Hal ini akan memberi ruang interaksi yang lebih besar antara auditor dan auditee. “Komunikasi yang optimal dapat menjadi bagian dari suatu proses membangun persamaan persepsi antara auditor dan auditee” ungkap Phil. Untuk itu, kapabilitas pengawas intern baik sektor publik maupun sektor privat harus kuat dan terus diperkuat untuk dapat menjawab tuntutan tersebut. Di samping itu, pengawas intern harus memahami proses bisnis dari suatu organisasi. “Pengawas intern harus memahami dengan baik proses bisnis dan apa yang ingin dicapai dari setiap biaya yang dikeluarkan.”tegas Phil. Jika pengawas intern dapat membantu manajemen untuk mencapai tujuan organisasi berarti pengawas intern tersebut menurutnya telah memberikan nilai tambah bagi organisasi. Menurutnya, kondisi ini berlaku tidak hanya untuk internal audit sektor publik, tetapi sektor privat. Yang berbeda, sebagaimana dijelaskan Phil hanya terletak pada jenis dan tujuan dari kedua karakteristik entitas tersebut. “Pengawas intern sektor privat menekankan pada bagaimana mencapai tujuan dari organisasi yaitu pelayanan publik sedangkan sektor privat berorientasi pada capaian tujuan dari para pemegang saham.”kata Phil. Menyikapi kompleksitas struktur pengawas intern sektor publik di Indonesia. ia berpendapat perlunya dibangun sinergitas dan komunikasi yang efektif antar pengawas intern seperti BPKP, Inspektorat Jenderal Kementerian/Lembaga, dan Inspektorat Provinsi/
Kabupaten/Kota. Terdapat kalangan birokrat yang mengeluh karena harus melayani aparat pengawas untuk memeriksan hal yang sama”ungkapnya. Ke depan, Phil berpendapat perlu dibangun komunikasi dan kolaborasi yang efektif terkait informasi apa yang dibutuhkan oleh masing-masing pengawas intern pemerintah untuk menghindari overlapping dan saling melengkapi. Bagi Phil, BPKP harus membantu mendukung pengawas intern yang ada di Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah dalam melakukan pengawasan untuk memperbaiki kualitas pengelolaan keuangan negara dari seluruh institusi yang ada di pemerintah Indonesia. Ditengah kondisi di atas, sangat tepat jika BPKP sebagai salah satu pengawas intern pemerintah fokus pada peran konsultasi. “Being Private Consulting to Government Sector is BPKP Future”said Phil. Ia menyadari akan banyak tantangan yang akan dihadapi BPKP untuk mendorong Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah dalam penerapan Sistem Pengendalian Intern (SPIP), diantaranya komitmen. Namun, kondisi pemerintahan mengharuskan BPKP untuk membantu K/L dan Pemerintah Daerah dalam mengimplementasikan SPIP. Untuk menjalankan peran strategis tersebut, pengawas intern pemerintah harus tetap menjaga independensinya. Hal ini menyikapi adanya kecenderungan penempatan pimpinan dari pengawas intern pemerintah dengan orang yang memiliki kedekatan dengan pimpinan organisasi. Menurut Phil, pengawas intern harus bebas dari segala kepentingan politik dan profesional. (Tri, Nans,Harjum)
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. WARTA 1/MARET PENGAWASAN 2011 VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
49
50
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO.2/JUNI 2011
Kita Harus Siap Menjadi Warga Dunia
B
aru-Baru ini, Anies Baswedan yang terlahir dari keluarga pendidik pada tanggal 7 Mei 1968 (43 tahun), oleh majalah Foresight terpilih sebagai satu dari 20 tokoh yang membawa perubahan dunia untuk 20 tahun mendatang. Dalam edisi khusus yang berjudul “20 Orang 20 Tahun” itu, Foresight mengulas 20 tokoh yang diperkirakan bakal menjadi perhatian global karena mereka akan sangat berperan dalam perubahan dunia. Nama Anies dicantumkan bersama 19 tokoh dunia lain seperti Perdana Menteri Rusia Vladimir Putin, Presiden Venezuela Hugo Chavez, Menlu Inggris David Miliband, Sekjen Indian National Congress India Rahul Gandhi, serta politisi muda Partai Republik dan anggota DPR AS, Paul Ryan. Majalah bulanan berbahasa Jepang itu menulis bahwa cucu almarhum AR Baswedan, tokoh yang ikut andil dalam meraih kemerdekaan Republik Indonesia, itu merupakan salah satu calon pemimpin Indonesia masa mendatang. Sebelumnya, pada bulan April 2008, Majalah Foreign Policy, Amerika, pernah memilih Anies sebagai satu-satunya orang Indonesia yang masuk dalam daftar “100 Tokoh Intelektual Dunia” bersama Al Gore, Francis Fukuyama, Samuel Huntington, Vaclav Havel, Thomas Friedman, Bernard Lewis, Lee Kuan Yew dan pemenang Nobel asal Bangladesh, Muhammad Yunus. Pada tahun 2009 Anies juga mendapatkan penghargaan sebagai salah seorang “Young Global Leaders 2009” dari Forum Ekonomi Dunia (The World Economic Forum, WEF). Namanya disejajarkan bersama 230 orang pemimpin muda dunia yang dianggap memiliki prestasi dan komitmen kepada masyarakat, serta mempunyai potensi untuk berperan dalam memperbaiki dunia di masa mendatang. Tokoh dunia lain yang juga masuk daftar Pemimpin Muda Dunia di antaranya adalah pendiri dan CEO Facebook Mark Zuckerberg, pegolf Tiger Woods, Anchor CNBC-India Shireen Bhan, CEO YouTube Chad Hurley, dan
TOKOH
pembalap F-1 Michael Schumacher. Pandangan Anies sebagai negarawan tampak kuat ketika menjadi pembicara pada Seminar Nasional Internal Auditor tahun 2011 di Kota Batam lalu. “Republik ini didirikan oleh orang-orang yang penuh integritas dan merasa dirinya sudah selesai (cukup.red). Mereka membangun Indonesia bukan untuk memperkaya dirinya, tetapi untuk sebuah citacita yang ada dalam benaknya. Ini yang membuat mereka menjadi pemimpin yang dipercaya”, ungkapnya. “Kemerdekaan Indonesia merupakan jembatan emas menuju masyarakat Indonesia yang makmur. The founding father have promise, yaitu melindungi, menyejahterakan, mencerdaskan, dan memungkinan seluruh bagian dari bangsa untuk mengambil bagian dalam persaingan global. This promise will be fullfill atau harus dilunasi. Janji tersebut sudah dilunasi terhadap sebagian orang, tapi belum bagi sebagian besar rakyat indonesia yang lain. Janji ini yang harus kita penuhi karena kita yang hadir disini pada umumnya sudah mendapatkan janji-janji itu. Republik ini bukan dibangun untuk satu atau dua tahun, tetapi untuk waktu yang tidak ditentukan (eternity). Perspektif harus panjang sehingga kita berani melakukan halhal yang besar”, ujarnya seraya memberi contoh bangsa China yang membangun Tembok China selama 300 tahun, artinya memiliki keyakinan bahwa bangsa itu akan eksis jauh lebih lama dari itu.
51
Trust = Competency + Integrity + Intimacy - Self Interest. Pada seminar itu, ia banyak menyinggung tentang pentingnya integritas dalam menciptakan kepercayaan. “ Bagi bangsa Indonesia, part of big challenge are how to change atmoshper of the Republic of Indonesia. Menurut saya, problem utama di indonesia bukanlah korupsi tapi integritas. Korupsi adalah gejala dari lack of integrity. Ketika RI berdiri, our top leader adalah orang-
Anies mendapatkan penghargaan dari The WOrld Economic Forum dan bulan April 2008, Majalah Foreign Policy, Amerika, pernah memilih Anies sebagai satu-satunya orang Indonesia yang masuk dalam daftar “100 Tokoh Intelektual Dunia WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
TOKOH orang yang memiliki integritas. Para pemimpin kita saat itu masih memiliki integritas, sehingga ketika mereka mengatakan bahwa Indonesia didirikan untuk meraih masa depan yang lebih cerah, kita semua percaya. Padahal, jika kita lihat data-data yang ada saat itu, sulit sekali kita percaya. Integritas merekalah yang membuat kita
52
percaya.” Ia menambahkan bahwa untuk membentuk kepercayaan, kita harus memiliki kompetensi dan integritas serta menanggalkan kepentingan. “Rumus Trust itu competency plus integrity plus intimacy minus self interest. If interest is zero, doesn’t matter how much your priviledge, your trust is always positive. But, if your interest is up , your trust is gonna negative.”, ungkapnya. Menurutnya, integritas akan timbul ketika ada kesesuaian antara nilai dan tindakan. Yang terjadi di Indonesia saat ini, menurut Anies adalah value-nya A, namun action-nya B. Integritas ditanamkan pada tingkat mikro, bukan melalui pidato, tetapi melalui perilaku. Saat kita mengatakan Indonesia mengalami krisis integritas, maka kita berbicara keluarga. Rumah kita belum menjadi tempat dimana integritas tumbuh. Ia mengungkapkan, jika melalui organisasi dan rumah kita dapat memperbaiki integritas, maka kita akan memiliki generasi muda yang berintegritas. Rumah menjadi kunci keberhasilan integritas. Jika kita gagal membangun integritas di rumah, maka kita akan menemukan kegagalan dalam membangun integritas di kantor. Tanpa Integritas, Auditor akan menjadi Predator Sejak kecil Anies sudah akrab dengan dunia organisasi dan kepemimpinan. Ketika usianya baru 12 tahun, Anies membentuk kelompok anak-anak muda (7-15 tahun) di kampungnya yang diberi nama ‘Kelabang’ (Klub Anak Berkembang). Mereka kemudian membuat seragam lengkap dengan tulisan
‘Kelabang’ dan gambar binatang kelabang (lipan), dan mengadakan berbagai kegiatan olahraga dan kesenian. Anies memulai pendidikan formalnya menjelang usia lima tahun. Ia masuk ke sekolah TK Mesjid Syuhada di Kota Baru, Yogyakarta. Kemudian, memasuki usia enam tahun, Anies dimasukkan ke SD Laboratori Yogyakarta. Anies melanjutkan masa SMP-nya di SMP Negeri 5 Yogyakarta. Kemudian, Anies melanjutkan masa SMA-nya di SMAN 2 Yogyakarta. Anies menjalani masa SMA selama 4 tahun pada 1985-1989 karena terpilih sebagai peserta dalam program AFS. Anies mengikuti program pertukaran pelajar AFS Intercultural Programs, yang diselenggarakan oleh Bina Antarbudaya, selama satu tahun di Milwaukee, Wisconsin, Amerika Serikat (1987-1988). Ketika SMA, Anies pernah menjadi ketua OSIS se-Indonesia ketika ia mengikuti pelatihan kepemimpinan di Jakarta pada September 1985. Ia menjadi ketua untuk 300 delegasi SMA-SMA se-Indonesia. Saat itu Anies baru berada di kelas satu. Semasa kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM) (1989-1995), aktif di gerakan mahasiswa dan menjadi Ketua Umum Senat Mahasiswa UGM. Sewaktu menjadi mahasiswa UGM, mendapatkan beasiswa Japan Airlines Foundation untuk mengikuti kuliah musim panas bidang Asian Studies di Universitas Sophia di Tokyo, Jepang. Setelah lulus dari UGM pada 1995, Anies bekerja di Pusat Antar Universitas Studi Ekonomi di UGM. Kemudian, Anies mendapatkan beasiswa Fulbright untuk pendidikan Master Bidang International Security and Economic Policy di Universitas Maryland, College Park. Sewaktu kuliah, dianugerahi William P. Cole III Fellow di Maryland School of Public Policy, ICF Scholarship, dan ASEAN Student Award. Pada 2005, Anies menjadi peserta Gerald Maryanov Fellow di Departemen Ilmu Politik di Universitas Northern Illinois sehingga dapat menyelesaikan disertasinya tentang “Otonomi Daerah dan Pola Demokrasi di Indonesia”. **** Warta Pengawasan sempat berbincang-bincang dengan Anies Baswedan di sela-sela kesibukannya sebagai pembicara seminar. Berikut cuplikannya : Warta Pengawasan (WP) : Pada seminar tadi, Bapak mengatakan bahwa saat ini cukup sulit mandapatkan pejabat di sektor publik yang berintegritas, menurut Bapak apa yang menjadi
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO.2/JUNI 2011
Kita Harus Siap Menjadi Warga Dunia
permasalahan dan tantangan? Anies Baswedan (AB) : Menurut saya, orang-orang yang berintegritas di Indonesia banyak, tetapi mereka tidak diberikan kepercayaan atau tidak diberi kesempatan untuk mengelola. Ada kekhawatiran tidak bisa diajak kompromi. Lingkungan yang belum mendukung hadirnya suasana yang penuh integritas. Untuk itu, membangun integritas harus dimulai dari tempat-tempat yang mikro. Membangun integritas itu tidak bisa langsung, misalnya menjadikan orang yang bersih menjadi menteri. Membangun integritas harus dimulai dari unit terkecil di organisasi sehingga spirit itu terasa. Integritas bisa hilang karena tiga sebab, needs, greed dan kelemahan sistem. Needs ini harus dipenuhi terlebih dahulu. Sistem yang lemah akan membuat anda terjebak untuk tidak mememiliki integritas alias kompromi. Sedangkan greed atau serakah dan ini tidak ada obatnya. Sistem tidak mampu menangkal keserakahan. Yang bisa dilakukan adalah membuat sistem yang kondusif bagi orang-orang yang memiliki integritas, sistem yang memungkinkan orang-orang yang berintegritas dapat tumbuh. WP : Apa yang harus dibangun untuk memenuhi janji-janji kemerdekan? AB : Kita seringkali menganggap urusan yang menyangkut publik itu bukan tanggung jawab kita. Seperti pendidikan, dianggap sebagai tanggung jawab Kementerian Pendidikan, sekolah dan guru saja. Ketika Republik ini merdeka, semua merasa punya tanggung jawab. Contohnya saat pasukan sekutu masuk ke Surabaya, semua turut serta berjuang mempertahankan kota. Kalau kondisi tersebut terjadi saat ini, mungkin kita akan merasa itu urusan kementerian pertahanan dan menunggu saja mereka bertindak. Dahulu ada satu kepemilikan yang luar biasa terhadap suatu urusan bangsa. Hari ini kepemilikan itu seperti bukan milik kita lagi. Kita menganggap itu merupakan urusan negara. Inilah yang harus dikembalikan. Kondisi ini sebenarnya terjadi karena dua hal yaitu pertama, negara memang memonopoli semua urusan (sehingga masyarakat merasa tidak memiliki hak untuk mengurus.red). Di sisi lain sebagian dari kita sudah mendapatkan janji kemerdekaan dan merasa sudah selesai. Lalu, urusan bagi yang belum mendapatkan, itu merupakan urusan orang lain. Jadi ada 2 sebab yaitu pemerintah dan masyarakat.
TOKOH
negara. Bagaimana kita menghadapinya? AB: Jangan pesimis dengan semangat ke-Indonesia-an kita. Jika kita menganggap nasionalisme kita menurun, apa indikasinya? Saat ini orang indonesia sudah terbiasa dengan identitas multiple. Saat anda sebagai orang jawa sekaligus menjadi warga dunia, anda tidak akan kehilangan kejawaannya. Dahulu pada tahun 1928, saat kita berusaha menjadi bangsa indonesia, kejawaan kita dikuatirkan akan hilang, tetapi nyatanya tidak. Saat ini, dengan adanya globalisasi, kita harus siap menjadi warga dunia. Tetapi itu harus disadari bahwa kita memiliki identitas yang merefleksikan nilai-nilai agama, budaya, dan nasionalisme, dan ini menjadi modal untuk menjadi masyarakat global. WP: Apa hal-hal yang membuat integritas dalam membangun good governance? AB: Caranya satu, Berikan ruang yang subur untuk eksistensi orangorang yang memiliki integritas seperti ada reward bagi orangorang yang berintegritas. Dua, berikan how-nya. Kita sering kali punya keinginan untuk berintegritas tetapi seringkali tidak tahu bagaimana caranya. Kita bisa menunjukkan ‘case- case’ yang menunjukkan bagaimana kita memiliki integritas.
WP: Saat ini tengah terjadi globalisasi yang mempengaruhi semua aspek kehidupan, termasuk rasa nasionalisme setiap warna
WARTA WARTAPENGAWASAN PENGAWASANVOL. VOL.XVIII/NO. XVIII/NO.1/MARET 2/JUNI 2011 2011
53
TOKOH
Kita Harus Siap Menjadi Warga Dunia
Tiga, yang merasa menjadi pemimpin harus merefleksikan integritasnya. Kalau pemimpin defisit integritas-nya, jangan harap dapat membangun organisasi. WP: Pada pembentukan kabinet lalu, isunya Bapak diminta menjadi Menteri tetapi menolak. Apa benar demikian? AB: Saya tidak pernah menolak ataupun meminta dan mempromosikan. Jadi rektor saja, saya tidak mencalonkan. Pada saat dilantik, saya mengatakan, I didn’t fight to get the job but I will fight to do the job. Hari ini yang terjadi adalah kita bertarung untuk mendapatkan posisi. Posisi mengikuti anda, bukan anda mengikuti posisi. Banyak hal yang harus dipecahkan di negara ini. Jangan melihat semata –mata dari posisi politik dan kekuasaan, tetapi ada hal-hal lain yang bermakna.
foto: Nizar Kautzar
54
WP: Harapan Bapak terhadap para auditor intern Pemerintah? AB: Saya berharap, suatu saat nanti ketika saya bisa melihat ke belakang, dan mengatakan kita bangga memiliki dia yang menjadi penegak integritas di republik ini. Kita titipkan integritas kepada para internal auditor, karena mereka berhadapan pada kenyataan dimana harus memiliki integritas. Kuncinya disitu. Tanpa integritas you aren’t an auditor, but predator. Harapan saya, jadikan anak cucu kita bangga dengan apa yang dikerjakan para internal auditor sekarang. Jangan jadikan anak cucu kita menutup-nutupi kesalahan kita karena mereka malu atas
apa yang kita kerjakan. Kita berharap Internal Auditor dapat menjadi cikal bakal tegaknya integritas. Ketika berada di Amerika Serikat, Anies aktif di dunia akademik dengan menulis sejumlah artikel dan menjadi pembicara dalam berbagai konferensi. Ia banyak menulis artikel mengenai desentralisasi, demokrasi, dan politik Islam di Indonesia. Artikel jurnalnya yang berjudul “Political Islam: Present and Future Trajectory” dimuat di Asian Survey, sebuah jurnal yang diterbitkan oleh Universitas California. Sementara, artikel Indonesian Politics in 2007: The Presidency, Local Elections and The Future of Democracy diterbitkan oleh BIES, Australian National University. Sepulang ke Indonesia, Anies bekerja sebagai National Advisor bidang desentralisasi dan otonomi daerah di Partnership for Governance Reform, Jakarta (2006-2007). Selain itu pernah juga menjadi peneliti utama di Lembaga Survei Indonesia (2005-2007). Pada 15 Mei 2007, Anies Baswedan dilantik menjadi rektor Universitas Paramadina. Anies menjadi rektor menggantikan posisi yang dulu ditempati oleh cendekiawan dan intelektual Muslim, Nurcholish Madjid. Saat itu ia baru berusia 38 tahun dan menjadi rektor termuda di Indonesia. Sebagai Rektor Universitas Paramadina, ia melakukan beberapa hal yang inovatif, antara lain adanya kewajiban mata kuliah anti korupsi.
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
(triwib/nani/hari)
Kemendagri Benahi Manajemen Kinerja dan Menajemen Keuangan
1
NASIONAL
2
1
3
1. Anies Baswedan, Rektor Universitas Paramadina; 2. Mardiasmo, Kepala BPKP; 3. Wakil Gubernur Kepulauan Riau Membuka secara resmi Sseminar Nasional Internal Audit 2011 dengan memukul gong
“Auditor harus mempunyai integritas. Tanpa integritas, auditor akan menjadi predator”
B
erulang kali kata-kata tersebut diungkapkan oleh Rektor Universitas Paramadina, Prof. Anies Baswedan pada acara Seminar Nasional Internal Audit tahun 2011 di Kota Batam, Kepulauan Riau pada hari selasa, 19 April 2011. Seminar tahunan yang diselenggarakan oleh Yayasan Pendidikan Internal Auditor pada tanggal 18 – 21 April 2011 ini mengambil tema “Internal Auditing : Jembatan Emas Menuju Good Governance”. Anies tampil sebagai pembicara dengan tema “Nurturing Leader with integrity in challenging time” bersama Deputy Chancellor University of Newcastle Singapore, DR. Peter Woring. Pada sesi ini para peserta dibuat terpesona oleh penampilan tokoh muda di bidang pendidikan ini yang menyampaikan betapa pentingnya sebuah integritas bagi seorang auditor. “Auditor adalah pelaku utama yang menjaga integritas dalam organisasi. Tanpa integritas, pemimpin organisasi tidak akan mendapat kepercayaan dan kepemimpinannya tidak akan efektif. Untuk itu auditor
harus memiliki integritas juga. Tanpa integritas, auditor akan menjadi predator,”ungkapnya. Acara seminar dibuka dengan tari Persembahan khas Kepulauan Riau. Dengan gerakan yang lembut dan gemulai, para penari menyambut para tamu. Beberapa tamu undangan mendapat kehormatan dengan menerima persembahan selembar daun sirih dari para penari. Sebagaimana diungkapkan pembina yayasan Pendidikan Internal Auditor, Setyanto P Santosa dan Ketua Penyelenggara Seminar, Harry Setianto, bahwa tema seminar ini diilhami dari sebuah ungkapan bahwa kemerdekaan indonesia itu merupakan jembatan menuju Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera. Namun pada realitanya hingga saat ini cita-cita itu masih belum terwujud. Penyebabnya adalah lemahnyanya Good Public Governance dan Good Corporate Governance . Maka dari itu perlu ditekankan peran internal Auditor dalam mendorong terwujudnya hal itu. Peran auditor perlu dioptimalkan untuk menjadi jembatan
emas dalam mewujudkan Good Governance. Setelah itu, Wakil Gubernur Kepulauan Riau, DR. Suryo Rispationo membuka seminar. Pada sambutannya, ia mengungkapkan bahwa pengawasan
Ketua Penyelenggara Seminar, Harry Setianto
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
55 55
NASIONAL
Mengintip Perjalanan Reformasi Birokrasi di BPKP
Dr. Peter Woring dari University of Newcastle – Singapore (kiri) dan Bob Mc Donald, OAM dari Queensland Health
56
Wakil Gubernur Kepulauan Riau, DR. Suryo Rispationo
itu tidak sekedar menilai ketaatan, tetapi menilai pencapaian tujuan, pengawasan itu tidak mengutamakan fungsi kuratif, namun fungsi preventif, dan fungsi pengawasan itu pada akhirnya membantu pelaksanaan kegiatan untuk mencapai tujuan.“Mencegah lebih baik dari pada memperbaiki”, demikian ungkapnya. Ia juga menyoroti bahwa pada saat ini banyak unit kerja pengawasan, namun masih dirasakan adanya tumpang tindih pengawasan. Selain itu tindak lanjut hasil pengawasan juga masih lemah. Kondisi ini perlu dicermati dan dicarikan solusinya. Terakhir ia mengingatkan bahwa internal auditor harus memenuhi‘best practice’sebagai-
mana ditetapkan dari The Institute of Internal Auditor (IIA). Kepala BPKP, Mardiasmo tampil sebagai keynote speaker. Ia menyampaikan materi “Peran Sentral Sistem Pengendalian Intern dalam meningkatkan Governance Organisasi”. Beberapa hal menarik ia ungkapkan seperti pentingnya membangun lingkungan pengendalian yang baik, hubungan antara Budaya Kerja, implementasi Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, dan Reformasi Birokrasi dalam membangun Good Public Governance, serta bagaimana membangun budaya SPIP. Ia menekankan pentingnya membangun soft control atau unsur manusianya dalam mencapai tujuan organisasi. “Dalam mewujudkan Good Public Governance dan Good Corporate Governance, yang terpenting adalah unsur manusia atau soft control-nya,” ujarnya. Beberapa materi menarik dipaparkan selama empat hari pelaksanaan seminar tersebut. Salah satunya adalah pemaparan Dr. Peter Woring dari University of Newcastle – Singapore yang tampil bersama Prof Anies Baswedan dengan tema “Nurturing Leader with Integrity in Chalengging Time”. Ia mengungkapkan tiga hal penting yaitu apa tantangan yang dihadapi dunia saat ini, mengapa integritas menjadi penting untuk menghadapinya, dan bagaimana auditor berperan serta dalam memelihara kepemimpinan yang kuat dalam organisasi. “Lemahnya integritas akan meWARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
ngurangi kepercayaan dan keyakinan, lemahnya integritas bersifat korosif bagi organisasi, integritas adalah asset berharga bagi organisasi, dan dengan integritas kita akan menjalani a good life,” ungkapnya. Ia juga menambahkan di masa mendatang kepemimpinan yang kuat membutuhkan integritas, kreativitas, sikap adaptif, soft power, pemikiran global, dan kemampuan membangun networking. Salah satu sesi yang menarik adalah materi “Leveraging Leadership in Chalengging Time” dengan pembicara Bob Mc Donald, OAM dari Queensland Health, Wee Hock Kee, Chairman IIA International Conference 2011, dan Restiana Linggadjaja, CAE Bank CIMB Niaga. Wee Hock Kee mengungkapkan, di masa mendatang lima kegiatan utama internal auditor adalah reviu tata kelola (governance), audit terhadap proses pengelolaan risiko, reviu keselarasan antara strategi dengan kinerja yang dicapai, audit pelaksanaan etika, dan migrasi leporan keuangan berdasarkan IFRS. Untuk itu internal auditor dituntut untuk memiliki tiga ketrampilan yaitu communication skill, problem identification and solution skill, dan keeping up to date terhadap industri yang dijalani organisasi. Sedangkan Bob Mc Donald mengungkapkan fokus internal auditor di masa mendatang adalah tata hangat dan menarik. Selain gurauan-gurauan yang segar, ia mampu mengangkat motivasi para peserta untuk bekerja dengan integritas yang tinggi.
NASIONAL
S
ebagai mata dan telinga direktur utama, Internal Auditor (IA) dituntut untuk dapat melaksanakan fungsinya dengan baik sehingga dapat memberikan nilai tambah (added value) bagi organisasi. Nilai tambah ini menurut Yaswant saat menjadi narasumber pada acara SNIA di Batam bulan April 2011 lalu, dapat ditingkatkan salah satunya dengan melaksanakan External Quality Assessment (EQA) pada fungsi IA. Internal Audit Manager pada Tarong Energy Corporation (sebuah perusahaan negara milik pemerintah Australia), bernama lengkap Yashwant Lal, memandang EQA pada IA sebagai upaya untuk memastikan agar kualitas fungsi IA tetap terjaga dengan baik sesuai dengan standar yang ada. Bahkan, International Professional Practices Framework (IPPF) sebuah standar yang dipublish oleh Institute of Internal Auditors (IIA), telah mensyaratkan agar aktivitas Internal Audit direviu oleh pihak eksternal (EQA) minimal sekali untuk setiap kurun waktu 5 tahun. Reviu ini didesign untuk menilai sejauh mana pemenuhan aktivitas internal audit terhadap standar yang ada, efektivitas IA dalam menyediakan pelayanan assurance dan konsultasi kepada dewan direksi dan lainnya. Metode EQA, menurutnya dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu: pertama, Self Assessment with External Validation; kedua, Peer Reviews; dan ketiga, External Assessment by Experts (melalui persetujuan komite audit terlebih dahulu). Pada metode Self Assessment with External Validation, proses assessment dilakukan oleh tim internal yang merupakan bagian dari internal audit organisasi,
sedangkan penilaian validasi atas assessment tersebut dilakukan oleh pihak dari luar yang independen. Cara ini, diakuinya relatif lebih menghemat biaya dan mengoptimalkan sumber daya internal. Pada metode Peer Reviews (penilaian sejawat), proses EQA dilakukan oleh beberapa anggota organisasi atau kelompok organisasi di dalam core bisnis yang sama namun dengan kualifikasi tertentu.. Sedangkan cara External Assessment by Experts, pelaksanaan assessment maupun
57
Yashwant Lal, Internal Audit Manager Tarong Energy Corporation
Added Value IA melalui Quality Assessments validasinya dilakukan oleh tim eksternal yang independen seperti dari akuntan publik maupun dari IIA. Yaswant menekankan bahwa EQA oleh pihak eksternal ini sangat penting karena reviu ini memberikan jaminan bagi Direktur utama/ Chief Executive Officer (CEO), Komite Audit, dan seluruh unit dalam organisasi bahwa fungsi internal audit organisasi telah dilakukan dengan baik dan memenuhi standar yang dike-
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
luarkan oleh IIA. EQA juga dapat mengidentifikasi kebiasaan buruk apa yang tanpa disadari selama ini dilakukan oleh internal audit, sekaligus solusinya serta masukan-masukan perbaikan yang dibutuhkan oleh fungsi internal audit. Ia berharap melalui EQA, internal auditor akan mampu memberitakan nilai tambah dan menjawab tuntutan dari organisasi tempatnya bekerja. (HJK, Nani)
NASIONAL
Mengintip Perjalanan Reformasi Birokrasi di BPKP
The 5 th IFRS Regional Policy Forum 2011 Menuju Penerapan IFRS Sebagai Satu Standar Global
58
Wakil Presiden, Boediono secara resmi membuka Konvergensi Standar Akuntansi Keuangan Indonesia dengan pemukulan gong didampingi dari kanan ke kiri Ketua Dewan Pengurus Nasional (DPN) IAI, Mardiasmo, Wakil Menteri Keuangan, Anny Ratnawati, Ketua International Accounting Standard Board (IASB), Sir David Tweedie, Gubernur Bali, I Made Mangku Pastika
Konvergensi Standar Akuntansi Keuangan Indonesia dengan IFRS tidak hanya sebatas perubahan perlakuan akuntansi namun harus dimaknai sebagai langkah peningkatan kualitas dan transparansi pelaporan keuangan di Indonesia
D
emikian pernyataan yang disampaikan Wakil Presiden Republik Indonesia, Boediono, saat membuka Forum Kebijakan Regional International Financial Reporting Standards (IFRS) ke-5 Tahun 2011 di Kuta, Bali, tanggal 23 Mei 2011. Lebih lanjut, Boediono mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia telah meminta Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) untuk membantu penerapan IFRS guna terciptanya implementasi IFRS secara penuh di Indonesia pada tahun 2012.
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
Menuju Penerapan IFRS Sebagai Satu Standar Global
Namun, menurut Boediono, untuk mempercepat konvergensi IFRS dibutuhkan juga dukungan dari para pembuat kebijakan/ regulator di Indonesia. Saat ini dukungan telah datang dari Bappepam-LK, Bank Indonesia, dan Kementerian BUMN yang meminta perusahaan-perusahaan di bawah supervisinya untuk melakukan konvergensi IFRS. “Saya berharap dukungan serupa juga diikuti oleh para pembuat kebijakan lainnya sehingga tercipta sinergi dengan para pelaku bisnis di Indonesia terkait konvergensi IFRS ,” kata Boediono. Boediono juga meminta Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK-ETAP) dan SAK Syariah yang telah disusun oleh IAI agar segera diimplementasikan oleh para pelaku bisnis di Indonesia. “Akademisi dan instansi pemerintah saya harapkan turut membantu implementasi tersebut,” ungkapnya. Di depan sekitar 300 orang delegasi dari 21 negara Asia dan Pasifik, Boediono berpesan agar setiap delegasi saling berbagi pengalaman mengenai tantangan dan solusi terkait adopsi IFRS di negaranya masing-masing. Pengalaman tersebut dapat menjadi masukan berharga bagi penetapan langkah bersama dalam konvergensi IFRS. Forum Regional IFRS ke-5 diselenggarakan dari tanggal 23 sampai dengan 26 Mei 2011 mengambil tema “Towards One Global Standard: The Challenges and Opportunities of IFRS Adoption in the Asia-Oceania Region.” Sebelumnya, forum serupa diadakan juga di Australia pada tahun 2005, Jepang tahun 2007, China tahun 2009, dan Singapura tahun 2010. Hadir saat acara pembukaan, Wakil Menteri Keuangan, Anny Ratnawati, Gubernur Bali, I Made Mangku Pastika, Ketua International Accounting Standard Board (IASB), Sir David Tweedie, dan Ketua Dewan Pengurus Nasional (DPN) IAI, Mardiasmo. Sedangkan peserta forum berasal dari perwakilan badan penyusun standar akuntansi, bank sentral, regulator perpajakan dan pasar modal, serta pelaku bursa efek. Dalam kesempatan tersebut, Ketua DPN IAI, Mardiasmo, mengatakan “Forum ini sangat penting dan strategis untuk Indonesia karena kita bisa menceritakan kepada dunia bagai-
NASIONAL
Ketua DPN IAI dan Kepala BPKP, Mardiasmo
mana perkembangan konvergensi IFRS di Indonesia.” Forum yang diselenggarakan oleh IAI ini juga mendapat dukungan besar dari Pemerintah Indonesia. Hal ini menunjukkan pemerintah sangat mendukung konvergensi IFRS yang sedang berlangsung. Menurutnya, Indonesia melalui IAI telah berkomitmen untuk mengadopsi IFRS pada tahun 2012. “Tahun ini merupakan tahun yang krusial bagi Indonesia dalam konvergensi IFRS. Di tahun depan, implementasi penuh IFRS di Indonesia diharapkan dapat terlaksana. Hal ini menuntut konvergensi IFRS segera diselesaikan di tahun ini,” tutur Mardiasmo. Ia yakin dengan dukungan semua pihak, konvergensi IFRS dapat terlaksana dengan baik. Hal ini juga menuntut kesiapan sumber daya manusia dalam memahami IFRS dan bagaimana upaya memitigasi risiko terkait konvergensi tersebut. Sementara itu, Gubernur Bali, I Made Mangku Pastika, menyampaikan appresiasi terkait dipilihnya Kuta, Bali sebagai tempat penyelenggaraan Forum Kebijakan Regional International Financial Reporting Standards (IFRS)
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
59
NASIONAL
60
Mengintip Perjalanan Reformasi Birokrasi di BPKP Menuju Penerapan IFRS Sebagai Satu Standar Global
ke-5 Tahun 2011. “Suatu kehormatan bagi Indonesia khususnya Bali sebagai tuan rumah diselenggarakannya Forum Kebijakan Regional International Financial Reporting Standards (IFRS) ke-5 Tahun 2011,” ujarnya. Ia pun berharap dari forum tersebut dapat dihasilkan pernyataan bersama (communique) yang dapat memperkuat komitmen konvergensi IFRS di 21 negara kawasan Asia Pasifik. Konvergensi IFRS merupakan suatu fenomena gobal di mana semakin banyak negara-negara di dunia yang mengadopsi standar akuntansi internasional ini. Terlebih, negara-negara yang tergabung dalam G-20, termasuk Indonesia telah sepakat untuk melakukan konvergensi standar akuntansinya ke IFRS. Beberapa materi menarik dibahas dalam kegiatan ini di antaranya, update terbaru standar IFRS, exposure draft beberapa standar IFRS, perkembangan adopsi IFRS di tiap negara, peran penyusun standar akuntansi lokal terkait konvergensi IFRS, dan peran regulator perpajakan serta pasar modal terhadap suksesnya konvergensi IFRS. Terkait dengan implementasi IFRS, peran dari auditor juga semakin penting yakni mendeteksi apakah laporan keuangan yang disajikan telah sesuai dengan standar dan terhindar dari kecurangan. Hal ini diungkapkan oleh CA Amarjit Chopra dari The Institute of Chartered Accountants India dalam materinya yang berjudul Views of The Auditing Profession. Menurutnya, auditor harus menguji apakah
...Sesuai perannya sebagai assurer, internal auditor harus menjamin kualitas dari konvergensi IFRS dan mengkomunikasikan hambatan yang muncul terkait konvergensi tersebut dengan manajemen. Internal auditor juga wajib membangun sistem pengendalian intern yang baik dalam setiap kegiatan akuntansi yang dijalankan.......
Gubernur Bali, I Made Mangku Pastika
seluruh kegiatan akuntansi telah dijalankan sesuai standar IFRS, termasuk prosedur, estimasi dan asumsi yang digunakan, pencatatan, dan pelaporan keuangan. Di samping itu, auditor juga harus dapat mendeteksi pos-pos akuntansi yang rawan kecurangan terkait konvergensi IFRS, di antaranya earning management dan peningkatan fair value yang tidak wajar. Namun, yang terpenting adalah hubungan berkelanjutan antara auditor terutama internal auditor dengan manajemen terkait implementasi IFRS. Sesuai perannya sebagai assurer, internal auditor harus menjamin kualitas dari konvergensi IFRS dan mengkomunikasikan hambatan yang muncul terkait konvergensi tersebut dengan manajemen. Internal auditor juga wajib membangun sistem pengendalian intern yang baik dalam setiap kegiatan akuntansi yang dijalankan. (hartadi)
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
Ultah BPKP ke 28 : Birokrasi Harus Memiliki Three in One
WARTA PUSAT
Ultah BPKP ke 28:
Birokrasi Harus Memiliki Three in One “Mantapkan Reformasi Birokrasi dengan Ber-SPIP untuk Mencegah KKN dalam Mencapai Tata Kelola Pemerintah yang Baik dan Meningkatkan Pelayanan Publik”
T
ema ini mengandung makna bergeloranya semangat untuk membangun aparatur negara melalui reformasi birokrasi hingga dapat mewujudkan tata kelola kepemerintahan yang baik berdasarkan prinsip-prinsip good governance. Dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No.81 tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi menunjukkan komitmen pemerintah dalam mewujudkan Pemerintahan Kelas Dunia dan memberikan arah bagi Kementerian, Lembaga, Birokrasi dan pemda dalam menerapkan Reformasi Birokrasi. Sebagai suatu instansi yang berkomitmen tinggi untuk senantiasa meningkatkan kinerja, BPKP telah menerapkan Reformasi Birokrasi dengan tahap yang berkesinambungan. BPKP telah melakukan upaya penelaahan pola pikir (mind set) dan budaya kerja (culture set). Selain itu, pengelolaan terhadap sumber daya manusia juga dilaksanakan dalam model berbasis kompetensi (competition based human resource management) baik untuk pejabat struktural maupun fungsional, agar dapat menghasilkan pegawai yang sesuai kebutuhan (right sizing) dan kompetensi yang dipersyaratkan. Remunerasi yang diberikan kepada pegawai BPKP sejak pertengahan tahun 2010 lalu, kiranya harus dapat diimbangi dengan peningkatan kinerja dalam rangka meningkatkan pelayanan publik. Untuk mendampingi UPRBN dalam melaksanakan reformasi birokrasi gelombang dua, Pemerintah telah membentuk tim independen dan tim penjaminan kualitas. Sesuai dengan Permenpan No.45 tahun 2011, yang menunjuk ex-officio Kepala BPKP sebagai ketua Tim Penjaminan Kualitas (Quality Assurance), tim ini ditugaskan untuk mengawal jalannya reformasi birokrasi. Peran serta BPKP dalam Tim Penjaminan Kualitas merupakan wujud nyata instansi ini dalam
61
Kepala BPKP, Mardiasmo
mempertahankan tata kelola pemerintah yang baik, pembangunan, dan kesejahteraan rakyat. Pelaksanaan reformasi birokrasi tidaklah berjalan optimal bila tidak didukung oleh unsur kesadaran dalam organisasi itu sendiri untuk melaksanakan SPIP. Oleh karena itu tema HUT BPKP ke-28 yaitu “Mantapkan Reformasi Birokrasi dengan Ber-SPIP untuk
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
WARTA PUSAT
Kepala BPKP, Mardiasmo(kiri) memberikan potongan tumpeng kepada Menteri PAN dan RB, E.E. Mangindaan(kanan) pada peringatan HUT BPKP ke 28
62
Mencegah KKN dalam Mencapai Tata Kelola Pemerintah yang Baik dan Meningkatkan Pelayanan Publik”, sangatlah sesuai sebagai dasar pelaksanaan Reformasi Birokrasi. Di sela-sela upacara, setelah memberikan pidato singkatnya, Kepala BPKP menganugerahi setya lencana kepada para karyawan yang telah lama mengabdikan dirinya kepada BPKP. Setelah itu, Kepala BPKP pun meresmikan Kantor Perwakilan BPKP Provinsi Jakarta dan Kantor Perwakilan BPKP Provinsi Banten. Setelah upacara selesai, Kepala BPKP mengajak para undangan untuk menyaksikan peresmian Kantor Sekretariat Tim Satgas Quality Assurance Reformasi Birokrasi Nasional, Kantor Dharma Wanita Persatuan BPKP, Kantor Purnabakti BPKP, dan yang tak kalah penting diresmikannya juga Omi Minimarket. Seperti biasanya, setelah upacara selesai selalu diikuti dengan acara ramah tamah.. Acara ramah tamah diawali dengan pemotongan tumpeng oleh Kepala BPKP, berlangsung di Aula Gandhi. Setelah Kepala BPKP memberikan welcoming speech, dilanjutkan dengan sambutan dari Menteri PAN dan RB, EE Mangindaan, Ketua BPK, Hadi Purnomo, dan Kepala BPKP Periode 1993 – 1999, Drs. Soedarjono. Dalam sambutannya, Menteri PAN dan RB menuturkan bahwa tema HUT tersebut sangatlah
tepat. Pertama, pelayanan publik yang prima merupakan ujung dari reformasi birokrasi sebagai salah satu area perubahan reformasi birokrasi. Selain itu Reformasi birokrasi adalah prioritas pertama dari prioritas pembangunan pemerintahan saat ini. Ia menegaskan, tanpa keberhasilan reformasi brikorasi, prioritas berikutnya pasti ada ganjalan/kurang berhasil. Jadi, sangat bergantung pada prestasi/ tekad kita untuk keberhasilan reformasi birokrasi demi pemerintahan kelas dunia tahun 2025. Ia pun melanjutkan kita semua bertanggung jawab, semoga kita semua patuh melaksanakan reformasi birokrasi demi anak cucu kita yang akan datang. Tak lupa, Ia juga menyampaikan ucapan selamat ulang tahun kepada BPKP, selamat sebagai Ex Officio, sebagai Tim QA, juga ucapan selamat atas kantor baru Tim QA RBN BPKP, semoga bisa menjadi jaminan reformasi birokrasi berhasil. Dengan penuh keyakinan, ia juga mendukung agar delapan kantor penghubung BPKP dapat menjadi kantor perwakilan. Ia pun menjelaskan mengapa ia mendukung BPKP? karena BPKP saat ini sangat dibutuhkan dan diminati oleh instansi-instansi pemerintah di pusat maupun daerah. Dengan semangat berkobar, Ia mengatakan “Buktikanlah bahwa BPKP laku karena performance dan mutu”. Terakhir, ia menitipkan three
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
Ultah BPKP ke 28 : Birokrasi Harus Memiliki Three in One
in one. Three in one yang dititipkan adalah intelectual, fisically, dan mentally yang harus dimiliki kita semua, khususnya pegawai BPKP. Mengakhiri sambutannya, Menteri P A N
dan RB menyuarakan “Mari kita laksanakan reformasi birokrasi dengan sebaik-baiknya. BPKP bersama saya, saya akan dukung, saya akan memperhatikan BPKP, karena BPKP adalah Quality Assurance Reformasi Birokrasi Nasional”. Pada kesempatan yang sama, kepala BPK, Hadi Poernomo. Ia mengemukakan Indonesia mencapai PDB dan ekonomi yang bagus, diikuti dengan nilai dolar yang kuat tetapi mengapa banyak sekali ketidakadilan dan radikalisme. Ketidakadilan disebabkan o l e h adanya KKN, adanya illegal
WARTA PUSAT
fishing, illegal logging, mafia pajak, mafia hukum, mafia macam-macam mafia, dan adanya peraturanperaturan yang tidak sesuai dengan peraturanperaturan diatasnya. Untuk itu, ia menegaskan sebagai auditor baik internal maupun eksternal harus memeriksa. Ia mengatakan, jika MenPAN&RB menyuarakan IMF (three in one), ia menyuarakan LMA yaitu Link, yang merupakan implementasi dari pancasila sila ketiga, yaitu persatuan. Matching, adalah kesatuan menyatukan semua link-link yang ada. Sementara, A adalah Auditee adalah implementator-nya. Dengan rona wajah sedih, ia menyampaikan bahwa output daripada KKN, segalanya adalah uang, baik uang giral maupun uang kartal untuk melakukan consumtion, saving, and investment. Masalahnya, mampukah pemerintah me-monitor ketiganya? Dengan penuh antusias, ia sangat yakin ia menyebut, jika LMA terbentuk maka akan terwujud akuntabilitas dan transparansi. Sambutan berikutnya dilanjutkan oleh Drs. Soedarjono, Kepala BPKP periode 1993-1999. Pada kesempatan itu, Ia memberikan pesan kepada BPKP, jangan sampai BPKP seperti cerita sang kodok yang larut dalam kenyamanan. BPKP haruslah dinamis menyesuaikan keadaan zaman, tumbuh, serta dapat menghadapi situasi yang selalu berubah. BPKP harus mawas diri dan mencari bentuk lain. “ Lakukan perubahan sebelum perubahan itu sendiri memaksa anda untuk berubah,” ungkapnya. Jika BPKP masih seperti sebelumnya, maka akan seperti kisah sang kodok matang dalam belangga hingga akhirnya mati terebus. “Mari kita hadapi tantangan ini dengan satu antusiasme yang besar, integrity merupakan satu mahkota bagi anda. Rumusnya adalah integrity sama dengan competency, tambah courage, tambah passion, minus self interest”. Acara ramah tamah diisi pula dengan pemberian penghargaan “Pelaksanaan dan Pengembangan Eco Officio Tahun 2011 Tingkat Unit Mandiri Pusat” yang dimenangkan oleh Deputi Polsoskam sebagai juara I. Penghargaan yang sama pada tingkat perwakilan dimenangkan oleh Perwakilan BPKP Jawa Tengah. Penghargaan juga diberikan kepada Unit Kerja Pusat Biro Umum sebagai inspirator Eco Office dan juga kepada Sekretariat Utama sebagai motivator Eco Office.
Drs. Soedarjono, Kepala BPKP periode 1993-1999.
(tim warta)
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
63
WARTA PUSAT
64
Mengingat laporan keuangan BUMN/BUMD/BUL merupakan bagian dari laporan keuangan Kementerian/Lembaga/Pemda, maka akuntabilitas keuangan BUMN/BUMD/BUL juga akan mempengaruhi akuntabilitas keuangan negara pada Kementerian/Lembaga/Pemda. Untuk itu, kualitas akuntabilitas keuangan pada BUMN/BUMD/BUL perlu ditingkatkan agar kualitas akuntabilitas keuangan negara juga meningkat.
T
erbitnya Inpres Nomor 4 Tahun 2011 tentang Percepatan Peningkatan Kualitas Akunta bilitas Keuangan Negara merupakan mandat bagi Kementerian, Lembaga, dan Pemerintah Daerah untuk meningkatkan kualitas akuntabilitas keuangan negara melalui pengelolaan keuangan negara yang efektif, efisien, transparan, dan akuntabel. Dalam arti luas, peningkatan tersebut juga berlaku bagi setiap entitas yang turut menggunakan uang negara termasuk BUMN, BUMD, dan BUL. “Sesuai Inpres Nomor 4 Tahun 2011, kualitas akuntabilitas keuangan negara pada Kementerian, Lembaga, dan Pemerintah Daerah dapat ditingkatkan dengan bantuan dari BPKP,”kata Deputi Kepala BPKP Bidang Akuntan Negara, Ardan Adiperdana saat membuka acara Rapat Kerja Deputi Akuntan Negara
dan Bidang Akuntan Negara BPKP Tahun 2011 di Bandung tanggal 11 April 2011. Dengan diikuti 199 orang peserta dari Kedeputian Akuntan Negara dan Bidang Akuntan Negara di 25 Perwakilan BPKP, raker kali ini mengambil tema “Reformasi Birokrasi Sebagai Sarana Mempercepat Peningkatan Akuntabilitas Kinerja BUMN/BUMD/BUL.” Menurut Ardan, ada empat langkah yang dapat dilakukan BPKP dalam membantu Kementerian/ Lembaga/Pemda meningkatkan kualitas akuntabilitas keuangan negara, yakni asistensi pengelolaan keuangan, evaluasi dan rekomendasi penyerapan anggaran, audit tujuan tertentu atas programprogram strategis nasional, dan mendorong penyelenggaraan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP).
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
Percepatan Peningkatan Kualitas Akuntabilitas Kinerja dan Keuangan BUMN/BUMD/BUL
Di samping itu, sesuai PP Nomor 60 Tahun 2008 tentang SPIP, BPKP juga memainkan peran dalam pengawasan intern atas akuntabilitas keuangan negara yang meliputi pengawasan atas kegiatan lintas sektoral, kegiatan kebendaharaan umum negara atas penetapan Menteri Keuangan, dan kegiatan lain berdasarkan penugasan dari Presiden. Ardan mencontohkan, untuk kegiatan lintas sektoral seperti program ketahanan pangan, perlu dilakukan pengawasan tidak hanya bagi instansi pemerintah namun juga BUMN/BUMD/BUL yang turut terlibat. “Banyak BUMN terlibat di program ketahanan pangan seperti Bulog, Pertani, dan Sang Hyang Seri. Ini perlu dilakukan pengawasan agar program ketahanan pangan berjalan efektif, efisien, dan tepat sasaran,” tuturnya. Dalam kesempatan tersebut, Ardan menegaskan peran ke-Deputian Akuntan Negara dan Bidang Akuntan Negara harus outcome oriented. Hal ini menindaklanjuti arahan Wakil Presiden, Boediono saat Rapat Kerja tentang Rencana Kerja Pemerintah dan Pagu Indikatif Tahun 2011 di Bogor akhir Maret lalu, bahwa semua aktivitas pemerintah harus outcome oriented, satu kesatuan dengan budget, serta perlu ada monitoring dan evaluasi berkelanjutan. Untuk itu, Ardan meminta agar setiap aktivitas yang dilakukan dan budget yang dikeluarkan harus berkontribusi pada pencapaian outcome. “Tak hanya output tetapi outcome juga harus diperhatikan,” tegasnya. Ardan juga berpesan kepada para peserta raker agar membahas lima isu strategis yang sedang berkembang guna dihasilkan policy recommendation yang bermanfaat bagi peningkatan peran Deputi Akuntan Negara ke depan. Kelima isu strategis tersebut yakni reformasi birokrasi, kompetensi SDM, substansi seperti GCG, IFRS, dan program lintas sektoral, infrastruktur manajemen, dan inovasi produk seperti business valuation, financial modelling, dan risk based audit. Dalam raker yang diselenggarakan selama empat hari dari tanggal 10 sampai dengan 13 April 2011, peserta raker menerima pemaparan materi dari berbagai nara sumber. Materi pertama yang diberikan yakni Reformasi Birokrasi dari Biro Kepegawaian dan Organisasi BPKP yang diwakili oleh Kasubbag Pemindahan Pegawai, Hendra Sukmana. Dalam kesempatan tersebut, dipaparkan mengenai grand design dan road map reformasi birokrasi nasional, perjalanan reformasi birokrasi di BPKP, perluasan area perubahan dari tiga menjadi delapan, pelaksanaan quality assurance reformasi birokrasi, dan tunjangan kinerja. Sementara itu, I Wayan Sukerta dari Direktorat
WARTA PUSAT
Compliance and Risk Management PT Telkom memaparkan mengenai implementasi Risk Management di PT Telkom. Langkah-langkah dasar dalam penilaian risk management meliputi diagnosis risiko, implementasi solusi atas risiko, dan audit apakah implementasi tersebut berjalan dengan baik. Untuk mengukur keberhasilan pengelolaan risiko perusahaan digunakan Risk Management Index (RMI) dengan beberapa indikator, di antaranya perubahan level risiko, pengaruh keuangan, dan kefektifan biaya mitigasi. Sedangkan VP Enterprise Management Audit PT Telkom, Purwoto memaparkan materi tentang peran internal auditor dan risk based audit. Dijelaskan, fokus internal auditor telah mengalami evolusi dari semula fokus pada data keuangan berubah ke internal control, dan saat ini fokus pada risiko serta upaya peningkatan nilai tambah bagi organisasi. Dengan fokus tersebut, internal auditor harus memiliki pemahaman dan kompetensi yang kuat atas proses bisnis dan risiko dari objek audit serta menjalankan peran konsultatif guna memberikan nilai tambah bagi organisasi. Materi lain yakni business valuation diberikan oleh Yusuf AM Sujono dari Ernst & Young. Menurutnya, ada tiga metode utama dalam penilaian proses bisnis perusahaan yakni melalui pendekatan pasar, pendapatan, dan biaya. Pendekatan pasar dilakukan melalui analisis harga saham, perbandingan usaha, dan penilaian aset. Untuk pendekatan pendapatan dilakukan dengan metode discounted cash flow, EBITDA/ EBIT, dan earnings multiple. Sedangkan pendekatan biaya dilakukan dengan analisis reproduction cost dan replacement cost. Selain materi seputar audit dan proses bisnis, peserta raker juga dibekali dengan pengetahuan lain guna memperluas wawasan dan meningkatkan kinerja dalam pelaksanaan tugas sehari-hari. Materi speed of trust dari dunamis consulting diberikan sebagai bahan untuk meningkatkan kemampuan dalam membangun kredibilitas dan kepercayaan stakeholders kepada BPKP. Di samping itu, tim dari ESQ juga memberikan materi seputar budaya kerja dengan topik accelerated corporate culture change. Di samping paparan dari nara sumber, peserta raker juga dibagi ke dalam lima Focus Group Discussion (FGD) guna membahas lima isu strategis sesuai arahan Deputi Kepala BPKP Bidang Akuntan Negara dan satu FGD membahas masalah ketatausahaan. FGD berlangsung hangat dengan keaktifan dari para peserta raker dalam memberikan pendapat. (hartadi/edi)
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
65 65
WARTA PUSAT
Tuntutan masyarakat akan hadirnya sebuah birokrasi yang terpercaya sudah seharusnya menjadi perhatian pemerintah untuk merevitalisasi peran humas. Selama ini, ada kesan bahwa humas pemerintah "antara ada dan tiada".
66
F
akta mencuatnya kasuskasus yang mendiskredit kan pemerintah tanpa diikuti informasi fakta yang positif sering dipandang sebagai bukti kegagalan humas pemerintah. Apalagi, jarang sekali masyarakat mengetahui informasiinformasi tentang apa yang telah dan akan dilakukan pemerintah untuk kepentingan masyarakat. Ditambah lagi, sebagian besar instansi pemerintah belum memandang peran humas sebagai sesuatu yang penting bagi pencapaian tujuan organisasi. Pentingnya peran humas pemerintah turut mewarnai acara Workshop Kehumasan di Provinsi Bangka Belitung pada akhir bulan Mei 2011, yang diselenggarakan oleh Kementerian PAN dan RB. Dalam sambutannya, Deputi Bidang Tatalaksana Kementerin PAN dan RB, Dr. Deddy S. Bratakusumah, BE, MURP, M.Sc, menyampaikan bahwa peran Humas pemerintah sangat penting di tengah dua tantangan besar yang diha-
dapi pemerintah menyangkut tata tah sebaiknya mengoptimalkan kelola informasi pelayanan publik. peran humas dalam organisasi. Tantangan tersebut yaitu meningBanyak hal yang harus diperkatnya proses transmisi dan pertu- siapkan oleh praktisi humas pemekaran informasi antar unit di dalam rintah sebagai implikasi logis dari orgnisasi serta meningkatnya te- diundangkannya peraturan mekanan dari lingkungan eksternal ngenai keterbukaan informasi yang menuntut tingkat partisipasi dan transparansi lebih besar dalam pengelolaan pelayanan publik. Terlebih dengan lahirnya UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang secara tegas menyatakan bahwa keterbukaan informasi publik merupakan sarana dalam mengoptimalkan pengawasan publik terhadap penyelenggaraan negara dan birokrasi serta segala sesuatu yang berakibat pada kepentingan publik. Mengingat Deputi Bidang Tatalaksana Kementerin PAN dan RB, Dr. penting dan strategisnya Deddy S. Bratakusumah, BE, MURP, M.Sc, peran humas, pemerin-
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
Humas Pemerintah DItengah Dua Tantangan
publik ini. Mulai dari penyiapan kelembagaan dan penataan organisasi, reposisi peran humas dalam organisasi birokrasi, penguatan partisipasi masyarakat, hingga mobilisasi sumber daya manusia dan sarana teknologi yang dibutuhkan guna menjawab tantangan akan terpenuhinya prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Dengan kata lain, praktisi humas harus mereformasi dan merevitalisasi dirinya agar mandat yang diberikan UU KIP tersebut dapat dilaksanakan. Ditengah tantangan besar tersebut, Deddy prihatin atas kondisi humas pemerintah saat ini. Menurutnya, sebagian besar humas pemerintah menghadapi berbagai kendala dalam menjalankan fungsinya. Mulai dari minimnya kompetensi pelaku humas seperti belum dipahaminya peraturan yang berkaitan dengan kehumasan dan kurangnya wawasan tentang kehumasan, struktur dan organisasi humas yang belum menunjang peran strategis kehumasan, adanya budaya kerja pejabat humas yang masih kurang strategis, hingga belum ditunjang dengan sarana kerja yang memadai. Di samping itu, minimnya kerjasama dengan media massa juga berdampak pada minimnya pemberitaan pers yang mengangkat keberhasilan pemerintah. Upaya optimalisasi peran humas pemerintah, ungkap Deddy, sebaiknya diikuti dengan langkah revitalisasi kehumasan pemerintah, mulai dari penyiapan kelembagaan dan penataan organisasi, reposisi peran humas dalam organisasi, penguatan partisipasi masyarakat, hingga mobilisasi sumber daya manusia dan sarana teknologi yang dibutuhkan guna menjawab tantangan bagi terwujudnya tata kelola pemerintahan
WARTA PUSAT
Djoko Prihandono (kanan) sebagai narasumber dalam acara Bakohumas didampingi Kabag Humas dan HAL, Ratna Tianti E.
yang baik. Sebagai acuan bagi praktisi humas pemerintah, Kementerian PAN dan RB telah meluncurkan 5 pedoman kehumasan yaitu Pedoman Umum Tata Kelola Kehumasan di Instansi Pemerintah; Pedoman Umum Komunikasi Organisasi di Instansi Pemerintah; Pedoman Umum Infrastruktur Ke-
Sekretaris Utama BPKP, Suradji
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
humasan di Instansi Pemerintah; Pedoman Umum Komunikasi Krisis Kehumasan di Instansi Pemerintah; dan Pedoman Umum Audit Komunikasi di Instansi Pemerintah. Even kehumasan juga berlangsung di Gedung BPKP, Jl. Pramuka No. 33 yang dihadiri oleh 100 orang praktisi kehumasan Kementerian/
67
WARTA PUSAT
68
yang beretika, berintegritas tinggi, jujur, disiplin, dan profesional dari semua pihak termasuk insan kehumasan. Pada kesempatan itu, Kepala Biro Hukum dan Humas, BPKP, Momock Bambang Sumiarso, sebagai ketua penyelenggara, berharap forum ini dapat menjadi media komunikasi yang efektif Kepala Biro Hukum dan Humas, BPKP, Momock Bambang antar kehumasan Presiden International Public Relation Association, Elisabeth Goenawan Ananto Sumiarso K/L untuk menyebarluaskan informasi terkait kehu- mentasikan UU No 14 Tahun 2008. Lembaga. Hadir sebagai naramasan dan peran strategis orga- BPKP, menurut James, dapat dijasumber, Presiden International Punisasi demi terwujudnya pem- dikan sebagai best practice peneblic Relation Association, Elisabeth bangunan Indonesia yang diha- rapan keterbukaan informasi puGoenawan Ananto yang memrapkan. blik. Ia juga berharap agar forum bawakan materi dengan tema Harapan yang sama juga disam- ini dapat meghadirkan pemikiran "Peran Humas Dalam Strategi paikan oleh Ketua Pelaksana Bako- dan ajang berbagi pengalaman Diseminasi Informasi", dan Direktur humas, DR. James Pardede, yang dalam penyebaran informasi puPengawasan Bidang Produksi dan menyempatkan hadir. Ia mengi- blik. Sumber Daya Alam pada Deputi ngatkan bahwa pentingnya peran Sementara itu, Presiden IPRA, Pengawasan Bidang Perekonomian kehumasan dalam mengimpleElisabeth Goenawan Ananto, BPKP, Djoko Prihandono dePh.D, berharap agar kehumasan ngan topik Peran dan Fungsi pemerintah ke depan harus BPKP sebagai konsultan dan QA mampu berperan sebagai medalam mewujudkan tata kelola dia yang mengedukasi masyakepemerintahan yang baik". rakat baik masyarakat Indonesia cara Bakohumas di BPKP (Semaupun internasional sebagai lasa,14/6), dibuka oleh Sekrelangkah pencegahan prilaku kotaris Utama, Suradji. Ia berharap ruptif, di antaranya melalui keberadaan humas pemerintah transparansi penyebaran infordapat memberi dampak pada masi." Masyarakat berhak mepeningkatan layanan publik ngetahui informasi yang benar. tingkat dunia. Untuk itu, humas Tugas humaslah menyampaipemerintah harus dapat menkan informasi yang benar kejalankan perannya secara efekpada masyarakat. Untuk itu, tif guna mendukung terwujudHumas pemerintah harus diberi nya good public and clean goverkewenangan untuk melakukan nance" tegasnya. Untuk melakperan tersebut", kata Elizabeth. sanakan peran tersebut, ia (Diana) menegaskan perlunya peruKetua Pelaksana Bakohumas, DR. James Pardede bahan pola pikir dan mindset
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
RESENSI buku BOOK REVIEW
Benchmarking in the Public and Nonprofit Sectors: Best Practices for Achieving Performance Breakthroughs Pengarang: Patricia Keehley, Neil Abercrombie, 2008 Komentator: Riki Antariksa, Ak. MSi. (Kasub bidang Program di Puslitbangwas BPKP)
“Jika anda ingin lebih cepat berhasil, dekati orang-orang yang sudah pernah berhasil di bidang yang anda inginkan” (Jack Canfield). Ingin cepat sukses? Belajarlah dari orang-orang atau organisasi yang sukses. Saya kira itulah inti dari buku yang sedang dikupas ini. Buku setebal 241 halaman ini merupakan buku edisi kedua, yang menawarkan sesuatu kepada para praktisi dan pegawai pemerintahan di semua tingkatan, berupa panduan praktis untuk memahami praktik-praktik terbaik (best practices) mengenai benchmarking serta bagaimana mempraktikkannya di dalam organisasi publik. Ditulis berdasarkan hasil riset terkini, edisi baru ini memaparkan metodologi benchmarking berdasarkan solusi (solution-driven) yang updated, baik di sektor publik maupun nirlaba. Edisi pertama buku tersebut merupakan buku penting karena menjadi buku pertama yang secara serius membahas benchmarking di sektor publik. Edisi kedua ini tidak hanya lebih updated tetapi juga memperluas ke dunia organisasi
nirlaba dan komunitas internasional atau negara-negara lain. Terlihat bahwa penulisnya benarbenar fokus pada metode benchmarking serta sangat menjaga segi praktisnya. Kombinasi antara teori dan praktik disertai contoh terlihat cukup berimbang. Penulisnya memang hanya membahas mengenai benchmarking, di dalamnya pun dibahas langkah demi langkah terhadap dua teknik benchmarking, yaitu antara teknik tradisional dan teknik berdasarkan solusi. Penulisnya menyarankan penggunaan teknik berdasarkan solusi karena lebih sedikit membutuhkan waktu dan sumber daya. Benchmarking in the Public and Nonprofit Sectors memaparkan beberapa instrumen baru, studi kasus, dan contoh-contoh yang tidak hanya dari sisi lembaga pemerintahan atau nirlaba, namun juga dari sisi komunitas internasional, bahkan para auditor pun dapat memetik manfaat dari buku ini. Hal-hal tersebut dinilai sangat membantu para praktisinya dalam mengimplementasikan dengan cepat metode benchmarking untuk
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011 WARTA PENGAWASAN VOL. XVII/NO. 4/DESEMBER 2010
memecahkan permasalahan-permasalahannya, sehingga diharapkan lembaga pemerintahan dan organisasi nirlaba menjadi lebih efektif, efisien, dan responsif, serta kinerjanya meningkat. Isi buku ini dibagi dalam empat bagian dan sebelas bab. Bagian pertama memperkenalkan benchmarking, terdiri atas dua bab: sejarah benchmarking dan kaitannya dengan pengukuran kinerja, Bagian kedua membahas metode benchmarking. Terdiri atas tiga bab: persiapan benchmarking, metode benchmarking tradisional, dan metode benchmarking berbasis solusi (solution-driven). Kedua metode tersebut diperbandingkan, dengan pembahasan lengkap mengenai tahapan langkah kedua metode, contoh-contoh, dan juga peringatan (warnings) berkaitan dengan masing-masing metode. Bagian ketiga terdiri atas tiga bab: membahas benchmarking di berbagai sektor, yaitu pemerintah pusat dan daerah, lembaga nirlaba, dan di komunitas internasional. Bagian keempat membahas benchmarking dan akuntabilitas, terdiri atas tiga bab:, bagaimana
69
RESENSI buku
Benchmarking in the Public and Nonprofit Sectors Kemendagri Benahi Manajemen Kinerja dan Menajemen Keuangan
70
benchmarking dapat berperan untuk akuntabilitas, penggunaan benchmarking dalam audit (ini bagian yang cukup menarik), baik dengan metode tradisional maupun berbasis solusi, dan terakhir adalah bab kesimpulan. Adanya gagasan bahwa benchmarking merupakan suatu cara untuk terus-menerus meningkatkan kinerja, maka demikian pula dengan metodenya, tentu harus lebih sederhana, lebih efisien, dan lebih baik dari metode sebelumnya. Metode tradisional dipandang terlalu mahal, terutama untuk organisasi yang menghadapi tekanan permasalahan begitu berat, tentu tidak dapat menunggu empat sampai enam bulan untuk memperoleh jawabannya (resolusi). Metode berbasis solusi (solution-driven) menawarkan sesuatu yang lain. Metode ini dikembangkan secara deduktif. Ini sedikit berbeda dengan metode tradisional, dimana dalam metode tradisional keputusan untuk melakukan benchmark telah disusun atau direncanakan sedemikian rinci, langkah-langkahnya telah didefinisikan jelas dan benar-benar diikuti. Sedangkan metode berbasis solusi lebih mirip bagaikan berebut mencari emas (gold rush) daripada berburu harta karun (treasure hunt), atau bagaikan speed dialing daripada memutar nomor dengan telepon jaman dahulu yang berbentuk lingkaran (rotary dial). Metode ini membutuhkan hanya satu atau dua orang saja dibandingkan dengan sebuah tim dalam metode tradisional. Inti dari metode berbasis solusi adalah adanya jaringan kerja, baik orang maupun organisasi yang dapat diandalkan oleh pelaku benchmark. Pencarian praktik-praktik terbaik dilakukan melalui jaringan tersebut, misalnya melalui internet yang tidak membutuhkan kunjungan ke tempat yang bersangkutan. Sebagai tambahan, metode berbasis solusi hanya membutuhkan beberapa hari atau minggu untuk memperoleh hasil. Jika dibandingkan dengan buku sejenis, misalnya Managing by Measuring: How to Improve Your Organization’s Performance Through Effective Benchmarking yang ditulis Mark T. Czarnecki (1999), terlihat bahwa keduanya berupaya menjelaskan bagaimana metode benchmarking dapat meningkatkan kinerja organisasi. Perbedaannya, buku Managing by Measuring tersebut lebih diperuntukkan bagi spesialis sistem informasi yang ingin mempraktikkan metode benchmarking. Atau jika dibandingkan dengan buku lainnya semisal The Benchmarking Book: A How-to Guide to Best Practice for Managers and
Practitioners oleh Tim Stapenhurst (2007) yang membahas benchmarking terutama dalam manajemen proyek dan isu-isu hukum langkah demi langkah, maka buku Benchmarking in The Public and Nonprofit Sectors ini terasa lebih luas dan lebih mendalam pembahasannya untuk sektor publik dan nirlaba. Pembahasan dari sisi berbeda tentang benchmarking di sektor publik salah satunya adalah artikel berjudul Public Sector Benchmarking and Performance Improvement: What is The Link and Can It Be Improved? yang ditulis oleh Sandra Tillema (Dosen jurusan akuntansi dan keuangan pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis di University of Groningen, Belanda) dalam majalah Public, Money, & Management (Januari 2010). Ia mengemukakan bahwa benchmarking di sektor publik yang ditujukan sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kinerja, ternyata tidak selalu meningkatkan kinerja atau bahkan justru berakibat negatif. Lingkungan politik yang ada di sekitar organisasi sektor publik terkadang membuat benchmarking tidak memberi pengaruh apapun terhadap operasional organisasi karena hasil benchmarking hanya digunakan sebagai alat untuk bertahan (defend) daripada untuk meningkatkan kinerja. Kesimpulannya, hubungan antara benchmarking di sektor publik dengan peningkatan kinerja adalah bersifat tidak langsung. Dalam praktiknya, banyak penggunaan benchmarking di sektor publik ini menggunakan benchmarking yang fokus hanya pada indikator-indikator (indicator-bechmarking) daripada benchmarking terhadap gagasan-gagasan (ideas-benchmarking). Benchmarking yang hanya fokus pada indikator berupaya untuk menentukan kinerja dari organisasi yang dilibatkan, dan kurang memperhatikan bagaimana memperoleh pemahaman tentang proses pencapaian kinerja tertingginya. Dari segi penulisnya, kedua penulis buku Benchmarking in the Public and Nonprofit Sectors ini merupakan orang-orang yang berpengalaman di sektor publik dan nirlaba. Patricia Keehley berpengalaman lebih dari 30 tahun dalam manajemen di sektor publik dan swasta. Sebelumnya ia adalah asisten profesor di Departemen Ilmu Politik dan Kriminal di Southern Utah University. Sedangkan Neil N. Abercrombie adalah seorang analis politik untuk Utah League of Cities and Towns. Riset-risetnya fokus pada keuangan daerah, manajemen pemerintah daerah, dan kerja sama antara pemerintah daerah dan sektor nirlaba.
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
AKUNTANSI
Catatan dari The 5 th IFRS Regional Policy Forum 2011
Perkembangan Konvergensi IFRS di Berbagai Negara Indonesia Dengan dipelopori Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), konvergensi IFRS di Indonesia telah dimulai sejak tahun 2008. Harapannya, di tahun 2012, implementasi penuh IFRS telah berjalan di Indonesia. Dengan adanya konfergensi, Standar Akuntansi Keuangan (SAK) Indonesia akan selaras dengan standar internasional sehingga kredibilitas dan kualitas laporan keuangan akan meningkat dan memiliki daya banding. Saat ini IAI telah mengeluarkan Standar Akuntansi Indonesia yang mencakup tiga unsur yakni SAK,SAK Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK-ETAP), dan SAK Syariah. SAK ETAP yang disusun berdasarkan IFRS for Small Medium Enterprise (SME) berlaku bagi perusahaan yang berskala kecil dan menengah. Sedangkan SAK Syariah berlaku bagi perusahaan yang menganut asas syariah dalam usahanya. Bagi perusahaan yang bukan termasuk golongan ETAP dan Syariah, wajib menerapkan Standar Akuntansi Keuangan dengan adopsi IFRS. Sampai dengan awal Mei 2011, telah diadopsi sebanyak 35 standar IFRS ke dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Indonesia. Setelah tahun 2012, standar IFRS akan menjadi moving target dimana perubahan Standar Akuntansi di Indonesia akan dinamis mengikuti perubahan yang dilakukan oleh International Accounting Standard Board (IASB). Untuk perusahaan-perusahaan di Indonesia, konfergensi IFRS dilakukan di bawah supervisi tiga instansi yaitu Bappepam LK, Bank Indonesia, dan Kementerian BUMN. Bahkan Kementerian BUMN telah membentuk Satuan Tugas IFRS untuk membantu implementasi IFRS di 142
BUMN di Indonesia. Philipina Sejak tahun 1996, Standar Akuntansi Philipina telah mengadopsi standar akuntansi internasional dari IAS. Hal ini didukung komitmen dari Philipines Stock Exchange Comission (PSEC) yang menetapkan seluruh perusahaan yang tercatat di bursa saham untuk mengikuti IFRS per 1 Januari 2005. Standar Akuntansi Philipina terdiri dari dua yakni Philippine Accounting Standards (PASs) dan Philippine Financial Reporting Standards (PFRSs). Dari tahun 1996 hingga 2004 Standar Akuntansi Philipina telah mengadopsi sebanyak 25 standar IAS. Standar tersebut berlaku bagi entitas yang memiliki pertanggungjawaban kepada publik. Untuk perusahaan kecil dan menengah berlaku Philippine Financial Reporting Standard for SMEs yang mengadopsi IFRS for SME. Standar juga telah efektif berlaku per tanggal 1 Januari 2010. Malaysia Malaysia mulai mengikuti standar yang dikeluarkan
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
71
AKUNTANSI
Perkembangan Konvergensi IFRS di Berbagai Negara
perusahaan di Korea. Kewajiban mengadopsi IFRS juga berlaku bagi entitas keuangan yang tidak tercatat di bursa saham dan BUMN. Di samping itu, untuk perusahaan kecil dan menengah berlaku Korean Accounting Standards for Non-Public Entities yang mengadopsi IFRS for SME.
IAS sejak tahun 1978. Seiring keluarnya standar IFRS oleh IAS, The Malaysian Accounting Standards Board (MASB) pada tahun 2008 menetapkan tanggal 1 Januari 2012 sebagai deadline adopsi penuh IFRS. Saat ini standar IFRS hampir seluruhnya diadopsi ke dalam Standar Akuntansi Malaysia kecuali IFRS 9 tentang Instrumen Keuangan dan IAS 41 tentang agrikultur. Malaysia juga tengah mengkaji mengenai standar akuntansi untuk perusahaan kecil dan menengah dengan adopsi IFRS for SME.
72
Jepang Program konfergensi IFRS di Jepang dicanangkan melalui penandatanganan Tokyo Agreement antara Accounting Standards Board of Japan (ASBJ) dengan International Accounting Standard Board (IASB) pada bulan Agustus 2007. Tujuan dari perjanjian tersebut yakni mengeliminasi perbedaan signifikan antara Standar Akuntansi Keuangan Jepang (Japan General Accepted Accounting Principles/J-GAAP) dengan IFRS. Menindaklanjuti Tokyo Agreement, di bulan Juni 2009, ASBJ menyusun road map konfergensi IFRS di Jepang. Langkah konfergensi IFRS di Jepang dilakukan secara bertahap. Hal ini dilakukan mengingat perlunya sinkronisasi berbagai aturan terutama regulasi pasar modal dan pajak dengan IFRS. Sebagai start awal, konfergensi dilakukan terhadap beberapa perusahaan yang tercatat di bursa saham untuk laporan keuangan konsolidasi per tanggal 31 Maret 2010. Sedangkan untuk perusahaan lain, konfergensi masih menunggu keputusan otoritas lembaga keuangan yang ada apakah akan menggunakan JGAAP dengan adopsi IFRS secara penuh atau tidak. Konfergensi tersebut akan dilakukan mulai tahun 2012 sehingga diharapkan di tahun 2016 implementasi penuh telah dilakukan. Korea Selatan Korean Accounting Standards Board (KASB) mulai mengadopsi IFRS ke dalam Standar Akuntansi Korea Selatan sejak tahun 2007. Langkah konfergensi pun dilakukan mulai tahun 2008 untuk perusahaanperusahaan yang tercatat di bursa saham. Di tahun 2011, adopsi penuh IFRS telah dilakukan oleh seluruh
India Guna menyelaraskan dengan standar akuntansi internasional, pada tahun 2007 The Institute of Chartered Accountants of India (ICAI) mencanangkan langkah konfergensi dengan IFRS. Saat ini hampir seluruh standar telah diadopsi ke dalam Standar Akuntansi India kecuali IFRS 9 (Financial Instruments), IAS 26 (Accounting and Reporting by Retirement Benefit Plans), dan IAS 41 (Agriculture). Dalam road mapnya, IFRS mencanangkan beberapa tahap implementasi IFRS. Sebagai langkah awal, seluruh perusahaan yang tercatat di Bombay Stock Exchange (BSE) dan National Stock Exchange (NSE) wajib menerapkan IFRS per 1 April 2011. Disusul perusahaanperusahaan asuransi di tahun 2012, serta institusi keuangan bank dan non bank di tahun 2013. Sedangkan perusahaan lainnya wajib mengikuti IFRS di tahun 2014. Australia Langkah konfergensi IFRS di Australia dimulai tahun 2002 di bawah supervisi Australian Accounting Standards Board (AASB) dan dukungan dari Financial Reporting Council (FRC) Australia. Untuk itu, selama dua tahun, entitas di Australia diberi kesempatan untuk memahami IFRS dan menyusun sistem informasi akuntansinya. Targetnya, per 1 Januari 2005 implementasi IFRS di Australia dapat berjalan. Implementasi IFRS tidak hanya berlaku bagi entitas perusahaan namun juga entitas tanpa laba seperti pemerintah dan lembaga amal. Entitas tanpa laba mengikuti IFRS dengan beberapa pengecualian, di antaranya perlakukan untuk aset non kas dan pengakuan pendapatan. Saat ini hampir seluruh entitas akuntansi di Australia telah mengadopsi IFRS. Australia juga tidak mengadopsi IFRS for SME sebagai standar akuntansi untuk perusahaan kecil dan menengah.
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
Paperless Working Papers Oleh: Hendra Novic *
Proses audit dapat juga dilakukan melalui email, sehingga tidak terhalang lagi oleh kendala jarak dan waktu. 2. Jejak rekam dapat dilihat Auditor dapat dengan mudah memantau dan mengetahui jejak rekam setiap proses review dan membantu mempercepat waktu audit. 3. Mengurangi pemborosan Paperless lebih sedikit menggunakan kertas, tinta, listrik dan alat tulis kantor lainnya dibanding kertas kerja tradisional, sehingga akan terjadi penghematan dan memberi manfaat bagi ekologis. Issue Indonesia hijau (green) akan menjadi daya tarik tersendiri bagi promosi instansi atau perusahaan yang proses bisnisnya terkait dengan lingkungan hidup. 4. Proses review lebih cepat Paperless audit akan membutuhkan waktu lebih sedikit dibandingkan tradisional audit. Proses secara elektronik dalam penugasan audit dapat meminimalkan kesalahan manusia dan kebutuhan informasi secara manual ke dalam sistem auditing. Review secara elektronik membutuhkan waktu lebih sedikit dari pada review secara personal dengan menggunakan kertas review. Dengan berkurangnya pekerjaan secara manual dan proses review yang lebih cepat akan dapat mengurangi waktu audit. 5. Meningkatklan keamanan Keamanan dokumentasi secara fisik lebih menyulitkan dibandingkan secara elektronik. Data dan dokumen secara elektronik dapat diamankan dengan menggunakan password dan metode pengaman secara digital lainnya. Sistem jejak juga dapat mencatat siapa yang telah mereview setiap unsur data untuk tujuan keamanan review. Fisik dokumen dapat dapat di-copy, hilang atau ditempatkan di lokasi yang tidak aman. Dengan paperless audit dapat meningkatkan keamanan dokumen atau data instansi/perusahaan. 6. Analisa data yang lebih baik Manfaat lain dari paperless adalah hasil analisis data yang lebih baik dan akurat. Dengan investasi awal yang cukup mahal, namun hal ini akan tertutupi dengan penghematan-penghematan yang terjadi. Akhirnya, mari kita coba terapkan paperless working papers di lingkungan kerja kita guna mencapai Eco Office dan mendukung program Indonesia Hijau yang menajdi warisan bagi generasi mendatang.
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011 2011
KOLOM
P
erkembangan paperless audit (audit dengan menggunakan dokumen elektronik) adalah keniscayaan ditengah tuntutan peningkatan kualitas dan efisiensi audit. Kualitas audit bisa dilihat dari ketepatan hasil dan kecepatan proses audit. Hal itu bisa sangat terbantu oleh kemajuan teknologi, khususnya teknologi Informasi. Teknologi Informasi juga bisa sangat berperan dalam meningkatkan efisiensi waktu pengauditan. Teknologi Informasi memungkinkan akses data yang lebih cepat, kolaborasi jarak jauh dan analisa data yang lebih akurat. Namun, praktek paperless audit, diakui masih sulit untuk dilaksanakan, diantaranya karena minimnya dukungan infrastruktur teknologi komunikasi seperti komputer, keterbatasan jaringan, minimnya auditor yang menguasai teknologi informasi terutama dalam mengoperasikan komputer, serta komitmen seluruh pihak dalam organisasi. Salah satu cara untuk mengimplementasikan paperless audit adalah dengan menghimbau bahkan mewajibkan seluruh auditor untuk memanfaatkan komputer (teknologi informasi) dalam menyusun atau membuat kertas kerjanya, proses reviu, sampai ke pelaporan. Di samping itu, penerapan paperless audit harus memperhatikan terpenuhinya ketersediaan fasilitas komputer, diantaranya satu orang satu komputer dan kemampuan SDM untuk mengoperasikannya. Popularitas paperless audits saat ini tumbuh secara dramatis karena bentuk paperless audit sangat praktis, biaya yang relatif murah, dan tidak ada batas jarak dan waktu. Dengan penyusunan kertas kerja secara paperless, maka review terhadap kertas kerja juga dilakukan melalui komputer. Sama juga dengan kertas kerja tradisional, paperless working papers juga harus ditandatangani/paraf, baik oleh penyusunnya ataupun pe-review nya. Tanda tangan/ paraf pada paperless working papers tentunya secara elektronik. Banyak manfaat yang dapat diperoleh apabila kertas kerja pengawasan dibuat secara paperless, antara lain: 1. Akses yang lebih mudah Auditor lebih mudah melakukan tugasnya walaupun dia berada pada lokasi yang berbeda dengan instansi yang diawasinya karena adanya akses yang diterimanya guna memperoleh data dari kliennya.
73
Peningkatan Kapasitas APIP Mengantisipasi Kebutuhan Organisasi
KOLOM
Oleh: Dikdik Sadikin *
74
“Pak, kalau di ‘hilir’, itu sudah banyak ‘satpam’ yang menunggu: ada BPK, Kepolisian dan Kejaksaan, bahkan KPK. Tetapi, yang di ‘hulu’nya itu lho Pak... Siapa yang mengawal kami dari ‘hulu’ supaya bisa selamat sampai di ‘hilir’?” demikian Deputi Pengawasan Keuangan Daerah BPKP Iman Bastari menceritakan “curhat” seorang bupati kepada dirinya pada forum Akuntabilitas Pengawasan Daerah (APD) pada bulan Mei lalu. Sang Bupati sadar, pengawasan seyogyanya tidak dilakukan setelah semua terjadi: uang sudah keluar, kegiatan sudah selesai, dan ada tersangka. Kalau sudah terlanjur salah di ujung, sulit uang negara bisa dikembalikan utuh apalagi sesuai nilai uang yang semakin menurun. Tak mudah mengembalikan kepercayaan publik yang tercabik. Dan, ada kepala keluarga dengan sekian ‘mulut’ di belakangnya yang harus kehilangan mata pencaharian karena dibui. Akan lebih baik, sebelum terjadi pelanggaran, ada jerat-jerat sistem yang mampu mencegah pegawai berbuat curang dan melanggar aturan. Bukankah mencegah itu lebih baik daripada mengobati? Sesungguhnya, mungkin tanpa disadari, dalam bahasa yang sederhana sang Bupati tengah mengatakan mengenai pentingnya Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) bagi pemdanya. Tampaknya, sinisme sebagian pihak kepada SPIP yang dianggap tidak membumi, mulai luruh. Kesadaran ini mengemuka manakala banyak kenyataan pahit di ujung masa pengabdian para pejabat karena berbagai pelanggaran yang dilakukannya. Tentu, mereka tidak ingin di penghujung pengabdiannya bernasib bagai pesakitan. Ada memang yang pantas diganjar
dengan hukuman. Tetapi tidak sedikit pula pejabat yang berusaha komitmen, tetapi celakanya mereka tidak bisa menjangkau luasnya area yang seharusnya dijaga. Padahal, apa pun yang terjadi di bawah, muaranya kepada pimpinan juga. Jadi, tidak berlebihan sebenarnya bila dikatakan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) pun menjadi harapan. Namun demikian, bagaimana membuat SPIP menjadi resep yang mujarab, tampaknya menuntut keahlian dan komitmen yang tidak segampang membalikkan telapak tangan. Dan itulah yang dituntut kepada APIP akan kompetensinya. APIP tampaknya harus berbenah diri untuk meningkatkan kapasitasnya untuk beberapa sebab: Pertama, APIP adalah motor tegaknya pengendalian intern yang seharusnya dapat diandalkan di instansinya. Namun, mengutip Djamaludin Ancok (1999), perubahan lingkungan menuntut SDM memiliki sikap mental baru, menggunakan pola pikir baru, dan cara kerja baru yang sesuai dengan kebutuhan organisasi. Ini yang seringkali tertinggal. Banyak pegawai di APIP yang seharusnya memainkan perannya pada posisi intern justru memiliki mindset sebagai eksternal. Ketika ‘hilir’ seharusnya hanya ditunggu oleh auditor eksternal, entah bagaimana, dengan mindset itu, para oknum APIP ikut pula berkerumun di ‘hilir’. Kebutuhan organisasi akan perlunya pengawalan APIP sejak ‘hulu’ justru terabaikan. Ada semacam keriuhan di ujung proses, yang sesungguhnya tidak membantu pemecahan permasalahan.
WARTAPENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011 WARTA
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
KOLOM
Kedua, berkait dengan reformenginformasikan pengaruh ...pengawasan intern masi birokrasi. Pengawasan intern setiap perubahan dalam rangka seyogyanya bertitik tolak mengefektifkan pelaksanaan memiliki peran vital bagi reformasi birokrasi. Dalam dunia pesistem pengendalian manapada kebutuhan organgawasan intern, menurut jemen dan ketaatan yang nisasi dengan mengambil Venables dan Impey (1988) ada efektif. peran, seperti yang dua peran utama, yaitu sebagai Ketiga, peran APIP sesungwatchdog dan agent for change. guhnya dapat “mewarnai” lingdisebut Venables dan Dijelaskan lebih lanjut bahwa Impey, sebagai agent for kungan pengendalian di instanauditor adalah “a watchdog not a sinya. Sesuai Peraturan Pemechange. Dalam peran ini, rintah Nomor 60 tentang SPIP, bloodhound”. Dalam paradigma pengawasan intern harus pada Pasal 4 disebutkan bahwa tradisional, peran sebagai watchdog dikenal sebagai organisasi Pimpinan Instansi Pemerintah mengantisipasi setiap yang mempunyai peran sebagai wajib menciptakan dan memeperubahan di mata dan telinga manajemen (as lihara lingkungan pengendalian instansinya.... eyes and ears of management). yang menimbulkan perilaku Sedangkan dalam paradigma positif dan kondusif untuk penemodern, sebagai agent of change. rapan Sistem Pengendalian Dalam kontelasi pemaknaan ini, organisasi peIntern dalam lingkungan kerjanya, antara lain ngawas intern dapat menjelma sebagai konsultan melalui perwujudan peran aparat pengawasan manajemen, evaluator, atau katalis. intern pemerintah yang efektif. Dalam Pasal 11, Sebagai watchdog, fungsi ini dibentuk untuk perwujudan peran aparat pengawasan intern melakukan monitoring kinerja guna mendorong pemerintah yang efektif sekurang-kurangnya pencapaian rencana dan target-target yang harus: a. memberikan keyakinan yang memadai ditetapkan. Dalam peran ini, tugas pengawasan atas ketaatan, kehematan, efisiensi, dan efekintern yang paling dominan adalah melakukan tivitas pencapaian tujuan penyelenggaraan tugas-tugas pengecekan (checking) ketaatan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah; b. membepelaksanaan kinerja dengan instruksi-instruksi yang rikan peringatan dini dan meningkatkan efekdigunakan. Dalam menjalankan fungsi sebagai tivitas manajemen risiko dalam penyelenggaraan watchdog, mandat formal sangat dibutuhkan bagi tugas dan fungsi Instansi Pemerintah; dan c. lembaga pengawasan intern. Aksesibilitas informasi memelihara dan meningkatkan kualitas tata bagi lembaga pengawasan intern untuk memenuhi kelola penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi kebutuhan “pengawasan represif” dalam cakupan Pemerintah. Kompetensi APIP untuk dapat “watchdog”-nya itu, bagaimanapun, harus memiliki “mewarnai” itu menjadi tuntutan yang tidak legitimasi dari peraturan perundang-undangan dapat diabaikan. yang ada. Tanpa mandat formal yang jelas dan tidak Untuk itu, APIP harus mampu meningkatkan memberikan kontribusi yang jelas bagi organisasi, kompetensi dirinya dan harus mampu menpengawas yang melakukan peran pemeriksaan dorong fungsi organisasi sebagaimana organiseperti ini akan cenderung ditolak kehadirannya. sasi belajar. Dan tugas organisasi lah untuk Karena itu, pengawasan intern seyogyanya meningkatkan peluang belajar bagi semua bertitik tolak pada kebutuhan organisasi dengan anggota intitusi untuk terus belajar. Inilah yang mengambil peran, seperti yang disebut Venables disebut learning organization. dan Impey, sebagai agent for change. Dalam peran Konsekuensinya, APIP harus meninggalkan ini, pengawasan intern harus mengantisipasi setiap “comfort zone”: tidak terlena dengan sekadar perubahan di instansinya. Reformasi birokrasi, yang tugas rutin yang berbekal kewenangan semata. senantiasa menuntut adanya perubahan tujuan, APIP harus selalu mengantisipasi perubahan yang perubahan struktur organisasi, dan perubahan dialami organisasinya untuk mecapai kebersumber daya manusia, biasanya mengakibatkan hasilan organisasi. *) Penulis adalah Kabid APD pada Perwakilan perubahan dalam sistem dan prosedur. Dengan BPKP Provinsi Kalimantan Selatan demikian, pengawas intern diharapkan mampu
75
Soul of SPIP and The Spirit of Bureaucratic Reformation
KOLOM
Oleh: Setya Nugraha *
76
S
PIP atau Sistem Pengendalian Intern Pemerintah yang dicanangkan Pemerintah Indonesia dalam PP nomor 60 tahun 2008 akan genap berumur 3 tahun pada tanggal 28 Agustus 2011. Pentingnya SPIP sebagaimana amanah pasal 58 UU nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, ditegaskan lagi oleh Pemerintah dalam dalam Inpres no 4 tahun 2011 tentang percepatan peningkatan kualitas akuntabilitas keuangan negara, yang intinya mempercepat penerapan SPIP di lingkungan Kementerian/Lembaga/ Pemerintah Daerah. Dalam diktum keempat, Inpres ini mewajibkan BPKP sebagai pembina penyelenggaraan SPIP agar menyusun rencana aksi yang jelas, tepat dan terjadwal dalam mendorong penyelenggaraan SPIP pada setiap K/L/Pemda. Keseriusan Pemerintah terhadap penerapan SPIP juga ditegaskan kembali dalam Inpres no 9 tahun 2011 tentang rencana aksi pencegahan dan pemberantasan korupsi, karena dalam butir nomor 29 lampiran Inpres ini disebutkan kewajiban implementasi SPIP bagi K/L/Pemda dan menekankan pentingnya pengendalian pada aspek soft control. Berbagai kajian dan literatur maupun praktik selama ini, secara singkat dapat dinyatakan bahwa tidaklah cukup kalau pengendalian hanya mengandalkan pada aspek hard control yang dapat dijumpai pada berbagai alat pengendalian yang kasat mata yaitu antara lain berbagai peraturan, pedoman, petunjuk pelaksanaan, petunjuk teknis, dan berbagai prosedur pengendalian lainnya. Pengendalian aspek hard control harus dibarengi dengan aspek soft control yang bersinggungan dengan faktorfaktor manusia di balik sistem pengendalian tersebut yang antara lain terkait keteladanan pimpinan (tone at the top), komitmen dan integritas seluruh insan yang ada dalam K/L/Pemda, mulai dari pucuk pimpinan hingga ke level terendah sekalipun. Benang merah SPIP dengan Reformasi Birokrasi Reformasi di Indonesia sejak tahun 1998 menyentuh berbagai hal antara lain reformasi politik dan demokrasi, reformasi keuangan, reformasi peradilan, termasuk reformasi birokrasi, dan berbagai reformasi lainnya. Masyarakat sangat berkepentingan menikmati “buah” berbagai reformasi tersebut agar tetap “manis” dirasakan. Semangat atau spirit reformasi yakni membangun, menata kembali, melakukan perubahan dari sistem sebelumnya menjadi sistem yang baru juga melingkupi upaya Pemerintah dalam melakukan Reformasi Birokrasi. Paradigma birokrasi lama yang dipersepsikan sebagian besar masyarakat yakni lamban, berbelit-belit, sarat dengan KKN, menjadi tantangan Pemerintah dalam melakukan Reformasi Birokrasi agar berproses menjadi birokrasi yang cepat dan tanggap, bebas KKN guna mewujudkan WARTAPENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011 WARTA
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
KOLOM
cita-cita luhur sebagaimana ditetapakuntabilitas terhadap sumber Soul of SPIP adalah kan oleh pendiri negara ini yang daya dan pencatatan yang intijiwa yang melingkupi antara lain memajukan kesejahtenya agar proses bisnis dapat raan umum serta mencerdaskan SPIP yakni bagaimana berjalan secara efektif dan efisien kehidupan bangsa. guna menjamin tercapainya visi, SPIP membantu Dalam proses Reformasi Birokrasi, misi dan tujuan Pemerintah manajemen mampu berbagai sistem sudah diciptakan memberikan pelayanan prima untuk melakukan pembaharuan mencapai visi, misi dan kepada masyarakat. Contoh lain yang pada intinya memperbaiki adalah pembenahan aspek SDM tujuan Pemerintah aspek kelembagaan/organisasi, busidalam Reformasi Birokrasi sarat melalui sebuah ness process maupun SDM selaras dengan penerapan unsur perdengan Prioritas Pelaksanaan Refortama SPIP yakni lingkungan pepengendalian yang masi Birokrasi sesuai Peraturan ngendalian, yang menekankan embedded di dalam Menteri Negara Pendayagunaan pada aspek soft control. Peningsistem manajemen itu katan integritas aparat birokrasi Aparatur Negara Nomor: PER/15/ M.PAN/7/2008 tanggal 10 Juli 2008 pemerintahan melalui penerapan sendiri. tentang Pedoman Umum Reformasi reward and punishment, penandaBirokrasi. tangan pakta integritas, komitSoul of SPIP adalah jiwa yang melingkupi SPIP men pada kompetensi adalah esensi yang samayakni bagaimana SPIP membantu manajemen sama ditemukan baik dalam Reformasi Birokrasi mampu mencapai visi, misi dan tujuan Pemerintah maupun SPIP. melalui sebuah pengendalian yang embedded di Sudah seharusnya apabila seluruh gerakan dalam sistem manajemen itu sendiri. Kelima unsur Reformasi Birokrasi dan SPIP difokuskan untuk SPIP yakni lingkungan pengendalian, penilaian risiko, menuju good governance, pelayanan publik yang kegiatan pengendalian, informasi dan komunikasi prima, serta upaya untuk mengeliminasi KKN. serta pemantauan adalah sebuah rangkaian sistem Keduanya harus berjalan beriringan dan saling yang integrated dan holistic atau terpadu guna mendukung karena intisarinya memang memiliki mencapai tujuan SPIP mewujudkan pelaksanaan tujuan yang sama pula. Reformasi Birokrasi sangat kegiatan instansi Pemerintah yang efisien dan efektif, dinantikan masyarakat sebagai end users, sebagaipelaporan keuangan yang dapat diandalkan, penge- mana filosofi yang mendasari tujuan pembentukan lolaan aset negara yang tertib dan akuntabel, negara dan pemerintahan, yakni untuk kepentingan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. civil society. Soul of SPIP melingkupi spirit of bureauDengan demikian dapat kita katakan bahwa cratic reformation agar reformasi birokrasi selalu “In dalam melaksanakan spirit Reformasi Birokrasi, Control”, suatu istilah yang kurang lebih setara Pemerintah memerlukan sebuah pengendalian intern dengan “On Track”. Reformasi Birokrasi berarti keluar (SPIP) agar visi, misi dan tujuan sesuai semangat dari “track” apabila hanya dikonotasikan sebagai Reformasi Birokrasi dapat tercapai. Dapat pula kita pemberian remunerasi semata, karena remunerasi nyatakan bahwa SPIP tidak akan berjalan efektif tanpa hanya salah satu sub sistem Reformasi Birokrasi. Jiwa dilandasi semangat para punggawa (semua level) di SPIP dalam semangat Reformasi Birokrasi menjadi K/L/Pemda untuk melakukan pembaharuan dan urgent ketika dihadapkan pada amanah pasal 12 UU perbaikan sebagaimana spirit of bureaucratic refor- nomor 15 tahun 2004 tentang pemeriksaan pengemation. lolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang Pembaharuan dan perbaikan di bidang kelem- menyatakan bahwa BPK sebagai auditor eksternal bagaan (organisasi), proses bisnis dan aspek SDM Pemerintah memiliki kewajiban untuk menguji/ dalam Reformasi Birokrasi tentu saja sangat terkait menilai pelaksanaan SPIP pada setiap instansi dengan unsur-unsur yang terdapat dalam SPIP. Pemerintah. Dengan demikian, Reformasi Birokrasi Sebagai contoh perbaikan organisasi dan proses tanpa dikawal SPIP adalah “berbahaya”, namun SPIP bisnis mencakup pelaksanaan unsur kegiatan tanpa dilandasi semangat Reformasi Birokrasi adalah pengendalian, antara lain pemisahan fungsi-fungsi “sia-sia”. *)Penulis adalah Kepala Bidang IPP Perwakilan BPKP dalam organisasi, pengendalian atas pengelolaan Provinsi Jambi sistem informasi, pengendalian fisik atas aset,
77
Hambatan Membangun Kapasitas APIP Daerah
KOLOM
Oleh: Sumardi *
78
M
embangun kapasitas sumber daya aparatur merupakan salah satu agenda penting road map reformasi birokrasi 2010—2014. Kegiatan yang dilakukan antara lain pengembangan pendidikan dan latihan pegawai berbasis kompetensi atau biasa disebut competency base training management (CBTM). Output yang diharapkan dari kegiatan ini adalah terbangunnya sistem dan proses diklat pegawai berbasis kompetensi dalam rangka pengelolaan kebijakan dan pelayanan terhadap publik dengan outcome berjalannya sistem diklat pegawai sehingga mampu mengurangi kesenjangan antara kompetensi yang dimiliki oleh seseorang dengan kompetensi yang dipersyaratkan oleh suatu jabatan. Terkait dengan upaya membangun kompetensi aparatur khususnya para auditor, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebagai instansi pembina jabatan fungsional auditor telah menindaklanjuti amanat Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008, pasal 51 ayat 1, 2 dan 3 dengan menerbitkan Peraturan Kepala BPKP Nomor: PER-211/K/JF/2010 tentang Standar Kompetensi Auditor dan Peraturan Kepala BPKP Nomor: PER-1274/K/JF/2010 tentang Pendidikan Pelatihan dan Sertifikasi Auditor APIP. Dua ketentuan teknis tersebut pada intinya mengatur bahwa untuk menjadi seorang auditor harus memenuhi suatu standar kompetensi tertentu yang meliputi Kompetensi Umum (syarat umum untuk diangkat sebagai auditor) dan Kompetensi Teknis Pengawasan (persyaratan untuk dapat melaksanakan tugas pengawasan sesuai jenjang jabatannya). Kompetensi tersebut diperoleh melalui Diklat Fungsional Auditor dan selanjutnya penguasaan atas kompetensi yang dipersyaratkan tersebut dibuktikan pada Ujian Sertifikasi
Auditor (USA). Kompetensi teknis pengawasan mencakup tujuh bidang kompetensi mulai dari kompetensi bidang manajemen risiko, pengendalian intern dan tata kelola sektor publik, sampai pada kompetensi bidang lingkungan pemerintahan. Dari tujuh bidang kompetensi tersebut, masing-masing mempunyai beberapa unsur kompetensi yang merupakan proksi dari suatu kompetensi tertentu. Setiap jenjang jabatan auditor (mulai dari Auditor Pelaksana, Auditor Pelaksana Lanjutan, sampai dengan Auditor Utama) mempunyai standar kompetensi masingmasing sesuai dengan tingkat kompetensi yang dipersyaratkan. Dengan demikian, untuk menaiki jenjang jabatan auditor lebih tinggi (trampil maupun ahli) disamping harus memenuhi persyaratan administrasi lainnya, seorang auditor juga harus mampu melewati standar kompetensi teknis pengawasan masing-masing jabatan yang akan dituju. Ketentuan teknis yang diterbitkan oleh BPKP tersebut juga memunculkan konsekuensi berupa empat kewajiban yaitu pertama, auditor wajib memenuhi standar kompetensi yang dipersyaratkan untuk dapat melaksanakan tugas pengawasan sesuai jenjang jabatannya. Kedua, auditor wajib senantiasa mempertahankan kompetensi mereka melalui pendidikan dan pelatihan profesional berkelanjutan. Ketiga, APIP wajib memastikan bahwa setiap penugasan pengawasan dilaksanakan oleh tim yang secara kolektif memiliki kompetensi yang memadai untuk melaksanakan penugasan dan keempat. Keempat, APIP wajib meningkatkan kompetensi auditor sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pengawasan. Bagi APIP di lingkungan Kementerian/Lembaga Pemerintah Non Kementerian, keikutsertaan dalam diklat fungsional auditor dan kelulusan dalam mengikuti ujian sertifikasi auditor barangkali bukanlah permasalahan yang sulit. Namun, bagi sebagian besar APIP di daerah dua hal tersebut menjadi permasalahan yang cukup rumit. Saat ini kita mempunyai 33 Inspektorat Provinsi, 387 Inspektorat Kabupaten, dan 96 Inspektorat Kota di seluruh
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
ke dalam “jiwa” para auditor di daerah. Keempat, pemindahan atau mutasi tidak memperhatikan jejak rekam pendidikan dan pelatihan auditor juga diklat teknis substansi yang telah diikuti oleh APIP di daerah. Hal ini terjadi karena tidak tersedianya catatan yang akurat di unit kerja terkait serta ketidakpedulian pihak pengambil keputusan untuk mengaitkan antara investasi untuk diklat dengan tingkat pengembaliaannya atau return on training investement (ROTI). Tidak mengherankan jika kemudian beberapa APIP di daerah dengan alasan tertentu dipindahkan ke Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) seperti Dinas Pasar, Dinas Perhubungan, dan Dinas Kependudukan Keluarga Berencana. Oleh karena itu, agar kebijakan di atas dapat diimplementasikan secara baik di lingkungan APIP daerah, maka diperlukan komitmen kuat dari Kepala Daerah melalui berbagai kebijakan dan tindakan mulai dari tahap rekruitmen pegawai yang akan ditempatkan sebagai APIP sampai dengan pemberhentian atau pensiun. Untuk memperoleh calon APIP yang berkualitas maka pada tahap awal rekrutmen, harus dilakukan seleksi berjenjang secara objektif dengan persyaratan tertentu, misalnya Indeks Prestasi (IP) atau nilai tes potensi akademis (TPA) tertentu. Di samping itu, pemerintah daerah perlu penyediaan/alokasi anggaran yang mencukupi untuk kepentingan diklat fungsional auditor, diklat teknis substansi, dan diklat teknis penunjang termasuk untuk keperluan ujian sertifikasi auditor. Pemberian tunjangan khusus atau tunjangan kelangkaan bagi APIP di daerah barangkali juga harus menjadi komitmen Kepala Daerah, mengingat peran APIP di daerah sangat strategis. Namun di sisi lain juga penuh dengan risiko tergelincir karena godaan dari obyek yang diaudit. Disamping itu, penghargaan dalam bentuk lain perlu juga diimplementasikan oleh Kepala Daerah, misalnya perlakuan khusus bagi APIP di daerah yang berkinerja bagus dapat dipromosikan ke jabatan struktural di SKPD yang strategis. Semua hal tersebut tentunya dalam rangka mendorong APIP di daerah terpacu untuk lebih bersemangat meniti kariernya pada jenjang auditor. Tuntutan profesionalitas APIP di daerah yang selama ini dirasakan begitu berat barangkali akan terasa lebih ringan, jika penghargaan juga diperhatikan oleh Kepala Daerah. *) Penulis adalah Kepala Bagian Organisasi pada Biro Kepegawaian dan Organisasi BPKP
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
KOLOM
Indonesia. Banyaknya lembaga pengawasan di daerah yang tersebar dari Sabang sampai Merauke sangat berpotensi menimbulkan perbedaan dalam membangun kapasitas sumber daya manusia APIP. Hal tersebut dapat disebabkan oleh permasalahan awal yang terjadi di sejumlah pemerintah daerah, seperti terbatasnya jumlah dan kualifikasi sumber daya calon aparatur yang sesuai dengan job requirement-nya. Tidak hanya permasalahan di atas, kalau kita mencoba menelisik secara lebih cermat hambatan yang terjadi dalam membangun kapasitas sumber daya manusia APIP di daerah, paling tidak terdapat tiga hambatan utama. Pertama, peran APIP di beberapa pemerintah daerah belum ditempatkan pada posisi yang strategis. Keberadaan APIP pada sebagian pemerintah daerah hanya sekedar sebagai pelengkap karena mandat atau kewajiban dari Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Tidak mengherankan jika kemudian banyak lembaga APIP di daerah hanya sekedar didirikan. Bahkan, tidak memperoleh alokasi anggaran yang cukup untuk membangun kapasitas sumber daya aparaturnya. Oleh karena itu, tidak mengherankan timbul fenomena banyaknya Kepala Daerah yang harus berurusan dengan aparat penegak hukum. Hal ini merupakan gambaran nyata betapa rapuh dan tidak berperannya APIP di daerah. Padahal, sebenarnya jika APIP diberdayakan perannya secara optimal (termasuk peningkatan kompetensi aparaturnya) tentu akan mampu bertindak sebagai early warning system terhadap jalannya pemerintahan di daerah. Kedua, berkarir sebagai APIP di daerah, umumnya dirasakan kurang menarik dibandingkan dengan berkiprah di satuan kerja perangkat daerah lainnya. Beberapa hal yang membuat tidak menarik antara lain, tunjangan jabatan fungsional auditor lebih sedikit dibandingkan tunjangan jabatan struktural untuk jenjang setara dan batas usia pensiun pejabat fungsional auditor masih belum beranjak dari usia 56 tahun. Pada sisi yang lain, persyaratan untuk kenaikan golongan/pangkat dan jabatan di rumpun jabatan fungsional auditor dirasakan lebih sulit untuk ditembus oleh pegawai dibandingkan perlakuan di jabatan fungsional umum. Ketiga, sebagian besar APIP di daerah masih mempersepsikan mengenai keikutsertaan diklat fungsional auditor dan kelulusan ujian sertifikasi auditor sebagai “penghambat” bukan sebagai media atau sarana untuk menguji profesionalitas seorang auditor. Profesionalitas yang dibuktikan dengan penguasaan atas kompetensi umum, kompetensi teknis pengawasan, dan kompetensi spesialis teknis substansi secara umum belum sepenuhnya merasuk
79
PROFESI HUKUM
D 80
alam tahun 2011, setidaknya sampai awal Juni, Pemerintah dalam hal ini Presiden telah menerbitkan 10 (sepuluh) Instruksi Presiden. Instruksi tersebut antara lain mengenai percepatan penyelesaian kasuskasus hukum dan pajak, percepatan peningkatan akuntabilitas keuangan negara, dan Instruksi Presiden tentang rencana aksi pencegahan dan pemberantasan korupsi tahun 2011. Instruksi Presiden dimaksudkan untuk menggerakkan, mentriger jalannya roda administrasi pemerintahan. Dalam banyak hal Instruksi Presiden dapat memecah kemandegan atau bahkan kebuntuan. Instruksi Presiden mempunyai kedudukan strategis dalam tata administrasi pemerintahan kita. Ia menjadi instrumen koordinasi dan sinergitas manajemen pemerintahan yang efektif. Sesuai dengan tata urutan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut: 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 3. Peraturan Pemerintah; 4. Peraturan Presiden; 5. Peraturan Daerah Jenis Peraturan Perundang-undangan selain tersebut di atas diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi (Pasal 7 ayat (4)). Mengenai peraturan yang lain dalam pasal 54
dan 56 diterangkan bahwa Semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota, atau keputusan pejabat lainnya yang sifatnya mengatur, yang sudah ada sebelum UndangUndang ini berlaku, harus dibaca peraturan, yang teknik penyusunan dan/atau bentuknya berpedoman pada UU Nomor 10 Tahun 2004. Dalam peta hierarki peraturan perundangundangan di atas, tidak terlihat keberadaan Instruksi Presiden, karena memang Instruksi Presiden secara hukum tidak ekuivalen dengan peraturan perundang-undangan yang dapat mengikat setiap warganegara sebagaimana peraturan perundang-undangan lain. Keberadaannya bukan untuk diadu hierarkinya di depan sidang-sidang pengadilan. Instruksi presiden mengikat jajaran eksekutif dibawah presiden. Instruksi Presiden mengikat bagi pihak-pihak yang dituju dalam Instruksi Presiden. Mengenai Instruksi Presiden, Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa di semua negara, fenomena aturan kebijakan dianggap sesuatu yang tidak terhindarkan, karena memang dibutuhkan dalam praktik. Seperti “subordinate legislations” yang dibutuhkan untuk melaksanakan undang-undang, aturan kebijakan, meskipun resminya bukanlah peraturan perundang-undangan, juga dibutuhkan untuk melaksanakan peraturan resmi. Oleh karena itu peraturan kebijakan atau policy rules (beleidsregels) biasa disebut sebagai quasi legialations atau quasi peraturan. Aturan kebijakan ini memang dapat dibuat dalam berbagai macam bentuk dokumen tertulis yang bersifat membimbing, menuntun, memberi arahan kebi-
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
Instruksi Presiden dalam Perspekti Hukum Tata Pemerintahan
jakan, dan mengatur suatu pelaksanaan tugas dan pekerjaan. Instruksi Presiden merupakan salah satu bentuk policy rules tersebut. (Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta, 2008, hal. 265) Dalam tata administrasi pemerintahan, Instruksi Presiden merupakan instrumen manajemen untuk menggerakan, mamacu, mendorong sekaligus mengingatkan tugas dan kewajiban aparatur negara untuk sesuatu yang biasanya dianggap urgen dan menjadi perhatian khalayak, dengan sasaran akhir tercapainya tujuan terselenggaranya pemerintahan yaitu mensejahterakan rakyatnya (welfare state). Ambil contoh misalnya Instruksi Presiden Nomor 9 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2011. Dengan dilaksanakannya Inpres tersebut, diharapkan korupsi yang bukan saja merugikan keuangan negara tapi juga melanggar hak sosial rakyat, akan berkurang yang
pada gilirannya rakyat akan sejahtera. Atau contoh lain, dengan terwujudnya akuntabilitas keuangan negara sebagaimana dimaksud Inpres Nomor 4 Tahun 2011, maka penyimpangan yang merugikan keuangan negara dapat diminimalisir yang berarti lebih banyak memberikan kesempatan negara untuk mensejahterakan rakyatnya. Pada sisi yang lain, Instruksi presiden merupakan representasi Presiden sebagai top manajer dalam sistem tata pemerintahan kita. Presiden sebagai kepala pemerintahan jelas dijamin UUD 1945, artinya dengan melaksanakan amanat Presiden sama dengan telah melaksanakan semangat dan amanah konstitusi. Kewajiban semua aparatur negara untuk bukan saja mengamankan Instruksi Presiden namun juga mengimplementasikan sesegera mungkin. Dalam aspek politik, Instuksi Presiden juga bermakna strategis. Selain menunjukan kejelasan legal policy pemerintahan, Instruksi Presiden juga
HUKUM
Dalam tata administrasi pemerintahan, Instruksi Presiden merupakan instrumen manajemen untuk menggerakan, mamacu, mendorong sekaligus mengingatkan tugas dan kewajiban aparatur negara menjadi wahana “publikasi” kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, bahwa Pemerintah (eksekutif dan jajarannya) akan dan telah bersungguh-sungguh memainkan peran kunci, melaksanakan kewajiban rakyat dalam segala aspek pemerintahan, bukan saja untuk menjadi “penjaga malam” sebagaimana konsep kenegaraan kuno, namun juga demi tercapainya “kesejahteraan rakyat” sebagaimana konsep negara modern. *)Penulis adalah Kasubag Penyusunan Peraturan pada Biro Hukum dan Humas
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
81
GCG
Tentang Penguatan GCG di BUMN
Heli Restiati*
82
"Meskipun dalam tiga periode survei kinerja good corporate governance (GCG) BUMN menunjukkan perbaikan secara berkelanjutan, kinerja tersebut masih dibawah rata-rata kinerja bila diukur secara internasional best practices", demikian salah satu kesimpulan The Indonesia Institute for Corporate Governance (IICD) dalam sebuah survei scorecard GCG untuk 329 perusahaan publik dan BUMN di Indonesia tahun 2009.
K
inerja penerapan GCG, khususnya BUMN, secara berturut-turut naik pada tiap studi dari nilai 74,6% studi pertama, 76,8% studi kedua dan 79,49% di studi terakhir. Scorecard penilaian yang digunakan IICD mendasarkan pada prinsip dari OECD yaitu Right of Shareholders, Equitable Treatment of Shareholders, Role of Stakeholders, Disclosure & Transparancy dan Responsibility of the Boards. Responsibility of the Boards Dari kelima aspek tersebut “responsibility of the boards” memiliki hasil terendah kedua, yang berarti memerlukan perbaikan yang cukup banyak pada aspek ini. Dalam bentuk two tiers system seperti di Indonesia, Boards dapat diartikan sebagai dewan komisaris (dekom). Faktor yang memberikan kontribusi atas rendahnya kinerja untuk aspek responsibility of the boards yang diidentifikasi dalam survei antara lain kurangnya mekanisme menilai kinerja dekom, kurang independen, komite kurang berperan, laporan kurang memadai, tidak adanya pengenalan dan pembelajaran bagi dekom dan buruknya kehadiran dekom. Hasil evaluasi GCG oleh BPKP, secara umum juga menyimpulkan kinerja dekom meningkat,
namun terhadap praktik-praktik pelaksanaan peran komisaris masih dijumpai banyak areas of improvement yang perlu ditindaklanjuti. Area perbaikan bisa dilihat dari dua sisi, pertama sisi atribut, terlihat bahwa sebagian besar BUMN sudah memiliki struktur dan infrastruktur penerapan GCG, yang masih perlu ditingkatkan adalah pemberdayaan struktur fungsi organ tersebut. Kedua, dari sisi proses, ditandai dengan proses internalisasi atau tranformasi yang belum kuat dalam pelaksanaan governance. Fungsi Dewan Komisaris dan Direksi diharapkan mencerminkan bagaimana irama manajemen puncak dalam menata kelola BUMN dan keteladanan perilaku atas penerapan nilai-nilai dan etika. Mengenai proses governance ini, hasil survei IICD juga menegaskan tentang untuk meningkatkan efektivitas peran komisaris perlunya ketegasan peran dan tanggungjawab antara komisaris dan direksi. Ketidakjelasan rumusan tugas ’memberikan nasihat’ yang disandang komisaris akan memicu terjadi tarik-menarik kepentingan antara direksi dengan komisaris. IICD (mengutip Prof Gunter Dufey) menulis bahwa komisaris harus memiliki tiga karakteristik yaitu competence, integrity dan motivation. OECD Asia Rountable di Bangkok (Sept 2006)
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
Tentang Penguatan GCG di BUMN
kinerja keuangan perusahaan secara langsung. Penerapan best practices dalam proses GCG akan meyakinkan bahwa perusahaan menjalankan suatu sistem manajemen strategi yang baik yaitu tersedianya perencanaan strategi, pengelolaan dan pengendalian risiko dan pengukuran kinerja. Pengawasan komisaris atas keutuhan proses ini diharapkan akan membawa pada pencapaian strategi dan kinerja yang lebih baik. Peran Regulator Prioritas penguatan GCG lainnya adalah peran regulator. Satu hal lain yang menarik dari laporan survei IICD adalah perusahaan yang berada pada industri yang “highly regulated”, seperti perbankan dan BUMN, cenderung memperlihatkan hasil yang lebih baik dalam kinerja penerapan GCG. Hal ini mengimplikasikan bahwa dorongan kepatuhan masih dominan dibanding kesadaran. Bila kondisi ini yang terpapar dalam hasil survei maka regulator harus tanggap dengan membuat aturan yang diperlukan untuk peningkatan praktik GCG, sampai kepatuhan tersebut bergerak menjadi kesadaran dalam bentuk komitmen, kultur, hingga membentuk suatu etos kerja. *)penulis adalah pajabat fungsional auditor pada Deputi Akuntan Negara.
Foto : Ahmad Zacky
menyimpulkan ada empat hal variabel indepeden yang mampu menyakinkan terlaksananya GCG yaitu proactive boards involvement, excelent decision support, effective boards interaction, dan assure credibility. Efektivitas peran dekom terbukti akan menjadi kontributor penting dalam keberhasilan dalam penerapan GCG. Dari perusahaan yang disurvei terlihat juga belum dijumpai adanya suatu mekanisme untuk menilai efektivitas kinerja dewan. IICD menyebutkan pula bahwa untuk bisa efektif, dekom memerlukan “the right people, the right culture, the right issue, the right information, the right prosess and the right follow up.” Disebutkan pula untuk memperbaiki kinerja evaluasi kinerja komisaris dapat dilakukan untuk faktor waktu, konten, proses dan personel. Terkait pengembangan penilaian kinerja Komisaris, BPKP juga sudah melakukan kajian tentang KPI Dewan Komisaris, dengan pendekatan balanced scorecard untuk mengidentifikasi critical success factor (CSF). CSF pengukuran kinerja komisaris adalah penentu keberhasilan peran Dekom meliputi peran conformance dan performance role terhadap kinerja perusahaan. Memang belum ada penelitian yang bisa menyimpulkan pengaruh kinerja dekom ke
GCG
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
83
APA siapa
84
84 “Gubernur dan BPKP menjadi suami istri yang sah, telah seia sekata , jangan berpisah kecuali maut”, demikian diungkapkan oleh Sekda Provinsi Sulut, Ir Siswa Rachmat Mokodongan pada saat menemui Tim Warta pengawasan . Banyak kemajuan telah diraih oleh Provinsi Sulawesi Utara yang telah memiliki komitmen dan dimulai oleh Gubernur dalam hal mengimplementasikan Reformasi Birokrasi. Ia mengatakan bahwa untuk mencapai cita-cita terciptanya Good Governance ataupun mengimplementasikan Reformasi Birokrasi di wilayahnya haruslah dimulai dari “komitmen” pimpinan yang dalam hal ini si Kepala Daerah itu sendiri. Jadi jangan menyuruh orang untuk mereform sementara dirinya sendiri tidak mau berubah, demikian ujarnya . Komitmen dari Gubernur telah dibuktikan dengan memasukan mata ajar tentang “Korupsi” menjadi salah satu kurikulum pendidikan di Wilayah Sulawesi Utara, dimulai sejak Sekolah Dasar (SD) sampai dengan tingkat Sekolah Menengah Atas. Dengan demikian mendidik orang untuk tidak melakukan korupsi tidak dilakukan sejak seseorang menduduki
jabatan pegawai, melainkan dimulai dari bangku sekolah supaya ada bekal untuk bersama-sama melawan korupsi. Disamping itu, komitmen lain adalah dalam bentuk Jumat Bete atau singkatan Jumat Pagi Bebas Temuan, yaitu kegiatan pembahasan tindak lanjut temuan yang ada di masing-masing SKPD. Ia berharap agar kegiatan ini dapat dijadikan “model” di seluruh Indonesia. Melalui Jumat Bete, bagi SKPD yang belum menindak lanjuti temuan maka akan diberi punishment dengan memberikan tepuk tangan untuk Kepala SKPD pada saat rapat sehingga muncul rasa malu dengan tujuan memotivasi untuk kearah yang lebih baik. Toleransi beragama dengan menjaga kerukunan umat beragama di wilayah Sulut juga menjadi prioritas utama yang tercermin dari adanya kegiatan keagamaan pada hari kamis pagi yang berlaku bagi seluruh umat beragama. Makanya, Sulut terkenal dengan slogan “Torang Samua Basodara “ demikian Mokodongan mengakhiri percakapan!
WARTA WARTA PENGAWASAN PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. VOL. XVIII/NO. 2/JUNI2/JUNI 2011 2011
APA siapa
85 85
“Birokrasi kita tambun. Dan ibarat orang tambun, kita susah buat jalan. Padahal di depan kita itu jalan tol...!” demikian Teras Narang, Gubernur Kalimantan Tengah mengomentari birokrasi pemerintah daerahnya sendiri. Teras Narang bilang bahwa banyak kualifikasi BPK yang sebenarnya masalah kecil. Tapi, karena birokrasi yang tambun itu, gerakannya tidak lincah. Masalah tidak segera selesai, sampai akhirnya auditor eksternal datang. Masalah sepele pun jadi temuan. Itu sebabnya, Teras Narang yang Ketua Majelis Adat Dayak itu berharap ada perubahan paradigma di bidang pengawasan intern, khususnya yang menjadi tugas inspektorat pemdanya. Menurut suami dari Moenartining ini, inspektorat itu adalah “mata dan telinga” Gubernur. “Sejak penyusunan anggaran, inspektorat sudah saya sertakan. Tinggal pelaksanaannya yang harus dipantau terus. Karena itu, Inspektorat jangan jadi pemadam kebakaran. Inspeksi terus.”
“Artinya,” kata sang Gubernur, “Berharap itu bagus. Tapi akan lebih bagus lagi diinspeksi. You get not on what you expect but what you inspect!” tegas Gubernur periode kedua di Kalteng ini. “Nah, saya tadi inspeksi. Turun tangan sendiri menyelesaikan permasalahan. Dan ternyata penyelesaiannya tidak susah kok. Bisa selesai segera. Tapi, ya, masak setiap kali Gubernur sendiri yang harus turun kampung. Kalau Gubernur yang harus turun kampung terus: selesai lima tahun periodenya, selesai pula umurnya untuk kemudian dikebumikan..,” ujar Teras Narang sambil geleng-geleng kepala. Karena itu pula, kebutuhan Teras akan adanya Perwakilan BPKP di Kalimantan Tengah menjadi urgent. “Lha Kalteng itu satu setengah kali Pulau Jawa. Masak perwakilan BPKP-nya gabung sama Kalsel..,” kembali Teras geleng-geleng kepala. Artinya, jangan sampai dirinya dikebumikan karena Perwakilan BPKP di Kalteng tak kunjung dibangun. Begitu kah, Pak? (Dikdik Sadikin)
WARTA PENGAWASAN PENGAWASAN VOL. VOL. XVIII/NO. XVIII/NO. 2/JUNI 2/JUNI 2011 WARTA 2011
SEPUTAR kita
86
S
uradji, Ak, M.M, mantan Sekretaris Utama BPKP, telah memasuki masa purnabaktinya awal Juli 2011. Suradji, sebuah nama yang bagus diberikan dengan kasih oleh orang tuanya Pamiro Miarjo. Lulusan Institut Ilmu Keuangan (IIK-D3) Jurusan Akuntansi tahun 1976 ini, lahir di Dukuh Sorobuyan, Desa Jimbung, Kecamatan, Klaten, Jawa Tengah, tanggal 4 Juni 1951. Seperti anak lainya, Suradji tumbuh dan berkembang dengan sehat dan cerdas, melewati berbagai pengalaman indah sejak dari SD Jimbung, Klaten, SMEPN Klaten, kemudian lulus SMAN Klaten. Ia juga pernah belajar di Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama (PGSLP) Negeri Klaten, dan lulus tahun 1969. Berbekal ijazah tersebut, Suradji melanjutkan ke Universitas Islam Indonesia Jurusan Ekonomi Perusahaan lulus tahun 1975. Pengalaman menimba ilmu ini dilanjutkannya dengan pengalaman di dunia karir. Suradji memulai
karirnya sejak tingkat 2 di IIK tahun 1975. Ia telah menyandang CPNS golongan II/b, di Departemen Keuangan. Suradji dengan gigih dan giat, terus mendaki karir dengan masuk ke Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. Tahun 1983 ia meraih impiannya bergelar Akuntan, dan terus mendulang ilmu hingga memperoleh S2 tahun 1999 di Universitas Satyagama Jakarta jurusan Manajemen Keuangan. Sejak BPKP berdiri tahun 1983, Suradji telah mengabdikan dedikasinya kepada BPKP. Ia mulai bekerja di BPKP tanggal 1 Juni 1983 pada Deputi Bidang Administrasi. Empat bulan kemudian, ia ditugaskan pada Perwakilan BPKP Provinsi Jawa Tengah selama 10 tahun. Di sanalah ia menyandang Jabatan pertamanya yaitu Ajun Pengawas Keuangan dan Pembangunan.Sebagaimana komitmennya kepada BPKP, ia bersedia ditempatkan di mana saja. Tahun 1993 ia ditempatkan di Perwakilan BPKP Provinsi Sumatera
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
Purnabhakti yang Sederhana
Barat. Di sana ia diangkat menjadi Kepala Seksi Pengawasan Penerimaan I selama 2 tahun. Kemudian menjabat sebagai Kepala Seksi Analisa Hasil Pengawasan dan Pelaporan. Karirnya terus meningkat. Tahun 1997 Suradji ditarik ke Jakarta, dan diangkat sebagai Kepala Sub Direktorat Pemeriksaan Khusus Bidang Badan Usaha Milik Daerah, setahun kemudian pangkatnya pun naik menjadi Pembina dengan golongan IV/a. Berbekal kecakapannya dalam bekerja dan didukung dedikasi yang tinggi, dan jujur, pada tahun 2000 Suradji dipercaya menjabat sebagai Kepala Perwakilan BPKP Provinsi Irian Jaya.Hingga Juni tahun 2001 ia tetap menjabat sebagai Kepala Perwakilan BPKP Provinsi Papua. Bulan September 2001 hingga Juni 2003 ia menjabat sebagai Kepala Perwakilan BPKP Provinsi Sumatera Utara, kemudian hingga November 2005 ia menjabat sebagai Kepala Perwakilan BPKP Provinsi Jawa Tengah. Suradji, yang sederhana ini, terus mengukir karirnya di BPKP. Selama 7 bulan ia menjabat sebagai Direktur Investigasi Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah, Deputi Bidang Investigasi tahun 2005. Dan sejak Juni 2006 ia menjabat Deputi Kepala BPKP Bidang Investigasi. Karir puncaknya saat ia menjabat sebagai Sekretaris Utama sejak Januari tahun 2011. Selain sebagai sorang pekerja keras, ulet dan pemimpin yang tangguh, Suradji merupakan sosok yang sederhana, jujur dan penyayang keluarga. Ia sangat memperhatikan pertumbuhan ketiga orang anak-anaknya, yaitu Rahmi Nurjanah, Rahmi Dwi Istanti serta Nirwan Tri Nugroho, sebagai buah pernikahannya dengan istri tercinta, Jumiyati. Ia merupakan
SEPUTAR kita
Suradji (duduk kanan) berfoto bersama Kepala BPKP, Mardiasmo (duduk kiri) dan Kepala Deputi lainnya usai pelantikan eselon I
pujaan dan teladan bagi istri dan keluarganya. Ia menanamkan disiplin di dada anak-anaknya, dengan mencontohkannya sendiri. “Tiap pagi Bapak keliling kamar anak-anak dan ikut berbaring di samping mereka untuk membangunkan anak-anak agar sholat subuh. Bapak sangat sayang pada kami”, kata Jumiyati. “Bapak tidak pernah menghardik apalagi marah. Beliau selalu mencontohkan hal-hal yang baik untuk kita ikuti. Beliau selalu menanamkan rasa kebersamaan.” tambah Jumiyati. Di lingkungan masyarakat pun Suradji menjadi teladan dan dihormati warga. Warga mengangkatnya sebagai Ketua RT. Mendaulatnya sebagai ‘bapak’ di lingkungannya, tempat warga bertukar fikiran mencari solusi dari permasalahan yang ada. Sosok yang penuh senyum ini, gemar pula berolah raga, bernyanyi, dan makan. Tidak hanya itu, dua orang sekretaris beliau, juga mengakui bahwa beliau merupakan sosok
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
bapak yang sederhana, pekerja ulet, tekun, baik, dan selalu memberi nasehat. “Bapak tidak pernah lupa untuk sholat dhuha setiap hari. Beliau sangat disiplin, dan penganut agama yang taat”, kata Siswiningrum, sekretarisnya. Suradji, yang telah menerima Penghargaan Satyalancana Karya Satya XXX tahun pada tanggal 10 Agustus tahun 2006 lalu, kini telah purnabakti. Selesai sudah pendakian karirnya. Sampai sudah persembahan dedikasinya kepada BPKP pada tanggal 1 Juli 2011. Terimakasih Bapak Suradji, atas segala upaya dan usaha Bapak mengibarkan bendera BPKP di berbagai daerah. Membawa nama BPKP di berbagai penyelesaian masalah dan mengharumkannya, hingga nama BPKP kini patut diperhitungkan dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.Selamat menempuh purnabhakti, teruslah berjuang di masyarakat, demi mengharumkan negara dan keluarga. (Diana)
87
SEPUTAR kita
D
88
ari lomba photografi yang diseleng garakan oleh BPKP dalam rangka HUT ke-28 lalu menyisakan sebuah kekaguman. Ternyata di balik kesibukan bekerja sehari-hari, para pegawai dan purnabakti BPKP mampu menghasilkan sebuah karya indah dari sebuah kejelian dan ketrampilan. Lomba fotografi HUT BPKP ke-28 lalu telah berhasil mengumpulkan 115 karya dari 30 photografer pegawai dan purna bhakti BPKP yang tersebar di seluruh Indonesia. Penilaian dilakukan oleh dua orang juri dari kalangan professional. Hasil penilaian juripun memberi sebuah pembelajaran yang menarik. Misalnya, bagaimana karya pasangan Nizar Kautzar dan Munawaroh yang indah dan menurut juri memiliki ‘teknik pemotretan’ tinggi hanya mendapatkan juara ketiga dan harapan, dan bagaimana karya Guroh Dedi dan Faiz Rhido yang menurut juri tekniknya ‘biasa saja’ tetapi mampu mendapatkan juara kedua dan harapan. Pembelajaran ini diharapkan menjadi sebuah motivasi bagi seluruh peserta dan pembaca untuk berkarya lebih baik lagi di masa mendatang. Dari foto tema bebas, juara pertama diperoleh Yulius Budi dari BPKP Perwakilan Provinsi Bali dengan judul “Mengalir”. Menurut juri, Yulius berhasil mendapatkan keindahan gambar dari sebuah kondisi yang sulit. Untuk mendapatkan gambar aliran sungai yang lembut dan indah, membutuhkan teknik pemotretan yang prima dan dibutuhkan kecermatan yang tinggi dalam menentukan kecepatan, bukaan dan kelengkapan kamera lainnya. Foto Yulius ini dianggap mampu mencitakan sebuah keindahan, ketenangan dan kesejukan bagi pemirsanya. Juara kedua diperoleh Guroh Dedi dari BPKP Provinsi Sumatera Selatan dengan judul “Hihihi”. Menurut juri, teknik pemotretan foto ini sebenarnya ‘biasa-biasa saja’. Namun foto ini memiliki pesan yang kuat. “Hihihi” memberi pesan bahwa kegiatan sunat itu bukanlah sebuah kegiatan yang menakutkan, namun kegiatan yang menyenangkan. Foto ini dapat memberi dam-
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
Sebuah Karya Keindahan
pak positif jika dilihat oleh anak-anak yang belum sunat. Satu hal yang mungkin tidak diduga, salah satu faktor yang menyebabkan foto ini mendapatkan penghargaan adalah tertangkapnya gambar logo BPKP dari name tag salah satu panitia sunatan secara samar. Hal ini sangat bernilai mengingat lomba ini dalam rangka HUT BPKP. Alasan yang hampir sama ditujukan pada foto karya Fais Ridho dari BPKP Provinsi Riau dengan judul “Run for Your Life”. Juara ketiga diperoleh Nizar Kautzar dari BPKP Provinsi Kalimantan Barat. Menurut penilaian juri, teknik Nizar bersama Munawaroh ( Deputi Perekonomian - juara harapan) adalah yang terbaik dari seluruh peserta. “Jika hanya teknik pemotretan yang dijadikan kriteria, Nizar Kautzar dan Munawaroh akan mendominasi deretan pemenang . Kalau mau buat kalender, pakai saja foto-foto kedua peserta ini”, ujar kedua juri. Hampir seluruh foto yang dikirim kedua peserta ini menuai pujian dari juri. Satu hal yang menjadi kelemahan dari foto-foto pasangan ini adalah minimnya pesan yang disampaikan. Selain itu, sebuah foto yang mencuri perhatian juri adalah “Supermoon” dari Kuswono “Pak Kus” Soeseno, purnabhakti BPKP. Kecantikan bulan purnama dapat ditangkap dengan baik oleh Pak Kus secara detail dan indah. Hal ini menunjukkan sang pemotret sudah menguasai dengan baik ‘senjata’nya, ujar juri. Dari tema gedung BPKP, juara diperoleh Achmad Zaky (Biro Organisasi dan Kepegawaian), Slamet (Deputi Perekonomian) dan Ilham Akbar (Deputi Akuntan Negara). Juri tidak memberikan banyak komentar terhadap kategori ini karena temanya yang sangat spesifik. Dari lomba foto ini, sebuah pembelajaran bagi kita semua dapat diperoleh. Bagi penyelenggara, tema yang terlalu terbuka membuat juri mengalami kesulitan dalam menentukan pemenang. Selain itu bagi peserta, pesan yang disampaikan oleh para juri adalah sebelum melakukan pemotretan, fotografer harus punya konsep yang jelas dan perencanaan yang matang dahulu. Setelah itu baru teknik pemotretan yang mempengaruhi. Semoga dengan adanya lomba foto yang baru pertama kali diadakan bagi kalangan intern BPKP, dapat memotivasi seluruh pegawai BPKP untuk berkarya yang lebih baik lagi!
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
SEPUTAR kita
89
WARTA daerah
BPKP Jambi Memberikan Pelatihan SPIP Kepada BPK Jambi
S 90
PIP yang sudah berumur hampir 3 tahun sejak dicanangkan secara resmi oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui PP 60 tahun 2008 tanggal 28 Agustus 2008 peranannya menjadi semakin penting dalam reformasi birokrasi pemerintah dewasa ini. Sedemikian pentingnya SPIP, maka baik dalam Inpres nomor 4 tahun 2011 tentang percepatan peningkatan kualitas akuntabilitas keuangan negara, maupun Instruksi Presiden nomor 9 tahun 2011 tentang rencana aksi pencegahan dan pemberantasan korupsi, Pemerintah kembali menegaskan kepada BPKP untuk mendorong penerapan SPIP di Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah. BPK sebagai auditor eksternal pemerintah yang berwenang untuk melakukan audit atas laporan keuangan K/L/Pemda juga memiliki kewajiban untuk menguji/menilai pelaksanaan SPIP pada setiap instansi sebagaimana diamanahkan dalam pasal 12 UU Nomor 15 tahun 2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Baru-baru ini, tepatnya pada tanggal 4 dan 5 April 2011, Perwakilan BPK provinsi Jambi telah mengadakan pelatihan SPIP dengan mengundang narasumber dari Perwakilan BPKP provinsi Jambi. Bertempat di aula gedung perwakilan BPK provinsi Jambi,
acara pelatihan SPIP dibuka oleh Kepala Perwakilan (KALAN) BPK, Bapak Sumardi yang dihadiri oleh seluruh peserta dan seluruh narasumber dari Perwakilan BPKP Jambi yang terdiri dari para Kepala Bidang ditambah Satgas SPIP BPKP Jambi. Dalam sambutannya, KALAN BPK Jambi berharap pelatihan ini dapat membekali para auditor BPK yang akan melakukan pengujian/penilaian pelaksanaan SPIP setiap instansi pemerintah. KALAN BPK Jambi juga berharap kerjasama dengan BPKP Jambi tidak berhenti hanya sampai di sini, namun ke depan BPK dan BPKP dapat saling mendukung untuk menciptakan sinergi pengawasan yang efektif. Pelatihan SPIP selama 2 hari ini diikuti oleh auditor BPK sebanyak 63 orang yang terlihat sangat antusias dengan banyaknya pertanyaan kepada narasumber, yang intinya bagaimana praktik melaksanakan pengujian pelaksanaan SPIP secara efektif. Pelatihan SPIP ditutup pada hari kedua, Selasa 5 April 2011 pukul 4.30 sore oleh Kepala Sub Auditorat Jambi I, Ibu Arum dan dihadiri oleh beberapa Kepala Bidang dan Satgas SPIP BPKP Jambi. Sebagaimana dinyatakan dalam pembukaan pelatihan, pada saat penutupan Ibu Arum juga menginginkan kerjasama yang lebih banyak lagi dengan BPKP Jambi. (Setya Nugraha)
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
WARTA daerah Bupati Minahasa, Stevanus Vreeke Runtu
Kepuasan Masyarakat yang Utama
S
aat ini, menjalankan roda pemerintahan bagi seorang pemimpin yang notabene hasil dari sebuah proses politik bukan merupakan sesuatu yang mudah. Kondisi ini pula yang diakui oleh Bupati Minahasa, Stevanus Vreeke Runtu.“Pemimpin di era kini, harus mampu mengakomodir interest atau kepentingan berbagai pihak. Namun, amanah untuk menjalankan pemerintahan oleh masyarakat merupakan segalanya. Ia selalu mengupayakan agar mampu membuat rakyat di wilayahnya sejahtera dan tentu saja dengan keyakinan bahwa uang yang dikelolanya adalah uang rakyat. Keberhasilannya memperoleh dana insentif daerah dari kementerian keuangan selama 2 tahun berturut-turut cukup membuktikan tekadnya. Dari sisi akuntabilitas, kabupaten yang terkenal dengan keindahan danau tondanonya ini juga telah berhasil menyandang opini WDP atas penyajian laporan keuangannya selama 5 tahun berturut-turut. Bagi seorang Stevanus, mempertahankan sesuatu yang sudah baik akan lebih sulit daripada memperolehnya, tetapi ia memiliki keinginan yang kuat untuk terus memberikan yang terbaik bagi masyarakat kabupaten Minahasa. Sejak memimpin Kabupaten Minahasa, berbagai terobosan untuk mensejahterakan rakyatnya telah dilakukannya, diantaranya melalui program pendidikan gratis mulai dari tingkat SD s.d SMA serta tidak membolehkan pihak sekolah memungut dana apapun termasuk dana pembangunan, pemberian dana santunan duka sebesar Rp 1 juta/ orang, dan program kesehatan gratis untuk semua puskesmas yang telah berlangsung sejak tahun 2004. Bahkan, sejak tahun 2010 lalu, pemerintah Kabupaten Minahasa telah memberikan beasiswa S2 dan S3 bagi mahasiswa ke luar negeri baik Prancis, Jerman, Inggris, Australia dan Jepang yang jumlahnya mencapai 19 orang. “Tidak ada kewajiban kerja tetapi mereka diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam bentuk pemikiran untuk membangun Kabupaten Minahasa”,ungkapnya. Untuk menciptakan lapangan kerja dan mengatasi persoalan kemiskinan, ia juga melahirkan kebijakan yang mewajibkan agar seluruh perusahaan swasta dan proyekproyek pemerintah baik daerah maupun pusat untuk memanfaatkan tenaga kerja lokal, kecuali untuk spesifikasi tertentu yang tidak dimiliki masyarakat lokal. Ia juga sangat mendukung keberhasilan program-program baik pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi Sulut yang dilaksanakan di Kabupaten Minahasa. Wujud dari komitmennya tersebut, salah satunya tercermin dari dukungannya terhadap program ketahanan pangan. Untuk mendukung program tersebut, ia melakukan road show ke 20 kecamatan untuk
m e n s o sialisasikan program pemerintah tersebut dan melahirkan slogan “manemo to manam atau mari kita menanam” s e r t a mendorong masyarakat untuk berinovasi dalam bidang pertanian. Upaya reformasi birokrasi juga tidak luput dari perhatiannya, karena saat ini ia telah membentuk Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu (KPPT) yang melayani 87 jenis perizinan. “Kami mengutamakan pelayanan” ungkapnya. Seluruh proses perizinan tidak memberi peluang pertemuan datang ke loket, mengisi formulir, melengkapi persyaratan, melakukan penyetoran ke bank, menyerahkan slip setor, dan tidak lebih dari 5 menit, masyarakat sudah dapat memperoleh dokumen perizinan “, paparnya singkat. Upaya ini, menurutnya, cukup membuahkan hasil karena ada beberapa perizinan telah mengalami peningkatan hingga 300%. Untuk KTP, menurutnya, sejak Maret 2010 lalu, masyarakat tidak perlu membayar biaya pengurusannya. Hal inilah yang menurut Stevanus merupakan wujud dari impelementasi reformasi birokrasi yang mengubah image birokrasi dimata masyarakat. Namun, dalam menjalankan kepemimpinannya dan mensukseskan program reformasi birokrasi, ia dihadapkan pada persoalan yang menurutnya harus mendapatkan perhatian serius terutama dari pemerintah pusat yaitu KemenPAN dan RB dan Kementerian Dalam Negeri, yaitu distribusi dan alokasi jumlah pegawai yang tidak seimbang serta ketidakadilan dari sisi alokasi pendanaan. Menurutnya, alokasi dana ke daerah harus disesuaikan dengan luas wilayah, jumlah penduduk, dan jumlah pegawai. Menurut pengamatannya, dampak pemekaran wilayah, justru cenderung mematikan daerah induk. Tiada cita-cita tanpa kendala. Hal inilah yang dihadapi Bupati Minahasa, Stevanus. Namun, satu tekad yang selalu ditanamkan kepada seluruh stafnya bahwa kepuasan masyarakat adalah yang utama harus diraih. Semoga langkahlangkah Stevanus dapat menginspirasi kabupaten/kota lain untuk mengubah image masyarakat menjadi positif terhadap birokrasi. (tim warta)
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
91
MoU
Perkuat Tata Kelola dengan MoU
92
B
ertempat di Ruang MoU lt.3 Gedung Kantor BPKP Pusat Jl. Pramuka no.33 Jakarta pada Rabu 25 Mei 2011 dilaksanakan penanda tanganan Memorandum of Understanding (MoU) antara BPKP dengan Kementerian Ekonomi dan Pembangunan Republik Demokratik Timor-Leste yang dilakukan oleh Kepala BPKP Mardiasmo dan Menteri Ekonomi dan Pembangunan Republik Demokratik Timor-Leste Joao Mendes Goncalves. MoU ini berkenaan dengan Kerjasama peningkatan kapasitas kelembagaan dan pengembangan sumber dana manusia di bidang pengawasan. MoU bertujuan untuk mendorong, mempromosikan, dan memberikan kontribusi bagi pembentukan hubungan bersama yang saling menguntungkan dalam peningkatan kapasitas kelembagaan dan pengembangan SDM di bidang pengawasan pemerintah di kedua pihak. Dalam pidato sambutannya, Kepala BPKP Mardiasmo menyebutkan beberapa ruang lingkup kerjasama ini, meliputi: 1. Pengembangan kapasitas profesional dan kompetensi atas sistem pengendalian intern pemerintah. 2. Penguatan kapasitas organisasi Inspektorat Jenderal Kementerian Ekonomi dan Pemba-
ngunan Timor-Leste dalam mengimplementasikan Sistem Pengendalian Intern atas Akuntabilitas Keuangan Negara dalam rangka mendukung kepemerintahan yang baik dan bebas dari KKN. 3. Membantu satuan kerja Kementerian Ekonomi dan Pembangunan Republik Demokratik TimorLeste dalam rangka mengimplementasikan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah. 4. Memberikan kesempatan bagi pengembangan aparatur pengawasan untuk berpartisipasi dalam pelatihan non gelar dalam bidang: " Analisis Pemecahan Masalah " Audit Forensik " Audit Investigasi " Audit Pengadaan Barang Jasa " Pengelolaan perusahaan yang baik (Good Corporate Governance) " Manajemen Risiko Sektor Publik dan Korporat " Reviu Laporan Keuangan " Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat " Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) " Sistem Informasi Manajemen Hasil Pengawasan 5. Menyelenggarakan dan memfasilitasi program pelatihan kerja bagi aparatur pengawasan dalam bidang-bidang tertentu yang berhubungan
Kepala BPKP, Mardiasmo(kiri) menerima cinderamata dari Menteri Ekonomi dan Pembangunan Republik Demokratik Timor-Leste Joao Mendes Goncalves
keindahan danau tondano yang terkenal di Minahasa WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
MoU
dengan bidang pengembangan pengawasan atau pengendalian. 6. Melakukan penelitian dan pengembangan bersama di berbagai sektor terkait dengan hal-hal yang akan dikembangkan bersama sebagai bahan untuk perumusan peraturan dan pembuatan kebijakan. Sementara itu, Menteri Ekonomi dan Pembangunan Republik Demokratik Timor-Leste Joao Mendes Goncalves dalam pidatonya meng- Kepala BPKP, Mardiasmo(kiri) berbincang dengan Ketua KPK, Busyro Muqoddas usai penandatanganan MoU haturkan ucapan terima kasihnya kepada pemerintah Indonesia, khususnya Kesepahaman yang telah ditandatangani kedua kepada Kepala BPKP Mardiasmo dan seluruh tim dari instansi di tahun 2008. "Kami sangat berterima kasih BPKP yang memfasilitasi terselenggaranya penandakepada BPKP atas bantuannya ke KPK selama ini, tanganan MoU ini. Joao juga mengatakan bahwa termasuk diperbantukannya SDM BPKP di KPK," kata Timor Leste adalah sebuah negara baru yang sedang Busyro. berkembang dan tengah membangun reputasi dan Sedangkan Kepala BPKP, Mardiasmo mengatakan kapasitas sumber daya manusianya, menegakkan melalui Inpres Nomor 4 Tahun 2011, BPKP diberi tata kelola perusahaan dan kepemerintahan yang mandat untuk meningkatkan kualitas akuntabilitas baik. Dukungan dari BPKP akan menjadi hal yang vital keuangan negara melalui kegiatan asistensi dan bagi usaha Timor Leste untuk memerangi KKN. pendampingan pengelolaan keuangan negara, Sementara itu, bertempat di Kantor KPK, Jakarta, evaluasi anggaran, audit, dan implementasi Sistem hari Kamis (21/4) dilakukan penandatanganan Nota Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP). Dalam upaya Kesepahaman Kerja Sama Pemberantasan Korupsi pemberantasan korupsi, BPKP mempunyai peran antara KPK dengan BPKP. Penandatanganan dilakupreventif, pre-emptif, dan represif. "Seiring keluarnya kan oleh Ketua KPK, Busyro Muqoddas dan Kepala Inpres Nomor 4 Tahun 2011, upaya BPKP lebih ke arah BPKP, Mardiasmo. preventif melalui implementasi SPIP di lingkungan Menurut Ketua KPK, Busyro Muqoddas, saat ini pemerintah," ujar Mardiasmo. Terkait nota kesebangsa Indonesia tengah menghadapi masalah pahaman, Kepala BPKP mengharapkan dapat ditinkorupsi yang semakin lama semakin kronis. KPK yang daklanjuti dengan membentuk help desk antara KPK ditugasi melakukan pemberantasan korupsi tidak dan BPKP di daerah. Help desk dapat berfungsi dapat berjalan sendirian. "Perlu dukungan dari sebagai tempat bertanya bagi Pemerintah Daerah jika banyak pihak, salah satunya adalah BPKP," katamenemui keraguan dalam pengelolaan keuangan nya.Untuk itu, diperlukan bentuk kerja sama antara daerah. Help desk juga merupakan salah satu upaya KPK dan BPKP agar upaya pemberantasan korupsi di pencegahan korupsi di daerah melalui pengawalan Indonesia dapat lebih optimal. Kerja sama yang program-program pemerintah. "Banyak daerah dituangkan dalam bentuk Nota Kesepahaman menginginkan setiap kegiatannya dikawal dengan mencakup empat hal pokok, yakni di bidang melibatkan unsur BPKP dan KPK di dalamnya," pencegahan, penindakan, peningkatan kapasitas pungkasnya. SDM, dan pertukaran data/informasi. Nota Kesepa(Tim Warta Pengawasan) haman ini merupakan perpanjangan dari Nota
93
BPKP dalam berita
Kepala BPKP, Prof. Mardiasmo, meresmikan Kantor Penghubung BPKP di Batam, Provinsi Riau yang ditandai dengan pengguntingan pita
Kantor Penghubung Batam Diresmikan
94
"Peresmian Kantor Penghubung Batam - BPKP Provinsi Riau diharapkan menjadikan solusi agar pengelolaan Keuangan Daerah di Provinsi Kepulauan Riau berjalan baik". Demikian sambutan Gubernur Kepulauan Riau yang dibacakan oleh Asisten Sekretaris Daerah Provinsi Kepulauan Riau, Said Aqil saat pembukaan Kantor Penghubung Batam - BPKP Provinsi Riau pada hari Senin, tanggal 18 April 2011 di Kota Batam, Kepulauan Riau. Pada kesempatan itu Gubernur juga menyampaikan pentingnya peran Aparat Pengawas Internal Pemerintah untuk mencegah penyimpangan pengelolaan Keuangan Negara dan Daerah serta mewujudkan Kepemerintahan yang Baik. Ia juga mengharapkan BPKP menjadi mitra yang andal dalam mengingatkan, mendorong serta mengawal dalam mewujudkan Kepemerintahan yang Baik atau Good Governance itu. Sedangkan kepada jajaran instansi pemerintah lain, ia juga menyampaikan harapannya agar merubah paradigma dalam bekerja sebagai pelayan masyarakat. Peresmian Kantor Penghubung Batam - BPKP Provinsi Riau dihadiri juga oleh Deputi Kepala BPKP Bidang Perekonomian, Binsar H Simanjuntak, Inspektur Provinsi Kepulauan Riau, Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah Provinsi Kepulauan Riau, Inspektor Kota Batam, dan pejabat Kejaksaan Tinggi dan Kepolisian Daerah Kepulauan Riau. Sementara ini Kepala BPKP, Mardiasmo dalam sambutannya menyampaikan peran BPKP sesuai instruksi Presiden nomor 4 tahun 2011 untuk memberikan asistensi kepada kementerian/ lembaga/
pemerintah daerah untuk meningkatkan pemahaman bagi pejabat pemerintah pusat/daerah dalam pengelolaan keuangan Negara/daerah, meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan meningkatkan kualitas laporan keuangan dan tata kelola; evaluasi terhadap penyerapan anggaran kementerian/lembaga/pemerintah daerah dan memberikan rekomendasi langkah-langkah strategis percepatan penyerapan anggaran; audit tujuan tertentu terhadap program-program strategis sional yang mendapat perhatian publik dan menjadi isu terkini; rencana aksi yang jelas, tepat dan terjadual dalam mendorong penyelenggaraan SPIP pada setiap kementerian/lembaga/pemerintah daerah. Selain itu Mardiasmo juga menyampaikan bahwa BPKP tengah membangun help desk bersama dengan Kementerian Dalam Negeri, KPK dan LKPP yang akan membantu instansi pemerintah dalam pengelolaan keuangan negara dan daerah guna mencegah terjadinya penyimpangan. Kepala Perwakilan BPKP Provinsi Riau, Dadang Kurnia, mengungkapkan bahwa kantor penghubung yang memiliki luas bangunan 464 m2 dan luas tanah sebesar 2.724 m2 ini semula adalah mess BPKP yang mulai beroperasional sejak tahun 2000. Sejalan dengan peningkatan permintaan layanan BPKP, maka ditingkatkan menjadi kantor penghubung. Dadang juga menyampaikan bahwa Pemerintah Provinsi Kepulaun Riau telah memberikan bantuan lahan untuk Kantor Perwakilan seluas 5.000 m2 di kawasan perkantoran Pulau Dompak. (TRIWIB/HJK).
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
BPKP dalam berita
Exit Meeting Audit PPIP 2010
Deputi Perekonomian BPKP Binsar H. Simanjuntak
H
otel Mercure Ancol Jakarta menjadi tempat penyelenggaraan pembukaan Exit Meeting Audit Program Pembangunan Infrastruktur Pedesaan (PPIP) Tahun Anggaran 2010 pada Senin, 23 mei 2011 oleh Dirjen Cipta Karya Budi Yuwono didampingi oleh Deputi Perekonomian BPKP Binsar H. Simanjuntak. Acara ini digagas oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan BPKP Pusat, dihadiri oleh seluruh satker PPIP dan auditor perwakilan BPKP Provinsi se-Indonesia. Program PPIP yang bersumber dana dari APBN ini, mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa miskin dan tertinggal melalui penyediaan akses infrastruktur dasar pedesaan di desa-desa tertinggal.
Dalam pertemuan Exit Meeting ini diharapkan diperoleh persamaan persepsi atas hasil audit kinerja, sehingga hasil audit kinerja tingkat nasional dapat diterima dengan baik oleh pemangku PPIP di Pusat dan di provinsi, dan menjadi umpan balik perbaikan kinerja tahun-tahun berikutnya khususnya untuk pelaksanaan di tahun 2011 ini. Dalam arahannya, Deputi Perekonomian BPKP Binsar H. Simanjuntak mengatakan bahwa PPIP merupakan program yang erat dan relevan sekali dengan strategi jangka panjang dan jangka menengah nasional (RPJMN) yang dilandasi dengan triple track (pro poor, pro growth, dan pro job). Binsar juga menga-
takan bahwa exit meeting ini merupakan suatu rangkaian due process dalam langkah kerja pengawasan dimana perlu ada komunikasi yang baik antara auditor (BPKP) dan auditee (Kementerian PU dan Pemda). Di awal entry meeting dijelaskan langkah-langkah apa yang akan dilakukan, kemudian proses audit, hasilnya dikompilasi dan divalidasi sehingga nanti pada saat disajikan pada pihak yang kompeten, sudah disepakati dan tidak ada dispute dalam hal penyampaian informasi. Menurut Binsar, Exit meeting ini penting dan merupakan feedback nantinya bagi auditee dan auditor dalam rangka meningkatkan kualitas pelaksanaan tugas masingmasing pada periode yang akan datang. Sedangkan Dirjen Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum, Budi Yuwono mengatakan bahwa Kementerian Pekerjaan Umum merasa terbantu oleh BPKP dengan adanya exit meeting ini, sehingga kinerja Kementerian Pekerjaan Umum perlahan-lahan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Budi juga berujar bahwa PPIP merupakan program untuk memberdayakan masyarakat, dimana menurut Budi, bahwa tujuan pembangunan tidak hanya pembangunan fisik saja akan tetapi juga meliputi 3 hal, yakni: mengajak masyarakat untuk mampu berorganisasi; mampu merencanakan kebutuhan sendiri; dan mampu melaksanakan sendiri. (HJK)
Dirjen Cipta Karya Budi Yuwono
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011
95
BPKP dalam berita
Laporan Hasil Audit harus Real Time, Terukur, dan Sistematis Harapan Kepala BPKP, Prof. Mardiasmo tersebut disampaikan didepan Forum Bidang Investigasi BPKP, yang berlangsung di Hotel Mercure Jakarta (19 s.d 22 Juni 2011).
96
“Ke depan, BPKP harus bisa meningkatkan kinerja yang dapat dirasakan dampaknya oleh masyarakat dan para pemangku kepentingan. Untuk itu, kegiatankegiatan yang menjadi core Kedeputian Investigasi, seperti Fungsi Fraud Control Plan dan Penyelamatan Uang Negara melalui audit investigasi, perhitungan kerugian keuangan negara, pemberian keterangan ahli, dan dukungan atas kinerja instansi penyidik lainnya. Menurutnya, peningkatan kinerja Deputi bidang investigasi ini secara langsung ataupun tidak langsung akan mendukung strategi BPKP dalam mewujudkan akuntabilitas penyelamatan keuangan negara dan terbangunnya iklim bagi penyelenggara pemerintah yang baik dan bersih. “Untuk mendukung hal ini, salah satu langkah yang telah dikembangkan BPKP adalah melalui pembentukan Lembaga Sertifikasi Profesi Audit Forensik.”ungkapnya Di depan para peserta forum yang berjumlah 168 orang ini, ia mengintruksikan agar dilakukan penyempurnaan Sistem Informasi Manajemen Hasil Pengawasan (SIM-HP) yang sudah berjalan saat ini khu-
susnya untuk mengakomodir diperolehnya laporan hasil audit yang real time, terukur, dan sistematis terkait penanganan kasus korupsi yang real time. Melalui langkah ini, BPKP akan dapat memberikan informasi kepada para pemangku kepentingan secara tepat dan realtime. Ia juga menghimbau kepada seluruh peserta agar melaksanakan nilai-nilai PIONER (Profesional ,Integritas, Orientasi Pengguna , Nurani dan Akal Sehat ,Independen dan Responsibel) di BPKP. Sejalan dengan itu, Deputi Bidang Investigasi BPKP, Prof. Dr. Eddy Mulyadi Soepardi , saat membuka acara menegaskan bahwa para pegawai di Deputi Bidang Investigasi hendaknya tergugah dengan semangat Reformasi Birokrasi dan punya spirit untuk terus memperbaiki diri agar kinerjanya dapat dipertanggungjawabkan melalui nilai-nilai integritas. Ia juga menambahkan untuk merealisasikan PP 60 tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah dalam pelaksanaan tugas sehari–hari agar menjadi pegawai bidang Investigasi yang menjalankan amanah dengan benar!
Foto bersama para peserta forum investigasi
WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 2/JUNI 2011