I PENGANTAR
1.1
Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota Dalam sejarah, sebagian besar kota berasal dari komunitas bangsawan atau
juga berkat adanya pasar sebagai tempat transaksi tukar menukar dan jual beli barang. Kebutuhan ekonomi dan kebutuhan politik di wilayah milik seorang bangsawan dapat mendorong orang untuk melakukan transaksi perdagangan guna memenuhi permintaan. Transaksi dagang hanya dapat terlaksana dengan bekerja ataupun dengan tukar menukar kemudian jual beli barang. Apabila kondisi demikian itu merupakan konfigurasi yang berlainan dengan desa, maka wajar bila kota itu menjadi tempat tinggal raja, para bangsawan, bandanda, bhagawanta (keraton, puri) maupun tempat pasar, bencingah, wantilan, alun-alun dan lain-lainnya (Kartodirdjo, 1977). Landasan teori penemuan hari jadi kota Denpasar dan untuk memahaminya mengikuti sejarah perkembangan kota, lokasi serta ekotipenya, fungsinya dan unsurunsur sosiokultural seperti yang terdapat di pelbagai negeri dan di pelbagai daerah di Nusantara (Kartodirdjo, 1977). Akan tetapi, untuk mengidentifikasi, menemukan dan menyoroti sejarah kota Denpasar akan dipilih tipe kota yang relevan terutama kotakota kuno di Asia termasuk munculnya kota-kota kuno atau kota-kota lama di Nusantara yang kemudian menjadi Indonesia. Kota-kota di Asia banyak berpusat pada istana raja, keraton (pura atau puri) sedangkan pelbagai lembaga dan komunitas terletak di sekeliling kota itu. Ekotipe kota atau komunitas sosial yang berkembang di kota sangat ditentukan oleh pembagian pekerjaan antara lain pendeta, prajurit, pedagang, dan pengrajin. Mereka pada umumnya tinggal di lokasi yang terpisah-pisah. Di kota-kota kuno pada umumnya keraton (puri) menjadi pusat pemerintahan, perdagangan (pasar), kesenian dan kebudayaan. Pada masa lampau selama berabad-abad, permukaan kota hanya merupakan titik yang tidak berarti di tengah-tengah hutan rimba dan padang belantara. Kota kuno periode klasik Hindu/Budha di Nusantara pada umumnya didirikan dipedalaman dan dekat muara sungai-muara sungai besar
1
seperti Mataram, Kediri dan Majapahit di Jawa serta beberapa pulau besar lain (Mahmud, 2003: 41; Rahman, dkk, 2000: 3). Wertheim (1959) memandang bahwa semua aspek budaya yang lebih dahulu berakar di Indonesia berperan menentukan konsep yang diterapkan pada kota kunonya. Kota kuno klasik Hindu/Budha dikembangkan dan ditetapkan oleh raja sebagai wakil dewa (dewa raja). Stuterheim menggambarkan mengenai aturan tempat tinggal di lingkungan sekitar keraton Majapahit. Orang yang diijinkan mendirikan rumah disekitar keraton hanyalah kerabat raja, abdi dalem (pelayan), sanak keluarga yang dipercayai, dan pendeta yang memimpin upacara keagamaan. Sementara rakyat jelata bermukim di luar pusat administrasi (Piagewd, 1962: 8-11). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pusat kota kerajaan Hindu/Budha adalah keraton (puri). Di sekeliling keraton (puri) terdapat tempat tinggal pembesar kerajaan dan kerabat raja di Bali dinamakan jero, geriya, pasar, wantilan dan lain-lain. Dari aspek struktur ideologi kosmologi kota keraton ditata menurut konsep keseimbangan utara-selatan, timur-barat, ciri kosmologis itu mengaskan bahwa kota keraton klasik Hindu/Budha di Nusantara juga bersifat religius-magis, yaitu selain berfungsi sebagai pusat politik dan kebudayaan juga sebagai pusat keagamaan (Mahmud, 2003: 43). Sifat religius magis kota keraton klasik Hindu/Budha berhubungan erat dengan pandangan orang Jawa dan Bali bahwa raja (Dewa Agung, Cokor Dewa menjadi Cokorda) adalah wakil Dewa dan keraton sebagai pusat dunianya (Mahmud, 2003: 43). Oleh Geertz (2000) disebutnya suatu struktur halaman di dalam halaman berbentuk persegi yang berdinding. Tata letaknya menirukan geometri yang dalam dari kosmos (buwana agung dan buwana alit). Antara arah-arah utama dengan pusat yang tidak berarah merupakan gabungan dari semua arah itu atau antara bentuk-bentuk maya dari mana kekuasaan memancar dengan bentuk-bentuk nyata dalam mana kekuasaan itu nampak. Keraton (puri) mengekspresikan secara arsitektural bahwa tempat duduk raja adalah poros dunia (Geertz, 2000: 208-209). Geertz (2000) juga menyatakan bahwa keraton (puri, puri agung) di Bali sebenarnya hampir sama dengan kahyangan (pura). Jika kahyangan (pura) adalah tempat persemayaman dewa dalam wujud yang abstrak, maka keraton (puri) adalah tempat persemayaman raja yang merupakan penjelmaan dewa yang mengejawantah pada diri manusia. Dengan demikian puri adalah “bangunan suci” dalam konsep
2
religi (Geertz, 2000: ibid.; Munandar, 2005: 12). Kesimpulan Geertz ini didasarkan kenyataan bahwa raja dalam sistem kerajaan di Bali adalah seorang yang dihormati dan dimuliakan seluruh rakyatnya sehingga ia tidak boleh tampil sembarangan di depan umum. Demikian pula keraton (puri) tempat tinggal sang raja dianggap sebagai bangunan yang pantas dihormati atau bahkan disakralkan sesuai dengan kedudukan raja tersebut. Sebab puri adalah bangunan tempat bertemunya dewa-dewa dengan masyarakat, antara penguasa dengan bangsawan lainnya (Geertz, 2000; Munandar, 2005: 13). Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa kemunculan kota Denpasar berawal dari dibangun dan berfungsinya Puri Denpasar yang sejak semula menjadi pusat pemerintahan, pusat kekuasaan raja Badung, kemudian termasuk pula pusat aktivitas ekonomi yaitu pasar yang terletak disebelah selatannya (lihat Schets dalam Gegevens, 1906). Demikian pula menjadi pusat kebudayaan dan aktivitas lainnya. Teori terjadinya kota seperti melekat pada kota Denpasar yang berasal dari kota keraton tidaklah sendirian. Akan tetapi beberapa kota di Nusantara muncul dan berawal dari dibangunnya sebuah keraton atau pusat aktivitas lainnya, misalnya pelabuhan, sungai. Beberapa contoh dapat disebutkan dari acuan pustaka.
1.2
Pustaka Acuan dan Pembanding Beberapa pustaka dapat dijadikan acuan yang memberikan penjelasan tentang
dari jadi kota di Nusantara. Hal ini dapat dijadikan pembanding sekaligus landasan bagi penemuan hari jadi dalam hal ini tanggal dan tahun kelahiran kota Denpasar dalam proses waktu atau panggung pentas sejarah. Dalam buku Jakarta Kota Perjuangan, Jakarta kota Proklamasi Januari 1945-Januari 1946, ditulis oleh Susantu Zuhdi, diterbitkan oleh Pemerintah DKI Jakarta pada tahun 1995 dinyatakan bahwa hari jadi kota Jakarta jatuh pada tanggal 22 Juni 1527 (Susanto Zuhdi, 1995). Tentang jari jadi kota Jakarta, Susanto mengutip pendapat dan temuan dari Soekanto dalam bukunya Dari Djakarta ke Djajakarta: Sedjarah Ibukota Kita, terbit pada tahun 1954 (Soekanto, 1954: 60). Dari segi ekotipe kota, Jakarta adalah tipe kota bandar atau pelabuhan di Teluk Jakarta. Kota ini bermula dari sebuah komunitas pada masa kerajaan
3
Tarumanegara dan kemudian menjadi bandar kerajaan Pajajaran dengan nama Kalapa atau lebih dikenal sebagai Sunda Kalapa (Susanto Zuhdi, 1995: 5). Menurut Soekanto, nama Sunda Kalapa diubah menjadi Jayakarta oleh Fatahillah pada tangal 22 Juni 1527 setelah pimpinan pasukan Demak ini mengalahkan tentara Portugis. Nama Jayakarta yang dapat dilafalkan dengan beberapa nama: Jayakarta, Jakarta, Jaketra atau Jacatra, Yacatra. Menurut sumber-sumber Portugis dan ekspedisi Cornelius de Houtman (1596) sesungguhnya telah berumur lebih dari empat abad (Susanto Zuhdi, 1995; A. Heuken SJ, 1999, I: 77; II: 13-17). Ketika Belanda dengan VOC (kongsi dagang Hindia Timur) menancapkan kukunya di bumi Nusantara, nama Jayakarta diganti menjadi Batavia, yaitu nama benteng Belanda di Jayakarta pada tanggal 12 Maret 1619 (A. Heuken SJ, 1999, II: 144-145). Namun, ketika Jepang berhasil menggantikan kekuasaan kolonialisme Belanda di Batavia, Pemerintah Jepang mengubah nama Batavia menjadi Jakarta pada tanggal 8 Desember 1942 (Susanto Zuhdi, 1995: 5). Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Pemerintah Republik Indonesia (RI) memutuskan Jakarta menjadi ibukota Negara RI pada tanggal 18 Agustus 1945 (Risalah Sidang BPUPKI, PPKI, 1945: 412). Meskipun telah terjadi beberapa kali perubahan nama namun Pemerintah DKI Jakarta menetapkan bahwa hari jadi kotanya selalu mengacu pada tanggal 22 Juni 1527, yaitu momentum kemenangan perang (Jayakarta) dan bukan momentum pada tanggal lainnya seperti proses perubahan nama seperti yang pernah terjadi pada kota Jakarta (Wirawan, dkk, 2004: 6). Sebuah buku yang diberi judul Syarif Abdurrahman Alkadri Perspektif Sejarah Berdirinya Kota Pontianak oleh penulisnya yang diterbitkan Pemerintah Kota Pontianak pada tahun 2000 memberikan gambaran tentang proses lahirnya kota Pontianak, Kalimantan Barat. Penulis menggambarkan kembali fenomena historis kelahiran kota Pontianak dengan menggunakan momentum berdirinya kerajaan atau Kasultanan Pontianak dan tokoh pendirinya yaitu Syarif Abdurrahman Alkadri. Pengalamannya mengembara dan suksesnya berdagang mendorong dia untuk mendirikan pusat perdagangan dan pusat kekuasaan Islam di Pontianak. Tokoh putra asli Kalimantan Barat ini kemudian menjadi Sultan yang membangun dan mendirikan Kasultanan Pontianak yang berdaulat penuh dan otonom pada tanggal 23 Oktober 1771 (Ansor Rahman, dkk, 2000). Dewasa ini, Pemerintah Kota Pontianak
4
merayakan hari jadi kotanya pada tonggak sejarah peranan raja Islam (Sultan) Syarif Abdurrahman Alkadri (1739-1808) membangun Kasultanan Pontianak pada tanggal 23 Oktober 1771. Sebuah kajian penelitian yang dilakukan oleh tim dari Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM Yogyakarta tentang hari jadi kota Yogyakarta ditandai oleh momentum dibangun dan difungsikannya Keraton Ngayogyakarta-Adiningrat sebagai pusat pemerintahan Kasultanan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I (17551792) pada tanggal 7 Oktober 1756, setahun setelah penobatannya. Temuan tim sejarawan UGM menyimpulkan, apa yang diperingati sebagai hari jadi kota Yogyakarta yang didasarkan pada keputusan Pemerintah RI tentang Kotapraja Yogyakarta pada tanggal 7 Juni 1947 perlu ditinjau ulang. Alasannya ialah kota Yogyakarta dengan segala kelengkapannya dan dinamikanya sudah ada jauh sebelum tanggal 7 Juni 1947, yaitu pada tanggal 7 Oktober 1756. Oleh karena tanggal yang disebut terakhir ini adalah sebuah momentum yang sangat monumental, yaitu saat Sri Sultan Hamengku Buwono I masuk dan menempati Keraton NgayogyakartaAdiningrat (Tim Pengkaji, 2003). Dari nama keraton itu, sebelumnya sudah pernah diterbitkan sebuah buku yang berjudul Kota Jogjakarta 200 Tahun yang diterbitkan panitia peringatan pada tanggal 7 Oktober 1956. Di dalam buku peringatan Kota Jogjakarta 200 Tahun dijelaskan bahwa dari nama sebuah keraton pusat pemerintahan dan ibukota Negara Ngayogyakarta-Adiningrat dijadikan nama ibukota selanjutnya sesuai dengan perubahan statusnya. Sejak 5 September 1945 menjadi ibukota Daerah Istimewa Yogyakarta. Kemudian sejak 4 Januari 1946 menjadi ibukota sementara Republik Indonesia. Selanjutnya ibukota Yogyakarta termasuk lingkungan Kabupaten Kota. Dengan dihapusnya Kabupaten Kota, ibukota Yogyakarta mendapat kedudukan daerah otonom dengan nama Haminte Yogyakarta. Kemudian sejak tanggal 7 Juni 1947 diubah menjadi Kotapraja Yogyakarta (Panitya Penerbitan, 1956: 31, 33). Dari gambaran proses perubahan status kota secara yuridis formal tidak mengurangi peranan dari aspek historis kelahirannya untuk Yogyakarta dikembalikan pada momentum berdirinya keraton sebagai cikal bakal kotanya.
5
II DENPASAR SEBAGAI KOTA KERAJAAN TRADISIONAL
2.1.
Berdiri dan Berkembangnya Kerajaan Badung Berdasarkan sumber-sumber sejarah yang berhubungan dengan bekas-bekas
atau bukti-bukti peninggalan masa lampau dapat diketahui, bahwa spasial yang kemudian menjadi wilayah Kerajaan Badung adalah tempat produk artefak, diantaranya: “Prasasti Blanjong” di Sanur berangka tahun 913 Masehi. Pura Maospahit Grenceng dan Tonja, Sumerta abad ke-14. Bukti tinggalan artefak Pura dengan langgam arsitekturnya, institusi dan lain-lainnya memberikan fenomena kehidupan komunitas yang sudah teratur. Dari sisi bentang alam, wilayah Badung bercirikan kawasan agraris dan dikelilingi pantai yang cocok untuk pelabuhan. Oleh karena itu selain pertanian dapat juga dikatakan aktivitas perdagangan laut cukup tua usianya (Kuta, Sanur). Pelabuhan ini sering didatangi pedagang-pedagang dari luar, berinteraksi melalui tukar-menukar barang dagangan dan unsur-unsur sosiokultural antar etnik. Fenomena yang berlangsung selama 4 abad lebih sebelum dibangunnya institusi kerajaan sangat menarik untuk direkonstruksi meskipun informasi yang ada belum memadai. Oleh karena itu masih perlu digali sumber-sumbernya. Akan tetapi disepakati bahwa institusi dan komunitas kuno telah terbentuk berupa desa dan subak sebagai wadah berinteraksi para warganya. Artinya kehidupan masyarakatnya lebih menunjukkan corak agraris yang didukung pula aktivitas bahari karena wilayahnya dikelilingi lautan di sisi Barat, Selatan hingga di sisi Timur (Kuta, Kedonganan, Jimbaran dan Sanur). Selain nelayan dikawasan pantai itu juga dikenal produksi garamnya. Produksi kerajinan seperti gerabah (penyobekan) juga menunjukkan corak kuno seperti yang masih dibuat di Desa Lumintang (Boon, 1938: 3-4). Institusi di tingkat supra desa terbentuk berupa wilayah yang dikepalai oleh Anglurah dan kemudian menjelma menjadi Raja. Proses demikian dapat dilacak awalnya pada abad ke-14 ketika terjadi ekspedisi Majapahit yang dipimpin oleh Mahapatih Gajah Mada bersama-sama para Arya pada tahun 1343. Salah seorang Arya yang memegang peranan dalam membangun institusi kerajaan di badung dan
6
Tabanan ialah Arya Kenceng. Dia adalah salah seorang Arya Ksatriyeng Kahuripan yaitu keturunan Raja Kahuripan di Jawa Timur (Raja Purana Kenceng; K.M. Suhardana, 2006: 44-45). Ketika ekspedisi Gajah Mada digelar, Arya Kenceng menjadi Panglima untuk menyerang laskar Kerajaan Bedahulu Bali dari arah Selatan. Setelah ekspedisi berhasil Arya Kenceng tinggal menetap di Desa Buahan, Tabanan (Babad Tabanan, Usana Jawa, Gora Sirikan, II). Di dalam Babad Tabanan dijelaskan bahwa Arya Kenceng yang berkedudukan di Desa Pucangan atau Buahan penguasa Tabanan menurunkan empat putra putri, buah perkawinannya dari dua ibu. Dua putra beribu seorang putri Brahmanawangsa dari Ketepeng Reges Majapahit, yaitu Dewa Raka bergelar Sri Magada Prabu dan adiknya bernama Dewa Made bergelar Sri Magada Nata. Putra ketiga lahir dari lain ibu diberi nama Kyayi Tegeh atau Tegeh Kori dan adiknya bungsu adalah seorang putri diberi nama Istri Tegeh Kori. Sri Magada Prabu menggantikan kedudukan ayahnya berkuasa di Buahan Tabanan. Oleh karena tidak berputra sampai meninggal, maka kedudukannya digantri oleh adiknya yaitu Sri Magada Nata yang bergelar pula Sirarya Ngurah Tabanan. Adik Sri Magada Nata yang bernama Kyayi Tegeh Kori diberi tugas oleh raja Bali (Dalem) di Samprangan menjadi penguasa di Badung berkedudukan di Desa Tegal disebelah Selatan setra Badung (Babad Tabanan: 11b-12b). Kedudukan Sri Magada Nata semasih hidupnya digantikan oleh putranya yaitu Kyayi Langwang berhak memakai gelar Sirarya Ngurah Tabanan. Kyayi Langwang pindah dari Buahan membangun tempat tinggal baru di Tabanan. Setelah kedudukan diserahkan kepada Kyayi Langwang, Sri Magada Nata pergi dari Buahan membangun tempat peristirahatan di Kubon Tinggu. Disitu sempat menikah dengan putri Bendesa Pucangan, melahirkan seorang putra diberi nama Kyayi Ketut Bendesa atau Kyayi Ketut Pucangan. Menginjak dewasa kelihatan tanda-tanda kesaktiannya yaitu dahinya memancarkan sinar. Pernah diuji kesaktian oleh kakaknya yang bernama Kyayi Anglurah Langwang. Kepada adiknya (Kyayi Ketut Bendesa) diminta untuk menebang dahan ranting pohon beringin yang angker tumbuh disebelah Puri. Atas tugas yang sukses dilaksanakan, Kyayi Ketut Bendesa diberi julukan Kyayi Notor Wandira.
7
Kyayi Ketut Bendesa yang diberi gelar juga Notor Wandira mempunyai kesukaan melakukan yoga semadi ke pura mengajak pengiring setia bernama Ki Tambyak. Atas keteguhan hati melakukan yoga semadi di Pura Panorajon memperoleh petunjuk melanjutkan perjalanan hingga ke Pura di Pelinggih Ida Batari Danu. Disini yoga semadinya memperoleh berkah sabda agar Kyayi Ketut Bendesa memandang daerah yang ditunjuk dan dilihatnya gelap (Badeng). Kyayi Ketut Bendesa diberi anugrah pula berupa cambuk (pecut) dan sumpit (tulup). Semua pengalaman yoga semadi yang memperoleh berkah dilaporkan kepada ayahnya Sri Magada Nata kemudian menganugrahkan sebuah keris pusaka bernama “Ki Cekle” kepada putranya. Ketika terjadi kekosongongan penguasa di Puri Penatih maka atas titah Dalem di Gelgel kepada Arya Magada Nata untuk memperkenankan adiknya yang bernama Kyayi Tegeh menjadi penguasa. Dalem menyetujui Kyayi Tegeh menjadi pengganti I Gusti Ngurah Penatih dengan gelar Kyayi Tegeh Kori, yang kemudian menetap di Puri Tegeh Kori di daerah Tegal. Oleh karena itu Kyayi Tegeh Kori menjadi penguasa di Badung. Berdasarkan anugrah petunjuk Ida Batari Ulun Danu, Kyayi Ketut Bendesa bersama seorang istri dan seorang putranya bernama Kyayi Gde Raka serta pengiring setianya Ki Tambyak menuju Puri Tegeh Kori di Badung untuk mengabdikan dirinya. Atas pengabdiannya yang setia, maka dia menjadi putra angkat diberi nama Kyayi Nyoman Tegeh dipersaudarakan dengan kedua putra kandungnya yang bernama Kyayi Gede Tegeh dan Kyayi Made Tegeh. Kyayi Ketut Bendesa (Nyoman Tegeh) berputra Kyayi Gede Raka atau Kyayi Pasak. Kyayi Gede Raka berputra Kyayi Bebed yang ditugaskan oleh Kyayi Tegeh Kori atas perintah Dalem untuk menumpas pemberontakan Kyayi Ngurah Janggaran dari Sidemen. Perang tanding antara Kyayi Ngurah Janggaran melawan Kyayi Bebed berlangsung lama dan tidak ada yang kalah. Keduanya sama-sama menderita luka. Akan tetapi setelah Kyayi Ngurah Janggaran mengetahui Kyayi Bebed mampu menyembuhkan lukanya sendiri, maka Kyayi Ngurah Janggaran dengan jujur ksatria menyatakan diri kalah. Pernyataan itu mengakhiri perang tanding dengan kemenangan Kyayi Bebed. Namun bekas luka menyebabkan kulit Kyayi Bebed yang
8
sembuh mengkerut seperti kayu pule maka Dalem member nama kehormatan kepada Kyayi Bebed dengan gelar Kyayi Jambe Pule atau Kyayi Biket. Kyayi Jambe Pule mempunyai tiga istri. Permaisuri pertama bernama Istri Jambe Harum melahirkan seorang putra bernama Kyayi Ngurah Jambe Merik membangun Puri Alang Badung dan seorang putri bernama Gusti Ayu Made Jambe dengan Dalem Dimade melahirkan putra bernama Dewa Agung Jambe peletak dasar Kerajaan Klungkung. Permaisuri kedua Istri Penataran melahirkan seorang putra bernama Kyayi Ngurah Pemedilan atau Kyayi Ngurah Pemecutan membangun Puri Pemecutan. Istri Penawing Wija dari Desa Tumbak Bayuh Badung bernama Niluh Tameng (Jro Kame) melahirkan seorang putra yaitu Kyayi Ngurah Tumbak Bayuh atau Kyayi Ngurah Gelogor, membangun Puri Gelogor. Kehadiran tiga kekuasaan bersaudara yang baru ini, di Puri Alang Badung, Puri Pemecutan dan Puri Gelogor mengkhawatirkan penguasa lama di daerah Badung yaitu Kyayi tegeh Kori di Puri Tegal. Kyayi Tegeh Kori berkeyakinan bahwa ketiga kekuatan itu lebih mendapat perhatian dan kepercayaan dari pemerintah pusat di kerato Sweca Linggarsapura Gelgel. Hal ini beralasan karena ketiga bersaudara itu adalah ipar dari penguasa Bali Dalem Dimade. Untuk mencegah kesulitan-kesulitan yang mungkin timbul maka Kyayi Tegeh Kori mempertunangkan seorang putrinya dengan I Gusti Jambe Mihik (Merik) di Puri Alang Badung. Akan tetapi sesudah pertunangan disahkan, Kyayi Tegeh Kori berubah pikiran lantaran kehadiran lamaran penguasa Kyayi Ngurah Agung di Puri Jero Gede Pupuan Mengwi (Raja Purana Kenceng, Gora Sirikan, II). Persetujuan atas lamaran penguasa Puri Pupuan Mengwi itu membangkitkan amarah I Gusti Jambe Mihik karena rasa malu dan dihinakan. I Gusti Jambe Pule bersama putraputranya berunding untuk menyerang Kyayi Tegeh Kori. Akan tetapi sebelum gerakan laskar Jambe Pule sampai di Puri tegal, Kyayi Tegeh Kori sudah lebih dulu meninggalkan Purinya mengungsi ke Mengwi. Dari Mengwi kemudian beralih dan menetap di Desa Tegal Tamu. Akibat lebih jauh seluruh daerah Badung jatuh dibawah kekuasaan Puri Alang Badung dan Puri Pemecutan. Berkat kerjasama kedua raja kakak beradik maka dapat dikatakan Kerajaan Badung mulai berdiri diatas kekuatannya sendiri. Kedaulatan Kerajaan Badung dapat dibuktikan dari keberaniannya menentang kekuasaan Gelgel terutama setelah
9
dikendalikan oleh Kyayi Agung Dimade atau Sagung Maruti (1651-1677). Keberanian Kerajaan Badung menentang kekuasaan di Gelgel terbukti dari kebebasannya bertindak mengadakan hubungan langsung dengan persekutuan dagang kompeni (VOC) bangsa Belanda tanpa berunding terlebih dahulu dengan kekuasaan di Gelgel. Kerajaan Badung sudah member ijin kepada kompeni (VOC) Belanda mendirikan sebuah kantor dagang di pelabuhan Kuta pada tahun 1660. Kantor dagang VOC itu berfungsi untuk menimbun hasil bumi yang dibeli dari Bali dan juga untuk perdagangan budak yang banyak memberi keuntungan bagi kompeni pada abad 17-18 (Gora Sirikan, II). Ketika pangeran (Dewa Agung) Jambe putra Dalem Dimade menggulingkan kekuasaan Kyayi Agung Dimade di Gelgel pada tahun 1677 ternyata laskar Kerajaan Badung dibawah pimpinan I Gusti Jambe Pule (Pemedilan) ikut membantu menyerang dari pantai Selatan. Perang tanding yang terjadi di pantai Batu Klotok antara Jambe Pule melawan Dukut Kerta, keduanya tewas. Untuk memperingatinya diberi gelar Dewata ring Batu Klotok. I Gusti Jambe Pule (Pemedilan) diganti oleh putranya yang bernama I Gusti Ngurah Sakti Pemecutan. Sejak kekuasaannya kebesaran Puri Pemecutan menanjak dan wilayah Kerajaan Badung bertambah luas. Keraton (Puri) Pemecutan dapat dipandang sebagai sumber pemusatan keluarga Jambe Pule. Puri Pemecutan dapat dianggap sebagai modal perjuangan untuk memperluas kekuasaan di Kerajaan Badung. Lebih-lebih sejak perkawinan agung antara I Gusti Ngurah Sakti Pemecutan dengan putri mahkota Kerajaan Mengwi yang bernama I Gusti Ayu Bongan. Setelah pernikahan itu maka wilayah Kerajaan Badung di Puri Pemecutan bertambah luas. Putri mahkota Mengwi Gusti Ayu Bongan mendapat hadiah dari ayahnya sebagian wilayah Kerajaan Mengwi yaitu Dalung, Gaji, Kuta, Jimbaran sampai Bukit Pecatu diserahkan kepada Raja Badung di Puri Pemecutan I Gusti Ngurah Sakti Pemecutan (Gora Sirikan, II) Penguasa dan raja di Puri Pemecutan menggunakan kata “Sakti” untuk memperingati kemenangannya atas serangan laskar (Panji Sakti) dan menggalkan penyerangan Raja Panji Sakti dari Kerajaan Buleleng. Sebagai peringatan atas kemenangan itu maka medan laga itu disebut “Taen Siat” dan sebuah gong milik Kerajaan Buleleng dapat dirampas kemudian dijadikan pusaka Puri Pemecutan diberi nama “Gagak Ora”. Maknanya ialah apabila ditabuh laksana suara burung gagak
10
yang riuh rendah menakutkan sekalian musuh yang mendengarkan. Selain itu, raja Panji Sakti mempersembahkan sebuah Bale Kulkul yang masih berdiri dipojok perempatan Pemecutan saat ini. Kemasyuran namanya ditandai pula dengan banyak punya istri yang menjadi cikal bakal kerabat dan mereka masing-masing membangun puri-puri disekeliling Puri Pemecutan. Upaya ini dilakukan untuk mendukung sakti kekuasaan Puri Pemecutan. Salah seorang putranya lahir dari Istri Padmi I Gusti Ayu Bongan bernama I Gusti Gde Oka pindah dari Puri Pemecutan membangun Puri Kaleran. Kemudian putranya yang bernama I Gusti Ngurah Gde diangkat manca untuk memperkuat kekuasaan raja I Gusti Ngurah Sakti Pemecutan. Mereka telah membawa tahta kekuasaan Kerajaan badung Puri Pemecutan mencapai puncak kebesarannya (Gora Sirikan, II). Ketika Raja Mengwi wafat pada tahun 1722, sumber VOC menyebut bahwa pembesar Kerajaan Badung adalah Raja Pemecutan. Dapat diketahui pula bahwa Raja Pemecutan pada waktu itu telah mengadakan hubungan perdagangan dengan orang-orang Belanda di Batavia. Bahkan para pedagang dari badung sudah memiliki perahu dagang yang mampu mengangkut barang dagangan dan penumpang para budak, jumlah mereka 60-70 orang sebagai dagangan (Nordholt, 2006: 37). Memuncaknya kebesaran Puri Pemecutan juga karena ditopang oleh raja di Puri Alang Badung disebelah Timur Tukad badung sampai awal abad ke-18. Akan tetapi setelah raja I Gusti Ngurah Sakti Pemecutan wafat, maka cahaya kebesaran Puri Pemecutan meredup maka kemudi Kerajaan Badung didominasi oleh kendali Gusti Jambe Ketewel (Gora Sirikan, II). Pemegang kekuasaan di Puri Alang Badung ialah I Gusti Jambe Ketewel putra I Gusti Jambe Tangkeban atau cucu I Gusti Jambe Mihik (Merik) pendiri Puri Alang Badung. Pada masa itu pemegang kekuasaan di Puri Pemecutan adalah I Gusti Gde Rai putra I Gusti Ngurah Sakti Pemecutan atau cucu Kyayi Ngurah Pemedilan (Pemecutan). Oleh karena I Gusti Jambe Ketewel yang bertahta di Puri Alang Badung lebih tua usianya dari pada I Gusti Gde Rai yang bertahta di Puri Pemecutan. Sebaliknya cahaya kebesaran Puri Alng Badung memuncak pada decade ketiga abad ke-18. Ketika I Dewa Agung Anom putra I Dewa Agung Jambe Raja Klungkung membangun keraton dan mendirikan Kerajaan Sukawati, ternyata I Gusti Jambe
11
Ketewel bertindak atas nama Kerajaan Badung. Raja Jambe Ketewel ikut serta menegakkan kerajaan itu bersama-sama dengan raja-raja di Kerajaan Mengwi dan Tabanan. Atas dukungan itu, I Dewa Agung Anom raja Sukawati berkenan menyrahkan sebuah desa bernama Batubulan untuk menjadi milik Kerajaan Badung. Hubungan kekerabatan yang sangat akrab antara raja Badung di Puri Alang Badung dengan I Dewea Agung Anom di Puri Sukawati menyangkut pula pewarisan kekuasaan pewaris raja I Gusti Ngurah Jambe Ketewel. Seorang putra yang merupakan titisan I Dewa Agung Anom di Puri Sukawati lahir bernama I Gusti Jambe Aeng menjadi pewaris tahta di Puri Alang Badung. Sebagai pertanda titisan Ksatria Dalem kepada I Gusti Jambe Aeng dan keturunannya maka secara turuntemurun berhak menggunakan pengusung jenazah (bade) yang menggunakan dasar Bedawangnala dan Nagabanda sebagai upakara dalam pitra yadnya (Babad Dalem milik Puri Sukawati). I Gusti Jambe Aeng pewaris tahta di Puri Alang Badung memindahkan keratonnya dan membangun keraton baru yang diberi nama Puri Satria pada tahun 1750. Puri Satria adalah sebuah nama yang dikaitkan dengan raja I Dewa Agung Anom di Puri Sukawati untuk mengabadikan nama wangsa atau trah Ksatria Dalem (Gora Sirikan, II). Pembangunan keraton baru di Puri Satria oleh I Gusti Jambe Aeng tidaklah menambah kekuasaan baru namun ciri kekuasaan kembar ke dalam dan kekuasaan tunggal Kerajaan Badung ke luar tetap berlangsung mengikuti jejak pendahulunya. Dalam praktek nampak bahwa secara bergantian raja-raja di Puri yang ada memegang kendali Kerajaan Badung. Pada masa raja I Gusti Gde Rai di Puri Pemecutan dan Raja Gusti Jambe Aeng di Puri Satria secara bergantian memegang kendali Kerajaan Badung. Keduanya mampu mengendalikan keamanan dan ketentraman. Mereka senantiasa bersatu dan bekerjasama demi kebesaran dan kesentosaan kehidupan di Kerajaan Badung.
2.2.
Keraton (Puri) Denpasar Sebagai Pusat Pemerintahan Ibukota Kerajaan Badung Tahun 1788 Raja I Gusti Jambe Aeng di Puri Satria (1750) wafat diganti oleh putranya
bernama I Gusti Ngurah Jambe Ksatria (sampai 1779) yang sangat lemah dalam
12
mengendalikan pemerintahan. Kelemahan ini dipakai kesempatan oleh I Gusti Ngurah Rai adik I Gusti Ngurah Made seorang manca di Puri Kaleran, bawahan dan cucu raja di Puri Pemecutan. Niat dan ambisinya ditujukan kepada raja penguasa yang sangat lemah di Puri Satria. I Gusti Ngurah Rai terlebih dahulu mengadakan perundingan dengan Dewa Manggis raja di Kerajaan Gianyar. Raja Gianyar sanggup membantu usaha I Gusti Ngurah Rai. Untuk melaksanakan niatnya, dia sengaja mencari alasan perselisihan dengan raja di Puri Satria. Upaya ini berhasil mengakibatkan Puri Satria dikepung oleh laskar I Gusti Ngurah Rai bersama saudaranya dan I Gusti Ngurah Made yang dibantu laskar Gianyar. Serangan gabungan ini berhasil dan Raja I Gusti Ngurah Jambe Ksatria tewas (1779) di tangan I Gusti Ngurah Rai. Sebelum tewas tahta kekuasaan diserahkan kepada I Gusti Ngurah Made. Sebaliknya I Gusti Ngurah Rai karena kecurangannya dikutuk. Bekas kekuasaan Puri Satria jatuh dibawah genggaman I Gusti Ngurah Made penerima tahta dari I Gusti Ngurah Jambe Ksatria. Sejak itu dia diakui oleh rakyat Badung sebagai seorang raja yang mempunyai kekuasaan besar. Oleh karena Puri Satria rusak, maka I Gusti Ngurah Made mendirikan keraton baru yang dijadikan pusat untuk mengendalikan pemerintahannya. Keraton baru itu mengambil lokasi di sebelah Selatan Puri Satria, dan karena didirikan dilokasi taman Denpasar yang letaknya di sebelah Utara pasar maka setelah selesai diberi nama Puri Denpasar pada tahun 1788 (lihat Schets). Setelah I Gusti Ngurah Made berkedudukan di Puri Denpasar maka berhak menggunakan gelar seorang raja yaitu I Gusti Ngurah Made Pemecutan (1788-1813) mengingat keturunannya dari Puri Pemecutan. Sebgaia Bagawanta kerajaan yang tidak bisa dipisahkan sejak kehadiran Raja Denpasar I ialah Ide Pedanda di Geriya Sanur kemudian lebih dikenal Geriya Jero Gde Sanur hingga sekarang. Dari pihak raja di Puri Pemecutan pun mengakui kekuasaan raja di Puri Denpasar. Sementara itu untuk menepati janji I Gusti Ngurah Rai terhadap raja Gianyar yang telah membantunya, maka Raja I Gusti Ngurah Made Pemecutan menyerahkan Desa Batubulan menjadi wilayah Kerajaan Gianyar. Janji lainnya ialah wasiat yang diberikan oleh raja I Gusti Ngurah Jambe Ksatria di Puri Satria sebelum tewas, yaitu menyerahkan permaisuri yang masih hamil kepada I Gusti Ngurah Made Pemecutan disertai syarat. Syarat dan wasiat itu menyatakan bahwa kelak apabila
13
lahir anak laki-laki maka dia yang berhak menduduki tahta kerajaan (Ida Cokorda Denpasar IX; Gora Sirikan, II). Gambar 1 SCHETS VAN DENPASAR EN PAMETJOETAN
14
2.3. Raja-raja yang Berkuasa di Keraton (Puri) Denpasar hingga Hancurnya Puri Denpasar I Gusti Ngurah Made Pemecutan adalah raja pertama dari Puri Denpasar yang memperluas hegemoni Kerajaan Badung. Pernah menyerang dan menguasai Kerajaan Jembrana (1805-1818). Namun pada tahun 1818 direbut oleh raja Buleleng dan ditempatkan di bawah hegemoni Buleleng (Utrecht, 1962: 101). Pada tahun 1810, I Gusti Ngurah Made Pemecutan membagi daerah kekuasaannya kepada dua orang putranya yaitu I Gusti Gde Ngurah dan I Gusti Gde Kesiman sebelum dia wafat pada tahun 1813. Tahta di Puri Denpasar diwariskan kepada I Gusti Gde Ngurah setelah dinobatkan bergelar I Gusti Ngurah Jambe, Raja Denpasar II (18131817). Sedangkan I Gusti Gde Kesiman mengalih dari Puri Denpasar dan mendirikan Puri Kesiman. Dialah raja Kesiman I (1813-20 November 1865). Oleh pemerintah Belanda I Gusti Gde Kesiman adalah seorang raja yang terkemuka di Kerajaan Badung. Dia dapat mempengaruhi Dewa Agung raja Klungkung karena seorang putrinya yang bernama I Gusti Ayu Jambe menjadi permaisuri dari Raja Klungkung VIII yang bergelar Dewa Agung Putra III. Perkawinan agung itu diselenggarakan pada tanggal 19 Agustus 1854. Raja I Gusti Gde Kesiman cakap berdiplomasi baik dengan pemerintah Belanda maupun dengan pihak kerajaan tetangga di Bali. Pengaruhnya semakin besar di Kerajaan Badung, sesudah saudaranya yaitu I Gusti Ngurah Jambe raja Denpasar II wafat (1813-1817). Penggantinya ialah I Gusti Made Ngurah, Raja Denpasar III (1817-1829). Karena masih muda ternyata dapat dipengaruhi oleh pamannya di Puri Kesiman yang semakin kuat pengaruhnya. I Gusti Gde Kesiman dianggap cakap dan dapat menciptakan kerjasama atas dasar saling pengertian antara tiga kekuasaan (Puri Pemecutan, Puri Denpasar, dan Puri Kesiman) sehingga Kerajaan Badung merupakan kekuatan yang disegani oleh kerajaan-kerajaan tetangga. Kemampuannya bebahasa Melayu, I Gusti Gde Kesiman tidak canggung lagi berkomunikasi dengan orang-orang asing yang datang berniaga di Kerajaan Badung (Gora Sirikan, II; ANRI, 1964). Sejak kemudi dipegang oleh I Gusti Gde Kesiman tampak Kerajaan Badung semakin ramai dikunjungi oleh pedagang-pedagang asing dari luar pulau Bali. Bandar Kerajaan Badung yaitu Kuta, Benoa dan Sanur menarik minat pedagang-
15
pedagang asing untuk berniaga di sana. Untuk memperlancar perdagangannya I Gusti Gde Kesiman berusaha memperbaiki hubungan dagang yang menghubungkan kerajaan disekitarnya antara lain jalan menuju Kerajaan Tabanan, Mengwi dan Gianyar. Salah satu jalan perdagangan penting adalah jalan perdagangan dari Kesiman menuju Kuta yang menurut laporan van Eck melalui Pagan, Tatasan, Tonja, Denpasar, Titih, Alang Badung, Suci, Alang Kajeng, Celagi Gendong, Gelogor, Tegal, Monang Maning, Tenten, Buagan, Abian Timbul dan akhirnya Kuta (van Eck, TNI, I 1880: 214). Di keraton (Puri) Denpasar, I Gusti Gde Ngurah naik tahta menjadi raja Denpasar IV (1829-1848) bergelar pula “Cokorda Denpasar”. Dari gelar ini sudah dapat dinyatakan bahwa dia adalah salah seorang raja terkemuka di Kerajaan badung pada masa itu. Meskipun peranan raja I Gusti Gde Kesiman tetap penting. Peranan ini dijalankan terus walau terjadi suksesi baik di Puri Denapsar maupun di Puri Pemecutan. Akan tetapi setelah I Gusti Gde Kesiman wafat pada tahun 1865 maka pucuk pimpinan Kerajaan badung mulai pindah ke Puri Denpasar. Di Puri Denpasar ada tiga raja yang memerintah sebelum meletusnya Puputan Badung yaitu I Gusti Gde Ngurah sebagai Raja Denpasar V (1863-1883), dan I Gusti Alit Ngurah sebagai Raja Denpasar VI (1883-1902) yang menggunakan gelar I Gusti Ngurah Jambe Pemecutan. Raja yang disebut terakhir diganti oleh I Gusti Ngurah Made Agung menjadi Raja Denpasar VII (1902-20 September 1906). Raja Denpasar VII, I Gusti Ngurah Made Agung dan Raja Pemecutan VIII, I Gusti Ngurah Pemecutan (Desember 1890-20 September 1906) gugr dalam Puputan Badung. Raja Kesiman IV, I Gusti Ngurah Agung (1890-1906) wafat terbunuh oleh “Dewata ring Keris” pada awal September 1906 (Gora Sirikan, II).
16
III DENPASAR SEBAGAI KOTA MODERN
3.1.
Menjadi Ibukota Modern Kolonial Perkembangan kota-kota kolonial atau kota-kota Indies pada tahun 1900-
1940-an sejalan dengan meningkatnya perkembangan perekonomian pada sektorsektor tertentu, seperti pertambangan, perkebunan, perdagangan, dan perindustrian. Perkembangan kota yang terjadi pada masa itu memiliki ciri khas yaitu menjadi basis kelahiran kaum urban baru, yang terdiri dari kaum terpelajar, birokrat atau priyayi, kaum profesional, kaum pengusaha dan pedagang dari kalangan Bumi putera atau Pribumi di luar kelas menengah yang berasal dari kalangan orang asing Timur, yaitu orang Cina. (Djoko Suryo, 2004: 1). Kelompok-kelompok masyarakat tersebut merupakan pendukung berkembangnya suatu kota sehingga kota menjadi pusat modernisasi. Di Indonesia pada masa kolonial berkembang kota-kota besar baik di Jawa maupun di luar Jawa sebagai pusat pemerintahan kolonial. Berkembangnya kota kolonial di Bali tidak lepas dari upaya pemerintah kolonial Belanda dalam mewujudkan cita-cita Pax Neerlandica, yang menginginkan agar keamanan dan ketertiban dapat diciptakan di seluruh wilayah Hindia Belanda di bawah naungan alat-alat kekuasaan kolonial Belanda. Perhatian pemerintah kolonial terhadap daerah luar Jawa termasuk Kerajaan Badung tidak bisa dilepaskan dari perkembangan politik internasional pada saat itu dengan munculnya kekuatan Inggris sebagai salah satu saingan kolonial Belanda di Nusantara terutama di kawasan timur Nusantara.(Utrech, 1962: 176-179). Hal inilah yang mendorong pemerintah kolonial Belanda untuk menjalin hubungan dan selanjutnya dapat menaklukkan kerajaankerajaan di Bali. Dalam kurun waktu 1846-1868 pemerintah Belanda dengan susuah payah dan pengorbanan yang cukup besar telah berhasil menaklukkan Bali Utara (Nijpels, 1897). Setelah berhasil menguasai Bali Utara, ekspedisi militer Belanda dilanjutkan ke Bali Selatan, namun kematian Mayor Jenderal Michiels, seorang jenderal yang sangat dikagumi oleh pemerintah Belanda tanggal 25 Mei 1849 menghentikan ekspansi kolonial ke wilayah Bali Selatan untuk sementara waktu. Dalam waktu
17
yang cukup lama akhirnya pemerintah kolonial Belanda melanjutkan lagi ekspasinya ke Bali Selatan. Pada tahun 20 September 1906 dalam pertempuran yang sangat heroik yang dikenal dengan peristiwa Puputan Badung, pemerintah kolonial Belanda dapat mengalahkan Kerejaan Badung. Puri Denpasar sebagai salah satu istana di Kerajaan Badung luluh lantak karena gempuran prajurit kolonial Belanda. Maka sejak tahun 1906 Kerajaan Badung telah menjadi wilayah koloni Belanda. Berdasarkan keputusan Gubernur Hindia Belanda tanggal 2 November 1907 nomor 3, maka sejak 11 November 1907 daerah Badung dijadikan onderafdeeling Badung di bawah asisten residen afdeeling yang berkedudukan di Denpasar (Staatblad 1907 No. 449). Dalam Lembara Negara No. 638 tahun 1910 pemerintah kolonial Belanda kembali mengadakan penataan administrasi terhadap wilayah Keredidenan Bali dan Lombok yang dikeluarkan pada tanggal 24 Desember 1910 (Staatblad 1910 No. 638). Afdeeling Bali Selatan di bawah pemerintahan seorang asisten residen yang berkedudukan Onderafdeeling
di
Denpasar,
Karangasem,
dibagi
menjadi
Klungkung,
lima
Gianyar,
onderafdeeling Tabanan,
dan
yaitu: Badung.
Onderafdeeling Badung terdiri atas Distrik Denpasar, Pemecutan, Kuta, Panjer, Sanur, Kesiman, Peguyangan, Gaji, Kapal, Mengwi, Sibang, Abiansemal, dan Blahkiuh, termasuk juga onderdistrik Angantaka dan Carangsari. Semuanya dibawah kontrolir yang berkedudukan di Denpasar. Penataan administrasi yang dilakukan oleh pemerintah Belanda bertujuan untuk memperkuat kekuasaannya; menanamkan dan mengembangkan pengaruhnya di bekas wilayah Kerajaan Badung sehingga dapat menarik simpati masyarakat Badung. Upaya yang dilakukan untuk merebut simpati masyarakat adalah menata perkampungan masyarakat asli maupun para pendatang, membangun perkantoran, pasar, sekolah, museum. Di samping itu pemerintah Belanda juga menata sarana transportasi seperti pelabuhan, bandara, membangun jembatan dan jalan-jalan dalam mewujudkan Denpasar sebagai kota modern (Cf. Surjomihardjo, 2000). Nama Denpasar yang awalnya merupakan nama salah satu puri dijadikan sebagai nama ibukota afdeeling Bali Selatan, sedangkan situs Puri Denpasar digunakan sebagai kantor pusat pemerintahan Hindia Belanda setingkat afdeeling dan onderafdeeling. Dari kantor itulah semua aktivitas pemerintahan dikendalikan
18
dipimpin oleh asisten residen untuk wilayah afdeeling Bali Selatan dan oleh kontrilir untuk wilayah onderafdeeling Badung. Di samping menjadi ibukota afdeeling dan onderafdeeling, nama Denpasar juga digunakan sebagai nama distrik yakni Distrik Denpasar. Sebagai salah satu distrik di wilayah onderafdeeling Badung, Distrik Denpasar membawahi beberapa desa adat seperti: Desa Adat Yangbatu, Denpasar, Padangsambian, Kerobokan; serta membawahi beberapa desa dinas diantaranya: Dangin Puri, Dauh Puri, Pemecutan, Padangsambian, dan Kampung Jawa (Boon, 1938). Kondisi jalan yang belum memadai pada awal pemerintah Bekanda menguasai Badung, mulai mendapat perhatian agar arus lalu lintas manusia dan barang menjadi lebih lancar. Pemerintah Belanda mulai mengadakan pelebaran, perbaikan, dan pengaspalan jalan-jalan baik yang ada di sekitar kota Denpasar maupun jalan-jalan yang menghubungkan Kota Denpasar dengan daerah-daerah lain di Bali. Pekerjaan dalam bidang pembangunan jalan, kantor, jembatan, dilaksanakan dengan memobilisasi tenaga masyarakat dalam kerja wajib (rodi). Menurut catatan L.U van Stenis (1919: 52-53), pemerintah kolonial Belanda telah melakukan perbaikan jalan yang menghubungkan Kota Denpasar dengan Sanur, Kuta dan jalanjalan yang menghubungkan Kota Denpasar dengan wilayah diluar daerah Badung seperti: Tabanan, Gianyar, Mengwi, dan Buleleng. Secara lebih rinci disebutkan bahwa jalan-jalan yang telah diaspal adalah: Denpasar- Sanur sepanjang tujuh kilometer, Denpasar- Kuta sepanjang 11 kilometer, Denpasar- Gianyar sepanjang 27 Kilometer, Denpasar – Tabanan sepanjang 20 kilometer, dan Denpasar – Singaraja sepanjang 87 kilometer. Fasilitas jalan yang telah dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda mendorong berkembangnya sarana transportasi. Disamping masih mempertahankan sarana transportasi tradisional seperti dokar, gerobak, masyarakat di wilayah Badung telah melirik dan menggunakan sarana transportasi modern seperti: sepeda, mobil pribadi, truk, bus, dan kendaraan gandengan. Dalam catatan H.J. Hoekstra (1937: 59) jumlah sarana angkutan yang ada di Denpasar adalah sebagai berikut: sepeda 3.000 buah, dokar 261 buah, gerobak 435 buah, mobil pribadi seperti sedan dan jeep 71 buah, mobil truk 44 buah, mobil bus 46 buah, dan kendaraan gandengan 44 buah.
19
Dalam bidang kebudayaan pemerintah kolonial Belanda mengajukan gagasan yang dikenal dengan Balisering, yang dicetuskan pada tahun 1920. Balisering yang artinya pembalian terhadap Bali, mencoba untuk mempertahankan Bali dari semua pengaruh luar khususnya dalam lapangan sosial budaya (Flierhaar, 1933: 3). Gagasan ini sesungguhnya mempunyai kaitan erat dengan perkembangan pariwisata yang didukung oleh golongan libral Belanda di Bali. Dengan tetap mempertahankan Bali sebagai sedia kala (”museum hidup”), diharapkan Bali akan menarik bagi orang luar untuk berkunjung ke Bali sehingga dapat menghasilkan banyak uang untuk membiayai semua aktivitas pemerintah baik pembangunan fisik maupun dalam meningkatkan pendidikan dan kesehatan masyarakat. Pengembangan pariwisata sudah mulai dirintis oleh perusahaan pelayaran Belanda yang bernama Nederlandsche Handel Maskapij (NHM) pada tahun 1839 dengan membuka kantor cabangnya di Kuta. Usaha ini dilakukan untuk mengalihkan pandangan pemerintah kolonial dalam rangka mengelola Bali sehingga dapat menghasilkan keuntungan ekonomi, mengingat Bali bukanlah daerah yang mempunyai potensi sumber daya alam yang tinggi. Usaha dalam bidang pariwisata cukup prospektif karena keunikan-keunikan budaya dan keindahan alam Bali yang sudah mulai dikenal saat itu. Usaha untuk memperkenalkan Bali kepada orang luar mulai menampkan hasil sejak tahun 1920 karena saat itu telah berdatangan wisatawan dari luar seperti dari Belanda dan warga Eropa lainnya, walaupun jumlahnya masih terbatas. Sekitar tahun 1930 seorang warga negara Amerika yang dikenal dengan nama Ketut Tantri datang ke Bali untuk berlibur. Keindahan panorama alam Bali yang dikenal dengan sebutan ”Pulau Seribu Pura” serta keramah tamahan masyarakatnya mengakibatkan Tantri betah tinggal di Bali dan selanjutnya menetap di Bali. Karena terpanggil untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Bali, maka Tantri ikut merintis pendirian fasilitas akomodasi pariwisata seperti pendirian Kuta Beach Hotel di kawasan pantai Kuta dan Hotel Bali di Denpasar. Pedirian hotel ini dalam rangka mengantisifasi berkembangnya kunjungan wisatawan ke Bali karena Bali telah menjadi pembicaraan di berbagai belahan dunia. Peningkatan kunjungan wisatawan ke Bali yang sudah mulai tampak sejak tahun 1930 menuntut adanya peningkatan penyediaan fasilitas transportasi yang lebih
20
memadai. Pada tahun 1933 pemerintah kolonial Belanda mulai membangun lapangan terbang di Desa Tuban sekitar 13 kilometer dari Kota Denpasar. Sejak 1 Mei 1937 jadwal penerbangan Denpasar – Surabaya telah dilakukan secara teratur dua kali seminggu. Jumlah penerbangan dan lalu lintas manusia selama tiga tahun dapat dilihat pada tabel berikut (Soenaryo, 1989: 48).
TABEL 1 JUMLAH PENERBANGAN ANTARA TAHUN 1935-1937 Banyaknya
Tahun
Berangkat
Datang
Jumlah Penumpang
1935
36 kali
36 kali
288 orang
51 kg
1936
52 kali
52 kali
468 orang
79 kg
1937
85 kali
85 kali
744 orang
172 kg
Barang
Sumber: Hoekstra, 1937, Soenaryo, 1989.
Dari tabel di atas menunjukkan bahwa selama tiga tahun terjadi peningkatan kedatangan wisatawan ke Bali yang cukup signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah Belanda telah cukup berhasil untuk memperkenalkan masyarakat Bali kepada dunia luar. Hal ini akan memberikan keuntungan secara ekonomi kepada pemerintah dan golongan pengusaha dan diharapkan akan memberi pengaruh positif bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat Bali khususnya bagi masyarakat Kota Denpasar sebagai pusat pemerintahan wilayah Bali Selatan. Pembangunan Kota Denpasar pada masa kolonial merupakan perpaduan antara konsep arsitektur modern dengan arsitektur tradisional. Sebagai contoh usaha pemerintah kolonial memperkenalkan konsep waktu secara modern dengan menempatkan sebuah jam besar (lonceng) tepat di tengah catuspatha Kota Denpasar yang berfungsi sebagai titik ”O” kilometer. Pada saat itu masyarakat Bali belum banyak yang memiliki jam dinding atau arloji dalam menentukan waktu, karena masyarakat masih berpatokan pada tanda-tanda alam seperti matahari, bulan, bintang dan juga tanda-tanda yang berasal dari suara binatang seperti kokok ayam. Penempatan jam besar di pusat Kota Denpasar merupakan salah satu unsur modern yang diperkenalkan pemerintah Belanda kepada masyarakat Denpasar.
21
Pembangunan Kota Denpasar pada masa kolonial tidak lepas nilai-nilai tradisi masyarakat Bali khususnya dalam bidang arsitektur. Hal ini tampak dari pembangunan Museum Bali yang dirintis sejak tahun 1910 oleh Asisten Residen Bali Selatan W.F. J. Kroon atas sumbangan pemikiran Ir. Th. A. Resink. Pembangunan Museum Bali sangat menonjolkan arsitektur Bali baik dari segi bentuk bangunan, konsep tata ruang, maupun bahan-bahan yang digunakan sehingga museum Bali merupakan salah satu ikon Kota Denpasar pada saat itu. Dari segi langgam arsitektur museum tampak bahwa para ahli bangunan dan arsitek Belanda mencoba memformulasikan arsitektur tradisional Bali ke dalam suatu fungsi baru. Pembangunan museum ini bertujuan untuk mencegah adanya usaha komodifikasi benda-benda budaya Bali yang secara ekonomis sangat menguntungkan pihak-pihak tertentu dan akan memiskinkan budaya Bali. Museum Bali dikelola oleh Perkumpulan Bali Museum dibuka untuk umum pada tanggal 8 Desember 1932. Usaha ini berhasil dan Museum Bali yang sekarang masih berdiri tegak di Jalan Mayor Wisnu menjadi tempat pembelajaran budaya bagi masyarakat Bali dalam usaha memahami sejarah dan budayanya. Dalam menunjang aktivitas perekonomian terutama dalam sektor ekspor dan import pemerintah Belanda mulai menata pelabuhan dengan memindahkan aktivitas bongkar muat barang dari pelabuhan Kuta ke lokasi baru yaitu di kawasan Benoa. Secara geografis letak pelabuhan Benoa lebih baik karena tidak langsung berhadapan dengan Samudera Hindia. Pelabuhan Kuta yang pada jaman kebesaran Kerajaan Badung menjadi pusat aktivitas perekonomian mengalami kemunduran sejak jatuhnya Bali Utara ke tangan pemerintah kolonial. Pemerintah Belanda memindahkan pusat aktivitas perekonomian ke pelabuhan Pabean Buleleng. Pemindahan pelabuhan dari Kuta ke Benoa memberi dampak positif baik bagi masyarakat Kuta maupun bagi masyarakat Benoa. Di satu sisi pindahnya aktivitas pelabuhan dari Kuta memberi kesempatan untuk berkembangnya sektor pariwisata di Pantai Kuta yang mulai menarik perhatian wisatawan karena pantainya yang berpasir putih. Di sisi yang lain pelabuhan Benoa dapat berkembang karena letaknya yang cukup memandai terlindung dari hempasan gelombang ombak besar sehingga menjadi salah satu pelabuhan penting dalam menunjang aktivitas perdagangan nasional maupun internasional. Di samping menjadi pusat perdagangan Benoa juga
22
berkembang menjadi tempat berlabuhnya kapal-kapal wisata manca negara yang telah mulai ramai mengunjungi Bali. Pembangunan fasilitas fisik terus dilakukan oleh pemerintah Belanda dalam membangun Kora Denpasar sebagai pusat pemerintahan. Pada tahun 1927 di jantung Kota Denpasar berdekatan dengan kantor pusat pemerintahan dibangun sebuah bangunan yang pada awalnya digunakan sebagai tempat tinggal bagi tentara Belanda yang bertugas menjaga keamanan Kota Denpasar. Pada tahun 1928 bangunan ini diserahkan oleh pemerintah Belanda kepada perusahan pelayaran milik pemerntah Belanda yang bernama Koninkelijke Paketvaar Matschappij (KPM). Setalah dikelola oleh KPM bangunan dikembangkan dengan penambahan fasilitas yang memadai dan difungsikan sebagai tempat menginap bagi tamu pemerintah Belanda dan para pegawai perusahaan KPM yang mengadakan kunjungan dinas ke Bali. Pada tahun 1942 bangunan tersebut telah difungsikan sebagai hotel dengan nama Bali Hotel, disamping untuk tamu pemerintah juga untuk umum yang membutuhkan fasilitas penginapan di Denpasar. Bali Hotel masih tetap dipertahankan sampai sekarang masih tegak berdiri sebagai situs sejarah Kota Denpasar era kolonial yang berlokasi di Jalan Veteran Denpasar. Menjelang
dekade
ketiga
abad
XX
pemerintah
Belanda
mulai
mengintensifkan penataan administrasi birokrasi pemerintahan di berbagai kawansan jajahannya termasuk di onderafeeeling Badung. Hal ini dilakukan karena perkembangan pembangunan membawa konskwensi
meningkatnya
tuntutan
masyarakat terhadap pelayan administrasi pemerintahan. Untuk itu pemerintah Belanda memberikan jabatan kepada keturunan raja pada tingkat onderafdeeling. Hal ini terbukti setelah kembalinya salah satu keturunan raja Badung dari Puri Denpasar dari pengasingan (keselong) di Mataram, Lombok Barat yang bernama I Gusti Ngurah Alit Ngurah. Setelah menjalani hukuman pengasingan selama sepuluh tahun dan mendapat pendidikan model Barat, Alit Ngurah kembali ke Bali dan bekerja sebagai pegawai di kantor Pekerjaan Umum selama dua tahun. Selanjutnya pekerjaan yang pernah digeluti secara berturut-turut adalah sebagai juru tulis di kantor Keresidenan Bali dan Lombok antara tahun 1920-1924; menjadi manteri polisi (1925-1926), menjadi juru tulis di kantor pajak tanah (sedahan agung) tahun 19261929. Pengalaman pekerjaan yang telah dimiliki mengantarkan Alit Ngurah
23
menduduki posisi yang cukup strategis di daerah onderafdeeling Badung. Berdasarkan keputusan Gubernemen No. 23 tanggal 8 Juli 1929 Alit Ngurah diangkat menjadi kepala pemerintahan (besturder) untuk mengepalai daerah (zelfbesturende landschap) Badung dan berhak menggunakan gelar ”cokorda”. (Boon, 1938). Selanjutnya untuk memenuhi fasilitas sebagai seorang kepala daerah akhirnya pada tahun 1930 mulai dibangun Puri Satrya yang posisinya berada di sebelah utara bekas Puri Denpasar yang telah berubah fungsi menjadi pusat pemerintahan. Berkembangnya Kota Denpasar sebagai pusat pemerintahan kolonial di Bali Selatan memerlukan tenaga-tenaga terampil yang telah menguasai pendidikan modern. Oleh karena itulah pemerintah kolonial Belanda mulai memperkenalkan sistem pendidikan modern di Kota Denpasar. Pada tahun 1907 untuk pertama kali pemerintah Belanda mendirikan Sekolah Kelas II (Tweede Inladsche School) di Denpasar (Moolenburg, 1926: 79-80). Karena masyarakat belum memiliki kesadaran tentang pentingnya pendidikan modern model Barat, maka pemerintah sangat sulit untuk memperoleh siswa, bahkan untuk memperoleh siswa aparat desa harus turun tangan ke rumah-rumah penduduk untuk membujuk bahkan memaksa agar orang tua mau menyekolahkan anaknya. Usaha yang dilakukan oleh aparat desa berhasil menyadarkan sebagian anggota masyarakat sehingga sekolah yang baru didirikan memperoleh siswa walaupun jumlahnya sangat terbatas. Persoalan lain yang dihadapai oleh pemerintah kolonial Belanda pada awal berdirinya sekolah-sekolah modern adalah kurangnya tenaga pendidik dari kalangan masyarakat pribumi. Untuk mengatasi persoalan ini pemerintah Belanda membuka sekolah Normaal Cursus di Denpasar. Orang-orang yang telah menyelesaikan pendidikan di Normaal Cursus inilah yang banyak memberi insprirasi kepada masyarakat di sekitarnya sehingga meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan modern. Kondisi ini akhirnya yang mendorong pemerintah kolonial untuk mendirikan Hollandsch Inlandsche School (HIS), Sekolah Bumi Putra Belanda
yang mengambil lokasi di sebelah timur museum Bali. Pendirian HIS
bertujuan untuk menampung anak-anak dari para pegawai pemerintah, tokoh masyarakat, dan golongan bangsawan. Setelah menyelesaikan pendidikan di HIS pada siswa dapat melanjutnya ke sekolah yang lebih tinggi seperti Meer Uitgebreid
24
Lager Onderwijs (MULO) atau ke Algemeene Middlebare School (AMS) yang tentunya berlokasi di luar Bali. Pendidikan modern yang diperkenalkan oleh pemerintah kolonial rupanya belum memenuhi kebutuhan masyarakat secara keseluruhan. Kondisi ini direspon oleh kalangan tokoh-tokoh pergerakan nasional yang pada waktu itu telah tumbuh dan berkembang sampai ke daerah-daerah khususnya di Kota Denpasar. Atas inisiatif pimpinan Komite Taman Siswa Denpasar yakni I Gusti Ngurah Pemecutan, I Nyoman Pegeg, dan I Ketut Ceteg, pada tahun 1933 didirikan Sekolah Taman Siswa yang berlokasi di belakang Bali Hotel. Dalam kurun waktu selanjutnya sekolah Taman Siswa berkembang sampai di Kota Negara dan Karangasem. Para siswa yang telah menyelesaikan pendidikan di Taman Siswa (kelas tujuh) dapat melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Taman Dewasa yang telah dibuka oleh Komite Taman Siswa di sebelah selatan lokasi Puri Denpasar. (Soenaryo, 1989: 90). Pendidikan
modern
yang
diperkenalkan
oleh
pemerintah
kolonial
menciptakan golongan intelektual yang memiliki kesadaran baru dalam upaya membangun masyarakat yang masih terkebelakang. Upaya yang dilakukan adalah mendirikan organisasi modern sebagai wadah baru untuk melakukan aktivitas di bidang sosial budaya. Pada tahun 1908 di Kota Denpasar lahir organisasi pertama yaitu Perkumpulan Budi Utomo Cabang Denpasar. Usaha yang dilakukan oleh organisasi ini adalah mengadakan kursus-kursus pemberantasan buta huruf di berbagai kawasan Kota Denpasar dan desa-desa sekitarnya agar meayarakat dapat membaca dan menulis. Kegiatan yang dilakukan oleh anggota-anggota Budi Utomo sangat membantu masyarakat terutama di kalangan masyarakat yang tidak mendapat kesempatan untuk mengenyam pendidikan modern model barat. Walaupun aktivitas yang dulakukan berhubungan dengan masalah sosial, tetap mendapat pengawasan dari pihak pemerintah kolonial karena Budi Utomo adalah organisasi yang menanamkan paham kebangsaaan bagi anggota-anggotanya. Di samping organisasi Budi Utomo di Kota Denpasar juga lahir organisasi yang mempunyai orientasi di bidang kebudayaan yaitu perkumpulan Eka Laksana pada tanggal 14 Juli 1935. Perkumpulan ini mempunyai tujuan untuk mempelajari dan mengembangkan kebudayaan Bali. Di samping itu perkumpulan juga mempunyai tujuan untuk
25
mempererat persaudaraan di antara para anggota dan saling tolong menolong apabila di antara pelajar-pelajar Bali ada yang mengalami kesusahan. Di kalangan kaum perempuan Kota Denpasar khususnya istri guru-guru dan pegawai kantor juga memiliki inisiatif untuk membentuk perkumpulan. Pada tahun 1934 berdiri perkumpulan perempuan yang bernama Perukunan Istri bertujuan untuk meningkatkan kerukunan antar anggota yang berasal dari berbagai suku bangsa terutama istri guru-guru dan pegawai negeri yang tinggal di Kota Denpasar. Dalam pertemuan yang diadakan seminggu sekali para istri pegawai negeri ini berusaha untuk meningkatkan ketrampilan para anggotanya dalam mengurus rumah tangga. Kegiatan lain dari perkumpulan ini adalah membentuk usaha simpan pinjam sehingga dapat membantu anggotanya yang mengalami kesulitan keuangan. Pada tanggal 1 Oktober 1936 di Kota Denpasar lahir organisasi Putri Bali Sadar, atas inisiatif dari kalangan remaja putri Kota Denpasar terutama yang bekerja sebagai guru. Pengalaman yang diperoleh selama menempuh pendidikan di Kota Blitar Jawa Timur memberikan inspirasi untuk mendirikan organisasi sebagai wadah untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan. Di bawah pimpinan Gusti Ayu Rapeg, Putri Bali Sadar mempunyai tujuan yang sangat mulia seperti: (1) mempererat kerukunan putri-putri Bali; (2) mengusahakan untuk saling menolong bila ada anggota yang mengalami kesusahan; (3) menambah pengetahuan para anggota dengan jalan membaca dan belajar pada waktu-waktu lowong; (4) membantu biaya sekolah murid-murid perempuan Bali yang ditimpa kesusahan; (5) berusaha memberi pelajaran membaca, menulis, dan berhitung kepada putri-putri Bali yang tidak dapat mengenyam pendidikan formal. Untuk memperoleh dana anggota perkumpulan Putri Bali Sadar diwajibkan membayar iuran sebesar £ 0,10 tiap bulan. Pada bulan April 1937 di Kota Denpasar juga berdiri perkumpulan Bali Darma Laksana. Tujuan perkumpulan Bali Darma Laksana adalah memberikan bantuan keuangan kepada orang-orang Bali yang sedang belajar di sekolah menengah atau sekolah tinggi yang nantinya akan ikut membangun masyarakat Bali. Di samping itu perkumpulan ini juga bertujuan untuk memelihara dan memajukan kebudayaan Bali secara luas. Aktivitas yang dilakukan oleh perkumpulan Bali Darma Laksana adalah: membangun semangat kedermawanan di kalangan anggota-
26
anggotanya, menggalang persatuan di kalangan anggota dan orang-orang Bali lainnya, mengusahakan bahan-bahan bacaan untuk kalangan anggota, dan menerbitkan majalah sebagai sarana komunikasi para anggota. Pemerintah Belanda melalui raja dan aparat pribumi lainnya (punggawa, perbekel, kelian dinas) mulai menata dan membangun sarana dan prasarana di Daerah Swapraja Badung dan tetap menggunakan Kota Denpasar sebagai ibukota. Sebagai ibukota daerah swapraja Badung Kota Denpasar dihuni oleh berbagai jenis suku bangsa yang telah ada sejak jaman kerajaan Badung. Menurut cacatan penulis Barat pada akhir abad XIX penduduk Kerajaan Badung berjumlah 71.800 jiwa dengan rincian, Suku Bali Hindu: 60.000 jiwa, Bugis dan Arab 6.000 jiwa, Jawa 5.000 jiwa, dan Cina 600 jiwa (Soenaryo, 1989: 49). Penataan penduduk mulai dilakukan pada tahun 1930 melalui sensus penduduk sehingga jumlah penduduk Denpasar dapat diketahui dengan pasti. Berdasarkan sensus penduduk tahun 1930 penduduk Kota Denpasar berjumlah 62.329 jiwa teridiri atas orang Eropa 155 jiwa, Cina 1.170 orang, orang Timur Asing lainnya berjumlah 250 orang, dan penduduk pribumi jumlahnya 60.754 jiwa. Memperhatikan perkembangan penduduk yang cukup signifikan sebagai akibat dari pertumbuhan Denpasar sebagai kota modern, maka pemerintah kolonial mengintensifkan
kembali
penataan
pemukiman
yang
sesungguhnya
sudah
menempati lokasi tertentu sejak jaman kerajaan. Orang-orang Bugis ditempatkan di Pulau Sakenan, Tuban, dan daerah Tanjung, sedangkan orang-orang Sasak, Madura, dan Jawa menempati lokasi di Kampung Wanasari (Kampung Jawa) dan Daerah Kepaon.(Korn, 1932: 8). Pertumbuhan Kota Denpasar pada masa kolonial sejalan dengan perbaikan dan pelebaran jalan-jalan yang mendorong tumbuhnya usaha pertokoan. Sepanjang ruas jalan yang pada masa kerajaan menghubungkan Puri Denpasar dengan Puri Pemecutan merupakan perkampungan orang-orang Cina dan menjadi basis kegiatan ekonomi karena sepanjang jalan tersebut orang-orang Cina mendirikan toko-toko yang menjual berbagai kebutuhan masyarakat. Jalan yang menghubungkan Kampung Cina menuju ke selatan menjadi basis pemukiman orangorang Arab dan Timur Asing lainnya dikenal dengan Kampung Arab. Penduduk Kota Denpasar pada masa kolonial teridiri atas berbagai suku bangsa yang menganut agama yang berbeda-beda. Masuknya Misi dan Zending pada
27
masa kolonial menambah kompleksitas penduduk Denpasar. Walaupun pada awalnya mendapat banyak rintangan melalui proses yang cukup panjang akhirnya pada tanggal 11 November 1931 terdapat tujuh orang Bali yang dibaptis dan memeluk agama Kristen Protestan. Usaha orang-orang Bali yang telah masuk agama Kristen ini cukup giat, terbukti setahun kemudian yakni pada bulan Mei 1932 di Denpasar dibaptis 100 orang Bali, dan pada bulan Nopember tahun yang sama bertambah lagi 113 orang. Berbeda dengan agama Kristen Protestan yang telah dianut oleh orang Bali pada tahun 1931, agama Katolik mulai dianut oleh orang Bali pada hari Paskah 1936 setelah dua orang Bali dibaptis oleh Pastur J. Kersten. Setelah itu akhirnya agama Katolik berkembang di Denpasar dan sekitarnya bahkan sampai kedaerah-daerah lain di Bali (Soenaryo, 1989: 73-74). Kehidupan masyarakat Kota Denpasar yang memeluk agama berbeda pada masa kolonial tidak menimbulkan konflik antar umat. Hal ini tidak terlepas dari adanya toleransi yang tingga dari masyarakat Bali yang beragama Hindu sebagai umat yang mempunyai jumlah paling banyak di Kota Denpasar. Toleransi beragama sudah ada sejak jaman kerajaan-kerajaan di Bali, terbukti dengan adanya ungkapan nyama slam, artinya orang-orang yang beragama Islam dianggap sebagai saudara oleh orang Bali yang beragama Hindu. Pergantian kekuasaan dari pemerintah kolonial Belanda kepada pemerintah pendudukan Jepang membawa perubahan terhadap masyarakat Bali khususnya masyarakat Kota Denpasar. Pada awalnya buat sementara segala undang-undang dan peraturan pemerintah Hindia Belanda diakui sah oleh pemerintah Jepang asalkan tidak bertentangan dengan keinginan pemerintah Jepang. Dalam perkembangan selanjutnya pemerintah Jepang mulai menerapkan peraturan dan disiplin yang ketat kepada para pegawai dan masyarakat. Untuk memikat hati rakyat dalam mendukung perang Asia Timur Raya pemerintah Jepang memperkenalkan suatu gerakan yang dikenal dengan ”A-Tiga” yang artinya: Dai Nippon pembela Asia, Dai Nippon pemimpin Asia, dan Dai Nippon pahlawan Asia. Dengan mengobarkan semangat perang suci, perang Asia Timur Raya di kalangan pemuda pemerintah mengganti gerakan A-Tiga menjadi Putera artinya Pusat Tenaga Rakyat maksudnya pemerintah Jepang memusatkan semua tenaga rakyat untuk membantu perang melawan musuhmusuhnya.
28
Karena masa pemerintahan yang sangat singkat, pemerintah Jepang tidak banyak meninggalkan karya-karya arsitektur di Bali khususnya di Kota Denpasar. Pemerintah Jepang lebih berorientasi kepada pertahanan dan persiapan perang, sehingga pemerintah Jepang lebih banyak membangun dan mengembangkan sarana pelabuhan seperti pelabuhan Benoa dan lapangan terbang di Tuban, membangun goa-goa pertahanan yang terdapat di daerah Oongan Desa Tonja, Denpasar; membangun gudang-gudang amunisi dan logistik. Hal yang tidak kalah pentingnya yang ditanamkan oleh pemerintah Jepang adalah masalah kedisiplinan sebagai bekal para pemuda untuk berjuang dalam mempertahankan kemerdekaan pada masa revolusi fisik di Bali.
3.2.
Menjadi Ibukota Modern Republik. Kemerdekaan bangsa Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17
Agustus 1945 merupakan mementum bagi bangsa Indonesia untuk menunjukkan diri sebagai bangsa yang sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Berita proklamasi disambut dengan penuh suka cita di berbagai daerah di Indonesia khususnya di Bali. Kedatangan Mr. I Gusti Ketut Pudja di Bali membawa mandat pengangkatannya sebagai Gubernur Sunda Kecil yang berkedudukan di Singaraja. Di samping itu Mr. Pudja juga membawa mandat untuk Ida Bgus Putra Manuaba, yang juga telah diangkat oleh Ir. Soekarno menjadi Ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) Provinsi Sunda Kecil (Pendit, 2008: 77). Berita yang dibawa oleh Mr. Pudja disambut oleh masyarakat khususnya para pemuda di berbagai kota Bali. Salah satu kota yang juga menjadi basis perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan di Bali adalah Kota Denpasar. Kota Denpasar yang telah tumbuh menjadi kota modern sejak pemerintah kolonial menjadikan Kota Denpasar sebagai salah satu pusat pemerintahan di Bali Selatan tumbuh menjadi kota perjuangan Pada bulan Agustus 1945 di Kota Denpasar lahir sebuah organisasi pemuda dengan nama Angkatan Muda Indonesia (AMI) di bawah pimpinan Gusti Ngurah Sindhu, yang bertujuan untuk menegakkan dan mempertahankan Negara Republik Indonesia yang baru diproklamasikan di Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1945. Dalam perkembangan selanjutnya di Denpasar lahir organisasi pemuda yang
29
bertujuan untuk menyatukan semua unsur kepemudaan dengan nama Pemuda Republik Indonesia (PRI) dengan susunan pengurus sebagai berikut: Ketua
: Made Widjakusuma
Wakil Ketua
: Tjokorda Agung
Seksi Keamanan
: Ida Bagus Tantra, Nyoman Mantik
Urusan Perlengkapan : Made Sugita, Gede Windia Seksi Penerangan
: Ida Bagus Sadnya, Suwetja.
Kelahiran PRI di Denpasar menunjukkan bahwa sikap pemuda dan masyarakat Kota Denpasar secara tegas mendukung Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Kehadiran organisasi Pemuda Republik Indonesia mempunyai pengaruh yang cukup besar di kalangan pemuda pelajar dan masyarakat, bahkan PRI terbentuk sampai ke desa-desa di sekitar Denpasar. Demikian juga para pelajar yang tergabung dalam Ikatan Siswa Sekolah Menengah di Kota Denpasar turut serta melancarkan rencana yang digariskan oleh pimpinan PRI Denpasar. Para pemuda di Denpasar ikut menjaga keamanan di wilayahnya masing-masing, ada juga yang berbuat iseng untuk mengekspresikan pikiran dan pandangannya dengan melakukan aksi corat-coret, menulis di tembok-tembok yang berbunyi: Indonesia Sudah Merdeka, Merdeka Atau Mati, Sekali Merdeka Tetap Merdeka, Go Home Straers, The War Is Over. Ungkapan tersebut ditujukan kepada pemerintah pendudukan Jepang agar segera meninggalkan Indonesia. Untuk menjaga kemanan di Bali maka pada tanggal 31 Agustus 1945 lahirlah Badan Kemanan Rakyat (BKR) di Kota Singaraja di bawah pimpinan I Made Putu, mantan Daidanco dari Daedan Negara, Jembrana. Di Denpasar kegiatan BKR ada di bawah kendali Nyoman Pegeg. Pada 1 Nopember 1945 BKR berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat di bawah pimpinan Gusti Ngurah Rai. Lahirnya TKR menjadikan suasana politik tambah hangat karena terjadi gesekan antara para pemuda pejuang dengan tentara Jepang yang sering melakukan provokasi. Dalam rangka mematangkan perjuangan maka diadakan pertemuan antara TKR, PRI di Denpasar untuk melucuti senjata tentara Jepang. Rupanya apa yang direncana oleh pihak pejuang sebelumnya telah tercium oleh tentara Jepang sehingga penyerbuan yang dilakukan terhadap tangsi Jepang mengalami kegagalan.
30
Kegagalan ini mengakibatkan pimpinan TKR dan organisasi pemuda yang berjuang di Kota Denpasar memutuskan untuk mundur sampai di Puri Kesiman yang letaknya di bagian timur Kota Denpasar. Dalam keadaan terdesak di Puri Kesiman karena telah dikepung oleh tentara Jepang para pimpinan pemuda pejuang berusaha mengatur siasat agar dapat keluar dari kepungan tentara Jepang yang memiliki persenjataan jauh lebih lengkap. Dengan keyakinan yang tinggi dan bersumpah untuk terus melanjutkan perjuangan para pemuda pejuang yang terkepung di Puri Kesiman satu persatu meloloskan diri melalui rumah-rumah penduduk keluar ke arah utara dan melanjutkan perjalanan menuju Desa Carangsari tempat kelahiran Gusti Ngurah Rai. Gerakan ini merupakan strategi baru untuk menghindari pertempuran dengan tentara Jepang, dan selanjutnya mereka menyebar ke desa-desa dan memberi penerangan kepada masyarakat dan menyusun kekuatan massa. Selama periode revolusi Denpasar menjadi tempat markas pasukan Sekutu (Inggris) dan tentara NICA untuk mengamankan Pulau Bali. Oleh karena itu Denpasar menjadi wilayah perebutan pengaruh antara pemerintah kolonial dengan pemuda pejuang. Salah satu contoh upaya para pemuda pejuang untuk menunjukkan pengaruhnya adalah dengan mengadakan serangan dadakan yang dikenal dengan Serangan Umum Kota Denpasar pada bulan April 1946. Walaupun belum mencapai hasil yang maksimal, serangan tersebut sebagai upaya dari kalangan pemuda untuk menunjukkan eksistensinya kepada pemerintah asing yang tetap mengangkangi wilayah Indonesia yang telah diprokamirkan. Setelah peristiwa perang habis-habisan di Desa Marga yang dikenal dengan Puputan Margarana pada tanggal 20 Nopember 1946, para pemuda pejuang tetap melanjutkan perjuangan dan menggunakan Kota Denpasar sebagai Markas Kota Pusat dalam upaya untuk terus menumbuhkan semangat mempertahankan kemerdekaan. Kebijakan pemerintah kolonial Belanda sesudah Perang Dunia II terhadap kerajaan-kerajaan di Bali ditujukan untuk mewujudkan pemerintahan yang lebih demokratis, kerjasama yang lebih besar berdasarkan prinsip federal, maka pemerintah dalam mempertahankan pengaruhnya mempelopori pembentukan suatu negara federal. Salah satu negara bagian pertama yang dibentuk adalah Negara Indonesia timur (NIT) melalui suatu konferensi bertempat di Bali Hotel Denpasar
31
dikenal dengan nama Konferensi Denpasar, berlangsung pada tanggal 7-24 Desember 1946. Pemerintahan di Bali menjadi bagian administrasi pemerintahan NIT yang berlangsung selama tiga tahun, dari Desember 1946 samapi bulan Juni 1950. Daerah Bali merupakan federasi atau gabungan dari delapan kerajaan yaitu: Badung, Tabanan, Bangli, Buleleng, Jembrana, Gianyar, Klungkung, Karangasem. Gabungan delapan kerajaan dibentuk berdasarkan Staatblad van Nederland Indie pada tanggal 4 Pebroari 1946, diperbaharui setahun kemudia yakni pada tanggal 15 Agustus 1947. Susunan pemerintahan yang dibentuk memakai prinsip Bali yaitu sistem pemerintahan yang terdiri atas Dewan Raja-Raja dan sebuah Paruman Agung, semacam Dewan Perwakilan Rakyat. Dewan Raja-Raja terdiri atas delapan anggota yakni raja-raja yang sedang memerintah, salah seorang dari raja-raja tersebut menjadi Ketua Dewan Raja-Raja. Paruman Agung terdiri atas 40 orang anggota, 34 anggotanya dipilih dari kerajaan-kerajaan dan enam anggota diangkat oleh Dewan Raja-Raja. Kekuasaan membuat peraturan daerah dan menetapkan anggaran keuangan dilakukan oleh kedua badan tersebut. Golongan elite tradisional yang berkuasa (raja-raja) pada waktu itu sangat mendukung kebijakan pemerintahan NIT karena ingin tetap mempertahankan kekuasaan tradisionalnya di Bali dan menyesuaikan dengan ide-ide demokrasi yang dibawa oleh birokrat Belanda. Mereka ingin mempertahankan nilai-nilai sosial tradisional beserta lambang-lambang tradisi dan disesuaikan dengan ide-ide pembaharuan pada waktu itu. Setelah berakhirnya Puputan Margarana dan sejak berdirinya kembali pemerintahan kerajaan, tampak adanya dua kekuatan dalam masyarakat Bali yakni, golongan republikein adalah kelompak masyarakat yang tetap teguh membela dan mendukung Negara Kesatuan Republik Indonesai; dan golongan federalis adalah kelompok masyarakat yang mendukung Negara Indonesia Serikat. Raja Badung Cokorda Alit Ngurah adalah raja yang menyatakan kesetiaannya kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menggunakan purinya sebagai tempat pertemuan para pejuang di Kota Denpasar. Perbedaan Kepentingan kedua golongan ini menumbuhkan benih-benih perpecahan yang cukup lama antara periode tahun 1946 sampai tahun 1951.
32
Menghadapi situasi politik yang terus bergolak terjadi kesepakatan antara golongan republikein yang berjuang di kota Denpasar dengan pemuda pejuang yang sedang bergrilya di gunung dan hutan untuk melahirkan partai politik. Pendirian partai politik bertujuan agar dapat berjuang mempertahankan kemerdekaan secara legal di kota, sedangkan para pemuda pejuang terus bertempur di hutan dan gunung melawan tentara NICA. Usaha yang tak kenal lelah dari golongan republikein akhirnya di Kota Denpasar pada tanggal 8 Desember 1946 melahirkan partai politik yang diberi nama Partai Rakyat Indonesia (PARRINDO) yang bertujuan memperjuangkan Indonesia meredeka dan menghap[uskan penjajahan atas bumi Indonesia (Pendit, 2008: 272). Partai yang baru berdiri diketuai oleh Gusti putu Merta dan wakil ketuanya adalah Dr. Suwarno. Berdirinya Partai Rakyat Indonesia mendapat simpati yang luas dari golongan republikein di wilayah Badung, Tabanan, Buleleng, dan Bangli karena partai ini mendapat dukungan dari Markas Besdar Umum Dewan Perjuangan Rakyat Indonesia (MBU DPRI). Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pendidikan dalam mencapai tujuan, maka Parindo membentuk badan yang diberi nama Majelis Pendidikan Rakyat (MPR) pada tanggal 8 Desember 1946. Majelis Pendidikan Rayat mendirikan lembaga pendidikan yaitu Sekolah Lanjut Umum di bawah pimpinan Gusti Made Tamba. Di samping itu Majelis Pendidikan Rakyat juga melakukan usaha berupa kursus-kursus Pemberantasan Buta Huruf. Keberhasilan Parindo bekerjasama dengan pemuda pejuang yang bergrilya di desa-desa merebut simpati masyarakat menimbulkan rasa antipati dikalangan penguasa Belanda. Berdasatkan surat keputusan Letnan Gubernur Jenderal H.J. van Mook, maka dilakukan penangkapan terhadap para pemimpin Parindo dengan tuduhan bekerja sama dengan kaum ekstrimis dan pembrontak. Berdasarkan tuduhan tersebut akhirnya para pemimpin Parindo dijebloskan ke dalam penjara dan Partai Rakyat Indonesia dinyatakan sebagai partai terlarang pada tanggal 4 Juni 1947. Dibubarkannya Parindo tidak menyurutkan usaha para pejuang untuk membangun kesadaran masyarakat terutama melalui pendidikan. Melalui lembaga pendidikan yang bernama Sekolah Lanjut Umum, I Gusti Putu Tamba dan kawankawan terus menggalang kekuatan kebangsaan di kalangan masyarakat. Intimidasi terhadap lembaga pendidikan kebangsaan terus dilakukan oleh pemerintah kolonial
33
Belanda melalui topeng Negara Indonesia Timur. Terbakarnya gubuk darurat SLU yang dibangun di Kaliungu Kelod dan penangkapan terhadap I Gusti Putu Tamba merupakan tindakan sewenang-wenang, walaupun dengan alasan demi keamanan dan ketertiban umum. Selanjutnya pemerintah NIT membubarkan Majelis Pendidikan Rakyat dengan alasan majelis telah melakukan tindakan subversif, melakukan
usaha-usaha
yang
bertentangan
dengan
ketertiban
umum,
menyembunyikan orang-orang revolusioner yang ingin menumbangkan NIT dan menegakkan Republik Indonesoia di Bali. Setelah keluar dari tahanan I Gusti Putu Tamba dan kawan-kawannya bertekad untuk tetap meneruskan perguruan kebangsaan dengan segala macam tantangan yang dihadapi. Dalam perkembangan selanjutnya terus diadakan penyegaran kepengurusan dan pada tanggal 12 Pebruari 1949 perguruan kebangsaan ini dipimpin oleh Ida Bagus Putra Manuaba. Sejak itu SLU mulai mebuka cabangcabangnya di beberapa tempat seperti di Karangasem, Tabanan, dan Negara. Pada tahun 1949 juga dilaksanakan kongres pendidikan bertempat di Taensiat Denpasar. Dalam kongres tersebut berhasil menghasilkan keputusan yang berubah nama Majelis Pendidikan Rakyat menjadi Perguruan Rakyat Saraswati. Dalam usaha memenuhi tuntutan masyarakat untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi, maka pada tahun 1952 didirikan Sekolah Lanjut Umum bagian Atas (SLUA) yang dibagi menjadi dua bagian yakni bagian A dan B. Tahun 1953 didirikan Taman Guru Atas (TGA) yang bertujuan untuk menghasilkan tenagatenaga pendidik yang pada saat itu sangat kurang. Pada tahun 1952 dibangun gedung yang lebih represntatif di wilayah Kreneng (Jalan Kamboja sekarang).
3.3.
Menjadi Ibukota Pusat Pemerintahan Dati II (Kabupaten) dan Dati I (Provinsi) Dalam upaya meningkatkan pelayanan
kepada masyarakat yang terus
berkembang di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka pemerintah membuat berbagai produk perundang-undangan. Pada tahun 1957 dikelurkan
Undang-Undang
Nomor
I
Tahun
1957
tentang
Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah, yang memuat ketentuan bahwa pemerintah daerah terdiri atas
34
Dewan Pemerintah Daerah (DPD) dan Dewan Pertimbangan Rakyat Daerah (DPRD). Implementasi dari UU No. I Tahun 1957 ialah dikeluarkannya UndangUndang Nomor 69 Tahun 1958 tentang pembentukan Daerah Swatantra Tingkat II. Sesuai dengan ketentuan yang termaktub dalam undang-undang tersebut, maka sejak bulan Desember 1958 nama daerah bagian/swapraja diganti menjadi Daerah Swatantra Tingkat II. Pemerintah Daerah Swatantra Tingkat II terdiri atas DPRD dan DPD daerah peralihan yang mengurus otonomi rumah tangga di daerah swatantra tingkat II. Kekuasaan eksekutif dijalankan oleh seorang Kepala Dearah Swatantra Tingkat II. Pada masa kekuasaan Orde Lama ada upaya untuk memperbaharui UndangUndang Nomor 1 Tahun 1957 tentang otonomi daerah. Sebagai kelanjutan dari dikeluarkannya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, dikeluarkanlah Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 6 Tahun 1959 sebagai perubahan mendasar terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 khususnya mengenai kedudukan kepala daerah. Menururt Penpres Nomor 6 Tahun 1959, pemerintah daerah terdiri dari Kepala Daerah dan DPRD. DPD dihapuskan dan diganti dengan Badan Pemerintah Harian (BPH) yang anggota-anggotanya hanya merupakan pembantu kepala daerah dengan tugas sebagai Badan Penasehat Kepala Daerah. Pemerintahan kolegial diganti dengan pemerintah tunggal yang diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah pusat. Kepala daerah mempunyai dua fungsi yakni sebagai pejabat negara adalah alat pemerintah pusat di daerah (bupati) dan sebagai alat pemerintahan daerah (kepala daerah). Ketentuan-ketentuan dalam Penpres Nomor 6 Tahun 1959 selanjutnya dimuat dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957. Menurut UndangUndang Nomor 6 Tahun 1965, seluruh wilayah Negara Republik Indonesia terbagi atas daerah-daerah yang berhak menguasai rumah tangganya sendiri (otonomi darah) yang tersusun dalam tiga tingkatan, yaitu Provinsi/Kotaraya sebagai Daerah Tingkat I, Kabupaten/Kota Madya sebagai Daerah Tingkat II, dan Kecamatan/Kotapraja sebagai Daerah Tingkat III (Wirawan dkk., 2004: 62). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965yang mulai dilaksanakan di delapan daerah Swatantra tingkat
35
II seluruh Bali pada bulan Maret 1968, maka diubahlah sebutan Daerah Swatantra Tingkat II menjadi Daerah Tingkat II. Pelaksanaaan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 pada masa Orde Baru belum mampu mengimbangi perkembangan dan tuntutan terhadap pelayanan kepada masyarakat yang terus meningkat sebagai dampak dari pembangunan yang dilaksanakan dalam berbagai sektor kehidupan masyarakat. Oleh karena itulah diadakan penyempurnaan aturan perundang-undangan dengan mengeluarkan undang-undang baru yakni Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1974 tentang PokokPokok Pemerintahan di daerah. Ketentuan yang ada di dalam undang-undang tersebut lebih memperkokoh unsur dekonsentrasi di daerah-daerah demi pengamanan keutuhan dan kesatuan Negara republik Indonesia. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 disebutkan, bahwa pemerintah daerah terdiri atas Kepala Daerah dan DPRD. Kepala daerah tidak didampingi lagi oleh BPH sebagai badan penasehat dalam bidang eksekutif tetapi oleh Dinas-Dinas Daerah dan Sekretaris Daerah di bidang pemerintahan daerah. Sesungguhnya menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 diharapkan titik berat otonomi ada di Kabupaten Daerah Tingkat II. Meskipun otonomi ditekankan pada daerah tingkat II, Provinsi Daerah Tingkat I masih tetap diperlukan untuk mengatur hal-hal yang menyangkut lintas daerah tingkat II. Sesuai dengan perkembangan pemerintahan yang teah diatur dalam undangundang, proses pemekaran daerah telah terjadi di Nusa Tenggara sebagai salah satu provinsi di wilayah Neraga Republik Indonesia. Pada tahun 1958 Provinsi Nusa Tenggara yang pada saat itu ibukotanya Singaraja dimekarkan menjadi tiga provinsi yakni Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur yang masingmasing berkedudukan di Singaraja, Mataram,dan Kupang. Untuk mengimbangi perkembangan yang terjadi di Bali maka DPRD Tingkat I Bali mengajukan resolusi kepada Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah untuk memindahkan kedudukan ibukota Provinsi Bali. Atas dasar resolusi tersebut maka Menteri dalam Negeri dan Otonomi Daerah memutuskan untuk memindahkan kedudukan ibukota Provinsi Bali dari Kota Singaraja ke Kota Denpasar sejak tanggal 23 Juni 1960 (Keddy Setiada, 2009: 68). Sejak itulah Kota Denpasar menjadi nama ibukota Pemerintah Daerah
36
Tingkat I Bali dan ibukota Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Badung. (Lembaran Negara Republik Indonesia No. 122, Tahun 1958). Pemindahan ibukota provinsi dari dari Kota Singaraja ke Kota Denpasar memberi dampak positif bagi perkembangan Kota Denpasar. Kota Denpasar mulai ditata dan dibangun sarana dan prasarana baru untuk menunjang aktivitas pemerintahan. Pada mulanya pusat ibukota provinsi dipenuhi bangunan-bangunan hasil karya para teknokrat alumni Sekolah Teknik Menengah (STM). Langgam arsitektur dari karya mereka secara umum masih mencerminkan arsitektur kolonial. Dalam perkembangan selanjutnya peran mereka diambil alih oleh para insinyur dan arsitek yang telah menyelesaikan pendidikan di berbagai universitas di luar Bali. Perkembangan kota Denpasar memunculkan kelompok baru yang disebut golongan intelektual. Kesadaran yang semakin tinggi dari para intelektual di Bali betapa pentingnya peranan sastra klasik sebagai sumber untuk mempelajari budaya Bali yang dijiwai oleh Agama Hindu memerlukan lembaga yang khusus sebagai tempat untuk mendalami hal tersebut. Dibukanya kesempatan oleh pemerintah untuk mendirikan lembaga pendidikan tinggi merupakan momentum untuk mendirikan Fakultas Sastra di Bali. Sebagai persiapan awal maka dibentuklah suatu yayasan yang diberi nama Yayasan Fakultas-Fakultas Nusa Tenggara diketuai oleh Letkol Minggoe, Komandan Resimen Infanteri 26/VII Wirabuwana/kem N.T Raksabuwana. Yayasan ini bertugas untuk mencari syarat-syarat untuk mendirikan sebuah fakultas dan menghubungi orang-orang yang memiliki kopetensi di bidang sastra seperti R. Goris, Ida Bagus Mantra, I Gusti Ketut Ranuh dan lain-lain. Hasil kerja keras yang dilakukan oleh Yayasan Fakultas-Fakultas Nusa Tenggara akhirnya berhasil membentuk suatu Panitia Persiapan Perguruan Tinggi Nusa Tenggara yang menetapkan pendirian Fakultas Sastra di Bali dan diresmikan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 29 September 1958. Sesuai dengan isi pidato R. Ng. Poerbatjaraka pembukaan Fakultas Sastra dianggap sebagai kunci wasiat untuk membuka perbendaharaan sastra dan budaya lama secara ilmiah. Sedangkan Presiden Soekarno dalam pidato peresmian Fakultas Sastra mengharapkan agar Fakultas Sastra yang berdiri di Kota Denpasar dapat menjadi pewahyu (penerang dan penyuluh) bagi kehidupan masyarakat dan menanamkan rasa cinta tanah air demi kemajuan bangsa dan negara di masa yang akan datang.
37
Masyarakat Bali sangat mendambakan adanya sebuah perguruan tinggi di Bali telah mendorong pemerintah dan pejabat pemerintah daerah, tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh-tokoh pendidikan untuk mengadakan pertemuan membahas langkah-langkah yang perlu diambil dalam persiapan mendirikan perguruan tinggi di Bali. Usaha keras dari Panitia Persiapan Pendirian Universitas Udayana Bali akhirnya melalui Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1963 tertanggal 31 Januari 1963, menetapkan dan mengesahkan pendirian Universitas Udayana di Denpasar yang terdiri atas Fakultas Sastra, Fakultas Kedokteran, Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan, Fakultas Keguruan dan Pendidikan. Pada tahun 1965 dibuka lagi Fakultas Teknik dengan Jurusan Arsitektur dan Seni Rupa yang dilandasi pemikiran untuk melestarikan dan mengembangkan arsitektur tradisional Bali supaya dapat mengikuti kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Di samping perguruan tinggi negeri di Denpasar juga berdiri perguruan tinggi swasta. Pada tahun 1961 pembinaan umat khususnya yang beragama Hindu sangat kurang. Hal ini tidak lepas dari kurangnya tenaga penyuluh yang menguasai bidang Agama Hindu. Oleh karena itulah muncul gagasan dari tokoh umat Hindu untuk mendirikan perguruan tinggi yang mempunyai missi khusus mendalami ajaran Agama Hindu. Pada pertemuan yang diadakan di Campuhan, Ubud pada tanggal 23 Nopember 1961 dihadiri oleh tokoh-tokoh pemuda yang berasal dari berbagai wilayah Nusantara dan juga para sulinggih dari Bali berhasil memutuskan untuk mendirikan perguruan tinggi agama sebagai tempat pendidikan memperdalam Agama Hindu. Pada tanggal 3 Oktober 1963 berdiri Institut Hindu Dharma di Denpasar. Masyarakat Bali dikenal memiliki nilai kebudayaan yang tidak ternilai harganya dan sangat dikagumi oleh masyarakat manca negara. Salah satu unsur kebudayaan Bali yang sangat menonjol adalah kesenian khas Bali yang tidak ditemukan di daerah lain di Nusantara. Perkembangan kesenian modern dikhawatirkan akan membawa pengaruh negatif terhadap perkembangan kesenian tradisional Bali sehingga muncul gagasan untuk mempelajari dan melestarikan kesenian Bali. Melalui Jawatan Kebudayaan Bali di Singaraja diajukan permohonan kepada pemerintah pusat untuk mendirikan Kokar (Konser Karawitan) Bali pada
38
tanggal 13 Maret 1957. Setelah melalui persiapan yang matang akhirnya pada tanggal 30 September 1960 Kokar Bali secara resmi dibuka walaupun masih berafiliasi kepada Kokar Solo. Berkat kerja keras panitia dibantu oleh pihak Pemerintah Bali dan para seniman, akhirnya peresmian Kokar Bali dapat diadakan pada tanggal 30 September 1960 di aula Perguruan Subsidi Saraswati Denpasar. Untuk mewujudkan gedung baru Pemerintah Pusat dan Bupati Badung memberikan bantuan dana untuk membeli tanah di Jalan Ratna sebagai lokasi yang cukup strategis pada waktu itu. Dalam perkembangan selanjutnya di Kota Denpasar berdiri Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) pada tanggal 28 Januari 1967. Pendirian ASTI berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali Nomor 2/Pem./5/a/1967 atas prakarsa Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan (Listibya). Pendirian ASTI Denpasar dilandasi oleh pola dasar pembinaan kebudayaan Daerah Bali dengan memperhatikan sifat-sifat pertahanan, penggalian, pembinaan, dan pengembangan kebudayaan Bali. Di samping itu para seniman yang menggeluti seni tradisional sudah semakin langka karena faktor usia dan ada kekhawatiran di sebagian pihak bahwa akan meninggalkan seni tradisional. Oleh karena itu sangatlah mendesak untuk mendirikan lembaga pendidikan seni sebagai tempat untuk mempelajari, menggali dan mengembangkan kesenian tradisional Bali. Di samping lembaga pendidikan sebagai tempat untuk menggali, mengkaji kesenian Bali, juga diperlukan tempat untuk pameran, pementasan dan dokumentasi karya-karya seniman Bali. Pada tahun 1969 di Kota Denpasar mulai dibangun Pusat Kesenian (Art Centre) atau Taman Budaya. Pengembangan Pusat Kesenian bertujuan untuk mengembangkan seni budaya Bali. Taman Budaya yang lokasi di bagian timur Kota Denpasar mempunyai luas 5 Ha mempunyai berbagai bangunan seperti: gedung pameran, gedung kriya, gedung studio patung, balai panjang, panggung terbuka (ardha candra), perpustakaan, balai pepaosan, panggung kecil, wantilan, dan panggung tertutup. Fungsi dan tugas Taman Budaya Bali (Werdi Budaya) adalah: a. Melaksanakan
kegiatan
kebudayaan,
seperti
rekreasi
sehat
bagi
masyarakat, pergelaran, pameran, pekan seni, dan ceramah. b. Melaksanakan usaha penggalian dan peningkatan mutu seni.
39
c. Melaksanakan dokumentasi data kebudayaan, menyediakan bahan-bahan, serta memberi penerangan berbagai aspek kebudayaan. d. Melaksanakan urusan tata usaha dan rumah tangga Taman Budaya Denpasar (Rama, 1998: 199). Taman Budaya Denpasar merupakan tempat untuk melaksanakan Pesta Kesenian Bali (PKB) yang dilaksanakan setiap tahun sekali pada bulan Juni-Juli. Berkembangnya Kota Denpasar menjadi kota modern dan semakin bertambahnya kunjungan wisatawan baik domistik maupun manca negara membutuhkan pembangunan fasilitas penunjang kepariwisataan seperti hotel, restoran, dan biro perjalanan wisata. Di samping Bali Hotel yang telah ada sejak jaman pemerintah kolonial Belanda, pada tahun 1963 mulai dibangun Bali Beach Hotel di Pantai Sanur. Pembangunan hotel bintang lima ini digagas oleh Presiden Soekarno yang juga seorang insinnyur jebolan Sekolah Tinggi Teknik Belanda di Bandung (kini Institut Teknologi Bandung) dan selesai dikerjakan pada tahun 1966 atas biaya pampasan perang dari pemerintah Jepang. Setelah diresmikan pada tahun 1966 oleh Presiden Soekarno, hotel yang kini bernama Inna Grand Bali Beach telah mengalami beberapa kali perbaikan, salah satu karena kebakaran. Secara geografis ketika menjadi ibukota Provinsi Bali dan ibukota Kabupaten Badung, Kota Denpasar tetap merupakan sebuah wilayah kota kecamatan yaitu Kecamatan Denpasar yang statusnya sama dengan kecamatan-kecamatan lain di daerah Kabupaten Badung. Kecamatan Denpasar atau Distrik Denpasar membawahi lima Desa Perbekelan yakni: Padangsambian, Pemecutan, Dangin Puri, Dauh Puri, dan Kampung Jawa. Setelah ditingkatkannya Kecamatan menjadi Kota Administratif (Kotif) pada tahun 1978, maka Kotif Denpasar dimekarkan menjadi tiga kecamatan yaitu: Denpasar Barat, Denpasar Timur, dan Denpasar Selatan.
40
IV DENPASAR SEBAGAI IBU KOTA DAERAH TINGKAT II
4.1.
Kota Administratif (28 Agustus 1978) Sejak Kota Denpasar menjadi daerah sentra pengembangan wilayah di daerah
Bali Tengah setelah diresmikannya Denpasar sebagai ibu kota Provinsi Bali bersamaan dengan terbentuknya Provinsi Bali pada tanggal 14 Agustus 1958, maka Kota Denpasar tumbuh sebagai kota yang mengalami perkembangan pesat (Biro Humas Setwilda Bali, 1989: 5). Secara administrasi, Denpasar yang juga merupakan ibukota Daerah Tingkat II Badung merupakan satu wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Denpasar yang membawahi lima buah desa. Kelima buah desa tersebut adalah Desa Padangsambian, Desa Pemecutan, Desa Dauh Puri, Desa Dangin Puri, dan Kampung Jawa (I Gusti Gde Raka, 1976: 6). Dalam perkembangan lebih lanjut, Kota Denpasar sejak tahun 1958 mengalami laju perkembangan yang sangat pesat. Hal ini disebabkan oleh adanya kepentingan dalam memenuhi kebutuhan kota sebagai ibu kota provinsi, seperti fasilitas perkantoran, pertokoan (pasar), pemukiman, pelayanan sehari-hari masyarakat, kesehatan, sekolah dan sebagainya. Semua ini merupakan faktor semakin kompleksnya masalah yang harus dihadapi oleh Pemerintah Daerah Tingkat II Badung. Sejak memasuki masa pembangunan lima tahun (pelita) I, upaya perbaikan kota Denpasar mulai dilakukan dengan penyusunan program induk pengembangan Kota Denpasar. Dalam rencana pengembangan Kota Denpasar ini ditetapkan bahwa Denpasar yang merupakan ibukota Provinsi Bali, merupakan pusat pengembangan di daerah Bali Tengah. Oleh karena itu segala fasilitas yang menunjang kegiatankegiatan pemerintahan mulai dibangun, seperti perkantoran, perumahan, dan sebagainya yang merupakan kebutuhan dasar dalam rangka memberikan pelayanan yang efektif kepada masyarakat Kota Denpasar. Pemerintah Daerah Tingkat II Badung dalam melaksanakan urusan pemerintahannya tampak akan semakin berat dan beragam, sehingga sangat diperlukan adanya pencarian jalan keluar untuk mengatasi masalah ini. Selain masalah-masalah pemerintahan di tingkat provinsi maupun di tingkat nasional pada
41
saat-saat tertentu, Pemda Tingkat II Badung juga menghadapi masalah lain yang menyangkut masalah kependudukan. Oleh karena itu sejak tahun 1972, upaya mengatasi masalah ini mulai diketengahkan oleh Pemda Tingkat II Badung untuk dibahas dalam
berbagai pertemuan, dan menjadi salah satu topik pembicaraan-
pembicaraan resmi. Demikian juga dalam surat-surat keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Badung tanggal 15 Juni 1972 masalah kota Denpasar mulai menjadi topik pembicaraan (Salinan Surat-surat Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Badung Nomor 36/DPRD/1972 tanggal 15 Juni 1972 tentang Pengesahan Rencana Induk Pengembangan Kota Denpasar). Upaya pertama yang dilakukan dalam rangka ini adalah proses perencanaan kota administratif, yaitu dengan meneliti latar belakang historis dari keberadaan Kota Denpasar. Dari perencanaan inilah disepakati oleh Pemda Tingkat II Badung beserta jajarannya untuk sesegera mungkin mengusulkan kota menjadi kota administratif. Selain alasan faktor historis tersebut di atas, apabila ditinjau dari segi kwalitas dan kwantitas kota, perkembangan kota Denpasar yang sangat pesat baik fisik maupun non fisik serta letak geografisnya yang sangat strategis baik dipandang dari segi nasional maupun internasional. Dengan posisi yang strategis ini Kota Denpasar dirasa penting untuk meningkatkan statusnya menjadi kota administratif (“Laporan Panitia Khusus A Dewan Perwakilan Rakyat DaerahKabupaten Daerah Tingkat II Badung tentang Proses Rencana Peningkatan Status Kota Denpasar”, Arsip Perpustakaan Kantor Bupati Kepala Daerah Tingkat II Badung)
4.1.1. Terbentuknya Kota Administratif Denpasar Dengan berbagai pertimbangan tersebut di atas, maka berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali pada tanggal 27 Juni 1974, segera dilakukan pertemuan awal sebagai tindak lanjut dari rencana di atas. Selain itu, pertemuan ini juga didasarkan atas surat keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Badung Nomor 36 tahun 1974 tentang rencana induk kota Denpasar. Pertemuan yang dihadiri oleh beberapa instansi tersebut kemudian menetapkan dibentuknya Team Konsultariat Provinsi Bali (Proses Pembentukan Kotif Denpasar dan Rencana Pembentukan Kodya Denpasar, Arsip Koleksi Perpustakaan Kantor Bupati Kepala Daerah Tingkat II Badung).
42
Sejalan dengan itu pula maka pada tahun 1975 berdasarkan surat Menteri Dalam Negeri tanggal 28 Pebruari 1975 Nomor: B.K.T. 3/1/12, pemerintah pusat mengadakan penelitian terhadap Kota Denpasar dan beberapa kota lainnya di Indonesia. Oleh karena itu Bupati Badung beberapa kali melakukan pertemuanpertemuan
guna
membahas
perencanaan
ini
dengan
jajarannya
untuk
menindaklanjuti perencanaan menaikkan status kota Denpasar menjadi Kota Administratif (Surat-surat Undangan dan Surat Kawat Kabupaten Daerah Tingkat II Badung, kepada jajarannya, tanggal 3 Agustus 1976, 9 Agustus 1976, 22 Januari 1977, dan 7 Maret 1977 tentang pembahasan lebih lanjut Persiapan Kota Denpasar sebagai Kota Administratif, Arsip Koleksi Kantor Bupati Kepala Daerah Tingkat II Badung). Selain itu Team Konsultariat yang telah terbentuk juga beberapa kali melakukan rapat guna mencari masukan-masukan perencanaan kota administratif Denpasar (Hasil Rapat Team Konsultariat Tk I Bali tanggal 24-3-1975, Arsip Koleksi Perpustakaan Kantor Bappeda Provinsi Bali). Berdasarkan beberapa pertemuan rapat baik di tingkat Kabupaten Badung maupun di tingkat Provinsi Bali dengan Team Konsultariat, maka diputuskan untuk dengan segera mengirim surat usulan kepada pemerintah pusat melalui Pemerintah Daerah Tingkat I Bali. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka pada tanggal 5 Maret 1977 Bupati Kepala Daerah Tingkat II Badung mengirim usulan kepada Pemerintah Dearah Tingkat I Bali untuk diteruskan kepada Menteri Dalam Negeri. Dengan dikirimnya surat Bupati Badung dengan Nomor: Pemb.1/299/77 segera, tanggal 5 Maret 1977, tentang peningkatan status kota Denpasar, maka keluarlah Peraturan Pemerintah Nomor: 20 Tahun 1978 tentang pembentukan Kota
Administratif
Denpasar. Keluarnya Peraturan Pemerintah tersebut di atas, secara yuridis formal Kota Denpasar telah menjadi sebuah wilayah Kota Administratif. Oleh karena itu, PP Nomor: 20 tahun 1978 ini menjadi dasar hukum terbentuknya Kota Administratif Denpasar (Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor: 16 Tahun 1978 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor: 20 Tahun 1978 tentang Pembentukan Kota Administratif Denpasar. Arsip Koleksi Perpustakaan Kantor Bupati Badung). Untuk melakukan pembagian wilayah, terutama dalam kaitannya dengan pelaksanaan urusan kepemerintahan, maka berdasarkan Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Badung Nomor: 167/Pem.15/166/79 tentang Pemekaran/
43
Pembentukan Desa-desa Persiapan dalam wilayah Kota Administratif Denpasar, dilakukan pemekaran wilayah di Kota Denpasar (Surat Keputusan Bupati Kepala daerah
Tingkat
II
Badung
Nomor:
167/Pem.15/166/79
tentang
Pemekaran/Pembentukan Desa-desa Persipana dalam Wilayah Kota Administratif Denpasar. Arsip Koleksi Perpustakaan Kantor Bupati Badung). Berdasarkan hasil pemekaran wilayah tersebut di atas, maka Denpasar yang semula merupakan satu wilayah kecamatan, menjadi tiga buah kecamatan, yaitu Kecamatan Denpasar Barat, Kecamatan Denpasar Timur, dan Kecamatan Denpasar Selatan. Denpasar Barat dengan membawahi lima desa, yaitu Desa Padangsambian, Desa Pemecutan, Desa Dauh Puri, Desa Ubung, dan Desa Peguyangan. Kecamatan Denpasar Timur membawahi enam desa yaitu Desa Sumerta, Desa Kesiman, Desa Penatih, Desa Tonja, Desa Dangin Puri, dan Kampung Jawa. Sementara Kecamatan Denpasar Selatan membawahi tujuh desa yaitu Desa Pedungan,Desa Pemogan, Desa Panjer, Desa Renon, Desa Sanur, Desa Sesetan, dan Desa Serangan. Berdasarkan persetujuan dari Menteri Dalam Negeri, maka pada tanggal 28 Agustus 1978 kota Denpasar diresmikan menjadi Kota Administratif (Surat Gubernur Bali No: Pem/I.c/46/1978 tentang Tindak Lanjut Kota Administratif Denpasar, yang ditujukan kepada Menteri Dalam Negeri. Arsip, koleksi Kantor Gubernur Provinsi Bali, 1-3). Berdasarkan
beberapa
pertimbangan
setelah
diresmikannya
Kota
Administratif Denpasar, maka desa-desa di wilayah Kota Administratif Denpasar mulai diadakan penataan ulang, dimana Desa Pemogan di Kecamatan Denpasar Selatan yang sebelumnya merupakan sebuah desa, dijadikan sebagai sebuah banjar di bawah Desa Pedungan. Demikian pula Kampung Jawa yang sebelumnya merupakan wilayah Kecamatan Denpasar Timur, kemudian diubah menjadi sebuah banjar yang masuk wilayah Desa Dauh Puri, Kecamatan Denpasar Barat.
4.1.2. Perencanaan dan Perluasan Kota. Perencanaan pembangunan kota memerlukan adanya suatu pemikiran yang matang, karena jika dilihat dari fungsi kota yang sangat kompleks, yaitu sebagai sentral kegiatan pemerintahan, pendidikan, perdagangan dan sebagainya, maka sangat dibutuhkan adanya perencanaan yang mengikuti alur wilayah yang akan menjadi perluasan kota itu sendiri. Selain itu, juga dibutuhkan seni pengaturan,
44
sehingga perencanaan kota dapat tertata dengan rapi, penuh daya tarik sehingga mendorong terjadinya perkembangan morfologis kota itu sendiri. Oleh karena itu perencanaan kota Denpasar secara fisik perlu dilakukan penataan kembali, karena berdasarkan hasil pemetaan wilayah Pemda Tingkat II Badung, memperlihatkan belum tersusunnya perencanaan kota secara sempurna. Hal ini disebabkan oleh terlalu cepatnya tingkat kepadatan wilayah perkotaan. Pembangunan fisik yang paling menonjol adalah pemukiman yang kurang teratur, bahkan cepatnya pembangun pemukiman ini terlihat dari banyaknya perumahan kumuh, serta adanya pembangunan rumah yang tidak mengikuti aturan yang telah ada. Jumlah penduduk Kota Denpasar tampak semakin berlipatganda dengan meningkatnya perkembangan Kota Denpasar, terutama dalam pembangunan di sektor pariwisata, sehingga animo masyarakat pedesaan lebih tertarik untuk datang ke kota dan menetap dengan mengontrak atau membuat rumah sendiri. Oleh karena itu dalam upaya menata kembali Kota Denpasar, dilakukan berbagai studi banding ke berbagai daerah lain di Indonesia. Dengan adanya studi banding ini diharapkan keberhasilan-keberhasilan di daerah lain dapat diambil hikmahnya untuk dipakai dasar dalam melakukan penataan Kota Denpasar. Selain itu tujuan studi banding ini diharapkan dapat memudahkan dalam upaya penyusunan rencana kerja proyek, sehingga bisa berfungsi memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam penyusunan pembiayaan terhadap suatu rencana kerja dalam rangka pengembangan morfologi Kota Denpasar. Berdasarkan pola dasar pembangunan Kabupaten Badung, dalam upaya pembangunan dan pengembangannya, Kabupaten Badung dibagi menjadi empat wilayah pembangunan sesuai dengan Peraturan Daerah Tingkat II Badung Nomor 6 tahun 1984, tentang pola dasar Pembangunan Daerah Tingkat II Badung adalah: wilayah pembangunan Badung Utara, dengan pusat pengembangannya adalah Petang; wilayah pembangunan Badung Tengah, dengan pusat pengembangan adalah Mengwi,
wilayah
pembangunan
khusus
Denpasar
dengan
sub
regional
pengembangan meliputi Denpasar Timur, Denpasar Barat dan Denpasar Selatan, wilayah pengembangan Badung Selatan dengan pusat pengembangan di Kecamatan Kuta (Pemerintah Kota Administratif Denpasar, 1988: 9).
45
Berdasarkan pola dasar pengembangan wilayah tersebut di atas, terlihat pengembangan kota Denpasar merupakan daerah pengembangan khusus, sehingga dalam pelaksanaan program pembangunan dilakukan secara berkesinambungan antara
berbagai
Administratif
sektoral.
Denpasar
Khusus aktifitas
untuk
perencanaan
pengembangan
pembangunan
dilakukan
dalam
Kota bidang
perdagangan dan jasa, industri kecil, kerajinan rakyat yang menunjang pembangunan seni dan budaya untuk meningkatkan ekonomi masyarakat. Dalam bidang pendidikan diarahkan pada peningkatan pendidikan non formal dalam rangka menyiapkan tenaga siap pakai, selain melalui jalur pendidikan formal. Sektor pariwisata diarahkan pada peningkatan dan terciptanya kondisi yang dapat memberi kesan positif bagi wisatawan. Dalam rangka perencanaan perluasan Kota Denpasar, Kota Administratif Denpasar telah menggariskan bahwa dalam upaya melaksanakan program ini berbagai usaha dilakukan diantaranya penetapan bentuk-bentuk perumahan serta merangsang tumbuh dan bekembangnya usaha-usaha perdagangan di wilayah Kecamatan Denpasar Barat. Selain itu dalam perencanaan perluasan kota juga telah diupayakan
untuk
menentukan
bentuk
tata
ruang
pemukiman,
sehingga
mencerminkan pola pemukiman yang tertib, nyaman, dan terkendali dan selalu berorientasi pada kearifan lokal (Wardana, 1980: 32). Hal ini dilakukan karena sesuai dengan
tugas
pokok
pemerintah
Kota
Administratif
Denpasar,
yaitu
menyelenggarakan kegiatan pemerintah dalam rangka peningkatan dan mengarahkan pembangunan guna perkembangan perkotaan secara terarah untuk merangsang tumbuh dan berkembangnya pola perencanaan tata ruang pemukiman dalam rangka perluasan kota Denpasar. Untuk
menciptakan
suasana
kota
Denpasar
yang
bersih,
maka
perencanaannya juga dilakukan dengan program prioritas pembuatan taman-taman kota serta taman pada tanah telajakan di sepanjang jalan. Selain itu dengan program prioritas di bidang pertamanan ini, pemerintah Kota Administratif Denpasar juga telah berupaya untuk merangsang keikutsertaan lembaga-lembaga di tingkat desa dan banjar, seperti sekehe teruna teruni, PKK, Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), maupun lembaga-lembaga swasta. Selain itu perencanaan pembangunan drainase atau saluran air juga merupakan program dari Kota Administratif Denpasar.
46
Hal ini dimaksudkan karena pada musim hujan dibeberapa wilayah sering mengalami kebanjiran, sehingga perlu ditata kembali secara lebih cerdas demi terciptanya lingkungan yang nyaman dan sehat (Suasih, 1992: 42-45). Dalam penanganan masalah sampah pada umumnya pembuangan sampah di wilayah Kota Administratif Denpasar telah ditangani oleh Dinas Kebersihan Kota, akan tetapi karena terbatasnya sarana pengangkut sampah, maka diupayakan untuk terus merangsang kesadran masyarakat untuk ikut berperan aktif dalam penanganan masalah sampah ini (Seksi Kebersihan Kotif Denpasar, 1991: II-4; Suasih, 1992: 74). Denpasar
yang
menjadi
pusat
kepariwisataan,
maka
perencanaan
kepariwisataan di wilayah Kota Administratif Denpasar diarahkan pada terciptanya daerah-daerah sentra pariwisata dengan pengembangan di Desa Sanur. Selain itu juga diarahkan
pada
munculnya
tempat-tempat
rekreasi
di
dalam
kota
yang
memungkinkan menjadi daya tarik bagi para wisatawan mancanegara. Beberapa lokasi yang menjadi upaya pengembangan dan penataan dalam hal ini adalah Pasar Kumbasari dan Pasar Badung, sekitar Lapangan Puputan Badung termasuk Museum Negeri Bali, Taman Budaya dan beberapa tempat lain yang mungkin untuk bisa dikembangkan dalam upaya menunjang kepariwisataan (Bappeda Kota Denpasar, 2009: 38). Dalam bidang transportasi
yang mengandung makna sebagai
alat
perhubungan, yang dapat berperan dalam menyampaikan atau menjadi sarana penghubung yang bersifat alat-alat pengangkutan. Sedang jika dilihat dari segi prasarana, transportasi mengandung makna sebagai jalur-jalur lalu lintas yang menghubungkan antara daerah yang satu dengan daerah lainnya. Bertolak dari pengertian di atas, dimana transportasi dimaknai sebagai jalur lalu lintas yaitu jalanjalan menunjukkan bahwa perkembangannya di wilayah Kota ministratif Denpasar mengalami perkembangan yang sangat pesat sejalan dengan kemajuan dibidang lainnya. Pembangunannya dibiayai oleh Pemda Badung, Pemda Tingkat I Bali. Dengan demikian dana pembangunan jalan-jalan itu sebagian besar berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Nasional (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), termasuk dalam pembiayaan saluran-saluran di kiri kanan jalan. Saluran pada kiri kanan jalan di Kota Administratif Denpasar umumnya hanya terdapat pada jalan utama sedangkan pada jalan kolektor dan jalan sekunder
47
hanya sebagian kecil yang telah memiliki saluran. Mengingat pentingnya saluran di kiri kanan jalan, maka sejak memasuki pertengahan tahun 1985 telah diupayakan untuk terus membuat saluran. Bahkan upaya ini tidak hanya pada pembangunan jalan-jalan protokol, tetapi juga pada jalan-jalan sekunder. Sebagai akibat dari semakin padatnya arus lalu lintas, maka dalam rangka pelebaran jalan kendaraan dengan tidak merugikan para pemakai jalan, maka pemerintah Kota Administratif Denpasar berupaya untuk memanfaatkan saluran ini sebagai tempat pejalan kaki dengan menutup saluran-saluran tersebut dengan beton, sehingga memudahkan bagi pejalan kaki. Demikian pula kendaraan yang memakai jalan dengan dimanfaatkannya saluran sebagai tempat pejalan kaki, tidak merasa terganggu, paling kurang dapat meminimalisir kemacetan lalu lintas di Kota Administratif Denpasar. Untuk mengurangi kemacetan-kemacetan lalu lintas, maka di beberapa ruas jalan juga dilakukan penetapan arus angkutan dalam kota, baik kendaraan roda tiga maupun kendaraan roda empat. Selain itu juga dilakukan penentuan arus kendaraan melalui jalur satu arah. Jalan-jalan di Kota Administratif Denpasar yang merupakan jalan protokol dengan jalur searah seperti Jalan Diponegoro, Jalan Hasanuddin, Jalan Setiabudi, Jalan Sutomo, Jalan Gajah Mada, Jalan Sutoyo, Jalan Patimura, Jalan Sumatra dan beberapa jalan lainnya. Pada umumnya penentuan jalur satu arah ini ditentukan oleh keadaan baik buruknya jalan, sehingga dengan demikian tidak menimbulkan masalah baru bagi pemakai jalan. Fasilitas pendukung terselenggaranya perhubungan di Kota Administratif Denpasar mendapat penanganan serius. Hal ini dilakukan karena fasilitas ini merupakan ujung tombak kelancaran lalu lintas. Terlebih lagi masalah terminal yang merupakan tempat naik turunnya penumpang diperlukan pengaturan yang baik. Oleh karena itu di wilayah Kota Administratif Denpasar telah dibangun sebanyak lima buah terminal, yang merupakan sarana penting, seperti terminal Ubung, terminal Kreneng, Terminal Tegal, Terminal Gunung Agung dan Wangaya. Selain kelima terminal tersebut, juga dibangun sebuah terminal bongkar muat di Ubung Kaja guna menghindari masuknya kendaraan truk ke dalam kota yang dapat mengganggu kenyamanan lalu lintas di Denpasar.
48
Berdasarkan fungsinya, terminal yang ada dibangun untuk melayani arus angkutan ke luar kota. Ubung untuk angkutan provinsi, antar kota meliputi Singaraja, Tabanan, dan Negara. Terminan Kreneng melayani angkutan antar kota (Karangasem, Klungkung, Bangli, Gianyar, dan Singaraja).Terminal Tegal, melayani angkutan wilayah Badung, Kuta, dan Tuban. Terminal Gunung Agung melayani angkutan dalam kota menuju pinggiran yaitu Kerobokan dan Padangsambian. Terminal Wangaya untuk melayani angkutan menuju Abiansemal dan Petang (Kotif Denpasar, 1988: 11; Suasih,1992: 49). Dalam bidang komunikasi, secara umum di wilayah Kotif Denpasar sudah lancar. Hal ini sangat dimungkinkan oleh adanya status kota yang merupakan prioritas utama dalam pelayanan sistem komunikasi di daerah Bali. Sarana komunikasi yang paling dominan sebagai media komunikasi yang paling cepat adalah telepon. Oleh karena itu dalam penyediaan dan pelayanan sarana telekomunikasi ini pihak Perum Telekomunikasi (Perumtel) telah memperluas sambungan dalam setiap tahunnya, dimana dalam permintaan sambungan pada tiaptiap tahun naik sekitar 10%. Pada tahun 1989 jumlah sambungan telepon yang ada di Kota Administratif Denpasar adalah sebanyak 7.400 satuan sambungan, yang terdiri atas 3.400 berada di wilayah Kecamatan Denpasar Barat; 1.927 berada di wilayah Kecamatan Denpasar Selatan. Pemilikan sarana telekomunikasi telepon ini sebelumnya hanya terpasang pada kantor-kantor instansi pemerintah, sedang sambungan pada perumahan pribadi hanya terlihat pada beberapa rumah yang tergolong abdi negara atau pengusaha besar, tetapi setelah tahun 1980, satuan sambungan telepon sudah banyak dimiliki oleh masyarakat secara pribadi, bahkan ada juga yang mengelola warung Telekomunikasi (Wartel). Selain sarana telepon, berbagai sarana komunikasi penting lainnya juga mengalami perkembangan yang sangat pesat, seperti radio amatir swasta. Bahkan dengan semakin canggihnya sistem telekomunikasi ini muncul pula gelombang baru Frekwensi Modulation (FM) yang sangat digemari oleh setiap lapisan masyarakat. Demikian pula pemilikan sarana komunikasi televisi juga sudah meluas dikalangan masyarakat, sehingga berbagai informasi yang ada dengan cepat dapat diketahui oleh masyarakat umum. Terlebih lagi dengan berkembangnya barang-barang mewah “Antena Parabola” juga menambah khasanah baru bagi pertelekomunikasian di
49
wilayah Kota Administratif Denpasar dan semuanya ini akan membawa perubahan besar bagi warga masyarakat di Kota Administratif Denpasar karena semua informasi yang datang dari luar dengan cepat bisa diakses oleh warga. Secara struktural dalam bidang pemerintahan, Kota Administratif Denpasar tersusun menurut garis vertikal dan horisontal. Pelaksanaan pemerintahan bergerak dari ketua kepada bawahannya menurut garis pemerintahan yang ada. Struktur organisasi pemerintah Kota Administratif Denpasar yang ada sekarang ini berpedoman pada beberapa kebijaksanaan antara lain: PP Menteri Dalam Negeri Nomor 5 tahun 1978 tentang Pembentukan pola organisasi pemerintahan Kota Administratif Denpasar dan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 16 tahun 1978 tentang penegasan terbentuknya Kota Administratif Denpasar (Mengenal Kota Administratif Denpasar, 1988: 2; Suasih, 1992: 59-64). Pola organisasi Kotif Denpasar sebagaimana digariskan dalam PP Nomor 20 tahun 1978 di atas, dinyatakan unsur pimpinan yang disebut sebagai walikota dibantu oleh seorang sekretaris dan beberapa suku-suku dinas dan seksi sebagai pembantu dalam pelaksanaan teknis. Dalam melaksanakan tugas kepemerintahannya, walikota Denpasar menganut sistem asas dekonsentrasi pemerintahan. Jadi secara yuridis formal Kota Administratif Denpasar merupakan bagian dari pemerintahan Kabupaten Badung. Mengenai tujuan dibentuknya Kota Administratif Denpasar, sebagaimana disebutkan dalam PP Nomor 20 tahun 1978 dinyatakan: Tujuan pembentukan Kota Administratif Denpasar adalah untuk meningkatkan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan secara berhasil guna dan berdaya guna, serta merupakan unsur pendorong yang kuat bagi usaha peningkatan laju pembangunan. Jadi pengembangan status kota Denpasar menjadi Kota Administratif pada dasarnya adalah agar kemampuan pengelolaannya meningkat, dengan pengelolaan khusus untuk meningkatkan kelancaran perkembangan pembangunan Kota Denpasar. Selain itu seara fungsional kota Administratif berfungsi: a. Meningkatkan dan menyesuaikan penyelenggaraan pemerintahan dengan perkembangan kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya perkotaan. b. Membina dan mengarahkan pembangunan sesuai dengan perkembangan sosial ekonomi serta fisik perkotaan.
50
c. Mendukung dan merangsang secara timbal balik perkembangan wilayah Provinsi Dati I Bali pada umumnya, dan Kabupaten Dati II Badung pada khususnya. Berdasarkan status fungsional Kota Administratif Denpasar tersebut di atas, menunjukkan pemerintah Kota Denpasar tidak saja berfungsi untuk mengelola kepentingan masyarakat kota sendiri, melainkan juga agar dapat mendukung dan merangsang perkembangan Daerah Tingkat I Bali pada umumnya dan Kabupaten Badung pada khususnya (Dit. Bang. Perkotaan, 1979: 101). Untuk melaksanakan kepentingan pemerintahan, secara organisatoris, Kota Administratif Denpasar dilengkapi dengan seperangkat staf kepengurusan yang dikepalai oleh seorang kepala wilayah yang disebut walikota sebagai unsur pimpinan. Kemudian sekretariat yang membawahi dua bidang meliputi staf pelaksana dengan sebutan seksi, dan staf administrasi dengan sebutan sub bagian. Selanjutnya terdapat pelaksanaan teknis dengan sebutan suku dinas dan beberapa pemerintahan kecamatan yang disebut Pemerintah Kecamatan. Dalam melaksanakan tugas sehari-hari, walikota bertanggung jawab kepada Bupati Kepala Daerah Tingkat II Badung. Oleh karena itu dalam pelaksanaan tugas pemerintahan Kota Administratif Denpasar sepenuhnya menjalankan peraturan atau keputusan daerah yang dikeluarkan oleh Bupati Badung. Demikian pula pengadaan suku dinas Kota Administratif Denpasar, pada intinya tidak terlepas dari desentralisasi pemerintahan Kabupaten Badung, dimana hal ini mengandung arti, disamping kewenangan menyangkut administrasi pemerintahan, Kota Administratif Denpasar juga berwenang mengelola pelaksanaan teknis perkotaan. Jadi pelaksanaan pemerintahan Kota Administratif mengandung makna pemerintahan semi otonom (Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah dan Pemerintahan Desa, 1988: 56). Sebagaimana ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1974, bentuk susunan hirarki organisasi Kota Administratif bukan merupakan lembaga pemerintah tingkat II, oleh karena itu pemerintahannya tidak dilengkapi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Demikian pula dalam menganggarkan dana pemerintahan, pengalokasian dananya juga menurut Rencana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (RAPBD) Kabupaten Badung. Oleh karena itu Kota Administratif
51
Denpasar anggaran keuangannya menggunakan RAPBD mini, yang merupakan penjabaran dari RAPBD Kabupaten Dati II Badung. Secara struktural Kota Administratif Denpasar terdiri atas seorang walikota yang dibantu oleh sekretaris yang membawahi: seksi pemerintahan, seksi pembangunan, seksi ekonomi. Sub bagian administrasi yang terdiri atas: sub bagian hukum, sub bagian pegawai dan sub bagian keuangan. Sedangkan unit teknisnya meliputi: suku dinas Pekerjaan Umum, suku dinas pertanian, suku dinas kesehatan dan suku dinas pajak dan pendapatan (Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 tahun 1978 tentang Pola Organisasi Pemerintahan Wilayah Kota Administratif Denpasar. Arsip, koleksi Kantor Walikota Denpasar)
4.2.
Dari Kota Madya Menjadi Kota (1980-1992) Denpasar pada mulanya merupakan pusat Kerajaan Badung, akhirnya
menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Daerah Tingkat II Badung dan bahkan mulai tahun 1958 Denpasar dijadikan pula pusat pemerintahan bagi Provinsi Daerah TingkatI Bali. Dengan Denpasar dijadikan pusat pemerintahan bagi Tingkat II Badung maupun Tingkat I Bali mengalami pertumbuhan yang sangat cepat baik dalam artian fisik, ekonomi, maupun sosial budaya. Keadaan fisik Kota Denpasar menunjukkan ciri-ciri dan sifat perkotaan. Denpasar menjadi pusat pemerintahan, pusat perdagangan, pusat pendidikan, pusat industri dan pusat pariwisata yang terdiri dari 4 Kecamatan, yaitu Kecamatan Denpasar Barat, Denpasar Timur, Denpasar Selatan dan Denpasar Utara. Melihat perkembangan Kota Administratif Denpasar ini dari berbagai sektor sangat pesat, maka tidak mungkin hanya ditangani oleh Pemerintah yang berstatus Kota Administratif. Oleh karena itu sudah waktunya dibentuk pemerintahan kota yang mempunyai wewenang otonomi untuk mengatur dan mengurus daerah perkotaan sehingga permasalahan kota dapat ditangani lebihcepat dan tepat serta pelayanan pada masyarakat perkotaan semakin cepat. Seperti halnya dengan kotakota lainnya di Indonesia, Kota Denpasar merupakan Ibukota Propinsi mengalami pertumbuhan dan perkembangan penduduk serta lajunya pembangunan di segala bidang terus meningkat, memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap kota itu
52
sendiri. Demikian pula dengan Kota Denpasar yang merupakan Ibukota Kabupaten Daerah Tingkat II Badung dan sekaligus juga merupakan Ibukota Propinsi Daerah Tingkat I Bali mengalami pertumbuhan demikian pesatnya. Pertumbuhan penduduknya rata-rata 4,05% per tahun dan dibarengi pula lajunya pertumbuhan pembangunan di berbagai sektor, sehingga memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap Kota Denpasar, yang akhirnya menimbulkan berbagai permasalahan perkotaan yang harus diselesaikan dan diatasi oleh Pemerintah Kota Administratif, baik dalam memenuhi kebutuhan maupun tuntutan masyarakat perkotaan yang demikian terus meningkat.Berdasarkan kondisi obyektif dan berbagai pertimbangan antara Tingkat I dan TingkatII Badung telah dicapai kesepakatan untuk meningkatkan status Kota Administratif Denpasar menjadi Kota Denpasar. Dan akhirnya pada tanggal 15 Januari 1992,Undang-undang Nomor 1 Tahun 1992 tentang Pembentukan Kota Denpasar lahir dan telah diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri pada
tanggal
27
Pebruari
1992
sehingga
merupakan
babak
baru
bagi
penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah Tingkat I Bali. Dengan semakin pesatnya perkembangan kota Denpasar, terlebih-lebih lagi setelah menjadi ibu kota Provinsi Bali, maka berbagai permasalahan harus diatasi oleh Pemerintah Daerah Tingkat II Badung, dalam mengatasi perkembangan kota Denpasar. Oleh karena semakin meningkat dan kompleksnya masalah yang harus dihadapi, khususnya dalam urusan pemerintahan, perekonomian, pembangunan, pendapatan, pekerjaan umum (PU), kesejahtraan sosial dan umum, maka pada tanggal 24 Maret 1975 Bupati Kepala Daerah Tingkat II Badung yang diwakili oleh Kepala PU Kabupaten Badung menyampaikan pemikiran rencana peningkatan status kota Denpasar menjadi kota Administratif pada rapat Team Konsultariat Tingkat I Bali (Hasil Rapat tgl. 24/3-1975 di Kantor Bappeda Tk. I Bali tentang Membahas Status Administratif Kota Denpasar, Arsip Koleksi Perpustakaan Kantor Bappeda Propinsi Bali). Atas pertimbangan hasil rapat tersebut, disepakati untuk meningkatkan status kota Denpasar. Berdasarkan hasil keputusan rapat Team Konsultariat di atas, maka pada tanggal2 Agustus 1976 Bupati Kepala Daerah Tingkat II Badung mengirim surat kawat kepada jajaran Pemda Tingkat II Badung untuk membahas kelanjutan persiapan peningkatan status kota Denpasar menjadi kota Administratif (“Surat
53
Kawat Rapat Persiapan tentang Peningkatan Status Kota Denpasar Menjadi Kota Administratif pada tanggal 3 Agustus 1976 dan tanggal 22 Januari 1977”, Arsip, koleksi Perpustakaan Kantor Bupati Badung). Berdasarkan beberapa hasil rapat yang berlangsung untuk persiapan-persiapannya, maka diputuskan untuk mengirim surat usulan oleh Pemerintah Daerah Tingkat II Badung kepada Pemda Tingat I Bali melalui surat Nomor: Pem.1/299/77/ tertanggal5 Maret 1977. Atas dasar surat Pemda Tingkat II Badung itu, Pemda Tingkat I Bali mengirim usulan kepada Menteri Dalam negeri, dan atas persetujuan Menteri Dalam negeri dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah Nomor: 20 tahun 1978 pada tanggal 1 Juli yang menetapkan dibentuknya kota Administratif Denpasar yang kemudian peresmiannya dilakukan pada tanggal 28 Agustus 1978 (Kotif Denpasar, 1990: 2-3). Kota Administratif Denpasar meliputi tiga kecamatan sebagai hasil pemekaran dari Kecamatan Denpasar dan Kecamatan Kesiman. Ketiga Kecamatan itu adalah: Kecamatan Denpasar Barat, Kecamatan Denpasar Timur, dan Kecamatan Denpasar
Selatan.
Pada
saat
diresmikannya,
kota
Adminitratif
Denpasar
berpenduduk 206.059 jiwa dengan luas wilayah 123, 98 km2. Berdasarkan Peraturan Mendagri Nomor: 5 tahun 1978, kota administratif adalah bagian dari wilayah kabupaten yang dilengkapi dengan aparat pemerintahannya dengan dikepalai oleh seorang wali kota (Depaertemen Dalam Negeri, 1978: 1-3). Wali Kota mempunyai tugas pokok menyelenggarakan kegiatan pemerintah dalam rangka meningkatkan dan
mengarahkan
pembangunan
perkotaan,
merangsang pertumbuhan
dan
perkembangan wilayah sekitarnya (Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, 1988: 37). Kota Administratif Denpasar merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari wilayah Kabupaten Badung, karena antara Pemda Badung dengan Kota Administratif Denpasar merupakan dua pemerintahan yang terkait erat meskipun sudah ada pelimpahan wewenang beberapa bidang pemerintahan. Pada masa ini keterkaitan urusan pemerintah dengan Kota Administratif Denpasar adalah menyangkut masalah pendapatan asli daerah Kota Administratif Denpasar masih menyatu dengan Pemda Badung. Sejak diresmikannya Kota Denpasar menjadi Kota Administratif, upaya pembangunan fasilitas perkotaan juga semakin meningkat. Hal ini terlihat dari
54
semakin meningkatnya pelayanan pembangunan fisik meupun non fisik yang secara langsung maupun tidak langsung memerlukan adanya strategi baru dalam upaya memenuhi kebutuhan masyarakat, sehingga Kota Denpasar mampu menciptakan suasana kota yang tertib, aman dan terkendali. Pembangunan fasilitas ini terlihat lebih pesat lagi setelah memasuki tahun 1980, dimana Kota Denpasar mengalami perubahan yang cukup pesat baik dalam bidang fisik kota, ekonomi, sosial maupun dalam bidang sosial budaya. Dalam program pembangunan perkotaan yang menjadi sentra pengembangan aktifitas manusia, menyebabkan perkembangan kota lebih dituju pada pembangunan fisik berupa pendirian gedung-gedung perkantoran, kesehatan, pasar dan sekolah. Dengan demikian Kota Denpasar berkembang sebagai mata rantai kegiatan masyarakat maupun aparat pemerintahan.Kota Denpasar yang ada sekarang ini merupakan wilayah swapraja Badung sejak masa pemerintahan Sunda Kecil. Demikian juga pada masa pemerintahan Nusa Tenggara, Denpasar masih merupakan wilayah swapraja Badung. Kota Denpasar adalah wilayah kota termuda di Bali, berusia 13 tahun sejak diresmikan tanggal 27 Februari 1992. Penetapan Denpasar sebagai pemerintahan kota dijalani secara bertahap melalui peningkatan status Kota Administratif dan Kotamadya. Kendati demikian, dari sisi sejarah, Denpasar yang sebelumnya adalah bagian dari Kabupaten Badung menyimpan peran amat penting bagi perjalanan Bali kini. Puputan Badung tanggal 20 September 1906, yang melibatkan banyak kalangan, bukan saja kalangan keluarga Puri, menunjukkan kegigihan warga Bali dalam mempertahankan kehormatan. Mewilayahi sekitar 12.780 ha Denpasar mulanya adalah pusat kota kerajaan kian pasti bergerak menjadi kota dagang. Menerima warisan dari Kabupaten Badung sebagai daerah hunian wisata, Denpasar mewilayahi daerah hunian wisata utama di kawasan Sanur. Dari sisi utara Sanur dengan The Grand Bali Beach hingga Sanur Beach Hotel di sisi selatan Sanur dipadati oleh hotel, restoran, dan berbagai sarana penunjang wisata yang padat. Menyikapi agar perkembangan Denpasar tidak liar tanpa kendali, memasuki milenium ketiga, Pemerintah Kota Denpasar menetapkan rambu Denpasar sebagai Kota Budaya. Beberapa kawasan kota seperti misalnya kawasan Lapangan Puputan, daerah aliran sungai Tukad Badung, dan beberapa kawasan terkait ditata untuk lebih
55
pantas menyandang ciri sebagai kota budaya. Paket City Tour pun dikemas sebagai rambu pendukung untuk menjaga kualitas ruang-ruang tersebut.
4.2.1. Proses Pembentukan Kota Denpasar Kota administratif adalah sebuah wilayah administratif di Indonesia yang dipimpin oleh walikota administratif. Keberadaan kota administratif diatur oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Kota administratif bukanlah daerah otonom sebagaimana kotamadya atau kota, dan karena itu tidak memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Walikota
administratif bertanggung jawab
kepada bupati kabupaten
induknya. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999, diIndonesia tidak dikenal lagi istilah kota administratif karena pembagian provinsi hanya terdiri atas kabupaten dan kota. Akibatnya kota administratif harus berubah status menjadi kota atau bergabung kembali dengan kabupaten induknya. Seperti halnya dengan kota-kota lainnya di Indonesia, Kota Denpasar merupakan Ibukota Provinsi mengalami pertumbuhan dan perkembangan penduduk serta lajunya pembangunan di segala bidang terus meningkat, memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap kota itu sendiri. Demikian pula dengan Kota Denpasar yang merupakan Ibukota Kabupaten Daerah Tingkat II Badung dan sekaligus juga merupakan Ibukota Provinsi Daerah Tingkat I Bali mengalami pertumbuhan demikian pesatnya. Pertumbuhan penduduknya rata-rata 4,05% per tahun dan dibarengi pula dengan lajunya pertumbuhan pembangunan di berbagai sektor, sehingga memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap Kota Denpasar, yang akhirnya menimbulkan berbagai permasalahan perkotaan yang harus diselesaikan dan diatasi oleh Pemerintah Kota Administratif, baik dalam memenuhi kebutuhan maupun tuntutan masyarakat perkotaan yang demikian terus meningkat. Berdasarkan kondisi obyektif dan berbagai pertimbangan antara Tingkat I Bali dan Tingkat II Badung telah dicapai kesepakatan untuk meningkatkan status Kota Administratif Denpasar menjadi Kota Denpasar. Kota Denpasar lahir tanggal 15 Januari 1992, berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1992 tentang Pembentukan Kota Denpasar dan telah diresmikan
56
oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 27 Pebruari 1992 sehingga merupakan babak baru bagi penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah Tingkat I Bali, Kabupaten Daerah Tingkat II Badung dan juga bagi Kota Denpasar. Bagi Provinsi Daerah Tingkat I Bali adalah merupakan pengembangan yang dulunya terdiri atas 8 (delapan) Daerah Tingkat II sekarang menjadi 9 (sembilan) Daerah Tingkat II. Sedangkan bagi Kabupaten Badung telah kehilangan sebagian wilayah serta potensi yang terkandung didalamnya. Sementara bagi Kota Denpasar merupakan babak baru dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang walaupun merupakan Daerah Tingkat II yang terbungsu di wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Bali. Denpasar, yang kini merupakan ibu kota pemerintahan kota, mengalami perkembangan pesat baik secara fisik maupun non fisik Dijadikanannya Denpasar sebagai ibu kota Provinsi Bali, berarti segala kegiatan kepemerintahan berlangsung di wilayah kota Denpasar. Berdirinya Universitas Udayana pada tahun 1962 juga menjadi penyebab semakin pesatnya perkembangan kota Denpasar, karena dengan demikian Denpasar juga akan menjadi pusat pendidikan yang sudah barang tentu akan menjadi penampung para pelajar yang akan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Selain itu, perkembangan arus kepariwisataan setelah dibukanya penginapan-penginapan di daerah Sanur dan sekitarnya, juga menjadi penyebab pesatnya perkembangan kota Denpasar. Dengan melihat latar belakang perkembangan Kota Denpasar yang pada mulanya sebagai pusat istana atau puri, kemudian dewasa ini berkembang sebagai pusat kota modern dapat dilihat ciri perkembangannya sebagai berikut. Terdapat ciri fisik kota yang dapat dianggapmenjadi ciri khusus Kota Denpasar yaitu adanya bangunan-bangunan tradisional seperti pura (bangunan suci bagi umat Hindu di Bali), puri (tempat kediaman bagi bangsawan Bali) dan bangunan-bangunan lain yang berfungsi untuk kepentingan pemerintah, umum, maupun yang dimiliki oleh tiap-tiap kelompok masyarakat. Terdapat beberapa pura di Kota Denpasar seperti Pura Melanting, Pura Gaduh, Pura Ubung dan Pura Suci. Hal ini dapat dimengerti karena mayoritas penduduk Kota Denpasar sebagai etnis Bali yang beragama Hindu. Masyarakat Bali pada umumnya sebagai kolektif yang terikat oleh kesadaran akan kesatuan kebudayaannya, yaitu kebudayaan Bali. Kesadaran ini diperkuat oleh keberadaan bahasa yang sama yaitu bahasa Bali. Sebagai orang Bali mereka sangat
57
terikat dengan keluarga, klen, banjar, desa, subak, dan sebagainya. Sebagaimana diketahui bahwa orang Bali terikat pada beberapa hal dalam kehidupan sosialnya yaitu: kewajiban dalam melakukan pemujaan terhadap pura tertentu, pada suatu tempat tinggal bersama, pada pemilikan tanah pertanian dalam sistem subak tertentu, pada suatu status sosial atas dasar kasta, pada ikatan kekerabatan atas hubungan darah dan perkawinan, pada keanggotaan terhadap sekeha tertentu dan pada suatu kesatuan administrasi tertentu (Soenaryo, 2003: 198; Ardhana, 2005: 412). Keterikatan masyarakat dengan puri misalnya dapat kita lihat di Kota Denpasar sebagai kota budaya, dimana masyarakat terikat dengan empat puri besar yang berperan penting yaitu Puri Denpasar, Puri Pemecutan, Puri Satria, dan Puri Kesiman. Di antara puri-puri itu, terdapat dua puri yang memainkan peranan penting yaitu Puri Kesiman dan Puri Denpasar (Soenaryo, 2003: 198). Melalui sentra-sentra kekuasaan itulah kemudian Denpasar berkembang baik dalam aspek ekonomi, politik, sosial budaya atau pendidikan (Ardhana, 2005: 412). Perkembangan Kota Denpasar sejak masa kerajaan, kolonial hingga masa kemerdekaan telah meberikan kontribusi yang besar bagi perkembangan kota Denpasar dewasa ini. Di samping terdapatnya pelabuhan Benoa, Kota Denpasar berkembang sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di Bali secara keseluruhan. Hal ini sangat berpengaruh terhadap dinamika politik, perdagangan di Kota Denpasar. Sebagai kota yang memiliki pelabuhan Benoa, menyebabkan terjadinya persainganpersaingan di kalangan para pedagang luar dengan pedagang setempat. Hal ini tentu menuntut adanya ketegasan dari pemerintah Kota Denpasar untuk mengatur sentrasentra perdagangan agar tidak terjadi persaingan yang tidak sehat yang pada akhirnya bisa menimbulkan konflik kepentingan dari masing-masing pedagang yang pada gilirannya bisa merusak citra Kota Denpasar sebagai kota budaya. Sebagaimana halnya dengan perkembangan kota-kota di Indonesia pada umumnya, perkembangan Kota Denpasar pada khususnya mengalami persoalanpersoalan fisik kota yang sama. Hal ini terlihat dari sulitnya menata dengan baik masalah infrastruktur kota. Tanpa adanya pembenahan yang maksimal terhadap tata ruang, menyebabkan Kota Denpasar tampak belum siap menghadapi persoalanpersoalan global. Hal ini dapat dimengerti karena pada awalnya Denpasar hanyalah sebuah desa. Dengan demikian volume fisiknya tentu setara dengan sebuah desa.
58
Kemajuan yang tidak terkendali tampak membuat semakin sulitnya melakukan penataan terhadap masalah-masalah perkotaan, karena Kota Denpasar belum memiliki urban design (Ardhana, 2005: 420). Meskipun penataan kota sudah dilakukan,namun karena pemukiman dan jalan-jalan sudah ada terlebih dahulu, menyebabkan penataan kota kurang bisa dilakukan secara maksimal. Sebagai akibat pengaruh globalisasi, tampaknya secara fisik budaya, Kota Denpasar tampak mengalami pergeseran yang kurang mencerminkan kota budaya. Sebagai contoh dalam peraturan-peraturan daerah sudah dijelaskan bahwa bangunan penduduk yang menghadap ke jalan raya mestinya bernuansa khas Bali. Akan tetapi, hal ini baru dalam tingkat perbincangan wacana. Adanya perkembangan “hutan” perkotaan seperti pembangunan mall, pertokoan dan swalayan menyebabkan kota Denpasar identik dengan kota shopping centre. Adanya pembangunan rumah dan toko (ruko) yang mengabaikan telajakan membuat wajah Kota Denpasar menjadi berubah dan kurang mencerminkan “kebaliannya”. Disadari bahwa Denpasar sebagai ibu kota provinsi, telah dirancang melalui pembangunan civic centre dengan karakteristik arsitektur tradisionalnya di kawasan renon, sebagai sebuah kawasan yang dapat mencerminkan ciri khas “kebalian” orang Bali. Akan tetapi, di luar wilayah itu telah berdiri berbagai bangunan yang mengganggu pembangunan tata ruang kota, berkaitan dengan kebijakan menerapkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Dalam hal ini masih belum ditegaskan secara pasti mana zonning untuk pelestarian budaya, pemukiman, pusat perbelanjaan dan sebagainya. Pengaturan tata kota sebagaimana yang pernah dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda sebenarnya dapat diambil sebagai pelajaran bagaimana sulitnya melakukan penataan kota. Oleh karena itu, perlu ada rencana induk kota yang direncanakan dengan baik berdasarkan potensi dan kepentingan jangka pendek maupun jangka panjang. Di samping itu, perlu ada konsistensi dan kontrol yang ketat agar masyarakat dapat terus menaati peraturan yang telah ditentukan oleh pemerintah sebagai tolak ukur dalam melaksanakan pembangunan, sehingga Kota Denpasar tidak kehilangan jati diri sebagai kota budaya (Soenaryo, 2003: 219; Ardhana, 2005: 422).
59
4.3.
Dari Kota Keraton Menjadi Kota Budaya Perkembangan kota-kota modern yang muncul banyak dibentuk berdasarkan
warisan sejarah masa lalunya. Dalam dinamika sejarahnya, kota-kota itu lahir sebagai akibat dari adanya pergeseran pusat-pusat politik tradisional seperti pusatpusat istana kerajaan, pusat-pusat perkembangan perdagangan di daerah pedalaman atau wilayah pesisir pantai (pelabuhan). Pergeseran perpindahan itu sering kali terjadi karena adanya dinamika politik, di pedalaman sebagai akibat perkembangan politik di tingkat internal yang menyebabkan keinginan untuk memisahkan diri, maupun serangan dari kerajaan-kerajaan lainnya. Pengalaman sejarah seperti itu dapat dilihat dari tumbuh dan berkembangnya kota Badung yang kemudian menjadi Denpasar sebagai pusat perkembangan politik, ekonomi dan budaya di Bali Selatan (Ardhana, 2005: 405). Nama Badung juga sering kali dipergunakan untuk menyebut nama wilayah kerajaan itu, yaitu Kerajaan Badung atau kemudian lebih dikenal dengan sebutan Kerajaan Denpasar. Saat ini Badung, selain menjadi nama sungai di wilayah itu, juga dipergunakan sebagai nama pasar, yakni Pasar Badung yang merupakan salah satu pasar terbesar di kawasan itu. Nama Badung juga dipergunakan untuk menyebutkan nama kabupaten yaitu Kabupaten Badung yang kini beribukota di Mangupura. Secara historis, kabupaten-kabupaten di Bali pada awalnya berasal dari pusatpusat kerajaan yang masing-masing masyarakat lokal di wilayah itu memiliki adatistiadat, sistem pengairan (subak) dan pemerintahan sendiri-sendiri. Struktur masyarakat di tiap-tiap kabupaten yang berbasiskan desa-desa adat mempunyai wilayah dengan karakteristiknya sendiri yang tidak hanya menentukan pelaksanaan keagamaan, tetapi juga menyangkut persoalan sosial dan budaya. Hal semacam ini dapat dilihat dari keadaan dan kondisi yang ada di Denpasar. Denpasar ditetapkan sebagai pusat pemerintahan kabupaten Daerah Tingkat II Badung. Semenjak tahun 1958, Denpasar dijadikan sebagai pusat pemerintahan Provinsi Daerah Tingkat I Bali yang selanjutnya mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat tidak hanya dalam arti fisik, melainkan juga secara sosial budaya. Pada periode ini Kota Denpasar diusulkan untuk menjadi kota Administratif yang bersamaan dengan pemekaran wilayah Kecamatan Denpasar dan Kesiman. Hal ini dilakukan mengingat jumlah penduduk
60
yang semula hanya memiliki enam (6) kecamatan, sekarang menjadi tujuh (7) kecamatan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1978, Kota Denpasar diubah statusnya menjadi Kota Administratif yang membawahi tiga kecamatan yaitu: Kecamatan Denpasar Barat dengan luas 50,06 km2, Kecamatan Denpasar Timur dengan luas 27,73 km2, dan Kecamatan Denpasar Selatan dengan luas wilayah 46,19 km2. Dilihat dari segi tipologi, Kecamatan Denpasar Selatan dari Timur memiliki ketinggian antara 0 – 75 meter dari permukaan laut, sedangkan Kecamatan Denpasar Barat memiliki ketinggian antara 12 – 75 meter dari atas permukaan laut. Apabila dilihat dari segi letak strategis dengan daerah pusat kota, maka masing-masing kecamatan memiliki jarak yang relatif sama ke pusat kota antara 4 terdapat 35 desa adat, dimana desa adat ini bisa meliputi dua desa administrasi atau sebaliknya bisa juga meliputi dua desa adat. Dengan demikian Kota Denpasar berperan sebagai ibu kota kabupaten, provinsi dan pusat pengembangan industri pariwisata Indonesia Bagian Timur. Di era modern ini, jika dibandingkan dengan kota-kota lainnya yang ada di Bali Selatan seperti Tabanan, atau Gianyar, tampak bahwa Denpasar mengalami perkembangan yang menonjol terutama dalam aktifitas ekonomi. Perkembangan di sektor perdagangan misalnya menyebabkan berkembangnya kota-kota baru sebagai pusat pemerintahan dan pertumbuhan ekonomi. Adanya mobilitas geografis telah mengarah dengan semakin intensnya gerakan mobilitas penduduk seperti urbanisasi (Sjoberg, 1960: 64). Bagi masyarakat pedesaan yang memiliki garapan tanah sangat minim, telah mendorong untuk mengadakan imigrasi ke wilayah perkotaan seperti ke Kota Denpasar di Bali Selatan atau ke Singaraja di wilayah Bali Utara dengan maksud untuk mencari perbaikan nasib. Kondisi alam yang subur menjadi salah satu faktor perkembangan perekonomian Denpasar. Selain kondisi alam yang demikian, adanya sistem pengaturan air yang baik sebagaimana yang dilakukan oleh organisasi tradisional seperti subak, telah memungkinkan pula terjadinya sistem pengaturan pengairan yang lebih baik. Sistem aliran Sungai Ayung yang melintasi Kota Denpasar bagian timur dan Sungai Badung yang melintas di Kota Denpasar bagian barat telah memungkinkan wilayah ini dipilih sebagai pusat pemerintahan, baik pada
61
masa kerajaan maupun pada masa pemerintahan kolonial Belanda (Soenaryo, 2003: 198). Secara historis Kota Denpasar merupakan pusat kerajaan (Puri Denpasar). Puri sebagai pusat kota ditunjang oleh sarana dan prasarana seperti: pasar, alun-alun, serta komplek perumahan keluarga raja dengan menggunakan konsep catus pata. Selain Puri Denpasar, di Kota Denpasar terdapat beberapa puri yang pada masa lampau pernah memainkan peran penting. Puri-puri yang dimaksud adalah: Puri Pemecutan, Puri Satria, Puri Gerenceng, Puri Kesiman, Puri Jero Kuta, Puri Gelogor, dan Puri Alang Kajeng. Mengingat potensi dan variasi serta distribusi dari puri-puri di Kota Denpasar, tampaknya warisan budaya puri yang adiluhung dapat dijadikan salah satu icon kota sehingga Denpasar identik dengan Kota Puri (Geriya, 2010: 23). Kota Denpasar memiliki jatidiri sebagai sebuah kota yang secara hakiki merefleksikan citra kota yang berbasis budaya lokal Bali. Identifikasi diri masyarakat Kota Denpasar tampak dalam komunitas kecil seperti menjadi anggota banjar maupun sebagai krama Desa Pakraman. Meskipun Kota Denpasar telah berkembang dalam dinamika interaksi yang mengglobal, tetapi citra tradisi masih kental mewarnai penampilan Kota denpasar sebagai kota budaya. Paling tidak hal ini dapat dilihat dari pilar-pilar warisan budaya yang terdapat pada bangunan puri, pura, artefak kuno, dan pemeliharaan bangunanbangunan yang mengandung nilai historis, merupakan satu bukti bahwa masyarakat Kota denpasar masih tetap mencintai tradisi-tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang pendahulunya. Warisan budaya berupa institusi tradisional seperti banjar, desa adat, subak, sekeha, merupakan kearifan lokal (local genius) yang telah diakui oleh dunia internasional. Meskipun institusi-institusi itu mengalami pasang surut sebagai akibat adanya faktor-faktor internal dan ekternal, tetapi hingga saat ini masih tetap memainkan peran penting dalam pembangunan Kota Denpasar sebagai kota budaya. Demikian juga halnya dengan filosofi Tri Hita Karana, desa, kala, patra, karma pala, jengah, paras-paros, dan nilai keadaban lokal lainnya dipandang sebagai budaya unggul dan menjadi inspirasi dan kreasi bagi masyarakat kota Denpasar yang berwawasan budaya. Dengan demikian terlihat jelas bahwa Kota Denpasar sesungguhnya secara historis merupakan perkembangan dari Kota Kerajaan (Puri)
62
menjadi kota budaya yang dengan kental telah mengusung kearifan-kearifan lokal dalam membangun Kota Denpasar. Denpasar sudah sejak lama dibangun menjadi ‘kota budaya’ tetapi hal itu dilaksanakan tanpa dibarengi usaha memadai membangun ‘budaya kota’. Pada saat ini, Denpasar sudah kian padat dan heterogen penduduknya, kian padat lalulintasnya, kian kompleks persoalan yang potensial muncul, maka tidaklah solid membangun ‘kota budaya’ tanpa sekaligus membangun ‘budaya kota’. Usaha menjadikan Denpasar sebagai kota budaya sudah tampak sejak pemerintah kolonial Belanda. Hal itu berlanjut secara melompat-lompat sampai dengan sekarang. Segera setelah menguasai keseluruhan Bali pasca-perang Puputan Badung 1906 dan Puputan Klungkung 1908, Belanda mengambil kebijakan untuk melestarikan kebudayaan Bali (Balisering), dan menjadikan Bali sebagai daerah tujuan wisata. Berbagai usaha ke arah itu diambil termasuk mendirikan Bali Hotel 1928 dan Museum Bali 1932. Museum Bali menjadi ikon Denpasar sebagai kota budaya. Konsep pembangunan museum Bali sebagai museum etnografi agak unik karena inilah museum yang identitasnya tidak hanya bisa dilihat dari koleksi artefak yang dipajang di dalam gedung tetapi juga sekaligus dari arsitektur bangunannya yang merupakan campuran dari arsitektur puri dan pura. Pertimbangan Belanda ikut ‘memuseumkan’ arsitektur Bali berdasarkan perkiraan bahwa arsitektur itu kelak akan lenyap antara lain ditenggelamkan bangunan atau gedung-gedung modern menyerupai arsitektur Belanda. Bayangan tersebut ternyata meleset karena terbukti arsitektur Bali tumbuh terus, entah lewat pura, puri atau hotel. Tahun 1970-an, pemerintah Orde Baru kembali menambah ikon budaya kota Denpasar dengan mengganti lonceng peninggalan Belanda di pusat kota dengan Patung Catur Muka dan membangun Taman Budaya yang lebih dikenal dengan Art Centre. Selain karena sudah tua, lonceng di ujung timur Jalan Gajah Mada itu dianggap tidak cocok dengan spirit estetika kultural Bali. Patung Catur Muka menggantikannya dengan pesona yang pas dengan spirit budaya Bali. Kompleks Art Centre berisi beberapa panggung terutama Ardha Chandra dan ruangan untuk memamerkan karya seniman Bali, baik lukisan maupun patung. Galeri seni Art Centre pernah tampil berwibawa dan memikat, tetapi kini dalam usia tiga
63
dekade redup karena berbagai faktor antara lain karena koleksinya tidak terjaga dengan baik. Peran penting Art Centre sekarang tampaknya sebatas sebagai arena pelaksanaan tahunan Pesta Kesenian Bali. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, event PKB memberikan kontribusi penting mewujudkan Denpasar sebagai kota budaya. Ikon budaya lain yang dimiliki Denpasar adalah Bhajra Sandhi, yang sesekali juga dijadikan latar belakang pementasan, baik untuk seni tradisi Bali maupun musik modern. Selain ikon ini, pemerintah Kota Denpasar secara reguler mementaskan kegiatan kesenian di taman Puputan Badung sebagai usaha memperkuat langkah menciptakan Denpasar sebagai kota budaya. Dalam sebuah artikel di English Cornor Bali Post yang terbit tahun 1991, Jean Couteau, menuliskan pengamatannya tentang sikap pemuda Kota Denpasar terhadap seni pertunjukan Bali. Sosiolog asal Perancis yang sudah lama menetap di Bali itu berpendapat bahwa: “The city youth feels increasingly ‘embarresed’ (lek), to attend Balinese shows, except in relation to tourists, preferring the pounding vulgarity of pop music as promoted on their TVs’ (Couteau 2008: 209). Artinya bahwa ‘pemuda kota kian merasa malu atau ‘lek’ (bahasa Bali) menyaksikan pertunjukan kesenian Bali kecuali yang berhubungan dengan turis, mereka lebih suka hentakan vulgar musik pop yang ditayangkan di televisi’. Penilaian di atas mungkin ada benarnya ketika ditulis hampir dua dekade lalu, tetapi perkembangan mutakhir menunjukkan kebalikannya. Rasa bangga generasi muda Bali terhadap keseniannya kian tumbuh dan ini bisa dilihat dari minat mereka menonton seni pertunjukan Bali seperti tari-tarian, lagu pop Bali, dan wayang, juga dalam minat mereka untuk belajar menari dan menembangkan gaguritan, kidung, dan kakawin. Pelaksanaan PKB dan penggiatan pengenalan kesenian daerah di sekolah termasuk yang dilaksanakan dan disponsori Pemkot Denpasar merupakan program yang ikut memberikan andil pada munculnya rasa bangga generasi muda Bali terhadap keseniannya. Kini tidak keliru menyimpulkan bahwa kian banyak anak muda Bali yang bisa makidung dan yang menggemari lagu pop Bali dibandingkan pada masa-masa sebelumnya. Generasi muda Bali kian bangga menjadikan kesenian daerah sebagai lambing identitasnya. Walaupun rasa bangga akan kesenian sudah tumbuh, belum
64
berarti bahwa cita-cita menjadikan Denpasar sebagai kota berwawasan budaya sudah tercapai final. Perintangnya banyak sekali, selain karena ikon budaya seperti Art Centre dan Museum Bali kian pudar keberadaaannya secara fisik dan spiritual, juga karena secara keseluruhan di Denpasar belum ditumbuhkan secara memadai apa yang dinamakan sebagai budaya kota. Buktinya situasi lalu-lintas, kondisi lingkungan, dan kepedulian sosial masyarakat kian mencemaskan dalam akselerasi perubahan kota yang tidak bisa dibendung. Tidak bisa disangkal lagi, Denpasar dari dulu hingga kini, sudah berubah, dari kota kerajaan menjadi kota republik, dari daerah agraris menjadi daerah industri (jasa). Pertumbuhan jumlah penduduk dengan segala kompleksitasnya telah mengubah lanskap dan perangai Kota Denpasar. Salah satu ciri kota besar yang juga tampak di Denpasar adalah jumlah penduduk yang kian padat, orang tinggal berdekatan tetapi belum tentu saling mengenal. Sistem sosial budaya Bali yang mengikat penduduk dalam ikatan banjar, desa, dadia, dan bentuk komunalitas lainnya memang tidak membuat proses individualisasi manusia seperti di kota-kota besar di dunia lainnya, tetapi perasaan individu dan ketidakpedualin juga mulai tumbuh mewarnai budaya kota yang anomie. Tahun 1971, sastrawan Made Sanggra dengan menarik melukiskan denyut perubahan Kota Denpasar lewat sebuah sajak berbahasa Bali berjudul denpasar sanè mangkin (denpasar dewasa ini): denpasar sanè mangkin katah umah nyujuh langit makwèh sawah dados umah umah dados sawah denpasar sanè mangkin pasliwer wong sunantara solahnyanè solèh-solèh payasnyanè melagèndah melalung mekamen lambih macukur mabok dawa luh matingkah muani muani maambek…..
65
Sajak yang ditulis di awal perkembangan Bali menjadi daerah tujuan wisata massal (mass tourism) bisa disimak lewat dua lapis pemaknaan. Lapis pertama, sajak ini, mulai dari bagian awalnya melukiskan perubahan lanskap Denpasar dari suasana agraris persawahan menjadi suasana perkotaan yang ditandai dengan berdirinya gedung-gedung bertingkat yang menggapai langit (nyujuh langit), termasuk salah satunya yaitu Hotel Bali Beach di Sanur. Kebutuhan urbanisasi membuat banyak sawah disulap menjadi rumah dan rumah-rumah dibangun bertingkat. Ungkapan ‘nyujuh langit’ agak hiperbolis karena senyatanya Bali memberlakukan regulasi tinggi maksimal bangunan hanya 15 meter. Meski
demikian, hadirnya
gedung-gedung bertingkat
mewakili
apa
yang
digambarkan sajak di atas. Bagian berikutnya melukiskan Denpasar sebagai kota wisata yang dikunjungi banyak orang asing (wong sunantara). Di mata penyair Made Sanggra, perilaku dan perangai turis itu agak aneh. Tahun 1970-an, Denpasar mulai banyak dikunjungi wisatawan dan mereka biasanya mengenakan sarung dengan baju minim, terkadang singlet saja atau topless, untuk menyesuaikan diri dengan udara kota yang tropis. Wisatawan yang muncul biasanya berambut panjang, mirip dengan hippies. Di mata penyair dan ukuran kesopanan saat itu, penampilan mereka dianggap aneh untuk ukuran Denpasar saat itu. Tapi, wong sunantara bisa juga dianggap kaum migran yang kemudian memperhebat urbanisasi di Denpasar, yang selanjutnya membuat kian meningkatnya konversi sawah menjadi rumah. Dalam lapis kedua, sajak Made Sanggra ini melukiskan dampak sosial dari perubahan lanskap kota Denpasar. Ungkapan umah dados sawah menunjukkan perubahan sumber mata pencaharian masyarakat. Kalau dulu ‘sawah’ sebagai sumber pendapatan, kini ‘rumah’ menjadi sumber penghasilan khususnya bila mengacu pada rumah-rumah kost yang bermuculan di Denpasar. Banyak warga kota yang beruntung punya sawah lalu diubah menjadi rumah kost dan hidup dengan hasil sewa rumah kost. Lukisan perilaku manusia yang anehaneh adalah ekspresi kekhawatiran penyairnya tentang munculnya fenomena kehidupan kota yang anomie ketika luh matingkah muani (wanita berperilaku seperti laki-laki) dan merosotnya nilai moral. Dalam konteks sajak Made Sanggra, sumber anomie ini seolah bersumber dari wong sunantara. Dampak negatif pariwisata bukan
66
merupakan rahasia lagi, tetapi Denpasar dan Bali secara umum sudah tanpa raguragu menjadikan pariwisata sebagai sumber perekonomian. Akurasi penggambaran fenomena kota atau kehidupan urban (urban life) sudah banyak diberikan oleh kalangan sosiolog. Keakuratan definisi mereka tentang kota terletak pada kemampuannya untuk menunjukkan sisi positif dan negatif kota sekaligus dalam oposisi biner. Durkheim berpendapat bahwa urban life merupakan ruang kreativitas, kemajuan, dan tatanan moral baru (creativity, progress and a new moral order) sekaligus sebagai arena pembusukan moral (moral decay) dan sirnanya aturan-aturan sosial atau anomi (Barker 2000: 296). Marx melihat urban life sebagai lambang kemajuan dan lompatan besar produktivitas yang dibeli oleh kapitalisme, sebaliknya juga sebagai arena kemiskinan, ketakpedulian, dan penderitaan. Walaupun batasan tentang kehidupan urban di atas disusun berdasarkan apa yang terjadi di kota-kota di Barat yang berciri industri yang kental, situasinya sedikit banyak juga tampak di kota-kota di Indonesia. Pemerintah dan masyarakat pasti mendambakan perkembangan kota Denpasar bisa menjadi arena produktivitas, kreativitas, dan memberikan kemajuankemajuan serta tidak ingin melihat kota menjadi arena tumbuh suburnya ketidakpedualian dan pembusukan moral sosial. Atau, setuju kota Denpasar menjadi arena untuk memacu proses-proses produksi demi keberlanjutan perekonomian tetapi tidak mau kemajuan itu menyuburkan proses pemiskinan atau kemiskinan. Dengan kata lain, bagaimana menjadikan Denpasar sebagai kota yang berkembang dengan ciri positif kehidupan urban sekaligus mencegah dampak negatifnya seperti yang digariskan oleh Weber dan Marx di atas. Yang dimaksud dengan budaya kota adalah gaya hidup manusiawi yang diupayakan untuk memenuhi tuntutan kenyamanan warga kota secara berkelanjutan dengan tetap menjaga kelestarian sumber daya alam dan lingkungan. Mengingat kota merupakan arena perjuangan berbagai kepentingan dari orang, kelas, golongan untuk mewujudkan angan-angan atau ambisinya yang tak jarang di luar rasio normal, maka membangun budaya kota dengan tatanan dan aturan yang kuat merupakan hal yang utama. Kota budaya akan semakin kuat dan menjadi ideal jika ditopang dengan pembangunan budaya kota. Banyak hal yang bisa dilaksanakan untuk membangun
67
budaya kota, tiga yang disarankan di sini untuk diadopsi adalah apa yang sudah pernah digariskan oleh pemerintah-pemerintah sebelumnya adalah: 1. Membangun dan memperkuat kesadaran akan hukum (darkum). 2. Membangun dan memperkuat kesadaran akan lingkungan (darling). 3. Membangun dan memperkuat kesadaran akan kemanusiaan (darman). Kesadaran warga akan hukum diperlukan untuk mengatur kehidupan sosial. Persoalan yang dihadapi Denpasar sekarang ini adalah masih lemahnya kesadaran masyarakah mematuhi hukum dan aturan sosial, termasuk misalnya dalam lalu-lintas. Parkir sembarangan atau pemilik ruko sembarangan melarang orang parkir di depan propertinya membuat Denpasar kehilangan pesona kota berwawasan budaya. Untuk mencegah agar orang tidak memarkir kendaraan di halaman tokonya, pemilik toko memasang memancang patok dan rantai. Pemandangan ini membuat Denpasar sebagai kota yang egois dan gawat. Mengapa tidak dipasang tanda dilarang parkir saja? Terbatasnya fasilitas parkir memang merupakan kendala yang perlu dipecahkan tapi penghayatan dan pengalaman masyarakat agar tertib hukum sangat perlu ditanamkan. Gagal membangun lalu-lintas yang baik tidak saja dapat menimbulkan penyebab stress bagi warga kota dan menghambat kelancaran perekonomian tetapi juga akan membuat citra Denpasar sebagai kota budaya akan ambrol. Citra Denpasar sebagai kota berwawasan budaya juga sangat ditentukan oleh lanskap lingkungan yang ada, mulai dari estetika kota sampai dengan ihwal kebersihan. Kota Denpasar tampak meniru kekeliruan kota-kota lain dengan membiarkan dirinya terpolusi spanduk dan baliho hanya karena kemauan merebut retribusi reklame. Pemasangan poster dengan paku-paku dan kawat di batang pohon tak hanya menyiksa tanaman tetapi juga menodai estetika kota. Ini harus dicegah untuk mewujudkan kota yang indah dan ramah lingkungan. Lihatlah toko-toko di Jalan Gajah Mada, khususnya di daerah barat sungai, semuanya tampak semrawut dengan barang dagangan yang bergelantungan meluber ke luar merusak pesona kota. Pedestrian yang bermutu rendah juga menjadi noda bagi pesona Denpasar. Ini juga harus diberikan perhatian serius. Masalah lain yang berkaitan dengan lingkungan adalah sampah.
68
Pemerintah memang sudah berusaha terus untuk memecahkan masalah sampah, tetapi diperlukan usaha lebih keras lagi untuk membuat Denpasar kota yang benar-benar bersih. Agar peran pemerintah lebih ringan, kesadaran masyarakat akan kebersihan dan kelestarian lingkungan harus diperkuat. Faktor paling terakhir yang tidak kalah pentingnya untuk membangun kota berwawasan budaya adalah menumbuhkan kesadaran warga kota agar menjadi insan-insan yang sopan dan ramah, menghargai manusia lain dengan ketulusan dan jiwa besar tanpa berarti merendahkan martabat. Denpasar yang kian lama menjadi kota urban dengan penduduk heterogen sungguh memerlukan warga yang ramah. Keramahan ini tidak saja akan membuat warga kota merasa nyaman dalam berinteraksi atau menyelesaikan urusan di kantor-kantor tetapi juga akan menyenangkan hati para wisatawan. Kesan baik ini akan memperkuat citra Denpasar sebagai kota budaya. Langkah pembinaan budaya kota ini harus dilakukan secara terencana, strategis dan berlanjut. Kalau selama ini program kota Denpasar berwawasan budaya merupakan program dari pemerintah ke masyarakat alias top down, maka program pembinaan budaya kota harus dilakukan dari dua arah, yaitu top down dan bottom up, dengan menggunakan lembaga pendidikan dan media massa serta lembaga-lembaga pemerintahan desa sebagai arena untuk membangun budaya kota. Anak-anak sekolah supaya diarahkan untuk ikut aktif mencari formula untuk membangun budaya kota di jiwa masing-masing. Manusia memiliki sifat-sifat lahir untuk mencari gampang, keuntungan sendiri meski dengan melanggar aturan sekalipun, oleh karena itu tidaklah mungkin mengharapkan kesadaran akan hukum, lingkungan, penghargaan kepada manusia lain bisa tumbuh secara otomatis. Artinya, diperlukan rekayasa sosial yang berkelanjutan untuk membangun insan-insan yang memiliki darkum, darling, dan darman. Syukurlah Pemkot Denpasar mempunyai media elektronik Radio Pemerintah Kota Denpasar yang sudah dijadikan media untuk membangun budaya kota. Iklaniklan sosial atau layanan masyarakat Radio Pemkot sangat persuasif, mendorong masyarakat untuk bersama membangun Denpasar menjadi kota budaya, kota yang bersih, dan nyaman. Pesan-pesan jangan membuang sampah sembarangan, ketertiban lalu-lintas, iklan yang melarang pengendara motor/mobil menggunakan handphone
69
saat berkendaraan, iklan dilarang parkir sembarangan, dan sejenisnya muncul dalam iklan layanan masyarakat. Iklan sosial ini sangat penting dalam upaya membentuk pola pikir dan perilaku masyarakat mematuhi aturan dan terpanggil menjaga kebersihan demi kepentingan bersama. Peran radio Pemkot dalam sosialisasi nilainilai budaya kota untuk taat peraturan, hidup bersih seperti itu patut diteruskan. Agar pesan-pesan yang mendukung terbentuknya budaya kota itu efektif dan menjangkau lebih banyak pendengar, pengelola radio harus mampu membuat acara radio yang menarik baik bagi anak muda maupun orang tua. Pembangunan Denpasar sebagai kota (berwawasan) budaya tidaklah cukup dengan menggelar pentas seni budaya atau festival serta membangun ikon fisik budaya saja tetapi perlu dibarengi usaha strategis dan rekayasa sosial untuk membangun budaya kota. Pembangunan budaya kota diarahkan pada peningkatan kesadaran hukum, kesadaran lingkungan, dan kesadaran kemanusiaan alias sikap ramah tamah menghormati sesama. Kota Denpasar yang bercirikan sebuah kota dengan citra tradisi Bali, tercermin dalam aspek fisik, sosial-budaya, dan spirit warga kota. Pendirian maupun penataan terhadap bangunan fisik yang dilakukan masyarakat seperti pembangunan rumah tinggal, bangunan tempat ibadah, dan bangunan untuk publik pada umumnya tetap mengacu kepada ajaran agama Hindu. Mayoritas penduduk kota adalah warga etnik Bali yang masih kental dengan aktivitas kesehariannya seperti pelaksanaan upacara keagamaan, tradisi berkesenian, dan aktivitas sosial di banjar-banjar. Spiritualitas warga kota dalam upaya pemertahanan nilai kesucian dan kesakralan tetap menjadi pedoman umum bagi penduduk Kota Denpasar. Melestarikan tradisi bukan berarti menutup arena relasi dan dialog lintas budaya. Perjalanan sejarah dan pola interaksi sosial masyarakat Denpasar telah berlangsung sejak masa lampau hingga sekarang yang senantiasa dihadapkan pada situasi hetrogenitas agama, suku, bangsa, dan budaya. Dalam dialog tersebut warga Kota Denpasar mengindikasikan adanya sikap keterbukaan, kerja sama dan kesetaraan sebagai bukti adanya penghargaan terhadap masyarakat yang multikultural. Representasi masyarakat Kota Denpasar yang multikultural ini selayaknya terus digelorakan sehingga Kota Denpasar tetap mampu memainkan peran penting dalam menghadapi globalisasi
70
dengan tetap mengusung Denpasar sebagai kota budaya sebagai aset bangsa yang bisa mendatangkan devisa demi kepentingan untuk mensejahtrakan masyarakat. Pembangunan Kota Denpasar telah menempatkan budaya sebagai pondasi dasar dalam pelaksanaan pembangunan. Pembangunan dijalankan dengan selalu berorientasi pada kesejahtraan, peradaban, dan dinamika dalam konteks lokal, nasional, dan global dengan selalu mengedepankan segi-segi positif kebudayaan Bali. Pembangunan yang dilandasi oleh pkebudayaan Bali sebagai satu sosok kebudayaan yang hidup secara berkelanjutan (Geriya, 2010: 32). Pembangunan komunitas kota mencakup upaya dinamik untuk merevitalisasi tiga kategori kemampuan dasar manusia dan masyarakat agar mampu survive secara berkelanjutan dalam konteks lingkungan yang berubah. Tiga kemampuan dasar tersebut adalah kemampuan untuk tumbuh dan berkembang secara kreatif-inovatif, kemampuan untuk tumbuh dan berkembang secara adaptif, dan kemampuan untuk tumbuh dan berkembang secara akulturatif. Kebudayaan akan dapat mengintegrasikan tiga wujud dengan tujuh unsur. Tiga wujud tersebut adalah ide, perilaku, dan fisik; sedang tujuh unsur kebudayaan terdiri atas sistem peralatan, sistem matapencaharian, sistem organisasi, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, dan sistem religi. Dalam kepentingan operasional, substansi kebudayaan mencakup unsur tangible, intangible dan abstrak. Katagori tangible meliputi unsur-unsur budaya fisik yang dapat diraba seperti: gedung, benda, kerajinan, benda kesenian, tempat ibadah, patung, topeng, tekstil, dan sebagainya. Katagori intangible meliputi: banjar, subak, desa adat, sekaa, arsitektur, upacara, usada, teknologi tradisional, bercocok tanam, simbol-simbol dan sebagainya. Sementara katagori abstrak mencakup sistem nilai, sistem norma, hukum adat, filsafat hidup, ideologi. Pemaknaan terhadap berbagai unsur kebudayaan tersebut mengacu pada paradigma keserasian lokal, nasional, dan global. Sehubungan dengan pemaknaan tersebut, warga kota Denpasar yang mayoritas etnik Bali yang beragama Hindu, maka kebudayaan yang tepat dipakai acuan atau referensi adalah kebudayaan Bali yang dijiwai oleh agama Hindu. Kebudayaan Hindu secara substansi memiliki keragaman, kekhasan, dan berbagai keunggulan, baik pada tataran nilai, kelembagaan, fisik dan simbol. Berdasarkan hal tersebut dalam rangka pembangunan Kota Denpasar yang menyejarah, humanis,
71
beragam dan berkualitas yang patut dijadikan kerangka acuan adalah perpaduan nilai-nilai ekpresif, progresif dan kokoh dalam aras bawah. Konfigurasi nilai terpadu tersebut terinci atas sembilan nilai utama, yaitu: nilai religius, estetis, etis, keseimbangan, harmoni, ekonomis, dan keadilan, iptek, supremasi hukum, serta demokratis partisipatif (Geriya, 2010: 33). Sebagai destinasi wisata internasional dan kota berwawasan budaya, Denpasar wajib mengembangkan budaya tata ruang untuk memperkuat nilai keharmonisan dan keseimbangan yang diamanatkan dalam Visi-Misi Denpasar. Budaya tata ruang (Bali) mengandung 3 bagian pokok berkaitan dengan filosofi luan/teben (sakral/profan) yang dijabarkan dalam konsep tri mandala (pembagian zone jadi tiga): utama mandala (kawasan sakral) untuk tempat pemujaan; madya mandala (antara/tengah) untuk bagunan hunian; nista mandala (profan/terluar) untuk ruang terbuka hijau (di Bali biasa disebut jaba sisi/teba/lebuh/telajakan). Krama Bali memaknai budaya tata ruang dengan perilaku dan tindakan. Prilaku dan tindakan yang mendorong kebudayaan Bali lebih dinamis dan adaptif menyikapi nilai luar atau baru yang sekarang makin kendor di Denpasar dan Bali. Bahkan, cenderung memaksa tata ruang kota kehilangan roh di kawasan pengembangan (permukiman baru, supermall, ruko, apartemen dan kondotel, condominium) dan mendesak permukiman lama (desa/banjar tradisional) termasuk sawah dan subak terancam musnah demi dan untuk pembangunan. Ini akan berbahaya bila budaya tata ruang diabaikan, ruang horizontal dan vertikal (zone dan struktur bangunan) tak keruan akibat pengawasan lemah, dasar hukum (legal based) lembek, penegakkan hukum (law enforcement) kendor. Budaya tata ruang yang bernarasi ‘di mana boleh ada apa dan di mana tidak boleh ada apa’ kini cenderung beresonansi ‘di mana saja boleh ada apa saja’. Di kota ini sangat mudah menemukan bangunan publik ‘tanpa kepala’ dan menafikan tempat suci (pura). Sebutlah supermall, ruko dan apartemen bisa lepas dari budaya tata ruang (Bali) sehingga spirit komunitas Hindu Bali tak terwadahi. Ketika sebuah supermall di Kota Denpasar saat peluncuran perdana beberapa tahun lalu, jangankan pura, penunggun karang pun tak ada. Hal yang sama pun terjadi di kawasan wisata belanja Teuku Umar beberapa bulan lalu. Sebuah bangunan megah, untuk selular, elektronik dan ruang pameran awalnya mengabaikan bangunan bercorak Bali.
72
Di saat media dan legislatif gencar menyoroti, syukur pemegang otoritas Kota Denpasar, tergugah dan meminta pengelola supermall dan bangunan IT dan selular untuk mengamankan budaya tata ruang tradisional warisan leluhur yang adiluhung itu. Pada era Gubernur IB. Mantra (1978-1988), budaya tata ruang dan zoning diawasi ketat. Zone pemerintahan dan gerak sejarah perjuangan rakyat Bali dipusatkan di Renon (Densel); industri di Ubung (Denut); pendidikan di Penatih (Dentim); permukiman baru di Tulang Ampian (Denbar). Pengaturan zone ini sesuai dengan rujukan budaya (Bali) yang sangat fundamental. Tapi semua itu kini seakanakan tenggelam di balik Ruko dan supermall dan bangunan-bangunan bertingkat sejenisnya yang kurang mercerminkan ciri khas budaya Bali. Kawasan khas yang mencitrakan budaya lokal, makin langka juga di kota ini. Bypass Ngurah Rai, yang dulu jadi kebanggaan warga kota, kini disesaki pedagang mebel, pasir dan batu padas, SPBU, restoran, biro perjalanan, pedagang tanaman hias. Belum lagi ’serbuan’ rombong bakso, warung lalapan, soto dan sate mewarnai sudut kota metro yang beraktivitas entah siang entah malam. Semua itu tidak tertata, tidak disiplin dan tidak mencerminkan kebersihan dan keindahan Kota Denpasar sebagai ibukota Provinsi Bali. Gatsu yang dirancang sebagai jalur khas (semasa Bupati IDG. Oka, Pande Made Latra, dan Gusti Alit Putra, dan Walikota Komang Arsana), kini apa saja ada di sana. Membangun disiplin, menciptakan kebersihan dan keindahan. Denpasar telah mendeklarasi kota berwawasan budaya yang punya program city tour, mestinya bergairah merawat kawasan khasnya. DKI yang metropolis saja punya Monas, TMII, dll; Yogyakarta punya Malioboro; Malang punya Slamet Riady-nya; Surabaya punya trading & service city berkultur harmoni. Kawasan Renon, misalnya, banyak orang sedih melihatnya karena dikurung oleh Ruko, restoran besar, sehingga karakter Niti Mandala sebagai pusat Pemerintahan Propinsi Bali tenggelam. Rumah makan milik pelaku budaya (Nang Lecir, Pitik Bali, dan sejenisnya) yang semula diizinkan beroperasi untuk memenuhi kebutuhan makan siang pegawai Pemprop, kini ‘mati’ tertindih Cianjur, Renon, Pawon, Wong Solo, dan lain-lain. Bahkan dua tahun terakhir sudah tidak kelihatan lagi, entah kemana dan dimana warung makan Nang Lecir dan Pitik Bali. Keadaan Kota Denpasar hari ini, sudah jauh dari keinginan almarhum I.B. Mantra yang sejak awal kepemimpinannya mendesain dan menata ibukota provinsi ini dengan kearifan lokal.
73
Di era kesejagatan mestinya Kota Denpasar tetap gigih mengawal budaya lokalnya. Ibukota Propinsi Bali ini tidak boleh mengikuti semua kemauan pebisnis kecil/besar, domestik/asing. Semua ini demi menempatkan kearifan lokal, kepribadian manusia Bali (Hindu) untuk menghidupkan humanitas warga kota yang cenderung terus meredup ditiup arus individualistik, konsumerisme, dan hedonis.
74
V PENUTUP
Berdasarkan gambaran historis yang dijelaskan di atas dan landasan teori tentang terbentuknya kota serta didukung pustaka acuan sebagai pembanding, dapat dikatakan bahwa kota Denpasar lahir dari sebuah keraton (Puri). Keraton Denpasar dibangun kemudian berfungsi sebagai ibukota pusat pemerintahan pada tahun 1788. Sejak itu kekuasaan kerajaan Badung memancar dari Puri Denpasar. Upaya ini tidak bisa dipisahkan dari peranan raja I Gusti Ngurah Made Pemecutan, raja pertama di Puri Denpasar (1788-1813). Hampir satu abad Puri Denpasar berdiri megah member corak kota kerajaan, kota keraton di kerajaan Badung sebelum dibombardir oleh pasukan Marinir dan Angkatan Darat Belanda pada tahun 1906 hingga hancur. Selanjutnya di atas puing keraton (Puri) Denpasar dibangun gedung untuk pusat pemerintahan di Bali Selatan. Selanjutnya Denpasar diabadikan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda menjadi nama ibukota afdeling Bali Selatan pada akhir tahun 1907. Sejak itu ditetapkan bahwa di Karesidenan Bali dan Lombok daerah-daerah Badung, Tabanan, Gianyar, Bangli, Klungkung dan Karangasem membentuk sebuah afdeling Bali Selatan dengan ibukotanya Denpasar. Setahap demi tahap Kota Denpasar senantiasa member warna dan ciri sebagai ibukota Daerah Tingkat II (Dati II) Badung, Ibukota Dati I Bali dan Ibukota Provinsi Bali sampai menjadi kota yang memiliki otonomi karena perkembangan yang dialami selama usianya 222 tahun. Dari kota keraton menjadi kota berproses selama 222 tahun (1788-2010) Denpasar tetap eksis menjadi nama kota dan menjadi kebanggaan warga Kota Denpasar. Saat ini ketika warga kota Denpasar menanyakan kapan sesungguhnya usia kota Denpasar? Maka jawabannya berdasarkan penelitian ditemukan pada tahun 1788. Mengenai tanggal dan bulan tidak ditemukan. Berdasarkan atas kesepakatan peserta seminar muncul tawaran tiga opsi, yaitu: 1. Menggunakan tanggal bulannya saja dari SK Menteri Dalam Negeri RI, tanpa tahunnya (1992) namun diganti dengan mengacu tahun berdirinya keraton Denpasar tahun 1788 sebagai pusat pemerintahan kerajaan
75
Badung. Ditemukan 27 Pebruari (SK Mendagri) 1788 (Gora Sirikan). Keduanya dilampirkan. Jadi, hari jadi kota Denpasar 27 Pebruari 1788. 2. Berdasarkan hari besar, upacara petoyaan, wedalan, petirtaan di bangunan pemerajan agung yang saat sekarang sudah tidak ada lagi bekas dan tradisinya karena keraton/puri Denpasar dan bagian-bagian puri termasuk Merajan Agung hancur rata tanah. 3. Pandangan budaya lokal penganut agama Hindu di Bali tentang melaksanakan karya Batara Turun Kabeh pada Purnama Kedasa. Tradisi ini dianut di Pura Nambangan Badung bukan di Merajan Agung Puri Denpasar. Dari tiga opsi yang muncul dalam seminar, Tim Peneliti merekomendasikan opsi 1 (satu) menjadi hari jadi kota Denpasar yaitu 27 Pebruari 1788. Atas pertimbangan alasan masyarakat dan pemerintah kota telah biasa merayakannya setiap 27 Pebruari, namun saat sekarang tahunnya ditarik ke masa lampau yaitu dari tahun 1992 ke tahun 1788. Dengan kota Denpasar seperti juga kehadiran historis kota-kota di Nusantara maupun Mancanegara, seperti: Jakarta, Yogyakarta, Paris, Atena dan lain-lain. Dapat dilacak berdasarkan faktor historis yaitu dari kota keraton/puri tahun 1788 menjadi kota saat ini dibatasi sampai tahun 2010 berusia 222 tahun.
76
DAFTAR PUSTAKA
Ardhana, I Ketut, “Denpasar: Perkembangan Dari Kota Kolonial Hingga kota Wisata”, dalam Freek Colombijn et al., 2005. Kota Lama Kota Baru Sejarah Kota-Kota di Indonesia. Jogjakarta: Ombak. Ardhana, I Ketut. 1993. “Balinese Puri in Historical Perspective; The Role of the Puri Satria and Puri Pamecutan in Social and Political Changes in Badung, South Bali 1906-1950”. Thesis Australian National University. Barker, Chris. 2000. Cultural Studies; Theory and Practice. London: Sage Publication. Bonn. 1937. Nota V. Tolichtingen Zelfkesturende Landschap Badoeng. Couteau, Jean. 2008. Bali today 2. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) Dharmawiajaya Mantra, IB Rai. 2009. “Denpasar Kota Kreatif Berbasis Budaya Unggulan. Potensi Ekonomi Berbasis Budya Unggulan Kota Denpasar”, makalah disampaikan dalam seminar tentang Peran Lembaga Keuangan Mikro dalam Pembangunan Ekonomi Kreatif, di Fakultas Ekonomi Universitas Udayana. Flierhaar, H. Te. 1931. De Aanpassing van het Inlandsch Onderwijs op Bali aan de Eigen Sfeer. Batavia. Geertz, C., 1980. Negara: The Theatre State in Nineteenth-Century Bali. Princeton, NY: Princenton Univ. Press. Geriya, I Wayan (ed.), 2010. Pusaka Budaya Representasi Ragam Pusaka dan Tantangan Konservasi di Kota Denpasar, Bali. Denpasar: Bappeda Kota Denpasar. Geriya, I Wayan. 2001. “Sinergi Kebudayaan, Agama, dan Pendidikan dalam Membangun Jati Diri dan Moral Komunitas Kota Denpasar yang Berwawasan Budaya”, dalam Rumawan Salain (ed), Strategi Pembangunan Kota Denpasar yang Berwawasan Budaya. Denpasar: Papedda Kota Denpasar. 77
Geriya, I Wayan. et al., 2010. Kebudayaan Unggul Inventori Unsur Unggulan Sebagai Bassis Kota Denpasar Kreatif. Denpasar: Bappeda Kota Denpasar. Hoekstra, H.J. 1937. Nota van Toelichtingen Betreffende het in de Stellen Zelfbesturende Landschap Badoeng. Instruksi Menteri Dalam Negeri Nonor: 16 Tahun 1970 Tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1970 Tentang Pembentukan Kota Administratif Denpasar. Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Badung Nomor: HOT.4/81/1980 Tentang Pelimpahan Tugas Wewenang Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Badung Kepada Pemerintah Kota Administratif Denpasar. Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Badung Nomor: 3/DPRD/1977 Tentang Pembentukan Kota Administratif Denpasar. Laporan Panitia Khusus A Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat II Badung Tentang Proses Rencana Peningkatan Status Kota Denpasar Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor: 122, Tahun 1958. Moolenberg, P.E. 1926. Memorie van Overgave van het Gewest Bali en Lombok. Nijpels, G. 1897. De Expedition naar Bali in 1846, 1848, 1849 en 1868. Haarlem. Pemerintah Kota Denpasar, 2011. Event Management Kota Denpasar. Denpasar: Bappeda Kota Denpasar. Pemerintah Kota Denpasar, 2011. Event Management Kota Denpasar. Denpasar: Bappeda Kota denpasar. Pendit, Nyoman S. 2008. Bali Berjuang. Denpasar: Pustaka Larasan. Penelusuran Sejarah Kota Denpasar. 2009. Denpasar: Bappeda Kota Denpasar. Putra, I Nyoman Dharma. 2009 “Seputar langkah untuk membangun ‘budaya kota’ yang menjadi penopang kokohnya langkah strategis membangun Denpasar sebagai ‘kota budaya’ atau kota berwawasan budaya”. Makalah disampaikan pada Seminar Denpasar sebagai Kota Berwawasan Budaya, 29 Desember 2009, di Inna Bali Hotel, diselenggarakan serangkaian dengan Festival Denpasar, Desember 2009. 78
Raka, I Gusti Gde. 1955. Monografi Pulau Bali. Djakarta: Pusat Djawatan Pertanian Rakjat RI. Rama. Ida Bagus Dkk., 1998. Prof. Dr. Ida Bagus Mantra Biografi Seorang Budayawan 1928-1995. Denpasar: Upada Sastra. Sirikan, Gora. 1956. Sejarah Bali. Sjoberg, Gedeon. 1960. The Preindustrial City; Past and Present. New York, London: The Free Press. Soenaryo, F.X. 1989. ”Sejarah Kota Denpasar 1906-1942”, Tesis. Yogyakarta: Fakultas Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Soenaryo, FX. 1989. “Sejarah Kota Denpasar 1906-1942”, Tesis S 2. Yogyakarta: Fakultas Pasca Sarjana UGM. Staatblad Tahun 1907 Nomor 449. Staatblad Tahun 1910 Nomor 638. Stenis, L.U. 1919. Memorie van Overgave van het Gewest Bali en Lombok. Suasih, Ni Made. 1992. “Sejarah Kota Administratif Denpasar (1978 – 1989)”, Skripsi S1 Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana. Surat Kawat Rapat Persiapan Tentang Peningkatan Status Kota Denpasar Menjadi Kota Administratif, Tanggal 3 Agustus 1976. Surat Kawat Rapat Persiapan Tentang Peningkatan Status Kota Denpasar Menjadi Kota Administratif, Tanggal 22 Januari 1977 Surjomihardjo,
Abdurrachman
2000.
Sejarah
Perkembangan
Sosial
Kota
Yogyakarta. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia. Suryo, Djoko. 2004. ”Penduduk dan Perkembangan Kota Yogyakarta 1900-1990”, Paper pada The 1st International Conference on Urban History Surabaya. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. 1988. Jakarta: Pustaka Tinta Mas. Utrecht, E. 1962. Sedjarah Hukum Internasional di Bali dan Lombok. Bandung.
79
LAMPIRAN I
Schets van den platten grond van de poeri van Den Pasar
80
LAMPIRAN II
Schetskaart van Midden Bali (Peta Bali)
81
LAMPIRAN III
DATA ARSIP I
82
83
LAMPIRAN IV
DATA ARSIP II
84
LAMPIRAN V
Lembaran Negara Hindia Belanda (Staatsblad van Nederlandsch-Indie)
85
86
LAMPIRAN VI
Bali en Lombok: Ibukota Singaraja (Bali en Lombok: Hoofdplaats Singaradja)
87
88
LAMPIRAN VII Akten van Verband en van Bevestiging van de Radja’s van Badoeng (Bijl. Handelingen Staten Generaal Zitting 1891-1892 No. 106-26)
89
90
91
92
LAMPIRAN VIII Akten van Verband en van Bevestiging van de Radja’s van Badoeng (Handelingen Staten Generaal Zitting 1902-1903 Bijlagen 174-2)
93
94
95
96
97
LAMPIRAN IX Overeenkomst tot Regeling der Grenzen met Gianjar 3/3-02 Goedgekeurd en Bekrachhtigd (Bijl. Handelingen Staten Generaal Zitting 1903-1904 No. 201-15)
98
99
100
101
102
103
LAMPIRAN X Mesatia-Contract Badoeng 22 Desember 1904 (bt. 21/2-05)
104
105
106
107
PRAKATA
Untuk melaksanakan gagasan tentang penulisan sejarah lahirnya kota Denpasar, telah dibentuk sebuah Tim yang bertugas meneliti dan menyusunnya. Hasil temuan tim sudah diseminarkan. Melalui musyawarah mufakat hingga tercapai kesepakatan dari aspek yuridis formal dan dari aspek historis. Temuan yang direkomendasikan tim kiranya dapat dijadikan pertimbangan keputusan politik oleh pemerintah Kota Denpasar. Temuan yang direkomendasikan ialah tanggal 27 Pebruari (dari aspek yuridis formal SK Mendagri tahun 1992), tahun 1788 (dari aspek historis buku Gora Sirikan, II, 1956: 188). Jadi hari lahir kota Denpasar 27 Pebruari 1788. Selama proses penelitian dan penyusunan menjadi sebuah buku, banyak perorangan dan lembaga yang membantu. Baik bantuan material finansial maupun motivasi spirit moral, utamanya Bapak Walikota Denpasar. Ucapan terimakasih secara tulus dari Tim disampaikan kepada Bapak Ida Bagus Rai Dharmawijaya Mantra, SE, M.Si, Walikota Denpasar yang mendorong Tim untuk menggali hari jadi Kota Denpasar. Ucapan terimakasih yang tulus ditujukan kepada segenap wakil rakyat yang duduk di DPRD Kota Denpasar dan pemuka Puri (Pemecutan, Denpasar, dan Kesiman). Juga ucapan terimakasih tulus disampaikan kepada para informan, narasumber, lembaga-lembaga penyimpanan arsip dokumen, Arsip Nasional RI dan Perpustakaan Nasional RI di Jakarta, Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah Propinsi Yogyakarta, Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah Propinsi Sulawesi Selatan, Kantor Dokumentasi Kebudayaan Bali di Denpasar. Semoga gagasan dan usaha Bapak Walikota Denpasar yang didukung oleh tim penyusun kiranya dapat turut mencerdaskan kehidupan bangsa melalui sejarah lahirnya Kota Denpasar. Juga untuk lebih mengenal jati diri kita sebagai bangsa yang ber-Bhineka Tunggal Ika dalam mewujudkan cita-cita bangsa melalui aktivitas kota kreatif berwawasan budaya. Kota Denpasar yang menjalankan perjalanan sejarah dari kota keraton (puri) tahun 1788 menjadi kota yang ada sekarang (2011) berusia dua abad lebih. Pada hari jadinya yang akan datang genap berusia 224 tahun apabila disepakati tanggal 27 Pebruari 1788 – 27 Pebruari 2012. Denpasar, 28 Oktober 2011 Tim Penyusun i
108
SAMBUTAN KEPALA BAPPEDA KOTA DENPASAR “Om Swastiastu” Puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, atas Asung Kertha Wara Nugraha-Nya, Buku “Sejarah Kota Denpasar: Dari Kota Keraton Menjadi Kota (1788 – 2010)” dapat diterbitlan, sesuai yang telah direncanakan. Pemerintah
Kota
Denpasar
bekerjasama
dengan
Universitas Udayana Denpasar melaksanakan penelitian ini, sebagai salah satu upaya untuk mengetahui sejarah dan usia kota Denpasar, yang lahir dan muncul dari kota keraton/puri yang memiliki ciri-ciri dan unsur budaya keraton/puri yang bersinergi dengan budaya rakyatnya. Harapan kami semoga buku ini dapat memberikan pemahaman yang utuh dan menyeluruh untuk mempertebal kesadaran sejarah dari komunitas kota Denpasar sehingga dapat memperkuat jati diri masyarakat kota Denpasar berlandaskan budaya Bali. Akhirnya pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada Tim Peneliti Bapak A.A. Bagus Wirawan, SU serta Tim Peneliti dari Universitas Udayana atas dharma baktinya dalam mewujudkan Visi dan Misi Pemerintah Kota Denpasar. “Om Shanti, Shanti, Shanti Om” Denpasar,
Nopember 2011
KEPALA BAPPEDA KOTA DENPASAR
Ir. I Gst. Putu Anindya Putra, MSP Pembina Utama Muda NIP: 19550413 198703 1 002
ii
109
SAMBUTAN WALIKOTA DENPASAR “Om Swastiastu” Puji syukur dipanjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, atas Asung Kertha Wara Nugraha-Nya, buku “Sejarah Kota Denpasr: dari Kota Keraton menjadi Kota (1788 – 2010)” dapat diterbitkan tepat waktu sesuai dengan yang direncanakan. Untuk itu Pemerintah Kota Denpasar menyambut baik dan memberikan apresiasi terhadap usaha-usaha yang telah dilakukan dalam menunjang dan merealisasikan visi Pembangunan “Denpasar Kreatif Berwawasan Budaya Dalam Keseimbangan Menuju Keharmonisan”. Buku ini akan dapat memperkaya referensi, dan sekaligus sebagau bukti akan komitmen Pemerintah Kota Denpasar, untuk mengetahui bagaimana proses menjadinya, genesis dan perkembangannya yang menunjukkan keunikan identitas Kota Denpasar dibandingkan dengan kota-kota lainnya. Terbitnya buku ini tentunya akan dapat memberikan gambaran yang lebih jelas untuk pengokohan jati diri masyarakat Kota Denpasar, pengembangan pariwisata, pendidikan, penelitian dan pembentukan karakter bangsa. Apalagi didalamnya diuraikan tahap-tahap perkembangan Kota Denpasar, dari Kota Kerajaan Tradisional Keraton (Puri) Denpasar 1788, kemudian menjadi Kota Modern pada jaman Kolonial dan akhirnya menjadi Pemerintah Kota Denpasar saat ini. Buku yang merupakan sumbangan pemikiran dari Tim Peneliti A.A. Bagus Wirawan, SU dan kawan-kawan, tentu sangat relevan dengan upaya Pemerintah Kota Denpasar untuk merealisasikan misi pembangunan “Penguatan Jati Diri Masyarakat Kota Denpasar Berlandaskan Budaya Bali”. Sebagai akhir kata, kami ucapkan terima kasih kepada Tim Peneliti dari Universitas Udayana Denpasar atas segala usaha yang telah dilakukan sehingga buku ini bias diterbitkan. Semoga buku ini bermanfaat bagi masyarakat Kota Denpasar sebagai pengemban pusaka budaya. Sekian dan terima kasih. “Om Shanti, Shanti, Shanti Om” WALIKOTA DENPASAR
RAI DHARMAWIJAYA MANTRA
iii
110
DAFTAR ISI
PRAKATA...........................................................................................................
i
SAMBUTAN KEPALA BAPPEDA KOTA DENPASAR .................................
ii
SAMBUTAN WALIKOTA DENPASAR ..........................................................
iii
DAFTAR ISI........................................................................................................
iv
DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................
vi
I PENGANTAR 1.1.
Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota .....................................
1
1.2.
Pustaka Acuan dan Pembanding .........................................................
3
II DENPASAR SEBAGAI KOTA KERAJAAN TRADISIONAL 2.1.
Berdiri dan Berkembangnya Kerajaan Badung ...................................
2.2.
Keraton (Puri) Denpasar Sebagai Pusat Pemerintahan Ibukota Kerajaan Badung Tahun 1788 .............................................................
2.3.
6
12
Raja-raja yang Berkuasa di Keraton (Puri) Denpasar Hingga Hancurnya Puri Denpasar....................................................................
15
III DENPASAR SEBAGAI KOTA MODERN 3.1. Menjadi Ibukota Modern Kolonial .......................................................
17
3.2. Menjadi Ibukota Modern Republik.......................................................
29
3.3. Menjadi Ibukota Pemerintah Dati II (Kabupaten) dan Dati I (Provinsi) ..............................................................................................
34
IV DENPASAR SEBAGAI IBUKOTA DAERAH TINGKAT II 4.1. Kota Administratif (28 Agustus 1978) .................................................
41
4.1.1. Terbentuknya Kota Administratif Denpasar ..............................
42
4.1.2. Perencanaan dan Perluasan Kota................................................
44
4.2. Dari Kota Madya Menjadi Kota (1980-1992) ......................................
52
4.2.2. Proses Pembentukan Kota Denpasar ..........................................
56
4.3. Dari Kota Keraton Menjadi Kota Budaya ............................................
60
V PENUTUP........................................................................................................
75
iv
111
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................
77
LAMPIRAN.........................................................................................................
80
v
112
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I
Schets van den platten grond van de poeri van Den Pasar ......................
80
II
Schetskaart van Midden Bali (Peta Bali) ..................................................
81
III
Data Arsip I ...............................................................................................
82
IV
Data Arsip II ..............................................................................................
84
V
Lembaran Negara Hindia Belanda (Staatsblad van Nederlandsch-Indie)
85
VI
Bali en Lombok: Ibukota Singaraja (Bali en Lombok: Hoofdplaats Singaradja) ................................................................................................
VII
87
Akten van Verband en van Bevestiging van de Radja’s van Badoeng (Bijl. Handelingen Staten Generaal Zitting 1891-1892 No. 106-26) ........
89
VIII Akten van Verband en van Bevestiging van de Radja’s van Badoeng (Handelingen Staten Generaal Zitting 1902-1903 Bijlagen 174-2) .......... IX
93
Overeenkomst tot Regeling der Grenzen met Gianjar 3/3-02 Goedgekeurd en Bekrachhtigd (Bijl. Handelingen Staten Generaal
X
Zitting 1903-1904 No. 201-15) .................................................................
98
Mesatia-Contract Badoeng 22 Desember 1904 (bt. 21/2-05) ...................
104
vi
113
SEJARAH KOTA DENPASAR: Dari Kota Keraton Menjadi Kota (1788-2010)
Tim Penulis Prof. Dr. A.A. Bagus Wirawan, SU. Ir. IBG. Wirawibawa Mantra, MT. Drs. I Wayan Tagel Eddy, MS. Drs. I Wayan Sukiada, M. Hum. Drs. Ida Bagus Jelantik Sutanegara Pidada, M.Hum.
Kerjasama: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Denpasar dan Universitas Udayana 2011
114