MODUL PERKULIAHAN
Pengambilan Keputusan Manajerial Modul Final Semester
Fakultas
Program Studi
Ekonomi dan Bisnis
Manajemen
Tatap Muka
09
Kode MK
Disusun Oleh
MK
Andre M. Lubis, ST, MBA
Abstract
Kompetensi
Mampu mengidentifikasi masalah dan memahami model-model pengambilan keputusan dalam berbagai situasi
Mampu merespon sebuah masalah dalam keputusan, dalam berbagai situasi yang dihadapi
Modul 9 Pendahuluan Keputusan Kompleks terjadi ketika pengambil keputusan dihadapkan pada berbagai situasi yang dalam pembahasan sebelumnya, bersifat sendiri-sendiri, tetapi sekarang semua situasi tersebut berada dalam konteks keputusan yang sama sebagai dimensi-simensi yang harus dipertimbangkan dalam situasi keputusan.
Isi Pengambilan Keputusan Kompleks - Soft system methodology - Metagame - Anlytical Hierarchy Process Pengambilan keputusan harus memresepsikan pihak mana saja yang menjadi lawanya, objektif yang relevan dengan sejumlah strategi yang dikembangkannya dalam rangka menghadapi strategi lawan yang telah diperkirakan sebelumnya, dan menentukan probabilitas kondisi alam (state of nature) yang mungkin dihadapi. Situasi kompleks semacam itu akan membawa pada kebingungan mengenai alternativealternatif yang harus dikembangkan mengingat situasi yang dihadapi memiliki dimensi yang tidak hanya tiga dimensi melainkan multidimensi. Oleh karena itu dalamsituasi kompleks seperti ini, pengembangan sebuah mental model dibutuhkan, di mana merupakan persepsi sujektif pengambil keputusan terhadap dimensi-dimensi yang dihadapi secara integral.
Soft System Methodology Peter Checkland (1960) mengembangkan sebuah cara untuk menstrukturkan pemikiran mengenai situasi yang dihadapi (the real word) bukan dalam bentuk deskriptif atau normative walaupun kedua hal tersebut terdapat/terkandung di dalam situasi ini (Bob William, 2005). Langkah-langkah dalam SSM, mempersepsikan real world sbb.: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Menggambarkan dalam RICH PICTURE. Mengenali ROOT DEFINITIONS dan RELEVANT SYSTEM. Membangun CONCEPTUAL MODEL. Conceptual Model Vs Real World. Identifikasi perubahan real world yang perlu dilakukan. Langkah-langkah meningkatkan situasi.
Gambar 9.1. Rich Picture
‘13
2
Pengambilan Keputusan Manajerial Andre M. Lubis
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Pendekatan permasalahan dengan menggunakan SSM membutuhkan tujuh tahapan: 1. Dunia nyata a. Mempersiapkan dunia nyata/situasi keputusan. b. Mengepresikan dunia nyata tersebut dalam rich piture 2. Dunia Konseptual a. Mengenali “rppt definitions” dan relevan system”. b. membangun model konseptual 3. Perbandingan keduanya a. Membandingkan model konseptual dengan dunia nyata. b. Mengidentifikasi perubahan-perubahan dalam dunia nyata yagn mungkin dan perlu untuk dilakukan. c. Merancang langkah-langkah untuk meningkatkan situasi.
Roots Definitions Ada berbagai perspektif baik yang relevan maupun tidak yang bisa digunakan untuk memahami rich picture. Sebagai contoh, rich picture yang ada pada gambar 2, dapat dilihat dari segi: 1. Bagaimana memperkuat bargaining position dari presiden. 2. memperkuat bargaining position dari DPR. 3. Bagaimana seseorang bisa memunculkan dirinya dalam bursa pemilihan calon Gubernur BI. 4. Sistem pendaftaran Parpol dalam Pemilu. 5. Sistem penghitungan Pemilu oleh LPU. 6. Sistem pendanaan pemilu. 7. Keberadaan subculture dalam sistem budaya Indonesia. 8. Sistem pemilu dalam konteks representasi kelompok masyarakat dalam DPR 9. Sistem rekrutmen kader ParPol. ‘13
3
Pengambilan Keputusan Manajerial Andre M. Lubis
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
10. Sistem budaya indonesia dalam konteks value and believes. Gambar 9.2. Pemilihan Gubernur Bank Indonesia
Relevant system adalah 8/9/10 yang mampu menjelaskan bagaimana agar dalam sistem pemilihan Gubernur BI dihasilkan Calon Gubernur BI yang kompeten dan diterima 3 subsistem tersebut perlu dijabarkan ke dalam CATWOE: 1. Customer/Client; masyarakat, baik bagi sistem pemilihan gubernur BI maupun 3 sub sistem terkait. 2. Actors; peresiden dan DPR dalam sistem pemilihan Gubernur BI, pengurus parpol dalam subsistem rekrutmen kader parpol, masyarakat dalam subsistem pemilu, dan budaya Indonesia. 3. Transformation Process 4. Weltanschauung (perspective yang menjelaskan mengapa root definition relevan); subsistem politik relevan karena menghasilkan calon legislatif yang kelak akan berinteraksi dalam memilih gubernur BI, subsistem pemilu relevan karena menentukan partai mayoritas yang akan member warna dalam pemilihan Gubernur BI, dan subsitem budaya relevan karena menggambarkan bagaimana pemenang pemilu akan dihasilkan dalam sistem social di Indonesia. 5. Owners; masayarakat dalam sistem pemilihan Gubernur BI, partai politik dalam subsistem rekrutmen kader parpol dan pemilu; serta masyarakat dalam subsistem budaya. 6. Environmental Constraint; berbagai penghambat yang dapat ditemukan dalam sistem dan ketiga subsistem, yang mampu menghambat terpilihnya calon yang kompeten. Menurut checkland, pada titik inilah,sebuah ernyataan mengenai perspektif yang relevan yang disebut “holon” dibutuhkan. Pada dasarnya, bebrbagi holon dapat dikembangkan,
‘13
4
Pengambilan Keputusan Manajerial Andre M. Lubis
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
namun hanya satu holon saja yang relevan, yang disebut oleh checkland sebagai “root definitions”. Dalam kasus kita, holon dapat di deskripsikan dengan kalimat: “ menciptakan sistem politik dan pemilu yang menjamin kelestarian sistem pemilihan Gubernur BI yang mampu menghasilkan kandidat Gubernur BI yang kompeten dan diterima dalam kondisi Budaya Masyarakat Indonesia.” Membangun Model Konseptual harus dipahami bahwa holon sebenarnya merupakan abstraksi dari CATWOE yang menghimpun unsure-unsur penting daripadanya. Dari Holon ini, berbagai aktivitas yang dibutuhkan bisa diidentifikasi, agar proses transformasi dalam CATWOE bisa dilakukan, sekaligus menggambarkan model konseptual yang berasal dari root definition. Gambar 9.4 Model Konseptual
Metagame. Basis dari metagame adalah indentifikasi berbagai system/subsistem, baik yang berperan sebagai actor maupun berbetuk lingkungan eksternal yang menghambat, di mana relevan dalam mempengaruhi pengambil keputusan, mengidentifikasi berbagai tujuan mereka, dan mengidentifikasi berbagai strategi scenario situasi keputusan yang layak dipertimbangkan dapat dikenali serta mencari langkah-langkah yang bisa dilakukan untuk mengarah pada perbaikan baik berbentuk “compromise scenario”, “stable scenario”, “the preferred one scenario” ataupun paling tidak “optimal scenario”. Dalam hal ini beberapa istilah yang perlu dipahami adalah sebagai berikut: 1. Identifikasi berbagai subsistem baik aktor,maupun lingkungan eksternal ‘13
5
Pengambilan Keputusan Manajerial Andre M. Lubis
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
2. 3. 4. 5.
Identifikasi tujuan actor Identifikasi opsi Identifikasi scenario Isentifikasi improvement baik berupa : compromise scenario, stable scenario, the preferred scenario atau optimal scenario.
Kegunaan AHP (Thomas L Saaty, 1991) AHP banyak digunakan untuk pengambilan keputusan dalam menyelesaikan masalah masalah dalam hal perencanaan, penentuan alternatif, penyusunan prioritas, pemilihan kebijakan, alokasi sumber daya, penentuan kebutuhan, peramalan hasil, perencanaan hasil, perencanaan sistem, pengukuran performansi, optimasi dan pemecahan konflik. Kelebihan dari metode AHP dalam pengambilan keputusan adalah: a. Dapat menyelesaikan permasalahan yang kompleks, dan strukturnya tidak beraturan, bahkan permasalahannya yang tidak terstruktur sama sekali. b. Kurang lengkapnya data tertulis atau data kuantitatif mengenai permasalahan tidak mempengaruhi kelancaran proses pengambilan keputusan karena penilaian merupakan sintesis pemikiran berbagai sudut pandang responden. c. Sesuai dengan kemampuan dasar manusia dalam menilai suatu hal sehingga memudahkan penilaian dan pengukuran elemen. d. Metode dilengkapi dengan pengujian konsistensi sehingga dapat memberikan jaminan keputusan yang diambil. Disamping kelebihan-kelebihan di atas terdapat pula beberapa kesulitan dalam menerapkan metode AHP ini. Apabila kesulitan-kesulitan tersebut tidak dapat diatasi, maka dapat menjadi kelemahan dari metode AHP dalam pengambilan keputusan: a. AHP tidak dapat diterapkan pada suatu perbedaan sudut pandang yang sangat tajam/ekstrim di kalangan responden.
‘13
6
Pengambilan Keputusan Manajerial Andre M. Lubis
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
b. Responden yang dilibatkan harus memiliki pengetahuan dan pengalaman yang cukup tentang permasalahan serta metode AHP. Prinsip Pokok Analytic Hierarchy Process (AHP) Pengambilan keputusan dalam metodologi AHP didasarkan atas tiga prinsip dasar (Saaty, 1994), yaitu: a. Penyusunan Hirarki Penyusunan hirarki permasalahan merupakan langkah untuk mendefinisikan masalah yang rumit dan kompleks, sehingga menjadi jelas dan rinci. Keputusan yang akan diambil ditetapkan sebagai tujuan, yang dijabarkan menjadi elemen elemen yang lebih rinci hingga mencapai suatu tahapan yang paling operasional/terukur. Hirarki tersebut memudahkan pengambil keputusan untuk memvisualisasikan permasalahan dan faktor-faktor terkendali dari permasalahan tersebut. Hirarki keputusan disusun berdasarkan pandangan dari pihak-pihak yang memiliki keahlian dan pengetahuan di bidang yang bersangkutan. b. Penentuan Prioritas Prioritas dari elemen-elemen pada hirarki dapat dipandang sebagai bobot/kontribusi elemen tersebut terhadap tujuan yang ingin dicapai dalam pengambilan keputusan. Metode AHP berdasarkan pada kemampuan dasar manusia untuk memanfaatkan informasi dan pengalamannya untuk memperkirakan pentingnya satu hal dibandingkan dengan hal lain secara relatif melalui proses membandingkan hal-hal berpasangan. Proses inilah yang disebut dengan metode perbandingan berpasangan (pairwise comparison) untuk menganalisis prioritas elemen-elemen dalam hirarki. Prioritas ditentukan berdasarkan pandangan dan penilaian para ahli dan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap pengambilan keputusan, baik dengan diskusi atau kuesioner. c. Konsistensi Logika Prinsip pokok yang menentukan kesesuaian antara definisi konseptual dengan operasional data dan proses pengambilan keputusan adalah konsistensi jawaban dari para responden. Konsistensi tersebut tercermin dari penilaian elemen dari perbandingan berpasangan. Dalam menggunakan ketiga prinsip tersebut, AHP menyatukan dua aspek pengambilan keputusan, yaitu: 1) Secara kualitatif AHP mendefinisikan permasalahan dan penilaian untuk mendapatkan solusi permasalahan. 2) Secara kuantitatif AHP melakukan perbandingan secara numerik dan penilaian untuk mendapatkan solusi permasalahan. A. Penyusunan Struktur Hirarki Masalah Hirarki masalah disusun untuk membantu proses pengambilan keputusan dengan memperhatikan seluruh elemen keputusan yang terlibat dalam sistem. Sebagian besar masalah menjadi sulit untuk diselesaikan karena proses pemecahannya dilakukan tanpa memandang masalah sebagai suatu sistem dengan suatu struktur tertentu. Pada tingkat tertinggi dari hirarki, dinyatakan tujuan, sasaran dari sistem yang dicari solusi masalahnya. Tingkat berikutnya merupakan penjabaran dari tujuan tersebut. Suatu hirarki dalam Metode AHP merupakan penjabaran elemen yang tersusun dalam beberapa tingkat, dengan setiap tingkat mencakup beberapa elemen homogen. Sebuah elemen menjadi kriteria dan patokan bagi elemen-elemen yang berada di bawahnya. Untuk memastikan
‘13
7
Pengambilan Keputusan Manajerial Andre M. Lubis
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
bahwa kriteria-kriteria yang dibentuk sesuai dengan tujuan permasalahan, maka kriteriakriteria tersebut harus memiliki sifat-sifat berikut: a. Minimum Jumlah kriteria diusahakan optimal untuk memudahkan analisis. b. Independen Setiap kriteria tidak saling tumpang tindih dan harus dihindarkan pengulangan kriteria untuk suatu maksud yang sama. c. Lengkap Kriteria harus mencakup seluruh aspek penting dalam permasalahan. d. Operasional e. Kriteria harus dapat diukur dan dianalisis, baik secara kuantitatif maupun kualitatif dan dapat dikomunikasikan. Dalam menyusun suatu hirarki tidak terdapat suatu pedoman tertentu yang harus diikuti. Hirarki tersebut tergantung pada kemampuan penyusun dalam memahami permasalahan. B. Penyusunan Prioritas
Relative Measurement Setiap elemen yang terdapat dalam hirarki harus diketahui bobot relatifnya satu sama lain. Tujuannya adalah untuk mengetahui tingkat kepentingan pihak-pihak yang berkepentingan dalam permasalahan terhadap kriteria dan struktur hirarki atau sistem secara keseluruhan. Yang pertama dilakukan dalam menentukan prioritas kriteria adalah menyusun perbandingan berpasangan, yaitu membandingkan dalam bentuk berpasangan seluruh kriteria untuk setiap sub sistem hirarki. Perbandingan tersebut kemudian ditransformasikan dalam bentuk matriks perbandingan berpasangan untuk analisis numerik. Misalkan terdapat suatu sub sistem hirarki dengan kriteria C dan sejumlah n alternative dibawahnya, Ai sampai An. Perbandingan antar alternatif untuk sub sistem hirarki itu dapat dibuat dalam bentuk matriks n x n, seperti pada dibawah ini. Tabel 9.1 Matriks Perbandingan berpasangan
Nilai a11 adalah nilai perbandingan elemen A1 (baris) terhadap A1 (kolom) yang menyatakan hubungan: a. Seberapa jauh tingkat kepentingan A1 (baris) terhadap kriteria C dibandingkan dengan A1 (kolom) atau
‘13
8
Pengambilan Keputusan Manajerial Andre M. Lubis
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
b. Seberapa jauh dominasi Ai (baris) terhadap Ai (kolom) atau c. Seberapa banyak sifat kriteria C terdapat pada A1 (baris) dibandingkan dengan A1 (kolom). Nilai numerik yang dikenakan untuk seluruh perbandingan diperoleh dari skala perbandingan yang disebut Saaty pada Tabel 9.2. Apabila bobot kriteria Ai adalah Wi dan bobot elemen Aj adalah Wj maka skala dasar 1-9 yang disusun Saaty mewakili perbandingan (Wi/Wj)/1. Angka-angka absolut pada skala tersebut merupakan pendekatan yang amat baik terhadap perbandingan bobot elemen A1 terhadap elemen Aj. Tabel 9.2. Skala Penilaian Perbandingan
Saaty menyusun angka-angka absolut sebagai skala penilaian berdasarkan kemampuan manusia untuk menilai secara kualitatif, yaitu melalui ungkapan sama, lemah, kuat, amat kuat, dan absolut atau ekstrim. Penilaian Perbandingan Multipartisan
‘13
9
Pengambilan Keputusan Manajerial Andre M. Lubis
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Penilaian yang dilakukan oleh banyak partisipan akan menghasilkan pendapat yang berbeda satu sama lain. Analytical Hierarchy Process hanya memerlukan satu jawaban untuk matriks perbandingan. Jadi semua jawaban dari partisipan harus dirata-ratakan. Dalam hal ini Saaty memberikan metode perataan dengan rata-rata geometrik atau geometric mean. Rata-rata geometrik dipakai karena bilangan yang dirata-ratakan adalah deret bilangan yang sifatnya rasio dan dapat mengurangi gangguan yang ditimbulkan salah satu bilangan yang terlalu besar atau terlalu kecil (Brodjonegoro dan Utama, 1992). Teori rata-rata geometrik menyatakan bahwa jika terdapat n partisipan yang melakukan perbandingan berpasangan, maka terdapat n jawaban atau nilai numerik untuk setiap pasangan. Untuk mendapatkan nilai tertentu dari semua nilai tersebut, masing-masing nilai harus dikalikan satu sama lain kemudian hasil perkalian itu dipangkatkan dengan 1/n. Secara matematis dituliskan sebagai berikut :
aij = (z1, z2, z3, ..., zn)1/n dengan;
aij = Nilai rata-rata perbandingan berpasangan kriteria Ai dengan Aj untuk n partisipan Zi = Nilai perbandingan antara kriteria Ai dengan Aj untuk partisipan i, dengan i = 1, 2, 3, ..., n. n = Jumlah partisipan. Eigenvalue dan Eigenvector Apabila seseorang yang sudah memasukkan persepsinya untuk setiap perbandingan antara kriteria-kriteria yang berada dalam satu level atau yang dapat diperbandingkan maka untuk mengetahui kriteria mana yang paling disukai atau paling penting, disusun sebuah matriks perbandingan. Bentuk matriks ini adalah simetris atau biasa disebut dengan matriks bujur sangkar. Apabila ada tiga kriteria yang dibandingkan dalam satu level matriks maka matriks yang terbentuk adalah matriks 3 x 3. Ciri utama dari matriks perbandingan yang dipakai model AHP adalah kriteria diagonalnya dari kiri atas ke kanan bawah adalah satu karena yang dibandingkan adalah dua kriteria yang sama. Selain itu, sesuai dengan sistematika berpikir otak manusia, matriks perbandingan yang dibentuk bersifat matriks resiprokal misalnya kriteria A lebih disukai dengan skala 3 dibandingkan kriteria B maka dengan sendirinya kriteria B lebih disukai dengan skala 1/3 dibandingkan A. Setelah matriks perbandingan untuk sekelompok kriteria telah selesai dibentuk maka langkah berikutnya adalah mengukur bobot prioritas setiap kriteria tersebut dengan dasar persepsi seorang ahli yang telah dimasukan dalam matriks tersebut. Hasil akhir perhitungan bobot prioritas tersebut merupakan suatu bilangan desimal di bawah satu dengan total prioritas untuk kriteria-kriteria dalam satu kelompok sama dengan satu. Dalam penghitungan bobot prioritas dipakai cara yang paling akurat untuk matriks perbandingan yaitu dengan operasi matematis berdasarkan operasi matriks dan vektor yang dikenal dengan nama Eigenvektor.
‘13
10
Pengambilan Keputusan Manajerial Andre M. Lubis
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Eigenvektor adalah sebuah vektor yang apabila dikalikan sebuah matriks hasilnya adalah vektor itu sendiri dikalikan dengan sebuah bilangan skalar atau parameter yang tidak lain adalah eigenvalue. Bentuk persamaannya sebagai berikut:
A.w = .w Dengan; w: eigenvektor : eigenvalue A : Matriks bujursangkar Eigenvektor biasa disebut sebagai vektor karakteristik dari sebuah matriks bujursangkar sedangkan eigenvalue merupakan akar karakteristik dari matriks tersebut. Metode ini yang dipakai sebagai alat pengukur bobot prioritas setiap matriks perbandingan dalam model AHP
karena sifatnya lebih akurat dan memperhatikan semua interaksi antar kriteria dalam matriks. Kelemahan metode ini adalah sulit dikerjakan secara manual terutama apabila matriksnya terdiri dari tiga kriteria atau lebih sehingga memerlukan bantuan program komputer untuk memecahkannya. Konsistensi Salah satu asumsi utama model AHP yang membedakannya dengan model-model pengambilan keputusan lain adalah tidak adanya syarat konsistensi mutlak. Dengan model AHP yang memakai persepsi manusia sebagai inputnya maka ketidakkonsistenan mungkin terjadi karena manusia memiliki keterbatasan dalam menyatakan persepsinya secara konsisten terutama kalau harus membandingkan banyak kriteria. Berdasarkan kondisi ini maka manusia dapat menyatakan persepsinya dengan bebas tanpa ia harus berpikir apakah persepsinya tersebut akan konsisten nantinya atau tidak. Pengukuran konsistensi dari suatu matriks itu sendiri didasarkan atas eigenvalue maksimum. Dengan eigenvalue maksimum, inkonsistensi yang biasa dihasilkan matriks perbandingan dapat diminimumkan. Rumus dari indeks konsistensi adalah: CI = ( maks - n )/(n-1)
Dengan; CI: Indeks Konsistensi maks: eigenvalue maksimum n: Orde matriks Dengan merupakan eigenvalue dan n ukuran matriks. Eigenvalue maksimum suatu matriks tidak akan lebih kecil dari nilai n sehingga tidak mungkin ada nilai CI yang negatif. Makin dekat eigenvalue maksimum dengan besarnya matriks, makin konsisten matriks tersebut dan apabila sama besarnya maka matriks tersebut konsisten 100% atau inkonsistensi 0%. Dalam pemakaian sehari-hari CI tersebut biasa disebut indeks inkonsistensi karena rumus di atas memang lebih cocok untuk mengukur inkonsistensi suatu matriks.
‘13
11
Pengambilan Keputusan Manajerial Andre M. Lubis
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Indeks inkonsistensi di atas kemudian diubah ke dalam bentuk rasio inkonsistensi dengan cara membaginya dengan suatu indeks random. Indeks random menyatakan ratarata konsistensi dari matriks perbandingan berukuran 1 sampai 10 yang didapatkan dari suatu eksperimen oleh Oak Ridge National Laboratory dan kemudian dilanjutkan oleh Wharton
School.
Tabel 9.3 Pembangkit Random (RI)
CR = CI RI CR = Rasio Konsistensi RI = Indeks Random Selanjutnya konsistensi responden dalam mengisi kuesioner diukur. Pengukuran konsistensi ini dimaksudkan untuk melihat ketidakkonsistenan respon yang diberikan responden. Saaty (1980) telah menyusun nilai CR (Consistency Ratio) yang diizinkan adalah CR < 0.1. Absolute measurement Dalam pengukuran absolut, seorang pengambil keputusan mengevaluasi tiap alternative dengan cara memberikan penilaian langsung untuk tiap criteria. Kehadiran atau ketidakhadiran alternative lain baik relevan ataupun tidak relevan terhadap keputusan, tidak memberikan efek pada rangking alternatifnya. Jenis pengukuran ini juga sering disebut sebagai rating AHP. Skala yang digunakan dalam pengukuran ini adalah skala rating. Skala rating adalah skala yang mencoba untuk meng-kualitatif-kan data kuantitatif. Bobot dari skala yang akan digunakan diperoleh dengan cara membandingkan dominasi dari tiap skala. Penilaian ini dilakukan oleh pihak yang akan menggunakan skala tersebut. Skala yang biasa digunakan terdiri dari lima level, yakni : sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, dan sangat rendah.
‘13
12
Pengambilan Keputusan Manajerial Andre M. Lubis
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Daftar Pustaka Heizer Jay, B. Render, (2006), Operations Management (Manajemen Operasi), Salemba Empat, Edisi Ketujuh, Jakarta Rachmadi Agus Triono, Pengambilan Keputusan Manajerial, Salemba Empat, 2012
‘13
13
Pengambilan Keputusan Manajerial Andre M. Lubis
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id