PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PENGALAMAN KESEHARIAN GURU-GURU DI JAGOI BABANG: NEGOSIASI ATAS WACANA TAPAL BATAS
TESIS
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humiora (M.Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma
Oleh : Ervina Panduwinata Rete 136322010
PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2017
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PENGALAMAN KESEHARIAN GURU-GURU DI JAGOI BABANG: NEGOSIASI ATAS WACANA TAPAL BATAS
TESIS
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humiora (M.Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma
Oleh : Ervina Panduwinata Rete 136322010
PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2017
i
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
HALAMAN PERSBTUJUAI{ FEMBIIIBING
TESIS
BABAI{G: PENGALAMAN KESEHARIAN GI'RU-GI]RU DI JAGOI BATAS TAPAL WACANA NEGOSIASI ATAS
ja-
4-
txuna ,?, ?ctc ...ffi..{4.!4..{t!!!g]Eg fanggal
14
Juli 2017
)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
l3
HALAMAI\I PENGESAHAN
PENGALAMAN KESEHARIAI{ G[}RU.GI'RU DI JAGOI BABANG: NEGOSIASI ATAS WACANA TAPAL BATAS
Oleh: Ervina Panduwinata Rete
Pada
Tdnssll 24
JulifrlT
3. Prof, D,r. A. Supratiknya
Yogyakarta, 24 Juli 2017
ilt
tm
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1v3 ..
PER}IYATAATI KEASLIAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul : Pengalaman Keseharian Guruguru di Jagoi Babang: Negosiasi Atas Wacana Tapal Batas merupakan hasil karya
Di dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk merirperoleh gelar kesarjanaan' di suatu perguruan tinggi. Pemakaian dan peminjaman karya dari peneliti lain adalah semata-mata untuk keperluan ilmiah sebagaimana diacu secara tertulis di dalam catatan tubuh dan dan penelitian saya pribadi.
catatan kaki serta daftar pustaka.
Yogyakarta, 08 Agustu s 2017 Yang me,mbuat pernyataan
Ervina Panduwinata Rete
tv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PERNYATAA}I PERSETUJUAI\ PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nim
:136322010
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya rnemberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma karyailmiah saya yang berjudul:
PENGALAMAN KESEIIARIAN GURU.GURU DI JAGOI BABANG: NEGOSIASI ATAS WACANA TAPAL BATAS beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demii
kepada Perpustakaan universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya diinternet atau media lain untuk kepentingan akadernis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Dernikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal: 08 Agustus 2017
Yang menyatakan
Ervina Panduwinata Rete
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
To survive the Borderlands: you must live sin fronteras, be a crossroads.
Gloria Anzaldua
vi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
KATA PENGANTAR
Tesis ini adalah bagian dari proses saya menuju pendewasaan secara intelektual. Sebuah perjalanan untuk memberi makna pada lingkungan di mana saya dilahirkan dan tumbuh-berkembang. Meski tesis ini tidak berupaya memberi jawaban atas persoalan yang dihadapi oleh masyarakat perbatasan, tetapi saya yakin tesis ini menyumbangkan pemahaman yang lain dalam memaknai pengalaman guru di perbatasan sehingga membuka perspektif yang lebih beragam. Dalam penyusunan tesis ini tidaklah mulus. Ada tantangan yang silih berganti. Oleh sebab itu, lewat kesempatan ini saya mau berterima kasih kepada semua pihak yang sudah banyak membantu dan mendukung saya selama proses penyusunan tesis ini. Pertama-tama, saya menghaturkan terima kasih kepada Pak Praktik selaku dosen pembimbing yang telah membimbing, membantu, dan memberikan banyak pengarahan, saran serta masukan selama penyusunan tesis ini. Dan juga saya ucapkan terima kasih kepada seluruh dosen IRB yang dengan caranya masing-masing telah berperan, baik dalam proses penyusunan tesis ini maupun selama proses belajar saya di IRB. Tidak lupa juga saya ucapkan terima kasih atas Mbak Desy selaku Sekretariat IRB yang diandalkan dalam urusan administrasi dan
vii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Mbak Dita yang menginformasikan jadwal bimbingan, serta Pak Mul yang diandalkan dalam urusan logistik di IRB. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada Pak Anton Haryono, karena merekomendasikan untuk melanjutkan studi di pasca sarjana di IRB. Dan juga saya berterima kasih kepada seluruh guru Jagoi Babang yang bersedia menjadi narasumber dalam penelitian ini, baik guru di SDN 1 Jagoi Babang, SMPN 1 Jagoi Babang dan SMAN 1 Jagoi Babang serta Pak Viktor selaku Kepala UPT Pendidikan Jagoi Babang yang telah mengijinkan saya untuk mewawancarai guru-guru di Jagoi Babang. Terima kasih juga untuk staf dari Kantor Imigrasi Jagoi Babang dan Bea Cukai yang sudah mendukung dalam pengambilan data di Jagoi Babang. Tak lupa, saya berterima kasih kepada teman-teman IRB, terutama untuk angkatan 2013; Anne, teman diskusi baik dalam penyusunan tesis ini maupun selama saya berproses belajar di IRB, Daeng Umar yang telah memberi masukan untuk tesis ini dan teman ngopi dikala pikiran sedang buntu, Hans teman diskusi dan memberi kesempatan saya untuk mengakses internet di kostnya. Felomena, teman curhat dan yang menemani saya saat ngelembur. Mas Noel, yang juga banyak membantu saya selama belajar di IRB terutama untuk referensi yang berbahasa asing dan persoalan yang berkaitan dengan media dan teknologi. Romo Koko, teman ngopi, diskusi, dan kadang nasehatnya bikin saya bersemangat. Padmo, teman diskusi dan ide-idenya yang menginspirasi saya. Cahyo, teman yang baik hati, serta semua angkatan 2013 yang dengan caranya masing-masing berperan selama proses
viii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
saya belajar di IRB; Mas Antok, Umi, Kak Jolni, Mas Andre, Kak Phomat, Lukas, Pak Riwi, Pak Alfons, dan Pak Efraim. Terima kasih juga untuk kelompok belajar Jangkrik dan teman-teman lintas angkatan yang tidak dapat saya sebut satu persatu tapi kalian selalu membuat saya bersemangat untuk ke kampus. Lalu, terima kasih untuk dek Windi yang telah membantu dan meluangkan waktu bersama saya selama di Jogja. Saya ucapkan terima kasih yang tidak terhingga untuk orang-orang yang berharga dalam hidup saya, terutama kedua orang tua saya yaitu; Lambertus Rete dan Teresia serta ketiga kakak tercinta saya; Yuliana, Valentina, dan Paulina yang tidak pernah lelah mendukung dan mendoakan jalan apapun yang saya pilih meski itu terkadang aneh. Saya percaya dengan terselesainya tesis ini juga karena doa-doa mereka. Saya juga berterima kasih untuk Uyus dan keluarga yang setia mendukung dan menyemangati saya untuk menyelesaikan tesis ini. Akhir kata, saya ucapkan terima kasih kepada Yesus Kristus atas konspirasi canggihnya.
Yogyakarta, 13 Juli 2017
Ervina Panduwinata Rete
ix
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ABSTRAK
Permasalahan masyarakat perbatasan adalah persoalan ikatan yang melampaui batas. Karena ikatan itu pula mereka kerap diberi label ganda oleh masyarakat lainnya. Pengalaman semacam itu yang dihadapi oleh guruguru di Jagoi Babang. Sebagai guru, mereka wajib menumbuhkan rasa solidaritas nasional dan sebagai bagian dari masyarakat lokal, mereka memiliki ikatan melampaui batas. Paralel dengan nalar Edwards Soja, penelitian ini dibagi menjadi tiga tahap yaitu; material, wacana, dan praktik keseharian. Hasilnya, keterkaitan antara Jagoi Babang dengan Serawak sampai pada fase simbolik. Masyarakat lokal mengakui keterkaitan kultural yang melampaui batas sebagaimana yang ditunjukkan lewat material Rumah Adat suku Dayak Bedayuh dan barang-barang yang berlabel ganda (Rupiah dan Ringgit). Sedangkan dari sisi wacana, Jagoi Babang digambarkan sebagai area tapal batas yang kaku dan harus dijaga ketat, diawasi, hingga orang-orangnya pun pantas dicurigai. Dari sisi praktik keseharian, aktivitas melintas batas adalah ruang ketiga, yang menegosiasikan ikatan keluarga, kultural, dan ekonomi yang melampui batas. Dengan kata lain, dalam aktivitas melintas batas itulah ruang ketiga ditemui. Dalam kasus ini, menjadi guru di Jagoi Babang berarti menjadi guru yang melintas batas yang mau tak mau harus bernegosiasi atas wacana tapal batas. Kata kunci: Negosiasi; Guru; Jagoi Babang; Melintas Batas; Ruang Ketiga; Wacana Tapal Batas;
x
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ABSTRACT
The problem faced by people living on the borderline is their social bond that overrides the borderline itself. Thus the bond engenders double labeling attached to them. These conditions experienced by the teachers in Jago Babang. As teachers, they have to nurture national solidarity, at the same time being part of the local society whose bonds that override the borderline. In accordance with Edward Soja’s the way of thinking, this research divided into three spaces, i.e. material, discourses, and daily practice. Furthermore, the relation between Jagoi Babang and Serawak reach the symbolic phase. In the material space, local people acknowledge cultural tie that overrides the borderline as shown on Rumah Adat of Dayak Bedayuh tribe and other materials with double labels (e.g. Rupiah and Ringgit, Indonesian and Malaysian currency). While from the discourse side, Jagoi Babang described as a rigid borderline area, which must be closely guarded, watched, controlled, thus the cross border people deserved suspicion. In terms of daily practice, cross-border activity can be considered as the third space, which negotiates family, cultural, and economic ties beyond the boundaries. In other words, the third space can be found in the crossing-border activity. In this case, being a teacher in Jagoi Babang means to be a crossing-border teacher that inevitably negotiate over the boundary discourse.
Keywords: negotiation; teacher; Jagoi Babang; cross-border, third space, boundary discourse
xi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.......................................................................................
i
HALAM AN PERSETUJUAN PEMBIMBING..........................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN.........................................................................
iii
PERNYATAAN KEASLIAN.........................................................................
iv
PERNYATAAN PUBLIKASI........................................................................ v HALAMAN PERSEMBAHAN...................................................................... vi KATA PENGANTAR.....................................................................................
vii
ABSTRAK........................................................................................................ x ABSTRACT......................................................................................................
xi
DAFTAR ISI.................................................................................................... xii DAFTAR GAMBAR.......................................................................................
xiv
DAFTAR TABEL............................................................................................ xv BAB I: PENDAHULUAN..............................................................................
1
A. Latar Belakang................................................................................ 1 B. Tema Penelitian..............................................................................
7
C. Rumusan Masalah..........................................................................
7
D. Tujuan Penelitian............................................................................ 7 E. Pentingnya Penelitian.....................................................................
8
F. Kajian Pustaka................................................................................
10
G. Kerangka Teori............................................................................... 17
xii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
H. Metode Penelitian........................................................................... 23 I.
Sistematika Penulisan..................................................................... 26
BAB II: KONDISI MATERIAL DI JAGOI BABANG..............................
27
A. Pengantar........................................................................................
27
B. Gambaran Umum Jagoi Babang.....................................................
28
C. Jagoi Babang di Mata Guru-guru...................................................
42
BAB III: WACANA TAPAL BATAS DI JAGOI BABANG ....................
50
A. Pengantar..............................................................................................
50
B. Tapal Batas dari Masa ke Masa............................................................. 51 C. Tapal Batas Pasca Reformasi................................................................
64
D. Jagoi Babang sebagai Tapal Batas........................................................
66
BAB IV: NEGOSIASI MELALUI AKTIVITAS MELINTAS BATAS............................................................................................................ A. Pengantar...............................................................................................
73 73
B. Jagoi Babang: Titik Temu Antara Area di era Modern Padat dan Cair........................................................................................................
74
C. Aktivitas Keseharian Guru-guru di Jagoi Babang................................. 77 D. Negosiasi Guru-guru di Jagoi Babang..................................................
86
BAB V: PENUTUP.......................................................................................... 93 A. Kesimpulan............................................................................................ 93 B. Saran...................................................................................................... 96 DAFTAR PUSTAKA......................................................................................
xiii
97
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1
Peta Jagoi Babang...............................................................
28
Gambar 2
Letak geografi Jagoi Babang............................................... 29
Gambar 3
Tugu Bung Kupuak.............................................................
32
Gambar 4
Rumah Adat Sebujit............................................................
33
Gambar 5
Kebun Sawit........................................................................
34
Gambar 6
Papan Iklan Bank-Kalbar....................................................
37
Gambar 7
Pasar Serikin........................................................................ 39
Gambar 8
Tugu Perbatasan Jagoi Babang...........................................
41
Gambar 9
Pos Terpadu Jagoi Babang..................................................
41
Gambar 10
Kepala Sekolah dan murid-murid SDN I di Jagoi Babang........
44
Gambar 11
Surat penghargaan atas penangkapan PGRS dan Paraku.... 58
Gambar 12
Surat pernyataan kepatuhan................................................
59
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1
Pengumpulan Data................................................................
Tabel 2
Piramida Penduduk Kecamatan Jagoi Babang Tahun 2015.. 31
Tabel 3
Perkebunan di Jagoi Babang.................................................
35
Tabel 4
Rasio murid terhadap guru...........................................................
42
xiv
26
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masyarakat di perbatasan sering diberi label ganda (identitas ganda, loyalitas ganda, sampai berkewargaan ganda) oleh media. Mereka digambarkan sedemikian rupa karena memiliki ikatan yang melampaui batas teritorial. Gambaran semacam ini dapat kita lihat dari fenomena warga perbatasan di Nunukan, Kalimantan Utara, yang dikabarkan berpindah kewargaan di akhir tahun 2014 lalu. Berbagai media massa mewacana fenomena
tersebut
merdeka.com3,
mulai
dari
okezone.com4,
antaranews.com1, beritasatu.com5,
liputan6.com2, republika.com6,
kompas.com7, detik.com8, suara.com9.
1
http://www.antaranews.com/berita/464085/warga-perbatasan-pindah-ke-malaysiakarena-ekonomi, diakses 2016 2 http://news.liputan6.com/read/2134244/1-dusun-pindah-kewarganegaraan-malaysia-initanggapan-jk, diakses 2016 3 http://www.merdeka.com/peristiwa/derita-warga-perbatasan-sampai-pindahkewarganegaraan-malaysia.html, diakses 2016 4 http://news.okezone.com/read/2014/11/13/340/1064994/miskin-warga-nunukan-pindahkewarganegaraan-malaysia, diakses 2016 5 http://www.beritasatu.com/nasional/225861-3-penyebab-sejumlah-warga-di-nunukanpindah-ke-malaysia.html, diakses 2016 6 http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/14/11/13/neyyz7-tni-warga-tiga-desadi-perbatasan-pindah-ke-malaysia, diakses 2016 7 http://regional.kompas.com/read/2014/10/21/11162361/.Janji.Manis.Malaysia.Goda.War ga.Long.Apari.untuk.Pindah.Negara, diakses 2016 8 http://news.detik.com/berita/2747297/sedih-satu-desa-di-nunukan-seluruh-warganyapindah-kewarganegaraan-malaysia, diakses 2016 9 http://www.suara.com/news/2014/11/19/111332/tiga-desa-kosong-warganya-pindah-kemalaysia, diakses 2016 1
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Berita dari media itu pun menuliskan bahwa tingkat kemiskinan yang tinggi, keterbatasan infrastruktur dan pelayanan publik yang tidak maksimal membuat warga di perbatasan mudah tergiur “janji manis” negara lain. Pandangan ini kemudian menuai polemik dan menjadi perdebatan di masyarakat. Seperti yang terjadi dalam pembicaraan kaskus.co.id (diakses, 2016) dengan topik “setuju nggak kalo daerah perbatasan pindah negara?”. Alih-alih menerima ada ikatan yang melampaui batas, pembicaraan tersebut justru terbelah antara yang pro dan kontra. Pihak yang pro, cenderung melihat warga perbatasan itu miskin, kurang perhatian pemerintah sehingga wajar bila mereka pindah warganegara. Sedangkan pihak yang kontra merasa warga perbatasan kurang sabar dalam menunggu pembangunan dari pemerintah. Pemberian label ganda itu tidak hanya terjadi lewat berita di surat kabar, tetapi juga lewat beberapa film seperti, Batas dan Tanah Surga Katanya. Kedua film itu merepresentasikan kondisi masyarakat perbatasan yang
mengalami
memperlihatkan
krisis pandangan
solidaritas dominan
nasional. orang
Fenomena dalam
di
atas
membicarakan
masyarakat di perbatasan. Masyarakat di perbatasan dengan mudah diberi atribut ganda tanpa melihat kembali kondisi macam apa yang mereka hadapi sehari-hari. Karena lahir dan tumbuh di perbatasan, tepatnya di Kecamatan Seluas, Kabupaten Bengkayang,10 saya terbiasa melihat orang di perbatasan melintas batas. Karena mereka memiliki ikatan-ikatan yang melampaui batas. Melintas batas di dua negara yang pernah berperang di era Soekarno 10
Lihat peta.http://www.batasnegeri.com/potret-camar-bulan-dusun-terluar-indonesia-disempadan-kalbar-serawak/ diakses 23 Januari 2015 2
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dan kerap bersengketa karena masalah batas teritorial, olahraga, TKI, hingga produk budaya. Meski hubungan politis kedua negara naik turun, orang perbatasan tetap berinteraksi. Interaksi itu mewujud lewat kebiasaan mendengar siaran radio, menonton siaran tv, mengkonsumsi barang-barang, sampai hapal lagu kebangsaan negeri jiran itu. Bahkan memiliki saudara yang menetap di Serawak. Secara kultural, Serawak hampir tidak ada bedanya dengan daerahdaerah di Kalimantan Barat. Persamaan itu karena ikatan nenek moyang (bdk. Eilenberg, 2012:25, Arifin, 2014:168). Ikatan suku Dayak yang mendiami demarkasi sepanjang 2.004 km sampai hari ini masih kita jumpai ada dari mereka yang sebahasa. Mereka serumpun berbeda batang yang dipisahkan kolonial lewat pembentukan garis 4°10” Lintang Utara yang bermula dari Pantai Timur Kalimantan ditarik ke arah Barat sampai Tanjung Datu telah membagi Borneo menjadi milik Inggris dan Belanda (Arifin, 2014:101). Batas yang dibagi-bagi kolonial tersebut diwarisi oleh Indonesia dan Malaysia. Pembentukan tapal batas membuat pergaulan mereka tidak leluasa misalnya, untuk berjumpa mereka harus melalui proses interogasi berkalikali dan harus melapor di setiap pos penjagaan. Pembatasan atas tubuh itu dibuat demi menjaga kedaulatan negara yang kehadiran negara di tapal batas masih sering dipertanyakan. Wacana tentang tapal batas mewarisi narasi kolonial yang membentuk batas untuk menghadapi migrasi yang dianggap sebagai penganggu dan karena itu batas harus diawasi, dijaga
3
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ketat, sampai orang-orangnya pun pantas dicurigai. Narasi kolonial itu pula tampak pada wacana dominan dalam membayangkan tapal batas yang cenderung kaku sebagaimana yang tergambarkan lewat kartografi (tetap dan kaku). Model pembayangan itu pula yang memposisikan orang-orang yang punya ikatan melampui batas seolah-olah menjadi anak haram. Dan karena itu, mereka yang kemudian menjadi lahan subur untuk proyek yang bertemakan nasionalisme. Pendekatan top down semacam itu paling mudah kita lihat dari pembangunan material yang mewujud lewat pos-pos imigrasi, tugu perbatasan, patok-patok batas yang disakralkan. Material itu memperlihatkan seperti apa negara mencerna daerah perbatasan dan memperlakukan masyarakatnya. Namun apa yang dibayangkan oleh negara tidak melulu semakna dengan apa yang dilakukan oleh masyarakat di perbatasan. Pembentukan tapal batas tidak berarti melunturkan keterikatan masyarakat yang melampaui batas. Pengalaman ini persis seperti yang dialami oleh suku Melayu yang berada di Batam (Dedees,2015). Meski mereka tersebar di tiga negara yaitu, Indonesia, Malaysia, dan Singapura, namun tidak sertamerta melunturkan ikatan kemelayuan. Pengalaman hidup orang Melayu di Batam yang berdektan dengan dua negara lainnya turut memengaruhi mereka dalam membayangkan menjadi Indonesia. Bahwa orang Melayu di Kepulauan Batam mengaku mencintai dan membela Indonesia dengan kondisi yang “terbelah”, karena pada saat yang bersamaan juga beririsan dengan kemelayuan yang sifatnya lintas negara. Atas nama ikatan kultural
4
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
itu pula membawa konsekuensi pada rasa nasionalisme yang “terbelah”. Dengan kata lain, pengalaman kesejarahan sebagai warganegara Indonesia dan ikatan kultural yang melampaui batas menjadi keunikan orang Melayu di Batam dalam membayangkan menjadi Indonesia. Kasus di atas memperlihatkan ikatan politis dibayang-bayangi oleh ikatan kultural. Meski berbeda negara, ikatan kultural di antara orang Melayu tidak benar-benar luntur. Yang itu artinya persoalan tentang tapal batas tidak benar-benar selesai. Kondisi itu menunjukkan apa yang diwacanakan oleh negara belum tentu semakna dengan apa yang dilakukan oleh masyarakat perbatasan dan itu kemudian yang memotivasi saya untuk melihat ruang negosiasi macam apa yang dilakukan oleh masyarakat perbatasan ketika berhadapan dengan wacana dominan tentang tapal batas. Dengan kata lain, daya negosiasi itu hadir lewat praktik sehari-hari masyarakat di perbatasan. Sepakat dengan gagasan Soja (1996) tentang ruang ketiga (Thirdspace). Soja melampaui ruang yang sering kali didefinisi secara biner (firstspace dan secondspace) dengan membuka perspektif yang baru atau yang disebut dengan ruang ketiga. Ruang pertama yang dimaksud oleh Soja adalah material (real), ruang kedua adalah interpretasi atas ruang pertama (imagined), di antara real dan imagined itu pula ada ruang yang lain atau disebut dengan ruang ketiga (praktik keseharian). Ruang ketiga sebagai strategi menghadapi ruang yang tampak biner tersebut. Ketiga sisi itu saling mempengaruhi dan oleh karena itu ruang terasa kontekstual, tidak dapat
5
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
diseragamkan. Dengan mengikuti gagasan Soja, saya mengidentifikasi negosiasi yang dilakukan oleh masyarakat perbatasan yang berada pada tataran praktik sehari-hari. Penelusuran tentang negosiasi masyarakat di perbatasan, tepatnya di Kecamatan Jagoi Babang. Jagoi Babang berbatasan langsung dengan Serikin, Serawak yang masyakaratnya pun masih memiliki ikatan nenek moyang (Siagian,1995). Saya melihat persoalan itu dari pengalaman keseharian guru-guru di Kecamatan Jagoi Babang. Berprofesi sebagai guru, otomatis orang memiliki tanggungjawab untuk mengenalkan keindonesiaan kepada peserta didik, yang itu artinya, ia harus tunduk pada wacana dominan dalam membayangkan tapal batas (ikatan politis) sedangkan dalam kehidupan sehari-hari, guru memiliki ikatan-ikatan yang melampaui batas. Oleh karena itu menjadi penting untuk melihat negosiasi macam apa yang dilakukan oleh guru di Kecamatan Jagoi Babang. Penelitian yang diberi judul Pengalaman Keseharian Guru-guru di Jagoi Babang: Negosiasi Atas Wacana Tapal Batas, berbicara mengenai negosiasi yang dilakukan guru di tengah wacana dominan tentang tapal batas yang erat kaitannya dengan ikatan politis di tengah ikatan yang melampaui batas. Penelitian ini terbatas pada pengalaman keseharian guru dalam memaknai diri agar tidak bertambah asing di tengah kenyataan persoalannya.
6
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
B. Tema Penelitian Negosiasi guru Jagoi Babang sebagai ruang ketiga atas wacana tapal batas.
C. Rumusan Masalah Dari latar belakang di atas, Jagoi Babang adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Bengkayang, yang masyarakatnya memiliki ikatan melampui batas. Sedangkan berprofesi sebagai guru, orang mau tak mau tunduk pada wacana dominan dalam membayangkan Jagoi Babang sebagai tapal batas. Di tengah kondisi tersebut, lantas negosiasi macam apa yang dilakukan guru? Adapun rumusan masalahnya sebagai berikut: 1.
Seperti apa kondisi material di Jagoi Babang?
2.
Wacana apa yang mendominasi dalam membayangkan Jagoi Babang?
3.
Negosiasi macam apa yang dilakukan oleh guru-guru di Jagoi Babang atas wacana tapal batas?
D. Tujuan Penelitian 1.
Melihat kondisi material di Jagoi Babang.
2.
Membaca wacana yang mendominasi dalam membayangkan Jagoi Babang
3.
Mengidentifikasi negosiasi yang dilakukan oleh guru-guru di Jagoi Babang atas wacana tapal batas.
7
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
E. Pentingnya Penelitian Pentingnya penelitian ini sebagai berikut:
1.
Pengembangan Ilmu Pengetahuan Humaniora Penelitian ini untuk menambah ilmu pengetahuan kita dalam
melihat masyarakat di tapal batas. Berangkat dari pandangan dominan yang memberi label ganda pada masyarakat di tapal batas tanpa memeriksa terlebih dahulu kondisi macam apa yang dihadapi oleh orang di perbatasan. Untuk menghadapi pandangan tersebut, saya mengidentifikasi negosiasi yang dilakukan oleh guru-guru di Jagoi Babang sebagai ruang ketiga atas kondisi material dan wacana tapal batas. Penelitian ini melalui tiga tahapan yaitu;
material,
interpetasi
atas
material,
dan
negosiasi.
Dengan
mengidentifikasi negosiasi yag dilakukan oleh guru-guru di Jagoi Babang, membuka perspektif yang lebih beragam dalam melihat masyarakat di perbatasan.
2.
Penulis Penelitian ini sebagai
salah satu cara bagi saya untuk
mendewasakan diri secara intelektual. Dengan mempelajari ilmu humaniora yang lintas disiplin, saya belajar membaca fenomena di lingkungan sekitar dengan perspektif kajian budaya. Seperti dalam kasus ini, saya sebagai orang yang lahir dan tumbuh di perbatasan mencoba melihat kembali fenomena masyarakat perbatasan yang kerap diberi label ganda, namun kali
8
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ini saya melihat dengan kacamata kajian budaya yang lintas disiplin. Dalam kasus ini, saya mengkombinasikan pandangan Edwards Soja dan Zygmunt Bauman untuk mengidentifikasi negosiasi masyarakat perbatasan lewat pengalaman keseharian guru Jagoi Babang. Penelitian ini juga sebagai salah satu persyaratan yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan studi pasca sarjana di program Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
3.
Guru dan Pemerhati Perbatasan Untuk guru di perbatasan penelitian ini adalah refleksi atas
tindakannya sehari-hari. Dengan memahami apa yang mereka lakukan sehari-hari diharapkan guru tidak bertambah asing di tengah kenyataan persoalannya dan berposisi atas pandangan yang dominan tentang tapal batas. Untuk pemerhati perbatasan, penelitian ini mencoba melihat pandangan masyarakat setempat dalam mendefinisikan diri di tengah pandangan yang cenderung top-down. Lewat penelitian ini, saya mengidentifikasi negosiasi guru-guru di Jagoi Babang di antara kondisi material dan bayangan tentang Jagoi Babang. Negosiasi ini dapat dijadikan referensi untuk membicarakan masyarakat di tapal batas dan sebagai upaya menghadapi pandangan dominan yang tampak banal.
9
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
F. Kajian Pustaka Penelitian tentang masyarakat di perbatasan sudah pernah dilakukan oleh salah satu mahasiswi Ilmu Religi dan Budaya yaitu Novelina Laleba (2010). Tesis dengan judul, Identitas Kebangsaan Masyarakat Pulau Miangas Kabupaten Talaud, Sulawesi Utara yang berbatasan dengan Filipina Selatan. Lewat penelitian ini, ia menyatakan bahwa Miangas sebagai ruang liminal di mana warga beridentitas ambivalen dan resistensi. Hal ini, terkait dengan resistensi terhadap pendudukan negara Filipina dan di satu sisi juga resistensi dengan NKRI sehingga terjadi tarik menarik antara identitas lokal dan nasional (NKRI), yang kemudian muncul kontestasi antara identitas lokal Miangas dengan identitas yang dibawa oleh NKRI. Menurutnya, warga Miangas berada sebagai in-between citizenship. Novelina menggunakan pendekatan pascakolonial dan sensitif terhadap pengalaman warga Miangas dalam mengidentifikasi diri. Akan tetapi, konteks perbatasan antara Miangas dan Filipina agak berbeda dengan perbatasan Kalimantan-Malaysia yang cenderung cair. Di sini, saya akan mengapresiasi tulisan yang relevan untuk membicarakan perbatasan Malaysia-Indonesia di pulau Borneo.
1.
Keterkaitan Masyarakat di Perbatasan Kata serumpun berbeda batang tampak relevan untuk membicarakan
masyarakat di tapal batas. Semula ini adalah judul buku dari penelitian yang dilakukan oleh Patji (2002). Buku itu merupakan penelitian etnografi pada
10
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
masyarakat pulau Sebatik. Sebatik terletak di sebelah timur laut Kalimantan. Secara administratif, Sebatik bagian dari Provinsi Kalimantan Utara. Pulau ini terbagi menjadi dua, sebelah utara milik Malaysia dan sebelah selatan milik Indonesia. Pulau ini dibagi atas konvensi yang pertama (1891) kali antara Inggris dan Belanda dalam menentukan batas-batas kekuasaan mereka di pulau Borneo. Masyarakat Sebatik sering melintas batas ke Tawau (Sabah, Malaysia). Di Sebatik, melintas batas sudah menjadi kebiasaan sehari-hari mereka. Ada dua alasan yang memotivasi mereka melintas batas yaitu; ekonomi dan kultural. Meski demikian, motif ekonomi lebih mendominasi daripada kultural. Pertama, untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, seperti tabung gas, pupuk, alat elektronik, minyak goreng, dan sebagainya. Di mata orang Sebatik, barang-barang yang mereka peroleh dari Tawau (Sabah) lebih terjamin kualitasnya dibandingkan dengan barang-barang produk lokal yang terasa lebih mahal dan tidak sebanding dengan kualitasnya, kedua, sebagian besar petani di Sebatik menjual hasil pertanian, perkebunan (kelapa Sawit) dan hutan mereka ke Tawau (Sabah) karena mengingat pasar di sana lebih potensial dibandingkan kota-kota lokal seperti Nunukan dan Tarakan, ketiga, untuk mencari pekerjaan. Peluang kerja di negeri jiran lebih terbuka dengan tingkat kemajuan kota tersebut. Tidak hanya orang lokal yang melintas batas untuk mencari kerja tetapi juga warga dari daerah lain seperti Bugis dan Nusa Tengara Timur.
11
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Aktivitas melintas batas tercatat sejak tahun 1960-an. Seperti yang kita ketahui di tahun itu terjadi konfrontasi antara Indonesia-Malaysia. Meski demikian, orang-orang yang tinggal di area tersebut sampai saat ini masih saling berinteraksi dan tetap melintas batas. Kondisi Tawau yang lebih maju daripada Sebatik membuat orang-orang berduyun-duyun mengais rezeki di negeri jiran. Banyak dari mereka yang menjadi TKI dan ada pula yang menetap menjadi warga Malaysia. Selain karena pekerjaan, masyarakat Sebatik pun digambarkan sangat bergantung dengan produkproduk Malaysia bahkan mereka juga menggunakan dua mata uang sekaligus. Bila di pulau Sebatik, orang melintas batas lebih didominsi oleh motivasi ekonomi, penelitian yang dilakukan oleh Eilenberg (2012) yang mengkaji Dayak Iban yang menetap di perbatasan antara Kabupaten Kapuas Hulu di Kalimantan Barat dengan Serawak menunjukkan fenomena melintas batas karena motivasi kultural. Secara etnis, Dayak Iban di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, masih memiliki ikatan nenek moyang dengan Dayak di Serawak. Ikatan kultural ini pula yang turut berkontribusi pada pembentukan relasi yang cair antar masyarakat di perbatasan. Menurut Eilenberg (2012), keterikatan ini turut andil dalam mempengaruhi identitas Dayak Iban yang tampak memiliki loyalitas melampaui batas-batas teritorialnya. Namun, dapat pula menimbulkan kebangkitan lokal yang disebabkan loyalitas nasional yang kuat. Lewat situasi yang sedemikian dikatakan oleh Eilenberg bahwa perbatasan
12
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kalimantan Barat-Sarawak adalah perbatasan yang cair dan fluktuaktif (Eilenberg, 2012: ). Penelitian Eilenberg (2012) tampak sensitif terhadap kehidupan warga di perbatasan. Ia memperlihatkan dinamika di perbatasan itu yang naik-turun sebagai konsekuensi perjalanan historis yang membentuk area tersebut. Seperti yang ia paparkan bahwa kolonial yang awal mula membentuk batas-batas di wilayah tersebut dan kemudian dipertegaskan oleh negara yang mewarisi yaitu; Malaysia dan Indonesia. Sejak pembentukan awal tapal batas, masyarakat lokal tidak diikutkan serta (Arifin, 2014). Sejarah mencatat, pembagian wilayah Borneo dibagi atas dasar kesepakatan antara Inggris dan Belanda dengan melalui tiga tahap konvensi yaitu; menentukan titik koordinat di peta, di air, dan di gunung. Penentuan tapal batas yang terkesan semena-mena ini membawa konsekuensi, seperti yang dikatakan oleh Dave Lumenta (2015), orang yang menetap di tapal batas (Indonesia-Malaysia) cenderung moderat dan terbuka terhadap perubahan. Mereka yang lebih banyak melakukan aktivitas ekonomi di wilayah Sarawak, nasionalisme menjadi urusan yang semu, dan dalam berbagai sisi, tidak relevan. Orang di tapal batas cenderung memiliki ikatan melampaui batas teritorialnya. Batas yang mereka pahami tidak sama dengan apa yang dimaknai oleh negara yang melihat batas-batas itu secara kaku sedangkan bagi masyarakat lokal justru sebaliknya. Konteks di atas memperlihatkan bahwa batas yang kita kenal saat ini adalah batas yang mengikuti narasi kolonial dan semakin dipertegas oleh negara pewaris (Indonesia-Malaysia). Batas-batas itu dibuat secara top-
13
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
down untuk membedakan antara kekuasaan Inggris dan Belanda. Dengan mengikuti narasi kolonial, batas yang kita kenal saat ini adalah buatan kolonial yang belum tentu semakna dengan batas yang dipahami oleh masyarakat lokal yang telah mendiami wilayah itu secara turun temurun. Seperti yang dipaparkan oleh Eilenberg (2012), Dayak Iban di perbatasan Kapuas Hulu-Serawak memiliki ikatan primordial. Yang itu artinya batas yang mereka pahami belum tentu sama dengan batas yang kita pahami saat ini. Atasnama itu, pengalaman melintas batas dapat dikatakan sebagai cara mereka hidup.
2.
Model Interaksi Antar Masyarakat di Perbatasan Menurut Arifin (2014) keterkaitan perbatasan antara Kalimantan
Barat-Serawak meliputi berbagai aspek mulai dari ekonomi, kultural, jalan raya, jaringan informasi dan saat ini yang sedang berjalan adalah impor listrik dari Malaysia dengan membangun Sutet di sepanjang perbatasan di Kalimantan Barat. Ada lima kabupaten di Kalimantan Barat yang berbatasan langsung dengan Serawak yaitu, Sambas, Bengkayang, Sanggau Kapuas, Sintang, dan Kapuas Hulu. Akan tetapi, diantara itu yang paling dekat menghubungkan antara Pontianak dan Kuching adalah Jagoi Babang yang terletak di Kabupaten Bengkayang. Kabupaten Bengkayang sendiri memiliki dua pintu selain Kecamatan Jagoi Babang, yaitu Siding dan Separan.
14
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Interaksi masyarakat di perbatasan Kalimantan Barat-Serawak menurut Arifin (2014) mendekati kategori Coexistent Borderland yaitu, interaksi penduduk perbatasan dapat diposisikan pada level on atau off oleh negaranya masing-masing. Dengan kata lain, penduduk menerima interaksi yang binasional (ganda) dengan terbatas. Selain itu, model interaksi mereka mendekati kategori Interdependent Borderlands, di mana interaksi saling terkait satu dengan yang lain dan saling membutuhkan. Dengan kata lain, kedua wilayah saling melengkapi. Kedua kategori di atas mengikuti gagasan Martinez (1994) dalam membaca dinamika di perbatasan antara USA-Meksiko yang terdiri dari empat tipe. Selain yang sudah disebutkan di atas, terdapat dua lagi yaitu; Alienated Borderland, adalah perbatasan yang tegang dan tertutup. Interaksi di perbatasan sama sekali tidak terjadi. Penduduk diantara dua sisi negara itu saling mengasingkan. Integrated Borderland, perbatasan yang kuat dan permanen dan memiliki integrasi ekonomi. Interaksi yang tidak terbatas dan penduduk perbatasan mengganggap mereka adalah anggota yang sama dengan satu sistem sosial. Berdasarkan kategori di atas, tampak model interaksi masyarakat di perbatasan Kalimanan Barat-Serawak terkait satu dengan yang lain, terbuka dan saling menopang, misalnya Serawak sebagai kota yang lebih maju, membuka peluang kerja yang menjadi kesempatan orang lokal di perbatasan Kalimantan Barat untuk mendapatkan pekerjaan dan menjual hasil pertanian
15
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dan hutan di pasar Serawak. Mereka pun merayakan upacara adat secara bersama-sama. Dari paparan di atas, semakin memperjelas posisi penelitian saya. Bahwa masyarakat lokal cenderung memperlakukan batas dengan cair karena memiliki ikatan yang melampaui batas. Namun, wacana dominan cenderung membatasi pergaulan mereka. Apa yang tergambarkan oleh wacana tersebut mengikuti narasi kolonial yang membagi batas untuk kepentingan kekuasaan dan strategi menghadapi orang-orang yang mereka anggap sebagai penganggu alias yang melakukan migrasi (Eilenberg, 2012). Warisan kolonial ini semakin dipertegas oleh sejarah Indonesia dan Malaysia yang pernah terlibat konfrontasi pada tahun 1960-an dan sampai saat ini, pengawasan al a militer menjadi dominan di kawasan ini. Lewat kajian pustaka ini, semakin menunjukkan bahwa mereka memiliki ikatan yang melampaui batas. Ikatan ini pula yang mewujud lewat kondisi material meski di sisi lain mereka berhadapan dengan pandangan dominan yang cenderung membatasi pergerakan. Menyadari kondisi itu pula, saya mengidentifikasi negosiasi yang mereka lakukan lewat praktik keseharian guru-guru di Jagoi Babang. Penelusuran negosiasi tersebut sebagai upaya untuk menghadapi pandangan banal yang dengan mudah melabel masyarakat perbatasan dengan atribut ganda tanpa melihat lebih dalam kondisi macam apa yang mereka hadapi sehari-hari. Berangkat dari situasi itu, penelitian ini melihat praktik keseharian masyarakat perbatasan lewat pengalaman guru-guru di Jagoi Babang untuk
16
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mengidentifikasi negosiasi macam apa yang mereka lakukan di antara kondisi material dan wacana tapal batas. Penelitian ini mengikuti gagasan Edwards Soja tentang ruang ketiga.
G. Kerangka Teori Penelitian ini mengidentifikasi pengalaman guru-guru di Jagoi Babang sebagai negosiasi atas wacana tapal batas. Untuk menjelaskan persoalan di atas, saya merujuk pada gagasan Zygmunt Bauman tentang Liquid Modernity dan Edwards Soja tentang Thirdspace.
1.
Tapal Batas Menurut Wadley (2005) batas teritorial yang dibayangkan antara
komunitas lokal dengan negara tidak selalu sama. Komunitas lokal cenderung mendefinisikan batas berdasarkan landscape fisik seperti, pepohonan, gunung, batu besar, dan sungai, sedangkan di mata negara, batas adalah patok yang didirikan di sepanjang garis demarkasi dan biasanya diperlakukan dengan pengawasan militer 24 jam. Dengan kata lain, batas yang dimaknai oleh masyarakat lokal cenderung lebih fleksibel sedangkan wacana politis cenderung melihat persoalan tapal batas itu sudah selesai, persis yang digambarkan lewat kartografi. Area perbatasan diperlakukan secara kaku dan ketat. Dengan batas, orang-orang dikategorikan secara hitam dan putih, mereka dan kita, legal dan ilegal. Pos-pos penjagaan yang dibangun semakin menegaskan area tersebut adalah border. Perbedaan
17
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dalam memaknai batas ini dapat kita jelaskan dengan mengikuti gagasan dari Zygmunt Bauman (2000) yang membedakan gambaran area di era Modern Padat (Solid) dan Cair (Liquid). “Nowadays we are all on the move” kata Bauman (1998) bahwa orang-orang bebas bergerak dan berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Di tengah kondisi tersebut, Bauman (2000) membedakan antara era Modern Padat dan Cair. Gagasan tentang era Modern Cair dimulai sejak era Modern Padat mengalami keterbatasan dalam menamai konsekuensikonsekuensi yang dibawanya (Blackshaw, 2005). Modern Cair adalah Modern Padat yang datang dengan segala konsekuensinya. Pada era Modern Cair, hampir keseluruhan aspek menuju proses pencairan; tidak menetap, mudah berubah-ubah, dan fleksibel tanpa terkecuali batas teritorial (Bauman, 2003). Sedangkan era Modern Padat, adalah di mana negara memiliki kekuasaan untuk membuat orang patuh, menahan diri dari perlawanan, dan terobsesi pada size dan berat. Semakin banyak area yang dapat ditaklukan maka semakin berkuasa. Teritorial sebagai salah satu penentu kekuasaan. Pada era ini, orang-orang tidak bebas bergerak. Ini adalah era face-to-face antara masyarakat dengan negara yang berlaku secara top-down. Singkat kata, ini adalah era dari engagement. Era yang terobsesi pada tatanan yang fixed sehingga terobsesi untuk mengkategorikan dan mengklasifikasikan segala sesuatu yang dianggap berserakan. Gambaran area di era Modern Padat, itu fixed dan rigid, sebaliknya di area dari era Modern Cair, tampak fleksibel dan mobilitas adalah gejala dari
18
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
teritorial yang batas-batasnya tidak otomatis mendefinisikan warga yang menempatinya. Kondisi ini ditandai dengan orang bebas untuk berpindahpindah dari wilayah ke wilayah lain. Ini adalah masa di mana batas-batas teritorial menuju cair. Mengikuti
gagasan
Bauman,
pandangan
dominan
cenderung
memperlakukan area batas secara tetap dan kaku dapat ditempatkan sebagai gambaran dari area di era Modern Padat, di mana negara memegang kontrol yang kuat untuk membatasi pergerakan warganya. Akan tetapi di daerah perbatasan antara Kalimantan Barat dan Serawak, kita justru menjumpai masyarakat yang memiliki ikatan yang melampaui batas teritorial. Pengalaman tersebut kita tempatkan sebagai gambaran dari area di era Modern Cair, yang mana batas teritorial tidak dapat mendefinisikan warga yang menempatinya. Di tapal batas, kedua pandangan yang tampak bertentangan itu bertemu. Dengan kata lain, tapal batas yang kita pahami dari penelitian ini adalah titik temu antara gambaran area di era Modern Padat dan Modern Cair. Berangkat dari pendapat ini, negosiasi macam apa yang dilakukan oleh guru-guru di Jagoi Babang tersebut. Untuk menelusuri negosiasi itu dapat merujuk pada gagasan Edwards Soja (1996) tentang ruang ketiga.
2.
Negosiasi Sebagai Ruang Ketiga Secara harfiah, negosiasi adalah proses tawar menawar dengan jalan
berunding guna mencapai kesepakatan bersama.
19
Situasi negosiasi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menunjukkan ada pandangan yang tampak bertentangan. Sebagaimana yang dijelaskan di atas, pertentangan di tapal batas dalam kasus ini disebabkan pertemuan pandangan dari era Modern Padat dan Modern Cair. Konsekuensi orang yang tinggal di area tersebut sebagaimana yang dialami oleh guru-guru di Jagoi Babang mau tak mau harus bernegosiasi. Jalan negosiasi itu sebagai ruang ketiga. Ruang ketiga yang dimaksudkan di sini erat kaitannya dengan praktik spasial di tapal batas sebagaimana gagasan Soja. Gagasan Soja (1996) tentang ruang ketiga hadir dalam kerangka konseptual trialectics yaitu, ruang pertama, ruang kedua, dan ruang ketiga, yang ketiganya saling memengaruhi satu dengan yang lain. Ruang ketiga dalam Soja diasosiasikan sebagai strategi untuk menghadapi dominasi ruang pertama dan kedua. Sekilas gagasan Soja (1996) punya kemiripan dengan konsep Lefebvre tentang produksi ruang yang terdiri dari tiga pilar yaitu; praktik spasial, representasi ruang, dan ruang representasional (perceived, conceived, live space). Diakui oleh Soja (1996), konsep Lefebvre tersebut memberi denyut atas konsep ruang ketiga hanya saja memiliki porsi dan tujuan yang berbeda. Lefebvre dan Soja sama-sama memberi penekanan terhadap ruang pertama yang adalah praktik spasial, namun porsi spasial bagi Lefebvre sebagai panggung dari praktik sosial yang merupakan kekhasannya dengan berlatar berlakang seorang sosiologi, sedangkan Soja melihat praktik spasial adalah bagian yang tak terpisahkan dari praktik keseharian. Dengan kata lain, kondisi spasial turut mempengaruhi tindakan orang dalam kehidupan
20
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sehari-hari yang kemudian mempertegas posisi Soja yang berlatar belakang geografi. Untuk ruang kedua, Lefebvre cenderung melihat wacana yang dipakai untuk menggambarkan suatu ruang, sedangkan bagi Soja, ruang kedua adalah interpretasi atas ruang pertama. Dengan kata lain, bila ruang pertama memberi gambaran material secara umum, natural, dan terkesan objektif, diruang kedua justru terkesan subkjetif. Sementara ruang ketiga dari Lefebvre adalah live space yang berisi praktik keseharian, sementara Soja memperlakukan ruang ketiga sebagai upaya strategi menghadapi pandangan biner atas ruang (ruang pertama dan kedua). Dalam tataran ini, ruang ketiga dijadikan kesempatan untuk membuka perspektif yang lebih beragam atas ruang. Pembacaan ruang ketiga semacam itu seolah-olah mau mengaburkan persoalan, “either/not but rather about both/and also” (Soja,1996). Dalam analisis Soja (1996), ruang pertama atau praktik spasial berisi data-data kuantitatif yang bisa dibaca ke dalam dua level yaitu, penjelasan yang terfokus pada apa yang terlihat atau indigenous mode of spatial analysis dan exogenous mode of spatial analysis atau penjelasan secara umum tentang suatu ruang. Model penjelasan yang kedua dibutuhkan untuk melampaui penjelasan data-data kuantitatif tersebut. Sebagaimana ruang pertama, ruang kedua diinterpretasikan dengan mendalam ke dalam dua level yaitu, introverted (indigenous) dan extroverted (exogenous). Interpretasi pertama merupakan pembacaan atas kondisi internal dari ruang dan interpretasi kedua adalah sisi eksternal. Singkatnya, ruang kedua yang
21
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dibayangkan itu sedang diklaim seolah-olah adalah kondisi real atau kondisi dari ruang pertama. Sementara ruang ketiga hadir sebagai upaya menghadapi ruang pertama dan kedua. Dengan kata lain, ruang ketiga hadir di antara yang real (ruang pertama) dan imagined (ruang kedua) sebagai Thirding-as-Othering atau strategi menghadapi ruang real dan imagined yang cenderung biner. Penjelasan ruang dalam pandangan Soja tampak berakar pada persoalan spatiality, historicality, dan sociality. Ruang ketiga dalam definisi Soja terbuka atas pemaknaan dan penafsiran yang lebih beragam dan karena itu relevan dengan apa yang ditelusuri lewat penelitian ini untuk mengidentifikasi negosiasi guru-guru di Jagoi Babang sebagai upaya menghadapi pandangan banal yang mudah melabeli atribut ganda terhadap masyarakat perbatasan. Pembacaan kembali atas fenomena tersebut dengan meminjam gagasan Soja. Penjelasan ruang pertama merupakan kondisi material di Jagoi Babang yang saya kombinasikan dengan pengalaman peneliti dan guru-guru di Jagoi Babang. Pada tataran ini, saya sedikit berbeda dari Soja yang memperlakukan ruang pertama seolah-olah objektif, sebaliknya dari ruang pertama saya telah mengambil posisi subjektif atas kondisi material yang saya lihat di Jagoi Babang. Sedangkan di ruang kedua merupakan pembacaan saya atas kondisi material Jagoi Babang dengan merujuk pula pada pengalaman historis tapal batas. Sementara pada ruang ketiga adalah pengalaman keseharian masyarakat perbatasan yang dibaca lewat pengalaman keseharian guru-guru di Jagoi Babang. Pada tataran ini, pengalaman keseharian guru-guru di Jagoi
22
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Babang sebagai negosiasi atau ruang ketiga untuk menghadapi kondisi material dan wacana tapal batas.
H. Metode Penelitian Secara metodologis (Saukko, 2003:56 ) ruang ketiga menurut Soja adalah pendekatan dengan multiperspektif untuk subjek yang sama. Pendekatan ini terdiri dari ruang pertama, kedua, dan ketiga yang saling memengaruhi. Lewat metode ini, kita diajak untuk memahami kondisi material yang memfasilitasi tindakan kita sehari-hari. Dengan kata lain, kondisi material tidak diperlakukan hanya sebagai panggung tetapi turut berkontribusi pada tindakan kita. Mengikuti gagasan Soja di atas, langkah pertama, saya melakukan pengamatan langsung ke Jagoi Babang untuk melihat kondisi material, kedua, membaca wacana yang mendominasi di Jagoi Babang, dan ketiga, berjumpa dengan guru-guru di Jagoi Babang. Untuk itu, pendekatan ruang ketiga akan dikombinasikan dengan metode etnografi baru untuk mengidentifikasi negosiasi guru Jagoi Babang atas wacana tapal batas. Metode etnografi baru merupakan salah satu model penelitian sosial yang menerima subjektivitas liyan dan memperhatikan sensitif terhadap latar belakang
dan komitmen si peneliti dalam merefleksikan
pengalaman masyarakat yang ditelitinya. Dalam proses pengambilan data, si peneliti memperhatikan suara-suara yang berbeda atau polyvocality. Apa yang ditawarkan oleh metode etnografi baru, saya gunakan untuk menjadi
23
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
rambu-rambu dalam memaknai pengalaman guru-guru di Jagoi Babang. Bahwa saya sadar akan latar berlakang yang juga berasal dari kawasan perbatasan dan mengambil posisi untuk mendengarkan suara-suara guru di tapal batas dalam memaknai pengalaman keseharian mereka yang melintas batas.
1.
Strategi pendekatan Etnografi Baru Seperti yang sudah disinggung sebelumnya bahwa pendekatan ini
memiliki fokus pada tiga strategi yang meliputi:
a.
Collaboration
Kolaborasi dibutuhkan untuk meningkatkan kedekatan antara si peneliti dengan realitas yang diteliti. Saya berasal dari kawasan perbatasan. Lebih tepatnya, saya dari kecamatan Seluas Kabupaten Bengkayang di mana letaknya bersebelahan dengan kecamatan Jagoi Babang. Kolaborasi ini tampak dari pengalaman saya dan pengalaman guru-guru di Jagoi Babang.
b.
Self-reflexivity
Refleksi peneliti pada diri sendiri agar dapat memediasi antara pemahaman peneliti tentang kehidupan sendiri dan pemahaman
dengan kehidupan
orang lain. Meski sama-sama berasal dari perbatasan di Kabupaten Bengkayang dan berlatar pendidikan guru namun saya belum punya pengalaman menjadi guru tapal batas.
24
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
c.
Polyvocality
Peneliti memperhatikan bahwa pengalaman itu beragam. Oleh karena itu keharusan peneliti untuk terbuka pada berbagai macam perspektif atau suara. Lewat gambaran dari perspektif yang berbeda itu pula maka tampak struktur sosial yang berbeda pula. Analisis ini kemudian dikaitkan dengan ketidaksamaan struktur dan konteks sosial, bahwa apa yang diwacanakan oleh struktur tidak selalu semakna dengan praktik sehari-hari guru di perbatasan.
2. Lokasi Penelitian Pengambilan data dimulai pada bulan Juli-Agustus 2015 di kota kecamatan Jagoi Babang. Kecamatan Jagoi Babang merupakan kecamatan yang terletak paling utara dari kabupaten Bengkayang, Provinsi Kalimantan Barat.
3.
Sumber data
Sumber data penelitian ini terdiri dari tiga bagian yaitu; pertama sumber data berasal dari observasi langsung ke Jagoi Babang, kedua, studi pustaka dan ketiga adalah hasil wawancara dengan guru-guru di Jagoi Babang. Data wawancara diperoleh dengan cara wawancara dan dokumentasi. Wawancara dilakukan pada lima belas orang guru yang terdiri dari, lima guru SD, lima guru SMP, dan lima guru SMA. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat dari Tabel 1.
25
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Tabel 1: Tabel Pengumpulan Data Kategori data
Sumber data
Teknik pengumpulan data
Ruang Pertama material Jagoi Babang
Dokumentasi, wawancara, dan studi pustaka
Ruang Kedua
wacana tapal batas
Studi pustaka, dokumentasi dan wawancara
Ruang Ketiga
pengalaman keseharian guru Jagoi Babang
Wawancara dan dokumentasi
I. Sistematika Penulisan Secara garis besar penelitian ini dipaparkan secara sistematis dalam lima bab yaitu sebagai berikut: Bab pertama
: latar belakang penelitian, tema, rumusan masalah, tujuan, pentingnya penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teoritis, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua
: kondisi material di Jagoi Babang
Bab ketiga
: wacana tapal batas di Jagoi Babang
Bab keempat
: negosiasi guru atas wacana tapal batas
Bab kelima
: penutup yang berisi kesimpulan dan saran
26
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB II KONDISI MATERIAL DI JAGOI BABANG
A. Pengantar Bab ini merupakan paparan dari kondisi material di Kecamatan Jagoi Babang. Pemaparan bab ini mengikuti gagasan Soja tentang ruang pertama. Menurut Soja (1996), ruang pertama merupakan praktik spasial yang dipaparkan ke dalam dua level yaitu; indigenous mode of spatial analysis dan exogenous mode of spatial analysis. Analisis indigenous terletak atas pengalaman melihat material di Jagoi Babang sedangkan exogenous adalah paparan umum atas material Jagoi Babang. Keduanya saya kombinasikan untuk menjelaskan kondisi material di Jagoi Babang. Meski Soja menjelaskan ruang pertama seolah-olah objektif dengan menampilkan senatural mungkin lewat kondisi geografis dan data kuantitatif, akan tetapi saya tidak dapat mengklaim bab ini sebagaimana kerangka kerja Soja tersebut namun saya justru mengambil posisi dalam menjelaskan ruang pertama yang adalah kolaborasi antara data-data kuantitatif dan pengalaman guru-guru dalam melihat kondisi material di Jagoi Babang. Dengan kata lain, subjektivitas sudah muncul di ruang pertama. Bab ini terdiri dari dua sub-bab yaitu; gambaran umum Kecamatan Jagoi Babang dan Jagoi Babang di mata guru-guru.
27
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
B. Gambaran Umum Jagoi Babang
Sumber: http://www.borneoskycam.com/images/peta/kertas%20A3.jpg
Menurut data dari badan statistik (2016), Jagoi Babang adalah kecamatan paling utara dari Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Secara geografis, kecamatan Jagoi Babang terletak di 1°15’16” Lintang Utara-1°30’00” Lintang Utara dan 109°33’95” Bujur Timur-110°10’00”
28
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Bujur Timur. Sedangkan secara administratif, di sebelah utara berbatasan dengan Serawak, Malaysia Timur, di sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Seluas, di sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Siding, dan di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Sambas. Luas wilayah Jagoi Babang mencapai 655,00 km² dan terbagi dalam 6 desa yaitu, desa Jagoi, Kumba, Sinar Baru, Gersik, Semunying Jaya, Jagoi Sekida.
Gambar 2: Letak Geografis Jagoi Babang
Sumber: Arifin, 2014
Kecamatan Jagoi Babang dihuni oleh 9.591 jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar 15 jiwa per km². Sedangkan menurut jenis kelaminnya, jumlah penduduk laki-laki sebanyak 5.341 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 4.250 jiwa seperti tabel 2.
29
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Tabel 2: Piramida Penduduk Kecamatan Jagoi Babang Tahun 2015
Sumber: BPS Jagoi Babang 2016
Berdasarkan tabel 2, rasio jenis kelamin Kecamatan Jagoi Babang pada tahun 2015 adalah 126, yang itu artinya setiap 126 penduduk laki-laki terdapat 100 penduduk perempuan. Sementara itu, desa yang memiliki tingkat kepadatan paling tinggi adalah Desa Jagoi. Dengan kepadatan penduduk sebesar 45 jiwa per kilometer persegi. Penduduk dari desa Jagoi Babang, didominasi oleh dayak (Bedayuh). Meski demikian ada pula subsuku dayak lainnya, Jawa, Melayu, Bugis dan seterusnya. Dari data di atas, kita dapat melihat kondisi di Jagoi Babang, meski tergolong kota kecil namun tampak beragam karena dihuni oleh bermacam-macam suku. Meski
30
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
demikian, masyarakat di Jagoi Babang didominasi oleh Dayak Bedayuh. Dayak Bedayuh menyebar di berbagai tempat, ada yang di Serawak, ada yang di kecamatan Jagoi, Siding, dan Seluas. Mereka yang menetap di Jagoi menyebut diri sebagai Bijagoi. Bijagoi merupakan sub dari dayak Bedayuh. Meski tersebar di berbagai tempat, mereka sadar betul masih memiliki kesatuan nenek moyang (Siagian,1995). Kesadaran sebagai Bijagoi, Bidoyoh, Bidayuh yang mengikat mereka secara emosional sehingga mereka merasa sah-sah saja merayakan upacara adat bersama-sama. Perayaan adat secara bersama-sama ini dapat kita lihat lewat dua upacara adat yaitu: Gawai dan Nyobeng. Gawai adalah syukuran setelah musim panen padi. Biasanya orang Dayak merayakan sebagai ungkap syukur terhadap Jubata (Pencipta) yang telah menganugerahi makanan dan memelihara ladang padi mereka. Gawai dilaksanakan dengan sangat meriah bahkan lebih meriah daripada perayaan hari besar keagamaan. Bahkan untuk keperluan Gawai, orang dayak siap memperbaiki dan mendirikan rumah adat baru demi memaksimalkan perayaan ini. Dengan kata lain, Gawai adalah hari besar bagi orang dayak yang biasanya dimeriahkan dengan tari-tarian, musik, sampai makan-minum secara bersama-sama. Gawai kerap dijadikan acara kumpul keluarga besar yang saling mengunjungi dari rumah ke rumah. Bagi orang Jagoi, Gawai dilaksanakan setiap tanggal 1 Juni sebagaimana orang dayak Bedayuh di Serawak merayakannya. Gawai yang dilaksanakan secara serentak ini pun menjadi ajang temu keluarga besar yang mau tak mau mereka harus
31
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
melintas batas. Upacara ini dipusatkan di rumah adat dan untuk kasus orang Jagoi, mereka memilih tempat di Bung Jagoi, sebuah bukit tempat didirikaknnya tugu Bung Kupuak yang menunjukkan ikatan nenek moyang orang Dayak Bedayuh baik yang ada Serawak maupun di Kalimantan Barat. Meski mereka berbeda negara, namun tidak turut serta melunturkan ikatan kultural diantara mereka. Bahkan dengan sadar mereka memilih memusatkan tempat perayaan di Tugu Bung Kupuak (gambar 5) yang menjadi simbol ikatan nenek moyang mereka sebagai orang Bedayuh. Tidak hanya Gawai, tetapi juga upacara adat Nyobeng. Nyobeng adalah upacara pemandian tengkorak hasil kayau nenek moyang dan upacara ini masih menjadi rangkaian dari Gawai. Gambar 3: Tugu Bung Kupak
Sumber: https://jagoibabang.wordpress.com/author/onakpot2012/page/2/ diunduh 11 Mei 2016
Sebagaimana Gawai, upacara adat Nyobeng juga dirayakan bersama-sama antar negara. Upacara Nyobeng dimaknai sebagai ungkapan perdamaian atas perang masa lampau atau yang disebut dengan kayau.
32
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Selain itu, juga sebagai ungkapan penghormatan kepada nenek moyang. Tidak seperti Gawai yang dilaksanakan di Bung Jagoi, upacara adat Nyobeng dilakukan di rumah adat Sebujit yang terletak di Kecamatan Siding. Meski berbeda kecamatan, orang Sebujit merupakan bagian dari dayak Bedayuh, mengingat mereka masih serumpun. Sadar atas penyebaran ini, di rumah adat Sebujit dihiasi oleh dua bendera, yaitu; Malaysia dan Indonesia. Kesadaran primordial tumbuh subur diantara orang Bedayuh yang mengesankan batas-batas yang dibuat oleh negara tidak dapat membatasi ikatan nenek moyang diantara mereka. Singkatnya, menjadi Bijagoi berarti memiliki keterkaitan secara kultural dengan dayak Bedayuh yang berada di Malaysia. Gambar 4: Rumat Adat Sebujit
Sumber: http://fotokita.net/foto/134919094210_0012580/rumah-adat-sebujit
33
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Dari gambar di atas, menunjukkan dua bendera yang tepat di pasang di depan pintu rumah adat. Kedua bendera itu pun menjadi simbol dari dua warganegara yang menjadi tumpuan dari rumah adat tersebut. Perayaan di rumah adat ini pula dilakukan selang beberapa hari setelah gawai. Mereka secara bersama-sama merayakan Nyobeng yang menjadi bagian dari warisan nenek moyang. Perkebunan kelapa sawit mendominasi pandangan kita selama dalam perjalanan. Seperti yang dicatat oleh BPS (2016), perkebunan kelapa sawit di Jagoi Babang memakan lahan penduduk dan hutan dengan luas yang mencapai 89.758 ha dari luas wilayah Jagoi Babang sebesar 655,00 km². Yang itu artinya, hampir separuh tanaman yang diberdayakan di Jagoi Babang adalah kelapa sawit. Adapun perbandingannya dengan jenis-jenis tanaman lainnya dapat dilihat dari tabel statistik. Gambar 5: Perkebunan Kelapa Sawit di Jalan Dwikora
Sumber: dokumentasi pribadi
34
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Tabel 3: Perkebunan di Jagoi Babang Jenis Tanaman Luas Tanaman (Ha) Karet Kelapa Dalam Kelapa Hibrida Kopi Cengkeh Lada Coklat Kelapa Sawit
52. 420 4.270 104 412 826 2.826 2.050 89.758
Produksi (Ton) 23.073 2.613 32 68 425 1.293 549 74.618
Sumber: data BPS Jagoi Babang tahun 2016
Perkebunan kelapa sawit tersebut dikelola oleh perusahaan secara langsung dan tidak langsung. Yang tidak langsung karena bekerjasama dengan petani. Adapun perusahaan-perusahaan kelapa sawit yang bercokol di Jagoi Babang yaitu; PT DJI, PT Led Lestari, PT Wirata, PT Aset Pasifik Internasional, PT WKN, dan PT Ceria Prima. Perusahaan tersebut ada yang dikelola oleh nasional dan ada pula yang lintas modal atau lintas negara. Dengan kata lain, ada investasi asing yang ditanamkan di perkebunan sawit tersebut. Hasil produksi sawit menduduki peringkat paling atas sebanyak 74.618 ton sementara tanaman karet hanya memproduksi sebanyak 23.703 ton. Dari data BPS tahun 2016, sumber pencaharian masyarakat
Jagoi
Babang berasal dari perkebunan kelapa sawit. Tingkat produksi dari kebun kelapa sawit tidak berbanding lurus dengan pengembangan sumber daya manusia di Jagoi Babang. Seperti yang dicatat oleh BPS (2016) jumlah penduduk Jagoi Babang sebesar 9.591 jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar 15 jiwa per km² memiliki angka anak 35
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
putus sekolah cukup tinggi. Sehingga bisa dibayangkan ada anak yang memilih bekerja untuk membantu perekonomian keluarga termasuk sebagai buruh dari perkebunan kelapa sawit. Kondisi di Jagoi Babang tidak hanya ditunjukkan oleh luasnya perkebunan kelapa sawit, tetapi juga dari kendaraan mereka. Kendaraankendaraan dengan plat asing berlalu lalang di sepanjang jalan Dwikora. Plat asal Sarawak itu dengan leluasa mondar-mandir. Walau plat asing tapi belum tentu si pengendaranya juga warga asing. Mengapa? Jual-beli kendaraan gelap atau istilah orang Serawak disebut kendaraan gusdur sangat marak. Gelap karena biasanya itu adalah kendaraan hasil curian yang tidak punya surat menyurat resmi. Kendaraan gelap ini biasanya dijual dengan harga miring sehingga laris dibeli oleh masyarakat dengan kemampuan ekonomi menengah ke bawah. Bahkan karena kendaraan-kendaraan tersebut secara kualitas masih bagus, tidak jarang juga dibeli oleh orang dengan kemampuan ekonomi menengah ke atas. Kendaraan-kendaraan asal negara tetangga cenderung lebih kuat dengan persoalan jalan di Jagoi Babang yang sebagian masih tanah kuning, berbatu-batu dan berlumpur bila musim penghujan. Biasanya, kendaraan gelap, terutama roda dua dipakai warga untuk ke kebun karena jarak tempuh kebun dengan rumah mereka biasanya jauh. Selain itu, juga digunakan untuk mengangkut pupuk dan hasil produksi pertanian. Akan tetapi, kendaraan itu tidak mereka gunakan untuk menjangkau daerah-daerah yang jauh seperti kota Bengkayang, dan untuk ke sana mereka biasanya
36
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menggunakan kendaraan umum atau kendaraan yang punya surat-surat resmi. Meski demikian, setidaknya kendaraan gelap tersebut dapat membantu mereka melakukan aktivitas sehari-hari, seperti ke kebun, mencari makanan ternak, dan mengangkut hasil panen, petisida, dan pupuk. Dalam perjalanan ke Jagoi Babang, kita akan berjumpa dengan papan iklan seperti gambar 3. Papan iklan itu berdiri, tepat di pinggir jalan Dwikora dari kota kecamatan Jagoi Babang. Iklan tersebut milik Bank Kalbar. Gambar 6: Papan Iklan Bank Kal-Bar
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Sekilas hampir tidak ada yang aneh dari iklan tersebut dan baru kita sadari ada apa-apanya sampai kita berbelanja barang di pasar Jagoi Babang. Di pasar kita akan disuguhi pertanyaan oleh si pemilik toko dengan kalimat, mau beli pakai ringgit atau rupiah? Barang-barang yang kita temukan di pasar sampai warung-warung kelontong memiliki label ganda, yaitu ringgit dan rupiah. Membeli dengan uang ringgit satuan harganya lebih kecil daripada membeli dengan rupiah. Karena barang-barang banyak
37
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
yang berasal dari Serawak, maka masyarakat lokal mau tak mau harus menyediakan ringgit. Selain barang-barang yang berlabel ganda, ada pula pasar yang menyatukan antara Jagoi Babang dan Serawak, yaitu pasar Serikin. Pasar ini terletak di Serikin, Serawak. Namun biasanya yang berjualan adalah masyarakat lokal Jagoi Babang dan sekitarnya. Pasar ini buka setiap sabtu dan minggu. Produk-produk yang dijual oleh orang Jagoi Babang biasanya, berupa kerajinan tangan, sayur-mayur, makanan, hingga kain. Menurut catatan dari Kantor Bea Cukai Jagoi Babang, barang-barang yang keluar dari Indonesia biasanya lebih berupa bahan-bahan mentah atau setengah jadi, sedangkan yang berasal dari Malaysia justru barang-barang siap pakai.1 Adapun tarif yang dikenai pada barang-barang yang masuk maupun keluar jumlahnya tidak melebihi RM 600 per bulan atau kurang lebih satu juta lima ratus ribu rupiah. Barang-barang dari Malaysia yang siap jadi membanjiri pasar Jagoi Babang. Sampai hari ini, pasar Serikin masih aktif sebagai tempat berjualan antar masyarakat lokal di perbatasan (gambar 4). Kondisi ini semakin dipermudah dengan pembangunan jalan darat yang menghubungkan antara Jagoi Babang dengan Serawak. Proyek jalan raya lintas negara hingga saat ini masih berjalan. Dengan terbukanya jalan lintas negara tersebut maka berpotensi menambah ramainya lalu lintas antar negara. 1
Hasil wawancara di kantor Bea Cukai Jagoi Babang /28/07/ 2015. Jagoi Babang:Kalimantan Barat
38
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gambar 7: Pasar Serikin
Sumber:https://www.tripadvisor.co.id
Jalan yang tersedia saat ini dapat dilalui oleh sepeda motor dan mobil walaupun di sana sini, masih ditemukan jalan berlubang dan jembatan kayu yang rapuh sehingga untuk melewatinya orang harus mengantri. Kondisi jalan menuju Serawak terbilang aman bila musim kemarau tapi jangan ditanyakan musim penghujan, karena kita akan berjumpa dengan kubangan air dan tanah kuning yang becek. Di samping jalan darat, mereka juga dihubungkan oleh jaringan informasi seperti jaringan seluler, radio dan tv. Menjadi masayarakat Jagoi Babang, kita dengan mudah menonton TV Malaysia; TV 1, TV 2, dan TV 3. Bila masyarakat Jagoi Babang dengan mudah menonton saluran Malaysia, sebaliknya untuk menonton saluran asal Indonesia, mereka harus membeli perangkat seperti; Parabola dan TV Kabel. Bila tidak memakai perangkatperangkat semacam itu mereka otomatis tidak dapat menyaksikan saluran asal Indonesia. Saluran radio asal Malaysia juga mendominasi seperti; radio
39
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Muzik, sedangkan untuk RRI dibutuhkan lokasi-lokasi yang tepat baru terdengar. Selain itu, dengan adanya jaringan seluler semakin memperlancar komunikasi diantara mereka sehingga komunikasi tidak terbatas pada perjumpaan fisik tetapi juga lewat virtual. Setelah melewati kota Jagoi Babang, kita pun disambut dengan barisan pos-pos jaga, tugu perbatasan dan patok batas yang terletak kurang lebih 4 km dari garis sempadan. Di area ini, terdapat barisan pos-pos jaga; Imigrasi, Bea Cukai, Polisi, dan TNI. Material itu menjadi simbol kecamatan Jagoi Babang sebagai area tapal batas yang dimaksudkan untuk menandai kedaulatan negara atas teritorialnya. Kabupaten Bengkayang memiliki tiga pintu perbatasan; Jagoi Babang, Siding, dan Separan. Namun, secara geografis kecamatan Jagoi Babang paling dekat untuk menghubungkan antara Pontianak dan Kucing, Serawak. Meski demikian, pos lintas batas di Jagoi Babang baru didirikan atas hasil pembicaraan lewat forum Sosek Malindo pada tanggal 18 Juni 2008 di Pontianak. Sampai saat ini, Jagoi Babang masih berstatus PLB, yang berarti hanya diperkenankan untuk masyarakat lokal yang hendak melintas batas dengan menggunakan pas lintas batas (PLB) dengan konsekuensi tidak melebihi 5 km ke dalam.
40
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gambar 8: Tugu Perbatasan Jagoi Babang
Sumber: dokumentasi pribadi
Gambar 9: Pos Terpadu di Jagoi Babang
Sumber: Kompasiana.com
41
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
C. Jagoi Babang di Mata Guru-guru Meski Jagoi Babang adalah kawasan perbatasan, namun sekolah di kota Kecamatan Jagoi Babang dapat dikatakan lengkap. Di kota Kecamatan Jagoi Babang tersedia 2 unit TK, 16 unit SD, 4 Unit SMP, dan 2 unit SMA. Adapun tenaga guru dan jumlah murid di Jagoi Babang perbandingannya pada tahun 2015 dapat dilihat dari tabel 3. Tabel 4: Rasio murid terhadap guru
Sumber: Kecamatan Jagoi Babang Dalam Angka 2016
Di tingkat SD dengan murid 1.916, jumlah guru sebanyak 211 orang, SMP dengan jumlah murid 482, tenaga guru yang ada 92 orang, dan untuk SMA dengan murid 281, jumlah guru 42 orang. Berdasarkan tabel rasio di atas tampak, rasio murid terhadap guru untuk SD, menurun dari 15 tahun 2013 menjadi 14 di tahun 2015. Rasio guru untuk SMP meningkat dari 9 menjadi 10 dan jenjang SMA juga meningkat dari 9 menjadi 10.
42
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Meski ada peningkatan rasio guru pada jenjang SMP dan SMA namun angka putus sekolah masih tinggi. Seperti yang dinyatakan oleh Viktor2, bahwa angka putus sekolah yang masih tinggi karena dipicu juga oleh tingkat kemiskinan, sehingga anak-anak memilih bekerja ke Malaysia untuk membantu perekonomian keluarga. Tidak hanya murid-murid yang putus sekolah dan memilih bekerja ke Malaysia, tetapi adapula guru-guru yang sesuai mengajar, bekerja sebagai tukang ojek ke perbatasan. Menurut Viktor, kondisi tersebut sah-sah aja sselama tidak menganggu proses belajar mengajar. Apalagi mengingat tidak semua guru mendapatkan tunjangan khusus
perbatasan,
ucapnya.
Sedangkan
terkait
dengan
persoalan
kurikulum, diakui oleh Viktor, meski daerah ini khusus, namun konsep pendidikannya tidak ada yang khusus. Itu artinya, apa yang diajarkan di tempat lain, diajarkan juga di daerah ini. Walaupun masyarakat Jagoi Babang memiliki ikatan kultural dengan masyarakat di Serawak. Seperti yang diungkapkan oleh Viktor sebagai berikut: Bagi masyarakat di sini, Malaysia dan Indonesia sama saja. Karena mereka merasa sebahasa dan sesuku. Jadi banyaklah kekeluargaanya. Menurut Viktor, orang Jagoi menganggap mereka berasal dari Malaysia seperti yang ditunjukkan oleh rumah adat mereka yang memiliki gambar dua burung. Dari dua burung itu ada yang menghadap ke Malaysia yang menunjukkan nenek moyang mereka berasal dari Sarawak. Karena ikatan itu pula, mereka sering melintas batas, ucapnya. Meski Viktor, adalah 2
Viktor. 29 Juli 2015. Wawancara. Kalimantan Barat: Kepala UPT Dinas Pendidikan Jagoi Babang 43
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
suku pendatang, tepatnya berasal dari Nusa Tenggara Timus, ia pun sering melintas batas. Ia melintas batas dengan motif ekonomi, apalagi di Jagoi Babang, barang-barang didominasi dari negeri jiran. Oleh karena, tinggal di Jagoi Babang mau tak mau harus memiliki persediaan mata uang Ringgit. Tinggal di Jagoi Babang, orang mau tak mau harus melintas batas. Seperti yang dialami oleh guru-guru di Jagoi Babang. Gambar 10: Kepala Sekolah dan murid-murid SDN I di Jagoi Babang
(dokumentasi pribadi.2015)
Lewat wawancara saya dengan guru-guru, saya mendapati mereka pernah melintas batas dengan beragam motivasi, ada yang sekedar jalanjalan dan ada pula untuk bertemu saudara. Dari pengalaman melintas batas itu, mereka melihat Serawak lebih maju dan bersih. Seperti yang ditutur oleh Dollah berikut ini:3
3
Dollah. 11/08/2015. Wawancara. Kalimantan Barat: Guru SMPN 1 Jagoi Babang 44
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
“di sudut-sudut kota, kita lebih banyak menemukan peringatan untuk tidak membuang sampah, berbeda dengan di sini, kita akan lebih banyak berjumpa dengan iklan rokok”. Menurutnya, kota Serawak tidak hanya maju, dan bersih tetapi juga tertib. Di jalan-jalan raya, kita lebih banyak bertemu pengendara roda empat dibandingkan roda dua. Bisa dikatakan, orang yang mengendarai roda dua itu TKI, ungkapnya. Pengendara mobil-mobil di Serawak lebih teratur, tidak seperti di Jagoi Babang yang pengendaranya sering ngebutngebutan dan menyalip pengendara lain. Selain itu, angkutan umum, di Serawak lebih tepat waktu, sedangkan di Jagoi Babang, harus menunggu bus penuh terlebih dahulu. Meski demikian, bukan berati Serawak selalu unggul, ungkap Ashadi.4 Menurutnya, di Jagoi Babang hampir setiap kampung ada listrik dan jalan raya. Sedangkan di sana (Malaysia) hanya daerah-daerah tertentu yang dialiri listrik dan jalan raya. Kadang ada kampung-kampung yang tidak dialiri listrik dan hanya disediakan Genset untuk mereka mengurus sendiri. Sementara di Jagoi Babang hampir semua kampung menjadi perhatian. Kalau “di sana” tidak semua tempat itu dibangun, melainkan tempat-tempat yang menguntungkan secara “ekonomi”. Ia merasa hampir tidak ada masyarakat Jagoi Babang yang berniat menjadi warga Malaysia. Mengingat Jagoi Babang termasuk daerah perbatasan yang maju sedangkan orang-orang yang pindah kewargaan, biasanya karena kondisi kampung mereka lebih sulit.
4
Ashadi. 11/08/2015. Wawancara. Kalimantan Barat: Guru SMPN 1 Jagoi Babang 45
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
“Kalau dilihat dari gaji, siapa yang gak mau jadi guru di sana”, ucap Riska.5 Menjadi guru di Serawak memang lebih sejahtera, misalnya menjadi guru TK saja, sudah mempunya mobil dan para guru rata-rata memiliki pembantu rumah tangga. Sementara guru di Jagoi Babang belum semua
mendapatkan
tunjangan
perbatasan
yang
dianggap
dapat
meningkatkan kualitas hidup guru. “Jadi kadang sedih juga mendengar ada murid yang bilang ke gurunya ”guru kok ngojek” ucap Dollah.6 Meski demikian, ia tetap mengingatkan bahwa tugas guru adalah menjadi contoh kalau sekolah itu ada gunanya. Karena lewat sekolah, anak-anak dapat menjadi guru, mandor, atau polisi dan manajer di perusahaan, sambungnya. Namun dari kehidupan seperti itu kadang ia merasa bingung, ketika ada murid yang bertanya, “kenapa kita tidak jadi orang Malaysia saja?” Bahkan tidak jarang para orang tua murid pun berpendapat demikian, tutur Dollah.7 Harus diakui, guru-guru di Malaysia gajinya lebih tinggi. Karena mereka rata-rata digaji sekitar tujuh ribu ringgit atau setara tujuh juta lebih per bulan, itu pun untuk gaji guru yang paling rendah, ungkap Mijen. Meski secara gaji mereka memang lebih unggul, namun bukan berarti di sini tidak punya kelebihan. Setidaknya menurut Mijen, ada tiga aspek yang tidak mereka miliki yaitu; pertama tentang hak tanah, di sana tanah adalah milik negara, sehingga untuk mendirikan rumah atau usaha, status kita
5
Riska. 07/08.2015. Wawancara. Kalimantan Barat:Guru SDN 1 Jagoi Babang Dollah. 11/08/2015. Wawancara. Kalimantan Barat: Guru SMPN 1 Jagoi Babang 7 idem 6
46
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
adalah penyewa. Kedua, di sana orang serba kredit bahkan untuk keperluan rumah tangga. Aturan ini terutama untuk para pekerja kerajaan. Dengan kata lain, mereka tidak diperkenankan untuk membayar tunai. Ketiga tentang pajak, di sana mereka dikenai pajak lebih banyak seperti ada pajak hewan. 8 Bagi Riska, Serawak adalah rumah.9 Rumah tidak hanya fisik tetapi juga suami dan anaknya. Pengalaman Riska yang hidup diantara dua negara menjadi contoh yang ekstrem dari keterkaitan kedua wilayah. Dalam wawancara saya dengan Riska, ia tidak mencoba memberikan garis yang tegas antara Jagoi Babang dan Serawak. Bahkan ketika saya bertanya tentang pengalamannya mengajar, ia berkata, “mengenalkan Indonesia sesuai kondisi di sini, namun tetap menekankan lebih mencintai Indonesia”. Namun tambahnya, “untunglah saya mengajar SD kelas tiga, jadi anak-anak tidak nanya kenapa saya bolak-balik batas tiap hari”. 10 Tidak hanya Riska yang memiliki relasi darah dengan warga Malaysia, sebagian besar keluarga Mijen adalah warga Malaysia. Menurut Mijen, ia mengaggumi Serawak dari segi tingkat kesejahteraan msyarakatnya saja sementara tetap memilih menjadi Indonesia, seperti yang ia katakan, “di sini kita boleh punya tanah”.11 Apa yang dimaksud oleh Mijen ini berkaitan dengan adaknya pengakuan negara terhadap hak
8
Mijen. 11/08/2015. Wawancara. Kalimantan Barat: Guru SMPN 1 Jagoi Babang Riska. 07/08.2015. Wawancara. Kalimantan Barat:Guru SDN 1 Jagoi Babang 10 idem 11 Mijen. 11/08/2015. Wawancara. Kalimantan Barat: Guru SMPN 1 Jagoi Babang 9
47
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
milik perseorangan atas tanah.. Terkait dengan pengalamannya menjadi guru, ia pun berkata:12 “Kita melatih anak-anak supaya mengenal Indonesia tidak seperti yang dikatakan orang ya, orang mengatakan ketinggalan ini itu, kalo tahun 50an, 60an, 70an,80an, mungkin iya kita memang ketinggalan, tapi kalau mulai dari tahun 2000 ke atas, di sini sudah menikmati pembangunan dari pemerintah, jalan, air bersih, sekolah”. Lewat penjelasan di atas tampak guru-guru memiliki ikatan darah dan kultural dengan Sarawak. Seperti yang dialami oleh Dollah. Meski memiliki keluarga di Malaysia namun baginya menjadi guru itu panggilan hidup dan tantangan mengajar di perbatasan menurutnya, adalah pandangan orang tua murid yang lebih memilih anak-anak mereka untuk bekerja ke Malaysia demi membantu perekonomian keluarga. Namun menurut Dollah, saat ini kondisi Jagoi Babang sudah mulai ada pembangunan. Paling tidak, saat ini sudah ada puskesmas sehingga ia merasa untuk berobat tidak melulu ke Malaysia, dia juga tidak perlu lagi cuci motor setiap hari karena jalan raya sudah di bangun, dan ia sudah menikmati listrik walaupun sering padam. Menghadapi kondisi tersebut, Dollah mengakui tetap mengajarkan murid-muridnya untuk melanjutkan sekolah daripada harus bekerja ke Malaysia. “Keadaan Indonesia dan Malaysia tidak jauh beda. Namun untungnya mereka (Malaysia) karena nilai tukar mata uangnya lebih
12
idem 48
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tinggi”ungkap Margono.13 Bagi Margono, Jagoi Babang termasuk daerah perbatasan yang maju dan karena itu ia merasa hampir tidak ada orangorang yang melakukan eksodus pindah kewargaan ke Malaysia karena biasanya yang melakukan itu kondisi kampungnya pasti lebih sulit. Meski memiliki keluarga di Serawak, namun apa yang dialami oleh Ashadi berbeda dengan Riska, Mijen, dan Margono. Ashadi merasa tinggal di negara yang berbeda justru membuat hubungannya dengan paman, bibi di Serawak menjadi renggang. Di mata Ashadi, Indonesia itu bisa makmur cuma salah atur. Ia merasa semakin banyak penududuk dari luar pulau datang ke daerahnya dan banyak tanah-tanah penduduk dirampas oleh penguasa. “Syukurnya masyarakat Jagoi Babang tidak menjual tanah mereka ke perusahaan sawit. Karena kalau sudah merasa kemiskinan, ya wajar saja mereka lari ke Malaysia” tuturnya. Lewat wawancara terhadap guru-guru di tapal batas itu, menunjukkan mobilitas mereka yang beragam dan mempengaruhi pandangan mereka terhadap Jagoi Babang. Sementara pandangan mereka tentang Jagoi Babang yang beragam erat kaitannya dengan relasi mereka dengan Serawak. Meski sebagian besar guru-guru memiliki ikatan kekeluargaan dengan warga Malaysia, namun mereka tetap memilih menjadi warga Indonesia.
13
Margono. 07/08.2015. Wawancara. Kalimantan Barat:Guru SDN 1 Jagoi Babang
49
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB III WACANA TAPAL BATAS DI JAGOI BABANG
A. Pengantar Paparan bab ini mengikuti gagasan Soja tentang ruang kedua yang adalah interpretasi atas kondisi material atau ruang pertama dari Jagoi Babang. Bab ini dipaparkan dengan mengikuti model interpretasi ruang kedua yang terdiri introverted (indigenous) dan extroverted (exogenous). Interpretasi pertama merupakan interpretasi kondisi internal dari ruang dan yang kedua adalah eksternal. Dari uraian bab II atau ruang pertama, kita melihat ada keterkaitan material Jagoi Babang dengan Serawak seperti dalam wujud jalan raya, perkebunan kelapa sawit, rumah adat, sampai barang-barang yang berlabel ganda. Namun di tengah keterkaitan itu, saya juga menjumpai pos-pos jaga, patok batas, sampai tugu perbatasan yang membedakan teritorial IndonesiaMalaysia. Adapun kondisi material semacam itu yang turut mempengaruhi guru-guru di Jagoi Babang sehingga mereka mau tak mau harus melintas batas. Ruang kedua memaparkan wacana yang mendominasi dalam membayangkan (material) Jagoi Babang. Paparan ini dimulai dengan penjelasan dari extroverted atau wacana tentang Jagoi Babang secara top-
50
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
down ke penjelasan introverted atas kondisi material Jagoi Babang. Bab ini terdiri dari tiga subbab yaitu; tapal batas dari masa ke masa, tapal batas pasca reformasi, Jagoi Babang sebagai area tapal batas.
B. Tapal Batas dari Masa ke Masa Mendengarkan kata negara bangsa, apa yang terlintas dalam bayangan kita? Menurut Anderson (2002) apa yang kita bayangkan tentang negarabangsa itu terbatas pada wilayah. Ada batas-batas teritorial yang membedakan negara yang satu dengan yang lain. Misalnya, ketika membayangkan Indonesia, orang akan diarahkan untuk membayangkan gambaran geografis yang terbentang dari Sabang-Merauke, Miangas sampai Pulau Rote. Yang itu tentu tidak memasukkan Malaysia, Singapura, Papua Nugini, dan Filipina. Salah satu ciri dari negara modern (Pierson, 1996) adalah teritorial yang jelas batas-batas teritorialnya. Dengan teritorial yang jelas, suatu negara dapat mengetahui seberapa luas jangkauan kedaulatannya. Perjanjian Wesphalia tahun 1648 menjadi pondasi dari bangunan negara modern yang kedaulatannya diletakkan atas wilayah. Akan tetapi perjanjian itu belum mengeksplisitkan definisi jelas yang dimaksud dengan wilayah (Arifin, 2014) atau yang kemudian lebih kita kenal dengan sebutan teritorial. Teritorial adalah wilayah suatu negara yang sudah didefinisi secara hukum, di mana batas-batas yang membedakan negara yang satu dengan negara yang lain jelas dan legal dimata hukum. Teritorial mengasumsikan
51
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
persoalan ruang sudah selesai. Bahwa ruang dilihat secara hitam dan putih, legal dan illegal sebagaimana yang digambarkan oleh Wadley (2005) teritorialitas adalah kondisi di mana individu atau kelompok mengontrol orang-orang, relasi, dan menegaskan kembali area geografi lewat batasbatas yang mereka ciptakan. Mengingat pentingnya teritorial, maka seringkali batas-batas diperlakukan dengan sakral. Menelusuri
pembentukan
batas-batas
teritorial
itu
seperti
menelusuri sejarah pembentukan suatu negara. Bahwa nusantara dibentuk oleh pemerintahan Hindia Belanda. Di mana pemerintah kolonial Belanda memegang kendali secara politis atasnya termasuk membuat batas-batas teritorial dengan pemerintahan kolonial lainnya. Seperti yang kita bahas selanjutnya tentang perjanjian antara Inggris dan Belanda dalam menentukan batas kekuasaan mereka di pulau Borneo.
1.
Pembentukan Tapal Batas Pembagian pulau Borneo, Brunei, Malaysia (Sabah-Sarawak) dan
Indonesia (Kalimantan) kental campur tangan kolonial. Bahkan kolonial yang menjadi arsitek dari pembagian tersebut. Perbatasan sepanjang 2.004 km antara Indonesia dengan Malaysia secara historis adalah ciptaan, penguasa kolonial Belanda-Inggris. Seperti yang dikemukakan oleh Eilenberg (2012:83) bahwa batas-batas nasional adalah konstruksi politis, proyeksi yang dibayangkan dari penguasa teritorial; gambaran mental dari politisi, pengacara, dan intelektual. Berangkat dari definisi itu maka wajar
52
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
saja bila masyarakat lokal tidak diikutsertakan dalam menentukan batas yang kelak melegalkan tindakan mereka. Ada tiga konvensi yang dibuat oleh Belanda dan Inggris dalam menentukan batas teritorial di pulau Borneo yaitu, konvensi tahun 1891, 1915, dan 1918. Lahirnya ketiga konvensi tersebut tidak dapat dilepaskan dari
kesepakatan
sebelumnya.1
Terutama,
Traktat
London
yang
mempertemukan raja Inggris dan raja Belanda pada tanggal 24 Maret tahun 1824 di London. Kesepakatan ini menghasilkan dua belas kesepakatan mengenai batas teritorial dan perdagangan di East Indies. Salah satunya berimplikasi pada nasib pulau Borneo yang sebagian besar menjadi wilayah Belanda (Graham, 1955:62). Sedangkan Borneo Utara masih menjadi kekuasaan Sultan Brunei dan Sulu. Akan tetapi, itu tidak berlangsung lama karena masuknya pengaruh Inggris (James Brooke) di Borneo Utara. Di satu sisi, Belanda semakin memperkuat pengaruhnya di Borneo Barat, Selatan, Tengah, dan Timur. Belanda dan Inggris menegaskan batas-batas teritorial mereka di pulau Borneo sebagai jalan untuk memisahkan kekuasaan mereka dan mengendalikan elemen-elemen yang dianggap undesirable seperti; penyelundupan, migrasi dan mendefinisikan kewargaan untuk kepentingan perpajakan dan pembangunan (Eilenberg, 2012). Seperti yang dipaparkan Arifin (2014) ketiga konvensi yang dilakukan antara Inggris-Belanda itu dimulai tahun 1891 untuk menentukan 1
Konvensi antara Inggris dan Belanda yaitu; 1814, 1818, dan kemudian menghasilkan Treaty 1824 atau yang lebih dikenal dengan Traktat London. Traktat London menjadi landasan hukum yang membagi batas teritorial Inggris dan Belanda di nusantara kemudian hari (Arifin, 2014). 53
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
titik-titik koordinat di peta. Pertama, menyepakati garis 4°10” Lintang Utara yang bermula dari Pantai Timur Kalimantan yang selanjutnya akan ditarik ke arah Barat, garis ini membagi pulau Sebatik di sebelah utara milik Inggris dan sebelah selatan milik Belanda, kedua, setelah menentukan titik koordinat perbatasan, Inggris dan Belanda dalam menentukan batasbatasnya sepakat untuk menindaklanjuti konvensi, ketiga, tentang hak dan kewajiban yang harus dilakukan oleh masing-masing pihak dalam soal lalu lintas penduduk lokal diberikan kebebasan bea dan pajak hanya sampai lima belas tahun sejak ditandatangani konvensi ini, sedangkan untuk angkutan material perang dikenai bea dan pajak. Kemudian konvensi tahun 1915 adalah mendirikan patok batas di sepanjang garis yang sudah ditentukan namun berfokus pada batas air. Konvensi tahun 1918 mulai mendirikan patok batas di pegunungan. Termasuk ke dalam proses ini didirikan patok batas di gunung Poko Payong di Jagoi Babang. Rumusan tapal batas di atas menjadi pijakan bagi IndonesiaMalaysia, yang mewarisi dari Belanda dan Inggris. Bahwa kesepakatan yang telah dibuat oleh kolonial itu diterima secara final dan dianggap fakta historis yang tidak dapat diganggu gugat. Berdasarkan prinsip Uti Possidetis Juris maka ketiga konvensi yang dilakukan antara Inggris dan Belanda tersebut menjadi landasan hukum dalam penetapan delimitasi dan demarkasi antara Indonesia-Malaysia.2 Narasi kolonial itu membentuk imaji kita
2
Hukum internasional dikenal dengan asas Uti Possidetis yang berarti wilayah negara yang merdeka dari penjajahan sama dengan wilayah yang dikuasai oleh penjajahannya di wilayah tersebut (Arifin, 2014) 54
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mengenai tapal batas rentan dengan elemen-elemen yang dianggap penganggu yang harus dijaga ketat, diawasi, hingga orang-orangnya pun pantas dicurigai.
2.
Masa Konfrontasi Sejak awal hubungan antara Indonesia dengan Malaysia tidak berjalan
harmonis. Keberatan Indonesia terhadap pembentukan Federasi Malaysia yang memasukkan wilayah Sabah, Brunei, dan Sarawak berbuah konfrontasi. Pembentukan federasi ini dipandang oleh Presiden Soekarno tidak lebih sebagai Nekolim (Neo-Colonialist-Imperialist). Konfrontasi berjalan dari tahun 1962-1966 dengan slogan terkenalnya, “Ganyang Malaysia”. Konfrontasi ini pula menyebabkan warga dari Kalimantan Utara yang tidak setuju dengan pembentukan Federasi Malaysia melakukan mobilitas ke perbatasan Kalimantan Barat, salah satunya yang menjadi tempat tujuan mereka adalah Bengkayang. Bengkayang tidak hanya menjadi saksi bisu dari peristiwa berdarah itu (konfrontasi)3 tetapi juga sebagai tempat perekrutan PGRS (Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak) dan PARAKU (Pasukan Rakyat Kalimantan Utara) berlangsung. Pada Mei dan Juni tahun 1964, PGRS/PARAKU diberi latihan militer oleh Kodam Tanjungpura yang kemudian dibina oleh Resimen
3
Van Der Kroef, Justus M. The Sarawak—Indonesian Border Insurgency. Modern Asian Studies,Vol 2, No 3 (1968), pp. 245-265. 55
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Pasukan Komando Angkatan Darat atau RPKAD di Bengkayang.4 Asal-usul PGRS/PARAKU tidak terlepas dari situasi yang memanas akibat dari pembentukan federasi Malaysia yang mau memasukkan Sabah, Brunei, dan Sarawak menjadi bagian negaranya dan campur tangan Inggris. Bermula dari gerakan sekelompok orang yang menolak pembentukan federasi Malaysia dengan membentuk Negara Nasional Kalimantan Utara (NKKU) dan Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU) pada tanggal 8 Desember 1962. Gerakan ini dipimpin oleh Syekh A.M Azahari dari partai rakyat Brunei. Bila Inggris dan sekutunya melihat gerakan itu sebagai pemberontakan,
sebaliknya
memandangnya
sebagai
Indonesia gerakan
di
bawah
nasionalisme
Soekarno yang
justru
menentang
Imperialisme dan Kolonialisme. Dukungan dari Indonesia pada masa itu membuat orang-orang yang disingkirkan dari Serawak melintas batas ke Kalimantan Barat, di mana mereka kelak dibina dan difasilitasi untuk melanjutkan perjuangan merebut Kucing. Tidak hanya orang-orang yang berasal dari Sarawak yang tergabung dalam PGRS/PARAKU dan Sukwan (Sukarelawan Dwikora) juga terdapat penduduk lokal Kalimantan Barat. Mereka ini terdiri dari etnis Tionghoa, Melayu, dan Dayak. Dengan adanya dukungan
dari
pemerintah,
TNI,
BPI
(Badan
Pusat
Intelijen),
PGRS/PARAKU serta Sukwan menjadi bagian dari perjalanan konfrontasi terhadap tentara gabungan Inggris, New Zealand, dan Australia. Bila PGRS
4
https://www.usd.ac.id/lembaga/lppm/f1l3/Jurnal%20Historia%20Vitae/vol22no1april20 08/KEBIJAKAN%20%20PEMERINTAH%20%20REPUBLIK%20%20INDONESIA%2 0mithcel%20vinco.pdf. Diakses, 3 september 2016 56
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ditempatkan di kawasan perbatasan mulai dari Pantai Barat di Sambas sampai Sungkung di Bengkayang, sedangkan PARAKU ditempatkan mulai dari Sungkung sampai Benua Martinus di Kapuas Hulu (Kroef, 1968). Pada masa konfrontasi, mobilitas yang terjadi didorong dengan motif politis yang mana warga Kalimantan Utara yang mau membentuk Negara Nasional Kalimantan Utara meminta dukungan dari Indonesia. Akan tetapi, dukungan itu tidak berjalan lama berkat perubahan cuaca politik di ibukota. Pada tanggal 29 Mei-1 Juni 1966 diadakan perundingan antara Menteri Luar Negeri Indonesia yaitu Adam Malik dan Menteri Luar Negeri Malaysia Tun Abdul Razak di Bangkok, perundingan yang
menghasilkan
prinsip-prinsip
untuk
penyelesaian
konfrontasi.
Puncaknya yaitu dengan ditandatangani Jakarta Accord pada tanggal 11 Agustus 1966 di Jakarta. Pasal 1 berbunyi pengakuan Indonesia terhadap Federasi Malaysia. Sebagai respon terhadap Jakarta Accord, KOLAGA (Komando Mandala Siaga) mengeluarkan instruksi untuk menghentikan operasi-operasi. Kemudian pada tanggal 17 Februari 1967 berdasarkan surat rahasia Pangkolaga no 12-33/1967 wewenang pengendalian operasi dialihkan dari Kopur IV/Mandau kepada Kodam XII/Tanjungpura yang kemudian melancarkan operasi yang dikenal dengan Operasi Sapu Bersih sedangkan di Malaysia dilakukan Operasi Sri Aman. Operasi Sapu Bersih pertama mulai dilaksanakan pada tanggal 1 April-Juli 1967 dan Operasi kedua pada Agustus 1967 sampai Februari 1969. Pada operasi kali ini Kodam
57
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
XII/Tanjungpura mendapat bantuan dari RPKAD, Siliwangi, Kospagat AURI, dan KKO serta mengikutsertakan warga lokal (Dayak). Pada tanggal 14 Oktober 1967 terjadi peristiwa berdarah yang merupakan bagian dari pembasmian PGRS/PARAKU yaitu, peristiwa Mangkok Merah atau demonstrasi Suku Dayak akan tetapi sikap anti PGRS/PARAKU berujung menjadi
sikap
anti
etnis
Tionghoa
yang
diidentikkan
dengan
PGRS/PARAKU. Peristiwa ini mengakibatkan pengungsian besar-besaran etnis Tionghoa dari daerah pedalaman ke kota. Dalam menumpas PGRS dan PARAKU, masyarakat lokal di perbatasan diikutsertakan oleh negara yang berada di bawah pimpinan Soeharto. Bahkan bagi masyarakat yang dapat menangkap orang-orang yang dicap PGRS dan PARAKU diberi surat penghargaan seperti gambar 9. Gambar 11: surat penghargaan atas penangkapan PGRS dan Paraku
Sumber: Eilenberg, 2012
58
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gambar 12: surat pernyataan kepatuhan
Sumber: Eilenberg, 2012
Pernyataan (gambar 10) di atas menunjukkan, masyarakat lokal yang berada di perbatasan di Kalimantan Barat, dimintai kepatuhannya untuk tunduk terhadap negara dan mereka harus siap menerima sanksi bila didapati tidak setia. Dari lembaran itu kita dapat membaca seperti apa posisi masyarakat lokal dalam situasi masa konfrontasi. Di masa Soekarno mereka menjadi saksi dari keberpihakan negara terhadap PGRS/PARAKU tetapi di bawah Soeharto mereka itu pula yang dijadikan buronan. Dan sekali lagi masyarakat di perbatasan dilibatkan.
59
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Hubungan yang berbuah konfrontasi di awal tahun 1960-an antara Indonesia-Malaysia, diakhiri dengan pengukuhan praktik melintas batas yang disepakati oleh pemerintahan Indonesia di bawah Soeharto dan Malaysia. Aturan praktik melintas batas itu kemudian semakin memperjelas makna perbatasan yang selalu dijaga ketat, diawasi, hingga dicurigai tanpa memperhitungkan ikatan etnis yang jauh lebih tua dari usia kedua negara tersebut.
3.
Penetapan Praktik Melintas Batas Bila di perbatasan Kalimantan Barat sedang dilaksanakan
pembasmian terhadap PGRS/PARAKU, di ibukota justru sedang melakukan pertemuan dengan Malaysia untuk mengatur praktik melintas batas. Pertemuan yang berlangsung pada tanggal 12 Mei 1967 itu kemudian menghasilkan Border Arrangement on Border Crossing5 yaitu; kesepakatan yang menjadi cikal bakal munculnya sistem PLB atau Pas Lintas Batas bagi warga lokal. Namun, melintas batas dengan menggunakan PLB hanya diperkenankan sejauh 5 km dari garis sempadan. Pasca konfrontasi, pendekatan yang dipakai untuk melihat perbatasan adalah keamanan. Sejak kesepakatan tahun 1967, kedua negara lebih banyak mengedepankan soal kemananan di perbatasan terutama untuk mengakrabkan antar militer yang terlibat konfrontasi dan menghadapi PGRS (Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak) dan PARAKU
5
Kesepakatan ini kemudian diperhabarui kembali pada tahun 1984. 60
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
(Pasukan Rakyat Kalimantan Utara) yang dianggap beraliran Komunis. Pendekatan itu misalnya dengan mendirikan GBC atau General Border Committe untuk memfasilitasi pertemuan antara Indonesia-Malaysia. Sebagai lembaga adhoc, GBC secara struktural diketuai oleh Panglima TNI dari kedua negara. Lewat salah satu badan khusus dari GBC yaitu, Joint Indonesia Malaysia Boundary (JIMBC) membicarakan langkahlangkah dalam penetapan garis di perbatasan, namun sampai saat ini penetapan patok batas di Jagoi Babang masih menjadi persoalan (Arifin, 2014). Perjanjian yang berlatar belakang keamanan direvisi lagi tahun 1970, dan pada tahun 1984 diperluas untuk menjawab persoalan yang lebih kompleks yaitu ideologi, politik, sosial, budaya, dan ekonomi, pertemuan ini pun menjadi cikal bakal dari terbentuknya kerja sama Sosek Malindo. Sosek Malindo mulai terfokus pada bidang sosial dan ekonomi di daerah perbatasan (Noveria,2017). Kerja sama ini pun baru hadir ditingkat daerah Kalimantan Barat-Serawak tahun 1985. Dari kesepakatan ini, PLB mulai diberlakukan yaitu; Pas Lintas Batas yang digunakan warga lokal untuk melintas batas. Lewat kesepakatan ini pula, didirikan Pos Lintas Batas di Jagoi Babang. Dengan PLB, melintas batas di Jagoi Babang hanya boleh lima km dari garis simpadan. Selain mengatur mengatur praktik melintas batas, di tahun yang sama Indonesia-Malaysia menandatangani perjanjian Border Trade Agreement (BTA) yang secara
61
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
khusus mengatur sistem perdagangan di perbatasan. Dalam kententuan Pasal 2 perjanjian tersebut menjelaskan sebagai berikut: 1) Daerah-daerah perbatasan dari kedua negara, antara atau di dalam mana perdaganan lintas batas di daratan dapat dilakukan adalah daerah-daerah sebagaimana disebut di dalam Basic Arrangement on Border Crossing yang ditandatangani pada tanggal 2 Mei 1967. 2) Setiap arus barang yang keluar masuk suatu daerah lintas batas Malaysia harus melalui suatu Pos Pengawasan Lintas Batas (PPLB)
Indonesia
yang
didirikan
sesuai
dengan
Basic
Arrangement on Border Crossing pada sub ayat (1). 3) Nilai barang-barang yang dibawa atau diangkut untuk maksud perdagangan lintas batas di daerah setiap orang seperti yang dimaksud pada Pasal 1 ayat (3) tidak diperbolehkan melebihi jumlah enam ratus ringgit Malaysia (RM .600) setiap bulannya atau setara kurang lebih satu juta delapan ratus ribu rupiah (Arifin, 2014:174). Apa yang disepakati oleh kedua negara tersebut berimplikasi pada mobilitas warga di perbatasan. Dengan ada aturan ini, Siagian (1995) mencatat mobilitas warga di perbatasan Kalimantan Barat-Sarawak, termasuk Jagoi Babang dapat dikategorikan menjadi empat karakteristik, sebagai berikut yaitu, pertama, mobilitas ulang-alik atau commuting, penduduk meninggalkan desa selama delapan jam sampai tiga hari. Hal ini karena pelintas batas bermalam di tengah perjalanan atau desa Serawak
62
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
karena jarak tempuh antar desa cukup jauh dengan berjalan kaki. Biasanya tujuan pelintas ulang alik menjual hasil produksi dan membeli barang kebutuhan
sehari-hari.
Kedua,
mobilitas
menginap,
penduduk
meninggalkan desa dan bermalam di tempat tujuan selama empat hari sampai satu bulan. Tujuannya untuk melakukan kunjungan keluarga, mengikuti upacara adat istiadat dan melancong. Ketiga, mobilitas sirkuler, penduduk meninggalkan desa selama sebulan sampai satu tahun atau lebih, kemudian kembali ke desa asal. Mobilitas sirkuler banyak dilakukan kaum muda untuk bekerja di Serawak. Mobilitas dengan tujuan bekerja di Serawak jarang dilakukan penduduk yang sudah kawin. Keempat, mobilitas permanen, penduduk meninggalkan desa dan menetap di Serawak. Mobilitas permanen terjadi karena perkawinan campuran, biasanya pengantin perempuan berasal dari desa perbatasan Kalimantan Barat, menetap di Sarawak dan menjadi warga Malaysia. Di samping itu, ada mobilitas permanen yang dilakukan dengan tidak sengaja. Penduduk berladang jauh dari desa dan menetap serta membentuk perkampungan baru di sekitar ladang yang diolah. Setelah penentuan tapal batas oleh kedua pemerintah negara, desa tersebut masuk wilayah Serawak dan mereka menjadi warga Malaysia walaupun sebagian besar keluarga mereka di desa perbatasan Kalimantan Barat. Pada masa pengawasan yang ketat dan terkesan kaku ini, mobilitas warga di perbatasan Kalimantan Barat-Sarawak tetap berjalan, baik itu dikarenakan motif ekonomi maupun kultural. Bahkan dikatakan pula oleh
63
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Siagian (1995:81) gerak grup etnis yang sama dalam melintas batas kerap menimbulkan persoalan bagi pemerintah karena kondisi kultural mereka yang serupa sehingga sulit mengolongkan mereka adalah WNI atau WNA.
C. Tapal Batas Pasca Reformasi Dari paparan sebelumnya kita melihat geliat di tapal batas kental dengan pendekatan keamanan. Pada masa Orde Baru, aturan praktik melintas batas dikukuhkan dan pada masa yang sama pula masyarakat tergantung dengan pasar Serawak. Seperti yang dicatat oleh Siagian (1995) mereka harus ulang-alik ke Serawak untuk sekedar memenuhi kebutuhan rumah tangga. Minimnya pembangunan di tapal batas bukanlah persoalan baru. Era sebelumnya berorientasi ke dalam sehingga wilayah-wilayah yang berada jauh dari pusat pemerintahan tampak terlantarkan. Daerah-daerah itu seolah-olah halaman belakang yang minim pembangunan dan sulit diakses. Atasnama pembangunan yang timpang ini pula sejumlah kebijakan di era pasca reformasi mulai menggeser pandangan dari yang yang semula tampak sebagai halaman belakang menuju halaman depan. Pasca reformasi diikuti dengan pemberlakuan otonomi daerah lewat UU No.22 Tahun 1999 tentang pemerintahan Daerah. Pemerintahan yang semula sentralisasi menjadi desentralisasi. Di tahun yang sama pula, lahir Kabupaten Bengkayang yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Sambas. Sebagai kabupaten baru pada masa itu, terjadi pemekaran atas
64
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
wilayah Bengkayang, salah satunya adalah kecamatan Jagoi Babang yang sebelumnya bagian dari kecamatan Seluas. Pada periode ini pembangunan di perbatasan mulai mendapatkan perhatian meskipun bila dibandingkan dengan wilayah lain di pulau Jawa menunjukkan kesenjangan yang signifikan dan karena itu Kabupaten Bengkayang masih dikategorikan sebagai daerah tertinggal bersamaan dengan wilayah-wilayah lainnya. Kesenjangan ini pula tidak hanya datang dari dalam tetapi juga dari luar (Serawak). Bahwa daerah-daerah Serawak yang berbatasan dengan Kalimantan Barat cenderung lebih maju. Seperti yang tampak kondisi jalan raya antara Jagoi Babang dan Serikin, ketergantungan masyarakat terhadap pasar, radio, televisi dari Serawak yang berjalan puluhan tahun, dan saat ini pemerintah juga mengimpor listrik dari Serawak untuk mencukupi kebutuhan listrik di wilayah perbatasan Kalimantan Barat. Bahkan saat ini keterkaitan antara Kalimantan Barat-Sarawak sudah meliputi berbagai dimensi (Arifin, 2014) seperti, fisik (jalan dan transportasi), ekonomi (pasar, bahan baku, produksi, dan konsumsi), pergerakan penduduk (migrasi permanen dan temporer), teknologi (jaringan seluler, TV, dan radio), interaksi sosial (kekerabatan dan kegiatan ritual adat istiadat), dan pelayanan jasa (listrik, kesehatan, dan pelayanan transportasi). Bila dibandingkan periode sebelumnya yang mengutamakan soal keamanan, saat ini pendekatan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di perbatasan mulai tampak. Komitmen itu pula
65
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
yang diwujudkan dengan pembentukan lembaga khusus yang mengurusi perbatasan yaitu, Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP) tahun 2010. Pembentukan lembaga itu berdasarkan UU No. 43 Tahun 2008 tentang wilayah negara dan peraturan presiden No. 12 Tahun 2010. Sebagai lembaga manajerial, BNPP memiliki empat fungsi; menetapkan kebijakan program pembangunan, menetapkan rencana kebutuhan anggaran, mengkoordinasikan pelaksanaan, dan melaksanakan evaluasi dan pengawasan. Selain lewat BNPP, pemerintah juga membuka kerjasama dengan negara tetangga dalam mengelola perbatasan, dalam rangka menuju masyarakat ekonomi ASEAN yang diberlakukan tahun 2015. AEC bertujuan menciptakan aliran bebas barang, jasa, dan tenaga kerja
terlatih
serta
investasi.
Dengan
pemberlakuan
aturan
ini
menunjukkan peran daerah perbatasan menjadi kian strategis mengingat sebagai pintu masuk aliran barang, jasa, dan manusia (Noveria,2017).
D. Jagoi Babang Sebagai Area Tapal Batas Berangkat dari paparan di atas, tampak wacana dominan tentang tapal batas mengalami pergeseran dari yang semulanya kental pada persoalan keamanan berkembang ke arah pembangunan di era pasca Reformasi. Dalam implementasinya, pendekatan negara atas tapal batas seperti mendua. Atasnama ekonomi, negara membuka kerjasama dengan negara tetangga yang berimplikasi pada ketergantungan masyarakat perbatasan terhadap pasar negara tetangga sedangkan atasnama keamanan
66
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sebagai upaya menjaga kedaulatan wilayah, negara justru terkesan hatihati terhadap pengaruh asing. Elemen-elemen itu adalah; TNI (Tentara Nasional Indonesia), Polri (Kepolisian Republik Indonesia), Sekolah, dan BNPP (Badan Nasional Pengelola Perbatasan) (Noveria, 2017). Dari paparan historis, yang pertama-tama memegang peranan di kawasan perbatasan adalah TNI. Sebagai lembaga yang punya wewenang untuk menjaga ketahanan NKRI, kehadiran TNI di tapal batas dapat diklasifikasi menjadi peran militer dan nirmiliter. Dalam peran nirmiliter erat kaitannya dengan pembinaan teritorial dalam menghadapi ATGH (Ancaman, Tantangan, Hambatan dan Gangguan) di tapal batas. Lewat pembinaan ini, TNI berkewajiban untuk membina rasa kebangsaan dan mengawasi potensi ideologi asing. UU No.34 tahun 2004 menjadi pijakan legal atas peran TNI di perbatasan yang dalam kapasitasnya untuk menyuburkan semangat kebangsaan, misalnya dalam kehidupan sehari-hari, memberi pelajaran baris berbaris, wawasan kebangsaan di sekolah-sekolah dan turut berpartisipasi dalam hari-hari besar nasional. Di samping TNI, ada Polri (Kepolisian Republik Indonesia) yang turut serta menjaga kedaulatan di perbatasan dengan mengupayakan pemeliharaan rasa kebangsaan dan penyebaran nilai-nilai kebangsaan. Secara normatif peran Polri didasarkan atas UU No. 2 tahun 2001 untuk menjaga ketertiban dan keamanan di masyarakat. Oleh karena itu, di wilayah perbatasan mereka melakukan patroli, menjaga keamanan, dan ketertiban dan ikut serta dalam pembinaan masyarakat termasuk soal rasa
67
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kebangsaan. Pemerintah juga mendirikan BNPP yang secara khusus untuk membangun wilayah perbatasan. Selain mengurusi pembangunan, BNPP juga mengedepankan fungsi ideologi yang dalam arti ini adalah turut memelihara rasa kebangsaan, misalnya melakukan kegiatan bela negara di desa-desa perbatasan yang melibatkan perangkat desa dan masyarakat yang menitikberatkan pada sosialisasi nilai-nilai kebangsaan. Peran Sekolah dari SD-SMA juga dianggap sebagai penyangga yang tidak tergantikan dalam upaya menumbuhkan dan memelihara nilai-nilai kebangsaan
terutama
lewat
mata
pelajaran;
PKN
(Pendidikan
Kewarganegaraan), Sejarah, Geografi, Bahasa Indonesia, hingga aktivitas upacara bendera, baris berbaris dan peringatan hari-hari besar nasional (Noveria,2017).
Sekolah
sebagai
sarana
untuk
memperkenalkan
keindonesiaan kepada peserta didik di tapal batas. Kondisi di atas persis apa yang dikatakan oleh Apple (1993) bahwa teks-teks pelajaran yang sampai ke tangan guru dan siswa di kelas tidak terlepas dari proses pemilihan yang dilakukan oleh penguasa. Dengan kata lain, kurikulum nasional bukanlah pengetahuan yang netral, karena dibelakangnya berkelindan ideologi penguasa. Paling tidak, perjalanan pendidikan di Indonesia mengambarkan seperti apa interaksi antara pendidikan dan kekuasaan. Pada era Soekarno, upaya meng-Indonesia tercermin lewat arah pendidikan yang mau membentuk nation and character building. Pada masa ini ditetapkan mata pelajaran civic yang mempelajari
hak-hak
dan
kewajiban
68
menjadi
warga
negara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
(Darmaningtyas, 2004). Sedangkan materinya tidak hanya berasal dari Pancasila dan UUD 1945, tetapi juga pandangan politik penguasa pada masa itu yang sedang mengisi kemerdekaan dan konfrontasi. Pergantian dari pemerintahan Soekarno ke Soeharto turut mengubah wajah Kurilukum Nasional. Di era Soeharto tampak mementingkan pembentukan manusia-manusia Pancasilais. Nilai-nilai pancasila dan nasionalisme diinternalisasikan lewat jalur pendidikan formal. Perubahan ini berdampak pada pergantian mata pelajaran civic menjadi PKN (Pendidikan Kewargakegaraan) yang berisi materi Pancasila dan UUD 1945. Tidak sampai di situ, pada Kurikulum tahun 1975, mata pelajaran PKN berganti nama menjadi PMP atau Pendidikan Moral Pancasila (Darmaningtyas, 2004). Mata pelajaran PMP meninggalkan kesan ambisi penguasa pada masa itu untuk menginternalisasikan nilai-nilai pancasila. Ambisi ini semakin
memuncak
dengan
dikeluarkannya
P4
atau
Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila yang diterapkan secara luas. Dengan kata lain, aturan tersebut diwajibkan dari Taman Kanak-kanak sampai Perguruan Tinggi dan segenap lapisan masyarakat. Sejak tahun 1983-1997 penataran P4 menjadi kewajiban yang harus diikuti oleh setiap murid baru dan sekaligus menjadi proyek bagi para pengampu mata pelajaran Pancasila (Darmaningtyas, 2004). P4 ini pula menjadi landasan bagi mata pelajaran PMP pada Kurikulum 1984 dan terutama mata
69
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pelajaran PPKn atau Pendidikan Pancasila dan Kewargaegaraan pada Kurikulum 1994 (Maftuh, 2008). Tidak hanya mata pelajaran PPKn yang dijadikan alat indoktrinasi, mata pelajaran sejarah pun tidak luput. Seperti yang diterangkan oleh Darmanintyas (2004) bahwa materi-materi mata pelajaran sejarah terutama pada peristiwa 1965-1966 dibuat seolah-olah membangun citra penguasa Orde Baru. Kampanye anti PKI lewat materi pelajaran sejarah pun menjadi sah-sah saja. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nugroho Notosusanto menambahkan mata pelajaran PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa) pada Kurikulum 1984. Materi ini pun dipandang oleh sebagian sejarahwan termasuk Sartono Kartodirjo tidak lain sebagai kendaraan politis Orde Baru karena dirasa bertumpang tindih dengan materi pelajaran Sejarah Nasional yang sudah ada. Era Reformasi turut membawa pembaharuan terutama terhadap materi warisan Orde Baru yang terobsesi pada pembentukan manusia pancasilais. Lewat proses ini mata pelajaran PPkn berganti nama menjadi PKN (Maftuh, 2008). Berkaca pada model pendidikan sebelumnya, tiga kurikulum berikut yang lahir dengan semangat otonomi daerah mulai sensitif terhadap pengalaman masyarakat lokal yang tidak dapat diseragamkan. Bila Kurikulum
2004 masih terkesan terpusat, di
mana
pemerintahan daerah dan sekolah hanya menjadi pelaksana, Kurikulum 2006 justru memberi otonomi pada sekolah untuk mengembangkan
70
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pengetahuan yang sesuai dengan kondisi masyarakat di daerah. Masih dengan semangat otonomi, Kurikulum 2013 hadir dan menekankan pada kemandirian guru. Meski Kurikulum 2006 dan 2013 tampak memberi perhatian pada otonomi guru, akan tetapi dalam pelaksanaannya masih terkesan “keseragaman” (Rohandi, 2015). Pendekatan negara atas tapal batas yang terkesan mendua itu dapat kita lihat dari material-material yang ada di Jagoi Babang. Di satu sisi kita akan berjumpa dengan modal asing lewat perkebunan kelapa sawit dan barang-barang berlabel ganda, namun di saat yang bersamaan pula kita berjumpa barisan pos-pos jaga, patok batas, dan tugu perbatasan. Di tengah ikatan ekonomi yang melampaui batas yang adalah implikasi dari kerjasama bilateral Indonesia-Malaysia, di Jagoi Babang kita pun berjumpa
dengan
material
masyarakat
lokal
yang
menunjukkan
keterkaitan di antara orang Bedayuh yang bermukim di Serawak dan di Jagoi Babang. Karena mereka merasa masih dari satu nenek moyang yang sama sehingga merasa sah-sah saja merayakan upacara adat bersama-sama di bukit Bung Jagoi dan Rumah Adat Sebujit. Meski kondisi material menunjukkan ada ikatan ekonomi dan kultural yang melampaui batas, kebijakan negara atas Jagoi Babang dari sejak didirikan sampai saat ini (2017) masih berstatus PLB yang berimplikasi pada aturan hanya boleh melintas batas sejauh 5km dari garis sempadan. Status ini menunjukkan keterbatasan gerak masyarakat lokal
71
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dan oleh karena itu pula, di Jagoi Babang, kita lebih banyak berjumpa dengan elemen-elemen yang mengedepankan sisi keamanan.
72
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB IV NEGOSIASI MELALUI AKTIVITAS MELINTAS BATAS
A. Pengantar Dari ruang kedua, terlihat kondisi material Jagoi Babang yang memiliki ikatan melampaui batas dalam soal kultural, sedangkan dari ruang ketiga menunjukkan wacana yang mendominasi dalam membayangkan Jagoi Babang. Lewat pembacaan tersebut, tapal batas dimaknai sebagai area border yang mengedepankan sisi keamanan. Pandangan tentang tapal batas semacam ini memengaruhi pendekatan negara atas area perbatasan yang dalam kasus Jagoi Babang lebih mengedepankan sisi keamanan lewat peran TNI, Polri, BNPP sampai lembaga pendidikan. Lembaga-lembaga itu memperlakukan tapal batas cenderung kaku dan tetap. Bab ini merupakan negosiasi yang dilakukan oleh guru-guru di Jagoi Babang atas wacana tapal batas. Ruang negosiasi ini didefinisi sebagai ruang ketiga yang dalam pandangan Soja sebagai strategi menghadapi dominasi ruang pertama dan kedua. Pembacaan kembali atas ruang pertama dan kedua dibutuhkan untuk membuka perspektif yang baru dan kemungkinan-kemungkinan lain yang lebih beragam, dalam kasus ini adalah masyarakat perbatasan. Bab ini terdiri dari tiga subbab yaitu; pertama, Jagoi
73
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Babang sebagai titik temu antara area di era Mondern Padat dan Modern Cair, kedua, pengalaman keseharian guru, dan ketiga, negosiasi guru.
B. Jagoi Babang: Titik Temu Antara Area di Era Modern Padat dan Modern Cair Menurut Wadley (2005) batas teritorial yang dibayangkan antara komunitas lokal dengan negara tidak selalu sama. Batas yang dimaksudkan oleh masyarakat lokal adalah batas-batas alam seperti, sungai, batu, dan hutan. Sedangkan bagi negara yang dimaksud dengan batas adalah bangunan; patok, tembok, sampai tugu yang didirikan di zero point dan biasanya diperlakukan dengan pengawasan militer 24 jam. Perbedaan makna dan perlakuan batas antara masyarakat lokal yang fleksibel dengan negara yang kaku dapat kita jelaskan dengan mengikuti konsep Zygmunt Bauman (2003) yang membedakan area di Era Modern Padat dan Cair. Era Modern Padat adalah ketika kekuasaan berarti memaksa atau membujuk orang lain untuk patuh dan tidak melawan. Negara memiliki otoritas yang penuh untuk menentukan nasib warganya termasuk menentukan batas-batas teritorial dari wilayah kekuasaannya. Ini adalah masa di mana kekuasaan dilihat berdasarkan wilayah taklukan. Batas-batas dibuat dan diperlakukan seolah-olah sudah selesai. Warga tidak dapat bebas bergerak. Obsesi negara pada wilayah semakin tampak lewat pengawasan langsung (face to face) yang berjalan dari atas ke bawah (top to bottom).
74
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gambaran area di Era Modern Padat adalah gambaran dari pandangan dominan dalam membayangkan teritorialnya. Di mana, batasbatas teritorial itu tetap, kaku dan persis seperti yang digambarkan lewat kartografi. Batas-batas yang dibangun diandaikan mampu membatasi gerak warga. Gambaran area di Era Modern Cair justru sebaliknya. Batas yang jelas tidak dapat mendefinisikan warga yang menempatinya. Orang-orang bebas bergerak dari satu wilayah ke wilayah yang lain. Ini adalah era di mana batas-batas teritorial menjadi usang dan beralih menjadi pertemuan orang asing. Batas yang dimaknai oleh masyarakat lokal Jagoi Babang, saya tempatkan sebagai area di Era Modern Cair. Mereka mengakui dan merayakan ikatan yang melampaui batas. Lewat praktik masyarakat lokal tersebut, tampak batas diperlakukan dengan cair. Kondisi yang dimaksud di sini tidak melulu hubungan konsumsi sebagaimana kecenderungan Bauman dan orang-orang yang melintas batas tidak melulu adalah orang asing tetapi ada hubungan kekeluargaan dan kultural. Dengan kata lain, batas yang dipahami oleh masyarakat lokal
tidak sekaku sebagaimana
yang
dibayangkan oleh pandangan dominan. Seperti yang dijelaskan pada bab III, wacana yang mendominasi cenderung membayangkan tapal batas dengan mengikuti narasi kolonial yang adalah gambaran mental dari politisi, intelektual, dan pengacara (Eilenberg, 2012). Oleh karena itu,
praktik melintas batas seolah-olah
haram. Kondisi ini yang kita jumpai di Jagoi Babang, di sana-sini kita
75
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
berjumpa dengan pos-pos yang selalu siap siaga. Tidak hanya pos penjagaan tetapi juga tugu dan patok batas turut mengonarmen kota Jagoi Babang. Macam-macam rupa material yang dibangun oleh negara itu menyiratkan seperti apa Jagoi Babang dibayangkan. Dengan menempatkan pos-pos dan patok batas semakin jelas posisi daerah tersebut sebagai border area yang dengan pengawasan ketat untuk mengontrol pergerakan masyarakat lokal. Sementara masyarakat lokal yang mengakui ikatan nenek moyang dan hubungan darah dengan Serawak mau tak mau harus melintas batas. Seperti identifikasi Siagian (1995) yang memotret empat karakteristik melintas batas masyarakat di perbatasan Kalimantan Barat-Serawak yaitu: ulang alik yang bertujuan untuk menjual hasil produksi dan membeli barang kebutuhan sehari-hari, menginap, bertujuan untuk melakukan kunjungan keluarga, mengikuti upacara adat, dan melancong, sirkuler biasanya dilakukan oleh anak muda yang belum menikah untuk mencari lapangan pekerjaan, dan permanen, yang dikarenakan menikah dengan warga Sarawak dan juga karena ada sebagian warga yang membuat ladang dan tidak mengenal tapal batas sehingga menjadi penduduk Sarawak walaupun keluarga besar berada di Kalimantan Barat. Dari paparan di atas, kita melihat seperti apa kondisi yang dihadapi oleh guru di Jagoi Babang. Secara material mereka memiliki keterkaitan dengan Serawak, namun wacana tapal batas justru mendikte mereka dengan narasi kolonial yang menempatkan kawasan itu sebagai border area. Penting bagi kita untuk melihat negosiasi macam apa yang dilakukan oleh
76
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
guru yang sekaligus adalah masyarakat di Jagoi Babang. Ruang pertama menunjukkan area di era modern Cair karena ada ikatan-ikatan yang melampaui batas sedangkan di ruang kedua lewat wacana tapal batas kita berjumpa dengan gambaran area di era modern Padat, di mana batas teritorial didefinisikan untuk membatasi pergerakan tubuh masyarakat perbatasan. Pertentangan ini kemudian yang membawa saya untuk menelusuri pengalaman guru Jagoi Babang.
C. Aktivitas Keseharian Guru-guru di Jagoi Babang Adapun pengalaman guru yang melintas batas itu dikarenakan tiga motivasi yaitu sebagai berikut:
1. Motivasi Keluarga Letak geografis Jagoi Babang yang berhadapan langsung dengan Sarawak menjadi potensi adanya pernikahan beda negara. Seperti yang diakui oleh guru-guru bahwa mereka memiliki keluarga di Serawak. Ada yang anak dan suami berkewargaan Malaysia, ibu atau ayahnya berasal dari Serawak dan keluarga besar mereka ada di sana. Karena ikatan darah ini pula mereka mau tak mau melintas batas. Perkenalan saya dengan Riska di SDN I Jagoi Babang. Saat itu, dia baru saja menyelesaikan jam mengajarnya di kelas tiga. Riska menceritakan sebelum menjadi guru, dia adalah TKW demi membantu perekonomian keluarga. Di Sarawak, Riska sempat berkerja di sebuah Restoran. Pekerjaan 77
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
itu dijalaninya selama dua tahun sebelum akhirnya ia memutuskan untuk berhenti, dan kemudian melanjutkan pendidikan di Universitas Terbuka di Kecamatan Seluas. Ia memilih menjadi guru karena merasa profesi itu memiliki jaminan masa depan. Tahun 2014, Riska diangkat sebagai guru PNS di SDN 1 Jagoi Babang. Riska memang berasal dari Jagoi Babang, ia pun memiliki keluarga yang menetap di Serawak. Tidak hanya keluarga besar tetapi juga keluarga inti. Ya, dia memiliki suami dan anak yang berkewargaan Malaysia. Rumah mereka pun terletak di sana (Serikin). Seperti penuturannya berikut ini; 1 Suami dan anak saya warga Malaysia. Rumah saya pun di Malaysia, jadi kalau saya berangkat ngajar, tiap-tiap hari harus melintas batas. Dari waktu kami nikah, saya dan suami berbeda kewargaan. Sempat sulit waktu itu urus nikah beda negara di Indonesia tapi kalau di Malaysia lebih cepat ngurusnya. Riska sadar betul apa yang sedang dihadapinya, mengingat di satu sisi ia adalah guru di Jagoi Babang dan di sisi lain, suami dan anaknya berkewargaan asing yang menetap di Serikin. Untuk itulah Riska melintas batas setiap hari. Ia pun berharap murid-muridnya tidak bertanya mengapa dia harus melintas batas setiap hari, karena ia sadar sebagai guru dia punya tanggungjawab
untuk
menarasikan
tapal
batas
sebagaimana
yang
dinarasikan oleh wacana dominan; orang-orang yang di luar batas teritorial adalah “mereka” sedangkan rumahnya (suami dan anak) berada di luar batas teritorial tersebut. Berada di posisi ini, Riska mau tak mau melintas batas sebagai konsekuensi karena menikah beda negara dan tinggal di antara dua 1
Riska.07/08.2015. Wawancara. Kalimantan Barat:Guru SDN 1 Jagoi Babang 78
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
negara. Meski Riska merasa tidak dapat memperlakukan batas sebagaimana narasi dominan, namun bukan berarti Riska juga menjadi cair seperti pandangan masyarakat lokal. Seperti Riska yang merasa kagum dengan kemajuan dan jaminan kesejahteraan negara suami dan anaknya namun Riska belum berpikir untuk pindah kewargaan. Karena bisa saja sewaktu menikah dia pindah kewargaan namun itu tidak dilakukannya dan Riska justru memutuskan untuk menjadi guru yang otomatis bertentangan dengan pengalaman kesehariannya. Bagi Riska, Serawak dan Jagoi Babang adalah rumah. Jagoi Babang adalah rumah di mana ia dilahirkan dan kini menjadi tempat mengajar sementara Serawak adalah rumah di mana keluarga intinya berada. Lewat wawancara dengan Riska, saya melihat ia tidak memperlakukan batas secara kaku dan di satu sisi ia juga tidak secair masyarakat lokal karena ikatan profesi dan tanah kelahirannya, Jagoi Babang. Namun Riska justru memilih untuk melintas batas. Yang itu artinya, dia tidak membebek begitu saja pada wacana dominan, namun tidak menerima begitu saja pandangan masyarakat lokal yang cair. Karena Riska masih merasa menjadi bagian dari Indonesia yang disadarinya sejak ia memilih menjadi guru dan tetap mempertahankan kewargaannya.
2. Motivasi Kultural Tidak dapat disangkal bahwa orang Bedayuh di Jagoi Babang memiliki ikatan kultural dengan Bedayuh di Serawak. Burung Enggang di rumah adat Jagoi Babang menghadap ke arah Serawak yang mengandung 79
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
makna mereka memiliki ikatan nenek moyang dengan Serawak. Meski berbeda negara, mereka merayakan upacara adat secara bersama-sama di rumah adat ini. Sebagian besar keluarga Mijen berada di Serawak karena kakeknya berasal dari sana.2 Perjumpaan saya dengan Mijen berlangsung di SMPN 1 Jagoi Babang. Seperti masyarakat lokal yang lain, Mijen mengunjungi keluarganya di Serawak terutama setiap Gawai (upacara adat setelah panen padi). Gawai di Jagoi Babang dirayakan secara bersama-sama dengan Serawak yang jatuh setiap tanggal 1 juni. Mereka merayakan Gawai di Bung Jagoi yang adalah sebuah bukit tempat rumah adat mereka didirikan. Bukit ini diyakini sebagai tempat tinggal dari nenek moyang mereka. Seperti yang diakui oleh Mijen, seharusnya Jagoi bagian dari Serawak karena batas teritorial yang dipahami oleh nenek moyang mereka adalah sungai kumba yang membatasi antara orang Bedayuh dengan Bekati. Akan tetapi, batas yang dipahami oleh kolonial dan kini diwarisi oleh Indonesia dan Malaysia, justru di Poko Payong, salah satu bukit di Jagoi Babang yang otomatis menandai Jagoi sebagai teritorial kolonial Belanda dan kini adalah Indonesia. Perbedaan pemaknaan ini muncul di masayarkat yang menganggap mereka dengan orang Serawak tidak ada bedanya. Mijen sadar betul bahwa mereka memiliki ikatan kultural dengan masyarakat Serawak namun bukan berarti dia serta merta merasa menjadi bagian dari warga Malaysia. Bahkan berpindah kewargaan belum
2
Mijen. 11/08/2015. Wawancara. Kalimantan Barat: Guru SMPN 1 Jagoi Babang 80
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
terpikirkan. Ia mengakui menjadi warga Indonesia lebih untung karena boleh punya tanah, sedangkan di Serawak tanah adalah milik negara sehingga untuk mendirikan rumah atau usaha, status kita adalah penyewa. Di sana orang serba kredit bahkan untuk keperluan rumah tangga sekalipun. Aturan ini terutama untuk para pekerja kerajaan. Dengan kata lain, mereka tidak diperkenankan untuk membayar tunai dan persoalan pajak, di sana mereka dikenai pajak lebih bervariasi. Selain itu, ia pun terlibat dengan komunitas perbatasan dari tahun 2007-20103 yang melawan dominasi saluran radio dari Serawak, dengan mendirikan saluran radio perbatasan. Mijen pun ikut merintis sekolah yang kini dikenal dengan SMP N 1 Jagoi Babang. Ia merasa prihatin terhadap nasib anak-anak Jagoi yang tamat SD harus bersekolah ke Seluas dengan jarak yang cukup jauh dan transportasi pada masa itu belum selancar sekarang. Belum lagi banyak anak-anak dari Jagoi yang tidak lolos saat mendaftar karena kebanjiran murid-murid di Seluas. Merasa prihatin atas kondisi itu, ia bersama rekanrekannya mulai merintis sekolah sejak tahun 2001 untuk menampung anakanak yang tidak lolos tersebut. Awalnya mereka menumpang di gedung SD selama dua tahun sampai akhirnya punya gedung sendiri. Lewat keikutsertaannya dalam komunitas perbatasan dan ikut merintis SMPN 1 Jagoi Babang, menunjukkan Mijen memperlakukan batas tidak secair masyarakat lokal yang punya ikatan kultural dan tidak pula 3
Komunitas perbatasan yang bergerak dalam bidang komunikasi dan informasi yakni, radio. Pendirian Radio tersebut sebagai respon terhadap radio-radio dari Sarawak yang mendominasi di perbatasan. Namun saat ini komunitas tersebut sedang mati suri karena ada kendala teknis.
81
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sekaku wacana dominan yang membedakan secara kaku karena ia masih merasa punya ikatan kultural dengan keluarga besarnya di Serawak. Mereka pun masih merayakan upacara adat secara bersama-sama. Dan setiap Gawai, Mijen akan berkunjung ke rumah keluarganya. Dari pengalaman ini tampak Mijen mau tak mau melintas batas.
3. Motivasi Ekonomi Seperti yang sudah dipaparkan di bab II, barang-barang di Jagoi Babang berlabel dua harga. Yang itu artinya kondisi ekonomi mereka bergantung dari pasar Serawak. Seperti di sana ada pasar Serikin yang langsung menemukan dua masyarakat di perbatasan. Seperti penuturan beberapa guru yang saya jumpai mereka rata-rata bergantung pada barangbarang Malaysia dalam kehidupan sehari-hari. Tidak hanya itu ada pula yang ikut berbisnis ke Serawak selepas pulang mengajar. “Keadaan Indonesia dan Malaysia tidak jauh beda. Namun untungnya mereka (Malaysia) karena nilai tukar mata uangnya lebih tinggi”, ungkap Margono.4 Margono adalah guru olahraga SDN I Jagoi Babang. Ia menjadi guru sejak tahun 1992 dan mengajar di SDN I Jagoi Babang sejak tahun 1997. Margono berasal dari Jagoi Babang dan memiliki ibu yang sebelumnya berkewargaan Malaysia. Ia pun memiliki keluarga yang menetap di Sarawak.
4
Margono.07/08.2015. Wawancara. Kalimantan Barat:Guru SDN 1 Jagoi Babang 82
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Melintas batas sudah menjadi aktivitasnya sehari-hari dan biasanya dimanfaatkan untuk menjual babi dan ayam. Kadang juga setelah pulang sekolah, ia menjadi tukang ojek bagi orang-orang yang hendak melintas batas. Di matanya, Malaysia dan Indonesia sama saja. Menjadi guru di Malaysia dan membeli di pasar Malaysia dengan Ringgit sama saja dengan menjadi guru di Indonesia dan membeli di pasar Indonesia dengan Rupiah. Yang untungnya, adalah menjadi guru di Malaysia, lalu belanjanya di Indonesia. Sementara ruginya, menjadi guru di Indonesia tapi belanjanya di Malaysia karena nilai tukar Ringgit lebih tinggi dari Rupiah. Apa yang dikatakan Margono berdasarkan pengalamannya yang sering bisnis ke Malaysia. Bahkan dia merasa guru yang merangkap menjadi tukang ojek ke Malaysia, sah-sah saja karena mengingat biaya hidup di Jagoi Babang dengan mengharapkan gaji guru saja tidak mencukupi apalagi guru-guru yang honorer. Sementara guru-guru yang mendapat sertifikasi juga diantaranya masih bisnis ke Malaysia. Memang bila kita ke pasar Jagoi Babang, banyak barang yang berlabel RM (Ringit Malayasia) sehingga mereka mau tak mau memiliki persediaan Ringgit. Perjumpaan saya dengan Eko berlangsung di SMA N 1 Jagoi Babang5 semakin memperjelas posisi Margono di atas. Tidak seperti Margono, Eko bukan berasal dari Jagoi Babang, lebih tepatnya ia lahir di Solo, Jawa Tengah. Ia mengajar di SMA N 1 Jagoi Babang mulai tahun
5
Eko.12/08/2015. Wawancara. Kalimantan Barat: Guru SMA N 1 Jagoi Babang 83
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2005, namun sampai saat ini tinggal di Kecamatan Ledo yang berjarak dua kecamatan dari Jagoi Babang. Eko tidak memiliki saudara dan bahkan merasa tidak memiliki ikatan kultural dengan Serawak, tetapi ia tetap melintas batas. Seperti penuturannya, saat pertama kali menginjakkan kaki ke Jagoi Babang, Eko merasa risih melihat kiblat masyarakat Jagoi Babang yang lebih banyak mengarah ke Malaysia. Tidak hanya itu, Eko pun menemukan bahwa muridmuridnya lebih hapal lagu kebangsaan Malaysia dibandingkan lagu-lagu nasional. Sebagai guru yang mengampu pelajaran sejarah, Eko sadar tanggungjawabnya untuk menumbuhkan rasa solidaritas nasional ke pada peserta didik akan tetapi lingkungan sehari-hari para murid, justru berbicara sebaliknya. Kondisi inilah yang menghantui pikiran Eko. Ia sadar bahwa tanggungjawab itu tidak semudah yang dibayangkan sebelumnya. Pernah sekali, Eko mendengar salah satu muridnya menyanyikan lagu kebangsaan Malaysia di kantin sekolah, meski itu bukan acara resmi, Eko merasa perlu untuk menegur murid tersebut dengan mengatakan, “lagu itu bukan punya anda, lagu anda adalah Indonesia Raya”. Sejak saat itu, Eko bertekad untuk mengarahkan murid-muridnya agar sadar mereka adalah warga negara Indonesia. Lewat mata pelajaran yang diampunya, Eko menegaskan pada murid-murid untuk tidak merasa kecil karena menjadi orang Indonesia. Meski di sini (Jagoi Babang) tingkat kesenjangan ekonomi dan infrastruktur yang masih ketinggalan jauh dibandingkan Malaysia, namun secara
84
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
keseluruhan, ia menjelaskan Indonesia adalah negeri yang besar dan kaya. Sedangkan Malaysia adalah negara yang sering kali mengklaim budaya dan wilayah Indonesia. Tidak hanya itu, Eko juga memaknai konsep “ganyang Malaysia” bukan berati fisik namun intelektual. Menurutnya, Indonesia sudah mengganyang Malaysia lewat tenaga ahli sampai buruh kasar yang rata-rata adalah orang Indonesia. Yang apabila tenaga kerja itu ditarik pulang maka Malaysia akan lumpuh. Itulah konsep ganyang yang ia tularkan kepada murid-muridnya. Di sekolah, Eko tidak hanya menjadi guru mata pelajaran sejarah tetapi juga pembina kegiatan ekstrakurikuler Pramuka. Lewat Pramuka, Eko memupuk kesadaran murid untuk terus melatunkan yel-yel; “NKRI harga mati dan merah putih tetap di hati” sebagai kegiatan wajib. Upaya-upaya yang dilakukan Eko semakin menemukan bentuknya dengan terpilihnya sebagai guru yang berdedikasi tingkat nasional di Jakarta tahun 2013. Eko menjadi perwakilan guru dari Kalimantan Barat. Lewat kegiatan yang diselenggarakan
oleh
Kementerian
Pendidikan,
Eko
menekankan
pentingnya wacana nasionalisme di perbatasan sehingga menempatkannya sebagai sepuluh guru yang berdedikasi di tahun 2013. Meski terpilih menjadi guru yang berdedikasi di tahun 2013, bukan berarti Eko merasa alergi untuk melintas batas. Seperti yang diakuinya, ia tetap melintas batas untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Dalam tataran ini, kita bisa melihat apa yang dilakukan oleh Eko di sekolah dan sepulang sekolah menjadi berjarak. Eko pun menekankan bahwa rasa cinta
85
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
terhadap tanah air tidak separalel dengan menggunakan produk berlabel nasional. Alasannya, sulit membayangkan masyarakat Jagoi Babang tidak menggunakan produk-produk Malaysia. Ia mengambarkan dengan kasus gula yang menurutnya di Indonesia kewalahan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Bahkan ia berani bertaruh bahwa produk-produk asal Indonesia paling hanya mencapai kota Bengkayang, sementara untuk daerah-daerah pinggiran mau tidak mau tergantung pada produk-produk Malaysia. Dalam praktik keseharian Eko pun melintas batas untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Meski di satu sisi ia sangat merong-rong murid untuk lebih mencintai Indonesia tapi di sisi lain, ia sadar bahwa sulit membayangkan masyarakat Jagoi Babang tidak mengkonsumsi produkproduk Malaysia. Pengalaman Eko ini semakin memperjelas bahwa wacana tapal batas hanya relevan selama berada di lingkungan sekolah.
D. Negosiasi Guru-guru di Jagoi Babang Seperti yang dipaparkan lewat bab-bab sebelumnya menunjukkan pandangan masyarakat lokal tidak selalu sepaham dengan wacana tapal batas yang memperlakukan batas secara kaku. Wacana tapal batas berlaku secara top down memisahkan antara relasi keluarga dan kultural. Akan tetapi,
dari
pengalaman
keseharian
guru-guru
di
Jagoi
Babang,
menunjukkan mereka tetap melintas batas. Melintas batas adalah ruang negosiasi dari praktik keseharian guru Jagoi Babang yang menegosiasikan
86
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ikatan keluarga, kultural, dan ekonomi yang melampui batas. Dengan kata lain, dalam aktivitas melintas batas itulah ruang ketiga ditemui. Dalam kasus ini, menjadi guru Jagoi Babang berarti menjadi guru yang melintas batas yang mau tak mau harus bernegosiasi atas wacana tapal batas. Negosiasi
ini
yang
tampak
dari
pengalaman
guru
yang
mengatasnamakan ikatan darah seperti yang dialami oleh Riska. Riska memang seorang guru tapi bukan berati ia membebek pada wacana dominan yang ada karena dia memiliki keluarga inti di Serawak namun tidak pula secair sebagaimana pandangan masyarakat lokal karena Riska tetap merasa Jagoi Babang tetaplah rumah di mana ia dilahirkan. Seperti yang diakuinya meski berbeda kewargaan dengan suami dan anaknya di Serawak, Riska belum
terlintas
untuk
menggantikan
kewargaan
bahkan
ia
tetap
mempertahankan pekerjaannya sebagai guru di SDN 1 Jagoi Babang. Dan karena itu, ia lebih memilih untuk melintas batas setiap hari. Pengalaman melintas batas juga dipilih oleh Mijen. Ia sadar betul ada ikatan nenek moyang dengan Serawak dan kini keluarga besarnya berada di Serawak. Mijen sepahaman dengan pandangan nenek moyang yang melihat batas teritorial terletak di sungai Kumba yang membagi Jagoi dan Seluas, Bedayuh dan Bekati. Dengan mengakui batas alami ini maka otomatis ia merasa Jagoi Babang seharusnya bagian dari Serawak. Namun karena kolonial dan kemudian dipertegaskan oleh Indonesia-Malaysia, mereka yang sekampung menjadi berbeda negara. Meski demikian bukan berarti Mijen menutup mata dan bersikap acuh tak acuh terhadap nasib
87
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
masyarakat Jagoi Babang. Bersama-sama teman-temannya, Mijen ikut terlibat dalam komunitas perbatasan yang bergerak dibidang komunikasi dan ikut merintis sekolah yang saat ini bernama SMP N 1 Jagoi Babang. Lewat praktik tersebut, Mijen menunjukkan ia tidak secair sebagaimana pandangan masyarakat lokal juga tidak sekaku wacana dominan. Mijen mau tidak mau melintas batas untuk menghubungkan kedua aspek yang mewujud di dalam dirinya. Tidak hanya ikatan darah dan kultural, tetapi juga karena aliran barang-barang yang berasal dari seberang membuat mereka mau tak mau melintas batas. Persis seperti yang dialami oleh Eko. Sebagai guru pendatang yang kental dengan wacana dominan yang memperlakukan batas secara kaku namun dalam kehidupan sehari-hari, Eko tetap melintas batas. Bahkan tampak antara apa yang dilakukannya di sekolah dan sepulang sekolah menjadi bertentangan. Ia menyadari konsekuensi tinggal di Jagoi Babang rasanya sulit untuk tidak mengkonsumsi produk-produk Malaysia sehingga mau tak mau ia bernegosiasi antara apa yang dihidupi oleh wacana dominan dengan apa yang dirasakan oleh masyarakat lokal. Sebagai guru pendatang ia tidak memperlakukan batas sekaku sebagaimana wacana dominan karena ia pun mengakui masih tergantung dengan produk-produk Malaysia, di sisi lain ia pun tidak secair masyarakat lokal, karena di sekolah Eko tetap berhasrat agar murid-muridnya lebih beorientasi ke Indonesia dengan memadahkan yel-yel NKRI harga mati.
88
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ketiga
pengalaman
di
atas,
menggambarkan
seperti
apa
konsekuensi menjadi guru di tapal batas. Bahwa mereka mau tak mau bernegosiasi dengan material dan wacana yang ada. Menjadi guru di area ini mau tak mau harus melintas batas. Pengalaman melintas batas ini adalah ruang ketiga dimana mereka menegosiasikan ikatan keluarga, kultural, dan ekonomi. Dengan kata lain, kondisi material dan praktik keseharian guru menunjukkan apa yang dibayangkan oleh wacana dominan tidak selalu semakna dengan apa yang terjadi di tataran tindakan masyarakat. Ruangruang negosiasi di atas menandai kondisi tersebut. Bahwa atasnama hubungan darah, ikatan kultural, dan ekonomi merong-rong guru baik guru lokal maupun pendatang menjadikan pengalaman melintas batas sebagai cara hidup mereka. Pengalaman tinggal di Jagoi Babang ini melahirkan pengalaman melintas batas. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, praktik melintas batas diatur oleh kedua negara sejak kesepakatan tahun 1967. Akan tetapi, melintas batas yang dibayangkan oleh negara dengan apa yang dilakukan oleh masyarakat lokal tidak selalu semakna. Bahwa negara menetapkan ada batas km tertentu dan dalam batas waktu yang tertentu saat melintas batas. Namun bagi bagi guru yang juga bagian dari masyarakat perbatasan, mereka memiliki keluarga, kultural, dan kepentingan ekonomi sehingga pertemuan mereka dan lama waktu mereka melintas batas lebih lama dan jauh dari yang dibayangkan oleh negara. Dengan kata lain, ketatnya peraturan di
89
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
perbatasan dalam kasus ini tidak justru membuat mereka membebek begitu saja. Pengalaman keseharian guru yang mengajar di Jagoi Babang di atas memperlihatkan kedekatan mereka dengan pengalaman melintas batas. Mereka yang melakukan lintas batas tidak hanya atas hubungan darah, kultural tetapi juga pasar. Ketiga aspek itu menjadi kantong-kantong negosiasi di tengah wacana dominan yang memperlakukan batas secara kaku. Bahwa batas yang harus dijaga ketat, diawasi selama 24 jam, dan orang-orang yang melewati area tersebut sepertinya pantas untuk dicurigai menjadi fleksibel dalam satu sisi, karena keterkaitan mereka dengan Serawak, namun di sisi lain menjadi tampak kaku. Meski pandangan masyarakat lokal Jagoi Babang dalam kasus ini digambarkan sebagai area dari era Modern yang cair dan wacana dominan yang membayangkan Jagoi Babang sebagai area di Era Modern Padat tampak berhadap-hadapan namun dalam aktivitas melintas batas mereka bernegosiasi. Berangkat dari kondisi di atas, membicarakan guru di tapal batas dengan berpatokan pada dimensi second space rasanya tidak cukup tanpa melihat sisi first space dan third space. Karena dengan mengabaikan kedua dimensi itu, kita cenderung membicarakan guru lewat wacana yang seolaholah mencabut guru dari eksistensinya sehari-hari yang tidak hanya berprofesi sebagai guru tetapi juga bagian dari masyarakat lokal. Untuk kasus ini, membicarakan guru di Jagoi Babang tapi tidak membicarakan pengalaman mereka yang melintas batas sama saja omong kosong. Karena
90
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dengan begitu kita belum menyentuh dimensi material dan praktik keseharian mereka yang kemudian membawa kita negosiasi atas wacana tapal batas. Pembahasan dengan melihat dari ketiga dimensi ruang yang membicarakan guru di tapal batas, saya sepakat dengan Soja bahwa ruang itu kontekstual. Menjadi guru di Jagoi Babang berarti mau tidak mau harus melintas batas dengan mengakui pengalaman tersebut, guru tidak bertambah asing di tengah wacana yang ada. Pengalaman tinggal di ruang semacam ini yang membedakan pengalaman guru di tempat lain. Sadar terhadap pengalaman meruang yang dalam kasus ini hidup dengan cara melintas batas, membentuk pandangan guru-guru di Jagoi Babang tentang Indonesia. Dari ruang lintas batas, mereka membayangkan Indonesia tidak sebagaimana mereka yang tidak berasal dari perbatasan. Akan tetapi, bukan berarti karena tinggal di perbatasan mereka begitu saja dapat diberi label ganda dan menjadi lahan subur dari proyek-proyek yang bertemakan nasionalisme tetapi dari penelitian ini menunjukkan negosiasi mereka terhadap wacana dominan cenderung kaku dan pandangan masyarakat lokal yang cenderung cair. Lewat praktik melintas batas mereka menegosiasikan ikatan keluarga, kultural, sampai ekonomi. Yang itu menunjukkan bahwa mereka menjadi Indonesia tapi melintas batas. Dengan kata lain, mereka adalah warga negara Indonesia namun secara bersamaan juga mengakui ikatan darah dan merayakan upacara adat bersama serta ketergantungan dari pasar yang lintas negara.
91
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Memaksakan second space yang dominan pada mereka itu sama saja kita tidak mengakui eksistensi mereka. Membicarakan guru di tapal batas harus dibarengi dengan mengunjungi kondisi material dan praktik keseharian mereka. Dengan demikian, kita tidak dapat mendikte cara hidup mereka dengan logika dari ruang di mana kita tinggal. Seperti yang diutarakan oleh Soja, setiap ruang ada logika dan kurikulumnya sendiri.
92
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Masyarakat di perbatasan kerap diberi label ganda karena memiliki ikatan yang melampaui batas. Pandangan itu pula yang memotivasi saya untuk mengunjungi kembali fenomena tersebut dengan menelusuri kondisi pengalaman keseharian guru-guru di Jagoi Babang. Saya sepakat dengan Soja yang melihat ruang dari tiga sisi yaitu, material, wacana, dan praktik keseharian. Ketiga sisi itu saling memengaruhi. Seperti yang telah saya uraikan di bab II, kondisi material di Jagoi Babang tampak mendua, di satu sisi seolah-olah menerima ikatan yang melampaui batas tapi di sisi lain seolah-olah itu adalah tindakan haram sehingga harus dijaga ketat. Sementara bagi guru-guru di Jagoi Babang, mereka tetap melintas batas. Mereka melintas batas karena motivasi kultural, ekonomi, dan keluarga. Akan tetapi, tindakan itu tampak berseberangan dengan apa yang diwacanakan oleh negara. Wacana dominan tentang tapal batas, memposisikan Jagoi Babang sebagai area tapal batas yang harus diawasi dan dijaga ketat. Wacana yang mengedepankan sisi keamanan.
93
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Akan tetapi, lewat aktivitas melintas batas guru-guru di Jagoi Babang menunjukkan ada negosiasi atas wacana tapal batas yang terkesan kaku. Sejak semula, pedekatan yang dipakai untuk membicarakan orangorang di tapal batas mengikuti narasi kolonial yang memperlakukan area tersebut sebagai medan pertempuran daripada tempat kediaman. Bayangan semacam ini semakin menguat dengan adanya konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia tahun 1960-an di perbatasan. Berakhirnya konfrontasi bersamaan dengan pengakuan federasi Malaysia oleh pemerintah Indonesia di bawah orde Baru melahirkan praktik lintas batas. Aturan itu kemudian yang menjadi pijakan dari aturan lintas batas masyarakat lokal di perbatasan. Pada masa ini, area perbatasan kental dengan pendekatan keamanan di mana mereka kerap diperlakukan sebagai orang yang pantas di curigai. Kentalnya pendekatan keamanan di perbatasan tidak diikuti pula dengan pembangunan di daerah tersebut. Itulah kenapa pasca reformasi dengan semangat otonomi daerah, pembangunan wilayah perbatasan mulai digalakkan. Pandangan dari menempatkan perbatasan sebagai beranda belakang saat ini menjadi beranda terdepan dan kemudian mempengaruhi kebijakan negara yang mulai membangun dari pinggiran. Perhatian negara ini paling tampak lewat pembentukan BNPP tahun 2010 dan dalam upaya untuk menghadapi masyarakat ekonomi Asean yang aliran barang, orang, dan modal menjadi bebas. Namun pendekatan dengan mengedepankan sisi keamanan masih mendominasi di Jagoi Babang dengan statusnya sebagai
94
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLB yang hanya memperbolehkan masyarakat lokal melintas batas sejauh 5 km dari garis sempadan. Pemaparan pengalaman melintas batas, guru-guru di Jagoi Babang pada bab IV menunjukkan guru tidak dengan begitu saja membebek pada wacana tapal batas yang dibuat oleh negara. Bahwa guru di Jagoi Babang mau tak mau bernegosiasi dengan kondisi yang ada. Mereka dalam hal ini ikut melintas batas. Negosiasi yang dilakukan oleh guru itu dengan mengatasnamakan ikatan keluarga, kultural, dan pasar. Ada guru-guru yang mau tak mau melintas batas setiap hari untuk berjumpa dengan suami dan anak mereka. Ada pula guru-guru yang memang tergantung dengan pasar Malaysia, baik itu produk-produk dan juga mencari uang tambahan dengan mengojek ke tapal batas. Pengalaman mereka yang melintas batas itu turut mempengaruhi mereka dalam melihat Indonesia. Pandangan guru atas Indonesia dipengaruhi oleh praktik keseharian mereka yang melintas batas. Walaupun mereka tetap memilih menjadi Indonesia. Fenomena di atas menunjukkan kondisi ruang memengaruhi pandangan seseorang. Dalam kasus ini pandangan guru Jagoi Babang dipengaruhi oleh kondisi di mana ia tinggal dan pengalaman mereka tidak dapat disamakan dengan pengalaman guru-guru di tempat lain. Lantas dari kondisi tersebut ruang macam apa yang mereka tinggali? Seperti yang kita lihat dari paparan bab IV, saya mengidentifikasi Jagoi Babang sebagai titik temu dari area Era Modern Cair dan Padat sebagaimana pandangan
95
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Zygmunt Bauman. Mereka tinggal di area yang mana batas-batas teritorial tidak dapat mendefinisikan warga yang menempatinyaa. Guru mengakui ikatan yang melampaui batas dan tidak membebek begitu saja pada wacana tapal batas. Guru-guru di Jagoi Babang, mengakui dimensi keterkaitan material sehingga menegosiasikan wacana tapal batas lewat praktik hidupnya sehari-hari yang melintas batas. Dan oleh karena itu, bila negara memaksakan obsesinya terhadap guru di tapal batas maka sama saja negara mencabut eksistensi mereka sehari-hari yang melintas batas.
B. Saran Lewat penelitian ini saya mau mengajukan bahwa memposisikan guru di tapal batas tidak cukup dengan melihat mereka mengajar di kelas namun lebih jauh lagi dengan mengekpslorasi pengalaman keseharian mereka. Lewat penelitian ini, menunjukkan pengalaman di luar sekolah turut mempengaruhi guru dalam melihat Indonesia. Memposisikan guru berdasarkan wacana yang dibuat oleh negara tanpa memperhitungkan dimensi material, saya menduga kita sedang mengamputasi mereka dari kehidupan sehari-harinya. Oleh karena itu, penelitian ini mau membuka ruang ketiga dalam melihat fenomena guru di tapal batas yang juga adalah masyarakat perbatasan, memiliki ikatan yang melampaui batas. Ruang ketiga ditunjukkan lewat praktik keseharian mereka menegosiasikan ikatan kultural, keluarga, dan ekonomi yang melampaui batas.
96
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku Arifin, S.2014. Hukum Perbatasan Darat Antarnegara. Jakarta: Sinar Grafika Anderson, Benedict.2002. Imagined Communities: Komunitas-Komunitas Terbayang. Yogyakarta: Insist Press Bauman, Zygmunt. 1998. Globalization: The Human Consequences. UK: Blackwell ------------------------. 2000. Liquid Modernity. UK: Blackwell Blackshaw, Tony. 2005. Zygmunt Bauman. USA: Routledge. Eilenberg, Michael. 2012. At the Edges of State in the Indonesian Borderlands. Leiden: KITLV Press Mita Noveria dkk. 2017. Kedaulatan Indonesia di Wilayah Perbatasan: Peskpektif Multidimensi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Nordholt, Henk Schulte & Klinken van Gerry. 2007. Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: KITLV Patji, Abdul Racman,dkk.2002. Serumpun Berbeda Batang: Studi Etnografi Masyarakat Pulau Perbatasan Sebatik. Jakarta:Valia Pustaka Rohandi. 2015. Pedagogi Transformatif: Membuka Hati dan Pikiran untuk Merawat Kehidupan. Naskah Pidato Ilmiah dalam Dies Nataslis ke60 Universitas Sanata Dharma. Saukko, Paula. 2003. Doing Research in Cultural Studies: An Introduction to Classical and New Methodological Approaches. London: SAGE Schofield, Clive H (ed). 2002. Global Baundaries: World Baundaries Volume I. London: Routledge Soja, Edward. 1989. Postmodern Georaphies: The Reassertion of Space in Critical Theory. London: Verso
97
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
...........................1996. Thirdspace: Journeys to Los Angeles and Other Real-and-Imagined Places. USA: Blackwell Pierson, Christopher. 1996. The Modern State: Second Edition. London: Routledge Wardaya. T. Baskara. 2008. Indonesia Melawan Amerika Konflik Perang Dunia 1953-1963. Yogyakarta: Galang Press
2. Artikel Allen, Rick. What Space Makes of Us: Thirdspace, Identity,Politics, and Multiculturalism. Paper dipresentasikan di American Educational Research Association Conference Chicago, Illinois March 28, 1997. Bauman, Zygmunt. City of Fears, City of Hopes. Goldsmiths College University of London, New Cross, Tahun 2003. Dedees, Adek Risma. Melayu di Atas Tiga Bendera: Konstruksi Identitas Nasionalisme Masyarakat Perbatasan di Kepulauan Batam, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 19, Nomor 2, November Tahun 2015. Lumenta, Dave. Tapal Batas Nan Gamang. Majalah National Geographic, Edisi Maret Tahun 2015 Siagian, James. Mobilitas Penduduk Lintas Perbatasan: Kalimantan Barat Serawak. Prisma No 1 Tahun XXIV Januri 1995. Van Der Kroef, Justus M. The Sarawak—Indonesian Border Insurgency. Modern Asian Studies, Vol 2, No 3 Tahun 1968.
3. Data Statistik Stastistik Bea Cukai Kecamatan Jagoi Babang Tahun 2015 Statistik Daerah Kecamatan Jagoi Babang Tahun 2016 Statistik Imigrasi Kecamatan Jagoi Babang Tahun 2015
98
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4. Tesis Novelina Laheba. 2010. Ambivalensi Identitas dan Loyalitas di Gerbang Utara: Suatu Kajian Identitas Kebangsaan Masyarakat Pulau Miangas Kabupaten Talaud, Sulawesi Utara. Tesis Ilmu Religi & Budaya Universitas Sanata Dharma
5. Internet http://www.antaranews.com/berita/464085/warga-perbatasan-pindah-kemalaysia-karena-ekonomi. Diakses September tahun 2016
http://news.liputan6.com/read/2134244/1-dusun-pindah-kewarganegaraanmalaysia-ini-tanggapan-jk, diakes September tahun 2016
http://www.merdeka.com/peristiwa/derita-warga-perbatasan-sampai-pindahkewarganegaraan-malaysia.html, diakses September tahun 2016
http://news.okezone.com/read/2014/11/13/340/1064994/miskin-warganunukan-pindah-kewarganegaraan-malaysia, diakses September tahun 2016
http://www.beritasatu.com/nasional/225861-3-penyebab-sejumlah-wargadi-nunukan-pindah-ke-malaysia.html, diakses September tahun 2016
http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/14/11/13/neyyz7-tniwarga-tiga-desa-di-perbatasan-pindah-ke-malaysia,
diakses
September
tahun 2016
http://regional.kompas.com/read/2014/10/21/11162361/.Janji.Manis.Malays ia.Goda.Warga.Long.Apari.untuk.Pindah.Negara, diakses September tahun 2016
99
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
http://news.detik.com/berita/2747297/sedih-satu-desa-di-nunukan-seluruhwarganya-pindah-kewarganegaraan-malaysia, diakses
Septembertahun
2016
http://m.kaskus.co.id/thread/54699787c1cb1774208b4574/setujunggakkalo-daerah-perbatasan-pindah-ke-negara-yang-mengurusnya/?ref=postlist21&med=recommended_for_you, diakses September tahun 2016
http://www.batasnegeri.com/potret-camar-bulan-dusun-terluar-indonesia-disempadan-kalbar-serawak/, diakses September tahun 2016
https://www.usd.ac.id/lembaga/lppm/f1l3/Jurnal%20Historia%20Vitae/vol2 2no1april2008/KEBIJAKAN%20%20PEMERINTAH%20%20REPUBLIK %20%20INDONESIA%20mithcel%20vinco.pdf. , diakses Maret 2017
100