KONTROVERSI ATAS WACANA REVISI ATURAN POLIGAMI DI INDONESIA Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh: ARIFIN NIM: 103044228102
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYYAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H. /2008 M.
KONTROVERSI ATAS WACANA REVISI ATURAN POLIGAMI DI INDONESIA
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh
Arifin NIM: 103044228102
Pembimbing I
Pembimbing II
Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, SH., MH S.Ag., MA NIP. 150 268 783
Ahmad Tholabi Kharlie, NIP.150 326 896
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSIYYAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H. /2008 M.
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “KONTROVERSI ATAS WACANA REVISI ATURAN POLIGAMI DI INDONESIA”, telah diujikan dalam sidang munaqasah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 30 Mei 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Program Studi Ahwal Syakhsiyyah.
Jakarta, 30 Mei 2008 Mengesahkan Dekan, Fakultas Syari’ah dan Hukum
Prof. Dr. H Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM. NIP 150 210 422
PANITIA UJIAN Ketua
: Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA., (…………………….) NIP.150 169 102
Sekretaris : Kamarusdiana S.Ag., MH., (…………………. ...) NIP. 150 285 972 Pembimbing I : Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, SH., MH. (……………… …...) NIP. 150 268 783
Pembimbing II : Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag., MA. (…………………….) NIP. 150 326 896 Penguji I : Drs.Djawahir Hejazziey, SH., MA. (………………….....) NIP. 130 789 745 Penguji II : J.M. Muslimin, MA., Ph.D (…………..………...) NIP. 150 312 427
LEMBAR PERNYATAAN
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 Fakultas Syari’ah dan Hukum, di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan asli hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 18 Maret 2008
ARIFIN NIM: 103044228102
ABSTRAK
Arifin
Kontroversi Atas Wacana Rencana Revisi Aturan Poligami Di Indonesia Poligami atau dalam pengertiannya beristeri lebih dari seorang dalam waktu yang bersamaan sampai saat ini masih menjadi perdebatan panjang yang tidak menemuai titik temu. Masing-masing pihak yang berseteru mempunyai argumen yang mempunyai landasan yang kuat. Poligami merupakan tradisi dari zaman dulu sebelum Islam datang. Ketika Islam datang, Islam menyempurnakan serta mengatur praktik poligami. Banyak orang salah dalam menafsirkan kebolehan poligami. Seperti di negara-negara muslim lainnya di Indonesia praktek poligami pun masih menjadi perdebatan panjang. Hal ini disebabkan aturan poligami diatur dalam Hukim keluarga di Indonesia, yaitu dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, PP No. 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan Bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS), PP No. 45 Tahun 1990 Tentang Revisi Atas PP No. 1983, dan Inpres No. 1 tahun 1990 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). Permasalahan yang timbul dalam aturan poligami di Indonesia adalah UUP di Indonesia pada dasarnya menganut asas monogami tapi poligami diperbolehkan dengan persyaratan yang ketat. Hal ini tentunya inkonstitusi. Permasalahan lain yang timbul yaitu alasan yang digunakan untuk memperbolehkan poligami yaitu tidak adil karena menganggap perempuan sebagai obyek. Akibat dari ketidakpuasan terhadap aturan poligami maka timbul beberapa usulan revisi aturan poligami di Indonesia. Beberapa usulan itu diantaranya: Usulan amandemen UUP dari Kowani dan Kementrian Pemberdayaan Perempuan, RUU Hukum terapan Peradilan Agama Bidang Perkawinan, Amandemen UU Perkawinan LBH Apik, Counter Legal Draf Kompilasi Hukum Islam (CLD KHI, Rencana Memperluas PP No. 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS), Menguji UU Perkawinan di Mahkamah Konstitusi. Sebagian besar usulan itu ingin agar praktek poligami diperketat dengan prinsip keadilan dan pemberian sanksi yang berat bagi pelaku poligami yang tidak sesuai dengan proserdur yang ada.
Bagi penulis penelitian tentang Pro Kontra atas wacana revisi aturan poligami di Indonesia penting agar masyarakat Indonesia tahu hukum keluarga di Indonesia.
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, hidayah, dan kenikmatan, terutama nikmat jasmani yang berupa kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat dan salam tak lupa kita sanjungkan kepada junjungan kita, tauladan kita, yaitu baginda nabi agung Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman jahiliyyah menuju zaman ilmiah seperti sekarang ini, mudah-mudahan kita semua akan menjadi salah satu bagian dari umat beliau yang akan mendapatkan syafaatnya besok di hari kiamat Amin. Dalam penulisan skripsi ini tidak sedikit hambatan dan kesulitan yang penulis jumpai tapi syukur alhamdulillah berkat rahmat dan hidayahNya, kesungguhan kerja keras, doa, serta bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung, segala kesulitan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya yang pada akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu sudah sewajarnya, penulis pada kesempatan ini ingin mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada: 1. Bapak Prof. Dr. H M.. Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA., dan Bapak Kamarusdiana S.Ag., MH., selaku Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Ahwal Syakhsiyyah Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Segenap Bapak dan Ibu dosen, pada lingkungan Program Studi Ahwal Syakhshiyyah Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan banyak ilmu selama penulis duduk di bangku kuliah. 4. Bapak Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, SH., MH., dan Bapak Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag., MA., selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran selama membimbing skripsi. 5. Segenap jajaran staf karyawan akademik, perpustakaan fakultas dan perpustakaan utama yang telah banyak membantu dalam pengadaan referensi sebagai bahan rujukan skripsi. 6. Ayahanda dan Ibunda tercinta Bapak Khusnadi dan ibu Khusmiati yang telah banyak membantu penulis baik berupa materi dan spirit utamanya doa serta tak bosan-bosan memberikan semangat tuk terus belajar, yang pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan studi di perguruan tinggi. 7. Ucapan terima kasih kepada bapak Syamsuri dan ibu Sulastri, selaku pengelola “CV INTENS” yang telah bersedia menerima penulis sebagai karyawan di perusahaan yang bapak pimpin selama menjalani masa kuliah 8. Keluarga Besar Komunitas Mahasiswa Kebumen (KOMITMEN) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, “Para pejuang yang tak kenal lelah tuk terus mencari ilmu dan pengalaman hidup demi kota kita tercinta”: Tohirin El Asry, Amin, Hanif, Surono, Dewi, Cici, Khusnul, Qori lanjutkan terus perjuangan kita
9. Sahabatku, Fitri Masruroh, SHI, Kholishotul Ilmiyyah, yang selalu menemani dan membantu penulis dalam suka dan duka serta tak pernah bosan dalam memberikan motivasi pada penulis. 10. Ulfatun Nihayah orang yang selalu memberikan semangat serta memberi pengalaman tentang “Apa Arti Hidup” semoga harapan kita kan tercapai. 11. Teman-teman KKS 2006 dan teman-teman AKI 2003 Oenk, Ulhaq, Gusdur, Baydowi, Syamsul, Teguh, Ilyas, Mukhlis dan teman-teman yang lain, yang penulis tidak dapat sebutkan satu persatu, semoga kebersamaan kita selama masa kuliah ada hikmahnya dan akan menjadi “Kisah Klasik Untuk Masa Depan. 12. Teman-teman HIQMA, Aang, Yandi, Rahmat, Zul, Saad, Syarif, Hafidz, Samani, Amin, dan teman-teman yang lain yang telah memberikan warna tersendiri dalam penyusunan skripsi ini. Semoga amal baik mereka dibalas dengan balasan yang berlipat ganda oleh Allah SWT, dan penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca yang budiman. Kritik serta saran atas kekurangan dalam penulisan skripsi ini penulis akan bertanggungjawab sepenuhnya sebagai penyempurna atas karya ilmiah ini.
Maret 2008
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………........iv DAFTAR ISI……………………………………………………………………......vii BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah…………………………………………………..1 B. Pembatasan dan Rumusan Masalah……………………………………….6 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………….………………………………..6 D. Tinjauan Pustaka………………………………………………………….7 E. Metode Penelitian……...…………………………………………………8 F. Sistematika Penulisan………………………………………………….…9 BAB II : POLIGAMI DALAM FIKIH KONVENSIONAL DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
A.
Poligami Dalam Fikih Konvensional 1. Pengertian Poligami………………………………………………11 2. Dasar Hukum Poligami…………………………………………...12 3. Syarat syarat Poligami…………………………………………….25 4. Hikmah Poligami………………………………………………….29
B.
Poligami Dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia 1. UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan……………………...35
2. PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang No. 1 Tahun 1974…………………………….................37 3. PP No. 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS)………………….…………...38 4. PP No. 45 Tahun 1990 Tentang Perubahan Atas PP No. 10 Tahun 1983……………………………………………..................…….43 5. Inpres No 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI)……………………………………………..........................46
6. KUH Per (BW)………………………………………………….49 BAB III : POLIGAMI DALAM REALITAS MASYARAKAT INDONESIA A. Sejarah Terbentuknya Aturan Poligami……………………………...50 B. Persepsi Masyarakat terhadap Aturan Poligami……………………..64 C. Data Pelaku Poligami………………………………………………..67
BAB IV: PRO KONTRA SEPUTAR ATURAN POLIGAMI A.
Pandangan Para Pakar Tentang Aturan Poligami……………………69
B.
Beberapa Usulan Perubahan…………………………………………92
C.
Analisa……………………………………………………………...106
BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan………………………………………………………………110 B. Saran saran……………………………………………………………….112
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………...113 LAMPIRAN……………………………………………………………………….117
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah Allah menciptakan mahlukNya di dunia ini berpasang-pasang agar mereka bisa saling membutuhkan satu dengan yang lainnya, lebih khusus lagi agar mereka bisa meneruskan keturunannya. Adapun hikmah diciptakan oleh Allah segala jenis makhluk yang berlainan bentuk dan sifat yaitu agar masing-masing jenis saling membutuhkan, saling memerlukan sehingga dapat berkembang selanjutnya.1 Sebagaimana yang telah disebutkan dalam QS. Al- Nisa (4): 1.
☯
⌧
⌧ (١:٤/)اﻟﻨﺴﺂء
1
Amir Taat Nasution, Rahasia Perkawinan Dalam Islam (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1994), h. 1.
Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu.” Untuk menuju proses perkembangbiakan atau pelestarian keturunan maka dapat dilakukan hanya dengan melalui jalur perkawinan. Berbeda dengan makhluk yang lainnya perkawinan bagi manusia harus sesuai dengan ketentuan agama dan juga ketentuan Undang-Undang Negara dimana ia bertempat tinggal. Dalam perkawinan ada beberapa istilah yang dipergunakan diantaranya: monogami, poligami, poligini poliandri dan istilah lainnya. Dari sekian banyak istilah dalam perkawinan, yang paling sering kita dengar dan sering menjadi perdebatan adalah istilah poligami. Perdebatan disini bukan dalam hal istilahnya atau artinya melainkan praktik dari poligami itu sendiri. Sebagaimana telah kita ketahui poligami adalah salah satu tradisi jahiliyah yang pertama diperangi oleh umat Islam secara berangsur-angsur. Dahulu pada umumnya orang Arab melakukan poligami tanpa batas.2 Adalah suatu hal yang lumrah ketika itu jika seorang laki-laki memiliki istri lebih dari tiga atau empat orang. Banyak yang pro dan kontra terhadap poligami, bagi kaum perempuan yang tidak mau dimadu poligami sangat dibenci, menurut mereka poligami tidak adil, poligami mengekang hak-hak perempuan, dan yang lebih ekstrim lagi poligami merendahkan derajat kaum perempuan (perempuan hanya dijadikan alat pemuas nafsu saja). Ada yang mengatakan poligami yang dilakukan pada zaman
2
Al Thohir Al Hadad, Wanita Dalam Syari’at dan Masyarakat (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), h. 6.
Nabi berbeda dengan poligami yang dilakukan pada zaman sekarang. Nabi melakukan poligami dengan motif untuk menyantuni perempuan-perempuan yang memang membutuhkan santunan dalam artian yang seluas-luasnya dan bisa jadi ada motif lain yang tidak hanya melulu persoalan nafsu seksual saja.3 Sedangkan bagi yang pro terhadap poligami mereka beranggapan bahwa poligami adalah suatu ketentuan agama dan suatu cara untuk mengangkat derajat kaum perempuan, menurut mereka daripada selingkuh atau berzina lebih baik dinikahi secara syah. Memang dalam ajaran Islam dan negara poligami tidak dilarang asalkan bisa memenuhi syaratnya, sebagaimana yang dijelaskan dalam QS. alNisa (4): 3
☺ (٤:٣/)اﻟﻨﺴﺂء Artinya:
3
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil Maka
Nurbowo, Apiko dan Joko M, Indahnya Poligami Pengalaman Sakinah Puspo Wardoyo (Jakarta: Khairul Bayan, 2003), Cet. Ke-1 h. 139.
(kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” Sedangkan dalam aturan negara poligami diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 3, 4 dan 5, Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1983 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 Tentang Revisi Atas PP Nomor 10 Tahun 1983, diantaranya menjelaskan Pegawai Negeri Sipil perempuan dilarang menjadi istri kedua, ketiga atau keempat. Jika melanggarnya maka akan diberi sangsi, yang selanjutnya adalah Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). Walaupun sudah banyak peraturan yang mengatur tentang poligami tapi sangat disayangkan poligami dilakukan tidak sesuai dengan prosedur yang ada, poligami dilakukan dengan sembunyi-sembunyi sehingga dapat dilakukan dengan mudah tanpa melalui institusi negara. Sedangkan kalau kita perhatikan prosedur untuk melakukan poligami sangat ketat apalagi bagi Pegawai Negeri Sipil yang mempunyai peraturan tersendiri. Pada dasarnya hukum keluarga di Indonesia menganut asas perkawinan monogami, tetapi peraturan tersebut tidak bersifat mutlak hanya bersifat pengarahan
kepada
terbentuknya
perkawinan
monogami
dengan
jalan
mempersulit dan mempersempit penggunaan lembaga poligami dan bukan menghapuskan sama sekali praktik poligami.4 Jika diteliti lebih dalam hal ini sangat membingungkan di satu sisi hukum keluarga di Indonesia menganut sistem 4
Sumiati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Yogyakarta: Liberty, 1986), h. 77.
monogami tapi di sisi yang lain praktik poligami diperbolehkan. Sampai saat ini aturan tentang poligami di Indonesia masih menjadi perdebatan yang tak kunjung menemui titik temu, karena dalam hal ini masing-masing pihak yang berseteru mempunyai sudut pandang yang berbeda tentang poligami. Baru-baru ini isu tentang poligami mencuat kembali, isu ini terkait dengan pengakuan pernikahan kedua dai kondang AA Gym, bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang resah mendengar isu ini, langsung memanggil Menteri Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta dan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nasarudin Umar untuk membicarakan masalah poligami.5 Pada kesimpulannya Presiden ingin merevisi aturan poligami di Indonesia yaitu dengan memperluas aturan tentang poligami di Indonesia. Menanggapi pernyataan Presiden ada yang pro dan ada yang kontra terhadap rencana pemerintah membahas kembali regulasi poligami. Pro kontra tersebut terkait dengan masalah poligami yang dianggap sebagai masalah privat, dan negara tidak boleh ikut campur terlalu dalam.6 Sedangkan yang lain menganggap poligami berhubungan dengan masalah negara karena menyangkut kepentingan keluarga yang menjadi dasar ketahanan nasional. Hingga saat ini rencana revisi aturan poligami masih menjadi perdebatan. Sebenarnya kalau kita lihat munculnya isu tentang poligami adalah saat yang tepat untuk kembali melihat dan merevisi hukum keluarga di Indonesia bukan hanya masalah poligami saja tetapi masalah perkawinan yang lainnya.
5 6
Nurhayati, “Kontroversi Poligami”, Tempo XXXV No. 42 (Desember 2006), h. 108.
Rumadi, Momentum Reformasi Hukum Keluarga, Koran Tempo, (Jakarta). Edisi, Rabu 13 Desember 2006, h. A10.
Karena yang sedang popular adalah masalah poligami maka penulis akan mengkaji lebih dalam mengenai masalah poligami. Tertarik
dengan
masalah
tersebut
di
atas
maka
penulis
akan
menuangkannya dalam bentuk karya ilmiah dengan judul “Kontroversi Atas Wacana Revisi Aturan Poligami di Indonesia.”
Pembatasan dan Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan di atas maka yang menjadi pokok permasalahan dalam karya ilmiah ini adalah munculnya kontroversi publik terhadap aturan poligami di indonesia. untuk menjawab pertanyaan tersebut maka penulis merumuskan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut: Mengapa timbul perdebatan atas wacana Revisi aturan poligami di Indonesia? Bagaimana perdebatan atas wacan revisi aturan poligami di Indonesia? Apa saja aturan-aturan yang mengatur poligami di Indonesia bagi warga sipil? Apa upaya yang dilakukan oleh pihak yang pro dan kontra untuk menyikapi aturan poligami di Indonesia?
Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dalam penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: a) Mengetahui sebab timbulnya perdebatan atas wacana revisi aturan poligami di Indonesia. b) Mengetahui bagaimana perdebatan atas wacana revisi aturan poligami. c) Mengetahui peraturan yang menatur praktik poligami bagai warga Negara sipil.
d) Mengetahui upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak yang pro dan kontra terhadap poligami dalam menyikapi aturan poligami di Indonesia.
2. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian dalam skripsi ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Secara akademik dapat menambah khazanah pengetahuan dalam bidang hukum Islam di Indonesia khususnya bidang perkawinan. b. Secara pribadi dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan yang dimiliki
juga
sebagai
beban
moral
penulis
untuk
dapat
mengamalkan serta merealisasikan hal tersebut setidaknya dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat di sekitarnya tentang aturan poligami di Indonesia. c. Masyarakat/Negara selain menambah pilihan hukum yang sudah ada juga sebagai motivator bagi masyarakat untuk mematuhi hukum yang ada di Indonesia.
Tinjauan Pustaka Judul skripsi ini jika dilihat sepintas memang sebuah wacana yang bersifat kontemporer yang telah banyak dibahas, seperti skripsi yang dilakukan oleh Ismail Marzuki., SHI mahasiswa fakultas Syari’ah dan Hukum Konsentrasi Peradilan Agama 2006, dalam skripsinya yang berjudul “Gagasan Sayyid Qutb Tentang Keadilan Dalam Poligami” dan saudara Hasbi Ash Shidiqi., SHI dalam skripsinya yang berjudul “Perkara Cerai Gugat dengan Alasan Suami Berpoligami Menurut Hukum Islam dan Positif (Studi Kasus di PA Tangerang).” Skripsi yang ditulis oleh saudara Marzuki lebih fokus kepada prinsip keadilan dalam poligami, serta melihatnya dari sisi fikih, tanpa melihat poligami dalam hukum positif di Indonesia. Sedangkan skripsi saudara Hasbi lebih fokus pada salah satu akibat yang ditimbulkan dari adanya poligami. Dalam skripsi ini penulis akan membahas mengenai pro kontra seputar aturan poligami serta upaya-upaya untuk merevisi aturan poligami di Indonesia. Penulis
akan mencoba meneliti berbagai persepsi masyarakat seputar aturan poligami serta berbagai upaya untuk merevisi aturan poligami.
Metode Penelitian Dalam penulisan skripsi ini ada beberapa aspek metode penelitian yang akan digunakan yaitu:
Jenis Penelitian Penelitian skripsi ini sepenuhnya menggunakan metode penelitian kepustakaan (Library Reseach) yaitu dengan meneliti berbagai buku, majalah, surat kabar, artikel dan tulisan-tulisan ilmiah lainnya yang ada hubungannya dengan judul yang dibahas dalam skripsi ini. Adapun
metode
pembahasan
yang
dipakai
dalam
penelitian
kepustakaan ini adalah metode deskriptif analisis. Pendekatan deskriptif diperlukan untuk memaparkan masalah poligami dan Aturan Poligami di Indonesia.
Data Penelitian a). Sumber Data Sumber data penulisan skripsi ini berasal dari buku-buku, majalah, Surat Kabar, jurnal-jurnal ilmiah, artikel, serta karya ilmiah lainnya yang membahas tentang poligami dan aturan poligami, serta beberapa tanggapan tentang upaya Wacana Revisi Aturan Poligami di Indonesia. b). Jenis Data Ada dua jenis data yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini. 1) Data primer: yaitu data yang berasal dari Al Qur’an, kitab hadis, dan buku-buku yang membahas masalah poligami dan aturan poligami.
2) Data sekunder: yaitu data yang berupa dokumen-dokumen yang terdapat dalam majalah, surat kabar, jurnal ilmiah, dan artikel yang relevan dengan tema dalam skripsi ini. c). Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini adalah studi naskah atau pustaka, yaitu dengan mengumpulkan data yang membahas tentang poligami, aturan poligami, serta kritik atas aturan poligami di Indonesia. d) Teknik Pengolahan Data Setelah data terkumpul dari berbagai sumber maka penulis akan memaparkan data tersebut, kemudian penulis analisa. Secara teknis penulisan skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta” tahun 2007 cet. 1
Sistematika Penulisan Dalam penulisan skripsi ini untuk mempermudah memahami isi skripsi, maka penulis membagi isi skripsi ini ke dalam lima bab yang masingmasing bab terdiri dari sub bab. Adapun sistematikanya sebagai berikut: Pada bab pertama akan dibahas: Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan Bab Kedua membahas Kajian poligami dari segi teori yang mencakup: Pengertian Poligami, Dasar Hukum Poligami, Syarat-syarat Poligami, Hikmah Poligami, aturan Poligami dalam: UU No 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Peraturan Pelaksana U U No. 1 Tahun 1974, PP No. 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil, PP No. 45 Tahun 1990 Tentang Perubahan Atas PP No. 10 Tahun 1983, Inpres No 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), KUHPer (BW). Bab ketiga membahas tentang Poligami Dalam Realita Masyarakat Indonesia yang mencakup Sejarah terbentuknya Aturan Poligami di Indonesia, Persepsi Masyarakat terhadap aturan Poligami di Indonesia, dan Data Pelaku Poligami. Bab empat merupakan bab inti yang merupakan hasil penelitian disertai dengan analisa penulis disini akan dibahas: Pro Kontra Seputar Aturan Poligami Membahas: Pandangan Para Pakar Tentang Aturan Poligami di Indonesia, Beberapa Usulan Perubahan, Analisa. Bab lima merupakan bab penutup yang akan menjawab permasalah dalam penelitian ini, disini akan ditarik kesimpulan atas penelitian yang sudah dilakukan dan sebagai ahir dari penelitian ini kami cantumkan saran-saran.
BAB II POLIGAMI DALAM FIKIH KONVENSIONAL DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
Poligami Dalam Fikih Konvensional Pengertian Poligami Ada banyak berbagai definisi tentang arti kata poligami baik dilihat dari definisi bahasa maupun dari definisi istilah. Pada dasarnya poligami mempunyai arti ikatan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya di waktu yang sama.7 Di sini pihak tersebut bisa pihak laki-laki maupun pihak perempuan, namun arti kata poligami mengalami pergeseran makna dimana yang menjadi obyek adalah pihak laki-laki yang mempunyai istri lebih dari satu orang. Menurut bahasa kata Poligami berasal dari bahasa Yunani yaitu poly atau polus yang berarti banyak dan gamei atau gamos yang berarti kawin atau perkawinan. Jika kedua kata tersebut digabungkan menjadi poligami, maka artinya adalah perkawinan yang banyak atau dengan ungkapan lain adalah suatu perkawinan yang lebih dari satu orang.8 Dalam bahasa Arab poligami sama dengan kata Ta’addud az-zaujat yang artinya berbilangnya isteri.9
7
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (Jakarta: Balai Pustaka, 1988) h. 788. 8
“Poligami”dalam Abdul Aziz Dahlan, dkk,ed., Ensiklopedi Hukum Islam, vol. 4 (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), h. 107. 9 Ibid., h. 107.
Pengertian poligami secara umum yang berlaku di masyarakat sekarang ini adalah poligami dalam arti seorang suami mempunyai istri lebih dari satu orang. Demikian juga Sayuti Thalib memberi arti kata sama dengan poligami yaitu seorang suami beristri lebih dari seorang wanita dalam satu waktu yang sama.10 Dasar Hukum Poligami a.
Al- Qur’an Untuk mengetahui kedudukan poligami dalam Islam maka disini
penulis akan mengutarakan dalil-dalil naqli maupun aqli beserta beberapa pendapat ulama. Dalam QS. al- Nisa/4:3 Allah berfirman:
☺ (٤:٣/) اﻟﻨﺴﺂء Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hakhak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil Maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu 10
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia (Jakarta: Bina Aksara, 1981), h. 169.
miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” Para ahli tafsir menyatakan bahwa dalam ayat ini, Allah menunjukan firmanNya kepada para penanggung jawab atau wali anak-anak perempuan yatim, terutama wali yang mengelola harta mereka, agar berhati-hati. Sekiranya tidak mampu berbuat adil apabila mengawini mereka baik dengan memberi mas kawin kepada mereka atau tidak mengelola harta mereka dengan sejujur-jujurnya, maka beralihlah ke perempuan lain untuk dikawini. Allah tidak mempersempit bagi mereka, sekiranya ia mampu maka Allah membolehkan mengawini perempuan lebih dari seorang dua tiga, atau empat dalam waktu bersamaan, tetapi sekiranya tidak mampu maka cukup seorang saja. Bahkan apabila tidak mampu satu istri maka haram hukum baginya melakukan sampai dia mampu melakukannya. Dapat diambil kesimpulan pada ayat tersebut bahwa poligami bukan merupakan suatu kewajiban tapi kebolehan, jadi seorang muslim itu boleh berpoligami atau membatasi hanya dengan satu istri. Kesepakatan para mujtahid dan ahli fikih dalam periode yang berbeda mengenai masalah ini tidak ada perbedaan.11 Dalam ayat 3 surat al- Nisa Allah menjelaskan apabila kamu tidak dapat berbuat adil atau tidak dapat menahan diri daripada memakan harta anak yatim, bila kamu menikahinya, maka janganlah kamu menikahinya
11
11.
Abdullah Nasih Ulwan, Hikmah Poligami Dalam Islam (Jakarta: Studio Press, 1997), h.
dengan tujuan untuk menghabiskan memakan hartanya melainkan kamu menikahi orang lain. Maka kamu nikahilah wanita lain yang kamu sukai dua, tiga, atau empat dengan syarat kamu harus memperlakukan semua istri-istrimu dengan adil. Maka apabila kamu merasa tidak berlaku adil maka kamu nikah hanya dengan seorang saja.12 Maksud dari “Apabila kamu khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap anak yatim maka kawinilah wanita-wanita yang kamu sukai dua…” maksudnya jika ada perempuan yatim dalam perlindunganmu dan kamu khawatir tidak dapat memberinya mahar yang memadai maka beralihlah kepada wanita selainnya, sebab wanita lain juga masih banyak, dan Allah tidak mempersulitnya.13 Sedangkan dua, tiga, atau empat, nikahilah wanita yang kamu kehendaki selain wanita yatim. Jika kamu mau nikahilah dua, tiga atau empat, sunnah Rasulullah SAW yang menerangkan informasi dari Allah menunjukkan bahwa seorangpun tidak boleh selain Rasulullah SAW, menikahi lebih dari empat orang wanita, sebab yang demikian itu merupakan kekhususan untuk Rasulullah.14
Allah berfirman dalam QS. al- Nisa (4):129 12
Universitas Islam Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahannya ( Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf 1995 ), h. 120. 13
Muhammad Nasib Ar Rifai , Ringkasan Tafsir Ibnu Kasir (Jakarta: Gema Insani Press 1999) Cet. 1 h. 649. 14
Ibid., h. 650.
⌧ ☺ ☺ ⌧ ☺
⌧
⌧
⌧ (١٢٩:٤/)اﻟﻨﺴﺂء
☺
Artinya: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Dalam Al Qur’an hanya dua ayat yang dengan tegas menerangkan tentang hukum poligami. Pada ayat pertama merupakan dalil syar’i yang menyatakan dibolehkannya poligami dalam hal ini Syekh Khalaf menyatakan dalam bukunya Nur min Al Qur’an menjelaskan tentang keterkaitan
ayat
dengan
sebagai berikut: 1)
Pada waktu itu banyak para pengasuh anak yatim yang mengawini anak asuhnya. Namun mereka berbuat dzalim dalam pemberian
mahar, bahkan ada di antara mereka yang tidak membayar mahar sama sekali. Dengan demikian mereka telah melanggar kewajiban yang ditentukan oleh Allah. Setelah Allah memberikan larangan keras terhadap mereka agar tidak memakan harta anak yatim, dan Allah menjelaskan bahwa perbuatan itu merupakan dosa besar. Lalu mereka takut dan khawatir akan tidak berbuat adil dalam mengawini anak-anak asuhnya. Kepada mereka Allah menegaskan: jika kamu takut tidak berbuat adil dalam mengawini wanita-wanita yang berada dalam tanggungannya, maka kawinilah olehmu wanitawanita lain yang bukan yatim dua, tiga atau empat. 2)
Banyak wali atau pengasuh anak-anak yatim yang memakan harta mereka secara sewenang-wenang. Hal demikian untuk memenuhi kebutuhan mereka untuk mengambil istri sebanyak-banyaknya (tanpa batas) karena harta mereka sendiri tidak mencukupinya. Kepada mereka ini Allah menegaskan : jika kamu khawatir akan tidak berbuat adil terhadap anak yatim maka hentikan saja perbuatanmu, merampas harta anak yatim untuk memperbanyak isteri. Bagimu cukup beristeri dua, tiga atau empat. Jika kamu khawatir tidak berbuat adil diantara mereka, maka cukuplah untukmu satu isteri saja, penafsiran ini diriwayatkan oleh Ibnu Abbas.
3)
Ketika Allah melarang memakan harta anak yatim dan ia mencatat perbuatan itu sebagai dosa besar, maka takutlah para wali dan
pengasuh anak yatim untuk berbuat dzalim terhadap mereka yang berada dalam lindungannya. Kepada mereka ini Allah menegaskan: jika kamu takut berbuat dzalim terhadap anak-anak yatim dan isteriistrimu yang banyak tanpa batas, maka cukuplah bagimu mengawini dua, tiga, atau empat orang wanita yang kamu cintai. Jika kamu takut akan tidak berbuat adil diantara mereka, maka cukuplah untukmu seorang isteri saja. Sebab orang yang terjebak dalam tindakan kedzaliman harus berusaha membebaskan diri dari lingkaran kedzaliman itu. Penafsiran ini diriwayatkan dari Zaid Ibnu Zubair, Al-Sauda dan Qatadah. Menurut mufasir agung Ibnu Jarir penafsiran ini yang lebih tepat dan dapat diterima dibanding lainnya15. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat dalam menanggapi kedua ayat tersebut. Ada dua kelompok ulama yang menyikapi poligami. Yang pertama ialah kelompok yang melarang poligami dan kedua ialah kelompok yang memperbolehkan poligami.
Menurut pendapat yang pertama maksud dua ayat di atas menunjukkan dilarangnya poligami. Sebab ayat pertama
( ) memperbolehkan poligami dengan syarat adil sedangkan ayat kedua
( ) Menerangkan seseorang tidak akan bisa berbuat adil sekalipun ia bermaksud untuk melakukannya. Dengan demikian ibadah al- taaddud pada ayat pertama 15
Abuttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah Dalam Islam vs Monogami Barat, (Jakarta: CV, Pedoman Ilmu Jaya, 1993) Cet. 1 h. 23.
tidak mungkin terjadi, sebab seseorang menurut ayat kedua tidak akan bisa berbuat adil. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa poligami hukumnya haram menurut nash dua ayat di atas. Tapi pendapat ini disanggah oleh ulama yang memperbolehkan poligami, mereka menyikapi kedua ayat di atas dengan penafsiran sebagai berikut: 1)
Sifat adil yang menjadi syarat bolehnya Taaddud al zaujah atau berpoligami dalam ayat pertama bukanlah sifat adil yang ada dalam ayat kedua, dimana setiap orang tidak mampu untuk melakukannya. Adil dalam ayat pertama adalah adil yang dapat dilakukan (terjangkau), seperti dalam pembagian waktu menginap haruslah sama, hal ini dapat kita ketahui sebagaimana yang dikatakan oleh Ummu Salamah, “setelah Rasulullah mengawiniku, beliau menetap dirumahku selama tiga hari.” Beliau bersabda: “Sekarang sudah tidak ada lagi kehinaan atas keluargaku dan dirimu.” Apabila kamu menghendaki, aku akan memberi bagian 7 hari kepadamu, aku pun akan memberi bagian tujuh hari kepada isteri-isteriku yang lain.16
2)
Masalah pembagian nafkah pun harus betul-betul adil namun bukan berarti pembagian harta dilakukan secara sama kepada seluruh istri. Adil di sini sesuai dengan kebutuhan dan tempat mereka tinggal. Karena makna adil dalam hal ini bisa juga
16
Khalilah Marhiyanto, Romantika Perkawinan (Gresik: Putra Pelajar, 2000), h.76.
diartikan meletakkan/mengerjakan sesuatu pada tempatnya yang sesuai (kebutuhan). 3)
Sedangkan adil pada ayat yang kedua dimana tidak seorangpun mampu berbuat adil yang bersifat maknawi, ia hanya berkaitan dengan getaran jiwa (Kasih Sayang) dan berada di luar kemampuan manusia. Oleh karena itu adil yang kedua bukanlah suatu tanggung jawab dan bukanlah suatu taklif karena hati atau jiwa bukanlah punya manusia melainkan milik Allah ia dapat menggetarkan kemana saja dimana Ia berkehendak.
4)
Rasulullah SAW menjelaskan dalam Al Qur’an baik melalui perbuatan maupun perkataan, beliau adalah pesuruh Allah, yang bertugas menyampaikan barang yang halal dan haram, namun beliau berpoligami. Lalu apa komentar dari orang yang melarang poligami? Apa mereka mengatakan bahwa nabi telah menyimpang dari nash Al Qur’an khususnya dua ayat tersebut. menanggapi kenyataan itu mereka menyatakan poligami bagi Rasulullah adalah suatu hal kekhususan.
b. Hadis Nabi
ﺴ َﻮ ٍة ْ ﺸ ُﺮ ِﻧ ْﻋ َ ﺳَﻠ َﻢ َوَﻟ ُﻪ ْ ﺳَﻠ َﻤ َﺔ َا َ ﻦ ِ ن ا ْﺑ ِ ﻼ َ ﻏ ْﻴ َ ن ﻋَﻦْ ﺳَﺎ ِﻟ ِﻢ ﻋَﻦْ َا ِﺑ ِﻪ َا ﱠ ﺳﱠﻠ َﻢ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﷲ ُ ﺻﻠﱠﻰ ا َ ﻰ ﻦ َﻣ َﻌ ُﻪ َﻓَﺎ َﻣ َﺮ ُﻩ اﻟ ّﻨ َِﺒ ﱡ َ ﺳَﻠ ْﻤ ْ ﻓَﺎ 17 ( ﺨ ﱠﻴ َﺮ ِﻣ ْﻨ ُﻬﻦﱠ َا ْر َﺑﻌًﺎ )روﻩ اﺣﻤﺪ وﺗﺮ ﻣﺪ َ ن ﱠﻳ َﺘ ْ َا
17
As Shan’ani, Subulussalam, (Bandung: Dahlan, reprin. Beirut, T. tp.,T.th ) h. 132.
Artinya: “Dari Salim dari ayahnya RA bahwasannya Ghailan binti Salamah masuk Islam sedang ia mempunyai sepuluh orang isteri dan mereka pun masuk Islam bersamanya maka Nabi SAW menyuruh agar ia memilih empat orang dari istri istrinya.” Hadis ini diklaim sebagai salah satu dasar hukum dari berlakunya praktik poligami dalam Islam. Dalam Islam poligami diperbolehkan dengan batasan empat orang isteri. Walaupun diperbolehkan poligami hanya sebagai alternatif upaya menjunjung tinggi harkat dan derajat manusia. Berdasarkan dalil kedua di atas maka dapat disimpulkan 1)
Kedua nas tersebut dapat dijadikan dasar hukum dalam praktik poligami.
2)
Poligami dalam ajaran Islam diperbolehkan sebagai alternatif dalam upaya menjunjung tinggi harkat dan derajat manusia.
3)
Jumlah batas maksimal istri yang boleh dipoligami terbatas hanya empat orang.
c. Pendapat Ulama Untuk melengkapi kajian tentang poligami maka penulis mencantumkan beberapa pendapat ulama baik itu pendapat ulama salaf maupun pendapat ulama kontemporer. Pendapat para ulama setidaknya bisa memperkuat dasar hukum dari poligami. Mazhab Hanafi mengharuskan berlaku adil bagi pelaku poligami terhadap isterinya. Keharusan berlaku adil ini berdasarkan surat al- Nisa ayat 3 dan hadis dari Aisyah yang menceritakan
perlakuan yang adil dari Nabi kepada isterinya, ditambah dengan ancaman bagi suami yang berpoligami tetapi tidak berlaku adil terhadap isterinya.18 Imam Malik membolehkan poligami dengan dasar kasus seorang pria bangsa Saqif yang masuk Islam dan mempunyai
istri
sepuluh
dan
ternyata
Nabi
menyuruh
mempertahankan maksimal empat dan menceraikan yang enam.19 Dalam kitab Al Umm karangan Imam Syafii Islam memperbolehkan seseorang untuk beristri maksimal empat orang, berdasarkan Al Qur’an dan hadis nabi. Tuntutan untuk berbuat adil diantara para istri menurut Asy Syafii berhubungan dengan urusan fisik misalnya mengunjungi istri hal ini didasarkan pada prilaku Nabi dalam berbuat adil kepada istrinya. Menurut imam Syafii keadilan dalam hal hati hanya Allah yang mengetahuinya, karena mustahil seseorang dapat berbuat adil seperti yang disyaratkan dalam Al Qur’an surat al- Nisa ayat 129. Keadilan yang dimaksud adalah keadilan dalam hal fisik seperti yang disebutkan dalam QS. Al- Ahzab (33): 50
☺ 18
Khoerudin Nasution, Status Wanita di Asia Teggara, Studi Terhadap PerundangUndangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, (Jakarta, INIS, 2002), h.104. 19
Ibid., h.104.
☺ ⌧ ☺
☺
⌧ ⌧
☺ ⌧ ⌧ (٥٠:٣٣/)اﻻﺣﺰب
☺
Artinya: "Hai nabi, Sesungguhnya kami Telah menghalalkan bagimu isteri- isterimu yang Telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara lakilaki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan
ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada nabi kalau nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin. Sesungguhnya kami telah mengetahui apa yang kami wajibkan kepada mereka tentang isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." QS. Al- Nisa (4): 19
⌧
☺ ⌧ ☺ ☺
⌧
⌧ /)اﻟﻨﺴﺂء (١٩:٤
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka Karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang Telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” Ibnu Qudaimah dari mazhab Hambali berpendapat, seorang laki-laki boleh menikahi wanita maksimal empat, berdasarkan surat al- Nisa ayat 3, kasus Ghailan
binti Salamah dan kasus Naufal bin Muawiyyah.
Muhammad Abduh berpendapat kebolehan poligami merupakan suatu yang sulit, mengingat beratnya syarat yang harus dipenuhi. Beratnya syarat yang ditentukan membawa kepada pemahaman bahwa Tuhan melarang poligami. Poligami diharamkan bagi mereka yang mempunyai kekhawatiran tidak dapat berlaku adil.20 Sedangkan Rasyid Ridha menambahkan bahwa poligami secara alamiah bertentangan dengan tujuan perkawinan, karena pada dasarnya perkawinan adalah antara satu laki-laki dan satu perempuan.21 Musfir al Jahrani menyatakan bahwa poligami adalah syari’at Islam yang
tak
terbantahkan
keabsahannya.
Meskipun
syari’at
tidak
mewajibkannya namun Al Qur’an membolehkannya, siapa saja yang menolak poligami berarti pro terhadap barat dan menolak kehujjahan Al
20
Musdah Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami, (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Jender Perserikatan Perempuan, The Asia Foundation, 1999), Cet. 1 h. 41. 21
Ibid., h. 41.
Qur’an. Padahal kebolehan poligami dalam Al Qur’an adalah untuk kebahagiaan dunia akhirat dan poligami bertujuan untuk memelihara hakhak wanita dan memelihara kemuliaannya.22
Syarat Poligami Hak poligami dapat diberikan kepada laki-laki yang sanggup melaksanakannya, jika tidak hal ini akan membawa kesengsaraan dan penderitaan bagi kaum wanita. Pada dasarnya syarat poligami sama dengan syarat orang yang akan menikah perbedaanya terletak pada aspek keadilan karena dalam poligami terdiri dari banyak istri. Secara garis besar syarat poligami adalah sebagai berikut: a.
Sanggup memberi nafkah lahir. Orang yang menikah hendaknya sudah mempunyai persiapan yang matang dalam finansial atau materi, sebab ia mempunyai tanggungan mempunyai belanja terhadap isterinya dan juga mencukupi kebutuhan rumah tangga yang meliputi sandang, pangan, dan papan sekalipun dapat dipikul bersama isteri.23 Berdasarkan syarat tersebut seorang laki-laki belum dibolehkan menikah jika belum mampu memberi nafkah. Begitu pula laki-laki
22
Musfir Al Jahrani, Poligami dari Berbagai Persepsi (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h.
23
Sufyan Raji Abdullah, Poligami dan Eksistensinya. (Bekasi: Pustaka Al Riyadh, 2004),
38-39. Cet.1 h. 7.
yang sudah punya isteri satu tapi belum mampu memberikan nafkah yang layak, maka ia tidak boleh berpoligami.24 Sanggup memberi nafkah batin. Termasuk syarat bolehnya nikah dan juga poligami adalah mampu memberikan nafkah batin, kalau tidak maka tidak boleh poligami karena itu dapat berakibat buruk pada wanita yang dinikahi
a.
Mampu berbuat adil. Adil memang menjadi syarat yang utama dalam poligami, karena dalam Al Qur’an dan juga pendapat semua ulama menjadikan kemampuan
untuk
berbuat
adil
sebagai
syarat
kebolehan
berpoligami. Adil memang mudah sekali untuk diucapkan tetapi dalam praktiknya sangat sulit, adil terhadap diri sendiri saja sulit apalagi adil terhadap beberapa istri.25
ﷲ ُ ﺻﻠﱠﻰ ا َ ﷲ ِ لا ُ ﺳ ْﻮ ُ ن َر َ آَﺎ: ﺖ ْ ﷲ ﻋَ ْﻨﻬَﺎ ﻗَﺎ َﻟ ُ ﻲا َﺿ ِ ﺸ َﺔ َر َ ﻦ ﻋَﺎ ِﺋ ْﻋ َ ﻚ ُ ﺴﻤِﻰ ﻓِ ُﻴﻤَﺎ َا ْﻣِﻠ ْ ِل اَﻟﻠّ ُﻬﻢﱠ َهﺪَا ﻗ ُ ل َو َﻳ ُﻘ ْﻮ ُ ﻦ ِﻧﺴَﺎ ِﺋ ِﻪ َﻓ َﻴ ْﻌ ِﺪ َ ﺴ ُﻢ َﺑ ْﻴ ِ ﺳﱠﻠ َﻢ َﻳ ْﻘ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ )روﻩ اﻻرﺑﻌﺔ وﺻﺤﺤﻪ اﺑﻦ ﺣﺒﺎ ن وا ﻟﺤﺎ آﻢ وﻟﻜﻦ.ﻚ ُ ﻻ َا ْﻣِﻠ َ ﻲ َو ْ ﻓَﻼ َﺗُﻠ ْﻤ ِﻨ 26
(رﺟﺢ اﻟﺘﺮﻣﺪى ارﺳﺎ ﻟﻪ
Artinya: “Dari Aisyah ra beliau berkata: Rasulullah saw, selalu membagi giliran kepada isterinya dan beliau selalu adil 24
Musfir Al Jahrani, Poligami Dari Berbagai Persepsi, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996),
h. 56. 25
Cahyadi Takariawan, Bahagiakan Diri Dengan Satu Istri, (Solo: Era Intermedia, 2007), Cet. 1 h.123. 26
As Shan’ani, Subulussalam III. Penerjemah Abu Bakar Muhammad (Surabaya: Al Ikhlas, 1995), h.582.
seraya berdoa: Ya Allah inilah pembagianku sesuai kemampuanku, janganlah engkau mencela saya dalam sesuatu yang engkau kuasai dan engkau tidak kuasai. Diriwayatkan oleh Al-Arbaah (Perawi yang empat yaitu Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasai dan Ibnu Majah), dan dinilai shahih oleh ibnu Hibban dan al Hakim. Akan tetapi At Tirmidzi menguatkan mursalnya. (Hadis mursal adalah hadis yang tidak disebutkan sahabat pada sanadnya ) “ Dalam hadis ini dijelaskan Nabi saja tidak bisa berlaku adil apalagi kita manusia biasa. Keadilan itu tergantung dari kemampuan kita masing-masing semampu kita, karena hanya Allah yang mengetahui keadilan kita. Jika seseorang merasa ragu bahkan tidak mampu untuk berlaku adil maka ia tidak diperbolehkan untuk berpoligami. Sayyid Sabiq mengungkapkan pendapatnya sebagai berikut:
ﻓﺎن ﺧﺎف اﻟﺮﺟﻞ اﻟﺠﻮ روﻋﺪ م اﻟﻮﻓﺎ ﺑﺤﻘﻮ ﻗﻬﻦ ﺟﻤﻴﻌﺎ ﺣﺮ م ﻋﻠﻴﻪ 27
اﻟﺠﻤﻊ ﺑﻴﻨﻬﻦ
“ Jika suami khawatir berbuat dzalim dan tidak dapat memenuhi hak-hak mereka semua maka ia diharamkan berpoligami.”
b. Bila isteri itu mandul (tidak dapat melahirkan anak). c. Maksimal empat orang. Islam hanya membolehkan poligami maksimal empat orang.
d. Bila seorang isteri itu sakit merana. Bila istri sakit merana secara logika ia tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri. Maka pihak suami boleh kawin lagi
27
Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, (Beirut: Dar el Fikr, 1997), juz 2 h. 96.
untuk menghindarkan diri dari perbuatan zina yang diharamkan Allah.
e. Jikalau bilangan kaum wanita lebih banyak dari bilangan kaum pria. Dengan keadaan ini maka Islam membolehkan seorang pria boleh kawin dengan beberapa orang wanita, demi kemaslahatan masyarakat.
f. Jika istri melahirkan anak perempuan semua atau laki-laki semua.28 Seorang laki-laki yang ingin berpoligami harus memperlakukan semua isterinya itu dengan adil, setiap isteri diperlakukan secara sama dalam memenuhi hak perkawinan mereka serta hak-hak lainnya. Namun bila ia merasa bahwa tidak akan mampu memperlakukan mereka dengan adil, maka ia harus menahan dirinya sendiri dengan hanya menikahi seorang istri.29 Setiap isteri berhak mendapatkan hak-haknya dari suaminya berupa kemesraan hubungan jiwa, dan nafkah berupa makanan, pakaian, tempat tinggal, dan lainnya yang diwajibkan oleh Allah SWT
28
Amir Taat Nasution, Rahasia Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya 1994), Cet. Ke-3 h. 68. 29
Abdurahman, Perkawinan Dalam Syari’at Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), Cet. Pertama h. 45.
kepada setiap suami. Adil kepada isteri-isteri itu wajib hukumnya berdasarkan Al Qur’an, As sunah dan ijma. 30 Hikmah Poligami Setiap ayat yang diturunkan oleh Allah SWT, pasti ada hikmah yang dapat kita ambil demikian juga ketika Allah menurunkan ayat tentang poligami. Hikmah dari poligami diantaranya: a. Akan munculnya bahaya jika seseorang itu hanya terbatas pada satu isteri sementara dia diberi kekuatan besar dalam seks. Seperti diketahui bahwa perempuan setiap bulannya mengalami masa haid selama 3 -10 hari. Pada saat haid tersebut laki-laki tidak mungkin menggauli isterinya padahal dia memiliki dorongan seksual yang kuat, maka poligami merupakan cara untuk melepaskan dorongan seksual dengan menggauli isteri kedua umpamanya. Dengan demikian dia terhindar dari kemungkinan berbuat zina yang merupakan dosa besar. b. Penelitian ilmiah menunjukkan bahwa pada ghalibnya perempuan di semua negara di dunia
melebihi jumlah kaum laki-laki secara
signifikan pada situasi-situasi tertentu. Misalnya akibat peperangan yang memakan waktu panjang dan membunuh banyak diantara lakilaki yang ikut berperang.31
30
Abdul Nasir Taufiq Al Atihan, Poligami Ditinjau dari Segi Agama Sosial dan PerundangUndangan (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h. 196. 31 Muhammad Bagir Habsyi Fiqih Praktis Menurut Al Qur’an, As-sunnah dan Pendapat Para Ulama (Semarang: Al mizan, 2002), h. 94.
c. Potensi kebanyakan laki-laki untuk memberikan keturunan lebih besar dan lebih lama daripada yang dimiliki perempuan. Pada umumnya laki-laki tetap subur meski telah mencapai usia lanjut sedangkan perempuan kehilangan kesuburannya ketika mengalami menopause pada usianya yang ke-empat puluh tahun atau bahkan lebih dari itu sedangkan perempuan kehilangan gairah seksualnya jauh di atas usia tersebut.32 d. Bila isteri menderita suatu penyakit yang berbahaya seperti lumpuh, ayan, atau penyakit menular, dalam keadaan ini maka akan lebih baik bila ada isteri yang lain yang memenuhi dan melayani berbagai keperluan si suami dan anak-anaknya. Kehadirannya pun akan turut membantu isteri yang sakit itu.33 e. Bila isteri sakit ingatan. dalam hal ini tentu suami dan anak-anaknya akan sangat menderita. Disini sangat dibutuhkan orang yang bisa menggantikan posisi isteri yang sakit ingatan tersebut yaitu isteri yang lain. Sayyid Sabiq dalam kitabnya mengemukakan hikmah poligami cukup panjang, dan di sini dikemukakan ringkasannya sebagai berikut:34 Sebagai karunia dan rahmat Allah, dan menjadi keperluan untuk kemakmuran dan kemaslahatan
32
Ibid., h. 95.
33
Abdurahaman I Doi, Inilah Syari’ah Islam, (Jakarata: Pustaka Panji Mas, 1991), h. 210.
34
Ahmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: PT. Raja Grafido Persada, 1995), h. 96.
Untuk memperbesar jumlah umat ”Karena keagungan itu hanyalah bagi yang berumat banyak.” Mengurangi jumlah janda sambil menyantuni mereka. Mengantisipasi kenyataan bahwa jumlah wanita lebih banyak daripada pria. Mengisi tenggang waktu yang lorong berhubung secara kodrati pria itu lebih panjang masa membutuhkan hubungan seks baik dalam usia lanjut yang wanita sudah tidak membutuhkan sementara pria tetap saja atau karena tenggang waktu haid dan nifas. Dapat mengatasi kalau isteri pertama mandul. Sebaliknya di tempat yang menganut pemaksaan monogami terlahir banyak kefasikan yang menyebabkan banyak WTS (Wanita Tuna Susila), dan banyak anak di luar nikah. Demikianlah beberapa hikmah dari turunnya ayat tentang poligami walaupun jika dilihat, masih melihat wanita sebagai obyeknya. Hikmah yang disebutkan diatas
pada dasarnya bertujuan untuk mengangkat
derajat kaum wanita bukan sebagai penghinaan terhadap wanita karena ia dianggap sebagai alat pemuas nafsu saja. Hal yang paling penting untuk kita sikapi adalah kemaslahatan bagi wanita dan juga masyarakat. Poligami merupakan pemuliaan bagi perempuan karena poligami menjaga dari zina, poligami adalah satu-satunya jalan yang syah untuk
menyalurkan libido seksual, dan poligami menjaga laki-laki dari zina.35 Walaupun banyak hikmah dari poligami namun poligami tidak mudah untuk dilakukan, poligami hanya dapat dilakukan dalam keadaan tertentu saja atau dalam keadaan darurat.
Poligami Dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia Poligami merupakan salah satu persoalan dalam perkawinan yang paling sering dibicarakan, sekaligus kontroversial. Satu sisi poligami ditolak dengan berbagai argumentasi baik yang bersifat normatif, psikologis, dan ketidakadilan jender. Tapi pada sisi lain poligami dikampanyekan karena dianggap memiliki sandaran-sandaran normatif yang tegas dan dipandang sebagai salah satu alternatif untuk menyelesaikan fenomena selingkuh dan prostitusi.36 Dalam setiap negara selalu ada hukum yang mengatur tentang masalah keluarga atau lebih khususnya masalah perkawinan, karena keluarga adalah merupakan bentuk masyarakat terkecil yang secara tidak langsung keberadaannya akan mempengaruhi kehidupan masyarakat suatu negara. Asas perkawinan dalam hukum Islam adalah monogami, ketentuan ini terdapat dalam Al Qur’an surat An Nisa ayat 3 yang pada akhir ayat tersebut”…… kalau kamu tidak akan adil diantara istri-istrimu kamu itu seyogyanyalah mengawini seorang perempuan itulah yang paling dekat bagi kamu untuk kamu tidak berbuat aniaya. Seperti
35
Arij Abdurrahman As Sanan, Memahami Keadilan Dalam Poligami, (Jakarta: Global media, 2003), Cet 1 h.26. 36
Aminur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006), h.156.
yang telah dijelaskan dalam surat al-Nisa ayat 3 poligami itu tidak dipuji tapi justru diperingatkan, akan bahayanya yaitu berupa aniaya terhadap isteri.37 Tapi yang terpenting untuk kita ketahui bahwa secara umum dunia Islam tetap memberikan kemungkinan adanya poligami, sepanjang dilakukan dengan caracara yang sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang telah diatur dalam undangundang.38 Pada dasarnya Undang-Undang Perkawinan di Indonesia menganut prinsip monogami prinsip tersebut tercantum dalam pasal 3 ayat 1 UndangUndang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang bunyinya: Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. 39 Walaupun dalam Undang-Undang perkawinan telah menganut prinsip monogami tapi dalam pelaksanaanya prinsip ini tidak berlaku mutlak, dalam undang - undang perkawinan di Indonesia tetap diperbolehkan poligami dengan persyaratan yang sangat ketat, dan hanya orang-orang tertentu saja yang dapat melakukannya. Dengan adanya pasal-pasal yang membolehkan tentang poligami meskipun dengan alasan sangat ketat jelaslah bahwa asas dalam Undang- Undang Perkawinan bukanlah asas monogami mutlak melainkan asas monogami terbuka,
37
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Press 1981), h. 60.
38
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada,2004), h. 179. 39
Departemen Agama RI, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan serta Kompilsi Hukum Islam, (Jakarta: Departemen Agama, 2004), h. 4.
meminjam istilah Yahya Harahap.40 Poligami berstatus hukum darurat (emergency law) atau dalam keadaan luar biasa (Extra Ordinary Circumstance) Dalam buku “Siapa Bilang Poligami itu Sunnah” Qurais Shihab mengatakan bahwa poligami itu ibarat pintu darurat dalam suatu pesawat yang hanya bisa dibuka dalam waktu-waktu tertentu saja.41 Aturan poligami di Indonesia diatur dalam beberapa aturan diantaranya: Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, PP No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Perkawinan, PP No. 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS), PP No. 45 Tahun 1990 Tentang Revisi Atas PP No.10 Tahun 1983, dan Inpres No. 1 tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI).
1. Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan aturan tentang kebolehan beristri lebih dari seorang terdapat dalam pasal 3, 4, dan 5 yang berisikan alasan serta syarat beristri lebih dari seorang (poligami). Dalam pasal 3 ayat 2 disebutkan: Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
40
Nurudin, dan Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006), h.156. 41
Pendapat Quraish Shihab Dalam: Anshori Fahmie, Siapa Bilang Poligami Itu Sunnah, (Depok: Pustaka Iman, 2007), h. 10.
Dengan ayat ini jelas sekali bahwa Undang-Undang Perkawinan telah melibatkan Peradilan Agama sebagai istitusi yang cukup penting untuk mengabsahkan kebolehan poligami bagi seseorang.42 Dalam pasal 4 disebutkan: ‘Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat 2 Undang-Undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah setempat.’ Selanjutnya dalam ayat 2 disebutkan alasan diperbolehkannya berpoligami ‘Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila: a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri. b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.’ Alasan di atas bernuansa fisik kecuali alasan yang ke tiga. Alasan yang ketiga terkesan suami tidak memperoleh kepuasan yang maksimal maka alternatifnya adalah poligami. Pasal 5 Undang- Undang No 1 Tahun 1974 memberikan persyaratan bagi seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang.43 Untuk lebih lengkapnya sebagai berikut: ‘Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) undang-undang ini, harus dipenuhi syarat sebagai berikut: a. Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri. b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluankeperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.
h. 47.
42
Nurudin dan Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia. h. 156.
43
Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: PT Sinar Grafika,2006), Cet.1
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteriisteri dan anak-anak mereka. Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pada pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/ isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab lainnya yang perln dari hakim pengadilan Agama. ‘ Pada pasal 4 dan pasal 5 di atas adalah persyaratan tentang poligami, tapi kita harus mengetahui bahwa pasal 4 adalah persyaratan alternatif artinya salah satu harus ada untuk dapat mengajukan permohonan poligami. Sedangkan pasal 5 adalah persyaratan komulatif dimana seluruhnya harus dapat dipenuhi suami yang akan melakukan poligami.
2. PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Perkawinan Dalam Peraturan Pemerintah ini diatur mengenai prosedur pengajuan permohonan untuk beristeri lebih dari seorang, yang diatur dalam Bab VIII tentang beristeri lebih dari seorang pasal 40 sampai dengan pasal 44. pasal 40 PP ini menyebutkan: “Apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan. “
Dengan adanya izin dari pengadilan maka poligami tidak bisa dilakukan secara liar hal ini membuktikan peran pengadilan begitu besar terhadap praktik poligami di Indonesia. Dengan adanya peran dari pengadilan diharapkan bisa mengatur praktik poligami secara benar. Berbeda dengan hukum keluarga Indonesia, dalam fikih klasik tidak diatur tentang izin dari pengadilan, poligami dapat dilakukan tanpa izin dari pengadilan. Setelah pengadilan menerima permohonan dari seorang yang akan beristeri lebih dari seorang selanjutnya pengadilan memeriksa, seperti yang disebutkan dalam pasal 41 a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi ialah: -
Bahwa isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.
-
Bahwa isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Bahwa isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Alasan ini sama seperti dalam undang-undang perkawinan dan KHI. b. Ada atau tidaknya perjanjian dari istri, baik perjanjian lisan maupun tertulis, apabila perjanjian itu merupakan perjanjian lisan maka perjanjian itu harus disebutkan didepan sidang pengadilan. c. Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak, dengan memperhatikan: i.
Surat mengenai penghasilan suami yang ditanda tangani oleh bendahara tempat bekerja; atau ii Surat keterangan pajak penghasilan; atau ii Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan; d. Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu. Pasal 42 menjelaskan tentang jangka waktu pemeriksaan yaitu selambat-lambatnya 30 hari setelah diterimanya permohonan tersebut.44Selain menjelaskan tentang prosedur permohonan untuk beristeri lebih dari seorang dalam PP ini juga diatur tentang ketentuan pidana bagi yang melanggar pasal pasal tersebut di atas.Pasal 45 menyebutkan: Barang siapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam pasal 3, 10 atau 40 peraturan pemerintah ini dihukum dengan hukuman denda sitinggi tingginya Rp 7500,- (Tujuh ribu lima ratus rupiah) Jumlah hukuman denda itu tentu harus dilihat dari nilainya bukan dari jumlahnya dimana Undang-Undang ini dibuat pada tahun 1974.
44
Pasal 42 ayat 2 PP No. 9 tahun 1975: Pemeriksaan pengadilan untuk itu dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 hari setelah diterimanya surat permohonan beserta lampiranlampirannya.
3. Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil. Secara umum pernikahan dan perceraian bagi seluruh warga negara Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1975. Selain itu khusus bagi warga negara Indonesia yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil yang akan melangsungkan perkawinan dan perceraian juga harus tunduk pada ketentuan lain, ketentuan yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 1990 Tentang Perubahan Atas PP No. 10 Tahun 1983. Dalam Penjelasan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, dijelaskan Pegawai Negeri Sipil adalah unsur aparatur negara, abdi negara, dan abdi masyarakat yang harus menjadi tauladan yang baik bagi masyarakat dalam tingkah laku, tindakan, dan ketaatan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk dapat melaksanakan kewajiban yang demikian itu, maka Pegawai Negeri Sipil harus ditunjang oleh kehidupan berkeluarga yang serasi, sehingga setiap Pegawai Negeri Sipil dalam melaksanakan tugasnya tidak akan banyak terganggu oleh masalah-masalah dalam keluarganya.
Sehubungan dengan contoh dan ketauladanan yang harus diberikan oleh Pegawai Negeri Sipil kepada bawahan dan masyarakat, maka kepada Pegawai Negeri Sipil dibebankan ketentuan disiplin yang tinggi. Untuk melakukan perkawinan dan perceraian Pegawai Negeri Sipil harus terlebih dahulu memperoleh izin dari pejabat yang bersangkutan. Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristri lebih dari seorang dan Pegawai Negeri Sipil wanita yang akan menjadi istri kedua/ketiga/keempat dari seorang yang bukan Pegawai Negeri Sipil diharuskan memperoleh izin terlebih dahulu dari pejabat. Demikian juga Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian harus memperoleh izin terlebih dahulu dari pejabat. Sedangkan Pegawai Negeri Sipil yang tidak diizinkan untuk menjadi istri kedua, ketiga, keempat dari Pegawai Negeri Sipil. Dalam Peraturan Pemerintah ini pengertian Pegawai Negeri Sipil selain sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian termasuk juga pegawai bulanan disamping pegawai pensiun, pegawai Bank milik Negara, Pegawai Badan Usaha Milik Negara, Pegawai Bank Milik Daerah, Pegawai Badan Usaha Milik Daerah, dan Kepala Desa, perangkat desa serta petugas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan desa. Dalam PP tersebut pasal yang mengatur tentang poligami terdapat dalam pasal 4, 9, 10 dan 11. Dalam pasal 4 disebutkan: (1) (2)
Pegawai Negeri Sipil yang akan beristri lebih dari seorang, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari pejabat. Pegawai negeri Sipil,Wanita tidak diizinkan untuk menjadi istri kedua/ketiga/keempat dari pegawai negeri sipil.
(3) (4) (5)
(1)
(2)
(3)
(1)
. (2)
(3)
Pegawai Negeri Sipil wanita yang akan menjadi istri kedua/ketiga/keempat dari bukan Pegawai Negeri Sipil wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat. Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam pasal (1) ayat (3) diajukan secara tertulis. Dalam surat permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan izin untuk beristri lebih dari seorang atau untuk menjadi istri kedua/ ketiga /keempat. Pasal 9 Pejabat yang menerima permintaan izin untuk beristeri lebih dari seorang atau untuk menjadi isteri kedua/ketiga/keempat sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 wajib memperhatikan dengan seksama alasan-alasan yang dikemukakan dalam surat permintaan izin dan pertimbangan dari atasan Pegawai Negeri Sipil. Apabila alasan-alasan dan syarat-syarat yang dikemukakan dalam permintaan izin tersebut kurang meyakinkan, maka pejabat harus meminta keterangan tambahan dari isteri Pegawai Negeri Sipil yang mengajukan permintaan izin atau dari pihak lain yang dipandang dapat memberikan keterangan meyakinkan. Sebelum mengambil keputusan, pejabat memanggil Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan sendiri atau bersama-sama dengan isterinya untuk diberi nasehat. Pasal 10 Izin untuk beristeri lebih dari seorang hanya dapat diberikan oleh pejabat apabila memenuhi sekurang-kurangnya salah satu syarat alternatif dan ketiga syarat kumulatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) pasal ini Syarat alternatif sebagaimana dimaksud dalam dalam ayat (1) ialah: a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri. b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Syarat kumulatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah: a. ada persetujuan tertulis dari isteri b. Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai lebih dari seorang isteri dan anak-anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak penghasilan, dan
c. Ada jaminan tertulis dari Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan bahwa ia akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anakanaknya. (4)
Izin untuk beristeri lebih dari seorang tidak diberikan oleh pejabat apabila: a. bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianut Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan, b. Tidak memenuhi syarat alternatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ketiga syarat kumulatif dalam ayat (3); c. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; d. Alasan yang dikemukakan bertentangan dengan akal sehat; dan /atau e. Ada kemungkinan mengganggu pelaksanaan tugas kedinasan Pegawai Negeri Sipil yang melangsungkan perkawinan pertama atau
Pegawai Negeri Sipil yang telah menjadi duda/janda yang melangsungkan perkawinan lagi wajib memberitahukannya secara tertulis kepada pejabat melalui saluran hierarki dalam waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah perkawinan itu dilangsungkan (PP No. 10 Tahun 1983 pasal 2)45 Sedangkan Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristri lebih dari seorang, wajib memperoleh izin dahulu dari pejabat caranya permintaan izin harus diajukan oleh yang bersangkutan secara tertulis kepada pejabat melalui saluran hierarki oleh yang bersangkutan secara tertulis kepada pejabat melalui saluran hierarki dan harus mencantumkan alasan lengkap yang mendasari keinginan beristri lebih dari seorang
45
Ahmad Sutarmadi, Mesrani, Administrasi Pernikahan dan Manajemen Keluarga, (Jakarta: Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Jakarta, 2006), h. 44.
4. Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990 Tentang Perubahan Atas PP No 10 Tahun 1983. Dalam penjelasan PP No. 45 tahun 1990 terdapat beberapa alasan mengapa PP tersebut harus diubah diantaranya: dalam pelaksanaanya ada beberapa peraturan yang tidak jelas, PNS tertentu yang seharusnya terkena PP No 10 Tahun 1983 dapat menghindar baik secara sengaja maupun tidak, terhadap ketentuan tersebut. Disamping itu ada kalanya pejabat tidak dapat mengambil tindakan yang tegas karena ketidak jelasan rumusan ketentuan PP No. 10 Tahun 1983.46 Dalam PP ini aturan tentang poligami diatur dalam pasal 4, 9, 12 dan 15. Pasal 4 1. Pegawai Negeri Sipil yang akan beristeri lebih dari seorang wajib memperoleh izin lebih dahulu dari pejabat. 2. Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan menjadi isteri kedua/ketiga/keempat. 3. Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diajukan secara tertulis. 4. Dalam surat permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan izin untuk beristeri lebih dari seorang. Pasal 9 Pejabat yang menerima permintaan izin untuk beristeri lebih dari seorang sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) dilakukan oleh pejabat secara tertulis dalam jangka waktu selambat-lambatnya tiga bulan terhitung mulai ia menerima permintaan izin tersebut. Pasal 12 Pemberian atau penolakan pemberian izin untuk melakuakan perceraian sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 dan untuk beristeri lebih dari seorang sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) dilakukan oleh pejabat secara
46
Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam,, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), Cet 1 h. 496.
tertulis dalam jangka waktu selambat-lambatnya tiga bulan terhitung mulai ia menerima permintaan izin tersebut. Pasal 15 (1) Pegawai Negeri Sipil yang melanggar salah satu atau lebih kewajiban /ketentuan pasal 2 ayat (1) ayat (2) pasal 3 ayat (1) pasal 4 ayat (1) pasal 14 tidak melaporkan perceraiannya, dan tidak melaporkan perkawinannya, yang kedua ketiga/keempat dalam jangka waktu selambat-lambatnya satu tahun terhitung sejak perkawinan tersebut dilangsungkan dijatuhkan salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan peraturan pemerintah nomor 30 tahun 1980 tentang peraturan disiplin Pegawai Negeri Sipil. (2) Pegawai negeri sipil wanita yang melanggar ketentuan pasal 4 ayat 2 dijatuhi hukuman disiplin pemberhentian tidak dengan hormat sebagai pegawai negeri sipil. Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristri lebih dari seorang, wajib memperoleh izin dahulu dari pejabat caranya permintaan izin harus diajukan oleh yang bersangkutan secara tertulis kepada pejabat melalui saluran hierarki oleh yang bersangkutan, dan harus mencantumkan alasan lengkap yang mendasari keinginan beristri lebih dari seorang (PP No. 45 Tahun 1990 pasal 4 ayat 1, 3, 4, sedangkan Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan untuk mempunyai istri kedua/ketiga/keempat (PP No. 45 Tahun 1990 pasal 4 ayat 2. Setiap atasan yang menerima permintaan izin dari Pegawai Negeri Sipil dalam lingkungannya, baik untuk melakukan perceraian atau untuk beristri lebih dari seorang wajib memberikan pertimbangan dan meneruskan kepada pejabat melalui saluran hierarki dalam jangka waktu selambatlambatnya tiga bulan, mulai tanggal ia menerima permintaan izin tersebut. Sedangkan pemberian atau penolakan pemberian izin untuk melakukan perceraian atau untuk beristri lebih dari seorang dilakukan oleh pejabat
secara tertulis dalam jangka waktu selambat-lambatnya tiga bulan terhitung dari menerima permintaan dimaksud.
Sebelum mengambil keputusan pejabat yang menerima permintaan izin untuk melakukan perceraian atau untuk beristri lebih dari seorang wajib mempehatikan dengan seksama alasan-alasan yang dikemukakan dalam surat izin. Jika alasan yang dikemukakan kurang meyakinkan maka pejabat tersebut harus meminta keterangan tambahan dari istri/suami Pegawai Negeri Sipil yang mengajukan permintaan izin itu atau dari pihak yang lain yang dipandang dapat memberikan keterangan meyakinkan. Untuk memberikan rasa adil maka Pegawai Negeri Sipil yang melanggar ketentuan yang dimuat dalam PP No 45 Tahun 1990 akan dijatuhi salah satu disiplin berat dalam PP No. 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil tergantung faktor pelanggarannya. Khusus bagi Pegawai Negeri Sipil wanita yang melanggar ketentuan pasal 4 ayat 2 (menjadi istri ke dua/ketiga/keempat dijatuhi disiplin pemberhentian tidak hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.
5. Instruksi Presiden No 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah salah satu rujukan hukum Islam di Indonesia, dalam Kompilasi Hukum Islam diatur tentang hukum perkawinan, hukum waris dan wakaf. Secara resmi Kompilasi Hukum Islam
(KHI), merupakan hasil konsensus (ijma) ulama melalui media lokakarya, yang kemudian mendapat legalitas dari kekuasaan negara dan disebarluaskan untuk memenuhi kebutuhan hukum subtansial bagi orang-orang yang beragama Islam.47 Selain itu perumusan KHI bertujuan untuk menyiapkan pedoman yang seragam (unikatif) bagi hakim Pengadilan Agama dan menjadi hukum positif yang wajib dipatuhi oleh seluruh bangsa Indonesia yang beragama Islam.48 Aturan yang memuat tentang poligami diatur dalam buku 1 tentang Perkawinan BAB IX pasal 55 samapai 59. Dalam KHI diatur tentang tata cara prosedur poligami. Dalam pasal 55 dijelaskan: (1) (2) (3)
(1) (2) (3)
Beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan,terbatas hanya sampai empat istri. Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya. Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri lebih dari seorang. Pasal 56 Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama Pengajuan permohonan izin dimaksud dalam ayat (1) dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 57 Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
47
Cik Hasan Basri, Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), h. 122. 48
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), h. 43.
a. Tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri. b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. c. Istri tidakdapat melahirkan keturunan. Tampak dalam pasal 57 KHI di atas pengadilan agama hanya memberikan izin kepada suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila si isteri terdapat alasan sebagaiamana dalam pasal 4 Undang-Undang perkawinan jadi suami dapat beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan49 Pasal 58 (1)
selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat 2 maka untuk memperoleh izin Pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu: a. Adanya persetujuan istri. b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
49
(2)
Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, persetujuan istri atau istri-istri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada sidang Pengadilan Agama.
(3)
Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri atau istri-istri tidak mungkin diminta persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari istri atau istri-istri sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat perhatian hakim.
Ahmad Rofiq , Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 1995) h. 175.
Dalam pasal 59 Pengadilan Agama bisa dikatakan sebagai satu-satunya institusi yang bisa memberikan izin beristeri lebih dari empat orang. Pasal 59 Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan dan permohonan izin untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi. Jika diperhatikan substansi poligami dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak berbeda dengan aturan poligami dalam Undang-Undang Perkawinan. Hal ini dikarenakan dalam bidang perkawinan (Buku 1) KHI dalam berbagai hal merujuk kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Disamping itu Kompilasi Hukum Islam juga merujuk kepada pendapat fuqoha yang sangat dikenal di kalangan ulama dan masyarakat Islam Indonesia. Maka dapat dikatakan, KHI merupakan norma hukum konkrit, dalam penerapan hukum antara yang ditetapkan oleh pengurus negara dan pandangan ulama.
50
6. KUHPer (BW) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak mengatur adanya perkawinan poligami karena asas dalam KUHPer adalah monogami. Seperti yang telah dijelaskan dalam pasal 27 bab perkawinan disebutkan
50
125.
Hasan Basri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), h.
“ Dalam waktu yang sama seorang laki hanya diperbolehkan mempunyai satu orang perempuan sebagai isterinya, seorang perempuan hanya satu orang laki sebagai suaminya.51” Sebenarnya pasal ini hampir sama dengan pasal 1 Undang-Undang Perkawinan yang memberikan definisi tentang perkawinan. Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Definisi ini sebenarnya memberikan pemahaman perkawinan adalah akad antara seorang pria dan wanita yang disimpulkan ini prinsip monogami.
51
Subekti dan Tjicrosudibyo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta:PT. Pradya Pramitra, 1996), h. 8.
BAB III POLIGAMI DALAM REALITAS MASYARAKAT INDONESIA
D.
Sejarah Terbentuknya Aturan Poligami Sejarah pembentukan aturan poligami di Indonesia tidak bisa lepas dari sejarah pembentukan aturan tentang perkawinan, hal ini disebabkan poligami merupakan bagian integral dari perkawinan yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan lainnya. Di Indonesia aturan poligami termuat dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, PP No 9 tahun 1975 tentang peraturan pelaksana Undang-Undang No 1 tahun 1974, PP No. 10 tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS), PP No. 45 tahun 1990 tentang perubahan atas PP No 10 tahun 1983, dan yang selanjutnya adalah Inpres No 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). Jika kita lihat dalam aturan poligami tersebut telah menampung aspirasi antara kelompok yang pro dengan kelompok yang kontra. Misalnya dalam Undang-Undang perkawinan yang pada dasarnya menganut asas monogami tetapi tidak menutup rapat-rapat pintu poligami, asalkan mampu memenuhi syarat-syaratnya. Adanya syarat tersebut dengan tujuan untuk melindungi nasib perempuan dan anak-anak jika suaminya berpoligami.52 Berikut sejarah singkat aturan poligami dalam peraturan perkawinan: 1. Poligami Dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Secara historisnya, Undang-Undang No. 1 tahun 1974 telah mengalami perjalanan yang cukup panjang dan memakan waktu cukup lama hal ini bisa dilihat dari proses pencetusan dan pembentukannya, yang melibatkan berbagai kalangan baik dari pemerintah maupun masyarakat itu sendiri. Mulanya pemerintah secara formal mulai merintis ke arah terbentuknya Undang-Undang Perkawinan pada tahun 1950 dengan membentuk sebuah Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk guna meneliti dan meninjau kembali peraturan mengenai perkawinnan serta menyusun suatu Rancangan Undang-Undang (RUU) yang sesuai dengan perkembangan zaman. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 1958 setelah mengalami perubahan baru, panitia tersebut dapat menyelesaikan sebuah Rancangan Undang-Undang perkawinan umat 52
Khofifah Indar Parawansa, Poligami, Hak Perempuan Mana di Langgar, Artikel Diakses pada tanggal 28 Desember 2007, dari http : // www.eramuslim.Com/berita/send/6c14142924-khofifahIndar-parawansa-poligami-hak-perempuan -mana-dilanggar... htm.
Islam, dan diajukan ke DPR.53 Tapi RUU ini menjadi beku setelah adanya dekrit presiden 5 Juli 1959 dan nasib RUU ini tidak terdengar lagi.54 Selang beberapa tahun kemudian, RUU perkawinan ini menjadi Top News tidak hanya di kalangan pemerintah, namun juga di tengah masyarakat. Berbagai reaksi panas pun bermunculan dari berbagai kalangan ormas, yang mendesak pemerintah untuk segera mengundangkan peraturan ini. Tahun 1973 tepatnya tanggal 31 Juli 1973 pemerintah pun melayangkan RUU ini kepada DPR. Namun muncul kehebohan pada saat itu, karena beberapa pasal dari RUU ini terdapat pasal-pasal yang bertentangan dengan hukum Islam. Paling tidak ada 11 pasal dalam RUU tersebut yang bertentangan dengan ajaran Islam, pasal-pasal tersebut adalah pasal 2 ayat 1, pasal 3 yat 2, pasal 7 ayat 1, pasal; 8 ayat c, pasal 10 ayat 2, pasal 11 ayat 2, pasal 12, pasal 13 ayat 1,dan 2, pasal 37, pasal 46 ayat c dan d, pasal 62 ayat 2, pasal 37, pasal 46 ayat c dan d, pasal 62 ayat 2, dan pasal 62 ayat 9. Prof. Dr. Busthanul Arifin menyimpulkan, bahwa semua persoalan dalam RUU tersebut dapat dirumuskan pada tiga persoalan, perkawinan tanpa dasar agama, perkawinan antar pemeluk agama, dan anak angkat.55 Diantara reaksi itu mereka menentang tentang pasal yang mengatur poligami yang memuat tentang syarat bagi laki-laki yang akan berpoligami.56 Tapi hal itu bisa diatasi berkat dukungan masyarakat dan kebijakan pemerintah, sehingga pasal-pasal yang tidak dikehendakipun bisa disingkirkan. Barulah pada tanggal 2 Januari 1974 Undang-Undang No.1 tahun 1974 ini diundangkan. Undang-Undang ini merupakan undang-undang pertama di Indonesia yang mengatur masalah perkawinan secara nasional.57 Sebelum Undang-Undang ini lahir, masalah perkawinan diatur melalui beragam hukum, yaitu hukum adat bagi warga negara Indonesia asli, hukum Islam bagi warga negara Indonesia asli yang beragama Islam, Ordonansi Perkawinnan Indonesia Kristen bagi warga negara Indonesia yang beragama Kristen di Jawa, Minahasa dan Ambon, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Bagi warga 53
Khoerudin Nasution, Status Wanita di Asia Teggara, Studi terhadap Perundang-Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, (Jakarta: INIS, 2002), h.51. 54
Ibid., h. 51.
55
Dari berbagai Sumber, “Riwayat UU No. 1 /1974” Republika, 23 Mei 1997, h. 16. Nunuy Nurhayati, “Pasang Surut Aturan Poligami” Tempo (Desember 2006): h. 110.
56 57
Siti Musdah Mulia, “Perlunya Revisi Undang-Undang Perkawinan”, Jurnal Perempuan, no 49 2006 (September 2006: h.71.
negara Indonesia keturunan Eropa, Cina, dan Peraturan Perkawinan campuran bagi perkawinan campuran. Jelas sekali bahwa tujuan utama dari Undang-Undang Perkawinan adalah penyeragaman hukum perkawinan yang sebelumnya sangat beragam.58 Sebelum direvisi RUU perkawinan awalnya berisi 73 pasal menciut menjadi 67 pasal. Pasal-pasal yang dihapus adalah pasal 11 tentang perkawinan antar agama, pasal 13 tentang pertunangan, pasal 14 mengenai tata cara gugatan perkawinan, dan pasal 62 menyangkut pengangkatan anak.59 Usulan pemerintah yang asli menyebutkan bahwa perkawinan pada dasarnya monogami, tapi tetap memperkenankan laki-laki muslim untuk berpoligami asalkan memenuhi syarat.60 Diantara persyaratan tersebut adalah bahwa seseorang yang ingin berpoligami harus membuktikan diri di pengadilan bahwa dirinya mampu memberikan nafkah untuk keluarga lain dan dia diizinkan oleh istrinya yang terdahulu. Rancangan undang-undang tersebut tidak mencantumkan aturan yang menyatakan bahwa perkawinan poligami yang tidak didasarkan pada persyaratan yang sudah ditetapkan serta tidak mendapatkan pengesahan hukum adalah perkawinan yang tidak sah. Disebabkan rancangan ketetapan poligami lebih ditujukan untuk mengatur boleh tidaknya seorang kawin dan bukan mengenai syah atau tidak syahnya suatu perkawinan, maka aturan tersebut menjadi qanun. Dengan demikian legislasi tersebut dapat diterima dan tidak diubah sebagai ketetapan undang-undang.61 Pada dasarnya, UU Perkawinan menganut asas monogami, namun karena berbagai alasan, sehingga UU Perkawinan pun menganut asas poligami dengan syarat suami dapat memenuhi berbagai persyaratan. Pasal. 58 ayat 1 sub.(a) selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat 2 maka untuk memperoleh izin pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syaratsyarat yang ditentukan pada 5 UU No. 1/1974 yaitu; (1) adanya persetujuan istri.
58
Ibid., h. 71.
59
Dari berbagai Sumber, “Riwayat UU No. 1 /1974” Republika, 23 Mei 1997, h. 16.
60
Sudirman Tebba, Perkembangan Mutakhir Hukum Islam di Asia Tenggara: Studi kasus Hukum Keluarga dan Pengkondifikasiannya, (Bandung: Mizan, 1993), h. 37. 61 Ibid., h. 37.
Dalam perkembangannya aturan tentang poligami banyak menuai kritik dari masyarakat Indonesia baik dari kalangan akademisi, praktisi hukum, maupuan LSM. Menurut mereka aturan tentang poligami sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman, dan harus segera direvisi.
2. Poligami Dalam PP No. 9 Tahun 1975 PP No. 9 tahun 1975 mengatur tentang pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974. Dalam hal ini, PP No. 9 tahun 1975 berperan penting dalam menyokong pelaksanaan UU perkawinan. PP No. 1975 diundangkan pada tanggal 1 April 1975 yang bertujuan untuk melancarkan pelaksanaan Undang-Undang tersebut secara efektif. PP ini memuat beberapa bab yang memuat pasal-pasal yang masih berkaitan erat dengan perkawinan. Namun, PP ini lebih spesifik mengatur tentang prosedural perkawinan itu dan dijelaskan secara spesifik dan terperinci.
3. Poligami dalam PP No. 10 tahun 1983 dan PP No.45 tahun 1990 PP No. 10 Tahun 1983 ini mengatur tentang izin perkawinan dan perceraian Pegawai negeri Sipil. PP No. 10 Tahun 1983 ini mengatur secara terperinci tentang prosedur perkawinan dan perceraian di kalangan Pegawai Negeri Sipil (PNS).62 PP ini dibuat sebagai pelaksana
62
Ibid., h. 359.
dari Undang-Undang Perkawinan. Dalam PP ini diatur pegawai negeri yang berniat bercerai atau menikah lagi harus memperoleh izin dari atasannya, pegawai negeri juga dilarang “hidup bersama di luar nikah” bila dilanggar sangsinya pemecatan.63 PP ini terbit tanggal 21 April 1983. Sedangkan PP No. 45 tahun 1990 terbit pada tanggal 6 September 1990 yang bertujuan memperkuat PP No. 10 tahun 1983. PP ini dinilai tidak banyak manfaatnya, karena dalam salah satu pasalnya menyebutkan bahwa Pegawai Negeri Sipil perempuan dilarang sama sekali menjadi istri kedua, ketiga, dan keempat hal ini dianggap memperlemah posisi pegawai perempuan bila dihadapkan pada situasi harus menjadi istri kedua suatu hal yang sering tak terhindarkan.64 Pada
tanggal
5
Desember
2006
Presiden
berencana
memberlakukan PP No. 10 tahun 1983 dan PP No. 45 tahun 1990 untuk seluruh masyarakat, tak hanya Pegawai Negeri Sipil, rencana ini ditentang oleh sejumlah tokoh Islam. Presiden kemudian minta agar masalah perkawinan dan poligami ini dikembalikan ke UU dan PP yang ada.
4. Poligami dalam Inpres No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI)
63 64
Nunuy Nurhayati, “Pasang Surut Aturan Poligami, Tempo, (Desember 2006): h. 110. Nurhayati, Pasang Surut Aturan Poligami, h. 110.
Kebutuhan akan adanya KHI bagi pengadilan agama sudah lama menjadi catatan dalam sejarah Departemen Agama. Usaha dalam penyusunan KHI adalah merupakan bagian upaya kita dalam rangka mencari pola fikih yang bersifat khas Indonesia atau fikih yang bersifat kontekstual, maka proses ini telah berlangsung lama sekali sejalan dengan perkembangan hukum Islam di Indonesia atau paling tidak sejalan dengan kemunculan ide-ide pemahaman dalam pemikiran hukum Islam di Indonesia. Menurut Bustanul Arifin seorang ketua Hakim Agung mengatakan bahwa ide-ide Kompilasi Hukum Islam timbul setelah berjalan dua setengah tahun Mahkamah Agung membina bidang teknik yustisial Pengadilan Agama. Dari upaya-upaya tersebut ada beberapa tahapan-tahapan sehingga lahirnya KHI: a . Periode awal sampai tahun 1945 Pada zaman penjajahan VOC kedudukan hukum Islam dalam bidang kekeluargaan diakui bahkan di kumpulkan dalam sebuah peraturan yang dikenal dengan Frever Compemdium (1760 M). selain itu telah dibuat pula kumpulan hukum perkawinan dan kewarisan Islam untuk daerah Cirebon, Semarang, dan Makasar. Di Indonesia kita mengenal adanya hukum adat dimana hukum adat menjadi sebuah patokan sehingga timbulnya hukum Islam. Belakangan aliran hukum adat yang dipelopori oleh Voller
Hoven, Ferhar dan juga Snouck Hourgrounye, menentang teori Receptio In Complexu. Dengan teori resepsinya yang menyatakan bahwa hukum Islam baru diberlakukan bagi pribumi apabila sudah diterima oleh hukum adat. Mereka berhasil memasukan prinsip teori itu kedalam UUD Hindia Belanda yang baru (IS-Indisches Staatregeling 1919) dalam pasal 134 ayat 2 yang berbunyi Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam akan diselesaikan oleh hakim agama Islam, apabila keadaan tersebut telah diterima oleh hukum adat mereka dan sejauh tidak ditentukan oleh ordonansi. Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1922 membentuk sebuah komisi
untuk
meninjau
kedudukan
dan
wewenang
dari
priesterraad. diketui oleh wakil penasehat urusan pribumi dan Islam, dua orang bupati, dua orang penghulu, seorang tokoh pergerakan Islam dan juri Belanda (Terhater). Setelah bekerja selama empat tahun maka pada tahun 1926 komisi itu menyampaikan
hasil
kerjanya,
berupa
sebuah
rancangan
ordonansi tentang penghoeloegerecht (pengadilan penghulu) yang baru diumumkan dengan stb. 1931 No. 153. Kemudian pada saat yang bersamaan penguasa Hindia Belanda melakukan tindakan yang dapat diambil manfaatnya oleh Al-Tasyrifil Munakahat yaitu mempertegas kebiasaan pencatatan nikah, talak, rujuk (NTR) dengan adanya berbagai ordonansi.
b. Periode 1945 sampai dengan tahun 1985 Pemerintah Republik Indonesia menemukan kenyataan bahwa hukum Islam yang berlaku itu tidak tertulis dan terserakserak di berbagai kitab yang sering berbeda tentang hal yang sama antara satu dengan yang lain. Pada tanggal 22 November 1946 di Linggarjati (Cirebon) oleh presiden RI ditetapkan UU No.22 tahun 1946 tentang penyatuan Pencatatan NTR ( Nikah. Talaq. Cerai ) menggantikan ordonasi-ordonasi perkawinan yang sebelumnya. Ini merupakan Undang-Undang pertama dalam sejarah kemerdekaan, yang jelas menyangkut pelaksanaan syariat Islam, sekalipun belum memasuki materi hukum perkawinannya sendiri. Pada masa itu dipisahlah fungsi penghulu selaku kepala pencatat nikah dengan hakim atau ketua pengadilan agama dengan penetapan Menteri No.6 tahun 1947 atas usul konferensi jawatan urusan agama se-Jawa dan Madura tanggal 12-16 Desember 1947 di Yogyakarta. Setelah pengakuaan kedaulatan dengan terbentuknya RIS serta Negara kesatuaan. pelaksanaan UU No.22 tahun 1946 tentang pencatatan NTR ini. diberlakukan untuk seluruh Indonesia dengan UU No.32 tahun 1954. Pada tahun 1970 dalam pola pembangunan nasional sementara berencana disebutkan adanya lingkungan peradilan yang harus didasarkan pada kriteria zakelijk yaitu (a) Umum (b) Agama dan (c) Militer yang kemudiaan ditambah dengan saran MPRS
tentang diadakannya peradilan administrasi dan pokok pikiran yang disusun oleh para praktisi hukum. Penyususun perundangundangan semasa orde lama itu ternyata dapat bertahan sampai orde baru, sehingga lahirnya UU No. 14 tahun 1970 yang menegaskan adanya empat lingkungan peradilan. Proses penyususan UU Perkawinan 1974 merupakan sebuah uji coba bagi pemerintah Orde Baru dan Golkar tentang pandangan dan penilaian mereka terhadap Islam. Maka setelah presiden Soeharto menegaskan pendiriannya (Isra Mi'raj di masjid Istiqlal 26 Agustus 1973) bahwa tidak mungkin dan tidak masuk akal kalau pemerintah mengajukan yang bertentangan dengan aspirasi dan pandangan hidup masyarakat yang ada di Indonesia dan bahwa tidak benar RUU perkawinan yang diajukan oleh pemerintah itu bertentangan dengan agama Islam. Maka tidak ada lagi perbedaan pandangan diantara anggota yang beragama Islam baik ia Golkar, PPP, PDI, atau ABRl. 2 Menjelang akhir tahun 1987 telah terbentuk instansi Peradilan Agama di seluruh kabupaten di Indonesia (kecuali Timor Timur). Sesuai dengan pemekaran daerah tingkat II, dan hampir di semua ibukota propinsi sudah dibentuk pengadilan tinggi agama yang secara fisik sekitar 92% telah menempati gedungnya sendiri. Adapun penyusunan RUU Peradilan Agama sampai pada pengesahan di Forum DPR merupakan hasil kerja sama yang
kompak sekali antara Departemen Agama, Mahkamah Agung dan Departemen Kehakiman suatu suasana yang tidak mungkin terbayangkan dapat terjadi pada masa Orde Lama. c. Periode 1985 sampai sekarang Periode ini dimulai sejak ditandatangani surat keputusan bersama ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama RI tentang penunjukan pelaksana proyek pembangunan hukum Islam melalui Yurisprudensi No.07/KMA/1985 dan No 25 tahun 1985 tanggal 25 Maret 1985 di Yogyakarta. Di dalam bukunya Bustanul Arifin mengatakan bahwa ide KHI timbul setelah berjalan dua setengah tahun Mahkamah Agung membina bidang teknis yustisial peradilan agama. Berdasarkan keterangan tersebut telah tampak bahwa ide untuk mengadakan KHI ini memang baru muncul sekitar tahun 1985 dan kemunculannya ini merupakan hasil kompromi antara pihak Mahkamah Agung dengan Departemen Agama. Tugas pembinaan ini didasarkan pada UU No. 14 tahun 1970 tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman pasal 11 ayat 1 yang mengatakan bahwa
organisasi
dilakukan
oleh
administrasi departemen
dan
keuangan
pengadilan
masing-masing.
sedangkan
pembinaan teknis yustisial dilakukan oleh MA. Selama pembinaan teknis yustisial Peradilan Agama oleh Mahkamah Agung terasa adanya beberapa kelemahan antara lain soal hukum Islam yang
diterapkan di lingkungan Peradilan Agama yang cenderung simpang siur disebabkan oleh perbedaan pendapat ulama dalam hampir setiap persoalan. Melalui keputusan bersama ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama tanggal 21 Maret 1985 No.07/KMA/1985 No.25 tahun 1985 tentang penunjukan pelaksana proyek pembangunan hukum Islam melalui yurisprudensi dimulailah kegiatan proyek dimaksud yang berlangsung untuk jangka waktu dua tahun. Menurut lampiran surat keputusan bersama tanggal 21 Maret 1985 ditentukan bahwa tugas-tugas proyek tersebut adalah untuk melaksanakan
usaha
pembangunan
hukum
Islam
melalui
yurisprudensi dengan jalan kompilasi hukum. Sasarannya mengkaji kitab-kitab yang digunakan sebagai landasan putusan-putusan hakim agar sesuai dengan perkembangan masyarakat Indonesia untuk menuju hukum nasional.
Seperti yang sudah diketahui
Kompilasi Hukum Islam (KHI), terdiri atas tiga buku. Buku I tentang perkawinan, Buku II tentang kewarisan dan Buku III tentang perwakafan. Ditinjau dari materi muatan Kompilasi Hukum Islam ini khususnya mengenai hukum perkawinan dapat dilihat banyaknya terjadi duplikasi dengan apa yang diatur dalam UU No.l tahun 1974 dan PP No.9 tahun 1975 mengingat KHI ini juga mengacu ketentuan ketentuan yang bersifat prosedural. Keberanian KHI mengambil alih
aturan tersebut merupakan langkah maju secara dinamis, aktualisasi hukum Islam di bidang poligami, keberanian untuk mengaktualkan dan membatasi kebebasan poligami didasarkan atas alasan ketertiban umum.65 Hukum poligami adalah boleh, dan kebolehan itu pun harus ditelusuri sejarah digantungkan, pada situasi dan kondisi masa permulaan Islam.66
E.
Persepsi Masyarakat Terhadap Aturan Poligami Persepsi masyarakat sangat beragam dalam menanggapi aturan tentang poligami, persepsi tentang aturan poligami banyak datang dari kalangan akademisi, paraktisi hukum, organisasi keagamaan dan LSM karena mereka yang langsung berhubungan dengan Undang-Undang tersebut. Sedangkan masyarakat awam hanya mengikuti pendapat mereka bahkan banyak dari mereka yang tidak tahu tentang aturan poligami. Berikut persepsi masyarakat tentang aturan poligami yang dari latar belakang yang berbeda-beda. a. Kalangan Akademisi Jika kita cermati aturan poligami dalam Undang-Undang No1 tahun 1974, PP No. 9 tahun 1975 dan Kompilasi Hukum Islam, secara yuridis normatif poligami adalah sesuatu yang mungkin dilakukan. Walaupun demikian kalau norma-norma tersebut dilaksanakan secara konsekuen oleh semua aparat penegak hukum, maka poligami merupakan sesuatu yang sangat sulit terjadi. Semangat yang terkandung dalam UndangUndang tersebut kalau dilihat dari latar belakang pembuatannya adalah memberikan proteksi terhadap perempuan dari kemungkinan kesewenang-wenangan kaum laki-laki.67 Lahirnya Undang-Undang No.1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam merupakan payung hukum bagi kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga. Pengetatan persyaratan dan prosedur poligami untuk memperoleh izin dari 65
Dadan Muttaqien, dkk, Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2000), h.101. 66
Ibid., h. 101. Ketika Rancangan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dibahas oleh DPR RI, masyarakat Indonesia khusunya organisasi-organisasi perempuan waktu itu secara masif melakukan gerakan untuk mendukung RUU tersebut menjadi Undang-Undang. Hasilnya pada tanggal 2 Januari 1974 RUU tersebut secara resmi diundangkan. Lihat Asrosastroatmojdo dan Wasit Aulawi dalam, Hukum Perkawinan di Indonesia, ( Jakarta: Bulan Bintang, ), h. 84. 67
Pengadilan Agama adalah sebagai bentuk implementasi asas perkawinan yang monogami, dan untuk merealisasikan tujuan perkawinan itu sendiri yaitu mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Landasan filosifis Undang-Undang Perkawinan dan KHI yang menyaratkan pencatatan perkawinan dan izin poligami dengan persyaratan yang ketat adalah bentuk penegasan yuridis adanya campur tangan pemerintah dalam setiap perkawinan. Walaupun campur tangan tersebut masih bersifat administratif, akan tetapi cukup efektif dalam mengeliminir praktik poligami dan implikasinya sekaligus untuk mendekonstruksi persepsi masyarakat bahwa perkawinan merupakan individual affair atau urusan pribadi.68 Dengan adanya Undang-Undang ini maka jelas perkawinan juga mempunyai dimensi sosiologis dan yuridis yang bertumpu pada asas kesetaraan jender, yaitu bangunan keluarga yang sederajat dan adil antara pihak suami dan istri.69 b. Kelompok Jender Kelompok ini menganggap bahwa aturan perkawinan di Indonesia terkesan pro poligami hal ini dapat dilihat dari aturan-aturan tentang perkawinan yang mengatur secara rinci tentang poligami, mereka menilai aturan tentang poligami sangat diskriminatif dan tidak adil terhadap perempuan. Dalam hal poligami, perempuan (istri) tidak punya hak yang sama dengan laki-laki (suami). Ketika pasangan suami istri menikah dan tidak mempunyai keturunan suami boleh berpoligami, di sisi lain istri tidak bisa mengajukan poliandri (bersuami lebih dari satu) padahal alasannya untuk mendapatkan keturunan.70 Alasan yang digunakan untuk pelarangan poliandri adalah adanya kekhawatiran keturunan mereka tidak diketahui siapa ayah biologisnya. Padahal pada zaman sekarang untuk mengetahui hal tersebut tidaklah sulit. Sehingga yang terjadi apabila keluarga tersebut tidak dapat memberi keturunan suami dapat berpoligami sedangkan si istri pasrah tanpa bisa berbuat apa-apa71 Mereka mengusulkan agar aturan perkawinan di
68
Ridwan, Membongkar Fiqh Negara: Wacana Keadilan Dalam Hukum Keluarga Islam, (Yogyakarta: Pusat Studi Gender (PSG) STAIN Purwokerto dan Unggun Religi, 2005), Cet. 1 h.173. 69
Ibid., h. 173.
70
Asnifrianti Damanik, “Undang-Undang Perkawinan Yang Masih Syarat Persoalan” Swara Rahima, No, 14 Th. V (April 2005): h. 15. 71
Ibid., h. 17.
Indonesia melarang poligami secara mutlak, karena poligami termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan (Crime Against).72 c. Organisasi Keagamaan Kelompok ini umumnya tidak banyak memberikan komentar tentang aturan poligami di Indonesia, mereka menilai Undang-Undang ini sudah sesuai dengan prinsip Islam, hanya saja di Indonesia ada syarat tambahan yaitu adanya izin dari Pengadilan Agama. Meskipun Islam membolehkan poligami tapi poligami tidak bisa dilakukan dengan bebas. 73 F.
Data Pelaku Poligami Dilihat dari data Pengadilan Agama Seluruh Indonesia yang Penulis dapat, maka izin untuk melakukan poligami cenderung menurun. Hal ini bisa disebabkan poligami sangat rentan terhadap keretakan rumah tangga. Data yang penulis dapatkan perceraian dengan alasan poligami pada tahun 2004 sebanyak 813 kasus, tahun 2005 sebanyak 879 kasus dan pada tahun 2006 sebanyak 983 kasus. Berikut ini penulis sajikan data Izin untuk berpoligami yang diterima Pengadilan Agama seluruh Indonesia dalam tiga tahun terakhir
Data Izin Poligami yang di keluarkan Peradilan Agama Seluruh Indonesia
No. 1.
Tahun 2004
Jumlah Izin Permohonan
Jumlah Izin Yang
Poligami
Dikeluarkan
1600
809
72
Musdah Mulia, “Perlunya Revisi Undang-Undang Perkawinan,” Jurnal Perempuan, no 49 2006 (September 2006: h.78. 73
Ma’ruf Amin, “Mereka Bicara Poligami” Majalah Tempo,Edisi 11-17 Desember 2006, (Desember 2006), h. 114.
2.
2005
989
803
3.
2006
948
776
Sumber: Direktorat Jenderal Pembinaan Pengadilan Agama Departemen Agama RI
BAB IV PRO KONTRA SEPUTAR ATURAN POLIGAMI
Pandangan Para Pakar Terhadap Aturan Poligami 1. Pandangan Para Pakar Tentang Praktik Poligami Sebelum membahas tentang pandangan para pakar terhadap aturan poligami di Indonesia maka terlebih dahulu penulis akan menjelaskan pandangan para pakar terhadap praktik poligami di Indonesia secara umum. Penulis akan memetakannya menjadi tiga bagian yang pertama yaitu pihak yang pro terhadap poligami, pihak yang kontra terhadap poligami, dan pihak yang bersifat moderat terhadap praktik poligami. a. Pihak Yang Pro Terhadap Praktik Poligami Mereka beralasan poligami mengikuti sunnah Rasul, selain itu poligami juga banyak hikmah yang bisa diambil. Berikut beberapa pandangan mereka tentang poligami. 1.
Pandangan mereka tentang ayat yang membolehkan poligami yaitu QS. al- Nisa/ 4:374
74
Buletin Al Islam Hizbut Tahrir Indonesia, Mengapa Poligami Ditentang PornografiPornoaksi dan Perselingkuhan Dibiarkan?, (Jakarta), Edisi 333/Tahun XIII, 15 Desember 2006, h. 2.
☺ (٣:٤/) اﻟﻨﺴﺂء Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil Maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” Ayat ini diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, pada tahun kedelapan Hijriyyah, dengan tujuan untuk membatasi jumlah istri pada batas maksimal yaitu empat orang saja. Karena sebelum ayat ini turun jumlah istri bagi seorang pria adalah tidak terbatas. Ayat ini juga memerintahkan agar seorang suami yang berpoligami bersikap adil terhadap istri atau istri-istrinya. Namun yang paling penting dalam ayat ini lebih menganjurkan kepada bentuk perkawinan monogami. Perlu digaris bawahi bahwa keadilan bukanlah syarat bagi kebolehan untuk melakukan poligami. Pandangan ini harus dimiliki oleh seorang suami dalam kehidupan berpoligami disamping dorongan untuk membatasi jumlah istri pada satu wanita saja. Patut ditegaskan dalam kajian fikih Islam istilah syarat itu digunakan untuk menunjuk pada
kondisi atau perbuatan yang menjadi bagian dari perbuatan yang dipersyaratkan. Syarat ini biasanya harus dipenuhi sebelum perbuatan tersebut dilakukan, misalnya suci dari hadas dan najis merupakan syarat syahnya shalat, keadaan ini harus dipenuhi sebelum shalat dan terus berlangsung sepanjang shalat dikerjakan. Realitas syarat semacam ini tentu tidak tepat jika dikaitkan dengan sifat adil suami yang ingin berpoligami. Bila adil merupakan syarat sah berpoligami lalu bagaimana mungkin syarat itu bisa dipenuhi sebelum akad nikah itu terjadi, sementara pernikahan adil baru bisa dilakukan sesudah pernikahan. Pengertian adil dalam ayat di atas masih bersifat umum, tetapi kata yang bersifat umum tersebut kemudian ditaksis (diperlakukan secara khusus) yaitu bahwa keadaan yang dimaksud adalah keadaan yang berada dalam batas-batas kemampuan manusia sesuai dengan keterangan ayat yang lain. Berkenaan dengan ayat ini Ibnu Abbas RA menuturkan bahwa Nabi SAW telah menjelaskan maksud ayat ini, yaitu dalam masalah cinta, kasih dan kesenangan memang tidak bisa berbuat adil dalam arti yang sama. Karena itu Allah SWT, menjelaskan bahwa seorang suami mustahil bersikap adil dan berlaku sama terhadap istri-istrinya. Keadaan yang dibebankan oleh Allah SWT atas diri seorang terhadap istri-istrinya adalah sebatas kemampuannya, dengan syarat ia telah menyerahkan segala kemampuannya. Keadilan yang dituntut hanya khusus dalam hal yang bersifat material yakni di luar masalah cinta dan kasih sayang.
Semua manusia bahkan Rasulullah sendiri tidak akan sanggup berlaku adil dalam perkara cinta dan kasih sayang. Hal ini ditegaskan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah ra yang ditulis demikian: Rasulullah SAW pernah melakukan pembagian untuk istri-istrinya dan beliaupun berlaku adil, kemudian berdoa (yang artinya) Ya Allah sesungguhnya keadilanku ini berdasarkan yang aku sanggup lakukan, oleh karena itu engkau cela diriku karena apa yang engkau kuasai, namun tidak sanggup aku lakukan (HR Ibnu Majah). Kesimpulannya keadilan yang diwajibkan atas suami adalah bersifat
seimbang
diantara
para
istri-istrinya,
sesuai
dengan
kemampuannya yaitu dalam hal bermalam, atau memberi makan, pakaian, tempat tinggal dan lain-lain, bukan dalam masalah cinta dan kasih sayang yang memang berada di luar kemampuan manusia. Golongan ini juga menampik bahwa poligami sering menimbulkan berbagai kasus kekerasan dalam rumah tangga, menurut mereka hal ini tidak bisa dijadikan alasan. Sebab realita itu terjadi karena praktik poligami tidak dijalankan dengan tuntutan Islam. Solusinya bukan melarang poligami tapi meluruskan praktik poligami yang salah. Alasan lain mengatakan bahwa wanita menjadi sakit hati dan tertekan karena suaminya menikah lagi, hal ini juga tidak tepat dijadikan alasan. Kejadian ini ditimbulkan karena yang diperhatikan hanya isteri pertama sedangkan istri yang kedua, ketiga, dan keempat tidak diperhatikan. Karena ada anggapan bahwa poligami adalah sebagai
sesuatu yang buruk itu terjadi karena kampanye massif yang dilakukan oleh kalangan yang anti terhadap poligami. Sebaliknya jika ia menganggap poligami sebagai sesuatu yang baik maka ia tidak akan merasa sakit hati. Disamping alasan-alasan yang sudah dijelaskan di atas golongan ini juga berpendapat bahwa hikmah dari disyariatkannya poligami sangat tinggi yang berdampak terhadap kemaslahatan bagi masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung kemaslahatan itu meliputi: a. Mengatasi Kerusakan Sosial Poligami sering dianggap sebagai suatu problem yang menakutkan bagi kaum wanita hal ini
dikarenakan kurangnya
pemahaman yang mendalam tentang poligami. Ada dua hal yang tidak dapat dipungkiri menuntut pelaksanaan poligami. 1.
Bertambahnya jumlah wanita melebihi jumlah pria. Hampir di semua Negara hal ini terjadi walaupun tidak dalam keadaan perang. Berdasarkan statistik di beberapa Negara telah membuktikan bahwa kelahiran seorang laki-laki dibarengi dengan kelahiran lebih dari dua anak perempuan.75 Dalam keadaan seperti ini poligami adalah suatu keharusan.76
75
Syaiful Islam Mubarak, Poligami Yang Didamba Wanita (Bandung, PT Syaamil Cipta Media, 2003 ) h. 18. 76
h. 24.
Abdullah Nasih Ulwan, Hikmah Poligami Dalam Islam (Jakarta, Studi Press, 1999) Cet. 1
2.
Berkurangnya jumlah kaum pria akibat perang baik sebab politik maupun sebab agama. Melihat bahayanya perang dan berkurangnya kaum pria maka salah satu cara untuk mengganti kerugian tersebut adalah memperbolehkan poligami.77
b. Kemaslahatan Individu Kemaslahatan ini ditimbulkan oleh beberapa sebab yang ditimbulkan dalam keluarga seperti 1. Si
isteri
dalam
keadaan
mandul,
sedangkan
suami
menginginkan keturunan kondisi ini jika dibiarkan akan menemui titik buntu, kecuali ada dua alternatif yang pertama; yaitu menceraikan istri dan yang kedua yaitu menambah istri. Seorang wanita yang tidak dikuasai oleh hawa nafsunya dan memiliki keseimbangan antara keyakinan perasaan dan logika pasti akan memilih poligami.78 2.
Suami memiliki libido seks yang kuat yang tidak hanya cukup dengan seorang istri. Hal ini disebabkan karena isterinya sudah tua atau istri sering sakit-sakitan sehingga tidak mungkin melakukan hubungan suami istri, dalam kondisi seperti itu, Suami akan memilih dua alternatif yaitu
) h. 18.
77
Ibid h. 25.
78
Syaiful Islam , Poligami Yang Didamba Wanita, (Bandung, PT Syaamil Cipta Media, 2003
memenuhi hasrat dengan cara haram berzina atau menikah lagi. Tentu saja dengan memperhatikan hukum-hukum syari’at akan menikah lagi.79 3.
Seorang suami yang ingin memiliki keinginan kuat untuk memperbanyak keturunan demi kepentingan dakwah. Dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Nasa’i dari Rasulullah SAW berkata: Menikahlah kalian dan perbanyak keturunan kalian karena aku bangga melihat kalian sebagai umatku di hari akhir. Keinginan tersebut tidak akan bisa terpenuhi dengan satu istri maka pilihan yang tepat adalah dengan berpoligami.
c. Mengatasi Kerusakan Moral Ketika angka statistik telah membuktikan bahwa jumlah wanita lebih banyak dari jumlah pria, maka poligami merupakan suatu alternatif yang paling baik untuk mengatasi problem tersebut. Pada zaman sekarang telah terbukti banyak wanita yang kesepian yang telah terjerumus dalam kehancuran karena tidak memperhatikan keadaan dirinya. Poligami bukanlah sesuatu yang diwajibkan dalam Islam bukan juga sesuatu yang disunnahkan bagi kaum muslim, tetapi hanya menjadikannya sebagai sesuatu yang mubah yakni sesuatu 79
Ulwan, Hikmah Poligami Dalam Islam, h.25.
yang boleh dilakukan jika dipandang perlu. Imam Syafi’i menyatakan bahwa telah diriwayatkan dari Ali RA. Umar dan Abdurrahman bin Auf RA bahkan tidak ada seorang sahabatpun yang menentang kebolehan poligami hingga batas maksimal empat orang. Karena poligami merupakan syari’ah yang ada dalam Al Qur’an dan Al Hadis secara jelas maka penentangan/penolakan terhadap kebolehan poligami sebenarnya merupakan penentangan terhadap hukum Allah. Dan sebenarnya ini yang sedang terjadi saat ini dimana, kapitalis dan propaganda barat terus berupaya menjadikan hal ini sebagai senjata untuk menyerang Islam. Faktor utama mereka menistakan poligami semata-mata untuk menekan Islam dengan embel-embel membela perempuan. Para penolak poligami dipengaruhi oleh pemikir barat yang menentang poligami, mereka mngeraskan volume keras-keras menyerukan perlunya pintu poligami ditutup rapat-rapat, tapi disisi lain mereka diam seribu bahasa terhadap pratik perzinahan yang berdampak negatif.
b. Pihak Yang Kontra Terhadap Praktik Poligami Perdebatan mengenai masalah poligami memang menjadi permasalahan yang rumit, karena masing-masing pihak mempunyai argumen yang apabila kita perhatikan cukup logis. Perdebatan poligami tentu tidak lepas dari penafsiran terhadap sumber hukum agama atau dasar hukum, dalam hal ini sumber hukum yang berdasar
atas kitab suci dan hadis. Selain itu juga sumber hukum yang bersumber dari perundang-undangan di Indonesia khususnya UndangUndang Perkawinan. Sebelum
menjelaskan
pandangan-pandangan
pihak
yang
menolak poligami perlu di ketahui bahwa pihak yang menolak poligami di Indonesia diantaranya Aktivis Gender seperti Dr. Musdah Mulia, beberapa LSM dan aktivis HAM yang memperjuangkan hakhak perempuan. Para penolak poligami banyak dipengaruhi oleh pemikir barat yang menentang poligami, mereka mengeraskan suara sambil menyerukan praktik poligami ditutup secara keseluruhan.80 Tapi di sisi lain mereka diam seribu bahasa ketika praktik perzinaan yang berdampak negatif. Tidak asing lagi bagi kita ayat Al Qur’an yang berkenaan dengan poligami adalah surat al Nisa ayat 3, Ayat ini secara eksplisit membolehkan poligami dua, tiga, atau empat.81 Ayat inilah yang selalu menjadi andalan para pendukung poligami padahal diturunkannya ayat tersebut dalam konteks perlindungan terhadap yatim piatu dan korban perang. Poligami bisa dilakukan jika berlaku adil terhadap istriistrinya. Maka secara tidak langsung ayat ini berhubungan dengan ayat 129 surat al Nisa yang menegaskan bahwa engkau laki-laki tidak akan berlaku adil, walaupun berusaha keras untuk itu. Pendapat golongan
80
Opini, Poligami Masuk Istana, Tempo XXXV No. 42 (Desember 2006), h. 23.
ini terhadap kedua ayat surat al-Nisa tersebut menunjukkan dilarangnya poligami. Menurut mereka ayat pertama membolehkan poligami dengan syarat berlaku adil terhadap wanita-wanita yang menjadi istrinya, sedang ayat kedua menerangkan bahwa seseorang tidak dapat berbuat adil kendati pun ia berkeinginan untuk itu. Dengan demikian ibadah ta’addud pada ayat pertama tidak mungkin terjadi, sebab seseorang menurut nash ayat kedua tidak akan mampu berbuat adil. Untuk itu dapat disimpulkan bahwa poligami hukumnya haram, menurut nas dua ayat di atas.82 Para aktivis jender mengatakan
poligami pada hakikatnya
merupakan bentuk pengunggulan kaum laki-laki dan penegasan bahwa fungsi istri dalam perkawinan adalah hanya untuk melayani suami saja. Hal ini bisa dilihat dari alasan yang dipakai oleh Pengadilan Agama untuk memberi izin suami melakukan poligami (karena istri cacat badan, karena istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, dan istri tidak dapat melahirkan keturunan.) Musdah Mulia salah satu aktivis perempuan mengatakan bahwa para pelaku poligami sering mengaitkan tindakan ini dengan syariat Islam. Alasannya mengikuti sunnah Rasulullah. Jika sunnah, mengapa Nabi tidak melakukannya sejak awal berumah tangga? Bukankah
82
Abuttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah Poligami Dalam Islam VS Monogami Barat, (Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1993) h. 15.
dalam masyarakat Arab Jahiliyyah ketika itu poligami merupakan tradisi yang sudah berurat akar dalam praktiknya. Disamping menganggap poligami itu sunnah, ada lagi anggapan Nabi melakukan poligami dengan tujuan sebagaimana para pengikutnya seperti sekarang yaitu hanya untuk memenuhi tuntutan biologis atau dengan kata lain hanya untuk memenuhi hasrat seksualnya saja.83
Pada
kenyataannya Rasulullah sangat mengagungkan monogami hal ini bisa terlihat dengan pernikahan monogami Rasul dengan Siti Khatidjah yang berlangsung selama 28 tahun.84 Kalaupun Rasulullah menikah lagi setelah tiga tahun Khatidjah wafat itu demi terlaksananya syiar Islam. Dari sebelas istri Rasul, hanya Siti Aisyah binti Abu Bakar yang masih perawan. Rasul juga marah dan mengecam menantunya Ali ibnu Abi Thalib yang berniat poligami.85 Sejumlah hadis shahih diantaranya dari Al Miswar Ibnu Makhramah, meriwayatkan hal ini beberapa hadis terkenal seperti Shahih Bukhori, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan Tirmidzi Musnad Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan hadis itu dengan redaksi yang sama. Dari perspektif Ilmu Hadis, hadis itu
83
Muhammad Zain Mukhtar Al Shodiq, Membangun Keluarga Harmonis, (Counter Legal Draf Kompilasi Hukum Islam Yang Kontroversial itu), (Jakarta, Grahacipta, 2005), h 51. 84
Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami (Jakarta: Gramedia, 2007), Cet. 2 h.78.
85
Musdah Mulia, “Mereka Bicara Poligami”, Tempo XXXV No. 42 (Desember 2006), h. 114.
diriwayatkan secara lafdzi sangat teruji kesahihannya. Hal ini membuktikan bahwa Rasul tidak menyetujui poligami.86 Kalau golongan yang mendukung poligami mengagungagungkan hikmah poligami, maka golongan yang menolak poligami memberikan dampak negatif dari poligami Beberapa dampak negatif yang timbul akibat perkawinan poligami secara psikologis menurut Musdah Mulia diantaranya ada dua faktor yang pertama: didorong rasa setianya kepada suaminya. Para istri umumnya mencintai suami sepenuh hati juga, akan tetapi ketika si istri dimadu (dipoligami) dia merasakan bahwa rasa cinta tersebut telah sirna pada diri suaminya. Faktor kedua perasaan inferior seorang istri yang dimadu ia merasakan bahwa seolah-olah dia tidak puas dengan pelayanan biologis istrinya, sehingga suami mencari istri lain. Perasaan inferior ini semakin lama meningkat menjadi problem psikologi.87 Selain dampak dari segi psikologis dampak lain yang ditimbulkan dari poligami adalah: 1.
Ketergantungan ekonomi kepada suami, ada beberapa suami memang dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya. Tapi seringkali pula dalam praktiknya suami lebih mementingkan istri muda dan menelantarkan istri yang tua dan anak-anaknya terdahulu. Akibatnya istri yang tidak
86 87
Ibid., h. 114. Musdah Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami h. 5.
memiliki pekerjaan akan sangat kesulitan menutupi kebutuhan sehari-hari. 2.
Hal lain yang terjadi dari adanya poligami adalah sering terjadinya kekerasan terhadap perempuan baik kekerasan fisik, ekonomi, seksual maupun psikologis.
3.
Selain itu dengan adanya poligami dalam masyarakat sering terjadi nikah di bawah tangan, yaitu perkawinan yang tidak dicatatkan pada kantor pencatatan nikah (Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama). Perkawinan yang tidak dicatatkan dianggap tidak syah oleh Negara. Ini berarti segala konsekuensinya juga dianggap tidak syah oleh Negara seperti hak waris dan sebagainya.
4. Yang paling mengerikan, kebiasaan berganti-ganti pasangan menyebabkan suami istri rentan terhadap penyakit menular Seksual
(PMS)
dan
bahkan
rentan
terjangkit
virus
HIV/AIDS
c. Pihak Yang Bersifat Moderat Terhadap Poligami Jika kita perhatikan masalah poligami di Indonesia sebenarnya ada tiga pihak yang mempunyai sikap terhadap poligami yaitu: pihak yang mendukung poligami, pihak yang menolak poligami dan pihak yang bersifat moderat terhadap poligami. Pihak yang
bersifat
moderat terhadap poligami yaitu pihak pemerintah, pemerintah tidak menganjurkan poligami tapi pemerintah tidak menghapus praktik
poligami. Sebenarnya posisi pemerintah sudah tepat dan sesuai dengan prinsip Islam yang pada dasarnya lebih menganut prinsip monogami tapi tidak menutup kemungkinan terjadinya praktik poligami.
2 Pandangan Para Pakar Tentang Aturan Poligami a. Siti Musdah Mulia (Aktivis Jender) Dia adalah salah satu aktivis gender yang selalu konsisten memperjuangkan hak-hak perempuan, bahkan banyak pernyataan dia yang kontroversial tentang kesetaraan gender yang sulit diterima oleh masyarakat awam. Mengenai pandangan dia tentang aturan poligami di Indonesia tidak jauh dari perspektif gender yang selama ini beliau perjuangkan.
Menurut guru besar Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini Undang-Undang Perkawinan di Indonesia terkesan pro terhadap praktik poligami hal ini ditandai dengan adanya pasal-pasal yang mengatur aturan poligami secara terperinci, dalam UndangUndang Perkawinan, yaitu pasal 3,4,5 UUP.88 Kalau kita baca dan simak dengan teliti pasal yang mengatur tentang poligami sebenarnya masih menjadi suatu perdebatan, karena dalam pasal sebelumnya dijelaskan bahwa asas perkawinan Indonesia adalah monogami mengapa poligami diperbolehkan ini adalah inkosistensi.89 Sebagaimana kita ketahui bahwa seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang harus mempunyai alasan yang bisa dibenarkan alasan itu adalah: -
88
Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.
Siti Musdah Mulia, Islam & Inspirasi Kesetaraan Gender, (Yogyakarta: Kibar Press, 2007), h.144. 89 Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami (Jakarta: Gramedia, 2007), h. 171.
-
Isteri mendapat cacat badan, atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
-
Isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Menurut dia alasan tersebut hanya melihat dari sisi
kepentingan suami saja.90 Seandainya saja alasan tersebut ada pada isteri apakah pengadilan akan memberikan izin bagi perempuan untuk menikah lagi? Sudah sepantasnya suami itu menerima keadaan isteri apa adanya. Dalam Al Qur’an surat al Nisa ayat 19 dijelaskan
⌧
☺ ⌧ ☺ ☺ ⌧ 90
Ibid. h. 175.
⌧
/)اﻟﻨﺴﺂء (١٩:٤ Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka Karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang Telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” Setiap isteri tentu ingin menjadi isteri yang baik dan sempurna yang
akan
membahagiakan
suaminya,
tetapi
apabila
Tuhan
berketentuan lain tidak ada yang bisa menolaknya seperti isteri mandul, isteri mendapat penyakit yang tidak dapat disembuhkan sehingga isteri tersebut tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, hal itu semata-mata ketentuan Allah yang harus diterima apa adanya bukannya mencari isteri lagi. Selain menyoroti tentang alasan yang memperbolehkan seorang suami yang akan melakukan poligami dia juga menyoroti peran pengadilan dalam memberikan izin berpoligami. Dalam Pasal 59 disebutkan
“Dalam hal isteri tidak mau memberikan persetujuan, dan pemberian izin untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan dalam pasal 55 ayat 2 dan 5 Pengadilan dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan di depan sidang pengadilan agama, dan terhadap
penetapan ini isteri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.” Pasal ini jelas menggambarkan betapa lemahnya posisi perempuan, karena apabila si isteri tidak mau memberikan izin bagi suaminya untuk beristeri lebih dari seorang maka perannya akan diambil oleh pengadilan untuk membolehkan berpoligami.91 Peraturan untuk berpoligami memang ketat tetapi hal itu hanya dalam tataran teori dalam praktiknya suami yang berpoligami banyak yang tidak sesuai dengan ketiga alasan tadi, walaupun belum ada penelitian yang menyatakan misalnya berapa persen suami yang berpoligami karena alasan si isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri atau si isteri mendapat penyakit yang tidak dapat disembuhkan, tapi secara kasad mata dapat dilihat suami melakukan poligami hanya karena faktor nafsu syahwat bagi perempuan dan terutama laki-laki saja.92
Berdasarkan beberapa alasan yang telah dikemukakan oleh dia tentang aturan poligami maka beliau mengusulkan agar praktik poligami dilarang secara mutlak karena poligami termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan (Crime against humanity).93 Pendapat dia terinspirasi dari Undang-Undang Perkawinan di beberapa Negara 91
Ibid. h.172.
92
Musdah Mulia, Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender, h.146.
93
Ibid. h. 146.
Muslim seperti Tunisia, Turki, dan Maroko. Tunisia adalah sebuah negara Islam yang konstitusinya berdasarkan syari’at Islam dan sejak 1956 telah membuat Undang-Undang keluarga yang bernama Majalat al Ahwal Al Syakhshiyyah Nomor 66 Tahun 1956 yang berisi larangan poligami.94 Alasan Tunisia melarang poligami adalah karena institusi budak dan poligami hanya berlaku pada masa awal perkembangan Islam tetapi dilarang setelah masyarakat Islam beradab dan berbudaya. Untuk Konteks Indonesia mengapa poligami perlu dilarang beliau memberikan argumen poligami menimbulkan begitu banyak problem sosial, diantaranya poligami melegitiminasi perkawinan di bawah tangan, tingginya kasus perkawinan anak-anak, yang menyebabkan tingginya kasus domestic violence (kekerasan dalam rumah tangga), terlantarnya para isteri dan anak-anak secara psikologis dan ekonomi serta penularan penyakit kelamin. Intinya poligami lebih banyak mudharatnya daripada maslahatnya 95
b. Muhamad Daud Ali (Pakar Hukum Islam) Undang-Undang Perkawinan dibentuk untuk mengatur halhal yang berhubungan dengan perkawinan. Perkawinan bukan
94
cf, Islam dan Kesetaraan Gender, Untuk lebih lanjut lihat: Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Muslim Word, NM. (Bombay:Tripathi PVT.LTD, 1972) h. 27. 95
Mulia, Islam dan Inspirasi, h. 147.
hanya menjadi persoalan agama tetapi perkawinan juga akan menjadi persoalan Negara artinya perkawinan harus sesuai dengan hukum agama dan juga hukum negara. Khusus mengenai masalah poligami
Undang-Undang
perkawinan
telah
mencoba
mengatasinya dengan memberikan pasal-pasal yang mengaturnya yang berisikan alasan serta prosedur tentang poligami. Dengan adanya aturan ini diupayakan bisa mengurangi ekses-ekses yang ditimbulkan akibat poligami. Tapi bila diteliti lebih lanjut aturan tersebut masih terdapat beberapa kelemahan96. Dalam UUP disebutkan seorang yang akan beristri lebih dari seorang wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan. Berdasarkan pasal tersebut maka timbul pertanyaan apakah izin perkawinan dari pengadilan itu merupakan syarat syahnya perkawinan kedua itu?
97
Jika jawabanya ya maka hal ini
bertentangan dengan pasal 2 ayat 1 yang dengan tegas menyebutkan bahwa perkawinan adalah syah apabila dilakukan menurut masing-masing agamanya, sedangkan dalam hukum Islam Tradisional tidak atau sekurang-kurangnya belum menentukan “Izin Pengadilan” sebagai suatu rukun yang menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan.98 96
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 31. 97
Ibid., h. 32.
98
Ibid., h. 32.
Menurut pendapat dia izin dari pengadilan tidak usah dimasukkan sebagai rukun pernikahan, cukup dimasukkan sebagai syarat saja. Alasannya untuk melindungi wanita dan anak-anak akibat poligami. Dia menambahkan hal yang penting lagi tentang aturan poligami adalah memberatkan bagi para pelaku poligami liar artinya poligami yang tidak sesuai dengan prosedur yang ada dalam hal ini poligami yang tidak melalui izin pengadilan. Karena relatif rendahnya hukuman bagi laki-laki yang berpoligami tidak melalui izin pengadilan, maka surat edaran dari Mahkamah Agung tanggal 20 Agustus 1975 menentukan mulai 1 Oktober 1975 pasal 279 KUHP berlaku pula bagi laki-laki beragama Islam yang melakukan poligami tanpa izin dari Pengadilan Agama.99 Dengan adanya peraturan tersebut berarti pria yang beragama Islam yang melangsungkan poligami tanpa izin dari pengadilan maka ia diancam dengan hukuman 5 tahun penjara sesuai pasal 279 KUHP.
c.
Hartono Ahmad Jaiz (Tokoh Persis) Dia mengkritisi tentang izin suami kepada istri untuk menikah lagi dan izin kepada atasan bagi Pegawai Negeri Sipil. Dalam Islam orang laki-laki yang akan menikah tidak memerlukan izin
99
Ibid., h. 33.
siapa-siapa, yang harus minta izin dulu hanyalah budak kepada tuannya karena sesuai dengan
posisinya budak itu di bawah
kekuasaan tuannya.100 Di Indonesia seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang diwajibkan mendapat izin dari isterinya dan untuk Pegawai Negeri Sipil ditambah dengan izin dari atasannya, ini artinya sama saja suami itu budak dari isteri dan atasannya.101 Dalam Islam seorang laki-laki dibebaskan, dalam pernikahan tidak diperlukan adanya wali, wali hanya bagi wanita. Tetapi di Indonesia lelaki yang akan menikah lagi, dibebani dua beban yaitu izin kepada isteri dan atasan bagi Pegawai Negeri Sipil. Setelah suami Pegawai Negeri Sipil menjadi budak isteri dan juga atasannya aturan ini rencananya oleh pemerintah akan diperluas secara umum. Artinya yang menjadi budak para isteri bukan hanya Pegawai Negeri Sipil saja, melainkan orang lain juga. Tapi akhirakhir ini rencana tersebut agak sedikit kendur karena mendapat reaksi dari tokoh Islam102
d.
Khoerudin Nasution
100
Hartono Ahmad Jaiz, Wanita Antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan, (Jakarta, Pustaka Al Kausar, 2007) h. 6. 101
Ibid., h. 6.
102
Ibid., h. 7.
Dalam bukunya “Status Wanita di Asia Tenggara : Studi terhadap perundang-Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia”, berpandangan bahwa perundangundangan perkawinan di Indonesia yang di dalamnya mengatur tentang masalah pologami, telah mengatur agar seorang laki-laki yang akan berpoligami adalah laki-laki yang benar-benar:103 1.
Mampu secara ekonomi menghidupi dan mencukupi seluruh kebutuhan sandang, pangan, papan (keluarga, istri-istri dan anak-anak).
2.
Mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya.
Kedua hal tersebut diharapkan setelah berpoligami istri dan anak-anak tidak disia-siakan. Perundang-undangan Indonesia juga menghargai keberadaan seorang istri sebagai pasangan hidup suami, terbukti untuk berpoligami harus terlebih dahulu melalui persetujuan istri, yang selanjutnya perundang-undangan Perkawinan di Indonesia memberikan
peran
penuh
kepada
pengadilan
Agama
untuk
menerapkan praktik poligami.104
Beberapa Usulan Perubahan Upaya untuk merevisi aturan poligami sudah banyak kita temukan upaya tersebut biasanya tergabung dalam upaya revisi Hukum Keluarga di 103
Khoerudin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara:Studi Terhadap PerundangUndangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia (Jakarta: INIS 2002), h. 111. 104
Ibid., h. 111.
Indonesia, karena poligami merupakan suatu yang berkaitan erat dengan perkawinan. Hampir seluruh alasan yang menjadi dasar dari pentingnya perubahan aturan poligami adalah aturan yang sekarang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. KHI misalnya bersumber fikih klasik yang berasal dari Arab yang budayanya berbeda dengan Indonesia, selain itu masalah kesetaraan gender juga menjadi alasan. Usulan revisi dilakukan melalui beberapa media diantaranya melalui media politik, Akademis, dan Hukum. Usulan melalui media politik dengan mengajukan Draf Revisi Undang-Undang Perkawinan diantaranya: RUU terapan Peradilan Agama bidang Perkawinan dan CLD KHI, RUU Revisi UU Perkawinan dari KOWANI, RUU Kementrian Pemberdayaan Perempuan, Usulan revisi Undang-Undang Perkawinan dari LBH APIK, Rencana Revisi PP No. 10 Tahun 1983, Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS, melalui media Akademis yaitu melalui talk show dan seminar-seminar tentang Wacana Revisi UU Perkawinan CLD KHI bisa masuk di dalamnya. Sedangkan melalui media hukum yaitu dengan mengadakan Uji Materil UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 di Mahkamah Konstitusi.
1. Usulan Amandemen UUP dari KOWANI dan Kementrian Pemberdayaan Perempuan Usulan ini ada sekitar tahun 2000, semasa menteri Khofifah Indar Parawansa, usulan ini mengusung nilai-nilai kesetaraan gender sebagai acuannya. Banyak perubahan pasal
yang mereka usulkan dalam draf ini namun karena konteksnya di sini adalah poligami maka penulis akan memaparkan usulan dua lembaga ini tentang aturan poligami. Pasal-pasal yang mengatur tentang poligami dalam UU No 1 Tahun 1974 pasal 3, 4, 5 yang bunyinya: Pasal 3 Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihakpihak yang bersangkutan. Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat 2 Undang-Undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah setempat Pasal 4 Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila: d. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri. e. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. f. Istri tidak dapat melahirkan keturunan. Analisa Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan Agama sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) undang-undang ini, harus dipenuhi syarat sebagai berikut: d. e.
Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka. Pasal 5
Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pada pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteriisterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan Agama. KOWANI
mengusulkan
untuk
mempersulit
praktik
poligami dengan menambahkan persetujuan dari isteri dan anakanaknya yang telah dewasa yang dibuat di hadapan pejabat pengadilan. Suami menjamin tidak menceraikan isteri pertama kecuali atas permintaan yang bersangkutan dengan tetap mendapat tunjangan hidup sampai si isteri menikah lagi.105 Usulan dari KOWANI dengan melibatkan persetujuan anak-anak yang telah dewasa sangat logis karena istri dan anak-anak yang merasakan imbas daripada poligami, sementara dalam UU No 1 Tahun 1974 tidak
disinggung
masalah
persetujuan
anak
dalam
izin
berpoligami. Kementrian
Negara
Pemberdayaan
Perempuan
menambahkan dalam pasal 4 dengan harus adanya keterangan dari dokter ahli.106 Pasal ini dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dinilai banyak merugikan perempuan karena yang menjadi sumber alasan tersebut adalah pihak isteri. Bila alasan tersebut ada pada 105
Maria Ulfa Ansor, Poligami Dalam UU Perkawinan Perlu Sanksi Hukum, artikel diakses 30 Agusttus 2007, dari http: www. Hukum online. Com/detail.asp.id=9232od=berita h.2. 106
Ibid., h.2.
pihak suami apakah isteri dapat mengajukan gugat cerai? Dalam UUP tidak diatur. Mengenai keterangan dari dokter diharapkan dokter yang benar-benar independen jadi tidak ada kolusi antara suami dengan dokter tersebut.
2. RUU Hukum Terapan Peradilan Agama Bidang Perkawinan Ada beberapa hal yang melatar belakangi adanya RUU ini diantaranya sebagai dasar atau landasan pengambilan keputusan ( Hukum Materil PA), Pengadilan Agama adalah salah satu dari empat peradilan di lingkup peradilan di Indonesia, tetapi belum memiliki rujukan hukum materil yang seragam yang mengikat. Padahal lembaga ini adalah lembaga peradilan pertama di nusantara ironis memang.107 Selama ini PA menggali hukum materilnya secara berserak dari kitab fikih klasik.108 Sejak 1991 memang sudah ada KHI, tapi KHI hanya Inpres jadi kurang mengikat kata Rifyal Ka’bah.109 Draf RUU ini disusun oleh Badan Pembinaan dan Pengkajian Hukum Islam Departemen Agama. Tim Penyusunnya diketuai oleh Direktur Jenderal Bimbingan Islam dan Urusan Haji Taufik Kamil. Dari sisi materi draf RUU ini tidak jauh dari KHI. 107
Pelanggar Poligami Dapat Dihukum Penjara, artikel diakses 30 Agusttus 2007, dari http:// www. Gatra. Com/2003-11-27. h. 1. 108
Ibid., h.1.
109
Ibid., h.1.
Mengenai aturan poligami dalam draf RUU ini ditambahkan ketentuan pidana bagi seseorang yang melaksanakan poligami tidak sesuai prosedur yang ada. Dalam RUU tersebut disebutkan bahwa” Tanpa izin isteri pertama, suami yang beristeri lebih dari satu dapat dikategorikan melakukan tindak pidana, ancamannya adalah 3 bulan penjara dan denda 3 juta.110 Selain pelaku poligami pihak yang melaksanakan perkawinan dalam hal ini KUA juga ada sanksi pidananya. Bagi petugas KUA yang menikahkan sekaligus menerbitkan buku nikah diancam dengan hukuman penjara satu tahun dan denda 3 Juta. 111 Dengan adanya ketentuan pidana yang lebih berat diharapkan dapat meningkatkan hukum Indonesia artinya kepastian hukum di Indonesia benar-benar ditegakkan. Hal ini sebenarnya merupakan langkah maju dimana selama ini pasalpasal poligami ibarat pasal banci, ketentuan ada tapi sangsinya tak jelas.112 RUU ini mendapat sorotan yang tajam dari aktivis perempuan yaitu Musdah Mulia, yang mengatakan RUU ini harus dikaji kembali, karena banyak hal dalam RUU ini yang
110
Ibid., h.1.
111
Ibid., h.1.
112
Ibid., h.1.
bias gender dan merugikan kaum perempuan.113 Beliau juga keberatan kalau RUU ini hanya bertujuan memberi hukum terapan bagi KHI, karena KHI yang disusun tahun 1985 sampai saat ini belum memiliki landasan hukum terapan sehingga penggunaanya tidak mengikat Peradilan Agama.114
RUU ini
haruslah berdasarkan prinsip keadilan yang meliputi adil gender, memperhatikan hak asasi manusia, pluralisme agama, menganut asas demokrasi dan kemaslahatan warga negara.115 Sedangkan Ies Marcus mengkritisi cara berpikir RUU ini yang masih menggunakan paradigma Fikih klasik yang membagi ruang publik dan domestik secara tegas.116
Di lain pihak Hasyim Muzadi Ketua PBNU mempertanyakan implikasi dari RUU ini yang akan melemahkan bangunan kebangsaan yang dianut.
3. 113
Amandemen UU Perkawinan LBH APIK
Ibid., h.1.
114
Pelanggar Poligami Dapat Dihukum Penjara, artikel diakses 30 Agusttus 2007, dari http:// www. Gatra. Com/2003-11-27. h. 2. 115
Ibid., h.2.
116
Ibid., h.2.
LBH Apik adalah salah satu lembaga yang konsisten memperjuangkan perempuan. Mereka membantu masalah yang dihadapi perempuan dalam rumah tangga seperti masalah kekerasan dalam rumah tangga, poligami, kekerasan seksual, dan laiannya. Selain itu mereka sering melakukan penelitian tentang masalah perempuan. Salah satu wujud dari perjungan mereka adalah usulan amandemen UU No 1 Tahun 1974. Dalam usulan tersebut ada beberapa pasal yang diganti redaksinya bahkan ada pasal yang dihapus sama sekali karena dianggap merugikan perempuan. Pasal
mengenai
aturan
poligami
LBH
APIK
mengusulkan untuk dihapus dengan alasan: a.
Poligami merupakan bentuk subordinasi dan diskriminasi terhadap
perempuan,
hal
mana
didasarkan
pada
keunggulan /superioritas jenis kelamin tertentu atas jenis kelamin lainnya. b.
Pengakuan yang syah terhadap hirarki jenis kelamin dan pengutamaan privilis seksual mereka atas yang lainnya.
c.
Banyak kasus-kasus poligami yang berdampak pada kekerasan dalam rumah tangga yang dialami perempuan dan anak-anak, meliputi kekerasan fisik psikis seksual dan ekonomi.
d.
Poligami merupakan bentuk kekerasan rumah tangga yang dilegitimanasi oleh hukum dan kepercayaan yang ada dalam masyarakat.
e.
Poligami telah menempatkan perempuan sebagai “Sex Priovider”
4.
Counter Legal Draf Kompilasi Hukum Islam (CLD KHI) CLD KHI adalah salah satu upaya untuk merubah aturan poligami di Indonesia alasan mengapa perlu adanya CLD KHI adalah perlu adanya aturan tentang perkawinan yang sesuai dengan tuntutan zaman dan menjunjung tinggi
nilai-nilai
keadilan khususnya nilai keadilan terhadap perempuan. CLD KHI ini diusung Tim Pengarus Utamaan Gender Departemen Agama pada tahun 2004 yang diketuai oleh Musdah Mulia. Melalui CLD ini mereka mencoba menawarkan usulan perubahan KHI yang mereka nilai ada beberapa pasal yang sudah tidak relevan lagi, terutama dalam berbagai kasus yang ada hubungannya dengan kekerasan dalam rumah tangga.117 Dengan adanya CLD ini diharapkan bisa mengatasi masalah-masalah perempuan yang akhir-akhir ini semakin marak seperti kekerasan terhadap perempuan, kawin kontrak yang tidak bertanggung jawab, perkawinan poligami, perkawinan anak-anak dan problem perdagangan perempuan.118 Revisi KHI merupakan respon terhadap Kementrian Pemberdayaan Perempuan sebagaimana
h.74.
117
Musdah Mulia, Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender, (Yogyakarta: Kibar press, 2007)
118
Ibid., h. 74.
tertuang dalam pasal RAN PKTP (Rencana Aksi Naional Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan) tahun 2000, yang salah satu upaya yang harus dilakukan dalam meminimalisir kekerasan terhadap perempuan adalah dengan merevisi KHI.119 Dalam perjalanannya CLD KHI ini banyak ditentang oleh masyarakat karena dianggap bertetangan dengan hukum Islam, walaupun tidak sedikit yang memberikan pujian. CLD KHI ini akhirnya dibekukan oleh menteri Agama. Dalam Draf CLD KHI aturan poligami tidak dicantumkan karena asas yang dipakai adalah monogami. Orang yang melaksanakan pernikahan tidak sesuai dengan asas ini berarti perkawinannya tidak mempunyai kekuatan hukum atau sama saja pernikahan tersebut tidak pernah terjadi. Mereka mengatakan poligami haram lighoirihi artinya poligami haram karena sebab yang ditimbulkannya. CLD KHI ini terinspirasi dari hukum keluarga dari negara Tunisia, Maroko, Turki, yang dengan tegas-tegas melarang poligami.
5. Rencana Memperluas PP No. 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) Rencana ini muncul setelah pengakuan pernikahan kedua dai kondang AA Gym. Akibat dari tindakannya itu masyarakat 119
Ibid., h. 74.
heboh terutama ibu-ibu, mungkin kejadian ini tidak akan terjadi jika AA Gym bukan seorang Public Figur /contoh teladan yang dalam setiap dakwahnya menyarankan tentang pentingnya keluarga sakinah. Sedangkan poligami sangat rentan dengan masalah dalam keluarga. Presiden yang merasa resah dengan berita ini memanggil Menteri Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta, Dirjend Bimas Islam Nasarudin Umar, dan Sekretaris kabinet Sudi Silalahi untuk membicarakan rencana memperluas PP No. 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Rencananya PP tersebuat akan diperluas tidak hanya untuk PNS saja tetapi akan diberlakukan bagi pejabat negara dan pejabat pemerintah seperti Gubernur, Bupati, Walikota, TNI, Polri, dan Anggota DPR, seperti yang dijelaskan oleh Meutia Hatta setelah pertemuannya dengan presiden.
120
Ketua MUI Ma’ruf
Amin menilai tidak masalah aturan tersebut diperluas bagi pejabat negara dan pemerintah, asalkan tidak memakai uang negara.121 Ketua MPR Hidayat Nur Wahid juga mendukung PP ini diperluas dengan alasan dapat meningkatkan derajat kaum perempuan di
120
Meutia Hatta, Poligami Boleh, artikel diakses
28 Agustus 2007, dari http:// www.
Gusmus.net. 121
MUI: Tak Masalah Aturan Poligami Diperluas, artikel diakses 28 Agustus 2007, dari http: // www. Depag. Go.id/index.php?menu=news&opt=detail=607.
Indonesia. Karena berbagai persoalan yang ada dalam bangsa ini, sampai sekarang rencana tersebut tidak jelas kelanjutannya.
6. Uji Materi UU Perkawinan di Mahkamah Konstitusi Uji materi Undang-Undang perkawinan di Mahkamah Konstitusi boleh dikatakan salah satu upaya untuk merevisi aturan poligami di Indonesia yang paling baru. Syarat harus ada izin dari isteri dan pengadilan dianggap telah merugikan hak konstitusinya untuk beribadah dan membentuk keluarga melalui poligami yang syah, alasan itu disampaikan M. Insa selaku pemohon uji materi Undang-Undang
Perkawinan.122
Aturan
yang
mempersulit
poligami dianggap telah melanggar hak asasi manusia, pernyataan ini dihubungkan dengan pasal 28b ayat 1 UUD 1945 “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”
Pendapat serta alasan yang menyatakan adanya syarat poligami melanggar hak asasi manusia dan bertentangan dengan UUD 1945 disanggah oleh pihak pemerintah yang dalam sidang kedua diwakili oleh menteri Agama Maftuh Basyumi. Beliau menjelaskan bahwa poligami bukanlah hak asasi manusia seperti yang disebutkan dalam pasal 28 pasal lb UUD 1945.123 Pasal tersebut hanya mengatur hak asasi orang untuk membentuk keluarga124 Nasarudin Umar menambahkan yang masuk kategori hak asasi manusia adalah kawin dan berkeluarga, ketika dia sudah kawin berarti
122
Poligami Justru Jadi Sebab Terjadinya Perceraian, artikel ini diakses 28 Agustus 2007, dari http; // www. Kapanlagi. Com/h/00178593 html. 123
Maftuh Basyumi, Poligami Bukan Hak Asasi, artikel diakses 30 Agustus 2007, dari http; // www.hukum online. com/detail.asp.id=17036.od=Berita h.1 . 124 Ibid., h.1.
haknya sudah terpenuhi.125 Selain dari pemerintah hadir pula pihak dari DPR komisi II yang diwakili oleh Nursyahbani, yang mengatakan poligami bukan hak asasi manusia.126 Dalam persidangan yang ketiga pada 23 Agustus 2007 pihak pemerintah yang menghadirkan saksi ahli Quraish Shihab dan Huzaimah Tahido Yanggo dari pemohon menghadirkan saksi ahli Egi Sudjana dan Ahmad Sudirman Abbas selain itu didengarkan pula dari pihak yang terkait yaitu dari komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap perempuan dan Jaringan Prolegas Pro Perempuan (JKP3). Quraish Shihab mengatakan pandangannya tentang pendapat M. Insa yang menyatakan aturan poligami melanggar HAM khususnya tentang kebebasan beribadah, Quraish Shihab menyebutkan poligami bukan merupakan ibadah murni melainkan ibadah umum.127 Ibadah umum yang harus dicari apa tujuannya, sedangkan pada hakikatnya tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga sakinah.128 Huzaimah Tahido Yanggo mengatakan aturan poligami dalam UUP juga tidak melanggar HAM karena tidak menutup rapat-rapat pintu poligami. UndangUndang Perkawinan tetap membuka jalan poligami namun dengan syarat yang sangat ketat. Sedangkan dari pihak termohon yang diwakili Egi Sudjana mengatakan akibat persyaratan yang ketat tentang poligami banyak terjadi perzinahan yang tinggi, dia memaparkan dari hasil razia kebanyakan para lelaki mata keranjang sudah beristeri, hal ini menyebabkan pasal tersebut menimbulkan kemudharatan dan harus dihapus.129
C. Analisa i. Aspek Keadilan Dalam hal keadilan manusia tidak ada yang adil, hal ini sesuai dengan surat Al Nisa ayat 129. Keadilan yang bisa dilakukan oleh manusia adalah keadilan yang dapat ia lakukan semampu dia, dalam hal ini keadilan terletak di subyek bukan di obyek, maka dalam poligami keadilan terletak di pihak suami, sementara di pihak istri suami tidak akan pernah berlaku adil. 125
Ibid., h.1.
126
Ibid., h.1.
127
Mahkamah Konstitusi, Uji Materi Undang- Undang Perkawinan, Artikel ini diakses 30 Agustus 2007 dari: http: // www. Mahkamah Konstitusi. Go.id/Berita pnp. Newscode.438 h.1 . 128 Ibid., h. 1. 129
Ibid., h.1.
ii.
Urgensi Revisi Dari beberapa usulan revisi aturan poligami, yang telah dijelaskan di
atas secara panjang lebar dapat dikatakan tujuan utama dari revisi itu adalah ingin memperbarui aturan-aturan poligami di Indonesia yang dinilai tidak relevan
dengan
perkembangan
zaman
dan
mengabaikan
keadilan
perempuan. Selain itu para pengusul juga mempertanyakan poligami dalam berbagai aturan poligami di Indonesia yang masih menjadi pertentangan. Berdasarkan pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan menganut asas monogami tapi dalam pasal 3 ayat 3 poligami diperbolehkan dengan persyaratan yang ketat. Selain poligami banyak merugikan kaum perempuan ada juga yang mengatakan syarat untuk berpoligami yang ketat telah melanggar hak asasi seseorang untuk beribadah. Masalah denda bagi pelanggar ketentuan poligami juga tak luput dari usulan revisi aturan poligami. Sebenarnya kalau kita lihat poligami itu tidak melanggar, agama undang-undang maupun adat. Poligami adalah pilihan bagi yang merasa mampu diperbolehkan untuk poligami sedagkan yang tidak mampu tidak diperbolehkan. Mengapa yang sering menjadi perdebatan masalah poligami bukan poliandri? Laki-laki sesuai kodratnya tidak pernah mempunyai rasa puas dan hanya cukup seorang wanita, sedangkan wanita walaupu mempunyai nafsu yang besar tapi mereka mempunyai rasa malu yang bisa menekan nafsu itu.
Masalah aturan poligami bagi Pegawai Negeri Sipil, hal ini berhubungan langsung dengan kepentingan Negara, bukan agama. Negara memperhatikan kesejahteraan rakyat. Dari beberapa usulan revisi aturan poligami, yang telah dijelaskan di atas secara panjang lebar dapat dikatakan tujuan utama dari revisi itu adalah ingin memperbarui aturan-aturan poligami di Indonesia yang dinilai tidak relevan
dengan
perkembangan
zaman
dan
mengabaikan
keadilan
perempuan. Selain itu para pengusul juga mempertanyakan poligami dalam berbagai aturan poligami di Indonesia yang masih menjadi pertentangan. Berdasarkan pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan menganut asas monogami tapi dalam pasal 3 ayat 3 poligami diperbolehkan dengan persyaratan yang ketat. Selain poligami banyak merugikan kaum perempuan ada juga yang mengatakan syarat untuk berpoligami yang ketat telah melanggar hak asasi seseorang untuk beribadah. Masalah denda bagi pelanggar ketentuan poligami juga tak luput dari usulan revisi aturan poligami Dengan adanya usulan dari berbagai pihak maka penulis menganggap penting adanya revisi aturan poligami, dengan syarat bisa menampung semua aspirasi seluruh pihak. Artinya revisi yang membawa kemaslahatan bagi bangsa dan Negara, bukan menimbulkan perpecahan umat. Yang paling penting adalah kerja sama dari semua pihak, pemerintah, rakyat dan juga penegak hukum. Selama ini banyak praktik-praktik pelanggaran hukum yang
tidak mendapatkan sanksi, sedangkan aturannya ada, ironisnya pelanggaran hukum banyak dilakukan oleh pejabat pemerintah dan para penegak hukum.
iii.
Harapan dan Tantangan Dengan adanya revisi aturan-aturan poligami diharapkan bisa
menghasilkan aturan poligami yang sesuai Sosio Cultural bangsa Indonesia dan bisa menampung aspirasi semua pihak, terutama pihak perempuan. Masalah hokum keluarga dalam hal ini aturan tentang perkawinan sangat berkaitan sekali dengan kehidupan keluarga yang berdampak pada kehidupan bangsa dan negara. Jika kehidupan keluarga sejahtera bisa dipastikan kehidupan Negara ini akan tentram dan damai. Tantangan dari adaya revisi ini mungkin bisa timbul akibat dari adanya cara pandang yang berbeda tentang praktik poligami dalam masyarakat. Misalnya aktivis perempuan menganggap poligami mendzolimi kaum perempuan dan berupaya aturan poligami dihapus dalam UUP. Sementara pihak lain menganggap poligami sunah Rasul yang harus diikuti. Dua alasan ini bisa menjadi halangan revisi aturan poligami.
BAB V PENUTUP Kesimpulan Dari uraian yang telah penulis paparkan secara panjang lebar pada babbab sebelumnya, maka sebagai akhir dari bagian penelitian ini penulis akan menarik kesimpulan untuk menjawab permasalahan yang penulis teliti. Pertama perdebatan atas wacana Revisi aturan poligami di Indonesia timbul karena cara pandang serta penafsiran yang berbeda-beda dalam memahami dasar hukum poligami baik itu dasar hukum yang bersumber dari agama (Al Qur’an dan Al hadis), maupun dasar hukum yang berupa peraturan perundang-undangan di Indonesia. Kedua Perdebatan dalam masalah poligami melahirkan kelompok yang pro dan kontra terhadap poligami, mereka mempunyai argumen yang kuat dan semuanya benar. Sebagai wujud konkrit dari pendapat mereka maka lahirlah beberapa usulan perubahan aturan poligami di Indonesia diantaranya: CLD KHI, RUU Perkawinan dari KOWANI, RUU Perkawinan dari LBH APIK, RUU Perkawinan Kementrian Pemberdayaan Perempuan, Hukum Terapan Peradilan Agama, Rencana Memperluas PP No. 10 tahun 1983
tentang izin perkawinan dan perceraian bagi PNS, dan Yudicial Review UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan di Mahkamah Konstitusi. Ketiga, aturan yang mengatur tentang praktik poligami di Indonesia, bagi warga sipil terdapat dalam beberapa aturan diantaranya: Undang-Undang No.1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, PP No. 10 Tahun 1983 dan PP No. 45 Tahun 1990 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil, Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam aturan tersebut diatur mengenai prosedur, syarat, dan sanksi bagi pelaku poligami yang tidak sesuai dengan prosedur. Keempat sebagai bentuk pro dan kontra terhadap aturan poligami di Indonesia maka, kelompok-kelompok itu melakukan upaya-upaya untuk memenuhi keinginan mereka. Kelompok yang kontra terhadap aturan poligami mengajukan beberapa Rancangan Undang-Undang Perkawinan atau aturan yang mengatur masalah poligami, yang di dalamnya menghilangkan praktik poligami sebagai contoh: RUU Perkawinan dari LBH APIK, KOWANI, dan Counter Legal Draf Kompilasi Hukum Islam (CLDKHI). Intinya RUU itu menolak poligami secara penuh, artinya aturan perkawinan di Indonesia tidak usah mencantumkan poligami, dengan demikinan asas yang dipakai dalam aturan perkawinan adalah monogami. Kelompok yang pro juga tidak mau ketinggalan walaupun dilakukan oleh perseorangan tapi usaha ini boleh dikatakan upaya untuk merevisi aturan poligami di Indonesia. Kelompok ini melakukan uji materil Undang-Undang Perkawinan khususnya
pasal-pasal yang mengatur praktik poligami ke Mahkamah Konstitusi dan menyarankan agar poligami tidak disyaratkan apa-apa. Sementara dari pihak pemerintah berencana memperluas aturan poligami dalam PP No. 10 1983 dan PP No. 45 Tahun 1990, aturan ini akan diperuntukkan bukan hanya untuk Pegawai Negeri Sipil saja tetapi untuk kalangan masyarakat luas namun sampai sekarang rencana pemerintah itu belum terlaksana.
B. Saran-saran Sebagai catatan akhir maka penulis akan memberikan saran: 1.
Aturan tentang poligami di Indonesia atau dalam hal ini aturan perkawinan ke depan diharapkan bisa menampung semua aspirasi berbagai pihak terutama pihak perempuan.
2.
Masalah denda atau hukuman bagi pelanggar aturan poligami perlu ditinjau kembali, selama ini denda atau hukuman bagi pelaku poligami yang tidak sesuai dengan syarat dan ketentuan yang berlaku terlalu kecil. Sedangkan kalau kita perhatikan praktik poligami banyak sisi negatifnya, karena poligami sering menimbulkan masalah dalam keluarga, selain itu sebagai negara hukum kepastian hukum harus ada dan supremasi hukum harus benar-banar ditegakkan dan hukum bukan hanya sebagai hiasan belaka.
3.
Penyertaan persetujuan anak yang telah dewasa bagi pelaku poligami karena poligami akan berimbas pada istri dan anak.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Sufyan Raji. Poligami dan Eksistensinya. Bekasi: Pustaka Al Riyadh, 2004. Abdurahman. Perkawinan Dalam Syari’at Islam. Jakarta: Rineka Cipta, 1992. Al Hadad, Al Thohir. Wanita Dalam Syari’at dan Masyarakat. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993. Ali, Zainudin. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Sinar Grafika, 2006. Al Jahrani, Musfir. Poligami dari Berbagai Persepsi. Jakarta: Gema Insani Press, 1996. Ansor, Maria Ulfa. “Poligami Dalam UU Perkawinan Perlu Sanksi Hukum.” artikel diakses 30 Agustus 2007, dari http://www.hukum online. com/detail.asp.id=17036.od=Berita. Apiko, Nurbowo dan Joko M. Indahnya Poligami Pengalaman Sakinah Puspo Wardoyo. Jakarta: Khairul Bayan, 2003. Ar Rifai, Muhammad Nasib. Ringkasan Tafsir Ibnu Kasir Jakarta: Gema Insani Press, 1999. Basri, Cik Hasan. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998. Basyumi, Muhammad Maftuh. “Poligami Bukan Hak Asasi.” Artikel diakses 30 Agustus 2007, dari http:// www.hukum online. com/detail.asp.id=17036.od=Berita. Danamik, Asnifrianti. “Undang-Undang Perkawinan yang (masih) Sarat Persoalan.” Rahima No. 14 Th. V (April 2005) : h. 15-18. Departemen Agama, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Serta Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Departemen Agama, 2004. Fahmie, Anshori. Siapa Bilang Poligami Itu Sunnah. Depok: Pustaka Iman, 2007. Habsyi, Muhammad Bagir. Fiqih Praktis Menurut Al Qur’an, As-sunnah dan Pendapat Para Ulama. Semarang: Al Mizan, 2002. Haikal, Abuttawab. Rahasia Perkawinan Rasulullah Dalam Islam vs Monogani Barat, Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1993.
Hatta, Meutia Poligami Boleh. Artikel diakses 28 Agustus 2007, dari http://www. Gusmus.net. Hizbut Tahrir Indonesia, Buletin. “Mengapa Poligami Ditentang PornografiPornoaksi dan Perselingkuhan Dibiarkan?” Al Islam, Edisi 333/Tahun XIII. (Desember 2006). I Doi, Abdurahaman, Inilah Syari’ah Islam. Jakarata: Pustaka Panji Mas, 1991. Kuzari, Ahmad. Nikah Sebagai Perikatan. Jakarta: PT. Raja Grafido Persada, 1995. Jaiz, Hartono Ahmad. Wanita Antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan. Jakarta: Pustaka Al Kausar, 2007. Mahmood, Tahir. Family Law Reform in the Muslim Word, NM. Bombay: Tripathi PVT.LTD, 1972. Mahkamah Konstitusi. “Uji Materi Undang- Undang Perkawinan.” Artikel ini diakses 30 Agustus 2007 dari: http:// www. Mahkamah Konstitusi. Go.id/Berita pnp. Newscode.438. Manan, Abdul. Aneka Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2006. Marhiyanto, Khalilah. Romantika Perkawinan. Gresik: Putra Pelajar, 2000. Mubarak, Syaiful Islam. Poligami Yang Didamba Wanita. Bandung: PT. Syaamil Cipta Media, 2003. MUI. “Tak Masalah Aturan Poligami Diperluas.” Artikel diakses 28 Agustus 2007, dari http: www. Depag. Go.id/index.php?menu=news&opt=detail=607. Mulia, Musdah. Pandangan Islam Tentang Poligami. Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Jender Perserikatan Perempuan. The Asia Foundation, 1999. -------------- Islam & Inspirasi Kesetaraan Gender. Yogyakarta: Kibar Press, 2007. -------------- Islam Menggugat Poligami Jakarta: Gramedia, 2007 -------------- “Perlunya Revisi Undang-Undang Perkawinan Perspektif Islam” . Jurnal Perempuan No. 49 (September, 2006): h. 69-83. Muttaqien, Dadan. Dkk. Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia. UII Press, Yogyakarta, 2000
Nasution, Khoerudin. Status Wanita di Asia Teggara, Studi terhadap PerundangUndangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia. Jakarta: INIS, 2002. Nasution, Amir Taat. Rahasia Perkawianan Dalam Islam. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1994. Nurhayati. “Kontroversi Poligami.” Tempo XXXV No. 42 (Desember 2006): h.108. Parawansa, Khofifah Indar. “Poligami, Hak Perempuan Mana di Langgar”. Artikel Diakses pada tanggal 28 Desember 2007, dari http: //www.eramuslim.Com/berita/send/6c14142924-khofifah-Indar-parawansapoligami-hak-perempuan -mana-dilanggar... htm Poligami Justru Jadi Sebab Terjadinya Perceraian, artikel ini diakses 28 Agustus 2007, dari http; // www. Kapanlagi. Com/h/00178593 html. “Poligami” Dalam Aziz Dahlan,dkk,ed., Ensiklopedi Islam. Vol.4. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997: h. 107. Ridwan. Membongkar Fiqh Negara: Wacana Gender Dalam Hukum Keluarga Islam, Yogyakarta: PSG STAIN Purwokerto & Unggun Api, 2005. “Riwayat UU No.1/1974” Republika, 23 Mei 1997. Rofik, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000. Rumadi. “Momentum Reformasi Hukum Keluarga.” Tempo, 13 Desember 2006. Sabiq, Sayyid Fiqhus Sunnah, Beirut: Dar el Fikr, 1997. Subekti dan Tjicrosudibyo. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: PT Pradya Pramitra, 1996. Suma, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004. -------------- Himpunan Undang-Undang Perdata Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004. Sumiati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.Yogyakarta: Liberty, 1986. Sutarmadi, Ahmad dan Mesrani, Administrasi Pernikahan dan Manajemen Keluarga. Jakarta: Fakultas Syari’ah dan Hukum, 2006.
Takariawan, Cahyadi. Bahagiakan Diri Dengan Satu Istri. Solo: Era Intermedia, 2007. Tarigan, Azhari Akmal dan Nurudin, Aminur. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2006. Taufiq Al Atihan, Abdul Nasir. Poligami Ditinjau dari Segi Agama Sosial dan Perundang-Undangan. Jakarta: Bulan Bintang, 1976. Tebba, Sudirman. Perkembangan Mutakhir Hukum Islam di Asia Tenggara: Studi Kasus Hukum Keluarga dan Pengkondifikasiannya, Bandung: Mizan, 1993. Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: Bina Aksara, 1981. Tim Penulis Syari’ah & Hukum. Buku Pedoman Penulisan Skripsi. Jakarta: Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1988. Ulwan, Abdullah Nasih. Hikmah Poligami Dalam Islam. Jakarta: Studio Press, 1997. Universitas Islam Indonesia. Al Qur’an dan Terjemahannya. Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995. Zain, Muhammad dan Mukhtar Al Shodiq. Membangun Keluarga Harmonis Conter Legal Draf Kompilasi Hukum Islam Yang Kontroversial itu. Jakarta: Grahacipta, 2005.