“Maa Lam Tankihi” Klausul Hadhanah yang Terabaikan Oleh E r f a n i, S.HI A. Muqaddimah Penggalan kalimat dalam judul di atas, adalah bagian akhir dari sebuah hadis
g n ra
cukup populer yang hampir dipastikan selalu meramaikan pertimbangan hukum sebagian Hakim Agama dalam memutus perkara hak asuh anak atau hadhanah.
e g n
Hadis tersebut memang hanya „dikodifikasi‟ dalam beberapa kitab hadis saja, dan
a T a
g n ra
tidak termasuk di dalamnya Shahihaini Bukhari dan Muslim. Tercatat hanya ada setidaknya empat Imam Hadis yang merekrut hadis tersebut, yaitu Imam Abu Dawud
m a g
e g n
dalam Sunannya, Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya, dan Imam al Hakim dalam Mustadraknya, serta Al Baihaqi dalam Sunannya.
A n
a T a
g n a l ِ ِ يد َع ْن أ ُنd َّثَنَاr َحدa ُّ ود بْ ُن َخالِ ٍد ُ السلَ ِم ُّى َحدَّثَنَا الْ َول ُ ََْم ُمe ُْرو بi َح َّدثَِِن َع ْم- يَ ْعِِن األ َْوَزاع َّى- َِِب َع ْم ٍروm a a g g g n ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ٍ ُش َع ْي ب َع ْن أَب يو َع ْن nًو إ َّن ابِِْن َى َذا َكا َن بَطِِْن لَوُ ِو َعاءnَّس َول اللA ْ ََجدِّه َع ْبد اللَّو بْ ِن َع ْم ٍرو أ ََّن ْام َرأًَة قَالa ُ ت يَا َر e T P a صلى اهلل- ول اللَّ ِو َوثَ ْد ِِي لَوُ ِس َقاءً َو ِح ْج ِرى لَوُ ِح َواء ُ ُسiَرlال ََلَا َ َوإِ َّن أَبَاهُ طَلَّ َقِِن َوأ ََر َاد أَ ْن يَْنتَ ِز َعوُ ِم ِِّن فَ َقa ً m d a a g g ِ ْ « أَن-عليو وسلم . » َح ُّق بِِو َما ََلْ تَ ْن ِك ِحى تأ n A َ n Pe a il d a g n e P Redaksi lengkap hadis tersebut versi Abi Dawud sebagai berikut;
Umumnya Muhaditsin menilai hadis tersebut hanya berkualitas hasan. Namun Ima m Al Hakim cenderung menghargainya dengan nilai shahih, tepatnya shahihulisnad. (Bulughul Maram I, h. 453 lihat pula Al Mustadrak „Ala Shahihain, II, h. 225).
Dengan status hadis tersebut sedemikian itu, maka tentu masih dipandang
relevan menjadi rangkaian dalil dalam pertimbangan hukum para Hakim saat memutus perkara hadhanah. Setidaknya hadis itu bukan dhaif yang standar hukum tidak bisa mengacu kepadanya.
1
Erfani, Mei 2012 ”Maa lam tankihi” , Klausul Hadhanah yang Terbaikan
Dalam prakteknya, sebagian hakim menggunakan hadis tersebut guna mengukuhkan pendapat mereka saat menetapkan dan atau memutus bahwa kepada Ibu lah hak asuh anak diberikan, atau jika diambilkan dari redaksi itu, akan sesua i dengan penggalan “anti ahaqqu bihi…”. Padahal matan hadis itu merupakan bagia n yang tidak terpisahkan satu sama lain. Karena jika diterjemahkan secara bebas aka n berarti, “engkau_wahai sang Ibu_paling (jika ingin diartikan „lebih berhak‟ harus
g n ra
mentaqdirkan lafaz min; anti ahaqqu bihi minhu) berhak atas anak tersebut selama engkau belum/tidak menikah lagi”. Kenyataannya, klausul selama engkau belum
e g n
menikah lagi itu tidak pernah atau setidaknya jarang disinggung. Bahkan di lain
a T a
pihak, mungkin justru menilai tidak perlu disinggung, karena kenya taan yang ada
g n ra
saat memutus perkara, sang ibu hampir pasti bukan/belum menikah lagi, sehingga
m a g
e g n
hakim tidak perlu mempertimbangkan sesuatu yang belum terjadi.
A n
a T a
Namun kendati demikian, menjadi sesuatu yang penting bahwa dalil itu tidak
g n ra
sekadar dicatut apa adanya, melainkan harus pula dibarengkan dengan pemahama n
a l i d
m a Ag
yang memadai agar pencantuman sebuah dalil dapat diresapi sebagai sebua h
a g en
e g n
keyakinan yang mendalam. Klausul maa lam tankihi yang dipenggal sebagai bagia n
P
a T a
judul tulisan ini, menjadi sesuatu yang menarik untuk ditelusuri, dengan pertanyaa n
n a l di
awal, bagaimana jika lantas sang ibu itu menikah lagi?
ga
m a g
Selain untuk menjawab itu, banyak lagi hal lain yang perlu diketahui atau
n e P
A n
diperjelas kaitannya dengan klausul itu, yang patut dibahas bersama. Beberapa
a l i d
rumusan itu antara lain;
a g n
1. Apa pengertian dari klausul maa lam tankihi itu secara khusus dan redaksi (matan) hadis itu secara umum?
Pe
2. Apa urgensi mempertimbangkan klausul maa lam tankihi dalam perkara hadhanah?
3. Bagaimana pula konsekuensi dari jika sang ibu itu lantas di kemudian hari menikah lagi dengan orang lain? Bagaimana pengaruhnya terhadap hak asuh yang ada pada Ibu itu? Atau, lantas siapa yang paling berhak setelah ibu dalam hal hadhanah anaknya jika ibu menikah lagi dengan orang lain?
2
Erfani, Mei 2012 ”Maa lam tankihi” , Klausul Hadhanah yang Terbaikan
B. Mabhats Awwal; Kandungan Hadis Menurut Ibnu Qayyim, hadis ini merupakan satu-satunya hadis Nabi tentang gugurnya hadhanah karena menikah. Terlepas dari sisi kuantitas itu, yang jelas faktanya hadis tersebut ada, sehingga yang selanjutnya harus dilakukan adala h menilai kualitasnya, atau menakar kehujahan dan mengupas substansi hadis tersebut. Hadis itu sebetulnya berkisah tentang sebuah peristiwa dimana sepasang suami istr i bercerai
dan
memperebutkan
anak
mereka.
g n ra
Sang
isteri
kemudia n
menghadap/mengadu/menyengketakan perkaranya itu di hadapan Muhammad saw
e g n
(dalam kapasitasnya sebagai Qadhi dan Rasul; dengan produk hadis sebagai sumber
a T a
hukum), dan menyampaikan dalil-dalil psikologis kaitannya dengan kapasitasnya
g n ra
sebagai ibu, dimana sejak dari buaian, dirinya lah yang merawat anak itu, baik saat
m a g
e g n
dalam kandungan, menyusui, hingga saat-saat anak itu tumbuh dalam pangkuannya. Sementara saat itu suaminya telah menalaknya, lantas akan merebut anak itu darinya.
A n
a T a
g n ra
Rasul pun kemudian memutuskan bahwa sang ibu lah yang lebih/paling berhak untuk
a l i d
mengasuh anak tersebut, sejauh ia belum/tidak menikah lagi.
a g en
m a Ag
e g n
Jika dicermati susunan kalimatnya, maka redaksi/matan hadits itu terdiri dari
dua kalimat yang selanjutnya dimajemukkan. Yang pertama Anti Ahaqqu bihi da n
P
n a l di
kedua maa lam tankihi.
a T a
Susunan kata Ahaqqu bi sendiri dalam tradisi bahasa Arab memiliki
ga
m a g
pengertian tersendiri. Seperti diketahui kata ahaqqu merupakan bentuk tafdhil
n e P
A n
(berwazan af`alu), yang bisa berarti lebih (komparatif) dan bisa juga berarti paling
a l i d
(superlatif). Al Quran juga beberapa kali menggunakan lafaz itu dalam beberapa ayat. Misalnya dalam hal rujuk, wa bu`ulatuhunna ahaqqu biraddihinna fi zdalika in
a g n
aradu ishlaha. Abu Hafsh dalam Lubabnya menyebut bahwa kata ahaqqu dalam ayat
Pe
itu tidak bisa diberi makna tafdhil karena hak rujuk secara mutlak ada pada suami bahkan tidak ada pada isteri sekalipun, apalagi orang lain, sehingga harus dimakna i haqiqun ()حقيقون. Pengalihan makna kata seperti ini merupakan hal biasa dalam tradisi leksikologi dan gramatika Arab. Kendati sebuah kalimat dibentuk dalam suatu wazan, namun tidaklah mutlak ia lantas bermakna sebagaimana dikehendaki dar i wazan itu. Misalnya kata qatilun (ٌ )قَتِ ْيلyang berwazan fa‟iilun ( ) فَ ِع ْي ٌلyang merupaka n
3
Erfani, Mei 2012 ”Maa lam tankihi” , Klausul Hadhanah yang Terbaikan
salah satu wazan isim fa‟il, tidak lantas berarti orang yang membunuh, akan tetap i dialihkan maknanya menjadi makna isim maf‟ul, yaitu orang yang dibunuh. Kaitannya dengan ahaqqu yang ada dalam hadis tentang hadhanah itu, maka dengan asumsi wazan tafdhil itu, ia juga berkemungkinan dipahami sebagai fungs i komparatif dan juga superlatif. Hanya saja jika kata haq/haqiq itu diformat denga n wazan tafdhil, penulis cenderung memahaminya dalam konteks yang menafikan hak
g n ra
hak lain dan sesungguhnya bukan dimaksudkan untuk menunjuk perbandingan hak . Karena kapan pun hak personal dibagi-bagi, maka di saat itu pula hak itu tidak dapat
e g n
disebut telah dipenuhi. Apalagi kata haq/haqiq tidak identik dengan pengertian kata
a T a
sifat yang dapat ditafdhilkan maknanya. Karena itu penggunaan lafaz ahaqqu itu
g n ra
harus dipahami dalam konteks ta‟kid penguatan hak seorang yang pada saat yang
m a g
e g n
sama tidak ada hak lain yang bisa ikut andil di dalamnya. Karenanya, diperluka n instrumen kalimat lain yang menginformasikan bahwa di waktu yang lain hak itu
A n
dapat gugur.
a l i d
a T a
g n ra
Memenuhi maksud itu, maka redaksi hadis selanjutnya menggandeng kalimat
a g en
m a Ag
e g n
maa lam tankihi, sebagai pelengkap (yang mengharuskan) dari adanya lafaz ahaqqu.
Keberadaan kalimat maa lam tankihi dengan demikian memberikan arti bahwa ib u
P
n a l di
a T a
tidak lagi berhak atas hadhanah anaknya jika dalam masa hadhanah (sebelum anak mumayiz/berusia 7 atau 8 tahun versi Syafi‟i), ia telah menikah lagi dengan orang
ga
m a g
lain. Sebagian kalangan fuqaha‟ memberikan spesifikasi dukhul dalam pengertia n
n e P
A n
nikah itu, artinya dukhul itulah yang menjadi standar batas hak hadhanah buka n
a l i d
akadnya (di antaranya pandangan kalangan Malikiyah).
Dalam situasi dimana seorang ibu masih sendiri maka hadhanah anaknya
a g n
mutlak menjadi hak/kewajibannya. Sementara ketika telah menikah lagi, maka
Pe
pernikahannya itu oleh Imam Syafii dan Imam Malik dikategorikan sebagai mani‟ (penghalang; bagian dari hukum wadh‟i) dari hak hadhanah atas anaknya. Artinya jika sang Ibu bukan lagi berstatus isteri dari laki- laki lain (tidak terikat pernikahan), maka hilanglah penghalang itu, dan hak asuh/hadhanah atas anaknya akan kembali kepadanya. Berangkat dari uraian ini, agaknya hak hadhanah atas anak bagi seorang ibu itu dibangun atau berlangsung selama terhindar dari sedikitnya 2 situasi;
4
Erfani, Mei 2012 ”Maa lam tankihi” , Klausul Hadhanah yang Terbaikan
1. Dari sisi ibu, yaitu selama belum menikah lagi, karena saat ia menikah lagi hak hadhanah beralih ke pihak lain (tentang hal ini dibahas dalam sub berikutnya). 2. Dari sisi anak, yaitu selama belum mumayyiz. Batas mumayiz (haddut tamyiz) kaitannya dengan batas hadhanah/nihayatul hadhanah berbeda di kalangan fuqaha‟. Menurut Syafi‟i, batas tamyiz/hadhanah 7 atau 8 tahun baik anak lakilaki ataupun perempuan. Imam Malik membedakan antara anak laki- laki dan anak
g n ra
perempuan. Anak laki- laki batasnya itsighar (waktu dimana gigi susu sudah habis semua kemudian tumbuh gigi yang baru, masa dimana anak sejak tumbuh gigi
e g n
baru itu disebut itsghar; antara 6 sampai 14 tahun). Sementara anak perempuan
a T a
batasnya sampai menikah dan telah dicampuri suaminya. Abu Hanifah menilai
g n ra
batas hadhanah anak perempuan adalah bulugh/akil balig, sementara anak laki-
m a g
e g n
laki hingga istighna`, anak itu mampu mandiri dari pengasuhan sang ibu. (lihat Al Muntaqa Syarah al Muwatha IV h. 85) Di Indonesia Kompilasi Hukum Islam
A n
a T a
g n ra
mengambil jalan tengah batas tamyiz adalah 12 tahun. Kemudian jika anak
a l i d
tersebut telah mencapai masa tamyiz, maka penyelesaian sengketa hak asuh adalah
a g en
m a Ag
e g n
dengan cara takhyir, yaitu anak diberikan kesempatan memilih antara ayah atau ibunya.
P
n a l di
a T a
Terkait lembaga takhyir ini, Ibnu Qayyim cenderung melihatnya sebagai jalur alternatif saat kemaslatan anak tidak dapat dipastikan apakah berada bersama ibu
ga
m a g
atau ayahnya. Artinya selagi kemaslahatan anak berada pada pihak ibu itu dapat
n e P
A n
ketahui secara jelas, maka kendati sudah mumayyiz, tidak ada relevansinya untuk
a l i d
mengaktifasi lembaga takhyir karena dipandang tidak efektif terkait maksud
hadhanah itu sendiri. (Iqazhul Afham fi Syarh „Umdah, j. III, h. 14)
a g n
Takhyir sendiri merupakan lembaga yang Nabi pernah mengaktifasinya dalam
Pe
satu atau beberapa perkara hadhanah dimana anak telah dinilai mumayiz, yang selanjutnya menjadi acuan beberapa fuqaha` merekrut ketentuan takhyir itu. C. Mabhats Tsani; Anak, Ibu Kandung, dan Ayah Tiri Klausul maa lam tankihi semakin menarik dikaji, saat kita melibatkan kehadiran ayah tiri sebagai konsekuensi dari adanya pernikahan sang ibu. Ada pesa n sangat tegas dalam hadis itu bahwa ketika sang ibu menikah, hak (ahaqqiyah) hadhanah atas anaknya gugur/beralih. Hal itu karena berangkat dari sebuah nila i 5
Erfani, Mei 2012 ”Maa lam tankihi” , Klausul Hadhanah yang Terbaikan
paten dalam tradisi ajaran Islam bahwa perempuan kapanpun ia menjadi isteri, maka aktifitas utamanya adalah ketaatan horizontal kepada suami, yang ketaatan itu tidak dapat dikalahkan saat bertentangan dengan ketaatan horizontal yang lain kecuali jika suami merestuinya. Hal itu pula yang terjadi saat sang ibu memegang hak hadhana h atas anaknya kemudian menikah lagi dengan orang lain, maka kepentinga n mengasuh anak itu tidak lebih diutamakan ketimbang kepentingan menaati suami
g n ra
dan pelayanan yang maksimal kepada suaminya. Atau dengan rumusan lain dapat dikatakan bahwa tidak menaati/mengurusi/melayani suami itu mudharatnya lebih
e g n
besar (potensi dosanya bagi isteri; bayangkan jika suami diurus atau dilayani
a T a
tetangga...) ketimbang tidak mengasuh anak (karena anak masih bisa diasuh oleh
g n ra
pihak lain secara maksimal), sementara ketika dua kemudaratan mengemuka secara bersamaan,
m a g
maka kemudaratan
yang besarlah
yang
e g n
dijaga dengan
cara
melanggar/melaksanakan kemudaratan yang kecil (ru`iya a‟zhamuhuma dhararan
A n
a T a
g n ra
birtikabi akhaffihima). Sehingga guna menjaga keutamaan menaati suami itu, hak
a l i d
hadhanah bagi sang ibu harus dinyatakan gugur.
a g en
m a Ag
e g n
Berangkat dari hubungan kepentingan itu, maka sebagian kalangan fuqaha`
mensyaratkan ridha suami baru (ayah tiri anak/bukan bekas suami atau ayah kandung
P
n a l di
a T a
anak), jika sang ibu ingin hak hadhanahnya tetap berlangsung. Hal itu karena kepentingan suami sedikit banyak akan terganggu dengan adanya tanggungan ib u
ga
m a g
mengurus anak bawaannya itu.
n e P
A n
Alasan lain yang mengemuka, adalah bahwa permasalahannya bukan pada
a l i d
sengketa kepentingan antara ayah tiri dan anak bawaan isteri. Tetapi bahwa secara naluri, ayah tiri jelas tidak memiliki ikatan psikologis yang memadai untuk sedianya
a g n
ikut merawat anak tersebut. Sehingga ayah tiri tidak memiliki sertifikasi syafaqah
Pe
dan rahmah yang bersifat fitrah terhadap anak itu, karena memang bukan anak dar i darah dagingnya. Hal itu dinilai membahayakan perkembangan sang anak, sehingga apapun alasannya, saat ibu menikah lagi hak asuh harus dialihkan kepada pihak lain yang lebih laik berdasarkan pertimbangan tertentu. Selain dua pandangan di atas, ada pula yang memahami bahwa ridha yang dimaksud bukanlah ridha suami baru/ayah tiri anak, melainkan ridha bekas suami atau ayah kandung anak. Ketika ibu menikah lagi, maka hak hadhanah tidak gugur
6
Erfani, Mei 2012 ”Maa lam tankihi” , Klausul Hadhanah yang Terbaikan
jika bekas suami mengizinkannya. Hal ini karena apapun alasannya, ayah kandung sedikit atau banyak memiliki hubungan hak terhadap anak kandungnya itu yang sedang dalam hadhanah ibunya. Tetapi bahwa izin suami harus dipahami dala m konteks adanya hak mendasar seorang ayah terhadap anaknya saja, karena tidak lantas ketika ia tidak mengizinkan, anak akan beralih hak asuh kepadanya. Karena peralihan hak asuh anak dari ibu ke pihak lain, merupakan wilayah kajian tersendir i
g n ra
(akan dibahas dalam sub berikutnya), dan bukan merupakan ketentuan serta merta ke ayah kandung.
e g n
Hadhanah itu sendiri merupakan lembaga tersendiri sebagai konsekuensi dari
a T a
adanya anak dalam sebuah pernikahan. Bahkan ia terpisah dari ketentuan nafkah.
g n ra
Ketentuan nafkah berdiri sendiri sebagai sebuah lembaga yang secara khusus
m a g
e g n
menjadi taklif (tanggungan hukum) bagi kaum laki- laki (lihat Erfani, (artikel
badilag.net) Implikasi Nafkah dalam Konstruksi Hukum Keluarga). Denga n
A n
a T a
g n ra
demikian, pengertian hadhanah sesungguhnya terbatas pada maksud hakiki hadhana h
a l i d
itu sendiri yang lebih menunjuk maksud al hifzhu atau proses teknis penjagaan da n
a g en
m a Ag
e g n
pembentukan tumbuh kembang anak, baik fisik maupun mental. Sementara
biaya/mu`nah yang muncul dalam upaya itu seluruhnya menjadi tanggung jawab
P
n a l di
a T a
ayahnya. Dalam persoalan ini, Undang-Undang Perkawinan menengahinya denga n memberikan peluang pembebanan biaya hadhanah anak atas Ibu kandung atau Ib u
ga
m a g
Kandung dapat ikut menanggung biaya hadhanah anaknya, jika ayah kandung tidak
n e P
A n
sanggup lagi untuk memenuhi pembiayaan itu (Pasal 41 Huruf b UU No. 1 Th. 1974).
a l i d
Di sisi lain, hadhanah itu sendiri mengalami kerancuan seputar apakah ia hak
a g n
atau kewajiban. Konsekuensi dari pelabelan hadhanah sebagai hak dari pemegang
Pe
hadhanah, akan memberi arti bahwa pemegang hak itu kapan saja bisa melepas haknya atau sembarangan menggunakan haknya. Situasi ini jelas tidak relevan bagi kemaslahatan anak. Justru seharusnya, anaklah yang berhak memperoleh hadhana h yang maksimal dari ibunya, yang dengan demikian berarti hadhanah sejatinya merupakan sebuah kewajiban jika dilihat dari sudut pemegang hadhanah. Hanya saja, karena naluri fitrah yang dihadirkan Allah swt dalam hubungan rahim itu begitu besar, maka kewajiban itu seakan terasa sebagai hak yang cenderung diperebutkan.
7
Erfani, Mei 2012 ”Maa lam tankihi” , Klausul Hadhanah yang Terbaikan
Namun patut pula diantisipasi sebuah situasi dimana anak cenderung ditelantarkan, enggan diasuh, karena ada saja ibu yang kepekaan naluri rahimnya tidak tumbuh sebagaimana mestinya, sehingga citra penyabar, penyayang, dan pengasih dar i seorang ibu tidak tampak maksimal. Dalam kasus ini tentu hadhanah tidak cukup diberi label hak seorang ibu, tetapi lebih kepada beban kewajiban atasnya dan merupakan hak bagi anak yang harus dipenuhi secara maksimal. Hal ini sebagaimana
g n ra
yang diredaksikan dalam pasal 41 huruf a dan pasal 45 ayat (1) UU No. 1 1974 dan pasal 77 ayat (3) KHI yang menyatakan hadhanah „kewajiban‟ orangtua atau hak
e g n
anak, bandingkan dengan pasal 105 huruf a KHI yang menyatakan hadhanah adala h
a T a
„hak‟ ibu.
g n ra
Maka klausul maa lam tankihi itu, sesungguhnya telah menjawab dan
m a g
e g n
mempertemukan dua kepentingan yang sepintas bertentangan. Bahwa seorang suami berhak atas pelayanan yang masimal dari isterinya, sebagaimana seorang anak
A n
a T a
g n ra
berhak pula untuk mendapatkan perlakuan hadhanah yang maksimal dari pemegang
a l i d
hadhanahnya. Agar dua hal itu tetap berjalan maksimal, maka hak asuh anak ata u
a g en
m a Ag
e g n
hadhanah harus dialihkan kepada pihak yang paling mungkin menggantikan pera n ibu, dengan cara terlebih dahulu menyatakan gugurnya hak/kewajiban ibu kandung.
P
n a l di
a T a
Dengan demikian, ibu dapat berperan sebagai isteri bagi suaminya secara maksima l tanpa bimbang akan masalah hadhanah anaknya karena telah dialihkan kepada pihak
ga
m a g
lain yang laik. Namun sangat disayangkan bahwa solusi ini, seiring perkembanga n
n e P
A n
zaman dan gencarnya pergeseran nilai dari masa ke masa, cenderung tidak diangga p
a l i d
sebagai solusi yang solutif, malah cenderung tidak populer dan lebih terasa deskriminatif terhadap perempuan. (terkait hal ini akan ditulis InsyaAllah artike l
a g n
tentang „Ideologi Patriarki‟ Hukum Islam (Fikih), Subjektifitas Fuqaha`kah?)
Pe
Peristiwa pernikahan pemegang hadhanah, selanjutnya mendapat perhatian cukup tajam, manakala umumnya Fuqaha` tidak semata-mata menjadikannya mani‟ bagi seorang ibu pemegang hadhanah yang menikah lagi terhadap hak hadhanahnya. Karena mereka berdasarkan nilai- nilai yang ada, kemudian merumuskan ketentua n general bagi siapapun pemegang hadhanah (tidak hanya Ibu kandung anak) agar sedianya tidak sedang terikat dalam sebuah pernikahan. Adanya syarat al khuluwwu min zaujin dalam deretan syarat-syarat pemegang hadhanah yang dirumuska n
8
Erfani, Mei 2012 ”Maa lam tankihi” , Klausul Hadhanah yang Terbaikan
fuqaha` (dari empat kalangan Syafiiyah, Hanafiyah, Hanabilah, dan Malikiyah_lihat misalnya Al Fiqh `ala al Mazdahib al Arba`ah, j IV. h. 291 ), menegaskan betapa masalah pernikahan pemegang hadhanah versus hak hadhanah itu sendiri, merupaka n poin penting yang agaknya dikehendaki untuk diberikan perhatian yang proposional. Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, atau pun UndangUndang Peradilan Agama sekalipun, tidak menyinggung hal ini secara eksplisit.
g n ra
Hanya saja, jika pernikahan pemegang hadhanah secara khusus atau alasan apapun secara umum, diduga menyebabkan pemegang hadhanah tidak ternyata mamp u
e g n
menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak meskipun biaya hadhanah da n
a T a
nafkah telah dicukupi, maka atas inisitif kerabat anak tersebut, Pengadilan Agama
g n ra
dapat mengalihkan hadhanah kepada pihak lain. Hal ini sebagaimana disebut dala m
m a g
e g n
Padal 156 huruf c Kompilasi Hukum Islam. Undang-Undang Perkawinan pasal 49
ayat (1) juga menyinggung pengguguran hak hadhanah dalam situasi, 1) Pemegang
A n
a T a
g n ra
hadlanah sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya, 2) ia berkelakuan buruk
a l i d
sekali.
a g en
m a Ag
e g n
Kendati tidak diakomodir secara tegas berdasarkan yuridis, tapi dengan
adanya klausul maa lam tankihi, tentu permasalahan hadhanah ini harus pula
P
n a l di
a T a
mempertimbangkannya sebagai salah satu alasan hukum untuk memperkarakan hak asuh yang dipegang ibu ketika ia ternyata menikah lagi dalam masa hadhanah itu.
ga
m a g
Hadhanah yang masih berlangsung padahal ibu telah menikah lagi dengan orang lain,
n e P
A n
dapat dinyatakan sebagai alasan untuk melakukan gugatan hak asuh itu, agar
a l i d
sekiranya dialihkan kepada pihak lain yang lebih patut.
a g n
D. Mabhats Tsalist; Hadhanah Anak Pasca Ibu Menikah Lagi
Pe
Bagian paling penting dari tulisan ini mungkin bercokol pada bagian ini. Ketika pernikahan seorang ibu menjadi mani‟ terhadap hadhanah anaknya, maka bermunculan berbagai macam persoalan seputar implikasinya. Mulai dari siapa yang kemudian memegang hadhanah, bagaimana pula kapasitas ibu kandung itu terkait hadhanahnya apakah dapat kembali kepadanya pasca berakhirnya pernikaha n keduanya itu, dan yang penting pula dalam hal peralihan hak itu, apa sebetulnya yang menjadi standar atau bisa disebut sebagai nilai utama dan universal terkait dasar
9
Erfani, Mei 2012 ”Maa lam tankihi” , Klausul Hadhanah yang Terbaikan
pertimbangan peralihan itu, apakah hubungan nasab dan mahramiyah, atau hubunga n waris, atau mungkin kedekatan psikologis, atau justru terkait tema gender bahwa perempuan lebih utama, atau ada hal lain yang menjadi titik temu? Atau mungkin pertanyaan yang paling tepat dan urgen adalah apa sesungguhnya substansi da n esensi keberhakan hadhanah itu, apakah guna memenuhi hasrat/naluri fitrah manusia mengasuh anak, atau justru kemaslahatan anaklah yang menjadi penentu, bahwa
g n ra
anak harus dipelihara secara maksimal dan total, tanpa harus terpaku pada rumusa n deretan hieraki peralihan ahaqqiyah dalam hadhanah?
e g n
Sebagian persoalan di atas telah terjawab pada bagian sebelumnya. Namun
a T a
ada beberapa persoalan yang masih perlu dipertemukan ujung-pangkalnya. 1. Pemegang Hadhanah setelah Ibu Kandung
m a g
g n ra
e g n
Permasalahan yang paling krusial memang adalah seputar pemegang hadhana h setelah ibu kandung.
A n
a T a
g n ra
Abdul Mannan (2008;425) merangkum hal itu secara lengkap dimulai dar i
a l i d
kerabat ibu lurus ke atas (ibunya ibu/ummul umm, dst. pen), kemudian kerabat
a g en
m a Ag
e g n
ayah dalam garis lurus ke atas (ibunya ayah/ummul abi. dst. pen). Selanjutnya jika setelah itu tidak ditemukan kerabat mahramiyah atau ditemukan tetapi tidak
P
n a l di
a T a
cakap memegang hadhanah, maka Pengadilan Agama dapat menetapkan siapa wanita yang pantas menjadi ibu pengasuh (hadhin) dari anak-anak tersebut.
ga
m a g
Pendapat fuqaha‟ bervariasi seputar pemegang hadhanah setelah ibu kandung.
n e P
A n
Berikut diuraikan tiga pandangan kalangan fuqaha‟ yang dirangkum dari Al Fiqh
a l i d
„ala madzahib al arbah‟ah, j.4. h. 289.
Menurut kalangan Hanafiyah, hadhanah beralih secara tertib dari mulai kerabat
a g n
perempuan kemudian kerabat laki- laki, dengan rincian; -
Pe
Ibu kandung, ibunya ibu kandung, dan seterusnya ke atas dengan catata n bahwa mereka itu layak mengasuh anak dan tidak pula serumah dengan ib u kandung bersama suami barunya (ayah tiri anak) karena pada hakikat antara ayah tiri dan anak bawaan istri itu ada sebentuk siratan hubungan revalitas yaitu adanya silang kepentingan. Dalam situasi sedemikian ini ayah kandung anak berhak mengambil alih anak itu.
10
Erfani, Mei 2012 ”Maa lam tankihi” , Klausul Hadhanah yang Terbaikan
-
Kemudian jika ibunya ibu (yaitu nenek dari anak itu) mati atau ternyata menikah bukan dengan mahram anak, maka pemegang hadhanah berpinda h ke ibunya ayah kandung dan seterusnya ke atas. Kemudian jika ibunya aya h kandung itu ternyata menikah lagi dengan mahram anak, hadhanah tetap da n tidak gugur.
-
Namun jika ia mati atau menikah dengan bukan mahram anak maka
g n ra
hadhanah berpindah ke saudari kandung anak (ukhtun syaqiqah), lalu saudar i seayah dan seibu. Hingga fase ini kalangan hanafiyah sepakat, dan bar u
e g n
berbeda pendapat siapa yang didahulukan, pada fase selanjutnya yaitu
a T a
meliputi golongan bibi khalat dan „ammat, lalu golongan keponakan banatul ikhwah. -
m a g
g n ra
e g n
Setelah kaum perempuan di atas ternyata tidak ada, maka barulah jalur „ashabiyah (ahli waris kalangan laki- laki) mengambil peran. Mulai dari ayah,
A n
a T a
g n ra
ayahnya ayah, kemudian saudara kandung, saudara seayah, keponakan lak i
a l i d
dari saudara kandung, keponakan laki- laki dari saudara seayah, dst, kemudia n
a g en
m a Ag
e g n
paman kandung, paman seayah, sepupu/anak laki- laki dari paman kandung,
sepupu/anak laki- laki dari paman seayah, dengan catatan anak yang dipegang
P
n a l di
a T a
hadhanahnya adalah laki- laki jika perempuan maka tidak boleh karena merupakan mahram. Dalam situasi tidak ada lagi yang relevan mengasuh
ga
m a g
anak perempuan sementara hanya ada sepupu saja, maka penyelesaiannya
n e P
A n
atau penetapannya kepada sepupu laki- laki harus berdasarkan putusan hakim,
a l i d
atau berdasarkan putusan hakim pula ditetapkan kepada perempuan lain saja yang dinilai dipercaya (imra`atun aminah).
a g n
Kalangan Malikiyah menilai pemegang hadhanah berkutat secara tertib dari
Pe
kalangan kerabat perempuan juga kerabat laki- laki sebagai berikut; -
Ibu kandung, kemudian ibunya ibu kandung, dan seterusnya ke atas.
-
Kemudian bibi kandung dari jalur ibu/khalatun syaqiqah, lalu bib i seibu/khalatun liumm.
-
Kemudian bibinya
ibu/khalatul umm,
lalu bibinya
ibu dari jalur
ayah/‟ammatul umm.
11
Erfani, Mei 2012 ”Maa lam tankihi” , Klausul Hadhanah yang Terbaikan
-
Kemudian ibunya ayah, lalu ibunya ibu ayah, lalu ibunya ayahnya ayah, dengan catatan yang lebih dekat di antara mereka itu lebih diutamakan dar i yang jauh. Dan kalangan dari jalur ibu diutamakan dibanding kalangan dar i jalur ayah.
-
Kemudian ayah, lalu saudari perempuan anak, kemudian bibinya anak („ammah), lalu bibi ayahnya („ammatul abi).
-
g n ra
Kemudian bibi dari jalur ibu ayahnya (khalatulabi), lalu anak perempua n saudara laki- laki kandung/bintul akhi syaqiq, anak perempuan saudara seibu,
e g n
lalu anak perempuan saudara seayah. -
a T a
Lalu anak perempuan saudari kandung, anak perempuan saudari seibu, anak
g n ra
perempuan saudari seayah. Apabila dalam derajat itu terdapat beberapa
m a g
e g n
pemegang yang setara, maka diberikan kepada yang paling laik dan mamp u untuk hadhanah.
A n
a T a
g n ra
Kalangan Syafi`iyah membagi peralihan hadhanah dalam tiga situasi,1)
a l i d
m a Ag
berkumpulnya kerabat laki- laki dan kerabat perempuan, 2) berkumpulnya kerabat
a g en
e g n
perempuan saja, 3) berkumpulnya kerabat laki- laki saja.
P
-
n a l di
a T a
Dalam situasi yang pertama, maka didahulukan ibu da ripada ayah, kemudia n ibunya ibu dan seterusnya ke atas dengan catatan ibunya ibu dst. itu adala h
ga
m a g
ahli waris dari anak, sehingga tidak berhak hadhanah bagi ibunya ayah ibu,
n e P
A n
lantaran bukan ahli waris anak. setelah itu baru ayah, lalu ibunya ayah, lalu
a l i d
ibunya ibu ayah dan seterusnya ke atas sejauh sebagai ahli waris. Ketika berkumpul kerabat laki- laki dan kerabat perempuan maka didahuluka n
a g n
dengan patokan dari yang paling dekat dalam kalangan kerabat perempuan,
Pe
ke yang paling dekat dalam kalangan kerabat laki- laki. Sementara jika ditemui perkumpulan yang sederajat antara kalangan kerabat perempuan da n kalangan kerabat laki- laki, maka diselesaikan dengan cara qur‟ah/diundi. -
Dalam situasi yang kedua, yaitu perkumpulan kerabat perempuan saja, maka yang didahulukan adalah ibu, lalu ibunya ibu dst, lalu ibunya ayah dst, lalu saudari perempuan, lalu bibi perempuan/khalah, lalu anak perempuan saudar i perempuan, lalu anak perempuan saudara laki- laki, lalu bibi dari jalur
12
Erfani, Mei 2012 ”Maa lam tankihi” , Klausul Hadhanah yang Terbaikan
ayah/‟ammah, lalu anak perempuan bibi jalur ibu /bintulkhalah, lalu anak perempuan bibi jalur ayah/bintul „ammah, lalu anak paman jalur ayah/bintul amm, lalu anak perempuan paman jalur ibu/bintulkhal. Ketentuan dasarnya adalah bahwa hubungan sekandung didahulukan dari yang selain sekandung, dan didahulukan hubungan seayah daripada hubungan seibu. -
Dalam situasi yang ketiga, yaitu berkumpulnya kalangan kerabat laki- lak i
g n ra
saja, maka yang didahulukan adalah ayah, lalu ayahnya ayah, lalu saudara kandung, lalu saudara seayah, lalu saudara seibu, lalu keponakan laki dar i
e g n
saudara kandung atau keponakan laki dari saudara seayah, lalu paman jalur
a T a
ayah dari kedua orangtua, lalu paman/amm seayah, lalu anak paman/ibnu
g n ra
amm dari kedua orangtua, lalu anak paman seayah/ibnul amm liabin.
m a g
e g n
Uraian tiga pandangan ini sepakat menunjuk ayah pada urutan yang buka n prioritas jika kerabat perempuan masih ada. Hanya saja ayah menjadi prioritas
A n
a T a
dalam kaitan jika disandingkan dengan laki- laki yang lain.
a l i d
g n ra
Selain itu terdapat perbedaan mencolok, yaitu pada penempatan kalangan kerabat
a g en
m a Ag
e g n
ayah. Kerabat dari pihak ayah menurut Malikiyah baru diperankan saat semua
kerabat pihak ibu (nenek, bibi, saudari nenek dan kakek) habis. Sementara
P
n a l di
a T a
Hanafiyah cenderung mempersamakan derajatnya dengan asumsi yang dari pihak
ibu yang diutamakan, yaitu nenek dari ibu lalu nenek dari ayah, baru saudari-
ga
saudari.
n e P
m a g
A n
Perbedaan konsep itu bisa jadi berangkat dari perbedaan berbagai penilaian dar i
a l i d
sumber hukumnya. Sumber hukumnya kemungkinan sama, namun sudut pandang yang dibangun masing- masing mujtahid itu mengharuskan adanya
a g n
pernilaian yang bervariasi.
Pe
Misalnya dalam kasus perebutan anak antara ayah kandung dan mertua yang selanjutnya dimenangkan mertua. Hal ini berangkat dari sebuah keputusan Ab u Bakar Al Shiddiq terkait silang sengkata antara Umar bin Khattab ra da n mertuanya dalam hal memperebutkan „Ashim bin Umar, sementara ibunya tela h menikah lagi dengan orang lain. Abu Bakar mengeluarkan putusan bahwa „Ashim bin Umar diasuh oleh neneknya itu dengan pembebanan nafkah tetap kepada Umar ra. Keputusan itu diterima tidak saja oleh Umar sendiri, tetapi juga
13
Erfani, Mei 2012 ”Maa lam tankihi” , Klausul Hadhanah yang Terbaikan
beberapa Shahabat, karena dalam sebuah riwayat, putusan Abu Bakar itu disampaikan secara terbuka di hadapan mereka. Bandingkan pula dengan sebuah riwayat yang menceritakan silang sengketa antara Zaid bin Haritsah, Ja‟far bin Abi Thalib dan Ali bin Abi Thalib, tentang keberhakan atas hadhanah seorang anak perempuan Hamzah. Ja‟far mendalilka n bahwa dia dan isterinya lah yang berhak atas hadhanah itu lantaran anak
g n ra
perempuan itu tidak lain adalah anak pamannya, selain itu bib i/khalah anak itu adalah isterinya (Asma binti „Umays) sementara bibi tak ubahnya seorang ibu,
e g n
maka kami yang berhak mengambilnya. Ali juga kemudian menyampaikan dalil
a T a
bahwa anak itu adalah anak pamannya juga, dan di sisinya ada anak Rasul
g n ra
(Fathimah/Fathimah sendiri dengan demikian adalah keponakan sepupu dari anak
m a g
e g n
Hamzah), maka dia tentu yang lebih berhak. Zaid rupanya juga menaruh harap
untuk mengasuh anak itu, dia pun berdalil bahwa kehadiran anak itu di Mekah ini
A n
a T a
g n ra
adalah bersama dengannya, maka dirinya tentu berhak atas pengasuhan anak itu.
a l i d
Silang sengketa itu selanjutnya berakhir di ujung lisan Rasulullah saw. Rasul
m a Ag
e g n
bersabda “adapun anak perempuan, maka aku putuskan berada dalam hadhana h
a g en
Ja`far agar sedianya anak itu diasuh bibinya/khalah/isteri Ja`far (Asma binti
P
n a l di
a T a
`Umays), karena sesungguhnya bibi/khalah laksana seorang ibu bagi anak”
Setidaknya dari dua riwayat ini, berbagai macam penilaian dan pemahaman serta
ga
m a g
kesimpulan hukum dapat ditarik. Dan hal itu sudah begitu tampak dari berbaga i
n e P
A n
pandangan Fuqaha` di atas. Tinggal bagaimana penerapannya serta mungkin
a l i d
melakukan upaya komparasi yang memadai untuk selanjutnya mencari titik singgung sekaligus titik temu, sehingga masing- masing pandangan dapat cerna
a g n
konstruksinya secara utuh.
Pe
Berangkat dari latar belakang budaya, karakteristik sosial, kekhususan nuansa kemasyarakatan keberagamaan umat Islam Indonesia, barangkali, selanjutnya Kompilasi Hukum Islam merumuskan hirarki peralihan pemegang hadhana h yang tidak mengambil secara utuh salah satu pandangan kalangan fuqaha` d i atas. Menurut „Ulama Nusantara‟, susunan hierarki peralihan pemegang hadhanah itu adalah sebagaimana tertuang dalam Pasal 156 huruf a Kompilas i Hukum Islam, yaitu:
14
Erfani, Mei 2012 ”Maa lam tankihi” , Klausul Hadhanah yang Terbaikan
Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh: 1. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu; 2. ayah; 3. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah; 4. saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;
g n ra
5. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
Tentu menjadi kajian tersendiri, mengapa pada akhirnya „Ulama Nusantara‟
e g n
sampai pada rumusan tersebut. Dan akan menarik mengurai sudut pandang dan
a T a
dasar-dasar konstruksinya secara utuh, mengingat rumusan itu (apalagi
g n ra
menempatkan posisi ayah berada pada tingkatan kedua), dinilai berbeda denga n
m a g
e g n
rumusan-rumusan yang pernah ada sebelumnya. Hipotesisnya, bisa jadi bahwa tekstur budaya dan karakteristik sosial umat Islam Indonesia (atau bangsa
A n
a T a
g n ra
Indonesia secara umum) lah, yang lebih mempercayai peranan seorang laki- lak i
a l i d
(ayah) untuk memegang hadhanah anak pasca ibu dan kerabat lurus Ibu, lantara n
m a Ag
e g n
masih teramat berat „memaksa‟ atau mengharapkan tanggung jawab aya h
a g en
kandung membiayai hadhanah dan nafkah anaknya jika hadhanah dipegang ole h
P
n a l di
a T a
orang lain selain mertua (ibunya ibu).
2. Melacak Standar Keberhakan Hadhanah
n e P
ga
m a g
Dari uraian di atas kaitannya dengan pemegang hadhanah setelah ibu
A n
kandung, maka didapati beberapa persamaan sekaligus beberapa perbedaan.
a l i d
Untuk melihat titik singgung serta alasan dari masing- masing pandangan itu, akan dirinci sebagai berukut;
a g n
1. Kalangan Hanafiyah, jika dicermati, memberikan beberapa pertimbangan
Pe
dalam proses peralihan hadhanah itu kepada orang lain setelah ibu kandung, yaitu;
- Kepatutan (shalahiyah) pemegang hadhanah, meliputi fisik, waktu dan kepentingan yang tidak saling bertabrakan. - Pemegang hadhanah tidak dalam status bersuami/tidak menikah, kalaupun menikah harus dengan standar memiliki hubungan mahram dengan anak.
15
Erfani, Mei 2012 ”Maa lam tankihi” , Klausul Hadhanah yang Terbaikan
- Tidak melibatkan ayah tiri/suami ibu kandung anak dalam pelaksanaan hadhanah. - Urutan yang dirinci, harus berlaku secara tertib untuk selanjutnya beralih dari satu ke yang lainnya. 2. Kalangan Malikiyah, jika dicermati, lebih memandang prioritas pada kalangan kerabat ibunya anak secara khusus, bukan pada perempuanya.
g n ra
Artinya Malikiyah lebih mendahulukan ibu, ibunya ibu, bibinya ibu, baru kemudian ibunya ayah. Maka agaknya Malikiyah meletakkan standar potensi
e g n
syafaqah dan rahmah, atau pertimbangan siapa yang paling mungkin
a T a
berpotensi memberikan perhatian dan kasih sayang yang paling besar setelah
g n ra
ibu. Dengan kata lain pertimbangan kalangan Malikiyah lebih kepada
m a g
e g n
kedekatan emosionalitas dan psikologis antar seorang perempuan dan anak,
secara alamiyah, bukan hasil intervensi manusia. Karena pada dasarnya,
A n
a T a
g n ra
secara alamiyah perempuan dari jalur ibu lebih dekat kemiripannya, atau
a l i d
setidaknya berdasarkan karakteristik genetis, perempuan-perempuan itu tentu
a g en
m a Ag
e g n
dapat menyamai sekian persen ibu kandungnya. Sehingga pengalihan hadhanah kepada mereka itu dapat disebut sebagai lanjutan saja, tanpa harus
P
n a l di
a T a
memulai sesuatu yang baru bagi anak, selain juga terdapat jaminan kasih sayang yang cukup kuat karena jalinan rahim itu juga melekat antar mereka,
ga
m a g
ibu kandung dan sang anak.
n e P
A n
3. Kalangan Syafi‟iyah
a l i d
Pandangan kalangan Syafiiyah menonjolkan hal lain terkait standar keberhakan dan peralihan hadhanah. Jika dicermati, peralihan hadhanah versi
a g n
Syafiiyah, sedikit banyak memiliki korelasi dan relevansi dengan hubungan
Pe
mewarisi. Logikanya, memang karena permasalahan waris tidak tepat jika dilihat hanya dalam kapasitas hak saja. Karena harus diakui bahwa berbedanya bagian-bagian (siham) di antara ahli waris, disebabkan atau setidaknya dipengaruhi sedikit banyak oleh beban kewajiban. Bahwa lakilaki berhak atas perolehan lebih besar karena ada padanan kewajiban dan hubungan nafkah yang mengiringinya.
16
Erfani, Mei 2012 ”Maa lam tankihi” , Klausul Hadhanah yang Terbaikan
Dalam hal hadhanah mengapa harus dipersyaratkan adanya hubungan waris antara calon hadhin dan mahdhun, karena memang keberadaan mahdhun itu sendiri pada hakikatnya merupakan beban kewajiban yang di saat yang sama harus bergandengan dengan sebuah hak. Maka di sinilah hak dalam hubungan waris memiliki relevansi dengan hadhanah. Lantas apakah berarti kalangan Syafiiyah bermaksud menjadikan hak waris
g n ra
sebagai sebentuk jaminan pembiayaan untuk aktifitas hadhanah yang emban? Jawabannya tentu bukan demikian. Karena pembiayaan segala
e g n
kepentingan hadhanah tetap dipikulkan kepada sang ayah sebagai taklif
a T a
syar‟i yang mutlak. Yang lebih tepat sesungguhnya adalah bahwa
g n ra
pertimbangan hubungan waris sebagai salah satu standar peralihan hadhanah
m a g
e g n
karena kalangan Syafiiyah berusaha meramu konsep yang komprehensif
sekaligus futuristik. Komprehensif berarti upaya penjagaan semua aspek
A n
a T a
g n ra
pendukung pelaksanaan hadhanah dari sisi pemegang hadhanah, meliputi
a l i d
aspek mentalitas spiritual (bahwa persoalannya bukan sekadar suka atau
a g en
m a Ag
e g n
tidak, tetapi pembebanan itu harus dipahami sebagai kegiatan vertikal-
transendental yang luhur dan mulia sehingga harus dijalankan secara
P
n a l di
a T a
optimal), emosionalitas-psikologis (bahwa naluri manusia saat menjalankan kewajiban tentu tidak lepas dari tuntutan hak, sehingga adanya jaminan hak
ga
m a g
itu diharapkan mampu meredam gejolak negatif terkait beban yang dijalani),
n e P
A n
dan termasuk pula aspek sosial bahwa manusia sebagai zoon politicon
a l i d
memerlukan pengakuan sosial dari setiap tindakannya, sekaligus di saat yang sama menjadi benteng bagi dirinya dari kemungkinan asumsi miring atas hak
a g n
yang ada. Futuristik berarti kalangan Syafiiyah paham betul bahwa hadhanah
Pe
bukan urusan satu atau dua hari melainkan untuk rentang waktu yang cukup lama, maka pertimbangan sebuah ketentuan peralihan hadhanah tidak sekadar untuk masa yang singkat, akan tetapi memandang jauh ke depan terkait kemungkinan-kemungkinan jangka panjang yang memerlukan solusi sedini mungkin.
Tinjauan di atas muaranya memang adalah pada aspek landasan peralihan hadhanah. Namun apakah benar persoalan hadhanah hanya berkutat seputar
17
Erfani, Mei 2012 ”Maa lam tankihi” , Klausul Hadhanah yang Terbaikan
landasan peralihan semata? Agaknya, apa yang dirumuskan oleh Fuqaha‟ tentang urutan peralihan itu, lebih tepat untuk diapresiasi sebagai sebuah upaya luar biasa para fuqaha‟ meletakan rumusan yang esensinya adalah posibilitas menghadirkan kemaslahatan bagi anak. Dengan kata lain, masing- masing kalangan meyakini bahwa urutan-urutan itu adalah gambaran visual yang menceritakan tentang hirarki kemaslahatan bagi anak. Bahwa anak sangat
g n ra
maslahat bersama ibunya, jika ada masalah dengan ibu, maka kemaslahatan anak selanjutnya ada pada ibunya ibu, demikian seterusnya.
e g n
Kesimpulan itu semakin mendekati benar, saat kita melacak pula apa saja syarat-
a T a
syarat pemegang hadhanah yang digariskan Fuqaha`. Guna mempersingkat
g n ra
tulisan ini dipandang cukup menunjuk uraian Abdurrahman Al Jaziri dalam Al
m a g
e g n
Fiqh ala Mazdahib Arba`ah jilid 4 hal 291, karena tulisan ini selanjutnya cukup mengurai analisanya saja.
A n
a T a
g n ra
Empat Kalangan Mazhab sesungguhnya meletaknya persyaratan hadhanah yang
a l i d
hampir seragam. Keseragaman itu bermuara pada upaya mengejawantahkan
a g en
m a Ag
e g n
kemaslahatan tumbuh kembang anak dalam beberapa aspek, dengan perincian sebagai berikut:
P
n a l di
a T a
1. Penjagaan Akidah anak. Tiga kalangan Mazdhab, Syafiiyah, Hanabilah dan Hanafiyah, agaknya sepakat mensyaratkan Islam bagi pemegang hadhanah.
ga
m a g
Hanya saja Kalangan Hanafiyah mengkhususkannya pada pemegang
n e P
hadhanah kalangan
A n
laki- laki,
a l i d
sementara kalangan perempuan tidak
disyaratkan Islam, karena substansinya adalah Syafaqah dan Rahmah yang tentu tidak berbeda apapun agama yang bersangkutan. Kalangan Malikiyah
a g n
yang memang tidak memandang syarat Islam bagi pemegang Hadhanah.
Pe
Hanya saja jika dalam naungan hadhin non Islam itu anak tidak dapat dipastikan makanannya justru diberi makanan yang haram seperti khamr, babi, dll, maka menurut kalangan Malikiyah hadhanah harus dialihkan kepada kalangan Muslimin. Saking pentingnya akidah maka Nabi pernah berdoa saat memutus sengketa hadhanah antara ibu yang musyrik dan ayah muslim, ketika itu sang anak sudah akan memilih ibunya, namun berkat doa
18
Erfani, Mei 2012 ”Maa lam tankihi” , Klausul Hadhanah yang Terbaikan
Nabi agar sekiranya anak itu arahkan kepada ayahnya yang muslim, maka anak itupun lantas memilih ayahnya. Demikian menurut beberapa Fuqaha`. 2. Jaminan tumbuh kembang mental anak. Fuqaha‟ rupanya cukup konsen memperhatikan aspek mentalitas anak terbukti dengan adanya syarat-syarat seperti kondisi pemegang hadhanah yang harus baik perangainya, baik agamanya/tidak fasik, besar kasih sayangnya, serta sehat akal pikirannya
g n ra
(tidak dalam gangguan kejiwaan), dan syarat lain sejenisnya. Dan dalam kaitan ini pula, hubungan mahram antara anak dan suami pemegang
e g n
hadhanah menjadi sesuatu yang harus dipastikan eksistensinya, guna
a T a
menjamin ikatan emosional dan naluri fitrah „kerahiman‟ di antara mereka.
g n ra
3. Jaminan tumbuh kembang jasmani anak. Pertimbangan penting lainnya
m a g
e g n
adalah muara syarat-syarat pemegang hadhanah itu terletak pula pada aspek
perhatian terhadap jasmani anak. Sehingga ditemukan syarat pemegang
A n
a T a
g n ra
hadhanah tidak dalam keadaan sakit apalagi menular, tidak pula kurang
a l i d
inderawinya, dan syarat sejenis lainnya. Bahkan guna mengimbangi
a g en
m a Ag
e g n
posibilitas pemenuhan maksud jaminan jasmani anak itu, dihendaki bahwa
pemegang hadhanah mampu secara fisik mengurus anak, sehingga pemegang
P
n a l di
a T a
hadhanah sebaiknya bukan yang telah renta.
4. Jaminan totalitas waktu/perhatian bagi anak. Aspek ini tampak ketika
ga
m a g
kalangan Fuqaha` mensyaratkan bahwa pemegang hadhanah bukan orang
n e P
A n
yang disibukkan oleh aktifitas lain yang jauh lebih besar di luar aktifitas
a l i d
pengasuhan bagi anak, seperti sibuk mengurus suami (ayah tiri anak yang bukan mahram), sibuk bekerja (karier) di luar, selalu berpergian
a g n
meninggalkan anak, dll. Dan tampak pula saat ada syarat bahwa pemegang
Pe
hadhanah harus berada dalam sebuah hunian yang layak dan tidak terganggu oleh silang kepentingan penghuni rumah apalagi sampai ada situasi kebencian terhadap anak.
Adalah hal yang tidak mudah mencari esensi sekian pandangan fuqaha` itu sebagaimana tidak pula mudah mengumpulkan sekian pertimbangan itu dalam sebuah putusan hadhanah. Tetapi tidak lantas dengan demikian pertimbanganpertimbangan itu dapat dengan mudah dilanggar dan dinafikan begitu saja.
19
Erfani, Mei 2012 ”Maa lam tankihi” , Klausul Hadhanah yang Terbaikan
Menyadari konteks hukum Islam keindonesiaan yang memiliki karakteristik tersendiri, maka banyak penyesuaian yang dilakukan oleh Ulama Nusantara sebagaimana banyak pula dilakukan oleh hakim- hakim di Pengadilan Agama. Sejauh upaya tersebut berangkat dari kajian yang dalam atas dasar objektifitas yang tinggi dengan tetap mengindahkan sumber-sumber hukum yang ada beserta pandangan-pandangan yang telah mengemuka, maka tidak ada alasan untuk
g n ra
tidak mengalungkan apresiasi yang positif kepada mereka seraya di saat yang sama kita semua berserah diri kepada Allah swt, Dzat Sang Empunya Hukum
e g n
dan Keadilan Sejati, agar sedianya menghadirkan secercah petunjuk menuju
a T a
keadilan yang ada padaNya itu.
m a g
E. Khatimatul Bahts
g n ra
e g n
Berat untuk mengatakan bahwa bagian ini adalah representasi dari bahasan yang
A n
a T a
g n ra
telah ada, sehingga dianjurkan untuk menelaah sedari awal. Namun ada baiknya
a l i d
beberapa catatan berikut diunggah untuk maksud kesimpulan.
m a Ag
e g n
1. Klausul „maa lam tankihi‟ harus dinyatakan sebagai bagian yang tidak
a g en
terpisahkan ketika penggalan awalnya yaitu „anti ahaqqu bihi‟ digunakan untuk
P
n a l di
a T a
mengukuhkan sebuah pendapat tentang hadhanah. Hal ini karena Ahaqiyyah menunjuk sebuah kemutlakan hak di satu waktu, dan mengharuskan pelengkap
ga
m a g
yang menunjukkan hilangnya hak itu di waktu yang lain. Secara khusus hadis ini
n e P
A n
menjadi dasar gugurnya keberhakan/ahaqiyah seorang ibu pemegang hadhana h
a l i d
anaknya, saat ini menikah lagi. Selanjutnya dimaknai secara general ole h umumnya Fuqaha` dalam merumuskan ketentuan gugurnya hadhanah sebab
a g n
menikah, yaitu menikah dengan bukan mahram anak.
Pe
2. Klausul „maa lam tankihi‟ semakin dharuri (semakin bersifat harus) untuk diperhitungkan dalam panggung hadhanah, saat kita sejenak memasrahkan dir i untuk mengkaji nilai- nilai yang ada di dalamnya. Pernikahan seorang pemegang hadhanah sesungguhnya (jika sepakat kembali kepada nilai awal Islam) mengantarkan dirinya pada dua sisi kepentingan, yaitu kepentingan menaati suaminya dan kepentingan mengasuh anak bawaannya. Dengan kata lain ia berhadapan dengan dua kemudharatan (potensi berdosa), ketika konse n
20
Erfani, Mei 2012 ”Maa lam tankihi” , Klausul Hadhanah yang Terbaikan
mengasuh anaknya, ketaatan kepada suami terbengkalai, sebaliknya perhatia n penuh kepada suami, maka aktifitas hadhanah jelas tidak maksimal, saat keduanya saling bertentangan, maka kemudharatan yang lebih besar harus diutamakan untuk dijaga, dengan cara mengabaikan/melaksanakan kemudharata n yang kecil. Menaati suami dinilai jauh lebih besar kepentingannya ketimbang mengasuh anak, karena pengasuhan kepada anak dapat digantikan sementara
g n ra
suami jelas tak mungkin digantikan. Guna memenuhi dua maksud itu yaitu agar dua kepentingan itu dapat tetap dengan apik terlaksana maka „maa lam tankihi‟
e g n
sesungguhnya telah bijak menjadi solusi yang akrab dengan nilai- nilai luhur
a T a
filosofis.
g n ra
3. Kepada siapa anak selanjutnya berpayung hadhanah, menjadi kupasan cukup
m a g
e g n
rumit. Banyak pertimbangan yang mengemuka dari sekian kalangan mazdahib
dan fuqaha`nya. Hierarki peralihan hadhanah (deretan kerabat-kerabat yang
A n
a T a
g n ra
berhak memegang hadhanah pasca ibu menikah) memiliki urat nadi tersendir i
a l i d
yang dinilai berbeda di masing- masing versinya. Variasi itu sesungguhnya
a g en
m a Ag
e g n
merupakan visualisasi dari maksud pengukuran posibilitas secara hierarkis pula
dalam hal kemaslahatan bagi anak dengan segenap pertimbangan pengusungnya.
P
n a l di
a T a
Sehingga harus yakin dikatakan bahwa kemaslahatan anaklah yang menjadi urat nadi dari hubungan peralihan dan esensi keberhakan hadhanah itu. Kendati
ga
m a g
demikian, lewat hadis-hadisnya (baca: Sunnah-Sunnahnya), Rasullullah saw
n e P
A n
tentu tidak sekadar bermaksud menyampaikan pesan lokal saja, karena denga n
a l i d
segala kesempurnaan sudut pandangnya, rumusan peralihan dan keberhaka n hadhanah yang tertuang dalam sekian hadisnya itu, sesungguhnya tersimpan pula
a g n
sebentuk ukuran baku bahwa di situlah terletak kemaslahatan bagi anak yang
Pe
memang halus keberadaannya itu. Maksud ini pula yang sejatinya diusung para fuhaqa‟ dalam rumusan fikihnya. Karenanya, pertimbangan hukum tentang hadhanah agaknya kurang sopan jika serta merta menafikan kesemua upaya mulia dari para pendahulu yang juga mulia itu. Jika tidak berlebihan untuk memberi nilai terhadap upaya Fuqaha` tersebut, maka agaknya mereka lebih mengacu kepada konteks ittiba‟i atau berusaha sebisa mungkin mengikuti apa yang Rasulullah saw lakukan dan menjadikannya
21
Erfani, Mei 2012 ”Maa lam tankihi” , Klausul Hadhanah yang Terbaikan
sebagai yang utama. Adapun mengenai esensi, nilai, dan pesan apa yang ada di dalamnya, akan dengan sendirinya tercapai manakala proses ittiba‟i itu benarbenar identik dan representatif. Ketentuan hadhanah sejatinya menyuarakan sebuah pesan tentang betapa urgennya aktifitas mengurus anak. Islam berkomitmen kuat bahwa masa depa n bangsa akan tampil cemerlang dimulai dari bagaimana generasinya didesign
g n ra
sempurna untuk menggapai itu. Islam menghendaki dari sejak dalam buaia n hingga tumbuh sempurna semua giginya, seorang anak harus benar-benar
e g n
dipastikan telah mereguk segarnya asupan kasih sayang, hangatnya belaia n
a T a
perhatian, dan sejuknya naungan ruang tempat dimana dia mengirup dan
g n ra
menghela nafas- nafas mudanya. Dengan bekal itulah, sang anak diharapkan tela h
m a g
e g n
siap memulai tapak-tapak kecilnya untuk selanjutnya menjadi bagian dar i generasi yang kuat dan bersahaja.
A n
a T a
g n ra
Menyadari pesan ini, terbentuklah rangkaian ketentuan hadhanah yang terbilang
a l i d
ketat dan teramat hati-hati, yang semua itu tiada lain, karena Agama sangat tidak
m a Ag
e g n
menginginkan keterbentukan generasi yang kurang „gizi‟ jasmani dan rohaninya,
a g en
apalagi sampai dilabel buruk (dzurriyyatan dhi‟aafan).
P
n a l di
a T a
Berdasarkan bahasan dalam tulisan ini, menulis akhirnya memberanikan dir i untuk memperkenalkan formula ideal dalam hadhanah bernama Formula 4
ga
m a g
Maslahat 5 Sempurna.
n e P
A n
4 Maslahat berarti putusan hadhanah harus memenuhi 4 pondasi kemaslahata n
a l i d
bagi anak, yaitu 1. Penjagaan Akidah, 2. Jaminan Tumbuh kembang Mentalitas Anak, 3. Jaminan Tumbuh kembang Jasmani anak, 4. Jaminan Totalitas waktu
a g n
dan perhatian bagi anak.
Pe
5 Sempurna berarti keempat pondasi itu akan sempurna manakala Pemegang Hadhanah adalah orang yang tepat yaitu mumpuni dan memenuhi kriteria Hadhin yang baik dan patut. Demikian semoga bermanfaat. Wallahu ta`ala a‟lam.
22
Erfani, Mei 2012 ”Maa lam tankihi” , Klausul Hadhanah yang Terbaikan
Di antara Referensinya: o Al Quran Al `Azhim. o Sunan Abi Dawud o Musnad Ahmad bin Hanbal o Sunan Al Baihaqi al Kubra dan Al Shugra o Al Mustadrak „ala Shahihaini lil Hakim
g n ra
o Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
e g n
o Kompilasi Hukum Islam
o Al Fiqh „Ala al Mazdahib al Arba‟ah, Abdurrahman Al Jaziri.
a T a
o Al Fiqh al Islamiy wa Adillatuhu, Wahbah al Zuhaili.
g n ra
o Iqazhul Afham fi Syarh „Umdah al Ahkam, Sulaiman bin Muhammad Al Luhaimid.
m a g
e g n
o Al Lubab fi Ulum al Kitab, Abu Hafsh Al Dimasqi al Hanbali
A n
o Al Muntaqa Syarah Muwatta
a T a
g n ra
o Penerapan Hukum Acara Perdata Peradilan Agama, Prof. Dr. Abdul Mannan, SH., S.IP
a l i d
a g en
m a Ag
e g n
o Implikasi Nafkah dalam Konstruksi Hukum Keluarga, (Artikel Badilag.net) Erfani.
P
o Dll.
n a l di
a T a
o Referensi berikutnya adalah kritik dan saran para pembaca yang budiman.
n e P
ga
A n
a l i d
a g n
Pe
m a g
23
Erfani, Mei 2012 ”Maa lam tankihi” , Klausul Hadhanah yang Terbaikan