Laporan Penelitian PENETAPAN PERBUATAN SEBAGAI TINDAK PIDANA KEALPAAN DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS
Disusun oleh : Agna Susila, SH.MHum Basri, SH.MHum Andi Purwanto
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAGELANG 2011
1
HALAMAN PENGESAHAN 1.
Judul Penelitian
: Penetapan Perbuatan Sebagai Tindak Pidana Kealpaan Dalam Kecelakaan Lalu Lintas
2.
Bidang Ilmu
3.
Peneliti
: Ilmu Hukum
a. Ketua Peneliti 1. Nama
: Agna Susila, SH.MHum
2. Pangkat/Gol/NIS
: Penata Muda/Lektor/II c/865408052
3. Jabatan Fungsional
: Dosen
4. Jabatan Struktural
: Dekan
5. Fakultas
: Fakultas Hukum
6. Perguruan Tinggi
: Universitas Muhammadiyah Magelang
7. Alamat
: Jl. Tidar No. 21 Magelang (0293) 362082
b. Anggota Peneliti I 1. Nama
: Basri, SH.MHum
2. Pangkat/Gol/NIS
: Penata Muda/Lektor/III c/966906114
3. Jabatan Fungsional
: Dosen
4. Jabatan Struktural
: -
5. Fakultas
: Fakultas Hukum
6. Perguruan Tinggi
: Universitas Muhammadiyah Magelang
7. Alamat
: Jl. Tidar No. 21 Magelang (0293) 362082
c. Anggota Peneliti II 1. Nama
: Andi Purwanto
2. NPM
: 10.0201.0040
3. Jabatan
: Mahasiswa
4. Fakultas
: Fakultas Hukum
5. Perguruan Tinggi
: Universitas Muhammadiyah Magelang
6. Alamat
: Jl. Tidar No. 21 Magelang (0293) 362082
ii
4.
Lokasi Penelitian
: Kota Magelang
5.
Waktu Pene;itian
:
6.
Biaya
: Rp 3.500.000,00
7.
Sumber Biaya
: Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah
6 (enam) bulan
Magelang
Magelang, Agustus 2011 Mengetahui
Ketua Tim Peneliti
Dekan Fakultas Hukum
Agna Susila, SH.MHum
Agna Susila, SH.MHum
NIS : 865408052
NIS. 865408052
Menyetujui Ketua Pusat Pene;itian UMM
Dra. Retno Rusdjijati, M.Kes NIP. 132051251
iii
KATA PENGANTAR Assalamu`alaikum Wr. Wb. Puji syukur penulis panjatkan Kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan judul: “Penetapan Perbuatan Sebagai Tindak Pidana Kealpaan Dalam Kecelakaan Lalu Lintas”. Dalam penelitian ini penulis sadar bahwa tidak mungkin menyelesaikan hanya dengan kemampuan yang ada pada diri penulis saja, akan tetapi dalam hal ini mendapat banyak bantuan dari semua pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan segala petunjuk dan pikiran sehingga terwujudnya penyusunan penelitian ini. Penulis
juga
menyadari
bahwa
penelitian
ini
masih
jauh
dari
kesempurnaan. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati lapang dada, maka saran dan kritik serta tegur sapa yang bersifat membangun guna kesempurnaan penelitian ini akan penulis terima dengan senang hati. Pada kesempatan yang berbahagia ini penulis tidak lupa menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada : 1.
Bapak Prof. Dr. H. Achmadi, selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Magelang.
2.
Bapak Agna Susila, SH., MHum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang.
3.
Bapak
Ibu
Dosen
dan
seluruh
staf
Fakultas
Hukum
Universitas
Muhammadiyah Magelang. 4.
Responden yang telah memberikan data-data, informasi-informasi maupun keterangan-keterangan demi kelancaran penelitian dan penulisan penelitian ini.
5.
Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih telah banyak memberi dukungan kepada penulis.
iv
Semoga bantuan yang diberikan kepada penulis mendapatkan balasan dari Allah SWT, begitu pula andai kata ada kesalahan maupun kekhilafan penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Magelang,
Agustus 2011
Penulis
Agna Susila, SH.MHum Basri, SH.MHum Andi Purwanto
v
ABSTRAK Kealpaan dapat terjadi dalam aktifitas apapun dan kapanpun hanya saja dalam penelitian ini kealpaan yang dimaksud adalah kealpaan sebagai mana diatur dalam aturan hukum pidana. Dalam penelitian ini penulis memfokuskan pada kealpaan yang terjadi pada lingkup lalu lintas. Meningkatnya jumlah korban dalam suatu kecelakaan merupakan suatu hal yang tidak diinginkan oleh berbagai pihak, mengingat betapa sangat berharganya nyawa seseorang yang sulit diukur dengan sejumlah uang satuan saja. Orang yang mengakibatkan kecelakaan tersebut harus mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan harapan pelaku dapat jera dan lebih berhati-hati. Permasalahan yang ada adalah bagaimanakah perbuatan seseorang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana kealpaan dalam kecelakaan lalu-lintas dan apakah hambatan yang dihadapi aparat penegak hukum dalam menentukan suatu perbuatan masuk ke dalam kategori tindak pidana kealpaan dalam kecelakaan lalu-lintas. Kealpaan adalah bagian dari kesalahan yang tidak disengaja, suatu tindak pidana diliputi kealpaan, manakala adanya perbuatan yang dilakukan karena kurang penduga-duga atau kurang penghati-hati. Metode yang digunakan dalam penelitian ini meliputi metode pendekatan yuridis normatif, bahan penelitian, spesifikasi penelitian, alat penelitian, teknik penelitian dan metode analisa data. Perbuatan seseorang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana kealpaan dalam kecelakaan lalu-lintas adalah perbuatan yang tidak didasari oleh kehendak batin untuk melakukan suatu perbuatan pidana, dan sepatutnya seseorang tidak dapat menduga bahwa perbuatannya dapat menjadi perbuatan yang diancam dengan pidana, atau orang dapat menduga akan tetapi ia lengah, atau lalai. Hambatan-hambatan yang dihadapi oleh aparat penegak hukum dalam menentukan suatu perbuatan masuk ke dalam kategori tindak pidana kealpaan dalam kecelakaan lalu-lintas, yaitu kendala dalam penyidikan dan upaya mengatasinya.
Kata kunci : perbuatan, kealpaan.
vi
DAFTAR ISI hlm HALAMAN JUDUL.............................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN ..............................................................
ii
KATA PENGANTAR………………………………………………...
iv
ABSTRAK....……………………………………………………….....
vi
DAFTAR ISI..........................................................................................
vii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah....................................................….....
1
B. Rumusan Masalah.............................................................….....
5
C. Tujuan Penelitian...............................................................…....
5
D. Kegunaan Penelitian..........................................................…....
5
E. Sistematika Penulisan Penelitian.................................................... 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA..........................................................
8
A. Pengertian Tindak Pidana............................................................
8
B. Pengertian Pelaku Tindak Pidana................................................
10
C. Kealpaan dalam Hukum Pidana..................................................
11
D. Kecelakaan Lalu Lintas...............................................................
14
1.
Pengertian lalu-lintas dan Jalan............................................
14
2.
Pengertian Kecelakaan Lalu-lintas........................................
15
3.
Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Kecelakan Lalu-Lintas 16
4.
Pelanggaran Lalu-lintas..........................................................
5.
Pertanggungjawaban terhadap Kealpaan menurut
17
UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu-Lintas dan Angkutan Jalan......................................................................
18
E. Tugas Polisi Sebagai Pejabat Penyidik Dalam Perkara Lalu-Lintas 20 1.
Pengertian Penyidik...............................................................
20
2.
Pengertian Penyidikan............................................................
21
3.
Tugas Polri dalam Bidang Lalu-Lintas..................................
22
vii
BAB III METODE PENELITIAN........................................................
23
A. Metode Pendekatan................................................................
23
B. Bahan Penelitian.....................................................................
24
C. Spesifikasi Penelitian..............................................................
25
D. Populasi dan Sampling...........................................................
25
E. Alat Penelitian........................................................................
26
F. Analisis Data..........................................................................
26
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.....................
28
A. Perbuatan Seseorang yang Dapat Dikategorikan Sebagai Tindak Pidana Kealpaan dalam Kecelakaan Lalu-Lintas …...
28
B. Hambatan yang Dihadapi Aparat Penegak Hukum dalam Menentukan Suatu Perbuatan Masuk ke dalam Kategori Tindak Pidana Kealpaan dalam Kecelakaan Lalu-Lintas dan Upaya Mengatasinya.............................................................
32
BAB V PENUTUP..................................................................................
39
A. Kesimpulan.............................................................................
39
B. Saran-saran..............................................................................
40
DAFTAR PUSTAKA………………......................................................
41
LAMPIRAN
viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Sejak lahir manusia telah bergaul dengan manusia lainnya di dalam suatu wadah yang bernama masyarakat. Seiring dengan berkembangnya manusia tersebut semakin meluas pula cakupan pergaulannya di dalam masyarakat. Sementara semakin meningkatnya usia manusia mulai mengetahui bahwa dalam hubungannya dengan warga lain dari masyarakat dia bebas, namun dia tidak boleh berbuat semaunya.1 Masyarakat merupakan suatu kumpulan individu yang saling berinteraksi. Dengan adanya interaksi tersebut sering kali menimbulkan suatu sisi negatif yaitu berupa tindak pidana. Suatu tindak pidana baru dapat dijatuhkan apabila undang-undang telah memberikan dasar-dasar di dalam penjatuhan pidana. Aturan ini bertujuan untuk mencapai suatu derajat keadilan yang setinggi-tingginya, oleh karena Indonesia merupakan negara hukum. Oleh karena itu seluruh tindakan masyarakat harus disesuaikan dengan hukum. Apabila suatu perbuatan manusia bertentangan dengan hukum terutama hukum pidana, maka sanksi pidana akan dijatuhkan kepada orang yang bersangkutan. Di dalam hukum pidana perbuatan manusia yang dapat dijatuhi pidana memiliki unsur-unsur tertentu seperti; adanya perbuatan manusia, melanggar hukum, dan dapat dipertanggungjawabkan.2 Menitikberatkan pada perbuatan manusia di dalam KUHP diatur secara tegas tentang perbuatan yang dilakukan dengan sengaja (Dolus), seperti dalam Pasal 340 KUHP yang bunyinya : “Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan berencana dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau selama waktu paling lama dua puluh tahun. 1 2
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: C.V Rajawali, 1980, hal.90. Artikel dari internet, http://ditya17.blog.friendster.com/2008/07/hukum-pidana/
1
Pasal tersebut dipakai apabila seseorang yang diduga sebagai pembunuh telah diketahui memiliki unsur-unsur pidana seperti adanya kesengajaan atau kehendak/niat untuk membunuh, namun bagaimana jika matinya seseorang adalah sebagai akibat dari perbuatan yang tidak dikehendaki dan tidak dilakukan secara sengaja. Sebagai petugas yang berwenang aparat penegak hukum dapat melakukan tindakan yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Polisi sebagai penyidik dan penegak hukum dapat menyelidiki kasus yang menyangkut tindak pidana yang termasuk dalam pasal 359 KUHP, yaitu mengenai “kealpaan“ adapun fungsi dari pasal itu menjelaskan unsur kesalahan yang berbentuk culpa. Pasal 359 KUHP berbunyi : “Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang, diancam dengan pidana penjara maksimum lima tahun atau kurungan maksimum satu tahun”. Kealpaan dapat terjadi dalam aktifitas apapun dan kapanpun hanya saja dalam penelitian ini kealpaan yang dimaksud adalah kealpaan sebagai mana diatur dalam aturan hukum pidana. Dalam penelitian ini penulis memfokuskan pada kealpaan yang terjadi pada lingkup lalu lintas. Lalu lintas merupakan salah satu sarana komunikasi masyarakat yang memegang peranan vital dalam memperlancar pembangunan yang kita laksanakan. Masalah lalu lintas merupakan salah satu masalah yang berskala nasional yang berkembang seirama dengan perkembangan masyarakat.
Dengan adanya pertambahan jumlah kendaraan yang semakin hari semakin meningkat dan perkembangan arus lalu lintas yang semakin padat, tentu 2
akan membawa pengaruh dan dampak yang kurang baik bagi para pengguna jalan raya. Perilaku para pemakai jalan dalam mematuhi aturan lalu lintas harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya demi kelancaran dan kemampuan pemakai jalan, kesopan santunan pemakai jalan merupakan kunci pokok terciptanya kenyamanan dan kelancaran lalu lintas. Faktor manusia merupakan penyebab utama terjadinya kecelakaan lalu lintas di jalan raya hal tersebut terjadi karena adanya kecerobohan atau kealpaan pengemudi dalam mengemudikan kendaraannya. Kecerobohan pengemudi tersebut tidak jarang menimbulkan korban, baik korban menderita luka berat atau korban meninggal dunia bahkan tidak jarang merenggut jiwa pengemudinya sendiri. Dalam kaitannya dengan kecerobohan pengguna jalan, Wirjono Prodjodikoro menyatakan : Kesalahan pengemudi mobil sering dapat disimpulkan dengan mempergunakan peraturan lalu lintas. Misalnya, ia tidak memberikan tanda akan membelok, atau ia mengendarai mobil tidak di jalur kiri, atau pada suatu persimpangan tidak memberikan prioritas kepada kendaraan lain yang datang dari sebelah kiri, atau menjalankan mobil terlalu cepat melampaui batas kecepatan yang ditentukan dalam rambu-rambu dijalan yang bersangkutan3.
Perkembangan lalu lintas tersebut serta kurang kesadaran hukum masyarakat pengguna jalan, maka di dalam kehidupan sehari hari sering dijumpai, banyak pengendara (pengemudi) kendaraan bermotor yang belum siap mental, dalam arti para pengemudi kurang perhitungan dan sering berbuat ugalugalan dijalan raya sangat menentukankeselamatan bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Dengan sikap mental yang kurang baik serta kurangnya kesadaran hukum masyarakat terhadap peraturan lalu lintas dan dorongan berperilaku yang
3
Wirjono Projodikoro,Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2003, hal. 81.
3
kurang baik dalam mengemudikan kendaraannya, misalnya tidak mengindahkan tanda-tanda maupun rambu-rambu lalu lintas di jalan,selain itu juga kurang perhatian terhadap petunjuk-petunjuk yang telah ada di jalan raya, menuju lalu lintas yang tertib : Rambu-rambu lalu lintas maupun marka jalan yang dipasang untuk memberikan informasi dan perintah, tujuannya agar tercipta keamanan, ketertiban dan kelancaran para pengguna jalan. Faktor utama terjadinya kecelakan lalu lintas ada pada diri pengemudi sendiri, yaitu rasa ingin menang antara lain ingin mendahului tanpa mengindahkan aturan aturan lalu lintas dan keselamatan diri sendiri maupun keselamatan bagi orang lain. Banyak pengemudi kendaraan umum yang bersifat egois, dengan perasaan egois yang tidak terkontrol atau tidak dapat terkendali dan berubah menjadi emosional, timbul keinginan untuk mengejar dan mendahului. Maka ia menambah kecepatan sehingga terjadi kejar-kejaran atau dahulu mendahului, segala akal sehat dan pertimbangan keselamatan tidak diperhitungkan lagi. Hal demikian bukan hal baru lagi dikalangan para pengguna atau pemakai jalan umum, khususnya dikalangan para pengemudi kendaraan umum yang sedang mengemudikan kendaraan yang kurang memperhatikan keselamatan diri sendiri maupun keselamatan orang lain. Sering kali selalu tampak di mata kewaspadaan terhadap ancaman bahaya kecelakaan semakin lemah, disiplin berlalu lintas menurun dan kemungkinan menyangkut keselamatan orang lain sesama para pemakai jalan. Adanya kecerobohan atau kurang hati-hatian pengemudi kendaraan bermotor tersebut, dalam kitab undang-undang hukum pidana, masalah kealpaan 4
pengemudi yang berakibat korban meninggal dunia tercantum dalam ketentuan Pasal 359 KUHP. Berdasarkan kententuan Pasal 359 KUHP tersebut, semakin jelas bahwa hukum pidana sangat diperlukan dalam upaya menanggulangi masalah kecelakaan lalu lintas, dijalan raya umum, karena ada kemungkinan peristiwa kecelakaan lalu lintas mendatangkan kerugian yang tidak sedikit, baik kerugian jiwa, badan dan harta benda. Meningkatnya jumlah korban dalam suatu kecelakaan merupakan suatu hal yang tidak diinginkan oleh berbagai pihak, mengingat betapa sangat berharganya nyawa seseorang yang sulit diukur dengan sejumlah uang satuan saja. Orang yang mengakibatkan kecelakaan tersebut harus mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan harapan pelaku dapat jera dan lebih berhati-hati4.
Hukum pidana memberikan arahan bahwa ketentuan pidana ditujukan untuk mengatur dan mengendalikan tertib hukum dalam masyarakat, disamping menjamin ditegakkan rasa keadilan masyarakat atas perbuatan orang perorangan atau sekelompok orang atau pejabat atau korporasi atau pengurus korporasi yang telah melanggarnya. Suatu tindak pidana harus memenuhi unsur objektif, yaitu harus ada suatu perbuatan pidana yang dirumuskan secara positif dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) atau undangundang secara khusus yang memberi pedoman pemidanaan atau penetapan kualifikasi yuridis dari delik yang secara khusus diatur dalam undang-undang tersebut (asas legalitas). Disamping itu juga harus memenuhi unsur-unsur
4
Artikel dari internet, Kompas Cyber Media, Setiap Hari 25 Orang Mati di Jalan, http://www.kompascommunity.com, 2003
5
subjektif yaitu subjek hukum yang melakukan perbuatan tersebut harus dapat bertanggung jawab. Uraian tersebut di atas menjadi dasar keinginan bagi penulis untuk selanjutnya melakukan penelitian yang berkaitan dengan tindak pidana karena kealpaan dalam kecelakaan lalu-lintas
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimanakah perbuatan seseorang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana kealpaan dalam kecelakaan lalu-lintas ? 2. Apakah hambatan yang dihadapi aparat penegak hukum dalam menentukan suatu perbuatan masuk ke dalam kategori tindak pidana kealpaan dalam kecelakaan lalu-lintas ?
C. Tujuan Penelitian Agar dapat memberikan gambaran konkrit serta arah yang jelas dalam pelaksanaan dan penelitian ini, maka perlu dirumuskan tujuan yang ingin dicapai, yaitu : 1. Untuk mengetahui perbuatan seseorang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana kealpaan dalam kecelakaan lalu-lintas.
6
2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi oleh aparat penegak hukum dalam menentukan suatu perbuatan masuk ke dalam kategori tindak pidana kealpaan dalam kecelakaan lalu-lintas.
D. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian dan penulisan penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi : 1. Peneliti Manfaat hasil penulisan dan penyusunan penelitian ini bagi peneliti secara pribadi diharapkan mampu menambah dan memperluas ilmu serta wawasan yang didapatkan dari teori-teori hukum, terutama terkait masalah kelalaian atau kealpaan. 2. Masyarakat Agar masyarakat mendapatkan tambahan pengetahuan tentang hukum
pidana,
terutama
mengenai
tindakan-tindakan
yang
dapat
mengakibatkan penderitaan bagi orang lain karena kelalaian, seperti diatur di dalam KUHP perbuatan lalai tersebut diancam dengan pidana, sehingga nantinya masyarakat dapat lebih waspada dalam melakukan suatu perbuatan. 3. Ilmu pengetahuan Diharapkan dapat meningkatkan perkembangan ilmu hukum dalam menciptakan hukum, khususnya bidang hukum pidana baik di lingkungan Universitas Muhammadiyah Magelang maupun di luar lingkup Universitas
7
Muhammadiyah Magelang, dengan pemahaman yang luas bagi masyarakat dan dunia pendidikan terutama di bidang hukum.
E. Sistematika Penulisan Penelitian Dalam sub bab ini diberikan gambaran yang jelas dan terarah mengenai penyusunan penelitian. Berikut dikemukakan sistematika dan alur pembahasan yang terbagi dalam lima bab, yaitu : 1. Bab I Pendahuluan Bab ini dibagi ke dalam lima sub bab, yaitu ; Latar Belakang Permasalahan; dalam sub bab ini penulis mendipenelitiankan latar belakang atau dasar ketertarikannya untuk melakukan penelitian ilmiah yang mengerucut pada ditariknya sebuah judul; Rumusan Masalah; dalam sub bab ini penulis merumuskan permasalahan yang akan diteliti dan dicari pembahasannya, Tujuan Penelitian; dalam bab ini penulis menuliskan tujuan utamanya melakukan penelitian, Kegunaan Penelitian; dibagi menjadi beberapa kategori sesuai dengan tujuan penelitian, dan Sistimatika Penulisan; dalam sub bab ini penulis mendepenelitiankan muatan dari penelitian ilmiahnya secara sistemaitis dari bab I sampai dengan bab V. 2. Bab II Tinjauan Pustaka Dalam bab ini penulis menguraikan pengertian-pengertian tentang topik penelitian yang di dapatkan dari sumber-sumber tertulis. Bab II ini terdiri dari beberapa sub bab yaitu; pengertian tindak pidana, pengertian
8
pelaku tindak pidana, kealpaan dalam hukum pidana, kecelakaan lalu lintas, dan tugas polisi sebagai pejabat penyidik dalam perkara lalu-lintas. 3. Bab III Metodologi Bab ini berisikan langkah-langkah atau metode yang digunakan dalam penelitian hukum. Cara-cara atau metode yang digunakan oleh penulis dalam melakukan penelitian ini, meliputi; metode pendekatan, bahan penelitian, spesifikasi penelitian, alat penelitian, teknik penelitian dan terakhir metode analisa data. 4. Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan Bab IV ini penulis menjelaskan mengenai hasil penelitian serta pembahasan permasalahan yang akan dikaji dan dianalisa dalam penelitian yaitu; perbuatan seseorang dapat ditetapkan sebagai tindak pidana kealpaan dalam kecelakaan lalu-lintas dan hambatan yang dihadapi aparat penegak hukum dalam menentukan suatu perbuatan masuk ke dalam kategori tindak pidana kealpaan dalam kecelakaan lalu-lintas. 5. Bab V Penutup Sebagai bab penutup, pada bab ini akan dikemukakan kesimpulan dan saran.
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda, yaitu strafbaarfeit. Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS Belanda dengan demikian juga WvS Hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaarfeit itu.5 Tindak pidana merupakan suatu pengertian dasar dalam hukum pidana. Perkataan “feit” itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti “dapat dihukum”, sehingga strafbaarfeit dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum” yang sudah barang tentu tidak dapat, oleh karena kelak akan diketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan ataupun tindakan.6 Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah ”perbuatan jahat” atau ”kejahatan” (crime atau Verbrechen atau misdaad) yang bisa diartikan secara yuridis (hukum) atau secara kriminologis. Kejahatan atau perbuatan jahat dalam arti yuridis normatif adalah perbuatan seperti yang terwujud in abstracto dalam peraturan pidana. Sedangkan dalam kriminologis adalah perbuatan manusia yang memperkosa/menyalahi norma yang hidup di masyarakat secara kongkret.
5 6
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hal 67 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Mateiil, Kurnia Alam, Yogyakarta, 2005, hal 71
10
Pokok Pangkal dari Hukum Pidana adalah berpusat kepada apa saja yang dinamakan dilarang untuk dilakukan karena perbuatan tersebut diancam dengan pidana. Tidak mudah untuk memberikan sesuatu ketentuan atau definisi yang tepat untuk istilah tindak pidana/delik. Secara singkat dapat dikatakan bahwa tindak pidana/delik ialah, “Suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundangundangan lainnnya terhadap perbuatan mana yang diadakan tindakan penghukuman“.7 Tindak pidana ialah perbuatan yang melanggar larangan yang diatur oleh aturan hukum yang diancam dengan sanksi pidana.8 “Tindak pidana” disebut Moeljatno sebagai “perbuatan pidana” yang pengertiannya adalah9 : Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana. Unsur-unsur atau elemen perbuatan pidana adalah : 1. Kelakuan dan akibat (perbuatan). 2. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan. 3. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana. 4. Unsur melawan hukum yang obyektif. 5. Unsur melawan hukum yang subyektif. Agar suatu perbuatan tertentu dapat dikategorikan sebagai perbuatan pidana atau memenuhi aturan hukum pidana dan dikatakan perbuatan pidana, maka aturan-aturan dalam hukum pidana telah mengaturnya. Pada dasarnya hukum pidana berpokok kepada 2 (dua) hal, yaitu : 1.
Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu
7
Andi Hamzah, Perkembangan Hukum Pidana Khusus, Rineka Cipta, Jakarta, 1991, hal. 124 RM. Suharto, Hukum Pidana Materiil Unsur-Unsur Objektif Sebagai Dasar Dakwaan, Jakarta: Sinar Grafika, 2002, hal. 28 9 Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, PT. Bumi Aksara, Jakarta, 1999, hal. 54, 63. 8
11
2.
Yang dimaksud dengan “perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu” adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang yang memungkinkan adanya pemberian pidana. Perbuatan semacam itu dapat disebut “perbuatan yang dapat dipidana” atau disingkat “perbuatan jahat” (verhrechen alau crime). Oleh karena dalam perbuatan jahat ini harus ada orang yang melakukannya maka persoalan tentang perbuatan tertentu itu diperinci menjadi dua, ialah perbuatan yang dilarang dan orang yang melanggar larangan itu. Pidana Yang dimaksud dengan “pidana” ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu itu. Di dalam hukum pidana modern, pidana ini juga meliputi apa yang disebut dengan “tindakan tata tertib” (tutchmaatregel, masznahme). Di dalam ilmu pengetahuan hukum adat Ter Haar memakai istilah (adat) reaksi. KUHP mengatur jenis-jenis pidana yang dapat diterapkan, tercantum dalam pasal 10 KUHP dan seterusnya.10 Dapat dikatakan bahwa tindak pidana adalah perbuatan-perbuatan yang
secara hukum dilarang dan diancam dengan sanksi pidana baik dari segi perbuatannya sendiri maupun akibat yang ditimbulkan dari perbuatan itu, atau dapat diartikan juga sebagai perbuatan yang melawan aturan hukum pidana. B. Pengertian Pelaku Tindak Pidana Tidak ada rumusan baku mengenai pengertian pelaku tindak pidana, dalam hal ini hukum pidana (KUHP) hanya membedakan pelaku tindak pidana menurut posisinya, yaitu ada yang disebut sebagai penganjur, orang yang turut serta, dan orang yang digunakan sebagai alat atau orang yang disuruhlakukan, hal tersebut diatur di dalam Pasal 55 KUHP menyebutkan bahwa : 1. Dipidana sebagai pembuat (dader) sesuatu perbuatan pidana Ke-1 mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan;
10
Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Fakultas Hukum Undip, Semarang, 1990, hal. 9
12
Ke-2 mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan 2. Terhadap penganjur hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akiabatnya. Diatur pula mengenai pembantu (medeplichtige), dalam Pasal 56 KUHP yang menyebutkan bahwa : Dipidana sebagai pembantu (medeplichtige) sesuatu kejahatan ke-1 mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan ke-2 mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan Dari uraian dan penjelasan pasal 55 dan 56 tersebut, penulis beranggapan bahwa yang diartikan sebagai pelaku tindak pidana adalah setiap orang yang terlibat/berhubungan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan suatu tindak pidana, contoh dalam kejahatan kelompok (koorporasi) dimana ada yang disebut sebagai “otak utama”, “aktor intelektual”, ada orang yang melakukan secara langsung perbuatan pidana seperti dalam perampokan, dan ada orang yang bertugas melindungi para pelaku tersebut, kesemuanya tersebut dapat dikatakan sebagai pelaku tindak pidana. C. Kealpaan dalam Hukum Pidana 1.
Definisi Kealpaan 13
Kata culpa mempunyai merupakan bagian dari kesalahan yang berupa kealpaan, kelalaian atau sembrono atau teledor. Syarat utama dapat dipidananya orang harus adanya suatu kesalahan, kesalahan yang dimaksud adanya sifat melawan hukum, yang diakibatkan dari kelalaian, atau kekurang hati-hatian seseorang sehingga menimbulkan perbuatan pidana. Pada kesalahan yang berwujud kesengajaan pelaku mengetahui atau dapat membayangkan bahwa perbuatan maupun akibat perbuatannya dilarang oleh hukum, sedangkan pada kealpaan pelaku tidak mengetahui, tidak dapat membayangkan suatu akibat yang timbul dalam hal ini akibat pidana, atau pelaku dapat membayangkan jika perbuatannya yang tidak diancam pidana dapat menjadi perbuatan yang diancam dengan pidana apabila tidak dilakukkan dengan benar, namun karena keteledoran, kelalaian atau kealpaannya sehingga akibat perbuatannya dapat diancam dengan hukum pidana. Misalnya, seorang penjaga palang pintu kereta api secara hukum perbuatan menjaga palang pintu kereta api tidaklah dilarang oleh
undang-undang,
tetapi
karena
mengantuk
ia
lupa
menutup/mengoperasikan palang pintu tersebut sehingga terjadi kecelakaan yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa maupun harta, dalam hal ini penjaga palang pintu kereta tersebut dapat dijatuhi pidana karena kealpaannya, yaitu lalai menutup pintu palang kereta. Di dalam undang-undang tidak ditentukan apa arti dari kealpaan. Dari ilmu pengetahuan hukum pidana diketahui pengertiannya adalah segaja melakukan suatu tindakan yang ternyata salah, karna mengunakan ingatan/otaknya secara salah, seharusnya ia mengunakan ingatanya (sebaik14
baiknya), tetapi ia tidak gunakan. Dengan perkataan lain ia telah melakukan suatu tindakan (aktif/pasif) dengan kurang pemikiran dan kurang kehatihatian dalam berpikir serta bertindak, dalam hal kealpaan, pada diri pelaku terdapat : a.
Kekurangan pemikiran (penggunaan akal) yang diperlukan
b.
Kekurangan pengetahuan (ilmu) yang diperlukan
c.
Kurangnya kebijaksanaan11. Umumnya para pakar sependapat bahwa “kealpaan” adalah
bentuk kesalahan yang lebih ringan dari “kesengajaan”. Itulah sebabnya, sanksi atau ancaman hukuman terhadap pelanggaran norma pidana yang dilakukan dengan “kealpaan”, lebih ringan. Kealpaan merupakan unsur subjektif dari suatu perbuatan pidana, unsur subjektif adalah unsur yang berasal dari dalam diri pelaku. Asas kesalahan dalam hukum pidana menyatakan “tidak ada hukuman kalau tidak ada kesalahan”. Kesalahan yang dimaksud di sini adalah kesalahan yang diakibatkan oleh kesengajaan dan kealpaan. Suatu tindak pidana diliputi kealpaan, manakala adanya perbuatan yang dilakukan karena kurang penduga-duga atau kurang penghati-hati. Misalnya, mengendari mobil ngebut, sehingga menabrak orang dan menyebakan orang yang ditabrak tersebut mati. Kealpaan yang demikian ini dikenal dengan istilah bewuste culpa (culpa yang disadari). Ada lagi istilah onbewuste culpa (culpa yang tidak disadari), misalnya belajar mengendarai mobil kemudian menabrak dan mengakibatkan orang mati. 11
Artikel dari internet, http://wawasanhukum.blogspot.com
15
Dalam hukum pidana kealpaan diatur di dalam pasal 359 dan 360 KUHP. Pasal 359 KUHP menyatakan : “Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun”. Sedangkan dalam Pasal 360 KUHP menyatakan : (1) “Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun”. (2) “Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah”12. 2.
Unsur-unsur Kealpaan Dalam pasal 359 KUHP merumuskan sebagai berikut : “Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-selamanya lima tahun atau kurungan selama-selama satu tahun”. Adapun unsur Pasal tersebut adalah sebagai berikut : a.
Unsur subyektif
: barang siapa, karena kealpaannya
b.
Unsur obyektif
: menyebabkan matinya orang
c.
Ancaman hukum
: maksimal lima tahun penjara atau maksimal satu tahun kurungan.
Dalam Pasal 360 (1) KUHP merumuskan sebagai berikut : “Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka berat
12
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, hal . 202.
16
dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun“. Adapun unsur-unsur Pasal 360 tersebut adalah sebagai berikut : a.
Unsur subyektif
: barang siapa, karena kealpaannya.
b.
Unsur obyektif
: menyebabkan orang luka berat.
c.
Ancaman hukuma
: maksimal lima tahun penjara atau maksimal satu tahun kurungan.
Dalam Pasal 360 (2) KUHP merumuskan sebagai berikut : “Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka sedemikian rupa sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau tidak dapat menjalankan jabatannya atau pekerjaanya sementara, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 9 bulan (Sembilan bulan) atau kurungan selama lamanya 6 bulan (enam bulan) atau denda setinggi tingginya tiga ratus rupiah “. Pasal tersebut mengandung unsur-unsur sebagai berikut : a.
Unsur subyektif : barang siapa, karena kealpaannya
b.
Unsur obyektif : menyebabkan orang lain luka hingga sakit sementara dan tidak dapat menjalankan jabatannya atau pekerjaannya
c.
Ancaman hukuman : maksimal sembilan bulan penjara atau maksimal enam bulan kurungan. Dari uraian pasal 359 dan 360 KUHP di atas dapat diketahui
bahwa kealpaan bersifat melawan hukum karena menyebabkan matinya seseorang atau menyebabkan orang lain sakit/luka sehingga tidak dapat menjalankan pekerjaannya, namun belum jelas apa yang termasuk unsur
17
kealpaan itu sendiri karena kedua pasal tersebut hanya menyebutkan “karena kealpaannya”. Menurut Moeljatno kealpaan mengandung dua syarat, yaitu tidak mengadakan penduga-penduga sebagaimana diharuskan oleh hukum dan tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum13. Berdasarkan hal tersebut menurut penulis unsur dari kealpaan adalah adanya perbuatan yang dilangan oleh undang-undang, adanya akibat dari perbuatan yang dilarang oleh undang-undang, tidak adanya penduga oleh pelaku, atau ada pendugaan awal oleh pelaku akan akibat dari perbuatannya tetapi ia tidak hati-hati atau teledor atau lalai. 3.
Bentuk-bentuk Kealpaan Pada umumnya, kealpaan (culpa) dibedakan atas : a.
Kealpaan dengan kesadaran (bewuste schuld). Dalam hal ini, si pelaku tidak membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat, tetapi walaupun ia berusaha untuk mencegah, tetap timbul juga akibat tersebut.
b.
Kealpaan tanpa kesadaran (onbeswute schuld). Dalam hal ini, si pelaku tidak membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat yang dilarang dan diancam hukuman oleh undang-undang, sedang ia seharusnya memperhitungkan akan timbulnya suatu akibat14.
13 14
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Cetakan Kedua, Jakarta: Bina Aksara, 1984, hlm. 201. Artikel dari internet, Pengertian Unsur-unsur Delik, http://sitharesmi.multiply.com
18
D. Kecelakaan Lalu Lintas 1.
Pengertian lalu-lintas dan Jalan Pengaturan mengenai lalu lintas jalan terdapat di dalam UndangUndang Nomor 22 Tahun 2009 sebagai penganti atas Undang-undang No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96 dan mulai berlaku pada tanggal 22 Juni 200915. Pengertian “lalu lintas” dan pengertian “jalan” menurut Undang-Undang 22 Tahun 2009 adalah sebagai berikut : Pasal 1 angka 2 berbunyi : Lalu lintas adalah gerak kendaraan dan orang di Ruang Lalu Lintas Jalan. Pasal 1 angka 12 berbunyi : Jalan adalah seluruh bagian Jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi Lalu Lintas umum, yang berada di permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan rel dan jalan kabel. Pengertian lalu lintas adalah suatu aktivitas gerak kendaraan, orang, dan hewan di jalan, sedangkan jalan yang dimaksudkan di sini adalah jalan yang dipergunakan bagi lalu lintas umum.
2.
Pengertian Kecelakaan Lalu-lintas Aksesibilitas dan mobilitas transportasi jalan merupakan kebutuhan dasar dari kehidupan masyarakat. Arus lalu lintas tersebut memunculkan suatu permasalahan akibat ketidakselarasan pengaturan pengoperasian dengan
15
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Ditlantas Babinkam Polri, Jakarta, 2009, hal. 3-4.
19
terjadinya permasalahan kemacetan, penurunan kualitas lingkungan serta kecelakaan lalu lintas. Road Study and Project Agency (RosPa) menyatakan bahwa kecelakaan lalu lintas sebagai suatu kejadian yang jarang dan acak yang dipengaruhi oleh banyak faktor, yang umumnya didahului oleh suatu situasi di mana satu atau lebih dari pengemudi dianggap gagal menguasai lingkungan jalan (lalu lintas dan lingkungannya). Pengertian lainnya menggambarkan bahwa kecelakaan lalu lintas merupakan suatu peristiwa di jalan yang terjadi akibat ketidakmampuan seseorang dalam menterjemahkan informasi dan perubahan kondisi lingkungan jalan ketika berlalu lintas yang pada gilirannya menyebabkan terjadinya tabrakan. S. Wojowasito dalam Kamus Umum Lengkap Inggris-Indonesia, mengartikan kecelakaan sebagai kejadian yang tidak disangka, sehingga kecelakaan lalu lintas dapat diartikan sebagai suatu peristiwa yang tidak disengaja terjadi di jalan umum, melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pemakai jalan lainnya yang mengakibatkan korban jiwa dan atau kerugian harta benda16.
Menurut ketentuan umum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu-Lintas dan Angkutan Jalan pasal 1 angka 24 kecelakaan lalu-lintas adalah : suatu peristiwa di jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan kendaraan dangan atau tanpa pengguna jalan lainnya yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda. Pengertian kecelakaan, menurut Kamus
16
Bima Anggarasena, Strategi Penegakan Hukum Dalam Rangka Meningkatkan Keselamatan Lalu Lintas Dan Mewujudkan Masyarakat Patuh Hukum, Undip, Semarang, 2010, Tesis, hal. 24.
20
Besar Bahasa Indonesia, adalah kejadian (peristiwa) yang menyebabkan 1
orang celaka. 3.
Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Kecelakan Lalu-Lintas Ada empat faktor utama yang menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas, antara lain17: a.
Faktor manusia Faktor manusia merupakan faktor yang paling dominan dalam kecelakaan. Hampir semua kejadian kecelakaan didahului dengan pelanggaran rambu-rambu lalu lintas. Pelanggaran dapat terjadi karena sengaja melanggar, ketidaktahuan terhadap arti aturan yang berlaku ataupun tidak melihat ketentuan yang diberlakukan atau pura-pura tidak tahu.
b.
Faktor kendaraan Faktor kendaraan yang paling sering terjadi adalah ban pecah, rem tidak berfungsi sebagaimana seharusnya, kelelahan logam yang mengakibatkan bagian kendaraan patah, peralatan yang sudah aus tidak diganti dan berbagai penyebab lainnya. Keseluruhan faktor kendaraan sangat terkait dengan teknologi yang digunakan, perawatan yang dilakukan terhadap kendaraan. Untuk mengurangi faktor kendaraan perawatan dan perbaikan kendaraan diperlukan, di samping itu adanya kewajiban untuk melakukan pengujian kendaraan bermotor secara teratur.
17
Artikel dari internet, dikutip dari survey WHO 2007, Faktor-Faktor Penyebab Kecelakaan Lalu Lintas, http://gagasanhukum.wordpress.com.
21
c.
Faktor jalan Faktor jalan terkait dengan perencanaan jalan, geometrik jalan, pagar pengaman di daerah pegunungan, ada tidaknya median jalan, jarak pandang dan kondisi permukaan jalan. Jalan yang bagus, rata lebih sering terjadi kecelakaan lalu lintas dibandingkan jalan yang rusak/berlubang.
d.
Faktor cuaca Hari hujan juga mempengaruhi unjuk kerja kendaraan seperti jarak pengereman menjadi lebih jauh, jalan menjadi lebih licin, jarak pandang juga terpengaruh karena penghapus kaca tidak bisa bekerja secara sempurna atau lebatnya hujan mengakibatkan jarak pandang menjadi lebih pendek. Asap dan kabut juga bisa mengganggu jarak pandang, terutama di daerah pegunungan.
4.
Pelanggaran Lalu-lintas Pelanggaran merupakan suatu tindakan yang tidak sesuai dengan aturan yang ada, baik dalam norma masyarakat atau hukum yang berlaku. Dalam konteks ini pelanggaran lalu lintas adalah suatu tindakan baik sengaja ataupun tidak sengaja melakukan perbuatan untuk tidak mematuhi aturan-aturan lalu lintas yang berlaku. Pada umumnya pelanggaran lalu lintas merupakan awal terjadinya kecelakaan lalu lintas. Sanksi / hukuman bagi para pengguna jalan yang melanggar peraturan lalu-lintas sangat beragam, yaitu tergantung dari tingkat pelanggaran yang dilakukan. Sanksi yang paling ringan yaitu peringatan atau teguran agar pemakai jalan lebih disiplin, kemudian sanksi 22
tilang dan denda dikenakan bagi pemakai jalan yang melakukan pelanggaran tidak mempunyai kelengkapan surat-surat mengemudi, diantaranya Surat Ijin Mengemudi ( SIM ) dan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK). Di beberapa kota di Indonesia, Satlantas membagi pelanggaran lalu-lintas di wilayah Kota menjadi (3) tiga kelas potensial pelanggaran, yaitu18 : a.
Kelas Potensial pelanggaran umum, dengan nilai bobot paling rendah yaitu 1 (satu) poin. Pada kelas pelanggaran ini jenis pelanggarannya, missal; melanggar persyaratan lampu, rem, melanggar penggunaan sabuk pengaman, pemakaian helm, persyaratan surat kendaraan / STNK dan SIM, dan sebagainya.
b.
Kelas Potensial kejadian kemacetan dengan nilai bobot pelanggaran 3 (tiga) poin. Jenis pelanggaran yang dimaksud yaitu pelanggaran lalu lintas yang dapat menyebabkan terjadi kemacetan pada suatu ruas jalan tertentu. Jenis pelanggaran tersebut misalnya; melanggar marka melintang garis utuh sebagai batas berhenti, melanggar larangan berhenti / parkir ditempat umum, melanggar ketentuan kelas jalan yang dinyatakan dengan rambu-rambu, dan sebagainya.
c.
Kelas Potensial kejadian kecelakaan dengan nilai bobot pelanggaran 5 (lima) poin. Jenis pelanggaran yang dimaksud yaitu pelanggaran lalu lintas yang beresiko menyebabkan terjadi kecelakaan lalu lintas disuatu
18
Ditlantas Kepolisian Republik Indonesia, Kumpulan Materi Rakemis Fungsi Lalu-Lintas TA 2007, Jakarta, 2007.
23
ruas jalan. Jenis pelanggaran tersebut misalnya; melanggar ramburambu perintah dan larangan, melanggar ketentuan cahaya alat pengatur isyarat, melanggar batas maksimum, tidak menyalakan petunjuk arah waktu akan membelok atau berbalik arah, dan sebagainya. 5.
Pertanggungjawaban terhadap Kealpaan menurut UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu-Lintas dan Angkutan Jalan Pembuat kecelakan lalu lintas jalan bisa diajukan ke pengadilan untuk mempertanggungjawabkan kelalaiannya, karena perbuatan yang dilakukan oleh pelaku merupakan kealpaan atau tidak ada unsur kesengajaan atas perbuatannya, meskipun dalam kronologis kejadian kecelakaan lalu-lintas, perbuatan yang mengakibatkan luka atau matinya orang diakibatkan oleh kesalahan korban dalam berkendaraan di jalan raya, pelaku yang mengakibatkan luka atau matinya orang tetap masuk dalam kategori tindak pidana sesuai dengan pengaturan dalam kedua pasal tersebut di atas, yang unsur utamanya adalah kealpaan yang menyebabkan orang lain menderita luka-luka, luka berat atau meninggal dunia. Hal ini mempunyai maksud meskipun tidak ada kesengajaan dari pembuatnya, tetap saja sudah masuk dalam kualifikasi Pasal 359 atau Pasal 360 KUHP, selain pertanggungjawaban pidana yang diatur dalam Pasal 359 atau Pasal 360 KUHP, aturan hukum lain yang berkaitan dengan lalu lintas, yaitu UU Nomor 22 Tahun 2009
tentang Lalu-Lintas dan Angkutan Jalan juga
mengatur pertanggungjawaban terhadap pembuat kecelakaan lalu-lintas karena
kealpaan,
tetapi
dalam 24
UU
Nomor
22
Tahun
2009
pertanggungjawaban yang dimaksut adalah ganti rugi yang dalam bentuk materi. Pengganti kerugian maksudnya adalah untuk mengembalikan sebagian atau seluruh biaya yang telah dikeluarkan oleh korban tindak pidana lalu lintas jalan maupun terhadap segala bentuk kerusakan barangbarang yang diakibatkan terjadinya tindak pidana tersebut. Menurut Hanafi Asmawie, sebagaimana dikutip oleh M. Yahya, bahwa kerugian itu berarti biaya yang telah dikeluarkan. Pengertian ini termasuk/meliputi diantaranya biaya pengobatan atau biaya pemulihan cacat (contoh: membuat gigi palsu, pengecatan/ pengetokan mobil) yang langsung diderita oleh saksi korban19. Ganti rugi dalam UU Nomor 22 Tahun 2009 diatur dalam Pasal 234 dan 235. Pasal 234 menyatakan bahwa : 1) Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh Penumpang dan/atau pemilik barang dan/atau pihak ketiga karena kelalaian Pengemudi. 2) Setiap Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerusakan jalan dan/atau perlengkapan jalan karena kelalaian atau kesalahan Pengemudi. 3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku jika: a) adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di luar kemampuan Pengemudi; b) disebabkan oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga; dan/atau c) disebabkan gerakan orang dan/atau hewan walaupun telah diambil tindakan pencegahan.
19
M. Yahya Harahap, 2000, Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 3
25
Pasal 235 menyatakan bahwa : 1) Jika korban meninggal dunia akibat Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf c, Pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan bantuan kepada ahli waris korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana. 2) Jika terjadi cedera terhadap badan atau kesehatan korban akibat Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf b dan huruf c, pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan bantuan kepada korban berupa biaya pengobatan. Pasal 229 ayat (1) menyatakan bahwa : 1) Kecelakaan Lalu Lintas digolongkan atas: a) Kecelakaan Lalu Lintas ringan; b) Kecelakaan Lalu Lintas sedang; atau c) Kecelakaan Lalu Lintas berat. E. Tugas Polisi Sebagai Pejabat Penyidik Dalam Perkara Lalu-Lintas 1.
Pengertian Penyidik Penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang- undang untuk melakukan penyidikan. (Pasal 1 butir 1 KUHAP), selanjutnya yang dimaksud penyidik tersebut diatur dalam pasal 6 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut: (1) Penyidik adalah: a. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia; b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. (2) Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana diatur dalam ayat 1 akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Pada dasarnya, penyidikan dilakukan oleh Penyidik POLRI atau Penyidik PNS tertentu sesuai dengan pasal 6 ayat (1) KUHAP. Kecuali
26
terhadap penyidikan berdasarkan pasal 284 ayat (2) KUHAP yang menentukan setelah dua tahun KUHAP diundangkan, diberlakukan terhadap semua perkara dengan catatan untuk sementara terhadap tindak pidana khusus diberlakukan ketentuan hukum acara pidananya sampai ada perubahan. 2.
Pengertian Penyidikan Tahap penyidikan adalah tahapan pertama dalam Operasionalisasi Sistem Peradilan Pidana dan merupakan tahapan yang paling menentukan karena tanpa proses penyidikan tidak mungkin tahapan- tahapan selanjutnya dalam Sistem Peradilan Pidana dapat dilaksanakan karena pada tahap penyidikanlah untuk pertama kali dapat diketahui bahwa telah terjadi peristiwa kejahatan atau tindak pidana serta penentuan tersangka pelakunya untuk kemudian menjalani proses- proses selanjutya yaitu proses penuntutan, proses penjatuhan putusan pidana serta proses pelaksanaan putusan pidana. Penyidikan, adalah istilah yang dimaksudkan sejajar dengan pengertian
opsporing
(Belanda)
dan
investigation
(Inggris)
atau
penyiasatan atau siasat (Malaysia). Sedangkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Indonesia (KUHAP) memberi definisi penyidikan sebagai berikut (pasal 1 ayat 2 KUHAP) : “Serangkaian tindakan penyidik dalam hal menurut cara yang diatur dalam undang- undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya”. Menurut De Pinto, menyidik (opsporing) berarti “pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undang27
undang segera setelah mereka dengan jalan apapun mendengar khabar yang sekadar beralasan, bahwa telah terjadi sesuatu pelanggaran hukum.”20 Pengetahuan dan pengertian tentang penyidikan perlu dinyatakan dengan pasti dan jelas, karena hal itu langsung menyinggung dan membatasi hak-hak asasi manusia. Bagian-bagian hukum acara pidana yang menyangkut penyidikan adalah sebagai berikut : a.
Ketentuan tentang alat- alat penyidik.
b.
Ketentuan tentang diketahuinya terjadinya delik
c.
Pemeriksaan di tempat kejadian
d.
Pemanggilan tersangka atau terdakwa
e.
Penahanan sementara
f.
Penggeledahan
g.
Pemeriksaan atau interogasi
h.
Berita Acara (penggeledahan, interogasi, dan pemeriksaan di tempat)
i.
Penyitaan
j.
Penyampingan Perkara
k.
Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan pengembaliannya kepada penyidik untuk disempurnakan21.
3.
Tugas Polri dalam Bidang Lalu-Lintas Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan Negara dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan
20
R Tresna, Komentar HIR, Pradnya Paramita, Jakarta, 2001, hal. l 72. Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Revisi, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hal. 118-119. 21
28
hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Salah satu dari fungsi dan tugas kepolisian adalah di bidang lalu-lintas, Polantas (Polisi lalu-lintas) bertugas dalam melakukan kegiatan pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli lalu-lintas termasuk penindakan pelanggaran dan penyidikan kecelakaan lalu-lintas serta identifikasi dan registrasi kendaraan bermotor, dalam rangka penegakan hukum dan pembinaan keamanan, kelancaran dan ketertiban lalu-lintas. Atas dasar fungsi tersebut dapat dikatakan bahwa kepolisian mempunyai kewenangan untuk melakukan pemeriksaan baik penyelidikan maupun penyidikan dalam perkara lalu-lintas yang didalamnya terdapat unsur kelalaian seseorang yang mengakibatkan kerugian baik materi maupun jiwa bagi orang lain.
29
BAB III METODE PENELITIAN
Penelitian secara ilmiah, artinya suatu metode yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala, dengan jalan menganalisanya dan dengan mengadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas masalah-masalah yang ditimbulkan oleh oleh fakta tersebut, sehingga tujuan dari penelitian adalah usaha untuk memperoleh fakta atau prinsip (menemukan, mengembangkan, menguji kebenaran) dengan cara mengumpulakan dan menganalisa data (informasi) yang dilaksanakan dengan teliti, jelas, sistematik dan dapat dipertanggungjawabkan (metode ilmiah)22. Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip hukum, maupun doktrin hukum untuk menjawab isu hukum yang dihadapi. Berbeda dengan penelitian sosial yang bersifat deskriptif, yang menguji kebenaran ada tidaknya suatu fakta yang disebabkan oleh suatu faktor tertentu. Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskipsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. Penelitian ini termasuk dalam penelitian sosiologis dimana kajian serta analisis yang digunakan adalah dari sudut pandang perundang-undangan dengan pendekatan interaksional menggunakan analisis yang kualitatif. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini meliputi metode pendekatan, bahan penelitian,
22
Yudha Bhakti, Metode Penelitian Hukum:Suatu Pengantar, E-Book (Makalah), Didownload Pada 8 Mei 2011
30
spesifikasi penelitian, alat penelitian, teknik penelitian dan terakhir metode analisa data, yang dapat dijabarkan sebagai berikut : A. Metode Pendekatan Metode penelitian digunakan dalam penelitian ilmiah. Penelitian ilmiah ialah penalaran yang mengikuti suatu alur berfikir atau logika tertentu yang menggabungkan metode induksi (empiris), karena penelitian selalu menuntut pengujian dan pembuktian dan hipotesa-hipotesa atau teori yang disusun secara deduktif.23 Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan hukum sosiologis. Dengan metode pendekatan hukum sosiologis, peneliti ingin mengkaji masalah penetapan pelaku tindak pidana kelalaian dalam kecelakaan lalu lintas baik dari perspektif hukum yang berlaku maupun implementasinya di masyarakat.
B. Bahan Penelitian Bahan penelitian yang digunakan dalam penulisan penelitian ini meliputi : 1.
Bahan yang berasal dari pustaka Bahan yang berasal dari studi dokumentasi / kepustakaan dengan memanfaatkan data-data sekunder. Data sekunder adalah; data yang bukan diusahakan sendiri pengumpulannya oleh peneliti melainkan dari pihak lain berupa buku-buku kontekstual. Dilakukan dengan cara mengadakan
23
Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, Bandung, 1994, hal. 104
31
penelitian kepustakaan, peraturan-peraturan serta dokumen-dokumen yang diambil. Bahan-bahan yang penulis pakai dalam penulisan penelitian meliputi : a.
Primer Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu-Lintas Jalan dan Angkutan Jalan.
b.
Sekunder Buku-buku, makalah-makalah, artikel-artikel, dan artikel dari internet sebagai pendukung teori.
2.
Bahan yang berasal dari lapangan Bahan yang didapatkan dari penelitian lapangan (observasi) melalui wawancara dan pengamatan yang penulis lakukan dalam penelitian ini. Sumber data dan informasi yang penulis peroleh dari lapangan adalah; berupa data primer yakni data-data yang diperoleh melalui wawancara / kuisioner dengan menunjuk beberapa responden yang berkompetensi dengan persoalan penyalahgunaan teknologi informasi (responden dapat berupa perorangan maupun badan hukum).
C. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian ini adalah diskriptif analitis, yaitu penelitian yang menggambarkan dan mengkaji tentang apa yang dinyatakan oleh responden dalam penelitian lapangan, dengan aturan-aturan hukum tertulis
32
khususnya mengenai kealpaan, untuk menjawab permasalahan yang terumuskan dalam penelitian ini. Soerjono Soekanto mengatakan bahwa yang dimaksud dengan spesifikasi penelitian dengan menggunakan metode “diskriptif-analitis“ adalah suatu penelitian yang dilakukan dengan mendipenelitiankan secara sistimatis, faktual, dan akurat terhadap suatu obyek yang ditetapkan untuk menemukan sifat-sifat, karakteristik-karakteristik serta faktor-faktor tertentu, dengan dimulai dari peraturan dan teori umum yang dipublikasikan terhadap data yang diperoleh untuk menjawab permasalahan.24
D. Alat Penelitian 1.
Studi pustaka Yaitu suatu penelitian yang dapat berwujud data yang diperoleh melalui
bahan-bahan
kepustakaan
atau
penelitian
hukum
dengan
mempergunakan sumber data sekunder disebut penelitian hukum normatif atau penelitian hukum yang bersifat doktrinal. Hal tersebut dapat ditemukan dalam suatu peraturan perundang-undangan, buku-buku atau literaturliteratur atau tulisan ilmiah, serta data-data di internet yang berkaitan dengan masalah kealpaan dalam berlalu-lintas.25 2.
24 25
Interview/wawancara
Ibid, hal. 36 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, PT Rineka Cipata, Jakarta, 1998, hal. 96
33
Wawancara merupakan suatu tehnik pengumpulan data atau informasi dengan cara mengadakan tanya jawab.26 Wawancara adalah sebuah cara untuk mengumpulkan data-data melalui tanya jawab secara langsung dengan para responden yang berkorelasi dengan permasalahan yang diteliti guna mendapatkan data (informasi). Jawaban dari orang yang diwawancarai inilah yang akan dijadikan sumber data bagi penulis untuk menyusun penelitian, jawaban dari responden (yang diwawancarai) dapat mempengaruhi hasil wawancara karena mutu jawaban yang diberikan tergantung pada apakah ia dapat menangkap isi pertanyaan dengan tepat serta bersedia menjawab dengan baik.
E. Teknik Penelitian Teknik penelitian digunakan sebagai cara/metode dalam mempelajari dan mencari serta mengumpulkan data-data yakni melalui : 1.
Pustaka (library research) Teknik penelitian dengan studi pustaka adalah mencari konsepsikosepsi, teori-teori, pendangan-pandangan, atau penemuan-penemuan yang relevan dengan pokok permasalahan yang dapat dicari melalui sumber refrerensi umum (buku, teks, ensiklopedia) dan sumber referensi khusus (buletin penelitian, jurnal, tesis, disertasi, laporan penelitian).27 Data yang telah terkumpul tersebut kemudian diuraikan dengan penjabaran secara deduktif.
26
Ibid, hal 102 27 Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum. Galia Indonesia, Semarang. 2001, hal 23
34
2.
Wawancara Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersifat terbuka maksudnya adalah responden (informan) menanggapi pertanyaan peneliti (interviewer) berdasarkan pendapat dan pengetahuan secara relevan dalam lingkup permasalahan yang diteliti. Dalam hal ini untuk melakukan wawancara dengan para responden yang telah disebutkan sebelumnya di dalam alat penelitian, peneliti menggunakan daftar pertanyaan (kuisioner). Responden adalah, orang yang menjawab pertanyaan yang diajukan peneliti, untuk tujuan penelitian itu sendiri28, para responden yang dipilih dalam penelitian ini adalah : Penyidik
F. Metode Analisa Data Penulis menggunakan metode analisa data non statistik atau disebut dengan metode analisis kualitatif. Metode analisa data yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah metode yang bersifat kualitatif, yakni penelitian atas objek yang telah ditetapkan dalam penelitian kemudian dikaitkan dengan aturan-aturan hukum yang ada sebagai landasan dalam penulisan.29 Metode analisa ini penulis gunakan untuk mengolah data-data yang tidak berwujud angka atau bilangan. Data-data yang telah terkumpul akan dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif analitis yaitu, proses analisis di mana data-data yang telah terkumpul di gambarkan lebih dahulu kemudian dianalisis
28 29
Burhan Ashshofa, Op.Cit, hal. 22 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Pres, Jakarta, 1984, hal. 32
35
secara kritis dengan mengunakan metode kualitatif. Adapun langkah-langkah yang dilakukan adalah : 1.
Menela’ah data yang berhasil dikumpulkan, yaitu data dari hasil penelitian.
2.
Mengadakan reduksi data yaitu mengambil data yang sekiranya dapat diolah lebih lanjut.
3.
Menyusun data.
4.
Melakukan kategorisasi.
5.
Mengadakan pemeriksaan keabsahan data.
6.
Menafsirkan data dan kemudian mengambil kesimpulan.30
30
Lexy J Moeloeng, Metode Penelitian Kualitatif, Rosda Karya, Bandung, 2000, hal. 103.
36
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Perbuatan Seseorang yang Dapat Dikategorikan Sebagai Tindak Pidana Kealpaan dalam Kecelakaan Lalu-Lintas Di bawah ini hasil wawancara penulis dengan, Muhadziq dan Purwanto selaku penyidik di Satuan Lalu lintas Resor Kulon Progo yang menangani perkara kecelakaan lalu-lintas di jalan umum Dusun Turasan Desa Pendoworejo Kecamatan Girimulyo Kabupaten Kulon Progo diatas, terhadap perbuatan seseorang yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana kealpan dalam lalulintas adalah sebagai berikut : Menurut Muhadziq, yang dimaksud dengan kealpaan adalah bila seseorang tidak bermaksud melanggar larangan undang-undang, tetapi ia tidak mengindahkan larangan tersebut, atau dalam melakukan suatu perbuatan seseorang itu melakukan kelalaian, keteledoran/kealpaan jadi, dalam kealpaan seseorang kurang mengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan sesuatu perbuatan sehingga menimbulkan keadaan yang dilarang, keadaan yang dilarang tersebut seperti hilangnya nyawa orang lain. Keadaaan atau akibat dari kealpaan/kelalaian yaitu hilangnya nyawa orang lain, hal inilah 37
yang secara tegas dilarang dan diancam pidana oleh undang-undang Pasal 359 dan Pasal 360 KUHP, pasal 359 menyebutkan : “Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun” Pasal 360 menyebutkan : (1) (2)
“Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun”. “Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah” Menurut Purwanto, seorang dapat dikatakan melakukan kealpaan apabila
pelaku dapat menduga terjadinya akibat perbuatannya (atau sebelumnya dapat mengerti arti perbuatannya, atau dapat mengerti hal yang akan terjadinya akibat perbuatannya), dan ada keteledoran atau kekuranghati-hatian dari pelaku, sehingga dapat dikatakan bahwa kealpaan itu harus memenuhi dua unsur, yaitu pertama pelaku dapat melihat kedepan yang akan terjadi dan yang kedua adalah unsur kekurang hati-hatian. Dikatakan kealpaan dalam lalu-lintas apabila pelaku dalam melakukan kealpaan tersebut sedang mengemudikan kendaraan bermotor, atau alat transportasi sesuai yang diatur di Undang-undang dan/atau sedang berada di lalu-lintas jalan sesuai dengan keterangan atau makna jalan yang diatur di dalam undang-undang. Suatu tindak pidana diliputi dengan kesengajaan, hal ini dapat dilihat dari adanya perbuatan dilakukan dengan antara lain adanya “rencana”, “niat”, “maksud”, “dikehendaki”, “diketahui”. Menurut Purwanto kesengajaan dan 38
kealpaan pada dasarnya adalah sama atau ada kesamaan antara keduanya, yaitu adanya perbuatan tersebut dilarang dan diancam dengan pidana, adanya kemampuan bertanggungjawab, dan tidak adanya alasan pemaaf, tetapi bentuknya lain. Dalam kesengajaan, sikap batin orang menentang larangan. Dalam kealpaan, kurang mengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan sesuatu perbuatan yang sebenarnya tidak dilarang oleh undang-undang namun menimbulkan keadaan yang dilarang. Berdasarkan hasil temuan tentang kealpaan dalam lalu-lintas penulis menyatakan bahwa : Dalam kealpaan demikian sesungguhnya tidak terkandung unsur niat jahat (mens rea). pemidanaan terhadap seseorang karena suatu perbuatan kealpaan sesungguhnya tidaklah menggambarkan adanya moralitas kriminal pada diri orang itu melainkan semata-mata karena kekuranghati-hatiannya, dalam hal ini kekuranghati-hatian yang berakibat timbulnya perbuatan yang dapat dipidana. Perkara tindak pidana lalu-lintas itu pada umumnya tidak ada kesengajaan, disini yang ada hanya unsur kealpaan. Pengenaan pidana kepada orang yang karena alpa melakukan kejahatan disebut dengan “ Strict liability “ artinya : Ada kejahatan yang pada waktu terjadinya keadaan mental terdakwa adalah tidak mengetahui dan sama sekali tidak bermaksud untuk melakukan suatu perbuatan. Namun meskipun demikian dia dipandang tetep bertanggung jawab atas terjadinya perkara yang terlarang itu, walaupun dia sama sekali tidak bermaksud untuk melakukan suatu perbuatan yang ternyata adalah kejahatan. Misalnya, mengendari mobil ngebut, sehingga menabrak orang dan menyebakan orang yang ditabrak tersebut mati. Kealpaan yang demikian ini dikenal dengan 39
istilah bewuste culpa (culpa yang disadari). Ada lagi istilah onbewuste culpa (culpa yang tidak disadari), misalnya belajar mengendarai mobil kemudian menabrak dan mengakibatkan orang mati. Contoh kasus : 1.
Perkara Berkas
perkara
No.Pol:
BP/01/I/2006/Lantas,
tindak
pidana
kecelakaan lalu lintas tunggal yang terjadi pada hari Senin tanggal 19 Desember 2005 pukul 07.00 WIB, di jalan umum Dusun Turasan Desa Pendoworejo Kecamatan Girimulyo Kabupaten Kulon Progo. Kecelakaan lalu lintas truck No Pol : AA 1413 JC melaju dijalan menurun dan menikung tajam, truck lepas kendali dan berakhir masuk jurang, hingga berakibat 1 (satu) penumpangnya meninggal dunia di TKP, 1 (satu) penumpangya mengalami luka berat dan 7 (tujuh) penumpangnya mengalami luka. 2.
Identitas tersangka Pengemudi truck No Pol AA 1413 JC, a.
Nama
: Kasman
b.
Umur
: 45 Tahun
c.
Kebangsaan
: Indonesia
d.
Alamat
: Kebon Kliwon Rt.02/03 Kedung Pucang Bener Purworejo
3.
e.
Agama
: Islam
f.
Pekerjaan
: Pengemudi
Korban meninggal 40
4.
5.
a.
Nama
: Pawit
b.
Umur
: 40 Tahun
c.
Kebangsaan
: Indonesia
d.
Alamat
: Kaliboto Kulon Bener Purworejo
e.
Agama
: Islam
f.
Pekerjaan
: Swasta
Korban luka a.
Abdul Azis
b.
Ahmad Riyadi
c.
Gatot Abdul hadi
d.
Fahrudin
e.
Abdul Rahman
f.
Suyadi
g.
Sukamto/Slamet
Kerugian harta benda Kabin truck ringsek, sebuah sepeda motor No.Pol AB 3035 NH body bengkok, kerugian dinilai dengan uang kira-kira Rp.20.000.000 (dua puluh juta rupiah).
6.
Kronologi singkat kejadian Semula truck AA 1413 JC membawa kereta tempel penyemprot aspal melaju dari arah barat ke timur di jalan menurun, di jalan menikung truck tidak bisa dikendalikan sehingga melaju lurus dan berakhir masuk ke jurang, namun sebelum masuk jurang kereta tempelnya menyerempet
41
sepeda motor AB 3035 NH yang sedang diparkir di pinggir jalan oleh pemiliknya yang sedang menjemur gabah. 7.
Pasal yang dilanggar a.
Pasal 359 KUHP dan
b.
Pasal 360 KUHP Menurut pendapat penulis, selain faktor kelalaian manusia, faktor
kendaraan merupakan penyebab terjadinya kecelakaan yang paling sering terjadi adalah ban pecah, rem tidak berfungsi sebagaimana seharusnya, kelelahan logam yang mengakibatkan bagian kendaraan patah, peralatan yang sudah aus tidak diganti dan berbagai penyebab lainnya. Keseluruhan faktor kendaraan sangat terkait dengan teknologi yang digunakan, perawatan yang dilakukan terhadap kendaraan. Untuk mengurangi faktor kendaraan perawatan dan perbaikan kendaraan diperlukan, di samping itu adanya kewajiban untuk melakukan pengujian kendaraan bermotor secara teratur, namun sekali lagi faktor tersebut berhubungan erat dengan faktor manusia jika manusia tidak lupa untuk selalu memeriksa kendaraan yang akan dijalankannya kecelakaan kemungkinan dapat meminimalisir terjadinya kecelakaan.
B. Hambatan yang Dihadapi Aparat Penegak Hukum dalam Menentukan Suatu Perbuatan Masuk ke dalam Kategori Tindak Pidana Kealpaan dalam Kecelakaan Lalu-Lintas 1.
Hambatan dalam menentukan suatu perbuatan masuk ke dalam kategori tindak pidana kealpaan.
42
Sebelum menjelaskan tentang hambatan dalam menentukan sebuah perbuatan masuk ke dalam kategori tindak pidana kealpaan, penulis akan memaparkan kendala-kendala yang dihadapi oleh Resor Kulon Progo dalam melakukan penyidikan tindak pidana kealpaan dalam perkara lalulintas. Di bawah ini hasil wawancara penulis dengan, Muhadziq dan Purwanto selaku penyidik di Satuan Lalu lintas Resor Kulon Progo yang menangani perkara kecelakaan lalu-lintas di jalan umum Dusun Turasan Desa Pendoworejo Kecamatan Girimulyo Kabupaten Kulon Progo diatas, adapun kendala yang dihadapi sebagai berikut : Menurut Muhadziq kendala-kendala yang umumnya dihadapi oleh Satuan Lalu lintas Resor Kulon Progo dalam menangani kealpaan yang menyebabkan kecelakaan lalu-lintas dan mengakibatkan jatuhnya korban, adalah kurangnya personil / petugas yang menangani perkara kecelakaan lalu lintas baik anggota operasionalnya yang berada dilapangan maupun anggota penyidik/pemeriksa yang menangani perkara kecelakaan lalu lintas tersebut, sehingga akan menjadi kendala ataupun hambatan dalam setiap penanganan perkara kecelakaan lalu lintas, terlebih lagi apabila terjadi suatu peristiwa kecelakaan lalu lintas yang waktunya hampir bersamaan dengan lokasi yang berjauhan sehingga akan mengakibatkan keterlambatan apabila personil / petugasnya terbatas / kurang, tersangka melarikan diri setelah kejadian sehingga perlu dilakukan pencarian terhadap tersangka yang melarikan diri, ringan atau rendahnya hukuman terhadap tindak pidana kealpaan dalam lalu lintas, putusan yang dijatuhkan oleh hakim dalam perkara kecelakaan lalu lintas dengan korban meninggal dunia 43
ataupun luka berat dipandang sangat ringan bila dibandingkan dengan kerugian yang diakibatkan, suatu missal : melanggar Pasal 310 ayat (1), (2), (3), dan (4) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan yang berakibat korban meninggal dunia, putusan pengadilan hanya enam bulan penjara, bahkan ada juga yang putusannya percobaan. Sedangkan Purwanto menyatakan bahwa kendala yang seringkali dihadapi oleh Satuan Lalu lintas Resor Kulon Progo, adalah penghentian perkara karena kurang lengkapnya BAP, hal ini terkait dengan pengumpulan barang bukti terutama karena tidak ditemukannya alat bukti seperti para saksi. Penghentian penyidikan yang dilakukan oleh penyidik dalam suatu perkara kecelakaan lalu lintas disebabkan oleh adanya suatu kendala. Salah satu kendala dari pelaksanaan penyidikan, yaitu kurangnya alat bukti yang disebutkan dalam pasal 184 KUHAP dan/atau alat bukti pendukung lainnya. Alat bukti merupakan hal yang utama dalam pelaksanaan penyidikan. Tanpa alat bukti yang kuat, maka suatu pelaksanaan penyidikan tidak dapat berjalan dengan lancar. Kendala terbesar dalam pelaksanaan penyidikan pada perkara kecelakaan lalu lintas ini terdapat pada pencarian saksi. Sulitnya pencarian saksi banyak terjadi pada kecelakaan yang terjadi di daerah yang sepi, contoh seperti di daerah perkebunan dan di daerah yang jarang penduduknya. Di Kabupaten Kulon Progo ini masih banyak daerah yang berupa ladang pertanian, perkebunan, dan pegunungan. Apabila terjadi kecelakaan di sekitar daerah tersebut maka sangatlah sulit mencari saksi yang melihat langsung peristiwa 44
kecelakaan tersebut. Dalam hal ini, hanya masyarakat yang menemukan korban kecelakaan telah meninggal dunia pada keesokan harinya. Tidak ditemukannya
saksi maka
sangatlah sulit untuk menggambarkan
bagaimana kecelakaan lalu lintas tersebut terjadi dan menentukan siapa saja yang terlibat dalam kecelakaan itu. Alat bukti disekitar TKP dan petunjuk-petunjuk lain kurang kuat untuk mengungkapkan suatu peristiwa kecelakaan yang mengakibatkan korbannya meninggal dunia. Dalam hal ini tidak ada saksi yang dapat dimintai keterangan, termasuk saksi korban yang telah meninggal dunia. Berdasarkan kendala yang dihadapi dalam upaya penyidikan terhadap perkara kealpaan dalam lalu-lintas tersebut diatas hambatan dalam menentukan apakah perbuatan seseorang masuk ke dalam tindak pidana kealpaan adalah : a. Pemeriksaan terdakwa Pemeriksaan tersangka dan saksi merupakan bagian atau tahap yang paling penting dalam proses penyidikan. Sesuai dengan pasal 1 butir 14 KUHAP bahwa : “Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.” Pemeriksaan permulaan ini adalah bagian yang sangat penting dalam proses penyidikan karena pada bagian inilah akan diperoleh alatalat bukti yang diperlukan sebagaimana diatur dalam pasal 184 ayat (1), yaitu : “Alat bukti yang sah ialah : 45
1) 2) 3) 4) 5)
keterangan saksi; keterangan ahli; surat; petunjuk; keterangan terdakwa.” Menurut Purwanto, pemeriksaan terdakwa menjadi sebuah
kendala bilamana terjadi sebuah kasus yang dimungkinkan larinya terdakwa seperti dalam tabrak lari. Menurut Muhadziq, yang menjadi kendala dalam menentukan seseorang melakukan tindakan culpa atau kesengajaan adalah menentukan sikap batin atau kehendak dari si pelaku, untuk itu perlu adanya dukungan dari keterangan-keterangan saksi, namun terkadang keterangan saksi juga menjadi kendala tersendiri. b. Pemanggilan dan pemeriksaan saksi Pengertian saksi juga dijelaskan dalam pasal 1 butir 26 KUHAP bahwa : “Saksi adalah orang yang dapat memberikan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri dan ia alami sendiri.” Dalam hal pemeriksaan saksi ini diatur dalam pasal 116, 117, 118, dan 120 KUHAP. Pada waktu pemeriksaan saksi saksi maka penyidik perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut, apakah seorang saksi mempunyai hubungan keluarga atau hubungan kerja dengan tersangka. Jika terdapat perbedaan keterangan tersangka dan saksi atau antara saksi dengan saksi satu dengan saksi yang lain, maka para saksi dengan saksi tersebut dapat dipertemukan satu dengan yang lain sehingga didapat keterangan yang sebenarnya 46
Menurut Purwanto, pemeriksaan saksi menjadi kendala apabila tidak ditemukan saksi dalam perkara kecelakaan lalu-lintas, seperti kecelakaan yang telah terjadi di waktu lampau contoh kecelakaan terjadi pada malam hari dan tidak ada satu oranpun yang melihat atau mengetahuinya. Sependapat dengan Purwanto menurut Muhadziq, saksi terkadang sulit ditemukan sehingga hal ini dapat menjadi kendala dalam penyusunan BAP. Berdasarkan hasil wawancara di atas, penulis mengambil hipotesa bahwa hambatan dalam menentukan perbuatan seseorang termasuk kategori kelalaian adalah sikap batin dari si pelaku, apabila sekiranya ia tidak mengetahui atau tidak menduga akan terjadi perbuatan yang melawan hukum, maka perbuatan tersebut termasuk ke dalam tindak pidana kelalaian, namun kesimpulan ini terkait dengan pengumpulan alat bukti, dan yang sering menjadi kendala adalah larinya terdakwa/pelaku, maupun tidak ditemukannya saksi. 2.
Upaya yang dilakukan untuk mengatasi kendala a. Mengadakan Olah TKP Ulang Dari beberapa kendala yang telah diuraikan di atas, menurut Purwanto penyidik melakukan berbagai upaya untuk mengatasi kendala/hambatan tersebut. Dari hasil wawancara yang diperoleh dapat dijelaskan bahwa upaya yang pertama dilakukan oleh penyidik, yaitu melakukan olah TKP ulang. Dengan cara ini diharapkan ditemukan kembali suatu titik terang peristiwa kecelakaan. Olah TKP ulang 47
dilakukan apabila penyidik tidak menemukan titik terang atas peristiwa kecelakaan yang terjadi. Upaya ini sangat efektif dalam mengatasi kendala yang ada sebelumnya. Dengan cara ini penyidik dapat mengetahui segala sesuatu yang terlewat dalam olah TKP yang sebelumnya. Dalam olah TKP ulang, penyidik dapat menemukan barang bukti dan keterangan serta petunjuk baru, sehingga kendala penyidikan dapat teratasi serta penyidikan dapat dilanjutkan. Selain itu, penyidik melakukan pengamanan barang bukti. Pengamanan ini bertujuan untuk menjaga alat bukti agar tidak hilang dan tetap pada bentuk semula. Dalam hal ini, keadaan alat bukti berpengaruh dalam pengungkapan peristiwa kecelakaan. Dari barang bukti dapat dibaca dan ditentukan bagaimana kecelakaan tersebut dapat terjadi dan ditemukannya titik terang. b. Pencarian Saksi Pencarian saksi sangatlah penting untuk mendapat suatu keterangan lebih lanjut dari peristiwa kecelakaan. Pencarian saksi dilakukan di sekitar TKP. Dari hasil wawancara dengan Muhadziq diperoleh, apabila saksi yang ditemukan hanya 1 orang maka akan dicarikan saksi yang mendukung. Dalam hal ini saksi pendukung merupakan saksi yang menolong korban kecelakaan. Saksi tersebut tidak melihat secara langsung bagaimana peristiwa kecelakaan tersebut terjadi. Keterangan dari saksi ini digunakan sebagai referensi bahwa telah terjadi kecelakaan di daerah tersebut. Keterangan saksi pendukung ini kurang kuat, maka hanya dijadikan sebagai referensi dan 48
pelengkap saja. Saksi pendukung ini diusulkan oleh pihak penuntut umum. Hal ini dilakukan apabila penyidikan berlangsung terlalu lama dan belum memberikan titik terang yang diharapkan. c. Mengadakan Gelar Perkara Mengadakan gelar perkara merupakan salah satu upaya penyidik dalam pelaksanaan penyidikan. Hal ini disebutkan dalam hasil wawancara dengan Muhadziq yang mengatakan bahwa gelar perkara ini dilakukan apabila penyidikan tidak berlangsung lancar atau menemui banyak kendala. Upaya ini dilakukan oleh penyidik dengan cara membuat sketsa atau gambaran perkara melalui hasil dokumentasi pada olah TKP. Hal ini dilakukan agar penyidik dengan mudah dalam mengambil kesimpulan. Dalam gelar perkara ini, penyidik meneliti kembali gambar-gambar hasil dokumentasi dan barang bukti dengan melihat adanya bekas-bekas kecelakaan pada peristiwa tersebut. Upaya ini dilakukan untuk menentukan apakah penyidikan dapat dilanjutkan atau tidak. Apabila penyidikan menemui jalan buntu dan penyidik tidak dapat menemukan barang bukti yang kuat maka dilakukan penghentian penyidikan.
Dalam
pelaksanaan
gelar
perkara
ini
dilakukan
rekonstruksi ulang apabila olah TKP sudah dilakukan berkali-kali dan tidak membawa hasil. Dari gelar perkara ini penyidik dapat berpikir kembali segala sesuatu yang terlewat dalam penyidikan atau olah TKP.
49
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan pada hasil penelitian penulis menyimpulkan bahwa : 1. Perbuatan seseorang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana kealpaan dalam kecelakaan lalu-lintas adalah perbuatan yang tidak didasari oleh kehendak batin untuk melakukan suatu perbuatan pidana, dan sepatutnya seseorang tidak dapat menduga bahwa perbuatannya dapat menjadi perbuatan yang diancam dengan pidana, atau orang dapat menduga akan tetapi ia lengah, atau lalai sehingga pada waktu melakukan perbuatan tersebut timbul perbuatan yang diancam pidana. 2. Hambatan-hambatan yang dihadapi oleh aparat penegak hukum dalam menentukan suatu perbuatan masuk ke dalam kategori tindak pidana kealpaan dalam kecelakaan lalu-lintas, yaitu kendala dalam penyidikan yang disebabkan oleh tidak adanya saksi dan pelaku yang kabur dari TKP. Sedangkan upanya untuk mengatasi kendala tersebut, yaitu : a.
Mengadakan Olah TKP Ulang Dengan cara ini penyidik dapat mengetahui segala sesuatu yang terlewat dalam olah TKP yang sebelumnya. Dalam olah TKP ulang, 50
penyidik dapat menemukan barang bukti dan keterangan serta petunjuk baru, sehingga kendala penyidikan dapat teratasi serta penyidikan dapat dilanjutkan.
b.
Pencarian Saksi Apabila saksi yang ditemukan hanya 1 orang maka akan dicarikan saksi yang mendukung. Dalam hal ini saksi pendukung merupakan saksi yang menolong korban kecelakaan. Saksi tersebut tidak melihat secara langsung bagaimana peristiwa kecelakaan tersebut terjadi. Keterangan dari saksi ini digunakan sebagai referensi bahwa telah terjadi kecelakaan di daerah tersebut.
c.
Mengadakan Gelar Perkara Upaya ini dilakukan oleh penyidik dengan cara membuat sketsa atau gambaran perkara melalui hasil dokumentasi pada olah TKP, hal ini dilakukan agar penyidik dengan mudah dalam mengambil kesimpulan
B. Saran Dalam penyusunan penutup penulisan penelitian ini, disampaikan sumbang saran berdasarkan kesimpulan pokok permasalahan dengan harapan dapat meningkatkan pelayanan hukum kepada masyarakat yaitu : 1. Guna memperlancar dan mempercepat proses penyidikan yang memerlukan alat bukti yang cukup, maka kekurangan-kekurangan yang ada sekarang ini khususnya dibidang penanganan segera dipenuhi, berupa penambahan personil/petugas dalam penanganan laka lantas, peningkatan ketrampilan 51
personil dalam olah TKP, meningkatkan kegiatan forum silaturohmi kambtibnas untuk meraih partisipasi masyarakat dalam membantu Polri dalam penanganan perkara kecelakaan lalu lintas dengan sukarela memberikan pertolongan dan kesaksian, sehingga dapat terpenuhinya proses penyidikan 2. Guna membuat jera dan tidak melakukan pelanggaran lagi, bagi para pengemudi khususnya pengemudi kendaraan umum apabila terjadi kecelakaan lalu lintas yang berakibat korban meninggal dunia ataupun luka berat, mohon kepada Hakim untuk memberikan hukuman ataupun putusan yang berat sesuai dengan akibat dari kelalaiannya yang ditimbulkan dari kelalaian terdakwa.
52
DAFTAR PUSTAKA Buku Andi Hamzah, Perkembangan Hukum Pidana Khusus, Rineka Cipta, Jakarta, 1991. Bima Anggarasena, Strategi Penegakan Hukum Dalam Rangka Meningkatkan Keselamatan Lalu Lintas Dan Mewujudkan Masyarakat Patuh Hukum, Undip, Semarang, 2010, Tesis. Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, PT Rineka Cipata, Jakarta, 1998. Et.all, Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2002. Et.all, Ditlantas Kepolisian Republik Indonesia, Kumpulan Materi Rakemis Fungsi Lalu-Lintas 2007, Jakarta, 2007. Lexy J Moeloeng, Metode Penelitian Kualitatif, Rosda Karya, Bandung, 2000, hal. 103. Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Cetakan Kedua, Jakarta: Bina Aksara, 1984. M. Yahya Harahap, Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jakarta: Sinar Grafika, 2000. Rony Hanitijoyo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghali Indonesia, Jakarta, 1997. RM. Suharto, Hukum Pidana Materiil Unsur-Unsur Objektif Sebagai Dasar Dakwaan, Jakarta: Sinar Grafika, 2002. R Tresna, Komentar HIR, Pradnya Paramita, Jakarta, 2001. S. Nasution, Metode Research (Penelitian Ilmiah), Jakarta: PT. Buana Aksara, 2001 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Pres, Jakarta, 1984. 53
, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: C.V Rajawali, 1980. Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, Bandung, 1994. Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Mateiil 2, Kurnia Alam, Yogyakarta, 2005. Wirjono Projodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2003. Yudha Bhakti, Metode Penelitian Hukum:Suatu Pengantar, E-Book (Makalah), Didownload Pada 8 Mei 2011 Perundangan Et.all, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Ditlantas Babinkam Polri, Jakarta, 2009. Moelijatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta , 2000. Internet Kompas Cyber Media, Setiap Hari 25 Orang Mati di Jalan, http://www.kompascommunity.com, 2003 Faktor-Faktor Penyebab Kecelakaan Lalu Lintas, http://gagasanhukum.wordpress.com. http://ditya17.blog.friendster.com/2008/07/hukum-pidana/ Pengertian Unsur-unsur Delik, http://sitharesmi.multiply.com
54
55