e-Journal PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD Volume: 3 No: 1 Tahun 2015
PENERAPAN PENILAIAN OTENTIK UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR IPA KELAS IV SD NEGERI 2 PUPUAN Pt. Juli Arta Eka Wiana1, I Kt. Gading2, Nym. Kusmariyatni3 1,3
Jurusan PGSD, 2Jurusan BK, FIP Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, Indonesia
e-mail:
[email protected],
[email protected],
[email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran IPA kelas IV SD Negeri 2 Pupuan Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar tahun pelajaran 2014/2015 setelah diterapkan penilaian otentik. Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan dalam dua siklus. Setiap siklus terdiri dari empat tahapan yaitu tahap perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi/evaluasi, dan refleksi. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas IV SD Negeri 2 Pupuan Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar tahun pelajaran 2014/2015 yang berjumlah 15 orang, yang terdiri dari 8 siswa lakilaki dan 7 siswa perempuan. Data tentang hasil belajar diperoleh dengan menggunakan metode tes dan dianalisis dengan teknik analisis statistik deskriptif. Hasil penelitian ini menemukan bahwa penerapan penilaian otentik dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran IPA kelas IV SD Negeri 2 Pupuan Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar tahun pelajaran 2014/2015 dengan skor rata-rata hasil belajar pada akhir siklus I mencapai angka 62,27 yang berada pada kategori cukup dan skor rata-rata hasil belajar pada akhir siklus II mencapai angka 69,33 yang berada pada kategori baik. Kata kunci: penilaian otentik, hasil belajar IPA
Abstract The purposes of this research were to know improving student learning outcomes in science of class IV in elementary school Negeri 2 Pupuan Tegallalang districts, Gianyar regency in academic year 2014/2015 after application authentic assessment. This research is a classroom action research (CAR) which conducted in two cycles. Each cycle consists of four stages: planning, action, observation/evaluation, and reflection. The research subjects were students of class IV in elementary school Negeri 2 Pupuan Tegallalang districts, Gianyar regency in academic year 2014/2015 with total of 15 students consisting of 8 boys and 7 girls. Data about learning outcomes obtained using the test method and analyzed with descriptive statistical analysis techniques. Results of the study found that the application of authentic assessment can improve student learning outcomes in the classroom science learning of class IV in elementary school Negeri 2 Pupuan Tegallalang districts, Gianyar regency in academic year 2014/2015 with an average score of learning outcomes at the end of the first cycle reached 62,27 which in the category enough and average score of learning outcomes at the end of the second cycle reached 69,33 which in the good category. Keywords: authentic assessment, students result in science
e-Journal PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD Volume: 3 No: 1 Tahun 2015
PENDAHULUAN Menurut UU RI No. 20 Tahun 2003 Bab 1 Pasal 1 menyatakan bahwa pendidikan adalah ”usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”. Dengan demikian, untuk meningkatkan mutu pendidikan perlu mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran yang berkualitas dengan mengadakan pembaharuan dalam model, metode, pendekatan dan media, serta cara evaluasi guru dalam proses pembelajaran. Inovasi di bidang pendidikan telah banyak diupayakan oleh pemerintah, baik dalam pendidikan dasar, menengah sampai pendidikan tinggi guna meningkatkan kualitas pendidikan. Misalnya, meningkatkan kualitas guru melalui penataran-penataran, seminar pendidikan, dan pendidikan lanjutan. Di samping itu, inovasi dalam pembelajaran telah banyak dilakukan seperti pembelajaran melalui simulasi komputer, cara belajar siswa aktif atau pendekatan keterampilan proses. Namun belum menampakkan peningkatan hasil secara signifikan Sesungguhnya telah banyak usaha yang ditempuh pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan khususnya di tingkat sekolah dasar (SD), antara lain berupa alokasi dana pendidikan, perubahan kurikulum, peningkatan kualitas guru sekolah dasar, pengadaan sarana dan prasarana pembelajaran serta sumber belajar. Di samping itu, terdapat beberapa faktor penentu keberhasilan dalam meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah dasar antara lain: proses pembelajaran, guru, siswa, sarana dan prasarana pembelajaran dan cara evaluasi guru, lingkungan sosial siswa di sekolah, kurikulum sekolah, dan sumber belajar (Dimyanti dan Moedjiono, 1994:248). Dari
faktor penentu keberhasilan itu, proses pembelajaran merupakan salah satu faktor yang paling penting. Jika proses pembelajaran berjalan baik dengan didukung oleh faktor penentu keberhasilan yang lainnya, akan menghasilkan anak didik yang bermutu yang dapat bersaing dalam era globalisasi. Guru hendaknya secara ideal melaksanakan pembelajaran. Dalam pembelajaran terjadi intertaksi antara gurusiswa, siswa-siswa, dan siswa-guru. Untuk itu, antara siswa dan guru menjalankan perannya masing-masing. Guru membelajarkan siswa dan siswa belajar bagaimana belajar. Dengan kata lain dalam pembelajaran harus terjadi interaksi yang bersifat multi arah (Dimyanti dan Mudjiono, 1994:120). Interaksi multi arah akan terjadi bila guru telah mempersiapkan administrasi, materi, dan media pembelajaran yang refresentatif yang akan digunakan dalam melaksanakan pembelajarannya. Saat melaksanakan pembelajaran guru telah terampil menggunakan delapan keterampilan mengajar dan pada akhir pembelajaran guru telah menemukan dasar. Pembelajaran IPA di sekolah dasar merupakan pondasi yang kokoh untuk dapat memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan juga untuk menghadapi tantangan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Jika ditinjau lebih mendalam, pada hakekatnya pembelajaran “IPA merupakan suatu pembelajaran yang terkait dengan fenomena-fenomena alam semesta” (Suma, dkk., 2001:1). Lebih lanjut diuraikan, pembelajaran IPA sering dikatakan ilmu eksperimen. Para ahli mengamati fenomena alam dan mencoba menemukan kejadian dan prinsip-prinsip yang menghubungkan fenomena-fenomena tersebut. Pembelajaran IPA bukanlah kumpulan fakta-fakta dan prinsip-prinsip. Pembelajaran IPA membutuhkan banyak observasi fenomena, pengukuran yang dalam dan tepat, eksperimen yang luas dan
e-Journal PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD Volume: 3 No: 1 Tahun 2015
mendalam serta prediksi yang tepat. Sesuai dengan hakikat IPA tersebut, berarti belajar IPA tidak cukup hanya melalui kumpulan fakta, prinsip-prinsip, hukum-hukum maupun teori tetapi juga harus menyangkut proses bagaimana kumpulan pengetahuan itu diperoleh. Ini menunjukkan bahwa kegiatan eksperimen (penyelidikan) merupakan salah satu bagian integral dari pembelajaran IPA yang dapat dikatakan sebagai roh dari pembelajaran IPA. Dalam kegiatan eksperimen (penyelidikan), siswa dapat bekerja dalam sebuah kelompok yang anggotanya bersifat heterogen baik dari segi kemampuan maupunjenis kelamin. Falsafah yang mendasari model pembelajaran kooperatif dalam pendidikan adalah falsafah homo homini socius. Falsafah ini menekankan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Pembelajaran IPA merupakan bagian kehidupan manusia dari sejak manusia itu mengenal diri dan alam sekitarnya. Manusia dan lingkungan merupakan sumber, obyek dan subyek IPA. Pendidikan IPA merupakan salah satu aspek pendidikan dengan menggunakan IPA sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan pada umumnya dan tujuan pendidikan sains khususnya. Mata pelajaran IPA menekankan pada pemberian pengalaman langsung sehingga diharapkan dapat mengembangkan kompetensi agar siswa mampu menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah (Wardana, 2013). Menurut Suastra (2009) hakikat IPA memiliki 3 dimensi, yaitu: sikap ilmiah, produk ilmiah, dan proses ilmiah. (1) Sikap ilmiah, artinya pembelajaran IPA menuntut adanya hasrat ingin tahu, sikap ingin mendapatkan suatu yang baru, sikap kerjasama, sikap tidak putus asa, sikap tidak purba sangka, sikap mawas diri, sikap bertanggung jawab, sikap berpikir bebas, dan sikap kedisiplinan diri; (2) IPA sebagai produk ilmiah, dalam pembelajaran diharapkan siswa memahami fenomenafenomena, fakta-fakta, konsep-konsep, dan teori-teori yang telah dipelajari; (3) IPA sebagai proses ilmiah, artinya siswa
diharapkan mengalami atau menemukan sendiri sesuatu yang dipelajari sehingga nantinya mampu diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini meliputi keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan untuk memperoleh dan mengembangkan IPA. Mata pelajaran IPA di sekolah dasar diharapkan dapat menjadi wahana bagi siswa untuk mempelajari dirinya sendiri dan alam sekitarnya serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan seharihari. Proses pembelajarannya menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Pembelajaran IPA di tingkat SD perlu menekankan pembelajaran Salingtemas (sains, lingkungan, teknologi, dan masyarakat) yang diarahkan pada pengalaman belajar secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan keterampilan proses untuk merancang dan membuat suatu karya melalui penerapan konsep IPA dan kompetensi bekerja ilmiah secara bijaksana. Sehingga mampu menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja dan bersikap ilmiah serta mengkomunikasikannya sebagai aspek penting kecakapan hidup. Berdasarkan observasi yang dilakukan di SD negeri 2 pupuan di kelas IV dapat dilihat siswa pasif dalam mengikuti pembelajaran. Hal ini dapat dikatakan bahwa sebagian besar siswa kurang begitu memahami mata pelajaran IPA. Selain itu tingkat rasa percaya diri siswa masih rendah. Berdasarkan wawancara yang yang dilakukan dengan guru mata pelajaran IPA didapatkan temuan bahwa dalam proses pembelajaran siswa kurang memahami materi pembelajaran. Sehingga dapat menimbulkan rendahnya hasil belajar siswa. Data mengenai rendahnya hasil belajar IPA siswa kelas IV di SD negeri 2 pupuan, juga didukung oleh hasil refleksi awal yang dilakukan oleh peneliti. Berdasarkan hasil refleksi awal tersebut, didapatkan temuan nilai rata-rata hasil
e-Journal PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD Volume: 3 No: 1 Tahun 2015
belajar IPA pada refleksi awal adalah sebesar 54,97 dengan ketuntasan klasikal yang baru tercapai adalah 55,33%. Selain itu dalam pelaksanaan pembelajaran IPA di kelas, antara evaluasi dan pelaksanaan pembelajaran terpisah. Maksudnya, evaluasi dilakukan hanya pada akhir kegiatan pembelajaran. Evaluasi yang dilakukan selama ini oleh guru lebih cenderung mengacu pada hasil akhir saja (laporan praktikum). Proses siswa untuk menemukan simpulan dari hasil kegiatan pembelajaran tersebut tidak dinilai. Setelah kegiatan penyelidikan selesai dan didapat hasilnya, kemudian siswa diminta membuat laporan. Setelah laporan terkumpul, maka siswa diberikan tes. Tes yang diberikan guru terkait dengan materi yang dieksperimenkan. Pemberian tes semacam ini tentunya hanya menilai satu aspek saja (yaitu aspek kognitif), sedangkan aspek afektif dan psikomotor diabaikan. Hal ini akan berakibat rendahnya minat siswa dalam melakukan kegiatan penyelidikan, mereka menganggap nilai yang dihasilkan adalah hanya dari mengerjakan tes saja, sehingga dalam proses pelaksanaannya mereka tidak serius, sering bercanda dan menggangu kelompok yang lain. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa guru bidang studi, ada beberapa alasan mereka hanya menilai produk. Alasan tersebut antara lain: (1) jumlah siswa yang relatif cukup banyak dan terlalu banyak memerlukan waktu penilaian, sehingga diperlukan tenaga ekstra untuk melakukan penilaian proses dan (2) kesulitan dalam membuat lembar penilaiannya. Penilaian atau evaluasi merupakan satu tahapan dalam siklus pembelajaran yang peranannya tidak bisa diabaikan. Dikatakan demikian karena evaluasi minimal dapat menghasilkan dua hal yaitu: (1) sebagai umpan balik dalam proses pembelajaran, dan (2) dapat memberikan informasi mengenai kualitas perolehan pada subjek didik. Sesuai dengan kaidahnya, dalam proses pembelajaran IPA antara proses dan produk haruslah
seimbang. Jika dikaitkan dengan evaluasi, maka seharusnya dalam proses pembelajaran, pelaksanaan evaluasi tidak hanya berada di akhir (menilai produk saja) akan tetapi proses untuk menghasilkan produk tersebut haruslah dinilai juga. Penilaian yang baik adalah bagian integral dari pembelajaran yang baik. Penilaian yang tepat paling tidak berorientasi pada dua prioritas utama: (1) tujuan utama pendidikan, yaitu learning how to learn from an experience, agar perencanaan pembelajaran berikutnya menjadi bermakna, dan (2) pengakomodasian keragaman peserta didik utamanya dalam hal gaya belajar dalam rangka membantu perencanaan perbaikan proses belajar. Selanjutnya dalam kaitannya dengan penilaian terhadap siswa, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan menyebutkan agar selama proses pembelajaran, guru memonitor partisipasi atau keikutsertaan siswa dari awal hingga akhir pembelajaran. Implikasi lain dari diterapkannya standar kompetensi adalah guru harus mengembangkan penilaian otentik berkelanjutan (continuous authentic assessment) yang menjamin pencapaian dan penguasaan kompetensi. Penilaian otentik adalah penilaian yang dilakukan dalam suasana nonthreatening. Penilaian ini berupa proses pengumpulan informasi oleh guru tentang perkembangan dan pencapaian pembelajaran yang dilakukan anak didik melalui berbagai teknik yang mampu mengungkapkan, membuktikan atau menunjukkan secara tepat bahwa tujuan pembelajaran dan kemampuan (kompetensi) telah benar-benar dikuasai dan dicapai. Penilaian otentik memiliki sifatsifat: (1) berbasis kompetensi; (2) berpusat pada siswa; (3) terintegrasi dalam proses pembelajaran; (4) on-going dan berkelanjutan (Tim Penyusun, 2008:23). Lebih lanjut dijelaskan, karakteristik penilaian otentik adalah: (1) dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung; (2) bisa digunakan untuk formatif maupun sumatif; (3) yang diukur
e-Journal PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD Volume: 3 No: 1 Tahun 2015
adalah pengetahuan dan keterampilan; (4) berkesinambungan; (5) terintegrasi; dan (6) dapat digunakan sebagai feed back. Jenisjenis penilaian otentik meliputi penilaian kinerja, penilaian diri, esai, penilaian proyek, penilaian produk, dan portofolio. Kegiatan-kegiatan penilaian otentik antara lain observasi (pengamatan), presentasi, diskusi, wawancara, dan lain-lain. Kegiatan penilaian yang tidak otentik adalah tes objektif seperti pilihan ganda, menghapal materi, dan kegiatan-kegiatan lain yang hanya menuntut siswa secara mekanis dan tidak langsung terkait dengan kehidupan (Marhaeni, 2008). Mueller (dalam Nurgiyantoro, 2008: 254) menyatakan bahwa “penilaian otentik yang diterapkan dalam proses pembelajaran dapat memberikan beberapa manfaat”. Manfaat yang diperoleh dari pelaksanaan penilaian otentik sebagai berikut. (1) penggunaan penilaian otentik memungkinkan dilakukannya pengukuran secara langsung terhadap kinerja pembelajar sebagai indikator capaian kompetensi yang dibelajarkan. Penilaian yang hanya mengukur capaian pengetahuan yang telah dikuasai pembelajar hanya bersifat tidak langsung. Tetapi, penilaian otentik menuntut pembelajar untuk berunjuk kerja dalam situasi yang konkret dan sekaligus bermakna yang secara otomatis juga mencerminkan penguasaan dan keterampilan keilmuannnya. Unjuk kerja tersebut bersifat langsung, langsung terkait dengan konteks situasi dunia nyata dan tampilannya juga dapat diamati langsung. Hal itu lebih mencerminkan tingkat capaian pada bidang yang dipelajari. (2) penilaian otentik memberi kesempatan pembelajar untuk mengkonstruksikan hasil belajarnya. Penilaian haruslah tidak sekadar meminta pembelajar mengulang apa yang telah dipelajari karena hal demikian hanyalah melatih mereka menghafal dan mengingat saja yang kurang bermakna. Dengan penilaian otentik pembelajar diminta untuk mengkonstruksikan apa yang telah diperoleh ketika mereka dihadapkan pada
situasi konkret. Dengan cara ini pembelajar akan menyeleksi dan menyusun jawaban berdasarkan pengetahuan yang dimiliki dan analisis situasi yang dilakukan agar jawabannya relevan dan bermakna. (3) penilaian otentik memungkinkan terintegrasikannya kegiatan pengajaran, belajar, dan penilaian menjadi satu paket kegiatan yang terpadu. Dalam pembelajaran tradisional, juga model penilaian tradisional, antara kegiatan pengajaran dan penilaian merupakan sesuatu yang terpisah, atau sengaja dipisahkan. Namun, tidak demikian halnya dengan model penilaian otentik. Dari beberapa bentuk penilaian proses yang telah disebutkan di atas, maka penilaian otentik dianggap dapat meningkatkan hasil pembelajaran. Pelaksanaan penilaian otentik tidak lagi menggunakan format-format penilaian tradisional (multiple-choice, matching, truefalse, dan paper and pencil test), tetapi menggunakan format yang memungkinkan siswa untuk menyelesaikan suatu tugas atau mendemonstrasikan suatu performasi dalam memecahkan suatu masalah. Format penilaian ini dapat berupa: (1) tes yang menghadirkan benda atau kejadian asli ke hadapan siswa (hands-on penilaian), (2) tugas (tugas keterampilan, tugas investigasi sederhana dan tugas investigasi terintegrasi), (3) format rekaman kegiatan belajar siswa (misalnya: portofolio, interview, daftar cek). Dalam penilaian otentik siswa akan terlibat kegiatan mempraktekkan bagaimana menerapkan pengetahuan dan keterampilannya untuk tugas-tugas baru. Proses assessment melibatkan berbagai macam kegiatan seperti interview lisan, pemecahan masalah baik secara perorangan maupun kelompok, unjuk kerja, dan kreativitas penulisan portofolio. Dalam penilaian otentik tidak terjadi belajar hafalan dan tes yang bersifat pasif melainkan siswa terlibat kegiatankegiatan seperti melakukan eksperimen sains, riset sosial, menulis cerita dan laporan, membaca dan menginterpretasi
e-Journal PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD Volume: 3 No: 1 Tahun 2015
literatur, dan menyelesaikan soal-soal aplikatif. Berdasarkan uraian di atas nampak bahwa penilaian otentik dapat meningkatkan hasil belajar IPA. Akan tetapi secara empirik hasil tersebut belum diketahui. Untuk mengetahui secara empirik apakah penilaian otentik dapat meningkatkan hasil belajar IPA, maka penelitian ini dilakukan pada siswa kelas IV SD Negeri 2 Pupuan Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar tahun pelajaran 2014/2015. METODE Penelitian ini termasuk jenis Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research). Menurut Suharsimi, dkk. (2009:3) mendefinisikan bahwa penelitian tindakan kelas merupakan ”suatu pencermatan terhadap kegiatan belajar berupa sebuah tindakan, yang sengaja dimunculkan dan terjadi di sebuah kelas bersama”. Sedangkan menurut Supardi, dkk (2009:104) mengemukakan bahwa penelitian tindakan kelas merupakan ”suatu pendekatan untuk meningkatkan pendidikan dengan melakukan perubahan ke arah perbaikan terhadap hasil pendidikan dan pembelajaran”. Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa penelitian tindakan kelas merupakan suatu tindakan yang dimunculkan di kelas untuk memperbaiki praktik pembelajaran guna meningkatkan mutu pembelajaran. Dalam penelitian tindakan kelas ini ada empat tahap pada satu siklus penelitian. Keempat tahap tersebut terdiri dari perencanaan, pelaksanaan, evaluasi/observasi, refleksi. Pelaksanaan penelitian dilakukan berlangsung dalam satu siklus. Jika siklus pertama penelitian tidak berhasil maka dilanjutkan dengan siklus berikutnya. Untuk siklus selanjutnya adalah perencanaan yang sudah direvisi, tindakan, observasi/evaluasi, dan refleksi.
(Sumber: Adaptasi dari Agung, 2005:91) Gambar 1 Tahapan Penelitian Tindakan Dua Siklus Penelitian dilaksanakan di SD Negeri 2 Pupuan dengan subjek penelitian adalah siswa kelas IV dengan jumlah siswa yang diteliti adalah 15 orang, yang terdiri dari 8 siswa laki-laki dan 7 siswa perempuan. Sedangkan objek penelitian adalah hasil belajar IPA kelas IV di SD Negeri 2 Pupuan, Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar Tahun Pelajaran 2014/2015. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data tentang hasil belajar IPA. Untuk hasil belajar IPA siswa digunakan metode tes. Metode tes adalah cara memperoleh data yang berbentuk suatu tugas yang harus dikerjakan oleh seseorang atau kelompok orang yang dites. Dari tes dapat menghasilkan skor yang selanjutnya dibandingkan dengan kriteria tertentu. Dalam penelitian ini, data dikumpulkan dengan memberikan tes pada setiap individu. Tes hasil belajar IPA dikonstruksi dalam bentuk esai. Data yang telah terkumpul, dianalisis dengan menggunakan metode analisis statistik deskriptif. Untuk data tes hasil belajar langkah-langkahnya adalah sebagai berikut: menganalisis data ketuntasan belajar siswa secara individu, menghitung nilai rata-rata kelas, dan menentukan persentase ketuntasan belajar secara klasikal.
HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan dengan kriteria keberhasilan apabila pencapaian penguasaan materi telah mencapai 50% secara individu dan 75% secara klasikal.
e-Journal PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD Volume: 3 No: 1 Tahun 2015
Apabila kriteria tersebut telah tercapai, maka penelitian ini akan dihentikan. Berdasarkan kriteria tersebut, maka hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Hasil analisis data pada refleksi awal, menunjukkan bahwa nilai rata-rata hasil belajar IPA pada refleksi awal adalah sebesar 54,97 dan standar deviasi sebesar 11,81. Jika hasil belajar setiap siswa dibandingkan dengan standar ketuntasan minimum hasil belajar yang berlaku saat ini di SD Negeri 2 Pupuan yaitu sebesar 50, maka terdapat tujuh dinyatakan tidak tuntas. Ini berarti ketuntasan klasikal yang baru tercapai adalah 55,33%. Apabila hasil tersebut dikonversikan dengan kriteria tingkat penguasaan kompetensi yang berlaku di SD Negeri 2 Pupuan untuk mata pelajaran IPA berada pada rentang 55-69 dalam katagori cukup. Hasil analisis data pada siklus I, menunjukkan bahwa nilai rata-rata hasil belajar IPA adalah sebesar 62,27 dengan ketuntasan klasikal 67%. Ketuntasan belajar klasikal pada siklus I apabila dikonversikan ke dalam tingkat penguasaan kompetensi yang berlaku di SD Negeri 2 Pupuan untuk mata pelajaran pendidikan IPA berada pada rentang 55-69 yang berada dalam kategori cukup. Hasil tersebut belum memenuhi indikator minimal 75% untuk ketuntasan belajar klasikal. Untuk itu, penelitian dilanjutkan pada siklus II. Hasil analisis data pada siklus II, menunjukkan bahwa nilai rata-rata hasil belajar IPA adalah sebesar 69,33 dengan ketuntasan klasikal 80% yang artinya ketuntasan belajar klasikal terjadi peningkatan sebesar 13% dari siklus I. Hasil pada siklus II ini telah memenuhi indikator minimal 75% untuk ketuntasan belajar klasikal. Apabila hasil tersebut dikonversikan ke dalam tingkat penguasaan kompetensi yang berlaku di SD Negeri 2 Pupuan untuk mata pelajaran pendidikan IPA berada pada rentang 70-84 yang berada dalam kategori baik. Karena ketuntasan hasil belajar siswa sudah mencapai hasil yang diinginkan pada siklus II, maka penelitian tidak dilanjutkan lagi.
Penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan penilaian otentik dapat meningkatkan hasil belajar IPA siswa kelas IV SD Negeri 2 Pupuan Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar tahun pelajaran 2014/2015. Hasil tersebut diperoleh berdasarkan analisis data yang telah dilakukan sebelumnya. Pada saat observasi awal sebelum pelaksanaan tindakan diketahui bahwa hasil belajar IPA siswa kelas IV masih belum memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang ditentukan oleh peneliti sebesar 50 untuk rata-rata kelas dan 75% untuk ketuntasan secara klasikal. Sementara nilai rata-rata yang diperoleh siswa 54,97 dan ketuntasan secara klasikal baru mencapai 55,33%. Melihat kondisi tersebut, sehingga perlu dilakukan perbaikan terhadapan kualitas pembelajaran di kelas tersebut. Pada awal siklus I, kelas yang terdiri dari 15 orang siswa dibagi menjadi tiga kelompok yang heterogen baik dari segi kemampuan akademis maupun jenis kelaminnya. Secara kuantitatif, rata-rata nilai hasil belajar IPA siswa pada siklus I adalah 62,27 dan ketuntasan klasikal hasil belajar IPA siswa 67%. Hasil tersebut menunjukkan ketuntasan klasikal yang dicapai pada siklus I belum memenuhi kriteria keberhasilan, dan masih terdapat kekurangan-kekurangan selama proses pembelajaran pada siklus I. Adapun kekurangan-kekurangan yang teridentifikasi pada pelaksanaan tindakan siklus I adalah (1) siswa terlihat masih kaku, tegang, dan kurang santai dalam mengikuti proses pembelajaran. Ini disebabkan karena strategi guru yang dipakai dalam menyampaikan materi pelajaran lain dari biasanya. Hal ini tentunya menyebabkan siswa merasakan sesuatu yang baru dalam lingkungan belajarnya, (2) siswa belum mampu mengatur waktu dalam mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh guru, sehingga ketika waktu yang diberikan telah habis, tugas tersebut belum selesai dikerjakan, (3). siswa belum terbiasa dengan penggunaan penilaian otentik yang melibatkan ketrampilan berpikir tingkat tinggi dan mencakup pengetahuan yang luas serta siswa belum menyadari tentang apa yang harus dikerjakannya akan dinilai dalam penilaian otentik. Hal ini
e-Journal PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD Volume: 3 No: 1 Tahun 2015
dikarenakan sudah siswa terbiasa dengan penilaian tradisional yang biasa diterapakan oleh guru. Bertolak dari kekurangan-kekurangan yang dihadapi pada siklus I, peneliti bersama dengan guru mendiskusikan perbaikan tindakan untuk selanjutnya diterapkan pada siklus II. Perbaikan tindakan yang dilakukan adalah (1) memberikan motivasi kepada setiap siswa dengan membuat kesan yang positif pada diri siswa, dengan menggunakan pernyataan-pernyataan yang positif yang mampu menghilangkan rasa tegang siswa tentang kesan mata pelajaran IPA yang sulit dimengerti, (2) mengingatkan siswa agar setiap siswa turut aktif dalam menyelesaikan tugas kelompok yang diberikan sehingga tugas tersebut selesai tepat pada waktunya. Selain itu, membiasakan siswa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dianggap mudah, sehingga waktu yang diperlukan untuk mengerjakan soal menjadi tepat dengan waktu yang disediakan, (3) memberikan pemahaman lebih lanjut kepada siswa mengenai penilaian otentik yang melibatkan ketrampilan berpikir tingkat tinggi dan mencakup pengetahuan yang luas serta menyadarkan siswa tentang apa yang harus dikerjakannya akan dinilai. Pelaksanaan tindakan pada siklus II disesuaikan dengan hasil refleksi siklus I dengan melakukan beberapa tindakan perbaikan. Perbaikan tindakan yang dilaksanakan pada siklus II ternyata secara kuantitas dapat meningkatkan hasil belajar IPA siswa. Pada siklus II diperoleh rata-rata nilai hasi belajar IPA siswa sebesar 69,33 dan ketuntasan siswa secara klasikal mencapi 80%, sehingga hasil belajar dari pelaksanaan siklus II sudah memenuhi indikator yang sudah ditentukan dan sudah mengalami peningkatan dari siklus ke siklus. Hal ini terlihat dari rata-rata hasil belajar IPA siswa kelas IV terjadi peningkatan sebesar 7,06 dari siklus I ke siklus II. Begitu pula pada ketuntasan belajar klasikal terjadi peningkatan sebesar 13% dari siklus I ke siklus II. Karena ketuntasan hasil belajar siswa sudah mencapai hasil yang diinginkan pada siklus II, maka penelitian tidak dilanjutkan lagi dan hasil yang diperoleh direkomendasikan
sebagai bahan laporan serta kepada guru yang bersangkutan. Beberapa hal yang dapat dijadikan refleksi pada siklus II sebagai berikut.( 1). Siswa sudah terlihat tidak kaku dan santai dalam mengikuti proses pembelajaran dengan menggunakan penilaian otentik. Siswa juga telah menunjukkan keberanian untuk mengemukakan pendapat baik ketika guru memberikan pertanyaan maupun ketika berdiskusi dalam kelompok. (2). Siswa sudah mampu mengatur waktu dalam mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh guru. Hal ini dikarenakan guru sudah memberikan bimbingan kepada tiap kelompok tentang bagaimana caranya mengatur waktu dalam mengerjakan tugas. (3) Keseriusan siswa dalam mengikuti pembelajaran sudah meningkat. Hal ini terlihat pada saat pembelajaran berlangsung, tidak ada siswa yang bermain-main. Mereka semua merasa senang mengikuti pembelajaran dengan penilaian otentik. Hasil tersebut sesuai dengan teori yang menyatakan penilaian otentik memonitor dan mengukur kemampuan siswa dalam bermacam-macam kemungkinan pemecahan masalah yang dihadapi dalam situasi atau konteks dunia nyata. Penilaian dapat membuat peserta didik aktif membangun pengetahuan, hingga terbentuk kompetensi seperti yang ditetapkan dalam SKL, SK, KD, dan Indikator pencapaian. Jadi, penilaian otentik menilai kemampuan riil siswa dalam kaitannya dengan kehidupan sehari-hari (Marhaeni, 2008:2). Sejalan dengan pendapat tersebut Nurgiyantoro (2001: 4) juga menambahkan bahwa penilaian otentik mengukur, memonitor dan menilai semua aspek hasil belajar (yang tercakup dalam domain kognitif, afektif, dan psikomotor), baik yang tampak sebagai hasil akhir dari suatu proses pembelajaran, maupun berupa perubahan dan perkembangan aktivitas dan perolehan belajar selama proses pembelajaran di dalam kelas maupun di luar kelas. Pada hakikatnya, kegiatan penilaian yang dilakukan tidak semata-mata untuk menilai hasil belajar siswa saja, melainkan juga berbagai faktor yang lain salah satunya kegiatan pembelajaran yang dilakukan itu sendiri.
e-Journal PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD Volume: 3 No: 1 Tahun 2015
Artinya, berdasarkan informasi yang diperoleh dari penilaian dapat pula dipergunakan sebagai umpan balik penilaian terhadap kegiatan pengajaran yang dilakukan. Temuan tersebut mendukung temuan peneliti sebelumnya yang dilakukan oleh Pharhyuna (2012) yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan keterampilan menulis surat berbahasa inggris antara siswa yang mengikuti model pembelajaran berbasis masalah dan asesmen otentik dengan siswa yang mengikuti model pembelajaran langsung dan asesmen konvensional. Penelitian lain dikemukakan oleh Ardana (2011) yaitu Pengembangan Model dan Asesmen Otentik Pembelajaran Matematika Berorentasi Gaya Kognitif dan Budaya untuk Siswa Sekolah Dasar di Provinsi Bali. Melalui hasil penenelitian ini menunjukan bahwa daya serap dan ketuntasan belajar yang di capai lebih besar dari kriteria yang ditetapkan yakni lebih besar dari daya serap 65%, dan ketuntasan belajar 85%. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa prestasi belajar siswa tergolong baik. Sementara itu , 90 orang siswa (94,74%) memberikan tanggapan positif dan hanya 3 orang siswa (5,26%) memberikan tanggapan negatif terhadap pelaksanaan pembelajaran. Karena tanggapan positif sebesar 94,74% > 85%, berarti siswa memberikan tanggapan positif terhadap penggunaan model PMPG.
rata-rata hasil belajar IPA menjadi 69,33 dan ketuntasan klasikal menjadi 80%. Berdasarkan hasil penelitian yang diuraikan di atas, maka dapat diberikan beberapa saran sebagai berikut: 1) Melalui penerapan penilaian otentik maka diharapkan hasil belajar siswa dapat ditingkatkan secara optimal pada mata pelajaran IPA. 2) Melalui penerapan penilaian otentik maka diharapkan profesionalisme guru dapat ditingkatkan dalam pengelolaan proses pembelajaran IPA. 3) Agar peneliti lain tertarik untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam tentang faktor-faktor lain yang mempengaruhi hasil belajar pada mata pelajaran IPA di sekolah dasar.
SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil pengujian dari data yang diperoleh, maka dapat disimpulkan bahwa penerapan penilaian otentik dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran IPA kelas IV SD Negeri 2 Pupuan Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar tahun pelajaran 2014/2015. Hal ini dapat dilihat dari nilai rata-rata hasil belajar sudah memenuhi kriteria keberhasilan yang ditetapkan dalam penelitian ini, yaitu nilai kriteria ketuntasan minimal (KKM) sebesar 50 dan ketuntasan klasikal (KK) sebesar 75%. Pada tes awal, nilai rata-rata hasil belajar IPA 54,97, dan ketuntasan klasikal 55,33%. Setelah siklus I, nilai rata-rata hasil belajar IPA menjadi 62,27 dan ketuntasan klasikal menjadi 67%. Setelah siklus II, nilai
Dimyanti dan Moedjiono. 1994. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Proyek Pembinaan dan Peningkatan Tenaga Kependidikan.
DAFTAR PUSTAKA Ardana, I Made. 2011. Pengembangan Model dan Asesmen Otentik Pembelajaran Matematika Berorientasi Gaya Kognitif dan Budaya untuk Siswa Sekolah Dasar di Provinsi Bali. Tersedia pada https://lemlitundiksha.wordpress.co m/tag/asesmen-otentik/. (diakses pada tanggal 11 desember 2011). Arikunto, Suharsimi. 2009. Prosedur Penelitian Suatu pendekatan praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Marhaeni, A.A.I.N. 2008. Tinjauan Teoritis Mengenai Asesmen Otentik dan Implementasinya dalam Pembelajaran. Makalah. Disampaikan dalam Seminar tentang Profesionalisme Guru dan Inovasi Pembelajaran. Nurgiyantoro. 2001. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa Indonesia.Yogyakarta: BPFE Yogyakarta.
e-Journal PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD Volume: 3 No: 1 Tahun 2015
------.
2008. Penilaian Otentik. Jurnal Cakrawala Pendidikan. November 2008, Th. XXVII, No. 3.
Pharhyuna, Jaya. Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis Masalah dan Asesmen Otentik terhadap Keterampilan Menulis Berbahasa Inggris ditinjau dari Kreativitas Siswa SMK Negeri 1 Singaraja. Tesis (tidak diterbitkan). Pasca Undiksha Singaraja. Suastra, I.W. 2009. Pembelajaran Sains Terkini: Mendekatkan Siswa dengan Lingkungan Alamiah dan Sosial Budayanya. Universitas Pendidikan Ganesha. Singaraja. Suma, dkk. 2001. “Penerapan Eksperimen Terbuka Terbimbing dalam Pembelajaran Fisika Dasar pada Mahasiswa TPB Jurusan Pendidikan MIPA IKIP Negeri Singaraja”. Laporan Penelitian. Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha. Supardi. 2009. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara. Tim Penyusun. 2008. Materi Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) Asesmen. Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha. Wardana. I Wayan 2013. Pengaruh Model Pembelajaran Group Investigation (GI) Berbantuan Asesmen Proyek terhadap prestasi belajar IPA siswa kelas V tahun pelajaran 2012/2013 sekolah dasar di Gugus III Tampaksiring Kabupaten Gianyar. Skripsi (tidak diterbitkan). Singaraja fakultas ilmu pendidikan. UNDIKSHA