PENERAPAN MODEL PROBLEM-BASED LEARNING DENGAN TEKNIK SCAFFOLDING UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR IPA SISWA KELAS V SDN 02 DOMPU
Rosdiati Guru SDN No. 2 Dompu
[email protected] Abstract: Constructivist approach is a learning approach emphasizes students have basic knowledge which will be used as a basic to construct a new knowledge. Problem based learning is one of the contructivist approach. It can make aktif students because this method is student oriented. This method in the research using technique scaffolding. Scaffolding learning technique is a technique in which teacher gives guidance to the students in the beginning of learning and reduce it gradually and stop it totally when the students are able to solve their own problems. It will encourage students to construct their knowledge and their thinking ability independently. In this research use qualitative approach, kind of research is classroom research which consist two phases. In phase II increased the score results of classical learning of 70% with enough category became 90% with very good category. The average of teacher activities score also increased from 83,83% in phase I to 93% in phase II. The average of student activities score also increased from 75,17%. in phase I to 89,5% in phase II. This learning technique was very suitable to be implemented on materials with certain characteristics of complex material (corresponding to the formulas) such as on material shape thing and the character. So the suggestion that scaffolding learning technique can implementation as alternative learning strategy to improve learning outcome of student. Besides that the next researcher can research not only on cognitive domain, but the other such as psychomotor domain and affective domain. Keywords: Problem-Based Learning, Scaffolding, Learning Outcomes
Pembelajaran adalah proses belajar mengajar yang dilakukan antara guru dengan siswa. Pembelajaran harus berlangsung secara efektif. Keberhasilan belajar mengajar pada pembelajaran dapat dilihat dari keberhasilan siswa yang mengikuti kegiatan tersebut. Keberhasilan tersebut terlihat dari pemahaman siswa, penguasaan materi, dan prestasi siswa. Keberhasilan siswa dalam kegiatan belajar sangat dipengaruhi oleh aktivitas belajar di kelas.
Kegiatan belajar mengajar mengharapkan terciptanya kondisi belajar yang mengarahkan siswa untuk melakukan aktivitas belajar secara efektif dan efisien. Peran guru sangatlah penting dalam menumbuhkan dan memberikan dorongan agar tercipta proses belajar mengajar yang aktif. Guru dapat menentukan desain, metode, atau pendekatan pembelajaran yang dapat mengarahkan siswa untuk lebih banyak melakukan aktivitas belajar. Penentuan desain, metode, atau pendekatan
206
Rosdiati, Penerapan Model Problem Based Learning dengan Teknik Scaffolding, 207
ini tentunya dengan tetap memperhatikan kesesuaian antara karakteristik materi dengan karakteristik pembelajaran. Kesesuaian karakteristik ini sangatlah penting dalam penentuan jenis pembelajaran. Apabila model pembelajaran yang dilakukan tidak ada perbaikan maka hasilnya tidak akan optimal. Sebagaimana disebutkan dalam buku materi kurikumum 2013 bahwa untuk bidang IPA, hasil studi internasional untuk reading dan literacy (PIRLS) yang ditujukan untuk kelas IV SD juga menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda dengan hasil studi untuk tingkat SM. Dalam hal membaca, lebih dari 95% peserta didik Indonesia di SD kelas IV juga hanya mampu mencapai level menengah, sementara lebih dari 50% siswa Taiwan mampu mencapai level tinggi dan advance. Hal ini juga dialami siswa SDN 02 Dompu untuk bidang IPA. Untuk itulah kurikulum 2013 dikembangkan agar siswa mampu bersaing dan mampu menghadapi tantangan baik tantangan internal maupun tantangan eksternal. Proses pembelajaran dalam kurikulum 2013 adalah suatu proses pembelajaran dimana guru hanya sebagai mediator, selanjutnya siswa secara sendiri atau kelompok aktif untuk memecahkan persoalan yang diberikan oleh guru, sehingga mereka dapat membangun pengetahuan sendiri atau dengan istilah lain student oriented. Proses pembelajaran Kurikulum 2013 mengamanatkan esensi pendekatan saintifik dalam pembelajaran. Pendekatan saintifik diyakini sebagai titian emas perkembangan dan pengembangan sikap, keterampilan, dan pengetahuan peserta didik. Dalam pendekatan atau proses kerja yang memenuhi kriteria ilmiah, para ilmuan lebih mengedepankan pelararan induktif (inductive reasoning) dibandingkan dengan penalaran deduktif (deductive reasonning). Ada tiga model pembelajaran yang lebih mengedepankan penalaran induktif
diantaranya: model pembelajaran berbasis proyek/project based learning, model pembelajaran penemuan (discovery learning), model pembelajaran berbasis masalah (problem based learning). Dalam penelitian ini model yang digunakan adalah model pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) sesuai dengan kurikulum 2013. Problem based learning (PBL) adalah model pembelajaran yang dirancang agar peserta didik mendapat pengetahuan penting, yang membuat mereka mahir dalam memecahkan masalah, dan memiliki model belajar sendiri serta memiliki kecakapan berpartisipasi dalam tim. Proses pembelajarannya menggunakan pendekatan yang sistemik untuk memecahkan masalah atau menghadapi tantangan yang nanti diperlukan dalam kehidupan seharihari. Pembelajaran berbasis masalah merupakan sebuah modelpembelajaran yang menyajikan masalah kontekstual sehingga merangsang peserta didik untuk belajar. Dalam kelas yang menerapkan pembelajaran berbasis masalah, peserta didik bekerja dalam tim untuk memecahkan masalah dunia nyata (real world). Pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu model pembelajaran yang menantang peserta didik untuk “belajar bagaimana belajar”, bekerja secara berkelompok untuk mencari solusi dari permasalahan dunia nyata. Masalah yang diberikan ini digunakan untuk mengikat peserta didik pada rasa ingin tahu pada pembelajaran yang dimaksud. Masalah diberikan kepada peserta didik, sebelum peserta didik mempelajari konsep yang berkenaan dengan masalah yang harus dipecahkan. Ada lima strategi dalam menggunakan model pembelajaran berbasis masalah (PBL) yaitu: permasalahan sebagai kajian, permasalahan sebagai penjajakan pemahaman, permasalahan sebagai contoh, permasalahan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari proses,
208, J-TEQIP, Tahun V, Nomor 2, November 2014
permasalahan sebagai stimulus aktivitas autentik Model pembelajaran problembased learning dalam penelitian ini menggunakan teknik scaffolding. Scaffolding itu sendiri menurut Wood, dkk (dalam Anghileri, 2006), adalah cara yang digunakan orang tua untuk memberikan bantuan yang disesuaikan dengan apa yang dipelajari anak agar bantuan tersebut dikurangi/ dihilangkan pada saat anak sudah dapat berdiri sendiri. Scaffolding merupakan penerapan teori kognitif sosial yang dikembangkan oleh Vygotsky. Vygotsky (dalam Lambas 2004:21) menyatakan, bahwa interaksi sosial merupakan faktor terpenting dalam mendorong perkembangan kognitif seseorang. Perkembangan kognitif akan membantu dalam menyelesaikan permasalahan yang tingkat kesulitannya lebih tinggi dari kemampuan dasarnya setelah ia mendapat bantuan dari seseorang yang lebih mampu. Konsep bantuan yang dikemukakan Vygotsky ini disebut dengan scaffolding. Praktek scaffolding dalam penelitian ini berdasarkan level-level scaffolding Anghileri yang mengandung komponen explaining, reviewing, restructuring, and development conceptual thinking. Sedangkan jenisnya menurut Echevarria (2004) adalah verbal scaffoldding. Adapun langkah-langkah metode pembelajaran scaffolding dapat ditempuh melalui tahapan-tahapan berikut: 1. Assemen kemampuan dan taraf perkembangan setiap siswa untuk menentukan Zone of Proximal Development (ZPD). 2. Menjabarkan tugas pemecahan masalah ke dalam tahap-tahap yang rinci sehingga dapat membantu siswa melihat zona yang akan di-scafold. 3. Menyajikan tugas belajar secara berjenjang sesuai taraf perkembangan siswa.
4. Mendorong siswa untuk menyelesaikan tugas belajar secara mandiri. 5. Memberikan dalam bentuk pemberian isyarat, kata kunci, tanda mata (minders), dorongan, hal lain yang memancing siswa bergerak ke arah kemandirian belajar. Strategi pembelajaran Scaffolding ditempuh sebagai berikut: 1. Mencapai persetujuan dan menetapkan fokus belajar 2. Mengecek hasil belajar sebelumnya (prior learning) untuk menentukan zona of proximal development atau level perkembangan. 3. Merancang tugas-tugas belajar (aktifitas belajar Scaffolding). 4. Memantau dan memediasi aktifitas belajar. 5. Mengecek dan mengevaluasi belajar yaitu hasil dan proses belajar. METODE Pendekatan penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (Classroom Action Research). Menurut pendapat Akbar (2009:83) mengungkapkan bahwa “PTK adalah penelitian yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil pembelajaran di kelas, atau memecahkan masalah pembelajaran di kelas/di latar penelitian yang dilakukan secara bersiklus”. Penelitian tindakan kelas ini mengutamakan kerjasama antara peneliti sebagai pelaksana yaitu pengajar, guru kelas sebagai pembimbing di lapangan dan dibantu teman sejawat sebagai observer dalam kegiatan penelitian yang dilakukan. Penelitian tindakan kelas terdiri dari empat tahapan yaitu perencanaan, tindakan, pengamatan, dan refleksi yang merupakan serangkaian dalam satu siklus atau putaran, artinya sesudah langkah ke-4 kembali ke langkah ke-1 begitu seterusnya.
Rosdiati, Penerapan Model Problem Based Learning dengan Teknik Scaffolding, 209
Meskipun sifatnya berbeda, langkah ke-2 dan ke-3 dapat dilakukan secara bersamaan jika pelaksana dan pengamat berbeda. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas V SD semester ganjil tahun ajaran 2013/2014 tema 1 subtema 1: wujud benda dan cirrinya. Jumlah siswa kelas V SD 30 anak, yang terdiri dari 15 siswa dan 15 siswi. Sedangkan lokasi penelitian adalah SDN 02 Dompu yang terletak di jalan Sultan Hasanuddin Dompu. Teknik pengumpulan data dari penelitian ini terdiri dari wawancara, tes dan angket siswa. Instrumen dalam penelitian ini meliputi pedoman wawancara, soal tes pra tindakan, soal tes evaluasi, lembar angket siswa, catatan lapangan, dan dokumentasi berupa foto. Analisis data hasil belajar dalam penelitian ini meliputi aspek kognitif yang didapat dari hasil tes pra dan tes akhir untuk mengetahui prosentase hasil belajar siswa. Nilai rata-rata siswa dipero-leh dengan menjumlahkan nilai yang diperoleh dari keseluruhan siswa dibagi dengan jumlah siswa yang ada di kelas tersebut. Sedangkan untuk melihat keberhasilan di akhir siklus digunakan kriteria keberhasilan. Secara individu, hasil belajar siswa dikatakan tuntas jika siswa memperoleh nilai ≥ 80. Sedangkan ketuntasan belajar secara klasikal (keseluruhan) tercapai jika jumlah siswa mencapai ketuntasan belajar ≥ 85%. HASIL PENELITIAN 1. Pra Tindakan Kegiatan yang dilakukan peneliti pada pra tindakan meliputi: pertama, melakukan pengamatan, berdasarkan hasil pengamatan aktivitas guru dan aktivitas siswa diperoleh bahwa pengamat menilai kegiatan guru selama pembelajaran berada pada kategori “baik” . Kedua, melaksanakan tes, hasil tes menunjukkan bahwa, 19 orang (63%) siswa yang memperoleh nilai ≥ 80. Berdasarkan hasil tes pra tindakan,
peneliti membagi ke dalam 3 kategori, yaitu 10 siswa kategori berkemampuan intelektual tinggi, 10 siswa kategori berkemampuan intelektual sedang, dan 10 kategori berkemampuan intelektual rendah. Selanjutnya, siswa dibagi menjadi 6 kelompok, yaitu kelompok A, B, C, D, E, dan F. Ketiga, Berdasarkan hasil tes pra tindakan, peneliti mengambil 3 siswa sebagai subyek wawancara yaitu AR mewakili siswa kategori berkemampuan intelektual rendah, AS mewakili siswa kategori berkemampuan intelektual sedang, dan RJ mewakili siswa kategori berkemampuan intelektual tinggi. 2. Siklus I Pertemuan pertama, kegiatan inti diawali dengan membagi LKS pada tiap kelompok. Kemudian peneliti menyampaikan langkah-langkah kegiatan yang harus dilakukan. Selama siswa bekerja, peneliti berkeliling untuk memonitor aktivitas siswa. Dari hasil pengamatan peneliti tampak bahwa sebagian siswa hanya duduk dan sebagian yang lainnya berbicara. Melihat kondisi ini, peneliti segera bertindak mengembalikan perhatian siswa ke masalah pada gambar. Beberapa kelompok yang kesulitan menjawab masalah pada LKS, maka peneliti memberinya scaffolding dengan cara meminta siswa memperhatikan dengan teliti gambar yang ada dan meminta siswa menyebutkan barang apa saja yang ada disungai. Ada juga kelompok yang kesulitan menjawab masalah identifykasi perubahan-perubahan pada alam maka peneliti memberinya scaffolding dengan mengingatkan bahwa perubahan yang bisa terjadi pada alam bisa pengaruh jelek juga bisa baik. Pertemuan kedua Pembelajaran diprai dengan memberikan masalah sifat dan perubahan wujud benda melalui LKS pada tiap kelompok. Aktifitas kegiatan siswa lebih teratur dan lebih aktif dibanding pertemuan pertama. Ada kelompok
210, J-TEQIP, Tahun V, Nomor 2, November 2014
yang kesulitan menjawab masalah pada LKS, maka peneliti memberinya scaffoldding dengan cara meminta siswa mengingat kembali pengertian penguapan, pencairan, pengembunan, dan pembekuan dan meminta siswa memberikan contohcontohnya. Berdasarkan data yang telah terkumpul selama tindakan siklus I, dapat disimpulkan bahwa: 1. Hasil tes pra tindakan menunjukkan bahwa 63% siswa mencapai ketuntasan. Sedangkan hasil tes setelah tindakan menunjukkan bahwa 70% siswa dikelas mencapai ketuntasan. 2. Nilai rata-rata aktivitas guru sebelum tindakan adalah 81,75% dan nilai ratarata aktivitas peneliti selama tindakan adalah 83,83% atau berada pada kategori baik.. 3. Nilai rata-rata aktivitas belajar siswa sebelum tindakan adalah 74% dan nilai rata-rata aktivitas belajar siswa selama tindakan adalah 75,17%. Hal ini menunjukkan bahwa kriteria yang menyatakan persentase rata-rata hasil pengamatan aktivitas belajar siswa selama tindakan minimal 80% (dalam kategori baik/sangat baik) belum tercapai dan persentase rata-rata hasil pengamatan aktivitas belajar siswa selama tindakan lebih tinggi dari pada persentase rata-rata hasil pengamatan aktivitas belajar siswa sebelum tindakan juga belum tercapai. 3. Siklus II Pertemuan pertama, pembelajaran diprai dengan meminta siswa memperhatikan masalah yang ada dalam LKS. Selama siswa bekerja, peneliti berkeliling untuk memonitor aktivitas siswa. Dari hasil pengamatan peneliti tampak bahwa secara umum lebih terampil dibandingkan pada siklus I. Kerjasama antar kelompok lebih aktif dibandingkan dengan siklus I. Kepercayaan diri masing-masing siswa
lebih tampak dibandingkan dengan siklus I hal ini terlihat dari penyelesaian LKS diberikan oleh peneliti. Pertemuan kedua, Pembelajaran diawali dengan memberikan masalah pada gambar melalui LKS pada tiap kelompok. Semua siswa dalam kelompok terlibat aktif dalam kegiatan belajar. semua anggota kelompok terlibat aktif dan mampu bekerjasama dengan baik. Seperti halnya pertemuan pertama, kepercayaan diri siswa juga tinggi hal ini tampak dengan tidak adanya pertanyaan-pertanyaan seperti halnya pada siklus I Berdasarkan data-data yang telah terkumpul selama tindakan siklus II, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Hasil belajar siswa pada akhir tindakan siklus II menunjukan 90% mencapai ketuntasan minimal artinya dan persentase siswa yang memperoleh nilai lebih atau sama dengan ketuntasan minimal pada siklus II lebih tinggi dari pada persentase I. 2. Para pengamat menilai bahwa aktivitas pembelajaran yang dilakukan peneliti pada siklus I berlangsung baik dengan rata-rata 83,83%, sedangkan nilai rata-rata aktivitas peneliti pada siklus II adalah 93% atau berada pada kategori sangat baik. 3. Penilaian para pengamat terhadap aktivitas belajar siswa pada siklus I berada pada kategori cukup dengan nilai rata-rata pencapaian 75,17%. Sedangkan penilaian pengamat terhadap aktivitas belajar siswa pada siklus II sudah berjalan baik dengan nilai rata-rata pencapaian 89,5%. Berdasarkan analisis data yang diuraikan di atas, disimpulkan bahwa siklus II telah mencapai kriteria keberhasilan, baik dari segi proses maupun hasil. Dengan demikian siklus II tidak perlu diperbaiki. Beberapa temuan penelitian pada peneliti dan siswa adalah sebagai berikut:
Rosdiati, Penerapan Model Problem Based Learning dengan Teknik Scaffolding, 211
1. Awal pembentukan kelompok agak pasif dan ribut, diskusi kelompok pada siklus I awalnya kurang efektif karena ada kelompok yang anggotanya bekerja sendiri dan yang lain hanya menunggu dan main 2. Penggunaan waktu tidak sesuai dengan yang direncanakan dalam RPP 3. Penelitian ini telah menghasilkan langkah-langkah pembelajaran dengan menerapkan problem based learning dengan teknik scaffolding. 4. Berdasarkan hasil tes, hasil observasi guru, hasil observasi siswa, dan hasil wawancara terhadap subyek wawancara, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar siswa terhadap subtema wujud benda dan cirinya meningkat. PEMBAHASAN Berdasarkan observasi awal, ditemukan bahwa kegiatan pembelajaran di kelas kurang membuat siswa aktif, baik dalam bertanya kepada guru maupun menjawab pertanyaan dari guru. Siswa juga sering melakukan aktivitas-aktivitas lain yang kurang mendukung kegiatan belajar mengajar seperti berbicara dengan teman, mengganggu temannya yang lain. Ditemukan pula bahwa siswa kurang berkonsentrasi dan kurang bersemangat dengan belajar. Hal ini akan membuat kualitas pembelajaran kurang baik dan berdampak pada hasil belajar siswa yang kurang memuaskan. Setelah dilakukan tindakan pada siklus pertama dengan memberikan masalah melalui gambar, siswa terlihat mulia aktif. Hasil belajar siswa pada siklus pertama menunjukkan peningkatan dari pra tindakan yaitu dari 63% menjadi 70%, namun hasil tersebut belum menunjukkan ketuntasan secara klasikal sebab ketuntasan klasikal dapat dicapai minimal 85% Sedangkan pada siklus II siswa lebih aktif dan kerjasama antar siswa
dalam kelompok lebih terjalin. Sehingga dalam proses belajar dan penyelesaian masalah lebih percaya diri dan lebih terampil. Hal ini bisa dilihat dari hasil belajar siswa pada siklus II menunjukkan peningkatan dari tindakan siklus I yaitu dari 70% menjadi 90%. Bisa disimpulkan siklus II ini mencapai ketuntasan secara klasikal. Dengan pemberian scaffolding mampu membuat siswa lebih aktif dan mampu meningkatkan hasil belajar siswa. Hal ini bisa dilihat dari hasil belajar yang dicapai dari tindakan pada siklus I dan tindakan pada siklus II. Berdasarkan keadaan tersebut perlu diterapkan pembelajaran problem-based learning dengan teknik scaffolding yang dapat menjadi solusi yang tepat untuk mengatasi masalah tersebut. Sebab model pembelajaran problem-based learning adalah model pembelajaran yang dirancang agar peserta didik mendapat pengetahuan penting, yang membuat mereka mahir dalam memecahkan masalah, dan memiliki model belajar sendiri serta memiliki kecakapan berpartisipasi dalam tim. Pembelajaran berbasis masalah merupakan sebuah model pembelajaran yang menyajikan masalah kontekstual sehingga merangsang peserta didik untuk belajar. Dalam kelas yang menerapkan pembelajaran berbasis masalah, peserta didik bekerja dalam tim untuk memecahkan masalah dunia nyata (real world). Pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu model pembelajaran yang menantang peserta didik untuk “belajar bagaimana belajar”, bekerja secara berkelompok untuk mencari solusi dari permasalahan dunia nyata. Sehingga dengan model pembelajaran ini siswa semakin aktif di dalam belajar. Upaya untuk memperbaiki tindakan pembelajaran adalah dengan pembelajaran teknik scaffolding. Pemberian tindakan ini diharapkan akan meningkatkan hasil belajar ekonomi serta mengubah sifat pasif
212, J-TEQIP, Tahun V, Nomor 2, November 2014
siswa pada saat proses pembelajaran. Untuk itu diperlukan fasilitas pendukung seperti rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) dengan model pembelajaran problem-based learning teknik scaffolding, lembar catatan lapangan, angket siswa, alat dokumentasi (kamera) serta tes . Menurut Mc Kenzie (1999) karakteristik dalam pembelajaran scaffolding yang diungkapkan oleh yaitu : scaffolding memberikan petunjuk yang jelas, menjelaskan tujuan-tujuan pembelajaran, menunjukkan siswa pada tugasnya, mengadakan evaluasi pembelajaran, efisien waktu yaitu mengerjakan tugas tepat waktu dan sesuai dengan langkah yang ditunjukkan, proses pembelajaran dilakukan sesuai dengan rencana pembelajaran dan guru memberikan bantuan-bantuan tidak hanya berupa pemecahan masalah, tapi juga motivasi sehingga siswa lebih mudah mengerjakan tugas-tugasnya. Selain itu Slavin mengungkapkan bahwa “Scaffolding merupakan pemberian sejumlah bantuan kepada peserta didik selama tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah ia dapat melakukannya”. Keaktifan siswa dalam belajar baik pada siklus I maupun II lebih terlihat. Sebab aktivitas bersama dalam kelompok dapat saling menguntungkan, karena masing-masing anggota kelompok saling memberi bantuan dan masukan dalam meningkatkan pemahamannya tentang konsep irisan, gabungan, dan selisih dua himpunan. Anggota kelompok yang kurang mampu bertanya kepada anggota kelompok yang lebih mampu mengenai hal-hal yang belum dipahami. Sedangkan siswa yang lebih mampu telah bertambah pemahamannya melalui proses menjelaskan kepada anggota yang kurang mampu.. Hal ini sesuai pendapat Vygotsky bahwa
anak berada pada zona perkembangan proximal (zone of proximal development) yaitu selain guru, teman sebaya yang lebih pintar juga akan memberikan bantuan kepada siswa yang berkemampuan dibawahnya. Vygotsky juga menekankan pembelajaran pada pentingnya interaksi sosial dengan orang-orang lain yang punya pengetahuan lebih baik dan sistem yang secara kultural telah berkembang dengan baik (Slavin,2008:60). Oleh karena itu, pembelajaran ini dapat berjalan dengan baik dan lancar karena siswa telah saling memberikan ide-idenya sesuai dengan kemampuannya. Siswa diajak memberi dan menerima sumbangan gagasan siswa lain. Gagasan siswa perlu dihargai agar terjadi pertukaran ide dalam proses pembelajaran. Setiap siswa memproduksi dan mengkonstruksi gagasan mereka sehingga proses pembelajaran menjadi produktif dan konstruktif. Streefland(1991) menekankan bahwa dengan produksi dan konstruksi, siswa terdorong untuk melakukan refleksi pada bagian yang mereka sendiri anggap penting dalam proses pembelajaran. Sebagai moderator guru mengarahkan siswa membandingkan dan mendiskusikan jawaban kelompoknya dengan jawaban kelompok lain. Guru menyeleksi berbagai pendapat dan menghargai jawaban informal siswa sebelum mereka mencapai bentuk formal. Guru memberi komentar, pertanyaan, atau mengkonfrontasikan jawaban kelompok satu dengan kelompok lainnya sehingga mengarah pada jawaban yang diinginkan. Kelompok yang jawabannya benar akan diberikan penghargaan berupa pujian dan aplausan. Penghargaan ini membuat siswa dalam kelompok tersebut merasa senang dan termotivasi dalam belajar. Berdasarkan hasil diskusi kelas, guru bersama siswa membuat kesimpulan. Guru mengarahkan siswa melalui beberapa pertanyaan untuk sampai
Rosdiati, Penerapan Model Problem Based Learning dengan Teknik Scaffolding, 213
pada konsep atau algoritma. Hal ini sesuai pendapat Degeng (1997:28) bahwa membuat rangkuman/kesimpulan dari apa yang telah dipelajari perlu dilakukan untuk mempertahankan retensi. Berdasarkan hasil analisis data penelitian diperoleh bahwa terjadi peningkatan prestasi belajar siswa pada siklus I dan siklus II. Hasil ini dilihat berdasarkan hasil tes, hasil pengamatan, dan hasil wawancara. Penerapan pembelajaran model problem based learning teknik scaffoldding secara keseluruhan telah sesuai dengan harapan. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah pembelajaran dimulai dengan pemberian
masalah nyata (real world), menggunakan LKS, dan kegiatan yang dapat membuat siswa semangat belajar. Kerja tim dalam kelompok dapat membantu siswa yang belum menguasai materi sehingga dapat menambah pengetahuan. Hal ini seperti pendapat TIM MKPBM (2001:217) yang menyatakan kerja sama dalam kelompok akan dapat membantu siswa meningkatkan sikap positif terhadap matematika. Kerja kelompok juga dapat meningkatkan berfikir kritis serta meningkatkan kemampuan siswa dalam pemecahan masalah. Beberapa kendala yang dihadapi beserta solusinya dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1. Kendala dan Solusi Selama Pelaksanaan Pembelajaran PBL Teknik Scaffolding
Kendala
Solusi
Peneliti kesulitan menemukan masalah Banyak membaca, diskusi dengan teman, dunia nyata (real world) yang mampu pembimbing, validator, dan siapa saja membuat siswa tertarik dan mudah untuk yang peneliti anggap bisa membantu. diberikan teknik scaffolding. Pembelajaran problem based leraning Guru harus menemukan teknik scaffolding teknik scaffolding membutuhkan waktu secara tepat dan efisien sehingga waktu yang relatif lama, sebab guru harus pemberian scaffolding bisa diminimalisir berkeliling ke seluruh kelompok dan melihat serta mengarahkan dan membimbing satu per satu kesulitan siswa.. PENUTUP Kesimpulan Bertolak dari temuan penelitian dan pembahasan sebelumnya secara umum dapat disimpulkan sebagai berikut. Hasil tes pra tindakan, siklus I, dan siklus II berturut-turut adalah 63%, 70%, dan 90% siswa mencapai ketuntasan klasikal. Hasil rata-rata aktivitas guru sebelum tindakan, siklus I, dan Siklus II bertututturut adalah 81,75%, 83,83%, dan 93% atau berada pada kategori sangat baik. Hasil rata-rata aktivitas belajar siswa
sebelum tindakan, siklus I, dan siklus II adalah 74%, 75,17%, dan 89,5%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penerapan pembelajaran problem based learning teknik scaffolding dapat meningkatkan hasil belajar IPA siswa kelas V khususnya subtema I wujud benda dan cirinya . Saran Berdasarkan hasil dan pembahasan sebelumnya, saran yang perlu disampaikan adalah sebagai berikut. 1. Bagi Sekolah
214, J-TEQIP, Tahun V, Nomor 2, November 2014
Bagi SD Negeri 02 Dompu dapat menggunakan strategi pembelajaran problem based learning teknik scaffolding untuk diterapkan dalam pembelajaran sebagai alternatif strategi pembelajaran yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa. 2. Bagi Guru Bagi guru yang ingin meningkatkan kualitas pembelajaran IPA secara khusus pada subtema 1 wujud benda dan cirinya untuk meningkatkan hasil belajar disarankan menerapkan pembelajaran problem based learning teknik scaffolding 3.
3. Bagi Peneliti Lain Bagi peneliti lain yang ingin meneliti tentang penerapan pembelajaran problem ba-sed learning teknik scaffolding diharapkan dapat mencobanya pada objek lain dengan topik yang berbeda karena penelitian ini hanya dilaksanakan pada siswa kelas V SD Negeri 02 Dompu dengan subtema 1 wu-jud benda dan cirinya. Selain itu peneliti selanjutnya bisa melakukan penelitian ti-dak hanya pada aspek kognitif, tapi pada aspek lain yaitu psikomotor maupun afek-tif sebagaimana tuntutan kurikulum 2013.
DAFTAR PUSTAKA Anghileri, J. 2006. Scaffolding Practices That Enhance Mathematics Learning. Journal of Mathematics Teacher Education. 9:33–52 Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Cahyono, Adi Nur. 2010. Vygotskian Perspective: Proses Scaffolding untuk mencapai Zone of Proximal Development (ZPD). Degeng, I.N.S. 1997. Strategi Pembelajaran Mengorganisasikan Isi dengan Elaborasi. Malang: IKIP Malang. Echevarria, Vogt. dan Short. 2004. Scaffolding Techniques in CBI Classroms (Online), (http://www.carla.umn.edu/cobaltt/ modules/strategies/scaffolding_tec hniques.pdf) diakses tanggal 2 Februari 2012. Hayinah. 1993. Masalah Belajar dan Bimbingan. Malang: IKIP Malang. Lambas, dkk. 2004. Materi Pelatihan Terintegrasi. Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional. Maryanto, dkk. 2014. Benda-Benda Dilingkungan Sekitar Kita Tema
1.Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Mc. Kenzie, Jamie. 1999. Beyond Technology: Questioning Researce and The Information Literate School Community, Chapter 19 – Scaffolding For Succes, (online), (http://www.google.com, diakses 10 Pebruari 2012) Pribadi, A. B. 2009. Model Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta: Dian Rakyat PT Rosdakarya. Slavin, R. E. Tanpa tahun. Psikologi Pendidikan Teori dan Praktik. Edisi kedelapan Jilid 1. Terjemahan oleh Marianto Samosir. 2008. Jakarta: PT Indeks. Streefland, L. 1991. Realistic Mathematics Education in Primary School. Utrecht: Freudenthal Institute. TIM Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. 2014. Materi Pelatihan Kurikulum 2013. Jakarta : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. TIM MKPBM. 2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.