Penerapan Kemashlahatan Dalam Perkara Hadlonah Oleh : Drs. H. Musfizal Musa, SH. MH.
Peradilan Agama mengaalami pasang surut adakalanya wewenang dan kekuasaan yang dimilikinya sesuai dengan nilai-nilai Islam dan kenyataan yang ada dalam masyarakat, pada kesempatan lain kekuasaan dan wewenangnya dibatasi dengan berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangn, bahkan sering kali mengalami rekayasa dari penguasa dan golongan masyarakat tertentu agar posisi pengadilan agama melemah. Lahirnya Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman dan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan memperkokoh keberadaan pengadilan agama. Suasana cerah kembali mewarnai pengadilan agama di Indonesia dengan keluarnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah memberikan landasan bagi pengadilan agama yang mandiri, sederajat dan sejajar dengan lingkungan peradilan lainnya. Dengan kata lain, kedudukan peradilan agama sebagai lembaga peradilan (court of law) baru dapat terlaksana dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tanggal 29 Desember 1989. Kewenangan absolute peradilan agama semakin meluas dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 3 tahun 2006. Kompetensi peradilan agama bukan saja mengenai perkara-perkara perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan sodaqoh, tetapi juga perkara ekonomi syariah. Tetapi kewenangan ini digerogoti dengan terbitnya Undangundang nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Penggerogotan ini terjadi karena penjelasan pasal 59 ayat (1) Undang-undang tersebut, yaitu pelaksanaan putusan arbitrase syariah oleh pengadilan negeri seharusnya menurut Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 oleh pengadilan agama. Salah satu kewenangan pengadilan agama adalah perkara hadhonah. Perkara hadhonah dapat diajukan tersendiri dan dapat pula diajuakan bersama-sama dengan perkara perceraian. Secara umum pengadilan dalam pertimbangan hukunya selalu mengaitkan ketentuan syar’I untuk menetapakan hak hadhonah, yaitu hadits nabi yang diriwayatakan oleh An-Nasa’I dan Abu Daud : Anti Ahaqqu Bihi Ma Lam Tankahi.
1
Masalah Dalam makalah ini penulis ingin melihat dan membahas salah satu perkara yang terjadi sekitar tahun 1994, yaitu putusan Pengadilan Agama Bekasi dikuatkan oleh putusan Pengadilan Tinggi Agama Bandung dan kemudian oleh Mahkamah Agung putusan tersebut dibatalkan dengan alasan demi kepentingan dan kemashlahatan. Pembahasan ini dititik beratkan kepada sampai sejauh manakah prinsip kemashlahatan itu dipertimbangkan oleh hakim. Apakah kemashlahatan sudah suitable dengan prinsip kemaslahatan dalam hukum Islam. Untuk pembahasan ini penulis menguraikan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan kemaslahatan hadhonah, kemudian baru masuk ke dalam masalah analisa tentang prinsip kemaslahatan dalam perkara hadhonah.
Kemashlahatan Malik bin Anas (93 H – 179 H) dipandang sebagai ulama pertama yang menggunakan istilah maslahah, lengkapnya maslahah al mursalah. Dia menjadikannya salah satu dalil Syar’i. metode Al-Mursalah menunjukan bahwa meskipun kemaslahatan itu tidak tercantum secara eksplisit dalam nash, tetapi semangatnya yang dimiliki dengan maksud syar’I yakni shalihun likulli ‘ibadin1. Berdasarkan penelitian empiris, nash Al Qur’an dan Al Hadits diketahui bahwa hukum syariat Islam mencakup diantaranya pertimbangan kemashlahatan manusia2. Al Ghazali (485H-505H) berkata bahwa maksud syariat adalah menjaga dan mengambangkan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Kelima hal pokok inilah yang merupakan mashlahah menurut syar’i sekaligus manusia3. Kata Al mashlahat dengan berbagai variasinya terdapat sebanyak 177 kali dalam Al Qur’an4.
1
Mustafa Zaid, Al-Maslahah fi At-Tasyri Wa Najam Ad-diin At-Tufi, Daar Al-Fikr Al-Aribi, Beirut, 1964, hal. 48. 2 Prof. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Terjemahan Saefullah dkk, Pustaka Firdaus, 2000, Hal. 423. 3 Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Al-Mustasyfa fiil Al-Ishlah, Dar Al-Ilmiah, Beirut 1983, hal. 286. 4 Muhammad Fuad Abdul Baqi Al-Mujam Al-Mufahros Lil Ihfadz Al-Qur’an Al-Karim, Dar As-Sya’bi, Kairo, hal. 410-412.
2
Kemashlahatan yang dituju adalah kemashlahatan yang bersifat menetapkan nilainilai keadilan yang islami, menyangkut derajat martabat kemanusiaan sebagai makhluk Allah paling tinggi derajatnya daripada makhluk-makhluk yang lain. Manuisa sebagai khalifah di bumi yang untuk mengabdi kepada Allah SWT. Dan karena itu oleh prof. Muhammad Abu Zahrah dalam bukunya Ushulul Fiqh mengatakan bahwa mashlahatnya yang mu’tabarah ialah mashlahat yang bersifat hakiki, yaitu meliputi lima jaminan dasar : 1. Keselamatan Keyakinan Agama. 2. Keselamatan Jiwa. 3. Keselamatan Akal. 4. Keselamtan Keturunan. 5. Keselamatan harta Benda5. Keselamtan keyakinan agama merupakan keselamtan yang bersifat daruri artinya pemeliharaan keyakinan agama termasuk dalam persoalan yang paling tinggi nilainya untuk dijaga. Keyakinan agama pertaruhannya nyawa, artinya demi menjaga keyakinan agama, rela manusia berkorban jiwa. Peringkat kedua dari penjagaan yang bersifat daruri adalah jaminan keselamatan jiwa. Termasuk dalam cakupan ini, jaminan keselamatan, anggota badan dan kehormatan martabat manusia. Peringkat ketiga yang mendapat perhatian agama dalam penjagaan dan pemeliharaannya adalah keselamatan akal yaitu terjaminnya akal fikiran dari kerusakan yang menyebabkan orang yang bersangkutan tak berguna di tengah-tengah masyarakat. Upaya pencegahan yang bersifat preventif yang dilakukan syariat Islam ditujukan untuk meningkatkan kemampuan akal dan menjaga diri berbagai hal yang membahayakan. Selanjutnya peringkat keempat yang mendapat perhatian dalam pemeliharaan dan penjagaan adalah keselamatan keturunan, yaitu jaminan kelestarian populasi umat manusia agar tetap hidup dan berkembang sehat dan kokoh. Hal itu dapat dilakukan melalui
5
Prof. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Terjemahan saifullah Ma’shun, dkk, Pustaka firdaus, 7000, hal 475
3
penataan kehidupan rumah tangga dengan memebrikan pendidikan dan kasih saying kepad anak-anak agar memiliki kehalusan budi pekerti dan tingkat kecerdasan yang memadai. Peringkat kelima yang perlu mendapat perhatian dalam penjagaan dan pemeliharaan adalah jaminan keselamatan harta benda yaitu dengan mencari rezeki yang halal bukan dengan cara yang lalim dan curang. Dalam pelaksanaannya kelima prinsip penjagaan itu berjalan secara gradual. Peringkat pertama harus didahulukan dilaksanakan daripada peringkat kedua, peringkat kedua harus didahulukan pelaksanaannya daripada peringkat ketiga dan begitu seterusnya. Para ulama memberikan istilah dalam graduasi ini dalam 3 (tiga) tingkat yaitu : 1.
Ad Dharury
2.
Al Hajj
3.
Tahsiny
Darury yaitu segala yang bersangkutan kepentingan yang santa mendesak dibutuhkan manusia. Bilamana tidak dipenuhi kebutuhan itu menyebabkan manusia kehilangan nyawa, kehilangan hakikat dan martabat kemanusiaan. Al Hajj yaitu semua kebutuhan manusia tetapi tidak sampai pada tingkat daruri artinya, bila tidak dipenuhi tidak menyebabkan membahayakan kepada nyawa dan hakekat serta martabat kemanusiaan. Tahsiny yaitu semua kebutuhan manusia yang bersifat pelengkap, kosmetik dan keindahan.
Hadhonah Hadhonah dalam perspektif Islam menempati satu dari beberapa konsep perwalian yang pengaturannya sangat jelas. Sejak anak dalam rahim ibunya ia telah memiliki akhliyah wajib naqishah. Yaitu kepantasan untuk memiliki hak-hak. Janin berhak memiliki warisan, wakaf dan lain-lainnya disamping secara pasti ia memiliki nasab orang tuanya. Semua hak tersebut akan berlaku secara efektif apabila telah lahir. Masalah hadhonah telah banyak dibicarakan dalam kitab-kitab fiqh klasik maupun dalam kontemporer dengan berbagai paradigm dan konsep. 4
Di Indonesia masalah-masalah hadhonah diatur dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam kata hadhonah secara etimologi berarti al-Janb yang berarti disamping atau berada dibawah ketiak atau juga berarti meletakan sesuatu dekat tulang rusuk seperti menggendong, meletakan dalam gendongan6. Hadhonah secara terminology yaitu melayani anak kecil untuk mendidik dan memperbaiki kepribadiannya oleh orang-orang yang berhak mendidiknya pada usia tertentu yang ia tidak sanggup melakukannya sendiri7. Hadhonah merupakan kewenangan untuk merawat dan medidik orang yang belum mumayyiz. Timbulnya masalah hadhonah adakalanya disebabkan karena oleh perceraian atau karena meninggal dunia dimana anak belum dewasa dan tidak mampu mengurus diri mereka, karenanya diperlukan adanya orang-oarang yang bertanggung jawab untuk merawat dan medidik anak tersebut. Ulama fiqh sepakat mengatakan bahwa prinsipnya merawat dan mendidik adalah kewajiban bagi kita orang tua8, karena bila anak masih kecil maka akan berakibat rusak pada diri dan masa depan mereka bahkan bias mengancam eksistensi jiwa meraka. Oleh sebab itu anak-anak tersebut wajib di pelihara, dirawat dan dididik dengan baik. Ulama fiqh berbeda pendapat dalam meletakan siapa yang memiliki hak hadhanah, apakah hak hadhanah untuk ibu atau hak anak yang diasuh. Menurut Ibnu Rusyd, hadhanah diatur tertibnya menurut konsep kedekatan dan kelemah lembutan bukan dengan dasar kekuatan perwalian, seperti nikah, mawali, shalat jenazah, wala’, walad dan warisan. Bisa saja orang tidak mewarisi tetapi berhak hadhanah seperti orang yang diberi wasiat, adik perempuan ayah, adik perempuan ibu, anak saudara laki-laki dan anak saudara perempuan. Bias saja orang yang mewarisi tetapi tidak berhak
6
Satria Efendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga islam Kontemporer, Jakarta-Kencana, 2004, hal 166. Muhammad Husain Zahabi, Al-Syariah Al-Islamiyah : Dirasah Muqaranah baina Mazahib As-Suannah wa AlMazahib Al-Ja’fariyah, Darul Kutub Al-Haditsah, tth, hal 398 8 Ibid, hal 170 7
5
hadhanah seperti suami isteri orang yang diasuh dan perwalian karena memerdekakan budak9. Ulama hanafiah berpendapat bahwa mengasuh, merawat, dan mendidik anak merupakan hak pengasuh baik laki-laki maupun permpuan, akan tetapi lebih diutamakan kepada pihak perempuan karena biasanya lebih mampu mencurahkan kelembutan dan kasih saying serta membimbing anak sedangkan laki-laki biasanya hanya punya kemampuan dan kewajiban untuk menjaga, melindungi memberikan yang terbaik kepada anak secara fisik. Wahbah Zuahaili berpendapat hak hadhanah merupakan hak berserikat untuk ibu, ayah dan anak. Apabila terjadi pertentangan antara ketiga orang ini maka di prioritaskan adalah hak anak yang diasuh. Dalam pengertian diserahkan kepada anak untuk memilih siapa yang akan mengasuhnya. Tampaknya KHI menggabungkan pendapat beberapa pakar fikih di dalam menentukan siapa yang berhak sebagai pemegang hak hadhonah. KHI memberikan criteria anak kepada dua macam yaitu anak yang belum mumayiz dan anak yang sudah mumayiz. Dalam pasal 105 KHI ditentukan bahwa bagi anak yang belum mumayiz atau belum berumur 12 tahun, hak hadhonah dipegang oleh ibu. Dan bagi yang sudah mumayiz, hak hadhonah diserahkan kepada anak untuk menentukan pilihannya, apakah ibu atau kepada bapak. Dalm undang-undang perlindungan anak yaitu UU No 23 tahun 2002, pasal 14 mengatur tentang hak hadhonah, pasal 14 menyatakan : setiap anak berhak diasuh oleh kedua orang tuanya sendiri kecuali jika ada alasan dan/ atau aturan hukum yang sah menunjukan bahwa pemisahan itu adalah untuk kepentingan terbaik bagi anak, yang dimaksud dengan anak dalam undang-undang ini adalah seseorang yang berusaha 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Undang-undang ini tidak menjelaskan apa maksud kepentingan terbaik bagi anak dan juga tidak memerinci lebih lanjut apa saja kepentingan itu, apakah kepentingan jasmani dan rohani, kepentingan materil atau kepentingan immaterial. Dan juga tidak memerinci mana yang didahulukan bilamana ada perbenturan beberapa kepentingan.
9
Ibnu Rusyd, Maqaddimah Ibn Rusyd, Darul Fikr, tth, Juz II, hal 258-259
6
Kasus Hadhanah di Pengadilan Agama Pada tahun 1994, Pengadilan Agama Bekasi memutus satu perkara gugatan perceraian yang dikomulasikan dengan gugatan hadhonah. Perkara itu tercatat dalam perkara nomor : 099/Pdt.G/1994/PA.Bks antara seorang perempuan Rita Farida, umur 35 tahun, Agama Kristen sebagai Penggugat dan Jurindo Rasyid, umur 48 tahun, agama Islam sebagai tergugat. Penggugat memohon kepada Pengadilan Agama Bekasi memutuskan bahwa anak dirawat oleh Penggugat sampai anak berumur 7 (tujuh) tahun dengan pertimbangan anak masih kecil. Hakim juga dalam menentukan hak hadhanah tidak melihat apakah ibu islam atau tidak, kenapa sampai batas umur 7 (tujuh) tahun (tidak sampai umur mumayyiz atau 12 tahun) karena anak umur 7 (tujuh) tahun sudah bias makan, minum, nerpakaian dan tidur sendiri. Kemudian putusan tersebut dikuatkan oleh Pengadilan tingkat banding. Dengan putusannya Pengadilan Tinggi Agama Bandung, menguatkan putusan Pengadilan Agama Bekasi dengan mengambil alih pertimbangan Hakim tingkat pertama. Putusan tersebut bernomor 34/Pdt.G/1995/PTA.Bdg. Dalam tingkat Kasasi, Mahkamah Agung dalam putusannya nomor : 302 K/AG/1995 tanggal 26 maret 1997, membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Agama Bandung, dengan pertimbangan Yudex Factie telah salah menerapkan hukum. Tidak mutlak mengatur anak yang belum mumayyiz harus dibawah pemeliharaan ibu akan tetapi kepentingan anak yang harus diutamakan. Mahkamah Agung berpendapat bahwa untuk kepentingan pemeliharaan dan pendidikan sudah sepatutnya anak tersebut dipelihara oleh Tergugat.
Analisa Putusan Putusan Pengadilan Agama Bekasi yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Agama Bandung, pertimbangannya sangat normative.
7
Normatifnya pertimbangan itu terlihat jelas dari pengambilan dasar hukumnya kepada Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa anak yang belum mumayyiz diasuh oleh ibu. Putusan Mahkamah Agung nampaknya sudah mempertimbangkan substansi kepentingan anak. Kepentingan anak yang dipertimbangkan, tetapi tidak berani terlalu jauh untuk
mempertimbangkan
kepentingan
apa
yang
harus
di
dahulukan.
Hanya
mempertimbangkan kepentingan pemeliharaan dan pendidikan anak. Hukum modern sudah berusaha untuk menuntaskan kepentingan-kepentingan itu, sebagai contoh : sejak dahulu sampai sekarang masih adanya perdebatan manayang didahulukan pakah keadilan atas kepastian hukum atau kemanfaatan. Gustaf seorang pakar hukum modern membuat langkah sebagai berikut : yang didahulukan pertama kali adalah keadilan kemudian baru menyusul kepastian hukum dan terakhir kemanfatan. Pendapat ini ditentang oleh Sarjana/ Pakar Hukum normative yang menyatakan bahwa kepastian hukum harus didahulukan daripada keadilan. Perdebatan ini tidak selesai-selesai. Timbul teori yang diadopsi dari ajaran Kristen yaitu teori antinomi, yaitu teori yang menyatakan bahwa bila ada beberpa kepentingan yang saling berhadapan, maka diselesaikan dengan jalan kompromi. Teori ini juga tidak dapat menyelesaikan masalah. Teori ini hanya ada dalam tatanan teori, tetapi dalam aplikasinya sangat sulit dilaksanakan. Dalam hukum Islam sudah ada teori yang dapat merumuskan dan menuntaskan adanya perbenturan beberapa kepentingan. Hukum Islam sejak dulu telah punya teori dan prinsip-prinsip bukan hanya sekedar tatanan teori tetapi juga sangat mudah dilaksanakan yaitu : teori Dharuri, Hajj, Tahsiny. Aplikasinya sangat mudah karena teori ini bersifat gradual, hal-hal yang bersifat dharuri harus dilakukan pelaksanaannya daripada yang bersifat Hajj. Yang Hajj harus didahulukan pelaksanaannya daripada yang bersifat Tahsiny. Bilamana saja Mahkamah Agung bias mengangkat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 dalam pertimbangannya. Yaitu bahwa kepentingan anak yang perlu dijaga untuk pertama kali adalah kepentingan keyakinan agamanya. Hal ini sesuai dengan fitrah manusia. Disinilah, menurut penulis keunggulan hukum Islam yang sesuai dengan fitrah manusia sebagai khalifah dimuka bumi dan abdi ALLAH SWT. 8
Kesimpulan Dalam analisa diatas, dapat dikatakanbahwa masalah yang dikemukakan sebelumnya telah terjawab dan dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Putusan Pengadilan Agama Bekasi dan Pengadilan Tinggi Agama Bandung belum mengungkapkan prinsip-prinsip kemaslahatan. 2. Putusan Mahkamah Agung pada prinsipnya sudah mengedepankan prinsip kemaslahatan tetapi belum menyentuh substansi kemaslahatan. 3. Putusan Mahkamah gaung telah sesuai dengan prinsip-prinsip Hukum islam. 4. Hukum Islam sudah punya teori dalam memecahkan kebuntuan perbenturan kemashlahatan.
9