PENENTUAN LAJU PENURUNAN MUTU PRODUK SUSU BUBUK TIPE-X PADA BERBAGAI SUHU DI PT FRISIAN FLAG INDONESIA, JAKARTA
SKRIPSI
ELISABETH SETYO F24070099
2011 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
DETERMINATION OF QUALITY DEGRADATION RATE OF MILK POWDER - TYPE-X AT VARIOUS TEMPERATURE IN PT FRISIAN FLAG INDONESIA, JAKARTA Elisabeth Setyo1 and Endang Prangdimurti1 Department of Food Science and Technology, Faculty of Agriculture Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO BOX 220, Bogor, West Java, Indonesia Phone: +62 817 273370, E-mail:
[email protected] 1
ABSTRACT One of the processed milk is milk powder. Milk powder contains many components of food and become a good nutrition source for the body but it can damage easily. Its needs to be identified how the quality degradation rate to prevent further deterioration of milk powder during storage. The objective of this research is determination of quality degradation rate of milk powder-type-X at various temperature. The products were kept at 30°C, 40°C, and 55°C for six weeks of storage. Initial analysis has been done to determine critical parameters that increased milk powder damaged. The results show free fat, peroxide value and insolubility index as major damaged of milk powder. Quality degradation rate of milk powder-type-X followed zero order reaction for free fat and insolubility index. Order reaction of peroxide value cannot be determined because the deterioration has not reached 50% of the final quality value. Deterioration of milk powder-type-X is influenced by internal conditions of milk powder, analysis procedures, and intensity of analysis. Based on models accuracy test with MRD value obtained zero order reaction of peroxide value at 30 oC, first order reaction of peroxide value at 55oC, and zero order reaction of free fat value at 40oC rather describe the quality degradation rate of milk powder-type-X. Keywords: milk powder, quality degradation rate, order reaction, MRD
Elisabeth Setyo. F24070099. Penentuan Laju Penurunan Mutu Produk Susu Bubuk Tipe-X pada Berbagai Suhu di PT Frisian Flag Indonesia, Jakarta. Di Bawah Bimbingan Endang Prangdimurti. 2011.
RINGKASAN Susu merupakan salah satu sumber gizi yang baik bagi manusia karena mengandung energi, protein, karbohidrat, lemak, mineral, vitamin, serta air sebagai bahan penyusun utama. Kandungan gizi yang tinggi menyebabkan susu mudah mengalami kerusakan sehingga susu sering diproses menjadi bentuk lain, salah satunya menjadi bentuk bubuk dengan pengeringan. Walaupun dalam bentuk bubuk, namun susu bubuk juga berpotensi untuk mengalami penurunan mutu. Oleh karena itu perlu ditentukan laju penurunan mutu susu bubuk, dalam hal ini susu bubuk tipe-X, dengan menetapkan ordo reaksinya. Dengan menentukan laju penurunan mutunya, kita dapat mengetahui faktor apa yang dapat mempengaruhi penurunan mutu dari susu bubuk dan seberapa cepat laju kerusakannya. Produk susu bubuk memiliki kadar lemak yang tinggi sehingga dapat memicu reaksi oksidasi lemak. Oksidasi akan menurunkan mutu susu bubuk baik secara fisikokimia maupun organoleptik karena akan menghasilkan off flavor yang dapat menurunkan penerimaan konsumen. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan laju penurunan mutu susu bubuk tipe-X berdasarkan parameter kritisnya pada berbagai suhu penyimpanan. Penelitian ini dibagi menjadi tiga tahap, yaitu yang pertama analisis awal untuk menentukan parameter yang paling cepat menurunkan mutu susu bubuk tipe-X. Setelah diketahui parameter yang paling mempercepat penurunan mutu susu bubuk kemudian tahapan yang kedua susu disimpan pada tiga suhu 30oC , 40oC, dan 55oC. Selanjutnya, sampel susu bubuk yang disimpan di tiga suhu tersebut akan dianalisis setiap minggunya dengan parameter yang telah ditentukan pada tahap 1 selama enam minggu. Tahapan yang ketiga adalah penentuan laju penurunan mutu susu bubuk tipe-X sesuai ordo reaksinya. Penentuan ordo reaksi bertujuan untuk mengetahui apakah konsentrasi pereaksi mempengaruhi laju penurunan mutu dari susu bubuk. Berdasarkan hasil analisis tahap satu didapatkan parameter yang paling cepat mempengaruhi penurunan mutu susu bubuk tipe-X adalah parameter bilangan peroksida, kadar lemak bebas, dan indeks non solubilitas. Berdasarkan hasil kurva regresi, ordo reaksi penurunan mutu susu bubuk tipeX untuk parameter kadar lemak bebas dan indeks non solubilitas mengikuti ordo reaksi nol sedangkan parameter bilangan peroksida tidak dapat ditentukan ordo reaksinya karena penurunan mutunya belum mencapai 50%. Hal ini menunjukkan bahwa laju penurunan mutu berdasarkan parameter kadar lemak bebas dan indeks non solubilitas tidak dipengaruhi oleh konsentrasi dan terjadi secara konstan. Ketiga parameter kritis menunjukkan nilai koefisien determinasi (R2) yang cukup rendah bahkan sangat kecil untuk bilangan peroksida yaitu kurang dari 0.1 pada suhu 30 oC. Hal ini menunjukkan bahwa penurunan konsentrasi berjalan lambat sehingga akhir reaksi sulit diperoleh. Apabila penurunan mutu belum mencapai 50%, maka sedikit sekali perbedaan yang diperoleh jika digunakan ordo reaksi nol atau ordo reaksi satu sehingga sebaiknya intensitas waktu pengukuran sampel diperpanjang. Selain itu, waktu pengujian juga dapat mempengaruhi nilai R2 yang kecil dimana waktu pengambilan data selama enam minggu masih kurang untuk mencapai 50% penurunan mutu dari susu bubuk tipe-X. Faktor lain yang juga diduga mempengaruhi rendahnya nilai R2 dan tingginya nilai RSD adalah faktor internal dari susu bubuk itu sendiri yang terdiri dari bermacammacam komponen dimana antar komponen tersebut saling mempengaruhi sehingga mempengaruhi
juga hasil akhir analisis, dan faktor kesalahan saat analisis dimana subyektivitas saat pengukuran mempengaruhi hasil akhir khususnya pada saat analisis indeks non solubilitas. Untuk mengetahui apakah model matematika dari ketiga parameter pada tiga suhu penyimpanan baik ordo reaksi nol maupun ordo reaksi satu tepat menggambarkan laju penurunan mutu susu bubuk tipe-X, maka dilakukan uji ketepatan model dengan menghitung nilai MRD-nya masing-masing. Nilai MRD menggambarkan kedekatan nilai konsentrasi penurunan mutu susu bubuk tipe-X hasil percobaan dengan model matematika hasil perhitungan. Semakin dekat nilai hasil percobaan dengan hasil perhitungan, maka model matematikanya semakin tepat yang ditandai dengan nilai MRD yang kecil yaitu kurang dari 5. Berdasarkan hasil perhitungan nilai MRD untuk seluruh parameter, diperoleh parameter bilangan peroksida ordo reaksi nol pada suhu 30oC, bilangan peroksida ordo reaksi satu pada suhu 55oC, dan kadar lemak bebas ordo reaksi nol pada suhu 40 oC memiliki nilai MRD antara 5 – 10 yang berarti model matematika dari ketiga parameter tersebut agak tepat menggambarkan laju penurunan mutu susu bubuk tipe-X.
PENENTUAN LAJU PENURUNAN MUTU PRODUK SUSU BUBUK TIPE-X PADA BERBAGAI SUHU DI PT FRISIAN FLAG INDONESIA, JAKARTA
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh ELISABETH SETYO F24070099
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Judul Skripsi Nama NIM
: Penentuan Laju Penurunan Mutu Produk Susu Bubuk Tipe-X pada Berbagai Suhu di PT Frisian Flag Indonesia, Jakarta : Elisabeth Setyo : F24070099
Menyetujui,
Pembimbing I,
(Dr. Ir. Endang Prangdimurti, M.Si.) NIP 19680723 199203 2 001
Mengetahui: Plt. Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,
(Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi) NIP 19610802 198703 2 002
Tanggal lulus :
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Penentuan Laju Penurunan Mutu Produk Susu Bubuk Tipe-X pada Berbagai Suhu di PT Frisian Flag Indonesia, Jakarta adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing akademik dan belum diajukan dalam bentuk apa pun pada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2011 Yang membuat pernyataan,
Elisabeth Setyo F24070099
BIODATA PENULIS
Elisabeth Setyo lahir di Yogyakarta, 17 November 1988 dari pasangan Ayah Alm. Stefanus Marsudi dan Ibu Rosalia Sumartini sebagai anak satu-satunya. Penulis menamatkan pendidikan jenjang SD di SDK Santo Markus II Jakarta (2001), jenjang SMP di SMPK Tarakanita Magelang (2004), jenjang SMA di SMAK Pangudi Luhur Van Lith Muntilan (2007), dan jenjang S1 di Institut Pertanian Bogor (2011) dengan Mayor Ilmu dan Teknologi Pangan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam beberapa organisasi seperti KeMaKI, Tim Pendamping, dan HIMITEPA sebagai pengurus maupun anggota serta kegiatan kemahasiswaan, antara lain Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan (2009-2010), BAUR (2009) dan HACCP (2009). Penulis mengikuti beberapa seminar nasional dan kegiatan PKMK yang didanai oleh Dikti (2011). Penulis pernah memperoleh Beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (2008-2009) dan Karya Salemba Empat (20092011). Sebagai tugas akhir, penulis melakukan penelitian yang berjudul “Penentuan Laju Penurunan Mutu Produk Susu Bubuk Tipe-X pada Berbagai Suhu di PT Frisian Flag Indonesia, Jakarta”.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Topik dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2011 ini adalah penyimpanan, dengan judul “Penentuan Laju Penurunan Mutu Produk Susu Bubuk Tipe-X pada Berbagai Suhu di PT Frisian Flag Indonesia, Jakarta”. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, yaitu: 1. Mom (Rosalia Sumartini) tercinta yang selalu menguatkan penulis dengan doa dan cintanya. Seluruh keluarga (Bu Tiek, Mas Eko, Mba Riris, Mba Nina, Mba Lila, Mba Rita) yang selalu memberikan motivasi pada penulis dan Sangkot VR Situngkir atas doa, semangat, nasehat dan kasih sayangnya. 2. Dr. Ir. Endang Prangdimurti, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, nasehat, masukan dan perhatiannya selama studi dan penelitian. 3. Elvira Syamsir, S.TP, M.Si dan Azis B. Sitanggang, S.TP, M.Sc selaku dosen penguji sidang yang telah memberikan arahan, kritik, dan saran bagi skripsi ini. 4. Pak Yadi Haryadi, Bu Dede R. Adawiyah, Pak Feri Kusnandar dan Pak M. Arpah atas masukannya untuk penelitian ini. 5. Mba Mirza R. Zulkarnain sebagai pembimbing lapang atas kritik dan sarannya. 6. Seluruh staf Divisi Research and Development PT Frisian Flag Indonesia, Mba Victoria Valentina, Mas Erik, Mba Nini, Mba Velia, Mba Astri, Mas Yuli, Mba Scheling, Mas Heri, Mba Reny, Mba Milka, dan Mas Dony. 7. Seluruh staf Quality Control PT Frisian Flag Indonesia, Pak Ahmad, Pak Ramdani, Pak Zulfi, Pak Hendra, Pak Jose, Pak Har, Pak Jafar, Pak Edi, Pak Aen, Pak Detril, Pak Dani, Mas Reza, dan Mas Welby. 8. Karya Salemba Empat yang telah membantu menyokong dana bagi penulis. 9. Trancy Chandra, Marisa, dan Amelinda Angela atas kebersamaan yang indah selama tiga tahun di perwira 45. 10. Rekan seperjuangan di Divisi RnD PT Frisian Flag Indonesia, Indri, Hans, Muly, dan Risa. 11. KeMaKI dan Tim Pendamping IPB, Keluarga Densus’08 tersayang (Sari, Ulin, Eny, Luci, Brury, Anton, Adian, Anti, Bambang, Manta, Rio, Ella, Chissy, Ayu, Dika), dan Ambrose yang senantiasa ada dalam suka dan suka. 12. Rekan-rekan ITP, terutama ITP 44, Suriah, Riffi, Dela, Chandra, Mike, Eliana, Reggie, Daniel, Melia, Dinda, Marvin, Ony, Siska, Leo, Vita, Dhina, Esti, Adi, Andrew, Bertha, Nipu, Tiara, Mei, Cherish, Nisa, Belinda, Amelia, Septi, Ricen, Nurina, Punjung, (Alm.) Rina dan temanteman ITP lainnya. 13. Seluruh staf pengajar di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, dan staf unit pelayanan terpadu yang luar biasa (Ibu Novi, Mba Anie) serta semua pihak lain yang belum disebutkan yang telah membantu. Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan . Terima kasih. Bogor, Agustus 2011
Elisabeth Setyo
iii
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR .................................................................................................................... iii DAFTAR TABEL .......................................................................................................................... vi DAFTAR GAMBAR .................................................................................................................... viii DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................................. viii I.
PENDAHULUAN……………………………………………………………………………..1 A. LATAR BELAKANG ...…..……………………………………………………………....1 B. TUJUAN PENELITIAN ............................................................................................... 2
II.
TINJAUAN UMUM PERUSAHAAN ................................................................................. 3 A. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PERUSAHAAN ................................................ 3 B. VISI DAN MISI ........................................................................................................... 3 C. LOGO .......................................................................................................................... 4 D. ORGANISASI DAN PENGELOLAAN ........................................................................ 4 E. LOKASI PERUSAHAAN ............................................................................................. 5 F. KETENAGAKERJAAN ............................................................................................... 5
III.
TINJAUAN PUSTAKA ……………………..……………..……………….………………...7 A. SUSU BUBUK ……………………………….…………………………………………...7 B. PENURUNAN MUTU PRODUK PANGAN …...…………………………………….….8 C. KINETIKA REAKSI ...………………………...………………………………………...10 1. Ordo Reaksi Nol ……………………………………….……………………………...11 2, Ordo Reaksi Satu …………………………………………….………………………..11
IV.
METODOLOGI PENELITIAN ………………………………...…………………….…….13 A. WAKTU DAN TEMPAT ……………………………………………………..…………13 B. BAHAN DAN ALAT ………………………………………………………...…………13 C. METODE PENELITIAN ……...…………………………………………..……………..13 1. Analisis fisikokimia awal ……………………………………………………………...13 2. Analisis fisikokimia sesuai parameter kritis ……………….. ………………………...18 3. Penetapan laju penurunan mutu ..……..…………………………………………….....19
V.
HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................................ 20 A. PENENTUAN PARAMETER MUTU KRITIS ...………………………….……………20 B. PENENTUAN LAJU PENURUNAN MUTU …………………………………...………21 1. Bilangan peroksida …………………………………………………………………….21 2. Kadar lemak bebas ……….. …………………………………………………………..25 3. Indeks non solubilitas ………………………………………………………………....28 C. UJI KETEPATAN MODEL ….………………………………………………………….30
iv
V.
PENUTUP ........................................................................................................................ 34 A. SIMPULAN ................................................................................................................ 34 B. REKOMENDASI ........................................................................................................ 34
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................... 35 LAMPIRAN ………………………………………………….……………………………………… 37
v
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1.
Komposisi (%w/w) pada beberapa susu bubuk …………..…………………………
7
Tabel 2.
Spesifikasi persyaratan mutu susu bubuk berlemak……….………………………...
8
Tabel 3.
Perbandingan hasil analisis susu bubuk dengan standar .....................................
20
Tabel 4.
Nilai mutu awal produk susu bubuk tipe-X berdasarkan beberapa parameter ……
21
Tabel 5.
Nilai proksimat susu bubuk tipe-X………………..………………………………....
21
Tabel 6.
Pengukuran larutan standar FeCl3…….………………………………………………..
22
Tabel 7.
Data pengukuran bilangan peroksida dalam satuan meq/kg sampel ……………….
23
Tabel 8.
Data pengukuran kadar lemak bebas dalam satuan % ………………………………
26
Tabel 9.
Data pengukuran indeks non solubilitas dalam ml ………………………………….
28
Tabel 10.
Hasil perhitungan nilai MRD ………………………………………………………..
31
vi
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1.
Logo Frisian Flag Indonesia ………………………………………………...
4
Gambar 2.
Standar scorched particle untuk susu bubuk……….…………………………
18
Gambar 3.
Alat ukur oksigen ……………………………………………………………
18
Gambar 4.
Grafik kurva standar FeCl3 …………………………………………………...
22
Gambar 5.
Grafik ordo reaksi nol parameter bilangan peroksida ……………………..
23
Gambar 6.
Grafik ordo reaksi satu parameter bilangan peroksida ……………………….
24
Gambar 7.
Grafik ordo reaksi nol parameter kadar lemak bebas ………………………...
26
Gambar 8.
Grafik ordo reaksi satu parameter kadar lemak bebas ………………………..
27
Gambar 9.
Grafik ordo reaksi nol parameter indeks non solubilitas……………………...
29
Gambar 10.
Grafik ordo reaksi satu parameter indeks non solubilitas …………………….
29
Gambar 11.
Kurva perbandingan data hasil percobaan dan hasil perhitungan parameter bilangan peroksida ordo reaksi nol pada suhu 30oC………………………….. Kurva perbandingan data hasil percobaan dan hasil perhitungan parameter bilangan peroksida ordo reaksi satu pada suhu 55oC ………………………… Kurva perbandingan data hasil percobaan dan hasil perhitungan parameter kadar lemak bebas ordo reaksi nol pada suhu 40oC ………………………….
Gambar 12. Gambar 13.
31 32 32
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1.
Spesifikasi Alat Pengukur Oksigen (Servomex Gas Analyzer) …………..
Lampiran 2.
Data hasil percobaan dan perhitungan parameter bilangan peroksida ordo reaksi nol …………………………………………………………………. Kurva perbandingan hasil percobaan dan perhitungan laju penurunan mutu susu bubuk tipe-X berdasarkan parameter bilangan peroksida ordo reaksi nol …………………………………………………………………. Data hasil percobaan dan perhitungan parameter bilangan peroksida ordo reaksi satu ………………………………………………………………… Kurva perbandingan hasil percobaan dan perhitungan laju penurunan mutu susu bubuk tipe-X berdasarkan parameter bilangan peroksida ordo reaksi satu ………………………………………………………………… Data hasil percobaan dan perhitungan parameter kadar lemak bebas ordo reaksi nol …………………………………………………………………. Kurva perbandingan hasil percobaan dan perhitungan laju penurunan mutu susu bubuk tipe-X berdasarkan parameter kadar lemak bebas ordo reaksi nol …………………………………………………………………. Data hasil percobaan dan perhitungan parameter kadar lemak bebas ordo reaksi satu ………………………………………………………………… Kurva perbandingan hasil percobaan dan perhitungan laju penurunan mutu susu bubuk tipe-X berdasarkan parameter kadar lemak bebas ordo reaksi satu ………………………………………………………………… Data hasil percobaan dan perhitungan parameter indeks non solubilitas ordo reaksi nol ……………………………………………………………. Kurva perbandingan hasil percobaan dan perhitungan laju penurunan mutu susu bubuk tipe-X berdasarkan parameter indeks non solubilitas ordo reaksi nol ……………………………………………………………. Data hasil percobaan dan perhitungan parameter indeks non solubilitas ordo reaksi satu …………………………………………………………… Kurva perbandingan hasil percobaan dan perhitungan laju penurunan mutu susu bubuk tipe-X berdasarkan parameter indeks non solubilitas ordo reaksi satu ……………………………………………………………
Lampiran 3.
Lampiran 4. Lampiran 5.
Lampiran 6. Lampiran 7.
Lampiran 8. Lampiran 9.
Lampiran 10. Lampiran 11.
Lampiran 12. Lampiran 13.
38 38
39
39
40
40
41
41
42
42
43
43
44
viii
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Susu merupakan salah satu sumber gizi yang baik bagi manusia karena mengandung energi, protein, karbohidrat, lemak, mineral, vitamin, serta air sebagai bahan penyusun utama. Kandungan gizi dan kadar air (87%) yang tinggi menyebabkan susu menjadi media pertumbuhan yang baik bagi mikroorganisme dan memicu terjadinya reaksi-reaksi kimia yang tidak diinginkan sehingga susu mudah mengalami kerusakan. Hal ini tentu sangat merugikan karena selain kaya akan kandungan gizi, susu juga banyak dimanfaatkan di industri pangan sebagai bahan baku maupun bahan tambahan. Pengolahan susu segar cair menjadi bubuk akan memberikan banyak keuntungan, yaitu meningkatkan total padatan pada susu, umur simpan, dan menurunkan biaya transportasi karena bobotnya yang ringan. Menurut data USDA (2010), konsumsi susu bubuk Indonesia meningkat 6.000 ton dari 106.000 ton menjadi 112.000 ton selama tahun 2009-2010. Data itu menunjukkan penerimaan masyarakat Indonesia akan susu bubuk cukup tinggi. Selain untuk dikonsumsi, susu bubuk juga banyak dimanfaatkan di industri pangan seperti industri bakery,permen, dan saus. Hal ini karena susu bubuk merupakan sumber nutrisi ekonomis bagi industri yang membutuhkan komponen gizi dari susu seperti lemak susu, mudah dalam transportasi dan penyimpanan, dan mudah direkonstitusi. Indonesia adalah negara beriklim tropis sehingga susu yang kaya nutrisi sangat rentan terhadap serangan mikroorganisme yang mempercepat kerusakannya. Oleh karena itu masyarakat lebih memilih susu dalam bentuk bubuk yang mana memiliki kadar air rendah serta lebih tahan lama sehingga dapat disimpan untuk jangka waktu lebih lama. Di negara yang produksi susunya terbatas seperti Indonesia, susu yang banyak beredar adalah susu rekombinasi. Susu rekombinasi adalah produk susu hasil pencampuran lemak susu dan padatan susu tanpa lemak dengan atau tanpa penambahan air. Pencampuran ini akan menghasilkan susu dengan komposisi lemak tertentu (Walstra 1982). Menurut Floros dan Gnanasekharan (1993), mekanisme penurunan mutu untuk produk susu bubuk adalah akibat penyerapan uap air dan oksidasi. Untuk produk susu bubuk dengan kadar lemak yang tinggi, kedua faktor tersebut menjadi sangat penting. Untuk itu peran kemasan sangatlah penting dalam melindungi produk susu bubuk. Kemasan dengan permeabilitas uap air yang rendah dapat menekan pengaruh kadar air dalam penurunan mutu susu bubuk sehingga faktor kritis yang perlu diperhatikan lebih lanjut adalah oksidasi. Oksidasi akan menurunkan mutu susu bubuk baik secara fisikokimia maupun organoleptik karena akan menghasilkan aroma tengik yang dapat menurunkan penerimaan konsumen. Salah satu upaya untuk memenuhi persyaratan mutu dalam rangka melindungi konsumen adalah dengan memberikan informasi mengenai umur simpan produk susu bubuk. Informasi tentang umur simpan merupakan hak konsumen seperti yang tertera dalam PP No. 69 Tahun 1999 tentang label pangan pada Bab II Pasal 2 dan 3 yang berisi bahwa setiap orang atau pihak yang memproduksi pangan untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada kemasan, dimana keterangan dalam label mencakup kewajiban untuk mencantumkan masa kadaluarsa produk. Sebelum dilakukan penetapan umur simpan suatu produk pangan, perlu diketahui laju penurunan mutunya terhadap kondisi lingkungan. Laju penurunan mutu akan ditentukan berdasarkan parameter kritisnya. Dengan menentukan laju penurunan mutunya, kita dapat
mengetahui faktor apa yang dapat mempengaruhi penurunan mutu dari susu bubuk dan seberapa cepat laju kerusakannya.
B. TUJUAN PENELITIAN Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan laju penurunan mutu susu bubuk tipe-X berdasarkan parameter kritisnya pada berbagai suhu penyimpanan.
2
II. TINJAUAN UMUM PERUSAHAAN
A. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PERUSAHAAN PT Frisian Flag Indonesia (FFI) merupakan perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan susu di Indonesia yang berada di bawah lisensi Royal FrieslandCampina, Belanda. Dengan perjalanan sejarah lebih dari 88 tahun di Indonesia, PT Frisian Flag Indonesia adalah pemimpin pasar di industri susu Indonesia yang berkomitmen untuk memproduksi produk susu berkualitas terbaik dan bernutrisi tinggi dan memberikan pelayanan terbaik bagi konsumen dan mitra usahanya. Semua ini dimulai di tahun 1922 dengan merk susu ”Friesche Vlag” atau yang lebih dikenal sebagai Susu Bendera diimpor dari Cooperative Condensfabriek Friesland di Belanda, yang kemudian berubah nama menjadi Royal Friesland Foods. Salah satu pengembangan Royal Friesland Foods adalah didirikannya PT Friesche Vlag Indonesia pada tahun 1969. Perusahaan ini berdiri dengan status penanaman modal asing dari Belanda dan memulai kegiatan usahanya dengan memasarkan produk-produk susu yang diimpor dari sana. Setelah sekian tahun mengimpor susu, pada tahun 1972 PT FVI memulai produksi lokalnya dengan produk komersial pertama berupa susu kental manis (SKM). PT Frisian Flag Indonesia menjalin kerja sama sinergi internasional dengan Royal Friesland Coberco Dairy Foods yang sekarang dikenal dengan nama Friesland Foods. Saham perusahaan ini dimiliki oleh PT Mantrust sebagai pihak nasional dan Friesland Foods dari Leeuwarden, Belanda. Untuk lebih meningkatkan kapasitas produksinya maka pada tahun 1976 perusahaan ini mengambil alih PT Foremost Indonesia yang juga merupakan produsen susu kental manis. Dalam perkembangannya, perusahaan ini mulai memproduksi susu bubuk pada tahun 1979, dan di bidang susu cair pada tahun 1991. PT FVI kemudian berubah nama menjadi PT Frisian Flag Indonesia (FFI) pada tahun 2002. Pada tahun 2008, perusahaan ini melakukan merger dengan perusahaan Campina dan membentuk organisasi kooperatif dengan nama Royal FrieslandCampina. PT FFI merupakan perusahaan pertama di Indonesia yang mendapatkan sertifikat ISO 9001/9002 dan disempurnakan dengan ISO 14001. Proses produksi susu di PT FFI menggunakan teknologi mutakhir dan praktek sterilisasi terbaik dari awal hingga akhir untuk menghindari kontaminasi dalam proses produksinya sehingga menerima GMP Award (Good Manufacturing Practices). Perusahaan ini juga memperoleh OHSAS (Occupational Health & Safety Advisory Services) serta menerapkan HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) untuk menjamin bahwa produk yang dihasilkan memiliki mutu dan kemasan yang terjamin.
B. VISI DAN MISI Sebagai bentuk dari komitmen perusahaan, FFI memiliki visi untuk menjadi pemimpin dalam bidang industri berbahan dasar susu di Indonesia, menjadi perusahaan untuk mengembangkan karyawan yang berbakat, serta mencapai hasil yang bersih dan memuaskan serta dapat dipertahankan bagi para pemegang saham. Untuk memenuhi visi perusahaan tersebut, FFI mempunyai beberapa misi yaitu selalu berusaha untuk menjadi nomor satu dalam produk secara keseluruhan, menstimulasi konsumsi susu di Indonesia dan mencapai pertumbuhan di bidang penting pada pasar susu, memegang kuat
posisi merk yang lebih disukai oleh masyarakat seluruh Indonesia, dan memiliki karyawan yang berpotensi dan berdedikasi di semua bidang, serta memiliki succession planning yang dapat memastikan perusahaan dapat terus berkembang, serta memiliki perencanaan yang baik di segala tingkat untuk memastikan agar perusahaan dapat terus berkembang.
C. LOGO Pada tanggal 10 Desember 2010, Frisian Flag Indonesia memperkenalkan identitas brand terbaru (Gambar 1), melestarikan karakter Frisian Flag: bendera dan warna biru cerah. Logo baru ini dikelilingi oleh cincin untuk memvisualisasikan radiasi energi Frisian Flag. Logo ini menggambarkan sinar matahari, sumber inspirasi dan vitalitas. Logo ini juga melambangkan segelas susu bergizi, siap untuk diminum. Logo baru dilengkapi dengan tag line: Raih Esokmu. Perubahan logo dan tag line melambangkan komitmen Frisian Flag untuk merespon konsumen dan mencerminkan perubahan yang sesuai dengan hari ini, dinamis dan modern. Logo baru ini juga memiliki irama yang sama dengan keluarga FrieslandCampina lainnya di regional, seperti merek Dutch Lady (di Malaysia & Vietnam) maupun merk Foremost di Thailand
Gambar 1. Logo Frisian Flag
D. ORGANISASI DAN PENGELOLAAN Struktur organisasi yang baik sangat berperan penting dalam menunjang suatu kegiatan perusahaan yang lancar dan sistematis. Untuk mencapai hal tersebut, maka PT Frisian Flag pun membentuk suatu struktur organisasi dengan bagian dan pertanggungjawaban yang jelas, serta evaluasi yang dilakukan terus- menerus yang mengarah pada pengembangan yang lebih baik. Perusahaan ini dipimpin oleh seorang Direktur Utama (President Director) yang membawahi lima Direktur lainnya, yaitu Direktur Pemasaran (Consumer Marketing Director), Direktur Administrasi dan Keuangan (Financial Director), Direktur Personalia dan Umum (Human Resource Development and General Affair Director), Direktur Penjualan (Trade Marketing Director), serta Direktur Operasi (Operation Director). Seluruh kegiatan produksi yang berjalan di perusahaan ini berada di bawah tanggung jawab Direktur Operasi, yang dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh Manajer Pabrik (Plant Manager) untuk masing-masing Pabrik (Pasar Rebo & Ciracas). Selain Manajer Pabrik, Direktur Operasi juga membawahi beberapa departemen yang masing-masing mempunyai tugas berbeda. Tiap departemen memiliki Kepala Department yang bertanggung jawab dalam departemennya masing-masing, yaitu Corporate QASHE Manager yang membawahi QA (Quality Assurance) & SHE (Safety Health Environtment) Manager, Quality Control (QC) Manager, Gabungan Manajer Departemen
4
Penelitian dan Pengembangan (Corporate Research and Development Manager), dan Supply Chain Manager. Dalam menjalankan tugasnya, Plant Manager dibantu oleh beberapa kepala bagian (head of department) yang bertanggung jawab atas departemennya masing-masing, antara lain bagian Pengolahan (Processing) & bagian Pengemasan (Packaging). Di Plant Pasar Rebo, terdapat bagian pengolahan Susu Kental Manis (SKM) & pengemasannya (dalam kemasan sachet & pouch) serta pengolahan susu bubuk & pengemasannya (dalam pouch & duplex). Sedangkan di Plant Ciracas, terdapat bagian pengolahan SKM & pengemasannya (dalam kaleng) & pengolahan susu cair serta pengemasannya (dalam bentuk kemasan UHT maupun botol steril). Selain itu, Plant Manager juga dibantu oleh Departemen Teknik (Engineering Department). Masing-masing kepala bagian dibantu oleh seorang administrator, shift supervisor, shift foreman, dan shift operator kecuali untuk Departemen Gudang dan Teknik. Pada kedua departemen ini supervisor tidak terbagi ke dalam shift. Untuk menjaga kenyamanan dan kelancaran produksi, PT Frisian Flag Indonesia menyediakan fasilitas berupa pengadaan air dan listrik untuk pabrik. Air yang digunakan merupakan air tanah yang berasal dari sumur dalam dengan kedalaman kurang lebih 180 m, dengan jumlah kurang lebih 3 sumur di sekitar pabrik. Adapun air ini digunakan untuk keperluan produksi, proses pencucian peralatan, dan lain sebagainya. Sementara itu, pengadaan listrik diperoleh dari PLN dengan daya 1500 kVA, 380 V, yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan listrik kantor, laboratorium, dan kantin. Fasilitas lain berupa pabrik didayakan dengan 4 unit generator dengan daya masing-masing 512 kVA, 50 0V, dan 2 unit generator dengan daya masing-masing 468 kVA, 400 V. Selain kedua fasilitas produksi tersebut, perusahaan ini juga memiliki pengadaan uap dari ketel uap (boiler) yang merupakan bagian dari unit pabrik. Adapun uap ini digunakan untuk kepentingan produksi. Total ketel uap yang dimiliki ada tiga buah, ketel pertama memiliki kapasitas 2,5 ton/jam dengan tekanan maksimum 12 kg/cm 2, ketel kedua memiliki kapasitas 7 ton/jam dengan tekanan maksimum 27,5 kg/cm2, sedangkan ketel terakhir memiliki kapasitas 12 ton/jam dengan tekanan maksimum 29,5 kg/cm2.
E. LOKASI PERUSAHAAN PT Frisian Flag Indonesia pusat berlokasi di Jalan Raya Bogor Km 5, Kelurahan Gedong, Cijantung, Jakarta Timur. Secara keseluruhan perusahaan ini memiliki dua pabrik yang beroperasi. Pabrik yang pertama terletak di perusahaan pusat (di Pasar Rebo) yang dipusatkan untuk produksi susu bubuk dan susu kental manis sachet dan pouch (dikenal dengan nama Plant Pasar Rebo). Pabrik kedua terletak di Jalan Raya Bogor Km 26, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Plant Ciracas. Pada pabrik ini diproduksi susu kental manis kalengan dan susu cair. Pemilihan kedua lokasi tersebut dianggap strategis karena memudahkan pengadaan tenaga kerja, pemasokan bahan baku, transportasi distribusi, serta sarana komunikasi mudah diakses serta dekat dengan daerah pemasaran yang potensial.
F. KETENAGAKERJAAN Tenaga kerja di PT Frisian Flag berasal dari dalam negeri dan luar negeri, namun staff dan karyawan perusahaan ini sebagian besar adalah tenaga kerja Indonesia yang memiliki lebih dari 1000 karyawan. Setiap calon karyawan akan diuji terlebih dahulu oleh bagian HRD dan departemen yang bersangkutan, sesuai dengan kedudukan yang akan diberikan nantinya.
5
Sebelum seseorang diterima sebagai karyawan tetap, terlebih dahulu harus menjalani masa percobaan selama 3 bulan. Jumlah jam kerja bagi seluruh karyawan adalah 40 jam kerja setiap minggunya (5 hari kerja, 1 hari = 8 jam). Untuk pekerja kantoran, shift kerja dimulai dari pukul 08.00 sampai 16.30 WIB, sedangkan untuk karyawan pabrik shift kerja diatur dalam 3 shift: shift pertama dimulai dari pukul 07.00 sampai 15.00 WIB, shift kedua dari pukul 15.00 sampai 23.00 WIB, sedangkan shift terakhir dimulai dari pukul 23.00 sampai 07.00 WIB. Bila karyawan bekerja melebihi 40 jam kerja tersebut, maka karyawan akan diberi upah lembur sesuai dengan ketentuan perusahaan. Setiap hari kantin perusahaan menyediakan makan pagi, siang, sore, dan malam untuk karyawannya. Selain itu, setiap bulan perusahaan juga memberikan jatah susu hasil produksinya kepada karyawannya sesuai dengan ketentuan perusahaan. Perusahaan menyediakan makan pagi, siang, sore, dan malam hari di kantin bagi karyawan yang hadir bekerja. Karyawan yang bekerja pada shift ke-3 atau berpuasa di bulan Ramadhan akan mendapat uang makan sesuai ketentuan perusahaan. Gaji karyawan diberikan berdasarkan golongan yang akan ditetapkan oleh PT Frisian Flag dan diberikan tiap bulan. Sekali dalam setahun, perusahaan akan mengadakan penilaian bagi karyawan-karyawannya untuk kenaikan gaji. Penilaian tersebut didasari oleh prestasi, masa kerja, dan kecakapan karyawan tersebut dalam bekerja. Selain penilaian tersebut, kenaikan gaji juga mungkin akan diberikan apabila job value di pasar meningkat atau terjadi kenaikan angka indeks konsumen yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk perusahaan itu. Agar jabatannya bisa naik, karyawan tersebut haruslah jujur, baik, terampil, dan loyal terhadap perusahaan. Jabatan yang tinggi biasanya mengutamakan seseorang dengan sifat kepemimpinan yang baik. Bila ada kedudukan yang kosong, perusahaan akan mempertimbangkan dulu karyawan-karyawan lama yang memenuhi persyaratan sebelum menerima atau menempatkan orang baru. Karyawan yang melakukan pelanggaran akan dikenakan sanksi, dapat berupa peringatan tertulis maupun tidak tertulis. Peringatan tersebut memiliki tiga tingkatan berdasarkan bobot kesalahan yang diperbuat. Semua karyawan berhak mendapatkan cuti tahunan selama 12 hari kerja per tahun, dengan tetap menerima upah penuh setelah bekerja selama 12 bulan terusmenerus. Cuti tidak dapat dikumpulkan dan hanya dapat digunakan selama tahun tersebut. Karyawan wanita yang hamil berhak mendapatkan cuti hamil selama 3 bulan sesuai dengan ketentuan undang-undang. Karyawan yang telah mencapai usia pensiun (55 tahun) berhak mendapatkan uang pensiun dari PT ASTEK, sedangkan tunjangan yang biasa diberikan adalah tunjangan hari raya, akhir tahun, dan asuransi kecelakaan selama 24 jam penuh.
6
III. TINJAUAN PUSTAKA
A. SUSU BUBUK Menurut Chandan (1997), susu segar secara alamiah mengandung 87.4% air dan sisanya berupa padatan susu sebanyak (12.6%). Padatan susu terdiri dari lemak susu (3.6%) dan padatan susu tanpa lemak (9%) yang mengandung mineral (0.7%), laktosa (4.9%) dan protein (3.4%). Susu segar cair sering diproses menjadi bubuk untuk menghasilkan produk susu yang stabil dengan kandungan solid tinggi. Selain dikonsumsi dengan cara direkonstusi menjadi susu cair, susu bubuk juga banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku pada industri pengolahan pangan contohnya untuk pembuatan produk bakery. Susu bubuk digunakan untuk meningkatkan nilai gizi dan sifat fungsionalnya seperti penerimaan sensori dan tekstur. Susu bubuk sering diaplikasikan sebagai bahan baku maupun bahan tambahan pada industri pangan. Hal ini karena komponen dalam susu bubuk dapat mudah berinteraksi dengan komponen lain ketika diformulasikan dan diproses menjadi suatu produk pangan (Augustin dan Clarke 2008). Adapun komposisi yang terdapat pada susu bubuk dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi (%w/w) pada beberapa susu bubuk (Chandan 1997) Komponen
(%)
Kadar air Kadar lemak Kadar protein Kadar laktosa Kadar mineral
3.0 27.5 26.4 37.2 5.9
Kandungan air yang tinggi pada susu segar menyebabkan perlu dilakukan pemekatan terlebih dahulu untuk menghasilkan susu dengan kadar air yang lebih rendah. Proses pemekatan awal ini melibatkan evaporasi sehingga terjadi perubahan kadar air menjadi 50% diikuti dengan pengeringan semprot sehingga dihasilkan susu bubuk dengan kadar air rendah, sekitar 3% (Widodo 2003). Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk produk susu bubuk ditunjukkan pada Tabel 2. Susu bubuk dibuat dengan menurunkan kadar airnya melalui proses pengeringan. Metode pengeringan yang dilakukan dapat dilakukan dengan cara pengeringan drum (drum drying) atau dengan pengeringan semprot (spray drying). Pengeringan semprot merupakan proses proses pengeringan yang umum digunakan di industri susu bubuk dimana terjadi atomisasi susu evaporasi dengan menggunakan udara panas (180-220oC). Pengeringan susu dengan pengering semprot akan menghasilkan susu bubuk dengan kelarutan, flavor dan warna yang baik (Walstra et al. 1999). Pada pengeringan drum, susu evaporasi dikontakkan langsung dengan permukaan drum yang panas hingga menjadi kering. Proses ini akan menghasilkan mutu yang kurang baik karena akan memicu karamelisasi laktosa, reaksi Maillard, dan denaturasi protein pada susu bubuk yang dihasilkan (Walstra et al. 1999). Reaksi-reaksi yang terjadi akan meningkatkan partikel hangus dan menurunkan kelarutan dari susu bubuk sehingga proses pengeringan drum ini jarang digunakan di industri susu bubuk (Watson Dairy Consulting 2011). Menurut BPOM (2006), komposisi lemak total pada susu bubuk maksimal 40% dan minimal 26% dengan kadar air maksimal 5%. Dalam susu bubuk dapat ditambahkan komposisi lain seperti vitamin, carrier vitamin, emulsifier, stabilizer, anticaking, antioksidan, dan juga
flavor. Susu bubuk berasal baik dari susu segar dengan atau tanpa rekombinasi dengan zat lain seperti lemak atau protein yang kemudian dikeringkan. Fennema (1985) memaparkan adanya hubungan yang erat antara kadar air dalam bahan pangan dengan umur simpannya. Pengurangan kadar air dengan pengeringan membantu memperpanjang umur simpan bahan pangan dengan cara mengurangi kerusakan mikrobiologis maupun kerusakan kimiawi. Umur simpan susu bubuk maksimal adalah dua tahun dengan penanganan yang baik dan benar. Susu bubuk dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu susu bubuk berlemak (full cream milk powder), susu bubuk rendah lemak (partly skim milk powder), dan susu bubuk tanpa lemak (skim milk powder). Tabel 2 Spesifikasi persyaratan mutu susu bubuk berlemak No
Jenis
1
Keadaan Bau Rasa Air Abu Lemak Protein Pati Cemaran Logam Tembaga (Cu) Timbal (Pb) Seng (Zn) Timah (Sn) Raksa (Hg)
2 3 4 5 6 7
8 9
Arsen Cemaran mikroba Angka lempeng total Bakteri Coliform E. coli Salmonella S. aureus
Satuan
Persyaratan
b/b, % b/b, % % % %
Normal Normal Maks. 4.0 Maks. 6.0 Min. 26.0 Min. 25.0 Tidak terdapat
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
Maks. 20.0 Maks. 0.3 Maks. 40.0 Maks. 40.0/250.0* Maks. 0.03
mg/kg
Maks. 0.1
koloni/g APM koloni/g koloni/100g koloni/g
Maks. 5x105 Maks. 20 Negatif Negatif 1x102
*untuk kemasan kaleng Sumber : SNI 01-2970-1999
B. PENURUNAN MUTU PRODUK PANGAN Stabilitas produk pangan dihubungkan dengan mudah tidaknya produk mengalami perubahan. Produk pangan mengalami penurunan mutu apabila terjadi perubahan fisik, kimia, mikrobiologis, enzimatis, maupun organoleptik yang berpotensi menurunkan mutu dan penerimaan konsumen. Tingkat penurunan mutu dipengaruhi oleh lamanya penyimpanan, sedangkan kecepatan penurunan mutu dipengaruhi oleh kondisi lingkungan penyimpanan, seperti suhu, intensitas cahaya, konsentrasi O2 dan CO2, kelembaban relatif, dan tekanan (Arpah 2001). Penurunan mutu pada makanan umunya terjadi selama pengolahan, penyimpanan, dan
8
distribusi. Pada selang penyimpanan dengan suhu tertentu, satu atau lebih atribut mutu akan mencapai kondisi yang tidak diinginkan dimana penurunan mutu produk pangan tersebut dapat menyebabkan penolakan konsumen atau bahkan berbahaya bagi orang yang mengonsumsinya (Man 2000). Hasil dari berbagai reaksi kimiawi yang terjadi di dalam produk makanan bersifat akumulatif dan irreversible selama penyimpanan sehingga pada saat tertentu hasil reaksi tersebut mengakibatkan mutu makanan tidak dapat diterima lagi (Syarief dan Halid 1993). Perubahan fisik, kimia dan mikrobiologi merupakan faktor utama yang menyebabkan penuruanan mutu pada produk pangan (Man 2000). Dalam Man (2000), penurunan mutu fisik pada produk pangan dapat disebabkan oleh kesalahan penanganan pada saat panen, proses, dan distribusi. Produk pangan kering akan meningkat kadar airnya dan menjadi lembab jika disimpan pada lingkungan dengan kelembaban tinggi, produk snack kering yang hancur selama distribusi akan menurun kualitasnya, dan memar pada buah selama pemanenan akan mempercepat kebusukannya. Umumnya, perubahan fisik pada produk pangan akan mempengaruhi kualitas dari pangan tersebut. Selama proses dan penyimpanan, perubahan kimia dapat terjadi pada produk pangan yang disebabkan faktor lingkungan dan faktor dari dalam pangan itu sendiri. Perubahan kimia yang paling sering terjadi pada produk pangan adalah reaksi enzimatik, reaksi oksidasi dan reaksi pencoklatan non enzimatik (Man 2000). Reaksi enzimatik akan berlangsung dengan cepat pada suhu yang sesuai, umumnya pada suhu ruang. Selain dipengaruhhi oleh suhu, enzim juga dapat dipicu oleh faktor-faktor lingkungan seperti oksigen, air, dan pH. Keberadaan asam lemak tidak jenuh pada produk pangan juga memicu reaksi oksidasi lemak yang dapat menyebabkan ketengikan selama penyimpanan. Laju oksidasi lemak dipengaruhi oleh sejumlah faktor seperti ketersediaan oksigen, suhu, dan cahaya. Reaksi pencoklatan non enzimatik atau reaksi Maillard menjadi penyebab penurunan gizi dan kualitas pada sejumlah produk pangan. Reaksi Maillard terjadi sebagai akibat interaksi antara gula pereduksi dan asam-asam amino (Man 2000). Penurunan mutu pangan dengan kadar lemak tinggi oleh oksigen telah menjadi masalah utama dalam penyimpanan produk pangan (Arpah 2001). Lemak yang bereaksi dengan oksigen akan membentuk produk primer dan sekunder. Produk primer oksidasi lemak adalah hidroperoksida sedangkan produk sekundernya antara lain aldehida, asam keton, dan asam hidroksi. Terdapat tiga mekanisme berbeda yang dapat memicu terjadinya reaksi peroksidasi lemak yaitu autooksidasi oleh radikal bebas, fotooksidasi, dan reaksi yang melibatkan enzim (Raharjo 2006). Autooksidasi merupakan proses rantai-radikal yang melibatkan tiga tahapan yaitu inisiasi, propogasi dan terminasi dengan serangan dari spesies oksigen reaktif. Reaksi oksidasi lemak berlangsung secara spontan oleh adanya radikal bebas, dimana radikal bebas yang dimaksud adalah oksigen yang dengan semakin lama waktu penyimpanan dan meningkatnya suhu akan menjadi senyawa yang reaktif. Dalam Arpah (2001), autooksidasi merupakan rangkaian reaksi radikal yang terbagi ke dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah inisiasi dimana senyawa lemak yang tidak (atau belum) mengandung radikal peroksida mengalami serangan senyawaan oksigen reaktif pada ikatan karbon tidak jenuh sehingga oksigen dengan mudah melepaskan satu atom hidrogen membentuk radikal. Radikal rantai karbon yang terbentuk cenderung melakukan stabilisasi dengan membentuk diena terkonjugasi. Diena terkonjugasi kemudian bergabung dengan oksigen membentuk radikal peroksil (ROO*). Tahap yang kedua yaitu propagasi merupakan tahap autoreaksi berantai dimana redikal peroksil memiliki kemampuan untuk menarik atom H dari molekul lemak didekatnya. Radikal peroksil akan bergabung dengan atom H membentuk
9
hidroperoksida. Tahap yang ketiga yaitu tahap terminasi berlangsung jika terdapat dua radikal yang berinteraksi sehingga membentuk senyawa yang relatif stabil. Untuk menetapkan pengaruh mikroorganisme terhadap penurunan mutu suatu produk pangan, perlu diketahui laju pertumbuhan mikroorganisme pada berbagai kondisi lingkungan. Kecepatan pertumbuhan mikroorganisme akan meningkat jika tersedia kondisi lingkungan yang tepat seperti suhu, ketersediaan air dan nutrisi, pH, dan ketersediaan O2 atau CO2 (Man 2000). Perubahan mutu produk pangan selama penyimpanan dapat dipicu oleh berbagai faktor, dimana salah satu yang paling sering mempercepat penurunan mutunya adalah suhu. Kenaikan suhu penyimpanan akan meningkatkan penurunan mutu produk pangan (Man 2000). Fluktuasi suhu juga akan meningkatkan potensi penurunan mutu produk pangan. Oleh karena itu, sering digunakan suatu model matematika untuk memprediksi penurunan mutu produk pangan sebagai fungsi dari suhu penyimpanan yang bervariasi (Labuza 1982).
C. KINETIKA REAKSI Dalam produk pangan, dimana sulit untuk menentukan keseluruhan mekanisme reaksi yang menyebabkan perubahan mutu dalam komponen pangan. Oleh karena itu perlu suatu pendekatan matematika untuk memperkirakan reaksi yang terjadi dalam bahan pangan dimana faktor lingkungan seperti suhu dan kelembaban dianggap konstan. Penurunan atau degradasi mutu dalam hal ini dipandang sebagai suatu reaksi kimia yang dapat dikuantifikasikan mengikuti kinetika reaksi. Kinetika kimia menunjukkan kecepatan dan mekanisme perubahan kimia suatu atribut mutu terhadap waktu pada suhu tertentu. Kecepatan reaksi kimiawi ditentukan oleh massa produk yang dihasilkan atau reaktan yang digunakan setiap unit waktu (Man 2000). Menurut Labuza (1982), permodelan perubahan mutu berdasarkan sifat kimia dapat didekati dengan dua cara, yaitu pendekatan mekanis dan pendekatan semi empiris. Pendekatan mekanis adalah pendekatan yang ditekankan kepada mekanisme reaksi, tahap-tahap reaksi serta pengaruh berbagai komponen terhadap reaksi sedangkan pada pendekatan semi empiris mekanisme reaksi yang sesungguhnya maupun tahap-tahapnya tidak menjadi fokus perhatian namun yang ingin diketahui adalah laju reaksi yang berlangsung atau kinetika reaksi. Laju reaksi merupakan penambahan konsentrasi produk atau pengurangan konsentrasi reaktan per satuan waktu. Laju reaksi dapat ditentukan dari konsentrasi reaktan maupun konsentrasi produk suatu reaksi. Secara matematis laju reaksi dinyatakan sebagai :
dA
k[ A]
n
dt
dimana: dA/dt k [A] n
= laju perubahan konsentrasi A pada waktu tertentu = konstanta laju reaksi = konsentrasi pereaksi = ordo reaksi
Dalam Labuza (1982), laju reaksi hampir selalu sebanding dengan konsentrasi pereaksi. Mengubah konsentrasi suatu zat dalam suatu reaksi dapat mengubah laju reaksinya juga. Oleh karena itu, perlu diketahui pengaruh konsentrasi dalam kecepatan reaksi suatu bahan pangan dengan cara menentukan ordo reaksinya. Ordo reaksi merupakan bagian dari persamaan laju reaksi. Penentuan ordo reaksi tidak dapat diturunkan dari persamaan reaksi tetapi hanya dapat ditentukan berdasarkan eksperimen dengan menggunakan sederet konsentrasi pereaksi.
10
Konstanta laju reaksi bersifat konstan terhadap konsentrasi pereaksi namun akan berubah jika terjadi perubahan kondisi lingkungan seperti suhu. Lebih lanjut, Labuza (1983) menyatakan sebagian besar reaksi deteriorasi pada produk pangan termasuk reaksi kinetika ordo nol dan ordo satu.
1.
Ordo Reaksi Nol Tipe kerusakan yang tergolong dalam reaksi ordo nol menurut Labuza (1982) diantaranya degradasi enzim, pencoklatan non enzimatis dan oksidasi lemak pada bahan pangan. Pada reaksi ordo nol dimana n = 0, laju reaksi tidak tergantung pada konsentrasi pereaksi dan bersifat konstan pada suhu tetap. Jadi laju reaksi ordo nol hanya tergantung pada konstanta laju reaksi yang dinyatakan sebagai k , dimana dinyatakan dalam persamaan:
2.
Ordo Reaksi Satu Tipe kerusakan bahan pangan yang termasuk dalam reaksi ordo satu diantaranya ketengikan pada lemak atau minyak, pertumbuhan mikroorganisme, off flavor oleh mikroba, kerusakan vitamin, dan kehilangan mutu protein (Labuza, 1982). Laju reaksi menurut ordo satu dimana n = 1, dipengaruhi oleh konsentrasi pereaksi dimana laju reaksi berbanding lurus dengan konsentrasi pereaksi. Hal ini berarti peningkatan konsentrasi akan meningkatkan pula laju reaksi. Laju reaksi ordo satu berdasarkan penurunan konsentrasi pereaksi A terhadap waktu, maka
11
12
IV. METODOLOGI PENELITIAN
A. WAKTU DAN TEMPAT Penelitian ini dilakukan di divisi Research and Development PT Frisian Flag Indonesia, yang beralamat di Jalan Raya Bogor Km 5, Kelurahan Gedong, Pasar Rebo, Jakarta Timur selama empat bulan dari 1 Februari 2011 hingga 31 Mei 2011.
B. BAHAN DAN ALAT Bahan baku utama yang digunakan adalah susu bubuk yang diproduksi PT Frisian Flag Indonesia. Bahan untuk analisis kadar lemak bebas adalah petroleum benzene, dan etanol. Bahan untuk analisis bilangan peroksida adalah larutan 1-chlorobutane-methanol, larutan iron (II) chloride, larutan ammonium thiocyanate, HCl 10 mol/L, dan aquades. Bahan untuk analisis indeks non solubilitas adalah aquades. Alat yang digunakan adalah inkubator suhu 30oC, 40oC dan 55oC, neraca analitik, sudip. Alat yang digunakan untuk analisis kadar lemak bebas adalah cawan aluminium, oven 105oC, gegep, corong, dan kertas saring. Alat yang digunakan untuk analisis bilangan peroksida adalah labu takar, pipet mikro, pipet mohr, erlenmeyer, erlenmeyer asah bertutup, air cooler, heater 55oC, spektofotometer, kuvet, bulb, gelas ukur, dan kertas saring. Alat untuk analisis indeks non solubilitas adalah homogenizer, gelas piala, sentrifuse, tabung sentrifuse berskala, pipet tetes dan gelas ukur.
C. METODE PENELITIAN Penelitian ini dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu tahap I adalah analisis fisikokimia untuk menentukan parameter mutu kritis susu bubuk, tahap II adalah analisis sesuai parameter yang sudah ditetapkan pada tahap I, dan tahap III adalah penentuan laju reaksi penurunan mutu susu bubuk.
1. Analisis fisikokimia awal Analisis awal dilakukan untuk memastikan bahwa mutu susu bubuk secara fisik dan kimia sesuai dengan spesifikasi produk. Dalam penelitian ini, analisis awal dilakukan untuk mengetahui parameter yang paling cepat berubah yang kemudian akan ditetapkan sebagai parameter mutu kritis awal. Parameter kerusakan ditunjukkan oleh hasil analisis terhadap susu bubuk yang melebihi standar atau merupakan parameter yang menjadi tolak ukur penerimaan konsumen. Analisis yang dilakukan, yaitu:
a. Analisis Kimia 1) Kadar air (AOAC, 1995) Analisis kadar air dilakukan dengan metode oven. Cawan kosong dikeringkan dalam oven pada suhu 105°C selama 15 menit, kemudian ditimbang.
Sebanyak 2-3 gram sampel dimasukkan dalam cawan yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Cawan berisi sampel tersebut dikeringkan dalam oven dengan suhu 105°C selama 3 jam. Selanjutnya cawan berisi contoh yang telah kering dipindahkan ke desikator, didinginkan selama 15 menit dan ditimbang bobot akhirnya. Kadar air dihitung berdasarkan kehilangan bobot, yaitu selisih bobot awal dan bobot akhir. Kadar air (g/100 g bahan basah) =
Kadar air (g/100 g bahan kering) = dimana : W = bobot contoh sebelum dikeringkan (g) W1 = bobot contoh + cawan kering (g) W2 = bobot cawan kosong (g)
2) Kadar lemak (AOAC, 2006) Metode yang digunakan pada penetapan kadar lemak adalah metode Mojonnier dengan prinsip gravimetri dan alat Mojonnier Tester. Sampel susu ditimbang sebanyak satu gram dan dimasukkan ke tabung Mojonnier kemudian dilarutkan dengan 9 sembilan ml akuades panas lalu ditambahkan 2 ml amonia 20% dan 10 ml etanol yang dicampur dengan indikator Brom Cresol Purple (BCP) kemudian diekstrak dengan 20 ml dietil eter dan 25 ml petroleum benzene, lalu disentrifugasi selama dua menit dengan kecepatan 1000 rpm. Setiap penambahan pereaksi, tabung Mojonnier disumbat lalu dikocok dengan shaker. Proses sentrifugasi akan menghasilkan dua lapisan yaitu lapisan atas dan lapisan bawah. Lapisan bawah akan diekstrak dua kali lagi untuk memperbesar ketelitian. Tahapan ekstraksi kedua dan ketiga sama seperti ekstraksi pertama hanya berbeda pada penambahan pereaksi, dimana pada ekstrasi kedua, lapisan bawah hasil ekstraksi pertama ditambahkan 5 ml etanol 96% dan 20 ml dietil eter serta 20 ml petroleum benzene sedangkan pada ekstraksi ketiga ditambahkan 10 ml dietil eter dan 10 ml petroleum benzene. Supernatan dari setiap hasil ekstraksi dimasukkan ke cawan aluminium yang telah diketahui bobot kosongnya dan dipanaskan di atas hotplate hingga diperoleh bobot konstan. Berat residu dinyatakan sebagai berat lemak dalam contoh. % Lemak =
(bobot cawan lemak) - bobot cawan kosong
x100 %
bobot sampel
3) Kadar protein (AOAC, 1990) Metode yang digunakan adalah metode Kjeldahl. Metode ini menganalisis kadar protein kasar dalam bahan makanan secara tidak langsung berdasarkan kadar nitrogennya. Persen protein dihitung dengan mengalikan hasil
14
analisis dengan faktor konversi (6.38). Nilai faktor konversi 6.38 berdasarkan pada protein murni yang mengandung 15.67% nitrogen pada produk susu (Winarno, 2008). Prinsip metode ini adalah destruksi, destilasi dan titrasi. Dekomposisi senyawa nitrogen organik melalui tahap destruksi dengan asam sulfat pekat dan katalis membentuk ammonium sulfat, kemudian didestilasi dengan natrium hidroksida membentuk gas ammonia yang bereaksi dengan asam borat. Banyaknya asam borat yang bereaksi dengan ammonia dapat diketahui melalui tahap titrasi menggunakan larutan asam klorida dengan indikator Conway (Brom Cresol Green : Metil Merah 1:1). Titik akhir titrasi ditandai dengan terbentuknya warna merah muda. Sebanyak 0.6 gram sampel dimasukkan ke dalam tabung pedal dan diletakkan pada digestion block, kemudian ditambahkan 2 butir tablet kjeldahl (mengandung K2SO4 dan CuSO4) dan 20 ml asam sulfat pekat, larutan dikocok hingga larut dan didiamkan selama 5 menit. Scrubber cup dipasangkan pada digestion block dan digestion block diletakkan pada FOSS Digestor, kemudian sampel didestruksi selama 3 jam (1 jam pada suhu 200oC dan 2 jam pada suhu 400oC). Setelah dingin ditambahkan 50 ml akuades. Tahap selanjutnya yaitu destilasi dilakukan dengan penambahan natrion hidroksida 40%. Gas ammonia yang dihasilkan ditampung dengan menggunakan larutan asam borat 3%. Sampel dititrasi menggunakan HCl 0.1 N dan hasil titrasi ditampilkan di layar. Penetapan blanko dilakukan dengan cara yang sama tanpa menggunakan sampel. Adapun perhitungan kadar protein:
% protein=
Vol HCl (sampel
- blanko) x N HCl x BM x FK
x 100 %
mg sampel
FK = Faktor konversi (untuk produk susu bubuk = 6.38)
4) Kadar lemak bebas (ISO, 2008) Analisis kadar lemak bebas dilakukan dengan metode gravimetri. Sebanyak 2-3 gram sampel susu bubuk ditimbang dalam erlenmeyer kemudian ditambahkan 100 ml petroleum benzene sambil dikocok agar terekstrak. Kemudian larutan disaring dan ke dalam erlenmeyer ditambahkan lagi 20 ml petroleum benzene untuk membilas kemudian disaring ke dalam cawan aluminium yang telah diketahui bobot kosongnya. Cawan berisi sampel dipanaskan hingga seluruh petroleum benzene habis menguap. Cawan yang telah didinginkan pada desikator selama 15 menit kemudian ditimbang bobotnya. Kadar lemak bebas dihitung berdasarkan selisih bobot awal dan akhir cawan. Kadar lemak bebas (%) = dimana: W = bobot contoh (g) W1 = bobot cawan kosong (g) W2 = bobot lemak bebas + cawan (g)
15
5) Keasaman (IDF, 1988) Analisis keasaman dilakukan dengan pengukuran pH. Sampel susu bubuk sebanyak 10 gram dilarutkan dengan 100 ml aquades sehingga konsentrasinya 10% kemudian diukur keasamannya menggunakan pH-meter.
6) Bilangan peroksida (IDF, 1991) Analisis dilakukan menggunakan metode spektrofotometri. Pengukuran bilangan peroksida diawali dengan pembuatan kurva standar FeCl 3. Larutan induk diencerkan hingga konsentrasi 10, 20, 30, 40, 50 μg/ml. Masing – masing ditambahkan larutan ammonium thiocyanate dengan perbandingan 1:1. Campuran larutan dipanaskan pada suhu 55oC selama 5 menit dan didinginkan pada desikator selama 8 menit untuk kemudian diukur dengan spektrofotometri pada panjang gelombang 510nm. Hasil pengukuran dibuat persamaan garisnya. Untuk pengukuran sampel, sebanyak 1.25 gram sampel ditimbang ke dalam erlenmeyer asah kemudian ditambahkan 25 ml larutan 1-chlorobutanemethanol dan diaduk selama satu menit. Sampel dipanaskan pada suhu 55oC selama lima menit kemudian didinginkan pada desikator selama 10 menit dan disaring dengan kertas saring ke dalam erlenmeyer sehingga diperoleh ekstrak sampel. Sebanyak 3 ml ekstrak sampel dipipet ke dalam erlenmeyer yang lain dan 3 ml larutan 1-chlorobutane-methanol ke dalam erlenmeyer lainnya sebagai blanko. Tujuh ml larutan 1-chlorobutane-methanol ditambahkan ke dalam sampel dan blanko. Sebanyak 0.1 ml campuran larutan iron (II) chloride ammonium thiocyanate dipipet ke dalam sampel dan blanko. Sampel dan blanko dipanaskan pada suhu 50oC selama dua menit dan didinginkan pada desikator selama 8 menit kemudian diukur nilai peroksidanya menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 510 nm. Hasil pengukuran diplotkan ke kurva standar FeCl3 untuk menghitung bilangan peroksidanya.
b. Analisis Fisika 1) Sieve test (IDF, 1988) Analisis sieve test dilakukan menggunakan penyaring dengan ukuran mesh tertentu untuk mengetahui besaran partikel dari produk susu bubuk. Pengujian dilakukan dengan menyaring susu bubuk dengan rentang ukuran saringan yang telah ditentukan. Ukuran partikel ini akan mempengaruhi densitas kamba dari susu bubuk. Tiap penyaring pada alat shaker ditimbang bobot kosongnya. Sebanyak 50 gram sampel susu bubuk ditempatkan di penyaring paling atas yang sudah dipasang pada alat shaker. Kunci susunan penyaring pada alat shaker dan nyalakan alat agar bergoncang selama 5 menit. Setiap penyaring ditimbang lagi bobotnya yang berisi sampel dan usahakan tidak ada partikel bubuk yang menempel di bagian bawah saringan. Persentase susu bubuk yang tertinggal di saringan paling atas dihitung sebagai persen sieve test.
16
2) Densitas kamba (IDF, 1988) Analisis densitas kamba dilakukan untuk mengetahui ruang dalam kemasan yang dibutuhkan oleh produk dengan berat tertentu. Tabung silinder kosong dipasangkan pada alat tapping dan ditimbang bobot kosongnya kemudian diisikan sampel susu bubuk sebanyak 100 gram ke dalam tabung. Tapping dilakukan sesuai dengan jenis susu bubuk yang akan diukur yaitu antara 100 – 1250 ketukan. Setelah tapping, tabung silinder ditimbang kembali bobot akhirnya dan nilai densitas kamba akan tertera pada layar.
3) Indeks non solubilitas (ISO, 2005) Analisis kelarutan dilakukan dengan metode sentrifugasi untuk melihat fraksi yang tidak larut. Sebanyak 13 gram susu bubuk dilarutkan dalam 100 ml akuades pada suhu 25oC kemudian dihomogenasi selama 10-20 detik dan ditambahkan 2 tetes defoaming agent. Sebanyak 50 ml susu yang telah direkonstitusi dituang ke dalam tabung sentrifugasi berskala. Tabung berisi sampel disentrifugasi selama 10 menit pada kecepatan 150 rpm. Bagian supernatan pada tabung sentrifuse dibuang dengan menggunakan pipet tetes setelah itu endapan pada bagian dasar tabung diukur dalam skala ml yang tertera pada tabung kemudian dibandingkan dengan standar dan disebut indeks nonsolubilitas.
4) Kemampuan dispersi (IDF, 1988) Analisis ini untuk mengukur kemudahan susu bubuk bersatu dalam larutan pada kondisi campuran normal. Sebanyak 34 gram susu bubuk dilarutkan dalam 250 ml akuades pada suhu 25oC dan diaduk secara manual selama 20 detik. Susu bubuk yang telah direkonstitusi kemudian disaring menggunakan kertas saring yang telah ditimbang bobotnya dan penyaring vakum. Kertas saring hasil saringan kemudian ditimbang bobotnya. Jumlah susu bubuk yang terdispersi yaitu susu bubuk yang melewati saringan dalam bentuk terlarutnya ditetapkan dengan menentukan total solid dalam filtrat dan disebut persen dispersibilitas.
5) Scorched particle (IDF, 1988) Merupakan uji untuk mengetahui adanya partikel hangus yang terdapat pada susu. Sebanyak 32.5 gram susu bubuk dilarutkan dalam 250 ml akuades suhu 25oC dan dihomogenisasi selama 1 menit serta ditambahkan 2 tetes defoaming agent. Larutan susu kemudian disaring dengan kertas saring dan penyaring vakum. Hasil saringan akan dibandingkan dengan standar dan diklasifikasikan dengan huruf mutu A, B, C, dan D sesuai intensitas dan warna partikel yang tertinggal di kertas saring.
17
Gambar 2. Standar Scorched particle untuk susu bubuk
6) Kadar oksigen dalam kemasan Analisis kadar oksigen dalam kemasan dilakukan dengan menusukkan jarum syringe pada bagian atas kemasan primer kemudian alat akan secara otomatis membaca kadar oksigen yang terkandung didalamnya. Adapun alat ukur kadar oksigen dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Alat Ukur Oksigen (Spesifikasi alat lihat Lampiran 1)
2. Analisis fisikokimia secara berkala sesuai parameter yang telah ditetapkan untuk penghitungan kinetika penurunan mutu Setelah analisis fisikokimia awal dilakukan dan diperoleh parameter yang paling mempercepat kerusakan, analisis dilanjutkan dengan fokus pengujian terhadap parameter yang telah ditetapkan tersebut. Sampel susu bubuk disimpan pada tiga suhu yang berbeda yaitu 30oC, 40oC, dan 55oC kemudian dianalisis setiap minggunya selama enam minggu.
18
3.
Penetapan laju penurunan mutu Laju perubahan mutu setiap parameter pada produk susu bubuk dapat berbedabeda. Jika laju kerusakan parameter tersebut terjadi secara konstan atau linier maka mengikuti ordo reaksi nol, sedangkan jika laju kerusakan parameter tersebut terjadi secara eksponensial atau logaritmik maka mengikuti ordo reaksi satu.
19
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PENENTUAN PARAMETER MUTU KRITIS Parameter mutu kritis awal merupakan parameter yang paling mempengaruhi penurunan mutu susu bubuk selama penyimpanan. Penentuan parameter mutu kritis awal diawali dengan melakukan analisis awal. Analisis awal ini dilakukan untuk mengetahui parameter apa yang paling cepat mengalami perubahan mutu selama penyimpanan. Sampel yang akan diuji diambil dari gudang penyimpanan sampel PT Frisian Flag Indonesia. Sampel merupakan susu bubuk yang disimpan hingga kadaluarsa dengan tujuan mengontrol mutu produk. Untuk menentukan parameter kritis awal maka digunakan sampel susu bubuk yang sudah memasuki batas awal masa kadaluarsa. Analisis yang dilakukan meliputi analisis kimia dan fisik. Analisis kimia meliputi analisis kadar air, kadar lemak, kadar protein, kadar lemak bebas, bilangan peroksida, dan keasaman. Analisis fisik meliputi sieve test, scorched particle, dispersibilitas, indeks non solubilitas, densitas kamba, dan oksigen. Hasil analisis sampel yang sudah memasuki batas awal kadaluarsa akan dibandingkan dengan standar. Parameter kerusakan ditunjukkan oleh hasil analisis yang melebihi standar atau merupakan parameter yang menjadi tolak ukur penerimaan konsumen. Perbandingan antara hasil analisis susu bubuk tipe-X dengan standar ditunjukkan oleh Tabel 3. Tabel 3. Perbandingan hasil analisis susu bubuk dengan standar Analisis Analisis kimia Kadar air Kadar lemak Kadar protein Kadar lemak bebas Kadar peroksida Keasaman Analisis fisik Sieve test Scorched particle Densitas kamba Indeks non solubilitas Dispersibilitas Oksigen
Hasil analisis
Standar
2.70% 28.90% 25.00% 3.20% 1.00 meq/kg sampel 6.4
Maks. 4.00 % Min. 26.00 % Min. 25.00 % Maks. 3.00% Maks. 1.00 meq/kg sampel 6.4 – 6.7
12% B 0.56 g/ml 0.60 ml 85.00% 2.00 %
10 – 16 % Min. A/B 0.5 – 0.6 g/ml Maks. 0.50 ml Min. 85.00% Maks. 3.00%
Berdasarkan hasil analisis diperoleh bahwa indeks non solubilitas dan kadar lemak bebas merupakan parameter dari hasil analisis sampel yang sudah memasuki batas kadaluarsa melebihi standar yang ditetapkan. Parameter dispersibilitas memiliki nilai yang berada di ambang batas standar yaitu 85% namun tidak dimasukkan dalam parameter kritis susu bubuk tipe-X. Hal ini karena dispersibilitas merupakan parameter untuk melihat kemampuan aglomerasi susu bubuk terpisah menjadi partikel-partikel tunggal dan terdispersi dalam air ketika proses pengadukan secara manual. Uji ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan dispersi susu bubuk ketika
direkonstitusi secara manual oleh konsumen dalam kondisi sehari-hari. Dalam Skanderby et al. (2009), uji ini sulit dilakukan secara obyektif karena faktor subyektivitas ketika pengadukan sehingga tidak dimasukkan sebagai parameter kritis susu bubuk tipe-X. Selain itu, partikel susu bubuk yang tidak terdispersi dalam air akan mengendap menjadi fraksi tidak terlarut dimana dapat terhitung sebagai indeks non solubilitas. Parameter bilangan peroksida dimasukkan ke dalam parameter yang mempengaruhi kerusakan susu bubuk karena nilainya sudah memasuki ambang batas. Hal ini disebabkan susu bubuk memiliki kadar lemak yang cukup tinggi (28%) dan bilangan peroksida merupakan hasil tahap awal reaksi oksidatif antara asam lemak bebas berantai ganda dengan oksigen. Oksidasi lemak bertanggung jawab atas perubahan rasa dan aroma produk pangan, seperti susu bubuk, melalui pembentukan off-flavor yang berasal dari produk reaksi sekunder yaitu alkana, alkena, aldehid, dan keton (Romeu-Nadal et al. 2007). Reaksi oksidatif lemak merupakan reaksi yang tidak diinginkan bagi kesehatan manusia dan dapat menurunkan nilai gizi susu bubuk. Selain itu, senyawa peroksida bertanggungjawab atas perubahan mutu secara organoleptik, yaitu rasa dan aroma tengik yang tentu akan menurunkan penerimaan konsumen (Valero et al. 2001). Karakterisasi susu bubuk sebelum penyimpanan dilakukan untuk memperoleh nilai mutu awal dari produk tersebut. Nilai parameter awal secara objektif ditentukan dengan melakukan analisis kimia terhadap produk susu bubuk yang baru diproduksi tersebut. Karakterisasi ini dilakukan terhadap parameter bilangan peroksida, indeks non solubilitas dan kadar lemak bebas. Adapun hasil pengukuran mutu awal produk susu bubuk dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Nilai mutu awal produk susu bubuk tipe-X berdasarkan beberapa parameter Parameter Nilai Awal (Q0) Kadar lemak bebas 1.02 % Kadar peroksida 0.19 mili-equivalen/kg sampel Indeks non solubilitas 0.20 ml Selain dilakukan pengukuran nilai mutu awal, perlu dilihat pula analisis proksimat dari susu bubuk tipe-X untuk mengetahui komposisi gizi dari produk awal. Data proksimat susu bubuk tipe-X dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Nilai proksimat susu bubuk tipe-X (basis basah) Komponen (%) Kadar air 2.5 Kadar lemak 28.0 Kadar protein 25.0 Kadar abu 8.0 Kadar karbohidrat 35.8
B. PENENTUAN LAJU PENURUNAN MUTU 1. Bilangan Peroksida Menurut IDF (1991), prinsip pengukuran bilangan peroksida dengan metode spektrofotometri adalah proses oksidasi ion Fe(II) menjadi Fe(III) oleh senyawa peroksida dalam sampel dimana Fe(III) akan bereaksi dengan reagen sehingga menghasilkan
21
kompleks warna yang kemudian diukur dengan spektrofotometer. Dalam reaksi ini, reagen yang digunakan adalah amonium tiosianat yang akan membentuk kompleks feri-tiosianat (Fe[SCN]3) yang berwarna merah muda dan media reaksi yang digunakan adalah kloroform:methanol = 7:3. Kurva standar dibuat dari larutan stok standar [1.00 mg Fe(III)/ml dengan 1% HCl] yang dilarutkan dengan kloroform:metanol (7:3) dan reagen ammonium tiosianat sehingga membentuk kompleks warna (lihat Tabel 6). HCl ditambahkan untuk membuat kondisi asam karena ion Fe(III) lebih stabil dalam medium asam. Adapun pengukuran kurva standar FeCl3 dapat dilihat pada Gambar 4. Tabel 6. Pengukuran larutan standar FeCl3 Konsentrasi (μg/ml)
Absorbansi
0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00
0.000 0.266 0.565 0.886 1.170 1.434
1 .6
1 .4
1 .2
y = 0 .0 2 9 2 x - 0 .0 0 8 6 R
2
= 0 .9 9 9
A b so rb an si
1 .0
0 .8
0 .6
0 .4
0 .2
0 .0
- 0 .2 0
20
40
60
K o n s e n tra s i (m g /L )
Gambar 4. Grafik Kurva Standar FeCl3 Analisis bilangan peroksida dilakukan setiap minggu terhadap produk yang disimpan pada suhu 30oC, 40oC, dan 55oC. Penyimpanan pada suhu tinggi ini diharapkan akan mempercepat kerusakan pada produk. Data kenaikan bilangan peroksida setiap minggu kemudian diplotkan ke dalam ordo reaksi 0 dan ordo reaksi 1 (lihat Tabel 7). Pada ordo reaksi 0, data bilangan peroksida sebagai sumbu-y diplotkan terhadap waktu penyimpanan sebagai sumbu-x dimana dapat dilihat pada Gambar 5. Pada ordo reaksi 1, bilangan peroksida dalam bentuk ln sebagai sumbu-y diplotkan terhadap waktu penyimpanan sebagai sumbu-x dimana dapat dilihat pada Gambar 6. Berdasarkan plot bilangan peroksida ke dalam ordo reaksi nol dan ordo reaksi satu diperoleh nilai koefisien determinasi (R2) yang rendah pada semua suhu dan terjadi fluktuasi data. Hal ini menunjukkan bahwa model persamaan regresi linier belum mewakili
22
variasi data bilangan peroksida sehingga ordo reaksinya tidak dapat ditentukan. Selain itu, peningkatan suhu penyimpanan tidak berbanding lurus dengan peningkatan nilai bilangan peroksida, dimana minggu ke-1, 2, 4, dan 5 nilai bilangan peroksida pada suhu 55oC lebih rendah dibandingkan pada suhu 40oC. Bahkan nilai bilangan peroksida minggu ke-2, 3, dan 4 pada suhu 55oC lebih rendah daripada ketika suhu 30oC. Selain itu, laju penurunan mutu susu bubuk tipe-X berjalan lambat sehingga akhir reaksi sulit ditentukan. Tabel 7. Data pengukuran bilangan peroksida dalam satuan meq/kg sampel Minggu
Suhu Penyimpanan (oC)
0 1 2 3 4 5
30
0.19 0.28 0.33 0.33 0.32 0.32
40
SD
RSDA
RSDH
0.00 0.00 0.01 0.00 0.03 0.00
0.00 0.00 2.18 0.00 8.84 0.00
2.57 2.42 2.37 2.36 2.37 2.37
0.19 0.29 0.34 0.26 0.34 0.48
55
SD
RSDA
RSDH
0.00 0.01 0.01 0.02 0.01 0.01
0.00 4.88 2.11 8.32 2.11 1.49
2.57 2.41 2.36 2.46 2.36 2.24
0.19 0.28 0.25 0.30 0.26 0.45
SD
RSDA
RSDH
0.00 0.01 0.01 0.00 0.06 0.06
0.00 2.57 2.89 0.00 21.76 12.57
2.57 2.43 2.47 2.40 2.45 2.26
0 .5 0 o
y 3 0 C = 0 .0 2 2 x + 0 .2 4 R
2
0 .4 5
= 0 .5 6 6 o
y 4 0 C = 0 .0 4 3 x + 0 .2 1 R
2
= 0 .6 9 1 o
y 5 5 C = 0 .0 3 7 x + 0 .2 0
P V (m eq /k g sam p el)
0 .4 0
R
2
= 0 .6 2 1
0 .3 5
0 .3 0
0 .2 5
Suhu 30 0 .2 0
Suhu 40 Suhu 55
o o o
C C C
0 .1 5 0
1
2
3
4
5
6
W a k tu (m in g g u )
Gambar 5. Grafik ordo reaksi nol parameter bilangan peroksida Menurut Stapelfeldt et al. (1997), oksidasi lemak meningkat seiring dengan meningkatnya suhu penyimpanan yang ditandai peningkatan radikal bebas yaitu singlet oksigen dan bilangan TBA pada susu bubuk. Oksidasi lemak akan terjadi ketika singlet oksigen yang reaktif menyerang ikatan rangkap pada rantai asam lemak tidak jenuh. Singlet oksigen akan memicu oksidasi lemak yang dapat membentuk hidroperoksida dan dapat
23
terdegradasi menjadi malonaldehid sebagai produk akhir oksidasi lemak yang terukur dengan bilangan TBA. Dalam Miller et al.(2006), komponen lemak pada produk susu bubuk terdiri dari 56% asam lemak jenuh, 25% asam lemak tidak jenuh (monounsaturated fatty acid), dan 6% asam lemak tidak jenuh rantai panjang (polyunsaturated fatty acid). Kandungan asam lemak tidak jenuh total sebesar 31% akan meningkatkan potensi terbentuknya senyawa peroksida.
- 0 .8
L n P V (m eq /k g sam p el)
- 1 .0
- 1 .2
- 1 .4
o
y 3 0 C = 0 .0 4 1 x - 1 .3 1 R - 1 .6 Suhu 30 Suhu 40 Suhu 55
o o o
C
2
= 0 .0 8 2 o
y 4 0 C = 0 .0 6 7 x - 1 .4 0 2
C
R
= 0 .2 0 0
C
y 5 5 C = 0 .0 7 7 x - 1 .5 0
o
R
2
= 0 .5 1 4
- 1 .8 0
1
2
3
4
5
6
W a k tu (m in g g u )
Gambar 6. Grafik ordo reaksi satu parameter bilangan peroksida Terjadinya fluktuasi data dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang meliputi kondisi internal susu bubuk itu sendiri maupun faktor eksternal ketika analisis. Dalam susu bubuk tersedia vitamin A dan juga prekursornya yaitu betakaroten yang merupakan vitamin larut lemak (Miller et al. 2006). Ketersediaan betakaroten dapat berfungsi sebagai antioksidan yang mencegah terbentuknya senyawa peroksida dengan menyumbangkan elektron pada diena terkonjugasi ketika tahap inisiasi oksidasi lemak (Cha´vez-Servı´n et al. 2008). Pencampuran vitamin pada proses pembuatan susu bubuk dilakukan dengan pencampuran kering setelah proses pengeringan susu bubuk (Watson Dairy Consulting 2011). Hal tersebut berpotensi penyebaran komponen vitamin yang kurang seragam pada susu bubuk dan dapat memicu nilai peroksida yang berbeda antar data. Dilihat dari nilai standar deviasi (SD) dan RSD data bilangan peroksida menunjukkan semakin tinggi suhu, semakin banyak data yang memiliki ketelitian rendah yang artinya semakin tinggi suhu variasi antar data semakin besar. Faktor yang diduga juga dapat mempengaruhi fluktuasi nilai bilangan peroksida adalah pereaksi FeCl2 yang digunakan dimana ada kemungkinan pereaksi sudah teroksidasi. Nilai bilangan peroksida ditunjukkan oleh oksidasi Fe(II) menjadi Fe(III) oleh senyawa peroksida. Pereaksi FeCl2 yang sudah teroksidasi akan menurunkan reaksi oksidasi oleh peroksida yang menghasilkan Fe(III) yang kemudian akan membentuk kompleks warna
24
dengan ammonium tiosianat (Hornero-Méndez et al. 2001). Oksidasi pereaksi FeCl2 dapat disebabkan oleh fotooksidasi ketika penyimpanan. Hal ini menyebabkan tidak semua senyawa peroksida pada sampel dapat terukur akibat oksidasi sebagian pereaksi FeCl 2 sehingga Fe (III) yang berikatan dengan ammonium tiosianat dan diukur dengan spektrofotometer nilainya rendah. Selain itu, nilai absorbansi dari pengukuran kompleks warna tidak diketahui nilainya secara langsung karena nilai bilangan peroksida yang dihasilkan merupakan nilai akhir plot absorbansi ke dalam kurva standar yang otomatis terhitung dalam spektrofotometer. Sebaiknya perlu dilakukan pengukuran absorbansi secara manual untuk mengetahui nilai absorbansi sampel dimana nilai tersebut menunjukkan intensitas peroksida sebelum nilai absorbansi tersebut dimasukkan ke dalam kurva standar. Laju penurunan mutu yang lambat dapat disebabkan kadar oksigen dalam kemasan yang rendah (< 1%) sehingga kurang memicu reaksi oksidasi. Sebaiknya untuk pengukuran selanjutnya, waktu pengukuran bilangan peroksida ditambahkan untuk semua suhu agar dapat melihat lebih jauh laju penurunan mutunya. Pengukuran bilangan peroksida hanya dilakukan hingga minggu ke-5 karena data pengukuran minggu ke-6 menunjukkan penurunan nilai bilangan peroksida untuk ketiga suhu. Hal ini tidak sesuai dengan literatur dimana nilai bilangan peroksida meningkat seiring dengan meningkatnya suhu dan waktu penyimpanan. Faktor yang mungkin mempengaruhi adalah kesalahan saat analisis dan sampling.
2. Kadar lemak bebas Lemak bebas yang terkandung dalam susu bubuk mengacu pada lemak yang terdapat pada permukaan partikel susu bubuk tanpa membran disekelilingnya (Walstra et al. 1999). Analisis kadar lemak bebas dilakukan setiap minggu terhadap produk yang disimpan pada suhu 30oC, 40oC, dan 55oC. Penyimpanan pada suhu tinggi ini diharapkan akan mempercepat kerusakan pada produk. Data kadar lemak bebas setiap minggu kemudian diplotkan ke dalam ordo 0 dan ordo 1 (lihat Tabel 8). Pada ordo 0, data kadar lemak bebas sebagai sumbu-y diplotkan terhadap waktu penyimpanan sebagai sumbu-x (lihat Gambar 7), sedangkan pada ordo 1 kadar lemak bebas dalam bentuk ln sebagai sumbu-y diplotkan terhadap waktu penyimpanan sebagai sumbu-x (lihat Gambar 8). Berdasarkan plot kadar lemak bebas ke dalam ordo nol dan ordo satu diperoleh nilai koefisien determinasi (R2) yang cukup tinggi untuk ordo nol maupun ordo satu. Penentuan ordo reaksi dilakukan dengan melihat ordo reaksi yang memiliki koefisien determinasi (R2) lebih besar dimana nilai R2 menunjukkan model persamaan regresi linier dapat menjelaskan perubahan variasi konsentrasi akibat perubahan waktu penyimpanan dan suhu. Suhu 30oC di ordo nol maupun ordo satu memiliki nilai R2 yang kecil artinya data belum terwakili oleh model persamaan regresi linier. Menurut Labuza (1983), kesukaran mungkin terjadi dalam penentuan ordo reaksi jika penurunan konsentrasi berjalan lambat sehingga akhir reaksi sulit diperoleh. Apabila penurunan mutu belum mencapai 50%, maka sedikit sekali perbedaan yang diperoleh jika digunakan ordo reaksi nol atau ordo reaksi satu. Nilai R2 yang rendah pada suhu 30oC menunjukkan penurunan mutu susu bubuk belum mencapai 50% sehingga peningkatan kadar lemak bebasnya belum signifikan. Pada ordo reaksi nol suhu 40oC dan 55oC menunjukkan nilai R2 yang lebih besar dari R2 pada ordo nol yaitu lebih dari 0.75 dimana artinya lebih dari 75% data terwakili oleh model persamaan regresi linier sehingga ordo
25
reaksi yang dipilih adalah ordo reaksi nol. Ordo reaksi yang terpilih adalah yang memiliki R2 lebih besar (Rahayu dan Arpah 2003). Hal ini menunjukkan laju reaksi berdasarkan parameter kadar lemak bebas tidak dipengaruhi oleh konsentrasi pada suhu konstan. Tabel 8. Data pengukuran kadar lemak bebas dalam satuan % Minggu
Suhu Penyimpanan (oC)
0 1 2 3 4 5 6
30
1.02 1.99 2.06 1.71 1.87 2.12 1.59
40
SD
RSDA
RSDH
0.01 0.02 0.00 0.02 0.33 0.15 0.04
1.39 1.00 0.00 1.24 17.39 7.02 2.67
1.99 1.80 1.79 1.85 1.82 1.79 1.87
1.02 2.35 2.20 2.69 3.07 3.07 3.05
55
SD
RSDA
RSDH
0.01 0.06 0.01 0.03 0.05 0.06 0.02
1.39 1.85 0.46 0.92 1.84 2.73 0.85
1.99 1.69 1.69 1.69 1.72 1.78 1.76
1.02 3.46 3.99 5.46 7.66 6.08 11.17
SD
RSDA
RSDH
0.01 0.13 0.16 0.06 0.08 0.11 0.13
1.39 3.76 4.08 1.04 1.02 1.86 1.14
1.99 1.66 1.62 1.55 1.47 1.52 1.39
12 o
y 3 0 C = 0 .0 6 4 x + 1 .5 8 R
2
= 0 .1 3 1
Suhu 30
o
10
Suhu 40
y 4 0 C = 0 .3 0 0 x + 1 .5 9 R
2
= 0 .7 6 6
Suhu 55
o o o
C C C
o
y 5 5 C = 1 .4 0 6 x + 1 .3 3 R
2
= 0 .8 6 9
K ad ar lem ak b eb as (% )
8
6
4
2
0 0
1
2
3
4
5
6
7
W a k tu (m in g g u )
Gambar 7. Grafik ordo reaksi nol parameter kadar lemak bebas Berdasarkan data terdapat beberapa nilai yang memiliki ketelitian rendah yang ditandai dengan nilai SD dan RSD yang besar dimana variasi antar data cukup besar. Hal ini dapat disebabkan karena struktur partikel susu yang kurang homogen. Pada saat pengeringan dengan pengering semprot, terjadi aglomerasi akibat proses atominasi susu evaporasi. Struktur partikel susu yang teraglomerasi akan berongga dan berukuran besar (Skanderby et al. 2009). Perlakuan panas juga akan memicu terbentuknya crack atau
26
retakan pada partikel susu yang dapat memperbesar potensi pembebasan lemak ke permukaan partikel sehingga kadar lemak bebasnya meningkat (Walstra et al. 1999).
3 .0 o
y 3 0 C = 0 .0 4 9 x + 0 .4 0 R 2 .5
2
= 0 .1 7 3 o
y 4 0 C = 0 .1 4 8 x + 0 .4 1 R
2
= 0 .6 6 4 o
y 5 5 C = 0 .3 2 0 x + 0 .5 5
L n K ad ar lem ak b eb as (% )
2 .0
R
2
= 0 .8 1 4
1 .5
1 .0
0 .5
Suhu 30 0 .0 Suhu 40 Suhu 55
0
1
2
3
4
5
6
o o o
C C C
7
W a k tu (m in g g u )
Gambar 8. Grafik ordo reaksi satu parameter kadar lemak bebas Semakin tinggi suhu maka akan menyebabkan retakan-retakan pada partikel susu bubuk makin besar sehingga semakin banyak lemak yang terbebas ke permukaan partikel (Walstra et al. 1999). Hal tersebut dapat dilihat pada minggu ke-6 suhu 55oC dimana nilai kadar lemak bebas meningkat dengan drastis dibandingkan minggu-minggu sebelumnya. Berdasarkan nilai kadar lemak bebas pada suhu 30oC, 40oC, dan 55oC, terlihat bahkan kadar lemak bebas cukup sensitif terhadap perubahan suhu dimana peningkatan suhu akan meningkatkan kadar lemak bebasnya. Pada minggu ke-4, 5 dan 6 suhu 40oC terlihat bahwa nilai kadar lemak bebas sudah mencapai batas kritis. Hal ini menunjukkan, susu bubuk tipeX ini sebaiknya disimpan pada suhu kurang dari 40oC, karena jika disimpan pada suhu yang tinggi maka kadar lemak bebasnya akan meningkat dan berpotensi untuk terjadinya oksidasi lemak yang akan semakin menurunkan mutu dan penerimaan konsumen terhadap produk susu bubuk. Penurunan mutu susu bubuk berdasar parameter kadar lemak bebas cukup sensitif terhadap suhu. Pada suhu 30oC penurunan mutu belum mencapai 50% sedangkan pada suhu 40oC dan 55oC penurunan mutu cukup cepat. Oleh karena itu, sebaiknya untuk selanjutnya waktu pengukuran untuk suhu 30oC diperbanyak lagi (lebih dari 6 minggu) untuk mencapai penurunan mutu hingga minimal 50%-nya.
27
3. Indeks non solubilitas Indeks non solubilitas merupakan fraksi tidak terlarut dari susu yang dilarutkan dimana sering disebut juga indeks solubilitas. Umumnya, fraksi tidak terlarut pada susu bubuk adalah protein. Sejumlah koagula protein bersama dengan globula lemak susu yang terperangkap (sering disebut flek) akan menjadi komponen yang tidak larut. Indeks non solubilitas pada susu bubuk juga dipengaruhi oleh suhu, dimana suhu yang tinggi akan mendenaturasi protein (dalam bentuk β-laktoglobulin) kompleks dengan kasein dan laktosa dalam perbandingan tertentu sehingga meningkatkan fraksi tidak larut (Augustin dan Clarke 2008). Analisis indeks non solubilitas dilakukan setiap minggu terhadap produk yang disimpan pada suhu 30oC, 40oC, dan 55oC. Penyimpanan pada suhu tinggi ini diharapkan akan mempercepat kerusakan pada produk. Data indeks non solubilitas setiap minggu kemudian diplotkan ke dalam ordo 0 dan ordo 1 (lihat Tabel 9). Pada ordo 0, data indeks non solubilitas sebagai sumbu-y diplotkan terhadap waktu penyimpanan sebagai sumbu-x (lihat Gambar 9), sedangkan pada ordo 1 indeks non solubilitas dalam bentuk ln sebagai sumbu-y diplotkan terhadap waktu penyimpanan sebagai sumbu-x (lihat Gambar 10). Tabel 9. Data pengukuran indeks non solubilitas dalam satuan ml Minggu
Suhu Penyimpanan (oC)
0 1 2 3 4 5 6
30
0.20 0.18 0.10 0.10 0.23 0.25 0.25
40
SD
RSDA
RSDH
0.00 0.04 0.00 0.00 0.11 0.07 0.07
0.00 20.20 0.00 0.00 47.14 28.28 28.28
2.55 2.60 2.83 2.83 2.50 2.46 2.46
0.20 0.13 0.08 0.15 0.05 0.30 0.30
55
SD
RSDA
RSDH
0.00 0.04 0.04 0.07 0.00 0.00 0.00
0.00 28.28 47.14 47.14 0.00 0.00 0.00
2.55 2.74 2.95 2.66 3.14 2.40 2.40
0.20 0.10 0.15 0.15 0.60 0.40 2.00
SD
RSDA
RSDH
0.00 0.00 0.07 0.07 0.00 0.00 0.00
0.00 0.00 47.14 47.14 0.00 0.00 0.00
2.55 2.83 2.66 2.66 2.16 2.30 1.80
Berdasarkan data pengukuran indeks non solubilitas yang diplotkan dalam ordo nol maupun ordo satu menunjukkan nilai yang cukup fluktuatif. Nilai R2 kedua ordo belum mencapai 75% data terwakili oleh model persamaan regresi linier. Oleh karena itu, perlu penambahan waktu pengukuran untuk mendapatkan nilai indeks non solubilitas yang lebih banyak lagi selama waktu penyimpanan. Jika dibandingkan antara ordo nol dan ordo satu, maka ordo nol memiliki nilai R2 yang lebih tinggi dibandingkan ordo satu sehingga penurunan mutu susu bubuk berdasarkan parameter indeks non solubilitas mengikuti ordo reaksi nol dimana konsentrasi tidak mempengaruhi laju reaksi. Semakin tinggi kadar lemak pada susu bubuk juga akan meningkatkan indeks solubilitas atau fraksi tidak terlarutnya (Augustin dan Clarke 2008). Oleh karena itu, terdapat korelasi antara indeks non solubilitas dan kadar lemak bebas, dimana peningkatan kadar lemak bebas akan meingkatkan pula indeks non solubilitasnya. Nilai yang paling menunjukkan korelasi kedua parameter adalah pada minggu ke-6 suhu 55oC dimana peningkatan yang drastis dari kadar lemak bebas meningkatkan pula nilai indeks non solubilitasnya secara drastis dibandingkan minggu-minggu sebelumnya. Peningkatan nilai
28
indeks non solubilitas juga dipengaruhi oleh denaturasi protein akibat pemanasan selama penyimpanan.
2 .5
o
y 3 0 C = 0 .0 1 5 x + 0 .1 4 R
2 .0
2
Suhu 30
= 0 .2 5 0
Suhu 40
o
y 4 0 C = 0 .0 2 2 x + 0 .1 1 R
2
Suhu 55
= 0 .2 2 5
o o o
C C C
o
y 5 5 C = 0 .2 3 0 x - 0 .1 8
In d ek s n o n so lu b ilitas (m l)
1 .5
R
2
= 0 .5 3 8
1 .0
0 .5
0 .0
- 0 .5 0
1
2
3
4
5
6
7
W a k tu (m in g g u )
Gambar 9. Grafik ordo reaksi nol parameter indeks non solubilitas
1 o
y 3 0 C = 0 .0 7 8 x - 1 .9 8 R
2
= 0 .1 7 9 Suhu 30 o
y 4 0 C = 0 .0 9 1 x - 2 .2 1 0
R
2
Suhu 40
= 0 .0 8 5 Suhu 55
o o o
C C C
o
y 5 5 C = 0 .3 9 5 x - 2 .3 9
L n In d ek s n o n so lu b ilitas (m l)
R
2
= 0 .6 7 3
-1
-2
-3
-4 0
1
2
3
4
5
6
7
W a k tu (m in g g u )
Gambar 10. Grafik ordo reaksi satu parameter indeks non solubilitas
29
Fluktuasi data dapat disebabkan oleh pengaruh subyektivitas selama pengukuran. Pada saat pembacaan nilai fraksi tidak terlarut pada tabung sentrifuse berskala, diduga masih ada campuran fraksi terlarut dari hasil sentrifugasi sehingga menghasilkan nilai indeks non solubilitas yang bias dan nilainya bervariasi antar data. Selain itu, proses sentrifugasi akan menghasilkan endapan miring sehingga dapat mempengaruhi pembacaan nilai skala. Hal tersebut tampak pada nilai SD dan RSD yang besar pada sebagian data. Kesalahan yang terjadi disebabkan kurangnya cara pembacaan nilai skala yang spesifik. Dalam IDF (2002), terdapat cara pembacaan yang lebih spesifik dimana setelah proses sentrifugasi dan fraksi larut dikeluarkan, tabung sentrifuse diisi kembali dengan akuades dan dilakukan sentrifugasi kembali kemudian setelah itu nilai skalanya terbaca dengan lebih jelas.
C. UJI KETEPATAN MODEL Berdasarkan persamaan regresi untuk ketiga parameter yaitu parameter bilangan peroksida, kadar lemak bebas dan indeks non solubilitas diperoleh plot dalam ordo reaksi nol maupun ordo reaksi satu. Dengan melihat laju penurunan mutu susu bubuk tipe-X pada ordo reaksi nol maupun ordo reaksi satu dan nilai R2 dapat dilihat bahwa titik-titik nilai penurunan mutu atau diagram pencar pada sebagian besar parameter seperti parameter bilangan peroksida dan indeks non solubilitas tersebar secara acak atau tidak mengikuti suatu garis lurus. Hal tersebut menunjukkan bahwa kedua peubah yaitu konsentrasi penurunan mutu dan waktu penyimpanan tidak saling berhubungan secara linier (Walpole 1990). Selanjutnya dilakukan modifikasi bentuk model-model persamaan matematis dari persamaan non linier menjadi persamaan linier sehingga dapat ditentukan nilai-nilai tetapannya dengan menggunakan metode kuadrat terkecil untuk mempermudah perhitungan. Menurut Walpole (1990), metode kuadrat terkecil dapat memilih suatu garis regresi terbaik diantara semua kemungkinan garis lurus yang dapat dibuat pada suatu diagram pencar. Berdasarkan persamaan laju penurunan mutu dari ketiga parameter dengan tiga suhu yang diplotkan dalam ordo reaksi nol maupun ordo reaksi satu, dapat ditentukan model yang dapat menggambarkan laju penurunan mutu dengan tepat, agak tepat ataupun kurang tepat dengan menentukan nilai MRD (Mean Relative Determination) masing-masing model. Adapun persamaan untuk menentukan nilai MRD adalah sebagai berikut:
dimana n = 5 untuk bilangan peroksida dan n = 6 untuk kadar lemak bebas dan indeks non solubilitas. Nilai Mi merupakan nilai konsentrasi penurunan mutu susu bubuk tipe-X hasil percobaan secara empiris sedangkan nilai Mpi merupakan nilai konsentrasi penurunan mutu susu bubuk tipe-X hasil perhitungan secara prediktif yang diperoleh dengan memasukkan nilai konsentrasi penurunan mutu empiris ke dalam persamaan regresi masing-masing parameter dan suhu penyimpanan. Hasil perhitungan nilai MRD untuk tiap parameter dan suhu penyimpanan disajikan pada Tabel 10. Dalam Isse et al. (1983), apabila nilai MRD < 5 maka model menggambarkan laju penurunan mutu dengan tepat, sedangkan jika nilai MRD > 10 maka model kurang tepat dalam
30
menggambarkan laju penurunan mutu susu bubuk tipe-X. Nilai 5 < MRD < 10 menunjukkan model agak tepat dalam menggambarkan laju penurunan mutu susu bubuk. Tabel 10. Hasil perhitungan nilai MRD MRD
Suhu (oC)
Bilangan peroksida Ordo 0a Ordo 1b 7.64 16.04 16.38 18.30 15.38 8.08
30 40 55
Kadar lemak bebas Ordo 0c Ordo 1d 12.40 22.82 8.07 14.58 14.27 14.30
a
d
b
e
lihat Lampiran 2 lihat Lampiran 4 c lihat Lampiran 6
Indeks non solubilitas Ordo 0e Ordo 1f 33.93 14.95 73.20 24.37 97.70 49.93
lihat Lampiran 8 lihat Lampiran 10 f lihat Lampiran 12
Model persamaan yang dipilih adalah model yang memberikan nilai MRD terkecil,dimana model tersebut menggambarkan keseluruhan laju penurunan mutu susu bubuk tipe-X dengan tepat. Berdasarkan data, nilai MRD terkecil ditunjukkan oleh parameter bilangan peroksida pada suhu 30oC yang mengikuti ordo reaksi nol yaitu 7.64 dimana nilai tersebut menunjukkan model agak tepat dalam menggambarkan laju penurunan mutu susu bubuk tipe-X (Gambar 11). Selain parameter bilangan peroksida ordo reaksi nol suhu 30oC terdapat juga parameter lain yang menggambarkan laju penurunan susu bubuk tipe-X secara agak tepat yaitu yang memiliki nilai MRD antara 5 – 10. Parameter tersebut adalah parameter bilangan peroksida ordo reaksi satu pada suhu 55oC yang memiliki nilai MRD 8.08 dimana ditunjukkan oleh Gambar 12 dan parameter kadar lemak bebas ordo reaksi nol pada suhu 40oC yang memiliki nilai MRD 8.07 dimana ditunjukkan oleh Gambar 13. 0 .3 6 0 .3 4
P V (m eq /k g sam p el)
0 .3 2 0 .3 0 0 .2 8 0 .2 6 0 .2 4 0 .2 2 H a s il p e r c o b a a n s u h u 3 0
o
C
0 .2 0 H a s il p e r h itu n g a n s u h u 3 0
o
C
0 .1 8 0
1
2
3
4
5
6
W a k tu ( m in g g u )
Gambar 11. Kurva perbandingan data hasil percobaan dan hasil perhitungan parameter bilangan peroksida ordo reaksi nol pada suhu 30oC
31
- 1 .0
L n P V (m eq .k g sam p el)
- 1 .1
- 1 .2
- 1 .3
- 1 .4
- 1 .5
H a s il p e r c o b a a n s u h u 5 5
- 1 .6
o
C
H a s il p e r h itu n g a n s u h u 5 5
o
C
- 1 .7 0
1
2
3
4
5
6
W a k tu ( m in g g u )
Gambar 12. Kurva perbandingan data hasil percobaan dan hasil perhitungan parameter bilangan peroksida ordo reaksi satu pada suhu 55oC 4 .0
K ad ar lem ak b eb as (% )
3 .5
3 .0
2 .5
2 .0
1 .5 o
H a s il p e rc o b a a n s u h u 4 0 C
1 .0
o
H a s il p e rh itu n g a n s u h u 4 0 C 0 .5 0
1
2
3
4
5
6
7
W a k tu (m in g g u )
Gambar 13. Kurva perbandingan data hasil percobaan dan hasil perhitungan parameter kadar lemak bebas ordo reaksi nol pada suhu 40oC
32
Nilai MRD menggambarkan kedekatan nilai konsentrasi penurunan mutu berdasarkan bilangan peroksida hasil percobaan dengan model matematisnya. Semakin dekat nilainya, maka model semakin tepat menggambarkan laju penurunan mutu susu bubuk tipe-X yang ditunjukkan dengan nilai MRD yang kecil. Perbandingan antara model hasil percobaan dan hasil perhitungan untuk parameter bilangan peroksida ordo reaksi nol dan satu dapat dilihat pada Lampiran 3 dan 5. Perbandingan antara model hasil percobaan dan hasil perhitungan untuk parameter kadar lemak bebas ordo reaksi nol dan satu dapat dilihat pada Lampiran 7 dan 9. Perbandingan antara model hasil percobaan dan hasil perhitungan untuk parameter indeks non solubilitas ordo reaksi nol dan satu dapat dilihat pada Lampiran 11 dan 13.
33
VI. PENUTUP
A. KESIMPULAN Penentuan laju penurunan mutu didasarkan dengan parameter kritis pada produk susu bubuk tipe-X yaitu pada beberapa parameter objektif. Parameter kritis susu bubuk tipe-X adalah bilangan peroksida, kadar lemak bebas, dan indeks non solubilitas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produk susu bubuk tipe-X mengalami penurunan mutu yang cukup signifikan selama penyimpanan, terutama pada kadar lemak bebas. Laju penurunan mutu parameter kadar lemak bebas dan indeks non solubilitas mengikuti ordo reaksi nol. Hal ini menunjukkan bahwa laju penurunan mutu tersebut tidak dipengaruhi oleh konsentrasi pada suhu konstan. Berdasarkan data, suhu mempengaruhi laju penurunan mutu dimana semakin tinggi suhu laju penurunan mutu susu bubuk tipe-X semakin meningkat. Berdasarkan uji ketepatan model, parameter yang agak tepat menggambarkan laju penurunan mutu susu bubuk tipe-X dimana ditunjukkan dengan nilai MRD 5-10 adalah parameter bilangan peroksida ordo reaksi nol pada suhu 30oC yaitu 7.64, parameter bilangan peroksida ordo reaksi satu pada suhu 55oC yaitu 8.08, dan parameter kadar lemak bebas ordo reaksi nol pada suhu 40oC yaitu 8.07.
B. REKOMENDASI Nilai persamaan regresi linier dari ketiga parameter kurang mencukupi untuk menentukan model matematika penurunan mutu susu bubuk. Oleh karena itu, untuk pengukuran selanjutnya sebaiknya waktu pengukuran diperpanjang khususnya untuk penyimpanan pada suhu yang paling rendah (30oC). Untuk pengukuran indeks non solubilitas sebaiknya menggunakan acuan IDF 2002 dalam penentuan nilai skalanya karena lebih spesifik dan memperkecil faktor kesalahan. Berdasarkan data diperoleh bahwa susu bubuk tipe-X cukup sensitif terhadap suhu tinggi, oleh karena itu perlu adanya kontrol suhu selama penyimpanan dan distribusi agar tidak terjadi penurunan mutu yang drastis dimana penyimpanan sebaiknya dibawah suhu 40oC.
DAFTAR PUSTAKA
Augustin MA, Clarke PT. 2008. Dry Milk Products. In: Ramesh CC, Kilara A, Shah NP. (eds.). Dairy Processing and Quality Assurance. Wiley- Blackwell, Iowa USA Arpah M. 2001. Buku dan Monograf Penentuan Kadaluarsa Produk Makanan. Program Pasca Sarjana Ilmu Pangan IPB, Bogor. Association of Official Analytical Chemist. 1990. Official Method of The Association of Official Chemist. AOAC Inc., Virginia. Association of Official Analytical Chemist. 1995. Official Method of The Association of Official Chemist. AOAC Inc., Virginia. Association of Official Analytical Chemist. 2006. Official Methods of Analysis 18 th ed. AOAC International, Gaithersburg Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2006. Kategori Pangan. Direktorat Standarisasi Produk Pangan, Jakarta. Chandan R. 1997. Dairy-Based Ingredients. Eagen Press, St. Paul. Cha´vez-Servı´n JL, Castellote AI, Rivero M, Lo´pez-Sabater MC. 2008. Analysis of vitamins A, E and C, iron and selenium contents in infant milk-based powdered formula during full shelflife. Food Chemistry 107:1187–1197 Fennema OR. 1985. Food Chemistry. Marcel Dekker, Inc., New York. Floros JD, Gnanasekharan V. 1993. Shelf-life Prediction of Packaged Foods: Chemichal, Biological, Physical, and Nutritional Aspects. Chlaralambous G (ed.). Elsevier Publ., London. Hornero-Méndez D, Pérez-Gálvez A, Mínguez-Mosquera MI. 2001. A rapid spectrophotometric method for the determination of peroxide value in food lipids with high carotenoid content. JAOCS 78:1151–1155 IDF. 1988. Code of Practice for the Preservation of Raw Milk by the Lactoperoxidase Sistem. Buletin International Dairy Federation, Brussels. IDF. 1991. Dried Milk Protein Products - Determination of Nitrogen solubility Index, Standard No. 173. Buletin International Dairy Federation, Brussels. IDF. 2002. Determination of Peroxide Value in Milk and Milk Products. Buletin International Dairy Federation, Brussels. Isse MG, Schuchmann H, Schubert H. 1983. Devided sorption isotherm concept, an alternative way to describe sorption isotherm data. J. Food Eng. 16:147-157. ISO. 2005. Dried milk and dried milk products : determination of insolubility index. International Organization of Standardization, Geneva. ISO. 2008. Dried milk and dried milk products : determination of fat content (gravimetric method). International Organization of Standardization, Geneva. Labuza TP. 1982. Shelf-life Dating of Foods. Food and Nutrition Press., Inc., Westport, Connecticut.
Labuza TP. 1983. Reaction kinetics and accelerated test simulation as a function of temperature. In: Saguy I (ed.). Computer-aided Techniques in Food Technology. Marcel-Dekker, New York. Man CM. 2000. Shelf-life Evaluation of Foods, 2nd ed. Aspen Publisher Incorporation, London. Miller GD, Jarvis JK, McBean LD. 2006. Handbook of Dairy Foods and Nutrition Third Edition. CRC Press, New York. Raharjo S. 2006. Kerusakan Oksidatif pada Makanan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Rahayu WP, Arpah M. 2003. Penetapan Kadaluarsa Produk Industri Kecil Pangan. Program Pasca Sarjana Ilmu Pangan IPB, Bogor. Romeu-Nadal M, Cha´vez-Servı´n JL, Castellote AI, Rivero M, Lo´pez-Sabater MC. 2007. Oxidation stability of the lipid fraction in milk powder formulas. Food Chemistry 100:756–763 Skanderby M, Westergaard V, Partridge A, Muir DD. 2009. Dried milk products. In: Tamime Ay (ed.). Dairy Powders and Concentrated Products. Wiley-Blackwell Publishing, London. Standar Nasional Indonesia. 1999. SNI 01-2970-1999 tentang Susu Bubuk. Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta. Stapelfeldt H, Nielsen BR, Skibsted LH. 1997. Effect of heat treatment, water activity and storage temperature on the oxidative stability of whole milk powder. Int. Dairy Journal 7:331-339. Syarief R, Halid H. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Pusat Studi Antar Universitas IPB, Bogor. USDA 2010. Whole milk powder production and consumption: summary for selected countries. http://www.fas.usda.gov/psdonline (4 Juli 2011). Valero E, Villamiel M, Miralles B, Sanz J, Martinez-Castro I. 2001. Change in flavor and volatile components during storage of whole and skimmed UHT milk. Food Chemistry 72:51-58. Walpole RE. 1990. Pengantar Statistika. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Walstra P. 1982. Recombination of milk and milk products. Bulletin of the International Dairy Federation, Brussels. Walstra P, Geurts TJ, Noomen A, Jellema A, van Boekel MAJS. 1999. Dairy Technology: Principles of Milk Properties and Processes. Marcel Dekker, New York. Watson Dairy Consulting. 2011. Milk powder production. http://www.dairyconsultant.co.uk (1 Agustus 2011). Widodo. 2003. Teknologi Proses Susu Bubuk. Lacticia Press, Yogyakarta.
36
LAMPIRAN
Lampiran 1. Spesifikasi Alat Pengukur Oksigen (Servomex Gas Analyzer) Gas Measured Technology PERFORMANCE Range Output Accuracy (Intrinsic error) Response time (T90) PHYSICAL Dimensions Weight Inlet Pressure Sample flow rate Sample filter Sample Connections Operating Temperature Storage Temperature Power Supply Vac Power Supply Vdc Materials in contact.with sample
O2 Servomex Paramagnetic cell 00.00 - 100.00% O2 4½ digit, 0.5” LCD ±0.1% O2 <7.5 sec with an inlet pressure of 10psig (70kPa) (W x D x H) 7.5” x 6.0” x 12.8” (190mm x 150mm x 324mm) 6.2 lbs (2.8kgs) 0.5psig (minimum) to 10psig (maximum) (3.5 kPa to 70 kPa) Over the specified inlet pressure range sample flow rate will be approximately 1 to 6 lpm. Replaceable 0.6μm glass fiber filter 1/4” ID tube, push-on (6.4 mm ID tube) +32°F to +122°F ( 0°C to +50°C) - 4°F to +131°F (-20°C to +50°C) 120,230,240Vac ±10%, 5VA (external power supply available for US, UK & Europe) 12 Vdc, 300mA (car cigarette lighter adaptor) Stainless steel SS316, platinum, pyrex, nickel, glass fiber (filter), Viton and polypropylene
Lampiran 2. Data hasil percobaan dan perhitungan parameter bilangan peroksida ordo reaksi nol Waktu (minggu)
Bilangan peroksida hasil percobaan
Bilangan peroksida hasil perhitungan
o
30 C
o
40 C
o
55 C
30oC
40oC
55oC
0
0.19
0.19
0.19
0.24
0.21
0.20
1
0.28
0.29
0.28
0.26
0.25
0.24
2
0.32
0.34
0.25
0.28
0.30
0.27
3
0.33
0.26
0.30
0.31
0.34
0.31
4
0.32
0.34
0.26
0.33
0.38
0.35
5
0.32
0.48
0.45
0.35
0.42
0.38
38
Lampiran 3. Kurva perbandingan hasil percobaan dan perhitungan laju penurunan mutu susu bubuk tipe-X berdasarkan parameter bilangan peroksida ordo reaksi nol 0 .3 6
0 .5 0
0 .3 4 0 .4 5
0 .4 0
0 .3 0
P V (m eq /k g sam p el)
P V (m eq /k g sam p el)
0 .3 2
0 .2 8 0 .2 6 0 .2 4
0 .3 5
0 .3 0
0 .2 5 0 .2 2 o
H a s il p e rc o b a a n s u h u 3 0 C
0 .2 0
o
0 .2 0
o
H a s il p e rc o b a a n s u h u 4 0 C
H a s il p e rh itu n g a n s u h u 3 0 C
o
H a s il p e rh itu n g a n s u h u 4 0 C
0 .1 8
0 .1 5 0
1
2
3
4
5
6
0
1
W a k tu (m in g g u )
2
3
4
5
W a k tu (m in g g u )
0 .5 0 o
H a s il p e rc o b a a n s u h u 5 5 C 0 .4 5
o
H a s il p e rh itu n g a n s u h u 5 5 C
P V (m eq /k g sam p el)
0 .4 0
0 .3 5
0 .3 0
0 .2 5
0 .2 0
0 .1 5 0
1
2
3
4
5
6
W a k tu (m in g g u )
Lampiran 4. Data hasil percobaan dan perhitungan parameter bilangan peroksida ordo reaksi satu Waktu (minggu)
Bilangan peroksida hasil percobaan
Bilangan peroksida hasil perhitungan
30oC
40oC
55oC
30oC
40oC
55oC
0
-1.66
-1.66
-1.66
-1.31
-1.40
-1.50
1
-1.16
-1.27
-1.29
-1.27
-1.33
-1.42
2
-0.94
-0.88
-1.29
-1.23
-1.27
-1.35
3
-1.02
-1.31
-1.16
-1.19
-1.20
-1.27
4
-1.11
-0.97
-1.39
-1.15
-1.13
-1.19
5
-1.39
-1.29
-1.09
-1.11
-1.07
-1.12
39
6
Lampiran 5. Kurva perbandingan hasil percobaan dan perhitungan laju penurunan mutu susu bubuk tipe-X berdasarkan parameter bilangan peroksida ordo reaksi satu - 0 .9
- 0 .8
- 1 .0 - 1 .0
L n P V (m eq /k g sam p el)
L n P V (m eq /k g sam p el)
- 1 .1
- 1 .2
- 1 .3
- 1 .4
- 1 .2
- 1 .4
- 1 .5 - 1 .6
o
H a s il p e rc o b a a n s u h u 3 0 C
o
H a s il p e rc o b a a n s u h u 4 0 C
o
- 1 .6
H a s il p e rh itu n g a n s u h u 3 0 C
o
H a s il p e rh itu n g a n s u h u 4 0 C
- 1 .7
- 1 .8 0
1
2
3
4
5
6
0
1
2
W a k tu (m in g g u )
3
4
5
6
W a k tu (m in g g u )
- 1 .0
L n P V (m eq .k g sam p el)
- 1 .1
- 1 .2
- 1 .3
- 1 .4
- 1 .5 o
H a s il p e rc o b a a n s u h u 5 5 C
- 1 .6
o
H a s il p e rh itu n g a n s u h u 5 5 C - 1 .7 0
1
2
3
4
5
6
W a k tu (m in g g u )
Lampiran 6. Data hasil percobaan dan perhitungan parameter kadar lemak bebas ordo reaksi nol Waktu (minggu)
Kadar lemak bebas hasil percobaan
Kadar lemak bebas hasil perhitungan
o
30 C
o
40 C
o
55 C
30oC
40oC
55oC
0
1.02
1.02
1.02
1.57
1.59
1.33
1
1.99
2.35
3.46
1.64
1.89
2.74
2
2.06
2.20
3.99
1.70
2.19
4.14
3
1.71
2.69
5.46
1.76
2.49
5.55
4
1.87
3.07
7.66
1.83
2.79
6.95
5
2.12
3.07
6.08
1.89
3.09
8.36
6
1.59
3.05
11.17
1.95
3.39
9.76
40
2 .2
4 .0
2 .0
3 .5
1 .8
3 .0
K ad ar lem ak b eb as (% )
K ad ar lem ak b eb as (% )
Lampiran 7. Kurva perbandingan hasil percobaan dan perhitungan laju penurunan mutu susu bubuk tipe-X berdasarkan parameter kadar lemak bebas ordo reaksi nol
1 .6
1 .4
1 .2
2 .5
2 .0
1 .5
o
o
H a s il p e rc o b a a n s u h u 3 0 C
1 .0
H a s il p e rc o b a a n s u h u 4 0 C
1 .0
o
o
H a s il p e rh itu n g a n s u h u 3 0 C
H a s il p e rh itu n g a n s u h u 4 0 C
0 .8
0 .5 0
1
2
3
4
5
6
7
0
1
2
W a k tu (m in g g u )
3
4
5
6
7
W a k tu (m in g g u )
12 o
H a s il p e rc o b a a n s u h u 5 5 C o
H a s il p e rh itu n g a n s u h u 5 5 C
K ad ar lem ak b eb as (% )
10
8
6
4
2
0 0
1
2
3
4
5
6
7
W a k tu (m in g g u )
Lampiran 8. Data hasil percobaan dan perhitungan parameter kadar lemak bebas ordo reaksi satu Waktu (minggu)
Kadar lemak bebas hasil percobaan
Kadar lemak bebas hasil perhitungan
o
30 C
o
40 C
o
55 C
30oC
40oC
55oC
0
0.02
0.02
0.02
0.40
0.41
0.55
1
0.69
0.85
1.24
0.45
0.56
0.87
2
0.72
0.79
1.38
0.49
0.71
1.19
3
0.53
0.99
1.70
0.54
0.86
1.51
4
0.63
1.12
2.04
0.59
1.01
1.83
5
0.75
1.12
1.81
0.64
1.15
2.15
6
0.46
1.12
2.41
0.69
1.30
2.47
41
Lampiran 9. Kurva perbandingan hasil percobaan dan perhitungan laju penurunan mutu susu bubuk tipe-X berdasarkan parameter kadar lemak bebas ordo reaksi satu 0 .8
1 .4
1 .2
L n k ad ar lem ak b eb as (% )
L n k ad ar lem ak b eb as (% )
0 .6
0 .4
0 .2
1 .0
0 .8
0 .6
0 .4
0 .2 o
H a s il p e rc o b a a n s u h u 3 0 C
0 .0
o
H a s il p e rc o b a a n s u h u 4 0 C
o
H a s il p e rh itu n g a n s u h u 3 0 C
0
1
2
3
4
5
o
0 .0
6
H a s il p e rh itu n g a n s u h u 4 0 C
7
0
1
W a k tu (m in g g u )
2
3
4
5
6
7
W a k tu (m in g g u )
3 .0
L n k ad ar lem ak b eb as (% )
2 .5
2 .0
1 .5
1 .0
0 .5 o
H a s il p e rc o b a a n s u h u 5 5 C 0 .0
o
H a s il p e rh itu n g a n s u h u 5 5 C
0
1
2
3
4
5
6
7
W a k tu (m in g g u )
Lampiran 10. Data hasil percobaan dan perhitungan parameter indeks non solubilitas ordo reaksi nol Waktu (minggu)
Indeks non solubilitas hasil percobaan
Indeks non solubilitas hasil perhitungan
30oC
40oC
55oC
30oC
40oC
55oC
0
0.20
0.20
0.20
0.14
0.10
-0.18
1
0.18
0.13
0.10
0.16
0.13
0.05
2
0.10
0.08
0.15
0.17
0.15
0.28
3
0.10
0.15
0.15
0.19
0.17
0.51
4
0.23
0.05
0.60
0.20
0.19
0.74
5
0.25
0.30
0.40
0.22
0.22
0.98
6
0.25
0.30
2.00
0.23
0.24
1.21
42
Lampiran 11. Kurva perbandingan hasil percobaan dan perhitungan laju penurunan mutu susu bubuk tipe-X berdasarkan parameter indeks non solubilitas ordo reaksi nol 0 .3 5 0 .2 6 H a s il p e rc o b a a n
H a s il p e rc o b a a n su h u 3 0 o C
0 .2 4
o
su h u 4 0 C
0 .3 0
H a s il p e rh itu n g a n
H a s il p e rh itu n g a n
o
o
su h u 3 0 C
In d ek s n o n so lu b ilitas
In d ek s n o n so lu b ilitas (m l)
0 .2 2 0 .2 0 0 .1 8 0 .1 6 0 .1 4
su h u 4 0 C
0 .2 5
0 .2 0
0 .1 5
0 .1 0
0 .1 2 0 .0 5 0 .1 0 0 .0 0 0 .0 8
0 0
1
2
3
4
5
6
1
2
3
4
5
6
7
7 W a k tu (m in g g u )
W a k tu (m in g g u ) 2 .5 o
H a s il p e rc o b a a n s u h u 5 5 C
In d ek s n o n so lu b ilitas (m l)
2 .0
o
H a s il p e rh itu n g a n s u h u 5 5 C
1 .5
1 .0
0 .5
0 .0
- 0 .5 0
1
2
3
4
5
6
7
W a k tu (m in g g u )
Lampiran 12. Data hasil percobaan dan perhitungan parameter indeks non solubilitas ordo reaksi satu Waktu (minggu)
Indeks non solubilitas hasil percobaan
Indeks non solubilitas hasil perhitungan
30oC
40oC
55oC
30oC
40oC
55oC
0
-1.61
-1.61
-1.61
-1.98
-2.21
-2.39
1
-1.74
-2.08
-2.30
-1.90
-2.21
-2.00
2
-2.30
-2.59
-1.90
-1.82
-2.20
-1.60
3
-2.30
-1.90
-1.90
-1.75
-1.94
-1.21
4
-1.49
-3.00
-0.51
-1.67
-1.85
-0.81
5
-1.39
-1.20
-0.92
-1.59
-1.76
-0.42
6
-1.39
-1.20
0.69
-1.51
-1.67
-0.02
43
Lampiran 13. Kurva perbandingan hasil percobaan dan perhitungan laju penurunan mutu susu bubuk tipe-X berdasarkan parameter indeks non solubilitas ordo reaksi satu - 1 .0
- 1 .2
H a s il p e r c o b a a n
- 1 .2
H a s il p e r c o b a a n
o
su h u 4 0 C
o
su h u 3 0 C
- 1 .4
o
su h u 3 0 C - 1 .6
- 1 .8
- 2 .0
H a s il p e r h itu n g a n o
L n in d e k s n o n so lu b ilita s (m l)
H a s il p e r h itu n g a n
su h u 4 0 C
- 1 .6 - 1 .8 - 2 .0 - 2 .2 - 2 .4 - 2 .6 - 2 .8
- 2 .2 - 3 .0 - 3 .2
- 2 .4 0
1
2
3
4
5
6
0
7
1
2
3
4
5
6
7
W a k tu ( m in g g u )
W a k tu ( m in g g u ) 1 .0 o
H a s il p e r c o b a a n s u h u 5 5 C
0 .5
o
H a s il p e r h itu n g a n s u h u 5 5 C
L n in d e k s n o n so lu b ilita s (m l)
L n in d e k s n o n so lu b ilita s (m l)
- 1 .4
0 .0
- 0 .5
- 1 .0
- 1 .5
- 2 .0
- 2 .5
- 3 .0 0
1
2
3
4
5
6
7
W a k tu ( m in g g u )
44