ISSN 0216-4329 E-ISSN 2442-8957
TERAKREDITASI NO : 642/AU3/P2MI-LIPI/07/2015
PENELITIAN HASIL HUTAN Vol. 34 No. 4, Desember 2016
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN (Ministry of Environment and Forestry) BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI (Research Development and Innovation Agency) PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HASIL HUTAN (Forest Product Research and Development Center) BOGOR - INDONESIA
ISSN 0216-4329 E-ISSN 2442-8957 TERAKREDITASI NO : 642/AU3/P2MI-LIPI/07/2015
Vol. 34 No. 4, Desember 2016 Jurnal Penelitian Hasil Hutan adalah publikasi ilmiah di bidang anatomi, fisik mekanik, teknologi serat, komposit, biodeteriorasi dan pengawetan bahan berlignoselulosa, teknologi pengeringan hasil hutan, penggergajian dan pemesinan kayu, pengolahan hasil hutan kayu dan bukan kayu, pengolahan kimia dan energi hasil hutan, keteknikan hutan dan pemanenan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Jurnal ini terakreditasi oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai Majalah Berkala Ilmiah (Akreditasi No. 642/AU3/P2MI-LIPI/07/2015). Jurnal ini dipublikasikan pertama pada tahun 1984 dan terbit empat kali dalam satu volume setiap tahun. Journal of Forest Product Research is a scientific publication reporting research findings in the field of anatomy, physical and mechanical, fiber technology, composite, biodeterioration and preservation of lignocellulosic materials, forest products drying technology, wood sawing and machining, wood and non wood forest products processing, chemical and forest product energy processing, forest engineering and wood and non wood forest products harvesting. This journal has been accredited by Indonesian Institute of Science (LIPI) as a Scientific Periodical Magazine (Accreditation Number 642/AU3/P2MI-LIPI/07/2015). This journal was first published in 1984 and issued four numbers in one volume every year. Pelindung (Condescendent )
: Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan
Dewan Redaksi (Editorial Board) Ketua (Editor in chief) Anggota (Members)
: Prof. Dr. Gustan Pari (P3HH-Pengolahan Kimia dan Energi Hasil Hutan) 1. Prof. Dulsalam (P3HH-Keteknikan Hutan) 2. Prof. Dr. Adi Santoso (P3HH-Pengolahan Hasil Hutan) 3. Ir. Jamal Balfas, M.Sc (P3HH-Pengolahan Hasil Hutan) 4. Dr. Krisdianto (P3HH-Pengolahan Hasil Hutan) 5. Dr. Djarwanto (P3HH-Pengolahan Hasil Hutan) 6. Dr. I.M. Sulastiningsih (P3HH-Pengolahan Hasil Hutan) 7. Ir. Totok K. Waluyo, M.Si (P3HH-Pengolahan Hasil Hutan Bukan Kayu) 8. Dr. Wahyu Dwianto (LIPI- Pemanfaatan Hasil Hutan) 9. Dr. Ganis Lukmandaru (UGM-Teknologi Hasil Hutan) 10. Dr. Andi Detti Yunianti (UNHAS-Struktur dan Kualitas Kayu) 11. Dr. Tati Herlina (UNPAD-Kimia) 12. Dr. Yuni Krisyuningsih Krisnandi (UI- Kimia) 13. Dr. Ragil Widyorini (UGM-Pengolahan Kayu) 14. Dr. Lina Karlina Sari (IPB-Sifat Fisik Mekanik Kayu) 15. Dr. Anne Hadiyane (ITB-Hasil Hutan Bukan Kayu) 16. Dr. Syamsul Falah (IPB-Biofarmaka) 17. Dr. Iyus Hendrawan (ITI-Teknik Mesin)
Mitra Bestari (Peer Reviewer)
: 1. Prof. Dr. Subyakto (LIPI-Pengolahan Hasil Hutan) 2. Prof. Dr. Bukhari (ITB-Pengolahan Kimia) 3. Prof. Dr. Yusuf Sudohadi (IPB-Bio Komposit) 4. Prof. Dr. Sumi Hudiyono (UI-Biokimia) 5. Prof. Dr. Elias (IPB-Pemanenan Hasil Hutan) 6. Prof. Dr. T. A. Prayitno (UGM-Teknologi Hasil Hutan) 7. Prof. Dr. Wasrin Syafii (IPB-Kimia Hasil Hutan) 8. Prof. Dr. Unang Supratman (UNPAD-Pengolahan Kimia) 9. Prof. Dr. Musrizal Muin (UNHAS-Teknologi Hasil Hutan) 10. Prof. Dr. Imam Wahyudi (IPB-Sifat dan Kualitas Kayu) 11. Dr. Naresworo Nugroho (IPB-Keteknikan Kayu) 12. Prof. Dr. Sulaeman Yusuf (LIPI-Pengawetan Kayu) 13. Dr. Wawan Hermawan (IPB-Rekayasa Mesin dan Biosistem)
Sekretariat Redaksi (Editorial Secretariat) Ketua (Chairman) : Dr. Ir. Agus Djoko Ismanto, MDM Anggota (Members) : 1. Ir. Erna Rushernawati 2. Deden Nurhayadi, S.Hut. 3. Sophia Pujiastuti
Diterbitkan oleh (Published by): Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan (Forest Product Research and Development Center) Alamat (Address) : Jl. Gunung Batu 5, Bogor 16610, Indonesia Telepon (Phone) : (0251) 8633378 Fax (Faximile) : (0251) 8633413 E-mail :
[email protected];
[email protected] website : www.pustekolah.org (www.pustekolah.litbang.dephut.go.id) Jurnal elektronik (E-journal ) : http://ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/JPHH Percetakan (Printing Company)
: CV. Sinar Jaya, Bogor
ISSN 0216 - 4329 E-ISSN 2442 - 8957 TERAKREDITASI NO : 642/AU3/P2MI-LIPI/07/2015
Vol. 34 No. 4, Desember 2016
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN (Ministry of Environment and Forestry) BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI (Research Development and Innovation Agency) PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HASIL HUTAN (Forest Product Research and Development Center) BOGOR - INDONESIA
UCAPAN TERIMA KASIH Dewan Redaksi Jurnal Penelitian Hasil Hutan mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada mitra bestari (peer reviewers) yang telah mencermati naskah yang dimuat pada edisi Vol. 34 No. 4, Desember 2016 : 1. 2. 3. 4. 5.
Prof. Dr. Wasrin Syafii (Kimia Hasil Hutan - Fakultas Kehutanan, IPB) Prof. Dr. Imam Wahyudi (Sifat dan Kualitas Kayu - Fakultas Kehutanan, IPB) Prof. Dr. Subyakto (Pengolahan Hasil Hutan - Puslit Biomaterial, LIPI) Prof. Dr. Yusuf Sudohadi (Bio Komposit - Fakultas Kehutanan, IPB) Prof. Dr. Elias (Pemanenan Hasil Hutan - Fakultas Kehutanan, IPB)
ISSN 0216 - 4329 E-ISSN 2442 - 8957 TERAKREDITASI NO : 642/AU3/P2MI-LIPI/07/2015
Vol. 34 No. 4, Desember 2016 DAFTAR ISI (CONTENTS) 1. UJI EFEKTIVITAS ISOLAT JAMUR ENTOMOPATOGEN Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorokin TERHADAP RAYAP TANAH PADA PENGUJIAN DI LABORATORIUM DAN LAPANGAN (Isolates Effectiveness Test of Entomopathogenous Fungus Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorokin Against Subterranean Termites in Laboratory and Field Tests) Agus Ismanto & Paimin Sukartana .......................................................................................................................
261 - 268
2. KARAKTERISTIK EKSTRAK KULIT KAYU MAHONI SEBAGAI BAHAN PEREKAT KAYU (Characteristics of Mahogany Bark Extract as Wood Adhesive) Adi Santoso & Abdurachman ...............................................................................................................................
269 - 284
3. BIOKONVERSI SERBUK GERGAJI KAYU HUTAN TANAMAN SEBAGAI MEDIA JAMUR PANGAN Pleurotus spp. (Bioconversion of Plantation Forest Wood Sawdust as Medium of Edible Mushroom Pleurotus spp.) Djarwanto, Sihati Suprapti, & Agus Ismanto .....................................................................................................
285 - 296
4. LEMAK TENGKAWANG SEBAGAI BAHAN DASAR LIPSTIK (Illipe Nut's Fat as Lipstick Raw Material) Raden Esa Pangersa Gusti & Totok K. Waluyo ..................................................................................................
297 - 307
5. POTENSI STRUKTUR NANO KARBON DARI BAHAN LIGNOSELULOSA KAYU JATI DAN BAMBU (The Potency of Nano Carbon Structure Made from Bamboo and Teak Wood Lignocellulose) Gustan Pari, Adi Santoso, Djeni Hendra Buchari, Akhirudin Maddu, Mamat Rachmat, Muji Harsini, Teddi Heriyanto & Saptadi Darmawan ................................................................................................................
309 - 322
6. KOMPOSISI KIMIA DAN KEAWETAN ALAMI 20 JENIS KAYU INDONESIA DENGAN PENGUJIAN DI BAWAH NAUNGAN (Chemical Composition and Natural Durability of 20 Indonesian Wood Species Tested under the Shade) Jasni, Gustan Pari, & Esti Rini Satiti .....................................................................................................................
323- 333
7. FAKTOR EKSPLOITASI HUTAN DI SUB REGIONAL KALIMANTAN TIMUR (Forest Exploitation Factors in Sub Region of East Kalimantan) Soenarno, Wesman Edom, Zakaria Basari, Dulsalam, Sona Suhartana, & Yuniawati ...................................
335 - 348
8. PENGARUH PENAMBAHAN ARANG DAN CUKA KAYU TERHADAP PERTUMBUHAN ANAKAN Shorea platyclados Sloot ex Fowx DAN Shorea selanica Blume (The Effect of Charcoal and Wood Vinegar Addition into Seedling Growth of Shorea platyclados Sloot ex Fowx and Shorea selanica Blume ) Sri Komarayati & Heru Wibisono ........................................................................................................................
349 - 357
9. PERAN GLUKOMANAN-ARANG AKTIF SEBAGAI HIPOKOLESTEROLEMIK PADA TIKUS SPRAGUE DAWLEY (Role of Glucomannan-activated Charcoal as Hypocholesterolemic in Sprague Dawley Rat) Agus Malik Ibrahim, Irma Herawati Suparto, Tetty Kemala, & Gustan Pari ...................................................
359 - 371
iii
ISSN 0216 - 4329 E-ISSN 2442 - 8957
Vol. 34 No. 4, Desember 2016
Kata kunci yang digunakan adalah istilah bebas. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin atau biaya
ABSTRAK UDC (OSDC) 630*845.3 Agus Ismanto & Paimin Sukartana (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan) Uji Efektivitas Isolat Jamur Entomopatogen Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorokin terhadap Rayap Tanah pada Pengujian di Laboratorium dan Lapangan J. Penelit. Has. Hut. Desember. 2016, Vol. 34 No. 4, hlm. 261 - 268
UDC (OSDC) 630*839.811 Djarwanto, Sihati Suprapti & Agus Ismanto (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan) Biokonversi Serbuk Gergaji Kayu Hutan Tanaman sebagai Media Jamur Pangan Pleurotus spp. J. Penelit. Has. Hut. Desember. 2016, Vol. 34 No. 4, hlm. 285 - 296 Serbuk kayu mangium (Acacia mangium), damar (Agathis borneensis), dan karet (Hevea brasiliensis) diujicobakan sebagai media budidaya jamur Pleurotus spp. Hasil penelitian menunjukkan Efisiensi Konversi Biologi (EKB) tertinggi diperoleh dari media kayu karet. Kemampuan mengkonversi serbuk kayu menjadi biomassa jamur tertinggi tercatat pada P. ostreatus. Inokulasi jamur Pleurotus pada serbuk gergaji kayu karet dapat menurunkan nilai C/N media, meskipun bekas medianya masih berupa kompos yang belum matang.
Tulisan ini mempelajari isolat Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorokin yang efektif mengendalikan rayap tanah. Pengujian lima isolat yaitu PLT, SMG, PKM, BDG, dan BGR dilakukan di laboratorium. Uji lapangan dilakukan pada isolat SMG, PKM, dan BDG. Isolat uji dengan beberapa konsentrasi yaitu 0%, 10%, 20%, 50%, dan 100% dicampur dengan pasir ayak (60-80 mesh). Uji laboratorium menunjukkan bahwa isolat BGR konsentrasi 10% paling efektif mengendalikan rayap tanah, sedangkan isolat PLT tercatat paling tidak efektif mengendalikan rayap tanah. Uji lapangan menunjukkan ketiga isolat yang dipelajari, yaitu SMG, PKM, dan BDG kurang efektif mengendalikan rayap tanah.
Kata kunci: Kayu hutan tanaman, serbuk gergaji, pupuk, media kultivasi, jamur Pleurotus
Kata kunci: Metarhizium anisopliae, rayap tanah, isolat jamur, uji lab, uji lapangan UDC (OSDC) 630*824.8 Adi Santoso & Abdurachman (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan) Karakteristik Ekstrak Kulit Kayu Mahoni sebagai Bahan Perekat Kayu J. Penelit. Has. Hut. Desember. 2016, Vol. 34 No. 4, hlm. 269 - 284
UDC (OSDC) 630*892.6 Raden Esa Pangersa Gusti & Totok K. Waluyo (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan) Lemak Tengkawang sebagai Bahan Dasar Lipstik J. Penelit. Has. Hut. Desember. 2016, Vol. 34 No. 4, hlm. 297 - 307 Lemak kakao sudah lama digunakan sebagai bahan dasar lipstik, sedangkan lemak tengkawang dikenal memiliki karakteristik yang serupa dengan lemak kakao. Atas dasar pemikiran tersebut lemak tengkawang diduga dapat digunakan sebagai alternatif pengganti lemak kakao dalam industri kosmetik. Tulisan ini mempelajari formulasi kadar lemak tengkawang yang sesuai untuk pembuatan lipstik. Hasil penelitian menunjukkan formulasi lemak tengkawang pada lipstik berbasis minyak (M3) memiliki mutu mendekati lipstik komersial. Hasil uji organoleptik menunjukkan formula lipstik M5 merupakan lipstik yang paling disukai oleh koresponden.
Tulisan ini menyajikan hasil eksplorasi dan karakterisasi bahan perekat dari kulit kayu mahoni (Swietenia mahagoni Jack) dan tapioka sebagai sumber fenolik dan karbohidrat. Formulasi optimum perekat yang dihasilkan adalah 0,25 mol resorsinol teknis, tapioka 15%, dan formalin teknis 1 mol, serta katalis (NaOH 40%) sebanyak 4% dari total bobot perekat. Kata kunci: Kulit kayu mahoni, ekstraksi, tapioka, perekat
Kata kunci: Formulasi, lemak tengkawang, lipstik komersial, sifat fisik, uji organoleptik
v
UDC (OSDC) 630*813.13 Gustan Pari, Adi Santoso, & Djeni Hendra (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan); Buchari (Departemen Kimia, Institut Teknologi Bandung); Akhirudin Maddu & Mamat Rachmat (Departemen Fisika, Institut Pertanian Bogor), Muji Harsini (Departemen Kimia, Universitas Airlangga, Surabaya), Teddi Heriyanto (Departemen Elektro, Politeknik Bandung), & Saptadi Darmawan (Balai Penelitian Teknologi HHBK Mataram) Potensi Struktur Nano Karbon dari Bahan Lignoselulosa Kayu Jati dan Bambu J. Penelit. Has. Hut. Desember. 2016, Vol. 34 No. 4, hlm. 309 - 322
UDC (OSDC) 630*31 Soenarno, Wesman Endom, Zakaria Basari, Dulsalam, Sona Suhartana & Yuniawati (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan) Faktor Eksploitasi Hutan Alam di Sub Region Kalimantan Timur J. Penelit. Has. Hut. Desember. 2016, Vol. 34 No. 4, hlm. 335 - 348 Faktor eksploitasi berperan sangat penting sebagai pengali dalam menentukan Jatah Produksi Tahunan (JPT). Penelitian bilangan faktor eksploitasi hutan dilaksanakan di Sub Regional Kalimantan Timur pada bulan Nopember 2015. Penelitian dilakukan pada 5 IUPHHK-HA yang dipilih secara acak dan telah mendapatkan sertifikat pengelolaan hutan alam lestari Nasional maupun Internasional. Besarnya bilangan FE di Sub Regional Kalimantan Timur berkisar antara 0,8-0,9 tergantung ketrampilan penebang dan kompetensi IUPHHK-HA.
Tulisan ini mempelajari struktur nano karbon yang potensial sebagai material bioenergi atau biosensor. Hasil penelitian menunjukkan arang aktif terbaik dihasilkan dari aktivasi kimia-fisika (KOH uap air) menghasilkan kadar karbon 84,29%; luas permukaan 850,5 m2/g, derajat kristalinitas 38,99%, dan hambatan sebesar 0,10. Sifat arang aktif kayu jati yang dimasukkan logam Ni dengan perbandingan 1:5 menghasilkan sifat terbaik dengan derajat kristalinitas 73,45% dan konduktivitas sebesar 433,86 S/m. Arang aktif jati hasil sintering menghasilkan derajat kristalinitas 78,29% dengan pola I-V meter berbentuk sigmoid dan respon potensiometer berbentuk slope mendekati faktor Nerst. Nano karbon dari kayu jati bersifat semikonduktor dan lebih sesuai digunakan sebagai biosensor.
Kata kunci: Faktor eksploitasi, hutan alam, Sub Regional, Kalimantan Timur
Kata kunci: Karbon, sintering, biosensor, potensiometer, lignoselulosa UDC (OSDC) 630*841.4 Jasni, Gustan Pari & Esti Rini Satiti (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan) Komposisi Kimia dan Keawetan Alami 20 Jenis Kayu Indonesia dengan Pengujian di Bawah Naungan J. Penelit. Has. Hut. Desember. 2016, Vol. 34 No. 4, hlm. 323 - 333
UDC (OSDC) 630*867.3 Sri Komarayati & Heru S. Wibisono (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan) Pengaruh Penambahan Arang dan Cuka Kayu terhadap Pertumbuhan Bibit Shorea platyclados Sloot ex Fowx dan Shorea selanica Blume J. Penelit. Has. Hut. Desember. 2016, Vol. 34 No. 4, hlm. 349 - 357
Tulisan ini mempelajari komposisi kimia dan keawetan alami 20 jenis kayu Indonesia. Kandungan kimia yang dianalisa adalah selulosa, lignin, dan zat ekstraktif. Pengujian keawetan alami kayu di lapangan dilakukan dengan menguji kayu di bawah naungan. Hasil penelitian menunjukkan kandungan selulosa tertinggi tercatat pada jenis kayu Terminalia arborea K. Et. V.) (61,35%) dan terendah pada jenis kayu Michelia champaca L.var. pubinervia (43,30%). Lignin tertinggi 35,80% tercatat pada jenis kayu Macaranga hypoleuca Muell. Arg. dan terendah tercatat pada kayu 23,67% pada kayu Elmerillia papuana Dandy. Zat ekstraktif tertinggi (7,87%) Azadirachta exelsa Bl. dan terendah (1,52%) pada kayu Petayhapalangium parviflorum A. C. Smith. Hasil pengujian keawetan alami di bawah naungan menunjukkan dari 20 jenis kayu yang dipelajari, empat jenis tergolong kelas II, enam jenis kelas III, tiga jenis kelas IV, dan tujuh jenis kelas V.
Arang dan cuka kayu merupakan bahan organik yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesuburan tanah dan pemacu pertumbuhan tanaman. Tulisan ini mempelajari pengaruh arang dan cuka kayu terhadap pertumbuhan anakan Shorea platyclados dan Shorea selanica. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi arang 10% dan cuka kayu 1% menambah tinggi anakan rata-rata terbesar yaitu 47,77 cm dan rata-rata pertambahan diameter terbesar pada Shorea selanica sebesar 5,28 cm. Kata kunci: Anakan, arang, cuka kayu, pertumbuhan, diameter
Kata kunci: Selulosa, lignin, ekstraktif, keawetan UDC (OSDC) 630*867.3 Agus Malik Ibrahim, Irma Herawati Suparto, Tetty Kemala (Institut Pertanian Bogor), & Gustan Pari (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan) Peran Glukomanan-arang Aktif sebagai Hipokolesterolemik pada Tikus Sprague Dawley J. Penelit. Has. Hut. Desember. 2016, Vol. 34 No. 4, hlm. 359 - 371 Glukomanan dan arang aktif dapat menurunkan kadar kolesterol, namun kombinsi keduanya belum dipelajari secara intensif. Tulisan ini mempelajari kemampuan glukomanan dari tepung Amorphophallus dan arang aktif dalam menurunkan kadar kolesterol tikus Spargue Dawley. Glukomanan diisolasi dari tepung Amorphophallus dan arang aktif dibuat dari serbuk gergaji kayu jati dan serabut kelapa. Tiga puluh lima tikus jantan dewasa Spargue Dawley dengan berat 160 sampai 200 g dibagi kedalam tujuh kelompok perlakuan. Kadar kolesterol tikus diukur sebelum dan sesudah lima minggu perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan penurunan kadar kolesterol tertinggi (37,4%) tercatat dari tikus dengan perlakuan DTL (diet lemak tinggi), glukomanan, CC (DTL dan arang aktif serabut kelapa) (1:1) dan pengurangan lipoprotein kerapatan rendah sebesar 49,7% serta trigliserida sebesar 18,3%. Kata kunci: Penurunan kolesterol, glukomanan, Amorphophallus, arang aktif, tikus Spargue Dawley
vi
ISSN 0216 - 4329 E-ISSN 2442 - 8957
Vol. 34 No. 4, December 2015
Keywords given are free terms. Abstracts may be reproduced without permission or charge
ABSTRACT UDC (OSDC) 630*845.3 Agus Ismanto & Paimin Sukartana (Forest Products Research and Development Center) Isolates Effectiveness Test of Entomopathogenous Fungus Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorokin Against Subterranean Termites in Laboratory and Field Tests J. of Forest Products Research. December. 2016, Vol. 34 No. 4, pp. 261 - 268
UDC (OSDC) 630*839.811 Djarwanto, Sihati Suprapti, & Agus Ismanto (Forest Products Research and Development Center) Bioconversion of Plantation Forest Wood Sawdust as Medium of Edible Mushrooms Pleurotus spp. J. of Forest Products Research. December. 2016, Vol. 34 No. 4, pp. 285 - 296 Fast grown wood i.e. Mangium (Acacia mangium), damar (Agathis borneensis), and rubberwood (Hevea brasiliensis) sawdust were utilized as medium for cultivating edible mushrooms Pleurotus spp. The results showed that the highest biological conversion efficiency (BCE) value was obtained on rubberwood, inoculated by Pleurotus ostreatus. Inoculated Pleurotus spp. on rubber-wood can decreased the C/N ratio, although the spent composted medium was still not yet ripened enough.
This paper studies the effectiveness of Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorokin isolates to control subterranean termites. Five isolates: PLT, SMG, PKM, BDG, and BGR were tested in the laboratory, and three isolates: SMG, PKM, and BDG were tested on the field. Each isolate in various concentrations of 0%, 10%, 20%, 50% and 100% was mixed with sieved sand (60-80 mesh). From the laboratory test, 10% concentration of BGR isolate was the most effective in controlling subterranean termites, while PLT was the most ineffective isolate. All isolates tested in the field were not effective against subterranean termites.
Keywords: Plantation-forest wood, sawdust, fertilizer, cultivation medium, Pleurotus mushrooms
Keywords: Metarhizium anisopliae, subterranean termites, fungi isolates, laboratory test, field test
UDC (OSDC) 630*824.8 Adi Santoso & Abdurachman (Forest Products Research and Development Center) Characteristics of Mahogany Bark Extract as Wood Adhesive J. of Forest Products Research. December. 2016, Vol. 34 No. 4, pp. 269 - 284
UDC (OSDC) 630*892.6 Raden Esa Pangersa Gusti & Totok K. Waluyo (Forest Products Research and Development Center) Illipe Nut's Fat Foemulations as Lipstick Raw Material J. of Forest Products Research. December. 2016, Vol. 34 No. 4, pp. 297 - 307
This paper presents the results of exploration and characterization of adhesive from mahogany (Swietenia mahagoni Jack) bark and tapioca as source of phenolic and carbohydrates. The optimum formulation was obtained front 0.25 mol technical resorcinol, 15% tapioca and 1 mol technical formalin with 4% catalyst (NaOH 40%) from the total weight of adhesive.
Cocoa butter has long been used as a base for lipstick. Illipe nut's fat is known to have similar characteristics to cocoa butter. Based on the informations, Illipe nut's fat can be used as an alternative of coccoa butter substitue in food and cosmetics industries. This research studies the appropriate levels of Illipe nut's fat formulation in lipstick manufacturing. The results showed that lipstick formula M3 has similar quality to commercial lipstick. The results of organoleptic tests showed that the formula lipstick M5 is the most preferred by the correspondents.
Keywords: Mahogany bark, extraction, tapioca, adhesive
Keywords: Commercial lipstick, formulation, Illipe nut's fat, organoleptic test, physical properties
vii
UDC (OSDC) 630*813.13 Gustan Pari, Adi Santoso, Djeni Hendra (Forest Products Research and Development Center), Buchari (Departemen Kimia, Institut Teknologi Bandung), Akhirudin Maddu, Mamat Rachmat (Departemen Fisika, Institut Pertanian Bogor), Muji Harsini (Departemen Kimia, Universitas Airlangga Surabaya), Teddi Heriyanto (Departemen Elektro, Politeknik Bandung), & Saptadi Darmawan (Balai Penelitian Teknologi HHBK Mataram) The Potency of Nano Carbon Structure Made from Bamboo and Teak Wood Lignocellulose J. of Forest Products Research. December. 2016, Vol. 34 No. 4, pp. 309 - 322
UDC (OSDC) 630*31 Soenarno, Wesman Edom, Zakaria Basari, Dulsalam, Sona Suhartana & Yuniawati (Forest Products Research and Development Center) Natural Forest Exploitation Factors in Sub Region of East Kalimantan J. of Forest Products Research. December. 2016, Vol. 34 No. 4, pp. 335 - 348 Forest exploitation factor (FE) is an important factor in deterniming annual allocation of wood production. Research on determination of forest exploitation factor was conducted in Sub Region of East Kalimantan on November 2015. The study was conducted in five randomly selected concession holders (IUPHHK-HA) with national and international sustainable forest management certificates. The FE number for Sub Region of East Kalimantan ranged from 0.8 to 0.9 depends on the logger skills and competencies of the IUPHHKHA.
This paper studies the potency of nano carbon structure from lignocellulose as bioenergy or biosensor material. The results show that the best activated charcoal produced from the chemical-physical activation (KOH steam) possessed high fixed carbon of 84.29%; surface area of 850.5 m2/g, crystallinity of 38,99% and resistancy of 0.10. The teak activated charcoal which was intercalated by Ni at ratio of 1:5 produced the best properties with crystallinity degree of 73.45% and conductivity of 433.86 S/m. The sintered teak activated charcoal had crystallinity degree of 78.29% with I-V meter pattern in sigmoid shape and the potentiometer response formed a slope approaching the Nerst factors. Nano carbon produced from the teak wood is potentially more suitable for biosensors.
Keywords: Exploitation factor, natural forests, Sub-Regional, East Kalimantan
Keywords: Carbon, sintering, biosensor, I-V meter, potentiometer, lignocellulose UDC (OSDC) 630*841.4 Jasni, Gustan Pari & Esti Rini Satiti (Forest Products Research and Development Center) Chemical Composition and Natural Durability of 20 Indonesian Wood Species Tested under the Shade J. of Forest Products Research. December. 2016, Vol. 34 No. 4, pp. 323 - 333
UDC (OSDC) 630*867.3 Sri Komarayati & Heru S. Wibisono (Forest Products Research and Development Center) The Effect of Charcoal and Wood Vinegar Addition into Seedling Growth of Shorea platyclados Sloot ex Fowx and Shorea selanica Blume J. of Forest Products Research. December. 2016, Vol. 34 No. 4, pp. 349 - 357
This paper investigates chemical composition celluloses, lignin and extractives and natural durability of 20 wood species. Testing of wood durability was conducted under the shade. The results showed Terminalia arborea K.et.V. contained the highest cellulose (61.35%), while the lowest (43.30%) was at Michelia champaca L.var.pubinervia. Macaranga hypoleuca Muell. Arg possessed the highest lignin (35.80%), conversely Elmerrillia papuana Dandy the lowest lignin (23.67%). The highest extractive (7.87%) was found at Azadirachta exelsa Bl., while the lowest at Petayhapalangium parvifolium A.C. Smith. (1.52%). Natural durability that four species (class II), six species (class III), three species (class IV), and seven species (class V).
Charcoal and wood vinegar are organic matters that can be used for soil improvement and induce plant growth. The paper studies the effect of charcoal and wood vinegar treatments into Shorea platyclados and Shorea selanica seedling's growth. The results show at that the combination of 10% charcoal and 1% wood vinegar grew the highest seedling height average of 47.77cm and gave the greatest average of Shorea selanica seedling's diameter of 5.28 cm. Keywords: Seedling, charcoal, wood vinegar, growth, diameter
Keywords: Twenty wood species, cellulose, lignin, extractive, natural durability UDC (OSDC) 630*867.3 Agus Malik Ibrahim, Irma Herawati Suparto, Tetty Kemala (Bogor Agricultural University), & Gustan Pari (Centre for Research and Development of Forest Products) The role of Glucomannan-Activated Charcoal as Hypocholesterolemic of Sprague Dawley Rat J. of Forest Products Research. December. 2016, Vol. 34 No. 4, pp. 359 - 371 Glucommanan and activated charcoal individually can lower cholesterol level, however the combination of both of them for lowering the cholesterol level has not been studied intensively. This paper examines the ability of glucommannan derived from Amorphophallus flour and activated charcoal in reducing cholesterol level of Sprague Dawley rat. Firstly, glucommannan was isolated from Amorphophallus flour and activated charcoal was produced from teak sawdust and coconut fiber. Thirty five adult male Sprague Dawley rats with body weight of 160 to 200 g were divided into seven treatment groups. Initial rat cholesterol level was measured and it was compared with those after five weeks. The results showed that the greatest cholesterol reduction (37.4%) is recorded from rat with DTL (high-fat diet) and glucommannan and CC (DTL and coconut fiber’s activated charcoal) (1:1) and low density lipoprotein reduction by about 49.7% and triglyceride reduction by 18,3%. Keywords: Cholesterol reduction, glucomannan, amorphophallus, activated charcoal, rat sprague Dawley.
viii
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 4, Desember 2016: 261-268 ISSN: 0216-4329 Terakreditasi No.: 642/AU3/P2MI-LIPI/07/2015
UJI EFEKTIVITAS ISOLAT JAMUR ENTOMOPATOGEN Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorokin TERHADAP RAYAP TANAH PADA PENGUJIAN DI LABORATORIUM DAN LAPANGAN (Isolate Effectiveness Test of Entomopathogenous Fungus Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorokin Against Subterranean Termites in Laboratory and Field Tests) Agus Ismanto & Paimin Sukartana Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor Telp. (0251) 8633378 ; Fax. (0251) 8633413 E-mail:
[email protected] Diterima 2 November 2015, Direvisi 23 Mei 2016, Disetujui 28 September 2016
ABSTRACT Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorokin is one of the entomopathogenous fungi species which is widely used to control various insect pests in agriculture areas. This paper observes the effective isolates to control subterranean termites. Five isolates: PLT, SMG, PKM, BDG, and BGR were tested in the laboratory, while three isolates: SMG, PKM and BDG were tested on the field. Each isolate was mixed with sieved sand (60-80 mesh) in various concentration (v/v) of 0% (untreated), 10%, 20%, 50% and 100%. The results showed that based on the laboratory test, 10% concentration of BGR isolate was the most effective in controlling subterranean termites Coptotermes curvignathus Holmgren, and PLT was the most ineffective isolate. However, all isolates tested in the field were not effective against subterranean termites. Keywords: Metarhizium anisopliae, subterranean termites, fungi isolates, lab test, field test ABSTRAK Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorokin merupakan salah satu jamur patogen serangga yang banyak digunakan untuk mengendalikan serangga hama di bidang pertanian. Tulisan ini mempelajari isolat M. anisopliae yang efektif mengendalikan rayap tanah. Pengujian lima isolat yaitu PLT, SMG, PKM, BDG, dan BGR dilakukan di laboratorium, sedangkan pengujian di lapangan dilakukan pada tiga isolat yaitu SMG, PKM, dan BDG. Masing-masing isolat dicampur dengan pasir ayak (60-80 mesh) dengan konsentrasi (v/v) 0% (kontrol), 10%, 20%, 50%, dan 100%. Hasil penelitian laboratorium menunjukkan bahwa isolat BGR dengan konsentrasi 10% merupakan isolat yang paling efektif mengendalikan rayap tanah, sedangkan isolat PLT merupakan isolat yang paling tidak efektif mengendalikan rayap tanah. Namun demikian, hasil uji lapangan menunjukkan ketiga isolat tersebut kurang efektif mengendalikan rayap tanah. Kata kunci: Metarhizium anisopliae, rayap tanah, isolat jamur, uji lab, uji lapangan I. PENDAHULUAN Rayap tanah merupakan salah satu serangga perusak kayu yang ganas. Berdasarkan penelitian Sumarni dan Ismanto (1989), bangunan rumah di Desa Sekarwangi, Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi sebanyak 78,5% diserang DOI : http://doi.org/10.20886/jphh.2016.34.4.261-268
oleh rayap tanah. Begitu juga di Komplek Perumahan Banteng, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, didapatkan beberapa rumah dengan umur kurang lebih 11 tahun diserang rayap tanah hingga ke bagian kuda-kuda (Sumarni & Ismanto, 1991). Sementara itu menurut Nandika (2015), dugaan kerugian 261
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 4, Desember 2016: 261-268
ekonomis akibat serangan rayap pada bangunan rumah di Indonesia sebesar 8,68 triliun rupiah dan pada bangunan gedung lainnya sebesar 10 triliun rupiah pada tahun 2015. Hal ini membuktikan bahwa rayap tanah menyerang kayu bangunan rumah sampai bagian paling atas serta menjadi hama perusak kayu bangunan perumahan yang sangat merugikan secara ekonomis. Saat ini pengendalian rayap tanah pada bangunan perumahan lazimnya menggunakan insektisida kimia yang diaplikasikan pada pondasi bangunan (soil treatment) atau pada kayu bangunannya yang disebut dengan pengawetan kayu. Berbagai jenis insektisida kimia digunakan untuk pengendalian jenis rayap tanah. Namun karena alasan lingkungan, penggunaan insektisida tersebut dibatasi, digantikan atau dikombinasikan dengan bahan-bahan lain yang lebih ramah lingkungan, misalnya dengan bioinsektisida. Beberapa keuntungan penggunaan bioinsektisida antara lain ramah lingkungan dan berspektrum sempit, sehingga hanya hama sasaran saja yang mati. Salah satu jenis bioinsektisida yang banyak dikembangkan adalah jamur entomopatogen (jamur patogen serangga). Yusuf, Desyanti, Santoso, dan Hadi (2005) pernah melakukan penelitian tentang jamur yang ditemukan pada hama pertanian yang dapat menyerang rayap tanah Coptotermes sp. yaitu Beuveria bassiana, Metarhizium anisopliae, Paecilomyces sp., Myrothesium sp., Cladosporium sp., Verticillium sp. dan Aspergillus sp. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa jamur M. anisopliae merupakan jamur yang paling efektif mengendalikan rayap Coptotermes sp. Jenis jamur M. anisopliae juga dilaporkan efektif untuk pengendalian rayap tanah Reticulitermes flavipes (Strack, 2007), Coptotermes formosanus (Jones et al., 1996) serta rayap Psammotermes hybostoma Desneux (Solaiman & El-latif, 2014; El-latif & Solaiman, 2014). Efektivitas jamur M. anisopliae terhadap rayap tanah berbeda-beda tergantung strain atau isolat. Oleh karenanya, penelitian tentang eksplorasi isolat jamur M. anisopliae di Indonesia perlu dilakukan. Tulisan ini mengevaluasi isolat yang efektif untuk mengendalikan rayap tanah yang selanjutnya akan dikembangkan sebagai bahan bioinsektisida.
262
II. BAHAN DAN METODE A. Penyiapan Isolat M. anisopliae Penelitian ini menggunakan 5 isolat yang diberi nama (kode) menurut lokasi/daerah asalnya, yaitu isolat PLT, SMG, BDG, PKM, dan BGR. Isolat PLT dikoleksi dari Jurusan Hama dan Penyakit Tanaman, Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, isolat SMG dari Balai Proteksi Tanaman Perkebunan (BPTP) Semarang, isolat BDG dari BPTP Bandung, isolat PKM dari BPTP Pakem-Yogyakarta dan isolat BGR dari Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan, Bogor. Isolat-isolat tersebut dipelihara pada tabung reaksi, dalam media agar miring Potato Dextrose Agar (PDA). Agar dapat bertahan lama, isolat tersebut disimpan dalam ruang pendingin, suhu sekitar 5oC. Isolat tersebut diperbanyak dalam cawan petri dengan jenis media yang sama dan selanjutnya isolat diproduksi masal dalam media beras (Jenkins, Heviefo, Langenwald, Cherry, dan Lomer, 1998). Dalam produksi masal ini, tahapan kerja yang ditempuh adalah sebagai berikut: beras dimasak setengah matang, kemudian dimasukkan ke kantong-kantong plastik ukuran 1 kg. Setelah itu, media beras disterilkan dengan menggunakan otoklaf pada suhu 121°C tekanan 1 atm selama 30 menit. Selanjutnya beras tersebut disimpan dalam Laminar Air Flow (LAF) dan didiamkan selama 24 jam. Setelah dingin beras diinokulasi dengan isolat-isolat M. anisopliae tersebut. Hasil inokulasi diinkubasi selama 3 hari di dalam LAF agar tidak terkontaminasi. Setelah sekitar 7 hari dan setelah dihasilkan spora secara merata pada media beras, media dimasukkan ke dalam wadah (bak plastik) yang bersih dan selanjutnya dikering-anginkan. Setelah kering, media dimasukkan ke dalam plastik bersih dan disimpan di ruangan yang kering (Jenkins et al., 1998). B. Rayap Penelitian di laboratorium menggunakan rayap Coptotermes curvignathus (Isoptera: Rhino termitidae) yang dikoleksi dari sebuah koloni di Kebun Percobaan Hasil Hutan di Cikampek, Jawa Barat. Rayap tersebut dikoleksi dengan teknik
Uji Efektivitas Isolat Jamur Entomopatogen Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorokin terhadap Rayap Tanah pada Pengujian ..... (Agus Ismanto & Paimin Sukartana)
pengumpanan. Selanjutnya rayap dipelihara selama beberapa minggu di laboratorium Entomologi Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Bogor, supaya beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Jenis rayap ini dipilih karena termasuk rayap perusak kayu yang paling ganas (Nandika, 2015). C. Uji Efikasi di Laboratorium Uji efikasi di laboratorium dilakukan dengan cara mencampur masing-masing isolat dengan pasir ayak yang telah disterilkan dengan konsentrasi 0% (kontrol), 10%, 20%, 50%, dan 100% (v/v) (Tabel 1). Campuran jamur dan pasir sebanyak 50 cc dimasukkan ke dalam botol kultur ukuran 100 ml dan kemudian disimpan selama 24 jam di dalam Laminar Air Flow (LAF) agar tidak mudah terkontaminasi. Kayu tusam (Pinus merkusii) ukuran 1 cm x 0,5 x 0,5 cm ditempatkan di atas permukaan campuran pasir dan jamur di dalam botol kultur sebagai pakan rayap. Selanjutnya, tiap perlakuan diisi rayap pekerja dan prajurit masing-masing sebanyak 45 dan 5 ekor. Semua percobaan diinkubasi di ruang gelap pada suhu kamar selama 30 hari. Setiap perlakuan disediakan 5 kali ulangan. Parameter yang diamati
adalah mortalitas rayap dan derajat serangan. Mortalitas dihitung berdasarkan jumlah rayap yang mati dibagi jumlah rayap seluruhnya dikalikan 100%. Sedangkan derajat serangan ditetapkan berdasarkan skoring. Adapun cara penilaian mengikuti SNI 01-7207-2006 seperti ditampilkan pada Tabel 1 dan Tabel 2. Mortalitas rayap dihitung 30 hari setelah perlakuan. Selain mortalitas rayap, tingkat kerusakan kayu pakan karena serangan rayap juga dievaluasi menurut standar SNI 7207 (2014). D. Uji Efikasi di Lapangan Penelitian di lapangan dilakukan di Kebun Percobaan Cikampek, Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat. Penelitian ini tidak ditujukan terhadap jenis rayap tertentu, namun terhadap berbagai jenis rayap tanah yang menghuni areal tersebut. Percobaan ini menggunakan biakan tiga isolat jamur M. anisopliae, yaitu isolat BDG, PKM, dan SMG. Sebanyak 52 buah potongan pipa pralon, diameter 10 cm – panjang 12 cm, dipasang di atas lantai ukuran 3 m x 3 m di bawah atap, dengan jarak sekitar 30 cm antara satu dengan yang lain. Pipa paralon diisi secara acak dengan tiga biakan
Tabel 1. Derajat serangan Table 1. Degree of termite attack Nilai skor
Kondisi contoh uji
100
utuh (tidak diserang)
90
sedikit
70
sedang
40
hebat
0
hebat sekali
Tabel 2. Komposisi campuran antara pasir ayak (60-80 mesh) dengan jamur M. anisopliae Table 2. Mixture composition between sieved sand (60-80 mesh) and M. anisopliae fungus Konsentrasi (Concentration, %)
Volume pasir (Sand volume, cc)
Kontrol (Untreated) 10 20 50 100
50 45 40 25 -
Volume jamur dalam media beras (Volume of fungus in rice media, cc) 5 10 25 50 263
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 4, Desember 2016: 261-268
jamur tersebut yang dicampur dengan pasir dengan perbandingan 0% (tanpa jamur, kontrol), 10%, 20%, 50%, dan 100% (tanpa pasir) setinggi 3 cm. Kayu karet (Hevea brasiliensis) ukuran 4 cm x 4 cm x 5 cm diletakkan di atas perlakuan sebagai umpan terhadap rayap. Pipa paralon kemudian ditutup dengan cawan plastik. Tiap perlakuan disediakan 5 ulangan. Pengamatan dilakukan dua minggu sekali selama 16 minggu (4 bulan). Tingkat kerusakan kayu karena serangan rayap tanah dinilai menurut standar ASTM D1758-02 (2005). E. Analisis Data Untuk mengetahui efektivitas perlakuan jamur M. anisopliae terhadap rayap tanah C. curvignathus di laboratorium dilakukan sidik ragam (ANOVA) dengan analisis rancangan acak lengkap dengan 5 kali ulangan. Presentase mortalitas rayap ditransformasikan ke dalam nilai arcsin persen dan untuk mengetahui perbedaan perlakuan dilakukan uji Duncan (Steel & Torrie, 1993). Data hasil penilaian ini kemudian dianalisis dengan metode Kruskal-Wallis (metode non parametrik), untuk mengetahui perbedaan antara perlakuan yang satu dengan lainnya (Conover, 1971). Sedangkan untuk mengetahui efektivitas perlakuan jamur M. anisopliae terhadap rayap tanah C. curvignathus di lapangan hanya diamati
berdasarkan tingkat kerusakan kayu karena serangan rayap tanah. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Uji Efikasi di Laboratorium Hasil penelitian menunjukkan bahwa efektivitas perlakuan dengan jamur M. anisopliae terhadap rayap tanah C. curvignathus dipengaruhi oleh asal isolat dan tingkat konsentrasinya (Tabel 3). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Solaiman dan El-latif (2014) yang meneliti rayap tanah jenis Psammotermes hybostoma. Isolat PLT termasuk kurang efektif, mortalitas rayap mencapai 100% hanya terjadi pada konsentrasi jamur 100% (tanpa campuran pasir). 1. Mortalitas rayap Efektivitas isolat PLT paling rendah, hanya konsentrasi 100% yang menyebabkan mortalitas 100%. Sementara itu pada perlakuan dengan konsentrasi 50%, walaupun berbeda nyata antara perlakuan dengan kontrol, mortalitasnya baru mencapai 55%. Sedangkan pada konsentrasi 10% dan 20%, data mortalitasnya tidak berbeda nyata dengan kontrol. Hal ini berarti bahwa isolat PLT pada konsentrasi rendah (< 50%) tidak efektif terhadap jenis rayap ini.
Tabel 3. Rata-rata mortalitas rayap tanah C. curvignathus pada berbagai isolat dan konsentrasi jamur M. anisopliae Table 3. Average of C. curvignathus subterranean termite mortality affected by isolates and concentration of M. anisopliae fungus Rata-rata mortalitas (Average of mortality, %) Macam isolat (Isolate type)
Konsentrasi jamur M. anisopliae(Concentration of M. anisopliae fungus) Kontrol (Untreated)
10%
20%
50%
100%
PLT
22,8
29,4 ns
25,6 ns
55,8 **
100 **
SMG
22,8
96,4 **
100 **
100 **
100 **
PKM
22,8
76,2**
92 **
100 **
100 **
BDG
22,8
53,6**
87,8 **
100 **
100 **
22,8
100**
100**
100**
100 **
BGR Keterangan (Remarks):
264
ns
= tidak berbeda nyata (non significant), ** = Berbeda sangat nyata menurut analisis Dunnet (Highly significant according to Dunnet analysis), P< 0,01
Uji Efektivitas Isolat Jamur Entomopatogen Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorokin terhadap Rayap Tanah pada Pengujian ..... (Agus Ismanto & Paimin Sukartana)
Perlakuan dengan isolat SMG pada konsentrasi 20% sampai dengan 100% mengakibatkan mortalitas rayap mencapai 100%. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Neves dan Alves (2004) yang meneliti tentang efikasi M. anisopliae terhadap rayap Cornitermes cumulans (Kollar). Kematian rayap dipengaruhi oleh dosis aplikasi dan virulensi isolat (Neves & Alves, 2004). Sedangkan dengan konsentrasi 10% mortalitasnya masih mencapai 96%, jauh di atas kontrol yang hanya 22,8%. Hal ini berarti bahwa isolat SMG lebih efektif membunuh rayap C. curvignathus daripada isolat PLT. Perlakuan dengan isolat PKM dan BDG juga efektif, namun pencapaian mortalitas 100% baru diperoleh pada konsentrasi 50% atau lebih, meskipun secara statistik konsentrasi di bawahnya (10% dan 20%) juga berbeda sangat nyata dibandingkan dengan kontrol. Efektivitas kedua isolat ini tampaknya tidak banyak berbeda. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Solaiman dan El-latif (2014) di Mesir. Di antara isolat-isolat yang lain, isolat BGR adalah isolat paling efektif. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3 bahwa dengan konsentrasi 10%, isolat tersebut sudah dapat menyebabkan mortalitas rayap 100%. Formulasi M. anisopliae pada bahan umpan rayap menyebabkan Nasutitermes exitiosus (Hill.) kehilangan daya reproduksi pada kasta reproduktif betina (ratu) dan menyebabkan penurunan anggota koloni
secara bertahap (Milner, 2001). Secara keseluruhan, peringkat efektivitas isolat-isolat tersebut dapat dinyatakan, dari yang paling efektif sampai yang tidak efektif adalah isolat BGR, SMG, PKM, BDG, dan PLT. 2. Derajat serangan Tingkat kerusakan kayu umpan karena serangan rayap tampaknya sebanding dengan tingkat mortalitas rayap (Tabel 4), dengan peringkat, dari tingkat kerusakan yang paling ringan sampai paling berat, isolat BGR, SMG, PKM, BDG, dan PLT. Hampir semua kayu umpan pada semua perlakuan yang menyebabkan mortalitas rayap 100% masih terlihat utuh (derajat serangan 10). Hal ini berarti rayap tersebut pada umumnya tidak sempat menyerang kayu. Analisa data menggunakan metode non parametrik Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa hasil perlakuan tersebut pada umunya berbeda nyata dengan kontrol, kecuali pada isolat BDG (konsentrasi 10%) dan PLT (konsentrasi 10% dan 20%). Sesuai dengan tingkat mortalitas rayapnya, perlakuan dengan isolat BGR, sekali lagi, paling efektif. Tidak ada kayu umpan yang diserang rayap, meskipun pada perlakuan dengan konsentrasi paling rendah (10%). Keadaan ini sangat berbeda dengan perlakuan dengan isolat yang lain, apa lagi dengan isolat PLT, yang sebagian besar kayu umpannya diserang rayap.
Tabel 4. Rata-rata derajat serangan rayap tanah pada kayu contoh uji pada berbagai perlakuan isolat dan konsentrasi jamur M. anisopliae Table 4. Average of subterranean termite attack degree on kind isolates treatment and concentration of M. anisopliae fungus) Rata-rata derajat serangan (Average of attack degree) Konsentrasi (Concentration)
Macam isolat (Isolates types)
PLT SMG PKM BDG BGR
Kontrol (Untreated)
10%
20%
50%
100%
7 7 7 7 7
7ns 8,2* 8* 7ns 10*
7ns 9,6* 9* 8,4* 10*
8* 10* 9,4* 10* 10*
10* 10* 10* 10* 10*
Keterangan (Remarks): ns = tidak berbeda nyata (non significant), * = berbeda nyata menurut analisis Dunnet (Significant according to Dunnet analysis), P< 0,05
265
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 4, Desember 2016: 261-268
B. Uji Efikasi di Lapangan Secara umum jamur Metarhizium anisopliae isolat SMG kurang efektif dalam mengendalikan rayap tanah di lapangan terutama untuk jangka waktu lama (Gambar 1). Serangan rayap masih terjadi, dengan rata-rata derajat serangan 7,5, meskipun diberi perlakuan jamur patogen M. anisopliae 100%. Hal ini terlihat di Gambar 1, bahwa pada minggu ke XVI, dengan konsentrasi 100% serangan rayap masih menyebabkan tingkat kerusakan sedang dengan nilai rata-rata sebesar 7,5. M. anisopliae dapat melindungi tanaman jagung dan Grevillea robusta dari serangan rayap tanah di Uganda dan Kenya serta tidak mengganggu serangga non-target (arthropoda) (Nyeko, Gohole, Maniania, Agaba, & Sekamatte, 2010).
Pada konsentrasi 100% rata-rata derajat serangannya mencapai 7,5, walaupun apabila dibandingkan dengan kontrolnya terdapat perbedaan yang nyata, dengan derajat serangan 0 (hancur). Pada konsentrasi 50% dan 10%, pada minggu ke XVI derajat serangannya hanya mencapai 2,5 bahkan pada konsentrasi 20%, derajat serangan pada minggu ke XVI sama dengan kontrol, yaitu 0. Berdasarkan hasil di atas, spora jamur M. anisopliae isolat SMG dalam waktu yang lama (16 minggu) sudah mulai berkecambah sebelum menyerang kutikula rayap tanah. Jamur M. anisopliae isolat SMG hanya mampu melindungi kayu contoh uji dari serangan rayap tanah sampai minggu ke X, itupun hanya yang berkonsentrasi 100%, sementara konsentrasi yang di bawahnya (50%, 20%, dan 10%) hanya mampu melindungi kayu contoh uji sampai minggu ke VI.
Keterangan (Remarks): BDG: isolat dari Bandung (isolate from Bandung) PKM: isolat dari Pakem, Yogyakarta (isolate from Pakem, Yogyakarta) SMG: isolat dari Semarang (isolate from Semarang)
Gambar 1. Tingkat kerusakan kayu umpan karena serangan rayap berdasarkan SNI Figure 1. Wood bait destruction caused by subterranean termite based on SNI 266
Uji Efektivitas Isolat Jamur Entomopatogen Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorokin terhadap Rayap Tanah pada Pengujian ..... (Agus Ismanto & Paimin Sukartana)
Seperti halnya jamur M. anisopliae isolat SMG, isolat PKM pun kurang efektif dalam melindungi kayu contoh uji secara total dari serangan rayap tanah. Hal ini dapat dilihat di Gambar 1, bahwa sampai minggu ke XVI pada konsentrasi 100%pun, jamur M. anisopliae isolat PKM belum mampu melindungi contoh uji kayu. Derajat serangannya belum mencapai 10, masih pada angka 7, meskipun sudah berbeda nyata bila dibandingkan dengan kontrol dimana angkanya 0. Pada konsentrasi 50% bahkan tidak berbeda nyata dengan kontrol, yaitu angkanya 0. Pada isolat PKM juga ada kecenderungan bahwa semakin lama (16 minggu) semakin menurun daya lindungnya terhadap kayu contoh uji dari serangan rayap tanah. Berdasarkan pengamatan, pada minggu ke XVI spora jamur M. anisopliae sudah mulai berkecambah menjadi hifa dan membentuk micelia. Sementara pada jamur ini bentuk spora-lah yang virulen terhadap rayap tanah. Pada konsentrasi 100% kemampuan melindungi kayu contoh uji secara total dari serangan rayap tanah hanya sampai minggu ke X. Sementara pada konsentrasi di bawahnya (50%, 20% dan 10%) kemampuan melindunginya hanya sampai minggu ke VI. Jamur M. anisopliae isolat BDG juga kurang efektif dalam melindungi kayu contoh uji secara total dari serangan rayap tanah. Gambar 1 menunjukkan bahwa sampai minggu ke XVI pada konsentrasi 100%, jamur M. anisopliae isolat BDG belum mampu melindungi contoh uji kayu secara total. Derajat serangannya belum mencapai 10, masih pada angka 7. Pada konsentrasi 50% dan 10%, derajat serangannya hanya mencapai 2,5 walaupun konsentrasi keduanya sudah terlihat berbeda nyata dengan kontrol yang derajat serangannya 0. Menurut ASTM (2005) derajat serangan yang tidak ada serangan rayap tanahnya adalah nilai angka 10, sedangkan nilai 0 berarti kayu contoh uji hancur. Pada isolat ini ada kecenderungan semakin lama (16 minggu) semakin menurun daya lindungnya terhadap kayu contoh uji dari serangan rayap tanah. Berdasarkan pengamatan, pada minggu ke XVI spora jamur M. anisopliae sudah mulai berkecambah menjadi hifa dan membentuk micelia di dalam tanah. Pada minggu ke VIII isolat ini pada konsentrasi 100% mampu melindungi kayu contoh uji
secara total dari serangan rayap tanah. Hal ini berbeda dengan dua isolat lainnya (isolat SMG dan PKM) yang pada konsentrasi 100% mampu melindungi kayu contoh uji dari serangan rayap tanah sampai minggu ke X. Sementara pada konsentrasi 50% hanya mampu melindungi kayu contoh uji sampai minggu ke VI. Pada konsentrasi 20% dan 10% isolat ini tidak mampu melindungi kayu contoh uji dari serangan rayap tanah, bahkan sampai minggu ke II-pun tidak mampu melindungi. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Jamur M. anisopliae isolat BGR adalah isolat yang paling efektif dalam mengendalikan rayap C. curvignathus secara laboratoris. Sedangkan isolat yang paling tidak efektif adalah isolat PLT. Isolat BGR pada konsentrasi 10% sudah dapat mengendalikan rayap C. curvignathus di laboratorium. Isolat-isolat yang lain konsentrasinya bervariasi antara 20% sampai 100% untuk dapat mengendalikan rayap C. curvignathus. Berdasarkan pengujian beberapa isolat M. anisopliae di lapangan, maka ketiga isolat jamur yaitu isolat SMG, PKM dan BDG pada konsentrasi 100% tidak efektif mencegah serangan rayap tanah sampai waktu 16 minggu. Isolat SMG pada konsentrasi 100% hanya mampu mencegah serangan rayap tanah hingga waktu 10 minggu. Sedangkan isolat PKM dan BDG hanya mampu mencegah serangan rayap masing-masing 10 dan 8 minggu. B. Saran Disarankan untuk penelitian di laboratorium dilanjutkan terhadap isolat BGR saja tetapi dengan perlakuan konsentrasi di bawah 10%, agar diperoleh konsentrasi rendah tetapi masih efektif dalam mengendalikan rayap C. curvignathus. DAFTAR PUSTAKA ASTM. (2005). Standard test method for evaluating wood preservatives by field tests with stakes. D1758-02. Annual Book of ASTM 267
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 4, Desember 2016: 261-268
Standars, 04.09 (Wood). American Society for Testing and Materials. Conover, W.J. (1971). Practical nonparametric statistics. New York-London-SydneyToronto: John Wiley & Sons. El-latif, N.A.A. & Solaiman, R.H.A. (2014). Foraging activity of the subterranean sand terite, Psammotermes hybostoma (Desneux) and its associated fungus Metarhizium anisoliae under natural environmental conditions in El-Fayoun Governorate, Egypt. Egyptian Journal of Biological Pest Control, 24(2), 321-328. Jenkins, N. E., Heviefo, G., Langenwald, J., Cherry, A. J., & Lomer, C. J. (1998). Development of mass production technology for aerial conidia for use as mycopesticides. Biocont News & Info, 19(1), 21-31. Jones, W.E., Grace, J. K., & Tamashiro, M. (1996). Virulence of seven isolates of Beauveria bassiana and Metarhizium anisopliae to Coptotermes formosanus (Isoptera: Rhinotermitidae). Environ Entomol., 25(2), 481-487. Milner, RJ. (2001). Aplication of biological controll agens in mound building termite – Experiences with Metarhizium in Australia. Proceeding of 2nd International Symposium on Coptotermes formosanus (p. 127 – 134). New Orleans, Lousiana, U.S.A. Nandika, D. (2015). Waspada, 5 daerah di Jakarta rawan serangan rayap. Workshop “Mitigasi bahaya serangan rayap pada bangunan g edung”. Diakses dari www.republika.co.id/berita/nasional/jabo detabek-nasional/15/04/17/nmx269waspada-lima-daerah-di-jakarta-rawanserangan-rayap, tanggal 26 Mei 2015. Neves, P.O.M.J. & S.B. Alves (2004). External events related to the infection process of Cornitermes cumulas (Kollar) (Isoptera: Termitidae) by the entomopathogenic fungi Beauveria bassiana & Metarhizium anisopliae. Neotropical Entomology, 33 (1), 051 -056. Nyeko, P.,Gohole, L.S., Maniania, N.K., Agaba, H., & Sekamatte, B.M. (2010). Evaluation
268
of Metarhizium anisopliae for integrated management of termites on maize and Grevillea robusta in Uganda and Kenya. Second RUFORUM Biennial Meeting, 20-24 September 2010 (p. 333-337). Entebbe, Uganda. Oka, I.N. (2005). Pengendalian hama terpadu dan implementasinya di Indonesia (hal. 255). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, Solaiman, R.H.A., & El-latif, N.A.A. (2014). Isolation and pathogenecity of the fungus Metarhizium anisoplae (Metschnikoff) against subterranean ter mite, Psammotermes hybostoma Desneux (Isoptera: Rhinotermitidae). Egyptian Journal of Biological Pest Control, 24(2), 329-334. Standar Nasional Indonesia (SNI). (2014): Uji ketahanan kayu terhadap organisme perusak kayu (SNI 7207: 2014). Badan Standardisasi Nasional. Steel, R.G.D., & Torrie, J. H. (1980). Principles and procedure of Statistics : A biometrical approach (pp. 633). (2nd Edition). New York: McGraw-Hill International Editions. Strack, B.H. (2007). Biological control of termites by the fungal entomopathogen Metarhizium anisopliae. Diakses dari http://www. utoronto.ca/forest/termite/metani_1.ht, tanggal 20 Desember 2011. Sumarni, G., & Ismanto, A. (1989). Organisme perusak kayu pada beberapa rumah di tiga kabupaten di Propinsi Jawa Barat. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 6 (6), 402-406. Sumarni, G., & Ismanto, A. (1991). Kerusakan perumahan PERUMNAS dan KPR-BTN di tipe tanah aluvial dan regosol oleh organisme perusak kayu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 9 (7), 274-278. Yusuf, S., Desyanti, Santoso, T. & Hadi, Y. S. (2005). The application of entomopathogenic fungi as biocontrol for subterranean nd termites. Proceedings the 2 Conference of Pacific Rim Termite Research Group (pp: 42-46), 28 Feb-1 March 2005. Bangkok, Thailand.
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 4, Desember 2016: 269-284 ISSN: 0216-4329 Terakreditasi No.: 642/AU3/P2MI-LIPI/07/2015
KARAKTERISTIK EKSTRAK KULIT KAYU MAHONI SEBAGAI BAHAN PEREKAT KAYU (Characteristics of Mahogany Bark Extract as Wood Adhesive) Adi Santoso & Abdurachman Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor Telp. (0251) 8633378; Fax. (0251) 8633413 E-mail:
[email protected] Diterima 15 Februari 2016, Direvisi 11 Agustus 2016, Disetujui 31 Oktober 2016
ABSTRACT Currenty, raw and supporting materials for adhesives industry such as NaOH, NH4OH and methanol are available in the domestic market, while raw material such as phenol and resorcinol derived from petroleum are reduced significantly, then, the use of raw material from other natural resources, like tannins derived from the tree bark is potentially developed. This paper explores and characterizes adhesive raw materials from mahogany bark (Swietenia mahagoni Jacq.) as phenolic source and tapioca as a source of carbohydrates. This paper also studies the copolymerization reaction between mahogany tannin extract with formaldehyde, as well as their mixtures with tapioca for adhesive application and its gluing quality. Pieces of mahogany barks were cut into chips measuring of approximately 2 x 1 x 0.1 cm, then soaked in o an extractor containing of hot water (70-80 C) with a ratio of bark chips : water = 1: 3. Extraction was undergone for three hours with continuous stirring before the mixture was cooled and filtered. The chip bark residue was repeatedly extracted using the same procedure for the second cycle. The obtained filtrates were then mixed with the first one and divided into two parts: crystallized in a water bath and the other part was used for adhesive manufacture. The results showeed that tannin extracted from the bark of mahogany was a dark reddish brown in colour similar with that of phenolic compounds with viscosity of 1.04 poise, specific gravity of 1.02 and the degree of acidity (pH) of 4.0. Extraction of mahogany bark yielded 8.10 % extract, with an average solid content of 2.01%, phenolic compounds level of 6,9%, and distribution of molecular weights ranging from 44-658. The optimum adhesive formulation of the extract mahogany bark was the mixture using of 0.25 mol of technical resorcinol with 15% tapioca, 1 mol technical formalin and 4% catalyst (NaOH 40%) of the total adhesive weight. Keywords: Mahogany bark, extraction, tapioca, adhesive ABSTRAK Sebagian kebutuhan bahan baku dan bahan pembantu untuk industri perekat seperti NaOH, NH4OH, dan metanol saat ini sudah tersedia di pasaran dalam negeri, sementara bahan baku seperti fenol dan resorsinol yang bersumber dari minyak bumi semakin terbatas, dengan demikian sudah selayaknya untuk menggunakan bahan baku dari sumber daya alam lain, misalnya tanin yang berasal dari kulit pohon. Tulisan ini menyajikan hasil eksplorasi dan karakterisasi bahan baku perekat dari kulit kayu mahoni (Swietenia mahagoni Jacq.) sebagai sumber senyawa fenolik dan tapioka sebagai sumber karbohidrat. Tulisan ini juga menguraikan hasil reaksi kopolimerisasi ekstrak tanin mahoni dengan formaldehida, dan peramuannya dengan tepung tapioka untuk aplikasi perekat kayu komposit, serta uji kualitas produk perekatannya. Kulit kayu mahoni dipotong-potong menjadi serpih berukuran 2 cm x o 1cm x 0,1 cm, kemudian direndam di dalam ekstraktor berisi air panas (70-80 C) dengan perbandingan bahan : air = 1 : 3. Ekstraksi dilakukan selama tiga jam dan selama proses campuran itu selalu diaduk, kemudian campuran didinginkan dan disaring. Residu diekstraksi kembali seperti sebelumnya sampai 2 kali, filtrat yang diperoleh kemudian digabung dan dibagi 2, sebagian dikristalkan dalam penangas air dan DOI : http://doi.org/10.20886/jphh.2016.34.4.269-284
269
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 4, Desember 2016: 269-284
sebagian lagi digunakan untuk pembuatan perekat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara visual, ekstrak tanin dari kulit mahoni ini berupa cairan berwarna gelap cokelat kemerahan mirip dengan warna senyawaan fenolik dengan kekentalan 1,04 poise, bobot jenis 1,02 serta nilai derajat keasaman (pH) 4. Ekstraksi kulit kayu mahoni memiliki rendemen 8,1 %, dengan kadar padatan (solid content) rata-rata 2,01%, kadar senyawa fenolik 6,9%, dan distribusi bobot molekul antara 44 – 658. Formula optimum perekat dari ekstrak kulit kayu mahoni adalah yang menggunakan campuran 0,25 mol resorsinol teknis dengan tapioka 15% dan formalin teknis 1 mol, serta katalis (NaOH 40%) sebanyak 4% dari total bobot perekat. Kata kunci: Kulit kayu mahoni, ekstraksi, tapioka, perekat I. PENDAHULUAN Dewasa ini sebagian kebutuhan bahan baku dan bahan pembantu untuk industri perekat seperti NaOH, NH4OH, metanol sudah tersedia di pasaran dalam negeri, sementara bahan baku seperti phenol dan resorsinol yang bersumber dari minyak bumi semakin terbatas, sehingga perlu dilakukan upaya menggunakan bahan baku dari sumber daya alam lain, seperti tanin yang berasal dari kulit kayu (Santoso, 2011). Tanin yang terdiri atas senyawa fenolik diketahui banyak terdapat dalam kulit pohon seperti akasia (Acacia decurrens Willd.), mangium (Acacia mangium Willd.), bakau (Rhizophora spp.) dan tancang (Prunilva spp.), dan dapat dijadikan bahan pengganti fenol atau resorsinol. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan telah menghasilkan perekat substitusi berbasis tanin dari kulit pohon mangium yang setara kualitasnya dengan produk impor, sehingga pemakaian bahan baku seperti fenol atau resorsinol dalam komposisi perekat hanya sekitar 15–18% dari total formulanya (Santoso, 2011). Namun demikian, guna mencegah ketergantungan bahan baku tanin terhadap kulit dari jenis pohon tertentu perlu dilakukan penelitian terhadap tanin dari kulit pohon mahoni (Swietenia mahagoni Jacq.) sebagai alternatif. Kulit kayu mahoni sebagai limbah industri pengolahan kayu memiliki potensi yang sangat besar (Mardisadora, 2010). Penelitian mengenai kulit kayu mahoni telah dilakukan oleh Falah, Suzuki, dan Katayama (2008) yang ditekankan pada isolasi senyawa flavonoid dari ekstrak aseton dan aktivitas antioksidan. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan kulit kayu mahoni
270
mengandung senyawa katekin, epikatekin, dan krofilanin. Komponen kimia tersebut merupakan karakteristik dari jenis senyawa tanin. Penelitian ini bertujuan mendapatkan formula optimum perekat berbasis tanin mahoni untuk penggunaan kayu komposit. II. BAHAN DAN METODE A. Bahan dan Peralatan Bahan utama yang digunakan adalah limbah kulit kayu mahoni berupa potongan atau cacahan berukuran 2 cm x 2 cm x 0,5 cm dalam satuan berat (kg) yang diperoleh dari industri penggergajian kayu di Ciamis, Jawa Barat. Penelitian ini juga menggunakan bahan kimia antara lain resorsinol untuk aditif dan larutan NaOH 50%, formaldehida serta aquades sebagai pelarut dan untuk mengatur pH. Di samping itu juga digunakan bahan pembantu seperti kertas saring, pH universal, kertas label, dan air. Untuk uji coba perekat diaplikasikan pada lamina kayu sengon. Peralatan gelas yang digunakan dalam proses ekstraksi antara lain: penangas air, beaker glass, gelas ukur, stopwatch, timbangan, viskometer Ostwald, oven, saringan 40 mesh, cawan petri, piknometer, dan kamera. Pengujian yang dilakukan adalah karakterisasi ekstrak kulit kayu mahoni dan sifat fisiko-kimia perekat. Untuk analisis komponen kimia dan kristalinitas digunakan alat Py-GCMS, spektrofotometer UVVIS (UV-1700 Shimadzu), Fourier transform infrared (FTIR-1600 Shimadzu), dan XRD (XRD-7000 Shimadzu).
Karakteristik Ekstrak Kulit Kayu Mahoni sebagai Bahan Perekat Kayu (Adi Santoso & Abdurachman)
B. Prosedur Kerja 1. Ekstraksi kulit kayu mahoni Kulit kayu mahoni dipotong-potong menjadi serpih berukuran kira-kira 2 cm x 1 cm x 0,1 cm, kemudian direndam di dalam ekstraktor berisi air yang dipanaskan pada suhu 70-80oC dengan perbandingan bahan serpih kulit : air = 1 : 3. Ekstraksi dilakukan disertai pengadukan campuran selama 3 jam, setelah itu campuran didinginkan dan disaring. Residu diekstraksi kembali seperti sebelumnya sampai 2 kali, filtrat yang diperoleh kemudian digabung dan dibagi dua, sebagian dikristalkan dalam penangas air dan sebagian lagi digunakan untuk pembuatan perekat. 2. Karakterisasi ekstrak kulit kayu mahoni Analisis kristal ekstrak kulit kayu mahoni ditujukan untuk mengetahui tingkat kemurnian bahan dan karakteristik fisiko-kimia lainnya. Pengujian tahap ini mencakup, gugus fungsi dengan FTIR, komponen kimia dengan PyGCMS, dan derajat kristalinitas menggunakan XRD. 3. Penentuan rendemen ekstrak kulit kayu mahoni Penentuan rendemen ekstrak kulit kayu mahoni dengan ekstraksi air adalah sebagai berikut: a. Menimbang serbuk kulit kayu mahoni dan memasukkan ke dalam labu ekstraktor b. Mengekstraksi serbuk kulit kayu mahoni dalam air dengan perbandingan antara berat serbuk dengan air 1 : 3 c. Melakukan ekstraksi selama 2 jam dengan suhu 70-80°C d. Menyaring dengan kertas saring untuk memisahkan filtrat dari ampas e. Menambahkan air (diulang dua kali), kemudian filtratnya disatukan dengan hasil saringan pertama f. Memasukkan filtrat dalam oven dengan suhu 65-70°C sampai terbentuk padatan tanin dengan berat konstan dan sebelum ditimbang memasukkan terlebih dahulu ke dalam desikator selama 2 menit. Rendemen ekstrak kulit kayu dihitung dengan rumus: Berat padatan tanin kering tanur Rendemen tanin (%) = x 100 . (1) Berat serbuk kulit kayu kering udara
4. Penentuan kadar padatan (solid content) ekstrak tanin Kadar padatan ekstrak tanin dilakukan berdasarkan JIS K 6833-1980 dengan menimbang 1,5 gram ekstrak tanin, kemudian ditempatkan dalam cawan yang telah diketahui bobot keringnya (W1), selanjutnya cawan beserta isinya diletakkan o dalam oven (103 ± 2) C sampai kering. Cawan dikeluarkan dan didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang (W2). Pengeringan dan penimbangan dilakukan sampai diperoleh bobot tetap. Kadar padatan ditentukan dengan rumus: W1 Kadar padatan (%)= x 100 ......................... (2) W2 5. Pengukuran viskositas Pengukuran viskositas dilakukan dengan viskometer Ostwald. Sejumlah ekstrak dimasukkan ke dalam viskometer Ostwald lalu diukur waktu saat permukaan sampel berada pada batas atas sampai tepat pada batas bawah mengacu pada SNI 06-4567 (1998). Pengukuran dilakukan tiga kali ulangan. Prosedur tersebut dilakukan juga terhadap air suling. Viskositas dihitung dengan rumus: ρ t ηrelatif = sampel x sampel ............................. (3) tair ρair Keterangan: η : viskositas; t : waktu; ρ : bobot jenis 6. Pengukuran bobot jenis Bobot jenis diukur dengan menggunakan piknometer ukuran 25 mL yang sudah diketahui bobot keringnya. Contoh tanin mahoni dimasukkan ke dalam piknometer sampai penuh dan tidak ada gelembung udara, selanjutnya piknometer dan isinya ditimbang. Bobot jenis dihitung dengan membagi bobot jenis contoh dengan bobot jenis air mengacu pada SNI 064567 (1998). Percobaan dilakukan 3 kali. Penentuan bobot jenis ditentukan dengan rumus berikut: PE – PK Bobot jenis = x 1 g/mL .................. (4) PA – PK Keterangan: PE : Bobot piknometer dengan ekstrak (g) PK : Bobot piknometer kosong (g) PA : Bobot piknometer dengan air (g) 271
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 4, Desember 2016: 269-284
7. Penentuan bilangan Stiasny Kereaktifan tanin terkondensasi terhadap formaldehida dapat ditentukan dengan cara menimbang 10 gram ekstrak tanin cair, selanjutnya ditambah 1 mL HCl pekat (36%) dan 2 mL formaldehida 37%. Campuran tersebut kemudian dipanaskan dalam penangas air sampai kering, kemudian ditimbang. Pengeringan dan penimbangan dilakukan sampai diperoleh bobot tetap. Nilai bilangan Stiasny dihitung dengan cara membagi bobot endapan dengan bobot tanin kering (Yasaki, Yunlu, & Zheng, 1991). 8. Formulasi esktrak kulit kayu mahoni sebagai perekat kayu Penelitian formulasi dilakukan dengan mereaksikan tanin dari ekstrak kulit kayu mahoni (T) dengan resorsinol (R) dan formaldehida (F). Penambahan resorsinol dalam formulasi ini dimaksudkan sebagai 'pengumpan' untuk mengaktifkan senyawa fenolik dari tanin ekstrak kulit kayu mahoni. Formulasi ditetapkan dengan perbandingan mol T : R : F = 1 : (0,1-0,5) : 1 (Santoso, 2003). Tolok ukur pencapaian formula optimum perekat dilakukan dengan pendekatan nilai keteguhan rekat produk perekatannya. Selanjutnya pada komposisi perekat yang optimum dilakukan pencampuran dengan tepung tapioka antara 0,5–20% dari bobot perekat cair. Tolok ukur pencapaian ramuan perekat tanin mahoni dengan tepung tapioka dilakukan dengan pendekatan nilai keteguhan rekat produk perekatannya. Produk yang terakhir ini selanjutnya dianalisis sifat fisiko-kimianya. 9. Pengujian sifat fisiko-kimia perekat Perekat yang dihasilkan dari formulasi dan ramuan optimum selanjutnya diuji sifat fisikokimianya dengan pembanding perekat phenolresorsinol-formadehida (PRF) (Akzonobel, 2000) dan perekat PF SNI 06-0060 (1998). Pengujian mencakup penentuan viskositas, densitas, visual, benda asing, pH, kadar formaldehida bebas, dan kadar padatan. 10. Visual, benda asing, dan pH Contoh perekat dioleskan pada kaca preparat dengan spatula kaca. Olesan preparat diamati akan warna, benda asing, dan tampak butiran larutan. Warna dan butiran yang tampak dicatat. Pengujian nilai pH contoh perekat ditentukan 272
dengan kertas pH. Nilai pH yang diperoleh dibandingkan dengan deret nilai pH universal. 11. Uji formaldehida bebas Pengujian formaldehida bebas mengacu pada SNI 06-4567 (1998). Sampel perekat ditimbang sekitar 1 gram dan diencerkan serta dibuat deret standar dengan menggunakan formaldehida 37% dengan konsentrasi 0; 0,2; 0,4; 0,6; 0,8; 1 ppm kemudian sampel dan standar dipipet 5 mL ditambahkan dengan pereaksi C5H8O2 5 mL dan CH3COONH4 sebanyak 5 mL dipanaskan pada o suhu 40 C selama 15 menit kemudian sampel dan standar yang telah diberi perlakuan dianalisis dengan menggunakan spektrofotometer UV-VIS pada panjang gelombang 412 nm untuk mengidentifikasi kadar formaldehida bebas di dalam sampel perekat. 12. Penentuan kadar padatan perekat Cawan kosong ditentukan bobotnya dengan neraca digital. Sebanyak 5 mL contoh perekat tanin mahoni ditentukan bobotnya pada cawan tersebut. Cawan beserta isinya dimasukkan ke o dalam tanur pada suhu 135 C selama 1 jam. Cawan dan isinya didinginkan pada suhu ruang hingga hangat. Cawan dimasukkan ke dalam desikator dan ditimbang dengan neraca digital. Pengeringan tanur dan penimbangan dilakukan sampai diperoleh bobot tetap kering. Kadar padatan =
BKT x %100 ........................... (5) BA
Keterangan : BKT: bobot kering tanur (g) BA: bobot awal (g) C. Analisis Data Data hasil pengamatan ditabulasi dan dirataratakan. Analisis dilakukan secara deskriptif sehingga menghasilkan karakteristik tanin mahoni yang diketahui dari puncak-puncak grafik hasil analisis py-GCMS. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan percobaan faktorial 2 faktor yaitu faktor pertama untuk perbandingan mol T : R : F terdiri dari 4 taraf yaitu 1 : (0, 0,10, 0,25, 0,50) : 1, dan faktor kedua untuk pencampuran dengan tepung tapioka terdiri dari 6 taraf (0, 2,5, 5, 10, 15, 20)%. Model rancangannya adalah:
Karakteristik Ekstrak Kulit Kayu Mahoni sebagai Bahan Perekat Kayu (Adi Santoso & Abdurachman)
Yijk = m+a i + bj + (ab)ij + eijk ......................... (6) Keterangan: I = 1,2,3, dan 4 j = 1,2,3,4,5 dan 6 k = 1,2,3 Yijk = nilai formulasi ke k yang diberi perlakuan tanin, resorsinol dan formaldehida ke-i dengan pencampuran tepung tapioka ke-j; m = rata-rata nilai formulasi sesungguhnya; ai = pengaruh perlakuan level perbandingan T:R:F ke-i; bj = pengaruh pencampuran tepung tapioka ke-j; (ab)ij = pengaruh interaksi perlakuan ke-I dan ke-j eijk = pengaruh galat perlakuan ke-I dan ke-j pada satuan percobaan ke-k Bila perlakuan berpengaruh nyata terhadap parameter yang diuji maka dilanjutkan dengan uji beda dengan cara Turkey (Steel & Torrie, 1992). III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakterisasi Ekstrak Kulit Kayu Mahoni Hasil pengujian karateristik ekstrak cair kulit kayu mahoni disajikan pada Tabel 1. Hasil ini sangat berbeda dibandingkan dengan penelitian serupa oleh Lestari (2015) dan Setiawan (2015) yang mendapatkan rendemen dan kadar padatan tanin dari kulit mahoni berturut-turut 78-88% dan
0,3-0,7%, sementara kekentalan, bobot jenis, dan kadar fenoliknya berturut-turut 1,03 poise; 1,00; dan 6,81%. Tingkat reaktivitas senyawa fenolik yang terkandung dalam ekstrak kulit kayu mahoni terhadap formaldehida dinyatakan dengan b i l a n g a n S t i a s n y. B i l a n g a n S t i a s n y mengindikasikan senyawa tanin yang terkandung, dan bilangan yang mencapai seratus (100) menunjukkan ekstrak tanin mengandung polifenol yang sangat reaktif pada proses polimerisasi (FAO, 2000). Ekstrak tanin yang berasal dari kulit kayu mahoni dalam penelitian ini memiliki bilangan Stiasny rata-rata mencapai 92,12% lebih tinggi dibanding hasil penelitian serupa yang dilakukan oleh Lestari (2015) dan Akoto dan Brefoh (2014) yang masing-masing hanya mencapai 79,7% dan 87,88%. Hasil analisis gugus fungsi (Gambar 1) ekstrak kulit pohon mahoni dengan menggunakan spektrofotometer inframerah (FTIR) memperlihatkan serapan pada bilangan gelombang 3.425 cm-1 mengindikasikan bahwa ekstrak kulit pohon mahoni mengandung gugus fungsi hidroksil ekstrak tanin yang menurut Supratman (2010) berada pada kisaran bilangan gelombang 2.5003.500 cm-1. Identifikasi dengan FTIR juga menunjukkan adanya serapan pada bilangan gelombang 1.728 cm-1, yang mengindikasikan adanya gugus karbonil dengan kisaran bilangan gelombang 1.650 cm-1–1.800 cm-1, dan bilangan gelombang 1.620 cm-1 merupakan vibrasi cincin aromatik
Tabel 1. Nilai rataan sifat fisiko-kimia ekstrak kulit mahoni*) Table 1. Mean of physico-chemical of mahagony bark extraction No.
Parameter uji (Test of parameters)
1.
Visual (kenampakan, Appearance)
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Rendemen (Recovery, %) Kekentalan (Viscosity, Poise) Kadar padatan (Solid content, %) Bobot jenis (Spesific gravity) pH Bilangan Stiasny (Stiasny Number, %) Kadar fenolik (Phenolic contents, %) Distribusi bobot molekul (Molecul weight distribution)
Nilai (Values) Cairan encer, berwarna gelap cokelat kemerahan (Watery fluid, dark reddish brown) 8,10 1,04 2,01 1,02 4,00 92,12 6,90 44 - 658
Keterangan (Remarks): *) Rata-rata dari tiga ulangan (Mean of three replications)
273
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 4, Desember 2016: 269-284
1 3919
2 3780
3 3425
4 2916
Bilangan gelombang (Wave number, ʋ (cm-1) 5 6 7 8 9 10 2592 1728 1620 1450 1389 1250
11 1095
12 849
13 771
14 663
Gambar 1. Spektrograf ekstrak kulit kayu mahoni Figure 1. Spectrograph of mahagony bark extract dengan kisaran gelombang 1.500 cm-1-1675 cm-1. Selanjutnya, pada bilangan gelombang 1.450 cm-1 merupakan gugus aldehida aromatik dengan kisaran gelombang 1.300 cm-1 –1.475 cm-1, dan pada bilangan gelombang 1.250 cm-1 merupakan gugus eter (Supratman, 2010). Berdasarkan hasil tersebut, dapat dikemukakan bahwa gugus fungsi yang teridentifikasi pada ekstrak cair kulit kayu mahoni menggunakan FTIR adalah gugus hidroksil, karbonil, vibrasi cincin aromatik, aldehida aromatik dan eter. Hasil yang didapatkan ini mirip dengan gugus fungsi yang terdapat pada asam tanat (Hindriani, Pradono, & Santoso, 2005). Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak kulit kayu mahoni mengandung senyawaan tanin. Hasil analisis lebih lanjut dengan Py-GCMS (Gambar 2) menunjukkan ekstrak kulit kayu mahoni mengandung komponen senyawa fenolik yang terdiri atas: phenol yang muncul pada waktu retensi (tR) 14,82 menit dengan konsentrasi 2,59% (dominan), dan pada tR16,91 menit merupakan senyawa p-Cresol dengan konsentrasi 0,63%, pada tR17,10 menit merupakan Guaiacol dengan konsentrasi 0,85%, serta pada tR19,43 menit
274
merupakan senyawa Pyrocatechol dengan konsentrasi 1,25%, Hydroquinonepada tR20,66 menit dengan konsentrasi 0,76%, 4 Methyl catechol pada tR20,97 menit dengan konsentrasi 0,45%, dan 2,6-Dimethoxyphenol pada tR21,74 menit dengan konsentrasi 0,37%. Senyawa Pyrocatechol dan Methyl catechol merupakan derivat katekin, yang dari hasil penelitian Suhesti, Dhadhang, dan Nuryanti (2007) terdeteksi keberadaannya dalam kulit kayu mahoni yakni katekin, epikatekin, dan swietemakrofilanin. Ketiga senyawa tersebut memiliki kemampuan aktivitas antioksidan dan antikanker. Selanjutnya berdasarkan hasil analisis dengan difraksi sinar-X diketahui derajat kristalinitas senyawa yang terkandung dalam ekstrak kulit kayu mahoni 12,29% (Gambar 3), mengindikasikan bahwa susunan rantai senyawa tersebut didominasi bentuk amorf (tidak beraturan), dan hal ini serupa dengan ekstrak tanin mangium yang memiliki derajat kristalinitas 10,71 – 16,40 % (Hagerman, 2002 ; Hindriani, Pradono, & Santoso, 2005).
Karakteristik Ekstrak Kulit Kayu Mahoni sebagai Bahan Perekat Kayu (Adi Santoso & Abdurachman)
Gambar 2. Khromatogram ekstrak kulit kayu mahoni Figure 2. Chromatogram of mahogany bark extract
Gambar 3. Difraktogram ekstrak kulit kayu mahoni Figure 3. Difractogram of mahogany bark extract B. Formulasi dan Karakterisasi Sifat FisikoKimia Perekat Ekstrak kulit kayu mahoni yang mengandung senyawa tanin (derivat katekin) dapat direaksikan dengan formaldehida dan aditif (katalis dan ekstender) membentuk kopolimer untuk aplikasi perekat kayu. Tolok ukur pencapaian formula optimum ramuan perekat tanin mahoni dengan tepung tapioka dilakukan terutama dengan pendekatan nilai solid content, formaldehida bebas dari ramuan perekat, dan keteguhan rekat produk perekatannya, yang hasilnya disajikan pada Tabel 2. Untuk mengetahui pengaruh dari setiap
perlakuan dan interaksi antar perlakuan terhadap parameter yang diuji dilakukan analisis keragaman, yang hasilnya dicantumkan dalam Tabel 3. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa kadar resorsinol dan ekstender memberikan pengaruh nyata terhadap parameter uji (keteguhan geser rekat, kadar air, kerapatan, solid content dan formaldehida bebas). Hasil pengujian produk perekatan dalam bentuk kayu lamina sengon menunjukkan bahwa kadar air keseluruhan produk berada di kisaran 10,89 - 14,18 %. Kadar air tersebut memenuhi standar JAS (2003) nilainya < 15%. Menurut 275
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 4, Desember 2016: 269-284
Tabel 2. Optimasi formula perekat tannin dari ekstrak kulit kayu mahoni berdasarkan solid content, formaldehida bebas ramuan perekat, dan keteguhan rekat produk perekatannya Table 2. Optimizing adhesive formula of mahogany bark tannin extract in accord with solid content, zero-formaldehyde of adhesive portions, and bonding strength of its constituted product Parameter uji
Keteguhan geser rekat (Bonding strength, kg/cm 2)
Uji kering (Dry test) Uji basah (Wet test)
Kadar air (Moisture content, %)
Kerapatan (Density, g/cm3)
Solid content (%)
Formaldehida bebas (Zero formadehyde, %)
Kadar resorsinol (Resorcinol content, mol, A) 0,00 (a1) 0,10 (a2) 0,25 (a3) 0,50 (a4) 0,00 (a1)
Kadar ekstender (Extender content, %, B) 0 (b1)
2,5 (b2)
5,0 (b3)
10 (b4)
15 (b5)
20 (b6)
0,10 (a2) 0,25 (a3) 0,50 (a4)
31,04 33,86 34,69 40,05 7,04 8,71 10,62 15,64
43,40 39,03 36,55 43,11 7,72 9,84 15,60 16,16
102,13 40,29 43,91 54,94 8,65 16,81 12,63 16,78
77,95 41,93 47,61 57,07 10,98 22,07 11,71 17,40
66,84 68,78 94,63 38,94 16,99 9,29 10,55 21,65
50,45 47,00 46,73 27,44 21,66 6,72 9,83 23,78
0,00 (a1) 0,10 (a2) 0,25 (a3) 0,50 (a4)
14,18 11,41 11,13 13,23
13,75 11,35 11,26 12,47
13,15 11,46 11,57 11,95
13,54 12,59 12,47 13,05
12,98 13,43 12,60 13,68
10,89 11,57 12,22 13,07
0,00 (a1) 0,10 (a2) 0,25 (a3) 0,50 (a4) 0,00 (a1) 0,10 (a2) 0,25 (a3) 0,50 (a4) 0,00 (a1) 0,10 (a2) 0,25 (a3) 0,50 (a4)
0,41 0,41 0,35 0,37 6,00 7,86 11,03 15,68 0,0047 0,0044 0,0041 0,0038
0,42 0,41 0,38 0,39 6,71 8,46 12,61 16,13 0,0053 0,0045 0,0043 0,0041
0,42 0,38 0,42 0,41 7,81 8,83 14,79 16,98 0,0072 0,0057 0,0052 0,0044
0,41 0,38 0,39 0,42 11,37 9,91 15,49 18,03 0,0083 0,0069 0,0068 0,0047
0,41 0,37 0,39 0,45 16,57 12,84 22,44 21,76 0,0073 0,0055 0,0053 0,0045
0,41 0,37 0,35 0,41 21,83 19,86 37,96 23,83 0,0064 0,0049 0,0047 0,0040
Keterangan(Remarks) : ** berbeda sangat nyata (Very significant difference)
analisis keragaman kerapatan produk perekatan ini dipengaruhi oleh formula perekat dan kadar ekstender yang digunakan. Kerapatan produk perekat berkisar 0,35–0,42 g/cm3 (Tabel 2), yang merupakan nilai kisaran yang umum dari produk dan kayu sejenis (Santoso et al. 2014; Lestari, 2015). Ada kecenderungan bahwa semakin tinggi jumlah mol resorsinol, kadar solid content semakin meningkat (Tabel 2). Meningkatnya kadar solid 276
content, mengindikasikan bahwa penambahan resorsinol semakin menambah sempurnanya reaksi kopolimerisasi, sehingga molekul-molekul yang terkandung dalam resin makin meningkat. Dengan demikian diharapkan akan semakin banyak molekul-molekul perekat yang akan bereaksi dengan kayu ketika berlangsung proses perekatan, sehingga tercipta keteguhan rekat yang lebih baik. Menurut Vick (1999), ikatan rekat maksimum dapat tercapai jika perekat membasahi
Karakteristik Ekstrak Kulit Kayu Mahoni sebagai Bahan Perekat Kayu (Adi Santoso & Abdurachman)
Tabel 3. Analisis keragaman pengaruh komposisi resorsinol dan ekstender terhadap keteguhan geser rekat, kadar air, kerapatan, kadar padatan dan formaldehida bebas Table 3. Analysis of variance on the effect of resorcinol and extenders compositions to internal bond, moisture content, density, solid content and zero-formaldehyde
Sumber (Sources)
Df
Ket. Geser Rekat (Bonding strength) Kering Basah (Dry) (Wet)
Kadar air (Moisture Content)
Kerapatan (Density)
Kadar padatan (Solid Content)
Form.bebas (Zeroformaldehyde)
Jumlah Kuadrat (Sum Square) Resorsinol (Resorcinol) Pengeras (Extender) Interaksi (Interaction) Galat (Error) Total (Total)
3
4986,7**
767,07**
28,0479**
0,0173531**
1314,42**
0,0000639**
5
12966,3**
315,76**
19,7413**
0,0077677**
2870,41**
0,0000622**
15
15634,3 ** 1385,63**
37,0812**
0,0275531**
582,31**
0,0000130**
72
12,5
12,34
3,1934
0,0134750
5,59
0,0000011
95
33599,9
2428.81
88,0639
0,0661490
4772,73
0,0001402
Keterangan(Remarks) : ** berbeda sangat nyata (Very significant difference)
semua permukaan adheren sehingga terjadi kontak antara molekul perekat dan molekul kayu, dengan demikian daya tarik intermolekul antara kayu dengan perekat dapat berikatan lebih sempurna. Jadi peningkatan kadar resin padat cenderung meningkatkan kualitas perekatan. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa kadar resorsinol dan ekstender memberikan pengaruh nyata terhadap solid content (Tabel 3). Kadar formaldehida bebas menggambarkan adanya kelebihan formaldehida yang tidak bereaksi dalam pembentukan suatu polimer (SNI 06-4567, 1998). Penetapan ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui jumlah kelebihan formaldehida yang tidak bereaksi dalam pembentukan resin dari ekstrak kulit kayu mahoni, dan tingkat emisi yang kemungkinan terjadi sebagai akibat formaldehida yang dilepaskan. Hasil pengujian menunjukkan bahwa formaldehida bebas dari reaksi kondensasi ekstrak kulit kayu mahoni dengan resorsinol dan formaldehida pada kondisi basa pada berbagai komposisi, seluruhnya tergolong dalam batas aman karena kurang dari 3% seperti yang disyaratkan bagi perekat yang mengandung formaldehida (SNI 06-4567, 1998b). Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa kadar resorsinol dan ekstender memberikan pengaruh nyata terhadap kadar formaldehida bebas (Tabel 3).
Meningkatnya penggunaan resorsinol dalam formulasi menyebabkan kadar formaldehida bebas resin semakin berkurang (Tabel 2), sementara penggunaan kadar tapioka yang semakin meningkat sampai pada batas tertentu mempertinggi kadar formaldehida bebas resin untuk selanjutnya semakin berkurang, namun demikian interaksi dari kedua hal tersebut untuk seluruh formula menghasilkan nilai formaldehida bebas yang jauh di bawah ambang batas maksimal, sementara kadar formaldehida bebas dalam perekat komersial (PRF) adalah 0,04% (Santoso, Hadi, & Malik, 2014). Peningkatan kadar formaldehida bebas sampai batas tertentu seiring dengan penambahan tapioka mengisyaratkan berkurangnya kadar komponen resin, halini berakibat meningkatnya kepolaran ramuan perekat karena tapioka terdiri atas karbohidrat yang banyak mengandung gugus –OH yang bersifat hogroskopis sehingga formaldehida dalam resin terhidrolisis. Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat diperkirakan bahwa bila perekat ini digunakan pada kayu olahan, maka emisi formaldehida dari produk perekatan tersebut akan rendah. Ikhtisar hasil pengujian keteguhan geser tekan dalam keadaan kering, maupun dalam keadaan basah, yang dalam hal ini mewakili sifat keteguhan rekat produk lamina tercantum pada Tabel 3 serta Gambar 6 dan Gambar 7. Sebagian nilai 277
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 4, Desember 2016: 269-284
keteguhan rekat kayu lamina sengon yang diuji pada keadaan kering rata-rata berkisar 27,44 102,13 kg/cm2 memenuhi standar Jepang (JAS, 2003), karena nilainya berada dalam kisaran 54-96 kg/cm 2 . Hasil penelitian Lestari, Hadi, Hermawan, dan Santoso (2015) terhadap produk glulam dengan jenis perekat dan jenis kayu yang sama menghasilkan keteguhan rekat rata-rata 55,10kg/cm2 dan yang menggunakan perekat isosianat (impor) 47,2 kg/cm2, sementara Santoso, et al. (2014) yang meneliti produk sejenis dari kayu sengon dengan perekat dari ekstrak kayu merbau mendapatkan nilai keteguhan rekat 65,30 kg/cm2, sedangkan yang menggunakan perekat impor (PRF) 54,97 kg/cm2. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa kadar resorsinol dan ekstender memberikan pengaruh nyata terhadap keteguhan rekat produk perekatannya (Tabel 3). Ada kecenderungan bahwa kenaikan keteguhan rekat kayu lamina sengon yang diuji dalam keadaan kering, terjadi sampai batas tertentu dengan meningkatnya kadar resorsinol dalam resin dan aditif yang dipakai dalam formulasi perekat. Penggunaan resorsinol yang semakin banyak dalam for mulasi menyebabkan keteguhan rekat produk perekatan semakin meningkat (Tabel 2), mengindikasikan bahwa penambahan resorsinol semakin menambah sempurnanya reaksi kopolimerisasi, hal ini akan meningkatkan terjadinya kontak antara molekul perekat dan molekul kayu, sehingga daya tarik intermolekul antara kayu dengan perekat lebih sempurna. Dengan demikian peningkatan kualitas perekatan akan semakin baik (Vick, 1999), namun penggunaan kadar tapioka yang semakin meningkat sampai pada batas tertentu mampu memperbaiki keteguhan rekat kayu. Aplikasi resin dari ekstrak kayu mahoni pada kayu lamina sengon yang diuji dalam keadaan basah menghasilkan keteguhan rekat 6,72 - 23,78 kg/cm2 sementara hasil penelitian serupa pada jenis kayu yang sama dengan menggunakan perekat dari ekstrak kayu merbau rata-rata 32,32 kg/cm2 dan yang menggunakan perekat impor (PRF) 24,40 kg/cm2 (Santoso et al., 2014). Hasil pengujian dalam keadaan basah menunjukkan bahwa kenaikan keteguhan rekat kayu lamina tidak selalu seiring dengan meningkatnya kadar resorsinol dalam formula resinnya (Gambar 7), namun sampai pada batas tertentu sejalan dengan 278
penambahan aditif yang dalam hal ini berupa tepung tapioka sebagai ekstender, hal ini sesuai dengan sinyalemen yang dikemukakan Mahittikul (1981) dan Pizzi (1994). Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa kadar resorsinol dan ekstender memberikan pengaruh nyata terhadap keteguhan rekat kayu lamina (Tabel 3). Penggunaan resorsinol teknis 0,10 mol menghasilkan keteguhan rekat relatif tinggi, yang tidak berbeda nyata dengan penggunaan resorsinol sebanyak 0,5 mol pada kadar tapioka 5% (Tabel 2). Bila berpedoman pada Tabel 2, di mana nilai keteguhan rekat produk perekatan yang diuji dalam kondisi kering (94,63 kg/cm2)maupun basah (10,55 kg/cm2), serta dikaitkan dengan solid content (22,44%) dan formaldehida bebas (0,005%) perekat, komposisi optimum yang dicapai adalah pada formulasi ekstrak kulit kayu mahoni (1 mol) yang menggunakan campuran 0,25 mol resorsinol teknis dengan tapioka 15% dan formalin teknis 1 mol, serta katalis (NaOH 40%) sebanyak 4% dari total bobot perekat.
C. Karakteristik Perekat Hasil Formulasi Karakteristik perekat hasil formulasi dari ekstrak kulit kayu mahoni disajikan pada Tabel 4. Kopolimerisasi dilakukan dengan mereaksikan sejumlah kecil monomer (resorsinol) dan formaldehida 37% pada ekstrak kulit kayu mahonidengan katalis basa pada suhu kamar. Secara visual, resin hasil kopolimerisasi tanin dari ekstrak cair kulit kayu mahoni dengan resorsinol dan formaldehida dalam berbagai komposisi, yang selanjutnya disebut resin TMF, menyerupai resin fenol resorsinol formaldehida. Resin TMF yang diperoleh berupa cairan kental berwarna cokelat kehitaman dan berbau khas fenol. Identifikasi terbentuknya kopolimer dengan FTIR ditunjukkan dengan terbentuknya pita-pita serapan pada bilangan gelombang yang berbeda dibandingkan dengan spektrum bahan baku (tanin dari kulit kayu mahoni), antara lain menunjukkan perubahan bilangan gelombang pada perekat tanin jika dibandingkan dengan ekstraknya sendiri. Pada perekat tanin, menunjukkan serapan gugus hidroksil yang sama dengan ekstrak tanin. Intensitas vibrasi cincin aromatik dan aldehida aromatik mengalami penurunan menyebabkan pergeseran gelombang ke arah
Karakteristik Ekstrak Kulit Kayu Mahoni sebagai Bahan Perekat Kayu (Adi Santoso & Abdurachman)
Tabel 4. Karakteristik fisiko-kimia perekat ekstrak kulit kayu mahoni pada komposisi formula optimum Table 4. Physicochemical characteristics of mahogany bark extract adhesive made with the optimum formula. No. 1.
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Sifat (Characteristic)
Perekat tanin mahoni (The adhesive of mahagony tannin) Cair (Fluid) Merah (Red)-cokelat (Brown) Fenol (Phenol)
Kenampakan (Appearance): - Bentuk (Shape) - Warna (Color) - Bau (Aromatic) Kekentalan (Viscosity, poise) Kemasaman (Acidity, pH) Bobot molekul (Molecul weight) Derajat kristalinitas (Degree of crystallinity, %) Bobot jenis (Specific gravity) Kadar padatan (Solid content, %) Formaldehida bebas (Zero-formaldehyde, %)
Pembanding (PRF) (Comparison)
29,20
Cairan kental (viscous liquid Merah (Red)-cokelat (brown) Fenol (Phenol) 3,40
11
8
14,688
-
13,89
51,53
1,08 22,44 0,005
1,15 57,03 0,04
Keterangan (Remarks): ( - ) = tidak ada data (No data); PRF = phenol resorsinol formaldehida (Phenol Resorcinol Formaldehyde)
bilangan gelombang yang lebih kecil yakni 1589 -1 cm untuk vibrasi cincin aromatik. Sementara, untuk aldehida aromatik berada pada bilangan -1 gelombang 1358 cm . Selain itu, pada perekat tanin terdapat gugus –CH 2 - (metilena) yang terbentuk setelah penambahan formaldehida. Menurut Achmadi (1990) reaksi kopolimerisasi antara tanin dan formaldehida menghasilkan jembatan metilen yang lebih stabil, yang teridentifikasi pada -1 bilangan gelombang 2932 cm , sementara menurut Supratman (2002) muncul pada bilangan -1 gelombang 2850 cm (Gambar 4). Identifikasi terjadinya reaksi di atas dipertegas dengan hasil analisis py-GCMS (Gambar 5) yang memperlihatkan puncak-puncak pita yang berbeda, yang didominasi turunan kopolimer senyawa derivat fenolik seperti1,4-Benzenediol, 2-methyl- (CAS) THQ, 1,3-Benzenediol, 5methyl- (CAS) Orcinol, 1,4-Benzenediol, 2,6dimethyl- (CAS) m-XHQ, 1,3-Benzenediol, 4,5dimethyl- (CAS) 4,5-Dimethylresorcinol, 1,4Benzenediol, 2,3,5-trimethyl- (CAS) psi.Cumohydroquinone, yang muncul pada daerah waktu retensi sekitar 21,60 – 23,86 menit.dengan
konsentrasi antara 1,1–25,62 %. Selain itu juga terbentuk senyawa 1,4-Benzenedicarboxaldehyde, 2,5-dimethyl- (CAS) 2,5-Dimethylterep pada waktu retensi 24,11 menit dengan konsentrasi 3,87% dan (O-D) ethenol dengan konsentrasi 24,06% pada waktu retensi 2,96 menit. Identifikasi lebih lanjut dengan difraksi sinar-X menunjukkan senyawa yang terkandung dalam produk kopolimerisasi ekstrak kulit kayu mahoni ini memiliki derajat kristalinitas 13,89% (Gambar 6) meningkat 13% dari ekstrak taninnya. Pola ini serupa dengan hasil penelitian sebelumnya pada formulasi perekat berbasis fenolik dari tanin mangium dan isolat lignin (Santoso, 2005) maupun ekstrak kayu merbau (Santoso et al., 2014). IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Secara visual, ekstrak kulit kayu mahoni berupa cairan berwarna gelap cokelat kemerahan, terdiri atas berbagai golongan senyawa fenolik berupa senyawa tanin kondensat (katekin dan derivatnya), 279
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 4, Desember 2016: 269-284
1 3780
2 3703
3 3472
Bilangan gelombang (wave number, ʋ cm-1) 4 5 6 7 8 2850 2700 1589 1450 1358
9 849
10 663
Gambar 4. Spektrograf perekat dari ekstrak kulit kayu mahoni Figure 4. Spectograph of adhesive from the extracted mahogany bark
Gambar 5. Khromatogram perekat tanin dari ekstrak kulit kayu mahoni Figure 5. Chromatogram of tannin adhesive from the extracted mahogany bark
Gambar 6. Difraktogram perekat tanin dari ekstrak kulit kayu mahoni Figure 6. Difractogram of tannin adhesive from the extracted mahagany bark
280
11 602
Karakteristik Ekstrak Kulit Kayu Mahoni sebagai Bahan Perekat Kayu (Adi Santoso & Abdurachman)
dengan kadar fenolik 6,90% dan tingkat reaktivitas (Bilangan Stiasny) terhadap formaldehida mencapai 92,12%. Rendemen ekstrak 8,10%, kadar padatan 2,01% pada kekentalan 1,04 poise dan bobot jenis 1,02. Ekstrak cair kulit pohon mahoni ini dapat dikopolimerisasi membentuk resin yang dapat diaplikasikan sebagai perekat kayu dengan proses kempa dingin. Karakteristik perekat ini berbeda dengan bahan bakunya baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Formula optimum perekat dari ekstrak kulit kayu mahoni adalah menggunakan campuran 0,25 mol resorsinol teknis dengan tapioka 15% dan formalin teknis 1 mol, serta katalis (NaOH 40%) sebanyak 4% dari total bobot perekat. B. Saran Berdasarkan hasil ekstraksi kulit kayu mahoni yang bersifat fenolik dan dapat dikopolimerisasi membentuk resin bisa diaplikasikan sebagai perekat kayu dengan proses kempa dingin. Perbandingan resorsinol teknis:formalin teknis adalah 1:0,25 mol dengan katalis NaOH 40% sebanyak 4% ditambah tepung tapioka sebesar 15% dari total bobot perekat. V. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyampaikan terima kasih kepada Ir. Nurwati Nadjib, MS yang telah memfasilitasi pelaksanaan penelitian. DAFTAR PUSTAKA Achmadi S.S. (1990). Kimia kayu. Bogor. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, PAU Ilmu Hayat, IPB. Akzonobel (2001). Synteko phenol-resorcinol adhesive 1711 with hardeners 2620, 2622, 2623. Jakarta: Casco Adhesive (Asia). Akoto, O. & Brefoh, A.O. (2014). Quality of oleoresinous wood varnish prepared using resin synthesized from tannin extracted from stem bark of Khaya senegalensis. Asian Journal of Applied Sciences, (2), 61 – 66.
Comyn, J. (2004). Theory of adhesion. Dalam P. Cognard (Ed.) General Knowledge, Application Techniques, New Curing Techniques. Handbook of Adhesive and Sealant. Versailles, France. 1(2), 1-47. Food and Agriculture Organization (FAO)/ IAEA. (2000). Working document (lab manual), Quantification of tannins in tree foliage. Vienna. IAEA, 1-3. Fadillah A.M., Hadi Y.S., Massijaya M.Y. & Ozarska B. (2014). Resistance of preservative treated mahogany wood to subterranean termite attack. Journal Indian Academy of Wood Science, 11(2),140-143, doi. 10.1007/s13196-014-0130-2. Falah, S., Suzuki T. & Katayama T. (2008). Chemical constituents from Swietenia macrophylla bark and their antioxidant activity. Pakistan Journal of Biololgical Science. 11(16) 2007-2012. Hagerman, A.E,. (2002). Tannin chemistry. Miami, USA: Department of Chemistry and Biochemistry, Miami University Hindriani, H., Pradono, D.I. & Santoso A. (2005). Sintesis dan pencirian kopolimer tanin fenol formaldehida dari ekstrak kulit pohon mangium (Acacia mangium) untuk perekat papan partikel. Prosiding Simposium Nasional Polimer V. Bandung. hal. 56–63. Japanese Agricultural Standard [JAS]. (2003). Japanese agricultural standard for structural glued laminated timber. Tokyo: Japanese Plywood Inspection Corporation (JPIC). Japanese Industrial Standard [JIS]. (1980). General testing method for adhesives. (JIS K 6833-1980). Tokyo. Japanese Industrial Standard (JIS). Kasmudjo. ( 2010). Teknologi hasil hutan . Yogyakarta: Cakrawala Media. Lestari A.S.R.D., Hadi Y.S., Hermawan D, & Santoso A. (2015). Glulam properties of fast-growing species using mahogany tannin adhesive. Bio Resources 10(4), 74197433. DOI. 10.13576/biores. 10.4.74197433. Mardisadora O. (2010). Identifikasi dan potensi antioksidan flavonoid kulit kayu mahoni 281
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 4, Desember 2016: 269-284
(Swietenia macrophylla King). (Skripsi). Institut Pertanian Bogor, Bogor. Mahittikul, C. (1981). Properties of tannin extract from tree bark as adhesive for plywood and particleboard. (Disertasi). Los Banos. University of The Philippines. Martawijaya, A & Kartasujana, I. (1977). Ciri umum, sifat dan kegunaan jenis-jenis kayu Indonesia. Bogor: Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Pari G, Hastoeti, P., & Lestari, S.B. (1992). Kualitas dan sifat ekstrak tanin dari kulit kayu Acacia mangium. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 10 (4), 113-121. Perum Perhutani. (2014). Kolaboratif sumber manajemen hutan. Jakarta. Pizzi A. (1982). Pine tannin adhesive for particleboard. Holz als Roh- und Werkstoff 40(1982), 293-291. Pizzi, A. (1994). Advanced wood adhesives technology. New York: Marcel Dekker. Santoso A, Priyono, F.D.J. & Karliati, T. (2002). Pengaruh penambahan ekstender dalam perekat lignin formaldehida terhadap keteguhan rekat kayu lapis tusam. Buletin Loupe, 6(4),11 – 18. Santoso A. (2005). Kulit mangium sebagai sumber tanin untuk perekat. Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan, 30 November, Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. (hal. 165175). Santoso, A. & Hadi, Y.S.(2009). Tannin resorcinol formaldehyde as potential glue for plybamboo manufacture. Asia and the Pacific Forest Products Workshop “Green Technologies and Products for Climate Change Mitigation and Adaptation”, 14-16 Desember, Sri Lanka. Santoso A, Hadi Y.S. & Malik J. (2014). Composite flooring quality of combined wood species using adhesive from merbau wood extract. Forest Products Journal, 5(64), 179-186. Setiawan, (2015). Penggunaan ekstrak kulit mahoni dalam ramuan perekat urea formaldehida sebagai
282
pereduksi emisi formaldehida kayu lapis. (Skripsi). Program Studi Kimia, FMIPA, Universitas Pakuan, Bogor. Standar Nasional Indonesia (SNI). (1998a). Urea formaldehida cair untuk perekat kayu lapis. (SNI 06-0060-1998). Badan Standardisasi Nasional. Standar Nasional Indonesia (SNI). (1998b). (1998). Fenol formaldehida cair untuk perekat kayu lapis. (SNI 06-4567-1998). Badan Standardisasi Nasional. Standar Nasional Indonesia (SNI). (2000). Venir lamina. (SNI 5008.9-2000). Jakarta. Badan Standardisasi Nasional. Steel R.G.D., & Torrie J.H. (1992). Principles and procedure of Statistic. New York: Mc. Graw Hill Book Company. Suhesti T.S., Dhadhang W.K., & Nuryanti. (2007). Penjaringan senyawa anti kanker pada kulit batang kayu mahoni (Swietenia mahagoni Jack.) dan uji aktivitasnya terhadap larva udang Arthemiasalina Leach. Jurnal Ilmiah Keperawatan, 3, 155-162. Supratman U. (2010). Struktur elusidasi senyawa organik. Bandung (ID): Widya Padjadjaran. Suseno, N. Tokok A., Karsono S.P., Felinda A. & Daniel P. (2013). Optimasi proses ekstraksi tanin dari kulit kayu merbau sebagai bahan perekat briket. Prosiding seminar nasional teknik kimia Brotohardjono X. Tahun 2013. Surabaya: Program Studi Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Surabaya. Tsoumis G. (1991). Science and technology of wood structure, properties, utilization. New York (NY): Van Nostrand Reinhold. Vick, C.B. (1999). Adhesive bonding of wood material. Chapter IX. Wood handbook, Wood as an engineering material. Madison: Forest Product Society. Yasaki Y., Yunlu L., & Zheng G. (1991). extractives yields, stiasny values, and polyplavonoids contents in barks from six acacia species in australia. Australian Forestry, 54, 154-156.
Lampiran 1. Analisis keragaman pengaruh komposisi resorsinol dan kadar ekstender terhadap parameter yang diuji Appendix 1. Variation analysis on the effect of resorcinol composition and extender content on the tested parameters
Karakteristik Ekstrak Kulit Kayu Mahoni sebagai Bahan Perekat Kayu (Adi Santoso & Abdurachman)
283
Lampiran 1. Lanjutan Appendix 1. Continued
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 4, Desember 2016: 269-284
284
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 4, Desember 2016: 285-296 ISSN: 0216-4329 Terakreditasi No.: 642/AU3/P2MI-LIPI/07/2015
BIOKONVERSI SERBUK GERGAJI KAYU HUTAN TANAMAN SEBAGAI MEDIA JAMUR PANGAN Pleurotus spp. (Bioconversion of Plantation Forest Wood Sawdust as Medium of Edible Mushroom Pleurotus spp.) Djarwanto, Sihati Suprapti, & Agus Ismanto Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor. 16610. Telp. (0251) 8633378, Fax. (0251) 8633413 E-mail:
[email protected];
[email protected] Diterima 16 Maret 2016, Direvisi 10 Juni 2016, Disetujui 22 September 2016
ABSTRACT Pleurotus spp. for food has been cultivated on various lignocellulose wastes. This paper studies the feasibility of fast grown wood species sawdust waste as medium for the cultivation of edible mushroom, Pleurotus spp. Wood species studied were mangium (Acacia mangium), damar (Agathis borneensis) and rubberwood (Hevea brasiliensis). Twenty percent rice bran, 1% CaCO3; 1% gypsum; 0.1%, 0.3% and 0.5% urea fertilizer as well as TSP (tri-superphosphate); and distilled water, were added to each wood sawdust formula. The results showed that sawdust from those three wood species could indicatively be utilized as medium for cultivating Pleurotus spp. Supplementation of urea into the media performed better result than that of TSP. The highest Biological Conversion Efficiency (BCE) value was obtained on rubberwood containing 0.3 % fertilizer. With respect to the mushroom species in their ability to convert wood sawdust into mushroom biomass, the highest BCE value was recorded from Pleurotus ostreatus, then P. flabellatus, while P. sajorcaju was recorded as the lowest. Inoculation of Pleurotus mushroom at rubber-wood sawdust decreased the C/N ratio, although the used-medium was un-ripe compost. Keywords: Plantation-forest wood species, sawdust, fertilizer, cultivation medium, Pleurotus mushrooms ABSTRAK Jamur Pleurotus spp. untuk pangan dapat dibudidayakan pada berbagai macam limbah lignoselulosa. Tulisan ini bertujuan untuk menguji pemanfaatan limbah serbuk gergajian kayu cepat tumbuh sebagai media jamur pelapuk kayu yang dapat dimakan, Pleurotus spp. Jenis kayu yang digunakan adalah mangium (Acacia mangium), damar (Agathis borneensis), dan karet (Hevea brasiliensis). Dalam serbuk gergaji masingmasing jenis kayu ditambahkan dedak 20%, CaCO3 1%, gypsum 1%, urea atau TSP (trisuperfosfat) sebanyak 0,1; 0,3; dan 0,5%, serta air suling secukupnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga jenis kayu tersebut dapat digunakan untuk media produksi jamur Pleurotus spp. Penambahan pupuk urea ke dalam media memberikan pertumbuhan lebih baik dibandingkan pupuk TSP. Konsentrasi pupuk 0,10,3% mampu meningkatkan produksi jamur. Efisiensi konversi biologi (EKB) tertinggi (63,56%) diperoleh dari media yang mengandung pupuk 0,3%, dan terendah (55,84%) pada media dengan kandungan pupuk 0,5%. Kemampuan mengkonversi serbuk gergaji kayu menjadi biomassa jamur yang dapat dimakan berturut-turut P. ostreatus, P. flabellatus, dan P. sajor-caju. Inokulasi jamur Pleurotus pada serbuk gergaji kayu karet dapat menurunkan nilai C/N media, meskipun bekas medianya masih berupa kompos yang belum matang. Kata kunci: Kayu hutan tanaman, serbuk gergaji, pupuk, media kultivasi, jamur Pleurotus
DOI : http://doi.org/10.20886/jphh.2016.34.4.285-296
285
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 4, Desember 2016: 285-296
I. PENDAHULUAN Kayu mangium (Acacia mangium Willd.), damar (Agathis borneensis Warb.) dan kayu karet (Hevea brasiliensis Muell.Arg.), merupakan jenis pohon cepat tumbuh (fast growing species), yang dikembangkan sebagai pohon hutan tanaman industri di Indonesia. Di dalam pengolahan kayu, kayu karet dapat digunakan untuk bahan non struktural, misalnya mebel sebagai substitusi kayu ramin, dan kayu mangium dapat dimanfaatkan untuk kayu konstruksi, mebel, pulp, dan barang kerajinan (Ginoga, 1997; Rachman & Hadjib, 2008). Pengolahan kayu yang kurang efisien memungkinkan timbulnya limbah. Limbah pengolahan kayu (sawmilling waste) di pabrik berkisar antara 40-60% dolok kayu, yang berupa serbuk gergaji dan simpiran (Rachman, Widarmana & Suryokusumo, 1988). Guna mengantisipasi dampak negatif terhadap lingkungan akibat adanya limbah dengan volume bertambah besar serta dalam rangka efisiensi sumberdaya, maka diusahakan alternatif pengolahannya. Inokulasi atau penularan jamur Pleurotus ke dalam limbah kayu tersebut diharapkan memberikan nilai tambah berupa biomassa tumbuhan yang dapat dimakan yaitu tubuh buah jamur dan mempercepat proses perombakan limbah lignoselulosa menjadi kompos, sehingga dapat dimanfaatkan kembali oleh tumbuhan sebagai hara. Hampir semua kerabat jamur Pleurotus termasuk jamur kayu yang dapat dimakan, yang dikenal dengan nama jamur tiram (oyster mushrooms). Jamur tersebut tumbuh alami pada tunggak pohon dan dolok kayu yang telah mati. Pleurotus spp. adalah jamur terbesar ketiga dunia yang sudah diproduksi secara komersial (Chang, 1999). Jamur Pleurotus dikenal memiliki nilai manfaat medis dan telah digunakan dalam pengobatan tradisional rakyat seluruh dunia sejak zaman dulu sebagai sumber makanan sehat yang istimewa. Pleurotus ostreatus memiliki pengaruh anti HIV, anti tumor, antioksidan, menurunkan kadar gula dan kolesterol dan dapat memecahkan masalah kekurangan gizi, sedangkan jamur P. sajorcaju berfungsi sebagai anti HIV, anti tumor dan menurunkan tekanan darah (Patel, Naraian, & Singh, 2012; Gregory, Svagelj, & Pohleven, 2007). Di Indonesia beberapa jenis jamur Pleurotus telah
286
dimanfaatkan sebagai bahan sayuran yang dijual di pasar tradisional. Jamur tersebut mengandung protein, lemak, karbohidrat, vitamin, dan mineral. Nilai gizi jamur Pleurotus lebih baik dibandingkan dengan sayuran dan buah-buahan (Suprapti & Djarwanto, 2014). Jamur ini dapat dibudidayakan pada berbagai macam limbah lignoselulosa (Suprapti & Djarwanto, 2009). Tulisan ini mempelajari hasil uji coba budidaya jamur tiram pink (Pleurotus flabellatus), jamur tiram putih (P. ostreatus), dan jamur tiram abu-abu (P. sajor-caju) pada media serbuk gergaji kayu hutan tanaman, untuk mengetahui pertumbuhan, produktivitas, dan biokonversinya. II. BAHAN DAN METODE A. Bahan Bahan yang dipakai dalam pembuatan media kultivasi jamur yaitu serbuk gergaji tiga jenis kayu hutan tanaman yaitu mangium (Acacia mangium Willd.), damar (Agathis borneensis Warb.) dan kayu karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) yang berasal dari Jasinga, Bogor; dedak, CaCO3, gipsum, trisuperfospat (TSP), urea, air suling, kantong plastik PVC, cincin paralon, dan kapas. Jamur tiram yang diuji yaitu jamur tiram pink (Pleurotus flabellatus Berk & Br.), jamur tiram putih (P. ostreatus Jacq.ex Fr. Kummer), dan jamur tiram abu-abu (P. sajor-caju (Fr.) Sing). B. Metode 1. Pembuatan media-agar Media-agar yang digunakan adalah Malt Extract Agar (MEA) dengan komposisi malt-ekstrak 3% dan bacto-agar 2% dalam air suling. Cara pembuatan dan perbanyakan biakan murni untuk bibit seperti metode Suprapti dan Djarwanto (2009). Pertumbuhan miselium di permukaan media-agar diamati setiap hari sampai pertumbuhan miseliumnya memenuhi seluruh permukaan. Pertumbuhan miselium yang tidak serempak, terlalu tipis atau terlalu tebal maka biakan tersebut tidak digunakan untuk bibit. Apabila miselium tumbuh rata dan tebal maka bibit ini siap untuk diinokulasikan pada media kultivasi.
Biokonversi Serbuk Gergaji Kayu Hutan Tanaman sebagai Media Jamur Pangan Pleurotus spp. (Djarwanto, Sihati Suprapti & Agus Ismanto)
2. Pembuatan media kultivasi Media dibuat dari serbuk gergaji masingmasing jenis kayu (78,0-77,5%) ditambah dengan dedak 20%, CaCO 3 1%, gipsum 1%, trisuperfosfat (TSP) dan atau urea 0%, 0,1%, 0,3% dan 0,5%, serta air suling secukupnya seperti metode Suprapti dan Djarwanto (2009). Masingmasing komposisi bahan tersebut dicampur sampai rata dan dimasukkan ke dalam kantong plastik PVC sebanyak 500 g per kantong, lalu ditutup dengan kapas steril, kemudian disterilkan o dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121 C, tekanan 1,5 atmosfir selama 30 menit. Media steril yang telah dingin dibagi tiga kelompok, masingmasing diinokulasi biakan murni jamur tiram (Pleurotus flabellatus, P. ostreatus, dan P. sajor-caju) dan selanjutnya diinkubasikan di ruangan tertentu pada suhu sekitar 25°C sampai pertumbuhan miseliumnya rata dan menebal (Suprapti & Djarwanto, 2009). Apabila telah terlihat penebalan miselium sebagai tanda akan terbentuknya tubuh buah maka kantong media dibuka tutupnya dan diletakkan di ruang kultivasi (penumbuhan jamur). Penyiraman dilakukan setiap hari agar kondisi lingkungannya lembab. Pengamatan dilakukan setiap hari sampai umur lima bulan setelah diinokulasi. Tubuh buah jamur dipanen jika telah masak petik dengan tanda mekar sempur na, kemudian ditimbang untuk mendapatkan data produksi. Efisiensi Konversi Biologi (EKB) dihitung berdasarkan bobot jamur segar dibagi bahan media kering dan dinyatakan dalam persen (Suprapti & Djarwanto, 2014). Deraja t metabolisme respirasi ( Respiratory metabolism rate) dihitung mengikuti cara Liu (1994) yaitu berdasarkan berat kering media produksi yang hilang (perbedaan berat media kering sebelum dan sesudah fermentasi) terhadap berat kering bahan media dan dinyatakan dalam persen. Empat bulan setelah inokulasi, sebagian media kayu karet (Hevea brasiliensis) dianalisis kandungan unsur C menurut Walkey dan Black, dan unsur Ca, K, Mg, Na, dan P dengan metode spektofotometri sedangkan unsur N dengan metode Kyeldahl, seperti yang dilakukan Djarwanto (2009). Analisis kimia tersebut dilakukan di Pusat Penelitian Tanah, Bogor.
C. Analisis Data Data bobot tubuh buah, frekuensi panen dan nilai efisiensi konversi biologi (EKB) dianalisis menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) model faktorial 3x3x2x4 (jenis kayu, jenis jamur, jenis pupuk dan dosis pupuk) dengan lima kali ulangan (Steel & Torrie, 1990). Jika hasil analisis berbeda nyata maka penelaahan dilanjutkan dengan uji bedaTukey. III. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan miselium jamur Pleurotus ostreatus dan P. sajor-caju telah merata pada minggu keempat setelah inokulasi, sedangkan miselium jamur P. flabellatus pada umur tersebut telah menunjukkan penebalannya dan calon tubuh buah (primordia). Penebalan miselium yang cepat terlihat pada media kayu karet (H. brasiliensis) dan yang lambat pada media kayu damar (A. borneensis). Hal ini mungkin disebabkan adanya resin pada kayu damar yang dapat menghambat pertumbuhan jamur. Laporan sebelumnya menunjukkan bahwa pertumbuhan miselium P. ostreatus dan P. sajor-caju telah merata pada minggu keempat setelah inokulasi (Djarwanto & Suprapti, 2010; Djarwanto, Suprapti, Yamto, & Roliadi, 2004). Menurut Islam, Rahman, dan Hafiz (2009); Khan et al. (2012), pertumbuhan miselium jamur telah memenuhi permukaan media (substrate) berkisar antara 25-30 hari (P. flabellatus) dan 26,5-45 hari setelah inokulasi (P. sajor-caju). Lin (2004) menyatakan bahwa dalam kondisi lingkungan yang sesuai, pertumbuhan miselium jamur P. ostreatus pada umur 4-5 minggu setelah inokulasi sudah siap panen. Menurut Kihumbu, Shitandi, Maina, Khare, dan Sharma (2008) pertumbuhan miselium jamur P. sajor-caju telah merata sempurna pada 14 hari setelah inokulasi. Apabila tubuh buah telah mekar sempurna yang umumnya pada hari ketiga sejak munculnya calon tubuh buah (primordia) maka jamur dianggap masak petik untuk dipanen. Narh, Obodai, Baka, dan Dzomeku (2011); Djarwanto dan Suprapti (2010); Suprapti dan Djarwanto (2009) menyatakan bahwa usia masak petik jamur P. ostreatus, P. flabellatus, dan P. sajor-caju adalah umur 3-4 hari setelah primordia muncul. Rata-rata permulaan panen jamur P. flabellatus adalah 34,29 (24-47) hari, P. ostreatus 40,21 (23-93) hari, dan P. 287
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 4, Desember 2016: 285-296
sajor-caju 65,04 (30-91) hari setelah inokulasi. Ratarata permulaan panen jamur pada media kayu karet (H. brasiliensis) paling cepat (40,35 hari) dan yang lambat pada kayu damar (A. borneensis) dan mangium (A. mangium) masing-masing 50,25 dan 51,84 hari setelah inokulasi. Berdasarkan laporan Suprapti dan Djarwanto (2014), permulaan panen jamur pada media kayu karet adalah pada hari ke26-45 (P. flabellatus), P. ostreatus (31-33 hari), dan P. sajor-caju (40-96 hari) setelah inokulasi. Rata-rata pertumbuhan dan produksi jamur Pleurotus disajikan pada Tabel 1, 2, dan 3. Menurut Suprapti dan Djarwanto (2014) permulaan panen jamur tiram tersebut berbeda dengan hasil penelitian pada media kompos serbuk gergaji yang
mengandung pupuk nitrogen yaitu pada hari ke34 untuk P. flabellatus, ke-42 untuk P. ostreatus dan untuk P. sajor-caju pada hari ke-81, setelah inokulasi. Djarwanto, Suprapti, Yamto, dan Roliadi, (2004); Suprapti dan Djarwanto (2014) menyatakan bahwa permulaan panen jamur tiram berkisar antara 25-51 hari (P. ostreatus), 25-30 hari (P. flabellatus), 36-61 hari (P. sajor-caju) setelah inokulasi bibit. Shah, Ashraf, dan Ishtiaq (2004) menyatakan bahwa tubuh buah jamur P. ostreatus dipanen pada hari ke 27-34 setelah inokulasi, sedangkan Pathmashini, Arulnandhy, dan Wijeratnam (2008) menyatakan awal panen jamur P. ostreatus terjadi sekitar 31-43 hari setelah inokulasi.
Tabel 1. Hasil panen Pleurotus flabellatus dan nilai efisiensi konversi biologinya (EKB) Table1. The yield of Pleurotus flabellatus and its biological conversion efficiency (BCE) value
Hevea brasiliensis
Agathis borneensis
Acacia mangium
Jenis kayu (Wood species)
Pupuk (Fertilizers) Trisuperphosphate (TSP) Urea
Trisuperphosphate (TSP) Urea
Trisuperphosphate (TSP) Urea
Konsentrasi (Concentration, %) 0,0 0,1 0,3 0,5 0,0 0,1 0,3 0,5 0,0 0,1 0,3 0,5 0,0 0,1 0,3 0,5 0,0 0,1 0,3 0,5 0,0 0,1 0,3 0,5
Awal panen (The first harvesting, hari, day) 47 44 41 43 47 42 32 33 36 39 36 35 36 26 27 44 27 25 34 26 27 24 24 28
Frequensi panen (Harvesting frequency, kali,times) 5,4 7,2 7,2 6,8 4,6 6,4 5,2 6,2 5,8 7,4 5,2 5,6 5,8 7,4 7,0 3,8 7,2 6,2 6,4 6,0 7,0 7,8 7,2 5,8
Keterangan (Remarks): Rata-rata dari lima ulangan (Average of five replications)
288
Bobot jamur (Mushroom weight, g)
Jumlah pileus (Pileus number)
83,6 98,4 91,8 90,8 79,0 96,8 105,2 102,4 81,6 128,6 67,8 65,4 77,4 89,4 109,7 53,2 146,6 109,8 99,4 98,0 137,4 122,2 123,2 117,6
26,4 23,4 25,4 26,0 24,4 27,4 21,6 29,6 29,8 29,2 23,8 18,2 27,4 29 28,6 9,8 34,8 30,6 24,8 27,6 32,4 34,2 34,8 34,0
EKB (BCE, %)
55,91 66,26 58,80 57,42 52,84 61,53 70,97 64,98 48,90 74,59 41,01 38,34 46,01 51,98 63,77 31,80 75,98 58,50 58,25 53,30 71,21 66,50 67,61 64,74
Biokonversi Serbuk Gergaji Kayu Hutan Tanaman sebagai Media Jamur Pangan Pleurotus spp. (Djarwanto, Sihati Suprapti & Agus Ismanto)
Tabel 2. Hasil panen Pleurotus ostreatus dan nilai efisiensi konversi biologinya (EKB) Table 2. The yield of Pleurotus ostreatus and its biological conversion efficiency (BCE) value
Hevea brasiliensis
Agathis borneensis
Acacia mangium
Jenis kayu (Wood species)
Pupuk (Fertilizers) Trisuperphosphate (TSP) Urea
Trisuperphosphate (TSP) Urea
Trisuperphosphate (TSP) Urea
Konsentrasi (Concentration, %) 0,0 0,1 0,3 0,5 0,0 0,1 0,3 0,5 0,0 0,1 0,3 0,5 0,0 0,1 0,3 0,5 0,0 0,1 0,3 0,5 0,0 0,1 0,3 0,5
Awal panen (The first harvesting, hari, day) 36 41 40 47 36 39 40 48 43 44 45 46 43 46 27 93 30 30 34 44 30 31 29 23
Frequensi panen (Harvesting frequency, kali,times) 4,0 4,6 4,0 3,4 4,4 2,8 3,8 4,0 4,4 4,6 4,4 2,6 4,8 4,2 5,2 2,4 5,0 4,4 5,2 4,0 3,8 5,6 4,4 2,8
Bobot jamur (Mushroom weight, g)
Jumlah pileus (Pileus number)
EKB (BCE, %)
114,0 92,8 97,0 109,2 120,0 95,2 109,0 115,4 109,4 147,2 100,8 74,2 112,2 118,2 122,6 70,8 130,0 117,2 126,8 124,2 118,8 149,2 137,0 116,2
13,2 16,8 14,4 17,4 16,2 11,8 16,6 21,0 21,4 25,2 17,2 12,4 23,4 21,8 21,4 12,8 22,0 26,6 22,2 19,0 21,2 29,4 20,4 16,4
76,24 62,49 62,13 69,06 80,26 60,51 73,53 73,23 65,63 85,38 60,96 43,50 66,69 68,49 71,33 42,33 67,38 62,44 74,30 67,55 61,58 81,2 75,19 63,86
Keterangan (Remarks): Rata-rata dari lima ulangan (Average of five replications)
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa ratarata jumlah pileus (tudung jamur) adalah 27,22 (9,834,8) buah untuk P. flabellatus, 19,18 (11,8-29,4) buah untuk P. ostreatus dan untuk P. sajor-caju 15,25 (10,0-26,4) buah. Frekuensi panen tertinggi didapatkan dari jamur P. flabellatus (Tabel 4). Frekuensi panen yang tinggi menunjukkan bahwa jenis jamur tersebut cepat beregenerasi yaitu apabila terjadi luka akibat pencabutan tubuh buah maka miseliumnya segera tumbuh menutup luka tersebut dan kemudian menebal kembali. Frekuensi panen tersebut umumnya lebih rendah dibandingkan dengan laporan sebelumnya yaitu 7,3 kali (P. flabellatus), 4,4 kali (P. ostreatus), dan 4,6
kali untuk jamur P. sajor-caju (Suprapti & Djarwanto, 2014). Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa jenis kayu, jenis pupuk, dosis pupuk, dan jenis jamur mempengaruhi bobot tubuh buah, frekuensi panen dan nilai EKB-nya (p ≤ 0,05). Pada Tabel 4 ditunjukkan bahwa bobot dan nilai EKB jamur P. ostreatus lebih tinggi dibandingkan dengan P. flabellatus dan P. sajor-caju, kedua jenis jamur ini tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada uji beda Tukey (p≤0,05). Laporan sebelumnya menunjukkan bahwa bobot dan nilai EKB tertinggi didapatkan pada jamur P. ostreatus, kemudian diikuti oleh dua jenis jamur lainnya yaitu 289
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 4, Desember 2016: 285-296
Tabel 3. Hasil panen Pleurotus sajor-caju dan nilai efisiensi konversi biologinya (EKB) Table3. The yield of Pleurotus sajor-caju and its biological conversion efficiency (BCE) value
Hevea brasiliensis
Agathis borneensis
Acacia mangium
Jenis kayu (Wood species)
Pupuk (Fertilizers) Trisuperphosphate (TSP) Urea
Trisuperphosphate (TSP) Urea
Trisuperphosphate (TSP) Urea
Konsentrasi (Concentration, %) 0,0 0,1 0,3 0,5 0,0 0,1 0,3 0,5 0,0 0,1 0,3 0,5 0,0 0,1 0,3 0,5 0,0 0,1 0,3 0,5 0,0 0,1 0,3 0,5
Awal panen (The first harvesting, hari, day) 43 90 90 89 43 51 91 91 53 90 33 79 53 51 88 93 88 46 31 30 88 46 45 59
Frequensi panen (Harvesting frequency, kali, times) 2,8 3,4 2,8 3,8 2,8 2,6 4,0 3,4 3,2 2,0 3,8 3,6 3,8 3,4 2,6 2,8 3,0 34,4 3,4 3,6 3,0 3,4 3,8 2,4
Bobot jamur (Mushroom weight, g) 78,6 81,0 84,0 84,4 79,2 73,6 108,8 105,0 77,4 67,8 81,8 76,6 80,2 101,6 110,0 85,6 95,4 81,4 102,4 122,2 101,2 120,0 119,6 95,6
Jumlah pileus (Pileus number)
EKB (BCE, %)
22,6 16,2 14,4 15,0 14,2 14,4 16,6 10,8 13,4 11,4 16,8 10,2 15,8 18,0 26,4 12,0 13,8 10,0 17,8 20,2 13,2 14,0 17,2 20,2
52,57 54,55 53,80 53,37 52,97 46,78 73,40 66,63 46,01 39,32 49,47 44,90 47,67 59,07 64,00 51,17 49,44 43,37 60,01 66,46 52,45 65,31 65,64 52,54
Keterangan (Remarks): Rata-rata dari lima ulangan (Average of five replications)
Tabel 4. Rata-rata hasil panen dan nilai efisiensi konversi biologi (EKB) jamur tiram Table 4. Average yield of mushroom and biological conversion efficiency (BCE) of oyster mushroom Jenis jamur (Mushroom species) P. flabellatus P. ostreatus P. sajor-caju
Bobot (Weight, g) 98,98 b 113,64 a 92,23 b
Frekuensi panen (Harvesting frequency, kali, times) 6,28 a 4,12 b 3,23 c
EKB (BCE, %) 58,37 b 67,28 a 54,62 b
Keterangan (Remarks): Angka-angka pada masing-masing kolom yang diikuti oleh huruf sama tidak berbeda pada uji beda Tukey p≤0,05 (The number within each column followed by the same letter, means non-significantly different, Tukey test p≤0.05).
P. sajor-caju dan P. flabellatus (Suprapti & Djarwanto, 1995, 2014). Jamur ini telah umum dimanfaatkan untuk dikomsumsi sebagai sayuran. Jamur tiram putih (P. ostreatus) merupakan salah satu jamur unggulan yang telah menembus pasar, sedangkan jamur Pleurotus lainnya kurang dikenal. 290
Nilai EKB yang dihasilkan oleh P. ostreatus umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan P. sajor-caju (Suprapti & Djarwanto, 2014). Beberapa peneliti mendapatkan nilai EKB bervariasi untuk kelompok jenis jamur yang sama, dinyatakan bahwa nilai EKB P. ostreatus adalah
Biokonversi Serbuk Gergaji Kayu Hutan Tanaman sebagai Media Jamur Pangan Pleurotus spp. (Djarwanto, Sihati Suprapti & Agus Ismanto)
62,1-64,7% (Shah, Ashraf, & Ishtiaq, 2004) dan 59,8% (Narh, Obodai, Baka, & Dzomeku, 2011) dan menurut Villaceran, Kalaw, Nitural, Abella, dan Reyes (2006) nilai EKB P. sajor-caju adalah 24%, sedangkan menurut Khan et al. (2012) nilai EKB P. flabellatus 50,1-70,6%. Mshandete dan Cuff (2008); Obodai, Vowotor, dan Marfo (2002) menyatakan bahwa nilai EKB P. ostreatus 50,9 %, dan P. sajor-caju 34,5%. Pada Tabel 5, serbuk gergaji kayu karet merupakan bahan media yang baik untuk media produksi jamur Pleurotus, yang tidak berbeda nyata (p ≤ 0,05) dengan kayu mangium. Hasil terendah didapatkan pada media dari kayu damar. Suprapti dan Djarwanto (1995) menyatakan bahwa produksi jamur dan nilai EKB tertinggi terjadi pada media dari serbuk gergaji kayu karet. Rata-rata nilai EKB pada media dari tiga jenis kayu hutan tanaman tersebut sekitar 60%, ini menunjukkan bahwa media telah banyak yang dikonversi menjadi biomasa berupa tubuh buah jamur. Hal ini mungkin disebabkan oleh kayu tersebut termasuk kayu muda sehingga jamur mudah tumbuh dan mudah mengkonversi media menjadi biomasa tubuh buah. Laporan sebelumnya menunjukkan bahwa kayu karet termasuk kelompok kayu tidak-tahan atau kelas awet IV, sedangkan kayu damar dan mangium termasuk kelompok kayu agak-tahan atau kelas awet III (Djarwanto & Suprapti, 1998). Menurut Martawijaya dan Barly (2010), kayu kelas awet III, IV dan V umumnya mudah diserang atau dirombak oleh jamur, sehingga jenis kayu yang termasuk kelas awet tinggipun apabila masih muda maka kemungkinan kelas awetnya rendah,
yang baik digunakan sebagai media-kultivasi jamur yang dapat dimakan sebab cenderung lebih mudah dirombak oleh jamur. Penambahan pupuk pada media dapat meningkatkan hasil panen dan nilai EKB jamur. Pada Tabel 6, disajikan data hasil panen dan nilai EKB jamur pada media yang ditambah pupuk urea lebih baik dibandingkan dengan pada media yang ditambah pupuk trisuperfosfat. Kurtzman dan Zadrazil (1982) menyatakan bahwa urea berperan lebih baik dalam menyokong pertumbuhan jamur dibandingkan dengan nitrat dan amonium. Nitrogen sangat penting untuk pertumbuhan semua organisme. Nitrogen tersebut diperlukan untuk pembentukan nukleat, protein dan chitin untuk dinding sel. Suprapti dan D j a r wa n t o ( 2 0 1 4 ) m e n y a t a k a n b a h wa penambahan urea pada media memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan deng an penambahan amonium sulfat. Hal ini dapat dimungkinkan karena peran kandungan nitrogen pada urea yang lebih tinggi dibandingkan dengan nitrogen pada amonium sulfat (Novizan, 2002). Menurut Suprapti dan Djarwanto (2009), penambahan urea ke dalam media berkisar antara 0,5-1,0% dari bobot bahan media kering. Tabel 7 menunjukkan bahwa hasil tertingi diperoleh dari media yang ditambah pupuk 0,3% dan hasil terendah didapatkan dari media yang ditambah pupuk 0,5%. Media yang ditambah urea 0,5% nampak kaku dan keras atau regas sehingga mempengaruhi pembentukan dan pertumbuhan tubuh buah jamur. Konsentrasi pupuk 0,1-0,3% meningkatkan hasil panen dan nilai EKB.
Tabel 5. Rata-rata hasil panen jamur dan nilai efisiensi konversi biologi pada tiga jenis kayu Table 5. Average yield of mushrooms and BCE value at the sawdust medium from each of three wood species Jenis kayu (Wood species)
Bobot (Weight, g)
Frekuensi panen (Harvesting frequency, kali, times)
EKB (BCE, %)
Acacia mangium
95,63 b
4,40 a
62,51 a
Agathis borneensis
92,06 b
4,43 a
54,22 b
Hevea brasiliensis
117,15 a
4,78 a
63,53 a
Keterangan (Remarks): Angka-angka pada masing-masing kolom yang diikuti oleh huruf sama tidak berbeda pada uji beda Tukey p≤0,05 (The number within each column followed by the same letter, means non-significantly different, Tukey test p≤0.05)
291
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 4, Desember 2016: 285-296
Tabel 6. Rata-rata hasil panen jamur dan nilai efisiensi konversi biologi (EKB) pada media yang ditambah pupuk Table 6. Average yield of the harvested mushrooms and BCE value of the medium added with trisuperphophate and urea fertilizer Jenis pupuk (Fertilizer types)
Bobot (Weight, g)
Frekuensi panen (Harvesting frequency, kali, times)
EKB (BCE, %)
Trisuperphosphate (TSP)
98,27 b
4,62 a
58,24 b
Urea
104,96 a
4,46 a
61,94 a
Keterangan (Remarks): Angka-angka pada masing-masing kolom yang diikuti oleh huruf sama tidak berbeda pada uji beda Tukey p≤0,05 (The number within each column followed by the same letter, means non-significantly different, Tukey test p≤0.05)
Tabel 7. Rata-rata hasil panen jamur dan nilai efisiensi konversi biologi (EKB) pada media yang mengandung pupuk Table7. Average yield of mushroom and biological conversion efficiency (BCE) of media that contained fertilizer Konsentrasi pupuk (Concentration of fertilizer, %)
Bobot (Weight, g)
0,0
101,22 ab
4,49 ab
59,37 ab
0,1
105,02 a
4,86 a
61,57 a
0,3
105,38 a
4,76 a
63,56 a
0,5
94,83 b
4,06 b
55,84 b
Frekuensi panen (Harvesting frequency, kali, times)
EKB (BCE, %)
Keterangan (Remarks): Angka-angka pada masing-masing kolom yang diikuti oleh huruf sama tidak berbeda pada uji beda Tukey p ≤ 0,05 (The number within each column followed by the same letter, means non-significantly different, Tukey test p≤0.05)
Setelah jamur tiram tumbuh, sebagian media dirombak dan dikonversi menjadi biomasa tubuh buah yang dapat dimakan, sebagian yang lain digunakan untuk metabolisme, dan sisanya masih tersimpan dalam kompos berupa sisa media (spent compost), berikut miselium. Kompos tersebut dapat digunakan untuk campuran dalam media persemaian tanaman kehutanan. Data derajat metabolime respirasi media disajikan pada Tabel 8. Rata-rata tingkat metabolisme yang tinggi terjadi pada media kayu karet, kemudian diikuti mangium dan yang rendah pada media kayu damar. Pada Tabel 9 dan 10 disajikan data nilai C/N dan kandungan bioelemen media kayu karet. Data nilai C/N pada masing-masing komposisi media terlihat bervariasi, dan inokulasi jamur tiram menurunkan nilai C/N. Pada masa empat bulan 292
setelah inokulasi, penyusutan niai C/N belum mencapai yang diharapkan yaitu mendekati kompos. Nilai C/N kompos dari sampah organik yang memenuhi SNI 19-7030 (2004) adalah 10-20 kompos Bidlingmaier yakni 12,9-24,2, (Djarwanto, 2009) dan yang memenuhi standar kompos Jepang yaitu <35 (Komarayati & Pasaribu, 2005). Oleh karena itu, pemanfaatan sisa media untuk pertumbuhan tanaman sebaiknya dicampur dengan tanah, karena selama proses degradasi media masih berlangsung dan tubuh buah jamur dapat muncul walaupun dicampur di dalam tanah. Komarayati, Gusmailina, dan Djarwanto (2012) menyebutkan nilai C/N sisa media jamur Pleurotus ostreatus yang berumur 5 bulan setelah inokulasi (empat bulan masa produksi jamur) adalah 39,80%. Menurut Departemen Pertanian (2009) persyaratan teknis
Biokonversi Serbuk Gergaji Kayu Hutan Tanaman sebagai Media Jamur Pangan Pleurotus spp. (Djarwanto, Sihati Suprapti & Agus Ismanto)
Tabel 8. Rata-rata nilai derajat respirasi metabolisme media dari tiga jenis kayu Table 8. Average respiratory metabolism respiracy of media from three wood species
Hevea brasiliensis
Agathis borneensis
Acacia mangium
Jenis kayu (Wood species)
Pupuk (Fertilizer)
Konsentrasi (Concentration, %)
Trisuperphosphate (TSP) Urea
Trisuperphosphate (TSP) Urea
Trisuperphosphate (TSP) Urea
0,0 0,1 0,3 0,5 0,0 0,1 0,3 0,5 0,0 0,1 0,3 0,5 0,0 0,1 0,3 0,5 0,0 0,1 0,3 0,5 0,0 0,1 0,3 0,5
Derajat metabolisme respirasi (Respiratory metabolisme respiracy, %) P. flabellatus P. ostreatus P. sajor-caju 48,69 65,19 46,70 57,64 50,05 39,11 51,49 56,16 45,18 51,23 62,74 48,13 27,07 72,62 45,42 54,33 53,30 48,08 59,93 55,93 49,61 56,07 64,40 60,63 43,36 56,21 41,06 57,90 66,26 32,24 35,90 54,27 43,97 33,49 32,40 39,92 43,43 57,21 39,77 45,31 62,86 54,18 54,54 59,38 54,96 28,84 37,31 45,21 64,38 58,28 40,20 49,90 57,62 37,77 51,61 66,25 52,16 45,57 60,42 58,45 60,09 53,35 45,75 57,36 66,31 55,90 55,17 63,53 56,99 55,53 57,12 45,10
Tabel 9. Nilai C/N media Hevea brasiliensis pada umur empat bulan setelah inokulasi jamur Table 9. The C/N ratio in the medium of Hevea brasiliensis wood sawdust, four months after mushroom inoculation
Pupuk (Fertilizers)
Kontrol (Control ) Trisuper-phosphate (TSP) Urea
Konsentrasi (Concentration, %) 0,0 0,1 0,3 0,5 0,1 0,3 0,5
Nilai C/N media awal (C/N ratio initial media)
Nilai C/N media setelah difermentasi jamur (C/N ratio fermented media) P. flabellatus
P. ostreatus
P. sajor-caju
117,68
95,84
75,43
84,22
116,96 114,51 114,55 104,43 89,95 81,64
85,24 56,03 95,48 29,09 65,53 66,39
76,52 35,53 56,05 39,57 50,46 64,58
83,37 71,51 83,42 50,13 69,00 71,08
293
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 4, Desember 2016: 285-296
Table 10. Kandungan unsur hara media Hevea brasiliensis pada umur empat bulan setelah diinokulasi jamur Table 10. Nutrient content in Hevea brasiliensis sawdust media, four months after mushroom inoculation Pupuk (Fertilizers)
Jenis jamur CaO (%) (Mushroom species)
Urea 0,1%
Kontrol (Control) P. flabellatus P. ostreatus P. sajor-caju Kontrol (Control) P. flabellatus P. ostreatus P. sajor-caju Kontrol (Control) P. flabellatus P. ostreatus P. sajor-caju
Urea 0,3%
Urea 0,5%
K2O (%)
Na2O (%)
P2O5(%)
2,18
0,23
0,19
0,02
0,30
2,11 1,29 2,19 2,19
0,26 0,23 0,11 0,23
0,16 0,12 0,15 0,20
0,07 0,01 0,06 0,02
0,18 0,16 0,11 0,30
1,59 3,32 1,46 2,19
0,11 0,32 0,22 0,23
0,10 0,24 0,13 0,19
0,02 0,07 0,04 0,02
0,11 0,28 0,16 0,30
2,67 3,11 1,79
0,14 0,20 0,15
0,19 0,19 0,14
0,08 0,07 0,07
0,47 0,55 0,32
minimal pupuk organik dengan nilai C/N berkisar antara 15-25. Menurut Liu (1994), Komarayati et al. (2012) penyusutan nilai C/N dipengaruhi oleh lamanya waktu inkubasi. Semakin lama waktu inkubasi, semakin besar nilai perbandingan unsur karbon (C) dengan Nitrogen (N). Pada Tabel 10 menunjukkan bahwa kandungan kalium (K) dan magnesium (Mg) cenderung menurun setelah diinoklasi jamur, sedangkan kandungan kalsium (Ca) dan natrium (Na) cenderung meningkat, walaupun demikian, hal tersebut kurang berarti karena kadar unsur hara tersebut umumnya rendah. Kandungan unsur hara dalam media jamur adalah fosfor (P2O5) 0,11-0,55%, kalium (K2O) 0,11-0,32%, kalsium (CaO) 1,29-3,11% dan magnesium (MgO) 0,10-0,24% tersebut, nilainya dibawah standar kompos perhutani yaitu P2O5 0,90%, K2O 0,60%, CaO 4,9% dan MgO 0,70% (Komarayati & Pasaribu, 2005), serta di bawah batas minimum kompos Bidlingmaier (Djarwanto, 2009). Selain itu kadar unsur hara tersebut berbeda dengan hasil penelitian Komarayati et al. (2012) yaitu P2O5 0,48%, K2O 0,46%, CaO 1,38% dan MgO 0,21%, dan hasil penelitian Mindawati (Komarayati & Pasaribu, 2005) yakni P2O5 0,18-0,28%, K2O 0,18-0,22%, CaO 0,23-0,32% dan MgO 0,15-0,30%. Rata-rata kandung an unsur hara dalam kompos 294
MgO (%)
Bidlingmaier antara lain P2O5 yaitu 0,9(0,3-1,8) %, K2O: 0,6 (0,2-1,4)%, MgO: 0,7(0,3-1,6)%, dan CaO: 4,9(2,7-6,2)% (Djarwanto, 2009). IV. KESIMPULAN Kayu mangium (Acacia mangium), damar (Agathis borneensis) dan kayu karet (Hevea brasiliensis) dapat digunakan untuk media produksi jamur Pleurotus ostreatus, P. flabellatus, dan P. sajorcaju. Pengaruh penambahan pupuk urea (nitrogen) ke dalam media lebih baik dibandingkan dengan pupuk trisuperfosfat (TSP). Penambahan pupuk pada konsentrasi 0,1-0,3 % dapat meningkatkan hasil panen jamur. Efisiensi konversi biologi (EKB) tertinggi didapatkan pada media yang mengandung pupuk 0,3% (63,56%) dan yang terendah pada media yang mengandung pupuk 0,5% (EKB 55,84%). Kemampuan mengkonversi serbuk gergaji kayu menjadi biomassa jamur yang dapat dimakan tertinggi didapatkan pada P. ostreatus diikuti P. flabellatus dan kemampuan yang terendah terjadi pada P. sajorcaju. Tingkat metabolisme respirasi yang tinggi terjadi pada media kayu karet, kemudian diikuti mangium dan yang rendah pada media kayu damar. Inokulasi ketiga jenis jamur Pleurotus pada
Biokonversi Serbuk Gergaji Kayu Hutan Tanaman sebagai Media Jamur Pangan Pleurotus spp. (Djarwanto, Sihati Suprapti & Agus Ismanto)
serbuk gergaji kayu karet dapat menurunkan nilai C/N, meskipun bekas media jamur tersebut masih berupa kompos yang belum matang. DAFTAR PUSTAKA Chang, S.T. (1999). World production of mushrooms. International Journal of Medicinal Mushroom, 1, 1-8. Chang, S.T. & Miles, P.G. (2004). Mushrooms cultivation, nutritional value, medicinal effect, and environmental impack (2nd Ed) 477 p. Boca Raton London New York Washington, D.C.: CRC Press. Departemen Pertanian. (2009). Persyaratan teknis minimal pupuk organik. S.K. Menteri Pertanian no. 28/Permentan/SR.130/5/ 2009, tanggal 22 Mei 2009. Djarwanto. (2009). Studi pemanfaatan tiga jenis fungi pada pelapukan daun dan ranting mangium di tempat terbuka. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 27(4), 314-322. Djarwanto & Suprapti, S. (1998). Decay resistance of three wood species against some wood destroying fungi. Proceedings of The Second International Wood Science Seminar, November 6-7, 1998, Serpong. p.: C57-C63. Indonesia: Research and Development Center For Applied Physics, LIPI.
Gregory, A., Svagelj, M., & Pohleven, J. (2007). Cultivation techniques and medicinal properties of Pleurotus spp. Food Technology Biotechnol., 45(3), 236-249. Islam, M.Z., Rahman, M.H., & Hafiz, F. (2009). Cultivation of oyster mushroom (Pleurotus flbellatus) on different substrates. International Journal of Sustainable Crop Production 4(1), 45-48. Khan, N.A., Ajmal, M., Imam ul haq, M., Javed, N., Asif Ali, M., Benyamin, R., & Khan, S. A. (2012). Impact of sawdust using various woods for effective cultivation of oyster mushroom. Pakistan Journal of Botany 44(1), 399-402. Kihumbu A.G., Shitandi, A.A., Maina, M.S., Khare, K.B., & Sharma, H.K. (2008). Nutritional composition of Pleurotus sajorcaju grown on water hyacinth, wheat straw and corncob substrate. Research Journal of Agriculture and Biological Sciences, 4(4), 321326. King, T.A. (1993). Mushrooms, the ultimate health food but little research in U.S. to prove it. Mushroom News, 41, 29-46. Komarayati, S., & Pasaribu, R.A. (2005). Pembuatan pupuk organik dari limbah padat industri kertas. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 23(1), 35-41.
Djarwanto & Suprapti, S. (2010). Pengaruh sumber bibit terhadap pertumbuhan jamur tiram. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 29(2), 156-168.
Komarayati, S., Gusmailina & Djarwanto. (2012). Pemanfaatan sisa media tumbuh jamur tiram untuk arang kompos. Prosiding Seminar Nasional MAPEKI IX, tanggal 2 November 2011, Yogyakarta. Hal: 889-894.
Djarwanto, Suprapti, S., Yamto & Roliadi, H. (2004). Cultivation of edible mushroom in Karo, North Sumatera. Dalam A.N. Gintings, H. Daryanto & H. Roliadi (Eds.) Proceeding of The International Workshop “Better Utilization of Forest Biomass for Local Community and Environment, March 16-17, 2004, Bogor-Indonesia. p.: 199-210.
Kurztman, R.H., & Zadrazil, F. (1982). Physiological and taxonomic consideration for cultivation of Pleurotus mushrooms. Dalam S.T. Chang & T.H. Quimio (Eds). Tropical mushrooms: biological nature and cultivation methods. Hong Kong: The Chinese University Press. p.: 277-380.
Ginoga, B. (1997). Beberapa sifat kayu mangium (Acacia mangium Willd.) pada beberapa tingkat umur. Buletin Penelitian Hasil Hutan, 15(2), 132-149.
Lin, Z. (2004). Mushrom growers' handbook. Oyster mushroom cultivation. Diakses dari www fungifun.0rg/mushworld/Oystermushroom cultivation/mushroom pada 18 April 2013.
295
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 4, Desember 2016: 285-296
Liu, B. (1994). Conversion of mulberry waste by Lentinula edodes. Dalam X.C. Luo, & M. Zang (Eds). Proceeding-II: The Biology and Technology of Mushroom. China Agricultural Scientech Press. p: 71-73.
Rachman, O., Widarmana, S., & Suryokusumo, S. (1988). Pengaruh pola penggergajian terhadap rendemen dan waktu menggergaji kayu meranti. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 5(5), 249-258.
Martawijaya, A., & Barly. (2010). Pedoman pengawetan kayu untuk mengatasi jamur dan rayap pada bangunan rumah dan gedung. Bogor: IPB Press. 77 p.
Shah, Z.A., Ashraf, M., & Ishtiaq Ch. M. (2004). Comparative study on cultivation and yield perfor mance of oyster mushroom (Pleurotus ostreatus) on different substrates (wheat straw, leaves, sawdust). Pakistan Journal of Nutrition, 3(3), 158-160.
Mshandete, A.M., & Cuff, J. (2008). Cultivation of three types of indigenous wild edible mushrooms: Coprinus cinereus, Pleurotus flabellatus and Volvariella volvaceae on composted sisal decortications residue in Tanzania. African Journal Biotechnology, 7(4), 4551-4562. Narh, D.L., Obodai, M., Baka, D., & Dzomeku, M. (2011). The efficiency of sorghum and millet grains in spawn production and carpophore formation of Pleurotus ostreatus (Jacq. Ex Fr.) Kummer. International Food Research Journal,18(3), 1143-1148. Novizan. (2002). Petunjuk pemupukan yang efektif. Jakarta: AgroMedia Pustaka. 114 p. Obodai, M., Vowotor, K.A. & Marfo, K. (2002). Performance of various strains of Pleurotus species under Ghanaian conditions. Dalam Sanchez, G. Huerta, & E. Montiel. Mushroom Biology and Mushroom Products. Ed. UAEM. ISBN 968-878-105-3. p.: 461-466. Patel, Y., Naraian, R., & Singh, V.K. (2012). Medicinal properties of Pleurotus species (oyster mushroom): A review. World Journal of Fungal and Plant Biology, 3(1), 1-12. doi: 10.5829/idosi. wjfpb. 2012.3.1.303. Pathmashini, L., Arulnandhy, V., & Wijeratnam, R.S.W. (2008). Cultivation of oyster mushroom (Pleurotus ostreatus) on sawdust. Ceylon Journal of Science (Biological Sciences) 37(2), 177-182. Rachman, O. & Hadjib, N. (2008). Keteguhan lentur statis sambungan jari pada beberapa jenis kayu hutan tanaman. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 26 (4), 252-360.
296
Standar Nasional Indonesia (SNI). (2004). Spesifikasi kompos dari sampah organik domestik. (SNI 19-7030). Badan Standardisasi Nasional. Steel, R.G.D., & Torrie, J.H. (1990). Principles and procedure of statistic. New York: McGraw Hill Book Company. Suprapti, S., & Djarwanto. (1995). Screening and selection of edible mushroom that have high economic value and utilize wood waste as media. Research Report. Hah, Y.C. (Ed.). U n e s c o R e g i o n a l N e t w o r k Fo r Microbiology in Southeast Asia, Korea. Suprapti, S., & Djarwanto. (2009). Pedoman budidaya jamur shiitake dan jamur tiram. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembang-an Hasil Hutan. 60 hal. Suprapti, S., & Djarwanto. (2014). Produktivitas jamur Pleurotus spp. pada kompos serbuk gergaji kayu Hevea brasiliensis Muell. Arg. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XVI, 6 November 2013), Balikpapan, Kalimantan Timur. Hal. 278-283. Villaceran, A.B., Kalaw, S.P., Nitural, P.S., Abella, E.A., & Reyes, R.G. (2006). Cultivation of Thai and Japanese starins of Pleurotus sajor-caju on rice-straw-based Volvariella volvaceae mushroom spent and composted rice straw in Central Luzon Region, Philippines. Journal of Agricultural Technology, 2(1), 69-75.
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 4, Desember 2016: 297-307 ISSN: 0216-4329 Terakreditasi No.: 642/AU3/P2MI-LIPI/07/2015
LEMAK TENGKAWANG SEBAGAI BAHAN DASAR LIPSTIK (Illipe Nut's Fat as Lipstick Raw Material) R. Esa Pangersa Gusti & Totok K. Waluyo Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Jl. Gunung Batu No.5, Bogor 16610 Telp. (0251) 8633378, Fax. (0251) 8699413 E-mail:
[email protected] ;
[email protected] Diterima 3 Juni 2014, Direvisi 14 September 2016, Disetujui 27 Okober 2016
ABSTRACT Cocoa butter has long been used as a base ingredient for lipstick. Illipe nut's fat is known to have similar characteristics to those of cocoa butter, thus expectedly, it could be used as an alternative substitute for cocoa butter in lipstik manufacturing. This paper studies the appropriate Illipe nut's fat formulation for lipstick manufacturing. Water-based (WB1, WB2, WB3, WB4) and oil-based (M1, M2, M3, M4, M5) formulations with illipe nut fat content of 2, 3, 4 and 5% were tested. The illipe nut's fat was produced from Shorea pinanga collected from West Java. Physical properties (i.e hardness and melting point) and organoleptic test (texture, shine, polish ability, odor and color) were analyzed. The results showed that M3 formulation with 2% illipe nut's fat level had similar physical properties to those of commercial lipsticks. Furthermore, the organoleptic test revealed that M5 formulation with 3% fat level was the most preferred by respondents. To obtain lipsticks performance which meets the requirements in commercial lipsticks criteria and also satisfies the respondent's preference, a combination of M3 and M5 formulation is recommended. Keywords: Commercial lipstick, formulation, illipe nut's fat, organoleptic test, physical properties ABSTRAK Lemak kakao sudah lama digunakan sebagai bahan dasar lipstik. Lemak tengkawang dikenal memiliki karakteristik yang serupa dengan lemak kakao. Atas dasar tersebut lemak tengkawang dapat digunakan sebagai alternatif pengganti lemak kakao (Coccoa Butter Substitue) umumnya pada pembuatan lipstik komersial. Tulisan ini mempelajari kadar lemak tengkawang yang sesuai dalam formulasi dengan kandungan lain dalam pembuatan lipstik. Formulasi lipstik yang digunakan terdiri dari dua, yaitu berbasis air (diberi nama WB1, WB2, WB3, WB4) dan berbasis minyak (M1, M2, M3, M4, M5). Lemak tengkawang yang digunakan adalah jenis Shorea pinanga asal Jawa Barat. Kadar lemak tengkawang yang digunakan yaitu 2-, 3-, 4-, dan 5%. Lipstik yang dihasilkan dari formulasi ini kemudian dianalisis sifat fisik (kekerasan dan titik leleh) dan uji organoleptik (tekstur, kilap, daya oles, bau dan warna). Berdasarkan sifat fisiknya, lipstik dengan formulasi M3 (kadar lemak tengkawang 2%) merupakan yang paling mendekati lipstik komersial. Sementara itu, uji organoleptik menunjukkan bahwa formulasi M5 (kadar lemak tengkawang 3%) adalah yang paling disukai oleh responden. Untuk mendapatkan lipstik yang memenuhi kriteria lipstik komersial dan juga disukai oleh responden, campuran komposisi antara M3 dan M5 dapat dipakai. Kata kunci: Lipstik komersial, formulasi, lemak tengkawang, uji organoleptik, sifat fisik
DOI : http://doi.org/10.20886/jphh.2016.34.4.297-307
297
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 4, Desember 2016: 297-307
I. PENDAHULUAN Lipstik merupakan salah satu kosmetika berbentuk batang yang digunakan untuk mewarnai bibir dengan sentuhan artistik sehingga dapat meningkatkan estetika dalam tata rias wajah. Selain itu lipstik juga digunakan untuk melindungi bibir dari pengaruh sinar matahari, angin, udara dingin, perubahan cuaca, dan udara kotor (Risnawati, Nazliniwaty & Purba, 2012). Lipstik yang baik harus memiliki bentuk dan warna yang menarik, halus dan homogen, tidak rapuh atau terlalu keras serta terlalu lunak karena pengaruh suhu, tidak berbahaya bagi kulit, serta mudah digunakan dan dihapus namun membentuk lapisan yang stabil. Formulasi lipstik terdiri dari bahan dasar, parfum, antioksidan dan zat warna. Basis lipstik merupakan kombinasi antara minyak, lemak, dan malam (wax) (Vishwakarma, Dwivedi, Dubey & Joshi, 2011). Minyak ditambahkan pada lipstik bertujuan untuk melarutkan zat warna, membuat campuran wax mudah dituangkan. Minyak yang banyak digunakan adalah minyak jarak pagar karena kekentalannya yang tinggi sangat menguntungkan dalam mengatur daya kilap lipstik (Valda, Lidya & Citraningtyas, 2013). Lemak disini bertujuan untuk memberikan lapisan pada bibir, menghaluskan dan mencegah efek kekeringan pada permukaan bibir, dan meningkatkan daya dispersi pigmen (Adliani, Nazliniwaty, & Purba, 2012). Lemak yang umum digunakan sebagai bahan baku pada pembuatan lipstik adalah lemak kakao. Lemak kakao ideal digunakan pada lipstik karena tidak mencair pada suhu tubuh, mudah pemakaiannya namun menimbulkan kerak yang tidak diinginkan sehingga dapat menyebabkan iritasi pada permukaan bibir (Vishwakarma et al., 2011). Komponen lain dalam pembuatan lipstik adalah zat aditif. Zat aditif yang digunakan berupa pewangi, pewarna dan antioksidan. Pewangi digunakan untuk menutupi rasa atau bau lemak yang khas serta meberi kesan harum pada produk. Umumnya pewangi yang sering digunakan pada lipstik adalah aroma buah (Valda et al., 2013). Kriteria pewangi yang baik untuk lipstik yaitu ringan dan segar, stabil,bersifat tidak mengiritasi dan dapat bercampur baik dengan bahan dasar lipstik (Vishwakarma et al., 2011). 298
Bahan pewarna dalam kosmetika harus dapat memberikan intensitas dan sifat yang diinginkan, mempunyai efek pewarnaan cukup kuat sehingga hasil yang dicapai dalam intensitas yang sesedikit mungkin. Pewarna yang digunakan tidak boleh menimbulkan gejala iritasi pada kulit, sifat dan intensitas warna harus stabil, serta tidak berbahaya bagi kesehatan (Kusumaningtyas, Sulaeman & Yusnelty, 2012). Antioksidan digunakan untuk mencegah minyak dan lemak dari ketengikan. Jenis antioksidan yang umum digunakan yaitu butylated hidroxyanisole (BHA) dan butylated hydrotoluene (BHT) (Gani, Basri, Rahman, Kassim, Raja, Salleh & Ismail, 2010). Karakteristik lemak tengkawang menyerupai lemak kakao sehingga tergolong ke dalam Cocoa Butter Substitues (CBS) (Gusti, Zulnely & Kusmiyati, 2012). Selain itu, harga lemak tengkawang lebih ekonomis dibanding lemak kakao. Hal ini yang membuat industri menelusuri pemanfaatan lemak tengkawang sebagai bahan baku kosmetika (lipstick). Dengan kemiripan karakteristik tersebut, lemak tengkawang berpotensi untuk substitusi lemak kakao sebagai bahan baku pembuatan lipstik. Oleh karena itu, maka dirasa perlu untuk melakukan penelitian mengenai formulasi lemak tengkawang yang sesuai untuk menghasilkan produk lipstik yang memenuhi standar. II. BAHAN DAN METODE A. Bahan dan Alat Lemak tengkawang jenis Shorea pinanga Scheff dari Hutan Percobaan Haurbentes, Jawa Barat. Bahan kimia yang digunakan adalah malam lebah, carnauba wax, candelila wax, minyak jarak, lanolin, paraffin cair, titanium dioksida, Butylated Hydroxtoulene (BHT), pewarna makanan dan parfum. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan analitik, gelas ukur, penangas, mixer, cetakan (mal) dan wadah lipstik. B. Metode Penelitian Proses pembuatan lipstik diawali dengan membuat base lipstik dengan memanaskan minyak jarak, wax dan lemak tengkawang pada suhu 7090oC sampai terbentuk suatu massa cair. Setelah
Lemak Tengkawang sebagai Bahan Dasar Lipstik (R. Esa Pangersa Gusti & Totok K. Waluyo)
Gambar 1. Alur proses pembuatan lipstik Figure 1. Stages in the manufacturing process of lipstick Tabel 1. Formulasi lipstik Table 1. Lipstick formulation Formula lipstik berbasis air (Water-based lipstick formulation, ISPE) Polyethylene glicol 400 (PEG 400) Air (Water) Minyak jarak (Castor oil) Malam lebah (Cera alba) Lemak tengkawang (Illipe nut’s fat ) : 2, 3,4,5% Malam karnauba (Carnauba wax) Malam kandelila (Candelila wax) Parafin cair (Liquid paraffin) BHT (BHT) Titanium dioksida (Titanium dioxide) Zat warna (Coloring matter) Parfum (Perfumes)
terbentuk campuran massa cair yang homogen, suhu pemanasan diturunkan hingga 60 o C kemudian ditambahkan warna, parfum dan zat aditif lainnya. Campuran dimasukkan ke dalam cetakan lalu didinginkan. Ilustrasi alur proses pembuatan lipstik disajikan pada Gambar 1. Formulasi lipstik berbasis air (water-based) yang digunakan yaitu mengikuti standar International
Formula lipstik berbasis minyak (Oil-based lipstick formulation, Sophim) Minyak jarak (Castor oil) Malam lebah (Cera alba) Lemak tengkawang (Illipe nut’s fat ) : 2, 3,4,5% Malam karnauba (Carnauba wax) Malam kandelila (Candelila wax) Parafin cair (Liquid paraffin) BHT (BHT) Titanium dioksida (Titanium dioxide) Zat warna (Coloring matter) Parfum (Perfumes)
Society for Pharmaceutical Engineering (ISPE, 1992) dan formulasi lipstik berbasis minyak (Oil-based) mengikuti standar pabrikan lipstik komersial (Sophim) dengan modifikasi yaitu penggunaan lemak tengkawang pada konsentrasi 2, 3, 4, dan 5% menggantikan lemak kakao. Formulasi lipstik secara lengkap disajikan pada Tabel 1.
299
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 4, Desember 2016: 297-307
C. Analisis Data 1. Analisis mutu bahan dasar lipstik Analisis mutu bahan dasar dilakukan terhadap minyak jarak, wax (carnauba, candelilla), malam lebah dan lemak tengkawang. Jenis analisis berupa sifat fisiko-kimia meliputi bilangan asam, bilangan iod dan titik leleh mengikuti standar AOAC (1995), serta bilangan penyabunan (Departemen Kesehatan, 1993). 2. Analisis mutu lipstik Pengujian mutu lipstik dilakukan dengan cara menganalisis penampilan sifat produk lipstik hasil formulasi berbahan dasar air dan minyak (Tabel 1) yang meliputi kekerasan dan titik leleh. Kekerasan lipstik ditentukan oleh kedalaman tembus jarum penetrometer. Lipstik semakin lunak jika kedalaman tembus semakin besar. Bila kedalaman 9-10,5 mm maka sampel digolongkan kedalam produk lipstik lunak. Kedalaman tembus 5-8 mm tergolong lipstik keras dan dibawah 4 mm terolong lipstik sangat keras (ASTM, 1979). Pengujian titik leleh mengikuti standar AOAC (1995). Lipstik yang baik memiliki titik leleh o berkisar 50-70 C (SNI, 1998). 3. Uji organoleptik Dari hasil formulasi bahan dasar lipstik (Tabel 1) dilakukan uji organoleptik yang meliputi tekstur, kilap, bau, warna, dan daya oles lipstik. Uji ini menggunakan sistem skoring dari 18
responden dengan skala umur 18-50 tahun (Rahayu, 1998). Data hasil skoring dianalisis secara statistik dengan menggunakan metode Kruskall-Wallis. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis Mutu Bahan Dasar Lipstik Lipstik dengan mutu yang baik dan seragam didapatkan dengan pengawasan mutu yang dilakukan mulai dari bahan-bahan yang digunakan. Analisa mutu digunakan untuk menyeleksi kualitas bahan-bahan yang akan digunakan dalam pembuatan lisptik sehingga efek-efek yang tidak diinginkan dan kerusakan secara dini dapat dihindari. Analisis mutu berupa sifat fisiko-kimia dilakukan terlebih dahulu terhadap masing-masing bahan dasar lipstik sebelum dicampurkan menjadi base lipstik. Parameter analisa mutu untuk bahan dasar lipstik antara lain bilangan asam, bilangan iod, bilangan penyabunan dan titik leleh (Vishwakarma et al., 2011). Hasil analisis tersebut disajikan pada Tabel 2. Bilangan asam digunakan untuk mengukur jumlah asam lemak bebas yang terdapat dalam minyak atau lemak. Bilangan asam menunjukkan tingkat kerusakan minyak atau lemak karena peristiwa hidrolisis. Kenaikan bilangan asam menunjukkan bahwa lemak telah mengalami peristiwa hidrolisis (Ketaren, 1986). Nilai bilangan
Tabel 2. Analisis sifat fisiko kimia bahan dasar lipstik Table 2. Physico-chemical properties analysis of lipstick base Bahan (Material) Bilangan asam (Acid number) Lemak tengkawang (Illipe nut’s fat) Minyak jarak (Castor oil) Malam lebah (Cera alba) Malam candelila (Candelila wax) Malam carnauba (Carnauba wax)
Parameter (Parameters) Bilangan Biangan iod penyabunan (Iod number) (Saponification number)
0,9073
35,03
74,1133
40
1,2876
30
132,4567
-
15,7139
-
130,57
65
15,1433
-
76,6933
92
7,53
-
96,23
78
Keterangan (Remarks) : *) Rata-rata dari 3 kali pengujian (Average value of 3 repeatations)
300
Titik leleh (Melting point), oC
Lemak Tengkawang sebagai Bahan Dasar Lipstik (R. Esa Pangersa Gusti & Totok K. Waluyo)
asam yang diperkenankan untuk produk kosmetik pada lemak tengkawang adalah sebesar 10-50 (Sonntag, 1979), minyak jarak 0,4-4 (Bailey, 1950), malam lebah 17-24 dan malam carnauba 2-7 (Depkes RI, 1993). Hasil menunjukkan bilangan asam lemak tengkawang (0,9073) minyak jarak (1,2876) dan malam lebah (15,7139) yang digunakan pada penelitian ini memiliki nilai yang jauh lebih rendah dari batas maksimum yang diperkenankan, sedangkan malam carnauba (7,53) melebihi batas yang diperkenankan menurut Depkes (Tabel 2). Hasil ini menunjukkan rendahnya nilai bilangan asam pada bahan dasar dapat mengurangi timbulnya ketengikan selama digunakan pada saat proses pembuatan lipstik. Bilangan iod menunjukkan derajat kejenuhan lemak. Bilangan iod yang tinggi menunjukkan bahwa sebagian lemak telah mengalami kerusakan (Gusti, Zulnely, & Kusmiyati, 2012). Bilangan iod yang diperkenankan untuk lemak tengkawang adalah sebesar 29-38 (Sonntag, 1979) dan minyak jarak 81-91 (Bailey, 1950). Hasil menunjukkan bahwa lemak tengkawang yang digunakan memiliki nilai bilangan iod (35,03) pada batas yang diperkenankan. Sementara itu, bilangan iod minyak jarak (30) memiliki nilai lebih rendah dari batas yang diperkenankan (Tabel 2).
Nilai bilang an penyabunan yang di perkenankan untuk lemak tengkawang adalah 189-200 (Sonntag, 1979), minyak jarak 176-187 (Windholdz, 1976), malam lebah 87-104 (Depkes RI, 1993) dan malam carnauba 70-88 (De Navarre, 1962). Hasil menunjukkan lemak tengkawang dan minyak jarak memiliki nilai yang jauh lebih baik dibandingkan nilai yang diperkenankan. Sementara itu, malam lebah berada diatas selang batas nilai yang dipersyaratkan, sedangkan malam carnauba masih berada dalam batas yang diperkenankan (Tabel 2). Bilangan penyabunan mempunyai hubungan erat dengan bobot molekul. Dengan nilai ini, maka ka da r ko mp o sisi ma sin g-ma sin g a ka n menentukan kualitas produk yang dihasilkan (Perdanakusuma, 2003). Titik leleh merupakan suatu kondisi dimana padatan mulai mencair. Hasil menunjukkan titik leleh terendah terdapat pada lemak tengkawang (40oC) dan tertinggi pada malam candelila (92oC) (Tabel 2). Titik leleh bahan dasar ini akan mempengaruhi kestabilan kualitas produk selama proses pembuatan, penyimpanan sampai pada saat penggunaan (Vishwakarma et al., 2011). Dengan mutu bahan dasar seperti yang diuraikan diatas, dilakukan pembuatan dua jenis
Tabel 3. Formulasi lisptik berbahan dasar lemak tengkawang Table 3. Illipe nut's fat-based lipstick formulations Formula/konsentrasi bahan (Formulations/Material content, %)
Bahan (Material) PEG 400 (PEG 400) Air (Water) Minyak jarak (Castor oil) Malam candelila (Candelila wax) Lemak tengkawang (Illipe nut’s fat) Malam carnauba (Carnauba wax) Malam lebah (Cera alba) BHT (BHT) Parafin cair (Liquid paraffin) Titanium dioksida (Titanium dioxide) Zat warna (Coloring matter) Parfum (Perfume)
WB1
WB2
3 6 39 12 2 4 23 0,5 1 1
3 6 39 12 3 4 23 0,5 1 0,5
WB3
WB4
M1
M2
M3
M4
M5
3 3 6 6 40 40 41 40 40 12 12 10 10 10 4 5 5 5 2 6 6 2 1 1 21 20 10 13 10 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 8 8 8 1 1 1 1 1 1,5 2 1 1 1 Secukupnya a( s enough as possible) (1-2%)
41 10 4 1 10 0,5 8 1 1
38 10 3 1 10 0,5 9 1 1
Keterangan (Remarks) = WB : lipstik berbahan dasar air (WB : Water-based lipstick) ; M : lipstik berbahan dasar lemak/minyak (M : Oil-based lipstick)
301
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 4, Desember 2016: 297-307
lipstik yaitu waterbase (WB) dan oil-base (M) menurut formulasi tertentu (Tabel 1). Masingmasing formula tiap jenis lipstik secara lengkap disajikan pada Tabel 3. B. Analisis Penampilan Sediaan Lipstik Terhadap batang lisptik hasil formulasi berbahan dasar air dan minyak (Tabel 3), dilakukan sejumlah uji untuk melihat penampilannya (performance) yaitu uji kekerasan (hardness) dan titik leleh (melting point). Nilai kekerasan lipstik mengindikasikan kemudahan pengolesan dan lapisan yang tertinggal di bibir, sedangkan pengukuran titik leleh untuk memperkirakan batas suhu penyimpanan yang aman, baik selama pengiriman, pemasaran, pemasaran maupun penggunaan. Hasil analisis mutu lipstik disajikan pada Tabel 4. Nilai kekerasan lisptik hasil penelitian berkisar 2,90-15,40 mm/5 detik, sedangkan lipstik komersial 10,05 mm/5 detik. Hasil analisis penampilan menunjukkan lipstik formula WB1 tergolong kedalam lipstik sangat keras (< 4 mm), WB3, WB4 dan M2 tergolong lipstik keras (5-8 mm); M3 tergolong lipstik lunak (9-10,5 mm); WB2,M1, M4 dan M5 tergolong lipstik sangat lunak (>10,5 mm) (ASTM, 1979) (Tabel 4). Standar Nasional Indonesia SNI 16-4769 (1998) mensyaratkan titik leleh lipstik pada kisaran 50-70oC. Lipstik hasil penelitian memiliki titik leleh berada pada suhu 55-75oC, sedangkan lipstik komersial sebagai pembanding berada pada suhu 60oC (Tabel 4). Suhu lipstik yang ideal yaitu
mendekati suhu bibir dengan variasi Antara 36o 38 C, namun karena harus memperhatikan faktor ketahanan terhadap perbedaan suhu sekitarnya, terutama suhu daerah tropis, suhu lipstik dibuat lebih tinggi. Suhu yang dianggap lebih sesuai o adalah 55-75 C (Balsam, Gerson, Rieger, Sagarin, & Stiaries, 1974). WB1, WB3, WB4 dan M4 merupakan formula yang tidak memenuhi persyaratan titik leleh SNI. Lipstik yang mempunyai struktur halus dan titik leleh yang tinggi akan memberikan karakteristik penggunaan yang baik (Balsam, 1974). Bila dibandingkan dengan lipstik komersial sebagai control, maka lipstik hasil penelitian dengan formula M3 (Tabel 4) merupakan yang paling mendekati kontrol dalam hal kekerasan dan titik leleh. C. Analisis Organoleptik Sediaan Lipstik Lisptik yang baik tidak hanya ditentukan oleh fisiko-kimia saja tetapi juga sifat organoleptik. Uji organoleptik yang dilakukan meliputi tekstur, kilap, daya oles, bau dan warna. 1. Tekstur Tekstur lipstik mengindikasikan jumlah padatan dalam emulsi (Vishwakarma et al., 2011). Uji organoleptik tekstur lipstik disajikan pada Gambar. Hasil analisis menunjukkan penilaian responden bahwa lipstik berbasis minyak dengan tambahan air (WB) sebagian besar memiliki tekstur yang cukup kasar, sedangkan untuk lipstik berbasis minyak (M) memiliki tekstur yang halus.
Tabel 4. Analisis penampilan lipstik Table 4. Performance analysis of lipstick Formula (Formulation) *) Lipstik komersial (Commercial lipstick) WB1 WB2 WB3 WB4 M1 M2 M3 M4 M5
Kekerasan, mm/5 detik (Hardness, mm/5 second)
Titik leleh, (Melting point), oC
10,05
60
2,90 11,20 6,75 7,45 15,40 7,00 9,30 13,90 10,20
73 61 75 72 58 59 59 74 55
Keterangan (Remarks) : * Nilai rata-rata dari 2 kali ulangan (Average acid number value of 2 repeatations)
302
Lemak Tengkawang sebagai Bahan Dasar Lipstik (R. Esa Pangersa Gusti & Totok K. Waluyo)
(Texture)
Keterangan (Remarks) = 1 : Sangat halus (Very soft) 2 : Cukup halus (Quitet Soft ) 3 : Halus (Soft)
4 : Cukup kasar (Quite rough) 5 : Kasar (Rough) 6 : Sangat kasar (Very rough)
Gambar 2. Histogram nilai tekstur lipstik Figure 2. Histogram of lipstick texture value Tekstur lipstik dipengaruhi oleh campuran malam. Semakin tinggi konsentrasi malam dalam suatu campuran maka lipstik yang dihasilkan semakin kasar. Tekstur lisptik yang halus merupakan faktor penting karena akan menambah daya tarik konsumen, selain itu akan memudahkan dalam pengolesan dan mengurangi gesekan penyebab iritasi pada permukaan bibir (Valda et al., 2013). Hasil analisis Kruskal-Wallis
(Tabel 5) menunjukkan dalam tekstur, responden menilai terdapat perbedaan yang sangat nyata antara masing-masing jenis formula. Dalam hal tekstur, formula lipstik terbaik pilihan responden adalah M5 (Gambar 2). 2. Kilap Kilap suatu lipstik berhubungan dengan indeks pantul terhadap sinar cahaya. Kilap umumnya memiliki hubungan dengan tekstur dimana
Kilap (Shine)
Keterangan (Remarks) = 1 : Sangat kusam (Very pallid) 2 : Cukup kusam (Quite pallid) 3 : Kusam (Pallid)
4 : Cukup kilap (Quite shiny) 5 : Kilap (Shiny) 6 : Sangat kilap (Very shiny)
Gambar 3. Histogram nilai kilap lipstik Figure 3. Histogram of lipstick shine value 303
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 4, Desember 2016: 297-307
semakin halus permukaan lipstik maka indeks pantul yang dihasilkan semakin besar (Perdanakusuma, 2003). Uji organoleptik kilap lipstik disajikan pada Gambar 3. Hasil uji organoleptik menunjukkan penilaian responden bahwa lipstik formula WB sebagian besar memiliki tingkat kilap yang kurang baik (cukup kusam), sedangkan for mula M menghasilkan kilap yang kusam dan cukup kilap. Responden menilai formula M5 memiliki kilap yang paling baik diantara formula-formula lainnya (Gambar 3). Kilap lipstik dipengaruhi besarnya konsentrasi minyak yang terkandung di dalamnya. Keseimbangan konsentrasi antara campuran minyak dan malam akan menghasilkan tekstur dan kilap yang baik (Risnawati, Nazliniwati, & Purba, 2012). Hasil analisis Kruskal-Wallis (Tabel 5) menunjukkan kilap memiliki perbedaan yang sangat nyata pada masing-masing formula. Hal ini menandakan bahwa responden merasakan kesan kilap yang berbeda pada masing-masing formula. 3. Daya oles Daya oles merupakan salah satu parameter penting bagi konsumen dalam memilih sebuah lipstik (Perdanakusuma, 2003). Uji orgalopetik kilap terhadap lipstik berbahan dasar lemak tengkawang disajikan pada Gambar 4. Hasil uji organoleptik menunjukkan penilaian responden bahwa sebagian besar lipstik formula
M memiliki tingkat daya oles yang lebih baik dibandingkan jenis formula WB. Nilai daya oles tertinggi terdapat pada lipstik denga formula M5 (Gambar 4). Daya oles lipstik dipengaruhi oleh konsentrasi malam dan minyak atau lemak di dalam campuran. Semakin keras suatu lipstik semakin rendah daya olesnya (Sinurat, 2012). Hasil analisis Kruskal-Wallis (Tabel 5) menunjukkan dalam hal daya oles memiliki perbedaan yang sangat nyata. Hal ini diduga karena perbedaan konsentrasi malam dan minyak serta lemak yang digunakan pada masing-masing formula. 4. Aroma Bau lipstik berasal dari parfum yang berfungsi menutup aroma yang disebabkan oleh kerusakan minyak atau lemak yang timbul akibat pembentukan asam-asam lemak terbang (volatile) hasil hidrolisis minyak atau lemak. Hasil uji organoleptik bau lisptik disajikan pada Gambar 5. Hasil uji organoleptik menunjukkan penilaian responden bahwa baik pada lipstik formula WB maupun M memiliki tingkat keharuman yang cukup. Hal ini menandakan konsentrasi parfum yang digunakan mampu menutupi aroma dari minyak atau lemak (Gambar 5). Selain parfum, kondisi campuran malam yang memiliki bilangan asam rendah serta antioksidan yang digunakan berperan dalam mencegah oksidasi pada minyak
(Polishing ability)
Keterangan (Remarks) = 1 : Sangat tidak menempel (Very not adhering) 4 : Cukup menempel (Quite adhering) 2 : Cukup tidak menempel (Quite no adhering) 5 : Menempel (Adhering) 3 : Tidak menempel (No adhering) 6 : Sangat menempel (Very adhering)
Gambar 4. Histogram nilai daya oles lipstik Figure 4. Lipstick's polishing ability value 304
Lemak Tengkawang sebagai Bahan Dasar Lipstik (R. Esa Pangersa Gusti & Totok K. Waluyo)
dan lemak sehingga parfum dapat menutupi aroma minyak dan lemak dengan maksimal. Hasil analisis Kruskal-Wallis (Tabel 5) menunjukkan bau tidak memiliki perbedaan yang nyata. Hal ini menandakan tingkat keharuman parfum yang hampir sama pada masing-masing formula lipstik. 5. Warna Pewarna yang baik yaitu jenis pewarna yang dapat larut sempurna pada basis lipstik. Pengujian organoleptik warna disajikan pada Gambar 6.
Dalam hal warna, hasil uji organoleptik menunjukkan bahwa pada lipstik formula WB sebagian besar menghasilkan warna yang agak pucat. Pada lipstik formula M, warna yang dihasilkan bervariasi antara pucat dengan cukup terang. Konsentrasi pewarna yang diberikan mempengaruhi kesan warna yang diberikan. Konsentrasi pewarna yang rendah akan menghasilkan padatan lipstik yang berwarna, namun warna tersebut tidak tertinggal di lapisan (Odor)
Keterangan (Remarks) = 1 : Sangat tidak berbau (Very odorless) 2 : Agak tidak berbau (Rather odorless) 3 : Tidak berbau (Odorless)
4 : Cukup berbau (Qiute odorous) 5 : Berbau (Odorous) 6 : Sangat berbau (Very odorous)
Gambar 5. Histogram nilai bau lipstik Figure 5. Histogram of lipstick odor value
(Color )
Keterangan (Remarks) = 1 : Sangat pucat (Very pale) 4 : Cukup terang (Quite bright) 2 : Agak pucat (Quite pale) 5 : Terang (Bright) 3 : Pucat (Pale) 6 : Sangat terang (Very bright)
Gambar 6. Histogram nilai warna lipstik Figure 6. Histogram of lipstick color value 305
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 4, Desember 2016: 297-307
Tabel 5. Analisis statistik sifat organoleptik lipstik Table 5. Statistical analysis of lipstick's organoleptic properties Parameter (Parameter) Chi-square df Asymp. Sig. Kilap (Shine) Chi-square df Asymp. Sig. Warna (Color) Chi-square df Asymp. Sig. Bau (Odor) Chi-square df Asymp. Sig. Daya oles (Polishing ability) Chi-square df Asymp. Sig.
Nilai (value) 77,778 8 0,000* 81,002 8 0,000* 58,669 8 0,000* 2,436 8 0,965(ns) 82,361 8 0,000*
Tekstur (Texture)
Keterangan (Remark) : df : derajat bebas (degree of freedom); Asymp.Sig : Taraf nyata; * : Nyata pada taraf 5% (Significant at 5% level); (ns) : tidak nyata (not significant)
permukaan pada saat lipstik dioleskan. Responden menilai hasil warna terbaik pada lipstik terdapat pada formula M5 (Gambar 6). Hasil analisis Kruskal-Wallis (Tabel 5) menunjukkan warna memiliki perbedaan yang sangat nyata pada masing-masing formula. Hal ini dikarenakan konsentrasi warna, malam, minyak dan lemak yang digunakan berbeda sehingga menghasilkan kesan warna yang berbeda pula pada masing-masing formula.
karnauba 1%, lemak tengkawang 3%, malam lebah 10%, parafin liquid 9%, titanium dioksida 1%, BHT 0,5%, warna 1% dan parfum secukupnya, merupakan lipstik yang paling disukai oleh responden. Agar dapat diperoleh lipstik menggunakan bahan dasar lemak tengkawang dengan karakteristik menyamai lipstik komersial dan juga secara bersamaan disukai oleh responden, paduan komposisi antara M3 dan M5 dapat dipakai. DAFTAR PUSTAKA
IV. KESIMPULAN Sifat fisiko-kimia lemak tengkawang (S. pinanga Scheff) memiliki bilangan asam 0,9073, bilangan iod 35,03, bilangan penyabunan 74,11 dan titik leleh 40oC, memenuhi kriteria untuk dapat digunakan sebagai bahan baku lipstik. Formula lipstik (M3) dengan komposisi : minyak jarak 40%, malam kandelila 10%, malam karnauba 1%, lemak tengkawang 2%, malam lebah 10%, parafin cair 8%, titanium dioksida 1%, BHT 0,5%, zat warna 1% dan parfum secukupnya, memiliki sifat fisiko-kimia mendekati lipstik komersial dalam hal mutu penampilan yang meliputi kekerasan dan titik leleh. Formula lipstik (M5) dengan komposisi: minyak jarak 38%, malam kandelila 10%, malam 306
Adliani, N., Nazliniwaty & Purba, D. (2012). Formulasi lipstik menggunakan zat warna dari ekstrak bunga kecombrang (Theobroma cacao L.) sebagai pewarna. Journal of Pharmaceutics and Pharmacology, 1(1), 78 – 86. American Society for Testing Materials (ASTM). (1979). ASTM. Manual on textural characteristics, ASTM Special Technical Publication. 682, 28-30. Philadelphia: American Society for Testing Materials. Association of Official Analytical Chemist (AOAC). (1995). Official methods of analysis. Washington DC: Association of Official Analytical Chemist.
Lemak Tengkawang sebagai Bahan Dasar Lipstik (R. Esa Pangersa Gusti & Totok K. Waluyo)
Bailey, A. E. (1950). Industrial oil and fat product. New York : Interscholastic Publishing, Inc.
beredar di pasar kota manad. Jurnal Ilmiah Farmasi, 2(2) , 61-66.
Balsam, M.S, Gershon, S. D., Rieger, M. M., Sagarin, E., & Stiaries, J. (1974). Cosmetic, science and technology. New York: John Willey and Sons.
Perdanakusuma, O. (2003). Karakteristik fisik lipstik dengan penambahan berbagai konsentrasi malam lebah. (Skripsi). Program Studi Teknologi Hasil Ter nak Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
De Navarre, M. G. (1962). The Chemistry and nd manufacture of cosmetics (2 Ed). New Jersey: Princeton. Departemen Kesehatan RI. (1993). Kodeks kosmetika indonesia. (Vol. 1 2nd Ed). Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. Gani, S.S.A., Basri, M., Rahman, M.B.A., Kassim, A., Rahman, N.Z.R.A., Salleh, A.B., & Ismail, Z. (2010). Characterization and effect on skin hydration of engkabangbased emulsions. Journal of Bioscience Biotechnololgy Biochemical, 74 (6), 1188-1193. Gusti, R. E.P., Zulnely & Kusmiyati, E. (2012). Sifat fisiko kimia lemak tengkawang dari empat jenis pohon induk. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 30 (4), 245-260. International Society for Pharmaceutical Engineering (ISPE). (1992). Cosmetic formulary. Milan : Ausimont. Ketaren, S. (1986). Pengantar teknologi minyak dan lemak pangan. Jakarta: UI-Press. Kusumaningtyas, V. A., Sulamean, A. & Yusnelti. (2012). Potensi lemak biji tengkawang terhadap kandungan mikroba pangan pada pembuatan mie basah. Bionatura-Jurnal Ilmuilmu Hayati dan Fisik, 14 (2), 140-147. Mamoto, V., Lidya & Citraningtyas, F. G. (2013). Analisis rhodamin b pada lipstik yang
Rahayu, W. P. (1998). Penilaian organoleptik. Penuntun praktikum Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Risnawati, Nazliniwaty & Purba, D. (2012). Formulasi lipstik menggunakan ekstrak biji coklat (Theobroma cacao L.) sebagai pewarna. Journal of Pharmaceutics and Pharmacology, 1(1), 78-86. Sonntag, N. V. (1979). Composition and characteristics of individual fat and oils. Dalam : S.D. Bailey's Industrial Oil and Fats Products. (Vol I. 4th Ed). New York : John Willey and Sons. Sinurat, M. (2012). Analisa kandungan rhodamin b sebagai pewarna pada sediaan lipstik yang beredar di masyarakat tahun 2011. Politeknik Kesehatan Medan. Sophim. (2014). Formulasi Lipstik. Diakses dari www.sophim.com/html/fformulas.html, pada tanggal 14 Januari 2013. Standar Nasional Indonesia [SNI] 16-4769. (1998). Lipstik . Badan Standarisasi Nasional. Vishwakarma, B., Dwivedi, S., Dubey, K. & Joshi, H. (2011). Formulation and evaluation of herbal lipstick. International Journal of Drug Discovery & Herbal Research, 1(1), 18-19.
307
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 4, Desember 2016: 309-322 ISSN: 0216-4329 Terakreditasi No.: 642/AU3/P2MI-LIPI/07/2015
POTENSI STRUKTUR NANO KARBON DARI BAHAN LIGNOSELULOSA KAYU JATI DAN BAMBU (The Potency of Nano Carbon Structure Made from Bamboo and Teak Wood Lignocellulose) 1
1
1
2
3
Gustan Pari , Adi Santoso , Djeni Hendra Buchari , Akhirudin Maddu , 3 4 5 6 Mamat Rachmat , Muji Harsini , Teddi Heriyanto , & Saptadi Darmawan 1
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor 16610, Telp./Fax. (0251) 8633378, 8633413 2 Departemen Kimia, Institut Teknologi Bandung Gedung Kimia Baru, Jl. Ganesha No. 10, Bandung 40132, Telp./Fax. (022) 2502103, 2504154 3 Departemen Fisika, Institut Pertanian Bogor Jl. Meranti, Gd. Wing S 2nd Floor, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680, Telp. (0251) 8625728 4 Departemen Kimia, Universitas Airlangga Surabaya Kampus C Jl. Mulyorejo Surabaya 60115, Telp./Fax. (031) 5936501, 5936502 5 Departemen Elektro, Politeknik Bandung Jl. Gegerkalor Hilir, Kabupaten Bandung Barat 40012, Telp. (022) 2013789 6 Balai Penelitian Teknologi HHBK Mataram Jl. Dharma Bhakti No. Po Box. 1054, Ds. Langko Kec. Lingsar, Lombok Barat, NTB 83371 E-mail:
[email protected] Diterima 2 Januari 2014, Direvisi 14 September 2015, Disetujui 14 Maret 2016
ABSTRACT Nanotechnology research in the realm of forest products can be exploited from lignocellulose into nano carbon. The research was aimed to provide the potency of nano carbon structure from lignosellulose as bioenergy or biosensor material. The materials of teak wood and bamboo were carbonized into charcoal at 400-500OC followed by activation using chemical and physical processes at 800OC for 60 minutes. This process produced charcoal with high crystalinity and surface area. After purification and activation, the activated charcoal was subsequently doped process with Zn and Ni metals which then followed by sintering using spark plasma at 1300OC. The qualities and structure of all the resulting carbon were evaluated using nano scale devices i.e. Pyrolysis Gas Chromatography Mass Spectrometer, Scanning Electron MicroscopeEnergy Diffraction X-ray Spectrometer, X-ray Diffractometer, I-V meter and potensiometer. Results showed that the best activated charcoal produced from the chemical-physical activation (KOH steam) possessed high fixed carbon of 84.29%; surface area of 850.5 m2/g, crystallinity of 38,99% and resistancy of 0.10. The teak activated charcoal which intercalated by Ni at ratio of 1:5 produced the best properties with crystallinity degree of 73.45% and conductivity of 433.86 S/m. The sintered teak activated charcoal had crystallinity degree of 78.29% with I-V meter pattern in sigmoid shape and the potentiometer response formed a slope approaching the Nerst factors. Nano carbon produced from lignocellulose is a semiconductor and more suitably use for biosensors, particularly the one derived from teak wood. Keywords: Carbon, sintering, biosensor, I-V meter, potentiometer, lignocellulose ABSTRAK Penelitian nano teknologi dalam ranah hasil hutan dapat dieksploitasi dari lignoselulosa menjadi nano karbon. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan struktur nano karbon yang potensial sebagai o material bioenergi atau biosensor. Kayu jati dan bambu dikarbonisasi pada suhu 400-500 C, arang yang o dihasilkan diaktivasi secara kimia dan fisika pada suhu 800 C selama 60 menit. Dari proses ini dihasilkan arang dengan derajat kristalinitas dan luas permukaan tinggi. Setelah pemurnian dan aktivasi, arang aktif DOI : http://doi.org/10.20886/jphh.2016.34.4.309-322
309
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 4, Desember 2016: 309-322
yang dihasilkan dimasukkan logam Ni dan Zn yang kemudian dipanaskan secara vakum mengunakan spark plasma pada suhu 1300oC. Karbon yang dihasilkan diuji struktur dan sifatnya menggunakan perangkat Pyrolysis Gas Chromatography Mass Spectrometer, Scanning Electron Microscope-Energy Diffraction Xray Spectrometer, X-ray Diffractometer, I-V meter dan potensiometer. Hasil penelitian menunjukkan arang aktif terbaik dihasilkan dari aktivasi kimia-fisik (KOH uap air) menghasilkan kadar karbon 84,29%; luas 2 permukaan 850,5 m /g, derajat kristalinitas 38,99% dan hambatan sebesar 0,10. Sifat arang aktif kayu jati yang dimasukkan logam Ni dengan perbandingan 1:5 menghasilkan sifat terbaik dengan derajat kristalinitas 73,45% dan konduktivitas sebesar 433,86 S/m. Arang aktif jati hasil pemanasan vakum menghasilkan derajat kristalinitas sebesar 78,29% dengan pola I-V meter berbentuk sigmoid dan respon potensiometer berbentuk slope mendekati faktor Nerst. Nano karbon dari lignoselulosa kayu jati yang dihasilkan bersifat semikonduktor dan lebih sesuai digunakan sebagai biosensor. Kata kunci: Karbon, sintering, biosensor, potensio meter, lignoselulosa I. PENDAHULUAN Saat ini krisis energi khususnya yang berkaitan dengan bioenergi sedang menjadi suatu topik yang sangat mengemuka. Bioenergi merupakan alternatif dari penggunaan bahan bakar fosil. Inovasi pembuatan perangkat energi (bioenergi) terus dikembangkan diantaranya super kapasitor, baterai dan fuel cell. Pada aspek lain, perangkat analisis yang mengkombinasikan komponen hayati dengan elektronika atau biosensor juga mengalami perkembangan sangat pesat. Perangkat biosensor yang telah diketahui secara umum diantaranya adalah perangkat analis kandungan gula dalam darah. Elektroda berupa karbon konduktif dengan porositas dan luas permukaan tinggi merupakan syarat utama pembuatan perangkat bioenergi dan biosensor. Selama ini bahan elektroda berasal dari hasil pengolahan grafit dan batu bara yang diolah lebih lanjut menjadi Meso Carbon Micro bead (MCMB). Bahan lainnya seperti carbon nano tube dan carbon fiber diperoleh dari hasil pengolahan minyak bumi. Batu bara dan minyak bumi sifatnya tidak dapat diperbaharui. Untuk mengantisipasi hal tersebut maka sumber karbon potensial dari bahan yang dapat diperbaharui sebagai salah satu material pembuatan perangkat bioenergi dan biosensor adalah lignoselulosa. Hasil penelitian Pari et al. (2013) menyimpulkan bahwa arang dari lignoselulosa bambu dan jati dapat dibuat menjadi nano karbon dengan konduktivitas relatif tinggi, namun luas permukaan yang dihasilkan masih rendah. Hal ini terlihat dari rendahnya daya jerap terhadap yodium sehingga perlu ditingkatkan porositasnya. 310
Perkembangan nano karbon sekarang sudah mengarah pada nano porous karbon yang sifatnya selain harus mempunyai porositas tinggi dan luas permukaan besar juga konduktivitas yang tinggi. Beberapa karbon dengan berbagai bentuk dan jenis dapat digunakan sebagai elektroda salah satunya adalah karbon aktif (Yasuda, Inagaki, & Kaneko, 2003). Secara spesifik, karbon aktif adalah arang yang elektron bebasnya aktif mengelilingi atom karbon yang mempunyai kemurnian tinggi dan atom karbonnya teraktifkan (Pari, 2004). Karbon aktif memainkan peran penting dalam pembuatan super kapasitor seperti Electrochemical Double-Layer Capacitors (EDLCs) yang merupakan teknologi penyimpanan energi potensial (memiliki high power density dan masa pakai lama) karena karbon aktif memiliki luas permukaan tinggi, konduktivitas elektrikal yang baik, biaya rendah dan ramah lingkungan (Yu-Li, Li, Lim, Wang, Chu-Hua, & Hong-Qiang, 2009; Ruiz et al., 2009). Sebelum diaktivasi, arang dapat direndam dengan menggunakan bahan pengaktif seperti H3PO4, NH4HCO3, KOH, dan NaOH yang berfungsi untuk meningkatkan kualitas arang aktif yang dihasilkan. Bahan kimia pengaktif tersebut berfungsi sebagai dehydrating agents dan oxidants. Pada permukaan arang aktif, mutu yang dihasilkan sangat tergantung dari bahan baku yang digunakan, bahan pengaktif, suhu dan cara pengaktifannya (Hartoyo, Hudaya, & Fadli, 1990; Bonelli, Rocca, Cerreda, & Cukierman, 2001; Bansode, Losso, Marshall, Rao, & Portiers, 2003; Pari, 2004; Ismadji, Sudaryanto, Hartono, Setiawan, & Ayucitra, 2005; Guo, 2007). Tulisan ini mempelajari struktur nano karbon yang potensial untuk meningkatkan luas permukaan
Potensi Struktur Nano Karbon dari Bahan Lignoselulosa Kayu Jati dan Bambu (Gustan Pari, et al.)
dan konduktivitas arang dari bahan lignoselulosa dan kemungkinan pemakaiannya sebagai bahan untuk perangkat bioenergi atau biosensor. II. BAHAN DAN METODE A. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kayu jati (Tectona grandis L.f.) dan bambu andong (Gigantochloa pseudoarundinacea). Bahan kimia yang digunakan diantaranya kalium hidroksida, yodium, kalium yodida dan natrium tio sulfat. Peralatan yang digunakan diantaranya reaktor aktivasi, oven, dan tanur untuk menentukan kadar abu, karbon dan zat terbang serta Spark Plasma Sintering (SPS). B. Metode Penelitian 1. Prosedur pembuatan arang dan arang aktif Proses pembuatan arang dilakukan dalam kiln drum yang dimodifikasi dengan menggunakan prosedur yang sudah dilakukan pada penelitian sebelumnya (Pari et al., 2013). Arang yang dihasilkan selanjutnya dimurnikan dan diaktivasi dengan jalan dipirolisis pada suhu 800oC sambil dialirkan uap air selama 60 menit yang sebelumnya direndam dengan KOH 15% (AA KOH uap air) selama 24 jam dengan tujuan untuk menghilangkan senyawa hidrokarbon yang menempel pada permukaan arang serta meningkatkan luas permukaan. Sebagai perbandingan dilakukan juga pembuatan arang aktif dengan cara dialirkan uap air (AA uap air), arang aktif yang dipanaskan (AA panas), dan arang aktif yang dipanaskan setelah direndam KOH (AA KOH). Arang aktif yang dihasilkan dihitung rendemennya dengan jalan membagi dengan berat arang yang dimasukan ke dalam reaktor aktivasi. Proses selanjutnya adalah penambahan atom logam ke dalam sistem kristal (doping) dengan jalan menambahkan atom nikel (Ni) dan seng (Zn) masing-masing dengan perbandingan 1:4 dan 1:5 ke dalam arang hasil pemurnian, kemudian digiling sampai ukuran nano dan dipirolisis pada suhu 900oC selama 60 menit. Proses terakhir adalah sintering (pemanasan suatu materi dibawah titik lelehnya) yang dilakukan pada arang yang mempunyai derajat kristalinitas dan luas
permukaan tinggi serta ketahanan elektrik rendah pada suhu 1300oC dengan sistem plasma (SPS). 2. Pengujian kualitas Mutu arang diuji berdasarkan Standar Nasional Indonesia SNI 06-3730 (1995) yang meliputi penetapan kadar air, zat terbang, abu, karbon terikat dan daya jerap terhadap yodium serta luas permukaan. Arang kemurnian tinggi ini selanjutnya di karakterisasi topografi permukaan dengan menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM), derajat kristalinitas menggunakan X-Ray Diffractometer (XRD) dan senyawa volatile yang menempel pada permukaan arang menggunakan perangkat Pyrolysis Gas Chromatography Mass Spectrometer (Py-GCMS). Diuji juga sifat resistensi dan konduktivitas arang yang di interkalasi (penyisipan suatu ion, atom, atau molekul dari luar diantara lapisan suatu senyawa) dengan Ni dan Zn, sebagai pembanding digunakan karbon komersial yang terdiri dari karbon nano partikel dan karbon meso pori. 3. Uji potensi (Dielektrik) Untuk mengetahui potensi arang nano yang dihasilkan dalam hal ini sifat dielektrik maka arang nano dengan derajat kristalinitas dan porositas yang tinggi diuji potensinya sebagai materi bioenergi atau biosensor dengan menggunakan IV meter dan potensiometer. C. Analisis Data Analisis data dilakukan secara deskriptif yaitu membandingkan hasil penelitian dengan Standar Nasional Indonesia SNI 06-3730 (1995). III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Mutu Arang Mutu arang yang diaktivasi dengan cara kimia, f i s i k a d a n ko m b i n a s i n y a d a r i b a h a n berlignoselulosa kayu jati dan bambu tercantum pada Tabel 1. 1. Rendemen Rendemen arang dari kayu jati dan bambu masing-masing sebesar 26,2 dan 24,9%. Selanjutnya pada proses aktivasi dihasilkan rendemen arang aktif berkisar antara 48,7-80,1% (Tabel 1). Rendemen terendah terdapat pada 311
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 4, Desember 2016: 309-322
Tabel 1. Mutu arang aktif Table 1. Activated charcoal quality RenKadar air demen (Moisture (Yield, %) content,%)
Bahan (Material) A. Jati (Teak ) 1. AA Panas (AC heat ) 2. AA uap air (AC steam) 3. AA KOH panas (AC KOH heat) 4. AA KOH uap air (AC KOH steam) 5. Arang (charcoal ) B. Bambu (Bamboo ) 1. AA Panas (AC heat ) 2. AA uap air (AC steam) 3. AA KOH panas (AC KOH heat) 4. AA KOH uap air (AC KOH steam) 5. Arang (charcoal )
Zat Karbon Daya Jerap Abu (Ash terbang terikat yodium (Iodine content, (Volatile (Fixed adsorption, %) matter, %) carbon, %) mg/g)
76,0 48,7 75,0 51,0 26,2
2,55 3,85 4,38 3,30 7,14
2,01 3,75 2,71 3,22 6,64
4,79 7,78 7,16 9,18 7,14
90,64 84,60 85,74 84,29 78,58
387,37 833,67 313,66 802,36 256,14
78,0 58,2 80,1 52,3 24,9
4,91 8,14 5,60 6,77 7,72
4,74 7,09 6,61 9,08 13,71
9,07 12,46 10,29 16,45 7,24
86,29 80,45 83,10 74,47 79,05
222,33 820,49 240,21 805,75 269,34
Keterangan (Remarks): AA = Arang aktif; AC = Activated charcoal
arang kayu jati yang diaktivasi dengan uap air (AA uap air) dan tertinggi dihasilkan dari arang aktif bambu yang diaktivasi dengan KOH panas (AA KOH panas). Tingginya rendemen yang dihasilkan ini disebabkan oleh adanya penambahan dari atom kalium yang menempel pada permukaan arang aktif. Apabila arang aktif jati dari perlakuan aktivasi KOH uap air (AA KOH uap air) pada penelitian ini dibandingkan dengan hasil penelitian Pari et al. (2013) dari bahan jati maka rendemen yang dihasilkan lebih kecil 41,16%. Hal ini berkaitan dengan pori yang terbentuk akibat proses aktivasi yang menghasilkan porositas lebih besar. 2. Kadar air Kadar air berkisar antara 2,55-8,14% (Tabel 1).
(a)
Kadar air terendah terdapat pada arang aktif jati yang diaktivasi dengan panas (AA panas) dan yang tertinggi dihasilkan dari arang aktif bambu yang diaktivasi dengan mengalirkan uap air (AA uap air). Tingginya kadar air ini disebabkan oleh adanya uap air yang terperangkap di dalam pori arang aktif dan juga oleh sifat higroskopis arang aktif. Semakin banyak pori yang terbentuk maka arang aktif yang dihasilkan akan bersifat lebih poros (Gambar 1 ) sehingga kemampuan menyerap uap air dari udara bertambah besar. Selain itu struktur bambu lebih berongga dibandingkan dengan jati sehingga menyerap air lebih banyak. Kadar air yang dihasilkan ini semuanya memenuhi syarat Standar Nasional Indonesia SNI 06-3730 (1995) karena kadarnya kurang dari 15%.
(b)
Gambar 1. Pori arang aktif (a) bambu dan (b) jati Figure 1. Activated charcoal pore of (a) bamboo and (b) teak 312
Potensi Struktur Nano Karbon dari Bahan Lignoselulosa Kayu Jati dan Bambu (Gustan Pari, et al.)
3. Kadar abu Kadar abu berkisar antara 4,79-16,45% (Tabel 1). Kadar abu terendah terdapat pada arang jati yang diaktivasi dengan cara pemanasan (AA panas) dan yang tertinggi dihasilkan dari arang aktif bambu yang diaktivasi dengan kombinasi KOH dan uap air (AA KOH uap air). Besarnya kadar abu arang aktif bambu ini selain disebabkan oleh adanya pertambahan kalium dari KOH yang masuk ke dalam pori dan menempel pada permukaan arang aktif juga adanya silika yang terdapat pada bambu yang teroksidasi terutama dari partikel yang berupa serbuk (Gambar 2). Kadar abu yang dihasilkan ini telah memenuhi syarat Standar Nasional Indonesia SNI 06-3730 (1995) kecuali arang aktif bambu yang diaktivasi dengan uap air, KOH panas dan KOH uap air karena kadarnya lebih dari 10%. 4. Kadar zat terbang Kadar zat terbang arang aktif yang dihasilkan berkisar antara 2,01-9,08% (Tabel 1). Kadar zat terbang terendah terdapat pada arang kayu jati yang diaktivasi dengan cara pemanasan (AA panas) dan yang tertinggi dihasilkan dari arang bambu yang diaktivasi dengan cara kombinasi kimia dan uap air (AA KOH uap air). Rendahnya kadar zat terbang ini menunjukkan bahwa senyawa oksigen dan hidrogen yang menempel pada permukaan arang banyak yang keluar dalam bentuk gas, namun demikian hasil analisis pyrolisis GCMS menunjukkan masih adanya tiga senyawa organik yang menempel pada permukaan arang aktif jati seperti naptalen, benzen, dan asam
(a)
propionat dari sebelumnya 10 komponen kimia yaitu asam asetat, asam propionat, asetol, furanon, guaiacol, phenol, pyrocatechol, benzaldehyda, ethyl-guaiacol, dan 2,6 di metoksi phenol, serta satu komponen yaitu benzen yang menempel pada permukaan arang aktif bambu dari yang sebelumnya 12 komponen yaitu asam asetat, asetol, butanon, furanon, guaiacol, dihydroksi furan, benzofuran, pyrocatechol, 1,4 di metoksi benzen, 2,6 di metoksi phenol, ethyl guaiacol dan siringildehid. Hal ini menunjukkan lebih dari 9096% senyawa organik yang berasal dari selulosa dan lignin telah terdegradasi. Hasil ini sedikit berbeda dengan yang dilakukan oleh Suzuki, Yamada, dan Suzuki (2007) yang menyatakan bahwa pada proses karbonisasi bertingkat tidak ada turunan senyawa kimia dari ter. Kadar zat terbang yang dihasilkan ini semuanya memenuhi syarat Standar Nasional Indonesia SNI 06-3730 (1995) karena kadarnya kurang dari 10%. Penggunaan katalis KOH pada proses pemanasan adalah untuk menciptakan terjadinya interkalasi kalium pada struktur karbon sehingga terjadi pemecahan karbon menjadi ukuran yang lebih kecil dan reaksi KOH dengan karbon membentuk CO dan dengan adanya katalis besi (Fe) diharapkan akan terbentuk C dan CO2. Apabila aktivasi dilakukan pada suhu dan tekanan tinggi, karbon yang terbentuk diharapkan berupa carbon nanotube (Yu-Li et al., 2009). 5. Kadar karbon Kadar karbon berkisar antara 74,47-90,64% (Tabel 1). Kadar karbon terendah terdapat pada
(b)
Gambar 2. Abu yang menempel pada permukaan arang aktif (a) bambu (b) jati Figure 2. Ash at the surface of activated charcoal of (a) bamboo and (b) teak 313
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 4, Desember 2016: 309-322
arang bambu yang diaktivasi dengan kombinasi kimia (AA KOH uap air) dan tertinggi dihasilkan dari arang kayu jati yang diaktivasi dengan pemanasan (AA panas). Perbedaan ini lebih disebabkan oleh besarnya kadar abu dan senyawa volatile yang menempel pada permukaan arang. Kadar karbon terikat yang dihasilkan semuanya memenuhi syarat Standar Nasional Indonesia SNI 06-3730 (1995) karena kadarnya lebih dari 65%. Apabila dibandingkan dengan hasil penelitian Pari et al. (2013), kemurnian karbon pada penelitian ini mengalami peningkatan sebanyak 8,59% untuk arang aktif jati dan 14,81% untuk arang aktif bambu. Selain itu menunjukkan juga bahwa proses aktivasi dengan uap air maupun kimia dapat melepaskan ikatan gugus oksigen dan hidrogen yang menempel pada permukaan karbon menjadi senyawa yang mudah menguap. 6. Daya jerap yodium Daya jerap terhadap yodium berkisar antara 222,33-883,67 mg/g (Tabel 1). Daya jerap terendah terdapat pada arang bambu yang diaktivasi dengan cara pemanasan (AA panas) dan yang tertinggi dihasilkan dari arang aktif jati yang diaktivasi dengan cara dialirkan uap air (AA uap air). Ting ginya daya jerap yodium ini menggambarkan pori yang berukuran 10 angstrom banyak terbentuk. Dari hasil topografi permukaan selain mikropori terbentuk juga pori yang berukuran makropori (Gambar 1). Hasil ini sesuai dengan yang dilakukan oleh Suzuki et al. (2007) yang juga menemukan proses karbonisasi
bertingkat membentuk makropori. Daya jerap terhadap yodium yang memenuhi syarat Standar Nasional Indonesia SNI 06-3730 (1995) hanya arang aktif jati dan bambu yang diaktivasi dengan cara dialiri uap air dan KOH uap air karena daya jerap yodiumnya lebih dari 750 mg/g. Apabila hasil ini dibandingkan dengan hasil penelitian Pari et al. (2013), terjadi peningkatan daya jerap yodium dari 480,12 mg/g menjadi 833,67 mg/g untuk arang aktif jati dan dari 604,69 mg/g menjadi 820,49 mg/g untuk arang akif bambu. Pemberian uap air (steam) pada saat aktivasi menghasilkan KOH, CO2, dan H2. Dengan terbentuknya KOH maka terjadi siklus KOH yang dapat menambah intensitas pembentukan pori. Kalium hidroksida akan meningkatkan pelepasan materi mudah menguap dan menciptakan pembentukan pori baru (Tseng, Wu, Hu, & Wang, 2008). Hal ini menunjukkan bahwa uap air berperan penting dalam membentuk porositas. B. Sifat Arang Aktif Sifat arang aktif yang diaktivasi dengan cara kimia, fisika dan kombinasi antara cara kimia dan fisika dari bahan baku kayu jati dan bambu tercantum pada Tabel 2. 1. Luas permukaan Luas permukaan arang aktif berkisar antara 235,67-883,69 m2/g (Tabel 2). Luas permukaan terendah terdapat pada arang aktif bambu yang diaktivasi dengan cara pemanasan (AA panas) dan
Tabel 2. Sifat arang aktif Table 2. Activated charcoal properties
Bahan (Material) A.Jati (teak) 1. AA Panas (AC heat) 2. AA uap air (AC steam) 3. AA KOH panas (AC KOH heat) 4. AA KOH uap air (AC KOH steam) 5. Arang (Charcoal) B. Bambu (Bamboo ) 1. AA Panas (AC heat) 2. AA uap air (AC steam) 3. AA KOH panas (AC KOH heat) 4. AA KOH uap air (AC KOH steam) 5. Arang (Charcoal)
Luas permukaan, (Surface area, m2/g)
Kristalinitas (Crystalinity, %)
Resistensi (Resistancy, Ω)
410,61 883,69 332,48 850,50 271,51
40,75 48,62 36,63 38,99 25,97
0,95 1,03 0,17 0,10
235,67 869,72 254,62 854,09 285,50
44,03 40,39 44,48 40,95 26,29
0,78 1,02 0,43 0,31 -
Keterangan (Remarks): AA = Arang aktif; AC = Activated charcoal
314
Potensi Struktur Nano Karbon dari Bahan Lignoselulosa Kayu Jati dan Bambu (Gustan Pari, et al.)
tertinggi dihasilkan dari arang aktif jati yang diaktivasi dengan cara dialirkan uap air (AA uap air). Luas permukaan ini menggambarkan permukaan arang aktif yang dapat kontak dengan reaktan, semakin besar luas permukaan dari suatu adsorben, maka aktivitas adsorbennya semakin baik dan jumlah pori yang terbentuk banyak, baik secara fisik maupun kimia. 2. Derajat kristalinitas Derajat kristalinitas arang aktif berkisar antara 36,63-48,62% (Tabel 2). Derajat kristalinitas terendah terdapat pada arang jati yang diaktivasi dengan cara kimia panas (AA KOH panas) dan yang tertinggi dihasilkan arang kayu jati yang diaktivasi dengan cara aktivasi fisika (AA uap air). Derajat kristalinitas rendah menunjukkan bahwa arang yang terbentuk, lapisan antar aromatiknya tidak simetris, selain itu disebabkan juga oleh kalium yang menempel pada permukaan arang aktif. Tingginya derajat kristalinitas menggambarkan telah terjadi penataan ulang atom karbon dalam kisi heksagonal arang yang dicirikan dengan tingginya intensitas dan mengindikasikan struktur yang terbentuk sudah lebih kristalin dimana susunan antar lapisan aromatiknya lebih teratur. Apabila dibandingkan dengan nano karbon partikel komersial (derajat kristalinitas 43,99%), arang aktif bambu dan jati hasil penelitian secara struktur sudah mendekati produk komersial, namun apabila dibandingkan dengan hasil penelitian Pari et al. (2013), derajat kristalinitas yang dihasilkan lebih rendah baik untuk jati maupun bambu. Hal ini menunjukkan bahwa proses aktivasi dapat merubah struktur yang sudah simetris menjadi tidak beraturan kembali. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Pari, Sofyan, Syafii, Buchari, dan Yamamoto (2006). 3. Resistensi Resistensi menunjukkan kemampuan suatu material dalam menghambat arus listrik. Resitensi arang aktif pada penelitian ini berkisar antara 0,11,03Ω. Resistensi terendah terdapat pada arang jati yang diaktivasi dengan cara KOH uap air (AA KOH uap air) dan tertinggi terdapat pada arang jati yang diaktivasi dengan uap air (AA uap air). Pada prinsipnya kalium dari KOH adalah logam alkali dan memiliki sifat yang baik sebagai konduktor sehingga arang yang diaktivasi dengan KOH mempunyai nilai tahanan rendah. Reaksi
yang terjadi pada arang yang diaktivasi dengan KOH (Barsukov, 2003) sebagai berikut: 2 KOH K2O + H2O C + H2O CO + H2 CO + H2O CO2 + H2 K2O + H2 2 K + H2O K2O + C 2 K + CO Apabila hasil ini dibandingkan dengan hasil penelitian Pari et al. (2013), resistensi yang dihasilkan untuk AA KOH uap air dari jati dan bambu masing-masing sebesar 0,1 dan 0,31Ω, tidak jauh berbeda dengan penelitian sebelumnya yaitu untuk arang aktif jati 0,08-0,2Ω dan untuk arang aktif bambu sebesar 0,09-0,2Ω. Hal ini menunjukkan bahwa proses aktivasi arang jati maupun bambu tidak banyak merubah sifat dielektriknya. C. Sifat Arang Aktif yang di Interkalasi dengan Logam Sifat arang aktif jati dan bambu yang di interkalasi dengan logam Ni dan Zn tercantum pada Tabel 3. 1. Derajat kristalinitas Derajat kristalinitas untuk arang aktif yang diinterkalasi logam berkisar antara 40,91-73,45% (Tabel 3). Derajat kristalinitas terendah terdapat pada arang aktif jati yang diaktivasi secara kombinasi kimia fisik yang diinterkalasi dengan logam Zn dengan perbandingan 1:5 (AA KOH uap air 1:5 Zn) dan tertinggi terdapat pada arang kayu jati yang di interkalasi oleh Ni dengan perbandingan 1:5 (AA KOH uap air 1:5 Ni). Tingginya derajat kristalinitas menunjukkan telah terjadi interkalasi di mana senyawa logam yang ditambahkan telah masuk ke dalam kisi struktur arang aktif dan menimbulkan defect kristal. Hal ini ditunjukkan dengan berubahnya pola intensitas terutama pada daerah theta 26 dan 43 derajat yang merupakan pola yang khas pada struktur arang (Gambar 3, 4, 5 dan 6). Secara struktur, atom logam yang masuk ke dalam atom karbon dan berinterkalasi adalah atom Ni, dan untuk Zn atomnya sudah masuk ke dalam struktur kristal pada bidang 100 dan 002 tetapi polanya belum kristalin (Gambar 3, 4, 5 dan 6). Apabila pola difraktogram ini dibandingkan dengan pola nano karbon partikel komersial buatan luar negeri (Gambar 11), pola X-raynya tidak jauh berbeda dengan pola X-ray arang aktif dari bambu yang di interkalasi dengan Zn. Apabila 315
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 4, Desember 2016: 309-322
hasil ini dibandingkan dengan hasil penelitian Pari et al. (2013), maka secara keseluruhan derajat kristalinitasnya relatif lebih kecil baik untuk
bambu maupun jati. Hal ini disebabkan oleh proses aktivasi yang membuat struktur atom karbon yang terbentuk menjadi amorf.
Tabel 3. Sifat arang aktif yang diinterkalasi logam Table 3. Properties of activated charcoal intrcalated by metal Bahan (Material) A. Jati (Teak ) - AA KOH uap air 1:4 (AC KOH steam 1:4) - AA KOH uap air 1:5 (AC KOH Steam 1:5) B. Bambu (Bamboo ) - AA KOH uap air 1:4 (AC KOH steam 1:4) - AA KOH uap air 1:5 (AC KOH Steam 1:5) C. SPS 13000C - SPS Jati (SPS teak) D. Komersial (Com mercial) - Karbon nano mesopori (Nano mesopore carbon) - Karbon nanopartikel (Nanopowder carbon)
Konduktivitas (Conductivity, S/m)
Logam (Metal)
Kristalinitas (Crystalinity, %)
Resistensi (Resistancy, Ω)
Ni Zn Ni Zn
65,47 53,57 73,45 40,91
0,17 0,23 0,02 0,26
62,92 49,86 433,86 34,57
Ni Zn Ni Zn
65,13 64,85 71,70 51,65
0,14 0,30 0,21 0,08
79,55 45,03 116,82 40,05
Ni -
78,29 61,38
<0,001 <0,001
-
85,51
-
-
43,99
-
-
Keterangan (Remarks): AA = Arang aktif, AC = Activated charcoal; 1:4 = Perbandingan logam dengan AA (Ratio metal to AC); 1:5 = Perbandingan logam dengan AA (Ratio metal to AC)
Gambar 3. Difraktogram sinar-X arang aktif bambu yang diinterkalasi dengan Ni Figure 3. X-ray Difractograph of bamboo active charcoal intercalated by Ni
316
Potensi Struktur Nano Karbon dari Bahan Lignoselulosa Kayu Jati dan Bambu (Gustan Pari, et al.)
Gambar 4. Difraktogram sinar-X arang aktif bambu yang diinterkalasi dengan Zn Figure 4. X-ray Difractograph of bamboo active charcoal intercalated by Zn
Gambar 5. Difraktogram sinar-X arang aktif jati yang diinterkalasi dengan Ni Figure 5. X-ray Difractograph of teak active charcoal intercalated by Ni
Gambar 6. Difraktogram sinar-X arang aktif jati yang diinterkalasi dengan Zn Figure 6. X-ray Difractograph of teak active charcoal intercalated by Zn 317
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 4, Desember 2016: 309-322
2. Sifat dielektrik Arang aktif yang diinterkalasi dengan logam resistensinya berkisar antara 0,02-0,30Ω. Tahanan yang paling rendah terdapat pada arang aktif jati yang ditambahkan logam Ni dengan perbandingan 1:5 (AA KOH uap air 1:5 Ni) dan yang tertinggi terdapat pada arang aktif bambu yang ditambahkan logam Zn dengan perbandingan 1:4 (AA KOH uap air 1:4 Zn). Arang aktif yang diinterkalasi dengan logam konduktivitasnya berkisar antara 34,57-433,86 S/m. Konduktivitas paling rendah terdapat pada arang aktif jati yang ditambahkan logam Zn dengan perbandingan 1:5 (AA KOH uap air 1:5 Zn) dan tertinggi terdapat pada arang aktif jati yang ditambahkan logam Ni dengan perbandingan 1:5 (AA KOH uap air 1:5 Ni). Apabila hasil ini dibandingkan dengan hasil penelitian Pari et al. (2013), nilai resistensi hasil penelitian ini lebih tinggi 0,12Ω dan konduktivitas jauh lebih tinggi dengan selisih 315,66 S/m. Hal ini disebabkan oleh adanya penambahan atom
kalium yang masuk ke dalam kisi atom karbon dan menunjukkan juga terjadi proses interkalasi. Konduktivitas merupakan ukuran kemampuan suatu material menghantarkan arus listrik. Makin tinggi konduktivitas maka suatu bahan bersifat konduktor dan apabila dihubungkan dengan nilai tahanannya yang sangat rendah maka material arang yang diinterkalasi dengan Ni mempunyai kemampuan menghantarkan elektron hampir tanpa hambatan. 3. Topografi permukaan arang aktif Hasil topografi permukaan arang aktif yang diinterkalasi dengan atom Ni dan Zn tidak memperlihatkan adanya pori yang terbentuk (Gambar 7 dan 8). Hal ini disebabkan karena ukuran partikel arang dan atom logam yang ditambahkan berukuran nano dan masuk ke dalam pori arang sehingga menutupi pori yang sudah terbentuk. Pada Gambar 7 dan 8 terlihat bahwa sebagian ukuran partikel yang terbentuk sudah berukuran nano.
(a) (b) Gambar 7. Topografi arang aktif jati yang diinterkalasi dengan (a) Ni dan (b) Zn Figure 7. Topography of teak active charcoal intercalated by (a) Ni and (b) Zn
(a) (b) Gambar 8. Topografi arang aktif bambu yang diinterkalasi dengan (a) Ni dan (b) Zn Figure 8. Topography of bamboo active charcoal intercalated by (a) Ni and (b) Zn 318
Potensi Struktur Nano Karbon dari Bahan Lignoselulosa Kayu Jati dan Bambu (Gustan Pari, et al.)
D. Sintering Sintering merupakan proses pemanasan suatu materi dibawah titik leleh bahan. Arang aktif yang o disentering pada suhu 1300 C dengan menggunakan Spark Plasma Sintering (SPS), derajat kristalinitasnya berkisar antara 61,38-78,29%. Derajat kristalinitas terendah terdapat pada arang aktif jati yang tidak di interkalasi logam, sedangkan yang tertinggi diinterkalasi logam Ni dengan perbandingan 1:5 (Tabel 3). Hal ini lebih menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu karbonisasi maka tingkat keteraturan sistem kristalnya makin sempurna dan susunan antar lapisan aromatiknya lebih simetris dan kristalin. Derajat kristalinitas yang dihasilkan masih berbeda apabila dibandingkan dengan arang
komersial nano mesopori sebesar 85,51% (Gambar 11), namun demikian pola difraktogram yang dihasilkan relatif sama. Hal ini menunjukkan nano karbon yang dihasilkan dari arang jati dapat dijadikan nano mesopori komersial. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan oleh Suzuki et al. (2007) yang meneliti karbonisasi kayu untuk membuat karbon fungsional dengan katalis Ni dan proses karbonisasinya dilakukan dengan dua tingkat. Perbedaannya terletak pada intensitas pada sudut theta 26 yang sangat tinggi yang menunjukkan bahwa Ni yang masuk ke dalam struktur karbon masuk ke dalam tinggi lapisan aromatik sedangkan pada theta 43 intensitasnya lebih rendah.
o
Gambar 9. Difraktogram X-ray arang aktif kayu jati disintering pada 1300 C o Figure 9. X-ray diffractogram of teak active charcoal sintered at 1300 C
Gambar 10. Difraktogram X-ray arang aktif kayu jati yang diinterkalasi atom Ni dan disintering pada suhu 1300oC Figure 10. X-ray difractogram of teak active charcoal intercalated by Ni metal and sintered at 1300oC 319
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 4, Desember 2016: 309-322
Gambar 11. Difraktogram X-ray karbon nano mesopori komersial Figure 11. X-Ray difractogram of commercial nano mesopore carbon E. Uji Potensi Nano Karbon Uji potensi karbon berguna untuk mengetahui kesesuaian penggunaan nano karbon. Hasil uji karakteristik arus-tegangan menunjukkan bahwa arang aktif yang disintering dan diinterkalasi dengan Ni memberikan respon terhadap cahaya. Pengukuran arus-tegangan memperlihatkan adanya perubahan nilai arus dan tegangan jika diberikan cahaya Ultra Violet (UV). Pemberian sinar UV pada sampel akan meningkatkan nilai resistivitas. Gambar 12 menggambarkan karakteristik antara arus-tegangan menghasilkan
kurva yang berbentuk sigmoid. Arang aktif yang diinterkalasi dengan atom Ni dan disintering bersifat semikonduktor, lebih sesuai apabila bahan tersebut digunakan sebagai biosensor. Hasil ini didukung oleh hasil uji potensiometer bahwa elektroda nano karbon yang dibuat pasta karbon/Molecullar y Imprinted Polymer (MIP) mempunyai kemiringan (slope) yang mendekati faktor Nerst, dengan jangkauan pengukuran yang 2 lebar, dan R mendekati 1. Hasil ini sesuai dengan yang dilakukan oleh Qin, Liang, dan Zhang (2009) yang membuat elektroda dengan sistem MIP.
Ni + Arang Jati 1300oC 1 0,6 0,2 -0,6
-0,2
0,2
0,6
1
-0,6 -1 Gambar 12. Karakteristik arus-tegangan I-V Figure 12. I-V meter current-tension characterization
320
Potensi Struktur Nano Karbon dari Bahan Lignoselulosa Kayu Jati dan Bambu (Gustan Pari, et al.)
440 410 380 E (mV)
350 320 290 260 230 200
-8
-6
-4
-2
0
log
Gambar 13. Potensial elektroda karbon/MIP. Figure 13. Electrode potential of carbon/MIP
IV. KESIMPULAN Kombinasi perlakuan aktivasi KOH dengan uap air dan interkalasi dengan logam Ni pada perbandingan 1:5 dapat meningkatkan luas permukaan dan konduktivitas karbon nano dari bahan lignoselulosa. Karakteristik karbon nano dari bahan baku kayu jati lebih baik dibandingkan dengan bambu. Hasil uji dielektrik menunjukkan bahwa karbon nano yang dihasilkan lebih bersifat semikonduktor dan lebih sesuai untuk digunakan menjadi biosensor. DAFTAR PUSTAKA Barsukov. (2003). New carbon based materials for electr ochemical ener g y storage system. Netherland: Springer. Bansode, R.R., Losso, J.N., Marshall, W.E., Rao, R.M., & Portier, R.J. (2003). Adsorption of volatile organic compound by pecan shelland almond shell-based granular activated carbons. Bioresource Technology, 90, 175-184. Bonelli, P.R., Rocca. P.A.D., Cerrela, E.G., & Cukierman, A.L. (2001). Effect of pyrolysis temperature on composition, surface properties and thermal degradation rates of Brazil nut shell. Bioresource Technology, 76,1522.
Guo, J.(2007). Adsorption of hydrogen sulphide (H2S) by activated carbons derived from oilpalm shell. Carbon, 44, 330-336. Hartoyo, N., Hudaya, & Fadli. (1990). Pembuatan arang aktif dari tempurung kelapa dan kayu bakau dengan cara aktvasi uap. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 8(1), 8-16. Ismadji, S.Y., Sudaryanto, S.B., Hartono, L.E.K., Setiawan, & Ayucitra, A. (2005). Activated carbon from char obtained from vacuum pyrolysis of teak dust: pore structure development and characterization. Bioresource Technology, 96, 1364-1369. Pari, G. (2004). Kajian struktur arang aktif dari serbuk gergaji kayu sebagai adsorben emisi formaldehida kayu lapis. (Disertasi) Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Pari, G., Sofyan K., Syafii W., Buchari, & Yamamoto, H. (2006). Kajian struktur arang dari lignin. Jurnal Penelitan Hasil Hutan, 24(1), 9-20. Pari, G., Buchari, Santosa, A., Darmawan, S., Harsini, M., M. Rachmat, M. Hendra, DJ. Heryanto, T., & Maddu, A. (2013). Karakterisasi struktur nano karbon dari
321
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 4, Desember 2016: 309-322
lignoselulosa. Jurnal Penelitan Hasil Hutan, 31(1), 75-91. Qin, W., Liang, R., & Zhang, R. (2009). Po t e n t i o m e t r i c s e n s o r b a s e d o n molecularly imprinted polymer for determination of melamine in milk. Sensor and Actuators, 141, 544-550. Ruiz V., R. Santamaria, J.M., Ramos-Fernandez, M. , Martinez-Escandella, SepulvedaEscribano, & Rodriguez-Reinoso, F. (2009). An activated carbon monolith as an electrode material for supercapacitor. Carbon, 47, 195-200. Standar Nasional Indonesia (SNI). (1995). Arang aktif teknis. (SNI 06-3730). Badan Standarisasi Nasional Suzuki, K., Yamada, T.F., & Suzuki, T. (2007). Nickel-catalyzed carbonization of wood for co-production of functional carbon and
322
fluid fuel: Production of dual functional nano-carbon by two steps carbonization. Journal of the Society of Materials Science, 56(4), 339-344. Tseng R-L, Tseng S-K, Wu F-C, Hu C-C, Wang CC. ( 2008 ) . Effects of micropore development on the physicochemical properties of KOH-activated carbons. Journal of the Chinese Institute of Chemical Engineers, 39(1),37-47. Yasuda, E., Inagaki, M., & Kaneko, K. (2003). Carbon alloys: Novel concepts to develop carbon science and technology. Kidlington: Elsevier Science Ltd. Yu-Li, Li, Q.Y., Lin, L., Wang, Y.F., Chu-Hua Zhang, & Hong-Qiang Wang. (2009). Facile csynthesis of activated carbon/carbon nanotube compound for source supercapacitor application. Chemical Engineering.
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 4, Desember 2016: 323-333 ISSN: 0216-4329 Terakreditasi No.: 642/AU3/P2MI-LIPI/07/2015
KOMPOSISI KIMIA DAN KEAWETAN ALAMI 20 JENIS KAYU INDONESIA DENGAN PENGUJIAN DI BAWAH NAUNGAN (Chemical Composition and Natural Durability of 20 Indonesian Wood Species Tested under the Shade) Jasni, Gustan Pari, & Esti Rini Satiti Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor Telp. (0251) 8633378 ; Fax. (0251) 8633413 E-mail:
[email protected]/
[email protected] Diterima 21 April 2016, Direvisi 20 September 2016, Disetujui 31 Oktober 2016.
ABSTRACT Wood utilization for various products such as building construction, furniture and handycrafts deserves through attention to the properties such as chemical composition and durability, as those are interrelated. This paper investigates chemical composition and natural durability of 20 wood species originated from several Indonesian regions. Celluloses content was analyzed according to Norman and Jenkin methods; lignins content was tested according to SNI 14-04921989; and extractives content was analysed based on SNI 14-1032-1989. Testing of wood durability was conducted under the shade at Cikampek, experiment station, West Java. Durability observation was conducted in one year afterwards by assessing the percentage damage of wood samples caused by wood-destroying organisms. Results show that jaha wood (Terminalia arborea K.et.V.) exhibited the highest cellulose content (61.35%), while the lowest (43.30%) at bambang lanang wood (Michelia champaca L.var.pubinervia). Mahang putih wood (Macaranga hypoleuca Muell. Arg.) contain the highest lignin (35.80%), conversely cempaka wood (Elmerrillia papuana Dandy) contain the lowest lignin (23.67%). The highest extractive content (7.87%) was found at bawang wood (Azadirachta exelsa (Jack) M. Jacobs), while the lowest content found at kandis wood (Pentaphalangium pachycarcum A.C. Smith.) with extractive content of 1.52%. Assessment on natural durability indicated that four species were categorized as durable (class II), six species as rather durable (class III), three species as not-durable (class IV), and seven species as perishable (class V). Keywords: Twenty wood species, cellulose, lignin, extractive, natural durability ABSTRAK Pemanfaatan kayu untuk berbagai produk seperti konstruksi bangunan, mebel, dan barang kerajinan perlu memperhatikan sifatnya, antara lain komponen kimia dan keawetannya, karena sifat ini saling berhubungan. Tulisan ini mempelajari komposisi kimia dan keawetan alami 20 jenis kayu dari berbagai daerah di Indonesia. Kandungan selulosa dianalisa berdasarkan metode Norman dan Jenkins, lignin berdasarkan SNI 14-0492-1989 dan zat ekstraktif berdasarkan SNI 14-1032-1989. Pengujian keawetan di lapangan dilakukan dengan pengujian kayu di bawah naungan. Pengujian keawetan tersebut dilaksanakan di kebun percobaan Cikampek, Jawa Barat. Pengamatan dilakukan setelah satu tahun pengujian, dengan cara menilai persentase kerusakan contoh uji yang disebabkan oleh organisme perusak kayu. Hasil penelitian menunjukkan kadar selulosa tertinggi pada jenis kayu Jaha (Terminalia arborea K. et. V.) (61,35%) dan terendah kayu bambang lanang (Michelia champaca L. var. pubinervia) (43,30%). Kadar lignin tertinggi 35,80% pada jenis kayu mahang putih (Macaranga hypoleuca Muell. Arg.) dan terendah 23,67% pada jenis kayu cempaka (Elmerrillia papuana Dandy). Kadar zat ekstraktif tertinggi (7,87%) ditemukan pada jenis kayu bawang (Azadirachta excelsa (Jack) M. Jacobs) dan terendah (1,52%) pada jenis kayu kandis (Pentaphalangium pachycarcum A. C. Smith.). Hasil penelitian keawetan alami kayu dari 20 jenis kayu terhadap organisme perusak kayu di lapangan, menunjukkan bahwa sebanyak empat DOI : http://doi.org/10.20886/jphh.2016.34.4.323-333
323
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 4, Desember 2016: 323-333
jenis termasuk awet (kelas II), enam jenis termasuk agak awet (kelas III), tiga jenis termasuk tidak awet (kelas IV) dan tujuh jenis termasuk sangat tidak awet (Kelas V). Kata kunci: Dua puluh jenis kayu, selulosa, lignin, ekstraktif, keawetan I. PENDAHULUAN Kayu adalah bahan organik dengan susunan unsur 50% C, 6% H, 44% O, dan sedikit saja unsur lainnya. Kayu disebut juga polimer alami, 97-99% bobotnya berupa polimer, dari jumlah itu 65-75% adalah golongan polisakarida, dan penyusun utama kimia kayu adalah selulosa, hemiselulosa dan lignin (Achmadi, 1990; Fengel & Wegener, 1995), Sokanandi, Pari, Setiawan, dan Saepuloh (2012), melaporkan bahwa komposisi kimia 10 jenis kayu kurang dikenal menunjukkan kadar selulosa berkisar antara 42,03-54,95%, lignin 22,66-35,20% dan kelarutan dalam alkohol benzen 2,95-4,60%. Sumarni (2004), mengatakan bahwa selulosa merupakan bahan utama sebagai makanan organisme perusak kayu terutama serangga dari jenis rayap, sehingga semakin tinggi selulosa dalam kayu, maka kayu akan rentan terhadap rayap atau keawetan kayu jadi rendah. Martawijaya (1996) menyatakan, bahwa nilai suatu jenis kayu keperluan kontruksi sangat ditentukan oleh keawetannya, karena bagaimana kuatnya kayu, penggunaannya tidak akan berarti jika keawetannya rendah, oleh sebab itu keawetan kayu menjadi lebih penting lagi artinya untuk
daerah tropis, dimana organisme perusak kayu seperti jamur, rayap serta serangga lainnya dapat hidup dan berkembang biak dengan subur. Sumarni dan Roliadi (2002) menyatakan, bahwa perbedaan keawetan suatu jenis kayu dapat terjadi karena organisme yang menyerang juga berbeda, seperti suatu jenis kayu awet terhadap jamur pelapuk, belum tentu awet terhadap serangga maupun binatang laut. Jasni (2016), melaporkan dari pengujian terhadap 57 jenis kayu Indonesia yang diuji dengan cara uji di bawah naungan, tercatat 4 jenis termasuk kelas awet I (7,02 %), 16 jenis kelas awet II (28,07%), 15 jenis awet III (26,32%), 3 jenis kelas awet IV (5,26%), dan 19 jenis awet V (33,33%). II. BAHAN DAN METODE A. Bahan dan Peralatan Bahan penelitian berupa 20 jenis kayu (Tabel 1) yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia; batako, plastik kasa dan paku. Peralatan yang digunakan yaitu gergaji dan spidol.
Tabel 1. Jenis kayu yang dipelajari digunakan pada penelitian Table 1. Studied wood species in the research No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Nama lokal (Local name) Mayela Kayu bawang Cempaka Bira-bira Hololobus Cangcaratan Huru manuk Mahang putih Kriwek Bambang lanang Meranti putih
12. 13.
Meranti merah Kandis
324
Nama Botani (Botanical name) Artocarpus glaucus Bl. Azadirachta excelsa (Jack) M. Jacobs. Elmerrellia papuana Dandy Fragaea crenulata Maing ex C. B.C. Haplolobus sp. Lithocarpus sundaicus (Blume) Rech. Litsea monopelata Pers. Macaranga hypoleuca Muell. Arg. Mastixiodendron pachyclados Melch. Michelia champaca L.var. pubinervia. Parashorea smythiesii Wyaat. Sm. ex. P. Ashton Parashorea tomentella (Sym.) Meijer. Pentaphalangium pachycarpum A.C. Smith.
Suku (Family) Moraceae Meliacea Magnoliaceae Lecythidaceae Burseraceae Fagaceae Lauraceae Euphorbiaceae Rubiaceae Magnoliaceae Dipterocarpaceae
Lokasi (Location) Kupang Sumatera Selatan Papua Riau Papua Banten Jawa Barat Kalimanta Timur Papua Sumatera Selatan Kalimantan Timur
Dipterocarpaceae Kalimantan Timur Guttiferae Papua
Komposisi Kimia dan Keawetan Alami 20 Jenis Kayu Indonesia dengan Pengujian di Bawah Naungan (Jasni, Gustan Pari & Esti Rini Satiti)
Tabel 1. Lanjutan Table 1. Studied wood species in the research No 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
Nama lokal (Local name) Pemeliodendron Injuatu Bubulang Impa Ki acret Jaha Hamirung
Nama Botani (Botanical name) Pimelodendron amboinicum Hassk. Pleiogynium timoriense ( DC.) Leenh. Premna tomentosa Willd. Pterygota horsfieldii (R. Brown) Spathodea campanulata P. Beauv. Terminalia arborea K. Et. V. Vernonia arborea Ham.
B. Prosedur Penelitian 1. Penetapan komponen kimia kayu Penetapan komponen kimia kayu meliputi penetapan kandungan selulosa, lignin dan ekstraktif dari 20 jenis kayu. Penetapan kadar selulosa, menurut metode Norman dan Jenkins (Wise, 1944). Penetapan kadar lignin dilakukan mengacu SNI 14-0492 (1989) dan penetapan ekstraktif mengacu SNI 14-1032 (1989). Hasil analisa komonen kimia kayu mengacu pada klasifikasi Departemen Pertanian 1976 dalam Sokanandi et al. (2012) seperti di tampilkan pada Tabel 2. 2. Pengujian keawetan kayu a. Pembuatan contoh uji Setiap jenis kayu dipotong menjadi ukuran panjang 20 cm x lebar 10 cm x tebal 2,5 cm.
Suku (Family) Euphorbiaceae Anacardiaceae Verninaceae Sterculiaceae Bignoniaceae Combretaceae Compositae
Lokasi (Location) Papua Kupang Jawa Barat Papua Jawa Barat Jawa Barat Jawa Barat
Masing masing jenis memiliki ulangan 5 buah potongan kayu, lalu dibiarkan beberapa waktu di dalam ruang terbuka hingga mencapai kadar air kering udara dengan kisaran antara 12–18%. b. Pemasangan contoh uji di lapangan Pada lantai tanah dipasang batako (40 cm x 20 cm x 10 cm). Di atas batako dipasang contoh uji yang jenis kayunya diacak sebanyak 150 buah, kemudian ditutup dengan plastik kasa. Cara ini disebut metode di bawah naungan karena ditutupi plastik kasa (Tsunoda 2004; Jasni, 2016). c. Pengamatan Pengamatan dilakukan setelah 1 tahun pengujian disesuaikan dengan siklus musim panas dan hujan. Parameter yang diamati meliputi derajat serangan atau kerusakan pada setiap jenis kayu mengacu pada Jasni (2016) seperti disajikan pada Tabel 3.
Tabel 2. Klasifikasi komponen kayu daun lebar Indonesia Table 2. Indonesian hardwood chemical component clasification Komponen kimia (Chemical composition, %) Selulosa (Cellulose) Lignin (Lignin) Zat ekstraktif (Extractives)
Kelas komponen (Composition class) Tinggi (High) >45 >33 >4
Sedang (Moderate) 40-45 18-33 2-4
Rendah (Low) < 40 < 18 <2
Tabel 3. Klasifikasi keawetan kayu Table 3. Classification of wood durability No 1. 2. 3. 4. 5.
Kerusakan kayu (Wood deterioration,%) ≤ 6,94 6,95-28,55 28,56-61,40 61,41-73,85 ≥ 73,85
Kelas (Class) I II III IV V
Keawetan (Durability) Sangat awet (Very durable) Awet (Durable) Agak awet (Fairly durable) Tidak awet (Non-durable) Sangat tidak awet (Extremely non-durable)
Sumber: Jasni (2016)
325
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 4, Desember 2016: 323-333
C. Analisis Data Untuk mengetahui perbedaan keawetan setiap jenis kayu pada 20 jenis kayu dilakukan analisis sidik ragam (ANOVA). Data kerusakan kayu dari persen ditransformasi ke Arcsin√% dan untuk mengetahui perbedaan dilakukan uji Duncan (Steel & Torrie, 1993). III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Komponen Kimia kayu Hasil analisa komponen kimia 20 jenis kayu seperti tercantum pada Tabel 4. Tabel 4 menunjukkan kadar selulosa tertinggi (61,35%) pada jenis kayu jaha (Terminalia arborea) dan terendah (43,30%) pada kayu bambang lanang (Michelia champaca). Achmadi (1990) menyatakan selulosa adalah unsur struktur dan komponen utama dinding sel dari pohon dan tanaman tinggi lainnya, senyawa ini juga ditemukan dalam tumbuhan rendah seperti paku, lumut, ganggang dan jamur. Selanjutnya dikatakan selulosa alami yang paling murni ialah serat kapas, terdiri dari sekitar 98% selulosa, 1% protein, 0,45 % lilin, 0,65% bahan pektik, 1,15% mineral, dan dengan
teknik pemurnian selulosa yang semakin baik, selulosa yang diturunkan dari kayu dan sumber lain, sama baiknya dengan selulosa kapas. Sedangkan Fengel dan Wegener (1995) melaporkan bahwa selulosa merupakan komponen kayu terbesar, dalam kayu lunak dan kayu teras, selulosa sebagai komponen struktur utama dinding sel tumbuhan, jumlah mencapai hampir setengahnya. Sokanandi et al. (2012) menyatakan bahwa selulosa dapat digunakan sebagai bahan utama pembuatan bioetanol generasi kedua, kadar selulosa tinggi menunjukkan kayu tersebut mempunyai potensi untuk diolah lebih lanjut menjadi bioetanol. Berdasarkan klasifikasi komponen kimia kayu, jenis kayu yang mempunyai kadar selulosa >45% masuk ke dalam kelas komponen tinggi, sedangkan kadar selulosa berkisar 40-45%, masuk dalam kelas sedang dan kadar selulosa <40% termasuk dalam kelas rendah, perbedaan masing-masing jenis kayu tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1. Disamping itu kadar selulosa tinggi salah satu faktor menyebabkan kayu kurang awet terhadap serangga terutama rayap (Sumarni, 2004). Rachman dan Jasni (2013) menyatakan secara umum kayu daun lebar mengandung selulosa
Tabel 4. Komposisi kimia 20 jenis kayu Table 4. Chemical composition of 20 kinds of wood No
Jenis rotan (wood species)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13 14 15 16 17 18 19 20
Mayela (Artocarpus glaucus) Kayu bawang (Azadirachta excelsa) Cempaka (Emerrill ia papuana) Bira-bira (Fragaea crenulata) Hololobus (Haplolobus sp.) Cangcaratan (Lithocarpus sundaicus) Huru manuk (Litsea monopelata) Mahang putih (Macaranga hypoleuca) Kriwek (Mastixiodendron pachyclados) Bambang lanang (Michelia champaca) Meranti putih (Parashorea smythiensii) Meranti merah (Parashorea tomentella) Kandis (Pentaphalangium pachycarpum) Pemeliodendron (Pimeodendron amboinicum) Injuatu (Pleiogynium timoriense) Bubulang (Premna tomentosa) Impa (Pterygota horsfieldii) Ki acret (Spathodea campanulata) Jaha (Terminalia arborea) Hamirung (Vernonia arborea)
326
Selulosa (Cellulose), % 52,26 46,42 60,94 51,12 60,61 51,67 50,98 46,61 45,78 43,30 54,01 59,42 49,83 51,80 52,70 57,12 60.19 54,27 61,35 51,10
Lignin (Lignins),% 32,75 33,16 23,67 34,55 32,27 31,84 35,20 35,80 28,76 29,53 32,75 26,85 24,58 31,12 32,75 30,07 27,61 31,73 33,18 30,07
Esktraktif (Extractives), % 5,43 2,54 7,87 3,65 4,84 1,93 3,85 4,50 2,91 3,38 3,33 2,65 1,52 6,32 5,51 7,85 2,73 2,25 2,25 3,61
Komposisi Kimia dan Keawetan Alami 20 Jenis Kayu Indonesia dengan Pengujian di Bawah Naungan (Jasni, Gustan Pari & Esti Rini Satiti)
40-44 % dan kayu daun jarum 44%. Pada penelitian ini kadar lignin tertinggi (35,80%) tercatat pada jenis kayu mahang putih (Macaranga hypoleuca) dan terendah (23,67%) pada jenis kayu cempaka (Emerrillia papuana). Lignin merupakan senyawa penyusun dinding sel kayu atau bahan serat berlignoselulosa, lignin dan selulosa pada kayu terdapat pada setiap lapisan dinding sel dan diantara sel dalam dinding sel, lignin sangat erat hubungannya dengan selulosa yang berfungsi untuk memberi kekuatan pada sel (Haygreen & Bowyer, 1993; Sokanandi et al. 2012). Sedangkan Sumarni dan Ismanto (1989) menyatakan bahwa rayap Cryptotermes cynocephalus disamping makan selulosa sebagai makanan utama juga makan lignin, namun rayap ini lebih memilih selulosa dari pada lignin, karena selulosa makan utamanya. Berdasarkan klasifikasi komponen kimia kayu, jenis kayu yang mempunyai kadar lignin >33% masuk ke dalam kelas komponen tinggi, sedangkan kadar lignin berkisar 18-33%, masuk dalam kelas sedang dan kadar lignin <18% termasuk dalam kelas rendah. Jenis kayu dengan kadar lignin tinggi berjumlah 5 jenis, kandungan lignin sedang 15 jenis, sedangkan kadar lignin terendah tidah ditemukan pada pengujian ini dan jenis kayu yang termasuk kelas-kelas tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1. Berdasarkan Tabel 4, kandungan zat ektraktif tertinggi ditemukan pada jenis kayu bawang (Azadirachta excelsa) yaitu 7,87% dan terendah jenis kayu kandis (Pentaphalangium pachycarpuum) sekitar 1,52%. Zat ekstraktif merupakan suatu kelompok bahan kimia yang diperoleh sebagai hasil sekresi tanaman (Achmadi, 1990). Kadar ekstraktif berpengaruh terhadap sifat kayu, pengolahannya, misalnya sifat keawetan alami, warna, pengeringan, dan perekatan (Lukmandaru, 2010). Martawijaya (1996), menyatakan zat ekstraktif dalam kayu dapat mempengaruhi keawetan kayu, zat yang mempunyai pengaruh positif terhadap keawetan kayu antara lain, saponin, fenol, terpen, tanin, flavonoid, dan glikosida. Saponi yang terdapat dalam jeunjing (Falcataria mollucana), jenis kayu ini di Eropa tahan terhadap jamur Poria vaporaria dan Caniophora cerebella, namun di Indonesia tidak tahan terhadap jamur Schizophyllum commune, dengan demikian keawetan kayu juga tergantung jenis organisme yang menyerangnya.
Berdasarkan klasifikasi komponen kimia kayu, jenis kayu yang mempunyai kadar ekstraktif >4% masuk ke dalam kelas komponen tinggi, sedangkan kadar ekstraktif berkisar 2-4%, masuk dalam kelas sedang dan kadar ekstraktif <2% termasuk dalam kelas rendah. Jenis kayu dengan kadar ekstraktif tinggi berjumlah 7 jenis, kandungan ekstraktif sedang, 11 jenis, sedangkan kadar ekstraktif terendah berjumlah 2 jenis dan jenis kayu yang termasuk kelas-kelas tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1. B. Keawetan Alami Kayu Berdasarkan analisa statistik persentase kerusakan 20 jenis kayu di lapangan, menunjukkan bahwa jenis kayu berpengaruh nyata terhadap persentase kerusakan (Tabel 5). Untuk mengetahui perbedaannya dilakukan uji jarak (Duncan) dan hasilnya disajikan pada Tabel 6. Berdasarkan Tabel 6, kerusakan tertinggi sebanyak 7 jenis ditemui pada kayu hololobus (Haplolobus sp.), mahang putih (Macaranga hypoleuca), bambang lanang (Michelia champaca), m e r a n t i p u t i h ( Pa r a s h o r e a s m y t h i e n s i i ) , pemeliodendron (Pimeodendron amboinicum), ki acret (Spathodea campanulata) dan jaha (Terminalia arborea) kerusakan mencapai 100% (Kelas V). Sebaliknya, kerusakan kayu terendah 11-27% (kelas II) tercatat pada 4 jenis yaitu kayu c empaka ( Elmerrillia papuana), k riwek (Mastixiodendron pachyclados), injuatu (Pleiogyinium timoriense) dan impa (Pterygota hosfieldii). Sedangkan hasil pencermatan rincian pada masing-masing kelas keawetan 20 jenis kayu disajikan pada Lampiran 2. Selanjutnya, p ada penelitian ini tidak ditentukan organisme yang merusaknya baik serangga maupun jamur. Namun secara umum, kayu paling disukai rayap, terutama rayap tanah yang paling ganas dan masih didominasi rayap tanah Coptotermes sp, karena kayu mengandung selulosa yang menjadi makanan utama rayap (Nandika, Rismayadi & Diba, 2003; Nandika 2015). Sedangkan Sumarni (2004) menyatakan bahwa kandungan selulosa dalam kayu berkisar 40-50%, selulosa merupakan makanan utama rayap, makin tinggi kandungan selulosa, ketahanan kayu terhadap rayap akan rendah. Berdasarkan hal tersebut pada jenis kayu ki acret (Spathodea campanulata) dan jaha (Terminalia 327
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 4, Desember 2016: 323-333
Tabel 5. Analisa keragaman (pola model acak lengkap) persentase kerusakan kayu Table 5. Analysis of variance (with completely randomized pattern) on the percentage of wood destruction Sumber keragaman (Source of variation) Total (Total ) Jenis kayu (Wood species) Sisa (Residual ) Rata-rata (Average) Satuan (Unit) C.V (%) D0,05
db(df)
Jumlah kuadrat (Sums of squares)
99 19 80
48943,89 43209,28 5734,61
Kuadrat tengah (Mean squares) 2274,17 71,68 53,87 Arcsin Ѵ % 15,72 12,44
F-hitung (F-calculated)
31,73**
F-tabel (F-table)
1,98
Keterangan (Remarks): ** = Nyata pada taraf (Significant at) α = 0.01 (99%); C.V = Koef. Keragaman (Coeff. of variation); db (df)= derajat bebas (Degrees of freedom); D0,05 = Nilai kritis uji jarak beda nyata jujur (Critical value of the honestly significant difference range test); Arcsin akar % = transformasi nilai percentase (%) menjadi arcsin (Transformation of the percentage value into arcsin of square root for %)
arborea), kerusakan mencapai 100% (kelas V), ternyata kandungan selulosanya cukup tinggi berturut-turut 54,27% dan 61,35%, sedangkan jenis kayu bambang lanang (Michelia champaca) selulosa (43,30 %) kerusakanya 98 % tetap kelas V akan tetapi jenis kayu impa (Pterygota horsfieldii) kandungan selulosanya 60,19%, kerusakan hanya 20% termasuk kelas II (Tabel 2). Namun selulosa bukan satu-satunya untuk menentukan ketahanan atau keawetan kayu terhadap OPK, terutama di lapangan, tetapi juga kandungan lignin, zat ekstraktif (berpotensi sebagai fungisida atau insektisida), gula, mineral, iklim (curah hujan,suhu dan kelembapan), umur pohon, serasah, predator, tipe tanah (tempat hidup OPK) dan ketersediaan sumber makanan yang beragam juga dapat mempengaruhi keawetan kayu (Martawijaya, 1996., Nandika et al., 2003., Subekti, 2012). Sedangkan Safitri, Erniwati, dan Hapid (2014) menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang dapat merusak kayu antara lain faktor biologis, fisik, mekanis maupun kimia, dari keempat faktor ini yang paling banyak menimbulkan kerusakan pada kayu adalah jamur, bakteri, serangga, dan binatang laut. Berdasarkan klasifikasi komponen kayu, jumlah selulosa > 45 % termasuk kelas tinggi dan jumlah jenis adalah 19 jenis dan ternyata 16 jenis termasuk kelas agak awet sampai sangat tidak awet
328
(III, IV dan V) dapat dilihat pada (Lampiran 1 dan 2), sehingga ada juga hubungan keawetan kayu dengan komponen selulosa dalam kayu sebagai makanan utama terutama serangga rayap. Zat ektraktif dalam kayu juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kayu awet atau tidak awet. Martawijaya (1996) menyatakan bahwa keawetan kayu sangat dipengaruhi zat ekstraktif yang ada di dalamnya, yang mempunyai sifat fungisida atau insektisida. Namun selanjutnya dikatakan, bahwa zat ektraktif (tectoquinon) bukan satu-satunya zat yang menentukan daya tahan jati terhadap serangga (rayap), terlihat juga pada pada jenis kayu bawang (Azadirachta excelsa) dan bumbulang (Premna tomentosa) zaf ekstraktifnya 7,87% dan 7,85% termasuk kelas tinggi, namun keawetannya hanya kelas III, sedangkan jenis kayu impa (Pterygota hosfieldii) zat ekstraktifnya sekitar 2,73% (kelas sedang), keawetannya kelas II (Tabel 4 dan Tabel 6). Selanjutnya Martawijaya (1996) juga menyatakan, tidak hanya zat ekstraktif yang ada di dalam kayu yang menentukan keawetan kayu terhadap organisme perusak, namun dimungkinkan juga tergantung metode pengujian yang dipakai. Zat ekstraktif tectoquinon zat ini dikenali sebagai 2methylanthraquinon sebagai zat repellen (menolak) terhadap rayap kayu kering Cryptotermes brevis Walker, zat ini juga beracun pada
Komposisi Kimia dan Keawetan Alami 20 Jenis Kayu Indonesia dengan Pengujian di Bawah Naungan (Jasni, Gustan Pari & Esti Rini Satiti)
Tabel 6. Keawetan 20 jenis kayu Table 6. Durability of 20 wood species No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13 14 15 16 17 18 19 20
Jenis kayu (Wood species) Mayela (Artocarpus glaucus) Kayu bawang (Azadirachta excelsa) Cempaka (Elmerrillia papuana) Bira-bira (Fragaea crenulata) Hololobus (Haplolobus sp.) Cangcaratan (Lithocarpus sundaicus) Huru manuk (Litsea monopelata) Mahang putih (Macaranga hypoleuca) Kriwek (Mastixiodendron pachyclados) Bambang lanang(Michelia champaca) Meranti putih (Parashorea smythiensii) Meranti merah (Parashorea tomentella) Kandis (Pentaphalangium pachycarpum) Pemeliodendron (Pimelodendron amboinicum) Injuatu (Pleiogynium timoriense) Bubulang (Premna tomentosa) Impa (Pterygota horsfieldii) Ki acret (Spathodea campanulata) Jaha (Terminalia arborea) Hamirung (Vernonia arborea)
Kerusakan kayu (Wood deterioration,%) X ± Sd * 41 ± 5,48 ghi 56 ± 13,87 fg 26 ± 2,24 ij 65 ± 21,21 ef 77 ± 14,41 de 57 ± 14,41 fg 33 ± 5,70 hij 93 ± 6,71 bc 27 ± 7,58 hij 98 ± 4,47 ab 83 ± 9,75 de 53 ± 15,65 fg 70 ± 19,37 ef 88 ± 2,74 cd 11 ± 4,18 k 46 ± 6,52 gh 20 ± 14,14 jk 100 ± 0 a 100 ± 0 a 57 ± 10,37 fg
Kelas keawetan (Durability class) III III II IV V III III V II V V III IV V II III II V V IV
Keterangan (Remarks):* Nilai rata-rata diikuti huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata (Mean value followed by the same letter means not significantly different)
Reticulifermes flavives Kol., ternyata tidak menunjukkan tanda-tanda beracun terhadap jamur perusak kayu Caniophora cerebella Pers, dan Trametes lilachini-gilva Berk., sedangkan tectoquinon dalam kayu dengan jumlah besar, pengaruhnya terhadap rayap tanah Coptotermes lacteus Frogg., dan Nasutitermes exitiosus Hill relatif kecil (Martawijaya, 1996). Berdasarkan hal demikian zat ektraktif dalam kayu dapat dipengaruhi oleh jenis organisme perusak (OPK) dan metode pengujianya. Kayu bira-bira (Fragaea crenulata) dan kayu bambang lanang (Michelia champaca) hasil penelitian di lapangan adalah kelas IV dan V Tabel 6), sebelumnya hasil penelitian laboratorium pengujian terhadap rayap tanah Coptotermes curvignathus, kayu bira-bira (Fragaea crenulata) dan bambang lanang (Michelia champaca) termasuk kelas awet IV (Jasni & Rulliaty, 2015), berarti keawetan kayu juga dipengaruh jenis organisme dan metode pengujiannya.
Hasil penelitian sebelumnya, keawetan 57 jenis kayu yang diteliti terhadap organisme perusak kayu di lapangan dengan pengujian di bawah naungan, menunjukkan bahwa 4 jenis termasuk kelas awet 1, yaitu kisereh (Cinnamomum parthenoxylon), balsa (Ochroma grandiflora), lara (Metrosidores petiolata) dan merbau (Intsia bijuga), 16 jenis kelas awet II, 15 Jenis kelas awet III, 3 jenis kelas awet IV dan 19 jenis kelas awet V (Jasni, 2016). Berdasarkan hasil klasifikasi keawetan alami 20 jenis kayu terhadap organisme perusak kayu,menunjukkan bahwa sebanyak 4 jenis termasuk awet (kelas II), 6 jenis termasuk agak awet (kelas III), 3 jenis termasuk tidak awet (kelas IV) dan 7 jenis termasuk sangat tidak awet (Kelas V). Martawijaya dan Barly (2010) menyatakan bahwa jenis kayu yang mempunyai kelas keawetan rendah (III, IV dan V), untuk memperpanjang umur pemakaiannya perlu diawetkan terlebih dahulu. 329
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 4, Desember 2016: 323-333
IV. KESIMPULAN Kayu jaha (Terminalia arborea) mengandung selulosa tertinggi yaitu 61,35% dan terendah pada kayu bambang lanang (Michelia champaca) yaitu 43,30%. Kandungan lignin tertinggi terdapat pada jenis kayu huru manuk (Litsea monopelata) yaitu 35,20% dan terendah pada jenis kayu cempaka (Elmerillia papuana) yaitu 23,67%. Kandungan zat ektraktif tetinggi terdapat pada jenis kayu kayu bawang (Azadirachta excelsa) yaitu 7,87%, terendah pada jenis kayu kandis (Pentaphalangium pachycarpum yaitu 1,52%. Uji keawetan 20 jenis kayu di lapangan menunjukkan bahwa 4 jenis atau 20 % termasuk kelas awet II, 6 jenis atau 30% termasuk kelas awet III, 3 jenis atau 15 % termasuk kelas awet IV dan 7 jenis atau 35 % termasuk kelas awet V. DAFTAR PUSTAKA Achmadi, S.S. (1990). Kimia kayu. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Fengel, D. & Wegener, V. (1995). Kayu. Kimia ultrastr uktur, reaksi-reaksi. Sastrohamihatmojo, H. (penerjemah) Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Ter jemahan dari: Wood: Chemistr y, utrastrukture, reactions. Haygreen J.G., Bowyer J.L. (1996). Hasil hutan dan ilmu kayu: Suatu pengantar. Sutjipto A.H.: (penerjemah). Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Terjemahan dari: Forest product and wood science: An introduction. Jasni, & Rulliaty, S. (2015). Ketahanan 20 jenis kayu terhadap serangan rayap tanah (Coptotermes curvignathus Holmgren) dan rayap kayu kering (Cryptotermes cynocephalus Light. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 33(2), 125-133. Jasni. (2016). Keawetan alami 57 jenis kayu Indonesia dengan pengujian di bawah naungan. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 34(3), 178-188. Lukmandaru, G. (2010). Sifat kimia kayu jati (Tectona grandis) pada laju pertumbuhan berbeda. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis, 8(2), 188-196. 330
Martawijaya. A. (1996). Keawetan kayu dan faktor yang mempengaruhinya. Petunjuk Teknis, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan, Bogor. Martawijaya, A., & Barly (2010). Pedoman pengawetan kayu untuk mengatasi jamur dan rayap pada bangunan rumah dan gedung. Bogor: IPB Press. Martawijaya, A. (1996). Keawetan kayu dan faktor yang mempengaruhinya. Petunjuk Teknis. Bogor. Puslitbang Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Nandika, D., Rismayadi, Y. & Diba, F. (2003). Rayap. Biologi dan pengendaliannya. Surakarta: Muhammadiyah University Press. Nandika, D. (2015). Satu abad perang melawan rayap. Mitigasi bahaya serangan rayap pada bangunan gedung. Workshop, Jakarta tanggal 16 April 2015. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Rachman,O., & Jasni. (2013). Rotan. Sumberdaya, sifat dan pengolahannya. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Safitri, R., Erniwati., & Hapid, A. (2014). Efektivitas bahan pengawet alami dari tanaman tembelekan (Lantana camara L.) pada beberapa jenis kayu terhadap serangan rayap tanah (Coptotermes sp.). Warta Rimba, 2(2), 141-148. Sokanandi,A., Pari, G., Setiawan, D. & Saepuloh. (2012). Komponen kimia sepuluh jenis kayu kurang dikenal: Kemungkinan peng gunaan sebag ai bahan baku pembuatan bioetanol. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 32(3), 209-218. Standar Nasional Indonesia (SNI). (1989a). Cara uji kadar lignin dan pulp (Metode Klason). (SNI 14-0492-1989). Badan Standarisasi Nasional. Standar Nasional Indonesia (SNI). (1989b). Cara uji kadar sari (Ekstrak alkohol benzena) dalam kayu dan pulp. (SNI 14-1032-1989). Badan Standardisasi Nasional. Steel, R.G.D., & Torrie, J.H. (1993). Prinsip dan prosedur statistika. Sumantri, B. (penerjemah)
Komposisi Kimia dan Keawetan Alami 20 Jenis Kayu Indonesia dengan Pengujian di Bawah Naungan (Jasni, Gustan Pari & Esti Rini Satiti)
Principles and procedures of statistics. Jakarta: PT Gramedia. Subekti, N. (2012). Biodeteriorasi kayu pinus (Pinus merkusii) oleh rayap tanah Macrotermes gilvus Hagen (Blattodea: Termitidae). Jurnal Bioteknologi, 9(2), 57-65. Sumarni, G., & Ismanto, A. (1989). Uji pilih makanan rayap kayu kering (Cryptotermes cynocephalus Light.). Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 6(4), 235-237. Sumarni, G., & Roliadi, H. (2002). Daya tahan 109 jenis kayu Indonesia terhadap rayap tanah (Coptotermes curvignathus Holmgren). Buletin Penelitian Hasil Hutan, 20(3), 177-185.
Sumarni, G. (2004). Keawetan kayu terhadap serangga. Upaya menuju efesiensi penggunaan kayu. Orasi Pengukuhan Ahli Peneliti Utama. Jakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Tsunoda, K., Byrne, A., Morris P.I., & Grace, K. (2004). Performance of borate-treated lumber in a protected, above-ground fields test in Japan. The 35th Annual Meeting of International Research Group on Wood Preservation. Ljubbljana, Slovenia. IRG/WP 04-30344. Wise, E.L. (1944). Wood chemistry. New York: Renhold Publishing Corporation.
331
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 4, Desember 2016: 323-333
Lampiran 1. Klasifikasi komponen kimia kayu Apendix 1. Chemical composition wood classification Komponen kimia (Chemistry component) Selulosa
Lignin
Klas (Class)
Nama jenis (Wood species)
Tinggi
Artocarpus glaucus, Azadirachta excelsa, Elmerrillia papuana, Fragaea crenulata, Haplolobus sp., Lithocarpus sundaicus, Litsea monopelata, Macaranga hypoleuca, Mastixiodendron pachyclados, Parashorea smythiensii, Parashorea tomentella, Pentaphalangium pachycarpum, Pimelodendron amboinucum, Pleioglynium timoriense, Premna tomentosa, Pterygota hosfieldii, Spathodea campanulata, Terminalia arborea, Vernonia arborea Michelia champaca Azadirachta excelsa, Fragaea crenulata, Litsea monopelata, Macaranga hypoleuca, Terminalia arborea Artocarpus glaucus, Elmerrillia papuana, Haplolobus sp., Lithocarpus sundaicus, Mastixiodendron pachyclados, Michelia champaca, Parashorea smythiensii, Parashorea tomentella, Pentaphalangium pachycarpum, Pimellodendron ambonicum, Pleiogynium timoriense, Premna tomentosa, Pterygota hosfieldii, Sphatodea campanulata, Terminalia arborea dan Vernonia arborea Artocarpus glaucus, Elmerrillia papuana, Haplolobus sp., Macaranga hypoleuca, Pimellodendron ambonicum, Pleioglynium timoriense, Premna tomentosa, Aazadirachta excelsa, Fragaea crenulata, Lithocarpus elegan, Litsea monopelata, Mastixiodendron pachyclados, Michelia champaca, Parashorea smythiensii, Parashorea tomentella, Pterygota hosfieldii), Sphatodea campanulata, Terminalia arborea dan Vernonia arborea
Sedang Rendah Tinggi Sedang
Zat ekstraktif
Rendah Tinggi Sedang
Rendah
Lithocarpus sundaicus, Kandis, Petayhapalangium parviflorum. Jumlah (Total)
Keterangan (Remarks): 1) Lihat Tabel 4 (Please refer to Table 4).
332
Jumlah jenis kayu (Number of wood species) 19
Persentase (Percentage , %)
1 0 5
5 0 25
15
75
0 7
0 35
11
55
2
10
20
100
95
Komposisi Kimia dan Keawetan Alami 20 Jenis Kayu Indonesia dengan Pengujian di Bawah Naungan (Jasni, Gustan Pari & Esti Rini Satiti)
Lampiran 2. Distribusi jenis kayu menurut kelas keawetan Apendix 2. Distribution of wood species in accordance with their durability classes Kelas (Class) II
Jumlah jenis kayu (Number of wood species) 4
III
6
IV
3
V
7
Jumlah (Total)
20
Distribusi jenis kayu (Distribution of wood species) Jenis kayu (Wood species) Elmerrillia papuana, Mastixiodendron pachyclados, Pleioglynium timoriense dan Pterygota hosfieldii Artocarpus glaucus, Azadirachta excelsa, Lithocarpus sundaicus, Azadirachta excelsa, Parashorea tomentella dan Premna tomentosa Fragaea crenulata, Pentaphalangium pachycarpum dan Vernonia arborea Haplolobus sp., Macaranga hypoleuca, Micheliachampaca, Parashorea smythiensii, Pemeliodendron ambonicum, Spathodea campanulata dan Terminalia arborea
Persentase (Percentage), % 20 30 15 35 100
Keterangan (Remarks): 1) Lihat Tabel 6 (Please refer to Table 6).
333
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 4, Desember 2016: 335-348 ISSN: 0216-4329 Terakreditasi No.: 642/AU3/P2MI-LIPI/07/2015
FAKTOR EKSPLOITASI HUTAN DI SUB REGION KALIMANTAN TIMUR (Forest Exploitation Factors in Sub Region of East Kalimantan) Soenarno, Wesman Edom, Zakaria Basari, Dulsalam, Sona Suhartana, & Yuniawati Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor Telp. (0251) 8633378 ; Fax. (0251) 8633413 E-mail:
[email protected] Diterima 28 Januari 2016, Direvisi 24 Mei 2016, Disetujui 29 September 2016
ABSTRACT Forest harvest is the first activity to undertake in extracting logs from the forest site. The amount of wood wastes generated during logging operation can be used for measuring the value of exploitation factor (FE). The greater FE indicates more efficient of wood utilization. Indonesian government has so far decided the formal FE is 0.7. This value is no longer accurate for the current better forest management situation which adopting practices of reduced impact logging-RIL and or RIL-C. Considering from economic aspects, the FE value has a very important role, i.e. as multiplying factor in determining annual allocation of wood production (JPT) and as a basic parameter in predicting earn business provision of natural forest (PSDH). Ecological aspects may interprete that the bigger FE value will bring about reduction of forest damages. This paper examines the FE in Sub-Region of East Kalimantan. Results show that the proper FE value for the East Kalimantan Province is ranged between 0.77 – 0.89. The amount of FE value is more influenced by factor of feller skills than the management competence factor of IUPHHKHA. Keywords: Exploitation factor, natural forests, reduced impact logging, Sub-Region East Kalimantan ABSTRAK Dalam pemanfaatan kayu, pemanenan hutan merupakan tahap kegiatan utama yang dilakukan agar potensi pohon dapat dikeluarkan dari dalam hutan. Banyak atau sedikitnya limbah yang terjadi selama proses pemanenan kayu dapat dijadikan tolok ukur faktor eksploitasi (FE). Selama ini, pemerintah menetapkan angka FE sebesar 0,7. Padahal, paradigma pengelolaan hutan alam sudah semakin baik dengan diterapkannya pembalakan berdampak rendah (reduced impact logging/ RIL) dan/atau berdampak rendah karbon (RIL-C). Dilihat dari aspek ekonomis, nilai FE mempunyai peranan sangat penting karena digunakan sebagai pengali dalam menentukan jatah produksi tahunan (JPT) dan sebagai dasar dalam prediksi penerimaan besarnya provisi sumberdaya hutan (PSDH). Pada aspek ekologis, penetapan nilai FE yang lebih besar dapat mengurangi terjadinya kerusakan hutan. Tulisan ini mengevaluasi nilai FE di Sub Region Kalimantan Timur. Hasil penelitian menunjukkan besarnya bilangan FE di lima IUPHHK-HA di Kalimantan Timur berkisar antara 0,77 - 0,89. Besar kecilnya bilangan FE lebih dipengaruhi oleh faktor keterampilan penebang dibandingkan dengan faktor kompetensi manajemen IUPHHK-HA. Kata kunci: Faktor eksploitasi, hutan alam, pembalakan berdampak rendah, Sub Region Kalimantan Timur
DOI : http://doi.org/10.20886/jphh.2016.34.4.335-348
335
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 4, Desember 2016: 335-348
I. PENDAHULUAN Pemanenan kayu merupakan kegiatan pemanfaatan hutan yang bernilai ekonomi dan sosial, baik bagi perusahaan pemegang ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu hutan alam (IUPHHK-HA) maupun masyarakat. Dalam proses pemanenan kayu, terjadinya limbah tidak dapat dihindari. Banyak atau sedikitnya limbah selama proses pemanenan kayu dapat dijadikan tolok ukur untuk menilai besarnya faktor eksploitasi (FE). Selama ini, pemerintah menetapkan bilangan FE sebesar 0,7. Salah satu faktor penyebab terjadinya limbah penebangan adalah kesalahan dalam penerapan teknik pembagian batang (bucking). Jika dilakukan secara tidak benar, kegiatan pembagian batang dapat menjadi salah satu sumber terbesar dari kerugian nilai dalam rantai pasokan kayu ke industri pengolahan kayu (Murphy, Gordon, & Marshall, 2007). Dari segi teknis, bilangan tersebut menjadi faktor pengali dalam menentukan jatah produksi tahunan (JPT) bagi pengusahaan hutan. Padahal, pengelolaan hutan alam sudah semakin baik dengan diterapkannya pembalakan berdampak rendah (reduced impact logging/RIL) dan/atau berdampak rendah karbon (RIL-C). Membaiknya pengelolaan hutan alam tersebut tidak saja dicirikan makin banyaknya IUPHHK-HA yang telah mendapatkan sertifikat pengelolaan hutan alam produksi lestari (PHAPL) tetapi juga pemanfaatan kayu yang makin efisien (Dulsalam, 2012; Matangaran, Partiani, & Purnamasari, 2013). Kendatipun demikian, fakta menunjukkan bahwa kinerja pengusaha hutan dalam memproduksi kayu hutan alam selama ini belum maksimal memenuhi target JPT. Data Kementerian Kehutanan (2014) menunjukkan bahwa capaian kinerja IUPHHK-HA selama delapan tahun terakhir mengalami pasang surut, yaitu berkisar antara 40,33-81,35% dengan ratarata 60,06%. Rendahnya capaian produksi kayu bulat tersebut menjadi salah satu penyebab defisit pasokan bahan baku industri perkayuan. Berdasarkan kapasitas terpasang industri diperkirakan defisit kebutuhan kayu bulat 3 mencapai ± 40 juta m (Nurrochmat, 2010). Menurut Soeprihanto, Direktur Eksekutif APHI, penyebab makin turunnya produksi hutan alam 336
adalah beban biaya produksi tinggi yang tidak diimbangi dengan harga jual yang memadai dari sektor industri kehutanan (Fauziah, 2014). Saat ini, jumlah pemegang IUPHHK-HA sebanyak 274 unit dengan areal konsesi seluas 20,89 juta ha dengan JPT 9,10 juta m3 kayu bulat (Kementerian Kehutanan, 201 4 ). Apabila diasumsikan kenaikan bilangan FE sebesar 10% dari bilangan FE 0,7 maka JPT kayu bulat hutan alam menjadi lebih besar yaitu sebanyak 10,01 juta m3. Diharapkan, dengan JPT menjadi sebesar 10,01 juta m3 tersebut akan meningkatkan kontribusi produksi kayu bulat dari hutan alam, yang selama ini hanya mampu berperan sebesar 16,3% (Kementerian Kehutanan, 2014). Dilihat dari aspek teknis dan ekonomis, bilangan FE mempunyai peranan sangat penting karena digunakan sebagai dasar untuk memperkirakan penerimaan besarnya provisi sumberdaya hutan (PSDH) yang akan diperoleh dari pemegang IUPHHK-HA. Sedangkan dari aspek ekologis, penetapan bilangan FE yang lebih besar dapat mendorong kelestarian dan keberlanjutan produksi kayu pada rotasi berikutnya. Penelitian regionalisasi nilai FE ini penting dilakukan karena masing-masing wilayah memiliki karakteristik dominasi jenis dan ukuran diameter tegakan, kondisi topografi, dan sosial budaya masyarakat yang berbeda. II. BAHAN DAN METODE A. Lokasi Penelitian Penelitian bilangan FE Sub Region Kalimantan Timur dilakukan di lima IUPHHKHA yang tersebar di Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Mahakam Ulu, Kabupaten Kutai Timur, dan Kabupaten Berau. Penelitian dilaksanakan pada pertengahan hingga akhir bulan November 2015. B. Bahan dan Peralatan 1. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sling kabel baja untuk membantu mengikat kayu hasil tebangan yang akan disarad, kapur, cat, spidol, plastik untuk label pohon ditebang, solar, minyak pelumas dan lembar pencatatan (tally sheet). Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah gergaji rantai (chainsaw), traktor sarad
Faktor Eksploitasi Hutan di Sub Region Kalimantan Timur (Soenarno, Wesman Edom, Zakaria Basari, Dulsalam, Sona Suhartana & Yuniawati) Penentuan IUPHHK-HA secara sengaja (Purposive determination of IUPHHK-HA) Penentuan plot pengamatan secara sistematik (Systematic determination of research plots) Inventarisasi tegakan berdiameter 20 cm ke atas (Stand inventory on trees having diameter of cm and above)
a. b.
c.
Penebangan (Felling) Volume kayu yang dimanfaatkan (volume of the exploited timber) Limbah tunggak, pangkal (termasuk banir) dan ujung (Stump waste base including buttresses and ends) Kerusakan tegakan (Stand damage)
Penyaradan (Skiding) a. Limbah kayu di jalan sarad (Wood waste in the skid trail) b. Kerusakan tegakan (Stand damage)
Indeks tebang (Felling index)
Faktor Eksploitasi (Exploitation factor)
Indeks sarad (Skiding index)
Pengukuran dan pengujian (Grading and Scaling) a. Limbah pemotongan (Trimming waste) b. Kayu dimanfaatkan (Wood utilized)
Gambar 1. Prosedur pelaksanaan penelitian Figure 1. Research procedures (skidder), phi-band dan meteran untuk mengukur diameter dan panjang pohon yang ditebang, penghitung detik (stop watch) untuk mengukur waktu, alat pengukur lereng (clino meter), kompas, dan kamera digital untuk dokumentasi. C. Prosedur Penelitian Prosedur pelaksanaan penelitian di lapangan untuk masing-masing lokasi penelitian disajikan pada Gambar 1. 1. Penentuan Petak Contoh Pengamatan (PCP) a. Pada petak tebang terpilih di IUPHHK-HA dibuat sebanyak tiga PCP yang masing-masing berukuran minimal 2 ha (200 x 100 m). Penempatan PCP dilakukan secara systematic sampling with purposive start dimana PCP pertama dilakukan secara purposive pada petak tebang terpilih dan PCP selanjutnya dibuat secara sistematik dengan jarak antar PCP adalah 100 m (Gambar 2). b. Pembuatan PCP dilakukan dengan berpedoman pada peta rencana operasional pemanenan kayu (ROPK) skala 1 : 50.000. Setelah PCP dibuat, selanjutnya dilakukan inventarisasi tegakan berdiameter 20 cm up untuk semua jenis pohon. Inventarisasi
dilakukan untuk memvalidasi Laporan Hasil Cruising (LHC) kegiatan Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan (ITSP) yang dilakukan perusahaan. 2. Data yang dikumpulkan a. Data sekunder Data sekunder diperoleh dengan melihat arsip/data yang tersedia di lokasi penelitian, antara lain: kondisi umum IUPHHK-HA (keadaan hutan, letak dan luas areal, topografi, ikilm), LHC, dan LHP. b. Data primer Data primer merupakan data pokok yang diperoleh dengan cara pengamatan dan pengukuran langsung di lapangan, yaitu volume kayu batang bebas cabang yang dimanfaatkan, limbah kayu yang terdapat di petak tebang, jalan sarad, dan Tpn. 1) Limbah pada kegiatan penebangan Data diperoleh dari hasil pengukuran limbah kayu hasil penebangan pada petak tebang yang telah ditentukan. Limbah yang diukur antara lain limbah tunggak, limbah pangkal, limbah ujung dan volume batang bebas cabang yang dimanfaatkan (Gambar 3).
337
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 4, Desember 2016: 335-348
Gambar 2. Rancangan PCP dalam petak tebang terpilih Figure 2. Design of PCP in logging compartments sampling
Keterangan : A = Batang bebas cabang (Clear bole); B = Batang yang dimanfaatkan (Utilized wood); C = Limbah tunggak (Butt waste) = tinggi tunggak (butt height)-tinggi tebang diijinkan (Allowable height cut); D = Limbah pangkal (Waste base); E = Limbah ujung (Top wastes up to) Æ = 30 cm {Ec = cacat(rott), Eb = baik (good)}; Ec (pecah/break, mata buaya/notch, busuk hati/heart rott, bengkok/bend,growong )hole))
Gambar 3. Pengukuran kayu yang dimanfaatkan dan limbah kayu Figure 3. Measurements of utilized wood and waste Limbah tunggak adalah selisih antara tinggi tunggak dikurangi tinggi tebang yang diijinkan yaitu 1/3 diameter pohon dbh untuk pohon tidak berbanir (Ward, 2011), seperti dilihat pada Gambar 4, sedangkan limbah tunggak untuk pohon berbanir dihitung dari selisih antara tinggi tunggak dikurangi dengan tinggi tebang yang diijinkan yaitu tepat pada ujung banir (Ruslandi, 2013). Apabila perhitungan selisih antara tinggi tunggak dan tinggi tebang yang diijinkan negatif berarti tidak ada limbah tunggak. 338
2) Limbah pada kegiatan penyaradan Data diperoleh dari hasil pengukuran limbah yang terdapat di sepanjang jalan sarad pada plot pengamatan yang telah ditentukan sebelumnya. Limbah kayu yang diukur di jalan sarad adalah bagian batang bebas cabang yang tertinggal di sepanjang jalan sarad karena kondisinya dan atau limbah lain yang dikategorikan sebagai limbah. Dimensi yang diukur adalah, jenis limbah, panjang sortimen, diameter limbah, dan kondisi limbah tersebut.
Faktor Eksploitasi Hutan di Sub Region Kalimantan Timur (Soenarno, Wesman Edom, Zakaria Basari, Dulsalam, Sona Suhartana & Yuniawati)
Sumber ; Ward E, 2011
Gambar 4. Ukuran teknis takik tebang dan takik balas Figure 4. Technical measure of under cut and back cut
3) Limbah di tempat pengumpulan kayu (Tpn) Data limbah dari TPn yang diukur adalah limbah kayu yang berupa sisa pemotongan bagian pangkal atau ujung batang bebas cabang setelah dilakukan pengujian dan pengukuran (grading and scaling) di TPn. Juga sortimen kayu bulat yang mungkin terdapat di TPn yang tidak diangkut karena kondisinya tidak memenuhi syarat. 3. Pengolahan data Perhitungan volume limbah dan batang yang dimanfaatkan dengan menggunakan rumus empiris Brereton (Ditjen Pengusahaan Hutan, 1993) sebagai berikut : 2 VL = ¼ p ½ (Dp + Du) p ............................. (1) 100 3 Di mana : VL= Volume limbah (m ); Dp= Diameter pangkal (cm) ; Du= Diameter ujung (cm); p= Panjang limbah (m); p = Konstanta (3,14)
]
]
Untuk mengetahui faktor eksploitasi penebangan dihitung dengan rumus (Abidin,1994) sebagai berikut: Faktor eksploitasi (FE) = indeks tebang x indeks sarad x indeks angkut ..(2)
Di mana : volume kayu siap di sarad di petak tebang indeks tebang = indeks sarad =
... (3)
volume batang bebas cabang volume kayu yang dimanfaatkan di Tpn volume kayu yang disarad sampai Tpn
..... (4)
Dalam peraturan Menteri Kehutanan nomor : P. 41/Menhut-II/2014 tentang penatausahaan hasil hutan kayu yang berasal dari hutan alam dijelaskan bahwa proses Laporan Hasil Produksi (LHP) di TPn, oleh karena itu, penghitungan bilangan FE hanya didasarkan pada indeks tebang dikalikan dengan indeks sarad. Dengan demikian, pengukuran volume kayu yang dimanfaatkan dan limbah kayu hanya dilakukan sampai di TPn. D. Analisis Data Data hasil pengukuran rata-rata bilangan FE dianalisis secara statistik menggunakan program SPSS versi 23.0. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum IUPHHK-HA Secara umum, gambaran kelima IUPHHK-HA terpilih di sub region Kalimantan Timur disajikan pada Tabel 1. Dari Tabel 1 dapat diketahui bahwa sebagian besar areal IUPHHK-HA contoh berupa kawasan hutan produksi terbatas (HPT). Sedangkan luas areal kerja bervariasi antara 49.123-106.026 ha. Dari 5 IUPHHK-HA contoh, 2 perusahaan diantaranya telah memiliki sertifikat PHPL mandatory (nasional) dan 3 perusahaan bersertifikat voluntary (internasional).
339
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 4, Desember 2016: 335-348
Tabe 1. Gambaran kondisi umum IUPHHK-HA sampel Table 1. Licensed Natural Forest Concessions (LNFC) of the sample No.
IUPHHK-HA (LNFC)
Uraian (Descriptions)
PT A
PT B
PT C
PT D
PT E
1.
Keputusan Menteri Kehutanan (Decree of the Minister of Forestry)
SK nomor : 359/MenhutII/2009
SK nomor : 853/KptsVI/1999
SK nomor : 195/MenhutII/2006
SK nomor : 990/KptsVI/1999
SK nomor : 846/KptsVI/1999
2.
Luas areal (Forest concession, Ha)
93.425
97.500
106.026
85.725
49.123
3.
Status kawasan hutan (status of forest )
HPT
HP
HPT
HPT
HPT
4.
Kabupaten (Regency)
Kutai Barat
Mahakam Ulu
Berau
Kutai Timur
Berau
5.
Sertifikat PHAPL (SFM certificate)
Internasional (International )
Internasional (International )
Nasional (National)
Nasional (National)
Nasional (National)
Keterangan (Remarks): PT = Perseroan Terbatas (Limited Company/LC), HPT = Hutan produksi terbatas (Limited production forest), HP = Hutan produksi tetap (Production forest)
Tabel 2. Diameter, panjang, volume kayu dimanfaatkan dan limbah penebangan Table 2. Diameter, length, utilized wood and felling waste Rata-rata (Average)
IUPHHK-HA (LNFC) No. 1. 2. 3. 4.
5.
Uraian (Discriptions) Diameter pohon (Tree diameter, cm) Panjang kayu (Length of wood , m) Volume batang bebas cabang, 3 m3/pohon (Clear bole, m/tree) Volume kayu dimanfaatkan, m3/pohon (Utilized wood, m3/tree) Volume limbah penebangan, m3/pohon (Felling waste, m3/tree)
PT A
PT B
PT C
PT D
PT E
75,40
76,67
55,50
77,23
96,73
76,31
22,53
17,66
17,13
18,47
24,49
20,06
8,389
9,867
3,846
8,422
19,092
9,923
7,502
7,968
3,220
7,150
16,759
8,520
0,856
1,932
0,625
1,273
2,410
1,419
B. Hasil Pengukuran Nilai FE 1. Volume kayu dimanfaatkan dan limbah penebangan. Hasil pengukuran diameter, panjang sortimen volume kayu yang dimanfaatkan dan limbah penebangan dapat dilihat pada Lampiran 1 sedangkan rekapitulasi rata-ratanya disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 menunjukkan volume kayu yang dimanfaatkan berkisar antara 3,22 - 16,759 m 3 /pohon atau rata-rata 8,52 m 3 /pohon, tergantung diameter dan tinggi pohon yang ditebang dengan diameter pohon berkisar antara 340
55,5 – 96,73 cm atau rata-rata 76,31cm. Sedangkan potensi volume kayu batang bebas cabang berkisar 3 antara 3,846-19,092 m /pohon dengan rata-rata 3 9,923 m /pohon. Volume rata-rata kayu yang dimanfaatkan tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian di dua IUPHHK-HA di Hulu Mahakam menunjukkan bahwa rata-rata volume kayu yang dimanfaatkan berkisar antara 8,234 3 m /pohon (Dulsalam et al., 2013). Tabel 2 juga memperlihatkan bahwa sebaran diameter pohon yang ditebang cukup bervariasi antara 55,5 - 96,73 cm. Besarnya volume limbah penebangan sebesar 3 antara 0,625 - 2,410 m /pohon dengan rata-rata
Faktor Eksploitasi Hutan di Sub Region Kalimantan Timur (Soenarno, Wesman Edom, Zakaria Basari, Dulsalam, Sona Suhartana & Yuniawati)
Limbah kayu, m3/pohon (Wood waste, m 3/tree )
Diameter (cm)
Gambar 5. Volume limbah pada berbagai diameter pohon Figure 5. Volume of waste at various tree diameters 1,149 m3/pohon. Makin besar diameter pohon maka makin besar volume kayu yang dimanfaatkan tetapi makin banyak pula limbah penebangan yang terjadi (Gambar 5). Hasil penelitian Astana et al., (2015) bahwa volume limbah kayu batang bebas cabang (BBC) sebesar 1,499 - 1,737 m3/pohon. Lebih lanjut dijelaskan bahwa dari limbah BBC tersebut 63,92% memiliki kualitas “baik” sehingga layak sebagai bahan baku industri pengolahan kayu; 12,31% cacat dan 23,77% pecah akibat tidak sempurnanya teknik penebangan.
2. Proporsi distribusi limbah penebangan Hasil pengukuran proporsi limbah pemanenan kayu dapat dilihat pada Lampiran 1, sedangkan rekapitulasinya disajikan pada Tabel 3. 3. Indeks tebang Hasil pengukuran indeks tebang secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 1, sedangkan rekapitulasinya disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 menunjukkan bahwa rata-rata indeks tebang berkisar antara 0,77– 0,93 dengan rata-rata 0,86. Hal tersebut dapat diartikan bahwa di dalam
Tabel 3. Sebaran limbah penebangan kayu Table 3. Distribution of logging wastes Limbah kayu (Wood waste) IUPHHKHA (LNFC)
Tunggak (Butt)
Pangkal (End)
Ujung (Top)
Jumlah (Total)
m3/phn (m3/tree)
(%)
m3/phn (m3/tree)
(%)
m3/phn (m3/tree)
(%)
m3/phn (m3/tree)
(%)
PT A PT B
0,131 0,104
15,71 5,38
0,272 0,958
32,61 49,56
0,432 0,871
51,80 45,06
0,834 1,933
100 100
PT C
0,104
6,95
0,383
65,42
0,186
27,63
0,606
100
PT D
0,128
10,22
0,701
53,87
0.445
35,90
1,274
100
1,233
46,44
1,422
53,56
2,655
100
0,709
48,56
0,671
45,07
1,460
100
PT E Rata-rata (Average)
0,093
6,37
341
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 4, Desember 2016: 335-348
Tabel 4. Rekapitulasi perhitungan indeks tebang Table 4. Recapitulation of felling index No.
Uraian (Description)
IUPHHK-HA (LNFC) PT A
PT B
PT C
PT D
PT E
Rata-rata (Average)
1.
Minimal (Minimum)
0,78
0,68
0,80
0,76
0,82
0,77
2.
Maksimal (Maximum)
0,96
0,91
0,87
0,96
0,93
0,93
3.
Rata-rata (Average)
0,90
0,80
0,84
0,86
0,87
0,86
4.
Kesalahan baku (St.Deviation)
0,05
0,07
0,02
0,06
0,10
0,06
Gambar 6. Pembuatan takik rebah dan takik balas tidak sempurna Figure 6. Improper work in making the under cut and back cut petak tebang masih banyak limbah penebangan berkisar antara 6 - 25% atau rata-rata 14% dari volume batang bebas cabang. Bervariasinya nilai indeks tebang tersebut disebabkan karena: a. Tidak sempurnamya pembuatan takik rebah, takik balas dan mulut takik rebah yang terlalu kecil (<45 0 ) sehing ga mengakibatkan kepecahan kayu pada pangkal batang (Gambar 6). b. Kebiasaan penebang melakukan kegiatan pemotongan ujung (toping) pada kondisi yang mudah sehingga meninggalkan limbah ujung cukup banyak. c. Kebijakan manajemen yang mengakibatkan penebang tidak melakukan pemotongan ujung batang bebas cabang sepanjang mungkin
342
karena akan mengakibatkan diameter rata-rata kayu bulat menjadi < 50 cm. d. Tidak adanya kontrol yang memadai dari pihak manajemen untuk menilai kualitas kerja penebang paska kegiatan penebangan di dalam petak tebang. Oleh karena itu, dalam kegiatan penebangan pohon perlu diperhatikan beberapa faktor yang meliputi (Suparto, 1982; Ward, 2011): a. Ukuran diameter pohon. b. Kondisi pohon, yaitu posisi pohon (normal atau miring), kesehatan pohon (gerowong atau terdapat cacat-cacat lain yang mempengaruhi rebahnya pohon), bentuk tajuk dan keberadaan banir. c. Pohon-pohon lain di dekat pohon yang akan ditebang.
Faktor Eksploitasi Hutan di Sub Region Kalimantan Timur (Soenarno, Wesman Edom, Zakaria Basari, Dulsalam, Sona Suhartana & Yuniawati)
Tabel 5. Rekapitulasi perhitungan indeks sarad Table 5. Recapitulation of skidding index No.
Uraian (Description)
IUPHHK-HA (LNFC) PT A
PT B
PT C
PT D
PT E
Rata-rata (Average)
1.
Minimal (Minimum)
0,99
0,99
0,88
0,95
0,92
0,95
2.
Maksimal (Maximum)
0,99
1,00
0,95
0,99
0,99
0,98
3.
Rata-rata (Average)
0,99
0,99
0,92
0,98
0,96
0,97
d. Sedapat mungkin menghindari arah rebah yang banyak dijumpai rintangan seperti batubatuan, tunggak, pohon roboh dan parit. e. Jika pohon terletak di lereng atau tebing, maka arah rebah diarahkan ke puncak lereng atau sejajar kontur. 4. Indeks sarad Hasil pengukuran indeks sarad akibat proses penyaradan dan grading scalling di TPn dapat dilihat pada Lampiran 2 dan rekapitulasi hasil perhitungan rata-rata disajikan pada Tabel 5. Dari Tabel 5 di atas, dapat disimpulkan bahwa indeks sarad berkisar antara 0,95-0,98 dengan rata-rata 0,97. Ini berarti bahwa di TPn masih terdapat limbah kayu, baik yang diakibatkan selama proses penyaradan maupun pengujian dan pengukuran (grading and scaling) yaitu rata-rata sebesar 3% dari volume kayu yang disarad. Dalam kaitannya indeks sarad, meskipun keterampilan operator traktor sarad sangat penting tetapi
pemilihan jenis traktor dan metode penyaradan harus sesuai untuk ukuran kayu yang disarad dan kondisi areal kerja (Rose, Spence, Streit, & Taylor, 2009). 5. Faktor eksploitasi (FE) Berdaraskan indeks tebang (Tabel 4) dan indeks sarad (Tabel 5) dapat dihitung bilangan faktor eksploitasi hutan rata-rata yang hasilnya disajikan pada Tabel 6. Dari Tabel 6 dapat disimpulkan bahwa bilangan FE di Sub Regional Kalimantan Timur telah meningkat menjadi berkisar antara 0,77 0,89 dengan rata-rata 0,83. Hal Ini berarti terjadi peningkatan bilangan FE berkisar antara 0,07 0,19 dengan rata-rata 0,13 atau peningkatan efisiensi pemanfaatan kayu 13%. Penelitian Soenarno, Dulsalam, dan Endom (2013) di dua IUPHHK-HA bersertifikat PHPL Internasional dengan skema Forest Stewardship Council (FSC) menunjukkan bilangan FE sebesar 0,9.
Tabel 6. Perhitungan bilangan faktor eksploitasi hutan (FE) Table 6. Calculation of the average value of forest exploitation factor (EF) No.
IUPHHK-HA (LNFC)
Sertikat PHPL (SFM certicate)
Indeks tebang (Felling index)
Indeks sarad (Skidding index)
Bilangan FE (EF value)
1.
PT A
Internasional (International)
0,90
0,99
0,89
2.
PT B
Internasional (International)
0,80
0,99
0,80
3.
PT C
Nasional (National)
0,84
0,92
0,77
4.
PT D
Nasional (National)
0,86
0,98
0,85
5.
PT E
Nasional (National)
0,87
0,99
0,86
0,86
0,97
0,83
Rata-rata (Average)
343
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 4, Desember 2016: 335-348
Melihat fakta hasil penelitian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa secara umum bilangan FE pada IUPHHK-HA yang telah bersertifikat Internasional lebih tinggi dibandingkan yang masih nasional. Kendatipun demikian, sebenarnya bilangan FE ini sangat dipengaruhi oleh ketrampilan penguasaan teknik tebang dari operator chain saw di lapangan, khususnya dalam melakukan pembagian batang (bucking). Garland, dan Jackson, (1997) menyatakan bahwa penebangan dan pembagian batang yang benar akan meningkatkan kualitas kayu dan pendapatan dari hasil penjualan kayu. Hal yang sama juga dikatakan oleh Greulich, (1996) bahwa penebangan dan pembagian batang (felling and bucking) merupakan tahap awal untuk menyiapkan pemasaran hasilnya. Keduanya memiliki pengaruh yang besar terhadap operasi lainnya pada pemanenan. Penebangan dan pembagian batang yang tepat dapat memaksimalkan hasil jual kayu dari pohon yang ditebang, biaya pemanenan lebih rendah and peningkatan hasil kayu. Meningkatnya bilang an FE tersebut merupakan potensi ekonomi apabila dapat dimanfaatkan lebih lanjut oleh IUPHHK-HA dan bagi pemerintah dapat meningkatkan penerimaan negar bukan pajak (PNBP) khususnya dari provisi sumberdaya hutan (PSDH). Dengan etat volume berdasarkan rencana kerja tahunan (RKT) 3 nasional tahun 2015 sebesar 10,98 juta m dan peningkatan efisiensi pemanfaatan kayu rata-rata 13% maka besarnya tambahan produksi kayu 3 adalah 1,427 juta m . Dengan asumsi harga patokan (HP) kayu bulat meranti sebesar Rp 3 1.270.000/m dan tariff PSDH adalah 10% HP
maka besarnya PSDH yang dapat dipungut adalah sebesar Rp 181,229 milyar/tahun. Secara teknis, sebenarnya nilai FE tersebut masih dapat ditingkatkan dengan menerapkan metode tree length logging. Hasil penelitian Idris dan Soenarno (2015) menunjukkan nilai FE pada kegiatan pembalakan dengan metode tree length logging mencapai 0,93. Uusitalo et al., (2004) menyatakan bahwa teknik pembagian batang yang tepat akan mempengaruhi efisiensi pemanfaatan dan kualitas kayu yang dihasilkan. Untuk itu Greulich et al., (1996) juga menyatakan bahwa untuk pembagian batang yang tepat dapat meningkatkan nilai secara keseluruhan dan bila memungkinkan ini dilakukan di TPn karena proses produksi lebih terkontrol dari pada di dalam hutan. Analisis bilangan FE terhadap kompetensi IUPHHK-HA dilakukan uji statistik menggunakan program SPSS 23, yang hasilnya menunjukkan bahwa Fhitung (1,296) < F0,05(5.14) (2,96) yang berarti tidak ada perbedaan nyata bilangan FE diantara IUPHHK-HA contoh. Dari uji indeks tebang dan indeks sarad (Lampiran 3 dan 4) diperoleh kesimpulan bahwa bilangan FE pada hutan alam produksi di Sub Regional Kalimantan Timur lebih dipengaruhi oleh indeks tebang dibandingkan indeks sarad. Hal ini memperkuat dugaan bahwa kompetensi atau ketrampilan operator chain saw mempunyai peranan lebih besar dibandingkan kompetensi perusahaan. Sebagai gambaran, PT B kendatipun telah bersertifikat PHPL Internasional (FSC) tetapi nilai FE lebih rendah dibandingkan PT C dan PT D yang bersertifikat mandatory. Namun demikian, IUPHHK-HA yang memperoleh sertifikat PHPL
Tabel 7. Hasil uji statistik pengaruh IUPHHK-HA terhadap nilai FE Table 7. Statistical testing results of the influence of LNFC on EF values No.
Sumber (Source)
Jumlah kuadrat (Sum of squares)
Derajad bebas (Degree of freedom)
Jumlah kuadrat rata-rata (Mean square)
Fhitung (Fcal.)
Taraf nyata (Sig.)
1.
Model terkoreksi (Corrected Model)
0,017a
5
0,003
1,296
0,346
2.
Intercept
4,869
1
4,869
1809,920
0,000
3.
IUPHHK-HA (LNFC)
0,017
5
0,003
1,296
0,346
4.
Galat (Error)
0,024
9
0,003
5.
Jumlah (Total)
10,425
15
6.
Jumlah terkoreksi (Corrected Total)
0,042
14
a. R Squared = 0.771 (Adjusted R Squared = 0.685)
344
Faktor Eksploitasi Hutan di Sub Region Kalimantan Timur (Soenarno, Wesman Edom, Zakaria Basari, Dulsalam, Sona Suhartana & Yuniawati)
Nasional yang bersifat wajib (mandatory) ternyata tidak menjamin capaian bilangan FE yang tinggi. Berdasarkan fakta tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa untuk meningkatkan bilangan FE IUPHHK-HA har us meningkatkan kompetensinya secara suka rela (voluntary/FSC), yang biasanya hanya dapat diperoleh dari lembaga penilai independen internasional. Hal ini dapat dipahami karena perusahaan yang telah bersertifikat FSC pada umumnya mempekerjakan operator chain saw yang telah memiliki kompetensi keterampilan dalam menebang pohon. IV. KESIMPULAN A. Kesimpulan Bilangan FE di Sub Region Kalimantan Timur berkisar antara 0,77 - 0,89 dengan rata-rata 0,83. IUPHHK-HA yang telah bersertifikat PHPL Internasional bilangan FE cenderung lebih tinggi dibandingkan yang hanya bersertifikat mandatory. Volume limbah pemanenan kayu berkisar antara 0,606-1,933 m3/pohon dengan rata-rata 1,274 m 3 /pohon, sedangkan volume kayu yang dimanfaatkan berkisar antara 3,220 - 7,968 m3/pohon atau rata-rata 6,460 m3/pohon. Limbah pemanenan kayu paling banyak berupa limbah pangkal (48,56%), selanjutnya limbah ujung (45,67%) dan paling sedikit limbah tunggak (6,57%). Bilangan FE lebih dipengaruhi keterampilan operator chain saw dibandingkan kompetensi manajemen IUPHHK-HA. B. Saran Manajemen IUPHHK-HA perlu mengadakan pelatihan teknis penebangan bagi operator chain saw dan mempertimbangkan penerapan metode tree length logging. Untuk meningkatkan nilai tambah limbah pemanenan kayu, IUPHHK-HA sebaiknya dapat mengolah lebih lanjut limbah tersebut dan pemerintah cq Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan lebih proaktif melakukan sosialiasai dan pendampingan di lapangan. DAFTAR PUSTAKA Abidin, R. (1994) Pengendalian manajemen pengusahaan hutan. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB.
Astana S., Soenarno, Endom W., Iskandar I., Supriyadi R. & Effendi E. (2015). Kajian potensi penerimaan negara bukan pajak dari limbah kayu pemanenan di hutan alam dan hutan tanaman. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan. (1993). Petunjuk cara pengukuran dan penetapan isi kayu bulat rimba Indonesia. Jakarta: Direktorat Jendral Pengusahaan Hutan. Dulsalam. (2012). Pemanenan kayu ramah lingkungan. Prosiding Seminar Nasional teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan Tahun 2011. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor. Dulsalam, Soenarno & Idris M.M. (2013) Faktor eksploitasi di areal IUPHHK-HA PT Roda Mas Timber Kalimantan Propinsi Kalimantan Timur. Laporan Penelitian. Bog or : Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengelolaan Hasil Hutan. Fauziah M. (2014) Produksi hutan alam terus menurun Diakses dari http://www.republika.co.id/ berita/ekonomi/bisnis/13/02/07/mhugx o-aphi-produksi-kayu-hutan-alam-terusmenurun pada tanggal 11 Januari 2016. Garland, J. & Jackson D. (1997). Felling and bucking tecniques for woodland owner. Oregon: The Woodland Workbook, Oregon State University. Greulich F. R., Donald P. H, Joseph F. & David B. (1996). A primer for timber harvesting. Washington: College of Forest Resources, University of Washington, USA. Idris M.M., Dulsalam, Soenarno, & Sukanda. (2012). Revisi faktor eksploitasi untuk optimasi logging. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil hutan Tahun 2012 Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Idris M.M. & Soenarno. (2015). Penerapan metode tree length log ging skala operasional di areal teknik silvikultur 345
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 4, Desember 2016: 335-348
intensif; Studi kasus di PT Sarmiento Parakanca Timber Propinsi Kalimantan Tengah. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 33 (1), 19-34. Kementerian Kehutanan. (2014). Statistik Kehutanan Indonesia 2013. Jakar ta: Kementerian Kehutanan. Kementerian Kehutanan. (2014). Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.41/ Permenhut-II/2014 tentang penatausahaan hasil hutan kayu yang berasal dari hutan alam. Matangaran J.R., Partiani T. & Purnamasari D.R. (2013). Faktor eksploitasi dan kuantifikasi limbah kayu dalam bilangan peningkatan efisiensi pemanenan hutan alam. Jurnal Bumi Lestari, 13(2), 384-393. Murphy E.G., Gordon A.D. & Marshall H.D. (2007). Adaptive control of bucking in a douglas fir stand: Adjustment frequency effects. New Zealand Journal of Forestry Science, 37(3), 372–382. Nurrochmat, D.R. (2010). Prediksi keseimbangan supply-demand hasil hutan kayu Indonesia. Bogor: Laboratorium Sosial Ekonomi, Fakultas Kehutanan IPB. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2015). Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor : P.13/
346
Menlhk-II/2015 tanggal 30 Maret 2015 tentang tentang izin usaha industri primer hasil hutan. Rose B, Spence B, Streit M & Taylor T. (2009). Selecting the right harvesting equipment. Ontario: Ontario Woodlot Association, Ministry of Natural Resources. Ruslandi. (2013). Petunjuk teknis penerapan pembalakan berdampak rendah-carbon (RIL-C). Jakarta: The Nature Conservancy. Sari R.M. (2009). Identifikasi dan pengukuran potensi limbah pemanenan kayu: Studi kasus di PT Austral Byna, Propinsi Kalimantan Tengah. (Skripsi). Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Soenarno, Dulsalam & Endom W. (2013). Faktor eksploitasi pada hutan produksi terbatas di IUPHHK-HA PT Kemakmuran Berkah Timber. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 32 (1), 45-61. Suparto, R.S., (1982) Diktat eksploitasi hutan modern. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. Uusitalo J., Kokko S., & Kivin P.K. (2004). The Effect of two bucking methods on scots pine lumber quality. Silva Fennica Forest Jurnal, 38(3), 291–303. Ward E. (2011). Chain saws - safety, operation, tree felling techniques. Kansas: Kansas Forest Service, Kansas State University.
Faktor Eksploitasi Hutan di Sub Region Kalimantan Timur (Soenarno, Wesman Edom, Zakaria Basari, Dulsalam, Sona Suhartana & Yuniawati)
Lampiran 3. Hasil uji indeks tebang Appendix 3. Testing results of the index felling Uji pengaruh antar perlakuan (Tests of Effect Between-Subjects) Variabel bebas (Dependent Variable): TEBANG (Felling) Jumlah kuadran (Type III Sum of Squares)
Sumber (Source)
Derajat bebas (Df)
Kuadrat rata-rata (Mean Square)
F-hitung (F-cal)
Nyata (Sig.)
Model terkoreksi (Corrected Model)
0,017a
5
0,003
1,296
0,346
Interaksi (Intercept)
4,869
1
4,869
1809,920
0,000
HPH (Forest concession)
0,017
5
0,003
1,296
0,346
Kesalahan (Error)
0,024
9
0,003
10,425
15
0,042
14
Jumlah (Total) Jumlah terkoreksi (Corrected total)
a. R Kuadrat (R Squared) = .261 Kuadrat terkoreksi (Adjusted R Squared) = .242) Beda nyata terkecil (Last sygnificant different/LSD) (I) HPH (J) HPH Beda rata-rata (Forest concession) (Forest concession) (Mean Difference) (I-J)
C
D
E
Selang kepercayaan 95% (Confidence Interval) Batas bawah Batas atas (Lower Bound) (Upper Bound)
B
0,0924*
0,01670
0,000
0,0594
0,1253
C
0,0560*
0,01576
0,001
0,0248
0,0871
D
0,0288
0,01505
0,057
-0,0009
0,0585
E
-0,0376 *
0,01835
0,042
-0,0739
-0,0014
A
-0,0924 *
0,01670
0,000
-0,1253
-0,0594
C
-0,0364 *
0,01833
0,049
-0,0726
-0,0002
D
-0,0635 *
0,01773
0,000
-0,0986
-0,0285
E
*
0,02061
0,000
-0,1707
-0,0893
A
-0,0560 *
0,01576
0,001
-0,0871
-0,0248
B
0,0364*
0,01833
0,049
0,0002
0,0726
D
-0,0271
0,01684
0,109
-0,0604
0,0061
E
-0,0936 *
0,01985
0,000
-0,1328
-0,0544
A
-0,0288
0,01505
0,057
-0,0585
0,0009
B
0,0635*
0,01773
0,000
0,0285
0,0986
C
0,0271
0,01684
0,109
-0,0061
0,0604
E
-0,0664 *
0,01929
0,001
-0,1046
-0,0283
A
0,0376*
0,01835
0,042
0,0014
0,0739
B
0,1300*
0,02061
0,000
0,0893
0,1707
C
0,0936*
0,01985
0,000
0,0544
0,1328
0,001
0,0283
0,1046
A
B
Kesalahan baku Nyata (Std. Error) (Sig.)
-0,1300
D 0,0664* 0,01929 Kesalahan rata-rata kuadrat (The error term is Mean Square)(Error) = .005. *. Beda rata-rata nyata pada taraf 0,05 (The mean difference is significant at the .05 level)
347
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 4, Desember 2016: 335-348
Lampiran 4. Hasil uji indeks sarad Appendix 4. Testing results of skidding index Tests of Effect Between-Subjects Variabel bebas (Dependent Variable): SARAD Sumber (Source) Model terkoreksi (Corrected Model) Interaksi (Intercept)
Jumlah kuadran (Type III Sum of Squares)
Derajat bebas (Df)
0,429a
4
129,676
1
Kuadrat rata-rata (Mean Square) 0,107
129,676
HPH (Forest concession)
0,429
4
0,107
Kesalahan (Error)
0,376
152
0,002
144,193
Jumlah (Total) Jumlah terkoreksi (Corrected total)
0,805
F-hitung (F-cal)
Nyata (Sig.)
43,337
0,000
52419,199
0,000
43,337
0,000
157 156
a. R Squared = .533 (Adjusted R Squared = .521) Beberapa Perbandingan (Multiple Comparisons) Beda nyata terkecil (Last sygnificant different/LSD) (I) HPH (J) HPH Beda rata-rata (Forest concession) (Forest concession) (Mean Difference) (I-J)
A
B
C
D
E
Kesalahan baku Nyata (Std. Error) (Sig.)
B
-0,0059
0,01227
0,630
-0,0302
0,0183
C
0,1372 *
0,01158
0,000
0,1143
0,1601
D
0,0174
0,01106
0,117
-0,0044
0,0393
E
0,0169
0,01348
0,213
-0,0098
0,0435
A
0,0059
0,01227
0,630
-0,0183
0,0302
C
0,1431 *
0,01347
0,000
0,1165
0,1697
D
0,0234
0,01302
0,075
-0,0024
0,0491
E
0,0228
0,01514
0,134
-0,0071
0,0527
A
-0,1372 *
0,01158
0,000
-0,1601
-0,1143
B
-0,1431 *
0,01347
0,000
-0,1697
-0,1165
D
-0,1198 *
0,01238
0,000
-0,1442
-0,0953
E
-0,1203 *
0,01458
0,000
-0,1491
-0,0915
A
-0,0174
0,01106
0,117
-0,0393
0,0044
B
-0,0234
0,01302
0,075
-0,0491
0,0024
C
0,1198 *
0,01238
0,000
0,0953
0,1442
E
-0,0006
0,01417
0,968
-0,0286
0,0274
A
-0,0169
0,01348
0,213
-0,0435
0,0098
B
-0,0228
0,01514
0,134
-0,0527
0,0071
C
0,1203*
0,01458
0,000
0,0915
0,1491
0,968
-0,0274
0,0286
D 0,0006 0,01417 Kesalahan rata-rata kuadrat (The error term is Mean Square)(Error) = .002. *. Beda rata-rata nyata pada taraf 0,05 (The mean difference is significant at the .05 level)
348
Selang kepercayaan 95% (Confidence Interval) Batas bawah Batas atas (Lower Bound) (Upper Bound)
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 4, Desember 2016: 349-357 ISSN: 0216-4329 Terakreditasi No.: 642/AU3/P2MI-LIPI/07/2015
PENGARUH PENAMBAHAN ARANG DAN CUKA KAYU TERHADAP PERTUMBUHAN ANAKAN Shorea platyclados Sloot ex Fowx DAN Shorea selanica Blume (The Effect of Charcoal and Wood Vinegar Addition into Seedling Growth of Shorea platyclados Sloot ex Fowx and Shorea selanica Blume) Sri Komarayati & Heru S. Wibisono Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor Telp. 0251- 8633378 ; Fax. 0251 – 8633413 E-mail:
[email protected] Diterima 24 Juli 2014, Direvisi 24 Juni 2015, Disetujui 11 November 2016
ABSTRACT Charcoal and wood vinegar are organic matters that can be used for soil improvement and induce plant growth. This paper studies the effect of charcoal and wood vinegar treatments into Shorea platyclados and Shorea selanica seedling's growth. The seedling growth parameters measured include seddling height and diameter, based on charcoal and wood vinegar treatments. Results show combination of 10% charcoal and 1% wood vinegar grows the highest seedling height average of 47.77cm and 1% wood vinegar treatment grew seedling's diameter average up to 6.23 cm of Shorea platyclados. The greatest average of Shorea selanica seedling's diameter of 5.28 cm was achieved by treatment of 10% charcoal and 1% wood vinegar. Keywords: Charcoal, wood vinegar, organic compound, diameter growth ABSTRAK Arang dan cuka kayu merupakan bahan organik yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesuburan tanah dan pemacu pertumbuhan tanaman. Tulisan ini mempelajari pengaruh arang dan cuka kayu terhadap pertumbuhan anakan Shorea platyclados dan Shorea selanica. Parameter tumbuhan anakan yang diukur meliputi tinggi dan diameter anakan, berdasarkan perlakuan dengan arang dan cuka kayu. Hasil penelitian menunjukkan kombinasi arang 10% dan cuka kayu 1% menambah tinggi anakan ratarata terbesar sekitar 47,77 cm dan perlakuan cuka kayu 1% memperbesar diameter anakan rata-rata mencapai 6,23 cm pada Shorea platyclados. Pertambahan diameter rata-rata terbesar 5,28 cm tercatat pada anakan Shorea selanica dengan perlakuan kombinasi arang 10% dan cuka kayu 1%. Kata kunci: Arang, cuka kayu, bahan organik, pertumbuhan diameter I. PENDAHULUAN Arang merupakan bahan organik yang dapat digunakan untuk memperbaiki karakteristik tanah yang sifatnya berbeda dengan bahan organik lainnya karena memiliki sifat rekalsitran, lebih tahan terhadap oksidasi dan lebih stabil dalam tanah, sehingga dapat memperbaiki kualitas kesuburan tanah dalam jangka panjang. DOI : http://doi.org/10.20886/jphh.2016.34.4.349-357
Cuka kayu atau asap cair adalah cairan warna kuning kecoklatan atau coklat kehitaman yang diperoleh dari hasil sampingan dalam pembuatan arang (Nurhayati, 2007; Komarayati, Gusmailina, & Pari, 2011). Salah satu kegunaan cuka kayu adalah sebagai pemacu pertumbuhan tanaman. Payamara (2011) menyatakan bahwa cuka kayu dapat digunakan sebagai pestisida, penambah kesuburan tanah, dan/atau penghambat 349
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 4, Desember 2016: 349-357
pertumbuhan. Cuka kayu juga pernah diuji coba untuk menghambat pertumbuhan salah satu penyebab penyakit pada tanaman, yaitu Xanthomonas comprestris. Selanjutnya, Yamauchi, Matsumoto, dan Yamauchi (2016) menyatakan bahwa cuka kayu efektif dalam membasmi serangga (tungau). Arang dan cuka kayu dihasilkan dari proses karbonisasi dengan menggunakan teknologi dan peralatan sederhana, dengan berbagai bahan yang digunakan termasuk limbah. Pada tahun 2011 aplikasi arang aktif dan cuka kayu untuk memacu pertumbuhan tanaman pernah diujicobakan terhadap pertumbuhan tanaman mengkudu Komarayati dan Santoso (2011) menyatakan bahwa campuran arang kompos serasah 10% dengan cuka kayu 2% merupakan kombinasi terbaik dan mampu meningkatkan pertumbuhan anakan mengkudu. Selanjutnya, penelitian arang dan cuka kayu sebagai stimulan pertumbuhan jabon dan sengon dilaporkan oleh Komarayati dan Pari (2012). Penambahan arang dan cuka kayu pada media tumbuh anakan sengon dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi tanaman sebesar 127% dan 208%, dan perbesaran diameter 109% dan 129%. Pada tanaman jabon, penambahan arang dan cuka kayu dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi sebesar 117% dan 142%, dan pertambahan diameter 166% dan 128%. Komarayati dan Pari (2014) menambahkan bahwa aplikasi cuka kayu pada tanaman dapat meningkatkan ketahanan hidup tanaman lebih lama. Oleh karena itu, pengujian arang dan cuka kayu pada tanaman perlu dilakukan secara kontinyu untuk mendapatkan hasil yang komprehensif. Pada penelitian ini, arang dan cuka kayu akan diaplikasikan pada dua jenis tanaman meranti, yaitu Shorea platyclados Sloot ex Fowx dan Shorea selanica Blume. Shorea platyclados Sloot ex Fowx dan Shorea selanica Blume merupakan jenis meranti merah yang termasuk famili Dipterocarpaceae. Kayunya digunakan untuk kayu pertukangan, konstruksi berat dan ringan. Shorea platyclados Sloot ex Fowx merupakan salah satu jenis tanaman meranti yang direkomendasikan untuk ditanam dalam kegiatan rehabilitasi pada hutan hujan tropik Indonesia (Hardiwinoto et al., 2010).
350
Tu l i s a n i n i m e m p e l a j a r i p e n g a r u h penambahan arang dan cuka kayu terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter anakan Shorea platyclados Sloot ex Fowx dan Shorea selanica Blume. II. BAHAN DAN METODE A. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan yaitu arang kayu campuran dan cuka kayu campuran, serta anakan Shorea platyclados Sloot ex Fowx dan Shorea selanica Blume. Peralatan yang digunakan antara lain tungku drum modifikasi lengkap dengan pipa pendingin asap, polybag, alat pengukur tinggi, kaliper, timbangan, alat untuk menyiram, dan selang plastik. B. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia dan Energi Hasil Hutan dan Persemaian Kebun Penelitian Pasir Hantap, Sukabumi, dari bulan Juni - Desember 2012. C. Prosedur Penelitian 1. Pembuatan arang Pembuatan arang menggunakan tungku drum modifikasi yang dilengkapi dengan pendingin yang terbuat dari baja tahan karat (Komarayati et al., 2011). Bahan baku arang berasal dari limbah kayu campuran. Sebelum diarangkan, limbah kayu dipotong-potong disesuaikan dengan ukuran dan kapasitas tungku. Tungku drum ditutup rapat kemudian limbah kayu diarangkan dengan cara dibakar. Tungku drum modifikasi dilengkapi dengan pendingin yang bertujuan untuk mengkondensasi asap dari proses pengarangan. Asap yang terkondensasi akan mengjasilkan asap cair. 2. Pembuatan media tanam Tanah bagian permukaan (top soil) dicampur secara merata dengan masing-masing perlakuan, dan dimasukkan ke dalam polybag, kemudian ditanami anakan Shorea platyclados dan Shorea selanica. Setiap hari dilakukan penyiraman secukupnya dengan menggunakan gayung.
Pengaruh Penggunaan Arang dan Cuka Kayu Terhadap Pertumbuhan Anakan Shorea platyclados Sloot ex Fowx dan Shorea selanica Blume (Sri Komarayati & Heru Wibisono)
3. Pengamatan Respon pertumbuhan yang diamati meliputi pertumbuhan tinggi dan diameter batang. Arang hanya diberikan satu kali pada saat penanaman, yaitu dengan dosis 10-20% (sesuai perlakuan). Arang yang digunakan berukuran 120 mesh, sedangkan cuka kayu dosis 1-2% (sesuai perlakuan) diberikan satu minggu sekali sebanyak 100 ml pada setiap anakan. Pemberian cuka kayu dilakukan dengan cara disiramkan pada media tanam dan disemprotkan pada batang dan daun dengan tujuan untuk mencegah serangan hama dan penyakit. D. Analisis Data Jenis tanaman merupakan faktor A yang terdiri dari dua jenis yaitu Shorea platyclados (A1); Shorea selanica (A2).Perlakuan yang diterapkan merupakan faktor B yang terdiri dari 9 taraf, yaitu : Bo = Kontrol; B1 = Arang 10% ; B2 = Arang 20% ; B3 = cuka kayu 1%; B4 = cuka kayu 2%; B5 = Arang 10% + cuka kayu 1%; B6 = Arang 10% + cuka kayu 2%; B7 = Arang 20% + cuka kayu 1%; B8 = Arang 20% + cuka kayu 1%. Ulangan dilakukan masing–masing sebanyak empat kali. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan perlakuan
menurut pola anova, dengan model : Yij = U + Ti +BiXi + Eij Keterangan: Yij = pertumbuhan S. platyclados dan S. Selanica (Y1 danY2). Ti = Macam perlakuan ke i : i = 0,1,2,3, .........., 9 R = Ulangan masing-masing 4 kali Bi = Koefisien regresi pengaruh Xi (tinggi dan diameter awal) Xi = Diameter and tinggi awal Eij = Galat Y1 = Tinggi tanaman (cm) Y2 = Diameter tanaman (cm) Data yang diperoleh dianalisis statistik (uji F) dengan menggunakan program SAS dan apabila berbeda nyata, dilanjutkan dengan uji beda jarak t (Snedecor & Cochran, 1990). III. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisa statistik pengaruh arang, cuka kayu, campuran arang dan cuka kayu pada anakan meranti merah Shorea platyclados dan Shorea selanica, disajikan pada Tabel 1, 2, 3 dan 4.
Tabel 1. Analisa keragaman pengaruh penambahan arang, cuka kayu, campuran arang dan cuka kayu terhadap pertambahan tinggi dan diameter anakan Shorea platyclados Table 1. Analysis of variance of charcoal, wood vinegar, mixture of charcoal and wood vinegar treatment on to Shorea platyclados seedlings Sumber keragaman (Source of variance) Total (Total) Perlakuan (Treatment) Tinggi/Diameter awal (Initial height/diameter) Galat (Error) Rata-rata pertambahan (Means of increment, cm) Koefisien keragaman (Coefficient of diversity)
Db (df)
F Hitung (F Calculated) Y1
Y2
3,81*
5,22*
1 26 -
4,67*
9,17**
0,27
0,39
-
14,18
12,75
35 8
Keterangan (Remarks): Y1= tinggi (height) ; Y2 = diameter (diameter) ; tn = tidak nyata (not significant) ; * = nyata pada taraf 5% (significant at 5%); ** = nyata pada taraf 1% (significant at 1%).
351
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 4, Desember 2016: 349-357
Tabel 2. Hasil uji t pengaruh penambahan arang, cuka kayu, campuran arang dan cuka kayu terhadap pertambahan tinggi dan diameter anakan Shorea platyclados Table 2. t test of charcoal, wood vinegar, mixture of charcoal and wood vinegar treatments onto Shorea platyclados seedlings Perlakuan (Treatment) B5 B7 B3 B1 B2 B6 B0 B4 B8 Perlakuan (Treatment) B3 B7 B6 B4 B1 B5 B8 B0 B2
Rataan pertambahan tinggi (Height increment average, cm)
Uji t (t test)
47,77 44,56 43,63 42,37 41,91 41,84 40,84 40,56
a ab ab b b b b b
38,97
c
Rataan pertambahan diameter (Diameter increment average, cm)
Uji t (t test)
6,23 5,90 5,63 5,41 5,29 5,24
a ab ab b b b
5,22 5,18 5,02
b b c
Keterangan (Remarks): B0 = Kontrol (Control) ; B1 = arang 10% (10% charcoal); B2= arang 20% (20% charcoal); B3= cuka kayu 1% (1% wood vinegar); B4 =cuka kayu 2% (2% wood vinegar); B5 = arang 10% + cuka kayu 1% (10% charcoal + 1%wood vinegar); B6 = arang 10% + cuka kayu 2% (10% charcoal + 2% wood vinegar); B7 = arang 20% + cuka kayu 1% ( 20% charcoal + 1% wood vinegar);B8 = arang 20% + cuka kayu 2% (20% charcoal + 2% wood vinegar).Angka yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata (Figures followed by the same letters are not significantly different a > b > c > d >e>f
Hasil uji keragaman menyatakan bahwa perlakuan berpengaruh nyata terhadap tinggi dan diameter Shorea platycados. Selanjutnya, dilakukan uji beda t untuk mengetahui respon antar perlakuan. Hasil uji beda t menunjukkan bahwa hampir semua perlakuan tidak berbeda nyata dengan perlakuan kontrol baik pada paramater tinggi maupun diameter. Pada uji beda terhadap tinggi, hanya perlakuan B8 yang berbeda nyata dengan kontrol sedangkan pada uji beda terhadap diameter hanya perlakuan B2 yang berbeda nyata terhadap kontrol.
352
Perlakuan B8 yang merupakan kombinasi arang 20% dan cuka kayu 2% memiliki respon berbeda nyata terhadap parameter tinggi. Namun, respon yang diberikan bersifat negatif karena nilai perlakuan B8 lebih kecil dibanding kontrol. Pertambahan tinggi pada kontrol sebesar 40,84 cm sedangkan pada perlakuan B8 sebesar 38,97 cm. Hal ini diduga pada perlakuan B8, arang dan cuka kayu memberikan dampak penghambat bagi pertumbuhan tanaman. Penambahan arang 20% menyebabkan media tanam menjadi lebih panas karena kandungan karbon dari arang. Hal ini
Pengaruh Penggunaan Arang dan Cuka Kayu Terhadap Pertumbuhan Anakan Shorea platyclados Sloot ex Fowx dan Shorea selanica Blume (Sri Komarayati & Heru Wibisono)
berdampak pada sistem perakaran tidak dapat berkembang dengan baik, sehingga pertumbuhan tanaman menjadi terhambat. Hal serupa juga terjadi pada perlakuan B2, yang memberikan dampak negatif terhadap kontrol pada uji beda t terhadap diameter. Komarayati, Gusmailina, dan Pari (2013) menyatakan bahwa ada kecenderungan penurunan pengaruh terhadap pertumbuhan tanaman apabila konsentrasi cuka kayu ditingkatkan. Penambahan cuka kayu 1% dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi sebesar 208%, selanjutnya diikuti oleh penambahan cuka kayu 3%, 2%, dan 4% berturut-turut peningkatan tinggi sebesar 154%, 123%, dan 117%. Komarayati dan Pari (2014) memperkuat opini bahwa pemberian cuka kayu 2% menghasilkan rata-rata pertambahan tinggi anakan sengon tertinggi (156,33 cm) dan terendah dengan cuka kayu 4% (75,68 cm). Sedangkan tanpa perlakuan (arang dan cuka kayu) menghasilkan rata-rata pertambahan diameter tertinggi (20,08 cm) dan terendah pemberian cuka kayu 4% (7,63 cm). Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter Shorea platyclados setelah dilakukan pengamatan selama enam bulan, dapat dilihat pada Tabel 2. Hasil penelitian menyatakan bahwa perlakuan kombinasi penambahan arang 10% dan cuka kayu 1%, memperlihatkan pertumbuhan paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya, yaitu sebesar 47,77 cm. Perlakuan kombinasi penambahan arang 20% dan cuka kayu 1% serta perlakuan penambahan cuka kayu 1% menghasilkan pertumbuhan tinggi secara berturut-turut sebesar 44,56 cm dan 43,63 cm, dengan demikian terjadi peningkatan tinggi sebesar 1,07-1,17 kali lipat dibandingkan dengan kontrol. Berdasarkan analisis, perlakuan arang 10% dan cuka kayu kayu 1% terhadap pertumbuhan tinggi memiliki respon berbeda nyata dengan kontrol. Selanjutnya, untuk pertumbuhan diameter batang tertinggi adalah perlakuan penambahan cuka kayu 1%, diikuti perlakuan kombinasi penambahan arang 10% dan cuka kayu 2%, kombinasi penambahan arang 10% dan cuka kayu 2%, arang 20% dan cuka kayu 1% yaitu secara berturut-turut memiliki nilai sebesar 6,23 cm, 5,90 cm dan 5,63 cm atau terjadi peningkatan sekitar 1,09-1,2 kali lipat dibandingkan dengan kontrol. Pengaruh perlakuan cuka kayu 1% berbeda nyata dengan kontrol. Berdasarkan data
penelitian, penambahan konsentrasi cuka kayu, arang aktif maupun kombinasi cuka kayu dan arang aktif memiliki tren penurunan. Hal ini diduga bahwa konsentrasi arang diatas 10% menghambat pertumbuhan karena media menjadi lebih padat. Dengan demikian sistem perakaran tanaman menjadi lebih sulit untuk berkembang. Demikian pula yang terjadi pada perlakuan cuka kayu. Penambahan konsentrasi cuka kayu menjadi penghambat tanaman untuk pertumbuhannya. Konsentrasi cuka kayu yang tinggi dapat menjadi racun bagi tanaman. Siringoringo dan Siregar (2011) menyatakan bahwa penambahan arang dengan dosis 5% memberikan respon yang cukup positif terhadap pertumbuhan awal Michelia montana. Penambahan arang dengan dosis 5% bersifat lebih adaptif terhadap tanaman dibandingkan dengan dosis 10% dan 15%. Gani (2009) menyatakan bahwa, arang dapat meningkatkan sifat kimia tanah seperti pH, kapasitas tukar kation dan kadar Ca, sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman, sekaligus menguntungkan bagi lingkungan dalam jangka panjang, namun untuk tanaman jenis shorea (meranti) waktu 6 bulan belum cukup memacu pertumbuhan tanaman. Begitu pula penambahan cuka kayu maupun kombinasi arang dan cuka kayu ternyata belum memperlihatkan pertumbuhan yang maksimal untuk tanaman dari jenis shorea bila dibandingkan dengan hasil penelitian pada anakan jabon dan sengon, yang diberi cuka kayu maupun kombinasi arang dan cuka kayu dengan respon yang baik (Komarayati & Pari, 2014). Namun, hal ini berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya, pemberian arang bongkah yang sudah dibuat serbuk dengan dosis 20% pada tanaman Shorea leprosula dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi sebesar 3,89 kali dan diameter 2,47 kali (Siregar, Heriansyah & Kyoshi, 2003). Waktu pengamatan 6 bulan pada tanaman beberapa jenis shorea diduga belum memberikan efek bagi pertumbuhan tanaman karena dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah tanah. Pemberian arang ke tanah dapat mempengaruhi pH, KTK serta dapat memperbaiki sifat biologi, fisik, dan kimia tanah, sehingga akan berpengaruh terhadap tanaman dalam hal pertumbuhan tinggi, diameter dan produksi (Ogawa, 1994). Namun, tanah memiliki karakterisitik dan waktu adaptasi yang berbeda353
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 4, Desember 2016: 349-357
Tabel 3. Analisa keragaman pengaruh penambahan arang, cuka kayu campuran arang dan cuka kayu terhadap pertambahan tinggi dan diameter anakan Shorea selanica Table 3. Analysis of variance of charcoal, wood vinegar, mixture of charcoal and wood vinegar treatment on to Shorea selanica seedlings Sumber keragaman (Source of variance) Total (Total) Perlakuan (Treatment) Tinggi/diameter awal (Height/initial diameter Galat (Error) Rata-rata pertambahan (Means of increment, cm) Koefisien keragaman (Coefficient of diversity)
Db (df) 35 8 1 26
F Hitung (F calculated) Y1 3,20* 4,09*
Y2 3,09* 19,32**
0,33
0,58
9,29
10,24
-
Keterangan (Remarks): Y1= tinggi (height) ; Y2 = diameter (diameter) ; tn = tidak nyata (not significant) ; * = nyata pada taraf 5% (significant at 5%) ; ** = nyata pada taraf 1% (significant at 1%).
beda terhadap lingkung an sekitar nya. Siringoringo dan Siregar (2011) menyatakan bahwa tanah sebagai faktor pendukung pertumbuhan tanaman memerlukan waktu lebih lama untuk mencapai keseimbangan setelah adanya perlakuan. Hasil uji keragaman menyatakan bahwa perlakuan memberikan pengaruh nyata terhadap tinggi dan diameter Shorea selanica. Selanjutnya, untuk mengetahui respon antar perlakuan perlu di uji lanjut dengan uji beda t. Berdasarkan hasil uji beda t pada Tabel 4, terlihat bahwa hampir seluruh perlakuan menunjukkan tidak berbeda nyata terhadap diameter. Bahkan, uji beda t terhadap tinggi menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata. Pada uji beda t terhadap diameter, hanya perlakuan B8 yang berbeda nyata terhadap kontrol. Perlakuan B8 yang merupakan kombinasi perlakuan paling besar yaitu arang 20% dan cuka kayu 2% memberikan respon yang negatif terhadap pertambahan diameter. Perlakuan kontrol memberikan penambahan diameter sebesar 5,89 cm sedangkan perlakuan B8 memberikan penambahan sebesar 5,38 cm. Hal ini diduga pada kombinasi konsentrasi tersebut arang dan cuka kayu tidak dapat bekerja secara optimal dalam menunjang pertumbuhan tanaman. Komarayati dan Santoso (2011) menyatakan bahwa konsentrasi arang serbuk gergaji sebesar 20% dan 30% tidak memberikan 354
perbedaan nyata pada peningkatan pertumbuhan tanaman. Selanjutnya pada Tabel 4 juga dapat diketahui pengaruh perlakuan terhadap pertumbuhan anakan Shorea selanica. Ternyata perlakuan penambahan arang 10%, cuka kayu 2% hanya dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi sebesar 1,02-1,05 kali lipat dibanding kontrol. Berdasarkan analisis statistik perlakuan arang 10% berbeda nyata terhadap kontrol sedangkan untuk pertumbuhan diameter, ternyata perlakuan kombinasi penambahan arang 10% dan cuka kayu 1% atau penambahan arang 10% dapat meningkatkan pertumbuhan diameter sebesar 1,05-1,07 kali lipat. Penambahan arang 10% maupun kombinasi perlakuan penambahan arang 10% dan cuka kayu 1% sudah dapat meningkatkan pertumbuhan Shorea platyclados dan Shorea selanica, walaupun peningkatannya belum maksimal karena tanaman masih perlu waktu untuk beradaptasi dengan media yang telah diberi arang, cuka kayu, maupun campuran arang dan cuka kayu. Shorea termasuk tanaman keras sehingga akan berbeda respon terhadap perlakuan yang diberikan. Hasil penelitian menyebutkan bahwa efek arang terhadap parameter pertumbuhan pada tanaman Acacia mangium umur enam bulan pada tipe tanah acrisols di rumah kaca tidak berpengaruh nyata (Siregar, Heriansyah, & Kyoshi, 2003). Selain itu efek pemberian arang terhadap pertumbuhan Shorea leprosula umur 26 bulan pada
Pengaruh Penggunaan Arang dan Cuka Kayu Terhadap Pertumbuhan Anakan Shorea platyclados Sloot ex Fowx dan Shorea selanica Blume (Sri Komarayati & Heru Wibisono)
Tabel 4. Hasil uji t pengaruh penambahan arang, cuka kayu, campuran arang, dan cuka kayu terhadap pertambahan tinggi dan diameter anakan Shorea selanica Table 4. T-test result of charcoal, wood vinegar, mixture of charcoal and wood vinegar treatment on to Shorea selanica seedlings Perlakuan (Treatment)
Rataan pertambahan tinggi (Height increment average, cm)
B1 B4 B3 B0 B5 B2 B6 B8 B7 Perlakuan (Treatment)
34,77 33,64 33,03 33,00 32,73 32,37 30,57
a ab ab b ab b b
30,23 29,90
b b
Rataan pertambahan diameter (Diameter increment average, cm)
B5 B1 B2 B0 B6 B7 B3 B4 B8
Uji t (t test)
6,28 6,17 6,13 5,89 5,83 5,78 5,77 5,68 5,38
Uji t (t test) a a a ab ab ab ab b c
Keterangan (Remarks): B0 = Kontrol (Control) ; B1 = arang 10% (10% charcoal); B2= arang 20% (20% charcoal); B3= cuka kayu 1% (1% wood vinegar); B4 = cuka kayu 2% (2% wood vinegar); B5 = arang 10% + cuka kayu 1% (10% charcoal + 1%wood vinegar); B6 = arang 10% + cuka kayu 2% (10% charcoal + 2% wood vinegar); B7 = arang 20% + cuka kayu 1% (20% charcoal + 1% wood vinegar);B8 = arang 20% + cuka kayu 2% (20% charcoal + 2% wood vinegar). Angka yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata (Figures followed by the same letters are not significantly different a > b > c > d > e >f ).
tipe tanah ferrasols dan Pinus merkusii pada umur 25 bulan pada tipe tanah Nitosols tidak mampu meningkatkan pertumbuhan secara statistik. Tidak adanya respon ini diduga karena faktor kesuburan tanah dalam mendukung pertumbuhan tanaman belum efektif. pH merupakan salah satu parameter kesuburan tanah dalam mendukung pertumbuhan tanaman. Adanya pemberian arang maka dapat meningkatkan pH tanah. Peningkatan pH tanah merupakan kontribusi paling penting dalam hal perbaikan kualitas tanah. Namun, peningkatan pH tanah akibat perlakuan arang
tergantung pada tekstur tanahnya. Menurut Tryon (1948) dalam Glaser, Lehman, dan Zech (2002) tanah bertekstur pasir (sandy soil) dan tanah berlempung (Loamy soil) meningkat lebih besar dibandingkan dengan tanah bertekstur liat (clayey soil). Selain itu, Komarayati et al. (2013) menyatakan bahwa pertumbuhan tanaman juga dipengaruhi oleh kecepatan tumbuh dan tingginya kandungan hara dari masing-masing jenis tanaman. Diketahui bahwa pertumbuhan dan perkembangan tanaman membutuhkan beberapa unsur hara yang meliputi unsur hara makro dan mikro. 355
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 4, Desember 2016: 349-357
(a)
(b)
Gambar 1. Anakan Shorea platyclados (a) dan Shorea selanica (b) Figure 1. Seedling Shorea platycados (a) and Shorea selanica (b) Dari hasil pengamatan terlihat bahwa pengaruh penambahan arang, cuka kayu maupun kombinasi penambahan arang dan cuka kayu untuk tanaman dari jenis Shorea, memerlukan waktu yang lebih lama untuk menghasilkan pertumbuhan tinggi dan diameter yang sesuai harapan. Selain perlu waktu untuk adaptasi tanaman meranti dengan arang dan cuka kayu, sebaiknya ditambah ektomikoriza untuk mempercepat pertumbuhan tanaman meranti. Kombinasi penambahan arang dan spora mikoriza dapat merangsang pertumbuhan tanaman, karena arang dapat meningkatkan porositas tanah/media tumbuh, sehingga miselia cendawan ektomikoriza dapat berkembang dan akan meningkatkan koherensi tanah sehingga perakaran lebih mudah menyerap hara dan air dari tanah (Hesti & Prameswari, 2003 dalam Komarayati & Gusmailina, 2010). Dari penelitian terdahulu dapat diketahui bahwa kombinasi penambahan arang dan mikoriza dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi dan diameter anakan Shorea crysophylla. IV. KESIMPULAN Pemberian arang, cuka kayu, kombinasi arang dan cuka kayu dapat memacu pertumbuhan anakan pertumbuhan Shorea platyclados dan Shorea selanica. Pada Shorea platyclados pertambahan tinggi rata-rata terbesar dihasilkan oleh perlakuan
356
kombinasi arang 10% dan cuka kayu 1% sedangkan pertambahan diamater batang terbesar terjadi pada perlakuan perlakuan cuka kayu 1%. Pada Shorea selanica pertambahan rata-rata tinggi terbesar dihasilkan oleh perlakuan arang 10% sedangkan pertambahan diamater rata-rata terbesar terjadi pada perlakuan kombinasi arang 10% dan cuka kayu 1%. Dosis arang dan cuka kayu yang semakin tinggi, yaitu arang 20% dan cuka kayu 2% justru menghasilkan pengaruh negatif terhadap pertumbuhan anakan Shorea platycados dan Shorea selanica. DAFTAR PUSTAKA Gani, A. (2009). Potensi arang hayati sebagai komponen teknologi perbaikan produktivitas lahan pertanian. Iptek Tanaman Pangan, 4(1), 33-48. Glaser, B., Lehman, J., & Zech, W. (2002). Ameliorating physical and chemical properties of highly weathered soils in tropics with charcoal. A Review Biology and Fertility of Soils, 35, 219-230. Hardiwinoto, S., Adriana, Nurjanto, H.H., Widiyatno, Dhina, F., & Priyo, E. (2010). Pengaruh sifat fisika media terhadap kemampuan berakar dan pembentukan stek akar pucuk Shorea platyclados di PT Sari Bumi Kusuma Kalimantan Tengah. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan, 4(1), 37-47.
Pengaruh Penggunaan Arang dan Cuka Kayu Terhadap Pertumbuhan Anakan Shorea platyclados Sloot ex Fowx dan Shorea selanica Blume (Sri Komarayati & Heru Wibisono)
Komarayati, S., & Gusmailina. (2010). Aplikasi pupuk organik plus arang dan pupuk organik mikoriza plus arang pada media tumbuh anakan Shorea crysophylla. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 28(1), 77-83. Komarayati, S., Gusmailina, & Pari, G. (2011). Produksi cuka kayu hasil modifikasi tungku arang terpadu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 29(3), 234-247. Komarayati, S., Gusmailina, & Pari, G. (2013). Arang dan cuka kayu: Produk hasil hutan buka kayu untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman dan serapan hara karbon. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 31(1), 49-62. Komarayati, S., & Pari, G. (2014). Kombinasi pemberian arang hayati dan cuka kayu terhadap pertumbuhan jabon dan sengon. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 32(1), 12-20. Komarayati, S., & Pari, G. (2014). Pengaruh arang dan cuka kayu terhadap peningkatan pertumbuhan dan simpanan karbon. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 32(4), 313-328. Komarayati, S., & Santoso, E. (2011). Arang dan Cuka kayu: Produk HHBK untuk stimulan pertumbuhan mengkudu (Morinda citrifolia). Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 29(2), 155-178. Nurhayati, T. (2007). Produksi arang terpadu dengan cuka kayu dan pemanfaatan cuka
kayu pada tanaman pertanian. Materi Alih Teknologi di Kabupaten Bulungan. Kalimantan Timur. Ogawa, M. (1994). Symbiosis of people and nature in the tropics. Farming Japan, 28(5), 10-30. Payamara, J. (2011). Usage of wood vinegar as new organic substance. International Journal of ChemTech Reseacrh, 3(3), 1658-1662. Siregar, C. A. I., Heriansyah, & Kyoshi., M. (2003). Studi pendahuluan efek aplikasi arang terhadap pertumbuhan awal Acacia mangium, Pinus merkusii dan Shorea leprosula. Buletin Penelitian Hasil Hutan, 634, 27-40. Siringoringo, H., & Siregar, C. (2011). Pengaruh aplikasi arang terhadap pertumbuhan awal Michelia montana Blume dan perubahan sifat kesuburan tanah pada tipe tanah latosol. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, 8(1), 65-85. Snedecor, G. W., & Cochran, W. G. (1990). Statistical methods. Ames: Iowa State College Press. Yamauchi, K., Matsumoto, Y., & Yamauchi, K. (2016). Wood vinegar from broadleaf tree bark carbonized at low temperature has extermining effect on red mites by invading into their bodies. Academia Journal of Agricultural Research, 4(3), 145-149.
357
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 4, Desember 2016: 359-371 ISSN: 0216-4329 Terakreditasi No.: 642/AU3/P2MI-LIPI/07/2015
PERAN GLUKOMANAN-ARANG AKTIF SEBAGAI HIPOKOLESTEROLEMIK PADA TIKUS SPRAGUE DAWLEY (Role of Glucomannan-activated Charcoal as Hypocholesterolemic in Sprague Dawley Rat) 1
1
1
2
Agus Malik Ibrahim, Irma Herawati Suparto, Tetty Kemala, & Gustan Pari 1
Institut Pertanian Bogor, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Jl. Raya Darmaga, Kampus IPB Darmaga, Bogor, Jawa Barat 16680. 2 Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor Telp. (0251) 8633378; Fax. (0251) 8633413 E-mail:
[email protected] Diterima 4 Desember 2013, Direvisi 20 Mei 2015 , Disetujui 18 Maret 2016
ABSTRACT Cholesterol is a metabolite which contains sterol fat, which is important to support cell functions and generate vitamin D, cortisol and reproduction hormones. Higher cholesterol content known as hypercholesterolemia is a predisposing towards cardiovascular disease. Previous study reported that glucommanan and activated charcoal individually can lower cholesterol levels, however combination both of them for lowering the cholesterol level has not been studied intensively. This paper examines the ability of glucommannan derived from Amorphophallus flour and activated charcoal in reducing cholesterol level of Sprague Dawley rat. Firstly, glucommanan was isolated from Amorphophallus flour and activated charcoal was produced from teak sawdust and coconut fiber. Both component were formulated and characterized using Fourier Transform Infra Red (FTIR), x-ray diffractometer and scanning electron microscope. Thirty five adult male Sprague Dawley rat with body weight of 160 to 200 g were divided into seven treatment groups: high-fat diet (DTL) and glucommanan, DTL and teak's activated charcoal (TC), DTL and cocout fiber's activated charcoal (CC), DTL and glucommanan and CC (1:1), DTL and glucommanan and CC (2:1), DTL and glucommanan and CC (1:2) and DTL without treatment as control. Initial rat cholesterol level was measured and it was compared with those after five weeks. Results show that the greatest cholesterol reduction (37.4%) is recorded from rat with DTL and glucommanan and CC (1:1) and low density lipoprotein reduction by about 49.7% and triglyceride reduction by 18.3%. Keywords: Cholesterol reduction, glucommanan, Amorphophallus, activated charcoal, Sprague Dawley rat ABSTRAK Kolesterol merupakan metabolit yang mengandung lemak sterol yang berguna untuk mendukung fungsi sel-sel dalam tubuh dan menghasilkan vitamin D, hormon kortisol, dan hormon reproduksi. Kandungan kolesterol yang tinggi dikenal dengan istilah hiperkolesterolemia merupakan predisposisi terjadinya penyakit kardiovaskular. Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa glukomanan dan arang aktif dapat menurunkan kadar kolesterol, namun kombinasi keduanya belum dipelajari secara intensif. Tulisan ini mempelajari kemampuan glukomanan dari tepung Amorphophallus dan arang aktif dalam menurunkan kadar kolesterol tikus Sprague Dawley. Pada awalnya, glukomanan diisolasi dari tepung Amorphophallus dan arang aktif dibuat dari serbuk gergaji kayu jati dan serabut kelapa. Kedua komponen kemudian diformulasikan dan dikarakterisasi menggunakan Fourier Transform Infra Red (FTIR), x-ray diffractometer dan scanning electron microscope. Tiga puluh lima tikus jantan dewasa Sprague Dawley dengan berat 160 sampai 200 g dibagi ke dalam tujuh kelompok perlakuan: diet
DOI : http://doi.org/10.20886/jphh.2016.34.4.359-371
359
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 4, Desember 2016: 359-371
tinggi lemak (DTL) dan glukomanan, DTL dan arang aktif serbuk kayu jati (TC), DTL dan arang aktif serabut kelapa (CC), DTL, glukomanan, dan CC (1:1), DTL, glukomanan, dan CC (2:1), DTL, glukomanan dan CC (1:2) dan DTL tanpa perlakuan sebagai kontrol. Kadar kolesterol tikus diukur sebelum dan sesudah lima minggu perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan penurunan kadar kolesterol tertinggi (37,4%) tercatat dari tikus dengan perlakuan DTL, glukomanan, dan CC (1:1) dan pengurangan lipoprotein kerapatan rendah sebesar 49,7% dan trigliserida sebesar 18,3%. Kata kunci: Penurun kolesterol, glukomanan, Amorphophallus, arang aktif, tikus Sprague dawley I. PENDAHULUAN Menurut The World Health Organization (WHO, 2012) penyakit kardiovaskular menjadi penyebab kematian nomor satu secara global. Diperkirakan 17,3 juta orang meninggal karena penyakit kardiovaskular pada tahun 2008, mewakili 30% dari seluruh kematian global. Berdasarkan jumlah kematian tersebut 7,3 juta disebabkan oleh penyakit jantung koroner dan 6,2 juta karena stroke (WHO, 2012). Keadaan hiperkolesterolemia yang disebabkan oleh pola hidup yang tidak sehat merupakan predisposisi untuk terjadinya stroke. Pencarian obat penyakit kardiovaskular terutama yang berasal dari alam terus dilakukan. Tumbuhan merupakan sumber senyawa kimia, baik yang sudah diketahui maupun yang belum diketahui jenisnya dan banyak diantaranya berpotensi sebagai bahan dasar obat-obatan (Dachriyanus, Oktarina, Ernas, Suhatri, & Mukhtar, 2007). Salah satu tumbuhan yang berpotensi sebagai bahan dasar obat penurun kadar kolesterol darah dan banyak tumbuh di wilayah Indonesia, terutama di Jawa Timur adalah tumbuhan Amorphophallus (iles-iles). Komponen aktif dalam Amorphophallus adalah glukomanan yang tersusun dari satuan-satuan Dglukosa dan D-mannosa (Winarno, 2008). Khasiat glukomanan dalam tumbuhan Amorphophallus untuk menurunkan kadar kolesterol telah dilaporkan pada penelitian terdahulu. Gallaher, Munion, Hesslink, dan Wise (2000) meneliti penurunan kolesterol pada tikus percobaan menggunakan glukomanan dan kitosan yang menghasilkan kesimpulan bahwa total kolesterol hati dapat diturunkan secara signifikan menggunakan glukomanan, kitosan, dan campuran glukomanan-kitosan dengan selulosa sebagai kontrol. Absorpsi kolesterol yang diukur dengan metode fecal isotope ratio, secara signifikan turun 20,2% pada grup glukomanan. Penelitian 360
Sood, Baker, dan Coleman (2008) menjelaskan glukomanan memberikan pengaruh penurunan terhadap kolesterol total (turun 19,28 mg/dL), kolesterol LDL (turun 15,99 mg/dL), trigliserida (turun 11,08 mg/dL), bobot tubuh (turun 0,79 kg), dan glukosa darah (turun 7,44 mg/dL), namun tidak berpengaruh terhadap kolesterol HDL atau tekanan darah. Harijati, Widyarti, dan Azrianingsih (2011) meneliti pengaruh pemberian pakan Amorphophallus dari Jawa Timur terhadap kolesterol LDL tikus percobaan galur Wistar yang hasilnya menunjukkan bahwa penambahan Amorphophallus variabilis pada pakan selama 25 hari berpotensi menurunkan kolesterol darah berturut-turut 22,98%, 5,85%, dan 7,37% untuk varian Amorphophallus variabilis brongkos 32, A. variabilis brongkos 5 dan A. variabilis Wonorejo. Bahan alam lain yang telah dikenal lama oleh masyarakat Indonesia sebagai obat yaitu arang aktif yang dapat menyerap gas dan racun dalam perut pada kasus diare seperti pembuatan obat sakit perut norit (Sudradjat & Pari, 2011). Arang aktif dalam pemanfaatan sebagai adsorben pada kasus keracunan mampu menyerap racun hingga 1000 mg, selain itu juga dapat digunakan untuk menurunkan konsentrasi plasma kolesterol (Worthley, 2002). Kuusisto, Manninen, Vapaatalo, Huttunen, dan Nouvonen (1986) melaporkan pemberian arang aktif kepada penderita hiperkolesterolemia sebanyak 8 g dan tiga kali sehari selama 4 minggu menurunkan total plasma kolesterol sebesar 25% dan kolesterol LDL sebesar 41%. Selain itu, kolesterol HDL meningkat sebesar 8% dan dalam penelitian tersebut juga tidak ditemukan efek samping yang berarti. Formulasi antara glukomanan dan arang aktif diharapkan dapat menghasilkan bahan yang menghasilkan penurunan kolesterol yang lebih tinggi. Arang aktif yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari bahan serbuk gergaji kayu jati dan serabut kelapa. Arang aktif yang
Peran Glukomanan-Arang Aktif sebagai Hipokolesterolemik pada Tikus Sprague Dawley (Agus Malik Ibrahim, Irma Herawati Suparto, Tetty Kemala, & Gustan Pari)
digunakan dalam formulasi glukomanan-arang aktif adalah arang aktif dari serabut kelapa karena memiliki nilai daya serap iod yang lebih tinggi dibandingkan arang aktif serbuk gergaji kayu jati. Secara genetik beberapa sifat khas kayu jati telah dikenal terutama porositasnya (Yunianti, 2012). Keuntungan dari serat alami seperti serabut kelapa muncul dari keterbaruannya, biaya yang rendah, ketersediaannya yang melimpah dan tingginya kekuatan dan kekakuan, ketika dibandingkan dengan serat sintetis, disamping itu tidak ada bahaya kesehatan dari penggunaan serat selulosa alami (Khan & Alam, 2012). Tulisan ini mempelajari identifikasi dan formulasi serta uji in vivo suplemen yang berbahan dasar glukomanan dan arang aktif untuk menurunkan kadar kolesterol pada hewan uji tikus Sprague Dawley dewasa jantan. Hewan percobaan diperlukan untuk pengamatan dan pengkajian seluruh reaksi dan interaksi bahan uji yang diberikan, serta dampak yang dihasilkan secara utuh dan mendalam. Kelayakan penggunaan hewan percobaan pada penelitian dikaji dengan membandingkan risiko yang dialami hewan percobaan dengan manfaat yang akan diperoleh untuk manusia (Ridwan, 2013). Penggunaan hewan uji dan seluruh prosedur yang dilakukan terhadap hewan uji telah mendapatkan persetujuan dari Komisi Etik Hewan IPB. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi nyata dalam mengatasi penyakit kardiovaskular serta bermanfaat bagi semua kalangan, mulai dari kalangan akademisi hingga masyarakat luas untuk mengembangkan potensi yang dimiliki tumbuhan Amorphophallus, arang aktif serbuk gergaji kayu jati dan arang aktif serabut kelapa. II. BAHAN DAN METODE A. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan antara lain tepung Amorphophallus oncophyllus, etanol (konsentrasi 40%, 60%, dan 80%), serbuk gergaji kayu jati, serabut kelapa dan pakan standar serta pakan tinggi lemak untuk tikus. Hewan laboratorium tikus Sprague Dawley berasal dari Pusat Studi Biofarmaka IPB.
Alat yang digunakan antara lain prosesor ultrasonik, pengaduk magnetik, oven, tungku, spektrofotometri infra merah (FTIR) merek Bruker, Scanning Electron Microscope (SEM) merek Zeiss, spektrometri massa kromatografi gas pirolisis (Py-GCMS) merek Shimadzu tipe GCMS-QP2010, difraktometer sinar-X (XRD) merek Shimadzu dan kandang pemeliharaan tikus Sprague Dawley. B. Isolasi dan Pencirian Glukomanan Tepung Amorphophallus oncophyllus 18,75 g ditimbang dan dimasukkan ke dalam gelas piala 500 mL. Etanol 40% ditambahkan sebanyak 150 mL ke dalam gelas piala. Perlakuan ultrasonik dilakukan dengan frekuensi 20 kHz dan amplitudo 40% selama 35 menit, yang dibantu juga dengan pengadukan meng gunakan pengaduk magnetik 400 rpm. Hasil ultrasonik disaring untuk pemisahan endapan dan filtrat. Perlakuan ultrasonik diulangi kembali menggunakan pelarut etanol 60%, selanjutnya disaring untuk pemisahan endapan dan filtrat. Perlakuan ultrasonik dilakukan kembali menggunakan pelarut etanol 80%, selanjutnya disaring untuk pemisahan endapan dan filtrat. Campuran disaring dan endapan dikeringkan o dengan oven listrik suhu 40 C selama 24 jam dan tepung Amor phophallus hasil pemurnian diidentifikasi. Tepung Amorphophallus, glukomanan hasil isolasi, tepung standar glukomanan dan hasil formulasi pakan dianalisis menggunakan spektrofotometri infra merah pada bilangan -1 -1 gelombang 600 cm sampai 4000 cm . Analisis menggunakan spektrometri massa kromatografi gas pirolisis, sampel yang diambil dimasukkan ke dalam ruang kuarsa dalam unit pirolisis yang kemudian dipanaskan dalam lingkungan o bebas oksigen pada suhu 400 C. Senyawasenyawa diidentifikasi berdasarkan massa spektranya, dengan membandingkan waktu retensi dari puncak-puncak dan dengan interpretasi pola fragmentasi spektrometri massa. C. Pembuatan dan Pencirian Arang Aktif Arang aktif dibuat dari serbuk gergaji kayu jati dan serabut kelapa. Arang aktif dibuat dalam
361
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 4, Desember 2016: 359-371
suatu tungku yang terbuat dari baja tahan karat yang dilengkapi dengan pemanas listrik dan termokopel. Proses pengarangan dilakukan pada temperatur 850oC. Proses aktivasi dilakukan dengan mengalirkan uap air selama 45 menit dan suhu 800oC untuk arang serbuk gergaji kayu jati, serta 90 menit dan suhu 750oC untuk arang serabut kelapa. Perbedaan waktu dan suhu aktivasi antara arang serbuk gergaji kayu jati dan arang serabut kelapa berdasarkan percobaan pendahuluan yang dihasilkan arang aktif dengan rendemen terbanyak dan daya serap iod yang tertinggi. Arang aktif yang dihasilkan selanjutnya diidentifikasi dan digunakan untuk formulasi glukomanan-arang aktif. Pencirian arang aktif dilakukan dengan menggunakan instrumen Scanning Electron Microscope (SEM) untuk menganalisis topografi permukaan dan derajat kristalinitas dianalisis menggunakan difraktometer sinar-X (XRD). Derajat kristalinitas (X) arang aktif ditentukan dengan rumus: X
Bagian Kristalin x 100 % ........ (1) Bagian Kristalin + Bagian Amorf
D. Formulasi Pakan Proses formulasi dilakukan menggunakan alat milling, dan dilakukan pencetakan hasil formulasi menjadi bentuk pellet. Dosis glukomanan untuk penanganan kolesterol tinggi bagi manusia dewasa adalah 3,9 g per hari (Sood et al., 2008). Dosis arang aktif untuk penanganan kontaminasi gastrointestinal adalah 0,5 sampai 1 g/kg bobot tubuh (Krenzelok & Vale, 2004). Dosis bagi hewan uji disesuaikan dengan bobot tubuh. Pembuatan campuran dilakukan dengan mencampurkan pakan standar Sprague Dawley, serbuk kuning telur dan glukomanan serta arang aktif sesuai perhitungan dosis. Dosis maksimum glukomanan Bobot tubuh rata-rata orang dewasa 3, 9 g = 60 kg = 0, 065 g/kg bobot tubuh
Dosis glukomanan =
Dosis glukomanan untuk tikus = Dosis x Bobot tubuh tikus rata-rata (kg) = 0,065 g/kg x 0,120 kg = 0,0078 g = 7,8 mg/tikus/hari
362
Dosis arang aktif untuk tikus = Dosis x Bobot tubuh tikus rata-rata (kg) = 1 g/kg x 0,120 kg = 0,120 g = 120 mg/tikus/hari E. Hewan Uji Penggunaan hewan uji dan seluruh prosedur yang dilakukan terhadap hewan uji telah mendapatkan persetujuan dari Komisi Etik Hewan IPB. Hewan uji yang digunakan pada penelitian ini adalah tikus Sprague Dawley dewasa jantan berumur delapan minggu. Aklimatisasi selama satu minggu dilakukan terlebih dahulu agar tikus Sprague Dawley menjadi terbiasa dengan lingkungan tempat perlakuan. Selanjutnya dilakukan penggemukan dengan pemberian diet tinggi lemak yang dilakukan selama satu minggu untuk memberikan efek hiperkolesterolemia, dengan ditambahkan propiltiourasil (PTU) 0,01% untuk menekan kecepatan metabolisme basalnya diberikan secara ad libitum. Tahap selanjutnya pemberian pakan perlakuan selama lima minggu secara oral. Jumlah hewan uji dari tiap kelompok perlakuan dihitung menggunakan rumus Federer (Federer, 1991). Total hewan yang digunakan 35 ekor dan dibagikan ke dalam 7 kelompok perlakuan (n = 5 ekor) secara acak berdasarkan kolesterol darah sebelum perlakuan. Pengelompokannya yaitu, 1) diet tinggi lemak (DTL) dan glukomanan (kelompok G), 2) DTL dan arang aktif serbuk gergaji kayu jati (kelompok AA (KJ)), 3) DTL dan arang aktif serabut kelapa (kelompok AA (SK)), 4) DTL dan formulasi glukomanan-arang aktif dosis 1:1 (kelompok G-AA (SK) 1:1), 5) DTL dan formulasi glukomanan-arang aktif dosis 2:1 (kelompok G-AA (SK) 2:1), 6) DTL dan formulasi glukomanan-arang aktif dosis 1:2 (kelompok G-AA (SK) 1:2), dan 7) kelompok terakhir adalah kontrol (DTL). Setelah 5 minggu perlakuan, hewan disedasi dengan ketamin HCl 80 mg/kg bobot tubuh dan xilazin 10 mg/kg bobot tubuh secara intraperitoneal untuk pengambilan darah dari intrakardial. Darah tersebut digunakan untuk pemeriksaan kolesterol serum dengan menggunakan kit kolesterol metode CHOD-PAP Enzymatic Colorimeter Test for Cholesterol with lipid Clearing Factor (Prabodh, Samatha, & Venkateswarlu, 2012).
Peran Glukomanan-Arang Aktif sebagai Hipokolesterolemik pada Tikus Sprague Dawley (Agus Malik Ibrahim, Irma Herawati Suparto, Tetty Kemala, & Gustan Pari) -1
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Isolasi dan Pencirian Glukomanan. Tepung Amorphophallus dan glukomanan hasil isolasi dianalisis menggunakan spektrofotometri infra merah yang bertujuan mendeteksi keberadaan gugus-gugus fungsi pada tepung Amorphopallus sebelum diisolasi dan hasil isolasi, kemudian dibandingkan dengan tepung glukomanan standar. Gambar 1 menunjukkan hasil analisis spektrofotometri infra merah yang dilakukan pada bilangan gelombang 400 sampai
4000 cm . Berdasarkan ketiga spektrum spektrofotometri infra merah pada Gambar 1, dapat diketahui bahwa serapan pada bilangan gelombang 3500 sampai 4000 cm-1 yang ada pada tepung Amorphophallus awal telah hilang pada tepung glukomanan hasil isolasi, selain itu terjadi pemisahan puncak yang lebih baik pada bilangan gelombang 400 sampai 1000 cm-1, sehingga lebih mendekatkan bentuk spektr um tepung glukomanan hasil isolasi dengan tepung glukomanan standar.
C-H
C-H
C=O C-O-C
C-O
O-H
(b)
C-H
C-H
C-O-C C=O
C-O
O-H
(c)
C-H
C-H
C=O C-O-C
C-O
O-H
Gambar 1. Spektrogram dari (a) tepung Amorphophallus sebelum isolasi, (b) tepung glukomanan hasil isolasi, dan (c) tepung glukomanan standar Figure 1. (a) Amorphophallus flour before isolation, (b) glucomannan isolate, and (c) glucomannan standard flour 363
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 4, Desember 2016: 359-371
Tabel 1. Hasil analisis Py-GCMS Table 1. Result of Py-GCMS analysis Senyawa (Compound) 2-furan metanol furfuril alcohol 1,6-anhidro-beta-D-glukopiranosa (levoglukosan) 2(5H)-furanon 2-furan metanol furfuril alcohol Metil-2-furoat Persentase Total
Konsentrasi senyawa, % relatif luas area (Compound concentration, % relative area) TAA
TGI
TSG
3,42 2,82 1,74 0,19 8,17
5,08 3,21 3,13 1,24 1,58 14,24
5,41 8,58 0,81 0,72 15,52
Keterangan (Remarks): TAA (tepung Amorphophallus awal), TGI (tepung glukomanan hasil isolasi), TSG (tepung standar glukomanan).
Hasil analisis sejalan dengan penelitian Xu et al. (2008) yang menunjukkan bahwa karakteristik utama glukomanan adalah munculnya puncak pada daerah 3400 cm-1 (regangan O–H), 2887 cm-1 (regangan C–H), 1736 cm-1 (regangan C=O), dan 1092 cm-1 (regangan C–O). Korkiatithaweechai, Umsarika, Praphairaksit, dan Muangsin (2011) meng emukakan bahwa pada spektr um glukomanan, serapan pada daerah 1723 cm−1 berasal dari bagian karbonil (C=O) dari gugus asetil. Unit manosa dan glukosa dari glukomanan ditandai munculnya puncak vibrasi tekuk C-H dari β piranosa. Kehadiran ikatan β-1,4 glikosidik dan β-1,4 manosidik ditandai dengan munculnya puncak regangan C-O-C (Widjanarko, Nugroho, & Estiasih, 2010). Secara fisik tepung Amorphophallus hasil isolasi memiliki tekstur lebih halus dan tampak adanya perubahan warna ke arah putih dibandingkan kondisi awalnya. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian Kimura, Sugahara, Fukuya, dan Goro (2001) bahwa tepung Amorphophallus yang diultrasonikasi memiliki derajat putih dan kadar serat yang lebih tinggi, serta struktur permukaan yang lebih jelas pada analisis menggunakan SEM. Widjanarko, Sutrisno, dan Faridah (2011) melaporkan bahwa isolasi glukomanan menggunakan metode ultrasonik menghasilkan jumlah rendemen dan nilai viskositas tepung glukomanan yang lebih tinggi dibandingkan metode maserasi. Glukomanan merupakan suatu polisakarida yang dapat tersusun dari banyak senyawa, dan pada analisis Py-GCMS senyawa
364
polisakarida terdeteksi dalam bentuk senyawasenyawa yang lebih sederhana atau senyawa turunan dari polisakarida tersebut. Hasil analisis Py-GCMS disajikan pada Tabel 1. Terdapat perbedaan persentase konsentrasi senyawa antara ketiga sampel yang dianalisis, tetapi tampak bahwa tepung glukomanan hasil isolasi memiliki konsentrasi yang lebih besar bila dibandingkan dengan tepung Amorphophallus awal, hal ini menunjukkan bahwa proses isolasi berhasil menghilangkan senyawa-senyawa selain senyawa turunan gula, sehingga konsentasi senyawa turunan gula hasil isolasi meningkat. Jika dibandingkan antara tepung glukomanan hasil isolasi dengan tepung standar glukomanan, maka tampak bahwa tepung standar glukomanan memiliki senyawa 2furan metanol furfuril alkohol dan senyawa 1,6anhidro-beta-D-glukopiranosa (levoglukosan) dengan konsentrasi yang lebih tinggi. B. Pembuatan dan Pencirian Arang Aktif Arang aktif dibuat dengan sebelumnya melakukan variasi terhadap bahan baku, suhu, dan waktu aktivasi. Berdasarkan hasil pengujian daya serap arang aktif dengan metode iodometri, maka dapat ditentukan bahwa arang aktif yang memiliki daya serap terbaik adalah arang aktif serabut kelapa dengan suhu aktivasi 750oC dan waktu aktivasi 90 menit, yang selanjutnya digunakan dalam proses formulasi pakan tikus Sprague Dawley. Daya serap arang aktif sebesar 784,6 mg/g telah memenuhi standar SNI yang dipersyaratkan sebesar 750 mg/g. Besarnya daya serap terhadap
Peran Glukomanan-Arang Aktif sebagai Hipokolesterolemik pada Tikus Sprague Dawley (Agus Malik Ibrahim, Irma Herawati Suparto, Tetty Kemala, & Gustan Pari)
iod memberikan petunjuk terhadap banyak dan besarnya diameter pori arang aktif yang dapat dimasuki oleh molekul yang ukurannya tidak lebih dari 10 Angstrom (Pari & Sailah, 2000). Hasil analisis daya serap arang aktif ditampilkan pada Tabel 2. Analisis dengan difraktometer sinar-X membandingkan derajat kristalinitas antara arang aktif serbuk gergaji kayu jati dan arang aktif serabut kelapa. Perbandingan derajat kristalinitas dan jarak antar lapisan aromatik ditunjukkan pada Tabel 3. Perbedaan derajat kristalinitas dapat disebabkan dari perbedaan jenis bahan, perbedaan suhu aktivasi dan waktu aktivasi. Selama proses aktivasi arang, terdapat interaksi antar lapisan heksagonal dan terjadi penurunan derajat kristalinitas (Lu & Chung, 2001). Penurunan derajat kristalinitas meningkatkan daya jerap arang aktif (Pari, Sofyan, Syafii, & Buchari, 2004). Tabel 3 menunjukkan bahwa derajat kristalinitas arang aktif serabut kelapa lebih tinggi dibandingkan arang aktif kayu jati. Hal tersebut menunjukkan bahwa arang aktif serbuk gergaji kayu jati memiliki bentuk yang lebih amorf. Semakin tinggi suhu dan semakin lama waktu aktivasi, maka derajat kristalinitas semakin rendah, yang artinya
semakin banyaknya bagian amorf pada arang aktif. Tetapi jika suhu aktivasi terlalu tinggi dan waktu aktivasi terlalu lama, maka dapat menyebabkan sebagian besar bahan menjadi abu, sedangkan rendemen arang yang dihasilkan hanya sedikit. Difraktogram hasil analisis difraktometer sinar-X ditunjukkan Gambar 2. Hasil analisis difraktometer sinar-X juga menunjukkan perbedaan tinggi lapisan aromatik (Lc), lebar lapisan aromatik (La) dan jumlah lapisan (N) antara arang aktif serbuk gergaji kayu jati dan arang aktif serabut kelapa. Nilai Lc, La, dan N disajikan pada Tabel 4. Arang aktif serabut kelapa memiliki nilai Lc, La, dan N yang lebih tinggi dibandingkan arang aktif serbuk gergaji kayu jati. Nilai Lc dan La yang lebih tinggi menggambarkan ikatan antar atom karbon lebih reng g ang. Hasil analisis difraktometer sinar-X didukung juga oleh data hasil analisis Scanning Electron Microscope (SEM) yang memperlihatkan bentuk pori dari kedua jenis arang aktif. Bentuk pori arang aktif serbuk gergaji kayu jati berbentuk acak, sedangkan bentuk pori arang aktif serabut kelapa memiliki keteraturan yang lebih baik dengan pori arang berbentuk pipa (tube). Hasil analisis SEM ditunjukkan pada Gambar 3.
Tabel 2. Hasil analisis daya serap arang aktif Table 2. Results of analysis of activated charcoal absorption Parameter Jenis (Type)
AA serbuk kayu jati AA serabut kelapa
Suhu (Temperature, oC) 800 750
Waktu (menit) (Time, minute)
Rendemen (Yield, %)
Daya Serap Iod (Iodine Absorption, mg/g)
45 90
42,0 34,0
752,7 784,6
Keterangan (Remarks): AA (Arang aktif, Activated charcoal)
Tabel 3. Derajat kristalinitas dan jarak antar lapisan aromatik Table 3. Crystallinity degree and distance between layers of aromatic Jenis (Type) AA serbuk kayu jati AA serabut kelapa
Derajat kristalinitas (Degree of crystallinity, %) 32,82 40,34
Jarak antar lapisan aromatic (Distance between layers of aromatic) Ɵ d (nm) Ɵ d (nm) (23,97) 0,37 (43,99) 0,20 (25,12) 0,35 (43,23) 0,20
Keterangan (Remarks): AA (Arang aktif, Activated charcoal)
365
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 4, Desember 2016: 359-371
Gambar 2. Perbandingan derajat kristalinitas; (a) Arang aktif serbuk gergaji kayu jati daya serap iod 752,7 mg/g, (b) Arang aktif serabut kelapa daya serap iod 784,6 mg/g Figure 2. Crystallinity degree comparation; (a) Teak sawdust activated charcoal with iodine absorption 752.7 mg/g, (b) Coconut fiber activated charcoal with iodine absorption 784.6 mg/g Tabel 4. Tinggi (Lc), lebar (La) dan jumlah (N) lapisan aromatik arang aktif serbuk gergaji kayu jati dan serabut kelapa Table 4. Height (Lc), width (La) and count (N) aromatic layers of coconut fiber activated charcoal and teak sawdust activated charcoal Jenis (Type) AA serbuk kayu jati AA serabut kelapa
Lc
N
La
1,07 1,65
2,88 4,66
3,99 6,43
Keterangan (Remarks): AA (Arang aktif, Activated charcoal)
(a)
(b)
Gambar 3. Hasil uji SEM arang aktif; (a) arang aktif serbuk kayu jati (perbesaran 1000 kali), (b) arang aktif serabut kelapa (perbesaran 1000 kali) Figure 3. SEM analysis of activated charcoal; (a) teak sawdust activated charcoal (1000 times magnification), (b) coconut fiber activated charcoal (1000 times magnification) 366
Peran Glukomanan-Arang Aktif sebagai Hipokolesterolemik pada Tikus Sprague Dawley (Agus Malik Ibrahim, Irma Herawati Suparto, Tetty Kemala, & Gustan Pari)
C. Analisis Hasil Formulasi Proses formulasi pakan dilakukan dengan pengaturan komposisi bahan-bahan penyusun pakan antara lain, pakan standar tikus Sprague Dawley yang ditambah serbuk kuning telur dan glukomanan atau arang aktif sesuai dengan variasi dosis perlakuan. Analisis proksimat dan analisis gugus fungsi dengan spektrofotometri infra
merah dilakukan terhadap pakan formulasi yang telah dibuat. Hasil analisis proksimat menunjukkan perbedaan kadar nutrien dari masing-masing formulasi pakan. Hasil analisis proksimat menunjukkan perbedaan kadar air, kadar abu, dan kadar nutrien dari keenam jenis pakan. Pakan yang ditambahkan arang aktif rata-rata memiliki kadar abu dan serat kasar yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan
Tabel 5. Hasil analisis proksimat pakan formulasi Table 5. The proximate analysis of feed formulations result Pakan (Feed) Kontrol positif TL DTL + G DTL + AA (KJ) DTL + AA (SK) DTL + G + AA 1:1 DTL + G + AA 2:1 DTL + G + AA 1:2
Air (Water) 13,5 11,8 13,0 13,5 13,7 14,4 13,5
Abu (Ask) 13,3 12,8 13,5 13,0 14,1 14,1 14,9
Lemak (Fat) 16,5 16,6 15,5 15,5 16,8 16,8 16,8
Kadar (%) Protein (Protein) 29,1 29,1 29,4 29,9 29,9 29,2 28,5
Serat Kasar (Raw Fiber) 5,9 5,8 6,7 6,2 6,8 6,8 6,8
Karbohidrat (Carbohydrate) 21,9 23,7 22,0 22,0 18,7 18,7 19,5
Keterangan (Remarks): DTL (diet tinggi lemak, high fat diet), G (tepung glukomanan, glucomanan flour), AA (arang aktif serabut kelapa, activated coconut fiber charcoal)
Keterangan (Remarks): DTL (diet tinggi lemak, high fat diet), G (tepung glukomanan, glucomanan flour), AA (arang aktif, activated coconut), SK (serabut kelapa, coconut fiber), KJ (serbuk kayu jati, teak saudust).
Gambar 4. Spektrum FTIR pakan formulasi Figure 4. FTIR spectrum formulation feed 367
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 4, Desember 2016: 359-371
jenis pakan lain yang tidak menggunakan arang aktif. Kadar serat kasar yang tinggi berdampak pada karbohidrat yang dapat tercerna menjadi lebih kecil bila dibandingkan jenis pakan lain. Penambahan kuning telur bertujuan untuk menghindari faktor penambahan lemak lain selain dari pakan serta untuk mengukur seberapa besar pengaruh glukomanan dan arang aktif dapat meminimalisir terbentuknya kolesterol yang berasal dari metabolisme nutrien terutama lemak. Hasil analisis gugus fungsi pada pakan formulasi dengan instrumen spektrofotometri infra merah tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara spektrum pakan formulasi yang satu dengan yang lain. Gugus fungsi muncul pada bilangan gelombang yang sama dan besar intensitasnya juga sama. Spektrum spektrofotometri infra merah yang tidak jauh berbeda juga menunjukkan bahwa pada proses pencampuran tidak terdapat reaksi secara kimiawi yang mengubah senyawa-senyawa nutrien penyusun pakan menjadi senyawa baru. Hal ini disebabkan proses pencampuran tersebut merupakan jenis pencampuran komposit, yang hanya mencampurkan beberapa bahan penyusun pakan berupa padatan dengan proses mekanis tanpa penambahan pereaksi atau pengaturan kondisi lain seperti perubahan suhu dan tekanan. D. Kolesterol Total Penurunan kadar kolesterol total terjadi pada lima kelompok perlakuan dan juga kelompok
kontrol. Perbandingan kadar kolesterol sebelum perlakuan dan setelah perlakuan ditampilkan pada Gambar 5. Kadar kolesterol total yang turun terjadi pada kelompok kontrol, AA (KJ), AA (SK), G-AA (SK) 1:1, G-AA (SK) 2:1, dan G-AA (SK) 2:1, sedangkan kadar kolesterol akhir kelompok G meningkat dibandingkan kadar kolesterol awalnya. Penurunan kadar kolesterol tertinggi terjadi pada kelompok G-AA (SK) 1:1, dengan rataan penurunan 42,4 mg/dL atau 37,4% dibandingkan kadar kolesterol awal. Kelompok kontrol mengalami rataan penurunan sebesar 41,8 mg/dL atau 32,2% dibandingkan kadar kolesterol awal. Gallaher, Munion, Hesslink, dan Wise (2000) menyampaikan dugaan mekanisme penurunan kolesterol oleh glukomanan bahwa efek hipokolesterolemik glukomanan dapat dimediasi oleh fermentabilitas, viskositas, atau gabungan keduanya. Kiriyama, Enishi, dan Yura (1974) menyatakan bahwa penghambatan penyerapan kolesterol pada tikus terjadi dalam jejunum, dan penyerapan asam empedu terjadi dalam ileum. Perbedaan penurunan kadar kolesterol bergantung pada jenis pakan yang diberikan dan sistem metabolisme dari masing-masing hewan uji. Tidak maksimalnya asupan larutan propiltiourasil 0,01% yang dicampurkan pada air minum juga menjadi penyebab lain perbedaan kadar kolesterol total. Propiltiourasil (PTU) berfungsi menekan metabolisme basal hewan uji, sehingga dapat meningkatkan deposit lemak dan
Gambar 5. Hasil analisis kadar kolesterol total Figure 5. Result of the analysis of total cholesterol 368
Peran Glukomanan-Arang Aktif sebagai Hipokolesterolemik pada Tikus Sprague Dawley (Agus Malik Ibrahim, Irma Herawati Suparto, Tetty Kemala, & Gustan Pari)
37,4%
32,2%
28,5%
40 30 20
17,4%
-20
29,4
41,8 16,9
0,5%
G
0 Kontrol
30% 20%
42,4
10
-10
40%
-10,3
0,4
AA (KJ)
4,2% 4,2
AA (SK) G-AA (1:1)G-AA (2:1)G-AA (1:2)
-13,0%
10%
Persentase
Penurunan Kolesterol (mg/dL)
50
0% -10% -20%
Rata-rata Penurunan
Gambar 6. Perbandingan penurunan kadar kolesterol total Figure 6. Reduction comparison of total cholesterol levels kolesterol dalam tubuh hewan uji (Thrift et al., 1999). Oleh sebab itu jika PTU dapat maksimal terkonsumsi maka kadar kolesterol awal dapat mendekati kondisi hiperkolesterolemia, sehingga perbedaan kadar kolesterol awal dan akhir diharapkan lebih jelas terlihat. Grafik yang ditampilkan pada Gambar 7 menunjukkan bahwa kadar kolesterol awal kelompok G dan AA tidak mampu melampaui 100 mg/dL, sehingga kadar kolesterol akhir tidak menunjukkan penurunan berarti dan bahkan meningkat pada kelompok G. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Pencirian glukomanan hasil isolasi menggunakan spektrofotometri infra merah didapatkan hasil gugus fungsi yang teridentifikasi sama dengan gugus fungsi tepung glukomanan standar. Pencirian arang aktif menggunakan difraktometer sinar-X didapatkan hasil derajat kristalinitas arang aktif serbuk kayu jati 32,8% dan arang aktif serabut kelapa 40,4%. Formulasi glukomananarang aktif serabut kelapa dengan dosis 1:1 memiliki potensi terbaik untuk menurunkan kadar total kolesterol tikus Sprague Dawley, dengan persentase penurunan sebesar 37,4%.
mempengaruhi turunnya kadar kolesterol tikus tikus Sprague Dawley setelah pemberian pakan formulasi glukomanan-arang aktif dosis 1:1. DAFTAR PUSTAKA Dachriyanus, Katrin, D.O., Oktarina, R., Ernas, O., Suhatri., & Mukhtar, H.M. (2007). Uji efek Α-mang ostin terhadap kadar kolesterol total, trigliserida, kolesterol HDL, dan kolestrol LDL darah mencit putih jantan serta penentuan lethal dosis 50 (Ld50). Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi, 12(2), 64-72. Federer, W., (1991). Statistics and society: data collection and interpretation (2nd ed.) New York: Marcel Dekker. Gallaher, C.M., Munion, J., Hesslink, R., & Wise, J. (2000). Cholesterol reduction by glucomannan and chitosan is mediated by changes in cholesterol absorption and bile acid and fat excretion in rats. Journal Nutrition, 130, 2753–2759.
B. Saran
Harijati, N., Widyarti, S., & Azrianingsih, R. (2011). Effect of dietary Amorphophallus sp. from East Java on LDL-C rats (Rattus novergicus Wistar strain). Journal of Tropical Life Science, 1(2), 50-54.
Diperlukan adanya penelitian lanjutan melalui pendekatan fisiologi mengenai faktor-faktor yang
Kaufman, R.C. (1989). Activated charcoaluniversal antidote and detoxifier. Journal of 369
Penelitian Hasil Hutan Vol. 34 No. 4, Desember 2016: 359-371
The Megahealth Society, 5(3), 31-38. Khan, G.M.A, & Alam, M.S. (2012). Thermal characterization of chemically treated coconut husk fibre. Indian Journal of Fibre & Textile Research, 37(3), 20-26. Kimura, T., Sugahara, T., Fukuya, Y., & Goro, M. (2001). Effects of ultrasonication on the physicochemical properties and sensory characteristics of konnyaku. Journal of Home Economics Japan, 52, 227-234. Kiriyama, S., Enishi, A., & Yura, K. (1974). Inhibitory effect of konjac mannan on bile acid transport in the everted sacs from Rat Ileum. Journal Nutrition, 104, 69-78. Ko r k i a t i t h awe e ch a i , S. , U m s a r i k a , P. , Praphairaksit, N., & Muangsin, N. (2011). Controlled release of diclofenac from matrix polymer of chitosan and oxidized konjac glucomannan. Marine Drugs, 9, 16491663, doi:10.3390/ md9091649. Krenzelok, E.P., & Vale, J.A. (2004). Single-dose activated charcoal. Clinical Toxicology, 43, 61–87. doi: 10.1081/CLT-200051867. Kuusisto, P., Manninen, V., Vapaatalo, H., Huttunen, J., & Neuvonen, P. (1986). Effect of activated charcoal on hypercholesterolemia. Lancet, 16, 366-67. Lu, W., & Chung, D.D.L. (2001). Preparation of conductive carbons with high surface area. Carbon, 39, 39-44.
Prabodh, S.V., Samatha, P., & Venkateswarlu, M. (2012). Lipid profile levels in type 2 diabetes mellitus from tribal population of Adilabad in Andhra Pradesh, India. Journal of Clinical and Diagnostic Research, 6(4), 590592. Richmond, W. (1973). Preparation and properties of a cholesterol oxidase from Nocardia sp. and its application to the enzymatic assay of total cholesterol in serum. Clinical Chemistry, 19(12), 1350-1356. Ridwan, E. (2013). Etika pemanfaatan hewan percobaan dalam penelitian kesehatan. Journal of the Indonesian Medical Association, 63(3), 112-116. Sood, N., Baker, W.L., & Coleman, C.I. (2008). Effect of glucomannan on plasma lipid and glucose concentrations, body weight, and blood pressure: Systematic review and meta-analysis. The American Journal of Clinical Nutrition, 2008(88), 1167–1175. Sudradjat, R & Pari, G. (2011). Arang aktif–teknologi pengolahan dan masa depannya. Jakar ta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. The World Health Organization, [WHO]. (2012). Cardiovascular diseases (CVDs), Diakses dari http://www.who.int/mediacentre/ factsheets/fs317, pada 16 Oktober 2012.
Matuszewska, A. (2004). Some aspects of the use of Py–GCMS to investig ate the composition of the aromatic fraction of hard coal pyrolysates. Acta Chromatographica, 14, 215-230.
Thrift, T.A., Bernal, A., Lewis, A.W., Neuendorff, D.A., Willard, C.C., & Randel, R.D. (1999). Effects of induced hypothyroidism on weight gains, lactation and reproductive performance of primiparous Brahman cows. Journal of Animal Science, 77, 1844–1850.
Pari, G. & Sailah, I. (2000). Pembuatan arang aktif dari sabut kelapa sawit dengan bahan pengaktif NH4HCO3 dan (NH4)2CO3 dosis rendah. Buletin Penelitian Hasil Hutan, 19(4), 231-244.
Widjanarko, S.B., Nugroho, A., & Estiasih, T. (2010). Functional interaction components of protein isolates and glucomannan in food bars by FTIR and SEM studies. African Journal of Food Science, 5(1), 12–21.
Pari, G., Sofyan, K., Syafii, W., & Buchari. (2004). Arang aktif sebagai bahan penangkap formaldehida pada kayu lapis. Jurnal Teknik Industri Pertanian, 14(1), 17-23.
Widjanarko, S.B, Sutrisno, A., & Faridah, A. (2011). Efek hidrogen peroksida terhadap sifat fisiko-kimia te pung porang (Amorphophallus oncophyllus) dengan metode
370
Peran Glukomanan-Arang Aktif sebagai Hipokolesterolemik pada Tikus Sprague Dawley (Agus Malik Ibrahim, Irma Herawati Suparto, Tetty Kemala, & Gustan Pari)
maserasi dan ultrasonik. Jurnal Teknologi Pertanian, 12(3), 143-152. Winarno, F.G. (2008). Kimia pangan dan gizi. Bogor: M-Brio Press. Worthley, L.I.G. (2002). Clinical toxicology: Part I. Diagnosis and management of common drug overdosage. Critical Care and Resuscitation, 2002(4), 192-215.
Xu, Z., Yang, Y., Jiang, Y., Sun, Y., Shen, Y., & Pa n g , J. ( 2 0 0 8 ) . S y n t h e s i s a n d characterization of konjac glucomannangraft-polyacrylamide via γ-irradiation. Molecules, 2008(13), 490-500. Yunianti, A.D. (2012). Porositas kayu jati klon Cepu dan Madiun umur 7 tahun. Perennial, 8(2), 80-83.
371
JURNAL PENELITIAN HASIL HUTAN ISI VOLUME 34 Nomor 1 Djeni Hendra, Sri Komarayati & Heru S. Wibisono Pembuatan Bioetanol dari Nira Nipah Dengan Alat Hasil Rekayasa Tipe P3HH-1 ............................... 1 - 10 Djeni Hendra, Santiyo Wibowo, Novitri Hastuti, Heru S. Wibisono Karakteristik Biodiesel Biji Bintaro (Cerbera manghas L.) dengan Proses Modifikasi ............................. 11 - 21 Ika Nugraha Darmastuti, Gunawan Santosa, & Juang R. Matangaran Penyempurnaan Teknik Penyadapan Resin Pinus dengan Metode Kuakan ........................................... 23 - 32 Jasni, Gustan Pari & Titi Kalima Komposisi Kimia dan Ketahanan 12 Jenis Rotan dari Papua Terhadap Bubuk Kayu Kering dan Rayap Tanah .................................................................................................................................................................. 33 - 43 M. I. Iskandar & Achmad Supriadi Pengaruh Kadar Ekstender Tepung Biji Alpukat Terhadap Mutu Kayu Lapis Damar (Agathis alba Foxw.) ................................................................................................................................................................ 45 - 50 Mohammad Muslich & Sri Rulliaty Ketahanan 45 Jenis Kayu Indonesia Terhadap Rayap Kayu Kering dan Rayap Tanah .......................... 51- 59 Santiyo Wibowo Karakteristik Bio-Oil dari Limbah Industri Hasil Hutan Menggunakan Pirolisis Cepat ...................... 61 - 76 Soenarno & Wesman Endom Faktor Konversi Limbah Pemanenan Kayu Hutan Tanaman dan Rendemen Pengolahan Serpih Kayu .............................................................................................................................................................................. 77 - 88 Nomor 2 Adi Santoso, I.M. Sulastiningsih, Gustan Pari, & Jasni Pemanfaatan Ekstrak Kayu Merbau untuk Perekatan Produk Laminasi Bambu ................................ 89 - 100 Gunawan Pasaribu, Gusmailina, & R. Esa Pangersa Gusti Kualitas Lilin Aromaterapi dan Sabun Berbahan Minyak Dryobalanops aromatic ............................... 101 - 110 Gustan Pari, Adi Santoso, Djeni Hendra, Buchari, Akhirudin Maddu, Mamat Rachmat, Muji Harsini, Bunga Ayu Safitri, Teddi Heriyanto, & Saptadi Darmawan Kemungkinan Penggunaan Nano Karbon dari Lignoselulosa sebagai Biosensor ........................... 111 - 126 Ina Winarni, Sri Komarayati, & T. Beuna Bardant Pembuatan Bioetanol Secara Enzimatis dari Limbah Batang Sawit (Elaeis guineensis) dengan Penambahan Surfaktan .............................................................................................................................. 127 - 135 Mohammad Muslich & Sri Rulliaty Ketahanan 45 Jenis Kayu Indonesia Terhadap Rayap Kayu Kering dan Rayap Tanah .................... 137 - 145 Saefudin & Efrida Basri Potensi Antioksidan dan Sifat Sitotoksis Ekstrak Kulit Kayu Sembilan Jenis Tumbuhan dari Taman Nasional Lore Lindu .................................................................................................................................. 147 - 155 Sihati Suprapti, Djarwanto, & Andianto Daya Tahan Enam Jenis Kayu Asal Papua Terhadap Jamur Perusak .................................................. 157 - 165
373
Nomor 3 I.M. Sulastiningsih, Adi Santoso, & Krisdianto Karakteristik Balok Bambu Lamina Susun Tegak dari Bilah Bambu Andong (Gigantochloa pseudoarundinacea (Steud.) Widjaja) ............................................................................................................ 167 - 177 Jasni Keawetan Alami 57 Jenis Kayu Indonesia dengan Pengujian di Bawah Naungan .......................... 179 - 188 Lisna Efiyanti & Darma Santi Pengaruh Katalis NiO dan NiOMoO Terhadap Perengkahan Minyak Cangkang Biji Jambu Mete ................................................................................................................................................. 189 - 197 Santiyo Wibowo, Gustan Pari, & R. Esa Pangersa Gusti Pemanfaatan Asap Cair Kayu Pinus (Pinus merkusii Jungh. & de Vriese) Sebagai Koagulan Getah Karet ................................................................................................................................................ 199 - 205 Ganis Lukmandaru Hubungan Antara Kadar Ekstraktif dengan Sifat Warna pada Kayu Teras Jati ..................... 207 - 216 Imanuel Berly Delvis Kapelle, Tun Tedja Irawadi, Meika Syahbana Rusli, Djumali Mangunwidjaja, & Zainal Alim Mas'ud Rekayasa Proses Sintesis Piperonal Kulit Lawang (Cinnamomum culilawan Blume) sebagai Prekursor Obat Kanker ................................................................................................................................................ 217- 229 Yeni Aprianis, Denny Irawati, & Sri Nugroho Marsoem Penggunaan Phanerochaete chrysosporium pada Pengolahan Pulp Bio-Semi-Mekanis Kayu Terentang (Campnosperma auriculata Hook.f) .............................................................................................................. 231 - 239 Gunawan Pasaribu, Totok K. Waluyo, Novitri Hastuti, Gustan Pari, & Emma Sahara Pengaruh Penambahan Natrium Bisulfit dan Pencucian Etanol Bertingkat Terhadap Kualitas Tepung Porang (Amorphophallus muelleri Blume) ................................................................................... 241 - 248 Andianto & R. Esa Pangersa Gusti Struktur Anatomi Enam Jenis Kayu Asal Papua .................................................................................. 249 - 260 Nomor 4 Agus Ismanto & Paimin Sukartana Uji Efektivitas Isolat Jamur Entomopatogen Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorokin terhadap Rayap Tanah Pada Pengujian di Laboratorium dan Lapangan ....................................................................... 261 - 268 Adi Santoso, Abdurachman, & Nurwati Hadjib Karakteristik Ektrak Kulit Kayu Mahoni Sebagai Bahan Perekat Kayu ............................................ 269 - 284 Djarwanto & Sihati Suprapti Biokonversi Serbuk Gergaji Kayu Hutan Tanaman Sebagai Media Jamur Pangan Pleurotus spp. .. 285 - 296 Raden Esa Pangersa Gusti & Totok K. Waluyo Lemak Tengkawang Sebagai Bahan Dasar Lipstik ............................................................................... 297 - 307 Gustan Pari, Adi Santoso, Djeni Hendra1 Buchari, Akhirudin Maddu, Mamat Rachmat, Muji Harsini, Teddi Heriyanto,dan Saptadi Darmawan Potensi Struktur Nano Karbon dari Bahan Lignoselulosa Kayu Jati dan Bambu .......................... 309 - 321 Jasni, Gustan Pari & Esti Rini Satiti Komposisi Kimia dan Keawetan Alami 20 Jenis Kayu Indonesia dengan Pengujian di Bawah Naungan ...................................................................................................................................................... 323 - 333
374
Soenarno, Wesman Edom, Zakaria Basari, Dulsalam, Sona Suhartana & Yuniawati Faktor Eksploitasi Hutan di Sub Regional Kalimantan Timur ................................................................ 335 - 348 Sri Komarayati & Heru Wibisono Pengaruh Penggunaan Arang dan Cuka Kayu Terhadap Pertumbuhan Bibit Shorea platyclados Sloot ex Fowx dan Shorea selanica Blume ........................................................................................................... 349 - 357 Agus Malik Ibrahim,Irma Herawati Suparto, Tetty Kemala, & Gustan Pari Peran Glukomanan - Arang Aktif sebagai Hipokolesterolemik pada Tikus Spargue Dawley .............. 359 - 371
375
INDEX PENULIS VOLUME 34 Adi Santoso Agus Ismanto Agus Malik Ibrahim Andianto Djarwanto Djeni Hendra
89, 269 261 359 249 285 1, 11
Jasni Lisna Efiyanti M. I. Iskandar Mohammad Muslich R Esa Pangersa Gusti
Ganis Lukmandaru Gunawan Pasaribu Gustan Pari Ika Nugraha Darmastuti Imanuel Berly Delvis Kapelle I.M. Sulastiningsih Ina Winarni
376
207 101, 241 111, 309 23 217 167 127
Santiyo Wibowo Soenarno Saefudin Sihati Suprapti Sri Komarayati Yeni Aprianis
33, 179, 323 189 45 51, 137 297 61, 199 77, 335 147 157 349 231
INDEX KATA KUNCI VOLUME 34 Aktivitas Andong Antioksidan Amorpophallus Arang Arang Aktif Aromaterapi
167 147 360 349 360 101
Bahan bakar alternatif Bahan bakar nabati Bahan pengeras Bahan organik Balok bambu lamina Bilah bambu susun tegak Biji bintaro Biodiesel Bioenergi Bioethanol Bio-oil Biopulping Biosensor Bipa Bubuk rotan kering
61 1 45 349 167 167 11 11 189 1 61 231 111, 310 249 33
Cangkang biji jambu mete (CNSL) CIE-Lab Cuka kayu
189 207 199, 349
Degumming Derajat putih Diesel Dryobalanops Dua puluh jenis kayu Efek sitotoksis Ekstrak kulit kayu Ekstrak limbah kayu merbau Ekstraksi Ekstraktif Etanol Faktor eksploitasi Faktor konversi Formulasi Gasoline Glukomanan Gubal Hidrolisis Hutan alam Hutan tanaman
11 241 189 101 324 147 147 89 270 207, 324 127, 241 335 77 297 189 241, 360 157 127 335 77
Isolat jamur Isosianat
261 167
Jamur perusak Jamur pleurotus Jumlah dan lebar kuakan
157 285 23
Kalimantan Timur Karbon Katalis Kayu Kayu hutan tanaman Kayu lapis damar Keawetan Keawetan alami Kelas awet Kelumpang Kerusakan Kerusakan pohon Ketahanan Ketapang Keteguhan rekat Kimia Koagulan Komposi Kualitas Kulit kayu mahoni Lama inkubasi Lancet Lateks Lemak tengkawang Lignin Lignoselulosa Lima kelas awet Limbah Limbah kayu Limbah batang sawit Lipstik komersial Luar ruangan bawah naungan Manggis Manii Media kultivasi Metarhizium anisopliae Metode kuakan Minyak Minyak kulit lawang MIP Modifikasi proses
335 310 189 157 285 45 324 179 137 249 179 23 33, 51, 137, 157 249 45 33 199 199 270 231 249 199 297 324 111, 127, 310 179 61 77 127 297 179 249 167 285 261 23 101 217 111 11
377
Nano karbon Natrium bisulfit Nilai peroksida Nira nipah
111 241 147 1
Organoleptik
101
Pala hutan Papan komposit tiga lapis Papua Pemanenan Penyadapan resin pinus Penurunan kolesterol Perekat Perengkahan Perlakuan awal Pertumbuhan diameter Phanerochaete chrysosporium Piperonal Pirolisis cepat Porang Potensio meter Prekursor obat kanker Pupuk Rayap tanah Rayap kayu kering Rekayasa alat Rendemen Rotan
378
249 89 157 77 23 360 89, 270 189 11 349 231 217 61 241 310 217 285 33, 51, 137, 261 51, 137 1 77 33
Sabun Safrol Selulase Selulosa Sengon Serbuk gergaji Serpih kayu Sifat fisik Sifat fisiko-kimia Sifat warna Sintering Sintesis SNI Stimulansia organik Struktur anatomi Sub Region Tapioka Tectona grandis Tepung tepung biji alpukat Teras Terentang Tikus Spargue Dawley Uji lab Uji lapangan Uji organoleptic 45 jenis kayu Indonesia
101 217 127 324 167 285 77 297 199 207 310 217 45 23 249 335 270 207 45 157, 207 231 360 261 261 297 51, 137
PEDOMAN BAGI PENULIS
GUIDELINE FOR AUTHORS
1. Dewan Redaksi Jurnal menerima naskah ilmiah hasil penelitian atau hasil studi dalam bidang keteknikan kehutanan dan pengolahan hasil hutan, yang belum pernah dimuat atau tidak sedang dalam proses untuk dimuat di media lain.
1. Editorial board accept scientific articles related with forest engineering and forest products processing. Manuscript must be genuine, has not been published or being processed for any publication.
2. Dewan Redaksi memiliki wewenang penuh untuk memeriksa dan memperbaiki atau menolak naskah apabila tidak memenuhi persyaratan. Penilaian naskah secara substantif dilakukan oleh Mitra Bestari.
2. Editorial boardis authorized to review the manuscript and possibly discard the manuscript which does not meet scientific journal requirements. Manuscript will be considered and observed by a relevant peer reviewer.
3. Naskah dikirim ke redaksi dalam bentuk soft file dan hard copy ke alamat sekretariat redaksi, yaitu: Jurnal Penelitian Hasil Hutan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Jl. Gunung Batu. 5, Bogor,Indonesia. 16610 e-mail:
[email protected].
3. Manuscript in both hard copy and soft file must be sent to the Journal secretariate address i.e: Journal of Forest Product Research Forest Product Research and Development Centre Jl. Gunung Batu. 5, Bogor, Indonesia. 16610 e-mail:
[email protected].
4. Naskah ditulis di atas kertas ukuran A4, tipe huruf Calibri, font 12 dengan 2 spasi. Pada semua sisi kertas dikosongkan 3,5 cm. Jumlah halaman maksimal 25.
4. Manuscript must be written in A4 paper, font Calibri, size 12, double spaced. All side margins are 3.5 cm. Maximum page number is 25.
5. Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Inggris dengan menggunakan kaidah penulisan ilmiah.
5. Manuscript must be scientifically written in either Bahasa Indonesia or English.
6. Struktur naskah sekurang-kurangnya tersusun sebagai berikut; a. Judul, b. Nama, instansi, dan alamat e-mail penulis, c. Abstrak, d. Kata kunci, e. Pendahuluan, f. Bahan dan Metode, g. Hasil dan Pembahasan, h. Kesimpulan (Kesimpulan dan Saran), i. Ucapan Terima Kasih (jika perlu), j. Daftar Pustaka dan k. Lampiran (jika perlu).
6. Manuscript must be written according to scientific journal structure: a. Title, b. Authors name, office, and e-mail address details, c. Abstract, d. Keywords, e. Introduction, f. Material and Method, g. Result and Discussion, h. Conclusion (Conclusion and Recommendation), i. Acknowledgement (optional), j. References and k. Appendices (optional).
7. Naskah a. Judul, maksimal 2 baris, dalam Bahasa Indonesia dan Inggris, huruf kapital, ukuran font 14, dicetak tebal. b. Nama penulis (tanpa gelar akademis), instansi dan alamat penulis ditulis berurutan dengan ukuran font 12. c. A b s t r a k , d i b u a t d a l a m s a t u p a r a g r a f menggunakan Bahasa Indonesia dan Bahasa lnggris dalam dua bentuk, bentuk pertama maksimal 50 kata dan bentuk kedua maksimal 200 kata. d. Tabel. Judul tabel dan keterangan yang diperlukan ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Inggris dengan jelas dan singkat. Penggunaan tanda koma (,) dan titik (.) di dalam tabel menunjukkan nilai pecahan desimal dan kebulatan seribu disesuaikan dengan format bahasa yang digunakan.
7. Manuscript a. Title, should not exceed two rows, written in Bahasa Indonesia and English, in capital, font size 14, bold. b. Author/s (without academic degree), office and author addresses are written with font size 12. c. Abstract, set in single paragraph Bahasa Indonesia and English in two forms; format-1 maximum 50 words and format-2 maximum 200 words. d. Table caption must be written concisely in both Bahasa Indonesia and English. The use of comma (,) and point (.) must be used in decimal number appropriately according to manuscript language.
e. Gambar: Foto, grafik dan ilustrasi lain yang berupa gambar harus kontras. Setiap gambar diberi nomor, judul dan keterangan yang jelas dalam Bahasa Indonesia danInggris.
e. Figure: Photos and graphs must be prepared in good contrast. Every figure is numbered and captioned clearly in both Bahasa Indonesia and English.
f. Daftar Pustaka; Pengacuan pustaka diutamakan terbitan lima tahun terakhir dan 80% berasal dari sumber acuan primer. Format Daftar Pustaka mengacu pada model “American Psychological Association (APA)” serta mencantumkan kode Digital Object Identifier (DOI) jika diperoleh dari sumber jurnal online.
f. Reference; References cited should be published five years old or less for majority of reference and 80% from primary source. Referencing must meet the American Psychological Association (APA) style. Reference list must be written alphabetical order includes the Digital Object Identifier (DOI) for online sources.
Penyitiran dalam teks Cangkang buah bintaro mengandung lignoselulosa dan sifat seratnya hampir mirip dengan tempurung kelapa (Iman & Handoko, 2011). atau Iman dan Handoko (2011) menyatakan bahwa cangkang buah bintaro mengandung lignoselulosa dan sifat seratnya hampir mirip dengan tempurung kelapa. Artikel yang ditulis oleh 3 - 5 Penulis Di dalam teks seluruh penulis ditulis untuk pertama kali, kemudian ditulis ‘et al.’ Contoh: Arang aktif dapat dibuat dari bahan organik yang dapat dikarbonisasi seperti kulit kenari (Mariez, Torres, Guzman, & Maestri, 2006) Mariez et al. (2006) menyebutkan bahwa bagian cangkang kulit kenari menghasilkan arang aktif kualitas paling baik. Artikel yang ditulis oleh lebih dari 5 penulis Di dalam teks ditulis nama penulis pertama diikuti ‘et al.’ pada kutipan pertama dan selanjutnya contoh: Berbagai pustaka menyebutkan bahwa kandungan zat ekstraktif dalam kayu berkisar 1 - 30%, tergantung beberapa faktor diantaranya kondisi pertumbuhan pohon dan musim pada saat pohon ditebang (Donegan et al., 2007)
Contoh Penulisan Daftar Pustaka 1. Artikel dalam jurnal ilmiah (1 penulis) (Article in scientific journal (1 author) Endom, W. (2013). Produktivitas dan biaya alat hasil rekayasa dalam pengeluaran kayu jati di daerah curam. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 30(1), 63-74. 2. Artikel dalam jurnal ilmiah (2 - 5 penulis) (Article in the scientific journal (2-5 authors) Kissinger, K., Evrizal, A.M.Z., Latifa, K., Darusman, H. & Iskandar, A. (2013). Penapisan senyawa fitokimia dan pengujian antioksidan ekstrak daun pohon merapat (Combretocarpus rotundatus Miq.) dari hutan kerangas. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 31(1), 9-18. Li-bing Z., Mark, P.S., & Sussane, S.R. (2007). A phylogeny of Anisophylleaceae based on six nuclear and plastid loci: Ancient disjuctions and recent dispersal beetween South America, Africa and Asia. Molecular Phylogenetics & Evolution; Sept 2007, 44(3), 1057–1067, doi: 0.1016/jympev. 2007. 03.002 3. Artikel dalam jurnal ilmiah (lebih dari 7 penulis) (Article in the scientific journal up to 7 authors) Pari, G., Vissing, K., Brink, M., Lonbro, S., Sorensen, H., Overgaard, K., Danborg, K., ... Aagaard, P. (2008) Muscle adaptations to polymetric vs. resistance training in untrained young men. Journal of Strength and Conditioning Research, 22 (6), 1799-1810. 4. Buku teks (1-5 penulis) Text book (1-5 authors) Sudradjat, H.R. (2006). Memproduksi biodiesel jarak pagar. Jakarta: Penebar Swadaya. Muslich, M., Wardani, M., Kalima, T., Rulliaty, S., & Hadjib, N. (2013). Atlas kayu Indonesia (Jilid IV). Bogor: Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. 5. Prosiding (Proceeding) Dulsalam. (2012). Pemanenan kayu ramah lingkungan. Dalam G. Pari, A. Santoso, Dulsalam, J. Balfas, & Krisdianto (Penyunt.), Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan Tahun 2011. Prosiding Seminar Nasional. Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (hal. 102 -114). Bogor. 6. Skripsi, Tesis, atau Disertasi (Thesis or Disertation) Widyati, E. (2006). Bioremediasi tanah bekas tambang batubara dengan sludge industri kertas untuk memacu revegetasi lahan. (Disertasi). Program Pendidikan Doktor: Institut Pertanian Bogor, Bogor. 7. Laporan penelitian (Research report) Djarwanto & Waluyo, T.K. (2013). Teknologi produksi ragi untuk pembuatan bioetanol. Laporan Hasil Penelitian. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. 8. Artikel dari situs internet (Article on the website) Massijaya, M.Y. (2008). Upaya penyelamatan industri pengolahan kayu Indonesia ditinjau dari sudut ketersediaan bahan baku, http://www.fahutan.s5.com/sept/sept006.html, diakses 17 Februari 2010. 9. Artikel dari situs internet (tanpa nama penulis) (Article on the website (anonymous) Departemen Kehutanan. (2008). Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan telah melaksanakan penelitian pembuatan biodiesel dari biji nyamplung (Calophylum inophylum L.) tahun 2005-2008. Diakses dari http://www.dephut.go.id/files/ nyamplung_Ind.pdf, pada 7 Oktober 2011.