PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENGHINAAN MELALUI MEDIA SIBER DI INDONESIA Oleh: Anton Hendrik S., S.H., M.H.
1. PENDAHULUAN Perkembangan teknologi telah mengubah tatanan kehidupan manusia di dunia. Dalam melakukan berbagai aktifitas, manusia saat ini telah bergantung pada pemanfaatan teknologi. Sebelum ada e-mail, surat menyurat membutuhkan waktu yang relatif lama. Sekarang sudah ada banyak smartphone yang menawarkan fitur real time push mail, jadi berkirim e-mail langsung diterima kepada penerima seketika itu juga. Fitur yang lain adalah software jejaring sosial (social network) yang terintegrasi di dalam telepon seluler, dan lain semacamnya. Teknologi tidak hanya memberikan nilai yang positif terhadap peningkatan kesejahteraan manusia, melainkan juga bisa dijadikan sebagai sarana untuk melakukan berbagai perbuatan yang melanggar hukum (onrechtmatig) atau bahkan melawan hukum (wederechttelijk). Didasarkan pada pemikiran tersebut, berbagai upaya dalam hal pengaturan dalam peraturan perundang-undangan yang bisa mencegah berbagai dampak negatif akibat dari perbuatan hukum harus segera dilakukan. KUHP sebagai lex generali bagi aturan hukum pidana materiil pada akhirnya tidak dapat lagi digunakan untuk menjerat pelaku kejahatan mutakhir. Inilah latar belakang munculnya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana di luar KUHP. Salah satu tindak pidana mutakhir sekarang
adalah tindakan yang merugikan kepentingan hukum yang dilakukan di media TIK. Oleh karena itu terbentuklah Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4843) yang untuk selanjutnya disebut UU ITE. Sebelum lahirnya UU ITE, peraturan tentang pencemaran nama baik diatur dalam Bab XVI Buku Kedua KUHP tentang Penghinaan. Salah satu contoh kasus menarik bagaimana UU ITE digunakan oleh penegak hukum untuk memberantas tindak pidana yang dilakukan menggunakan TIK adalah kasus Prita Mulyasari. Prita Mulyasari didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum dengan alasan pencemaran nama baik. Prita Mulyasari didakwa karena menyebarkan e-mail dan menulis surat suara pembaca online di situs www.detik.com yang berisi muatan pencemaran nama baik.
Ada beberapa peristilahan dalam peraturan perundang-undangan yang digunakan untuk menyebutkan tindak pidana Pencemaran Nama Baik, ada yang menggunakan istilah tindak pidana Kehormatan, tindak pidana Penghinaan. Untuk keseragaman penyebutan, pemakalah menggunakan istilah Pencemaran Nama Baik. Pencemaran nama baik menggunakan media TIK diatur tersendiri dalam UU ITE karena dampak yang diakibatkan lebih mengglobal dibandingkan pencemaran nama baik konvensional. Surat elektronik dapat dikirim ke berbagai penjuru dunia hanya dalam hitungan detik dan dampak yang diakibatkannya bisa demikian kompleks dan rumit.
2. U N D A N G - U N D A N G N O M O R 11 TA H U N 2 0 0 8 T E N TA N G INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIKA 1. Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik Menggunakan Media TIK Pencemaran nama baik menggunakan Teknologi Informasi Komunikasi (TIK) diatur dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE yang menyebutkan: Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Untuk dapat mengetahui perbuatan yang dilarang dalam pasal tersebut, perlu dijelaskan mengenai setiap unsur-unsurnya. 1. Setiap orang Dalam Pasal 1 angka 21 disebutkan bahwa orang yang dimaksudkan dalam UU ITE melingkupi orang perseorangan baik WNI maupun WNA, dan badan hukum. Jadi orang perseorangan baik WNI maupun WNA dan badan hukum yang melanggar Pasal 27 ayat 3 UU ITE diancam dengan pidana jika memenuhi unsur delik. 2. Sengaja Dalam UU ITE tidak dijelaskan mengenai pengertian sengaja. Dalam KUHP sebagai lex generali dari peraturan perundang-undangan pidana pun tidak dijelaskan.1 Dalam, teori tentang kesengajaan, terdapat
dua aliran:
1!
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hal. 171
a. Teori kehendak Menurut Moeljatno, untuk menentukan bahwa suatu perbuatan dikehendaki oleh terdakwa harus memenuhi2:
-
Harus dibuktikan bahwa perbuatan itu sesuai dengan motifnya untuk berbuat dan tujuannya yang hendak dicapai. Antara motif, perbuatan dan tujuan harus ada hubungan kausal dalam batin terdakwa.
b. Teori pengetahuan Teori ini lebih praktis dari teori kehendak3, karena untuk membuktikan
adanya kesengajaan dengan teori ini terdapat dua alternatif: -
Membuktikan adanya hubungan kausal dalam batin terdakwa antara motif dan tujuan; atau Pembuktian adanya keinsyafan atau pengertian terhadap apa yang dilakukan beserta akibat-akibat dan keadaan-keadaan yang menyertainya. Perbedaan teori kehendak dan teori pengetahuan, yaitu pada teori
kehendak mengharuskan memenuhi kesesuaian antara perbuatan, motif dan tujuan yang hendak dicapai. Sedangkan pada teori pengetahuan mengharuskan terbukti adanya keinsyafan atau pengertian terhadap perbuatan yang dilakukan, akibat perbuatan, dan keadaan-keadaan yang menyertainya. Lawan dari sengaja adalah kealpaan. Kealpaan untuk melakukan penghinaan atau pencemaran nama baik tidak mungkin terjadi. Namun
2!
Ibid, hal. 173
3!
Ibid, hal. 174
mungkinkah kealpaan itu terjadi dalam perbuatan mendistribusi dan atau mentransmisikannya ke dalam media TIK? Misalnya apabila A meminta tolong B untuk mengunggah (upload) sebuah dokumen ke dalam suatu situs yang dapat diakses secara bebas untuk diunduh (download), dan karena A diminta tolong, maka A langsung mengunggah dokumen tanpa dibuka dan dibaca terlebih dahulu. Konsekuensi dari adanya unsur sengaja dalam pasal ini adalah perbuatan yang dilakukan dengan kealpaan tidak dapat dijerat atau diancamkan sanksi. 3. Tanpa hak Istilah ini dipakai untuk menyinggung anasir “melawan hukum” yang biasa disebut “wederrechtelijk”4 .
Hazewinkel-Suringa dengan gigih
berpendapat bahwa perkataan “wederrechtelijk” ditinjau dari penempatannya dalam suatu rumusan delik menunjukkan bahwa perkataan tersebut haruslah ditafsirkan sebagai “zonder eigen recht” atau “tanpa adanya suatu hak yang ada pada diri seseorang”5. Menurut Memori
Penjelasan dari rencana Kitab Undang-undang Hukum Pidana Negeri Belanda, istilah “melawan hukum” itu setiap kali digunakan, apabila dikhawatirkan, bahwa orang yang didalam melakukan sesuatu perbuatan yang pada dasarnya bertentangan dengan undang-undang, padahal didalam hal itu ia menggunakan haknya, nanti akan terkena juga oleh larangan dari 4! 5!
E.Utrecht, Hukum Pidana 1, Pustaka Tinta Mas, Bandung, 1986, hal. 269
Hazewingkel-Suringa, Inleiding, hal. 124 dalam Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, hal. 353.
pasal undang-undang yang bersangkutan.6 Jika ia menggunakan haknya
maka ia tidak “melawan hukum” dan untuk ketegasan bahwa yang diancam hukuman itu hanya orang yang betul-betul melawan hukum saja, maka di dalam pasal yang bersangkutan perlu dimuat ketegasan “melawan hukum” sebagai unsur perbuatan terlarang itu.7 Misalnya Seorang Polisi
karena perintah atasan mengunggah (upload) daftar pencarian orang atau DPO ke website agar diketahui oleh publik, tidak dipidana karena Polisi tersebut tidak melawan hukum. 4. Mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik. Mengenai unsur ini sudah cukup jelas mengatur tindakan konkrit yang dilakukan. 5. Memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Konsep “penghinaan” dan “pencemaran” nama baik dalam Pasal ini masih belum jelas. Jika kita melihat dalam penjelasan pasal ini hanya dikatakan cukup jelas. Sehingga perlu ada penafsiran dalam mengartikan konsep pencemaran nama baik. Dari unsur-unsur Pasal 27 ayat 3 UU ITE masih ada beberapa proposisi yang belum jelas. Misalnya adalah apa yang dimaksud dengan proposisi “tanpa hak”, kemudian adalah apakah yang dimaksud dengan “penghinaan” dan “pencemaran”
6!
R. Tresna, Azas-azas Hukum Pidana, Pustaka Tinta Mas, 1994, hal. 71
7!
Ibid.
nama baik, dalam Penjelasan Pasal hanya dinyatakan cukup jelas. Oleh karena itu norma dalam Pasal ini dapat dikatakan sebagai norma kabur (vague norm) yang hanya mengatur perbuatan pencemaran nama baik dan/atau penghinaan secara tanpa hak yang dilakukan menggunakan media TIK, namun tidak menjelaskan perbuatan yang dimaksud untuk disiarkan dalam TIK yang dilarang itu apa. Menurut pemakalah dua hal ini perlu diperjelas karena pengaturan mengenai pencemaran nama baik seringkali bersinggungan dengan kebebasan berpendapat yang dilindungi oleh Undang-undang Dasar RI 1945 teramandemen. Kekhasan Pasal 27 ayat 3 UU ITE dibandingkan dengan Pasal-pasal dalam KUHP yang mengatur Pencemaran Nama Baik, yaitu dalam KUHP tidak diatur mengenai pencemaran nama baik yang didistribusikan dan/atau ditransmisikan dalam Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik, sedangkan dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE hal itu telah diatur. Namun sayangnya apa yang dimaksud ‘penghinaan dan/atau pencemaran nama baik’ sama sekali tidak dijelaskan dalam UU ITE.
2. Kaitan Pengaturan Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik dalam UU ITE dengan KUHP Karakteristik UU ITE adalah UU bersanksi pidana, bukan murni UU pidana. KUHP merupakan lex generali semua peraturan perundang-undangan berdimensi pidana.
Dalam Pasal 103 KUHP dinyatakan bahwa Bab I sampai dengan Bab VIII Buku Kesatu KUHP juga diberlakukan untuk undang-undang yang bersanksi pidana, kecuali oleh undang-undang tersebut diatur lain atau menyimpangi KUHP. Lalu bagaimana dengan konsep pencemaran nama baik? Konsep pencemaran diatur oleh KUHP dalam buku Kedua, bukan Buku Kesatu. Dan dalam UU ITE sama sekali tidak disebutkan bahwa pengertian pencemaran nama baik mengacu pada KUHP. Pengertian ‘penghinaan dan/atau pencemaran nama baik’ dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE haruslah diketahui terlebih dahulu sebelum menerapkan pasal ini. Aturan hukum dalam rumus yang membingungkan hanya dapat diterapkan apabila kebingungan itu sudah teratasi.8
Menurut van Hamel, tujuan suatu penafsiran adalah selalu untuk memastikan arti keputusan kehendak atau wilsbesluit pembentuk undang-undang.9
Dikatakan lebih lanjut oleh van Hattum, bahwa perkataan-perkataan yang terdapat dalam undang-undang seringkali tidak cukup jelas, hingga setiap kali orang merasa perlu mengetahui maksud atau artinya dengan cara menyelidiki maksud yang sebenarnya dari pembentuk undang-undang, dengan cara menghubunghubungkan secara sistematis suatu peraturan tertentu dengan peraturan-peraturan
8!
Neil MacCormick, Legal Reasoning and Legal Theory, Clarendon Press, Oxford, dalam P. M. Hadjon dan Tatiek S. Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Jogjakarta, 2005, hal. 24 9!
P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal 53
pidana selebihnya atau dengan cara menyelidiki sejarah pertumbuhan suatu lembaga yang terdapat dalam hukum pidana.10
Oleh karena itu untuk membaca pengertian dari proposisi “penghinaan dan/atau pencemaran nama baik” dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE, kita harus mengaitkannya dengan Pasal-pasal dalam KUHP yang mengatur tentang penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Dalam KUHP pengaturan tersebut ada di Bab XVI tentang Penghinaan. Dalam Bab Penghinaan ini mengatur tentang tindak pidana: 1. Pencemaran (Pasal 310 ayat 1 KUHP) 2. Pencemaran tertulis (Pasal 310 ayat 2 KUHP) 3. Fitnah (Pasal 311 KUHP) 4. Penghinaan ringan (Pasal 315 KUHP) 5. Penghinaan terhadap pejabat negara (Pasal 316 KUHP) 6. Pengaduan fitnah kepada penguasa (Pasal 317 KUHP) 7. Menimbulkan Persangkaan palsu (Pasal 318 KUHP) 8. Pencemaran terhadap orang yang sudah mati (Pasal 320 KUHP) Dengan adanya unsur ‘penghinaan’ dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE, dapat diartikan bahwa proposisi tersebut mengacu kepada Bab tentang Penghinaan dalam KUHP, yang meliputi beberapa tindak pidana yang tersebut di atas. Secara singkat dijelaskan di bawah ini. Ad. 1. Pencemaran ! 10
Ibid, hal 51
Dalam Pasal 310 ayat 1 KUHP disebutkan: “Barangsiapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seorang, dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam, karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.
Berdasarkan rumusan di atas, maka unsur-unsur pasal tersebut adalah: 1. Sengaja Menurut doktrin (ilmu pengetahuan), sengaja termasuk unsur subyektif, yang ditujukan terhadap perbuatan. Artinya pelaku mengetahui perbuatannya ini, pelaku menyadari mengucapkan kata-katanya yang mengandung pelanggaran terhadap kehormatan atau nama baik orang lain.11
2. Menyerang kehormatan atau nama baik orang lain Kata ‘menyerang’ ini bukan berarti menyerbu, melainkan maksudnya dalam artian melanggar. Kata ‘nama baik’ dimaksudkan sebagai kehormatan yang diberikan oleh masyarakat umum kepada seseorang baik karena perbuatannya atau kedudukannya.12 Kata ‘orang’ berarti natuurlijk
persoon, hal ini dikarenakan KUHP masih belum mengenal Badan Hukum (recht persoon). 3. Menuduhkan sesuatu hal
11 !
Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Kehormatan: Pengertian dan Penerapannya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hal 13 ! 12
Ibid, hal 15
Menurut Leden Marpaung, ‘sesuatu hal’ lebih tepat jika diartikan suatu ‘perbuatan tertentu’. Demikian halnya dengan R. Soesilo. Menuduhkan sesuatu hal berarti hal tersebut masih belum tentu benar dan terbukti. Mengenai pembuktian kebenaran hal yang dituduhkan terbatas terhadap hal-hal yang diatur dalam Pasal 312 KUHP, yaitu: -
Berkaitan dengan kepentingan umum
-
Karena membela diri.
-
Berkaitan dengan pejabat yang dituduh sesuatu hal dalam menjalankan tugasnya.
4. Yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum Kejahatan pencemaran ini tidak perlu dilakukan di muka umum, sudah cukup bila dibuktikan bahwa terdakwa ada maksud untuk menyiarkan tuduhan itu.13
Ad. 2. Pencemaran tertulis Perumusan Pasal 310 ayat 2 KUHP, yaitu: “Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka yang bersalah, karena pencemaran tertulis, diancam pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.
Berdasarkan rumusan pasal di atas, maka pencemaran dan pencemaran
tertulis bedanya adalah bahwa pencemaran tertulis dilakukan dengan tulisan atau ! 13
R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor,1996, hal 226
gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan. Sedangkan unsurunur lainnya tidak berbeda. Kata ‘disiarkan’ merupakan terjemahan dari bahasa Belanda atas kata verspreid yang juga dapat diterjemahkan dengan ‘disebarkan’.14 ‘Disebarkan’ atau
‘disiarkan’ mengandung arti bahwa tulisan atau gambar tersebut lebih dari satu helai atau satu eksemplar.15
Kata ‘dipertunjukkan’ maksudnya bahwa tulisan atau gambar tidak perlu berjumlah banyak tetapi dapat dibaca atau dilihat orang lain. Kata-kata ‘disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum’ semua bermakna agar dapat dibaca atau dilihat oleh orang lain.16
Ad. 3. Fitnah Tentang fitnah dalam KUHP diatur dalam Pasal 311, yang menyebutkan: “Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis, dalam hal dibolehkan untuk membuktikan bahwa apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam karena melakukan fitnah, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Fitnah terjadi bilamana yang melakukan tindak pidana pencemaran atau pencemaran tertulis diberi kesempatan untuk membuktikan bahwa tuduhannya itu
! 14
Leden Marpaung, Opcit, hal 18
15 !
Ibid, hal 19
! 16
Ibid.
benar namun dia gagal. Kesempatan untuk membuktikan kebenaran tuduhan dibatasi oleh Pasal 312 KUHP. Penerapan Pasal 311 KUHP ini juga hendaknya memperhatikan Pasal 314 KUHP, yang mengatur mengenai kebenaran tuduhan dikaitkan dengan proses peradilan hal yang dituduhkan. Misalnya: Susno Duadji menuduh Rekanannya melakukan tindak pidana korupsi, kemudian Susno Duadji dilaporkan oleh Rekanannya atas tuduhan melakukan tindak pidana pencemaran nama baik, maka demi kepentingan umum/negara, kebenaran dari tuduhan Susno harus dilakukan yaitu dengan memulai proses pemeriksaan tentang adanya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Rekanan Susno Duadji. Jika hakim memutuskan bahwa Rekanan Susno bersalah melakukan tindak pidana korupsi, maka Susno tidak dapat dihukum karena fitnah. Namun jika yang terjadi sebaliknya maka putusan hakim sudah menjadi bukti yang cukup untuk membuktikan Susno melakukan tindak pidana fitnah.
Ad. 4. Penghinaan ringan Diatur dalam Pasal 315 KUHP yang menyebutkan: “Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis, yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan, dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Bila penghinaan itu dilakukan dengan jalan ‘menuduhkan sesuatu hal (perbuatan)’ terhadap seseorang maka masuk ranah Pasal 310 atau 311 KUHP. Apabila dengan jalan lain, misalnya dengan mengatakan: ‘anjing’, ‘sundal’, ‘bajingan’, dan lain sejenisnya masuk ranah Pasal 315 KUHP dan dinamakan penghinaan ringan.17
Ad. 5. Penghinaan terhadap Pejabat (Negara) Diatur dalam Pasal 316 KUHP, yang menyebutkan: “Pidana yang ditentukan dalam pasal-pasal sebelumnya dalam bab ini, dapat ditambah dengan sepertiga, jika yang dihina adalah seorang pejabat pada waktu atau karena menjalankan tugas yang sah.”
Penghinaan terhadap pejabat (negara) dikecualikan dari delik aduan.
Ruang lingkup pejabat (negara) dapat dilihat dalam Pasal 92 KUHP, yang melingkupi: -
Orang yang dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum;
-
Orang yang bukan karena pemilihan menjadi anggota badan pembentuk undang-undang badan pemerintahan atau badan perwakilan rakyat, badan yang dibentuk oleh Pemerintah atau atas nama Pemerintah;
-
! 17
Orang yang menjadi anggota Dewan-dewan daerah;
R. Soesilo, Opcit, hal 228
-
Semua kepala bangsa Indonesia asli dan kepala golongan Timur asing yang menjalankan kekuasaan yang sah (yang terakhir ini sudah tidak relevan lagi)
Ancaman pidana penghinaan terhadap pejabat (negara) ini lebih berat dibanding dengan Pasal-pasal sebelumnya dalam Bab XVI KUHP.
Ad. 6. Pengaduan fitnah kepada Penguasa Diatur dalam Pasal 317 KUHP, yang menyebutkan: “Barangsiapa dengan sengaja mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa, baik secara tertulis maupun untuk dituliskan tentang seseorang, sehingga kehormatan atau nama baiknya terserang, diancam, karena melakukan pengaduan fitnah, dengan ancaman pidana penjara paling lama empat tahun.”
Perbuatan ini dinamakan ‘pengaduan fitnah kepada penguasa’. Pengaduan
atau pemberitahuan yang diajukan itu, baik secara tertulis maupun lisan dengan permintaan supaya ditulis, harus sengaja palsu. Orang itu harus mengetahui benarbenar bahwa apa yang ia adukan kepada Penguasa itu tidak benar, sedangkan pengaduan itu akan menyerang kehormatan atau nama baik pihak yang diadukan.18
Ad. 7. Menimbulkan Persangkaan Palsu Diatur dalam Pasal 318 KUHP, yang menyebutkan:
! 18
Ibid, hal 229
“Barangsiapa dengan sesuatu perbuatan sengaja menimbulkan secara palsu persangkaan terhadap seseorang bahwa dia melakukan suatu perbuatan pidana, diancam, karena menimbulkan persangkaan palsu, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Dengan kata lain dapat dikatakan sebagai fitnah dengan perbuatan. Misalnya jika A melakukan penghinaan secara online dan anonim kepada B menggunakan komputer milik C, kemudian dilacak IP Address komputer yang digunakan untuk mengunggah (upload) materi penghinaan dan C dipersangkakan melakukan tindak pidana penghinaan menggunakan media TIK akibat tindakan A. Dengan demikian jika dapat dibuktikan, A dapat dikenai Pasal ini sebagai rujukan (juncto) dari Pasal 27 ayat 3 UU ITE.
Ad. 8. Pencemaran terhadap orang yang sudah mati Diatur dalam Pasal 320 dan 321 KUHP. Pada prinsipnya sama dengan pencemaran atau pencemaran tertulis, tetapi korban atau pihak yang dicemarkan adalah orang yang sudah meninggal dunia. Pasal ini bermaksud melindungi ahli waris yang berkepentingan melindungi kehormatan dan nama baik keluarganya.19
3. Fungsi keberadaan ketentuan pidana Ketentuan pidana dalam UU ITE berfungsi sebagai sarana mencegah terjadinya perbuatan tindak pidana dengan menimbulkan ketakutan dengan ancaman sanksi, dan pemberi efek jera kepada pelanggar UU.
! 19
Leden Marpaung, Opcit, hal 56
Selain itu dalam hukum pidana, secara umum menganut asas legalitas yang dirumuskan oleh von Feuerbach dengan adagium: “nullum delictum sine praevia lege poenali”.20 Perumusan dan UU ITE sangat penting, perumusan sanksi pidana
membuat klasifikasi perbuatan yang dilarang dalam UU ITE sebagai tindak pidana.
3. PIDANA SEBAGAI ULTIMUM REMEDIUM, EKSPLORASI PREVENTIVE LAW ENFORCEMENT Sanksi pidana dalam UU ITE tergolong sebagai ultimum remedium. Hal ini dapat dilihat dari sistematika UU ITE yang meletakkan penyelesaian menggunakan hukum pidana sebagai hal yang terakhir. UU ITE masih mengedepankan cara penyelesaian yang lain. Penegakan hukum pidana merupakan cara represif untuk menanggulangi tindak pidana pencemaran nama baik. Cara yang lain yang dapat digunakan untuk menanggulangi hal ini adalah dengan cara preventif. Pendidikan merupakan salah satu sarana strategis yang dapat digunakan sebagai alat penegakan hukum preventif, dengan penanaman nilai-nilai akhlak dan pengetahuan tentang ITE sejak dini dalam masa pendidikan dapat mengurangi terjadinya tindak pidana pencemaran nama baik.
! 20
Moeljatno, Op.cit, h. 23
4. KESIMPULAN Dari paparan-paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa: a. Pengaturan mengenai pencemaran nama baik melalui media TIK yang diatur dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE normanya masih belum jelas, khususnya pada unsur ‘penghinaan dan/atau pencemaran nama baik’. b. Agar pasal dapat diterapkan, kejelasan tentang unsur tersebut harus dicari terlebih dahulu menggunakan metode penafsiran. c. Penafsiran yang dapat digunakan adalah penafsiran sistematis, dengan mengaitkan UU ITE sebagai lex specialis dengan KUHP sebagai lex generali. d. Pengaturan dalam Bab XVI tentang Penghinaan berlaku dalam ruang lingkup unsur ‘penghinaan dan/atau pencemaran nama baik’ dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE. Sehingga apabila Pasal 27 ayat 3 UU ITE diterapkan pada kasus konkret, hendaknya juga merujuk kepada Pasal yang sesuai tentang penghinaan terkait dalam KUHP. e. Yang dicemarkan nama baiknya adalah natuurlijk persoon saja, recht persoon tidak termasuk subyek hukum yang mendapatkan perlindungan dari tindak pidana pencemaran nama baik. f. Upaya penegakan hukum preventif dapat dilakukan melalui kurikulum pendidikan yang mengajarkan mengenai penggunaan media TIK secara bijaksana dan penanaman nilai akhlak pada peserta didik.
DAFTAR BACAAN
Hadjon, P.M. dan Tatiek S. Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Jogjakarta, 2005 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Terjemahan Moeljatno Lamintang, P.A.F., Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997 ------------------------, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1990 Marpaung, Leden, Tindak Pidana Terhadap Kehormatan: Pengertian dan Penerapannya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997 Marpaung, Leden, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2005 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993 Purwoleksono, Didik Endro, Kapita Selekta Hukum Pidana, Surabaya, 2010 Soesilo, R., Kitab Undang-undang Hukum Pidana Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor,1996 Tresna, R, Azas-azas Hukum Pidana, Pustaka Tinta Mas, 1994 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 58) Utrecht, E., Hukum Pidana 1, Pustaka Tinta Mas, Bandung, 1986 Van Bemmelen, J. M., Hukum Pidana 3: Bagian khusus delik-delik khusus, Binacipta, Bandung, 1986