BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertambahan penduduk dunia menunjukkan semakin bertambahnya penduduk di perkotaan. Pada tahun 2008 dilaporkan ada separuh penduduk dunia yang tinggal di perkotaan. Proses urbanisasi tidak hanya mengakibatkan bertambahnya penduduk kota akan tetapi juga mengakibatkan pertambahan penduduk miskin kota yang ditunjukkan antara lain dengan bertumbuhnya daerah permukiman kumuh kota. Dilaporkan pada tahun 2010 ada 505 juta penduduk permukiman kumuh di dunia dan separuh dari mereka ada di daerah Asia Pasifik (Tabel 1). Daerah permukiman kumuh menjadi perhatian global dan menjadi salah satu masalah
berkaitan
dengan
tujuan
pembangunan
Milenium/Millenium
Development Goals (MDG), dikemukakan adanya peningkatan 100 juta penduduk permukiman kumuh di tahun 2020. Tabel 1 Persentase penduduk perkampungan kumuh di Perkotaan Asia Pasifik 2010 Penduduk Penduduk Penduduk Perkotaan Permukiman Permukiman Kumuh (1000s) Kumuh (1000s) di Perkotaan (1000s) Asia Timur 671 795 189 621 28 Asia Selatan 545 766 190 748 35 Asia Tenggara 286 579 88 912 31 Asia Barat 145 164 35 713 25 Pacifik 2 306 556 24 Asia Pasifik (Total) 1651 610 505 550 31 Sumber: United Nations Human Settlements Programme, 2010 Wilayah
Perhatian perlunya upaya kesehatan bagi kelompok miskin kota yang sebagian besar tinggal di permukiman kumuh pertama terlihat dengan adanya publikasi WHO dan UN-Habitat yang membahas hal itu sebagai bagian utama dari upaya pembangunan kota seperti misalnya laporan pertemuan regional WHO 2011 dan publikasi WHO dan UN-Habitat pada tahun yang sama (World Health Organization- UN Habitat, 2010). Area kumuh perkotaan menjadi kelompok terabaikan yang menjadi sumber utama permasalahan kesehatan dalam spektrum luas yang harus dikelola oleh
tenaga kesehatan. Kesadaran sektor pelayanan kesehatan terhadap ancaman kesehatan di permukiman kumuh yang masih rendah akan menyebabkan peningkatan anggaran kesehatan. Pasien yang datang dengan kondisi yang sudah parah dan komplikasi tahap akhir membutuhkan biaya kesehatan yang lebih banyak daripada mengelola kesehatan masyarakat pada umumnya. Karena kondisi lingkungan alami dari permukiman kumuh, faktor perilaku, budaya, dan sosial yang unik dari populasi kumuh sehingga sulit untuk mendeteksi spektrum, beban dan penyebab penyakit. Kurangnya data kesehatan tentang kekumuhan menyebabkan alokasi yang tidak tepat sasaran dan tidak realistik dari pelayanan kesehatan baik oleh pemerintah maupun swasta. Apabila pemborosan anggaran dan program kesehatan tidak tepat sasaran terus berlanjut, akan menuju pada timbulnya penyakit dengan komplikasi tahap akhir yang seharusnya bisa dicegah. Pendekatan inovatif untuk menilai kesehatan dan mengidentifikasi determinan kesehatan yang berhubungan dengan kelompok sosial di area kumuh perkotaan sangat diperlukan (Riley et al., 2007). Dalam permukiman kumuh terdapat kelompok beresiko dengan keterbatasan akses pelayanan kesehatan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Khan et al (2012) yang meneliti tentang pelayanan antenatal care, natal care, postnatal care dan asi eksklusif pada kelompok ibu hamil di permukiman kumuh, ditemukan hasil bahwa sebagian besar ibu hamil di wilayah kumuh masih mendapatkan pelayanan antenatal care kunjungan pertama akan tetapi untuk persalinan sebagian besar dilakukan di rumah tanpa pertolongan medis. Hambatan akses kesehatan diantaranya tradisi keluarga, keterbatasan biaya dan perlakuan kasar dari petugas kesehatan (Khan et al., 2012) Di Indonesia, menurut Badan Pusat Statistik pada September 2014 masih ada 8.16% penduduk miskin kota. Indikator yang digunakan adalah kecukupan kehidupan sehari – hari, angkanya lebih kecil dari ukuran yang biasa digunakan secara global yaitu penghasilan US$2 perhari per keluarga. Dengan menggunakan kritaria global, dipastikan jumlah penduduk miskin kota di Indonesia lebih besar dari 8.16% (Badan Pusat Statistik, 2014a).
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas mencatat luasan kawasan kumuh di perkotaan seluruh Indonesia pada Oktober 2014, mencapai angka 38.431 hektare (ha). Dalam undang-undang (UU) Rencana Program Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025, dinyatakan pemerintah wajib menyediakan permukiman yang sehat dan layak sebagai hak warga Negara Indonesia. Sedangkan dalam Survei sosial ekonomi nasional (susenas) 2013, tercatat jumlah rumah tangga kumuh perkotaan mencapai 12,1% atau 9,6 juta rumah tangga. Hal ini merupakan tantangan besar pemerintah karena targetnya 0% kawasan kumuh sampai dengan 2019 (Ariyanti, 2014). Dukungan pemerintah Indonesia dalam kesehatan masih sangat kurang dibanding Negara-negara Asia Tenggara lainnya. Contoh kasus dapat dilihat dari Angka Kematian Ibu pada tahun 2010 adalah 220 per 100.000 kelahiran hidup atau sekitar empat kali lebih besar dari Vietnam (dengan persentase penduduk hampir sama) padahal pada kenyataannya pendapatan per kapita Indonesia sepertiga lebih tinggi. Lebih jauh lagi, Survey Demografi dan Kesehatan di Indonesia tahun (SDKI) 2012 mengindikasikan kenaikan tajam angka kematian ibu sampai dengan 359 atau enam kali lebih tinggi dari Vietnam. Biaya masyarakat Indonesia untuk kesehatan menduduki tingkat terendah dari seluruh kawasan Asia Tenggara (Cook & Pincus, 2014). Kementerian Kesehatan RI dalam pertemuan Pemantapan pengembangan model penyelenggaraan peningkatan kesehatan di kawasan kumuh miskin perkotaan yang diselengarakan di Bogor tanggal 27 – 29 September 2012 menyatakan perlunya suatu model penyelenggaraan peningkatan kesehatan di kawasan kumuh miskin perkotaan (Direktorat Jenderal Bina Gizi dan KIA, 2012). Direktorat Bina Kesehatan Kerja dan Olahraga dalam pertemuan tersebut, menyatakan bahwa pertemuan ini bertujuan untuk mengidentifikasikan masalah kesehatan serta menyelenggarakan model pengembangan penyelenggaraan peningkatan kesehatan di kawasan kumuh/miskin perkotaan. Pada bidang kesehatan titik beratnya diletakkan pada pembinaan dan pelayanan kesehatan dasar, sebagai upaya terpadu, yang diselenggarakan melalui puskesmas dengan jejaringnya dan balai pengobatan lainnya serta berbagai jenis pelayanan kesehatan
yang dilakukan baik oleh perguruan tinggi, LSM termasuk pihak swasta. Penyelesaian terhadap masalah kesehatan perkotaan hendaknya tidak sama dengan pendekatan yang dilakukan di perdesaan. Idealnya penanganan masalah kesehatan masyarakat di perkotaan dipayungi dalam suatu sistem kesehatan kota. Dimana dalam sistem tersebut terlihat jelas peran dan fungsi serta keterkaitannya antara komponen pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat untuk menuju kota sehat (Direktorat Bina Kesehatan Kerja dan Olahraga, 2010). Selanjutnya, Balai Besar Pelatihan Kesehatan (BBPK) Jakarta, sebagai salah satu peserta dalam pertemuan tersebut melakukan tindak lanjut dengan mengadakan pelatihan Pelayanan Kesehatan di Permukiman Kumuh dan Masyarakat Miskin Perkotaan. Balai Besar Pelatihan Kesehatan (BBPK) Jakarta merupakan
Unit
Pelaksana
Teknis
(UPT)
Badan
Pengembangan
dan
Pemberdayaan SDM Kesehatan Kementerian Kesehatan dengan tugas di bidang penyelenggaraan pelatihan bagi sumber daya manusia kesehatan dan masyarakat. Dalam Permenkes nomor 2361/Menkes/Per/XI/2011 BBPK Jakarta mendapat tugas unggulan pelayanan diklat kesehatan perkotaan. Bentuk pelaksanaan Permenkes tersebut pada tahun 2012 - 2013 BBPK Jakarta telah melaksanakan penyusunan kurikulum dan modul pelatihan pelayanan kesehatan di permukiman kumuh dan masyarakat miskin perkotaan tahun 2012, pelatihan pelayanan kesehatan di permukiman kumuh dan masyarakat miskin perkotaan tahun 2013 dan evaluasi pasca pelatihan pelayanan kesehatan di permukiman kumuh dan masyarakat miskin perkotaan tahun 2013 (Balai Besar Pelatihan Kesehatan Jakarta, 2013). Pelatihan Pelayanan Kesehatan di Permukiman Kumuh dan Masyarakat Miskin Perkotaan bertujuan untuk memberikan kemampuan bagi tenaga kesehatan di dalam mengelola maupun memberikan pelayanan kesehatan di kawasan permukiman kumuh dan masyarakat miskin perkotaan yang diintegrasikan dalam upaya pelayanan kesehatan puskesmas. Peserta pelatihan berjumlah 30 orang yang berasal dari dinas kesehatan dan puskesmas di provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Banten, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan,
Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan. Evaluasi pasca pelatihan untuk pelatihan ini dilaksanakan 6 bulan setelah penyelenggaraan pelatihan. Evaluasi yang mengevaluasi perubahan perilaku di tempat kerja ini, diselenggarakan untuk melihat pelaksanaan Rencana Tindak Lanjut (RTL) oleh peserta latih di tempat kerjanya. Jumlah peserta pelatihan yang telah dievaluasi perubahan perilakunya berjumlah 25 orang, karena 2 orang telah pindah tugas, 2 orang sedang melaksanakan tugas dinas luar kota, dan 1 orang sedang cuti besar di luar kota. Dari hasil evaluasi tersebut diperoleh hasil sebagai berikut : Tabel 2 Hasil evaluasi pasca pelatihan BBPK Jakarta 2013 Pertanyaan Pelaksanaan Rencana Tindak Lanjut Melaksanakan seluruhnya Melaksanakan sebagian Tidak melaksanakan RTL yang sudah dilaksanakan
Hasil Evaluasi
73,1% 15,4% 11,5% Lapor atasan dan sosialisasi Pendataan masalah Koordinasi lintas sektor/program Identifikasi wilayah kumuh Pemetaan dan pendampingan di puskesmas, Pos gizi RW Penganggaran Alasan tidak melaksanakan Menunggu dana Kegiatan suku dinas kesehatan tidak langsung ke masyarakat Koordinasi dengan lintas sektor dan program belum ada Sumber: Balai Besar Pelatihan Kesehatan Jakarta, 2013 Dari hasil evaluasi pasca pelatihan, terdapat 73% mantan peserta latih telah menerapkan materi pelatihan di tempat kerja. Akan tetapi evaluasi pasca pelatihan belum menggambarkan lebih jauh tentang bagaimana peran puskesmas dalam pelayanan kesehatan masyarakat di permukiman kumuh dan masyarakat miskin perkotaan, bagaimana penerapannya, siapa dan faktor apa saja yang berperan di lapangan (Konteks, mekanisme, outcome). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis lebih lanjut tentang kesesuaian penyelenggaraan pelatihan dengan
pelaksanaan program kesehatan di permukiman kumuh dan masyarakat miskin perkotaan dengan mantan peserta latih sebagai fasilitator di masyarakat. Penilaian dilakukan dengan mengidentifikasi adanya peran organisasi puskesmas di tempat kerja peserta latih (sesuai rencana tindak lanjut pelatihan), bagaimana pelaksanaannya dilapangan dan dalam kondisi apa dapat diterapkan. Hasil evaluasi akan digunakan sebagai masukan untuk revisi kurikulum dan modul, penentuan peserta latih selanjutnya dan pengembangan metode pelatihan Pelayanan Kesehatan di Permukiman Kumuh dan Masyarakat Miskin Perkotaan berikutnya.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian permasalahan diatas, dapat dirumuskan permasalahan penelitian yaitu bagaimana peran organisasi puskesmas dalam memfasilitasi program kesehatan di permukiman kumuh dan masyarakat miskin perkotaan dan bagaimana manfaat pelatihan dalam program tersebut, sehingga perlu dievaluasi lebih jauh tentang: a. Bagaimana
peran
puskesmas
dalam
program
kesehatan
masyarakat
permukiman kumuh dan miskin di wilayah kerja peserta latih setelah mengikuti pelatihan? b. Bagaimana pelatihan dapat memberikan manfaat dalam program tersebut?
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk memahami adanya peran puskesmas dalam program kesehatan di permukiman kumuh dan masyarakat miskin perkotaan di tempat kerja mantan peserta pelatihan. 2. Tujuan Khusus a. Untuk mengidentifikasi jika ada peran puskesmas dalam program kesehatan masyarakat kumuh dan miskin di tempat kerja peserta latih. b. Untuk memahami bagaimana peran individu peserta latih dalam memfasilitasi program tersebut.
c. Untuk memahami bagaimana peran organisasi puskesmas dalam memfasilitasi program tersebut. d. Untuk mengidentifikasi dan menggambarkan bagaimana pelatihan dapat memberikan manfaat dalam program tersebut.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi : a. Balai Besar Pelatihan Kesehatan Jakarta sebagai bahan masukan untuk pengembangan metode pelatihan pelayanan kesehatan masyarakat di permukiman kumuh dan masyarakat miskin perkotaan selanjutnya. b. Mantan peserta latih sebagai agen perubahan dalam pelaksanaan program pelayanan kesehatan masyarakat di permukiman kumuh dan masyarakat miskin perkotaan c. Peneliti selanjutnya sebagai bahan masukan melalui penelitian serupa.
E. Keaslian Penelitian Penelitian yang meneliti tentang pelatihan telah banyak dilakukan. Akan tetapi yang berhubungan dengan peran puskesmas dalam kesehatan masyarakat permukiman kumuh dan masyarakat miskin perkotaan di Indonesia masih jarang dilakukan. Berikut ini beberapa penelitian yang terdahulu yang digunakan penulis untuk mengembangkan metode penelitian ini : 1. Christensen & Karlqvist Christensen & Karlqvist melakukan survei untuk mengevaluasi kinerja tenaga promosi kesehatan di Pucallpa, Peru. Survei ini dilakukan 3 tahun setelah proyek Danish tentang pelatihan dan supervisi tenaga promkes selesai. Dalam artikelnya yang berjudul “Community Health Workers in a Peruvian Slum Area: An Evaluation of Their Impact on Health Behaviour” menyatakan bahwa 2/5 peserta latih masih aktif bekerja dan mengalami penambahan beban kerja karena adanya tugas kuratif. Dampak positif pelatihan adalah peningkatan cakupan vaksinasi serta peningkatan pemanfaatan pelayanan publik health di tempat kerja mereka. Akan tetapi tidak ada perubahan
signifikan pada angka kejadian kasus diare dan tidak ada peningkatan kualitas air minum (Christensen & Karlqvist, 1990). 2. Rejeki. Penelitian Rejeki yang berjudul “ Peran Puskesmas Dalam Pengembangan Desa siaga di Kabupaten Bantul” bertujuan untuk melakukan kajian terhadap peran puskesmas dalam fasilitasi pengembangan desa siaga. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan rancangan studi kasus, untuk mendeskripsikan peran puskesmas sebagai fasilitator desa siaga. Subyek penelitian adalah kepala puskesmas dan bidan coordinator, serta tokoh masyarakat : kepala bagian kesejahteraan rakyat desa, ketua Tim Penggerak PKK desa dan kader kesehatan. Hasil penelitiannya adalah : desa siaga telah dilaksanakan dengan berbagai kegiatan Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM), namun belum semuanya berjalan seperti yang diharapkan. Puskesmas telah berupaya dalam mendampingi pengembangan desa siaga, namun fasilitasi yang dilakukan puskesmas belum mewujudkan community development, melainkan lebih kearah mobilisasi social (Rejeki, Hasanbasri, & Sanjaya, 2012). 3. Prashanth et al Penelitian Prashanth et al. (2012) tentang “ How does capacity building of health managers work? A realist evaluation study protocol” bertujuan untuk meneliti bagaimana program capacity building bisa bermanfaat untuk peningkatan kapasitas manajemen bagi para manajer kesehatan di tingkat kabupaten dan sub kabupaten di India. Peneliti melakukan wawancara dan review literatur untuk menentukan teori program yang dilatihkan. Unsur yang dinilai adalah kebudayaan organisasi, efektifitas pribadi dan pengawasan. Metode yang dilakukan dengan cara survei pada para manajer kesehatan untuk mengumpulkan data kualitatif kepada para peserta latih dan non peserta latih yang dipilih sesuai dengan kebutuhan peneliti. Hasil penelitian disusun sesuai konfigurasi konteks – mekanisme – outcome. Hasil dari penelitian ini tidak hanya melihat apakah program tersebut bermanfaat akan tetapi juga melihat
kepada siapa program tersebut bermanfaat dan dalam kondisi apa (Prashanth et al., 2012). 4. Muhammad Zahid Iqbal Penelitian yang berjudul “An empirical analysis of the relationship between characteristics and formative evaluation of training” bertujuan untuk meneliti manfaat evaluasi penelitian formatif. Subjek penelitiannya adalah 3 institusi pelatihan, menggunakan uji hipotesa hubungan antara karakteristik pelatihan dan evaluasi pelatihan formatif dan metode evaluasinya menggunakan model Kirkpatrick tahap reaksi dan pembelajaran. Hasil penelitian tersebut adalah keseluruhan karakteristik penelitian memiliki hubungan positif dengan reaksi dan pembelajaran kecuali isi pelatihan. Karakteristik pelatihan yang paling berpengaruh adalah metode pelatihan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa evaluasi formatif sebaiknya ditindaklanjuti dengan evaluasi sumatif yaitu evaluasi perilaku dan hasil (Iqbal et al., 2011).